Pencarian

Budha Pedang Penyamun Terbang 16

Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira Bagian 16


Maka dalam hal rahasia yang seolah-olah paling mudah
dibongkar, seperti rahasia dalam bentuk kata-kata lisan, yang
dibisikkan secara berantai dari telinga ke telinga, tidaklah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
membuat usaha perburuannya menjadi lebih mudah. Dalam
hal pesan rahasia lisan dari telinga ke telinga, pesan rahasia
yang dimaksudkan besar kemungkinan dikaburkan oleh
banyak sekali pesan rahasia dari sekian banyak jalur lainnya,
sehingga yang melacaknya akan sangat sulit menentukan, itu
pun jika semua berhasil disadapnya dengan suatu cara,
manakah kiranya yang bisa dijamin merupakan pesan rahasia
sesungguhnya. Semua ini menjadi lebih rumit, karena jaringan yang
bertumpang tindih itu tidak hanya mewakili satu atau dua
pihak yang saling membutuhkan atau saling berlawanan,
melainkan begitu banyak kepentingan yang tidak harus saling
berhubungan antara satu dengan lainnya.
Namun menjadi sangat penting untuk kupastikan sekarang,
betapa yang disebut jaringan rahasia istana itu sama sekali
tidak terbatas di dalam istana. Aku menyadari betapa
penguasa tidak akan mampu menancapkan kekuasaan dengan
baik, jika tidak didukung jaringan rahasia yang menyelusup
dan mengakar sampai ke pelosok perbatasan maupun negeri-
negeri jajahan. Maka tentulah menjadi pertanyaanku, apakah
pemukiman penduduk asli yang sebetulnya keturunan bekas
pemberontak tidak luput dari jaringan rahasia itu" Dalam
pemukiman seperti ini, bahkan pengawal rahasia istana yang
paling pandai menyamar dan meleburkan diri ke dalam suatu
kelompok pun tidak selalu berani memasukinya, karena sangat
sering terjadi, yang ditugaskan ke sana tidak pernah kembali
lagi! (Oo-dwkz-oO) Episode 174 ga ada (Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Episode 175: [Keturunan Para Pemberontak]
AKU telah menyusuri lorong ini semalam suntuk. Tidak
selamanya lorong ini sempit dan lurus, dan tidak selamanya
pula celah ini terbuka sampai di atas. Ada kalanya celah di
atas itu menutup dan dinding-dinding lorong saling menjauh
sehingga terbentuk ruang yang luas, seperti gua, yang
ternyata dari atapnya air menetes-netes. Di dalam gua air
yang menetes-netes itu membentuk kolam kecil berair bening
tempat kudaku minum, dan dari kolam itu pun terbentuk
aliran kecil yang meninggalkan gua, berkericik lembut
memberi kesan kedamaian. NAMUN di tempat seperti ini pun bergeletak kerangka
manusia tiada ketinggalan. Dalam kegelapan aku tak dapat
melihatnya, tetapi kudaku sengaja menendang tengkoraknya
untuk memberitahu aku, dan kudengar suaranya menggelinding di atas dasar batu. Kuduga mereka adalah
pengembara yang menjadi gila di celah sempit, dan dengan
nalurinya dapat mencapai tempat ini, lantas kemudian mati di
sini. Memang tidak semestinya celah sempit mana pun di
dunia dengan dinding setinggi apapun di atas sana membuat
orang menjadi gila, sehingga siapapun yang tiada tahu
menahu dengan perihalnya akan melewatinya saja tanpa
prasangka, siang maupun malam, dalam cuaca apapun jua,
dalam keadaan berkabut, terang, ataupun hujan.
Dalam kenyataannya meski sebagian besar orang muncul di
seberang celah tanpa kurang suatu apa, selalu ada saja yang
muncul sudah menjadi gila, dan sebagian yang lain bahkan
tidak pernah muncul lagi, karena kegilaan dan kepanikan
bagaikan telah meledakkan urat syarafnya dan membawanya
kepada kematian. Dengan demikian, menyeberangi celah secara berombongan memang menjadi salah satu pilihan, lengkap
dengan pemandu atau pengawal bersenjata, sedangkan
pilihan waktunya tentu saja adalah siang. Namun tetap saja
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
selalu ada pengembara seperti diriku, yang karena keadaan,
terpaksa atau tidak terpaksa, memilih dan memutuskan
menempuh perjalanan dalam kegelapan sendirian.
Telah kualami sendiri perjalanan malam di celah sempit ini
dan kuketahui apa yang dapat dialami dan tidak dialam i oleh
siapapun yang mengarunginya dari malam sampai pagi. Tidak
semua orang akan cukup beruntung berada di bawah
rembulan ketika melewati dinding penuh coretan itu,
sedangkan apabila sebetulnya cukup beruntung mungkin tidak
peduli sama sekali terhadap guratan aksara pada dinding
raksasa yang bertumpuk dengan guratan gambar itu.
Sedangkan apabila ternyata peduli, tentu masih membutuhkan
ilmu meringankan tubuh yang tinggi agar dapat memeriksa
guratan-guratan itu setiap kali dari atas ke bawah, sebelum
mampu memecahkan persoalan yang diberikannya, bahwa
gambar-gambar itu mengarahkan makna tulisannya.
Di ujung lorong samar-samar kulihat cahaya lembut
keunguan. Mungkinkah di luar sana fajar menjelang" Terdapat
perasaan di dalam diriku agar sedapat mungkin keluar dari
lorong dengan secepat-cepatnya. Namun aku tahu betapa
diriku harus mampu menahan diri sekuat-kuatnya, karena
itulah salah satu keinginan di dalam lorong ini, yang jika tidak
kunjung terpenuhi akan memberi sumbangan untuk membuat
seseorang menjadi gila. Kewaspadaan juga memang masih
sangat diperlukan, karena sementara cahaya tidak dapat
datang lagi dari atas ketika atap celah tertutup, juga bahwa
dasar celah tempat berpijak sering tiba-tiba menganga
sebagai jurang. Ada kalanya menganga begitu rupa sehingga hanya kuda
saja yang dapat melompatinya, dan dalam kegelapan hanya
kuda itu saja yang mengetahuinya. Tidak terlalu mengherankan. jika mereka yang berjalan kaki dan kehilangan
kewaspadaan, dalam kelelahan dan kepanikan akan
terperosok ke dalam jurang yang terbentuk dari belahan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
gunung batu merekah itu, melayang hilang ke bawah tanpa
pernah ditemukan lagi. Penduduk pemukiman terdekat
memang selalu membuat jembatan tali di atas jurang-jurang
semacam itu, supaya mereka yang tidak memiliki ilmu silat,
terutama ilmu meringankan tubuh, juga dapat menyeberangi
jurang-jurang itu. Namun dalam kegelapan, jembatan tali
tersebut juga tidak mungkin terlihat dengan jelas.
Bahwa cahaya keunguan itu masih lembut, sangat tipis dan
sangat samar, rupanya disebabkan karena cahaya pagi
tersebut baru terpandang olehku, setelah melalui lorong yang
menjelang berakhir ini ternyata menjadi berliku-liku.
Kericik aliran air dari kolam sudah tidak terdengar lagi,
tetapi lorong ini sekarang sama sekali tidak sepi. Kurasa angin
di luar sana memberikan akibat terhadap suara seperti gema
yang kini terus menerus terdengar bagaikan suatu janji,
betapa di luar ce lah banyak persoalan masih menanti.
Itulah pertanyaanku kepada diriku sendiri, apakah kiranya
yang dipersiapkan Harimau Perang untuk menghalangi
pengejaranku" Apakah cukup baginya untuk menghilang
takterlacak secepat-cepatnya, ataukah ia juga memikirkan
sesuatu untuk dilakukan jika ternyata aku dapat mengikuti
jejaknya" (Oo-dwkz-oO) UDARA merasuk ke dalam lorong seperti memancing
kudaku untuk tambah melaju, tetapi kudaku tidak lantas lari
melaju, karena memang selain masih ada saja celah
menganga di dasarnya, dasar lorong pun tidak selalu rata
melainkan berbatu-batu, bahkan tidak jarang naik dan turun
dalam kecuraman yang masih juga berbahaya.
NAMUN pagi memang seperti memenuhi janji. Lorong yang
semula lurus saja dan kini semakin berliku-liku itu betapapun
semakin lama semakin terang. Lorong berliku-liku itulah yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
telah membuat cahaya pagi yang memang masih dini menjadi
sangat samar-samar. Langit telah menjadi ungu muda ketika aku tiba di mulut
lorong. Aku berhenti sejenak, tidak langsung menuju keluar.
Pikiranku memang masih dan tidak boleh lepas dari Harimau
Perang. Mengetahui siapa yang kuikuti, dan mengandaikan
bahwa ia tahu sedang kuikuti, kurasa sangat pantas aku
bersikap waspada, betapa cara apapun akan digunakannya
untuk menghindarkan diri dari pengawasanku.
Aku turun dari kuda. Kutuntun pelahan menuju bibir lorong.
Semakin dekat ke bibir lorong itu semakin kudengar suara
orang bercakap-cakap. Aku berhenti, bersembunyi di bagian lorong yang masih
gelap. Di antara cahaya ungu, kulihat asap, dan samar-samar
cahaya kekuningan bergerak-gerak. Aku menengok ke arah
suara orang bercakap-cakap itu.
Namun segera kutarik kembali kepalaku itu.
Zhhlllaabbb! Sebilah pisau menancap pada dinding batu, tepat di depan
wajahku! Dua orang yang ternyata sedang bercakap-cakap di depan
api unggun itu sekarang tertawa terbahak-bahak.
"Hahahahaha! Terkejutkah sobat" Hahahahaha! Maafkan
kalau aku bercanda agak keterlaluan! Hahahahaha! Tapi kami
juga malas diintip seperti itu! Hahahahaha! Kemarilah sobat,
duduk berbincang di depan kehangatan api unggun ini! Teh
panas terbaik menantimu di sini!"
Pisau yang ternyata gagangnya bertali itu ditarik dan
kembali kepada pemiliknya yang menangkap pisau itu dengan
tangkas. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Aku melangkah keluar sambil menghela napas, menyadari
diriku ternyata terlalu tegang. Kulepas begitu saja kudaku,
yang segera merumput di dekat sebuah pohon. Terlihat
sebuah gubuk darurat dan dua ekor kuda, tentu milik kedua
orang yang sedang bercakap-cakap di depan api unggun itu.
Mereka memperhatikan diriku yang mendekat tanpa
membawa senjata apa pun, dan mereka tentu segera tahu
betapa diriku yang berkulit sawo matang ini seorang asing.
Untunglah aku sungguh telah belajar keras di Kuil Pengabdian
Sejati, serbasedikit tentang bahasa Negeri Atap Langit.
"Kemarilah sobat! Jangan takut! Kami orang yang cinta
damai! Jelaskanlah siapa dirimu, dari mana asalmu, dan ke
mana tujuanmu?" Aku pun menjura dengan takzim.
"Maafkan sahaya yang tidak mengenal adat istiadat daerah
ini, wahai para pendekar yang perkasa. Sahaya hanyalah
seorang pengembara hina dina tiada bernama asal Javadvipa,
datang dari An Nam menuju Chang'an yang termasyhur ke
seluruh dunia, untuk menyaksikan kegemerlapannya."
Mereka berdua pun bangkit menjura.
"Ah, Javadvipa! Di sebelah manakah dari Suvarnadvipa
kiranya?" "Jika Tuan pernah mendengar tentang Huang-tse, dan
kapal-kapal yang berlayar ke Nanyang, di arah yang samalah
Javadvipa berada Tuan, tempat terdapatnya kerajaan
Mataram." Pagi yang semakin terang memperlihatkan wajah mereka
yang kurang mengerti. Tentu sulit sekali lidah mereka
mengucapkan Mataram, tetapi kurasa mereka mendengar
tentang kapal-kapal Negeri Atap Langit yang berlayar ke
selatan. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Ah sudahlah! Hentikan basa-basi ini, dan mari makan
minum di sini. Dikau tentu lelah sekali mengarungi Celah
Dinding berlian malam hari. Sudah jarang orang melakukannya sekarang jika keperluannya tidak mendesak,
karena malam lebih mudah membuat orang menjadi gila. T api
kulihat dikau tidak gila sobat! Kemarilah, dan jangan panggil
pemandu melarat seperti kami sebagai Tuan! Hahahahaha!"
Tidak dapat kuceritakan, bagaimana rasanya bertemu
manusia kembali dengan rasa persahabatan seperti ini.
Memang tidak kuingkari aku dapat mengatasi ruang dan
waktu sepuluh tahun di dalam gua, ketika memasukinya pada
usia 15 pada 786, dan keluar lagi sudah berumur 25 pada 796,
dengan ilmu silat meningkat berlipat ganda, yang karenanya
dapat menyelamatkan aku dari berbagai keadaan berbahaya,
yang bagi lain orang telah mengirimkannya ke luar dunia.
Namun aku memasuki celah sempit dan gelap gulita ini tanpa
mengatasi ruang dan waktu sama sekali, sehingga dalam
perasaan tertekan, waktu yang semalam bagaikan satu tahun
lamanya. MASIH beruntung aku sempat lama tenggelam dalam
perenungan atas pemikiran Yangzi dalam hubungannya
dengan guratan gambar-gambar di atas aksara pada dinding
raksasa, sehingga perjalanan dalam kegelapan sedikit banyak
tidak memberi gangguan perasaan berarti. Betapapun siapalah
kiranya tidak akan merasa tegang ketika dasar lorong setiap
saat bisa menjadi jurang menganga bergema yang harus


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilompati" ''Beristirahatlah di s ini dahulu sobat, nikmatilah air teh yang
masih panas ini.'' Aku duduk dengan perasaan bahagia. Kuterima uluran
tempat minum dari tembikar itu, lantas menerima tuangan teh
panas itu dari dalam poci. Kusalurkan rasa panas pada
tembikar tempat minum yang kupegang itu, menjadi hawa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
hangat yang mengaliri seluruh tubuhku. Aku bahkan
memejamkan mata sejenak untuk menikmatinya.
Ketika aku membuka mata, kusaksikan dua wajah yang
tampak riang melihat bagaimana aku menjadi bahagia.
''Lihat tamu kita ini Serigala Putih, rupanya teh oolongmu
itu telah membuatnya bahagia,'' ujar yang berkulit lebih gelap.
''Jangan berlebihan Serigala Hitam,'' ujar yang berkulit lebih
terang, ''siapa pun tentunya
akan bahagia setelah menyeberangi celah itu sepanjang malam sendirian saja.''
''Selamat pula! Huahahahaha!''
''Ya, selamat pula! Hahahaha!''
Kemudian mereka pun bercerita, bahwa sudah sangat biasa
jika seseorang memasuki celah itu sendiri saja pada malam
hari, ketika keluar sudah menjadi kosong matanya,
bersenandung sendiri, berjalan seperti orang buta yang
melangkahkan kaki di tepi jurang seolah di tengah lapangan,
hanya untuk terpeleset dan melayang ke balik mega, yang
masih selalu mengambang di atas jurang.
