Pencarian

Kembang Kecubung 1

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Bagian 1


SH Mintardja Kembang Kecubung Sumber djvu: Dimhad website
Ebook by Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewikz.byethost22.com/
Jilid 1 MATAHARI sudah memanjat semakin tinggi.
Sinarnya yang mulai menggatalkan kulit menerpa tanah yang lembab di bawah pohon-
pohon kembang yang tumbuh di taman yang asri.
Angin yang lembut serasa berbisik lamat-lamat tentang perawan yang sedang
berduka, yang duduk diatas sebuah lincak panjang disebelah sebatang kembang soka
yang berwarna ungu muda. Seorang gadis, putera Kangjeng Adipati
Wirakusuma, Adipati di Sendang Arum sedang merenungi luka di hatinya.
Biasanya ia duduk dan bercengkerama bersama ibundanya. Dan kadang-kadang bahkan
bersama ayahandanya pula di taman. Kadang-kadang ibundanya sendiri merawat
pohon-pohon bunga di taman itu. Bunga Soka, bunga ceplok piring, bunga arum dalu
dan yang mendapat perawatan khusus adalah segerumbul kembang melati di sudut
taman, yang diberi berpagar kayu serta terawat rapi.
Tetapi hari itu Ririswari duduk sendiri.
Meskipun jaraknya tidak lebih dari lima langkah, tetapi gadis itu seakan-akan
tidak menyadari kehadiran seorang emban yang duduk
mengamatinya. " Puteri " emban itu bergeser mendekat.
Perawan yang sedang berduka itu tidak berpaling kepadanya.
" Raden Ajeng Ririswari "
Ririswari masih saja berdiam diri.
" Puteri masih nampak selalu berduka." Ririswari menarik nafas panjang.
Perlahan-lahan ia berpaling. Namun kemudian tatapan matanya kembali menerawang,
memandang ke kejauhan. " Sudahlan Puteri. Puteri jangan
memperpanjang duka. Biarlah Puteri berusaha menyembuhkan luka itu. Hamba tahu
puteri, bahwa luka itu tentu terasa sangat pedih. Tetapi Puteri tidak seharusnya
membiarkan dirinya tersiksa oleh duka."
" Aku tidak dapat segera melupakannya, emban
" sahut Ririswari tanpa berpaling " ibunda pergi terlalu cepat."
" Tidak seorangpun dapat mengelak, Puteri. Jika Yang Maha Agung memanggilnya
menghadap, maka kita, titahnya harus menghadap. Kapanpun saat itu datang. Siang,
malam, pagi dan senja hari pada saat candikala dipajang di langit."
" Aku mengerti, emban. Nalarku dapat berkata seperti yang kau katakan itu.
Tetapi perasaanku sulit aku kendalikan. Kenapa tiba-tiba saja ibunda pergi untuk
selamanya." " Ampun Puteri, jika hamba mengatakan bahwa ibunda memang dikehendaki oleh Yang
Maha Agung kembali kepadanya. Karena itu, sebaiknya kita menyerahkannya dengan
ikhlas." " Apakah kau dapat berkata seperti itu jika biyung-mu yang dipanggil menghadap "
Emban. Aku masih ingat ketika dua tahun yang lalu, nenekmu meninggal. Ketika seorang
keluargamu datang memberitahukannya kepergian nenekmu itu, maka kau langsung
menangis, berguling-guling di tanah tanpa dapat ditenangkan, sehingga akhirnya
kau jatuh pingsan. Bukankah saat itu, bahkan ibunda sendiri berusaha menenangkan
hatimu. Ibunda juga mengatakan sebagaimana kau katakan kepadaku."-
" Hamba Puteri. Tetapi waktu itu, berita meninggal-nya nenek hamba itu datang
dengan tiba-tiba. Hamba tidak pernah mendengar kabar bahwa nenek sakit.
Sepanjang pengetahuan hamba, nenek itu selalu sehat. Bahkan sebulan sebelumnya,
ketika hamba mendapat kesempatan pulang selama tiga hari, nenek masih pergi ke
sungai untuk mencuci pakaian. Kemudian, seperti biasanya setiap nenek pergi ke
sungai, maka di saat nenek pulang, tentu membawa sebuah batu.
Bahkan nenek menganjurkan setiap anggauta keluarganya yang pergi ke sungai,
supaya juga membawa sebuah batu sebesar buah kelapa."
" Batu ?" " Ya, Puteri." " Untuk apa ?" " Dalam setahun, nenek dapat membuat
bebatur rumah dari batu yang telah kami kumpulkan. Sehari, tiga orang diantara
keluarga kami pergi ke sungai, maka kami akan
mengumpulkan tiga buah batu sebesar buah kelapa. Bahkan anak-ahakpun telah
dibiasakan melakukannya pula, yang tentu saja membawa bebatuan yang lebih
kecil." " Ternyata nenekmu seorang yang cerdik, emban."
" Ya. Puteri. Karena itu berita kematiannya sangat mengejutkan."
" Setelah itu, lebih dari setengah tahun kau masih nampak murung."
Emban itu terdiam. " Emban. Ibunda baru seratus hari yang lalu meninggal."
" Hamba Puteri."
" Cintaku kepada ibunda tidak akan berakhir disaat ibunda pergi. Apalagi ibunda
pergi terlalu cepat."
" Puteri. Tetapi benar kata orang, bahwa kita jangan terlalu dalam terbenam ke
dalam duka Selain bagi ketenangan Puteri sendiri, jika Puteri kelihatan lebih
ceria, akan sangat berpengaruh bagi ayahanda Puteri. Bagi Kangjeng Adipati
Wirakusuma." Ririswari menundukkan wajahnya.
Kangjeng Adipati akan dapat kembali
memusatkan perhatiannya kepada tugas-tugas yang diembannya. Tentu kadang-kadang
terbersit pula kenangannya terhadap ibunda Puteri. Tetapi kecerahan wajah Puteri
akan menjadi penghiburan yang sangat berarti bagi Kangjeng Adipati.
Demikian pula sebaliknya, sehingga akan timbul pengaruh yang baik timbal balik.
" " Emban " "
" Hamba Puteri. "
" Kau pintar emban. "
" Ampun Puteri. Ketika nenekku meninggal, biyung hamba menjadi sangat bersedih
sebagaimana hamba. Kami berdua selalu murung.
Bahkan setelah hamba kembali ke taman ini. Jika biyung datang menengok hamba,
maka kami masih saja menangis bersama-sama mengenang
kematian nenek. Ayah hambalah yang menasehati hamba dan biyung hamba agar kami
tidak tenggelam ke dalam duka. Jika wajahku cerah, biyung akan terhibur. Sebaliknya
jika wajah biyung cerah, aku akan terhibur. "
" Apakah wajahmu tiba-tiba menjadi cerah " "
Emban itu terdiam. Bahkan ia menundukkan wajahnya dalam-dalam.
" Biyung emban. Aku sadari sepenuhnya bahwa apa yang kaukatakan itu benar.
Tetapi seperti yang aku katakan, bahwa nalar dan perasaanku masih belum sejalan.
Aku mengerti semua yang dikatakan oleh seseorang yang mencoba menenangkan
hatiku. Menghiburkan agar hatiku menjadi tenang.
Tetapi perasaanku ternyata bersikap lain. "
" Raden Ajeng. Itulah yang harus Raden Ajeng usahakan. Keseimbangan antara nalar
dan perasaan. " " Siapa yang mengatakan itu, emban. "
" Orang-orang tua yang mencoba menenangkan hati' hamba pada waktu itu, Puteri. "
" Emban. Bukan maksudku bahwa aku tidak mau mencobanya. Aku sudah mencoba,
emban. Tetapi ternyata hatiku tidak cukup tegar untuk mengimbangi nalarku. "
" Jika saja Puteri berusaha dengan tidak berkeputu-san. Kembalikan persoalannya
kepada Yang Maha Agung. "
Raden Ajeng Ririswari tidak sempat menjawab.
Tiba-tiba saja perhatiannya tertarik kepada suara seruling yang seakan-akan
menjerit tinggi. Mengalun bagaikan mengapung diatas angin yang semilir di taman yang asri itu.
" Kau dengar suara seruling, emban. "
" Saatnya anak-anak menggembalakan
kambingnya. " " Dimana mereka menggembala " Suara itu terlalu dekat. Agaknya suara itu
bersumber dari bilik dinding keputren ini. "
" Apakah Raden Ajeng tertarik kepada suara seruling itu " "
" Suaranya menyentuh hati, emban. Aku ingin tahu, siapakah yang telah meniup
seruling itu. " " Tentu seorang anak yang sedang
menggembala, Puteri. "
" Tentu tidak sedekat itu. Suara itu terdengar dekat sekali, seakan-akan aku
dapat menjangkaunya dengan jari-jariku. "
" Suara itu dibawa oleh angin. "
" Emban. " " Hamba Raden Ajeng. "
" Bukalah pintu butulan. "
" Pintu butulan " "
" Ya." " Apakah itu diperkenankan " "
" Atas perintahku. "
" Tetapi hanya dalam keadaan yang sangat penting saja pintu itu dibuka. "
" Bagiku, suara seruling itu sangat menarik hatiku. Aku merasa perlu untuk
melihat. Seandainya yang meniup seruling itu seorang anak gembala, maka alangkah .
senangnya ayah dan ibunya mempunyai anak yang mampu meniup seruling seperti itu.
Dengar emban. Suara seruling itu bagaikan terbang tinggi, melintasi mega yang
sedang berarak, menggapai sap-sap langit yang lebih tinggi, sehingga menyentuh
bulan yang sedang tersenyum manis.
" Angan-angan Raden Ajeng, sebagai seorang perawan yang sedang tumbuh dewasa
seperti kembang yang sedang mekar, melambung tinggi mengapung menggapai
rembulan. Tetapi sekarang siang hari Puteri. "
" Apakah angan-anganmu tidak pernah
melayang-layang bersama awan yang berarak di langit itu emban. "
" Ah. Indahnya mimpi-mimpi perawan yang sedang menginjak dewasa. Karena itu,
Puteri, lupakan duka yang sedang Puteri sandang. "
" Karena itu, bukalah pintu butulan itu, emban."
Emban itu nampak menjadi ragu-ragu.
" Aku yang akan bertanggung jawab emban.
Apalagi hanya sesaat. Aku hanya ingin melihat, siapakah yang membunyikan
seruling dibalik dinding keputren ini.
Emban itu tidak dapat mengelak lagi. Karena itu, maka emban itupun segera pergi
ke pintu butulan. Diangkatnya selarak pintu itu, sehingga sejenak kemudian, maka pintu itupun
telah terbuka. Ketika Raden Ajeng Ririswari menjengkuk keluar dinding Keputren, maka Ririswari
itupun terkejut. " Kakang Jalawaja. "
Suara seruling itupun terhenti. Seorang anak muda yang duduk disebelah pintu
butulan itupun bangkit berdiri.
Hampir diluar sadarnya, maka Ririswaripun melangkah keluar.
" Puteri. Puteri akan pergi kemana " "
" Aku tidak akan kemana-mana, emban. Aku hanya akan berdiri di pintu. "
Emban itupun bergeser pula mendekati Ririswari yang berdiri di pintu. Namun
emban itu terhenti ketika ia melihat seorang anak muda yang berdiri termangu-
mangu diluar pintu. " Kakang Jalawaja. Kenapa kakang berada disini
" " " Sudah lama aku duduk disini, Riris. Aku tidak berani masuk lewat pintu
gerbang." " Kenapa kakang. Jika kakang mohon ijin kepada ayahanda untuk menemui aku,
ayahanda tentu mengijinkannya. "
" Aku sangsi, Riris. Seandainya aku mohon kepada Kangjeng Adipati, maka aku
tentu hanya akan diusirnya. "
" Kau berprasangka buruk terhadap ayahanda."
" Ayahandamu seorang Adipati. "
"Tetapi ayahanda kakang Jalawaja, saudara sepupu aya-handaku."
" Kau tahu, apa yang terjadi dengan ayahku " "
" Kenapa dengan paman Reksayuda " "
" Oleh ayahandamu, ayahku telah disingkirkan jauh keluar kadipaten ini. "
" Persoalannya bukan persoalan pribadi, kakang.
Aku yakin, bahwa ayahanda akan bersikap baik kepadamu. "
" Aku mengerti, Riris. "
" Tetapi kakang sekarang sudah berada di ambang pintu taman. Apakah keperluan
kakang ?" " Jangan tambun puteri. Jangan berpura-pura tidak tahu.-
Ririswari menundukkan wajahnya.
" Riris Aku perlukan datang menemuimu. Aku ingin mendengar jawabmu atas
pernyataan yang pernah aku katakan kepadamu. "
" Kakang Jalawaja " suara Ririswari menjadi dalam sekali " kau tahu, bahwa aku
baru saja kehilangan ibundaku."
" Aku tahu Riris. Tetapi bukankah sudah ada jarak waktu sampai hari ini. "
" Tetapi aku masih belum dapat melupakan saat-saat kepergian ibundaku. "
" Kau harus menghadapi kenyataan Riris.
Sepeninggal bibi, matahari masih tetap beredar di jalurnya. Matahari itu tidak
dapat berhenti karena seorang gadis sedang berduka. Aku sudah menyatakan, bahwa
aku ikut kehilangan sepeninggal bibi. Bibi sangat baik kepadaku, meskipun bibi tahu, bahwa ayahku
adalah seorang yang tidak pantas tinggal di kadipaten ini. Tetapi hari-hari akan
berlanjut: Hidupku dan hidupmu. "
" Aku mengerti, kakang. Duka keluargaku memang tidak dapat menghentikan matahari
yang berputar sesuai dengan iramanya sendiri. Tetapi aku dapat berlindung
dibawah rimbunnya dedaunan untuk menghindari teriak sinarnya.
Hanya untuk sementara di saat hatiku belum siap menerimanya. "
" Sudah berapa kali aku mendengar jawabmu seperti itu, Riris."
" Maafkan aku, kakang Jalawaja. Aku tidak berniat melukai hatimu. Tetapi aku
minta waktu. " Wajah Jalawaja menjadi tegang. Tetapi iapun melangkah surut sambil berdesis "
Aku adalah anak orang buangan, Riris. Aku tidak dapat berkata apa-apa lagi. aku
minta diri. " " Kakang. Jangan salah paham. Aku tidak pernah mempersoalkan bahwa paman
Tumenggung Wreda Reksayuda harus
meninggalkan tanah ini. Kau tidak tersentuh oleh kesalahan yang pernah
dilakukannya. " " Aku minta diri. "
" Kakang. " " Bukankah aku harus menunggu " Aku akan menunggu Riris. Sampai pada suatu saat
hatimu tidak lagi disaput awan kelabu. Meskipun aku tidak tahu, sampai kapan aku
harus menunggu. " Jalawaja tidak menunggu jawaban Ririswari.
Iapun kemudian melangkah meninggalkan pintu butulan taman kepu-tren yang jarang
sekali dibuka itu. Ririswari berdiri termangu-mangu. Wajahnya nampak muram. Sedangkan matanya
berkaca-kaca. Dipandanginya langkah Jalawaja menjauh sehingga hilang dikelokan.
"Puteri." Ririswari bagaikan terbangun dari mimpinya yang gelisah.
" Hamba mohon Puteri segera masuk kembali ke taman keputren. Biarlah hamba
menutup pintunya. Jika para prajurit yang nganglang melihat pintu ini terbuka, maka mereka tentu
akan melaporkannya kepada ayahanda Puteri. "
Ririswari menarik nafas panjang. Sambil mengusap pelupuknya yang basah,
Ririswaripun melangkahi tl undak pintu butulan. Tetapi langkahnya terhenti.
Dipandanginya sebatang pohon bunga yang tidak terdapat didalam taman.
Beberapa kuntum bunga bergelantungan
didahannya yang kecil. Seakan-akan menunduk ikut bersedih.
