Pencarian

Tanah Warisan 7

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja Bagian 7


berdebar-debar. "Dimana anak ini menyadap ilmunya itu?" desis Sapu Angin di dalam hatinya.
187 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Dengan demikian, maka Sapu Angin tidak dapat lagi menganggap lawannya hanyalah
seorang anak muda. Sapu Angin yang duduk dipunggung kuda itu tiba-tiba merasa tubuhnya terguncang.
Ia sadar sepenuhnya ketika kudanya tiba-tiba melengking dan melonjak. Agaknya kudanya
telah tersentuh ujung pedang Bramanti sehingga kudanya itu terkejut dan berdiri
di atas kaki belakangnya.
Dalam keadaan serupa itulah Bramanti menyerang. Begitu dahsyatnya. Lawannya yang
masih berusaha mencari keseimbangan, dengan susah payah berusaha menangkis
serangan Bramanti itu. Namun
kekuatan Bramanti yang tercurah di tajam senjatanya, telah mendorong Sapu Angin
demikian dahsyatnya. Ketika kudanya sekali lagi bergoyang, maka Sapu Angin tidak mampu
lagi menahan keseimbangannya. Karena itu, maka ketika pedang Bramanti sekali lagi
menyambarnya, letak Sapu Angin telah mulai bergoyah.
Bramanti tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Sekali lagi ia menyentuh leher
kuda itu dengan pedangnya, sehingga kuda itu pun sekali lagi melonjak.
Sapu Angin benar-benar telah kehilangan keseimbangannya. Karena itu Bramanti
menyerangnya dengan garang, tidak ada jalan lain baginya daripada berguling di
sisi lain. Demikianlah Sapu Angin dan Bramanti telah berhadapan dengan kaki di atas tanah.
Ternyata keduanya adalah orang-orang yang tangguh dan memiliki ilmu yang jauh
melampaui orang-orang kebanyakan.
Ki Demang yang tidak menyangka, bahwa keadaan akan berkembang menjadi sedemikian
buruknya, masih berdiri dalam kebingungan. Sekali-kali ia bergeser, sehingga akhirnya ia
berdiri di atas tangga pendapa seperti orang yang kehilangan akal.
Halaman rumah Bramanti itu telah menjadi arena pertempuran yang menjadi semakin
seru. Orang-orang Panembahan Sekar Jagat telah berkelahi dengan kemarahan yang
meluap-luap. Mereka tidak pernah mendapat perlawanan hampir di semua daerah yang
pernah dikunjunginya. Dan tiba-tiba kini mereka harus benar-benar bertempur
melawan jumlah yang jauh lebih banyak dari jumlah mereka yang hanya enam itu.
Ketika mereka berangkat dari padepokan Panembahan Sekar Jagat, mereka menyangka,
bahwa tugas mereka tidak akan terlampau berat. Sekadar menangkap Putut Sabuk
Tampar. Dan pekerjaan itu telah diserahkan kepada seseorang yang memang dapat
dipercaya, Sapu Angin. Sedang yang lain hanyalah sekadar mengawasi dan menjaga
agar Putut itu tidak sempat melarikan diri. Namun tiba-tiba yang dijumpai adalah
anak-anak muda Kademangan Candi Sari yang seolah-olah menjadi wuru dan melawan
mereka sejadi-jadinya. Ki Tambi yang mempunyai pengalaman cukup banyak ternyata memiliki kemampuan yang
cukup untuk melawan Wanda Geni. Meskipun ia tidak dapat menghadapinya sendiri,
tetapi ia mampu memimpin perlawanan bersama beberapa anak-anak muda. Dengan demikian, betapa garangnya
Wanda Geni, namun menghadapi mereka, hatinya menjadi kecut
juga. Di bagian lain Ki Jagabaya bersama dua orang pengawal berkelahi mati-matian
melawan seorang penunggang kuda. Kekuatan tubuh Ki Jagabaya ternyata mampu diandalkan. Meskipun
ia tidak setangkas lawannya, namun ternyata kekuatannya merupakan kelebihan yang dapat
dibanggakan. 188 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Sedang kedua kawannya telah membantunya, mengisi setiap kekurangan yang ada
padanya. Panjang pun telah bertempur mati-matian di dalam sebuah kelompok kecil yang
terdiri dari empat orang.
Sebagai seorang baru, maka Panjang berusaha untuk tidak mengecewakan. Ternyata
bahwa ia memiliki keberanian yang cukup. Seperti pada saat ia mengendap di
padang ilalang, menunggu seekor harimau di masa pendadaran. Ia sama sekali tidak
mengenal takut. Meskipun pengalamannya masih kurang namun bersama kawan-kawannya
ia mampu membuat lawannya kebingungan.
Temunggul ternyata memiliki kelincahan yang cukup. Ia tidak melawan lawannya
yang berkuda seorang diri. Dengan tangkasnya mereka meloncat-loncat berputaran,
supaya lawannya menjadi bingung dan kadang-kadang kehilangan pengamatan. Dalam
keadaan demikian lawannya selalu membawa kudanya
berlari beberapa langkah menjauh, kemudian berputar dan menyerang dengan
dahsyatnya. Pedangnya terayun-ayun menyambar lawan-lawannya.
Anak-anak muda yang lainpun telah melibatkan diri didalam perlawanan itu. Suwela
ternyata gigih juga. Apalagi pengawal-pengawal yang lebih tua daripadanya.
Orang-orang Panembahan Sekar Jagat itu ternyata telah masuk ke dalam suatu
perangkap yang ketat. Sulitlah bagi mereka untuk dapat keluar lagi dari halaman itu. Dengan dada
berdebar-debar mereka melihat wajah-wajah anak Candi Sari yang telah menjadi
merah membara. Selama ini mereka telah menekan diri, menahan setiap niat untuk melakukan
perlawanan. Kini dada mereka serasa meledak. Ketika keringat telah menetes dari
kening dan membasahi hulu-hulu senjata, maka lenyaplah segala keragu-raguan.
Dengan demikian, maka perkelahian di antara mereka itupun menjadi semakin lama
semakin cepat. Kedua belah pihak telah terbakar oleh kemarahan yang menyala di dalam dada
masing-masing. Yang setiap saat menumbuhkan pertanyaan adalah Bramanti. Ki Demang yang berdiri
kebingungan ditangga pendapa, sekilas melihat betapa Bramanti mampu mengimbangi lawannya
yang bernama Sapu Angin itu.
Bahkan sekali-kali Ki Demang menahan nafas. Sama sekali tidak terduga-duga,
bahwa Bramanti mampu berkelahi sedahsyat itu. Pedang pendeknya menyambar-nyambar
seperti burung sikatan. Cepat dan berbahaya, mengarah kesegenap bagian tubuh
lawannya. Sapu Angin adalah seorang yang menyimpan pengalaman cukup di dalam dirinya.
Namun melawan Bramanti yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar, terasa, bahwa ia masih harus
berbuat banyak sekali pertimbangan-pertimbangan. Ternyata ia tidak dapat
berkelahi sambil tertawa-tawa seperti yang sering dilakukannya. Kemudian
berteriak-teriak didesaknya lawannya sampai ke dalam suatu keadaan yang paling
sulit. Dengan darah yang dingin, ia selalu membunuh lawannya pada saat lawannya
sudah tidak mampu melawan lagi. Perlahan-lahan dihujamkannya ujung pedangnya di
dada atau leher lawannya itu. Bahkan kadang-kadang dibiarkannya lawannya tidak segera mati.
Tetapi kali ini yang dihadapi agaknya lain dari yang pernah terjadi. Ia sama
sekali tidak sempat tertawa dan apalagi berteriak-teriak. Bahkan setiap usahanya
untuk menguasai lawannya selalu tidak berhasil.
Sapu Angin menggeram. Dikerahkannya segenap kemampuan yang ada padanya. Suatu
hal yang jarang-jarang dilakukannya.
189 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Tetapi Putut Sabuk Tampar itu benar-benar seorang anak muda yang tangguh. Pedang
pendeknya melibat lawannya dari segala arah, sehingga pedang itu seakan-akan telah berubah
menjadi puluhan mata pedang yang terbang disekitarnya.
Bukan saja Sapu Angin yang menjadi keheranan dan bahkan kecemasan menghadapi
lawannya. Namun yang lainpun mengalami tekanan yang serasa menjadi berat. Wanda Geni yang
meskipun masih di atas punggung kuda, namun ia seolah-olah telah terkurung dalam
satu lingkaran yang sempit.
Semakin lama kudanya bahkan menjadi semakin liar dan sulit dikendalikan.
Meskipun demikian, agaknya kebiasaan yang kasar dan liar dari orang-orang
Panembahan Sekar Jagat itu mempunyai pengaruh juga di dalam perkelahian itu.
Perlakuan yang tidak terduga-duga, kadang-kadang membuat anak-anak muda Candi
Sari menjadi ngeri. Ketika perkelahian itu berlangsung semakin seru, maka mulailah senjata-senjata
mereka bersentuhan. Tidak saja senjata membentur senjata. Tetapi kadang-kadang terdengar juga
keluhan tertahan. Anak-anak muda Candi Sari yang belum berpengalaman itu menjadi
bingung ketika mereka melihat kawan mereka mulai dibasahi oleh darah.
Dada mereka berguncang ketika mereka mendengar seorang kawannya yang lain justru
memekik tinggi. Pedang seorang pengikut Panembahan Sekar Jagat telah menyambar pundaknya.
Tertatih-tatih ia terdorong surut. Hampir saja justru kuda lawannya menginjaknya, apabila ia tidak
segera ditarik oleh kawannya. Namun dalam pada itu orang berkuda itu sempat
sekali menggoreskan pedangnya. Anak
muda yang sedang menolong, melepaskan kawannya dari injakan kuda itu, mengaduh
pula. Punggungnya telah tergores oleh pedang lawannya dan membuat luka yang panjang.
Darahnya segera mengalir menitik membasahi tanah. Tanah kelahiran.
Namun ternyata hal itu telah mempengaruhi keberanian anak-anak Candi Sari. Pada
dasarnya orang-orang Panembahan Sekar Jagat telah merupakan hantu bagi mereka.
Kini mereka melihat beberapa orang kawan-kawan mereka itu terluka. Dengan
demikian, maka kengerian yang sangat telah merambat membelit hati.
Tambi yang melihat gelagat itu menjadi cemas. Anak-anak itu tidak boleh patah
pada saat mereka mulai. Karena itu, untuk menambah gairah perlawanan, Tambi
berteriak, "Jangan beri kesempatan mereka melarikan diri."
Tetapi terdengar salah seorang dari mereka menjawab, "Lihat. Korban telah
berjatuhan di kalangan kalian. Apakah kalian masih dapat berteriak dan
mengatakan bahwa kami akan melarikan diri?"
Tambi menggeram. Ia menyerang lebih dahsyat lagi. Karena itu maka perkelahian
pun menjadi semakin lama semakin cepat.
Halaman rumah dan kebun disebelah menyebelah rumah Bramanti menjadi seakan-akan
dibajak. Tanaman-tanaman kecil dan tumbuh-tumbuhan perdu menjadi hancur karenanya. Bukan
saja kaki-kaki mereka yang bertempur, tetapi telapak kaki-kaki kudalah yang
membuat tanah itu menjadi teraduk.
Semakin lama, maka hati anak-anak muda Candi Sari menjadi semakin sempit. Hanya
beberapa orang saja yang masih melawan dengan penuh keberanian. Temunggul,
Panjang dan beberapa orang lagi
justru menjadi semakin marah, dan mereka berusaha sekuat-kuat tenaga mereka
untuk menahan lawannya. 190 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Ki Jagabayapun menjadi marah bukan kepalang. Disentakkannya segenap kekuatannya
untuk menahan keganasan lawannya. Ketika ia menyerang sejadi-jadinya, maka anak-
anak muda yang membantunya, mencoba untuk menjatuhkan kudanya. Meskipun
sebenarnya bukan mereka maksudkan, namun
agaknya salah seorang pengawal telah menusuk lambung kuda itu selagi
penunggangnya sibuk menangkis serangan Ki Jagabaya.
Tusukan itu ternyata telah membuat kuda itu meloncat tanpa dapat dikendalikan
lagi. Dengan demikian, maka penunggangnya menjadi kehilangan keseimbangannya.
Sebelah tangannya mencoba menguasai
kendali kudanya, sedang tangan yang lain berusaha menangkis serangan Ki
Jagabaya. Tetapi dengan demikian, perhatiannya sudah terbagi. Ketika Ki Jagabaya,
menyerangnya sekali lagi dengan ayunan yang kuat, maka penunggang kuda itu tidak
lagi mampu bertahan. Benturan yang
terjadi telah melemparkannya beberapa langkah dari kudanya, tepat ketika kuda
itu meronta sekali lagi. Nasib orang itu memang terlampau malang. Begitu ia berusaha melenting berdiri,
maka kudanya yang seakan-akan menjadi gila karena lukanya telah melanggarnya,
sehingga sekali lagi ia terbanting jatuh.
Selanjutnya, orang itu tidak mendapat kesempatan bangkit untuk selama-lamanya.
Sebilah pedang telah menghujam ke dadanya langsung menyentuh jantungnya.
Yang terdengar adalah sebuah pekik yang pendek. Kemudian diam.
Wanda Geni dan Sapu Angin yang mendengar pekik itu masih sempat melihat salah
seorang anak buahnya menggeliat. Kemudian mereka pasti, bahwa orang itu telah mati.
Kemarahan yang memuncak telah membakar dadanya. Dengan demikian maka mereka pun
segera mengerahkan kemampuan yang ada pada mereka untuk segera mengakhiri pertempuran.
Tetapi lawan-lawan mereka pun ternyata berbuat serupa. Mereka tidak membiarkan
diri mereka terlibat oleh kemarahan lawan. Sehingga mereka pun telah mengerahkan
segenap kemampuan yang ada pada
diri masing-masing. Dalam pada itu, di dalam rumah, dibalik pintu pringgitan, ibu Bramanti duduk
bersimpuh berpegangan tiang. Kepalanya yang tertunduk menyimpan berbagai macam
persoalan dan hatinya pun telah
dihentakkan oleh peristiwa yang terjadi di halaman itu.
"Bramanti," desisnya.
Nyai Pruwita telah dilanda oleh kecemasan yang dahsyat. Semula ia mencoba
mempercayakan keselamatan anaknya kepada Ki Tambi. Namun keadaan berkembang semakin panas,
sehingga hampir saja ia berlari keluar. Terbayang di rongga matanya, betapa ayah
Bramanti dahulu berkelahi melawan beberapa orang, sehingga akhirnya suaminya itu
terkapar tidak bernyawa lagi. Tak seorang pun menaruh belas kasihan kepadanya,
dan bahkan sebagian terbesar dari orang-orang Kademangan ini merasa bersyukur
karenanya. Dan tiba-tiba ia melihat orang-orang Kademangannya mendatangi anak laki-lakinya.
Anak Pruwita yang terbunuh itu.
Namun sebelum ia meloncati pintu, terdengar suara derap kaki-kaki kuda memasuki
halamannya. Dan sekali lagi ia mendengar nama anaknya dipanggil-panggil.
191 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Betapa gemetar kaki dan tangannya, tetapi ia mencoba untuk mengintip apa yang
telah terjadi di halaman.