Cerita seperti ini membuat banyak orang yang harus
bepergian melalui celah saling menunggu sampai jumlahnya
cukup, kadang hanya tiga orang, tetapi tidak jarang sampai
duapuluh orang, lelaki maupun perempuan, tua maupun anak
kecil, untuk menyeberang bersama, dengan menyewa
pemandu pula. Jika mereka yang bermaksud menyeberang biasanya
berasal dari kota di bawah gunung, artinya masih daerah
pinggiran juga, maka yang menjadi pemandu adalah mereka
yang disebut penduduk asli dari pemukiman yang tidak pernah
tampak dari jalan sempit di tepi jurang tersebut. Penduduk
yang terbentuk dari para pelarian dalam pemberontakan dari
wangsa ke wangsa, dari maharaja ke maharaja, beranak pinak
di sana sambil terus mewariskan cita-cita; tetapi sete lah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
berpuluh tahun, tidak semua orang berpikir terlalu sungguh-
sungguh akan cita-cita tersebut. Mereka yang menerima
kenyataan telah menyesuaikan diri dengan keadaan, sehingga
mampu mengembangkan kemampuan untuk hidup dalam
keterasingan pegunungan batu serba curam itu, dalam
kedudukan mereka sebagai pelarian yang harus terus menerus
bersembunyi dan berjaga-jaga terhadap penyerbuan pasukan
Negeri Atap Langit. Namun tidak semua orang sudi berkebun di lereng sempit,
miring, dan tersembunyi. Bahkan untuk menjadi pemburu atau
penjerat binatang pun mereka ini terlalu malas. Akibat
terburuk dari keadaan ini adalah semakin banyaknya
rombongan penyamun di sepanjang perbatasan, justru
terutama di wilayah lautan kelabu gunung batu, yang jauh
dari pusat kekuasaan manapun. Akibat sebaliknya pun juga
terjadi, bahwa mereka yang hanya mampu memainkan
senjata, demi sebuah penyerbuan ke kotaraja suatu ketika di
masa depan meski takjelas kapan, justru menjual jasa untuk
melindungi siapapun yang merasa terancam oleh para
penyamun, sebagai para pengawal perjalanan yang dalam
tugasnya juga menjadi pemandu.
Jadi selain terdapat para penjual jasa pengawalan
bersenjata dari kota di kaki bukit, seperti yang mengawal
rombongan pemain wayang sambil merangkap sebagai
pembawa barangnya, terdapat pula para penjual jasa dari
berbagai pemukiman tersembunyi di lautan kelabu gunung
batu ini, yang melayani penduduk di sekitar Celah Dinding
Berlian ini saja. Bahkan dalam hal kedua orang yang sangat
ramah ini, mereka hanya melayani pemanduan untuk
menyeberangi Celah Dinding Berlian ini saja.
''Begitulah keadaannya di tempat ini sobat! Kami tahu diri
untuk selalu dibayar lebih murah dari para pengawal
perjalanan dari kota, karena yang menyewa kami adalah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mereka yang bermukim di wilayah tanpa peredaran uang
sama sekali! Hahahahaha!''
MEREKA berdua tertawa terbahak-bahak, seperti menertawakan diri mereka sendiri. Sementara mendengarkan
mereka bercerita sambil minum teh, cahaya pagi yang
semakin terang memperjelas sosok mereka. Busananya
memang sudah lusuh dan tidak berwarna, tetapi mereka tetap
mengenakan fu tou atau turban yang menutupi kepala
mereka, sesuai aturan berbusana yang benar dalam
peradaban Wangsa Tang. Artinya mereka adalah keturunan
dari apa yang disebut Pemberontak Baru, yakni mereka yang
terlibat permainan serta perebutan kekuasaan semasa Wangsa
Tang, bukan sebelumnya, apalagi sejak Wangsa Han ratusan
tahun berselang, yang pemukimannya pun ada di antara salah
satu lembah dan lereng di lautan kelabu gunung batu.
Bahkan setelah lebih cermat mengamati, pada fu tou
mereka terdapat hiasan yang disebut jin zi, dan itu berarti
mereka adalah keturunan pemberontak pada masa Wangsa
Tang pertengahan sampai sekarang, sesuai dengan
kemunculan gaya fu tou semacam itu, yakni seperti terdapat
dua bola di atas turban tersebut, semacam dua sayap di
samping kiri dan kanan, dengan tali pengikatnya yang
melambai dalam gelak tawa mereka. Keduanya juga
mengenakan jubah penahan dingin, dengan leher bulat,
sementara sepatu mereka yang menutupi betis tampak bahwa
aslinya berwarna hitam, tetapi yang telah menjadi begitu
kusam sehingga warnanya hilang, serupa dengan warna
jubahnya yang juga tidak jelas. Ini karena mereka hidup di
gunung, pikirku, tempat yang jauh dari kota, dan tampaknya
juga tidak punya uang atau tidak tertarik membeli baju warna-
warni yang kadang-kadang dijajakan para pedagang keliling
yang berani mengunjungi tempat terpencil penuh penyamun
ini. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Mereka menyandang golok dengan ketajaman pada satu
sisi dan bukan pedang dengan ketajaman pada dua sisi, yang
memang ditempa demi seni memainkan ilmu pedang, yang
sepintas lalu menandakan bahwa jenis ilmu mereka bukan dari
jenis yang canggih atau berseni tinggi. Meski begitu, sejauh ini
pengalamanku mengatakan, tinggi rendah ilmu s ilat seseorang
tidak ditentukan oleh jenis ilmu silat ataupun senjata yang
dimiliki, melainkan oleh seberapa jauh ilmu silat dan senjata
itu dikuasai. Mereka yang memiliki perbendaharaan 2.000
jurus bisa dikalahkan oleh mereka yang hanya menguasai lima
atau tujuh jurus sahaja, tetapi menguasainya dengan begitu
fasih sebagai bagian hidup sehari-hari, daripada yang telah
memiliki begitu banyak jurus tanpa sempat mempergunakannya sama sekali. Apalagi jika dima inkan di
lingkungan alam tempat ilmu silat itu diciptakan.
Kuingat cerita tentang Pendekar Serigala Putih, yang
disebut datang dari Negeri Tartar yang baru kuketahui
sekarang merupakan istilah yang kacau, yang pernah menculik
diriku ketika usiaku empat tahun dan terbunuh oleh pedang
ayahku. Namun aku tidak merasa terlalu perlu menanyakan,
setidaknya untuk saat ini, ketika aku baru saja keluar dari
lorong kegelapan yang sangat menekan perasaan, dan
disambut mereka dengan tangan terbuka, yang membuat aku
seperti baru mengerti artinya keramahan.
"Kemarikan cawan dikau, kutambah lagi tehnya," ujar
Serigala Hitam sembari menuang lagi ke dalam tempat minum
tembikar yang disebutnya cawan itu.
Aku menerimanya dengan riang, juga seperti baru pertama
kali ini mempunyai teman.
"Lihatlah bagaimana matahari akan muncul sobat," ujar
Serigala Merah, "sudah lama matahari tidak terlihat cahayanya
seperti ini, sampai muak aku dengan kabut setiap hari."
Tentu aku tahu kabut macam apa yang dimaksudnya, yang
telah kuarungi berhari-hari bagai tidak akan pernah berhenti,
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang sebetulnya tetap ada juga di sini, sehingga orang-orang
yang terguncang jiwanya langsung terpeleset masuk jurang,
ketika melangkah terseok-seok keluar dari celah tanpa
menyadari keberadaan lingkungan.
Bagaikan kulihat sendiri titik cahaya matahari terdepan
melesat dari balik langit yang masih ungu, langsung
menyepuh dedaunan di sekitarku, kelopak bunga-bunga yang
tidak kuketahui namanya, dan bagaikan serentak membangunkan burung-burung dan serangga.
Di antara semak kulirik seekor kadal yang melangkah
berhati-hati, sikapnya diam dan waspada, berjaga apakah ada
bahaya menanti. Sangat kukagumi ge-merlap kulitnya, antara
hijau kekuningan berganti-ganti di bawah rembesan cahaya
yang menimpa dedaunan di atasnya. Kukatakan aku
meliriknya, karena jika aku menatapnya langsung, aku takut
kadal yang tampaknya juga mengawasi kami itu berkelebat
pergi. SERIGALA Merah dan Serigala Hitam bukan tidak mengerti
apa yang sedang terjadi. ''Serigala Merah, ajaklah sobat kita berjalan-jalan sedikit.
Kita tahu pasti apa saja yang telah dialam i di seberang sana
dengan penyamun-penyamun gila di balik kabut itu.
Perlihatkanlah kepadanya apa saja yang bisa terlihat di bawah
matahari kita, Serigala Merah, karena jika hanya kadal, kukira
tidak ada bedanya dari kadal di wilayah Huang-tse bukan"
Hahahahaha! Ayolah!'' Serigala Merah pun melompat berdiri. Ia tersenyum
melirikku penuh arti. ''Marilah sobat yang mengaku tidak bernama, marilah
kuperlihatkan segala sesuatu! Kami tahu dirimu bisa
mengikutiku, karena kami bisa membaca ilmu silatmu hanya
dari langkah kakimu!'' TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Aku terpana. Serigala Merah dan Serigala Hitam tertawa
terbahak-bahak. Suara tawanya bergema dipantulkan dinding-
dinding jurang yang serba curam dan menganga.
''Hahahahahahahahaha! Huahahahahahahaha! Sobat kita
mengira bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa, ketika dengan
tenangnya ia menghindari pisau kita! Huahahahahahahaha!''
Suara tawanya itu disambut ringkik kuda Uighur itu pula,
membuat mereka tertawa semakin keras sahaja.
''Dengar! Kuda dikau pun menyetujuinya! Huahahahahaha!''
''Huahahahahahaha!'' Aku baru saja meletakkan tembikar yang disebut cawan itu,
ketika Serigala Merah menggamit tanganku, dan menyeretku
terbang ke atas jurang. Namun di atas jurang ia melepaskan
tanganku itu, seperti yakin betapa aku akan bisa terbang
mengikutinya. ''Ikuti daku, sobat, eh benarkah dikau tak bernama"''
Serigala Merah bertanya seperti sambil lalu saja.
''Memang begitulah katanya,'' jawabku, mencoba menghindari perbincangan soal nama.
''Hmm. Mungkin enak juga tiada bernama ya" T iada beban
memenuhi harapan orangtua! Hahahahaha!''
Aku bersyukur Serigala Merah tidak bertanya-tanya lagi,
karena sembari kami melenting ringan dari dahan ke dahan,
untuk kemudian terbang melayang membentangkan tangan
seperti burung elang, ia menunjukkan segala pemandangan
yang memang sangat menggugah. Meskipun wilayah ini masih
serupa dengan lautan kelabu gunung batu di seberang celah,
memudarnya kabut dalam suasana pagi ketika matahari baru
saja terbit, memperlihatkan pemandangan yang sungguh.
Segalanya yang semula tertutup kabut maupun tak terlihat
karena perhatian terpusatkan kepada segenap ancaman
bahaya, kini menjadi terbuka. Dedaunan yang masih basah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
berkilat keemasan dan bergoyang-goyang dalam embusan
angin pagi, sehingga cahaya yang mengertap sepanjang
lembah diiringi bunyi desiran itu seperti memberikan pesan
tertentu yang tidak terucapkan.
Di balik tabir cahaya pagi itulah kini dapat kusaksikan
bagaimana marmot gunung bergegas lari ke liang bawah
tanah, ketika elang emas menukik untuk memangsanya.
Sarang elang memang selalu dibuat di puncak karang dan sulit
didekati, dan mangsanya selalu saja marmot. Maka marmot
selalu melindungi diri dengan hidup di lereng karang bercelah-
celah kecil, tempat marmot menggali liang atau mendapat
perlindungan sementara untuk menghadapi serangan mendadak. Dengan marmot lainnya mereka saling memberi
tanda datang bahaya dengan bercuit-cuit.
Kuperhatikan satwa gunung yang kecil-kecil ini, bundar
berbulu, kakinya pendek, telinganya kecil, sering membulatkan
diri untuk mengumpulkan panas tubuh di udara dingin.


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sebaliknya ketika udara panas, marmot mendinginkan dirinya
dengan merentangkan badan di tempat berangin, atau
berbaring dengan perutnya yang berbulu tipis di tempat
bersalju. Kuperhatikan juga kelinci berkaki putih, yang sedang
meringkuk dengan kaki dilipat ke bawah dan telinga teracung
ke belakang, nyaris seperti bola berbulu. Kelinci dapat
meringkuk takbergerak selama berjam-jam di salju tanpa
kedinginan. Semakin turun suhunya, semakin mengembanglah
bulunya, serta membundar pula tubuhnya. Namun sebenarnya
satwa ini ramping dan berkaki panjang.
Bila kelinci gunung diburu, ketika sedang kehilangan panas
karena perserapan tubuh, suhu tubuhnya dapat melonjak
mendadak sampai duapuluh kali lipat daripada suhu ketika
tubuhnya diam, maka bentuknya akan sangat berubah,
sehingga dapat lari dalam puncak kecepatan, sampai cukup
jauh, tanpa pingsan kehabisan nafas.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
SERIGALA Merah dan Serigala Hitam bukan tidak mengerti
apa yang sedang terjadi. ''Serigala Merah, ajaklah sobat kita berjalan-jalan sedikit.
Kita tahu pasti apa saja yang telah dialam i di seberang sana
dengan penyamun-penyamun gila di balik kabut itu.
Perlihatkanlah kepadanya apa saja yang bisa terlihat di bawah
matahari kita, Serigala Merah, karena jika hanya kadal, kukira
tidak ada bedanya dari kadal di wilayah Huang-tse bukan"
Hahahahaha! Ayolah!'' Serigala Merah pun melompat berdiri. Ia tersenyum
melirikku penuh arti. ''Marilah sobat yang mengaku tidak bernama, marilah
kuperlihatkan segala sesuatu! Kami tahu dirimu bisa
mengikutiku, karena kami bisa membaca ilmu silatmu hanya
dari langkah kakimu!'' Aku terpana. Serigala Merah dan Serigala Hitam tertawa
terbahak-bahak. Suara tawanya bergema dipantulkan dinding-
dinding jurang yang serba curam dan menganga.
''Hahahahahahahahaha! Huahahahahahahaha! Sobat kita
mengira bisa berpura-pura tidak tahu apa-apa, ketika dengan
tenangnya ia menghindari pisau kita! Huahahahahahahaha!''
Suara tawanya itu disambut ringkik kuda Uighur itu pula,
membuat mereka tertawa semakin keras sahaja.
''Dengar! Kuda dikau pun menyetujuinya! Huahahahahaha!''
''Huahahahahahaha!'' Aku baru saja meletakkan tembikar yang disebut cawan itu,
ketika Serigala Merah menggamit tanganku, dan menyeretku
terbang ke atas jurang. Namun di atas jurang ia melepaskan
tanganku itu, seperti yakin betapa aku akan bisa terbang
mengikutinya. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Ikuti daku, sobat, eh benarkah dikau tak bernama"''
Serigala Merah bertanya seperti sambil lalu saja.
''Memang begitulah katanya,'' jawabku, mencoba menghindari perbincangan soal nama.
