Pencarian

Tanah Warisan 6

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja Bagian 6


Satu-satunya kawannya adalah pedang pendek yang disembunyikannya di dalam
kandang. Namun 148 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
pedang itu kemudian harus disimpannya kembali apabila ia berada di kebun atau di
halaman. Yang selalu ada di tangannya adalah sebilah parang pemotong kayu, atau
cangkul atau bahkan sapu lidi.
Namun sampai juga saatnya, Bramanti tidak dapat bertahan lagi. Ia tidak dapat
mencegah lagi keinginannya untuk keluar barang sekejap dari halaman rumahnya. Karena itu, maka
ia minta ijin kepada ibunya untuk pergi ke sungai, mencuci pakaiannya yang
kotor. "Kenapa tidak kau cuci di rumah saja Bramanti" Bukankah sumur kita tidak
kering?" "Aku ingin melihat-lihat ibu. Sudah agak lama aku tidak keluar rumah. Aku ingin
mandi sambil berjemur seperti ketika aku masih kanak-kanak."
"Tetapi jangan terlampau lama Bramanti. Dan sebaiknya kau tidak usah pergi ke
bendungan. Di sana selalu banyak orang yang akan dapat membuat persoalan."
"Aku tidak pernah pergi ke bendungan. Lebih baik aku mencuci dan mandi disebelah
pedesaan ini." "Baik. Dan hati-hatilah. Jangan membuat persoalan apapun dengan siapapun. Kau
masih belum dapat diterima dengan baik oleh orang Kademangan ini."
"Ya bu." Namun peringatan ibu nya itu memang membuat Bramanti menjadi ragu-ragu. Apakah
tidak lebih baik ia tinggal di rumah, berbaring di kandang atau menganyam
keranjang?" "Sebentar saja," desisnya.
Bramanti pun kemudian meninggalkan halaman rumahnya membawa sehelai kain panjang
selain yang dipakainya untuk dicuci. Perlahan-lahan ia melangkah, menyusur jalan
sempit yang akan sampai ke sudut desa. Kemudian dilangkahinya parit kecil yang
membujur sepanjang jalan. Lalu langkahnya terayun di atas pematang yang akan
sampai ke tanggul sungai.
Sekali-kali Bramanti menarik nafas. Sinar matahari pagi yang menjamah
punggungnya yang telanjang terasa semakin hangat. Burung bangau yang berdiri
dengan sebelah kakinya di sepanjang pematang, menghambur berterbangan. Namun
kemudian satu persatu mereka hinggap lagi di atas pematang
menunggu mangsanya yang meloncat dari rerumputan.
Bramanti menebarkan pandangan matanya, menyapu batang-batang padi yang sedang
menghijau. Sekali ia menarik nafas dalam-dalam sambil berdesah. "Hasil panen ini, setiap
kali selalu diambil oleh orang-orang Panembahan Sekar Jagat. Apabila beberapa
orang petani berhasil menabung dan membeli barang-barang berharga, maka mereka
akan menjadi sasaran yang menyenangkan."
Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya, "Apakah hal ini akan berlangsung terus,
dan anak-anak muda di Kademangan ini masih tetap tidur" Aku harap Ki Tambi akan
berhasil." Bramanti tertegun ketika ia mendengar derap seekor kuda. Ketika ia berpaling
dilihatnya Panjang berada di atas punggung kudanya berlari menyusur jalan yang
baru saja ditinggalkannya, melintas parit.
Bramanti melihat Panjang melambaikan tangannya, dan Bramanti pun mengangkat
tangannya pula. Sejenak ia menjadi ragu-ragu. Apakah ada sesuatu yang penting telah terjadi"
Panjang tidak terlampau biasa naik kuda di Kademangan sendiri. Karena itu, maka
tiba-tiba ia ingin bertemu dengan anak muda 149
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
itu. Tetapi Panjang tidak berhenti. Ia berjalan terus meskipun ia masih juga
melambai-lambaikan tangannya.
Ketika Panjang menjadi semakin jauh, Bramanti pun meneruskan langkahnya,
menyusur pematang pergi kesungai untuk mencuci pakaiannya.
Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan
langkahnya, menyusur pematang pergi ke sungai untuk mencuci pakaiannya.
Ketika ia menuruni tebing yang tidak terlampau tinggi, kemudian menginjakkan
kakinya di atas pasir yang hangat, terasa seolah-olah ia menjadi kanak-kanak
kembali. Di gusur-gusurnya onggokan pasir tepian dengan kakinya, kemudian dengan
sebuah terikan nafas yang dalam ia menjatuhkan dirinya duduk menjelujur di atas
pasir itu. Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan berjalan ke
air yang jernih yang mengalir di antara batu-batuan yang berserakan.
Bramanti pun kemudian membuka kainnya, sehingga ia tinggal memakai celana
dalamnya yang panjang sampai ke lutut. Kemudian kain yang baru saja dipakainya
itu pun dicelupkannya ke dalam air, dan kemudian dicucinya dengan lerak. Sedang
kainnya yang lain diletakkannya di atas pasir yang kering.
Sejenak Bramanti berendam di dalam air beserta sisa pakaiannya. Sambil mencuci
kain panjangnya ia mandi. Alangkah segarnya. Seolah-olah semua perasaan lelah
dan letih hilang hanyut bersama arus sungai yang bening itu.
Namun tiba-tiba saja Bramanti itu terperanjat. Ketika ia menengadahkan wajahnya,
dilihatnya dua orang berdiri di atas tanggul sambil bertolak pinggang. Salah
seorang dari mereka adalah Temunggul.
Sejenak Bramanti menahan nafasnya. Ia tidak menyangka bahwa Temunggul akan
mendapatkannya. Sekilas terbayang apa yang telah terjadi ditepi sungai ini untuk beberapa hari
yang lampau. Ketika tiba-tiba saja ia bertemu dengan Ratri, dan kemudian dengan
Temunggul. Selain Temunggul dan Ratri, ia adalah orang yang ketiga yang mengerti apa yang
sebenarnya telah terjadi. Ketika ia mendengar orang-orang mempercakapkan Ratri
dan Temunggul yang seakan-akan sedang bergurau dan bekerjaan di atas tanggul
sungai sehingga Ratri tergelincir, ia dapat menebak dengan tepat, apakah yang
sebenarnya telah terjadi.
Dan kini tiba-tiba Temunggul itu telah berada di atas tanggul pula.
Tetapi Bramanti kemudian, pura-pura tidak memperhatikannya. Seakan-akan ia tidak
mempunyai persoalan sama sekali dengan Temunggul dan kawannya yang seorang itu. Dengan
demikian, maka Bramanti pun melanjutkan kerjanya membersihkan dirinya sambil mencuci kain
panjangnya. Temunggul melihat sikap Bramanti dengan wajah yang tegang. Dan tiba-tiba sja ia
berkata lantang, "Apa kerjamu disini Bramanti?"
Bramanti berpaling. Jawabnya kemudian, "Aku sedang mandi dan mencuci pakaian
seperti apa yang sedang kau lihat Temunggul."
Temunggul memandangnya dengan penuh kebencian. Kemudian bibirnya bergerak
membuat sebuah 150 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
senyuman yang kecut. "Aku tahu apa yang sebenarnya kau lakukan," desisnya.
Bramanti mengerutkan keningnya. Seperti di luar sadarnya ia bertanya, "Apakah
yang aku lakukan selain mencuci pakaian?"
"Jangan berpura-pura," sahut Temunggul.
"Aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan."
Sekali lagi Temunggul tersenyum. Senyum yang kecut. "Jadi begitulah yang sering
kau lakukan?" Dalam kebingungan Bramanti mengangguk, "Ya. Beginilah."
"Setiap kali tanpa aku ketahui?"
"Apakah untuk melakukannya aku harus memberitahukannya kepadamu?"
"Diam," tiba-tiba Temunggul membentak. "Kau berpura-pura tidak mengerti
maksudku. Tetapi jangan mencoba ingkar. Kau akan terjerat oleh janjimu sendiri.
Jangan menyesal." Bramanti menjadi bingung. "Apalagi salahku sekarang?" pertanyaan itu telah
melonjak di dalam dadanya. "Seakan-akan hampir setiap langkahku dianggap
bersalah." Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar tidak mengerti apa
yang dimaksud oleh Temunggul itu.
Karena Bramanti tidak segera menjawab, maka Temunggul mendesaknya, "He, kenapa
kau diam saja. Ayo katakan, bahwa kau telah melanggar janjimu. Dan pelanggaran itu akan
berakibat jauh bagimu."
Bramanti yang benar-benar tidak mengerti maksud Temunggul masih bertanya-tanya
di dalam hati, dan bahkan akhirnya dilontarkannya pertanyaan itu, "Apakah
salahku Temunggul" Apa salahku?"
"Kau masih berpura-pura saja Bramanti. Jangan menunggu aku kehilangan
kesabaran," Temunggul
menggeram. "Cepat naik kemari."
"Aku belum selesai."
"Cepat naik kemari," Temunggul membentak semakin keras.
"Maaf. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku ini dahulu. Aku masih harus menjemur
cucianku dan celanaku."
"Jangan membantah lagi. Naik."
Terasa dada Bramanti bergetar. Sudah terlampau lama ia mengorbankan harga
dirinya. Sebagai seorang laki-laki, ia tidak akan dapat menerima perintah itu
begitu saja. Tetapi setiap kali ia selalu dibayangi oleh wajah ibunya dan pesan-
pesan gurunya. Sejenak Bramanti dicengkam oleh kebingungan. Namun akhirnya ia menarik nafas
dalam-dalam. Perlahan-lahan ia berdiri dan dengan pakaian yang basah ia berjalan perlahan-
lahan di atas pasir 151 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
tepian. "Ayo cepat, naik."
Bramanti tidak membantah lagi. Meskipun ia tidak dapat melenyapkan singgungan-
singgungan di dalam dadanya, tetapi ia melakukan perintah itu.
Dengan hati-hati ia naik. Dirambatinya tebing yang curam, meskipun tidak begitu
tinggi. Kemudian dengan tubuh dan pakaiannya yang basah ia berdiri dihadapan
Temunggul yang masih bertolak
pinggang. "Bramanti," geram Temunggul. "Apakah kau masih ingin berpura-pura terus."
"Aku tidak berpura-pura Temunggul. Tetapi aku benar-benar tidak mengerti, apakah
yang sebenarnya kau maksudkan."
Temunggul menjadi semakin marah. Sekali lagi ia membentak, "Jangan bermain gila
terhadapku Bramanti. Aku dapat berlaku sopan, tetapi aku juga dapat berlaku kasar."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Dahinya berkerut ketika ia melihat dua orang
lagi kawan Temunggul berjalan mendekatinya.
"Apakah anak itu bertingkah?" bertanya salah seorang daripadanya.
"Ia masih berpura-pura," jawab Temunggul. "Ia sama sekali tidak merasa
bersalah," kemudian kepada Bramanti ia bertanya, "Betulkah begitu" Kau tidak
merasa bersalah?" "Bukan aku tidak merasa bersalah, Temunggul. Tetapi aku belum mengetahui, apakah
kesalahanku. Kalau kau menunjukkannya, aku kira aku akan segera mengerti."
Sekali lagi Temunggul menggeram. Namun ia berkata juga, "Kau berpura-pura mandi
dan mencuci pakaianmu Bramanti, tetapi agaknya kau sedang menunggu gadis-gadis lewat.
Agaknya sudah menjadi kebiasaanmu untuk mengganggu gadis-gadis."
Tuduhan itu serasa bara api yang menyengat telinga Bramanti. Kini ia menyadari
keadaan yang dihadapinya. Kini ia mengerti, apakah sebenarnya yang dimaksud Temunggul.
Agaknya meskipun tidak disebutkan, Temunggul sangat berkeberatan atas
pertemuannya dengan Ratri di tempat ini beberapa waktu yang berlalu.
"Nah, apakah katamu sekarang?" desis Temunggul.
Bramanti tidak segera menjawab. Dipandanginya wajah Temunggul yang telah menjadi
merah, wajah kawan-kawannya yang tegang, dan ketika diedarkannya pandangan
matanya ke sekitarnya, dilihatnya satu dua orang sedang bekerja di sawah.
"Tidak ada kesempatan lagi bagimu Bramanti," geram Temunggul. "Kau harus
menerima akibat. Selama ini kita berusaha melindungi gadis-gadis kita dari tangan-tangan orang
Panembahan Sekar Jagat, ternyata kau sendiri akan melakukannya."
"Temunggul," jawab Bramanti, "Apakah kau pernah melihat aku melakukannya seperti
apa yang kau 152 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
katakan?" Pertanyaan itu agak membingungkan Temunggul. Namun kemudian ia menjawab kasar,
"Jangan banyak bicara. Kau harus ikut kami. Jangan mencoba melakukan kebodohan."
"Pakaianku masih basah," Bramanti mencoba mencari dalih.
"Aku tidak peduli," jawab Temunggul. "Kau harus ikut aku."
"Kemana?" "Jangan bertanya."
Bramanti mengerutkan keningnya. Apakah ia harus menuruti kemauan Temunggul,
mengikutinya kemana ia pergi" Meskipun tidak pasti, namun Bramanti dapat membayangkan apa
yang akan terjadi atas dirinya.
"Cepat," Temunggul hampir berteriak.
"Tetapi kainku?"
"Cepat ambil. Kemudian ikuti aku."
Bramanti yang masih mencoba untuk tidak membuat keonaran tidak berusaha
membantah lagi. Ia pun kemudian turun ke tepian mengambil kainnya yang basah dan
melingkarkan kainnya yang kering di atas celananya yang basah. Kemudian ia
merangkak kembali naik ke tanggul.
"Ayo, ikuti kami."
Bramanti tidak menjawab. Ia mengikuti saja langkah Temunggul, sedang kawan-
kawannya berjalan dibelakangnya.
Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Apalagi ketika Bramanti mengetahui
kemana mereka berjalan. Namun demikian ia masih bertanya, "Kemana kita,
Temunggul?" "Kau tahu, jalan ini akan sampai kemana" Kita menyusur parit itu, kemudian
berbelok ke kiri di atas jalan pematang."
"Ke gerojokan di bawah bendungan?"
"Kau menebak tepat."
Dada Bramanti berdesir tajam. Ia menyadari apa yang akan terjadi. Gerojokan di
bawah bendungan itu jarang sekali didatangi orang. Karena itu, maka segera
terbayang, Temunggul akan melepaskan
kemarahannya itu tanpa diganggu orang.
"Gila," desis Bramanti. "Kalau aku menjadi gila pula, maka aku akan mengalami
kesulitan." Tetapi Bramanti tidak mendapat kesempatan untuk menolak. Ia harus mengikuti
langkah kaki Temunggul. Pergi ke bawah bendungan ke gerojogan.
153 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Sejenak kemudian mereka pun telah meniti pematang yang akan sampai ke tanggul
sungai di sebelah gerojogan itu. Disisi tebing sungai itu agak tinggi dan
terjal, sehingga jarang sekali orang yang memerlukan turun, apabila tidak
mempunyai kepentingan apapun.
Semakin dekat dengan gerojogan, dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar.
Namun ia masih sempat mengendapkan perasaannya. Dan bahkan ia selalu berkata di
dalam hatinya, "Aku harus
mengendalikan diri sebaik-baiknya."
Tetapi ketika mereka telah sampai di atas tanggul, Bramanti menjadi ragu-ragu
atas dirinya sendiri. Kalau ia tidak berhasil mengendalikan perasaannya, maka akibatnya akan
menghapuskan semua usaha yang pernah dirintisnya. Karena itu, maka ketika ia
telah berdiri di atas tanggul, ia berhenti.


