Pencarian

Kembang Kecubung 5

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Bagian 5


"Tidak peduli. Kita akan mencarinya. Kau akan aku seret sepanjang jalan yang
panjang sampai kita menemukan Kangjeng Adipati."
"Jalawaja " potong Suratama kemudian "jadi kau benan-benar akan mencelakai Raden
Ajeng Ririswari." "Tidak, Suratama. Ia tidak bersungguh-
sungguh" sahut Ririswari.
"Aku bersungguh-sungguh."
"Jika ia bersungguh-sungguh, Raden Ajeng. Aku tidak akan dapat membiarkannya
terjadi." "Pergilah Suratama."
"Tidak Raden Ajeng. Jika Jalawaja benar-benar akan membalas dendam kepada Raden
Ajeng yang sama sekali tidak bersalah, bahkan Kangjeng Adipatipun belum tentu
bersalah, maka aku tidak akan membiarkannya. Tanpa pamrih pribadi aku merasa
berkewajiban untuk menyelamatkan Raden Ajeng Ririswari."
"Bagus. Itu baru laki-laki Suratama."
"Jalawaja. Aku tahu kau seorang anak muda yang pilih tanding. Mungkin aku tidak
akan mampu berbuat apa-apa di hadapanmu. Tetapi aku merasa bahwa aku harus
melakukannya." "Bersiaplah, Suratama."
"Kakang Jalawaja. Suratama. Tidak ada gunanya kalian bertengkar. Yang akan
terjadi biarlah terjadi."
"Tetapi Jalawaja tidak membiarkan aku pergi, Raden Ajeng."
"Kau akan dapat menggagalkan rancanaku. Kau akan dapat melaporkan kepada para
prajurit arah kepergianku. Para prajurit itu akan melacaknya dan menangkap aku
dan Ririswari sebelum aku berhasil membalas sakit hatiku dihadapan Paman
Adipati." "Kau telah kerasukan iblis yang paling jahanam, Jalawaja. Aku peringatkan sekali
lagi. Belum tentu Kangjeng Adipati bersalah. Bahkan seandainya benar Kangjeng
Adipati bersalah Raden Ajeng Ririswari sama sekali tidak tersangkut atas
kesalahannya itu." "Persetan semuanya" geram Jalawaja
"bersiaplah." Suratama tidak mempunyai kesempatan lagi.
Tiba-tiba saja Jalawaja telah menyerangnya.
"Kakang. Kakang. Hentikan "teriak Ririswari.
Tetapi Jalawaja tidak mendengarnya. Dengan garangnya Jalawaja menyerang
Suratama. Dengan demikian, maka segera terjadi
pertempuran yang sengit. Suratama tidak membiarkan dirinya m njadi sasa
e ran serangan- serangan Jalawaja. Namun Suratamapun kemudian telah membalas menyerangnya.
Keduanya adalah anak-anak muda yang terlatih.
Dengan demikian, maka keduanyapun berloncatan menyerang dan me hi
ng ndar dengan tangkasnya.
Serangan-serangan Jalawaja semakin lama menjadi semakin berbahaya. Namun
Suratamapun meningkatkan kemampuannya pula. Dengan
tangkas Suratama menghindari serangan-serangan Jalawaja yang datang seperti
banjir bandang. Beberapa saat kemudian, ketika keringat membasahi tubuh-tubuh yang sedang
bertempur itu, merekapun telah meningkatkan kemampuan merbka menjadi semakin
jauh Sentuhan tangan Jalawaja di bahu Suratama telah mendorong Suratama beberapa
langkah surut. Na ba mun ti -tiba saja Suratama itu
melenting. Kakinyalah yang telah menyambar dada Jalawaja.
Dengan demikian Jalawajalah yang bergetar surut beberapa langkah. Namun agaknya
Suratama tidak melepaskannya. Dengan tangkasnya ia memburu, kemudian melenting
dengari derasnya. Satu kakinya terjulur lurus menyamping
menyambar ke arah dada. Tetapi Jalawaja cukup tangkas. Sambi bergeser setapak, ia telah memiringkan
tubuhnya, sehingga kaki Suratama itu terjulur di depan tubuhnya tanpa menyentuh
sama sekali. Suratama yang dalam kedudukan yang belum mapan, dikejutkan oleh sapuan kaki
Jalawaja. Demikian cepat sehingga tidak dapat dihindarinya.
Sapuan kaki Jalawaja telah mengenai kaki tempat Suratama bertumpu.
Karena itu, maka Suratamapun terbanting jatuh.
Namun dengan cepat pula Suratama berguling menjauh. Pada saat Jalawaja meloncat
memburunya, Suratama telah melenting berdiri.
Sehingga ketika Jalawaja meloncat mengayunkan kakinya sambil berputar, Suratama
mampu menghindar. Dengan cepat pula Suratama
membalas serangan itu. Tangannya terjulur lurus menggapai dada Jalawaja.
Jalawaja tergetar selangkah surut. Namun dengan segera Jalawaja menguasai
keseimbangannya. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin menjadi semakin sengit.
Ririswari tidak dapat berbuat apa-apa. Beberapa kali ia bert
ehi eriak, s ngga rasa-rasanya urat-urat di
lehernya akan putus. Tetapi kedua anak muda itu masih saja
bertempur. Jalawaja sama sekali tidak mau mendengarkan teriakan Ririswari.
Sementara itu Suratama tidak dapat berbuat lain, kecuali mengimbangi sikap
Jalawaja. Demikianlah pertempuran yang menjadi semakin sengit itu berlangsung terus.
Namun semakin lama, Suratama semakin
mengalami kesulitan. Kemampuan Jalawaja masih lebih tinggi selapis dari
kemampuan Suratama. Jalawaja yang menempa dirinya di lereng bukit di bawah asuhan kakeknya itu telah
membentuknya menjadi seorang anak muda yang pilih tanding.
Dengan demikian, maka Suratama itu semakin lama menjadi semakin terdesak.
Serangan-serangan Jalawaja semakin sering mengenai tubuh Suratama, sehingga
Suratama itu semakin mengalami kesulitan.
Ririswari menjadi semakin cemas. Meskipun Suratama itu anak Ki Tumenggung
Jayataruna yang telah memberontak terhdap ayahandanya, Kangjeng Adipati di Tegal
Arum, namun Risiswari agaknya percaya kepadanya, bahwa Suratama telah
menjalankan perintah ayahnya tanpa pamrih pribadi. Bahkan Suratama telah berniat
untuk tidak mematuhi perintah itu, karena perintah itu dinilainya menyimpang
dari kebenaran sikap seorang prajurit.
Karena itu, ketika ia melihat Suratama terdesak dan bahkan mengalami kesulitan,
Ririswari menjadi berdebar-debar.
Sementara itu, Jalawaja masih saja bertempur dengan garangnya. Gejolak
didadanya, sejak kematian ayahnya telah membuatnya menjadi seorang yang garang.
Yang menyimpan dendam membara di dalam dadanya.
Dalam pada itu Suratamapun semakin lama menjadi semakin terdesak. Beberapa kali.
Suratama itu terpental dan kemudian jatuh terguling. Namun Suratama masih juga
berusaha untuk bangkit serta memberikan perlawanan.
Namun ketika serangan kaki Jalawaja yang marah yang dilontarkan dengan sekuat
tenaganya mengenai arah ulu hati Suratama. Maka
Suratamapun terlempar surut. Tubuhnya menimpa sebatang pohon yang besar yang
berdiri tegak tanpa tergetar sama sekali.
Tubuh Suratamapun kemudian terkulai di tanah.
Sementara itu Jalawajapun telah bersiap untuk meloncat dan memberikan serangan
terakhir yang menentukan.
Namun tiba-tiba saja Ririswari telah
menyekapnya dari belakang sambil berteriak
"Sudah kakang. Sudah."
Tetapi Jalawaja itu justru berteriak "Aku akan membunuhnya."
"Jangan, kakang.Jangan."
Tetapi hati Jalawaja yang gelap itu justru menjadi semakin panas. Karena itu,
maka Jalawaja telah mengibaskan Ririswari dengan kerasnya.
Ririswaripun terpelanting dengan kerasnya pula.
Tubuhnya terbanting di tanah berbatu padas.
Terdengar Ririswari berteriak tertahan.
Jalawaja terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya di keremangan cahaya bulan,
tubuh Ririswari yang tergolek diam.
"Riris, Riris "Jalawaja mengurungkan niatnya menerkam Suratama. Ia bahkan
meloncat dan berlutut di sisi Ririswari yang terbaring.
Betapapun kemarahan dan dendam menyala di hatinya, namun ketika ia melihat
Ririswari kesakitan, maka rasa-rasanya hatinya menjadi luluh karenanya.
Ternyata dendamnya tidak dapat mengusir perasaan yang sejak lama tumbuh didalam
hatinya. Bahkan Jalawaja pernah melihat sepeletik harapan yang telah diisyaratkan oleh
Ririswari. Hanya sejak ibunya meninggal Ririswari menjadi murung dan seakan-akan
mengesampingkan hubungan mereka berdua.
Ketika api dendam menyala di hatinya karena kematian ayahnya, bahkan karena ia
tidak dapat memberikan pertanda kesetiaannya pada saat terakhir, Jalawaja
seakan-akan telah kehilangan pegangan. Segala-galanya menjadi gelap, sehingga
Jalawaja tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Namun ketika tiba-tiba saja ia melihat tubuh Ririswari terbaring diam, maka
hatinya seakan-akan telah disengat oleh penyesalan yang sangat.
"Riris, Riris " Jalawaja mengangkat kepala Ririswari dan diletakannya di
pangkuannya. Dalam pada itu, Suratama telah berhasil bangkit berdiri. Ia telah mengatasi
perasaan sakit yang terasa menusuk-nusuk tulang belakangnya.
Ketika ia melihat Jalawaja membelakanginya, maka Suratama itu perlahan-lahan
mendekatinya. Tetapi ketika ia melihat Ririswari terbari g n di
pangkuan Jalawaja, maka Suratama itupun menarik nafas dalam-dalam. Bahkan
Suratama itupun kemudian telah berjongkok pula di sebelah Jalawaja.
"Apa yang terjadi dengan Raden Ajeng Ririswari"
desis Suratama. "Aku tidak sengaja mengibaskannya. Aku tidak sengaja menyakitinya Suratama."
Suratama termangu-mangu sejenak.
Dipandanginya wajah Ririswari yang diterangi oleh cahaya bulan. Matanya
terpejam. Namun bibirnya bergerak-gerak. Tidak ada sepatah katapun yang
terdengar. "Riris, Riris."
Perlahan-lahan Ririswari membuka matanya.
Terdengar ia berdesah menahan sakit.
"Kau tidak apa-apa Riris ?" bertanya Jalawaja.
"Punggungku sakit sekali, kakang."
"Maaf aku Riris. Aku tidak sengaja
melakukannya." "Kakang " suara Riris perlahan.
"Ada apa Riris ?"
"Hentikan perkelahian ini. Tidak akan ada gunanya."
"Tetapi aku kehilangan orang tuaku, Riris."
"Bukankah itu tidak ada hubungannya dengan Suratama. Jika kau menuntut kematian
orang tuamu, maka paman Tumenggung. Jayataruna juga telah memberontak karena
alasan yang sama. Bukankah yang dilakukan oleh paman Tumenggung Jayataruna sebenarnya berdiri di
pihakmu." "Tetapi ia akan merampas kau dari tanganku, Riris."
"Tidak. Ia sudah mengatakan, bahwa ia tidak akan berbuat apa-apa. Karena itu,
kakang. Sudah aku katakan berulang kali. Jika kau akan membalas dendam karena
kematian uwa Tumenggung Wreda Reksayuda, lakukanlah. Bunuhlah aku. Biarlah
Suratama kembali ke kota dan menyebarkan berita kematianku itu, agar pada suatu
saat sampai ketelinga ayahanda. Hati ayahanda akan terluka.
Bahkan ayahanda akan merasa bahwa hidupnya sudah tidak berarti lagi sepeninggal
ibu dan aku. Kau akan merasa puas karena kau sudah berhasil menyakiti hati ayahanda dan
membuatnya berputus asa. Kemudian, berdasarkan atas paugeran dan tatanan yang ada di
Sendang Arum, maka kakang Jalawajalah yang akan menggantikan kedudukan ayahanda.
" "Tidak. Aku tidak menginginkan kedudukan itu.
Aku hanya ingin mencari kepuasan. "
"Apapun yang kau inginkan, kakang.
Lakukanlah. Tidak ada orang yang dapat
menghalangimu. Suratama juga tidak akan menghalangimu lagi. Kecuali ia tidak
dapat mengimbangi kemampuanmu yang tidak ada
duanya di Sendan akupiin g Arum itu, akan berpesan kepadanya, ar ia tidak mengh
ag alangi niatmu itu. " "Tidak. Tidak. Aku tidak akan membunuhmu Riris. Aku tidak akan menyakitimu. "
"Bukankah kau sendiri
m yang engatakannya. Kau bawa aku keluar dari keputren karena kau hku
ingin membunu dengan tanganmu sendiri agar
kau mendapat kepuasan, yang setinggi-tingginya. "
"Tidak. Tidak. Aku tidak akan dapat
melakukannya. Jika aku membawamu keluar dari keputren itu karena aku tidak ingin
melihat kau jatuh ketangan Miranti. Ia akan membuatnya menjadi pangewan-ewan. Ia
akan merendahkanmu dan menghinakanmu. "
"Apa salahku kepadanya " h ia Apaka juga ingin membalas dendam karena kematian suaminya, uwa Reksayuda " Karena bibi tidak dapat membalas ayahanda, maka akulah yang akan dijadikan sasaran. Bukankah begitu juga yang in
ka gin kang lakukan. " "Tidak, Riris. Tidak. "
"Jika kau ingin menyelamatkan aku, kenapa aku kau seret sampai ke tempat ini.
Kau kurung aku di gubug kecil yang pengab itu. Kau biarkan kakiku luka dan
bahkan memben k g ak " " "Maafkan aku, Riris. Barangkali aku sudah menjadi gila."
"Tidak kakang. Sekarang mantapkan hati
kakang. Tusukkan kerismu itu di arah jantungku. "
"Jangan berkata begitu Riris. Sebenarnyalah aku tidak ingin menyakitimu. Wadagmu
atau hatimu.." "Kakang sudah melakukannya. Kakang sudah menyakiti aku. Wadagku maupun hatiku.
Tetapi aku ikhlas kakang. Aku iklas jika kematianku benar-benar memberimu
kepuasan tertinggi. "
"Riris. Aku mencintaimu. Apapun yang terjadi, aku tidak akan dapat


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengingkarinya. " Ketika Riris kemudian berusaha untuk duduk dibantu oleh Jalawaja, Suratamapun
bangkit berdiri. Sambil menengadahkan wajahnya
memandang bulan yang mengapung dilangit, Suratama itupun berkata "Aku menjadi
semakin bingung. Aku tidak tahu apa yang sebenarnya ingin kau lakukan, Jalawaja.
" "Aku sendiri tidak tahu, apa yang harus aku lakukan. "
"Jangan ragu-ragu, kakang. "
Setelah Riris duduk, maka Jalawaja itupun bangkit berdiri pula. Didekatinya
Suratama yang bergeser beberapa langkah sambil berkata
"Suratama. Jika hal ini terjadi atasmu, katakan. pa A
yang akan kau lakukan. "
"Jalawaja. Hatimu pecah karena cintamu
terbelah. Kau cintai ayahmu yang terbunuh itu.
Tetapi kau juga mencintai Raden Ajeng Ririswari. "
"Aku menjadi bimbang sekali, Suratama. Aku adalah seorang anak yang tidak pernah
menunjukkan baktiku kepada orang tua. Aku telah melawan kehendak ayahku ketika
ayahku akan meningkah lagi. Aku meninggalkannya dan hidup bersama kakek.
Kemudian pada saat ayahku yang telah bersalah terhadap tanah ini mendapat
pengampunan dan diperkenankan pulang dari pengasingan, aku tidak dapat ikut
menjemputnya. Demikian pula pada saat ayahku terbunuh, aku tidak sempat memberikan
penghormatan terakhir karena Miranti masih berada di rumah. "
"Kakang. Lupakan sentuhan perasaanmu
terhadap diriku. Lakukan apa yang ingin kakang lakukan. Jika kakang ingin
membunuhku, bunuhlah. " "Tidak, Riris. Aku tidak dapat melakukannya. "
"Bulatkan tekadmu kakang. "
"Suratama. Katakan kepadaku, apa yang harus aku lakukan. Katakan. "
"Kakang. Kenapa kau menjadi bimbang. "
"Apakah aku benar-benar sudah gila Suratama."
