Pencarian

Senopati Pamungkas Satu 8

Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto Bagian 8


"Kalau itu yang juga dipakai alasan untuk menjajal kemampuan saya, saya akan
meladeni. Hanya bagi saya alasannya adalah karena Kiai menghalangi jalan saya
pulang ke desa Tarik."
Kiai Sangga Langit menggeleng.
"Mari kuantar ke Tarik. Dari sana, setelah tanah itu rata, segala dendam ini
tertumpahkan, kita berlatih silat."
Aneh sekali perangai Kiai Sangga Langit ini, pikir Upasara. Ia untuk pertama
kali mengetahui bahwa di jagat ini ada orang yang begitu kesengsem, begitu
tergila-gila oleh ilmu silat. Dan semata-mata demi ilmu itu sendiri.
Tapi pikiran Upasara lebih terpusat mengenai rencana penghancuran tempat
pertahanan di desa Tarik. Kalau pasukan Tartar menyerbu, benar seperti yang
dikatakan Kiai Sangga Langit: bumi bakal rata.
Maka, Upasara memusatkan tenaga untuk berlari sekencang mungkin. Ia kemudian
mengambil kuda. Membalap sepenuh tenaga.
Akan tetapi begitu masuk daerah Tarik, hati Upasara kecut juga.
Seluruh daerah sudah dikepung rapat. Tak ada bagian yang tersisa.
Naga Wolak-Walik dengan perkasa berada di tengah lapangan. Dua tombak yang
ujungnya mengibarkan bendera dipegang dengan teguh.
Gagah. Nyaris sempurna. Naga Murka berada di dekatnya. Sementara Naga Kembar
siap dengan aba-aba untuk menggempur.
Di bagian depan, Raden Sanggrama Wijaya serta seluruh pengikutnya sudah pula
bersiap-siap untuk mati mempertahankan tanah negerinya.
Keduanya dalam keadaan siap tempur. Walau kekuatan kurang seimbang. Prajurit
Tartar begitu sempurna mengepung, dengan persenjataan yang bukan alang-kepalang.
Sementara Raden Sanggrama Wijaya seperti mengumpulkan prajurit dan pengikutnya
seadanya. Bahkan Wilanda yang nampak masih sakit ikut duduk di tanah. Dari semangat
bertempur, tak bisa diukur mana yang lebih luhur. Kedua pasukan siap untuk
perang habis-habisan. "Bagaimana" Kami tak mau menunggu lebih lama lagi. Siapkan pemimpin tertinggi
kalian dan kami bawa sebagai tawanan kepada kaisar kami. Kalau tidak, semua yang
menentang akan dikubur tanpa lubang," teriakan Naga Murka lantang sekali.
"Tunggu sebentar, ini utusanku datang," teriak Raden Wijaya mengguntur.
"Tak ada lagi yang perlu ditunggu."
Naga Murka siap untuk memberi aba-aba. Akan tetapi pandangannya tertuju dengan
masuknya Upasara serta Kiai Sangga Langit. Keduanya berjalan bersamaan, tidak
menunjukkan tanda-tanda bermusuhan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara maju menghaturkan sembah kepada Raden Wijaya.
Mendadak telinga Upasara berdenging.
"Upasara, kalau sejak tadi kamu tidak berduaan, aku sudah ingin membisikimu.
Kepungan ini tak bisa dilawan. Jangan ceroboh. Wijaya berusaha melawan
sepenuhnya. Kalau kalian mendengar cerita Tamu dari Seberang, inilah tamu itu.
Inilah yang akan membawa berdirinya Keraton yang lebih bersih, lebih berwibawa,
di kelak kemudian hari."
Raden Wijaya memandang Upasara.
"Bagaimana" Apakah Keraton Daha..."
"Baru saja saya mendengar bisikan Eyang Sepuh. Inilah Tamu dari Seberang yang
akan..." Raden Wijaya mengangguk. Bersitan satu kalimat saja sudah lebih dari cukup. Daya
tangkap untuk menghubungkan berbagai persoalan hanya terjadi dalam waktu
sepersekian detik. Raden Wijaya maju ke tengah.
"Para Dewa Naga yang datang jauh-jauh. Kami adalah prajurit Keraton Singasari.
Prajurit sejati yang lebih suka mati untuk membela kebenaran. Kalau kedatangan
para Dewa Naga kemari untuk membalas dendam, sekarang kita bisa bekerja sama.
"Utusanku, Upasara Wulung, baru pulang dari bertarung di Keraton Daha. Di
sanalah orang-orang yang menghina kaisar para Dewa Naga.
"Akan tetapi jika para Dewa Naga ingin melawan kami, kami semua siap melayani."
Naga Wolak-Walik memandang ke arah Kiai Sangga Langit.
Mereka berbicara sekejap.
"Baik, kata-katamu bisa dipercaya. Kebetulan Bok Mo Jin, Kiai Sangga Langit,
baru saja menyaksikan sendiri.
"Kalau begitu, hari ini seluruh pimpinan penyerbuan Daha di bawah komando kami."
Peperangan besar antara pasukan Tartar dan prajurit Wijaya berubah menjadi
perundingan. Baru kemudian para prajurit Tarik menjadi lebih heran lagi. Karena memang
kekuatan pasukan Tartar bukan main-main. Mereka sengaja dikirim untuk
menaklukkan sebuah kerajaan.
Naga Kembar langsung memberi komando. Ia membagi pasukan besar itu menjadi tiga.
Ia sendiri akan memimpin gempuran dari arah timur.
Naga Murka akan menggempur dari wilayah barat. Pasukan Raden Wijaya membantu
dari arah belakang. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Semua tanpa kecuali di bawah komando. Kita menyerang lewat Kali Brantas,"
teriak Naga Kembar lantang.
"Bagaimana dengan strategi jika pihak lawan juga melakukan serangan yang sama?"
Naga Murka tertawa. "Itu bagianku. Selama ini akulah jenderal perang yang tak bisa ditipu lawan.
Dari peta yang ada, mereka hanya mungkin unggul di bagian tenggara dan barat.
Dan di situlah aku berada akan melindas habis mereka.
"Siapa yang tidak mematuhi komandoku, akan kucincang sendiri."
Hari itu juga semua pasukan bergerak langsung. Tanpa menyembunyikan diri.
Bendera ditarik tinggi-tinggi. Sementara laporan yang diterima oleh Ugrawe
sedikit terlambat. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa prajurit Tartar
menggempur langsung. Tanpa memedulikan ba dan bu. Ugrawe mengerahkan perlawanan
yang gagah berani. Delapan hari delapan malam, ia terus memimpin di barisan
terdepan. Dalam pertempuran yang dahsyat, Ugrawe memperlihatkan dirinya sebagai panglima
perang yang ulung. Hanya saja karena lawan lebih kompak, perlahan-lahan Ugrawe
terdesak mundur juga. Di benteng Keraton, panglima yang gagah berani ini tak
bisa menghadapi keroyokan Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar serta Naga Murka
sekaligus. Bertarung sejak dini hari, sebelum matahari sepenggalah, tubuh Ugrawe sudah
berlumuran darah, terdesak mundur. Dua tangan, kaki, bagian telinga meneteskan
darah. Naga Kembar berteriak mengguntur dan menyapu dengan kedua tangan. Ugrawe
berusaha menahan gempuran, akan tetapi tubuhnya terbetot dan terlontar ke bagian
dalam. Begitu menghantam tanah, Gendhuk Tri berjingkrakan di sebelahnya. Sebelah
kakinya menginjak Ugrawe.
Dewa Maut yang tertawa terbahak jadi ikutan.
"Kita apakan, Tole?"
"Kita bikin panggang" Dagingnya kurang enak. Ikat saja."
Sebenarnya justru ulah Gendhuk Tri ini yang menyelamatkan nyawa Ugrawe. Karena
kehadirannya di medan pertempuran membuat orang jeri, takut terluka dan
ketularan racun. Dewa Maut sendiri sudah mulai pulih beberapa bagian tenaga dalamnya. Setelah
Jaghana dan Wilanda bisa mengembalikan sebagian kekuatannya dengan wejangan yang
disampaikan lewat Gayatri, mereka menemukan inti memulihkan tenaga dalam yang
diambil. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kini, tanpa kecuali, mereka ikut menggempur Keraton Daha.
Menurut penanggalan modern yang kita kenal sekarang ini, tanggal 20 Maret 1293,
Keraton Daha jatuh. Naga Murka yang memimpin serbuan dengan serta-merta
menduduki Keraton dan sekaligus menawan Raja Jayakatwang serta Rawikara.
Di tengah keributan pesta kemenangan, Raden Wijaya mengumpulkan semua
pengikutnya. "Upasara, kalau benar Eyang Sepuh yang membisikimu mengenai mitos Tamu dari
Seberang, apa yang harus kita lakukan sekarang ini?"
"Hamba tak tahu, Raden. Eyang Sepuh tak muncul lagi. Hanya pada saat kritis
beliau muncul. Ketika memberitahukan mengenai pukulan Banjir Bandang kepada
Gusti Gayatri, dan kedua..."
"Soal Gayatri, jangan terlalu diurusi. Sekarang masalahnya justru lebih besar.
Cepat atau lambat para Dewa Naga akan memaksa kita sebagai tawanan untuk dibawa
ke negeri Tartar. "Soal Raja Daha, aku sendiri tak rela, apalagi kita sendiri. Tak bakal kita
menyerah begitu saja. "Baginda Raja Kertanegara saja mengangkat senjata. Masa kita anak-cucunya
menyerah" "Tapi untuk mulai penyerangan saat ini, kita agak sulit. Mungkin kalau
pertempuran tidak di Keraton, bisa kita ambil alih. Pasukan Paman Wiraraja telah
siap." Sanggrama Wijaya segera memerintahkan para pengikutnya untuk berkumpul. Ia
sendiri memimpin untuk menemui Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar. Wijaya dengan
cerdik menghindar dari Naga Murka. Satu-satunya panglima perang yang begitu
penuh kecurigaan - yang sebenarnya memperlihatkan strategi yang ulung.
"Kami mengucapkan syukur dan rasa terima kasih yang dalam," kata Nyai Demang
menerjemahkan kalimat Raden Wijaya. "Kebesaran pasukan Tartar memang pantas
sekali memenangkan ini. "Rasa syukur ini akan kami wujudkan, sesuai dengan janji kami, untuk
mempersembahkan tanda kehormatan kepada Baginda Raja Kaisar. Kami minta izin
untuk membuat persiapan di tanah Tarik, di Majapahit."
"Tidak usah terlalu sungkan," kata Naga Kembar. "Tanpa disebutkan, kami memang
yang terbesar di jagat raya ini. Persiapkan persembahan tanda tunduk kepada
kaisar kami." Raden Wijaya tak menunggu lama. Hari itu juga memerintahkan untuk berangkat.
Upasara menjadi kagok. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Raden, saat ini Gusti Putri Gayatri masih berada dalam tawanan.
Karena sejak semula Gusti Putri terjebak dalam Keraton. Apa tidak sebaiknya kita
bebaskan lebih dulu?"
Raden Wijaya mengentakkan kakinya.
"Upasara, kamu ksatria besar. Tapi itu sebabnya kamu tidak akan pernah menjadi
pemimpin. Di saat situasi begini menentukan soal mati-hidup, kamu masih
memikirkan seorang gadis. Di seluruh tanah Jawa ini, yang kecantikannya melebihi
Gayatri tak bisa dihitung. Nah, apakah kamu masih mempertimbangkan itu
dibandingkan keselamatan kita semua?"
"Hamba yang membawa dia, Raden."
"Kamu yang membawa. Akan tetapi itu semua atas perintahku.
Selama kamu masih menjadi prajurit, kamu harus memenuhi perintahku. Perintahku
sekarang ini, kita kembali ke desa Tarik, ke Majapahit."
Rombongan Raden Wijaya berangkat saat itu juga. Dengan pengawalan lebih dari dua
ratus prajurit Tartar. Naga Murka menunjukkan kemarahan yang luar biasa ketika mendengar lolosnya Raden
Wijaya. "Demi Kaisar yang menguasai langit. Bagaimana mungkin kalian berdua mengaku
jenderal perang, kalau membiarkan musuh melarikan diri"
"Apakah seorang yang mempersiapkan persembahan dan upeti perlu membawa
prajuritnya" Ini sama dengan persiapan perang."
Naga Wolak-Walik juga kaget.
"Rasanya tak mungkin. Di dalam tawanan ini masih ada Raja Daha dan putranya.
Juga ada seorang putri bernama Gayatri. Mana mungkin mereka membiarkan tawanan
di tangan kita kalau mereka mengangkat senjata?"
"Justru karena itu. "Tak bisa dibiarkan. Siapkan pasukan. Kalau kalian mabuk kemenangan karena bisa
membalas dendam, aku sendiri yang akan turun tangan mengejar. Jangan sampai
mereka menjadi kuat. "Di tanah Jawa ini semua serba aneh. Para jagoan dan ksatria begitu banyak. Kita
tak menyangka bahwa seorang Ugrawe bisa menahan serbuan kita selama delapan
hari! "Dan yang seperti Ugrawe mungkin banyak jumlahnya, kita sama sekali tak
mengerti. "Siapkan pasukan."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kekuatiran Naga Murka tak meleset sedikit pun. Karena di tengah perjalanan,
Raden Wijaya dengan mendadak menghentikan pasukannya.
Dengan satu kibasan tangan, pengikutnya menyingkir ke bagian lain.
"Saya, Naraya Sanggrama Wijaya, pemimpin prajurit Majapahit, dengan ini
mengambil alih kepemimpinan seluruhnya. Kalian para prajurit Tartar, bisa
memilih dua jalan. "Yang pertama, kembali ke negeri asal. Yang kedua, kita menentukan, siapa yang
lebih berhak memerintah di tanah leluhur kami."
Para pengikut Raden Wijaya memuji bahwa dalam saat terakhir, lawan masih diberi
kesempatan untuk menentukan pilihan.
Pertempuran itu sendiri berlangsung singkat. Raden Wijaya ikut terjun langsung
ke medan pertempuran. Dengan Jaghana, sebagian dari Pengelana Gunung Semeru,
serta para senopatinya, dengan mudah mengalahkan pasukan Tartar yang melawan.
Apalagi rombongan para prajurit Madura sudah ikut datang bergabung.
Sebelum senja tiba, seluruh prajurit Tartar bisa dikalahkan. Sebagian bisa
dibekuk, ditawan, sebagian terbunuh, dan sebagian kecil lainnya melarikan diri.
Raden Wijaya mengesampingkan semua perhitungan lain. Kini seluruh prajurit
diperintahkan untuk langsung kembali menggempur Keraton Daha.
"Kebangkitan Keraton di tangan kita semua. Para prajurit sekalian, inilah
saatnya kita membaktikan diri pada tanah, pada bangsa, dan negara. Tak ada
pilihan lain. "Saya bukan tidak tahu saat ini Baginda Jayakatwang, Rawikara, Gayatri, Gendhuk
Tri, serta Dewa Maut, dan sejumlah ksatria yang lain masih berada dalam tawanan.
Akan tetapi, kalau kita tidak mau mengorbankan diri, siapa yang akan berkorban"
"Kalau saat ini saya berada di Keraton sebagai tawanan, saya tetap memerintahkan
untuk menyerbu. "Sekarang, atau kesempatan itu tak pernah datang."
"Maaf," kata Jaghana sambil menyembah. "Apakah Raden tidak mempertimbangkan
bahwa korban yang akan jatuh lebih banyak lagi?"
"Paman Jaghana. Hari ini saya bersabda untuk meneruskan pertempuran. Siapa yang
takut berkorban lebih baik menyingkirkan tubuhnya dari sisiku. Saya sendiri bisa
menjadi korban. Tetapi saya memilih jalan ini. Saya tak pernah ragu sedikit
pun." "Barangkali kita bisa menunggu..."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tidak, Paman Jaghana. Saya tahu bahwa barangkali Eyang Sepuh, tokoh pepunden,
tokoh pujaan kita semua, akan memberikan bisikan.
