Pencarian

5 Jagoan 5 Raja 8

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng Bagian 8


semua budak-budaknya yang ada di situ, baru dia minta Put Te menerangkan apa maksud
ucapannya tadi. Put Te menceritakan terus terang tentang rencana Lu I Seng dan Kiok Peng
hendak mengadakan pemberontakan.
"Sekarang kedua pengkhianat itu sudah mengatur anak buahnya di dalam kota,
sedang mereka telah pergi mengumpulkan tentara. Karena itu lebih baik Cu-kong jangan buang
waktu, malam ini juga harus menyamar dan bersama Kok-kiu Ho Yan buru-buru keluar kota,
untuk minta bantuan Raja Cin Bok-kong mengerahkan pasukan perangnya, dengan demikian
baru pemberontakan bisa dipadamkan. Sedang hamba akan siaga di dalam kota, untuk
membantu membinasakan dua pengkhianat itu dari dalam kota." kata Put Te.
"O, masalah ini sangat gawat, mari kita segera bertindak!" kata Ho Yan. "Urusan
di dalam negeri Tuanku jangan takut, pasti Chu I bisa mengurusnya dengan rapi."
Raja Chin Bun-kong berpesan Put Te agar dia berhati-hati. Put Te manggut dan
pergi. Tidak lama Raja Chin Bun-kong memanggil budaknya yang paling dipercaya, lalu dipesan
bagaimana caranya harus bekerja. Sesudah itu Raja Chin Bun-kong tidur kembali
seperti biasa. Setelah hampir kira-kira pukul tiga pagi, Chin Bun-kong pura-pura sakit perut,
lalu memerintahkan budak yang dapat dipercaya itu membawa teng (lampion)
mengantarkannya ke wc, tetapi sebenarnya dia keluar dengan menyamar dari pintu belakang, bersama
Ho Yan dia naik ke sebuah kereta dan segera keluar kota.
Bab 23 Pada esok paginya, budak keraton, yang Chin Bun-kong percayai lantas menyiarkan
kabar, bahwa sang Cu-kong sakit. Orang-orang di dalam keraton hampir semuanya tidak
tahu bahwa Raja Chin sudah pergi mininggalkan istananya. Ketika semua pembesar istana sudah
berkumpul semua di pintu istana, tetapi tidak melihat rajanya hadir dalam
persidangan, semua menteri pergi di keraton akan mencari keterangan apa sebabnya, mereka
mendapatkan sepasang daun pintu yang dicat merah tertutup rapat, sedang di atas pintu
tergantung satu pay (papan) pemberitahuan Raja Chin tidak bisa bersidang di istana. Pengawal pintu
memberi keterangan, bahwa sang Cu-kong malam tadi secara mendadak sakit demam, hingga
tidak bisa turun dari pembaringannya, katanya Kalau penyakitnya mulai sembuh dia akan
mulai bersidang lagi pada awal bulan Sha-gwe (bulan tiga).
Tio Swi mengerti pasti ada sesuatu yang terjadi, di dalam kalangan politik, dia
sengaja pura- pura berduka seraya berkata, "Cu-kong baru duduk di tahta kerajaan, banyak
urusannya yang masih belum beres, tetapi tiba-tiba beliau sakit, seperti pribahasa mengatakan :
"Langit tidak bisa dijajaki, angin dan awan, di dunia tidak bisa diketahui datangnya bahaya
dan rejeki." Semua pembesar menganggap perkataan Tio Swi memang ada benarnya, masing-masing
ikut berduka hati dan berjalan pulang. Hanya Lu I Seng dan Kiok Peng yang girang
mendengar Raja Chin Bun-kong sakit dan pada awal bulan Sha-gwe baru mulai bersidang lagi
di istana, mereka girang karena menganggap seperti Allah ingin membantu usaha mereka, saat
mereka akan membinasakan Raja Chin Bun-kong tersebut. Dikisahkan Raja Chin Bun-kong dan
Ho Yan yang telah keluar dari perbatasan negeri Chin, mereka masuk ke negeri Cin,
dia langsung memerintahkan orang menyampaikan surat rahasia pada Raja Cin Bok-kong, dia minta
bertemu untuk membicarakan urusan penting di kota Ong-shia.
Setelah Raja Cin Bok-kong mengetahui Raja Chin datang dengan berpakaian
menyamar, dia langsung bisa menerka, pasti di negeri Chin telah timbul huru-hara. Maka dia
sengaja menggunakan alasan hendak keluar berburu, hari itu juga dia perintahkan pasang
keretanya, yang langsung berangkat ke Ong-shia untuk menemui Raja Chin Bun-kong. Raja Chin
lantas menceritakan terus terang maksud kedatangannya.
"Jangan khawatir," kata Raja Cin Bok-kong. "Aku yakin Tio Swi bersama kawan-
kawannya akan mampu menumpas para pemberontak itu!"
Meski demikian tidak urung dia perintahkan Kong-sun Ci mengepalai sepasukan
angkatan perang menunggu di mulut sungai, untuk siap sedia menerjang masuk ke negeri
Chin, apabila di kota Kang-touw terbit huru-hara yang mengkhawatirkan. Sementara Raja Chin
Bun-kong dipersilakan tinggal di Ong-shia untuk sementara waktu.
Dikisahkan Put Te, karena khawatir Lu I Seng dan Kiok Peng akan jadi curiga,
pada hari sebelum mereka mengatur pergerakan, dia sengaja bermalam di rumah pengkhianat
itu dan pura-pura berunding dan menyetujui rencana mereka.
Setelah sampai akhir bulan Ji-gwe (bulan dua), pada waktu tengah malam, Put Te,
Kiok Peng dan Lu I Seng masing-masing memimpin pasukannya lalu mengepung istana Raja Chin,
dan sesaat kemudian di pintu istana lantas timbul kebakaran. Ketika itu orang-orang
di dalam istana sedang enak tidur dan sadar dengan kaget hingga lari kalang kabut.
Di tengah lautan api kelihatan banyak sekali tentara sedang menyerang ke timur
melabrak ke barat, sementara mereka menyerang sambil berteriak-teriak.
"Jangan biarkan Tiong Ji lolos!"
Orang-orang yang panik banyak yang terbakar saat lari mereka diserang tentara
hingga mereka luka-luka. Lu I Seng dengan pedang terhunus terus masuk ke kamar tidur
mencari Chin Bun-kong, tetapi tidak menemukannya. Dia bertemu dengan Kiok Peng yang juga
memegang pedang dan masuk dari pintu keraton dari belakang.
"Bagaimana, apa sudah beres?" tanya Kiok Peng. Lu I Seng tidak menyahut,
melainkan menggoyangkan kepalanya saja. Mereka berdua dengan tidak mempedulikan kobaran
api lalu mencari pula di sekeliling tempat.
Sementara itu di sebelah luar terdengar suara ribut sekali. Sesaat kemudian Put
Te dengan tergopoh-gopoh memberi kabar, bahwa kelompok keluarga Ho, Tio, Loan, Gui dan
yang lain- lain pembesar telah menggerakan balatentara datang menolong memadamkan api, maka
kalau menunggu sampai langit terang, dikhawatir mereka akan susah.
"Lebih baik kita menyingkirkan diri dulu, kemudian baru mencari di mana Raja
Chin berada, apakan dia sudah mati atau belum?" kata Put Te. Lu I Seng dan Kiok Peng setuju
saran Put Te, lalu memimpin anak buahnya menyerang keluar dari pintu istana dan terus lari
keluar kota. Siang harinya kobaran api baru bisa dipadamkan, dan baru ketahuan bahwa Lu
I Seng dan Kiok Penglah yang menimbulkan huru-hara kebakaran itu. Semua pembesar
terkejut, karena tidak menemukan Raja Chin Bun-kong.
Tetapi tidak lama ada budak istana yang membocorkan rahasia, bahwa Raja Chin
tiga hari sebelum terjadi kebakaran sudah pergi entah ke mana.
"O, kalau masalah ini lebih baik kita tanyakan pada Kok-kiu Ho Yan," kata Tio
Swi. Mereka mencari Ho Yan tetapi tidak ada cuma ada Ho Mo.
"Beberapa hari di muka adikku masuk ke keraton, sejak saat itu dia tidak pulang
lagi," kata Ho Mo. "Aku kira Raja Chin dan menterinya sudah mengetahui lebih dulu bencana
itu, dua pengkhianat mau berontak. Baiklah kita orang jaga keras saja ini kota raja dan
betulkan pula keraton yang terbakar, kita orang menunggu saja pada Cu-kong pulang."
Gui Cun menyatakan marahnya, ia ingin pimpin satu pasukan balatentara yang akan
melabrak dua pemberontak itu. Tetapi kehendaknya itu dicegah oleh Tio Swi, yang berkata:
"Buat keluarkan pasukan perang itu kuasanya pada kepala pemerintah, sekarang Cu-kong
tidak ada disini, siapakah yang berani memberi itu titah" Pendeknya kita orang jangan
takut apa-apa, meskipun itu dua pengkhianat sudah lari, toh tidak urung kita orang nanti bisa
terima kepalanya." Dua pemberontak ini menempatkan tentaranya di luar kota, setelah mendapat kabar
Raja Chin Bun-kong belum mati dan semua Tay-hu telah mengatur penjagaan kota dengan keras,
mereka merasa tidak sanggup untuk terus berperang, maka mereka berniat kabur ke
lain negeri. Put Te merasa sekarang sudah waktunya untuk menjalankan siasatnya, buru-
buru dia berkata pada dua pemberontak itu.
"Disingkirkan Raja Chin dan dijadikan raja tergantung dari Raja Cin Bok-kong.
Istana Raja Chin sudah terbakar, barangkali dia sudah mati terbakar. Lebih baik kita sambut
Pangeran Yong untuk dijadikan raja. Seandainya Raja Chin belum mati pun sulit dia bisa
masuk ke negaranya." kata Put Te.
Lu I Seng dan Kiok Peng menyatakan setuju, lalu menyilakan Put Te pergi dulu ke
negeri Cin untuk membicarakan maksud tersebut dengan Raja Cin. Segera Put Te berangkat,
setelah sampai di mulut sungai, dia mendapat kabar Kong-sun Ci menempatkan tentaranya di
tepi sungai sebelah barat, maka dia lantas menyeberang sungai pergi menemui Kong-sun
Ci. Di situ satu sama lain menceritakan terus terang urusan yang sebenarnya.
Kong-sun Ci lantas menulis sepucuk surat, di dalam surat dia katakan seolah Raja
Cin menerima baik usul yang diajukan oleh dua pemberontak itu. Di dalam surat
dinyatakan agar dua pengkhianat itu datang untuk berdamai. Surat lalu diserahkan pada Put Te
untuk disampaikan pada dua pemberontak itu.
Tatkala Lu I Seng dan Kiok Peng menerima surat itu, dengan sangat girang segera
berangkat. Begitu sampai di tepi sungai di seberang sungai di pesanggrahan Cin, mereka
sudah langsung disambut oleh Kong-sun Ci.
Sesudah satu sama lain berbincang-bincang sebentar, Kong-sun Ci langsung
mengatur pesta untuk menghormati kedua tamunya, hingga dua pemberontak itu tidak merasa curiga
apa-apa. Selang tiga hari, Lu I Seng dan Kiok Peng minta bertemu dengan Raja Cin untuk
membicarakan pengangkatan Kong-cu Yong. Dengan senang hati Kong-sun Ci langsung
mengantarkan kedua pembesar durhaka itu ke kota Ong-shia, sesampai di di kota
tersebut Kong-sun Ci dan Put Te masuk dulu ke dalam kota untuk memberi kabar pada Raja
Cin Bok- kong. Raja Cin langsung mengeluarkan perintah pada Panglima Pi Pa untuk menyambut Lu I
Seng dan Kiok Peng, sedang Raja Chin Bun-kong dia suruh bersembunyi di belakang
sekosol (tirai). Tidak lama Lu I Seng dan Kiok Peng sudah datang menghadap, sesudah
mereka menjalankan kehormatan pada Raja Cin Bok-kong, lalu mereka membicarakan soal
akan mengangkat Kong-cu Yong menjadi raja baru.