Suratama tidak segera menjawab. Iapun tidak tahu, jawaban apakah yang harus
diberikannya. Namun tiba-tiba saja Jalawaja itupun berkata
"Suratama. Aku telah kehilangan pegangan. Aku telah kehilangan pegangan.
Sekarang, bunuh saja aku Suratama. Bunuh aku. "
"Kakang " suara Ririswari bernada tinggi.
"Jalawaja " berkata Suratama kemudian "Aku tahu bahwa kau berada di persimpangan
jalan. Kau menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kau lakukan. Pada saat-
saat kau kehilangan arah, aku masih dapat melihat harga dirimu meskipun aku
sedang terombang-ambing. Tetapi ketika kau menjadi putus-asa dan berniat untuk
membunuh diri, maka aku melihat harga dirimu benar-benar akan runtuh. Jika niat
itu kau teruskan, maka kau benar-benar tidak berharga lagi. Kau akan menjadi
seperti daun jati yang kering yang hanya pantas untuk menjadi makanan api. "
"Tetapi apa yang pantas aku lakukan sekarang Suratama. "
"Jalawaja. Duduklah. Cobalah menenangkan hatimu. Kau akan sempat memikirkan cara
terbaik yang dapat kau lakukan. "
"Kakang " berkata Riris yang kemudian bangkit berdiri dengan susah payah
"duduklah kakang. Seperti yang dikatakan Suratama, tenangkan hatimu. Marilah kita berusaha mencari
jalan keluar." "Riris. Katakan kepadak
n u. Apa ya g harus aku lakukan. " "Duduklah. " Dibimbing oleh Ririswari, Jalawajapun kemudian duduk diatas rerumputan yang
mulai basah oleh embun. Demikian pula Ririswari dan Suratama.
Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri.
Angin malam terasa semilir menyentuh tubuh it mas
mereka. Sementara itu lang
ih saja bersih. Bulan masih nampak mengambang di langit meskipun sudah bergeser semakin ke Barat
. "Jalawaja " berkata Suratama kemudian
"maafkan jika aku mempunyai pendapat. Jika kau tidak berkeberatan lakukanlah.
Tetapi jika menurut pendapatmu tidak dapat kau lakukan, lupakanlah. "
"Katakan Suratama. "
"Apakah sudah tidak ada lagi orang yang dapat kau ajak berbicara " Orang yang
lebih tua yang mungkin dapat memberikan jalan keluar dari persoalanmu yang rumit
" Jalawaja. Sebaiknya kau tidak menetapkan lebih dahulu, bahwa yang telah
membunuh Ki Tumenggung Wreda Reksayuda
adalah Kangjeng Adipati. Dengan demikian, maka hatimu tida langsun
k g terbelah. Jika kau dapat
berpikir lebih tenang, serta ada orang yang dapat kau ajak berbicara, mungkin
kau akan menemukan jalan yang terbaik untuk mengatasi persoalan yang sedang kau
hadapi. " Jalawaja tidak segera menjawab.
Namun dalam pada itu, Ririswaripun berkata
"Kakang. Bukankah kakang masih mempunyai seorang kakek " Mungkin kakang dapat
berbicara dengan kakek, p a akah yang sebaiknya harus
kakang lakukan. " Jalawaja mengangkat wajahnya. Sambil
mengangguk-angguk iapun berdesis "Ya. Aku masih mempunyai seorang kakek. Ki Ajar
Anggara. Kakekku sekaligus guruku. "
"Kakang dapat bertanya kepadanya, apakah yang sebaiknya kakang lakukan. "
"Ya. Aku dapat menemui kakek dan bertanya kepadanya. Kenapa hatiku yang gelap
tidak segera mengingatnya. "
"Jika demikian, bukankah sebaiknya kau pergi menemui kakekmu itu, Jalawaja "
berkata Suratama. "Ya. Aku akan menemui kakekku "jawab
Jalawaja. Lalu katanya selanjutnya " Ririswari.
Apakah kau mau pergi bersamaku" Atau mungkin kau merasa lebih tenang pergi
bersama Suratama. Dapat saja kau menganggap bahwa aku sudah menjadi gila. Kegilaanku itu dapat
saja kambuh kapan saja."
"Aku akan pergi bersamamu, kakang.
Kemanapun kau pergi."
"Jika iblis itu kembali merasuk kedalam jiwaku?"
"Aku tidak berkeberatan, kakang."
"Jika demikian, aku akan minta tolong
kepadamu, Suratama. Jika sisa belas masih ada kasihanmu kepadaku, tolong, kawani aku pergi menemui kakek."
"Apakah kau memerlukan seorang kawan,
Jalawaja?" "Ya. Aku memerlukan seorang kawan. Mungkin diperjalanan aku bertemu dengan
prajurit Sendang Arum yang sudah ada di bawah pengaruh Miranti u
sedang memburu Ririswari. Mungkin juga membur aku sendiri. Tetapi itu tidak
penting. Yang paling mencemaskan adalah jika perasaanku menjadi goyah lagi. Jika
kau ada bersamaku, maka setidak-tidaknya ada orang yang dapat memberi
peringatan kepadaku, bahwa aku telah terjerumus kembali ke dalam kuasa iblis."
Suratama menarik nafas panjang. Namun
kemudian iapun bertanya " Kau percaya kepadaku, Jalawaja. Aku adalah anak
seorang pemberontak."
"Aku juga anak seorang pemberontak."
"Baiklah. Aku akan menemanimu pergi ke rumah kakekmu. Tetapi setelah kau berada
di rumah kakekmu, maka aku akan kembali ke Pajang."
"Dan me rkan lapo kepada Raden Ayu Reksayuda
tentang keberadaan kami?"
"Kau sudah mulai tidak mempercayaiku."
"Aku percaya kepadamu, Suratama. Maafkan aku."
"Marilah. Kita tinggalkan tempat ini.:"
"Apakah kita harus pergi sekarang" Aku letih sekali Kakang. Kakiku terasa pedih
sekali. Apakah kita dapat beristirahat sampai fajar" " desis Ririswari.
Jalawaja termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian ia-pun mengangguk sambil berkata
"Baiklah. Kita beristirahat sampai fajar. Jika fajar mulai merah, kita akan
melanjutkan perjalanan."
"Kau tahu jalan ke arah pondok kakekmu itu, Jalawaja?"
"Aku akan menemukannya: Aku melihat arah yang harus kita tuju."
"Gunung itu?" "Ya. Gunung, bentuknya dan gunung anak di an
lambungnya." "Ya. Kita akan dapat mencarinya."
"Aku tidak akan mengalami kesulitan untuk menemukan jalan itu. Aku kira jalan
ini adalah jalan pintas. Meskipun jalan ini jarang dilalui orang, tetapi jalan
ini merupakan salah satu jalur kemungkinan."
Suratama menarik nafas panjang. Sementara Jalawajapun berkata "Salah satu bukti,
kau juga memilih jalan ini untuk menelusuri jejak Ririswari."
"Ya. Rasa-rasanya kakiku telah memilih sendiri jalan yang akan dilaluinya."
Dalam pada itu, maka Ririswari telah duduk bersandar sebatang pohon. Kakinya
menjelujur diatas rerumputan. Ririswari sama sekali tidak menghiraukan pakaian
ya akan n menjadi kotor karenanya. Jalawajapun kemudian duduk di sebelahnya, sementara Suratama
a duduk gak jauh dari padanya. pat m Ririswari yang letih itu sem
emejamkan matanya. lir angin mem Semi buatnya sekejap- sekejap ak melup an peristiwa yang sedaijg
dijalaninya itu. Namun seti seakan ap kali Ririswari itu -akan terkejut oleh denyut perasaannya yang bergejolak.
Setiap kali Ririswari menarik nafas panjang. .
Jalawaja sendiri dan Suratama. duduk sambil berdiam diri. Keduanya terdiam
seolah-olah masing-masing belum saling mengenal. Pandangan mata mereka meraba
kekejauhan di bayangan cahaya bulan yang kekuning-kuningan.
Tetapi dalam kediamannya perasaan Jalawaja bagaikan terombang-ambing oleh angin
prahara. Berbeda dengan Jalawaja, meskipun ada juga ketegangan dihati Suratama, tetapi
Suratama sempat juga mengantuk. Matanya sempat terpejam beberapa saat sambil
sand ber ar sebongkah batu padas yang basah oleh embun di dinginnya malam.
Ketika cahaya merah mulai nampak di langit, maka Jalawaja pun bangkit berdiri.
Dipandanginya Ririswari yang sudah bergeser beberapa langkah dari temp
duduk at nya, sambil membenahi rambutnya yang kusut. "Riris " berkata Jalawaja " langit telah menjadi merah. Bulan sudah bergulir ke
cakrawala. Marilah kita melanjutkan perjalanan."
"Marilah, kakang. Aku sudah siap " sahut Ririswari sambil bangkit berdiri.
"Suratama " Suratama bangkit berdiri pula sambil menyahut
"Aku juga sudah siap Jalawaja."
Ketiga orang itupun kemudian telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Mereka
ingin menempuh perjalanan selagi matahari masih belum sempat membakar langit.
Tetapi mereka akan menempuh jarak yang jauh, sehingga mungkin sekali mereka akan
terhalang oleh terik sinarnya. Terutama Ririswari. Agaknya ia memerlukan banyak
kesempatan untuk beristirahat. "Kecuali jika aku memaksanya berjalan seperti kemarin " berkata Jalawaja di
dalam hatinya. Penyesalan yang sangat dalam menghunjam di hatinya. Apalagi ketika ia mengetahui
bahwa kaki Ririswari memang terluka.
Suratamalah yang kemudian berjalan di depan.
Kemudian Jalawaja membimbing Ririswari berjalan tidak terlalu cepat. Batu-batu
kerikil serta batu-batu padas yang tajam membuat kaki Ririswari menjadi semakin
sakit. "Jika kita sampai ke rumpun bambu, Riris. Aku akan membuat terompah dari
clumpring untuk setidaknya mengurangi pedih di kakimu. "
"Aku tidak apa-apa, kakang " jawab Ririswari meskipun sambil menyeringai menahan
pedih. Suratama yang berjalan didepan kadang-kadang melangkah terlalu jauh. Namun iapun
segera berhenti menunggu Jalawaja dan Ririswari yang berjalan di belakang
mereka. Beberapa lama mereka berjalan dengan lamban.
Mereka mengikuti jalan setapak disela-sela tebing bukit kecil berkapur
Namun tiba-tiba Suratama berhenti. Bahkan iapun melangkah surut mendekati
Jalawaja dan Ririswari sambil berdesis "Ada sesuatu yang perlu diperhatikan
didepan. " "Apa " "bertanya Jalawaja.
"Nampaknya ada satu atau dua orang di
gerumbul sebelah jalan."
Jalawaja termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun berkata "Kita berhenti disini.
Biarlah mereka datang kepada kita. "
Suratama tidak menyahut, sementara Jalawaja berkata kepada Ririswari "Duduklah
di atas batu itu Riris. Mungkin aku dan Suratama harus berbuat sesuatu. "
Beberapa saat mereka menunggu. Namun
ternyata bahwa dugaan Suratama itu benar.
Beberapa saat kemudian, dua orang muncul dari balik gerumbul di sebelah
menyebelah jalan. Meskipun langit menjadi semakin merah, namun mereka tidak segera dapat mengenali
wajah kedua orang yang membelakangi bulan yang sudah mulai membenamkan diri di
cakrawala. "Jadi kalian berdua telah melarikan Raden AJeng Ririswari.
Jalawaja dan Suratama." Baru kemudian Suratama dan Jalawaja menyadari

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa yang berdiri di hadapan mereka itu adalah Ragajati dan Ragajaya, putera Ki Tumenggung Reksabawa. "Jadi kalian telah bekerja sama untuk melawan Kangjeng Adipati. Ba an dengan
licik kalian hk berdua telah menculik puterinya yang sama sekali tidak tahu menahu, apa yang
sebenarnya telah terjadi di Kadipaten Sendang Arum. "
"Ragajati dan Ragajaya " berkata Suratama
"kami sama sekali tidak mempunyai niat buruk terhadap Raden Ajeng Ririswari. "
"Omong kosong. Ayahmu, paman Tumenggung Jayataruna sudah memberontak. Paman
Tumenggung dan Raden Ayu Reksayuda telah menyebar berita, bahwa
o se lah-olah Kangjeng Adipatilah yang telah membunuh Ki Tumenggung Wreda Reksayuda, sehingga kau dan
Jalawaja telah bekerja sama untuk mencu
d lik Ra en Ajeng Ririswari yang seharusnya tidak terpercik oleh persoalan yang sedang terjadi di
kadipaten Sendang Arum. "
Suratama menarik nafas panjang. Ia dapat mengerti tuduhan Ragajati dan Ragajaya
itu, karena ia adalah putera Ki Tumenggung Jayataruna yang sudah memberontak,
sedangkan Jalawaja adalah putera Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda yang terbunuh. "Ragajati dan Ragajaya " berkata Suratama kemudian "aku mengerti, bahwa aku dan
Jalawaja dapat dikenakan tuduhan sebagaimana kau katakan. Tetapi yang terjadi
sebenarnya tidak seperti itu. "
"Kau dapat mengatakan apa saja tentang diri kalian berdua. Tetapi kalian tidak
akan dapat mengingkari kenyataan."
"Ragajati dan Ragajaya " sahut Jalawaja
"akupun dapat mengerti, bahwa kau tidak akan mempercayai kami berdua. Aku dan
Suratama. Tetapi sekarang bertanyalah kepad
. Ia a Ririswari akan dapat mengatakan apa yang telah terjadi sebenarnya. "
Ragajaya dan Ragajati termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian Ragajatipun bertanya kepada Raden Ajeng Ririswari
"Raden Ajeng. Apa yang telah terjadi
sebenarnya atas diri Raden Ajeng."
Ririswari dengan kaki yang terasa pedih melangkah ke depan. Dengan nada dalam
iapun berkata "Ragajati dan Ragajaya. Sebenarnyalah bahwa kakang Jalawaja dan
Suratama telah menyelamatkan aku dari taman keputren. Jika aku tidak dibawanya
pergi, maka aku tentu sudah jatuh ke tengan bibi Reksayuda."
"Raden Ajeng. Apa yang sebenarnya telah terjadi. Katakan yang sebenarnya Raden
Ajeng. Jangan takut " berkata Ragajaya.
"Aku berkata sebenarnya Ragajaya. "
"Aku tahu, Raden Ajeng tentu sudah diancam oleh Suratama dan Jalawaja. Bagaimana
mungkin Suratama dan Jalawaja berusaha menyelamatkan Raden Ajeng. Keduanya tentu
juga mendendam dan memusuhi Raden Ajeng, karena Raden Ajeng adalah putera
Kangjeng Adipati di Sendang Arum. "
"Jika mereka benar-benar membawa Raden
Ajeng keluar dari keputren, justru mereka tentu mempunyai pamrih pribadi."
"Kau salah paham Ragajati dan Ragajaya. "
"Ragajati dan Ragajaya " berkata Jalawaja kemudian "sekarang apa maumu. Kenapa
kalian berdua berada di sini dan untuk apa sebenarnya. "
"Aku mengemban perintah Kangjeng Adipati untuk meny lamatkan
e Raden Ajeng Ririswari "
jawab Ragajati. "Dimana ayahanda sekarang, Ragajati?"
bertanya Ririswari. "Aku akan membawa Raden Ajeng Ririswari kepada ayahanda. Tetapi aku harus
merahasiakannya terhadap kedua orang anak pemberontak itu. "
"Jangan berkata seperti itu, Ragajati. Kau belum mengenal kami seutuhnya. Jika
kau sebut kami anak pemberontak, maka kau telah menyinggung perasaan kami. "
"Jika demikian Jalawaja. Serahkan Raden Ajeng Ririswari kepada kami. Kami akan
membawanya kepada ayahandanya. Sementara itu kalian berdua harus, pergi.
Persoalan diantara kita akan kita selesaikan kelak, jika tugas kami berdua sudah
selesai. " "Kau terlalu sombong Ragajati dan Ragajaya.
