Meraba Matahari 7
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja Bagian 7
Raden Ajeng Rantamsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Jika
mereka tidak dapat dicegah, apaboleh buat."
Namun ketika Tarji kemudian meninggalkan Raden Ajeng Rantamsari, maka justru
Raden Ajeng Rantamsarilah yang pergi menemui Rembana yang sedang sibuk membelah
kayu, sehingga Rembana tidak menyadarinya
Beberapa saat Raden Ajeng Rantamsari berdiri beberapa langkah dari Rembana yang
sedang sibuk itu. Tubuhnya berkeringat. Bajunya terbuka di bagian dadanya,
sedangkan lengannya digulung agak tinggi.
Raden Ajeng Rantamsari termangu-mangu sejenak. Sejak kehadirannya di rumah itu,
Rembana telah menarik perhatian Raden Ajeng Rantamsari. Anak muda yang berwajah
cerah itu nampaknya selalu tersenyum. Kelakarnya yang segar, tanpa meninggalkan
unggah-ungguh telah memikat hari Raden Ajeng Rantamsari.
Matanya yang berkilat-kilat menyiratkan gairah hidup yang tinggi serta
memancarkan kecerdasan otaknya Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang gadis yang
sedang tumbuh dewasa Di Kateguhan, Raden Ajeng Rantamsari jarang sekali bergaul
dengan anak-anak muda Ia tinggal di keputren bersama ibundanya Di Keputren itu
memang terdapat taman yang indah, ditumbuhi berjenis-jenis
Ebook by Dewi Kangzusi 464 Kang Zusi http://kangzusi.com/
tanaman serta pohon bunga yang membuat taman itu menjadi
semakin semarak. Beberapa orang dayang melayaninya siang
dan malam. Tetapi itu tidak cukup bagi Raden Ajeng Rantamsari. Di
taman yang dikelilingi dinding yang tinggi itu tidak pernah
hadir seorang anak muda selain Kangjeng Adipati Yudapati.
Itupun jarang sekali. Yang sering terjadi adalah ibundanya
datang menemuinya justru di luar keputren.
Kadang kadang Raden Ajeng Rantamsari juga melihat
Senapati muda yang lewat diluar regol keputren disaat mereka
menjalankan tugasnya. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari tidak
pernah berkenalan dengan mereka
Karena itu, perkenalannya dengan Rembana yang nampak
selalu gembira Itu, mempunyai kesan yang lain di hati puteri
itu. Selangkah dcmi selangkali Raden Ajeng Rantamsari itu
bergerak mendekati Rembana yang sedang sibuk. Sekali
diangkamya kapaknya tinggi tinggi. Kemudian terayun dengan
deras sekali menghantam sebatang kayu yang tergolek di
depannya Dengan sekali ayun, gelondong kayu itupun telah terbelah.
Rembana mengusap keringatnya yang mengembun di
keningnya. Namun Rembana itu terkejut ketika ia mendengar
suara lembut menyapanya "Kakang Rembana"
Ketika Rembana berpaling, dilihatnya Raden Ajeng
Rantamsari berdiri termangu-mangu memandanginya
Jantung Rembana berdesir. Sorot mata yang bening itu
bagaikan memancarkan embun yang dingin di teriknya cahaya
matahari. Ebook by Dewi Kangzusi 465 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Raden Ajeng" terdengar suara yang terloncat dari bibir Rembana
"Berhentilah, kakang. Bukankah itu bukan pekerjaan kakang."
Rembana tersenyum. Katanya "Aku adalah anak yang lahir dan dibesarkan di kaki
bukit, Raden Ajeng. Aku sudah terbiasa melakukannya"
"Tetapi sekarang kakang adalah seorang Senapati. Bahkan Senapati yang pernah
mendapat pujian pada saat kakang bersama pasukan kakang ikut dalam perang besar
di tepi Bengawan Rahina Pujian yang langsung diberikan oleh Kangjeng Sultan
Tegal Langkap. Kakang juga telah berhasil menumpas gerombolan perampok di
kademangan Panjer. Sekarang, kakang mendapat tugas melindungi kami sekeluarga yang tinggal di rumah
ini." "Tetapi kebiasaan masa kanak-kanak dan remajaku itu tidak dapat aku tinggalkan,
Raden Ajeng. Begitu aku berhadapan dengan kapak dan gelondong kayu, maka rasa-
rasanya tanganku menjadi gatal."
"Sekarang, beristirahatlah kakang."
"Tetapi kerja ini belum selesai, Raden Ajeng."
"Biarlah nanti diselesaikan oleh Tarji. Atau jika kakang Rembana masih belum
puas, nanti kakang dapat menyelesaikannya"
"Biarlah aku selesaikan saja sama sekali Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsari itupun kemudian justru duduk di sebuah lincak panjang,
dibawah sebatang pohon jambu air Ebook by Dewi Kangzusi
466 Kang Zusi http://kangzusi.com/
yang rimbun sambil berkata " Kakang, beristirahatlah.
Duduklah disini." "Ah. Pakaianku basah oleh keringat, Raden Ajeng. Biarlah
aku selesaikan saja kerja ini."
"Kakang " suara Raden Ajeng Rantamsari merendah "
duduklah disini." Wajah Raden Ajeng Rantamsari yang lembut, kata-katanya
yang terasa sejuk ditelinga rasa-rasanya telah mencengkam
jantung Rembana Ia tidak kuasa menolaknya sehingga
kemudian diletakkan kapaknya
Namun Rembana tidak mau duduk di lincak itu pula. Tetapi
ia justru duduk diatas seonggok kayu yang telah ditimbun
disebelah lincak yang panjang itu.
"Duduklah disini, kakang."
"Terima kasih, Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsari tersenyum. Ia tahu, bahwa
Rembana masih merasa segan untuk duduk disebelahnya
"Aku ingin kakang bercerita tentang pandan diatas bukit
Pudak Seketi itu " berkata Raden Ajeng Rantamsari sambil
tersenyum. "Apanya yang harus aku ceritakan, Raden Ajeng. Hutan
pandan itu sulit sekali ditembus. Daun pandan yang berduri itu
saling berkait." "Jadi bagaimana dengan orang-orang yang mencari daun
pandan untuk dibuat barang-barang kerajinan?"
Ebook by Dewi Kangzusi 467 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Mereka mencari daun pandan yang tumbuh dipinggir saja, Raden Ajeng. Mereka
tidak dapat pergi ke tengah."
Raden Ajeng Rantamsari mengangguk-angguk. Dengan nada yang merendah iapun
kemudian berkata " Jika musim pandan berbunga, alangkah indahnya hutan pandan
itu, kakang.'" "Kita hanya dapat melihat dari pinggir hutan itu saja, Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsari mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya beberapa hal
tentang hutan pandan di bukit Pudak Seketi itu.
Demikianlah, maka huhungan Rembana dengan Raden Ajeng Rantamsari dari hari ke
hari menjadi semakin rapat.
Meskipun Rembana masih tetap menyadari siapakah dirinya dan siapa pula Raden
Ajeng Rantamsari, namun sebenarnyalah Rembana tidak dapat ingkar, bahwa hatinya
yang paling dalam telah terjerat oleh sikap, pandangan mata, tutur kata Raden
Ajeng Rantamsari yang lembut, luruh dan menyentuh itu.
Demikian pula Raden Ajeng Rantamsari. Kadang-kadang ia merasa menyesal, bahwa ia
telah dilahirkan oleh seorang ibu yang kebetulan adalah isteri seorang Adipati.
Sehingga dengan demikian ia hidup dalam batasan-batasan yang mengungkungnya. Ia
tidak dapat bebas seperti gadis-gadis sebayanya yang hidup diluar dinding
kadipaten. Bahkan kemudian telah terjadi peristiwa yang mengguncang kemapanan
hidupnya Ibundanya telah dituinta meninggalkan dalem kadipaten Kateguhan.
Perjumpaannya dengan Senapati muda yang bernama Rembana itu telah membuat Raden
Ajeng Rantamsari yang Ebook by Dewi Kangzusi
468 Kang Zusi http://kangzusi.com/
menginjak dewasa itu terhisap kedalam dunia angan-angan
yang membubung. Dalam pada itu, setelah beberapa lama Raden Madyasta
serta ketiga orang Senapati muda berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda ternyata tidak pernah terjadi sesuatu yang
mencurigakan. Malam-malamnya dilalui dengan tenang tanpa
gangguan sama sekali. Bahkan Raden Madyasta telah mulai berpikir untuk
menghadap ayahandanya dan menyampaikan laporan tentang
keadaan di rumah bibinya. Jika saja ayahandanya sependapat,
maka ayahandanya dapat menunjuk orang lain untuk
melanjutkan mgas mereka Namun tiba-tiba saja telah terjadi gejolak dipermukaan
yang telah terasa menjadi tenang itu.
Ketika hari merambat siang, Raden Ayu Prawirayuda
berada di serambi samping. Raden Ayu itu masih saja
mempunyai kesenangan membatik. Digelarkan kain putih yang
sebagian sudah digores dengan lukisan batik yang lembut.
Sekali-sekali ditiupnya canting yang sudah berisi malam panas
yang cair. Kemudian dengan cekatan yang sudah baerisi
malam panas yang cair. Kemudian dengan cekatan tangannya
bergerak-gerak meninggalkan goresan lukisan yang rumit.
Namun tiba-tiba saja Raden Ayu itu terkejut ketika ia
mendengar seseorang menyapanya "Kangmbok."
Hampir saja Raden Ayu Prawirayuda menumpahkan
malamnya yang cair dan panas didalam wajan kecilnya.
"Dimas Wicitra."
Wicitra tertawa. Katanya " Kangmbok terkejut karena tiba-
tiba aku sudah berada disini?"
Ebook by Dewi Kangzusi 469 Kang Zusi http://kangzusi.com/"Ya. Kau memang mengejutkan aku " sahut Raden Ayu
Prawirayuda. "Maaf, kangmbok. Bukan maksudku mengejutkan
kangmbok." "Untuk apa kau tiba-tiba saja datang kemari Wicara"
"Sikap kangmbok aneh. Bukankah aku adik kangmbok.
Satu-satunya saudara kandung kangmbok. Jika ada dua orang
saudara kita, kedua-duanya telah meninggal. Yang tinggal
adalah aku. Adik laki-laki kangmbok Prawirayuda"
"Aku tahu. Nah, sekarang apa yang kau maui?"
"Apakah kangmbok tidak mempersilahkan aku duduk"
Kangmbok. Aku datang dari jauh. Aku datang dari Kateguhan
untuk menengok satu-satunya saudara kandungku."
"Baik. Duduklah Wicitra"
Wicitra tersenyum. Iapun kemudian duduk diserambi
ditemani Raden Ayu Prawirayuda
"Kangmbok. Semalam aku berrnalam di rumah seorang
kawanku yang tinggal di Paranganom. Seharusnya aku
bermalam disini, dirumah saudara kandungku."
Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi tegang. Tetapi ia
tidak menjawab. Kangmbok meninggalkan Kateguhan tanpa memberi-tahu
aku. Padahal aku adalah satu-satunya saudara kandung
kangmbok." Ebook by Dewi Kangzusi 470 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak sempat, Wicitra. Tiba-tiba saja aku harus pergi dari Kateguhan."
"Bukankah sebenarnya kangmbok tidak harus meninggalkan Kateguhan" Kangmbok hanya
harus meninggalkan dalem Kadipaten. Bukankah sesungguhnya sudah disediakan rumah
yang cukup memadai bagi kangmbok?"
"Aku mempunyai harga diri, Wicitra. Apa kata orang Kateguhan jika aku bersedia
meninggalkan kadipaten dan tinggal di rumah yang berada jauh di luar dinding
kota itu?" "Bukankah itu salah kangmbok sendiri?"
"Kenapa aku yang salah?"
"Sudahlah kangmbok. Aku tidak mau membicarakan persoalan kangmbok yang sangat
pribadi itu " "Lalu, apa yang akan kau katakan Wicitra?"
"Kenapa sikap kangmbok sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang kakak
perempuan yang penuh kasih seperti masa kanak-kanak itu" Kangmbok adalah anak
sulung. Dua saudara kita meninggal diusia remaja mereka Kemudian aku adalah anak
bungsu. Jarak umur kita memang agak banyak kangmbok. Waktu kecil, kangmbok
bersikap sangat manis kepadaku. Bahkan kangmbok terlalu memanjakan aku.
Kangmbok menggendong aku kemana-mana Jika aku menangis, mata kangmbok ikut
menjadi basah." "Wicitra. Sukurlah jika kau sempat mengingat semuanya itu. Tetapi apa balasanmu
setelah kau menjadi dewasa" Kau kehilangan sifat-sifat baikmu. Kau tumbuh
didalam lingkungan yang salah. Kau berada didalam lingkungan yang akhirnya Ebook
by Dewi Kangzusi 471 Kang Zusi http://kangzusi.com/
merusak hidupmu. Ayah dan ibu semasa hidupnya telah
kehilangan kendali atas dirimu."
Wicitra tertawa. Katanya "Mungkin kangmbok benar.
Tetapi sebagaimana waktu itu aku berubah, maka pada
saatnya akupun akan berubah pula. Aku menyadari semuanya
itu dan aku berniat untuk memperbaikinya"
"Kau memang harus mencoba, Wicitra . Kau harus berani
melepaskan diri dari lingkungan yang buruk itu. Kau tidak
boleh dekat kerbau berkubang. Kau akan terpercik oleh
lumpur pula" "Aku mengerti kangmbok Aku memang akan meninggalkan
duniaku yang buram itu. Aku akan tinggal disini."
"Tinggal disini?"
"Ya, kangmbok. Aku minta kangmbok menyampaikan
kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma, agar Madyasta dan
ketiga orang senapati itu dikembalikan kepada tugas mereka
masing-masing." "Mereka disini melindungi aku dan Rantamsari."
Wicitra tertawa lebih keras. Katanya "Jika hanya untuk
melindungi kangmbok dan Rantamsari dari kejahatan, kenapa
harus empat orang Senapati" Bukankah cukup dengan empat
atau lima orang prajurit saja"
"Keadaannya cukup gawat Wicitra."
"Kenapa kangmbok tidak berusaha melindungi diri sendiri
serta Rantamsari" Apakah arti gelar kangmbok pada saat
kangmbok berada di Kateguhan" Bukankah kangmbok di-
gelari Srikandi Kateguhan?"
Ebook by Dewi Kangzusi 472 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Itu dahulu, Wicitra. Itupun gelar yang berlebihan. Aku
hanya mengangankan agar di Kateguhan ada prajurit
perempuan meskipun jumlahnya kecil. Itu saja. Bukan berarti
aku memiliki ilmu yang tinggi.
"Kangmbok. Meskipun demikian, kangmbok tidak
memerlukan para Senapati muda yang masih ingusan itu."
"Wicitra. Mereka adalah Senapati pilihan. Mereka telah
mampu memadamkan gejolak yang terjadi di Panjer baru-baru
ini."
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu sama sekali tidak mengherankan."
"Mereka juga pernah mendapat pujian langsung dari
Kangjeng Sultan di Tegal Langkap setelah mereka terlibat
dalam perang besar di tepi Bengawan Rahina"
"Omong kosong. Itu hanyalah ceritera yang direka-reka
oleh para Senapati muda itu sendiri."
"Tidak. Pujian itu diakui oleh Kangjeng Adipati
Prangkusuma sendiri."
"Baik. Baik, kangmbok. Meskipun demikian sebenarnya
mereka tidak kangmbok perlukan. Aku akan tinggal disini.
Keberadaanku disini akan lebih berarti dari keempat orang
Senapati ingusan itu."
"Wicitra. Kau masih saja suka membual. Itukah bagian dari
keinginanmu memperbaiki sifat dan watakmu?"
"Aku tidak membual kangmbok. Aku berkata sebenarnya"
jawab Wicitra " karena itu, aku minta kangmbok
Ebook by Dewi Kangzusi 473 Kang Zusi http://kangzusi.com/
menyingkirkan para Senapati muda itu termasuk Raden
Madyasta" "Tidak. Wicitra Mereka akan tetap berada disini."
"Aku mengerti, kangmbok. Sebenarnya keberadaan
mereka disini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
perlindungan sebagaimana yang kangmbok katakan. Tetapi
keberadaan mereka disini tentu karena maksud kangmbok
yang lain." "Aku tidak tahu maksudmu, Wicitra."
"Kangmbok tengah menawarkan Rantamsari kepada
mereka" "Wicitra Jagalah mulutmu. Karena mulutmu kau akan
dapat terjerat oleh petaka."
Tetapi Wicitra justru tertawa berkepanjangan. Katanya "Di
Kateguhan kangmbok gagal menginginkan menantu seorang
Adipati. Sekarang kangmbok membawa Rantamsari ke
Paranganom dan menawarkan kepada para senapati muda
itu." "Cukup Wicitra."
"Kangmbok tidak usah marah. Aku tahu bahwa Rantamsari
berhubungan semakin rapat dengan Rembana. Salah seorang
senapati muda yang ada di rumah ini."
Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi merah bagaikan
membara. Dengan lantang Raden Ayu itu berkata "Wicitra.
Tidak sepantasnya kau berkata seperti itu. Seandainya benar
Rantamsari berhubungan semakin rapat dengan Rembana apa
keberatanmu" Rantamsari sudah dewasa. la sudah tahu mana
Ebook by Dewi Kangzusi 474 Kang Zusi http://kangzusi.com/
yang baik dan mana yang buruk Karena itu, kau tidak usah
ikut campur. Biar saja Rantamsari menentukan jalan hidupnya
sendiri." "Tetapi bukankah tidak sepantasnya Rantamsari
berhubungan dengan Senapati kecil yang tidak berarti apa-apa
itu?" "Tetapi ia adalah Senapati pilihan, Wicitra."
"Senapati itu tidak ada sekuku ireng dibanding dengan
aku." "Apa maksudmu?"
"Seharusnya kangmbok sudah mengetahuinya"
"Mengetahui apa?"
"Bukankah aku pernah memberikan isyarat bahwa aku
inginkan Rantamsari menjadi isteriku."
"Itu adalah pikiran gila, Wicitra, Itu tidak mungkin. Kau
tahu, bahwa itu adalah bagian dari sifat dan watakmu yang
kotor, yang terbentuk di tengah-tengah yang kotor pula"
"Apakah pemikahan itu satu hal yang kotor" Bukankah
pernikahan justru bagian dari kehidupan yang memang
dikehendaki oleh Yang Maha Pencipta unmk melestarikan
keberadaan umatnya" Pemikahan adalah satu hal yang suci,
kangmbok." "Ya Pemikahan itu sendiri memang satu hal yang suci.
Justru karena itu, maka pemikahan diatur dengan beberapa
tatanan. Wicitra. Kau adalah pamannya. Rantamsari adalah
Ebook by Dewi Kangzusi 475 Kang Zusi http://kangzusi.com/
anakku. Anak kakak kandungmu. Bagaimana kau dapat
mengambilnya menjadi isterimu?"
"Apa salahnya kangmbok. Aku laki-laki. Rantamsari
seorang perempuan. Bukankah sudah sewajamya jika seorang
laki-laki menikah dengan seorang perempuan?"
"Tetapi tidak dengan kenanakan sendiri."
"Kangmbok. Jika niatmu, terpenuhi, bukankah kau ingin
Rantamsari menikah dengan Kangjeng Adipati Yudapati" Nah,
bukankah Adipati Yudapati itu saudara laki-laki Rantamsari?"
"Semuaitu omong kosong. Fitnah."
Wicitra tertawa pula, "Wicitra. Sekarang pergilah. Aku tidak mau kau berada di
rumahku. Aku tidak mau kau mengotori lantai serambiku."
"Jangan kasar terhadapku, kangmbok. Seharusnya
kangmbok berterima kasih kepadaku. Kangmbok tidak perlu
menjajakan Rantamsari ke Paranganom."
"Cukup. Pergilah Wicitra"
"Kangmbok jangan mengusir aku. Sudah aku katakan, aku
akan tinggal disini menjaga keselamatan kangmbok dari
Rantamsari. Yang sepantasnya diusir adalah Madyasta dan
para senapati itu. Tidak pantas Rantamsari berhubungan rapat
dengan seorang senapati kecil seperti Rembana itu."
"Pergilah Wicitra Sebelum aku mengusirmu."
"Kangmbok tidak akan dapat mengusir aku."
Ebook by Dewi Kangzusi 476 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku dapat memanggil para senapati itu."
"Apa artinya senapat itu bagiku" Aku akan dapat dengan mudah membunuh mereka"
"Apakah kau benar-benar akan mencobanya, Wicitra?"
Wajah Wicitra menjadi tegang. Dengan geram ia berkata "
Kau akan menyesali perbuatanmu itu kangmbok."
"Tidak. Aku tidak akan menyesal. Kaulah yang akan menyesal jika kau tidak mau
pergi dari tempat ini."
Tetapi Wicitra itu menggeleng. Katanya "Aku tidak akan pergi."
"Pergi. Kau harus pergi " suara Raden Ayu Prawirayuda menghentak keras.
Tetapi Wicitra masih tetap tidak beranjak dari tempatnya, sehingga Raden Ayu
Prawirayuda itupun berkata "Jadi aku harus mengusirmu dengan kekerasan Wicitra "
Namun tiba-tiba saja pintu serambi itupun terbuka.
Seorang Senapati muda muncul dari balik pinm yang terbuka itu.
"Maaf Raden Ayu. Aku mendengar sedikit keributan disini.
Tetapi jika tidak terjadi sesuatu, aku sekali lagi mohon maaf."
"Tidak terjadi apa-apa disini, anak muda. Aku adalah adik kandung kangmbok
Prawirayuda " "O " Ebook by Dewi Kangzusi 477 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Usir orang ini. Ia memang adik kandungku. Tetapi ia tidak pantas berada di
rumah ini." "Jadi?" "Bawa orang ini keluar. Jika perlu dengan paksa."
Rembana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Marilah, Raden. Aku
persilahkan Raden Keluar."
"Pergi, kau dengar?" Wicitra justru membentak.
Tetapi Rembana tidak beringsut. Katanya " Aku sudah mendapat perintah dari Raden
Ayu Prawirayuda Karena itu, sebelum aku mempergunakan kekerasan, lebih baik
Raden keluar dari rumah ini."
"Kau akan mempergunakan kekerasan?"
"Ya " "Cobalah. Cobalah jika kau berani."
Rembana memang menjadi ragu-ragu. Namun ketika ia berpaling dan memandang Raden
Ayu Prawirayuda, ia melihat Raden Ayu Prawirayuda itu mengangguk.
Karena itu, maka Rembana bergeser selangkah maju sambil berkata "Aku akan
memaksa Raden." "Bagus. Ternyata kau seorang Senapati muda yang berani.
Nah, cobalah. Paksa aku keluar dari rumah ini."
Rembana memang tidak sabar lagi. Tetapi sebelum ia berbuat lebih jauh, maka
didengarnya seseorang berdiri di Ebook by Dewi Kangzusi
478 Kang Zusi http://kangzusi.com/
pintu yang terbuka itu. Ketika Rembana berpaling, dilihatnya
Madyasta berdiri di pintu.
"Raden"desis Rembana
"Ada apa?" "Angger Madyasta" Raden Ayu Prawirayudalah yang
menyahut "aku minta orang ini diusir dari rumahku."
Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Wicitra yang menjadi tegang setelah ia melihat Madyasta hadir
pula di serambi itu. "Bukankah itu paman Wicitra?"
"Ya, Raden. Ia memang adik kandungku. Tetapi ia datang
untuk niengganggu ketenanganku."
"Maaf paman " berkata Raden Madyasta kemudian " aku
berada disini karena aku diperintahkan oleh ayahanda untuk
menjaga ketenangan dan ketenteraman keluarga bibi. Karena
itu, jika paman Wicitra membuat bibi gelisah, aku mohon
paman meninggalkan tempat ini."
Wajah Wicitra menjadi merah membara Namun ia tidak
mempunyai pilihan. Jika terjadi perselisihan serta benturan
kekerasan maka para Senapati yang lainpun tentu akan segera
berdatangan. Agaknya Wicitra masih belum siap menghadapi
para Senapati itu. Apalagi seorang diantaranya adalah Raden
Madyasta, yang baru pulang dari sebuah perguruan serta
tuntas dalam ilmu kanuragan.
Karena itu, maka dengan hati yang luka Wicitra itupun
berkata kepada kakak perempuannya "Baik, kangmbok.
Ebook by Dewi Kangzusi 479 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sekarang aku akan pergi. Tetapi jangan kira bahwa aku tidak
akan kembali." Sebelum Raden Ayu Prawirayuda menjawab, maka
Wicitrapun bergegas meninggalkan serambi itu. Dipintu ia
berhenti sejenak memandang wajah Raden Madyasta. Namun
Raden Madyastapun memandang pula langsung ke biji
matanya. Sepeninggal Wicitra, Raden Madyastapun bertanya " Ada
apa dengan paman Wicitra, bibi?"
"Anak itu selalu mengganggu saja ngger. Sejak aku masih
tinggal di Kateguhan. Tetapi bagaimana mungkin ia tiba-tiba
saja sudah berada di pintu serambi ini."
"Maaf bibi. Aku melihat paman Wicitra masuk regol dan
berjalan di halaman. Aku melihat paman Wicitra masuk pintu
seketeng. Tetapi karena aku tahu, bahwa paman Wicitra itu
adik kandung bibi, maka aku tidak menegurnya "
"Ia memang adik kandungku, ngger. Tetapi sifat dan
wataknya tidak dapat dikendalikan lagi. Karena itu, ngger. Aku
mohon lain kali, jangan biarkan ia masuk ke rumah ini."
"Baik, bibi. Aku akan mengingatnya. Akupun akan
berpesan kepada kakang Rembana, kakang Sasangka dan
kakang Wismaya, agar paman Wicitra tidak djijinkan masuk."
"Terima kasih, ngger. Anak itu membuat jantungku
berdebaran semakin cepat."
"Baik, bibi." Raden Madyasta dan Rembanapun kemudian
meninggalkan serambi itu. Raden Ayu Prawirayuda kembali
Ebook by Dewi Kangzusi 480 Kang Zusi http://kangzusi.com/
duduk di depan gawangan menggelar. kain yang sedang
dibatiknya. tetapi rasa-rasanya ia tidak lagi bertekun.
Jantungnya masih saja terasa berdegup.
Hari ini Raden Ayu Prawirayuda nampak gelisah. Ia tidak
dapat mengerjakan pekerjaan yang sering dilakukannya
sehari-hari dengan baik. Setiap kali Raden Ayu Prawirayuda itu
duduk sambil merenungi anak gadisnya yang tumbuh dewasa
itu. Tumbuh dewasa itu bahkan debar jantungnya terasa
menjadi semakin cepat, jika ia teringat kata-kata Wicitra,
bahwa Wicitra justru menginginkan Rantamsari untuk menjadi
isterinya. "Anak itu sudah menjadi gila" desis Raden Ayu
Prawirayuda. Sementara itu, sejak Wicitra datang, ia belum melihat
Raden Ajeng Rantamsari, pintu biliknya tertutup rapat,
biasanya Rantamsari tidak menutup diri dalam biliknya seperti
itu. "Apakah ia mendengar pembicaraanku yang keras dengan
pamannya di serambi?" bertanya Raden Ayu Prawirayuda
didalam hatinya. Raden Ayu Prawirayuda merasa ragu. Beberapa saat ia
berdiri di depah pintu bilik anak gadisnya.
Namun perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda itu
mengetuk pintu bilik itu "Rantamsari " terdengar suara Raden Ayu Prawirayuda
lembut Tidak terdengar jawaban. Karena itu, Raden Ayu
Prawirayudapun mengulanginya, mengetuk pintu itu perlahan
Ebook by Dewi Kangzusi 481 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Rantamsari." Yang terdengar adalah justru isak tangis tertahan.
Perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda mendorong pintu itu sehingga terbuka.
Dilihatnya Rantamsari menelungkup di pembaringannya.
Raden Ayu Prawirayuda melangkah mendekatinya.
Kemudian duduk di bibir pembaringan sambil mengusap rambut anaknya yang hitam
kelam. "Kenapa kau menangis ngger?" Rantamsari tidak segera menjawab
"Rantamsari. Jawablah pertanyaan ibu. Kenapa kau menangis ngger?"
"Ibu " Rantamsari bangkit. Namun iapun segera duduk dilantai dihadapan ibunya
sambil meletakkan kepalanya di pangkuannya.
"Apa yang kau pikirkan, Rantamsari?" suara ibunya terdengar sejuk di telinga
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis itu. "Apakah aku bersalah ibu?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu, ngger?"
"Kenapa paman marah kepadaku'" "
"Kau dengar pembicaraan kami?"
"Tidak seluruhnya ibu. Tetapi serba sedikit aku mendengarnya."
Ebook by Dewi Kangzusi 482 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Apa yang telah kau dengar?"
"Paman menyebut nama kakang Rembana."
"Ya, Rantamsari. Apa lagi yang kau dengar?"
"Tidak jelas ibu. Tetapi agaknya paman menyalahkan aku karena aku berhubungan
dengan kakang Rembana. Bahkan paman menganggap aku seorang gadis yang rendah,
yang dijajakan di Paranganom. Yang lain aku tidak dapat mendengarnya ibu. Ketika
aku sudah berada didalam bilik ini, aku mendengar ibu mengusir paman setelah ibu
bertengkar dengan paman."
"Jangan hiraukan pamanmu, Rantamsari. Ia tidak akan datang lagi. Aku sudah minta
angger Madyasta untuk mencegahnya jika ia akan memasuki-rumah ini."
"Ya, ibu. Tetapi apa sebenarnya yang diinginkan paman Wicitra itu?"
"Rantamsari. Kau sudah dewasa. Aku tidak ingin merahasiakannya lagi, apa yang
diingini oleh pamanmu itu."
Bab 21 Rantamsari mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah ibunya yang bagaikan
membeku. Sorot mata ibunya jauh menerawang menembus batas ruang dan waktu.
Sejak lama Wicitra memang sudah mengisyaratkan kepada Raden Ayu Prawirayuda,
bahwa ia menginginkan Rantamsari untuk dijadikan isterinya. Ia minta agar
Rantamsari jangan diberikan kepada orang lain. Tetapi Wicitra baru berkata
dengan jelas, justru setelah ia berada di Paranganom.
Ebook by Dewi Kangzusi 483 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ibu" desis Rantamsari.
Raden Ayu Prawirayuda itupun tersadar. Sambil
membetulkan rambut anaknya iapun berkata " Rantamsari.
Sebenarnya bahwa pamanmu menginginkan agar kau dapat
dijadikan isterinya"
"Bukankah aku kemanakannya", Bukankah paman Wicitra
itu adik kandung ibu?"
Raden Ayu Prawirayuda mengangguk lagi.
"Ibu " mata Rantamsaripun menjadi basah lagi..
"Sudahlah, Rantamsari. Lupakan keinginan pamanmu itu."