"Kong-cu Yong sudah ada di sini!" kata Raja Chin Bok-kong.
Kiok Peng dan Lu I Seng memohon untuk bertemu dengan Kong-cu Yong.
"Ayo raja baru boleh keluar!" teriak Raja Cin Bok-kong.
Sesaat itu dari belakang sekosol kelihatan keluar seorang bangsawan, wajahnya
tenang dan anggun, sambil melenggang dia berjalan menghampiri.
Lu I Seng dan Kiok Peng mengawasi orang bangsawan itu, kiranya tidak lain, ialah
Raja Chin Bun-kong adanya! Satu teriakan heran dan perasaan ketakutan segera keluar dari
mulut kedua pengkhianat itu, semangatnya rasanya sudah terbang dari badannya. Semua orang
jadi tersenyum melihat kelakuan kedua pemberontak yang seperti orang terpagut ular
itu. Sementara Raja Cin Bok-kong mempersilakan Raja Chin Bun-kong duduk bersama-sama.
Dengan sangat marah Raja Chin Bun-kong menista, "Hei, orang durhaka yang
terkutuk! Aku punya salah apa hingga kalian mau berontak" Coba jika bukan Put Te yang
memberitahuku agar aku keluar dari istana, niscaya aku sudah menjadi abu!"
Sekarang Lu I Seng dan Kiok Peng baru tahu yang dirinya sudah tertipu oleh Put
Te, lalu mereka mengaku terus terang kesalahannya, tetapi mereka merembet-rembet Put Te
yang dikatakan juga turut dalam persekutuan rahasia itu. Raja Chin Bun-kong lantas
tertawa seraya berkatam "Jika Put Te tidak berlaku begitu, bagaimana dia bisa tahu kalian
berdurhaka!" Sehabis berkata begitu Raja Chin Bun-kong segera memerintahkan pengikutnya
mengikat kedua pengkhianat itu, lalu menyuruh Put Te menebas kepalanya. Dengan sekejap


5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saja dua kepala pengkhianat itu sudah diantarkan ke bawah tangga. Raja Chin Bun-kong
lantas memerintahkan Put Te membawa kepala dua pemberontak untuk dipamerkan, supaya
kawan- kawannya menyerah. Mendengar Raja Chin masih hidup dan dua pengkhianat telah
tewas, rakyat negeri hin gembira.
Sesudah membunuh Lu I Seng dan Kiok Peng, Raja Chin Bun-kong lalu menghaturkan
terima kasih kepada Raja Cin Bok-kong, kemudian dia mohon akan mengajak isterinya,
Hoay-eng, pulang ke negerinya. Raja Cin Bok-kong merasa senang sekali, lalu mengajak Chin Bun-kong meninggalkan
kota Ong-shia dan pergi lagi ke kota Yong-touw, di sini dia suruh orangnya segera
menyediakan sebuah kereta kosong yang dirias sangat indah, kereta itu lalu dipakai untuk
dinaiki oleh Hoay-eng dan lima pengantarnya.
Raja Chin Bun-kong dan Hoay-eng sesudah mengucapkan selamat berpisah pada Raja
Cin Bok-kong dan Bok-ki, dengan diiringi oleh sejumlah besar balatentara segera
menyeberangi sungai. Tio Swi dan yang lain-lain pembesar negeri Chin memang lebih awal berangkat dan
sudah sedia kendaraan di tepi sungai.
Mereka menyambut kedatangan Raja Chin Bun-kong, suami-isteri, dan mempersilakan
supaya naik kereta. Beratus-ratus pembesar berkumpul ikut kereta, banyak bendera
berkibar- kibar, suara segala macam tetabuhan sangat riuh sekali, hingga membuat keadaan
jadi sangat ramai. Setelah Raja Chin Bun-kong sampai di kota Kang-shia, rakyat negeri tidak ada
yang tidak menyatakan kegirangan hatinya, hingga suara tempik-sorak jadi gegap-gempita
sekali. Begitu sudah duduk kembali di tahta kerajaan, Raja Chin Bun-kong merasa sangat
geram pada perbuatan Lu dan Kiok, ia hendak membasmi sampai habis sanak keluarganya.
Tetapi niat itu dicegah oleh Tio Swi, yang berkata, "Dulu Raja Chin Hui-kong dan
Chin Hoay-kong dengan kejam menghukum tanpa belas-kasihan hingga membuat orang sakit
hati, maka sekarang harap Tuanku bersabar dan berlaku bijaksana."
Raja Chin Bun-kong menuruti nasehat Tio Swi, lalu mengampuni dosa kaum durhaka
itu. Meski sudah diberi kebebasan, tetapi kaum Lu dan Kiok masih saja merasa curiga,
hingga semakin hari gelagatnya jadi semakin buruk, hal itu membuat Raja Chin Bun-kong
jadi sangat kecewa. Pada suatu hari, Touw Si, yaitu pengurus uang dan barang-barang, saat Chin Bun-
kong mengembara di negeri Ek mencuri uang dan barang-barang, kemudian kabur, hingga
Raja Chin Bun-kong sengsara di dalam perjalanan, sekonyong-konyong hari itu datang ke
keraton minta bertemu dengan Chin Bun-kong. Tentu saja Chin Bun-kong masih dendam pada
Touw Si, dia lantas memerintahkan pengawal pintu mengusir Touw Si. Tetapi ketika Touw
Si memberitahu dia membawa kabar penting, apa boleh buat, Raja Chin Bun-kong
mengizinkan dia datang menghadap. "Apa Cu-kong sudah tahu kaum Lu dan Kiok berapa banyak jumlahnya?" tanya Touw Si
sesudah dia melakukan hormat di hadapan Chin Bun-kong.
"O, banyak sekali!" sahut Bun-kong sambil mengerutkan alisnya.
"Sekalipun mereka sudah Tuanku ampuni, tetapi mereka masih dendam pada Tuanku.
Maka Tuanku harus menggunakan tipu-muslihat supaya hatinya tenang." kata Touw Si.
"Dengan tipu apa agar aku bisa menyenangkan mereka?"
"Dulu hamba telah mencuri uang Cu-kong, hingga membuat Cu-kong sengsara di dalam
perjalanan. Dosa hamba semua orang sudah tahu, apabila Cu-kong keluar pesiar
dengan memakai hamba sebagai kusir keretanya, dan semua orang melihatnya. Maka orang-
orang yang mendengar atau melihat Cu-kong berlaku bijaksana terhadap hamba, semua
orang jadi mengetahui bahwa Cu-kong tidak pendendam dan bijaksana. Maka hamba yakin kaum Lu
dan Kiok hilang kecurigaannya." kata Touw Si.
Raja Chin Bun-kong setuju pada usul Touw Sie. Segera dia bersiap, dengan alasan
hendak memeriksakota, dia naik kereta dengan memakaikusir TouwSi.
Setelah kaum Lu dan Kiok melihat kelakuan Raja Chin ini, di antara mereka satu
sama lain dengan diam-diam bicara, "Touw Si telah mencuri uang dan barang-barang milik Cu-
kong, sekarang dia dipakai lagi, apa lagi bagi orang yang kesalahannya tidak begitu
besar?" Begitulah mulai saat itu semua kaum Lu dan Kiok taat di bawah perintah Chin Bun-
kong. Chin Bun-kong lalu mengangkat Touw Si untuk mengurus gudang. Idenya dihargai
hingga negeri Chin jadi aman. Ketika Chin Bun-kong masih muda, pertama kali dia dinikahkan dengan Ci-eng,
tetapi isterinya ini tidak beruntung, masih muda sudah meninggal dunia. Kemudian Bun-
kong dikawinkan lagi dengan Pek-kit, dari Pek-kit mendapat satu anak lelaki dan satu
anak perempuan, yang lelaki diberi nama Koan dan yang perempuan diberi nama Pek-ki.
Tetapi Pek-kit juga sudah meninggal di kota Po-shia. Saat Bun-kong melarikan diri,
terpaksa dia tinggalkan kedua anaknya itu yang ketika itu masih berusia muda di Po-shia.
Tetapi untung ada Touw Si yang mengurus, dia titipkan dua anak itu pada penduduk Po-shia,
seorang she Sui untuk dirawat, sedang beras dan pakaian yang cukup diberi setiap tahun.
Begitulah pada suatu hari saat sedang ada kesempatan, Touw Si menceritakan pada Bun-kong hal
tersebut. Bun-kong jadi terkejut bercampur girang, dia berkata, "Aku mengira anakku itu
sudah binasa di dalam keributan, kalau begitu mereka masih hidup!"
Segera dia perintahkan Touw Si pergi ke kota Po-shia, memberi hadiah besar pada
orang she Sui, dan membawa pulang kedua anak itu. Pertemuan ayah dan anak itu telah
menimbulkan perasaan girang bercampur sedih. Segera Bun-kong menyuruh kedua anaknya
mengangkat Hoay-eng menjadi ibunya, kemudian baru dia angkat Koan menjadi Si-cu (putra
mahkota), sedangkan Pek-ki dinikahkan dengan Tio Swi, yaitu di sebut Tio-ki.
Raja Ek sudah mendapat kabar bahwa Tiong Ji sudah menjadi raja, lalu dia
mengirim utusan mengucapkan selamat serta mengantarkan Kui-kui pulang ke negeri Chin. Cee Hauw-
kong juga mengirim utusan untuk mengucapkan selamat serta sekalian mengantarkan
Kiang-si. Chin Bun-kong lalu menceritakan pada Hoay-eng tentang kepandaian putri Cee dan
Ek serta baik budinya. Mendengar pujian itu Hoay-eng sangat kagum, dia lantas mengalah dan menyerahkan
kedudukannya sebagai Hu-jin (permaisuri) kepada kedua madunya itu. Begitulah
lantas ditetapkan pula kedudukan di dalam keraton, yaitu Cee Kiang-si diangkat menjadi
Hu-jin pertama, Ek Kui-kui yang ke dua dan Cin Hoay-eng yang ke tiga.
Tio-ki yang mendengar Kui-kui sudah pulang, dia pun membujuk suaminya, Tio Swi
untuk menyambut dan mengajak pulang Siok-kui, ibu dan anak. Mulanya Tio Swi tidak mau
karena dia takut Chin Bun-kong kurang senang, tetapi sesudah Tio-ki memaksa berulang-
ulang, dan juga Chin Bun-kong memberi izin, baru Tio Swi berani mengirim orang pergi ke
negeri Ek untuk menyambut isteri, Siok-kui, serta putranya Tio Tun.
Setelah urusan rumah tangga beres, barulah Chin Bun-kong memberi penghargaan
kepada semua pembesar menurut jasa masing-masing. Tetapi dengan tidak disengaja Chin
Bun-kong sudah melupakan memberi penghargaan untuk Kay Cu Cui, seorang menteri yang sudah
pernah memotong pahanya untuk disuguhkan kepadanya, sebab pembesar itu tidak
ikut hadir. Sebenarnya adat Kay Cu Cui sangat aneh, waktu Chin Bun-kong sedang dalam
kesusahan dia ikuti, sesudah Bun-kong beruntung dia pergi menyingkirkan diri, seperti dia
tidak suka pada kesenangan dunia. Begitulah dengan mendukung ibunya dia pergi ke sebuah tempat
yang disebut Bian-siang, di tengah jurang yang dalam. Di sana dia membuat sebuah
gubuk, dia makan daun-daunan dan memakai baju rumput, maksudnya hendak menunggu ajalnya di
tempat itu. Satu di antara tetangga Kay Cu Cui yang bernama Kay Thio, melihat Cu Cui tidak
mendapat penghargaan jadi merasa kasihan, lalu dia menulis surat sindiran, pada waktu
malam dengan diam-diam dia gantungkan di depan pintu istana.
