5 Jagoan 5 Raja 7
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng Bagian 7
tidak membawa senjata, dalam pertempuran yang kacau banyak menteri yang setia kepada
Pangeran Ciauw binasa. Terpaksa mereka kabur dari istana. Dua dorna segera
mengajak Bu Kui ke istana dan langsung dia diangkat menjadi raja. Saat pengangkatan tidak
ada menteri yang hadir, hanya Yong Bu dan Si Tiauw saja yang ada di situ. Pangeran Bu Kui
jadi kurang senang dan malu, karena itu berarti dia tidak disetujui menjadi raja.
Tahu bahwa Bu Kui tak mendapat dukungan dari para menteri negeri Cee yang lain,
Si Tiauw dan Yong Bu menyarankan agara Bu Kui mengundang Kok I Tiong dan Kho Houw, dua
menteri senior untuk mohon dukungan. Bu Kui menurut saja, lalu memerintahkan
seorang budak istana memanggil kedua menteri itu.
Mendapat panggilan itu, dua menteri itu segera mengetahui, bahwa Raja Cee sudah
meninggal. Mereka segera mengenakan pakaian berkabung dan langsung ke istana.
Yong Bu dan Si Tiauw buru-buru keluar menyambut kedatangan menteri senior itu.
"Sekarang Pangeran Bu Kui sudah menjadi Raja Cee, kami minta Tuan-tuan
menetapkan kedudukannya." kata Si Tiauw.
Kok I Tiong dan Kho Houw jadi mendongkol, mereka menyahut.
"Jika jenazah Cu-kong belum dikuburkan dan sudah mengangkat raja baru, maka kami
tidak setuju!" kata dua menteri senior itu.
Sambilmenangiskedua menterisenioritu langsung
meninggalkan istana. Bu Kui kebingungan sekali.
"Karena urusan penguburan Ayahanda belum dilaksanakan, semua menteri tak
mendukung padaku, sekarang bagaimana?" kata Bu Kui.
"Masalah hari ini mirip dengan orang yang sedang menangkap harimau, siapa yang
kuat dialah yang akan menang," kata Si Tiauw. "Tuan tenang saja, semua ini akan kami
bereskan." Bu Kui yang memang ingin menjadi raja jadi tidak menghiraukan pengurusan jenazah
ayahnya. Dia menuruti saja keinginan dua menteri jahat itu. Si Tiauw dan Ek Gee
lalu mengatur pasukan dan menjaga istana dengan ketat.
Pangeran Kay Hong berpihak dan membela anak Kat-eng yaitu Pangeram Poan. Kay
Hong mengumpulkan tentara dan mendirikan benteng di sebelah kanan istana. Sedang
Pangeran Siang Jin berserikat dengan Pangeran Goan. Mereka membangun kubu di sebelah kiri
istana. Pangeran Yong tidak mau terlibat perselisihan, dia pergi ke negeri Cin dan minta
perlindungan pada Cin Bok-kong. Yong Bu alias Ek Gee dan Si Tiauw yang merasa
jerih pada tiga pangeran itu, mereka hanya berjaga-jaga saja di pintu istana tidak
berani keluar untuk bertempur. Tiga pangeran pun tidak berani maju dulu. Keadaan seperti itu
berlangsung berbulan-bulan, tidak pasti. Kho Houw dan Kok I Tiong akhirnya mengambil
putusan, apa boleh buat mengangkat Pangeran Bu Kui menjadi raja, asalkan jenazah Raja Cee
Hoan-kong diurus. Mereka berdua datang ke istana, tetapi kedatangannya dihadang oleh Si Tiauw dan
Ek Gee. Sesudah dijelaskan maksud kedatangan dua menteri senior itu, baru Ek Gee dan Si
Tiauw girang. Dua menteri ini menemui Bu Kui, si raja Cee yang baru. Mereka menasihati
Bu Kui agar mengurus jenazah ayahnya dengan baik.
Bu Kui setuju, upacara segera diadakan. Semua menteri jadi terharu sekali. Bu
Kui juga jadi menangis, dia turun dari kursi kebesaran memberi hormat. Jenazah Raja Cee
almarhum ada di atas pembaringannya, tetapi selama itu tak ada yang mengurus, tubuhnya sudah
mulai rusak dan bau dan penuh belatung. Semua menteri merasa ngeri dan jijik. Mereka jadi
sedih dan menangis. Peti mati segera disediakan, mayat segera dibungkus dan dimasukkan ke
dalam peti mati. Mereka juga menemukan mayat An Ngo Ji, selir Raja Cee yang setia,
banyak menteri yang memuji kesetiaannya itu.