"Itukah agaknya, kenapa paman tidak senang melihat
hubunganku dengan kakang Rembana."
"Rantamsari " suara ibunya merendah " akulah yang justru
ingin bertanya. Apakah benar kau telah menjalin hubungan
batin dengan senapati muda itu, sebagaimana dikatakan oleh
pamanmu?" "Ibu juga menyalahkan aku?"
"Tidak. bukan maksudku, Rantamsari. Aku hanya ingin
tahu, apa yang sedang bergejolak di dada anak gadisku."
"Ibu " suara Rantamsari menjadi parau "menurut
pendapatku, kakang Rembana adalah anak muda yang baik.
Ia ramah dan gembira. Meskipun ia suka berkelakar, tetapi ia
masih mengenal batas-batas unggah-ungguh serta tidak
mengurangi harga dirinya sebagai seorang senapati muda
yang mempunyai kelebihan."
Ebook by Dewi Kangzusi 484 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Jadi kau memang tertarik kepadanya, Rantamsari."
"Ibu. Aku adalah putri ibu. Sebagaimana seorang gadis
yang hidup di lingkungan dinding kadipaten, segala
sesuatunya sudah ditentukan baginya. Aku tinggal
menjalaninya saja. Karena itu, jika memang ada titah yang
lain, aku tidak dapat menolaknya."
"Tidak, Rantamsari. Tidak. Sudah aku katakan, aku hanya
ingin mengetahuinya."
"Aku tidak dapat ingkar, ibu. Aku tertarik kepada kakang
Rembana. Wajahnya yang cerah, hatinya yang terbuka,
kelakarnya, namun juga pandangannya yang luas tentang
hidup dan kehidupan."
"Kau sudah banyak berbicara dengan senapati muda itu
Rantamsari?" * , "Ya. Ibu. Aku sudah tahu pula, bahwa kakang Rembana
juga tertarik kepadaku."
"Baiklah, Rantamsari. Aku bukan seorang ibu yang hanya
menuruti keinginanku sendiri. Aku harus mendengarkan
kemauanmu karena kaulah yang akan menjalaninya. Masa de-
panmu akan terletak di tanganmu sendiri."
"Ibu. Jadi ibu tidak berkeberatan?"
"Ibu hanya ingin meyakinkan sikapmu, Rantamsari.
Dengarlah. Rembana hanyalah seorang senapati prajurit di
Puranganom. Ia bukan seorang yang pinunjul. Mungkin ia
memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi ada berapa orang
senapati muda di Paranganom ini. Karena itu, kau harus itu
pikirkan sebaik-baiknya masa depanmu. Jika kau benar-be nar
Ebook by Dewi Kangzusi 485 Kang Zusi http://kangzusi.com/
ingin menyatukan dirimu dalam kehidupan Rembana, maka
kau harus siap menjalani hidup dan kehidupan yang
sederhana. Karena Rembana seorang prajurit, maka ia akan
lebih sering berada di luar rumah. Tugas akan selalu
memanggilnya, sebagaimana ia berada disini sekarang ini."
"Aku mengerti ibu. Tetapi justru kehidupan yang
sederhana itulah yang akan dapat dinikmati sedalam-
dalamnya. Tidak seperti saat kita tinggal di kadipaten
Kateguhan. Segala sesuatunya berlangsung sesuai dengan
pranatan, sehingga rasa-rasanya kita telah kehilangan diri
sendiri dalam keberadaan kita ini ibu. Kita tidak mempunyai
kebebasan menentukan sikap dan bahkan keinginan-keinginan
yang paling mendasar dari hidup ini."
Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Katanya," Dari-mana
kau dengar sikap hidup sebagaimana yang kau katakan itu.
Rantamsari" Dari Rembana" Aku tidak menyalahkannya.
Justru apa yang kau katakan itu sangat menarik perhatianku.
Menurut pendapatku, yang kau katakan itu benar adanya."
"Ibu sependapat?"
Raden Ayu Prawirayuda mengangguk.
"Ibu " senyum yang manis mengembang dibibir Raden
Ajeng Rantamsari. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan
ibunya sambil memejamkan matanya. Dengan suara yang lirih
iapun berkata " Ibu, doakan agar aku akan menemukan
kebahagiaan." "Aku mengerti Rantamsari. Sikap kakangmasmu yang telah
mengusir kita dari Kateguhan telah menghunjam, melukai
jantungmu sampai ke dasar. Agaknya luka itu tidak mudah
untuk dapat disembuhkan. Peristiwa itu tentu sangat
mempengaruhi pandanganmu tentang hidup dan kehidupan."
Ebook by Dewi Kangzusi 486 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Mungkin ibu. Tetapi aku ingin menemukan hari-hari
mendatang yang panjang. Aku tidak akan selalu berpaling
pada masa lalu itu, meskipun sebagai pengalaman akan
mempunyai arti tersendiri bagiku.-"
Raden Ayu Prawirayuda masih saja membelai rambut
anaknya. Namun beberapa saat kemudian. Raden Ayu
Prawirayuda itupun berkata " Beristirahatlah, Rantamsari.
Mungkin kau merasa letih oleh gejolak perasaanmu. Jika kau
ingin tidur. tidurlah." .
"Tidak. ibu. Aku tidak ingin tidur. Aku akan pergi ke
dapur." Justru Raden Ajeng Rantamsarilah yang lebih dahulu
bangkit berdiri. Ketika Raden Ayu Prawirayuda juga bangkit,
maka Rantamsaripun menggandeng ibunya keluar dari biliknya
langsung pergi ke dapur. Di dapur, para abdi sedang sibuk menyiapkan makan siang
bagi para senapati muda yang berada di rumah itu.
Rantamsaripun kemudian telah ikut pula membantu mereka,
menyediakan mangkuk serta peralatan yang lain.
Hari itu, wajah Raden Ajeng Rantamsari nampak sangat
cerah. Rasa-rasanya Raden Ajeng Rantamsari telah
meletakkan beban yang memberati perasaannya.
Selama ini, Raden Ajeng Rantamsari tidak berani berterus
terang kepada ibunya, bahwa sebagai seorang gadis hatinya
telah tersentuh oleh seorang anak muda yang bernama
Rembana. Sebaliknya, anak muda itupun telah tertarik pula
kepadanya. Meskipun Rantamsari sebenarnya telah menduga, bahwa
ibunya ikut merasakan getar timbal balik antara dirinya
Ebook by Dewi Kangzusi 487 Kang Zusi http://kangzusi.com/
dengan senapati muda itu, namun ibunya tentu ingin
mendengar pengakuannya itu.
Kedatangan pamannya seakan-akan justru telah membuka
kesempatan kepadanya untuk menyampaikan hal itu kepada
ibunya. Pernyataan ibunya itu, telah membuat hubungan Raden
Ajeng Rantamsari dengan Ki Lurah Rembana menjadi semakin
akrab. Raden Ajeng Rantamsari tidak lagi merasa pakewuh
untuk berbicara dengan Rembana di tempat-tempat terbuka.
Namun hubungan antara Raden Ajeng Rantamsari dengan
Rembana itu tidak terlepas dari pengamatan senapati muda
yang lain. Sasangka. Senja itu, warna-warna jingga yang silau memancar di
langit. Beberapa lembar mega hanyut beriringan dihembus
ingin dari lautan. Setelah mandi, Madyasta dan Wismaya
duduk di halaman belakang rumah Raden Ayu Prawirayuda.
Mereka sempat memandangi burung-burung bangau yang
terbang beriringan pulang kesarangnya.
"Apakah Rembana dan Sasangka juga sudah mandi?"
bertanya Madyasta. "Sudah Raden. Mereka ada di serambi gandok."
"Kakang Wismaya " berkata Madyasta kemudian " aku
melihat telah terjaadi perubahan dalam hubungan diantara
keduanya. Aku tidak tahu, apakah yang telah
menyebabkannya." "Maksud Raden, pada keduanya seakan akan telah
terbentang jarak." Ebook by Dewi Kangzusi 488 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya." "Ya, Raden. Aku mengenal keduanya dengan baik. Aku
berada dalam kelompok yang sama pada saat kami bersama-
sama memasuki dunia keprajuritan. Agaknya jenjang
kedudukan kamipun merambat bersama-sama pula, sehingga
kami sempat menjadi Lurah prajurit yang justru memaksa
kami untuk berpisah, karena kami mengemban tugas kami
masing-masing." "Bukankah selama ini tidak ada masalah diantara
keduanya?" "Nampaknya tidak ada Raden. Tetapi sebenarnyalah
bahwa akhir-akhir ini memang terasa ada jarak diantara
mereka." "Mudah-mudahan tidak timbul persoalan yang mendasar
diantara mereka. Namun adalah kewajibanku untuk
mengetahui, ada apa sebenarnya diantara mereka itu."
Sebenarnyalah saat itu, Rembana dan Sasangka duduk di
serambi gandok. Untuk beberapa lama mereka saling berdiam
diri. Namun kemudian Sasangkalah yang membuka
pembicaraan " Rembana. Sebelumnya aku minta kau jangan
salah paham. Jangan menganggap aku orang lain yang
mencampuri urusan pribadimu. Aku adalah bukan hanya
sekedar kawanmu. Tetapi kau bagiku rasa-rasanya sudah
bagaikan saudara kandung."
Rembana berpaling. Dengan kerut di dahi iapun bertanya "
Ada apa Sasangka." "Sudah sejak beberapa hari sebenarnya aku ingin
mengingatkanmu, Rembana."
Ebook by Dewi Kangzusi 489 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Apakah ada yang aku lupakan?"
"Tidak. Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik."
"Jadi, apa yang perlu kau peringatkan?"
"Rembana, Aku bermaksud baik. Jangan tuduh aku
mencampuri persoalan pribadimu."
Rembana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata "Katakan, Sasangka."
"Aku ingin membicarakan hubunganmu dengan Raden
Ajeng Rantamsari." "Hubunganku dengan Raden Ajeng Rantamsari" Kenapa?"
"Selagi belum terlanjur menjadi terlalu jauh."
"Kenapa?" "Aku ingin menasehatkan, agar kau mempertimbangkan
kembali hubunganmu dengan Raden Ajeng Rantamsari. Pada
akhir-akhir ini aku melihat hubunganmu telah bergerak
semakin akrab. Sentuhan-sentuhan batin diantara kalian telah
membuat hubungan kalian menjadi khusus."
Rembana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Terima
kasih atas perhatianmu, Sasangka. Tetapi jangan hiraukan.
Aku tidak beniat menolak uluran tanganmu serta niat baikmu.
Tetapi karena aku sudah dewasa penuh, biarlah persoalan itu
aku selesaikan sendiri."
Ebook by Dewi Kangzusi 490 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku hanya ingin mengingatkan, agar kau tidak menjadi kecewa dihari-hari
mendatang." "Kecewa" Kenapa aku harus kecewa?"
"Kau harus berani melihat ke dirimu sendiri."
Rembana menarik nafas panjang. Katanya "Aku mengerti, Sasangka. Kau tentu akan
mengatakan, bahwa aku adalah sekedar anak pedesaan. Anak yang dilahirkan dan
dibesarkan di kaki bukit. Ayahku dan ibuku adalah orang-orang dari kaki bukit
itu pula. Sedangkan Raden Ajeng Rantamsari adalah anak seorang Adipati, meskipun
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kangjeng Adipati itu sudah meninggal."
"Ya. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa di hari-hari mendatang. Seperti
seseorang yang terbangun dari sebuah mimpi yang indah, maka kau akan menjadi
sangat kecewa." "Kenapa aku harus kecewa'"
"Raden Ajeng Rantamsari pada suatu saat tentu akan dinikahkan dengan seorang
yang pantas untuk menjadi suaminya. Mungkin seorang Adipati muda atau seorang
putera Adipati. Bahkan mungkin saja Raden Ajeng Rantamsari akan mendapat suami
seorang ksatria dari Istana Tegal Langkap."
"Jika nasibku memang seburuk itu, biarlah aku sandangnya Sasangka."
"Sebenarnya kau tidak perlu menunggu sampai kau mengalaminya Rembana. Mumpung
belum terlanjur, kau dapat ber usaha untuk mencegahnya."
"Terima kasih atas kepedulianmu itu, Sasangka. Tetapi aku tidak berniat untuk
menghindar sekarang. Seperti orang yang Ebook by Dewi Kangzusi
491 Kang Zusi http://kangzusi.com/
akan maju kemedan perang. Aku sudah siap. Jika aku
memang, maka aku akan pulang dengan berbagai macam
penghormatan. Bahkan bermahkotakan gelar seorang
pahlawan. Menikmati pujian dan kebanggaan. Tetapi jika aku
kalah, maka namaku akan tercemar. Orang lain akan berpaling
jika berpapasan di jalan. Bahkan dapat terjadi lebih buruk dari
itu. Menjadi seorang tawanan perang yang dihinakan.
Dipekerjakan lebih buruk dari seorang budak. Atau dapat juga
aku mati dipertempuran. Tetapi aku sudah siap menghadapi
semua kemungkinan itu. Aku siap untuk menang. Tetapi
akupun siap untuk kalah atau bahkan mati."
"Kau keras kepala Rembana."
"Kau tahu itu Sasangka. Aku memang orang yang keras
kepala. Aku tidak mudah menerima pendapat orang lain."
"Tetapi persoalan ini adalah persoalan yang gawat,
Rembana. Aku minta kau mengerti."
"Sasangka " berkata Rembana kemudian. Nada suaranya
meninggi "Aku sudah dewasa penuh. Aku sudah dapat memilih,
manakah yang baik dan manakah yang tidak baik bagiku. Aku
minta kau tidak mencampurinya."
"Itulah yang kau kehendaki sekarang Rembana" Justru
pada saat kau memerlukannya."
"Tidak. Aku tidak memerlukannya."
"Kau sakit, Rembana. Tetapi kau tidak mau mengakui,
bahwa kau memerlukan pengobatan."
"Sasangka. Kau sudah terlalu dalam mencampuri persoalan
yang sangat pribadi bagiku. Nasehatmu sudah cukup."
Ebook by Dewi Kangzusi 492 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Belum Rembana."
"Bahkan sudah terlalu banyak. Atau justru karena kau
merasa iri?" Sasangka terkejut, sehingga tiba-tiba saja iapun bangkit
berdiri "Rembana. Kau menganggap aku menjadi iri?"
"Jika tidak, lepaskan aku sekehendak hatiku. Kau tidak
berhak mencampuri persoalan pribadiku. Mungkin aku
memerlukan bantuanmu dalam pertempuran antara hidup dan
mati. Tetapi aku tidak memerlukan pendapatmu dalam
persoalan ini." Wajah Sasangka menjadi merah. Namun sebelum ia
menjawab dengan suara yang bergetar, ia melihat Wismaya
sudah berdiri di tangga serambi gandok itu.
"Wismaya " desis Rembana.
"Aku mendengar sebagian dari persoalan yang kalian
bicarakan dari balik dinding sebelah. Maaf. Tetapi aku sama
sekali tidak sengaja mendengarkannya. Ketika aku ingin
menemui kalian berdua, aku mendengar pembicaraan kalian.
Semakin lama menjadi semakin tajam. Semula aku tindak
ingin mencampurinya. Tetapi ketika aku akan pergi, aku justru
merasa menjadi bagian dari keberadaan kita semuanya di
rumah ini." "Aku bermaksud baik " berkata Sasangka.
"Aku mengerti" sahut Wismaya.
"Tetapi ia telah mencampuri persoalan pribadiku terlalu
dalam. Aku sudah mengatakan, bahwa aku berterima kasih
Ebook by Dewi Kangzusi 493 Kang Zusi http://kangzusi.com/
atas kepeduliannya. Tetapi selanjutnya, biarlah aku yang
memutuskan." "Memang kaulah yang harus memutuskan. Tetapi
Sasangka ingin memberikan pertimbangan kepadamu."
"Sudah aku katakan. Aku berterima kasih. Tetapi
selanjutnya terserah kepadaku. Jika hubunganku dengan
puteri itu dianggap demikian aku akan terperosok kedalam
lidah api, biarlah aku terbakar sampai hangus. Sasangka tidak
perlu menangisinya."
"Jadi itukah arti kesetia-kawanan bagimu Rembana."
"Aku menghargai kesetia-kawanan. Tetapi.tentu ada
batasnya. Sampai kemana kau dapat memasuki duniaku.
Duniaku yang sangat pribadi ini."
"Sudahlah Sasangka " berkata Wismaya " niat baikmu
memang harus dihargai. Tetapi kau memang tidak akan dapat
memasuki dunia Rembana sampai sedalam dalamnya."
"Aku hanya ingin mencegah sebelum terjadi mala-petaka
padanya." "Aku mengerti. Tetapi Rembana bukan kanak-kanak lagi.
Biarlah ia memilih, jalan manakah yang akan di laluinya."
"Apakah aku harus membiarkannya memilih jalan sesat?"
"Kau sudah memperingatkannya, Sasangka. Jika ia masih
saja ingin berjalan lewat jalan itu, kita tidak dapat berbuat
apa-apa." "Aku tidak akan membiarkannya."
Ebook by Dewi Kangzusi 494 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Sasangka " suara Wismaya menjadi berat " sejauh mana hak kita mencampuri
persoalan-persoalan orang lain yang sangat pribadi. Kita dapat menunjukkan niat
baik ktia, kepedulian kita. Sesudah itu, terserah kepadanya. Karena itu,
sudahlah. Biar Rembana sendiri yang memutuskannya."
"Jadi itu nasehatmu Wismaya."
"Jangan salah paham. Aku tidak menasehatimu. Aku ingin melerai perselisihanmu
dengan Rembana." "Aku tidak berselisih. Tetapi aku ingin mencegah Rembana terperosok kedalam
kepedihan dikemudian hari."
"Aku sudah mengucapkan terima kasih, Sasangka "sahut Rembana" "tetapi yang kau
lakukan bukan memperingatkan aku. Tetapi kau justru memaksakan kehendakmu."
"Untuk kepentinganmu sendiri Rembana."
"Sudah aku katakan, jangan hiraukan aku. Bahkan seandainya aku akan lebur
menjadi debu." "Kau menyinggung perasaanku."
"Sudahlah, Sasangka. Ia memang berhak menentukan, apa yang terbaik menurut
pikirannya. Kita hanya akan menjadi penonton."
"Itu bukan sikap sahabat yang baik. Aku harus berani mengatakan yang baik dan
yang buruk baginya, meskipun ia sendiri tidak menyukainya."
"Kau benar Sasangka. Tetapi Rembana bukan kanak-kanak lagi."
Ebook by Dewi Kangzusi 495 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Baik. Baik. Aku tidak peduli lagi apa yang akan tejadi padanya, Apapun yang
akan terjadi." Sasangka tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah pergi meninggalkan
Rembana dan Wismaya. "Sasangka, Sasangka. Kaulah yang salah paham."
Sasangka masih mendengar Wismaya memanggilnya.
tetapi ia tidak menghiraukannya lagi.
Wismaya menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Rembana, maka
dilihatnya mata Rembana yang merah. Agaknya Rembana harus menahan kemarahan yang
telah membakar jantungnya.
"Sasangka sudah menjadi gila. Ia merasa iri melihat hubunganku dengan Raden
Ajeng Rantamsari." "Ia bukannya menjadi iri, Rembana. Maksudnya benar-benar baik. Aku sependapat
dengan jalan pikirannya. Tetapi aku tidak sependapat dengan sikapnya yang ingin
memaksakan pendapatnya itu kepadamu. Sebenarnya akupun ingin menyampaikan
kepadamu sebagaimana di katakan oleh Sasangka. Tetapi bagiku, segala sesuatunya
terserah kepadamu. Kau sudah dewasa. Kaulah yang akan menjalaninya. Kaulah yang
sudah berbicara dengan Raden Ajeng Rantamsari, sehingga kaulah yang tahu
sikapnya yang sesungguhnya."
"Seperti kepada Sasangka, akupun berterima kasih kepadamu Wismaya."
"Tetapi bagiku, segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku adalah penonton lakon
yang sedang kau perankan. Aku sama sekali tidak berhak untuk menjadi dalang
dalam lakon ini." Ebook by Dewi Kangzusi 496 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Terima kasih."
Wismaya tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera
beranjak. Wismaya ingin mencari Sasangka dan berbicara
dengannya untuk meluruskan kesalahan-pahaman yang baru
saja terjadi. Tetapi Wismaya tidak dapat menemukan Sasangka di
halaman rumah itu. Sasangka memang keluar lewat regol halaman depan. Ia
berjalan saja menelusuri jalan didepan rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Ketika langit menjadi gelap, Sasangka berdiri di ujung jalan
bulak, diluar gerbang padukuhan. Dipandanginya langit yang
semakin lama semakin gelap. Sisa cahaya matahari tidak lagi
nampak diujung gunung dan di bibir mega-mega yang
mengambang, seakan tersangkut di lambung gunung.
Sasangka berdiri termangu-mangu. Diletakannya satu
kakinya diatas sebuah batu yang agak besar yang terletak di
tanggul parit yang mengalir di pinggir jalan, dibawah sebatang
pohon turi yang sedang berbunga, Bunganya yang putih
masih nampak lamat-lamat tersembul dari keremangan ujung
malam. Namun Sasangka yang memandangi ujung gunung itu
tidak menyadari, dua orang sedang mengamatinya dari balik
semak-semak di pinggir jalan bulak.
"Orang itu salah seorang dari senapati yang berada di
Panjer" "Apa benar Ki Lurah Sura Branggah " desis yang lain.
Ebook by Dewi Kangzusi 497 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak akan salah lagi. Sejak beberapa hari aku
berusaha mengenali mereka dengan baik. Satu demi satu.
Apalagi anak muda yang bernama Madyasta, putera Kangjeng
Adipati Prangkusuma itu."
"Kalau begitu, marilah, kita habisi saja orang itu."
"Kita berdua?" "Ya " Sura Branggah termangu mangu Sementara itu
kawannyapun berkata "Ki Lurah Sura Branggah adalah orang
yang dikenal sebagai seorang vang berilmu tinggi. Ki Lurah
tentu akan dapat membunuh tikus kecil itu.
"Ya. Hanya tikus kecil. Selesaikan orang itu, aku
menunggumu disini." "Aku?" "Ya. Bukankah ia tidak lebih dari tikus kecil?"
"Tetapi yang namanya dikenal semua orang Kateguhan
dan Paranganom adalah KI Lurah Sura Branggah."
"Yang penting bukan dikenal atau tidak dikenal. Yang
penting orang itu mati. Ia adalah salah satu dari senapati yang
menurut Ki Tumenggung Reksadrana harus dibunuh, karena
orang itu ikut bertanggung jawab atas kematian putera Ki
Tumenggung itu." "Ya. Orang itu harus dibunuh."
"Nah. Karena itu bunuhlah."
Ebook by Dewi Kangzusi 498 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ki Lurah sajalah yang membunuh. Agar kerja kita lekas
selesai." "Aku perintahkan kepadamu."
"Jangan begitu ki Lurah. Tetapi bagaimana jika kita
lakukan bersama-sama."
"Cah edan. Kita akan dapat terperosok kedalam
kemungkinan terburuk. Agaknya memang belum waktunya
kita membunuhnya sekarang."
"Mumpung ia sendiri, Ki Lurah."
"Otakmu memang otak kerbau. Jika kita gagal, maka
rencana yang sudah kita susunpun akan gagal pula.semuanya.
Kita harus memilih saat terbaik untuk membunuhnya. Bahkan
mungkin justru dihalaman rumah Raden Ayu Prawirayuda itu
sendiri." Kawannya terdiam. Sebenarnyalah iapun merasa ragu,
apakah berdua mereka akan berhasil seandainya mereka
memutuskan untuk mencoba membunuh anak muda itu.
Namun ketika keduanya kembali memandang kearah
senapati muda itu, maka yang nampak adalah dua orang.
Selain Sasangka, ditempat itu hadir pula Wismaya.
"Marilah kita kembali ke rumah Raden Ayu" ajak Wismaya.
"Aku ingin mendinginkan jantungku dahulu Wismaya."
"Nanti kita akan dicari. Waktunya makan malam sudah
tiba." Ebook by Dewi Kangzusi 499 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku masih belum dapat meredakan gejolak di dadaku jika aku bertemu dengan
Rembana nanti." "Kau bukan kanak-kanak lagi, Sasangka"
Sasangka menarik nafas dalam-dalam.
"Selebihnya, aku juga ingin menjelaskan maksudku, agar kau tidak salah paham
dengan ucapan-ucapanku itu."
"Tidak. Aku tidak merasa salah paham. Aku mengerti sepenuhnya maksudmu itu,
Wismaya." "Jika demikian, jangan menunggu Raden Madyasta mencari kita."
Sejenak kemudian Wismaya dan Saiangka itupun telah hilang dibelakang pintu
gerbang. "Ternyata nyawa kita masih akan panjang" desis kawan Ki Sura Branggah itu.
"Kenapa?"
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika kita tadi benar-benar menyerang, senapati muda itu, maka kita akan segera
berhadapan dengan dua orang senapati muda yang berilmu tinggi itu"
"Bukankah dengan demikian dua orang diantara empat sasaran kita sudah kita
selesaikan hari ini?"
"Sura Branggah memandang orang itu dengan tajamnya.
Dengan geram iapun bertanya."Apa". Dua sasaran kita akan terbunuh?"
Ebook by Dewi Kangzusi 500 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Namun tiba-tiba kawannya itu tertawa tertahan. Katanya
"Ya. Merekalah yang membunuh sasaran mereka. Dua orang."
"Gila kau." "Bukankah aku bersama Ki Sura Branggah?"
"Kau mencoba menghina aku. Aku cekik kau sampai mati."
"Jangan marah Ki Lurah. Jika kau bunuh aku, maka kau kehilangan seorang pengikut
yang berilmu tinggi "
"Huh" Ki Sura Branggah tidak menjawab. Namun iapun segera melangkah pergi.
Sambil tertawa tertahan pengikutriya itupun berlari-lari kecil, mengikuti Ki
Sura Branggah di belakangnya.
Di rumah Raden Ayu Prawirayuda, suasananya memang nampak sedikit berubah. Tetapi
Wismaya dan Raden Madyasta berusaha agar Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng
Rantamsari tidak segera merasakan perubahan itu."
Karena itu, ketika mereka makan malam di ruang dalam, Wismaya yang pendiam serta
Raden Madyasta lebih banyak mengisi waktu dengan pembicaraan-pembicaraan yang
memang berbeda dengan cara Rembana berbicara pa da saat-saat seperti itu.
Hanya sekali-sekali saja Rembana dan Sasangka ikut terlibat dalam pembicaraan
yang memang nampak lebih bersungguh-sungguh itu.
Raden Ayu Prawirayuda nampaknya memang tidak menangkap perubahan suasana yang
terjadi di rumahnya. Tetapi agak berbeda dengan Raden Ajeng Rantamsari. Ia
Ebook by Dewi Kangzusi 501 Kang Zusi http://kangzusi.com/
melihat perubahan yang terjadi pada Rembana. Tetapi Raden
Ajeng Rantamsari tidak tahu apakah yang menyebabkannya.
Setelah makan malam, maka Raden Madyasta serta para
senapati muda itupun segera kembali ke gandok. Beberapa
saat mereka duduk di serambi. Namun Sasangka dan
Rembanapun segera masuk ke dalam bilik mereka masing-
masing. Tetapi sesaat kemudian, Rembanapun telah keluar pula
dari biliknya. Seperti biasanya ia membawa pedangnya yang
tergaintung di lambungnya.
"Aku bertugas di belakang malam ini Raden berkata
Rembana, aku akan berada di serambi belakang."
"Baik, kakang" jawab Raden Madyasta " hati-hatilah."
"Ya, Raden. Marilah Wismaya."
"Aku akan menggantikanmu tengah malam nanti"
"Sebaiknya kau tidur saja sekarang." Wismaya tersenyum.
Katanya "Ya. Sebentar lagi. Bukankah kita baru saja makan?"
Rembana mengangguk. Namun wajahnya tidak nampak
cerah seperti biasanya. Sejenak kemudian, maka Rembanapun telah hilang dibalik
kegelapan. Sinar cahaya lampu di pendapa tidak dapat
menggapai-gapainya lagi ketika ia menyelinap di belakang
gandok. Rembana tidak pergi ke serambi belakang lewat
longkangan di belakang pintu seketeng. Tetapi Rembana
memilih melingkari rumah raden Ayu Prawirayuda yang besar
itu. Ebook by Dewi Kangzusi 502 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Yang kemudian duduk diserambi tinggal Wismaya dan Raden Madyasta. Namun
Wismayapun memberikan isyarat kepada Raden Madyasta untuk turun dan berjalan
melintasi halaman. "Sasangka tentu belum tidur " berkata Wismaya. Raden Madyasta mengangguk-angguk.
"Mungkin ia tidak dapat tidur malam ini." .
"Ya." Wismayapun kemudian mengulangi lagi ceriteranya tentang perselisihan antara
Sasangka dan Rembana yang serba sedikit sudah dilaporkannya kepada Raden
Madyasta. "Sayang sekali, bahwa perselisihan itu harus terjadi."
"Ya, Raden." "Menurut kakang Wismaya, apakah Sasangka benar-benar ingin memperingatkan
Rembana dengan jujur atau justru karena Sasangka merasa iri hati?"
Wismaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "
Sulit bagiku untuk mengetahui Raden. Tetapi menurut pengenalanku atas Sasangka,
ia bukan seorang yang dengki.
Sasangka memang kadang-kadang ingin memaksakan pendapatnya kepada orang lain."
"Jadi, menurut kakang Wismaya, Sasangka berkata dengan jujur. Tetapi caranya
yang telah menyinggung perasaan kakang Rembana."
Ebook by Dewi Kangzusi 503 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wismaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bergumam seakan-akan
ditujukan kepada diri sendiri "
Ya. Mungkin sekali, Raden."
"Baiklah, kakang. Besok aku akan berbicara dengan keduanya. Aku tidak ingin
tugas kita kali ini membawa perpecahan diantara mereka yang sebelumnya
bersahabat." "Ya, Raden." Jika perlu, maka harus ada diantara kita yang meninggalkan rumah ini. Ayahanda
dapat memerintahkan orang lain untuk menggantikan tugas kita disini."
Wismaya mengangguk-angguk, sementara Raden Madyastapun berkata selanjutnya "
Jika perlu kami bersama-sama ditarik dari tugas ini, agar tidak menimbulkan
persoalan baru. Ayahanda dapat membuat alasan yang masuk akal.
Misalnya pergantian tugas karena kakang Wismaya, kakang Sasangka dan kakang
Rembana sudah terlalu lama meninggalkan barak masing-masing. Dengan demikian,
terutama bagi orang lain diluar kita berempat, tidak mereka-reka persoalan yang
timbul di rumah ini. Berbeda jika seandainya ayahanda hanya memindahkan satu
atau dua orang diantara kita berempat."
"Raden benar " Wismaya mengangguk-angguk " jika yang ditarik dari tugas ini
hanya satu atau dua orang, maka akan ada masalah yang timbul di rumah ini.
