Pencarian

Kembang Kecubung 4

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja Bagian 4


datang, maka kita akan menyadari, bahwa kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi.
Semuanya sudah terlambat. "
" Apakah, apakah kita harus mengorbankan harga diri kita " "
" Apakah kita akan kehilangan harga diri kita, jika kita bertindak atas dasar
perhitungan " Apakah kita akan kehilangan harga diri kita jika kita berniat
untuk membongkar ketidak adilan, fitnah dan bahkan kemudian pembunuhan yang
terjadi ini " Tidak Kangjeng. Itu adalah kewajiban Kangjeng Adipati. Kangjeng Adipati harus
membuat pertimbangan dan memutuskan dalam waktu sekejap, apakah Kangjeng Adipati
ingin menjadi seorang pahlawan yang gugur di medan perang, atau seorang pahlawan
yang mampu menyelamatkan kadipaten ini dari tangan-tangan pemberontak."
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak.
Sementara itu Ki Tumenggung Reksabawapun berkata dengan tegas " Marilah. Kita
pergi. " Kata-kata itu seakan-akan telah mencengkam jantung Kangjeng Adipati. Karena itu,
maka Kangjeng Adipati tidak membantah lagi ketka Ki Tumenggung itu berkata "
Kita mengambil jalan ini, Kangjeng. Lewat pintu butulan. "
Keduanyapun kemudian bergegas pergi ke pintu butulan. Dua orang prajurit yang
bertugas didalam mengikuti mereka.
Demikian mereka keluar dari pintu butulan dan turun ke longkangan, ternyata di
longkangan telah terjadi pertempuran. Bahkan beberapa orang prajurit langsung
menyerang Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Namun keduanya adalah prajurit-prajurit yang mempunyai banyak kelebihan dari
para prajurit kebanyakan. Kemampuan keduanya terlalu tinggi bagi mereka yang
mencoba menyerangnya. Karena itu, maka beberapa orangpun segera terlempar jatuh
dengan luka yang mengangga didada mereka.
Kedua orang prajurit yang mengikuti keduanya sejak dari dalam itu masih saja
mengikut. Merekapun telah terlibat dalam pertempuran pula melawan prajurit-prajurit yang
menyerang Ki Tumenggung Reksabawa dan Kangjeng Adipati.
Beberapa saat kemudian, keduanya telah keluar dari longkangan di depan serambi
samping dalem kadipaten. Namun ketika mereka lewat puri keputren, maka Kangjeng Adipatipun berhenti.
" Kenapa Kangjeng berhenti. "
" Ririswari. " " Tidak akan ada yang mengganggu Raden
Ajeng Ririswari, Kangjeng. "
" Aku tidak dapat meninggalkan anak gadisku di keputren. Aku tidak dapat
membiarkan Ririswari jatuh ketangan para pemberontak itu. ?"
Ki Tumenggung Reksabawa dapat mengerti
perasaan Kangjeng Adipati. Karena itu, maka ia tidak ingin membuang-buang waktu
dengan saling bersi-tegang. Karena itu, maka Ki Tumenggung Reksabawa itupun
segera berlari ke keputren diikuti oleh Kangjeng Adipati dan kedua orang
prajurit pengawalnya. Namun ternyata keputren telah kosong. Yang ada tinggallah beberapa orang emban
yang ketakutan mendengar sorak dan teriakan-teriakan di halaman kadipaten.
" Dimana Ririswari " " bertanya Kangjeng Adipati.
Emban pemomong Raden Ajeng Ririswari itu mengusap matanya yang basah " Hamba,
hamba, mohon ampun Kangjeng. "
" Cepat. Katakan, apa yang telah terjadi: "
" Seorang yang menutupi wajahnya-dengan ikat kepala telah masuk keputren sebelum
terdengar teriakan-teriakan itu, Kangjeng. Orang itu memasuki bilik Raden Ajeng
dengan membuka atap. "
" Bukankah kau ada di dalam bilik Ririswari.."
" Hamba Kangjeng. Hambapun terbangun ketika hamba mendengar jerit Raden Ajeng
yang tertahan. Agaknya orang yang wajahnya ditutupi dengan ikat pinggang itu sempat
membungkamnya dan bahkan dengan satu sentuhan, Raden Ririswari seakan-akan
menjadi tidak berdaya. Orang yang
'wajahnya tertutup itupun segera mengangkat Raden Ajeng Ririsari dan membawanya
keluar. Ketika hamba berusaha mencegahnya, maka hamba telah didorongnya sedemikian
kuatnya, sehingga hamba terlempar membentur dinding.
Untuk sesaat hamba rasa-rasanya lelah kehilangan kesadaran. Ketika kesadaran itu
mulai timbul kembali, hamba mendengar teriakan-terakan yang menakutkan itu.
Agaknya telah terjadi pertempuran di halaman. "
Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak.
Namun Ki Tumenggungpun berkata " Mereka akan segera sampai disini pula,
kangjeng. Marilah kita pergi. Raden Ajeng Ririswari telah diculik orang.
Biarlah kelak kita mencarinya asal nyawa kita terselamatkan. Tetapi jika kita
mati, nasib Raden Ajeng Ririswari akan menjadi sangat buruk untuk sepanjang
hidupnya. " Ternyata perasaan Kangjeng Adipati tersentuh.
Karena itu, maka bersama Ki Tumenggung Reksabawa dan kedua orang prajurit
pengawal itupun segera keluar dari keputren.
Tetapi di gerbang mereka berpapasan dengan beberapa orang prajurit, sehingga
pertempuranpun tidak dapat dielakkan.
Agaknya para prajurit yang sudah berada dibawah pengaruh Ki Tumenggung
Jayataruna itupun sudah mendapat perintah untuk menangkap Kangjeng Adipati,
hidup atau mati. Tetapi para prajurit itu harus menghadapi kenyataan bahwa Kangjeng Adipati dan
Ki Tumenggung Reksabawa adalah orang-orang yang berkemampuan sangat tinggi.
Berserta mereka telah bertempur pula dua orang prajurit pengawal pilihan yang
setia. Namun ketika Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa berhasil menerobos sekelompok prajurit yang akan menangkap mereka hidup atau mati, kedua orang prajurit itu sudah tidak menyertai mereka lagi.
" Dimana kedua orang prajurit itu ?" bertanya Kangjeng Adipati sambil menyelinap
ke kebun belakang halaman kadipaten.
" Agaknya .mereka telah menjadi korban, Kangjeng."
" Mereka telah menahan para prajurit yang berusaha mengejar kita. Tetapi agaknya
keduanya tidak mampu melepaskan diri dari ujung senjata para prajurit yang telah
memberontak itu." " Marilah, Kangjeng. Kita tinggalkan tempat ini."
" Kasihan kedua orang prajurit itu."
" Mereka sadari, apa yang mungkin terjadi bagi seorang prajurit."
Keduanya tidak sempat berbicara lebih panjang lagi. Mereka pun segera mendengar
teriakan-teriakan para pemimpin kelompok yang
memberikan aba-aba. - Karena itu, maka keduanyapun segera
menyusup diantara tanaman perdu di kebun belakang.
Ketika yang memburu mereka menjadi semakin dekat, keduanya telah mencapai
dinding halaman belakang. Dengan sigapnya keduanyapun
meloncati dinding halaman itu.
Demikian mereka keluar dari halaman belakang dalem kadipaten, maka keduanyapun
segera berlari menjauh. Dalam pada itu, para prajurit yang telah memberontak itupun masih sibuk mencari
keduanya di dalam lingkungan dinding halaman kadipaten. Mereka.tidak segera
menyadari, bahwa dengan kemampuannya yang tinggi, maka
Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Rcksabawa mampu meloncati dinding. Mereka
tidak memperhitungkan bahwa Kangjeng Adipati itu mula-mula meloncat menggapai sebuah
dahan pohon manggis tidak terlalu jauh dari dinding.
Kemudian didorong oleh tenaga ayunannya, Kangjeng Adipati telah berdiri di bibir
dinding halaman. Setelah menyerahkan tombak Kangjeng Adipati serta menitipkan tombaknya sendiri,
maka Ki Tumenggungpun telah melakukan hal yang sama.
Berayun dan bertengger di atas dinding halaman sebelum keduanya turun ke lor ng
o sempit di luar dinding kadipaten. Para prajurit telah mengamati setiap jengkal tanah di halaman dan kebun belakang
dalem kadipa-ten itu. Mereka menyibak setiap rumpun perdu. Mereka melihat setiap
ruan k gan di eputren dan kasatrian. Mereka menyisir setiap jengkal tanah.
Tetapi mereka tidak menemukan Kangjeng
Adipati. Bahkan beberapa orang prajurit telah
melaporkan, bahwa mereka telah melihat dan bahkan bertempur melawan Kangjeng
adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
" Penjilat itu benar-benar sudah berada disini pula " geram Ki Tumenggung
Jayataruna. Tetapi dalam pada itu, Raden Ayu
cksayu R dapun telah bertanya kepada para prajurit
" Apakah ada yang melihat Ririswari " "
Para prajurit itu menggelengkan kepalanya.
" Gila. Ini adalah satu kegagalan yang sangat memalukan " berkata Raden Ayu
Reksayuda. Ki Tumenggung Jayatarunapun menggeram pula
" Ya. Ini adalah satu kebodohan. Bagaimana mungkin prajurit sebanyak ini tidak
dapat menangkap Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa. "
" Mereka juga tidak menemukan Ririswari "
sambung Raden Ayu Reksayuda.
Para prajurit itu terdiam. Namun masih banyak diantara mereka yang masih
berusaha menemukan Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung Reksabawa dan Raden Ajeng
Ririswari. Tetapi tidak seorangpun yang berhasil.
Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu
Reksayuda menjadi sangat marah atas kegagalan itu. Tetapi mereka tidak dapat
berbuat terlalu jauh. Apalagi menjatuhkan hukuman bagi para prajurit, karena mereka masih sangat
membutuhkan mereka. Dengan nada tinggi Ki Tumenggung
Jayatarunapun kemudian berkata kepada para pemimpin kelompok " Baiklah. Tetapi
sadari. Pekerjaan kita belum selesai. Kita baru menduduki dalem kadipaten. Kita belum
menangkap Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksayuda. "
" Mereka harus dicari sampai kita menemukan.
Perintahka n n me utup semua jalan diperbatasan
kota. Tidak boleh seorangpun keluar dari kota sejak malam ini " berkata Raden
Ayu Reksayuda dengan lantang.
Sebenarnyalah perintah itupun segera
disebarkan. Beberapa orang kelompok prajurit telah menutup semua pintu gerbang
kota, sehingga tidak seorangpun yang dapat keluar dari kota kecuali mereka yang
mampu mencari jalan lain.
Mungkin dengan tangga untuk meloncati dinding kota. Namun seorangpun tidak akan
sempat melakukannya, karena kelompok-kelompok
peronda hilir mudik disetiap saat. Para prajurit itu tidak saja mengawasi jalan-
jalan keluar. Tetapi juga jalan-jalan didalam kota. Bahkan kelompok-kelompok
prajurit itu juga meronda di jalan-jalan yang lebih kecil.
Namun dalam pada itu, selagi para prajurit di halaman kadipaten dan disekitarnya
masih sibuk mencari Kangjeng Adipati, Ki Tumenggung Reksayuda dan Ririswari,
tiba-tiba dua orang prajurit telah menggiring seorang anak muda naik ke pendapa
kadipaten. Ketika seorang prajurit melaporkan kepada Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu
Reksayuda, keduanya terkejut. Dengan tergesa-gesa keduanyapun keluar dari ruang
dalam untuk pergi ke pendapa.
" Suratama " Ki Tumenggung Jayataruna hampir berteriak.
" Ya, ayah. " " Inikah Suratama putera kakang Tumenggung Jayataruna itu " " bertanya Raden Ayu
Reksayuda. " Ya. Raden Ayu. Suratama adalah anakku. "
" Apa yang dilakukannya disini " "
" Aku belum tahu, Raden Ayu "
Sementara itu sambil melangkah mendekati anak laki-lakinya itu Suratama bertanya
kepada rit ya praju ng menggiringnya " Dimana kau
temukan anak ini " "
" Suratama bersembunyi di atap kandang kuda Ki Tumenggung " jawab salah seorang
prajurit yang membawanya " hampir saja terjadi salah paham. Untunglah aku
mengenal Suratama karena aku pernah datang ke rumah Ki Tumenggung. "
" Bocah edan. Apa yang kau lakukan disini" "
" Tidak apa-apa ayah. Aku hanya ingin tahu, apa yang ayah lakukan disini. "
" In ta gin hu yang aku lakukan" Akii adalah
prajurit Suratama. Sejak kau masih kanak-kanak, aku sudah menjadi prajurit. Kau
tentu tahu tugas seorang prajurit. "
" Ya, ayah. Aku tahu tugas seorang prajurit.
Tetapi aku tidak tahu apakah yang ayah lakukan itu sesuai dengan tugas seorang
prajurit atau tidak. "
" Diam k u a " bentak Ki Tumenggung.
" Aku kasihan kepada ibu. "
" Kasihan kepada ibu" Kenapa dengan ibumu"
Bukankah ia tidajc apa-apa" Nah, sekarang kau sudah melihat apa yang terjadi
disini. Pertempuran. Untunglah bahwa tida erjadi salah k t paham karena keberadaanmu di daerah pertempuran ini " lalu katanya pula " Kau dapat menilai
sendiri, apakah yang aku lakukan ini tugas seorang prajurit atau bukan" Justru
seorang prajurit yang sedang memperjuangkan tegaknya kebenaran di kadipaten
ini." Suratama menundukkan kepalanya.
" Nah, sekarang pulanglah. Aku akan
memerintahkan dua orang prajurit mengantarmu agar tidak terjadi salah paham
disepanjang jalan. Kau tentu tahu, bahwa saat ini adalah saat yang sangat gawat bagi kadipaten ini.
Setiap orang, apalagi yang tidak dikenal oleh para prajurit akan dapat
dicurigai. Bahkan mungkin para prajurit akan menjadi sangat mudah mengambil
tindakan kekerasan, karena mereka sendiri merasa terancam."
" Baik, ayah." Namun tiba-tiba saja Raden Ayu
Prawirayudapun memanggilnya " Suratama."
" Ya, Raden Ayu."
" Apakah kau yang telah menyembunyikan
Ririswari ?" " Raden Ajeng Ririswari maksud Raden Ayu ?"


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Ya." " Aku tidak tahu, Raden Ayu. Aku tidak melihat Raden Ajeng Ririswari."
" Kau datang kemari tentu akan bertemu
dengan Ririswari." ".Tidak, Raden Ayu. Aku tidak begitu mengenal Raden Ajeng Ririswari secara
pribadi. Aku hanya tahu, bahwa putera puteri Kangjeng Adipati itu bernama Raden
Ajeng Ririswari." " Kau jangan bohong, Suratama. Aku tahu, bahwa Ririswari itu akrab dengan setiap
laki-laki muda. Bahkan yang telah bersuami sekalipun.
Apalagi dengan anak muda setampan kau ini."
" Benar Raden Ayu. Aku tidak akrab dengan Raden Ajeng Ririswari."
" Suratama. Aku perintahkan kepadamu. Cari Ririswari sampai ketemu. Aku yakin,
kau tahu dimana Ririswari bersembunyi, justru karena pada saat seperti ini kau
berada disini." Suratama itu memandang ayahny se
a jenak, seakan-akan ia ingin mendapat pertimbangan, apa yang sebaiknya dilakukannya.
" Raden Ayu " berkata Ki Tumenggung
Jayataruna " aku tidak berkeberatan Raden Ayu memerintahkan Suratama mencarinya.
Tetapi ia tidak dib ba e ni tanggung jawab yang terlalu berat.
Aku tahu, bahwa Suratama memang tidak akrab dengan Raden Ajeng Ririswari."
T " Kakang umenggung jangan membuat anak
itu menjadi lemah. Ia harus mendengarkan perintahku. Ia harus melaksanakan
perintahku." Tetapi Ki Tumenggung Jayatarunapun menyahut
" Aku tidak membuatnya lemah. Ia memang anak muda yang lemah. Karena itu, ia
tidak akan dapat dibebani tugas sebagaimana Raden Ayu katakan.
