Kembang Kecubung 2
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Bagian 2
Wreda dengan kekuasaan apapun juga. "
" Ampun Kangjeng Adipati. HamDa sama sekali tidak berniat untuk membidik jabatan
yang kosong itu. Hamba tahu diri, bahwa hamba bukan orang yang memiliki
kelebihan. Bahkan sekarang hamba mendapat anugerah kedudukan sebagai seorang
Tumenggung, hamba telah mengucap sokur. "
" Jika demikian, apakah karena perempuan itu "
Kakang tidak ingin bahwa suami perempuan muda yang cantik itu pulang. "
" Ampun Kangjeng. Jika itu yang hamba
inginkan, maka terkutuklah hamba. Hamba mempunyai seorang isteri yang setia,
yang bersedia hidup bersama, tetapi juga bersedia mati bersama. Dalam keadaan
apapun hamba tidak akan menghianati isteri hamba. "
" Jika demikian, lupakan saja kecemasan kakang itu, Biarlah besok aku nyalakan
didalam sidang, bahwa aku telah mengampunkan kakangmas
Tumenggung Wreda Reksayuda. Tentu saja
bersamaan dengan itu, aku akan memberkan perintah kepada Senapati pasukan sandi
agar dengan hati-hati selalu mengawasi kakangmas Tumenggung, terutama
hubungannya dengan orang yang tidak dikenal. "
Ki Tumenggung Reksabawa menundukkan
kepalanya. " Kakang Tumenggung. Aku terpaksa tidak dapat memenuhi keinginan kakang
Tumenggung. Bukan berarti bahwa aku tidak mau mendengarkan pendapat kakang Tumenggung.
Bukankah selama ini aku hampir tidak pernah menolak dan mengkesampingkan
pendapat kakang " Tetapi kali ini aku tidak dapat menerimanya, karena aku juga
harus mendengarkan pendapat banyak orang yang ternyata condong untuk menerima
kakangmas Tumenggung Wreda itu kembali ke Sendang Arum."
" Hamba mengerti, Kangjeng Adipati. "
" Kau jangan menjadi sakit hati. Kau harus menerima kenyataan dalam perbedaan
pendapat ini. " " Hamba mengerti, Kangjeng Adipati. Hamba sama sekali tidak menjadi sakit hati,
meskipun hamba mengakui, bahwa hamba menjadi cemas.
Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.
Hamba hanya melihat dengan mata perasaan hamba, bahwa sesuatu akan terjadi. "
" Jangan cemas. Kita harus percaya diri, bahwa kita sekarang cukup kuat untuk
menghadapi banyak persoalan yang mungkin akan dapat mengganggu ketenangan hidup
kita. " " Hamba Kangjeng Adipati " sahut Ki
Tumenggung Reksabawa yang kemudian mohon diri " ampun Kangjeng. Jika demikian
perkenankanlah hamba mengundurkan diri. "
" Silahkan, kakang. "
Ki Tumenggung Reksabawapun kemudian
meninggalkan serambi dalem Kadipaten.
Sepeninggal Ki Tumenggung, Kangjeng Adipati Wirakusuma duduk sendiri di serambi.
Pandangan matanya menerawang jauh menembus pintu yang terbuka, menusuk ke
panasnya sinar matahari di siang hari.
Kangjeng Adipati terkejut ketika ia mendengar suara lembut, yang rasa-rasanya
seperti suara Raden Ayu Wirakusuma yang telah meninggal "
Uwa Tumenggung Reksabawa benar. "
Kangjeng Adipati itupun segera bangkit. Ketika ia berpaling, maka yang
dilihatnya adalah anak perempuannya, Ririswari.
" Kau Riris " desis Kangjeng Adipati.
" Hamba ayahanda. Menurut pendapat hamba, apa yang dikatakan oleh Uwa Tumenggung
Reksabawa itu benar. "
Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang. Katanya " Riris. Sudahlah.
Sebaiknya kau tidak usah ikut memikirkan tata pemerintahan di Sendang A rum."
" Ayahanda. Dahulu, ketika ibunda masih ada, ayahanda selalu bersedia
mendengarkan pendapat ibunda meskipua kadang-kadang ayahanda tidak sependapat.
Sekarang, aku mohon ayahanda bersedia juga mendengarkan pendapatku."
" Kau masih terlalu muda untuk ikut berbicara tentang pemerintahan serta
kebijaksanaan yang aku ambil, Riris."
" Ayahanda " berkata Riris kemudian " seperti yang pernah aku katakan, menurut
pendapatku, bibi yang muda dan cantik itu tidak berbuat jujur.
Jika bibi memohon pengampunan bagi uwa
Tumenggung, itu hanya sekedar permainan yang belum kita ketahui maksudnya."
" Kau berprasangka Riris."
" Mungkin dengan memohon pengampunan itu, bibi mendapat kesempatan untuk dapat
menghadap ayahanda berkali-kali."
" Riris." " Bukankah bibi masih muda, cantik dan gelisah
?" " Kau memandangnya dari sisi yang lain dari sisi pandang Ki Tumenggung
Reksabawa." " Bagi bibi, apakah permohonannya dikabulkan atau tidak, sudah bukan masalah
lagi." " Sudahlah. Jangan kau turutkan hatimu yang masih muram sepeninggal ibumu.
Beristirahatlah." " Tetapi ayahanda, aku mohon ayahanda
memperhatikan rerasan para putri serta para istri Tumenggung di Sendang Aram.
Mereka menyebut bibi Reksayuda adalah seorang perempuan yang mendambakan derajad
dan semat. Seorang perempuan yang haus kekuasaan, pujian dan kekayaan."
" Jika sentuhan perasaanmu benar. Riris. Aku justru akan membiarkannya uwakmu
kakangmas Tumenggung Reksayuda berada di pengasingan."
" Uwa Tumenggung Reksayuda sudah tua. Ia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi,
ayahanda." " Jika demikian, kau tidak perlu membenarkan pendapat Ki Tumenggung Reksabawa."
" Ada yang sama dengan pendapatku,
ayahanda." " Tidak. Jauh berbeda. Kakang Tumenggung Reksabawa memandang persoalan ini dari
sisi pemerintahan, kau memandangnya dari sisi kekecewaan seorang gadis yang baru
saja ditinggalkan oleh ibunya. Kepercayaanmu kepadaku goyah, Riris."
" Ayahanda. Pendapatku yang sama dengan pendapat uwa Tumenggung Reksabawa
adalah, bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang akan dapat mengguncang
ketenangan dan kedamaian di kadipaten Sendang Arum."
" Riris. Sebaiknya kau tenangkan hatimu.
Beristirahatlah. Tidak akan terjadi apa-apa di kadipaten ini."
Riris menarik nafas panjang. Namun gadis itupun kemudian meninggalkan
ayahandanya yang berdiri termangu-ma-ngu. Namun kangjeng Adipatipun kemudian
duduk kembali. Pandangan matanyapun kembali menerawang kekejauhan.
Di hari berikutnya, Kangjeng Adipati duduk di pendapa Agung kadipaten Sendang
Arum, dihadap oleh para pemimpin pemerintahan dan para pemimpin keprajuritan di
Sendang Arum. Para nayaka dan sentana.
Dalam pertemuan itu, Kangjeng Adipatipun berkata kepada semuanya yang hadir "
Para pemimpin di Sendang Arum, para sentana dan nayaka, aku, Adipati Sendang
Arum, yang memegang kekuasaan tunggal,. telah memutuskan, berdasarkan
pembicaraan diantara para pemimpin, nayaka dan sentana kadipaten Sendang Arum,
bahwa aku, Adipati Sendang Arum, telah
memberikan pengampunan kepada Raden
Tumenggung Reksayuda yang karena kesalahan yang telah dilakukannya, diasingkan
ke luar tlatah kekuasaan kadipaten Sendang Arum dan memilih untuk tinggal di
kadipaten Pucang Kembar selama lima tahun. Tetapi atas permohonan, atas
pertimbangan dan pendapat para pemimpin, para nayaka dan sentana, maka setelah
Raden Tumenggung Reksayuda menjalani hukuman
sekitar tiga tahun, maka aku, Adipati Sendang Arum telah menetapkan, bahwa Raden
Tumenggung Reksayuda tidak perlu menjalani sisa hukumannya. Karena itu, maka
sejak saat ini, Raden Tumenggung Reksayuda sudah dibebaskan dari hukuman
pengasingan itu." Semua yang hadir mendengarkan pernyataan Kangjeng Adipati Wirakusuma dengan
sungguh-sungguh. Tetapi mereka sama sekali tidak terkejut lagi, karena
persoalannya memang sudah
dibicarakan sebelumnya. Meskipun ada satu dua orang yang berpendapat lain,
tetapi sebagian terbesar dari para pemimpin, nayaka dan sentana tidak menaruh
keberatan atas pengampunan itu.
Namun dalam pada itu, demikian Kangjeng Adipati selesai dengan pernyataannya
itu, tangis Raden Ayu Reksayuda tidak tertahankan lagi.
Sambil menyembah, disela-sela isak tangisnya, Raden Ayu Reksayuda itupun berkata
patah-patah " Terima kasih. Terima kasih dimas Adipati.
Sebenarnyalah Dimas Adipati adalah seorang pemimpin yang berhati mulia. Dimas
sudah menunjukkan sifat kepemimpinan yang sejati dari seorang Adipati. Seorang
pemimpin yang adil yang memerintah dengan kasih. Yang Maha Agunglah yang akan
menilai, betapa Dimas Adipati benar-benar telah menjalankan tugas didunia ini
berdasarkan atas limpahan kuasa-Nya."
" Sudahlah, kangmbok. Yang aku lakukan sama sekali bukan karena kelebihanku
sebagai seorang titah yang kebetulan mendapat limpahan kuasa itu.
Keputusanku itu didasari dengan pembicaraan diantara para pemimpin di Sendang
Arum. Aku hanya mengambil kesimpulan dari pembicaran itu saja."
" Tetapi jika kesimpulan itu tidak berkenan di hati Dimas Adipati, maka Dimas
akan dapat mengambil keputusan yang lairi."
" Aku sudah menyatakan keputusan itu.
Selanjutnya terserah kepada kangmbok, kapan kangmbok akan menjemput kakangmas
Reksayuda. Biarlah Kakang Tumenggung
Reksabawa dan kakang Tumenggung Jayataruna membantu pelaksanaannya, sekaligus
menjadi wakilku, menghadap kangmas Tumenggung
Jayancgara di Pucang Kembar, menyampaikan keputusanku ini."
" Terima kasih, Dimas Adipati. Sebelumnya aku minta bantuan kakang Tumenggung
Jayataruna serta kakang Tumenggung Reksabawa, aku akan menghubungi puteraku,
Jalawaja. Jika saja Jalawaja bersedia ikut serta menjemput
ayahandanya." " Terserah saja kepada kangmbok Reksayuda "
sahut Kangjeng Adipati, Namun kemudian
Kangjeng Adipati itupun berkata kepada Ki Tumenggung Jayataruna dan Ki
Tumenggung Reksabawa " Aku minta kakang Tumenggung berdua membantu pelaksanaan
penjemputan kangmas Reksayuda."
" Hamba Kangjeng " jawab keduanya hampir bersamaan.
" Nah, tidak ada lagi persoalan yang akan aku bicarakan hari ini. Dalam
pertemuan ini, aku hanya ingin menyampaikan keputusanku tentang
pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda " lalu katanya kepada Ki
Tumenggung Reksabawa " kakang Tumenggung. Bubarkan pertemuan ini."
" Hamba Kangjeng."
Sejenak kemudian, maka para pemimpin,
nayaka dan sentana itupun meninggalkan pendapa agung kadipaten Sendang Arum.
Demikian pula Raden Ayu Reksayuda.
Sementara itu, Kangjeng Adipatipun segera masuk keruang dalam.
Kanjeng Adipati tertegun ketika ia melihat Riris duduk seorang diri di ruang
dalam itu. " Riris." " Disini biasanya ibunda menunggu ayahanda jika ayahanda menyelenggarakan
pasowanan seperti hari ini."
" Ya, Riris " jawab Kangjeng Adipati sambil duduk pula disebelah anak gadisnya.
" Kadang-kadang ibunda dengan niat yang baik, menyampaikan pendapatnya tentang
pembicaraan didalam pasowanan itu."
"Ya. Riris." "Kadang-kadang ayah berkenan. Tetapi kadang-kadang ayah tidak berkenan. Tetapi
ibunda tidak pernah menjadi kecewa pada saat-saat
pendapatnya tidak sesuai dengan kebijaksanaan ayahanda sebagai penguasa tunggal
di kadipaten ini." " Ya Riris. " " Tetapi ibunda belum pernah melihat bibi Reksayuda hadir di pasowanan seperti
tadi." " Kenapa dengan bibimu?"
" Aku tidak melihat kewajaran itu, ayah. Tetapi aku justru berpikiran lain. Yang
terjadi adalah sekedar solah tingkah bibi yang muda dan cantik itu. Tetapi sudah
aku katakan beberapa kali, bibi tidak jujur dengan sikapnya. "
" Kau masih dibayangi oleh perasaan curigamu itu, Riris. Tetapi kau akan melihat
kenyataan di hari hari mendatang."
Ririswari menarik nafas panjang. Katanya "Baik, ayahanda. Meskipun demikian aku
akan tetap berdoa, semoga tidak terjadi sesuatu'yang dapat mengguncang kedamaian
dikadipaten ini." Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti perasaan anak
gadisnya yang belum lama ditinggalkan oleh ibunya. Ia tidak ingin melihat
seorang perempuan lain yang mencoba merayap mengintai kedudukan ibundanya.
Tetapi pada saatnya gadis itu akan melihat, bahwa segala sesuatunya berlangsung
wajar. Keputusannya adalah keputusan se-orang Adipati. Bukan keputusan seorang
laki-laki yang jatuh kcdalam pengaruh seorang perempuan cantik.
Dalam pada itu, Raden Ayu Prawirayuda telah minta tolong kepada Ki Tumenggung
Jayataruna untuk pergi menjemput Jalawaja. Anak laki-laki Raden Tumenggung
Reksayuda. " Baiklah Raden Ayu. Besok aku akan
menghadap Ki Ajar Anggara untuk minta agar Raden Jalawaya diperkenankan turun
dari lereng gunung dan pergi menjemput ayahandanya dari pengasingan."
" Terima kasih, Ki Tumenggung. Pertolongan Ki Tumenggung tidak akan pernah aku
lupakan." " Bukankah wajar sekali jika kita saling menolong" "
" Ki Tumenggung sudah menolong aku. Juga didalam pembicaraan di pasowanan
sehingga para pemimpin, nayaka dan sentana "sebagian besar menyetujui
pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda."
" Bukankah itu bukan apa-apa dibandingkan dengan kebaikan hati Raden Ayu" "
" Ah, jangan sebut itu kakang" Kebaikanku atau justru kebaikan kakang Tumenggung
yang semakin bertimbun. "
" Kita memang saling berbaik hati " desis Ki Tumenggung Jayataruna sambil
tertawa. Raden Ayu Reksayudapun tertawa tertahan.
Jari-jarinya yang lentik menutupi bibirnya yang mekar.
" Sudahlah Raden Ayu. "
" Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, kakang. "
" Besok pagi-pagi aku akan pergi ke pondok di lereng gunung itu untuk menemui
Raden Jalawaja." Sebenarnyalah, dikeesokan harinya, Ki
Tumenggung Jayataruna telah memacu kudanya pergi ke sebuah pondok yang terasing
di lereng Gunung. Sebuah pondok yang dihuni oleh Ki Ajar Anggara. Seorang yang
telah menyisih dari kehidupan ramai, menyendiri dalam kehidupan yang sepi.
Sepeninggal anaknya perempuan, istri Raden Tumenggung Reksayuda, Ki Ajar Anggara
merasa lebih tenang berada di keasingan. Meskipun Ki Ajar Anggara tidak
memutuskan hubungannya dengan kehidupan masyarakat di padukuhan di lereng gunung
itu, namun Ki Ajar memang lebih banyak menyatu dengan keheningan di lambung
gunung. Apalagi setelah Raden Tumenggung Reksayuda menikah lagi dengan seorang perempuan
yang masih muda dan cantik. Maka Ki Ajar menjadi semakin terpisah dari keramaian
duniawi. Namun tiba-tiba saja cucunya, putera Raden Tumenggung Reksayuda datang kepadanya
serta memohon untuk dapat tinggal bersama eyangnya yang terasing itu.
Ketika Raden Jalawaja datang kepadanya, Ki Ajar mencoba untuk mencegahnya agar
cucunya itu tetap berada di lingkungan yang memberinya tawaran yang lebih baik
bagi masa depannya. Tetapi cucunya merasa lebih mantap tinggal bersama eyangnya, di lambung gunung.
" Kau tidak berteman disini Jalawaja " berkata eyangnya.
" Dalam keadaanku sekarang eyang. Aku lebih senang berteman sepi. "
" Kau masih muda, Jalawaja. Hari-harimu masih panjang. Seharusnya kau mulai
menganyam landasan buat masa depanmu. "
" Aku akan hidup disini, eyang. Aku berjanji untuk rajin pergi ke sawah. Mencari
rumput buat binatang peliharaan eyang atau
menggembalakannya. Aku berjanji untuk berbuat apa saja yang eyang perintahkan. "
Ki Ajar Anggara tidak dapat menolak
keberadaan Jalawaja di pondoknya. Agaknya hubungan Jalawaja dengan ayahandanya
agak kurang baik sepeninggal ibunya. Apalagi ketika ayahandanya berniat untuk
menikah lagi.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Biarlah untuk sementara Jalawaja ada disini "
berkata Ki Ajar Anggara kepada diri sendiri "
mungkin setelah satu dua bulan lewat, hatinya akan dapat menemukan
keseimbangannya kembali, sehingga anak itu bersedia pulang ke rumah ayahandanya.
" Tetapi Jalawaja tetap pada pendiriannya. Ia ingin tinggal bersama kakeknya.
Apalagi setelah ayahandanya dianggap bersalah dan diasingkan keluar tlatah
kadipaten Sendang Arum. Jalawaja seakan-akan menjadi semakin mapan tinggal
bersama kakeknya, Ki Ajar Anggara.
" Tetapi keberadaanmu disini harus ada
manfaatnya Jalawaja " berkata kakeknya kepada cucunya setelah cucunya beberapa
lama berada di pondoknya.
" Apapun yang eyang perintahkan"jawab
Jalawaja. " Aku tetap berharap bahwa pada suatu saat kau akan kembali ke Sendang Arum. "
" Terlebih-lebih sekarang eyang. Ayahanda adalah orang buangan meskipun ayah
masih mempunyai hubungan darah dengan paman
Adipati di Sendang Arum. "
" Yang dianggap bersalah adalah ayahmu, Jalawaja. Bukan kau. "
" Tetapi orang-orang Sendang Arum
memandang aku, putera Tumenggung Wreda
Reksayuda sebagai anak orang buangan yang tidak mempunyai ani apa-apa lagi.
Biarlah aku mencari arti hidupku disini, eyang. Jika aku dapat meningkatkan
hasil panenan padi, jagung dan palawija dari lahan yang sama, maka aku telah
menemukan ani dalam hidupku. Bila aku dapat melipatkan hasil pategalan atau
menemukan jenis-jenis tanaman buah-buahan yang lebih baik dari yang ada, maka
di-situlah letak arti dari hidupku.
Peningkatan hasil panenan akan dapat memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi
pada orang-orang padukuhan yang mau bekerja keras serta
berusaha. " Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk sambil menjawab " Baiklah Jalawaja. Aku akan
ikut berusaha dan bekerja keras. Tetapi disamping itu, ada ilmuku yang ingin aku
wariskan kepadamu. "
" Ilmu apa yang eyang maksudkan" "
" Ilmu kanuragan. "
" Ilmu kanuragan " Jalawaja mengulang.
" Ya. Ilmu kanuragan. "
Jalawaja menarik nafas panjang. Iapun
kemudian mengangguk sambil menjawab " Apapun yang eyang perintahkan, aku akan
menjalaninya. " Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk. Katanya "
Bagus. Sejak hari ini, kau akan memperdalam ilmu olah kanuragan. Aku tahu bahwa
kau sudah memiliki dasar-dasamya. Sekarang, kau harus lebih mendalaminya. "
Jalawaja tidak ingkar. Bahkan semakin lama,
semakin ternyata pada kakeknya, bahwa Jalawaja adalah seorang anak muda yang
cerdas dan tangkas. Dengan cepat ia menerima dan
memahami hal-hal yang baru didalam olah kanuragan. Sementara itu unsur
kewadagannyapun sangat mendukung. Kesungguhannya dan
kesediaan bekerja keras membuat ilmunya dengan cepat maju.
Jalawaja tidak pernah mengelakkan waktu-waktunya berlatih dengan keras di
sanggar terbuka di padang yang agak luas di lambung bukit. Di udara yang kadang-
kadang terasa dingin, dengan tidak mengenakan
baju, Jalawaja menempa diri. Dengan alat-alat yang sederhana, Jalawaja meningkatkan kepekaan nalurinya. Namun dengan beban yang semakin hari semakin berat, Jalawaja sedikit demi sedikit meningkatkan kekuatan dan tenaganya.
Disamping itu dengan pemusatan nalar dan budinya, Jalawaja meningkatkan tenaga
dalamnya serta daya tahan tubuhnya.
Kakeknya yang sudah tua itupun dengan tekun membimbingnya. Kadang-kadang
Jalawaja harus berlatih dengan beban yang digantungkan pada tangan dan kakinya.
Kadang-kadangnya dalam latihan-latihan keseimbangan yang berat, Jalawaja menapak
pada palang-palang bambu dan kayu.
Bahkan sambil mengusung beban yang cukup berat.
Disaat-saat lain, Jalawaja harus tenggelam dalam latihan-latihan olah tubuh,
agar tubuhnya menjadi semakin lentur. Sehingga tubuh Jalawaja itu seolah-olah
dapat digerakkan sesuai dengan kemauannya.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa
Jalawaja telah kehilangan seluruh waktunya untuk membajakan diri. Ia masih juga
pergi ke sawah. Bukan sekedar mengerjakan apa yang sudah terbiasa dilakukan oleh para petani.
Namun Jalawaja dengan beberapa orang anak muda dari padukuhan terdekat, mencoba
untuk meningkatkan hasil sawah mereka.
Tetapi kadang-kadang Jalawaja merasa kecewa, bahwa anak-anak muda itu tidak
berpandangan jauh sebagaimana dirinya. Meskipun demikian, Jalawaja dapat
menghargai kesediaan mereka untuk bekerja keras.
Dari hari ke hari, Jalawaja memanfaatkan waktu sepenuhnya. Seakan-akan tidak ada
waktu tertuang baginya. Jika ia tidak berada di sanggar, maka ia berada di sawah
atau pate-galan. Baru setelah senja turun, ia berada di sumur untuk menimba air,
mengrsi jambangan, kemudian mandi.
Namun ada saatnya dimalam hari, Jalawajapun berada di sanggar tertutup bersama
kakeknya, Ki Ajar Anggara.
Dengan demikian, maka setelah beberapa lama Jalawaja berada di rumah kakeknya,
maka kulitnyapun menjadi bertambah gelap oleh terik matahari. Tubuhnya menjadi
semakin ramping. Namun matanya menjadi semakin bercahaya.
Langkahnya menjadi ringan dan geraknya menjadi semakin cekatan.
Ketika Ki Tumenggung Jayataruna pergi kr lereng bukit memenuhi permintaan Raden
Ayu Reksayuda untuk memanggil Jalawaja pulang, Jalawaja dan kakeknya sedang
tidak ada di pondoknya. Seorang anak laki-laki remaja yang lewat sambil menggiring dua ekor kambing
memberi tahukan bahwa Ki Ajar Anggara berada di sebelah gumuk kecil di lambung
bukit itu. " Kakang Jalawaja sedang berlatih ?" berkata gembala itu.
" Berlatih apa" " bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.
" Olah kanuragan "jawab gembala itu.
" Terima kasih "
Ki Tumenggung Jayatarunapun kemudian telah meloncat ke punggung kudanya pula.
Berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebelah gumuk kecil.
Kuda Ki Tumenggungpun kemudian berjalan diantara bebatuan yang berserakkan.
Batu-batu sebesar kuda itu sendiri.
Terasa denyut jantung Ki Tumenggung menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ia
berada di satu lingkungan yang pernah dikenalnya dalam mimpi.
Di seberang padang perdu yang dipenuhi
dengan bebatuan yang besar-besar itu terdapat hutan yang lebat membelit lambung
gunung. Beberapa saat kemudian Ki Tumenggung itu melihat dikejauhan bayangan yang
bergerak-gerak di antara bebatuan. Berloncatan dengan
tangkasnya, melenting dan berputar di udara.
Dengan kedua kakinya, bayangan itu hinggap dengan lunak diatas batu yang besar.
Namun kemudian bayangan itu telah melenting lagi dengan cepatnya.
Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas
panjang. Ia sadar, bahwa yang sedang melakukan gerakan-gerakan yang mengagumkan
itu adalah Raden Jalawaja, putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Tidak jauh dari tempat berlatih Raden Jalawaja, Ki Tumenggung melihat seorang
tua duduk di atas sebuah batu. Rambutnya yang terjurai dibawah ikat kepalanya,
nampak sudah memutih. Demikian pula kumis dan janggutnya yang dipotong pendek.
Demikian Ki Ajar Anggara melihat Ki
Tumenggung Jayataruna, maka iapun segera meloncat turun.
" Ki Tumenggung Jayataruna " Ki Ajar itupun menyapanya.
" Ya, Ki Ajar " sahut Ki Jayataruna sambil tersenyum.
" Selamat datang di tempat yang sunyi ini, Ki Tumenggung" .
" Terima kasih, Ki Ajar. "
" Marilah, aku persilahkan Ki Tumenggung singgah di pondokku di sebelah gumuk
kecil ini. " " Aku sudah dari sana, Ki Ajar. "
" Tetapi aku dan Jalawaja ada disini. Nah, sekarang marilah, aku akan pulang.
Demikian pula Jalawaja. Aku akan mengajaknya pulang. "
" Tetapi biarlah Raden Jalawaja menyelesaikan latihannya hari ini. Aku senang
melihatnya. Tubuhnya menjadi seringan kapuk, sehingga seakan-akan begitu mudahnya
dihanyutkan angin. Geraknya cepat cekatan, sedangkan keseimbangannya sangat mapan. Meskipun Raden
Jalawaja berloncatan dan berputar diudara, namun demikian kakinya menyentuh
sebuah batu, rasa-rasanya kaki itupun segera melekat dan bahkan menghunjam ke
dalamnya. " " Ki Tumenggung pandai membesarkan hatiku dan tentu hati Jalawaja jika ia
mendengarnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Jalawaja masih baru mulai. Segala sesuatunya masih
belum mencapai batas kemapanan. Yang dikuasainya barulah dasar-dasar dari olah
kanuragan. " Jika apa yang seperti dilakukan oleh Raden Jalawaja itu baru mulai, sedangkan
yang dikuasainya baru dasar-dasarnya saja, lalu betapa dahsyatnya jika nanti
pada suatu saat Raden Jalawaja itu tuntas dalam olah kanuragan. Aku tidak dapat
membayangkan, apa saja yang dapat dilakukannya."
Ki Ajar Anggara tersenyum. Katanya " Terima kasih atas pujian itu, Ki
Tumenggung. Namun kami mohon restu, mudah-mudahan Jalawaja benar-benar dapat
menguasai lan-dasan bagi kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun disamping itu, akupun berharap bahwa
perkembangan jiwanya-pun tetap seimbang, sehingga kemajuannya dalam olah
kanuragan akan berarti bagi sesamanya. "
" Ya, Ki Ajar. Tetapi jika Raden Jalawaja tetap, saja berada di tempat terpencil
ini, maka arti dari penguasaan ilmunya tidak akan terlalu banyak. "
" Aku berharap, bahwa pada suatu saat ia akan kembali memasuki kehidupan dunia
ramai. "- Ki Tumenggung Jayataruna itupun mengangguk-angguk.
Sementara itu, Ki Ajarpun segera bertepuk tangan, memberikan aba-aba agar
Jalawaja menghentikan latihannya.
Sejenak kemudian, maka tata gerak
Jalawajapun menjadi semakin lamban. Kemudian diletakannya seluruh tenaganya dan
dilepasnya nafas-nafas panjang. Kedua belah tangannya-pun kemudian perlahan-
lahan turun disisi tubuhnya.
" Jalawaja. Kemarilah, wayah " panggil
kakeknya. Jalawaja mengusap keringat di keningnya dengan lengannya. Ketika ia
kemudian melangkah mendekati ayahnya, dilihatnya Ki Tumenggung Jayataruna
berdiri di sebelah ayahnya sambil memegangi kendali kudanya.
" Paman Tumenggung Jayataruna "
" Ya, Raden. " " Selamat datang di lambung gunung ini, paman. "
" Terima kasih, Raden. Beruntunglah aku, bahwa aku sempat menyaksikan angger
berlatih. Ternyata angger adalah seorang anak muda yang mumpuni dalam olah kanuragan. "
" Paman memujiku. Tetapi pujian paman
membuat aku merasa semakin kecil. Aku baru mulai paman. Belum apa-apa.
" Aku sudah mengatakan tadi kepada Ki Ajar Anggara. " Jika permulaannya saja
sudah seperti itu, aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya nanti setelah Raden
Jalawaja matang dalam ilmunya itu. "
" Paman menyanjung aku terlalu tinggi. Jika nanti paman lepaskan, aku akan jatuh
terjerembab di bebatuan. "
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya "
Aku tidak sekedar menyanjung, Raden. Nah, katakan siapakah kawan-kawan Raden
yang sebaya, yang mampu mengimbangi kemampuan Raden. "
" Tentu ada paman. Hanya saja aku belum dapat menyebutkan. "
Merekapun tertawa. Demikian pula Ki Ajar Anggara yang kemudian berkata " Nah,
marilah Ki Tumenggung. Singgah di gubukku. Gubug yang tidak lebih baik dari
sebuah kandang di rumah para sentana dan nayaka di Sendang Arum.
" Ki Ajar selalu merendahkan diri. Nampaknya sikap itu berpengaruh juga pada
Raden Jalawaja. " " Bukan merendahkan diri, Ki Tumenggung.
Tetapi itulah keadaan kami yang sebenarnya disini.
"- Mereka bertigapun kemudian berjalan beriringan di jalan setapak menuju ke pondok
Ki Ajar Anggara. Ki Ajar berjalan di paling depan.
Kemudian Ki Tumenggung menuntun kudanya. Di paling belakang adalah Jalawaja yang
tubuhnya masih basah oleh keringat.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah
duduk di serambi depan rumah Ki Ajar Anggara.
Rumah yang nampaknya sederhana. Tetapi
demikian mereka duduk di serambi, Ki
Tumenggung Jayatarunapun berdesis " Alangkah sejuknya, Ki Ajar. Rasa-rasanya aku
segan pulang. Rumahku di sendang Arum terasa panas dan bahkan kadang-kadang udara yang panas
itu terasa lembab. Angin yang bertiup tidak membuat tubuh menjadi sejuk. Tetapi
rasa-rasanya angin itu mengandung uap air yang panas. "
" Bukankah di ruman paman ada beberapa
batang pohon yang besar yang dapat melindungi halaman rumah paman dari teriknya
panas matahari"- " Ya. Tetapi pepohonan itu tidak dapat membuat udara di halaman rumahku sesejuk
udara di halaman rumah ini.-
" Kita berada di kaki sebuah pegunungan, Ki Tumenggung sahut Ki Ajar Anggara -
itulah agaknya yang membuat udara di lingkungan ini lebih sejuk."