Esok harinya tatkala Chin Bun-kong sedang duduk di singgasananya, menteri yang
mendapatkan surat itu, lalu datang mempersembahkannya. Bun-kong kemudian baca :
"Ada seekor naga yang sangat bagus, dia kehilangan tempat tinggalnya hingga
menanggung banyak kesusahan, beberapa ular ikut bersamanya, telah berjalan pesiar ke
sekeliling tempat, waktu naga lapar kekurangan makanan, satu ular memotong pahanya, setelah naga
pulang di goanya, dengan selamat berdiam di tempat kediamannya, beberapa ular masuk ke
lubang, semua mendapat sarang yang enak, cuma seekor ular tidak mendapat lubang, hingga
menanggung sengsara di tengah tegalan."
"O, ini sindiran Kay Cu Cui!" kata Bun-kong dengan terperanjat sesudah melihat
surat itu. "Dulu waktu aku lewat di negeri We, aku menanggung kelaparan, tetapi Cu Cui bisa
menyuguhkan makanan yang lezat, yaitu dengan memotong pahanya untuk dibuat
makanan. Sekarang aku memberi penghargaan besar pada semua pembesar yang berbhakti, aku
merasa menyesal sekali atas kealpaanku ini!"
Dengan tidak ayal lagi Bun-kong langsung memerintahkan orang pergi memanggil Kay
Cu Cui. Tetapi sudah terlambat, karena Cu Cui sudah pergi dari rumahnya, hingga
orang suruhan itu pulang kembali dengan tangan kosong. Hal itu membuat Raja Chin Bun-kong jadi
sangat penasaran, lalu memerintahkan orang pergi menanyakan pada tetangga-tetangganya
ke mana Cu Cui sudah pergi, serta dijanjikan barangsiapa yang bisa memberi keterangan
akan dikurniai pangkat. Mendengar kabar Kay Thio segera pergi menemui Raja Chin Bun-kong, pada raja dia
mengaku terus terang, bahwa surat sindiran itu sebenarnya dia yang menulis,
sebab dia tahu Kay Cu Cui merasa malu untuk minta penghargaan, telah mendukung ibunya pergi
bersembunyi di tengah jurang di gunung Bian-siang. Lantaran dia merasa kasihan,
maka dia menulis surat sindiran untuk mengingatkan Raja Chin menggantikan Kay Cu Cui
untuk menjelaskan bhaktinya. "Ya, memang jika bukan kau yang menggantungkan surat itu, hampir saja aku
melupakan Kay Cu Cui yang bhaktinya sangat besar," kata Bun-kong dengan paras sedikit
girang, yang lantas mengangkat Kay Thio menjadi He-tay-hu, dan hari itu juga dia segera
perintahkan orang memasang kereta, dengan Kay Thio sebagai penunjuk jalan mereka berangkat
menuju ke gunung Bian-siang. Raja Chin Bun-kong, seorang raja yang sangat berbudi, itu sebenarnya, karena
meskipun harus melewati gunung yang berundak-undak, pohon dan rumput yang sangat lebat,
aliran air yang besar dan kecil, ia merasa tidak bosan mencari, malahan ia jadi semakin
geregetan, sebab sudah sekian lama diubek-ubek, belum juga bisa kelihatan Kay Cu Cui di
mana berada. Akhirnya sesudah mencari di berbagai penjuru, hanya ketemu dengan beberapa orang
tani. Karena ingin dapat keterangan yang betul, maka Bun-kong sendiri pergi tanya
petani, apakah melihat kaij Cu Cui"
"Pada beberapa hari lalu," menyahut satu di antara orang tani itu, "betul ada
kelihatan satu orang lelaki menggendong seorang perempuan tua beristirahat di kaki gunung ini.
Ia timba air untuk diminum, tetapi kemudian ia dukung lagi perempuan tua itu dan naik ke
gunung, sampai sekarang tidak ketahuan ke mana perginya."
Setelah dapat keterangan itu, Bun-kong memerintahkan memberhentikan semua kereta
di bawah gunung, kembali dia menyuruh orang mencari Kay Cu Cui di mana-mana.
Orang-orang mencari sampai beberapa hari, tidak bisa mendapatkan menteri itu.
Wajah Chin Bun-kong kelihatan kurang senang, lalu dia berkata pada Kay Thio:
"Kau lihat sendiri bagaimana aku sudah sungguh-sungguh mencari Kay Cu Cui, aku tidak
mengerti

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengapa dia sampai begitu marah padaku" Tetapi kabarnya Cu Cui seorang anak
berbakti, bila kita nyalakan api untuk membakar hutan ini, pasti dia akan mendukung ibunya
untuk dibawa lari keluar dari kobaran api."
Sebagian besar menteri-menteri membenarkan perkataan Chin Bun-kong, maka segera
dikeluarkan perintah kepada balatentaranya supaya menyalakan api di sekitar
gunung itu. Dengan sebentar saja api sudah berkobar besar sekali, sementara itu angin
bertiup keras, hingga membuat beberapa bagian hutan menjadi lautan api.
Tiga hari berselang api baru padam. Tetapi Kay Cu Cui tidak muncul juga, ini
membuktikan kekerasan hatinya. Ketika dilakukan pencarian, prajurit menemukan anak dan ibu
itu saling berpelukan, hingga mereka mati hangus bersama di bawah pohon Liu yang sudah
kering. Di antara serdadu yang mencari mayat Kay Cu Cui, lalu memberi kabar kepada Raja
Chin Bun-kong tentang penemuan mereka itu.
Raja yang berbudi itu ketika mendengar keadaan ibu dan anak itu sudah mati
hangus, hatinya jadi sangat terharu, sehingga tidak hentinya mengucurkan air mata. Kemudian dia
perintahkan orang mengubur dengan baik dua mayat itu di kaki gunung Bian-siang, serta
mendirikan kelenteng untuk tempat menyembayangi roh Kay dan ibunya.
"Di bilangan sekitar gunung Bian-siang ladang dan sawahnya, semua menjadi milik
kelenteng itu, lalu menyuruh petani mengurus sembayang setiap tahun. Sesudah mengurus
sampai selesai semua urusan kehormatan Kay Cu Cui, barulah Chin Bun-kong pulang ke
istananya. Peristiwa tewasnya Kay Cu Cui dan ibunya ini sampai saat ini dirayakan sebagai
hari Nyepi. Begitulah mulai saat itu dan selanjutnya, senantiasa Raja Chin Bun-kong
memperhatikan betul urusan pemerintahan negeri, dia juga beramal, mempekerjakan orang-orang
yang pandai, berhati-hati menjalankan hukuman, meringankan pajak rakyat, memperluas
perniagaan atau perekonomian negara, menghormati semua tamu, mengasihi orang
yang miskin dan menolong yang sengsara, lantaran demikian di dalam negerinya jadi
sangat sentosa. Sri Baginda Ciu Siang-ong yang mendapat kabar tentang aman dan sentosannya
negara Chin di bawah perintah Raja Chin bun-kong, lalu mengutus Thay-cay Ciu-kong Khong dan
Lwe-su Siok Hin, untuk mengaruniakan gelar Houw-pek pada Raja Chin ini.
Dengan manis budi Raja Chin Bun-kong memperlakukan dua utusan Kaisar Ciu itu,
serta dia meminta tolong agar ucapan terima kasihnya disampaikan pada Kaisar Ciu.
Tatkala utusan itu kembali dan menghadap pada Baginda Ciu Siang-ong, mereka
menyatakan pendapatannya, bahwa Chin Bun-kong pasti akan menjadi raja jagoan dari semua
Raja-muda. Maka tidak boleh tidak harus bersahabat baik dengannya. Baginda percaya
keterangan menterinya, begitulah mulai saat itu Kaisar jadi renggang dengan negeri Cee dan
dekat pada negeri Cin. Waktu itu Raja The yang tunduk di bawah pengaruh negeri Couw tidak mau bergaul
dengan Raja-raja muda yang lain di Tiongkok. Bersandar pada negeri Couw yang kokoh,
Raja The sering melecehkan negeri lain yang lemah. Begitulah pada suatu hari Raja The
merasa benci pada Raja Kut yang berpihak kepada raja dan negeri We dan tidak tunduk pada
negeri The, maka Raja The langsung mengerahkan angkatan perangnya menyerang negeri Kut itu.
Kut-pek yang mendengar tentara The menyerang jadi ketakutan, dia minta berdamai.
Tetapi baru saja pasukan The mundur dari negerinya, Raja Kut langsung memihak kembali
pada negeri We. Raja The Bun-kong jadi sangat murka, segera memerintahkan Kong-cu
Siat dan Touw Ji Bi menggerakan pasukan besar dan melabrak negeri Kut dengan hebat
sekali. Waktu itu Raja We Bun-kong dengan Kerajaan Ciu sedang baik-baiknya, lalu mereka
mengadukan perbuatan Raja The Bun-kong yang tidak patut itu. Baginda Ciu Siang-
ong lalu memerintahkan Tay-hu Yu Si Pek pergi ke negeri The, untuk mendamaikan Raja The
supaya jangan mengepung negeri Kut.
Sebelum utusan dari Raja Ciu datang, The Bun-kong sudah mendapat kabar hingga
dia jadi kurang enak hati pada Baginda, karena Raja We dan The sama-sama telah berjasa
pada Kerajaan Ciu, mengapa Baginda berpihak pada negeri We, maka dia lantas
memerintahkan orang menahan Yu Si Pek di bilangan tanah The, menunggu sesudah dia mengalahkan
negeri Kut baru akan dilepas kembali.
Utusan Kaisar Ciu itu ditahan, pengikutnya segera lari pulang memberi kabar pada
Baginda Ciu. Perbuatan Raja The yang kurang ajar sudah membuat Baginda Ciu Siang-ong
jadi marah lalu Kaisar Ciu memerintahkan Twe Siok dan To Cu untuk mengadakan perserikatan
dengan negeri Ek, segera juga menyerang ke negeri The.
Dalam peperangan itu bukan saja negeri Kut dapat ditolong, malah negeri The
tentaranya telah mendapat kerusakan besar. Ingat pada jasa raja negeri Ek besar, justru
belum lama Baginda telah kematian permaisurinya, sementara Baginda mendengar kabar puteri
Raja Ek sangat cantik, maka Kaisar Ciu memerintahkan Twe Siok dan To Cu pergi ke negeri
Ek untuk melamar putri Raja Ek. Raja Ek menerima baik lamaran itu, segera dia kirim utusan untuk mengantarkan
anak perempuan Siok-kui, kepada Kaisar Ciu.