Selain Suratama aku mempunyai prajurit segelar sepapan. Apakah masih kurang bagi
Raden Ayu, sehingga Raden Ayu meletakkan beban yang begitu berat di pundak
Suratama " Apa arti seorang anak muda dibanding prajurit-prajuritku ?"
" " Tetapi yang dilakukan itu sangat
mencurigakan." " Aku mempercayainya, la datang karena ia merasa kasihan kepada ibunya yang
sendirian di rumah sejak aku pergi menjemput Raden
Tumenggung Wreda Reksayuda."
" Jadi kakang belum pernah pulang."
" Sudah Raden Ayu. Tetapi begitu pulang, aku segera pergi lagi. Pulang sebentar,
kemudian meninggalkannya dengan berbagai pertanyaan di hatinya."
" Tetapi Nyi Tumenggung adalah isteri seorang prajurit."
" Ia sudah mengalaminya sejak lama. Tetapi ada persoalan di hatinya pada saat
terakhir." " Jadi ?" " Suratama bagiku adalah masa depan. Karena itu. aku tidak ingin anak itu
mengalami kesulitan karena harus memikul beban yang sangat berat itu."
" Ayah. Aku akan menjalankan tugas ini. Aku akan mencari Raden Ajeng Ririswari."
" Kau tidak perlu pergi sendiri. Ada seratus orang prajurit yang
p sia mengantarmu." " Tidak. Aku akan pergi oran
se g diri, ayah. Aku memarig seorang yang lemah. Tetapi aku tidak perlu menjadi cengeng."
Suratama tidak berbicara lagi. lapun segera beranjak pergi.
" Suratama. Tunggu. Ada dua orang prajurit akan mengantarmu pulang."
Tetapi Suratama tidak menghiraukannya.
Sepeninggal Suratama, Ki Tumenggung Jayataruna-pun berkata " Aku tidak ingin
kehilangan anakku, Raden Ayu."
Raden Ayu Reksayuda memandang wajah Ki
Tumenggung yang tegang. Bagaimanapun juga, Ki Tumenggun " ak
g an dapat ikut menentukan keberhasilan nya. Karena itu. sebaiknya ia memang tidak mengusik perasaannya.
" Maaf, kakang Tumenggung. Aku hanya
terdorong untuk segera menemukan Ririswari."
" Apa sebenarnya kepentingan Raden Ayu
dengan Raden Ajeng Ririswari."
" Aku mempunyai kepentingan pribadi."
" Tetapi adilkah jika Raden Ayu harus
mengorbankan anakku ?"
" Aku minta maaf kakang. Kakang dapat
memerintahkan prajurit untuk menyusulnya dan mencabut perintahku."
" Tidak mungkin."
" Kenapa tidak mungkin"-
" Aku mengenal tabiatnya . Jika ia sudah mulai melangkah, maka ia akan berjalan
sampai ke ujung jalan. Apapun yang akan terjadi. Kecuali jika aku sendiri yang
menyusulnya," " Tetapi jika kakang Tumenggung pergi, rencana kita akan menjadi berserakkan.-
Ki Tumenggung Jayataruna termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata -
Baiklah. Untuk sementara aku akan tetap pada rencana kita, Aku akan tetap berada di
sini.- " Terima kasih kakang. Bagiku, kakang memang satu-satunya tempat bergantung "
desis Raden Ayu Reksayuda.
Ki Tumenggung Jayataruna menarik nafas
panjang. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi.
Tumenggun Bahkan Ki g itupun kemudian telah beranjak dari tempatnya. Dalam pada itu, para prajurit masih sibuk mencari Kangjeng Adipati, Ki
Tumenggung Reksabawa dan Ririswari. Tetapi mereka tidak segera dapat menemukann ya. Sementara itu, Suratama setelah meninggalkan Kadipaten, segera menyelinap kedalam kegelapan. Ia berusaha untuk dapat pulang, sekedar minta diri kepada ibunya.
" Ngger, jangan pergi. Keadaan akan menjadi semakin gawat. Jika ayahmu telah
terlibat dalam pemberontakan melawan Kangjeng Adipati, maka keadaan kitapun akan
menjadi gawat" " Ayah dan Raden Ayu Reksayuda sudah
menguasai dalem Kadipaten ibu. Tetapi mereka tidak dapat menangkap Kangjeng
Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa. Bahkan Raden Ayu
Reksayuda ingin juga menangkap Raden Ajeng Ririswari."
" Raden Ajeng Ririswari?"
" Agaknya ada persoal pribadi
an yang harus diselesaikannya, ibu."
" Persoalan pribadi ?"
" Ya. Antar Ayu Reksayuda dan Raden a Raden Ajeng Ririswari. " Nyi Tumenggung Jayataruna menarik nafas panjang. Hampir diluar sadarnya iapun
berdesis " Kedua-duanya masih muda. Umur mereka tentu tidak bertaut banyak."
" Ibu. Sekarang aku akan pergi. Aku harus mencari Raden Ajeng Ririswari sampai
ketemu. Aku sangat malu bahwa dihadapa
Raden n Ayu Reksayuda aku adalah seorang anak muda yang lemah. Karena itu, maka aku harus
berhasil menemukan Raden Ajeng Ririswari."
" Kenapa harus kau yang mencarinya, ngger?"
tidak tahu ibu. " Aku Mungkin demikian Raden Ayu Reksayuda itu melihat aku di Kadipaten, dengan serta-merta saja ia
memberikan perintah. Ayah sudah berusaha mencegahnya, tetapi aku akan tetap berangkat."
" Jika h aya mu sudah berusaha mencegahmu,
kenapa kau harus berangkat juga" Suratama " "
" Aku mempunyai harga diri ibu, meskipun kali
barang benar aku adalah seorang anak muda
yang lemah. " " Telapi keadaan lenlu menjadi semakin gawai."
" Aku akan berhali-hali. ".
" Para prajurit lentu berkeliaran dimana-mana.
Jika terjadi salah paham Suratama, maka kau akan mengalami kesulitan. "
" Aku akan berhati-hati ibu. Aku mengenal lingkungan ini seperti aku mengenali
ruang-ruang didalam rumahku. Aku akan dapat mencari jalan terbaik tanpa bertemu
dengan seorang prajuritpun." Nyi Tumenggung Jayataruna tidak dapat
mencegahnya. Suratamapunn kemudian minta diri untuk mencari Raden Ajeng
Ririswari. Nyi Tumenggung Jayataruna melepasnya di pintu pringgitan dengan mata yang basah.
Sebenarnya ia tidak rela melepaskan anaknya pergi.
et T api seperti juga ayahnya, Nyi
Tumenggunng mengenal sifat dan tabiat anak laki-lakinya.
Demikianlah, maka Suratamapun segera
meninggalkan rumahnya. Dengan cepat Suratama menyelinap diantara gelapnya
lorong-lorong sempit, sehingga tidak seorang prajuritpun yang ditemuinya.
Namun Suratamapun berpendapat bahwa Raden Ajeng Ririswari tentu sudah berada di
luar dinding kota. " Aku akan mencarinya keluar. Jika ia masih berada didalanj, maka esok para
prajurit" akan dapat menemukannya. "
Tetapi Suratama tahu, bahwa semua pintu gerbang tentu sudah ditutup. Karena itu,
maka iapun akan mencari jalan untuk dapat meloncati dinding alau menyelinap
lewat regol butulan. Namun agaknya semua pintu gerbang dan pintu butulan telah dijaga oleh para
prajurit, sehingga sulit bagi Suratama untuk dapat menembus penjagaan itu.
Sedangkan untuk berterus terang, bahwa ia mendapat perintah untuk mencari
Ririswari, agaknya sulit untuk dipercaya.
Sebenarnya ada juga niatnya untuk dengan sengaja menemui para prajurit yang
bertugas di regol. Jika mereka tidak percaya dan menahannya, justru kebetulan.
Ia mempunyai alasan yang sangat kuat untuk tidak pergi mencari Raden Ajeng
Ririswari. Tetapi harga diri Suratama tidak
mengijinkannya. Dengan demikian Suratama justru mencari jalan untuk dapat keluar
dari dinding kota. Akhirnya Suratama mendapatkan sebatang
pohon yang tinggi, yang dahannya menyilang sampai diatas dinding.
Dengan hati-hati, Suratama memanjat pohon itu. Dengan hati-hati pula ia meniti
dahan yang menyilang sampai ke bibir dinding kota.
Namun Suratama itu terhenti. Justru
alan diatas j itu. Ia melihat lima orang prajurit peronda lewat dengan memanggul tombak pendek
di bahunya. Suratama tidak berani beregerak. Jika
segerumbul daun pada pohon itu bergetar, sedangkan yang lain tidak, maka tentu
akan menarik perhatian para peronda itu. Mereka akan menengadahkan wajah mereka
dan melihatnya bertengger diatas dahan. Dalam keadaan yang gawat, mungkin saja
para prajurit itu mengambil tindakan yang keras, langsung melontarkan tombak itu
ke arahnya. Demikian para prajurit yang meronda itu lewat, maka Suratamapun menarik nafas
panjang. Sejenak kemudian Suralamapun bergeser maju.
Kemudian, dengan sigapnya anak muda ilu meloncat keluar dinding kota.
Sejenak kemudian, maka Suratama itupun telah ditelan kegelapan.
Pada waktu yang hampir bersamaan, pada saat Suratama minta diri kepada ibunya.
Nyi Tumenggung Reksabawa masih duduk dengan gelisah. Ia tidak tahu perkembangan
keadaan yang terjadi di kadipaten. Namun lamat-lamat ia mendengar kentongan
dalam irama titir. Sejak Ki Tumenggung Reksabawa meninggalkan rumah untuk menghadap Kangjeng
Adipati, maka ia selalu merasa cemas dan gelisah. Apalagi.setelah terdengar
suara kentongan dengan irama titir.
Sebagai isteri seorang prajurit, sebenarnya Nyi Tumenggung sudah terbiasa
ditinggal untuk menjalankan tugas. Bahkan tugas ke medan perang sekalipun dengan
segala macam kemungkinannya. Namun rasa-rasanya ia tidak menjadi sangat gelisah seperti malam
itu. Dalam kegelisahannya, tiba-tiba saja Nyi Tumenggung itu mendengar pintu diketuk
dari luar. Perlahan-lahan. Namun jelas bagi Ki Tumenggung Reksabawa.
Di malam yang sepi, suara ketukan yang hanya perlahan-lahan itu sempat
mengejutkannya. Ketika ketukan itu terdengar sekali lagi, maka Nyi Tumenggung bangkit berdiri.
Ia berharap Ki Tumenggung Reksabawa pulang. Tetapi ketukan pintu itu bukan irama
ketukan pintu Ki Tumenggung Reksabawa. " Siapa diluar " " bertaya Nyi Tumenggung Reksabawa.
" Kami berdua, ibu. Ragajati dan Ragajaya."
" Ragajati dan Ragajaya " "
" Ya, ibu. " Nyi Tumenggung Reksabawapun segera dapat mengenali suara anak-anaknya. Karena
itu, maka iapun segera bangkit berdiri dan berlari ke pintu.
Demikian pintu terbuka, maka dua orang anak muda berdiri di belakang pintu
sambil berdesis "Ibu. " " Kau ngger. Kau berdua. Marilah. Masuklah. "
Keduanyapun segera melangkah masuk. Pintupun segera ditutup kembali.
Nyi Tumenggung memeluk kedua orang
anaknya bergati-ganti. Terasa hangatnya titik-titik air mata ibunya.
Ragajati dan Ragajaya dapat mengerti, kenapa ibunya menyambut mereka tidak
seperti biasanya. Biasanya ibunya tak pernah menyambut mereka pada saat-saat mereka pulang dengan
mata yang basah. Ibunya yang tegar itu selalu menyambut mereka dengan tersenyum
serta wajah yang cerah. Ibunya tidak pernah menunjukkan gejolak perasaannya dalam keadaan apapun.


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi malam ini ibunya menyambutnya dengan mata yang basah.
" Marilah, ngger. Duduklah. "
Kedua orang anak muda itupun segera duduk.
Ragajati, yang tertua diantara mereka berdua itupun segera bertanya " Apa yang
telah terjadi di rumah ini ibu " "
" Ayahmu dipanggil menghadap Kangjeng
Adipati, ngger. Aku tahu, keadaan menjadi gawat.
Tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan ayah
. mu " " Siapakah yang datang memanggil ayah ke rumah ini " "
" Dua orang prajurit ngger. Itu yang aku lihat. "
" Apakah pesan ayah pada saat ayah berangkat, ibu" " bertanya Ragajaya.
" Ayahmu hanya berpesan agar aku berhati-hati.
" " Agaknya sesuatu telah terjadi, ibu. "
" Kebetulan sekali, bahwa kalian berdua pulang malam ini, ngger. "
" Guru memberitahukan, bahwa agaknya akan terjadi gejolak di kadipaten ini. Guru
memberitahukan kepada kami, bahwa Raden Tumenggung Reksayuda telah terbunuh.
Kemudian tersiar desas-desus bahwa Kangjeng Adipati sendirilah yang memang
berniat membunuh Raden Tumenggung Reksayuda. Kangjeng Adipati telah berpura-pura
mengampuninya dan memberinya kesempatan pulang. Namun semuanya itu hanya jebakan
saja.' Bahkan Kangjeng Adipati telah memberikan salah satu pusakanya untuk
membunuh Raden Tumenggung, justru untuk menghindarkan kecurigaan orang, bahwa
Kangjeng Adipati sendirilah yang sebenarnya telah merencan
emua akan s nya itu. Sementara juru gedong di bangsal pusaka tiba-tiba telah hilang. "
" Agaknya banyak juga yang diketahui oleh guru kalian ngger. "
" Ya ibu. Guru sengaja mencari keterangan tentang peristiwa yang akan dapat
memancing persoalan itu, ibu "' sahut Ragajali.
" Ya. Persoalannya memang dapat menjadi gawat. Bahkan Raden Ayu Reksayuda dan
pamanmu Jayataruna sudah berniat untuk
membuka sikap mereka menentang Kangjeng Adipati. "
" Ya. Bukan sekedar berniat, ibu. Tetapi pemberontakan itu sudah berlangsung. "
" Apa katamu " "
" Ketika aku memasuki pintu gerbang kota, kota ini belum menjadi kota tertutup
ibu. Tetapi aku melihat kesibukan yang luar biasa. Para prajurit hilir mudik.
Bahkan nampaknya permusuhan sudah terjadi. Ada beberapa pertempuran yang tidak
jelas telah terjadi di sekitar Kadipaten. Yang terjadi itu telah menarik
perhatian kami, sehingga kami dengan menyelinap di lorong-lorong sempit berusaha
mendekati Kadipaten. Kami melihat bahwa kadipaten telah diserang oleh sekelompok
prajurit. Kami langsung menghubungkanya dengan keterangan guru, sehingga kami
berkesimpulan, bahwa paman Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda sudah
dengan terang-terangan memberontak. "
" Kau melihatnya ngger " "
" Ya, ibu. Aku melihat pasukan pemberontak telah memasuki dalem Kadipaten. "
" Lalu bagaimana dengan Kangjeng Adipati dan ayahmu, ngger. "
" Aku tidak tahu, apa yang sebenarnya terjadi.
Tetapi seorang prajurit yang berhasil lolos dari kepungan para pemberontak,
meskipun ia sudah tcrluka, memberitahukan kepadaku bahwa
Kangjeng Adipati dan ayah berhasil meloloskan diri.
" " Apakah prajurit itu dapat dipercaya " Mungkin ia tidak berkata sebenarnya
ngger, karena prajurit itu tentu tidak dapat mempercayai setiap orang yang
ditemuinya. Apalagi dalam keadaan yang gawat ini. "
" Prajurit itu mengenal kami, ibu. Kami memang sudah kenal sejak lama dengan
prajurit itu. Ia tahu, bahwa kami berdua adalah putera Ki Tumenggung Reksabawa.