Tapi kalau beliau akan melakukan, pasti sudah dilakukan sekarang ini.
"Ini memang bukan tindakan yang harus diambil oleh seorang yang berbudi luhur
seperti Eyang Sepuh. Ini tindakan yang harus diambil Raden Wijaya. Penyerangan
kita kepada prajurit Tartar yang mengawal tak akan dibenarkan oleh Eyang Sepuh.
Tetapi saya yang bertanggung jawab.
"Saya yang melakukan. Sebab saya tidak bisa mengasingkan diri dan memuja ilmu
jati diri seperti Eyang Sepuh.
"Masing-masing mempunyai tugas sendiri.
"Saya tak bisa bersembunyi dan hanya berbisik saat-saat menentukan. Saya manusia
biasa. "Tanpa mengurangi rasa hormat, rasa terima kasih kepada Eyang Sepuh, kita
berangkat sekarang. Mudah-mudahan beliau merestui keberangkatan kita."
Dengan genderang perang yang ditabuh bertalu-talu, prajurit berangkat dari
tlatah Majapahit. Ribuan mengikuti dengan gagah perkasa. Kedua belas senopati
utama Raden Wijaya memimpin di barisan depan. Mereka inilah yang sejak awal
pertama turut berlari dari Keraton Singasari ketika digempur pasukan
Jayakatwang. Mereka inilah yang mengadakan siasat penyerangan total di Canggu,
tempat prajurit Naga Murka mengadakan pesta kemenangan.
Bangkitnya keperkasaan, terlibatnya seluruh penduduk untuk memerangi prajurit
Tartar, memberontak bagai air bah. Selama ini mereka agak segan bertempur di
antara para prajurit sendiri, biar bagaimanapun Jayakatwang masih mempunyai
hubungan saudara. Dengan prajurit Tartar, mereka lebih sigap dan lebih total.
Naga Kembar terlambat menyadari ketika seluruh pasukan praktis bisa dikalahkan.
Ia menuju Keraton Daha, dan di sanalah terjadi pertempuran berikutnya. Tak ada
sebulan prajurit Tartar dengan gagah menduduki Keraton, tapi kini harus
mempertahankan. Naga Murka memimpin sendiri pertempuran. Ia berdiri di tempat yang tinggi,


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diapit oleh Naga Wolak-Walik dan Naga Kembar. Di sampingnya, nampak Raja
Jayakatwang dan Rawikara sebagai tawanan, serta Gayatri.
"Kalau kalian terus menyerang, orang-orang ini akan mati lebih dulu!"
Teriakan mengguntur menghentikan semua gerakan prajurit.
"Tak ada yang menghentikan. Tetap serbu!" teriak Raden Wijaya mengguntur.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Naga Murka kaget melihat bahwa ternyata pertempuran tak bisa dihentikan. Dua
tangannya bergerak, ke arah Jayakatwang dan Rawikara. Ketika tangan mau bergerak
kembali, sebuah bayangan meluncur dari tanah. Gesit, sangat cepat. Sungguh luar
biasa. Bagai anak panah dilepaskan dari busurnya dengan kekuatan penuh.
Langsung berdiri dengan gagah, di bagian utama benteng.
Dengan dua keris di tangan kanan dan kiri, Upasara siap untuk bertempur antara
mati dan hidup. Satu bayangan lain melesat tinggi. Kiai Sangga Langit muncul. "Awas, jangan
bunuh bocah itu. Itu calon murid yang akan kupersembahkan kepada Kaisar. Kaisar
sangat menyukai pemuda seperti ini."
Belum selesai omongan Kiai Sangga Langit, bayangan lain melesat.
Disusul bayangan kedua dan ketiga.
Ngabehi Pandu yang lebih dulu tiba, disusul oleh Jaghana serta Ranggalawe. Di
atas benteng yang sempit, berdiri para ksatria utama.
"Kiai, pertempuran kita belum selesai," kata Ngabehi Pandu mulai membuka mulut.
"Kita tak ada urusan dengan pertempuran ini.
Meskipun kehadiran kita tak bisa dibebaskan dari pertempuran ini."
Di bawah, Raden Wijaya sangat memuji Ngabehi Pandu. Yang memilih lawan tangguh.
Apa pun alasan Ngabehi Pandu, dengan menyibukkan lawan tangguh, akan mengurangi
pengaruh tekanan lawan. Kiai Sangga Langit berteriak mengguntur, dan langsung menyerbu.
Ngabehi Pandu mengeluarkan semua ilmunya. Menghadapi dengan kekerasan pula.
Pukulan dibalas dengan pukulan. Seruan tertahan terdengar setiap kali keduanya
bergulung. Ranggalawe sendiri langsung menyerbu ke arah Naga Wolak-Walik yang
dengan cerdik mengincar Jaghana. Meskipun kelihatan luar biasa cara
mengentengkan tubuh, akan tetapi mudah dikenali bahwa Jaghana belum sembuh
benar. Naga Kembar yang menyambut serangan Ranggalawe.
Upasara pun terjun langsung ke arah pertempuran. Dua kerisnya bagai tanduk
banteng yang terluka, menyodet ke kiri, ke kanan, ke atas, ke bawah. Naga Murka,
yang paling jagoan, hanya mengeluarkan suara meledek.
"Jangan salahkan aku kalau calon putra Kaisar mati di tanganku."
Dalam medan yang begitu sempit, agak susah mengembangkan permainan. Di satu
pihak Kiai Sangga Langit dan Ngabehi Pandu bertarung mati-matian. Keduanya
bergulung bagai satu tubuh. Tak bisa dipisahkan. Tak bisa diketahui siapa lebih
menguasai siapa. Sementara Jaghana seperti mudah ditebak mulai berada di bawah angin. Ranggalawe
kelihatan lebih unggul. Namun dari semua ini,
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara yang jelas paling menguatirkan. Karena ia paling muda dan justru
menghadapi lawan yang paling tangguh.
Semua jurus Banteng Ketaton atau Banteng Terluka telah dikeluarkan dengan penuh
tenaga, akan tetapi ujung kerisnya belum bisa menyerempet lawan. Malah dengan
sapuan kaki, Naga Murka mampu membuat Upasara terlontar mundur. Dua gebrakan
lagi, Upasara sudah tak bisa menginjak puncak dinding bagian atas.
Tubuhnya melorot turun. "Kena!" Di tengah angkasa, Upasara merasakan tendangan kaki yang mengarah ke wajahnya.
Dengan nekat Upasara menggunakan tenaga lawan untuk meloncatkan tubuhnya ke
atas. Ia memang berhasil. Akan tetapi dengan demikian Naga Murka bisa menyikat
habis. Karena kedudukan Naga Murka jauh lebih kuat untuk melancarkan serangan berikut.
Sementara Upasara agak kedodoran karena tak mampu mengontrol tubuhnya secara
utuh. Saat itulah Gayatri menjerit. Menguatirkan Upasara. Mendadak Upasara melirik.
Sekelebatan melihat sinar mata, bentrok, dan merasa bahagia. Inilah saat
terakhir, usaha untuk menolong putri idamannya mendapat balasan.
Tapi ternyata belum berakhir. Karena mendadak Ugrawe menggerung keras dan maju
ke tengah pertempuran. Sebetulnya Ugrawe dan Gendhuk Tri serta Dewa Maut termasuk yang ditawan. Hanya
saja karena Gendhuk Tri menyimpan racun dahsyat, tak ada yang berani menyentuh
atau mencelakai. Selama ini pula Gendhuk Tri lebih mirip seorang penawan, karena
ia yang menawan Ugrawe. Yang sejak dikalahkan para Dewa Naga tak bisa berkutik.
Melihat pertempuran yang sangat menguatirkan Upasara, perhatian Gendhuk Tri
terpecah. Saat itulah digunakan oleh Ugrawe yang selalu bisa memanfaatkan
situasi. Tubuhnya melayang, menyongsong ke arah Naga Murka. Dua tangan beradu
keras. Tubuh Ugrawe terdesak mundur. Ia mengangkat tangan kanan, memutar tangan
kiri. Sambil meneriakkan seruan mengguntur, maju menggempur. Banjir Bandang
Segara Asat yang dahsyat dimuntahkan dengan sepenuh tenaga. Dalam kondisi yang
prima, Ugrawe bisa berbuat banyak. Ia menguasai tenaga dalam secara sempurna.
Tetapi dalam keadaan terluka, memang tak bisa menggunakan secara penuh. Namun
bentrokan yang timbul cukup dahsyat dan menggelegar. Naga Murka terbanting ke
samping benteng. Ugrawe sendiri jatuh dan muntah darah.
Upasara menyerbu ke arah Ugrawe, menyangga tubuh Ugrawe.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku bukan pahlawan. Aku sekadar bergerak saja. Siapa pun bisa menjadi lawanku."
Suaranya melemah. "Aku tahu kunci ilmu silat di dunia ini. Kuncinya ada pada
Tumbal Bantala. Aku terlambat menyadari... Kamulah yang tahu kunci itu...."
Ugrawe masih berusaha bertahan, akan tetapi satu muntahan lagi tak bisa menahan
keinginannya. Badannya masih hangat, akan tetapi nyawanya telah melayang!
Upasara menggeram. Jaghana telah dikalahkan. Bahkan kini Gendhuk Tri sedang berusaha menahan
serbuan Naga Wolak-Walik. Ngabehi Pandu masih terus berkutat dengan Kiai Sangga
Langit. Upasara melihat ke bawah. Seluruh pertempuran terhenti. Mereka menyaksikan para
pendekar di atas benteng yang bertarung mati-matian. Naga Murka sudah berdiri
kembali. Upasara melirik ke arah Gayatri, tersenyum, dan sambil menghela napas panjang
menahan gejolak dalam hatinya. Apa yang bisa dilakukan" Ilmunya kalah jauh oleh
Naga Murka. Maksud untuk menolong sia-sia. Malah melibatkan beberapa pendekar
dan jatuh pula sebagai korban.
Bersiap pun terlambat. Karena Naga Murka menyerbu ke arahnya.
Dalam sepersekian detik, dalam sepersekian kejap, Upasara jadi ingat Ngabehi
Pandu yang mendidiknya sejak lahir, persahabatannya dengan Kawung Sen, dengan
Galih Kaliki, rasa tertariknya pada Nyai Demang, lalu begitu merindukan Gayatri,
Pak Toikromo yang ingin mengambilnya menantu, Gendhuk Tri yang begitu
memperhatikan dirinya, bisikan Eyang Sepuh yang tak mau turun ke gelanggang.
Sementara itu pukulan Naga Murka sudah mendekat. Kesiuran angin sangat tajam
membabat tubuhnya. Seperti mengiris lehernya, mematikan urat-urat tubuhnya.
Melihat untuk yang terakhir kalinya pun tak sempat!
Kosong. Sepersekian kejap yang tersisa adalah kekosongan. Hawa panas makin
menekan, mendesak ke dalam tubuh, membuatnya beku, susah bernapas.
Dewa Yang Mahakuasa, saya kembali padaMu.
Teriakan batin Upasara bagai jeritan kesakitan tapi juga sekaligus rasa syukur,
penyerahan total. Di bawah, Raden Wijaya dan seluruh pengikutnya mengikuti jalannya pertempuran
dengan rasa was was. Kalau Ngabehi Pandu masih belum diketahui hasilnya, Jaghana
jelas sudah dikalahkan. Gendhuk Tri
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
mengambil alih. Walau kelihatan unggul, Ranggalawe belum diketahui, juga belum
bisa memastikan kemenangan. Sementara, kini justru serangan maut Naga Murka
sedang mengincar Upasara yang seperti tak bereaksi.
"Kakang..." Yang terdengar keras adalah teriakan pahit Gendhuk Tri. Suaranya menyayat.
Gayatri juga mengucapkan kata itu, akan tetapi lebih lirih.
Upasara tak mendengar apa-apa. Hanya merasa getaran aneh yang membuatnya
setengah sadar dan tidak. Ketika pukulan Naga Murka meremas ulu hati, Upasara
justru tidak menghindar. Tubuhnya seperti melorot turun, seakan bagian pinggang
ke bawah tak ada tulang penyangga.
Naga Murka kecele. Pukulannya seperti mengenai karung kosong, seperti mengenai
gua melompong. Tak bisa ditarik mundur, tubuh Naga Murka tersedot ke depan.
Upasara menghindar. Kedua tangannya yang bebas bisa mengetok batok kepala atau
leher bagian belakang. Namun, sekali lagi, justru Upasara seperti tak berusaha
menghajar. Malah kakinya surut ke arah samping. Naga Murka mencelos beberapa
saat. Tapi ia adalah jagoan. Punya pengalaman segudang. Jenderal perang yang paling
tangguh. Melihat bahwa lawan tak melanjutkan serangan, Naga Murka memutar
tubuhnya, membalik. dan tendangan kaki kirinya mengarah lambung.
Saking cepatnya gerakan seketika ini tak sempat terdengar jeritan dari siapa
pun. Keras lontaran hawa, mendekap panas. Upasara terkurung dalam tonjokan udara
membara. Dengan wajah tetap kosong dan tatapan seperti tertuju ke titik yang
maha jauh, Upasara tak menggeser tubuhnya. Hanya sikutnya tertekuk, tertarik ke
bawah. Siku jelas tak akan unggul kena benturan kaki, yang ditendangkan sekuat
tenaga. "Celaka..." Naga Murka merasa pahanya menjadi ngilu, kaku, tak bisa digerakkan. Kalau tadi
tendangannya seperti yang pertama, mengenai ruang kosong, kini sentuhan siku
Upasara tepat mengenai urat pahanya. Kaku seketika. Tenaganya tersumbat. Tak
bisa digerakkan. Padahal saat itu Upasara terus bergerak, kedua tangannya terjulur.
Naga Murka menyampingkan wajahnya. Dan terasa amis di bibirnya.
Separuh alisnya somplak, darah mengucur. Juga dari bagian hidung.
Naga Murka menjadi panas-dingin. Sungguh tak terduga. Upasara yang tadinya
memperlihatkan kekuatan utama dengan memainkan sepasang keris, kini mempunyai
gerak yang mengandalkan tenaga dalam yang nyaris sempurna.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara melangkah menjauh, tubuhnya masih menggeliat seperti seorang penari.
Dalam keadaan semacam itu, satu gerakan saja sudah cukup untuk menghabisi Naga
Murka. Akan tetapi Upasara Wulung berdiri kaku seperti menunggu.
Mengetahui bahaya mengancam, Naga Kembar dan Naga Wolak-Walik berusaha
membebaskan diri dari tekanan. Mereka berdua secara serentak melemparkan dua
senjata andalan, memotong dari sisi kanan dan kiri.
Kembali terjadi pemandangan yang aneh.
Bagian pinggang ke bawah seperti tak bertenaga. Tubuh Upasara memendek, sangat
pendek sekali. Dua senjata berbenturan, pada saat itu tubuh Upasara memanjang
kembali. Kembali dengan gerakan limbung, tangan Upasara mengulurkan tinju.
Gerakan pertama tidak tertuju ke arah Naga Kembar ataupun Naga Wolak-Walik.
Seperti memukul udara kosong.
Naga Wolak-Walik justru meloncat mundur. Berdiri di ujung benteng yang lain.
Salah setengah kaki saja, tubuhnya anjlok ke bawah.
Naga Murka menurunkan kakinya yang kejang. Ia tak tinggal diam, merangsek maju.
Mencoba memeluk tubuh Upasara, dan siap untuk meremukkan seluruh tulangnya.
Sebagai pegulat yang mampu mengerahkan tenaga dalamnya, Naga Murka yakin bisa
menembus tenaga kosong yang didemonstrasikan Upasara.