" Ya, ya, Ki Ajar " Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, Ki Ajarpun kemudian berkata kepada Jalawaja - Ngger. Pamanmu
Tumenggung Jayataruna datang untuk menemuimu. Mungkin ada hal-hal yang penting
yang akan dikatakannya kepadamu, tetapi mungkin juga kepada kita berdua."
Jalawaja mengangguk kecil sambil berdesis -
Apakah ada pesan dari paman Adipati" Atau barangkali paman Tumenggung mendapat
perintah untuk menangkap aku karena aku anak seorang pemberontak yang'sudah
dibuang keluar tlatah Sendang Arum?"
" Jangan berprasangka begitu, Raden - sahut Ki Tumenggung Jayataruna dengan nada
berat. " Kau jangan merajuk seperti itu, Jalawaja -
berkata Ki Ajar Anggara kemudian - seharusnya apapun yang telah terjadi, kau
jangan memandang dunia ini begitu buramnya."
" Maaf, eyang. Aku tidak bermaksud
berprasangka buruk. Aku hanya tidak dapat mengingkari tekanan perasaan yang
seakan datang beruntun, sehingga warna sisi pandangku menjadi buram - Jalawaja
berhenti sejenak, lalu katanya kepada Ki Tumenggung Jayataruna -Aku minta maaf
paman." " Sudahlah Raden. Barangkali lebih baik segera menyampaikan pesan kepada Raden
Jalawaja." " Silahkan paman."
" Kedatanganku kemari sebenarnyalah bukan atas perintah Kangjeng Adipati di
Sendang Arum." Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk,
sementara Raden Jalawaja mendengarkannya dengan seksama.
" Tetapi aku datang menemui Raden Jalawaja karena aku diutus oleh Raden Ayu
Reksayuda." " Raden Ayu Reksayuda " " ulang Ki Ajar Anggara.
" Ya, Ki Ajar."
" Miranti maksud paman - sahut Jalawaja.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ya. Tetapi bukankah sekarang aku harus menyebutnya Raden Ayu Reksayuda"-
" Ya. Silahkan paman " nada suara Jalawaja mulai meninggi paman diutus apa?"
" Raden Jalawaja dipersilahkan pulang "
" Pulang ?" " Ya, Raden " " Pulang ke Katumenggungan ?"
" Ya, Raden. Raden Ayu Reksayuda minta agar Raden Jalawaja bersedia untuk
pulang." Raden Jalawaja menarik nafas panjang. Namun kemudian sambil menggeleng ia
berkata " Tidak, paman. Aku tidak akan pulang."
" Jalawaja " Ki Ajarpun kemudian menyela
"mungkin ada hal yang penting yang akan dibicarakan oleh ibumu."
" Eyang . Aku sudah berjanji, bahwa aku tidak akan pulang. Aku akan tinggal
disini, karena hidupku akan lebih berarti dari pada aku berada di
Katumenggungan. Disini aku dapat bekerja keras bersama anak-anak muda di
padukuhan sebelah untuk meningkatkan hasil sawah dan pategalan.
Membuat parit-parit baru untuk mengairi sawah tadah udan, sementara di bagian
lain di lereng bukit ini airnya melimpah. Memperbaiki jalur-jalur jalan yang
menghubungkan padukuhan-padukuhan dengan lingkungan yang lebih luas. Membuat
jembatan-jembatan bambu yang sederhana tetapi memenuhi kebutuhan. Sedangkan
kalau aku berada di Katumenggungan, apa yang dapat aku kerjakan disini" Duduk-
duduk, merenung makan dan minum , tidur dan apalagi ?"
" Raden " berkata Ki Tumenggung Jayataruna kemudian " memang ada hal yang
penting yang harus aku sampaikan kepada Raden, kenapa Raden Ayu Reksayuda
memanggil Raden." Jalawaja memandang Ki Tumenggung
Jayataruna dengan kerut di dahinya.
" Raden. Dalam waktu dekat. Mungkin pekan ini, ayahanda Raden Jalawaja, Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda akan di jemput dari
pengasingan." " Ayahanda akan dijemput ?"
" Ya." " Untuk apa" Apakah ayahanda harus menjalani hukuman yang lebih berat di Sendang
Arum?" " Tidak, tidak, Raden. Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah mendapatkan
pengampunan setelah menjalani hukuman sekitar tiga tahun dan hukuman yang
seharusnya dijalani selama lima tahun."
Raden Jalawaja termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian anak muda itu menggeleng sambil menjawab -Paman. Aku sudah
berjanji bahwa aku tidak akan pulang lagi, apapun alasannya."
" Ngger" sahut Ki Ajar Anggara " aku tahu bahwa kau merasa lebih kerasan disini
daripada di Katumenggungan. Aku juga tidak berkeberatan kau tinggal disini.
Tetapi bukan berarti bahwa kau tidak akan pulang untuk keperluan-keperluan yang
penting. Wayah. Bahwa ayahandamu
diperkenankan pulang sebelum menjalani masa hukumannya sampai habis, adalah satu
hal yang sangat penting didalam perjalanan hidupnya.
Setelah pulang, ayahandamu akan dapat menjalani satu kehidupan yang wajar
bersama ibumu. " " Maaf eyang. Tetapi aku tidak dapat pulang.
Aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pulang selama Miranti masih berada di
Katumenggungan." " Kenapa Raden. Ibunda Raden Jalawaja
mengharap angger pulang. Ayahanda Raden Tumenggung Wreda Reksayuda akan sangat
berbahagia jika Raden Jalawaja bersedia ikut menjemput ayahanda dari
pengasingannya di Pucang Kembar.
" Tidak. Aku tidak akan pulang. "
" Jika Raden tidak ingin ikut menjemput ayahanda Raden di pengasingan, Raden
dapat menunggunya di Dalem Katumenggungan bersama ibunda. Jika ayahanda Raden
melihat Raden berada di Dalem Katumenggungan dan menunggu kehadirannya bersama
ibunda, maka ayahanda tentu akan
bergembira sekali. " " Sudahlah paman. Aku sudah memutuskan untuk tidak pulang. Biarlah para petugas menjemput ayahanda ke Pucang Kembar. Dan biarlah Rara Miranti menunggu kedatangan ayah itu di Dalem Katumenggungan, karena bagi ayahanda, keluarga
satu-satunya tinggallah Rara Miranti. "
Jalawaja " berkata Ki Ajar Anggara " sebaiknya kau pulang ngger. Kau akan dapat
membuat ayahandamu melupakan masa-masa pahit yang pernah dijalaninya di
pengasingan. " " Aku sudah tidak dihitung lagi oleh ayahanda, eyang. Aku sudah berada di luar
bingkai kasih-sayangnya. Aku bagi ayahanda adalah anak yang tidak patuh dan
karena itu tidak pantas untuk tetap berada di lingkungan keluarganya.
" Keadaan tentu sudah berubah, Raden "
berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
" Tidak. Selama Miranti masih berada di Dalem Katumenggungan keadaan tidak akan
berubah. Selama itu pula aku tidak'akan memberikan arti apa-apa bagi ayahanda. Karena
itu, maka aku tidak merasa perlu untuk pulang serta menjemput ayahanda di
pengasingannya. " " Wayah " berkata Ki Ajar Anggara " pulanglah ngger. Ayahmu akan dapat menjadi
salah paham. Dikiranya akulah yang mengajarimu untuk tidak mengasihinya lagi. Kau tahu, bahwa
ibumu yang sudah meninggal itu adalah anakku. Ayahandamu dapat menduga, bahwa
karena ayahandamu menikah lagi dengan seorang perempuan yang lain, aku tidak merelakannya dan
membujukmu untuk meninggalkannya. "
" Tidak, eyang. Eyang tahu, kenapa aku pergi meninggalkan ayahanda pada waktu
itu. " " Sekarang semuanya tentu akan berubah.
Setelah ayahandamu menjalani hukuman selama kurang lebih tiga tahun dari hukuman
yang seharusnya lima tahun itu. "
" Bukankah eyang tahu bahwa persoalannya tidak banyak berhubungan dengan masa
hukuman yang harus ayahanda jalani" "
" Lupakan persoalan pribadimu dengan
ayahandamu itu, Jalawaja. "
" Tidak, eyang. Aku tidak akan dapat
mengkesam-pingkannya. "
" Jangan mengeraskan hatimu seperti itu Jalawaja. "
" Maaf eyang. Kali ini aku tidak dapat memenuhi keinginan eyang. Mungkin hal ini
adalah satu-satunya keingkaranku terhadap janjiku untuk mematuhi segala petunjuk
nasehat dan perintah eyang. "
" Raden. Apakah sebenarnya yang menghalangi angger untuk pulang. Apalagi
menanggapi persoalan yang amat penting ini. "
" Paman. Sebenarnya aku tidak ingin
mengatakan kepada paman, karena persoalannya adalah persoalan yang sangat
pribadi. Tetapi biarlah paman mengetahui, kenapa hatiku menjadi sekeras batu
hitam di lereng gunung itu. "
" Apakah itu perlu ngger" "
" Biarlah eyang. Biarlah paman Jayataruna tidak menganggapku sebagai anak yang
durhaka yang tidak mengasihi ayahandanya yang menjadi lantaran kelahiranku di
dunia ini. " Ki Ajar Anggara hanya dapat menarik nafas panjang.
" Paman. Pada waktu itu, ayahanda telah memanggilku menghadap " Jalawajapun
mulai dengan ceritanya untuk meyakinkan Ki
Tumenggung Jayataruna, bahwa ia mempunyai alasan untuk menolak panggilan ibu
tirinya. Menjelang tengah hari, Jalawaja telah
menghadap ayahandanya. Namun Jalawaja itu terkejut ketika ia melihat seorang
perempuan duduk bersama ayahandanya di ruang dalam.
" Miranti " desis Jalawaja.
" Jalawaja " polong ayahandanya " kenapa kau sebut saja namanya" Kau harus
menghormatinya. Perempuan itu adalah bakal ibumu. "
" Ibuku" Maksud ayahanda" "
" Duduklah ngger " berkata perempuan itu " kau tentu belum mengetahuinya, bahwa aku memang calon
ibumu. " " Ayah " suara Jalawaja bergetar " jadi ayah akan menikah lagi" "
" Ya, Jalawaja. Dan perempuan inilah calon ibumu itu. "
" Jadi ayah akan menikah dengan Miranti" "
" Jangan sebut namanya saja. Panggil
perempuan itu ibu. Ia akan menjadi ibumu. "
" Aku sudah terbiasa memanggil namanya
ayah." " Kau kenal dengan calon ibumu."
" Sudah ayah. Itulah sebabnya aku hanya menyebut namanya."
" Jika demikian, sejak sekarang kau harus belajar memanggilnya ibu. Jangan
panggil namanya saja."
" Biarlah kangmas. Angger Jalawaja tentu tidak dapat merubah kebiasaannya dengan
serta-merta. Tetapi lambat laun ia akan terbiasa memanggilku ibu."
" Tidak. Aku tidak akan pernah melakukannya."
" Jalawaja." " Ayah. Apakah ayah sudah berpikir masak untuk menikah lagi dengan perempuan itu
?" " Sudah, Jalawaja. Aku sudah berpikir berulang kali."
" Jadi kehadiran ibunda di Katumenggungan ini tidak lebih dari semilir angin
yang bertiup. Terdapat sedikit kesejukan di hati ayahanda pada waktu itu.
Tetapi setelah angin itu lewat, maka ayahanda telah melupakannya."
" Tidak, Jalawaja, Aku tidak pernah
melupakannya. Tetapi aku tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa ibun-damu
telah meninggal. Ia tidak akan pernah dapat hadir lagi di rumah ini.
Aku tidak akan pernah dapat berbicara lagi dengan ibundamu."
" Itukah batas kesetiaan ayahanda ?"
" Aku setia- sampai batas hidupnya. Yang Maha Agunglah yang telah memisahkan
kami." " Batas kasih itu menurut ayahanda adalah akhir dari sebuah kebersamaan "
Setelah ibunda tidak lagi bersama ayahanda, maka kasih dan kesetiaan itupun
tidak lagi mengikat."
" Sudah aku katakan, Jalawaja. Aku tidak pernah melupakan ibumu."
" Kangmas " terdengar suara lembut Rara Miranti. Sambil mengusap matanya yang
basah Rara Miranti itupun berkata - Aku menjadi sangat terharu mendengar sikap
Angger Jalawaja. Hatinya yang terbuka memungkinkan aku melihat tembus
kedalamnya. Angger Jalawaja adalah seorang anak muda yang sangat mengisihi
ibundanya. Iapun seorang anak muda yang setia. Kangmas aku dapat mengerti
perasaannya." " Terima kasih, diajeng, jika kau dapat mengerti perasaan anakku."
" Ayahanda: Ayahanda melihat air mata itu ?"
" Ya, Jalawaja. Ia mengerti perasaanmu.
Sebagai seorang perempuan iapun menghargai kesetiaan."
Gigi Jalawaja terkatup rapat. Tetapi ia berkata didalam hatinya " Air mata itu
adalah air mata buaya. Betapa pandainya ia memainkan
peranannya." Dalam pada itu, Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda itupun berkata " Jalawaja. Ada hal lain yang perlu kau perhatikan.
Jika aku kemudian menikah dengan calon ibumu itu, bukan hanya karena
kecantikannya. Tetapi ternyata ibumu dapat mengerti gejolak perasaanku
menanggapi sikap pamanmu Kangjeng Adipati di Sendang Arum.
Pamanmu sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak lagi dapat mengendalikan
dirinya. Caranya memegang pemerintahan sudah berubah. Ia tidak lagi mengikat
diri kepada tatanan dan paugeran yang berlaku."
" Siapakah yang mengatakan itu, ayahanda "
Perempuan itu." " Angger Jalawaja " berkata Rara Miranti " aku masih dapat mengerti, bahwa semua
hal yang tidak kau sukai kau timpakan kepadaku. Aku tidak berkeberatan ngger.
Tetapi ketahuilah, bahwa apa yang dikatakan oleh ayahandamu itu benar.
Kangjeng Adipati sudah tidak lagi berdiri diatas landasan keadilan dan
kebenaran. Kangjeng Adipati tidak lagi menghiraukan pendapat para sentana dan
nayaka, termasuk ayahandamu. Padahal semua orang kadipaten ini tahu, siapakah
ayahandamu Jalawaja."
" Kau tidak usah berbicara tentang
pemerintahan di Sendang Arum. Apalagi
menyebarkan fitnah seolah-olah paman Adipati sudah kehilangan kendali sehingga
pemerintahannya tidak lagi berlandaskan pada keadilan dan kebenaran." .
" Jalawaja. Bersikaplah baik kepada ibumu."
" Ayah. Tidak sepantasnya ia memfitnah paman Adipati."
" Yang dikatakan itu bukan fitnah. Tetapi kenyataan yang ada sekarang di
kadipaten ini." " Tidak. Aku tidak melihat bahwa paman Adipati telah meninggalkan jalur tatanan
dan paugeran. Para nayaka dan sentana jika tidak menganggap seperti itu."
" Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengerti.
Tetapi itulah kenyataan yang ada di kadipaten ini.
Karena itu, Jalawaja. Aku akan melanjutkan perjuanganku yang tertunda karena
ibundamu meninggal."
" Melanjutkan perjuangan yang mana " Ibunda tidak pernah sependapat dengan
ayahanda tentang apa yang ayahanda sebut dengan perjuangan itu."
" Bukan tidak sependapat. Tetapi ibundamu ingin hidup tenang dan damai, sehingga
didalam dirinya tidak terdapat api perjuangan itu. Aku tidak menyalahkannya. Aku
hanya ingin mengatakan, bahwa calon ibumu itu berbeda. Ada api didalam dadanya.
Api untuk menyalakan perjuangan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan.
" Omong-omong. Perempuan itu sama sekali tidak akan memperjuangan apa-apa bagi
rakyat Sendang Arum. Tetapi ia ingin memperjuangkan bagi dirinya sendiri untuk
menda-patkan pangkat, derajad dan kemudian semat. "
" Jalawaja " potong ayahnya " kau harus menjaga kata-katamu. "
" Maaf ayahanda. Aku berkata sebenarnya. "
Mata Rara Miranti menjadi semakin basah. Titik-titik air jatuh satu-satu
dipangkuannya. " Gila perempuan itu " geram Jalawaja didalam hatinya.
Sementara itu Raden Tumenggung Wreda
Reksayudapun membentak Jalawaja. " Sadari, bahwa kata-katamu itu telah menusuk
perasaan calon ibumu. Juga menusuk perasaanku. "
" Biarlah kakangmas. Aku tidak berkeberatan.
Mungkin beban seperti inilah yang harus aku tanggungkan sejak pertama kali aku
menginjakkan kakiku didalam lingkungan keluarga kakangmas.
Sejak kecil akupun telah mendengar dongeng tentang seorang itu tiri yang merebus
anaknya didalam sebuah belanga panjang. "
Raden Jalawaja menghentakkan tangannya.
Tetapi anak muda itu masih berusaha
mengendalikan sikapnya dihadapan ayahandanya.
" Jalawaja. Baiklah. Kita tidak berbicara tentang pemerintahan di Sendang Arum.
Yang ingin aku bicarakan sekarang adalah rencanaku untuk menikah lagi dengan
calon ibumu itu. " " Jika ayahanda bertanya kepadaku, aku tidak setuju ayahanda. "
" Kenapa " "
" Aku sudah banyak menyatakan sikapku ayah."
" Jalawaja. Jika demikian maka aku akan mempergunakan hakku sebagai seorang
ayah. Aku beritahukan kepadamu, aku akan menikah lagi. Aku tidak merasa perlu
minta persetujuanmu. "
" Jika itu yang ayahanda kehendaki, silahkan. "
" Jadi kau menurut perintah ayahandamu karena aku berkuasa untuk melakukannya "
Bukan karena kau menyadari, siapakah aku dan siapakah kau.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan karena kau mengasihiku karena aku juga mengasihimu. "
" Ayahanda. Jika aku tidak mengasihi ayahanda, maka aku tidak akan peduli
terhadap rencana ayahanda untuk menikah lagi. Tetapi karena aku mengasihi
ayahanda, maka aku memberanikan diri untuk tidak menyetu-. jui niat ayahanda
itu. " " Jalawaja. Kau tidak mempunyai pilihan. Kau harus menerima kenyataan, bahwa aku
akan menikah dengan Rara Miranti. "
" Silahkan ayahanda. Tetapi aku masih
mempunyai pilihan. Aku akan pergi ke lereng gunung. Aku akan tinggal bersama
eyang Ajar Anggara. Aku akan semakin mendekatkan diri dengan Kang Murbeng Dumadi
sebagaimana eyang Ajar Anggara. "
" Jalawaja. " " Aku akan tinggal bersama eyang di lereng gunung. Di pondok eyang yang tenang
dan damai. Jauh dari rasa tamak, dengki, iri dan benci. "
" Jangan pergi, ngger. " berkata Rara Miranti di sela-sela isak tangisnya.
Tetapi isak tangis Miranti itu membuat Jalawaja semakin muak.
" Ayahanda. Aku tetap mengasihi ayahanda.
Sepeninggal ibu, orang tuaku tinggal seorang, ayahanda. Tetapi sekarang terpaksa
aku pergi meninggalkan ayahanda. "
Jalawajapun kemudian meninggalkan Dalem Katumenggungan dengan janji di dalam
hatinya, bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya lagi di halaman rumahnya, jika
Rara Miranti itu masih ada di rumah itu.
Ki Tumenggung Jayataruna mendengarkan
ceritera Jalawaja itu sambil mengangguk-angguk.
Kemudian iapun berkata " Jika persoalannya demikian, maka aku tidak akan dapat
mencampurinya. Segala sesuatunya terserah kepada Raden Jalawaja. "
" Seperti yang sudah aku katakan, paman. Aku tidak akan pulang. "
" Baiklah ngger. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Ayu Reksayuda. Tetapi
meskipun demikian ngger. Ternyata Raden Ayu Reksayuda itu hatinya tidak seburam
yang angger duga." " Meskipun hati Rara Miranti itu putih seperti kapas, aku tidak akan pulang. "
" Jika demikian, sebaiknya aku mohon diri. Ki Ajar, aku mohon diri. "
" Ki Tumenggung. Aku minta maaf atas sikap Jalawaja. Akupun minta maaf, karena
aku tidak mampu melunakkan hati cucuku. ".
" Aku tidak akan minta maaf kepada Miranti karena sikapku ini. "
" Baiklah, Raden. Segala sesuatunya nanti akan aku sampaikan kepada Raden Ayu
Reksayuda. " " Silahkan paman. Aku hanya dapat
mengucapkan selamat jalan. ?"
" Aku juga mengucapkan selamat jalan, Ki Tumenggung. "
" Aku mohon diri Ki Ajar. Aku mohon diri Raden."
Sejenak kemudian, Ki Tumenggung
Jayatarunapun telah meninggalkan rumah Ki Ajar Anggara. Ki Ajar dan Jalawaja
melepas mereka di regol halaman. Mereka memperhatikan kuda yang berlari di jalan
setapak yang menuruni kaki pegunungan.
Debu yang putih mengepul tipis di belakang kuda yang berlari itu. Namun sejenak
kemudian Ki Tumenggung Jayataruna itu telah hilang di tikungan.
Demikian Ki Tumenggung itu tidak nampak lagi, maka Ki Ajar Anggara dan
Jalawajapun telah masuk kembali ke regol halaman pondok Ki Ajar yang sederhana
itu. " Jalawaja - berkata Ki Ajar Anggara setelah keduanya du duk kembali di serambi
- ternyata hatimu keras sekali .ngger."
Jalawaja menundukkan kepalanya.
"Hatimu sama sekali tidak tergerak ketika kau mendengar bahwa ayahmu yang
seharusnya diasingkan selama lima tahun itu, kini mendapat pengampunan meskipun ia baru
menjalaninya selama tiga tahun."
" Aku minta maaf, eyang."
" Justru karena kau disini, Jalawaja. Sedangkan aku adalah ayah dari isteri
Raden Tumenggung Wreda yang telah tidak ada, maka ayahmu akan dapat mempunyai
dugaan yang keliru. Ayahmu akan dapat menduga, bahwa aku menjadi sakit hati
karena ayahmu menikah lagi."
" Tidak, eyang. Ayah tahu bahwa penolakan itu timbul dari dalam hatiku sendiri."
"Memang kaulah yang mengatakannya kepada ayahmu. Tetapi mungkin ayahmu atau ibu
tirimu atau siapapun akan dapat menduga, lain. Mereka dapat menganggap bahwa
sikapmu itu dilandasi oleh hasutan-hasutanku."
" Tidak eyang. Tidak. Eyang jangan
menyalahkan diri sendiri. Jika sikapku ini salah, maka akulah yang bersalah.
Bukan eyang." " Jalawaja. Kau harus menyadari, bahwa
ayahandamu itu tetap saja ayahandamu meskipun kau tidak mengakuinya. Semua orang
tahu bahwa kau adalah putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Meskipun kau
membencinya apalagi setelah ayahmu itu diasingkan , kau tetap saja anaknya."
" Aku tahu, eyang. Yang aku lakukan ini tidak ada hubung annya dengan hukuman
yang harus disandang oleh ayahanda. Aku akan tetap menghormatinya dan akan tetap
berbuat apa saja baginya meskipun ayahanda diasingkan Tetapi yang tidak dapat
aku terima adalah karena ayah telah menikah lagi dengan Rara Miranti."
" Apapun yang dilakukan oleh ayahmu,
Jalawaja. Setuju atau tidak setuju, kau tidak dapat ingkar, bahwa ayahandamu
adalah lantaran dari Yang Maha Agung untuk menghadirkan-mu-di dunia ini. Memang
itu bukan atas kehendakmu sendiri, Jalawaja, sehingga kau dapat menimpakan semua
tanggung jawab kepada ayahandamu.
Tetapi pada dasarnya, ayahmu telah mendapat kepercayaan Yang Maha Agung menjadi
lantaran keberadaanmu di muka bumi ini. Karena itu, maka kau harus menghormati
kepercayaan Yang Maha Agung itu."
" Ya, eyang" " Nah, mumpung Ki Tumenggung Jayataruna belum jauh. Susullah dan ikutlah
bersamanya. Kudamu akan mampu mengimbangi kecepatan berlari kuda Ki Tumenggung.
" Ampun eyang. Aku tidak dapat
melakukannya." " Jalawaja - nada suara Ki Ajar Anggarapun meninggi -kenapa kau tidak mau
mendengarkan kata-kataku, Jalawaja. Bukankah kau tahu, bahwa aku tidak akan
menjerumuskanmu kedalam satu keadaan yang buruk bagimu" Apakah kau malu
menampakkan dirimu di Sendang Arum karena ayahmu pernah dihukum" Bahkan
diasingkan?" " Eyang - Jalawaja itu beringsut sejengkal -
sebenarnya aku akan menyimpan rahasia yang satu ini didalam hatiku. Tetapi aku
tidak ingin menjadi seorang anak yang durhaka di mata eyang. Akupun tidak ingin
menjadi seorang anak yang tidak patuh dan berhatisekeras batu hitam -
Jalawaja berhenti sejenak. Lalu katanya - Eyang.
Seperti yang sudah aku katakan kepada ayahanda langsung, bahwa aku tetap
mengasihi ayah anda. Aku memang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan darah itu, apapun yang
terjadi dengan ayah, aku adalah tetap anaknya. Aku tidak akan merasa malu
disebut sebagai anak seorang pengkhianat. Aku akan tetap menengadahkan wajahku
meskipun aku anak seorang buangan."
" Jadi apa yang menghalangimu pulang,
Jalawaja" Karena kau tidak setuju ayahandamu menikah lagi?"
" Aku memang menjadi sangat kecewa bahwa ayahanda telah menikah lagi. Tetapi
seandainya ayahanda tidak menikah dengan Rara Miranti, aku tidak akan berjanji
untuk tidak menginjakkan kakiku di rumahku selama Rara Miranti itu masih ada di
rumah." " Kenapa dengan Rara Miranti?"
" Eyang. Sebenarnya aku ingin menyimpan rahasia ini dalam-dalam. Sebenarnya aku
tidak ingin mengatakannya kepada si apapun. Juga kepada eyang."
" Jika kau sudah memutuskan untuk membuka rahasia itu sekarang, katakan,"
" Eyang. Sebelum aku bertemu dengan Rara Miranti di ruang dalam rumahku pada
saat Rara Miranti berdua dengan ayah, aku sudah mengenal gadis itu."
" Kau sudah mengenalnya?"
" Ya. Aku sudah mengenalnya. Aku juga sudah menga takan kepada ayahanda, bahwa
aku sudah mengenalnya. Tetapi yang aku katakan juga hanya terbatas- sampai
disitu, meskipun sebenarnya aku mempunyai ceritera yang cukup panjang tentang
Rara Miranti. Ki Ajar Anggara tidak menjawab. Ia menunggu Jalawaja itu menceriterakan
rahasianya yang telah menghalanginya unluk pulang dalam keadaan apapun juga.
Dengan nada suara yang dalam, maka Jalawaja itupun bercerita.
Menjelang senja Jalawaja asyik duduk di bendungan dengan pancing di tangannya.
Sudah sejak matahari turun, Jalawaja duduk di bendungan itu. Ia terbiasa berada
di tempat itu untuk memancing ikan. Kadang-kadang dengan dua atau tiga orang
kawannya. Bahkan kadang-kadang mereka berlomba, siapakah yang mendapat ikan
terbanyak, dianggap menang. Dan berhak mendapatkan ikan kawan-kawannya yang
lain. Apalagi sepeninggal ibunya, kadang-kadang Jalawaja duduk berlama-lama di
bendungan itu. Kadang-kadang Jalawaja tidak menyadari, bahwa seekor ikan telah menyambar umpan
pancingnya, karena Jalawaja sedang merenungi kepergian ibunya. Rasa-rasanya
Jalawaja masih belum puas berada di bawah sayap kasih ibunya. Namun tiba-tiba
ibunya harus dipanggil pulang oleh Penciptanya.
Senja itu Jalawaja terkejut ketika seorang gadis tiba-tiba saja sudah duduk
disampingnya. " Kakang." Jawalaja berpaling. Yang duduk disampingnya
adalah . Rara Miranti. " Miranti. Sebentar lagi hari akan gelap. Kenapa kau datang kemari " Jika ada
orang yang melihat, maka orang itu akan mempunyai dugaan yang keliru tentang
kita." " Tidak, kakang. Mereka tidak akan mempunyai dugaan yang keliru. Mereka tentu
mengira bahwa kita berdua telah saling jatuh cinta. Kita berdua sudah berjanji
untuk hidup bersama. Bukankah mereka tidak keliru ?"
" Miranti " Jalawaja beringsut menjauh. Tetapi Miran-tipun beringsut pula.
Bahkan bersandar di bahu Jalawaja "
kakang. Aku ingin jawabmu. Kapan kita akan menikah." " Miranti. Siapakah yang pernah mengatakan kepadamu bahwa kiia akan menikah ?" " Aku mencintaimu, kakang." " Jangan berbicara tentang pernikahan, Miranti.
Kita masih terlalu muda untuk berbicara tentang pernikahan."
" Tidak. Kakang. Kita tidak terlalu muda lagi.
Marintcn, yang dua tahun lebih muda dari aku, juga lelah menikah. Rebana yang
lebih muda dari kakang, juga sudah menikah."
" Tetapi aku masih belum ingin menikah, Miranti. Sementara itu hubungan diantara
kiia adalah hubungan wajar saja. Aku tidak pernah mengatakan kep
mu ada , bahwa pada suatu saat kiia akan menikah." " Jangan bergurau kakang. Marilah kita
berbicara dengan sungguh-sungguh."
" Apa yang akan kita bicarakan ?"
" Hari-hari yang akan kita jelang. Hari-hari yang indah seperti indahnya senja
ini, kakang. Sebentar lagi matahari akan terbenam di balik bukit itu.
Teiapi diseberang, bulan akan segera bangkit menghiasi langit. Dedaunan, air di
sungai itu, kita berdua, ak
eger an s a mandi dengan cahayanya yang gemulai." " Sudahlah, Miranti. Jangan bermimpi. Bukankah kau tidak tidur ?"
" Kita dapat tidur disini, kakang."
Ketika Miranti mendesaknya lagi, Jalawajapun segera bangkit berdiri. Digulungnya
pancingnya sambil berkata " Aku akan pulang, Miranti."
Miranti tertawa. Iapun bangkit berdiri sambil berkata " Tidak ada seorangpun
yang berada di sekitar kita, kakang. Hanya ada aku dan kau saja."
" Miranti. Jangan mendesak. Kita akan
mengurangi hari-hari mendatang dalam sibuk kita masing-masing. Kita tidak dapat
berada di dalam satu biduk. Diantara kita tidak terdapat hubungan apa-apa selain
hubungan sebagai kawan yang baik.
Bahkan mungkin sebagai dua orang saudara."
" Sudahlah. Jangan menggangguku lagi. kakang.
Marilah kita berjanji, bahwa kita akan mengikat hidup kita sebagai suami isteri.
Aku datang kepadamu sekarang dengan penyerahan yang utuh. Apapun yang akan
terjadi di kemudian hari, aku tidak akan menyesalinya."
" Jangan Miranti. Sebaiknya kita menempuh jalan hidup kita masing-masing. Kau
dengan jalan hidupmu, aku dengan jalan hidupku sendiri. Sudah aku katakan
kepadamu, bahwa aku masih belum menginginkan seorang perempuan yang akan p bersa
hidu maku kelak." " Kakang. Ap ah ak kakang bersungguh-sungguh
?" " Ya, Miranti."
" Jadi apa yang kakang lakukan selama ini terhadap aku?"