" " Sukurlah ngger. Jika begitu, sebaiknya kau cari ayahmu. "
" Kemana kami harus mencarinya, ibu " "
" Mungkin ayahmu sudah meninggalkan kota bersama Kangjeng Adipati. "
" Kota telah tertutup sekarang ibu. "
" Tetapi mungkin aya
t hmu elah keluar pintu gerbang sebelum kota ini ditutup. Jika Kangjeng Adipati berhasil lolos dari
Kadipaten, maka Kangjeng Adipati tentu akan segera pergi ke luarkota. Kangjeng
Adipati tentu sadar, bahwa pintu gerbang kota akan segera ditutup dan para
pemberontak akari mengaduk seluruh kota untuk mencarinya. Menurut perhitunganku,
ayahmu tentu bersama Ka Adipati." ngjeng " Ya, ibu. Prajurit yang berhasil lepas dari kepungan itu juga melihat, bahwa
ayah bersama Kangjeng Adipati."
" Nah, ngger. Carilah ayahmu. Sebaiknya kau pergi ke luar kota. Pi tu ger
n bang terdekat dari dalem Kadipaten adalah pintu gerbang Utara.
Kangjeng Adipati dan ayahmu agaknya telah keluar lewat pintu gerbang terdekat
itu." " Lalu kemana ?"
" Setelah kau keluar pintu gerbang, mudah-mudahan kau mendapatkan firasat,
kemana ayahmu itu pergi."
" Tetapi bagaimana dengan ibu ?"
" Tinggalkan aku sendiri di rumah, ngger. Tidak akan terjadi apa-apa dengan-
aku?" " Tetapi mungkin saja orang-orang yang sedang marah itu mengarahkan kemarahannya
kepada ibu, karena mereka gagal menemukan ayah."
" Tidak. Aku seorang perempuan. Mereka tidak akan mengusik aku di rumah."
Rajapati dan Ragajayapun termangu-mangu sejenak. Namun Ragajatipun kemudian
berkata "Baiklah, ibu. Aku akan mencari ayah. Tetapi sebaiknya ibu tidak keluar dari
rumah. Tutup pintu rapat-rapat dan jangan terpancing a ap
p un yang ada di luar. Biarlah para pembantu menemani ibu di ruang dalam."
" Baik, ngger. Aku akan memanggil mereka."
Ragajati dan Ragajayapun kemudian minta diri kepada ibunya. Diusapnya kepala
kedua anak muda itu sambil berkata " Hati-hati ngger. Keadaan menjadi sangat
gawat." " Ya ibu." " Semua orang akan menjadi saling mencurigai.
Karena itu, berusahalah untuk tidak bertemu dengan siapapun juga. Kau tidak
tahu, apakah orang yang kau temui itu berpihak kepada Kangjeng Adipati atau
berpihak kepada Raden Ayu Reksayuda."
" Baik ibu. Sekarang kami akan mohon diri. Kami akan mencari ayah."
Kedua orang anak muda itupun mencium tangan ibunya sebelum mereka keluar dari
ntu butul pi an dan menghilang ke dalam kegelapan.
Demikianlah Ragajati dan Ragajaya itu
menyelinap lor di ong-lorong sempit. Mereka
berduapun mengenali seluruh kota seperti mereka mengenal rumah mereka sendiri.
Sejak masa kecil dan apalagi menjelang remaja, keduanya sering bermain bersama
kawan-kawan mereka kemana-mana menjelajahi semua jalan dan lorong-lorong sampai
lorong terkecil di dalam kota.
Karena itu, maka keduanyapun tidak terlalu sulit untuk melintas mencapai dinding
kota. " Apa yang harus kita lakukan sekarang ?"
bertanya Ragajaya " Kita cari tangga. Hampir disemua rumah mempunyai tangga bambu."
Namun mereka harus segera menyelinap ketik a
mereka melihat beberapa orang prajurit yang sedang meronda berkeliling. Mereka
menyusuri jalan disepanjang dinding koia di bagian dalam.
Namun demikian mereka lewat, maka Ragajati dan Ragajaya itupun lelah mengusung
sebuah tangga bambu yang mereka ambil dari halaman rumah sebelah.
Dengan cepat mereka menyandarkan tangga yang panjang itu didinding kota. Dengan
cepat pula mereka memanjat naik.
" Kita bawa tangga itu keluar, agar tidak meninggalkan jejak " berkata Ragajati.
" Berat kakang."
" Kita tarik saja kcaias, kemudian ujungnya kita turunkan keluar."
Keduanyapun melakukannya dengan cepat,
sehingga sebelum peronda berikutnya lewat, tangga itupun telah hilang di balik
dinding. Kedua anak muda itu masih sempat membawa tangga itu menjauh dan meninggalkannya
di tengah-tengah bulak panjang.
Ketika keduanya akan melanjutkan perjalanan, keduanya terkejut. Seorang laki-
laki yang sedang meniti pematang, agaknya sengaja mendekati mereka.
" Ki Sanak. Ki Sanak " panggil orang itu.
Ragajati dan Ragajaya tcrman'gu-mangu sejenak.
Namun keduanya tidak terlalu mencemaskan orang itu. Kecuali ia hanya sendiri,
agaknya orang itu adalah seorang petani yang sedang mengairi sawahnya.
" Ki -Sanak " orang itu terengah-engah ketika ia meloncati parit di pinggir
jalan " Apa yang sebenarnya telah terjadi di belakang pintu gerbang kota ?"
" Kenapa kau bertanya seperti itu Ki Sanak ?"
" Aku mendengar suara kentongan dengan
irama liur. Namun suara iiupun kemudian telah menghilang. Tetapi kemudian aku
melihat dua orang bersenjata melintasi jalan ini dengan tergesa-gesa."
" Dua orang ?" " Ya. Dua orang dengan membawa tombak.
Tetapi beberapa saat kemudian, belum terlalu lama, sekelompok orang telah
melintas dengan tergesa-ges
ula a p . Mereka juga bersenjata. "
Ragajati dan Ragajaya termangu-mangu
sejenak. Namun kemudian Ragajatipun menjawab "
Telah terjadi sedikit huru-hara. Mudah-mudahan akan segera dapat diselesaikan. "
" Huru-hara apa" "
" Aku juga belum jelas. "
" Sekarang kalian berdua akan pergi ke mana" "
Keduanya termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian Argajatipun menjawab
i hany " Kam a ingin menjauhi huru-hara itu.
ak Kami tid mau terlibat dalam ontran-ontran yang terjadi. "
" Tetapi bagaimana dengan orang-orang
bersenjata itu tadi" "
" Aku tidak melihat. Mudah-mudahan mereka tidak mengganggu Ki Sanak serta sanak
kadang lainnya. " " Ya. Kami adalah orang-orang yang tidak tahu apa-apa. Yang kami tahu adalah
menggarap sawah dan ladang. "
" Ten h angla Ki Sanak. Menurut dugaanku, tidak akan terjadi apa-apa dengan Ki Sanak dan
para petani yang lain. "
Orang itu mengangguk-angguk. Ragajati dan Ragajayapu
udi n kem an minta diri. Mereka melanjutkan perjalanan mereka. Juga tergesa-gesa seperti orang-orang yang pernah
lewat di jalan itu sebelumnya.
" Siapakah mereka yang lewat dengan tergesa-gesa itu menurut kakang?" bertanya
Ragajaya. Ragajati termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun berkata " Bagaimana menurut pendapatmu" Aku menduga, dua .orang yang terdahulu itu adalah Kangjeng
Adipati dan ayah. Kemudian sekelompok pengikut paman
Tumenggung Jayataruna berusaha memburunya.
Begitu" " " Ya. Aku juga berpendapat demikian. "
" Karena itu, marilah. Kita berjalan lebih cepat lagi. Mudah-mudahan kita dapat
menemukan ayah. Akan lebih baik jika ayah itu bersama Kangjeng Adipati. "
Kedua anak muda itupun segera mempercepat langkah mereka. Meskipun mereka masih
belum yakin benar, tetapi mereka menduga, bahwa kedua orang yang terdahulu itu
adalah ayah mereka yang menyertai Kangjeng Adipati yang lolos dari tangan Ki
Tumenggung Jayataruna dan Raden
Ayu Reksayuda. Bahkan jika mereka berada di bulak panjang, merekapun berlari-lari kecil. Mereka
tidak ingin menemukan ayah mereka serta Kangjeng Adipati setelah terlambat.
Dalam pada itu, ternyata seperti yang diduga oleh Ragajati dan Rag jaya, kedu
a a orang yang lewat seperti yang dikat kan ol
a eh petani itu, adalah Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Keduanya dengan tergesa-gesa berjalan
menjauhi pintu gerbang kota.
Ketika mereka merasa bahwa perjalanan mereka sudah menjadi semakin jauh, maka
Kangjeng Adipati itupun berhenti sambil berkata " Kita beristirahat sebentar,
kakang Tumenggung. "
" Jika Kangjeng masih belum merasa sangat letih, sebaiknya kita berjalan terus
Kangjeng. " " Aku memang belum letih sekali. Tetapi kau terlu-ka, kakang. Mungkin kakang
mempunyai obat yang dapat membantu memampatkan darah itu, kakang. Nanti, jika
kita sudah mapan, kita akan mencari obat terbaik. "
" Aku tidak apa-apa Kangjeng. Luka ini hanyalah
segores kecil. " " Tetapi rasa-rasanya aku merasakan, darah
telah meleleh dari luka itu. "
" Hanya sedikit sekali, Kangjeng. "
" Tetapi sebaiknya kau obati lukamu jika kau membawanya. Aku sendiri dalam
keadaan tergesa-gesa, sehingga aku tidak membawa obat apapun juga. "
" Nanti saja, Kangjeng. Marilah kita meneruskan perjalanan."
" Kemana, kakang" "
" Kita memang belum merencanakannya,
Kangjeng. Tetapi untuk sementara, asal kita
berjalan menjauhi kadipaten. Nanti, kita akan memikirkannya lagi, kemana kita
akan pergi. " Tetapi sebelum keduany bera
a njak pergi, maka mereka melihat beberapa orang berlari-lari kecil menyusul
mereka. " Kangjeng " desis Ki Tumenggung Reksabawa " kita

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus bersiap menghadapi mereka. " Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Katanya " Baiklah. Bukankah kita prajurit" "
" Ya, Kangjeng. Kita adalah prajurit. "
Sejenak kemudian, maka sekelompok prajurit telah
Halaman 34-35 ga ada Demikianlah, maka para prajurit yang berada di bawah perinlah Ki Lurah
Kertadangsa itupun segera memencar. Merekapun telah mengepung Kangjeng Adipati
serta Ki Tumenggung Reksabawa. "
" Sekali lagi aku peringatkan, Kangjeng.
Menyerah sajalah. Kangjeng akan kami bawa ke dalem kadipaten untuk diadilli "
" Siapakah yang akan mengadili aku " "
bertanya Kangjeng Adipati.
" Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu Reksayuda. "
" Apakah mcnurul pendapatmu mereka berhak mengadili aku " "
" Ya. Sekarang kekuasaan sudah berada di tangan mereka. "
" Kau akui kekuasaan mereka " " bertanya Ki Tumenggung Reksabawa.
" Ya. Kami bukan penjilat seperti kau Ki Tumenggung Reksabawa. Tetapi sayang,
bahwa tempatmu bergantung sekarang sudah runtuh. "
" Kertadangsa ". sahut Reksabawa " jika -aku tidak sempat membunuhmu sekarang,
maka jika kami kembali ke dalem kadipaten, maka kau akan di gantung di alun-
alun. " Kertadangsa it t u ertawa. Lalu katanya " Marilah
anak-anak. Tangkap mereka berdua atau bunuh mereka. "
Para prajurit itupun segera bergerak. Namun sebelum mereka mulai, maka tombak Ki
Tumenggung Reksabawa sudah terayun mendatar.
Dua orang terlempar dengan luka di dada.
Sementara seorang lagi, yang sempat menangkis dengan pedangnya, justru pedangnya
itu telah terlempar dari tangannya.
Sementara itu seorang yang meloncat dengan garangnya sambil mengayunkan
pedangnya ke leher Kangjeng Adipati, justru lelah berteriak nyaring. Pedangnya
sama sekali tidak menyentuh tubuh Kangjeng Adipati yang merendah. Namun jsutru
ujung tombak Kangjeng Adipati telah mengunjam didadanya langsung menyentuh
jantung. Demikian Kangjeng Adipati menarik tombaknya, prajurit itupun segera roboh di
tanah. Beberapa orang prajurit yang lainpun tertegun sejenak. Namun terdengar Ki Lurah
Kertadangsa berteriak " Hati-hati. Mereka adalah orang-orang yang licik, yang
memanfaatkan kelengahan kita. "
Hampir saja tombak Ki Tumenggung Reksabawa menyambar mulut Ki Lurah Kertadangsa.
Untunglah bahwa Ki Luraah sempat meloncat surut. Ketika Ki Tumenggung akan
memburunya, seorang prajurit justru meloncat menyerangnya, sehingga Ki
Tumenggung Reksabawa harus
menghindarinya. Demikianlah sejenak kemudian,
pertempuranpun menjadi semakin sengit. Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung
Reksabawa harus berloncatan dengan cepat menghindari serangan-serangan yang
datang dari segala penjuru.
Tetapi Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa adalah prajurit-prajurit
linuwih. Karena itu, maka dihadapinya sekelompok prajurit itu dengan tegarnya.
Tombak mereka berputaran, menyambar-nyambar. Sekali-sekali terjadi benturan
dengan senjata para prajurit yang mengeroyoknya.
Namun tangan-tangan para prajurit itulah yang menjadi pedih.
Bahkan setiap kali terdengar seorang diantara mereka yang mengaduh kesakitan
jika ujung tombak Kangjeng Adipati atau Ki Tumenggung Reksabawa menggores salah
seorang dari mereka. Ki Lurah Kertadangsa menjadi semakin marah, ketika seorang lagi prajuritnya
terpelanting jatuh. Ujung tombak Kangjeng Adipati telah mengoyak perut prajurit itu.
" Cepat, selesaikan, jangan ragu-ragu. Bunuh mereka berdua."
Ki Lurah Kertadangsa sendiri telah langsung melibatkan diri. Ia memang seorang
Lurah prajurit pilihan. Karena itu, maka Ki Lurah Kertadangsa bersama para
prajuritnya mampu menggoyahkan pertahanan Kangjeng Adipati seria Ki Tumenggung
Reksabawa. Sebenarnyalah, para prajurit yang jumlahnya berlipat ganda itu, mampu semakin
mendesak Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
belu Meskipun mereka m berhasil memisahkan keduanya yang bertempur berpasangan, namu i
n K Lurah Kertadangsa mampu mendesak Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Semakin lama, Kangjeng Adipati dan Ki
Tumenggung Reksabawa menjadi semakin
mengalami kesulitan. Para prajurit itu telah menyerang mereka sejadi-jadinya.
Mereka tidak memberi peluang lagi kepada Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung
untuk mengembangkan serangan-serangan mereka, karena jumlah mereka yang terlalu
banyak dibandingkan dengan hanya dua orang.
Ki Tumenggung Reksabawa bergeser surui
sambil berdesah tertahan ketika pundaknya tersentuh ujung pedang, sehingga darah
pun mulai mengembun. Namun dalam pada itu, Kangjeng Adipatipun terkejut ketika
ujung tombak dari salah seorang prajurit itu sempat mematuk pinggangnya.
" Kalian telah terluka " teriak Ki Lurah Suradangsa."
" Ya " jawab Kangjeng Adipati jujur " tetapi luka itu tidak mempengaruhi tenaga
dan ilmuku." " Omong kosong " bentak Kertadangsa " setiap luka tentu berpengaruh. Apalagi
jika luka itu berdarah. Semakin banyak darah yang mengalir, maka tenaga
seseorang akan menjadi semakin lemah. Kau tentu tahu akibatnya."
" Tetapi sebelum tenagaku terkuras habis karena darahku mengalir dari luka-luka,
maka kalian telah mati."
Ki Lurah Kertadangsa tertawa berkepanjangan.
Sebenarnyalah bahwa Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa sudah menjadi
semakin terdesak. Tidak hanya segores luka yang telah mengoyak pakaian dan kulit
Kangjeng Adipati. Tetapi punggungnya telah terluka pula. Lengannya dan pahanya. Demikian pula Ki
Tumenggung Reksabawa. Meskipun demikian, keduanyapun masih
bertempur dengan garangnya. Bahkan ketika perasaan pedih semakin terasa
menggigil, maka keduanya justru bertempur semakin sengit.