Upasara Wulung ternyata tidak menghindar. Tidak juga memendekkan tubuh. Kedua
tangannya terentang, dan kembali ke posisi semula, dalam sikap menyembah. Tetapi
justru dengan gerakan ini, tolakan tenaganya begitu keras, sehingga Naga Murka
terdorong. Hanya karena tubuhnya tertahan Gayatri yang diikat dan berdiri kaku, tak sampai
terguling ke bawah. "Bok Mo Jin, kamu pengkhianat! Sejak kapan kau ajari dia jurus Jalan Budha?"
Teriakan Naga Murka menunjukkan kecemasan yang tinggi.
Mendadak pertempuran di bagian lain terhenti.
Kini seluruhnya menjadi senyap.
Kiai Sangga Langit berdiri kukuh. Di sudut bibirnya mengalir darah.
Ngabehi Pandu demikian juga. Malah kedua kakinya terhuyung-huyung.
Naga Wolak-Walik bersiap, tapi pasti. Naga Kembar mengambil posisi bertahan.
Sementara itu, Ranggalawe mengatur kuda-kuda, siap untuk melancarkan serangan.
Jaghana berdiri, disangga oleh Gendhuk Tri.
Upasara Wulung berdiri kukuh.
Tegak. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku juga bisa. Aku juga bisa," teriak Galih Kaliki di bawah, sambil berputar
menirukan gerak Upasara Wulung.
Bahwa Upasara bisa membalik situasi secara mendadak memang sangat mengejutkan.
Tak terkecuali Ngabehi-Pandu yang menjadi gurunya. Ia sama sekali tak menyangka
bahwa Upasara Wulung bisa memainkan secara nyaris sempurna, apa yang selama ini
dikenal sebagai Tepukan Satu Tangan! Apa yang oleh Naga Murka disebut sebagai
jurus Jalan Budha. Apa yang bisa ditirukan dengan baik oleh Galih Kaliki.
Tuduhan Naga Murka bukannya mengada-ada. Karena yang ditunjukkan Upasara Wulung
barusan adalah gerakan yang sulit dipahami. Gerakan yang selama ini hanya
dipelajari oleh Kiai Sangga Langit sebagai imam negara! Juga tidak terlalu
meleset kalau Ngabehi Pandu seperti mengenali. Atau bahkan Galih Kaliki bisa
menirukan geraknya dengan sempurna.
Apa yang sebenarnya terjadi, tak bisa diterangkan oleh Upasara sendiri. Semuanya
berkecamuk menjadi satu. Bisikan Ugrawe mengenai Tumbal Bantala masih terngiang.
Dan itulah gerakan yang muncul begitu saja.
Gerakan ini seperti diketahui, dipelajari oleh Upasara Wulung sambil lalu,
ketika Kawung Sen mencuri kitab itu dari perbendaharaan Ugrawe.
Upasara tidak tertarik mempelajari, karena ketika itu sadar bahwa Kitab Penolak
Bumi atau Tumbal Bantala Parwa adalah buku yang mengajarkan cara-cara menolak
serangan bumi. Apa artinya kalau jurus mengenai bumi tak diketahui" Upasara
bersama Kawung Sen lebih suka mempelajari Kartika Parwa atau Buku Bintang.
Hanya saja, Upasara baru sadar apa yang dipelajari ketika melihat Galih Kaliki
mencoba membunuh dirinya. Gerakan Galih Kaliki mengingatkan kepada sesuatu yang
bisa untuk menangkis. Dan ternyata gerakan itu kena! Bahkan ketika itu Upasara
Wulung menyadari bahwa gerakan-gerakan Galih Kaliki dengan tongkat galih pohon
asam sama dengan pukulan tangan kosong Ugrawe. Maka dalam gebrakan awal bisa
mengalahkan Ugrawe. Hanya ketika pikirannya bercabang, ketika mau memainkan
gerakan Banteng Ketaton, bisa dilukai.
Demikian juga ketika melawan Naga Murka. Jurus-jurus dalam Banteng Ketaton yang
cukup sempurna bisa cepat dikalahkan Naga Murka.
Bahwa Naga Murka menduga Kiai Sangga Langit mengajari Upasara bukannya tanpa
alasan. Kiai Sangga Langit sendiri bukan tak pernah mengatakan jurus-jurus atau
cara latihan napas itu. Setidaknya pernah menurunkan lewat Nyai Demang!
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang tak disadari oleh siapa pun adalah bahwa sebenarnya Kiai Sangga Langit
sendiri belum melihat pemecahannya bagaimana cara memainkan jurus Jalan Budha.
Ia hanya tahu teorinya! Itu bukan semata-mata hadiah. Akan tetapi siapa tahu
Upasara bisa memecahkan rahasianya. Seperti diketahui, Upasara bisa memecahkan
cara main congklak yang merupakan inti ilmu tersebut.
Upasara, di luar dugaan, bisa menguasai itu semua. Karena memang ilmu itu pada
dasarnya mengandalkan pikiran kosong. Suwung, sunya, sepi. Dalam keadaan pasrah
tadilah tenaga itu muncul.
"Budha maha welas-asih. Hari ini, aku melihat cahaya dan petunjukmu." Kiai
Sangga Langit menunduk berusaha memberi hormat.
Akan tetapi tubuhnya jatuh ke bawah. Tak bergerak.
Ngabehi Pandu tertawa pendek. Akan tetapi sebelum tawanya selesai, tubuhnya
jatuh ke bawah juga! Dalam duel yang berjalan sekian lama, kedua-duanya telah
terluka dalam. Upasara Wulung menjadi getir hatinya melihat gurunya jatuh.
Konsentrasinya buyar. "Kakang, sikat mereka semua," teriak Gendhuk Tri.
Naga Murka meloncat turun sambil berteriak mengguntur, "Semua kembali ke kapal!"
Naga Wolak-Walik mengikuti turun, disusul Naga Kembar. Dan semua prajurit Tartar
mundur secara teratur. Pertempuran di bawah kembali bergolak. Hanya kali ini
prajurit Tartar terus didepak mundur.
Perlahan-lahan mereka terus terdesak.
Di atas benteng, Upasara membebaskan ikatan Gayatri, lalu bersamaan dengan
Gendhuk Tri, Dewa Maut, Jaghana, Ranggalawe melayang turun.
Medan pertempuran telah bergeser ke utara. Prajurit Tartar makin terdesak ke


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

arah pelabuhan. Upasara Wulung berlari kencang, mengangkat Ngabehi Pandu. Lalu membawa ke tempat
sepi. Menunduk. Sendirian.
Air matanya membeku. Pundaknya berguncangan menahan duka.
"Sudah, Kakang...." Suara Gendhuk Tri seperti tak terdengar.
"Betul, Tole, Kakang tak usah berduka. Toh Ngabehi Pandu mati dalam senyum.
Sudah melihat kamu menang. Kamu memang jagoan."
Itu tak menghibur Upasara Wulung. Juga pesta kemenangan yang dirayakan secara
besar-besaran. Kini seluruh Keraton telah dikuasai
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
secara mutlak. Pasukan Tartar telah dibuang ke laut. Didesak hingga ke kapal-
kapalnya yang segera dilarikan ke laut. Kembali ke negeri asalnya.
Sungguh suatu akhir yang tak menggembirakan. Para prajurit kelas satu yang
berhasil menaklukkan separuh belahan bumi, yang tak terhalangi lajunya selama
ini, justru bisa dipecundangi oleh prajurit-prajurit yang tadinya tidak
diperhitungkan sama sekali. Utusan pertama untuk menaklukkan dibuat tak bermuka
oleh Baginda Raja Sri Kertanegara. Kemudian tiga jenderal perang yang paling
tangguh, dengan armada yang paling tangguh, kembali pulang dengan tangan hampa
dan kekalahan. Walaupun kepulangan kali ini dengan harta karun dari Keraton yang
bisa dirampas, akan tetapi tetap tak menghapus aib yang begitu besar. Untuk
pertama kalinya Kaisar Langit dan Dewa-Dewa Naga dibuat tak berdaya.
Luapan kegembiraan tak membuat Upasara tersenyum sedikit pun.
Kembali wajah duka membebani. Seakan kematian Ngabehi Pandu membuatnya putus
harapan. Upasara mulai mengenal kasih sayang, mulai mengenal dunia dari Ngabehi
Pandu. Akan tetapi kini, ia kehilangan. Satu demi satu orang yang dihormati,
yang menjadi bagian dari keluarga, gugur di medan pertempuran. Sejak Kawung Sen,
Jagaddhita, Mpu Raganata, dan Ngabehi Pandu.
Penghargaan resmi dari Sanggrama Wijaya berupa gelar resmi sebagai senopati
pamungkas - tidak berarti senopati terakhir, melainkan senopati yang bisa
menyelesaikan tugas dengan tuntas, tak menggoyahkan hatinya. Juga hadiah berupa
tanah luas. Pada suatu malam Raden Wijaya memanggilnya sendirian.
Ketika itu Keraton Majapahit mulai dibangun kembali. Sebagian besar pusaka-
pusaka Keraton Daha yang dipindahkan telah diberi tempat tersendiri. Di tempat
seperti itulah Upasara Wulung dipanggil menghadap.
"Senopati Wulung, jasamu sangat besar. Terutama di hari-hari terakhir.
Di ruang ini ada segala pusaka yang bisa kamu ambil, kamu pilih.
Apakah semua ini masih kurang?"
"Terima kasih, Raden. Hamba merasa senjata pusaka ini akan lebih berarti di
tempat ini." "Aku bukannya tidak tahu apa yang kauharapkan. Gayatri, putri Baginda Raja Sri
Kertanegara. Aku bukannya tidak mau memberikan, Senopati Wulung.
"Namun kamu tak bisa melawan kodrat. Menurut perhitungan para resi, para
pendeta, Gayatri dan diriku ditakdirkan seperti Dewa Uma dengan Syiwa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Dari Gayatri-lah kelak akan diturunkan raja-raja besar, yang tak ada
bandingannya selama beberapa keturunan.
"Begitulah perhitungan para pendeta yang bijak.
"Jika menjadi jodohmu, itu menghalangi kodrat. Mengubah sejarah kegemilangan
masa yang akan datang. "Senopati Wulung, pilihlah putri yang lain. Gayatri tidak seorang diri.
Ia mempunyai tiga saudari. Kamu bisa memilih salah satu."
Upasara menunduk, tidak menjawab.
"Aku mendengar laporan, bahwa utusan dari Pamalayu sebentar lagi akan tiba.
Mereka membawa putri ayu, berkulit putih, memancarkan cahaya surga.
"Kamu bisa memilih salah satu, senopatiku, pahlawan perangku."
Upasara menghaturkan sembah.
"Hamba tak cukup berharga untuk itu semua, Raden...."
"Hari ini kamu masih bisa memanggilku Raden. Sebentar lagi kamu akan memanggilku
Baginda Raja. Namun, Senopati, dengarlah. Apa yang kukatakan tak pernah kutarik
pulang. Siapa pun yang kamu minta, akan kuberikan. Asal bukan Gayatri, karena
kita semua akan menyalahi kodrat!"
Apakah banyak artinya janji itu" Upasara Wulung tak tahu. Bahkan Kiai Sangga
Langit pun dulu masih mempunyai satu janji dengan dirinya. Tapi belum sempat
dipenuhi, Kiai Sangga Langit sudah meninggal dunia.
Dalam kehampaan hati, Upasara Wulung secara diam-diam meninggalkan Keraton
Majapahit. Menelusuri hutan, melalui rawa dan sungai, hingga akhirnya kembali ke
Perguruan Awan. Melihat semua bekas yang masih bisa menggetarkan hatinya -
walaupun secara nyata seolah tak ada yang berubah.
"Eyang Sepuh yang menuntunmu ke tempat ini," kata Jaghana perlahan sambil
menyembah. Demikian juga Wilanda. Upasara Wulung menjadi jengah.
"Eyang Sepuh yang membisiki Anakmas agar berada di tempat ini.
Untuk membangun kembali perguruan ini. Di sini tinggal kami berdua."
"Paman Jaghana dan Paman Wilanda, saya memang ingin beristirahat di sini. Akan
tetapi soal membangun perguruan..."
Wilanda menghaturkan sembah.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Anakmas, kalau bukan Anakmas yang secara langsung mendapat bisikan Eyang Sepuh,
siapa lagi yang pantas memimpin Perguruan Awan ini?"
"Jangan menyembah seperti itu, Paman."
Mendadak Jaghana dan Wilanda berdiri dan tertawa terbahak-bahak.
Keras membahana. Lalu keduanya bersujud. "Eyang Sepuh, sungkem pangabekti. Eyang masih selalu bersama kami."
Upasara baru sadar. Bahwa dengan meminta tidak saling menyembah berarti dirinya
masuk ke dalam peraturan Perguruan Awan. Di mana di sini memang tidak ada aturan
untuk saling menghormati secara formal.
Upasara tak bisa menerangkan lebih jauh. Tetapi juga tak bisa menolak. Karena
memang hanya di tempat inilah hatinya merasa tenteram. Tak timbul keinginan
melihat Keraton Majapahit dan mendatangi upacara besar-besaran, tak ingin
melihat keraton lama di mana di dindingnya pernah dipahatkan kalimat janji
dengan Gayatri. Sejak saat itu Upasara Wulung berdiam di Perguruan Awan. Mulai menghabiskan
waktu dengan Jaghana dan Wilanda. Hidup dari buah-buahan, dari menanam dan
merawat tumbuhan yang ada. Kadang kala melatih pernapasan secara bersama-sama.
Selama ini yang sering datang adalah Gendhuk Tri serta Dewa Maut -
malah kadang berdiam lama. Juga Galih Kaliki dan Nyai Demang.
Biasanya mereka berkumpul bersama, berbicara lama sekali. Dari sore hingga sore
hari lagi. Berlatih bersama.
Namun dari luar, hutan itu seperti tak tersentuh manusia. Mereka terlalu kecil
dibandingkan dengan alam yang gagah perkasa. Di mana ujung dedaunan mencapai
langit, dan akarnya terhunjam dalam ke tanah.
Satu-satunya tanda bahwa hutan itu berpenghuni manusia ialah bila suatu ketika
ada angin lirih, seperti terdengar tembang, senandung tanpa kata-kata, memberi
gambaran ombak yang bergulung ke pantai berlumut....
Utusan Asmara LANGIT di Keraton Majapahit membersitkan campuran warna merah kekuning-kuningan.
Saat menjelang terbenamnya matahari, suasana sangat sepi. Mereka yang bekerja
sepenuh hari beristirahat. Tak ada anak-anak yang bermain, baik di perumahan
penduduk maupun di dalam Keraton.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Sore hari saat candikala, saat matahari membiaskan sinar merah-kuning, adalah
saat untuk hening. Saat pergantian siang dengan malam yang ditandai dengan
firasat alam. Berbeda dengan pergantian hari yang biasa, candikala dianggap
mempunyai makna bisa mendatangkan bahaya. Karena, menurut kepercayaan itu adalah
saat Batara Kala, dewa yang bertubuh raksasa, sedang mencari mangsa. Siapa saja
yang masih berada di luar rumah akan ditelan.
Tapi suasana yang tengah dirasakan Baginda Raja Sanggrama Wijaya bukan hanya
karena cahaya surya yang sebenarnya sangat indah itu.
Yang membuat Baginda Raja gundah adalah masih adanya batu-batu yang terasa
mengganggu kesempurnaan kekuasaannya. Batu kecil, karena batu-batu besar telah
berhasil disingkirkan. Dengan prajuritnya yang setia, Baginda Raja berhasil
membebaskan kekuasaan dari Baginda Jayakatwang. Batu besar yang lebih perkasa,
yaitu pasukan Tartar yang pernah dan masih menguasai seluruh jagat raya,
berhasil disingkirkan. Bersama dengan para senopati yang pilihan, pendekar-
pendekar Tartar bisa dibubarkan, didesak ke pinggir laut dan pulang ke
kandangnya. Sejak itu, desa Tarik diubah menjadi pusat kegiatan. Keraton Majapahit mulai
didirikan. Benteng yang kuat, gapura yang indah dan kokoh bisa didirikan.