Kalian kira kalian ini siapa?"
"Siapapun kami, tetapi kami sedang
mengemban tugas dari Kangjeng Adipati. Kami tidak dapat mengingkari semua pesan
yang diberikan kepada kami. Tidak seorangpun boleh mengetahui, dimana Kangjeng
Adipati sekarang berada. Apalagi kalian berdua. Kalian tentu akan segera
memberitahukan kepada paman
Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu
Reksayuda. " "Tidak, Ragajati dan Ragajaya " potong Raden Ajeng Ririswari "percayalah
kepadaku. Kakang Jalawaja dan Suratama tidak akan mencelakai aku.
Merekapun tidak merupakan kepanjangan tangan paman Tumenggung Jayataruna serta
bibi jam Reksayuda. Justru aku menjadi
inannya. " "Maaf Raden Ajeng. Siapapun tidak akan dapat menyebabkan kami melanggar perintah
Kangjeng Adipati. Sekarang, marilah Raden Aje.ng aku bawa kepada ayahanda.
Sedangkan biarlah kedua orang itu pergi atau kembali kepada orang tua mereka. "
"Itu tidak mungkin, Ragajati."
"Kenapa ?" "Aku berhutang budi kepada keduanya."
"Raden Ajeng. Seharusnya Raden Ajeng tidak usah merasa takut kepada ancaman
mereka. Kami berdua akan melindungi Raden Ajeng."
"Ragajati dan Ragajaya. Coba renungkan. Jika mereka berniat mencelakai aku, atau
mereka merupakan kepanjangan tangan paman
Tumenggung Jayataruna dan bibi Reksayuda, buat apa mereka membawa aku sampai
disini." "Itulah yang sangat mencurigakan, Raden Ajeng. Mereka tentu mempunyai pamrih
pribadi." "Cukup Ragajati " bentak Jalawaja " dengarkan.
Kami tidak akan menyerahkan Ririswari ke tangan kalian berdua. Justru kalian
berdua ingin memanfaatkan gejolak ini untuk kepentingan pribadi kalian berdua.
Tetapi aku ingin menjelaskan sekali lagi, bahwa kami tidak mempunyai hubungan
apa-apa dengan pemberontakan yang dilakukan oleh paman Tumenggung Jayataruna
serta Raden Ayu Reksayuda.
Ragajati dan Ragajaya termangu-mangu
sejenak. Mereka teringat ceritera Ki Ajar Anggara tentang hubungan yang rumit
antara Jalawaja dengan ibu tirinya. Namun hal itu tidak menghapus kecurigaan
Ragajati dan Ragajaya, bahwa Raden Ajeng Ririswari akan dapat menjadi tempat
untuk melimpahkan dendam Jalawaja atas kematian ayahnya.
"Mungkin Jalawaja memang tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Raden Ayu
Reksayuda, tetapi dendamnya kepada Kangjeng Adipati akan dapat mencelakai Raden
Ajeng Ririswari." Justru karena itu, maka Ragajati itupun berkata
"Jalawaja dan Suratama. Kami tidak akan menganggap kalian bersalah. Kami tidak
mempunyai .hak dan wewenang untuk mengadili kalian. Apalagi di pinggir jalan
seperti ini. Biarlah nanti waktu yang akan menentukan. Namun demikian, kami
tidak dapat menyingkir dari tugas kami. Membawa Raden Ajeng Ririswari kepada
ayahandanya. Karena itu, jangan halangi tugasku.
Pada kesempatan la alian in, k akan dapat berhubungan langsung dengan Kangjeng Adipati "
"Kami tidak dapat mempercayai kalian berdua "
jawab Suratama " karena itu pergilah. Kecuali jika kalian berdua membawa kami
berdua serta menghadap Kangjeng Adipati."
"Jangan menunggu sampai batas kesabaranku."
Dengan lantang Jalawa itu menyahut
ja " Aku sudah kehabisan kesabaran. Jika aku masih belum berbuat apa-apa, karena aku
memaksa diri untuk tidak mulai dengan kekerasan. Tetapi jika kalian berdua
memaksa, maka kami pun akan
melayaninya." "Bagus Jalawaja. Perlawananmu akan semakin membuktikan, bahwa kau benar-benar
telah memberontak. Apakah kau berdiri sendiri atau bergabung dengan paman
Tumenggung Jayataruna, itu tidak penting. Kenyataan yang kami temui disini, kau telah
berani melawan perintah Kangjeng Adipati."
"Sebut saja semaumu. Tetapi aku pertahankan Ririswari. Apalagi Ririswari sendiri
tidak mau pergi bersama kalian berdua."
"Raden Ajeng Ririswari tentu bukannya tidak bersedia pergi bersama kami. Tetapi
Raden Ajeng Ririswari masih berada dalam bayang-bayang ketakutan atas sikap
kalian berdua yang kasar."
"Katakan apa yang ingin kau katakan. Tetapi kami tetap pada sikap kami."
Ragajati dan Ragajaya tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka merasa sedang
mengemban tugas dari Kangjeng Adipati. Satu kehormatan yang harus mereka junjung
tinggi, sehingga apapun yang terjadi, mereka harus berusaha melaksanakan tugas
itu dengan sebaik-baiknya. Apapun yang harus dilakukannya. Bahkan pengorbanan
apapun yang harus mereka berikan.
Ketika Ragajati dan Ragajaya bergeser dati mempersiapkan diri, maka Jalawaja dan
Suratamapun telah bersiap pula.
"Riris " berkata Jalawaja " minggirlah. Aku akan melindungimu. Aku tidak akan
menyerahkanmu kepada siapapun."
Ririswaripun bergeser surut. Dengan nada dalam iapun berpesan " Hati-hati
kakang. Hati-hati Suratama."
Pesan itu memang telah membuat Ragajati dan Ragajaya menjadi ragu. Agaknya
Ririswari benar-benar mengharapkan perlindungan Jalawaja dan Suratama.
Tetapi Ragajati dan Ragajaya yang merasa mendapat kehormatan dan kepercayaan
mengemban tugas Kangjeng Adipati tidak
mempunyai pilihan lain. Mereka harus mengambil Ririswari dan membawanya
menghadap Kangjeng Adipati.
Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka telah terlibat dalam pertempuran.
Ragajati bertempur melawan Jalawaja dan Ragajaya bertempur melawan Suratama.
Mereka adalah anak-anak muda yang sedang tumbuh dan berkembang. Gejolak didalam
dada mereka telah membuat darah mereka menjadi panas. Mereka masing-masing
merasa wajib untuk melakukan apa yang mereka lakukan. Ragajati dan Ragajaya me
n untuk men rasa berkewajiba gambil Ririswari, sedangkan Jalawaja dan Suratama merasa wajib mempertahankan Ririswari
demi keselamatannya. Pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Ragajaya yang telah ditempa
didalam sebuah perguruan, ternyata memiliki beberapa kelebihan dari Suratama
yang berlatih dan meningkatkan ilmunya di sanggar di rumahnya sendiri. Dibimbing
oleh ayahnya di saat-saat luang.
Namun Suratama adalah seorang anak muda yang rajin. Meskipun a ahn
y ya tidak setiap saat berada di
sanggar bersamanya, namun Suratama rajin berlatih meskipun sendiri dengan
mengulang-ulang unsur-unsur gerak yang telah diberikan oleh ayahnya. Bahkan
dalam kesendiriannya, Suratama tidak pernah melupakan usahanya untuk
meningkatkan kemampuan serta daya tahan tubuhnya.
Ketekunannya itulah yang membuat Suratama memiliki beberapa kelebihan.
Sedangkan Ragajati yang bertempur melawan Jalawaja harus meningkatkan
kemampuannya. Keduanya telah berguru kepada orang-orang yang berilmu tinggi. Namun guru
Jalawaja yang kakeknya sendiri itu, mempunyai lebih banyak waktu dari guru
Ragajati. Jalawaja berguru seorang diri, sedangkan guru Ragajati mempunyai murid
dalam jumlah yang banyak. Sehingga dengan demikian maka penilikan secara pribadi
lebih banyak didapat oleh Jalawaja.
Karena itu, maka betapapun Ragajati
mengerahkan kemampuannya, namun Jalawaja masih saja tetap mampu mengimbanginya.
Semakin lama pertempuranpun menjadi semakin sengit. Dalam pada itu. langit sudah
menjadi terang. Sehingga segala-sesuatunya menjadi nampak lebih jelas.
Ririswari yang berdiri di luar arena menjadi bingung. Ia tidak mempunyai cara
untuk melerai pertempuran itu.
Suara teriakannya sudah tidak lagi didengar oleh mereka yang sedang bertempur
itu. Dalam pada itu, maka Jalawajapun semakin mendesak lawannya. Meskipun ilmu mereka
tidak bertaut banyak, namun Jalawaja justru di tempa oleh kehidupan yang keras
di pondok kakeknya. Banyak pekerjaan yang harus dilakukannya. Namun justru karena itu, maka Jalawaja
yang tidak kalah rajinnya berlatih itu memiliki beberapa kelebihan.
Meskipun ada selisih selapis-selapis dari ilmu mereka, namun dengan hentakan-
hentakan yang kuat, kadang-kadang teriakan yang mengejut, dan dorongan kemauan-
yang sangat kuat, maka pertempuran diantara merekapun berlangsung sengit.
Sekali-sekali Suratama memang nampak
terdesak. Tetapi dalam keadaan tertentu, jika Ragajaya melakukan kesalahan
sedikit saja. maka Suratamapun segera memanfaatkan kesempatan itu.
Di arena pertempuran yang lain, Ragajati harus berloncatan dan bahkan beberapa
kali berputaran seperti roda menghindari serangan Jalawaja yang memburunya.
Namun dengan melenting tinggi, serta sekali berputar diudara, Ragajati mampu
mengambil jarak dan mempersiapkan diri untuk menghadapi serangan-serangan
Jalawaja selanjutnya. Dengan demikian, maka pertempuranpun
semakin sengit. Mer menjadi eka masing-masing sudah mulai menyentuh tubuh lawan-lawan mereka. Serangan Ragajaya yang
mengejutkan telah mengenai dada Suratama sehingga Suratama terlempar beberap
ngka a la h dan bahkan jatuh berguling. Namun ketika Ragajaya memburunya, Suratama sudah melenting berdiri.
Bahkan dengan cepat Suratama meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah dada
Ragajaya. Ragajaya sempat mengelak sambil memiringkan tubuhnya. Tetapi tiba-tiba saja
Suratama merendah. Kakinya menyapu kaki Ragajaya sehingga Ragajaya terpelanting
jatuh. Namun dengan cepat pula Ragajaya bangkit, sehingga serangan kaki yang
terjulur ke lambungnya dapat dihindarinya.
Di lingkaran pertempuran yang lain, Jalawaja dan Ragajati berloncatan saling
menyerang. Keduanya memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang tinggi. Namun kecepatan
gerak Jalawaja kadang-kadang sulit diimbangi oleh Ragajati, sehingga serangan-
serangan Jalawaja kadang-kadang memaksa Ragajati meloncat mengambil jarak.
Namun Jalawaja tidak pernah memberinya
kesempatan. Jalawaja selalu memburunya, sehingga kadang-kadang Ragajati harus
berloncatan beberapa kali. Dan bahkan berputaran dengan cepatnya.
Semakin lama pertempuranpun menjadi semakin sengit.
Ragajaya semakin mendesak Suratama. Tetapi sebaliknya, Ragajati mengalami


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kesulitan menghadapi Jalawaja.
Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka di tubuh anak-anak muda itu
terdapat noda-noda kebiruan. Wajah-wajah mereka menjadi lebam.
Bahkan mata Suratama menjadi merah.
Perasaan sakit, nyeri dan pedih terasa di beberapa temp Be
at. berapa goresan luka ketika
mereka terjatuh menimpa batu-batu padas, terasa semakin pedih oleh keringatan
mereka yang mengalir seperti di peras dari tubuh.
Ririswari menjadi sangat cemas ketika ia melihat dari sudut bibir Suratama telah
mengalir darah. Apakah darah itu berasal dari bibirnya yang pecah atau giginya yang tanggal atau
darah itu berasal dari luka didalam.
Namun rasa-rasanya Suratama masih saja
bertempur dengan mengerahkan segenap
kemampuannya. Dalam keadaan yang semakin gawat, ketika tubuh mereka yang bertempur menjadi
semakin nyeri di mana-mana, serta keringat mereka bagaikan di peras dari
uh tub , maka terasa angin semilir berhembus semakin lama menjadi semakin kencang. Bahkan kemudian angin
itu mulai berputar menjadi angin pusaran.
Ririswari yang menjadi ketakutan bergeser menjauh. Angin yang berputar itu
bahkan terasa telah memanasi udara di siang hari yang terik.
Ketika angin pusaran itu melibat keempat anak muda yang sedang bertempur itu,
maka pandangan mata merekapun menjadi kabur.
Mereka terpaksa memejamkan mata mereka, karena angin pusaran itu telah membawa
dedaunan dan rumput-rumput kering serta debu yang kelabu berputaran, terangkat
terbang semakin tinggi. Dengan demikian, maka pertempuran itupun berhenti dengan s ndiri
e nya. Mereka masing-masing
telah memejamkan mata mereka agar mata
mereka tidak kemasukan debu, sehingga mereka tidak dapat bertempur dengan mata
terpejam. Perlahan-lahan angin pusaran itupun mulai mereda. Dedaunan dan rumput-rumput
kering mulai turun bertebaran. Debupun menjadi semakin mengendap dan terhambur
ditanah. t a Pada saa nak-anak muda itu membuka mata
mereka, dan bahkan bersiap untuk bertempur lagi, maka merekapun terkejut: Di
antara mereka berdiri seorang tua yang memandang mereka berempat berganti-
gantian. "Kakek " desis Jalawaja.
"Apa yang telah terjadi disini " " bertanya Ki Ajar Anggara yang tiba-tiba saja
telah muncul diantara mereka.
"Kedua orang itu berusaha menghalangi
tugasku, Ki Ajar. Ketika aku bertemu dengan Raden Ajeng Ririswari disini, mereka
tidak mau menyerahkannya "/berkata Ragajati.
"Benar begitu Jalawaja " " bertanya kakeknya.
"Ya, kek. Aku tidak mempercayai mereka. Jika merek
akukan a mel nya bagi kepentingan pribadi
mereka, maka aku akan kehilangan Ririswari. "
"Selain itu, Ki Ajar " berkata Suratama "Raden Ajeng Ririswari keberatan kami
serahkan kepada mereka berdua. "
Ki Ajar mengangguk-angguk. S men
e tara Ragajayapun berkata "Ki Ajar. Bukankah Suratama itu putera paman Tumenggung
Jayataruna yang telah memberontak " Sedangkan Jalawaja adalah putera Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda. Jika Jalawaja menganggap bahwa kematian ayahnya itu
karena perbuatan Kangjeng Adipati, maka akan dapat timbul malapetaka bagi Raden
Ajeng Ririswari. " "Ki Ajar " berkata Ririswari yang telah melangkah mendekat "kenapa Ragajati dan
Ragajaya tidak mau membawa kakang Jalawaja dan suratama bersamaku menghadap
ayahanda " " "Aku sudah mendapat perintah, bahwa tidak seorang-pun, saya ulangi, tidak
seorangpun yang boleh mengetahui di-mana Kangjeng Adipati itu sekarang berada. "
Ki Ajar tersenyum. Sementara Ririswari berkata
"Tetapi apakah aku juga tidak boleh tahu dimana ayah berada?"
"Bukankah sudah aku katakan Raden Ajeng, bahwa kami berdua akan membawa Raden
Ajeng kepada ayahanda " Tetapi tidak
n de gan kedua orang itu. " "Kalian telah dibelit oleh kesalah-pahaman. Aku mengerti sekarang, bahwa kalian
semuanya ti k da bersalah. Kalian semua benar dinilai dari sisi pandang kalian masing-masing. "
Keempat orang anak muda itu terdiam.