Ketika Ririswari mendekati pohon bunga itu, embannya menahannya sambil berkata "
Jangan Puteri. "

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ririswari berpaling kepadanya. Sementara emban itupun berkata " Itu kembang
kecubung Puteri. Kembang yang menyimpan racun yang memabukkan. "
Ririswari melangkah mundur. Namun kemudian iapun segera berbalik, masuk ke dalam
taman keputren. Emban itupun segera menutup pintu butulan itu dan menyeleraknya dari dalam.
Selarak yang terasa berat di tangan emban itu.
Sepeninggal Jalawaja, wajah Ririswari menjadi semakin murung. Dengan lembut
emban itupun berkata " Sudahlah Puteri. Marilah, aku persilahkan Puteri pergi ke
geladri. Mungkin ada .sesuatu yang dapat Puteri kerjakan disana. "
Ririswari tidak menjawab. Tetapi gadis itupun kemudian berjalan dengan langkah-
langkah kecil menuju ke geladri.
" Raden Jalawaja tentu akan datang kembali Puteri. Esok atau lusa " berkata
emban yang berjalan disamping Ririswari. -
Tetapi Raden Ajeng Ririswari itu menggeleng.
Katanya " Tidak segera emban. " " Aku berani bertaruh. Besok suara seruling itu tentu akan terderigar lagi. " " Kakang Jalawaja sekarang tidak lagi tinggal di rumahnya. " " O " " Kakang Jalawaja sudah beberapa lama tinggal bersama kakeknya di kaki bukit. "
" Jadi. " " Jika ia datang kemari, emban, ia telah menempuh perjalanan yang panjang. "
" Puteri. Mumpung belum terlalu jauh. apakah hamba diperkenankan menyusulnya. "
" Jika kau berhasil menyusul kakang Jalawaja, apa yang akan kau katakan
kepadanya" " Emban itu terdiam. Namun kemudian emban itu berdesis
" Apa saja yang Puteri perintahkan. "
" Sudahlah emban. Akupun yakin, bahwa
kakang Jalawaja akan kembali. Tetapi kapan" "
" Kenapa tadi Puteri mengusirnya" "
" Aku tidak mengusirnya, emban. Aku hanya mengatakan, bahwa aku belum dapat
menjawab pernyataannya beberapa waktu yang lalu. "
" Pernyataan tentang apa, Puteri. "
" Kenapa kau masih menanyakannya" "
" Apakah hamba pernah bertanya sebelumnya."
" Ah." Langkah Ririswari yang kecil-kecil itu menjadi semakin cepat. Berlari-lari kecil
emban itu mengikutnya. Ketika keduanya sampai ke geladri, geladri itu nampak sepi.
Ketika seorang abdi lewat, Ririswaripun bertanya
" Di-mana ayahanda" "
" Di ruang depan, Puteri. Dihadap oleh Raden Ayu Rekasayuda. Ki Tumenggung
Jayaiacuna dan Ki Tumenggung Reksabaya. "
" Bibi Reksayuda ada disini" "
" Ya, Puteri. "
" Ada apa" "
" Hamba tidak tahu, Puteri. "
Ketika abdi itu pergi, Ririswaripun berdesis " Aku tidak senang kepada perempuan
itu. " " Kenapa Puteri" " bertanya embannya.
" Tidak apa-apa. "
" Tetapi kenapa Puteri tidak senang kepada Raden Ayu."
Ririswari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata " Aku tidak
senang melihat sikapnya. Bibi tidak menunjukkan sikap sebagai seorang yang
dituakan meskipun ia masih muda.
Aku menjadi semakin benci melihat tingkahnya ketika ia menghadap ayahanda
beberapa waktu yang lalu, justru pada saat ayahanda masih diliputi perasaan duka
atas kepergian ibunda. "
" Hamba tidak melihatnya, Puteri. "
" Ia merasa dirinya perempuan yang paling cantik di dunia ini. Jika kau dengar,
bagaimana perempuan itu tertawa. Bagaimana ia tersenyum dan bagaimana ia
menangis dihada-pan ayahanda.
Tingkahnya yang berlebihan membuatnya menjadi semakin tidak pantas. "
" Kenapa ia menangis" "
" Perempuan itu berbicara tentang paman yang masih menjalani hukuman. "
" O " " Tetapi aku tidak yakin bahwa ia bersikap jujur.
" Emban itu mengangguk-angguk. Namun
kemudian iapun berkata " Puteri. Sudah lama Puteri tidak menyentuh canting, awan
an dan kain yang sedang di batik itu. Jika Puteri sempat menyelesaikannya, kain
itu akan sangat berarti bagi Puteri. Bukankah beberapa coretan pertama dilakukan
oleh ibunda" " Ririswari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata " Ya, emban.
Biarlah aku melanjutkannya. Kain itu akan dapat menjadi kenangan bagiku. Bekas
tangan ibunda itu akan aku beri tanda agar aku dapat selalu
mengingatnya. Kain itu akan aku persembahkan kepada ayahanda. Ayahanda
menggemari kain batik parang. Bahkan ayahanda, yang pada waktu itu masih
didampingi oleh ibunda, mempunyai kumpulan kain batik dari berbagai jenis
parang. Sebagian adalah kain yang dibatik oleh ibunda sendiri. "
" Marilah Puteri. Biarlah aku mempersiapkannya.
" Keduanyapun kemudian pergi ke serambi
samping dise-belah kiri. Emban itu masuk kedalam sebuah sentong yang sempit. Di
dalam sentong itu disimpan berbagai peralatan batik serta lembar kain yang masih
harus digarap. Ketika gawangan dengan kain yang belum
selesai dibatik bergayut di gawangan itu dibawa keluar dari bilik itu, maka
Ririswaripun mengusap air matanya yang mengembun. Di luar sadarnya, Ririswari
membayangkan ibundanya yang duduk didepan gawangan itu. Sekali-sekali ditiupnya
canting yang berisi malam yang cair dan panas.
Kemudian digoreskannya paruh canting itu pada kain yang tersangkut digawangan.
Embannya masih saja sibuk menyediakan anglo kecil, wajan yang sering dipakai
oleh'Ririswari serta ibundanya membatik. Kemudian menyalakan api, meletakkan
wajah kecil diatasnya serta menaruh malam kedalamnya. Malam yang berwarna coklat
diberi secuil malam yang berwarna putih.
Sejenak kemudian, Ririswaripun duduk disebuah dingklik kayu yang rendah
disamping wajannya yang berisi malam yang sudah mulai mencair diatas bara api
arang kayu metir di anglo kecil.
Dicobanya untuk memusatkan perhatiannya pada kain yang sedang dibatiknya.
Dalam pada itu, di ruang depan, ayahandanya, Kangjeng Adipati Wirakusuma duduk
dihadap oleh Raden Ayu Reksayuda, Ki Tumenggung Jayataruna serta Ki Tumenggung
Reksabawa. Terasa ruang depan dalem Kadipaten itu diliputi oleh suasana yang tegang.
Raden Ayu Reksayuda telah menghadap
Kangjeng Adipati Wirakusuma untuk yang kesekian kalinya. Dengan menahan tangis.
Raden Ayu Prawirayuda itu mohon agar diberikan
pengampunan bagi suaminya, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang mendapat
hukuman, disingkirkan dan tidak boleh menginjak tlatah Kadipaten Sendang Arum untuk waktu
lima tahun. " Ampun dimas Adipati. Hamba mohon
keringanan bagi kangmas Tumenggung Reksayuda.
" Kangjeng Adipati menarik nafas panjang.
" Hamba sudah menghadap beberapa kali.
Dimas Adipati masih belum memberikan kepastian, meskipun dimas sudah berjanji
akan mengusahakan keringanan itu. "
Kangjeng Adipati masih belum memberikan jawaban.
" Hamba mohon belas kasihan dimas Adipati.
Dimas tentu tahu, bahwa ketika kangmas
Tumenggung Wreda Reksayuda diusir dari
Kadipaten Sendang Arum, kami belum lama hidup bersama sebagai suami isteri. Kami
baru saja menikah pada waktu itu. "
" Kangmbok"jawab Kangjeng Adipati "jika keputusan bahwa kangmas Tumenggung Wreda
itu harus disingkirkan dari Sendang Arum dijatuhkan, adalah akibat dari sikap
dan tindakan kangmas Tumenggung Rcksayuda itu sendiri." .
" Hamba tahu, dimas. Kangmas Reksayuda
memang bersalah. Tetapi bukankah kangmas Rcksayuda telah menjalani hukumannya" "
" Kangmas Reksayuda dihukum tidak boleh memasuki telalah Kadipaten Sendang Arum
selama lima tahun. "
" Hukuman itu sangat berat bagi kangmas Reksayuda yang sudah lebih dari separo
baya itu, dimas. " " Semuanya itu bukan kehendakku pribadi, kangmbok. Tetapi paugeran dan tatanan
di Sendang Arumlah yang menentukan. Jika kangmas Tumenggung yang sudah semakin
tua itu tidak melakukan kesalahan, maka kangmas Tumenggung tentu tidak akan
menanggung akibat yang mungkin dirasakan sangat berat itu. "
" Dimas, apalagi sekarang menurut berita yang hamba dengar, kangmas Tumenggung
Wreda sering sakit-sakitan. Apakah mungkin terjadi, bahwa kangmas Tumenggung tidak
lagi sempat melihat terbitnya matahari di Kadipaten Sendang Arum ini" "
Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang.
" Dimas. Apapun yang harus hamba lakukan, akan hamba lakukan bagi pengampunan
kangmas Tumenggung Reksayuda. "
" Baiklah, aku akan membicarakannya
kangmbok. " " Beberapa pekan yang lalu, dimas juga
mengatakan akan membicarakannya. "
" Aku sudah membicarakannya. Tetapi masih ada beberapa silang pendapat diantara
beberapa orang penanggung jawab negeri ini. Agar keputusan yang akan kami ambil
tidak menimbulkan persoalan di masa depan, maka kami akan membicarakannya lebih dalam
lagi. " Raden Ayu Prawirayuda mengusap matanya
yang basah. Dengan suara yang bergetar iapun berkata " Ampun dimas. Jika
demikian, hamba akan menunggu. Namun hamba mohon dengan sungguh-sungguh belas
kasihan dimas kepadaku dan kepada kangmas Reksayuda. Hamba mohon dimas Adipati
memberi kesempatan kepada kami untuk memberikan arti bagi pernikahan kami. "
" Kami masih memikirkan kemungkinan-
kemungkinan yang dapat dilakukan oleh kangmas Reksayuda seandainya ia benar-
benar aku beri kesempatan untuk pulang. "
" Apa yang dapat dilakukan oleh kangmas Reksayuda yang sudah menjadi semakin
tua" Seandainya dimas mengi-jinkannya pulang, maka yang dapat dilakukannya tidak
lebih dari satu kehangatan keluarga diusianya yang semakin tua."
" Baiklah kangmbok. Beri kesempatan kepada kami untuk membicarakannya dengan
beberapa orang pejabat di Kadipaten ini. "
" Hamba dimas. Segala harapan bergayut
kepada kebijaksanaan dimas. "
" Aku bersandar kepada kesepakatan para pemimpin di Sendang Arum."
" Tetapi dimas adalah penguasa tertinggi di Kadipaten ini. "
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang Namun kemudian iapun berkata " Baiklah,
kangmbok. Apa yang kangmbok inginkan sudah kami ketahui.
Karena itu, biarlah kami membicarakannya. Pada saatnya kami akan memberitahukan
kepada kangmbok keputusan yang kami ambil. "
Raden Ayu Prawirayuda menundukkan
wajahnya. Sekali-sekali tangannya masih mengusap matanya yang basah. Namun
kemudian Raden Ayu Prawirayuda itupun mohon diri.
" Aku akan memberitahukan kepada kangmbok secepatnya. "
" Terima kasih, dimas. Hamba menunggu. Siang dan malam hamba berdoa, semoga
kangmas Tumenggung Rek-sayuda segera diperkenankan pulang. "
Raden Ayu Reksayuda itupun kemudian,
meninggalkan pertemuan itu. Wajahnya masih nampak muram. Matanya lembab oleh
tangisnya yang tertahan-tahan. Namun yang kadang-kadang bendungan itu pecah
juga, sehingga air matanya menghambur keluar.
Di ruang depan Kadipaten itu, Kangjeng Adipati, masih dihadap oleh Ki Tumenggung
Reksabawa dan Ki Tumengung Jayataruna.
" Kakang Tumenggung berdua. Bagaimana
menurut pertimbangan kalian tentang permohonan kangmbok Reksayuda " Kalian sudah
mendengar sendiri. Bukan hanya permohonannya, tetapi juga tangisnya. Apakah kita
dapat memaafkan kesalahan Kamas Tumenggung Wreda Reksayuda yang telah berniat untuk memberontak
pada waktu itu. Meskipun pemberontakan itu belum nyata dan belum dilakukan,
tetapi pemberontakan itu rasa-rasanya sudah disiapkannya"
" Ampun Kangjeng Adipati. Jika diperkenankan, hamba akan mengutarakan pendapat
hamba " berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
" Katakan, kakang."
" Jika berkenan di hati Kangjeng Adipati, apakah sebaiknya Kangjeng Adipati
menghubungi Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar.
Bukankah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda berada di Pucang-Kembar. Mungkin
Kangjeng Adipati di Pucang Kembar dapat memberikan beberapa pertimbangan. Jika
menurut pengamatan Kangjeng Adipati di Pucang Kembar, Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda bersikap baik dan tidak ada tanda-tandanya untuk melanjutkan niatnya
menggeser kedudukan Kangjeng Adipati, maka permohonan Raden Ayu Reksayuda dapat
dipertimbangkan. " " Bagaimana pendapatmu kakang Reksabawa ?"
" Kangjeng Adipati. Menurut pendapat hamba, paugeran harus ditegakkan di Sendang
Arum. Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah
melakukan kesalahan yang sangat berat. Raden Tumenggung telah merencanakan satu
pemberontakan untuk menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma. Bahkan tanpa
alasan apa-apa selain perasaan iri, bahwa bukan Raden
Tumenggung Reksayuda yang menduduki jabatan Adipati di Sendang Arum. Raden
Tumenggung Reksayuda akan dapat menjadi Adipati menurut darah ketu-, runan jika
eyangnya tidak meninggal dalam usia yang masih terhitung muda, sebelum sempat
menggantikan kedudukan ayahnya. Adipati di Sendang Arum sehingga akhirnya
Kangjeng Adipati Wirakusumalah yang sekarang memegang jabatan itu. Jika saja
Raden Tumenggung Reksayuda itu mempunyai alasan yang mapan, mungkin banyak orang
yang dapat mengerti, kenapa ia melakukannya meskipun ia tetap dianggap bersalah.
Tetapi yang dilakukan oleh Raden Tumenggung semata-mata berpusar pada
kepentingannya sendiri. "
" Jadi, maksud kakang " "
" Ampun Kangjeng. Menurut pendapat hamba, perasaan iri di hati Raden Tumenggung
Reksayuda itu tidak' akan mudah hilang. Jika saja Raden Tumenggung Wreda itu
mempunyai alasan tertentu, misalnya tentang ke tataprajaan atau tentang tatanan laku dagang atau
tentang persoalan-persoalan mendasar lainnya, masih dapat diharapkan, bahwa
perubahan-perubahan yang terjadi di Kadipaten ini akan dapat memberikan
kesadaran baru bagi Kangjeng Raden Tumenggung Wreda. Tetapi jika persoalannya
adalah karena iri hati, maka akan sulit dicari jalan pemecahannya "
" Bagaimana kesimpulan kakang " "
" Ampun Kangjeng. Menurut pendapat hamba, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda harus
menjalani hukumannya sesuai dengan keputusan yang sudah dijatuhkan. Lima tahun.