Namun yang terjadi agaknya telah membingungkannya. Sampai pada suatu saat, di
halaman itu telah terjadi perkelahian. Tetapi perkelahian yang terjadi justru
antara anaknya bersama-sama orang-orang Kademangan ini, melawan orang-orang
Panembahan Sekar Jagat. Semula hati orang tua itu dicengkam oleh kecemasan yang memuncak. Ia tahu,
betapa kuat dan buasnya orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai utusan Panembahan Sekar
Jagat. Namun lambat laun terungkatlah perasaan yang telah puluhan tahun terpendalm di dalam
sudut hatinya yang paling dalam.
Sekilas teringat olehnya, bagaimana ia membantu suaminya yang dahulu mencoba
membina Kademangan ini. Suaminya yang saat itu menjadi seorang Demang. Dan sebagai istri
seorang Demang, maka ia tidak dapat melepaskan diri dari setiap usaha suaminya
untuk kepentingan Kademangannya.
Dan ia pun telah ikut serta dengan penuh kebanggaan.
Tetapi kebanggaan itu telah hancur. Hancur dan terpendam untuk waktu yang lama,
sejak ia kawin dengan suaminya yang kedua, yang semula merupakan laki-laki
kebanggaannya pula.

Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Namun, pada saat ia melihat Bramanti berkelahi melawan orang-orang Panembahan
Sekar Jagat, kebanggaan yang telah hampir terpendam sama sekali itu tiba-tiba terungkat.
Seolah-olah ia melihat anaknya sedang memimpin orang-orang Kademangan ini
seperti suaminya yang pertama, yang selalu berdiri di paling depan.
Tetapi sebagai seorang ibu, ia sangat mencemaskan nasib anaknya itu. Orang-orang
Panembahan Sekar Jagat bukanlah orang-orang yang baru mengenal senjata kemarin
sore. Sedang anaknya masih terlalu muda untuk memiliki pengalaman yang cukup.
Karena itu, ia berada di dalam kebingungan. Sekali-kali ia ingin melihat apa
yang terjadi. Kadang-kadang ia mencoba mengintip dari celah-celah pintu
rumahnya. Namun kemudian ia memejamkan matanya.
Perasaan-perasaan yang mengendap dan bergumpal-gumpal tersimpan di dalam dadanya
serasa bersama-sama muncul ke permukaan. Kebanggaan seperti yang pernah didambakannya
atas suaminya yang pertama, namun juga kecemasan apabila terbayang cara kematian
suaminya yang kedua. Dengan demikian maka Nyai Pruwita itupun kemudian duduk saja serasa membeku
bergayut pada tiang di sisi pintu pringgitan.
Suara dentang senjata, ringkikan kuda dan kadang-kadang pekik seseorang, setiap
kali terasa tergores didinding jantungnya, membuat luka-luka yang pedih.
Namun bayangan dari akhir pertempuran yang terjadi dihalaman itu, agaknya
menjadi semakin lama semakin nyata. Jumlah orang-orang Sapu Angin menjadi kian
berkurang. Dua orang telah terbunuh, meskipun di pihak Kademangan Candi Sari
juga jatuh beberapa orang korban yang terluka. Tiga orang terluka parah, dan
empat orang masih mampu menggenggam senjata mereka untuk melawan.
Kematian dua orang anak buah Sapu Angin telah membakar hati para pengawal.
Keadaan sudah terlanjur menjadi demikian buruknya, sehingga tidak ada gunanya lagi untuk
berpikir yang lain, daripada berkelahi mati-matian.
192 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Sapu Angin menggeram ketika, sekali lagi ia melihat seorang anak buahnya
terpelanting. Tetapi ia masih sempat bangun dan mengadakan perlawanan di atas
tanah, meskipun dari punggungnya telah mengalir darah.
Namun lebih dari peristiwa itu semua, yang paling membakar jantungnya adalah
lawannya. Seorang anak muda yang bernama Bramanti dan menyebut dirinya Putut
Sabuk Tampar. Sama sekali tidak
disangka-sangkanya bahwa ia akan bertemu dengan anak sekuat dan setangguh itu.
Sebagai seorang yang mempunyai pengalaman yang cukup, belum pernah Sapu Angin
bertemu dengan anak muda yang
demikian tangguhnya. Benturan-benturan senjata mereka telah memperingatkan Sapu Angin, bahwa kekuatan
Bramanti mampu mengimbanginya. Kecepatan bergerak dan kemampuan mengatasi setiap
kesulitan, benar-benar telah membuat Sapu Angin menjadi heran.
Tetapi ia telah bertekad untuk menghancurkan lawannya. Itulah sebabnya maka ia
tidak mempunyai perhitungan lain, selain berkelahi terus sampai Putut Sabuk
Tampar itu terbunuh. Namun dengan demikian, Sapu Angin tidak mau melihat kenyatan. Lawannya yang
masih sangat muda itu ternyata tidak dapat dibunuhnya dengan mudah. Bahkan
semakin lama semakin terasa betapa
beratnya melawan Putut Sabuk Tampar.
Pedang pendek Bramanti ternyata terlampau berbahaya bagi lawannya. Bahkan setiap
kali pedang itu berdesing dekat didepan telinga Sapu Angin. Betapa ia
mengerahkan tenaganya, namun pedang pendek itu selalu terbang berputar-putar di
sekitarnya. Sapu Angin menggeretakkan giginya. Dengan darah yang mendidih ia merendah. Kini
serangannya dipusatkan dibagian bawah tubuh lawannya. Setiap kali senjatanya terayun
menyambar lutut, kemudian pergelangan kaki. Sebelum Bramanti menampakkan kakinya
ia menghindari senjata itu, Sapu Angin telah berputar di atas telapak tangannya,
sedang sebelah kakinya menyambar lambung Bramanti.
Bramanti menggeretakkan giginya. Cara ini agaknya membuatnya terdesak. Namun,
sebagai seorang yang mempunyai cukup ilmu, maka Bramanti pun harus menyesuaikan
diri. Kini Bramanti justru berloncat seakan-akan tidak berjejak di atas tanah. Dengan
garangnya, pedangnya berputar-putar di atas kepala Sapu Angin yang selalu
merendah di atas lututnya.
Demikianlah perkelahian itu semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya telah
mengerahkan segenap kemampuan yang ada. Keringat mereka seperti terperas dari
lubang-lubang kulit membasahi pakaian yang melekat ditubuh mereka.
Dan Sapu Angin masih saja mencoba mencari kelemahan di bagian bawah tubuh
Bramanti. Senjatanya dan kakinya bergantian menyambar-nyambar, tanpa memberi
kesempatan kepada Bramanti untuk tegak barang sekejappun.
Tetapi meskipun Bramanti harus melonjak-lonjak seperti berdiri di atas bara,
namun pedang pendeknyapun tidak kalah dahsyatnya menyerang kepala lawannya. Seperti seekor
lebah yang buas, beterbangan dengan lincahnya, mencari kesempatan untuk
menyengat kepala itu. Di bagian lain dari perkelahian itu pun menjadi semakin nyata bahwa anak-anak
Kademangan Candi Sari 193
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
akan segera menguasai keadaan. Lawan mereka menjadi semakin sedikit.
Tiba-tiba perkelahian itu seolah-olah terhenti, ketika mereka mendengar Sapu
Angin mengumpat keras-keras. Sekali ia berteriak, kemudian wajahnya menjadi
tegang. Matanya seakan-akan meloncat dari pelupuknya, sedang tubuhnya menjadi
gemetar. Mereka terperanjat ketika mereka melihat dari sela-sela jari tangan Sapu Angin
yang menekan dadanya, meleleh darahnya yang merah, semerah matanya yang
memancarkan kemarahan tiada taranya.
"Setan kau, kau," suaranya terputus-putus. "Jangan lari. Aku cincang kau sampai
lumat." Dihadapan Sapu Angin, beberapa langkah daripadanya, Bramanti berdiri seolah-olah
membeku. Di tangannya tergenggam pedang pendeknya yang telah diwarnai oleh
darah. Sapu Angin terhuyung-huyung maju selangkah. Tetapi darah yang meleleh di sela-
sela jari tangannya menjadi semakin banyak. Akhirnya tubuhnya pun roboh
menelungkup di atas tanah.
Tetapi Sapu Angin masih mencoba mengangkat wajahnya. Dengan senjata yang masih
digenggamnya erat-erat ia menggeram. "Kubunuh kau anak iblis. Kubunuh kau,"
Dan kepala itupun segera terkulai lemah. Ketika kepala itu sekali lagi bergerak,
maka terputuslah nafas Sapu Angin yang terakhir.
Kematian Sapu Angin ternyata telah mengejutkan setiap orang di dalam pertempuran
itu. Baik orang-orang Kademangan Candi Sari, maupun orang-orang Panembahan Sekar
Jagat yang masih hidup. Namun selagi mereka terpukau oleh mata pedang Bramanti yang kemerah-merahan, dua
ekor kuda yang membawa Wanda Geni dan seorang kawannya telah menyelinap keluar dari regol
dan berlari kencang seperti di kejar hantu. Derap kaki-kaki kuda itu seolah-olah telah
menggema memenuhi padukuhan.
Ternyata mereka telah melarikan diri, sambil meninggalkan korban di antara
kawan-kawan mereka. Salah satu dari korban itu adalah Sapu Angin sendiri.
Dalam kebekuan yang panas itu, Bramanti merasa sebuah sentuhan dibahunya. Ketika
ia berpaling, maka dilihatnya Ki Tambi tersenyum kepadanya. Katanya, "Pundakmu
terluka Bramanti?" Bramanti mengerutkan keningnya. Ketika ia mengamati pundaknya dan merabanya,
terasa darah telah membasahi telapak tangannya. Barulah kemudian terasa luka itu
menjadi pedih. "Mungkin kau tidak merasa, karena kau terlampau memusatkan segenap kemampuan,
pikiran dan getar di dalam dirimu untuk menghadapi Sapu Angin. Ternyata kau
mampu mengalahkannya."
Bramanti menarik nafas dalam-dalam.
"Ternyata orang-orang Panembahan Sekar Jagat dapat juga kita lawan, meskipun
kita harus minta bantuan dari Resi Panji Sekar, dengan meminjam seorang Pututnya
yang bernama Sabuk Tampar."
Bramanti tidak menjawab. 194 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Semua mata sekarang tertuju kepadamu Bramanti. Kau tidak dapat lagi berpura-
pura seperti seekor anak kambing yang lemah dan cengeng. Kau adalah anak harimau
yang akan tumbuh menjadi harimau juga.
Bramanti masih belum menjawab. Hanya sekali-kali tangannya mengusap luka
dipundaknya yang semakin terasa pedih. "Bahkan dugaanku benar," terdengar sebuah suara yang lain, yang ternyata adalah
suara Panjang. "Sejak aku melihat jalur merah di dadamu, sesaat setelah aku berkelahi melawan
harimau itu aku sudah bercuriga. Tetapi kau selalu mengelak."
"Apa maksudmu Panjang?" bertanya Suwela.
"Kau ingat orang yang menolong kita di masa pendadaran?"
Suwela mengerutkan keningnya.
"Ketika tanpa kami ketahui, kami harus berhadapan dengan dua ekor harimau?"
Suwela menganggukkan kepalanya.
"Kalau tidak ada seseorang yang menolong kita waktu itu, kita tidak akan dapat
ikut didalam pertempuran ini." "Maksudmu, yang menolong kita waktu itu Bramanti?"
"Ya." Suwela mengerutkan keningnya. Dipandanginya Bramanti yang berdiri tegak seperti
tonggak. Dada Suwela itu menjadi berdebar-debar. Bramanti yang berdiri dihadapannya ini
serasa sama sekali bukan Bramanti yang pernah dilihatnya, yang bahkan pernah
dilecutnya di arena tanpa melawannya sama sekali. Tetapi Bramanti yang sekarang
adalah Bramanti yang perkasa, dengan sebilah pedang yang telah dibasahi oleh
darah lawannya. Namun tiba-tiba keheningan yang sejenak itu telah dipecahkan oleh suara Nyai
Pruwita yang berlari-lari keluar dari pringgitan.
Bramanti berpaling. Dilihatnya ibunya berlari kearahnya. Dan sebelum ia
beranjak, maka ibunya telah memeluknya sambil menangis.
"Kau selamat Bramanti."
"Aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Kuasa ibu."
"Kau luar biasa anakku. Kau dapat mengatasi lawanmu yang tangguh. Kau telah
memberi aku kebanggaan seperti masa-masa lampau, semasa aku masih diperlukan oleh orang-
orang Kademangan ini."
Bramanti tidak menjawab, tetapi dadanya berdesir.
195 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Kau telah berbuat sesuatu untuk Kademangan ini anakku. Kademangan yang telah
dibina berpuluh-puluh tahun. Mudah-mudahan bermanfaat bagi masa mendatang,"
ibunya berhenti sejenak, lalu,
"Bersyukurlah bahwa kau telah diselamatkan oleh Kuasa-Nya.
"Ya ibu," jawab Bramanti.
"Nah Nyai," berkata Ki Tambi. "Bukankah anakmu tidak apa-apa."
Nyai Pruwita mengangguk-anggukkan kepalanya. Dilepaskannya anaknya perlahan-
lahan. Namun kekakuan masih juga mencengkam halaman rumah Bramanti. Kemenangannya itu
ternyata telah mengejutkan sekali. Terutama bagi para pengawal. Setelah mereka kehilangan
lawan masing-masing, maka kini mereka sempat menyadari keadaan. Mereka sempat
membuat pertimbangan tentang Bramanti yang ternyata telah berhasil membunuh Sapu
Angin. Temunggul, pimpinan para pengawal, seakan-akan membeku ditempatnya. Kawannya
yang terjerumus ke dalam tebing di dekat gerojogan bahkan telah menggigil
ketakutan, karena apabila dikehendaki, maka Bramanti pasti dapat berbuat apa
saja atasnya. Bahkan Ki Jagabaya pun menjadi termanggu-manggu menanggapi keadaan yang terasa
aneh baginya. Dalam kebekuan itu terdengar suara Ki Tambi, "He, kenapa kalian seakan-akan
telah berubah menjadi patung batu" Kita telah memenangkan perjuangan kali ini.
Kita harus bergembira, bahwa ternyata kita pada suatu saat masih dapat bangkit
sebagai pengawal Kademangan kita ini yang sebenarnya. Bukan sekadar pendadaran
di arena, berburu harimau, menundukkan kuda liar, tetapi tidak berbuat sesuatu
yang terasa manfaatnya langsung bagi rakyat Kademangan ini. Dan sekarang kita
sudah berbuat." Tidak seorang pun yang menjawab. Mereka seakan-akan masih saja membeku ditempat
masing- masing. Ki Tambi mengerutkan keningnya. Dan tiba-tiba ia mengedarkan pandangan matanya
ke sekeliling halaman sambil berdesis, "Dimana Ki Demang?"
Semua matapun kemudian mencari kesekitar halaman itu. Tetapi tidak seorang pun
yang melihatnya. "Ki Demang harus melihat kemenangan ini. Ki Demang harus melihat, bahwa orang
yang bernama Sapu Angin pun dapat kita kalahkan dan terbunuh pula oleh
Bramanti." Ki Tambi berhenti sejenak, lalu, "Dan kita pun sadar, bahwa lain kali
mungkin Panembahan Sekar Jagat sendiri akan datang ke Kademangan ini. Tetapi
tidak mengapa. Kita harus harus menyusun pertahanan yang lebih baik dan rapi,
sehingga kita akan dapat melawannya dengan baik."
Tidak seorang pun yang menyahut, dan tidak seorangpun yang beranjak dari
tempatnya. "Hem," Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. "Kalian masih terpesona melihat
kemampuan Bramanti yang menyebut dirinya Putut Sabuk Tampar. Jangan cemas. Ia
tidak akan berbuat apapun. Meskipun kini kalian mengetahui, bahwa Bramanti
sebenarnya bukan anak kambing yang cengeng, tetapi ia adalah seekor harimau yang
garang." Wajah-wajah para pengawal pun menjadi tegang. Apalagi Temunggul.