"Nah , sekarang semuanya ikut aku. Kita pergi menghadap Kangjeng Adipati di
Sendang Arum. Kau juga dapat ikut bersama kami Suratama.
k Tetapi au tidak boleh menemui ayahmu sebelum segala-galanya menjadi terang. Kau
tahu, kenapa aku telah membuat ketentuan seperti itu. "
"Aku mengerti Ki Ajar. Aku adalah anak
Tumenggung Jayataruna yang telah
memberontak." "Ya. Akupun nanti ingin tahu, kenapa kau dan Jalawaja tiba-tiba saja bersama-
sama telah membawa Raden Ajeng Ririswari. "
"Aku mempercayai Suratama, Ki Ajar " berkata Ririswari "meskipun ia putera paman
Tumenggung Jayat a arun , tetapi ia mempunyai sikap yang lain. "
"Sokurlah. Tetapi kita memang harus berhati-hati dalam keadaan yang gawat
seperti ini. " "Kita a ke kan pergi mana, eyang " " bertanya
Jalawaja. Ki Ajar Anggara tersenyum. Katanya "Marilah.
Ikut saja akn. Marilah R den
a Ajeng. " Keenam orang itupun kemudian telah bergerak menerus an
k perjalanan. Kaki Ririswari masih terasa sakit, se ing
h ga gadis itu berjalan sangat lamban.
Tetapi Ki Ajar Anggara tidak memaksanya berjalan lebih cepat lagi.
Dengan demikian, maka il itu iring-iringan kec bergerak maju dengan lamban. Sementara itu mataharipun telah melampaui puncak
langit, sehingga panasnya bagaikan membakar ubun-ubun.
Beberapa kali mereka harus berhenti. Bahkan kadang-kadang Raden Ajeng Ririswari
telah membenamkan kakinya di aliran parit di pinggir jalan. Direndamnya kakinya
untuk beberapa lama sebelum mereka harus melanjutkan perjalanan lagi.
Namun meskipun lambat, akhirnya merekapun menelusuri jalan setapak yang langsung
menuju ke pondok Ki Ajar Anggara.
"Apakah kita akan pulang eyang " "
"Ya." "Lalu bagaimana dengan Ririswari " Apakah Ririswari akan kita bawa pulang " "
"Ya, Jalawaja. "
"Bagaimana dengan paman Adipati " "
"Pamanmu Adipati Sendang Arum berada di rumah kita, Jalawaja. "
"Paman Adipati ada di rumah kita " "
"Ya." Wajah Jalawaja menjadi tegang. Sementara itu Ririswaripun bertanya "Kau masih
mendendam kepada ayah " Kau masih menganggap bahwa ayahkulah yang telah membunuh
ayahmu " " Jalawaja tidak menjawab. Namun Ki Ajar
Anggaralah yang menjawab "Kau tidak boleh berprasangka buruk sepert itu,
i Jalawaja. Tuduhan itu harus di buktikan. Seandainya terlanjur te jad r
i sesuatu dengan Kangjeng Adipati, tetapi ternyata Kangjeng Adipati tidak bersalah
" " Jalawaja tidak menjawab. Sementara Ki Ajarpun berkata pula "Seperti Ki
Tumenggung Jayataruna yang telah terlanjur memberontak dengan mempengaruhi
rakyat dan prajurit. Ki Tumenggung menghasut prajurit dan rakyat Sendang Arum
untuk menggulingkan kekuasaan Kangjeng Adipati dengan alasan, bahwa Kangjeng
Adipati telah berbuat sewenang-wenang. Kangjeng Adipati telah berbuat bengis
dengan membunuh saudara sepupunya sendiri. Jika benar Kangjeng Adipati membunuh Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda, apakah sebenarnya yang diinginkannya " "
Jalawaja tertunduk. "Dengar Jalawaja. Ada cerita yang sangat menarik yang dikatakan oleh Ki
Tumenggung Reksabawa. Salah satu alasan kenapa Kangjeng Adipati itu membunuh
Raden Tumenggung Wreda Reksayuda adalah karena Kangjeng Adipati menginginkan
jandanya. " "Ki Ajar " potong Ririswari "apakah itu benar " "
"Tentu tidak, Raden Ajeng. Jalawaja tentu tahu pasti, bahwa itu tidak benar.
Jalawaja tentu tahu, bahwa yang dikatakan oleh Rara Miranti itu adalah omong-
kosong. " "Kakang "desis Ririswari.
"Miranti adalah seorang pembohong, Riris. "
"Maksudmu bibi Reksayuda " "
"Ya. Bukankah kau juga mengenal Miranti sebelumnya " "
"Ya. Aku kenal Miranti. Tetapi Miranti sangat membenciku tanpa aku ketaihui
sebabnya, " -a Jalawaja mengangguk ngguk. Katanya "Eyang.
Justru setelah aku mendengar bahwa salah tu sa
tuduhan terhadap Kangjeng Adipati adalah keingin
Adipati an Kangjeng untuk memiliki jandanya, maka aku menjadi yakin, bahwa bukan Kangjeng Adipati yang sudah
membunuh ayahku itu. "
Ririswari menundukkan wajahnya. Diluar
sadarnya, tangannya mengusap titik-titik air yang mengembun di matanya. Bahkan
kemudian terdengar isaknya yang tertahan.
"Riris. Kenapa kau menangis " "
"Apakah ayahanda benar-benar sudah
melupakan ibunda. Tan h di maka
a m ibunda masih basah oleh embun dan air mata. Sekarang ayah sudah berniat untuk mencari
gantinya. Bahkan dengan membunuh uwaTumenggung Reksayuda."
"Tidak Riris. Itu tidak terjadi. Tuduhan itu dilontarkan oleh orang-orang yang
sengaja memfitnah ayahandamu."
"Jika tidak ada api, apakah akan ada asapnya ?"
"Bukan asap yang mengepul di udara. Tetapi debu yang sengaja di hambur-hamburkan
untuk menjelekkan nama ayahandamu. Dengan demikian maka mere
erus ka b aha meyakinkan para prajurit
dan rakyat Sendang Arum, agar mereka
mendukung pemberontakan yang dilakukan oleh Miranti yang telah berhasil mendapat
sebutan Raden Ayu Reksayuda."
"Kau y i akin tu, kakang " " bertanya Ririswari.
"Aku yakin, Riris."
"Ketika kakang yakin bahwa ayahandalah yang membunuh uwa Reksayuda, apakah
kakang juga sudah mendengar celoteh tentang niat ayah untuk mengambil janda uwa
Reksayuda ?" "Tidak. Aku belum mendengar. Jika aku sudah mendengar
ar itu, maka aku kab justru meyakini bahwa paman Adipati tidak membunuh ayah dengan cara apapun juga."
Ririswari mengusap matanya yang basah
dengan lengan bajunya. "Sudahlah. Marilah kita teruskan perjalanan ini"
berkata Ki Ajar Anggara ya pula . Lalu katan "semula hanya angger Ragajati dan angger Ragajaya sajalah yarjg mendapat perintah untuk
mencari Raden Ajeng Ririswari. Tetapi hatimu merasa tidak tenang. Karena itu,
akupun pergi menyusul mereka berdua. Untunglah bahwa aku tidak terlambat."
Namun ketika mereka meneruskan perjalanan, tiba-tiba Suratamapun berkata "Ki
Ajar. Apakah aku dapat meneruskan perjalanan ini ?"
"Kenapa "."
"Apakah aku pantas menghadap Kangjeng
Adipati apapun alasannya " Aku adalah anak seorang pemberontak yang bahkan telah
berhasil menyingkirkan Kangjeng Adipati dari dalem kadipaten."
"Yang memberontak adalah ayahmu, ngger.
Bukan kau." "Tetapi aku adalah anak Tumenggung yang memberontak itu, Ki Ajar. Biasanya orang
mengatakan, a b hwa air itu akan mengalir ke
tempat yang lebih rendah. Sehingga kejahatan yang dilakukan oleh orang tua, akan
menyentuh anaknya pula."
"Tidak seluruhnya benar, Suratama. Jika kau memang tidak berbuat k salahan
e sebagaimana dilakukan oleh ayahmu, kau tidak usah-merasa cemas menghadap Kangjeng Adipati."
"Kemarahan Kangjeng Adipati kepada ayah, akan dapat tertumpah kepadaku."
"Tidak. Jangan cemas. Kangjeng Adipati bukan seorang pendendam. Ia tidak akan
melimpahkan kesalahan seseorang kepada orang lain. Yang bersalah, adalah orang
yang bersalah. Yang tidak bersalah, tidak akan terpercik oleli kesalahan itu."
Suratama termangu-mangu sejenak. Sem
entara Jalawa-jalah yang telah tersentuh oleh kata-kata kakeknya itu. Kemarahan dan
dendamnya kepada Kangjeng Adipati ingin ditumpahkannya kepada anak perempuannya
yang tidak tahu apa-apa. Seandainya Ririswari tidak sejak sebelumnya telah menarik hatinya, seandainya
anak Kangjeng Adipati itu orang lain, seora
yang t ng gadis

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

idak cantik atau seorang remaja laki-laki, apakah ia benar-benar telah membunuhnya.
Jika itu terjadi maka Jalawaja telah bersalah ganda. Ia telah membunuh orang
yang tidak \tahu apa-apa dan sama sekali tidak bersalah. Kemudian ternyata
pula.bahwa Kangjeng Adipati itu sendiri tidak bersalah.
waja ingin berteri Rasa-rasanya Jala ak menyesali perbuatannya itu. Ia telah membuat Ririswari menderita. Kakinya terluka dan
hatinyapun telah terluka pula, bahkan agaknya terasa lebih parah daripada luka
di wadagnya. Tetapi Jalawaja masih menahan diri. Tetapi ia berjanji didalam hatinya, bahwa ia
harus minta maaf seribu kali kepada Ririswari dan kepada Kangjeng Adipati di
Sendang Arum. Namun agaknya Suratama masih saja ragu-ragu sehingga Ririswarilah yang berkata
"Suratama. Aku akan bersaksi, bahwa kau tidak bersalah. Bahwa kau berniat baik
ketika kau menyusulku. Ayah tentu akan mempercayainya."
"Apakah benar begitu Raden Ajeng?"
"Aku menjadi jaminan Suratama, Jika ayah akan menghukummu, maka akulah yang akan
menyandang hukuman itu."
"Meskipun itu tidak mungkin, tetapi aku percaya, bahwa Raden Ajeng berniat
menolongku. Terima kasih. Raden Ajeng."
"Nah. Marilah. Kangjeng Adipati tentu
menunggu dengan hati yang cemas."
Merekapun segera meneruskan perjalanan yang sudah tidak terlalu jauh lagi.
Meskipun demikian, mereka tidak dapat berjalan lebih cepat. Jalawaja telah
membuat sebuah tlumpah dari clumpring yang sudah tua yang sekedar dapat
mengurangi pedih kaki Ririswari.
Beberapa lama mereka saling berdiam diri. Di paling depan berjalan Ki Ajar
Anggara. Kemudian Jalawaja membimbing Ririswari yang berjalan tertatih-tatih.
Suratama dan yang di paling ujung adalah Ragajati dan Ragajaya.
Keduanyaa tidak mengerti, gejolak apa yang telah terjadi sebelum mereka datang
menemukan Ririswari yang berjalan bersama Jalawaja dan Suratama.
Hubungan merekapun di Sendang Arum tidak begitu akrab dengan Suratama dan
Jalawaja, meskipun umur-umur mereka hampir sebaya.
Ragajati dan Ragajaya memang tidak berada di tengah-tengah pergaulan para anak
Tumenggung, karena mereka berada di perguruan mereka.
Perjalanan mereka tidak akan lama lagi Mereka sudah berjalan di jalan yang
memanjat naik menuju ke pondok Ki Ajar Anggaran yang berada di lereng bukit.
Dalam pada itu, di Sendang Arum telah terjadi kesibukan. Kangjeng
ti Jayan Adipa egara dari Pucang Kembar telah datang dengan membawa prajurit segelar-sepapan.
Raden Ayu Reksayuda memang sudah
memberitahukan kepada para pemimpin yang berada di bawah pengaruhnya, bahwa ia
telah minta bantuan kepada Adipati Pucang Kembar untuk menegakkan kedudukannya.
Mereka hanya akan tinggal beberapa bulan saja di Sendang Arum.
Jika segala sesuatunya sudah pasti, maka Kangjeng Adipati Jayanegara akan segera
meninggalkan Sendang Arum.
Ketika rencana itu diberitahukan kepada Ki Tumenggung Jayataruna, Ki Tumenggung
Jayataruna sudah menyatakan keberatannya.
Tetapi Raden Ayu Reksayuda dan licin itu sempat mempengaruhi para pemimpin yang
lain, sehingga akhirnya, Ki Tumenggung Jayataruna tidak dapat menolaknya.
Karena itulah, maka ketika para prajurit itu benar-benar datang, maka Sendang
Arum sudah menyediakan beberapa buah rumah yang besar yang telah disiapkan untuk
menjadi barak para prajurit dari Pucang Kembar.
Setelah para prajurit itu mapan di barak mereka masing-masing, maka Raden Ayu
Reksayuda telah menerima Kangjeng Adipati Jayanegara di dalam kadipaten.
"Baru hari ini kami tiba, kangmbok" berkata Kangjeng Adipati Jayanegara
"Aku mengerti dimas. Sebagai seorang Adipati, dimas tentu sangat sibuk. Karena
itu, maka persoalan Sendang Arum adalah persoalan yang akan diperhatikan nanti-
nanti saja. Atau besok atau lusa, atau kapan saja jika sudah sempat."
"Bukan begitu, kangmbok. Bagiku Sedang Arum selalu mendapat perhatian yang
pertama." "Hanya kadipaten Sendang Arum?"
"Tentu tidak kangmbok. Tentu ada yang lain yang lebih menarik dari kadipaten
Sedang Arum ini sendiri."
"Benar begitu dimas ?"
"Jika tidak, p kena a aku harus bersusah payah
datang kemari dengan membawa prajurit segelar-sepapan ?"
"Terima kasih dimas. Tetapi setelah dimas menerima utusanku yang memberitahukan
bahwa kakang Tumenggung Jayataruna sudah mendesak untuk menagih janji."
"Tidak. Bukan karena itu. Sebelum utusan kangmbok datang, aku sudah berniat
untuk datang kemari."
"Dimas. Kakang Tumenggung Jayataruna perlu mendapat perhatian khusus. Ia sudah
semakin mendesak untuk menagih janji. Aku sudah menjadi semakin sulit memberikan
alasan-alasan untuk menolaknya."
Kangjeng Adipati tersenyum. Namun iapun bertanya "Tetapi bagaimana dengan para
pemimpin yang lain " Apakah kangmbok sudah berhasil menguasai mereka ?"
"Sudah. Aku sudah menguasai mereka Peran kakang Tumenggung sudah mulai
berkurang." "Jika demikian, kakang Tumenggung Jayataruna itu sudah bukan apa-apa lagi."
"Kalau ia memaksakan kehendaknya untuk
menagih janji ?" "Bukan persoalan yang besar, kangmbok. Aku akan menyelesaikannya"
"Benar dimas ?"
"Ya. Aku akan bertanggung-jawab."
"Baiklah dimas. Jika demikian, sebaiknya sekarang dimas beristirahat saja
dahulu. Nanti persoalan kakang Jayataruna akan kita bicarakan lagi."
"Istirahat " Maksud kangmbok " Bukankah sekarang kita sudah beristirahat ?"
"Beristirahatlah di taman, dimas. Tidak di sini.
Suasananya akan berbeda. Di keputren kadipaten Sendang Arum ada sebuah taman
yang meskipun tidak begitu luas, tetapi memberikan kesan yang khusus."
"Benar kangmbok " Sebaiknya dimas
membuktikannya." "Jika demikian, marilah kangmbok. Aku adalah seorang tamu. Jadi aku menurut saja
apa yang kangmbok kehendaki."
Raden Ayu Reksayuda tersenyum. Namun iapun kemudian melangkah mendahului pergi
ke taman keputren kadipaten Sendang Arum. Di belakangnya Kangjeng Adipati
Jayanegara berjalan mengikutinya. Namun mereka terkejut ketika mereka
memasuki taman keputren, mereka melihat Ki Tumenggung Jayataruna sudah berada di
taman. "Kakang Jayataruna ?"
"Ya Raden Ayu."
"Apa yang kakang lakukan di sini ?"
"Apa yang aku lakukan di sini " Satu pertanyaan yang aneh Raden Ayu."
"Kenapa aneh " "
"Bukankah aku berada di rumahku sendiri.