Pembagian kekuasaan untuk para pembantu utama sudah dipersiapkan. Sebagai raja
yang baru, Baginda Raja sudah menyusun sejumlah pangkat dan kebesaran yang siap
untuk dianugerahkan. Sampai di sini tak ada masalah yang berarti.
Kecuali tentang satu orang. Yaitu Upasara Wulung, ksatria Pingitan didikan zaman
Baginda Raja Kertanegara, yang diangkat menjadi senopati. Diangkat sebagai salah
satu panglimanya ketika mengusir lawan dalam pertempuran antara mati dan hidup.
Itulah sebabnya Baginda Raja memberi sebutan sebagai senopati pamungkas,
senopati terakhir. Tetapi bisa juga berarti senopati yang menyelesaikan tugas.
Sebagai seorang yang berdarah ksatria dan berasal dari lapisan tengah sebelum
naik takhta, Baginda Raja Sanggrama Wijaya mengenal balas budi. Semua senopati,
prajurit yang berjasa, diberi ganjaran atau hadiah yang sesuai dengan jasa
pengabdiannya. Bahkan prajurit dalam pangkat yang paling rendah pun menerima.
Kecuali satu orang. Yaitu Upasara Wulung. Yang setelah pertempuran besar-besaran lebih suka kembali
ke Perguruan Awan. Dan sejak masuk kembali ke daerah hutan itu, tak pernah
muncul lagi. Dua kali Baginda Raja mengirimkan utusan resmi. Akan tetapi jangan
kata mendengar jawaban, bertemu dengan orangnya atau bayangannya saja tak bisa.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tak mungkin bocah itu tak tahu datangnya utusan resmi," kata Baginda Raja pelan
kepada Gayatri, salah seorang permaisurinya.
"Ia tahu, dan ia menunjukkan sikap menolak kepada utusanku.
Bocah Pingitan itu lupa bahwa yang ditentang sekarang ini adalah perintah
seorang raja yang bisa membalik dunia seperti membalik telapak tangan.
"Aku memanggilmu karena kamu tahu bocah itu."
Gayatri menunduk, memandang lantai Keraton.
Hatinya masih berdesir. Masih tersisa kenangan ketika bersama dengan Upasara
Wulung menyelinap ke dalam Keraton Daha. Dan saat Upasara Wulung bertarung
antara mati dan hidup untuk membebaskannya. Lebih dari itu, diketahuinya bahwa
ksatria itu menaruh hati padanya. Hanya karena menurut perhitungan para pendeta
dirinya adalah pasangan Baginda Raja, seperti pasangan Dewa Wisnu dan Dewi Sri,
Upasara Wulung mengundurkan diri.
Sebagai permaisuri seorang raja, Gayatri sudah sejak semula menutup semua
kenangan dan ingatan pada diri Upasara Wulung. Tak ada keinginan sedikit pun
untuk membuka hari lampau, karena setiap kali tanpa sengaja nama itu disebut,
darahnya masih tetap mengalir lebih kencang.
"Bocah Pingitan itu," suara Baginda Raja sedikit meninggi ketika menyebut
sebagai bocah, dan bukan ksatria, "masih menyimpan dendam kekanak-kanakan karena
kamu. "Aku sudah berjanji memberikan apa saja padanya, kecuali kamu.
Akan tetapi ia tetap bocah yang tak tahu bagaimana menikmati hasil perjuangannya
sendiri. Ia memilih berada di hutan seolah mau menjadi dewa.
"Ia boleh mengaku berjasa. Nyatanya memang demikian. Akan tetapi sekali ini aku
tak bisa membiarkan ia menolak panggilanku. Itu berarti menentang panggilan
seorang raja. Tak ada ampunan bagi seorang yang berani menentang raja."
Gayatri tetap menunduk. Lurus pandangannya ke bawah.
Desir darahnya masih menggetar.
"Aku memanggilmu karena aku ingin kamu datang ke Perguruan Awan dan mengatakan
bahwa aku memanggilnya, memerintahkan ia sowan, menghadap padaku. Bahwa aku akan
memberikan pangkat tertinggi padanya sebagai mahapatih.
"Bersiaplah. "Besok pagi-pagi sekali kamu berangkat."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Gayatri menghaturkan sembah dengan menunduk hormat.
"Aku telah mengangkat para mantri, para bupati, para senopati. Akan tetapi tetap
terbuka kemungkinan untuk menjadi mahapatih, menjadi tangan kananku.
"Akan kulihat apakah kepalanya masih keras menerima tawaranku, menerima
kedatanganmu. "Sebelum matahari terbit besok, kamu sudah berada dalam perjalanan."
"Sendika dawuh, Gusti."
Gayatri menghaturkan sembah. Walau ia termasuk permaisuri, akan tetapi seorang
raja tetap seorang raja yang harus dihormati sebagai raja, bukan hanya sebagai
suami. Gayatri tetap menghaturkan sembah, dan menyebut sebagai Gusti, kependekan
dari Gusti Prabu. Gayatri menunggu sampai Baginda Raja meninggalkan tempat. Baru kemudian bergerak
perlahan. Menyadari bahwa sesuatu yang besar akan terjadi dalam beberapa hari
ini. Sesuatu yang lebih menggetarkan hatinya dibandingkan ketika pertama kali
menyusup ke dalam Keraton Daha bersama Upasara Wulung. Padahal waktu itu jelas
memang menguatirkan, karena soal mati dan hidup.
Sekarang ini seharusnya ia merasa sedikit terhibur. Bukankah ia akan bertemu
dengan seorang lelaki, benar-benar seorang lelaki yang pernah mengguncangkan
jiwanya" Upasara Wulung seorang lelaki biasa, bukan seorang raja. Bukan seorang
pangeran. Bukan juga seorang bupati. Gelar kehormatan yang disandang hanyalah
senopati. Suatu gelar kehormatan yang bisa diperoleh setiap prajurit.
Akan tetapi Upasara Wulung memang sepenuhnya seorang lelaki.
Gagah, mempunyai jiwa ksatria, seorang prajurit sejati yang hanya tahu satu hal:
berbakti kepada Baginda Raja, yang berarti mencintai Keraton, yang juga berarti
mencintai tanah tumpah darahnya. Upasara begitu lugu, begitu jujur mengabdi,
begitu tulus menjalankan darma baktinya.
Ini semua yang membuatnya makin gelisah ketika akhirnya selepas tengah malam
Gayatri masuk ke dalam tandu, dipanggil para prajurit yang telah siap. Saat
itulah Gayatri mendengar sendiri dari Mpu Renteng dan Mpu Sora yang mengawal.
Bagi Gayatri, Mpu Sora dan Mpu Renteng mempunyai hubungan yang lebih erat. Bukan
karena kebetulan kedua tokoh itu adalah dua di antara sekian orang kepercayaan
Baginda Raja, akan tetapi karena Mpu Renteng dan Mpu Sora sering mengatakan
sesuatu secara berterus terang.
"Paman, katakan padaku, apa sebenarnya maksud Baginda Raja memanggil Kangmas
Upasara?" KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mpu Renteng dan Mpu Sora menyembah dengan hormat. Keduanya naik kuda di sebelah
kanan dan kiri tandu. "Seperti yang diperintahkan Baginda."
"Apakah itu yang sesungguhnya, Paman?"
"Itulah yang sesungguhnya, Permaisuri.
"Baginda Raja saat ini kesulitan memilih siapa sesungguhnya yang berhak menjadi
mahapatih. Hamba melihat kelebihan Baginda melihat ke depan. Sekarang ini kalau
di antara kami yang diangkat, bisa menjadi bobot pertengkaran. Hamba, Tambi,
Renteng, Sasi, Nambi, tumbuh secara bersama. Agak sulit menerima tiba-tiba salah
seorang dari kami menjadi mahapatih. Kami terlalu tahu kurang dan juga
lebihnya." "Apakah Paman akan menerima jika Kangmas Upasara yang diangkat Baginda?"
"Kami akan menerima, karena itulah titah Baginda Raja. Akan tetapi lebih dari
itu, Upasara pantas menyandang kehormatan itu. Walau masih muda, jasanya besar
sekali. Kami semua mengakui, dan menerima."
Terdengar helaan napas dari dalam tandu.
"Kalau Baginda berkehendak memberi anugerah pangkat yang begitu tinggi, mengapa
disertai ancaman" Mengapa Baginda bisa menjadi murka?"
Kali ini ganti Mpu Sora dan Mpu Renteng menghela napas bersamaan.
Kekuatiran Baginda Raja HELAAN napas yang bersamaan menunjukkan kecemasan yang sama. Mpu Renteng juga
berusaha menenteramkan kegelisahan batinnya. Apa yang diutarakan Mpu Sora
sepenuhnya benar. Masalah pengangkatan mahapatih Majapahit sekarang ini masalah
yang paling pelik. Upasara Wulung bisa menjadi jalan tengah yang menyelamatkan.
Akan tetapi kekuatiran yang diutarakan Permaisuri Gayatri juga ada benarnya.
Mpu Renteng dan Mpu Sora dalam hati was was karena tak bisa sepenuhnya
memperkirakan cara bertindak Baginda Raja. Pengalaman masa lampau bersama-sama
sejak melarikan diri dari Keraton Singasari ketika Raja Muda Jayakatwang
menyerbu, membuat mereka sepenuhnya hormat dan menyatu. Dalam keadaan terlunta-


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lunta, berjalan sampai ke tlatah Madura, selalu bisa seperasaan. Begitu juga
ketika mulai menggempur Raja Jayakatwang di Daha.
Akan tetapi sedikit timbul keraguan ketika dalam saat-saat yang menentukan
Baginda Raja tega membiarkan beberapa prajurit yang
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
masih menjadi tawanan. Baginda Raja tetap memerintahkan penyerbuan. Juga ketika
prajurit Tartar kemudian digempurnya. Mpu Renteng menganggap ada sesuatu yang
tak bisa diduga dalam tindakan Baginda Raja. Biar bagaimanapun, jiwa ksatria Mpu
Renteng dan Mpu Sora tak bisa menerima begitu saja cara menyingkirkan pasukan
Tartar. "Mereka musuh kita. Harus kita musnahkan. Dengan siasat. Ini bukan kelicikan
atau sifat ksatria. Kita harus memenangkan pertempuran yang paling menentukan
ini. Kalian adalah prajurit, dan aku yang memikirkan strategi. Aku yang
bertanggung jawab kepada Dewa yang Menguasai Langit dan Bumi.
"Busuk atau tidak kulakukan, aku yang bertanggung jawab. Kalian tidak akan
pernah mengerti. Ini urusan pemerintahan. Ini urusan seorang raja!"
Itulah yang dulu didengar langsung dari Baginda Raja.
Penjelasan yang diterima saat itu. Akan tetapi setelah beberapa saat
dipertimbangkan, setelah Keraton Majapahit mulai dibangun, dan segala hasil
dinikmati, kecemasan baru mulai merambat.
Kalau hal ini dihubungkan dengan pemanggilan Upasara Wulung, Mpu Renteng juga
melihat sesuatu yang selama ini agaknya disembunyikan oleh Baginda Raja.
Atau paling tidak, tidak diungkapkan oleh Baginda.
Yaitu tersiarnya berita di luaran bahwa selama ini Upasara Wulung dilupakan oleh
Baginda Raja. Bahwa berita pembicaraan di masyarakat itu tidak benar, Mpu
Renteng dan Mpu Sora tahu secara pasti. Bukan Baginda Raja yang melupakan, akan
tetapi Upasara sendiri yang menolak.
Namun ada juga yang dirasakan, bisa benar dan bisa tidak. Yaitu bahwa di
belakang hari Upasara Wulung bisa menjadi ganjalan yang berbahaya. Sejak
pertempuran penghabisan dulu, Upasara mengasingkan diri di Perguruan Awan.
Sepenuh waktunya dipakai untuk merenung, untuk bersemadi.
Inilah yang berbahaya. Saat ini Upasara telah mulai memperdalam ilmu yang sangat
luar biasa, yaitu Tepukan Satu Tangan. Ilmu yang masih tetap dianggap gaib,
karena selama ini tidak ada yang mengetahui secara persis. Bahkan ilmu itu yang
oleh para pendeta Tartar, para pendekar Mongolia, dianggap sebagai Jalan Budha.
Ilmu yang baru sebagian saja dilihat oleh Mpu Renteng dan Mpu Sora sewaktu
Upasara Wulung melabrak habis Naga dari Tartar yang saat itu tak tertandingi.
Ilmu yang luar biasa, karena mereka semua para jago silat seperti mengenali,
akan tetapi juga seperti tidak. Dan kalau benar saat ini
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Upasara Wulung sedang memperdalam ilmunya Tepukan Satu Tangan yang bisa
terdengar lebih nyaring dan lebih bertenaga dari dua tangan, bisa dibayangkan
bagaimana jika Upasara benar-benar telah menguasai ilmu tersebut.
Upasara akan menjadi tokoh yang tak bisa diramalkan, dan sulit dicari
tandingannya. Di zaman dahulu masih ada Mpu Raganata yang perkasa, masih ada
Eyang Sepuh yang kini tak diketahui tempat dan bayangannya, akan tetapi sekarang
ini Upasara betul-betul tak menemukan lawan yang setanding.
Dalam perkiraan Mpu Renteng, kalau Baginda kuatir, itu cukup beralasan. Karena
memang sejak mendiang Baginda Raja Kertanegara, kedigdayaan adalah sesuatu yang
mempunyai makna mendalam.
Baginda Raja Sri Kertanegara-lah yang secara resmi menentukan bahwa nilai-nilai
kedigdayaan, kesaktian, adalah nilai seorang lelaki yang sesungguhnya. Hanya
yang kuat dan sakti yang akan memerintah seluruh jagat dan isinya.
Kehadiran Upasara Wulung bisa menjadi ganjalan di belakang hari.
Maka, menurut perkiraan Mpu Renteng dan Mpu Sora serta beberapa senopati,
Baginda Raja berusaha menarik Upasara Wulung ke pihak Keraton. Dengan anugerah
pangkat mahapatih, Upasara tak akan melawan di kemudian hari. Upasara Wulung,
sebaliknya, akan berbakti sepenuhnya.
Kalau ternyata Upasara Wulung menolak, bukan tidak mungkin Baginda akan
mengangkat tangan untuk melenyapkan. Sekarang adalah saat yang tepat, sebelum
Upasara Wulung tumbuh menjadi besar dan berakar.
Pastilah Baginda Raja mempunyai telik sandi atau pasukan rahasia yang mengetahui
apa yang tengah terjadi sekarang ini. Dugaan Mpu Renteng ialah prajurit telik
sandi di bawah pimpinan Mpu Nambi yang mampu menyusupkan anak buahnya ke
Perguruan Awan. Mpu Renteng bisa mengetahui sedikit-sedikit dan mendengar bahwa
sesungguhnya Upasara Wulung saat ini tengah berada dalam situasi yang
menentukan. Upasara berada dalam situasi yang sangat menentukan dalam mempelajari Tepukan
Satu Tangan. Bagian yang menentukan apakah ia bakal berhasil menguasai ilmu
tersebut atau gagal sama sekali.
Mpu Nambi mendapat laporan dari prajuritnya yang menurut cerita mendapat kabar
tersebut dari Dewa Maut. Salah seorang tokoh yang semasa jayanya jago dalam
bidang racun yang tiada tandingannya.
Hanya saja kemudian seluruh tenaga dalamnya musnah serta terganggu jiwanya.
Dewa Maut termasuk yang bisa keluar-masuk ke dalam Perguruan Awan bersama dengan
Gendhuk Tri - gadis remaja yang seluruh tubuhnya dipenuhi dengan racun.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mereka inilah, di samping beberapa murid Perguruan Awan, yang masih tetap
mengadakan pertemuan secara tertentu.