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Cepat kau turun Bramanti. Aku pun akan segera turun."
Bramanti masih tetap berdiri diam.
"Cepat," teriak Temunggul.
"Apa yang akan kalian lakukan atasku?" bertanya Bramanti.
"Itu bukan persoalanmu. Terserah kepada kami. Kau sudah melanggar janjimu. Aku
hanya akan sekadar memberi peringatan kepadamu. Berterima kasihlah kau, bahwa
aku masih berbaik hati, memberimu sekadar peringatan. Ayo cepat."
Bramanti masih tetap berdiri tegak.
"Jangan membuat aku semakin marah Bramanti. Cepat turun."
Tiba-tiba Bramanti menggelengkan kepalanya. Gumamnya seakan-akan kepada diri
sendiri. "Aku tidak ingin turun."
Bramanti tidak menyahut. Tetapi wajahnya menjadi tegang. Ketegangan yang tumbuh
dari dalam dadanya. "Satu, dua, tiga....." setiap bilangan telah membuat dada Bramanti semakin
tegang. Dan bilangan itu pun semakin naik juga, "empat,..... lima."
Bramanti masih tetap berdiri saja ditempatnya. Sehingga karena itu, maka
Temunggul pun telah kehilangan kesabarannya. Tebing itu memang cukup dalam,
tetapi Temunggul telah memperhitungkannya, apabila Bramanti terjerumus, ia tidak akan mati karenanya.
Karena itu, maka dikejapkannya matanya kepada salah seorang kawannya.
Kawannya mengerti maksud Temunggul. Dengan serta merta ia meloncat sambil
menjulurkan tangannya ke arah Bramanti yang berdiri tepat di atas tanggul.
Bramanti memang sudah menduga, bahwa Temunggul akan melakukannya, meskipun ia
meminjam tangan orang lain. Tetapi Bramanti sama sekali tidak ingin jatuh terguling dan
terbanting di tepian meskipun di alasi dengan pasir. Tubuhnya pasti akan terluka
oleh goresan batu-batu padas pada lereng yang terjal.
Karena itu, hampir di luar sadarnya Bramanti berusaha untuk menghindari hal itu.
154 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Kawan Temunggul yang berusaha mendorong Bramanti, sama sekali tidak melihat
Bramanti bergerak. Karena itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia maju beberapa langkah lagi dan dengan
sekuat tenaganya ia berusaha melempar Bramanti.
Tetapi orang itu sama sekali tidak mengetahui, bahwa Bramanti telah membuat
suatu perhitungan yang tepat. Kalau ia jatuh terdorong oleh kekuatan orang lain,
dan kemudian berguling ditebing itu, ia pasti akan terluka. Karena itu, maka
ketika tangan kawan Temunggul itu menyentuh tubuhnya, Bramanti justru
melemparkan dirinya sendiri meloncat ketepian di bawah. Dengan demikian ia dapat
mengatur dirinya dan sama sekali tidak menyentuh batu-batu padas tebing sungai
yang agak tinggi itu. Namun hal itu sama sekali tidak diduga oleh kawan Temunggul yang berusaha untuk
mendorongnya, bahkan oleh Temunggul sendiri dan kawan-kawannya yang lain. Dengan
demikian, maka tenaganya sama sekali tidak menemukan tahanan apapun. Maka, tanpa dapat menahan dirinya
sendiri, orang itupun terjerumus pula masuk ke dalam sungai. Karena ia sama
sekali tidak bersiap untuk mengalami hal serupa itu, maka tubuhnya itu pun
terguling di atas batu-batu padas tebing, untuk kemudian terbanting di atas
pasir. Melihat hal itu Temunggul dan kawan-kawannya yang lain terkejut bukan kepalang.
Namun justru sejenak mereka seakan-akan membeku ditempatnya. Mereka melihat
dengan mulut ternganga, Bramanti meloncat turun. Ketika ia jatuh diatas kedua
kakinya ia berhasil berdiri tegak tanpa mengalami cidera apapun. Kemudian
disusul oleh tubuh kawan Temunggul, yang jatuh seperti seonggok tanah liat.
Sebelum Temunggul dapat berbuat sesuatu, ia masih melihat Bramanti berlari-lari
mendapatkan kawannya yang terjatuh itu. Kemudian menolongnya, menyandarkan pada sebuah batu
padas di tebing. Dengan kainnya ia membersihkan wajah orang itu yang penuh dengan pasir dan tanah
berlumpur. "Gila kau Bramanti," tiba-tiba Temunggul berteriak. Suara teriakan itu telah
mengejutkan Bramanti, sehingga orang yang sedang ditolongnya itu dilepaskannya.
Beberapa langkah ia menjauhi sambil memandang ke atas tanggul.
Namun kemudian disadarinya, bahwa sebentar lagi Temunggul dan kawan-kawannya
yang lain pasti akan turun pula. Karena itu, maka daripada terjadi keributan,
lebih baik baginya untuk meninggalkan tempat itu.
Dengan demikian, maka Bramanti pun kemudian berlari meninggalkan orang yang
masih duduk dengan lemahnya bersandar sebongkah batu padas yang berwarna
kehijau-hijauan. Dada Temunggul berdesir melihat Bramanti masih sempat melarikan dirinya. Karena
itu, dengan serta merta ia berteriak, "He, tangkap anak itu. Jangan biarkan ia
lari." Tetapi kawan Temunggul yang bersandar batu padas dibawah, sama sekali sudah
tidak berdaya. Apalagi menangkap Bramanti, sedang untuk bernafaspun terasa
betapa sukarnya. Dengan demikian, maka tidak seorang pun yang dapat menahan Bramanti. Ia berlari
menyusur sungai. Meloncat dari batu yang satu ke batu yang lain, dan kemudian menyeberangi arus
yang tidak terlampau deras. Semakin lama semakin jauh. Ketika Bramanti kemudian
memanjat tebing diseberang dan naik ke bendungan, maka Temunggul pun baru
menyadari seluruh keadaan.
"Anak setan," ia menggeram. "Marilah kita tolong anak itu."
155 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Temunggul dan kawan-kawannya kemudian menuruni tebing yang agak curam. Dengan
dada yang berdebar-debar mereka mendekati kawannya yang hampir menjadi pingsan. Beberapa
bagian tubuhnya terluka oleh goresan batu-batu padas yang menjorok di tebing.
"Bagaimana hal ini dapat terjadi?" bertanya Temunggul.
Kawannya yang terluka itu menggelengkan kepalanya. "Entahlah," jawabnya.
"Kau kurang hati-hati," sahut yang lain.
"Tidak," potong Temunggul. "Memang Bramanti adalah seorang yang sangat licik.
Kali ini ia berhasil melepaskan diri dari tanganku. Tetapi tidak lain kali."
"Aku telah dilukainya," desis orang yang terluka itu. "Aku harus membalasnya.
Aku tidak akan dapat menunggu terlampau lama. Apabila aku sudah baik, aku akan
segera mencarinya. Kemana saja. Kalau perlu aku akan datang ke rumahnya."
Temunggul mengerutkan keningnya. Dan seorang kawannya yang lain berkata pula.
"Aku sependapat. Kalau perlu kita datangi rumahnya. Anak itu kita ambil saja dan kita bawa kemana
kita inginkan. Tetapi hati-hati. Ternyata ia memang sangat licik."
Anak-anak muda itu mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba saja Temunggul
berkata, "Kita pergi ke Kademangan. Mereka akan melihat kau terluka. Kita dapat
mengatakan apa saja. Misalnya kita dapat mengatakan, bahwa Bramanti telah mulai
dengan usaha pembalasan dendamnya, dengan
mendorong kau ke dalam jurang ini. Dengan demikian maka pembalasan kita
kepadanya akan sepengetahuan Ki Demang dan Ki Jagabaya. Sebab apabila kita bertindak sendiri,
mungkin oleh Ki Jagabaya kita dianggap bersalah."
Kawan-kawannya berpikir sejenak. Salah seorang dari mereka berkata, "Tetapi
Bramanti bukan seorang anak yang bisu. Ia dapat mengatakan yang lain. Ia dapat
mengatakan apa yang sebenarnya terjadi."
"Tidak mengapa. Aku yakin bahwa mereka akan lebih mempercayai kita daripada
Bramanti." sahut Temunggul. "Nah, bagaimana" Kita tidak perlu membalasnya dengan
bersembunyi-sembunyi. Akulah yang akan melakukannya dihadapan Ki Demang, Ki
Jagabaya dan dihadapan orang-orang Kademangan Candi Sari. Biarlah mereka
melihat, bahwa kita memang tidak menganiayanya. Nah, aku kira Bramanti akan
benar-benar menjadi jera dan tidak akan berani berbuat lagi."
"Kalau saja Ki Demang dan Ki Jagabaya mempercayai kita," gumam salah seorang
kawannya. "Aku yakin," sahut Temunggul, kemudian kepada kawannya yang terluka ia bertanya,
"Bagaimana pendapatmu?" "Baik. Aku sependapat." anak muda itu berhenti sejenak lalu. "Tetapi bagaimana
dengan aku sekarang"
Luka-lukaku terasa terlampau pedih. Mungkin tangan kiriku terkilir pula. Aku
sama sekali tidak tahu bahwa Bramanti mempunyai akal yang begitu licik dan
licin." "Oh," Temunggul berjongkok di samping kawannya itu, "Marilah aku bersihkan luka-
lukamu dengan air sungai. Kemudian kita pulang bersama-sama untuk mencari obat."
156 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Anak muda itu tidak menjawab. Tetapi ketika Temunggul dan kawan-kawannya mencoba
mengangkatnya, ia menyeringai menahan sakit.
"Tahankan," desis Temunggul. "Sebentar lagi kau akan mendapat kesempatan untuk
membalas." "Aku akan membuatnya cacad seumur hidupnya."
Temunggul pun kemudian memapah orang itu pergi ke air yang mengalir gemericik di
sela-sela batu. Kemudian meletakkannya duduk di atas sebuah batu. Seperti memandikan anak-anak.
Temunggul membersihkan anak muda itu. Menghilangkan pasir dan lumpur dari tubuhnya,
mencuci luka-lukanya yang berdarah dan memijit-mijit punggungnya yang serasa
patah perlahan-lahan. Mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk menunggu anak itu mampu berdiri
dan berjalan sambil bersandar kepada kawannya. Dengan susah payah mereka berjalan menyusur
sungai, naik ke bendungan yang tidak setinggi tebing, kemudian dari bendungan
mereka merayap perlahan-lahan ke atas tanggul.
Temunggul menarik nafas ketika mereka berdiri di atas tanggul sungai itu.
Kemudian dengan lantang ia berkata, "Sekarang kita langsung ke Kademangan,"
"Kenapa?" "Biarlah setiap orang Kademangan melihat sendiri luka-luka ditubuhmu. Biarlah
mereka melihat darah itu. Dengan demikian maka hati mereka akan segera terbakar
daripada mereka melihat kau kelak, apabila kau sudah sembuh."
"Tetapi punggungku sakit sekali."
"Justru karena itu."
Anak muda yang terluka itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata,
"Baik. Baiklah. Aku sependapat."
Maka mereka itu pun kemudian berjalan perlahan-lahan menuju ke Kademangan.
Disepanjang jalan mereka telah bersepakat untuk membuat ceritera palsu tentang
Bramanti. Apapun yang mereka lakukan namun mereka ingin mendapat kesempatan
untuk melepaskan dendam mereka kepada Bramanti.
Ternyata usaha mereka sebagian terbesar dapat berhasil. Orang-orang yang
kebetulan melihat Temunggul memapah seorang kawannya segera bertanya, apakah sebabnya kawannya itu
terluka. "Kami akan mengatakannya di Kademangan," jawab Temunggul.
"Kenapa mesti di Kademangan?" bertanya orang itu.
Temunggul menggelengkan kepalanya, "Ada sesuatu yang kami anggap penting."
Orang itu tidak bertanya lagi. Tetapi ia bergumam di dalam hatinya. "Seandainya
aku tidak mempunyai keperluan lain, aku akan memerlukan pergi ke Kademangan."
Namun demikian, ada juga satu dua orang yang memerlukan pergi untuk sekadar
mendengar sebab dari luka-luka itu.
157 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Di Kademangan, Ki Demang segera memanggil orang-orang terdekat. Termasuk Ki
Jagabaya atas permintaan Temunggul. Beberapa orang pengawal dan anak-anak muda yang lain.
"Katakan Temunggul," berkata Ki Demang kemudian. "Kami ingin segera mengetahui,
apakah yang telah terjadi. Kalau hal ini tidak kau anggap penting, aku kira anak
ini tidak akan kau bawa kemari selagi ia masih menyeringai kesakitan."
"Ya Ki Demang, justru ia masih dalam keadaannya, ia aku bawa kemari, supaya Ki
Demang, Ki Jagabaya dan orang-orang yang lain melihat apa yang telah terjadi."
"Ya, katakanlah."
"Ki Demang, Ki Jagabaya dan kawan-kawan," berkata Temunggul, yang meskipun agak
gemetar, namun kemudian ia dapat berbicara dengan lancar juga. "Ternyata
Bramanti telah mulai."
"Apa maksudmu?"
"Seperti yang kita duga semula. Ia telah mulai melakukan balas dendam. Yang
pertama-tama menjadi sasaran adalah anak ini. Bramanti menyangka bahwa ayahnya
ikut serta melakukan pembunuhan kira-kira sepuluh tahun yang lalu."
Dada Ki Demang berdesir. Apalagi Ki Jagabaya. Wajahnya segera menjadi merah
padam. "Kenapa anak itu?" bertanya Ki Jagabaya.
"Ia terperosok ke dalam pereng sungai di gerojokan," jawab Temunggul.
"Ya, kenapa?" "Itulah yang akan kami katakan. Bramantilah yang mendorongnya. Selagi anak itu
berdiri di tanggul, tanpa diketahuinya Bramanti mendekatinya. Tiba-tiba ia
didorong masuk. Untunglah, bahwa ia masih menyadari keadaannya, sehingga ia
mampu menempatkan dirinya. Meskipun demikian, inilah
keadaannya." "Setan alas," Ki Jagabaya menggeram. "Bukankah ia sudah berjanji, bahwa ia tidak
akan melepaskan dendamnya itu?"
"Tetapi sekarang Ki Jagabaya melihatnya sendiri."
Wajah Ki Jagabaya menjadi seakan-akan terbakar. Hampir saja ia langsung meloncat
ke rumah Bramanti, seandainya Temunggul tidak berkata, "Nah, marilah kita bicarakan,
apakah yang sebaiknya kita lakukan."
"Beberapa hari yang lalu, Ratri juga tergelincir di pereng sungai itu," tiba-
tiba saja Panjang berdesis.
"Tetapi itu adalah salahnya sendiri. Ia berlari-lari dan bekejaran di sepanjang
tanggul. Kemudian ia tergelincir. Untung bahwa tebing itu tidak sedalam tebing
digerojogan." Panjang mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun kepalanya yang terangguk-angguk
itu telah dipenuhi oleh bermacam-macam persoalan dan pertimbangan.
Apalagi apabila ia menghubungkan Bramanti dengan dugaannya selama ini, maka apa
yang terjadi itu sama sekali tidak masuk di akalnya.
158 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Meskipun demikian Panjang berjalan saja di dalam iring-iringan kecil itu menuju
ke rumah Bramanti. Sementara itu Bramanti dengan nafas terengah-engah masuk ke dalam kandangnya.
Segera ia menghempaskan dirinya sambil memijit-mijit kakinya. Meloncat sedemikian
tingginya, terasa juga kakinya agak menjadi sakit.