Kadipaten ini akan menjadi rumahku dan rumah Raden Ayu. Kelak aku tidak akan
memanggil Raden Ayu. Tetapi aku akan memanggil diajeng. Raden Ayu tidak akan
meipanggil aku kakang. Tetapi kangmas Adipati. "
"Apa maksudmu " "
"Maksudku " Kenapa Raden Ayu mengajukan beberapa pertanyaan yang aneh-aneh hari
ini " Bukankah kita sudah berjanji untuk hidup menjadi suami isteri jika segala
sesuatunya sudah selesai.
Bukankah sudah waktunya aku menagih janji Raden Ayu itu " "
"Tidak. Waktunya masih jauh, kakang Jalawaja dan Ririswari masih belum
tertangkap." "Keduanya tidak akan tertangkap. Raden Ayu sudah memerintahkan sekelo
prajurit un mpok tuk memburu mereka, membunuhnya dan
menguburnya di tempat yang jauh dan terpencil.
Dengan demikian, maka mereka tidak akan pernah tertangkap. Apakah dengan
demikian aku tidak akan pernah menagih janji" Apakah dengan demikian Raden Ayu
tidak akan pernah menjadi isteriku ?"
"Tidak kakang. Aku tetap pada janji yang sudah kita buat. Kita harus
menyelesaikan tugas kita.
Baru kita dapat memetik hasilnya. Jika tidak, maka para prajurit dan rakyat
Sendang Arum akan menilai perbuatan kita."
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya
"Raden Ayu menganggap aku seperti anak-anak saja. "
"Kenapa kakang berpendapat demikian ?"
"Tidak Raden Ayu. Aku tidak mau menunggu lebih lama lagi. Aku mau sekarang Raden
Ayu menjadi isteriku. Sekarang."
"Jangan keh kaka ilangan akal, ng." "Raden Ayu mengira bahwa aku tidak tahu apa yang Raden Ayu bicarakan dengan
kangjeng Adipati Jayanegara di ruang dalam " Aku mendengarkan Raden Ayu. Aku
mengambil kesimpulan, bahwa Raden Ayu akan
mengkhianatiku. "Kakang. Kenapa kakang berkata begitu ?"
"Raden Ayu tidak usah ingkar. "
"Sudahlah kangmbok. Biarlah kita berterus-terang "
"Berterus-terang tentang apa, dimas?"
"Tentang kakang Tumenggung Jayataruna."
"Terus terang bagaimana menurut dimas?"
"Kita tidak memerlukannya lagi."
Raden Ayu Reksayuda menarik nafas panjang.
Sementara itu dengan nada tinggi Ki Tumenggung Jayataruna bertanya "Apa maksud
Kanjeng Adipati?" "Kau sudah tidak diperlukan lagi, kakang.
Gegayuhan Raden Ayu Reksayuda sudah tercapai.
Ia sudah berhasil mengusir Kangjeng Adipati Sendang Arum dari Kadipaten berkat
bantuanmu. Ia juga sudah menguasai pastikan Kadipaten ini serta seluruh rakyatnya. Juga
berkat bantuanmu. Nah, sekarang Raden Ayu Reksayuda tidak memerlukan kau lagi."
"Jadi?" "Kau tahu sendiri apa yang akan terjadi pada dirimu. Kalau saja kau tidak
menagih janji, mungkin kami akan bersikap lain."
"Kami siapa au yang k maksud?" "Kami. Aku dan Raden Ayu Reksayuda."
"Kalian bukan lagi sosok manusia. Kalian adalah iblis yang paling terkutuk."
"Jangan menyesali nasibmu yang buruk, Ki Tumenggung Jayataruna."
"Kau kira aku akan meratap kemudian
menggantung diri karena aku diperlakukan seperti ini" Tidak. Aku harus
mendapatkan yang aku inginkan. Aku akan menjadi Adipati di Se g
ndan Arum. Raden Ayu Reksayuda akan menjadi
isteriku." "Bagaimana kau dapat menjadikan aku isterimu jika aku tidak mau."
"Tidak ada masalah. Maii atau tidak mau. Bagiku sama saja."
"Jika kau mampu memaksaku, maka yang akan kau dapatkan hanyalah wadagmu?"
"Aku memang hanya membutuhkan wadagmu.
Bukankah selama ini aku juga hanya mendapatkan wadagmu, bukan hatimu" Dalam
ketidak jujuranmu, maka kau bagiku bukan apa-apa lagi kecuali ujud kewadaganmu."
"Gila. Kau mengigau."
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa. Katanya
"Kau takut Kangjeng Adipati kecewa karena kau bukan lagi seorang perempuan yang
bersih?" "Omong kosong."
"Kau tawarkan dirimu kepada Kangjeng Adipati di Sendang Arum dengan memancing
belas kasihannya. Berurai air mata mohon ampun bagi Ki Tumenggung Reksayuda. Tetapi
setiap kau menghadap, kau kenakan pakaianmu yang terbaik, Kau rias wajahmu
sampai setebal topeng kayu. Kau bentuk bibirmu seperti bibir Candrakirana. Kau
bentuk alismu seperti bulan tanggal pertama."
"Cukup, cukup " teriak Raden Ayu Reksayuda
"Kau pakai tubuhmu sebagai tumbal untuk mencapai keinginanmu. Jika saja kakang
Tumenggung Reksabawa seorang Tumenggung yang rakus seperti aku, maka kaupun
tentu telah menyuapnya dengan kepalsuanmu itu. Kau tentu berjanji untuk menjadi
isterinya kelak jika Kangjeng Adipati sudah terusir dari Kadipaten. Tetapi aku
kagum akan kebersihan hati Kakang Tumenggung Reksabawa."
"Diam. Diam kau. Kau bohong. Semuanya
omong koso ahw ng. Aku akui, b a aku memang bukan perawan karena aku adalah isteri kangmas Tumenggung Reksayuda. Tetapi aku
bukan perempuan sekotor yang kau katakap itu."
Ki Tumenggung Jayataruna tertawa semakin keras. Lalu katanya kepada Kangjeng
Adipati Jayanegara "Nah, Kangjeng Adipati. Itulah perempuan yang bernama Raden
Ayu Reksayuda. Jika kau pernah mendengar dongeng Yuyu Kakang dan para Kleting, maka Raden Ayu
Reksayuda adalah salah seorang diantara para Kletirtg itu.
Tetapi bukan Kleting Kuning. Meskipun cantik, tetapi ia adalah sisa si Yuyu
Kangkang." "Diam kau Jayataruna " bentak Kangjeng Adipati
"kau kira aku percaya kepada celotehmu itu" Kau mencoba untuk memfitnah kangmbok
Reksayuda karena kemauanmu tidak diturutinya. Itu adalah kebiasaan orang-orang
licik yang tidak menghormati harga dirinya sendiri."
"Apa saja yang kau katakan , tidak akan dapat menghapus kenyataan yang sudah
terjadi." "Diamlah. Sebentar lagi , kau akan disingkirkan dari taman keputren kadipaten
Sendang Arum ini." "Siapa yang akan menyingkirkan aku. Aku adalah Jayataruna, Adipati yang baru di
Sendangarum . Tidak ada orang yang memiliki kemampuan melebihi kemampuanku."
"Kau sudah menjadi gila. Tetapi bagiku kau sama sekali tidak berbahaya."
"Kau mau apa Adipati Pucang kembar. Aku berada di tanahku sendiri. Di bumiku
sendiri dan di rumahku sendiri."
"Aku akan membunuhmu. Kau sudah tidak
diperlukan lagi disini. Kau harus disingkirkan, agar kau tidak mengganggu
perjalanan kami untuk seterusnya."
"Adipati Pucang Kembar tidak dapat membuat jantungku berdebar-debar. Jika kau
tidak mati di taman ini karena kau berhasil melarikan diri, maka aku akan
memburumu. Aku akan menjadikan Pucang Kembar karang abang."
"Kau bermimpi Jayataruna. Bersiaplah. Aku akan
membunuhmu." Ketika Kangjeng Adipati bergeser mendekat, maka Ki Tumenggung Jayatarunapun
segera mempersiapkan dirinya pula.
Kangjeng Adipati Pucang Kembar yang sangat marah itupun segera menyerangnya.
Dengan garangnya kangjeng Adipati melanda Ki


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tumenggung Jayataruna seperti angin prahara.
Tetapi Ki Tumenggung sudah siap sepenuhnya .
Karena itu maka iapun mampu menghindari serangan itu. Bahkan dengan cepat, Ki
Tumenggung Jayatarunapun telah membalas menyerang.
Dengan demikian maka pertempuran di taman keputren itu dengan cepat menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Kangjeng Adipati adalah seorang Adipati yang masih terhitung muda. Tetapi dengan berbagai laku, Kangjeng
Adipati telah menguasai ilmu yang tinggi.
Namun Ki Tumenggung Jayatarunapun memiliki kemampuan yang tinggi. Ia ditempa
oleh pengalaman yang berat dalam hidupnya. Semasa remajanya, dan masa-masa mudanya Ki
Tumenggung dibentuk dalam suasana yang keras dan berat. Ki Tumenggung
Reksabawalah yang telah mengentaskannya dari dunianya yang kelam dan tidak
berpengharapan. Oleh Ki Tumenggung Reksabawa, kehidupan Jayataruna mulai
terangkat. Jayataruna mulai melihat peletik-peletik sinar yang.
menjanjikan masa depan yang lebih baik. Sehingga akhirnya Ki Jayataruna itupun
menjadi seorang Tumenggung.
Deng , ma an demikian ka perjuangan hidupnya yang berat telah mewarnai kemampuannya.
Dengan garang pula Ki Tumenggung Jayataruna mengimbangi serangan-serangan
Kangjeng Adipati yang sedang marah itu.
Keduanyapun saling menyerang dan bertahan.
Sekali-sekali kaki Kangjeng Adipati terjulur menggapai tubuh Ki Tumenggung.
Namun kemudian, Ki Tumenggunglah yang meloncat sambil menjulurkan tangannya ke arah
dada. Bahkan sekali-sekali telah terjadi benturan diantara dua kekuatan yang besar
itu. Keduanyapun telah bergetar dan terdorong surut beberapa langkah.
Kangjeng Adipati itu tergetar beberapa langkah surut ketika Ki Tumenggung
Jayataruna berhasil mengenai dadanya. Tangannya yang terjulur lurus, berhasil
menerobos pertahanannya, sehingga terasa seakan-akan segumpal batu padas telah
jatuh menimpa dadanya. Namun Ka gjeng A n dipati dengan cepat memperbaiki kedudukannya. Ketika Tumenggung Jayataruna meloncat menyerang, maka
dengan cepat kaki Kangjeng Tumenggung itu terjulur lurus mengenai lambungnya.
Ki Tumenggung Jayataruna terdorong beberapa langkah surut. Namun Ki Tumenggung
masih tetap mampu mempertahankan keseimbangannya,
sehingga ia tidak jatuh terlentang.
Pertempuranpun kemudian menjadi semakin sengit. Keduanya telah meningkatkan ilmu
mereka sampai ke puncak. Namun kemudian ternyata bahwa Kangjeng
Adipati Jayanegara dari Pucang Kembar merasa sulit untuk mengimbangi ilmu Ki
Tumenggung Jayataruna, sehingga dengan demikian, maka Kangjeng Adipatipun setiap
kali berloncatan surut. Agaknya Raden Ayu Reksayuda mampu melihat kesulitan Kangjeng Adipati. Karena
itu, maka iapun segera meninggalkan taman keputren untuk mencari Ki Tumenggung
Prangwandawa. Seorang Senapati dari Pucang Kembar yang memimpin prajurit segelar
sepapan dari Pucang Kembar yang datang bersama Kangjeng Adipati.
Agaknya Ki Tumenggung Prangwandawa tidak tahu apa yang terjadi di taman
keputren. Karena itu, ketika berlari-lari kecil Raden Ayu Reksayuda
menghampirinya di pringgitan, maka Ki
Tumenggung Prangwandawa itu terkejut.
"Dimana Kangjeng Adipati sekarang " "
"Di Taman. " "Apakah Raden Ayu sengaja menjebaknya " "
ku menjeba "Jika a knya, maka aku tidak akan
memanggilmu. " Ki Tumenggung Prangwadawa itupun berlari menuju ke taman keputren.
Di Taman, Kangjeng Adipati benar-benar sudah berada dalam kesulitan. Karena itu,
maka Kangjeng Adipatipun segera menarik kerisnya.
"Kau akan mati oleh pusakaku, Jayataruna. Jika pusakaku sudah keluar dari
wrangkanya, maka keris ini harus meneguk darah. Kali ini darahmulah yang akan
diminumnya. " Namun Ki Tumenlggung Jayatarunapun segera menarik kerisnya pula sambil beirkata
"Jangan sesumbar, Jayanegara. Kau tidak dapat
mengingkari kenyataan, bahwa kau tidak dapat mengalahkan aku. "
"Tetapi kerisku yang haus ini akan minum darahmu. "
"Kau lihat, pamor kerisku yang cemerlang.
Kerismu bukan apa-apa dibanding dengan kerisku, Jayanegara. Apalagi orang yang
memegangnya memiliki kelebihan. Maka jangan menyesal bahwa kau datang ke Sendang
Arum sekedar ingin di kubur. Mungkin Raden Ayu Reksayuda akan menangisimu.
Tetapi jika mayatmu sudah ditimbun dengan tanah, maka Raden Ayu sudah akan dapat
tertawa lagi. Ia sudah melupakanmu, karena ia akan selalu bersamaku. "
an kau J "Set ayataruna " terdengar suara di pintu
butulan. Ketika mereka berpaling, maka dilihatnya Ki Tumenggung Prangwandawa berdiri
tegak di pintu sambil bertolak pinggang.
"Kau sadari, apa yang kau lakukan Jayataruna ?"
"Kemarilah pengecut. Kau hanya seorang abdi.
Kau tidak perlu mengetahui persoalan apa yang telah terjadi. Tetapi jika kau
akan menjilat telapak kaki bendaramu, marilah. Keroyok aku. "
"Anak demit. Kau kira kau ini siapa he " "
"Aku Adipati Sendang Arum. Suami Raden Ayu Reksayuda. Kelak kau harus
memanggilnya Gusti Putri. Bukan hanya sekedar Raden Ayu. "
"Kau masih saja mengigau. Apa sebaiknya yang harus hamba lakukan, Kangjeng. "
"Kita bunuh orang gila ini. "
"Marilah. Datanglah bersama-sama. Aku akan melumatkan kalian disini. "
Merekapun segera terlibat dalam pertempuran yang sengit. Ki Tumenggung
Jayataruna seorang diri melawan Kangjeng Adipati Pucang Kembar dan Senapatinya
yang terpercaya. Ki Tumenggung Prangwandawa.
Namun betapa tingginya ilmu Ki Tumenggung Jayataruna, ternyata ia tidak mampu
mengimbangi kekuatan kedua orang lawannya. Sehingga sekali-sekali Ki Jayataruna
harus berloncatan mengambil jarak.
Namun Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Prangwandawa tidak banyak memberinya
kesempatan. Setiap kali mereka segera memburu dan menyerarig seperti banjir
bandang. Ternyata bahwa Ki Tumenggung Jayataruna benar-benar terdesak. Ki Tumenggung
Prangwandawapun telah menarik kerisnya pula, sehingga tiga buah keris yang hitam
berkilauan dengan suasana warna yang berbeda, saling menyambar di udara.
Ternyata keris Kangjeng Adipati mampu
menembus pertahanan Ki Tumenggung Jayataruna, sehingga ujungnya telah menyentuh
kulitnya, sehingga segores luka telah menganga.
Ki Tumenggung Jayataruna segera menyadari, bahwa ia tidak akan mampu
mempertahankan dirinya melawan kedua orang itu. Apalagi tubuhnya telah terluka.
Ia tahu bahwa keris Kangjeng Adipati itu tentu mengandung bisa yang keras.
Karena itu ia harus mempunyai waktu untuk mengobati lukanya itu sebelum bisanya
menjalar kemana-mana. Karena itu, maka Ki Tumenggung yang tidak dapat ingkar dari kenyataan itu
memilih untuk meninggalkan arena pertempuran.
Dengan tangkasnya Ki Tumenggung
Jayatarunapun segera berlari ke pintu butulan.
Meloncat ke longkangan dan berlari melalui pintu seketeng, turun ke tempat
kudanya di tambatkan. Dengan sigapnya Ki Tumenggung Jayatarunapun telah meloncat ke punggung kudanya.
