Pencarian

Kembang Kecubung 3

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Bagian 3


prajurit pengawal telah bersiap pula. Sementara itu para prajurit yang lain di
dalem Kadipaten itu telah bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi segala
kemungkinan. Sejenak kemudian, Kangjeng Adipati dan
pengiringnya telah melarikan kuda mereka menuju ke rumah Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda yang sebenarnya tidak begitu jauh.
Demikian Kangjeng Adipati memasuki regol halaman rumah Raden Tumenggung, maka
orang-orang yang berkerumun di halaman itupun menyibak. Demikian pula mereka
yang berada di pendapa dan di ruang dalam.
Demikian Kangjeng Adipati masuk ke ruang dalam, maka Kangjeng Adipatipun
tertegun. Raden Ayu Reksayuda menyongsongnya dan langsung berlutut dihadapannya.
" Apa yanng telah terjadi, kangmbok " "
bertanya Kangjeng Adipati.
" Kangmas Tumenggung Reksayuda, dimas. "
" Apakah aku boleh melihatnya " " Raden Ayu Reksayuda masih terisak.
Kangjeng Adipatipun kemudian telah melangkah ke bilik utama di rumah Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda itu.
Demikian Kangjeng Adipati masuk ke bilik itu, maka darahnyapun tersirap. Ia
melihat tubuh Raden Tume ng R nggu eksayuda yang berlumuran darah. Ia melihat sebilah keris yang tertancap di dada Raden Tumenggung itu.
Sedangkan yang membuat jantungnya bagaikan berhenti, keris yang tertancap di
dada Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu adalah salah satu diantara pusaka-
pusakanya yang banyak jumlahnya, yang
tersimpan di Bangsal Pusaka.
" Kiai Puguh " desis Kangjeng Adipati.
Namun Justru karena itu, maka Kangjeng
Adipati tidak mau menyentuh keris itu. Jika Kangjeng Adipati mencabut keris itu,
maka akan dapat timbul dugaan, bahwa Kangjeng Adipati sengaja ingin
menghilangkan jejak pembunuhan itu.
Karena itu, maka Kangjeng Adipatipun segera keluar lagi dari bilik itu serta
memerintahkan prajurit untuk memanggil Ki Tumenggung
Jayataruna dan Ki Tumenggung Reksabawa.
" Panggil mereka sekarang " berkata Kangjeng Adipati.
Dalam pada itu, sejak malam turun, di
rumahnya, Nyi Tumenggung Jayataruna duduk di ruang dalam seorang diri; Semakin
malam, terasa suasana menjadi semakin sepi. Bahkan Nyi Tumenggung itupun mulai
diganggu oleh matanya yang mulai mengantuk.
Sekali-sekali digosoknya matanya yang semakin redup itu. Namun kantuk itu masih
saja terasa mengganggunya.
Suratama, anak Ki Tumenggung Jayataruna yang sudah beranjak dewasa itu mendekati
ibunya. Sambil duduk disampingnya iapun berkata "
Sebaiknya ibu tidur saja sekarang. Agaknya ibu lelah setelah sehari-harian
mengerjakan pekerjaan di rumah. "
" Tidak Suratama. Aku tidak lelah. Bukankah aku tidak mengerjakannya semuanya
sendiri di rumah ini. Ada abdi yang membantu mengerjakan pekerjaan-pekerjaanku.
" Meskipun demikian, ibu masih juga selalu sibuk. Ibu masak sendiri. Ibu
membersihkan sebagian besar dari rumah dan perabotnya. Ibu masih juga mencuci
pakaian ayah dan pakaian ibu sendiri meskipun ada orang lain yang dapat
mencucinya. " " Orang lain kadang-kadang cuciannya tidak bersih, ngger. Sedangkan sudah
terbiasa bagi ayahmu, jika bukan aku sendiri yang masak, ayahmu tidak berselera
untuk makan. " " Tetapi ibu tidak perlu menunggu ayah pulang.
Ayah adalah seorang prajurit, yang tugasnya "tidak dibatasi waktu. Kapan saja
tugas itu memanggil, ayah harus siap melaksanakannya. "
" Aku mengerti, ngger. Tetapi rasa-rasanya aku tidak akan dapat tidur nyenyak,
sementara ayahmu sedang menjalankan tugasnya. Sementara aku berada di
pembaringan, berselimut kain panjang sambil tidur mendekur. "
" Menurut pendapatku, ibu. Tugas ayah kali ini tidak terlalu berat, meskipun
mungkin akan makan waktu yang panjang. Bukankah ayah hari ini pergi ke kadipaten
Pucang Kembar untuk menjemput Raden Tumenggung Wreda Reksayuda " Tugas itu bukan
tuga dib s yang ayangi oleh bahaya yang gawat. Tugas itu hanyalah tugas perjalanan yang panjang. "
" Tetapi ada perbedaan pendapat antara
ayahmu dengan Ki Tumenggung Reksabawa. "
" Mereka adalah orang-orang dewasa, ibu.
Mereka tahu cara menempatkan diri mereka masing-masing. "
" Suratama. Sebaiknya kau saja yang pergi kebilik-mu. Biarlah
u aku menunggu ayahm pulang
dari Pucang Kembar. Itu sudah menjadi kewajiban seorang perempuan ngger.
Menunggu suaminya pulang. Menyediakan minuman panas, menemani dan melayaninya
makan. " " Tetapi ibu juga harus menjaga kesegaran tubuh ibu sendiri. Ibu jangan menjadi
terlalu letih setiap hari. "
" Bukankah ayahmu tidak selalu pulang terlalu malam " "
Suratama menarik nafas panjang. Namun
kemudian iapun berkata " Ibu. Aku akan masuk ke bilikku. "
" Tidurlah ngger. "
" Tetapi jika ayah masih saja belum segera pulang, ibu harus segera pergi tidur.
Mungkin ayah kan masih a bermalam lagi. Jarak yang harus
ditempuh cukup jauh ibu. Sementara itu, mungkin masih ada persoalan yang harus
diselesaikan di Pucang Kembar. "
" Persoalan apa lagi. Bukankah Kangjeng Adipati sudah memaafkannya, sehi
R ngga aden Tumenggung Wreda Reksayuda itu sudah tidak mempunyai persoalan lagi. "
" Mudah-mudahan Raden Tumenggung
Reksayuda itu tidak membuat persoalan di Pucang Kembar. "
" Tentu tidak. Ia merasa orang asing disana.
Lebih dari itu, ia adalah orang buangan. "
Suratama mengangguk-angguk.
" Tidurlah " desis ibunya.
Suratama termangu-mangu sejenak. Ia merasa kasihan kepada ibunya yang memaksa
diri sendiri untuk duduk tanpa memejamkan mata meskipun sudah sangat mengantuk.
Nyi Tumenggung memang sempat menjadi
ragu-ragu. " Jangan-jangan Ki Tumenggung masih akan bermalam lagi. Tetapi
menurut Ki Tumenggung, hari ini Ki Tumenggung akan pulang.
Suratama pun kemudian beranjak dari
tempatnya sambil berdesis " Selamat malam ibu. "
Ibunya mencoba untuk tersenyum. Katanya "
Selamat malam ngger. Tidurlah. Semoga mimpimu indah. "
" Meskipun indah jika itu hanya sebuah mimpi, ibu. "
" Daripada bermimpi buruk. Kau akan terbangun dan mungkin tidak akan dapat tidur
lagi. " Suratama tersenyum. " Demikianlah, maka Suratamapun kemudian meninggalkan ibunya sendirian duduk di
ruang dalam. Namun meskipun Suratama kemudian berbaring di biliknya, tetapi ia
tidak dapat segera tertidur, la masih saja memikirkan ibunya yang menunggu
ayahnya pulang. Nyi Tumenggung Jayataruna memang seorang perempuan yang setia. Sejak hidup
mereka masih terasa sangat berat, pada saat Ki Jayataruna.masih belum
berpangkat, Nyi Jayataruna selalu mendampinginya dalam suka dan duka. Nyi Jayat
tida aruna sendiri k pernah mengeluh bagi dirinya sendiri. Ia berusaha mengisi hidup keluarganya dengan pengharapan akan
hari-hari yang baik dimasa mendatang.
" Hidup ini seperti cakra manggilingan. Sekali kita berada dibawah, tetapi
sekali kita akan bergerak dan berputar sehingga kita berada diatas.
Karena itu, jangan terlalu berduka jika kita sedang mengalami nasib yang muram'
Tetapi jangan terlalu bersuka jika nasib kita lagi cerah. Segala sesuatunya
harus kita terima dengan hati yang penuh dengan pernyataan sukur. "
Justru pada saat mata Suratama mulai terpejam, maka anak muda itu terkejut. Ia
mendengar pintu depan di ketuk orang. Cukup keras.
" Nyi, Nyi " terdengar suara memanggil.
Suratama menarik nafas panjang. Ia mengenal suara itu dengan baik. Suara
ayahnya. " Ya, kakang. Sebentar. "
Suratama pun mendengar suara ibunya
menyahut. Dengan tergesa-gesa Nyi Tumenggung
Jayatarunapun bangkit dan berlari-lari kecil menuju ke pintu pringgitan.
Sejenak kemudian, pintupun terbuka. Ki
Tumenggung Jayataruna berdiri di belakang pintu itu dengan wajah yang kusut.
Demikian pintu terbuka, maka Ki Tumenggung itupun segera melangkah masuk.
Nyi Tumenggung pulalah yang kemudian
menutup pintu dan menyelaraknya kembali.
" Baru pulang kakang " sapa Nyi Tumenggung dengan suara lembut.
Tetapi jawab Ki Tumenggung dengan wajah yang gelap " Bukankah kau lihat, bahwa
aku baru pulang. " Nyi Tumenggung menarik nafas panjang.
Katanya " Maksudku, apakah kakang lelah setelah menjalankan tugas kakang sejak
kemarin lusa. " " Ya. Aku lelah sekali. "
" Duduklah kakang. Aku akan membuat
minuman hangat. Makan juga sudah tersedia.
Karena menurut kakang, hari ini kakang pulang, maka aku telah menunggu kakang.
Aku juga bejum makan. "
" Aku tidak makan. Aku masih kenyang. "
" Tetapi aku sudah menyediakan kesukaan kakang. Pepes udang, sayur asam sedikit
pedas. Dendeng ragi. " " Aku masih kenyang kau dengar. "
" Tetapi sebaiknya kakang makan meskipun sedikit. Aku menunggu untuk mengantar
kakang makan. " " Kau kita aku tidak berani makan sendiri. "
" Maksudku, kita makan bersama. Aku akan melayani kakang makan. "
" Aku masih kenyang. Berapa kali aku harus mengatakannya. Jika kau belum makan,
bukankah itu salahmu sendiri. Aku tidak minta kau hari ini menunggu aku malam
malam. " " Memang salahku sendiri, kakang. Tetapi sudah menjadi kebiasaanku menunggu
kakang untuk makan malam. Apakah kakang lupa kebiasaan itu. "
" Cukup, Nyi. Aku letih sekali. Aku ingin segera ristirah
be at. Aku akan pergi ke pakiwan mencuci
kaki dan tangan. Kemudian tidur. "
" Baiklah, kakang. Tetapi silahkan duduk. Aku ingin be i
rb cara sedikit kakang. "
" Berbicara apa. Aku letih sekali. "
" Aku tahu ng m kaka emang letih. Tetapi aku terdorong untuk bertanya sedikit kakang. Nanti kakang segera mencuci kaki dan
tangan. Kemudian tidur. Nanti aku akan memijit kaki kakang. "
" Tidak usah. Yang letih bukan kakiku. Hampir dua hari penuh aku duduk diatas
punggung kuda. " " Baik, kakang. Baik. Tetapi mumpung ada kesempatan, aku ingin bertanya sedikit
saja. " " Bertanya apa" "
" Tentang kakang. "
" Cepat. Katakan. Aku sudah sangat letih. "
" Kakang. Kenapa kakang berubah akhir-akhir ini. "
" Berubah" Apa yang berubah" "
" Kakang sekarang terlalu sering pergi. Pulang n
lambat da bahkan kadang-kadang tidak pulang tanpa aku ketahui kemana kakang
pergi. " " Edan. Bukankah ketika aku berangkat kemarin lusa, aku sudah mengatakan, bahwa
aku pergi menjemput Raden Tumenggung Reksabaya. Aku akan bermalam semalam atau
bahkan dua malam. " " Bukan malam ini, kakang. Tetapi hari-hari sebelumnya. Kakang hampir tidak
pernah berada di rumah. "
" Nyi. Aku adalah seorang prajurit. Tugasku tidak terbatas waktu. Siang, malam
dan bahkan siang dan malam. "
" Kakang. Aku adalah isteri prajurit. Aku menjadi istri prajurit bukan baru
sejak kemarin sore. Sudah lebih dari duapuluh tahun kakang. Aku sudah mengenal
tugas prajurit, karena suamiku sendiri seorang prajurit. Tetapi setelah dua
puluh tahun itu, tiba-tiba rasa-rasanya aku tidak mengenali lagi tugas-tugas
kakang sebagai seorang prajurit. "
" Tetapi akulah yang mengalaminya, Nyi. Akulah yang menjadi prajurit itu. Bukan
kau. " " Aku adalah isteri, kakang. Isteri seorang Tumenggung. Maksudku, kakang. Apakah
kakang sekaran m g endapat tugas-tugas baru yang sangat
berat, melampaui masa-masa yang lalu" Atau mungkin kakang dianggap bersalah dan
mendapat hukuman dengan tugas-tugas tambahan yang sangat berat sehingga kakang
hampir tidak sempat pulang. "
" Nyi. Aku sekarang sedang letih sekali. Kau jangan membuat perkara. Jika hatiku
tersinggung, dalam keadaan yang sangat letih ini, aku akan dapat menjadi sangat marah. "
" Baiklah, kakang. Jika kakang tidak berkenan dengan pertanyaanku, aku minta
maaf. Tetapi jika hal ini aku sampaikan, sebenarnya aku ingin membantu kakang
sesuai dengan kedudukanku sebagai seorang isteri."
" Dengan, sikapmu itu
u sama ka sekali tidak membantu, embuat perasaanku Nyi. Kau justru m semakin letih. Jika tubuhku letih karena selama dua hari berturutan aku duduk di punggung kuda, maka pertanyaanmu dan sikapmu membuat perasaanku sangat letih. " " Baik, kakang. Aku tidak akan bertanya lebih lanjut. " " Sekarang aku akan pergi ke pakiwan untuk mencuci kaki dan tanganku. "
Tetapi sebelum Ki Tumenggung melangkah, terdengar derap kaki kuda memasuki