Sedangkan hukuman itu sampai sekarang baru dijalani selama dua hampir tiga
tahun. " " Jadi menurut kakang, kesalahan yang pernah dilakukan oleh kakangmas Tumenggung
Reksayuda itu tidak dapat di maafkan " "


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Setelah waktu hukumannya diselesaikan. "
" Itu namanya bukan pengampunan, bukan
pemaafan atas satu kesalahan. Setelah menjalani hukuman lima tahun, maka hutang
kakangmas Reksayuda terhadap Kadipaten ini sudah sah.
Sudah lunas Tidak ada lagi pengampunan yang diperlukan. "
" Kangjeng.Raden Tumenggung Reksayuda
adalah masih berada dalam lingkaran keluarga Kangjeng Adipati sendiri. Apa kata
orang, jika pengampunan itu Kangjeng Adipati berikan kepada keluarga Kangjeng
Adipati sendiri yang terang-terangan telah melakukan kesalahan. Lalu bagaimana
pula dengan beberapa orang yang mendukungnya, sehingga harus menjalani
hukuman pula. Apakah mereka semua juga harus mendapatkan pengampunan " Jika
tidak, maka apakah hanya kerabat Kangjeng Adipati sendiri yang dapat diampuni
kesalahannya " Karena itu, Kangjeng, menurut pendapat hamba, keputusan yang
sudah ditetapkan harus ditegakkan."
" Kakang " tiba-tiba saja Ki Tumenggung Jayataruna menyela keputusan berdasarkan
paugeran itu bukan kata-kata mati. Bukankah kangjeng Adipati mempunyai
kebijaksanaan yang dapat ditrapkan untuk menentukan keputusan baru
?" " Apakah yang adi maksud dengan
kebijaksanaan " Kebijaksanaan seharusnya bukan berarti satu cara untuk
menghindari paugeran yang seharusnya berlaku. Kebijaksanaan bukan cara untuk
menembus celah-celah tatanan yang sudah ditetapkan. Memang banyak orang yang
mengartikan bahwa kebijaksanaan itu adalah keputusan-keputusan yang diambil
untuk melawan paugeran dan tatanan yang berlaku. Atau bahkan mempergunakan
celah-celah paugeran untuk memutihkan tindakan-tindakan yang sebenarnya keliru."
" Itu sudah terlalu jauh kakang. Tetapi agaknya kakang tidak percaya kepada
kebijaksanaan yang dapat diambil oleh Kangjeng Adipati."
" Tidak. Sama sekali tidak. Tetapi aku tidak sependapat dengan jalan pikiranmu
adi." " Cukup. Aku memang belum mengambil
keputusan, apakah aku akan memaafkan kakang m as Tumengung Wreda Reksayuda atau
tidak. Tetapi aku setuju untuk mengumpulkan keterangan-keterangan yang dapat
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan sebelum aku mengambil keputusan. Karena
itu, aku perintahkan kakang Tumenggung berdua, Tumenggung Reksabawa dan
Tumenggung kakangmas Adipati Jayanegara.
Kakang Tumenggung berdua aku perintahkan untuk minta pertimbangan kakangmas
Adipati tentang sikap dan tingkah laku kakangmas Reksayuda selama berada di
Kadipaten Pucang Kembar."
" Ampun Kangjeng " sahut Ki Tumenggung
Reksabawa " apakah Kangjeng Adipati Jayanegara akan bersikap jujur " Mungkin
Kangjeng Adipati hanya ingin segera menyingkirkan Raden
Tumenggung Reksayuda dari daerahnya, agar Raden Tumenggung itu tidak mengotori
Kadipaten Pucang Kembar."
" Kenapa kau tidak percaya kepada semua orang, kakang ?" justru Ki Tumenggung
Jayatarunalah yang bertanya.
" Bukan begitu adi Tumenggung. Tetapi aku hanya memberikan pertimbangan-
pertimbangan." " Sudah cukup " potong Kangjeng Adipati " aku perintahkan kakang berdua esok
pagi pergi ke Kadipaten Pucang Kembar. Mungkin kakang berdua harus bermalam di
Pucang Kembar, karena selain perjalanan yang panjang, belum tentu kakangmas
Adipati di Pucang Kembar dapat langsung menerima kalian."
" Hamba Kangjeng " jawab keduanya hampir berbareng.
" Sekarang aku perkenankan kalian
meninggalkan tempat ini."
Kedua orang Tumenggung itupun kemudian
mohon diri. Mereka harus bersiap-siap, karena esok pagi mereka akan menempuh
perjalanan jauh. Ketika keduanya keluar dari gerbang dalem kadipaten, keduanya tidak banyak
berbicara. Baru ketika keduanya akan berpisah, Ki Tumenggung Jayatarunapun
bertanya " Besok pagi-pagi kita bertemu dimana kakang "
" Menjelang keberangkatan kita ke Pucang Kembar ?"
" Ya." " Bagaimana jika adi Jayataruna singgah di rumahku?"
Ki Tumenggung Jayataruna termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab "
Baik, kakang. Besok pagi-pagi, sebelum matahari terbit, aku sudah akan berada di
rumah kakang." " Aku akan siap sebelum matahari terbit"
Keduanyapun kemudian berpisah. Ki Tumenggung Jayataruna berbelok ke kiri,
sementara Ki Tumenggung Reksabawa mengambil jalan yang lurus.
Demikian keduanya berpisah, maka keduanya menjadi semakin dalam tenggelam
kedaiam angan-angan mereka masing-masing. Bagi Ki
Tumenggung Reksabawa, maka Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda tidak
sepantasnya di ampuni. Hanya berdasarkan atas perasaan iri, maka Raden
Tumenggung Reksayuda telah mempersiapkan satu pemberontakan untuk menyingkirkan
Kangjeng Adipati Wirakusuma.
Mungkin, dalam pembuangan, terbersit penyesalan dan bahkan berjanji kepada diri
sendiri untuk melupakan perasaan iri hati itu. Tetapi jika Raden Tumenggung
Wreda itu sudah berada di rumahnya, maka perasaan iri itu akan dapat terungkit
lagi. " Raden Tumenggung Reksayuda adalah
seorang yang keras hati. Ia seorang prajurit yang baik, yang mumpuni dan di
Segani oleh banyak orang. Meskipun Raden Tumenggung itu sudah menjadi semakin
tua, namun ia masih akan dapat bangkit lagi untuk memimpin sebuah
pemberontakan. Raden Tumenggung itu dapat saja mencari kelemahan-kelemahan yang
terdapat didalam diri Kangjeng Adipati Wirakusuma. Sebagai manusia biasa, memang
cukup banyak kekurangan dan kelemahan Kangjeng Adipati " berkata Ki Tumenggung
Reksabawa didalam hatinya.
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas
panjang. Sementara itu, Ki Tumenggung Jayataruna yang mengambil jalan lain, telah
berangan-angan pula disepanjang jalan pulang. Yang nampak jelas di angan-
angannya justru bukan Raden Tumenggung Reksayuda yang sedang dipersoalkannya
dengan Ki Tumenggung Reksabawa. Tetapi yang nampak jelas di angan-angannya
adalah justru wajah Raden Ayu Reksayuda yang dimatanya nampak sangat cantik.
Apalagi jika Raden Ayu Reksayuda itu tersenyum kepadanya.
- Gila - desisnya - kenapa perempuan secantik itu harus menikah
dengan Raden Tumenggung Reksayuda yang sudah tua "- - Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang. Namun kadang- kadang Ki Tumenggung Jayataruna itu tersenyum sendiri. Dalam pada itu, sepeninggal Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung
Jayataruna, Kangjeng Adipati Wirakusuma telah masuk ke ruang dalam. Ketika
tercium olehnya bau malam yang dipanasi, maka Kangjeng Adipati itu telah pergi
ke serambi. Dipintu Kangjeng Adipati itu berdiri termangu-mangu. Ia melihat puterinya
membatik dengan asyiknya.
Embannya yang juga membatik sehelai
selendang untuk sekedar menemani Raden Ajeng Ririswari, melihat kehadiran
Kangjeng Adipati. Karena itu, maka diletakannya cantingnya Kemudian emban itupun menyembah dengan
hormatnya. Raden Ajeng Ririswari yang melihat embannya menyembah, segera berpaling. Ketika
dilihatnya ayahnya berdiri di pintu, maka Ririswari itupun menyembah pula.
Kemudian gadis itu bangkit berdiri sambil berkata "Ayahanda. Aku akan
menyelesaikan batik parang itu. Kelak aku ingin mempersembahkannya kepada
ayahanda. Meskipun barangkali batikanku tidak terlalu halus, namun aku akan mohon sekali
waktu ayahanda mengenakannya. Tentu saja tidak dalam
pertemuan yang besar dan resmi. Tetapi mungkin pada saat-saat bibi Reksayuda
menghadap." " Bibimu ?" " Ya. Bukankah sekarang bibi sering menghadap
" Dengan tingkahnya yang dibuat-buat serta senyumnya yang berhamburan."
" Ah, kau Riris. Bibimu datang untuk mohon keringanan hukuman bagi uwakmu,
kakangmas Tumenggung Wreda Rek-sayuda."
" Apakah ia berbuat dengan jujur, ayahanda ?"
" Jangan berprasangka, Riris. Sekarang
lanjutkan saja kerjamu. Aku akan menungguimu disini. Aku senang melihat kau
mulai membatik lagi."
" Ibunda yang mulai dengan beberapa coretan pada kain itu. Ibunda memang minta
aku menyelesaikannya.- " Kau akan menyelesaikannya, Riris. "
" Ayah benar akan menunggui aku disini ?"
" Ya. Aku akan duduk di sebelahmu "
" Baik. Aku mohon ayahanda duduk disitu selama aku masih duduk membatik."
Kangjeng Adipati tertawa.
Namun Kangjeng Adipati duduk pula menunggui Raden Ajeng Ririswari untuk beberapa
lama. Dalam pada itu, dikeesokan harinya, sebelum matahari terbit, Ki Tumenggung
Jayataruna seperti yang direncanakan sudah berada di rumah Ki Tumenggung
Reksabawa. Ki Tumenggung Reksabawapun telah siap pula untuk berangkat.
Namun Ki Tumenggung Reksabawa masih
sempat mem-persilahkan Ki Tumenggung
Jayataruna untuk duduk sejenak di pringgitan.
" Minum minuman hangat dahulu, adi
Tumenggung Jayataruna. "
" Terima kasih kakang. Baru saja aku minum dan bahkan makan pagi sebelum
berangkat. " " Kalau begitu, kita dapat berangkat sekarang. "
" Mari kakang. Mumpung masih pagi. "
Ki Tumenggung Reksabawapun kemudian minta diri kepada Nyi Tumenggung yang
mengantarnya sampai di tangga pendapa. "
" Tidak duduk dahulu, adi Tumenggung " "
bertanya Nyi Tumenggung kepada Ki Tumenggung Jayataruna.
" Terima kasih, Nyi. Kami akan menempuh jarak yang panjang. Mumpung masih pagi.
" Keduanyapun kemudian meninggalkan regol halaman rumah Ki Tumenggung Reksabawa.
Kuda merekapun segera berlari kencang selagi jalan masih belum terlalu ramai.
Meskipun demikian, satu dua orang telah berada di jalan menuju ke pasar.
Namun mereka telah memadamkan obor blarak yang mereka bawa, karena langit mulai
terang meskipun matahari belum terbit.
Kedua orang Tumenggung itupun memacu kuda mereka melintasi bulak-bulak panjang
di pagi hari yang dingin. Embun masih menitik dari ujung dedaunan yang tumelung
ke atas jalan yang mereka lalui.
Dikejauhan terdengar kicau burung liar yang bangkit dari tidurnya ketika langit
menjadi kemerah-merahan. Tidak banyak yang dipercakapkan kedua orang Tumenggung itu disepanjang jalan.
Mereka menyadari, bahwa ada perbedaan pendapat diantara mereka tentang
kemungkinan pengampunan terhadapr Raden Tumenggung
Wreda Reksayuda. Karena itu, maka jika keduanya berbicara diantara mereka, maka yang mereka
bicarakan adalah persoalan-persoalan yang lain, yang tidak menyangkut
kemungkinan pengampunan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
Ketika kemudian matahari terbit, mereka sudah berada agak jauh dari kadipaten.
Mereka tidak saja melintasi bulak-bulak panjang, tetapi mereka juga menerobos
padukuhan-padukuhan besar dan kecil.
Melewati padang-padang rumput dan padang perdu di pingir hutan yang lebat.
Matahari yang semakin tinggi sinarnya mulai menggigit kulit Semakin lama
sinarnya terasa menjadi semakin terik, sehingga keringat merekapun mulai
membasahi pakaian mereka.
" Kuda-kuda kita mulai letih, kakang " berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
" Ya, adi. Aku merasakannya. "
" Bukan hanya kuda-kuda kita. "
Ki Tumenggung Reksabawa tertawa. Katanya "
Kita juga mulai merasa haus."
Keduanyapun kemudian sepakat, untuk berhenti di sebuah kedai yang terhitung
besar dan ramai di kunjungi orang, dekat sebuah pasar yang nampaknya sedang
pasaran, sehingga orang-orang yang berjualan agaknya tidak termuat lagi didalam
pasar. Jalan di depan pasarpun menjadi sempit, karena orang-orang yang berjualan
di sebelah menyebelah jalan.
Sejenak kemudian, keduanya telah berada didalam kedai itu. Kepada seorang yang
bertugas, kedua orang Tumenggung itu menyerahkan kuda mereka untuk diberi minum
dan makan secukupnya. " Pasar itu masih saja ramai di tengah hari "
desis Ki Tumenggung Reksabawa.
" Hari ini hari Soma Mancawarna, Ki Sanak "
berkata pelayan yang siap melayani mereka, berdua.
" Hari pasaran " "
" Ya. Pasar ini adalah pasar yang teramai diantara beberapa pasar yang ada di
sekitar tempat ini. - " Pasar ini pasar apa namanya, Ki Sanak. "
" Pasar Patalan. Karena pasar itu berada di kadem angan Patalan. "
" O. " Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk-angguk . .
" Bukankah kita tidak untuk pertama kalinya melewati pasar ini, kakang " "
" Ya. Tetapi aku baru tahu sekarang namanya.
Pasar Patalan karena pasar ini berada di kademangan Patalan. "
Keduanyapun kemudian memesan makanan dan minuman sambil memberi kesempatan kuda-
kuda mereka beristirahat.
Diluar pengetahuan mereka, ampat orang yang juga di-dalam kedai itu telah
memperhatikan keduanya. Menilik makanan yang dipesan, sikap serta pakaian
mereka, juga kuda-kuda mereka serta kelengkapannya, keduanya adalah orang yang
berada. Dihari-hari pasaran, kadang-kadang memang ada orang yang sengaja
memperhatikan orang-orang yang hilir mudik di pasar itu. Mereka memperhatikan
orang-orang yang dianggapnya memiliki uang atau barang-barang yang berharga.
Saudagar-saudagar kaya atau orang-orang yang membawa banyak uang setelah menjual
barang-barang berharga mereka.
Tetapi kadang-kadang saudagar-saudagar kaya tidak hanya sendiri atau dua orang
tiga orang pergi ke pasar. Tetapi kadang-kadang mereka membawa beberapa orang
upahan untuk melindungi mereka jika mereka harus berhadapan dengan para penjahat
Meskipun demikian, kadang-kadang ada juga orang yang sombong atau lengah,
sehingga akan dapat menjadimangsa orang-orang yang berlaku jahat.
Agaknya kedua orang berkuda itu tidak
mengetahuinya. Mereka hanya datang berdua saja.
Ketika pelayan kedai itu menyerahkan pesanan mereka, pelayan itu bertanya
perlahan-lahan " Ki Sanak berdua belum pernah pergi ke pasar ini ?"
" Kami pernah lewat jajan ini. "jawab Ki Tumenggung Jayataruna.
" Apakah Ki Sanak tadi juga pergi ke pasar Patalan ?"
" Tidak. Kami hanya lewat. Kebetulan saja pasar ini ramai sekali karena hari ini
adalah hari pasaran. Bukankah biasanya setelah tengah hari pasar menjadi semakin sepi."