Baginda Ciu Siang-ong ketika melihat paras Siok-kui begitu cantik, dia jadi
sangat girang, lalu mengangkatnya menjadi permaisuri. Tidak disangka ternyata Siok-kui ini
seorang perempuan genit, dia merasa kurang senang dinikahkan pada Baginda Ciu yang sudah
berusia lima puluh tahun lebih, maka dengan diam-diam dia mengadakan hubungan gelap
dengan Tay Siok Tay, tentu saja dengan memberinya uang suap besar pada budak-budak istana
supaya mereka tutup mulut. Tay-siok Tay sebenarnya saudara tiri Baginda Ciu Siang-ong, selain usianya masih
muda, parasnya pun cakap. Dulu dia sudah pernah mau merebut tahta kerajaan, dia
mengundang bangsa Jiong untuk menyerang ibukota Kerajaan Ciu, tetapi maksudnya tidak
kesampaian, karena perbuatannnya ketahuan. Raja-raja muda datang menolong Baginda Ciu Siang-
ong, maka dia melarikan diri ke negeri Cee. Tetapi kemudian lantaran ibunya, Hui-
houw, dan banyak juga menteri-menteri yang meminta ampun, maka terpaksa Baginda panggil
pulang lagi dia serta mengembalikan kebesarannya.
"Asap tidak bisa ditutupi!" begitu kata pribahasa. Maka tidak heran, lama
kelamaan lewat laporan seorang budak istana, Siauw-tong, akhirnya Baginda Ciu Siang-ong
mengetahui juga hubungan rahasia antara permaisurinya dengan saudara tirinya itu. Baginda Ciu
marah sekali, lalu memerintahkan orang memenjarakan Siok-kui di penjara Leng-kiong, pintu
penjara dikunci dengan keras, cuma di tembok dilubangi sebuah lubang kecil untuk
memasukan makanan dan minuman. Tay-siok Tay yang mengetahui rahasianya sudah terbongkar, sebelum ditangkap
buru-buru dia melarikan diri ke negeri Ek. Sedang Twe Siok dan To Cu yang juga takut
Baginda Ciu marah kepadanya, sebab mereka yang sudah melamar putri Ek, maka mereka menyusul
Tay- siok Tay ikut melarikan ke negeri Ek.
Setelah mereka bertiga sampai di negeri yang dituju, mereka lalu menghasut Raja
Ek, dikatakan Baginda Ciu Siang-ong berlaku tidak adil, Siok-kui yang berhati putih
bersih dituduh berzinah dan di penjara dalam penjara keraton.
Raja Ek percaya saja omongan pengkhianat itu, dia jadi marah sekali pada Baginda
Ciu, lalu dia perintahkan panglima perangnya, Cek Teng, memimpin lima ribu tentara bersama
Twe Siok dan To Cu segera mengiringkan Tay Siok Tay menyerang ke negeri Ciu.
Tatkala peperangan sudah berlangsung pihak Ciu mendapat kekalahan, hingga
membuat keadaan kota raja jadi terancam bahaya besar. Atas usul beberapa pembesar
terpaksa Baginda Ciu menyingkir dari kota raja pergi ke negeri The.
Di pihak Ek mengetahui Baginda Ciu sudah lari, lalu menyerang kota semakin
sengit. Ciu-kong Khong dan Siauw-kong Ko yang mewakili Baginda menjaga kota, sebab
khawatir tentara Ek akan melakukan perampokan besar-besaran apabila kota sudah dipukul
hancur. Mereka berdiri di atas loteng kota dan memberitahu pada Tay-siok Tay, bahwa
tentara Ek ditahan di luar kota tidak diizinkan masuk ke dalam kota, mereka membuka pintu
kota untuk menyambut Tay-siok Tay. Tay-siok Tay berjanji pada Cek Teng akan memberi hadiah padanya dan tentara
negeri Ek. Tay-siok Tay masuk ke dalam kota, bukan untuk menjenguk ibunya yang waktu itu
sedang sakit payah, tetapi pergi ke penjara Leng-kiong untuk melepaskan Siok-kui,
kemudian baru pergi menghadap pada ibunya.
Ketika ibunya melihat anaknya, bukan main girangnya sang ibu ini, tetapi dia
cuma tertawa satu kali kemudian melepaskan napasnya yang penghabisan. Esok harinya, Tay-siok
Tay memberitahu semua pembesar, menurut pesan Ibusuri yang penghabisan, maka dia
mengangkat dirinya menjadi Kaisar Ciu, sedang Siok-kui dia angkat menjadi Ong-
houw (permaisuri). Kaisar Ciu yang baru ini menerima semua pembesar yang mengucapkan selamat
kepadanya, dia mengeluarkan uang dan barang-barang dari gudang negeri untuk hadiah tentara
Ek. Baru mengurus perkabungan ibunya. Sebagian besar menteri-menteri dan rakyat negeri
sangat benci pada Tay-siok Tay, hingga di sana-sini banyak yang menyindir dia, hal itu
membuat Tay-siok Tay jadi malu. Buru-buru dia ajak Siok-kui pindah ke tanah Un, di sana
dia mendirikan sebuah istana besar, siang dan malam dia bersenang-senang saja,
sedang urusan negara semua dia serahkan pada kekuasaan Ciu-kong Khong dan Siauw-kong Ko.
Baginda Ciu Siang-ong yang melarikan diri ke negeri The, merasa malu untuk masuk
ke dalam kota Raja The, sebab dulu dia telah berpihak pada Raja We dan membuat
kerugian besar pada Raja The, maka setelah lari sampai di kota Hoan-shia, kampung Tiok-
coan, dia perintahkan pengikutnya menghentikan kendaraannya, lalu menumpang tinggal di
rumah seorang petani she Hong. Atas usul Tay-hu Co Yan Hu, Baginda menulis surat pemberitahuan, lalu
memnerintahkan orang membagikannya ke negeri-negeri Cee, Song, Tan, The dan We, di dalam
pengumuman itu dijelaskan Baginda Ciu telah mendapat susah dan sekarang tinggal di tanah
Hoan-shia. Ketika Raja The Bun-kong menerima pengumuman Baginda Ciu Siang-ong, dia tertawa
dan berkata. "Sekarang Baginda Ciu baru tahu kebaikan negeri Ek masih tidak seperti
kebaikan negeri The." kata Raja The.
Raja The segera mengirim orang dan tukang pergi ke Hoan-shia, di sana dibangun
sebuah gedung untuk Baginda Ciu. Raja The memperlakukan Baginda Ciu dengan baik sekali.
Sementara itu Raja Louw, Song dan beberapa negeri juga mengirim utusan untuk
menanyakan kesehatan Baginda, serta masing-masing mengantar hidangan yang lezat
untuk Baginda Ciu. Di musin He bulan Si-gwe (bulan empat), Raja Chin Bun-kong
mengerahkan angkatan perangnya, sedang Raja Cin Bok-kong cuma mengirim Kong-cu Ci untuk
membantu. Setelah pasukan besar Chin Bun-kong sampai di kota Yang-hoan, Raja Chin Bun-kong
memerintahkan Tio Swi memimpin sepasukan tentara pergi ke Hoan-shia untuk
mengajak Baginda Ciu pulang ke kota raja, dan memerintahkan Kiok Cin memimpin sepasukan
angkatan perang pergi melabrak pada Tay-siok Tay di kota Un.
Begitu Baginda Ciu Siang-ong sampai di kota raja, segera dia disambut Ciu-kong
Khong dan Siauw-kong Ko yang menyilahkan Baginda Ciu masuk ke dalam istana. Rakyat negeri
di kota Un waktu mendengar kabar Sri Baginda Ciu sudah duduk kembali di tahta kerajaan,
mereka

5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

beramai-ramai segera bergerak dan membinasakan Twe Siok dan To Cu, kemudian
membuka pintu kota untuk menyambut tentara Chin.
Tay-siok Tay yang tahu rakyat telah berontak, dengan tergopoh-gopoh mengajak
Siok-kui naik ke kereta dan hendak menerobos dari pintu kota untuk melarikan diri ke
negeri Ek. Tetapi tentara yang menjaga pintu kota segera menutup pintu, tidak mau
menerimanya. Tay- siok Tay lalu mencabut pedangnya menebas roboh beberapa orang, tetapi sebelum
dia bisa membuka pintu kota, Gui Cun, salah satu di antara panglima Chin yang tersohor
gagah perkasa sudah keburu mengejar dan menyusul dia. Segera juga sebuah perkelahian
yang sengit dilakukan, tetapi Tay-siok Tay tidak mampu melawan Gui Cun, hingga dengan
gampang sudah dibinasakan oleh orang gagah itu.
Di antara serdadu Chin ada yang berhasil menangkap Siok-kui lalu membawanya
menghadap pada panglima itu. "Ha, ini perempuan genit untuk apa dibiarkan hidup lebih lama lagi!" kata Gui
Cun dengan marah, yang segera memerintahkan tentaranya melepaskan panah pada permaisuri itu
hingga meninggal. Dua mayat orang itu dibawa dan ditunjukkan kepada Kiok Cin, sesudah
diperiksa lalu dikubur. Sesudah Kiok Cin menetapkan hati penduduk di kota Un, baru dia perintahkan orang
memberi laporan pada Raja Chin Bun-kong di kota Yang-hoan. Sedang Raja Chin
langsung naik kereta pergi ke kota raja, dia menghadap pada Baginda Ciu Siang-ong untuk
memberitahukan apa yang sudah terjadi. Baginda Ciu girang sekali, lalu menyuguhi
arak pada Raja Chin dan menghadiahkan mas dan kain sutera pada tentara Chin.
Atas jasa Chin Bun-kong, sebagai tanda mata Baginda menghadiahkan tanah Un,
Goan, Yang-hoan dan Can-mauw, empat kota, yang letaknya di dalam daerah kekaisaran
Ciu. Chin Bun-kong mengucapkan terima kasih atas hadiah tersebut, sesudah pesta ditutup
baru dia permisi keluar dari istana.
Rakyat negeri berdatangan menyatakan suka-cita, mereka berjejal-jejal di
sepanjang jalan. Mereka berebut ingin melihat wajah Chin Bun-kong. Orang banyak itu menghela
napas sambil berkata, "Cee Hoan-kong sekarang muncul kembali!"
Raja Chin Bun-kong segera mengeluarkan perintah untuk menarik mundur pasukan
perangnya, kemudian dia mengangkat Tio Swi nejadi Goan Tay-hu untuk mengurus
kota Goan dan Yang-hoan, Kiok Cin diangkat menjadi Un Tay-hu untuk mengurus kota Un
dan Can-mauw, sesudah memberi masing-masing dua ribu tentara untuk menjaga kota pada
kedua Tay-hu, baru Raja Chin Bun-kong pulang.
Ketika mendengar nama Raja Chin Bun-kong jadi terkenal, Raja Cee Hauw-kong jadi
iri dia juga berniat meneruskan nama besar almarhum Raja Cee Hoan-kong menjadi raja
jagoan. Tetapi sayang dia tak mengurus pemerintahan negerinya, melainkan hendak
menggunakan kekuatan angkatan perangnya untuk menunjukan pengaruhnya di Tiong-goan
(Tiongkok). Di antara negeri-negeri kecil, dia memperoleh kabar di negeri Louw sedang
terjangkit bahaya kelaparan, sementara Raja Louw Hi-kong sudah pernah berselisih dengannya, maka
dia merasa sekarang dianggap tepat untuk mengalahkan Raja Louw. Maka dia segera
mengerahkan angkatan perangnya ke negeri Louw.