Sesaat kemudian, maka keduanyapun berlari sepert
r han i di keja tu meninggalkan halaman dalem kadipaten. Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung
Prangwandawa mencoba untuk mengejarnya lewat pintu seketheng, sementara Raden
Ayu Reksayuda berlari ke pendapa dan berteriak "Tangkap Ki Tumenggung
Jayataruna. Jangan biarkan orang itu melarikan diri."
Demang Ngampel dan Demang Wangon
terkejut. Serentak mereka berdiri dan bertanya
"Apa yang telah terjadi ?"
"Kalian lih enggung Jayata at Ki Tum runa melarikan diri?" "Melarikan diri ?" bertanya Ki Demang Wangon.
"Ya. Melarikan diri. Siapkan sekelompok orang-orang kalian. Kejar dan tangkap
hidup atau mati." "Kenapa Ki Tumenggung Jayataruna harus di tangkap ?"
"Ki Tumenggung Jayataruna ternyata ular berkepala dua. Ia sangat berbahaya."
Kedua orang Demang masih termangu-mangu ketika Kangjeng Adipati Jayanegara
mendekati mereka dan berkata "Tidak perlu."
"tetapi ia sangat berbahaya, dimas " sahut Raden Ayu Reksayuda.
"Tidak seorangpun yang akan dapat bertahan hidup jika kulitnya tergores oleh
ujung kerisku seperti Ki Tumenggung Jayataruna. Ia tentu akan segera mati. Bisa
df ujung kerisku adalah bisa yang sangat tajam."
"Tetapi, jika ia mampu mendapatkan obatnya ?"
"Tidak. Sulit sekali untuk mendapatkan
penawarnya. Sebelum ia menemukan seseorang yang dapat mengobatinya, ia tentu
sudah mati. Seandainya Ki Tumenggung itu pulang, maka ia hanya akan mendapat kesempatan
sekejap untuk minta diri kepada Nyi Tumenggung."
Raden Ayu Reksayuda mengangguk-angguk.
Sementara itu Ki Demang Ngampel bertanya "Apa yang se
ya benarn telah dilakukan oleh Ki Tumenggung Jayataruna ?"
"Ceritanya panjang, Ki Demang " jawab Raden Ayu Reksayuda "besok aku akan
memberikan penjelasan selengkapnya. Tetapi untuk sementara ini aku hanya dapat
mengatakan, bahwa Ki Tumenggung Jayataruna telah berjuang tidak bagi kepentingan
kalian. Tidak bagi kepentingan rakyat Sendang Arum yang haus akan keadilan dan
kebenaran. Tetapi ia berjuang bagi pamrih pribadinya. Pada saat kita berada pada
puncak perjuangannya, Ki Tumenggung Jayataruna menjadi seperti orang gila. Aku
dipaksanya untuk menuruti keinginannya. Untunglah Kangjeng Adipati Jayanegara di
Pucang Kembar-dan Ki Tumenggung Prangwandawa melihat
kekasarannya, sehingga mereka telah
menyelamatkan aku." Ki Demang Wangon dan Ki Demang Ngampel
mengangguk-angguk kecil. Namun mereka
nampaknya masih agak ragu terhadap keterangan Raden Ayu Reksayuda itu.
Tetapi mereka tidak bertanya lebih jauh. Apalagi Raden Ayu Reksayuda serta
Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Prangwandawa telah masuk lagi ke ruang dalam
dalem kadipaten. "Jangan hiraukan lagi Jayataruna, kangmbok "
berkata Adipati Jayanegara kemudian. .
"Baiklah, dimas. Aku percaya kepada dimas"
"Ia tidak akan mencapai pintu gerbang kota, Raden Ayu" berkata Ki Tumenggung
Prangwandawa. Raden Ayu Reksayuda itu mengangguk-angguk.
Dalam pada itu, Ki Tumenggung Jayataruna melarikan kudanya semakin cepat. Semula
ia ingin pulang. Tetapi niat itu diurungkan. Para prajurit di dalem kadipaten
agaknya tentu akan mencarinya di rumahnya.
Karena itu, maka Ki Tumenggungpun melarikan kudanya keluar pintu gerbang kota.
Sebenarnyalah bahwa racun di tubuhnya sudah mulai menjalar bersama dengan
darahnya. Ketika ia sampai di sebuah bulak yang sepi, Ki Tumenggung menyempatkan
diri berhenti sejenak. Diambilnya obat penawar racun yang selalu dibawanya. Dengan hati-hati obat
itupun ditaburkannya diatas lukanya.
Tetapi tidak terasa akibat apa-apa pada luka itu.
Tidak ada darah yang kental yang mengalir didesak oleh darah segar didalam
tubuhnya. Bahkan di beberapa bagian tubuhnya telah mulai nampak noda-noda yang
berwarna kebiru-biruan. "Gila Adipati Jayanegara. Obat penawar racunku tidak dapat bekerja melawan racun
di kerisnya. Tentu bukan warangan biasa. Tentu ada reramuan lain yang dicampur pada
warangannya itu." Ki Tumenggung Jayatarunapun kemudian
kehilangan harapan untuk tetap hidup. Ia akan mati. Tetapi ia tidak mau mati
diinggir jalan tanpa di ketahui oleh siapapun juga.
Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun segera meloncat kembali ke punggung
kudanya. Melarikan kudanya seperti anak panah yang lepas dari busurnya.
"Kemana ?" pertanyaan itulah yang terbesit di hatinya.
Namun akhirnya Ki Tumenggung itu berkata kepada diri sendiri "Tidak ada tujuan
yang mapan. Sebaiknya aku menemui siapa saja yang dapat aku ajak bicara tentang peristiwa
yang sebenarnya terjadi di Sendang Arum."
Ketika tiba-tiba terbersit di kepalanya nama Ki Ajar Anggara, kakek Jalawaja, Ki
Tumenggung tidak sempat berpikir lebih panjang lagi. Iapun segera melarikan
kudany en a m uju ke lereng bukit. Ke rumah Ki Ajar Anggara. Ia pernah datang ke ruijiah itu beberapa kali.
Terakhir ia menjemput Jalawaja di saat Raden Tumenggung Reksayuda terbunuh.
Tetapi Jalawaja ternyata tidak mau datang karena keberadaan Raden Ayu Reksayuda
di rumahnya. Ki Tumenggung Jayataruna tidak tahu persoalan apa yang ada diantara Raden
Jalawaja dengan Raden Ayu Reksayuda. Yang diketahuinya Raden Jalawaja tidak
setuju jika ayahnya menikah lagi dengan perempuan yang masih jauh lebih muda
daripadanya. "Aku akan mengatakan kepada angger Jalawaja"
berkata Ki Tumenggung Jayataruna didalam hatinya.
Namun dalam pada itu, tubuhnya semakin lama terasa menjadi semakin lemah. Racun
di lukanya benar-benar telah menyebar di seluruh tubuhnya.
Hanya karena daya tahannya yang luar biasa, serta-obat penawar racunnya yang
sedikit menghambat, maka Ki Tumenggung Jayataruna masih tetap hidup betapapun ia
menjadi sangat lemah. Tetapi kudanya masih berlari dengan cepat.
Ki Tumenggung Jayataruna akhirnya menyadari sepenuhnya, bahwa ia tidak akan
mampu melawan racun di ujung keris Kangjeng Adipati. Iapun tidak dapat berharap
banyak kepada Ki Ajar Anggara.
Mungkin Ki Ajar Anggara mempunyai obat penawar racun. Tetapi mungkin penawar
racunnya itupun tidak akan berarti apa-apa.


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meskipun demikian Ki Tumenggung Jayataruna ingin sampai ke pondok Ki Ajar untuk
memberikan beberapa pesan.
Karena itu dipaksanya tubuhnya yang menjadi semakin lemah itu untuk tetap
berpacu di punggung kudanya.
Tetapi semakin lama, Ki Tumenggung merasa dirinya menjadi semakin lemah, bahkan
Ki Tumenggung sudah mulai bimbang, apakah ia akan dapat sampai ke pondok kecil
tempat tinggal Ki Ajar Anggara. Bahkan apakah mungkin ia akan dapat bertemu
dengan Jalawaja, meskipun ketika sekelompok prajurit datang mencarinya di pondok
kakeknya, Jalawaja itu tidak ada.
Pengharapan Ki Tumenggung Jayataruna timbul lagi ketika kudanya mulai memanjat
tebing di lereng bukit. Pondok itu sudah tidak jauh lagi.
Rasa-rasanya sudah berada di jangkauan
tangannya yang lemah. Tetapi tubuh Ki tumenggung menjadi semakin lemah.. Bahkan Ki Tumenggung itupun
kemudian telah menelungkup di leher kudanya. Ki
Tumenggung suda ngan tenaganya h kehila sama sekali, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika kudanya itu berlari
semakin lambat dan akhirnya berhenti. Rerumputan segar yang tumbuh di pinggir
jalan sempit agaknya lebih menarik bagi kudanya dari pada harus berlelah-lelah
berlari di jalan setapak di lereng bukit.
Sementara itu, sebuah iring-iringan sedang berjalan menuju ke pondok di lereng
bukit itu pula. Ki Ajar Anggara, Raden Jalawaja yang membimbing Raden Ajeng Ririswari, Suratama,
Ragajati dan Ragajaya. Ketika mereka muncul dari balik sebuah gumuk kecil, Ki Ajar Anggara tertegun. Di
lorong kecil, agak di bawah, nampak seekor kuda dengan seorang penunggangnya
yang menelungkup di leher kudanya itu.
"Kau lihat kuda itu, Jalawaja" - bertanya Ki Ajar.
"Ya, eyang." "Nampaknya ada yang tidak wajar.
Penunggangnya tertelungkup di leher kuda itu."
"Aku akan melihatnya."
"Hati-hatilah. Jika itu sebuah jebakan, maka kau harus dengan cepat menghindar."
"Ya. eyang." Namun ketika Jalawaja akan menuruni tebing, Suratama berkat "Aku akan
a menyertaimu, Jalawaja." "Marilah. Tetapi berhati-hatilah." duanyapun Ke
kemudian meluncur turun. "Kau disini saja Raden
g" ber Ajen kata Ki Ajar Anggara ketika ia Ririswari bergeser melihat menepi ke bi tebing bir . Jalawaja dan Suratama dengan hati-hati
mendekati orang yang menelungkup itu. Rasa-rasanya orang itu tidak bergerak.
Bahkan nafasnya mulai tidak teratur.
"Agaknya orang itu terluka - desis Jalawaja.
"Ki Sanak. Ki Sanak" panggil Jalawaja.
Tetapi orang itu tidak menjawab. Yang
terdengar adalah erang yang tertahan.
Jalawajapun mendekati orang itu. Ketika ia mencoba melihat wajahnya, maka tiba-
tiba saja ia berkata " Suratama. Paman Tumenggung
Jayataruna." Suratama terkejut. Dengan serta-merta ia meloncat mendekati tu
itu dan buh memperhatikan wajahnya yang sebagian tersembunyi di leher kudanya.
"Ayah. Ayah " Suratama hampir berteriak.
Dengan serta - merta dibantu oleh Jalawaja ia mengangkat tubuh itu dari punggung
kudanya, meletakkannya ditanah, sedangkan kepala Ki Tumenggung itu berada di
pangkuannya. "Ayah. Ayah " Suratama mengguncang-guncang tubuh ayahnya itu.
Ki Tumenggung membuka matanya. Dengan
suara lirih iapun bertanya " Kau siapa?"
"Aku Suratama ayah."
"Suratama" Kau Suratama?"
"Ya, ayah." Perlahan-lahan Ki Tumenggung membuka
matanya dan mencoba untuk memandang anak muda yang menyangga kepalanya.
"Apakah aku sudah mati dan nyawaku sempat menemui anakku" " desis Ki Tumenggung
Jayataruna. "Tidak. Ayah masih tetap hidup."
"Bagaimana mungkin aku dapat menemuimu
Suratama. Aku sekarang berada di mana?"
Sementara itu, mereka yang berada diatas tebingpun telah turun pula. Dengan
hati-hati Ragajati dan Ragajaya membantu Raden Ajeng Ririswari yang ikut turun
mendekati Ki Tumenggung Jayataruna. "Ki Tumenggung " desis Ki Ajar Anggara di telinga Ki Tumenggung Jayataruna.
"Kau siapa" " bertanya Ki Tumenggung
lirih. "Aku Ajar Anggara, Ki Tumenggung."
"Ki Ajar Anggara " Ki Tumenggung berusaha untuk bangkit.
Tetapi Ki Ajar Anggara menahannya "jangan bangkit Ki Tumenggung. Nampaknya Ki
Tumenggung telah terluka."
"Aku terluka oleh ujun keris Kangj
g eng Adipati Jayanegara, Ki Ajar. Keris itu beracun tajam " suara Ki Tumenggung perlahan dan
patah-patah. Ki Ajar Anggarapun segera melihat luka Ki Tumenggung. Nampaknya racun diujung
senjata yang melukai Ki Tumenggung itu sangat tajam. Ki Ajar juga melihat, bahwa
luka itu sudah diobati. Tetapi obat itu tidak mampu menghisap racun yang sudah terlanjur berada didalam
darah Ki Tumenggung. Ki Ajarpun kemudian telah mengambil sebuah bumbung kecil. Ditaburkannya serbuk
g yan berwarna gelap di luka di tubuh Ki Tumenggung Jayataruna.
Ki Tumenggung menggeliat. Ia merasa pedih di lukanya. Namun racun yang telah
menjalar di tubuhnya, bahkan sudah menimbulkan noda kebiru-biruan di beberapa
tempat itu sangat sulit ditawarkan.
"Ki Tumenggung" berkata Ki Ajar " tempat ini tida
sudah- k terlalu jauh dari rumahku. Marilah. Aku persilahkan Ki Tumenggung pergi ke
rumahku. Mudah-mudahan ada cara untuk melawan racun di tubuh Ki Tumenggung."
"Tidak ada gunanya, Ki Ajar. Aku sudah tidak kuat lagi."
rusa "Kita be ha Ki Tumenggung." "Aku akan mati."
"Bukankah kita wenang berusaha meskipun segala sesuatunya akan kita kembalikan
kepada Kuasa Yang Maha Agung."
Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi
nafasnya menjadi semakin terengah-engah.
ggara tel Ki Ajar An ah memasukkan sebutir obat
disela-sela bibirnya. Obat yang akan dapat membantu daya tahan tubuh Ki
Tumenggung Jayataruna. Suratama, dibantu oleh Jalawaja, Ragajati dan Ragajaya kemudian mengangkat tubuh
Ki Tumenggung itu ke atas punggung kuda.
Dikembalikannya Ki Tumenggung seperti keadaan sebelumnya. Menelungkup diatas
leher kudanya. "Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan.
Rumahku tinggal beberapa langkah lagi.
Tetapi mereka tidak memanjat tebing yang tadi mereka turuni. Mereka memilih
jalan yang lebih landai. Selain Ririswari yang akan mengalami kesulitan, maka
kuda yang mendukung Ki Tumenggung itupun akan mengalami kesulitan pula.
Perlahan-lahan mereka bergerak menuju ke pondok Ki Ajar Anggara.
Jarak yang pendek itu terpaksa ditempuh dalam waktu yang terhitung panjang.
Namun akhirnya mereka sampai ke regol halaman pondok Ki Ajar Anggara.
Ki Tumenggung Reksabawa terkejut melihat iring-iringan itu. Disambarnya tombak
pendeknya sambil berdesis di muka pintu "Buka pintu butulan di belakang
Kangjeng." "Ada apa ?" "Beberapa orang mendatangi tempat ini."
Kangjeng Adipati masih belum beranjak dari tempatnya.
Bahkan kemudian Kangjeng Adipati itupun ikut melihat keluar lewat pintu depan
pondok Ki Ajar Anggara. Sebelum Kangjeng Adipati melihat yang lain, yang pertama-tama dilihatnya adalah
anak perempuannya, Ririswari yang berjalan agak timpang, dengan alas kaki
clumpring yang sudah kering.
Tanpa berkata sepatah katapu
angjen n K g Adipati telah meloncat menyongsong anak perempuannya ku.
"Riris. Riris " panggil Kangjeng Adipati.
Ririspun melihat ayahnya turun dari tangga pondok Ki Ajar Anggara. Iapun segera
berlari mendapatkan ayahnya.
Keduanya berpelukan. Riris tidak dapat
menahan air matanya yang mengalir membasahi baju ayahandanya.
