Pencarian

Senopati Pamungkas Satu 7

Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 7


Kedua tangan berputar ke atas, tangan kiri turun di pusar. Banjir Bandang Segara
Asat langsung dipakai dalam gebrakan pertama.
Tubuh yang diserang mengeluarkan teriakan keras. Sama-sama meloncat ke atas dan
memapaki serangan Rawikara. Tak ada benturan tenaga yang keras. Tak ada tepukan
yang mengeluarkan suara, ketika dua tangan beradu. Hanya tubuh keduanya melayang
turun ke tanah. Kaki lelaki yang dipanggil Pakde itu masih bisa terangkat, menyepak Rawikara
yang berusaha menangkis. Tubuhnya terpental jauh. Tubuh Pakde menyentuh tanah
dan mumbul kembali ke atas. Sebelum tubuh Rawikara jatuh mengenai tanah, bisa
diungkit dengan ujung kaki, Hingga membal ke atas dan disambut dengan pukulan
mencengkeram ke arah pundaknya.
Rawikara mengeluarkan jeritan kesakitan. Tubuhnya terbanting ke tanah.
Tak bangun lagi. Dalam sekejap saja, pertempuran yang benar-benar maut terjadi.
Banjir Bandang Segara Asat memang jurus maut yang paling ganas. Kali ini juga
terbukti. Tenaga dalam Rawikara yang sudah berlipat tetap kalah oleh Pakde,
hingga akibatnya sangat fatal. Cengkeramannya tetap menghancurkan tulang pundak,
yang bagi seorang jago silat merupakan segala pusat gerakan di tangan.
"Ngabehi Pandu, jadi kamu masih hidup?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Teriakan Ugrawe, membuat Pakde yang kurus tinggi itu tak bereaksi.
"Sebelum kamu bisa membunuhku, apakah aku mau mati lebih awal?"
"Pakde, jangan layani omongannya...."
"Gendhuk Tri ... aku segan mengeroyoknya. Biarlah kau beri aku kesempatan untuk
menyerap kembali tenaga para ksatria yang dirampok olehnya."
Ugrawe bercekat juga. Meski tidak tahu-menahu tentang nama jurus, Ngabehi Pandu
mengetahui prinsip-prinsip dasarnya. Ngabehi Pandu memang satu-satunya tokoh
yang lolos dari serangan habis-habisan di Perguruan Awan. Yang menjadi guru
Upasara Wulung. "Sungguh bahagia hari ini aku bisa bertemu denganmu, Ngabehi Pandu.
Tak kunyana, bahwa kini kamu bisa banyak bicara. Kiranya kamu pula yang selama
ini menyaru sebagai Senamata Karmuka. Pantas kamu bisa mengelabui semuanya.
"Perguruan Awan ini menjadi saksi, siapa di antara kita berdua yang lebih terang
dari matahari. Di jagat ini hanya ada satu matahari, tak pernah ada matahari
kembar. Bersiaplah, Pandu."
Suasana sunyi. Ugrawe berhadapan dengan Ngabehi Pandu. Sementara korban yang lain tak bisa
bergerak. Gendhuk Tri juga berdiri lurus, mengatur pernapasan.
Ini baru pertempuran tingkat di atas tinggi.
Pertempuran yang sempurna.
Gendhuk Tri berharap saat ini ada Kakang Upasara.
Setidaknya akan mendengar sendiri teka-teki yang masih menghantui dirinya.
Seperti diketahui, tahun yang lalu Upasara Wulung bersama dengan Ngabehi Pandu
dan Wilanda datang ke Perguruan awan. Karena menurut berita di situ akan datang
Tamu dari Seberang, seorang tokoh misterius yang konon membawa wangsit siapa
yang bakal menjadi raja di tanah Jawa.
Mitos tentang Tamu dari Seberang memang sudah lama mengakar dalam masyarakat
sejak Ken Arok naik takhta. Konon sebelum naik takhta, ada berita yang dikatakan
oleh Tamu dari Seberang. Akan tetapi sekali ini adalah muslihat Ugrawe untuk
menyikat semua ksatria Singasari yang dikuatirkan akan membantu Baginda Raja Sri
Kertanegara. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Saat itu kemudian berhasil disergap oleh Ugrawe dan pasukan dari Gelang-Gelang
yang dipimpin langsung oleh Raja Muda, saat itu, Jayakatwang.
Dalam pertempuran itu terlihat munculnya Senamata Karmuka, senopati terpercaya
Keraton Singasari. Hanya saja ketika Upasara kembali ke Keraton untuk
mengabarkan hal ini, omongannya dibantah keras. Malah Upasara dianggap berdusta.
Karena selama ini Senamata Karmuka tak pernah meninggalkan Keraton. Tak pernah
menjauh dari bayangan tubuh Baginda Raja.
Upasara tentu saja tidak mengerti. Bahwa saat itu Ngabehi Pandu, yang adalah
saudara kandung Senamata Karmuka, menyamar sebagai Senamata Karmuka. Sebaliknya,
Ugrawe bisa mengetahui cepat. Kalau saat itu Ugrawe bisa mengetahui cepat. Kalau
saat itu Ugrawe bertempur dengan Senamata Karmuka, dan merasa bahwa ilmu andalan
Senamata Karmuka yaitu dalam membidik dengan anak panah tak terlalu hebat.
Sekarang baru jelas bahwa itu semua dilakukan oleh Ngabehi Pandu!
Gara-gara inilah Upasara Wulung hampir saja meninggal dunia.
Karena dianggap mendustai Panji Angragani, mahapatih Keraton Singasari. Upasara
dihukum dengan cara tubuhnya diberikan sebagai santapan harimau kesayangan
Baginda Raja. Untunglah saat itu ditolong secara diam-diam oleh Mpu Raganata!
"Ngabehi, aku menghormatimu sebagai ksatria sejati. Kamulah tulang punggung
Keraton Singasari yang tak banyak bicara. Sebagai sesama pendekar, aku memberi
kesempatan padamu meminta sesuatu padaku, kalau kamu tak bisa melihat matahari
lagi." Congkak dan tinggi nadanya, akan tetapi di balik itu Ugrawe juga memperlihatkan
bahwa ia seorang ksatria. Setidaknya masih merasa sebagai pendekar yang menepati
janji. "Hmmmmm, aku tak berani meminta apa-apa."
"Ngabehi, aku tahu tak begitu mudah mengalahkanmu. Akan tetapi kamu harus sadar
bahwa yang kamu hadapi sekarang ini adalah pujangga pamungkas. Orang bijak
paling akhir. Cepat atau lambat kamu pasti kalah. Maka sebelum mati, katakan apa
permintaanmu. Akan kubuktikan bahwa aku bisa tetap menyandang gelar pendekar sejati seperti
kamu. "Apakah kamu meminta aku membebaskan Gendhuk Tri?"
"Enak saja kalau bicara. Dengar, Pendeta busuk bertelinga satu.
Kalaupun aku bisa hidup dari belas kasihanmu, aku lebih suka jadi hantu
penasaran seumur hidup. Tak nanti Pakde-ku yang gagah bakal mengemis sesuatu
yang begitu hina. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Lebih baik kamu sendiri yang berpesan. Apakah kamu ingin dikubur telanjang atau
dikubur dengan tambahan satu telinga dari seekor anjing."
Ugrawe tertawa bergelak. "Di jagat ini ternyata ada lidah yang begitu tajam dan ganas, sehingga semua
senjata di dunia ingin memotongnya.
"Ngabehi, kalau merasa tak ada permintaan, ayolah kita mulai."
"Kapan saja bisa. Tetapi kenapa kamu selalu main curang" Kenapa teman dekatmu
kamu sembunyikan" "Aku jadi bertanya-tanya, apakah tanpa kebusukan kamu tidak pernah merasa
menjadi manusia hina?"
Ugrawe merasa dikalahkan dalam satu langkah.
Pendengaran jarak jauh dan keahlian membaca dengus napas yang dimiliki Ngabehi
Pandu memang luar biasa. Sedikit dengus yang berbeda pun bisa dirasakan. Selama
ini memang dalam dunia persilatan lebih dikenal pamor Senamata Karmuka. Ngabehi
Pandu hanya dikenal di kalangan terbatas. Akan tetapi para pendekar menyadari
bahwa Ngabehi Pandu sebenarnya jauh lebih tangguh.
Sekarang ini baru bisa dibuktikan.
"Aha, aku memang dikenal sebagai ular busuk. Tapi dalam soal keroyokan, aku
masih percaya kekuatanku sendiri. Justru tadinya kukira temanmu. Maka kubiarkan,
karena aku tak gentar menghadapi keroyokan secara sembunyi-sembunyi.
"Sahabat licik, keluarlah."
Tangan Ugrawe menggebrak keras. Kesiuran angin panas menggetarkan dedaunan dan
pepohonan yang jaraknya lima-enam tombak. Kesiuran angin itu mengenai tempat
yang kosong. Ngabehi Pandu tertawa pendek.
"Bukan di situ, Ugrawe."
Kali ini Ugrawe benar-benar terkesiap. Hatinya kaget. Sangat jelas
pendengarannya di tempat mana orang itu bersembunyi. Akan tetapi di luar
dugaannya, bahwa ia tak ada di tempat itu.
Mana mungkin pendengarannya bisa salah"
"Pakde maklum saja. Ugrawe cuma punya satu daun telinga."
Belum pernah Ugrawe dikalahkan begitu telak.
Ugrawe mengernyitkan keningnya. Mendadak tubuhnya berputar dan kedua tangannya
terentang lebar. Tenaga hawa panas menyambar sekitar lapangan. Dengan cara
seperti ini, siapa pun yang berada di
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
balik pepohonan bakal kena sambar tenaganya. Beberapa batang pohon malah retak.
Sebagian patah cabangnya, rontok daunnya, sebagian lagi tumbang.
Tapi tetap tak ada bayangan muncul.
Ugrawe lebih bercekat lagi. Jangan-jangan Ngabehi Pandu main gila.
Sengaja mempermainkan karena memang tak ada orang yang bersembunyi.
Lama suasana masih sepi, sampai kemudian terdengar suara yang serak dan parau,
bersamaan munculnya dua bayangan berpakaian serbahitam.
"Cara menyambut tetamu yang penuh sopan santun manusia belahan timur. Kami dua
manusia dari ujung barat tanah Jawa bernama Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana, khusus
datang kemari untuk membalas dendam kematian saudara kami. Siapa yang merasa
membunuhnya, hari ini kami akan melunaskan."
Bisa dimengerti kalau bicaranya begitu tegas dan apa adanya, karena mereka
datang dari daerah masyarakat di ujung barat. Gendhuk Tri bisa mengenali dari
pakaiannya, dan caranya yang mirip-mirip dengan Pu'un yang telah tewas. Agaknya
mereka rekan sesama perguruan, walau mengatakan saudara - karena semua dianggap
bersaudara - yang datang untuk menuntut balas.
"Pu'un dan Pu'un," teriak Gendhuk Tri. "Kedatangan kalian berdua sungguh tepat
sekali. Dewa yang di langit memberi petunjuk. Orang yang kalian cari ada di
sini. Pu'un yang kalian cari memang sudah mati dikubur hidup-hidup."
Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana menghadap ke arah Gendhuk Tri.
Kedua kakinya membuka bersamaan, dengan tubuh condong ke depan.
"Siapa yang melakukan itu?"
"Orangnya ada di sini. Entah dia berani mengakui atau tidak."
Ugrawe meringis. Gendhuk Tri memang merupakan lawan yang selalu bisa memojokkan. Kini ia
dihadapkan pada pilihan yang sulit. Memang dulu Pu'un meninggal dalam penyerbuan
habis-habisan di Perguruan Awan.
Langsung atau tidak, dialah yang bertanggung jawab. Untuk menghadapi Ngabehi
Pandu saja harus konsentrasi penuh, kini sudah muncul dua Pu'un yang mestinya
ilmunya tak bisa dibilang sembarangan. Dengan satu kalimat saja, mereka berdua
sudah ditarik ke dalam kelompok yang harus dihadapi!
"Yang mana?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Pu'un, di dunia ini ada lelaki, dan ada binatang. Kalau berani menjawab dialah
lelaki, kalau tidak ia memang binatang."
"Kamu bicara tidak jelas. Katakan atau kubunuh."
Aneh adatnya, akan tetapi Pamor dan Wahana sudah langsung menubruk dengan
gerakan harimau. Dua tangan terulur bersamaan, mencakar, dan tubuhnya meluncur
dari enjotan kaki. Persis dua ekor harimau yang menerkam secara bersamaan.
Gendhuk Tri sama sekali tak menduga bakal diserang seperti itu. Mengegos pun tak
sempat. Dalam sekejap kedua tangan dan kakinya sudah terpegang oleh lawan.
"Katakan lelaki mana yang membunuh saudaraku. Kalau tidak kamu yang akan
menemani saudaraku."
Bukan ancaman kosong kalau dilihat gaya dan sikap hidup mereka berdua selalu
langsung apa adanya. "Kalian pikir bisa memaksa aku" Mau bunuh bunuhlah. Kalian sendiri yang membunuh
saudara kalian untuk kedua kalinya!"
Pu'un Pamor bercekat. Mengawasi Gendhuk Tri dengan terheran-heran. Secara aneh terasa bahwa aliran
darah Gendhuk Tri agak ganjil. Juga bau tubuhnya, mengingatkan bau tubuh mereka
sendiri. Memang. Gendhuk Tri pernah kena aji sirep Pu'un sebelumnya. Juga ilmu tenaga
dalam Pu'un telah tertukar dan masuk ke dalam tubuhnya.
"Jadi kamu jelmaan Pu'un Elam?"
Pu'un Wahana melepaskan secara bersamaan dengan Pu'un Pamor.
Berganti dengan merangkul Gendhuk Tri sambil tertawa riang.
Gendhuk Tri berdiri tegak.
Kalau tadi bisa mempermainkan Dewa Maut, sekarang dua Pu'un, dua jagoan yang
datang dari jauh, juga kena kibul.
"Pu'un Elam telah memberikan jiwanya padaku. Rohnya ada dalam diriku. Untung
kalian berdua cepat menyadari tidak keliru lawan. Aku sendiri akan menuntut
balas atas kematian Pu'un Elam. Akan tetapi lawan itu terlalu licik. Sekarang
kalian berdua datang membantuku. Ayo tunggu apa lagi?"
"Yang mana?" "Dari wajahnya sudah ketahuan. Yang normal telinganya dua. Ini cuma satu. Aku
baru bisa memotes telinganya untuk membalas dendam. Membalaskan dendam Pu'un
Elam. Tapi satu telinga ditukar nyawa, belum lunas.
"Masih tanya mana yang telinganya cuma satu?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pamor dan Wahana mendongak ke atas.
Kedua tangannya terangkap di dada.
"Dewa Langit, tenanglah arwah saudaraku. Kami berdua akan menyusul ke sana kalau
gagal. Kalau berhasil, akan menyusulkan arwah si pembunuh, agar saudara kami
Elam tenang adanya."
Selesai bicara, tanpa mengambil napas tambahan, langsung menubruk ke arah
Ugrawe. Ugrawe telah bersiap. Begitu kedua tubuh menerkam ke arahnya, Ugrawe
memutar tubuhnya. Dua kakinya melayang ke depan sementara tangannya menyangga
tubuh. Dengan mengerahkan tenaga tendangan, terkaman harimau dihadapi. Pamor
mengeluarkan erangan tinggi. Merangkul kaki yang datang. Wahana juga melakukan
hal yang sama. Dalam saat yang gawat itu, Gendhuk Tri melayang dekat. Kedua
kakinya menyapu tangan Ugrawe yang menjadi penyangga tubuhnya. Ugrawe tetap
berusaha bertahan. Dua kaki dibetot paksa masih ditahan. Adu kekuatan masih
berimbang. Satu tangan dipakai menyangga juga masih bisa. Kini satu tangan untuk
memapaki tendangan Gendhuk Tri.
Gendhuk Tri tertawa mengejek.