" Ya, Ki Sanak. Orang-orang dan saudagar-saudagar dari jauh hari ini
berdatangan. Mereka menjual bermacammacam barang, tetapi ada juga mereka yang
membeli berbagai macam barang untuk dijual kembali."
" Tengkulak ?" " Ya." Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-
angguk. Namun tiba-tiba saja pelayan itu berbisik "


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hati-hati dengan empat orang yang duduk di sebelah tiang itu, Ki Sanak."
Kedua orang Tumenggung itu berdesis hampir berbareng " Kenapa ?"
" Mereka sering melakukan kejahatan. Tetapi jangan berpaling sekarang."
" Terima kasih atas keteranganmu Ki Sanak."
Pelayan itupun kemudian berkata lebih keras "
Sebaiknya Ki Sanak berdua singgah di pasar itu untuk melihat-lihat."
" Kami agak tergesa-gesa " jawab Ki
Tumenggung Jayataruna. Ketika pelayan itu pergi, Ki Tumenggung Jayatarunapun berdesis " Mudah-mudahan
mereka tidak mengganggu perjalanan kita."
" Agaknya kita akan luput dari perhatian mereka. Yang mereka perhatikan adalah
para pedagang besar di pasar itu. Para saudagar atau orang-orang yang baru saja
menjual barang-barang yang berharaga di pasar yang sedang pasaran itu."
" Darimana mereka tahu, sedangkan mereka duduk-duduk saja disitu ?"
" Tentu ada orang lain yang mengamati para pedagang dan orang-orang yang agaknya
dapat mereka jadikan korban mereka dipasar itu."
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Ia sedang mentertawakan pertanyaannya sendiri.
Namun kedua orang Tumenggung itu sama
sekali tidak menjadi gelisah. Mereka makan dan minum dengan tenang sambil
beristirahat serta memberi kesempatan kuda-kuda mereka
beristirahat pula. Tanpa menarik perhatian, keduanya sempat melihat ampat orang yang disebut oleh
pelayan kedai itu. Empat orang yang nampaknya memang garang. Wajah mereka nampak
gelap. Pakaian mereka dan cara duduk mereka yang nampaknya tanpa dilambari
unggah-ungguh justru karena mereka berada diantara banyak orang.
Nampaknya pemilik kedai dan pelayan-
pelayannya merasa tidak senang akan kehadiran keempat orang itu. Tetapi mereka
tidak dapat mengusirnya karena keempat orang itu tidak berbuat apa-apa di kedai
mereka. Beberapa saat kemudian, kedua orang
Tumenggung itu melihat dua orang memasuki kedai itu langsung menuju ke tempat
keempat orang yang berwajah gelap itu duduk.
Dengan hati-hati Ki Tumenggung Reksabawa memperhatikan kedua orang yang baru
masuk itu. " Aku tidak mendapat kesempatan untuk melihat apa yang mereka lakukan " desis Ki
Tumenggung Jayataruna yang kebetulan duduk menyamping.
Jika ia terlalu sering berpaling, maka keempat orang itu tentu akan semakin
memperhatikannya pula. " Keduanya menggeleng-gelangkan kepala
mereka " desis Ki Tumenggung Reksabawa.
" Mungkin mereka tidak menemukan orang yang dapat mereka jadikan korban di pasar
itu." " Mereka tentu akan mencari korban disini "
" Apakah kita kelihatan seperti saudagar yang kaya yang yang membawa banyak uang
?" Pembicaraan mereka terhenti lagi. Mereka melihat dua orang yang nampaknya orang-
orang berada ditilik dari sikap dan pakaian mereka.
Namun mereka datang bersama ampat orang yang lain, yang menuntun kuda. Selain
kuda mereka masing-masing, mereka juga menuntun dua ekor kuda yang agak|nya
milik dua orang yang masuk terdahulu.
Tiba-tiba saja Ki Tumenggung Jayataruna memberi isyarat kepada pelayan kedai itu
untuk datang kepadanya. Demikian pelayan itu datang, maka Ki
Tumenggung Jayataruna telah memesan dua mangkuk minuman. Dawet cendol.
" Aku... " Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna memutus kata-kata Ki Tumenggung Reksabawa
perlahan-lahan " Aku memerlukan keterangannya. "
Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk-
angguk sambil tersenyum. Ketika pelayan itu datang sambil membawa pesannya, Ki Tumenggung Jayataruna
sempat bertanya " Siapa yang baru datang bersama beberapa orang itu" "
" Ki Sudagar. Pedagang perhiasan emas berlian.
Setiap hari pasaran ia tentu datang untuk menjual dan membeli perhiasan-
perhiasan." " Apakah orang itu tidak tahu, bahwa ada empat orang penjahat disini" "
" Mereka sudah saling mengenal. Penjahat manapun tidak akan mengganggunya.
Keduanya berilmu tinggi serta selalu dikawal oleh orang-orang upahan yang juga
berilmu tinggi." Ketika pelayan itu kemudian pergi, maka Ki Tumenggung Reksabawapun berkata "
Nampaknya mereka memperhatikan kita. Jika tidak ada sasaran yang lain, agaknya
kita mendapat perhatian mereka. "
" Jika demikian, maka kita dapat berbangga, bahwa penampilan kita mirip orang
kaya " sahut Ki Tumenggung Jayataruna sambil tertawa.
Ki Tumenggung Reksabawapun tertawa pula. Di kedai itu mereka sempat melupakan
perbedaan pendapat mereka tentang Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Tumenggung Reksabawapun berkata " Marilah kita
meneruskan perjalanan. "
" Bagaimana dengan Ki Sudagar" " Ki
Tumenggung Jayataruna justru bertanya.
" Nampaknya keduanya memang sudah
mengenal keempat orang itu. Mereka saling mengangguk. Bahkan seorang pengawal Ki
Sudagar itu mengangkat tangannya sampai ketelinganya. "
Ki Tumenggung Jayataruna itupun kemudian beringsut sambil bangkit berdiri "
Marilah, kita meneruskan perjalanan. "
" Dawet cendol ini sudah terlanjur di pesan. "
" He" " ternyata Ki Tumenggung Jayataruna duduk kembali. Keduanya masih
menghirup dawet cendol yang mereka pesan, meskipun mereka tidak menghabiskannya.
Ki Tumenggung Reksabawalah yang kemudian membayar harga makanan dan minuman
mereka. Sambil tersenyum Ki Tumenggung Reksabawa berdesis " Aku tidak berniat menyuap
adi, agar adi menyesuaikankan diri dengan sikapku. "
Ki Tumenggung Jayataruna itu justru tertawa.
Keduanyapun kemudian meninggalkan kedai itu setelah minta diri kepada pelayan
dan pemiliknya. " Bagaimana dengan kuda-kuda kami" "
bertanya Ki Tumenggung Jayataruna kepada pemilik kedai itu.
" Silahkan memberi upah langsung kepada anak yang memberi minum dan makan kuda-
kuda Ki Sanak itu. "
Demikianlah, setelah memberikan upah kepada
anak muda yang merawat kuda-kuda mereka selama beristirahat serta memberikan
minum dan makan itu, maka keduanyapun segera
meninggalkan kedai itu. Mereka tidak dapat melarikan kuda mereka, karena jalan yang
terlalu ramai di depan pasar, meskipun matahari sudah melewati puncak langit. Namun setelah mereka meninggalkan keriuhan jalan di depan pasar itu, maka kuda itupun segera er b lari kencang. Demikian mereka memasuki bulak panjang
didepan mereka, Ki Tumenggung Reksabawa berpaling.
" Mereka tidak mengejar kita. "
Ki Tumenggung Jayataruna itu
gerutka men n dahinya. Ka a tany " Itu satu penghinaan. "
" Kenapa" "
" Dengan ikian m dem ereka tidak menghargai penampilan kita." " Maksud adi" "
" Mereka menganggap bahwa kita bukan orang kaya atau orang yang membawa banyak
uang. " Ki Tumenggung Reksabawa tertawa. Namun Ki Tumenggung Jayatarunapun tertawa pula.
Kuda-kuda merekapun berlari semakin kencang di tengah bulak yang sepi.
Namun tiba-tiba keduanya terkejut. Beberapa puluh patok dihadapan mereka,
disebuah simpang ampat di tengah-tengah bulak itu, nampak beberapa orang berdiri
sambil memegangi kuda-kuda mereka.
" Edan " geram Ki Tumenggung Reksabawa "
ternyata mereka menghadang kita. Agaknya mereka memotong melalui jalan pintas. "
" Apakah mereka yang tadi berada di kedai itu?"
" Agaknya demikian. "
".Nah, itu baru sikap yang wajar. "
" Apa yang wajar" "
" Penilaian yang tepat. Mereka memang
sepatutnya menghargai penampilan kita yang lebih bergaya dari orang-orang lain
di kedai itu. Sehingga kita pantas untuk dianggap orang kaya dan memiliki barang-barang
berharga yang.pantas dirampok di perjalanan. "
" Pendirian kita memang banyak yang berbeda, adi. "
" Menurut kakang " "
" Aku lebih senang dianggap tidak mempunyai uang dan benda-benda berharga,
tetapi yang sebenarnya aku adalah orang yang kaya raya, daripada sebaliknya. "
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya "
Ya. Jalan pikiran kita memang berkebalikan. "
" Tetapi iapapun kita berdua, nampaknya kita memang akan kehilangan banyak
waktu. " Ki Tumenggung Jayataruna mengerutkan
dahinya. Katanya" Ya. Itulah yang membuat aku menyesal. Kita akan banyak
kehilangan waktu. " Yang kemudian berdiri di simpang ampat itu ternyata tidak hanya ampat orang.
Tetapi dua orang yang menyusul masuk kedalam kedai itupun ada bersama mereka
pula " " Berhenti, Ki Sanak " berkata seorang yang bertubuh tinggi tegap, berwajah
gelap dan bahkan nampak bekas segores luka di keningnya.
Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayatarunapun berhenti pula. Bahkan
tiba-tiba saja Ki Tumenggung Jayataruna telah meloncat turun dari kudanya dan
langsung mengikat kudanya pada sebatang pohon turi di pinggir jalan.
Dengan demikian, maka Ki Tumenggung
Reksabawapun segera meloncat turun pula serta mengikat kudanya disebelah kuda Ki
Tumenggung Jayataruna. Keenam orang yang menghentikan kedua orang Tumenggung itu justru termangu-mangu
sejenak melihat sikap Ki Tumenggung Jayataruna.
Baru kemudian orang bertubuh tinggi tegap dengan baju yang terbuka didadanya,
sehingga nampak bulu-bulu yang lebat tumbuh didadanya itu bertanya " Siapakah
kalian berdua yang sudah berani melewati daerah kuasa kami tanpa ijin kami
" " " Kalian'tidak usah berbicara melingkar-lingkar.
Kalian tidak usah berbicara tentang daerah kuasa kalian, karena semuanya itu
hanyalah omong kosong. Bahkan seperti celoteh badut-badut yang berusaha
mengungkit tawa penontonnya. Katakan saja bahkan kalian adalah sekelompok
penyamun. Nah, kebetulan. Kami adalah pedagang-pedagang perhiasan, emas, intan, berlian,
batu-batu bertuah dan wesi aji yang nilainya beratus-ratus keping emas. Kami
juga sudah membawa uang hasil penjualan perhiasan-perhiasan dan wesi aji di
pasar Patalan dan di tempat lengganan-lengganan kami. Kami membawa uang banyak
sekali serta sisa perhiasan yang masih ada beberapa kotak kecil. Nah, katakan
bahwa kalian akan merampok semuanya itu. "
" Anak iblis " geram pemimpin perampok yang berutuh raksasa itu " siapakah
sebenarya kalian." " Sudah aku katakan. Aku mempunyai apa saja yang paling pantas di rampok.
Termasuk kuda-kuda kami "
Para perampok itu justru termangu-mangu.
Bahkan ada diantara mereka yang menjadi ragu-ragu untuk berurusan dengan kedua
orang itu. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Reksabawapun berkata " Ki Sanak. Kami berdua
tergesa-gesa. Karena itu, jangan ganggu perjalanan kami.
Minggirlah. Kami akan lewat. Sebaiknya kita tidak saling mengganggu. "
" Persetan dengan kalian berdua. Kami memang tidak berminat lagi untuk merampok
kalian, karena aku yakin, kalian tidak mempunyai apa-apa. Kalian hanyalah orang-
orang yang berlagak dengan pakaian dan kelengkapan kuda yang baik. Tetapi semua
itu hanya sekedar untuk menutupi
kekurangan kalian. Mungkin kalian telah mencari pinjaman pakaian dan kuda
beserta kelengkapannya. Atau bahkan kalian telah mencuri kuda-kuda itu di tengah
perjalanan kalian. "
" Kalian telah menyinggung perasaan kami "
geram Ki Tumenggung Jayataruna " kalian harus merampok kami. Setidak-tidaknya
kalian menginginkan kuda:kuda kami. Atau pendok kerisku yang terbuat dari emas ini. "
" Aku tidak percaya bahwa pendok kerismu dan barangkali timangmu itu terbuat
dari emas. Aku yakin, bahwa semua itu hanya dilapisi dengan emas yang sangat
tipis di luarnya. " " Kau telah merendahkan kami, saudagar
terkaya di daerah kami. Jangan banyak bicara.
Kalian harus langsung ke persoalannya. Merampok kami berdua. "
" Kenapa kalian menginginkan kami merampok kalian ?"
" Kami mempunyai alasan untuk membunuh
kalian berenam. " Pemimpin perampok yang bertubuh raksasa itu menggeretakkan giginya.
Dipandanginya Ki Tumenggung Jayataruna dengan mata yang
bagaikan membara oleh kemarahan yang
membakar jantungya. " Kau sangat memuakkan Ki Sanak. Aku telah kehilangan seleraku untuk merampok
kalian berdua. Tetapi sekarang yang timbul adalah nafsuku untuk membunuh kalian.
" " Bagus " sahut Ki Tumenggung Jayataruna "
niatmu untuk membunuh kami, dapat kami jadikan alasan untuk membunuh kalian,
karena kami sekedar berusaha melindungi diri sendiri."
Pemimpin sekelompok penyamun itupun segera memberi isyarat kepada kawan-kawannya
yang segera mengikat kuda-kuda mereka pada batang-batang pohon yang ada di
pinggir jalan itu. " Kita akan bertempur apapun alasan kalian "
berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas
panjang. Ia memang tidak akan dapat mengelak dari pertempuran yang bakal
terjadi. Tetapi ia tidak setuju dengan sikap Ki Tumenggung Jayataruna yang
sengaja memancing pertempuran.
" Marilah kakang " berkata Ki Tumenggung Jayataruna " orang-orang seperti ini
memang harus di hapuskan dari tanah tercinta ini."
" Sebelum kalian mati, sekali lagi aku bertanya, siapakah kalian berdua ini."
" Siapapun kami, kalian tidak perlu tahu. Apalagi sebentar lagi kalian akan
mati, sehingga tidak ada gunanya kalian mengenal nama-nama kami."
" Setan alas " geram orang bertubuh raksasa itu
" bunuh mereka berdua."
" Perintah yang manis. Tetapi perintah itu berlaku juga bagi kami berdua untuk


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membunuh kalian." Kata-kata Ki Tumenggung Jayataruna terputus.
Seorang diantara para penyamun itu telah meloncat menyerangnya.
Tetapi Ki Tumenggung yang sudah bersiap sepenuhnya, itu masih sempat mengelak.
Bahkan sambil melenting, kakinya terayun mendatar menyambar dagu orang itu.
Orang itu terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Namun dengan
tangkasnya orang itupun segera meloncat bangkit.
Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna tidak sempat memburunya. Orang yang bertubuh
raksasa itu telah menyerangnya pula.
Sementara itu, para penyamun yang lainpun telah berloncatan pula. Ki Tumenggung
Reksabawa harus menghadapi tiga orang diantara mereka, sedangkan Ki Tumenggung
Jay-atarunapun bertempur melawan tiga orang pula.