Pangeran Poan, Pangeran Goan dan Pangeran Siang Jin ketika melihat menteri Kho
dan Kok mengajak semua menteri melaksanakan upacara berkabung, mereka jadi curiga.
Tetapi tidak mengetahui ada masalah apa. Kemudian setelah mereka mendengar kabar jenazah Raja
Cee Hoan-kong sudah diurus, semua menteri telah mengangkat Bu Kui menjadi Raja Cee,
maka musnahlah harapan mereka. Mereka segera berunding. "Jika Menteri Kho dan Kok
yang memimpin upacara, kita tidak bisa berebut lagi!" kata salah seorang pangeran
itu. Segera mereka membongkar kubu-kubu mereka, mereka berdatangan ke istana untuk
menyatakan berduka-cita. Dikisahkan Pangeran Ciauw yang lari ke negri Song. Setelah itu putra mahkota
dari negri Cee sampai di negeri Song, dia menemui Raja Song Siang-kong, di hadapan raja itu dia
berlutut dan menangis, dia ceritakan bagaimana Yong Bu dan Si Tiauw telah membuat huru-
hara. Raja Song membujuk dan bersedia membantu. Kemudian Raja Song mengumpulkan
menterinya diajak berunding.
"Dulu Raja Cee Hoan-kong menitipkan Pangeran Ciauw kepadaku agar dibantu supaya
menggantikannnya," kata Raja Song. "Sekarang Ek Gee dan Si Tiauw mengacau di
negeri Cee. Aku berniat mengumpulkan Raja-muda untuk menghukum mereka berdua. Lalu
membawa Ciauw ke Cee untuk menjadi raja. Aku sendiri akan menduduki posisi Raja
Cee almarhum mengepalai semua Raja-muda. Bagaimana menurut kalian?"
"Aku rasa negeri Song tidak bisa menjadi jago, sebab ada beberapa hal yang tidak
sama dengan Raja Cee," kata salah satu menterinya.
Raja Song Siang-kong melirik dan mengawasi pada menteri itu, orang itu adalah
putra sulung Raja Song Hoan-kong bernama Pangeran Bak I. Ketika Song Hoan-kong wafat Pangeran
Bak I mengalah tidak mau menjadi raja, maka Song Siang-kong yang menjadi raja, dan
mengangkat dia menjadi menteri.
"Apa maksudmu?" tanya Raja Song Siang-kong.
"Negeri Cee kuat bagaikan gunung Tay, luas bagai laut Put-hay. Mereka punya
tanah Long-ya dan Cek-bek yang subur. Mereka juga punya menteri senior Kok dan Kho. Dulu
mereka punya Koan Tiong, Leng Cek, Sek Peng dan Pauw Siok Gee yang telah membangun
negaranya. Sedang negeri Song kecil dan tanahnya kurang bagus. Tentara dan
ransumnya sedikit, menteri militer dan sipilnya juga sedikit. Itu alasanku." kata Bak I.
"Maksudku aku ingin menegakkan kebijaksanaan," kata Raja Song dengan kurang
senang. "Maka jika aku tidak membantu Ciauw, maka aku jadi kurang bijaksana."
Segera Raja Song Siang-kong mengeluarkan surat selebaran, mengajak para Raja-
muda di lain tahun pergi mengantarkan Pangeran Ciauw ke negeri Cee. Waktu berjalan
dengan cepat sekali,selangtidak berapa lama sudahsampai saatmereka
bergabung. Song Siang-kong segera menggabungkan pasukan perangnya pada pasukan perang negri
We, Co dan Cu, mengiringkan Kong-cu Ciauw pergi menyerang ke negri Cee.
Waktu itu Yong Bu alias Ek Gee sudah naik pangkat menjadi Su-ma dan memegang
kekuasaan dalam masalah ketentaraan. Pangeran Bu Kui begitu mendapat kabar
angkatan perang Song hendak datang menyerang, segera dia perintahkan Yong Bu memimpin
tentara untuk menangkis serangan dari Raja Song itu. Si Tiauw tetap tinggal di dalam
kota untuk mengurus segala keperluan, sedang Kho dan Kok, dua menteri besar itu
diperintahkan untuk menjaga kota. Sebenarnya Menteri Kho Houw dan Menteri Kok I Tiong sangat benci kepada Ek Gee
alias Tong Bu dan Si Tiauw ini. Mereka ingin sekali mengangkat Pangeran Ciauw menjadi
raja. Diam-diam mereka mengadakan perserikatan rahasia.