Raja Louw yang mendapat kabar pasukan perang Cee datang menyerang negrinya, dia
jadi merasa khawatir juga, sebab negerinya sedang dilanda bahaya kelaparan. Dia tidak
punya harapan untuk melawan perang, maka langsung dia utus Tian Hi untuk berdamai
dengan Raja Cee, selain itu dia juga mempersembahkan bingkisan, dan berjanji bersedia
berserikatan dengan negeri Cee. Kecerdikan Tian Hi yang pandai sekali bicara telah menarik hati Cee Hauw-kong,
hingga dengan gampang dia menerima baik perdamaian itu dan langsuung Raja Cee menarik
kembali pasukan perangnya. Tetapi Raja Louw Hi-kong tidak tulus mengadakan perserikatan
dengan negeri Cee ini, malah dia merasa sakit hati atas kelakuan Raja Cee Hauw-kong,
maka begitu pasukan perang Cee sudah mundur, dia langsung mengutus Kong-cu Sui dan Cong Sun
Sin membawa bingkisan pergi ke negeri Couw, mereka menghasut Raja Couw supaya
mengerahkan pasukan perangnya menyerang ke negeri Cee dan negeri Song.
Dengan gampang Raja Couw Seng-ong sudah berhasil dihasut, yang segera
memerintahkan Seng Tek Sin dan Sin-kong Siok Houw memimpin pasukan perang pergi menyerang ke
negeri Cee. Dalam peperangan itu pasukan Couw sudah mendapat kemenangan, hingga
dia bisa mengambil tanah Yang-kok. Kemudian pasukan Couw dipecah menjadi dua bagian,
satu bagian dipimpin oleh Sin-kong Siok Houw untuk menjaga negeri Louw supaya tidak
diganggu, satu bagian pula dipimpin oleh Seng Tek Sin yang berjalan pulang ke
negeri Couw untuk melaporkan kemenangannya.
Waktu itu Leng-i Cu Bun sudah berusia tua, karena melihat Seng Tek Sin seorang
pintar serta gagah, dia memohon pada Raja Couw Seng-ong supaya jabatan Leng-i (Perdana
Menteri) diserahkan kepada Cu Bun.
Tetapi Raja Couw tidak setuju pada usul tersebut. "Seng Tek Sin berhasil
mengalahkan negeri Cee, sekarang aku minta Cu Bun melabrak negeri Song jika negeri Song sudah
dikalahkan, baru aku izinkan sesuka Cu Bun, apakah dia mau berhenti atau memangku jabatan."
kata Raja Couw. Sesudah Cu Bun membuktikan kehebatannya seperti Seng Tek Sin, baru Raja Couw
menerima usul itu, lalu mengangkat Seng Tek Sin menjadi Leng-i dengan merangkap
jabatan sebagai Goan-swe (Jendral Perang).
Bab 24 Segera Raja Couw Seng-ong memerintahkan Seng Tek Sin memimpin pasukan besar,
digabungkan dengan angkatan perang negeri Tan, Coa, The dan Khouw, lalu pergi
menyerang ke negeri Song dan terus mengepung kota Bian-ip. Raja Song Seng-kong jadi
khawatir sekali, segera memerintahkan Su-ma Kong-sun Kouw pergi memberitatahukan pada Raja Chin
Bun- kong sambil minta pertolongannya.
Tatkala Raja Chin menerima kabar itu, Chin Bun-kong segera mengumpulkan semua
panglima perangnya, untuk diajak berunding dengan cara bagaimana mereka bisa
menolong negeri Song. "Saat ini di antara negeri-negeri yang ada, memang negeri Couw yang paling
tangguh," kata Sian Cin. "Sekian lama kita belum pernah menghadapinya, karena Tuanku berhutang
budi kepadanya, hingga kurang pantas jika kita menyerang dia lebih dulu. Tetapi
sekarang Raja Couw sudah mengerahkan pasukan perangnya menyerang ke negeri Song, dialah yang
lebih dahulu membuat huru-hara. Ini seumpama Tuhan telah memberi alasan pada Tuanku
untuk menyerangnya! Maka kita katakan saja karena kita akan menentramkan Tiong-goan,
terpaksa kita perangi dia! Tegasnya hamba berani katakan untuk menjadi jago, inilah
saatnya!" "Seandainya aku hendak menyingkirkan serangan yang mengancam negeri Cee dan
negeri Song, aku harus bagaimana?" tanya Chin Bun-kong.
"Couw baru saja mendapatkan negeri Co dan baru mengadakan perserikatan dengan
We," kata Ho Yan. "Justru kedua negeri itu Cu-kong bermusuhan, maka jika kita
mengerahkan angkatan perang menyerang negeri Co dan We, niscaya Couw memindahkan tentaranya
dan datang akan menolong Co dan We, dengan demikian negeri Cee dan Song akan
terbebas dari serangannya." Raja Chin Bun-kong setuju pada pendapat Sian Ci dan Ho Yan, segera dia
beritahukan hal itu pada Kong-sun Kouw, bagaimana ikhtiarnya harus dilaksanakan, dan dia perintahkan
Su-ma itu segera pulang untuk memberitahukan pada Raja Song supaya menjaga kotanya
dengan keras. Kong-sun Kouw pamit dan terus berangkat.
Sekalipun Chin Bun-kong sudah mengambil putusan akan menggunakan kekuatan
angkatan perangnya melawan Couw, tidak urung pikirannya masih khawatir, karena dia tahu
jumlah tentaranya lebih sedikit dibanding jumlah tentara Couw. Kemudian dengan menurut
usul Tio Swi, Chin Bun-kong hingga jumlah tentaranya bisa ditambah. Dia mengangkat Kiok
Kok menjadi kepala perangnya.
Kiok Kok sangat pandai mengatur pasukan perang, di bawah pimpinannya belum
berapa lama pasukan perang Chin sudah berubah jauh sekali, hingga semua panglima merasa
senang sekali pada KiokKokinidandengansenangtunduk dibawah
perintahnya. Pada tahun Ciu Siang-ong ke-20 di musim Cun, Raja Chin Bun-kong menyiapkan
pasukan perangnya untuk menyerang ke negeri Co dan negeri We.
Kiok Kok memberi saran lebih baik meminjam jalan pada negeri We supaya bisa
melabrak negeri Co, jika negeri We tidak meluluskannya, boleh dilabrak lebih dulu.
Kemudian baru menyerang ke negeri Co. Chin Bun-kong setuju pada usul Kiok Kok ini, lalu dia
mengirim utusan untuk membicarakan urusan meminjam jalan pada Raja We.
Di antara pembesar negeri We, ada Tay-hu Goan Soan yang memberi saran pada
rajanya, supaya meluluskan permintaan Raja Chin itu, sebab dulu Raja We yang telah
almarhum sudah pernah menunjukan kelakuan tidak manis pada Raja Chin, sekarang jika
permintaannya ditolak, tentu Raja Chin punya alasan untuk melabrak negeri We.
Tetapi Raja We Seng-kong tidak setuju pada usul Goan Soan, dia berkata, "Aku
dengan Raja Co sudah menurut kepada Raja Couw, jika aku memberi jalan pada Raja Chin untuk
melabrak negeri Co, aku khawatir aku bisa menyenangkan Raja Chin, tetapi lebih dulu sudah
membuat gusar Raja Couw. Lagi pula kau harus ingat, dimarahi oleh Raja Chin kita masih
punya andalan Raja Couw, tetapi jika dimusuhi Raja Couw pada siapa kita harus
bersandar?" Begitulah Raja We langsung mengambil keputusan dan menolak permintaan Raja Chin.
Chin Bun-kong marah sekali pada Raja We, segera dia kerahkan pasukan perangnya
akan menyerang negeri itu. Sesudah menyeberang di sungai Hong-ho, pasukan perang Chin telah berjalan sampai
di tegalan Ngo-lok. Di sana Chin Bun-kong menghela napas dan berkata, "Ha, di
sinilah bekas tempat Kay Cu Cui memotong pahanya!"
Sehabis mengucapkan perkataan itu, Raja Chin yang budiman jadi terharu dan
mengucurkan air matanya. Sedang di antara panglima perangnya banyak juga yang ikut merasa
sedih. "Kita harus merampas tempat ini!" seru Gui Cun. "Kita harus membalas rasa malu
Cu-kong dulu! Ayo, maju, mengapa harus bersedih!"
"Bu Cu punya bicara benar sekali!" kata Sian Cin. "Hamba bersedia memimpin
pasukan tentara untuk mengambil tanah Ngo-lok ini."
"Aku pun hendak membantumu!" kata Gui Cun pada Sian Cin.
Chin Bun-kong meluluskan itu permohonan anak buahnya itu. Segera dua panglima
itu memajukan kereta perangnya. Sian Cin memerintahkan tentaranya membawa bendera,
yang dipesan harus menancapkannya di suatu tempat yang tinggi, yaitu di gunung atau
di atas pohon-pohon di dalam hutan.
Gui Cun yang tidak mengerti maksud Sian Cin, dengan heran bertanya, "Setahuku
tentara bergerak harus secara diam-diam, tetapi sekarang disengaja disebarkan bendera,
apa mau sengaja agar musuh tahu dan mengatur persiapan" Aku tidak mengerti apa yang kau
maksud!" "Negeri We biasanya menurut pada negeri Cee," kata Sian Cin yang memberi
keterangan, "tapi pada belakangan ini Raja We sudah mengubah haluannya dan menaluk pada
negeri Couw, kelakuannya itu telah membuat rakyat negerinya banyak yang merasa tidak
senang, hingga senantiasa mereka mengharap supaya di antara negeri-negeri di Tiongkok
ini ada yang datang melabrak pada negeri We. Sekarang Cu-kong kita hendak meneruskan usaha
almarhum Raja Cee Hoan-kong, maka kita tidak boleh menunjukan kelemahan kita,
hanya lebih dulu kita harus menang gertak."
Keterangan itu membuat Gui Cun jadi girang dan memuji kepintaran Sian Cin. Di


5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

daerah Ngo-lok, ketika rakyat mendengar kabar tentara Chin hendak datang menyerang,
semua telah jadi sangat kebingungan, mereka naik ke atas kota. Mereka mendapat kenyataan di
sana banyak sekali bendera perang berkibar-kibar di gunung dan di hutan, hingga
mereka menduga pasti pasukan perang musuh sangat besar jumlahnya, hingga semua jadi amat
ketakutan. Sebelum tentara Chin datang menyerang, rakyat negeri We yang tinggal di dalam
dan di luar kota Ngo-lok semua telah berebut melarikan diri, meski pembesar yang menjaga di
situ sudah mencegah dengan keras, tetapi percuma saja, maka waktu pasukan Chin sampai di
situ, tidak seorang pun yang berani menghalangi, hingga dengan gampang kota Ngo-lok dapat
direbut. Chin Bun-kong jadi girang sekali sudah mendapatkan kota itu, dia lalu
meninggalkan panglima tua, Kiok Pouw Yang, dengan sejumlah tentara menjaga di situ, sedang
pasukan besar dimajukan terus untuk menyerang kota Gian-beng.Tiba-tiba Kiok Kok mendapat
sakit yang berbahaya. Chin Bun-kong jadi kebingungan, dia sendiri langsung pergi menjenguk Kiok Kok.
"Hamba menerima budi Cu-kong yang sudah menyerahkan tanggung jawab besar pada
hamba," kata Kiok Kok pada ChinBun-kong, "sebenarnya memang hamba hendak
menghabiskan kekuatan tenaga dan otak hamba untuk membela kemuliaan negeeri
Chin, tetapi tidak disangka takdir Allah tidak bisa dilawan, karena hamba khawatir
kali ini penyakit hamba ini akan membawa kebinasaan."
"Oh, jangan kau begitu kecil pengharapan, menteriku," kata Chin Bun-kong dengan
terharu. "Kau harus berobat betul, supaya penyakitmu bisa lekas sembuh."
"Tidak, Cu-kong, aku rasa penyakitku tidak bisa baik kembali. Tetapi aku punya
satu pembicaraan yang hendak disampaikan pada Cu-kong, aku harap Cu-kong suka
memperhatikannya." "Baik, aku memperhatikannya."