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

halaman. " Derap kaki kuda " desis Nyi Tumenggung.
Ki Tumenggung itupun termanggu-manggu
sejenak. Namun suara derap kaki kuda itu menjadi semakin jelas. Kemudian
berhenti. Ki Tumenggung Jayataruna menunggu sejehak.
Didengarnya langkah menuju ke pintu pringgitan.
Kemudian didengarnya pintu itu diketuk orang.
" Siapa" " bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.
" Resa, Ki Tumenggung. "
" Resa" " " Ya, Ki Tumenggung. "
Ki Tumenggung Jayataruna masih belum begitu mengenali suara dan nama itu. Karena
itu, maka Ki Tumenggung kemudian memutar kerisnya di lambung kiri sambil
melangkah ke pintu. Perlahan-lahan Ki Tumenggung membuka
selarak pintu, sementar umenggun a Nyi T g berdiri dengan tegang. Demikian pintu terbuka, maka ses ora
e ng yang berdiri di luar pintu mengangguk den?an hormat.
" Kau" " Ki Tumenggung ternyata p m
e ah mengenal orang itu. " Ya, Ki Tumenggung. "
" Ada apa" "
" Aku diutus oleh Kangjeng Adipati, Ki
Tumenggung diminta untuk menghadap" "
" Sekarang" "
" Ya! Kangjeng Adipati sekarang berada di rumah Ki Tumenggung Wreda Reksayuda. "
-malam " Kenapa malam Kangjeng Adipati ada di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda" "
" Ki Tumenggung. Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah meninggal. "
" Meninggal?"wajah Ki Tumenggung menjadi tegang
"jangan asal bicara. Katakan sekali lagi. "
" Raden l\im ggung en Wreda Reksayuda telah meninggal." Nyi Tumenggungpun mendekat pula sambil
bertanya " Bukankah Raden Tumenggung
Reksayuda baru pulang malam ini" "
" Ya, Nyi." " Lalu tiba-tiba meninggal" "
" Seseorang telah membunuhnya. "
" Raden Tumenggung telah terbunuh" "
bertanya Ki Tumenggung dengan nada tinggi.
" Ya, Ki Tumenggung. "
" Siapa yang telah membunuhnya" "
" Tidak seorangpun yang mengetahuinya. "
" Baik. Katakan kepada Kangjeng Adipati, bahwa aku akan segera menghadap. "
" Aku akan mendahului Ki Tumenggung. "
" Ya. Pergilah dahulu. Aku akan segera
menyusul. " Demikianlah, maka Resapun segera turun ke halaman.
Dituntunnya kudanya sampai ke regol.
n i Kemudia apun segera meloncat naik. Sejenak
kemudian terdengar derap kaki kuda itu berlari semakin lama semakin jauh.
" Kakang akan pergi lagi" " bertan
ya Nyi Tumenggung. " Kau dengar sendiri perintah Kangjeng Adipati?"
" Ya, kakang." " Nah, itu adalah tugas seorang prajurit.
Meskipun aku sangat letih lahir dan batin, tetapi aku harus berangkat. "
" Aku mengerti, kakang. Aku mampu
menangkap suasana. Itulah sebabnya aku berkata, bahwa kakang te
er lah b ubah. " " Kau akan mulai lagi dengan celotehmu" "
" Tidak. Aku hanya menanggapi kata-kata kakang. Bukankah tidak baru kali ini
kakang harus melakukan tugas meskipun kakang sangat letih"
Tetapi sikap kakang tidak pernah membuat aku tertekan seperti pada saat-saat
terakhir ini. " " Persetan dengan tanggapanmu. Aku akan pergi. Tentu ada yang tidak wajar telah
terjadi. " Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itupun telah keluar lewat pintu pringgitan.
Demikian ia berada di luar pintu, maka iapun berkata " Selarak pintunya. Jika
kau belum makan, makanlah. Jika kau mengantuk tidurlah. Jangan aku yang
disalahkan jika kau lapar atau mengantuk esok pagi. "
Nyi Tumenggung tidak menjawab. Tetapi ia melangkah ke pintu. Menutup pintu dan
menyelaraknya dari dalam.
Sejenak kemudian, terdengar kuda Ki
Tumenggung bertari melintasi halaman.
" Agaknya aku terlelap sekejap pada saat Ki Tumenggung da
ingga tang, seh aku tidak mendengar derap kaki kudanya " berkata Nyi Tumenggung didalam hatinya. Ia memang
sangat mengantuk. Matanya terpejam sesaat meskipun ia masih duduk di ruang dalam
ketik Tumengg a Ki ung datang. Ketukan pintu yang agak keras telah membangunkannya.
Demikian suara derap kaki kuda itu hilang, maka Nyi Tumenggung kemb
di ali duduk ruang tengah. Terasa getar jantungnya menjadi semakin cepat. Ia tidak mengerti, apa yang
sebenarnya terjadi pada keluarganya. Apakah Ki Tumenggung yang berubah atau
dirinya sendiri. Suranata yang hampir tertidur dan tericejut karena pintu diketuk ayahnya,
mendengar semua pembicaraan ayah dan ibunya. Tetapi Suranata tidak berahi
mencampurinya Ia tidak tahu pasti, persoalan apakah yang sedang terjadi antara
ayah dan ibunya. Namun menurut pendapatnya,
ayahnya memang berubah. Nyi Tumenggung yang duduk di ruang tengah mengusap matanya yang basah. Te a
t pi Nyi Tumenggung tidak menangis. Jiwanya telah ditempa oleh jalan kehidupan yang berat
sejak ia menikah dengan Ki Jayataruna. Dengan tabah ia ikut terombang-ambing
arus kehidupan suaminya. Swarga, nunut nraka katut.
Sehingga akhirnya, Ki Jayataruna berhasil memanjat sampai kedudukan tertinggi
yang dicapainya kini. Tumenggung.
. Namun ketika kedudukannya semakin kokoh, serta kepercayaan Kangjeng Adipati
kepadanya semakin meningkat, maka Ki Tumenggung
Jayataruna itu justru mulai berubah.
Suratama bangkit dan duduk di bibir
pembaringannya. Tetapi ia tidak keluar dari biliknya, meskipun rasa-rasanya ia
ingin ikut memikul beban perasaan ibunya.
Tetapi Suratama yang sudah dewasa itu sempat membuat pertimbangan-pertimbangan
yang mapan, sehingga ia masih belum merasa perlu mencampuri persoalan antara ayah
dan. ibunya. Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayataruna melarikan kudanya menembus gelapnya
malam. Sesekali kudanya melewati siraman sinar oncor di regol halaman rumah orang yang
berada. Tetapi selebihnya gelap.
Demikian Ki Tumenggung sampai di regol
halaman rumah Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda, maka Ki Tumenggung Jayatarunapun segera meloncat dari punggung
kudanya. Dengan tergesa-gesa pula ia menuntun kudanya memasuki halaman.
Resa yang sudah lebih dahulu sampai di rumah itu, segera menerima kuda Ki
Tumenggung sambil berkata " Kangjeng Adipati telah menunggu-"
Ki Tumenggungpun segera masuk ke ruang
dalam. Ia tertegun sejenak di pintu. Ia melihat Kangjeng Adipati sudah berada di
ruang dalam. " Marilah, kakang Tumenggung " justru
Kangjeng Adipatilah yang mempersilakannya masuk.
Ki Tumenggung Jayataruna itupun kemudian masuk ke ruang dalam. Dengan nada
berat, Ki Tumenggung itupun bertanya " Ampun Kangjeng Adipati. Apakah yang telah
terjadi." " Duduklah, kakang."
Ki Tumenggung Jayataruna itupun kemudian duduk menghadap Kangjeng Adipati.
" Apakah utusanku belum mengatakan apa yang sudah terjadi disini ?"
" Sudah Kangjeng. Tetapi Resa hanya
mengatakan bahwa telah terjadi pembunuhan disini. Koibannya adalah Raden
TYunenggung Wreda Reksayuda."
" Ya." "Tetapi bagaimana hal itu dapat terjadi, Kangjeng."
" Aku hanya dapat menirukan keterangan dari kangm-bok Reksayuda"jawab Kangjeng
Adipati yang kemudian mengulangi, menceriterakan peristiwa yang terjadi di Rck-
sayudan itu dengan singkat.
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-
angguk. Dahinya berkerut.
Namun tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu
bertanya " Apakah Kangjeng tidak memanggil kakang Tumenggung Reksabawa "
"Ya. Aku telah memerintahkan seorang prajurit memanggilnya."
" Tetapi kakang Tumenggung itu be m d
lu atang menghadap, kangjeng."
Pembicaraan itu teihenti. Seorang prajurit masuk ke ruang dalam, duduk menghadap
Kangjeng Adipati. " Ampun Kangjeng. Hamba sudah sampai ke rumah Ki Tumenggung Reksabawa. Tetapi Ki
Tumenggung Reksabawa tidak ada di rumah."
" Malam-malam begini, kakang Tumenggung Reksabawa itu pergi kemana ?" bertanya
Kangjeng Adipati. " Adalah kebiasaan Ki Tumenggung untuk
berada ditempat-tempat yang sepi dan sendiri pada saat-saat tertentu."
" Tetapi tentu tidak malam ini. Kakang
Tumenggung tentu masih letih. Jika tidak ada kepeningan yang sangat mendesak,
kakang Tumenggung Reksabawa tentu ada di rumahnya untuk beristirahat " sahut Ki
Tumenggung Jayataruna. " Entahlah Ki Tumenggung. Tetapi Nyi
Tumenggung Reksabawa juga tidak tahu, Ki Tumenggung Reksabawa itu peigi ke
na ma ." " Baiklah. Mundurlah."
" Hamba Kangjeng."
Demikian prajurit itu keluar dari ruang dalam, maka Ki Tumenggung Jayataruna
itupun berkata " Ampun Kangjeng. Hamba ingin melihat keadaan Raden Tumenggung Wreda Reksayuda."
" Silahkan, kakang. Keadaannya masih seperti saat terjadinya pembunuhan itu."
Ki Tumenggung Jayataruna itupun segera
memasuki bilik tidur Raden Tumenggung
Reksayuda. Raden Ayu Reksayuda yang duduk di atas tikar yang dibentangkan di lantai,
disebelah pembaringan, beringsut. Dua perempuan
menemaninya. Namun keduanya tidak berani mengangkat wajahnya, memandang ke tubuh
Raden Tumenggung yang masih belum diusik. Keris itu masih menancap di dadanya.
" Apakah keris itu sudah dapat diambil, kakang Jayataruna "
" bertanya Raden Ayu Reksayuda.
Ki Tumenggung Jayataruna termangu-mangu sejenak. Tiba-tiba saja ia berdesis "
Bukankah keris itu salah satu dari pusaka Kangjeng Adipati sendiri
?" " Mungkin " sahut Raden Ayu. " Kalau begitu, biarlah keadaannya tetap seperti itu. Biarlah keris itu tetap berada di tempatnya. Kita harus menunggu kakang Tumenggung Reksabawa, para sentana dan nayaka yang lain."
Raden Ayu Reksayuda mengangguk. Tetapi
kemudian katanya " Sebaiknya secepatnya keris itu dicabut. Kemudian keadaan
bilik ini segera dapat dibenahi. Perempuan-perempuan yang
berdatangan tidak ada yang berani berada didalam bilik ini,"
" Demikian kakang Reksabawa dan beberapa orang nayaka dan sentana datang, maka
ruangan ini akan segera dibenahi. Tetapi
ar biarlah p a sentana dan nayaka melihat apa yang telah terjadi di bilik ini."
Raden Ayu Reksayudapun terdiam.
Sejenak kemudian, Ki Tumenggung Jayataruna telah keluar dari bilik itu dan
kembali menghadap Kangjeng Adipati.
" Kakang Tumenggung melihat dengan jelas keris yang
tert ancap di dada kakangmas Tumenggung ?" " Hamba Kangjeng."
" Keris itu adalah salah satu dari pusakaku. "
" Hamba Kangjeng. " Keris itu akan dapat mencoreng namaku, orang
meskipun yang dapat berpikir jernih, justru
akan berpendapat bahwa namaku tidak akan terkait dengan peristiwa ini. Jika aku
terkait, maka aku tidak akan begitu dungu, memberikan kerisku sendiri untuk
melakukan kejahatan ini."
" Tetapi hamba mohon agar keris itu biarlah ada di tempatnya sampai kakang
Tumenggung Reksabawa dan para sen-tana dan nayaka
melihatnya." " Aku tidak berkeberatan, kakang. Meskipun tersirat di antara kata-kata kakang