''Hmm. Mungkin enak juga tiada bernama ya" T iada beban
memenuhi harapan orangtua! Hahahahaha!''
Aku bersyukur Serigala Merah tidak bertanya-tanya lagi,
karena sembari kami melenting ringan dari dahan ke dahan,
untuk kemudian terbang melayang membentangkan tangan
seperti burung elang, ia menunjukkan segala pemandangan
yang memang sangat menggugah. Meskipun wilayah ini masih
serupa dengan lautan kelabu gunung batu di seberang celah,
memudarnya kabut dalam suasana pagi ketika matahari baru
saja terbit, memperlihatkan pemandangan yang sungguh.
Segalanya yang semula tertutup kabut maupun tak terlihat
karena perhatian terpusatkan kepada segenap ancaman
bahaya, kini menjadi terbuka. Dedaunan yang masih basah
berkilat keemasan dan bergoyang-goyang dalam embusan
angin pagi, sehingga cahaya yang mengertap sepanjang
lembah diiringi bunyi desiran itu seperti memberikan pesan
tertentu yang tidak terucapkan.
Di balik tabir cahaya pagi itulah kini dapat kusaksikan
bagaimana marmot gunung bergegas lari ke liang bawah
tanah, ketika elang emas menukik untuk memangsanya.
Sarang elang memang selalu dibuat di puncak karang dan sulit
didekati, dan mangsanya selalu saja marmot. Maka marmot
selalu melindungi diri dengan hidup di lereng karang bercelah-
celah kecil, tempat marmot menggali liang atau mendapat
perlindungan sementara untuk menghadapi serangan mendadak. Dengan marmot lainnya mereka saling memberi
tanda datang bahaya dengan bercuit-cuit.
Kuperhatikan satwa gunung yang kecil-kecil ini, bundar
berbulu, kakinya pendek, telinganya kecil, sering membulatkan
diri untuk mengumpulkan panas tubuh di udara dingin.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Sebaliknya ketika udara panas, marmot mendinginkan dirinya
dengan merentangkan badan di tempat berangin, atau
berbaring dengan perutnya yang berbulu tipis di tempat
bersalju. Kuperhatikan juga kelinci berkaki putih, yang sedang
meringkuk dengan kaki dilipat ke bawah dan telinga teracung
ke belakang, nyaris seperti bola berbulu. Kelinci dapat
meringkuk takbergerak selama berjam-jam di salju tanpa
kedinginan. Semakin turun suhunya, semakin mengembanglah
bulunya, serta membundar pula tubuhnya. Namun sebenarnya
satwa ini ramping dan berkaki panjang.
Bila kelinci gunung diburu, ketika sedang kehilangan panas
karena perserapan tubuh, suhu tubuhnya dapat melonjak
mendadak sampai duapuluh kali lipat daripada suhu ketika
tubuhnya diam, maka bentuknya akan sangat berubah,
sehingga dapat lari dalam puncak kecepatan, sampai cukup
jauh, tanpa pingsan kehabisan nafas.
semakin besar jalan semakin besar kekosongan sesuatu tentang bukan sesuatu
membuat kita mampu menggunakan
apa yang ada dari yang tidak ada
jadi, tolong katakan kepadaku
mana yang lebih dikau sukai:
keberadaan atau ketiadaan" Aku pun jadi ikut berpikir, apakah pemandangan juga ada
dari sesuatu yang tidak ada" Aku tidak sempat memikirkannya
lebih jauh ketika Serigala Merah memberi tanda, bahwa
sesuatu sedang berlangsung di suatu tempat di bawah sana.
Kuperhatikan, ternyata di sebuah titian batu di atas jurang
curam, seorang tua berkuda sedang dicegat dua orang
penyamun di depan dan belakang. Kuda itu tidak bisa maju
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dan tidak bisa mundur, sedangkan kedua penyamun itu sudah
menghunus kelewangnya masing-masing.
Serigala Merah segera mengarahkan dirinya ke sana, sambil
memberi tanda bahwa ketika ia menyerang penyamun yang
mencegat di depan, aku menyerang penyamun yang siap
membacok dari belakang itu.
Kedua penyamun yang mencegat seorang tua di atas kuda
pada titian itu tentu tidak pernah menduga, betapa dari langit
datang serangan mendadak secepat kilat bagaikan burung
elang menyambar mangsa! (Oo-dwkz-oO) Episode 176: [Demi Sebuah Rahasia]
SERIGALA Merah meluncur ke bawah sambil mencabut
golok yang menyilang di punggungnya. Penyamun yang
sedang menikmati kekuasaannya, dengan mencegat lelaki tua
berkuda di tengah titian batu sempit di atas jurang curam itu,
memang tidak mengira akan mendapat serbuan Serigala
Merah dari angkasa. Namun masih cukup waktu baginya untuk
berkelit dan membabat perut Serigala Merah yang terbuka
dengan kelewang, meski ternyata Serigala Merah dalam laju
kecepatannya mampu melenting jungkir balik di atas kepala
penyamun itu, dan tinggal menjejakkan kedua kaki ke
punggungnya. Tanpa ayal, penyamun itu terjerumus langsung
masuk ke jurang. Udara sedang bersih dan cahaya terang,
sehingga dapat dilihat tubuhnya melayang jatuh, makin lama
makin mengecil dan tidak terlihat lagi.
Pada saat yang sama, aku juga menghindari sambaran
kelewang yang menyambut serbuanku dari atas, dan sembari
berkelit kutepuk ubun-ubun penyamun itu dengan tangan kiri.
Ia sudah tidak bernyawa ketika tubuhnya terseret tenaga
ayunan kelewangnya tersebut, langsung melayang ke bawah
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
seperti saling berlomba dengan kawannya yang ketika jatuh
masih hidup dan mengeluarkan teriakan panjang.
''Aaaaaaaaaa...!'' Teriakan itu belum hilang suaranya dan kami bahkan belum
saling berpandangan di atas titian batu, ketika dari kedua sisi
lereng yang dihubungkan oleh titian itu me luncur puluhan
anak panah, yang langsung melesat ke arah Serigala Merah,
diriku, maupun lelaki tua di atas kuda itu!
Kulihat lelaki tua itu bahkan tidak menyadari betapa
puluhan anak panah dari kedua sisi lereng sedang meluncur
dengan jaminan ketepatan penuh kepastian. Anak-anak panah
itu akan merajamnya! Jika diriku dan Serigala Merah menangkis anak-anak panah
yang melesat sangat amat cepat itu, maka tiada lagi yang
akan bisa menyelamatkan nyawa si lelaki tua. Kiranya inilah
saatnya untuk bergerak secepat aku memikirkannya.
Serigala Merah memutar goloknya seperti baling-baling
sementara tubuhnya sendiri berputar seperti pusaran dan
anak-anak panah itu pun berhamburan patah-patah
beterbangan, tetapi saat itu lelaki tua tersebut sudah lenyap
dari atas kudanya, karena aku telah menyambarnya ke
angkasa. ''Peganglah sahaya Bapak,'' kataku cepat dalam bahasa
Negeri Atap Langit tanpa kuketahui benar dan tidaknya.
Ia memeluk leherku, dan itu sangat mengganggu. Padahal
aku bukannya terbang seperti burung, sehingga terdapat saat
berhenti di udara karena beban itu, saat serangan anak-anak
panah susulan telah mengepungku dari dua sisi.
HANYA dengan Jurus Tanpa Bentuk maka rajaman anak-
anak panah itu bisa kuhindari. Kurang dari sekejap aku sudah
berada di atas titian batu.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Sahaya tinggal sebentar Bapak," kataku sambil menurunkan lelaki tua itu di atas titian. Kudanya telah jatuh ke
jurang tersambar anak-anak panah.
Dalam sekali tatap dengan Serigala Merah, kami sudah tahu
tugas masing-masing, yakni meluncur ke salah satu sisi lereng
dan membereskan para penyamun, yang kekejamannya
terlihat sangat jelas. Jika anak-anak panah yang dilepaskan itu
semuanya mengenai sasaran, seluruhnya akan menancap ke
tubuh kami sampai tembus, membuat tubuh akan mirip seekor
landak. Jarak antara kedua sisi lereng pada masing-masing ujung
jembatan itu cukup jauh, jadi aku melesat di bawah titian
ketika menyerang, dan hanya muncul tepat di ujungnya, untuk
kemudian berkelebat amat sangat cepat sepanjang lereng
tempat para penyamun berpanah dalam kedudukan tepat
untuk membidik. Aku bergerak secepat aku memi-kir-kan-nya, sehingga para
penyamun itu masih sedang membidik, ketika aku melesat
sepanjang jalan sempit membagi-bagikan maut bagaikan
seorang dewa pencabut nyawa. Namun bagi mereka yang
bermaksud merajam dengan anak-anak panahnya, aku ragu
apakah kematian tiba-tiba tanpa terasa yang kuberikan ini
tidak terlalu ringan bagi mereka. Untuk sejenak, aku pun ragu,
apakah diriku berhak menghukum mereka, seolah-olah
mereka dapat kupastikan bersalah" Peristiwa berlangsung
begitu cepatnya, sehingga tidak sempat kupertimbangkan
betapa sebenarnya para pemanah ini dapat dibuat tiada
sadarkan diri sahaja. Kong Fuzi berkata:
merubuhkan sebatang pohon
membunuh seekor binatang bukan pada musim yang pantas
berlawanan dengan tali kebaktian
terdapat tiga ribu pelanggaran
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
yang terhadapnya lima hukuman terarahkan dan tiada satu pun darinya
lebih besar dari terputusnya ikatan
Tidak kurang dari lima puluh pemanah bergeletakan
sepanjang lereng. Di seberang jurang, kulihat Serigala Merah
masih mengamuk dengan dua senjata, golok maupun pisau
bertali itu. Ia melenting-lenting dengan ringan dari batu ke
batu dengan golok yang telah berubah menjadi baling-baling
di tangan kiri, sementara pisau bertali di tangan kanannya
memagut-magut seperti ular senduk yang sangat berbisa. Di
sana para pemanah sempat mengeluarkan kelewang dan
mengeroyok, tetapi cukup melihatnya sepintas saja kutahu
Serigala Merah tidak memerlukan bantuan.
Aku menatap kembali lima puluh pemanah yang
bergeletakan sepanjang lereng. Di kedua sisi jumlah mereka
semua menjadi seratus, dengan dua pencegat di titian batu
menjadi seratus dua orang. Untuk merampok seorang lelaki
tua yang menunggang kuda, apakah jumlah ini tidak terlalu
banyak" Aku merasa curiga, karena dua penyamun yang kami
jatuhkan ke jurang itu cukup lusuh, tetapi mereka yang
bergeletakan ini busananya serbacerah dan berwarna-warni.
Mereka tidak seperti penyamun yang sudah lama hidup


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serbasusah di gunung. Kuhampiri mayat terdekat, dan kubolak-balik. Masih banyak
anak panah tersimpan pada tempatnya yang tergantung di
pinggang, dan setelah kuperiksa anak panahnya, kukira itu
juga bukan anak panah yang dibuat dalam keterbatasan
pedalaman. Ini jelas anak panah yang disediakan oleh negara
bagi pasukannya. Tidaklah mungkin ujung anak panah
terbungkus logam tajam yang pasti dicetak itu terbuat di atas
gunung ini. Sebagai orang asing, aku tidak dapat membaca
tanda-tanda lebih banyak, tetapi dari pengetahuanku yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
serbasedikit tentang serba-serbi Negeri Atap Langit, dapat
kuduga bahwa lima puluh pemanah yang menemui ajalnya di
sini adalah para anggota pasukan pemerintahan Wangsa
Tang. Sejauh yang kuketahui, berbeda dari Wangsa Sui yang
mengambil saja baju tempur ming gua kai atau baju tempur
utama dengan leher melengkung, tutup bahu, dan dua
piringan pelindung bagi dada dan punggung, dari Wangsa-
wangsa Utara dan Selatan; Wangsa Tang sengaja
membedakan diri. Seragam tentara Wangsa Tang membedakan antara perwira, yang mengenakan jubah, dan
serdadu, yang mengenakan sekadar baju lapisan kedua.
SEJAK masa Yan Zai, jubah perwira disulam dengan
gambaran singa dan harimau untuk mendorong keberanian
dan kekuatan pemakainya. Betapapun, ming gua kai masih
merupakan lapisan pelindung utama, dengan susunan kulit,
piringan logam, dan cincin-cincin berangkainya, meski
terdapat sedikit perubahan pada susunannya itu. Misalnya
ditambahkan busana berpipa yang disebut celana di bawah
pinggang dan sepasang penutup kaki yang ditempelkan pada
tulang kering. Dalam pemerintahan Wangsa Tang sekarang ini, busana
tempur terutama dibuat dari besi dan kulit. Di antara tiga
belas jenis busana tempur yang tercatat dalam Enam
Peraturan Wangsa Tang, enam di antaranya terbuat dari besi
yang dibentuk serta ditempa dengan indah dan halus, yakni
selain busana tempur utama, juga busana tempur utama
pinggang, busana tempur ukuran kecil, busana tempur
bergambar gunung, busana tempur godam hitam, dan busana
tempur rantai. Bagian-bagiannya tersambung oleh potongan
kulit atau paku. Busana tempur jenis lain sebagian besar
terbuat dari kulit. Selain dari jenis besi dan kulit terdapat juga busana tempur
kain putih, sutera hitam, dan rompi kapas yang terbuat dari
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
tenunan kapas dan sutera. Meskipun ringan, mudah dikenakan
dan tampak menarik penampilannya, tidaklah layak untuk
keperluan pertempuran, dan hanya dikenakan oleh para
perwira di masa damai atau pengawal kehormatan. Akhirnya,
pasukan berkuda maupun pasukan jalan kaki mengenakan
busana tempur yang terbuat dari kayu.
Dari apa yang kulihat, aku bersimpulan barisan panah ini
masih terikat sebagai satu kesatuan, lengkap dengan
pemimpin pasukan yang dapat diperiksa dari perbedaan
busananya. Mereka memang tidak berseragam seperti dalam
perang antarnegara, tetapi meskipun tidak seragam, dan juga
tidak resmi, selalu ada bagian dari perlengkapan busananya
yang terhubungkan dengan seragam resmi tentara Wangsa
Tang. T erutama alas kaki yang disebut sebagai sepatu, yang
menutup kaki mulai dari bawah lutut itu, sepertinya hanya
mungkin dibagikan oleh negara kepada serdadu. Jadi mereka
seperti berusaha menyamar agar tidak sebagai barisan
tentara, tetapi dengan cara menyamar yang kukira cukup
ceroboh, sehingga mudah tersingkap sekali pandang.
Namun kukira terdapat alasan yang lebih kuat dari sekadar
kecerobohan. Pertama, mungkin saja mereka terlalu percaya
diri betapa tugas akan sangat mudah diselesaikan; kedua,
penugasan ini memang sangat mendadak, begitu rupa
mendadaknya sehingga penyamaran hanya dilakukan seadanya, bagaikan hanya basa-basi saja. Apakah yang
terjadi" Cahaya pagi berkilauan dipantulkan titik-titik air lembut di
udara membentuk tabir yang menutupi pandangan ke titian
batu, tetapi ada selapis cahaya bagaikan lebih terang dari
lapisan-lapisan cahaya lainnya, membuat titian itu terang
keemas-emasan. Lelaki tua itu masih berdiri sendiri di sana.