" Apa yang aku lakukan " Bukankah aku tidak melakukan apa-apa " Kita memang
berkawan. Hanya itu. Tidak lebih. Seperti aku berkawan dengan gadis-gadis yang lain."
" Jadi kakang telah menolak aku ?"
u sal " Ka ah paham Miranti." " Kakang, jadi kakang benar-benar menolak aku.~
" Sudah aku katakan, bahwa belum waktunya aku berhubungan dengan seorang
perempuan untuk membicarakan tentang pernikahan."
" Kakang " wajah Miranti menjadi merah " aku sudah meninggalkan trapsilaning
wanita, kakang. Aku sudah mengorbankan harga diriku sebagai seorang perempuan. Aku datan
kepadamu u g ntuk menyerahkan jiwa dan ragaku dan bahkan apa saja yang kau kehendaki kakang.
Tetapi ternyata kakang telah menyakiti hatiku."
" Aku minta maaf, Miranti. Agaknya kau telah salah mengerti atas sikapku selama
ini. " " Kakang. Jadi kakang sekarang telah benar-benar berpaling kepada Ririswari"
Tentu saja aku tidak akan mampu menyainginya jika kakang memperbandingkan aku
dengan Ririswari. Riris adalah anak seorang Adipati. Ia memang memiliki beberapa
kelebihan yang dapat membuat kakang menjadi silau. "
" Miranti. Sebenarnyalah bahwa aku masih belum berniat berbicara tentang
berjodohan. Kita masih terlalu muda. Aku masih ingin memperdalam ilmu kanuragan
dan ilmu kaji-wan agar dapat menjadi bekal hidupku kelak. "
" Itu hanya alasanmu saja, kakang. Baik kakang.
Kau telah menyakiti hatiku. Aku tidak mau menerima keadaan ini, kakang. Ingat
kakang. Bahwa pada suatu hari, aku akan menyingkirkan Ririswari. Aku tidak dapat hidup
diatas bumi yang sama. Aku tidak dapat menghisap nafas dari lingkungan udara
yang sama. Selain itu, maka pada suatu saat, kau akan merunduk dihadapanku untuk
menyembah telapak kaki Entah a ku. papun caranya,
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi aku akan melaksanakan janjiku itu. Bumi dan langit akan menjadi saksi. "
" Miranti " desis Jalawaja.
Miranti tidak mendengarkannya lagi. Iapun segera berlari meninggalkan bendungan
yang sudah menjadi semakin buram. Matahari telah terbenam. Langit menjadi gelap.
Namun bulan tidak segera nampa m
k engambang di langit. Awan
yang kelabu mengalir dari arah lautan, semakin lama semakin tebal.
Ketika kemudian hujan turun, Jalawaja masih berada di bendungan. Dibenahinya
alat-alatnya serta kepis tempat ikan. Beberapa ekor ikan yang sudah ada didalam
kepisnyapun segera dilemparkannya kembali ke bendungan. Dengan cepatnya ikan itupun berenang
menghilang didalam genangan air bendungan yang dalam. Ketika seekor diantaranya
nampak men a g mbang dan tidak lagi ertaha mampu b n, Jalawaja memandanginya dengan penuh iba.
" Kasihan " desis Jalawaja.
Namun ketika hujan menjadi semakin lebat, Jalawajapun meninggalkan bendu
ula ngan itu p dengan pakaiannya yang menjadi basah kuyup.
" Eyang " berkata Jalawaja kemudian " itulah sebabnya, aku kemudian bersumpah
untuk tidak menginjakkan kakiku di rumahku jika Rara Miranti masih berada di
rumah itu. Apapun yang akan dilakukannya, tentu akan membuat hatiku menjadi
sangat sakit. Perempuan itu memang sedang mencari kesempatan untuk menyakiti
hatiku. Atau bahkan pada suatu saat akan dapat mengadu kepada ayah dengan cerit-
cra-ceritera yang dibuat-buatnya. Ya
dikatak ng hitam an putih, yang pulih dikatakannya hitam. "
Ki Ajar Anggara menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata "
Ngger, Jalawaja. Jika demikian maka ternyata kau tidak bersalah. Aku harus minta
maaf kepadamu, bahwa aku sudah berprasangka buruk kepadamu. "
" Eyang tidak bersalah. Eyang memang belum mengetahui persoalan yang sebenarnya.
" " Baiklah wayah. Jika yang terjadi seperti apa yang kau ceritakan itu, memang
sebaiknya kau tidak pulang. Biarlah para petugas menjemput ayahandamu ke
pengasingan. Tetapi seandainya kau ingin ikut menjemput ayahmu, sebaiknya kau
langsung saja menghadap pamanmu Adipati. "
" Tidak eyang. Aku tidak usah ikut menjemput ayahanda ke pengasingan. Seandainya
itu aku lakukan, belum tentu ayah merasa senang melihat kehadiranku. "
" Ayahmu tentu merasa berbahagia jika kau ada diantara mereka yang menjemputnya.
Tetapi persoalanmu dengan Mirant
upa i mer kan penghalang u u bagim ntuk melakukannya. "
" Ya, eyang. " " Dengan penjelasanmu itu, aku tidak akan perna
aksamu lagi untuk h mem pulang, apapun alasannya. " " Terima kasih atas pengertian eyang. "
Ki Ajar Anggarapun kemudian bangkit sambil berkat
" a Sekarang, aku akan pergi ke dapur,
ngger. " " Apa yang akan e an
y g kerjakan" "
" Membuat gula. "
" Biarlah aku yang menjerang legennya eyang.
njadi lebih kental Nanti saja jika sudah me , aku akan memanggil eyang. "
" Baiklah. Jika demikian, jerang legennya. Aku akan pergi ke belumbang. Aku lum
m be emberi makan ikan-ikan di belumbang itu. "
Ketika Ki Ajar Anggara pergi ke belumbang, maka Jalawajapun sibuk membuat api.
Dipanasinya legen kelapa untuk dibuai gula.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayataruna melarikan kudanya semakin kencang.
Dilihatnya mendung menggantung di langit. Semakin lama semakin tebal.
Tetapi ternyata bahwa hujan tidak segera jatuh.
Ada angin semilir yang mendorong mendung itu mengalir ke Utara, serta singgah di
lerengnya gunung yang tinggi.
" Jika hujan itu turun dilereng gunung, maka sungai-sungai akan banjir " berkata
Ki Jayataruna didalam hatinya. Kare itu, ma
na ka kudanyapun berlari semakin kencang. Ketika matahari turun ke balik bukit di sisi Barat langit, Ki Tumenggung
Jayataruna telah memasuki pintu gerbang kota. Namun Ki Jayataruna tidak
memperlambat kudanya. Ternyata titik-titik hujan mulai turun. Semakin lama
menjadi semakin banyak. Ketika hujan benar-benar turun, Ki Tumenggung telah memasuki regol halaman rumah
Raden Ayu Reksayuda. Namun meskipun demikian, Ki
Tumenggung tidak dapat meninggalkan unggah-ungguh. Dengan tangkasnya Ki
Tumenggung meloncat turun dari kudanya, kemudian berlari sambil menuntun kudanya
di pendapa. Dengan tergesa-gesa Ki Tumenggung mengikat kudanya di patok-patok yang sudah
disediakan. Kemudian berlari-lari kecil Ki Tumenggung menuju ke tangga pendapa.
Untuk menghindari air hujan yang kemudian bagaikan tercurah, Ki Tumenggungpun
naik ke tangga. Namun kemudian berhenti.
Sejenak Ki Tumenggung berdiri termangu-
mangu. Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar ketika ia melihat pintu pringgitan
diseberang pendapa itu terbuka.
Raden Ayu Reksayuda muncul dari balik pintu itu sambil tersenyum " Marilah
kakang Tumenggung. Silahkan naik. "
" Maaf Raden Ayu. Pakaianku agak basah. "
" Tidak apa-apa, kakang. Silahkan masuk ke ruang dalam. "
" Terima kasih Raden Ayu. Aku akan duduk di pringgitan saja. Aku hanya singgah
untuk memberikan laporan hasil perjalananku menjumpai putera Raden Ayu. Raden
Jalawaja. " " Karena itu, marilah. Silahkan masuk. Hujan menjadi semakin lebat. Anginnya
terlalu kencang." Ki Tumenggung Jayataruna memang merasa
ragu. Tetapi ketika Raden Ayu Reksayuda itu mcmpersilahkannya sekali lagi, maka
Ki Tumenggungpun telah melangkah ke pintu dan masuk ke ruang dalam.
Dalam pada itu. lampu-lampu minyakpun telah menyala.
Di pendapa. Di prjnggitan dan demikian pula lampu di ruang datamrsinamya yang ke
kuning-kuningan menggeliat di sen^ tuh angin, sehingga bayang-bayang tiang dan p
rab e ot di ruang dalam itupun ikut menggeliat pula.
Dengan wajah yang cerah Raden Ayupun
kemudian d duk u pula menemui Ki Tumenggung
Jayataruna. " Apakah kakang Tumenggung baru pulan
a g d ri lereng bukit untuk menemui angger Jalawaja" "
" Ya, Raden Ayu. "
" Kakang Tumenggung langsung saja kemari" "
" Ya, Raden Ayu. Aku ingin segera memberikan laporan kepada Raden Ayu Reksayuda.
" " Duduk sajalah dahulu, ka
g. K kan akang tentu letih, haus dan barangkali lapar. "
"Tidak, Raden Ayu. Aku tidak letih. Aku sudah terbiasa dan bahkan terlatih,
sehingga daya tahanku sebagai seorang prajurit masih dapat dibanggakan. "
Raden Ayu Reksayuda tersenyum. Katanya "
Aku percaya, kakang. Kakang adalah seorang prajurit yang t rlatih
e . Tetapi silahkan duduk dahulu, kakang." Sebelum Ki Tumenggung menjawab, maka
Raden Ayu Reksayuda itu sudah bangkit dan meninggalkan Ki Tumenggung duduk
termangu-mangu. Demikian Raden Ayu Reksayuda hilang di balik pintu, maka Ki Tumenggungpun sempat
memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tiang-tiang yang kokoh dan berukir.
Gebyok kayu yang membatasi ruang dalam itu dengan pringgitan dan bahkan yang
menyekat ruang itu dengan warna-warna yang lunak.
" Rumah yang baik"berkata Ki Tumenggung didalam hatinya.
Ki Tumenggungpun sempat memperhatikan
selintru kayu yang juga berukir krawangan. Juga disungging. seperti -gebyok-
gebyoknya. Rumah yang baik itu tertata rapi, sehingga nampak menjadi semakin cantik.
Ki Tumenggung yang memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan saksama, terkejut
ketika tiba-tiba saja pintu terbuka. Raden Ayu Reksayuda masuk sambil membawa
minuman yang masih nampak mengepul.
" Jangan membuat Ra u sibuk." den Ay " Hanya minuman kakang."
" Tetapi tentu merepotkan Raden Ayu."
" Bukankah kakang belum sempat minum "
Ketika huja i l n menjad ebat, kakang sudah berada
di tangga pendapa." Ki Tumenggung tertawa. Namun kemudian
disadarinya* bahwa ia berada di rumah Raden Ayu Reksayuda, sehingga suara
tertawanyapun segera tertahan. Bahkan dengan telapak tangannya Ki Tumenggung
menutup mulutnya. " Tidak apa-apa, kakang. Justru suara tertawa yang sert m
a erta itu membuat hati kita seakan-akan terbuka."
" Ya, Raden Ayu "jawab Ki Tumenggung
meskipun ia tidak mengerti maksudnya.
" Aku sengaja menghidangkan sendiri minuman buat kakang. Aku tidak dapat
mempercayakannya kepada abdi di katumenggungan ini, karena kadang-kadang mereka
kurang dapat menempatkan diri dihadapan tamu-tamuku.
Apalagi di--hadapan kakang Tumenggung."
" Bukankah aku bukan tamu yang haFus
dihormati " Aku hanya seorang Tumenggung."
" Lalu siapa yang harus dihormati jika bukan seorang Tumenggung di kadipaten ini
" Bukankah kakangmas Reksayuda juga seorang
Tumenggung." " Tetapi kedudukan Raden Tumenggung
Reksayuda berbeda dengan kedudukanku, Raden Ayu. Raden Tumenggung Reksayuda
adalah Tumenggung Wreda. Selebihnya Raden
Tumenggung Reksayuda adalah sentana dalem Kangjeng Adipati Sendang Arum."
" Apa bedanya " Bahkan secara kewadagan, Ki Tumenggung Jayataruna mempunyai
banyak kelebihan. Ki Tumenggung masih lebih muda. Hari-hari depannya masih jauh lebih
panjang, sehingga sepantasnya bahwa kakang Tumenggung
Jayaturana masih mempunyai cita-cita yang jauh lebih tinggi dari yang pernah
capai oleh di kakangmas Tumenggung Reksayuda."
"Ah. Sebaiknya aku tidak usah berangan-angan, Raden Ayu. Aku tidak akan mungkin
mencapai tataran yang lebih tinggi dari kedudukanku yang sekarang. Jika aku
berangan-angan untuk dapat menggapai tingkat ked
y udkan ang lebih tinggi, itu
aku akan mejadi kecewa di kemudian hari. Aku akan disebut seperti cecak nguntal cagak. Seperti seekor cicak yang akan lan mene tiang rumah ini." Raden Ayu Reksayuda tertawa. Katanya "Kakang pandai juga*oerandai-andai. Jika bukan seperti cecak nguntal cagak, maka pepatah lain mengatakan seperti
walang ngga-yuh rembulan. Seperti bilalang merindukan bulan."
" Lain Raden Ayu. Artinya agak berbeda, meskipun keduanya ingin menunjukkan
bahwa kemampuan pencapaian seseorang itu terbatas."
" Apa bedanya, kakang ?"
" Walang nggayuh rembulan adalah ceritera tentang seorang laki-laki yang
merindukan seorang perempuan dari tataran yang berbeda. Mungkin seorang anak
petani yang merindukan seorang anak bangsawan. Mungkin seorang laki-laki miskin,
gi mengin nkan seorang perempuan yang kaya raya."
" Apakah kakang pernah mendengar paribasan yang maknanya sebaliknya. Apakah ada
paribasan yang berbunyi Rembulan nggayuh walang ing ara-ara kang kebak alang-
alang " Rembulan yang merindukan bilalang di padang ilalang ?"
" Ah. Tentu tidak ada Raden Ayu. Dalam
kenyataannya-pun tidak akan ada."
Raden Ayu tertawa. Katanya" Minumlah,
kakang." " Terima kasih Raden Ayu."
Ki Tumenggung Jayataruna itupun menggapai mangkuknya. Tetapi t
dik
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anp? etahui sebabnya, tangannya menjadi gemetar.
Setelah minum beberapa teguk, maka Ki
Tumenggung itupun berkata " Su ahlah
d Raden Ayu. Sudah malam. Aku mohon diri."
" Masih hujan, kakang. Nantisaja jika hujan sudah teduh."
" Mendungnya tebal Rad sekali en Ayu. Tentu hujan agak lama baru teduh."
" Bukankah disini kakang tidak kehujanan ?"
" Ya Teta , Raden Ayu. pi aku tidak akan dapat tetap berad ni. a disi " " Kenapa " "
" Jika hujan tidak segera reda. Bahkan sampai jauh malam. "
" Bahkan sampai dini hari, kakang. "
Tiba-tiba saja keringat dingin
bun mengem di seluruh tubuh Ki Tumenggung Jayataruna.
" Kakang " berkata Raden Ayu Reksayuda
kemudian " bukankah kakang masih belum
menceritera an perjal k anan kakang menemui Jalawaja. " " O " Ki Tumenggung Jayataruna seolah-olah tersadar dari sebuah mimpi. Ia
singgah di rumah Raden Ayu Reksayuda untuk memberikan laporan tentang
perjalanannya menemui Raden Jalawaja.
Tetapi pembicaraannya dengan Raden Ayu
Reksayuda serta sikap perempuan itu, seakan-akan telah membiusnya.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun segera menceriterak
hasil an perjalanannya menemui Raden Jalawaja. " Jadi an k itu a tidak mau pulang, Ki Tumenggung. " " Ya, Raden Ayu. "
" Kenapa " Apakah anak itu tidak mengatakan alasannya " "
Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian ia menggeleng " Tidak, Raden Ayu.
Raden Jalawaja tidak mengatakan alasannya, kenapa ia tidak mau pulang dan tidak
mau menjemput ayahandanya dari pengasingan. "
" Anak itu memang keras kepala. Atau mungkin kakeknyalah yang menghasutnya,
karena ia tidak setuju, sepeninggal anak perempuannya, ibu Jalawaja, kakangmas
Tumenggung telah mengambil aku sebagai istrinya yang tentu mempunyai banyak kelebihan dari anak
perempuannya itu. " Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar.
Namun sekali lagi iapun berkata " Entahlah, Raden Ayu. "
" Baiklah, kakang Tumenggung. Aku sangat berterima kasih atas kesediaan kakang
Tumenggung menemui angger Jalawaja. Mudah-mudahan hatinya pada suatu saat dapat
menjadi lunak " lalu katanya selanjutnya. " Aku berharap.
Mungkin setelah ayahandanya ada di rumah, ia mempunyai sikap ya l
ng ain. " " Ya, Raden Ayu. "
" Nah, si i lahkan m num kakang. Jangan
mengharap hujan reda. "
" Tetapi...." Raden Ayu itu terseyum sambil berkata " Hujan baru akan reda esok pagi, kakang.
" Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin
berdebaran. Sementara Raden Ayu itupun berkata"
Kakang. Masih ada yang ingin aku katakan kepadamu. "
Dahi Ki Tumenggung Jayataruna berkerut.
Ketika ia memandang wajah Raden Ayu Reksayuda yang terseyum, Raden Ayu itupun
sedang memandanginya, sehingga dengan serta-merta Ki Tumenggung itupun menundukkan
wajahnya. Waktupun terasa berjalan cepat. Di hari berikutnya, atas permohonan Raden Ayu
Reksayuda, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah memerintahkan Ki Tumenggung
Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna menghadap Kakang
Adipati Jayanegara di Kadipaten Pucang Kembar untuk memberitahukan keputusan
Kanjeng Adipati Wirakusuma, bahwa Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sudah
mendapat pengampunan serta diperkenankan memasuki Kadipaten Sendang Arum.
Berdua bersama dua orang pengawal, sekaligus menjemput Raden Tumenggung
Reksayuda untuk dibawa kembali ke Kadipaten Sendang Arum.
" Kapan hamba berdua harus berangkat,
Kangjeng " " bertanya Ki Tumenggung Reksabawa.
" Hari ini kalian dapat menyiapkan segala sesuatunya yang kalian perlukan dalam
tugas kalian itu. Besok kalian berdua bersama dua orang pengawal akan pergi ke
Pucang Kembar. Kalian akan bermalam semalam di Pucang Kembar, kemudian di
keesokan harinya, Kalian akan pulang bersama
Tumenggung Wreda kakangmas Reksayuda. " " Hamba, Kangjeng. "
" Sekarang kalian berdua aku perkenankan meninggalkan pertemuan ini. "
Hari itu, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna telah bersiap-
siap untuk pergi ke Pucang Kembar. Dua orang prajurit pilihan telah
diperintahkan untuk bersiap-siap pula. Esok pagi-pagi sekali mereka akan
berangkat ke Pucang Kembar.
Ketika fajar menyingsing di keesokan harinya, maka empat orang berkuda telah
melarikan kuda mereka meninggalkan pintu gerbang kota. Mereka mengemban perinta
ng Adi h Kangje pati Wirakusuma untuk menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda dari pengasingan.
" Aku ingin tahu, apakah orang-orang yang mencegat kita pada saat kita pergi ke
Pucang Kembar beberapa waktu yang lalu, masih juga menghadang orang-orang yang
sedang dalam perjalanan " berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
" Tentu tida Mer k. eka tentu sudah menjadi jera.
Apalagi jika mereka ketahui, bahwa kitalah yang sedang lewat. "
" Belum tentu, kakang Tumenggung. Kita akan meyakinkannya. Tetapi jika mereka
masih juga menyamun orang lewat, aku akan membunuh mereka semua. "
Ki Tumenggung Reksabawa hanya dapat
menarik nafas panjang. Ketika mereka melewati kedai yang pernah mereka singgahi, Ki Tumenggung
Jayatarunapun berkata " Kita singgah di kedai itu, kakang. Kuda-kuda kita tentu
sudah letih. Kedua orang pengawal itu tentu juga sudah haus dan bahkan lapar. "
Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk sambil menjawab " Baiklah. Kita akan singgah
di kedai itu lagi. Agaknya pasar Patalan tidak seramai pada saat kita lewat
waktu itu. " " Hari ini bukan hari pasaran. Tetapi karena pasar ini terhitung pasar yang
besar, maka meskipun bukan hari pasaran, banyak juga orang yang datang. "
Sejenak kemudian, mereka berempat telah duduk di dalam kedai itu. Agaknya
pelayan di kedai itu masih sempat mengenalinya. Karena itu, pelayan kedai itupun
segera mendekatinya. Namun sikapnya agak lain karena ia melihat ciri-ciri
keprajuritan pada kedua orangyang pernah singgah di kedai itu.
" Lama aku tidak singgah " berkata Ki
Tumenggung Jayataruna. " Ya, Ki Sanak. "
" Apakah orang-orang yang waktu itu singgah di kedai ini masih sering datang
kemari " .Maksudku orang-orang yang kau sebut penjahat itu. "
" Tidak. Ki Sanak. Mereka tidak pernah kelihatan lagi sejak Ki Sanak lewat. "
" Apakah ada orang lain yang menggantikan mereka, melakukan kejahatan disini " "
" Tidak, Ki Sanak. Nampaknya tidak. Entahlah jika aku tidak mengetahuinya. "
" Sokurlah jika mereka sudah berhenti
melakukan kejahatan. Waktu itu mereka
menyamun kami. Kami telah membunuh beberapa orang diantara mereka. -"
" Membunuh mereka " "
" Tidak semuanya. Hanya yang keras kepala.
Bukankah dengan demikian, kelompok mereka tidak mengganggu lagi."
" Ya, Ki Sanak. Di hari-hari pasaran, gerombolan itu tidak pernah datang kemari.
" " Mereka sudah menjadi jera. Mudah-mudahan untuk selamanya mereka tidak akan
bangkit lagi. " Ki Tumenggung Jayataruna itupun kemudian memesan makan dan minum bagi mereka
berempat. " Ki Tumenggung pernah dirampok disini " "
bertanya salah seorang prajurit pengawal.
" Bukan disini. Di bulak sebelah. Tetapi mereka mengawasi kami berdua sejak di
kedai ini. " Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya "
Yang masih hidup, m tentu se pat menyesali kebodohan mereka. Kenapa mereka ingin
merampok dua orang Senapati. "
Sambil tersenyum Ki Tumenggung
Reksabawapun berkata " Karena itulah, maka sekarang aku membawa dua orang
pengawal." " Ah, Ki Tumenggung. Apa artinya kami berdua "
sahut prajurit yang seorang lagi " jika kami pergi juga bersama Ki Tumenggung,
maka tugas kami adalah me
awaka mb n barang-barang yang nanti
akan dibawa oleh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. "
Ki Tumenggung Reksabawa tertawa. Yang
lainpun tertawa pula. Mereka berempat tidak terlalu lama berada di kedai. itu. . Setelah mereka
selesai makan, minum dan beristirahat sejenak, maka merekapun meninggalkan kedai
itu. Kepada pemilik dan pelayan kedai itu, Ki Tumenggung Jayatarunapun berkata "
Jika para penjahat itu masih belum jera, maka kami akan me bunuh mereka
semuanya. Kami akan masuk kesarang mereka dan
menghancurkannya." Pemilik serta pelayan kedai-itu hanya
mengangguk-angguk saja. Sejenak kemudian, maka kedua orang
Tumenggung serta kedua orang prajurit pengawal itu telah melarikan ku
ereka. Kuda mer da m eka yang sudah beristirahat pula. Sudah minum serta makan rumput yang segar. "
Sebenarnyalah bahwa tidak ada lagi orang yang mengganggu perjalanan mereka,
sehingga perjalanan mereka menjadi lebih cepat dari perjalanan mereka sebelumnya. %
Malam itu juga, kedua orang Tumenggung itu telah mendapat kesempatan untuk
menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara. Atas nama Kangjeng Adipati Wirakusuma,
maka kedua orang Tumenggung itu menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang telah mendapat
pengampunan, sehingga sebelum Raden
Tumenggung itu menjalani seluruh masa
hukumannya, ia sudah diperkenankan untuk pulang.
" Aku ikut bergembira atas keputusan itu, kakang Tumenggung. Raden Tumenggung
Reksayuda sudah terlalu tua untuk diasingkan Agaknya disisa hidupnya Raden
Tumenggung Reksayuda ingin menikmati kehidupan wajar bersama isterinya yang pada
saat diasingkan, belum lama dinikahinya. "
" Hamba Kangjeng"kedua orang Tumenggung itu mengangguk-angguk.
" Baiklah. Biarlah kami membantu kakang Tumenggung berdua untuk ikut
mempersiapkan segala sesuatunya. Aku berharap bahwa kakang Tumenggung berdua
serta kedua orang pengawal itu bermalam di Pucang Kembar malam ini. Besok pagi-
pagi kakang Tumenggung berdua dapat berangkai menuju ke Sendang Arum. Bersama
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, kakang berdua tentu tidak akan dapat bergerak
dengan cepat karena Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda yang tua itu tidak akan dapat berkuda secepat anak panah. Mungkin
kakang Tumenggung berdua menjadi tidak telaten. T ta
e pi kakang jangan memaksa orang tua itu melarikan kudanya sebagaimana kalian inginkan. "
Kedua orang Tumenggung itu tersenyum.
Sambil mengangguk hormat ki Tumenggung
Jayatarunapun berkata " Hamba Kangjeng Adipati.
Kami berdua akan menyesuaikan diri. Bukan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang
harus menyesuaikan dirinya. "
" Bagus"Kangjeng Adipatipun tertawa.
jCemikianlah, malam itu Ki Tumenggung
Reksabawa, Ki Tumenggung Jayataruna dan kedua orang
prajurit pengawalnya bermalam di Pucang Kembar.
Malam itu juga keduanya sudah mendapat
kesempatan untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda. Besok, sebelum matahari terbit, mereka akan meninggalkan tanah pengasingan.
Sebenarnyalah, sebelum matahari terbit,- Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki
Tumenggung Jayataruna bersama Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah menghadap Kangjeng
Adipati Jayanegara. " Ampun Kangjeng, kami telah mengusik
ketenangan Kangjeng Adipati yang sedang beristirahat " berkata Ki Tumenggung
Reksabawa. " Tidak. Aku tidak merasa terusik. Setiap hari aku bangun pagi-pagi sekali. Aku
memerlukan udara pagi untuk menyegarkan tubuhku dan pikiranku. "
" Terima kasih, Kangjeng. Kami datang untuk mohon diri. Kami akan segera
meninggalkan kadipaten Pucang Kembar, kembali ke kadipaten Sendang Arum bersama
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, yang telah diperkenankan pulang. "
" Aku juga mohon diri dimas. Selama ini aku telah mendapat perlindungan di
kadipaten Pucang Kembar. Pada saat-saat aku tidak dimanusiakan lagi oleh dimas
Adipati Wirakusuma, maka aku dapat tinggal di Pucang Kembar dengan nyaman.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Disini aku tetap saja diperkenankan hidup bebas sebagaimana orang lain. "
" Tetapi sekarang kakangmas sudah mendapat pengampunan. Kakangmas sudah
diperkenankan pulang meskipun masa pengasingan kakangmas masih belum genap. "
" Ya. Aku mengucapkan terima kasih atas pengampunan yang aku terima ini. Mudah-
mudahan di Sendang Arum aku masih dapat diterima s b
e agaimana mestinya, sehingga aku tidak justru lersisih dari pergaulan Jika itu
terjadi, maka aku akan merasa lebih senang berada di Pucang Kembar. "
" Tentu tidak kakangmas. Jika dimas Adipati Wirakusuma masih menganggap
kakangmas perlu disisihkan, maka dimas Wirakusuma tentu tidak akan memberikan
pengampunan. " " Mudah-mudahan, dimas. "
" Nah, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan. Mudah-mudahan perjalanan
kangmas Tumenggung mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung, selamat sampai
dirumah. Bertemu dengan kang mbok Miranti. "
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
tersenyum. Katanya "Mudah-mudahan Rara Miranti tidak lupa kepadaku. " .
" Mana mungkin kangmbok melupakan kangmas Tumenggung
Bu . kankah yang mohon pengampun kepad an a dimas Adipati juga kangmbok Miranti " "
" Ya, dimas." " Kangmbok tentu sudah menunggu kedatangan kangmas Tumenggung dengan jantung
yang berdebar-debar. " Demikianlah, pada saat cahaya langit menjadi cerah, maka Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda telah meninggalkan pintu gerbang halaman dalem kadipaten
Seperti yang dikatakan oleh Kangjeng Adipati Jayanegara, maka perjalanan iring-
iringan yang menjemput Raden Tumen-gung Wreda Reksayuda itu tidak dapat terlalu
cepat. Raden Tumenggung memang sudah tua, sehingga untuk berpacu sebagaimana
kedua orang pada saat mereka berangkat, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sudah
tidak sanggup lagi. Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jay-atarunalah yang harus menyesuaikan
diri. Keduanya yang berkuda didepan, sekali-sekali harus berpaling. Jika jarak
diantara mereka sudah agak terlalu panjang, maka kedua orang
Tumenggung itu memperlambat lari kuda mereka.
Sementara itu, kedua orang prajurit pengawal yang berkuda dibelakang, mulai
terkantuk-kantuk. Perjalanan kuda mereka yang mereka anggap lamban, semilirnya angin di bulak-
bulak panjang yang hijau, membuat mata mereka menjadi berat.
" Apakah kita belum memasuki tlatah Sendang Arum, Ki Tumenggung " " bertanya
Raden Tumenggung Wreda, " Belum Raden. Beberapa lama lagi. Bukankah ada tanda di perbatasan " Kalau
dijalan utama antara S ndang Arum dan Pucan
e g Kembar terdapat sebuah gapura batu, maka di tepi jalan ini di perbatasan terdapat sebuah tugu
batu setinggi orang. "
" Jadi kita tidak menempuh jalan utama itu " "
"Tidak, Raden "
" Kenapa " "
" Bukankah jalan utama itu terlalu jauh " Lewat jalan ini kita menghemat jarak
beberapa ribu patok. "
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda i lu
mengangguk-angguk. Ketika matahari sudah sampai di puncak, mereka masih belum sampai ke perbatasan.
Bahkan Raden Tumenggung itupun berkata " Aku ingin beristirahat barang sebentar.
Ki Tumenggung." " Baiklah, Raden. Tetapi sebentar lagi kita sampai di perbatasan. Kita akan
beristirahat setelah kita mel wa
e ti perbatasan itu. " Perhatikan kuda-kuda kalian. Kuda-kuda itupun tentu merasa letih, haus dan
barangkali lapar. " " Apakah kita tidak dapat maju sedikit lagi.
Raden. " " Aku sudah letih sekali. "
" Baiklah, Raden. Jika Raden memang ingin beristirahat, kita akan bcrisirahat di
kedai yang ada didepan itu. "
"Aku setuju Ki Tumenggung. Aku sudah haus sekali. " Mereka berlimapun kemudian
telah beristirahat di sebuah kedai. Kuda-kuda merekapun mendapat perawatan
seperlunya mendapat minum dan makan rumput segar.