Kaki yang mau ditangkap Ugrawe ditarik ke atas, ganti kaki lain menginjak leher.
Suara ejekannya seakan yakin bahwa kali ini Ugrawe akan terkecoh. Karena Gendhuk
Tri mengubah gerakan yang elok dalam sekejap. Dengan dasar penari, gerakan kaki
Gendhuk Tri memang hidup sekali.
Posisi Ugrawe memang serbasalah. Dengan disangga satu tangan dan dua kaki
dipeluk Pu'un yang nekat, kekuatannya terbatas. Tapi ia adalah jagonya jago yang
menggelari dirinya dengan berbagai sebutan luar biasa. Dan ini bukan sebutan
omong kosong. Ugrawe mengerahkan kekuatan lewat satu tangan yang menyangga.
Seluruh tenaga dientakkan, kedua kakinya mengayunkan keras.
Tubuhnya melayang secara terbalik. Dengan Pu'un Pamor dan Pu'un Wahana turut
melayang ke atas, karena tak mau melepaskan pegangannya. Sementara tenaga
tolakan dari tangan Ugrawe mendesak Gendhuk Tri hingga terlempar.
Empat tubuh melayang di angkasa.
Ngabehi Pandu berdehem kecil sambil mengeluarkan teriakan pendek.
"Awas, Gendhuk."
Pendek suaranya, tubuhnya melayang dan menempel rapat ke arah tubuh Ugrawe.
Tangan Ngabehi Pandu menangkap Gendhuk Tri yang terlempar, akan tetapi kedua
sikunya sempat menghajar Ugrawe. Telak di ulu hati. Gendhuk Tri sendiri, begitu
merasa aman dalam pegangan Ngabehi Pandu, langsung mencakar wajah Ugrawe.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Goresan kuku membuat tubuh Ugrawe menggigil. Begitu jatuh di tanah, Pamor dan
"Wahana langsung bisa meringkusnya.
"Kalau Ugrawe tak mau melepaskan siksaan para ksatria yang dilukai, biar aku
bereskan sekarang juga!" teriak Gendhuk Tri.
Ugrawe paling merasa ngeri dengan Gendhuk Tri, sumber dari segala sumber racun
yang ganas dan sulit dikendalikan.
Kini melihat Gendhuk Tri bersiap menerjang ia hanya pasrah menunggu nasib.
"Tunggu. Tak baik kalau menyerang lawan yang terbelenggu. Itu bukan sifat
seorang ksatria." Ngabehi Pandu menggerakkan tangannya.
"Kalau ingin menyelesaikan pertempuran, biarlah aku yang akan menghadapi
sendirian." Ugrawe sendiri merasa kagok. Karena di dunia ini ternyata masih ada seorang yang
bersikap ksatria. Tetap ksatria walau dicurangi.
Dari balik gerombolan pohon, terdengar helaan napas panjang. Dua bayangan masuk
ke dalam lapangan. Satu orang bisa segera dikenali sebagai Kiai Sangga Langit yang perkasa. Satu
orang lagi tak bisa diduga siapa. Karena gerak-geriknya masih asing. Hanya kalau


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilihat dari segi pakaian yang dikenakan, tak berbeda dari Kiai Sangga Langit.
Malah lebih lengkap dengan pakaian panglima perang.
Kiai Sangga Langit mengeluarkan kalimat pendek.
Ngabehi Pandu berbalik, memberi hormat kepada Kiai Sangga Langit, dan di luar
dugaan bisa menjawab apa yang dikatakan Kiai Sangga Langit.
"Ini bukan ksatria atau tidak ksatria. Terima kasih untuk sebutan orang gagah.
Saya tak berhak gelar terhormat dari keraton kalian."
"Sungguh berbudi. Bahkan bisa berbicara dalam bahasa kami."
"Dengan banyak salah, karena selama ini saya hanya mempelajari dari buku.
Perkenalkan, saya Ngabehi Pandu."
"Nama besar itu sudah lama kami dengar. Saya Bok Mo Jin atau Sangga Langit, dan
ini saudaraku, Panglima Sih Pi yang bergelar Naga Wolak-Walik."
Naga Wolak-Walik membungkukkan tubuh sambil merangkapkan kedua tangannya.
Ngabehi Pandu balas menghormat dengan jempolnya, dan badan ditekuk. Naga Wolak-
Walik adalah gelar yang luar biasa di negeri Cina. Di mana seorang pendekar
biasanya mempunyai gelar tertentu yang menggambarkan kelebihannya. Dengan
sebutan Naga Wolak-Walik bisa diartikan naga yang mempunyai dua kepala. Di
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
ekornya pun ada kepalanya. Untuk menggambarkan betapa dahsyatnya.
Satu kepala saja sudah dahsyat, apalagi kembar dan bolak-balik.
Apalagi diperkenalkan sebagai panglima perang.
"Saya merasa dapat kehormatan besar dengan keterusterangan Naga Wolak-Walik.
Akan tetapi kenapa Kiai Sangga Langit menyembunyikan kemampuan untuk bisa
memahami bahasa kami" Apakah bahasa kami sedemikian rendahnya sehingga tak
berhak untuk dibicarakan?"
Kiai Sangga Langit menarik keningnya. Berkerut. Alisnya yang tebal seakan
bersatu. "Sebagai seorang imam agung yang banyak mempelajari buku dan berpengetahuan
luas, sangat muskil sekali tak bisa mempelajari.
Kenapa Kiai harus selalu berlindung di balik Nyai Demang?"
Kiai Sangga Langit tertawa lebar.
"Sungguh cerdik sekali," suaranya menurun, lalu berganti dengan bahasa yang
dimengerti seisi lapangan, kecuali Naga Wolak-Walik.
"Sekali bertemu, Ngabehi Pandu bisa menelanjangiku. Sungguh di tanah Jawa ini
begitu banyak orang cerdik pandai. Maka Kaisar Mulia yang menguasai atap dunia
di daratan Cina sulit sekali mengalahkan.
"Benar-benar luar biasa.
"Aku hargai kejujuran dan keterusterangan Ngabehi Pandu. Di negeri kami, kamu
pantas mendapat sebutan orang gagah."
"Terima kasih atas gelar kehormatan ini. Kini para pemuka sudah muncul di
Perguruan Awan. Entah apa pula maunya. Kalau memang ada yang bisa saya lakukan,
akan saya lakukan." Di balik kata-kata Ngabehi Pandu tersirat suatu tantangan besar. Kiai Sangga
Langit berdecak kagum. Kini boleh dikata semua kartu telah dibuka. Semua batu
telah disingkirkan, hingga udangnya kelihatan. Apa yang dikatakan Ngabehi Pandu
merupakan tantangan terbuka: Kalau memang masih ada urusan, itu bisa
diselesaikan. Dan Ngabehi Pandu siap untuk menghadapinya! Itu bisa berarti
perang tanding. Kiai Sangga Langit mendongak ke arah langit.
"Aku selalu merasa diriku seorang ksatria, seorang pendekar yang berkelana ke
ujung penjuru dunia untuk mengetahui luasnya langit.
Puncak-puncak gunung dingin, padang kembara yang panas, telah aku jalani. Kini,
di tanah yang subur aku menemukan sarang ilmu silat yang sesungguhnya. Sehingga
ketika semua rombongan datang dan dihina rajamu, aku masih bertahan di sini.
"Tetapi aku tetap seorang imam negara. Aku diperintah oleh kaisar kami yang
menguasai jagat. Hari ini aku menjadi prajurit yang menjalankan tugas untuk
membalas dendam kepada raja yang telah
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menghina kaisar kami. Naga Wolak-Walik dan rombongannya sudah tiba untuk
membalaskan penghinaan ini."
"Sudah sepantasnya saya mewakili untuk menyambutnya. Sebab yang meremehkan
kaisar kamu adalah raja saya. Kita harus berbahagia, karena kita masing-masing
masih mempunyai sesuatu yang harus dipertahankan, yaitu kehormatan.
"Kiai Sangga Langit, saya telah siap."
Ngabehi Pandu menggeser kakinya. Memilih tempat agak di tengah.
Ke tempat yang lebih lapang. Berdiri dengan gagah. Kiai Sangga Langit meloncat
pendek, mengambil kuda-kuda.
Naga Wolak-Walik bersiap.
"Karena ini pertempuran antara utusan kaisar dan prajurit raja, saya tak bisa
berdiam diri," kata Naga Wolak-Walik. "Kalian yang ada di sini, bersiaplah."
Ngabehi Pandu menerjemahkan kalimat Naga Wolak-Walik.
Gendhuk Tri meringis. "Kaisar-kaisar macam apa yang kalian sebut itu aku tak
tahu. Tetapi kalau kalian berdua mau sesumbar, boleh menjajal dulu kami. Pamor,
Wahana, ayo, ini ada tugas menarik."
Sementara semua bersiaga, Ugrawe berusaha mengumpulkan tenaga dalam untuk
menghentikan menjalarnya racun di wajahnya. Dirasakan bahwa pelan-pelan bagian
dari wajahnya yang kena cakar Gendhuk Tri mulai membeku. Mulai kehilangan rasa.
Tapi ada yang lebih bercekat dalam hatinya. Belum ada setahun yang lalu, ia
datang ke Perguruan Awan ini untuk membasmi semua ksatria.
Tidak tahunya justru sekarang barisan kaisar Mongol datang untuk melakukan hal
yang sama. Kalau panglima perangnya sudah turun ke daratan, bisa dipastikan
bahwa sekitar tempat ini telah dikepung rapat.
Betul-betul pahit. Sejarah berulang, dengan dirinya kini menjadi korban.
Perguruan Awan bakal menjadi saksi kembali. Pertumpahan darah yang tak ada
habisnya. Pertumpahan darah dan pembasmian yang habis-habisan.
Kekuatiran Ugrawe memang menurut perhitungan. Karena sayup-sayup terdengar suara
ringkikan kuda dan pasukan yang bergerak. Tak bisa tidak inilah prajurit pilihan
yang datang dari Mongolia dan daratan Cina yang dibawa Naga Wolak-Walik.
Melihat kemungkinan buruk, Ugrawe mulai menggeser tubuhnya.
Surut ke belakang, dan berusaha perlahan menghilang. Karena kedatangan pasukan
Tartar ini akan menyulitkan kedudukannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kiai Sangga Langit meloncat maju dengan kedua tangan kukuh siap merangkul dan
meremukkan punggung Ngabehi Pandu. Gaya serangan gulat Mongol yang paling
diandalkan. Dalam satu loncatan, Sangga Langit telah menutup semua ruang gerak
menghindar. Memang hebat.
Dua kemungkinan yang bisa diambil oleh Ngabehi Pandu. Satu, meloncat ke
belakang. Kedua, menghindar dengan meloncat ke atas.
Kalau yang pertama dilakukan ia sudah kalah satu tindak dan tercecer.
Kalau meloncat akibatnya bisa fatal. Sangga Langit siap untuk meraup kaki atau
tubuh dan menekuk bagai melipat kain.
Ngabehi Pandu bukan tokoh sembarangan. Ia justru memasang kuda-kuda. Dua tangan
bergerak sekaligus memapak. Bukan memapaki jotosan, akan tetapi menekuk siku.
Secara berturut-turut menyodok dada, perut, lambung, dada, ulu hati. Lima
gerakan secara berurutan dengan kedua tangan. Sangga Langit menangkis kelimanya.
Benturan tenaga tak terhindarkan. Duk-duk-duk-plak-plak, sementara kedua kaki
masing-masing juga saling menyepak, menendang, dan menangkis.
Berkutat dalam jarak pendek, keduanya tak bisa melemparkan jurus-jurus maut.
Tapi benturan dan empasan tenaga dalam cukup menyita dan menguras.
Satu hal yang bisa dilihat adalah kenyataan bahwa Sangga Langit sampai sekian
jurus belum juga merangkul lawan untuk dilibas habis.
Sementara Ngabehi Pandu juga tak bisa meloloskan pukulan dengan mulus. Selalu
bisa ditangkis. Naga Wolak-Walik yang dikeroyok oleh Pu'un Wahana dan Pu'un Pamor melayani
dengan tenang. Bahkan seperti setengah mengambil hati. Hanya yang membuatnya
bercekat ialah serbuan mendadak dari Gendhuk Tri. Sebagai panglima perang yang
berpengalaman luas, Naga Wolak-Walik merasa jeri dengan bau tubuh yang keluar
dari badan Gendhuk Tri. Penciuman Naga Wolak-Walik menjadi risi karena mengendus
sesuatu yang sangat berat.
Sewaktu pertempuran makin meningkat, suara rombongan mendekat makin jelas.
Yang tak diduga oleh Ugrawe, justru rombongan ini adalah rombongan dari Keraton.
Secara resmi dipimpin oleh Sagara Winotan dan Jangkung Angilo. Dua pejabat
tinggi Keraton yang membawa pengawalan lengkap. Lebih dahsyat lagi dalam
rombongan ini juga dikibarkan umbul-umbul, atau bendera Keraton. Ini berarti
kedua menteri ini merupakan utusan resmi Raja Jayakatwang.
Jangkung Angilo, yang memang bertubuh jangkung itu, meloncat tinggi dari
kudanya. Melihat sekeliling. Sebagian besar tergeletak tak berdaya, sebagian
justru sedang bertempur. Melihat bahwa salah seorang korban adalah Rawikara,
Jangkung Angilo segera menyiapkan pasukannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Orang asing, kalau kalian datang sekadar mengumbar nafsu besar, hari ini kami
akan menutup mulutmu."
Naga Wolak-Walik meloncat tinggi ke angkasa dengan gagah.
Melepaskan kerubutan. Sangga Langit berusaha berkelit menghindar dari sergapan Ngabehi Pandu, akan
tetapi setiap kali kena libatan.
"Para menteri yang terhormat, kami terpaksa membereskan manusia-manusia
pengacau," teriak Sangga Langit.
"Raja Jayakatwang telah memberikan pengampunan. Kalau Kiai Sangga Langit
mematuhi perintah Raja, harap minggir!
"Bagi kami persoalannya jelas. Siapa yang membantah adalah musuh yang harus
dimusnahkan." Naga Wolak-Walik, sebaliknya malah meloncat maju. Empat lapis prajurit yang
berdiri di depan Jangkung Angilo dilewati dengan enteng.
Sebagai panglima perang, ia bisa menghadapi barisan prajurit dengan tenang
karena tahu cara-caranya. Naga Wolak-Walik hafal bagaimana mengatasi kerumunan
atau barisan prajurit. Jangkung Angilo tak menduga bakal diserbu secara
mendadak. Segera mencabut kerisnya.
Tanpa berkelit, Naga Wolak-Walik maju merampas. Pergelangan tangan Jangkung
Angilo langsung kena tekuk, tubuhnya bisa tertarik maju.
Masuk ke dalam dekapan Naga Wolak-Walik yang dengan cepat membanting ke tanah.
Naga Wolak-Walik sendiri kemudian melesat lagi dan menyerbu ke arah Sagara
Winotan. Sagara Winotan menyambar dua tombak sekaligus dan memapaki. Dua tusukan
ke arah lambung. Terdengar bunyi "trang" yang keras. Ternyata Naga Wolak-Walik mengenakan pakaian
lapis yang mampu menahan tusukan benda tajam. Dua tangannya keras mencengkeram ke arah tenggorokan lawan.
Tapi Sagara Winotan bukan sembarang menteri. Melihat tusukan andalannya seperti
menyentuh benda keras, kedua tangan siap menangkis serangan ke arah tenggorokan.
Dua tangan membuka kuat, sekaligus tubuhnya melayang ke atas. Naga Wolak-Walik
seperti menangkap angin. Akan tetapi mungkin benar juga gelarnya - naga berkepala
dua, bisa melihat dari bagian belakang. Naga Wolak-Walik juga segera memutar dan
tubuhnya melayang di angkasa. Melewati barisan prajurit. Lagi-lagi siap untuk
merangkul. Ilmu andalan Sagara Winotan bukanlah ilmu bertempur di udara.