Aku teringat bagaimana kedua penyamun yang mengepungnya. Tampaknya memang cara ampuh untuk
mencegat dan membuat korban kebingungan, seperti yang
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pernah dilakukan kepadaku ketika baru beberapa saat
memasuki wilayah lautan kelabu gunung batu.
Terutama aku teringat wajahnya. Cara tertawa penuh
perasaan jumawa dan berkuasa yang sangat menghina,
menyaksikan kedudukan calon korbannya yang lemah dan
tidak berdaya. Itu bukan sifat seorang prajurit, apalagi perwira.
Sekarang aku merasa mendapat dugaan yang bisa
kupercaya. Perbedaan busana antara kedua penyamun di atas
titian dengan para pemanah yang pernah terpikir olehku
memang bukan tanpa makna. Kukira kedua penyamun itu
sebetulnya juga menjadi sasaran untuk dihabisi oleh para
pemanah, tetapi karena aku dan Serigala Merah sudah
menjatuhkan mereka berdua, maka kamilah yang menjadi
sasaran anak-anak panah yang bermaksud merajam tersebut,
bersama dengan sasaran utama mereka, lelaki tua di atas
kuda itu! Tentu saja merajam orang tua juga bukan tindakan ksatria.
Namun serdadu adalah kanak-kanak yang patuh.
Siapakah kiranya lelaki tua itu, sehingga diperlukan seratus
pemanah tepat dan terlatih, yang menantinya melewati titian
itu untuk merajamnya"
Aku menatap lima puluh mayat bergelimpangan. Siapakah
yang akan mengurusnya" Di seberang sana Serigala Merah
sudah nyaris menghabisinya semua. Sejak tadi jeritan maut
terdengar bagaikan tiada hentinya. Aku segera melesat, tetapi
sudah terlambat. Meski dalam kurang dari sekejap mata telah
kuseberangi titian batu untuk sampai ke lereng di seberang,
tidak seorang pun tersisa lagi. Seperti diriku, agaknya Serigala
Merah juga terbawa perasaan karena maksud para pemanah
untuk merajam seorang tua tersebut.
AKU menghela napas. Tidakkah kematangan seorang
pendekar juga ditentukan oleh kemampuan mengatasi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
perasaan semacam itu" Jika untuk setiap nyawa manusia yang
hilang harus ada pertanggungjawaban dan kupikir seharusnya
memang begitu, masih mungkinkah gagasan tentang
kesempurnaan diperbincangkan" Bagaikan baru sekarang
kutangkap makna lain siasat Sun Tzu:
mengalahkan musuh tanpa pertempuran
adalah puncak keunggulan Serigala Merah menyimpan kembali pisau bertalinya, tetapi
masih memegang goloknya yang sampai ke pangkalnya
bersimbah darah. "Apakah mereka pasukan Wangsa Tang?" tanyaku, karena
semua dugaanku betapapun adalah dugaan seorang asing.
"Ya, kami sudah terbiasa dengan mereka, yang setiap kali
dikirim untuk membasmi para penyamun maupun sisa
pemberontak. Tidak peduli bahwa sisa pemberontak itu
banyak yang sudah uzur dan mati, tinggal keturunannya yang
tidak tahu menahu dan lahir di sini."
"Siapakah kiranya orang tua itu?"
"Itulah. Memang bagus kalau penyamun itu yang mereka
bunuh, tetapi janganlah orang tua berkuda seorang diri seperti
itu. Sekarang kudanya juga sudah melayang ke jurang."
Agaknya Serigala Merah juga menangkap apa yang kulihat,
bahwa kedua penyamun yang kami jatuhkan ke jurang itu
ternyata sedang dibidik oleh seratus pemanah dari kedua sisi
lereng. Hampir bersamaan kami menoleh, ketika orang tua itu
seperti tiba-tiba saja sudah berada di hadapan kami, ia segera
bersujud sambil menangis, mengetuk-ngetukkan kepalanya
berkali-kali di atas jalan batu yang sempit ini.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Sepengetahuanku cukup tiga kali ia mengetuk-ngetukkan
kepala ke jalan untuk menyatakan terimakasihnya, tetapi
agaknya perasaan tertekan berkepanjangan yang kini
terbebaskan telah membuat lelaki tua itu bagai akan
mengetuk-ngetukkan kepala tanpa ada habisnya. Sampai aku
khawatir keningnya itu akan terluka.
Sedari tadi ia tidak mengucapkan apapun. Serigala Merah
mendekati dan menggamitnya.
"Sudahlah Bapak," ujarnya, "bahaya yang mengancam
sudah berlalu, ceritakanlah saja mengapa pasukan panah
pemerintah berniat membunuh Bapak.i
Lelaki itu menengadah, dan kulihat wajah yang sangat
menyedihkan. Derita macam apakah yang telah menimpa
orang tua berpakaian bagus ini, sehingga bisa penuh dengan
penderitaan seperti itu"
Ia masih menangis. Serigala Merah mulai terlihat tidak
terlalu sabar. "Kami mengerti Bapak, sudahlah, sekarang ceritakanlah."
Lelaki tua itu pun bersuara, tetapi kemudian terdengar
suara yang aneh. Ia berbicara seperti orang gagu, seperti
orang bisu! Kusaksikan betapa mengenaskannya kesulitan
menyampaikan pesan, apalagi jika pesan itu mewakili
kehendak yang terdalam. Bagaikan kehidupan yang terbungkam. Apakah lelaki tua itu memang bisu"
"Aaaiiiiiwongeauiekaukziiieeengukhhaa..."
Memang seperti orang bisu, tetapi mereka yang bisu
biasanya sudah mahir berbicara dengan cara
lain, menyampaikan maksud dengan gerakan dan ungkapan wajah,
bahkan dengan begitu fasihnya sehingga tidak terasa lagi
terdapatnya sesuatu yang kurang jelas.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Namun tidak terdapat sesuatu pun yang kami mengerti dari
ceracauan dan gerakan tangan tidak jelas yang kacau dari
lelaki tua ini, kecuali betapa pandangan matanya mengungkapkan kesedihan yang sangat amat mendalam.
Serigala Merah menatapnya saja sambil berpikir keras.
Lantas ia menghentikannya.
"Bapak, diamlah dahulu. T enanglah."
Orang tua itu diam dengan terengah-engah. Matanya masih
basah. Namun aku sebetulnya tidak melihat wajah yang
pasrah, seperti sesuatu yang sudah menyerah. Betapapun,
seorang tua yang diburu dan dicegat seratus pemanah tentara
Wangsa Tang kiranya pastilah bukan manusia semacam itu.
Meskipun seandainya ia datang dari kota terdekat seperti
Kunming, perjalanan yang ditempuhnya pun sudah sama jauh
dan sukar seperti kualam i. Apalagi jika ia datang dari
Changian, dan aku menduga ia memang datang dari sana,
karena hanya seseorang yang pentinglah dapat dipedulikan
seratus pemanah begitun rupa sehingga harus membunuhnya.
Adapun segala sesuatu yang penting hanya berada di Kotaraja
Chang'an. ''TENANGLAH Bapak, sekarang jawablah pertanyaan
sahaya, cukup dengan mengangguk atau menggeleng sahaja.''
Lelaki tua mengangguk-anggukkan kepala berkali-kali.
''Cukup sekali ya Bapak, cukup sekali.''
Ia mengangguk. ''Apakah Bapak datang dari Chang'an"''
Ia mengangguk. ''Apakah Bapak bekerja di istana"''
Ia mengangguk. Kami saling berpandangan.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Apakah Bapak memang diburu pasukan panah itu"''
Orang tua itu tidak mengangguk dan tidak juga
menggeleng. Ia mengangkat bahu.
Serigala Merah menggeleng-gelengkan kepala sambil
melihat kepadaku. Aku tahu ini menjadi sulit. Mengangkat
bahu bisa berarti ia tidak tahu sama sekali, bisa berarti ia tidak
tahu bagaimana cara menjawabnya, dan itu berarti memang
ada persoalan menyangkut dirinya dengan istana. Ini tentu
tidak bisa dijelaskan dengan cara mengangguk atau
menggeleng saja. Harus ada cara bertanya berdasarkan
pengetahuan yang cukup banyak dalam hubungannya dengan
masalah orang tua tersebut. Tanpa pengetahuan tersebut,
tidak terlalu jelas kiranya pertanyaan macam apa yang bisa
disampaikan dengan jawab anggukan atau gelengan sahaja.
Namun Serigala Merah tampaknya tidak terlalu peduli.
''Kita biarkan saja dia melanjutkan perjalanan,'' ujar
Serigala Merah kepadaku, ''kita semua punya urusan masing-
masing. Sudah bagus kita sempat menolongnya tadi.''


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Serigala Merah seperti akan beranjak pergi, dan kukira
memang akan melesat pergi, jika tidak kugamit lengannya
untuk tetap tinggal. ''Sebentar...,'' kataku, ''kita dengar
dulu jawaban pertanyaanku ini...'' Aku pun bertanya. ''Bapak tidak bisa bercerita. Apakah Bapak bisu sejak lahir"''
Ia menggeleng. ''Jadi Bapak sebelumnya bisa berbicara"''
Ia mengangguk. ''Apakah Bapak menjadi bisu karena sakit"''
Ia mengeleng. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Jadi bagaimanakah caranya Bapak menjadi bisu"''
Ia mengangkat bahu lagi. Kukira bukan maksudnya ia tidak
tahu, melainkan tentu bahwa ia tidak tahu cara menceritakannya. Berarti pertanyaanku yang keliru. Kucoba
menanyakan dugaanku. ''Apakah kebisuan Bapak ada hubungannya dengan
perjalanan Bapak"'' Ia mengangguk. ''...dan ada hubungannya dengan pasukan panah itu"''
Ia mengangkat bahu. Salah lagi pertanyaanku.
Serigala Merah mendekat, langsung ikut bertanya.
''Apakah Bapak dipaksa untuk menjadi bisu"''
Ia mengangguk. ''Apakah lidah Bapak dipotong"''
Air matanya mendadak berhamburan. Ia menangis dengan
suara yang kacau. Kembali mengetuk-ngetukkan kepalanya ke
jalan batu. Aku bermaksud mengajukan pertanyaan-pertanyaan lagi,
tetapi ia masih juga menangis dengan bunyi yang terdengar
kacau balau. Kukira ia mengucapkan banyak kata-kata, tetapi
kata apakah yang masih bisa dimengerti jika diucapkan
dengan lidah terpotong seperti itu"
Serigala Merah mendekatinya, menggosok punggung orang
tua itu. ''Tenanglah Bapak. Kami mengerti penderitaan Bapak.
Tenanglah, Bapak sekarang bersama kami.''
Aku juga mendekatinya, memegang kedua tangannya.
Berkata pelan sekali kepadanya.
''Apakah Bapak menyimpan sebuah rahasia"''
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Ia mengangguk-angguk beberapa kali. Kukira memang
itulah sumber masalahnya. Namun aku masih harus
mempertanyakan satu hal lagi.
''Apakah hanya Bapak seorang yang mengetahui rahasia
itu"'' Ia mengangguk-angguk lagi.
Kukira itulah sebabnya ia tidak langsung dibunuh. Jika
orang lain sudah mengetahui rahasia itu, dirinya sudah tidak
diperlukan lagi dan memang harus dibunuh, agar rahasia
terjamin tidak terbongkar. Namun ternyata hanya lelaki tua
itulah yang menyimpan rahasia tersebut, maka tentu lidahnya
dipotong agar ia tidak dapat membuka rahasia tersebut, dan
ia tidak dibunuh karena rahasia yang disimpannya itu begitu
pentingnya untuk tetap dibuka, tetapi tidak kepada semua
orang. JIKA kemudian diputuskan betapa akhirnya ia tetap
dibunuh saja, bukan karena rahasia yang dipegangnya
akhirnya diketahui, melainkan karena telah berlangsung suatu
peristiwa, yang membuat ia lebih baik dilenyapkan bersama
segenap rahasia yang dipegangnya tersebut. Rahasia apakah
itu" "Apakah Bapak bisa menulis?"
Ia mengangguk. "Apakah Bapak membuka rahasia itu untuk kami?"
Ia mengangkat bahu. Aku dan Serigala Merah saling berpandangan. Kini arti
mengangkat bahu itu kukira menjadi lebih banyak lagi. Bukan
hanya antara rahasia apa yang akan diceritakannya dan
bagaimana menceritakan rahasia itu, melainkan apakah
rahasia itu perlu diceritakan kepada kami!
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Setelah peristiwa yang hampir menghilangkan nyawanya
ini" Namun aku pun tahu, bukanlah pada tempatnya kami
memaksa untuk mengetahui rahasia tersebut, hanya karena
kami telah menolongnya. Jika rahasia itu menyangkut sesuatu yang berhubungan
dengan kekuasaan, tentulah harus dianggap bahwa Serigala
Merah sebagai penduduk pedalaman di perbatasan, keturunan
pemberontak pula, tidak mempunyai kepentingan untuk
mengetahui rahasia tersebut. Apalagi dengan seorang
pengembara asing seperti diriku...
Antara diriku dan Serigala Merah telah terjadi saling
pengertian dalam tatapan. Serigala Merah berkata sambil
menggamit orang tua itu agar berdiri.
"Kami tidak akan memaksa Bapak untuk membuka rahasia
apa pun yang telah membuat Bapak menderita. Mungkin
Bapak ingin me lanjutkan perjalanan" Silakan. Tetapi Bapak
sudah tidak memiliki kuda dan Bapak tampak sangat lelah,
sedangkan wilayah di depan Bapak itu penuh dengan para
penyamun. Jika Bapak sudi, beristirahatlah dahulu di kampung
kami. Nanti ada kuda dan pengawal yang bisa mengantar dan
melindungi Bapak, ke mana pun Bapak akan pergi," ujar
Serigala Merah panjang lebar.
Orang tua itu mengangguk. Kuperhatikan wajahnya. Kurasa
ia menjadi tampak begitu tua karena terlalu banyak pikiran,
dan pikiran itu datang mungkin karena ia terlalu banyak
menyimpan rahasia. Kuperhatikan pula seluruh perawakannya.
Baru kusadari ia tampak sangat terurus. Memang tidak begitu
halus seperti bangsawan, tetapi dengan bekerja di istana tentu
berarti seseorang tidak me lakukan kerja kasar yang
memerlukan pengerahan tenaga.
Ia masih mengenakan jubah sutera ungu, yang kuketahui
merupakan busana resmi pejabat peringkat ketiga ke atas.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Jika ia bermaksud melarikan diri dan menempuh perjalanan di
lautan kelabu gunung batu, semestinya ia mengganti jubah
suteranya yang ungu itu dengan yang kuning, kalau bisa
bahkan jangan terbuat dari sutera mahal itu, bahkan
sebaiknya warna kuning itu pun sudah hampir hilang. Rakyat
biasa dan siapa pun yang tidak bekerja di istana mengenakan
busana seperti itu. Sangatlah kentara dalam perjalanannya
bahwa ia seorang pejabat istana dari kotaraja.