"Maksud Cu-kong manyatakan perang pada Co dan We, sebenarnya untuk mengalahkan
Couw. Jika mau mengalahkan Couw, harus berperang dengan menggunakan tipu-
muslihat yang jitu, dan bila hendak berperang dengan menggunakan tipu, mau tak mau harus
berserikat dulu dengan Cee dan Cin. Akan tetapi Cin tempatnya jauh sekali sedangkan Cee
dekat, maka lebih dulu Cu-kong harus segera perintahkan seorang utusan untuk mengadakan
persahabatan dengan Raja Cee. Saat ini Raja Cee sedang membenci Raja Couw, jadi bissa
dipastikan dia ingin berserikat dengan Chin. Manakala sudah mendapatkan Cee, niscaya We dan Co
jadi ketakutan dan minta berdamai, kemudian baru pererat hubungan Cu-kong dengan Cin.
Ini hamba rasa tipu-muslihat yang sempurna untuk menaklukan Couw."
"Betul, aku setuju sekali dengan pendapatmu," kata Chin Bun-kong dengan girang.
Sesudah mengucapkan berbagai nasehat untuk menghibur hati Kiok Kok, barulah Chin
Bun- kong permisi untuk berpisah, dan segera dia kirim utusan untuk berserikat dengan
Raja Cee, dengan alasan karena ingin meneruskan perserikatan seperti di zaman almarhum Cee
Hoan- kong, yaitu bersama-sama mengeluarkan tenaga untuk melabrak negeri Couw.
Waktu itu Raja Cee Hauw-kong sudah wafat, rakyat negeri Cee telah mengangkat
adik Cee Hauw-kong, yaitu Kong-cu Poan yang menjadi raja, yang memakai gelar Cee Ciauw-
kong. Raja Cee Ciauw-kong yang baru duduk bertahta ini memang sangat benci pada Raja
Couw, karena Raja Couw sudah mendengarkan hasutan Raja Louw dan telah membuat Cee
menderita kerugian besar, maka dia pun sudah berniat hendak berserikat dengan
Raja Chin untuk melawan Raja Couw. Sekarang kebetulan sekali Raja Chin mengirim utusan
untuk minta berserikat, tentu saja dia terima dengan sangat girang.
Sementara itu Raja We Seng-kong yang mendapat kabar kota Ngo-lok sudah jatuh ke
tangan orang-orang Chin, dia jadi khawatir sekali, lalu dia perintahkan putra Leng Sok
yang bernama Leng Ji, pergi menghadap pada Raja Chin Bun-kong untuk minta berdamai.
Chin Bun-kong tidak meluluskan permintaan damai itu.
"Sesudah terancam bahaya Raja We baru minta berdamai, itu pasti bukan dengan
setulus hatinya, aku tetap akan menyerang negeri We." kata Raja Chin.
Leng Ji segera kembali dan memberi kabar pada Raja We Seng-kong. Ketika itu di
dalam kota Couw-kiu tersiar kabar, bahwa balatentara Chin sudah hampir sampai, hingga
boleh dibilang seluruh penduduknya jadi sangat ketakutan. Melihat keadaan semakin
gawat, Leng Ji memberi saran pada Raja We.
"Amarah Raja Chin sedang berkobar, hingga membuat rakyat negeri jadi sangat
khawatir, maka lebih baik Tuanku keluar kota untuk menyingkir dulu buat sementara waktu.
Apabila Raja Chin sudah mengetahui Tuanku sudah keluar, niscaya dia tidak akan datang
menyerang Couw-kiu, dan kemudian baru minta berdamai pula padanya. Dengan berlaku begini,
hamba rasa daerah kita bisa menjadi sentausa." kata Leng Ji.
Raja We Seng-kong menghela napas, kemudian dia berkata, "Raja We almarhum sudah
tidak memegang aturan dan memusuhi Pangeran Chin yang sedang mengembara, sementara aku
kurang cerdas, aku sudah tidak meluluskan pasukan Raja Chin yang cuma mau
meminjam jalan untuk lewat saja, maka ini hari sampai kejadian seperti ini, juga telah
membuat rakyat merasakan kesusahan. Ah, sudahlah, aku pun tidak punya muka untuk tinggal di
dalam negeri!" Segera urusan pemerintahan negeri dia serahkan pada adiknya, Siok Buk, dan Tay-
hu Goan Soan, sedang dia pergi menyingkirkan diri dan tinggal di tanah Siang-ngiu.
Tetapi hatinya masih penasaran, dia lantas perintahkan Tay-hu Sun Yan pergi minta pertolongan
pada negeri Couw. Waktu itu di musim Cun bulan Ji-gwe (dua). Pada saat itu Kiok Kok penyakitnya
semakin berat, dia telah meninggal di perkemahannya. Chin Bun-kong jadi sedih sekali
atas meninggalnya kepala perang yang pintar itu, dia lantas perintahkan orang
mengantarkan jenazah Kiok Kok untuk dibawa pulang ke negeri Chin. Untuk menggantikan jabatan
Goan- swe, Chin Bun-kong segera mengangkat Sian Cin, yang sudah berjasa merebut kota
Ngo-lok dengan cara begitu gampang.
Chin Bun-kong mau menghancurkan negeri We, tetapi keinginannya itu segera
dicegah oleh Sian Cin. "Jangan, hamba rasa tidak pantas apabila kita berbuat begitu,"
demikian kata Sian Cin. "Sebenarnya kedatangan kita ini hendak menolong negeri Cee dan Song, supaya
mereka terluput dari ancaman negeri Couw. Sekarang bahaya yang mengancam mereka belum
dapat disingkirkan, jika kita hancurkan negeri We, ini bukan tugas seorang bijaksana
hendak membela lemah dan kasihan pada yang kecil. Meskipun We dianggap tidak memegang
aturan, tetapi tokh rajanya sudah keluar dari negaranya, jadi mau apa kita,
sekarang terserah kita! Sekarang lebih baik pindahkan pasukan perang kita ke sebelah Timur untuk
melabrak negeri Co, nanti waktu angkatan perang Couw datang menolong We, kita sudah ada
di Co." Chin Bun-kong setuju pada usul tersebut, maka segera dia perintahkan tentaranya
berangkat ke negeri Co. Sekarang tentara Chin telah mengepung negeri Co dengan ketat. Raja
Co Kiong-kong jadi sangat khawatir, lalu mengumpulkan semua menterinya untuk
berunding. "Kedatangan angkatan perang Raja Chin untuk membalas sakit hatinya karena dulu
telah ditertawakan karena tulang iga," kata Hi Hu Ki. "Sekarang kemarahannya sedang
menggebu- gebu, pasti kita tidak bisa menahan serangannya. Hamba bersedia menjadi utusan
untuk menerima dosa dan minta berdamai, untuk menolong kesusahan rakyat negeri."
"Raja Chin menolak permintaan damai Raja We, masakan dia mau menerima permintaan
kita?" kata Co Kiong-kong putus harapan.
"Hamba dengar, ketika Raja Chin keluar mengembara dan lewat di negeri Co, dengan
diam- diam Hi Hu Ki telah memberi makanan dan minuman," kata Tay-hu I Long,
"Sekarang kita mohon padanya untuk menjadi utusan kita. Perbuatan Hi Hu Ki
perbuatan menjual negeri, harap Tuanku jangan luluskan permintaannya. Lebih baik Tuanku
bunuh saja Hu Ki, hamba sudah sedia sebuah tipu untuk mengundurkan tentara Chin."
"Hu Ki bekerja pada negeri dengan tidak setia, seharusnya memang dia dihukum
mati," kata Raja Co dengan marah. "Cuma saja aku ingat dia pembesar turunan, aku bebaskan
dari hukuman mati dan cuma pecat dia dari jabatannya!"
Mendengar Raja Co Kiong-kong mengeluarkan putusan tersebut, dengan paras berduka
Hi Hu Ki menghaturkan terima kasih karena dia diberi ampun dari hukuman mati, dan
segera dia keluar dari istana, terus pulang ke rumahnya. Begitulah sejak saat itu dia
menutup pintu rumahnya dan tidak ikut campur urusan negara lagi.
Sesudah Hi Hu Ki pergi dari istana, Raja Co lalu bertanya I Long tipu apa yang
dia hendak gunakan. "Raja Chin mengandalkan kegagahannya, pasti sikapnya sombong sekali,"
demikian kata I Long, "apabila hamba berpura-pura membuat surat rahasia, dan hamba
janjikan akan menyerahkan kota, tetapi lebih dulu diperintahkan tentara kita dengan bersenjata
panah bersembunyi di pinggir kota, jika beruntung mendustai Raja Chin, dan dia sampai
masuk ke dalam kota, pintu kota harus segera ditutup dan terus membarenginya dengan
melepas anak panah, pasti dia akan binasa."
Raja Co Kiong-kong setuju dengan tipu dan rencana itu, lalu memerintahkan I Long
segera menjalankan siasatnya. Hampir saja Raja Chin Bun-kong terjebak ke dalam tipu-
muslihat I Long, karena ketika dia menerima surat menyerah dari I Long, segera juga dia
hendak masuk ke dalam kota. Tetapi untung Sian Cin yang cerdik mencegahnya, seraya berkata,
"Tenaga tentara Co masih utuh, mana boleh langsung percaya dia mau menyerah, maka
biarlah hamba mencoba dulu padanya."
Segera Sian Cin memilih di antara serdadunya yang wajahnya hampir mirip seperti
Raja Chin Bun-kong, lalu diperintah menyamar dan kopiah Raja Chin dipakaikan, kemudian
prajurit itu masuk ke dalam kota. Put Te memohon untuk menjadi kusir keretanya, permohonan
itu diluluskan. Pada waktu sore, benar saja di atas kota Co tertancap bendera tanda menyerah,
sedang pintu kota pun sudah terbentang. Raja Chin palsu dengan diiringkan oleh lima ratus
tentaranya baru masuk kira-kira separoh jalan, sekonyong-konyong terdengar suara pintu ditutup
secara tiba- tiba, berbareng dengan itu segera menyambar anak pamah banyak sekali. Mereka
buru-buru hendak mundur kembali, tetapi sudah terlambat, karena pintu kota sudah ditutup
rapat. Sungguh kasihan sekali Put Te bersama kira-kira tiga ratus serdadu Chin telah
binasa. Kejadian itu dalam keadaan sudah gelap, hingga orang Co mengira Raja Chin yang
telah binasa. Sedang I Long yang merasa tipu-muslihatnya sudah berhasil bagus, telah
mengeluarkan tingkah angkuh di hadapan rajanya.
Setelah tiba saat terang, sesudah orang Co memeriksa mayat orang yang binasa,
barulah mereka mendapat kenyataan, Raja Chin itu palsu adanya. Sedang serdadu Chin yang
belum masuk ke dalam kota dan beruntung bisa melarikan diri, lalu menghadap pada Raja
Chin dan menceritakan apa yang telah terjadi. Raja Chin Bun-kong sangat gusar pada orang
Co, sekarang melihat perbuatan orang Co yang curang, dia jadi semakin marah, lalu
memerintahkan tentaranya melabrak kota lebih hebat lagi.
I Long lalu mengajukan tipu baru pada Raja Co, yaitu menggeletakan bangkai
serdadu Chin di atas kota, apabila temannya melihat, niscaya jadi terharu dan tidak melabrak
dengan sungguh-sungguh hati, dan jika sampai lewat pula beberapa hari, penolong dari
Couw pasti sudah datang. Ini tipu untuk mengecoh hati tentara Chin.
Kembali Raja Co Kiong-kong merasa setuju dan segera menjalankan tipu itu.