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumenggung itu kecurigaan."
" Ampun Kangjeng. Bukan maksud hamba.
Tetapi hamba hanya ingin menempatkan
persoalannya pada keadaan yang sewajarnya."
" Aku mengerti, kakang. Karena itu aku tidak berkeberatan " Kangjeng Adipati itu
berhenti sejenak. Lalu katanya pula " Tetapi aku minta kakang Tumenggung dan
kakang Tumenggung Reksabawa memeriksa petugas bangsal pusaka.
Kakang harus mencari ketera ga
n n, kenapa keris pusakaku itu dapat berada di tangan orang yang telah membunuh kakangmas
Tumenggung Reksayuda." " Hamba Kangjeng."
" Aku memerintahkan kakang Tumenggung
Jayataruna dan kakang Tumenggung Reksabawa untuk mengusut perkara ini sampai
tuntas. Sampaikan perintahku kepada kakang
Tumenggung Reksabawa nanti setelah ia datang kemari."
" Hamba Kangjeng."
" Sekarang aku akan minta diri."
Ketika Kangjeng Adipati minta diri kepada Raden Ayu Reksayuda, maka Raden Ayu
Reksayuda itupun berkata di-antara isak tangisnya yang tertahan " Dimas. Segala
sesuatunya tergantung kepada dimas Adipati. Aku hanya seorang perempuan yang
tidak berdaya. Aku mohon keadilan."
" Ya, kangmbok. Akulah yang memikul tanggung jawab. Aku sudah memerintahka
ka n kang Tumenggung Jayataruna serta kakang
Tumenggung Reksabawa untuk mengusut perkara ini sampai tuntas."
" Terima kasih dimas. Jika selama ini aku merindukan kakangmas Tumenggung
Reksayuda pulang, maka demikian kakangmas Tumenggung menginjakkan kakinya di
rumah, kakangmas Tumenggung justru terbunuh."
" Aku mengerti, betapa pedihnya hati kangmbok Reksayuda. Karena itu, aku akan
berusaha sejauh dapat aku lakukan, kangmbok."
" Sebelumnya aku mengucapkan terima kasih, dimas. Mudah-mudahan segala
sesuatunya segera dapat dipecahkan."
Demikian ma lah, ka Kangjeng Adipatipun segera
meninggalkan rumah Raden enggung Tum Reksayuda itu. Namun bahwa yang tertancap didada Raden Tumenggung itu adalah
salah satu dari pusakanya, maka Kangjeng Adipati tidak dapat begitu saja
mengkesampingkan persoalan itu.
Tentu ada niat buruk dari orang yang telah mempergunakan salah satu pusakanya
itu. Sepeninggal kangjeng Adipati, maka Raden Ayupun telah menemui Ki Tumenggung
Jayataruna " Kakang. Apakah aku dapat minta tolong ?"
" Apa Raden Ayu.:"
" Kakang yang sudah memahami jalan menuju ke pondok Ki Ajar Anggara"
"Raden Jalawaja maksud Raden Ayu ?"
" Ya. Bukankah Jalawaja harus ada di rumah esok sebelum ayahandanya di
makamkan ?" " Ya." " Aku minta tolong, kakang." Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang.
Sebenarnya ia agak malas peigi menemui
Jalawaja. Malam begitu gelap dan jalannyapun agak rumpil.
" Tetapi siapakah yang nanti akan
menyelenggarakan jenazah Raden Tumenggung ?"
" Bukankah sebentar lagi para nayaka dan sentana akan berdatangan ?"
" Keris itu?" " Apa yang harus dilakukan, kakang."
" Tunggu kakang Tumenggung Reksabawa.
Biarlah kakang Tumenggung melihat sendiri keris itu didada Raden. Tumenggung.
Biarlah kakang Tumenggung Reksabawa sendiri mencabut keris itu dengan
tangannya." Wajah Raden Ayu Reksayuda menjadi tegang.
Tetapi ia tidak berkata apapun juga.
Ki Tumenggung Jayatarunalah yang kemudian berkata pula " Baiklah, Raden Ayu. Aku
akan peigi menemui Raden Jalawaja. Mudah-mudahan Raden Jalawaja bersedia turun."
" Anak itu harus turun, kakang. Ayahandanya meninggal dengan cara yang tidak
wajar. Biarlah Jalawaja menaruh peihatian pula atas perkara ini."
Demikianlah, dengan mengajak dua orang
prajurit untuk menemaninya, Ki Tumenggung Jayataruna pergi menyusul Raden
Jalawaja. Bukannya karena Ki Tumenggung itu menjadi ketakutan jalan sendiri. Tetapi di
dinginnya malam ia memerlukan kawan untuk berbincang
diperjalanan. Sepeninggal Ki Tumenggung Jayataruna, maka Ki Tumenggung Reksabawa benar-benar
telah datang ng de an tergesa-gesa pula. Seperti yang
dipesankan Ki Tumenggung Jayataruna, maka Raden Ayu Reksayuda telah menyerahkan
segala sesuatunya kepada Ki Tumenggung Reksabawa.
Dihadapan beberapa orang saksi, maka Ki Tumenggung Reksabawa sendirilah yang
telah mencabut keris di dada Raden Tumenggung Wreda Reksayuda.
" Keris itu adalah salah satu pusaka dari Kangjeng Adipati " berkata Raden Ayu
setelah keris itu dibungkus dengan kain.
" He " " Ki Tumenggung teikejut " siapa yang mengatakannya ?"
" Kangjeng Adipati sendiri mengakuinya."
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas
dalam-dalam. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.
Sementara Ki Tumenggung Reksabawa serta beberapa orang sentana dan nayaka sibuk
dirumah Raden Ayu Reksayuda, maka Ki
en Tum ggung Jayataruna bersama dua orang prajurit melarikan kuda mereka menuju ke sebelah
pondok di lereng bukit Kedatangan Ki Tumenggung sangat
mengejutkan Ki Ajar Anggara serta Jalawaja sendiri.
Mereka bertigapun kemudian dipersilakan masuk ke ruang dal m yan
a g tidak begitu luas. " Di luar dingin Ki Tumenggung " berkata Ki Ajar Anggara.
Jalawaja yang juga terbangun dari tidurnya, ikut menemui Ki Tumenggung
Jayataruna beserta kedua orang prajurit yang menyertainya..
" Maaf Ki Tumenggung " berkata Ki Ajar
Anggara " kedatangan Ki Tumenggung telah mengejutkan kami. Karena itu, jika Ki
Tumenggung berkenan, kami ingin segera mengetahui apakah ada titah yang harus
kami lakukan ?" " Ki Ajar serta angger Raden Jalawaja. Kami minta maaf, bahwa kami telah
mengejutkan Ki Ajar dan tentu-juga
Raden Jalawaja. Tetapi kami tidak dapat menundanya sampai matahari terbit esok
pagi." " Apakah ada sesuatu yang sangat penting, Ki Tumenggung?"
" Ya, Ki Ajar. Sesuatu yang sama-sama tidak kita inginkan telah terjadi. Berita
yang aku bawa adalah berita yang kurang menyenangkan."
" Berita tentang apa, Ki Tumenggung."
" Raden Tumenggung Wreda Reksayuda telah meninggal."
" Ayah " " Raden Jalawaja terkejut seperti disengat lebah di tengkuknya " apakah
pendengaranku benar ?"
" Ya, Raden. Ki Tumenggung Wreda
Reksayuda." ah " Bukank ayah sudah diampuni dan hari ini kalau tidak salah telah dijemput dari
pengasingan ?" " Ya. Aku dan kakang Tumenggung Reksabawa serta dua orang prajurit, telah
menjemput Raden Tumenggung dari pengasingan."
" Tetapi kenapa tiba-tiba saja ayah meninggal "
Kelelahan " Sakit atau karena kejutan yang telah menghentikan denyut
jantungnya ?" "Tidak, ngger. Ki Tumenggung Wreda
Reksayuda telah terbunuh."
"Terbunuh " Siapakah yang telah membunu hnya
?" " Demikian ayahanda Raden Jalawaja sampai di rumah, maka kami yang menjemputnya
di pengasingan minta diri. Namun demikian malam turun, seorang utusan Kangjeng
Adipati telah memanggil aku ketika aku baru beristirahat setelah menempuh
perjalanan panjang. Kangjeng Adipati sendiri sudah berada di rumah Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda yang ternyata telah terbunuh.
Tetapi kami belum tahu, siapakah yang telah membunuhnya."
" Jadi pembunuh itu tidak tertangkap ?"
" Kami memang belum dapat menuduh
seseorang." " Tidak ada tanda-tanda atau petunjuk yang ditinggalkan oleh pembunuh itu ?"
" Ada ngger." " Apa?" " Keris yang masih tertancap di dada Raden Tumenggung itu adalah salah satu dari
pusaka Kangjeng Adipati."
" Kangjeng Adipati sendiri yang membunuh ayahanda?"
" Nanti dulu, Jalawaja " potong Ki Ajar Anggara
" jangan ter esa-gesa
g mengambil kesimpulan. Kita
belum dapat menuduh siapa-siapa dalam
pembunuhan ini." " Tetapi keris yang ada di dada ayahanda adalah salah satu dari pusaka paman
Adipati, eyang." " Meskipun demikian, kita tidak dapat dengan serta-merta mencurigainya.
Jalawaja. Kangjeng Adipati tentu bukan seorang yang sangat bodoh sehingga,
membunuh seseorang dengan
mempergunakan pusakanya sendiri. Apalagi pusaka itu ditinggalkannya pada tubuh
korbannya. Bukankah itu berarti bahwa Kangjeng Adipati telah membiarkan dirinya terkait
dengan peristiwa pembunuhan itu sendiri ?"
" Eyang. Sebelum ada orang lain yang pantas dicurigai, maka aku tetap saja
mencurigai paman Adipati. Pengampunan yang diberikan oleh paman Adipati ternyata
adalah sikapnya yang palsu."
" Lalu apa keuntungan pamanmu dengan
membunuh ayahmu, Jalawaja ?"
" Keduanya mempunyai pandangan yang
berbeda tentang kadipaten ini. Selain itu, ayah tentu masih akan tetap menuntut
hak atas kadipaten ini, meskipun aku tidak membenarkan sikap ayahanda. Tetapi
itu bukan berarti bahwa ayahanda pantas dibunuh. Kenapa Kangjeng Adipati tidak
membiarkan saja ayah di pengasingan. Kenapa ia berpura-pura berbaik hati, mengampuni kesalahan ayahanda
dan mem-biaikan ayahanda kembali dari pengasingan, namun kemudian paman telah
mengakhiri hidup ayahanda."
" Jalawaja. Dengarkan aku. Jangan berbicara sendiri menuruti perasaanmu. Kau
tidak dapat dengan serta-merta menuduh pamanmu
membunuh ayahmu. Kau tidak dapat beipegangan pada keris yang ada di dada ayahmu
itu sebagai bukti yang meyakinkan."
Jalawaja menundukkan kepalanya.
" Raden " berkata Ki Tumenggung Jayataruna "
sebenarnyalah kedatanganku kali ini, sekali lagi aku minta angger bersedia
pulang. Esok, semua orang tentu akan menunggu angger sebelum membawa tubuh Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda itu ke tempat pembaringannya yang terakhir."
Jalawaja mengangkat wajahnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menyengat
perasaannya. Namun ti -tiba saja iap ba un berkata " Tidak. Aku
tidak akan pulang. Aku masih berpegang pada sikapku. Aku tidak akan pulang jika
Miranti masih ada di rumah itu."
" Tetapi kali ini angger dipaksa
adaa oleh ke n. Ayahanda Raden Jalawaja itu meninggal.
a Bahk n dengan cara yang tidak wajar. Raden, ibunda berpesan, bahwa Raden akan dapat
bekerja sama dengan ibunda untuk mencari pembunuh
ayahanda. Sementara itu aku dan kakang
a secara resmi sudah Tumenggung Reksabaw mendapat perintah dari Kangjeng Adipati untuk mengusut perkara ini sampai
tuntas." " Tidak. Aku tidak akan pulang. Meskipun langit dan bumi akan mencakup, aku
tidak akan pulang sebelum perempuan itu pergi."
" Tetapi dalam keadaan ini, agaknya kau perlu prJang, Jalawaja. Nanti, setelah
ayahandamu di makamkan, Ikaiu
dapat meninggalkan rumahmu secepatnya " berkata kakeknya. Tetapi Jalawaja tetap menggeleng. Katanya " Tidak, eyang. Aku tidak akan pulang." " Apakah Raden tidak ingin bersama-sama kami mencari siapakah pembunuh Raden Tume
g nggun Wreda Reksayuda?"
" Aku akan mencarinya sendiri. Aku tidak memerlukan siapa-siapa."
" Hatimu sekeras batu hitam, Jalawaja."
" Maaf eyang. Aku tidak dapat berbuat lain."
" Maaf Ki Tumenggung. Jalawaja tidak mau pulang. Tolong, sampaikan kepada Raden
Ayu, bahwa Jalawaja tetap tidak mau pulang dalam keadaan apapun juga."
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-
angguk. Namun ia masih juga berkata " Raden Jalawaja iagaknyal memang keras
hati. Tetapi aku tetap tidak dapat mfengerti, bahwa pada saat ayahandanya
meninggal, Raden Jalawaja tetap saja tidak mau pulang barang sebentar."
Jalawaja tidak menyahut. Terasa dadanya menjadi sesak. Ada dorongan yang kuat,
yang memaksanya pulang untuk memberikan
penghormatan terakhirnya kepada ayahandanya.
Tetapi kekerasan hatinya telah menahannya.
Miranti baginya tidak ubahnya bagaikan hantu perempuan yang siap men-erkamnya.
Karena itu, maka Ki Tumenggung Jayataruna itupun kemudian minta diri
meninggalkan pondok Ki Ajar Anggara di lereng bukit itu.
" Aku benar-benar mohon maaf, Ki
Tumenggung. Ki Tumenggung yang baru pulang menjempu


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

n Tu t Rade menggung Reksayuda dari pengasingan, malam ini harus berkuda lagi kemari, namun Ki Tumenggung tidak
berhasil mengajak Jalawaja pulang."
" Apaboleh buat, Ki Ajar. Mungkin di waktu muda hati Ki Ajar j g
u a sekeras hati Raden Jalawaja." Ki Ajar tersenyum sambil menjawab " Tidak Ki Tumenggung. Hatiku rapuh diwaktu
muda. Bahkan sampai di hari tua."
Sejenak kemudian, Ki Tumenggung serta para prajurit yang menyertainya telah
meninggalkan rumah Ki Ajar. Dengan hati-hati mereka menuruni lereng gunung yang
kadang-kadang terasa agak dalam.
Sepeninggal Ki Tumenggung, Jalawaja itupun berkata kepada kakeknya " Aku mohon
maaf eyang.. Aku ben tida ar-benar k dapat bertemu dengan Miranti itu lagi meskipun hanya sekejap.
Perempuan iblis itu dapat memanfaatkan segala kesempatan untuk menghina dan
merendahkan aku dihadapan banyak orang yang datang untuk memberikan penghormatan
terakhir kepada ayah. Dalam keadaan yang demikian, pada saat aku kehilangan ayahku, satu-satunya orang
tuaku, aku akan dapat kehilangan kendali, sehingga mungkin sekali aku akan
berbuat sesuatu yang tidak seharusnya aku lakukan. "
Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk. Katanya "
Sudahlah Jalawaja. Besok kau dapat datang mengunjungi makamnya. "
" Ya, eyang." " Sekarang tidurlah. Malam masih agak panjang.
" Jalawaja menarik nafas panjang. Anak muda itu memang masuk kembali ke dalam
biliknya. Tetapi ternyata bahwa Jalawaja tidak lagi dapat memejamkan matanya.
Rasa-rasanya Jalawaja itu berdiri di
persimpangan. Ad orongan a d keinginan yang .sangat kuat untuk datang melihat tubuh ayahnya pada saat-saat terakhir. Tetapi
di sisi yang lain, keberadaan Miranti
rumahnya, m di erupakan bayangan kekalutan yang akan dapat terjadi, justru pada saat ayahnya meninggal.
Jalawaja itu justru telah bangkit dan duduk di bibir pembaringannya. Kepalanya
justru terasa menjadi pening. Namun terdengar anak muda itu berdesah
kan " Aku tidak a membiarkan ketidakadilan itu terjadi. "
Sebenarnyalah, di hari berikutnya, beberapa orang saling bertanya, kenapa mereka
tidak melihat Raden Jalawaja.
u Raden Ay Reksayuda sendiri memang menjadi sangat kecewa bahwa peristiwa yang
sangat mengejutkan itu tidak mampu menggoyahkan sikap Jalawaja yang keras hati.
Namun sebenarnyalah bahwa dendam di hati Raden Ayu Reksayuda yang dimasa
gadisnya bernama Miranti itu kepada Jalawaja masih belum padam. Miranti masih
saja menunggu kesempatan untuk dapat membalas sakit hati
. Sa nya kit hati seorang gadis kepada seorang anak muda yang dicintainya, namun ternyata anak
muda itu tidak menanggapinya.
Lewat tengah hari, Kangjeng Adipati telah berada di rumah Raden Tumenggung
Reksayuda untuk me n lepas ya menuju ke tempat
peristirahatannya yang terakhir. Namun Kangjeng Adipati itu masih belum melihat
Jalawaja di antara kesibukan di rumah itu.
" Kangm ok " akhir
b nya Kangjeng Adipati itupun
bertanya kepada Raden Ayu Reksayuda " aku belum melihat Jalawaja. "
" Ampun dimas. Jalawaja tidak bersedia
datang." " Tidak bersedia datang" Tetapi bukankah Jalawaja sudah diberitahukan apa yang
telah terjadi dengan ayahandanya" "
" Ya, dimas. Kakang Tumenggung Jayataruna yang semalam datang menemui angger
Jalawaja. " Kangjeng Adipatipun kemudian memerintahkan seseorang untuk memanggil Ki
Tumenggung Jayataruna. " Kangjeng Adipati memanggil hamba"
" bertanya Ki Tumenggung Jayataruna setelah ia menghadap.
" Kakang Tumenggung semalam pergi mene.
Jalawaja" " " Hamba Kangjeng. "
" Jalawaja tidak bersedia datang" "
" Hamba Kangjeng. Raden Jalawaja memang seorang anak muda yang keras hati. Jika
ia mengatakan tidak, maka tidak seorangpun yang akan dapat membujuknya. Bahkan
eyangnya sendiri tidak berhasil menggerakkan hatinya untuk datang hari ini. "
" Terlalu anak itu. Kenapa" "
" Persoalannya adalah persoalan keluarga, Kangjeng. "
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang.
Namun ketidak hadiran Jalawaja itu menjadi perhatiannya pula.
Hari itu kadipaten Sendang Arum, namun ketika rakyat Sendang Arum. mendengar
bahwa Raden Tumenggung Reksayuda itu terbunuh, justu pada saat ia mendapatkan
pengampunan, maka berbagai pertanyaan telah timbul.
Apalagi ketika kenyataan bahwa keris yang tertancap di jantung Raden Tumenggung
Reksayuda adalah salah satu diantara pusaka Kangjeng Adipati.
" Tetapi Kangjeftg Adipati tentu tidak tersangkut dalam usaha pembunuhan ini "
berkata seseorang. " Ya. Kangjeng Adipati bukan seorang yang bodoh, yang dengan sengaja
mengorbankan namanya se membelikan pusaka ndiri dengan nya untuk membunuh seseorang yang dianggapnya akan dapat menyaingi kedudukannya "
sahut seorang yang lain. Tetapi seorang yang lain lagi berkata " Justru itulah cerdik dan liciknya
Kangjeng Adipati. Kangjeng Ad ah ipati t u, bahwa banyak orang yang
tidak percaya bahwa dirinya terlibat justru karena pusakanya yang tertancap di
dada Raden Tumenggung" " Pendapat itu ternyata telah menggugah sikap yang berbeda menanggapi kenyataan
bahwa pusaka Kangjeng Adipatilah yang tertancap di dada Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda. Setelah pemakaman selesai, serta.orang-orang yang mengiringinya sudah pulang ke
rumah masing-masing, maka terasa keadaan Sendang Arum, terutama di lingkungan
dinding kota, menjadi sepi. Para penghuninya lebih banyak berada di dalam rumah
mereka masing-masing. Berbincang tentang peristiwa yang sangat mengejutkan itu.
Di rumahnya, Raden Ayu Reksayuda masih saja menangis. Ki Tumenggung Jayataruna
dan Ki Tumeng n gu g Rekabawa serta beberapa orang
pemimpin kadipaten Sendang Arum, setelah pemakaman selesaf, telah kembali ke
rumah Raden Ayu Reksayuda untuk ikut menenangkan hati perempuan yang baru saja
ditinggalkan oleh suaminya dengan cara yang tidak wajar. Justru pada saat Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda pulang dari pengasingan.
" Aku minta kakang Tumenggung berdua segera menemukan pembunuh suamiku " berkata
Raden Ayu Reksayuda. " Kami akan berusaha dengan sungguh-
sungguh, Raden." " Bagaimanapun juga aku tidak dapat menerima keadaan yang sangat buruk ini."
" Kami mengerti, Raden Ayu " jawab Ki
Tumenggung Reksabawa " akupun tidak dapat membiarkan peristiwa ini berlalu
begitu saja. Peristiwa ini akan dapat menimbulkan gejolak di kadipaten Sendang Arum yang
selama ini terasa tenang."
" Ya, kakang " sahut Ki Tumenggung Jayataruna
" di makam tadi aku sudah mulai mendengar bisik-bisik yang menggelitik. Justru
karena pusaka Kangjeng Adipati yang berada di dada Raden Tumenggung Wreda."
" Sudah aku katakan, di. Justru karena keris itu pusaka Kangjeng Adipati, maka
aku yakin bahwa Kangjeng Adipati,tidak terlibat. Sayang kita belum menemukan
juru gedong yang bertugas di bangsal pusaka."
" Kakang Tumenggung berkata Ki Tumenggung Jayataruna. Namun suaranya justru
tertahan. Namun perlahan-lahan iapun berkata " Ada orang berpendapat lain, kakang. Tetapi
aku hanya mendengar di makam tadi. Seseorang yang berdiri di belakangku berkata
kepada kawannya tentang pusaka di dada Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda." " Apa katanya ?"
" Sekali lagi aku katakan, bahwa ini adalah pendapat seseorang yang berdiri di
belakangku di makam tadi. Justru karena keris itu pusaka Kangjeng Adipati, maka
tidak ada orang yang akan menuduhnya. Semua orang akan menganggap bahwa mustahil
Kangjeng Adipati mempergunakan pusakanya sendiri untuk membunuh seseorang.
Apalagi keris itu sengaja atau tidak sengaja, tertinggal di tempat kejadian."
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas
panjang. Katanya " Setiap orang memang dapat saja mengemukakan jalan pikirannya
sendiri-sendiri. Tetapi baiklah. Kita akan menjalankan perintah Kangjeng-
Adipati. Kita akan mencari jejak pembunuhan ini."
" Ya, kakang " Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-angguk.
Beberapa orang pemimpin yang masih berada di rumah itupun telah minta diri pula.
Hanya beberapa orang perempuan yang tinggal disebelah menyebelah rumah Raden Ayu
itu yang masih ada di rumah itu. Sebagian membantu membersihkan rumah, sebagian
membersihkan perabot dan bala pecah yang baru saja dipergunakan, sebagian lagi
menemani Raden Ayu duduk di ruang dalam..
Wajahnya diliputi oleh perasaan duka yang mendalam-Matanya masih selalu basah
dan kadang-kadang Raden Ayu itupun terisak.
" Sudahlah berk Raden Ayu " ata seorang perempuan tua " setiap kehidupan akan bermuara pada kemat-ian. Tidak seorahgpun
yang akan dapat luput dari tangkapan maut. Yang Maha Agung sendirilah yang
menentukan, kapan maut itu akan datang menjemput hambanya. Tidak pandang derajad
dan pangkat. Bahkan tidak pandang umur tataran kehidupannya."
" Ya, bibi. Tetapi cara yang telah ditrapkan atas kakangmas Tumenggung Reksayuda
sangat mengejutkan " sahut Raden Ayu disela-sela isaknya.
" Aku dapat mengerti, Raden Ayu-. Meskipun demikian, jangan larut dalam duka
berkepanjan an." g Raden Ayu Reksayuda itu mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayataruna dan Ki Tumenggung Reksabawa tidak
berhenti berusaha. Mereka bekerja keras untuk dapat menemukan jejak pembu
nuhan itu. Tetapi mereka tidak segera
dapat berhasil. Satu-satunya arah penyelidikan mereka adalah keris pusaka
Kangjeng Adipati. Namun keduanya tidak berhasil menemukan orang yang bertanggung jawab atas
bangsal pusaka tempat pusaka Kangjeng Adipati itu disimpan. Mereka tidak
menemukan orang itu di rumahnya.
" Sejak peristiwa kematian Raden Tumenggung Reksayuda itu suamiku tidak pulang,
Ki Tumenggung." Berkata isteri juru gedong itu.
" Apakah malam itu ia pergi ?" bertanya Ki Tumenggung Reksabawa.
" Aku tidak tahu Ki Tumenggung. Suamiku pergi seperti biasanya ke kadipaten u
b ntuk ertugas. Tetapi sejak itu ia tidak pernah kembali lagi."
" Apakah ada tanda-tanda atau isyarat yang dapat membantu kita untuk menemukan
suamimu ?" bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.
" Tidak, Ki. Tumenggung."
" Nyi. Kami akan berusaha membantumu
menemukan suamimu. Tetapi kami memerlukan bantuanmu."
" Sungguh, Ki Tumenggung. Aku tidak tahu apa-apa."
" Apakah suamimu sudah berpesan agar kau tidak mengatakan kepada siapapun tempat
persembunyiannya ?" " Tidak, Ki Tumenggung. Seperti sudah aku katakan, malam itu ia pergi ke
kadipaten. Tetapi suamiku itu tidak pernah kembali."
" Nyi. Sebaiknya kau tidak berbohong agar kau tidak ikut terlibat dalam
persoalan ini. " " Sungguh Ki Tumenggung. Aku tidak tahu apa-ap&. Justru aku menjadi sangat
gelisah, bahwa suamiku tidak pulang." ,
" Baiklah. Tetapi mungkin pada kesempatan lain, kami masih akan datang lagi
kemari. " Ketika keduanya meninggalkan rumah juru gedong itu, maka Ki Tumenggung
Jayatarunapun berkata " Kakang. Maaf ji
er ka kita b beda pendapat. Aku semakin lama semakin yakin, bahwa Kangjeng Adipati terlibat dalam pembunuhan
ini. " Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas
panjang. Katanya " Aku masih belum berani mengatakan seperti itu, adi. Aku tidak
melihat kepentingannya Kangjeng Adipati membunuh Raden Tumenggung Reksayuda.
Apalagi pada kedudukan Kangjeng Adipati yang sudah menjadi sangat kokoh seperti
sekarang ini. " " Tidak, kakang. Kedudukan Kangjeng Adipati mulai goyah. "
" Karena itu, kita jangan ikut-ikut mengguncang kedudukan itu, adi. Kita justru
harus ikut berusaha menegakkan wibawa Kangjeng Adipati. "
" Maaf kakang. Tetapi bukankah kita harus menegakkan kebenaran dan keadilan " "
" Ya. Ingat Adi, kebenaran dan keadilan. Karena itu dasarnya tentu bukan sekedar
berprasangka. Tetapi kebenaran dan keadilan itu harus berlandaskan kenyataan yang terjadi.
Nah, kenyataan itulah yang harus kita temukan lebih dahulu. "
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-
angguk. Katanya " Baik kakang. Kita akan berusaha menemukannya. "
Namun ternyata bahwa untuk dapat menelusuri kenyataan atas peristiwa yang telah
terjadi di rumah Raden Tumenggung Wreda Reksayuda itu adalah tugas yang sangat
rumit. Di rumah, Ki tumenggung Reksabawa masih saja selalu membicarakan tentang
peristiwa yang mengejutkan itu.
" Setelah beberapa waktu kaka
cob ng men