"Hem," ia kemudian berdesah. "Aku kira pasti masih akan ada akibat dari
permainan ini," desisnya.
Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya diluar sadarnya. Namun ia menjadi
bimbang. Apakah yang sebaiknya dilakukan, apabila sesuatu akan terjadi"
Tanpa dikehendakinya, Bramanti menengadahkan wajahnya. Meskipun ia tidak melihat
sesuatu, namun ia tahu benar, bahwa di atas belandar itu ia menyimpan sebuah
pedang pendek. Bramanti terkejut ketika ia mendengar langkah seseorang mendekati kandangnya.
Kemudian sebuah kepala tersembul dari balik pintu.
"Oh," Bramanti pun berdiri sambil mempersilakan. "Apa paman akan masuk ke dalam
kandang ini?" Ki Tambi tersenyum. Jawabnya, "Apa salahnya, bukankah aku sudah sering masuk dan
duduk di dalam kandang ini."
Bramanti pun mencoba tersenyum pula, meskipun senyumnya terasa hambar.
"Apakah paman akan bertemu ibu?"
"Tidak, kali ini tidak. Aku hanya sekadar mampir," Ki Tambi berhenti sejenak.
Tatapan matanya tiba-tiba hinggap pada pakaian Bramanti yang agak tidak wajar.
Meskipun ia mamakai kain, tetapi kain itu telah menjadi basah.
"Paman melihat pakaianku yang basah?"


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya. Apakah kau terperosok ke dalam parit?"
Bramanti menggeleng, "Tidak paman. Tidak hanya sekadar parit. Tetapi aku telah
terjerumus ke dalam suatu kesulitan."
Ki Tambi mengerutkan keningnya. "Apakah yang telah terjadi?"
Bramanti menarik nafas. Kemudian diceriterakannya apa yang telah terjadi
atasnya, dan apa yang telah dilakukannya.
Ki Tambi mengerutkan keningnya. Hampir saja ia berteriak kegirangan. Dengan
demikian ia mendapat bukti bahwa Bramanti memang bukan orang kebanyakan meskipun
caranya berceritera terlampau
sederhana. "Tetapi perhitungannya yang tepat, dan kemampuannya meloncat dari tebing tanpa
mengalami 159 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
gangguan apapun adalah suatu pertanda bahwa ia memang luar biasa," desis Ki
Tambi di dalam hatinya. "Paman, aku kira Temunggul dan kawan-kawannya tidak akan berhenti sampai disini.
Aku kira mereka akan mendendam. Setiap saat dendam itu akan dapat meledak."
Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya, memang mungkin. Lalu apakah yang
akan kau lakukan seandainya mereka akan berbuat sesuatu atasmu?"
"Itulah yang akan aku tanyakan kepada paman. Apakah yang sebaiknya aku lakukan?"
"Melawan mereka," sahut Ki Tambi.
"Mana mungkin paman?" suara Bramanti melonjak, lalu nadanya merendah. "Aku akan
mengungsi saja paman. Aku tidak mau mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan."
Ki Tambi mengerutkan keningnya, "Kemana kira-kira kau akan mengungsi?"
"Aku tidak tahu."
"Apakah kau akan minta perlindungan Resi Panji Sekar?"
Terasa dada Bramanti berdesir. Sepercik keheranan melonjak ke wajahnya, namun
kemudian wajah itu menjadi tenang kembali. "Aku belum mengenal Resi Panji Sekar
paman." Namun Ki Tambi justru tertawa, meskipun ia tidak segera menjawab.
"Kenapa paman tertawa?"
"Tidak apa-apa. Tetapi terserahlah kepadamu. Kalau jalan yang kau anggap paling
baik adalah mengungsi, maka pergilah mengungsi. Aku bersedia mengantarmu."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Sejenak mereka berdua saling diam diri
sehingga kandang itu menjadi sepi.
Sementara itu iring-iringan yang mendatangi rumah Bramanti menjadi semakin
dekat. Temunggul yang berjalan paling depan tersenyum di dalam hatinya.
Ia akan mendapat kesempatan melepaskan sakit hatinya kepada Bramanti tanpa
dicurigai dan dipersalahkan oleh siapapun. Bahwa sekarang hubungannya dengan Ratri seakan-akan
menjadi semakin jauh adalah karena Bramanti itu pula.
"Aku harus membuatnya benar-benar jera," katanya di dalam hati.
Bramanti yang masih berada di kandangnya sama sekali tidak menyangka, bahwa ekor
dari peristiwa itu, dan yang selama ini dicemaskannya, akan begitu cepat
terjadi, sehingga ia masih saja duduk
dikandangnya. "Aku akan menghindar saja paman," terdengar kemudian ia mengeluh. "Aku tidak mau
menjadi kambing hitam di Kademangan ini."
160 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Lalu kau tinggalkan lagi rumah dan ibumu?"
Bramnati menarik nafas dalam-dalam.
"Aku menjadi bingung, apakah yang sebaiknya aku lakukan?"
"Jangan bingung Bramanti. Lakukanlah menurut kehendakmu. Mana yang baik itulah
yang kau lakukan. Mana yang baik menurut pendapatmu tentu."
"Aku bingung paman."
"Kau buat sendiri menjadi bingung. Apakah kau akan berusaha mengungsi pula
ketika aku mengatakan kepadamu, bahwa pada suatu ketika orang-orang Panembahan
Sekar Jagat mungkin sekali akan datang ke rumah ini?"
"Aku memang sudah memikirkannya paman."
"Dan sekarang ekor dari persoalan ini akan mempercepat langkahmu meninggalkan
rumah dan ibumu yang sudah tua?"
Bramanti terdiam. Kepalanya tertunduk dalam-dalam. Namun sekali lagi diluar
sadarnya ia menengadahkan kepalanya, memandang ke atas blandar. Tetapi ia tidak melihat
sesuatu. Ketika Bramanti kemudian merenung, maka Temunggul beserta iring-iringannya
menjadi semakin dekat. Mereka telah berada di ujung desa tempat tinggal Bramanti. Mereka hanya tinggal
melangkah beberapa puluh langkah lagi, kemudian mereka akan segera mengetuk
pintu rumah itu apabila pintu itu tertutup.
Seperti pada saat-saat Bramanti baru datang, maka kini mereka tidak hanya akan
sekadar memberinya peringatan dan ancaman, tetapi mereka pasti akan berbuat
sesuatu. Sekali-sekali Temunggul tersenyum sendiri. "Ratri harus melihat bahwa aku adalah
seorang laki-laki. Aku tidak mau diremehkan dan direndahkan. Ia akan mendengar,
suatu saat aku telah berkelahi melawan Bramanti.
Ya, aku akan minta kepada Ki Demang untuk berkelahi seorang melawan seorang kali
ini. Aku akan mendapat kepuasan menghajarnya. Kemudian biarlah anak yang terluka
itu melepaskan sakit hatinya pula."
Dalam pada itu, dikandang, dihalaman rumah Bramanti. Ki Tambi berkata, "Sampai
kapan kau akan menjadikan dirimu sendiri itu menjadi orang yang paling hina" Kau
adalah seorang laki-laki. Berbuatlah seperti seorang laki-laki."
Bramanti tidak segera menjawab. Sebenarnya di dalam dadanya sendiri telah
bergolak maksud untuk lebih dahsyat lagi daripada sekadar sebuah pertanyaan
serupa itu. Namun setiap kali ia selalu mencoba mengekang diri.
Yang paling pahit bagi Bramanti adalah setiap tuduhan, bahwa ia akan melakukan
balas dendam atas kematian ayahnya. Sebab dengan demikian, maka maksudnya untuk
menyatu kembali di dalam masyarakat Kademangannya pasti tidak akan dapat berhasil dengan baik. Sehingga
dengan demikian maka jarak antara dirinya dengan orang-orang Kademangan Candi
Sari akan menjadi semakin jauh.
161 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Lalu, apakah dengan jarak yang semakin jauh itu ia akan dapat berbuat sesuatu
untuk Kademangan ini"
Apalagi untuk mencuci nama ayah dan keluarganya"
Karena pergolakan di dalam hatinya itulah Bramanti tidak segera menjawab.
"Bramanti," berkata Ki Tambi. "Adalah baik sekali bahwa seseorang itu rendah
hati, menahan diri, berbaik dengan semua orang, tidak sombong, tidak angkuh dan
segala macam kelakuan lain menurut orang tua-tua. Tetapi apakah dengan demikian
kita akan membiarkan orang lain itu berbuat sekehendak hati atas kita" Temunggul
dapat berbuat sesuka hatinya, tetapi tidak melampaui batas. Aku tidak suka
dengan perbuatan-perbuatan semacam itu."
"Ia mempunyai kekuasaan di Kademangan ini paman."
"O, apakah ia menyangka, bahwa kekuasaannya itu dapat dibuat apa saja sesuka
hatinya" Bahkan menyalahgunakan kekuasaan itu?"
Bramanti tidak menjawab. Kepalanya masih saja menunduk.
"Bramanti," desis Ki Tambi. "Sebenarnya aku menaruh curiga padamu."
"He," Bramanti terperanjat. "Apakah yang paman curigai atasku."
"Tidak dalam arti yang jelek Bramanti. Tetapi sebaliknya."
Bramanti mengerutkan keningnya. Ditatapnya saja wajah Ki Tambi yang menjadi
bersungguh-sungguh."
"Bramanti," berkata Ki Tambi kemudian. "Sebenarnya aku menganggap bahwa kau
bukanlah seorang seperti yang kau perkenalkan selama ini. Orang yang hanya mampu
mengungsi apabila menghadapi masalah yang penting. Yang hanya dapat melarikan
diri dan bersembunyi."
"Aku tidak mengerti paman."
Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. "Aku menangkap sesuatu padamu. Aku menjadi
semakin yakin ketika aku melihat orang Panembahan Sekar Jagat yang terluka itu
memandangmu seperti memandang hantu."
"Ah," desis Bramanti. "Paman selalu mengada-ada saja."
"Tidak Bramanti, aku tidak mengada-ada. Aku hanya ingin memperingatkan kau,
bahwa keadaan Kademangan ini semakin lama akan menjadi semakin parah. Selain kelakuan anak-
anak mudanya sendiri, Panembahan Sekar Jagat pun agaknya akan mengambil sikap yang lebih
keras akibat kelakuan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar itu. Nah,
apakah kau masih juga akan selalu
berbaring saja di dalam kandangmu dan hanya keluar apabila kau ingini sekadar
bermain-main." Bramanti tidak menyahut. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam.
Ki Tambi pun kemudian berdiam diri, seolah-olah memberi waktu kepada Bramanti
untuk mencernakan kata-katanya di dalam hatinya. Sekali-kali dilihatnya wajah
Bramanti yang menjadi semakin berkerut-kerut.
162 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Kandang itu pun kemudian menjadi hening. Keduanya saling berdiam diri, sehingga
yang terdengar hanyalah desah nafas mereka, dan sekali gemerisik tangan Ki Tambi
menyentuh jerami kering. Bramanti mengangkat wajahnya ketika ia mendengar suara ibunya yang terbatuk-
batuk di dapur, karena asap kayu yang masih belum kering benar. Ibunya yang
menjadi semakin tua, dan seolah-olah menjadi jauh lebih tua dari umur yang
sebenarnya. Ibunyalah selain gurunya, yang telah banyak mengekang dirnya. Dan ia tidak mau
membuat hati ibunya semakin risau.
Namun tiba-tiba keheningan itu telah dipecahkan oleh suara hiruk pikuk di
halaman. Beberapa orang telah memasuki regol dan bahkan sambil berteriak-teriak.
"Jangan sampai anak itu lari."
Ki Tambi dan Bramanti yang sedang berada di dalam kandang terkejut mendengarnya.
Tiba-tiba saja keduanya meloncat berdiri.
"Siapa mereka?" desis Ki Tambi.
Bramanti termenung sejenak. Namun kemudian jelas baginya, suara yang paling
dikenalnya adalah suara Temunggul.
"Mereka benar-benar datang," desis Bramanti.
"Begitu cepat," sahut Ki Tambi.
Bramanti menjadi bingung. Sebenarnya bingung. Karena itu maka dengan suara
gemetar ia bertanya, "Apakah yang sebaiknya aku lakukan paman?"
"Terserah kepadamu. Tetapi kau adalah laki-laki. Kau sudah tahu apakah yang
sebaiknya dilakukan oleh seorang laki-laki."
Jawaban Ki Tambi itu menjadi semakin membuat Bramanti semakin bingung sehingga
karena itu, maka justru ia berdiri saja mematung.
Ketika suara itu menjadi semakin riuh, maka Ki Tambi lah yang pertama-tama
keluar dari dalam kandang. Langkahnya tertegun ketika ia mendengar seseorang
berkata, "Itulah dia. Itulah."
Namun segera disahut oleh yang lain. "Bukan, bukan anak itu."
Dan yang lain lagi, "Ki Tambi. He, kau berada disini Ki Tambi."
Ki Tambi tidak menyahut. Perlahan-lahan ia melangkah maju. Sementara itu
Temunggul berjalan tergesa-gesa mendapatkannya, "Apakah yang paman lakukan disini" Kami mencari
Bramanti. Apakah ia ada dirumah?"
Tetapi Ki Tambi tidak menyahut. Ia berjalan terus ke arah Ki Demang yang berdiri
di depan regol. "Paman," panggil Temunggul. "Kenapa paman diam saja."
"Aku akan berbicara dengan orang-orang tua," sahut Ki Tambi.
163 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Temunggul mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut. Meskipun demikian ia
mengikuti langkah Ki Tambi mendekati Ki Demang.
"Ki Demang," berkata Ki Tambi. "Kenapa kau bawa anak-anak ini kemari" Apakah
dengan demikian kau sudah berlaku bijaksana?"
"Anak itu perlu peringatan," yang menyahut adalah Ki Jagabaya. "Kalau dibiarkan
maka ia akan membuat malapetaka bagi Kademangan ini."
"Apakah yang telah dilakukannya?"
"Sebaiknya kau tidak usah ikut campur Ki Tambi. Selama ini kami selalu
menghormati kau. Tetapi selanjutnya kau terlalu banyak mencampuri persoalan
Kademangan ini," sahut Ki Demang.
"Aku adalah penduduk Kademangan ini Ki Demang. Aku berhak berbuat sesuatu yang
aku anggap bermanfaat bagi Kademangan ini. Karena itu, maka aku pun berkepentingan dengan
persoalan kalian, karena itu juga persoalanku."
"Minggir Ki Tambi," berkata Ki Jagabaya. "Kau akan mendengar nanti. Persoalan
apakah yang tengah kami selesaikan sekarang ini."
"Tetapi adalah tidak pantas sama sekali, bahwa kalian orang-orang tua, telah
membawa anak-anak dalam gerombolan serupa ini di Kademangan kita sendiri."
"Bukan maksudku," jawab Ki Demang. "Aku justru ingin mengawasi, apakah yang akan
dilakukan oleh anak-anak muda ini. Justru karena aku tidak menghendaki bahwa
persoalan ini akan menjadi semakin parah."
Ki Tambi mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, "Apakah yang telah
terjadi sehingga kau perlu mengawasi anak-anak itu langsung?"
"Bramanti sudah mulai."
"Apa yang dilakukannya?"
"Bertanyalah kepada Temunggul."
Ki Tambi berpaling. Dan sebelum ditanya Temunggul telah berkata, "Lihat paman,
anak itu menjadi luka parah ketika tiba-tiba saja Bramanti melemparkannya ke
tebing di samping gerojogan."
"He," Ki Tambi terperanjat.