Dalam keadaan terluka, Kangjeng Adipati dan Ki gun
Tumeng g Reksabawa masih sempat melemparkan dua orang lawan mereka. Dada mereka telah terkoyak oleh ujung-ujung
tombak Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa.
Tetapi musuh terlalu a bany k. Sehingga ketika dua orang terlempar, maka yang lainpun telah mendesaknya dengan ujung-ujung
senjata teracu. Ketika darah Kangjeng Adipati dan Ki
Tumenggung Reksabawa semakin banyak menitik, maka rasa-rasanya tenaga mereka
memang menjadi semakin menyusut. Sementara itu, lawan masih saja menyerang seperti
badai. Dalam keadaan yang sulit, maka Ki
Tumenggung Reksabawa berniat untuk
meninggalkan arena pertempuran mumpung
mereka masih mampu melawan. Mereka akan dapat lari sambil mempertahankan diri
dari serangan-serangan orang yang mengejarnya itu.
Tetapi nampaknya Ki Lurah Kertadangsa yang mempunyai pengalaman yang luas itu
dapat menduga, bahwa keduanya akan bertempur sambil menghindar. Karena itu, maka
Ki Lurah itupun berteriak " Kepung mereka rapat-rapat. Jangan biarkan mereka
melarikan diri dari medan."
Para prajurit itu semakin merapatkan kepungan mereka. Sambil menyerang mereka
menutup segala kemungkinan bagi Kangjeng Adipati serta Ki Tumenggung Reksabawa
untuk menyingkir. " Tidak ada jalan keluar dari kepungan "
terdengar suara Ki Lurah Kertadangsa yang agak parau.
Baik Kangjeng Adipati maupun Ki Tumenggung Reksabawa tidak menjawab. Tetapi
mereka memang merasa benar-benar terjerat dalam sebuah kepungan yang rapat.
Satu-satunya jalan untuk keluar dari kepungan adalah berusaha bersama-sama
mengoyak kepungan itu. " Menyerah sajalah. Kami akan membawa
Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung ke dalem kadipaten. Tetapi karena Kangjeng
Adipati dan Ki Tumenggung sudah membunuh beberapa orang prajurit yang sedang
bertugas, maka Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung akan kami ikat tangannya di
belakang. Kemudian akan kami kalungkan tampar-di leher untuk menuntun Kangjeng
Adipati dan Ki Tumenggung, agar tidak membahayakan para prajurit. "
" Setan kau Kertadangsa " geram Ki
Tumenggung " Kau telah menghinakan kami. Kau telah merendahkan nama Kangjeng
Adipati. Kaulah yang akan dihukum mati. Kau akan digantung di alun-alun. "
" Siapakah yang akan menggantung aku " Kalian berdua akan terikat dan akan kami
dera seperti seekor binatang. "
" Kau akan menyesali kesombonganmu. " Ki Lurah Kertadangsa tertawa berkepa
n njanga . " Cepat anak-anak. Tangkap mereka. Kita akan memasang kendali dan menggiringnya
ke kadipaten. Kita bangunkan penghuni yang tinggal di pinggir jalan untuk melihat
Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung yang terpercaya di kendarai seperti seekor
kerbau yang akan di bawa ke tukang jagal.
" Namun tiba-tiba saja terdengar
ra di sua kegelapan " Bertahanla
ngjeng Adipati h Ka dan Ki Tumenggung Reksabawa. Kami. akan segera bergabung. "
Suara itu telah mengejutkan mereka yang sedang bertempur. Karena itu, tanpa
bersepakat lebih dahulu, pertempuran itu seakan-akan telah berhenti sesaat.
" Siapakah kau " " bertanya
Lurah Ki Kertadangsa. " Siapapun kami, maka kami akan berpihak kepada Kangjeng Adipati. "
" Persetan. Keluarlah jika kau memang seorang laki-laki. "
Tiba-tiba saja dari dalam kegelapan berloncatan dua baya
den ngan gan tangkasnya. Mereka melenting dan kemudian berputar diudara. Dengan lunak kaki-kaki
merekapun kemudian berjejak di tanah. " Mudah- mudahan kami tidak terlambat, ayah " berkata Ragajati yang berdiri beberapa langkah dari ayahnya. " Ragajati. Kaukah itu " "
" Ya ayah. Aku dalang bersama Ragajaya. "
" Ini aku ayah " desis Ragajaya yang berdiri di belakang Kangjeng Adipati.
" Siapakah mereka, kakang Tumenggung "
bertanya Kangjeng Adipati.
" Keduanya adalah anakku, Kangjeng. "
" Jika demikian, kenapa merera tidak kau perintahkan untuk pergi dari tempat
yang gawat ini " " " Hamba datang untuk membantu Kangjeng
Adipati serta ayah. "
" Tempat ini sangat berbahaya, kakang
Tumenggung. " Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi ragu-ragu. Kedua anaknya
masih belum berpengalaman menghadapi keadaan yang sangat keras seperti yang
sedang terjadi.Namun keduanya telah be a
r da di padepokan untuk berguru kepada seorang yang memiliki kelebihan.
Dalam pada itu, maka Ragajatipun berkata
"Ayah. Kami datang atas permintaan ibu untuk menyusul Kangjeng Adipati dan ayah.
Sekarang, kami berhasil menemukan Kangjeng Adipati dan ayah disini. Karena itu,
jangan perintahkan kami pergi. Kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan
untuk membantu Kangjeng Adipati dan ayah."
" Tetapi tempat ini sangat berbahaya bagi kalian
" sahut Kangjeng Adipati.
" Hamba mengerti Kangjeng. Tetapi kami sudah bertekad untuk melibatkan diri."
" Persetan dengan anakmu Ki Tumenggung "
tiba-tiba saja Ki Lurah Kertadangsa berteriak " ia sudah ada disini. Ia tidak
akan dapat pergi. Memang nasibmu sangat buruk, Ki Tumenggung.
Kau dan anakmu akan mati bersama"sama disini.
Besok atau lusa isterimu pun akan mati. Meskipun Ki Tumenggung Jayataruna dan
Raden Ayu Reksayuda tidak akan mengambil tindakan apa-apa terhadap isterimu, tetapi kema-
tianmu dan kedua anakmu akan membuatnya menderita. Bahkan mungkin ia akan
membunuh diri." Namun yang mengejutkan telah terjadi.
Sebelum mulut Ki Lurah Kertadangsa terkatub rapat, maka Ragajaya telah menarik
pedangnya. Sambil meloncat dijulurkannya pedangnya ke arah jantung Kertadangsa.
Ki Lurah Kertadangsapun terkejut pula. Namun sebagai seorang yang berpengalaman,
maka dengan gerak naluriah, ia masih sempat
mengelakkan diri. Bahkan dengan cepat Ki Lurah Kertadangsa mengayunkan
senjatanya untuk membalas menyerang.
Ragajaya meloncah mengambil jarak. Namun ketika ia siap untuk menyerang Ki
Lurah, maka ayahnyapun berkata " Biarlah aku hadapi Lurah edan ini."
Ragajaya mengurungkan serangannya. Tetapi iapun segera menghadapi para prajurit
yang dengan serta-merta berg ak pula
ei . Pertempuranpun telah menyala kembali. Tetapi Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung
Reksabawa tidak hanya berdua. Mereka bertempur berempat bersama kedua anak muda
yaiig telah ditempa disebuah perguruan yang mapan.
Sementara itu, beberapa orang prajurit sudah terbaring di
Ada am. di antara mereka yang masih


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengerang kesakitan. Tetapi prajurit itu sudah tidak dapat bangkit lagi.
Sebenarnyalah bahwa kehadiran Ragajati dan Ragajaya telah merubah keseimbangan
pertempuran. Kangjeng Adipati dan Ki
Tumenggung Reksabawa yang memiliki ilmu yang tinggi, sedangkan Ragajati dan
Ragajaya yang telah mendapat bekal yang lengkap dari sebuah perguruan yang
mapan, telah mampu mengimbangi lawan-lawan mereka yang jumlahnya masih lebih banyak itu.
Dalam pertempuran selanjutnya, ternyata Ragajati dan Ragajaya bertempur
berpasangan. Mereka berdiri sebelah menyebelah dari arah yang berbeda
. Namun kadang-kadang Ragajati dan
Ragajaya itu bergerak dengan cepat dalam satu putaran, sehingga kedua-duanya
seolah-olah telah menjadi sesosok tubuh dengan ampat tangan dan ampat kaki serta
dua wajah yang menghadap kearah yang berbeda. Sehingga dengan demikian, maka
beberapa orang yang bertempur melawan mereka menjadi bingung.
Namun tiba-tiba dua orang diantara para prajurit itu terlempar keluar arena
dengan darah yang mengucur dari lukanya.
Dalam pada itu, Kangjeng Adipatipun bertempur seperti banteng yang terluka.
Beberapa orang prajurit yang mengepungnya, kadang-kadang harus berloncatan sur
ga kepu ut sehing nganpun menjadi pecah. Tetapi semakin lama lawannya menjadi semakin sedikit. Bahkan Ragajaya dan
Ragapatipun sudah hampir kehabisan lawan pula. Sehingga ketika Ragajaya dan
Ragapati kemudian bergabung dengan Kangjeng Adipati, maka para prajurit yang
tersisapun ra menjadi gu-ragu. Yang masih bertempur dengan sengitnya adalah Ki Tumenggung Reksabawa melawan Ki
Lurah Kertadangsa. Ki Lurah ingin menunjukkan bahwa ia lur
memang seorang ah prajurit yang terpercaya. Ia
ingin menunjukkan, bahwa meskipun ia bukan seorang Tumenggung, tetapi ia akan
dapat mengalahkan dan bahkan membunuh Ki
Tumenggun Reksaba g wa, kepercayaan Kangjeng Adipati. Tetapi ternyata Ki Lurah Kertadangsa tidak dapat mengingkari kenyataan. Semakin
lama Ki enjadi Lurah itupun m semakin terdesak. Jika semula ia selalu meneriakkan kemenangan yang sudah didepan hidungny
ela a set h Ki Tumenggung itu terluka, maka kenyataan yang dihadapinya sudah berbeda.
Ki Tumenggung tidak menjadi semakin lemah karena darahnya telah mengalir. Tetapi
Ki Tumenggung seakan-akan justru menjadi semakin tegar. Bahkan Ki Lurahpun mulai
tersentuh oleh ujung tombak Ki Tumenggung. Beberapa gores luka telah menganga
ditubuhnya. Darahpun telah mengalir pula dari luka-lukanya.
Ki Lurah Kertadangsa itupun menggeram. Jika semula ia dapat bertempur bersama
beberapa orang prajuritnya, maka semakin lama
prajuritnyapun menjadi semakin menyusut, sehingga akhirnya, tinggal beberapa
orang yang sudah terluka yang masih mencoba untuk
bertahan. Bahkan akhirnya, tidak seorangpun lagi yang masih bertempur melawan Kangjeng
Adipati serta kedua orang anak laki-laki Ki Tumenggung Reksabawa itu.
Yang tinggal hanyalah Ki Lurah Kertadangsa yang bertempur melawan Ki Tumenggung
Reksabawa. " Ki Lurah. Dalam keadaan seperti ini, kau akan melihat kebenaran tataran
kepangkatan serta jabatan yang telah ditetapkan
adipaten di K Sendang Arum. " " Aku tidak peduli, Ki
ng Tume gung. Sekarang saatnya aku membunuhmu. "
Tetapi Ki Tumenggung berkata selanjutnya
"Meskipun kau kerahkan semua ilmu dan aji kesaktia
kau miliki, n yang ternyata kau masih belum pantas untuk dinaikkan pangkatmu. Kau masih terlalu canggung bertempur di
arena pertempuran yang sebenarnya. Apalagi secara pribadi kau bukan ap
p a-a a. Jika sekarang kau berhadapan dengan seorang Tumenggung, maka kau baru menyadari, bahwa kau masih
terlampau kecil untuk mendambakan kenaikan pangkat dan jabatan. "
" Persetan Ki Tumenggung. Aku akan-
membunuhmu. Aku akan membunuh Kangjeng
Adipati dan kedua orang anakmu itu. "
" Prajurit-prajuritmu sudah habis. Ada yang terbunuh. Ada yang terluka parah
sehingga tidak dapat bangkit lagi. Ada yang terluka hanya ringan saja, tetapi
sudah berputus-asa dan menyerah. "
" Aku akan membunuh mereka yang menjadi pengecut.
" Bagaimana kau dapat membunuh mereka jika kau sendiri akan mati. "
" Jangan hanya membual Ki Tumenggung. "
Ki Tumenggung tidak menjawab. Namun
serangan-serangannya datang membadai.
" Menyerahl h Ki Lur
a ah Kertadangsa. Kau tidak
mempunyai kesempatan lagi. "
Ki Lurah Kertadangsa tidak menjawab. Tetapi iapun meloncat dengan garangnya.
Senjatanyapun terayun mendatar menebas kearah leher Ki Tumenggung.
Namun Ki Tumenggung sempat merendah.
Dengan tangkasnya Ki Tumenggung menjulurkan tombaknya ke arah dada.
Terdengar Ki Lurah Kertadangsa itu berteriak memaki dengan kasarnya. Namun
suaranyapun menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya, suaranya yang menjadi
parau itu ti k ter da dengar lagi. Ketika Ki Tumenggung Reksabawa menarik tombaknya, maka Ki Lurah
Kertadangsa itupun segera terjatuh dan terbaring di tanah. Nafasnya sudah tidak
mengalir lagi di lubang hidungnya.
Ki Tumenggungpun berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Tumenggung
itu berkata " K jeng. Agaknya peker ang jaan kita disini sudah selesai." Kangjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam.
Dipandanginya kedua orang anak laki-laki Ki Tumenggung Reksabawa itu berganti-
ganti. Dengan nada dalam Kangjeng Adipatipun berkata "
Aku mengucapkan terima kasih kepada kalian berdua. "
" Sudah menjadi kewajiban kami, Kangjeng "
sahut Ragajati. " Ayahmu memang memikul kewajiban sekarang ini. Tetapi sebenarnya kalian masih
belum waktunya. Meskipun demikian, kalian telah menunjukkan pengabdian kalian.
Yang terpenting bukan kepadaku, tetapi kepada Sendang Arum. "
" Kami berdua ingin membantu ayah kami dalam tugas-tugasnya, Kangjeng. "
" Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih "
Kangjeng Adipati itu terdiam sejenak. Lalu katanya kepada Ki Tumenggung
Reksabawa " Apa yang harus kita lakukan sekarang kakang " "
" Kita harus segera meninggalkan tempat ini sebelum yang lain datang,
Kangjeng.." " Bagaimana dengan mereka yang terbunuh "
Apakah kita akan meninggalkan mereka begitu saja. "
" Biarlah yang masih hidup mengurus kawan-kawannya yang sudah mati "jawab Ki
ng. Tumenggu " Kita akan kemana " "
" Kita akan pergi ke Kademangan Karangwaru.
Kita akan membuat landasan perjuangan untuk menegakkan tatanan dan paugeran di
Sendang Arum dari Karangwaru. Menurut pendapatku, Demang Karangwaru serta rakyat
disek-itarya masih akan menduk g tegak
un nya kedudukan Kangjeng Adipati. " " Baiklah, kakang Tumenggung. "
Ki Tumenggung Reksabawa itupun kemudian berkata kepada seorang prajurit yang
terluka tetapi tidak terlalu arah "
p Terserah kepadamu. Rawatlah
kawan-kawanmu yang masih hidup dan yang sudah mati. Kami akan melanjutkan
perjalanan ke Kademangan Karangwaru atau ke Kadipaten Majawarna, yang tentu akan
mendukung perjuangan kami merebut kembali Kadipaten Sendang Arum dari tangan para
pemberontak. " Prajurit itu tidak menjawab. Sekali-sekali mulutnya masih menyeringai menahan
pedih lukanya yang basah oleh keringat.