Sejenak kemudian, di simpang ampat bulak panjang yang sepi itu telah terjadi
pertempuran yang sengit. Dua orang Senapati bertempur menghadapi enam orang
penyamun yang bengis. Beberapa saat kemudian, para penyamun itu telah menarik senjata-senjata mereka.
Pedang, parang, golok dan kapak. Sedangkan untuk melawan senjata-senjata yang
berbahaya itu, kedua orang Tumenggung itupun telah menarik pedang mereka. Bahkan
Ki Tumenggung Jayataruna telah menggenggam pedang di tangan kanan, dan keris di tangan kiri.
Semakin lama pertarungan itupun menjadi semakin sengit. Para penyamun itu telah
mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun
pemimpin mereka mengatakan, bahwa ia tidak lagi berselera untuk merampok, tetapi
apa yang dimiliki oleh kedua orang itu tetap menarik perhatian para penyamun.
Setidak-tidaknya mereka akan
mendapatkan dua ekor kuda yang baik.
Karena itu, para penyamun itupun telah
berusaha untuk benar-benar membunuh kedua orang yang lewat itu. Bahkan pemimpin
mereka yang bertubuh raksasa itu, telah berniat untuk dengan cepat menghentikan
perlawanan orang yang dianggapnya sangat memuakkan itu.
Namun ternyata kedua orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan
para penyamun itupun kemudian mulai merasakan kesulitan menghadapi ilmu pedang
lawan-lawan mereka. Ki Tumenggung Jayataruna bertempur bagaikan angin pusaran. Tubuhnya seakan-akan
tidak menyentuh tanah, berloncatan, berputaran dengan gerak yang menghentak-
hentak. Bahkan tiba-tiba saja seorang diantara ketiga lawannya itu berteriak sambil
mengumpat. Ujung pedang Ki Tumenggung Jayataruna itu telah menyentuh bahu
kirinya, sehingga di bahunya itu telah menganga luka yang memanjang.
Namun orang itu tidak ingin menghindar dari arena. Meskipun darah telah mengalir
dari lukanya, namun orang itupun segera bergeser kembali mendekati Ki Tumenggung
Jayataruna. Tetapi sebelum orang itu memasuki lingkaran pertempuran, seorang lagi kawannya
meloncat surut untuk mengambil jarak. Ternyata orang itu telah terluka pula di
lengannya. Sebuah goresan telah mengoyak lengannya itu. Bukan ujung pedang Ki
Tumenggung. Tetapi keris di tangan Ki Tumenggung itulah yang menggores lengan.
Orang yang bertubuh raksasa itu menggeram.
Kapak di tangannya terayun-terayun mengerikan.
Tetapi jantung Ki Tumenggung Jayataruna sama sekali tidak tergetar oleh ayunan
kapak lawannya. Bahkan Ki Tumenggung Jayataruna telah
menangkis ayunan kapak itu dengan pedangnya.
Ketika benturan terjadi, terasa getar yang kuat menggoyahkan genggaman tangan
raksasa itu, sehingga dengan serta-merta orang itu meloncat surut.
Tangan pemimpin penyamun itu merasa pedih.
Benturan itu mengisyaratkan, bahwa lawannya memiliki tenaga yang sangat besar.
Meskipun tubuh orang itu tidak sebesar tubuhnya sendiri, namun agaknya tenaga
dalam orang itu sangat tinggi.
Dengan demikian, maka pemimpin penyamun itu menjadi lebih berhati-hati. Apalagi
kedua orang kawannya telah ter-luka.
Namun ketika Ki Tumenggung Jayataruna mulai melibatnya dalam pertempuran, maka
pemimpin penyamun itu menjadi kebingungan. Dua orang kawannya yang telah
terluka, tidak terlalu banyak dapat berbuat. Bahkan tiba-tiba saja seorang
diantara mereka terpelanting. Luka telah menganga di dadanya.
Ketika orang itu jatuh terlentang di tanah, maka ia tidak lagi bergerak. Darah
telah tertumpah dari lukanya.
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Sementara itu kedua orang lawannya mulai
menjadi ragu-ragu. Namun Ki Tumenggung tidak membiarkan
mereka. Serangan-serangannya telah datang lagi membadai.
Ketika pemimpin penyamun itu mengayunkan kapaknya dengan sekuat tenaga mengarah
ke leher Ki Tumenggung, Ki Tumenggung sama sekali tidak berusaha menghindar.
Tetapi dengan sepenuh tenaga pula Ki Tumenggung Jayataruna telah membentur kapak
orang itu. Benturanpun telah terjadi dengan kerasnya.
Ternyata bahwa tenaga Ki Tumenggung yang dilambari dengan tenaga dalamnya, jauh
lebih besar dari tenaga pemimpin penyamun itu.
Sehingga dalam benturan itu, pemimpin penyamun itu tidak mampu menahan kapaknya,
sehingga kapak itu tetali terlempar dari tanganya.
Tetapi pemimpin penyamun itu tidak sempat memungut senjatanya. Ki .Tumenggung
Jayataruna telah menjulurkan keris di tangan kirinya.
" Cukup, adi " terdengar Ki Tumenggung
Reksabawa berteriak. Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna tidak
menghiraukannya. Ujung kerisnya itu kemudian menghunjam di dada pemimpin
penyamun itu mengoyak jantungnya.
" Adi Tumenggung " terdengar suara Ki
Tumenggung Reksabawa yang bergetar.
Tetapi suara itu hilang di telan suara tertawa Ki Tumenggung Jayataruna.
" Kau bunuh lawan-lawanmu, di " "
" Mereka pantas mati, kakang " jawab Ki Tumenggung Jayataruna yang menjadi
justru bertanya " Bagaimana dengan lawan-lawan kakang
" " " Mereka sudah tidak berdaya. Tetapi aku tidak merasa perlu untuk membunuh
mereka. " Ki Tumenggung Jayataruna masih tertawa.
Katanya " Kakang adalah seorang Tumenggung yang terlalu baik hati. "
" Biarlah mereka mengabarkan kepada kawan-kawan mereka, bahwa tidak selamanya
orang-orang yang lewat itu pantas untuk.mereka jadikan korban. "
" Terserah kepada kakang. Tetapi mereka justru akan mendendam. "
" Betapapun jahatnya seseorang, tetapi tentu terper-cik juga meskipun hanya
sepeletik terang di hatinya. "
Ki Tumenggung Jayataruna itu menggeleng.
Katanya " Tidak ada harapan untuk berubah bagi orang-orang itu. Tetapi baiklah. Marilah
kita melanjutkan perjalanan. "
Ki Tumenggung Reksabawa berpaling kepada tiga orang lawannya yang sudah tidak
berdaya. Dengan nada datar iapun berkata " Ingat. Bahwa disini kau telah dikalahkan.
Tetapi aku tidak membunuh kalian sekarang. Tetapi lain kali, jika kita bertemu
lagi, maka tidak akan ada ampun bagi kalian. "
Ketiga orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka masih saja berdesah menahan sakit
pada luka-lukanya. Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung
Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayataruna itu sudah melanjutkan perjalanan mereka.
Mereka memacu kuda mereka semakin kencang agar mereka segera sampai ke kadipaten
F'ucang Kembar. Tetapi waktu mereka berdua telah banyak tersita. Karena itu, maka Ki Tumenggung
Jayatarunapun berkata," Waktu kita yang hilang, masih belum seimbang dengan
nyawa serigala-serigala lapar itu. "
" Sudahlah. Bukankah dengan demikian kuda-kuda kita sempat beristirahat. "
" Tetapi kuda-kuda kita baru saja beristirahat di kedai itu. "
Ki Tumenggung Reksabawa tersenyum. Katanya
" Kau nampaknya masih mendendam. "
" Mereka berniat untuk membunuh kita. Benar-benar membunuh. Kenapa kita masih
harus berbaik hati ?"
" Jika kita membunuh mereka semuanya, kita akan tertahan lebih lama lagi, karena
kita harus menguburkan mereka. Tetapi jika masih ada yang hidup diantara mereka,
biarlah mereka mengubur kawan-kawannya yang telah kau bunuh itu. "
Ki Tumenggung Jayataruna tidak menjawab.
Tetapi sikapnya memang berbeda dengan sikap Ki Tumenggung Reksabawa. Bahkan
kemudian Ki Tumenggung Jayataruna itupun bergumam " Kali ini sikap kita juga
berbeda. " " Bukankah tidak ada salahnya kita berbeda sikap " Asal kita menyadarinya serta
menanggapinya dengan dewasa. "
" Ya " Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk.
Kedua orang berkuda itu masih saja memacu kudanya. Semakin lama semakin dalam
memasuki tlatah Pucang Kembar.
Tetapi ketika mereka hampir sampai "di depan pintu gerbang Kadipaten Pucang
Kembar, langit sudah menjadi suram.
" Apakah mungkin kita menghadap Kangjeng Adipati sekarang, kakang ?"
" Agaknya memang tidak, adi Tumenggung.
Tetapi meskipun demikian, kita akan mencobanya."
Beberapa saat kemudian, keduanya telah
berhenti di depan pintu gerbang dalem kadipaten di Pucang Kembar. Ketika mereka
menyampaikan niat mereka untuk menghadap Kangjeng Adipati kepada prajurit yang
bertugas, maka Lurah Prajurit itupun berkata " Kami tidak tahu, apakah Kangjeng
Adipati berkenan menerima tamu pada saat seperti ini. Biarlah aku sampaikan
permohonan -Ki Tumenggung berdua kepada Ki Tumenggung
Prangwandawa. Narpacundaka yang bertugas saat ini."
" Terima kasih, Ki Lurah."
" Kami persilahkan Ki Tumenggung berdua menunggu."
Lurah prajurit itupun kemudian menemui Ki Tumenggung Prangwandawa untuk
menyampaikan permohonan kedua orang Tumenggung dari
Sendang Arum untuk menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara dari Pucang Kembar.
" Dari Sendang Arum " " bertanya Ki
Tumenggung Prangwandawa. " Ya, Ki Tumenggung."
" Baiklah. Aku akan menyampaikannya kepada Kangjeng Adipati, apakah Kangjeng
Adipati dapat menerimanya sekarang atau tidak. Nampaknya Kangjeng Adipati masih
ingin beristirahat bersama keluarganya."
Ki Lurah .itupun kemudian menunggu Ki
Tumenggung Prangwandawa yang akan
menyampaikan permohonan dua orang
Tumenggung dari Sendang Arum untuk
menghadap. " Apakah keperluan mereka ?" bertanya
Kangjeng Adipati ketika Ki Tumenggung
Prangwandawa menyampaikan permohonan itu.
" Hamba belum sempat menemui mereka
Kangjeng." " Mereka baru saja datang dari Sendang Arum
?" --Ya." " Baiklah. Siapkan sebuah bilik penginapan bagi mereka. Setelah mandi dan
berbenah diri, aku akan menerima mereka."
" Malam ini Kangjeng ?"
" Ya. Justru untuk kawan berbincang setelah makan malam. Aku minta Ki Tumenggung
Prangwandawa ikut menemui mereka."
" Hamba Kangjeng."
" Sekarang, temui mereka dan persilahkan mereka beristirahat sebentar. Bahkan
untuk mandi dan berbenah diri. Dengan demikian, setelah mereka mendapatkan
kesegarannya kembali, kita dapat berbincang dengan tubuh yang segar hati yang
terang." " Apakah Kangjeng berniat untuk makan malam bersama para tamu dari Sendang
Arum ?" " Tidak. Persilahkan mereka makan di geladjri.
Bukan aku tidak mau makan bersama mereka, tetapi justru mereka akan merasa
segan, sehingga mereka akan kehilangan selera. Ki Tumenggung Prangwandawa
sajaiah menemui mereka makan malam. Setelah itu, aku akan menerima mereka di
serambi." " Hamba Kangjeng."
Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung^
Prangwandawa itu telah menemui Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung
Jayataruna yang menunggunya di gardu para prajurit yang bertugas, sementara
seorang abdi telah menyiapkan sebuah bilik bagi mereka berdua, di gandok sebelah kanan dalem
Kadipaten Pucang Kembar. " Silahkan kakang Tumenggung berdua
beristirahat lebih dahulu. Mandi dan berbenah diri.
Gandok sebelah kanan sudah dibersihkan.
Bukankah kakang Tumenggung berdua akan
bermalam disini," " Jika diperkenankan adi Tumenggung."
" Tentu. Dengan demikian pertemuan kakang berdua dengan Kangjeng Adipati tidak
dalam suasana yang tergesa-gesa."
" Terima kasih, adi."
" Setelah mandi dan berbenah diri, maka kakang
Tumenggung berdua akan menjadi segar kembali.
Hati kakang berdua juga-akan menjadi terang;"
Demikianlah, maka Ki Tumenggung
Prangwandawa itupun telah mengantarkan kedua orang tamunya ke gandok sebelah
kanan. Seorang prajurit membawa kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu ke
belakang dan diserahkan kepada abdi yang mengurus kuda Kangjeng Adipati.
Malam itu, setelah mandi, berbenah diri dan makan bersama Ki Tumenggung
Prangwandawa, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung
Jayataruna telah dipersilahkan pergi ke serambi.
" Marilah, kakang. Kangjeng Adipati akan menerima kakang berdua di serambi setelah Kangjeng Adipati makan malam." " Terima kasih, adi Tumenggung." Diantar oleh Ki Tumenggung Prangwandawa, keduanyapun kemudian telah berada di serambi.
Mereka masih harus menunggu Kangjeng Adipati yang masih berada di serambi itu.
" Silahkan duduk dahulu, kakang berdua. Aku akan menghadap Kangjeng Adipati."
" Silahkan adi."
Ketika kemudian Ki Tumenggung Prangwandawa masuk ke ruang dalam untuk
menyampaikan kepada Kangjeng Adipati, bahwa kedua orang tamu dari Sendang Arum
sudah menunggu di serambi, maka Ki Tumenggung Reksabawapun berkata " Adi
Jayataruna. Aku minta nanti adi Jayataruna sajalah yang menyampaikan
persoalannya kepada Kangjeng Adipati. " " Ah. Bukan begitu kakang. Bukankah kakang lebih tua dari aku. Bukan hanya
umurnya, tetapi juga kedudukan kakang " "
" Tetapi adilah yang memahami masalahnya.
Aku takut kalau apa yang aku katakan nanti, aku bumbui dengan sikap pribadiku
terhadap Raden Tumenggung Reksayuda. "
" Bagaimana sebenarnya sikap kakang terhadap Raden Tumenggung Wreda itu " "
" Aku menganggap bahwa belum saatnya Raden Tumenggung itu diperkenankan kembali
ke Sendang Arum. Kakang Adipati di Sendang Arum belum pernah dengari bersungguh-


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sungguh meneliti sikap jiwani Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. Perasasaan iri
itu, apa benar-benar sudah dapat disingkirkan dari hati Raden Tumenggung.
Apalagi bahwa Raden Tumenggung itu merasa berhak untuk menduduki jabatan
tertinggi di Sendang Arum. Raden Tumenggung Wreda tentu menganggap bahwa hak itu
tidak akan terhapus oleh keadaan apapun. Bahkan setelah ia di singkirkan dari
Sendang Arum untuk waktu lima tahun. "
" Karena itu, kakang tidak setuju jika Raden Tumenggung itu diberi pengampunan
dan mendapat kesempatan untuk kembali ke Sendang Arum. "
" Ya." " Dengan demikian, maka Raden Ayu Reksayuda itu akan tetap menjadi janda, atau
setidak-tidaknya seperti seorang janda. -
" Apa maksudmu, di " "
"Maaf, kakang. Aku tidak bermaksud apa-
apa."Pembicaraan .mereka terhenti. Ki
Tumenggung Prangwandawapun memasuki
serambi itu. Sambil duduk di sebelah Ki Tumenggung Reksabawa itupun berkata "
Sebentar lagi, Kakang Adipati akan hadir di serambi ini.