"Agaknya Bramanti telah mulai dengan pembalasan dendam yang sebenarnya. Ia
menganggap ayah anak itu ikut membunuh ayahnya kira-kira sepuluh tahun yang lalu."
"Pikiran gila," desis Ki Tambi. "Apakah kau kira Bramanti sudah menjadi gila"
Dengan demikian ia pasti menyadari bahwa akibat perbuatannya itu akan berekor
panjang. Seandainya ia benar-benar ingin membalas dendam, maka aku kira bukan
begitu caranya." 164 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Mungkin ia mengharap anak itu mati seketika, atau setidak-tidaknya terluka
parah sehingga tidak dapat pergi dari tempatnya sampai saatnya ia mati, karena
gerojogan itu jarang sekali dijamah orang."
"Sebodoh-bodoh Bramanti, ia tidak akan membuat perhitungan begitu dungu,"
kemudian kepada Ki Demang ia berkata, "Nah, apakah kau percaya akan hal itu Ki
Demang?" Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.
Yang menyahut adalah Temunggul. "Paman, adakah paman sudah bertemu dengan
Bramanti" Nah, aku kira Bramanti telah meracuni paman dengan keterangan-
keterangan palsu. Maaf paman, kedatangan kami kemari karena kami ingin bertemu
dengan Bramanti." Ki Tambi untuk sejenak berdiri diri. Tidak bijaksana baginya apabila ia menahan
anak-anak muda itu. Dengan demikian, maka ia sendiri pasti akan dilawannya. Apabila demikian, maka
harga dirinya akan turun dimata anak-anak itu.
Sementara itu, ibu Bramanti terkejut pula mendengar hiruk pikuk di halaman.
Sejenak ia mengintip dari balik pintu. Dilihatnya Ki Tambi sedang berbicara
dengan Ki Demang, Ki Jagabaya dan Temunggul.
Namun terasa hatinya bergetar. Ia menjadi cemas, bahwa agaknya telah terjadi
sesuatu dengan anaknya. Apalagi ketika ia mendengar Temunggul berkata keras memanggil nama anaknya.
"Bramanti, dimana kau Bramanti?"


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perempuan tua itu menjadi gemetar. Sehingga tubuhnya menjadi lemah. Ketika ia mencoba keluar, maka langkahnya pun
menjadi terhuyung-huyung. Dengan suara tersendat-sendat ia bertanya dari muka
pintu rumahnya, "Kenapa kalian mencari Bramanti?"
Orang-orang yang berada di halaman itu berpaling. Ketika dilihatnya perempuan
tua itu, beberapa orang segera memalingkan wajahnya.
Yang menjawab adalah Ki Jagabaya. "Kami memerlukan anakmu Nyi Pruwita. Kami
ingin berbicara sebentar." "Kenapa dengan anakku."
"Jangan bingung. Kami hanya ingin sekadar menemuinya."
"Ya, tetapi kenapa dengan anakku. Apakah ia berbuat salah?"
"Tentu," jawab Ki Jagabaya. "Karena itu jangan ikut campur. Anakmu sudah cukup
dewasa untuk bertanggungjawab." "Tetapi ia anakku. Satu-satunya anakku yang ada.
"Jangan ikut campur," desis Ki Demang. "Ki Jagabaya sudah memperingatkan. Kau
tidak terlibat dalam persoalan anakmu."
165 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Tapi ia anakku."
"Diam," bentak Ki Demang.
Perempuan itu menjadi semakin gemetar. Kakinya yang lemah menjadi semakin lemah.
Tetapi ia mencoba berjalan melintasi pendapa. Bramanti adalah satu-satunya anaknya yang
ada disampingnya. Sedang anaknya yang lain, menurut Ki Tambi telah terjerumus ke dalam dunia yang
hitam pekat. "Sebaiknya kau pergi. Pergi," berkata Ki Jagabaya pula.
Tetapi Nyai Pruwita itu tidak pergi. Ia menyadari, bahwa kebencian orang-orang
Kademangannya kepada suaminya sampai saat ini belum padam. Dan ia menyadari
bahwa kebencian itu sebagian telah dilemparkannya kepada anaknya. Tetapi ia
tidak pergi. Ia tidak akan membiarkan anaknya diperlakukan tidak baik.
Ki Tambi yang melihat perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih, segera
mendekatinya. Sambil membantunya ia berkata, "Sudahlah, sebaiknya kau masuk saja
Nyai." "Tetapi anakku."
Perlahan-lahan Ki Tambi berbisik, "Serahkan kepadaku. Anakmu pasti dapat
mengatasi kesulitan yang akan menimpanya. Jangan cemas. Aku ada di halaman ini.
Dan kau lihat Panjang ada bersama dengan mereka, sehingga kalau perlu aku akan
minta bantuannya." Perempuan tua itu mengerutkan keningnya sejenak.
"Kalau kau berada di sini Nyai, maka keputusan Bramanti untuk mengambil sikap
akan sangat terpengaruh. Karena itu, masuklah. Percayalah kepadaku, dan berdoalah."
Perempuan tua itu memandang wajah Ki Tambi dengan penuh pengharapan. "Apakah kau
dapat aku percaya?" "Aku akan mencoba memenuhi kepercayaanmu."
"Kau berjanji?"
"Aku janji." Perempuan tua itu kemudian mengangguk-anggukkan kepalanya. "Aku serahkan
keselamatan anakku kepadamu." "Ya. Semoga." Maka perempuan itu pun kemudian dibimbing oleh Ki Tambi masuk kembali ke dalam
pringgitan. Perlahan-lahan Ki Tambi menutup pintu sambil berdesis, "Nyai, anakkmu ternyata
bukan sembarang orang. Percayalah."
Perempuan itu tidak sempat menjawab, karena pintupun segera tertutup rapat.
Sementara itu, Bramanti masih berada di dalam kandang. Ia memang sengaja tidak
beranjak dari 166 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
tempatnya sampai ada seseorang menjenguk dan memaksanya keluar. Namun ketika
terdengar orang-orang di halaman itu membentak-bentak ibunya, terasa hatinya
tergetar. Ia tidak akan kehilangan pengamatan diri apabila orang-orang itu
membentak-bentaknya bahkan memukulnya. Tetapi orang-orang itu ternyata
membentak-bentak ibunya yang sudah tua. Karena itu, terasa darahnya seakan-akan
menjadi semakin cepat mengalir.
Namun ketika bentakan-bentakan itu terdiam, Bramanti mencoba mengatur
perasaannya kembali. Bahkan pertanyaan itu timbul lagi di dalam dadanya, "Apakah yang akan
kulakukan?" Dalam pada itu, ia masih mendengar Temunggul memanggilnya. "Bramanti, dimana kau
bersembunyi?" Seluruh halaman rumahmu sudah diawasi. Kau tidak akan dapat melepaskan diri lagi
kali ini." Dada Bramanti menjadi semakin berdebar-debar. Nafasnya serasa tertahan di
kerongkongan ketika ia melihat dari sela-sela pintu kandang yang tidak merapat
itu, dua orang berjalan ke kebun rumahnya.
"Kalau kau tidak keluar Bramanti," suara Temunggul terdengar lagi. "Aku akan
memasuki rumahmu dan mencari kau di dalamnya. Karena itu, supaya ibumu tidak
menjadi semakin ketakutan, sebaiknya kau keluar."
Kata-kata itu benar-benar telah mendebarkan jantungnya. Kalau orang-orang itu
memasuki rumahnya, maka ibunya memang akan menjadi semakin ketakutan. Karena
itu, maka ia berbimbang sejenak,
apakah tidak sebaiknya ia menampakkan diri. Tetapi sesudah itu lalu bagaimana?"
Ki Tambi kini telah berada di halaman rumah itu lagi. Sekilas ia memandang wajah
Panjang. Ia melihat wajah itu pun menjadi tegang. Namun ketika mereka beradu
pandang Panjang menggelengkan
kepalanya. "Apakah maksud anak itu mengatakan bahwa ia tidak ikut campur?" bertanya Ki
Tambi di dalam hatinya. Namun ia masih mengharap, satu-satunya kemungkinan bagi Bramanti adalah berbuat
jantan. Kalau ia ternyata seperti yang diduganya, maka mata orang Kademangan itu
pasti akan segera terbuka, dengan siapa mereka berhadapan.
"Tetapi kalau tidak?" Ki Tambi menjadi ragu-ragu. "Kalau Bramanti itu sebenarnya
Bramanti seperti yang tampak sehari-hari?"
Ki Tambi mulai dirayapi oleh kecemasan di dalam hatinya. Namun kemudian ia
berkata di dalam hatinya.
"Aku sudah berjanji untuk melindunginya. Apapun yang terjadi. Akan sia-siakah
perjalananku selama ini, kalau aku tidak berhasil melepaskan Bramanti dari
tangan mereka. Aku yakin bahwa tidak semua orang akan berpihak kepada Temunggul.
Setidak-tidaknya Panjang. Bahkan mungkin aku akan dapat menakut-nakuti orang-
orang ini dengan lencana Panggiring. Kalau terjadi apa-apa atas Ki Tambi yang
telah mendapat lencana Candi ini, Panggiring tidak akan tinggal diam. Dan
Panggiring adalah kakak Bramanti betapapun hubungan yang kurang serasi di antara
mereka." Keputusan itu telah memantapkan sikap Ki Tambi, sehingga kini ia tidak lagi
menjadi gelisah. Ia berdiri dengan kaki tegak di halaman beberapa langkah dari
Ki Demang. Dalam pada itu beberapa anak-anak muda telah berkeliaran di halaman mencari
Bramanti dan mengawasi setiap kemungkinan untuk melarikan diri. Namun sampai begitu jauh
mereka sama sekali belum memasuki sebuah bangunan pun rumah, kandang dan lumbung
yang kosong. 167 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Dan sekali lagi Temunggul berkata, "Bramanti, kalau kau tidak keluar dalam
hitungan ke sepuluh, aku akan masuk dan mencari kau di dalam rumahmu."
Bramanti yang mendengar teriakan itu menjadi semakin gelisah. Yang digelisahkan
adalah justru ibunya yang sudah tua. Kalau saja di rumah itu tidak ada ibunya,
maka ia akan tetap berada di dalam kandang itu sampai seseorang menjenguknya dan
memaksanya keluar. Tetapi, kini ia harus memperhitungkan ibunya itu pula.
Tanpa sesadarnya Bramanti menengadahkan wajahnya. Dipandanginya blandar yang
membujur di atas tiang kandangnya. Di atas blandar itu ia menyimpan senjatanya.
Sebuah pedang pendek. "Apakah aku akan mengambilnya," desisnya. "Ah tidak. Kalau mereka melihat aku
bersenjata, mereka akan menjadi semakin gila."
Bramanti menjadi semakin gelisah ketika ia mendengar hitungan Temunggul telah
sampai ke angka lima. "Enam, tujuh...."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Keringatnya telah membasahi seluruh
pakaiannya. "Delapan........"
Bramanti tidak dapat membiarkan ibunya dicekik oleh ketakutan. Karena itu, maka
ketika Temunggul mengucapkan hitungan ke sembilan, maka segera ia melangkah
keluar dari kandang sambil berkata,
"Aku disini Temunggul."
Semua mata berpaling ke arahnya. Ki Tambi pun memandanginya dengan wajah yang
tegang. "Ha, bukankah kau berada disitu," berkata Temunggul. "Aku sudah pasti bahwa kau
berada di dalam kandang karena Ki Tambi keluar dari tempat itu juga. Kau sengaja
akan menjebak kami?"
"Kenapa kau tidak masuk saja ke dalamnya," potong Ki Tambi. "Dan kenapa kau
pakai cara itu untuk memancingnya keluar" Setiap orang yang waras memang tidak
akan tega membiarkan ibunya diburu oleh ketakutan. Hanya orang-orang yang tidak
berperikemanusiaan sajalah yang mempergunakan
orang-orang tua untuk kepuasan hati."
Temunggul mengerutkan keningnya. Ia hanya melihat sikap Ki Tambi yang agak
justru berpihak kepada Bramanti. Namun ia masih menaruh hormat kepada orang tua
itu. Karena itu, ia hanya memandangi Ki Demang dan Ki Jagabaya, seolah-olah
menyerahkan Ki Tambi kepada mereka.
Karena itu Temunggul malahan tidak memperhatikannya lagi. Kini perhatiannya
dipusatkannya kepada Bramanti yang masih berdiri dimuka kandang.
"Kemarilah Bramanti," berkata Temunggul. "Di sini tempat lebih luas."
Bramanti melangkah maju beberapa langkah. Wajahnya yang tegang memancarkan
berbagai macam nada yang dalam dirinya penuh dengan teka-teki bagi Ki Tambi. Namun langkah
Bramanti kali ini ternyata telah menumbuhkan debar di dalam dada orang tua itu.
"Nah, apakah kau sekarang masih akan ingkar Bramanti. Anak yang kau jerumuskan
ke dalam jurang itu 168 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
kini ada disini," berkata Temunggul lantang.
Bramanti tidak menjawab. Ia melihat anak muda itu tertatih-tatih dibantu oleh
dua orang kawannya maju ke dekat Temunggul.
"Ki Demang dan Ki Jagabaya akan menjadi saksi persoalan ini. Aku sebagai
pemimpin pengawal mendapat tugas untuk menyelesaikannya. Untunglah, bahwa tugas yang diberikan
kepadaku adalah sekadar memberimu peringatan dan sedikit cara untuk membuatmu
jera." Bramanti masih belum menjawab. Tetapi adalah diluar dugaan bahwa ia justru
melangkah maju. Tatapan matanya kini langsung menusuk ke wajah anak yang terluka itu.
"Kau telah menjerumuskan aku," anak yang terluka itu berbisik.
Bramanti masih tetap berdiam diri. Kini ia berdiri di dalam sebuah lingkaran
yang menebar di halaman rumahnya.
"He, bukankah kau telah mendorong aku masuk ke dalam jurang?"
Bramanti tidak menyahut. Tetapi ketika ia melangkah maju, anak muda itu tiba-
tiba menjadi gemetar. "Bramanti, jawablah," bentak Temunggul.
"Temunggul," nada suara Bramanti terdengar berat dan dalam. "Sebenarnya kau
tidak perlu bertanya kepadaku. Kau tahu persoalan yang sebenarnya terjadi. Ayo,
katakanlah. Apa yang telah terjadi sebenarnya. Kalau kau benar-benar seorang
pemimpin dan lebih dari itu, kau memang seorang lelaki jantan, maka kau pasti
akan berani berkata yang sebenarnya."
Jawaban Bramanti itu sama sekali tidak diduga-duganya. Tatapan mata Bramanti
yang lurus dan kata-katanya yang tegas, telah membuat dada Temunggul menjadi
berdebar-debar. Sejenak ia terdiam.
Namun sejenak kemudian, dipaksanya dirinya untuk mempertahankan tuduhannya. Ia
tidak dapat mundur lagi. Di halaman itu berdiri banyak orang yang akan menjadi saksi.
"Aku tidak usah mengulanginya. Anak itu telah mengatakannya."
Kini wajah Bramanti menjadi merah. Darah mudanya mulai bergolak di dalam
dirinya. Ia telah merasakan banyak sekali penghinaan. Tetapi tuduhan yang licik ini membuat
jantungnya mengelak. Telah sekian lama ia dihinakan. Sampai kapan" Ya sampai kapan" Seperti yang
selalu di tanyakan oleh Ki Tambi kepadanya.