"Kau tidak apa-apa Riris?" "Tidak ayah " "Sokurlah," "Kakang Jalawaja dan Suratama telah menyelamatkan hamba. Kemudian datang pula Ragajati dan Ragajaya yang juga berniat menyelamatkan hamba. Terakhir adalah Ki Aajar Anggara sendiri yang menyusul
Ragajati dan Ragajaya."
Sambil melepaskan Riris. Kangjeng Adipatipun bertanya " Siapa orang itu dan
kenapa ?" "Ayah, Kangjeng. Ayah, Tumenggung
Jayataruna, " Sur l atama ah yang menyahut "Kakang Tumenggung Jayataruna. Kenapa " "
"Kangjeng " berkata Ki Ajar Anggara menyela
"jika berkenan, aku akan membawa Ki
Tumenggung Jayataruna dan membaringkannya di serambi.
"Silahkan. Ki Ajar. Silahkan. "
Sejenak kemudian, Suratania, Jalawaja, Ragajati dan Ragajaya pun mengusung tubuh
Ki Tumenggung Jayataruna dan membaringkannya di atas tikar putih di serambi.
"Kakang Jayataruna itu kenapa
rt ?" be anya Kangjeng Adipati. "Ki Tumenggung " desis Ki Ajar Anggara " Ki Tumenggung sekarang sedang menghadap
Kangjeng Adipati. " "Kangjeng Adipati siapa " Kangjeng Adipati Jayanegara berniat membunuhku."
"Bukan. Bukan Kangjeng Adipati Jayanegara.
Tetapi Kangjeng Adipati Wirakusumadari Sendang Arum."
"O. Kangjeng Adipati."
"Ya. Ini aku kakang."
"Hamba mohon ampun, Kangjeng. Hamba
sudah melangkah ke jalan yang sesat. Hamba menuruti saja keinginan Raden Ayu
Reksayuda, sehingga hamba telah diperalatnya tanpa dapat menghindarkan diri.'"
"Apa yang sudah terjadi, kakang ?"
"Kangjeng Adipati Jayanegara telah datang ke Sendang Arum dengan prajurit
segelar sepapan." Jadi Pucang Kembar telah menyerang Sendang Arum dengan memanfaatkan saat-saat
Sendang Arum sedang dilanda kekisruhan?"
"Tidak, Kangjeng. Nampaknya antara Kangjeng Adipati Pucang Kembar dan Raden Ayu
Reksayuda telah ada kesepakatan. Bahkan agaknya mereka akan mengikat hubungan
antara Pucang Kembar dan Sendang Arum dengan tali perkawinan.
"Maksudmu ?" "Antara Kangjeng Adipati Jayanegara dengan Raden Ayu Reksayuda."
Kangjeng Adipati Wirakusuma menggeretakkan giginya. Namun kemudian iapun
bertanya " Lalu apa yang terjadi atas dirimu?"
Suara Ki Tumenggung Jayataru'na njenjadi semakin rendah dan perlahan " Hamba
berselisih dengan Kangjeng Adipati Pucang Kembar di keputren. Ketika hamba
mendesak dan bahkan hampir menguasai medan, Ki Tumenggung Prang-wadana, Senapati
dari Pucang Kembar yang aku kira seorang yang baik hati sebagaimana hamba temui
di Pucang Kembar, telah ikut melibatkan diri, sehingga hamba harus bertempur
melawan dua orang lawan."
"Dan kau terluka, kakang ?"
"Hamba Kangjeng. Kangjeng Adipati Jayanegara melukai hamba dengan kerisnya yang
beracun." "Biarlah Ki Ajar membantumu, mengatasi racun itu, kakang."
"Tidak, Kangjeng. Tidak ada obat yang dapat menolong hamba. Racun itu kuat
sekalr." Kangjeng Adipati itu memandang Ki Ajar
Anggara. Namun Ki Ajar itupun berkata " Aku sudah memberikan obat terbaik,
Kangjeng. Tetapi agaknya racun itu sulit dicarikan penawarnya. Yang kemudian
dapat aku lakukan adalah memberikan reramuan untuk meningkatkan daya tahan
tubuhnya." "Apakah racun di dalam tubuhn a itu tida y
k dapat diatasi ?" Ki Ajar Anggara menarik napas panjang. T ta e pi
ia tidak menjawab. "Sudahlah Kangjeng. Hamba tidak akan dapat bertahan lama. Obat yang diberikan
oleh Ki ajar Anggara memberikan kesempatan kepada hamba untuk masih dapat
bertemu dengan Kangjeng Adipati Ki Tumenggung itu menarik nafas, panjang.
Lalu katanya pula Kangjeng. Hamba ingin mohon ampun atas kelakuan hamba. Atas
ketidak setiaan hamba. Hamba telah berkhianat kepada Kangjeng Adipati. "
"Sudahlah, jangan pikirkan lagi, kakang. "


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah Kangjeng bersama dengan kakang
Tumenggung Reksabawa ?"
"Ya." "Apakah hamba diperkenankan berbicara
dengan kakang Reksabawa ?"
"Aku di sini adi" sahut Ki Tumenggung
Reksabawa yang bergeser mendekat.
"Kakang" suara Ki Tumenggung Jayataruna menjadia semakin lirih "aku mohon maaf
kepadamu, kakang. Aku adalah jenis orang yang tidak mengenal terima kasih.
Kakang yang seakan-akan menemukan aku sebagai anak jalanan dan kemudia
bawa n mem aku kepada kedudukan yang
terbaik di Sendang Arum, ternyata sudah aku lupakan. Bahkan aku sampai hati
berniat untuk menyingkirkan kakang Tumenggung."
"Kau tidak usah memikirkan macam-macam
persoalan adi. Beristirahatlah sebaik-baiknya."
Ki Tumenggung Jayataruna mencoba untuk
tersenyum. Katanya kemudian " Suratama,"
"Ya, ayah." "Aku tidak akan dapat bertemu dengan ibumu lagi. Suratama."
"Jangan berkata begitu, ayah. Bukankah Ki ajar Anggara telah memberikan obat
kepada ayah." "Tetapi aku tidak akan dapat bertahan lagi. Aku akan mati. Tetapi aku tidak
menyesal. Pada saat terakhir aku sudah bertemu dengan orang-orang yang telah aku
khianati, aku telah bertemu dengan orang-orang yang baik, yang telah sudi
mengampuni aku." "Tetapi ayah harus bertahan."
"Suratama. Sampaikan kepada ibumu. Aku
minta maaf kepadanya. Ia adalah seorang ibu yang baik, yang setia dan
bertanggung jawab. Ketika aku masih berada di tataran terbawah dan hidup dalam
kesederhanaan, ibumu tidak pernah mengeluh. Ia menjalankan kewajibannya dengan
sepenuh hati. Ibumu selalu melupakan
kekurangan-kekurangan yang pernah ada."
"Ya. ayah." "Ia-adalah seorang penurut dan'hidup dengan penuh keprihatinan " Ki Tumenggung
Jayataruna itu berhenti sejenak. Nafasnya menjadi terengah-enggah.
Namun kemudian iapun melanjutkannya " Tetapi ketika aku berhasil memanjat pada
tataran yang tertinggi di Sendang Arum. aku sudah melupakan sangkan paraning
dumadi. Aku telah berubah. Dan perubahan ini membuat ibumu menjadi lebih
tertekan. Ia menjadi lebih menderita lagi dibandingkan dengan masa-masa
sebelumnya. Terutama di tilik dari sisi perasaannya " ada setitik air mata di pelupuk Ki
Tumenggung Jayataruna "Suratama. Katakan kepadanya, bahwa aku minta maaf. Seharusnya aku tidak
kehilangan diriku sendiri dalam keberhasilanku."
"Ayah akan dapat mengatakannya sendiri kelak jika ayah sudah sembuh."
Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna menggeleng.
Katanya "Aku tidak akan sembuh, Suratama. Aku tahu itu"
"Jangan mendahului kehendak Yang Maha
Agung, adi" desis Ki Tumenggung Reksabawa.
"Tidak, kakang. aku tidak mendahului kehendak Yang Maha Agung. Tetapi aku telah
menerima isyaratnya, bahwa aku harus segera
menghadapnya." Ki Ajar Anggara menjadi semakin berdebar-debar. Ketika ia meraba leher Ki
Tumenggung Jayataruna, makan wajahnya menjadi tegang. Ki Ajar mengerti, bahwa
waktu yang tersisa pada Ki Tumenggung Jayataruna tinggallah sedikit.
Namun agaknya Ki Tumenggung Jayatarunapun menyadarinya. Karena itu, maka Ki
Tumenggung itupun telah minta maaf kepada Ki Ajar Anggara, kepada Jalawaja,
kepada anaknya kepada putera-putera Ki Tumenggung Reksabawa.
"Aku minta maaf kepada semuanya."
Kangjeng Adipati yang juga sudah melihat kemungkinan bahwa Ki Jayataruna tidak
akan bertahan lebih lagi berkata "Semua sudah dimaafkan Ki Tumenggung. Tidak ada
lagi yang tersisa." Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Kemudian kepada Ki Ajar Anggara, Ki Tumenggung
itupun bertanya "Ki Tumenggung. Apakah Yang Kuasa masih juga mau memaafkan aku?"
"Ki Tumenggung. Yang Maha Agung telah
memancarkan kasihnya kepada seluruh bumi ini.
Kepada isinya, kepada penghuninya dan kepada semuanya. Juga kepada Ki Ttimeng-
gung Jayataruna. Karena itu, jika Ki Tumenggung memohon dengan sungguh-sungguh ampun
akan segala kesalahan yang pernah Ki Tumenggung perbuat, maka Yang Maha Agung
itu tentu akan mengampuninya "
"Apakah Ki Ajar berkata sesungguhnya atau sekadar memberikan sedikit penghibur
kepadaku disaat terakhir ini ?"
"Jika Ki Tumenggung yakin dan percaya dengan tulus, maka pengampunan itu benar-
benar akan diberikan."
Ki Tumenggung Jayataruna tersenyum. Katanya kemudian "Kangjeng. Nampaknya ada
hubungan antara Raden Ayu Reksayuda dengan Kangjeng Adipati Pucang Kembar. Hamba
mohon Kangjeng berhati-hati."
"Ya, kakang. Aku akan berhati-hati."
Ki Tumenggung itu mengangguk-angguk kecil.
Ia mencoba memandangi orang-orang yang ada disekitarnya. Namun sinar matanyapun
menjadi semakin redup. "Suratama "desisnya.
"Ayah " Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna Sudah
memejamkan matanya. Ketika Ki Ajar Anggara menyentuh lehernya, maka iapun
berkata " Ki Tumenggung sudah berlalu."
Yang terdengar adalah desah Suratama "Ayah."
Suratama itupun menelungkup ke atas tubuh ayahnya yang terdiam untuk selamanya.
Semua orang yang ada di sekeliling Ki
Tumenggung Jayataruna itu menunduk. Mereka telah memberikan penghormatan
terakhir pada saat Ki Tumenggung itu memejamkan matanya.
Dendam yang tersimpan di hati, terutama Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung
Reksabawa telah hanyut bersama kematian Ki Tumenggung Jayataruna. Bahkan telah
timbul perasaan kasihan di hati mereka menyaksikan penyesalan yang mendalam pada
Ki Tumenggung Jayataruna disaat terakhirnya. Tetapi Ki Tumenggung Jayataruna
tidak mempunyai waktu lagi untuk memperbaiki kesalahannya. Kesalahan yang sudah
terjadi itu tetap saja merupakan satu kesalahan.
Hari itu juga, tubuh Ki Tumenggung Jayataruna yang sudah membeku itupun telah
diselenggarakan sebagaimana seharusnya. Kemudian dikuburkan tidak terlalu jauh
dari pondok Ki Ajar Anggara, ditengarai dengan sebuah batu yang besar, dibawah
sebatang pohon cangkring.
Di malam hari, semuanya yang ada di pondok Ki Ajar Anggara itu duduk di ruang
dalam. Mereka masih memperbincangkan kematian Ki
Tumenggung Jayataruna. Mereka juga masih memperbincangkan keadaan di Sendang
Arum. Apakah yang sebenarnya telah terjadi.
Lewat tengah malam, maka Ki Ajar Anggara telah minta
-ana agar anak k muda yang ada di pondok itu beristirahat di ruang belakang. Di ruang belakang terdapat sebuah
amben yang besar, yang akan dapat dipergunakan oleh anak-anak muda itu bersama-
sama. Sepeninggal mereka, Kangjeng Adipati sempat bertanya kepada Ririswari "Bagaimana
pendapatmu tentang Jalawaja dan Suratama " Apakah mereka dapat dipercaya ?"
"Menurut pendapat hamba, mereka dapat
dipercaya ayah. Apalagi setelah Ki Tumenggung Jayataruna terbunuh. Sementara
itu, kakang Jalawaja telah meyakini pula, bahwa bukan ayahanda yang telah
bersalah membunuh uwa Tumenggung Reksayuda. Apalagi setelah
perkembangan keadaan yang terakhir ini."
"Baiklah. Jika kau percaya kepada mereka, maka akupun akan mempercayai mereka.
Mereka adalah anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak sebayanya.
Sementara itu, perjuangan untuk mengambil kembali kedudukanku masih panjang."
"Kangjeng " berkata Ki Tumenggung Reksabawa
"sebaiknya kita jangan menunggu kedud an uk
Raden Ayu Reksayuda yang didukung oleh
Kangjeng Adipati Jayanegara itu menjadi mapan."
"Aku tahu maksud kakang. Tetapi sudah tentu kita tidak dapat tergesa-gesa. Kita
harus mengetahui keadaan yang sebenarnya di Sendang Arum. Kita harus tahu Sikap
rakyat Sendang Arum serta para prajuritnya."
"Hamba mengerti, Kangjeng. Biarlah hamba membuat hubungan dengan para Senapati
di Sendang Arum yang mungkin dapat hamba ajak bekerja sama."
"Itu akan sangat berbahaya .bagimu kakang.
Jika kakang salah menilai orang, maka kakang akan dapat justru di tangkap dan
mengalami nasib yang sangat buruk."
"Aku mengerti, Kangjeng. Tetapi jika tidak ada langkah-langkah yang pasti, maka
kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Kita akan tetap saja berada disini
sedangkan pemerintahan perlahan-lahan akan terbiasa berada di tanga
en n Rad Ayu Reksayuda dibawah perlindungan Kangjeng Adipati Jayanegara di Pucang Kembar. "
Kangjeng Ad angu ipati itu term -mangu sejenak. Sementara itu Ki tumenggung Reksabawapun berkata "Kangjeng. Selagi aku
ub berh ungan dengan para Senapati, mungkin anak-anak muda itu dapat berpencar dan menghubungi
rakyat Sendang Arum. Apakah mereka masih tetap setia kepada Kangjeng Adipati,
atau mereka memang sudah berkiblat kepada Raden Ayu Reksayuda. "
"Apakah anak-anak muda itu mampu
melakukannya " " bertanya Kangjeng Adipati.
"Kita harus berani mencobanya, Kangjeng.
Tetapi menurut penilikan hamba, mereka adalah anak-anak muda yang cerdas dan
mempunyai wawasan yang luas. "
"Baiklah, kakang. Jika itu pendapat kakang, maka aku tidak berkeberatan. "
"Besok kita akan berbicara dengan mereka. "
Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung
Reksabawa itupun telah beristirahat pula. Karena bilik yang ada dipergunaka
angj n oleh Ririswari, maka K eng Adipati dan Ki Tumenggung Reks
tidur abawa di amben di ruang dalam. Sementara itu, Ki Ajar Anggara tidur di serambi depan.
"Apakah Ki Ajar tidak kedinginan tidur di serambi " "
"aku sudah terbiasa Ki Tumenggung. "
Namun Ki Tumenggung itupun berkata "Kami telah merampas rumah Ki Ajar, sehingga
Ki Ajar terpaksa tidur di serambi. "
"Tidak. Tidak Ki Tumenggung. Ketika rumah ini kosong, akupun sering tidur di
serambi. " Demikianlah, maka menjelang fajar merekapun sudah bangun. Anak-anak muda itu
bergantian menimba air untuk mengisi jambangan. Jalawaja yang terbiasa tinggal
di rumah itu, telah menyapu halaman dari ujung sampai ke ujung.
Ririswari yang telah bangun pula, langsung pergi ke dapur.