Apalagi masalah itu memang sudah ada. Seperti bunga api sepercik dan jatuh
diatas alang-alang kering. Kabar itu akan segera membakar daerah ini, terutama
dilingkungan keprajuritan."
"Bukankah dengan demikian akan dapat menjadi setitik noda yang mengotori nama
prajurit Paranganom?"
Ebook by Dewi Kangzusi 504 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wismaya mengangguk-angguk.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka keduanyapun duduk di atas sebuah lincak
panjang di sudut halaman rumah itu. Pembicaraan mereka justru menjadi
berkepanjangan, sehingga Wismaya tidak lagi ingat, bahwa lewat tengah malam ia
akan bertugas menggantikan Rembana yang berada di halaman belakang.
Baru menjelang tengah malam, Raden Madyasta sempat mengingatkan " Kakang Wismaya
tidak beristirahat dahulu"
Sebentar lagi tengah malam. Kakang harus menggantikan kakang Rembana."
"Sudah tanggung, Raden. Jika aku berbaring sekarang, maka baru esok pagi aku
bangun." Raden Madyasta tersenyum. Katanya " Jika demikian, sebaiknya kakang Wismaya
justru mempersiapkan diri."
Malam ini Sasangka akan menggantikan Raden Madyasta mengawasi bagian depan rumah
ini." "Ya. Mudah-mudahan Sasangka sempat tidur meskipun hanya sebentar."
Sulit baginya untuk tidur. Tetapi untunglah bahwa tugas mereka tidak bersamaan
sesudah tengah malam. Jika tidak ada orang lain yang sempat mengawasi, maka
perselisihan itu akan dapat terjadi lagi."
Keduanyapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke gandok sebelah kanan.
Namun ketika mereka sampai di tangga gandok, mereka melihat Rembana muncul dari
kegelapan. Namun langkahnya nampak gontai.
Ebook by Dewi Kangzusi 505 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Bahkan ketika ia berdiri di sudut gandok, tangannya
berpegangan erat-erat. "Kakang Rembana."
Raden Madyasta itupun segera berlari mendekati Rembana
disusul oleh Wismaya. "Ada apa kakang?" bertanya Raden Madyasta dengan
suara bergetar. Rembana tidak dapat bertahan berpegangan sudut gandok
itu lagi. Tetapi ketika ia akan jatuh terjerembab, Raden
Madyasta dengan cepat menangkapnya.
Raden Madyasta terkejut ketika tangannya menyentuh
cairan yang hangat pada tubuh Rembana. Bahkan kemudian,
Raden Madyasta itu melihat sebuah pisau belati tertancap di
lambung sebelah kiri. "Apa yang terjadi, kakang" bertanya Raden Madyasta
dengan jantung berdebaran.
Pada saat itu pula, Sasangka berlari-lari keluar dari
biliknya. "Apa yang terjadi?"
Sebelum Wismaya dan Raden Madyasta menjawab,
Sasangkapun telah menghambur menuruni tangga gandok
sebelah.kanan. Iapun kemudian bcrjongkok pula disisi
Rembana, disebelah Raden Madyasta, sementara Wismaya
berjongkok di sisi yang lain.
"Kakang Rembana. Apa yang terjadi?"
Ebook by Dewi Kangzusi 506 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Rembana, katakan. Apa yang terjadi" Siapakah yang
menusuk lambungmu?" bertanya Wismaya pula.
Rembana menggeleng. Suaranya menjadi sangat
dalam"Aku tidak dapat melihatnya, Raden."
"Kau tidak sempat melawan sama sekali?"
Rembana menggeleng. Suaranya menjadi bertambah lirih "
Tiba-tiba saja dari dalam kegelapan seseorang menusuk
lambungku. Dengan cepat pula ia menghilang. Aku tidak dapat
mengenali wajahnya dalam kegelapan. Apalagi sebagian dari
wajahnya itu tertutup oleh ikat kepalanya.
"Bertahanlah, Rembana " desis Raden Madyasta. Lalu
katanya "Kakang Sasangka. Tolong, panggil seorang tabib
yang tinggal didekat rumah ini agar ia dapat merawat kakang
Rembana untuk sementara. Sementara itu biarlah tabib
kadipaten di panggil pula kemari."
Tetapi Rembana menggeleng. Katanya "Tidak. Tidak ada
gunanya lagi Raden."
"Kakang, kakang."
Nafas Rembana menjadi semakin sendat, sehingga
akhirnya berhenti sama sekali.
"Kakang, kakang."
Tetapi Rembana sudah tidak mendengar lagi.
Malam itu, kesibukan yang luar biasa telah terjadi di rumah
Raden Ayu Prawirayuda. laporanpun segera sampai ke
kadipaten. Pasukan di barak yang dipimpin oleh Rembanapun
Ebook by Dewi Kangzusi 507 Kang Zusi http://kangzusi.com/
dengan cepat bersiap menghadapi segala kemungkinan yang
dapat terjadi. Rembana telah gugur dalam men jalankan tugasnya.
Malam itu, Raden Wignyana telah berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda pula. "Dimas " desis Raden Madyasta.
"Aku mendapat perintah dari ayahanda untuk melihat
keadaan di rumah bibi ini, kangmas."
"Inilah yang terjadi dimas ."
"Bukankah kakang Rembana seorang senapati muda yang
mumpuni" Kenapa begitu mudahnya kakang Rembana
terbunuh disini?" "Itulah yang harus kita cari sebabnya, dimas."
"Pembunuh kakang Rembana tentu seorang yang memiliki
ilmu yang tinggi pula. Setidak tidaknya setataran dengan
kakang Rembana. Orang itu hanya mempunyai kelebihan licik,
curang dan tidak tahu malu"
"Aku sependapat dimas. Orang itu tentu licik dan curang."
"Aku mendapat perintah dari ayahanda untuk segera
kembali dan memberikan laporan terperinci. Besok pagi-pagi
ayahanda akan datang kemari."
Dalam pada itu, Wismayapun sempat berbisik ditelinga
Raden Madyasta " Untunglah, bahwa tidak ada yang tahu, apa
yang terjadi antara Rembana dan Sasangka. Jika saja ada
yang mengetahuinya, maka tentu akan segerai tersebar kabar
buruk yang langsung menghakimi Sasangka."
Ebook by Dewi Kangzusi 508 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya " Raden Madyasta mengangguk angguk dengan kerut
di kening Raden Madyastapun bertanya Tetapi bagaimana
menurut pendapatmu, kakang "
"Aku belum dapat berkata apa-apa tentang peristiwa ini,
Raden. Aku melihat Sasangka menjadi sangat murung.
Mungkin ia merasa, bahwa kita telah menuduhnya."
Malam itu, sekelompok prajurit telah berada di rumah
Raden Ayu Prawirayuda atas perintah Ki Tumenggung
Sanggayuda. Tetapi yang ditugaskan adalah dari pasukan
pengawal, yang dipimpin oleh Ki Lurah Adisana dan berada
langsung dibawah perintah Tumenggung Sanggayuda.
Dalam pada itu, Raden Ajeng Rantamsari masih saja
menangis di pangkuan ibunya. Rembana, seorang anak muda
yang sangat menarik baginya, telah tiada. Sebuah pisau belati
menancap di lambungnya. "Kenapa hal ini harus terjadi, ibu?" bertanya Raden Ajeng
Rantamsari. Kita tidak dapat menentang garis pepesten, Rantamsari."
"Tetapi kakang Rembana masih terlalu muda untuk
meninggal." "Apapun yang kita inginkan terhadap seseorang, tetapi
yang akan terjadi atasnya, terjadilah. Tidak seorang-pun
mampu mencegahnya." "Sejak kemarin sore, aku melihat sesuatu yang lain pada
kakang Rembana, ibu. Kakang Rembana lebih banyak diam.
Sekali-sekali saja tersenyum. Bukankah biasanya ia selalu
cerah. Banyak berbicara dengan kelakarnya yang segar?"
Ebook by Dewi Kangzusi 509 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Rantamsari."
"Seolah-olah kakang Rembana tahu apa yang akan terjadi
semalam." Mungkin firasat itu telah menyentuhnya, Rantamsari.
Tetapi Rembana tidak mampu mengurainya, sehingga yang
terjadi itu tidak terbayangkan sebelumnya."
Rantamsari mengusap matanya yang selalu basah.
Seperti yang dikatakan oleh Wignyana, maka pagi itu,
Kangjeng Adipati Prangkusuma telah hadir di rumah Raden
Ayu Prawirayuda. Demikian pula keluarga Rembana yang
semalam sudah diberi tahu pula apa yang telah terjadi.
Di rumah Raden Ayu Prawirayuda, ibu Rembana itu sempat
pingsan. Tidak hanya sekali. Tetapi dua tiga kali.
"Anak yang baik " berkata ibunya disela-sela tangisnya " ia
adalah tumpuan harapan keluarga kami."
"Sudah, Nyi " ayah Rembana mencoba menghiburnya "
Yang Maha Agung menghendakinya kembali ke sisinya. Yang
terjadi itu adalah diluar kemampuan siapapun juga untuk
mencegahnya.:" Tetapi ketika tangis ibu Rembana itu mereda, maka justru
ayahnyalah yang pergi ke pakiwan untuk mencuci mukanya.
Matanya menjadi merah karena laki-laki itu tidak dapat
menahan tangisnya. Kangjeng Adipati telah memanggil Madyasta, Wismaya dan
Sasangka bertiga didalam bilik yang khusus.
Ebook by Dewi Kangzusi 510 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Bagaimana menurut pendapatmu, Madyasta?"
"Hamba belum dapat mengatakan apa-apa ayahanda."
"Apakah aku perlu menambah beberapa orang senapati untuk bertugas disini" Semula
tugas ini dianggap tugas yang aneh, yang tidak perlu harus dilakukan oleh
senapati pilihan. Tetapi temyata seorang dari senapati pilihan itu justu telah terbunuh disini."
Jilid 07 Bab 22 - Ancaman Paman MADYASTA, Wismaya dan Sasangka saling berpandangan sejenak. Namun Wismaya dan
Sasangka kemudian menundukkan wajahnya.
Madyastalah yang kemudian menjawab "Untuk sementara tidak perlu ayahanda. Hamba,
kakang Wismaya dan kakang Sasangka akan melaksanakan tugas ini sebaik baiknya,
Kami bernial memancing orang yang lelah membunuh kakang Rembana untuk kembali
lagi. Jika yang bertugas disini bertambah, mungkin ia tidak akan berniat untuk
datang lagi. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun
berkata "Tetapi berhati-hatilah. Kalian tahu, bahwa orang ib tentu orang yang
berilmu tinggi. Mereka dapat membunuh seorang Senapati pilihan tanpa sempat
mempertahankan diri. Selain berilmu tinggi, orang itu tentu juga seorang yang
licik, yang tanpa segan-segan menyerang dari belakang."
"Ya, Ayahanda "
Ebook by Dewi Kangzusi 511 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak ingjn jatuh lagi korban diantara kalian."
Madyasta menarik nafas panjang. Wismaya dan Sasangka
masih saja menunduk dalam-dalam.
Hari itu juga sebelum dimakamkan, atas permintaan anak
buahnya, Rembana telah dibawa ke baraknya Dengan
penghormatan penuh, jenazah Rembana dilepas ke makam.
Diwajah para prajuritnya membayang kemarahan yang
bergejolak didalam dada mereka. Namun Ki Tumenggung
Wiradapa sempat meredakan perasaan mereka. Katanya
"Bukan hanya kalian yang berduka, tetapi seluruh kadipaten
ini, termasuk Kangjeng Adipati Prangkusuma. Ki Lurah
Rembana adalah Senapati muda yang penuh harapan dimasa
mendatang. Tiba-tiba saja umurnya telah direnggut dengan
eara yang sangat licik. Kami berjanji untuk pada suatu saat
menemukan pembunuh Ki Lurah Rembana."
Para prajuritnya mendengarkannya sambil berdiam diri.
Tetapi gigi mereka terkatub rapat. Mereka harus menahan
gejolak di hati. Namun para pemimpin kelompok yang sudah lebih tua,
berusaha juga untuk meredam kemarahan para prajuritnya.
Se-orang pemimpin kelompok yang sebagian kumisnya Sudah
memutih bertanya "Kalian marah kepada siapa" Jika kita ingin
membalas dendam atas kematian Ki Lurah, siapakah sasaran
kita?" Para prajurit itupun terdiam. Mereka memang tidak lahu,
kepada siapa mereka mendendam.
"Kita harus mempergunakan nalar kita. Bukan hanya
perasaan kita" berkala pemimpin kelompok itu.
Ebook by Dewi Kangzusi 512 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Demikianlah, sebuah iring iringan yang panjang mengantar Rembana ke makam.
Selain keluarganya, maka sepasukan prajurit ikut pula mengatarnya Kedua putra
Kangjeng Adipati, Madyasta dan Wignyana ada diantara para pengiring itu.
Mereka berjalan bersama Wignyana dan Sasangka yang kelihatan murung.
Berita tentang kematian seorang Senapati muda di rumah Raden Ayu Prawirayuda
segera merjdi pembicaraan, terutama diantara para prajurit. Yang tersinggung
tidak hanya para prajurit, anak buah Ki Lurah Rembana. Tetapi para prajurit
Paranganom merasa tersinggung.
Jika bibit-bibit permusuhan sudah terasa ada diantara orang-orang Paranganom dan
orang-orang Kateguhan, maka kematian Ki Lurah Rembana, rasa-rasanya seperti
angin yang bertiup mengipasi bara api disetumpuk kayu.
Dalam pada itu, Madyasta tetap pada pendiriannya ketika sekali lagi Kangjeng
Adipati memanggilnya dan mempertanyakan kemungkinan untuk memperkuat pengamanan
di rumah Raden Ayu Prawirayuda
"Jika penjagaan di rumah itu diperkuat, maka akibatnya orang-orang membunuh
kakang Rembana tidak akan berani datang lagi ayahanda. Biarlah hamba bersama
kakang Wismaya dan kakang Sasangka bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk
di rumah bibi Prawirayuda."
"Tetapi kau harus sangat berhati-hati, Madyasta "
"Ayah anda mencemaskan hamba " "
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Katanya "
Apakah ada ayah yang tidak mencemaskan keadaan anaknya jika ia berada di satu
lingkungan yang berbahaya ?"
Ebook by Dewi Kangzusi 513 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Hamba mengerti, ayahanda. Tetapi hamba berjanji untuk
berhati-hati." "Ki Lurah Wismaya dan Ki I .urah Sasangka juga harus
berhati-hati. "Hamba ayahanda "
"Baiklah. Aku serahkan segala sesuatunya kepadamu. Kau
yang berada di medan, sehingga kau yang paling mengenali
keadaan medan itu." "Hamba mohon doa restu ayahanda."
"Madyasta" berkata Kangjeng Adipati dengan nada berat.
"Nampak betapa Kangjeng Adipati itu menjadi ragu.
Sebenarnya Kangjeng Adipati masih belum ingin menyam-
paikan ceritera yang harus disesali dari sikap Raden Ayu
Prawirayuda tentang anak gadisnya yang ingin
dipersandingkan dengan Kangjeng Adipati Yudapati. Tetapi
dengan ke matian Rembana, maka Kangjeng Adipati justru
merasa perlu untuk berbicara dengan Madyasta.
Madyasta merasakan keragu-raguan ayahandanya. Setelah
beberapa saat Madyasta menunggu, namun Kangjeng Adipati
tidak segera melanjutkan kata-katanya, maka Madyastapun
bertanya "Ada yang meragukan hati ayahanda ?"
"Ya " Kangjeng Adipati mengangguk-angguk " tetapi
baiklah. Mungkin ada baiknya kau mengetahuinya sekarang.
Mungkin dapat kau jadikan bahan pertimbangan pada saat
kau melakukan tugasmu, mengamankan rumah bibimu."
"Hamba ayahanda."
Ebook by Dewi Kangzusi 514 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Keragu-raguan masih terasa ketika
Kangjeng Adipati itupun kemudian meneeritakan apa yang pernah didengarnya dari
Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda Raden Madyasta mendengarkannya
dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali Madyasta mengerutkan dahinya.
Kemudian mengangguk-angguk kecil. Balikan kadang-kadang ia mengangkat wajahnya.
Namun Raden Madyasta tidak memotong kata-kata ayahandanya yang masih diwarnai
oleh kebimbangan itu. Kangjeng Adipati menarik nafas panjang ketika ia selesai menyampaikan keterangan
sebagaimana didengarnya dari kedua orang Tumenggung yang telah pergi ke
Kadipaten Kateguhan itu. "Apakah yang dikatakan oleh painan Tumenggung itu benar, ayahanda?" bertanya
Raden Madyasta. Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati itu baru
saja melepaskan beban yang terasa sangat berat bergayut di hatinya
"Madyasta " berkata Kangjeng Adipati kemudian aku tidak tahu, apakah yang
terjadi juga sebagaimana dikatakan Oleh kedua pamanmu Tumenggung Wiradapa dan
Tumenggung Sanggayuda. Tetapi kedua orang pamanmu itu mendengar keterangan dari
Tumenggung Reksadrana dihadapan Adipati Yudapati."
Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat iapun berkata "Apapun
yang terjadi ayahanda, peristiwa pengusiran bibi Prawirayuda dari Kateguhan
merupakan gambaran keretakan keluarga di Kateguhan sepeninggal paman Adipati
Prawirayuda" Ebook by Dewi Kangzusi 515 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya. Akibatnya memang akan terkait pada Kadipaten
Paranganom karena kangmbok Prawirayuda sekarang berada
di Paranganom." "Ayahanda. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin
apa yang dikatakan oleh Ki-Tumenggung Reksadrana
dihadapan kakangmas Adipati Yudapati itu tidak seluruhnya
benar. Tetapi tentu ada pula dasarnya Sehingga kebeneian
orang-orang Kateguhan terhadap bibi Prawirayuda tidak dapat
segera dihapuskan." "Menurut dugaanmu, apakah kakangmasmu Yudapati telah
mengirim orang seeara khusus untuk membunuh Rembana "
Lalu apa hubungannya kebeneian Yudapati dengan
keberadaan Rembana di rumah bibimu itu, sehingga Rembana
harus disingkirkan."
"Sasarannya tentu bukan kakang Rembana, ayahanda.
Tetapi sekedar untuk menakui nakuti dan menyakiti hati bibi
Prawirayuda yang dibeneinya itu."
"Jika benar dugaan itu, Madyasta. Maka kau, Sasangka dan
Wismaya harus menjadi semakin berhati-hati. Mungkin
kematian Rembana masih belum memberinya kepuasan.
Mungkin orang-orang Kateguhan masih ingin menunjukkan
kelebihannya. Kaulah yang harus menjadi lebih berhati-hati."-
"Maksud ayahanda, hambalah yang akan menjadi sasaran
berikutnya ?" "Hanya sikap hati-hali, Madyasta."
"Hamba mengeni ayahanda. Hlamba akan lebih berhati-
hati." Ebook by Dewi Kangzusi 516 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Sebenaniyalah bahwa ia memang mencemaskan
Raden Madyasta. Tetapi Madyasta bukan kanak-kanak lagi. Ia telah dibekali dengan
kemampuan dalam olah kanuragan. Madyastapun terus berlatih untuk melindungi
dirinya sendiri. Hari-haripun kemudian dilalui dengan suasana yang muram di rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Raden Ajeng Rantamsari nampak masih berduka karena kepergian
Rembana. Seorang anak muda yang telah menarik perhatiannya.
Sementara itu, tinggal tiga orang anak muda yang berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Namun ketiganya adalah orang-orang yang telah mendapat tempaan
lahir dan batin. Dalam pada itu, sekali lagi Raden Ayu Prawirayuda menawarkan bilik yang lebih
baik kepada Raden Madyasta yang berada di ruang dalam.
"Terima kasih, bibi."
"Keeuali tempatnya lebih pantas bagi angger Madyasta, bukankah angger akan lebih
terlindung jika angger berada di ruang dalam. Setidak-tidaknya angger tidak
dapat diserang dengan eara yang licik itu."
Aku justru harus semakin ketat mengawasi lingkungan ini bibi. Biarlah aku tetap
bersama para Senapati muda itu.
Mudah-mudahan kami akan dapat menemukan, siapa yang telah membunuh kakang
Rembana. "Tetapi kita tentu tidak ingin ada korban yang lain, ngger."
"Tentu bibi. Kami akan berhati-hati."
Ebook by Dewi Kangzusi 517 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Raden Ayu Prawirayuda tidak dapat memaksa Raden Madyasta untuk mempergunakan
bilik di ruang dalam meskipun Raden Ayu Prawirayuda telah mertunjukkan
kekhawatirannya akan keselamatan Madyasta.
Tetapi Raden Ayu Prawirayudapun dapat mengerti, bahwa Raden Madyasta bukan
seorang Senapati yang akan mempergunakan gelar Gedong Minep jika ia berada di
medan perang. Tetapi Raden Madyasta tentu akan mempergunakan gelar Garuda
Nglayang atau bahkan Gajah Meta Karena itu Raden Ayu Prawirayuda membiarkan
Raden Madyasta untuk menentukan sikapnya sendiri. Meskipun demikian, Raden Ayu
Prawirayuda masih juga berpesan "Aku mohon angger selalu berhati-hati. Maaf
ngger jika aku berpesan mewanti-wanti. Bukan karena aku menganggap bahwa angger
masih perlu diperingatkan. Tetapi sekedar kekhawatiran orang tua"
"Terima kasih, bibi. Aku tidak pernah merasa tersinggung atas peringatan yang
bibi berikan." Sebenarnyalah bahwa Raden Madyasta, Wismaya dan Sasangka menjadi semakin
berhati-hati. Bahaya akan dapat mengancam mereka setiap saat.
Dalam pada itu, Raden Ajeng Rantamsari nampak menjadi kesepian. Ia tidak lagi
dapat bereanda dengan Rembana yang memang seorang yang selalu nampak riang.
Sekali-sekali untuk mengatasi kesepiannya, Raden Ajeng Rantamsari sering
berbincang dengan Wismaya atau Sasangka Tetapi Wismaya terlalu pendiam bagi
Raden Ajeng Rantamsari, sehingga setiap kali mereka bertemu, Wismaya hanya
menjawab pembicaraan Raden Ajeng Rantamsari dengan kata sepatah-sepatah.
Ebook by Dewi Kangzusi 518 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Raden Madyasta sendiri nampaknya tidak mempunyai
banyak waktu. Disiang hari kadang kadang Raden Madyasta
pulang ke kadipaten. Namun kadang sehari suntuk Raden
Madyasta berada di rumah bibinya bersama Wismaya dan
Sasangka. Kadang-kadang mereka berada di halaman depan.
Namun kadang-kadang mereka berada di kebun belakang.
Atau mereka berada di tempat yang berbeda-beda serta
mengisi kekosongan waktu dengan kerja apa saja yang dapat
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka lakukan di rumah itu.
Ternyata Wismaya memiliki ketrampilan khusus untuk
membuat perabot dari bambu. Selama berada di rumah Raden
Ayu Prawirayuda, Wismaya sudah membuat tiga buah lineak
bambu panjang yang diletakkan di bawah sebatang pohon
yangrindang di halaman depan serta dua buah di kebun
belakang, Disiang yang terik, kadang-kadang Wismaya sempal
berbaring di lineak bambunya Bahkan kadang-kadang
Sasangka dan bahkan Raden Madyasta juga sering berbaring
di siang hari, disejuknya udara dibawah bayangan rimbunnya
dedaunan. Hari i u terasa sepi. Wismaya duduk diserambi gandok
sendiri. Udara terasa panas, sehingga Wismaya tidak
mengatupkan bajunya Dadanya yang bidang nampak terbuka.
Sehelai kipas bambu dikibaskannya tidak henti-hentinya
Sasangkalah yang justru berbaring di lineak bambu di
kebun belakang. Di luar sadarnya, Sasangka memandangi
pintu butulan yang terbuka menuju ke longkangan samping
yang menjadi asri setelah Rembana menggarap longkangan
itu menjadi semacam taman yang tidak terlalu luas.
Ebook by Dewi Kangzusi 519 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Dalam kesepiannya, Raden Ajeng Rantamsari sering berada di serambi terbuka di
longkangan itu sambil membatik.
Seperti ibunya, Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang pembatik yang telaten.
Batikannya berkesan halus dan eermat, dengan isen-isenan yang rumit dan lembut.
Di udara yang terasa panas itu, Raden Madyasta tidak sedang berada di rumah
bibinya. Raden Madyasta tidak langsung minta diri kepada bibinya serta kepada
Raden Ajeng Rantamsari, tetapi Raden Madyasta hanya berpesan kepada Wismaya dan
Sasangka bahwa ia akan pergi ke kadipaten.
"Apakah ada yang harus dilaporkan?" bertanya Wismaya.
"Tidak" jawab Radon Madyasta "Aku hanya ingin menghadap ayahanda"
"Wismaya dan Sasangka tidak lerlalu banyak bertanya.
Mereka memandangi anak muda itu keluar dari regol halaman setelah berpesan
"Berhati-hatilah, kakang."
Sepeninggal Raden Madyasta, Sasangka tidak kembali ke serambi gandok. Tetapi ia
langsung pergi ke kebun belnknng.
Sementara Wismaya kembali ke serambi gandok Meskipun diantara keduanya tidak
nampak ada pertikaian, tetapi keduanya menjadi kurang akrab sejak kematian
Rembana Seakan-akan kabut tipis berhembus diantara keduanya Namun karena
keduanya sudah ditempa oleh berbagai macam pahit manisnya kehidupan, maka
keduanya selalu mengendalikan perasaan mereka.
Karena itulah, maka mereka memilih untuk berada ditempat yang berbeda. Pada
saat-saat yang kosong, jika mereka berbincang kesana-kemari, pembicaraan mereka
akan dapat menyentuh serabut yang paling halus didalam jantung Ebook by Dewi
Kangzusi 520 Kang Zusi http://kangzusi.com/
mereka, sehingga akan dapat mengungkit persoalan yang
lebih gawat. Silirnya angin membuat mata Sasangka menjadi berat.
Sementara dari sela-sela rimbunnya dedaunan, Sasangka
melihat matahari telah memanjat sampai ke puncak.
Namun ketika diluar kehendaknya mata Sasangka
terpejam, ia terkejut mendengar suara Raden Ajeng
Rantamsari agak keras "Paman mengejutkan aku."
Sasangka masih terbaring di amben bambu di kebun
belakang. Tetapi ia berusaha mendengar dengan sungguh-
sungguh suara Raden Ajeng Rantamsari, yang agaknya berada
di serambi terbuka yang menghadap ke taman kecilnya di
longkangan. Sebenarnyalah Raden Ajeng Rantamsari terkejul ketika
tiba-tiba saja Wicitra sudah berada di taman itu pula.
"Maaf Rantamsari. Aku tidak ingin mengejutkanmu."
"Silahkan duduk paman. Aku akan memanggil ibu."
"Tidak. Itu tidak perlu. Aku tidak ingin berbicara dengan
ibumu. Tetapi aku ingin berbicara dengan kau, justru di saat
kau sendiri." "Tidak paman. Sebaiknya aku memanggil ibu."
"Ibumu mungkin sibuk didapur. Meskipun ada
pembantunya, namun biasanya ibumu sendirilah yang
menyiapkan makan bagi anak-anak muda yang ada di
rumahmu ini." Ebook by Dewi Kangzusi 521 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tetapi aku tidak dapat menerima paman sendiri.
Seandainya ibu sibuk, biarlah kesibukannya itu
ditinggalkannya lebih dahulu, agar ibu dapat menemui paman."
"Dengarlah kata-kataku. Kau tidak perlu menyampaikannya kepada ibumu. Kita dapat
berbicara langsung. Kau dan aku."
"Tidak" " Ya. Kau tidak akan pergi dari tempat ini " suara Wicitra menjadi kasar.
Jantung Raden Ajeng Rantamsari tergetar. Ketika ia memandang waiah pamannya,
dadanya berdesir tajam. Ia melihat ketegangan di wajah paniannya itu.
"Dengar Rantamsari" berkata Wicitra kemudian "aku daiang untuk menjemputniu."
"Menjemput aku" Apa yang paman maksudkan?"
"Kau tentu sudah tahu, bahwa aku tidak akan pernah membiarkan kau dimiliki oleh
siapapun. Setelah kau ditolak untuk mengabdikan dirimu, tubuhmu dan jiwamu
kepada Kangjeng Adipati Yudapati, maka ibumu telah membawamu kemari. Kau mulai
dijajakan disini. Bahkan ibumu mulai menurunkan harga dirimu. Jika semula ibumu
menawar seorang Adipati, maka kini ibumu puas dengan membiarkan kau berkasih-
kasihan dengan Senapati-senapati kecil yang tidak berarti apa-apa itu."
"Paman. Paman telah menyinggung perasaanku dan tentu juga ibu."
Ebook by Dewi Kangzusi 522 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Namun Wicitra itu tertawa. Katanya "Kau dan ibumu tidak akan dapat ingkar lagi,
Rantamsari. Karena itu, daripada disini kau dijajakan oleh ibumu, sekarang,
marilah. Ikut aku. Kau akan menjadi isteriku. Aku akan dapat menuruti semua
keinginanmu." "Paman. Aku adalah kemanakan paman sendiri. Paman adalah adik ibuku.. Bagaimana
mungkin keinginan paman itu dapat terjadi ?"
"Kenapa tidak" Bukankah keinginanku ini tidak segila keinginan ibumu di
Kateguhan" Bukankah ibumu ingin kau menjadi isteri saudaramu sendiri" Adipati di
Kateguhan" Nah, sekarang kalian harus menanggung akibatnya. Kalian justru diusir
dari Kateguhan. Kalian tentu berbohong kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma di
Paranganom, kenapa kalian telah diusir dari Kateguhan. Kalian tentu telah
mengarang sebuah ceritera yang lain."
"Cukup. Cukup paman. Sebaiknya paman segera meninggalkan rumah ini."
Wicitra tertawa. Katanya "Aku akan pergi bersamamu, Rantamsari. Kau lebih baik
menjadi isteri pamanmu daripada menjadi isteri saudaramu sendiri."
"Tidak. Itu bohong."
"Bertanyalah kepada ibumu, bagaimana ibumu membujuk Kangjeng Adipati Yudapati
untuk memperisterimu."
"Pergi. Pergi. Aku minta paman segera pergi."
"Marilah kita pergi Rantamsari. Kita dapat keluar lewat pintu butulan dan hilang dikebun belakang. Ibumu tidak akan mengetahuinya."
Ebook by Dewi Kangzusi 523 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tidak." Ketika Wicitra maju selangkah, Raden Ajeng Rantamsari
justru bergeser mundur beberapa langkah.
"Rantamsari" berkata Wicitra dengan nada tinggi "jangan
menunggu kesabaranku habis. Selama ini aku selalu menahan
diri. Tetapi kau tidak pernah terlepas dari perhatianku. Karena
itu, marilah. Kita pergi sekarang."