Justru julukan Sagara yang berarti laut, lebih mengandalkan pertempuran di
bawah. Karena kekuatannya terletak pada gerakan kaki, yang bisa berputar bagai
gelombang. Padahal justru sekarang ini terjadi duel di udara!
Sagara Winotan kena dirangkul, dan tubuhnya dibawa amblas ke bawah. Saat itu tak
ada prajurit yang bisa melakukan gerak menolong
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
karena tak tahu mana kawan mana lawan. Bahkan sebagian besar seperti terpesona.
Akan tetapi di saat yang begitu kritis, mendadak sebilah keris meluncur deras
dari bawah. Seperti membelah dua tubuh yang lengket.
Perhitungan pelempar keris cukup luar biasa. Dari desis keris terasakan hawa
dingin yang menandai bukan keris sembarangan. Dari arah bidikan sangat jelas
sekali bahwa pembidiknya adalah seorang yang lihai dan pintar. Karena bidikan
itu tak bisa diterima dengan pakaian lapis anti senjata yang melindungi. Karena
sasarannya bukan dipaser dari depan, melainkan dari bawah.
Tak ada jalan bagi Naga Wolak-Walik selain melepaskan rangkulannya. Daripada
dimakan keris. Dengan sendirinya Sagara Winotan lepas dari cengkeraman juga.
Keris yang meluncur ke atas tiba-tiba membelok, dan meluncur turun. Bersamaan
suatu bayangan meloncat untuk menangkap kembali.
"Kakang Upasara..."
Teriakan Gendhuk Tri yang nyaring dan tinggi sekali.
Bayangan yang menahan keris tadi memang Upasara Wulung. Yang berdiri di tanah
dengan gagah. Dadanya terbuka. Hanya mengenakan kain di bawah, tak ubahnya
seperti prajurit yang lain.
"Kakang jadi kawin atau tidak?"
Itulah Gendhuk Tri! Dalam suasana yang begitu gawat, yang dipersoalkan pertama kali adalah soal
apakah Upasara Wulung jadi kawin atau tidak. Bukan soal keselamatan orang lain,
termasuk Sagara Winotan atau Jangkung Angilo. Bukan soal Keraton, dan kenapa
Upasara ikut dalam barisan Keraton.
"Tentu saja belum. Masakan ada pengantin baru keluyuran.
Kemarilah, Gendhuk...."
Gendhuk Tri tertawa ngikik sambil meloncat maju, bagai terbang.
Selendangnya berkembang. Dan hinggap di sisi Upasara sambil memegangi tangan
dengan manja. "Saya kira Kakang sudah kawin dengan anak Pak Toikromo itu."
"Tidak. Sebelum kawin kan harus bekerja dulu."
"Ya, tapi kenapa pilih jadi prajurit Jayakatwang" Kan dulu kita berada dalam
kelompok Baginda Raja Kertanegara."
Nyeplos seenak isi hatinya sendiri. Bagi yang mendengar bisa tersinggung.
Masakan begitu enak bicara sembarangan tentang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jayakatwang, padahal menyebut Toikromo saja pakai Pak" Tapi mana Gendhuk Tri
peduli soal itu" "Nanti akan aku ceritakan. Sekarang ini, masih ada soal lain.
Gendhuk Tri, adik kecil, kamu tambah ayu...."
"Ya, tapi aku bukan anak kecil lagi."
"Ya, kamu tambah gede."
"Kakang, Ngabehi Pandu juga ada di sini. Itu... lagi bermain-main dengan Sangga
Langit yang jelek." Wajah Upasara berubah. Rona merah, riang, mewarnai.
Bisa dibayangkan, bahwa selama dua puluh tahun Upasara diasuh secara telaten
oleh Ngabehi Pandu. Dan dalam suatu pertempuran mereka tercerai tanpa tahu mati-
hidupnya. Maka kini Upasara langsung menunduk dan menyembah.
Lalu berdiri kembali dengan gagah.
Naga Wolak-Walik sejak tadi berdiri kukuh memperhatikan. Kini ia berada dalam
kepungan yang siaga. Satu komando dari Sagara Winotan atau Jangkung Angilo, maka para prajurit akan
menjadi barisan penyerang yang ganas.
"Terima kasih, anak muda," kata Sagara Winotan perlahan.
"Pertolongan-mu sangat berarti sekali. Telah menyelamatkan jiwaku."
"Kebetulan hamba berada di dekat Paduka Menteri."
Upasara menghormat perlahan.
"Siapa namamu, dan apa maumu datang-datang langsung menyerang?"
Ditanya begitu Naga Wolak-Walik hanya celingukan saja.
Berteriak dalam bahasa yang tak dimengerti.
"Saya datang...," teriak Kiai Sangga Langit mumbul ke atas, bersamaan dengan
tubuh Ngabehi Pandu. Begitu sampai jarak dekat dengan Sagara Winotan, Kiai Sangga Langit segera
membungkuk. "Maaf kalau kami mengganggu perjalanan pejabat tinggi Keraton sebagai utusan
resmi Baginda Raja. Kami tak bermaksud menghalangi perjalanan pejabat resmi."
"Bahasamu fasih sekali, Kiai. Saya hanya mengemban tugas Baginda Raja untuk
menyebarkan perdamaian. Tak ada gunanya pertumpahan darah."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Maafkan saya. Juga teman saya yang menyusul saya kemari untuk kembali ke negeri
asal." Sagara Winotan menghela napas.
"Atas perkenan dan kemurahan Baginda Raja, silakan mundur."
Kiai Sangga Langit membungkuk hormat.
Lalu memandang ke arah Upasara.
"Anak muda, sejak pertemuan terakhir ilmumu maju pesat. Terimalah hormatku."
Lalu balik ke arah Ngabehi Pandu. "Orang gagah nomor satu, sayang kita tak bisa
melanjutkan permainan anak-anak ini. Di lain waktu, kita pasti bertemu lagi."
Ngabehi Pandu berdiri teguh.


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak menjawab tak bereaksi.
Hanya wajahnya sedikit berubah ketika Gendhuk Tri menyeret Upasara Wulung datang
mendekat ke arahnya. "Sujud dan hormat saya...."
"Sejak kapan kamu menjadi prajurit pemberontak?"
"Sejak membaca tembang di dinding benteng Keraton."
Ngabehi Pandu maju, mengusap rambut Upasara Wulung.
Dalam percakapan pendek itu, terbukalah semuanya. Bahwa sebenarnya Ngabehi
Pandu-lah yang mencoretkan tulisan di dinding benteng Keraton. Pantas bisa
leluasa masuk ke dalam benteng Keraton, dan menulis terbalik. Kalau bukan tokoh
yang ilmunya tinggi dan tahu seluk-beluk Keraton, memang tak mungkin.
Ngabehi Pandu, biar bagaimanapun, adalah orang Keraton Singasari.
Baginya kebesaran Singasari dengan Baginda Raja Sri Kertanegara adalah satu-
satunya. Maka ia cukup berang melihat Upasara Wulung bergabung dengan dan
sebagai prajurit Gelang-Gelang yang kini menduduki Keraton. Akan tetapi jawaban
Upasara melegakan Ngabehi Pandu, karena ternyata Upasara menyadari hal ini.
Dalam satu-dua patah kata, keduanya sudah mengerti posisi masing-masing.
Meskipun dalam sikap jelas berbeda. Ngabehi Pandu sama sekali tak memandang
sebelah mata kepada utusan resmi Raja Jayakatwang. Ia tak menunduk, tak memberi
hormat, tak menyapa. Selesai mengusap rambut Upasara Wulung, langsung berlalu
begitu saja. Kalau tadi membela mati-hidup soal Keraton dalam menghadapi orang
luar, kini masalah ke dalam jadi berbeda sekali.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sagara Winotan tak terlalu memedulikan. Ia memerintahkan agar diberikan
prioritas pengobatan bagi Rawikara dan Jangkung Angilo, sebelum rombongan
melanjutkan perjalanan. Tiga Pengelana Gunung Semeru, Dewa Maut, Wilanda juga
mendapat perawatan. Akan tetapi, kondisi Wilanda dan Dewa Maut sangat payah
sekali. Sore hari rombongan berangkat lagi.
Gendhuk Tri tak pernah lepas dari lengketnya bergayut di tubuh Upasara Wulung.
"Bagaimana Kakang bisa urung kawin?"
"Ya, itu memang seharusnya begitu."
"Kakang menyukai anak Pak Toikromo?"
"Entahlah. Aku sendiri tak terlalu memedulikan."
"Kenapa dulu Kakang lari meninggalkanku?"
"Aku hormat kepada orang lugu yang baik, yang pernah menyelamatkan diriku. Pak
Toikromo begitu ingin bermenantukan aku.
Aku sendiri tak mempunyai sanak keluarga, jauh atau dekat. Tawaran itu tak bisa
kutolak. Daripada terus mengembara tak tentu, hanya akan menyengsarakanmu.
"Tetapi ketika ke rumah Pak Toikromo, terjadi perubahan besar. Aku ditemui Raden
Sanggrama Wijaya. Salah seorang kerabat utama Keraton Singasari, yang akan
melarikan diri ke tanah Madura. Aku diminta ikut menemui Adipati Wiraraja. Maka
kami pun berangkat cepat-cepat."
"Siapa Raden Sanggrama Wijaya?"
"Dulu juga pernah masuk latihan di Ksatria Pingitan. Nama kebesaran beliau
adalah Naraya Sanggrama Wijaya. Ketika Ksatria Pingitan dibubarkan, Raden Wijaya
kembali menjadi putra bangsawan. Sedang aku kembali menjadi anak asuh Ngabehi
Pandu." "Urusan apa ke tanah Madura?"
Upasara mendongak mengawasi langit.
"Kakang tak mau cerita padaku?"
"Ini persoalan yang rumit dan aneh. Adipati Wiraraja menyarankan kita semua
mengakui kebesaran Raja Jayakatwang. Dengan demikian penyerbuan, pemburuan
pengikut Baginda Raja Kertanegara tak akan dilanjutkan lagi. Pertumpahan darah
bisa dihindarkan. "Kalau Raden Wijaya mau mengakui kebesaran Raja Jayakatwang, ia akan menjadi
simbol penyerahan kita semua. Sebab Raden Wijaya-lah yang masih dekat
hubungannya dengan Baginda Kertanegara. Yang paling dekat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Untuk menghindarkan pertumpahan darah, untuk mengurangi korban, dan demi
masyarakat semua, persyaratan itu diterima. Hari ini, utusan Raja Jayakatwang
akan menjemput Raden Wijaya sebagai penunjuk jalan."
"Kakang, aku tak mau tahu urusan negara. Keraton mana, rajanya siapa, apa
peduliku" Jangan gusar dulu, Kakang. Bagiku Baginda Kertanegara memang hebat,
tetapi kalau ia benar-benar hebat, bukankah tak akan ada pemberontakan" Bukankah
tak akan begini jadinya"
"Semua ini omong kosong belaka. Yang namanya pembesar, yang namanya pendekar,
yang katanya membela Keraton, yang mendapatkan pangkat dan kehormatan, juga
bertindak semaunya. "Aku cukup kenyang dengan itu.
"Tak ada yang benar!"
"Rama Guru juga tidak benar?"
"Ya," teriak Gendhuk Tri mengejutkan. "Aku mau mengabdi ke Keraton dengan baik.
Sebagaimana seorang anak desa yang dipanggil.
Siapa sangka aku malah diculik, diajari ilmu silat, dan dibiarkan terombang-
ambing seperti sekarang ini"
"Kini seluruh tubuhku penuh dengan racun. Tak ada yang mau mendekati. Semuanya
ngeri dan tak mau kusentuh.
"Bukankah aku akan lebih bahagia kalau tetap tinggal di Keraton"
Menjadi selir kesekian ratus Baginda Raja, dan tak tahu-menahu balas dendam
semacam ini?" "Pun, seandainya Keraton diratakan Raja Jayakatwang?"
"Pun andai lebih dari itu. Kakang pikir mereka akan membunuhku"
Menyiksaku" Paling akan menjadikan aku selir. Aku tak punya urusan balas
dendam." "Gendhuk, adik kecil... kalau semua hanya mengurusi dirinya sendiri, apa jadinya
kita ini" "Kalau Baginda Raja Kertanegara hanya mengurusi dirinya sendiri, beliau tak akan
mengirim utusan ke luar. Tak akan menggeser para pimpinan yang dianggap
merintangi. Tak akan mencapai kebesaran sebagai manusia."
"Tapi kan juga tak akan tumpah darah seperti ini. Kakang, seorang raja bisa mati
sekali setelah hidup bersenang-senang lama sekali. Tetapi yang seperti aku ini,
seperti Pak Toikromo itu, berkali-kali sengsara sampai ke anak-cucu tanpa
mengerti." Upasara memandang lekat Gendhuk Tri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Seakan tak percaya bahwa kalimat itu bisa diucapkan seorang anak kecil.
Sebagai murid langsung Mpu Raganata, memang tak mungkin Gendhuk Tri mendengar
banyak hal. "Masih selalu lebih baik berbuat sesuatu untuk tanah air daripada tidak berbuat
sama sekali. Aku dibesarkan dalam tradisi ini. Dan begitulah yang terbawa sampai
sekarang." "Untuk apa, Kakang?"
"Untuk kesempurnaan pengabdian pada Raja, pada Keraton, pada Dewa yang
menciptakan kita semua. "Inilah arti hidup."
"Kakang kira semua orang seperti Kakang" Lihatlah sekitar Kakang.
Aku mendengar nama besar Eyang Sepuh dari Perguruan Awan yang dahsyat. Semua
tokoh silat memujinya. Tetapi kenapa dalam soal begini besar, begini menentukan
soal runtuh dan jayanya Keraton, beliau tetap tak muncul"
"Tokoh macam apa pula itu?"
Upasara terdiam. Menghela napas. "Kita tak berhak menilai dengan cara kurang ajar seperti itu. Eyang Sepuh adalah
tokoh luhur yang dihormati semua orang."
"Ah. Itu sudah kuno. Buktinya tidak ada. Kalau Kakang tetap mau membela dia,
terserah. Tetapi aku tidak. Aku, Gendhuk Tri ini, lebih hebat dari Eyang Sepuh.
Aku melawan Ugrawe yang jahat. Nah, mana lebih hebat?"
Tuduhan dan pernyataan Gendhuk Tri, kalau dirasakan ada benarnya. Tetapi juga
terasa sangat kasar sekali. Hanya bagi Gendhuk Tri, omongan seperti ini tak
menjadi beban. Latar belakang dan kekecewaannya begitu besar. Terpisahkan dari Jagaddhita,
seluruh tubuhnya terkena racun yang menyebabkan disingkiri semua orang, satu-
satunya yang bisa dekat dengannya hanya Upasara Wulung - itu pun memperhatikan
kepentingan yang lain. Hari kedua perjalanan mereka sampai di Jung Biru.
Suatu daerah di sisi timur Perguruan Awan.
Gendhuk Tri sebenarnya kesal dengan upacara tetamuan yang baginya penuh basa-
basi membosankan. Akan tetapi karena Upasara Wulung ada di sana, malah agak
berperanan, maka ia pun mencoba mengikutinya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya saja ketika pandangannya menyapu keliling, sinar matanya bentrok dengan
pandangan seorang gadis yang sangat ayu sekali. Gadis itu sedang mencuri pandang
ke arah Upasara. Bagi Gendhuk Tri, sepasang sorot mata ayu gadis yang berpakaian kebesaran itu
jauh lebih menarik perhatian daripada omongan basa-basi yang terlalu banyak
bunga kata dan tangan menyembah.
Hanya saja, untuk sementara Gendhuk Tri tak bisa berkutik. Ia berada di dalam
ruang pertemuan, yang begitu banyak orang tak bergerak. Semua pusat perhatian
tertuju kepada tiga orang yang duduk di kursi utama. Naraya Sanggrama Wijaya,
yang elok rupawan dengan rambut panjang melengkung berombak. Pandangan matanya
tajam, akan tetapi nampak lembut sekaligus. Dadanya bidang, terbuka,
memperlihatkan kulit yang sangat halus.