Sejenak kemudian, m i aka Kangjeng Adipat diiringi oleh. Ki Tumenggung Reksabawa serta kedua orang anak laki-lakinya telah
meninggalkan tempat itu. Mereka mengikuti jalan panjang yang akan melewati
padang perdu yang men-gantarai bulak persawahan dengan hutan yang memanjang ke
Barat. Namun setelah mereka mendekati sebuah
padukuhan di-hadapan mereka, Ki Tumenggung Keksabawapun berkata " Kita akan
berbelok disini Kangjeng." '
" Bukankah jalan ini menuju ke kademangan Karangwaru " Bahkan jika kita akan
pergi ke Kadipaten Majawarna ?"
" Kita tidak akan pergi ke Karangwaru atau ke Majawarna."
" Tetapi tadi kakang Tumenggung mengatakan, bahwa kita akan pergi ke Karangwaru
atau ke Majawarna." " Para prajurit yang masih bertahan hidup itu akan melaporkan tujuan kita.
Mereka tentu akan menyusul kita ke Karangwaru. Jika para prajurit yang menyusul
kita ke Karangwaru itu tidak
menemukan kita, maka mereka tentu mengira kita sudah berada di kadipaten
Majawarna. Untuk memasuki kadipaten yang besar dan kuat seperti kadipaten
Majawarna, Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu
Reksabawa tentu akan berpikir dua tiga kali lagi."
" Lalu sekarang kita pergi kemana ?"
" Ke hutan itu. Kita akan berhenti mengobati luka-luka kita sambil memikirkan
arah perjalanan kita yang sebenarnya."
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk.
Beberapa saat kemudian mereka telah berada di hutan yang lebat. me Se ntara itu langitpun menjadi semakin terang. Cahaya fajar yang semburat merah sudah naik dan mewarnai langit. Di pinggir hutan yang lebat itu mereka berhenti.
Ki Tumenggung mempunyai serbuk obat didalam sebuah bumbung kecil yang dibawanya
kemana-mana. Ragajati dan Ragajayapun kemudian mengobati luka di tubuh Kangjeng Adipati dan
di tubuh ayahnya dengan serbuk yang dibawa ayahnya itu.
Bahkan kemudian, Ki Tumenggung-pun telah mengobati goresan-goresan senjata di
tubuh kedua anaknya yang ternyata juga sudah terluka, meskipun tidak banyak
mempengaruhinya. Setelah beristirahat sejenak, maka Ki
Tumenggung itupun kemudian berkata " Nah, sekarang kita sempat memikirkan, kita
akan pergi kemana ?"
" Ada dua arah yang dapat kita tuju, Kangjeng.
Ke padepokan tempat kedua orang anakku ini berguru. Atau pergi ke lereng gunung,
ke tempat tinggal Ki Ajar Anggara."
" Ki Ajar Anggara bekas mertua Kakang
Tumenggung Reksayuda ?"
" Ya, Kangjeng."
" Kenapa ke sana ?"
" Ki Ajar Anggara mempunyai wawasan yang sangat luas."
" Tetapi jika Ki Ajar Anggara juga menganggap bahwa aku telah membunuh bekas
menantunya itu ?" " Mudah-mudahan tidak, Kangjeng. Ki Ajar Anggara adalah seorang yang bijaksana.
Mempunyai pandangan yang luas dan ketajaman penalaran. Menurut pendapatku. Ki
Ajar tidak akan dengan tergesa-gesa mengambil sikap."
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya lagi " Bagaimana dengan
cucunya, anak laki-laki kangmas Tumenggung Wreda Reksayuda ?"
" Ki Ajar Anggara akan menjelaskannya
kepadanya." Kangjeng Adipati itupun mengangguk-angguk. Katanya
" Baiklah. Kita akan pergi ke padepokan Ki Ajar Anggara."
Demikianlah, setelah beristirahat beberapa saat, maka mereka berempatpun segera
melanjutkan perjalanan. Perjalanan mereka
jauh. masih Sementara itu, mereka harus berusaha
menyamarkan dirinya. Sementara itu pakaian mereka terkoyak di mana-mana. Noda-
noda darahpun telah melekat di baju dan kain panjang mereka, sehingga dengan
demikian maka mereka tidak dapat mengambil jalan yang ramai.
Ki Tumenggungpun telah membawa Kangjen
g Adipati serta kedua anaknya menempuh jalan pintas. Mereka menelusuri jalan-jalan
setapak. Kemudian merayap di lereng-lereng pebukitan.
Menuruni tebing-tebing yang tinggi dan berbatu padas.
Dalam pada itu, maka para prajurit yang terluka, yang ditinggal oleh Kangjeng
Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa berusaha mencari
bantuan. Ketika seorang petani lewat, maka seorang prajurit yang telah terluka
segera memanggilnya " Jangan takut. Aku minta
bantuanmu." " Ada apa Ki Sanak ?"
" Kemarilah." Petani itu termangu-mangu sejenak. Memang ada rasa takut dan was-was terhadap


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang itu. " Kau tinggal dimana ?" bertanya prajurit yang terluka tidak terlalu parah itu.
" Di padukuhan sebelah, Ki Sanak "
Tolong, panggilkan Ki Bekel di padukuhanmu.
Atas nama Ki Lurah Kertadangsa. Pemimpin pasukan khusus sekarang ini."
" Kalian siapa ?" bertanya seorang petani.
" Kami adalah prajurit dari Sendang Arum. Lihat pakaian kami dengan ciri-ciri
keprajuritan." " Prajurit Sendang Arum.?"
" Ya." " Lalu, apakah yang sebenarnya terjadi disini ?"
" Telah terjadi pemberontakan di Sendang Arum. Kami. sedang memburu pemimpin
pemberontak itu. Kami bertempur disini. Tetapi a
jumlah par pemberontak terlalu banyak, sehingga kami mengalami kesulitan.
Pimpinan kami. Ki Lurah Kertadangsa telah gugur di pertempuran ini."
Petani itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun telah pergi ke padukuhan
dengan tergesa-gesa. Ki Bekel d Ki Jaga an baya padukuhan itupun segera pergi ke bulak untuk melihat apa yang telah terjadi. Ternyata di bulak
terdapat beberapa orang yang terluka dan bahkan terbunuh. "
" Apa yang harus kami lakukan" " bertanya Ki Bekel.
" Perintahkan dua atau tiga orang berkuda pergi ke kadipaten. Beritahukan, bahwa
sekelompok prajurit telah bertempur melawan para
pemberontak. Tetapi jumlah para pemberontak terlalu banyak, sehingga para
prajurit telah menjadi korban. "
" Baik, Ki Sanak. Aku akan memerintahkan dua orang berkuda pe
ipa rgi ke kad ten. " Sementara dua orang anak muda pergi ke
kadipaten, maka orang-orang di padukuhan sebelah telah membantu mengumpulkan
mereka yang terbunuh dan mereka yang
a. Dengan terluk pedati yang ada di padukuhan itu, maka para korban telah dibawa ke banjar
padukuhan terdekat. " Sayang, kami tidak tahu bahwa peristiwa ini telah terjadi. Jika saja aku tahu.
maka seisi padukuhan ini akan keluar dengan "membawa senjata apa saja yang ada
pada kami " berkata seorang laki-laki yang janggutnya sudah mulai memutih.
" Peristiwan a terjadi b
y egitu cepat. Ketika kami sedang lewat untuk memburu para pemberontak, tiba-tiba saja kami disergap oleh
sekelompok pemberontak yang jumlahnya banyak sekali. Akhir dari pertempuran itu
adalah seperti yang kalian lihat sekarang. "
Ki Bekel, para bebahu dan orang-orang
padukuhan itu percaya. Namun dengan demikian, maka mereka mulai gelisah, bahwa
keadaan menjadi tidak aman
Par lagi. a brandal dari kelompok-kelompok penjahat akan segera bangkit lagi dari kehidupan yang sulit
karena tindakan tegas dari para prajurit
end S ang Arum. Namun tiba-tiba. saja mereka menyaksikan, sepasukan prajurit telah dibantai oleh
sekelompok pemberontak. Para pemberontak itu dibelakang hari tentu tidak hanya
memusatkan perhatian mereka untuk menggulingkan kedudukan Kangjeng Adipati.
Tetapi para perampok itu tentu akan sangat merugikan rakyat.
Sebelum ada langkah-langkah yang diambil oleh para pemimpin di Sendang Arum,
maka Ki Bekelpun telah mengambil sikap untuk
menguburkan korban yang telah gugur.
Sedangkan mereka yang terluka di kumpulkan di banjar padukuhan.
Dalam pada itu, di padang perdu yang
membentang di-antara beberapa bukit-bukit kecil berbatu-batu padas, dua orang
berjalan di jalan setapak yang berbatu-b
ru atu ncing. Seorang laki-laki muda menarik tangan seorang gadis sambil membentak " Cepat.
Kita harus pergi lebih jauh lagi"
" Aku letih sekali, kakang " desis gadis yang berjalan tertatih-tatih. Kakinya
ter sa sakit sekali a selain terasa sangat letih. .
" Jika para pengikut Miranti sempat menyusul kita, maka kita akan ditangkapnya,
dan dibawa kembali ke kadipaten. Kita akan menjadi pangewan-ewan. Kita akan
iperma d lukan dihadapan orang banyak oleh Miranti. "
" Tetapi aku letih sekali. "
" Kita tidak boleh berhenti. Kita harus menyingkir semakin jauh. "
Namun akhirnya kedua yapu
n n berhenti. Gadis yang letih it dirinya. Di u langsung menjatuhkan pijit-pijitnya kakinya serta di
pu urutnya nggung telapak kakinya yang terasa sakit.
Ketika anak muda yang membawanya itu
kemudian d dis uduk ebelahnya maka gadis itupun
menarik nafas panjang. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, anak muda itu sudah geremang " Kita tidak
boleh berhenti terlalu lama. Kita harus segera beranjak dari tempat ini. "
" Ya, kakang. Aku mengerti. Tetapi aku ingin beristirahat sebentar saja disini.
" Anak muda itu tidak menyahut. Tetapi wajahnya nampak gelap. Dari sorot matanya,
terpancar kegelisahan yang dalam.
" Kakang " berkata gadis itu " aku ingin mengucapkan terima kasih, kakang telah
menyelamatkan aku dengan membawa aku keluar dari taman kadipaten yang kemudian
ternyata telah diserang oleh para pemberontak. "
Laki-laki muda itu masih berdiam diri.
" Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih. "
" Kau tidak usah mengucapkan terima kasih kepadaku " berkata laki-laki muda itu.
" Bukankah kakang telah menyelamatkan aku" "
" Siapa yang akan menyelamatkanmu" Aku
membawamu pergi dari kadipaten bukan karena aku ingin menyelamatkanmu. Tetapi
aku tidak mau kau mati karena tangan orang lain. Kau harus mati karena tanganku
sendiri. " " Kakang. Apa artinya ini semua" "
" Ayahandamu telah membunuh ayahku. Maka sekarang sampai pada gilirannya, aku
membunuhmu. " " Kakang " wajah gadis itu menjadi tegang.
" Jika aku berusaha membawamu keluar dari taman kadipaten, aku
ng t mema idak merelakan kau jatuh ketangan Miranti Aku tahu, Miranti sangat membencimu. Karena itu, jika
kau jatuh ketangannya. maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Tetapi ditanganku
nasibmu tidak akan menjadi lebih baik. Ayahmu dengan licik telah membunuh
ayahku. Apapun caranya, tetapi yang terjadi itu telah membuat hatiku menjadi
luka. Luka yang sangat dalam dan tidak mungkin diobati lagi."
" Kakang " gadis itu, Ririswari, menjadi sangat cemas. Ia melihat kesungguhan di
wajah Jalawaja anak muda yang mengancamnya itu.
" Aku masih belum dapat menunjukkan bakti serta kesetiaanku kepada ayahku.
Bahkan ketika kami berpisah sebelum ayah diasingkan, aku telah mengguncang hati
ayah. Ternyata sakit hati ayah itu dibawanya sampai hari-harinya yang terakhir.
Ketika ditawarkan kepadaku untuk ikut menjemput ayah dari pengasingan, aku tidak
bersedia. Ternyata bahwa aku tidak pernah lagi bertemu dengan ay .
ah " " Kakang percaya bahwa ayahku yang telah membunuh ayahmu?"
" Ya. Selain panggraitaku serta perhitunganku yang panjang, disertai dengan
bukti yang ada, maka ayahmu telah membunuh ayahku dengan cara yang sangat
licik." " Kakang. Seandainya tuduhan kakang itu benar, bukankah bukan aku yang
bersalah?" " Kau memang tidak bersalah. Tetapi aku tidak dapat membalas membunuh ayahmu
karena ayahmu dikelilingi oleh para pengawalnya. Karena itu, aku akan membunuhmu."
" Kakang " Ririswari bergeser surut. Tetapi Jalawajapun melangkah maju
mendekatinya. " Kita sekarang berada di tempat yang terbuka.
Jauh dari pemukiman dan bahkan tempat ini jarang sekali didatangi orang. Karena
itu, maka kau tidak akari dapat mengelak lagi. Tidak ada orang yang akan dapat
menolongmu." Wajah Ririswari menjadi semakin tegang.
Apalagi ketika kemudian Jalawaja menarik kerisnya sambil berk ta
a " Pandanglah jagad ini sepuas-
puasmu untuk yang terakhir kalinya, Riris.
Pandanglah langit serta awan putih yang mengalir ke utara. Sebentar lagi kau
akan mati. Aku tidak mau orang lain membunuhmu. Tetapi aku akan membunuhmu
dengan tanganku sendiri."
Keringat dingin mengalir diseluruh tubuh Ririswari. Dipandanginya wajah Jalawaja
dengan tajamnya. Sedangkan tubuh gadis itu menjadi gemetar.
" Katakan pesanmu terakhir Riris. Atau pesanmu buat orang lain."
Ririswari bergeser setapak surut. Namun tiba-tiba saja, seakan-akan begitu saja
tumbuh didalam dirinya, keberanian yang luar biasa. Tiba-tiba saja, Ririswari
tidak lagi ketakutan melihat keris Jalawaja yang bergetar. Bahkan Ririswari
tidak merasa cemas lagi melihat geramnya wajah Jalawaja Bahkan kemudian
Ririswari itupun justru bergeser setapak maju. Dengan mata yang basah dan suara
sendat tetapi mantap, Ririswaripun berkata "
Kakang. Jika itu yang kau kehendaki, lakukanlah kakang. Kalau kau ingin
membunuhku sekarang. Bunuhlah. Aku memang tidak dapat mengelak lagi.
Aku tidak akan dapat lari. Aku juga tidak akan dapat minta tolong kepada
siapapun. Tetapi seandainyaa itu dapat aku lakukan, aku memang tidak ingin lari.
Aku tidak ingin mint tolong k a
epada siapapun. jika dengan kematianku, kau akan mendapat kepuasan, maka lakukanlah.
Bunuhlah aku. Aku akan merasa gembira di saat-saat akhir hayatku karena
kematianku masih mempunyai arti bagimu.
" Cukup". " Kakang, aku masih akan mengucapkan terima kasih kepadamu, bahwa baru sekarang
kau akhiri hidupku. Tidak semalam di taman kadipaten, sehingga pagi ini aku
masih sempat melihat matahari terbit."
" Diam. Jangan banyak bicara lagi. Sekarang tundukkan kepalamu. Pejamkan matamu,
aku akan menusuk dadamu."
" Tidak perlu kakang. Aku tidak.perlu
menundukkan wajahku. Aku tidak perlu
memejamkan mataku, Aku ingin melihat kilatan kerismu saat kerismu menikam
dadaku. Aku ingin melihat titik-titik darahku yang memancar dari lukaku sebelum
aku menarik nafasku yang terakhir.
Kakang. Aku akan merelakan hidupku demi kepuasanmu."
"Diam. Diam kau Riris."
" Bukankah kakang minta aku memberikan
pesanku yang terakhir" Nah, selamat tinggal kakang. Kakang dapat mengatakan
kepada Rara Miranti, bahwa aku telah mati di tangan kakang sendiri."
" Cukup. Cukup Riris."
" Kakang. Jika kakan
melakuk g ingin annya, lakukan sekarang. Aku sudah siap."
" Kau tidak takut. Riris?"
" Tidak kakang. Bukankah jalan ini adalah jalan terbaik bagiku." Kakang telah
memberikan arti bagi hidupku."