Melihat keadaannya, dan teringat sepintas akan kudanya
yang tanpa perlengkapan, kupikir ia telah berangkat
melakukan perjalanan dalam keadaan sangat tergesa-gesa.
Dalam keadaan darurat. "Sebaiknya kita berangkat sekarang," ujar Serigala Merah
kepadaku, "Serigala Hitam mungkin sudah gelisah, dan orang-
orang yang mau menyeberang mungkin sudah berkumpul."
Sebentar kemudian kami sudah melenting dari puncak batu
yang satu ke puncak batu yang lain, dengan orang tua itu di
gendonganku. Kulihat dinding-dinding jurang mengapit anak-
anak sungai, dengan buih memutih dari jeram ke jeram.
Kupikir seharusnya aku bisa membuat puisi dari pemandangan
semacam itu. Dengan sedih harus kuakui betapa diriku
tidaklah mampu, dan hanya teringat puisi Li Bai yang seperti
ini: teman lamaku tinggal di Pegunungan T imur ini, mencintai
keindahan bukit dan arusnya;
pada musim panas ketika segalanya hijau
ia berbaring di hutan bahkan ketika matahari tinggi
belum juga bangun; angin menderu di sela cemara
menyapu debu dunia pergi darinya; lantas di atas batu, mencuci telinga dan hati;
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
sekarang diriku, melihat rumahnya
merasa damai, takdikacaukan
gangguan suara, seperti aku
disangga bantal raksasa, dan tidur
di antara mega-mega (Oo-dwkz-oO) Episode 177: [Permukiman di Dinding Tebing]
ANGIN dingin bertiup di antara kilauan matahari pagi.
Serigala Hitam tampak sudah gelisah ketika kami mendarat di
tempat perhentian itu. Sudah banyak orang berkumpul di situ
yang akan dikawal Serigala Hitam dan Serigala Merah
menyeberangi Celah Dinding Berlian. Sekitar dua puluh orang
berada di sana, sebagian besar dari berbagai permukiman.
Sejumlah pemuda, orang-orang tua, perempuan yang
membawa anak, dan juga pedagang dari kota dengan
pembawa beban mereka. Bahkan hanya mereka ini yang
berkuda. Sisanya berjalan kaki saja, karena memang hanya
berniat menyeberang ke permukiman tetangga, yang
meskipun merupakan permukiman terdekat, tetap cukup jauh
juga jaraknya. Memang bagi penduduk yang permukimannya serbatersembunyi di balik jurang dan kabut, pengawalan
bukanlah sesuatu yang mutlak diperlukan untuk menyeberangi
Celah Dinding Berlian, tetapi mereka tidak keberatan pula
berjalan bersama rombongan dan membayar para pengawal
sekadarnya. Betapapun terdapatnya sejumlah orang yang
memasuki celah untuk tidak pernah muncul kembali, atau
muncul kembali di seberang dengan jiwa terguncang bukanlah
cerita kosong. Serigala Hitam menatap lelaki tua yang kami bawa itu
dengan curiga. Namun Serigala Merah segera mendekatinya
dan berbisik-bisik dengan cepat. Kuajak lelaki tua itu menuju
dekat api yang masih menyala. Kutuangkan baginya teh panas
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dari dalam ceret ke cawan yang kuberikan. Lantas
kutinggalkan di sana agar lebih tenang baginya menghangatkan diri. Kukira ia pun harus mengambil
keputusan atas persoalan yang sedang melibatnya itu. Apakah
ia bermaksud meneruskan perjalanan, atau apa pun yang
akan dilakukannya setelah ini. Termasuk menceritakan
rahasianya, yang meskipun membuat aku merasa penasaran,
memang sama sekali tidak wajib dibukanya kepada kami.
Semua orang memperhatikan lelaki tua berbusana pejabat
istana, yang duduk di atas batu sambil menghirup teh dari
cawan yang dipegang dengan kedua tangannya itu, dan juga
melihat tanpa berkedip kepadaku, yang meski berbusana
seperti orang Viet, jelas belum pernah mereka ketahui
kebangsaannya itu. Aku berjalan mendekati kedua pengawal perjalanan
tersebut. Serigala Hitam segera menyambut dan memelukku.
''Tidak kusangka perjumpaan kita berlanjut sampai sedalam
ini sobat. Serigala Merah telah menceritakan bagaimana dikau
telah membantunya. Terima kasih sobat!''
Aku tidak bisa menjawab, karena sesungguhnyalah aku
mengalami suatu perasaan haru yang telah dimulai sejak kali
pertama bersua dengan kedua orang itu. Bagi orang yang
melakukan perjalanan sendirian, jauh dari Tanah Air seperti
diriku ini, sikap bersahabat sangatlah besar maknanya. Aku
pun mundur dan menjura. ''Kalian bersikap sangat baik kepadaku Tuan-tuan, apa pun
yang telah kulakukan belumlah sepadan sebagai balasan.''
Mereka berdua tertawa dan menepuk-nepuk bahuku
dengan keras. ''Sudahlah sobat! Jangan panggil kami Tuan!'' Serigala
Merah menyergah. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Ya, kita orang-orang yang hidup di gunung tidak pandai
berbasa-basi! Serigala Merah memberi tahuku tentang ilmu
silatmu yang setinggi langit,'' ujar Serigala Hitam, ''meski tidak
bernama, kehadiranmu sangat besar artinya.''
Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kukira ini bukan
sekadar karena perasaanku yang tertekan setelah melakukan
perjalanan semalam dalam kegelapan dan kesempitan celah,
melainkan karena ketulusan mereka yang tidak memiliki
kepentingan itu. Mereka hanya melihat diriku sebagai seorang
pengembara yang berjalan sendiri saja, dan bagi mereka itu
berarti keterpisahan diriku dari segala sesuatu yang diakrabi
manusia, seperti rumah, keluarga, dan alam lingkungan. Tentu
mereka berdua tidak mengetahui, betapa kesendirian dan
keterpisahan telah menjadi bagian hidupku yang tidak bisa
kuhindari, tetapi itu tidak mengurangi penghargaanku atas
sikap mereka terhadapku sama sekali.
BEGITULAH di antara kami seolah tiada jarak lagi. Serigala
Hitam mengatakan bahwa bersama Serigala Merah keduanya
sudah terikat janji untuk segera berangkat mengawal kedua
puluh orang ini, karena di seberang celah pun sudah ada
sejumlah orang menanti di salah satu permukiman untuk
menyeberang kembali kemari. Bahkan mereka harus sudah
berada di sini besok pagi. Itu berarti mereka harus berangkat
sekarang mengantar rombongan agar tiba sebelum malam,
dan segera berangkat lagi setelah beristirahat sebentar untuk
melakukan perjalanan malam seperti yang kulakukan.
"Artinya kami serahkan pengurusan lelaki tua yang bisu itu


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kepada dikau, sobat."
Aku tidak bisa menolak permintaan kedua sahabat baru itu.
Jika lelaki tua tersebut memutuskan tetap meneruskan
perjalanan, maka ia akan mendapat seekor kuda yang
biasanya disewakan untuk orang-orang tua yang uzur atau
perempuan hamil, dan sekarang sedang tidak digunakan. Jika
ia bermaksud tetap tinggal untuk sementara, untuk
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
mendapatkan ketenangan dan kemantapan sebelum meneruskan perjalanan, maka aku diminta untuk mengantarkannya ke Kampung Jembatan Gantung, tempat
permukiman Serigala Hitam dan Serigala Merah yang kiranya
hanya bisa kucapai setelah mereka berdua memberitahuku
berbagai penanda jalan rahasia.
Dentang-dentang petualangan kembali bergema di dalam
dadaku, tetapi kuingatkan kembali diriku bahwa aku sedang
bertugas memburu Harimau Perang. Kukira aku pun tidak
perlu merahasiakannya kepada mereka berdua.
"Sebenarnya diriku sedang menyusul seseorang bercaping
lebar dan berambut panjang yang kemungkinan besar
bernama Harimau Perang. Apakah sobat-sobatku Serigala
Hitam dan Serigala Merah melihatnya ketika keluar dari celah
semalam?" Mereka saling berpandangan penuh arti.
"Ya, kami melihatnya ketika keluar dari celah menunggang
kuda Uighur yang bagus itu. Ia meneruskan perjalanannya
setelah mengawasi kami yang berpura-pura tidur, padahal
kami sebetulnya baru datang dan menunggu rombongan
karena biasanya mereka sudah siap sejak pagi buta. Serigala
Hitam lantas berkelebat mengikutinya dan tahu jalan mana
yang diambilnya," ujar Serigala Merah.
"Ya, jangan khawatir, jalan itu menuju ke Perguruan
Shaolin dan bisa dicapai dari kampung kami. Jalan itu tidak
bercabang ke mana pun sebelum arah tersebut, jadi sobatku
akan dapat menyusulnya karena Perguruan Shaolin itu masih
cukup jauh. Dengan melalui kampung kami yang tersembunyi,
sobatku yang tidak bernama juga telah menyingkat jalan,
karena jalan yang akan ditempuh penunggang kuda Uighur itu
dalam lima hari, akan ditempuh oleh sobatku dalam tiga hari,"
timpal Serigala Hitam pula.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Berita ini sangat menggembirakan, begitu rupa sehingga
seolah-olah akulah yang lebih bersemangat mengajak lelaki
tua tersebut ke pemikiman tersembunyi yang disebut
Kampung Jembatan Gantung itu.
Namun ketika kami bermaksud membicarakan hal itu
dengan lelaki tua yang baru saja terhindar dari kematian
tersebut, kami melihat ia sedang dikerumuni rombongan.
Pedagang yang datang dari kota itu menunjuk-nunjuknya.
"Kamu! Ya, kamulah orangnya! Aku tidak bisa melupakan
wajahmu yang seperti seekor unta itu!"
Ia menunjuk lelaki tua yang masih menyeruput teh panas
dari cawan itu. Pedagang tersebut maju dan seperti siap
menendang, yang jelas sekali tidak merupakan jurus ilmu silat.
Namun sebelum tendangan itu mengenai lelaki tua tersebut,
pedagang itu sendiri yang mendadak terpental beberapa depa.
Serigala Hitam sudah berada di sana.
"Kata siapa tiada peradaban di pelosok ini," ujarnya geram,
"siapa yang bermaksud menghakimi tanpa pengadilan boleh
menghadapi Serigala Hitam!"
Pedagang itu, seorang lelaki berusia sekitar 35 tahun,
bangkit berdiri sambil membersihkan basah embun dari
rerumputan pada bajunya. Ia menggerutu sendiri, tetapi jelas
agar setiap orang mendengarnya.
"Kalau ada pengadilan di sini, tentu aku menuntutnya,
sayang sekali kita berada di tengah hutan ," ujarnya.
Lantas Serigala Hitam pun berkata.
"Bagi siapa pun yang mengajukan tuntutan, ia harus
mengajukannya di wilayah hukum tempat perkaranya
berlangsung. Kita berada di daerah tak bertuan sekarang, jadi
siapa pun yang membuat perkara di sini akan berhadapan
denganku!" TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Semua orang terdiam. Bahkan bayi yang semula menangis
pun terdiam. "Semuanya bersiaplah," katanya lagi, "kita harus segera
berangkat karena ada rombongan lain menanti di seberang
sana." SETIAP orang pun berbenah. Pada dasarnya semua orang
memang siap berangkat. Di antara mereka ada yang sudah
menunggu sampai lima belas hari di permukiman terdekat,
karena Serigala Hitam dan Serigala Merah tidak akan bersedia
mengawal jika rombongan belum mencapai dua puluh orang;
kecuali jika bayaran yang mereka terima seharga bayaran
untuk mengawal dua puluh orang. Mereka yang akan
menyeberangi celah dan tinggal di permukiman yang tidak
terlalu jauh dari Kampung Jembatan Gantung akan
mendaftarkan diri dan menunggu, tetapi yang tinggal di balik
gunung m isalnya, apalagi dari kota, terpaksa menginap sambil
menunggu jumlahnya mencapai dua puluh orang.
Tidak berarti mereka berdua gila uang, karena pernah
melesat untuk menjemput tabib di seberang celah, ketika
seorang ibu bermasalah ketika melahirkan, dan semua itu
dilakukan tanpa bayaran. Kepada orang tua tersebut, Serigala Hitam dan Serigala
Merah menyampaikan, jika ia belum bermaksud meneruskan
perjalanan, akulah yang akan mengantarnya ke Kampung
Jembatan Gantung. Ia dipersilakan tinggal berapa lama pun
selama masih membutuhkannya.
"Kami menolong orang tidak tanggung-tanggung," ujar
Serigala Hitam dan Serigala Merah, "jika pemerintah kembali
memburunya, kami tetap akan membelanya. Seperti kami
lakukan kepada siapa pun yang lemah dan menderita."
Akhirnya semua persiapan selesai. Aku terkejut karena
sebelum berangkat mereka mengadakan upacara angkat
saudara terlebih dahulu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Baru kuperhatikan ternyata terdapat yang disebut altar
sembahyang di depan sebuah patung Dewi Kwan Im di situ
yang lebih kukenal sebagai Avalokitasvara. Rupa-rupanya agar
yang bermaksud memanfaatkannya dapat membakar hio dan
berdoa, sebelum berangkat menyeberangi celah sempit dan
gelap yang berkemungkinan membuat jiwa terguncang
tersebut. Kami bertiga pun membakar hio dan aku ikut bersoja dalam
upacara angkat saudara itu. Konon, hubungan seperti ini
sering menjadi jauh lebih dekat dari hubungan saudara
sedarah. Tidaklah dapat kukatakan betapa terharukannya
diriku dengan peristiwa ini.
Setelah memberitahukan tanda-tanda rahasia menuju
Kampung Jembatan Gantung kepadaku, rombongan itu pun
segera berangkat. Serigala Hitam memimpin di depan dan
Serigala Merah mengawal di belakang. Kupandang mereka
satu persatu memasuki celah. Tanpa terasa air mataku
mengalir membasahi pipi. Teringat sebuah pepatah tua Negeri Atap Langit:
ikan-ikan, meskipun jauh di dalam air, bisa ditombak;
burung-burung, meskipun tinggi di udara, bisa dipanah;
tetapi rahasia pikiran manusia tak bisa dijangkau
langit bisa diukur, bumi bisa diteliti
hati manusia tidak untuk diketahui
(Oo-dwkz-oO) KECERAHAN pagi segera pergi setelah mereka menghilang.
Lelaki tua yang dipaksa menjadi bisu dan gagu karena
lidahnya dipotong itu sudah siap di atas kuda cadangan yang
dipinjamkan Serigala Hitam. Ia bahkan boleh membawanya
jika ingin meneruskan perjalanan. Tanpa banyak kata aku pun
menaiki kudaku yang kukira sudah puas memakan rerumputan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
di sekitar tempat ini. Di atas punggung kuda aku juga
mengunyah daging asap dingin yang menjadi bekalku. Kulihat
lelaki tua itu pun melakukan hal yang sama.
Kabut datang kembali seperti kepastian suatu janji.