Di depannya berdiri Sagara Winotan serta Jangkung Angilo. Suara Sagara Winotan
terdengar keras dan lantang, ketika memegang bendera yang dibawa dari Keraton
Daha. Semua hadirin duduk di lantai dan melakukan sembah.
"Atas nama Baginda Raja Jayakatwang, atas kemurahan hati Raja di Keraton Daha,
Naraya Sanggrama Wijaya diterima pasuwitannya..
Diterima pengabdiannya. Dan diampuni segala kesalahan, ada ataupun tidak. Dasar
pertimbangan Baginda Raja adalah untuk memberi ampunan kepada mereka yang bisa
berbakti kepada Keraton. "Naraya Sanggrama Wijaya diterima, karena masih mempunyai darah murni Keraton
Singasari yang benar. Sanggrama Wijaya diterima karena keturunan langsung Dyah
Lembu Tal, dan adalah cucu Narasingamurti.
"Semoga pengampunan ini diterima...."
Seluruh isi ruangan melakukan sembah.
"Anugerah kedua, Nayara Sanggrama Wijaya dikabulkan permintaannya untuk membuka
hutan Tarik, sebagai tempat perburuan Baginda Raja Jayakatwang. Sebagai tanda
kesetiaan, tanah Tarik hanya diizinkan untuk daerah perburuan, jika Baginda Raja
Jayakatwang sewaktu-waktu ingin pesiar. Untuk itu semua, pengawasan hutan Tarik
diserahkan kepada Sagara Winotan, yang berhak menentukan penggunaannya atas nama
Baginda Raja Jayakatwang.
"Mengenai tenaga untuk membuka, Adipati Aria Wiraraja dari tanah Madura akan
membantu. "Demikian sabda Baginda Raja...."
"Sembah nuwun..." seru sekalian punggawa sebagai ucapan terima kasih.
Gendhuk Tri makin tak tahan saja.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Perlahan ia mulai meninggalkan ruang pertemuan ketika acara jamuan makan.
Langsung ke bagian di mana barisan putri-putri berkumpul.
Namun ia dihalangi oleh tiga prajurit yang menjaga.
"Sekali kucakar kamu bakal mampus tujuh turunan," kata Gendhuk Tri. "Kenapa kamu
menghalangi aku?" "Kami semua ditugaskan menjaga putri kedaton."
Gendhuk Tri menarik suara di hidung. Putri kedaton adalah sebutan bunga Keraton.
Dan ini artinya putri seorang raja. Kalau begitu yang melirik Upasara Wulung ini
pasti putri-putri Raja. Gendhuk Tri jadi sadar. Dulu di Keraton Singasari, ia rasanya bahkan pernah
menjadi pelayan keempat putri itu. Tak pelak lagi, mereka berempat adalah putri
Baginda Raja Sri Kertanegara.
"O, jadi mereka ini Tribhuana, Mahadewi, Jayendradewi, serta Gayatri?"
"Maaf, kami tak biasa mendengar sebutan lancang seperti itu."
Gendhuk Tri justru senyum meledek.
Sebelum prajurit mengambil tindakan, Gayatri yang paling ayu dan sayu
pandangannya datang mendekat.
"Adik manis, silakan... kamu mau bertemu siapa?"
Suaranya lembut, mendayu, penuh keakraban.
"Aha, jadi kamu yang bernama Gayatri atau dikenal sebagai Dewi Rajapatni, putri
kesayangan Baginda Raja Sri Kertanegara?"
Wajah Gayatri berubah sepersekian kejap, menjadi sangat sedih.
Helaan napasnya pun membuat Gendhuk Tri harus memuji bahwa Gayatri merupakan
jelmaan yang sempurna dari seorang wanita.
"Soal Ramanda, tidak usah kita bicarakan. Adik manis, mari kita makan bersama-
sama, di bagian belakang."
Gendhuk Tri menggeleng. Walau sikap mencibirnya berkurang.
"Aku cuma mau tahu kenapa kau melirik Kakang Upasara."
"O, jadi dia yang bernama Upasara Wulung?"
Gendhuk Tri merasa menyesal mengatakan nama lelaki yang dikaguminya.
"Kamu baru tahu sekarang. Aku sudah tahu sejak dulu."
"Ya, aku mendengar kabar bahwa seorang lelaki, asal didikan dari Ksatria
Pingitan, bernama Upasara Wulung, mempunyai adik manis.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jadi kamu yang bernama Jagattri" Yang ikut perang tanding ketika Keraton
diserbu?" "Ya, akulah orangnya."
Gayatri merangkul manis. Lembut. "Terima kasih, adik manis. Baru sekarang aku sempat mengucapkan rasa terima
kasih kepada penolong yang terhormat. Ketika adik manis dan Kakang Upasara
membela Baginda Raja, pada saat itulah kami mempunyai waktu untuk meloloskan
diri. Sungguh tak nyana, hari ini bisa berjumpa. Adik manis, tolong sampaikan
terima kasih kami berempat kepada kakangmu."
Gendhuk Tri melengos. "Tak bakal aku menyampaikan ucapan itu."
"Kenapa" Apa salahku?"
"Kakang Upasara adalah kakangku sendiri. Orang lain tak boleh ikut melirik.
Apalagi bicara padanya."
Gayatri tersenyum. Tetap lembut.
"Maafkan kalau begitu. Aku mencabut kembali ucapan itu."
Gendhuk Tri merasa amblas ke dalam jurang yang dalam.
Karena justru Gayatri seperti menerima seluruh sikap bengal yang dilakukan.
Kalau Gayatri melawan dalam kata-kata, Gendhuk Tri siap untuk berteriak. Tak
peduli dengan keadaan sekitar. Akan tetapi ternyata sikap mengalah Gayatri
melembekkan semua kekerasan hatinya.
"Hari ini, saya secara pribadi juga menyampaikan terima kasih kepada utusan
Naraya Saggrama Wijaya, yang bernama Upasara Wulung. Karena ia telah
menyelamatkan diri saya. Dan terutama menyelamatkan kebesaran nama Baginda Raja
Jayakatwang," suara Jangkung Angilo terdengar ke seluruh ruangan.
Upasara Wulung menghaturkan sembah.
"Berbahagialah Raden mempunyai pembantu ksatria seperti dia. Saya ingin
membawanya ke Keraton kalau Raden Wijaya relakan."
"Apa yang Paduka Menteri katakan dan kehendaki, selama bisa kami laksanakan,
akan kami laksanakan. Hanya saja Upasara masih terlalu muda untuk mengerti sopan
santun Keraton." Jelas sekali dari kalimat ini, Raden Wijaya menyatakan penolakan dengan sangat
halus. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kelak kalau sudah sedikit mengerti adat-istiadat Keraton, kami akan
menyowankan, membawa, ke Keraton Daha."
Yang membuat Gendhuk Tri makin kesal ialah bahwa meskipun melirik sedikit, akan
tetapi Gayatri ternyata mempunyai perhatian ketika nama Upasara Wulung disebut-
sebut. Untuk memperlihatkan bahwa dirinya lebih dekat, Gendhuk Tri maju mendekati
Upasara Wulung. Langsung duduk di sebelahnya.
Tindakan Gendhuk Tri ini secara tidak langsung mendukung apa yang dikatakan
Raden Wijaya. Pertemuan di Jung Biru berakhir larut malam, setelah disajikan beberapa tarian.
Upasara sendiri kemudian menuju tempat peristirahatan. Menemui Wilanda yang
masih terbaring, Tiga Pengelana Gunung Semeru, Jaghana, serta Dewa Maut.


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan bantuan para tabib yang dipilih, rasa sakit memang berkurang banyak, akan
tetapi tak membuat tokoh-tokoh silat ini pulih kembali.
"Satu-satunya yang bisa membuka kunci tenaga dalam ini adalah Ugrawe sendiri,"
kata Jaghana lembut. "Anakmas tak perlu bersusah payah. Kami semua dikalahkan
dalam pertempuran secara ksatria."
"Pukulannya sangat jahat sekali, Paman."
"Pukulan itu sendiri tak ada jahat dan tak ada baik."
Dewa Maut terbatuk keras.
"Apa benar jenis ilmu pukulan seperti itu tak ada duanya di jagat ini"
Sehingga hanya Ugrawe sendiri yang menguasai?"
"Ada, muridnya, Rawikara. Tetapi ia pun kini terluka oleh pukulan yang sama."
"Aku tak percaya," teriak Dewa Maut. "Aku tak percaya di jagat ini ada ilmu yang
begitu khusus dan tak dimengerti orang lain. Aku tak percaya. Ya, Tole, apa yang
kukatakan benar atau tidak?"
"Rasanya benar. Tetapi entahlah, aku tak mau mikir soal itu," jawab Gendhuk Tri.
"Bagus, bagus sekali. Aku juga tak mau mikir soal itu."
Gendhuk Tri mulai sadar bahwa Upasara Wulung mulai sibuk dengan urusan Keraton.
Urusan negara! Yang lebih membuat jengkel lagi bagi Gendhuk Tri adalah bahwa itu
semua membuat Upasara Wulung berada dalam Keraton, dan ini berarti bakal ketemu
Gayatri! Sebagian yang dikuatirkan Gendhuk Tri ada benarnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dini hari Raden Wijaya sudah mulai dengan pertemuan khusus para pembantunya. Ada
sekitar dua puluh prajurit yang mengelilingi. Mulai dari Dyah Pamasi, Dyah
Singlar, Dyah Palasir sampai dengan yang digelari empu, yaitu Mpu Tambi, Mpu
Sora, Mpu Renteng, Mpu Elam, Mpu Sasi. Bersama dengan Upasara Wulung mereka
semua duduk di lantai. "Ada prajurit baru, yang kalian semua sudah mengenal. Aku mempercayai karena ia
dulunya di Ksatria Pingitan. Namanya Upasara Wulung. Murid langsung yang
terhormat Ngabehi Pandu. "Kalian semua yang berkumpul di sini adalah diriku sendiri. Mati, jaya, dan
runtuhnya semua kemungkinan yang akan datang di tangan kalian. Jika Dewa yang
menguasai jagat merestui, aku tak akan melupakan kalian semua.
"Tapi perjalanan kita masih panjang sekali. Selama ini Tarik telah kita buka.
Akan tetapi masih ada klilip, ada kotoran di pelupuk mata.
Pengawasan dari Menteri Sagara Winotan. Kita akan berusaha agar bagian-bagian
dalam dari tlatah Tarik tak diketahui oleh beliau.
"Masalah kedua yang sampai kini masih merupakan ganjalan terbesar adalah bahwa
sekarang ini di sekitar Tuban sudah datang prajurit Tartar yang jaya. Ini bukan
klilip di pelupuk mata, akan tetapi ini masalah yang besar. Sejauh keterangan
yang kita peroleh, mereka membawa tiga panglima perang. Naga Wolak-Walik, Naga
Kembar atau Ike Meese, dan Naga Murka atau Kau Hsing. Ilmu perang mereka sangat
hebat. Ditambah dengan Kiai Sangga Langit, mereka betul-betul luar biasa. Hanya
kelas Ngabehi Pandu saja yang secara perorangan bisa menghadapinya. Sementara
kita ini semua masih harus belajar banyak.
Kalau saja Eyang Sepuh dan Mpu Raganata masih ada, rasanya tak bakal jadi
masalah utama." Suasana hening. "Sesembahan kami tinggal Paduka Raden Wijaya," sembah Mpu Ranggalawe. "Kami
semua hanya bisa membaktikan diri dengan nyawa, karena itu satu-satunya milik
kami yang bisa dipertahankan saat ini.
Dan itulah yang akan kami berikan, Raden."
Semua yang hadir menghaturkan sembah.
"Aku sama sekali tak meragukan kesetiaan kalian. Justru aku mempercayai secara
luar-dalam. "Tetapi pengorbanan kita terlalu besar. Bisa jadi kita akan rontok sebelum
bertarung. Sebelum pertempuran yang sesungguhnya dengan prajurit sesat yang kini
di Keraton Daha. Mpu Ugrawe sendiri masih merajalela dengan pukulan yang menurut
kabar bernama Banjir Bandang Segara Asat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tanpa satu siasat, rasanya kita akan runtuh sebelum bisa berdiri.
"Hmmmmm, sebagai panutan aku seharusnya tak mengatakan hal ini, tetapi kita
memang memerlukan seorang seperti Mpu Raganata."
"Maaf, Sesembahan, bagaimana dengan Pamanda Aria Wiraraja?"
"Selama ini posisinya sulit. Sebelum perang terbuka dengan genderang, Pamanda
Wiraraja harus tetap berdiam diri."
Raden Wijaya menghela napas.
"Upasara, kamu berjaga di Tarik. Sore nanti saya bersama Paman Ranggalawe dan
Paman Sora akan mencoba melihat suasana di perkemahan Tartar. Sudah lama aku
tidak menggunakan trisula."
Trisula Muka adalah tombak berujung tiga yang menjadi senjata andalan Raden
Wijaya. Dengan ilmu andalan Kerta Rajasa Jaya Wardhana, yang merupakan ilmu
meniru pancaran sinar matahari yang dahsyat. Yang mengubah gelap menjadi terang,
kekacauan menjadi kemakmuran dan ketenteraman dengan kejayaan.
Ilmu yang diperdalam dengan berbagai unsur berdasarkan kepada apa yang diajarkan
oleh Mpu Raganata, yaitu bagian dari Weruh Sadurunging Winarah. Ilmu yang
mengandalkan kekuatan tenaga dalam, kekuatan batin yang bersih. Unsur-unsur yang
muncul seperti kerta, berarti mengembalikan segala kejahatan menjadi kebaikan.
Mengubah serangan lawan yang jahat menjadi tawar. Unsur rajasa, mengubah gelap
menjadi terang dengan cara menggempur, seperti juga sifat matahari. Unsur jaya,
mencapai kemenangan dengan tombak Trisula Muka. Sedangkan unsur wardhana adalah
unsur kekuatan dalam, yang intinya disarikan dari berbagai aliran tenaga dalam
dari berbagai agama dan kepercayaan. Kekuatan yang lahir adalah kekuatan seperti
lahirnya butir padi dari berbagai unsur tanah.
Secara langsung, Upasara Wulung belum pernah melihat kehebatan penggunaan
Trisula Muka. Akan tetapi mengingat kemelut yang meruntuhkan Keraton Singasari
lalu, bisa diduga bahwa Raden Wijaya cukup mempunyai ilmu tinggi. Ditambah
pengawal pribadi yang begitu tegar, rasanya memang tak bisa dipandang biasa.
"Upasara, tugasmu yang utama menjaga seluruh padepokan ini.
Pertama dari gangguan kenakalan, kedua dari pengawasan Jangkung Angilo dan
Sagara Winotan. Seluruh wewenang selama aku tinggalkan ada di tanganmu."
"Saya akan mencoba sebisanya."
Menjelang dini hari, rombongan Raden Wijaya berangkat.
Tinggal Upasara Wulung yang mendiami gedung utama. Bersama para dyah dan empu
yang menjaga di bagian luar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bagi Upasara Wulung, soal menjaga dan berjaga adalah soal yang biasa. Meskipun
terasa bahwa penunjukan wewenang yang diberikan padanya termasuk sangat
istimewa. Mengingat ia seorang yang belum cukup lama dikenal langsung. Akan
tetapi kepercayaan besar yang diberikan justru menumbuhkan kepercayaan dalam
diri Upasara. Yang membuatnya sedikit kikuk adalah karena ia juga harus menjaga bagian
kaputren. Yang lebih menggelisahkan lagi ialah karena keempat sekar kedaton
mengundang untuk makan siang bersama.
Bahwa hal itu biasa dilakukan oleh Naraya Sanggrama Wijaya bukan sesuatu yang
mengejutkan. Bahwa para pengawal pribadi juga turut makan bersama, tidak menjadi
soal. Bahwa yang menyediakan makanan adalah para dayang, juga memang
keharusannya begitu. Akan tetapi Upasara Wulung jadi merasa serbasalah.