Didalam kedai, Raden Tumenggun
g Reksayuda, Ki Tumenggung Reksdbawa, Ki Tumenggung
Jayataruna dan kedua orang prajurit pengawal itupun telah minum serta makan
pula. Beberapa saat kemudian setelah mereka
beristirahat beberapa lama, maka Ki Tumenggung Reksabawapun bertanya " Apakah
kita sudah cukup beristirahat, Raden. "
" Rasa-rasanya aku menjadi segan untuk
bangkit dan melanjutkan perjalanan. Punggungku mulai merasa sakit. Jika nanti
kita kelaparan di jalan, sementara tidak kita jumpai lagi kedai, dimana kita
akan makan " " " Kita merencanakan, di sore hari ini kita sudah berada di halaman rumah Raden
Tumenggu ng Wreda Reksayuda " " Kita akan memacu kuda kita lebih cepat lagi "
"Tidak Raden. Tetapi Raden tidak dapat tinggal disini sampai besok. "
Raden Tumenggung itu mengangguk-angguk.
Betapapun malasnya, namun akhirnya merekapun melanjutkan perjalanan. Sekali-
sekali Raden Tumenggung Wreda itu berdesah. Punggungnya sudah mufai terasa
sakit. Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai di perbatasan. Ketika melihat
sebuah tugu batu, dengan serta-merta Raden Tumenggung Reksayuda bertanya "
Apakah tugu itu batas kadipaten Sendang Arum dan kadipaten Pucang Kembar "
" Ya, Raden." Tiba-tiba saja Raden Tumenggung itu
menghentikan kudanya. Dengan demikian kedua orang Tumenggung serta dua orang
prajurit pengawal itupun berhenti pula. Bahkan ketika Raden Tumenggung itu
meloncat turun, yang lainpun meloncat turun pula
" Pegang kudaku " berkata Raden Tumenggung kepada seorang diantara kedua orang
prajurit itu. Prajurit itupun segera menerima kendali kuda Raden Tumenggung. Sementara Raden
Tumenggungpun segera turun ke sebuah parit yang airnya nampak jernih berkilat-
kilat ditimpa cahaya matahari yang sudah melewati puncak langit.
Sambil membasahi wajahnya dengan air parit yang jernih itu, Raden Tumenggung
berkata"Alangkah segarnya air di kadipaten Sendang Arum."
"Maaf Raden"sahut Ki Tumenggung
Jayatruna"tlatah Sendang Arum berada di seberang tugu itu Raden."
" O. Tetapi jaraknya hanya kurang beberapa jengkal saja."
" Air itu mengalir dari tlatah Pucang Kembar."
Raden Tumenggung Wreda yang tua itu
mengerutkan dahinya, sementara Ki Tumenggung Reksabawa menggamit Ki Tumenggung
Jayataruna sambil berdesis perlahan " Jangan mengganggu saja di." Orang tua itu
dapat menjadi sangat kecewa meskipun persoalannya tidak penting. Bahkan adi
hanya sekedar ingin bergurau."
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa tertahan.
" Air itu su b dah erada di perbatasan, Raden "
berkata Ki Tumenggu ut ng Reksabawa yang ik turun ke dalam air pula"memang airnya terasa sejuk, justru pada saat memasuki
perbatasan Sendang Arum."
" Ya. Aku juga ingin mengatakan seperti itu."
Ki Tumenggung Reksabawa berpalin
epa g k da Ki Tumenggung Jayataruna yang masih berdiri di pinggir jalan sambil memegangi
kendali kudanya, sementara kuda Ki Tumenggung Reksabawa lelah dipegangi oleh prajurit yang
seorang lagi. Baru sejenak kemudian, ketika rubu ya su hn
dah merasa menjadi semakin segar, Raden
Tumenggung Wreda Reksabawa itupun segera naik ke tanggul. Kemudian katanya "
Sudah lama aku lidak mengirup udara di Tanah tercinta."
g Ketika Raden Tumenggun itu memandang Ki Tumenggung Jaya taruna,.maka iapun
berkata " Udara disini dan udara eran diseb g tugu itu tentu berbeda meskipun jaraknya tidak lebih dari dua langkah." Ki Tumenggung Jayaturana tertegun. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya " Ya. Sedangkan tepat diperbatasan, daran u ya terasa panas di hidung kita." Demikianlah sejenak kemudian kelima orang itupun melanjutkan perjalanan.
Namun Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
tidak tahan dipanggang oleh teriknya matahari yang justru sudah condong disisi
Barat langit. Karena itu, iring-iringan itupun terpaksa sekali lagi berhenti. Raden Tumenggung
menjadi kehausan di perjalanan yang berat itu.
Beberapa lama mereka berada dikedai itu.
Tanpa disengaja mereka mendengar seorang yang sudah lebih dahulu berada di kedai
itu berbicara kepada kawannya " Tidak seorangpun yang mengira, bahwa laki-laki
itu sampai hati membunuh isterinya."
" Ya. Tidak seorangpun mengira"sahut
kawannya. " Tetapi isteri laki-laki itu memang cantik dan jauh lebih muda dari suaminya."
" Itulah sebabnya ketika laki-laki itu pulang setelah menjalani hukuman dari
kesalahan yang tidak pernah dilakukannya, dan dida ati
-p nya isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, maka laki-laki yang sabar dan
alim itu telah membunuhnya."
" Semua orang menyesali perbuatan itu."
" Bukan hanya perbuatan itu. Tetapi juga seluruh kejadiannya. Kenapa laki-laki
itu dihukum tanpa melakukan kesalahan apa-apa, sementara yang bersalah justru
telah berbuat serong dengan isterinya " Kenapa pula isterinya telah menerima
laki-laki lain pada saat suaminya menderita tekanan kewadagan dan kejiwaan."
" Kenapa " Ya, semua orang bertanya kenapa.
Tetapi semuanya itu telah terjadi. Kemudian lakilaki itu harus menjalani hukuman
lagi karena ia telah membunuh isterinya. Untunglah laki-laki yang berkhianat itu
sempat melarikan diri."
" Ya. Tetapi ia jatuh ketangan orang banyak.
Bahkan orang itu juga hampir mati, jika saja tidak ada empat orang prajurit
berkuda yang meronda"
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda berpaling untuk mengamati orang-orang" yang
sedang berbincang itu. Namun dalam pada itu, keringatpun telah mengalir di
punggung Ki Tumenggung Jayataruna.
" Kita sudah terlalu lama beristirahat " berkata Ki Tumenggung Jayataruna
kemudian"marilah, Raden. Nanti kita ke-malaman di jalan Kuda-kuda kitapun sudah
beristirahat pula." Raden Tumenggung Wreda mengangguk.
Katanya " marilah. Aku menjadi semakin malas.
Tetapi tentu aku tidak dapat bermalam disini."
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu sudah melanjutkan perjalanan
Meskipun mereka tidak harus berkelahi di jalan, namun ternyata waktu yang
diperlukan hampir sama panjang dengan saat bebe-rapa waktu yang lalu kedua orang
Tumenggung itu pergi ke Pucang Kembar.
Sebelum senja, iring-iringan itu sudah memasuki pintu gerbang kota. Beberapa
orang yang berpapasanpun berhenti. Mereka sudah mendengar bahwa Raden Tumenggung
Wreda Reksayuda sudah mendapat pengampunan. Karena itu, ketika mereka melihat
iring-iringan itupun segera menebak, bahwa seorang diantara mereka adalah Raden
Tumenggung Wreda Re da ksayu " Ya. Yang ditengah diantara Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung
Jayataruna - berkata seseorang yang kebetulan sudah meng enal kedua orang Tumenggung itu.
a Tetapi kaw nnya tidak mau kalah. Katanya "Ya, memang yang ditengah itu. Aku
sudah pernah mengenal Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Tentu saja waktu itu Raden Tumenggung ilu masihmuda."
Namun seorang perempuan yang berdiri di dekat mer kapun menyah
e ut " Masih muda"
Bukankah yang masih muda itu isterinya" Raden Tumenggung sendiri baru menjalani
hukuman tiga lahun. Karena itu, sejak ia diasingkan, ia memang sudah tua."
Orang yang menyebut waktu itu Raden
Tumenggung masih muda itupun tidak mau kalah pula Iapun segera menjawab -
Maksudku masih kelihatan muda Jauh lebih muda meskipun umurnya hanya bert
a aut tig tahun sampai sekarang." Perempuan itupun tidak menyahut lagi. Ia lebih per
mem hatikan Raden Tumenggung Wreda
daripada omongan laki-laki ilu.
" Isterinya yang muda itu tentu akan senang sekali menyambut kehadirannya "
desis perempuan itu. Keberadaan Raden ng Wr Tumenggu eda Reksayuda di jalan ulama itu benar benar telah menarik perhatian. Apalagi Ki
Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna
sengaja memperlambat kuda mereka.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akulah yang letih. Aku sudah tua. Tetapi kenapa tiba-tiba aku merasa perjalanan
ini sangat lamban" " berkata Raden Tumenggung Reksayuda
" apakah Ki Tumenggung berdua sengaja membuat aku jadi tontonan di bumiku send
iri?" " Tidak, Raden. Maaf. Aku pikir Raden yang akan
rindu kampung halamannya itu ingin
memperhatikan keadaannya dengan saksama setelah tiga tahun tidak melihatnya"
"Marilah. Jangan biarkan aku jadi totonan disini."
"Iring-iringan itupun kemudian telah
mempercepat perjalanan mereka. Sambil
tersenyum Ki Tumenggung Reksabawa-pun berkata
" Bukan karena menjadi totonan orang. Tetapi acaknya semakin dekat kerinduan
Raden Tumenggung Wreda terhadap keluarganya justru semakin menyala"
" Ah " Raden Tumenggung itu berdesah.
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu telah berbelok memasuki jalan
yang langsung menuju ke depan rumah Raden Tumenggung.
" Raden " bertanya Ki Tumenggung Reksabawa
" Raden berniat pulang dahulu atau langsung menghadap Kangjeng Adipati ?"
" Aku akan pulang dahulu, Ki Tumenggung. Aku akan beristirahat. Besok aku akan
menghadap dimas Adipa i untuk mel
t aporkan bahwa aku sudah pulang. Seandainya aku akan diasingkan lagi, aku sudah berada di rumah
semalaman." " Kenapa diasingkan lagi, Raden?" bertanya Ki Reksabawa.
" Mungkin setelah dimas Adipati melihat ujudku, kemarahannya terungkit lagi?"
" Ah. Tentu tidak begitu. Jika Kangjeng Adipati maasih marah, Raden tentu tidak
akan diampuni." " Tetapi apa Ki Tumenggung tahu, kenapa dimas Adipati memutuskan untuk
mengampuni aku" Dan memberi aku kesempatan pulang
sebelum aku menyelesaikan hukumanku?"
" Berdasarkan perm n ohona dari Raden Ayu Reksayuda, Raden" " Kenap dipati baru m a dimas A endengarkan permohonan Miranti itu sekarang" Setelah isteri dimas Adipati itu meninggal?"
" Maksud Raden" " suara Ki Tumenggung
Reksayuda meninggi. " Aku tidak bermaksud apa-apa, Ki
Tumenggung. Aku hanya ingin mengungkapkan sebuah pertanyaan."
Terasa jantung Ki Tumenggung Reksabawa
berdebaran. Ia tahu arah pembicaraan Raden Tumenggung yang tua itu. Mungkin ia
mendengar pembicaraan di kedai
ehin itu, s gga memberikan sentuhan di hatinya. Sementara itu, Ki Tumenggung Jayataruna sama sekali tidak menyahut. Bahkan
seolah-olah ia tidak mendengar pembicaraan itu.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu sudah sampai di depan rcgol halaman
rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Keempat orang yang lainpun segera
meloncat turun sebelum mereka memasuki regol. Namun Raden
Tumenggung sendiri masih tetap saja duduk diatas punggung kudanya.
Ketika mereka memasuki halaman, mereka
melihat Raden Ayu Reksayuda sudah berada di pendapa. Dua orang Tumenggung atas
nama Kangjeng Adipati sudah berada di rumah itu pula menyambut kedatang an Raden
Tumenggung Reksayuda. Demikian Raden Tumenggung turun dari
kudanya, maka Raden Ayu Reksayuda segera berlari menyongsongnya. Dengan serta
merta Raden Ayu itupun mendekap Raden Tumenggung sambil menangis.
" Kangmas " suara Raden Ayu terdengar di
.sela-sela isaknya " sokurlah kangmas telah pula dengan selamat."
Raden Tumenggungpun mendekap isterinya
pula. Dengan nada berat iapun berkata " Yang Maha Agung masih mempertemukan
kita-diajeng." " Marilah kangmas. Kami menunggu sejak
matahari turun. Kedua utusan dimas Adipati ini juga sudah menunggu sejak lama
disini." Raden Tumenggung Wreda itupun menarik
nafas panjang. Bersama Raden Ayu Reksayuda keduanya melangkah ke tangga pen apa
d . " Selamat datang kembali di rumah Raden Tumenggung " berkata seorang diantara
kedua orang utusan Karigjeng Adipati yang menyambut kedatangan Raden Tumenggung
itu. " Terima kasih, Ki Tumenggung berdua. Marilah.
Naik-luli kembali. Sekarang akulah yang mempersilahkan Ki Tumenggung berdua
duduk di pringgitan."
Keduanyapun segera naik pula. Demikian pula Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki
Tumenggung Jayataruna serta kedua orang prajurit
pengawalnya. Demikian mereka duduk di pringgitan, maka Raden Tumenggung itupun bertanya "
Apakah anakku ada di rumah?"
" Ampun kangmas " jawab Raden Ayu " Kakang Tur menggung Jayataruna telah pergi
menjemputnya ke rumah paman Ajar Anggara di lereng gunung. Tetapi Angger
Jalawaja ' tidak bersedia turun."
Raden Tumenggung itupun kemudian berpaling kepada Ki Tumenggung Jayataruna
sambil bertanya " Benar begitu, Ki Tumenggung ?"
" Ya, Raden. Aku sendiri sudah datang menemui Raden Jalawaja. Aku sendiri sudah
memberitahukan bahwa hari ini Raden akan dijempat di tempat pengasingan. Bahkan
jika Raden Jalawaja bersedia aku persilahkan untuk ikut menjemput pula. Tetapi
Raden Jalawaja tidak bersedia."
Raden Tumenggung itu menarik nafas panjang.
Katanya " Kenapa anak itu mengeraskan hatinya sehingga pada saat-saat yang
penting seperti ini, hatinya masih saja sekeras batu."
" Hatinya memang keras, kangmas. Tetapi mungkin ada pula yang mengipasinya,
sehingga angger Jalawaja menjadi semakin jauh dari keluarganya."
" Siapa?" " Bag ana aim dengan paman Ajar Anggara?"
" Tidak. Aku mengenal bapa Ajar Anggara dengan baik. Ia orang yang hatinya
lembut. Aku kira ia tidak akan menghembuskan racun di hati cucunya."
" Mudah-mudahan dugaan kangmas itu benar.
Tetapi siapa tahu, isi hati seseorang."
" Bagaimana menurut pendapat Ki Tumenggung Jayataruna?"
" Segala sesuatunya dapat saja terjadi, Raden.
Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu, apakah Ki Ajar Anggara telah membuat hati
Raden Jalawaja semakin keras atau tidak."
" Sudahlah " berkata Raden Tumenggung - jika hari ini Jalawaja belum pulang,
mungkin besok atau lusa. Jika perlu, aku sendiri akan menjemputnya kelak ke
rumah bapa Ajar Anggara." Dalam pada itu, kedua orang utusan Kangjeng Adipati itupun berganti-ganti
menanyakan keadaan dan keselamatan Raden Tumenggung. Mereka juga menanyakan
kehidupan Raden Tumenggung di pengasingan.
" Di Pengasingan aku justru semakin mengenal diriku sendiri, Ki Tumenggung.
Akupun merasa semakin dekat dengan alam. Dengan Penciptanya dan dengan arti dari
hidupku. Tetapi memang ada semacam kerinduan yang setiap saat terasa semakin
dalam menghunjam di jantungku.
Kerinduan terhadap kampung halaman. Kerinduan terhadap bumi kelahiran " Raden
Tumenggung itupun berhenti sejenak. Lalu katanya pula "Karena itu aku berterima
kasih alas kesempatan yang diberikan kepadaku untuk pulang tanpa menunggu batas
waktu pengasinganku."
" Mudah-mudahan Raden Tumenggung dapat
segera menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi selama tiga tahun
terakhir di kadipaten ini " berkata salah seorang dari kedua orang utusan
Kangjeng Adipati itu. " Apakah ada perubahan yang berarti selama tiga tahun terakhir ini?"
" Tentu ada. Raden. M sk
e ipun tidak terlalu banyak." " Baik, Ki Tumenggung. Aku akan mencobanya menyesuaikan diriku dengan perubahan-
perubahan yang terjadi di kadipaten ini "
Sementara itu, seorang abdi di rumah itupun telah menghidangkan minuman hangat
serta makanan yang agaknya telah disiapkan oleh Raden Ayu Reksayuda.
Beberapa saat kemudian, ketika lampu-lampu sudah menyala, maka mereka yang
berada di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
itupun mohon diri. Kedua orang utusan Kangjeng Adipati'untuk menyambut
kedatangan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.atas namanya. Ki Tumenggung
Reksabawa, Ki Tumenggung Jayataruna serta kedua orang prajurit pengawal itu.
" Aku mengucapkan terima kasih kepada
semuanya, yang menaruh perhatian kepadaku "
berkata Raden Tumenggung kemudian.
Sepeninggal para Tumenggung yang
menjemputnya, yang datang menyambutnya serta para prajurit pengawal, maka
Ayupun Raden telah mempersilahkan Raden Tumenggung untuk masuk ke ruang dalam.
" Jika kangmas akan mandi, aku sudah
menyediakan air hangat, kangmas."
ku memang akan " Terima kasih diajeng. A
mandi, berganti pakaian, kemudian tidur. Aku merasa sangat letih. Seumurku
berkuda dari Pucang Kembar sampai ke Sendang Arum
ditempuh dalam sehari penuh."
angmas. Aku " Ya, k sudah menduga bahwa kangmas tentu sangat letih. Tetapi setelah membenahi pakaian, kangmas jangan
langsung tidur. Aku sudah menyediakan makan malam bagi kangmas.
Raden Tumenggung Reksayuda tersenyum.
Katanya " Terima kasih diajeng. Kau sa
ngat memperhatikan aku." " Aku sendiri yang masak kangmas. Bukan para abdi. Aku ingin kangmas benar-benar
menikmati hari ini. Hari pembcbasan kangmas Tumenggung."
Raden Tumenggungpun kemudian pergi ke
pakiwan. Raden Ayu Reksayuda telah menyediakan air hangat. Bahkan ditaburkannya
bunga di jambangan. Setelah mandi, tubuh Raden Tumenggung
Reksayuda terasa menjadi segar. Harumnya air bunga membuat tubuh Raden
Tumenggung yang tua itu, terasa kukuh kembali.
Setelah berganti pakaian, maka Raden
Tumenggung itupun telah duduk di ruang dalam.
Makan malampun telah disediakan pula.
" Silahkan kangmas."
Raden Tumenggung mengangguk-angguk. Ia
menjumpai beberapa macam lauk kesenangannya.
Pepes udang. Dendeng ragi. Telur pindang. Serta beberapa macam sayur yang sangat
pedas. " Aku justru menjadi bingung diajeng. Yang manakah yang harus aku makan lebih
dahulu. Tetapi agaknya aku akan mengalami kesulitan sekarang untuk makan dengan dendeng
ragi." " Dagingnya lunak sekali kangmas. Silahkan kangmas mencobanya."
Raden Tumenggung mengangguk-angguk.
Namun kemudian iapun bergumam " Kalau saja Jalawaja dapat makan bersamaku
sekarang." " Jika tidak ang sekar , mungkin esok atau lusa kangmas. Biarlah kita mengusahakannya. Lambat laun, hatinya tentu akan menjadi
lunak." " Apakah ia merasa malu karena ayahnya
seorang buangan ?" " Tentu tidak, kangmas. Semua orang tahu, bahwa kangmas diasingkan bukan karena
melakukan kejahatan. Tetapi karena perbedaan pendapat dengan Dimas Adipati."
" Beberapa orang lebih membenci pengkhianat daripada seorang penjahat."
" Kangmas bukan seorang pengkhianat.
Seharusnya dimas Adipati tidak mengambil tindakan yang terlalu keras. Bukankah
perbedaan pendapat itu mungkin saja terjadi ?"
" Apakah yang aku lakukan sekedar berbeda pendapat ?"
" Sudahlah kangmas. Silahkan makan. Aku akan ikut makan bersama kangmas
Tumenggung." Makan malam itu memang terasa nikmat sekali.
Di pengasingan, meskipun tidak pernah terlambat, namun yang dimakan oleh Raden
Tumenggung agak kurang memenuhi seleranya. Karena itu, maka Raden Tumenggung itu
tidak pernah merasakan nikmatnya orang makan.
Dengan demikian, maka ketika ia dihadapkan pada hidangan yang bahkan menjadi
kegemarannya, maka Raden Tumenggung itu benar-benar dapat menikmatinya. Apalagi
pada saat-saat ia.makan, Raden Tumenggung itu dilayani oleh isterinya sendiri,
yang sudah lama ditinggalkannya di pengasingan.
Setelah makan malam, maka Raden
Tumenggung sempat duduk-duduk sejenak di serambi rumahnya. Seperti seorang yang
asing, maka Raden Tumenggung itu sempat mengamati serambi itu. Beberapa perabot
yang ada di serambi itu masih juga perabot pada saat ditinggalkannya.
Namun perabot-perabot itu tetap tertata rapi, bersih dan terpelihara.
Sambil menarik nafas panjang, Raden
Tumenggung itu duduk menghadap ke pintu yang tertutup. Lampu minyak yang menyala
diatas ajug-ajug melemparkan cahayanya ke seluruh ruangan.
" Apa yang terjadi di rumah ini selama aku tinggalkan diajeng ?" bertanya Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda.
" Kesepian, kangmas. Rasa-rasanya semuanya membeku."
" Bukankah tidak ada orang ya
ng berniat jahat terhadapmu ?" " Tidak, kangmas. Meskipun rasa-rasanya aku memang agak terpencil dari
pergaulan, tetapi tidak ada yang berniat jahat atau menggangguku."
" Bagaimana dengan para abdi ?"
" Mereka tetap patuh. Mereka menjalankan kewajiban mereka dengan baik. Mereka
tetap berpengharapan bahwa mereka akan dapat
mengabdikan dirinya lagi kepada kangmas. Mereka percaya bahwa kakangmas akan
segera pulang." " Sokurlah. Di pengasingan aku lebih banyak memikirkan kau dan keluarga ini
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daripada memikirkan diriku sendiri."
" Semuanya baik-baik saja kangmas."
" Apakah selama ini Jalawaja tidak pernah pulang ?"
" Aku sudah mencoba untuk memanggilnya.
Yang terakhir pada saat dimas Adipati akan mengutus beberapa orang menjemput
kakangmas di pengasingan. Tetapi Jalawaja tidak pernah mau turun dari tempat
tinggalnya." " Baiklah. Biarlah pada kesempatan lain aku akan datang sendiri menemuinya. Aku
juga ingin bertemu dan berbicara dengan Ki Ajar Anggara.
Mudah-mud Ki Ajar Anggara b ahan ersedia menasehati Jalawaja sehingga Jalawaja mau barang sepekan tinggal bersama kita
disini." " Mudah-mudahan kangmas. Tetapi tentu
setelah kangmas Tumenggung beristirahat barang dua tiga hari."
" Ya. Setelah aku tidak merasa letih lagi.
Perjalanan kelereng bukit itu tentu juga perjalanan yang melelahkan."
" Ya, kangmas."
Raden Tumenggung itupun menarik nafas
panjang. Ia memang merasa aneh, bahwa tiba-tiba saja ia sudah berada di rumahnya
setelah beberapa tahun di tinggalkannya.
Keduanya masih berbincang beberapa saat sebelum kemudian Raden Tumenggung itupun
berkata " Aku akan beristirahat, diajeng. Aku memang tidak terbiasa tidur
sebelum wayah sepi uwong atau bahkan sampai hampir tengah malam.
Tetapi mungkin karena aku terlalu letih, sehingga rasa-rasanya pada saat-saat
menjelang wayah sepi bocah, aku sudah mengantuk. "
" Silahkan, kangmas. Aku akan
mijit kaki me kakangmas." Sesaat kemudian, Raden Tumenggung
Reksayuda itu sudah berbaring di dalam biliknya.
Namun tidak terlalu lama kemudian, maka Raden Tumenggung itu sudah tertidur
nyenyak. Raden Ayupun kemudian telah bangkit dan meninggalkan Raden Tumenggung setelah
diselimutinya dengan kain panjang.
Raden Ayu Reksayudapun kemudian telah
berada di alam, b ruang d ersama abdinya perempuan Raden A u membenahi mangkuk-
y mangkuk kotor serta sisa makan malam.
" Kalau kau lelah, biarlah besok saja kau cuci, nduk. Asal kau letakkan di
tempat yang mapan. "
" Baik, Raden Ayu. "
Abdi perempuan itupun kemudian membawa
mangkuk-mangkuk yang kotor itu ke dapur.
Meletakkannya di sebelah gentong yang berisi air, kemudian menutupinya dengan
bakul yang besar. Di dapur itu kadang-kadang seekor atau dua ekor kucing masuk lewat celah-celah
atap dan membuat mangkuk-mangkuk kotor itu berserakan. Bahkan pernah kucing yang
berkejaran dan berebut tulang memecahkan mangkuk-mangkuk yang kotor.
Raden Ayu Reksayuda masih juga sibuk
membersihkan ruang dalam. Menyapu lantai, mengumpulkan berbagai macam kotoran
disudut. Namun tiba-tiba saja Raden Ayu itu mendengar suara yang aneh di dalam bilik
Raden Tumenggung. Karena itu, maka iapun segera menarik tangan abdi perempuannya
sambil bertanya " Kau dengar suara itu" "
" Ya, Raden Ayu. "
Raden Ayupun kemudian berlari ke bilik.
Didorong pintu bilik yang tidak tertutup rapat itu.
Namun Raden Ayu itu terhenti di pintu. Tiba-tiba saja terdengar Raden Ayu
berteriak nyaring. Abdi perempuannyapun segera berlari pula.
Tetapi iapun berteriak pula keras-keras.
Pada saat yang bersamaan, terdengar pula derak pintu butulan yang dihentakkan.
Abdi yang lain, yang mendengar jerit di depan bilik utama di rumah itupun segera
berlari. Seorang abadi laki-laki dengan cepat telah sampai kepintu bilik itu
pula. Jantungnyapun bagai ber kan henti berdetak ketika ia melihat Raden Ayu Reksayuda
menelungkup diatas tubuh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang berlumuran darah.
Sebilah keris masih tertancap di dadanya. Namun agaknya Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda yang tua dan letih itu sudah meninggal.
Tangis Raden Ayulah yang terdengar
melengking memecah sepinya malam. Abdinya lakilaki dengan cepat berlari ke
longkangan. Dipukulnya kentongan yang ada di longkangan dengan irama titir. Isyarat bahwa
telah terjadi raja pati di rumah Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda. Beberapa saat kemudian, telah terjadi
kegemparan. Beberapa orangpun segera
berdatangan memasuki halaman rumah itu. Bahkan beberapa orang tua telah memasuki
ruang dalam rumah Raden Tumenggung Wreda itu dan
langsung pergi ke bilik. Seorang diantara merekapun berkata " Jangan sentuh. Jangan di pindahkan. Keris
itu biarlah tetap disitu. "
Tetapi Raden Ayu Reksayuda yang menangis, mengguncang-guncang tubuh Raden
Tumenggung yang sudah tidak bernafas lagi itu.
Beberapa orang prajurit berkuda yang sedang merondapun segera melarikan kudanya
menuju ke sumber suara kentongan dengan irama titir itu.
Prajurit-prajurit berkuda itulah yang kemudian menertibkan hiruk-pikuk yang
terjadi di rumah itu. Namun mereka juga tidak berani mempersilahkan RAden Ayu Reksayuda untuk keluar
dari biliknya. Seorang diantara prajurit berkuda itu telah melarikan kudanya untuk memberikan
laporan langsung ke kadipaten.
--ooo0dw0ooo-- Jilid 3 MALAM itu Sendang Arum telah dikejutkan oleh peristiwa yang sangat tidak diduga,
Hari itu Raden Tumenggung Wreda Reksayuda dijemput oleh dua orang Tumenggung dan
dua orang prajurit pengawal dari pengasingannya setelah mendapat pengampunan
dari Kangjeng Adipati Wirakusuma.
Namun demikian malam memasuki wayah sepi uwong, Raden Tumenggung Wreda itu telah
terbunuh di rumahnya yang sudah sekitar tiga tahun di tinggalkannya.
Laporan tentang terbunuhnya Raden
Tumenggung Wreda itupun segera telah sampai ke Kangjeng Adipati. Semula prajurit
yang bertugas memang agak ragu untuk membangunkan
Kangjeng Adipati. Tetapi agaknya Kangjeng Adipati telah mendengar suara kentonga
ir n dalam ama titir, sehingga Kangjeng Adipati itu telah keluar dari biliknya.
" Ada apa " " bertanya Kangjeng Adipati kepada prajurit yang bertugas di dalem
Kadipaten itu. " Ampun kangjeng. Ada seoran
rajurit yan g p g sedang meronda yang ingin meny
a amp ikan laporan tentang suara titir itu."
" Bawa prajurit itu kemari. "
Prajurit yang bertugas itupun segera memanggil prajurit yang sedang meronda yang
telah melihat sendiri apa yang telah terjadi di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
" Apa yang telah terjadi " " bertanya Kangjeng Adipati ketika prajurit itu
menghadap. Prajurit itupun segera melapoikan apa yang telah dilihatnya di rumah Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda.
" Kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda
terbunuh " " nada suara Kangjeng Adipati meninggi.
" Hamba Kangjeng Adipati. "
Kepada prajurit yang bertugas Kangjeng
Adipatipun memberikan perintah " Siapkan kudaku.
Siapkan pula pasukan pengawal. Aku akan pergi ke rumah Kangmas Tumenggung. "
Demikian prajurit itu keluar, maka Kangjeng Adipatipun segera berbenah diri di
biliknya. Namun demikian Kangjeng Adipati keluar dari biliknya, ia melihat Ririswari
berdiri di ruang dalam. " Aku mendengar apa yang telah terjadi, ayahanda. "
" Tidurlah. Belum tengah malam. "
" Ayahanda akan pergi " "
Aku akan melihat apa yang telah terjadi. "
Kangjeng Tumenggungpun segera beranjak ke pringgi-tan. Namun di pintu ia masih
berpesan " Tidurlah Riris. Kau tidak usah ikut memikirkan peristiwa yang terjadi ini. "
" Sesuatu itu telah terjadi ayahanda. "
Kangjeng Adipati tertegun sejenak. Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun keluar
lewat pintu pringgitan. Seorang pelayan dalam telah menutup pintu itu kembali dan menyelaraknya dari
dalam. Sementara itu, kuda Kangjeng Adipatipun telah siap di depan pendapa. Sekelompok
Neraka Kematian 2 Pendekar Rajawali Sakti 113 Pembalasan Iblis Sesat Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 32
Wreda dengan kekuasaan apapun juga. "
" Ampun Kangjeng Adipati. HamDa sama sekali tidak berniat untuk membidik jabatan
yang kosong itu. Hamba tahu diri, bahwa hamba bukan orang yang memiliki
kelebihan. Bahkan sekarang hamba mendapat anugerah kedudukan sebagai seorang
Tumenggung, hamba telah mengucap sokur. "
" Jika demikian, apakah karena perempuan itu "
Kakang tidak ingin bahwa suami perempuan muda yang cantik itu pulang. "
" Ampun Kangjeng. Jika itu yang hamba
inginkan, maka terkutuklah hamba. Hamba mempunyai seorang isteri yang setia,
yang bersedia hidup bersama, tetapi juga bersedia mati bersama. Dalam keadaan
apapun hamba tidak akan menghianati isteri hamba. "
" Jika demikian, lupakan saja kecemasan kakang itu, Biarlah besok aku nyalakan
didalam sidang, bahwa aku telah mengampunkan kakangmas
Tumenggung Wreda Reksayuda. Tentu saja
bersamaan dengan itu, aku akan memberkan perintah kepada Senapati pasukan sandi
agar dengan hati-hati selalu mengawasi kakangmas Tumenggung, terutama
hubungannya dengan orang yang tidak dikenal. "
Ki Tumenggung Reksabawa menundukkan
kepalanya. " Kakang Tumenggung. Aku terpaksa tidak dapat memenuhi keinginan kakang
Tumenggung. Bukan berarti bahwa aku tidak mau mendengarkan pendapat kakang Tumenggung.