Sesungguhnya, ini yang dikuatirkan Baginda.
Kalau sampai Upasara berhasil menghimpun para ksatria pilihan dan kemudian
mbalela, atau memberontak kepada Baginda. Upasara bagai harimau yang tumbuh
sayap. Bahwa Upasara akan sangat membahayakan seluruh ketenteraman Keraton, Mpu Renteng
bisa mengerti dan bisa menerima. Akan tetapi nalarnya mengatakan bahwa sangat
tidak masuk akal bahwa Upasara Wulung akan mbalela.
Akan tetapi Mpu Renteng dan Mpu Sora tak bisa mengutarakan pendapatnya, karena
Baginda tak pernah menanyai. Sungguh tak masuk akal kalau tiba-tiba saja mereka
mengutarakan pendapatnya. Ini suatu sikap kurang ajar yang tak bisa dimaafkan,
tak ada ampunan sama sekali.
Yang mencemaskan adalah bahwa Baginda lebih mempercayai Mpu Nambi untuk
memecahkan masalah di Perguruan Awan. Dan kemudian menjatuhkan putusannya.
Seperti sekarang ini. Mengirim utusan untuk menjemput Upasara.
Mpu Renteng bisa mengerti kalau misalnya saja Baginda memerintahkan para
senopati pilihan untuk memaksa Upasara. Lepas dari pertimbangan benar atau tidak
- akan tetapi bukankah yang diperintahkan Baginda Raja selalu benar" - ini
menunjukkan sifat ksatria.
Akan tetapi Baginda justru mengutus Permaisuri Gayatri. Seorang wanita yang sama
sekali tidak terlibat dalam percaturan Keraton.
Bahkan mungkin sama sekali tidak tahu, seperti pertanyaan yang baru saja
didengar. Hanya karena Permaisuri Gayatri dulu pernah mempunyai perasaan tertentu terhadap
Upasara, maka kini hal itu yang dipakai sebagai senjata untuk memaksa Upasara
Wulung. Mpu Renteng sempat bertanya-tanya dalam hati ketika menerima titah dari Baginda.
"Kawal Permaisuri."
"Sendika dawuh," jawabnya sambil menyembah bersamaan dengan Mpu Sora.
"Kupercayakan ini kepada kalian berdua. Bertindak atas namaku untuk berbuat apa
saja demi perintahku."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sendika dawuh, Gusti."
"Ingat. Apa pun yang terjadi, kalian berdua hanya memberikan laporan kepadaku."
Baginda juga memerintahkan untuk membawa prajurit-prajurit pilihan. Bahkan Dyah
Palasir dan Dyah Singlar yang selama ini diandalkan untuk menjadi pemimpin
prajurit pribadi diikutsertakan.
Dyah Palasir termasuk senopati muda yang mendapat kepercayaan langsung dari
Baginda. Dari angkatan muda, Dyah Palasir-lah satu-satunya yang mendapat pangkat
sejajar dengan bupati. Mpu Sora pun yakin bahwa tugas yang dijalankan kali ini bukan tugas sembarangan.
Ada cara halus dengan membawa Permaisuri Gayatri. Tetapi juga ada cara tertentu
yang bisa serta-merta diambil jika ada sesuatu yang dianggap perlu.
Dyah Palasir pasti telah memilih prajurit-prajurit pilihan yang paling tangguh
dan paling setia kepadanya. Ini berarti perjalanan ke Perguruan Awan bisa
mengubah sejarah Keraton.
Prajurit Telik Sandi PERGURUAN AWAN masih seperti ketika diciptakan.
Awan dan angin masih terasa purba. Bahkan tanahnya masih selalu terkesan basah.
Tak ada yang berubah. Perguruan Awan, atau juga disebut Nirada Manggala, sebenarnya tak jauh berbeda
dari hutan-hutan yang lain. Gerombolan pepohonan yang membentuk pagar alam. Tak
terlalu istimewa, karena di sini juga tak ada tanda-tanda yang menjadi batas
wilayahnya. Satu-satunya pertanda memasuki daerah Perguruan Awan hanyalah sebuah
alun-alun yang luas. Sebuah lapangan yang tak ditumbuhi pohon-pohon besar. Tanah
kosong itu dianggap masyarakat sekitar sebagai batas wilayah yang dikeramatkan.
Yang membuat penduduk sekitar enggan untuk memasuki, apalagi mengusik tanaman
yang ada. Sepotong daun yang mengering akan dibiarkan membusuk dan menjadi
pupuk. Irama alam sepenuhnya terjaga sempurna.
Rombongan yang dipimpin Mpu Sora dan Mpu Renteng sampai di pinggir alun-alun.
Dyah Palasir segera memerintahkan membuat pondokan sederhana yang dibangun dari
kayu-kayu yang sudah disiapkan, dengan atap ilalang yang dibawa dari Keraton.
Tak ada pepohonan yang diusik. Tak ada tetumbuhan dan Cengkerik yang diubah
letaknya. Bahkan bentuk bangunan pondokan itu dibuat sedemikian rupa sehingga
menyatu dengan alam sekitar. Seakan bagian dari belukar menjalar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Di pondok itu Permaisuri Gayatri bertempat tinggal. Pada jarak sepuluh tombak,
para prajurit berjaga-jaga. Ada yang khusus memasak, memasak air untuk
Permaisuri. Selebihnya menunggu.
Hanya Mpu Sora dan Mpu Renteng yang berada di sekitar pondok, dan tetap berdiam
diri. Hanya mengeluarkan jawaban kalau ditanya secara langsung.
Permaisuri tak bisa menahan diri ketika malam tiba, dan suara binatang hutan
mulai terdengar. "Paman Sora dan Paman Renteng."
"Sembah dalem, Gusti."
"Sampai kapan kita menunggu?"
"Sampai hamba mendengar titah Permaisuri. Kalau Permaisuri menitahkan untuk
masuk ke dalam, kita semua akan masuk ke dalam hutan."
"Kalau saya meminta kita kembali ke Keraton?"
Mpu Sora dan Mpu Renteng menyembah hormat.
"Hamba menerima titah Baginda Raja untuk mengantarkan Permaisuri menemui
Senopati Pamungkas."
Jawaban yang tetap menghormat. Menempatkan diri sebagai orang bawahan. Akan
tetapi juga sekaligus suatu ketegasan bahwa mereka harus bisa menjalankan tugas.
Menemui Senopati Pamungkas.
Ini berarti berpantang pulang sebelum tugas dijalankan.
"Saya mengerti, Paman.
"Hanya saya tidak mengerti apakah Kangmas Upasara mengetahui saya berada di
sini." "Mestinya begitu, Permaisuri."
"Kalau begitu, kenapa Kangmas tak mau menemui?"
Mpu Renteng tak bisa menjawab. Juga Mpu Sora. Bahkan kalaupun mempunyai jawaban,
barangkali sulit sekali diutarakan. Karena tugas ke Perguruan Awan ini masih
mengandung misteri yang belum terungkapkan.
Adalah sangat mungkin sekali Upasara Wulung tak mau menemui.
Bukan tidak mungkin menolak muncul, justru karena Baginda Raja mengutus
Permaisuri Gayatri untuk menemui.
Baik Mpu Sora maupun Mpu Renteng sedikit-banyak mengenal Upasara Wulung.
Senopati muda yang diangkat sebagai senopati perang dalam saat yang menentukan.
Yang kemudian memilih kembali ke tengah hutan di saat kemenangan dirayakan.
Hanya yang mempunyai KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
hati batu alam mampu menyatukan keinginan, mampu mendengarkan suara hatinya
sendiri. Mpu Sora tidak melihat bahwa tindakan Upasara suatu tindakan yang benar, namun
jelas menunjukkan suatu keyakinan yang utuh.
"Bagaimana kalau Kangmas Upasara tidak mau menemui saya?"
"Pasti menemui, Permaisuri. Begitulah perkiraan Baginda."
"Perkiraan Baginda," Permaisuri Gayatri meninggikan suaranya. "Apa perkiraan
Paman berdua?" "Apa yang diperkirakan Baginda adalah perkiraan hambanya juga."
"Ya, selalu begitu jawaban Paman.
"Akan tetapi, apakah Paman yakin Kangmas Upasara berada di hutan ini" Bagaimana
kalau ia sedang pergi" Bagaimana kalau sedang sakit?"
"Kalau sedang pergi, hamba tak tahu harus mencari ke mana. Kalau sedang sakit,
hamba juga tak tahu harus mencari obat ke mana. Hamba hanya menjalankan
perintah." "Paman, saya pun hanya menjalankan perintah. Titah Baginda Raja, penguasa
tunggal atas mati dan hidup kita sekalian. Tetapi saya ini orang bodoh, Paman.
"Bodoh sekali dan tak mengerti sedikit pun masalah Keraton. Mbakyu Tribhuana,
yang digelari mahalalila karena keunggulannya bisa mengetahui maksud Baginda,
jauh sebelum diperintah sudah mengetahui maksudnya. Mbakyu Mahadewi yang paling
dikasihi Baginda, juga bisa mengetahui. Mbakyu Jayendradewi yang paling setia,
bisa mengerti. Tetapi saya ini sama sekali tidak mengetahui apa-apa.
"Paman, katakanlah sejujurnya. Apakah maksud Baginda memanggil Kangmas Upasara?"
"Sejauh hamba yang bodoh ini mengetahui, tak lain dan tak bukan seperti yang
disabdakan. Ingin mengangkat Senopati Pamungkas menjadi mahapatih Majapahit.
Menjadi tangan kanan Baginda.
"Semua pengikut Baginda telah mendapatkan kehormatan dan anugerah, akan
tetapi..." "Apakah tidak ada maksud lain?"
"Tidak, Permaisuri."
"Mengapa mendadak sekali?"
Mpu Sora menggeleng lemah.
Namun hatinya sempat oleng. Hanya karena penguasaan perasaannya sudah sampai
tingkat tinggi, perubahan perasaan itu bisa disembunyikan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mpu Sora dan juga Mpu Renteng bukan tidak mendengar kabar dari prajurit telik
sandi, atau prajurit rahasia yang pekerjaannya menyusup dan mencari kabar dari
wilayah yang tak terduga.
Mpu Sora mendengar bahwa Upasara Wulung saat ini sedang mempelajari bagian yang
paling menentukan dari ilmu Tepukan Satu Tangan. Bagian yang konon akan
menentukan apakah si pelatih bisa menguasai ilmu tersebut, atau justru
sebaliknya. Ia bakal dihancurkan oleh ilmu tersebut, dan akan menjadi cacat
seumur hidup. Prajurit telik sandi yang dipimpin Senopati Nambi mendapat kabar ini dari salah
seorang penghuni Perguruan Awan yang bernama Dewa Maut. Tokoh tua yang seluruh
rambutnya putih ini yang paling bisa dihubungi. Menurut cerita, dulunya Dewa
Maut adalah tokoh sakti dengan penguasaan atas semua racun Kali Brantas. Hanya
saja kemudian kehilangan ingatan, sehingga kelakuannya seperti anak kecil.
Dari Dewa Maut inilah tercium bahwa Upasara Wulung kini sampai ke tingkat yang
menentukan. Dan justru pada saat seperti inilah, Baginda Raja memerintahkan untuk menemui
Upasara. Dengan perhitungan bahwa dalam keadaan yang genting ini, Upasara akan
terdesak. Kalau ia memilih untuk meneruskan latihannya dan tak ingin terganggu,
ia akan menerima jabatan tersebut. Kalaupun menolak, berarti Upasara telah
ditawari. Ini berarti ia akan turut menjaga Keraton. Dan janji seorang ksatria,
akan dibela sampai mati. Kalau dihubungkan dengan titah Baginda Raja untuk mengambil tindakan yang
diperlukan, hal ini sangat masuk akal. Mpu Sora dan Mpu Renteng diberi wewenang
penuh untuk mengambil tindakan apa pun. Hal ini juga diperkuat dengan kehadiran
Dyah Palasir. Berarti pula Upasara akan digempur saat itu juga. Sebelum kekuatan menggalang
persatuan dan ilmunya makin sulit ditandingi. Baginda tak ingin melihat ganjalan
menjadi besar. Sekarang ini memang saat yang paling menentukan.
"Paman..." "Sembah dalem."
"Apakah benar saat ini tidak ada yang pantas mendapat anugerah pangkat menjadi
mahapatih?" "Senopati Pamungkas yang paling pantas menerima kebesaran ini, Tuanku
Permaisuri."

Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jawaban Mpu Renteng mempunyai dua arti.
Pertama, seperti yang diutarakan bahwa Upasara Wulung memang pantas menerima
jabatan agung ini. Meskipun masih sangat muda, akan tetapi telah membuktikan
diri sebagai pengabdi yang kesetiaannya
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
tak perlu diragukan. Di samping itu juga yang ilmu silatnya paling tinggi.
Setidaknya dengan satu atau dua jurus Tepukan Satu Tangan bisa membuyarkan
lawan. Kedua, karena sesungguhnya Upasara merupakan jalan keluar yang terbaik.
Pengangkatan Upasara akan diterima oleh berbagai pihak. Oleh semua senopati,
semua patih yang ada. Mpu Renteng sadar bahwa Baginda Raja sekarang ini menghadapi situasi yang
barangkali lebih sulit dari ketika merebut Singasari, dari ketika mengusir
pasukan Tartar, lebih sulit dari ketika memutuskan untuk mengawini keempat putri
Sri Baginda Raja Kertanegara.
Justru karena kini menghadapi tangan dan kakinya sendiri.
Serangan Tengah Malam BAGINDA RAJA harus memilih yang terkuat untuk menduduki kursi sebagai mahapatih,
menjadi amangkubumi. Yang berarti jabatan yang lebih tinggi dari semua patih
atau senopati terkemuka. Yang berarti juga bahwa salah seorang dari senopatinya
akan berada di atas yang lainnya.
Padahal justru ketika berjuang dulu, semuanya sama pangkat dan kedudukannya.
Untuk jabatan patih, atau juga adipati amancanegara, hal ini tidak menjadi
masalah. Keraton Majapahit dibagi atas lima wilayah, yaitu sebelah barat, timur,
selatan, utara, serta tengah. Masing-masing akan dipimpin oleh seorang patih
atau adipati amancanegara. Seperti juga wilayah utara yang kini diserahkan
kepada Ranggalawe, putra Aria Wiraraja yang gagah berani. Bahkan setelah menjadi
adipati pun tetap memakai nama Ranggalawe, nama yang disandang ketika masih
berpangkat rangga dalam keprajuritan.
Memang setelah semua mendapat jabatan dan pangkat, timbul pertanyaan yang tak
terucapkan. Siapa yang bakal diangkat Baginda sebagai mahapatih" Yang berarti
membawahkan semua adipati dan atau para patih ini"
Mpu Renteng sadar diri dan sama sekali tidak bermimpi akan menduduki jabatan
sebagai pelaksana Keraton.
Ada tiga nama yang bisa dipilih Baginda Raja. Ini menurut perhitungannya
sendiri, yang barangkali tak berbeda jauh dengan senopati atau adipati yang
lain. Pertama, pastilah Ranggalawe, yang sekarang sebetulnya lebih tepat disebut
Adipati Lawe. Senopati yang gagah berani dan mempunyai ilmu yang cukup tinggi.
Perlawanan merebut Singasari dibuktikan dengan luka dan pengorbanan yang tinggi.
Dan lagi Adipati Lawe adalah putra Aria Wiraraja dari Madura. Yang sejak lama
menunjukkan kesetiaan tanpa tanding. Yang sejak semula berpihak kepada Baginda
Raja. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahkan prajurit dari Madura yang dikirim Aria Wiraraja-lah yang pertama kali membuka hutan,
membakar belukar. Para prajurit itulah yang pertama kali membuat rumah dan
membangun sawah. Adalah wajar jika Baginda mengangkat Adipati Lawe sebagai
mahapatih. Kelemahan Adipati Lawe hanyalah kurang bisa mengekang perasaan.