Wajahnya merah seluruhnya.
Ujung hidungnya seperti buah merekah.
"Kakang Upasara," sapa Tribhuana, "kami menghaturkan selamat datang di dusun
Tarik ini. Kami tak bisa melayani lebih dari yang bisa kami sediakan."
"Ini sudah lebih dari cukup, Gusti Ayu...."
"Kenapa masih memakai sebutan itu?"
"Sulit bagi hamba mengubah sebutan itu. Hamba adalah rakyat biasa yang dulu bisa
bernasib baik ditolong bergabung dalam Pingitan."
"Ah, memang tak ada yang bisa melupakan kebesaran Kanjeng Rama Prabu. Selama ini
kekuatan kita masih lemah. Para ksatria dan pendekar justru masih sakit. Apa
mungkin, sebelum seribu hari nanti, Kanjeng Rama Prabu melihat Keraton yang
kembali tenang?" Sejak itu, setiap siang hari merupakan siksaan tersendiri bagi Upasara Wulung.
Kalau menghadapi Tribhuana, justru Upasara banyak belajar mengenai liku-liku
Keraton. Dalam hati Upasara memuji bahwa putri Keraton yang satu ini jauh lebih
istimewa dari semuanya. Mempunyai keinginan yang kuat sekali untuk mengetahui masalah-masalah politik.
Yang benar-benar membuat Upasara mati kutu ialah kalau harus menghadapi Gayatri.
Entah kenapa dadanya jadi berdebar, jantungnya berguncang, dan makannya jadi
serbasalah. Rasanya menelan buah sawo pun tak bisa.
Walau hampir selalu keempat putri menyertai, disertai dayang-dayang yang
meladeni, tapi juga ada saat khusus Gayatri begitu dekat dalam pembicaraan.
"Kakang Upasara, bagaimana kabarnya Gendhuk Tri?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ia selalu baik, Gusti Putri... Hanya nakal."
"Gendhuk Tri sangat mengharapkan Kakang."
"Rasanya begitu."
"Kakang juga merasa begitu?"
Guncangan darah di pembuluh tubuh seperti tak terkendalikan.
Upasara membuang jauh-jauh pikirannya sendiri.
"Gendhuk Tri sangat manis sekali. Ayu. Dan bisa main silat. Betul-betul wanita
yang sempurna. "Saya ingin bisa seperti itu, akan tetapi tak mungkin."
"Gusti Ayu bisa kalau mau."
"Kakang Upasara mau melatih?"
"Saya tidak berhak... tidak berani. Empu-empu yang lain lebih bisa."
"Kakang Prabu Wijaya mempercayai Kakang Upasara...."
"Ya, tapi bukan soal berlatih."
"Maafkan saya, Kakang. Kalau Kakang sudah terikat dengan Gendhuk Tri."
Upasara merasa menjadi sangat kikuk.
Tak bisa berucap. Gayatri menghela napas. "Saya makin iri saja kepada Gendhuk Tri."
"Maaf, Gusti Putri... hamba tak bisa melatih. Bukan soal Gendhuk Tri. Ia adik
hamba... begitulah kira-kiranya."
Gayatri menghela napas kedua kalinya.
"Kalau ada yang harus saya sesali karena saya ini putri Baginda Raja, adalah
karena dengan demikian apa yang bisa saya lakukan menjadi terbatas. Semua
menganggap seolah masih selalu putri raja yang berkuasa, putri yang harus
disanjung dan tak boleh membersihkan sebutir debu pun.
"Tapi inilah takdir yang harus saya terima.
"Dan ini tak akan berubah, kalau tak ada yang berani mengubah."
Upasara menunduk. Tak berani memandang. Sejak itu lebih suka tidak makan siang. Tidak makan malam. Bahkan juga tidak
melatih diri. Pikirannya hanya terganggu bayangan Gayatri.
Yang dalam bayangannya terlalu sempurna sebagai dewi, sebagai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
bidadari. Alangkah tolol diriku ini, Upasara menyalahkan dirinya. Sejak kapan
aku begini kurang ajar mengharapkan yang mustahil"
Upasara merasa dirinya menjadi manusia yang tak berguna.
Kenapa justru ia memikirkan Gayatri" Kenapa justru ia memikirkan kata-kata yang
bersayap yang bisa diartikan memberi harapan"
Upasara mulai memusatkan diri untuk bergabung dengan para pendekar yang masih
menderita kesakitan. Di antara mereka hanya Jaghana yang masih kelihatan tetap tenang.
Selalu berusaha memulihkan tenaga dalamnya dengan jalan bersemadi, mengatur
napas. Walau di akhirnya selalu menggelengkan kepala.
"Benar-benar ganas luar biasa. Ilmu Ugrawe mempunyai perkembangan yang makin
menunjukkan titik-titik tanpa akhir. Makin berbahaya. Jika ini terus
dikembangkan dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, barangkali tak akan
pernah ada lagi yang mampu mengimbanginya."
"Pak Gundul, kamu ini begitu sengsara. Selama ini ia jeri kepadaku, buat apa
gegetun?" teriak Gendhuk Tri lantang.
"Benar, Tole, kita berdua akan mencincangnya," kata Dewa Maut tanpa peduli
keadaan dirinya sendiri. "Banjir Bandang Segara Asat adalah satu tahapan akhir dari semua jurus yang
dikenal Sindhung Aliwawar yang luar biasa. Akan tetapi jurus ini juga membuka
tahap lain, yang bisa mencapai puncaknya lagi.
"Dengan kekuasaan dan kelicikan yang dimiliki, Ugrawe akan terus melaju."
"Bukankah Mpu Ugrawe sedang terluka?"
Jaghana memandang Upasara.
"Ya, tetapi ia bisa dengan cepat memulihkan tenaganya. Bahkan Rawikara pun bisa
segera dipulihkan. Asalkan ada korban yang dipindahkan tenaga dalamnya.
"Dengan mengatur seberapa tenaga dalam yang diisap, Rawikara akan bisa
disembuhkan. Sekarang ini masih lemah, jadi bisa dipakai tenaga dalam pada
tingkat permulaan untuk memukulnya. Dengan demikian tenaganya berpindah.
Rawikara mempunyai modal. Begitu seterusnya, makin lama makin meningkat. Ini
berarti akan segera pulih dan berlipat ganda.
"Aku bilang dengan akal liciknya, dengan kekuasaan yang dimiliki, ia bisa
melakukan itu." Mendadak Upasara menghaturkan sembah.
Bersujud. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Saya yang rendah tak bisa melihat cahaya ini. Kalau Mpu Ugrawe bisa melakukan,
kenapa kita tidak" "Banjir Bandang Segara Asat intinya adalah memindahkan tenaga lain ke dalam diri
kita. Bisa juga memindahkan tenaga kita ke dalam diri orang lain. Seumpama kata
membuat banjir di daratan dengan mengeringkan laut.
"Paman Jaghana, bersiaplah...."
Jaghana melengak. Ia sama sekali tak menyangka bahwa Upasara akan melakukan itu.
Akan mengirimkan tenaganya sendiri untuk diserap orang lain. Memberikan tenaga
dalamnya sendiri. Bagi Upasara tak terlalu sulit karena bisa memperkirakan tenaga Jaghana.
Sehingga pemindahan tenaga itu tak akan melukainya.
"Jangan gegabah...."
"Saya tahu. Paman Jaghana akan menolak. Paman Pembarep akan menolak. Akan tetapi
ini satu-satunya cara untuk memulihkan tenaga Paman semua.
"Paman semua adalah ksatria sejati, pembela kebenaran. Saat ini Keraton sedang
dalam bahaya besar. Baik dari rencana Baginda Jayakatwang maupun dari negeri
Tartar. Paman semua jauh lebih berguna dari saya. Maaf, maafkan saya... kalau
memaksa...." "Anakmas...," Wilanda bersuara lemah. "Sampai mati pun saya akan menyesali
tindakan ini. Sudah jelas sekarang Anakmas Upasara jauh lebih diperlukan."
"Tidak ada artinya satu Upasara dibandingkan dengan Paman semua, para ksatria
sejati. Seperempat tenaga dalam pulih, Paman akan bisa terus mengembangkan. Dan
dalam waktu singkat kita mempunyai banyak ksatria."
"Tidak bisa. Saya akan menolak."
"Maaf, saya akan memaksa."
Bagi Upasara bukan sesuatu yang sulit untuk memaksakan tenaga dalam. Yang
ditolong sekarang ini tak mungkin bisa menolak.
"Tidak bisa. Tetap tidak bisa," kata Pembarep. "Jangan lakukan itu, Upasara.
Kamu sekarang dipercaya Sanggrama Wijaya. Mana mungkin orang yang dipercaya jadi
loyo" "Tugas Keraton masih besar bagimu."
"Paman akan segera menggantikan."
Wilanda menggelengkan kepalanya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Anakmas, sesembahan saya sejak kecil. Kalau Anakmas memaksakan itu, Anakmas
akan menyesal. Karena begitu saya mempunyai tenaga, saya akan membunuh diri."
"Saya juga," kata Pembarep.
"Kami semua akan membunuh diri di depanmu."
Sejenak Upasara menahan napas. Tak menyangka sama sekali bahwa niatnya menolong
ditolak dengan cara seperti itu.
Bisa-bisa malah hancur semuanya.
"Saya percaya, itu tak akan pernah terjadi. Saya mempercayai sikap jiwa besar
para ksatria. Tak nanti akan menyia-nyiakan nyawa begitu saja."
Dengan keputusan mantap, Upasara mulai bersila.
Memusatkan konsentrasi. Mendadak terdengar suara lembut.
"Saya tak pernah menyangka ada manusia di dunia ini yang begitu jahat dan


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kejamnya." Upasara bergeming, kalau saja suara itu bukan suara yang mampu mengusik jiwanya.
Benar juga! Ketika matanya terbuka dan helaan napas terdengar, ia melihat wajah
Gendhuk Tri yang berubah dongkol.
Siapa lagi yang mampu mencemberutkan wajah Gendhuk Tri secara seketika selain
Gayatri" "Kejam apanya?" teriak Gendhuk Tri. "Di seluruh kolong langit ini, biar ayahmu
yang raja atau kamu sendiri, tak ada sekuku hitam dibanding Kakang Upasara.
Kakang Upasara adalah yang paling mulia.
Mengorbankan tenaga dalamnya sendiri untuk orang lain.
"Nah, yang begini masih kamu sebut kejam?"
"Ugrawe kejam karena sifatnya seperti itu. Akan tetapi Upasara jauh lebih kejam,
karena ia mengembangkan ilmu jahat itu."
"Cuh. Kamu ngerti apa" Bedak-pupur kamu tahu. Tapi soal ilmu silat, menggerakkan
tangan lebih tinggi dari bahu saja kamu belum pernah.
Melangkah lebih besar dari kainmu saja tak mungkin."
"Tetapi aku tak sekejam Kakang Upasara. Dengan memberikan tenaga dalam kepada
Paman Jaghana, Paman Dewa Maut, Paman Wilanda, Paman Pembarep, dan yang lainnya,
di kemudian hari paman ini semua akan terus-menerus mencari korban.
"Terus-menerus mencari korban baru.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sampai akhirnya harus bertarung di antara mereka sendiri. Apakah ini tidak
kejam dan jahat" Apakah ini tidak menanamkan benih kejahatan dan kekejaman di
esok hari?" Lembut nadanya, perlahan iramanya, akan tetapi terasa masuk dan mengena. Untuk
sesaat Upasara tak bisa mengatakan satu patah kata pun.
"Pada saat sekarang ini tak ada yang menghalangi Kakang. Tak ada yang bisa. Saya
sendiri tak bisa menghentikan kemauan jahat dan kejam yang dianggap mulia ini.
"Semua terserah Kakang sendiri."
Jaghana memuji kepandaian Gayatri.
Pembarep menghela napas. "Ilmu Banjir Bandang Segara Asat memang ilmu yang luar biasa ganasnya. Tapi
bukan berarti tanpa kelemahan. Semua ilmu silat, makin kuat, makin tangguh,
makin kuat makin tangguh pula kelemahannya. Banjir Bandang hanya mengembangkan
salah satu bagian dari sifat-sifat ilmu silat yang sesungguhnya. Dengan
demikian, ada bagian lain yang tak bisa dikembangkan. Karena terlalu menyerang,
pertahanannya pasti berkurang. Udara yang dilontarkan terlalu banyak.
Dalam titik itu, sebelum tenaga mengisap bekerja, kita bisa mencuri ketika itu.
"Itulah salah satu kelemahan Banjir Bandang...."
Mendadak Jaghana menghaturkan sembah.
"Gusti Putri... saya tidak menyangka akan bertemu Gusti Putri...."
Suaranya memelas, penuh rasa hormat yang tulus. Demikian juga Wilanda.
Bahwa Gayatri bisa menguraikan dengan jelas mengenai jurus Banjir Bandang, bisa
mengundang heran. Karena tak ada yang menyangka ia akan bisa berbicara sefasih
itu. Tetapi bahwa Jaghana dan Wilanda menyembah dengan sangat hormat, lebih
mengherankan lagi. "Sungguh tak nyana, hamba masih mendapat berkah untuk mendengarkan. Sungguh tak
nyana...." Jaghana menyembah lagi. "Apakah ada titah lain, Gusti Putri?"
Gayatri menghela napas. "Awan di langit bergerak dengan sendirinya, tak usah dipaksa-paksa.
Angin dini hari akan menggerakkan sendiri."
Jaghana dan Wilanda menyembah secara bersamaan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gendhuk Tri pun menjadi terkesima.
"Kami akan berusaha...."
Itu saja jawabnya. Dan sejak memberi jawaban itu Jaghana lalu bersila, bersemadi
bersama dengan Wilanda. Sampai Gayatri meninggalkan tempat, tetap bergeming.
Sampai akhirnya Upasara pun turut meninggalkan tempat.
Dengan beberapa pertanyaan dalam hati. Apa arti kata-kata Gayatri yang begitu
besar pengaruhnya bagi Wilanda dan Jaghana" Apa hubungannya dengan jawaban
Gayatri dan sikap mereka terus bersemadi mati raga"
"Saatnya akan datang untuk saya ceritakan semuanya, Kakang. Saya berjanji untuk
tidak mengatakan sesuatu."
"Gusti berjanji kepada siapa?"
"Kalau saya katakan, berarti saya melanggar janji."
"Kakang Prabu?"
"Kenapa selalu itu yang Kakang bicarakan?"
"Saya tak mempunyai dugaan lain."
"Semua merasa bahwa kami berempat adalah calon istri Kakang Prabu Wijaya. Tak
meleset sedikit pun. Memang begitulah seharusnya menurut aturan. Akan tetapi
bukankah belum terlambat" Sebelum ada janur kuning tanda peresmian, semua bisa
terjadi. "Kakang Upasara...." Suara Gayatri menjadi perlahan sekali, tertutup oleh suara
tarikan napas yang menggemuruh. "Apakah layak seorang wanita menawarkan
kesempatan kepada seorang pria" Apakah tidak membuat wanita itu menjadi sangat
rendah di mata pria tersebut?"
Upasara bergeming. "Jawablah, Kakang. Bila ada wanita mengatakan seperti itu, apakah wanita itu
lebih rendah dari seekor cacing?"
"Hamba tak berani mengatakan... Hamba tak mengerti harus bagaimana... Semuanya
begitu tiba-tiba dan tak pernah hamba bayangkan. Kehormatan besar ini, entah
dengan cara bagaimana hamba bisa menyadari."
"Tentang cacing yang rendah?"
"Hamba yang lebih jahat dan lebih kejam dari cacing, tak bisa memberi-kan
penilaian, Gusti...."
Upasara menyembah hormat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau semua nanti bisa terjadi... hamba tak tahu dengan cara apa mensyukuri
anugerah Dewa Yang Mahaagung...."
Ketika akhirnya Raden Sanggrama Wijaya datang kembali, Upasara mendapat tepukan
di pundak. "Tak sia-sia kupercayakan Tarik padamu, Upasara...."