Namun sebelum Bramanti menyahut, semua orang berpaling ke arah sebuah suara,
"Aku meragukan keterangannya." "Panjang," desis Temunggul. "Kau Panjang" Apakah kepentinganmu dengan kata-
katamu itu" Kau tidak melihat peristiwa ini terjadi."
"Apakah kau juga melihat Temunggul?" bertanya Panjang.
Pertanyaan itu pun telah mendebarkan dada Temunggul. Ia tidak dapat segera dapat
menyahut. Namunterbata-bata ia berkata, "Tidak. Aku tidak melihat. Tetapi bukankah anak
ini telah mengatakannya." 169 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Justru kata-katanyalah yang aku ragukan."
"Tutup mulutmu," bentak Temunggul. "Apakah kau juga harus mendapat hukuman
seperti Bramanti?" "Aku hanya ingin melihat kebenaran. Menurut keyakinanku, bukan itulah yang
terjadi sebenarnya. Tetapi aku tidak tahu, apakah yang telah terjadi itu. Bahkan
aku lebih percaya kepada Bramanti, bahwa seharusnya kau tidak usah menanyakannya
kepadanya, karena kau mengetahui persoalan yang
sebenarnya." "Diam," Temunggul berteriak keras-keras.
Tetapi Panjang justru melangkah maju. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti ketika
Ki Jagabaya membentak, "Kau berhenti disitu Panjang. Kau jangan mengacaukan
persoalan ini. Persoalan ini adalah persoalan Temunggul dan Bramanti."
"Tidak," yang menjawab adalah Ki Tambi. "Persoalan ini adalah persoalan kita
semua. Apakah kita berani melihat kenyataan, ataukah kita ingin selalu dibayangi
oleh mimpi dan tidur yang lelap. Nah, Ki Jagabaya. Kau adalah orang yang paling
berkepentingan disamping Ki demang. Sekarang, cobalah, beranikan dirimu
mendengarkan tidak hanya suara Temunggul dan orang-orang yang selalu dekat
padamu. Kau harus berani mendengarkan suara orang lain. Suara Panjang, suaraku,
suara Bramanti dan suara orang-orang lain lagi."
Ki Jagabaya menjadi gemetar mendengar kata-kata Ki Tambi itu. Dengan wajah yang
merah ia berkata, "Akulah Jagabaya disini. Bukan kau."
"Aku tahu. Dan justru karena itulah maka kau harus berdiri tegak di atas alas
yang adil. Kaulah yang justru harus berani mendengar banyak keterangan dan
kemudian mempertimbangkan, manakah yang
meyakinkan dan dapat dipercaya."
Ki Jagabaya menggeram. Tetapi ia tidak segera menjawab. Kata-kata Ki Tambi itu
dapat menyentuh perasaannya, sehingga karena itu ia seakan-akan membeku
ditempatnya. "Nah, sebaiknya siapa yang akan berbicara, berbicaralah," berkata Ki Tambi
selanjutnya. Halaman itu justru menjadi sepi. Beberapa orang saling berpandangan, dan
beberapa anak-anak muda menjadi bimbang. Tidak pernah terjadi selama ini, kata-
kata Ki Jagabaya dan Temunggul diragukan, apalagi dibantah. Anak-anak muda


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kademangan Candi Sari seakan-akan terlampau patuh kepada
pimpinan pengawalnya. Kata-kata Temunggul merupakan keputusan yang hanya dapat
dibatalkan oleh Ki Jagabaya dan Ki Demang saja. Tetapi kini Panjang telah mulai
mempersoalkannya. Sekilas mereka teringat, bahwa Temunggul pernah marah kepada anak muda itu
karena kelakarnya yang dianggap berlebih-lebihan. Namun mereka tidak menyangka,
bahwa tiba-tiba saja Panjang
bersikap terlampau berani justru dihadapan Ki Demang dan Ki Jagabaya.
Namun yang mengherankan pula adalah sikap Ki Tambi. Seperti Panjang, sikapnya
seakan-akan berpihak kepada Bramanti yang mereka sangka sedang mempersiapkan rencana yang
mengerikan. Pembalasan dendam. Dan pembalasan dendam itu sudah dimulainya.
Kesepian itu menjadi terlampau tegang. Wajah-wajah yang kemerah-merahan, sikap
yang kaku dan sorot mata yang membara. Sementara matahari serasa telah membakar
halaman rumah itu. 170 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Kesepian itu kemudian dipecahkan oleh suara Ki Demang lantang. "Aku percaya
kepadanya Temunggul, kepada anak yang terluka itu. Nah, sekarang terserah
kepadamu apakah yang akan kau lakukan."
Beberapa orang terkejut mendengar keputusan yang tiba-tiba itu. Apalagi Ki
Tambi, Panjang dan Bramanti sendiri. Sejenak mereka memandang wajah Ki Demang
dengan tajamnya. Mereka melihat
sesuatu yang tidak wajar pada wajah itu. Tetapi mereka tidak mengerti, apakah
sebenarnya yang tersirat dalam keputusan itu.
"Terima kasih," sahut Temunggul. "Sekarang tuntutan bertambah. Selain Bramanti,
agaknya Panjang pun telah melakukan perlawanan atas pimpinannya."
Panjang memandang wajah Temunggul dengan mata yang merah karena kemarahannya.
Tetapi ia masih cukup sadar, bahwa Ki Demang adalah orang yang paling berkuasa di dalam
Kademangan ini. Yang mengherankan adalah pertanyaan Ki Tambi, "He, Temunggul. Kau telah
melupakan aku. Apakah aku tidak kau hukum sama sekali?"
Juga pertanyaan itu tidak disangka-sangka sama sekali. Karena itu Temunggul
tidak dapat segera menjawab. Di pandanginya saja wajah Ki Demang dan Ki
Jagabaya, seolah-olah minta pertimbangan kepada mereka, apakah yang sebaiknya
dilakukannya. Ki Demang menangkap perasaan yang terpancar di mata Temunggul. Karena itu maka
katanya, "Serahkan yang tua kepada yang tua. Aku akan dapat memberinya penjelasan, apa
yang sebenarnya telah terjadi."
Tetapi yang lebih mengejutkan lagi justru karena Ki Tambi tertawa, "Penjelasan
apakah yang dapat kau berikan Ki Demang" Aku kira kau hanya akan mengulangi
kata-kata anak muda yang terluka itu dengan sedikit penjelasan, alasan-alasan
dan mungkin pertimbangan sekadarnya. Tetapi seperti Panjang, aku meragukan
keterangan itu. Aku meragukan keterangan Temunggul. Sayang, Temunggul selama ini
aku kenal sebagai seorang anak muda yang bertanggungjawab. Namun tiba-tiba saja
ia telah berubah. Aku tidak tahu pasti, apakah sebabnya."
Temunggul menggeram. Betapa ia menahan dirinya, supaya tetap menghormati orang
tua yang itu, namun hampir-hampir ia tidak dapat mengendalikan dirinya.
"Jangan hiraukan Temunggul," berkata Ki Demang, "Lakukanlah pekerjaanmu. Aku
adalah penguasa tertinggi di Kademangan ini."
"Jadi dengan demikian, apakah kau dapat berbuat mu dengan kekuasaan itu" Kau
salah Ki Demang. Kekuasaanmu itu berasal dari kami sekalian. Kau tidak dapat menggunakan
kekuasaan itu hatimu tanpa menghiraukan pendapat kami."
Wajah Ki Demang menjadi semakin merah karenanya. Meskipun ia tampak berusaha
untuk mengekang diri, namun terloncat pula kata-katanya, "Ki Tambi. Kami
semuanya menghormati kau sejak sebelum kau meninggalkan kampung halaman. Tetapi
tiba-tiba kau berbuat sesuatu yang dapat menggoncangkan perasaan kami."
"Aku berbicara atas keyakinan Ki Demang."
171 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Aku berhak berbuat lebih banyak lagi atas Bramanti dan juga atasmu."
"Apa yang dapat kau lakukan atasku."
"Sekehendakku. Menangkap kau dan apabila aku kehendaki aku dapat menghukum kau
tanpa batas." "Kau tidak akan berani melakukannya."
"Kenapa" Apakah kau sangka di Kademangan ini tidak ada seorang pun yang dapat
melakukan atasmu" Seandainya aku atau Ki Jagabaya tidak mampu, maka kami dapat bersama-sama
melakukannya." "Kalian tidak akan berani."
"Kenapa?" "Aku mempunyai lencana Panggiring. Kalau terjadi sesuatu atasku, kalian akan
berhadapan dengan Panggiring pula. "Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, "Nah, kau
dapat membayangkan. Kademangan ini akan menjadi kering. Saat ini Panembahan
Sekar Jagat masih mencengkam Kademangan ini, kemudian telah kalian lihat
bayangan seseorang yang menyebut dirinya Panji Sekar, Resi Panji Sekar dengan
seorang Putut yang perkasa, Putut Sabuk Tampar. Kemudian akan datang pula
Panggiring dari pesisir Utara."
Wajah Ki Demang yang merah menjadi semakin merah. Tetapi sejenak ia membeku
ditempatnya. Bayangan itu memang terlampau mengerikan.
Ki Jagabaya, Temunggul, Panjang dan anak-anak muda yang lain pun terdiam
ditempatnya, seakanakan dicengkam oleh kecemasan yang dahsyat.
Namun kediaman itu tiba-tiba dipecahkan oleh suara Bramanti, "Maaf paman Tambi.
Aku tidak ingin melihat kita bernaung di bawah perlindungan Panggiring. Aku
sudah menganggapnya hilang dari
keluargaku. Apalagi kini ia telah berada di dalam dunia yang sama sekali tidak
aku kehendaki." Ki Tambi mengerutkan keningnya mendengar kata-kata Bramanti itu. Sebagian ia
menjadi heran, begitu jauh jarak yang telah memisahkan dua bersaudara seibu itu,
sehingga dalam keadaan yang gawat itu pun Bramanti masih juga menolak pengaruh
nama kakaknya. Namun di bagian lagi ia menjadi sedikit berpengharapan, bahwa
dengan demikian Bramanti akan berdiri di atas kemampuannya sendiri. Karena itu,
maka setelah mempertimbangkan beberapa lama ia menjawab, "Baiklah Bramanti. Aku
cabut keteranganku tentang lencana Panggiring. Biarlah kita berpisah daripadanya.
Namun meskipun demikian, aku tetap pada pendirianku, bahwa aku tidak dapat mengerti, kenapa
kalian begitu cepat mempercayai anak itu. Aku juga heran, kenapa Temunggul juga
segera terpengaruh pula olehnya."
Ki Demang, Ki Jagabaya, Temunggul dan yang lain tidak segera menyahut. Mereka
pun masih juga dibelit oleh berbagai macam pertimbangan. Bahkan mereka pun
menjadi heran, kenapa Bramanti
menolak sekadar pengaruh nama Panggiring.
Namun, meskipun demikian, nama itu masih tetap menggema di dalam setiap dada.
Mungkin Bramanti benar-benar menolaknya, tetapi bagaimana dengan Ki Tambi" Kalau
terjadi sesuatu atasnya, apakah Panggiring tidak merasa berhak ikut campur"
Dengan demikian, maka halaman rumah Bramanti itu kemudian dipenuhi oleh keragu-
raguan. Setiap 172 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
orang merasa ragu-ragu untuk bertindak, sehingga yang satu menunggu sikap yang
lain. Dalam kesepian itulah mereka mendengar dengan jelas degup jantung masing-masing.
Degup yang membayangkan kecemasan, keragu-raguan dan tidak ketentuan sikap.
Namun dalam pada itu, dendam Temunggul kepada Bramanti masih belum mereda dari
dadanya. Ia masih menunggu kesempatan yang akan diberikan oleh Ki Demang apapun akibatnya.
Ia ingin berkelahi seorang melawan seorang dengan Bramanti, supaya ia mendapat
kepuasan untuk berbuat sesuka
hatinya. Tetapi Ki Demang tidak segera memberikan isyaratnya. Agaknya ia benar-benar
terpengaruh oleh kata-kata Ki Tambi tentang beberapa pihak yang seakan-akan
sedang membayangi Kademangan ini dengan cara dan kepentingan masing-masing.
Namun ternyata Temunggul itu tidak dapat menahan hati lagi. Karena Ki Demang
masih saja berdiam diri, maka Temunggul pun bertanya kepadanya, "Bagaimana
dengan anak ini Ki Demang?"
Ki Demang masih saja ragu-ragu. Namun kemudian ia menganggukkkan kepalanya
sambil berkata, "Lakukanlah." Ki Tambi mengerutkan keningnya, sedang Panjang bergeser selangkah maju. Tetapi
mereka tidak segera berbuat sesuatu. Meskipun mereka berpijak pada alasan yang berbeda, namun
keduanya mengharap, bahwa Bramanti kali ini tidak akan sekadar membiarkan dirinya
terhina. "Nah, bukankah kau sudah mendengar Bramanti," desis Temunggul kemudian sambil
melangkah maju. "Tetapi aku bukan pengecut. Aku tidak akan melakukannya seperti seorang yang
menghukum pencuri ayam di kandang tetangga. Tidak. Aku akan berbuat seperti
seorang laki-laki. Aku minta kita berkelahi."
"Aneh," desis Bramanti. "Kalau kau anggap aku bersalah, dan kau sudah mendapat
wewenang untuk melakukannya hukuman atasku, kenapa kau memilih jalan yang sulit
itu" Bukankah kau tinggal memilih, cara apakah yang kau kehendaki" Apakah kau
ingin membawa aku ke tebing itu dan
menjerumuskannya" Atau cara apapun yang kau ingini."
Dada Temunggul berdesir. Kali ini ia menjumpai banyak hal yang tidak terduga-
duga. Kali ini ia tidak melihat wajah Bramanti yang ketakutan dan kakinya yang
gemetar. Kali ini ia tidak melihat anak itu merenggek-rengek seperti perempuan
cengeng. Tetapi kali ini ia melihat sorot mata Bramanti memancar langsung
menembus ke pusat jantungnya. Bahkan ketika ia melangkah selangkah maju,
Bramanti un maju selangkah.
"He, apakah Bramanti telah menjadi gila," bertanya Temunggul kepada diri
sendiri. "Temunggul," terdengar suara Bramanti yang berat. "Cepat, lakukanlah supaya kau
mendapat kepuasan. Tidak usah dengan perkelahian dan segala macam alasan tentang seorang
laki-laki. Bukankah kau sudah mendapat kepastian bahwa aku tidak akan dapat
melawanmu. Kau sudah melihat beberapa kali, aku tidak dapat melawan siapapun di
Kademangan ini. Bahkan terhadap Suwela pun aku tidak dapat berbuat apa-apa
ketika ia mencambuk aku di arena. Apalagi kini kau sendiri yang akan
melakukannya. Bukankah itu tidak akan berarti apa-apa" Apakah kau sekadar ingin
mendapat julukan bahwa kau berbuat dengan jujur sebagai seorang laki-laki tanpa
mempergunakan pengaruh kekuasaanmu?" 173 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Pertanyaan itu bertubi-tubi memukul dada Temunggul, sehingga Bramanti masih saja
mengucapkan kata-kata itu, Temunggul berteriak, "Diam, diam kau."
"Kenapa Temunggul," bertanya Bramanti. "Kenapa kau tidak berani mendengarkannya"
Sudah tentu bahwa kau tidak akan berbuat demikian. Sudah tentu kau tidak hanya
akan sekadar memanfaatkan kemantapan anggapanmu bahwa aku pasti tidak akan mampu
melawan. Apakah memang kau hanya
berani berbuat demikian terhadap aku dan orang-orang yang tidak berdaya
lainnya?" "Diam." "Kalau tidak, maka kau pasti akan mengambil jalan lain yang lebih mudah bagimu.