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

a menelusuri jejak pembunuhan ini, apakah masih belum ada tanda-tanda yang dapat
menjadi petunjuk, kakang " " bertanya Nyi Tumenggung.
" Belum, Nyi. Semuanya masih gelap "
" Kakang Tu ggung men memang harus telaten."
" Juru gedong itu telah hilang begitu saja, Nyi.
Sebenarnya ia merupakan salah satu sumber yang akan dapat dipergunakan sebagai
alas penyelidikan. " " Agaknya orang itu telah terlibat kakang.
Mungkin orang itu telah mencuri salah satu pusaka kangjeng Adipati dan
menyerahkannya kepada orang lain. Kemudian untuk menghindarkan diri, orang itu
telah bersembunyi. "
" Isterinya juga merasa kehilangan, Nyi. Jika ia dengan sengaja melibatkan diri
dengan mendapat upah yang cukup banyak, ia tentu akan
menghubungi isterinya untuk menikmati bersama upah dari penghkianatannya itu. "
" Bukankah isterinya dapat berpura-pura tidak tahu?"
" Tetapi akibatnya akan dapat menjadi buruk sekali bagi isterinya. Lalu untuk
apa "juru gedong itu berkhianat, jika akhirnya anak dan isterinya menjadi korban
" Seandainya ia telah menerima uang.banyak, apakah itu tidak berarti bahwa -ia
telah menjual anak dan isterinya " "
Nyi Tumenggung itu mengangguk-angguk.
" Tetapi satu hal yang sangat menarik
perhatianku. Adi Tumenggung Jayataruna condong untuk menuduh Kangjeng Adipati
terlibat dalam peristiwa ini. "
" Alasannya " "
" Karena perbedaan sikap. Mungkin juga karena tuntutan Raden Tumenggung yang
tidak kunjung pudar atas kedudukan Adipati di kadipaten Sendang Arum. "
" Bukankah tidak ada tatanan dan paugeran yang dapat mendukung tuntutan Raden
Tumenggung Wreda itu " Kenapa Kangjeng Adipati harus mengambil jalan pintas?"
" Aku juga tidak percaya, Nyi. Kedudukan Kangjeng Adipati cukup kokoh. "
Namun dalam pada itu, telah tersebar bisikan-bisikan halus yang menyudutkan
Kangjeng Adipati. Hilangnya juru gedong juga telah menjadi bumbu dari bisikan-bisikan itu. Juru
gedong memang di lenyapkan untuk memutuskan jejak yang
sebenarnya, kenapa keris itu sampai di dada Raden
Tumenggung Wreda. Beberapa orang Demang telah terbius oleh bisikan-bisikan itu. Bahkan Ki
Tumenggung Jayatarunap semakin un lama semakin meyakinkan para Demang, bahwa Kangjeng Adipati justru menjadi dalang dari peristiwa ini.
Dihadapan beberapa orang Demang, Ki
Tumenggung Jayataruna berkata " Aku telah kehilangan akal untuk mengusut perkara
ini. Tidak ada jalur yang dapat aku tempuh agar aku dapat menemukan jejak
terbunuhnya Ki Tumenggung Wreda Reksayuda.
Namun bahwa keris itu adalah keris Kangjeng Adipati, serta latar belakang sikapnya, maka rasa-rasanya pantas jika aku mengarahkan pandangan mataku kepada Kangjeng Adipati." " Kenapa Kangjeng Adipati " " bertanya seorang Demang.
" Kau dengar bahwa keris yang dipergunakan itu adalah keris Kangjeng Adipati "
Kangjeng Adipati tentu berharap bahwa dengan demikian tidak seorangpun akan
menuduhnya. Orang banyak tentu akan menganggap bahwa Kangjeng Adipati tidak akan
t rla e lu bodoh mempergunakan pusakanya sendiri untuk melakukan pembunuhan. "
Para Demang itu mengangguk-angguk. Jalan pikiran Ki Tumenggung Jayataruna itu
masuk di nalar mereka. Bisik-bisik it emakin u semakin lama menjadi s keras. Beberapa orang telah mulai mengungkit cacat-cacat selama pemerintahan
Kangjeng Adipati Wirakusuma
Ar di Sendang um. Tatanan pemerintahan yang dianggap kurang memberi kesempatan kepada anak-anak muda untuk
mengembangkan pribadinya. Palungguh bagi para Demang da be
n bahu yang terlalu sempit.
Pembagian banda desa yang kurang adil, karena menurut beberapa orang bebahu,
hasil banda desa terlalu banyak yang harus dijadikan upeti. Pajak yang tinggi
dan tidak merata. " Harus ada perubahan di kadipaten Sendang Arum " berkata seorang Demang.
" Tetapi kita tidak mempunyai lagi orang yang pantas dan berhak untuk menduduki
jabatan Adipati di kadipaten Sendang Arum sepeninggal Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda." Namun Ki Tumenggung Jayataruna itupun
berkata " Ada. Ada orang yang dapat dan pantas untuk mengendalikan Sendang Arum,
meskipun tidak dipandang dari sisi keturunan."
" Siapa ?" bertanya para Demang.
" Ada dua orang terbaik di Sendang Arum."
" Ya, siapa ?" " Ki Tumenggung Reksabawa dan Raden Ayu Reksayuda ?"
" Seorang perempuan ?"
" Kenapa dengan seorang perempuan ?"
" Tetapi menurut paugeran di Sendang Arum, yang berhak memegang kekuasaan di
Sendang Arum adalah seorang laki-laki."
Seorang Demang yang lain menyahut " Jika demikian, bagaimana dengan Ki
Tumenggung Reksabawa ?"
" Ia adalah seorang Tumenggung yang telah memiliki pengalaman sebangsal.
Berpikir jauh dan bijaksana. Tetapi Ki Tumenggung adalah orang yang sangat
lamban. Selain itu Ki Tumenggung termasuk orang yang menentang pengampunan
terhadap Raden Tumenggung Wreda Reksayuda."
" Jadi bagaimana menurut Ki Tumenggung
Jayataruna ?" " Aku justru meragukan kebersihan tangan Ki Tumenggung Reksabawa. Bahkan ada
sepeletik dugaan, sekali lagi dugaan, bahwa Ki Tumenggung Reksabawa pantas
dicurigai." " Karena ia menentang pengampunan terhadap Raden Tumenggung Wreda ?"
" Antara lain memang demikian."
" Lalu, kesimpulannya bagaimana menurut Ki Tumenggung Jayataruna ?"
Ki Tumenggung Jayataryna menarik nafas
panjang. Sebelum ia menjawab, seorang telah bertanya " Bagaimana dengan Raden
Ayu Reksayuda ?" " Ia seorang perempuan " desis seorang
Demang yang lain. ". Itu bukan soal " sahut Ki Tumenggung Jayataruna "jika kita memang
menginginkan Raden Ayu Reksayuda memegang kekuasaan di Kadipaten Sendang Arum,
maka biarlah paugcran Kadipaten Sendang Arum yang disesuaikan."
" Jadi paugerannya yang disesuaikan " Apakah itu tidak terbalik Ki Tumenggung.
Bukankah tatanan dan paugeran itu harus dilaksanakan sesuai dengan bunyi serta
makna yang terkandung didalamnya ?"
" Siapakah yang telah membuat tatanan dan paugeran itu ?" bertanya Ki Tumenggung
Jayataruna. " Tentu para pemimpin Sendang Arum."
" Nah, apa bedanya jika para pemimpin
Sendang Arum sekarang membuat atau
memperbaharui tatanan dan paugeran itu "
Bukankah mereka juga berhak melakukannya sebagaimana para pemimpin yang
terdahulu. Apalagi peristiwa dan persoalan-persoalan yang dihadapi Sendang Arum sekarang
sudah berbeda dengan masa lalu, sehingga tatanan dan
paugeranpun harus disesuaikannya pula."
Para Demang mengangguk-angguk. Sebagian besar dari mereka mengiakannya.
" Nah, kita tinggal menentukan langkah terakhir
" berkata Ki Tumenggung Jayataruna " kita akan menyelenggarakan satu pertemuan.
Kita akan mengundang Ki Tumenggung Reksabawa. Kita akan mengambil keputusan
berdasarkan atas pertemuan itu."
" Apa ya aka ng n kita bicarakan dalam pertemuan itu, Ki Tumenggung."
" Kita akan menentukan, siapakah yang bersalah sehingga Raden Tumenggung
Reksayuda meninggal justru pada saat ia pulang dari pengasingan."
" Bagaimana kita dapat menentukan, jika sampai hari ini Ki Tumenggung tidak
berhasil mengusut dan menemukan bukti-bukti siapakah yang bersalah."
" Ada satu bukti. Keris itu. Kemudian
berdasarkan atas keyakinan kita. Jika kita semuanya yakin, maka keyakinan kita
itu akan menentukan."
Para Demang itu mengangguk-angguk.
" Kita siapkan prajurit. Aku sudah berbicara dengan para Senapati yang mempunyai
kecerdasan berpikir, serta kalian, para Demang. Agaknya waktunya sudah cukup
masak untuk menentukan sikap."
" Kita akan memberontak ?"
" Bukan memberontak. Tetapi kita akan
meluruskan jalannya pemerintahan di Sendang Arum."
" Ya " sahut seorang Demang " aku sudah siap."
Para Demang yang lainpun telah menyatakan kesiagaan mereka pula.
" Besok, pada akhir pekan, kalian akan diundang untuk berkumpul."
" Dimana ?" " Kita akan berkumpul di rumah Raden Ayu Reksayuda, lepas senja. Hati-hati,
jangan menarik perhatian. Sementara itu siapkan orang-orang kalian di luar
dinding kota. Sementara itu para Senapati akan menyiapkan prajurit-prajuritnya.
Kita sudah tidak mempunyai pilihan lain."
" Baik, Ki Tumenggung " jawab para Demang hampir berbareng.
Dengan demikian, maka Ki. Tumenggung
Jayataruna telah mempengaruhi seisi Kadipaten.
Kepada beberapa orang Senapati Ki Tumenggung juga berhasil meyakinkan mereka,
bahwa yang telah membunuh Ki Tumenggung
Wreda Reksayuda adalah Kangjeng Adipati meskipun mungkin mempergunakan tangan
orang lain. Di waktu yang telah ditentukan, maka telah berlangsung pertemuan di rumah Raden
Ayu Reksayuda. Para Demang dan para Senapati yang berhasil dipengaruhi oleh Ki
Tumenggung Jayataruna telah hadir. Sedangkan diantara mereka yang telah hadir
terdapat pula Ki Tumenggung Reksabawa.
Namun agaknya Ki Tumenggung Reksabawa
k m tida engetahui dengan pasti, apa yang akan
dibicarakan dalam pertemuan itu.
Ketika semuanya yang diharapkan hadir sudah datang, maka Raden Ayu Reksayuda
yang ternyata memimpin pertemuan itu berkata kepada Ki Tumenggung Reksabawa "
Kakang Tumenggung. Kami mohon kakang Tumenggung malam ini
datang dipertemuan ini untuk mendengarkan tangis dan sesambat kami yang
menginginkan keadilan diluruskan di
dang Arum Sen ." " Aku masih belum mengerti maksud dari
pertemuan ini, Raden Ayu."
" Kakang. Sudah sekian lama, kangmas
Tumenggung Wreda Reksayuda terbunuh. Tetapi masih belum nampak titik-titik
terang, siapakah yang sebenarnya bersalah."
" Kami, maksudku aku dan adi Tumenggung Jayataruna sudah berusaha sejauh dapat
kami lakukan, Raden Ayu. Tetapi kami masih belum sampai kepada sasaran. Tidak
ada petunjuk-petunjuk yang dapat menuntun kami. Juru gedong yang bertugas
di'bangsal pusaka itu hilang tanpa bekas."
" Aku percaya kepada kakang Tumenggung
Reksabawa yang sudah bekerja keras untuk menemukan pembunuh kangmas Reksayuda.
Tetapi sampai sekarang kakang Tumenggung masih belum menemukannya. Sementara
itu, Kangjeng Adipati nampaknya masih tetap tenang-tenang saja. Apakah kita
tidak tanggap akan hal itu
?" " Apa yang dapat dilakukan oleh Kangjeng Adipati " Kangjeng Adipati sudah
menyerahkan pengusutan ini kepada kami berdua. Aku dan adi Tumenggung
Jayataruna. Beberapa kali Kangjeng Adipati sudah menanyakan kepada kami.
Kepadaku dan kepada adi Jayataruna. Tetapi kami masih belum dapat mengatakan
apa-apa,-sehingga kelambanan ini sebenarnya adalah karena ketidak mampuan kami
berdua." " Kakang " berkata Ki Tumenggung Jayataruna "
Aku mengerti apa yang kakang maksudkan. Tetapi kita tidak dapat terombang-ambing
oleh ketiadaan bukti dan saksi dalam perkara ini. Agaknya kita dapat berpegang
pada satu-satunya bukti yang ada, yaitu keris yang tertinggal didada Raden
Tumenggung Reksayuda. Keris itu adalah pusaka Kangjeng Adipati. Selanjutnya
keyakinan kami, bahwa Ka i ngjeng Adipat adalah salah seorang yang paling berkepentingan untuk meniadakan
Raden Tumenggung Reksayuda."
" Kenapa kau dapat berkata seperti itu, adi nggung ?"
Tume " Ada beberapa alasan, kakang. Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda yang tidak henti-hentinya berusaha untuk membuktikan
bahwa dirinya memang berhak atas kadipaten ini. Raden Tumenggung juga mempunyai
bukti-bukti ketidak jujuran Kangjeng Adipati. Karena itu, maka satu-satunya cara
untuk membersihkan namanya adalah menyingkirkan Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda." " Jangan menghakimi seseorang yang belum jelas melakukan kesalahan, adi. Karena
kau sendiri akan dapat dihakimi tanpa membuat kesalahan."
" Tetapi kesalahan Kangjeng Adipati sudah jelas, kakang. Karena itu, maka ia
telah berpura-pura memberikan pengampunan. Namun begitu Raden Tumenggung sampai
di rumahnya, maka Kangjeng Adipati langsung menghabisinya."
" Itu hanya prasangka. Kita tidak saja
berprasangka apa saja. Tetapi untuk menentukan apakah Kangjeng Adipati bersalah
atau tidak, itu harus dibuktikan."
" Kakang " berkata Raden Ayu Reksayuda " ada alasan lain, kenapa Kangjeng
Adipati harus menyingkirkan kangmas Tumenggung,"
" Apa Raden Ayu ?"
" Sebenarnya aku sangat malu untuk
menyebutkannya. Tetapi untuk menegakkan keadilan, maka aku akan menanggungkan
malu itu" Dahi Ki Tumenggung Reksabawa berkerut.
Dengan sungguh-sungguh ia mendengarkan Raden Ayu itu berkata " Kakang
Tumenggung. Raden Adipati yang telah kehilangan isterinya itu menginginkan aku