"Tidak. Tidak."
"Rantamsari. Kesabaran seseorang ada batasnya.
Kesabaranku sekarang sudah sampai ke batas itu. Karena itu,
marilah. Jangan membantah lagi."
"Aku dapat menjerit paman."
"Ibumu baru sibuk. Ibumu yang ada didapur tidak akan
mendengarnya. Atau" Tiba-tiba saja Wicitra telah menarik kerisnya. Katanya "Jika
kau meneoba berteriak, maka aku akan membunuhmu."
"Bunuh aku paman. Aku lebih baik mati daripada harus ikut
paman." "Jangan berkata.begitu."
"Aku bersungguh-sungguh."
"Kau bersungguh-sungguh?"
"Ya." Ebook by Dewi Kangzusi 524 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Jadi kau memilih mati?"
"Ya." "Baik, Rantamsari. Aku lebih senang melihat tubuhmu terkapar mati daripada
melihat tubuhmu dimiliki oleh orang lain. Karena itu, jika kau memang benar-
benar tidak mau ikut kepadaku, maka aku benar-benar akan membunuhmu."
"Itu lebih baik, paman. Bunuh aku."
Ujung keris Wicitra memang telah bergetar. Selangkah ia maju sambil berkata "Aku
juga bersungguh-sungguh, Rantamsari."
"Lakukan, paman. Lakukan"
Jantung Wicitra terasa bagaikan berdentangan. Wajahnya menjadi tegang. Matanya
menjadi merah. Sebenarnyalah bahwa Wicitra hanya sekedar ingin menakut-nakuti Rantamsari.
Tetapi ternyata Rantamsari sama sekali tidak berubah sikap. Ia tetap pada
sikapnya. Kecewa dan marah berbaur didalam dadanya. Dengan demikian, maka nalarnyapun
menjadi kabur pula. Bahkan akhimya Wicitrapun tidak mampu lagi menimbang
keputusan yang diambilnya.
"Rantamsari. Jika kau benar-benar menolak, maka aku akan sampai hati membunuhmu.
Sudah aku katakan, aku tidak mau melihat kau menjadi sisihan orang lain."
Wajah Rantamsari menjadi tegang. Ketika ia sempat melihat sekilas wajah Wicitra
yang tegang, matanya yang Ebook by Dewi Kangzusi
525 Kang Zusi http://kangzusi.com/
merah serta ujung keris yang bergetar, maka ketakutan yang
sangat telah menerpa jantungnya
Karena Itu, tanpa menghiraukan akibatnya, seandainya
ujung keris ilu menaneap didadanya, Raden Ajeng Rantamsari
sudah siap untuk menjerit.
Namun sebelum dilakukannya, terdengar pintu butulan
berderak menghentak. Sesosok tubuh meloncat masuk ke
dalam 1aman itu. Wicitra terkejut. ia bergesei surut. Sementara itu Raden
Ajeng Rantamsari segera berlari kebelakang orang yang baru
saja memasuki taman. "Tolong aku, kakang Sasangka."
"Kau" desis Wicitra "apa kau tidak mempunyai kerja selain
menunggui Rantamsari."
"Apa yang akan Raden lakukan"- bertanya Sasangka.
"Pergilah. Kau tidak usah turut campur. Ini persoalan
keluarga" "Tidak. Ini bukan sekedar persoalan keluarga" sahut Raden
Ajeng Rantamsari. "Seandainya persoalan ini benar-benar persoalan keluarga,
apakah aku akan membiarkan saja Raden membunuh. Aku
sudah mendengar apa yang Raden bicarakan dengan Raden
Ajeng Rantamsari. Karena itu, aku sudah mengetahui
persoalan apa yang sebenarnya terjadi."
"Sekarang pergilah. Jangan campuri persoalan kami."
Ebook by Dewi Kangzusi 526 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Apakah aku harus membiarkan saja jika terjadi pembunuhan disini.
"Jika Rantamsari menuruti keinginanku, aku tentu tidak akan membunuhnya. Aku
memang mengancamnya dan menakut-nakutinya Tetapi segala sesuatunya tergantung
kepada Rantamsari, apakah aku harus membunuhnya atau tidak."
"Usir orang ini dari taman kakang."
"Kau dengar Raden."
"Aku tidak peduli."
"Radea Kami adalah prajurit yang mendapat tugas untuk melindungi keluarga ini."
"Kau harus melindungi mereka dari kejahatan. Pencurian misalnya. Kau harus
menjaga agar ayam yang dipelihara kangmbok tidak dicuri orang. Kau juga harus
menjaga jemuran di belakang itu."
"Raden menghina aku. Aku bertugas untuk melindungi keluarga Raden Ayu
Prawirayuda dari gangguan apapun juga.
Termasuk yang Raden lakukan sekarang ini."
"Aku peringatkan kau sekali lagi."
"Aku yang memperingatkan Raden agar Raden segera meninggalkan taman ini."
Wicitra menjadi semakin marah. Dengan suara yang bergetar iapun berkata "Jika
kau tidak mau meninggalkan taman ini, maka kaulah yang akan mati lebih dahulu."
Ebook by Dewi Kangzusi 527 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak dapat meninggalkan tugasku. Meskipun aku tahu, siapakah Raden ini,
tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain."
Wicitra tidak menunggu lebih lama lagi. Kerisnyapun segera merunduk. Selangkah
demi selangkah ia mendekati Sasangka yang sudah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. "Minggirlah Raden Ajeng" desis Sasangka Raden Ajeng Rantamsaripun segera
bergeser surut. Sementara itu Wicitrapun telah meloncat menyerang Sasangka. Tetapi Sasangka
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka iapun dengan
tangkasnya mampu mengelakkan serangan itu.
Ketika Wicitra siap menyerangnya pula, Sasangka telah menarik kerisnya yang
selalu melekat ditubuhnya kapan saja selama ia berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda, apalagi setelah Rembana terbunuh.
Sejenak kemudian, pertempuran yang sengit lelah terjadi.
Keduanya adalah orang orang yang memiliki ilmu yang linggi, Wicitra yang, merasa
terganggu itu menjadi sangat marah.
Sedangkan Sasangka merasa bertanggungjawab atas keselamatan keluarga Raden Ayu
Prawirayuda, termasuk Raden Ajeng Rantamsari
Wicitra memang tidak menduga, bahwa ternyata Sasangka, sebagaimana juga Rembana,
memiliki ilmu yang mampu mengimbanginya. Serangan serangannya tidak segera dapat
mengenai sasarannya, Kerisnya yang terayun-ayun mengerikan tidak segera mampu
menyentuh tubuh Sasangka.
Ebook by Dewi Kangzusi 528 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sebaliknya Sasangkapun tidak mudah menggapai lawannya. Sasangka yang berloncatan
sambil memutar kerisnya, tidak segera mampu mengenai Wicitra yang bertempur
dengan tangkasnya Raden Ajeng Rantamsari berdiri di serambi dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak
segera tahu, siapakah yang akan meme-nangkan pertempuran itu. Ia hanya melihat
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua orang itu saling mendesak. Sekali-sekali Sasangka harus bergeser surut.
Namun kemudian Wicitralah yang harus mengambil jarak.
Namun Wicitra mengumpat kasar ketika ujung keris Sasangka sempat menyentuh
lengannya. Tidak terlalu dalam.
Tetapi dibawah bajunya yang terkoyak, darah mulai mengembun di lukanya
"Gila kau anak muda" geram Wicitra "aku akan membunuhmu."
Sasangka ndak menjawab. Namun ketika Wicitra meningkatkan ilmunya, Sasangkapun
berusaha untuk mengimbanginya
Namun hentakkan ilmu itu sempat mendesak Sasangka.
Bahkan ujung keris Wicitra sempat tergores di bahu Sasangka Sasangka bergeser
surut sambil menggeram. Ketika tangannya meraba bahunya terasa eairan yang
hangat membasahi telapak tangannya
"Kau akan mati" geram Wicitra
Sasangka tidak menjawab. Tetapi ia meloncat menyerangnya dengan mengerahkan
segenap kemampuannya. Ebook by Dewi Kangzusi 529 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wicitra terdesak surut. Sasangka berusaha untuk menekan Wicitra sampai ke sudut
longkangan. Namun tiba-tiba saja pertempuran itu berhenti ketika mereka mendengar suara
Raden Ayu Prawirayuda "Apa yang terjadi disini, Rantamsari?"
Raden Ajeng Rantamsari berpaling. Dilihatnya ibunya berdiri di depan pintu
serambi. Raden Ajeng Rantamsaripun segera berlari serta memeluk ibunya sambil menangis.
"Paman, ibu." "Kenapa dengan pamanmu?"
"Paman memaksa aku pergi bersamanya, ibu."
"Kau lakukan itu Wicitra ?"
Wicitra berdiri termangu-mangu. Nafasnya terasa bekejaran di hidungnya. Dengan
nada datar ia berkata " Ya.
Aku ingin membawa Rantamsari keluar dari kubangan ini."
"Kubangan " Apa yang kau maksud ?"
"Rumah ini tidak pantas menjadi lempat imggal Rantamsari. Seorang gadis yang
seharusnya menjadi gadis terhormat. Kangmbok sudah menjajakan Rantamsari disini
dengan harga yang sangat murah."
"Kau tahu bahwa kata-katamu itu melukai hatiku, Wicitra
?" Ebook by Dewi Kangzusi 530 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wicitra tertawa katanya "Kangmbok sudah melukai hatiku lebih dari seribu kali."
"Itu karena pokalmu sendiri."
"Tidak. Tetapi aku justru ingin menghentikan tingkah laku kangmbok yang tidak
terkendali itu. Seharusnya kangmbok menjaga nama-anak gadisnya dengan baik.
Tetapi kangmbok justru sebaliknya. Kangmbok sama sekali tidak menghargai nama
anak gadisnya." "Kau masih juga mengigau seperti itu, Wicitra. Kau kira apa yang kau katakan itu
dipercaya orang." "Percaya atau tidak percaya itu bukan urusanku, kangmbok. Aku hanya ingin
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Kateguhan dan disini."
"Cukup. Pergilah. Kau tahu, bahwa kau harus pergi."
Wajah Wicitra menjadi semakin tegang. Sementara itu Raden Ayu Prawfirayudapun
berkata " Usir orang itu pergi, ngger."
Sasangka memandang Raden Ayu Prawirayuda sejenak.
Namun kemudian dipandanginya Wicitra sambil berkata "Kau dengar, Raden. Kau
harus pergi dari tempat ini."
"Kau kira kau akan dapat mengusirku ?"
"Jika aku tidak dapat mengusir Raden, maka aku akan membunuh Raden."
"Kau akan membunuh aku sebagaimana kau membunuh kawanmu sendiri, Rembana, karena
kau juga menginginkan Rantamsari."
Ebook by Dewi Kangzusi 531 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Darah Sasangka tersirap. Dengan bibir yang gemetar Sasangka menjawab " Raden
jangan mengada-ada. Pergi atau aku akan membunuhmu."
Wicitra tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia menyergap Sasangka dengan
kasar. Tetapi Sasangka masih sempat mengelak. Bahkan kerisnya terjulur dengan cepat
pula, justru sempat menggapai pundak Wicitra.
Wicitra terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Sasangka mampu bergerak secepat itu.
Dengan demikian, maka Wicitrapun meloncat mundur.
Namun Sasangka tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat Sasangkapun memburunya
dengan keris yang bergetar.
Ketika keris Sasangka terayun mendatar menebas kearah dada, Wicitra yang belum
siap benar, menangkis serangan itu.
Demikian derasnya ayunan keris Sasangka, maka dalam benturan senjata yang
terjadi, terasa tangan Wicitra menjadi pedih.
Sementara itu Sasangka telah menjulurkan kerisnya pula mengarah ke lambung.
Sebelum tangannya mapan, Wicitra harus menangkis serangan Sasangka. Sementara
itu Sasangka telah memutar kerisnya, seakan-akan membelit keris Wicitra.
Tangan Wicitra yang masih terasa pedih, tidak mampu menahan putaran keris
Sasangka, sehingga keris Wicitra itu lepas dari tangannya.
Ebook by Dewi Kangzusi 532 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Pada saat itu, terbuka kesempatan bagi Sasangka untuk meloncat menyerang pada
saat Wicitra tidak sedang memegang senjata.
Namun terdengar suara Raden Ayu Prawirayuda "Angger Sasangka."
Sasangka yang sudah hampir meloncat menikam dada Wicitra harus menahan diri.
"Wicitra" berkata Raden Ayu Prawirayuda " kau sadar, bahwa kau lidak dapal
berbuat banyak disini. Pergilah. Ambil kerismu atau aku biarkan Senapati muda
ini membunuhmu." Kemarahan Wicitra rasa-rasanya telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia memang
tidak dapat berbuat apa-apa.
"Ambil kerismu dan pergi dari rumah ini" berkata Raden Ayu Prawirayuda pula.
Wicitra itupun kemudian telah memungut kerisnya. Namun kemudian ia melangkah
surut sambil berkata "Kangmbok jangan mengira bahwa aku telah dikalahkannya.
Pada suatu saat aku akan kembali untuk membunuhnya, membunuh Senapati yang
seorang lagi serta membunuh Madyasta. Tidak akan ada lagi orang yang dapat
menahanku untuk mengambil Rantamsari."
Raden Ayu Prawirayuda tidak menjawab. Dipandan-ginya Wicitra yang bergeser surut
kearah pintu butulan. "Kau jangan berbangga dengan kemenangan kecil ini "
berkata Wicitra kepada Sasangka " kemenangan yang sebenarnva, akan diientukan
pada bagian terakhir pertempuran diantara kita berdua."
Ebook by Dewi Kangzusi 533 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku akan menunggu, Raden" geram Sasangka. Jika saja Raden Ayu Prawirayuda tidak
meneegahnya, maka ia akan benar-benar berusaha membunuh Wicitra.
Sejenak kemudian, maka Wicitrapun segera meninggalkan taman kecil itu.
"Terima kasih, ngger" berkata Raden Ayu Prawirayuda kemudian "Untunglah bahwa
angger Sasangka melihat peristiwa ini dan sempat menolong Rantamsari. Aku berada
di dapur. Semula aku benar-benar tidak mendengar sesuatu terjadi disini. Baru
kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara teriakan Rantamsari"
"Itu sudah menjadi kewajibanku, Raden Ayu. Aku berada disini untuk menjaga
keselamatan keluarga ini."
"Kenapa pendengaranku sudah menjadi semakin buruk.
Aku berada di dapur.Seharusnya aku mendengarnya sejak semula."
"Jaraknya memang agak jauh, Raden Ayu. Ada beberapa sekat di ruang dalam,
sehingga orang yang berada di dapur, tidak dapat mendengar keributan yang
terjadi disini." "Bagaimanapun juga Wicitra adalah adikku, sehingga aku tidak dapat membiarkannya
terbunuh. Tetapi jika sekali lagi ia datang mengganggu Rantamsari, apaboleh
buat." . . "Raden Wicitra tidak akan datang lagi, Raden Ayu."
"Tetapi apakah angger Madyasta belum datang ?"
"Aku kira belum, Raden Ayu."
"Angger Wismaya ?"
Ebook by Dewi Kangzusi 534 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tadi Wismaya berada di gandok. Keributan disini memang
tidak terdengar dari gandok seperti juga tidak terdengar dari
dapur." "Aku minta agar angger Wismaya dan angger Madyasta
diberitahu tentang peristiwa ini. Biarlah mereka menjadi lebih
berhati-hati." "Tetapi dapatkah kita menghubungkan sikap Raden Wicitra
ini dengan kematiaivRembana, Raden Ayu ?"
Raden Ayu Prawirayuda termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian Raden Ayu itupun berkata " Aku belum dapat
mengatakan apa-apa, ngger. Akupun tidak mau mendengar
tuduhannya terhadap angger Sasangka, bahwa justru angger
Sasangkalah yang dikatakan membunuh angger Rembana.
Tetapi memang mungkin sekali ia berusaha untuk menghapus
jejak dan melemparkan tuduhan kepada oranglain."
Sasangka terdiam. Ia memang mendengar Wicitra justru
menuduhnya telah membunuh Rembana.
Dalam pada itu, Raden Ayupun kemudian berkata kepada
Rantamsari " Masuklah Rantamsari."
Rantamsari menarik nafas panjang. Dipandanginya
Sasangka yang masih berdiri tegak dihadapaimya.
Sasangka sudah cukup lama berada di rumahnya. Tetapi
Rantamsari tidak pernah memperhatikannya dengan sungguh
sungguh. Baru saat itu ia seakan-akan melihat Sasangka
seutuhnya. Ebook by Dewi Kangzusi 535 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sejak para Senapati bersama Raden Madyasta berada di rumahnya, perhatiannya
langsung tertuju kepada Rembana, sehingga ia tidak memperhatikan para Senapati
yang lain. Hampir diluar sadarnya, Raden Ajeng Rantamsari itupun berdesis " Terima kasih,
kakang. Jika kau tidak datang menolongku, aku tidak, tahu apa yang akan terjadi.
Mungkin aku telah diseret oleh paman Wicitra ketempat yang tidak diketahui.
Tetapi mungkin aku benar-benar telah dibunuhnya."
"Aku hanya menjalankan kewajiban Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsari mengangguk kecil Namun kemudian iapun berpaling kepada
ibunya sambil berkata "Ibu, aku benahi dahulu kain yang sedang aku batik itu."
"Baiklah" berkata ibunya "seterusnya kau batik kainmu di longkangan sebelah
dapur. Tempatnya lebih rapat. Ibupun akan mendengar jika pamanmu datang lagi."
"Ya, ibu." Demikian Raden Ayu Prawirayuda masuk, Raden Ajeng Rantamsari segera memadamkan
bara di anglo kecil yang dipergunakannya untuk memanasi malam yang
dipergunakannya untuk membatik.
"Raden Ajeng" berkata Sasangka "biarlah aku berjaga-jaga di luar longkangan."
"Jangan pergi, kakang. Tunggulah sampai aku selesai. Aku menjadi ketakutan
sendiri meskipun di longkangan dan disiang hari pula. Paman Wicitra akan dapat
benar-benar datang lagi. Jika paman datang lagi, mungkin paman akan benar-benar membunuhku."
Ebook by Dewi Kangzusi 536 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sasangka menarik nafas panjang. Ia tidak dapat meninggalkan Raden Ajeng
Rantamsari yang ketakutan.
Adalah diluar sadarnya ketika Sasangka kemudian memperhatikan gadis yang sedang
sibuk mengemasi kain serta peralatan batiknya. Adalah diluar sadarnya pula bahwa
Sasangka berkata kepada dirinya sendiri dalam hatinya " Gadis itu memang
cantik." Sasangka terkejut ketika Raden Ajeng Rantamsari berkata
"Terima kasih, kakang. Aku akan membatik di longkangan dalam, di sebelah dapur."
" O, silahkan. Silahkan Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsaripun kemudian melangkah masuk ke ruang dalam sambil
menjinjing gawangan dan kain yang sedang dibatiknya serta peralatannya yang
lain. Sasangka menarik nafas dalam-dalam.
Taman kecil itupun menjadi sepi kembali. Beberapa gerumbul perdu yang tertata
rapi, berantakan terinjak-injak kaki mereka yang bertengkar.
"Biarlah besok aku benahi setelah Raden Madyasta melihat keadaan ini " berkata
Sasangka didalam hatinya.
Sasangkapun kemudian meninggalkan taman kecil di longkangan itu. Ia tidak
kembali ke kebun belakang untuk bebaring di lineak bambu yang dibuat oleh
Wismaya. Tetapi Sasangka itupun pergi ke serambi gandok untuk menemui Wismaya.
Bab 23 - Kekecewaan Adipati
Ebook by Dewi Kangzusi 537 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kau tidak mendengar keributan yang terjadi di
longkangan tadi ?" "Apa yang terjadi ?"
Sasangkapun kemudian telah menceriterakan apa yang
terjadi di taman kecil itu.
"Kau terluka Sasangka " berkata Wismaya kemudian.
"Tidak seberapa."-
"Tetapi luka itu harus diobati. Biarlah aku bantu kau
mengobatinya." Wismayapun kemudian mengobati luka Sasangka.
Meskipun luka itu tidak parah, tetapi jika tidak mendapat
pengobatan yang baik, luka itu akan dapat membengkak dan
menjadi berbahaya. "Beristirahatlah. Biarlah aku mengawasi keadaan " berkata
Wismaya. Sasangka mengangguk kecil. Iapun kemudian masuk ke
dalam biliknya dan kemudian membaringkan dirinya.
Udara di bilik itu tidak sesejuk di halaman belakang.
Silirnya angin tidak terasa. Bahkan udara di bilik itu terasa
panas. Sehingga karena itu, Sasangka tidak menjadi me-
ngantuk seperti saat ia berbaring di lineak bambu di halaman
belakang. Namun dengan demikian, angan-angan Sasangka sempat
berterbangan kian kemari dan hinggap di tempat-tempat yang
Ebook by Dewi Kangzusi 538 Kang Zusi http://kangzusi.com/
memancarkan keeeriaan sebagaimana sebuah mimpi yang
indah. Wismayalah yang kemudian pergi ke halaman belakang.
Seperti Sasangka, Wismayapun berbaring di amben bambu
yang telah dibuatnya. Tetapi Wismaya menjaga agar ia tidak
tertidur oleh sejuknya bayangan dedaunan yang rimbun serta
semilirnya angin yang menerpa tubuhnya.
"Kemana saja perginya Raden Madyasta ini?" bertanya
Wismaya kepada dirinya sendiri "Apakah Raden Madyasta
akan berada di dalem kadipaten sehari penuh ?"
Namun agaknya Raden Ayu Prawirayuda tidak sabar
menunggu Raden Madyasta kembali. Raden Ayu Prawirayuda
telah mereneanakan untuk pergi menghadap Kangjeng Adipati
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prangkusuma untuk melaporkan tentang sikap dan tingkah
laku adik laki-lakinya. "Kenapa kita harus memberitahukan kepada paman
Adipati?" bertanya Raden Ajeng Rantamsari "aku akan menjadi
malu sekali, ibu. Bukankah persoalan ini adalah persoalan kita
sehingga sama sekali tidak menyangkut paman Adipati
Prangkusuma ?" "Rantamsari. Apa yang dieelotehkan pamanmu agaknya
didengar pula oleh angger Sasangka. Sehingga lambat laun
pamanmu Adipati juga akan mendengarnya. Mungkin lewat
angger Madyasta yang akan mendapat laporan dari Sasangka.
Karena itu, maka biarlah pamanmu mendengar langsung dari
mulut kita sendiri. Selebihnya, kita sekarang berada di
Paranganom. Apapun yang terjadi, sebaiknya kita
melaporkannya kepada pamanmu Adipati, sehingga jika terjadi
sesuatu, kita tidak akan dianggap bersalah karena kita seakan-
akan telah menyembunyikan sesuatu."
Ebook by Dewi Kangzusi 539 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Rantamsari tidak menjawab. Ia menurut saja apa yang dikatakan oleh Ibunya.
"Kita akan mengajak angger Wismaya untuk me-ngantar kita pergi ke kadipaten"
berkata Raden Ayu Prawirayuda.
"Kenapa tidak kakang Sasangka saja ibu. Bukankah kakang Sasangka yang langsung
terlibat dalam persoalan ini "
Seandainya paman Adipati memerlukan beberapa keterangan, maka kakang Sasangka
akan dapat membantu kita."
Raden Ayu Prawirayuda merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil
berkata "Baiklah, Rantamsari. Kita akan minta Sasangka mengantar kita ke
kadipaten." "Kapan kita pergi menghadap paman Adipati ibu ?"
"Nanti, disore hari, setelah matahari turun, sehingga kita tidak kepanasan di
jalan." "Aku akan memberitahu kakang Sasangka."
"Biarlah aku saja yang berbicara dengan Sasangka, Rantamsari. Ia akan merasa
lebih dihargai jika bukan anak-anak yang memberikan perintah kepadanya."
"Bukankah aku tidak akan memberikan perintah ?"
"Sudahlah. Biarlah aku saja yang mengatakannya kepadanya."
Rantamsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis "Baik, ibu."
Ebook by Dewi Kangzusi 540 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, ketika terjadi keributan di rumah Raden Ayu Prawirayuda, Raden
Madyasta memang sedang meninggalkan rumah itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa Raden
Madyasta tidak pergi ke kadipaten. Tetapi Raden Madyasta justru pergi ke Panjer.
Karena itu, Raden Madyasta berangkat ketika matahari belum memanjat terlalu
tinggi. Kudanya dilarikannya seperti dikejar hantu. Raden Madyasta harus sudah
berada di rumah bibinya lagi sebelum senja.
Ternyata hari itu bukan untuk pertama kalinya Raden Madyasta pergi ke kademangan
Panjer. Agaknya Raden Madyasta tidak dapat melupakan perjumpaannya dengan gadis
Panjer, anak Ki Demang Rara Menur.
Ketika Raden Madyasta sampai di kademangan Panjer, rumah Ki Demang nampak sepi.
Tetapi Raden Madyasta mendengar suara orang menumbuk padi.
Sebagaimana kebiasaannya, meskipun Rara Menur anak seorang Demang, tetapi ia
sering berada didekat lumbung menumbuk padi. Meskipun ada pembantu yang dapat
melakukannya, tetapi Rara Menur sering melakukannya sendiri.
Karena itu, setelah mengikat kudanya di sebelah pendapa, maka Raden Madyasta
itupun langsung pergi lewat halaman samping, menuju ke lumbung.
Sebenarnyalah ia melihat Rara Menur sedang menumbuk pagi. Karena itu, maka Raden
Madyasta sengaja mendekatinya dengan diam-diam.
Ebook by Dewi Kangzusi 541 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Demikian Raden Madyasta melingkari sudut lumbung dan berdiri di belakang Rara
Menur, Raden Madyastapun berkata
"Apakah aku dapat membantu, Menur."
Rara Menur terkejut sehingga bergeser setapak. Ketika ia berpaling, maka sebelah
tangannya menekan dadanya.
Nafasnya tiba-tiba mengalir semakin cepat.
"Raden mengejutkan aku. Jantungku hampir saja copot."
Raden Madyasta tersenyum. Katanya - Begitu mudahnya jantungmu copot" Apakah
tangkainya terbuat dari anyaman daun pisang."
"Ah. Raden. Silahkan duduk di pringgitan Raden."
"Tidak ada orang di pendapa. Apakahg Ki Demang pergi"
"Ya Raden. Tetapi tentu sudah hampir pulang. Ayah pergi ke bendungan, melihat
orang-orang yang sedang gugur gunung. Bendungan itu bocor. Sebelum kebocoran itu
merambat semakin besar, maka orang-orang padukuhan induk ini bersama-sama dengan
orang-orang padukuhan terdekat lain-nya, pergi beramai-ramai memperbaikinya."
Raden Madyasta mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Menurpun berkata pula
"Silahkan Raden duduk di pringgitan.
Ayah tidak akan lama lagi."
"Aku lebih senang duduk disini sambil menunggu Ki Demang, Menur."
"Tetapi Raden mengganggu aku."
"Jika aku ingin membantu, kau selalu berkeberatan."
"Tentu aku berkeberatan."
Ebook by Dewi Kangzusi 542 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, teruskan saja. Aku berjanji tidak akan
mengganggumu." "Raden aneh - desis Rara Menur. Bahkan kemudian
diletakkannya penumbuk padinya. Sambil duduk disebuah
amben panjang yang berada di emperan lumbung, Rara
menur berkata "Seharusnya Raden duduk di pringgitan."
Raden Madyasta termangu-mangu sejenak, Namun
kemudian iapun berkata sambil melangkah dan bahkan duduk
di amben itu pula "Daripada duduk di pringgitan sendiri, aku
lebih senang duduk disini bersamamu Menur."
"Ah Raden." "Udara disini terasa lebih sejuk. Bayangan dedaunan yang
rimbun, angin yang mengalir menggoyang ranting-ranting
kecil." Rara Menur menarik nafas panjang.
Namun tiba-tiba Rara Menur itu bertanya "Kenapa Raden
sering datang kemari?"
Raden Madyasta mengerutkan dahinya. Namun kemudian
iapun tersenyum sambil menjawab " Bukankah aku pernah
mengatakan kepadamu, Menur. Kenapa aku sering datang
kemari. Seandainya kau tidak tinggal disini, tentu aku tidak
akan pernah datang kemari lagi setelah kami berhasil
menghancurkan gerombolan brandal itu."
"Aku bersungguh-sungguh Raden."
Raden Madyasta menarik nafas panjang. Katanya "Apakah
kau masih ragu-ragu, Menur."
Ebook by Dewi Kangzusi 543 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak ragu-ragu terhadap pernyataan Raden. Aku
tidak ragu-ragu atas cinta Raden kepadaku. Akupun tidak
ragu-ragu mencintai Raden. Tetapi bukankah kita tidak hanya
hidup berdua diluasnya dataran bumi ini."
"Menur. Apa maksudmu?"
"Raden. Disamping kepercayaanku terhadap kesungguhan
cinta Raden, namun aku juga selalu bertanya, siapakah aku
ini. Siapa pula Raden Madyasta."
"Kau akan berbicara tentang derajad, Menur?"
"Kita tidak dapat menanggalkan derajat kita masing-
masing Raden. Aku tidak lebih adalah anak seorang Demang.
Sedangkan Raden adalah putera seorang Adipati."
"Apakah ada bedanya?".
"Tataran dalam tatanan masyarakat tidak dapat kita
ingkari, Raden. Hampir setiap orang yang ingin mengambil
menantu selalu berbicara tentang bobot, bibit dan bebet.
Raden tahu, siapakah aku jika dinilai dari bobot, bibit dan
bebet itu." "Kau nampaknya benar-benar bersungguh-sungguh
Menur." "Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa aku
bersungguh-sungguh?"
Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam. Katanya
Pendekar Seribu Diri 7 Satria Gendeng 01 Tabib Sakti Pulau Dedemit Tusuk Kondai Pusaka 1
Raden Ajeng Rantamsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Jika
mereka tidak dapat dicegah, apaboleh buat."
Namun ketika Tarji kemudian meninggalkan Raden Ajeng Rantamsari, maka justru
Raden Ajeng Rantamsarilah yang pergi menemui Rembana yang sedang sibuk membelah
kayu, sehingga Rembana tidak menyadarinya
Beberapa saat Raden Ajeng Rantamsari berdiri beberapa langkah dari Rembana yang
sedang sibuk itu. Tubuhnya berkeringat. Bajunya terbuka di bagian dadanya,
sedangkan lengannya digulung agak tinggi.
Raden Ajeng Rantamsari termangu-mangu sejenak. Sejak kehadirannya di rumah itu,
Rembana telah menarik perhatian Raden Ajeng Rantamsari. Anak muda yang berwajah
cerah itu nampaknya selalu tersenyum. Kelakarnya yang segar, tanpa meninggalkan
unggah-ungguh telah memikat hari Raden Ajeng Rantamsari.