196 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Aku menjamin, bahwa Putut Sabuk Tampar tidak akan berbuat apapun atas kalian,"
sambung Ki Tambi. "Bukankah kalian kini menjadi cemas, bahwa Putut ini akan melepaskan sakit
hatinya atas perlakuan kalian" Atau bahkan kalian mencemaskannya, bahwa ia akan
membalas dendam atas kematian
ayahnya" Tidak. Aku tidak yakin."
Ketika Ki Tambi memandang wajah Bramanti, anak itu menundukkan kepalanya.
"Bahwa ia telah berpura-pura selama ini, adalah suatu usaha daripadanya untuk
menjauhkan segala prasangka buruk tentang pembalasan dendam itu. Kalau ia mau,
maka semua sudah terjadi. Bukan sekadar menjerumuskan seseorang dari atas tebing
di gerojogan. Itu adalah pekerjaan anak-anak.
Sedangkan orang yang bernama Sapu Angin inipun dapat dikalahkannya," Ki Tambi
berhenti sejenak lalu, "Nah, apakah kalian menyadarinya?"
Perlahan-lahan Ki Tambi melihat beberapa kepala mengangguk-angguk. Ki Jagabaya
yang mendengarkan kata-kata Ki Tambi itu dengan mulut ternganga, tiba-tiba melangkah
mendekati Bramanti sambil berkata, "Aku minta maaf Bramanti."
Bramanti menarik nafas. Jawabnya, "Kita sama-sama bersalah Ki Jagabaya. Karena
itu marilah sama-sama kita lupakan."
"Terima kasih. Kau memang anak yang baik. Jauh berbeda dengan ayahmu dahulu."
Dahi Bramanti berkerut. Tetapi ia tahu, bahwa Ki Jagabaya adalah seorang yang
berhati terbuka. Ia mengatakan apa yang ingin dikatakannya.
"Nah," berkata Ki Jagabaya kepada anak-anak muda pengawal Kademangan.
"Seharusnya kalian pun minta maaf kepadanya. Aku pernah melihat seseorang


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggait kakinya di halaman Kademangan
sehingga anak ini jatuh tertelungkup. Kemudian di arena, seseorang dengan
sombongnya melecutnya meskipun anak itu tidak melawan. Yang terakhir adalah apa
yang baru saja kita lakukan. Beramai-ramai datang ke halaman ini seperti akan
menangkap pencuri. Ayo terutama, kau Temunggul. Kaulah yang membuat ceritera
tentang balas dendam ini. Bagaimana?"
Terasa darah Temunggul menjadi semakin cepat mengalir. Tetapi ia harus mengakui
kenyataan, betapapun pahitnya. Terlebih pahit lagi apabila dikenangnya hubungan Bramanti
dengan Ratri, yang kini pasti tidak dapat dihalangi lagi.
"Apa boleh buat," desisnya. "Ternyata Ratri pun sama sekali tidak menanggapi
perasaannya. Dengan langkah yang berat Temunggul maju mendekati Bramanti. Dengan suara yang
bergetar ia berkata perlahan-lahan, "Maafkan semua kelakuan-kelakuanku Bramanti."
"Lupakanlah semua. Kita bersama-sama mencoba untuk membuat lembaran baru di
dalam pergaulan di Kademangan ini. Bukan saja pergaulan di antara kita, tetapi
juga pergaulan keluar. Kita harus berusaha, bahwa tidak ada orang lain yang
dapat mengganggu dengan cara apapun."
Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. "Ya. Aku sependapat."
"Pengalaman hari ini adalah cambuk untuk mendorong kebangkitan kita bersama.
Kita harus bangun dan berkuasa di rumah kita sendiri."
197 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Sekali lagi Temunggul mengangguk, "Baiklah," jawabnya. "Aku bersedia."
"Nah," berkata Ki Tambi kemudian, "Kita akan menyampaikannya kepada Ki Demang.
Kita harus mencarinya. Mudah-mudahan ia tidak diterkam oleh Wanda Geni yang sedang
melarikan diri itu."
"Baik Ki Tambi," jawab Bramanti. "Tetapi aku akan membersihkan halaman rumah
ini. Kita masih harus mengubur mayat-mayat ini, dan mengobati setiap luka. Juga
lukaku sendiri." "O," Ki Tambi mengangguk-anggukkan," sebaiknya memang begitu. Marilah anak-anak,
kita bersihkan halaman ini."
Maka para pengawal yang tidak tersentuh sama sekali oleh senjata, segera
membersihkan halaman Bramanti. Mereka yang terluka pun segera diobati. Namun
tampaklah bahwa wajah-wajah mereka kini menjadi cerah. Secerah kepercayaan
kepada diri sendiri telah mulai merayapi jantung para pengawal itu.
Ternyata bahwa Wanda Geni dan bahkan Sapu Angin adalah manusia-manusia biasa
yang terdiri dari kulit, daging, tulang dan darah. Mereka sama sekali tidak
kebal oleh senjata. Dan mereka sama sekali tidak bernyawa rangkap.
Hampir sehari anak-anak muda Candi Sari sibuk membersihkan halaman rumah
Bramanti yang digenangi oleh darah kawan dan lawan. Dan belum sehari, berita tentang
perkelahian yang menentukan itu telah tersebar.
"Bramanti, Bramanti anak Nyai Pruwitakah yang dimaksud?" bertanya salah seorang
kepada tetangganya yang berceritera tentang Bramanti.
"Ya," Bramanti itulah.
"Huh, jadi anak penjudi yang terbunuh itu?"
"Ya, tetapi Bramanti bukan penjudi, pemabuk dan penipu licik. Ia justru telah
berbuat sesuatu yang sangat berarti bagi Kademangan ini. Seperti yang
dikatakannya sendiri, bahwa ia ingin mencuci nama keluarganya yang cemar. Dan
cara itulah yang dipilihnya. Sama sekali bukan cara yang kita cemaskan selama
ini. Balas dendam." "Belum tentu. Siapa tahu, sehari dua hari lagi ia mulai. Dan bagaimanakah anak
yang telah dijerumuskannya di tebing itu."
"Temunggullah yang bohong. Dan seandainya Bramanti benar-benar ingin membalas
dendam, maka Dirga tua itulah yang pertama-tama akan mengalami akibatnya. Bagi Bramanti yang
mampu membunuh Sapu Angin itu, maka Dirga sama sekali tidak akan berarti apa-apa
lagi baginya. Bukankah Dirgalah yang merencanakan pembunuhan itu meskipun dengan
meminjam seribu tangan orang lain."
Keduanya pun kemudian terdiam sejenak. Keduanya mengangguk-anggukkan kepalanya.
Memang kini mata mereka justru mulai terbuka, bahwa Bramanti sama sekali memang tidak ada
niat untuk membalas dendam atas kematian orang tuanya. Setiap kali ia berkata di
dalam hatinya. "Bukan begitu caranya berbakti terhadap orang tua. Bukan mati
dibalas dengan mati, darah di balas dengan darah. Tidak. Jika demikian maka
seluruh permukaan bumi akan hangus dibakar oleh dendam. Tetapi ia mencoba
berbakti kepada orang tua dengan jalan ini. Cinta kasih. Kepada sesama, kepada
kampung halaman, kepada siapapun dan kepada apapun.
198 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Orang-orang Kademangan Candi Sari mulai mempercayainya, justru ketika mereka
mulai menyadari, bahwa Bramanti adalah seorang yang pilih tanding.
Setelah semuanya selesai, maka beberapa orang berusaha untuk menemui Ki Demang.
Mereka menyangka bahwa Ki Demang pasti sudah pulang ke rumahnya.
Dugaan itu memang benar. Ki Demang memang telah berada di Kademangan. Ia duduk
tepekur seorang diri di pendapa. Keningnya masih basah oleh keringat, dan debar
jantungnya pun masih belum pulih sewajarnya.
Ketika Ki Demang melihat beberapa orang datang kepadanya segera ia berteriak.
"He, kenapa kalian datang kemari" Apakah kalian menemui kesulitan-kesulitan.
Tidak, pergi saja. Pergi sajalah. Aku sudah tidak mau ikut campur lagi.
Tambi yang tertua di antara mereka yang datang ke rumah Ki Demang itu menjadi
heran, sehingga justru karena itu, ia tidak segera menjawab.
"Kalau mereka akan menumpas kalian, adalah salah kalian sendiri. Aku sudah
memperingatkan, bahwa perlawanan itu sama sekali tidak menguntungkan. Tetapi
kalian tidak mendengarkannya. Sekarang kalian berlari-lari mencari aku."
"Ki Demang," berkata Tambi sareh. "Kami justru membawa kabar gembira bagi Ki
Demang. Kali ini kami telah memenangkan perkelahian itu. Bahkan Sapu Angin telah
terbunuh di medan. Bukankah hal ini merupakan suatu kebanggaan bagi kita
penduduk Kademangan Candi Sari?"
"He, apa katamu" Sapu Angin terbunuh?"
"Ya. Apakah pada saat itu Ki demang sudah tidak menyaksikannya lagi?"
"Bohong. Kalian bermimpi. Sapu Angin tidak akan dibunuh oleh siapapun."
"Tetapi Sapu Angin telah mati."
"Tidak. Ia tidak mati. Kalian keliru. Ia baru pingsan dan ia pasti akan bangkit
kembali." "Kami telah menguburkannya."
Wajah Ki Demang tiba-tiba menjadi pucat. Dengan suara gemetar ia berkata,
"Siapakah yang berhasil mengalahkannya?"
"Bramanti." "Bramanti?" mata Ki Demang terbelalak. Tetapi kemudian kepalanya menengadah.
Wajah yang pucat itu tiba-tiba menjadi merah darah. Dengan suara gemetar ia
berkata, "Kalian telah membuat suatu kesalahan yang besar sekali. Kematian Sapu
Angin akan menjadi bencana yang tidak terelakkan bagi Kademangan ini."
Tambi menjadi semakin heran. Tanggapan Ki Demang sama sekali tidak seperti yang
mereka harapkan. Bahkan agaknya pun Ki Demang telah menjadi sangat marah.
"Aku tidak menyangka," Ki Demang melanjutkan, "Bahwa kalian dapat berbuat
sebodoh itu. Apakah 199 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
kalian sama sekali tidak membayangkan, bencana yang bakal menghancurkan
Kademangan ini?" "Kenapa Ki Demang" Bukankah dengan demikian maka orang-orang Panembahan Sekar
Jagat itu justru tidak akan berani datang lagi ke Kademangan ini?"
"O, alangkah bodohnya kalian," Ki Demang berhenti sejenak, lalu "He, Ki
Jagabaya. Apakah kau ikut pula?"
"Ya. Aku telah ikut di dalam pertempuran itu. Aku menganggap bahwa jalan itu
adalah jalan yang sebaik-baiknya untuk menghentikan pemerasan yang masih saja
berlangsung sampai saat ini."
"Kalian telah menjadi gila," Ki Demang itu pun kemudian berdiri, "Apakah kalian
tidak dapat membayangkan akibatnya?"
Tidak seorang pun yang menjawab.
"Besok atau lusa, sehari atau dua hari lagi, Kademangan ini akan lebur menjadi
abu." "Kenapa Ki Demang?"
"Kalau Sapu Angin benar-benar sudah terbunuh, maka pasti Panembahan Sekar Jagat
sendirilah yang bakal datang kemari."
"Kami sudah siap Ki Demang," tiba-tiba terdengar suara menyahut. "Apapun yang
bakal terjadi, namun adalah tugas yang paling mulia bagi kami adalah
menyelamatkan tanah ini, Kademangan ini, dan siapapun yang sengaja memeras."
"Oh, kau itu Bramanti," desis Ki Demang. "Iblis manakah yang telah merasuk ke
dalam dirimu, sehingga kau mampu melakukannya" Tetapi kau tidak menyadari bahwa
karena perbuatanmu itu, besok atau lusa kau akan dicincang bersama setiap laki-
laki dari Kademangan ini. Tetapi itu tidak berarti apa-apa seandainya kami tidak
mengingat perempuan dan gadis-gadis yang kami tinggalkan. Apakah jadinya dengan
mereka itu kelak?" Mereka yang mendengar kata-kata Ki Demang itu meremang. Sungguh mengerikan. Dan
hal itu tidak mustahil bakal terjadi.
Karena itu, satu dua dari antara mereka menjadi ragu-ragu. Apakah mereka sudah
pada tempatnya berbangga atas kememangan ini.
Namun dalam pada itu terdengar Bramanti menjawab. "Ki Demang. Seandainya benar
demikian yang terjadi, memang, alangkah mengerikannya. Dan kami bersama inilah
yang telah bersalah." Bramanti berhenti sejenak kemudian, "Tetapi kami bukan
patung-patung batu yang hanya dapat membiarkan Panembahan Sekar Jagat berbuat
sekehendak hatinya. Kami mempunyai tenaga yang dapat kami
pergunakan untuk mempertahankan diri. Kami akan bersama-sama menyusun suatu
kekuatan untuk melawan Panembahan Sekar Jagat. Dan aku yakin, Panembahan Sekar Jagatpun adalah
manusia biasa seperti kita. Kalau tidak ada seorang pun yang dapat melawannya
seorang lawan seorang, maka kami, beberapa orang harus bergabung, untuk
menghadapi Panembahan Sekar Jagat itu."
"Huh, kau adalah seorang yang pandai berkhayal," jawab Ki Demang. "Kau sangka
Panembahan Sekar Jagat itu apa" Ia adalah seorang Panembahan yang memiliki ilmu
melampaui ilmu manusia biasa. Kalau 200
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
kalian tidak percaya, baiklah. Marilah kita tunggu bersama-sama."
"Baiklah Ki Demang," jawab Bramanti. "Kita akan bersama-sama menunggu. Tetapi
kepercayaan tentang Sapu Angin yang tidak dapat terkalahkan telah patah."
Ki Demang mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut.
"Namun demikian," berkata Ki Jagabaya selanjutnya. "Terserahlah penilaian Ki
Demang seterusnya. Barangkali Ki Demang mempunyai cara yang baik untuk melenyapkan kegelisahan
ini?" Bramanti menjadi berdebar-debar mendengar kata-kata Ki Jagabaya itu. Akibatnya
mungkin akan justru menambah kegelisahan karena kepercayaan yang berlebih-
lebihan terhadap Panembahan Sekar Jagat.
Karena itu, untuk mengatasinya, maka Bramanti pun berkata lantang, "Tidak ada
kegelisahan apapun Ki Jagabaya. Kalau Panembahan Sekar Jagat benar-benar akan
datang, dan tidak seorang pun dan bahkan bersama-sama dapat melawannya, maka aku
atas nama Putut Sabuk Tampar akan dapat
mempersilahkan Resi Panji Sekar untuk secara langsung menghadapinya. Nah, bagi
Resi Panji Sekar, Panembahan Sekar Jagat tidak berarti apapun juga."
Wajah Ki Demang yang merah menjadi semakin merah. Dan ia masih harus mendengar
Bramanti berkata seterusnya. "Sapu Angin, orang kepercayaan dari Panembahan Sekar Jagat
tidak dapat bertahan menghadapi kita semuanya. Nah, apakah kira-kira Panembahan
Sekar Jagat tidak akan mengalami nasib yang sama" Apakah sebenarnya kelebihan
Panembahan Sekar Jagat dari kita masing-masing."