"Hamba menjalankan tugas sebisanya. Selebihnya para prajurit sendiri yang
menjalankan tugas dengan baik."
"Ya, akan tetapi kita tetap berada dalam bahaya. Karena kita berlomba dengan
waktu. Cepat atau lambat senopati Daha, Sagara Winotan dan Jangkung Angilo, akan
mengetahui apa yang kita persiapkan. Jika ini diketahui, habislah riwayat kita.
"Sementara pasukan negeri Tartar sungguh luar biasa. Prajurit yang benar-benar
tangguh, tersusun rapi, dan bukan nama kosong belaka bahwa mereka telah
menaklukkan banyak negeri seberang.
"Aku tak tahu mana yang harus kupilih. Menggempur Keraton Daha secepatnya
ataukah menyingkirkan pasukan Tartar.
"Dua-duanya sangat berat.
"Tapi aku memilih yang kedua. Dengan bantuan prajurit Keraton Daha, prajurit
Tartar akan kusingkirkan. Dengan begitu kepercayaan Baginda Jayakatwang akan
membesar. Dan itulah saat terbaik untuk merebut takhta. Bagaimana pendapatmu,
Upasara" Hanya kamu yang belum kudengar."
Upasara menghaturkan sembah.
"Hamba tak begitu tahu mengenai strategi. Gusti Putri Gayatri barangkali bisa
lebih memberikan penjelasan...."
Raden Sanggrama Wijaya mengerutkan alisnya. Beberapa detik cuma.
"Itu aku bisa menanyai sendiri. Aku ingin mendengarkan pendapatmu."
"Maafkan, Raden. Menurut saya lebih mudah menggempur Keraton Daha dibandingkan
prajurit Tartar. Para senopati di Keraton Daha telah kita ketahui kekuatannya.
Dan lebih banyak rakyat yang mendukung kita."
Sanggrama Wijaya tersenyum.
Upasara menjadi kecil. "Perhitunganmu ada benarnya. Keraton lebih lemah. Akan tetapi perhitunganku
lain. Kita harus menggempur Tartar dulu. Dengan cara ini, kita membangkitkan
perlawanan seluruh masyarakat. Para ksatria, para pendekar yang selama ini
bersembunyi - seperti Ngabehi Pandu,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
akan keluar dari sarangnya. Mereka akan bangkit membela tanah airnya.
"Lalu kita belokkan untuk menggempur Keraton. Aku sedang menunggu persetujuan
Paman Wiraraja. Perhitunganku sederhana: kita bermusuhan dengan Keraton. Akan
tetapi dibandingkan dengan Tartar, kita jelas harus lebih memusuhi Tartar.
"Nah, bagaimana dengan keteranganku ini"
"Cukup jelas?" Upasara menyembah. "Tadi kamu menyebut Gayatri... Kenapa kautunjuk dia untuk melihat strategi"
Kurasa agak salah alamat. Bukan Gayatri yang selama ini ingin mengetahui masalah
strategi. "Tetapi kenapa kau usulkan, Upasara?"
"Hamba salah bicara. Maaf, Raden."
"Katakan, jangan takut-takut."
"Gusti Putri Gayatri ternyata diam-diam mempunyai pengetahuan yang luas. Juga
dalam ilmu silat. Setidaknya Paman Jaghana dan Paman Wilanda kini sedang
berusaha menawarkan pengaruh pukulan Banjir Bandang atas petunjuk Gusti Putri.
"Barangkali pengetahuannya..."
Raden Sanggrama Wijaya menggeleng.
"Aku tidak percaya. Gayatri tidak mengetahui masalah itu. Tak mungkin. Karena
aku mengenalnya. Tetapi sifatku adalah selalu memberi kesempatan. Upasara,
kuangkat kamu menjadi senopati hari ini secara resmi. Kalau selesai persoalan
ini, kamu bisa menagih padaku. Dan tugasmu yang pertama adalah kembali ke
Keraton Daha. Melalui Kiai Sangga Langit, kamu bisa melihat kelemahan prajurit Tartar.
Kudengar namamu disebut dengan hormat oleh Kiai Sangga Langit.
"Kalau kamu menganggap Gayatri bisa memberimu petunjuk, kuizinkan ia ikut serta
denganmu. Dan seluruh tanggung jawab ada di pundakmu."
Geledek besar pun tak akan mengguncangkan Upasara seperti sekarang ini!
Berangkat ke Keraton Daha dengan putri yang mengguncangkan saraf-saraf yang
paling peka" Sesaat Upasara lupa untuk menghaturkan sembah. Menunduk bergeming.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Raden Wijaya segera menyusun kekuatan.
Para prajurit dari tlatah Madura yang mulai berdatangan, menyamar sebagai
petani, menjadi nelayan di sepanjang Kali Brantas sambil memata-matai. Bagi
Raden Wijaya agaknya tidak perlu memusingkan dengan pikiran kenapa kemudian Aria
Wiraraja berbalik membantunya.
Pada masa Baginda Raja Kertanegara, Aria Wiraraja merasa disingkirkan. Ia
berpihak kepada Raja Muda Gelang-Gelang, Jayakatwang. Akan tetapi agaknya
kehancuran Keraton Singasari serta cara-cara Jayakatwang menghancurkan,
membuatnya sadar. Bahwa pilihannya keliru. Apalagi ketika Raden Wijaya dan
rombongannya melarikan diri dari Keraton dan terlunta-lunta.
Aria Wiraraja adalah ahli strategi yang ulung. Bermain di belakang layar.
Seketika itu pula jatuh keputusannya untuk membela Raden Wijaya, yang dianggap
akan bisa mengembalikan citra Keraton. Ia mudah dan bisa diterima oleh Raja
Jayakatwang ketika mengusulkan untuk memberi pengampunan kepada Raden Wijaya,
asal yang terakhir ini membuat tanda penyerahan. Dan Aria Wiraraja mengatur
semua ini. Kini setelah merasa tiba saatnya, Aria Wiraraja mengirim prajuritnya untuk
bergabung. Sungguh suatu liku-liku yang Ugrawe pun tak mampu mengendusnya.
Raden Wijaya merasa mendapat bantuan sepenuhnya.
Maka, dibuat dua rencana sekaligus. Pertama mengadakan persiapan, dan yang kedua
mengirim telik sandi, atau tugas rahasia ke Keraton.
Tugas inilah yang diberikan kepada Upasara Wulung.
Upasara meminta pamit kepada para pendekar yang masih menderita.
Sejak pertama Wilanda dan Jaghana tetap bergeming. Seakan mati raga.
Kepada Pembarep, Panengah, Wuragil, Dewa Maut, kedua Pu'un, Upasara menceritakan
tugasnya. Hanya ketika tiba giliran Gendhuk Tri, Upasara menjadi bingung. Karena
tidak berhasil menemukan.
Dalam perjalanan, Gayatri mengingatkan hal ini.
"Pasti ada apa-apanya dengan adik manis yang bandel ini," kata Gayatri yang
memakai pakaian lelaki. "Entahlah, Gusti...."
"Selama Kakang masih memanggil dengan sebutan itu, sama juga membuka rahasia."
"Maaf, Gay...."
"Adik manis Gendhuk Tri kelihatannya kurang suka kita jalan bersama. Sebetulnya
tak ada salahnya ia diajak."
"Kita harus berangkat segera."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Dalam perjalanan, mereka berdua menukar dua kuda pada tempat-tempat tertentu.
Ternyata pengaturan pasukan di sepanjang Kali Brantas sangat rapi dan teliti.
Boleh dikatakan mereka berdua tak menemukan kesulitan sedikit pun. Di setiap
tempat yang ditentukan telah disediakan dua ekor kuda segar, berikut makanan
sekadarnya. Mereka yang mengganti kuda melakukan tanpa bertanya satu patah kata pun.
"Raden Wijaya memang hebat."
"Dalam hal mengatur seperti ini Kakang Prabu memang luar biasa.
Tapi kenapa kamu mengajakku?"
Upasara merah wajahnya. "Kalau yang ada di jagat ini hanya kita berdua, akankah kamu selalu malu-malu?"
"Hmmmmm." Upasara menghela napas panjang. "Saya tak menyangka bahwa Raden
Sanggrama Wijaya akan memberikan izin begitu cepat. Bahkan hanya kita berdua
yang disuruh berangkat."
"Kamu menyesal, Kakang?"
"Tidak, Gus... tidak, Gay. Saya merasa bahagia sekali."
"Tahukah kamu kenapa Kakang Prabu memberi izin aku berangkat bersamamu?"
"Karena Kakang... Karena Raden Wijaya mengetahui saya mengharapkan itu?"
"Ada benarnya. Akan tetapi hanya separuh. Kakang Prabu sangat mengharapkan
kembalinya takhta. Apa pun akan diberikan untuk merebut kembali Keraton Daha.
Jangan kata cuma aku - bersama tiga saudariku, akan diberikan.
"Kakang Upasara, itulah yang kadang membuatku bimbang. Aku sudah ditakdirkan
menjadi putri seorang raja. Dan sekarang ini, lelaki yang paling pantas
mendampingiku adalah Kakang Prabu.
"Akan tetapi, sesungguhnya Kakang Prabu mengawiniku sebagai bagian dari
kebesaran seorang calon raja. Sebagai yang paling berkuasa.
Yang paling tinggi. Kakang, itulah nasib yang selalu kukatakan."
"Apa ruginya mendampingi seorang seperti Raden Wijaya?"
"Tak ada, Kakang. Kakang Prabu jauh lebih tampan darimu, darah birunya murni.
Kekuasaan besar dengan persiapan dan masa depan yang disinari bulan kebesaran.
"Akan tetapi aku merasa, aku hanya sebagian dari kebesarannya itu.
Seperti juga tombak pusakanya, seperti para senopatinya, seperti kuda-kuda
kesayangannya." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Juga ketiga saudarimu?"
"Bahkan kalau putri-putri yang melarikan diri sepuluh, semuanya akan diambil
oleh Kakang Prabu. Sebagai pertanda kebesarannya.
Tidakkah kamu merasakan yang kurasakan, Kakang?"
"Rasanya bisa. Tetapi apakah itu mungkin" Saya tak mempunyai darah biru. Saya
hanya bagian yang kecil dari sekian banyak prajuritnya, yang merasa dendam
kepada Raja Jayakatwang."
"Kalau kamu berani, kamu bisa, Kakang. Aku tak pantas mengatakan ini, akan
tetapi aku akan mengangguk bila Kakang menarikku. Seperti juga ajakan perjalanan
ini." Upasara memandang wajah Gayatri.
Ketika Gayatri balik memandang, Upasara menunduk. Bibirnya bergetar.
"Setelah semua urusan ini selesai, saya akan mengatakan langsung kepada Raden
Wijaya." Upasara mengempit perut kudanya dan melarikan lebih kencang.
Gayatri tersenyum, lalu menyusul. Sebagai putri Keraton, soal menunggang kuda
bukan hal yang istimewa. Apalagi putri Baginda Raja Kertanegara yang mempunyai
keleluasaan dan pandangan jauh ke depan.
Tanpa terasa, malam hari mereka masuk ke dalam Keraton. Melewati gerbang.
"Yayi Gay... malam ini saya akan menyelusup masuk. Sebaiknya Yayi menunggu di
luar." "Kalau aku tak boleh masuk, untuk apa aku diajak kemari?"
"Saya tak mengharapkan rambut Yayi tercerabut karena bahaya yang mungkin datang.


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Saya mengusulkan mengajak Yayi karena saya ingin berdekatan. Karena Yayi bisa
memberi nasihat kepada Paman Jaghana dan Wilanda...."
"Itu soal lain, Kakang. Aku hanya mengulangi kata-kata yang diucapkan di tepi
telingaku." "Siapa tokoh yang begitu sakti" Apa mungkin roh Eyang Raganata?"
"Aku mengenalnya, setidaknya sebutannya. Akan tetapi aku tak boleh mengatakan
kepada siapa pun." Upasara memberi salam hormat.
"Maafkan saya telah lancang. Saya tidak memaksa Yayi... Sekarang Yayi menunggu
di dalam rumah itu. Kakang akan menemui Kiai Sangga Langit."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Belum selesai ucapannya, tubuh Upasara lenyap dari pandangan.
Kadang Gayatri tak mengerti akan sikap Upasara. Ada dorongan begitu kuat dari
Upasara untuk mendekatinya, akan tetapi juga ada keinginan untuk segera
menghindari. Kadang bisa bicara urut, panjang, kadang berdiam diri saja. Hanya
kalau dipancing-pancing baru keluar ucapannya.
Upasara memang merasa jengah. Ingin dekat, ingin menatap, tetapi hatinya selalu
menjadi sangat gelisah. Pikirannya tak menentu. Upasara sering menyalahkan
dirinya sendiri karena soal ini. Seperti ketika melewati dinding benteng bagian
dalam yang terukir "di lautan asmara", Upasara merasa kata-kata itu secara
khusus diciptakan untuknya.
Untuk menggambarkan kerinduannya kepada Gayatri!
Upasara langsung menuju ke tempat tinggal Kiai Sangga Langit.
Baru mau melangkah masuk ketika terdengar suara kasar.
"Aha, aku menunggumu."
Upasara terkesiap. Baru terdengar helaan napasnya. Ternyata Galih Kaliki yang
menyambutnya. "Dewa mempertemukan kita, saudaraku," kata Galih Kaliki, seperti sedang mabuk.
"Terimalah sungkem dari keponakan atau adik atau saudara ini."
"Aha, kau suka basa-basi. Ayo sini, menikmati indahnya surga."
Upasara baru sadar bahwa Galih Kaliki benar-benar dalam keadaan mabuk. Mabuk
berat. Memang itulah cara yang dipakai Nyai Demang. Agar Galih Kaliki tidak berbuat
kurang ajar, Nyai Demang memberinya arak terus-menerus. Selama beberapa hari
Galih Kaliki berada dalam keadaan mabuk, pingsan, mabuk, tertidur, mabuk lagi.
Upasara mengeryitkan keningnya. Ia tak menyangka sama sekali bahwa Nyai Demang
yang tubuhnya montok dan suka main mata itu ternyata berhati keji.
"Untung kamu datang kemari. Majulah, Upa... apa pun yang akan kita lakukan, si
tua bangka ini tak akan tahu."
"Mbakyu Demang..."
"Aku tahu, Upa. Kamu juga mengharapkan...."
"Saya..." "Aku terlalu tahu tentang lelaki. Sorot mata lelaki yang bagaimanapun, aku bisa
mengetahui. Aku hidup di antara sorot mata seperti itu. Kenapa" Kamu malu"
"Galih Kaliki tak akan mengetahui apa-apa."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Benar, saudaraku. Aku tak tahu apa-apa. Apa yang kuketahui tak ada. Begitu,
Nyai?" "Mbakyu Demang, saya datang untuk menemui Kiai Sangga Langit."
"Ada urusan apa?"
"Ada sesuatu yang akan saya katakan."
"Dia akan kuberitahu kalau malam ini kamu menemaniku. Kenapa kamu begitu jual
mahal, Upa" Di jagat ini semua lelaki mau menyembah, mau menjadi budak untuk
bisa berdekatan denganku.
Kenapa kamu sok gagah?"
"Bukan begitu, Mbakyu. Pada kesempatan lain, saya akan mengatakan semua. Malam
ini akan menemui Kiai Sangga Langit."
Wajah Nyai Demang berubah merah.
"Seumur hidup, inilah pertama kalinya aku ditolak. Galih Kaliki, ambil
tongkatmu. Ayam kampung ini perlu dihajar."
Galih Kaliki meraih tongkat hati pohon asam, langsung dipukulkan ke arah
Upasara. Dalam keadaan mabuk dan limbung, pukulannya tetap keras dengan penuh
tenaga. Upasara menggeser badannya. Dua tangan secara terkepal mencoba merebut.
Mengenai angin kosong, tongkat Galih Kaliki berbalik. Tegak. Menghajar secara
mendatar. Upasara justru menyongsong maju.