Apa yang ingin dikemukakan langsung dikatakan. Adipati Lawe seolah masih hidup
di saat perjuangan merebut Singasari dahulu. Seakan masih hidup di medan perang,
yang menuntut penyelesaian seperti hukum-hukum perang. Namun halangan yang
terutama adalah karena adanya Mpu Sora.
Pilihan kedua, Mpu Sora. Tokoh yang bijak, mampu mengekang perasaan, dan secara
sempurna menguasai ilmu Bramara Bramana, atau ilmu Sengatan Lebah Seorang
Pendeta. Gabungan antara tenaga keras dan kearifan seorang pendeta. Ilmu dari
tlatah Madura ini hanya Mpu Sora yang mumpuni, menguasai luar dalam. Dan Mpu
Sora masih terhitung paman Adipati Lawe. Sehingga kalau mengikuti tata cara, Mpu
Sora-lah yang lebih pantas dibandingkan keponakannya.
Pilihan ketiga, Mpu Nambi. Dalam banyak hal sama seperti juga Mpu Sora. Akan
tetapi jabatan utama Mpu Nambi adalah pemimpin utama para prajurit telik sandi.
Prajurit rahasia yang mendapat tugas utama dari Baginda Raja. Sebagai pemimpin
telik sandi, tentu Mpu Nambi paling mengetahui segala rahasia Keraton, dan
paling sering serta dekat berhubungan dengan Baginda. Senopati telik sandi, yang
karena tugasnya bisa mengetahui segala hal yang terjadi di dalam dan di luar
Keraton. Bahkan diikutsertakannya Dyah Palasir menunjukkan kekuasaan ini. Dyah
Palasir dari prajurit pengawal pribadi yang garis komandonya di bawah pimpinan
telik sandi. Mpu Renteng bisa mengerti kalau untuk permasalahan ini, Permaisuri Gayatri tak
merasakan perlunya menemui Upasara Wulung. Yang bagi Baginda Raja hanya ada dua
kemungkinannya. Bergabung ke Keraton atau ditumpas.
"Paman Sora, mengapa Kangmas Upasara memilih berdiam di hutan ini?"
"Maafkan hamba, Permaisuri. Maafkan kalau hamba yang bodoh ini mencoba lancang
bercerita." "Paman Sora, janganlah terlalu sungkan."
"Maaf, Permaisuri, bukan hamba sungkan. Akan tetapi sesungguhnya hamba hanya
tahu sedikit. "Hutan di depan ini dinamakan Perguruan Awan. Dahulunya tempat bertemunya para
ksatria dari seluruh penjuru jagat. Di sini pada waktu tertentu yang telah
ditetapkan, para ksatria datang untuk saling
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
menguji kesaktiannya. Menentukan siapa yang paling sakti mandraguna, siapa yang
ilmunya paling unggul."
"Kalau tidak salah, Perguruan Awan ini sendiri juga mempunyai guru dan murid,
Paman." "Sesungguhnya, Permaisuri lebih mengetahui dari hamba.
"Perguruan Awan ini memang sebuah nama perguruan silat. Hanya saja berbeda dari
perguruan silat yang lain, di sini tak ada sebutan guru atau siswa, semua
belajar bersama. Bagi mereka yang masuk perguruan ini, hidup sebagaimana
tetumbuhan dan hewan yang ada. Hanya mengambil yang dibutuhkan."
Permaisuri Gayatri mengeluarkan seruan tertahan.
Sekelebatan pikirannya melayang ke arah Upasara. Apakah pemuda tampan dan lugu
itu juga hidup dengan cara seperti itu"
"Kalau hanya tempat berkumpul para ksatria untuk berperang tanding, kenapa
Baginda sangat memperhatikan?"
"Permaisuri lebih mengetahui dari hamba yang bodoh.
"Dulu kala ada dongengan, raja-raja baru akan didengar kabarnya dari Nirada
Manggala. Mulai zaman Ken Arok, leluhur Keraton Singasari yang mulia. Ketika itu
menurut cerita nenek moyang, ada seorang pendeta muncul dan mengatakan bahwa
akan lahir raja. Ini berarti, garis keturunan penguasa yang sekarang akan
terputus oleh penguasa yang baru. Seperti kemudian terbukti, Tuanku Permaisuri,
pakuwon yang diperintah oleh Tunggul Ametung diganti oleh keturunan Ken Arok.
"Pada saat Baginda Raja Sri Kertanegara yang bijaksana-luhur-gagah-perwira
berkuasa, ada kabar akan datang lagi Tamu dari Seberang yang akan mewartakan
lahirnya penguasa baru. Dan kenyataannya memang Raja Muda Jayakatwang memutuskan
garis keturunan Baginda Raja Sri Kertanegara yang mulia."
"Paman, bukankah Baginda Raja sekarang ini juga keturunan yang sama" Bukankah
saya ini putri Sri Baginda Kertanegara?"
"Dewa dari segala Dewa berkenan mengembalikan takhta kepada yang berhak, Tuanku
Permaisuri. Hanya selingan Raja Muda Jayakatwang menjadi pertanda bukti apa yang
dikatakan Tamu dari Seberang."
"Ah, Paman sungguh luas pengalamannya."
"Hamba tak pantas menerima sanjungan."
"Paman, guru dari Perguruan Awan yang dijuluki Eyang Sepuh tak pernah kelihatan.
Saya pernah dibisiki oleh Eyang Sepuh mengenai Tamu dari Seberang itu adalah
pasukan Tartar. Sehingga kemudian pasukan inilah yang dipakai menyerang Keraton
Singasari. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Tapi saya sendiri tak pernah melihat beliau."
"Rasanya sampai sekarang ini belum ada yang berani mengaku bertemu Eyang Sepuh."
"Paman, apakah kalau Kangmas Upasara menjadi guru di Perguruan Awan ini,
akhirnya juga seperti Eyang Sepuh" Kita hanya mengenai namanya" Apakah itu
termasuk ilmu sakti yang Paman katakan?"
Jawabannya adalah gerakan seketika secara bersamaan.
Mpu Sora meloncat ke belakang, melindungi Permaisuri Gayatri, sementara Mpu
Renteng meloncat ke depan. Ujung kainnya, yang disampirkan di pundak, berubah
menjadi seekor ular yang mendesis.
Kelebatan warna putih di tengah kelamnya malam.
Sungguh suatu gerakan yang indah memesona, dan sekaligus juga berbahaya. Dalam
satu tarikan napas, Mpu Renteng mengeluarkan jurus andalan dari ilmu Bujangga
Andrawina, atau Ular Naga Berpesta Pora.
Dari keadaan bersila, menunduk, tiba-tiba berubah menjadi loncatan, dan juga
menyerang. Hal yang sama dilakukan Mpu Sora yang menyadari keadaan cukup gawat.
Gawat karena tiba-tiba saja kedua empu sakti ini menyadari tekanan angin yang
berada dalam jarak sepuluh tombak. Dan dalam seketika sudah ada dua bayangan
yang menyerang langsung. Ini luar biasa. Pondok mereka agak terpencil di antara para prajurit yang mengawal, akan tetapi
boleh dikatakan di tengah lapangan. Dan tanpa tanda-tanda yang mencurigakan, ada
serangan mendadak. Ini berarti para prajurit di bawah Dyah Palasir bisa
ditaklukkan, tanpa menimbulkan kecurigaan.
Berarti penyerangnya yang kini muncul dalam dua bayangan betul-betul menguasai
ilmu yang tidak sembarangan.
Mpu Sora nggragap, atau terkesiap.
Apalagi ketika mendengar Mpu Renteng mengaduh.
Nggragap-nya. Mpu Sora bukan karena Mpu Renteng bisa dikalahkan.
Meskipun termasuk senopati pilihan, akan tetapi dalam dunia persilatan, selalu
ada ilmu yang lebih sakti. Yang membuat Mpu Sora nggragap adalah karena dalam
gebrakan pertama Mpu Renteng sudah bisa ditaklukkan.
Bujangga Andrawina bukan ilmu sembarang ilmu. Tingkat Dyah Palasir pun tak akan
bisa memahami andai diajari selama satu tahun.
Mpu Renteng mampu menguasai dengan baik. Sabetan ujung kain yang disampirkan di
pundak adalah gerakan menyapu semua serangan lawan. Mementahkan gempuran.
Sementara serangan yang KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
sesungguhnya adalah jari-jari tangan yang memagut, menggigit kuat.
Sepuluh jari Mpu Renteng akan berubah seakan menjadi lima kepala ular yang
memagut secara bersamaan.
Tapi ternyata bisa dirubuhkan dalam satu gebrakan.
Belum satu jurus. Penghuni Perguruan Awan MPU SORA makin menyadari bahwa dua penyerang yang menutupi wajahnya dengan
klika, atau kulit kayu, bergerak sangat cepat. Tanpa menunggu tarikan napas
berikutnya, Mpu Sora menarik kaki sedikit ke belakang, dengan dua tangan
bersilang di depan dada. Tubuhnya berputar.
Kedua penyerang seperti menunggu serangan.
Akan tetapi justru Mpu Sora tidak langsung menyerang.
Karena menyadari bahwa tugas utamanya ialah menjaga Permaisuri Gayatri. Bagi
seorang yang menjunjung tinggi pengabdian, tugas adalah nomor pertama dan
sekaligus nomor terakhir. Rasa gusar bisa diatasi dengan tetap mencoba bertahan,
bukan menggempur. Memang ini agak bertentangan dengan ilmu yang dikembangkan
dari tlatah Madura, yang mengandalkan gebrakan pertama sebagai gempuran.
Apalagi Mpu Sora mengeluarkan jurus Bramara Bramantya atau Lebah Marah.
Sekumpulan lebah yang marah selalu berusaha mengejar lawannya sampai ke sudut
yang tak memungkinkan lagi.
Akan tetapi kali ini, Mpu Sora berputar di tempat. Dua penyerang bergerak
bersamaan. Dari sisi kiri dan sisi kanan. Mpu Sora membuka kedua tangannya
dengan sangat cepat, dan dengan sangat cepat pula menarik kembali, menutup di
depan dada. Terdengar dua benturan keras.
Mpu Sora bisa membandingkan bahwa penyerang di sebelah kiri tak sekuat di
sebelah kanan. Sengatan lima kanan dan lima kiri bisa dimentalkan, akan tetapi
dengan demikian bisa mengukur tenaga lawan.
Sesuatu yang sangat penting untuk membuat serangan berikutnya.
"Hmm. Percuma saja kita hanya disuguhi Bramara Bramantya."
Mpu Sora berusaha menahan darah yang mendidih sampai ke ubun-ubunnya. Pada usia
yang bukan muda lagi, Mpu Sora masih tetap memperlihatkan asal-usulnya. Lahir
dan dibesarkan di daerah yang keras adat- istiadatnya. Daerah di mana sapi biasa
dipacu, bukan digerakkan perlahan untuk menyeret gerobak.
Hinaan itu sangat kena, kalau maksudnya membuat gusar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Jurus Lebah Marah diganti seenaknya menjadi Lebah Bingung.
Meskipun dalam ucapan hampir mirip, antara bramantya dengan Bramantya, akan
tetapi artinya berbeda. Bingung lebih bisa diartikan sebagai tak bisa menguasai diri.
Akan tetapi Mpu Sora justru merasa makin berhati-hati. Lawan yang dihadapi bukan
hanya serba tak terduga, akan tetapi juga sekaligus menunjukkan pengetahuan yang
luas. Bisa langsung menduga asal-usul ilmu silatnya. Bahkan bisa mengetahui
sampai ke nama jurusnya. Mpu Sora menunggu kesempatan. Begitu penyerang di kanan menarik napas ketika
mengucapkan kata-kata hinaan, seketika itu Mpu Sora membuka kedua tangannya.
Cepat. Bayangan di samping kanan menghindar dengan gerakan ke arah samping,
seperti bergoyang. Akan tetapi sasaran utama Mpu Sora justru kepada penyerang
dari kiri. Yang meskipun kelihatannya lebih lemah, akan tetapi posisinya lebih
berbahaya. Lebih dekat meraih ke arah Permaisuri!
Tubuh condong ke kanan, akan tetapi kaki menggaet yang kiri. Dan begitu mengenai
sasaran, Mpu Sora menarik sekerasnya. Tenaganya dipakai untuk memantulkan
tubuhnya ke atas. Sambil mengeluarkan desis nada
tinggi. Lawan di sebelah kiri terseret, tertarik, akan tetapi dengan menggelundungkan
diri bisa segera berdiri kembali. Mpu Sora memang tidak bermaksud terus
menyerang. Ia lebih mementingkan penjagaan Permaisuri. Serangan yang dilancarkan
ialah dengan mendesis mengeluarkan suara seribu lebah secara bersamaan. Kalau
ada lebah di sekitar hutan, pasti akan segera berdatangan. Mpu Sora bisa memakai
mereka sebagai pembantu untuk menggebrak lawan. Yang kedua, desisan yang berasal
dari jurus Bramara Bekasakan atau Lebah Hantu ini bisa mengganggu konsentrasi
lawan. Bagi yang tidak biasa, suara berdesis seolah di pinggir telinga bisa
menyesatkan pemusatan pikiran.
Yang tak diduga oleh Mpu Sora ialah justru Permaisuri Gayatri yang pertama kali
terkena! Permaisuri Gayatri yang tadi mundur, berdiri limbung.
Tubuhnya bergoyang. Kedua tangannya berusaha menutupi daun telinga, akan tetapi tubuhnya lebih dulu
jatuh ke tanah. Bagi Mpu Sora memang tak ada pilihan lain. Kalau ia ragu, lawan yang begitu
tangguh bisa menjatuhkan dalam waktu sekejap. Dengan mendesiskan Bramara
Bekasakan ia melukai Permaisuri Gayatri. Akan tetapi Mpu Sora bisa
memperhitungkan bahwa nanti ia dapat menyembuhkan.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Lebih baik lawan diselesaikan lebih dulu.
Daripada tak ada yang bisa dirampungkan. Lawan tetap tak bisa dikuasai, dan
Permaisuri Gayatri malah bisa dikuasai.
Dua penyerang mengeluarkan suara dingin. Kemudian maju menerjang. "Ambil
Permaisuri Rajapatni."
Perintah dari penyerang di sisi kanan dituruti oleh penyerang sebelah kiri. Akan
tetapi, mana mungkin Mpu Sora melepaskan begitu saja.
Justru desisannya meninggi, dibarengi dengan kedua tangan ke arah penyerang
kiri. Kaki kiri mengencang ke belakang.
Inilah jurus Bramara Braja atau Lebah Topan.
Dalam sekejap Mpu Sora mengeluarkan semua jurus andalannya.
Termasuk Lebah Topan yang selama ini jarang diperlihatkan. Karena jurus ini
meminta pengerahan tenaga sangat besar. Terutama dari daerah pulung ati, bagian
antara perut dan dada. Memang pengerahan kekuatan dalam dari daerah itu sangat
memeras, akan tetapi Mpu Sora tak bisa berbuat lain.
Mpu Sora berharap bahwa Mpu Renteng bisa kembali membantu.
Atau setidaknya salah satu dari prajurit Dyah Palasir.
Mpu Sora mencelos. Sama sekali tak menduga justru penyerang dari sebelah kanan yang menerobos masuk
dan langsung membopong Permaisuri Gayatri!
Penyerang sebelah kiri meloncat untuk menghindar. Penutup wajahnya teraup dan


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hancur. Bisa dibayangkan kalau sengatan Mpu Sora sempat menyentuh kulit atau
tulang. "Lain kali kita bertemu lagi. Untuk melihat ilmu Bramara Brakithi."
Mpu Sora sama sekali tak peduli dicaci ilmunya sebagai jurus Lebah Semut. Akan
tetapi keselamatan Permaisuri lebih penting. Mpu Sora membalik gerakan tubuhnya
dan langsung menerjang ke arah penyerang yang tadi di sebelah kanan. Serangan
terbuka yang tak memedulikan kalau-kalau dibokong dari penyerang sebelah kiri
yang kini berada di bokongnya, di belakangnya.