Mengikat aku, kemudian memukuli sepuasmu. Tidak usah dengan sebuah barisan
seperti hendak pergi ke peperangan, karena kau tidak memerlukan orang yang akan
melihat pameran kemenanganmu. Tapi sayang,
kemenangan atas seseorang yang memang sudah diketahui tidak berdaya."
"Diam kau, diam!" Temunggul tidak dapat menahan diri lagi. Dengan tangkasnya ia
meloncat dan menampar mulut Bramanti sekuat-kuat tenaganya.
Bramanti terdorong selangkah surut. Tetapi kemudian ia berdiri tegak. Kedua
kakinya yang renggang seakan-akan jauh terhujam ke dalam tanah. Meskipun
demikian Bramanti tidak bersikap untuk melawan.
Bahkan ia masih berkata, "Lakukanlah sepuasmu. Aku tidak akan melawan.
Kejantanan yang kau sebut-sebut sudah tidak berarti lagi. Setidak-tidaknya
bagiku, bagimu sendiri dan bagi anak yang terluka itu, karena mereka mengetahui
apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi biarlah orang-orang yang dapat kau kelabuhi
itu memuji di dalam hatinya, bahwa pimpinan pengawal Kademangan Candi Sari
adalah seorang laki-laki. Temunggul menjadi gemetar. Tetapi justru ia mematung ditempatnya.
Tambi yang menahan nafas melihat pukulan pertama Temunggul, menjadi semakin
berdebar-debar. Ketika ia melihat sikap Bramanti, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Orang
tua itu berdesis didalam hatinya, "Anak itu bukan saja anak yang luar biasa.
Pukulan Temunggul sekuat-kuat tenaganya itu seolah-olah sama sekali tidak
terasa. Tetapi anak itu adalah juga anak yang bijaksana. Ia mampu bersikap
jantan tanpa mengadakan perlawanan. Ia mampu menahan diri dalam sikapnya, sampai
suatu batas tertentu. Bukan main. Aku tidak akan mampu berpikir sejauh itu dan
menempuh kebijaksanaan sedemikian."
Di tempat lain Panjang mengerutkan keningnya. Ia melihat sesuatu yang aneh telah
terjadi. Meskipun Bramanti sama sekali tidak melawan, tetapi justru ia melihat
kemenangan terpancar di wajahnya. Dan justru Temunggullah yang menjadi gelisah
dan kebingungan, sehingga ia masih saja berdiri gemetar ditempatnya.
Ki Demang dan Ki Jagabaya mengikuti perkembangan keadaan itu dengan seksama.
Sejenak mereka mengerutkan keningnya, namun sejenak kemudian terasa sesuatu bergetar di dalam
dada. Ki Jagabaya yang tidak suka terlampau banyak berpikir itu, kali ini tidak dapat
melepaskan diri dari persoalan yang tengah dihadapinya. Mau tidak mau ia harus
membuat pertimbangan-pertimbangan. Dan hampir di luar sadarnya ia berdesis, "He,
aku menjadi ragu-ragu. Apakah yang sebenarnya terjadi?"
Kata-kata Ki Jagabaya itu benar-benar telah mengejutkan semua orang yang berada
di halaman itu. 174 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Serentak mereka berpaling memandangi wajah Ki Jagabaya yang bimbang.
Tetapi Ki Jagabaya adalah memang seorang yang lugu. Seorang yang berterus
terang. Karena itu, maka ia pun segera melangkah maju dan bertanya kepada
Temunggul. "He, Temunggul. Aku memang tidak mampu berpikir berbelit-belit.
Tetapi apakah yang sebenarnya telah terjadi?"
Wajah Temunggul menjadi merah padam. Sejenak ditatapnya wajah Ki Jagabaya, namun
sejenak kemudian dipandanginya wajah Ki Demang.
"Ki Jagabaya," berkata Ki Demang. "Jangan kau bingungkan anak itu dengan
pikiran-pikiran yang tidak mapan. Kemarilah. Biarkan mereka menyelesaikan
persoalan anak-anak, asal masih dalam batas-batas yang wajar. Kita hanya akan
mengawasinya dan mencegah persoalan-persoalan yang akan
berkepanjangan." "Tetapi aku memang merasakan sesuatu yang tidak wajar sejak permulaan," jawab Ki
Jagabaya. "Kemarilah. Jangan terlampau ribut memikirkan masalah anak-anak itu. Mereka
mempunyai cara untuk menyelesaikan masalah mereka."
Ki Jagabaya menarik nafas. Sebagai biasanya ia selalu patuh kepada pimpinannya.
Meskipun ia adalah bebahu Kademangan yang dalam keadaan genting itu merupakan
orang terpenting, tetapi ia tidak dapat melampaui kekuasaan demangnya.
Ki Tambi hanya dapat menarik nafas. Tetapi ia justru ingin melihat kelanjutan
dari persoalan itu. Kini ia mencemaskan lagi nasib Bramanti. Ia agaknya telah


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai sikap yang mantap meskipun secara tiba-tiba.
Namun kini Temunggullah yang masih mematung. Berbagai macam perasaan berbenturan
di dalam hatinya. Kata-kata Bramanti telah menusuk jantungnya dan membuat luka yang
pedih. Tiba-tiba Temunggul itu melihat kepada diri sendiri. Seakan-akan terbayang
kembali, apakah yang telah terjadi di tebing di dekat gerojogan itu. Dan
bayangan itu telah membuatnya menjadi semakin bimbang.
Dengan demikian, maka sekali lagi halaman rumah itu diterkam oleh kesenyapan.
Kesenyapan yang tegang. Masing-masing berdiri tegak di tempatnya sambil menahan
nafas. Bahkan anak muda yang terluka itu seakan serasa tengah berdiri di atas
bara. Kalau kemudian Temunggul mengingkari
keterangannya, maka ia akan terlempar ke dalam keadaan yang sangat sulit. Ialah
yang dianggap sebagai sumber masalah. Kalau tiba-tiba orang-orang yang berada di
dalam halaman itu mengetahui, bahwa ia telah berbohong, maka sudah tentu ia
tidak akan dapat menghindari kemarahan mereka.
Apalagi Ki Jagabaya. Ki Jagabaya yang selama ini dikenalnya sebagai seorang yang
selalu bertindak tegas terhadap siapapun, meskipun kadang-kadang agak kurang
pertimbangan, sehingga ia mudah
sekali digerakkan tanpa mempergunakan pikirannya.
Namun kesenyapan itu tiba-tiba telah dihentakkan oleh suara di kejauhan. Suara
derap beberapa ekor kuda. Dan suara derap kuda itu telah menyusup ke dalam
setiap telinga. Serentak orang-orang di halaman itu mengangkat wajahnya. Sejenak mereka seakan-
akan dicengkam oleh pesona yang tidak dapat dihindarkan. Namun kemudian setiap
wajah menjadi pucat, selain
beberapa orang yang justru menjadi berdebar-debar.
175 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Aku dengar derap kaki-kaki kuda," terdengar Ki Demang berdesis.
"Ya. Aku telah mendengarnya pula," sahut Ki Jagabaya.
"Panembahan Sekar Jagat," sambung Ki Demang.
Dan hampir setiap mulut kemudian berdesis, "Panembahan Sekar Jagat."
"Ya. Panembahan Sekar Jagat."
Tandpa disadarinya, maka anak-anak muda yang menebar itu bergeser. Semakin lama
menjadi semakin rapat yang satu dengan yang lain.
"Kita harus menghindar," desis seseorang.
"Ya, kita harus menyingkir."
Dan tiba-tiba saja anak-anak muda itu telah bersiap untuk melarikan dirinya.
Bahkan beberapa orang telah berkisar beberapa langkah dan siap untuk meloncat
berlari ke kebun di belakang rumah.
Namun langkah mereka tertegun ketika terdengar suara Ki Tambi, "He, akan
kemanakah kalian?" Beberapa orang saling berpandangan.
"Kita perlu menyingkirkan diri," terdengar suara Ki Demang. "Kita tidak ingin
mengalami perlakuan yang tidak wajar dari mereka."
"Kalau kita bersimpuh di hadapan mereka, maka memang akan terjadi perlakuan yang
tidak wajar itu. Tetapi lihat, bukankah kalian bersenjata dilambung kalian. Hanya satu dua orang
yang tidak membawanya, dan kalian dapat memungut apa saja yang dapat kalian pergunakan
untuk senjata. Slumbat kelapa, pemukul kentongan atau ujung pering itu."
"He, apakah kita akan melawan?" bertanya Ki Demang.
"Inilah yang belum pernah kita lakukan. Sebaiknya kita mencoba selagi kita
berkumpul. Bukankah sebagian dari para pengawal ada disini. Selebihnya harus
dipanggil dengan kentongan."
"Gila, itu teramat gila," Ki Demang menjadi gemetar. "Tidak mungkin. Tidak
mungkin, sama sekali tidak mungkin. Aku tidak ingin Kademangan ini menjadi
hancur lebur menjadi abu, hanya karena kebodohan kita."
"O, jadi apakah sebenarnya tugas para pengawal itu" Hanya sekadar menakut-nakuti
kawan sendiri seperti yang baru saja terjadi ini" Itukah tugas Temunggul dan
anak-anak muda yang lain. Mereka hanya sekadar kau jadikan ayam aduan di antara
sesama" Bodoh. Kaulah yang bodoh. Dalam keadaan seperti ini, aku berhak
menentukan sikap sebagai laki-laki di Kademangan ini. Laki-laki. Disinilah
penilaian yang sebenarnya, siapa laki-laki jantan dan siapa yang sekadar ingin
dirinya disebut pahlawan di antara sesama. yang hanya berani memukul anak-anak
kita sendiri yang memang sedang ketakutan.
Inikah yang disebut pengawal, pelindung dan sebutan apa lagi yang diingini?"
Sejenak Ki Demang terbungkam. Dipandanginya wajah Ki Tambi dengan tajamnya.
Namun Tambi tetap 176 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
menengadahkan kepalanya. Bahkan ditatapnya wajah anak-anak muda yang berdiri di
halaman itu seorang demi seorang, seakan-akan orang tua itu ingin melihat, apakah yang
tersimpan di dalam hati mereka masing-masing.
Namun suara derap kaki kuda itu menjadi semakin dekat.
"Pergi, pergi," tiba-tiba Ki Demang berteriak.
Tetapi tidak seorang pun yang beranjak dari tempatnya. Apalagi ketika mereka
melihat Ki Tambi tersenyum sambil berkata "Sekarang kita mendapat kesempatan
untuk menyatakan diri, apakah kita benar-benar seorang pengawal Kademangan yang
baik atau hanya sekadar seorang pengecut yang
salah tempat. Justru kali inilah pendadaran yang sebenarnya bagi para pengawal.
Bukan sekadar di arena."
Tetapi Ki Demang berteriak semakin keras, "Pergi kalian. Jangan gila. Perlawanan
hanya akan membuat Kademangan ini menjadi abu."
Tetapi semuanya masih berada ditempatnya. Ternyata mereka sedang dibakar oleh
kebimbangan. Tidak seorangpun dari anak-anak muda yang dapat memutuskan, apakah
yang sebaiknya dilakukan.
Bahkan Panjang pun masih saja berdiri seakan-akan membeku. Tatapan matanya
sekali menyambar Ki Tambi yang tetap tenang, kemudian dipandanginya Ki Demang
yang gelisah. Ketika ia memutar kepalanya, maka pandangan matanya membentur seorang anak muda
yang berdiri tegak seperti tonggak. Bramanti. Betapa wajahnya menjadi tegang
sehingga matanya seolah-olah menjadi semerah bara. Bibirnya terkatup rapat-
rapat, dan tangannya mengepal.
Kini Bramanti itu dihadapkan pada suatu keadaan yang paling sulit. Ia sadar,
bahwa yang datang itu pasti Wanda Geni dan orang yang lebih tinggi kedudukannya.
Bahkan mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri. Kalau dalam keadaan serupa ini ia
menyingkir dengan alasan apapun, maka korban pasti akan berjatuhan. Apalagi Ki
Tambi agaknya telah berhasil menahan para pengawal itu untuk tidak melarikan
diri. Seandainya mereka tidak tetap berada di halaman itu, maka ia akan dapat
menyongsong pasukan berkuda itu dengan caranya. Tetapi kini kesempatan itu sama sekali tidak ada.
Seperti anak-anak muda yang lain, sebenarnya Bramanti pun sedang dicengkam oleh
kebimbangan dan keragu-raguan, meskipun berbeda sifat dan bentuknya. Namun
meskipun demikian, ia tidak juga segera dapat mengambil kesimpulan sehingga
terasa kakinya menjadi gemetar.
Dadanya tergetar ketika ia mendengar tiba-tiba Ki Jagabaya yang selama ini
terlampau patuh kepada Ki Demang berkata lantang, "Kita tetap disini. Kita akan
melawan meskipun akibatnya akan membuat Kademangan ini menjadi karang abang. Itu
adalah kemungkinan yang tidak dapat kita hindari. Tetapi kalau kita berhasil,
maka untuk seterusnya kita akan terlepas dari permasalahan yang tidak semena-
mena." "Ki Jagabaya," potong Ki Demang, "Apakah kau sadari pendirianmu itu."
Sebelum Ki Jagabaya menjawab, terdengar suara seorang anak muda, "Aku berdiri
dibelakang Ki 177 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Jagabaya. Memang sudah saatnya kita berbuat sesuatu, meskipun akibatnya dapat
menjadi terlampau parah. Tetapi kita tidak dapat membiarkan semuanya ini
terjadi." "Tetapi mereka kali ini tidak akan merampas kekayaan kita," teriak Ki Demang.
"Apa yang akan mereka lakukan?"
"Mereka akan mencari seseorang, yang disangkanya berada di Kademangan ini."
"Putut Sabuk Tampar?" bertanya Ki Tambi.
"Ya." "Darimana Ki Demang tahu?" desak Tambi.
Ki Demang terdiam sejenak. Namun dalam kediaman itu terdengar derap kaki-kaki
kuda itu sudah terlampau dekat. Meskipun demikian Ki Demang masih terdengar,
"Menurut perhitunganku."
"Tetapi kami akan melawan kali ini," geram Ki Tambi.
"Ya, saatnya memang sudah sampai."
"Sekarang. Kita bukan pengecut. Dan kita tidak akan membiarkan benalu terus
hidup pada tubuh kita."
"Aku bersamamu Panjang," teriak seorang anak muda yang lain lagi. Ketika anak
muda yang pertama-tama menyatakan niatnya untuk melawan yaitu Panjang,
berpaling, maka dilihatnya Suwela
mengacungkan tangannya. Tiba-tiba anak-anak muda yang lain pun serentak berkata, "Aku ikut serta. Aku
juga." Bramanti menjadi semakin tegang. Kini ia tidak dapat berbuat lain daripada tetap
tinggal ditempat itu. Kalau ia menyingkir, maka akibatnya pasti akan benar-benar parah bagi para
pengawal itu. Sementara itu, derap kaki kuda dijalan telah menjadi terlampau dekat. Sejenak
kemudian mereka mendengar langkah kaki-kaki kuda itu berhenti, dan sejenak
kemudian mereka melihat beberapa ekor kuda menyusup beserta penunggangnya
memasuki regol halaman. Semua mata terpaku kepada penunggang kuda yang berjumlah hanya enam orang itu.
Namun di antara mereka terdapat seorang yang bernama Wanda Geni. Tetapi agaknya
bukan ialah yang paling berkuasa saat itu. Bukan Wanda Genilah yang memimpin
pasukan kecil yang memasuki regol, karena seorang yang lain, tampaknya lebih
berkuasa daripadanya. Semua dada menjadi berdebar-debar dan bertanya-tanya di dalam hati. "Apakah
orang ini yang bernama Panembahan Sekar Jagat?"