Ketika Ek Gee sedang mengatur tentaranya untuk menangkis serangan musuh, Kho
Houw cs di dalam kota mengadakan pemberontakan. Pertama-tama Si Tiauw dibujuk kemudian
dibunuh. Sesudah itu Pangeran Bu Kui pun dibinasakan juga. Baru sesudah itu
mereka keluar kota untuk mengepung dan membunuh Ek Gee.
Tetapi sayang Ek Gee mengetahui rencana ini, dia ajak beberapa orangnya yang
paling dipercaya, melarikan diri ke negeri Louw. Kho Houw dan pembesar lain pergi
menyambut Pangeran Ciauw. Kemudian berserikat dengan negeri Song, We, Co dan Cu, empat
negara. Sesudah keadaan aman ke empat negara itu segera mengundurkan tentaranya, sedang
Menteri Kho Houw lalu mengiringkan Pangeran Ciauw masuk ke dalam kota. Tetapi tidak
diduga pintu kota telah ditutup rapat dan tidak mau dibuka. Pangeran Siang Jin,
Pangeran Goan dan Pangeran Poan, tidak bersedia menerima Pangeran Ciauw diangkat menjadi raja,
malah mereka hendak mengadakan pembalasan kematian Pangeran Bu Kui. Karena Kho Houw
merasa tidak mampu menyerang kota, maka dia ajak Pangeran Ciauw kembali ke
negeri Song. Ketika itu Raja Song Siang-kong baru mundur dan tentaranya sudah dekat negrinya.
Melihat Pangeran Ciauw dengan tergopoh-gopoh datang menyusul, dia jadi terkejut.
"Ada apa kau menyusulku?" kata Raja Song.
Kho Hoauw menceritakan apa yang terjadi.
"Ini salahku karena aku menarik tentaraku terlalu cepat," kata Raja Song. "Sudah
jangan cemas selama masih ada aku!"
Kemudian Raja Song memerintahkan panglima Kong-cu Tong menjadi Sian-hong, Hoa Gi
Su jadi pengiring di belakang, sedang Raja Song sendiri memimpin pasukan tengah, kembali ke
negeri Cee bersama Pangeran Ciauw.
Di depan pasukan itu ada Houw maju, ketika mereka sampai di negeri Cee, panglima
Cee yang menjaga perbatasan menyambutnya. Dengan demikian pasukan Song bisa maju
sampai ke kota Lan-cu. Begitu sampai Raja Song memaklumkan perang. Dalam suatu perang besar, Pangeran
Goan dikalahkan, dia kabur ke negeri We, sedang Pangeran Pan dan Siang Jin yang kalah
perang, masuk ke dalam kota. Tetapi tentara Song berhasil masuk ke dalam kota, karena
tidak mampu dibendung. Semua pembesar negeri Cee menyilahkan Pangeran Ciauw masuk istana. Kemudian dia
diangkat menjadi Raja Cee dengan gelar Cee Hauw-kong. Sesudah menjadi Raja Cee,
Pangeran Ciauw membagi-bagi hadiah pada menterinya yang setia.
Selama lima hari lamanya Raja Song Siang-kong tinggal di negeri Cee. Sesudah
menganggap tidak ada bahaya lagi, dia kembali ke negerinya. Pangeran Poan dan Siang Jin
mengaku yang bersalah adalah Pangeran Goan. Tetapi Kho Houw dan Kok I Tiong tahu dua pangeran
ini pun ikut bersalah. Dua menteri senior ini ingin mengakhiri perselisihan di
antara mereka, maka kesalahan ditimpakan pada Ek Gee dan Si Tiauw saja. Maka sanak keluarga Ek
Gee dan Si Tiauw akhirnya dihukum mati semuanya.
Pada musim Ciu bulan delapan jenazah Raja Cee baru dikubur di atas gunung Gu-
siu-kong, dan di sampingnya dikuburkan jenazah An Ngo Ji. Dikisahkan, sesudah Raja Song
mengangkat Pangeran Ciauw menjadi Raja Cee, dia merasa bangga dan menganggap
sudah pantas menjadi jago di antara para Raja-muda seperti Raja Cee dulu. Maka itu, ia
berniat mengangkat dirinya menjadi Beng-cu (Pemimpin) di antara Raja-muda. Tetapi karena
masih khawatir raja-raja yang negerinya besar dan kuat tidak setuju, maka dia segera
mengadakan perserikatan dengan raja-raja dari negeri Teng, Kwee, Co, Chu.