Tatkala balatentara Chin melihat di atas kota banyak bangkai digantung di galah, semua
jadi sangat terharu, hingga tidak berhentinya menghela napas dan menyatakan pilu hatinya.


5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chin Bun-kong memanggil Sian Cin, dan bertanya, "Dengan melihat kekejian orang-
orang Co, aku khawatir hati tentara kita bisa jadi berubah, sekarang harus digunakan
akal apa?" "Kuburan orang-orang Co semuanya ada di luar pintu kota sebelah Barat," sahut
Sian Cin, "sekarang kita pecah sebagian tentara dan dirikan pesanggrahan dengan berbaris
di tanah kuburan, seolah-olah menunjukkan hendak membongkar kuburan itu. Melihat hal ini,
pasti orang-orang Co yang ada di dalam kota jadi ketakutan, lantaran ketakutan mereka
menjadi kalut, dan kemudian kita boleh lantas menggunakan kesempatan yang baik itu."
Chin Bun-kong jadi girang, lalu memerintahkan tentaranya menyiarkan kabar, bahwa
kuburan orang-orang Co hendak digali. Agar orang Co percaya dengan kabar itu, Chin Bun-
kong memerintahkan Ho Mo dan Ho Yan memimpin pasukan tentara mendirikan pesanggrahan
di pekuburan bangsa Co, di sana disediakan banyak pacul, pancong dan lain-lain
perabot untuk menggali tanah. Kabar ini membuat orang-orang Co jadi panik, karena katanya, telah ditentukan
besok tengah hari tentara Chin hendak menggali dan mengeluarkan semua tengkorak dari kuburan
orang- orang Co. Apa yang Sian Cin telah duga, betul juga tidak meleset, karena orang di dalam
kota ketika mendengar kabar ini, semua merasakan hatinya seperti hancur. Raja Co Kiong-kong
segera memerintahkan orang berteriak dari atas kota, untuk minta supaya orang orang
Chin tidak membongkar kuburan leluhur mereka, karena sekarang mereka hendak menyerah dengan
sesungguhnya. Sian Cin memerintahkan orangnya memberi jawaban, jika semua mayat tentara Chin
diurus dengan baik dan diantarkan ke pesanggrahan Chin, semua kuburan orang Co baru
tidak jadi digali. Raja Co minta waktu tiga hari untuk mengurus beres mayat-mayat,
permintaan itu diluluskan oleh Sian Cin. Benar saja Raja Co Kiong-kong memerintahkan orang-
orangnnya mengangkat semua mayat yang menggletak di atas kota, di dalam tiga hari, semua
mayat sudah dimasukkan ke dalam peti mati dan dimuatkan di atas kereta lalu diantarkan
ke markas tentara Chin. Tetapi Sian Cin sudah menetapkan siasatnya, dia perintahkan Ho Mo, Ho Yan, Loan
Ci dan Tan Sin, masing-masing memimpin pasukan tentara pergi bersembunyi di empat
penjuru, untuk menunggu jika ada orang Co yang membuka pintu kota mengeluarkan peti
mayat, mereka harus secara serempak menyerang ke dalam kota.
Setelah sampai hari yang ke empat, Sian Cin perintah orangnya berteriak dari
bawah kota minta dikembalikan semua mayat tentara Chin. Orang Co dari atas kota lantas
menyahut, ia minta balatentara Chin yang mengepung kota dimundurkan dulu lima li jauhnya,
baru mereka mau mengeluarkan semua mayat yang sudah dimasukkan ke dalam peti dengan rapi.
Sian Cin memberi tahu Raja Chin Bun-kong, yang lantas mengeluarkan perintah
untuk mengundurkan tentaranya lima li jauhnya. Empat penjuru pintu kota segera dibuka,
dari sana didorong keluar peti-peti mayat. Tetapi baru saja peti mayat dikeluarkan satu
per tiga bagian, sekonyong-konyong terdengar suara meriam, berbareng dengan itu balatentara Chin
yang bersembunyi di empat penjuru langsung bergerak maju. Mulut kota sudah tertutup
oleh peti mayat, hingga pintunya tidak bisa ditutup.
Balatentara Chin menggunakan kesempatan saat sedang kalut, segera menyerang
masuk ke dalam kota. Waktu itu justru Raja Co Kiong-kong berada di atas kota, dia jadi
sangat bingung ketika melihat bahaya hebat sedang mengancam itu. Gui Cun dari luar kota melihat
raja itu, dengan sekali lompat dia sudah sampai di atas kota dan menawan Raja Co Kiong-
kong. I Long buru-buru turun dari atas kota hendak kabur, tetapi bertemu dengan Tan
Kiat, yang lantas menangkapnya dan membunuhnya. Chin Bun-kong lalu memimpin semua panglima
dan tentaranya masuk ke dalam kota. Segera Gui Cun datang menyerahkan Raja Co,
sedang Tan Kiat menyerahkan kepala I Long, begitu pun panglima semua datang menyerahkan
apa yang mereka dapatkan. Chin Bun-kong memerintahkan mengambil daftar nama menteri-menteri negeri Co,
lalu dia periksa dengan teliti. Tiga ratus nama pembesar tercatat di dalam daftar itu,
yang satu persatu lantas ditangkap, hingga tidak ada satu orang pun yang bisa meloloskan diri.
Tetapi Chin Bun-kong merasa sangat heran, sebab dalam daftar itu tidak ada
teercatat nama Hi Hu Ki, padahal dia pembesar yang ternama.
Dengan perantaraan orang Co Chin Bun-kong mendapat keterangan, bahwa nama Hi Hu
Ki sudah dikeluarkan dari daftar pembesar negeri dan telah dilepas menjadi rakyat
negeri biasa, lantaran dia memberi saran pada Raja Co supaya menyerah pada Chin. Chin Bun-kong
jadi sangat marah pada Co-pek, lalu ia damprat dengan sengit. Tetapi Raja yang sudah
tidak berdaya itu tinggal tunduk saja tidak berani menyahut. Segera Raja Chin Bun-kong
memerintahkan orangnya memenjarakan Raja Co di pesanggrahan besar, sesudah
menang perang dengan negeri Couw, baru mau diperiksa lebih jauh kesalahannya. Sedang
tiga ratus pembesar Co, semua dihukum mati, harta bendanya dirampas untuk dibagi-bagikan
pada tentara Chin. Oleh karena Chin Bun-kong ingat berhutang budi pada Hi Hu Ki, yaitu waktu dia
kelaparan di negeri Co, pembesar itu sudah memerlukan menyuguhi makanan padanya, maka
sebagian tempat di pintu kota sebelah Utara di sana terletak rumah Hi Hu Ki, dia larang
keras tentaranya tidak boleh ada yang mengganggu, manakala ada yang berani merusakkan
milik kaum Hi, meski hanya selembar rumput atau secabang pohon, orang yang membantah
perintah itu akan segera dijatuhi hukuman potong kepala.
Kemudian Raja Chin membagikan pekerjaan pada semua panglima perangnya, yaitu
sebagian disuruh menjaga kota, dan sebagian lagi ikut dia kembali ke pesanggrahan besar.
Tetapi siapa sangka Gui Cun dan Tan Kiat merasa iri hati melihat rajanya sampai
begitu mengindahkan Hi Hu Ki, mereka khawatir kelak bekas menteri Co itu diberi jabatan
yang lebih besar dari mereka. Bagitulah pada malam harinya sesudah minum arak dan
mabuk- mabukkan, mereka berdua lalu memimpin tentaranya pergi mengepung rumah Hi Hu Ki
dan terus dibakar. Dengan hanya sebentar saja api berkobar-kobar menjilat ke kian-kemari, Gui Cun
dan Tan Kiat menggeledah hendak membunuh Hi Hu Ki. Celakanya balok uwungan rumah telah
roboh dan menimpa dada Gui Cun, hingga di situ juga dia muntah-muntah darah,
apabila dia tidak bertenaga besar dan tidak keburu Tan Kiat datang menolonginya, pasti dia
sudah mati terbakar. Hi Hu Ki telah terluka berat, untung isterinya sempat menggendong anaknya yang
baru berusia lima tahun, Hi Lok namanya, pergi melarikan diri ke kebun belakang dan
masuk merendam diri di dalam empang yang kotor, dengan demikian baru bisa meluputkan
diri dari bahaya. Esok harinya ketika diusut dan dicari keterangan, telah ketahuan pelakunya Gui
Cun dan Tan Kiat, merekalah yang sudah melakukan perbuatan kejam itu, hingga Raja Chin Bun-
kong jadi marah sekali. Dia menjatuhkan hukuman pada dua panglima itu. Tetapi Tio Swi
tidak setuju dengan putusan hukuman itu, dia berkata pada Raja Chin.
"Gui Cun dan Tan Kiat pembesar yang berjasa, bukan saja mereka sudah ikut saat
Cu-kong mengembara sembilan belas tahun lamanya, tetapi ketika menyerang kota raja Co,
mereka pun telah berjasa besar, maka hamba rasa pantas untuk kesalahannnya itu, kali
ini diberi ampun." kata Tio Swi.
Chin Bun-kong menolak permohonan Tio Swi.
"Jika ada menteri yang berjasa berani melanggar perintah, niscaya dia tidak bisa
memerintah dengan adil." kata Chin Bun-kong.
Akhirnya sesudah Tio Swi membujuk lebih jauh, serta memberi saran jika mau
dibunuh biarlah bunuh Tan Kiat seorang saja, tumpahkan semua kedosaan pada Tan Kiat
sendiri, Gui Cun boleh dibebaskan dari hukuman mati dan diganti dengan hukuman lain, sebab
sayang sekali Gui Cun yang begitu gagah perkasa dan boleh dibilang macannya negeri Chin
kalau sampai dibunuh. Dengan begitu barulah Chin Bun-kong merubah putusannya, yaitu
Tan Kiat dihukum potong kepala, Gui Cun diturunkan pangkatnya, sedang Hi Hu Ki yang telah
meninggal dunia lantaran lukanya, jenazahnya diurus dengan upacara kebesaran,
anak- isterinya diberi hadiah. Begitulah lantaran Chin Bun-kong memegang aturan dengan keras dan adil, semua
panglima dan tentaranya sangat mengindahkannya, hingga semua melakukan pekerjaannya
dengan hati- hati betul. Pada tahun Ciu Teng-ong ke-2, menteri negeri The, Kong-cu Song, telah membunuh
Raja The Leng-kong, karena Raja The telah menghina Kong-cu Song. Lalu dia bersekongkol
dengan menteri yang lain mengangkat adi Raja The Leng-kong, Kong-cu Kian, menggantikan
menjadi raja, yaitu yang disebut Raja The Siang-kong. Kemudian dia mengirim
utusan untuk minta berserikat dengan Raja Chin, supaya Raja Chin bisa melindungi negeri The.
Couw Cong-ong yang merasa gemas sekali pada negeri The, dengan menggunakan
alasan hendak melabrak menteri durhaka yang sudah membinasakan rajanya, dia perintahkan
Kong- cu Eng Ce memimpin satu pasukan perang pergi menyerang negeri The.
Atas permintaan Raja The, Raja Chin memerintahkan Sun Lim Hu memimpin pasukan
perang pergi menolong The. Panglima Couw yang mengetahui Raja Chin mengirim bala-
bantuan, lalu memindahkan tentaranya menyerang ke negeri Tan, sebab Raja Tan juga
bersekutu dengan negara Chin. Sebelum tentara Chin datang menolong The, Raja Tan sudah
keburu berdamai dengan negeri Couw. Pada Lain tahun, yaitu tahun Ciu Teng-ong ke-3,
Raja Couw Cong-ong memimpin sendiri pasukan besarnya pergi menyerang negeri The.