Bukankah selama ini aku hampir tidak pernah menolak dan mengkesampingkan
pendapat kakang " Tetapi kali ini aku tidak dapat menerimanya, karena aku juga
harus mendengarkan pendapat banyak orang yang ternyata condong untuk menerima
kakangmas Tumenggung Wreda itu kembali ke Sendang Arum."
" Hamba mengerti, Kangjeng Adipati. "
" Kau jangan menjadi sakit hati. Kau harus menerima kenyataan dalam perbedaan
pendapat ini. " " Hamba mengerti, Kangjeng Adipati. Hamba sama sekali tidak menjadi sakit hati,
meskipun hamba mengakui, bahwa hamba menjadi cemas.
Tetapi mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu.
Hamba hanya melihat dengan mata perasaan hamba, bahwa sesuatu akan terjadi. "
" Jangan cemas. Kita harus percaya diri, bahwa kita sekarang cukup kuat untuk
menghadapi banyak persoalan yang mungkin akan dapat mengganggu ketenangan hidup
kita. " " Hamba Kangjeng Adipati " sahut Ki
Tumenggung Reksabawa yang kemudian mohon diri " ampun Kangjeng. Jika demikian
perkenankanlah hamba mengundurkan diri. "
" Silahkan, kakang. "
Ki Tumenggung Reksabawapun kemudian
meninggalkan serambi dalem Kadipaten.
Sepeninggal Ki Tumenggung, Kangjeng Adipati Wirakusuma duduk sendiri di serambi.
Pandangan matanya menerawang jauh menembus pintu yang terbuka, menusuk ke
panasnya sinar matahari di siang hari.
Kangjeng Adipati terkejut ketika ia mendengar suara lembut, yang rasa-rasanya
seperti suara Raden Ayu Wirakusuma yang telah meninggal "
Uwa Tumenggung Reksabawa benar. "
Kangjeng Adipati itupun segera bangkit. Ketika ia berpaling, maka yang
dilihatnya adalah anak perempuannya, Ririswari.
" Kau Riris " desis Kangjeng Adipati.
" Hamba ayahanda. Menurut pendapat hamba, apa yang dikatakan oleh Uwa Tumenggung
Reksabawa itu benar. "
Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang. Katanya " Riris. Sudahlah.
Sebaiknya kau tidak usah ikut memikirkan tata pemerintahan di Sendang A rum."
" Ayahanda. Dahulu, ketika ibunda masih ada, ayahanda selalu bersedia
mendengarkan pendapat ibunda meskipua kadang-kadang ayahanda tidak sependapat.
Sekarang, aku mohon ayahanda bersedia juga mendengarkan pendapatku."
" Kau masih terlalu muda untuk ikut berbicara tentang pemerintahan serta
kebijaksanaan yang aku ambil, Riris."
" Ayahanda " berkata Riris kemudian " seperti yang pernah aku katakan, menurut
pendapatku, bibi yang muda dan cantik itu tidak berbuat jujur.
Jika bibi memohon pengampunan bagi uwa
Tumenggung, itu hanya sekedar permainan yang belum kita ketahui maksudnya."
" Kau berprasangka Riris."
" Mungkin dengan memohon pengampunan itu, bibi mendapat kesempatan untuk dapat
menghadap ayahanda berkali-kali."
" Riris." " Bukankah bibi masih muda, cantik dan gelisah
?" " Kau memandangnya dari sisi yang lain dari sisi pandang Ki Tumenggung
Reksabawa." " Bagi bibi, apakah permohonannya dikabulkan atau tidak, sudah bukan masalah
lagi." " Sudahlah. Jangan kau turutkan hatimu yang masih muram sepeninggal ibumu.
Beristirahatlah." " Tetapi ayahanda, aku mohon ayahanda
memperhatikan rerasan para putri serta para istri Tumenggung di Sendang Aram.
Mereka menyebut bibi Reksayuda adalah seorang perempuan yang mendambakan derajad
dan semat. Seorang perempuan yang haus kekuasaan, pujian dan kekayaan."
" Jika sentuhan perasaanmu benar. Riris. Aku justru akan membiarkannya uwakmu
kakangmas Tumenggung Reksayuda berada di pengasingan."
" Uwa Tumenggung Reksayuda sudah tua. Ia tidak mempunyai banyak kesempatan lagi,
ayahanda." " Jika demikian, kau tidak perlu membenarkan pendapat Ki Tumenggung Reksabawa."
" Ada yang sama dengan pendapatku,
ayahanda." " Tidak. Jauh berbeda. Kakang Tumenggung Reksabawa memandang persoalan ini dari
sisi pemerintahan, kau memandangnya dari sisi kekecewaan seorang gadis yang baru
saja ditinggalkan oleh ibunya. Kepercayaanmu kepadaku goyah, Riris."
" Ayahanda. Pendapatku yang sama dengan pendapat uwa Tumenggung Reksabawa
adalah, bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang akan dapat mengguncang
ketenangan dan kedamaian di kadipaten Sendang Arum."
" Riris. Sebaiknya kau tenangkan hatimu.
Beristirahatlah. Tidak akan terjadi apa-apa di kadipaten ini."
Riris menarik nafas panjang. Namun gadis itupun kemudian meninggalkan
ayahandanya yang berdiri termangu-ma-ngu. Namun kangjeng Adipatipun kemudian
duduk kembali. Pandangan matanyapun kembali menerawang kekejauhan.
Di hari berikutnya, Kangjeng Adipati duduk di pendapa Agung kadipaten Sendang
Arum, dihadap oleh para pemimpin pemerintahan dan para pemimpin keprajuritan di
Sendang Arum. Para nayaka dan sentana.
Dalam pertemuan itu, Kangjeng Adipatipun berkata kepada semuanya yang hadir "
Para pemimpin di Sendang Arum, para sentana dan nayaka, aku, Adipati Sendang
Arum, yang memegang kekuasaan tunggal,. telah memutuskan, berdasarkan
pembicaraan diantara para pemimpin, nayaka dan sentana kadipaten Sendang Arum,
bahwa aku, Adipati Sendang Arum, telah
memberikan pengampunan kepada Raden
Tumenggung Reksayuda yang karena kesalahan yang telah dilakukannya, diasingkan
ke luar tlatah kekuasaan kadipaten Sendang Arum dan memilih untuk tinggal di
kadipaten Pucang Kembar selama lima tahun. Tetapi atas permohonan, atas
pertimbangan dan pendapat para pemimpin, para nayaka dan sentana, maka setelah
Raden Tumenggung Reksayuda menjalani hukuman
sekitar tiga tahun, maka aku, Adipati Sendang Arum telah menetapkan, bahwa Raden
Tumenggung Reksayuda tidak perlu menjalani sisa hukumannya. Karena itu, maka
sejak saat ini, Raden Tumenggung Reksayuda sudah dibebaskan dari hukuman
pengasingan itu." Semua yang hadir mendengarkan pernyataan Kangjeng Adipati Wirakusuma dengan
sungguh-sungguh. Tetapi mereka sama sekali tidak terkejut lagi, karena
persoalannya memang sudah
dibicarakan sebelumnya. Meskipun ada satu dua orang yang berpendapat lain,
tetapi sebagian terbesar dari para pemimpin, nayaka dan sentana tidak menaruh
keberatan atas pengampunan itu.
Namun dalam pada itu, demikian Kangjeng Adipati selesai dengan pernyataannya
itu, tangis Raden Ayu Reksayuda tidak tertahankan lagi.
Sambil menyembah, disela-sela isak tangisnya, Raden Ayu Reksayuda itupun berkata
patah-patah " Terima kasih. Terima kasih dimas Adipati.
Sebenarnyalah Dimas Adipati adalah seorang pemimpin yang berhati mulia. Dimas
sudah menunjukkan sifat kepemimpinan yang sejati dari seorang Adipati. Seorang
pemimpin yang adil yang memerintah dengan kasih. Yang Maha Agunglah yang akan
menilai, betapa Dimas Adipati benar-benar telah menjalankan tugas didunia ini
berdasarkan atas limpahan kuasa-Nya."
" Sudahlah, kangmbok. Yang aku lakukan sama sekali bukan karena kelebihanku
sebagai seorang titah yang kebetulan mendapat limpahan kuasa itu.
Keputusanku itu didasari dengan pembicaraan diantara para pemimpin di Sendang
Arum. Aku hanya mengambil kesimpulan dari pembicaran itu saja."
" Tetapi jika kesimpulan itu tidak berkenan di hati Dimas Adipati, maka Dimas
akan dapat mengambil keputusan yang lairi."
" Aku sudah menyatakan keputusan itu.
Selanjutnya terserah kepada kangmbok, kapan kangmbok akan menjemput kakangmas
Reksayuda. Biarlah Kakang Tumenggung
Reksabawa dan kakang Tumenggung Jayataruna membantu pelaksanaannya, sekaligus
menjadi wakilku, menghadap kangmas Tumenggung
Jayancgara di Pucang Kembar, menyampaikan keputusanku ini."
" Terima kasih, Dimas Adipati. Sebelumnya aku minta bantuan kakang Tumenggung
Jayataruna serta kakang Tumenggung Reksabawa, aku akan menghubungi puteraku,
Jalawaja. Jika saja Jalawaja bersedia ikut serta menjemput
ayahandanya." " Terserah saja kepada kangmbok Reksayuda "
sahut Kangjeng Adipati, Namun kemudian
Kangjeng Adipati itupun berkata kepada Ki Tumenggung Jayataruna dan Ki
Tumenggung Reksabawa " Aku minta kakang Tumenggung berdua membantu pelaksanaan
penjemputan kangmas Reksayuda."
" Hamba Kangjeng " jawab keduanya hampir bersamaan.
" Nah, tidak ada lagi persoalan yang akan aku bicarakan hari ini. Dalam
pertemuan ini, aku hanya ingin menyampaikan keputusanku tentang
pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda " lalu katanya kepada Ki
Tumenggung Reksabawa " kakang Tumenggung. Bubarkan pertemuan ini."
" Hamba Kangjeng."
Sejenak kemudian, maka para pemimpin,
nayaka dan sentana itupun meninggalkan pendapa agung kadipaten Sendang Arum.
Demikian pula Raden Ayu Reksayuda.
Sementara itu, Kangjeng Adipatipun segera masuk keruang dalam.
Kanjeng Adipati tertegun ketika ia melihat Riris duduk seorang diri di ruang
dalam itu. " Riris." " Disini biasanya ibunda menunggu ayahanda jika ayahanda menyelenggarakan
pasowanan seperti hari ini."
" Ya, Riris " jawab Kangjeng Adipati sambil duduk pula disebelah anak gadisnya.
" Kadang-kadang ibunda dengan niat yang baik, menyampaikan pendapatnya tentang
pembicaraan didalam pasowanan itu."
"Ya. Riris." "Kadang-kadang ayah berkenan. Tetapi kadang-kadang ayah tidak berkenan. Tetapi
ibunda tidak pernah menjadi kecewa pada saat-saat
pendapatnya tidak sesuai dengan kebijaksanaan ayahanda sebagai penguasa tunggal
di kadipaten ini." " Ya Riris. " " Tetapi ibunda belum pernah melihat bibi Reksayuda hadir di pasowanan seperti
tadi." " Kenapa dengan bibimu?"
" Aku tidak melihat kewajaran itu, ayah. Tetapi aku justru berpikiran lain. Yang
terjadi adalah sekedar solah tingkah bibi yang muda dan cantik itu. Tetapi sudah
aku katakan beberapa kali, bibi tidak jujur dengan sikapnya. "
" Kau masih dibayangi oleh perasaan curigamu itu, Riris. Tetapi kau akan melihat
kenyataan di hari hari mendatang."
Ririswari menarik nafas panjang. Katanya "Baik, ayahanda. Meskipun demikian aku
akan tetap berdoa, semoga tidak terjadi sesuatu'yang dapat mengguncang kedamaian
dikadipaten ini." Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti perasaan anak
gadisnya yang belum lama ditinggalkan oleh ibunya. Ia tidak ingin melihat
seorang perempuan lain yang mencoba merayap mengintai kedudukan ibundanya.
Tetapi pada saatnya gadis itu akan melihat, bahwa segala sesuatunya berlangsung
wajar. Keputusannya adalah keputusan se-orang Adipati. Bukan keputusan seorang
laki-laki yang jatuh kcdalam pengaruh seorang perempuan cantik.
Dalam pada itu, Raden Ayu Prawirayuda telah minta tolong kepada Ki Tumenggung
Jayataruna untuk pergi menjemput Jalawaja. Anak laki-laki Raden Tumenggung
Reksayuda. " Baiklah Raden Ayu. Besok aku akan
menghadap Ki Ajar Anggara untuk minta agar Raden Jalawaya diperkenankan turun
dari lereng gunung dan pergi menjemput ayahandanya dari pengasingan."
" Terima kasih, Ki Tumenggung. Pertolongan Ki Tumenggung tidak akan pernah aku
lupakan." " Bukankah wajar sekali jika kita saling menolong" "
" Ki Tumenggung sudah menolong aku. Juga didalam pembicaraan di pasowanan
sehingga para pemimpin, nayaka dan sentana "sebagian besar menyetujui
pengampunan terhadap kakangmas Tumenggung Reksayuda."
" Bukankah itu bukan apa-apa dibandingkan dengan kebaikan hati Raden Ayu" "
" Ah, jangan sebut itu kakang" Kebaikanku atau justru kebaikan kakang Tumenggung
yang semakin bertimbun. "
" Kita memang saling berbaik hati " desis Ki Tumenggung Jayataruna sambil
tertawa. Raden Ayu Reksayudapun tertawa tertahan.
Jari-jarinya yang lentik menutupi bibirnya yang mekar.
" Sudahlah Raden Ayu. "
" Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih, kakang. "
" Besok pagi-pagi aku akan pergi ke pondok di lereng gunung itu untuk menemui
Raden Jalawaja." Sebenarnyalah, dikeesokan harinya, Ki
Tumenggung Jayataruna telah memacu kudanya pergi ke sebuah pondok yang terasing
di lereng Gunung. Sebuah pondok yang dihuni oleh Ki Ajar Anggara. Seorang yang
telah menyisih dari kehidupan ramai, menyendiri dalam kehidupan yang sepi.
Sepeninggal anaknya perempuan, istri Raden Tumenggung Reksayuda, Ki Ajar Anggara
merasa lebih tenang berada di keasingan. Meskipun Ki Ajar Anggara tidak
memutuskan hubungannya dengan kehidupan masyarakat di padukuhan di lereng gunung
itu, namun Ki Ajar memang lebih banyak menyatu dengan keheningan di lambung
gunung. Apalagi setelah Raden Tumenggung Reksayuda menikah lagi dengan seorang perempuan
yang masih muda dan cantik. Maka Ki Ajar menjadi semakin terpisah dari keramaian
duniawi. Namun tiba-tiba saja cucunya, putera Raden Tumenggung Reksayuda datang kepadanya
serta memohon untuk dapat tinggal bersama eyangnya yang terasing itu.
Ketika Raden Jalawaja datang kepadanya, Ki Ajar mencoba untuk mencegahnya agar
cucunya itu tetap berada di lingkungan yang memberinya tawaran yang lebih baik
bagi masa depannya. Tetapi cucunya merasa lebih mantap tinggal bersama eyangnya, di lambung gunung.
" Kau tidak berteman disini Jalawaja " berkata eyangnya.
" Dalam keadaanku sekarang eyang. Aku lebih senang berteman sepi. "
" Kau masih muda, Jalawaja. Hari-harimu masih panjang. Seharusnya kau mulai
menganyam landasan buat masa depanmu. "
" Aku akan hidup disini, eyang. Aku berjanji untuk rajin pergi ke sawah. Mencari
rumput buat binatang peliharaan eyang atau
menggembalakannya. Aku berjanji untuk berbuat apa saja yang eyang perintahkan. "
Ki Ajar Anggara tidak dapat menolak
keberadaan Jalawaja di pondoknya. Agaknya hubungan Jalawaja dengan ayahandanya
agak kurang baik sepeninggal ibunya. Apalagi ketika ayahandanya berniat untuk
menikah lagi.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Biarlah untuk sementara Jalawaja ada disini "
berkata Ki Ajar Anggara kepada diri sendiri "
mungkin setelah satu dua bulan lewat, hatinya akan dapat menemukan
keseimbangannya kembali, sehingga anak itu bersedia pulang ke rumah ayahandanya.
" Tetapi Jalawaja tetap pada pendiriannya. Ia ingin tinggal bersama kakeknya.
Apalagi setelah ayahandanya dianggap bersalah dan diasingkan keluar tlatah
kadipaten Sendang Arum. Jalawaja seakan-akan menjadi semakin mapan tinggal
bersama kakeknya, Ki Ajar Anggara.
" Tetapi keberadaanmu disini harus ada
manfaatnya Jalawaja " berkata kakeknya kepada cucunya setelah cucunya beberapa
lama berada di pondoknya.
" Apapun yang eyang perintahkan"jawab
Jalawaja. " Aku tetap berharap bahwa pada suatu saat kau akan kembali ke Sendang Arum. "
" Terlebih-lebih sekarang eyang. Ayahanda adalah orang buangan meskipun ayah
masih mempunyai hubungan darah dengan paman
Adipati di Sendang Arum. "
" Yang dianggap bersalah adalah ayahmu, Jalawaja. Bukan kau. "
" Tetapi orang-orang Sendang Arum
memandang aku, putera Tumenggung Wreda
Reksayuda sebagai anak orang buangan yang tidak mempunyai ani apa-apa lagi.
Biarlah aku mencari arti hidupku disini, eyang. Jika aku dapat meningkatkan
hasil panenan padi, jagung dan palawija dari lahan yang sama, maka aku telah
menemukan ani dalam hidupku. Bila aku dapat melipatkan hasil pategalan atau
menemukan jenis-jenis tanaman buah-buahan yang lebih baik dari yang ada, maka
di-situlah letak arti dari hidupku.
Peningkatan hasil panenan akan dapat memberikan kesejahteraan yang lebih tinggi
pada orang-orang padukuhan yang mau bekerja keras serta
berusaha. " Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk sambil menjawab " Baiklah Jalawaja. Aku akan
ikut berusaha dan bekerja keras. Tetapi disamping itu, ada ilmuku yang ingin aku
wariskan kepadamu. "
" Ilmu apa yang eyang maksudkan" "
" Ilmu kanuragan. "
" Ilmu kanuragan " Jalawaja mengulang.
" Ya. Ilmu kanuragan. "
Jalawaja menarik nafas panjang. Iapun
kemudian mengangguk sambil menjawab " Apapun yang eyang perintahkan, aku akan
menjalaninya. " Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk. Katanya "
Bagus. Sejak hari ini, kau akan memperdalam ilmu olah kanuragan. Aku tahu bahwa
kau sudah memiliki dasar-dasamya. Sekarang, kau harus lebih mendalaminya. "
Jalawaja tidak ingkar. Bahkan semakin lama,
semakin ternyata pada kakeknya, bahwa Jalawaja adalah seorang anak muda yang
cerdas dan tangkas. Dengan cepat ia menerima dan
memahami hal-hal yang baru didalam olah kanuragan. Sementara itu unsur
kewadagannyapun sangat mendukung. Kesungguhannya dan
kesediaan bekerja keras membuat ilmunya dengan cepat maju.
Jalawaja tidak pernah mengelakkan waktu-waktunya berlatih dengan keras di
sanggar terbuka di padang yang agak luas di lambung bukit. Di udara yang kadang-
kadang terasa dingin, dengan tidak mengenakan
baju, Jalawaja menempa diri. Dengan alat-alat yang sederhana, Jalawaja meningkatkan kepekaan nalurinya. Namun dengan beban yang semakin hari semakin berat, Jalawaja sedikit demi sedikit meningkatkan kekuatan dan tenaganya.
Disamping itu dengan pemusatan nalar dan budinya, Jalawaja meningkatkan tenaga
dalamnya serta daya tahan tubuhnya.
Kakeknya yang sudah tua itupun dengan tekun membimbingnya. Kadang-kadang
Jalawaja harus berlatih dengan beban yang digantungkan pada tangan dan kakinya.
Kadang-kadangnya dalam latihan-latihan keseimbangan yang berat, Jalawaja menapak
pada palang-palang bambu dan kayu.
Bahkan sambil mengusung beban yang cukup berat.
Disaat-saat lain, Jalawaja harus tenggelam dalam latihan-latihan olah tubuh,
agar tubuhnya menjadi semakin lentur. Sehingga tubuh Jalawaja itu seolah-olah
dapat digerakkan sesuai dengan kemauannya.
Meskipun demikian, bukan berarti bahwa
Jalawaja telah kehilangan seluruh waktunya untuk membajakan diri. Ia masih juga
pergi ke sawah. Bukan sekedar mengerjakan apa yang sudah terbiasa dilakukan oleh para petani.
Namun Jalawaja dengan beberapa orang anak muda dari padukuhan terdekat, mencoba
untuk meningkatkan hasil sawah mereka.
Tetapi kadang-kadang Jalawaja merasa kecewa, bahwa anak-anak muda itu tidak
berpandangan jauh sebagaimana dirinya. Meskipun demikian, Jalawaja dapat
menghargai kesediaan mereka untuk bekerja keras.
Dari hari ke hari, Jalawaja memanfaatkan waktu sepenuhnya. Seakan-akan tidak ada
waktu tertuang baginya. Jika ia tidak berada di sanggar, maka ia berada di sawah
atau pate-galan. Baru setelah senja turun, ia berada di sumur untuk menimba air,
mengrsi jambangan, kemudian mandi.
Namun ada saatnya dimalam hari, Jalawajapun berada di sanggar tertutup bersama
kakeknya, Ki Ajar Anggara.
Dengan demikian, maka setelah beberapa lama Jalawaja berada di rumah kakeknya,
maka kulitnyapun menjadi bertambah gelap oleh terik matahari. Tubuhnya menjadi
semakin ramping. Namun matanya menjadi semakin bercahaya.
Langkahnya menjadi ringan dan geraknya menjadi semakin cekatan.
Ketika Ki Tumenggung Jayataruna pergi kr lereng bukit memenuhi permintaan Raden
Ayu Reksayuda untuk memanggil Jalawaja pulang, Jalawaja dan kakeknya sedang
tidak ada di pondoknya. Seorang anak laki-laki remaja yang lewat sambil menggiring dua ekor kambing
memberi tahukan bahwa Ki Ajar Anggara berada di sebelah gumuk kecil di lambung
bukit itu. " Kakang Jalawaja sedang berlatih ?" berkata gembala itu.
" Berlatih apa" " bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.
" Olah kanuragan "jawab gembala itu.
" Terima kasih "
Ki Tumenggung Jayatarunapun kemudian telah meloncat ke punggung kudanya pula.
Berjalan menyusuri jalan setapak menuju ke sebelah gumuk kecil.
Kuda Ki Tumenggungpun kemudian berjalan diantara bebatuan yang berserakkan.
Batu-batu sebesar kuda itu sendiri.
Terasa denyut jantung Ki Tumenggung menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya ia
berada di satu lingkungan yang pernah dikenalnya dalam mimpi.
Di seberang padang perdu yang dipenuhi
dengan bebatuan yang besar-besar itu terdapat hutan yang lebat membelit lambung
gunung. Beberapa saat kemudian Ki Tumenggung itu melihat dikejauhan bayangan yang
bergerak-gerak di antara bebatuan. Berloncatan dengan
tangkasnya, melenting dan berputar di udara.
Dengan kedua kakinya, bayangan itu hinggap dengan lunak diatas batu yang besar.
Namun kemudian bayangan itu telah melenting lagi dengan cepatnya.
Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas
panjang. Ia sadar, bahwa yang sedang melakukan gerakan-gerakan yang mengagumkan
itu adalah Raden Jalawaja, putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Tidak jauh dari tempat berlatih Raden Jalawaja, Ki Tumenggung melihat seorang
tua duduk di atas sebuah batu. Rambutnya yang terjurai dibawah ikat kepalanya,
nampak sudah memutih. Demikian pula kumis dan janggutnya yang dipotong pendek.
Demikian Ki Ajar Anggara melihat Ki
Tumenggung Jayataruna, maka iapun segera meloncat turun.
" Ki Tumenggung Jayataruna " Ki Ajar itupun menyapanya.
" Ya, Ki Ajar " sahut Ki Jayataruna sambil tersenyum.
" Selamat datang di tempat yang sunyi ini, Ki Tumenggung" .
" Terima kasih, Ki Ajar. "
" Marilah, aku persilahkan Ki Tumenggung singgah di pondokku di sebelah gumuk
kecil ini. " " Aku sudah dari sana, Ki Ajar. "
" Tetapi aku dan Jalawaja ada disini. Nah, sekarang marilah, aku akan pulang.
Demikian pula Jalawaja. Aku akan mengajaknya pulang. "
" Tetapi biarlah Raden Jalawaja menyelesaikan latihannya hari ini. Aku senang
melihatnya. Tubuhnya menjadi seringan kapuk, sehingga seakan-akan begitu mudahnya
dihanyutkan angin. Geraknya cepat cekatan, sedangkan keseimbangannya sangat mapan. Meskipun Raden
Jalawaja berloncatan dan berputar diudara, namun demikian kakinya menyentuh
sebuah batu, rasa-rasanya kaki itupun segera melekat dan bahkan menghunjam ke
dalamnya. " " Ki Tumenggung pandai membesarkan hatiku dan tentu hati Jalawaja jika ia
mendengarnya. Tetapi sebenarnyalah bahwa Jalawaja masih baru mulai. Segala sesuatunya masih
belum mencapai batas kemapanan. Yang dikuasainya barulah dasar-dasar dari olah
kanuragan. " Jika apa yang seperti dilakukan oleh Raden Jalawaja itu baru mulai, sedangkan
yang dikuasainya baru dasar-dasarnya saja, lalu betapa dahsyatnya jika nanti
pada suatu saat Raden Jalawaja itu tuntas dalam olah kanuragan. Aku tidak dapat
membayangkan, apa saja yang dapat dilakukannya."
Ki Ajar Anggara tersenyum. Katanya " Terima kasih atas pujian itu, Ki
Tumenggung. Namun kami mohon restu, mudah-mudahan Jalawaja benar-benar dapat
menguasai lan-dasan bagi kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun disamping itu, akupun berharap bahwa
perkembangan jiwanya-pun tetap seimbang, sehingga kemajuannya dalam olah
kanuragan akan berarti bagi sesamanya. "
" Ya, Ki Ajar. Tetapi jika Raden Jalawaja tetap, saja berada di tempat terpencil
ini, maka arti dari penguasaan ilmunya tidak akan terlalu banyak. "
" Aku berharap, bahwa pada suatu saat ia akan kembali memasuki kehidupan dunia
ramai. "- Ki Tumenggung Jayataruna itupun mengangguk-angguk.
Sementara itu, Ki Ajarpun segera bertepuk tangan, memberikan aba-aba agar
Jalawaja menghentikan latihannya.
Sejenak kemudian, maka tata gerak
Jalawajapun menjadi semakin lamban. Kemudian diletakannya seluruh tenaganya dan
dilepasnya nafas-nafas panjang. Kedua belah tangannya-pun kemudian perlahan-
lahan turun disisi tubuhnya.
" Jalawaja. Kemarilah, wayah " panggil
kakeknya. Jalawaja mengusap keringat di keningnya dengan lengannya. Ketika ia
kemudian melangkah mendekati ayahnya, dilihatnya Ki Tumenggung Jayataruna
berdiri di sebelah ayahnya sambil memegangi kendali kudanya.
" Paman Tumenggung Jayataruna "
" Ya, Raden. " " Selamat datang di lambung gunung ini, paman. "
" Terima kasih, Raden. Beruntunglah aku, bahwa aku sempat menyaksikan angger
berlatih. Ternyata angger adalah seorang anak muda yang mumpuni dalam olah kanuragan. "
" Paman memujiku. Tetapi pujian paman
membuat aku merasa semakin kecil. Aku baru mulai paman. Belum apa-apa.
" Aku sudah mengatakan tadi kepada Ki Ajar Anggara. " Jika permulaannya saja
sudah seperti itu, aku tidak dapat membayangkan, apa jadinya nanti setelah Raden
Jalawaja matang dalam ilmunya itu. "
" Paman menyanjung aku terlalu tinggi. Jika nanti paman lepaskan, aku akan jatuh
terjerembab di bebatuan. "
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya "
Aku tidak sekedar menyanjung, Raden. Nah, katakan siapakah kawan-kawan Raden
yang sebaya, yang mampu mengimbangi kemampuan Raden. "
" Tentu ada paman. Hanya saja aku belum dapat menyebutkan. "
Merekapun tertawa. Demikian pula Ki Ajar Anggara yang kemudian berkata " Nah,
marilah Ki Tumenggung. Singgah di gubukku. Gubug yang tidak lebih baik dari
sebuah kandang di rumah para sentana dan nayaka di Sendang Arum.
" Ki Ajar selalu merendahkan diri. Nampaknya sikap itu berpengaruh juga pada
Raden Jalawaja. " " Bukan merendahkan diri, Ki Tumenggung.
Tetapi itulah keadaan kami yang sebenarnya disini.
"- Mereka bertigapun kemudian berjalan beriringan di jalan setapak menuju ke pondok
Ki Ajar Anggara. Ki Ajar berjalan di paling depan.
Kemudian Ki Tumenggung menuntun kudanya. Di paling belakang adalah Jalawaja yang
tubuhnya masih basah oleh keringat.
Sejenak kemudian, maka merekapun telah
duduk di serambi depan rumah Ki Ajar Anggara.
Rumah yang nampaknya sederhana. Tetapi
demikian mereka duduk di serambi, Ki
Tumenggung Jayatarunapun berdesis " Alangkah sejuknya, Ki Ajar. Rasa-rasanya aku
segan pulang. Rumahku di sendang Arum terasa panas dan bahkan kadang-kadang udara yang panas
itu terasa lembab. Angin yang bertiup tidak membuat tubuh menjadi sejuk. Tetapi
rasa-rasanya angin itu mengandung uap air yang panas. "
" Bukankah di ruman paman ada beberapa
batang pohon yang besar yang dapat melindungi halaman rumah paman dari teriknya
panas matahari"- " Ya. Tetapi pepohonan itu tidak dapat membuat udara di halaman rumahku sesejuk
udara di halaman rumah ini.-
" Kita berada di kaki sebuah pegunungan, Ki Tumenggung sahut Ki Ajar Anggara -
itulah agaknya yang membuat udara di lingkungan ini lebih sejuk."
" Ya, ya, Ki Ajar " Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, Ki Ajarpun kemudian berkata kepada Jalawaja - Ngger. Pamanmu
Tumenggung Jayataruna datang untuk menemuimu. Mungkin ada hal-hal yang penting
yang akan dikatakannya kepadamu, tetapi mungkin juga kepada kita berdua."