Bibir Ki Demang menjadi gemetar. Untuk meyakinkan Bramanti ia berkata,
"Panembahan Sekar Jagat itu tidak saja memiliki ilmu kanuragan yang tinggi,
tetapi ia mempunyai ilmu sihir yang tiada taranya. Ia dapat menciptakan apa yang
tidak ada di dalam peperangan. Ia dapat memanggil seekor burung garuda dalam
sekejap mata." "He," potong Bramanti. "Kalau begitu ada persamaan antara Panembahan Sekar Jagat
dan Resi Panji Sekar. Resi Panji Sekar mempunyai ilmu yang serupa. Bukan saja
burung garuda, tetapi Resi Panji Sekar dapat menciptakan petir dan guntur. Api
dan hujan, gempa bumi dan bahkan ledakan gunung-gunung berapi."
Wajah yang merah itu menjadi semakin merah. Terdengar gigi Ki Demang gemeratak.
Ia sadar, bahwa Bramanti tidak mempercayainya. Anak muda itu sama sekali tidak
percaya akan kemampuan Panembahan Sekar Jagat seperti yang dikatakannya.
Karena itu, maka ia pun menjadi kehabisan akal untuk menakut-nakutinya.
"Ki Demang," berkata Bramanti kemudian, "Kita tidak perlu cemas. Kita bahkan
akan berangsur-angsur menjadi tenang dan tentram. Orang-orang Panembahan Sekar
Jagat pasti memerlukan waktu untuk
berpikir apabila mereka akan datang kemari. Dan bahkan Panembahan Sekar Jagat
sendiri." "Terserah kepadamu," geram Ki Demang. "Aku sudah memperingatkan. Dan kalian
mengabaikan peringatanku." Ki Tambi menarik nafas. Kemudian katanya, "Ki Demang. Marilah kita tanggung
bersama-sama apa yang akan terjadi di Kademangan ini. Aku mengerti betapa hati
Ki Demang sendiri selalu di gelisahkan oleh kemungkinan yang tidak kita
kehendaki itu sebagai seorang Demang. Namun demikian, sebagai
penduduk Kademangan yang punya harga diri, seharusnya kita berani berbuat,
apapun akibatnya, 201 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
selama kita merasa, bahwa kita berjalan di jalan yang lurus dan benar."
"Persetan," geram Ki Demang. "Aku tidak peduli lagi apa yang akan terjadi dengan
kalian." "Itu tidak mungkin," sahut Ki Jagabaya. "Selama kau masih menjadi Demang, maka
kau masih tetap bertanggungjawab atas Kademangan ini. Kau kehendaki atau tidak."
Ki Demang membelalakkan matanya, namun kemudian ia mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Ya. Aku masih tetap sebagai seorang Demang. Aku masih tetap bertanggung jawab atas
keselamatan Kademangan ini. Aku akan mencari cara yang dapat kita tempuh tanpa menghancurkan
Kademangan ini seluruhnya. Aku akan mencari hubungan Panembahan Sekar Jagat. Aku
akan minta maaf atas segala peristiwa yang telah terjadi. Namun mungkin kita
harus mengorbankan satu atau dua orang dari antara kita yang dituntut oleh
Panembahan Sekar Jagat. Namun dengan demikian seluruh isi Kademangan ini dapat
tertolong." Tanpa sesadarnya Ki Tambi melangkah maju sambil berkata, "Tidak. Tidak ada
hubungan apapun dengan Panembahan Sekar Jagat. Apalagi dengan segala macam pengorbanan. Kita
sudah berdiri berhadapan. Dan apa yang sudah kita mulai akan kita teruskan sampai tuntas.
Kalau perlu, kita semua akan menjadi korban bersama-sama."
"Kau memang gila Tambi. Kau hanya memikirkan dirimu sendiri karena kau takut,
bahwa di antaranya kaulah yang diminta oleh Panembahan Sekar Jagat."
"Seandainya demikian," jawab Tambi. "Persoalannya sudah jelas. Aku akan melawan
siapapun yang akan berusaha mengkhianati kami yang telah mulai dengan perjuangan
ini." "Terkutuklah kau Tambi," bentak Ki Demang. "Kau tidak dapat berkeras kepala
membela kepentinganmu sendiri. Kalau perlu kau memang harus dicincang, asalkan
seluruh Kademangan ini selamat karenanya."
"Hanya pengecut yang akan berbuat demikian. Aku kira tidak ada di antara kita
seorang pengecut serupa itu. Kita akan mati bersama-sama. Tetapi kalau kita
berhasil, kita akan menikmati bersama-sama pula."


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ki Demang ternyata sudah tidak dapat menahan hatinya lagi, sehingga tubuhnya
menggigil karenanya. Tanpa mengucapkan sepatah katapun lagi, ia segera meloncat masuk ke dalam
rumahnya. Sejenak kemudian, orang-orang yang ingin menemui Ki Demang itu menjadi termangu-
mangu. Kini mereka seakan-akan berdiri tanpa tujuan di halaman Kademangan.
"Aneh," desis Ki Tambi. "Ki Demang yang sekarang ini sebenarnya bukan termasuk
seorang pengecut. Aku kenal sejak masa mudaku. Ia adalah seorang pemberani, tangkas dan mampu
mempergunakan otaknya. Itulah sebabnya maka akhirnya pilihan jatuh kepadanya sepeninggalan Ki
Demang lama, meninggalkan anak yang sudah dewasa, maka saat itu masih kecil.
Seandainya anak itu sudah dewasa, maka ia akan berhak menggantikan kedudukan
ayahnya." "Hanya mereka yang tidak cacad sajalah yang dapat menjadi seorang Demang,"
justru Bramanti yang menyahut. "Kedudukan Demang tidak akan dapat dilintirkan
kepada seorang penjahat."
Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya, dan cepat-cepat ia menjawab. "Ya
begitulah. Namun sikap pengecut Ki Demang sekarang sangat mengherankan."
202 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Mungkin Ki Demang sangat dipengaruhi oleh kabar-kabar yang tidak benar tentang
Panembahan Sekar Jagat, sehingga ia sangat dipengaruhinya," jawab Bramanti.
"Tetapi itu semua sama sekali bukan alasan untuk mencari orang lain dalam
keadaan serupa ini."
Ki Tambi masih mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi terkilas di dalam
kepalanya betapa hubungan yang kurang baik telah membatasi kedua saudara laki-
laki seibu tetapi berlainan ayah itu. Setiap kali Bramanti selalu menolak
hubungan dengan Panggiring. Tentang apapun dan dalam keadaan apapun.
Maka katanya kemudian, "Baiklah. Tetapi kita harus berusaha untuk selalu
membesarkan hatinya,"
kemudian kepada Ki Jagabaya ia berkata, "Itu adalah tugasmu Ki Jagabaya."
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya. Jawabnya, "Aku selalu bersedia
berbuat apa saja. Tetapi Demangku itu seperti orang ketakutan saja, setiap ia menghadapi persoalan
Panembahan Sekar Jagat."
"Cobalah menunjukkan kemampuan yang ada di Kademangan ini. Setiap kali. Dan
cobalah meyakinkan, bahwa Panembahan Sekar Jagat pun adalah manusia biasa."
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya, "Ya. Aku akan mencoba. Tetapi tidak
sekarang. Aku pasti hanya akan dibentak-bentaknya saja."
"Ya. Kau harus dapat mencari waktu yang baik dan kesempatan yang baik pula."
Ki Jagabaya mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan?" bertanya Tambi kemudian.
Bramanti menggeleng-gelengkan kepalanya, "Tidak ada. Tetapi kita tidak boleh
meninggalkan kewaspadaan." "Tentu. Dan ini adalah tugasmu Temunggul," sahut Tambi.
Temunggul yang sejak semula berdiam diri, bertanya. "Apakah tugas itu?"
"Kau harus menyiapkan para pengawal. Sama sekali tidak boleh lengah. Untuk
menghadapi kemarahan Sekar Jagat kita harus benar-benar bersiap. Kau harus
menempatkan penjagaan di setiap lorong yang memasuki Kademangan ini dari segala
penjuru. Mereka harus siap dengan tengara kentongan, misalnya.
Setiap orang dari mereka yang melihat kedatangan orang-orang berkuda, mereka
harus segera memukul tanda, sehingga kita akan segera dapat bersiap. Kita tidak akan
membiarkan diri kita masing-masing diterkam seorang demi seorang," Tambi
berhenti sejenak, kemudian, "Demikian juga setiap orang yang pergi ke sawah.
Mereka harus juga membawa kentongan-kentongan kecil."
Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah, kau harus segera mengatur. Kita benar-benar dalam keadaan yang gawat. Kita
tidak tahu, sampai kapan kita harus selalu berjaga-jaga. Mungkin kelak, apabila
perselisihan antara Pajang dan Mataram telah selesai, dan salah satu daripada
mereka menjadi mantap, kita akan segera mendapat
perlindungan. Tetapi kita harus mempercayakan keselamatan kita saat ini kepada
kemampuan kita sendiri."
203 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Temunggul mengangguk-angguk pula.
"Bukankah begitu Ki Jagabaya."
"Ya, ya begitu. Aku akan selalu siap berada di Kademangan. Setiap kali terjadi
sesuatu, kalian tidak usah mencari-cari aku."
"Baiklah," berkata Ki Tambi. "Sekarang, sekarang kita semua dapat beristirahat."
"Sejak kapan aku harus berjaga-jaga?" berkata Temunggul.
Tambi mengerutkan keningnya. Terasa tiba-tiba saja Temunggul yang selama ini
seorang pemimpin yang cakap menjadi demikian bodoh dan ragu-ragu.
"Sejak sekarang," jawab Tambi. "Sebab kemungkinan itu tidak dapat kita duga-
duga. Kapankah pembalasan itu akan dilakukan oleh Panembahan Sekar Jagat."
Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aturlah para pengawal. Mulailah dari mereka yang terlampau payah di dalam
pertempuran yang baru saja terjadi."
"Baik. Baik. Aku akan mengaturnya sekarang."
"Bagus. Hati-hatilah. Lawan kita bukan perampok-perampok kecil yang takut
mendengar kentong titir-titir."
Temunggul mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba saja wajahnya menjadi kosong.
Meskipun demikian hal itu dilakukannya juga. Beberapa orang yang datang kemudian
setelah pertempuran selesai, segera mendapat tugas untuk menempati gardu-gardu
di setiap lorong masuk. Mereka harus menyediakan alat-alat yang dapat memberikan
tanda bahwa Kademangan ini akan dilanda bahaya.
Selama ini penjagaan serupa itu tidak pernah dilakukan. Biasanya mereka
membiarkan saja orang-orang Panembahan Sekar Jagat memasuki Kademangan ini.
Bahkan mereka berebut dahulu menyingkir dan bersembunyi. Karena itu, maka untuk
pertama kali, orang-orang yang ditempatkan digardu-gardu itu pun menjadi
berdebar-debar. "Bagaimana kalau tiba-tiba saja kita dicekik?" bertanya salah seorang penjaga
kepada kawannya. "Kita harus waspada. Karena di gardu ini ada tiga orang, maka kita harus membagi
tugas sebaik-baiknya. Setiap saat salah seorang dari kita harus mengawasi lorong
ini sebaik-baiknya."
Demikianlah, maka setiap lorong masuk di Kademangan itu telah dijaga oleh tiga
atau empat orang. Mereka harus selalu waspada. kalau tidak maka hidup mereka sendiri terancam dan
Kademangan mereka pun terancam pula.
Demikianlah, maka Kademangan Candi Sari serasa telah terbangun dari tidurnya.
Anak-anak mudanya, terlebih-lebih lagi para pengawal kini mempunyai tanggung
jawab baru. Sebenarnya tanggung jawab seorang pengawal.
204 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Di bantu oleh Bramanti, Temunggul mengatur anak buahnya. Semakin lama menjadi
semakin tertib. Bukan saja para pengawal, tetapi setiap anak muda dan laki-laki yang masih mampu
menggenggam senjata harus melakukan tugas bersama-sama.
Namun dalam pada itu, kegiatan Kademangan Candi Sari kini seakan-akan telah
bergeser. Ki Demang sendiri seakan-akan sama sekali sudah tidak mau tahu, apa
yang terjadi di Kademangannya. Ia hanya mengumpat-umpat, marah-marah dan kadang-
kadang mengancam. Sedang rumahnya pun kini hampir
tidak diacuhkan lagi. Dibiarkannya saja orang-orang yang selalu datang ke
Kademangan seperti biasanya. Ki Demang sendiri hampir-hampir tidak pernah
menampakkan diri. Demikian juga
keluarganya. "Keluargaku perlu mengungsi," katanya pada suatu saat kepada Ki Jagabaya.
"Kenapa?" "Kalau pada saatnya Kademangan ini menjadi abu, biarlah keluargaku selamat,
meskipun aku akan ikut menjadi abu juga."
Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Katanya, "Sikap itu akan sangat berpengaruh
Ki Demang. Orang-orang lain akan menjadi semakin gelisah. Mungkin mereka pun
akan segera mengungsi pula dari
Kademangan ini." "Apa peduliku. Orang-orang Kademangan ini sudah tidak mau mendengar kata-kataku
lagi." "Tetapi kau masih tetap seorang Demang disini."
"Apakah seorang Demang tidak boleh berusaha menyelamatkan keluarganya" Sudah aku
katakan, aku sendiri akan ikut menjadi abu disini bersama seluruh Kademangan
karena kebodohan kalian. Tetapi tidak dengan keluargaku."
Ki Jagabaya tidak membantah lagi. Memang itu adalah haknya. Tetapi bagi Ki
Jagabaya, hal itu terasa aneh. Bukankah setiap orang sudah bertekad untuk
mempertahankan Kademangan ini dengan
pengorbanan apa saja. Tetapi ternyata Ki Demang pun tidak segera melakukan maksudnya. Meskipun dari
hari ke hari ia menjadi semakin jarang tampak.
Dengan demikian maka pimpinan Kademangan itu seolah-olah telah berpindah. Orang
yang dalam kedudukannya masih selalu bertindak adalah Ki Jagabaya.
Namun Ki Jagabaya tidak pernah meninggalkan Ki Tambi dan Bramanti, karena Ki
Jagabaya sendiri adalah seorang yang malas berpikir. Ia terlampau biasa
menjalankan tugas-tugas yang telah diatur terlebih dahulu.
Sedang di lingkungan anak-anak muda dan para pengawal pengaruh Temunggul pun
menjadi semakin susut. Kini mereka telah meyakini, bahwa Bramanti adalah seorang
yang mengagumkan lahir dan batin.
Setiap orang Kademangan Candi Sari kemudian menjadi yakin, bahwa Bramanti memang
bermaksud baik. Dendam dan kebencian yang mereka cemaskan, semakin lama semakin hilang
dari ingatan mereka. 205 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Kalau ia ingin berbuat demikian, maka Kademangan ini telah dihancurkannya,"
desis orang di dalam hatinya.
Demikianlah, maka kedudukan Bramanti semakin lama menjadi semakin mantap. Tidak
ada seorang pun lagi yang dapat mengasingkannya lagi.
Namun Bramanti sama sekali tidak merubah cara hidupnya. Ia masih tetap sering
duduk di bawah pohon sawo, menganyam berbagai macam barang dari bambu.
Keranjang, caping kuwung, dan bermacam-macam lagi. Tetapi kini yang sering
singgah ke rumahnya menjadi semakin banyak. Bukan sekadar Ki Tambi dan Panjang.
Bahkan Ki Jagabaya pun sering datang ke rumah itu pula.