" Riris. Kenapa kau tidak menjadi ketakutan"
Kenapa kau tidak gemetar dan berjongkok dihadapanku untuk minta diampuni?"
" Kenapa aku harus takut menghadapi
kematianku. jika kematianku itu
membahagiakanmu " Sudahlah.kakang. Jangan membuat pertimbangan-pertimbangan
lagi. kerismu dan hunjamkan Ayunkan ke dadaku. Aku akan mati. Tubuhku akan terkapar disini. Mungkin nanti atau besok, tubuhku akan
inen jadi makanan burung-burung pemakan bangkai. Tetapi nyawaku akan tersenyum
bersamamu kakang. Aku akan ikut merasakan kebahagiaanmu."
" Diam. Diam. Kau jangan berbicara lagi. Riris "
teriak Jalawaja. Riris terdiam. Tetapi ia masih saja
menengadahkan dadanya. " Tidak. Tidak " berkata Jalawaja kemudian "aku tidak akan membunuhmu sekarang.
Kematianmu sia-sia. Yang akan aku sakiti hatinya adalah paman Adipati yang telah
membunuh ayahku. Karena itu.
aku akan membunuhmu dihadapan paman Adipati.
Atau setidak-tidaknya paman Adipati tahu. bahwa aku telah membunuhmu. Jika aku
bunuh kau sekarang, maka berita kematianmu itu tidak akan sampai ke telinga
paman Adipati." Ririswari mengerutkan dahinya. Kemudian iapun berkata " Bukankah kakang da
b pat erceritera kepada ayah. bahwa aku sudah mati " Bahkan tubuhku atau sisa-sisa tubuhku dan
pakaianku akan dapat diketemukan disini " Ayah akan tahu.
bahwa aku sudah mati. Kakang dapat mengatakan kepada ayah, bahwa kakang
Jalawajalah yang telah membunuhku."
" Tetapi it k aka u tida n memberiku kepuasan tertinggi. Ka a itu ma ren ka aku akan membawamu mencari pa

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adipati man . Aku akan membunuh di hadapan paman Adipati. Aku kira itu adalah cara terbaik untuk mendapatkan
kepuasan tertinggi bagiku."
" Tetapi itu tidak perlu kakang. Tentu pada suatu saat ayah tahu, bahwa aku
sudah mati dibunuh oleh kakang Jalawaja, putera Raden Tumenggung Wreda Reksayuda
yang telah dibunuh Adipati
oleh Kangjeng di Sendang Arum dengan cara yang sangat licik. Ayah tentu dapat menghubungkan kedua peristiwa itu.
Dendam yang menyala di hati kakang Jalawaja, putera Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda itu." " Tidak. Tidak. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Tidak " Jalawaja berteriak-
teriak sekeras-kerasnya. Suaranya menggetarkan udara dan membentur dinding-
dinding hutan dan pegunungan. Gemanya terdengar bergelombang, susul menyusul.
Ririswari termangu-mangu sejenak. Ketika Jalawaja bergeser menjauh dan
membelakanginya, maka Ririswari justru mendekatinya.
" Kakang. Kakang tidak apa-apa ?"
" Aku tidak dapat membunuhmu sekarang Riris.
Tetapi aku akan membawamu kepada ayahmu. Aku akan membunuhmu dihadapan paman
Adipati untuk meyakinkan apakah paman merasa terpukul oleh kematianmu
." atau tidak " Jangan kakang. Kau jangan membunuhku
dihadapan ayahku." " Kenapa ?" " Mungkin kau tidak mempunyai kesempatan untuk melakukannya. Tetapi akibat lain
akan dapat terjadi. Ayah akan marah dan ayah akan bertindak terhadap kakang
Jalawaja. Meskipun kakang Jalawaja dapat menjaring angin, tetapi kakang tidak
akan dapat menghadapi ayahanda. Baik ayahanda seorang diri, apalagi dengan para
pengawalnya." " Aku tidak peduli."
" Kakang dapat membunuhku dengan cara yang lebih aman. Sekarang. Kemudian kakang
pergi ke padukuhan. mem-beritahu
an or g-orang Padukuhan. Pesan kepada mereka agar kematianku dapat didengar oleh Kangjeng
Adipati, jika Kangjeng Adipati belum mati dibunuh oleh para pemberontak."
" Tidak. Biarlah aku berbuat menurut
kemauanku sendiri. Kau jangan berbicara apa-apa lagi Riris."
Teriakan Jalawaja itu menggetarkan jantung Riris. sehingga Ririswaripun berdiam
diri. Namun tiba-tiba saja Jalawaja itu meloncat menyambar pergelangan tangan
Ririswari sambil berkata " Kita harus berjalan lagi. Kita harus mengindari para
pengikut Miranti dan paman Tumenggung Jayataruna."
" Tetapi aku masih lelah, kakang."
" Aku tidak peduli. Kita harus berjalan lagi."
Ririswari tidak dapat membantah lagi.
Jalawajapun menariknya agar Ririswari berjalan diatas lorong sempit berbatu-batu
padas, menjauhi kadipaten.
Ririswari tidak tahu. ia akan dibawa kemana.
Yang dapat dilakukan adalah mencoba berjalan mengikuti irama langkah Jalawaja.
Karena itu. maka Ririswari itu kadang-kadang harus berlari-lari kecil.
Dalam pada itu. di kadipaten Sendang Arum.
kesibukan masih nampak disana-sini. Namun Ki Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu
Reksayuda sudah sempat duduk di ruang tengah dalem kadipaten yang telah
direbutnya.. " Agaknya tugas terberat kita sudah lewat.
Raden Ayu " berkata Ki Tumenggung Jayataruna.
" Belum kakang. Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa belum tertangkap
hidup atau mati. Ririswari dan bahkan juga Jalawaja belum dibawa menghadap
kepadaku." " Itu bukan tugas yang berat, Raden Ayu. Aku sudah memerintahkan kepada para
prajurit untuk tetap memburu Kangjeng Adipati dan Ki
Tumenggung Reksabawa. Para prajurit juga sudah melacak ke kademangan Karangwaru.
Tetapi Kangjeng Adipati tidak ada disana. Mungkin Kangjeng Adipati telah pergi
ke kadipaten Majawarna. Atau pergi ke tempat yang lain. "
" Untuk menangkap Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa bukannya tugas
yang ringan kakang. Juga untuk menemukan Ririswari dan Jalawaja. "
" Aku sudah mengirimkan sekelompok prajurit ke padepokan Ki Ajar Anggara.
Sebelumnya, Jalawaja selalu berada di padepokan itu. Tetapi ternyata Jalawaja
sudah tidak berada di padepokan itu lagi. "
" Sudah tidak tinggal di padepokan itu, atau sedang perg
ing i men galkan padepokan. " " Para prajurit tidak menemukan Jalawaja di padepokan. Sementara itu Ki Ajar
Anggara juga mencarinya. Jalawaja pergi tanpa pamit. Tiba-tiba saja ia tidak
nampak berada di padepokan itu. "
" Semuanya itu adalah tugas yang berat yang masih tersisa. "
" Raden Ayu jangan cemas. "
" Tetapi jika Kangjeng Adjpati berada di kadipaten Majawarna, maka akan dapat
timbul persoalan kakang. Jika Majawarna bersedia membantu Kangjeng Adipati, maka
kita akan berhadapan dengan kadipaten yang kuat itu. "
" Tidak. Majawarna tidak akan mau berkorban terlalu banyak bagi Kangjeng
.Adipati yang sudah tidak berpengharapan lagi. Tidak ada keuntungan apa-apa bagi
kadipaten Majawarna untuk
membantu Kangjeng Adipati. Sementara itu.
Majawarna harus mengor ka ban n sejumlah prajuritnya untuk kepentingan yang sia-sia. "
" Kakang Jayataruna yakin " "
" Aku yakin. Kecuali jika kedudukan Kangjeng Adipati masih kokoh. Mungkin ada
pertimbangan khusus di Majawarna sehingga Majawarna akan membantunya.
Mungkin'ada kesediaan Kangjeng Adipati untuk melepaskan hutan Rawa Amba untuk di
masukkan ke tlatah Majawarna. Atau daerah pebukitan yang berhutan lebat di
sekitar danau Ketawang. Tetapi sekarang Majawarna tidak dapat mengharapkan apa-
apa lagi dari Kangjeng Adipati, sehingga Majawarna tentu tidak akan
membantunya. " " Tetapi bukankah prajurit yang terluka itu mengatakan bahwa mereka akan pergi
ke Kademangan Karangwaru atau ke. Kadipaten Majawarna. "
" Kata-kat u a it tentu diucapkan sebagaimana
orang mengigau. Tetapi mereka tentu akan memikirkannya lagi ser hingga mereka
akan mengambil arah yang lain. Namun dengan
demikian maka tugas kita masih belum selesai, kakang."
" Bukankah tinggal tugas-tugas kecil " "
" Jika Kangjeng Adipati bangkit dan berhasil mempengaruhi rakyat " "
" Semua Senapati di Sendang Arum erta par s
a Demang sudah menyatakan setia kepadaku.
Seandainya Kangjeng Adipati akan mencoba-coba untuk bangkit, maka ia akan
terhimpit oleh kekuatan yang sudah tergalang. "
" Tetapi mungkin saja sikap rakyat Sendang Arum berbeda dengan sikap para
pemimpinnya. Bahkan mungkin sikap para prajurit di tataran terbawah akan berpihak kepada
Kangjeng Adipati jika Kangjeng Adipati itu tiba-tiba muncul kembali."
" Tidak ada kekuatan yang akan mendukungnya.
" " Baiklah, kakang. Kita masih akan
menyelesaikan tugas kita sampai tuntas. "
" Raden Ayu., Bukankah aku tidak perlu
menunggu sampai masalah-masalah kecil harus diselesaikan. "
" Ini bukan masalah kecil, kakang. "
" Jangan mengada-ada, Raden Ayu. "
Kaka " ng. Apakah yang sebenarnya kakang
kehendaki " " " Aku menagih janji, Raden Ayu. "
Raden Ayu tertawa. Katanya " Apakah kakang belum pernah menagih janji selama ini
" " " Maksudku, hubungan kita akan menjadi
terbuka, Raden Ayu. "
" Kita masih harus berjuang lebih lama lagi kakang. Apa kata para prajurit dan
para Demang yang mendukung kita, jika ki
a ta l ngsung menikmati hasil perjuangan yang belum selesai ini."
" Mereka akan dapat mengerti, Raden Ayu.
Justru setelah kita disatukan oleh ikatan jiwani itu, maka perjuangan kita akan
menjadi semakin meningkat. "
" Kita masih harus menjaga nama baik kita, kakang. Lagi pula, apa kata anak dan
isteri kakang " " " Itu soal mudah. Aku akan mengatasinya."
" Tetapi aku minta kakang menjadi sabar.
Biarlah hubungan di antara kita berlangsung seperti ini saja untuk sementara.
Lain kali, setelah segala sesuatunya selesai, kita akan membicarakannya. "
" Raden Ayu. Aku minta Raden Ayu jangan memandang aku sekarang sebagai seorang
Tumenggung yang derajad dan pangkatnya berada dibawah derajad dan pangkat
seorang Tumenggung Wreda. Tetapi aku sekarang
memegang pimpinan di kadipaten Sendang Arum ini. "
" Aku tahu, kakang. Tetapi kakang harus sabar menunggu segala-galanya selesai
sampat tuntas. Baru kita sempat memikirkan kita sendiri. "
Ki Tumenggung Jayataruna tidak sempat
menjawab. Raden Ayu itupun kemudian telah bangkit berdiri sambil berkata" Maaf
kakang. Renungkan. Jangan sakiti hati para prajurit dan para Demang. Perjuang
ya u an ini bukan han ntuk kita berdua. Tciapi uniuk menegakkan kebenaran dan keadilan di Kadipaten ini. "
Ki Tumenggung Jayataruna menjadi termangu-mangu. Tetapi ia tidak berkala apa-apa
lagi. Dipandanginya saja Raden Ayu yang meninggalkan ruangan ilu sambil berkala " maaf
kakang. Bukankah kita mempunyai banyak kesempatan"
Karena itu, jangan lergesa-gesa mengikat diri selagi kita masih dapat berbuat
dalam kebebasan kita masing-masing. "
Ki Tumenggung Jayataruna masih tetap berdiam diri. Namun iapun kemudian
mendengar suara tertawa Raden Ayu Reksayuda:
Namun Ki Tumenggung Jayataruna yang sempal merenung beberapa saat itupun
kemudian mengangguk-angguk sambil berkata kepada diri sendiri " Raden Ayu benar. Kenapa
aku harus tergesa-gesa" "
Namun sebenarnyalah bahwa Ki Tumenggung Jayataruna tidak mau terlambat. Jika ada
orang lain yang datang dan langsung menarik perhatian Raden Ayu itu lebih dari
dirinya" " Tentu tidak ada " berkata Ki Tumenggung kepada diri sendiri " agaknya kita
hanya akan berhubungan dengan beberapa orang yang sudah kami kenal dengan baik.
" Meskipun demikian, Ki Tumenggung Jayataruna masih tetap merasa bahwa sebelum
burung itu terikat sayapnya, ia masih saja dapat terbang dengan bebasnya.
Balikan tiba-tiba saja. Meskipun demikian Ki Tumenggung Jayataruna juga tidak dapat memaksa Raden Ayu
Reksayuda. Jika terjadi persoalan diantara mereka, maka rencana besar mereka akan dapat
menjadi kacau. Namun sikap Raden Ayu itu telah memaksa Ki Tumenggung Jayataruna n
u tuk bekerja lebih keras
lagi. Mereka harus segera menemukan Kangjeng Adipati serta ki Tumenggung
Reksabawa. Selain merek ya
a ng harus diserahkan hidup atau mati, Ki Tumenggung Jayataruna juga memerintahkan
untuk menangkap hidup-hidup Ririswari dan Jalawaja.
Dalam pada itu, Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa telah samp
ma ai ke ru h Ki Ajar Anggara. Kedatangan keduanya disertai dua orang anak muda sempat
mengejutkan Ki Ajar. Deng te an rgopoh-gopoh Ki Ajaar Anggara
mempersilahkan keempat r o ang tamunya duduk di serambi depan rumahnya. " Selamat dalang Kangjeng, serta Ki
Tumenggung dan kedua orang anak muda. "
" Selamat Ki Ajar. Bagaimana keadaan Ki Ajar di padepokan ini. "
" Aku baik-baik saja, Kangjeng. Teta i
p sebenarnyalah bahwa tempat tinggalku bukan sebuah padepokan. Rumah ini tidak
lebih dari sebuah gubug. "
" Tetapi bukankah disini tinggal para cantrik?"
" Tidak, Kangjeng. Tidak ada seorang cantrikpun yang tinggal disini. Tetapi
sebagian anak-anak muda di padukuhan sebelah, yang tidak jauh dari tempat
tinggalku ini menganggap aku sebagai guru mereka. Bahkan sebagian dari mereka
mer manggil aku guru. Padahal tidak ada ilmu yang dapat aku berikan kepada
mereka. " " Bukankah sama saja, Ki Ajar. Apakah murid-murid Ki Ajar tinggal liisini atau
tinggal di tempat lain. "
Ki Ajar ilu tertawa. Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung
Reksabawapun bertanya " Ki Ajar. Aku melihat jejak kaki kuda banyak sekali di
halaman. " Ki Ajar itu tersenyum. Katanya " Rumah ini baru saja di porak-porandakan oleh
beberapa orang prajurit" "~
" Rumah ini" Kenapa" "
" Mereka datang untuk menc
cucu ari ku, Jalawaja. Mereka mengatak
an bahwa mereka mendapat perinlah dari Raden Ayu Reksayuda serta Ki Tumenggung Jayatar a untuk
un menangkap dan membawa Jalawaja ke kadipaten."
" Kenapa mereka akan menangkap Jalawaja" "
" Persoalan pribadi, Kangjeng. "


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Persoalan pribadi" "
Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk sambil berdesis " Ya, Kangjeng."
" Apakah mereka menemukan angger Jalawaja"
" bertanya Ki Tumenggung Reksabawa.