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menjadi isterinya."
" Raden Ayu " sahut Ki Tumenggung Reksabawa dengan serta merta " apakah Raden
Ayu berkata sebenarnya ?"
" Kakang tentu terkejut mendengarnya. Bahkan para . Demang dan saudara-saudara
yang lainpun tentu akan terkejut pula. Juga kakang
Tumenggung Jayataruna. Tetapi inilah yang terjadi, kakang " Raden Ayu Reksayuda
itu menutup wajahnya dengan kedua belah telapak tangannya.
Air matanya melelah disela-sela jari-jarinya yang lentik, yang dihiasi oleh
beberapa buah cincin yang indah bermata berlian.
Ki Tumenggung Reksabawa menarik nafas
panjang. Sementara itu, Raden Ayu Reksayuda tidak dapat menahan isak tangisnya.
Disela-sela isaknya Raden Ayu itu berkata terbata-bata
"JCakang. Aku merasa, bahwa harga diriku sudah terinjak oleh nafsu yang menyala
didada Kangjeng Adipati Wirakusuma. Hampir saja terjadi peristiwa yang akan
menjadi cacat bukan saja bagi Kangjeng Adipati sendiri, tetapi juga bagi
kadipaten Sendang Arum. Jika peristiwa itu terjadi, maka Sendang Arum akan
menjadi negeri yang bernoda. "
" Itu sudah keterlaluan, Raden Ayu " geram Ki Tumenggung Jayataruna.
" Jika demikian semuanya sudah jelas " berkata salah seorang Demang " tidak sia-
sia aku membawa anak-anak mudaku dengan senjata di tangan mereka. "
Seorang Senapati yang hadir di pertemuan itupun berkata dengan nada tinggi "
Kami sudah siap. Ki Tumenggung. "
Ki Tumenggung Jayataruna mengangguk-
angguk. Kemudian katanya kepada Ki Tumenggung Reksabawa " Kakang. Sekali lagi
aku mohon kakang bersedia mendengar tangis dan sesambat kami. Kami mohon kakang
bang im kit dan mem pin kami semuanya untuk menangkap dan kemudian mengadili Kangjeng Adipati
Wirakusuma. " Ki Tumenggung Reksabawa itu menjadi sangat gelisah. Namun kemudian iapun berkata
" Adi Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu
Reksayuda. Jika yang terjadi benar seperti yang Raden Ayu katakan, maka itu
merupakan noda terbesar bukan saja bagi seorang Adipati, tetapi juga merupakan
noda terbesar bagi lakilaki yang setia kepada keluarganya. Meskipun Kangjeng
Adipati sudah tidak mempunyai isteri lagi setelah Gusti Puteri meninggal, namun
tindakan seperti itu adalah tindakan yang tidak dikendalikan oleh budi yang
luhur. Karena itu, maka tindakan itu pantas untuk mendapat hukuman yang
setimpal. Namun segala sesuatunya harus dipertimbangkan dengan masak. Maaf Raden
Ayu, bahwa kita semuanya baru mendengar gong yang berbunyi sebelah.
Untuk menentukan kebenaran, kita tidak cukup sekedar mendengar pengaduan
sebagaimana Raden Ayu katakan. "
" Jadi kakang tidak percaya kepadaku " "
" Bukan begitu Raden Ayu. Tetapi sejauh manakah peristiwa yang telah terjadi
itu. Kita harus menilai kebenaran dari peristiwaku.
" Terima kash, kakang. Aku sudah bersed-ja menanggung malu, menceriterakan
peristiwa yang sebenarnya ingin tetap aku rahasiakan ini, namun agaknya kakang
kurang mp me ercayainya. " " Maaf Raden Ayu. Jangan salah mengerti. Aku bukannya tidak mempercayainya.
Tetapi aku hanya ingin mengetahui-kadar dari kesalahan yang telah dilakukan oleh
Kangjeng Adipati. "-
" Jika kakang menghadap Kangjeng Adipati dan menanyakan kebenaran keteranganku
ini, maka itu merupakan satu langkah yang tidak adil. "
" Kenapa Raden Ayu."
" Berperisai kekuasaannya, maka Kangjeng Adipati akan dapat mengatakan hitam
bagi yang putih dan mengatakan putih bagi yang hitam.
Akhirnya, aku yang telah dipermalukan akan menanggung beban yang lebih berat
lagi. " " Tetapi jika setiap pengaduan harus diterima tanpa penilaian, maka alangkah
rumitnya kehidupan ini. "
" Pertimbangan kakang agaknya terlalu berbelit-belit " berkata Ki Tumenggung
Jayataruna " bukankah sudah jelas bagi kita, apa yang sebenarnya telah terjadi di bumi ini.
Barangkali memang tidak tepat sebagaimana kenyataan yang terjadi. Tetapi dengan
demikian kita sudah dapat menilai, apakah sepantasnya bagi kita tetap setia
kepada Kangjeng Adipati yang sudah banyak melakukan kesalahan itu. Baik bagi
Tanah ini maupun kepada isinya.
" Maaf adi Jayataruna. Aku masih belum dapat
.mengambil kesimpulan. "
" Jadi kakang tidak mau mendengarkan
permohonan kami yang memerlukan perlindungan ini. Tidak ada orang lain tempat
kami berlindung selain kakang Tumenggung Reksabawa. "
" Maaf adi. Aku belum dapat menjawabnya. Aku akan memikirkannya lebih jauh. Pada
suatu saat aku akan memberikan jawaban. "
" Pada suatu saat itu, kapan kakang. Kami sudah tidak sabar lagi. Kami mohon
ketegasan kakang sekarang."
Ki Tumenggung Reksabawa menggeleng.
Katanya " Aku mohon Raden Ayu sedikit bersabar.
Adi Jayataruna, para Senapati dan para Demang.
Pada suatu saat segala sesuatunya akan nampak dengan jelas. Takbir rahasia
kematian Raden Tumenggung Wreda Re
yuda ksa pun akan terkuak." " Jika sebelum datang waktunya yang pada suatu saat itu, bencana telah menerkam
diriku, kakang. Aku hanya seorang perempuan yang ti k da
berdaya menghadapi keganasan seorang la -laki.
ki Sedangkan laki-laki itu mempunyai wewenang dan kekuasaan. Apa yang dapat aku
lakukan dan kepada siapa aku minta perlindungan. "
" Jangan cemas Raden Ayu. Aku akan
menempatkan prajurit di rumah ini. Mereka akan dapat melindungi Raden Ayu
terhadap keganasan seorang laki-laki. Jika laki-laki itu mempunyai wewenang dan
kekuasaan, maka prajurit itu akan dapat menjadi saksi yang akan menentukan
langkah-langkah yang dapat kita ambil."
" Tetapi tubuhku telah terkapar seperti sampah.
Mungkin aku masih tetap dapat hidup kakang, tetapi tidak ada lagi kehidupan
sejati didalam diriku. Prajurit yang kakang tempatkan di rumah ini akan lenyap
seperti juru gedong yang bertugas di bangsal pusaka itu."
" Aku mengerti Raden Ayu. Tetapi sudah tentu bahwa aku tidak dapat mengambil
keputusan sekarang."
Yang terdengar kemudian adalah isak tangis Raden Ayu Reksayuda.
" Jadi kakang sampai hati membiarkan peristiwa ini berlanjut besok atau lusa ?"
bertanya Ki Tumenggung Jayataruna.
" Tidak, adi. Aku akan berbuat sesuatu. Tetapi tidak dengan gejolak yang akan
mengguncang tatanan kehidupan di Kadipaten Sendang Arum."
Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas.
" Raden Ayu, Adi Jayataruna, para Senapati dan para Demang. Aku minta maaf bahwa
malam ini aku belum dapat menentukan langkah apa-apa.
Tetapi bukan berani bahwa aku akan diam saja.
Sekarang aku minta diri. Akupun minta kalian segera pulang. Semakin lama kalian
berbincang, maka kalian akan semakin terdorong kedaiam sisi gelap dari kehidupan
kadipaten Sendang Arum ini."
" Baiklah kakang" jawab Ki Tumenggung
Jayataruna "kami mengucapkan terima kasih atas kesediaan kakang hadir. Tetapi
harapan kami tetap bergantung di bahu kakang Tumenggung, karena tidak ada orang
lain yang akan dapat melindungi kami selain kakang Tumenggung."
" Aku mohon diri Raden Ayu "
" Silahkan kakang."
Demikian Ki Tumenggung Reksabawa keluar a
dari ruang n itu, maka Raden Ayupun berkata "
Nah, bukankah aku sudah mengatakan, bahwa kita tidak akan dapat bekerja sama
deng ak an k ang Tumenggung Reksabawa. Bahka
cur n aku iga, bahwa Kangjeng Adipati dan kakang Tumenggung Reksabawa telah bekerja sama
mengakhiri hidup kangmas Reksabawa."
" Apakah alasan Ki Tumenggung Reksabawa membunuh Raden Tumenggung Reksayuda,
Raden Ayu." " Kedudukan Tumenggung Wreda akan benar-benar kosong untuk seterusnya."
" Jadi keseganan Ki Tumenggung Reksabawa untuk mengusut perkara ini beralasan
sekali, karena sasaran pengusutan itu adalah dirinya sendiri bersama Kangjeng
Adipati " berkata Ki Jayataruna dengan nada tinggi.
" Tetapi kepergian Ki Tumenggung Reksabawa itu sangat menggelisahkan kita "
berkata Raden Ayu Reksayuda lebih lanjut.
" Aku mengerti Raden Ayu " sahut Ki
Tumenggung Jayataruna "kakang Reksabawa akan dapat mengkhianati kita. Kakang
Tumenggung justru akan menghadap Kangjeng Adipati yang melaporkan apa yang se ng
kita bi da carakan ini." " Ya, kakang. Kakang Reksabawa dapat menjadi sangat berbahaya bagi kita."
" Ya, Ki Tumenggung " berkata seorang
senapati. " Aku sudah memperhitungkannya " Ki
Tumenggung Jayataruna itupun tersenyum.
" Lalu " Apa yang akan kita lakukan ?"
Ki Jayatarunapun kemudian memanggil seorang laki-laki yang bertubuh raksasa "
Wedung." " Ya, Ki Tumenggung."
" Kau adalah seorang yang berilmu tinggi. Kau seorang pembunuh yang berhati
beku. Kau tahu kewajibanmu."
" Ki Tumenggung Reksabawa ?"
" Ya." " Baik. Aku akan menyusulnya."
" Ikuti saja kakang Reksabawa. Jika ia pulang ke rumahnya, beri kesempatan ia
bertemu dengan mbokayu, Nyi Tumenggung Reksabawa. Nyi
Tumenggung adalah orang yang baik sebagaimana kakang Tumenggung Reksabawa.
Tetapi dalam persoalan ini, sayang sekali bahwa kebaikan kakang Reksabawa itu
sebagai seorang sahabat, tidak dapat menyelamatkan nyawanya!"
" Lalu, apa yang harus aku lakukan jika Ki Tumenggung itu pulang."
" Kau memang dungu. Kau harus dituntun
langkah demi langkah. Bukankah kau dapat berbuat apa-saja yang baik menurut
pendapatmu untuk menyelesaikan tugasmu: Kau dapat
menemui kakang Tumenggung Reksabawa dan mengatakan kepadanya, bahwa kakang
Tumenggung dipanggil oleh Kangjeng Adipati."
" Tetapi Ki Tumenggung Reksabawa tadi melihat aku berada disini."
" Biarlah dua orang prajurit pilihan
menyertaimu. Merekalah yang akan mengatakan kepada Ki Tumenggung, bahwa Ki
Tumenggung dipanggil oleh kangjeng Adipati. Ada masalah gawat yang akan
dibicarakan. Nah, bertiga kalian akan menyelesaikannya."
"Kenapa harus bertiga " Ki Tumenggung
Jayataruna er telah m endahkan derajadku sebagai
seorang pembunuh yang berhati beku. Aku dapat melakukannya sendiri. Jika kedua
orang prajurit itu sudah berhasil memancing Ki Tumenggung
Reksabawa untuk keluar dari sarangnya, aku tidak memerlukan bantuan orang lain.
" " Ki Tumenggung Reksabawa adal
eoran ah s g prajurit yang berilmu tinggi. "
" Apakah Ki Tumenggung Jayataruna tidak percaya kepadaku " Tidak ada seorangpun
di Sendang Arum yang dapat mengalahkan aku.
Kecuali satu hal yang dapat memaksa aku tunduk."
pa " A itu " "
" Uang. " " Edan kau Wedung. Tetapi jangan sombong.
Kalau peru u dikoya tm kkan oleh ujung senjata kakang Tumenggung Reksabawa jangan
menyalahkan orang lain. "
Wedung tertawa. Sement ung ara itu Ki Tumengg Jayataruna membentaknya " Cepat, Jangan kehilangan jejak. " .
" Baik, Ki Tumenggung. "
Ki Tumenggung itupun kemudian berkata
kepada seorang Rangga yang berkedud an
uk sebagai seorang Senapati sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus " Perintahkan
a dua or ng prajuritmu untuk pergi menemui kakang
Tumenggung Reksabawa. Beritahu, apa yang harus mereka lakukan. "
" Baik, Ki Tumenggung."
Beberapa saat kemudian, tiga orang berjalan dengan tergesa-gesa menelusuri jalan
setapak menuju rumah Ki Tumenggung Reksabawa. Mereka ngkan bahwa Ki Tumenggu
memang memperhitu ng Reksabawa tentu akan pulang lebih dahulu.
Kedua orang prajurit pilihan itu juga sudah diberitahu oleh Senapatinya yang
juga mengenal Ki Tumenggung Reksabawa dengan baik, bahwa Ki Tumenggung adalah
prajurit yang pilih tanding.
Sehingga karena itu, maka mereka harus berhati-hati.
Beberapa saat kemudian, mereka sudah melihat b
sesosok ayangan berjalan di kegelapan. Mereka yakin, bahwa bayangan itu tentu Ki
Tumenggung Reksabawa. " Kenapa tidak kita selesaikan sekarang saja " "
bertanya seorang dari kedua orang prajurit itu.
" Ki Tumenggung Jayataruna berpesan, biarlah Ki Tumenggung Reksabawa mendapat kesempatan untuk bertemu dengan Nyi Tumenggung untuk yang terakhir
kalinya. Menurut Ki Tumenggung Jayataruna, keduanya adalah orang yang baik. "
" Kalau keduanya orang yang baik, kenapa Ki Tumenggung Reksabawa harus di
singkirkan. " " Sebagai manusia dalam hubungan diantara sesama Ki Tumenggung memang baik.
Tetapi sikapnya serta gagasan-gagasannya mengenai tatanan pemerintahan agaknya
kurang dapat diterima. Bahkan mungkin sekali, Ki Tumenggung telah mengambil
langkah-langkah yang keras, sehingga-mengorbankan Raden Tumenggung
Wreda Reksayuda. " Prajurit itu terdiam. Sebenarnyalah Ki Tumenggung Reksabawa itu berjalan mengikuti jalan pulang. Di
sepanjang jalan, Ki tumenggung masih saja merisaukan sikap Ki Tumenggung
Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda yang dinilainya sudah menghasut beberapa orang Senapati dan para
Demang untuk memberikan enilaian p buruk kepada Kangjeng Adipati.