"Sudahlah Raden Ajeng. Duduk sajalah di ruang dalam.
"Aku sudah terbiasa merebus air dan membuat minuman Ki Ajar. Biarlah aku yang
melakukan. " "Tetapi nanti tangan Raden Ajeng menjadi kotor. " Ririswari tersenyum. Katanya
"Dimana-manapun sama saja Ki Ajar. Jika kita berada di dapur, maka tangan kita
akan dapat menjadi kotor.
Di kadipatenpun tanganku menjadi kotor jika aku berada di dapur. "
"Biarlah aku saja yang melakukannya. "
Ririswari tersenyum. Katanya "Disini ada seorang perempuan, Ki Ajar. Biarlah
perempuan itu melakukannya. " Ki Ajarpun tersenyum pula.
Tetapi ketika Ririswari mulai mengerjakan pekerjaan dapur itu, Ki Ajar langsung
mengetahui, bahwa Ririswari belum terlalu biasa bekerja di dapur.
Meskipun demikian, Ki Ajar memberinya
kesempatan, meskipun Ki ajar sendiri juga berada di dapur.
Baru setelah Jalawaja selesai menyapu halaman, Jalawajalah yang menemani
Ririswari berada di dapur. Merebus air, menanak nasi dan menyiapkan bumbu masak
yang akan di pakai hari itu.
Pagi itu semuanya telah terlibat dalam kerja.
Suratama memang sudah terbiasa membantu ibunya di rumah. Jalawaja sudah terlalu
trampil, karena setiap hari ia melakukannya. Sedangkan Ragajati dan Ragajaya
yang sudah terbiasa hidup di sebuah padepokanpun tahu, bagaimana mereka
melakukan kerja sehari-hari.
--ooo0dw0ooo-- Jilid 6 Tamat Sementara itu Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki Ajar Anggara
masih saja membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian,
setelah mereka mulai bergerak.
"Sambil makan siang, kita berbicara dengan anak-anak muda itu " berkata Ki
Tumenggung Reksabawa. Sebenarnyalah ketika Ririswari dan Jalawaja sudah siap, maka merekapun telah
membawa nasi, sayur serta lauknya ke ruang dalam. Selagi masih mengepul maka
Ririswaripun menyampaikannya kepada ayahandanya, Ki Tumenggung Reksabawa dan Ki
Ajar Anggara, bahwa makan siang sudah tersedia.
Seisi rumah itupun kemudian telah berkumpul.
Semula anak-anak muda berniat untuk makan setelah yang tua-tua makan dahulu.
Tetapi Ki Tumenggung Reksabawapun berkata "Marilah kita makan bersama. Selain
makan, ada sesuatu yang penting yang akan di sampaikan oleh Kangjeng Adipati.
Anak-anak muda itu tidak dapat mengelak.
Meskipun dengan agak segan-segan, mereka duduk di amben yang agak besar itu
untuk makan Ki bersama Kangjeng Adipati, Tumenggung
Reksabawa dan Ki ajar Anggara.
Sebenarnyalah sambil makan, Kangjeng Adipati telah berbicara tentang langkah-
langkah yang akan diambilnya untuk mengambil kembali kekuasaan yang telah
dirampas oleh Raden Ayu Reksayuda.
"Yang penting "berkata Kangjeng Adipati
"apakah rakyat kadipaten ini masih mendukung jika aku kembali berkuasa di bumi
Sendang Arum. " "Kangjeng " berkata Ki Ajar Anggara " asal kita dapat menyakinkan, bahwa
Kangjeng Adipati tidak bersalah atas kematian Raden Tumenggung Reksayuda, maka
aku yakin bahwa rakyat masih akan tetap mendukung Kangjeng Ad
Demi ipati. kian pula para prajurit Sendang Arum."
"Keberadaan Kangjeng Adipati Pucang Kembar di Sendang Arum tentu akan
menimbulkan persoalan pula di hati para prajurit" sahut Ki Tumenggung Reksabawa.
"Nah, jika demikian, dari situlah kita akan mulai"
berkata Kangjeng Adipati "Aku akan minta kalian, anak-anak muda untuk menjajagi
persaan rakyat yang sebenarnya. Kalian juga harus meyakinkan mereka, bahwa
pembunuh kangmas Tumenggung Reksayuda sedang dicari dan mudah-mudahan dalam
waktu dekat akan dapat diketemukan."
Anak-anak muda itu mengangkat wajah mereka.
Sejenak mereka saling berpandangan. Rasa-rasanya mereka kurang yakin, ba
hwa merekalah yang akan mendapat tugas itu.


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nah, bagaimana pendapat kalian " Apakah kalian bersedia ?"
Sejenak anak-anak muda itu termangu-mangu.
Namun Jalawajalah yang pertama-tama
menyatakan diri "Hamba bersedia Kangjeng. Tetapi tentu saja hamba memerlukan banyak sekali
petunjuk. Hamba masih belum tahu apa yang harus hamba lakukan."
"Bagus" sahut Kangjeng Adipati "nanti kalian akan mendapat petunjuk dari Ki
Tumenggung Reksabawa. Nah, bagaimana yang lain ?"
Hampir berbareng anak-anak muda itu
menjawab " Hamba sanggup Kangjeng. "
"Terima kasih. Biarlah Ki Tumenggung
Reksabawa memberikan petunjuk bagi kalian.
Sementara itu, Ki Tumenggung Reksabawa akan mencari hubungan dengan para
Senapati prajurit Sendang Arum yang masih belum terlalu jauh terlibat dalam
pemberontakan ini." Setelah makan siang, maka anak-anak muda itu diminta untuk duduk di serambi
depan rumah Ki Ajar Anggara. Sementara itu Ririswari sibuk menyingkirkan
mangkuk-mangkuk yang telah menjadi kotor.
"Biarlah aku membantumu, Raden Ajeng "
berkata Ki Aj r ar Angga a. "Silahkan Ki ajar duduk di serambi. Biarlah aku mencuci mangkuk-mangkuk ini."
"Di serambi Ki Tumenggung Reksabawa sedang memberikan petunjuk-petunjuk bagi
anak-anak muda itu. Aku tidak mengerti persoalannya. Karena itu, biarlah aku
disini saja membantu Raden Ajeng Ririswari."
Ririswari tidak dapat menolak. Dibiarkannya saja Ki Ajar mengambil air untuk
mengisi tempat air di dapur. Kemudian ikut mencuci mangkuk-mangkuk yang kotor.
Bahkan dandang tembaga. Sementara itu, Ki Tumenggung Reksabawapun telah membarikan ancar-ancar apakah
yang harus mereka lakukan dan masing-masing harus
melakukan di lingkungan yang sudah disepakati-Jalawaja akan bekerja sama dengan
Suratama, sedangkan Ragajati akan bekerja bersama adiknya Ragajaya.
"Kita akan mempergun
a akan rum h ini sebagai lan-dasan gerak kita. Kangjeng Adipati akan berada di sini bersama Ki Ajar
Anggara dan Raden Ajeng Ririswari. namun ingat. Tempat ini adalah tempat
rahasia. Jika satu diantara kita tertangkap oleh para pengikut Raden Ayu
Reksayuda, maka kita tidak akan pernah menyebut tempat ini apapun yang terjadi
atas diri kita. Apakah kalian bersedia
?" "Ya. Kami bersedia" jawab anak-anak muda itu hampir bersamaan."
"Baik. Kita akan mulai dengan mengunjungi daerah-daerah yang paling tenang lebih
dahulu. Kemudian kami akan sampai ke daerah-daerah yang bergejolak. Dari daerah-daerah
yang paling tenang, kita akan mendapat petunjuk untuk memasuki daerah
selanjutnya dan seterusnya."
Mereka kemudian sepakat untuk mulai dengan tugas mereka di hari berikutnya.
Mereka akan mondar-mandir naik ke lereng bukit itu. Para petugas itu hanya
dibenarkan untuk pergi tidak lebih dari sepekan. Setelah sepekan mereka harus
kembali untuk memberikan laporan dari hasil kerja mereka.
Sebenarnyalah, di hari berikutnya, Ki
Tumenggung Reksabawa, serta keempat anak-anak muda yang tinggal bersama di rumah
Ki Ajar Anggara itu meninggalkan rumah di lereng bukit itu. Kangjeng Adipati
masih memberikan beberapa pesan sebelum mereka berangkat.
" Aku akan berdoa bagi keselamatan kalian "
berkata Kangjeng Adjpati selanjutnya.
Demikianlah, maka Ki Tumenggung Reksabawa serta anak-anak muda itupun mulai
menapak pada tugas-tugas mereka yang berat dan berbahaya.
Namun Ki Tumenggung Reksabawa yakin, bahwa anak-anak muda itu akan dapat
melakukannya dengan baik.
Demikian mereka menuruni lereng bukit, maka mereka-pun mulai berpencar. Ki
Tumenggung Reksabawa akan terus menuju ke pinggiran kota, sementara Jalawaja dan
Suratarna pergi ke Barat dan Ragajati dan Ragajaya pergi ke arah Timur.
Ketika langit menjadi semakin panas oleh sinar matahari yang memanjat semakin
tinggi, maka Jalawaja dan Suratama-pun berhenti di salah sebuah kedai yang
berjajar di depan sebuah pasar yang ramai. Agaknya pasar itu tidak langsung
terpengaruh oleh gejolak yang terjadi di pusat pemerintahan Sendang Arum.
Ketika Jalawaja dan Suratarna masuk ke kedai itu, di-dalamnya sudah ada beberapa
orang yang lebih dahulu masuk. Berdua mereka memilih tempat agak disudut kedai
itu. Sambil menghirup minuman hangat yang
mereka pesan, keduanya mengamati keadaan di kedai itu.
"Agaknya di sini tidak terjadi gejolak sama sekali. Siapapun yang memegang
kekuasaan di Sendang Arum tidak akan menjadi masalah bagi mereka."
Suratarna mengangguk-angguk. Katanya " Kita harus menuju ke padukuhan yang lebih
dekat lagi dengan pusat pemerintahan sehingga persoalan yang terjadi di pusat
pemerintahan itu mulai terdengar gemanya."
Jalawaja mengangguk-angguk pula.
Sambil makan beberapa potong makanan,
mereka mendengarkan pembicaraan beberapa orang yang berada di kedai itu.
Ternyata yang mereka bicarakan adalah persoalan-persoalan yang berhubungan
dengan kesibukan mereka masing-masing.
Namun tiba-tiba orang-orang yang berada di kedai itu terdiam. Mereka menundukkan
kepala mereka akan memperhatikan makanan atau
minuman yang dihidangkan di hadapan mereka.
Jalawaja dan Suratamapun termangu-mangu sejenak.
Namun kemudian merekapun melihat ampat
orang anak muda dengan pakaian yang bersih, rajin serta tergolong mahal,
memasuki kedai itu. "Sudah lama aku tidak datang kemari, kang "
berkata seorang diantara mereka berempat.
"Ya, den " jawab pemilk kedai itu " kemana saja Raden selama ini ?"
"Aku berkeliling daerah Sendang Arum kang.
Ternyata di pusat pemerintahan sedang terjadi gejolak."
"Gejolak apa ?"
Telah terjadi pemberontakan. Kangjeng Adipati telah terusir dari dalem
kadipaten. Kadipaten telah diduduki oleh seorang perempuan, isteri Tumenggung
yang terbunuh itu"."
"Isteri Tumenggung yang terbunuh ?"
"Ya. Namanya Raden Ayu Reksayuda."
"Lalu bagaimana pula dengan kita di sini ?"
"Persetan dengan pemberontakan itu. Bukankah padukuhan kita tetap tenang tanpa
ada masalah yang meresahkan ?"
Pemilik kedai itupun mengangguk-angguk.
Sementara itu seorang anak muda yang lain berkata "Jangan hiraukan apa yang
terjadi di pusat pemerintaha
ka n. Kita a n tetap memelihara cara
hidup kita sebagaimana biasanya. "
Jalawaja dan Suratama saling berpandangan sejenak. Sementara itu, anak muda yang
lainpun berkata "Ak r u lapa , kang." "Baik, den. " "Seperti biasanya kang. " berkata yang lain lagi.
Pelayan kedai itu dengan cekatan melayani mereka berempat. Minum dan makan.
Dalam pada itu, Jalawajapun berdesis "Kenapa mereka tidak mempedulikan apa yang
terjadi di pusat pemerintahan?"
"Mereka lebih mementingkan diri mereka sendiri daripada kepedulian mereka
terhadap tatanan kehidupan secara menyeluruh di Sendang Arum. "
"Asal mereka tidak berbuat sesuatu yang dapat menghalangi jalan kembali paman
Adipati. " Keduanya terdiam ketika tiba-tiba seorang diantara anak muda itu bangkit berdiri
dan mendekati seora ng yang sudah berada di kedai itu
sejak sebelum Jalawaja dan Suratarna masuk.
"Selamat siang paman "desis anak mua itu.
"Selamat siang Raden " jawab orang itu. Namun terdengar suaranya sendat.
"Kami agak lama meninggalkan padukuhan. Apa kabarnya dengan paman " "
"Baik, den. Baik. "
"Bagaimana hubungan paman dengan nenek "
Masih tetap baik seperti saat aku pergi " "
"Ya, ya den. " "Nenek telah berceritera tentang paman. "
"Tetapi, tetapi itu hanya karena keadaan saja, den. Aku tidak akan pernah ingkar
akan janjiku. " "Seharusnya paman bersikap baik pada nenek.
Paman harus memenuhi kewajiban paman seperti saat paman memerlukannya. "
"Ya, ya, den. Aku juga bermaksud seperti itu.
Tetapi keadaan saja yang memaksa aku harus menundanya barang satu dua pekan. "
"Paman. Sekarang kami sudah kembali. Mudah-mudahan keadaan paman sudah berubah,
sehingga paman dapat memenuhi kewajiban paman kepada nenek. "
"Ya, ya. Den. Tetapi aku masih minta waktu barang sepekan. "
Anak muda itu tertawa. Katanya "Jangan
memaksa kami bertindak lebih jauh. "
"Den, persoalannya ada hubungannya dengan peristiwa yang terjadi di pusat
pemerintahan. " "Ada hubungannya dengan apa yang terjadi di pusat pemerintahan " "
"Ya," "Hubungannya apa " "
"Sebagian dari barang daganganku aku
lemparkan ke Sendang Arum. Karena peristiwa yang terjadi, maka uangnya menjadi
sendat, sehingga akibatnya aku tidak dapat memenuhi sebagaimana aku janjikan.
Tetapi sebelumnya, bukankah aku tidak pernah mengingkarinya. "
"Ya. Sebelumny me a mang tidak. Kali ini adalah
kali yang pertama. Tetapi jika pada kali yang pertama tidak terjadi apa-apa maka
paman akan mengulanginya lagi pada kali yang kedua, ketiga dan akhirnya paman
ingkari segala-galanya. "
"Tidak den, tidak. "
"Paman. Tentu bukan kebetulan, bahwa bukan hanya paman yang terlambat memenuh
kewajibannya. Nah, lihat. Itu kakang Srana ada disini pula. Ia juga terlambat.
Aku yakin alasannya tentu akan sama dengan alasan paman. "
Orang yang disebut Srana itu berpaling sejenak.
Namun kemudian kepalanyapun menunduk dalam-dalam.
"Paman, kang Srana dan yang lain-lain yang mempunyai hubungan dengan nenek. Aku
akan memberi batas waktu kepada kalian selama tiga hari. Dalam tiga hari, maka
semua kewajiban kalian harus kalian penuhi. "
"Tetapi bagaimana dengan peristiwa yang terjadi di Sendang Arum, den. Bukankah
itu merupakan satu kecelakaan yang berada di luar kemampuan kami untuk
mengatasinya. " "Kita tidak usah mempedulikan-apa yang terjadi di. pusat pemerintahan itu.
Biarlah Adipatinya terusir atau terbunuh atau siapapun yang akan
menggantikannya, apakah ia seorang pemberontak atau bukan. Tetapi kalian harus
segera memenuhi kewajiban kalian. "
"Darimana kami dapatkan uang untuk
memenuhi kewajiban itu, Raden " "
"Kenapa paman justru bertanya kepadaku "
Kang Srana juga akan bertanya kepadaku, darimana ia mendapatkan uang. Demikian
Buddha Pedang Dan Penyamun Terbang 13 Pendekar Gila 39 Ajian Canda Birawa Dewi Ular 4
^