Dengan demikian, maka semakin banyak pula orang-orang yang sering membawa
barang-barang anyaman Bramanti. Namun Bramanti memberikannya dengan senang hati, karena
Bramanti sadar, bahwa bukan barang-barang itulah yang sebenarnya dikehendaki. Tetapi mereka
hanya sekadar menunjukkan sikap semanak, sikap yang baik kepadanya.
Dalam pada itu, ibu Bramanti tidak henti-hentinya mengamati perubahan yang
terjadi pada anak laki-lakinya. Diam-diam mengembanglah suatu kebanggaan di
dalam dirinya. Kebanggaan yang selama ini terendam dalam-dalam di dalam dadanya.
Ketika ia melihat kemenangan Bramanti, kemudian disusul dengan sikap yang
berubah dari seluruh rakyat Candi Sari, maka kenangan masa lampaunya seolah-olah
telah terungkat kembali. Tanpa
sesadarnya perempuan itu sering membayangkan, selagi ia masih dihormati oleh
seisi Kademangan. Setelah kebanggaan itu tertekan di dalam dadanya untuk waktu yang sekian
panjangnya, sepanjang umur Bramanti, maka tiba-tiba ia melihat anak laki-lakinya
telah melakukan sesuatu yang tidak disangka-sangkanya. Tidak disangka-sangka
olehnya dan oleh seluruh Kademangan.
"Mudah-mudahan ia mampu mengembalikan masa kebanggan itu. Masa kebesaran
ayahnya," namun angan-angannya itu tiba-tiba terputus. Kerut merut yang dalam membayang
dikeningnya. "Bukan ayahnya. Tetapi ayah Panggiring," desisnya. "Laki-laki itulah yang pernah
menjadi Demang kebanggan Candi Sari. Bukan Pruwita ayah Bramanti."
Namun dicobanya untuk menghibur dirinya, "Tetapi apakah bedanya" Bramanti adalah
anaku pula, seperti Panggiring."
Meskipun demikian, disela-sela kebanggaan yang mulai mengembang itu,
terbersitlah kekecewaan yang semakin lama semakin terasa menggigit jantung.
"Bagaimanakah seandainya pada suatu saat Panggiring itu pulang" Tanah ini dan
Kademangan ini akan menjadi persoalan yang dapat meretakkan dada."
Perempuan tua itu menggelengkan kepalanya, "Tidak. Sekarang Bramantilah yang
ada. Bramantilah yang mendapat kepercayaan dari rakyat Candi Sari. Dan
kepercayaan itu sama sekali bukan sekadar kepercayaan yang dibuat-buat. Tetapi
karena Bramanti pada suatu saat telah benar-benar melakukan sesuatu."
Meskipun demikian, Nyai Pruwita tidak dapat menghindarkan diri dari kerisauan
itu. Kebanggaan yang bercampur baur dengan kecemasan. Harapan dan kebingungan.
Kadang-kadang ia merasakan betapa ia merindukan anaknya yang seorang lagi.
Tetapi kadang justru ia mencemaskannya kalau anaknya yang seorang itu akan
datang kembali ke Kademangan ini.
206 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Namun bagaimanapun juga ia adalah seorang ibu. Ia adalah orang yang melahirkan,
betapapun bentuk dan jadinya. Panggiring adalah anaknya seperti juga Bramanti.
Tetapi yang dapat dilihatnya sehari-hari sikap yang semakin baik dari setiap
orang di Candi Sari kepadanya. Kepada anaknya dan kepada keluarga yang seakan-
akan telah hampir dilupakan itu.
Bramanti sendiri, kini tidak pernah lagi ragu-ragu untuk pergi kemanapun. Semua
orang bersikap baik kepadanya. Anak-anak muda dan bahkan orang-orang tua. Hampir
setiap hari, apabila ia telah duduk di bawah pohon sawo, dan jemu berbaring di
dalam kandangnya maka ia pun kadang-adang pergi juga ke bendungan. kadang-kadang
bersama-sama dengan satu dua orang anak-anak muda, tetapi kadang-kadang ia pergi
sendiri. Meskipun demikian, meskipun ia tidak mencemaskan dirinya lagi, namun apabila ia
bertemu dengan Ratri hatinya selalu menjadi berdebar-debar. Bahkan kadang-kadang
ia mengumpat sambil berdesis.
"Semua ini adalah salah Temunggul. Kalau ia tidak mempersoalkan hubunganku
dengan Ratri, aku kira akupun tidak akan terlampau banyak menaruh perhatian
kepadanya. Tetapi kini agaknya telah
terlanjur." Setiap kali ia berpapasan, maka keringatnya menjadi semakin deras mengalir.
Apalagi kalau mereka berpapasan di pematang yang sempit.
"Kemana kau Bramanti?" Ratri selalu menyapanya lebih dahulu.
Seperti kanak-kanak yang berpapasan dengan bibi yang kurang dikenalnya. Bramanti
selalu menundukkan kepalanya. Dengan jantungnya yang berdebar ia menjawab, "Aku akan ke
bendungan Ratri." "Sendiri?" "Ya. Dan kau?" "Aku sudah selesai mencuci di bendungan. Kau kesiangan agaknya."
Bramanti tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja.
"Bramanti," tiba-tiba suara Ratri merendah.
Bramanti mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang wajah gadis itu, tampaklah
ia bersungguh-sungguh. "Apakah kau sudah mendengar berita terakhir dari Panggiring?"
Terasa dada Bramanti berdesir. Setiap kali ia bertemu dengan Ratri, maka setiap


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kali gadis itu bertanya tentang Panggiring. Ia sama sekali tidak senang
mendengar pertanyaan itu. Bukan saja ia kurang senang mendengar nama Panggiring,
tetapi lebih daripada itu, Ratrilah yang menyebut nama itu.
Tetapi sejauh-jauh mungkin Bramanti menyembunyikan perasaannya itu, meskipun
kadang-kadang terloncat juga lewat kata-katanya.
207 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Belum Ratri," jawab Bramanti. "Aku belum mendengar berita tentang kakang
Panggiring." Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan tiba-tiba ia bertanya lagi, "Bramanti,
apakah umurmu terpaut banyak dari kakakmu?"
Bramanti mengerutkan keningnya, "Kenapa?" ia bertanya.
"Tidak apa-apa," jawab Ratri. "Ketika ia pergi, kita masih sama-sama kecil.
Tetapi aku masih ingat benar, bahwa Panggiring adalah seorang anak muda yang
tegap, meskipun saat ini agak kekurus-kurusan," Ratri berhenti sejenak lalu.
"Ketika aku pertama kali melihatmu Bramanti, aku sangka kau adalah Panggiring."
Bramanti menarik nafas. "Hampir seperti kau inilah kira-kira, ketika ia pergi."
"Tidak," tiba-tiba Bramanti menjawab. "Masih jauh lebih muda dari aku sekarang."
"Ya, ya, begitulah," jawab Ratri. "Tetapi ia memberikan kesan yang lain dari
anak-anak muda sebayanya." Debar di dada Bramanti menjadi semakin keras.
"Aku tidak dapat membayangkan, bagaimanakah Panggiring sekarang," desis Ratri.
Bramanti menahan nafasnya. Ketika ia memandang wajah Ratri, tampaklah betapa
angan-angan gadis itu membubung menerawang ke alam angannya.
"Bramanti," tiba-tiba Ratri bertanya lagi. "Apakah kira-kira Panggiring juga
setinggi kau" Atau bahkan lebih tinggi lagi?"
Bramanti menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu Ratri. Yang aku ketahui,
Panggiring sekarang adalah seorang penjahat. Seorang yang sudah terasing dari
pergaulan." Wajah Ratri tiba-tiba menjadi suram. Dan terdengar ia bergumam seakan-akan
kepada diri sendiri, "Ya.
Panggiring memang seorang penjahat menurut Ki Tambi," ia berhenti sejenak, lalu,
"Tetapi apakah menurut dugaanmu seorang penjahat tidak akan dapat menjadi baik
Bramanti?" Tanpa sesadarnya Bramanti menggelengkan kepalanya sambil menjawab, "Tidak.
Apalagi seorang penjahat sebesar Panggiring."
"Jadi apakah dengan demikian kau menganggap bahwa kakakmu itu sudah hilang dan
tidak akan kembali lagi?" Bramanti menjadi ragu-ragu menjawab pertanyaan itu. Karena itu maka ia
menggeleng sekali lagi. "Aku tidak tahu Ratri. Tetapi sebenarnyalah bahwa aku sudah tidak
mengharapkannya kembali."
Kenapa" Bukankah ia kakakmu satu-satunya?"
"Aku masih terlampau kecil untuk mengerti kenapa Panggiring saat itu tidak mau
tinggal bersama kami. 208 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Tetapi suatu kenyataan bahwa ia telah pergi meninggalkan aku, ibu dan ayah."
Bramanti berhenti sejenak. Ia masih tetap ragu-ragu untuk mengatakan lebih
banyak lagi tentang Panggiring.
Ratri mengangguk-anggukkan kepalanya. Sebuah kenangan telah membayang
dikepalanya. Kenangan semasa kanak-kanaknya. Sejak ia masih seorang gadis kecil ia telah mengagumi
seorang yang bernama Panggiring, yang ketika itu sedang meningkat remaja. Anak
muda pendiam yang selalu berwajah
muram. Namun pendiam itu sangat baik kepadanya.
Ia tidak menyangka, bahwa anak yang baik dan pendiam itu pada suatu saat akan
dapat menjadi seorang perampok yang ganas di pesisir Utara.
Meskipun demikian, ia tidak dapat mengingkari perasaannya. Ia sendiri tidak
mengerti, kenapa ia telah dibelit oleh suatu keinginan untuk bertemu kembali
dengan Panggiring setelah sekian lama berpisah.
Ratri tersadar ketika terasa panas matahari pagi menggatalkan kulitnya. Ketika
dilihatnya Bramanti berdiri kaku di hadapannya, maka ia pun tersenyum sambil
berkata. "Ah, kau akan semakin kesiangan.
Pergilah ke bendungan. Beberapa kawan masih di sana. Aku pulang lebih dahulu
karena ibu tidak dapat masak hari ini, sehingga aku harus melakukannya."
"Kenapa?" "Pening. Ibu terlampau banyak kepanasan kemarin menunggui jemuran padi."
"O," Bramanti mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Aku akan lewat," tiba-tiba Ratri berdesis.
"Oh," Bramanti tergagap. Namun ketika terpandang olehnya senyum Ratri yang
cerah, hatinya menjadi semakin berdebar-debar.
Tanpa menunggu Ratri mengulangi kata-katanya, Bramanti pun kemudian turun ke
sawah yang berlumpur, sementara Ratri berjalan di sepanjang pematang.
"Terima kasih Bramanti," katanya kemudian, "Kau sekarang tidak perlu cemas lagi,
bahwa Temunggul akan membentak-bentakmu. Bukankah begitu?"
"Ah." Ratri tertawa kecil. Katanya kemudian, "Jangan gusar. Aku hanya bergurau saja,"
kemudian agak bersungguh-sungguh Ratri berkata, "Bukankah kau akan
memberitahukan kepadaku, apabila kau
mendapat kabar tentang kakakmu?"
Terbata-bata Bramanti menjawab, "Ya. Ya."
"Terima kasih," desis Ratri sambil melanjutkan langkahnya. Sekali lagi ia
berpaling sambil melambaikan tangannya. Namun wajahnya kemudian menjadi kemerah-
merahan ketika tiba-tiba seorang perempuan yang sedang mengambil daun lembayung
di sawahnya mendeham beberapa kali.
Ketika Ratri berpaling perempuan itu tersenyum.
209 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Ah bibi," desah Ratri.
"Kenapa?" bertanya perempuan itu sambil tertawa.
"Bibi mengejutkan aku."
"Kau terlampau asyik saja."
"Ah," sekali lagi Ratri berdesah. "Bibi menggangguku."
Perempuan itu tidak menjawab. Tangannya telah bermain kembali di atas daun-daun
lembayung muda. "Apakah kau perlu dedaunan untuk masak," bertanya perempuan itu.
"Terima kasih bibi. Aku sudah menyuruh mengambil pula."
Perempuan itu mengangguk-anggukkan kepalanya, dan Ratri pun kemudian berjalan
menyusur pematang, menuju ke jalan pedesaan.
Dalam pada itu di kejauhan seorang anak muda duduk di balik rimbunnya daun jarak
di pinggir sawah. Sekali-kali wajahnya menjadi merah, namun kemudian menjadi pucat dan tertunduk
lesu. Kadang- kadang ia ingin melihat Ratri yang sedang bercakap-cakap dengan Bramanti di
pematang, namun kadang-kadang ia membuang wajahnya, membenturkan pandangan matanya kepada
batang-batang padi yang hijau dihadapannya.
Berbagai perasaan sedang bergolak di dalam dadanya. Ia tidak dapat melupakan
Ratri begitu saja, betapapun ia sadar, bahwa jurang yang terbentang di antara
mereka kini menjadi kian lebar.
Tiba-tiba anak muda itu terkejut ketika ia mendengar suara memanggilnya.
"Temunggul." Temunggul berpaling. Dan ia terperanjat ketika ia melihat Ki Demang telah
berdiri di belakangnya. "Oh, Ki Demang agaknya," sapanya sambil berdiri.
Ki Demang tidak segera menyahut. Dipandanginya Ratri yang berjalan di kejauhan.
Semakin lama menjadi semakin jauh. Kemudian ketika ia berpaling ke arah yang
lain dilihatnya Bramanti seakan-akan hilang ditelah oleh hijaunya dedaunan di
sawah, ketika ia turun ke bendungan.
"Anak-anak muda itu telah mengecewakan kau bukan Temunggul?" bertanya Ki Demang.
Temunggul menggigit bibirnya.
"Apakah sekarang Ratri menjauhimu?"
Temunggul masih belum menjawab.
"Kau harus berbuat sebagai seorang laki-laki," berkata Ki Demang kemudian.
Temunggul terkejut mendengar kata-kata itu. Dengan serta merta ia bertanya,
"Maksud Ki Demang?"
210 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Ki Demang tersenyum hambar. Desisnya, "Bukankah kau mencintai Ratri?"
Temunggul tidak segera menyahut. Tetapi dadanya dijalari oleh keragu-raguan.
Dipandanginya saja wajah Ki Demang dengan sorot mata keheranan.
"Benar?" desak Ki Demang.
Temunggul masih belum menjawab. Seolah-olah ia ingin meyakinkan apakah Ki Demang
sebenarnya memang bertanya demikian.
"Benar begitu, Temunggul?" desak Ki Demang pula.
Perlahan-lahan Temunggul menganggukkan kepalanya, "Ya Ki Demang."
Ki Demang mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya kemudian, "Kalau kau benar-
benar mencintainya, kau harus berbuat sesuatu. Kau tidak akan dapat bertopang dagu
seperti yang kau lakukan itu. Meratap dan mengeluh. Kemudian bersembunyi dan
menelungkup di pembaringan sambil menangis. Tidak Temunggul. Itu adalah laku
seorang perempuan. Perempuanpun perempuan cengeng.
Sedang kau adalah seorang laki-laki . Seorang pemimpin pengawal Kademangan ini.
Apakah kau akan tinggal diam?"
Terasa sesuatu bergolak di dada Temunggul.
"Kau tahu maksudku Temunggul?"
Temunggul tidak menyahut.
"Ada seribu jalan yang dapat kau tempuh. Tetapi tidak menyita diri sendiri
seperti yang kau lakukan.
Kau harus merebutnya dengan segala macam cara."
Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak segera mengerti, jalan manakah
yang dimaksud oleh Ki Demang. Suatu kenyataan yang tidak dapat diingkarinya
bahwa ia tidak akan dapat melawan Bramanti.
Bahkan lima orang setingkatnya sekaligus.
Temunggul menjadi semakin bingung ketika ia melihat Ki Demang tersenyum.
"Temunggul," desis Ki Demang. "Ada persamaan persoalan antara aku dan kau,
meskipun sasarannya berbeda. Kalau kau kehilangan seorang gadis, maka aku akan
kehilangan Kademangan ini."
"Kenapa?" tiba-tiba Temunggul bertanya.
"Beberapa orang telah berbuat terlampau bodoh. Bahkan kau sendiri telah ikut
terseret ke dalamnya. Coba katakan, apakah perlawanan kalian terhadap orang-orang Panembahan Sekar
Jagat, dan yang kalian anggap suatu kemenangan itu telah memberikan ketentraman
kepada kalian kini?"
Temunggul mengerutkan keningnya.
"Semua itu akan membawa bencana bagi tanah ini. Sebentar lagi Kademangan ini
akan menjadi karang abang."
"Tetapi hal itu telah terjadi beberapa hari sampai sekarang Ki Demang. Dan belum
ada tanda-tanda 211 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
bahwa Penambahan Sekar Jagat akan menuntut balas atas kematian orang-orangnya
disini." "Itulah kelebihan Panembahan Sekar Jagat. Ia membiarkan korbannya dalam
kecemasan untuk waktu yang lama sebelum sampai saatnya ia datang untuk
menghancurkannya." Tanpa disadarinya Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Adalah kebetulan sekali Temunggul, bahwa orang yang telah merampas gadis itu
dari tanganmu, adalah sumber dari bencana yang bakal melanda Kademangan ini.
Bramanti, kemudian Tambi dan
beberapa orang yang lain yang sama sekali tidak berpengaruh apapun juga."
Temunggul masih mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Kalau orang itu tidak ada, maka baik kau maupun aku akan menjadi tentram
karenanya. Kau tidak akan kehilangan Ratri, dan aku tidak akan kehilangan
Kademangan ini. Bukan aku seorang diri. Bukan aku pribadi, tetapi seluruh
Kademangan inilah yang aku maksud. Sehingga apabila kau dapat melakukannya, maka
kau adalah sebenarnya pahlawan bagi Candi Sari."
Temunggul tidak segera dapat menjawab. Sejenak ia merenung. Dibayangkannya
apakah yang kira-kira terjadi apabila ia melakukan seperti apa yang dikatakan
oleh Ki Demang itu. Tetapi bagaimana mungkin hal itu terjadi"
Ki Demang agaknya melihat keragu-raguan di wajah Temunggul. Karena itu ia
menyambung, "Temunggul. Aku tahu, bahwa tingkat ilmumu masih jauh berada di bawah Bramanti.
Ternyata Bramanti selama ini telah memalsu dirinya dan berpura-pura. Aku tidak
tahu dengan pasti, apakah maksudnya.
Namun sebenarnya ia adalah seorang yang luar biasa. Karena itu, kau pasti tidak
akan dapat melawannya. Kau harus menemukan kesempatan untuk melakukannya."
Temunggul mengerutkan keningnya. Kini ia tahu pasti maksud Ki Demang. Ia harus
membunuh Bramanti dengan cara yang licik.
"Nah, pertimbangkan Temunggul," berkata Ki Demang kemudian. "Kau tidak hanya
akan mendapat Ratri. Tetapi seluruh Kademangan akan berterima kasih kepadamu. Serahkan Tambi
kepadaku, sedang Panjang dan beberapa orang yang lain sama sekali tak akan
banyak berarti bagimu."
Jantung Temunggul serasa berdenyut semakin cepat. Ia tidak menyangka sama sekali
bahwa ia akan mendapat tawaran serupa itu. Tawaran yang sama sekali bertentangan
dengan sifat-sifatnya. Bagaimanapun juga ia adalah seorang laki-laki. Kalau ia harus bertempur, maka
akan lebih baik baginya bertempur berhadapan, meskipun ia harus mati. Tetapi
tidak dengan cara yang licik itu.
Namun segera terbayang, betapa Bramanti mampu membunuh seorang yang bernama Sapu
Angin. Kalau ia menantang anak muda itu sebagai seorang laki-laki maka itu akan berarti
bahwa ia akan membunuh dirinya.
Karena itu, maka Temunggul kini justru berada di dalam kebingungan. Semula ia
sama sekali tidak memikirkan kemungkinan untuk merebut Ratri dengan cara apapun.
Ia lebih baik duduk bertopang dagu sambil menyesali nasibnya. Karena ia tidak
akan dapat ingkar dari kenyataan yang dihadapinya.
Namun hal itu kini menjadi persoalan baginya, justru suatu persoalan baru.
212 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Ki Demang yang masih berdiri di tempatnya tersenyum. Katanya, "Pikirkanlah
Temunggul. Kau masih mempunyai cukup waktu. Kau dapat datang ke rumahku setiap
saat. Tetapi sudah tentu, jangan
terlampau lama. Aku sebaiknya berterus terang kepadamu, bahwa Panembahan Sekar
Jagat akan melepaskan tuntutannya atas kematian Sapu Angin, asal kita dapat menyerahkan
pembunuhnya hidup atau mati. Nah, bukankah dengan demikian kita akan terlepas
dari bencana yang maha dahsyat yang dapat menimpa Kademangan ini, termasuk
Ratri." Ki Demang kemudian berhenti sejenak, kemudian,
"Selain semuanya itu Temunggul, kau akan mendapat imbalan yang lain. Apa yang
kau ingini sebagai bekal kawinmu" Sawah atau pendok emas?"


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh Temunggul. Namun dengan demikian, maka
justru hatinya menjadi pepat. Ia tidak mengerti apa yang harus dilakukan. Dan
bahkan ia tidak dapat mengerti, bagaimanakah sebenarnya tanggapannya atas usul
Ki Demang itu. Temunggul merasa dirinya sendiri seolah-olah menjadi asing
setelah ia mendengar tawaran Ki Demang itu.
"Jangan kau paksa dirimu memutuskan sekarang Temunggul. Kalau kau tergesa-gesa
mungkin kau akan keliru. Renungkanlah seperti yang aku katakan. Aku menunggu
keputusanmu." Sebelum Temunggul menjawab, Ki Demang telah melangkah pergi meninggalkan
Temunggul seorang diri. Sepeninggalan Ki Demang, Temunggul menjadi bingung. Ia tidak pernah dicengkam
oleh kebimbangan seperti itu. Kebimbangan yang membuat kepalanya seakan-akan
terlepas dari lehernya. "Tawaran itu cukup baik," desisnya. "Aku dapat mencari kesempatan yang sebaik-
baiknya. Aku dapat berbuat licik sekalipun. Namun aku akan mendapatkan segala-
galanya. Ratri dan bekal yang cukup untuk mengawininya. Bahkan aku tidak akan
pernah kehilangan kedudukan dan pengaruhku di antara anak-anak muda Kademangan
Candi Sari ini." Temunggul menarik nafas dalam-dalam. Dilontarkannya pandangan matanya yang
memancarkan kerisauan hatinya, menyapu hijaunya tanah persawahan.
"Aku akan mempunyai segala-galanya," desisnya.
TIba-tiba Temunggul itu tersenyum, "Persetan dengan kejantanan. Aku akan
membunuhnya dengan cara apapun. Mungkin aku akan meracunnya atau menikamnya dari belakang di
bendungan, atau dimana saja. Mudah sekali. kemudian aku mendapat sebidang sawah yang subur untuk
memperluas sawahku sendiri, atau sebuah perhiasan emas teretes berlian, atau apapun yang
aku minta." Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bahkan mungkin aku akan menjadi
semakin berpengaruh di Kademangan ini. Kini nama Ki Demang telah menjadi semakin susut.
Apakah tidak mustahil bahwa suatu ketika aku akan sampai pada kedudukan itu"
Seperti menyingkirkan Bramanti, akupun harus dapat menyingkirkan Ki Demang."
Tanpa sesadarnya Temunggul tertawa.
Untunglah bahwa segera ia menyadari keadaannya. Dengan demikian suara tertawanya
itu pun terputus. Dengan nanar ia memandang kesegala arah.
"Apakah ada seseorang yang melihat aku tertawa sendiri?" ia bertanya kepada
dirinya. Kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Agaknya tidak ada seorang pun
yang melihatnya. 213 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"Aku harus segera pulang dan mempersiapkan diriku lahir dan batin," desisnya,
kemudian, "Aku harus melepaskan segala macam perasaan harga diri dan
kehormatanku. Apabila masih ada sepercik keragu-raguan di dalam dada ini, maka
semuanya pasti akan gagal. Kegagalan itu hanya akan menambah
kepahitan hidupku saja," Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya, "Apa boleh
buat. Apa boleh buat."
Langkah Temunggul pun semakin lama menjadi semakin cepat tanpa disadarinya.
Dengan tangan gemetar Temunggul membuka pintu rumahnya, kemudian langsung menuju
ke dalam biliknya. Dibantingnya tubuhnya di pembaringannya. Sejenak kemudian, angan-
angannya telah terbang menerawang sampai ke lapis tingkat ketujuh.
Bayangan-bayangan tentang masa depannya yang mengawang itu pun seolah-olah
senjadi semakin jelas. Pada saat itu Bramanti masih duduk merenung di atas sebuah batu di bendungan. Ia
menunggu beberapa orang gadis yang masih belum selesai dengan cuciannya.
Sekali-kali Bramanti melihat gadis-gadis itu serentak berpaling kepadanya,
kemudian tertawa tertahan-tahan. Namun Bramanti tidak mempedulikannya lagi. Ia
ingin gadis-gadis itu segera selesai. Kemudian ia sendiri akan mencuci bajunya
pula. Namun sambil menunggu, Bramanti selalu teringat akan pertanyaan-pertanyaan Ratri
tentang kakaknya, Panggiring. Setiap kali dadanya terasa seakan-akan tergores
seujung duri. Kenapa setiap kali Ratri selalu bertanya tentang Panggiring.
Panggiring dan tidak yang lain"
Bramanti mengerutkan dahinya. Bahkan ketika ia bertemu untuk pertama kalinya
dengan Ratri, gadis itu menyangkanya panggiring juga.
"Hem," Bramanti menarik nafas dalam-dalam.
Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak dapat memaksa Ratri untuk
melupakan Panggiring. Apalagi berterus terang kepada gadis itu.
"Beginilah kira-kira perasaan Temunggul pada waktu itu, dan bahkan mungkin
sampai saat ini," desis Bramanti. "Tetapi apaboleh buat. Sedang akupun telah
disiksanya dengan pertanyaan-pertanyaan itu."
Dan tanpa sesadarnya Bramanti telah mulai menilai kakaknya yang bernama
Panggiring itu. Meskipun saat itu ia tidak mengerti dengan jelas, apakah
sebenarnya yang telah terjadi, tetapi kebencian ayahnya kepada Panggiring telah
membuatnya membenci kakaknya itu pula.
"Kebencian ayah pasti bukan tidak beralasan," desisnya. "Dan agaknya kakang
Panggiring memang mempunyai pembawaan buruk."
Dengan demikian maka Bramanti pun menjadi semakin jauh dari kakaknya itu.
Meskipun mereka saudara seibu, tetapi Bramanti sama sekali tidak merasakan sentuhan apapun dari
pada perasaannya. Namun Bramanti terkejut ketika ia merasakan punggungnya disentuh oleh sebuah
batu kerikil. Ketika ia berpaling maka dilihatnya gadis-gadis yang sedang
ditunggunya itu berada di atas tebing. Salah seorang dari mereka telah
melemparinya dengan kerikil.
214 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"He, apakah kau tertidur?" bertanya salah seorang dari mereka.
"Alangkah asyiknya mimpimu Bramanti," berkata yang lain.
Bramanti menarik nafas. Namun kemudian ia tersenyum.
"Siapakah bunga di dalam mimpimu Bramanti?" bertanya yang lain.
Sekenanya saja Bramanti menjawab, "Kau."
Terdengar gadis-gadis itu pun tertawa sambil saling mendorong, sehingga salah
seorang dari mereka menjerit, "He, jangan. Hampir saja aku terjerumus tebing."
"Jangan takut," sahut yang lain. "Masih ada yang akan menolongmu di bawah."
Suara tertawa gadis-gadis itu pun menjadi semakin riuh.
Namun mereka pun kemudian berlari-larian meninggalkan tebing dan hilang di balik
rerumputan di atas tanggul.
Bramanti menarik nafas dalam-dalam. Gadis-gadis itu kini bersikap baik
kepadanya. Tidak seperti beberapa saat sebelumnya. Namun dengan demikian,
Bramanti merasa semakin sepi, karena setiap kali Ratri selalu menanyakan
Panggiring. "Ah, apa peduliku," ia menggeram. Kemudian ia pun meloncat ke bendungan dan
melemparkan bajunya ke dalam air. Sejenak kemudian ia pun telah sibuk mencuci
bajunya dengan air lerak.
Untuk meniadakan angan-angannya maka dihentakkannya bajunya itu beberapa kali.
Kemudian ditariknya sebuah tembang dengan suara yang sumbang. Adalah kebetulan sekali
bahwa ia menembang lagu Asmarandana.
Di malam hari, seperti biasanya, Bramanti selalu pergi ke Kademangan. Meskipun
Ki Demang sendiri sudah jarang-jarang sekali keluar dari rumahnya, namun pendapa rumah
itu, dan gardu di halaman, masih selalu penuh dengan anak-anak muda dan para
pengawal. Apalagi setelah Sapu Angin terbunuh di Kademangan Candi Sari, maka
halaman Kademangan itu tampak menjadi semakin sibuk.
Ketika Bramanti memasuki halaman, dilihatnya Temunggul mendekatinya. Sambil
tertawa ia berkata, "Bramanti, kau tampak semakin lama semakin segar."
Bramanti mengerutkan keningnya. Sapa itu terdengar aneh ditelinganya. Namun ia
menjawab juga, "Candi Sari kini telah memberikan tempat yang lapang bagiku Temunggul."
Temunggul mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana menurut penilaianmu keadaan akhir-akhir ini?" bertanya Temunggul
pula. "Baik. Baik sekali. Seandainya terjadi sesuatu, kita tidak akan terkejut karena
kita memang sudah siap."
Sekali lagi Temunggul tertawa. Sambil membimbing tangan Bramanti ia berkata,
"Minumlah, mumpung 215
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
masih hangat." Bramanti menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak menolak. Setelah ia duduk di
antara beberapa orang pengawal, maka tangannyapun telah memegang sebuah mangkuk
minuman. Sikap Temunggul malam itu terasa terlampau baik bagi Bramanti. Namun Bramanti
sama sekali tidak menaruh kecurigaan apapun. Bramanti sama sekali tidak tahu,
bahwa di bawah baju Temunggul
tersimpan sebuah pisau belati, di samping pedangnya yang tergantung
dilambungnya. "Sekali-kali kita memang harus nganglang," berkata Temunggul.
Bramanti mengerutkan keningnya, "Kenapa sekali-kali. Bukankah setiap kali kita
selalu nganglang di seputar Kademangan ini."
"Oh," Temunggul menelan ludahnya. "Ya. Kau benar Bramanti. Kita masing-masing
memang sudah terlampau sering memutari Kademangan ini."
"Lalu, apalagi yang kau maksudkan?"
"Tidak. Aku tidak bermaksud apa-apa."