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Penyebar luasan sikap dan tuduhan terhadap Kangjeng Adipati itu harus dicegah
" berkata Ki Tumenggung di-dalam hatinya.
Namun Ki Tumenggung memang ingin
memperingatkan Kangjeng Adipati agar berhati-hati serta mengambil langkah-
langkah l yang ebih pasti mengenai terbunuhnya Raden Tumenggung
Reksayuda. " Tetapi apa yang dapat dilakukan oleh
Kangjeng Adipati " Aku dan adi Tumenggung Jayataruna yang diserahi tugas untuk
mengusut perkara itu masih belum dapat memberikan laporan yang berarti " berkata
Ki Tumenggung itu di-dalam hatinya pula.
Beberapa saat kemudian, maka Ki Tumenggung itu sudah
pintu r memasuki egol halaman rumahnya. Dengan, langkah gontai Ki Tumenggung itu naik ke pendapa dan langsung
mengetuk pintu pringgitan.
Nyi Tumenggung memang belum tidur. Adalah kebiasaannya menunggu Ki Tumenggun pul
g ang, kecuali jika Ki Tumenggung sudah memberitahukan lebih dahulu, bahwa ia sedang
mengemban tugas yang tidak dapat dibatasi oleh waktu.
Karena itu, demikian pintu itu diketuk, maka terdengar suara Nyi Tumenggug "
siapa di luar " "
" Aku Nyi. " " Nyi Tumenggung me n nge al suara itu dengan baik. Karena itu, maka pintupun segera dibukanya.
Beberapa saat kemudian, setelah Ki
Tumenggung berganti k pa aian serta telah mencuci
kaki dan tangannya di pakiwan, keduanya duduk di ruang dalam. Nyi Tumenggung
telah menyediakan minuman hangat bagi Ki Tumenggung.
Di pinggir jalan, di tempat yanggelap, seorang diantara kedua orang prajurit
itupun berkata "Kenapa tidak sekarang saja kita menemui Ki Tumenggung dan minta ia pergi ke
Kadipaten " " " Jangan tergesa-gesa " berkata Wedung yang masih saja tetap tenang " dalam
tugas seperti ini kita harus sabar. "
" Tetapi kita sudah cukup lama memberi waktu kepada Ki Tumenggung. "
" Agaknya Ki Tumenggung sekarang sedang makan bersama Nyi Tumenggung. Biar saja
mereka makan tanpa terganggu."
" Kalau mereka sudah pergi tidur ?"
" Nanti kita akan membangunkannya."
rn Sebena yalah pada waktu itu Nyi Tumenggung telah menyiapkan makan malam Ki
Tumenggung Reksabawa. Ketika Ki Tumenggung berangkat petang ta
nggung belum di, Ki Tume sempat makan malam. " Apalagi yang kita tunggu ?" bertanya prajurit yang menyertai Wedung itu.
" Mereka baru makan " jawab Wedung
"bukankah Raden Ayu Reksayuda tadi tidak menjamu kita makan ?"
Di ruang dalam, Ki Tumenggung Reksabawa sambil makan telah berbincang dengan Nyi
Tumenggung. Adalah kebiasaan Ki Tumenggung untuk membicarakan persoalan-pe
a rso lan yang dihadapinya dengan Nyi Tumenggung. Nyi
Tumenggung memang dapat menempatkan
dirinya. Jika yang dikatakan oleh suaminya itu bersifat rahasia, maka Nyi Tu-
menggungpun dapat merahasiakannya pula. Sedang dalam keadaan yang rumit, Nyi
Tumenggung kadang-kadang dapat membantu, mencari arah yang harus ditempuh oleh
Ki Tumenggung. Ketika Ki Tumenggung Reksabawa mencerita a k n
sikap Ki Tumenggung Jayataruna, maka Nyi Tumenggung itupun berkata " Kenapa adi
Jayataruna dapat sampai kepada sikap yang demikian, kakang."
" Itulah yang aku tidak mengerti, Nyi.
Seharusnya adi Jayataruna tidak melupakan masa lalunya."
" Ya, kakang. Akupun tidak mengira bahwa segala sesuatunya bagi adi Jayataruna
akan rti ini berakhir sepe ." " Adi Jayataruna tidak mengingat, betapa muramnya masa lalu itu baginya. Setelah
ia berkeluarga, hidupnya masih saja tetap sulit.
Keluarganya hidup dalam kemisk
T inan. empat tinggalpun mereka seakan-akan tidak
mempunyainya. Bagaikan berkandang langit, berselimut mega."
" Ya. Kita mengetahuinya kakang. Mereka, suami isteri, untuk beberapa lama
tinggal bersama kita. Makan bersama kita dan pakaian merekapun adalah pakaian
yang kita berikan pula."
" Aku usahakan tempat bagi adi Jayataruna di lingkungan keprajuritan. Ia memang
seorang yang cerdik dan berani. Kesulitan hidup telah menempanya, sehingga adi
Jayataruna berani menempuh langkah-langkah yang berbahaya selama ia menjadi
prajurit. Itulah sebabnya, maka ia telah mendapat tempat yang baik. Bahkan
akhirnya beberapa waktu yang lalu, adi Jayataruna sudah diwisuda menjadi seorang
Tumenggung" " Tetapi ia sudah melupakan kebaikan hati Kangjeng Adipati."
" Ya. Dan sampai hati pula menuduh Kangjeng Adipati melakukan kesalahan yang
tidak terampuni bagi seorang Adipati."
" Jika demikian, apakah tidak mungkin, Sendang Arum akan diterpa oleh prahara
karena sikap adi Tumenggung Jayataruna serta Raden Ayu
Reksayuda." " Itulah yang aku cemaskan, Nyi."
" Bukankah sebaiknya kakang memperingatkan agar Kangjeng Adipati berhati-hati
menghadapi keadaan yang semakin panas ini kakang ?"
" Ya. Aku harus memperingatkannya. Esok pagi-pagi aku akan menghadap."
" Dalam keadaan yang terasa gawat ini aku teringat akan anak-anak kita, kakang."
" Bukankah idak kita t perlu mencemaskannya. Kedua orang anak kita berada di sebuah perguruan yang dapat dipercaya. Berguru
kepada orang yang memang pantas di tuakan. Bukan saja dalam ilmu kanuragan,
tetapi gurunya juga mempunyai pengetahuan yan lua
g s tentang berbagai macam ilmu. Ia mengenal ilmu perbintangan yang akan sangat bera
bagi para rti petani. Kesusastraan yang
dapat memperkenalkan anak-anak kita itu dengan dunia serta dengan sikap dan
pandangan hidup. Juga memperkenalkan anak-anak kita dengan masa lampau yang pernah dijalani oleh
negeri ini yang dapat memberinya bekal untuk bersikap bagi masa kini dan masa
mendatang atas tanah ini.
Serta pengetahuan-pengetahuan lain yang akan sangat penting artinya bagi anak-
anak kita kelak." " Tetapi jika terjadi gejolak ?"
" Gurunya akan dapat memberinya
perlindungan." Nyi Tumenggung menarik nafas panjang. Namun iapun berdesis "
Mudah-mudahan kakang."
Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja terdengar pintu diketuk orang.
" Siapa ?" bertanya Ki Tumenggung dari ruang dalam.
" Aku Ki Tumenggung. Prajurit yang sedang bertugas di kadipaten "
. Ki Tumenggung memang merasa ragu. Tetapi akhirnya Ki Tumenggung itupun bangkit
pula. " Siapa kakang ?"
" Seorang prajurit. Aku belum mengenal
suaranya." Justru karena keadaan terasa memanas, maka Nyi Tumenggungpun berdesis
" Hati-hati kakang." " Ambilkan kerisku di pembaringan Nyi " desis Ki Tumenggung.
Nyi Tumenggungpun kemudian bergegas
mengambil keris Ki Tumenggung di pembaringan.
Sambil menyelipkan keris itu di lambung kiri, maka Ki Tumenggungpun pergi ke
pintu pringgitan. Ketika Ki Tumeng un g g mengangkat selarak pintu dan kemudian membukanya, dilihatnya di pringgitan dua orang prajurit yang
mengangguk hormat. " Ada apa " " bertanya Ki Tumenggung.
" Ampun Ki Tumenggung. Kami mengemban
perintah Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung di panggil menghadap " berkata seorang
di antara mereka. " Sekarang " "
" Ya, Ki Tumenggung. Menurut Kangjeng
Adipati, suasananya menjadi tidak menentu sekarang ini. Ki Tumenggung harus
segera berada di dalem Kadipaten. "
" Baik. Aku akian segera menghadap. Pergilah lebih dahulu. Aku akan berganti
pakaian. " " Baik, Ki Tumenggung. Kami mohon diri. "
" Sampaika pa n ke da Kangjeng Adipati, bahwa
aku akan segera m ngh e adap. " " Baik, Ki Tumenggung. "
Sejenak kemudian, kedua orang prajurit itupun telah meninggalkan pringgitan.
Sementara itu, Ki Tumenggun un berkata " Nyi. Aku harus per gp
gi. Nampaknya Kangjeng Adipati sudah mendengar keingkaran beberapa orang nayaka
prarja terhadap kekuasaannya. "
" Hati-hatilah kakang. Agaknya suasana benar-benar menjadi panas. "
" Aku sangat menyayangkan-sikap adi
Tumenggung Jayataruna. "
" Ia telah melupakan sangkan paraning
dumadi." " Ya, Nyi. Agaknya Ki Tumenggung Jayataruna tidak kuat memikul derajad. "
um Nyi T enggung mengangguk-angguk.
Sementara itu, Ki Tumenggung segera berganti pakaian. Kepada Nyi Tumenggung
iapun berkata " Aku akan memakai kuda Nyi. Mungkin ada tugas-tugas lain yang harus aku lakukan.
Selarak pintunya. Jika terjadi sesuatu, perintahkan kedua pembantu laki-laki itu
berada di dal ruang am. Meskipun keduanya hanya abdi, tetapi aku tahu keduanya mempunyai bekal olah
kanuragan. Mereka akan dapat memberikan perlindungan kepadamu, Nyi. "
" Ya, Kakang. "
Sejenak kemudian, Ki Tumenggung itupun telah keluar lewat pintu pringgitan.
Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Ki Tumenggung itu sudah menyambar tombak
pendek yang berada di plonconnya.
Demikian Nyi Tumenggung menyelarak pintu, terdengar derap kaki kuda melintas di
halaman. Bagaimanapun juga, jantung Nyi Tumenggung itupun berdesir. Namun sebagai isteri
prajurit, maka Nyi Tumenggung harus dapat menyesuaikan dirinya.
Sejenak kemudian, maka Nyi Tumenggung
itupun segera membenahi mangkuk-mangkuk yang baru saja dipergunakan untuk makan
malam. Kemudian Nyi Tumenggung itupun duduk sendiri di ruang dalam. Nyala lampu minyak
yang berada di ajuk-ajuk di sudut ruangan bergetar disentuh angin.
Kuda Ki tumenggung Reksabawa berlari di gelapnya malam. Derap kakinya mengoyak
kesenyapan malam yang basah.
Dilangit, bintang-bintang telah berselimut awan yang kelabu. Semakin lama
semakin tebal. Namun angin dari arah laut mendorong awan yang kelabu itu bergerak kelambung
gunung. Ki Tumenggung itu terkejut ketika beberapa puluh langkah di hadapannya, di
tempat yang terbuka, Ki Tumenggung melihat tiga orang yang berada di tengah
jalan. Mereka melambaikan tangan mereka untuk memberikan isyarat agar Ki
Tumenggung itu berhenti. Ki Tumenggung menarik kekang kudanya yang kemudian berhenti beberapa langkah di
hadapan ketiga orang itu.
" Siapakah kalian dan apa maksud kalian menghentikan aku."
" Apakah Ki Tumenggung lupa. Aku baru saja mengha ap
d Ki Tumenggung " jawab seorang
diantara mereka. Dalam keremangan malam Ki Tumenggung
mencoba untuk mengenali orang yang berbicara itu.
Ketika kila a t memancar diudar , maka Ki
Tumenggung itupun segera mengetahuinya, bahwa dua orang diantara mereka adalah
prajurit-prajurit yang baru saja datangdi rumahnya.
" Ya. Aku kenal dua orang diantar
a. a merek " Tiba-tiba seorang yang berdiri di tengah berkata "
Aku Wedung Ki Tumenggung. "
" Wedung " "
" Ya. Mungkin Ki Tumenggung pernah
mendengar namaku. Aku adalah kepercayaan Ki Tumenggung Jayataruna. Aku adalah
seorang pembunuh upahan yang sering disebut Pembunuh berhati Beku. "
Ki Tumenggung ksabawa Re mengangguk- angguk. De-ngann ada datar iapun bertanya " Kau bangga dengan sebutan itu " "
" Ya. Setiap orang akan berbangga dengan pujian atas tugas-tugas yang
diembannya. " " Lalu sekarang apa ma
u " ksudm " " Sudah jelas. Aku seorang pembunuh upahan.
t tu