Matanya yang berkilat-kilat menyiratkan gairah hidup yang tinggi serta
memancarkan kecerdasan otaknya Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang gadis yang
sedang tumbuh dewasa Di Kateguhan, Raden Ajeng Rantamsari jarang sekali bergaul
dengan anak-anak muda Ia tinggal di keputren bersama ibundanya Di Keputren itu
memang terdapat taman yang indah, ditumbuhi berjenis-jenis
Ebook by Dewi Kangzusi 464 Kang Zusi http://kangzusi.com/
tanaman serta pohon bunga yang membuat taman itu menjadi
semakin semarak. Beberapa orang dayang melayaninya siang
dan malam. Tetapi itu tidak cukup bagi Raden Ajeng Rantamsari. Di
taman yang dikelilingi dinding yang tinggi itu tidak pernah
hadir seorang anak muda selain Kangjeng Adipati Yudapati.
Itupun jarang sekali. Yang sering terjadi adalah ibundanya
datang menemuinya justru di luar keputren.
Kadang kadang Raden Ajeng Rantamsari juga melihat
Senapati muda yang lewat diluar regol keputren disaat mereka
menjalankan tugasnya. Tetapi Raden Ajeng Rantamsari tidak
pernah berkenalan dengan mereka
Karena itu, perkenalannya dengan Rembana yang nampak
selalu gembira Itu, mempunyai kesan yang lain di hati puteri
itu. Selangkah dcmi selangkali Raden Ajeng Rantamsari itu
bergerak mendekati Rembana yang sedang sibuk. Sekali
diangkamya kapaknya tinggi tinggi. Kemudian terayun dengan
deras sekali menghantam sebatang kayu yang tergolek di
depannya Dengan sekali ayun, gelondong kayu itupun telah terbelah.
Rembana mengusap keringatnya yang mengembun di
keningnya. Namun Rembana itu terkejut ketika ia mendengar
suara lembut menyapanya "Kakang Rembana"
Ketika Rembana berpaling, dilihatnya Raden Ajeng
Rantamsari berdiri termangu-mangu memandanginya
Jantung Rembana berdesir. Sorot mata yang bening itu
bagaikan memancarkan embun yang dingin di teriknya cahaya
matahari. Ebook by Dewi Kangzusi 465 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Raden Ajeng" terdengar suara yang terloncat dari bibir Rembana
"Berhentilah, kakang. Bukankah itu bukan pekerjaan kakang."
Rembana tersenyum. Katanya "Aku adalah anak yang lahir dan dibesarkan di kaki
bukit, Raden Ajeng. Aku sudah terbiasa melakukannya"
"Tetapi sekarang kakang adalah seorang Senapati. Bahkan Senapati yang pernah
mendapat pujian pada saat kakang bersama pasukan kakang ikut dalam perang besar
di tepi Bengawan Rahina Pujian yang langsung diberikan oleh Kangjeng Sultan
Tegal Langkap. Kakang juga telah berhasil menumpas gerombolan perampok di
kademangan Panjer. Sekarang, kakang mendapat tugas melindungi kami sekeluarga yang tinggal di rumah
ini." "Tetapi kebiasaan masa kanak-kanak dan remajaku itu tidak dapat aku tinggalkan,
Raden Ajeng. Begitu aku berhadapan dengan kapak dan gelondong kayu, maka rasa-
rasanya tanganku menjadi gatal."
"Sekarang, beristirahatlah kakang."
"Tetapi kerja ini belum selesai, Raden Ajeng."
"Biarlah nanti diselesaikan oleh Tarji. Atau jika kakang Rembana masih belum
puas, nanti kakang dapat menyelesaikannya"
"Biarlah aku selesaikan saja sama sekali Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsari itupun kemudian justru duduk di sebuah lincak panjang,
dibawah sebatang pohon jambu air Ebook by Dewi Kangzusi
466 Kang Zusi http://kangzusi.com/
yang rimbun sambil berkata " Kakang, beristirahatlah.
Duduklah disini." "Ah. Pakaianku basah oleh keringat, Raden Ajeng. Biarlah
aku selesaikan saja kerja ini."
"Kakang " suara Raden Ajeng Rantamsari merendah "
duduklah disini." Wajah Raden Ajeng Rantamsari yang lembut, kata-katanya
yang terasa sejuk ditelinga rasa-rasanya telah mencengkam
jantung Rembana Ia tidak kuasa menolaknya sehingga
kemudian diletakkan kapaknya
Namun Rembana tidak mau duduk di lincak itu pula. Tetapi
ia justru duduk diatas seonggok kayu yang telah ditimbun
disebelah lincak yang panjang itu.
"Duduklah disini, kakang."
"Terima kasih, Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsari tersenyum. Ia tahu, bahwa
Rembana masih merasa segan untuk duduk disebelahnya
"Aku ingin kakang bercerita tentang pandan diatas bukit
Pudak Seketi itu " berkata Raden Ajeng Rantamsari sambil
tersenyum. "Apanya yang harus aku ceritakan, Raden Ajeng. Hutan
pandan itu sulit sekali ditembus. Daun pandan yang berduri itu
saling berkait." "Jadi bagaimana dengan orang-orang yang mencari daun
pandan untuk dibuat barang-barang kerajinan?"
Ebook by Dewi Kangzusi 467 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Mereka mencari daun pandan yang tumbuh dipinggir saja, Raden Ajeng. Mereka
tidak dapat pergi ke tengah."
Raden Ajeng Rantamsari mengangguk-angguk. Dengan nada yang merendah iapun
kemudian berkata " Jika musim pandan berbunga, alangkah indahnya hutan pandan
itu, kakang.'" "Kita hanya dapat melihat dari pinggir hutan itu saja, Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsari mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya beberapa hal
tentang hutan pandan di bukit Pudak Seketi itu.
Demikianlah, maka huhungan Rembana dengan Raden Ajeng Rantamsari dari hari ke
hari menjadi semakin rapat.
Meskipun Rembana masih tetap menyadari siapakah dirinya dan siapa pula Raden
Ajeng Rantamsari, namun sebenarnyalah Rembana tidak dapat ingkar, bahwa hatinya
yang paling dalam telah terjerat oleh sikap, pandangan mata, tutur kata Raden
Ajeng Rantamsari yang lembut, luruh dan menyentuh itu.
Demikian pula Raden Ajeng Rantamsari. Kadang-kadang ia merasa menyesal, bahwa ia
telah dilahirkan oleh seorang ibu yang kebetulan adalah isteri seorang Adipati.
Sehingga dengan demikian ia hidup dalam batasan-batasan yang mengungkungnya. Ia
tidak dapat bebas seperti gadis-gadis sebayanya yang hidup diluar dinding
kadipaten. Bahkan kemudian telah terjadi peristiwa yang mengguncang kemapanan
hidupnya Ibundanya telah dituinta meninggalkan dalem kadipaten Kateguhan.
Perjumpaannya dengan Senapati muda yang bernama Rembana itu telah membuat Raden
Ajeng Rantamsari yang Ebook by Dewi Kangzusi
468 Kang Zusi http://kangzusi.com/
menginjak dewasa itu terhisap kedalam dunia angan-angan
yang membubung. Dalam pada itu, setelah beberapa lama Raden Madyasta
serta ketiga orang Senapati muda berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda ternyata tidak pernah terjadi sesuatu yang
mencurigakan. Malam-malamnya dilalui dengan tenang tanpa
gangguan sama sekali. Bahkan Raden Madyasta telah mulai berpikir untuk
menghadap ayahandanya dan menyampaikan laporan tentang
keadaan di rumah bibinya. Jika saja ayahandanya sependapat,
maka ayahandanya dapat menunjuk orang lain untuk
melanjutkan mgas mereka Namun tiba-tiba saja telah terjadi gejolak dipermukaan
yang telah terasa menjadi tenang itu.
Ketika hari merambat siang, Raden Ayu Prawirayuda
berada di serambi samping. Raden Ayu itu masih saja
mempunyai kesenangan membatik. Digelarkan kain putih yang
sebagian sudah digores dengan lukisan batik yang lembut.
Sekali-sekali ditiupnya canting yang sudah berisi malam panas
yang cair. Kemudian dengan cekatan yang sudah baerisi
malam panas yang cair. Kemudian dengan cekatan tangannya
bergerak-gerak meninggalkan goresan lukisan yang rumit.
Namun tiba-tiba saja Raden Ayu itu terkejut ketika ia
mendengar seseorang menyapanya "Kangmbok."
Hampir saja Raden Ayu Prawirayuda menumpahkan
malamnya yang cair dan panas didalam wajan kecilnya.
"Dimas Wicitra."
Wicitra tertawa. Katanya " Kangmbok terkejut karena tiba-
tiba aku sudah berada disini?"
Ebook by Dewi Kangzusi 469 Kang Zusi http://kangzusi.com/"Ya. Kau memang mengejutkan aku " sahut Raden Ayu
Prawirayuda. "Maaf, kangmbok. Bukan maksudku mengejutkan
kangmbok." "Untuk apa kau tiba-tiba saja datang kemari Wicara"
"Sikap kangmbok aneh. Bukankah aku adik kangmbok.
Satu-satunya saudara kandung kangmbok. Jika ada dua orang
saudara kita, kedua-duanya telah meninggal. Yang tinggal
adalah aku. Adik laki-laki kangmbok Prawirayuda"
"Aku tahu. Nah, sekarang apa yang kau maui?"
"Apakah kangmbok tidak mempersilahkan aku duduk"
Kangmbok. Aku datang dari jauh. Aku datang dari Kateguhan
untuk menengok satu-satunya saudara kandungku."
"Baik. Duduklah Wicitra"
Wicitra tersenyum. Iapun kemudian duduk diserambi
ditemani Raden Ayu Prawirayuda
"Kangmbok. Semalam aku berrnalam di rumah seorang
kawanku yang tinggal di Paranganom. Seharusnya aku
bermalam disini, dirumah saudara kandungku."
Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi tegang. Tetapi ia
tidak menjawab. Kangmbok meninggalkan Kateguhan tanpa memberi-tahu
aku. Padahal aku adalah satu-satunya saudara kandung
kangmbok." Ebook by Dewi Kangzusi 470 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak sempat, Wicitra. Tiba-tiba saja aku harus pergi dari Kateguhan."
"Bukankah sebenarnya kangmbok tidak harus meninggalkan Kateguhan" Kangmbok hanya
harus meninggalkan dalem Kadipaten. Bukankah sesungguhnya sudah disediakan rumah
yang cukup memadai bagi kangmbok?"
"Aku mempunyai harga diri, Wicitra. Apa kata orang Kateguhan jika aku bersedia
meninggalkan kadipaten dan tinggal di rumah yang berada jauh di luar dinding
kota itu?" "Bukankah itu salah kangmbok sendiri?"
"Kenapa aku yang salah?"
"Sudahlah kangmbok. Aku tidak mau membicarakan persoalan kangmbok yang sangat
pribadi itu " "Lalu, apa yang akan kau katakan Wicitra?"
"Kenapa sikap kangmbok sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang kakak
perempuan yang penuh kasih seperti masa kanak-kanak itu" Kangmbok adalah anak
sulung. Dua saudara kita meninggal diusia remaja mereka Kemudian aku adalah anak
bungsu. Jarak umur kita memang agak banyak kangmbok. Waktu kecil, kangmbok
bersikap sangat manis kepadaku. Bahkan kangmbok terlalu memanjakan aku.
Kangmbok menggendong aku kemana-mana Jika aku menangis, mata kangmbok ikut
menjadi basah." "Wicitra. Sukurlah jika kau sempat mengingat semuanya itu. Tetapi apa balasanmu
setelah kau menjadi dewasa" Kau kehilangan sifat-sifat baikmu. Kau tumbuh
didalam lingkungan yang salah. Kau berada didalam lingkungan yang akhirnya Ebook
by Dewi Kangzusi 471 Kang Zusi http://kangzusi.com/
merusak hidupmu. Ayah dan ibu semasa hidupnya telah
kehilangan kendali atas dirimu."
Wicitra tertawa. Katanya "Mungkin kangmbok benar.
Tetapi sebagaimana waktu itu aku berubah, maka pada
saatnya akupun akan berubah pula. Aku menyadari semuanya
itu dan aku berniat untuk memperbaikinya"
"Kau memang harus mencoba, Wicitra . Kau harus berani
melepaskan diri dari lingkungan yang buruk itu. Kau tidak
boleh dekat kerbau berkubang. Kau akan terpercik oleh
lumpur pula" "Aku mengerti kangmbok Aku memang akan meninggalkan
duniaku yang buram itu. Aku akan tinggal disini."
"Tinggal disini?"
"Ya, kangmbok. Aku minta kangmbok menyampaikan
kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma, agar Madyasta dan
ketiga orang senapati itu dikembalikan kepada tugas mereka
masing-masing." "Mereka disini melindungi aku dan Rantamsari."
Wicitra tertawa lebih keras. Katanya "Jika hanya untuk
melindungi kangmbok dan Rantamsari dari kejahatan, kenapa
harus empat orang Senapati" Bukankah cukup dengan empat
atau lima orang prajurit saja"
"Keadaannya cukup gawat Wicitra."
"Kenapa kangmbok tidak berusaha melindungi diri sendiri
serta Rantamsari" Apakah arti gelar kangmbok pada saat
kangmbok berada di Kateguhan" Bukankah kangmbok di-
gelari Srikandi Kateguhan?"
Ebook by Dewi Kangzusi 472 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Itu dahulu, Wicitra. Itupun gelar yang berlebihan. Aku
hanya mengangankan agar di Kateguhan ada prajurit
perempuan meskipun jumlahnya kecil. Itu saja. Bukan berarti
aku memiliki ilmu yang tinggi.
"Kangmbok. Meskipun demikian, kangmbok tidak
memerlukan para Senapati muda yang masih ingusan itu."
"Wicitra. Mereka adalah Senapati pilihan. Mereka telah
mampu memadamkan gejolak yang terjadi di Panjer baru-baru
ini."
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu sama sekali tidak mengherankan."
"Mereka juga pernah mendapat pujian langsung dari
Kangjeng Sultan di Tegal Langkap setelah mereka terlibat
dalam perang besar di tepi Bengawan Rahina"
"Omong kosong. Itu hanyalah ceritera yang direka-reka
oleh para Senapati muda itu sendiri."
"Tidak. Pujian itu diakui oleh Kangjeng Adipati
Prangkusuma sendiri."
"Baik. Baik, kangmbok. Meskipun demikian sebenarnya
mereka tidak kangmbok perlukan. Aku akan tinggal disini.
Keberadaanku disini akan lebih berarti dari keempat orang
Senapati ingusan itu."
"Wicitra. Kau masih saja suka membual. Itukah bagian dari
keinginanmu memperbaiki sifat dan watakmu?"
"Aku tidak membual kangmbok. Aku berkata sebenarnya"
jawab Wicitra " karena itu, aku minta kangmbok
Ebook by Dewi Kangzusi 473 Kang Zusi http://kangzusi.com/
menyingkirkan para Senapati muda itu termasuk Raden
Madyasta" "Tidak. Wicitra Mereka akan tetap berada disini."
"Aku mengerti, kangmbok. Sebenarnya keberadaan
mereka disini sama sekali tidak ada hubungannya dengan
perlindungan sebagaimana yang kangmbok katakan. Tetapi
keberadaan mereka disini tentu karena maksud kangmbok
yang lain." "Aku tidak tahu maksudmu, Wicitra."
"Kangmbok tengah menawarkan Rantamsari kepada
mereka" "Wicitra Jagalah mulutmu. Karena mulutmu kau akan
dapat terjerat oleh petaka."
Tetapi Wicitra justru tertawa berkepanjangan. Katanya "Di
Kateguhan kangmbok gagal menginginkan menantu seorang
Adipati. Sekarang kangmbok membawa Rantamsari ke
Paranganom dan menawarkan kepada para senapati muda
itu." "Cukup Wicitra."
"Kangmbok tidak usah marah. Aku tahu bahwa Rantamsari
berhubungan semakin rapat dengan Rembana. Salah seorang
senapati muda yang ada di rumah ini."
Wajah Raden Ayu Prawirayuda menjadi merah bagaikan
membara. Dengan lantang Raden Ayu itu berkata "Wicitra.
Tidak sepantasnya kau berkata seperti itu. Seandainya benar
Rantamsari berhubungan semakin rapat dengan Rembana apa
keberatanmu" Rantamsari sudah dewasa. la sudah tahu mana
Ebook by Dewi Kangzusi 474 Kang Zusi http://kangzusi.com/
yang baik dan mana yang buruk Karena itu, kau tidak usah
ikut campur. Biar saja Rantamsari menentukan jalan hidupnya
sendiri." "Tetapi bukankah tidak sepantasnya Rantamsari
berhubungan dengan Senapati kecil yang tidak berarti apa-apa
itu?" "Tetapi ia adalah Senapati pilihan, Wicitra."
"Senapati itu tidak ada sekuku ireng dibanding dengan
aku." "Apa maksudmu?"
"Seharusnya kangmbok sudah mengetahuinya"
"Mengetahui apa?"
"Bukankah aku pernah memberikan isyarat bahwa aku
inginkan Rantamsari menjadi isteriku."
"Itu adalah pikiran gila, Wicitra, Itu tidak mungkin. Kau
tahu, bahwa itu adalah bagian dari sifat dan watakmu yang
kotor, yang terbentuk di tengah-tengah yang kotor pula"
"Apakah pemikahan itu satu hal yang kotor" Bukankah
pernikahan justru bagian dari kehidupan yang memang
dikehendaki oleh Yang Maha Pencipta unmk melestarikan
keberadaan umatnya" Pemikahan adalah satu hal yang suci,
kangmbok." "Ya Pemikahan itu sendiri memang satu hal yang suci.
Justru karena itu, maka pemikahan diatur dengan beberapa
tatanan. Wicitra. Kau adalah pamannya. Rantamsari adalah
Ebook by Dewi Kangzusi 475 Kang Zusi http://kangzusi.com/
anakku. Anak kakak kandungmu. Bagaimana kau dapat
mengambilnya menjadi isterimu?"
"Apa salahnya kangmbok. Aku laki-laki. Rantamsari
seorang perempuan. Bukankah sudah sewajamya jika seorang
laki-laki menikah dengan seorang perempuan?"
"Tetapi tidak dengan kenanakan sendiri."
"Kangmbok. Jika niatmu, terpenuhi, bukankah kau ingin
Rantamsari menikah dengan Kangjeng Adipati Yudapati" Nah,
bukankah Adipati Yudapati itu saudara laki-laki Rantamsari?"
"Semuaitu omong kosong. Fitnah."
Wicitra tertawa pula, "Wicitra. Sekarang pergilah. Aku tidak mau kau berada di
rumahku. Aku tidak mau kau mengotori lantai serambiku."
"Jangan kasar terhadapku, kangmbok. Seharusnya
kangmbok berterima kasih kepadaku. Kangmbok tidak perlu
menjajakan Rantamsari ke Paranganom."
"Cukup. Pergilah Wicitra"
"Kangmbok jangan mengusir aku. Sudah aku katakan, aku
akan tinggal disini menjaga keselamatan kangmbok dari
Rantamsari. Yang sepantasnya diusir adalah Madyasta dan
para senapati itu. Tidak pantas Rantamsari berhubungan rapat
dengan seorang senapati kecil seperti Rembana itu."
"Pergilah Wicitra Sebelum aku mengusirmu."
"Kangmbok tidak akan dapat mengusir aku."
Ebook by Dewi Kangzusi 476 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku dapat memanggil para senapati itu."
"Apa artinya senapat itu bagiku" Aku akan dapat dengan mudah membunuh mereka"
"Apakah kau benar-benar akan mencobanya, Wicitra?"
Wajah Wicitra menjadi tegang. Dengan geram ia berkata "
Kau akan menyesali perbuatanmu itu kangmbok."
"Tidak. Aku tidak akan menyesal. Kaulah yang akan menyesal jika kau tidak mau
pergi dari tempat ini."
Tetapi Wicitra itu menggeleng. Katanya "Aku tidak akan pergi."
"Pergi. Kau harus pergi " suara Raden Ayu Prawirayuda menghentak keras.
Tetapi Wicitra masih tetap tidak beranjak dari tempatnya, sehingga Raden Ayu
Prawirayuda itupun berkata "Jadi aku harus mengusirmu dengan kekerasan Wicitra "
Namun tiba-tiba saja pintu serambi itupun terbuka.
Seorang Senapati muda muncul dari balik pinm yang terbuka itu.
"Maaf Raden Ayu. Aku mendengar sedikit keributan disini.
Tetapi jika tidak terjadi sesuatu, aku sekali lagi mohon maaf."
"Tidak terjadi apa-apa disini, anak muda. Aku adalah adik kandung kangmbok
Prawirayuda " "O " Ebook by Dewi Kangzusi 477 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Usir orang ini. Ia memang adik kandungku. Tetapi ia tidak pantas berada di
rumah ini." "Jadi?" "Bawa orang ini keluar. Jika perlu dengan paksa."
Rembana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya "Marilah, Raden. Aku
persilahkan Raden Keluar."
"Pergi, kau dengar?" Wicitra justru membentak.
Tetapi Rembana tidak beringsut. Katanya " Aku sudah mendapat perintah dari Raden
Ayu Prawirayuda Karena itu, sebelum aku mempergunakan kekerasan, lebih baik
Raden keluar dari rumah ini."
"Kau akan mempergunakan kekerasan?"
"Ya " "Cobalah. Cobalah jika kau berani."
Rembana memang menjadi ragu-ragu. Namun ketika ia berpaling dan memandang Raden
Ayu Prawirayuda, ia melihat Raden Ayu Prawirayuda itu mengangguk.
Karena itu, maka Rembana bergeser selangkah maju sambil berkata "Aku akan
memaksa Raden." "Bagus. Ternyata kau seorang Senapati muda yang berani.
Nah, cobalah. Paksa aku keluar dari rumah ini."
Rembana memang tidak sabar lagi. Tetapi sebelum ia berbuat lebih jauh, maka
didengarnya seseorang berdiri di Ebook by Dewi Kangzusi
478 Kang Zusi http://kangzusi.com/
pintu yang terbuka itu. Ketika Rembana berpaling, dilihatnya
Madyasta berdiri di pintu.
"Raden"desis Rembana
"Ada apa?" "Angger Madyasta" Raden Ayu Prawirayudalah yang
menyahut "aku minta orang ini diusir dari rumahku."
Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Dipandanginya
Wicitra yang menjadi tegang setelah ia melihat Madyasta hadir
pula di serambi itu. "Bukankah itu paman Wicitra?"
"Ya, Raden. Ia memang adik kandungku. Tetapi ia datang
untuk niengganggu ketenanganku."
"Maaf paman " berkata Raden Madyasta kemudian " aku
berada disini karena aku diperintahkan oleh ayahanda untuk
menjaga ketenangan dan ketenteraman keluarga bibi. Karena
itu, jika paman Wicitra membuat bibi gelisah, aku mohon
paman meninggalkan tempat ini."
Wajah Wicitra menjadi merah membara Namun ia tidak
mempunyai pilihan. Jika terjadi perselisihan serta benturan
kekerasan maka para Senapati yang lainpun tentu akan segera
berdatangan. Agaknya Wicitra masih belum siap menghadapi
para Senapati itu. Apalagi seorang diantaranya adalah Raden
Madyasta, yang baru pulang dari sebuah perguruan serta
tuntas dalam ilmu kanuragan.
Karena itu, maka dengan hati yang luka Wicitra itupun
berkata kepada kakak perempuannya "Baik, kangmbok.
Ebook by Dewi Kangzusi 479 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sekarang aku akan pergi. Tetapi jangan kira bahwa aku tidak
akan kembali." Sebelum Raden Ayu Prawirayuda menjawab, maka
Wicitrapun bergegas meninggalkan serambi itu. Dipintu ia
berhenti sejenak memandang wajah Raden Madyasta. Namun
Raden Madyastapun memandang pula langsung ke biji
matanya. Sepeninggal Wicitra, Raden Madyastapun bertanya " Ada
apa dengan paman Wicitra, bibi?"
"Anak itu selalu mengganggu saja ngger. Sejak aku masih
tinggal di Kateguhan. Tetapi bagaimana mungkin ia tiba-tiba
saja sudah berada di pintu serambi ini."
"Maaf bibi. Aku melihat paman Wicitra masuk regol dan
berjalan di halaman. Aku melihat paman Wicitra masuk pintu
seketeng. Tetapi karena aku tahu, bahwa paman Wicitra itu
adik kandung bibi, maka aku tidak menegurnya "
"Ia memang adik kandungku, ngger. Tetapi sifat dan
wataknya tidak dapat dikendalikan lagi. Karena itu, ngger. Aku
mohon lain kali, jangan biarkan ia masuk ke rumah ini."
"Baik, bibi. Aku akan mengingatnya. Akupun akan
berpesan kepada kakang Rembana, kakang Sasangka dan
kakang Wismaya, agar paman Wicitra tidak djijinkan masuk."
"Terima kasih, ngger. Anak itu membuat jantungku
berdebaran semakin cepat."
"Baik, bibi." Raden Madyasta dan Rembanapun kemudian
meninggalkan serambi itu. Raden Ayu Prawirayuda kembali
Ebook by Dewi Kangzusi 480 Kang Zusi http://kangzusi.com/
duduk di depan gawangan menggelar. kain yang sedang
dibatiknya. tetapi rasa-rasanya ia tidak lagi bertekun.
Jantungnya masih saja terasa berdegup.
Hari ini Raden Ayu Prawirayuda nampak gelisah. Ia tidak
dapat mengerjakan pekerjaan yang sering dilakukannya
sehari-hari dengan baik. Setiap kali Raden Ayu Prawirayuda itu
duduk sambil merenungi anak gadisnya yang tumbuh dewasa
itu. Tumbuh dewasa itu bahkan debar jantungnya terasa
menjadi semakin cepat, jika ia teringat kata-kata Wicitra,
bahwa Wicitra justru menginginkan Rantamsari untuk menjadi
isterinya. "Anak itu sudah menjadi gila" desis Raden Ayu
Prawirayuda. Sementara itu, sejak Wicitra datang, ia belum melihat
Raden Ajeng Rantamsari, pintu biliknya tertutup rapat,
biasanya Rantamsari tidak menutup diri dalam biliknya seperti
itu. "Apakah ia mendengar pembicaraanku yang keras dengan
pamannya di serambi?" bertanya Raden Ayu Prawirayuda
didalam hatinya. Raden Ayu Prawirayuda merasa ragu. Beberapa saat ia
berdiri di depah pintu bilik anak gadisnya.
Namun perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda itu
mengetuk pintu bilik itu "Rantamsari " terdengar suara Raden Ayu Prawirayuda
lembut Tidak terdengar jawaban. Karena itu, Raden Ayu
Prawirayudapun mengulanginya, mengetuk pintu itu perlahan
Ebook by Dewi Kangzusi 481 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Rantamsari." Yang terdengar adalah justru isak tangis tertahan.
Perlahan-lahan Raden Ayu Prawirayuda mendorong pintu itu sehingga terbuka.
Dilihatnya Rantamsari menelungkup di pembaringannya.
Raden Ayu Prawirayuda melangkah mendekatinya.
Kemudian duduk di bibir pembaringan sambil mengusap rambut anaknya yang hitam
kelam. "Kenapa kau menangis ngger?" Rantamsari tidak segera menjawab
"Rantamsari. Jawablah pertanyaan ibu. Kenapa kau menangis ngger?"
"Ibu " Rantamsari bangkit. Namun iapun segera duduk dilantai dihadapan ibunya
sambil meletakkan kepalanya di pangkuannya.
"Apa yang kau pikirkan, Rantamsari?" suara ibunya terdengar sejuk di telinga
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gadis itu. "Apakah aku bersalah ibu?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu, ngger?"
"Kenapa paman marah kepadaku'" "
"Kau dengar pembicaraan kami?"
"Tidak seluruhnya ibu. Tetapi serba sedikit aku mendengarnya."
Ebook by Dewi Kangzusi 482 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Apa yang telah kau dengar?"
"Paman menyebut nama kakang Rembana."
"Ya, Rantamsari. Apa lagi yang kau dengar?"
"Tidak jelas ibu. Tetapi agaknya paman menyalahkan aku karena aku berhubungan
dengan kakang Rembana. Bahkan paman menganggap aku seorang gadis yang rendah,
yang dijajakan di Paranganom. Yang lain aku tidak dapat mendengarnya ibu. Ketika
aku sudah berada didalam bilik ini, aku mendengar ibu mengusir paman setelah ibu
bertengkar dengan paman."
"Jangan hiraukan pamanmu, Rantamsari. Ia tidak akan datang lagi. Aku sudah minta
angger Madyasta untuk mencegahnya jika ia akan memasuki-rumah ini."
"Ya, ibu. Tetapi apa sebenarnya yang diinginkan paman Wicitra itu?"
"Rantamsari. Kau sudah dewasa. Aku tidak ingin merahasiakannya lagi, apa yang
diingini oleh pamanmu itu."
Bab 21 Rantamsari mengangkat wajahnya. Dipandanginya wajah ibunya yang bagaikan
membeku. Sorot mata ibunya jauh menerawang menembus batas ruang dan waktu.
Sejak lama Wicitra memang sudah mengisyaratkan kepada Raden Ayu Prawirayuda,
bahwa ia menginginkan Rantamsari untuk dijadikan isterinya. Ia minta agar
Rantamsari jangan diberikan kepada orang lain. Tetapi Wicitra baru berkata
dengan jelas, justru setelah ia berada di Paranganom.
Ebook by Dewi Kangzusi 483 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ibu" desis Rantamsari.
Raden Ayu Prawirayuda itupun tersadar. Sambil
membetulkan rambut anaknya iapun berkata " Rantamsari.
Sebenarnya bahwa pamanmu menginginkan agar kau dapat
dijadikan isterinya"
"Bukankah aku kemanakannya", Bukankah paman Wicitra
itu adik kandung ibu?"
Raden Ayu Prawirayuda mengangguk lagi.
"Ibu " mata Rantamsaripun menjadi basah lagi..
"Sudahlah, Rantamsari. Lupakan keinginan pamanmu itu."
"Itukah agaknya, kenapa paman tidak senang melihat
hubunganku dengan kakang Rembana."
"Rantamsari " suara ibunya merendah " akulah yang justru
ingin bertanya. Apakah benar kau telah menjalin hubungan
batin dengan senapati muda itu, sebagaimana dikatakan oleh
pamanmu?" "Ibu juga menyalahkan aku?"
"Tidak. bukan maksudku, Rantamsari. Aku hanya ingin
tahu, apa yang sedang bergejolak di dada anak gadisku."
"Ibu " suara Rantamsari menjadi parau "menurut
pendapatku, kakang Rembana adalah anak muda yang baik.