" Tidak, Ki Tumenggung. Mereka tidak
menemukan cucuku. Adalah kebetulan bahwa cucuku tidak ada di rumah. "
" Apakah sekarang Jalawaja sudah pulang" "
bertanya Kangjeng Adipati.
" Belum Kangjeng. Jalawaja belum pulang.
Sebenarnyalah bahwa aku mencemaskannya.
Jalawaja pergi dengan membawa beban di hatinya.
Kematian ayahnya sempat mengguncang jiwanya.
Sementara itu, ia tidak dapat datang untuk memberikan penghormatan terakhir
kepada ayahnya itu. "
" Aku memang tidak melihat Jalawaja pada waktu itu. Kenapa" Kenapa ia tidak
dapat pulang untuk memberikan penghormatan terakhir kepada ayahn a" "
y " Persoalan pribadi itulah, Kangjeng. "
" Jalawaja mempunyai persoalan pribadi dengan kangmbok Reksayuda" "
" Ya, Kangjeng. Persoalan pribadi yang terhitung gawat yang membuat Raden Ayu
Reksayuda menjadi gila dan berbuat diluar kendali."
" Apa yang Ki Ajar maksudkan" "
Ki Ajar Anggara termangu-mangu sejenak. Ia memang merasa ragu untuk menceritakan
nya. Tetapi mungkin cerita itu akan dapat membantu menelusuri peristiwa yang terjadi
di Sendang Arum. Karena itu. meskipun agak ragu, Ki Ajar Anggara itupun menjawab " Kangjeng
Adipati. Aku tidak tahu apakah Jalawaja setuju atau tidak setuju, jika aku
ceritakan persoalan pribadinya dengan Raden Ayu Reksayuda. Tetapi untuk
menghindarkan salah paham, kenapa Jalawaja tidak dalang pada saat pemakaman
ayahnya yang baru saja pulang dari pengasingan, maka sebaiknya persoalannya aku
beritahukan kepada Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa."
Kangjeng Adipati dan Ki Tumenggung
Reksabawa mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.
Namun tiba-tiba saja Ki Ajar Anggara itu benanya " Tetapi siapakah kedua orang
anak muda itu" "
" Mereka adalah anak-anakku, Ki Ajar. "
" Sebenarnya putera Ki Tumenggung" "
" Ya. Mereka adalah anak-anak kandungku.
Mereka telah membantu ayahnya serta Kangjeng Adipati membebaskan diri dari
tangan sekelompok prajurit yang memburu kami."
Ki Ajar Anggara mengangguk-angguk.
" Tetapi jika mereka tidak sebaiknya
mendengarkannya, biarlah mereka berada di luar."
" Tidak. Tidak apa-apa. Biarlah mereka
mendengarkan ceritanya. Ceritera yang menarik.
Seperti ceritera dongeng. "
Ki Ajar Anggara berhenti sejenak. Namun kemudian ia berkata pula " Tetapi aku
mohon maaf, jika ceritera itu menyangkut nama Raden Ajeng Ririswari. "
" Ririswari" " bertanya Kangjeng Adipati.
" Ya, Kangjeng. "
" Baiklah. Ceriterakan Ki Ajar. "
Ki Ajarpun kemudian telah menceriterakan hubungan antara Rara Miranti dengan
Raden Jalawaja yang juga menyangkut nama Ririswari yang dianggap Miranti
gh men alangi hubungannya dengan Jalawaja. Kangjeng Adipati dan Ki Reksabawa
mendengarkan ceritera itu dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali keduanya
mengangguk-angguk. Namun kemudian menarik nafas panjang.
Demikian Ki Ajar selesai dengan ceriterahya, maka Ki Tumenggung Rcksabawapun
berkata "Itukah yang terjadi" Agaknya Rara Miranti benar-benar telah kehilangan kendali.
Perasaan kecewa n den da dam telah membuatnya kehilangan akal
dan berbuat diluar kewajaran. "
" Ya, Ki Tumenggung. Dengan demikian, maka Jalawaja telah berjanji kepada
dirinya sendiri, selama ibu tirinya masih ada di rumahnya, ia tidak akan mau
pulang apapun alasannya. "
Ki Tumenggungpun mengangguk-angguk.
Namun kemudian iapun berkata " Ki Ajar.
Sebenarnyalah bahwa kedatangan kami ke
padepokan ini juga karena tingkah Rara Miranti dan Ki Tumenggung Jayataruna. "
" Aku mendengar dari para prajurit yang datang mencari Jala
bahwa Ka waja, ngjeng Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa telah meninggalkan dalem kadipaten. "
" Kami tidak mempunyai tujuan, Ki Ajar. Karena ilu, maka kami justru memilih
untuk datang kemari. Tetapi ternyata tempat inipun menjadi sasaran para prajurifyang telah
terpengaruh oleh Ki Tumenggung Jayataruna. "
" Tetapi menurut dugaanku, mereka tidak akan segera kemb
kemari, Ki Tumenggung ali . Mereka tentu mengira bahwa Jalawaja tidak akan tinggal di pondok ini lagi selelah para
prajurit datang kemari." Bahkan mungkin Raden Ayu Reksayuda mengira bahwa yang
telah melarikan Raden Ajeng Ririswari itu adalah Jalawaja. "
" Aku ber emi harap d kian, Ki Ajar. Mudah- mudahan Jalawaja dapat menyelamatkan Ririswari.
" " Ya " Ki Ajar mengangguk-angguk kecil. Lalu katanya " Sebaiknya Kangjeng
Adipati dan Ki Tumenggung Reksabawa berada di pondok ini saja lebih dahulu
sambil menunggu perkembangan keadaan. Mudah-mudahan ada titik-titik cerah yang
dapal dimanfaatkan untuk mencari jalan keluar dari peristiwa yang memprihatinkan
ini. " " Terima kasih atas kesediaan Ki Ajar Anggara untuk menerima kami. Tetapi jika
keberadaan kami justru akan menyulitkan keadaan Ki Ajar, maka aku kira kami
dapat mencari jalan lain " berkata Kangjeng Adipati.
" Tidak. Kangjeng. Aku kira para prajurit itu", setidak-tidaknya untuk
sementara, seperti yang aku katakan tadi, tidak akan dalang kemari. "
akan tinggal " Baiklah Ki Ajar. Aku
disini untuk beberapa lama. Namun sambil menunggu, aku ingin minta kedua anak laki-laki
kakang Tumenggung Reksabawa untuk membantu
menemukan Ririswari jika Ki Tumenggung tidak ar
berkeb atan. " " Tentu tidak, Kangjeng. Akupun yakin bahwa kedua anak-anakku itu akan bersedia
melakukannya. " " Tentu ayah " sahut Ragajati " kami akan melakukan apa saja jika Kangjeng
Adipati memerintahkannya. "
" Nah, pergilah. Cari Raden Ajeng Ririswari sampai ketemu. Kemanapun kalian
pergi." Baik, a " yah " jawab kedua anak muda itu
hampir berbareng " kami mohon diri."
Namun Ki Ajarpun menyela " Jangan sekarang ngger. Beristirahatlah barang
sejenak. Minum dan beberapa potong makanan akan membuat angger berdua menjadi
segar. Nampaknya angger berdua juga harus mengobati goresan-goresan di tubuh
angger. " " Tidak apa-apa Ki Ajar"jawab Ragajati " luka-luka kami tidak seberapa. Ayah
sudah mengobati luka-luka kami itu."
" Tetapi biarlah kalian beristirahat dahulu. "
" Baiklah Ragajati dan Ragajaya. Kalian dapat beristirahat dahulu. Kalian tentu
juga letih " berkata Ki Tumenggung. Kedua orang anak muda itu menarik nafas panjang.
" Kalian berdua dapat berangkat esok pagi-pagi."
" Kami tidak ingin terlambat, Ki Ajar " Jawab Ragajati " kami akan seger
ran a be gkat meskipun harus berjalan di malam hari. "
Sebenarnyalah anak-anak muda itu tidak mau menunda sampai esok. Waktu sangat
berarti bagi mereka berdua.
Karena itu, maka setelah minum dan makan beberapa potong makanan, kedu
minta anyapun diri. Ki Ajar Anggara masih memberikan beberapa pesan kepada mereka berdua. Ki Ajar
memberikan ancar-ancar jalan pintas dari Sendang Arum sampai ke pondok kecil
itu. " Seandainya. Hanya seandainya, ngger.
Jalawaja sempat menyingkirkan Raden Ajeng Ririswari dan oemiat membawa ke pondok
ini, ia tentu tidak akan mengambil jalan yang terbiasa dilaluinya. Ia tentu akan
mengambil jalan pintas. Lewat lorong-lorong sempit di lereng-lereng bukit kecil. Menyusuri padang perdu,
sawah dan pategalan. "
" Kami akan menyusuri jalan itu, Ki Ajar. "
" Jalan pintas itu, bukan jalan pintas yang kita lalui " berkata Ki Tumenggung
Reksabawa. " Ya. Ayah. Kami mengerti. "
" Ingat. Disepanjang perjalanan kaitan. Jangan memberi tahukan kepada siapapun.
dimana Kangjeng Adipati sekarang berada. "
" Baik, ayah "jawab Ragajati.
sejena Demikianlah, maka k kemudian, keduanyapun segera minta diri. Berdasarkan atas ancar-ancar yang diberikan oleh
Ki Ajar Anggara. mereka berharap untuk dapat bertemu dengan Raden Ajeng Ririswari. Siapapun yang
membawanya keluar dari taman keputren....
Ketika malam turun, maka di langit nampak bulan yang hampir bulat mulai naik.
Meskipun cahayanya tidak seterang matahari, tetapi mampu menembus kegelapan
sehingga Ragajati dan Ragajaya dapat mengenali jalan yang belum pernah
dilaluinya. Mereka hanya sekedar berpegang pada ancar-ancar yang diberikan oleh
Ki Ajar Anggara. Meskipun demikian, keduanya dapat menelusuri lorong itu tanpa kesulitan.
Meskipun mereka harus melewati jajan' sempit di lereng bukit kecil.
Kemudian menuruni tebing-tebing yang tidak terlalu tinggi. Melalui jalan setapak
berbatu-batu padas. Cahaya bulan ternyata sangat membantu
perjalanan mereka, sehingga mereka dapat melihat pepohonan, bebatuan dan
pertanda lain yang disebut oleh Ki Ajar Anggara.
Dalam pada itu, Jalawaja yang membawa Raden Ajeng Ririswari, berada di tengah-
tengah bentangan pategalan yang luas. Ketika Jalawaja menemukan sebuah gubug
yang kosong, maka ia memaksa Ririswari untuk masuk ke dalamnya, menutup pintunya
dan mengganjalnya dengan batu yang cukup besar dari luar.
Dengan demikian, maka Jalawaja dapat
beristirahat sementara Ririswari tidak dapat melarikan diri. Meskipun gubug itu
bukan bangunan yang kokoh, tetapi Ririswari tidak akan dapat menerobos keluar.
Ketika malam menjadi semakin jauh, Jalawaja duduk dibawah sebatang pohon di
depan gubug kecil itu, bersandar pada batangnya. Setelah seharian berjalan lewat
lorong-lorong sempit berbatu-batu padas, maka Jalawaja itupun merasa letih juga.
Angin yang semilir seakan-akan mengipasi wajahnya yang berkeringat.
Sekali-sekali Jalawaja memandang bulan yang hampir bulat, tetapi
dak b ia ti anyak menarik perhatian terhadap bulan. Bahkan matanya tiba-tiba saja menjadi berat.
Beberapa saat kemudian, di luar sadarnya matanyapun telah terpejam.
Namun rasanya Jalawaja itu seperti bermimpin ketika ia mendengar suara tembang.
Hanya perlahan-lahan. Tetapi justru disepinya malam, tembang itu terdengar
jelas. Kata demi kata. Jalawaja merasa seakan-akan ia berada di pondoknya, duduk di serambi depan di
bawah cahaya bulan. Kakeknya sedang duduk terkantuk-kantuk. Jalawaja merasa
seakan-akan diruang dalam Ririswari sedang membaca kitab dengan alunan tembang
mecapat. Jalawaja terkejut ketika seekor semut merah menggigit kakinya. Demikian ia
membuka matanya, maka iapun segera sadar, bahwa ia sedang bermimpi. Ia tidak
sedang berada di serambi pondok eyangnya. Tetapi ia duduk dibawah sebatang pohon
di sebuah pategalan yang sepi.
" Aku bermimpi " desis Jalawaja.
Diluar sadarnya ia mengangat wajahnya. Ia melihat bulan masih mengambang di
langit. Cahayanya seakan-akan menjadi semakin terang.
Tetapi sesuatu yang terjadi didalam mimpinya itu masih tertinggal. Ia mendengar
suara tembang sebagaimana didengarnya didalam mimpi.
Perlahan-lahan, tetapi jelas.
Akhirnya Jalawaja menyadari sepenuhnya, bahwa yang mengalunkan tembang itu
memang Ririswari sebagaimana yang terjadi didalam mimpinya.
Jalawaja berkisar membelakangi gubug kecil itu.
Tetapi suara tembang yang hanya perlahan-lahan itu didengarnya dengan jelas.
Karena itu, maka Jalawaja itupun beringsut beberapa langkah menjauh. Namun ia
masih mendengar suara tembang itu. Justru seakan-akan menjadi semakin keras.
Suara tembang itu membuat Jalawaja menjadi gelisah. Meskipun suara tembang yang
didengar itu sama dengan suara tembang yang didengar didalam mimpinya, namun
suasananya berbeda. Jalawaja tidak lagi duduk berdua dengan kakeknya yang terkantuk-kantuk diserambi
sambil menikmati suara tembang itu. Ririswari juga tidak sedang berada di ruang
dalam pondok kecil kakeknya itu.
Tetapi Ririswari berada didalam sebuah gubug kecil yang pintunya diganjal batu
dari luar. Tiba-tiba saja Jalawaja itu membentak hampir berteriak " Diam. Diam kau Riris."
Tetapi Ririswari tidak segera diam. Ia
melanjutkan, melantunkan tembangnya.
" Riris. Kau dengar. Diam, diamlah."
Tetapi Ririswari masih saja melagukan
tembangnya. Jalawaja yang menjadi sangat gelisah itupun berlari ke pintu gubug itu. Kedua
tangannya berganti-ganti memukul daun pintu itu keras-keras.
" Kau mau berhenti atau tidak ?"
Namun Ririswari masih menghabiskan satu bait tembangnya. .
" Kalau kau tidak mau diam, aku bakar gubug ini. Kau tidak akan dapat lari
kemana-mana." Baru kemudian, setelah bait tembangnya habis.
Ririswaripun terdiam. Tetapi gadis itupun bertanya " Kau akan membakar gubug ini kakang ?"
" Ya " " Gubug ini terlalu sempit, kakang. Didalam gelap sekali meskipun ada beberapa
lubang didinding " berkata Ririswari kemudian " kakang.
Kenapa aku kau sekap didalam gubug ini " Kenapa aku tidak boleh keluar ?"


Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

" Tidak. Kau tidak boleh keluar."
" Di dalam terasa sumpek sekali, kakang."
" Tetapi kau tidak boleh keluar."
" Jika aku tetap berada didalam, aku akan dapat akang."
pingsan k " Pingsanlah: Aku tidak peduli."
" Tolong kakang. Biarlah aku keluar."
" Kau akan mencari cara untuk melarikan diri ?"
" Bagaiman gki a mun n aku dapat melarikan dirr.
Aku sudah tidak bertenaga sama sekali. Kakiku sakit. Berdarah dan bengkak."
" Aku tidak peduli. Apapun yang akan terjadi atasmu didalam gubug kecil itu, aku
tidak peduli. Akhirnya kau juga akan mati."
" Jika demikian, baiklah kakang. Aku hanya, dapat pasrah, apa yang akan terjadi
atas diriku. Pingsan; mati lemas atau apapun yang harus aku jalani. Aku sadari, bahwa bagimu
aku tidak lebih dari seonggok sampah."
" Diam. Diam kau Riris. Kau dengar ?"
" Kakang " Jalawaja menghentakkan tangannya memukul pintu gubug kecil itu, sehingga gubug
itu bagaikan diguncang gempa.