Jalawaja mengangguk kecil sambil berdesis -
Apakah ada pesan dari paman Adipati" Atau barangkali paman Tumenggung mendapat
perintah untuk menangkap aku karena aku anak seorang pemberontak yang'sudah
dibuang keluar tlatah Sendang Arum?"
" Jangan berprasangka begitu, Raden - sahut Ki Tumenggung Jayataruna dengan nada
berat. " Kau jangan merajuk seperti itu, Jalawaja -
berkata Ki Ajar Anggara kemudian - seharusnya apapun yang telah terjadi, kau
jangan memandang dunia ini begitu buramnya."
" Maaf, eyang. Aku tidak bermaksud
berprasangka buruk. Aku hanya tidak dapat mengingkari tekanan perasaan yang
seakan datang beruntun, sehingga warna sisi pandangku menjadi buram - Jalawaja
berhenti sejenak, lalu katanya kepada Ki Tumenggung Jayataruna -Aku minta maaf
paman." " Sudahlah Raden. Barangkali lebih baik segera menyampaikan pesan kepada Raden
Jalawaja." " Silahkan paman."
" Kedatanganku kemari sebenarnyalah bukan atas perintah Kangjeng Adipati di
Sendang Arum." Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk,
sementara Raden Jalawaja mendengarkannya dengan seksama.
" Tetapi aku datang menemui Raden Jalawaja karena aku diutus oleh Raden Ayu
Reksayuda." " Raden Ayu Reksayuda " " ulang Ki Ajar Anggara.
" Ya, Ki Ajar."
" Miranti maksud paman - sahut Jalawaja.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ya. Tetapi bukankah sekarang aku harus menyebutnya Raden Ayu Reksayuda"-
" Ya. Silahkan paman " nada suara Jalawaja mulai meninggi paman diutus apa?"
" Raden Jalawaja dipersilahkan pulang "
" Pulang ?" " Ya, Raden " " Pulang ke Katumenggungan ?"
" Ya, Raden. Raden Ayu Reksayuda minta agar Raden Jalawaja bersedia untuk
pulang." Raden Jalawaja menarik nafas panjang. Namun kemudian sambil menggeleng ia
berkata " Tidak, paman. Aku tidak akan pulang."
" Jalawaja " Ki Ajarpun kemudian menyela
"mungkin ada hal yang penting yang akan dibicarakan oleh ibumu."
" Eyang . Aku sudah berjanji, bahwa aku tidak akan pulang. Aku akan tinggal
disini, karena hidupku akan lebih berarti dari pada aku berada di
Katumenggungan. Disini aku dapat bekerja keras bersama anak-anak muda di
padukuhan sebelah untuk meningkatkan hasil sawah dan pategalan.
Membuat parit-parit baru untuk mengairi sawah tadah udan, sementara di bagian
lain di lereng bukit ini airnya melimpah. Memperbaiki jalur-jalur jalan yang
menghubungkan padukuhan-padukuhan dengan lingkungan yang lebih luas. Membuat
jembatan-jembatan bambu yang sederhana tetapi memenuhi kebutuhan. Sedangkan
kalau aku berada di Katumenggungan, apa yang dapat aku kerjakan disini" Duduk-
duduk, merenung makan dan minum , tidur dan apalagi ?"
" Raden " berkata Ki Tumenggung Jayataruna kemudian " memang ada hal yang
penting yang harus aku sampaikan kepada Raden, kenapa Raden Ayu Reksayuda
memanggil Raden." Jalawaja memandang Ki Tumenggung
Jayataruna dengan kerut di dahinya.
" Raden. Dalam waktu dekat. Mungkin pekan ini, ayahanda Raden Jalawaja, Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda akan di jemput dari
pengasingan." " Ayahanda akan dijemput ?"
" Ya." " Untuk apa" Apakah ayahanda harus menjalani hukuman yang lebih berat di Sendang
Arum?" " Tidak, tidak, Raden. Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah mendapatkan
pengampunan setelah menjalani hukuman sekitar tiga tahun dan hukuman yang
seharusnya dijalani selama lima tahun."
Raden Jalawaja termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian anak muda itu menggeleng sambil menjawab -Paman. Aku sudah
berjanji bahwa aku tidak akan pulang lagi, apapun alasannya."
" Ngger" sahut Ki Ajar Anggara " aku tahu bahwa kau merasa lebih kerasan disini
daripada di Katumenggungan. Aku juga tidak berkeberatan kau tinggal disini.
Tetapi bukan berarti bahwa kau tidak akan pulang untuk keperluan-keperluan yang
penting. Wayah. Bahwa ayahandamu
diperkenankan pulang sebelum menjalani masa hukumannya sampai habis, adalah satu
hal yang sangat penting didalam perjalanan hidupnya.
Setelah pulang, ayahandamu akan dapat menjalani satu kehidupan yang wajar
bersama ibumu. " " Maaf eyang. Tetapi aku tidak dapat pulang.
Aku sudah berjanji bahwa aku tidak akan pulang selama Miranti masih berada di
Katumenggungan." " Kenapa Raden. Ibunda Raden Jalawaja
mengharap angger pulang. Ayahanda Raden Tumenggung Wreda Reksayuda akan sangat
berbahagia jika Raden Jalawaja bersedia ikut menjemput ayahanda dari
pengasingannya di Pucang Kembar.
" Tidak. Aku tidak akan pulang. "
" Jika Raden tidak ingin ikut menjemput ayahanda Raden di pengasingan, Raden
dapat menunggunya di Dalem Katumenggungan bersama ibunda. Jika ayahanda Raden
melihat Raden berada di Dalem Katumenggungan dan menunggu kehadirannya bersama
ibunda, maka ayahanda tentu akan
bergembira sekali. " " Sudahlah paman. Aku sudah memutuskan untuk tidak pulang. Biarlah para petugas menjemput ayahanda ke Pucang Kembar. Dan biarlah Rara Miranti menunggu kedatangan ayah itu di Dalem Katumenggungan, karena bagi ayahanda, keluarga
satu-satunya tinggallah Rara Miranti. "
Jalawaja " berkata Ki Ajar Anggara " sebaiknya kau pulang ngger. Kau akan dapat
membuat ayahandamu melupakan masa-masa pahit yang pernah dijalaninya di
pengasingan. " " Aku sudah tidak dihitung lagi oleh ayahanda, eyang. Aku sudah berada di luar
bingkai kasih-sayangnya. Aku bagi ayahanda adalah anak yang tidak patuh dan
karena itu tidak pantas untuk tetap berada di lingkungan keluarganya.
" Keadaan tentu sudah berubah, Raden "
berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
" Tidak. Selama Miranti masih berada di Dalem Katumenggungan keadaan tidak akan
berubah. Selama itu pula aku tidak'akan memberikan arti apa-apa bagi ayahanda. Karena
itu, maka aku tidak merasa perlu untuk pulang serta menjemput ayahanda di
pengasingannya. " " Wayah " berkata Ki Ajar Anggara " pulanglah ngger. Ayahmu akan dapat menjadi
salah paham. Dikiranya akulah yang mengajarimu untuk tidak mengasihinya lagi. Kau tahu, bahwa
ibumu yang sudah meninggal itu adalah anakku. Ayahandamu dapat menduga, bahwa
karena ayahandamu menikah lagi dengan seorang perempuan yang lain, aku tidak merelakannya dan
membujukmu untuk meninggalkannya. "
" Tidak, eyang. Eyang tahu, kenapa aku pergi meninggalkan ayahanda pada waktu
itu. " " Sekarang semuanya tentu akan berubah.
Setelah ayahandamu menjalani hukuman selama kurang lebih tiga tahun dari hukuman
yang seharusnya lima tahun itu. "
" Bukankah eyang tahu bahwa persoalannya tidak banyak berhubungan dengan masa
hukuman yang harus ayahanda jalani" "
" Lupakan persoalan pribadimu dengan
ayahandamu itu, Jalawaja. "
" Tidak, eyang. Aku tidak akan dapat
mengkesam-pingkannya. "
" Jangan mengeraskan hatimu seperti itu Jalawaja. "
" Maaf eyang. Kali ini aku tidak dapat memenuhi keinginan eyang. Mungkin hal ini
adalah satu-satunya keingkaranku terhadap janjiku untuk mematuhi segala petunjuk
nasehat dan perintah eyang. "
" Raden. Apakah sebenarnya yang menghalangi angger untuk pulang. Apalagi
menanggapi persoalan yang amat penting ini. "
" Paman. Sebenarnya aku tidak ingin
mengatakan kepada paman, karena persoalannya adalah persoalan yang sangat
pribadi. Tetapi biarlah paman mengetahui, kenapa hatiku menjadi sekeras batu
hitam di lereng gunung itu. "
" Apakah itu perlu ngger" "
" Biarlah eyang. Biarlah paman Jayataruna tidak menganggapku sebagai anak yang
durhaka yang tidak mengasihi ayahandanya yang menjadi lantaran kelahiranku di
dunia ini. " Ki Ajar Anggara hanya dapat menarik nafas panjang.
" Paman. Pada waktu itu, ayahanda telah memanggilku menghadap " Jalawajapun
mulai dengan ceritanya untuk meyakinkan Ki
Tumenggung Jayataruna, bahwa ia mempunyai alasan untuk menolak panggilan ibu
tirinya. Menjelang tengah hari, Jalawaja telah
menghadap ayahandanya. Namun Jalawaja itu terkejut ketika ia melihat seorang
perempuan duduk bersama ayahandanya di ruang dalam.
" Miranti " desis Jalawaja.
" Jalawaja " polong ayahandanya " kenapa kau sebut saja namanya" Kau harus
menghormatinya. Perempuan itu adalah bakal ibumu. "
" Ibuku" Maksud ayahanda" "
" Duduklah ngger " berkata perempuan itu " kau tentu belum mengetahuinya, bahwa aku memang calon
ibumu. " " Ayah " suara Jalawaja bergetar " jadi ayah akan menikah lagi" "
" Ya, Jalawaja. Dan perempuan inilah calon ibumu itu. "
" Jadi ayah akan menikah dengan Miranti" "
" Jangan sebut namanya saja. Panggil
perempuan itu ibu. Ia akan menjadi ibumu. "
" Aku sudah terbiasa memanggil namanya
ayah." " Kau kenal dengan calon ibumu."
" Sudah ayah. Itulah sebabnya aku hanya menyebut namanya."
" Jika demikian, sejak sekarang kau harus belajar memanggilnya ibu. Jangan
panggil namanya saja."
" Biarlah kangmas. Angger Jalawaja tentu tidak dapat merubah kebiasaannya dengan
serta-merta. Tetapi lambat laun ia akan terbiasa memanggilku ibu."
" Tidak. Aku tidak akan pernah melakukannya."
" Jalawaja." " Ayah. Apakah ayah sudah berpikir masak untuk menikah lagi dengan perempuan itu
?" " Sudah, Jalawaja. Aku sudah berpikir berulang kali."
" Jadi kehadiran ibunda di Katumenggungan ini tidak lebih dari semilir angin
yang bertiup. Terdapat sedikit kesejukan di hati ayahanda pada waktu itu.
Tetapi setelah angin itu lewat, maka ayahanda telah melupakannya."
" Tidak, Jalawaja, Aku tidak pernah
melupakannya. Tetapi aku tidak dapat ingkar dari kenyataan, bahwa ibun-damu
telah meninggal. Ia tidak akan pernah dapat hadir lagi di rumah ini.
Aku tidak akan pernah dapat berbicara lagi dengan ibundamu."
" Itukah batas kesetiaan ayahanda ?"
" Aku setia- sampai batas hidupnya. Yang Maha Agunglah yang telah memisahkan
kami." " Batas kasih itu menurut ayahanda adalah akhir dari sebuah kebersamaan "
Setelah ibunda tidak lagi bersama ayahanda, maka kasih dan kesetiaan itupun
tidak lagi mengikat."
" Sudah aku katakan, Jalawaja. Aku tidak pernah melupakan ibumu."
" Kangmas " terdengar suara lembut Rara Miranti. Sambil mengusap matanya yang
basah Rara Miranti itupun berkata - Aku menjadi sangat terharu mendengar sikap
Angger Jalawaja. Hatinya yang terbuka memungkinkan aku melihat tembus
kedalamnya. Angger Jalawaja adalah seorang anak muda yang sangat mengisihi
ibundanya. Iapun seorang anak muda yang setia. Kangmas aku dapat mengerti
perasaannya." " Terima kasih, diajeng, jika kau dapat mengerti perasaan anakku."
" Ayahanda: Ayahanda melihat air mata itu ?"
" Ya, Jalawaja. Ia mengerti perasaanmu.
Sebagai seorang perempuan iapun menghargai kesetiaan."
Gigi Jalawaja terkatup rapat. Tetapi ia berkata didalam hatinya " Air mata itu
adalah air mata buaya. Betapa pandainya ia memainkan
peranannya." Dalam pada itu, Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda itupun berkata " Jalawaja. Ada hal lain yang perlu kau perhatikan.
Jika aku kemudian menikah dengan calon ibumu itu, bukan hanya karena
kecantikannya. Tetapi ternyata ibumu dapat mengerti gejolak perasaanku
menanggapi sikap pamanmu Kangjeng Adipati di Sendang Arum.
Pamanmu sejak beberapa tahun terakhir, sudah tidak lagi dapat mengendalikan
dirinya. Caranya memegang pemerintahan sudah berubah. Ia tidak lagi mengikat
diri kepada tatanan dan paugeran yang berlaku."
" Siapakah yang mengatakan itu, ayahanda "
Perempuan itu." " Angger Jalawaja " berkata Rara Miranti " aku masih dapat mengerti, bahwa semua
hal yang tidak kau sukai kau timpakan kepadaku. Aku tidak berkeberatan ngger.
Tetapi ketahuilah, bahwa apa yang dikatakan oleh ayahandamu itu benar.
Kangjeng Adipati sudah tidak lagi berdiri diatas landasan keadilan dan
kebenaran. Kangjeng Adipati tidak lagi menghiraukan pendapat para sentana dan
nayaka, termasuk ayahandamu. Padahal semua orang kadipaten ini tahu, siapakah
ayahandamu Jalawaja."
" Kau tidak usah berbicara tentang
pemerintahan di Sendang Arum. Apalagi
menyebarkan fitnah seolah-olah paman Adipati sudah kehilangan kendali sehingga
pemerintahannya tidak lagi berlandaskan pada keadilan dan kebenaran." .
" Jalawaja. Bersikaplah baik kepada ibumu."
" Ayah. Tidak sepantasnya ia memfitnah paman Adipati."
" Yang dikatakan itu bukan fitnah. Tetapi kenyataan yang ada sekarang di
kadipaten ini." " Tidak. Aku tidak melihat bahwa paman Adipati telah meninggalkan jalur tatanan
dan paugeran. Para nayaka dan sentana jika tidak menganggap seperti itu."
" Kau masih terlalu kanak-kanak untuk mengerti.
Tetapi itulah kenyataan yang ada di kadipaten ini.
Karena itu, Jalawaja. Aku akan melanjutkan perjuanganku yang tertunda karena
ibundamu meninggal."
" Melanjutkan perjuangan yang mana " Ibunda tidak pernah sependapat dengan
ayahanda tentang apa yang ayahanda sebut dengan perjuangan itu."
" Bukan tidak sependapat. Tetapi ibundamu ingin hidup tenang dan damai, sehingga
didalam dirinya tidak terdapat api perjuangan itu. Aku tidak menyalahkannya. Aku
hanya ingin mengatakan, bahwa calon ibumu itu berbeda. Ada api didalam dadanya.
Api untuk menyalakan perjuangan ketidak adilan dan kesewenang-wenangan.
" Omong-omong. Perempuan itu sama sekali tidak akan memperjuangan apa-apa bagi
rakyat Sendang Arum. Tetapi ia ingin memperjuangkan bagi dirinya sendiri untuk
menda-patkan pangkat, derajad dan kemudian semat. "
" Jalawaja " potong ayahnya " kau harus menjaga kata-katamu. "
" Maaf ayahanda. Aku berkata sebenarnya. "
Mata Rara Miranti menjadi semakin basah. Titik-titik air jatuh satu-satu
dipangkuannya. " Gila perempuan itu " geram Jalawaja didalam hatinya.
Sementara itu Raden Tumenggung Wreda
Reksayudapun membentak Jalawaja. " Sadari, bahwa kata-katamu itu telah menusuk
perasaan calon ibumu. Juga menusuk perasaanku. "
" Biarlah kakangmas. Aku tidak berkeberatan.
Mungkin beban seperti inilah yang harus aku tanggungkan sejak pertama kali aku
menginjakkan kakiku didalam lingkungan keluarga kakangmas.
Sejak kecil akupun telah mendengar dongeng tentang seorang itu tiri yang merebus
anaknya didalam sebuah belanga panjang. "
Raden Jalawaja menghentakkan tangannya.
Tetapi anak muda itu masih berusaha
mengendalikan sikapnya dihadapan ayahandanya.
" Jalawaja. Baiklah. Kita tidak berbicara tentang pemerintahan di Sendang Arum.
Yang ingin aku bicarakan sekarang adalah rencanaku untuk menikah lagi dengan
calon ibumu itu. " " Jika ayahanda bertanya kepadaku, aku tidak setuju ayahanda. "
" Kenapa " "
" Aku sudah banyak menyatakan sikapku ayah."
" Jalawaja. Jika demikian maka aku akan mempergunakan hakku sebagai seorang
ayah. Aku beritahukan kepadamu, aku akan menikah lagi. Aku tidak merasa perlu
minta persetujuanmu. "
" Jika itu yang ayahanda kehendaki, silahkan. "
" Jadi kau menurut perintah ayahandamu karena aku berkuasa untuk melakukannya "
Bukan karena kau menyadari, siapakah aku dan siapakah kau.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan karena kau mengasihiku karena aku juga mengasihimu. "
" Ayahanda. Jika aku tidak mengasihi ayahanda, maka aku tidak akan peduli
terhadap rencana ayahanda untuk menikah lagi. Tetapi karena aku mengasihi
ayahanda, maka aku memberanikan diri untuk tidak menyetu-. jui niat ayahanda
itu. " " Jalawaja. Kau tidak mempunyai pilihan. Kau harus menerima kenyataan, bahwa aku
akan menikah dengan Rara Miranti. "
" Silahkan ayahanda. Tetapi aku masih
mempunyai pilihan. Aku akan pergi ke lereng gunung. Aku akan tinggal bersama
eyang Ajar Anggara. Aku akan semakin mendekatkan diri dengan Kang Murbeng Dumadi
sebagaimana eyang Ajar Anggara. "
" Jalawaja. " " Aku akan tinggal bersama eyang di lereng gunung. Di pondok eyang yang tenang
dan damai. Jauh dari rasa tamak, dengki, iri dan benci. "
" Jangan pergi, ngger. " berkata Rara Miranti di sela-sela isak tangisnya.
Tetapi isak tangis Miranti itu membuat Jalawaja semakin muak.
" Ayahanda. Aku tetap mengasihi ayahanda.
Sepeninggal ibu, orang tuaku tinggal seorang, ayahanda. Tetapi sekarang terpaksa
aku pergi meninggalkan ayahanda. "
Jalawajapun kemudian meninggalkan Dalem Katumenggungan dengan janji di dalam
hatinya, bahwa ia tidak akan menginjakkan kakinya lagi di halaman rumahnya, jika
Rara Miranti itu masih ada di rumah itu.
Ki Tumenggung Jayataruna mendengarkan
ceritera Jalawaja itu sambil mengangguk-angguk.
Kemudian iapun berkata " Jika persoalannya demikian, maka aku tidak akan dapat
mencampurinya. Segala sesuatunya terserah kepada Raden Jalawaja. "
" Seperti yang sudah aku katakan, paman. Aku tidak akan pulang. "
" Baiklah ngger. Aku akan menyampaikannya kepada Raden Ayu Reksayuda. Tetapi
meskipun demikian ngger. Ternyata Raden Ayu Reksayuda itu hatinya tidak seburam
yang angger duga." " Meskipun hati Rara Miranti itu putih seperti kapas, aku tidak akan pulang. "
" Jika demikian, sebaiknya aku mohon diri. Ki Ajar, aku mohon diri. "
" Ki Tumenggung. Aku minta maaf atas sikap Jalawaja. Akupun minta maaf, karena
aku tidak mampu melunakkan hati cucuku. ".
" Aku tidak akan minta maaf kepada Miranti karena sikapku ini. "
" Baiklah, Raden. Segala sesuatunya nanti akan aku sampaikan kepada Raden Ayu
Reksayuda. " " Silahkan paman. Aku hanya dapat
mengucapkan selamat jalan. ?"
" Aku juga mengucapkan selamat jalan, Ki Tumenggung. "
" Aku mohon diri Ki Ajar. Aku mohon diri Raden."
Sejenak kemudian, Ki Tumenggung
Jayatarunapun telah meninggalkan rumah Ki Ajar Anggara. Ki Ajar dan Jalawaja
melepas mereka di regol halaman. Mereka memperhatikan kuda yang berlari di jalan
setapak yang menuruni kaki pegunungan.
Debu yang putih mengepul tipis di belakang kuda yang berlari itu. Namun sejenak
kemudian Ki Tumenggung Jayataruna itu telah hilang di tikungan.
Demikian Ki Tumenggung itu tidak nampak lagi, maka Ki Ajar Anggara dan
Jalawajapun telah masuk kembali ke regol halaman pondok Ki Ajar yang sederhana
itu. " Jalawaja - berkata Ki Ajar Anggara setelah keduanya du duk kembali di serambi
- ternyata hatimu keras sekali .ngger."
Jalawaja menundukkan kepalanya.
"Hatimu sama sekali tidak tergerak ketika kau mendengar bahwa ayahmu yang
seharusnya diasingkan selama lima tahun itu, kini mendapat pengampunan meskipun ia baru
menjalaninya selama tiga tahun."
" Aku minta maaf, eyang."
" Justru karena kau disini, Jalawaja. Sedangkan aku adalah ayah dari isteri
Raden Tumenggung Wreda yang telah tidak ada, maka ayahmu akan dapat mempunyai
dugaan yang keliru. Ayahmu akan dapat menduga, bahwa aku menjadi sakit hati
karena ayahmu menikah lagi."
" Tidak, eyang. Ayah tahu bahwa penolakan itu timbul dari dalam hatiku sendiri."
"Memang kaulah yang mengatakannya kepada ayahmu. Tetapi mungkin ayahmu atau ibu
tirimu atau siapapun akan dapat menduga, lain. Mereka dapat menganggap bahwa
sikapmu itu dilandasi oleh hasutan-hasutanku."
" Tidak eyang. Tidak. Eyang jangan
menyalahkan diri sendiri. Jika sikapku ini salah, maka akulah yang bersalah.
Bukan eyang." " Jalawaja. Kau harus menyadari, bahwa
ayahandamu itu tetap saja ayahandamu meskipun kau tidak mengakuinya. Semua orang
tahu bahwa kau adalah putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Meskipun kau
membencinya apalagi setelah ayahmu itu diasingkan , kau tetap saja anaknya."
" Aku tahu, eyang. Yang aku lakukan ini tidak ada hubung annya dengan hukuman
yang harus disandang oleh ayahanda. Aku akan tetap menghormatinya dan akan tetap
berbuat apa saja baginya meskipun ayahanda diasingkan Tetapi yang tidak dapat
aku terima adalah karena ayah telah menikah lagi dengan Rara Miranti."
" Apapun yang dilakukan oleh ayahmu,
Jalawaja. Setuju atau tidak setuju, kau tidak dapat ingkar, bahwa ayahandamu
adalah lantaran dari Yang Maha Agung untuk menghadirkan-mu-di dunia ini. Memang
itu bukan atas kehendakmu sendiri, Jalawaja, sehingga kau dapat menimpakan semua
tanggung jawab kepada ayahandamu.
Tetapi pada dasarnya, ayahmu telah mendapat kepercayaan Yang Maha Agung menjadi
lantaran keberadaanmu di muka bumi ini. Karena itu, maka kau harus menghormati
kepercayaan Yang Maha Agung itu."
" Ya, eyang" " Nah, mumpung Ki Tumenggung Jayataruna belum jauh. Susullah dan ikutlah
bersamanya. Kudamu akan mampu mengimbangi kecepatan berlari kuda Ki Tumenggung.
" Ampun eyang. Aku tidak dapat
melakukannya." " Jalawaja - nada suara Ki Ajar Anggarapun meninggi -kenapa kau tidak mau
mendengarkan kata-kataku, Jalawaja. Bukankah kau tahu, bahwa aku tidak akan
menjerumuskanmu kedalam satu keadaan yang buruk bagimu" Apakah kau malu
menampakkan dirimu di Sendang Arum karena ayahmu pernah dihukum" Bahkan
diasingkan?" " Eyang - Jalawaja itu beringsut sejengkal -
sebenarnya aku akan menyimpan rahasia yang satu ini didalam hatiku. Tetapi aku
tidak ingin menjadi seorang anak yang durhaka di mata eyang. Akupun tidak ingin
menjadi seorang anak yang tidak patuh dan berhatisekeras batu hitam -
Jalawaja berhenti sejenak. Lalu katanya - Eyang.
Seperti yang sudah aku katakan kepada ayahanda langsung, bahwa aku tetap
mengasihi ayah anda. Aku memang tidak dapat melepaskan diri dari hubungan darah itu, apapun yang
terjadi dengan ayah, aku adalah tetap anaknya. Aku tidak akan merasa malu
disebut sebagai anak seorang pengkhianat. Aku akan tetap menengadahkan wajahku
meskipun aku anak seorang buangan."
" Jadi apa yang menghalangimu pulang,
Jalawaja" Karena kau tidak setuju ayahandamu menikah lagi?"
" Aku memang menjadi sangat kecewa bahwa ayahanda telah menikah lagi. Tetapi
seandainya ayahanda tidak menikah dengan Rara Miranti, aku tidak akan berjanji
untuk tidak menginjakkan kakiku di rumahku selama Rara Miranti itu masih ada di
rumah." " Kenapa dengan Rara Miranti?"
" Eyang. Sebenarnya aku ingin menyimpan rahasia ini dalam-dalam. Sebenarnya aku
tidak ingin mengatakannya kepada si apapun. Juga kepada eyang."
" Jika kau sudah memutuskan untuk membuka rahasia itu sekarang, katakan,"
" Eyang. Sebelum aku bertemu dengan Rara Miranti di ruang dalam rumahku pada
saat Rara Miranti berdua dengan ayah, aku sudah mengenal gadis itu."
" Kau sudah mengenalnya?"
" Ya. Aku sudah mengenalnya. Aku juga sudah menga takan kepada ayahanda, bahwa
aku sudah mengenalnya. Tetapi yang aku katakan juga hanya terbatas- sampai
disitu, meskipun sebenarnya aku mempunyai ceritera yang cukup panjang tentang
Rara Miranti. Ki Ajar Anggara tidak menjawab. Ia menunggu Jalawaja itu menceriterakan
rahasianya yang telah menghalanginya unluk pulang dalam keadaan apapun juga.
Dengan nada suara yang dalam, maka Jalawaja itupun bercerita.
Menjelang senja Jalawaja asyik duduk di bendungan dengan pancing di tangannya.
Sudah sejak matahari turun, Jalawaja duduk di bendungan itu. Ia terbiasa berada
di tempat itu untuk memancing ikan. Kadang-kadang dengan dua atau tiga orang
kawannya. Bahkan kadang-kadang mereka berlomba, siapakah yang mendapat ikan
terbanyak, dianggap menang. Dan berhak mendapatkan ikan kawan-kawannya yang
lain. Apalagi sepeninggal ibunya, kadang-kadang Jalawaja duduk berlama-lama di
bendungan itu. Kadang-kadang Jalawaja tidak menyadari, bahwa seekor ikan telah menyambar umpan
pancingnya, karena Jalawaja sedang merenungi kepergian ibunya. Rasa-rasanya
Jalawaja masih belum puas berada di bawah sayap kasih ibunya. Namun tiba-tiba
ibunya harus dipanggil pulang oleh Penciptanya.
Senja itu Jalawaja terkejut ketika seorang gadis tiba-tiba saja sudah duduk
disampingnya. " Kakang." Jawalaja berpaling. Yang duduk disampingnya
adalah . Rara Miranti. " Miranti. Sebentar lagi hari akan gelap. Kenapa kau datang kemari " Jika ada
orang yang melihat, maka orang itu akan mempunyai dugaan yang keliru tentang
kita." " Tidak, kakang. Mereka tidak akan mempunyai dugaan yang keliru. Mereka tentu
mengira bahwa kita berdua telah saling jatuh cinta. Kita berdua sudah berjanji
untuk hidup bersama. Bukankah mereka tidak keliru ?"
" Miranti " Jalawaja beringsut menjauh. Tetapi Miran-tipun beringsut pula.
Bahkan bersandar di bahu Jalawaja "
kakang. Aku ingin jawabmu. Kapan kita akan menikah." " Miranti. Siapakah yang pernah mengatakan kepadamu bahwa kiia akan menikah ?" " Aku mencintaimu, kakang." " Jangan berbicara tentang pernikahan, Miranti.
Kita masih terlalu muda untuk berbicara tentang pernikahan."
" Tidak. Kakang. Kita tidak terlalu muda lagi.
Marintcn, yang dua tahun lebih muda dari aku, juga lelah menikah. Rebana yang
lebih muda dari kakang, juga sudah menikah."
" Tetapi aku masih belum ingin menikah, Miranti. Sementara itu hubungan diantara
kiia adalah hubungan wajar saja. Aku tidak pernah mengatakan kep
mu ada , bahwa pada suatu saat kiia akan menikah." " Jangan bergurau kakang. Marilah kita
berbicara dengan sungguh-sungguh."
" Apa yang akan kita bicarakan ?"
" Hari-hari yang akan kita jelang. Hari-hari yang indah seperti indahnya senja
ini, kakang. Sebentar lagi matahari akan terbenam di balik bukit itu.
Teiapi diseberang, bulan akan segera bangkit menghiasi langit. Dedaunan, air di
sungai itu, kita berdua, ak
eger an s a mandi dengan cahayanya yang gemulai." " Sudahlah, Miranti. Jangan bermimpi. Bukankah kau tidak tidur ?"
" Kita dapat tidur disini, kakang."
Ketika Miranti mendesaknya lagi, Jalawajapun segera bangkit berdiri. Digulungnya
pancingnya sambil berkata " Aku akan pulang, Miranti."
Miranti tertawa. Iapun bangkit berdiri sambil berkata " Tidak ada seorangpun
yang berada di sekitar kita, kakang. Hanya ada aku dan kau saja."
" Miranti. Jangan mendesak. Kita akan
mengurangi hari-hari mendatang dalam sibuk kita masing-masing. Kita tidak dapat
berada di dalam satu biduk. Diantara kita tidak terdapat hubungan apa-apa selain
hubungan sebagai kawan yang baik.
Bahkan mungkin sebagai dua orang saudara."
" Sudahlah. Jangan menggangguku lagi. kakang.
Marilah kita berjanji, bahwa kita akan mengikat hidup kita sebagai suami isteri.
Aku datang kepadamu sekarang dengan penyerahan yang utuh. Apapun yang akan
terjadi di kemudian hari, aku tidak akan menyesalinya."
" Jangan Miranti. Sebaiknya kita menempuh jalan hidup kita masing-masing. Kau
dengan jalan hidupmu, aku dengan jalan hidupku sendiri. Sudah aku katakan
kepadamu, bahwa aku masih belum menginginkan seorang perempuan yang akan p bersa
hidu maku kelak." " Kakang. Ap ah ak kakang bersungguh-sungguh
?" " Ya, Miranti."
" Jadi apa yang kakang lakukan selama ini terhadap aku?"