Ia ramah dan gembira. Meskipun ia suka berkelakar, tetapi ia
masih mengenal batas-batas unggah-ungguh serta tidak
mengurangi harga dirinya sebagai seorang senapati muda
yang mempunyai kelebihan."
Ebook by Dewi Kangzusi 484 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Jadi kau memang tertarik kepadanya, Rantamsari."
"Ibu. Aku adalah putri ibu. Sebagaimana seorang gadis
yang hidup di lingkungan dinding kadipaten, segala
sesuatunya sudah ditentukan baginya. Aku tinggal
menjalaninya saja. Karena itu, jika memang ada titah yang
lain, aku tidak dapat menolaknya."
"Tidak, Rantamsari. Tidak. Sudah aku katakan, aku hanya
ingin mengetahuinya."
"Aku tidak dapat ingkar, ibu. Aku tertarik kepada kakang
Rembana. Wajahnya yang cerah, hatinya yang terbuka,
kelakarnya, namun juga pandangannya yang luas tentang
hidup dan kehidupan."
"Kau sudah banyak berbicara dengan senapati muda itu
Rantamsari?" * , "Ya. Ibu. Aku sudah tahu pula, bahwa kakang Rembana
juga tertarik kepadaku."
"Baiklah, Rantamsari. Aku bukan seorang ibu yang hanya
menuruti keinginanku sendiri. Aku harus mendengarkan
kemauanmu karena kaulah yang akan menjalaninya. Masa de-
panmu akan terletak di tanganmu sendiri."
"Ibu. Jadi ibu tidak berkeberatan?"
"Ibu hanya ingin meyakinkan sikapmu, Rantamsari.
Dengarlah. Rembana hanyalah seorang senapati prajurit di
Puranganom. Ia bukan seorang yang pinunjul. Mungkin ia
memiliki kemampuan yang tinggi. Tetapi ada berapa orang
senapati muda di Paranganom ini. Karena itu, kau harus itu
pikirkan sebaik-baiknya masa depanmu. Jika kau benar-be nar
Ebook by Dewi Kangzusi 485 Kang Zusi http://kangzusi.com/
ingin menyatukan dirimu dalam kehidupan Rembana, maka
kau harus siap menjalani hidup dan kehidupan yang
sederhana. Karena Rembana seorang prajurit, maka ia akan
lebih sering berada di luar rumah. Tugas akan selalu
memanggilnya, sebagaimana ia berada disini sekarang ini."
"Aku mengerti ibu. Tetapi justru kehidupan yang
sederhana itulah yang akan dapat dinikmati sedalam-
dalamnya. Tidak seperti saat kita tinggal di kadipaten
Kateguhan. Segala sesuatunya berlangsung sesuai dengan
pranatan, sehingga rasa-rasanya kita telah kehilangan diri
sendiri dalam keberadaan kita ini ibu. Kita tidak mempunyai
kebebasan menentukan sikap dan bahkan keinginan-keinginan
yang paling mendasar dari hidup ini."
Raden Ayu Prawirayuda tersenyum. Katanya," Dari-mana
kau dengar sikap hidup sebagaimana yang kau katakan itu.
Rantamsari" Dari Rembana" Aku tidak menyalahkannya.
Justru apa yang kau katakan itu sangat menarik perhatianku.
Menurut pendapatku, yang kau katakan itu benar adanya."
"Ibu sependapat?"
Raden Ayu Prawirayuda mengangguk.
"Ibu " senyum yang manis mengembang dibibir Raden
Ajeng Rantamsari. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan
ibunya sambil memejamkan matanya. Dengan suara yang lirih
iapun berkata " Ibu, doakan agar aku akan menemukan
kebahagiaan." "Aku mengerti Rantamsari. Sikap kakangmasmu yang telah
mengusir kita dari Kateguhan telah menghunjam, melukai
jantungmu sampai ke dasar. Agaknya luka itu tidak mudah
untuk dapat disembuhkan. Peristiwa itu tentu sangat
mempengaruhi pandanganmu tentang hidup dan kehidupan."
Ebook by Dewi Kangzusi 486 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Mungkin ibu. Tetapi aku ingin menemukan hari-hari
mendatang yang panjang. Aku tidak akan selalu berpaling
pada masa lalu itu, meskipun sebagai pengalaman akan
mempunyai arti tersendiri bagiku.-"
Raden Ayu Prawirayuda masih saja membelai rambut
anaknya. Namun beberapa saat kemudian. Raden Ayu
Prawirayuda itupun berkata " Beristirahatlah, Rantamsari.
Mungkin kau merasa letih oleh gejolak perasaanmu. Jika kau
ingin tidur. tidurlah." .
"Tidak. ibu. Aku tidak ingin tidur. Aku akan pergi ke
dapur." Justru Raden Ajeng Rantamsarilah yang lebih dahulu
bangkit berdiri. Ketika Raden Ayu Prawirayuda juga bangkit,
maka Rantamsaripun menggandeng ibunya keluar dari biliknya
langsung pergi ke dapur. Di dapur, para abdi sedang sibuk menyiapkan makan siang
bagi para senapati muda yang berada di rumah itu.
Rantamsaripun kemudian telah ikut pula membantu mereka,
menyediakan mangkuk serta peralatan yang lain.
Hari itu, wajah Raden Ajeng Rantamsari nampak sangat
cerah. Rasa-rasanya Raden Ajeng Rantamsari telah
meletakkan beban yang memberati perasaannya.
Selama ini, Raden Ajeng Rantamsari tidak berani berterus
terang kepada ibunya, bahwa sebagai seorang gadis hatinya
telah tersentuh oleh seorang anak muda yang bernama
Rembana. Sebaliknya, anak muda itupun telah tertarik pula
kepadanya. Meskipun Rantamsari sebenarnya telah menduga, bahwa
ibunya ikut merasakan getar timbal balik antara dirinya
Ebook by Dewi Kangzusi 487 Kang Zusi http://kangzusi.com/
dengan senapati muda itu, namun ibunya tentu ingin
mendengar pengakuannya itu.
Kedatangan pamannya seakan-akan justru telah membuka
kesempatan kepadanya untuk menyampaikan hal itu kepada
ibunya. Pernyataan ibunya itu, telah membuat hubungan Raden
Ajeng Rantamsari dengan Ki Lurah Rembana menjadi semakin
akrab. Raden Ajeng Rantamsari tidak lagi merasa pakewuh
untuk berbicara dengan Rembana di tempat-tempat terbuka.
Namun hubungan antara Raden Ajeng Rantamsari dengan
Rembana itu tidak terlepas dari pengamatan senapati muda
yang lain. Sasangka. Senja itu, warna-warna jingga yang silau memancar di
langit. Beberapa lembar mega hanyut beriringan dihembus
ingin dari lautan. Setelah mandi, Madyasta dan Wismaya
duduk di halaman belakang rumah Raden Ayu Prawirayuda.
Mereka sempat memandangi burung-burung bangau yang
terbang beriringan pulang kesarangnya.
"Apakah Rembana dan Sasangka juga sudah mandi?"
bertanya Madyasta. "Sudah Raden. Mereka ada di serambi gandok."
"Kakang Wismaya " berkata Madyasta kemudian " aku
melihat telah terjaadi perubahan dalam hubungan diantara
keduanya. Aku tidak tahu, apakah yang telah
menyebabkannya." "Maksud Raden, pada keduanya seakan akan telah
terbentang jarak." Ebook by Dewi Kangzusi 488 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya." "Ya, Raden. Aku mengenal keduanya dengan baik. Aku
berada dalam kelompok yang sama pada saat kami bersama-
sama memasuki dunia keprajuritan. Agaknya jenjang
kedudukan kamipun merambat bersama-sama pula, sehingga
kami sempat menjadi Lurah prajurit yang justru memaksa
kami untuk berpisah, karena kami mengemban tugas kami
masing-masing." "Bukankah selama ini tidak ada masalah diantara
keduanya?" "Nampaknya tidak ada Raden. Tetapi sebenarnyalah
bahwa akhir-akhir ini memang terasa ada jarak diantara
mereka." "Mudah-mudahan tidak timbul persoalan yang mendasar
diantara mereka. Namun adalah kewajibanku untuk
mengetahui, ada apa sebenarnya diantara mereka itu."
Sebenarnyalah saat itu, Rembana dan Sasangka duduk di
serambi gandok. Untuk beberapa lama mereka saling berdiam
diri. Namun kemudian Sasangkalah yang membuka
pembicaraan " Rembana. Sebelumnya aku minta kau jangan
salah paham. Jangan menganggap aku orang lain yang
mencampuri urusan pribadimu. Aku adalah bukan hanya
sekedar kawanmu. Tetapi kau bagiku rasa-rasanya sudah
bagaikan saudara kandung."
Rembana berpaling. Dengan kerut di dahi iapun bertanya "
Ada apa Sasangka." "Sudah sejak beberapa hari sebenarnya aku ingin
mengingatkanmu, Rembana."
Ebook by Dewi Kangzusi 489 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Apakah ada yang aku lupakan?"
"Tidak. Kau telah menjalankan tugasmu dengan baik."
"Jadi, apa yang perlu kau peringatkan?"
"Rembana, Aku bermaksud baik. Jangan tuduh aku
mencampuri persoalan pribadimu."
Rembana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian
iapun berkata "Katakan, Sasangka."
"Aku ingin membicarakan hubunganmu dengan Raden
Ajeng Rantamsari." "Hubunganku dengan Raden Ajeng Rantamsari" Kenapa?"
"Selagi belum terlanjur menjadi terlalu jauh."
"Kenapa?" "Aku ingin menasehatkan, agar kau mempertimbangkan
kembali hubunganmu dengan Raden Ajeng Rantamsari. Pada
akhir-akhir ini aku melihat hubunganmu telah bergerak
semakin akrab. Sentuhan-sentuhan batin diantara kalian telah
membuat hubungan kalian menjadi khusus."
Rembana menarik nafas dalam-dalam. Katanya "Terima
kasih atas perhatianmu, Sasangka. Tetapi jangan hiraukan.
Aku tidak beniat menolak uluran tanganmu serta niat baikmu.
Tetapi karena aku sudah dewasa penuh, biarlah persoalan itu
aku selesaikan sendiri."
Ebook by Dewi Kangzusi 490 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku hanya ingin mengingatkan, agar kau tidak menjadi kecewa dihari-hari
mendatang." "Kecewa" Kenapa aku harus kecewa?"
"Kau harus berani melihat ke dirimu sendiri."
Rembana menarik nafas panjang. Katanya "Aku mengerti, Sasangka. Kau tentu akan
mengatakan, bahwa aku adalah sekedar anak pedesaan. Anak yang dilahirkan dan
dibesarkan di kaki bukit. Ayahku dan ibuku adalah orang-orang dari kaki bukit
itu pula. Sedangkan Raden Ajeng Rantamsari adalah anak seorang Adipati, meskipun
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kangjeng Adipati itu sudah meninggal."
"Ya. Aku tidak ingin kau menjadi kecewa di hari-hari mendatang. Seperti
seseorang yang terbangun dari sebuah mimpi yang indah, maka kau akan menjadi
sangat kecewa." "Kenapa aku harus kecewa'"
"Raden Ajeng Rantamsari pada suatu saat tentu akan dinikahkan dengan seorang
yang pantas untuk menjadi suaminya. Mungkin seorang Adipati muda atau seorang
putera Adipati. Bahkan mungkin saja Raden Ajeng Rantamsari akan mendapat suami
seorang ksatria dari Istana Tegal Langkap."
"Jika nasibku memang seburuk itu, biarlah aku sandangnya Sasangka."
"Sebenarnya kau tidak perlu menunggu sampai kau mengalaminya Rembana. Mumpung
belum terlanjur, kau dapat ber usaha untuk mencegahnya."
"Terima kasih atas kepedulianmu itu, Sasangka. Tetapi aku tidak berniat untuk
menghindar sekarang. Seperti orang yang Ebook by Dewi Kangzusi
491 Kang Zusi http://kangzusi.com/
akan maju kemedan perang. Aku sudah siap. Jika aku
memang, maka aku akan pulang dengan berbagai macam
penghormatan. Bahkan bermahkotakan gelar seorang
pahlawan. Menikmati pujian dan kebanggaan. Tetapi jika aku
kalah, maka namaku akan tercemar. Orang lain akan berpaling
jika berpapasan di jalan. Bahkan dapat terjadi lebih buruk dari
itu. Menjadi seorang tawanan perang yang dihinakan.
Dipekerjakan lebih buruk dari seorang budak. Atau dapat juga
aku mati dipertempuran. Tetapi aku sudah siap menghadapi
semua kemungkinan itu. Aku siap untuk menang. Tetapi
akupun siap untuk kalah atau bahkan mati."
"Kau keras kepala Rembana."
"Kau tahu itu Sasangka. Aku memang orang yang keras
kepala. Aku tidak mudah menerima pendapat orang lain."
"Tetapi persoalan ini adalah persoalan yang gawat,
Rembana. Aku minta kau mengerti."
"Sasangka " berkata Rembana kemudian. Nada suaranya
meninggi "Aku sudah dewasa penuh. Aku sudah dapat memilih,
manakah yang baik dan manakah yang tidak baik bagiku. Aku
minta kau tidak mencampurinya."
"Itulah yang kau kehendaki sekarang Rembana" Justru
pada saat kau memerlukannya."
"Tidak. Aku tidak memerlukannya."
"Kau sakit, Rembana. Tetapi kau tidak mau mengakui,
bahwa kau memerlukan pengobatan."
"Sasangka. Kau sudah terlalu dalam mencampuri persoalan
yang sangat pribadi bagiku. Nasehatmu sudah cukup."
Ebook by Dewi Kangzusi 492 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Belum Rembana."
"Bahkan sudah terlalu banyak. Atau justru karena kau
merasa iri?" Sasangka terkejut, sehingga tiba-tiba saja iapun bangkit
berdiri "Rembana. Kau menganggap aku menjadi iri?"
"Jika tidak, lepaskan aku sekehendak hatiku. Kau tidak
berhak mencampuri persoalan pribadiku. Mungkin aku
memerlukan bantuanmu dalam pertempuran antara hidup dan
mati. Tetapi aku tidak memerlukan pendapatmu dalam
persoalan ini." Wajah Sasangka menjadi merah. Namun sebelum ia
menjawab dengan suara yang bergetar, ia melihat Wismaya
sudah berdiri di tangga serambi gandok itu.
"Wismaya " desis Rembana.
"Aku mendengar sebagian dari persoalan yang kalian
bicarakan dari balik dinding sebelah. Maaf. Tetapi aku sama
sekali tidak sengaja mendengarkannya. Ketika aku ingin
menemui kalian berdua, aku mendengar pembicaraan kalian.
Semakin lama menjadi semakin tajam. Semula aku tindak
ingin mencampurinya. Tetapi ketika aku akan pergi, aku justru
merasa menjadi bagian dari keberadaan kita semuanya di
rumah ini." "Aku bermaksud baik " berkata Sasangka.
"Aku mengerti" sahut Wismaya.
"Tetapi ia telah mencampuri persoalan pribadiku terlalu
dalam. Aku sudah mengatakan, bahwa aku berterima kasih
Ebook by Dewi Kangzusi 493 Kang Zusi http://kangzusi.com/
atas kepeduliannya. Tetapi selanjutnya, biarlah aku yang
memutuskan." "Memang kaulah yang harus memutuskan. Tetapi
Sasangka ingin memberikan pertimbangan kepadamu."
"Sudah aku katakan. Aku berterima kasih. Tetapi
selanjutnya terserah kepadaku. Jika hubunganku dengan
puteri itu dianggap demikian aku akan terperosok kedalam
lidah api, biarlah aku terbakar sampai hangus. Sasangka tidak
perlu menangisinya."
"Jadi itukah arti kesetia-kawanan bagimu Rembana."
"Aku menghargai kesetia-kawanan. Tetapi.tentu ada
batasnya. Sampai kemana kau dapat memasuki duniaku.
Duniaku yang sangat pribadi ini."
"Sudahlah Sasangka " berkata Wismaya " niat baikmu
memang harus dihargai. Tetapi kau memang tidak akan dapat
memasuki dunia Rembana sampai sedalam dalamnya."
"Aku hanya ingin mencegah sebelum terjadi mala-petaka
padanya." "Aku mengerti. Tetapi Rembana bukan kanak-kanak lagi.
Biarlah ia memilih, jalan manakah yang akan di laluinya."
"Apakah aku harus membiarkannya memilih jalan sesat?"
"Kau sudah memperingatkannya, Sasangka. Jika ia masih
saja ingin berjalan lewat jalan itu, kita tidak dapat berbuat
apa-apa." "Aku tidak akan membiarkannya."
Ebook by Dewi Kangzusi 494 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Sasangka " suara Wismaya menjadi berat " sejauh mana hak kita mencampuri
persoalan-persoalan orang lain yang sangat pribadi. Kita dapat menunjukkan niat
baik ktia, kepedulian kita. Sesudah itu, terserah kepadanya. Karena itu,
sudahlah. Biar Rembana sendiri yang memutuskannya."
"Jadi itu nasehatmu Wismaya."
"Jangan salah paham. Aku tidak menasehatimu. Aku ingin melerai perselisihanmu
dengan Rembana." "Aku tidak berselisih. Tetapi aku ingin mencegah Rembana terperosok kedalam
kepedihan dikemudian hari."
"Aku sudah mengucapkan terima kasih, Sasangka "sahut Rembana" "tetapi yang kau
lakukan bukan memperingatkan aku. Tetapi kau justru memaksakan kehendakmu."
"Untuk kepentinganmu sendiri Rembana."
"Sudah aku katakan, jangan hiraukan aku. Bahkan seandainya aku akan lebur
menjadi debu." "Kau menyinggung perasaanku."
"Sudahlah, Sasangka. Ia memang berhak menentukan, apa yang terbaik menurut
pikirannya. Kita hanya akan menjadi penonton."
"Itu bukan sikap sahabat yang baik. Aku harus berani mengatakan yang baik dan
yang buruk baginya, meskipun ia sendiri tidak menyukainya."
"Kau benar Sasangka. Tetapi Rembana bukan kanak-kanak lagi."
Ebook by Dewi Kangzusi 495 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Baik. Baik. Aku tidak peduli lagi apa yang akan tejadi padanya, Apapun yang
akan terjadi." Sasangka tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah pergi meninggalkan
Rembana dan Wismaya. "Sasangka, Sasangka. Kaulah yang salah paham."
Sasangka masih mendengar Wismaya memanggilnya.
tetapi ia tidak menghiraukannya lagi.
Wismaya menarik nafas panjang. Ketika ia berpaling kepada Rembana, maka
dilihatnya mata Rembana yang merah. Agaknya Rembana harus menahan kemarahan yang
telah membakar jantungnya.
"Sasangka sudah menjadi gila. Ia merasa iri melihat hubunganku dengan Raden
Ajeng Rantamsari." "Ia bukannya menjadi iri, Rembana. Maksudnya benar-benar baik. Aku sependapat
dengan jalan pikirannya. Tetapi aku tidak sependapat dengan sikapnya yang ingin
memaksakan pendapatnya itu kepadamu. Sebenarnya akupun ingin menyampaikan
kepadamu sebagaimana di katakan oleh Sasangka. Tetapi bagiku, segala sesuatunya
terserah kepadamu. Kau sudah dewasa. Kaulah yang akan menjalaninya. Kaulah yang
sudah berbicara dengan Raden Ajeng Rantamsari, sehingga kaulah yang tahu
sikapnya yang sesungguhnya."
"Seperti kepada Sasangka, akupun berterima kasih kepadamu Wismaya."
"Tetapi bagiku, segala sesuatunya terserah kepadamu. Aku adalah penonton lakon
yang sedang kau perankan. Aku sama sekali tidak berhak untuk menjadi dalang
dalam lakon ini." Ebook by Dewi Kangzusi 496 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Terima kasih."
Wismaya tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera
beranjak. Wismaya ingin mencari Sasangka dan berbicara
dengannya untuk meluruskan kesalahan-pahaman yang baru
saja terjadi. Tetapi Wismaya tidak dapat menemukan Sasangka di
halaman rumah itu. Sasangka memang keluar lewat regol halaman depan. Ia
berjalan saja menelusuri jalan didepan rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Ketika langit menjadi gelap, Sasangka berdiri di ujung jalan
bulak, diluar gerbang padukuhan. Dipandanginya langit yang
semakin lama semakin gelap. Sisa cahaya matahari tidak lagi
nampak diujung gunung dan di bibir mega-mega yang
mengambang, seakan tersangkut di lambung gunung.
Sasangka berdiri termangu-mangu. Diletakannya satu
kakinya diatas sebuah batu yang agak besar yang terletak di
tanggul parit yang mengalir di pinggir jalan, dibawah sebatang
pohon turi yang sedang berbunga, Bunganya yang putih
masih nampak lamat-lamat tersembul dari keremangan ujung
malam. Namun Sasangka yang memandangi ujung gunung itu
tidak menyadari, dua orang sedang mengamatinya dari balik
semak-semak di pinggir jalan bulak.
"Orang itu salah seorang dari senapati yang berada di
Panjer" "Apa benar Ki Lurah Sura Branggah " desis yang lain.
Ebook by Dewi Kangzusi 497 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak akan salah lagi. Sejak beberapa hari aku
berusaha mengenali mereka dengan baik. Satu demi satu.
Apalagi anak muda yang bernama Madyasta, putera Kangjeng
Adipati Prangkusuma itu."
"Kalau begitu, marilah, kita habisi saja orang itu."
"Kita berdua?" "Ya " Sura Branggah termangu mangu Sementara itu
kawannyapun berkata "Ki Lurah Sura Branggah adalah orang
yang dikenal sebagai seorang vang berilmu tinggi. Ki Lurah
tentu akan dapat membunuh tikus kecil itu.
"Ya. Hanya tikus kecil. Selesaikan orang itu, aku
menunggumu disini." "Aku?" "Ya. Bukankah ia tidak lebih dari tikus kecil?"
"Tetapi yang namanya dikenal semua orang Kateguhan
dan Paranganom adalah KI Lurah Sura Branggah."
"Yang penting bukan dikenal atau tidak dikenal. Yang
penting orang itu mati. Ia adalah salah satu dari senapati yang
menurut Ki Tumenggung Reksadrana harus dibunuh, karena
orang itu ikut bertanggung jawab atas kematian putera Ki
Tumenggung itu." "Ya. Orang itu harus dibunuh."
"Nah. Karena itu bunuhlah."
Ebook by Dewi Kangzusi 498 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ki Lurah sajalah yang membunuh. Agar kerja kita lekas
selesai." "Aku perintahkan kepadamu."
"Jangan begitu ki Lurah. Tetapi bagaimana jika kita
lakukan bersama-sama."
"Cah edan. Kita akan dapat terperosok kedalam
kemungkinan terburuk. Agaknya memang belum waktunya
kita membunuhnya sekarang."
"Mumpung ia sendiri, Ki Lurah."
"Otakmu memang otak kerbau. Jika kita gagal, maka
rencana yang sudah kita susunpun akan gagal pula.semuanya.
Kita harus memilih saat terbaik untuk membunuhnya. Bahkan
mungkin justru dihalaman rumah Raden Ayu Prawirayuda itu
sendiri." Kawannya terdiam. Sebenarnyalah iapun merasa ragu,
apakah berdua mereka akan berhasil seandainya mereka
memutuskan untuk mencoba membunuh anak muda itu.
Namun ketika keduanya kembali memandang kearah
senapati muda itu, maka yang nampak adalah dua orang.
Selain Sasangka, ditempat itu hadir pula Wismaya.
"Marilah kita kembali ke rumah Raden Ayu" ajak Wismaya.
"Aku ingin mendinginkan jantungku dahulu Wismaya."
"Nanti kita akan dicari. Waktunya makan malam sudah
tiba." Ebook by Dewi Kangzusi 499 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku masih belum dapat meredakan gejolak di dadaku jika aku bertemu dengan
Rembana nanti." "Kau bukan kanak-kanak lagi, Sasangka"
Sasangka menarik nafas dalam-dalam.
"Selebihnya, aku juga ingin menjelaskan maksudku, agar kau tidak salah paham
dengan ucapan-ucapanku itu."
"Tidak. Aku tidak merasa salah paham. Aku mengerti sepenuhnya maksudmu itu,
Wismaya." "Jika demikian, jangan menunggu Raden Madyasta mencari kita."
Sejenak kemudian Wismaya dan Saiangka itupun telah hilang dibelakang pintu
gerbang. "Ternyata nyawa kita masih akan panjang" desis kawan Ki Sura Branggah itu.
"Kenapa?"
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika kita tadi benar-benar menyerang, senapati muda itu, maka kita akan segera
berhadapan dengan dua orang senapati muda yang berilmu tinggi itu"
"Bukankah dengan demikian dua orang diantara empat sasaran kita sudah kita
selesaikan hari ini?"
"Sura Branggah memandang orang itu dengan tajamnya.
Dengan geram iapun bertanya."Apa". Dua sasaran kita akan terbunuh?"
Ebook by Dewi Kangzusi 500 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Namun tiba-tiba kawannya itu tertawa tertahan. Katanya
"Ya. Merekalah yang membunuh sasaran mereka. Dua orang."
"Gila kau." "Bukankah aku bersama Ki Sura Branggah?"
"Kau mencoba menghina aku. Aku cekik kau sampai mati."
"Jangan marah Ki Lurah. Jika kau bunuh aku, maka kau kehilangan seorang pengikut
yang berilmu tinggi "
"Huh" Ki Sura Branggah tidak menjawab. Namun iapun segera melangkah pergi.
Sambil tertawa tertahan pengikutriya itupun berlari-lari kecil, mengikuti Ki
Sura Branggah di belakangnya.
Di rumah Raden Ayu Prawirayuda, suasananya memang nampak sedikit berubah. Tetapi
Wismaya dan Raden Madyasta berusaha agar Raden Ayu Prawirayuda serta Raden Ajeng
Rantamsari tidak segera merasakan perubahan itu."
Karena itu, ketika mereka makan malam di ruang dalam, Wismaya yang pendiam serta
Raden Madyasta lebih banyak mengisi waktu dengan pembicaraan-pembicaraan yang
memang berbeda dengan cara Rembana berbicara pa da saat-saat seperti itu.
Hanya sekali-sekali saja Rembana dan Sasangka ikut terlibat dalam pembicaraan
yang memang nampak lebih bersungguh-sungguh itu.
Raden Ayu Prawirayuda nampaknya memang tidak menangkap perubahan suasana yang
terjadi di rumahnya. Tetapi agak berbeda dengan Raden Ajeng Rantamsari. Ia
Ebook by Dewi Kangzusi 501 Kang Zusi http://kangzusi.com/
melihat perubahan yang terjadi pada Rembana. Tetapi Raden
Ajeng Rantamsari tidak tahu apakah yang menyebabkannya.
Setelah makan malam, maka Raden Madyasta serta para
senapati muda itupun segera kembali ke gandok. Beberapa
saat mereka duduk di serambi. Namun Sasangka dan
Rembanapun segera masuk ke dalam bilik mereka masing-
masing. Tetapi sesaat kemudian, Rembanapun telah keluar pula
dari biliknya. Seperti biasanya ia membawa pedangnya yang
tergaintung di lambungnya.
"Aku bertugas di belakang malam ini Raden berkata
Rembana, aku akan berada di serambi belakang."
"Baik, kakang" jawab Raden Madyasta " hati-hatilah."
"Ya, Raden. Marilah Wismaya."
"Aku akan menggantikanmu tengah malam nanti"
"Sebaiknya kau tidur saja sekarang." Wismaya tersenyum.
Katanya "Ya. Sebentar lagi. Bukankah kita baru saja makan?"
Rembana mengangguk. Namun wajahnya tidak nampak
cerah seperti biasanya. Sejenak kemudian, maka Rembanapun telah hilang dibalik
kegelapan. Sinar cahaya lampu di pendapa tidak dapat
menggapai-gapainya lagi ketika ia menyelinap di belakang
gandok. Rembana tidak pergi ke serambi belakang lewat
longkangan di belakang pintu seketeng. Tetapi Rembana
memilih melingkari rumah raden Ayu Prawirayuda yang besar
itu. Ebook by Dewi Kangzusi 502 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Yang kemudian duduk diserambi tinggal Wismaya dan Raden Madyasta. Namun
Wismayapun memberikan isyarat kepada Raden Madyasta untuk turun dan berjalan
melintasi halaman. "Sasangka tentu belum tidur " berkata Wismaya. Raden Madyasta mengangguk-angguk.
"Mungkin ia tidak dapat tidur malam ini." .
"Ya." Wismayapun kemudian mengulangi lagi ceriteranya tentang perselisihan antara
Sasangka dan Rembana yang serba sedikit sudah dilaporkannya kepada Raden
Madyasta. "Sayang sekali, bahwa perselisihan itu harus terjadi."
"Ya, Raden." "Menurut kakang Wismaya, apakah Sasangka benar-benar ingin memperingatkan
Rembana dengan jujur atau justru karena Sasangka merasa iri hati?"
Wismaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian "
Sulit bagiku untuk mengetahui Raden. Tetapi menurut pengenalanku atas Sasangka,
ia bukan seorang yang dengki.
Sasangka memang kadang-kadang ingin memaksakan pendapatnya kepada orang lain."
"Jadi, menurut kakang Wismaya, Sasangka berkata dengan jujur. Tetapi caranya
yang telah menyinggung perasaan kakang Rembana."
Ebook by Dewi Kangzusi 503 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wismaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bergumam seakan-akan
ditujukan kepada diri sendiri "
Ya. Mungkin sekali, Raden."
"Baiklah, kakang. Besok aku akan berbicara dengan keduanya. Aku tidak ingin
tugas kita kali ini membawa perpecahan diantara mereka yang sebelumnya
bersahabat." "Ya, Raden." Jika perlu, maka harus ada diantara kita yang meninggalkan rumah ini. Ayahanda
dapat memerintahkan orang lain untuk menggantikan tugas kita disini."
Wismaya mengangguk-angguk, sementara Raden Madyastapun berkata selanjutnya "
Jika perlu kami bersama-sama ditarik dari tugas ini, agar tidak menimbulkan
persoalan baru. Ayahanda dapat membuat alasan yang masuk akal.
Misalnya pergantian tugas karena kakang Wismaya, kakang Sasangka dan kakang
Rembana sudah terlalu lama meninggalkan barak masing-masing. Dengan demikian,
terutama bagi orang lain diluar kita berempat, tidak mereka-reka persoalan yang
timbul di rumah ini. Berbeda jika seandainya ayahanda hanya memindahkan satu
atau dua orang diantara kita berempat."
"Raden benar " Wismaya mengangguk-angguk " jika yang ditarik dari tugas ini
hanya satu atau dua orang, maka akan ada masalah yang timbul di rumah ini.
Apalagi masalah itu memang sudah ada. Seperti bunga api sepercik dan jatuh
diatas alang-alang kering. Kabar itu akan segera membakar daerah ini, terutama
dilingkungan keprajuritan."