Penyerang kanan yang kini membopong Permaisuri Gayatri malah mengangsurkan tubuh
yang digendongnya. Mpu Sora menarik serangannya dan saat itu penyerangnya
menghilang dalam gelap. Begitu tubuh Mpu Sora melayang, satu bayangan lagi
menyerbu ke arahnya. Mpu Sora menangkis dan bayangan itu jatuh ke tanah dengan suara mengaduh yang
berat. Dyah Palasir! KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ternyata Dyah Palasir yang muncul dan terkena pukulan Mpu Sora.
Ambruk ke tanah dan dalam sekejap bagian yang terkena pukulan melepuh seperti
kena sengatan ratusan lebah di satu tempat.
Mpu Sora tak mau membuang waktu. Satu tutulan berikutnya, kakinya sudah
melayang. Akan tetapi tak ada bayangan di depannya.
Hanya daun-daun yang bergerak perlahan. Mpu Sora mencoba menajamkan
pendengarannya, akan tetapi tetap tak bisa menangkap suara yang lain.
Lenyap seketika. Seperti ketika datang. Mpu Sora menghela napas. Lalu dengan dua kali menutul tanah, kembali ke
pondokan. Mengeluarkan ramuan bunga untuk mengobati Dyah Palasir. Mpu Sora
sendiri langsung menemui Mpu Renteng yang masih menggeletak.
Mpu Sora menunduk. "Permaisuri..."
"Kita kejar bersama."
Mpu Sora mengurut bagian leher. Tepat sekali serangan lawan. Ke arah bagian yang
paling lemah dan tak terlindungi dalam jurus Bujangga Andrawina. Bagian yang
juga sukar ditembus karena saat itu justru Mpu Renteng sedang menerjang.
Setelah diurut, Mpu Renteng mengembalikan tenaganya.
Mpu Sora memandang ke arah kegelapan.
"Kakang Sora, mari kita jemput Permaisuri ke dalam."
"Saya kira begitu lebih baik daripada kita menunggu."
"Kedua penyerang itu sungguh luar biasa. Saya bisa ditekuk seketika dalam
gebrakan pertama. Tapi kalaupun masih bisa memberikan nyawa yang tak berharga
ini, saya akan menyertai Kakang."
Dyah Palasir setengah merangkak mendekati.
"Hamba bersalah...."
Mpu Sora menggeleng lemah.
"Upasara Wulung sudah menguasai ilmu iblis. Semua prajurit seperti kena tenung."
Mpu Renteng memandang Dyah Palasir.
Yang dipandang darahnya berdesir.
"Upasara?" "Kalau bukan Upasara yang menguasai ilmu Jalan Iblis, siapa lagi?"
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Utusan Tanpa Tuan MPU SORA kembali menggeleng lembut.
Tangannya bergerak perlahan.
"Palasir, siagakan semua prajuritmu. Saya akan mencari Permaisuri ke dalam."
Tanpa menunggu jawaban, Mpu Sora melesat ke dalam hutan. Diikuti oleh Mpu
Renteng. Sekejap keduanya sudah menyusup sampai ke tengah. Seakan ingin
menjelajah, ingin membalik setiap daun, mencabut akar pepohonan.
"Kakang Sora..."
Mpu Sora memperlambat langkahnya.
"Benarkah Upasara yang menculik Permaisuri?"
"Maaf, saya tak sependapat dengan ksatria yang bermulut kotor."
Mpu Renteng bisa menangkap maksud ucapan Mpu Sora. Yang menilai Dyah Palasir
bermulut kotor dengan menyebutkan ilmu Jalan Iblis. Karena selama ini yang
dikenal sedang dipelajari Upasara Wulung adalah Jalan Budha. Bisa dimengerti
kalau Mpu Sora menjadi tersinggung. Akan tetapi tadi tetap bisa menahan diri
untuk tidak memarahi atau menunjukkan sikap kurang senang.
"Kakang Sora, saya sependapat dengan Kakang.
"Kalau Upasara, ia tak perlu memakai topeng klika. Kalau ingin bertemu
Permaisuri, tak perlu menculik."
"Itulah yang saya pikirkan.
"Rasanya bukan Upasara Wulung."
"Akan tetapi ilmunya sungguh luar biasa. Seakan bisa membaca tepat serangan
saya. Dan menyerang bagian yang terlemah. Seakan benar-benar ilmu yang bisa
menangkis segala serangan."
"Teka-teki yang sulit.
"Dari mana datangnya dan dengan cara apa masih sulit ditebak.
Caranya mengetahui serangan kita - bahkan bisa mengetahui jurus saya - itu
pertanyaan yang lain lagi.
"Teka-teki karena seperti bukan ilmu yang sama sekali tidak kita kenali.
"Apalagi tadi menyebut nama Permaisuri Rajapatni."
"Kalau begitu berarti orang dalam?"
"Entahlah." KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Kalau orang dalam, apa maksudnya, Kakang" Ingin menjatuhkan nama kita di depan
Baginda Raja?" Mpu Sora mendongak. Memandang daun-daun yang menutupi langit.
"Saat ini saat yang subur untuk mencurigai satu sama lain. Saya berharap kita
tidak masuk ke dalam perangkap pikiran yang nista, yang menjijikkan."
"Maafkan adikmu yang picik, Kakang."
"Jangan salah terima.
"Saya hanya tak ingin kita terseret arus pertikaian yang sekarang muncul. Saya
percaya sepenuhnya padamu. Kalau tidak, saya akan bertanya-tanya, apakah mungkin
seorang Mpu Renteng bisa dikalahkan dalam satu gebrakan" Sungguh tak masuk akal,
bukan" Sebaliknya, saya pun bisa dicurigai mengapa sampai gagal menjaga
Permaisuri." "Kakang Sora sungguh bijak."
Mereka berdua meneruskan perjalanan dengan berdiam. Akan tetapi setelah sekian
lama berputar-putar, tak menemukan satu bayangan pun.
Akhirnya mereka berdua berhenti di tengah.
Mpu Sora bersila. Mpu Renteng bersila di sebelahnya.
"Malam ini, kami berdua, Sora dan Renteng, datang mengganggu Perguruan Awan.
Kami menyadari kekeliruan ini, tetapi kami tak bisa berbuat lain. Mohon penghuni
bersedia meluangkan waktu menerima kami."
Perlahan suaranya, namun menggeletar.
Diam-diam Mpu Renteng memuji penguasaan tenaga dalam yang sempurna.
Lama menunggu. Mpu Renteng memuji tata cara Mpu Sora yang tidak mengulangi sapaannya. Sekali
saja sudah cukup. Hanya binatang malam yang menyambut gema.
Selebihnya sepi. Baru kemudian terlihat sebuah bayangan mendekat.
Mpu Renteng sedikit bercekat, karena melihat bayangan yang aneh.
Baru setelah agak dekat, Mpu Renteng mengetahui bahwa yang tadi
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
kelihatan aneh adalah bayangan seorang yang masih kecil, masih pendek tubuhnya,
hanya rambutnya yang terurai beriap-riap.
Bayangan itu berhenti pada jarak lima tombak.
"Maafkan kami, Putri Ayu Tri."
Bayangan itu memang bayangan Gendhuk Tri. Yang tak banyak berubah semenjak Mpu
Sora mengenal dulu. Seorang gadis yang baru tumbuh. Dengan rambut yang kini
diurai. "Huh, siapa menyuruh Paman memanggilku dengan sebutan Putri Ayu Tri" Aku bukan
putri, dan aku tidak ayu."
Mpu Sora mendongakkan wajahnya.
Tersenyum sebagai seorang bapak kepada anaknya.
"Syukur kamu bermurah hati mau datang dan masih mengenali kami."
"Siapa bilang aku bermurah hati" Kebetulan aku lewat dan kalian berteriak seenak
perut sendiri, seolah ini bukan rumah orang.
"Siapa bilang aku mengenali kalian" Bagiku semua orang Majapahit sama saja
bentuk wajahnya." Mpu Sora berdiri. "Sampaikan salamku, salam kami, kepada Anakmas Upasara."
"Baik. Sudah?" Mpu Renteng tak begitu mengenal Gendhuk Tri. Dalam hati menebak-nebak bagaimana
mungkin anak gadis yang masih begini bocah -
meskipun barangkali usianya sudah dua belas atau tiga belas tahun -
bisa begitu kurang ajar sikapnya.
Akan tetapi Mpu Renteng cukup kenyang pengalaman bahwa dalam dunia silat akan
lebih banyak lagi ditemui sifat-sifat yang tidak biasa.
"Yang kedua, kami ingin minta tolong mencari tahu di mana Permaisuri Gayatri
berada." Gendhuk Tri membuang wajah.
Sedikit-banyak Mpu Sora tahu bahwa kalimat itu membuat Gendhuk Tri tidak suka.
Mpu Sora mengetahui bahwa hubungan Gendhuk Tri dan Upasara Wulung sangat dekat
sekali. Selalu bersama-sama. Hanya tertunda sementara sewaktu Upasara bertemu
dengan Gayatri. Sejak itu Gendhuk Tri tak pernah mau melirik sedikit pun. Mpu
Sora mengetahui bahwa ini semua seperti kecemburuan kecil-kecilan, yang biasa
terjadi pada gadis seusia Gendhuk Tri. Namun Mpu Sora tak bisa menemukan kata
lain. "Cari saja sendiri. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Masa senopati dari Majapahit yang kondang tak bisa?"
"Karena penculiknya lari ke dalam hutan, kami ingin minta izin."
"Tak perlu izin. Karena kalian juga ikut memiliki hutan ini. Aku cuma numpang
tidur, bukan memiliki."
Mpu Sora mengangguk. "Terima kasih kami diizinkan...."
"Siapa bilang mengizinkan. Aku bilang tidak perlu izin."
Mpu Renteng mendehem kecil.
"Mau bicara, bicara saja langsung. Tidak usah pakai dehem kecil-kecilan."
"Namaku Mpu Renteng."
"Aku tidak peduli kamu empu atau bukan."
"Aku datang menjalankan tugas Baginda untuk mengantarkan Permaisuri Gayatri
menemui Upasara Wulung."
Gendhuk Tri tertawa. Keras. "Lalu, kalian berdua menuduh aku menculik Gayatri" Karena aku tak suka padanya"
Kalian jelas keliru. Kalau aku tak suka pada orang, aku sungguh tak peduli. Mau
nungging mau jumpalitan, tak ada urusannya denganku.
"Cukup puas?" "Cukup," jawab Mpu Sora. "Bagaimana kalau aku menemui Anakmas Upasara?"
"Boleh saja. Cari sendiri. Aku masih banyak urusan."
Gendhuk Tri baru mau membalikkan tubuh ketika terdengar suara-suara di kejauhan.
Mpu Sora dan Mpu Renteng memiringkan kepala ke arah datangnya suara.
"Binatang kampungan mana yang bikin ribut ini semua" Ini saat buat tidur. Bukan
bikin perkara." Belum habis suaranya, Gendhuk Tri sudah melesat masuk ke dalam hutan.
Selendangnya berkibaran, dan meninggalkan bau yang sangat amis.
"Racun yang mengeram dalam tubuh anak itu betul-betul ganas. Pada jarak yang
begini jauh, saya hampir tak tahan."
"Kita tengok ke sana."
Mpu Sora dan Mpu Renteng menuju ke arah datangnya suara.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ke bagian yang dekat alun-alun.
Ternyata suara-suara itu berasal dari beberapa prajurit yang mengelilingi
seorang lelaki sudah berumur. Berada di tengah lingkaran, lelaki setengah umur
itu diikat kedua tangannya.
"Bunuh saja sekarang."
Mpu Sora lebih kaget lagi karena ternyata mengenali Dyah Pamasi ada di antara
para prajurit. Ini berarti ada utusan resmi dari Keraton.
Karena Dyah Pamasi, seperti juga Dyah Palasir, resminya bertugas di Keraton.
Pasti tidak begitu saja meninggalkan Keraton. Tapi siapa yang mengutus dan apa
yang terjadi" Taktik Menjebak Harimau APA yang disaksikan Mpu Renteng dan Mpu Sora membuat mereka bertanya-tanya dalam
hati. Kalau sampai para prajurit pilihan yang merupakan prajurit kawal Baginda keluar
dari Keraton, dan ini tanpa diketahui Mpu Sora yang juga ditugaskan ke Perguruan
Awan, pasti termasuk tugas yang wigati, sangat penting.
Lagi pula prajurit yang dipimpin Dyah Pamasi bergerak secara terang-terangan.
Mereka bahkan menyalakan obor dan membuat suara gaduh.
Lelaki yang setengah umur itu dalam pandangan Mpu Renteng adalah penduduk biasa.
Bukan seorang ksatria atau jago silat. Cara bergerak ataupun mengatur napas
tanpa pengendalian. Akan tetapi, meskipun penduduk biasa, Dyah Pamasi merasa perlu mengawasi dan
memberi komando secara langsung.
"Kakang Sora, apakah tidak lebih baik kita meneruskan mencari Permaisuri?"
"Agaknya ada perkembangan lain yang memaksa kita menyaksikan sebentar."
"Saya tidak mengerti, Kakang."
"Saya pun belum mengerti. Tetapi kalau rombongan Pamasi sekarang muncul, pasti
sejak lama berada di sekitar tempat ini. Nyatanya mereka sama sekali tidak
begitu peduli dengan hilangnya Permaisuri. Tak mungkin Palasir tidak bercerita.
Tetapi Pamasi lebih suka mengurusi orang tua yang bisa diselesaikan oleh satu
prajurit." Mpu Renteng mengangguk dalam.
Kakinya bergerak maju. "Pamasi..." Dyah Pamasi memberi sembah hormat.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Siapa nama lelaki tua ini, dan apa salahnya sehingga seluruh prajuritmu
menangkap?" "Kami sedang melakukan perjalanan keliling melihat suasana keamanan."
Mpu Renteng mengernyitkan alisnya. Tugas pengamanan tentunya tidak sejauh ini
meninggalkan Keraton. "Di desa Karang Asem kami diracuni oleh seorang ini yang mengaku bernama
Toikromo. Hukuman bagi pembunuh seorang prajurit adalah..."
Mendadak terdengar pekikan nyaring.
"Apa benar orang itu bernama Toikromo?"
Itu suara Gendhuk Tri. Tubuhnya tetap kecil. Rambutnya terurai, kain kemben sebatas dada nampak lebih
jelas dalam cahaya obor. Selendang berkibar, seperti mengisyaratkan bisa
disabetkan setiap saat. Pamasi menggerakkan tangannya, dan seketika itu juga semua prajurit membentuk
lingkaran Supit Urang, atau Sepit Udang.
Mpu Renteng mundur dua tindak.
Ternyata semua prajurit dalam keadaan siap tempur.
"Aku tanya apakah benar ia bernama Toikromo" Apa kalian semua tuli dan bisu
sekaligus?" Dyah Pamasi memberi hormat kepada Mpu Renteng sekilas, lalu berbalik menghadapi
Gendhuk Tri. "Siapa kamu dan apa urusanmu campur tangan?"
Gendhuk Tri mengibaskan selendangnya, bagai seorang penari melakukan seblakan.
Kibasan yang lembut, enteng. Namun Dyah Pamasi merasakan getaran yang kuat
menerpanya. Dan juga bau amis busuk yang menyengat.
"Kamu sudah datang kemari, pasti sudah tahu siapa aku. Prajurit sebodoh kamu
untuk apa dipekerjakan?"
Gendhuk Tri tersenyum mengejek sambil melangkah maju. Dua prajurit yang berada
di depan berusaha menahan dengan tombaknya.