" Terima kasih adi Tumenggung " desis Ki Tumenggung Reksabawa. Lalu katanya
kepada Ki Tumenggung Jayataruna " Adi sajalah yang menyampaikan masalahnya. "
Ki Tumenggung Jayataruna tersenyum sambil mengangguk " Baik, kakang. "
Sejenak kemudian, maka Kangjeng Adipatipun telah memasuki Serambi. Sambil
tersenyum Kangjeng Adipatipun berkata " Selamat datang di Pucang Kembar kakang
Tumenggung berdua. "
" Terima kasih atas perkenan Kangjeng
menerima kami berdua- " Ki Tumenggung
Jayatarunalah yang menjawab.
" Apakah Ki Tumenggung sudah sempat
beristirahat serta berbenah diri " "
" Sudah Kangjeng. Kami sudah sempat mandi, berbenah diri dan bahkan makan malam
di Kadipaten Pucang Kembar. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. "
" Tentu terlalu sederhana dibandingkan dengan Kadipaten Sendang Arum. "
" Tidak, Kangjeng. Kami mendapatkan segala-galanya jauh lebih baik dari apa yang
ada di Sendang Arum. "
Kangjeng Adipati tertawa.
" Ki Tumenggung berdua " berkata Kangjeng Adipati kernudian " jika kalian sudah
sempat beristirahat, maka sekarang kita dapat berbincang dengan leluasa. Tidak
tergesa-gesa dan hati kitapun tidak lagi buram karena tubuh yang letih. "
" Kami sudah menjadi segar kembali, Kangjeng."
" Nah, sekarang katakan keperluan Ki
Tumenggung berdua. "
" Ampun Kangjeng Adipati. Kami berdua
menghadap Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar atas perintah Kangjeng
Adipati di Sendang Arum. Pertama untuk menyampaikan salam taklim Kangjeng
Adipati Sendang Arum kepada Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar. "
" Aku terima dengan senang hati, Ki
Tumenggung. Jika besok Ki Tumenggung berdua kembali ke Sendang Arum dan
znenghadap Kangjeng Adipati di Sendang Arum, sampaikan salam taklimku pula. "
" Hamba Kangjeng Adipati " jawab Ki
Tumenggung Jayataruna. Kemudian katanya pula "
Selanjutnya, pokok persoalan yang harus kami sampaikan kepada Kangjeng Adipati
adalah persoalan yang menyangkut Raden Tumenggung Wreda Reksayuda yang sekarang
berada di Kadipaten Pucang Kembar. "
" Kenapa dengan kakangmas Tumenggung
Reksayuda " Apakah Kehgjeng Adipati di Sendang
'Arum akan mengambil langkah-langkah tertentu terhadap kakangmas Tumenggung
Reksayuda " " Ki Tumenggung Jayatarunapun kemudian
menyampaikan persoalan yang sesungguhnya sedang menjadi bahan pembicaraan di
Sendang Arum. Raden Ayu Reksayuda mohon pengampunan bagi suaminya agar
diperkenankan kembali ke Sendang Arum. Pulang dan menjadi satu lagi dengan
keluarganya. " Ketika Raden Tumenggung Wreda Reksayuda menerima hukuman, dibuang dari tlatah
kadipaten Sendang Arum, Raden Tumenggung itu masih penganten baru. Sehingga
kepergian Raden Tumenggung itu membuat hati Raden "Ayu
Reksayuda menjadi sangat bersedih. Baru saja mereka memasuki jenjang perkawinan,
merekapun segera dipisahkan dengan paksa oleh Kangjeng Adipati di Sendang Arum.
" Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung
Reksabawa menyela " Maaf adi Tumenggung Jayataruna. Yang memisahkan Raden
Tumenggung Reksayuda dari isteri mudanya itu bukan Kangjeng Adipati Wirakusuma,
tetapi yang memisahkan mereka adalah tatanan dan paugeran di Sendang Arum. Jika
itu terjadi adalah karena tingkah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda sendiri."
Kangjeng Adipati Jayanegara tertawa. Katanya'"
Ya, ya. Ki Tumenggung Reksabawa benar. Jika kakangmas Tumenggung Reksabawa tidak
bertingkah, maka ia tidak akan dikenakan hukuman berdasarkan atas tatanan dan
paugeran yang berlaku di Sendang Arum."
Ki Tumenggung Jayatarunapun mengangguk
hormat sambil berkata " Hamba Kangjeng Adipati.
Kakang Tumenggung Reksabawa benar."
" Karena perbuatannya yang dapat
mengguncang ketenangan hidup di Sendang Arum, karena niat kakang1 mas Tumenggung
Reksayuda untuk menyingkirkan Kangjeng Adipati
Wirakusuma, maka kakangmas Tumenggung
Wreda Reksayuda harus disingkirkan dari Sendang Arum."
" Ya, Kangjeng Adipati."
" Nah, sekarang bagaimana Ki Tumenggung "
Bagaimana pendapat kangjeng Adipati di Sendang Arum tentang permohonan ampun
dari Raden Ayu Reksayuda itu?"
" Kangjeng. Kami berdua diutus oleh Kangjeng Adipati Wirakusuma untuk minta
pertimbangan Kangjeng Adipati Jayanegara. Karena selama ini Raden Tumenggung
Reksayuda berada di Kadipaten Pucang Kembar, maka pendapat
Kangjeng Adipati di Pucang Kembar akan sangat menentukan."
Kangjeng Adipati Jayanegara itu mengangguk-angguk. Katanya " Ya. Selama ini
kakangmas Reksayuda memang berada di Pucang Kembar.
Beberapa kali aku sendiri telah menemuinya di tempat tinggalnya yang kami
sediakan di sini." " Bagaimana menurut pendapat Kangjeng
Adipati ?" Kangjeng Adipati itu tersenyum. Katanya " Satu batu ujian yang sulit. Jika aku
memberikan jawaban, tetapi ternyata aku keliru, maka Kangjeng Adipati di Sendang
Arum akan mengurangi nilai kepemimpinanku."
" Hamba kira Kangjeng Adipati akan cukup bijaksana. Persoalannya akan ditinjau
dari berbagai sisi. Termasuk sisi kemanusiaan. Raden Ayu Reksayuda selama ini
merasa tersiksa." Kangjeng Adipati Jayataruna tertawa. Katanya "
Kangmbok Reksayuda masih terlalu muda untuk ditinggal sendiri."
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk sambil menjawab " Hamba Kangjeng Adipati."
" Ki Tumenggung Jayataruna. Menurut
pendapatku, kakangmas Tumenggung Wreda
Reksayuda sudah menjadi semakin tua. Apalagi setelah ia berada disini,
dipisahkan dari keluarganya. Ia tidak lagi mempunyai keinginan apapun selain
diperkenankan pulang. Kakangmas Reksayuda ingin mati di kadipaten Sendang Arum,
ditunggui oleh isterinya yang masih muda itu serta putera satu-satunya."
" Apakah Raden Kangjeng Adipati Tumenggung tidak pernah berbicara tentang
kedudukan Kangjeng Adipati Wirakusuma yang menurut Raden Tumenggung Reksayuda,
kedudukan itu sebenarnya adalah haknya."
Kangjeng Adipati Jayanegara menggeleng
sambil menjawab " Kakangmas Reksayuda sudah melupakannya. Tidak ada lagi
gegayuhan yang ingin dicapainya."
" Jadi bagaimana menurut Kangjeng Adipati, seandainya kepada Raden Tumenggung
Wreda Reksayuda diberikan pengampunan dan diberi kesempatan untuk kembali ke
Sendang Arum meskipun hukumannya baru separo dijalani."
" Aku, sekali lagi, tidak berkeberatan Ki Tumenggung."
" Ampun Kangjeng Adipati " Ki Tumenggung Reksabawa yang lebih banyak berdiam
diri itu bertanya " jika Kangjeng Tumenggung sependapat, bahwa Raden Tumenggung
Wreda Reksayuda itu diberi pengampunan dan diperkenankan kembali ke Sendang
Arum, pada dasarnya supaya Raden Tumenggung itu tidak lebih lama lagi mengotori
bumi Pucang Kembar, atau karena pertimbangan yang sejujurnya, bahwa Raden
Tumenggung benar-benar sudah tidak berbahaya lagi bagi Kangjeng Adipati
Wirakusuma." Kangjeng Adipati Jayanegara mengerutkan dahinya. Namun Kangjeng Adipati itupun
kemudian tertawa sambil berkata " Pertanyaan yang menggelitik, Ki Tumenggung.
Tetapi aku tidak tersinggung meskipun pada dasarnya Ki
Tumenggung bertanya, apakah aku menjawab dengan jujur atau tidak. Kecurigaan
seperti itu wajar sekali. Tetapi tolong, perhatikan Ki Tumenggung Reksabawa. Aku
tidak mempunyai kepentingan apa-apa dengan kangmas
Tumenggung Reksayuda. Apakah ia akan pulang atau tidak. Disini kangmas
Tumenggung juga tidak akan menghabiskan hasil panenan para petani di Pucang
Kembar, Tidak pula membuat tanah menjadi sangar. Sedangkan kalau kakangmas
Tumenggung Reksayuda'kembali ke Sendang Arum, aku juga tidak mendapatkan
keuntungan apa-apa. Karena itu, biarlah Kangjeng Adipati Wirakusuma mengambil
keputusan. Tetapi jika Ki Tumenggung bertanya kepadaku, maka aku akan menjawab
sebagaimana aku katakan. Kangmas Tumenggung Reksayuda tidak lagi mempunyai
gegayuhan apa-apa. Hati dan kepalanya sudah kosong. Dalam waktu dua tahun lebih,
perasaan dan penalarannya sudah mengering."
" Perasaannya ?" bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.
" Maksudku dalam hubungannya dengan
gegayuhan yang pernah ingin dicapainya. Tentu saja bukan perasaannya sebagai
seorang yang rindu kepada sesuatu. Tanah kelahiran, isterinya, anaknya dan
lingkungan kecilnya. "
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-
angguk. Namun Ki Tumengung Jayataruna itu masih bertanya kepada Ki Tumenggung
Reksabawa " Masih ada yang ingin kakang tanyakan " "
Ki Tumenggung Reksabawa menggeleng.
Katanya " Tidak, di. "
" Mumpung masih belum terlalu malam "
berkata Kangjeng Adipati " aku juga sulit tidur sebelum lewat tengah malam. Jika
Ki Tumenggung berdua masih ingin menemani aku berbincang, aku akan senang
sekali. " " Ampun Kangjeng Adipati. Keperluan kami sebagai utusan Kangjeng Adipati
Wirakusuma telah selesai. Tetapi jika kami masih diperkenankan duduk disini,
maka kami akan dengan senang hati melakukannya. "
Namun Kangjeng Adipati itupun tersenyum sambil berkata " Kakang berdua tentu
letih setelah sehari-harian menempuh perjalanan panjang.
Karena itu, sebaiknya Ki Tumenggung berdua beristirahat di tempat yang sudah
disediakan. Ki Tumenggung berdua perlu menghimpun tenaga kembali bagi perjalanan
pulang ke Sendang Arum."
" Terima kasih, Kangjeng. "
" Ki Tumenggung Prangwandawa "
" Hamba Kangjeng. "
" Antarkan keduanya kembali ke bilik yang sudah disediakan. Biarlah Ki
Tumenggung berdua beristirahat. "
" Hamba Kangjeng. "
Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung Jayatarunapun kemudian meninggalkan
serambi samping diantar oleh Ki tumenggung
Prangwandawa kembali ke bilik mereka.
Ketika mereka sampai di serambi gandok, maka Ki Tumenggung Jayatarunapun
menyelinap sebentar sambil berdesis " Aku akan pergi ke paki wan. "
Namun saat itu agaknya merupakan saat yang baik bagi Ki Tumenggung Reksabawa
untuk bertanya kepada Ki Tumenggung Prangwandawa "
Apakah Ki Tumenggung pernah bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
selama ia berada di Pucang Kembar " "
" Pernah. Meskipun tidak terlalu sering. "
" Bagaimana pendapat Ki Tumenggung .tentang Raden Tumenggung Reksayuda itu " "
Ki Tumenggung Prangwandawa menarik nafas panjang.
" Apakah benar sebagaimana dikatakan oleh Kangjeng Adipati " "
" Ya. Dihadapan Kangjeng Adipati. -
" Maksud Ki Tumenggung " "
Ki Tumenggung Prangwandawa itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian "
Jangan kakang Tumenggung katakan kepada si apapun juga. Aku hanya memberikan
petikan sikap Raden Tumenggung agar kakang Tumenggung Reksabawa mengetahuinya.
Seandainya hal ini kakang katakan kepada Kangjeng Adipati
Wirakusuma, jangan sebut namaku. "
" Baik " " Meskipun sudah tua dan mungkin wadagnya sudah menjadi semakin lemah, tetapi
setiap kali, Raden Tumenggung Wreda Reksayuda masih
berbicara tentang haknya. Kangjeng Adipati Jayanegara tidak pernah mendengarnya.
Tetapi aku pernah mendengar sendiri ketika aku diutus oleh Kangjeng Adipati
nenemuinya. " " Untuk apa adi Prangwandawa menemuinya " "
" Sekedar untuk melihat kesehatannya. Seorang abdi mengatakan bahwa Raden
Tumenggung Reksayuda itu sakit. "
" Jadi menurut adi " "
" Terus terang kakang Reksabawa. Aku masih meragukan keikhlasan Raden Tumenggung
Reksayuda. " Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk-
angguk. Iapun kemudian bergumam " berbeda dengan adi Tumenggung Jayataruna yang
agaknya yakin, bahwa Raden Tumenggung itu sudah tidak berbahaya lagi. Bagaimana
jika adi Prangwandawa memberikan kesan kepada adi Jayataruna.:"
" Sebaiknya tidak usah saja kakang. Kangjeng Adipati sudah memberikan
pendapatnya. Jika ada pendapat yang lain, akan dapat timbul masalah.
Bahkan mungkin Kangjeng Adipati akan marah kepadaku, seakan-akan aku telah
membantah keterangan Kangjeng Adipati Jayanegara. "
" Adi. Apakah kira-kira kami berdua diijinkan menemui Raden Tumenggung Reksayuda
" " " Itu tergantung kepada Kangjeng Adipati. "
" Tolong di. Jika adi Prangwandawa nanti menghadap lagi Kangjeng Adipati,
sampaikan permohonanku untuk bertemu dengan Raden Tumenggung Reksayuda. "
"Aku akan menyampaikannya kakang. Tetapi aku tidak yakin, bahwa kangjeng Adipati
akan mengijinkan-nya. "
" Akupun tidak yakin, bahwa adi Jayataruna akan bersedia singgah barang
sebentar. " Sejenak kemdian, maka Ki Tumenggung
Jayataruna telah kembali. Ketika ia melihat Ki Tumenggung Prangwandawa masih
berada di serambi gandok, maka iapun bertanya -" Adi Prangwandawa belum
mengantuk?" " Belum kakang. Hari ini aku tidak seletih kakang berdua. "
" Ya. Kami memang agak letih hari ini. "
" Nah, silahkan beristirahat. Aku akan kembali ke serambi. "
" Silahkan adi Prangwandawa.Tetapi apakah kita besok dapat menemui Raden"
Tumenggung Wreda Reksayuda " " sahut Ki Tumenggung Reksabawa.
Namun Ki Tumenggung Jayataruna dengan
cepat menyahut " Apakah kita harus singgah menemui Raden Tumenggung Wreda " "
" Bukankah itu lebih baik, adi. Sehingga hasil perjalanan kita lebih lengkap. "
" Aku kira itu tidak perlu, kakang. Besok kita langsung saja singgah di
kadipaten untuk minta diri. Seandainya kita ingin bertemu dengan Raden
Tumenggung Wreda, Kangjeng Adipati juga belum tentu memberikan ijinnya.