Kubiarkan kudaku melangkah sendiri di jalan sempit di tepi
tebing yang berkelak-kelok itu. Jalan setapak yang menghilang
di balik semak dan kabut menuju Kampung Jembatan Gantung
itu sebetulnya terletak tidak terlalu jauh. Dengan ukuran
Negeri Atap Langit jauhnya tidak sampai limaratus li, tetapi
aku tidak akan mungkin menemukan jalan setapak ke sana
tanpa diberitahu tanda-tanda rahasianya. Meskipun gagasan
tentang pemberontakan sudah jauh dari keturunan para
pemberontak yang bermukim di situ, naluri untuk tetap hidup
tersembunyi dan mengamankan diri tetap dipelihara.
Terutama semenjak Pemberontakan An Lushan, pemerintahan Wangsa Tang semakin sering mengirimkan
pasukan penjaga perbatasan untuk naik dan menyisir wilayah
tak bertuan seperti lautan kelabu gunung batu ini, karena
kekawatiran tersembunyi jauh di lubuk hati, bahwa
pemberontakan meruyak dari balik persembunyian.
Maka dari tahun ke tahun pun sebetulnya pertempuran
masih berlangsung diam-diam. Memang tidak terdapat dua
pasukan yang berhadapan di tanah lapang, tetapi regu kecil
pengawal rahasia istana yang tangguh tidak jarang dikirim
dengan tugas membasmi para penyamun, tetapi tugas
sesungguhnya adalah menemukan dan menghancurkan
berbagai pemukiman tersembunyi itu.
Dalam tugas terselubung mencari penyamun, tidak jarang
mereka memang berhasil menemukan sarang penyamun dan
menghancurkannya. Asap mengepul dari balik bukit dan hutan
jika perkampungan penyamun itu mereka bakar sampai bumi
hangus seperti arang menyala. Namun dalam tugas
sebenarnya mencari kampung keturunan para pemberontak,
lebih sering regu pengawal rahasia yang dikirim ini menjadi
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
hilang dan tidak pernah kembali. Gerombolan penyamun yang
menghimpun penjahat kambuhan cenderung lebih mudah
ditemukan daripada penyamun yang berasal dari keturunan
pemberontak, karena pemukiman tersembunyi mereka
sesungguhnyalah memang diselaputi dengan kerahasiaan
yang ketat sekali. Dengan semangat kerahasiaan itu pula maka antara
pemukiman yang satu dengan yang lain letaknya dijauhkan,
karena dahulu kala agaknya dibayangkan seandainya sebuah
pemukiman ditemukan dan dihancurkan, maka itu tidak akan
merambat ke pemukiman lain. Namun ternyata bukan hanya
semangat kerahasiaan itu dahulu yang membuat pemukiman
para pemberontak gagal ini terpencar-pencar, melainkan
karena pemukiman yang sangat tersembunyi dan bisa
dirahasiakan dalam keadaan alam lautan kelabu gunung batu
ini memang hanya mampu menampung mereka dalam jumlah
terbatas. Baiklah kuceritakan saja keadaan Kampung Jembatan
Gantung, agar gambarannya bisa menjadi lebih jelas. Seperti
telah disebutkan, aku harus menemukan tanda-tandanya lebih
dahulu, bahwa jalan setapak berlumut di balik semak dan
kabut mengambang yang akan kulalui itu memang jalan
menuju Kampung Jembatan Gantung. Sekali salah jalan,
bukan saja Kampung Jembatan Gantung tidak ditemukan, dan
sampai ke pemukiman lain, tetapi juga apabila sampai di
pemukiman lain itu belum tentu bisa kembali, karena setiap
jalan ke setiap pemukiman keturunan kaum pemberontak
memiliki kerahasiaannya masing-masing. Bahkan sesama
keturunan pemberontak, jika memasuki dan berkunjung ke
pemukiman lain, memerlukan pemandu dari pemukiman
tersebut, karena pembunuhan gelap yang dilancarkan jaringan
rahasia istana bukan takmungkin mencapai pemukiman
semacam itu. Sebenarnya bahkan pembunuhan gelap
semacam itu memang pernah terjadi.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Setelah menyusuri jalan sempit berkelak-kelok sepanjang
tebing beberapa saat lamanya, sambil menikmati burung
berkicau, terlihatlah olehku tanda yang dimaksud Serigala
Hitam sebagai penanda masuk ke arah Kampung Jembatan
Gantung. Adapun tanda itu adalah sebuah batu di tepi jalan
yang berwarna merah bata. Memang di sepanjang lautan
kelabu gunung batu, baru sekali ini kulihat ada batu berwarna
lain selain kelabu. Namun batu tersebut bagaikan secara
alamiah saja berada di situ, dan tampaknya memang begitu,
sehingga seorang mata-mata yang mencari tanda rahasia,
kiranya tidak akan menganggapnya sebagai tanda yang telah
dibebani arti. Sebelum keluar dari jalan sempit untuk mengikuti jalan
setapak, aku berhenti sejenak menunggu lelaki tua bisu
berjubah ungu itu. Aku merasa semenjak terjadinya peristiwa
tadi pagi, ketika pedagang dari kota itu menunjuk-nunjuknya
dengan pandangan benci, semangatnya untuk hidup bagaikan
telah hilang melayang. Usianya kukira sudah 70 tahun, dan
usaha untuk melarikan diri sampai kemari dari Changian tentu
menunjukkan semangat mempertahankan hidup yang besar.
Rahasia yang dipegangnya telah membuat lidahnya dipotong,
selain supaya dirinya tidak membuka rahasia kepada siapapun,
juga ia tidak dibunuh karena rahasia yang belum
diungkapkannya tersebut memang masih sangat dibutuhkan
pula. Bahwa ia tidak bunuh diri, artinya karena masih
menghargai kehidupan. Namun kini kulihat wajahnya
mengungkapkan keadaan yang rawan.
"Bapak, bukankah Bapak memang masih menunda


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perjalanan, dan ingin beristirahat di Kampung Jembatan
Gantung?" Ia mengangguk saja tanpa menatapku. Hatiku seperti
teriris. Lidah dipotong bukanlah nasib yang baik. Rahasia
macam apakah kiranya yang begitu penting, sehingga
membuatnya bernasib malang seperti ini"
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"BAPAK, apa pun persoalan Bapak, sahaya mohon
janganlah berputus asa. Bapak saksikan sendiri, kami tidak
ingin mengetahui rahasia yang Bapak pegang, dan kami peduli
akan keselamatan Bapak."
Mendengar kalimatku, sekilas kulihat ia tersenyum. Hanya
sekilas, dan hanya secercah, itu pun bukan senyum yang
menunjukkan ada sesuatu yang disukainya dari kalimatku.
Seperti senyum kepedihan.
Namun aku tidak bisa berpikir lebih lama lagi tentang
makna senyumannya itu. Aku ingin segera tiba di Kampung
Jembatan Gantung, menyerahkan lelaki tua itu kepada kepala
kampung sesuai dengan pesan Serigala Hitam. Lantas
melanjutkan perjalanan sesuai dengan tujuanku semula, yakni
mengejar Harimau Perang. Demikianlah kami menghilang ke balik semak dan kabut
menyusuri jalan setapak menuju Kampung Jembatan Gantung.
Sekarang aku melihat sendiri, jalan setapak ini bagaikan
menempel di dinding tebing, tepat di bawah jalan sempit di
atasnya, karena jalan yang di atasnya itu di bawahnya
berongga. Hanya karena merupakan jalan batu, maka rongga
itu tidak membuatnya longsor, bahkan seperti memayungi
jalan setapak di bawahnya. Pantaslah ketika berhadapan
dengan para penyamun yang menyerang silih berganti dari
berbagai penjuru, ketika aku baru mulai memasuki wilayah ini,
mereka bagaikan muncul begitu saja dari balik kabut tanpa
bisa diduga, karena ternyata ada jalan setapak tepat di bawah
jalan sempit yang kupijak. Jadi jalan setapak itu tentu saja
menghilang di balik semak dan kabut bagi siapa pun yang
hanya melihatnya dari jalan sempit di atasnya, karena
memang berbelok masuk ke bawah jalan sempit itu sendiri.
Tentu jalan setapak ini tidak selamanya berada di bawah
jalan sempit di tepi jurang tersebut, karena itu hanyalah jalan
keluar dan masuk ke jalan sempit, yang untuk selanjutnya
berbelok menuju permukikan. Jalan setapak menuju
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
permukikan, seperti yang sedang kutempuh sekarang, tidaklah
lurus atau tanpa cabang sampai ke tujuan, melainkan juga
berbelak-belok dan naik turun, serta terutama dengan
berbagai percabangan jalan penuh jebakan. Adapun yang
dimaksud dengan jebakan, sekali seseorang memasuki cabang
yang keliru, maka dia tidak akan pernah bisa lagi kembali ke
jalan yang seharusnya ditempuh.
Artinya memang hanya penduduk permukikan itulah yang
bisa sampai ke sana, atau siapapun yang telah diberitahu
tanda-tanda penunjuk jalannya, seperti diriku sendiri sekarang
ini, maupun penduduk permukikan tersembunyi lain yang
selama ini saling berhubungan dengan mereka. Betapapun,
para penduduk permukikan tersembunyi itu merupakan
keturunan dari nenekmoyang yang sama, yakni para
pemberontak terhadap pemerintahan wangsa yang berkuasa.
Apakah terhadap Wangsa Tang, sejak masa Maharaja Li Y uan
yang pertama kali berkuasa pada 618; terhadap pemerintahan
wangsa sebelumnya, yakni Wangsa Sui, dengan kekuasaan
terakhir pada Maharaja Yangyu yang hanya berkuasa setahun
sejak 617; dari wangsa-wangsa semenjak awal tercatatnya
pemerintahan di Negeri Atap Langit, yakni Wangsa Han sekitar
seribu tahun lalu, maupun Maharaja Li Shih atau Dezong
sekarang ini yang berkuasa sejak tahun 779. Demikianlah para
pelarian, orang-orang yang terbuang, tersingkirkan, dan
terpinggirkan, sedikit demi sedikit dari wangsa ke wangsa
terus mengalir untuk diserap dan disembunyikan dalam
keluasan dan kesunyian lautan kelabu gunung batu.
Dengan segenap tanda-tanda yang diberitahukan kepadaku, perjalanan tidak menjadi lebih mudah. Jalan
setapak berbatu-batu kadang menjadi jalan setapak yang
sangat licin, karena tanah yang sangat keras juga menjadi
terlalu halus dan penuh dengan lumut jika jarang dilewati.
Jalan setapak yang naik turun dan berkelak-kelok menembus
semak, kabut, dan juga terowongan sempit di bawah gunung
batu yang gelap dan di dasarnya terdapat air mengalir, dan air
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
juga menetes-netes dari atapnya. Bahkan di dalam
terowongan ini pun terdapat percabangan terowongan yang
juga menyesatkan jika keliru menempuh.
Pada percabangan inilah, di dalam maupun di luar
terowongan, kadang aku harus berhenti cukup lama, karena
pada jalan masuknya sengaja dipasang tanda-tanda juga,
tetapi sebagai jebakan yang menyesatkan. Artinya aku harus
mengenali pula, apakah tanda-tanda penunjuk jalan yang
kulihat itu memang merupakan tanda-tanda yang mengarah
ke permukikan, ataukah mengarahkan seseorang ke mana pun
kecuali menuju permukikan.
Sebegitu jauh kulihat lelaki tua itu selalu tertunduk di atas
kudanya, tenggelam dalam pikirannya sendiri, dan tampaknya
juga tidak terlalu menyadari apakah jalan yang sedang
ditempuh ini penuh dengan jebakan menyesatkan atau tidak.
Hanya kudanya saja mengikuti, bagaikan membawa barang
mati, yang bagiku menimbulkan suatu kekhawatiran tertentu.
NAMUN aku merasa lega, ketika akhirnya sampai juga di
jembatan gantung yang menjadi ciri permukikan tersebut,
sehingga disebut sebagai Kampung Jembatan Gantung. Aku
sangat terpesona memandang jembatan gantung yang sangat
panjang melintang di atas jurang itu, begitu panjang sehingga
dari tempatku turun dari kuda sekarang ujungnya tampak jauh
dan kecil sekali. Setelah ujung itulah terlihat Kampung
Jembatan Gantung, yang sebentar kelihatan dan sebentar
tidak, karena kabut yang datang dan pergi memang membuat
pemandangan timbul tenggelam.
Dari jauh begini, memang hanya tampak betapa kampung
itu sebetulnya adalah rumah-rumah yang menempel pada
dinding sebuah lereng. Dari sini, memang hanya melalui
jembatan gantung inilah cara mencapai permukikan tersebut.
(Oo-dwkz-oO) TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Episode 178: [Di Kampung Jembatan Gantung]
JIKA angin bertiup, menyingkirkan maupun membawa
kabut, jembatan gantung itu bergoyang-goyang. Kami sudah
berada di tengah jembatan ketika angin bertiup seperti
nyanyian, dan membuat jembatan itu seperti menjadi miring,
sehingga kuda kami berhenti. Saat masih berjalan aku tidak
sempat memperhatikan keadaan sekitar, karena betapapun
terlatihnya kuda yang kutunggangi, bukannya tidak mungkin
akan bisa terperosok juga. Tali temali dari akar-akaran yang
seperti menjadi pagar di kiri dan kanan jalan memang tampak
kuat, tetapi batang-batang pohon yang dirapatkan itu ada
kalanya sangat licin. Hanya dua batang pohon yang dirapatkan
sebagai tempat berpijak, asal cukup bagi kuda untuk
melangkah, karena jika lebih banyak lagi akan menjadi terlalu
berat bagi tempat bergantungnya, yakni rentangan rotan
sambung menyambung sahaja, yang meskipun terbukti luar
biasa liat, tidaklah berarti dapat menahan segala beban di luar
perhitungan. Ketika berhenti karena jembatan bergoyang mengerikan
seperti ini, aku lebih mengerti bagaimana pemukiman ini
menjadi tersembunyi. Berada di tengah jembatan ini saja
bagaikan me layang di tengah langit. Dua sisi tebing yang
dihubungkannya sangatlah jauh, bahkan lebih sering tidak
terlihat karena tertutup kabut, sementara gunung-gunung
batu lain yang tampak di kanan dan kiri jembatan pun hanya
tampak samar-samar jauh sekali. Padahal betapapun
pemukiman tersembunyi ini masih berada di wilayah lautan
kelabu gunung batu juga. Keadaan alam jelas sangat
dimanfaatkan oleh para pelarian
ini dahulu, untuk mendapatkan pemukiman yang meskipun tersembunyi tetapi
sebetulnya tidak terlalu jauh dari jalan sempit di tepi lereng,
yang merupakan jalan utama sepanjang lautan kelabu gunung
batu. TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Setelah angin berhenti dan jembatan gantung kembali lurus
seperti semula, kudaku pun melangkah lagi. Menengok ke
belakang, kulihat lelaki tua berjubah ungu dan mengenakan fu
tou hitam dari bahan sutera itu masih tertunduk di atas
kudanya. "Bapak, hati-hatilah," kataku, "batang-batang pohon ini
sangat licin." Ia mengeluarkan suara dengan sisa lidahnya, yang kukira
sekadar mengatakan, "Ya."