"Bukankah dengan demikian akan dapat menjadi setitik noda yang mengotori nama
prajurit Paranganom?"
Ebook by Dewi Kangzusi 504 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wismaya mengangguk-angguk.
Ketika malam menjadi semakin dalam, maka keduanyapun duduk di atas sebuah lincak
panjang di sudut halaman rumah itu. Pembicaraan mereka justru menjadi
berkepanjangan, sehingga Wismaya tidak lagi ingat, bahwa lewat tengah malam ia
akan bertugas menggantikan Rembana yang berada di halaman belakang.
Baru menjelang tengah malam, Raden Madyasta sempat mengingatkan " Kakang Wismaya
tidak beristirahat dahulu"
Sebentar lagi tengah malam. Kakang harus menggantikan kakang Rembana."
"Sudah tanggung, Raden. Jika aku berbaring sekarang, maka baru esok pagi aku
bangun." Raden Madyasta tersenyum. Katanya " Jika demikian, sebaiknya kakang Wismaya
justru mempersiapkan diri."
Malam ini Sasangka akan menggantikan Raden Madyasta mengawasi bagian depan rumah
ini." "Ya. Mudah-mudahan Sasangka sempat tidur meskipun hanya sebentar."
Sulit baginya untuk tidur. Tetapi untunglah bahwa tugas mereka tidak bersamaan
sesudah tengah malam. Jika tidak ada orang lain yang sempat mengawasi, maka
perselisihan itu akan dapat terjadi lagi."
Keduanyapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah ke gandok sebelah kanan.
Namun ketika mereka sampai di tangga gandok, mereka melihat Rembana muncul dari
kegelapan. Namun langkahnya nampak gontai.
Ebook by Dewi Kangzusi 505 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Bahkan ketika ia berdiri di sudut gandok, tangannya
berpegangan erat-erat. "Kakang Rembana."
Raden Madyasta itupun segera berlari mendekati Rembana
disusul oleh Wismaya. "Ada apa kakang?" bertanya Raden Madyasta dengan
suara bergetar. Rembana tidak dapat bertahan berpegangan sudut gandok
itu lagi. Tetapi ketika ia akan jatuh terjerembab, Raden
Madyasta dengan cepat menangkapnya.
Raden Madyasta terkejut ketika tangannya menyentuh
cairan yang hangat pada tubuh Rembana. Bahkan kemudian,
Raden Madyasta itu melihat sebuah pisau belati tertancap di
lambung sebelah kiri. "Apa yang terjadi, kakang" bertanya Raden Madyasta
dengan jantung berdebaran.
Pada saat itu pula, Sasangka berlari-lari keluar dari
biliknya. "Apa yang terjadi?"
Sebelum Wismaya dan Raden Madyasta menjawab,
Sasangkapun telah menghambur menuruni tangga gandok
sebelah.kanan. Iapun kemudian bcrjongkok pula disisi
Rembana, disebelah Raden Madyasta, sementara Wismaya
berjongkok di sisi yang lain.
"Kakang Rembana. Apa yang terjadi?"
Ebook by Dewi Kangzusi 506 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Rembana, katakan. Apa yang terjadi" Siapakah yang
menusuk lambungmu?" bertanya Wismaya pula.
Rembana menggeleng. Suaranya menjadi sangat
dalam"Aku tidak dapat melihatnya, Raden."
"Kau tidak sempat melawan sama sekali?"
Rembana menggeleng. Suaranya menjadi bertambah lirih "
Tiba-tiba saja dari dalam kegelapan seseorang menusuk
lambungku. Dengan cepat pula ia menghilang. Aku tidak dapat
mengenali wajahnya dalam kegelapan. Apalagi sebagian dari
wajahnya itu tertutup oleh ikat kepalanya.
"Bertahanlah, Rembana " desis Raden Madyasta. Lalu
katanya "Kakang Sasangka. Tolong, panggil seorang tabib
yang tinggal didekat rumah ini agar ia dapat merawat kakang
Rembana untuk sementara. Sementara itu biarlah tabib
kadipaten di panggil pula kemari."
Tetapi Rembana menggeleng. Katanya "Tidak. Tidak ada
gunanya lagi Raden."
"Kakang, kakang."
Nafas Rembana menjadi semakin sendat, sehingga
akhirnya berhenti sama sekali.
"Kakang, kakang."
Tetapi Rembana sudah tidak mendengar lagi.
Malam itu, kesibukan yang luar biasa telah terjadi di rumah
Raden Ayu Prawirayuda. laporanpun segera sampai ke
kadipaten. Pasukan di barak yang dipimpin oleh Rembanapun
Ebook by Dewi Kangzusi 507 Kang Zusi http://kangzusi.com/
dengan cepat bersiap menghadapi segala kemungkinan yang
dapat terjadi. Rembana telah gugur dalam men jalankan tugasnya.
Malam itu, Raden Wignyana telah berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda pula. "Dimas " desis Raden Madyasta.
"Aku mendapat perintah dari ayahanda untuk melihat
keadaan di rumah bibi ini, kangmas."
"Inilah yang terjadi dimas ."
"Bukankah kakang Rembana seorang senapati muda yang
mumpuni" Kenapa begitu mudahnya kakang Rembana
terbunuh disini?" "Itulah yang harus kita cari sebabnya, dimas."
"Pembunuh kakang Rembana tentu seorang yang memiliki
ilmu yang tinggi pula. Setidak tidaknya setataran dengan
kakang Rembana. Orang itu hanya mempunyai kelebihan licik,
curang dan tidak tahu malu"
"Aku sependapat dimas. Orang itu tentu licik dan curang."
"Aku mendapat perintah dari ayahanda untuk segera
kembali dan memberikan laporan terperinci. Besok pagi-pagi
ayahanda akan datang kemari."
Dalam pada itu, Wismayapun sempat berbisik ditelinga
Raden Madyasta " Untunglah, bahwa tidak ada yang tahu, apa
yang terjadi antara Rembana dan Sasangka. Jika saja ada
yang mengetahuinya, maka tentu akan segerai tersebar kabar
buruk yang langsung menghakimi Sasangka."
Ebook by Dewi Kangzusi 508 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya " Raden Madyasta mengangguk angguk dengan kerut
di kening Raden Madyastapun bertanya Tetapi bagaimana
menurut pendapatmu, kakang "
"Aku belum dapat berkata apa-apa tentang peristiwa ini,
Raden. Aku melihat Sasangka menjadi sangat murung.
Mungkin ia merasa, bahwa kita telah menuduhnya."
Malam itu, sekelompok prajurit telah berada di rumah
Raden Ayu Prawirayuda atas perintah Ki Tumenggung
Sanggayuda. Tetapi yang ditugaskan adalah dari pasukan
pengawal, yang dipimpin oleh Ki Lurah Adisana dan berada
langsung dibawah perintah Tumenggung Sanggayuda.
Dalam pada itu, Raden Ajeng Rantamsari masih saja
menangis di pangkuan ibunya. Rembana, seorang anak muda
yang sangat menarik baginya, telah tiada. Sebuah pisau belati
menancap di lambungnya. "Kenapa hal ini harus terjadi, ibu?" bertanya Raden Ajeng
Rantamsari. Kita tidak dapat menentang garis pepesten, Rantamsari."
"Tetapi kakang Rembana masih terlalu muda untuk
meninggal." "Apapun yang kita inginkan terhadap seseorang, tetapi
yang akan terjadi atasnya, terjadilah. Tidak seorang-pun
mampu mencegahnya." "Sejak kemarin sore, aku melihat sesuatu yang lain pada
kakang Rembana, ibu. Kakang Rembana lebih banyak diam.
Sekali-sekali saja tersenyum. Bukankah biasanya ia selalu
cerah. Banyak berbicara dengan kelakarnya yang segar?"
Ebook by Dewi Kangzusi 509 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, Rantamsari."
"Seolah-olah kakang Rembana tahu apa yang akan terjadi
semalam." Mungkin firasat itu telah menyentuhnya, Rantamsari.
Tetapi Rembana tidak mampu mengurainya, sehingga yang
terjadi itu tidak terbayangkan sebelumnya."
Rantamsari mengusap matanya yang selalu basah.
Seperti yang dikatakan oleh Wignyana, maka pagi itu,
Kangjeng Adipati Prangkusuma telah hadir di rumah Raden
Ayu Prawirayuda. Demikian pula keluarga Rembana yang
semalam sudah diberi tahu pula apa yang telah terjadi.
Di rumah Raden Ayu Prawirayuda, ibu Rembana itu sempat
pingsan. Tidak hanya sekali. Tetapi dua tiga kali.
"Anak yang baik " berkata ibunya disela-sela tangisnya " ia
adalah tumpuan harapan keluarga kami."
"Sudah, Nyi " ayah Rembana mencoba menghiburnya "
Yang Maha Agung menghendakinya kembali ke sisinya. Yang
terjadi itu adalah diluar kemampuan siapapun juga untuk
mencegahnya.:" Tetapi ketika tangis ibu Rembana itu mereda, maka justru
ayahnyalah yang pergi ke pakiwan untuk mencuci mukanya.
Matanya menjadi merah karena laki-laki itu tidak dapat
menahan tangisnya. Kangjeng Adipati telah memanggil Madyasta, Wismaya dan
Sasangka bertiga didalam bilik yang khusus.
Ebook by Dewi Kangzusi 510 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Bagaimana menurut pendapatmu, Madyasta?"
"Hamba belum dapat mengatakan apa-apa ayahanda."
"Apakah aku perlu menambah beberapa orang senapati untuk bertugas disini" Semula
tugas ini dianggap tugas yang aneh, yang tidak perlu harus dilakukan oleh
senapati pilihan. Tetapi temyata seorang dari senapati pilihan itu justu telah terbunuh disini."
Jilid 07 Bab 22 - Ancaman Paman MADYASTA, Wismaya dan Sasangka saling berpandangan sejenak. Namun Wismaya dan
Sasangka kemudian menundukkan wajahnya.
Madyastalah yang kemudian menjawab "Untuk sementara tidak perlu ayahanda. Hamba,
kakang Wismaya dan kakang Sasangka akan melaksanakan tugas ini sebaik baiknya,
Kami bernial memancing orang yang lelah membunuh kakang Rembana untuk kembali
lagi. Jika yang bertugas disini bertambah, mungkin ia tidak akan berniat untuk
datang lagi. Kangjeng Adipati mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian Kangjeng Adipati itupun
berkata "Tetapi berhati-hatilah. Kalian tahu, bahwa orang ib tentu orang yang
berilmu tinggi. Mereka dapat membunuh seorang Senapati pilihan tanpa sempat
mempertahankan diri. Selain berilmu tinggi, orang itu tentu juga seorang yang
licik, yang tanpa segan-segan menyerang dari belakang."
"Ya, Ayahanda "
Ebook by Dewi Kangzusi 511 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak ingjn jatuh lagi korban diantara kalian."
Madyasta menarik nafas panjang. Wismaya dan Sasangka
masih saja menunduk dalam-dalam.
Hari itu juga sebelum dimakamkan, atas permintaan anak
buahnya, Rembana telah dibawa ke baraknya Dengan
penghormatan penuh, jenazah Rembana dilepas ke makam.
Diwajah para prajuritnya membayang kemarahan yang
bergejolak didalam dada mereka. Namun Ki Tumenggung
Wiradapa sempat meredakan perasaan mereka. Katanya
"Bukan hanya kalian yang berduka, tetapi seluruh kadipaten
ini, termasuk Kangjeng Adipati Prangkusuma. Ki Lurah
Rembana adalah Senapati muda yang penuh harapan dimasa
mendatang. Tiba-tiba saja umurnya telah direnggut dengan
eara yang sangat licik. Kami berjanji untuk pada suatu saat
menemukan pembunuh Ki Lurah Rembana."
Para prajuritnya mendengarkannya sambil berdiam diri.
Tetapi gigi mereka terkatub rapat. Mereka harus menahan
gejolak di hati. Namun para pemimpin kelompok yang sudah lebih tua,
berusaha juga untuk meredam kemarahan para prajuritnya.
Se-orang pemimpin kelompok yang sebagian kumisnya Sudah
memutih bertanya "Kalian marah kepada siapa" Jika kita ingin
membalas dendam atas kematian Ki Lurah, siapakah sasaran
kita?" Para prajurit itupun terdiam. Mereka memang tidak lahu,
kepada siapa mereka mendendam.
"Kita harus mempergunakan nalar kita. Bukan hanya
perasaan kita" berkala pemimpin kelompok itu.
Ebook by Dewi Kangzusi 512 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Demikianlah, sebuah iring iringan yang panjang mengantar Rembana ke makam.
Selain keluarganya, maka sepasukan prajurit ikut pula mengatarnya Kedua putra
Kangjeng Adipati, Madyasta dan Wignyana ada diantara para pengiring itu.
Mereka berjalan bersama Wignyana dan Sasangka yang kelihatan murung.
Berita tentang kematian seorang Senapati muda di rumah Raden Ayu Prawirayuda
segera merjdi pembicaraan, terutama diantara para prajurit. Yang tersinggung
tidak hanya para prajurit, anak buah Ki Lurah Rembana. Tetapi para prajurit
Paranganom merasa tersinggung.
Jika bibit-bibit permusuhan sudah terasa ada diantara orang-orang Paranganom dan
orang-orang Kateguhan, maka kematian Ki Lurah Rembana, rasa-rasanya seperti
angin yang bertiup mengipasi bara api disetumpuk kayu.
Dalam pada itu, Madyasta tetap pada pendiriannya ketika sekali lagi Kangjeng
Adipati memanggilnya dan mempertanyakan kemungkinan untuk memperkuat pengamanan
di rumah Raden Ayu Prawirayuda
"Jika penjagaan di rumah itu diperkuat, maka akibatnya orang-orang membunuh
kakang Rembana tidak akan berani datang lagi ayahanda. Biarlah hamba bersama
kakang Wismaya dan kakang Sasangka bersiap-siap menghadapi kemungkinan terburuk
di rumah bibi Prawirayuda."
"Tetapi kau harus sangat berhati-hati, Madyasta "
"Ayah anda mencemaskan hamba " "
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Katanya "
Apakah ada ayah yang tidak mencemaskan keadaan anaknya jika ia berada di satu
lingkungan yang berbahaya ?"
Ebook by Dewi Kangzusi 513 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Hamba mengerti, ayahanda. Tetapi hamba berjanji untuk
berhati-hati." "Ki Lurah Wismaya dan Ki I .urah Sasangka juga harus
berhati-hati. "Hamba ayahanda "
"Baiklah. Aku serahkan segala sesuatunya kepadamu. Kau
yang berada di medan, sehingga kau yang paling mengenali
keadaan medan itu." "Hamba mohon doa restu ayahanda."
"Madyasta" berkata Kangjeng Adipati dengan nada berat.
"Nampak betapa Kangjeng Adipati itu menjadi ragu.
Sebenarnya Kangjeng Adipati masih belum ingin menyam-
paikan ceritera yang harus disesali dari sikap Raden Ayu
Prawirayuda tentang anak gadisnya yang ingin
dipersandingkan dengan Kangjeng Adipati Yudapati. Tetapi
dengan ke matian Rembana, maka Kangjeng Adipati justru
merasa perlu untuk berbicara dengan Madyasta.
Madyasta merasakan keragu-raguan ayahandanya. Setelah
beberapa saat Madyasta menunggu, namun Kangjeng Adipati
tidak segera melanjutkan kata-katanya, maka Madyastapun
bertanya "Ada yang meragukan hati ayahanda ?"
"Ya " Kangjeng Adipati mengangguk-angguk " tetapi
baiklah. Mungkin ada baiknya kau mengetahuinya sekarang.
Mungkin dapat kau jadikan bahan pertimbangan pada saat
kau melakukan tugasmu, mengamankan rumah bibimu."
"Hamba ayahanda."
Ebook by Dewi Kangzusi 514 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Kangjeng Adipati menarik nafas panjang. Keragu-raguan masih terasa ketika
Kangjeng Adipati itupun kemudian meneeritakan apa yang pernah didengarnya dari
Tumenggung Wiradapa dan Tumenggung Sanggayuda Raden Madyasta mendengarkannya
dengan sungguh-sungguh. Sekali-sekali Madyasta mengerutkan dahinya.
Kemudian mengangguk-angguk kecil. Balikan kadang-kadang ia mengangkat wajahnya.
Namun Raden Madyasta tidak memotong kata-kata ayahandanya yang masih diwarnai
oleh kebimbangan itu. Kangjeng Adipati menarik nafas panjang ketika ia selesai menyampaikan keterangan
sebagaimana didengarnya dari kedua orang Tumenggung yang telah pergi ke
Kadipaten Kateguhan itu. "Apakah yang dikatakan oleh painan Tumenggung itu benar, ayahanda?" bertanya
Raden Madyasta. Kangjeng Adipati termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya Kangjeng Adipati itu baru
saja melepaskan beban yang terasa sangat berat bergayut di hatinya
"Madyasta " berkata Kangjeng Adipati kemudian aku tidak tahu, apakah yang
terjadi juga sebagaimana dikatakan Oleh kedua pamanmu Tumenggung Wiradapa dan
Tumenggung Sanggayuda. Tetapi kedua orang pamanmu itu mendengar keterangan dari
Tumenggung Reksadrana dihadapan Adipati Yudapati."
Raden Madyasta termangu-mangu sejenak. Dengan nada berat iapun berkata "Apapun
yang terjadi ayahanda, peristiwa pengusiran bibi Prawirayuda dari Kateguhan
merupakan gambaran keretakan keluarga di Kateguhan sepeninggal paman Adipati
Prawirayuda" Ebook by Dewi Kangzusi 515 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Ya. Akibatnya memang akan terkait pada Kadipaten
Paranganom karena kangmbok Prawirayuda sekarang berada
di Paranganom." "Ayahanda. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Mungkin
apa yang dikatakan oleh Ki-Tumenggung Reksadrana
dihadapan kakangmas Adipati Yudapati itu tidak seluruhnya
benar. Tetapi tentu ada pula dasarnya Sehingga kebeneian
orang-orang Kateguhan terhadap bibi Prawirayuda tidak dapat
segera dihapuskan." "Menurut dugaanmu, apakah kakangmasmu Yudapati telah
mengirim orang seeara khusus untuk membunuh Rembana "
Lalu apa hubungannya kebeneian Yudapati dengan
keberadaan Rembana di rumah bibimu itu, sehingga Rembana
harus disingkirkan."
"Sasarannya tentu bukan kakang Rembana, ayahanda.
Tetapi sekedar untuk menakui nakuti dan menyakiti hati bibi
Prawirayuda yang dibeneinya itu."
"Jika benar dugaan itu, Madyasta. Maka kau, Sasangka dan
Wismaya harus menjadi semakin berhati-hati. Mungkin
kematian Rembana masih belum memberinya kepuasan.
Mungkin orang-orang Kateguhan masih ingin menunjukkan
kelebihannya. Kaulah yang harus menjadi lebih berhati-hati."-
"Maksud ayahanda, hambalah yang akan menjadi sasaran
berikutnya ?" "Hanya sikap hati-hali, Madyasta."
"Hamba mengeni ayahanda. Hlamba akan lebih berhati-
hati." Ebook by Dewi Kangzusi 516 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Kangjeng Adipati mengangguk-angguk. Sebenaniyalah bahwa ia memang mencemaskan
Raden Madyasta. Tetapi Madyasta bukan kanak-kanak lagi. Ia telah dibekali dengan
kemampuan dalam olah kanuragan. Madyastapun terus berlatih untuk melindungi
dirinya sendiri. Hari-haripun kemudian dilalui dengan suasana yang muram di rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Raden Ajeng Rantamsari nampak masih berduka karena kepergian
Rembana. Seorang anak muda yang telah menarik perhatiannya.
Sementara itu, tinggal tiga orang anak muda yang berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda. Namun ketiganya adalah orang-orang yang telah mendapat tempaan
lahir dan batin. Dalam pada itu, sekali lagi Raden Ayu Prawirayuda menawarkan bilik yang lebih
baik kepada Raden Madyasta yang berada di ruang dalam.
"Terima kasih, bibi."
"Keeuali tempatnya lebih pantas bagi angger Madyasta, bukankah angger akan lebih
terlindung jika angger berada di ruang dalam. Setidak-tidaknya angger tidak
dapat diserang dengan eara yang licik itu."
Aku justru harus semakin ketat mengawasi lingkungan ini bibi. Biarlah aku tetap
bersama para Senapati muda itu.
Mudah-mudahan kami akan dapat menemukan, siapa yang telah membunuh kakang
Rembana. "Tetapi kita tentu tidak ingin ada korban yang lain, ngger."
"Tentu bibi. Kami akan berhati-hati."
Ebook by Dewi Kangzusi 517 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Raden Ayu Prawirayuda tidak dapat memaksa Raden Madyasta untuk mempergunakan
bilik di ruang dalam meskipun Raden Ayu Prawirayuda telah mertunjukkan
kekhawatirannya akan keselamatan Madyasta.
Tetapi Raden Ayu Prawirayudapun dapat mengerti, bahwa Raden Madyasta bukan
seorang Senapati yang akan mempergunakan gelar Gedong Minep jika ia berada di
medan perang. Tetapi Raden Madyasta tentu akan mempergunakan gelar Garuda
Nglayang atau bahkan Gajah Meta Karena itu Raden Ayu Prawirayuda membiarkan
Raden Madyasta untuk menentukan sikapnya sendiri. Meskipun demikian, Raden Ayu
Prawirayuda masih juga berpesan "Aku mohon angger selalu berhati-hati. Maaf
ngger jika aku berpesan mewanti-wanti. Bukan karena aku menganggap bahwa angger
masih perlu diperingatkan. Tetapi sekedar kekhawatiran orang tua"
"Terima kasih, bibi. Aku tidak pernah merasa tersinggung atas peringatan yang
bibi berikan." Sebenarnyalah bahwa Raden Madyasta, Wismaya dan Sasangka menjadi semakin
berhati-hati. Bahaya akan dapat mengancam mereka setiap saat.
Dalam pada itu, Raden Ajeng Rantamsari nampak menjadi kesepian. Ia tidak lagi
dapat bereanda dengan Rembana yang memang seorang yang selalu nampak riang.
Sekali-sekali untuk mengatasi kesepiannya, Raden Ajeng Rantamsari sering
berbincang dengan Wismaya atau Sasangka Tetapi Wismaya terlalu pendiam bagi
Raden Ajeng Rantamsari, sehingga setiap kali mereka bertemu, Wismaya hanya
menjawab pembicaraan Raden Ajeng Rantamsari dengan kata sepatah-sepatah.
Ebook by Dewi Kangzusi 518 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Raden Madyasta sendiri nampaknya tidak mempunyai
banyak waktu. Disiang hari kadang kadang Raden Madyasta
pulang ke kadipaten. Namun kadang sehari suntuk Raden
Madyasta berada di rumah bibinya bersama Wismaya dan
Sasangka. Kadang-kadang mereka berada di halaman depan.
Namun kadang-kadang mereka berada di kebun belakang.
Atau mereka berada di tempat yang berbeda-beda serta
mengisi kekosongan waktu dengan kerja apa saja yang dapat
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mereka lakukan di rumah itu.
Ternyata Wismaya memiliki ketrampilan khusus untuk
membuat perabot dari bambu. Selama berada di rumah Raden
Ayu Prawirayuda, Wismaya sudah membuat tiga buah lineak
bambu panjang yang diletakkan di bawah sebatang pohon
yangrindang di halaman depan serta dua buah di kebun
belakang, Disiang yang terik, kadang-kadang Wismaya sempal
berbaring di lineak bambunya Bahkan kadang-kadang
Sasangka dan bahkan Raden Madyasta juga sering berbaring
di siang hari, disejuknya udara dibawah bayangan rimbunnya
dedaunan. Hari i u terasa sepi. Wismaya duduk diserambi gandok
sendiri. Udara terasa panas, sehingga Wismaya tidak
mengatupkan bajunya Dadanya yang bidang nampak terbuka.
Sehelai kipas bambu dikibaskannya tidak henti-hentinya
Sasangkalah yang justru berbaring di lineak bambu di
kebun belakang. Di luar sadarnya, Sasangka memandangi
pintu butulan yang terbuka menuju ke longkangan samping
yang menjadi asri setelah Rembana menggarap longkangan
itu menjadi semacam taman yang tidak terlalu luas.
Ebook by Dewi Kangzusi 519 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Dalam kesepiannya, Raden Ajeng Rantamsari sering berada di serambi terbuka di
longkangan itu sambil membatik.
Seperti ibunya, Raden Ajeng Rantamsari adalah seorang pembatik yang telaten.
Batikannya berkesan halus dan eermat, dengan isen-isenan yang rumit dan lembut.
Di udara yang terasa panas itu, Raden Madyasta tidak sedang berada di rumah
bibinya. Raden Madyasta tidak langsung minta diri kepada bibinya serta kepada
Raden Ajeng Rantamsari, tetapi Raden Madyasta hanya berpesan kepada Wismaya dan
Sasangka bahwa ia akan pergi ke kadipaten.
"Apakah ada yang harus dilaporkan?" bertanya Wismaya.
"Tidak" jawab Radon Madyasta "Aku hanya ingin menghadap ayahanda"
"Wismaya dan Sasangka tidak lerlalu banyak bertanya.
Mereka memandangi anak muda itu keluar dari regol halaman setelah berpesan
"Berhati-hatilah, kakang."
Sepeninggal Raden Madyasta, Sasangka tidak kembali ke serambi gandok. Tetapi ia
langsung pergi ke kebun belnknng.
Sementara Wismaya kembali ke serambi gandok Meskipun diantara keduanya tidak
nampak ada pertikaian, tetapi keduanya menjadi kurang akrab sejak kematian
Rembana Seakan-akan kabut tipis berhembus diantara keduanya Namun karena
keduanya sudah ditempa oleh berbagai macam pahit manisnya kehidupan, maka
keduanya selalu mengendalikan perasaan mereka.
Karena itulah, maka mereka memilih untuk berada ditempat yang berbeda. Pada
saat-saat yang kosong, jika mereka berbincang kesana-kemari, pembicaraan mereka
akan dapat menyentuh serabut yang paling halus didalam jantung Ebook by Dewi
Kangzusi 520 Kang Zusi http://kangzusi.com/
mereka, sehingga akan dapat mengungkit persoalan yang
lebih gawat. Silirnya angin membuat mata Sasangka menjadi berat.
Sementara dari sela-sela rimbunnya dedaunan, Sasangka
melihat matahari telah memanjat sampai ke puncak.
Namun ketika diluar kehendaknya mata Sasangka
terpejam, ia terkejut mendengar suara Raden Ajeng
Rantamsari agak keras "Paman mengejutkan aku."
Sasangka masih terbaring di amben bambu di kebun
belakang. Tetapi ia berusaha mendengar dengan sungguh-
sungguh suara Raden Ajeng Rantamsari, yang agaknya berada
di serambi terbuka yang menghadap ke taman kecilnya di
longkangan. Sebenarnyalah Raden Ajeng Rantamsari terkejul ketika
tiba-tiba saja Wicitra sudah berada di taman itu pula.
"Maaf Rantamsari. Aku tidak ingin mengejutkanmu."
"Silahkan duduk paman. Aku akan memanggil ibu."
"Tidak. Itu tidak perlu. Aku tidak ingin berbicara dengan
ibumu. Tetapi aku ingin berbicara dengan kau, justru di saat
kau sendiri." "Tidak paman. Sebaiknya aku memanggil ibu."
"Ibumu mungkin sibuk didapur. Meskipun ada
pembantunya, namun biasanya ibumu sendirilah yang
menyiapkan makan bagi anak-anak muda yang ada di
rumahmu ini." Ebook by Dewi Kangzusi 521 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tetapi aku tidak dapat menerima paman sendiri.
Seandainya ibu sibuk, biarlah kesibukannya itu
ditinggalkannya lebih dahulu, agar ibu dapat menemui paman."
"Dengarlah kata-kataku. Kau tidak perlu menyampaikannya kepada ibumu. Kita dapat
berbicara langsung. Kau dan aku."
"Tidak" " Ya. Kau tidak akan pergi dari tempat ini " suara Wicitra menjadi kasar.
Jantung Raden Ajeng Rantamsari tergetar. Ketika ia memandang waiah pamannya,
dadanya berdesir tajam. Ia melihat ketegangan di wajah paniannya itu.
"Dengar Rantamsari" berkata Wicitra kemudian "aku daiang untuk menjemputniu."
"Menjemput aku" Apa yang paman maksudkan?"
"Kau tentu sudah tahu, bahwa aku tidak akan pernah membiarkan kau dimiliki oleh
siapapun. Setelah kau ditolak untuk mengabdikan dirimu, tubuhmu dan jiwamu
kepada Kangjeng Adipati Yudapati, maka ibumu telah membawamu kemari. Kau mulai
dijajakan disini. Bahkan ibumu mulai menurunkan harga dirimu. Jika semula ibumu
menawar seorang Adipati, maka kini ibumu puas dengan membiarkan kau berkasih-
kasihan dengan Senapati-senapati kecil yang tidak berarti apa-apa itu."
"Paman. Paman telah menyinggung perasaanku dan tentu juga ibu."
Ebook by Dewi Kangzusi 522 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Namun Wicitra itu tertawa. Katanya "Kau dan ibumu tidak akan dapat ingkar lagi,
Rantamsari. Karena itu, daripada disini kau dijajakan oleh ibumu, sekarang,
marilah. Ikut aku. Kau akan menjadi isteriku. Aku akan dapat menuruti semua
keinginanmu." "Paman. Aku adalah kemanakan paman sendiri. Paman adalah adik ibuku.. Bagaimana
mungkin keinginan paman itu dapat terjadi ?"
"Kenapa tidak" Bukankah keinginanku ini tidak segila keinginan ibumu di
Kateguhan" Bukankah ibumu ingin kau menjadi isteri saudaramu sendiri" Adipati di
Kateguhan" Nah, sekarang kalian harus menanggung akibatnya. Kalian justru diusir
dari Kateguhan. Kalian tentu berbohong kepada Kangjeng Adipati Prangkusuma di
Paranganom, kenapa kalian telah diusir dari Kateguhan. Kalian tentu telah
mengarang sebuah ceritera yang lain."
"Cukup. Cukup paman. Sebaiknya paman segera meninggalkan rumah ini."
Wicitra tertawa. Katanya "Aku akan pergi bersamamu, Rantamsari. Kau lebih baik
menjadi isteri pamanmu daripada menjadi isteri saudaramu sendiri."
"Tidak. Itu bohong."
"Bertanyalah kepada ibumu, bagaimana ibumu membujuk Kangjeng Adipati Yudapati
untuk memperisterimu."
"Pergi. Pergi. Aku minta paman segera pergi."
"Marilah kita pergi Rantamsari. Kita dapat keluar lewat pintu butulan dan hilang dikebun belakang. Ibumu tidak akan mengetahuinya."