Raja negeri Teng, bernama Teng Eng Cee, datang ke pertemuan paling terlambat
dari semua raja muda. Raja Song marah, lalu menahan Raja Teng ini di sebuah rumah. Karena
takut Raja Kwee yang negerinya lebih kecil dari negeri Song, dia juga datang terlambat dua
hari. Raja Song Siang-kong menganggap Raja Kwe berani menentang padanya.
"Negeri Kwee yang kecil saja berani menantangku, jika tidak dihukum bagaimana
aku bisa berwibawa?" kata Raja Song.
"Ketika Raja Cee menjadi jago, beliau telah mengalahkan bangsa Tong-i di sebelah
Utara. Jika Tuanku ingin mengalahkan mereka, kita perlu menggunakan Raja Kwee." kata
Kong-sun Tong. "Bagaimana caranya aku memakai dia?" kata Raja Song.
"Bangsa Tong-i sangat menghormati malaikat di sungai Ci-sui, sehingga mereka
mendirikan rumah pemujaan di sana. Mereka menyembahyanginya setiap musim. Jika Tuanku
membunuh Raja Kwee dan gunakan kepalanya untuk bersembahyang, pasti bangsa Tong-
i akan ketakutan, sebab mereka pikir dengan gampang Tuanku membunuh Raja Kwee. Aku
yakin bangsa Tong-i akan tunduk kepada Tuanku. Dengan demikian Tuanku bisa minta
bantuan pada mereka untuk menaklukkan semua raja muda yang membangkang pada
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tuanku." "Oh jangan, kita tidak boleh berbuat begitu," kata Pangeran Bak I coba mencegah.
"Jika Tuanku juga ikut sembahyang pada siluman sungai Ci-sui, berarti Tuanku ikut
tradisi bangsa Tong-i. Jadi bagaimana mereka akan takut kepada Tuanku" Sedangkan Raja Cee Hoan-
kong memimpin perserikatan empat puluh tahun lamanya, dan selama itu beliau melakukan
kebijaksanaan, sehingga semua raja-muda takluk dan hormat kepadanya. Sebaliknya
Tuanku, baru mau menghimpun raja-muda, sudah berlaku kejam main bunuh, bukan mereka
takut malah berbalik mereka akan menyerang kita!"
"Pendapat Anda salah," kata Pangeran Tong. "Sekarang Cu-kong akan menjagoi dan
caranya tentu saja berbeda dengan Raja Cee Hoan-kong. Raja Cee baru termasyur sesudah
membangunnya selama 20 tahun lebih, baru menjadi jago. Apa kita juga harus
menunggu selama itu" Dengan berbuat bijaksana, hasilnya lambat, sebaliknya jika mau cepat
harus dengan kekerasan. Hal ini harus dipikirkan baik-baik. Jika kita bunuh Raja Kwee
dan mana mungkin bangsa Tong-i tidak takluk karena takut. Zaman dulu Bu Ong membunuh
Kaisar Tiu Ong, kepalanya dia pancang di ujung tiang bendera. Akhirnya Bu Ong berkuasa.
Lalu apa manfaatnya membiarkan Raja Kwee yang membangkang itu?"
Raja Song Siang-kong yang memang ingin segera menjadi raja jagoan, dia
menyetujui saran Pangeran Tong. Maka segera dikeluarkan perintah agar Cu Bun-kong menangkap Raja
Kwee, dan segera dibunuh, dagingnnya dimasak dipakai menyembahyangi siluman sungai Ci-
sui. Karena bangsa Tong-i tidak pernah berhubungan, maka mereka tidak ada yang datang
melihat sembahyang besar itu. Mendengar kejadian itu Raja Teng terkejut bukan main,
segera dia minta pada orangnnya agar menyuap Raja Song, sehingga dia dibebaskan. Raja Co
Kiang- kong kurang senang pada tindakan Raja Song Siang-kong yang kejam iti. Diam-diam
dia kembali ke negerinya. Raja Song Siang-kong menjadi murka, dia anggap Raja Co kurang ajar. Maka Raja
Song memerintahkan menyerang negeri Co tersebut.
Pangeran Bak I coba mencegah niat ini.