Ki Tumenggung Reksabawa termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian dengan ragu-ragu iapun berkata " seandainya Kangjeng
Adipati mengijinkan "." " Tidak. Kita tentu tidak akan diijinkan. "
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

panjang. Katanya " Baiklah. Aku juga mengira, bahwa Kangjeng Adipati tidak akan
memberikan ijinnya. "
" Nah, selamat malam adi Prangwandawa "
berkata Ki Tumenggung Jayataruna kemudian. , Ki Tumenggung Prangwandawapun
kemudian meninggalkan kedua orang tamunya di gandok. Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki
Tumenggung Jayataruna memang letih sehingga merekapun segera merasa mengantuk.
Karena itu, maka sejenak kemudian keduanya telah membaringkan dirinya.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prangwandawa telah berada di serambi. Ternyata
Kangjeng Adipati masih duduk sendiri sambil merenungi keberadaan kedua orang
Tumenggung dari Sendang Arum itu.
" Ampun Kangjeng " berkata Ki Tumenggung Prangwandawa " ada niat Ki Tumenggung
Reksabawa untuk bertemu langsung dengan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. "
" He " Kau pertemukan mereka dengan
kakangmas Tumenggung " "
" Tidak, Kangjeng. Ki Tumenggung Reksabawa baru menjajagi kemungkinannya jika
diijinkan. " " Tidak. Aku tidak mengijinkannya. "
" Ki Tumenggung Reksabawa sendiri sudah menduga, bahwa ia tidak akan diijinkan.
" " Bukan karena ada rahasia yang meliputi hubunganku dengan kangmas Tumenggung
Reksayuda, tetapi saat ini kangmas Tumenggung masih orang buangan. Karena itu
aku wenang untuk memagarinya agar tidak banyak bertemu dengan siapapun dari luar
rumah yang kita sediakan baginya. Ada banyak keberatannya, sehingga karena itu
maka aku tidak akan mengijinkannya untuk bertemu. "
" Hamba Kangjeng. "
" Katakan kepadanya, bahwa aku berkeberatan."
" Ia memang sudah menduga, sehingga jika aku tidak datang lagi kepadanya, ia
tahu bahwa ia tidak diijinkan untuk bertemu dengan Raden
Tumenggung. " " Jika demikian, baiklah. Sekarang kau sendiri juga perlu beristirahat. "
" Kangjeng sendiri " "
" Biarlah aku seorang diri disini. "
" Ampun Kangjeng, biarlah hamba disini
bersama Kangjeng." " Aku tidak apa-apa, Ki Tumenggung. Jangan risaukan aku. "
" Ampun Kangjeng. Jika saja hamba
diperkenankan untuk mengatakan sesuatu. "
" Apa yang akan kau katakan Ki Tumenggung ?"
" Pada saat-saat terakhir, hamba melihat perubahan pada diri Kangjeng. Kangjeng
menjadi lebih banyak menyendiri. Merenung dan kadang-kadang sikap Kangjeng
Adipati sulit di mengerti. "
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang.
Sementara Ki Tumenggungpun berkata selanjutnya
" Hamba mohon ampun, Kangjeng Adipati. Jika hamba menyampaikan tanggapan hamba
terhadap sikap Kangjeng Adipati, semata-mata karena kesetiaan hamba kepada
Kangjeng Adipati. " Kangjeng Adipati menarik nafas panjang.
Hampir diluar sadarnya iapun berkata " Aku tidak apa-apa, Ki Tumenggung. "
" Jika demikian, sekarang malam telah larut.
Hamba kira, bahkan sudah lewat waktunya bagi Kangjeng Adipati untuk tidur. "
" Ya. Aku akan tidur. "
Kangjeng Adipati itupun kemudian bangkit berdiri. Tetapi pandangan matanya
nampak kosong dan bahkan sama sekali tidak ada tanda-tandanya, bahwa Kangjeng
Adipati sudah mengantuk. " Apa sebenarnya yang dipikirkannya " "
bertanya Ki Tumenggung Prangwandawa didalam hatinya " persoalan Raden Tumenggung
Wreda Reksayuda sebenarnya bukan persoalan yang perlu dipikirkan terlalu dalam.
Persoalan Raden Tumenggung adalah persoalan Kadipaten Sendang Arum. Pucang
Kembar hanya memberikan ijin bagi Raden Tumenggung untuk tinggal berdasarkan
berbagai macam pertimbangan. Jika kemudian Raden Tumenggung itu diperkenankan
pulang kembali ke Sendang Arum, bukankah tidak ada masalah bagi Pucang Kembar" "
" Tentu bukan karena Raden Tumenggung
Wreda Reksayuda " Ki Tumenggung
Prangwandawa menarik nafas panjang.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung
Prangwandawapun segera meninggalkan serambi.
Seorang abdi yang terkantuk-kantuk di panggilnya untuk menyelarak pintu serambi
itu dari dalam. " Ki Tumenggung akan pergi ke mana ?"
" Tidur" " Ki Tumenggung masih bertugas malam ini ?"
" Ya. Sampai esok sore. Nah, selarak pintu.
Jangan tidur." " Baik, Ki Tumenggung."
Dalam pada itu, dipembaringannya, Kangjeng Adipati memang tidak segera dapat
tidur. Ada sesuatu yang bermain di angan-angannya.
Berbeda dengan Kangjeng Adipati, Ki
Tumenggung Prangwandawa demikian masuk
kedalam biliknya di gan-dok sebelah kiri, melepas kerisnya, ikat kepalanya dan
kelengkapan-kelengkapan lain, lalu merebahkan dirinya, maka sebentar saja ia
sudah tidur dengan nyenyaknya.
Di gandok sebelah, Ki Tumenggung Reksabawa yang letihpun telah tertidur. Tetapi
Ki Tumenggung Jayataruna masih nampak gelisah. Sekali-sekali ia tidur
terlentang. Namun kemudian miring kekiri.
Sebentar lagi miring kekanan.
Sekali-sekali dengan sengtaja Ki Tumenggung Jayataruna mengguncang
pembaringannya, sehingga amben kayu itu berderik. Tetapi Ki Tumenggung Reksabawa tidak
terbangun. " Kakang Reksabawa itu seperti orang mati saja
" desisnya. Baru didini hari, Ki Tumenggung Jayataruna itu sempat tidur.
Pagi-pagi sekali mereka berdua sudah bangun.
Keduanyapun segera mempersiapkan diri. Pagi itu juga meireka akan kembali ke
Sendang Arum. Ki Tumenggung Prangwandawa ternyata juga bangun pagi-pagi sekali. Ia tahu bahwa
kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu akan minta diri.
" Jika Kangjeng Adipati belum bangun, maka biarlah aku saja yang melepas mereka
" berkata Ki Tumenggung Prangwandawa didalam hatinya.
Tetapi ternyata bahwa Kangjeng Adipati juga sudah bangun pagi-pagi sekali.
Bahkan Kangjeng Adipati sudah mandi pula dan berbenah diri.
Karena itu ketika kedua orang Tumenggung dari Sendang Arum itu akan minta diri,
Kangjeng Adipati sudah siap menerima mereka.
Ketika hari masih pagi menjelang matahari terbit, kedua orang Tumenggung dari
Sendang Arum itu sudah meninggalkan dalem Kadipaten Pucang Kembar. Kuda-kuda
mereka berlari kencang di jalan-jalan yang masih sepi.
" Kita akan memilih jalan lain " berkata Ki Tumenggung Reksabawa.
" Kenapa " Apakah kakang cemas bahwa para penyamun itu akan menghadang kita lagi
" Aku justru masih ingin bertemu mereka dan kawan-kawan mereka. -Lebih banyak
lebih baik." " Aku tidak takut bahwa kita akan dicegat oleh para penyamun itu lagi, adi.
Bahkan yang jumlahnya lebih besar. Yang aku takutkan justru karena adi
Tumenggung akan membunuh semakin banyak orang."
" He " " Ki Tumenggung Jayataruna
mengerutkan dahinya. Namun terdengar Ki Tumenggung Jayataruna itu tertawa
berkepanjangan. " Bukankah kita prajurit, kakang."
" Prajurit tidak sejalan dengan pengertian seorang pembunuh. Bahkan sebaliknya."
" Aku tahu. Tetapi jika aku membunuh
penyamun, bukankah itu berarti bahwa aku telah melindungi orang-orang yang tidak
berdaya menghadapi mereka ?"
" Aku sependapat. Tetapi cara adi membunuh membuat kulitku meremang."
Ki Tumenggung Jayataruna masih saja tertawa.
Katanya " Baiklah. Aku tidak akan membantah. Kita akan mengambil jalan lain.
Namun mudah-mudahan kita bertemu lagi dengan sekelompok penyamun di bulak-bulak
panjang yang sepi atau di padang perdu atau di pinggir hutan."
Ki Tumenggung Reksabawa .tidak menyahut.
Namun kuda mereka berlari semakin kencang di jalan-jalan yang seakan-akan tidak
pernah dilalui orang. Lengang.
Tetapi kedua orang Tumenggung itu tidak menjumpai sekelompok penyamun. Yang
mereka lihat adalah beberapa orang perempuan yang sibuk matun di sawah yang
nampaknya subur. Padi yang sedang tumbuh, terhampar seperti lautan yang hijau.
Angin pagi telah mengalunkan gelombang-gelombang kecil pada daun padi yang
lebat. Ketika matahari memanjat langit, terasa sinarnya menyentuh wajah. Adalah
kebetulan keduanya sedang menempuh perjalanan ke arah Timur.
Perjalanan mereka tidak terhambat
sebagaimana saat mereka berangkat. Ketika mereka berhenti di sebuah kedai untuk
memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat serta mendapat makan dan minum
dari seorang petugas di kedai itu, keduanyapun sempat minum dan makan pula.
Tidak ada persoalan yang timbul di kedai itu.
Tidak ada orang-orang yang berwajah gelap dengan luka menyilang di pelipisnya
yang memperhatikan kehadiran mereka di kedai itu.
Dengan demikian, maka perjalanan kembali dari Pucang Kembar itu ternyata lebih
cepat dari perjalanan mereka pada saat mereka berangkat.
Disore hari, ketika matahari masih nampak terapung dilangit mereka sudah
mendekati dalem Kadipaten di Sendang Arum.
" Kakang Reksabawa " bertanya Ki Tumenggung Jayataruna " Apakah kita akan
langsung menghadap Kangjeng Adipati, atau kita pulang dahulu, mandi dan berbenah diri,
baru kemudian kita bersama-sama menghadap" "
Ki Tumenggung Reksabawa termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian katanya " Bagaimana pendapat adi, jika kita langsung
saja menghadap" Tugas kita segera tuntas. Kangjeng Adipatipun merasa betapa kita mendahulukan
penyelesaian tugas kita. "
" Baiklah. Kita langsung pergi ke dalem Kadipaten. Kecuali jika Kangjeng Adipati
memerintahkan lain. "
Keduanyapun kemudian langsung menuju ke dalem Kadipaten. Oleh para prajurit yang
bertugas, merekapun segera dipersilahkan langsung mohon menghadap jika Kangjeng
Adipati berkenan. Seorang abdi telah memberitahukan kedatangan Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki
Tumenggung Jayanfegara kepada Kangjeng Adipati di Sendang Arum.
" Biarlah mereka menunggu sejenak di serambi "
berkata Kangjeng Adipati.
Kedua orang Tumenggung itupun kemudian
duduk menunggu di serambi sementara Kangjeng Adipati berbenah diri.
" Siapa yang menghadap di sore hari seperti ini, ayahanda" " bertanya Raden
Ajeng Ririswari. " Kakang Tumenggung Reksabawa dan kakang Tumenggung Jayataruna " jawab Kangjeng
Adipati. " Mereka baru pulang dari Pucang Kembar" "
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil mengangguk iapun
menjawab " Ya, Riris. Keduanya baru pulang dari Pucang Kembar. "
" Apakah keduanya menjemput uwa
Tumenggung Reksayuda?"
" Belum Riris. Keduanya baru menjajagi
kemungkinan, apakah uwakmu itu akan
diperkenankan pulang atau tidak. "
Ririswari tidak menyahut lagi. Gadis itupun kemudian beringsut dan duduk di
ruang dalam menghadapi dakon. Jari-jarinya yang lentik bermain dengan kelungsu
yang ada di dakonnya. Sejenak kemudian, Kangjeng Adipati
Wirakusuma telah duduk diserambi. dihadap oleh kedua orang Tumenggung yang baru
saja datang dari Pucang Kembar itu.
" Kalian baru datang dari Pucang Kembar langsung kemari" " bertanya Kangjeng
Adipati. " Hamba Kanjeng. Hamba tidak ingin ada
persoalan yang terlupakan jika kami berdua tidak langsung menghadap. "
Kangjeng Adipati tersenyum. Katanya "
Persoalannya tidak begitu rumit. Tentu tidak ada masalah yang terlupakan
seandainya kakang Tumenggung berdua singgah dahulu di rumah kalian. Bahkan
seandainya esok pagi sekalipun. "
" Hamba Kangjeng Adipati. Tetapi dengan demikian tugas kamipun segera tuntas. "
" Terima kasih atas kesungguhan kalian "
Kangjeng Adipatipun mengangguk-angguk. Lalu dengan nada dalam Kangjeng Adipati
itu berkata " Jika nafas kalian sudah mulai teratur kembali, nah, katakan hasil pembicaraan
kalian dengan Kangjeng Adipati Jayanegara.
Ki Tumenggung Jayatarunapun berpaling
kepada Ki Tumenggung Reksabawa. Namun Ki Tumenggung Reksabawa itu berdesis "
Silahkan di." Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas
panjang. Namun kemudian Ki Tumenggung
Jayatarunalah yang memberikan laporan
perjalanan.ke Pucang Kembar. Kangjeng Adipati memang tidak begitu menghiraukan siapakah yang akan memberikan laporan. Karena itu, maka Kangjeng Adipati tidak menaruh perhatian, kenapa justru Ki Tumenggung yang mudalah yang memberikan laporan itu. " Demikianlah, Kangjeng Adipati. Kangjeng Adipati Jayanegara tidak mampunyai
keberatan apa-apa jika Raden Tumenggung Reksayuda di ijinkan pulang ke Sendang
Arum. " Kangjeng Adipati Wirakusuma menarik nafas panjang. Sementara itu Ki Tumenggung
Reksabawapun berkata " Kangjeng Adipati. Hamba sudah mencoba untuk mohon ijin,
agar hamba berdua diperkenankan bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda. Tetapi
kami tidak mendapat ijin itu, Kangjeng Adipati. "
" Apakah Kangjeng Adipati Jayanegara
menyatakan bahwa kita tidak diijinkan bertemu dengan Raden Tumenggung Wreda" "
Ki Tumenggung Jayataruna justru bertanya.
" Semalam Ki Tumenggung Prangwandawa tidak menemui kita lagi. Itu berarti bahwa
permohonan kita telah ditolak. "
" Tetapi itu wajar sekali " desis Ki Tumenggung.
Jayataruna. " Sebenarnya jika kalian dapat bertemu dengan kangmas Tumenggung Wreda
Reksayuda, tentu akan lebih baik karena kalian dapat langsung menjajagi isi
hatinya. " Tetapi keterangan Kangjeng Adipati
Jayanegara sudah cukup jelas, Kangjeng. "
" Ya." " Selanjutnya segala sesuatunya terserah kepada Kangjeng Adipati.
" Baiklah. Aku sudah mendengar laporan kalian.
Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan yang akan aku timbang dari segala
segi. " Kami hanya tinggal menunggu, Kangjeng. "
"Ya. Kalian tinggal menunggu. "


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kedua orang Tumenggung yang pakaiannya
masih dilekati keringat dan debu itupun segera mohon diri.
" Baiklah, kakang Tumenggung berdua. Kalian tentu letih. Bahkan mungkin haus dan
lapar. Karena itu, jika kakang berdua akan pulang, membersihkan diri, berganti pakaian
dan sebagainya! silahkan. "
Demikianlah kedua orang Tumenggung itupun segera meninggalkan dalem Kadipaten.