Perlahan-lahan, semakin mendekati tujuan, semakin tipis
kabutnya, dan semakin jelas betapa pemukiman itu bukanlah
sekadar rumah yang menempel di dinding lereng, melainkan
sebuah pemukiman yang selain rumah panjang menempel dan
bergantungan pada lereng, terdapat jalan, altar doa, rumah
agak lebih besar yang mungkin dijadikan balai pertemuan,
bahkan juga kedai, dan juga semacam gardu penjaga yang
berada paling dekat dengan akhir jembatan gantung ini.
Dari tempatku mendekat perlahan-lahan, terlihat suasana
sebuah pemukiman yang hidup, orang-orang di dalam rumah,
orang-orang berjalan di luar rumah, masih pada jalan setapak
yang bahkan kadang-kadang terputus karena mengecil dan
habis menjadi dinding lereng, untuk disambung susunan
papan yang cukup halus potongannya, yang bahkan cukup
lebar tempat kanak-kanak berlari. Namun tentu saja bagi
kanak-kanak yang suka berlari, pemukiman ini adalah tempat
yang berbahaya, karena sekali terpeleset dan terlempar dari
jalan setapak maupun jalan susunan papan, yang bergantung
dengan tali rotan pada lereng yang menjorok seperti atap,
tentu langsung me layang ke jurang. Pemukiman ini seperti
sarang burung walet menempel di tebing-tebing curam, yang
bagai tak mungkin dicapai manusia, dan para penghuninya
harus terbang ke sana ke mari, meski sempat kuperhatikan
bahwa betapapun jalan setapak dan jalan susunan papan itu
memang dipagari tali akar-akaran.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
AKU telah semakin dekat, tetapi pandanganku segera
terhalang oleh seorang pengawal yang muncul dari dalam
gardu. Ia seorang gadis yang tampaknya masih muda sekali,
tetapi tindak tanduknya sudah terlihat matang dan berhati-
hati. Baik yi, busana atasan, dan shang, busana bawahan,
yang dikenakannya itu serba putih, begitu pula ikat pinggang
yang mengikatnya erat, sehingga menjadi ringkas, sesuai
dengan kesiapan orang-orang rimba hijau dan sungai telaga
semenjak masa Wangsa Han, bahkan alas kakinya yang
disebut sepatu pun berwarna putih bersih, bagaikan tiada
setitik debu sama sekali. Sebilah pedang jian tersoren di
punggungnya, kulihat gagangnya juga putih, yang segera
memberi kesan kepadaku betapa ia sangat bersungguh-
sungguh dengan ilmu silat yang dipelajarinya.
Jembatan gantung yang sangat panjang ini sesungguhnyalah ternyata melengkung, sehingga siapapun
yang datang dari seberang dan hampir sampai akan terpaksa
harus setengah mendaki. Setelah kuperhatikan sekilas
bagaimana jembatan ini tergantung, tahulah aku bahwa apa
pun yang terhubungkan dengan permukiman selalu dibuat
dengan mempertimbangkan kemungkinan diserang. Kedudukan mendaki ini m isalnya, jika digunakan sebagai jalan
untuk menyerang adalah kedudukan yang lemah. Adapun jika
terpaksa, kulihat betapa dengan sekali tetakan pedang, maka
jembatan gantung akan secara sangat teratur simpul-
simpulnya terurai, menjadi tali-tali lepas yang tidak saling
berkaitan, merontokkan segalanya yang sedang berada di atas
jembatan. Dapat kubayangkan seribu orang pasukan pilihan
yang sedang melesat berlari dengan ringan di atasnya,
mendadak saja akan kehilangan pijakan dan melayang jatuh
ke dalam jurang yang bagaikan tiada berdasar.
Gadis pengawal itu mengamatiku dengan tajam. Tentu aku
tampak sebagai orang asing, tetapi ia mengajukan pertanyaan
dalam bahasa Negeri Atap Langit.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Li Bai atau Du Fu?"
Aku tersenyum dan teringat petunjuk Serigala Hitam.
"Meski Li Ba i periang dan Du Fu pemurung, daku lebih suka
Du Fu," kataku. Ia pun melanjutkan, "Kutinggalkan uang sesen dalam
saku." Aku meneruskan, "Kantungku kempis takut malu."
Ia menatapku dengan geli, lantas tersenyum lebar.
Menatap senyuman secerah itu, rasanya ketegangan karena
menyeberangi jembatan gantung serbalicin ini lenyap
menguap sama sekali. "Ucapan dikau kacau balau, tetapi jawabannya benar
sekali," katanya, "teruslah naik kemari."
Menurut Serigala Hitam dan Serigala Merah, jawaban yang
salah hanya berarti kematian, karena jika seseorang berhasil
menghindari segala cabang penuh jebakan, tetapi gagal
menjawab kalimat sandi, akan dianggap penyusup yang harus
dibunuh. Meskipun pertanyaannya Li Bai atau Du Fu, dua penyair
terkenal pada masa keemasan Wangsa Tang, jawaban yang
benar hanyalah Du Fu. Jadi pertanyaan pertama itu sangat
menjebak. Adapun pertanyaan kedua tidak terlalu penting,


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

karena puisi-puisi Du Fu dikuasai banyak orang di luar kepala,
seperti juga puisi Kantungku Kempes ini.
kutinggalkan uang sesen dalam saku
kantungku kempes takut malu
Untuk menjaga bahwa seorang penyusup tidak sekadar
beruntung ketika menjawab pertanyaan, "Li Bai atau Du Fu?",
maka jawabannya pun menjadi seperti yang kuucapkan tadi.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
"Jangan salah, meski cuma satu kata," ujar Serigala Hitam.
Tidaklah terbayang olehku sebelumnya, betapa bisa begitu
dekatnya seseorang dengan kematian.
"Daku membawa pesan Serigala Hitam," kataku setelah tiba
di atas. Untuk mencapai permukiman aku masih harus mendaki,
tetapi aku turun dari kudaku dan gadis pengawal berbusana
serba putih itu berjalan di sampingku.
"Tidak sembarang orang dipercaya oleh Serigala Hitam
maupun Serigala Merah," katanya, "katakanlah apa yang
menjadi pesan." Kuingat apa yang disampaikan Serigala Hitam, bahwa aku
dapat mempercayai siapapun yang bertugas di ujung
jembatan gantung, maka kusampaikan dengan singkat apa
yang telah terjadi, sehingga aku harus melewati Kampung
Jembatan Gantung bersama seorang lelaki tua berjubah ungu
yang gagu karena lidahnya dipotong itu
GADIS pengawal itu mengangguk-angguk seperti orang
dewasa. Mungkinkah naluri yang dipelihara, agar selalu
waspada terhadap ancaman bahaya, membuat seorang gadis
pengawal yang masih muda menjadi terlalu cepat matang
seperti itu" "Baiklah kami akan mengurusnya, bahkan memberinya
seorang pengawal tangguh agar ia dapat tiba di tempat
tujuannya dengan selamat," katanya, "tampaknya bukan
sembarang rahasia yang dipegangnya sehingga ia masih tetap
hidup." Sambil terus berbicara kami menelusuri jalan yang silih
berganti dengan jalan susunan papan tergantung dan
berpagar tali itu. Dari jalan setapak, setiap kali terdapat rumah
di atasnya yang menempel ke dinding, terdapatlah menuju ke
atas yang terbuat dari batang pohon. Di batang pohon itu
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
anak tangga dibentuk dengan bacokan golok, sekadar cukup
bagi telapak kaki, tepatnya sepertiga telapak kaki, untuk
menapak. Kulihat kanak-kanak maupun orang tua yang sudah
bungkuk, seperti hanya perlu menyentuhkan telapak kakinya
sebentar ketika berlari menaiki maupun menuruninya. Orang-
orang memperhatikan aku, tetapi tidak lantas meninggalkan
apa pun yang sedang mereka kerjakan.
Di permukiman yang rumah-rumahnya menempel di
dinding jurang serbacuram seperti sarang burung walet itu,
kehidupan berlangsung seperti biasa. Kami berpapasan
dengan orang-orang pulang berburu misalnya, mengangkut
rusa yang terikat di pikulan dan diangkut dua orang. Terlihat
asap dari dapur, tercium bau masakan, terdengar perempuan
bernyanyi sambil menenun. Orang-orang tua tampak
bercengkerama sambil minum teh, ada yang menjalankan alat
dari bambu yang kelak kuketahui bernama pompa air, ada
yang berlatih tai chi sendirian di atas batu, dan seorang kakek
tua tampak dikerumuni anak-anak. Banyak anjing berbulu
tebal, yang tampaknya anjing pemburu, berkeliaran maupun
diam memandangku dari depan pintu.
Para pemuda, selain duduk saling berhadapan menghadapi
permainan perang dengan buah-buah batu di atas papan, ada
juga yang duduk meluruskan kaki, bersandar pada tiang
rumah sambil membaca. Kaum perempuan kesanku sangat
gagah, langkahnya serba mantap dan tubuhnya tegap. Jika
bertemu pandang mereka tidak menundukkan kepala,
melainkan menatap kembali dengan tegas. Juga busana
mereka ringkas, bahkan busana lelaki sejak masa Han yang
disebut pao mereka pakai juga. Busana seperti pipa yang
disebut-sebut sebagai ce lana atau ku seperti menjadi seragam
utama di Kampung Jembatan Gantung, tampaknya tiada lebih
karena suasana siap tempur.
Di dinding setiap rumah jika tidak kulihat tombak, tentu
terlihat pedang jian terpasang bagai menunjuk kesiagaan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
penduduknya. Sementara golok dao dan kelewang dadao,
meski terpasang di setiap pinggang dengan alasan untuk
menebang kayu, kuyakini dapat mereka mainkan dengan cara
ilmu silat pula. Mereka semua memandangku hanya sekilas,
tetapi tak dapat mereka sembunyikan pandangan mata yang
bertanya-tanya itu, karena mungkin untuk pertama kalinya
melihat seseorang berkulit sawo matang seperti diriku.
Kaum perempuan tidak ada yang tidak bekerja. Tidak
seperti kaum lelakinya, yang sepertinya hanya sibuk bicara di
antara mereka sendiri sahaja.
"Jin-siyan!" Terdengar suara memanggil gadis berbusana serba putih
itu, yang segera berkelebat me layang secepat walet, tetapi
begitu mengudara hanya membentangkan tangan untuk turun
perlahan-lahan seperti jatuhnya kapas.
Adapun yang memanggilnya adalah seorang tua berjanggut
putih, yang ketika melihat gadis pengawal tersebut turun
perlahan-lahan seperti itu segera menggerakkan tangannya.
Dalam sekejap terdengar desis jarum-jarum beracun yang
melesat ke arahnya, yang sudah pasti akan menancap di
tubuhnya jika ia tidak segera mencabut jian di punggungnya
itu dan memutarnya dengan sebat untuk merontokkan jarum-
jarum beracun tersebut. Gadis yang dipangggil sebagai Jin-siyan itu menjura begitu
mendarat. Pedang jian yang sempat kulihat berkilat
menyilaukan itu sudah masuk ke dalam sarungnya.
"Maafkan sahaya Guru, karena datang terlambat untuk
berlatih. Sahaya sudah akan kemari ketika mereka datang."
Orang tua itu mengelus-elus janggut putihnya tanpa
menoleh kepada kami. Dari caranya melempar jarum, yang
hanya seperti mengibas tidak sengaja, jelas ilmu silatnya
sudah sangat tinggi. Tampaknya ia orang penting dan
dihormati di pemukiman ini, sehingga mungkin merasa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
sebaiknya menganggap kami tidak ada sebelum diperkenalkan
kepadanya terlebih dahulu.
DENGAN singkat Jin-siyan menjelaskan semuanya, barulah
lelaki berjanggut putih yang dipanggil Guru itu sudi
memandang kami ke bawah. Kuperhatikan busananya juga
serba putih, tetapi karena agaknya sudah lama, maka tidak
tampak terlalu putih lagi.
''Tanpa Nama"'' Jelas pertanyaan singkat itu ditujukan kepadaku.
''Ya Tuan,'' kataku, ''sahaya tidak memiliki nama...''
Ia mengangguk-angguk. ''Tentu seseorang tidak bisa dipaksa memiliki nama, tetapi
lantas dikau akan dipanggil"''
''Karena sahaya tidak memiliki nama, maka sahaya
dipanggil sebagai orang yang tidak punya nama, Tuan.''
Ia tersenyum. ''Tanpa Nama. Tidakkah ini suatu nama"''
Aku pun menjura kepadanya.
''Dengan segala hormat, Tuan, itu hanya cara untuk
memanggil sahaya saja.'' Ia mengangguk-angguk lagi, masih mengelus-elus janggut
putihnya. ''Wu ming,'' katanya lagi, ''tahukah dikau artinya wu ming"''
Aku menggeleng. ''Maafkan sahaya Tuan, penguasaan kata-kata sahaya
sebagai orang asing masih sangat terbatas, tapi sahaya
sungguh ingin mengetahui artinya.''
''Jika dikau membaca Daodejing, akan dikau temui kata wu
ming, yang berarti tidak mempunyai nama, takbernama, tanpa
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
pembeda apa pun yang membuat suatu nama bisa diberikan.
Kata ini sering digunakan untuk menunjukkan Jalan dan
akibatnya. Maka juga dianggap sebagai tersendiri, karena
suatu nama bisa diberikan kepada apapun yang tidak
tersendiri. Adapun karena Jalan adalah tersendiri, tiada nama
yang diketahui dapat diterapkan maupun menjelaskannya.''
Ia berbicara tentang nama dan tak nama, tetapi
perhatianku dalam tukar menukar kata ini adalah kata Jalan,
yang disebutnya dengan kata dao. Di Kuil Pengabdian Sejati
untuk beberapa waktu lamanya telah kuperhatikan makna
kata dao ini. Aku pun menjura, dan berkata, ''Kepada pengembara
bodoh yang datang dari Javadvipa ini Tuan Guru, mohon
sudilah kiranya memberikan sedikit pengetahuan tentang
Jalan.'' Ia pun tertawa terbahak-bahak.
''Huahahahahaha! Cepat sekali ya, pengembara" Cepat
sekali!'' Bahkan Jin-siyan ikut pula tertawa-tawa menutupi
mulutnya. ''Jin-siyan! Kamu sajalah nanti memberi tahu Yang Tidak
Bernama ini penjelasan tentang Jalan ya" Supaya setelah itu
semakin bahagialah ia berjalan-jalan! Huahahahahaha!''