Nyai Demang tak percaya bahwa dalam satu gebrakan tongkat pusaka Galih Kaliki
bisa dipegang Upasara. Walau dalam keadaan sangat mabuk, Galih Kaliki jelas
bukan tokoh sembarangan! Ataukah dalam sekejap Upasara sudah meloncati tahapan
yang luar biasa dalam ilmu silat"
"Kena!" Justru Galih Kaliki yang berteriak.
"Kena, Nyai. Ayamnya kena."
"Kena gundulmu. Kamu memang lelaki tak berguna."
Upasara melepaskan genggamannya.
Galih Kaliki menarik kepala tongkatnya. Jalannya sempoyongan.
"Pukul sendiri kepala kamu. Itu ayamnya!"
Galih Kaliki menghantam kepalanya sendiri! Upasara lebih dulu meloncat maju
menahan arah pukulan ke kepala Galih Kaliki. Di luar dugaan, Galih Kaliki
memutar tongkatnya menghindar, kini dipakai mengemplang kepalanya sendiri dari
samping. Tak ayal lagi, Upasara meluncur ke atas. Tubuhnya terbang secara
terbalik, dengan kaki di atas.
Dua tangan sekaligus menahan ayunan tongkat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Galih Kaliki menggeser agak turun. Kini yang diarah jakunnya sendiri.
Terjadi pemandangan yang ganjil. Galih Kaliki yang bertubuh besar dengan gerakan
aneh mencoba memukul kepalanya sendiri, sementara justru Upasara berusaha
mencegah. Tiga gerakan aneh Galih Kaliki berhasil digagalkan oleh Upasara.
Bahkan seakan dengan mudah sekali Upasara menebak gerakan tongkat Galih Kaliki.
"Hah!" Sekali renggut, tongkat hati pohon asam itu berpindah ke tangan Upasara.
"Tak berguna!" teriak Nyai Demang.
"Tunggu," kata Upasara perlahan. "Ada sesuatu yang menarik. Coba kita ulangi
lagi. Paman Galih mencoba memukul kepala seperti tadi, dan..."
"Oho, enak saja. Siapa kamu, berani memerintah aku untuk membunuh diri?"
"Mbakyu Demang, bagaimana kalau saya meminta Mbakyu agar Paman Galih Kaliki
mengulangi perbuatannya tadi."
"Dengan syarat!"
"Saya akan terima, Mbakyu."
Nyai Demang tersenyum. Tubuhnya bergoyang.
"Galih... sekarang kemplang sendiri kepalamu seperti tadi.
Pergunakan semua jurus dan ilmu yang kamu miliki. Upa, kamu sudah siap?"
Upasara memusatkan perhatian setelah memberikan tongkat. Begitu Galih Kaliki
mulai bergerak, ia pun bergerak mengimbangi. Kembali pemandangan aneh terlihat.
Kali ini Galih Kaliki mengeluarkan semua ilmunya. Mendesak, berjumpalitan, dan
Upasara terus-menerus mengimbangi. Sesekali terdengar seruan tertahan. Teriakan
Nyai Demang, karena batok kepala Galih Kaliki seperti bakal menjadi bubur.
Tapi toh pada saat terakhir bisa disentil kembali. Hingga arahnya melenceng.
Galih Kaliki mengempos seluruh tenaganya, hingga akhirnya berjalan sempoyongan.
Upasara sendiri berhenti karena keringatnya membanjir luar biasa.
Diam-diam muncul keringat dinginnya. Permainan yang barusan dilakukan sungguh
berbahaya. Meleset satu gerakan saja, nyawa taruhannya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara termenung. Ia seperti menemukan sesuatu yang belum jelas benar di
kepalanya. Sesuatu yang seperti sangat dikenal, sangat mudah diketahui.
Nyatanya, tadi dengan mudah bisa menghalau gerakan-gerakan Galih Kaliki yang
selama ini paling aneh. Gerakan-gerakan itu sama sekali bukan asing baginya.
Akan tetapi, di mana ia mempelajari gerakan Galih Kaliki"
Upasara masih termenung. Tak sadar bahwa Nyai Demang datang mendekat ke arahnya.
Dan mengelap keringat Upasara dengan selendangnya.
Yang tak diketahui oleh Upasara ialah justru saat itu secara diam-diam Gayatri
melihatnya! Bagi Gayatri tak ada kesulitan apa-apa untuk masuk ke bagian dalam Keraton.
Sebagai putri Kertanegara, bagian dari Keraton sama dikenal dengan jarinya
sendiri. Adalah di luar perkiraannya bahwa ia melihat Upasara sedang dilap keringatnya
oleh Nyai Demang. Dengan pandangan mata genit Nyai Demang! Sementara Upasara
sendiri tertegun tak bergerak menghindar.
"Upa, kamu memang luar biasa. Mbakyumu senang sekali. Nah, sebelum mbakyumu ini
mengajukan permintaan sesuai dengan syarat, apakah kamu mau mengajukan sesuatu"
Kamu akan meminta sesuatu"
"Jangan malu, Upa, katakan saja."
Nyai Demang mengelus rambut Upasara.
Mengelus dada Upasara yang bidang.
"Aneh, rasanya saya telah mengenal...."
"Masa kamu lupa sama mbakyumu ini?"
"...telapak tangan keduanya terbuka, membentuk paruh itik.
Kekuatan ada di sudut..."
"Aha, kalau yang begitu bisa kita lakukan, Upa. Mau sekarang" Di sini?"
"...tenaga biji pisang. Terbungkus tapi ada. Tenaga utara-selatan..."
"Pisang" Tenaga pisang" Boleh saja." Nyai Demang makin genit.
Gayatri memalingkan wajahnya. Perlahan ia menjauh. Terdengar helaan napas yang
panjang, dalam dan berat. "Kenapa aku harus mengharap dari seorang gelandangan
seperti Kakang Upasara" Sekali gelandangan tetap gelandangan. Barangkali dewa di
langit maha bijaksana. Sehingga di dunia ini ada yang dididik sebagai ksatria
keraton dan gelandangan yang tak tahu adat sopan santun. Belum kering bibirnya
mengatakan keinginan untuk mengambilku, di depan mataku sendiri melakukan
tindakan yang begitu tak senonoh."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gayatri berjalan ke pinggir.
Mendadak tubuhnya merapat ke dinding. Dalam waktu sekejap puluhan prajurit sudah
mengepung rapat. Bersenjata lengkap. Bahkan di tengah melayang turun seakan dari
langit. Tak salah lagi itulah Ugrawe.
Kumisnya yang panjang melengkung, dagunya yang mendongak dengan kecongkakan, tak
bisa ditebak orang lain. "Upasara, Nyai Demang, dan pemabuk Galih Kaliki, ternyata kalian menantangku
untuk mengambil tenaga kalian. Bersiaplah, satu lubang cukup untuk kalian
bertiga." Upasara masih berdiri tepekur.
Tidak menyadari bahwa kepungan sudah rapat sekali. Dengan Ugrawe yang berdiri di
tengah, dan Rawikara sebelah kanan. Di belakang sedikit Sagara Winotan serta
Jangkung Angilo. Selebihnya adalah para senopati pilihan yang mengawal Keraton.
"Satu lubang untuk mengubur tiga bangkai ini sudah cukup.
Upasara, beberapa kali kita bertemu. Ternyata nasibmu baik, karena kau ditemani
setan cilik beracun. Hari ini, tak ada yang menghalangiku untuk menarik tenaga
dalammu yang masih murni."
Ugrawe mendengus. "Nyai Demang, kamu sungguh tak tahu diri. Diberi tempat, makan, bukannya
menunjukkan rasa hormat malah main gendak-gendakan mengumpulkan lelaki di sini.
Siapa menyuruh kalian berlatih silat di sini" Mana kiai yang berkhianat
menurunkan ilmunya kepada Upasara itu"
"Hari ini aku, Ugrawe, Pujangga Pamungkas, pujangga terakhir yang terbesar,
terpaksa menyalahi titah Raja dalam soal pengampunan."
Ugrawe menggebrakkan tangannya. Sepuluh prajurit terpilih maju secara serentak.
Tiga orang malah meloncat lebih dulu. Nyai Demang menangkis sambil melayang ke
atas. Galih Kaliki meraup tongkat dan menangkis sambil maju. Kepalanya masih
tetap dikuasai arak secara penuh, akan tetapi begitu melihat bayangan Nyai
Demang bergerak, ia pun mengikuti.
Rawikara menyambar dua pedang dan ikut menerjang ke tengah pertempuran.
Saat itu dari dalam ruangan Mo Ing yang masih terluka karena tusukannya sendiri
beberapa waktu yang lalu berjalan terhuyung-huyung. Mendengar suara ribut, ia
bangun. Tubuhnya masih lemah.
Cara berjalannya masih gontai.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sementara Rawikara sendiri, dengan pukulan andalan Banjir Bandang Segara Asat
telah bisa mengembalikan tenaganya. Seperti yang diduga Jaghana, Rawikara memang
mempergunakan tenaga-tenaga prajurit untuk diambil alih. Untuk dipindahkan ke
dalam tubuhnya. Mo Ing mengeluarkan seruan tertahan melihat bayangan Rawikara menebas ke
arahnya. Secara spontan tangan terangkat untuk menangkis. Ternyata Rawikara
tidak menarik pedangnya. Terdengar pekikan dan darah muncrat. Saat itulah
Upasara tersadar dari lamunannya. Dengan cepat, tubuhnya bergerak. Tangannya
menangkis tebasan pedang Rawikara. Caranya sama seperti Mo Ing menangkis.
Hanya kini tenaga yang tersalur berbeda. Dan Rawikara melepaskan pedangnya untuk
menyelamatkan diri. Satu pedang lagi dilemparkan bagai tombak. Bahwa Upasara
bakal menghindar, Rawikara sudah mengetahui hal itu. Karena melepaskan kedua
pedang termasuk dalam rencana untuk segera melancarkan pukulan andalan. Rawikara
sangat mengincar tenaga dalam Upasara.
Aneh sekali. Upasara tidak berusaha menghindar dengan menjauhkan diri. Tidak
juga melakukan pukulan. Ia justru seperti bergerak sendiri. Tubuhnya melenggok,
dadanya menggelombang, dan kedua tangan membuka. Saat yang ditunggu oleh
Rawikara untuk melancarkan serangan. Upasara tidak langsung menyerang dengan
membalas, tetapi juga menunggu. Seperti bergerak sendiri, dengan berat tubuh ke
arah selatan. Plak. Duk. Dua tangan bertemu. Tenaga terobosan yang menggempur dari Rawikara menerjang,
mendesak. Sesaat Rawikara mengeluarkan sorot mata mengejek. Tangan kirinya
menggunakan tenaga menarik.
Menguras tenaga dalam Upasara.
Mendadak seperti terdengar bunyi "pletak" dan Rawikara terjungkal.
Mulutnya mengeluarkan darah. Tangannya teracung ke atas. Sebelum sempurna
teracung tubuhnya telah terbanting.
Ugrawe mengeluarkan teriakan mengguntur, kedua tangan menyapu bersamaan.
Serentak dengan itu semua prajurit menerjang. Dalam sekejap keroyokan terjadi.
Mo Ing menjadi korban, sementara Galih Kaliki juga terdorong oleh tenaga pukulan
Ugrawe. Dengan perkasa Ugrawe melayang di angkasa. Kedua tangan dan kakinya bergerak
melebar. Sekali kena tendang, Galih Kaliki terpental.
Dalam gerakan yang sama, masih satu gerakan, Nyai Demang juga tersapu kedua
kakinya. Sempoyongan ketika menghindar dan langsung disibukkan oleh tusukan
pedang para prajurit. Dalam putaran itu Ugrawe mencakar Upasara sekaligus.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara masih bengong. Ketika cakaran itu mendekat dengan bau amis, baru sadar.
Akan tetapi terlambat. Cakaran itu berubah menjadi pukulan dengan telapak
tangan. Bek. Enteng suaranya. Tapi Upasara terpental hingga ke tiang. Tiang yang kukuh
menjadi bergetar. Dahsyat sekali pukulan Ugrawe. Dalam satu gebrak, tiga lawan yang tangguh
terpukul mundur. Galih Kaliki memang sedang mabuk, dan Upasara dalam keadaan
kurang siap, akan tetapi ini jelas menunjukkan prestasinya. Penguasaan Sindhung
Aliwawar yang luar biasa.
Kalau sesaat tadi dengan gemilang Upasara bisa memukul rubuh Rawikara, kini
sebaliknya. Dalam satu jurus ia telah dibuat keok.
Berbeda dengan Upasara, Ugrawe tidak terhenti di situ. Ia menerjang maju.
Upasara berdiri tegak. Ia maju memapak ketika serangan terarah kepada Nyai
Demang yang terjatuh tanpa bisa bergerak.
"Cari mati kamu!"
Siku Ugrawe masuk ke dada Upasara. Dua tangan Upasara yang terkepal dan menjaga,
dengan mudah diterobos. Sebelum Upasara menguasai dirinya, kaki Ugrawe menjebol
pertahanannya. Sia-sia Upasara melayang, karena kali ini pinggangnya justru dicengkeram. Sekali
sentak tubuh Upasara terlempar ke atas mengenai atap. Jebol sampai di atasnya.
Gayatri menjerit. Tapi jeritannya tertutup teriakan para prajurit yang kini
meringkus Nyai Demang serta Galih Kaliki. Gayatri menjerit karena merasa bahwa
keadaan Upasara menjadi sangat buruk karena berusaha membela Nyai Demang.
Ugrawe sendiri langsung menjejakkan kakinya dan tubuhnya melayang ke atas,
melalui jebolan yang dilewati tubuh Upasara.
Dalam keadaan melayang jatuh di genteng kayu, Upasara merasa bahwa dadanya
kelewat sakit dan pinggulnya sangat nyeri. Ugrawe bukan hanya sakti tetapi juga


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kasar sekali. Pikirannya masih kacau. Masih terpusat kepada bagaimana secara agak aneh, ia
bisa menebak jurus-jurus Galih Kaliki. Demikian juga jurus Rawikara. Padahal
kalau dilihat, apa yang dilakukan Ugrawe tak berbeda jauh. Tetapi kenapa justru
yang terakhir ini bisa dibuat keok"
Kalau hanya soal perbedaan tenaga dalam, hanya juga tak secepat ini!
Tidak dalam satu-dua gebrakan!
Agaknya ini pula yang membuat Ugrawe bertanya-tanya dalam hati.
Makanya ia tak memulai menyerang dengan pukulan andalan,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
melainkan dari bagian tengah. Dan buktinya, Upasara yang dihadapi seperti
Upasara yang ketika pertama ditemui. Tak begitu mengejutkan.
Malah boleh dikata seperti banteng tanpa tanduk, karena kini tidak memainkan
keris. Muncul dari lubang atap, Ugrawe langsung menggeliat tubuhnya.
Kakinya menendang ke arah dada Upasara. Dan tubuh Upasara terpental jatuh ke
tanah. Tanpa ampun lagi Upasara langsung bisa diringkus.
Dengan gagah, berwibawa, dan senyum kemenangan, Ugrawe melayang turun kembali.
"Sebelum kubunuh, katakan siapa yang mengajarimu jurus Sekar Sinom itu."
Pikiran Upasara bagai disinari oleh kilat.
"Sekar Sinom tadi?"
Seketika Upasara menjadi ingat semuanya. Kini semua menjadi jelas.
Apa yang dipraktekkan tadi adalah bagian yang dipelajari dari klika atau kulit
kayu yang berjudul Tumbal Bantala Parwa. Atau Kitab Penolak Bumi! Itu adalah
kitab yang dulu dibawa lari oleh Kawung Sen! Kitab yang dicuri dari
perbendaharaan Ugrawe. Ataukah kitab yang dibacakan oleh Nyai Demang" Upasara
tidak bisa mengingat jelas. Dulu kejadiannya hampir beruntun.