Demikian Ki Tumenggung Reksabawa sampai di rumah, ia masih saja nampak gelisah.
Nyi Tumenggung yang kemudian menyediakan
minuman hangat dan beberapa potong makanan itu melihat kegelisahan pada sikap
dan sorot mata Ki Tumenggung.
" Apakah ada tugas yang tidak terselesaikan, kakang" " bertanya Nyi Tumenggung.
" Tidak, Nyi. Tugasku kali ini sudah tuntas.
Bahkan aku dan adi Jayataruna sudah langsung menghadap Kangjeng Adipati dan
melaporkan hasil perjalanan kami ke Pucang Kembar.
" Lalu apa lagi yang kakang gelisahkan" "
" Aku menjadi gelisah menunggu keputusan Kangjeng Adipati. Sebenarnya aku masih
belum dapat menyetujui jika Raden Tumenggung Wreda di beri pengampunan dan
pulang ke Sendang Arum. "
" Kenapa" Bukankah semata-mata berdasarkan atas rasa kemanusiaan" "
" Aku mengerti, Nyi. Tetapi aku masih
mencemaskan kesungguhan Raden Tumenggung untuk menyingkirkan perasaan iri
hatinya terhadap Kangjeng Adipati. Jika Raden. Tumenggung Wreda itu kelak
pulang, bagiku, akan timbul persoalan sebagaimana pernah terjadi di Sendang
Arum. Perasaan iri itu akan sangat.sulit dihapus dari dinding hati Raden Tumenggung
Reksayuda. " " Ah. Kakang hanya berprasangka. Bukankah Raden Tumenggung itu sudah tua" "
" Ingat, Nyi. Ketika Raden Tumenggung itu disingkirkan, ia memang sudah tua. Apa
arti waktu yang hanya dua setengah tahun, atau katakan tiga tahun bagi Raden
Tumenggung Reksayuda" "
" Tetapi keadaannya di pembuangan akan
merubah jalan pikirannya, kakang. "
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas
panjang. Katanya " Mudah-mudahan Nyi. Tetapi aku tidak yakin. Aku justru menjadi
curiga, bahwa Raden Tumenggung Wreda Reksayuda akan
bekerja sama dengan Kangjeng Adipati
Jayanegara. Setelah Raden Tumenggung
Reksayuda berada kembali di Kadipaten ini, maka ia akan dapat mengatur segala
sesuatunya. Sementara itu, dengan diam-diam Kangjeng Adipati Jayanegara telah membantunya: "
" Jika demikian, apa pamrih Kangjeng Adipati Jayanegara" "
" Pengaruhnya akan menjadi besar sekali di Kadipaten Sendang Arum. Jika Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda berhasil menyingkirkan Kangjeng Adipati Wirakusuma,
maka Raden Tumenggung Reksayuda akan lebih banyak di kemudikan oleh Kangjeng
Adipati Jayanegara. Terutama di lingkungan laku dagang."
Nyi Tumenggung Reksabawa menarik nafas
panjang. -Katanya " Jangan terlalu berprasangka, kakang. Tunggu sajalah, apa
yang akan terjadi setelah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda kembali. Kakang dapat
dengan diamdiam bersama satu dua orang kepercayaan kakang mengamati, apa saja
yang dilakukan oleh Raden Tumenggung itu. "
" Aku juga mencurigai Raden Ayu Reksayuda.
Raden Ayu Reksayuda yang muda ini nampaknya banyak bertingkah. Bahkan kadang-
kadang tidak pantas dilakukan oleh seorang isteri keluarga Kangjeng Adipati. Kau
tentu melihat, bagaimana ia berpakaian dan merias diri. Bukankah sangat
berlebihan, sementara suaminya tidak ada di rumah" "
" Nampaknya kakang menaruh perhatian
kepadanya" " " Bukan begitu. Tetapi apa yang nampak pada kewadagan itu sedikit banyak akan
dapat membayangkan apa yang terdapat di dalam hatinya. "
" Apakah karena Raden Ayu yang cantik dan muda itu kakang tidak setuju Raden
Tumenggung Reksayuda pulang. "
" Nyi. Sejak kapan hatimu diracuni oleh perasaan seperti itu. "
Nyi Tumenggung tertawa. Iapun kemudian
berdiri di belakang suaminya yang duduk di sebuah tempat duduk kayu berukir yang
dipesannya dari tukang kayu terbaik di Sendang Arum. Sambil memijit bahu
suaminya, Nyi Tumenggung berkata "
Jangan marah, kakang. Aku hanya bergurau. "
" Sekarang kau bergurau. Tetapi guraumu dapat menusuk hatimu sendiri. "
" Sudahlah. Lupakan saja. Aku tahu, kakang masih letih. Tetapi kakang juga
dibebani oleh perasaan kecewa. "
" Aku tidak tahu, kenapa adi Tumenggung Jayataruna sangat ingin agar Raden
Tumenggung Reksayuda diperkenankan kembali ke Sendang Arum. Kecemasanku sulit
aku singkirkan, bahwa akan timbul persoalan yang rumit di Kadipaten Sendang
Arum. " " Sebaiknya kakang tidak usah gelisah sejak sekarang. Bukankah Kangjeng Adipati
masih belum mengambil keputusan ?"
" Nalarku juga memberitahukan kepadaku, bahwa kegelisahanku sekarang tidak akan
ada artinya. Sebaiknya aku tidak perlu gelisah sejak sekarang. Tetapi perasaanku
berkata lain." " Sudahlah, kakang. Di ruang tengah, makan sudah tersedia. Marilah kita makan.
Kakang tentu lapar setelah, menempuh perjalanan."
" Aku sudah singgah di kedai, Nyi."
" Kapan ?" " Di tengah hari.-"
" Nah, sekarang sudah lewat senja."
Ki Reksabawapun kemudian duduk di ruang tengah bersama isterinya untuk makan
malam. Agaknya letih dan lapar membuat Ki Tumenggung Reksabawa makan dengan lahapnya.
Meskipun demikian, ketika malam menjadi semakin dalam, serta Ki Tumenggung telah
berada di bilik tidurnya, ternyata ia tidak segera dapat tidur.
Dikeesokan harinya, Pagi-pagi sekali Ki Tumenggung Reksabawa telah bangun. Mandi
dan berbenah diri. Seorang abdi dari dalem kadipaten telah memanggil beberapa
orang pemimpin di Sendang Arum untuk membicarakan masalah yang menyangkut Raden
Tumenggung Reksayuda. Ketika matahari naik sepenggalah, maka Ki Tumenggung Reksabawa telah pergi
menghadap ke Kadipaten. Pada hari itu Kangjeng'Adipati telah
menyelenggarakan pertemuan kecil, terbatas pada orang-orang terdekat. Diantara
mereka adalah Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Tumenggung
Jayataruna. " Biarlah Ki Tumenggung Reksabawa atau Ki Tumenggung Jayataruna sajalah yang
menguraikan hasil perjalanan mereka. Dengan demikian, maka tidak akan ada yang
terlampaui." Beberapa orang yang hadir itupun berpaling kearah kedua orang Tumenggung itu.
Namun Ki Tumenggung Reksabawapun berdesis " Kau sajalah yang menguraikannya,
adi." Ki Tumenggung Jayatarunalah yang kemudian menyampaikan kepada para pemimpin.yang
hadir itu, apa saja yang telah mereka bicarakan dengan Kangjeng tumenggung
Jayanegara. " Nah, bagaimana menurut pendapat kalian ?"
bertanya Kangjeng Adipati kemudian setelah Ki Tumenggung Jayataruna selesai
memberikan laporannya. Seorang Rangga yang sudah tua menyahut "
Ampun Kangjeng. Jika diperkenankan, hamba ingin menyampaikan pendapat hamba."
" Katakan, Ki Rangga."
" Terima kasih, Kangjeng " Ki Rangga berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian "
Kangjeng Adipati. Umur hamba masih belum setua Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
Tetapi selisihnya tidak begitu banyak. Hamba adalah termasuk salah satu 'abdi di
Kadipaten ini yang sering sekali berhubungan dengan Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda. Hamba sering diperintahkan untuk melakukan berbagai macam tugas. Nah,
pada saat itulah hamba mengetahui kekerasan hati Raden Tumenggung Wreda. Karena
itu, hamba mohon segala sesuatunya dipertimbangkan dengan baik."
" Ampun Kangjeng " seorang yang lain
menyahut " sebenarnya apa yang kita cemaskan seandainya Raden Tumenggung Wreda
itu pulang " Ia sudah tua. Sudah pikun. Seandainya di hatinya masih menyala kedengkian dan
iri hati,, tetapi apa artinya Raden Tumenggung Wreda itu seorang diri.
Kecuali ada diantara kita yang bersedia menjadi pengikutnya untuk menimbulkan
kekisruhan di tanah ini."
Ternyata beberapa orang pemimpin yang
terdekat dengan Kangjeng Adipati itu telah berbeda pendapat. " Namun sebagian
Besar diantara mereka berpendapat, bahwa biar saja Raden Tumenggung itu pulang.
Tidak akan ada masalah yang timbul.
" Jika Raden Tumenggung berbuat macam-
macam, bukankah prajurit Sendang Arum telah bersiap untuk mengatasinya ?"
berkata seorang Senapati.
Memang tidak ada kebulatan pendapat. Tetapi nampaknya Kangjeng Adipati sudah
mengambil kesimpulan meskipun tidak dikatakannya. Bahkan Kangjeng Adipati itupun
berkata " Besok aku akan menyelenggarakan pertemuan yang lebih besar.
Aku minta Ki Tumenggung Reksabawa
menghubungi Kangmbok Reksayuda agar
Kangmbok Reksayuda besok juga datang dalam pertemuan itu. Aku akan menyampaikan
keputusanku yang terakhir tentang pengampunan terhadap kangmas Tumenggung Wreda
Reksayuda." Pertemuan hari itupun kemudian telah
dibuarkan. Para pemimpin yang ikut hadir segera meninggalkan pendapa Kadipaten.
Besok mereka harus datang lagi dalam pertemuan yang lebih besar itu.
Ki Tumenggung Reksabawa juga meninggalkan pendapa Kadipaten. Tetapi hatinya
masih tetap gelisah. Meskipun berbagai macam alasan telah
didengarnya dari mereka yang tidak berkeberatan menerima Raden Tumenggung
Reksayuda pulang, namun Ki Tumenggung Reksabawa masih tetap merasa cemas.
Karena itu, ketika pendapa kadipaten telah kosong, maka Ki Tumenggung Reksayuda
yang belum sampai ke rumahnya itu, telah kembali lagi ke dalem kadipaten.
Dengan berbagai macam alasan, Ki
Tumenggung Reksabawa telah menghadap lagi Kangjeng Adipati Wirakusuma yang
diterima di serambi samping.
" Hamba mohon ampun. Kangjeng Adipati tentu akan beristirahat, tetapi hamba
telah memberanikan diri untuk menghadap. "
" Ada apa kakang " "
" Hamba ingin menyampaikan pendapat hamba yang tidak dapat hamba sampaikan di
pertemuan itu. " " Kenapa tidak " Bukankah dalam pertemuan seperti itu, pendapat seseorang akan
dapat dinilai bobot dan kepentingannya "
--oo0dw0oo - Jilid 2 " ADA yang menahan agar hamba tidak menyampaikannya di dalam pertemuan itu. "
" Siapa yang menahan " "
" Kata hatiku sendiri, Kangjeng Adipati. "
" Kakang. Aku sudah mengenal kakang sejak lama. Aku tahu bahwa kakang bukan
seorang yang ragu-ragu untuk mengambil sikap. Tetapi kenapa sekarang, tiba-tiba
kakang telah berubah. Seakan-akan kakang menjadi orang lain. "
" Ampun Kangjeng Adipati. Sebenarnyalah hamba ingin menyampaikan keberatan hamba
terhadap rencana pengampunan atas Raden Tumenggung Wreda Reksayuda. "
" Hal itu sudah pernah kau sampaikan kakang. "
" Ya, Kangjeng. Sekarang hamba ingin
mengulanginya. Di Pucang Kembar hamba
mendapat keterangan, bahwa sebenarnya sikap Raden Tumenggung Wreda itu masih
belum berubah. Jika Raden Tumenggung Wreda itu pulang, maka kemungkinan timbulnya
keresahan masih tetap ada. "
" Kakang Rcksabawa. Apakah kakang tidak yakin akan kemampuan para petugas sandi
kita serta kekuatan para prajurit di Sendang Arum " Kakang sendiri seorang
prajurit. Seandainya kakangmas Tumenggung Reksayuda masih bertingkah macammacam,
maka aku akan dapat merintahkan
seseorang saja, tanpa sekelompok prajurit, untuk menangkapnya. "
Ki TumenggungReksabawa menarik nafas
panjangi, " Seandainya yang seorang itu kakang
Tumenggung, apakah kira-kira kakang
Tumenggung Reksabawa tidak akan sanggup melakukannya " "
" Hamba akan menjalankan segala perintah apapun taruhannya. Tetapi persoalannya
tidak sesederhana itu. "
" Maksud kakang Reksabawa " "
" Hamba ingin memperingatkan bahwa mungkin sekali kekuatan dari luar akan ikut
campur. " " Maksud kakang, kekuatan dari luar yang dengan diam-diam membantu kakangmas
Reksayuda, begitu " "
" Hamba Kangjeng Adipati. Mungkin bantuan itu dapat berujud uang. Mungkin
senjata. Tetapi bahkan mungkin pasukan. "
" Kakang " berkata Kangjeng Adipati " kita mempunyai pasukan sandi yang
terhitung baik. Kita tentu akan dapat mengetahui jika ada hubungan antara
kakangmas Reksayuda dengan pihak luar.
Seandainya ada bantuan yang di terima oleh kangmas Reksayuda, maka kita dengan
cepat akan menghancurkannya apapun ujudnya. "
Ternyata Ki Tumenggung Reksayuda tidak
berhenti sampai sekian. Meskipun dengan jantung yang berdebaran Ki Tumenggung
berkata " Aku tidak yakin, bahwa Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar
itu bersikap jujur. Jika Kangjeng Adipati itu bersikap jujur, hamba tentu akan
diperkenankan menemui Raden Tumenggung
Reksayuda langsung. "
" Kakang Tumenggung. Kau jangan
mementahkan lagi pembicaraan yang sudah sampai pada satu kesimpulan. Kenapa kau
tidak mengatakan hal itu pada waktu pertemuan tadi sehingga keteranganmu itu
akan dapat menjadi bahan pertimbangan banyak orang. "
" Hamba mohon ampun, Kangjeng. Tetapi
sebenarnyalah hamba mendengar dari seseorang yang dapat dipercaya di Pucang
Kembar. " " Siapa " "
" Orang itu tidak mau disebut namanya. Ia tidak ingin menjadi sasaran kemarahan
Kangjeng Adipati di Pucang Kembar, karena keterangannya berbeda dengan
keterangan Kangjeng Adipati Jayanegara. "
" Kakang Tumenggung. Aku tidak mau
mendengar keterangan dari bayangan yang tidak dikenal itu. "
" Hamba yakin akan kebenaran keterangannya, Kangjeng. "
" Kakang " nada suara Kangjeng Adipati
meninggi " aku tidak tahu apa maksudmu
sebenarnya, bahwa kau dengan cara yang kurang mapan telah berusaha menggagalkan
pengampunan terhadap kakang Tumenggung
Reksayuda. Apakah sebenarnya pamrihmu "
Apakah kau ingin agar jabatan kakangmas Reksayuda itu tetap kosong, sehingga kau
akan dapat menggantikannya. Jika itu yang kau kehendaki, maka aku ingin
memberitahukan kepadamu, bahwa jika kelak kakangmas
Tumenggung itu pulang, ia tidak akan
mendapatkan jabatannya kembali. Ia tidak akan menjadi salah seorang Tumenggung
Pedang Keadilan 17 Sang Penerus Seri Arya Manggada 3 Karya S H Mintardja Rahasia Istana Terlarang 16
^