Bramanti menjadi semakin heran. Tetapi ia tidak bertanya apapun lagi. Diteguknya
minuman hangat di mangkuknya, kemudian diangguk-anggukkannya kepalanya.
Sejenak kemudian ia sudah terlibat dalam pembicaraan yang ramai dengan kawan-
kawan sebayanya. Kawan-kawan yang selama ini terasa menjadi semakin dekat, setelah terpisah
beberapa saat lamanya. Namun Temunggullah yang agak lain dari kebiasannya. Sekali-kali ia menjadi
pendiam, namun kemudian seakan-akan dibuatnya, ia berceritera dan tertawa
berlebih-lebihan. Yang belum tampak di antara mereka adalah Ki Tambi. Meskipun ia telah agak
lanjut umurnya, namun ia masih juga selalu berada di antara anak-anak muda dan
para pengawal bersama Ki Jagabaya. Namun kali ini Ki Jagabaya duduk sendirian
terkantuk-kantuk di sudut pendapa. Karena Ki Demang kini tidak tampak di
pendapa, maka Ki Jagabaya masih belum mempunyai kawan untuk bercakap-cakap. Ia
agak kurang mapan bercakap-cakap dengan anak-anak muda yang kadang-kadang
berbicara saja hilir mudik tanpa arti.
Memang kadang-kadang ada juga satu dua orang-orang tua yang datang ke pendapa.
Tetapi terlampau jarang. Mereka lebih senang tidur melingkar di rumahnya,
berselimut kain panjang, daripada berjalan menyusuri gelap di malam hari.
Meskipun demikian, di hari-hari terakhir, setiap laki-laki di Kademangan Candi
Sari selalu meletakkan senjata mereka di pembaringannya.
Pada saat itu Ki Tambi sedang berjalan-jalan menyusuri parit, yang mengalirkan
air ke sawahnya. Ia ingin melihat apakah tanamannya tidak kering.
Sepeninggalannya, sawah itu kurang mendapat
pemeliharaan sehingga tanahnya seakan-akan mengeras seperti padas. Setelah ia
kembali, maka mulailah ia berusaha memperbaiki tanah itu dengan memberikan berbagai macam
pupuk dan menjaga agar tanah itu tidak kering.
Tetapi ia menjadi berdebar-debar ketika ia melihat sesosok tubuh mengikutinya,
berjalan menyusur parit 216
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
itu juga. Kalau ia mempercepat langkahnya, maka bayangan yang kehitam-hitaman
digelapnya malam itu melangkah semakin cepat pula. Kalau ia memperlambat
langkah, maka bayangan itu pun menjadi semakin lambat. Bahkan apabila ia
berhenti, bayangan itu pun berhenti juga.
Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Ia menjadi bercuriga karenanya. Karena itu,
tanpa sesadarnya ia meraba senjatanya yang terselip di lambung.
"Siapakah orang itu?" desisnya.
Dan ternyata bayangan itu masih selalu mengikutinya.
"Persetan," Ki Tambi menggeram. "Apa saja yang akan dilakukan aku sudah siap."
Dan Ki Tambi itu pun seolah-olah tidak menghiraukannya lagi. Dengan langkah yang
tetap ia berjalan langsung menuju ke sawahnya.
Meskipun demikian Ki Tambi tidak menjadi lengah. Ia berada dalam kesiagaan yang
tertinggi. Seandainya orang itu tiba-tiba saja meloncat menerkamnya, ia sudah siap untuk
melawannya. Namun betapapun ketegangan mencekam dadanya. Ia masih sempat memperhatikan air
di sawahnya. Ternyata air itu cukup lancar, sehingga tanahnya sama sekali tidak kering.
"Tetapi bagaimana dengan orang itu?" ia bertanya kepada diri sendiri. Namun ia
tidak tahu, bagaimana ia harus menjawabnya.
Dalam ketegangan itulah, maka Ki Tambi kemudian berjongkok di samping belahan
pematang yang disobeknya untuk mengalirkan air dari dalam parit. Namun demikian tangannya
masih saja melekat dihulu senjatanya.
Bayangan yang hitam itu berhenti beberapa langkah daripadanya. Seperti sebuah
patung bayangan itu berdiri tegak tanpa bergerak sama sekali.
Tiba-tiba Ki Tambi tidak sabar lagi. Segera ia meloncat sendiri sambil bertanya
lantang, "Siapa kau?"
Ketika Ki Tambi maju selangkah bayangan itu pun surut selangkah.
"Siapa kau he?" bentak Ki Tambi. "Dan apakah maksudmu?"
Bayangan itu masih belum menjawab.
Dalam pada itu Ki Tambi menjadi semakin kehabisan kesabarannya. Tiba-tiba saja
pedangnya telah berada di tangannya, "Ayo, jawab. Siapa kau?"
Bayangan itu tampak bergerak-gerak. Kemudian surut selangkah pula. Ki Tambi
menjadi ragu-ragu sejenak. Apakah orang ini yang menyebut dirinya Panembahan
Sekar Jagat atau yang menamakan
dirinya Resi Panji Sekar" Ataukah siapa lagi"
"Kalau orang ini Panembahan Sekar Jagat," ia berkata di dalam hatinya. "Maka
kedatangannya ini pasti di dalam rangka pembalasan dendamnya atas kematian Sapu
Angin dan orang-orangnya. Mungkin ia telah menerima laporan dari salah seorang
anak buahnya, atau bahkan oleh Wanda Geni yang berhasil melarikan dirinya, bahwa
aku termasuk salah seorang yang paling gigih menganjurkan perlawanan atas 217
http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Panembahan Sekar Jagat itu."
Ki Tambi itu pun mengerutkan keningnya. Kemudian ia pun melanjutkannya di dalam
hatinya. "Tetapi apa boleh buat. Aku harus menghadapinya. Alangkah dahsyatnya
Panembahan Sekar Jagat ini. Ia
mempergunakan cara yang khusus untuk membalas dendam. Ia agaknya telah bertekad
menemui seorang demi seorang. Setelah aku mungkin segera Bramanti ditemuinya pula.
Tetapi agaknya Bramanti akan berhasil menyelesaikannya. Sayang, aku sudah tidak
akan dapat melihatnya, karena malam ini Panembahan Sekar Jagat itu sudah akan
mencekikku." Tetapi Ki Tambi tidak menjadi gemetar dan ketakutan karenanya. Meskipun ia
sadar, apabila orang itu Panembahan Sekar Jagat, maka umurnya sudah akan sampai
ke ujung. Namun tanpa disadarinya, tangannya telah meraba kantong ikat pinggangnya. Di
dalam kantong ikat pinggang kulitnya itulah tersimpan sebuah lencana yang
diterimanya dari Panggiring.
"Apakah lencana ini akan berpengaruh seperti didaerah pesisir Utara?" bertanya
Ki Tambi di dalam hatinya, kemudian, "Tetapi menurut salah seorang anak buahnya,


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Panembahan Sekar Jagat justru pernah mengeluarkan tantangan kepada Panggiring.
Jika demikian, maka lencana ini akan mempunyai dua kemungkinan. Sekar Jagat
menghormatinya atau justru akan dipakainya sebagai alasan untuk memancing
Panggiring." Karena bayangan itu masih tetap berdiam diri, maka Ki Tambi pun melangkah maju
lagi sambil bertanya pula. "He siapa kau" Hantu, tetekan atau manusia seperti
aku?" Tetapi bayangan yang kehitam-hitaman itu kini tidak melangkah surut lagi. Bahkan
setapak ia maju. Pedang Ki Tambi telah teracung lurus ke depan. Perlahan-lahan ia menjadi semakin
dekat. "Sebut namamu," ia menggeram. Kini ujung pedang Ki Tambi menjadi semakin
dekat mengarah langsung kepada bayangan itu. Tetapi bayangan itu masih belum bergerak.
Tetapi semakin dekat Ki Tambi dengan bayangan itu terasa dadanya menjadi semakin
berdebar-debar. Dikedip-kedipkan matanya dan dicobanya untuk mengamati bayangan itu lebih
seksama. "Siapa kau he, siapa?" tetapi nada suara Ki Tambi itu telah berubah.
"Aku paman." "Kau, kaukah itu he?"
"Ya, sebenarnya aku telah datang paman."
"Oh," sejenak Ki Tambi berdiri tegak seperti patung. Matanya tidak berkedip
memandangi orang yang masih j uga berdiri membeku. Namun tiba-tiba Ki Tambi
menyarungkan pedangnya dan meloncat maju, menggenggam kedua belah tangan orang
itu sambil berdesis, "Kau, kau. Kau benar-benar datang
Panggiring." Panggiring menundukkan kepalanya. Suaranya menjadi berat. "Ya, aku datang
paman." Ki Tambi mengerutkan keningnya. Ia menjadi heran melihat Panggiring menundukkan
kepalanya. Ketika ia bertemu dengan anak muda itu di pesisir Utara, Panggiring
selalu menengadahkan wajahnya,
218 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
meskipun pada wajah itu tergores beberapa bekas luka senjata. Tetapi ia sama
sekali tidak menjadi malu karenanya. Goresan-goresan itu justru menjadi
kebanggaannya. Kebanggaan seorang pemimpin perampok yang paling ganas.
Dan kini ia melihat Panggiring itu menundukkan kepalanya.
"Panggiring," berkata Ki Tambi kemudian. "Aku tidak menyangka bahwa kau benar-
benar akan datang. Aku kira kau hanya sekadar berbicara begitu saja tanpa kau pikirkan masak-masak.
Tetapi ternyata bahwa kau kini telah berada disini."
"Sebenarnya paman, waktu itu aku memang hanya berbicara begitu saja. Aku pun
pada saat itu sama sekali tidak bermaksud bersungguh-sungguh. Namun agaknya aku
memang harus kembali ke kampung halaman setelah sekian tahun meninggalkannya."
Ki Tambi menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba ia teringat kepada kata-kata salah
seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat, sehingga dengan serta merta ia
bertanya, "Panggiring, apakah kedatanganmu ini sehubungan dengan tantangan
Panembahan Sekar Jagat?"
Panggiring tersentak. Di angkatnya wajahnya yang ditandai dengan bekas luka.
"Darimana paman mendengarnya?"
"Salah seorang anak buah Panembahan Sekar Jagat yang terluka."
"Apakah ia berkata begitu?"
"Ya, bukankah kau pernah menyampaikan lencana kepada Panembahan Sekar Jagat?"
Panggiring menarik nafas dalam-dalam. "Sebenarnya aku ingin memenuhi tantangan
itu. Tetapi semuanya itu telah berlalu."
Ki Tambi menjadi heran mendengar kata-kata yang bernada rendah itu. Ia
merasakan, bahwa sesuatu telah terjadi pada diri pimpinan perampok yang paling
ditakuti itu. Karena itu tanpa sesadarnya Ki Tambi memandang wajah Panggiring tajam-tajam,
seolah-olah ingin diketahuinya langsung, apakah yang tersimpan di dalam
kepalanya. Tetapi dalam keremangan malam kesan di wajah Panggiring itu tidak
terlampau banyak dapat ditangkap.
Dan perlahan-lahan Ki Tambi bertanya, "Kenapa kau tidak dapat memenuhi tantangan
itu Panggiring?" Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, "Ketika aku menerima pesan itu,
aku sudah merencanakan untuk datang tepat pada waktunya. datang tepat pada waktunya.
Sebulan setelah tantangan itu aku terima. Tetapi ternyata sebulan kemudian aku telah memutuskan
untuk meletakkan segala macam senjata dari tanganku yang penuh dengan noda ini."
"Panggiring," Ki tambi hampir berteriak. "Apakah artinya?"
Panggiring menganggukkan kepalanya, "Begitulah. Aku sudah meletakkan senjata."
"Jadi kau sekarang sudah berubah?"
219 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Panggiring menganggukkan kepalanya pula, "Aku sedang berusaha paman."
Ki Tambi menepuk-nepuk bahu Panggiring yang bidang itu. Ia pun mengangguk-
anggukkan kepalanya sambil berkumat-kamit. Tetapi terasa tenggorokan orang tua
itu seakan-akan tersumbat.
Sejenak mereka saling berdiam diri. Betapa silirnya angin malam, tetapi tubuh Ki
Tambi telah dibasahi oleh keringat yang mengembun dari lubang-lubang kulitnya.
Suara kentongan di kejauhan telah membangunkan keduanya dari dunia angan-
angannya. Perlahan- lahan Ki Tambi berdesis, "Sudah tengah malam."
Panggiring mengangguk, "Ya paman. Sudah tengah malam."
"Lalu bagaimana dengan kau Panggiring" Apakah kau akan segera pulang ke rumah."
Panggiring tidak segera menjawab. Tetapi terasa bahwa hatinya sedang menerawang
jauh. Jauh sekali. "Panggiring," suara Ki Tambi tiba-tiba merendah. "Aku harus minta maaf
kepadamu." "Kenapa paman?"
"Karena aku tidak menyangka bahwa kau akan datang secepat ini, maka aku telah
menceriterakan tentang dirimu kepada orang-orang di Kademangan Candi Sari."
Panggiring mengerutkan keningnya.
"Semula aku hanya ingin mengatakan bahwa aku telah bertemu dengan kau, dan kau
telah menyelamatkan nyawaku. Bahkan aku telah memamerkan lencana yang kau berikan itu
pula. Tetapi aku sampaikan juga kepada kenyataanmu di pesisir Utara Panggiring."
Panggiring mengangguk-anggukkan kepalanya. Setelah merenung sejanak ia berkata,
"Aku tidak berkeberatan paman. Aku memang telah menjalani hidup serupa itu. Dan aku
sekarang akan menempatkan diriku ke dalam dunia yang lain."
Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. Tetapi ia masih belum tahu apakah akan
jadinya. Terbayang sekilas diwajahnya sikap Bramanti yang selalu mengelakkan diri dari
setiap hubungan dengan Panggiring.
Debar di dada Ki Tambi menjadi semakin tajam. Kini ia seakan-akan melihat dua
orang bersaudara, seibu tetapi berlainan ayah, sebagai dua orang laki-laki yang
tidak sejalan. Apalagi keduanya adalah orang-orang perkasa yang tidak ada
bandingnya. Sekilas terbayang pula apa yang pernah terjadi beberapa waktu yang lampau .
Sebagai seorang yang disegani, Ki Tambi melihat apa yang telah menimpa keluarga
itu, meskipun tidak terlampau jelas.
"Paman," terdengar suara Panggiring berat, "Sesuatu telah memaksa aku untuk
menempuh jalan ini. Mudah-mudahan aku tidak mendapat kesulitan atau bahkan membuat kesulitan pada
orang lain." "Oh, tidak, tidak ngger," Ki Tambi tergagap. Namun kemudian, "Tetapi apakah yang
sebenarnya telah 220 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
terjadi dengan kau?"
"Ceritera itu mungkin tidak menarik. Tetapi aku sangat berterima kasih bahwa hal
itu telah terjadi atas diriku."
"Apakah kau tidak bekeberatan untuk mengatakannya?"
Panggiring ragu-ragu sejenak, kemudian diangkatkannya kepalanya sambil berkata,
"Mungkin ada baiknya juga paman mengetahui."
Ki Tambi mengangguk-anggukkan kepalanya. "Marilah kita duduk. Aku ingin
mendengar ceriteramu itu."
Panggiring menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ketika Ki Tambi duduk di atas
rerumputan yang basah oleh embun, maka Panggiring pun duduk pula di sampingnya.
"Nah, sekarang kau mulai berceritera tentang dirimu sendiri," berkata Ki Tambi
kemudian. Panggiring masih berdiam untuk sesaat. Mulutnya serasa menjadi terlampau berat
untuk berceritera tentang dirinya sendiri.