Senopati Pamungkas Satu Karya Arswendo Atmowiloto di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gendhuk Tri sama sekali tak memperhatikan. Selendangnya mengibas ke arah dua
ujung tombak, melibat, dan dengan sentakan lewat pinggang, dua tombak itu
melayang. Dua prajurit itu tersungkur.
Dyah Pamasi mencabut kerisnya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Aku peringatkan kamu, jangan sampai menyentuh kulitku, atau tersentuh kulitku.
Malaikat dan segala hantu pun tak bisa menolongmu."
"Jangan memaksa aku bertindak kasar."
Mpu Sora meloncat maju. Tangannya mengibas ke arah Dyah Pamasi.
Baik Mpu Sora maupun Mpu Renteng mengetahui bahwa Gendhuk Tri tidak main-main.
Apa yang dikatakan bisa terjadi. Menyentuh kulit Gendhuk Tri, apalagi sampai
melukai, bisa berarti maut. Karena saat itu pasti Gendhuk Tri sudah bisa
melukai. Dan dengan tubuh yang menyimpan segala jenis racun, Pamasi tak akan
tertolong jiwanya. Mpu Sora tahu bahwa Gendhuk Tri memiliki racun dalam tubuhnya.
Sedemikian kuat racun itu sehingga sampai sekarang belum ada yang bisa
menyembuhkan. Konon racun itu terserap sendiri ke dalam tubuhnya, dari beberapa
tokoh silat yang tadinya menggunakan senjata racun. Termasuk dari Dewa Maut,
yang sekarang jadi tidak mempunyai tenaga lagi.
"Pamasi, di hutan ini tak boleh berbuat gegabah.
"Ini bukan tempat yang baik untuk melaksanakan hukuman. Lebih baik kita mencari
tempat lain." Meskipun dongkol, Pamasi menghaturkan sembah sambil mengangguk.
"Tunggu, kamu belum menjawab pertanyaanku.
"Jawab dulu, apakah benar lelaki itu Toikromo?"
"Kalau iya, kamu mau apa?"
"Aku mau kamu minta maaf padanya, melepaskan sekarang juga, meminta maaf lagi
sambil menjilat kakinya. Kalau Pak Toikromo memberimu ampunan, aku cuma mau
potong telingamu. Kalau tidak, kamu tinggal pilih. Mati perlahan, atau yang
thek-sek, langsung."
"Kamu apanya Toikromo?"
"Aku baru mengenal sekarang."
"Kamu tahu kesalahannya?"
"Apa pun kesalahannya, lepaskan sekarang."
Mpu Sora jadi merasa serbasalah. Ia menyuruh Pamasi menahan diri, akan tetapi
ternyata Gendhuk Tri merangsek maju.
Kalau ia membiarkan saja, berarti membiarkan Pamasi menanggung malu. Biar
bagaimanapun, itu tak boleh terjadi. Pamasi adalah prajurit Keraton, sama dengan
dirinya. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Kalau ia melarang Gendhuk Tri, masalahnya akan berkembang ke arah pertarungan.
Gendhuk Tri pasti tak akan mundur.
Mpu Sora sama sekali tidak gentar menghadapi Gendhuk Tri. Walau tubuhnya
dipenuhi racun yang bisa menular, mana mungkin Mpu Sora menjadi jeri"
Mendadak terbersit sesuatu dalam pikirannya.
Dyah Pamasi agaknya sengaja memamerkan cara menghukum Toikromo. Justru untuk
mengundang perhatian penghuni Perguruan Awan. Agar mereka muncul.
Jadi ini seperti taktik memasang "jebakan harimau". Seperti kebiasaan para raja
jika ingin berburu harimau. Yang menjadi umpan adalah manusia yang dimasukkan ke
dalam sangkar jebakan. Harimau akan datang mendekat, dan saat itulah ditikam
beramai-ramai. Memang dengan demikian mengorbankan nyawa manusia - bila terlambat,
akan tetapi memang diperlukan umpan yang berarti untuk tangkapan yang lebih
berarti. Nah, kalau Toikromo ini sebagai umpan jebakan, tak sulit menduga siapa yang
dianggap "harimau". Pasti Upasara Wulung!
Taktik ini sesuai kalau diingat bahwa yang sekarang dikerahkan adalah prajurit
pilihan dari Keraton. Dan memang saat ini Baginda Raja ingin memancing Upasara
Wulung keluar dari sarangnya!
Kalau ini benar, Mpu Sora masih tetap bertanya-tanya. Siapa yang memasang
perangkap ini" Bukankah Baginda sudah memerintahkan pendekatan melalui
Permaisuri Gayatri" Apakah Baginda menitahkan dua perintah sekaligus, agar terjamin pelaksanaannya"
Masuk akal, walau bisa dipertanyakan.
Yang lebih pelik lagi jika rombongan Dyah Pamasi ini tidak mendapat perintah
langsung dari Baginda. Akan tetapi dari seseorang yang pastilah mempunyai
pengaruh besar terhadap Baginda. Seseorang yang dekat itu sangat mungkin sekali
Mpu Nambi, pemimpin prajurit telik sandi. Kalau benar begitu, Mpu Nambi memang
luar biasa. Taktiknya memasang umpan Toikromo sangat berhasil!
Nyatanya Gendhuk Tri menjadi begitu geram.
Mpu Sora sejauh ini tidak mengetahui apa hubungan lelaki penduduk desa biasa
dengan Upasara Wulung. Dan nyatanya Mpu Nambi - kalau benar dia - mempunyai
perhitungan yang matang. Mampu memilih umpan yang terbaik.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Yang tak diketahui oleh Mpu Sora ialah bahwa sesungguhnya Gendhuk Tri juga tak
pernah mengenal Toikromo! Makanya tadi bertanya lebih dulu.
Meskipun tak mengenal, Gendhuk Tri mendengar hubungan antara Toikromo dan
Upasara Wulung. Dulu sewaktu Upasara Wulung menyusup ke Keraton Singasari, yang
baru saja dikuasai Raja Muda Jayakatwang, ditolong oleh penarik pedati bernama
Toikromo. Penduduk desa yang lugu ini tertarik kepada Upasara Wulung, dan berniat
mengambil menantu. Toikromo sama sekali tak mengetahui siapa sesungguhnya pemuda
yang ikut membonceng pedatinya.
Gendhuk Tri mendengar perkawinan putri Toikromo dengan Upasara Wulung. Malah
ketika Upasara Wulung menghilang, Gendhuk Tri menduga jadi menikah.
Maka dengan disebutnya nama Toikromo cukup mempunyai arti bagi Gendhuk Tri.
Apalagi kini dalam keadaan bahaya.
Tembang Dini Hari GENDHUK TRI bisa mudah mengenal Toikromo walau Pamasi hanya menyebutkan satu
kali. Sepanjang hidupnya, Gendhuk Tri tak banyak mengenal nama orang.
Boleh dikatakan ia hanya berhubungan dengan sedikit nama dan sedikit orang.
Sejak kecil, bahkan sebelum ingat benar siapa orangtuanya, ia sudah dititipkan
di dalam Keraton. Untuk dilatih menjadi penari Keraton. Ia diculik dari Keraton
oleh seseorang yang sama sekali tak dikenalnya, dan baru kemudian menjadi
gurunya. Yang baru belakangan diketahuinya sedikit adalah asal-usul gurunya,
yaitu Jagaddhita, salah seorang penari Keraton Singasari, kekasih Baginda Raja
Sri Kertanegara. Demikian juga hubungannya dengan Mpu Raganata yang perkasa,
yang ternyata juga gurunya.
Sejak itu Gendhuk Tri berkelana atau belajar ilmu silat. Sampai akhirnya merasa
mempunyai seorang kakak, seorang lelaki yang dikagumi, yaitu Upasara Wulung.
Apa yang menjadi perhatian Upasara Wulung, dengan sendirinya menjadi perhatian
Gendhuk Tri. Hanya karena adatnya sejak kecil tak banyak mengenal tata krama, sikapnya
berbeda dari kebanyakan orang pada usianya.
"Anak Tri," kata Mpu Sora perlahan. "Kita bisa membicarakan dengan tenang. Saya
menjamin bahwa Pak Toikromo tak akan menderita sedikit pun tanpa
sepengetahuanmu." "Aku tak peduli. Aku mau ia dilepaskan sekarang juga."
"Sebentar lagi pagi datang. Kita bisa saling bicara dengan tenang."
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
"Oho, kok enak ya"
"Bukankah komplotan kalian ini yang bikin perkara malam hari?"
Mpu Renteng pun merasa Gendhuk Tri sangat kurang ajar!
Mpu Sora sudah merendahkan diri dan bicara dengan bahasa halus.
Akan tetapi ditanggapi dengan sikap seadanya, tanpa sopan santun sedikit juga,
nada bicaranya tetap sengit.
Kalau Mpu Sora menahan diri, bukan karena semata-mata jiwanya lebih dewasa. Mpu
Sora mengetahui bahwa Toikromo adalah umpan yang tak boleh dilepaskan begitu
saja. Tetapi menahan dengan membabi buta bisa menimbulkan persoalan baru, yang
memperkeruh suasana yang ada.
Kalau tidak hati-hati menangani, bisa bubrah semuanya.
Sejak menginjak Perguruan Awan, terjadi berbagai peristiwa saling susul.
Serangan dua pendekar yang menutupi wajahnya karena takut dikenali. Yang
ternyata mengetahui situasi dengan baik. Sehingga bisa menculik Permaisuri.
Siapa mereka, dan apa maksud mereka, masih tetap gelap.
Hal ini juga bisa dikaitkan dengan munculnya Dyah Pamasi dan tawanannya yang
bernama Toikromo. Pasti bukan kebetulan kalau Dyah Pamasi menemukan Toikromo
yang akan meracuni prajurit. Alasan yang kurang masuk akal anak kecil sekalipun!
Yang menjadi persoalan, siapa yang mengirim mereka" Kalau tadinya Mpu Sora
menduga ini semua dari Mpu Nambi, bisa diragukan sendiri. Kenapa bukan menyuruh
senopati yang lebih tangguh" Kenapa Dyah Pamasi" Bukankah Dyah Palasir bisa
ditugaskan khusus untuk ini daripada sekadar menemaninya"
Makin diurai, makin banyak tanda tanya.
"Di jagat ini ada begitu banyak nama Toikromo. Apakah ini benar-benar Toikromo
yang ingin Anak Tri bebaskan?"
Cerdik sekali Mpu Sora membuat Gendhuk Tri ragu.
"Mana aku tahu?"
"Kalau begitu..."
"Kalau begitu bebaskan dia lebih dulu."
Gendhuk Tri bertolak pinggang.
"Kalau ternyata keliru, ya ikat lagi."
Tangan kiri Gendhuk Tri bergerak. Selendangnya mengibas. Dyah Pamasi berdiri
menghadang. Kibasan selendang ditangkis, dan ia mencabut keris dalam waktu yang
bersamaan. KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Ujung selendang memang tertangkis, arahnya berubah. Akan tetapi, kembali
bergerak maju. Menutupi keris Pamasi. Dengan satu sentakan, Gendhuk Tri berusaha
membetot. Tubuhnya melayang ke atas, berputar di udara.
Pamasi tersedot, sehingga tubuhnya ikut melayang ke atas. Karena enggan
melepaskan pegangan kerisnya, sambil melayang tangan kirinya menyodok pinggang
Gendhuk Tri. Hanya saja karena tubuh Gendhuk Tri berbeda dari wanita dewasa,
jadinya tonjokan ke arah dada.
Gendhuk Tri menangkis dengan berusaha menggenggam tangan Pamasi. Semua terjadi
di tengah udara. Mpu Renteng menahan napas. Ia secara khusus mempelajari memainkan ujung kain
dengan penyaluran tenaga. Tak jauh berbeda dari Gendhuk Tri. Untuk ini
memerlukan latihan yang cukup lama.
Maka cukup mengherankan bahwa Gendhuk Tri yang masih bocah ini bisa memainkan
tenaga yang disalurkan lewat selendang.
Kalau Mpu Renteng mengetahui Gendhuk Tri termasuk murid Mpu Raganata, barangkali
rasa kagumnya bisa berkurang.
Enteng Gendhuk Tri melayang turun, dengan ujung selendang masih melibat keris
Pamasi. Seorang prajurit yang mencoba maju terpelanting kena sabetan tangan
Gendhuk Tri. Wajahnya tergores luka. Sebelum matanya bisa membelalak sempurna, ajalnya sudah sampai!
Racun dari segala racun! Seakan merambat lebih cepat daripada aliran darah.
Pamasi nggragap juga. Ia mengetahui bahwa Gendhuk Tri menyimpan racun dalam
tubuhnya, akan tetapi di luar dugaannya bahwa racunnya begitu ganas.
Sudah barang tentu kalau yang terkena goresan Dyah Pamasi, racun itu tak akan
menjalar begitu cepat. Pamasi mempunyai daya tolak dari dalam yang lebih kuat.
Tapi ini membuat Pamasi sempat goyah.
Mengetahui kekuatan di tangan Pamasi maju-mundur, Gendhuk Tri mengentak sekali
lagi. "Lepas!" Gendhuk Tri menyendal lagi, dan kali ini ketika tubuhnya mencelat ke atas, keris
itu benar-benar terlepas dari tangan Pamasi. Pamasi mengikuti tarikan dan sekali
lagi ikut melambung. Keris memang terlepas, akan tetapi ketika turun bisa
disambar kembali dengan sentuhan sikunya.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Begitu turun di tanah, Pamasi berdiri di depan Toikromo.
"Kamu punya racun sehingga aku tak berani menyentuh. Tapi kamu juga tak berani
menyentuhku." "Kamu kira aku takut maju?"
Mpu Sora menahan napas. Kalau sama-sama nekat, pertumpahan darah tak bisa dicegah. Tapi terlambat untuk
bertindak. "Gendhuk, ke mana saja kamu main?"
Terdengar suara yang lembut, dingin, dan enak di telinga. Gendhuk Tri tertawa.
"Ini ada permainan menarik, Pak Gundul.
"Ayolah kemari, daripada mengeram terus."
Yang dipanggil Pak Gundul memang benar-benar gundul, bertubuh gemuk bulat. Tak
sehelai rambut pun tumbuh. Pakaian yang dikenakan juga asal menempel saja.
Mpu Sora dan Mpu Renteng memberi hormat dengan membungkukkan badannya.
"Maaf, Kisanak Jaghana...."
"Saya yang seharusnya minta maaf. Maaf, saya tidak tahu kalau ada tamu begini
banyak. Gendhuk Tri, kemarilah sebentar."
"Tidak mau." "Kalau aku yang meminta juga tidak mau?"
Sesosok bayangan tinggi besar datang. Gagah dengan rambut yang diikat kain
secara serampangan. Di tangannya tergenggam tongkat yang mengilat.
Mpu Sora mengangguk hormat.
Berarti dugaannya benar. Toikromo adalah umpan yang tepat untuk menjebak
keluarnya harimau. Kini boleh dikatakan sudah kelihatan ekor
dan kakinya. Yang baru muncul adalah Galih Kaliki. Dan jika Galih Kaliki, Jaghana, serta
Gendhuk Tri sudah keluar, berarti semua tokoh penting yang mengeram di dalam
Perguruan Awan sudah terpancing. Tinggal Upasara Wulung! Yang pasti akan muncul
juga kalau suasana makin panas.
Meskipun tidak setuju cara Pamasi, diam-diam Mpu Sora mengakui bahwa cara
menekan Toikromo menyebabkan isi hutan keluar.
KANG ZUSI WEBSITE http://kangzusi.com/
Mpu Renteng menghitung sendiri. Dari yang diketahui, mereka yang masih berada di
dalam adalah Wilanda, yang mempunyai ilmu terbang capung. Namun beberapa saat
lalu tenaga dalamnya terluka, sehingga tidak terlalu berbahaya. Juga Dewa Maut,
Irama Maut 2 Ario Bledek Petir Di Mahameru 02 Tembang Maut Alam Kematian 2
^