Sejenak kemudian Wanda Geni mendorong kudanya maju beberapa langkah. Dengan
suara lantang ia berkata, "Kali ini aku mempunyai maksud lain. Kami tidak akan
mengambil upeti seperti biasanya, karena waktunya memang belum tiba," Wanda Geni
berhenti sejenak lalu, "Tetapi kedatangan kami adalah sekadar untuk
memperkenalkan saudara tua kami yang mendapat tugas memimpin sepasukan
178 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
kecil," sekali lagi Wanda Geni berhenti. Diedarkan tatapan matanya untuk melihat
akibat yang mengusik setiap dada. Namun Wanda Geni menjadi heran. Ia tidak
melihat wajah-wajah yang ketakutan seperti setiap kali ia saksikan apabila ia
datang bersama beberapa orang untuk mengambil upeti. Bahkan kini ia melihat
sorot-sorot mata yang kemerah-merahan dan gigi yang terkatup rapat.
"Apakah orang ini menjadi liar," desisnya di dalam hati. "Dan kenapa tiba-tiba
saja mereka telah berkumpul di halaman ini" Tetapi justru kebetulan sekali.
Mereka akan melihat suatu permainan yang sangat menarik, yang akan membuka mata
mereka, bahwa Panembahan Sekar Jagat memang
mempunyai kekuatan yang tidak terlawan oleh siapapun."
"Dengar," teriak Wanda Geni pula. "Aku datang bersama kakak Sapu Angin."
Orang-orang yang berdiri di halaman itu masih tetap berdiam diri.
"Tetapi jangan takut Kakang Sapu Angin tidak ingin mencari persoalan dengan
kalian. Ia hanya ingin melihat salah satu dari Kademangan yang telah menyatakan
diri bersedia bekerja bersama-sama dengan Panembahan Sekar Jagat."
Tidak seorang pun yang menyahut.
Dan Wanda Geni meneruskannya. "Namun kedatangan kami telah membawa keperluan
yang lain pula. Kami ingin bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Salah
seorang dari kami melihatnya, ia berada di regol halaman rumah ini.
Orang-orang yang berada di halaman rumah itu terperanjat. Rumah ini adalah rumah
Bramanti. Karena itu, maka serentak mereka berpaling. Tetapi tempat Bramanti
tadi berdiri telah kosong. Mereka sama sekali tidak melihat, kapan ia
meninggalkan tempatnya. Begitu tegangnya mereka memandangi Wanda Geni dan Sapu
Angin bersama-sama kawan-kawan mereka, sehingga mereka tidak melihat, perlahan-
lahan Bramanti bergeser tempat pada saat orang-orang Penembahan Sekar Jagat itu
memasuki regol halaman. Dada Ki Tambi menjadi berdebar-debar. "Kenapa tiba-tiba saja Bramanti
meninggalkan halaman"
Apakah ia melarikan diri dan bersembunyi?"
"Nah," berkata Wanda Geni kemudian. "Dimanakah Putut Sabuk Tampar itu?"
Sejenak para pengawal saling berpandangan. Mereka tidak mengerti maksud Wanda
Geni. Namun mereka mengerutkan kening ketika terdengar Wanda Geni berteriak. "He, dimana
Sabuk Tampar" Apakah kalian datang kemari sengaja untuk melindunginya" Kalau demikian, maka
kami harus memaksa kalian untuk berbicara."
Masih belum ada seorang pun yang menyahut.
"Ayo, katakan. Dimana Putut Sabuk Tampar." Wanda Geni berteriak semakin keras.
"Apakah kalian memang sengaja berkumpul di halaman ini untuk menunggu kedatangan
kami?" Halaman itu menjadi hening sejenak. Namun kemudian terdengar suara Ki Demang
yang membuat orang-orang di halaman itu berdebar-debar. "Tidak. Tidak sama sekali. Kami
sedang mencari seseorang yang kami anggap telah melanggar tata cara kehidupan
kami di sini." Wanda Geni mengerutkan keningnya. Ditatapnya setiap wajah orang-orang Candi Sari
yang berada di 179 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
halaman itu, seakan-akan ingin meyakinkan, apakah yang dikatakan oleh Ki Demang
itu benar. Dan ternyata memang setiap wajah yang disambar oleh tatapan matanya
yang tajam, segera tertunduk.
Tetapi tiba-tiba dada Wanda Geni berdesir ketika terpandang olehnya mata Ki
Tambi yang membara. Di wajah itu sama sekali tidak terbayang ketakutan dan
kecemasannya menghadapi orang-orang
Panembahan Sekar Jagat, yang justru kali ini bersama seorang yang paling
dipercaya, Sapu Angin. Sejenak Wanda Geni memandang mata Ki Tambi yang menjadi kemerah-merahan. Dan
mata yang kemerah-merahan itu telah membuat darahnya mengalir lebih cepat.
Ki Demang agaknya melihat keadaan itu, sehingga cepat-cepat ia berkata, "Kami
datang untuk memberikan sebuah peringatan kecil kepada anak yang tinggal di rumah ini.
"Apa yang telah dilakukannya?" bertanya Wanda Geni.
"Ia telah menyerang kawannya sendiri dengan licik."
"Siapa anak itu?"
"Namanya Bramanti."
Wanda Geni mengangguk-anggukkan kepalanya. Sekilas di pandanginya wajah Sapu
Angin yang tegang dan dalam. Tetapi Sapu Angin itu sama sekali tidak memberikan
tanggapan apapun. Dalam kesepian yang menyambar sesaat itu, seseorang kawan Wanda Geni
mendekatinya. Kemudian orang itu berdesis perlahan-lahan. "Orang itulah."
"He," bertanya Wanda Geni.
"Orang itulah yang mengancam aku akan membunuhku sama sekali."
Wanda Geni mengerutkan keningnya, "Yang mana?"
Orang itu ternyata sudah tidak segan-segan lagi. Jari tangannya kemudian
menunjuk Ki Tambi yang berdiri tegang, "Itu."
"O, yang matanya merah seperti mata burung pelatuk itu."
Dada Ki Tambi berdesir. Orang yang menunjuk kepadanya itu adalah orang yang


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditangkapnya selagi ia terluka parah dan dibawanya ke Kademangan. Ternyata ia
masih tetap mengenalnya, dan bahkan kini agaknya ia akan melepaskan sakit
hatinya, karena kekalahan yang dialaminya pada saat ia melawan Putut Sabuk
Tampar. "He," bentak Wanda Geni. "Benarkah kau yang telah menangkap kawanku ini pada
saat ia sedang tidak berdaya?"
Ki Tambi masih berdebar-debar. Namun ia tidak akan mengelak apapun yang akan
terjadi atas dirinya. Karena itu maka ia pun menjawab lantang, "Kalian memilih istilah yang tidak aku
senangi. Aku lebih baik mengatakan, bahwa akulah yang telah menolongnya,
sehingga orang itu tidak mati dipinggir jalan dan menjadi makanan anjing liar."
180 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Dahi Wanda Geni berkerut. Hampir saja ia berteriak. Tetapi suaranya segera
terputus oleh suara tertawa Sapu Angin. "Bagus. Kau mendapat kalimat yang tepat.
Yang benar adalah kau. Orang semacam orang ini memang sepantasnya hanyalah
menjadi makanan anjing-anjing liar." Dan suara tertawa Sapu Angin menjadi
berkepanjangan. Namun dengan demikian wajah Wanda Geni dan orang yang memberitahukan kepadanya
itu menjadi merah padam. "Nah, sekarang aku datang untuk melakukan pekerjaan yang lain bagi kalian. Dan
aku kira aku bukan sebangsa kelinci makanan anjing jalanan," berkata Sapu Angin
kemudian. "Sekarang katakan,
dimanakah anak yang kau cari itu" Anak yang menurut keterangan kalian tinggal di
rumah ini, karena kami pun sedang mencari seseorang dihalaman rumah ini."
Tidak seorang pun yang menjawab. Ki Demang menebarkan pandangan matanya
kesekelilingnya. Kini anak-anak muda Candi Sari yang semula menyebar seakan-akan
telah berkerumun berdesak-desakan.
Dan tidak seorang pun dari mereka yang mempedulikan Bramanti.
"Dimana Bramanti," bertanya Ki Demang.
Tidak seorang pun yang menyahut.
"Dimana Bramanti," Ki Demang berteriak.
Masih belum ada yang menyahut.
Tiba-tiba timbullah akal Ki Demang untuk memanggil Bramanti keluar dari
persembunyiannya seperti yang dilakukan oleh Temunggul seandainya ia masih
berada dihalaman itu. Katanya lantang, "Kalau Bramanti tidak segera keluar dari
persembunyiannya, maka kami akan menangkap Nyai Pruwita sebagai gantinya."
"Buat apa kami menangkap perempuan itu," teriak Wanda Geni. Ia telah mengenal
perempuan itu, sebagai bekas istri Demang Candi Sari yang dahulu. Bahkan kadang-
kadang ia sengaja berteriak-teriak memanggilnya apabila ia lewat di jalan di
depan regol halaman rumah ini.
"Bramanti adalah anak dari perempuan itu," jawab Ki Demang.
"Tetapi kami tidak menghendaki keduanya. Kami mencari Putut Sabuk Tampar."
"Biarlah anak itu dibawa kami," sahut Sapu Angin. "Dihalaman ini ada seorang
anak muda yang bernama Bramanti. Kalau benar Sabuk Tampar berada di halaman itu
pula, kita akan dapat bertanya kepada anak muda itu."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Karena itu, kita memerlukan
Bramanti." Semua orang, termasuk Ki Tambi menjadi berdebar-debar. Apakah yang kira-kira
akan terjadi atas anak muda itu seandainya ia dapat diketemukan dihalaman ini.
Sejenak kemudian Ki Demang berteriak pula, "Bramanti, apakah kami harus
menangkap ibumu dan menyeretnya ke Kademangan?"
181 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Tetapi belum seorang pun dari mereka yang melihat Bramanti.
Sementara itu Bramanti sedang berada di dalam kandangnya. Ketika ia bergeser
dari halaman rumah itu, ketika anak-anak muda yang lain justru saling mendekat,
maka ia pun segera masuk ke dalam kandangnya. Dan kini ia mendengar Ki Demang
sedang mengancamnya. "Bramanti," sekali lagi ia mendengar suara Ki Demang semakin keras. "Apakah kau
menunggu kami menyeret ibumu?"
Kini tubuh Bramanti seakan-akan menggigil karenanya. Ia tidak dapat mengerti,
kenapa Ki Demang selalu berusaha mencegah orang-orang Kademangan Candi Sari
melawan Panembahan Sekar Jagat
dengan alasan itu-itu juga. Untuk kepentingan Kademangan ini agar tidak menjadi
lumat. Dan kini Ki Demang pasti akan mengorbankannya, tanpa belas kasihan. Dengan
demikian justru tidak akan ada perlindungan sama sekali bagi warganya.
Seharusnya Ki Demang berbuat sebaliknya. Mencoba menyembunyikannya, meskipun
nanti setelah orang-orang itu pergi, seandainya ia masih akan
menghukumnya dalam persoalan di antara keluarga sendiri itu akan terus
dilakukannya. Ketika terdengar suara Ki Demang lagi, Bramanti sudah tidak dapat membuat
pertimbangan- pertimbangan lain. Kemungkinan yang demikian ini memang sudah diperhitungkannya
pula. Karena itulah ia masuk ke dalam kandangnya. Ia sama sekali tidak ingin
bersembunyi. Tetapi untuk melawan orang-orang Panembahan Sekar Jagat, bukanlah
pekerjaan yang dapat dilakukan sambil menganyam keranjang. Itulah sebabnya maka
segera ia memanjat tiang kandang. Tangannya menggapai blandar yang membujur di
atas tiang itu. Ketika ia meloncat turun, maka ditangannya telah tergenggam
sebuah pedang pendek. Pedang peninggalan ayahnya yang disembunyikannya tanpa
seorang pun yang mengetahuinya. "Mungkin aku memerlukannya," gumamnya.
Bramanti mengangkat wajahnya ketika sekali lagi Ki Demang berteriak menirukan
Temunggul, "Aku akan menghitung sampai sepuluh bilangan Bramanti.Kalau kau tidak
keluar, maka ibumu akan menjadi gantinya," ia berhenti sejenak lalu, "satu..."
Tetapi belum sampai pada hitungan yang kedua, Bramanti telah melangkah keluar
dari dalam kandangnya sambil berkata, "Aku disini Ki Demang."
"Nah, bukankah kau keluar seperti seekor jengkerik dituang air?" desis Ki
Demang. "Kemarilah. Hukumanmu masih belum dilaksanakan."
Bramanti mengangkat wajahnya. Ketika ia melangkah maju, dilihatnya mata Wanda
Geni dan kawan-kawannya yang berada disisinya itu terbelalak. Hampir bersamaan
keduanya berteriak sambil menunjuk kepada Bramanti, "Itulah dia. Itulah dia."
"Siapa?" bertanya Ki Demang dan Sapu Angin serentak.
"Sabuk Tampar. Putut Sabuk Tampar."
"He?" meskipun keduanya, Ki Demang dan Sapu Angin bersama-sama terkejut, namun
yang bergolak di dalam hati masing-masing adalah berbeda. Sapu Angin memang
sedang mencari Putut Sabuk Tampar 182
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
sehingga dengan demikian maka ia merasa, bahwa yang dicarinya segera dapat
diketemukan. Tetapi sebaliknya bagi Ki Demang. Ia memandang Bramanti dengan mulut ternganga.
Ia tidak dapat percaya pada pendengarannya bahwa anak itulah yang menyebut
dirinya Putut Sabuk Tampar.
Namun bukan saja Ki Demang, tetapi semua orang yang berada di halaman itu serasa
mendengar ledakan petir di ujung rambut. Hanya Tambilah yang segera dapat menguasai
perasaannya, karena ia memang sudah menduga, bahwa Bramantilah yang menyebut
dirinya Putut Sabuk Tampar. Sedang
Panjang, masih juga dengan susah payah mencoba menenangkan dirinya.
Dalam kediaman yang tegang itu terdengar suara Sapu Angin, "Apakah kau tidak
keliru Wanda Geni." "Tidak. Aku tidak akan keliru. Aku berdua adalah saksi yang langsung. Pertemuan
kita di malam hari waktu itu memang tidak dapat meyakinkan. Tetapi pertemuan
yang kedua, disiang hari, anak itu itu tidak dapat lagi menyembunyikan dirinya.
Sapu Angin mengangguk-anggukkan kepalanya. Ditatapnya wajah Bramanti dengan
tajamnya. Dan ternyata Bramanti pun sama sekali tidak menyadari tatapan mata itu.
"Kaukah yang menyebut dirimu Putut Sabuk Tampar?" bertanya Sapu Angin.
Bramanti merasa tidak ada gunanya lagi mengelak. Karena itu maka jawabnya
mantap, "Ya. Akulah Putut Sabuk Tampar, utusan Resi Panji Sekar. Nah, apa yang
akan kau lakukan sekarang?"