Sekarang jelas. Begitu tadi melihat Galih Kaliki menyerang dirinya sendiri,
Upasara justru teringat jurus-jurus Tumbal. Jurus yang menjadi penangkis jurus
tersebut! Selama ini Upasara telah melihat permainan silat Galih Kaliki, akan
tetapi tak pernah mengetahui jurus apa sebenarnya. Hanya ketika Galih Kaliki
menggunakan jurus itu untuk dirinya sendiri, Upasara seperti terbuka matanya.
Dan itu pula sebabnya ia begitu mudah menebak arah serangan Rawikara. Bahkan
rasanya ia tak usah melawan. Sekadar mengikuti gerakan tubuh yang terjadi dengan
sendiri begitu lawan menyerang!
Yang pertama adalah jurus Manik Maya Sirna Lala. Yang membuka dua telapak tangan
dengan kekuatan di sudut. Sedangkan yang disebut sebagai Sekar Sinom tadi adalah
jurus ketiga. Pukulan dari Rawikara menghantam dirinya sendiri, karena dalam
jurus Sekar Sinom, Upasara mempergunakan tenaga dalam biji asam. Biji asam akan
membuka sendiri pada saat sudah tua. Kulitnya pecah, biji keluar. Tenaga itulah
yang dipakai untuk melawan Rawikara, karena Rawikara-lah yang mematangkan!
"Tumbal Bantala adalah buku yang mudah diperoleh. Untuk apa hal itu ditanyakan?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kamu tetap bermulut lebar. Bagaimana kamu bilang Tumbal Bantala Parwa buku yang
mudah diperoleh" Buku itu merupakan lanjutan dari Bantala Parwa, atau buku silat
berdasarkan kekuatan bumi. Seorang ksatria tak akan merendahkan diri untuk
mempelajari ilmu perguruan lain. Kamu sungguh memalukan. Hina."
"Siapa yang mencuri apa" Apakah Paman Ugrawe merasa lebih berhak dari Kakang
Galih Kaliki dalam soal Bantala Parwa?"
Ugrawe terkesiap. Ia memang tak pernah menyangka bahwa dasar-dasar gerakan tongkat yang patah itu
mempunyai kemiripan dengan gerak-gerak yang dilatih dalam Sindhung Aliwawar.
Ugrawe sudah menduga akan hal ini.
Akan tetapi masih sedikit bimbang. Sindhung Aliwawar menitikberatkan pada
kekuatan memukul, sementara Galih Kaliki justru mempergunakan tongkat. Tetapi
kalau dipikir-pikir memang mirip.
Maka gerakan tongkat Galih Kaliki terasa aneh. Karena kurang mempergunakan
pergelangan tangan, sebagaimana biasanya mereka yang berlatih menggunakan
senjata. "Pemabuk gila itu tak mengerti apa-apa mengenai Bantala Parwa."
"Terserah mau mengakui atau tidak."
"Dari mana kamu mempelajari kitab utama itu" Serahkan klika itu padaku."
"Sayang yang menulis buku itu telah mengambilnya sendiri. Kalau berani
mengambil, kenapa tidak minta kepada orang yang bersangkutan?"
Ugrawe menyipitkan matanya.
"Nyai Demang, di mana kiai cabul itu?"
"Tanya pada anaknya."
Ugrawe bergerak ke arah Mo Ing.
"Bangsat tanpa kelamin. Di mana bapak atau moyangmu itu" Dari mana kalian
mencuri pusaka leluhurku?"
Mo Ing dalam keadaan sekarat. Bekas luka dari Rawikara beberapa waktu lalu belum
hilang. Apalagi kini tangannya telah putus. Antara mati dan hidup ia dicaci
seperti itu. Dengan mengeraskan hati, Mo Ing menguatkan tenaga untuk meludahi
Ugrawe. Ugrawe tak menduga bakal diludahi wajahnya.
Tak sempat menghindar lagi.
Plak. Tangan Ugrawe bergerak cepat. Seketika tulang tengkorak Mo Ing retak.
Darah menciprat ke seluruh tubuh Ugrawe. Lalu Ugrawe
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mengambil kain Mo Ing dan melap tubuhnya. Sekaligus melap wajahnya yang kena
semburan ludah. "Upasara, masihkah kamu bertahan untuk menyimpan rahasia buku itu?"
"Tak ada untungnya saya menyimpan.
"Tetapi saya minta Empu tidak melakukan sesuatu kepada Nyai Demang dan Kakang
Galih Kaliki. Mereka tak ada hubungannya dengan saya dan masalah ini."
Ugrawe mengibaskan tangannya.
"Itu soal kecil. Tetapi bahwa kamu mau menukar nyawamu untuk wanita genit ini,
itu baru luar biasa."
Dengan satu kibasan lagi, Nyai Demang dan Galih Kaliki dibebaskan.
Di kegelapan, Gayatri tak bisa menahan jatuhnya air mata. Kini makin jelas bahwa
Upasara lebih suka mengorbankan nyawanya sendiri untuk menolong Nyai Demang.
Gayatri tak pernah mengerti bahwa Upasara tidak terlalu memikirkan masalah
tersebut. Jalan pikirannya sederhana. Bahwa mereka berdua terlibat dalam masalah
ini gara-gara kehadirannya. Dan kini Upasara mau menanggung sendiri akibat
perbuatannya. "Cukup puas?" "Terima kasih."
"Ada lagi yang ingin kamu bebaskan?"
Gayatri menunggu Upasara mengucapkan namanya.
Tetapi ternyata Upasara menggelengkan kepalanya.
"Serahkan kitab itu padaku."
"Sekarang ini masih dibawa oleh Kiai Sangga Langit."
Ugrawe menahan gejolak dalam dadanya. Upasara bukan orang yang suka berbohong.
Itu Ugrawe tahu. Apalagi Upasara mengucapkan dengan biasa-biasa. Tanpa maksud
menjelekkan atau mencari kambing hitam.
Sesungguhnya Upasara juga tidak merasa berbohong sepenuhnya!
Apa yang dikatakan adalah mendekati kebenaran. Karena Upasara berpikir bahwa
tokoh lain yang bisa dihubungkan dengan soal segala macam kitab hanyalah Kiai
Sangga Langit. Imam dari negeri Tartar itu paling getol mempelajarinya. Dan
memberikan ilmu kepada orang lain.
Kawung Sen dulu juga mencuri. Tetapi pada dasarnya karena ingin memperolok saja.
Tidak punya niatan untuk mempelajari dan mencuri.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Hanya karena kesal dengan ulah Ugrawe. Kawung Sen sendiri buta huruf.
Jadi kalau Ugrawe pernah merasa kehilangan, Kiai Sangga Langit-lah satu-satunya
orang yang mempunyai kemungkinan untuk mengambil.
"Untuk sementara aku pegang omonganmu. Kalau sampai meleset, kamu tahu
akibatnya." "Sekarang pun saya siap untuk menerima akibatnya."
Ugrawe tersenyum. Sifat liciknya muncul. "Kenapa kamu mencari Kiai Sangga Langit?"
"Karena ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan. Selain Tumbal Bantala Parwa,
Kiai Sangga Langit pernah menceritakan kitab silat yang berdasarkan bintang.
"Yaitu Dwidasa Nujum Kartika, atau Dua Belas jurus Bintang. Saya berusaha untuk
menerangkan bagian yang tak diketahui untuk berlatih bersama."
Apa yang dikatakan oleh Upasara sangat tepat!
Ugrawe memang kehilangan kitab itu. Yang ketika itu dicuri oleh Kawung Sen!
Dengan menyebutkan judulnya saja, Ugrawe teringat koleksinya yang hilang!
Ugrawe cerdik dan licik, akan tetapi tak mengira bahwa dulu Upasara-lah yang
membacakan kitab itu bagi Kawung Sen.
"Aku percaya semua yang kaukatakan. Nah, karena kamu telah mempelajarinya, dan
aku kehilangan kitab itu, sekarang kau ajari aku."
"Begitu gampang dan hina mempelajari ilmu silat orang lain?"
Ugrawe memandang ke bulan.
"Kitab itu justru pusaka leluhur kami yang hilang dicuri. Bagaimana mungkin
dituduh mencuri ilmu orang lain?"
"Bagaimana saya bisa mempercayai omongan ini?"
"Baik. Mulai sekarang kamu berada di sini. Aku akan mengatakan satu jurus ilmu
yang ada dalam Dua Belas jurus Bintang. Kamu menyebutkan salah satu juga.
"Kalau aku bohong, pasti salah menyebutkan.
"Begitu juga sebaliknya.
"Saat Kiai Sangga Langit datang, aku akan mengatakan bahwa ia imam busuk yang
mencuri ilmu silat perguruanku.
"Bagaimana dengan tawaran ini?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ugrawe tersenyum dingin. Tawaran yang terlalu bagus.
Sesaat melihat sorot mata Upasara, Ugrawe benar-benar merasa kecolongan. Mana
mungkin ksatria seperti Upasara akan memberikan ilmu silat kepada dirinya"
Taktiknya ini hanya sekadar untuk meloloskan Galih Kaliki dan Nyai Demang! Tak
bisa lain. Ugrawe merasa tertipu. Kesal. Ia selalu keliru, karena justru mengukur sifat-
sifat Upasara sebagai manusia biasa.
"Aku tahu tipu muslihatmu, Upasara," kata Ugrawe dengan nada tinggi. "Tapi
sengaja kuberikan kesempatan kepada Galih Kaliki dan Nyai Demang busuk itu
pergi. Yang kuharapkan adalah menyobek-nyobek tubuhmu. Soal mereka berdua sangat
mudah dihadapi." Ugrawe langsung menggempur. Dengan penuh keyakinan diri, Upasara meloncat maju
untuk menghadapi. "Aku tak berdusta. Akan kuberikan Dwidasa Nujum Kartika. Kalau bisa menghadapi
semuanya, berarti masih perlu belajar. Kalau bisa menghentikan pukulan sebelum
dua belas jurus ini selesai, bisa menguasai ilmu itu."
Upasara langsung memapak dengan jurus Lintang Sapi Gumarang.
Dengan mengisarkan kedua kaki, arah tenaga diambil dari utara-selatan. Upasara
memapak maju dengan getaran tenaga musim Kasa, musim pertama. Gerakan dan
dorongan tenaga yang sama dengan embun baru menetes, genjotan binatang yang
meloncat dari sarangnya. Ugrawe seperti didorong habis. Tersapu dan mendadak menjadi mundur.
Bagi Upasara, menghafalkan jurus-jurus yang sama sekali baru tak terlalu sulit.
Modal utama yang dimiliki ialah kemampuan mengonsentrasikan pikiran. Dalam hal
begini, barangkali Upasara tiada tandingannya. Memusatkan pikiran sudah dilatih
sejak ia lahir. Upasara tak mau memperhitungkan Ugrawe yang mundur, ia menerjang maju, bagai
tenaga buah padi yang tumbuh. Lintang Tagih, tenaga luar yang panas mengancam,
akan tetapi tetap dingin di dalam.
Ugrawe berseru kaget. Ia bukannya tak bisa mengimbangi. Akan tetapi sangat
terpesona. Di satu pihak ingin menjajal, tetapi di lain pihak ingin mengetahui
ilmu yang dimainkan Upasara. Ugrawe menangkis serangan atas, dan mendadak
tubuhnya terbanting. Ini adalah jurus Lintang Lumbung, jurus ketiga. Kekuatan utama di kaki, seperti
kekuatan akar yang baru tumbuh. Menusuk apa saja yang menghalangi.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Terbanting ke atas tanah, Ugrawe segera menggulung dirinya. Bagai putaran angin
ribut. Melonjak tinggi ke angkasa. Dua tangannya berputar berusaha menggagalkan
serangan berikut. Tapi Upasara malah menarik diri.
"Tiga jurus saja sudah keok. Untuk apa diteruskan?"
Ugrawe melayang turun. Tangannya mengibas. Seluruh prajurit mengepung.
"Upasara, aku datang," terdengar suara Kiai Sangga Langit. "Sungguh berbahagia,
aku bisa menemui seorang ksatria dalam jiwa dan tindakan.
Karena mereka main keroyok, aku akan membelamu."
Dalam sekejap, pertempuran berubah menjadi keroyokan. Para senopati Keraton tak
ragu lagi menyerang dari segala jurusan. Upasara merasa bahwa tubuhnya belum
pulih akibat tendangan Ugrawe, merasa was was dengan tenaganya kalau dipakai
terus-menerus. "Kiai, saya masih ada urusan...."
Tubuhnya melayang ke arah luar.
"Aku ikut!" Dua tubuh terbang ke angkasa bagai dua ekor burung. Kiai Sangga Langit yang
bertubuh gede bisa melayang dengan enteng, bagai burung gagak. Sedangkan Upasara
bagai burung garuda. Perkasa, mengagumkan, dengan dua tangan terentang. Sebuah
tombak yang diarahkan kepadanya diraup dengan lembut. Bahkan ketika hinggap di
benteng sisi luar, langsung mengukir tulisan. Di bawah tulisan mengenai "lautan
asmara". Gay, kutunggu Di pelabuhan di saat kapal melabuhkan Kerinduan Memang termasuk luar biasa. Dalam keadaan melayang, Upasara masih bisa
mencoretkan kata-kata. Ingatannya kepada Gayatri membuatnya tak bisa
meninggalkan begitu saja. Harapan Upasara, Gayatri akan membaca tulisan yang
sengaja dibuat besar-besar, untuk segera kembali ke Kali Brantas.
Karena situasinya tidak memungkinkan bagi Upasara untuk mencari Gayatri. Kalau
saja Upasara tahu bahwa Gayatri ikut masuk ke dalam Keraton dan melihat
semuanya, hasilnya akan lain!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Turun di tanah, Upasara segera bergegas menjauh.
Di depan Kiai Sangga Langit, yang ternyata lebih unggul, sudah menunggu.
"Banyak ksatria kujumpai dalam perjalanan ini, tetapi kamu tetap lain. Sejak
pertemuan pertama dulu aku sudah jatuh hati padamu.
Kalau ada waktu baik, aku akan memberikan seluruh ilmuku padamu."
Keduanya tetap berlari kencang. Jauh meninggalkan para pengejarnya.
"Aku menjelajah dunia karena mau menyebarkan ilmu yang kumiliki.
Seperti ajaran yang kuperoleh selama ini. Aku bukan prajurit. Meskipun
kesalahanku yang utama, aku mau diangkat menjadi imam negara.
"Sekarang aku menemukan bakat besar. Bagaimana, Upasara?"
"Tiada ucapan terima kasih yang bisa saya ucapkan. Akan tetapi sekarang saya
masih ada tugas. Saya harus kembali ke desa Tarik.
Kesempatan lain, Kiai."
"Untuk apa ke sana, sebentar lagi tempat itu rata dengan tanah."
Upasara kaget. Tanpa terasa tubuhnya jadi bergoyang.
"Para pembesar Tartar tak mau menunggu lebih lama. Saya tak bisa menyalahkan.
Mereka diutus oleh Kaisar untuk membalas dendam. Dan itu dijalankan. Kita bisa
lain, Upasara. "Mari kita lepaskan segala urusan ini. Kita berlatih bersama, dan melanglang
jagat. Mensyukuri hidup sebagai ksatria. Untuk apa kita meributkan diri soal
takhta?" "Saya tak bisa melepaskan masalah Keraton lebih dulu. Kiai, marilah kita memilih
jalan sendiri-sendiri."
"Selama ini begitu banyak yang menyembah untuk berguru padaku.
Tetapi kamu berani menolak."
Kiai Sangga Langit berhenti.
Upasara juga berhenti. "Tak ada yang bisa menolakku, Upasara."
"Saya tidak menolak. Akan tetapi kalau kita hanya memperhatikan masalah pribadi,
apa jadinya kita ini"
"Kiai juga terpaksa berperang dengan Ngabehi Pandu, soal membela nama negara."
"Itu hanya alasan agar aku bisa menjajal kemampuannya."


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Pendekar Pedang Dari Bu Tong 23 Dewa Arak 51 Raja Iblis Berhati Hitam Jala Pedang Jaring Sutra 12
^