Sepintas kulirik lelaki tua berjubah ungu itu. Percakapan
begini meriah, tetapi ia hanya tertunduk saja
Jin-siyan telah melayang turun. Sambil meneruskan
langkah ke balai pertemuan tempat kami bisa menginap, Jin-
siyan bicara tentang dao. Ia keluarkan pedang jian dan
sembari melompat pedangnya menuliskan suatu aksara di
udara. ''Jangan lupa aksara ini,'' katanya, ''begitulah caranya dao
ditulis, yang dapat diuraikan menjadi tiga bagian, yakni kepala
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
manusia, jalanan, dan kaki manusia. Itulah lambang bahwa
seorang pemimpin dan pengikutnya bersama-sama menempuh sebuah jalan.'' Aku ingat ketika mempelajari aksara itu di Kuil Pengabdian
Sejati. Cara perangkaian rambut di kepala pada unsur kedua,
menunjukkan itu kepala seorang pemimpin, sedangkan unsur
ketiga, lambang kaki manusia, maksudnya menunjukkan
seorang pengikut. Setahuku, sebelum pemikiran Kong Fuzi
dikenal di Negeri Atap Langit, dao merupakan lambang cita-
cita manusia. Artinya kepercayaan diberikan kepada pemimpin
yang bijak, karena dao adalah jalan menuju kebajikan.
Dalam Kitab Shujing disebutkan:
langit tidak dapat dipercaya
Dao semata perluasan kebajikan Raja Agung Ketika dao dimaksudkan sebagai Jalan, maka itu berarti
cara melakukan sesuatu dalam tiga pengertian, apakah itu
tata cara alam atau tata cara semesta yang mengungkap he
atau keselarasan; apakah itu tata cara kehidupan manusia
yang serasi dengan susunan alam, yang menempatkan
manusia sebagai bagian dari alam; ataukah tata cara yang
diikuti manusia karena keputusannya sendiri, bahwa meskipun
dao berada dalam diri, haruslah tetap dicari dan dikejar,
karena memang tidak semua orang akan menemukan dan
menemukan dao, tanpa berjuang untuk mendapatkannya
sendiri. Setiap aliran filsafat di Negeri Atap Langit
memanfaatkan kata dao untuk menjelaskan tatacara
pemikirannya. Sambil berjalan mendaki, Jin-siyan meneruskan.
''Pemikiran Kong Fuzi maupun Kaum Dao, sebagai dua
aliran filsafat besar, juga memanfaatkan kekuatan kata dao.
Tata cara pemikiran Kong Fuzi menggunakan istilah dao dalam
kerangka pikiran tentang kebaikan dan perangkat aturan
tentang perilaku, bahwa cara hidup manusia harus sesuai
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
dengan tatacara alam. Tapi jika dalam pemikiran Kong Fuzi
penekanannya kepada manusia dalam hubungannya dengan
manusia lain, Kaum Dao menekankannya kepada manusia
dalam hubungannya dengan alam itu sendiri. Nah, ketika
Mahayana masuk ke sini tujuhratusan tahun lalu, katanya dao
adalah jalan menuju Nirvana,'' ujarnya sambil tersenyum
menatapku. Aku tidak tahu harus berbuat apa dengan senyum yang
manis sekali seperti itu. ''Bagaimana Mahayana diterapkan di
Shin-li-fo-shih"'' tanyanya pula.
Aku harus maklum jika di antara puncak-puncak gunung
batu seperti ini, orang tidak mengetahui perbedaan antara
Srivijaya yang disebutnya Shin-li-fo-shih itu dengan Javadvipa,
atau bahwa Sriv ijaya sebagai nama kadatuan memang terletak
dalam wilayah Suvarnadvipa, yang bertumpang tindih dengan
yang disebut sebagai Suvarnabhumi. Aku menjawab tanpa
perlu menjelaskan bahwa pusat pemerintahan Shih-li-fo-shih
terletak di Samudradvipa yang justru belum pernah kuinjak,
sedangkan aku adalah rakyat Kerajaan Mataram yang dikuasai
Wangsa Syailendra dan bertempat di Javadvipa yang juga
disebut Yawabhumipala. ''Jika di Negeri Atap Langit sudah mengakar pemikiran Kong
Fuzi maupun Kaum Dao ketika Mahayana tiba, di Javadvipa
masuklah Hindu pemuja Siva, disebut Saiva, meski di
Jambhudvipa juga berkembang Vaisnava, penyembah Visnu,
dan juga Shakta, penyembah Shakti. Sebelum Saiva tiba,
penduduk setempat sudah memiliki kepercayaannya sendiri
pula. Jadi mungkin Buddha Mahayana juga akan diterapkan
dengan perbedaan dari yang berlaku di Jambhudvipa.''
Jin-siyan mengangguk-angguk.
''Dao membedakan Mahayana di Negeri Atap Langit dengan
Mahayana di Jambhudvipa, sampai Yang Mulia Xuanzang
harus mengembara begitu jauhnya, mencari kitab-kitabnya
yang asli ke Jambhudvipa.''
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Bahkan adalah Fo-shih yang menjadi tempat belajar bahasa
Sansekerta, terutama yang digunakan untuk membaca sutra
Buddha, sebelum meneruskan pelayaran untuk belajar


Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang Naga Bumi 2 Karya Seno Gumira di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung di Nalanda. Kuperhatikan Jin-siyan, kepalanya mengenakan fu tou yang
dimaksudkan sebagai perlengkapan busana pria. Di sebuah
pemukiman yang rumah-rumahnya menempel di dinding
curam seperti sarang burung walet, dengan tempat berpijak
hanya setapak, diselang-seling susunan papan tergantung
pula, memang tidaklah mungkin seorang perempuan
berbusana seperti perempuan.
Matanya mengerjap, wajah manisnya tampak lucu di bawah
fu tou. Tiada kukira dari pemilik wajah seperti itulah kudengar
perbincangan tentang dao seperti terterapkan kepada
pemikiran Kaum Dao, penganut Kong Fuzi, maupun Buddha
Mahayana yang datang dari Jambhudvipa ke Negeri Atap
Langit ini. BAGAIMANA jika aku membagi atau menjual keterangan,
dengan segala penjelasan tentang bagaimana tempat ini dapat
diserang" Memang benar, keturunan para pemberontak di
tempat tersembunyi seperti ini tidak lagi menyimpan impian,
maupun kekuatan yang cukup untuk menggulingkan
kekuasaaan. Namun memang bukan penggulingan kekuasaan
yang ditakutkan, melainkan keterpeliharaan gagasan tentang
kemerdekaan di dalam pikiran. Begitulah ketakutan bisa
melahirkan kekejaman begitu rupa, karena bagi penguasa
yang sangat terganggu oleh bayangan pemberontakan,
gagasan di dalam pikiran hanya bisa dihapus dengan
pemenggalan kepala! Maka perburuan masih terus menerus dilangsungkan,
sebagai kebiasaan yang dipelihara dari zaman ke zaman, yang
membuat penduduk pemukiman pun memelihara kewaspadaan dan kesiagaan selama waktu yang sama,
dengan suatu bayangan yang sama menakutkannya seperti
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
bayangan penguasa, bahwa suatu hari sejumlah besar
pasukan mengepung dan menyerbu dalam suatu pembantaian
besar-besaran. Aku menghela napas panjang. Alam begitu
sunyi dan sepi, tetapi betapa maut selalu dirasakan sebagai
ancaman. Kulihat lelaki tua yang masih saja murung wajahnya
menulis di atas lembaran yang disebut kertas menggunakan
alat tulis yang dicelupkan ke dalam cairan bernama tinta.
Sudah beberapa lembar kertas yang ditulisnya dan beberapa
kali pula ia menghela napas panjang. Apakah kiranya yang
dituliskannya itu" Di balai pertemuan tempat kami dipersilakan
menginap, memang tersedia segala sesuatu yang bisa
digunakan setiap warga pemukiman, termasuk altar untuk
berdoa. Bagi lelaki tua tersebut disediakan sebuah bilik
dengan alas tebal berisi kapas yang disebut kasur, lengkap
dengan kain tebal sebagai selimutnya, mungkin mengingat
usianya yang kuduga mencapai 70 tahun. Aku ditempatkan di
luar bilik, tetapi di dalam balai pertemuan, tempat terdapatnya
kisah-kisah tentang Wangsa Tang yang bisa dibaca.
Pagi ini aku sedang makan sayur asin dengan sumpit,
ketika Jin-siyan, gadis pengawal itu muncul dari balik atap,
melenting dan mendarat dengan ringan di hadapanku. Ia
menjura sebelum bicara. ''Dengan hormat, guruku yang dikenal sebagai Angin
Mendesau Berwajah Hijau meminta kedatangan Yang Tidak
Bernama ke pondoknya, karena ada masalah penting yang
akan disampaikannya.'' Masalah penting" Apakah yang bisa menjadi penting bagiku
di tempat seperti ini"
Aku bermaksud menuang lagi teh dari teko ke cawan,
tetapi Jin-siyan segera menyergah.
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
''Jika Angin Mendesau Berwajah Hijau memanggil, biasanya
siapa pun tidak menundanya lagi. Di sana telah disediakan
juga teh bagi Yang Tidak Bernama.''
Aku pun tidak menundanya lagi, meski rasanya masih
terdapat makanan di mulutku. Kuikuti dia melenting dari atap
ke atap, sementara kulihat pemandangan kehidupan sehari-
hari berlangsung di bawah. Ibu-ibu tua dengan kayu bakar di
punggung tampak begitu tenang melangkah di jalan setapak,
yang ada kalanya miring letaknya, untuk menyambung ke
jalan susunan papan yang tergantung dan bergoyang-goyang,
anak-anak kecil bahkan berlarian tanpa takut dan tertawa-
tawa meloncat menyeberang padahal di bawahnya jurang.
Maka segera pula kumengerti, bahwa dengan kemampuan
untuk hidup dalam lingkungan seperti ini, penyerbu mana pun
seperti hanya akan menemukan kematiannya sendiri.
Jin-siyan menukik dan lenyap masuk ke dalam pondok. Aku
pun menukik ke bawah mengikuti jejaknya, tetapi dengan
segera terpaksa melenting ke atas, berputar jungkir balik
dengan Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur, ketika
mendadak saja berkelebat suatu bayangan dan desau angin
panas nyaris melibasku di tengah udara berkabut, yang akan
membuat tubuhku leleh jika tidak berhasil menghindarinya.
Aku telah diserang Angin Mendesau Berwajah Hijau yang
menggulungku bagaikan angin puting beliung menghancurkan
kampung. Guru Jin-siyan ini tak bisa dilihat lagi, hanya angin
panas melibas tanpa memberi ruang untuk bernapas.
Pernah kubaca dalam Kitab Perbendaharaan I lmu-ilmu Silat
Ajaib dari Negeri Atap Langit bahwa angin panas ini
sebetulnya datang jurus-jurus persilatan jua, yang karena
cepatnya menjadi tiada terlihat, dengan kemampuan
memisah-misahkan anggota badan, sehingga yang diserang
pun binasa secara mengerikan. Barangkali itulah yang
membuatnya dikenal sebagai Angin Mendesau Berwajah Hijau,
yang tentu maksudnya adalah wajah iblis. Betapa tidak akan
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
disebut iblis jika jurus angin panasnya memisah-misahkan
anggota badan! SEMBARI terus berkelebat menghindar, aku berjuang
mengatasi keherananku bahwa guru Jin-siyan itu telah
menyerangku dengan jurus-jurus yang sangat mematikan.
Tidakkah aku telah mendapat segala kunci rahasia, agar tidak
tersesat dan dapat mencapai Kampung Jembatan Gantung,
adalah karena kepercayaan Serigala Hitam dan Serigala Merah
juga" Bersama kedua orang itu, tanpa kuminta kami bahkan
telah saling mengangkat saudara, yang maknanya sering
dianggap lebih dalam daripada hubungan saudara sedarah
yang ditentukan oleh nasib.
Kemudian sempat kulirik, bahwa Serigala Hitam dan
Serigala Merah ternyata sudah ada di s ini pula, sesuai dengan
rencana bahwa mereka langsung kembali dari seberang celah,
membawa rombongan yang memintanya memandu perjalanan
mereka menyeberangi celah ma lam itu juga. Rupanya tugas
itu sudah diselesaikannya dan kini mereka telah tiba di sini.
Apa yang telah terjadi" Namun bagaimana mungkin berpikir
lebih jauh sambil menghadapi serangan maut seperti ini,
apalagi jika tiada penanda apapun yang kiranya dapat menjadi
bahan pertimbangan atas terjadinya serangan ini"
Serangan bergulung seperti angin puting beliung. Mereka
yang tidak berdaya menghadapinya memang segera merasa
harinya akan berakhir, karena gelombang angin panas yang
membuat udara bagaikan mendidih akan membuat lawannya
putus asa. Aku masih mendekap kedua lututku, berputar-putar
dan meliak-liuk dalam Jurus Naga Meringkuk di Dalam Telur,
yang harus segera kuganti, karena jika jurus ini memang
mampu menghindarkan serangan, belumlah mengatasi angin
panas yang dapat membuat udara mematangkan telur. Artinya
aku bisa mengalami kematian dalam keadaan matang
terpanggang... TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Aku tidak ingin terlalu lama melayani Angin Mendesau
Berwajah Hijau yang serangannya mengerikan seperti itu.
Bahkan aku tidak tertarik mengeluarkan Jurus Bayangan
Cermin untuk menyerap ilmu silatnya agar dapat kukembalikan lagi kepadanya, sebagai jurus baru yang tidak
terduga, karena meskipun kehidupan di pemukinan ini tampak
menyenangkan tetapi pikiranku tertuju kepada Harimau
Perang. Aku ingin segera berangkat dan tidak menambah
persoalan, apalagi dengan terjadinya serangan tanpa
penjelasan seperti ini. Namun aku juga tidak ingin
mempermalukan Angin Mendesau Berwajah Hijau yang
kuduga tentunya merupakan guru besar di pemukiman
keturunan pemberontak ini, yang berarti juga merupakan guru
Serigala Hitam dan Serigala Merah. Keputusan ini kuambil
karena kusaksikan sekilas wajah Serigala Hitam dan Serigala
Merah yang tampak sangat khawatir, tetapi bukan atas nasib
gurunya, melainkan nasibku!
Pertarungan di udara tanpa sentuhan ini berlangsung cepat
sekali, begitu cepatnya sehingga tidak dapat diikuti siapapun
yang ilmunya masih berada pada tingkat awam. Angin panas
masih bergulung dengan ganas dan panas, tetapi kugunakan
Jurus Tarian Naga Salju yang membuat setiap gerakanku,
menyerang atau tidak menyerang, menghindar atau tidak
menghindar, mendesaukan pula angin, tetapi yang begitu
dingin membekukan segala zat cair. Di puncak gunung batu
ini, udara dingin tentulah bukan masalah, tetapi angin yang
terbentuk dari gerakan jurus ini bahkan Jin-siyan, Serigala
Hitam, dan Serigala Merah yang menyaksikan dari jarak
tertentu pun tampak mendekapkan tangan kedinginan sekali.
Memang kusalurkan tenaga dalam hasil latihan sepuluh tahun
di dalam gua untuk membekukan segenap uap air di udara
melalui pori-poriku, yang tersalur melalui udara dalam kibasan
Jurus Tarian Naga Salju. Jurus ini sebetulnya indah sekali, seperti rangkaian gerak
yang bukan hanya dibuat untuk ditarikan, tetapi bahkan juga
TIRAIKASIH WEBSITE http://kangzusi.com/
Insan Tanpa Wajah 1 Wiro Sableng 072 Purnama Berdarah Misteri Bunga Noda 3
^