" Apa yang aku lakukan " Bukankah aku tidak melakukan apa-apa " Kita memang
berkawan. Hanya itu. Tidak lebih. Seperti aku berkawan dengan gadis-gadis yang lain."
" Jadi kakang telah menolak aku ?"
u sal " Ka ah paham Miranti." " Kakang, jadi kakang benar-benar menolak aku.~
" Sudah aku katakan, bahwa belum waktunya aku berhubungan dengan seorang
perempuan untuk membicarakan tentang pernikahan."
" Kakang " wajah Miranti menjadi merah " aku sudah meninggalkan trapsilaning
wanita, kakang. Aku sudah mengorbankan harga diriku sebagai seorang perempuan. Aku datan
kepadamu u g ntuk menyerahkan jiwa dan ragaku dan bahkan apa saja yang kau kehendaki kakang.
Tetapi ternyata kakang telah menyakiti hatiku."
" Aku minta maaf, Miranti. Agaknya kau telah salah mengerti atas sikapku selama
ini. " " Kakang. Jadi kakang sekarang telah benar-benar berpaling kepada Ririswari"
Tentu saja aku tidak akan mampu menyainginya jika kakang memperbandingkan aku
dengan Ririswari. Riris adalah anak seorang Adipati. Ia memang memiliki beberapa
kelebihan yang dapat membuat kakang menjadi silau. "
" Miranti. Sebenarnyalah bahwa aku masih belum berniat berbicara tentang
berjodohan. Kita masih terlalu muda. Aku masih ingin memperdalam ilmu kanuragan
dan ilmu kaji-wan agar dapat menjadi bekal hidupku kelak. "
" Itu hanya alasanmu saja, kakang. Baik kakang.
Kau telah menyakiti hatiku. Aku tidak mau menerima keadaan ini, kakang. Ingat
kakang. Bahwa pada suatu hari, aku akan menyingkirkan Ririswari. Aku tidak dapat hidup
diatas bumi yang sama. Aku tidak dapat menghisap nafas dari lingkungan udara
yang sama. Selain itu, maka pada suatu saat, kau akan merunduk dihadapanku untuk
menyembah telapak kaki Entah a ku. papun caranya,
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tetapi aku akan melaksanakan janjiku itu. Bumi dan langit akan menjadi saksi. "
" Miranti " desis Jalawaja.
Miranti tidak mendengarkannya lagi. Iapun segera berlari meninggalkan bendungan
yang sudah menjadi semakin buram. Matahari telah terbenam. Langit menjadi gelap.
Namun bulan tidak segera nampa m
k engambang di langit. Awan
yang kelabu mengalir dari arah lautan, semakin lama semakin tebal.
Ketika kemudian hujan turun, Jalawaja masih berada di bendungan. Dibenahinya
alat-alatnya serta kepis tempat ikan. Beberapa ekor ikan yang sudah ada didalam
kepisnyapun segera dilemparkannya kembali ke bendungan. Dengan cepatnya ikan itupun berenang
menghilang didalam genangan air bendungan yang dalam. Ketika seekor diantaranya
nampak men a g mbang dan tidak lagi ertaha mampu b n, Jalawaja memandanginya dengan penuh iba.
" Kasihan " desis Jalawaja.
Namun ketika hujan menjadi semakin lebat, Jalawajapun meninggalkan bendu
ula ngan itu p dengan pakaiannya yang menjadi basah kuyup.
" Eyang " berkata Jalawaja kemudian " itulah sebabnya, aku kemudian bersumpah
untuk tidak menginjakkan kakiku di rumahku jika Rara Miranti masih berada di
rumah itu. Apapun yang akan dilakukannya, tentu akan membuat hatiku menjadi
sangat sakit. Perempuan itu memang sedang mencari kesempatan untuk menyakiti
hatiku. Atau bahkan pada suatu saat akan dapat mengadu kepada ayah dengan cerit-
cra-ceritera yang dibuat-buatnya. Ya
dikatak ng hitam an putih, yang pulih dikatakannya hitam. "
Ki Ajar Anggara menarik nafas panjang. Sambil mengangguk-angguk iapun berkata "
Ngger, Jalawaja. Jika demikian maka ternyata kau tidak bersalah. Aku harus minta
maaf kepadamu, bahwa aku sudah berprasangka buruk kepadamu. "
" Eyang tidak bersalah. Eyang memang belum mengetahui persoalan yang sebenarnya.
" " Baiklah wayah. Jika yang terjadi seperti apa yang kau ceritakan itu, memang
sebaiknya kau tidak pulang. Biarlah para petugas menjemput ayahandamu ke
pengasingan. Tetapi seandainya kau ingin ikut menjemput ayahmu, sebaiknya kau
langsung saja menghadap pamanmu Adipati. "
" Tidak eyang. Aku tidak usah ikut menjemput ayahanda ke pengasingan. Seandainya
itu aku lakukan, belum tentu ayah merasa senang melihat kehadiranku. "
" Ayahmu tentu merasa berbahagia jika kau ada diantara mereka yang menjemputnya.
Tetapi persoalanmu dengan Mirant
upa i mer kan penghalang u u bagim ntuk melakukannya. "
" Ya, eyang. " " Dengan penjelasanmu itu, aku tidak akan perna
aksamu lagi untuk h mem pulang, apapun alasannya. " " Terima kasih atas pengertian eyang. "
Ki Ajar Anggarapun kemudian bangkit sambil berkat
" a Sekarang, aku akan pergi ke dapur,
ngger. " " Apa yang akan e an
y g kerjakan" "
" Membuat gula. "
" Biarlah aku yang menjerang legennya eyang.
njadi lebih kental Nanti saja jika sudah me , aku akan memanggil eyang. "
" Baiklah. Jika demikian, jerang legennya. Aku akan pergi ke belumbang. Aku lum
m be emberi makan ikan-ikan di belumbang itu. "
Ketika Ki Ajar Anggara pergi ke belumbang, maka Jalawajapun sibuk membuat api.
Dipanasinya legen kelapa untuk dibuai gula.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayataruna melarikan kudanya semakin kencang.
Dilihatnya mendung menggantung di langit. Semakin lama semakin tebal.
Tetapi ternyata bahwa hujan tidak segera jatuh.
Ada angin semilir yang mendorong mendung itu mengalir ke Utara, serta singgah di
lerengnya gunung yang tinggi.
" Jika hujan itu turun dilereng gunung, maka sungai-sungai akan banjir " berkata
Ki Jayataruna didalam hatinya. Kare itu, ma
na ka kudanyapun berlari semakin kencang. Ketika matahari turun ke balik bukit di sisi Barat langit, Ki Tumenggung
Jayataruna telah memasuki pintu gerbang kota. Namun Ki Jayataruna tidak
memperlambat kudanya. Ternyata titik-titik hujan mulai turun. Semakin lama
menjadi semakin banyak. Ketika hujan benar-benar turun, Ki Tumenggung telah memasuki regol halaman rumah
Raden Ayu Reksayuda. Namun meskipun demikian, Ki
Tumenggung tidak dapat meninggalkan unggah-ungguh. Dengan tangkasnya Ki
Tumenggung meloncat turun dari kudanya, kemudian berlari sambil menuntun kudanya
di pendapa. Dengan tergesa-gesa Ki Tumenggung mengikat kudanya di patok-patok yang sudah
disediakan. Kemudian berlari-lari kecil Ki Tumenggung menuju ke tangga pendapa.
Untuk menghindari air hujan yang kemudian bagaikan tercurah, Ki Tumenggungpun
naik ke tangga. Namun kemudian berhenti.
Sejenak Ki Tumenggung berdiri termangu-
mangu. Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar ketika ia melihat pintu pringgitan
diseberang pendapa itu terbuka.
Raden Ayu Reksayuda muncul dari balik pintu itu sambil tersenyum " Marilah
kakang Tumenggung. Silahkan naik. "
" Maaf Raden Ayu. Pakaianku agak basah. "
" Tidak apa-apa, kakang. Silahkan masuk ke ruang dalam. "
" Terima kasih Raden Ayu. Aku akan duduk di pringgitan saja. Aku hanya singgah
untuk memberikan laporan hasil perjalananku menjumpai putera Raden Ayu. Raden
Jalawaja. " " Karena itu, marilah. Silahkan masuk. Hujan menjadi semakin lebat. Anginnya
terlalu kencang." Ki Tumenggung Jayataruna memang merasa
ragu. Tetapi ketika Raden Ayu Reksayuda itu mcmpersilahkannya sekali lagi, maka
Ki Tumenggungpun telah melangkah ke pintu dan masuk ke ruang dalam.
Dalam pada itu. lampu-lampu minyakpun telah menyala.
Di pendapa. Di prjnggitan dan demikian pula lampu di ruang datamrsinamya yang ke
kuning-kuningan menggeliat di sen^ tuh angin, sehingga bayang-bayang tiang dan p
rab e ot di ruang dalam itupun ikut menggeliat pula.
Dengan wajah yang cerah Raden Ayupun
kemudian d duk u pula menemui Ki Tumenggung
Jayataruna. " Apakah kakang Tumenggung baru pulan
a g d ri lereng bukit untuk menemui angger Jalawaja" "
" Ya, Raden Ayu. "
" Kakang Tumenggung langsung saja kemari" "
" Ya, Raden Ayu. Aku ingin segera memberikan laporan kepada Raden Ayu Reksayuda.
" " Duduk sajalah dahulu, ka
g. K kan akang tentu letih, haus dan barangkali lapar. "
"Tidak, Raden Ayu. Aku tidak letih. Aku sudah terbiasa dan bahkan terlatih,
sehingga daya tahanku sebagai seorang prajurit masih dapat dibanggakan. "
Raden Ayu Reksayuda tersenyum. Katanya "
Aku percaya, kakang. Kakang adalah seorang prajurit yang t rlatih
e . Tetapi silahkan duduk dahulu, kakang." Sebelum Ki Tumenggung menjawab, maka
Raden Ayu Reksayuda itu sudah bangkit dan meninggalkan Ki Tumenggung duduk
termangu-mangu. Demikian Raden Ayu Reksayuda hilang di balik pintu, maka Ki Tumenggungpun sempat
memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Tiang-tiang yang kokoh dan berukir.
Gebyok kayu yang membatasi ruang dalam itu dengan pringgitan dan bahkan yang
menyekat ruang itu dengan warna-warna yang lunak.
" Rumah yang baik"berkata Ki Tumenggung didalam hatinya.
Ki Tumenggungpun sempat memperhatikan
selintru kayu yang juga berukir krawangan. Juga disungging. seperti -gebyok-
gebyoknya. Rumah yang baik itu tertata rapi, sehingga nampak menjadi semakin cantik.
Ki Tumenggung yang memperhatikan ukiran-ukiran itu dengan saksama, terkejut
ketika tiba-tiba saja pintu terbuka. Raden Ayu Reksayuda masuk sambil membawa
minuman yang masih nampak mengepul.
" Jangan membuat Ra u sibuk." den Ay " Hanya minuman kakang."
" Tetapi tentu merepotkan Raden Ayu."
" Bukankah kakang belum sempat minum "
Ketika huja i l n menjad ebat, kakang sudah berada
di tangga pendapa." Ki Tumenggung tertawa. Namun kemudian
disadarinya* bahwa ia berada di rumah Raden Ayu Reksayuda, sehingga suara
tertawanyapun segera tertahan. Bahkan dengan telapak tangannya Ki Tumenggung
menutup mulutnya. " Tidak apa-apa, kakang. Justru suara tertawa yang sert m
a erta itu membuat hati kita seakan-akan terbuka."
" Ya, Raden Ayu "jawab Ki Tumenggung
meskipun ia tidak mengerti maksudnya.
" Aku sengaja menghidangkan sendiri minuman buat kakang. Aku tidak dapat
mempercayakannya kepada abdi di katumenggungan ini, karena kadang-kadang mereka
kurang dapat menempatkan diri dihadapan tamu-tamuku.
Apalagi di--hadapan kakang Tumenggung."
" Bukankah aku bukan tamu yang haFus
dihormati " Aku hanya seorang Tumenggung."
" Lalu siapa yang harus dihormati jika bukan seorang Tumenggung di kadipaten ini
" Bukankah kakangmas Reksayuda juga seorang
Tumenggung." " Tetapi kedudukan Raden Tumenggung
Reksayuda berbeda dengan kedudukanku, Raden Ayu. Raden Tumenggung Reksayuda
adalah Tumenggung Wreda. Selebihnya Raden
Tumenggung Reksayuda adalah sentana dalem Kangjeng Adipati Sendang Arum."
" Apa bedanya " Bahkan secara kewadagan, Ki Tumenggung Jayataruna mempunyai
banyak kelebihan. Ki Tumenggung masih lebih muda. Hari-hari depannya masih jauh lebih
panjang, sehingga sepantasnya bahwa kakang Tumenggung
Jayaturana masih mempunyai cita-cita yang jauh lebih tinggi dari yang pernah
capai oleh di kakangmas Tumenggung Reksayuda."
"Ah. Sebaiknya aku tidak usah berangan-angan, Raden Ayu. Aku tidak akan mungkin
mencapai tataran yang lebih tinggi dari kedudukanku yang sekarang. Jika aku
berangan-angan untuk dapat menggapai tingkat ked
y udkan ang lebih tinggi, itu
aku akan mejadi kecewa di kemudian hari. Aku akan disebut seperti cecak nguntal cagak. Seperti seekor cicak yang akan lan mene tiang rumah ini." Raden Ayu Reksayuda tertawa. Katanya "Kakang pandai juga*oerandai-andai. Jika bukan seperti cecak nguntal cagak, maka pepatah lain mengatakan seperti
walang ngga-yuh rembulan. Seperti bilalang merindukan bulan."
" Lain Raden Ayu. Artinya agak berbeda, meskipun keduanya ingin menunjukkan
bahwa kemampuan pencapaian seseorang itu terbatas."
" Apa bedanya, kakang ?"
" Walang nggayuh rembulan adalah ceritera tentang seorang laki-laki yang
merindukan seorang perempuan dari tataran yang berbeda. Mungkin seorang anak
petani yang merindukan seorang anak bangsawan. Mungkin seorang laki-laki miskin,
gi mengin nkan seorang perempuan yang kaya raya."
" Apakah kakang pernah mendengar paribasan yang maknanya sebaliknya. Apakah ada
paribasan yang berbunyi Rembulan nggayuh walang ing ara-ara kang kebak alang-
alang " Rembulan yang merindukan bilalang di padang ilalang ?"
" Ah. Tentu tidak ada Raden Ayu. Dalam
kenyataannya-pun tidak akan ada."
Raden Ayu tertawa. Katanya" Minumlah,
kakang." " Terima kasih Raden Ayu."
Ki Tumenggung Jayataruna itupun menggapai mangkuknya. Tetapi t
dik
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anp? etahui sebabnya, tangannya menjadi gemetar.
Setelah minum beberapa teguk, maka Ki
Tumenggung itupun berkata " Su ahlah
d Raden Ayu. Sudah malam. Aku mohon diri."
" Masih hujan, kakang. Nantisaja jika hujan sudah teduh."
" Mendungnya tebal Rad sekali en Ayu. Tentu hujan agak lama baru teduh."
" Bukankah disini kakang tidak kehujanan ?"
" Ya Teta , Raden Ayu. pi aku tidak akan dapat tetap berad ni. a disi " " Kenapa " "
" Jika hujan tidak segera reda. Bahkan sampai jauh malam. "
" Bahkan sampai dini hari, kakang. "
Tiba-tiba saja keringat dingin
bun mengem di seluruh tubuh Ki Tumenggung Jayataruna.
" Kakang " berkata Raden Ayu Reksayuda
kemudian " bukankah kakang masih belum
menceritera an perjal k anan kakang menemui Jalawaja. " " O " Ki Tumenggung Jayataruna seolah-olah tersadar dari sebuah mimpi. Ia
singgah di rumah Raden Ayu Reksayuda untuk memberikan laporan tentang
perjalanannya menemui Raden Jalawaja.
Tetapi pembicaraannya dengan Raden Ayu
Reksayuda serta sikap perempuan itu, seakan-akan telah membiusnya.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun segera menceriterak
hasil an perjalanannya menemui Raden Jalawaja. " Jadi an k itu a tidak mau pulang, Ki Tumenggung. " " Ya, Raden Ayu. "
" Kenapa " Apakah anak itu tidak mengatakan alasannya " "
Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun
kemudian ia menggeleng " Tidak, Raden Ayu.
Raden Jalawaja tidak mengatakan alasannya, kenapa ia tidak mau pulang dan tidak
mau menjemput ayahandanya dari pengasingan. "
" Anak itu memang keras kepala. Atau mungkin kakeknyalah yang menghasutnya,
karena ia tidak setuju, sepeninggal anak perempuannya, ibu Jalawaja, kakangmas
Tumenggung telah mengambil aku sebagai istrinya yang tentu mempunyai banyak kelebihan dari anak
perempuannya itu. " Ki Tumenggung menjadi berdebar-debar.
Namun sekali lagi iapun berkata " Entahlah, Raden Ayu. "
" Baiklah, kakang Tumenggung. Aku sangat berterima kasih atas kesediaan kakang
Tumenggung menemui angger Jalawaja. Mudah-mudahan hatinya pada suatu saat dapat
menjadi lunak " lalu katanya selanjutnya. " Aku berharap.
Mungkin setelah ayahandanya ada di rumah, ia mempunyai sikap ya l
ng ain. " " Ya, Raden Ayu. "
" Nah, si i lahkan m num kakang. Jangan
mengharap hujan reda. "
" Tetapi...." Raden Ayu itu terseyum sambil berkata " Hujan baru akan reda esok pagi, kakang.
" Jantung Ki Tumenggung menjadi semakin
berdebaran. Sementara Raden Ayu itupun berkata"
Kakang. Masih ada yang ingin aku katakan kepadamu. "
Dahi Ki Tumenggung Jayataruna berkerut.
Ketika ia memandang wajah Raden Ayu Reksayuda yang terseyum, Raden Ayu itupun
sedang memandanginya, sehingga dengan serta-merta Ki Tumenggung itupun menundukkan
wajahnya. Waktupun terasa berjalan cepat. Di hari berikutnya, atas permohonan Raden Ayu
Reksayuda, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah memerintahkan Ki Tumenggung
Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna menghadap Kakang
Adipati Jayanegara di Kadipaten Pucang Kembar untuk memberitahukan keputusan
Kanjeng Adipati Wirakusuma, bahwa Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sudah
mendapat pengampunan serta diperkenankan memasuki Kadipaten Sendang Arum.
Berdua bersama dua orang pengawal, sekaligus menjemput Raden Tumenggung
Reksayuda untuk dibawa kembali ke Kadipaten Sendang Arum.
" Kapan hamba berdua harus berangkat,
Kangjeng " " bertanya Ki Tumenggung Reksabawa.
" Hari ini kalian dapat menyiapkan segala sesuatunya yang kalian perlukan dalam
tugas kalian itu. Besok kalian berdua bersama dua orang pengawal akan pergi ke
Pucang Kembar. Kalian akan bermalam semalam di Pucang Kembar, kemudian di
keesokan harinya, Kalian akan pulang bersama
Tumenggung Wreda kakangmas Reksayuda. " " Hamba, Kangjeng. "
" Sekarang kalian berdua aku perkenankan meninggalkan pertemuan ini. "
Hari itu, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna telah bersiap-
siap untuk pergi ke Pucang Kembar. Dua orang prajurit pilihan telah
diperintahkan untuk bersiap-siap pula. Esok pagi-pagi sekali mereka akan
berangkat ke Pucang Kembar.
Ketika fajar menyingsing di keesokan harinya, maka empat orang berkuda telah
melarikan kuda mereka meninggalkan pintu gerbang kota. Mereka mengemban perinta
ng Adi h Kangje pati Wirakusuma untuk menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda dari pengasingan.
" Aku ingin tahu, apakah orang-orang yang mencegat kita pada saat kita pergi ke
Pucang Kembar beberapa waktu yang lalu, masih juga menghadang orang-orang yang
sedang dalam perjalanan " berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
" Tentu tida Mer k. eka tentu sudah menjadi jera.
Apalagi jika mereka ketahui, bahwa kitalah yang sedang lewat. "
" Belum tentu, kakang Tumenggung. Kita akan meyakinkannya. Tetapi jika mereka
masih juga menyamun orang lewat, aku akan membunuh mereka semua. "
Ki Tumenggung Reksabawa hanya dapat
menarik nafas panjang. Ketika mereka melewati kedai yang pernah mereka singgahi, Ki Tumenggung
Jayatarunapun berkata " Kita singgah di kedai itu, kakang. Kuda-kuda kita tentu
sudah letih. Kedua orang pengawal itu tentu juga sudah haus dan bahkan lapar. "
Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk sambil menjawab " Baiklah. Kita akan singgah
di kedai itu lagi. Agaknya pasar Patalan tidak seramai pada saat kita lewat
waktu itu. " " Hari ini bukan hari pasaran. Tetapi karena pasar ini terhitung pasar yang
besar, maka meskipun bukan hari pasaran, banyak juga orang yang datang. "
Sejenak kemudian, mereka berempat telah duduk di dalam kedai itu. Agaknya
pelayan di kedai itu masih sempat mengenalinya. Karena itu, pelayan kedai itupun
segera mendekatinya. Namun sikapnya agak lain karena ia melihat ciri-ciri
keprajuritan pada kedua orangyang pernah singgah di kedai itu.
" Lama aku tidak singgah " berkata Ki
Tumenggung Jayataruna. " Ya, Ki Sanak. "
" Apakah orang-orang yang waktu itu singgah di kedai ini masih sering datang
kemari " .Maksudku orang-orang yang kau sebut penjahat itu. "
" Tidak. Ki Sanak. Mereka tidak pernah kelihatan lagi sejak Ki Sanak lewat. "
" Apakah ada orang lain yang menggantikan mereka, melakukan kejahatan disini " "
" Tidak, Ki Sanak. Nampaknya tidak. Entahlah jika aku tidak mengetahuinya. "
" Sokurlah jika mereka sudah berhenti
melakukan kejahatan. Waktu itu mereka
menyamun kami. Kami telah membunuh beberapa orang diantara mereka. -"
" Membunuh mereka " "
" Tidak semuanya. Hanya yang keras kepala.
Bukankah dengan demikian, kelompok mereka tidak mengganggu lagi."
" Ya, Ki Sanak. Di hari-hari pasaran, gerombolan itu tidak pernah datang kemari.
" " Mereka sudah menjadi jera. Mudah-mudahan untuk selamanya mereka tidak akan
bangkit lagi. " Ki Tumenggung Jayataruna itupun kemudian memesan makan dan minum bagi mereka
berempat. " Ki Tumenggung pernah dirampok disini " "
bertanya salah seorang prajurit pengawal.
" Bukan disini. Di bulak sebelah. Tetapi mereka mengawasi kami berdua sejak di
kedai ini. " Prajurit itu mengangguk-angguk. Katanya "
Yang masih hidup, m tentu se pat menyesali kebodohan mereka. Kenapa mereka ingin
merampok dua orang Senapati. "
Sambil tersenyum Ki Tumenggung
Reksabawapun berkata " Karena itulah, maka sekarang aku membawa dua orang
pengawal." " Ah, Ki Tumenggung. Apa artinya kami berdua "
sahut prajurit yang seorang lagi " jika kami pergi juga bersama Ki Tumenggung,
maka tugas kami adalah me
awaka mb n barang-barang yang nanti
akan dibawa oleh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. "
Ki Tumenggung Reksabawa tertawa. Yang
lainpun tertawa pula. Mereka berempat tidak terlalu lama berada di kedai. itu. . Setelah mereka
selesai makan, minum dan beristirahat sejenak, maka merekapun meninggalkan kedai
itu. Kepada pemilik dan pelayan kedai itu, Ki Tumenggung Jayatarunapun berkata "
Jika para penjahat itu masih belum jera, maka kami akan me bunuh mereka
semuanya. Kami akan masuk kesarang mereka dan
menghancurkannya." Pemilik serta pelayan kedai-itu hanya
mengangguk-angguk saja. Sejenak kemudian, maka kedua orang
Tumenggung serta kedua orang prajurit pengawal itu telah melarikan ku
ereka. Kuda mer da m eka yang sudah beristirahat pula. Sudah minum serta makan rumput yang segar. "
Sebenarnyalah bahwa tidak ada lagi orang yang mengganggu perjalanan mereka,
sehingga perjalanan mereka menjadi lebih cepat dari perjalanan mereka sebelumnya. %
Malam itu juga, kedua orang Tumenggung itu telah mendapat kesempatan untuk
menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara. Atas nama Kangjeng Adipati Wirakusuma,
maka kedua orang Tumenggung itu menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang telah mendapat
pengampunan, sehingga sebelum Raden
Tumenggung itu menjalani seluruh masa
hukumannya, ia sudah diperkenankan untuk pulang.
" Aku ikut bergembira atas keputusan itu, kakang Tumenggung. Raden Tumenggung
Reksayuda sudah terlalu tua untuk diasingkan Agaknya disisa hidupnya Raden
Tumenggung Reksayuda ingin menikmati kehidupan wajar bersama isterinya yang pada
saat diasingkan, belum lama dinikahinya. "
" Hamba Kangjeng"kedua orang Tumenggung itu mengangguk-angguk.
" Baiklah. Biarlah kami membantu kakang Tumenggung berdua untuk ikut
mempersiapkan segala sesuatunya. Aku berharap bahwa kakang Tumenggung berdua
serta kedua orang pengawal itu bermalam di Pucang Kembar malam ini. Besok pagi-
pagi kakang Tumenggung berdua dapat berangkai menuju ke Sendang Arum. Bersama
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, kakang berdua tentu tidak akan dapat bergerak
dengan cepat karena Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda yang tua itu tidak akan dapat berkuda secepat anak panah. Mungkin
kakang Tumenggung berdua menjadi tidak telaten. T ta
e pi kakang jangan memaksa orang tua itu melarikan kudanya sebagaimana kalian inginkan. "
Kedua orang Tumenggung itu tersenyum.
Sambil mengangguk hormat ki Tumenggung
Jayatarunapun berkata " Hamba Kangjeng Adipati.
Kami berdua akan menyesuaikan diri. Bukan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang
harus menyesuaikan dirinya. "
" Bagus"Kangjeng Adipatipun tertawa.
jCemikianlah, malam itu Ki Tumenggung
Reksabawa, Ki Tumenggung Jayataruna dan kedua orang
prajurit pengawalnya bermalam di Pucang Kembar.
Malam itu juga keduanya sudah mendapat
kesempatan untuk bertemu dan berbicara langsung dengan Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda. Besok, sebelum matahari terbit, mereka akan meninggalkan tanah pengasingan.
Sebenarnyalah, sebelum matahari terbit,- Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki
Tumenggung Jayataruna bersama Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah menghadap Kangjeng
Adipati Jayanegara. " Ampun Kangjeng, kami telah mengusik
ketenangan Kangjeng Adipati yang sedang beristirahat " berkata Ki Tumenggung
Reksabawa. " Tidak. Aku tidak merasa terusik. Setiap hari aku bangun pagi-pagi sekali. Aku
memerlukan udara pagi untuk menyegarkan tubuhku dan pikiranku. "
" Terima kasih, Kangjeng. Kami datang untuk mohon diri. Kami akan segera
meninggalkan kadipaten Pucang Kembar, kembali ke kadipaten Sendang Arum bersama
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda, yang telah diperkenankan pulang. "
" Aku juga mohon diri dimas. Selama ini aku telah mendapat perlindungan di
kadipaten Pucang Kembar. Pada saat-saat aku tidak dimanusiakan lagi oleh dimas
Adipati Wirakusuma, maka aku dapat tinggal di Pucang Kembar dengan nyaman.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Disini aku tetap saja diperkenankan hidup bebas sebagaimana orang lain. "
" Tetapi sekarang kakangmas sudah mendapat pengampunan. Kakangmas sudah
diperkenankan pulang meskipun masa pengasingan kakangmas masih belum genap. "
" Ya. Aku mengucapkan terima kasih atas pengampunan yang aku terima ini. Mudah-
mudahan di Sendang Arum aku masih dapat diterima s b
e agaimana mestinya, sehingga aku tidak justru lersisih dari pergaulan Jika itu
terjadi, maka aku akan merasa lebih senang berada di Pucang Kembar. "
" Tentu tidak kakangmas. Jika dimas Adipati Wirakusuma masih menganggap
kakangmas perlu disisihkan, maka dimas Wirakusuma tentu tidak akan memberikan
pengampunan. " " Mudah-mudahan, dimas. "
" Nah, aku hanya dapat mengucapkan selamat jalan. Mudah-mudahan perjalanan
kangmas Tumenggung mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung, selamat sampai
dirumah. Bertemu dengan kang mbok Miranti. "
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
tersenyum. Katanya "Mudah-mudahan Rara Miranti tidak lupa kepadaku. " .
" Mana mungkin kangmbok melupakan kangmas Tumenggung
Bu . kankah yang mohon pengampun kepad an a dimas Adipati juga kangmbok Miranti " "
" Ya, dimas." " Kangmbok tentu sudah menunggu kedatangan kangmas Tumenggung dengan jantung
yang berdebar-debar. " Demikianlah, pada saat cahaya langit menjadi cerah, maka Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda telah meninggalkan pintu gerbang halaman dalem kadipaten
Seperti yang dikatakan oleh Kangjeng Adipati Jayanegara, maka perjalanan iring-
iringan yang menjemput Raden Tumen-gung Wreda Reksayuda itu tidak dapat terlalu
cepat. Raden Tumenggung memang sudah tua, sehingga untuk berpacu sebagaimana
kedua orang pada saat mereka berangkat, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sudah
tidak sanggup lagi. Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jay-atarunalah yang harus menyesuaikan
diri. Keduanya yang berkuda didepan, sekali-sekali harus berpaling. Jika jarak
diantara mereka sudah agak terlalu panjang, maka kedua orang
Tumenggung itu memperlambat lari kuda mereka.
Sementara itu, kedua orang prajurit pengawal yang berkuda dibelakang, mulai
terkantuk-kantuk. Perjalanan kuda mereka yang mereka anggap lamban, semilirnya angin di bulak-
bulak panjang yang hijau, membuat mata mereka menjadi berat.
" Apakah kita belum memasuki tlatah Sendang Arum, Ki Tumenggung " " bertanya
Raden Tumenggung Wreda, " Belum Raden. Beberapa lama lagi. Bukankah ada tanda di perbatasan " Kalau
dijalan utama antara S ndang Arum dan Pucan
e g Kembar terdapat sebuah gapura batu, maka di tepi jalan ini di perbatasan terdapat sebuah tugu
batu setinggi orang. "
" Jadi kita tidak menempuh jalan utama itu " "
"Tidak, Raden "
" Kenapa " "
" Bukankah jalan utama itu terlalu jauh " Lewat jalan ini kita menghemat jarak
beberapa ribu patok. "
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda i lu
mengangguk-angguk. Ketika matahari sudah sampai di puncak, mereka masih belum sampai ke perbatasan.
Bahkan Raden Tumenggung itupun berkata " Aku ingin beristirahat barang sebentar.
Ki Tumenggung." " Baiklah, Raden. Tetapi sebentar lagi kita sampai di perbatasan. Kita akan
beristirahat setelah kita mel wa
e ti perbatasan itu. " Perhatikan kuda-kuda kalian. Kuda-kuda itupun tentu merasa letih, haus dan
barangkali lapar. " " Apakah kita tidak dapat maju sedikit lagi.
Raden. " " Aku sudah letih sekali. "
" Baiklah, Raden. Jika Raden memang ingin beristirahat, kita akan bcrisirahat di
kedai yang ada didepan itu. "
"Aku setuju Ki Tumenggung. Aku sudah haus sekali. " Mereka berlimapun kemudian
telah beristirahat di sebuah kedai. Kuda-kuda merekapun mendapat perawatan
seperlunya mendapat minum dan makan rumput segar.