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku mendapa gas untuk menemui Ki Tumenggung sekarang disini. Bukankah itu sudah jelas " "
" Jadi kali ini kau mendapat upah untuk membunuhku. "
" Ya." " Dan kedua orang prajurit itu " "
" Mereka menjalankan tugas mereka sebagai prajurit yang
nd me apat perintah dari Senapatinya."
Ki Tumenggung Reksabawa mengangguk-
angguk. Katanya " Aku sudah jelas sekarang."
" Nah, karena itu Ki Tumenggung. Aku mohon Ki Tumenggung tidak usah mempersulit
diri sendiri. Sebaiknya Ki Tumenggung turun dari kuda, kemudian berlutut sambil menundukkan
kepalanya. Itu akan sangat memudahkan tugasku dan
memudahkan perjalanan Ki Tumenggung ke alam langgeng. Aku akan memenggal kepala
Ki Tumenggung dan membawanya menghadap Ki
Tumenggung Jayatayuna."
" Begitu mudahnya ?"
" Ya. Jika kita dapat bekerja sama dengan baik, maka pekerjaan ini akan segera
selesai." " Wedung. Apakah kau pernah melihat prajurit yang masih menggenggam senjata
dengan suka rela menyerahkan kepalanya ?"
" Mungkin Ki Tumenggung Reksabawa akan
memulainya ?" Ki Tumenggung Reksabawa itupun meloncat turun dari kudanya. Dengan sikap yang
tenang, Ki Tumenggung mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu di pinggir
jalan. Dada Wedung mulai bergejolak. Ki Tumenggung itu sama sekali tidak menjadi
gelisah mendengar ancamannya. Bahkan seakan-akan tidak terjadi apa-apa. Ki
Tumenggung itu melangkah mendekatinya. " Wedung " berkata Ki Tumenggung " aku
adalah seorang Tumenggung. Aku juga pernah menjadi Senapati perang, memimpin
prajurit segelar sepapan. Aku telah berhasil membebaskan diri dari terkeman maut
beberapa kali di pertempuran besar yang pernah aku jalani. Apakah kira-kira
sekarang, menghadapi seorang pembunuh upahan aku harus menyerahkan leherku."
" Di medan pertempuran Ki Tumenggung tidak selalu menyelamatkan diri sendiri.
Tetapi para prajurit dan barangkali Senapati Pengapitlah yang telah
menyelamatkan nyawa Ki Tumenggung. Ki Tumenggung. Aku juga pernah menjadi
prajurit, sehingga aku tahu tataran kemampuan seorang prajurit. Bahkan seorang
Tumenggung yang menduduki jabatan Senapati perang. Ilmuku jauh lebih tinggi dari
ilmu mereka. Akupun yakin bahwa ilmuku jauh lebih tinggi dari ilmu Ki Tumenggung
Reksabawa dan bahkan Ki Tumenggung
Jayataruna. Bedanya, Ki Tumenggung Jayataruna mempunyai banyak uang, tetapi aku
tidak." " Jadi menurut pendapatmu, kau akan dapat membunuhku dengan mudah."
" Ya." " Baiklah Wedung. Lakukan jika kau mampu melakukannya. Tetapi sayang bahwa aku
tidak bersedia bekerja sama, kecuali jika akulah yang harus memenggal lehermu
dan kaulah yang berlutut sambil menundukkan kepala.":
Tiba-tiba saja Wedung itu tertawa
berkepanjangan. Katanya " Agaknya Ki
Tumenggung adalah seorang yang suka berkelakar.
Sayang hidup Ki Tumenggung harus diakhiri malam ini. Sebenarnyalah aku senang
berkawan dengan orang-orang yang suka berkelakar."
" Kita tidak akan pernah dapat berkawan Wedung, seandainya aku dapat tetap
hidup." " Kenapa ?" " Tataran derajad kita tidak sama. Aku seorang Tumenggung. Sedangkan kau adalah
seorang pembunuh upahan yang derajadnya jauh berada dibawah derajad prajurit.
Sadari itu. Derajadku dan derajad kedua orang prajurit itu jauh berada diatas
derajadmu. Jika ada prajurit yang tunduk dibawah perintahmu itu adalah prajurit-
prajurit yang memang tidak mempunyai harga diri."
Kedua orang prajurit yang berdiri disebelah menyebelah Wedung itu tersentuh pula
oleh kata-kata itu. Tetapi mereka tidak sempat lagi berbuat apa-apa.
Sementara itu wajah Wedung menjadi merah padam. Meskipun tidak nampak di
gelapnya malam, tetapi terasa wajah itu memang menjadi panas.
la " Bersiap h Ki Tumenggung-" Wedung itu
akhirnya menggeram " Ki Tumenggung Reksabawa sekarang sudah tidak diperlukan
lagi. Ki Tumenggung Jayataruna tidak memerlukan lagi.
Raden Ayu Reksayuda juga tidak memerlukan Ki Tumenggung lagi. Karena itu, maka
sepantasnyalah bahwa Ki Tumenggung Reksabawa itu disingkirkan dari Sendang Arum
untuk selama-lamanya."
" Wedung. Aku seorang Senapati perang. Jika kau ingin berlatih perang,
bersiaplah. Aku akan mengajarimu."
Kata-kata itu bagaikan menusuk jantang
Wedung. Katanya dengan nada tinggi " Aku akan membunuhmu sekarang Ki
Tumenggung." Tombak di tangan Ki Tumenggung itupun
segera merunduk. Ketika Wedung bergeser, maka Ki Tumenggung itupun bergeser
pula. Kepada kedua orang prajurit itupun Wedung berkata " Lihat saja, bagaimana aku
membunuh dan kemudian memenggal kepala seorang
Tumenggung yang pernah menjadi Senapati perang."
Kedua or n a g prajurit itu tidak menyahut. Namun
keduanya di luar kesadaran mereka, bergeser surut beberapa langkah.
Sejenak kemudian, Wedung telah mengayunkan goloknya yang besar dan panjang. Satu
tebasan mendatar terayun ke leher Ki Tumenggung Reksabawa.
Namun dengan tangkas Ki Tumenggung itupun bergeser surut. Tiba-tiba saja ujung
tombaknya mematuk ke arah dada Wedung.
Wedunglah yang kemudian harus meloncat
menghindari ujung tombak itu.
Sejenak kemudian, maka pertempuran itupun telah menjadi semakin sengit. Golok
Wedung terayun-ayun mengerikan, sehingga disekitar tubuh Wedung itu seakan akan
telah mengepul asap yang kehitam-hitaman seperti mendung yang
mengambang di langit. Namun jantung Ki Tumenggung Reksabawa
sama sekali tidak tergetar oleh putaran golok lawannya. Tombaknyapun bergerak
dengan cepat pula. Sekali-sekali terayun mendatar. Namun kemudian mematuk dengan
cepatnya menyusup disela-sela kabut hitam diseputar tubuh Wedung.
'Wedung yang merasa dirinya seorang yang berilmu sangat tinggi, sehingga tidak
seorangpun yang dapat mengimbanginya, semula yakin bahwa dalam waktu yang
pendek, ia akan dapat mengakhiri perlawanan Ki Tumenggung
Reksabawa. Namun setelah senjatan berbentu
ya ran dengan ujung tombak Ki Tumenggung beberapa kali, maka Wedung mulai ragu-ragu atas
kelebihannya sendiri. Bahkan ketika goloknya membentur landesan tombak Ki Tumenggung yang tiba-tiba
saja berputar dengan cepatnya, rasa-rasanya goloknya bagaikan terhisap. Hampir
saja goloknya itu terlepas dari tangannya. Untunglah, bahwa pada saat terakhir
Wedung itu menyadarinya, sehingga dengan segenap kekuatannya, ia telah
menghentakkan goloknya sehingga terlepas dari libatan putaran landean tombak Ki
Tumenggung. Namun dengan demikian, Wedungpun harus
berhadapan dengan kenyataan; bahwa tidak terlalu mudah untuk membunuh seorang
Senapati besar seperti Ki Tumenggung Reksabawa.
Karena itu, maka Wedungpun harus
mengerahkan segenap kemampuannya. Goloknya berputar semakin cepat. Seran-gan-
serarigannyapun menjadi semakin berbahaya.
Tetapi Ki Tumenggung Reksabawa agaknya tidak mengalami kesulitan. Bahkan
tombaknya berputar semakin cepat menggapai-gapai tubuhnya. .
" Ilmu iblis manakah yang pemah dipelajari oleh Ki tumenggung Reksabawa ini " "
bertanya Wedung didalam hatinya.
Dalam pada itu, ternyata bahwa ujung tombak Ki Tumenggunglah yang justru mampu
menembus tirai pertahanan Wedung. Ujung tombak itu berhasil menyusup di sela-
sela pertahanan Wedung, mematuk bahunya.
Wedung terkejut. Dengan serta-merta ia
meloncat surut. Terasa di bahunya itu darah yang hangat meleleh dari lukanya.
" Setan,, iblis, gendruwo, tetekan " Wedung itu mengumpat-umpat " kau melukai
kulitku Ki Tumenggung. "
" Karena itu menyerahlah, Wedung. Ka rena aku bukan pembunuh upahan, maka aku
tidak akan membunuhmu. Aku akan membawamu menghadap Kangjeng Adipati. Mungkin
Kangjeng Adipati memerlukan keteranganmu. "
" Persetan, Ki Tumenggung. Sebentar lagi kau akan mati."
Wedungpun telah mengerahkan segenap
kemampuannya. Senjatanya bergerak semakin cepat. Ayunan goloknya telah mendorong
udara disekitarnya, ikut berputaran seperti angin pusaran.
Tetapi Wedung tidak segera berhasil. Bahkan sejenak kemudian, justru ujung
tombak Ki Tumenggunglah yang telah menguak lagi
pertahanan golok Wedung. Ujung tombak itu telah menggores lambung kanannya.
Wedung berteriak keras sekali. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Namun
ia tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa bahu dan lambungnya telah terluka.
Darah telah mengalir dari lukanya, membasahi pakaiannya dan bahkan menitik ke
bumi. Wedunglah yang justru mulai menjadi gelisah.
Sebagai seorang Pembunuh berhati beku, Wedung tidak pernah merasakan detak
jantungnya berdenyut demikian cepatnya.
Sekilas terngiang pesan Ki Tumenggung
Jayataruna, bahwa Ki Tumenggung Reksabawa adalah prajurit pilihan.
" Jika perutmu dikoyak oleh ujung senjata kakang Tumenggung Reksabawa, jangan
menyalahkan orang lain. "
Tiba-tiba Wedung itupun berteriak " He, kenapa kalian berdua berdiri saja
seperti patung. Jaga agar Tumenggung ini tidak melarikan diri. "
" Aku tidak akan melarikan diri, Wedung. "
Namun Wedung itu berteriak pula " Bunuh orang ini sebelum sempat lari. "
Kedua orang prajurit itu termangu-mangu sejenak. Mereka sudah melihat, betapa
tinggi kemampuan Ki Tumenggung Reksabawa. Jika semula Wedung berkeras untuk
melakukannya sendiri, namun ternyata bahwa Wedung tidak mampu melakukannya.
Bahkan Wedunglah yang justru sudah terluka.
Kedua orang prajurit itupun segera bergeser mendekat. Keduanya telah menggenggam
pedang di tangan mereka. Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung
Reksabawa itu harus bertempur melawan tiga orang. Seorang pembunuh upahan dan
dua orang prajurit dari pasukan Khusus yang sudah terpengaruh racun yang
ditaburkan oleh Ki Tumenggung Jayataruna.
Dengan demikian, mak beba
a n Ki Tumenggung menjadi lebih berat. Tetapi Ki Tumenggung benar-benar
eor s ang prajurit linuwih. Karena itu,
meskipun ia harus bertempur melawan tiga orang, tetapi Ki Tumenggung itu tidak
segera terdesak. Semakin lama pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Seorang prajurit pilihan
dari Pasukan Khusus itu tiba-tiba berdesah tertahan.
Ujung tombak Ki Tumenggung yang terayun mendat
telah menyentuh lenga ar nnya, sehingga kulit dan da-ging dilengannya telah terkoyak.
Prajurit itu sempat melangkah surut. Namun kemudian ia-pun telah meloncat pula.
Jantungnya telah dipanasi oleh kemarahan dan dendam. Ia harus membalas karena
lawannya telah melukai lengannya.
Tetapi demikian.ia bergerak, maka kawannya telah ter: lempar dari arena. Yang
mengenainya bukan ujung senjata Ki Tumenggung. Tetapi Ki Tumenggung yang
meloncat itu telah mengayunkan kakinya mengenai dada prajurit itu.
Prajurit itu tertegun. Namun hanya sekejap.
lapun segera meloncat sambil memutar pedangnya.
Bersama Wedung prajurit yang sudah terluka lengannya itu menyerang dengan
garangnya dari arah yang berbeda.
Tetapi serangan-serangan mereka itu seakan-akan tidak berarti. Keduanya sama
sekali tidak dapat menyentuh tubuh Ki
Tumenggung Reksabawa dengan ujung senjata mereka.
Prajurit yang terlempar jatuh itupun berusaha untuk bangkit. Dipungutnya
pedangnya yang terlepas dari tangannya. Kemudian melangkah mendekati arena
pertempuran. Dadanya masih terasa sesak. Tetapi ia tidak dapat membiarkan kawannya bertempur
dalam kesulitan. Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung harus bertempur melawan tiga orang lagi.
Keringat telah membasahi seluruh pakaiannya.
Dengan demikian, maka sebelum tenaganya mulai menyusut, maka Ki Tumenggung itu
sudah mengambil keputu-san untuk mengakhiri
pertempuran itu. Ia tidak ingin justru dirinya sendirilah yang kemudian
mengalami kesulitan karena tenaganya sudah mulai menyusut.
Maka Ki Tumenggung itupun segera
menghentakkan kemampuannya. Tombaknya
bergerak lebih cepat, sedangkan Ki Tumenggung sendiri berloncatan dengan
tangkasnya. Dengan demikian, maka ketiga lawannya
menjadi semakin mengalami kesulitan. Seorang prajurit telah mengaduh ketika
dadanya tergores ujung tombak Ki Tumenggung. Meskipun tidak dalam, tetapi
goresan itu terasa sangat pedih ketika tersentuh keringatnya yang mengembun di
tubuhnya. Namun dalam pada itu, sejenak kemudian, prajurit yang seorang lagi telah
tersentuh ujung senjata pula. Ujung tombak Ki Tumenggung telah melukai
pundaknya. Wedung yang melihat kedua orang prajurit itu dilukai, dengan garangnya meloncat
menyerang. Goloknya yang besar terayun dengan derasnya ke arah leher Ki Tumenggung.
Tetapi Ki Tumenggung dengan cepat
menghindar. Sambil merendahkan dirinya, ujung tombak Ki Tumenggung telah
terjulur. Wedung terkejut ketika ia melihat ujung tombak itu tiba-tiba saja telah mematuk
lambungnya. Wedung meloncat surut. Sementara itu seorang prajurit dengan garangnya
mengayunkan pedangnya menebas pundak Ki Tumenggung.
Tetapi Ki Tumenggung Reksabawa sempat
beringsut. Bahkan dengan tangkasnya Ki
Tumenggung itu meloncat sambil piengayunkan tombaknya.
Prajurit itu mencoba menghindar dengan
meloncat surut. Namun tiba-tiba tombak itu seakan-akan menggeliat. Ujungnya
tiba-tiba saja bergerak lurus mengarah ke dadanya.
Prajurit itu terlambat menghindar. Ujung tombak itu benar-benar telah menikam
dadanya, metiyentuh jantungnya. Ketika Ki Tumenggung Reksabawa menarik
tombaknya, maka prajurit itupun terhuyung-huyung sejenak. Kemudian jatuh
terjerembab. " Gila orang ini " geram Wedung.