"Apakah kau berkeberatan?" bertanya Ki Tambi.
"Tidak paman, tidak," Panggiring tergagap.
Ki Tambi menjadi semakin heran. Panggiring seolah-olah telah berubah sama
sekali. Ia menjadi gugup dan bingung. Beberapa saat yang lalu, Panggiring adalah
seorang yang garang, berkepala dingin dan bersikap terlampau tenang, apapun yang
dihadapinya. "Paman," suara Panggiring merendah dan bergetar, "Pada suatu saat aku merasa
bahwa aku adalah seorang yang tidak terkalahkan."
"Ya. Aku percaya bahwa kau memang tidak terkalahkan di pesisir Utara."
"Karena itulah aku menjadi kehilangan sifat-sifat kemanusiaanku. Orang yang
berani menentang aku dalam segala bentuknya, pasti aku singkirkan."
"Kau bunuh?" Panggiring menarik nafas dalam sekali. Katanya, "Ya, aku telah membunuh puluhan
orang dengan tanganku. Sehingga akhirnya aku bertemu dengan seorang lawan yang
tangguh. Namun dalam perkelahian yang terjadi, aku berhasil membunuhnya, juga dengan senjata yang
tergenggam di tangan ini," Panggiring berhenti sebentar. Tangannya yang gemetar
diamati-amatinya. Dan Ki Tambi pun berdesir melihat jari-jari tangan Panggiring
yang mengembang, seakan-akan hendak menerkam
wajahnya sendiri. Ki Tambi yang menahan nafas itu berdesah ketika ia melihat tangan itu kemudian
terkulai lemah. "Tetapi paman. Dalam perkelahian itu aku pun telah terluka parah. Aku tidak
dapat lagi beranjak dari tempatku. Dan aku hanya dapat menunggu kematian yang
ganas akan menerkam aku. Justru kematian yang paling mengerikan. Perlahan-lahan
sambil menunggu anjing-anjing liar yang lewat. Karena arena perkelahian yang
kami pilih adalah sebuah padang rumput di pinggir sebuah hutan kecil tanpa
seorang 221 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
pun yang menyaksikannya," Panggiring berhenti sejenak, lalu, "Tetapi yang tidak
aku sangka-sangka itu datang. Seorang perempuan tua pencari kayu. Ketika ia
melihat aku, maka timbullah ibanya.
Diberikannya setitik air bekalnya ke bibirku. Ternyata titik air itu telah
menambah kesegaran ditubuhku.
Sejak perkelahian itu selesai, menjelang fajar sampai matahari sepenggalah, aku
terbaring dalam kesakitan dan kehausan. Karena itu, maka ketika setitik air
telah membasahi bibirku, serasa aku mendapat suatu kekuatan. Tiba-tiba saja aku
kehilangan sifat-sifat kemanusiaanku itu pula. Dengan serta merta bumbung air
itu aku sentakkan dari tangannya. Hampir di luar sadarku, maka air dalam bumbung
itu aku tuangkan begitu saja ke mulutku."
"Jangan," teriak perempuan tua itu, "Jangan kau habiskan air itu. Aku akan
kehausan di hutan itu nanti."
Tetapi aku tidak mempedulikannya. Air itu aku teguk sampai habis. Ketika
perempuan tua itu mencoba merebutnya dari tanganku, maka sebuah hentakan telah
membuatnya terpelanting. Sehingga akhirnya air itu terkuras habis, meskipun
sebagian tumpah di wajah dan dadaku.
"Kau habiskan air itu?" desis perempuan tua itu.
Aku tidak menjawab. Tubuhku masih terasa sakit dan luka-lukaku menjadi pedih.
Apalagi karena percikan air yang tumpah dari bumbung itu.
Aku yang masih terlampau lemah itu melihat perempuan tua itu merenungi
bumbungnya yang telah kosong. Kemudian merenungi wajahku.
Di luar dugaan perempuan itu mendekati aku sambil berkata, "Sudahlah. Aku tidak
akan menyesali air itu. Apakah kau masih sakit?"
Aku tidak menjawab. "Apa kau berkelahi?"
Aku pun tidak menjawab. Tetapi aku melihat perempuan tua itu mengamat-amati
mayat lawanku. "Sayang ia sudah mati, sehingga tidak ada gunanya lagi menolongnya," desisnya,
"Tetapi yang masih hidup sajalah yang wajib ditolong sebaik-baiknya." Kemudian
ia mendekati aku lagi sambil bertanya,
"Apakah kau dapat bangkit?"
Aku tidak tahu kenapa aku menggelengkan kepalaku, seperti anak-anak dihadapan
neneknya. "Aku tidak kuat mendukungmu. Tetapi aku dapat menunggu sampai kau mampu berjalan
ke pondokku." Perempuan tua itu memang mengherankan sekali. Ia pun kemudian duduk bersimpuh di
sampingku terbaring. Dengan sesobek kain ia mencoba menyeka luka-lukaku yang masih
berdarah. Sentuhan tangannya telah membuat perasaanku menjadi aneh. Selama ini aku tidak
pernah disentuh oleh tangan yang menyalurkan iba dan kasihan, apalagi kasih yang
tulus. Yang biasa aku rasakan adalah sentuhan senjata dan sentuhan tangan-tangan
yang kasar bernada maut. Tetapi tangan orang tua itu lain. Lain sama sekali.
Karena itu, aku pun berusaha untuk menemukan sisa-sisa kekuatanku. Perlahan-
lahan aku bangkit dan duduk bersandar kedua tanganku.
222 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
"He, kau sudah dapat bangkit" Apakah kau dapat memaksa dirimu untuk berjalan
setapak demi setapak?" Orang tua itu merenung sejenak. Kemudian ia berdiri dan melangkah pergi. Aku
tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Namun sejenak kemudian ia kembali dengan
sebatang kayu ditangannya.
"Kau memerlukan tongkat. Ayo, bangun dan berjalan.
Aku benar-benar seperti seorang anak kecil. Dengan susah payah aku bangkit
berdiri bersandar pada sebatang kayu itu. Karena aku memaksa diri dengan
mengerahkan segenap sisa-sisa kekuatanku, maka akupun berhasil berdiri dan
berjalan mengikuti nenek itu, pulang ke rumahnya.
Ternyata rumahnya tidak begitu jauh. Tetapi sampai ke gubug kecil itu, tenagaku
telah terperas habis. Karena itu, begitu aku meletakkan diriku di pembaringan, aku langsung menjadi
pingsan. Namun rumah yang kecil dan sederhana itu telah memberikan kekayaan rohani yang
tiada taranya bagiku. Orang tua itu terlampau baik hati. Dengan setulus hatinya
ia menumpahkan belas kasihannya kepadaku.
Adalah aneh sekali, bahwa aku tidak merasa tersinggung sama sekali, meskipun aku
adalah orang yang paling tidak memerlukan belas kasihan orang lain.
Setiap pagi-pagi buta aku melihat perempuan itu menghadap Tuhannya dengan tekun.
Di siang, sore dan malam hari. Setiap hari aku mendengar, menyebut kasih Tuhan
atas umurnya. Meskipun ia hidup dalam kesulitan, namun ia merasa tentram dan
damai. Saat yang demikian itulah yang selama hidupku tidak pernah aku jumpai. Sejak aku
mempunyai seorang ayah tiri, maka aku adalah orang yang tersisih. Tersisih dari
semuanya, dan aku telah kehilangan cinta sesama. Aku menjadi semakin jauh dari
Tuhanku. Dalam kedamaian yang terpercik dari kasih orang tua itulah aku mulai berpikir,
"Apakah yang hendak aku capai dengan keperkasaan, kemenangan dan tanpa tanding


Tanah Warisan Karya Sh Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini" Kalau aku telah menjadi orang yang tidak terkalahkan, lalu bagaimana"
Aku adalah orang yang tidak ada duanya. Tetapi setiap kali aku datang, maka
menjauhlah semua orang daripadaku. Setiap aku ada, maka tidak seorang pun yang
datang berkunjung ke tempat itu. Setiap kali kemarahanku memang dapat aku
tumpahkan dengan membunuh siapa saja yang membuat aku menjadi
mata gelap. Tetapi itu sama sekali tidak menolongku. Aku justru menjadi semakin
tersisih dan tersisih. Demikian paman, dalam perawatan perempuan tua itu aku teringat ibu. Ibu yang
pasti sudah setua perempuan yang memelihara aku itu pula," Panggiring berhenti
sejenak. Setelah menelan ludahnya ia melanjutkan, "Akhirnya aku mendengar dari mulutnya
sendiri, bahwa ia telah kehilangan anak satu-satunya. Anak itu telah dibunuh
oleh seorang perampok yang paling kejam di pesisir Utara. Namanya Panggiring."
Untuk pertama kali aku merasa ketakutan. Aku takut bahwa orang lain dapat
mengenaliku bernama Panggiring. Biasanya aku dengan bangga menengadahkan dada
sambil berkata, "Akulah Panggiring."
223 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Tetapi terhadap perempuan tua itu aku tidak berani berbuat demikian.
Demikian takutnya aku kepadanya, sehingga ketika luka-lukaku telah berangsur
sembuh, dan aku sudah dapat bangkit dari pembaringanku, aku merayap mendekati
pembaringan perempuan tua itu.
Perempuan yang selalu menyayangi aku dengan ketakutan itu harus aku bunuh selagi
ia tidur. Tetapi aku tidak dapat melakukannya paman. Tanganku yang telah sekian puluh kali
aku pergunakan untuk membunuh, tiba-tiba menjadi seakan-akan membeku.
Bahkan aku menjadi seperti orang gila. Aku guncang-guncang tubuhnya yang telah
berkerut-kerut itu sambil berteriak-teriak. "Ini aku Panggiring Nyai. Aku
Panggiring yang telah membunuh anakmu. Kenapa kau tidak membiarkan aku mati
saja" Kenapa?" Perempuan tua itu terperanjat. Namun kemudian dengan tenang ia bangkit dan duduk
di pembaringannya. "Kenapa kau?" "Bukankah anakmu laki-laki yang tunggal itu telah dibunuh oleh Panggiring,
sehingga hidup Nyai menjadi begini pahit" Nah akulah orang yang bernama
Panggiring itu. Aku Nyai. Aku. Sekarang Nyai dapat membunuh aku dengan cara yang
kau pilih. Meracunku, atau menyobek lukaku ini kembali."
Perempuan itu termenung sejenak, dan aku teriak lagi, "Akulah Panggiring, apakah
kau dengar?" Aku menjadi semakin terperanjat ketika perempuan itu menjawab, Ya, aku sudah
tahu bahwa kau Panggiring. Kenapa?"
Aku tidak dapat mengerti, kenapa ia tidak membunuhku atau membiarkan aku mati.
Dan aku masih mendengar ia berkata, "Aku mengerti kalau kaulah yang bernama
Panggiring itu sebenarnya. Dan aku sadar, bahwa kau jugalah yang telah membunuh
anakku itu sejak kau berbaring di padang itu."
"Darimana kau tahu?" aku bertanya.
"Ikat pinggangmu. Semua orang tahu, bahwa tanda itu adalah tanda seorang yang
bernama Panggiring. Sebuah Candi." Tubuh Panggiring menjadi gemetar karenanya. Dan tiba-tiba ia bertanya, "Kalau
Nyai tahu bahwa aku Panggiring yang telah membunuh anakmu, kenapa kau
menolongku." Perempuan itu tersenyum betapapun pahitnya, "Yah," ia berdesah, "Apakah
maksudmu, aku harus mendendam dan membalas setiap pembunuhan dengan pembunuhan betapapun caranya?"
Aku tidak dapat menyahut.
"Tuhan tidak mengajarkan demikian. Dan aku adalah hamba Tuhan yang harus
berusaha sejauh mungkin dapat melakukan petunjuk-Nya."
Jawaban itu serasa ujung duri yang menyentuh-nyentuh dinding jantung. Tajam
sekali. Dan perempuan itu berkata, "Dan setiap pembunuhan tidak akan dibenarkan
oleh Tuhan, apapun alasannya."
224 http://kangzusi.com SH Mintardja - Tanah Warisan
Ternyata luka di dalam hati ini jauh lebih pedih dari luka-luka ditubuhku.
Karena itu untuk melepaskannya aku berteriak, "Omong kosong. Omong kosong. Aku sudah membunuh
puluhan orang. Dan aku tidak pernah mendapat kutukan apapun. Aku berkuasa karena aku membunuh."
Tetapi perempuan tua itu tersenyum. Katanya, Pandanganmu memang terlampau sempit
Panggiring. Kau hanya memandang dunia yang kasat mata ini saja. Kau tidak pernah melihat
jauh ke seberang hidupmu yang sekarang."
"Buat apa aku memandang ke daerah yang tidak aku hayati. Dunia yang hanya
terbayang di dalam teka-teki dan sekadar untuk menakut-nakuti anak yang nakal?"
Perempuan itu malah tertawa. Katanya, "Kau memang masih sakit. Luka-lukamu masih
basah dan setiap saat dapat berdarah kembali. Berbaringlah dan beristirahatlah.
Kau akan menjadi lekas sembuh."
"Tidak. Aku tidak mau mendengar omong kosongmu itu."
"Tidurlah." Dan aku sama sekali tidak dapat melawannya. Melawan tenaga tuanya itu, ketika
aku didorongnya kembali ke pembaringanku, sebuah amben bambu yang berderit-
derit. "Kau tidak hanya sekadar luka-luka ditubuhmu, tetapi kau mendapat luka yang
cukup parah. Dihatimu,"
desis perempuan tua itu dekat ditelingaku, "Kenapa?"
Aku tidak menjawab. "Hatiku juga luka karena aku kematian anakku satu-satunya. Tetapi aku dekat
dengan tabib Yang Maha Pandai. Lukaku berhasil disembuhkannya."
"Siapa tabib itu?"
"Tuhan. Tuhan mampu mengobati luka di hati. Aku telah diobati-Nya sehingga
sembuh sama sekali. Karena aku tidak mendendammu. Kalau kau mau mendekat dan memohon, kau pun akan
diobati-Nya. Cobalah," perempuan tua itu berhenti sejenak, lalu di bertanya, "Kenapa kau luka
di hati?" Sekali lagi aku tidak dapat melawan, dan aku berceritera tentang diriku. Tentang
ibuku dan ayahku. Tentang kematian ayah dan kemudian tentang seorang ayah tiri. Bagaimana aku
hidup di neraka dan kemudian aku harus pergi meninggalkan semuanya yang aku
cintai. Ibuku, adikku dan kampung
halaman ini. "Kau memang sakit anakku," desah perempuan tua itu. "Karena itu kau harus mohon
untuk disembuhkan-Nya. Lahir dan batinmu. Tubuh dan nyawamu yang memang sedang sakit."
Aku tidak dapat menolak kata-katanya. Meskipun aku tidak berbuat apa-apa, tetapi
setiap kali aku melihat orang tua itu mendekatkan diri kepada Tuhan dengan doa.
Setiap kali. Dan yang setiap kali itu seperti titik air di atas batu yang
betapapun kerasnya," Panggiring berhenti pula sejenak. Kepalanya menjadi semakin
tertunduk. Di sampingnya Ki Tambi duduk terpekur. Terbayang dipelupuk matanya
apa yang telah terjadi atas Panggiring. Berurutan, sejak kanak-kanaknya. Sebagai
Rahasia Hiolo Kumala 8 Wiro Sableng 115 Rahasia Perkawinan Wiro Seruling Haus Darah 2
^