Didalam kedai, Raden Tumenggun
g Reksayuda, Ki Tumenggung Reksdbawa, Ki Tumenggung
Jayataruna dan kedua orang prajurit pengawal itupun telah minum serta makan
pula. Beberapa saat kemudian setelah mereka
beristirahat beberapa lama, maka Ki Tumenggung Reksabawapun bertanya " Apakah
kita sudah cukup beristirahat, Raden. "
" Rasa-rasanya aku menjadi segan untuk
bangkit dan melanjutkan perjalanan. Punggungku mulai merasa sakit. Jika nanti
kita kelaparan di jalan, sementara tidak kita jumpai lagi kedai, dimana kita
akan makan " " " Kita merencanakan, di sore hari ini kita sudah berada di halaman rumah Raden
Tumenggu ng Wreda Reksayuda " " Kita akan memacu kuda kita lebih cepat lagi "
"Tidak Raden. Tetapi Raden tidak dapat tinggal disini sampai besok. "
Raden Tumenggung itu mengangguk-angguk.
Betapapun malasnya, namun akhirnya merekapun melanjutkan perjalanan. Sekali-
sekali Raden Tumenggung Wreda itu berdesah. Punggungnya sudah mufai terasa
sakit. Beberapa saat kemudian, merekapun telah sampai di perbatasan. Ketika melihat
sebuah tugu batu, dengan serta-merta Raden Tumenggung Reksayuda bertanya "
Apakah tugu itu batas kadipaten Sendang Arum dan kadipaten Pucang Kembar "
" Ya, Raden." Tiba-tiba saja Raden Tumenggung itu
menghentikan kudanya. Dengan demikian kedua orang Tumenggung serta dua orang
prajurit pengawal itupun berhenti pula. Bahkan ketika Raden Tumenggung itu
meloncat turun, yang lainpun meloncat turun pula
" Pegang kudaku " berkata Raden Tumenggung kepada seorang diantara kedua orang
prajurit itu. Prajurit itupun segera menerima kendali kuda Raden Tumenggung. Sementara Raden
Tumenggungpun segera turun ke sebuah parit yang airnya nampak jernih berkilat-
kilat ditimpa cahaya matahari yang sudah melewati puncak langit.
Sambil membasahi wajahnya dengan air parit yang jernih itu, Raden Tumenggung
berkata"Alangkah segarnya air di kadipaten Sendang Arum."
"Maaf Raden"sahut Ki Tumenggung
Jayatruna"tlatah Sendang Arum berada di seberang tugu itu Raden."
" O. Tetapi jaraknya hanya kurang beberapa jengkal saja."
" Air itu mengalir dari tlatah Pucang Kembar."
Raden Tumenggung Wreda yang tua itu
mengerutkan dahinya, sementara Ki Tumenggung Reksabawa menggamit Ki Tumenggung
Jayataruna sambil berdesis perlahan " Jangan mengganggu saja di." Orang tua itu
dapat menjadi sangat kecewa meskipun persoalannya tidak penting. Bahkan adi
hanya sekedar ingin bergurau."
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa tertahan.
" Air itu su b dah erada di perbatasan, Raden "
berkata Ki Tumenggu ut ng Reksabawa yang ik turun ke dalam air pula"memang airnya terasa sejuk, justru pada saat memasuki
perbatasan Sendang Arum."
" Ya. Aku juga ingin mengatakan seperti itu."
Ki Tumenggung Reksabawa berpalin
epa g k da Ki Tumenggung Jayataruna yang masih berdiri di pinggir jalan sambil memegangi
kendali kudanya, sementara kuda Ki Tumenggung Reksabawa lelah dipegangi oleh prajurit yang
seorang lagi. Baru sejenak kemudian, ketika rubu ya su hn
dah merasa menjadi semakin segar, Raden
Tumenggung Wreda Reksabawa itupun segera naik ke tanggul. Kemudian katanya "
Sudah lama aku lidak mengirup udara di Tanah tercinta."
g Ketika Raden Tumenggun itu memandang Ki Tumenggung Jaya taruna,.maka iapun
berkata " Udara disini dan udara eran diseb g tugu itu tentu berbeda meskipun jaraknya tidak lebih dari dua langkah." Ki Tumenggung Jayaturana tertegun. Namun iapun kemudian tertawa. Katanya " Ya. Sedangkan tepat diperbatasan, daran u ya terasa panas di hidung kita." Demikianlah sejenak kemudian kelima orang itupun melanjutkan perjalanan.
Namun Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
tidak tahan dipanggang oleh teriknya matahari yang justru sudah condong disisi
Barat langit. Karena itu, iring-iringan itupun terpaksa sekali lagi berhenti. Raden Tumenggung
menjadi kehausan di perjalanan yang berat itu.
Beberapa lama mereka berada dikedai itu.
Tanpa disengaja mereka mendengar seorang yang sudah lebih dahulu berada di kedai
itu berbicara kepada kawannya " Tidak seorangpun yang mengira, bahwa laki-laki
itu sampai hati membunuh isterinya."
" Ya. Tidak seorangpun mengira"sahut
kawannya. " Tetapi isteri laki-laki itu memang cantik dan jauh lebih muda dari suaminya."
" Itulah sebabnya ketika laki-laki itu pulang setelah menjalani hukuman dari
kesalahan yang tidak pernah dilakukannya, dan dida ati
-p nya isterinya berbuat serong dengan laki-laki lain, maka laki-laki yang sabar dan
alim itu telah membunuhnya."
" Semua orang menyesali perbuatan itu."
" Bukan hanya perbuatan itu. Tetapi juga seluruh kejadiannya. Kenapa laki-laki
itu dihukum tanpa melakukan kesalahan apa-apa, sementara yang bersalah justru
telah berbuat serong dengan isterinya " Kenapa pula isterinya telah menerima
laki-laki lain pada saat suaminya menderita tekanan kewadagan dan kejiwaan."
" Kenapa " Ya, semua orang bertanya kenapa.
Tetapi semuanya itu telah terjadi. Kemudian lakilaki itu harus menjalani hukuman
lagi karena ia telah membunuh isterinya. Untunglah laki-laki yang berkhianat itu
sempat melarikan diri."
" Ya. Tetapi ia jatuh ketangan orang banyak.
Bahkan orang itu juga hampir mati, jika saja tidak ada empat orang prajurit
berkuda yang meronda"
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda berpaling untuk mengamati orang-orang" yang
sedang berbincang itu. Namun dalam pada itu, keringatpun telah mengalir di
punggung Ki Tumenggung Jayataruna.
" Kita sudah terlalu lama beristirahat " berkata Ki Tumenggung Jayataruna
kemudian"marilah, Raden. Nanti kita ke-malaman di jalan Kuda-kuda kitapun sudah
beristirahat pula." Raden Tumenggung Wreda mengangguk.
Katanya " marilah. Aku menjadi semakin malas.
Tetapi tentu aku tidak dapat bermalam disini."
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu sudah melanjutkan perjalanan
Meskipun mereka tidak harus berkelahi di jalan, namun ternyata waktu yang
diperlukan hampir sama panjang dengan saat bebe-rapa waktu yang lalu kedua orang
Tumenggung itu pergi ke Pucang Kembar.
Sebelum senja, iring-iringan itu sudah memasuki pintu gerbang kota. Beberapa
orang yang berpapasanpun berhenti. Mereka sudah mendengar bahwa Raden Tumenggung
Wreda Reksayuda sudah mendapat pengampunan. Karena itu, ketika mereka melihat
iring-iringan itupun segera menebak, bahwa seorang diantara mereka adalah Raden
Tumenggung Wreda Re da ksayu " Ya. Yang ditengah diantara Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung
Jayataruna - berkata seseorang yang kebetulan sudah meng enal kedua orang Tumenggung itu.
a Tetapi kaw nnya tidak mau kalah. Katanya "Ya, memang yang ditengah itu. Aku
sudah pernah mengenal Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Tentu saja waktu itu Raden Tumenggung ilu masihmuda."
Namun seorang perempuan yang berdiri di dekat mer kapun menyah
e ut " Masih muda"
Bukankah yang masih muda itu isterinya" Raden Tumenggung sendiri baru menjalani
hukuman tiga lahun. Karena itu, sejak ia diasingkan, ia memang sudah tua."
Orang yang menyebut waktu itu Raden
Tumenggung masih muda itupun tidak mau kalah pula Iapun segera menjawab -
Maksudku masih kelihatan muda Jauh lebih muda meskipun umurnya hanya bert
a aut tig tahun sampai sekarang." Perempuan itupun tidak menyahut lagi. Ia lebih per
mem hatikan Raden Tumenggung Wreda
daripada omongan laki-laki ilu.
" Isterinya yang muda itu tentu akan senang sekali menyambut kehadirannya "
desis perempuan itu. Keberadaan Raden ng Wr Tumenggu eda Reksayuda di jalan ulama itu benar benar telah menarik perhatian. Apalagi Ki
Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna
sengaja memperlambat kuda mereka.
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Akulah yang letih. Aku sudah tua. Tetapi kenapa tiba-tiba aku merasa perjalanan
ini sangat lamban" " berkata Raden Tumenggung Reksayuda
" apakah Ki Tumenggung berdua sengaja membuat aku jadi tontonan di bumiku send
iri?" " Tidak, Raden. Maaf. Aku pikir Raden yang akan
rindu kampung halamannya itu ingin
memperhatikan keadaannya dengan saksama setelah tiga tahun tidak melihatnya"
"Marilah. Jangan biarkan aku jadi totonan disini."
"Iring-iringan itupun kemudian telah
mempercepat perjalanan mereka. Sambil
tersenyum Ki Tumenggung Reksabawa-pun berkata
" Bukan karena menjadi totonan orang. Tetapi acaknya semakin dekat kerinduan
Raden Tumenggung Wreda terhadap keluarganya justru semakin menyala"
" Ah " Raden Tumenggung itu berdesah.
Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan itu telah berbelok memasuki jalan
yang langsung menuju ke depan rumah Raden Tumenggung.
" Raden " bertanya Ki Tumenggung Reksabawa
" Raden berniat pulang dahulu atau langsung menghadap Kangjeng Adipati ?"
" Aku akan pulang dahulu, Ki Tumenggung. Aku akan beristirahat. Besok aku akan
menghadap dimas Adipa i untuk mel
t aporkan bahwa aku sudah pulang. Seandainya aku akan diasingkan lagi, aku sudah berada di rumah
semalaman." " Kenapa diasingkan lagi, Raden?" bertanya Ki Reksabawa.
" Mungkin setelah dimas Adipati melihat ujudku, kemarahannya terungkit lagi?"
" Ah. Tentu tidak begitu. Jika Kangjeng Adipati maasih marah, Raden tentu tidak
akan diampuni." " Tetapi apa Ki Tumenggung tahu, kenapa dimas Adipati memutuskan untuk
mengampuni aku" Dan memberi aku kesempatan pulang
sebelum aku menyelesaikan hukumanku?"
" Berdasarkan perm n ohona dari Raden Ayu Reksayuda, Raden" " Kenap dipati baru m a dimas A endengarkan permohonan Miranti itu sekarang" Setelah isteri dimas Adipati itu meninggal?"
" Maksud Raden" " suara Ki Tumenggung
Reksayuda meninggi. " Aku tidak bermaksud apa-apa, Ki
Tumenggung. Aku hanya ingin mengungkapkan sebuah pertanyaan."
Terasa jantung Ki Tumenggung Reksabawa
berdebaran. Ia tahu arah pembicaraan Raden Tumenggung yang tua itu. Mungkin ia
mendengar pembicaraan di kedai
ehin itu, s gga memberikan sentuhan di hatinya. Sementara itu, Ki Tumenggung Jayataruna sama sekali tidak menyahut. Bahkan
seolah-olah ia tidak mendengar pembicaraan itu.
Beberapa saat kemudian, iring-iringan itu sudah sampai di depan rcgol halaman
rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Keempat orang yang lainpun segera
meloncat turun sebelum mereka memasuki regol. Namun Raden
Tumenggung sendiri masih tetap saja duduk diatas punggung kudanya.
Ketika mereka memasuki halaman, mereka
melihat Raden Ayu Reksayuda sudah berada di pendapa. Dua orang Tumenggung atas
nama Kangjeng Adipati sudah berada di rumah itu pula menyambut kedatang an Raden
Tumenggung Reksayuda. Demikian Raden Tumenggung turun dari
kudanya, maka Raden Ayu Reksayuda segera berlari menyongsongnya. Dengan serta
merta Raden Ayu itupun mendekap Raden Tumenggung sambil menangis.
" Kangmas " suara Raden Ayu terdengar di
.sela-sela isaknya " sokurlah kangmas telah pula dengan selamat."
Raden Tumenggungpun mendekap isterinya
pula. Dengan nada berat iapun berkata " Yang Maha Agung masih mempertemukan
kita-diajeng." " Marilah kangmas. Kami menunggu sejak
matahari turun. Kedua utusan dimas Adipati ini juga sudah menunggu sejak lama
disini." Raden Tumenggung Wreda itupun menarik
nafas panjang. Bersama Raden Ayu Reksayuda keduanya melangkah ke tangga pen apa
d . " Selamat datang kembali di rumah Raden Tumenggung " berkata seorang diantara
kedua orang utusan Karigjeng Adipati yang menyambut kedatangan Raden Tumenggung
itu. " Terima kasih, Ki Tumenggung berdua. Marilah.
Naik-luli kembali. Sekarang akulah yang mempersilahkan Ki Tumenggung berdua
duduk di pringgitan."
Keduanyapun segera naik pula. Demikian pula Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki
Tumenggung Jayataruna serta kedua orang prajurit
pengawalnya. Demikian mereka duduk di pringgitan, maka Raden Tumenggung itupun bertanya "
Apakah anakku ada di rumah?"
" Ampun kangmas " jawab Raden Ayu " Kakang Tur menggung Jayataruna telah pergi
menjemputnya ke rumah paman Ajar Anggara di lereng gunung. Tetapi Angger
Jalawaja ' tidak bersedia turun."
Raden Tumenggung itupun kemudian berpaling kepada Ki Tumenggung Jayataruna
sambil bertanya " Benar begitu, Ki Tumenggung ?"
" Ya, Raden. Aku sendiri sudah datang menemui Raden Jalawaja. Aku sendiri sudah
memberitahukan bahwa hari ini Raden akan dijempat di tempat pengasingan. Bahkan
jika Raden Jalawaja bersedia aku persilahkan untuk ikut menjemput pula. Tetapi
Raden Jalawaja tidak bersedia."
Raden Tumenggung itu menarik nafas panjang.
Katanya " Kenapa anak itu mengeraskan hatinya sehingga pada saat-saat yang
penting seperti ini, hatinya masih saja sekeras batu."
" Hatinya memang keras, kangmas. Tetapi mungkin ada pula yang mengipasinya,
sehingga angger Jalawaja menjadi semakin jauh dari keluarganya."
" Siapa?" " Bag ana aim dengan paman Ajar Anggara?"
" Tidak. Aku mengenal bapa Ajar Anggara dengan baik. Ia orang yang hatinya
lembut. Aku kira ia tidak akan menghembuskan racun di hati cucunya."
" Mudah-mudahan dugaan kangmas itu benar.
Tetapi siapa tahu, isi hati seseorang."
" Bagaimana menurut pendapat Ki Tumenggung Jayataruna?"
" Segala sesuatunya dapat saja terjadi, Raden.
Tetapi sebenarnyalah aku tidak tahu, apakah Ki Ajar Anggara telah membuat hati
Raden Jalawaja semakin keras atau tidak."
" Sudahlah " berkata Raden Tumenggung - jika hari ini Jalawaja belum pulang,
mungkin besok atau lusa. Jika perlu, aku sendiri akan menjemputnya kelak ke
rumah bapa Ajar Anggara." Dalam pada itu, kedua orang utusan Kangjeng Adipati itupun berganti-ganti
menanyakan keadaan dan keselamatan Raden Tumenggung. Mereka juga menanyakan
kehidupan Raden Tumenggung di pengasingan.
" Di Pengasingan aku justru semakin mengenal diriku sendiri, Ki Tumenggung.
Akupun merasa semakin dekat dengan alam. Dengan Penciptanya dan dengan arti dari
hidupku. Tetapi memang ada semacam kerinduan yang setiap saat terasa semakin
dalam menghunjam di jantungku.
Kerinduan terhadap kampung halaman. Kerinduan terhadap bumi kelahiran " Raden
Tumenggung itupun berhenti sejenak. Lalu katanya pula "Karena itu aku berterima
kasih alas kesempatan yang diberikan kepadaku untuk pulang tanpa menunggu batas
waktu pengasinganku."
" Mudah-mudahan Raden Tumenggung dapat
segera menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi selama tiga tahun
terakhir di kadipaten ini " berkata salah seorang dari kedua orang utusan
Kangjeng Adipati itu. " Apakah ada perubahan yang berarti selama tiga tahun terakhir ini?"
" Tentu ada. Raden. M sk
e ipun tidak terlalu banyak." " Baik, Ki Tumenggung. Aku akan mencobanya menyesuaikan diriku dengan perubahan-
perubahan yang terjadi di kadipaten ini "
Sementara itu, seorang abdi di rumah itupun telah menghidangkan minuman hangat
serta makanan yang agaknya telah disiapkan oleh Raden Ayu Reksayuda.
Beberapa saat kemudian, ketika lampu-lampu sudah menyala, maka mereka yang
berada di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
itupun mohon diri. Kedua orang utusan Kangjeng Adipati'untuk menyambut
kedatangan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.atas namanya. Ki Tumenggung
Reksabawa, Ki Tumenggung Jayataruna serta kedua orang prajurit pengawal itu.
" Aku mengucapkan terima kasih kepada
semuanya, yang menaruh perhatian kepadaku "
berkata Raden Tumenggung kemudian.
Sepeninggal para Tumenggung yang
menjemputnya, yang datang menyambutnya serta para prajurit pengawal, maka
Ayupun Raden telah mempersilahkan Raden Tumenggung untuk masuk ke ruang dalam.
" Jika kangmas akan mandi, aku sudah
menyediakan air hangat, kangmas."
ku memang akan " Terima kasih diajeng. A
mandi, berganti pakaian, kemudian tidur. Aku merasa sangat letih. Seumurku
berkuda dari Pucang Kembar sampai ke Sendang Arum
ditempuh dalam sehari penuh."
angmas. Aku " Ya, k sudah menduga bahwa kangmas tentu sangat letih. Tetapi setelah membenahi pakaian, kangmas jangan
langsung tidur. Aku sudah menyediakan makan malam bagi kangmas.
Raden Tumenggung Reksayuda tersenyum.
Katanya " Terima kasih diajeng. Kau sa
ngat memperhatikan aku." " Aku sendiri yang masak kangmas. Bukan para abdi. Aku ingin kangmas benar-benar
menikmati hari ini. Hari pembcbasan kangmas Tumenggung."
Raden Tumenggungpun kemudian pergi ke
pakiwan. Raden Ayu Reksayuda telah menyediakan air hangat. Bahkan ditaburkannya
bunga di jambangan. Setelah mandi, tubuh Raden Tumenggung
Reksayuda terasa menjadi segar. Harumnya air bunga membuat tubuh Raden
Tumenggung yang tua itu, terasa kukuh kembali.
Setelah berganti pakaian, maka Raden
Tumenggung itupun telah duduk di ruang dalam.
Makan malampun telah disediakan pula.
" Silahkan kangmas."
Raden Tumenggung mengangguk-angguk. Ia
menjumpai beberapa macam lauk kesenangannya.
Pepes udang. Dendeng ragi. Telur pindang. Serta beberapa macam sayur yang sangat
pedas. " Aku justru menjadi bingung diajeng. Yang manakah yang harus aku makan lebih
dahulu. Tetapi agaknya aku akan mengalami kesulitan sekarang untuk makan dengan dendeng
ragi." " Dagingnya lunak sekali kangmas. Silahkan kangmas mencobanya."
Raden Tumenggung mengangguk-angguk.
Namun kemudian iapun bergumam " Kalau saja Jalawaja dapat makan bersamaku
sekarang." " Jika tidak ang sekar , mungkin esok atau lusa kangmas. Biarlah kita mengusahakannya. Lambat laun, hatinya tentu akan menjadi
lunak." " Apakah ia merasa malu karena ayahnya
seorang buangan ?" " Tentu tidak, kangmas. Semua orang tahu, bahwa kangmas diasingkan bukan karena
melakukan kejahatan. Tetapi karena perbedaan pendapat dengan Dimas Adipati."
" Beberapa orang lebih membenci pengkhianat daripada seorang penjahat."
" Kangmas bukan seorang pengkhianat.
Seharusnya dimas Adipati tidak mengambil tindakan yang terlalu keras. Bukankah
perbedaan pendapat itu mungkin saja terjadi ?"
" Apakah yang aku lakukan sekedar berbeda pendapat ?"
" Sudahlah kangmas. Silahkan makan. Aku akan ikut makan bersama kangmas
Tumenggung." Makan malam itu memang terasa nikmat sekali.
Di pengasingan, meskipun tidak pernah terlambat, namun yang dimakan oleh Raden
Tumenggung agak kurang memenuhi seleranya. Karena itu, maka Raden Tumenggung itu
tidak pernah merasakan nikmatnya orang makan.
Dengan demikian, maka ketika ia dihadapkan pada hidangan yang bahkan menjadi
kegemarannya, maka Raden Tumenggung itu benar-benar dapat menikmatinya. Apalagi
pada saat-saat ia.makan, Raden Tumenggung itu dilayani oleh isterinya sendiri,
yang sudah lama ditinggalkannya di pengasingan.
Setelah makan malam, maka Raden
Tumenggung sempat duduk-duduk sejenak di serambi rumahnya. Seperti seorang yang
asing, maka Raden Tumenggung itu sempat mengamati serambi itu. Beberapa perabot
yang ada di serambi itu masih juga perabot pada saat ditinggalkannya.
Namun perabot-perabot itu tetap tertata rapi, bersih dan terpelihara.
Sambil menarik nafas panjang, Raden
Tumenggung itu duduk menghadap ke pintu yang tertutup. Lampu minyak yang menyala
diatas ajug-ajug melemparkan cahayanya ke seluruh ruangan.
" Apa yang terjadi di rumah ini selama aku tinggalkan diajeng ?" bertanya Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda.
" Kesepian, kangmas. Rasa-rasanya semuanya membeku."
" Bukankah tidak ada orang ya
ng berniat jahat terhadapmu ?" " Tidak, kangmas. Meskipun rasa-rasanya aku memang agak terpencil dari
pergaulan, tetapi tidak ada yang berniat jahat atau menggangguku."
" Bagaimana dengan para abdi ?"
" Mereka tetap patuh. Mereka menjalankan kewajiban mereka dengan baik. Mereka
tetap berpengharapan bahwa mereka akan dapat
mengabdikan dirinya lagi kepada kangmas. Mereka percaya bahwa kakangmas akan
segera pulang." " Sokurlah. Di pengasingan aku lebih banyak memikirkan kau dan keluarga ini
Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
daripada memikirkan diriku sendiri."
" Semuanya baik-baik saja kangmas."
" Apakah selama ini Jalawaja tidak pernah pulang ?"
" Aku sudah mencoba untuk memanggilnya.
Yang terakhir pada saat dimas Adipati akan mengutus beberapa orang menjemput
kakangmas di pengasingan. Tetapi Jalawaja tidak pernah mau turun dari tempat
tinggalnya." " Baiklah. Biarlah pada kesempatan lain aku akan datang sendiri menemuinya. Aku
juga ingin bertemu dan berbicara dengan Ki Ajar Anggara.
Mudah-mud Ki Ajar Anggara b ahan ersedia menasehati Jalawaja sehingga Jalawaja mau barang sepekan tinggal bersama kita
disini." " Mudah-mudahan kangmas. Tetapi tentu
setelah kangmas Tumenggung beristirahat barang dua tiga hari."
" Ya. Setelah aku tidak merasa letih lagi.
Perjalanan kelereng bukit itu tentu juga perjalanan yang melelahkan."
" Ya, kangmas."
Raden Tumenggung itupun menarik nafas
panjang. Ia memang merasa aneh, bahwa tiba-tiba saja ia sudah berada di rumahnya
setelah beberapa tahun di tinggalkannya.
Keduanya masih berbincang beberapa saat sebelum kemudian Raden Tumenggung itupun
berkata " Aku akan beristirahat, diajeng. Aku memang tidak terbiasa tidur
sebelum wayah sepi uwong atau bahkan sampai hampir tengah malam.
Tetapi mungkin karena aku terlalu letih, sehingga rasa-rasanya pada saat-saat
menjelang wayah sepi bocah, aku sudah mengantuk. "
" Silahkan, kangmas. Aku akan
mijit kaki me kakangmas." Sesaat kemudian, Raden Tumenggung
Reksayuda itu sudah berbaring di dalam biliknya.
Namun tidak terlalu lama kemudian, maka Raden Tumenggung itu sudah tertidur
nyenyak. Raden Ayupun kemudian telah bangkit dan meninggalkan Raden Tumenggung setelah
diselimutinya dengan kain panjang.
Raden Ayu Reksayudapun kemudian telah
berada di alam, b ruang d ersama abdinya perempuan Raden A u membenahi mangkuk-
y mangkuk kotor serta sisa makan malam.
" Kalau kau lelah, biarlah besok saja kau cuci, nduk. Asal kau letakkan di
tempat yang mapan. "
" Baik, Raden Ayu. "
Abdi perempuan itupun kemudian membawa
mangkuk-mangkuk yang kotor itu ke dapur.
Meletakkannya di sebelah gentong yang berisi air, kemudian menutupinya dengan
bakul yang besar. Di dapur itu kadang-kadang seekor atau dua ekor kucing masuk lewat celah-celah
atap dan membuat mangkuk-mangkuk kotor itu berserakan. Bahkan pernah kucing yang
berkejaran dan berebut tulang memecahkan mangkuk-mangkuk yang kotor.
Raden Ayu Reksayuda masih juga sibuk
membersihkan ruang dalam. Menyapu lantai, mengumpulkan berbagai macam kotoran
disudut. Namun tiba-tiba saja Raden Ayu itu mendengar suara yang aneh di dalam bilik
Raden Tumenggung. Karena itu, maka iapun segera menarik tangan abdi perempuannya
sambil bertanya " Kau dengar suara itu" "
" Ya, Raden Ayu. "
Raden Ayupun kemudian berlari ke bilik.
Didorong pintu bilik yang tidak tertutup rapat itu.
Namun Raden Ayu itu terhenti di pintu. Tiba-tiba saja terdengar Raden Ayu
berteriak nyaring. Abdi perempuannyapun segera berlari pula.
Tetapi iapun berteriak pula keras-keras.
Pada saat yang bersamaan, terdengar pula derak pintu butulan yang dihentakkan.
Abdi yang lain, yang mendengar jerit di depan bilik utama di rumah itupun segera
berlari. Seorang abadi laki-laki dengan cepat telah sampai kepintu bilik itu
pula. Jantungnyapun bagai ber kan henti berdetak ketika ia melihat Raden Ayu Reksayuda
menelungkup diatas tubuh Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang berlumuran darah.
Sebilah keris masih tertancap di dadanya. Namun agaknya Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda yang tua dan letih itu sudah meninggal.
Tangis Raden Ayulah yang terdengar
melengking memecah sepinya malam. Abdinya lakilaki dengan cepat berlari ke
longkangan. Dipukulnya kentongan yang ada di longkangan dengan irama titir. Isyarat bahwa
telah terjadi raja pati di rumah Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda. Beberapa saat kemudian, telah terjadi
kegemparan. Beberapa orangpun segera
berdatangan memasuki halaman rumah itu. Bahkan beberapa orang tua telah memasuki
ruang dalam rumah Raden Tumenggung Wreda itu dan
langsung pergi ke bilik. Seorang diantara merekapun berkata " Jangan sentuh. Jangan di pindahkan. Keris
itu biarlah tetap disitu. "
Tetapi Raden Ayu Reksayuda yang menangis, mengguncang-guncang tubuh Raden
Tumenggung yang sudah tidak bernafas lagi itu.
Beberapa orang prajurit berkuda yang sedang merondapun segera melarikan kudanya
menuju ke sumber suara kentongan dengan irama titir itu.
Prajurit-prajurit berkuda itulah yang kemudian menertibkan hiruk-pikuk yang
terjadi di rumah itu. Namun mereka juga tidak berani mempersilahkan RAden Ayu Reksayuda untuk keluar
dari biliknya. Seorang diantara prajurit berkuda itu telah melarikan kudanya untuk memberikan
laporan langsung ke kadipaten.
--ooo0dw0ooo-- Jilid 3 MALAM itu Sendang Arum telah dikejutkan oleh peristiwa yang sangat tidak diduga,
Hari itu Raden Tumenggung Wreda Reksayuda dijemput oleh dua orang Tumenggung dan
dua orang prajurit pengawal dari pengasingannya setelah mendapat pengampunan
dari Kangjeng Adipati Wirakusuma.
Namun demikian malam memasuki wayah sepi uwong, Raden Tumenggung Wreda itu telah
terbunuh di rumahnya yang sudah sekitar tiga tahun di tinggalkannya.
Laporan tentang terbunuhnya Raden
Tumenggung Wreda itupun segera telah sampai ke Kangjeng Adipati. Semula prajurit
yang bertugas memang agak ragu untuk membangunkan
Kangjeng Adipati. Tetapi agaknya Kangjeng Adipati telah mendengar suara kentonga
ir n dalam ama titir, sehingga Kangjeng Adipati itu telah keluar dari biliknya.
" Ada apa " " bertanya Kangjeng Adipati kepada prajurit yang bertugas di dalem
Kadipaten itu. " Ampun kangjeng. Ada seoran
rajurit yan g p g sedang meronda yang ingin meny
a amp ikan laporan tentang suara titir itu."
" Bawa prajurit itu kemari. "
Prajurit yang bertugas itupun segera memanggil prajurit yang sedang meronda yang
telah melihat sendiri apa yang telah terjadi di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
" Apa yang telah terjadi " " bertanya Kangjeng Adipati ketika prajurit itu
menghadap. Prajurit itupun segera melapoikan apa yang telah dilihatnya di rumah Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda.
" Kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda
terbunuh " " nada suara Kangjeng Adipati meninggi.
" Hamba Kangjeng Adipati. "
Kepada prajurit yang bertugas Kangjeng
Adipatipun memberikan perintah " Siapkan kudaku.
Siapkan pula pasukan pengawal. Aku akan pergi ke rumah Kangmas Tumenggung. "
Demikian prajurit itu keluar, maka Kangjeng Adipatipun segera berbenah diri di
biliknya. Namun demikian Kangjeng Adipati keluar dari biliknya, ia melihat Ririswari
berdiri di ruang dalam. " Aku mendengar apa yang telah terjadi, ayahanda. "
" Tidurlah. Belum tengah malam. "
" Ayahanda akan pergi " "
Aku akan melihat apa yang telah terjadi. "
Kangjeng Tumenggungpun segera beranjak ke pringgi-tan. Namun di pintu ia masih
berpesan " Tidurlah Riris. Kau tidak usah ikut memikirkan peristiwa yang terjadi ini. "
" Sesuatu itu telah terjadi ayahanda. "
Kangjeng Adipati tertegun sejenak. Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun keluar
lewat pintu pringgitan. Seorang pelayan dalam telah menutup pintu itu kembali dan menyelaraknya dari
dalam. Sementara itu, kuda Kangjeng Adipatipun telah siap di depan pendapa. Sekelompok
Neraka Kematian 2 Pendekar Rajawali Sakti 113 Pembalasan Iblis Sesat Irama Seruling Menggemparkan Rimba Persilatan 32