Di pihak Chin juga mengirim bala bantuan yang dipimpin oleh Kiok Koat. Ketika
berkecamuk perang, pihak Couw yang mendapat kekalahan. Tetapi Raja Couw Cong-ong
masih saja penasaran, lain tahun kembali dia kerahkan tentaranya menyerang
negeri The. Raja The merasa kewalahan, apa boleh buat dia lantas menjatuhkan hukuman mati pada
Kong-cu Song, lalu minta berdamai dengan Raja Couw. Raja Couw Cong-ong meluluskan
permohonan Raja The, dia lantas menetapkan perserikatan dengan Raja Tan dan Raja The.
Pada tahun Ciu Teng-ong ke-9, pangkat Su-ma di negeri Tan, He Tin Si namanya,
telah membunuh Raja Tan Leng-kong, sebab rajanya sudah menginginkan ibu Su-ma yang
disebut He-ki. Kemudian dia mengangkat putera Tan Leng-kong, Pangeran Ngo menjadi raja,
yaitu yang disebut Tan Seng-kong. Tetapi bukan meneruskan persahabatan dengan Raja
Couw, malah Raja Tan berbalik berserikat dengan negeri Chin. Raja Couw Cong-ong waktu
mengetahui apa yang telah terjadi di negeri Tan, dia jadi marah sekali lalu dia
pimpin tentaranya pergi menyerang negeri Tan.
Waktu itu Raja Tan Seng-kong tidak ada di negerinya, dia sedang pergi ke negeri
Chin untuk menetapkan perserikatan dengan Raja Chin. Sedang rakyat negeri Tan banyak yang
benci pada He Tin Si, maka sebelum tentara Tan mengatur persediaan untuk menangkis
serangan Raja Couw, rakyat Tan sudah keburu membuka pintu kota dan menyilahkan tentara
Couw masuk ke dalam kota raja Tan.
Raja Couw Cong-ong melarang keras semua tentaranya tidak boleh mengganggu milik
rakyat negeri Tan, siapa yang melanggar larangan itu akan dihukum mati. Segera dia
tangkap He Tin Si dan dihukum mati dengan ditarik tubuhnya oleh dua ekor kerbau. Raja Couw
melihat He-ki begitu cantik, dia hendak mengambilnya untuk dijadikan gundiknya, tetapi
langsung dicegah oleh beberapa menterinya, yang mengatakan bahwa He-ki itu bukan perempuan baik-


5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik, malah mirip seorang pelacur yang bisa menyebabkan negara jadi kacau, karena
dicegah dia urungkan niatnya, dia lantas menyerahkan He-ki untuk isteri Siang-lo, satu
panglima Couw yang sudah berusia tua dan tidak punya isteri.
Kemudian Raja Couw Cong-ong memeriksa peta bumi negeri Tan, dia masukkan negeri
Tan menjadi tanah jajahan negeri Couw, lalu dia angkat Kong-cu Eng Ce menjadi
pembesar di Tan, semua pembesar negeri Tan dia bawa pulang ke kota Teng-touw. Raja Couw
memusnahkan negeri Tan, sebagian besar pembesar Couw menyatakan girang hatinya,
negeri-negeri di sebelah Selatan banyak yang mengirim utusan memberi selamat,
cuma ada satu pembesar Couw, Sin Siok Si namanya, dia diam saja tidak berkata apa-apa.
Raja Couw Cong-ong merasa heran melihat kelakuan Sin Siok Si ini, lalu dia panggil
menghadap dan ditanya apa sebabnya dia tidak memberi selamat atau ikut menyatakan girang.
"Apakah Tuanku sudah pernah mendengar tentang orang menuntun kerbau lewat di
sawah?" tanya Sin Siok Sie. "Belum, aku belum mendengarnya."
"Seseorang menuntun kerbau dan mengambil jalan di sawah milik orang lain, celaka
dia sudah menginjak tanaman padi orang , lalu orang yang pemilik sawah jadi marah
lantas merebut kerbaunya. Sekarang hamba mohon bertanya, jika perkara itu dibawa ke
hadapan Tuanku, bagaimanakah Tuanku akan memberi putusan?"
"Menuntun kerbau melewati sawah orang lain, dan merusak padi tidak seberapa
banyak, jika sampai kerbaunya dirampas, ini keterlaluan sekali. Apabila aku yang memutuskan
perkara ini, aku hanya akan memarahi orang yang menuntun kerbau dan lantas membayar kerugian
kerbaunya yang telah menginjak padi milik orang lain. Bagaimana, apakah kau
pikir keputusanku itu adil atau tidak?"
"Dalam perkara orang menuntun kerbau Tuanku bisa memberi keputusan begitu adil,
tetapi mengapa dalam perkara negeri Tan, Tuanku mengambil putusan begitu ruwet" Dosa He
Tin Si cuma karena dia membunuh rajanya sendiri, tidak pantas negerinya dimusnahkan.
Jika Tuanku sudah menjatuhkan hukuman atas dosanya itu sudah cukup, bagaimana boleh
mengambil orang punya negeri" Apakah ini bukan seperti tukang sawah merebut
kerbau orang" Maka cara bagaimana mau menyuruh hamba memberi selamat?"
Raja Couw Cong-ong membanting kaki dan berkata, "Aha, hampir saja aku melakukan
perbuatan yang tidak adil, baik kau yang mengingatkannya!"
"Jika Tuanku merasa ucapan hamba benar, baiklah Tuanku mengambil putusan seperti
mengembalikan orang punya kerbau," kata Sin Siok Si.
"Ya, tentu aku akan berbuat begitu." sahut Raja Couw.Raja Couw Cong-ong segera
menyuruh semua menteri negeri Tan pulang ke negaranya, dia suruh mereka menyambut kembali
raja mereka, kemudian baru memerintahkan Kong-cu Eng Ce pulang ke negeri Couw.
Raja, menteri dan rakyat negeri Tan merasa bersyukur sekali pada kebaikan Raja
Couw Cong- ong, selain Raja Tan pergi menghaturkan terima kasih, juga dia menetapkan
perserikatan dengan Raja Couw. Pada tahun Ciu Teng-ong ke-10, lantaran diancam oleh Raja
Chin, Raja The ketakutan, lalu mengadakan perserikatan dengan negeri Chin. Raja Couw Cong-
ong yang mendapat kabar menjadi gusar, dia menduga ini kali bakal memaklumkan perang
besar pada Raja Chin, maka dia kerahkan seluruh pasukan perangnya pergi menyerang ke negeri
The. Apa yang Raja Couw Cong-ong duga benar saja terjadi, karena Raja The minta
pertolongan, Raja Chin mengirim pasukan perangnya yang besar jumlahnya membantu Raja The.
Tetapi kedatangan pasukan perang Chin sudah terlambat, karena Raja Couw Cong-ong sudah
memukul kota Raja The, hingga Raja The minta ampun dan menyerah kepada Raja
Couw. Meski demikian tidak urung pasukan Chin dan pasukan Couw telah berpapasan di
gunung Go-san di bilangan kota Pit-shia. Di situ berlangsung peperangan besar, dalam
peperangan itu Couw Cong-ong sudah bisa membalas kekalahannya yang dulu, yaitu dia sudah bisa
membuat pasukan perang Chin mendapat kerusakan sangat besar.
Setelah sampai tahun Ciu Teng-ong ke-12 musim Cun bulan tiga, Leng-i Sun Siok
Go, karena terserang penyakit berat telah meninggal dunia. Meninggalnya perdana menteri ini
membuat Raja Couw Cong-ong sedih sekali, dia kuburkan jenazah perdana menterinya dengan
upacara yang sangat agung. Kemudian dia angkat Kong-cu Eng Ce menggantikannya menjadi
Leng-i. Kepala perang di negeri Chin, Sun Lim Hu, ketika mendapat kabar Leng-i Sun Siok
Go meninggal dunia, dia langsung memimpin tentaranya menyerang ke negeri The.
Tetapi dia tidak terus menyerang ke kota raja The, cuma melakukan perampasan di luar kota
dan langsung kembali ke negaranya, seolah-olah hanya menggertak supaya Raja The
ketakutan dan minta berserikat lagi dengan negara Chin.
Raja The buru-buru mengirim utusan kepada Raja Couw untuk memberi tahu apa yang
telah diperbuat oleh panglima Chin itu. Raja Couw Cong-ong mengadakan perundingan
dengan menteri-menterinya, dan diambil keputusan untuk membalas gangguan tentara Chin,
Raja Couw mengerahkan pasukan perangnya menyerang negeri Song, sebab Song masih
sahabat Raja Chin yang paling kekal. Penyerangan Raja Couw ditangkis dengan bersungguh-
sungguh hati oleh Raja Song, hingga Song bisa menahan serangan Raja Couw sampai sembilan
bulan lamanya. Tetapi akhirnya karena Raja Song yang minta pertolongan, Raja Chin
tidak bisa mengirim pasukan perangnya, terpaksa Raja Song menyerah juga kepada Raja Couw.
Sehabis menaklukkan negeri Song, selang tidak berapa lama Raja Couw Cong-ong
terserang sakit hebat, penyakitnya semakin hari semakin berat, akhirnya Raja Couw Cong-ong
wafat. Waktu itu putra Raja Couw Cong-ong meski baru berusia sepuluh tahun diangkat
menjadi raja, disebut Raja Couw Kiong-ong.
Demikianlah riwayat Raja Cee Hoan-kong, Raja Song siang-kong, Raja Chin Bun-
kong, Raja Cin Bok-kong dan Raja Couw Cong-ong, atau yang disebut Ngo Pa (Lima Raja Jagoan)
di zaman Cun Ciu. Sesudah zaman Cun Ciu disebut zaman Cian-kok Cit Hiong (Tujuh
Raja Jago di Zaman Cian-kok). Sehabis zaman Cian-kok baru sampai pada zaman Cin-si
Hong-tee, di sini Kerajaan Ciu baru musnah dan berdiri Kerajaan Cin. Waktu di zaman Cun
Ciu banyak sekali negeri-negeri, tetapi yang kuat memusnahkan yang lemah, yang besar
menelan yang kecil, hingga semakin lama jumlah negara jadi semakin sedikit, sampai pada zaman
Cian-kok hanya tinggal tujuh negara besar.
Ketujuh negara besar itu di zaman Cian-kok ialah negara: Cin, Couw, Yan, Cee,
Han, Tio dan Gui. Raja negeri Cee dulu orang she Kiang, tetapi waktu itu telah direbut oleh
orang she Tian. Negri Han, Tio dan Gui asalnya sebenarnya negeri Chin, karena di kemudian hari
di negeri Chin timbul kekacauan besar, hingga negeri itu hancur oleh tiga panglima
perangnya yang berkuasa besar dalam urusan tentara, yaitu panglima she Han, Tio dan Gui, dan
begitulah masing-masing memakai she (marga) untuk menamakan negara mereka. Sedang negara
Cin, Couw dan Yan masih raja turunan dulu.
Di antara ketujuh negara itu, negara Cin yang paling kuat, maka akhirnya Cin-lah
yang memusnahkan ke-enam negara menjadi negara Cin yang besar, begitulah Cin-si Hong-
tee bisa menjadi Kaisar di Tiong-kok dan mendirikan Kerajaan Cin-tauw. Dialah yang
membangun Tembok Besar atau Ban-li-tiang-shia atau Tembok Seribu Li. Maka berakhirlah
kisah Cun Ciu Ngo Pa atau Lima Jagoan di Zaman Cun Ciu ini.
Tamat. Pendekar Mata Keranjang 4 Pendekar Mabuk 010 Manusia Seribu Wajah Pendekar Guntur 8
^