Sapu Angin mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, ?"Aku ingin bertemu dengan
Resi Panji Sekar." "Yang ada sekarang adalah Putut Sabuk Tampar. Yang penting bagiku adalah,
mengusir kau dari Kademangan ini. Aku sudah muak melihat tingkah laku orang-orangmu. Apalagi
kerakusan mereka tidak terbatas kepada harta benda. Tetapi juga terhadap gadis-
gadis. Sapu Angin mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tetapi matanya menjadi seolah-olah
menyala. Dalam pada itu Temunggul serasa berdiri di atas api. Ia menjadi gelisah dan
tidak mengerti, apakah sebenarnya yang sedang dihadapinya. Seandainya benar
Bramanti adalah orang yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar, maka ia pasti
akan terlibat langsung dengan orang itu. Karena itu, maka dalam keragu-raguan
hatinya serasa terpanggang di atas api.
"Putut Sabuk Tampar," desis Sapu Angin. "Kedatanganku memang sengaja untuk
mencarimu. Sudah dua kali kau menghalangi orang-orangku. Aku kira Panembahan Sekar Jagat telah
terlampau longgar. Biasanya gangguan yang pertama telah cukup menjadi alasan untuk
menyingkirkannya. Tetapi kau mendapat kesempatan sampai dua kali. Baru kali ini
aku mendapat kesempatan atas nama Panembahan Sekar Jagat menemuimu."
Bramanti tidak segera menyahut. Dan Sapu Angin berkata selanjutnya, "Tetapi
ternyata kau tidak akan mendapat kesempatan selanjutnya."
Ketika Sapu Angin berhenti berbicara, halaman itu menjadi hening. Tidak seorang
pun yang mengucapkan kata-kata. Bahkan Ki Demang merasa seolah-olah mulutnya terbungkam.
Dalam keheningan itulah, setiap dada serasa bergetar. Dengan demikian mereka
menyadari, kenapa 183 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Bramanti menolak perlindungan Panggiring. Karena ternyata ia sendiri merasa
dapat melindungi diri. Sejenak kemudian maka terdengar suara Sapu Angin berat, "Ki Demang. Kalau memang
orang-orangmu tidak ingin berbuat onar, dan tidak ingin melihat kehancuran
Kademangan Candi Sari, maka akupun tidak akan mempersoalkannya. Aku hanya
sekadar ingin menangkap anak yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar ini."
Ki Demang tidak bisa segera menjawab. Ia berdiri di simpang jalan yang sulit. Ia
tahu bahwa Putut Sabuk Tampar bukan sekadar seorang anak muda yang cengeng
seperti yang selalu diperlihatkan
Bramanti dalam hidupnya sehari-hari. Kalau ia berterus terang memusuhinya, maka
akibatnya belum dapat dibayangkan. Apalagi bila teringat olehnya, Bramanti
adalah adik Panggiring, meskipun sampai saat ini Bramanti menolak hubungan itu.
Karena Ki Demang tidak segera menjawab, maka terdengar Sapu Angin berkata
lantang, "He, kenapa kau diam saja Ki Demang. Suruhlah orang-orangmu pergi.
Biarlah Putut Sabuk Tampar itu tinggal. Aku memerlukan anak itu. Kalau ia tidak
terlampau banyak tingkah, maka ia akan aku bawa hidup
menghadap Panembahan Sekar Jagat. Tetapi kalau ia menyombongkan diri, melawan
kehendakku, maka aku akan terpaksa membunuhnya."
Ki Demang menjadi semakin bingung karenanya. Namun bagaimanapun juga ia
mempunyai pertimbangannya sendiri, sehingga tiba-tiba ia berkata, "Baiklah. Aku akan
membawa orang-orangku pergi."
Namun Ki Demang terkejut ketika tiba-tiba terdengar suara Ki Tambi, "Sudah aku
katakan. Kami telah siap melakukan sesuatu kali ini. Kami berdiri di belakang Ki
Jagabaya. Agaknya Ki Jagabaya adalah seorang yang paling bertanggung jawab di
Kademangan ini." Ki Jagabaya yang semula telah dijalari oleh keragu-raguan mendengar kata-kata Ki
Tambi itu tiba-tiba tergugah hatinya. Hampir tanpa sesadarnya ia berkata, "Ya,
kita akan berbuat sesuatu."
"Ki Jagabaya" potong Ki Demang. "Kau masih juga berlaku bodoh. Kau adalah orang
yang mabuk pujian. Apakah kau sadari kata-kata Ki Tambi yang ingin menjerumuskan kau kedalam
kesulitan?" "Hanya orang-orang jantanlah yang bertanggungjawab atas kata dan perbuatannya,"
sela Ki Tambi sebelum Ki Jagabaya menjawab.
"Tutup mulutmu Tambi," teriak Ki Demang. "Aku menyesal menerima kau kembali di
Kademangan ini. Ternyata kau telah menjerumuskan kami semua ke dalam kesulitan."
Tetapi tiba-tiba saja Ki Tambi itu tertawa. Di pandanginya wajah anak-anak yang
ada di halaman itu. Ketika matanya membentur wajah Panjang, Ki Tambi menganggukkan kepalanya,
seolah-olah ia ingin melihat, apakah Panjang benar-benar seorang pengawal yang
baik. Dada Panjang masih juga bergelora. Namun kemudian dengan mantap ia berkata, "Aku
berdiri di belakang Ki Jagabaya. Aku adalah seorang pengawal Kademangan. Dan aku merasa
ikut bertanggung jawab menghadapi masalah-masalah serupa ini."
Ki Jagabaya yang mulai ragu-ragu, tiba-tiba mengangkat wajahnya dan berkata,
"Marilah. Marilah kita berbuat sesuatu kali ini. Kita bukan budak-budak yang
hanya mampu bersimpuh dan menundukkan
kepala." 184 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Aku sudah menduga," sahut Ki Tambi cepat-cepat. "Ki Jagabaya pasti akan berdiri
ditempatnya, sebagai pelindung rakyat Kademangan ini."
"Persetan semuanya," tiba-tiba Sapu Angin berteriak. "Kenapa kalian mengigau
seperti orang yang kehilangan kesadaran. Aku, Sapu Angin berada disini. Lihatlah
aku. Lihat. Apakah kalian masih berani mengangat wajah kalian menatap mataku"
Ingat. Aku dapat berbuat apa saja atas Kademangan ini. Aku dapat membuatnya
hancur lumat menjadi debu, apabila aku menghendaki."
Sapu Angin terkejut ketika Tambi maju selangkah sambil berkata, "Setiap jengkal
tanah, setiap ujung rambut perawan dari Kademangan ini, harus dipertaruhkan
dengan nyawa. He Sapu Angin, jangan
terlampau sombong. Kami sudah siap menghadapi kalian kali ini setelah kami
terlena oleh sihirnya angin beberapa saat lamanya."
"Tutup mulutmu," bentak Sapu Angin. "Kau belum mengenal Sapu Angin. Tetapi
baiklah. Kita akan segera berkenalan. Tetapi maaf bahwa aku kurang dapat
mengendalikan diri. Mungkin aku menyentuh seseorang dan membuatnya mati atau
cacat seumur hidupnya."
Kata-kata itu telah membuat bulu-bulu tengkuk berdiri. Tetapi Tambi tidak
beranjak dari tempatnya. Matanya menyala dan menatap wajah orang yang menyebut dirinya Sapu Angin.
"Hem," Sapu Angin menggeram, "Kaulah agaknya biang keladi dari perlawanan ini.
Seperti yang dikatakan Wanda Geni."
Namun sebelum Ki Tambi menjawab, Bramanti melangkah maju. Tiba-tiba saja
langkahnya menjadi berbeda. Kali ini langkahnya mantap, sehingga seolah-olah tumitnya telah membuat
lubang ditanah yang diinjaknya.
"Jangan sesumbar," desis Bramanti. "Dengarlah. Aku tetap pada permintaan yang
pernah aku sampaikan. Tinggalkan tempat ini dan lepaskan usaha kalian yang sangat merugikan
itu. Resi Panji Sekarlah yang akan menertibkan daerah ini dengan caranya
sendiri." "Omong kosong," teriak Sapu Angin. "Kau yang menyebut dirimu Putut Sabuk Tampar
adalah orang yang pertama-tama harus dibinasakan bersama Tambi," kemudian kepada
kelima orang-orangnya ia berkata, "Jangan hiraukan jumlah orang yang berada di
dalam halaman ini. Mereka adalah orang-orang dungu yang tidak mengerti pahitnya


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peperangan. Siapkan diri kalian menghadapi segala kemungkinan."
Kelima orang itu mengerutkan kening mereka. Satu-satu dipandanginya anak-anak
muda Kademangan Candi Sari. Sebagian besar dari mereka ternyata bersenjata.
"Mereka akan menjadi seperti batang ilalang dirambas pedang. Kasihan juga anak-
anak yang masih terlampau muda itu. Tetapi itu adalah salahnya sendiri. Mereka
telah berani mengangkat senjata melawan kekuasaan Panembahan Sekar Jagat."
Tetapi Ki Tambi menjawab, "Kalau kami atau salah seorang dari kami mati, masih
juga kami mempunyai kebanggaan. Mati dipeperangan. Tetapi kalau salah seorang
dari kalian mati, bagaimanakah orang akan menyebut mayat kalian."
"Cukup," Sapu Angin berteriak semakin keras. "Kalian memang tidak perlu
dikasihani." 185 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Sudahlah Sapu Angin," berkata Bramanti. Pulanglah. Sampaikan kepada Panembahan
Sekar Jagat, bahwa Putut Sabuk Tampar tetap pada pendiriannya."
"Persetan kalian," Sapu Angin telah kehilangan kesabaran. Kemudian katanya
lantang, "Marilah anak-anak. Kita selesaikan kelinci-kelinci yang sombong ini."
Kuda-kuda itu pun kemudian mulai bergerak ke arah yang berbeda-beda. Sekejap
kemudian orang- orang di atas punggung kuda itu sudah menggenggam senjata masing-masing.
Dengan demikian maka anak-anak muda pengawal Kademangan itu menjadi berdebar-
debar. Selama ini mereka hampir belum pernah melakukan suatu tindakan apapun yang berarti,
sejak mereka mendapat wisuda menjadi pengawal Kademangan, meskipun mereka harus melalui
pendadaran. Karena itu, ketika mereka menghadapi bahaya yang sebenarnya, hati
mereka menjadi kecut. Bahkan ada di antara mereka yang mengumpat di dalam hati,
kenapa ia tidak lari saja meninggalkan halaman itu.
Apalagi ketika pada saat terakhir anak-anak muda yang demikian itu mendengar Ki
Demang berkata, "He anak-anak. Aku masih ingin mendapat kemurahan hati dari utusan-utusan
Panembahan Sekar Jagat. Aku masih ingin kalian mendapat kesempatan untuk meninggalkan tempat ini selain
mereka yang dikehendaki. Misalnya Bramanti, Ki Tambi dan barangkali juga Panjang. Nah,
pergunakan kesempatan yang terakhir ini."
Begitu Ki Demang selesai, maka Bramanti segera menyahut, "Aku adalah anak muda
yang paling cengeng di Kademangan ini. Aku sama sekali tidak berarti jika dibandingkan
dengan kalian, para pengawal yang perkasa. Tetapi aku tidak akan lari. Aku akan
tetap disini dan mengadakan perlawanan sampai kemungkinan yang penghabisan."
"Bagus, aku juga tetap disini," sahut Ki Tambi.
"Aku tetap disini," geram Panjang.
Dan tanpa diduga-duga Ki Jagabayapun berkata lantang. "Aku tetap disini. Siapa
yang ikut aku, tinggallah disini. Siapa yang takut, pergilah."
Ternyata tidak seorang pun yang meninggalkan halaman itu. Dengan demikian, maka
seakan-akan telah bulatlah niat mereka untuk melawan utusan Panembahan Sekar
Jagat itu. Meskipun ada satu dua yang masih dijalari oleh kecemasan, tetapi
mereka tidak dapat meninggalkan kawan-kawan mereka dalam keadaan itu.
Melihat hal itu Sapu Angin serasa terbakar jantungnya. Kini ia benar-benar akan
mulai. Maka diteriakkannya aba-aba. "Habiskan anak-anak monyet ini."
Serentak kuda-kuda itu pun maju. Tetapi yang dihadapi telah siap pula, meskipun
masih agak ragu-ragu. Namun tiba-tiba dari antara orang-orang Candi Sari itu, seseorang segera
melangkah maju dengan langkah yang tetap mendekati Sapu Angin. Orang itu adalah
Bramanti. "Hem, kau memang sudah jemu melihat sinar mata hari," desis Sapu Angin.
186 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Tetapi Bramanti tidak memperdulikannya. Tangannya yang telah melekat dihulu
pedangnya telah menjadi gemetar. "Peringatan terakhir bagimu," desis anak muda itu. "Pergi atau kami terpaksa
mengusir kalian." Sapu Angin tidak menjawab lagi. Didorongnya kudanya, yang kemudian dengan
langkah-langkah pendek maju menyongsong Bramanti.
Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan. Meskipun Bramanti tidak berada di
punggung kuda, tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.
Melihat sikap Bramanti, maka anak-anak muda Candi Sari pun segera tergugah
hatinya. Temunggul yang selama itu diam seperti patung, tiba-tiba merasa ikut
bertanggungjawab pula atas Kademangan ini.
Kebenciannya kepada Wanda Geni dan kawannya telah merayapi hatinya dan memuncak
ketika mereka akan mengambil Ratri dengan paksa. Dan kini ia mendapat kesempatan
untuk mencurahkan kemarahannya itu. Apalagi ketika ia melihat Ki Tambi telah meloncat pula. Kemudian Ki Jagabaya,
Panjang dan anak-anak muda yang lain.
Akhirnya, Temunggul pun menarik senjatanya. Dengan tangkasnya ia pun meloncat
menyongsong orang-orang berkuda, namun jumlah orang Candi Sari jauh lebih banyak. Wanda Geni
mengumpat- umpat ketika ia harus bertempur melawan Ki Tambi dan beberapa anak muda yang
lain, sedang Ki Jagabaya, Panjang, Temunggul dan yang lain-lain lagi telah
memilih kelompok-kelompok kecil yang terjadi dengan tiba-tiba untuk melawan
orang-orang berkuda itu. Bagaimanapun juga, maka orang-orang berkuda itu segera mengalami kesulitan.
Apalagi mereka tidak menyangka sama sekali, bahwa mereka akan menjumpai lawan
dalam jumlah yang besar. Mereka telah pernah mendapat jaminan, bahwa rakyat
Candi Sari sama sekali tidak mempunyai minat untuk melawan
. Tetapi karena mereka datang bersama Sapu Angin maka mereka seakan-akan
mempercayakan diri mereka kepada pemimpinnya. Sapu Angin adalah orang yang tidak terkalahkan
disegala medan. Apalagi kali ini ia hanya sekadar berhadapan dengan anak-anak.
Tetapi anak-anak itu adalah Bramanti. Ditangannya kini telah tergenggam sebuah
pedang pendek. Dengan pedang itulah ia bertempur melawan Sapu Angin.
Pertempuran di antara keduanya segera berkobar dengan dahsyatnya. Meskipun
setiap orang telah mulai bertempur, namun mereka masih sempat melihat, betapa
tangkasnya Bramanti melawan Sapu
Angin yang duduk di atas punggung kuda.
Sapu Angin terkejut melihat lawannya yang masih sangat muda itu. Ia tidak
menyangka, bahwa anak itu mampu bergerak terlampau cepat. Meskipun dari Wanda
Geni ia telah mendengar, bahwa Putut Sabuk Tampar adalah seorang yang luar
biasa, yang mampu mengalahkan Wanda Geni dengan kawan-kawannya sekaligus, namun
ketika ia melihat tandangnya dengan mata sendiri, hatinya menjadi
Pewaris Mustika Api 2 Pendekar Slebor 41 Lima Jalan Darah Wanita Iblis 17
^