Ebook by Dewi Kangzusi 523 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tidak." Ketika Wicitra maju selangkah, Raden Ajeng Rantamsari
justru bergeser mundur beberapa langkah.
"Rantamsari" berkata Wicitra dengan nada tinggi "jangan
menunggu kesabaranku habis. Selama ini aku selalu menahan
diri. Tetapi kau tidak pernah terlepas dari perhatianku. Karena
itu, marilah. Kita pergi sekarang."
"Tidak. Tidak."
"Rantamsari. Kesabaran seseorang ada batasnya.
Kesabaranku sekarang sudah sampai ke batas itu. Karena itu,
marilah. Jangan membantah lagi."
"Aku dapat menjerit paman."
"Ibumu baru sibuk. Ibumu yang ada didapur tidak akan
mendengarnya. Atau" Tiba-tiba saja Wicitra telah menarik kerisnya. Katanya "Jika
kau meneoba berteriak, maka aku akan membunuhmu."
"Bunuh aku paman. Aku lebih baik mati daripada harus ikut
paman." "Jangan berkata.begitu."
"Aku bersungguh-sungguh."
"Kau bersungguh-sungguh?"
"Ya." Ebook by Dewi Kangzusi 524 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Jadi kau memilih mati?"
"Ya." "Baik, Rantamsari. Aku lebih senang melihat tubuhmu terkapar mati daripada
melihat tubuhmu dimiliki oleh orang lain. Karena itu, jika kau memang benar-
benar tidak mau ikut kepadaku, maka aku benar-benar akan membunuhmu."
"Itu lebih baik, paman. Bunuh aku."
Ujung keris Wicitra memang telah bergetar. Selangkah ia maju sambil berkata "Aku
juga bersungguh-sungguh, Rantamsari."
"Lakukan, paman. Lakukan"
Jantung Wicitra terasa bagaikan berdentangan. Wajahnya menjadi tegang. Matanya
menjadi merah. Sebenarnyalah bahwa Wicitra hanya sekedar ingin menakut-nakuti Rantamsari.
Tetapi ternyata Rantamsari sama sekali tidak berubah sikap. Ia tetap pada
sikapnya. Kecewa dan marah berbaur didalam dadanya. Dengan demikian, maka nalarnyapun
menjadi kabur pula. Bahkan akhimya Wicitrapun tidak mampu lagi menimbang
keputusan yang diambilnya.
"Rantamsari. Jika kau benar-benar menolak, maka aku akan sampai hati membunuhmu.
Sudah aku katakan, aku tidak mau melihat kau menjadi sisihan orang lain."
Wajah Rantamsari menjadi tegang. Ketika ia sempat melihat sekilas wajah Wicitra
yang tegang, matanya yang Ebook by Dewi Kangzusi
525 Kang Zusi http://kangzusi.com/
merah serta ujung keris yang bergetar, maka ketakutan yang
sangat telah menerpa jantungnya
Karena Itu, tanpa menghiraukan akibatnya, seandainya
ujung keris ilu menaneap didadanya, Raden Ajeng Rantamsari
sudah siap untuk menjerit.
Namun sebelum dilakukannya, terdengar pintu butulan
berderak menghentak. Sesosok tubuh meloncat masuk ke
dalam 1aman itu. Wicitra terkejut. ia bergesei surut. Sementara itu Raden
Ajeng Rantamsari segera berlari kebelakang orang yang baru
saja memasuki taman. "Tolong aku, kakang Sasangka."
"Kau" desis Wicitra "apa kau tidak mempunyai kerja selain
menunggui Rantamsari."
"Apa yang akan Raden lakukan"- bertanya Sasangka.
"Pergilah. Kau tidak usah turut campur. Ini persoalan
keluarga" "Tidak. Ini bukan sekedar persoalan keluarga" sahut Raden
Ajeng Rantamsari. "Seandainya persoalan ini benar-benar persoalan keluarga,
apakah aku akan membiarkan saja Raden membunuh. Aku
sudah mendengar apa yang Raden bicarakan dengan Raden
Ajeng Rantamsari. Karena itu, aku sudah mengetahui
persoalan apa yang sebenarnya terjadi."
"Sekarang pergilah. Jangan campuri persoalan kami."
Ebook by Dewi Kangzusi 526 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Apakah aku harus membiarkan saja jika terjadi pembunuhan disini.
"Jika Rantamsari menuruti keinginanku, aku tentu tidak akan membunuhnya. Aku
memang mengancamnya dan menakut-nakutinya Tetapi segala sesuatunya tergantung
kepada Rantamsari, apakah aku harus membunuhnya atau tidak."
"Usir orang ini dari taman kakang."
"Kau dengar Raden."
"Aku tidak peduli."
"Radea Kami adalah prajurit yang mendapat tugas untuk melindungi keluarga ini."
"Kau harus melindungi mereka dari kejahatan. Pencurian misalnya. Kau harus
menjaga agar ayam yang dipelihara kangmbok tidak dicuri orang. Kau juga harus
menjaga jemuran di belakang itu."
"Raden menghina aku. Aku bertugas untuk melindungi keluarga Raden Ayu
Prawirayuda dari gangguan apapun juga.
Termasuk yang Raden lakukan sekarang ini."
"Aku peringatkan kau sekali lagi."
"Aku yang memperingatkan Raden agar Raden segera meninggalkan taman ini."
Wicitra menjadi semakin marah. Dengan suara yang bergetar iapun berkata "Jika
kau tidak mau meninggalkan taman ini, maka kaulah yang akan mati lebih dahulu."
Ebook by Dewi Kangzusi 527 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak dapat meninggalkan tugasku. Meskipun aku tahu, siapakah Raden ini,
tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain."
Wicitra tidak menunggu lebih lama lagi. Kerisnyapun segera merunduk. Selangkah
demi selangkah ia mendekati Sasangka yang sudah bersiap menghadapi segala
kemungkinan. "Minggirlah Raden Ajeng" desis Sasangka Raden Ajeng Rantamsaripun segera
bergeser surut. Sementara itu Wicitrapun telah meloncat menyerang Sasangka. Tetapi Sasangka
telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka iapun dengan
tangkasnya mampu mengelakkan serangan itu.
Ketika Wicitra siap menyerangnya pula, Sasangka telah menarik kerisnya yang
selalu melekat ditubuhnya kapan saja selama ia berada di rumah Raden Ayu
Prawirayuda, apalagi setelah Rembana terbunuh.
Sejenak kemudian, pertempuran yang sengit lelah terjadi.
Keduanya adalah orang orang yang memiliki ilmu yang linggi, Wicitra yang, merasa
terganggu itu menjadi sangat marah.
Sedangkan Sasangka merasa bertanggungjawab atas keselamatan keluarga Raden Ayu
Prawirayuda, termasuk Raden Ajeng Rantamsari
Wicitra memang tidak menduga, bahwa ternyata Sasangka, sebagaimana juga Rembana,
memiliki ilmu yang mampu mengimbanginya. Serangan serangannya tidak segera dapat
mengenai sasarannya, Kerisnya yang terayun-ayun mengerikan tidak segera mampu
menyentuh tubuh Sasangka.
Ebook by Dewi Kangzusi 528 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sebaliknya Sasangkapun tidak mudah menggapai lawannya. Sasangka yang berloncatan
sambil memutar kerisnya, tidak segera mampu mengenai Wicitra yang bertempur
dengan tangkasnya Raden Ajeng Rantamsari berdiri di serambi dengan tubuh yang gemetar. Ia tidak
segera tahu, siapakah yang akan meme-nangkan pertempuran itu. Ia hanya melihat
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kedua orang itu saling mendesak. Sekali-sekali Sasangka harus bergeser surut.
Namun kemudian Wicitralah yang harus mengambil jarak.
Namun Wicitra mengumpat kasar ketika ujung keris Sasangka sempat menyentuh
lengannya. Tidak terlalu dalam.
Tetapi dibawah bajunya yang terkoyak, darah mulai mengembun di lukanya
"Gila kau anak muda" geram Wicitra "aku akan membunuhmu."
Sasangka ndak menjawab. Namun ketika Wicitra meningkatkan ilmunya, Sasangkapun
berusaha untuk mengimbanginya
Namun hentakkan ilmu itu sempat mendesak Sasangka.
Bahkan ujung keris Wicitra sempat tergores di bahu Sasangka Sasangka bergeser
surut sambil menggeram. Ketika tangannya meraba bahunya terasa eairan yang
hangat membasahi telapak tangannya
"Kau akan mati" geram Wicitra
Sasangka tidak menjawab. Tetapi ia meloncat menyerangnya dengan mengerahkan
segenap kemampuannya. Ebook by Dewi Kangzusi 529 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wicitra terdesak surut. Sasangka berusaha untuk menekan Wicitra sampai ke sudut
longkangan. Namun tiba-tiba saja pertempuran itu berhenti ketika mereka mendengar suara
Raden Ayu Prawirayuda "Apa yang terjadi disini, Rantamsari?"
Raden Ajeng Rantamsari berpaling. Dilihatnya ibunya berdiri di depan pintu
serambi. Raden Ajeng Rantamsaripun segera berlari serta memeluk ibunya sambil menangis.
"Paman, ibu." "Kenapa dengan pamanmu?"
"Paman memaksa aku pergi bersamanya, ibu."
"Kau lakukan itu Wicitra ?"
Wicitra berdiri termangu-mangu. Nafasnya terasa bekejaran di hidungnya. Dengan
nada datar ia berkata " Ya.
Aku ingin membawa Rantamsari keluar dari kubangan ini."
"Kubangan " Apa yang kau maksud ?"
"Rumah ini tidak pantas menjadi lempat imggal Rantamsari. Seorang gadis yang
seharusnya menjadi gadis terhormat. Kangmbok sudah menjajakan Rantamsari disini
dengan harga yang sangat murah."
"Kau tahu bahwa kata-katamu itu melukai hatiku, Wicitra
?" Ebook by Dewi Kangzusi 530 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Wicitra tertawa katanya "Kangmbok sudah melukai hatiku lebih dari seribu kali."
"Itu karena pokalmu sendiri."
"Tidak. Tetapi aku justru ingin menghentikan tingkah laku kangmbok yang tidak
terkendali itu. Seharusnya kangmbok menjaga nama-anak gadisnya dengan baik.
Tetapi kangmbok justru sebaliknya. Kangmbok sama sekali tidak menghargai nama
anak gadisnya." "Kau masih juga mengigau seperti itu, Wicitra. Kau kira apa yang kau katakan itu
dipercaya orang." "Percaya atau tidak percaya itu bukan urusanku, kangmbok. Aku hanya ingin
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi di Kateguhan dan disini."
"Cukup. Pergilah. Kau tahu, bahwa kau harus pergi."
Wajah Wicitra menjadi semakin tegang. Sementara itu Raden Ayu Prawfirayudapun
berkata " Usir orang itu pergi, ngger."
Sasangka memandang Raden Ayu Prawirayuda sejenak.
Namun kemudian dipandanginya Wicitra sambil berkata "Kau dengar, Raden. Kau
harus pergi dari tempat ini."
"Kau kira kau akan dapat mengusirku ?"
"Jika aku tidak dapat mengusir Raden, maka aku akan membunuh Raden."
"Kau akan membunuh aku sebagaimana kau membunuh kawanmu sendiri, Rembana, karena
kau juga menginginkan Rantamsari."
Ebook by Dewi Kangzusi 531 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Darah Sasangka tersirap. Dengan bibir yang gemetar Sasangka menjawab " Raden
jangan mengada-ada. Pergi atau aku akan membunuhmu."
Wicitra tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja ia menyergap Sasangka dengan
kasar. Tetapi Sasangka masih sempat mengelak. Bahkan kerisnya terjulur dengan cepat
pula, justru sempat menggapai pundak Wicitra.
Wicitra terkejut. Ia tidak menyangka bahwa Sasangka mampu bergerak secepat itu.
Dengan demikian, maka Wicitrapun meloncat mundur.
Namun Sasangka tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat Sasangkapun memburunya
dengan keris yang bergetar.
Ketika keris Sasangka terayun mendatar menebas kearah dada, Wicitra yang belum
siap benar, menangkis serangan itu.
Demikian derasnya ayunan keris Sasangka, maka dalam benturan senjata yang
terjadi, terasa tangan Wicitra menjadi pedih.
Sementara itu Sasangka telah menjulurkan kerisnya pula mengarah ke lambung.
Sebelum tangannya mapan, Wicitra harus menangkis serangan Sasangka. Sementara
itu Sasangka telah memutar kerisnya, seakan-akan membelit keris Wicitra.
Tangan Wicitra yang masih terasa pedih, tidak mampu menahan putaran keris
Sasangka, sehingga keris Wicitra itu lepas dari tangannya.
Ebook by Dewi Kangzusi 532 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Pada saat itu, terbuka kesempatan bagi Sasangka untuk meloncat menyerang pada
saat Wicitra tidak sedang memegang senjata.
Namun terdengar suara Raden Ayu Prawirayuda "Angger Sasangka."
Sasangka yang sudah hampir meloncat menikam dada Wicitra harus menahan diri.
"Wicitra" berkata Raden Ayu Prawirayuda " kau sadar, bahwa kau lidak dapal
berbuat banyak disini. Pergilah. Ambil kerismu atau aku biarkan Senapati muda
ini membunuhmu." Kemarahan Wicitra rasa-rasanya telah membakar ubun-ubunnya. Namun ia memang
tidak dapat berbuat apa-apa.
"Ambil kerismu dan pergi dari rumah ini" berkata Raden Ayu Prawirayuda pula.
Wicitra itupun kemudian telah memungut kerisnya. Namun kemudian ia melangkah
surut sambil berkata "Kangmbok jangan mengira bahwa aku telah dikalahkannya.
Pada suatu saat aku akan kembali untuk membunuhnya, membunuh Senapati yang
seorang lagi serta membunuh Madyasta. Tidak akan ada lagi orang yang dapat
menahanku untuk mengambil Rantamsari."
Raden Ayu Prawirayuda tidak menjawab. Dipandan-ginya Wicitra yang bergeser surut
kearah pintu butulan. "Kau jangan berbangga dengan kemenangan kecil ini "
berkata Wicitra kepada Sasangka " kemenangan yang sebenarnva, akan diientukan
pada bagian terakhir pertempuran diantara kita berdua."
Ebook by Dewi Kangzusi 533 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku akan menunggu, Raden" geram Sasangka. Jika saja Raden Ayu Prawirayuda tidak
meneegahnya, maka ia akan benar-benar berusaha membunuh Wicitra.
Sejenak kemudian, maka Wicitrapun segera meninggalkan taman kecil itu.
"Terima kasih, ngger" berkata Raden Ayu Prawirayuda kemudian "Untunglah bahwa
angger Sasangka melihat peristiwa ini dan sempat menolong Rantamsari. Aku berada
di dapur. Semula aku benar-benar tidak mendengar sesuatu terjadi disini. Baru
kemudian, lamat-lamat aku mendengar suara teriakan Rantamsari"
"Itu sudah menjadi kewajibanku, Raden Ayu. Aku berada disini untuk menjaga
keselamatan keluarga ini."
"Kenapa pendengaranku sudah menjadi semakin buruk.
Aku berada di dapur.Seharusnya aku mendengarnya sejak semula."
"Jaraknya memang agak jauh, Raden Ayu. Ada beberapa sekat di ruang dalam,
sehingga orang yang berada di dapur, tidak dapat mendengar keributan yang
terjadi disini." "Bagaimanapun juga Wicitra adalah adikku, sehingga aku tidak dapat membiarkannya
terbunuh. Tetapi jika sekali lagi ia datang mengganggu Rantamsari, apaboleh
buat." . . "Raden Wicitra tidak akan datang lagi, Raden Ayu."
"Tetapi apakah angger Madyasta belum datang ?"
"Aku kira belum, Raden Ayu."
"Angger Wismaya ?"
Ebook by Dewi Kangzusi 534 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Tadi Wismaya berada di gandok. Keributan disini memang
tidak terdengar dari gandok seperti juga tidak terdengar dari
dapur." "Aku minta agar angger Wismaya dan angger Madyasta
diberitahu tentang peristiwa ini. Biarlah mereka menjadi lebih
berhati-hati." "Tetapi dapatkah kita menghubungkan sikap Raden Wicitra
ini dengan kematiaivRembana, Raden Ayu ?"
Raden Ayu Prawirayuda termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian Raden Ayu itupun berkata " Aku belum dapat
mengatakan apa-apa, ngger. Akupun tidak mau mendengar
tuduhannya terhadap angger Sasangka, bahwa justru angger
Sasangkalah yang dikatakan membunuh angger Rembana.
Tetapi memang mungkin sekali ia berusaha untuk menghapus
jejak dan melemparkan tuduhan kepada oranglain."
Sasangka terdiam. Ia memang mendengar Wicitra justru
menuduhnya telah membunuh Rembana.
Dalam pada itu, Raden Ayupun kemudian berkata kepada
Rantamsari " Masuklah Rantamsari."
Rantamsari menarik nafas panjang. Dipandanginya
Sasangka yang masih berdiri tegak dihadapaimya.
Sasangka sudah cukup lama berada di rumahnya. Tetapi
Rantamsari tidak pernah memperhatikannya dengan sungguh
sungguh. Baru saat itu ia seakan-akan melihat Sasangka
seutuhnya. Ebook by Dewi Kangzusi 535 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sejak para Senapati bersama Raden Madyasta berada di rumahnya, perhatiannya
langsung tertuju kepada Rembana, sehingga ia tidak memperhatikan para Senapati
yang lain. Hampir diluar sadarnya, Raden Ajeng Rantamsari itupun berdesis " Terima kasih,
kakang. Jika kau tidak datang menolongku, aku tidak, tahu apa yang akan terjadi.
Mungkin aku telah diseret oleh paman Wicitra ketempat yang tidak diketahui.
Tetapi mungkin aku benar-benar telah dibunuhnya."
"Aku hanya menjalankan kewajiban Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsari mengangguk kecil Namun kemudian iapun berpaling kepada
ibunya sambil berkata "Ibu, aku benahi dahulu kain yang sedang aku batik itu."
"Baiklah" berkata ibunya "seterusnya kau batik kainmu di longkangan sebelah
dapur. Tempatnya lebih rapat. Ibupun akan mendengar jika pamanmu datang lagi."
"Ya, ibu." Demikian Raden Ayu Prawirayuda masuk, Raden Ajeng Rantamsari segera memadamkan
bara di anglo kecil yang dipergunakannya untuk memanasi malam yang
dipergunakannya untuk membatik.
"Raden Ajeng" berkata Sasangka "biarlah aku berjaga-jaga di luar longkangan."
"Jangan pergi, kakang. Tunggulah sampai aku selesai. Aku menjadi ketakutan
sendiri meskipun di longkangan dan disiang hari pula. Paman Wicitra akan dapat
benar-benar datang lagi. Jika paman datang lagi, mungkin paman akan benar-benar membunuhku."
Ebook by Dewi Kangzusi 536 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Sasangka menarik nafas panjang. Ia tidak dapat meninggalkan Raden Ajeng
Rantamsari yang ketakutan.
Adalah diluar sadarnya ketika Sasangka kemudian memperhatikan gadis yang sedang
sibuk mengemasi kain serta peralatan batiknya. Adalah diluar sadarnya pula bahwa
Sasangka berkata kepada dirinya sendiri dalam hatinya " Gadis itu memang
cantik." Sasangka terkejut ketika Raden Ajeng Rantamsari berkata
"Terima kasih, kakang. Aku akan membatik di longkangan dalam, di sebelah dapur."
" O, silahkan. Silahkan Raden Ajeng."
Raden Ajeng Rantamsaripun kemudian melangkah masuk ke ruang dalam sambil
menjinjing gawangan dan kain yang sedang dibatiknya serta peralatannya yang
lain. Sasangka menarik nafas dalam-dalam.
Taman kecil itupun menjadi sepi kembali. Beberapa gerumbul perdu yang tertata
rapi, berantakan terinjak-injak kaki mereka yang bertengkar.
"Biarlah besok aku benahi setelah Raden Madyasta melihat keadaan ini " berkata
Sasangka didalam hatinya.
Sasangkapun kemudian meninggalkan taman kecil di longkangan itu. Ia tidak
kembali ke kebun belakang untuk bebaring di lineak bambu yang dibuat oleh
Wismaya. Tetapi Sasangka itupun pergi ke serambi gandok untuk menemui Wismaya.
Bab 23 - Kekecewaan Adipati
Ebook by Dewi Kangzusi 537 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kau tidak mendengar keributan yang terjadi di
longkangan tadi ?" "Apa yang terjadi ?"
Sasangkapun kemudian telah menceriterakan apa yang
terjadi di taman kecil itu.
"Kau terluka Sasangka " berkata Wismaya kemudian.
"Tidak seberapa."-
"Tetapi luka itu harus diobati. Biarlah aku bantu kau
mengobatinya." Wismayapun kemudian mengobati luka Sasangka.
Meskipun luka itu tidak parah, tetapi jika tidak mendapat
pengobatan yang baik, luka itu akan dapat membengkak dan
menjadi berbahaya. "Beristirahatlah. Biarlah aku mengawasi keadaan " berkata
Wismaya. Sasangka mengangguk kecil. Iapun kemudian masuk ke
dalam biliknya dan kemudian membaringkan dirinya.
Udara di bilik itu tidak sesejuk di halaman belakang.
Silirnya angin tidak terasa. Bahkan udara di bilik itu terasa
panas. Sehingga karena itu, Sasangka tidak menjadi me-
ngantuk seperti saat ia berbaring di lineak bambu di halaman
belakang. Namun dengan demikian, angan-angan Sasangka sempat
berterbangan kian kemari dan hinggap di tempat-tempat yang
Ebook by Dewi Kangzusi 538 Kang Zusi http://kangzusi.com/
memancarkan keeeriaan sebagaimana sebuah mimpi yang
indah. Wismayalah yang kemudian pergi ke halaman belakang.
Seperti Sasangka, Wismayapun berbaring di amben bambu
yang telah dibuatnya. Tetapi Wismaya menjaga agar ia tidak
tertidur oleh sejuknya bayangan dedaunan yang rimbun serta
semilirnya angin yang menerpa tubuhnya.
"Kemana saja perginya Raden Madyasta ini?" bertanya
Wismaya kepada dirinya sendiri "Apakah Raden Madyasta
akan berada di dalem kadipaten sehari penuh ?"
Namun agaknya Raden Ayu Prawirayuda tidak sabar
menunggu Raden Madyasta kembali. Raden Ayu Prawirayuda
telah mereneanakan untuk pergi menghadap Kangjeng Adipati
Meraba Matahari Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Prangkusuma untuk melaporkan tentang sikap dan tingkah
laku adik laki-lakinya. "Kenapa kita harus memberitahukan kepada paman
Adipati?" bertanya Raden Ajeng Rantamsari "aku akan menjadi
malu sekali, ibu. Bukankah persoalan ini adalah persoalan kita
sehingga sama sekali tidak menyangkut paman Adipati
Prangkusuma ?" "Rantamsari. Apa yang dieelotehkan pamanmu agaknya
didengar pula oleh angger Sasangka. Sehingga lambat laun
pamanmu Adipati juga akan mendengarnya. Mungkin lewat
angger Madyasta yang akan mendapat laporan dari Sasangka.
Karena itu, maka biarlah pamanmu mendengar langsung dari
mulut kita sendiri. Selebihnya, kita sekarang berada di
Paranganom. Apapun yang terjadi, sebaiknya kita
melaporkannya kepada pamanmu Adipati, sehingga jika terjadi
sesuatu, kita tidak akan dianggap bersalah karena kita seakan-
akan telah menyembunyikan sesuatu."
Ebook by Dewi Kangzusi 539 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Rantamsari tidak menjawab. Ia menurut saja apa yang dikatakan oleh Ibunya.
"Kita akan mengajak angger Wismaya untuk me-ngantar kita pergi ke kadipaten"
berkata Raden Ayu Prawirayuda.
"Kenapa tidak kakang Sasangka saja ibu. Bukankah kakang Sasangka yang langsung
terlibat dalam persoalan ini "
Seandainya paman Adipati memerlukan beberapa keterangan, maka kakang Sasangka
akan dapat membantu kita."
Raden Ayu Prawirayuda merenung sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil
berkata "Baiklah, Rantamsari. Kita akan minta Sasangka mengantar kita ke
kadipaten." "Kapan kita pergi menghadap paman Adipati ibu ?"
"Nanti, disore hari, setelah matahari turun, sehingga kita tidak kepanasan di
jalan." "Aku akan memberitahu kakang Sasangka."
"Biarlah aku saja yang berbicara dengan Sasangka, Rantamsari. Ia akan merasa
lebih dihargai jika bukan anak-anak yang memberikan perintah kepadanya."
"Bukankah aku tidak akan memberikan perintah ?"
"Sudahlah. Biarlah aku saja yang mengatakannya kepadanya."
Rantamsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berdesis "Baik, ibu."
Ebook by Dewi Kangzusi 540 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, ketika terjadi keributan di rumah Raden Ayu Prawirayuda, Raden
Madyasta memang sedang meninggalkan rumah itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa Raden
Madyasta tidak pergi ke kadipaten. Tetapi Raden Madyasta justru pergi ke Panjer.
Karena itu, Raden Madyasta berangkat ketika matahari belum memanjat terlalu
tinggi. Kudanya dilarikannya seperti dikejar hantu. Raden Madyasta harus sudah
berada di rumah bibinya lagi sebelum senja.
Ternyata hari itu bukan untuk pertama kalinya Raden Madyasta pergi ke kademangan
Panjer. Agaknya Raden Madyasta tidak dapat melupakan perjumpaannya dengan gadis
Panjer, anak Ki Demang Rara Menur.
Ketika Raden Madyasta sampai di kademangan Panjer, rumah Ki Demang nampak sepi.
Tetapi Raden Madyasta mendengar suara orang menumbuk padi.
Sebagaimana kebiasaannya, meskipun Rara Menur anak seorang Demang, tetapi ia
sering berada didekat lumbung menumbuk padi. Meskipun ada pembantu yang dapat
melakukannya, tetapi Rara Menur sering melakukannya sendiri.
Karena itu, setelah mengikat kudanya di sebelah pendapa, maka Raden Madyasta
itupun langsung pergi lewat halaman samping, menuju ke lumbung.
Sebenarnyalah ia melihat Rara Menur sedang menumbuk pagi. Karena itu, maka Raden
Madyasta sengaja mendekatinya dengan diam-diam.
Ebook by Dewi Kangzusi 541 Kang Zusi http://kangzusi.com/
Demikian Raden Madyasta melingkari sudut lumbung dan berdiri di belakang Rara
Menur, Raden Madyastapun berkata
"Apakah aku dapat membantu, Menur."
Rara Menur terkejut sehingga bergeser setapak. Ketika ia berpaling, maka sebelah
tangannya menekan dadanya.
Nafasnya tiba-tiba mengalir semakin cepat.
"Raden mengejutkan aku. Jantungku hampir saja copot."
Raden Madyasta tersenyum. Katanya - Begitu mudahnya jantungmu copot" Apakah
tangkainya terbuat dari anyaman daun pisang."
"Ah. Raden. Silahkan duduk di pringgitan Raden."
"Tidak ada orang di pendapa. Apakahg Ki Demang pergi"
"Ya Raden. Tetapi tentu sudah hampir pulang. Ayah pergi ke bendungan, melihat
orang-orang yang sedang gugur gunung. Bendungan itu bocor. Sebelum kebocoran itu
merambat semakin besar, maka orang-orang padukuhan induk ini bersama-sama dengan
orang-orang padukuhan terdekat lain-nya, pergi beramai-ramai memperbaikinya."
Raden Madyasta mengangguk-angguk. Sementara itu Rara Menurpun berkata pula
"Silahkan Raden duduk di pringgitan.
Ayah tidak akan lama lagi."
"Aku lebih senang duduk disini sambil menunggu Ki Demang, Menur."
"Tetapi Raden mengganggu aku."
"Jika aku ingin membantu, kau selalu berkeberatan."
"Tentu aku berkeberatan."
Ebook by Dewi Kangzusi 542 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Kalau begitu, teruskan saja. Aku berjanji tidak akan
mengganggumu." "Raden aneh - desis Rara Menur. Bahkan kemudian
diletakkannya penumbuk padinya. Sambil duduk disebuah
amben panjang yang berada di emperan lumbung, Rara
menur berkata "Seharusnya Raden duduk di pringgitan."
Raden Madyasta termangu-mangu sejenak, Namun
kemudian iapun berkata sambil melangkah dan bahkan duduk
di amben itu pula "Daripada duduk di pringgitan sendiri, aku
lebih senang duduk disini bersamamu Menur."
"Ah Raden." "Udara disini terasa lebih sejuk. Bayangan dedaunan yang
rimbun, angin yang mengalir menggoyang ranting-ranting
kecil." Rara Menur menarik nafas panjang.
Namun tiba-tiba Rara Menur itu bertanya "Kenapa Raden
sering datang kemari?"
Raden Madyasta mengerutkan dahinya. Namun kemudian
iapun tersenyum sambil menjawab " Bukankah aku pernah
mengatakan kepadamu, Menur. Kenapa aku sering datang
kemari. Seandainya kau tidak tinggal disini, tentu aku tidak
akan pernah datang kemari lagi setelah kami berhasil
menghancurkan gerombolan brandal itu."
"Aku bersungguh-sungguh Raden."
Raden Madyasta menarik nafas panjang. Katanya "Apakah
kau masih ragu-ragu, Menur."
Ebook by Dewi Kangzusi 543 Kang Zusi http://kangzusi.com/
"Aku tidak ragu-ragu terhadap pernyataan Raden. Aku
tidak ragu-ragu atas cinta Raden kepadaku. Akupun tidak
ragu-ragu mencintai Raden. Tetapi bukankah kita tidak hanya
hidup berdua diluasnya dataran bumi ini."
"Menur. Apa maksudmu?"
"Raden. Disamping kepercayaanku terhadap kesungguhan
cinta Raden, namun aku juga selalu bertanya, siapakah aku
ini. Siapa pula Raden Madyasta."
"Kau akan berbicara tentang derajad, Menur?"
"Kita tidak dapat menanggalkan derajat kita masing-
masing Raden. Aku tidak lebih adalah anak seorang Demang.
Sedangkan Raden adalah putera seorang Adipati."
"Apakah ada bedanya?".
"Tataran dalam tatanan masyarakat tidak dapat kita
ingkari, Raden. Hampir setiap orang yang ingin mengambil
menantu selalu berbicara tentang bobot, bibit dan bebet.
Raden tahu, siapakah aku jika dinilai dari bobot, bibit dan
bebet itu." "Kau nampaknya benar-benar bersungguh-sungguh
Menur." "Bukankah aku sudah mengatakan, bahwa aku
bersungguh-sungguh?"
Raden Madyasta menarik nafas dalam-dalam. Katanya
Pendekar Seribu Diri 7 Satria Gendeng 01 Tabib Sakti Pulau Dedemit Tusuk Kondai Pusaka 1