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seranganyapun kemudian datang membadai.
Tetapi pertahanan Ki Tumenggung Reksabawa sama sekali tidak menjadi goyah..
Bahkan Ki Tumenggungpun telah
mengimbanginya pula. Serangan-serangannyapun menjadi semakin cepat dan
berbahaya. Ujung tombak Ki Tumenggung rasa-rasanya menjadi semakin dekat dengan
tubuh Wedung yang merasa dirinya tidak tertandingi itu.
Bahkan akhirnya, Wedung tidak mampu lagi menghindarkan diri dari kejaran maut.
Seperti yang dikatakan oleh. Ki Tumenggung Jayataruna, maka ujung tombak Ki
Tumenggung Reksabawa benar-benar telah mengoyak perutnya.
Terdengar Wedung berteriak nyaring.
Kemarahan, kecewa dan dendam menyala di hatinya. Namun ia tidak mempunyai
kesempatan lagi. Tubuhnyapun kemudian terjatuh di tanah.
Darah mengalir tidak henti-hentinya dari luka.
Tetapi tubuhnya sudah tidak akan dapat
bergerak lagi. Ki Tumenggung Reksabawa tertegun sejenak.
Ketika ia menyadari keadaan sepenuhnya, maka prajurit yang seorajig lagi sudah
tidak berada di arena. Dengan memanfaatkan kesempatan terakhir prajurit itupun
telah melarikan dirinya. Ki Tumenggung Reksabawapun segera berlari ke kudanya. Setelah melepas
udan kan k ya yang tertambat pada sebatang pohon perdu, Ki Tumenggung segera meloncat naik. Ia
sadar, bahwa api sudah disulut. Jerami yang sudah tertimb n di
u ladangpun akan segera menyala.
" Tidak ada waktu lagi " berkata Ki Tumenggung Reksabawa jika prajurit itu
memberi laporan kepada adi Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda, maka
mereka segera bergerak mendahului tindakan yang mungkin akan diambil oleh
Kangjeng Adipati. Sementara itu, banyak juga Senapati dan para nayaka serta para
Demang yang sudah dipengaruhinya. Mereka agaknya telah yakin, bahwa Kangjeng
Adipatilah yang telah membunuh Raden Tumenggung Reksayuda
meskipun seandainya mempergunakan tangan orang lain. Sementara itu, juru gedong
yang bertugas di bangsal pusakapun telah lenyap seperti di telan bumi.
Karena itu, maka Tu Ki menggungpun memutuskan untuk segera memberikan laporan kepada Kagjeng Adipati meskipun ia
tahu, b h a wa kedua orang prajurit yang mengaku mendapat perintah dari Kangjeng Adipati itu
berbohong kepadanya. Keduanya hanya mema
n ncing ya keluar dari rumahnya untuk dijebak dan kemudian di binasakan.
" Kenapa adi Tumenggung Jayataruna sampai hati Melakukannya " desis Ki
Tumenggung Reksabawa " apakah ia benar-benar sudah melupakan perjalanan hidupnya
" " Sejenak kemudian, maka kuda Ki Tumenggung Reksabawa telah berpacu dengan
kencangnya. Derap kakinya terdengar memecah kesenyapan malam.
Beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung telah sampai ke gerbang dalem Kadipaten.
Demikian tegangnya hati Ki Tumenggung, sehingga Ki Tumenggung telah melupakan
unggah-ungguh. Ia tidak sempat meloncat turun dari kudanya, sehingga kudanya
berlari masuk ke halaman.
Didepan tangga pendapa agung dalem
kadipaten Sendang Arum, Ki Tumenggung
meloncat turun. Dibiarkannya saja kudanya di halaman, sementara Ki Tumenggung
berlari naik ke pendapa. Dua orang prajurit yang bertugas dengan tergesa-gesa menyusulnya naik ke pendapa
pula. " Ki Tumenggung. Ada apa " "
" Aku akan menghadap Kangjeng Adipati. "
" Kangjeng Adipati sudah tidur. Esok sajalah Ki Tumengung menghadap.."
" Ada sesuatu yang sangat penting. "
" Tetapi Kangjeng Adipati akan dapat menjadi marah. "
" Aku harus menghadap malam ini. "
Ki Tumenggung tidak berhenti. Bahkan Ki Tumenggung itu langsung pergi ke pintu
pringgitan. Di ketuknya pintu pringg
itu keras- itan keras. " Ki Tumenggung " prajurit yang berada di pendapa menjadi semakin banyak ada apa
sebenarnya dengan Ki Tumenggung Reksabawa. "
Ki Tumenggung tidak mejawab. Tetapi ia
mengetuk pintu semakin keras.
" Maaf Ki Tumenggung " berkata seorang Lurah Prajurit" bukan maksud kami
menentang Ki Tumenggung, tetapi sebaiknya Ki Tumenggung menunggu sejenak.
Biarlah para petugas di dalam melihat kemungkinannya."
" Aku harus menghadap sekarang. Katakan kepada para petugas di dalam, bahwa aku,
Tumenggung Reksabawa akan menghadap."
Para prajurit yang bertugas memang menjadi ragu-ragu. Agaknya Ki Tumenggung
benar-benar mempunyai kepentingan yang tidak dapat
tertunda. Bahkan di tangan Ki Tumenggung itu digenggamnya tombak yang telah
basah oleh darah. Namun tiba-tiba saja pintu itupun terbuka. Dua orang prajurit berdiri di sebelah
menyebelah pintu yang terbuka itu. Seorang diantara mereka adalah Narpacundaka
Kangjeng Adipati. " Aku akan menghadap " berkata Ki
Tumenggung Reksabawa. ' " Kangjeng Adipati belum lama beristirahat, Ki Tu-menggun" jawab Narapacundaka
itu. "Tetapi dalam keadaan yang gawat seperti ini, aku harus menghadap sekarang.
Tidak ada waktu lagi untuk menundanya. Apalagi sampai esok."
" Tetapi kami tidak berani membangunkannya."
" Kalau begitu, biarlah aku yang
membangunkannya." " Jangan Ki Tumenggung. Kangjeng Adipati akan dapat menjadi marah."
" Tetapi Kangjeng Adipati akan menjadi lebih marah lagi jika tidak
dibangunkannya malam ini."
Narpacundaka itu termangu-mangu sejenak
. Disadarinya, tentu ada yang sangat penting sehingga Ki Tumenggung Reksabawa
memaksa untuk bertemu dengan Kangjeng Adipati.
Selagi Narpacundaka itu masih bimbang, tiba-tiba saja terdengar suara dari ruang
dalam "Biarlah Ki Tumenggung Reksabawa masuk."
Semuanya segera berpaling. Mereka melihat Kangjeng Adipati berdiri dipintu
dalam. Di tangannya telah tergenggam sebatang tombak pendek pula.
" Ki Tumenggung Reksabawa " berkata
Kangjeng Adipati " kau datang malam-malam begini dengan tombak di tanganmu.
Bahkan tombak yang telah basah oleh darah. Apa maksudmu " Apakah kau datang
untuk menantangku. Jika itu maumu, aku sudah siap untuk melayaninya. Aku juga seorang
prajurit seperti kau Ki Tumenggung. Karena itu, jika kau memang ingin menjajagi
kemampuanku, marilah. Kita akan turun ke halaman. Biarlah para prajurit menjadi saksi."
Tiba-tiba saja Ki Tumenggung Reksabawa itu duduk dilamat menghadap Kangjeng
Adipati. Sehingga para prajurit-pun telah melakukannya pula. Diletakannya tombaknya di-
sisinya. Sambil menyembah iapun berkata " Ampun Kangjeng Adipati. Hamba
menghadap sebagai seorang prajurit yang mengemban tugas."
" Tetapi kau datang dengan tombak di tangan."
" Hamba memang membawa senjata untuk
melindungi diri hamba pada saat yang gawat seperti ini."
" Apa yang sebenarnya ingin kau katakan, kakang Tumenggung."
" Ampun Kangjeng Adipati. Sekelompok orang telah mempersiapkan pemberontakan
melawan kuasa Kangjeng Adipati."
" Kau jangan berceloteh, kakang."
" Ini adalah kelemahan dari para petugas sandi.
Selama ini kadipaten ini merupakan kadipaten yang tenang dan jarang sekali
terjadi gejolak, sehingga para petugas sandi seakan-akan telah tertidur nyenyak.
Karena itu, mereka sama sekali tidak menangkap isyarat akan terjadinya
pemberontakan ini." " Apakah yang menjadi pemicunya karena
terbunuhnya kangmas Raden Tumenggung
Reksayuda ?" " Ya, Kangjeng. Sekelompok orang yang berada dibawah pengaruh Raden Ayu
Reksayuda dan adi Tumenggung Jayataruna telah memilih untuk menempuh jalan
pintas. Ampun Kangjeng Adipati.
Mereka menganggap bahwa Kangjeng Adipatilah yang telah bersalah, membunuh Raden
Tumenggung Reksayuda dengan meminjam tangan orang lain. Kangjeng Adipati sengaja
memerintahkan pembunuh itu mempergunakan pusaka Kangjeng Adipati sendiri justru
untuk menjauhkan tuduhan bahwa Kangjeng Adipati telah terlibat. Sementara itu
juru gedong di bangsal pusaka itu telah lenyap."
--ooo0dw0ooo-- Jilid 4 WAJAH Kangjeng Adipati menjadi sangat tegang.
" Aku telah dijebak untuk disingkirkan. Tetapi aku dapat melepaskan diri. Karena
itu, Kangjeng. Tidak ada waktu untuk berpikir lebih lama. Aku mohon Kangjeng segera bersiap.
Aku memperhitungkan, kegagalan mereka membunuh aku malam ini, akan menjadi peletik
api yang akan menyalakan api pemberontakan itu."
" Apa aku dapat mempercayaimu, kakang
Tumenggung." " Kangjeng, Aku mohon Kangjeng segera
mempersiapkan diri. Waktunya tentu sangat sempit."
Kangjeng Adipati menjadi ragu-ragu. Namun Ki Tumenggung Reksabawa itupun berkata
kepada Narpacundaka " perintahkan untuk menutup pintu gerbang utama. Siapkan
pasukan yang ada untuk dalem kadi
melindungi paten ini. Bunyikan isyarat
agar pasukan yang tidak terpengaruh oleh adi Tumenggung Jayataruna mempersiapkan
diri." Narpacndaka itu ragu-ragu sejenak.
Dipandanginya wajah Kangjeng Adipati yang tegang. Baru ketika Kangjeng Adipati
itu menganggu ak k, m a Narpacundaka itupun bergeser
surut. Demikian pula prajurit yang ada di luar pintu. Namun seorang prajurit
yang semula berada di dalam bersama Narpacundaka itu tetap duduk di tempatnya.
Sejenak kemudian, maka para prajurit yang ada di halaman kadipaten itupun segera
bersiaga. Pintu gerbang utama segera di tutup dan diselarak dari dalam.
Namun dalam pada itu, seperti yang
diperhitungkan oleh Ki Tumenggung Reksabawa, kegagalan Wedung dan dua orang
prajurit pilihan membunuhnya, telah menjadi api yang menyalakan pemberontakan.
Salah seorang prajurit yang berhasil melarikan diri itu telah mengejutkan mereka
yang menyelenggarakan pertemuan di rumah Raden Ayu Prawirayuda.
Pada saat jamuan makan di hidangkan, maka prajurit yang sudah terluka itu
berlari-lari dan langsung masuk ke ruang pertemuan.
Ki Tumenggung Jayataruna yang terkejut segera bangkit dan mendekatinya " Ada
apa, he " Kau terluka ?"
" Ya, Ki Tumenggung. Wedung dan seorang kawanku itu terbunuh. Aku terluka. Namun
aku sempat melarikan diri. "
" Gila. Jadi kalian gagal membunuh kakang Reksabawa " "
" Ya, Ki Tumenggung. "
" Jadi sesumbar Wedu
itu bagaikan suara ng guruh yang menggelegar di langit, tetapi hujan setitikpun tidak turun ke bumi. "
enja Prajurit itu tidak m wab. Tetapi terdengar ia mengerang kesakitan. Raden Ay a u Reks yuda tidak sempat mempersilahkan tamu-tamunya untuk makan. Ki Tumengung Jayatarunalah yang
kemudian bangkit sambil berkata lantang " Kita harus mulai sekarang.
Kita tidak mempunyai waktu lagi. "
" Sekarang " " bertanya seorang Demang.
" Ya. Para Senapati yang membawahi pasukan akan segera bergerak. Para Demang dan
orang-orangnya harus segera menyusul. Kita akan menduduki dalem kadipaten. Kita
akan menangkap Kangjeng Adipati. Kalau mungkin kita akan menangkapnya hidup-
hidup. " " Kakang Tumenggung Jayatarun
at a " berk a Raden Ayu Reksayuda " aku akan ikut bersama kakang ke kadipaten. "
" Raden Ayu " tidak usah Raden Ayu. Sebaiknya Raden Ayu tetap tinggal di rumah.
Nanti setelah kami berhasil, kami akan menjemput Raden Ayu. "
" Tidak, kakang. Aku akan pergi ke kadipaten bersama kakang. Aku minta kakang
menangkap Ririswari. Jangan sakiti anak itu. Biarlah aku yang mengurusnya. "
" Raden Ajeng Ririswari " "
" Ya." kepentin " Apakah gan Raden Ayu dengan Raden
Ajeng Ririswari itu ?"
" Tidak ada, kakang. Tetapi tolong, bawa Ririswari itu kepadaku. "
Ki Tumenggung Jayatarunapun mengangguk-
angguk. Katanya " Baiklah. Aku sendiri akan menangkap Kangjeng Tumenggung serta
membawa Raden Ajeng Ririswari kepada Raden Ayu. "
Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka yang mengadakah pertemuan itu te h
la meninggalkan ruangan. Mereka langsung
mempersiapkan kesatuan mereka masing-masing.
Ketika panah sendaren berterbangan di langit, maka pasukan yang kuat telah
bersiap. Mereka segera bergerak mengepung dalem Kadipaten.
Sejenak kemudian mereka yang mengepung
kadipaten itu telah berusaha memecahkan pintu gerbang utama. Sekelompok orang
telah mendorong pintu gerbang itu dengan tenaga mereka yang besar dan menghentak-
hentak. Namun sebagian dari mereka ternyata berhasil meloncati dinding halaman samping.
Berlari-larian para prajurit yang tela bera
h da di halaman itu menuju ke pintu gerbang. Para prajurit yang bertugas di dalem kadipaten itu tidak dapat menahan mereka
ketika mereka mengangkat selarak dan membuka pintu gerbang utama itu.
Arus prajuritpun kemudian mengalir seperti bendungan yang pecah. Mereka
menghambur di halaman dan berlari-larian menuju ke dalem kadipaten.
d Dalam pa a itu, terdengar suara kcntongan yang bergaung dalam irama titir.
Tetapi suara kentongan itu tidak segera disahut oleh suara kentongan yang lain.
Ki Tumenggung Jayataruna telah menyebarkan orang-orangnya keseluruh kota untuk


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menaburkan kegelisahan dan kecemasan.
Yang justru terdengar adalah suara kentongan di kejauhan. Lamat-lamat. Juga
dengan irama titir. Tetapi suara itu akhirnya hilang di telan suara angin malam.
Pertempuran telah berkobar di halaman dalem kadipaten. Para pengawal yang
jumlahya jauh lebih sedikit dari pasukan yang datang menyerang, segera mengalami
kesulitan untuk bertahan.
Dalam pada itu, Ki Reksabawa telah minta agar Kangjeng
i s Adipat egera meninggalkan kadipaten.
" Marilah Kangjeng. Kangjeng harus melepaskan diri dari tangan mereka. Tangan-
tangan yang panas dan haus darah. "
" Aku seorang prajurit Ki Tumenggung. Tidak pantas seorang prajurit meninggalkan
arena pertempuran untuk sekedar ingin hidup. "
" Tetapi selagi kita masih hidup, maka kita akan dapat berbuat sesuatu. Tetapi
jika kita sudah mati, maka berakhirlah semuanya. Meskipun kita tahu, bahwa sudah
terjadi ketidak adilan dan bahkan fitnah di t
i tetapi disaa anah in t kematian itu Cincin Maut 5 Pendekar Slebor 59 Cinta Dalam Kutukan Tiga Dara Pendekar 9
^