Tetapi suara Ririswari tidak berubah. Agaknya ia sudah benar-benar pasrah,
sehingga dengan demikian, maka perasaannya justru menjadi tenang.
Dengan irama suara yang damai, Ririswari itupun bertanya " Kakang, apakah
rembulan itu bulat ?"
" Diam, diam. Kau dengar " Kau membuat
jantungku berhenti berdetak."
" Aku hanya ingin melihat rembulan pada saat-saat terakhirku, sebelum kau antar
aku menghadap Yang Maha Agung."
" Tidak ada rembulan di langit. Malam gelap pekat. Aktipun tidak melihat apa-apa
di luar." " Aku melihat berkas-berkas sinarnya lewat lubang-lubang dinding bambu gubug
ini." " Cukup." Alangk " ah bahagianya dedaunan dan kuncup-
kuncup kembang yang malam ini sempat
menyaksikan cahaya rembulan yang menerangi bumi ini. Yang menguak kegelapan dan
memancarkan terang."
" Gila. Apakah kau sudah gila, Riris."
" Mungkin kakang. Mungkin aku memang sudah menjadi gila, karena aku berada di
dalam kegelapan. Apalagi ruangan ini terlalu sempit dan pengab."
Jalawaja menggeretakkan giginya.
Namun Ririswari masih berbicara terus
"Sementara itu, diluar bulan bersinar dengan terangnya."
Jalawajapun kembali menghentak-hentak pintu gubug kecil itu.
Meskipun demikian Ririswari masih juga berkata
" Aku merasa iri terhadap burung-burung kecil yang tidur di-sarangnya, yang
sempat menyelimuti anak-anaknya sambil memandangi cahaya bulan."
Jalawaja tidak dapat menahan perasaan lagi.
Dengan kakinya di hentakkannya batu yang mengganjal pintu gubug itu. Dengan
kasar Jalawajapun berkata " Keluar. Keluarlah. Kau membuat darahku berhenti
mengalir." --ooo0dw0ooo-- Jilid 5 DEMIKIAN pintu terbuka, maka Ririswaripun melangkah keluar. Tubuhnya nampak
lemah sekali. Tetapi wajahnya menjadi cerah. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka sinar
bulan itupun telah jatuh ke wajah yang sendu itu.
"Terima kasih, kakang."
"Kau tidak perlu mengucapkan terima kasih itu.
Hatiku tidak akan menjadi lentur karena kecengenganmu itu. Aku akan tetap
membunuhmu. Paman Adipati harus tahu, bahwa akulah yang telah membunuh anak
perempuannya. Paman Adipati telah berhutang nyawa. Ia harus membayar dengan nyawa pula.
"Kakang. Bukankah sudah beberapa kali aku katakan bahwa aku tidak akan mengelak.
Jika kau akan membunuhku, aku akan menengadahkan dadaku. Kecuali aku memang
tidak mungkin lari, seperti yang sudah aku katakan, aku akan merasa bahagia
karena matiku mempunyai arti bagimu."
"Diam. Kau dengar?"
Ririswari itu seakan-akan tidak mendengar bentakan-bentakan Jalawaja.
Dipandanginya bulan itu sepuas-puasnya sambil berkata - Rasa-rasanya malam ini
adalah malam terakhir aku memandang bulan. Besok aku sudah akan mati. Rasa-
rasanya senang dapat duduk bersama bidadari yan sed g
ang menenun di wajah di bulan itu bersama seekor kucing candramawa."
"Bercelotehlah. Malam ini memang
kesempatanmu terakhir. Karena seterusnya kau tidak akan dapat melihat bulan itu
terbit." "Aku memang tidak akan dapat melihat bulan itu terbit, karena aku akan berada
didalamnya. Aku akan melihat dari langit, kakang menikmati kepuasan kakang
setelah kakang berhasil nu
membu hku." "Katakan apa yang ingin kau katakan."
Ririswari menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian duduk diatas rerumputan yang
mulai basah oleh embun. Dingin udara pegunungan semakin terasa
menggigit tulang Ririswaripun kemfudian menyilangkan tangannya di dadanya.
Sekali-sekali terdengar gadis itu berdesah.
Sementara itu Jalawajapun nampa sa
k ngat gelisah. Bahkan anak muda itu kadang-kadang berjalan hilir mudik beberapa kali.
Namun kemudian duduk memeluk lututnya.
Beberapa saat suasana menjadi hening. Yang terdengar hanyalah tarikan nafas
Ririswari yang lemah serta Jalawaja yang gelisah.
Tiba-tiba Jalawajapun meloncat bangkit, sehingga Ririswari terkejut karenanya.
"Ada apa kakang" - bertanya Ririswari.
"Aku mendengar desir sentuhan kaki seseorang"
Sebelum Ririswari menyadari apa yang terjadi, tiba-tiba saja seseorang muncul
dari balik segerumbul perdu. Sambil melangkah mendekat, orang itupun berkata
"Aku Jalawaja."
"Suratama " "Ya, Jalawaja. Aku Suratama."
"Apa yang kau lakukan disini" Kau mengikuti aku?"
"Tidak, Jalawaja."
"Jadi apa yang kau lakukan?"
"Aku diperintahkan untuk mencari Raden Ajeng Ririswari."
"Mencari aku?" bertanya Ririswari.
"Ya, Raden Ajeng."
"Untuk apa kau mencari aku?"
"Aku mendapat perintah dari ayahku."
"Kenapa paman Tumenggung Jayataruna
memerintahkan kepadamu untuk mencari aku?"
"Ayah mendapat perintah dari Raden Ayu
Reksayuda. Kemudian ayah memerintahkan
kepadaku untuk melaksanakannya, meskipun semula ayah agak berkeberatan."
"Apakah Raden Ayu Reksayuda berhak
memberikan perintah kepada paman Tumenggung Jayataruna?"
"Aku tidak tahu, Raden Ajeng. Tetapi itulah yang terjadi. Sekarang Raden Ayu
Reksayuda sudah berada di Kadipaten. Sedangkan Kangjeng Adipati dan paman
Tumenggung Reksabawa berhasil lolos dari tangan para pengikut Raden Ayu
Reksayuda. "Sekarang kau sudah menemukan aku
Suratama. Apa yang akan kau lakukah?"
"Tidak apa-apa Raden Ajeng."
"Tidak apa-apa" Jadi apa sebenarnya yang kau lakukan sekarang ini?"
"Raden Ajeng. Yang aku tahu, Raden Ajeng telah dilarikan oleh seseorang yang
tidak diketahui tentang dirinya. Karena itu, banyak kemungkinan dapat terjadi.
Mungkin Raden Ajeng dilarikan oleh orang yang berniat buruk. Mungkin oleh orang-
orang yang memanfaatkan keributan yang terjadi.
Masih banyak kemungkinan kemungkinan lain.
Karena itu, maka aku telah berangkat untuk mencoba mencari Raden ajeng
Ririswari. " "Sekarang kenapa kau tiba-tiba saja
mengatakan, bahwa kau tidak bermaksud berbuat apa-apa " "
"Disini aku menemukan Raden Ajeng bersama Jalawaja: Bukankah itu berarti bahwa
Raden Ajeng tidak berada dalam bahaya. "
"Tetapi bagaimana dengan perintah Raden Ayu Reksayuda itu kepada paman
Tumenggung Jayataruna " " "Raden Ayu Reksayuda memerintahkan agar Raden Ajeng Ririswari dan Jalawaja
ditangkap dan dibawa untuk menghadap. "
"Sekarang kau sudah menemukan aku dan
Ririswari, Suratama. Lalu apa yang akan kau lakukan berdasarkan perintah
ayahmu " " "Jalawaja. Sejak semula aku sudah curiga, bahwa niat Raden Ayu Reksayuda itu
tidak baik. Agaknya ayah sudah berada di bawah pengaruh Raden ayu itu. Ketika aku minta diri
kepada ibuku, yang hidupnya menjadi kesepian, ibuku
memberikan beberapa pesan kepadaku. "
"Jadi " "bertanya Ririswari.
"Setelah aku mengetahui bahwa Raden Ajeng sudah diselamatkan oleh Jalawaja, maka
aku kira aku tidak perlu mencampurinya lagi. "
"Apakah dengan demikian kau tidak mengingkari perintah ayahmu yang mendapat
perintah Raden Ayu Reksayuda ?"
"Aku tidak merasa wajib melaksanakan perintah, meskipun dari ayahku sendiri,
jika perintah itu tidak pada tempatnya. "
"Jadi apa sebenarnya yang akan kau lakukan " "
"Sudah aku katakan, bahwa setelah aku
mengetahui bahwa Raden Ajeng Ririswari kau selamatkan, maka aku merasa tidak
perlu ikut campur. "
"Apakah kau berkata jujur Suratama " "
"Apa maksudmu, Jalawaja ?"
"Aku ingin tahu niatmu sebenarnya mencari Raden Ajeng Ririswari. "
"Sudah aku katakan, Jalawaja. Aku terdorong untuk ikut berusaha menyelamatkan
Raden Ajeng Ririswari jika ia berada dalam bahaya. "
"Hanya itu " "
"Ya. Hanya itu. "
"Kau tidak mempunyai pamrih pribadi ?"
"Apa maksudmu, Jalawaja " "
"Pada masa ini, dalam gejolak yang terjadi akhir-akhir ini di Kadipaten Sendang
Arum, jarang ada orang yang berbuat sesuatu tanpa pamrih pribadi. "
"Mungkin kau benar Jalawaja. Tetapi aku bersikap lain menurut nuraniku. Aku
tidak mempunyai pamrih apa-apa selain keselamatan Raden Ajeng Ririswari. "
"Bohong. Kau tentu mempunyai pamrih pribadi.
Nah, sekarang katakan kepada Ririswarimu itu, bahwa kau datang untuk
menyelamatkannya. " "Jalawaja. Aku memang mencari Raden Ajeng Ririswari untuk menyelamatkannya.
Tetapi setelah aku tahu, bahwa Raden Ajeng Ririswari sudah kau selamatkan, maka
aku kira aku tidak perlu berbuat apa-apa lagi. "
"Jangan berpura-pura, Suratama. Kau tentu akan mencari kesempatan untuk
menikamku dari belakang. Kemudian mengambil Ririswari. "
"Kenapa kau tidak a perc ya kepadaku, Jalawaja?"
"Aku tidak dapat mempercayai seorangpun dalam keadaan seperti sekarang ini. "
"Sudahlah. Aku akan pergi. Aku percaya bahwa Raden Ajeng Ririswari akan selamat
di tanganmu. " "Ririswari "Jalawaja itu justru berteriak "katakan kepada Suratama, bahwa kau
berada dalam bahaya. Bahwa kau terancam untuk dibunuh.
Katakan kepadanya, agar Suratama
menyelamatkanmu jika ia mampu. "
"Kau membuat aku bingung, Jalawaja. Tetapi sudahlah. Aku akan pergi. Aku tidak
akan mengganggu kalian berdua. "
"Tidak. Kau tidak boleh pergi. Ririswari benar-benar dalam
a ke daan bahaya. " "Suratama " berkata Ririswari kemudian
"pulanglah. Apapun yang akan kau katakan kepada paman Tumenggung Jayataruna
serta Raden Ayu Reksayuda. "
"Baik, Raden Ajeng. Aku mohon diri. Aku akan mengatakan bahwa aku tidak dapat
menemukan Raden Ajeng. "
"Tidak. Kau tidak boleh pergi. Kau harus berusaha menyelamatkan Ririswari. "
"Pulanglah Suratama. Aku mengu a
c pkan terima kasih atas kesediaanmu mencari aku. "
"Baik, Raden Ajeng. "
"Tidak. Kau tidak boleh pergi. Aku tidak sedang bergurau. Ririswari ada dalam bahaya. "
"Kakang Jalawaja. "
"Aku akan mengatakan yang sebenarnya. "
"Tidak. Yang terjadi adalah persoalan antara aku dan kau. Tidak ada sangkut
pautnya dengan Suratama. "
"Ada. Bukankah ia datang untuk
menyelamatkanmu ?" "Biarlah ia pergi. "
"Suratama tidak akan pergi begitu saja. Ia akan menyelamatmu, semetara kau
benar-benar dalam bahaya. "
"Kakang. " "Suratama "berkata Jalawaja "aku membawa Ririswari sampai ke tempat ini sama
sekali tidak untuk aku selamatkan. Aku membawanya karena aku akan membalas
dendam kematian ayahku. Ayah Reksayuda sudah dibunuh oleh Paman Adipati. Sekarang aku bawa Ririswari
untuk membalas dendam kematian ayahku itu. Aku akan membunuhnya, agar hati Paman
Adipati menjadi sakit seperti sakitnya hatiku."
"Jalawaja, " "Itulah yang terjadi sebenarnya. "
"Jalawaja. Aku juga mendengar kabar angin, bahwa Raden Tumenggung Wreda
Reksayuda telah dibunuh oleh Kangjeng Adipati. Karena itu, maka Raden Ayu
Reksayuda dan ayah Tumenggung runa
Jayata telah memberontak untuk melawan
ketidak adilan dan tindak sewenang-wenang.
Tetapi belum ada yang dapat membuktikannya.
bahwa Kangjeng Adipati atau seseorang yang mendapat perintahnya yang telah
membunuh Ki Tumenggung Wreda. Pusaka yang tertancap di dada Raden Tumenggung
Wreda bukanlah bukti yang meyakinkan. Pusaka itu hilang dari bangsal pusaka.
Petugasnya telah hilang pula tidak tentu rimbanya. "
"Jika tidak ada bukti yang meyakinkan, paman Tumenggung Jayataruna dan Raden Ayu
Reksayuda tidak akan memberontak. "
"Kau percaya-kepada mereka " Raden. Terus terang aku tidak terlalu percaya
kepada ayahku. Aku lebih percaya kepada pesan-pesan ibuku yang kesepian di rumahnya. Apakah kau
percaya kepada ibu tirimu itu " Jika demikian, kenapa Ririswari tidak kau bawa
dan kau serahkan kepada ibu tirimu, justru karena ibu tirimu itu mencarinya dan
bahkan mencarimu. "

Kembang Kecubung Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cukup. Aku tidak peduli semua itu. Aku berbuat untuk kepuasan diriku sendiri.
Aku akan membunuh Ririswari. "
"Kau bersungguh-sungguh Jalawaja. "
"Ya. Aku bersungguh-sungguh. "
"Sudahlah Jalawaja. Aku menjadi bingung.
Tetapi biarlah aku pergi. Kau jangan mengada-ada."
"Kau menjadi sangat berbahaya bagiku. "
"Jalawaja. Apakah kau masih juga mengira bahwa aku mencari Raden Ajeng Ririswari
karena pamrih pribadi sehingga kau mejadi marah dan mencari persoalan untuk
membuat perselisihan. "
"Kenapa aku marah jika kau cari Ririswari. Aku tidak membutuhkannya. Aku akan
membunuhnya untuk memuaskan hatiku. "
"Kakang " potong Ririswari "sudah aku katakan, jika kau akan membunuhku
lakukanlah. Aku rela jika itu dapat memberimu kepuasan. Suratama tidak
mempunyai sangkut paut, karena persoalannya adalah persoalan diantara kita." "Apakah kau sekarang tuli, Ririswari. Aku tidak akan membunuhmu sekarang. Aku akan
membunuhmu dihadapan Paman Adipati. Meskipun akupun akan terbunuh, tetapi aku
sudah puas setelah aku menyakiti hati Paman Adipati."
"Jalawaja "berkata Suratama kemudian "kau membuat aku menjadi semakin bingung.
Sikapmu tidak dapat aku mengerti."
"Sikapku jelas. Aku akan membunuh Ririswari."
"Suratama. Pergilah. Kabarkan kepada semua orang di Sendang Arum, bahwa aku,
Ririswari telah dibunuh oleh kakang Jalawaja yang membalas dendam karena
kematian ayahnya." "Tetapi......" "Kakang Jalawaja baru puas jika kematianku itu diketahui oleh ayahanda."
"Itu tidak cukup. Aku akan membunuhmu di hadapan Kangjeng Adipati."
"Tetapi kita tidak tahu, ayah berada dimana sekarang."
Prahara Gadis Tumbal 3 Raja Petir 20 Sembilan Bocah Sakti Pangeran Perkasa 15
^