"Dulu Raja Cee Hoan-kong tidak pernah bertindak kejam pada raja-raja muda. Harap
Tuanku jangan menyerang negeri Co!" kata Pangeran Bak I.
Tetapi Raja Song Siang-kong tidak menuruti nasihat itu, dia perintahkan Pangeran
Tong memimpin angkatan perang menyerang ke negeri Co. Berangkatlah tentara Song ke
negeri Co. Kedatangan mereka disambut oleh tentara Co, hingga terjadi pertempuran yang
sengit. Tiga bulan lamanya tentara Song telah mengepung kota negeri Co, tetapi orang Co
bisa bertahan dengan sempurna. Sulit bagi Song untuk merebut negeri Co.
Ketika itu Raja The yang kurang puas pada Raja Song mengajak Raja Louw, Cee, Tan
dan Raja Coa, empat negara, untuk mengadakan perserikatan dengan Raja Couw, mereka
berjanji akan berkumpul di daerah Cee.
Kabar ini membuat Raja Song Siang-kong jadi sangat gusar, karena dia juga
khawatir Raja Cee atau Raja Louw yang akan menjadi pemimpin perserikatan. Selain itu dia juga
cemas, karena Pangeran Tong yang menyerang Co belum berhasil merebut Co. Dengan
demikian pamor negeri Song akan turun. Maka dia minta agar Pangeran Tong mundur dari
negeri Co. Raja Co juga takut tentara Song datang kembali, mereka mengirim utusan minta
berdamai dengan Song. Dengan demikian mereka menjadi akur kembali. Semula Raja Song ingin
menjadi jago. Sekarang malah banyak Raja-muda yang bergabung dengan Raja Couw
menentangnya. Hal ini membuat dia berduka sekali.
"Sekarang ini tak ada negara yang sekuat negeri Cee dan Couw," kata Pangeran
Tong. "Hanya negeri Cee, sekalipun rajanya turunan jago, negaranya baru bangkit, itu
pun atas bantuan kita. Jadi pengaruhnya belum besar, tetapi Raja Couw yang menggunakan
gelar Kaisar sangat ditakuti. Kita harus menggunakan pengaruh Couw, maka Tuanku harus
menyuap dan merendah padanya. Mohon pada Raja Couw agar Raja-muda yang berada di
bawah pengaruhnya diserahkan kepada Tuanku. Sesudah mereka menjadi bawahan
Tuanku, maka diam-diam kita ajak semua Raja-muda itu menghantam Raja Couw!"
"Itu tidak masuk akal, itu bukan cara yang benar!" kata Pangeran Bak I. "Raja
Couw sudah menalukkan semua Raja-muda, mana mungkin dia begitu bodoh mau menyerahkannya
kepada kita" Malah jika usaha tipu itu dilasannakan, malah kita akan berselisih
dengan Couw." Raja Song Siang-kong tidak sepakat dengan pendapat Bak I. Dia perintahkan
Pangeran Tong membawa bingkisan menemui Raja Couw. Kedatangan Pangeran Tong diterima baik oleh
Raja Couw Seng-ong. Malah keinginan Raja Song pun dikabulkan dan ditetapkan pada
musim Cun tahun depan boleh berhimpun di tanah Lok-siang (tanahnya Cee).
Pangeran Tong pulang dan mengabarkan hal itu pada Raja Song yang girang bukan
main. Karena pertemuan di tanah Raja Cee, maka Raja Song memberi kabar pada Raja Cee,
Pangeran Tong sambil membawa bingkisan menemui Raja Cee. Sesudah menerima
bingkisan Raja Cee setuju dengan pertemuan itu.
Ketika sudah tiba musim Cun, Raja Song Siang-kong sudah tiba di Lok-siang, di
sana dia mendirikan panggung untuk tempat berkumpul dan menunggu kedatangan Raja Cee dan
Raja Couw. Tidak lama Raja Cee datang disusul oleh Raja Couw. Mereka menjalankan
kehormatan sebagai mana layaknya para raja.
Baru bertemu saja Raja Song yang bernafsu ingin menjadi jago, sudah mengatur
tempat duduk. Dia menempatkan Raja Couw di bawah pengaruhnya. Tentu saja hal ini
membuat Raja Couw jadi kurang senang. Dalam pertemuan itu Raja Song minta dukungan Raja Cee dan Raja Couw. Jika
disetujui maka pada musim Ciu akan mengadakan pertemuan besar dengan para Raja-muda.
Keinginan Raja Song ini membuat Raja Couw kurang senang. Raja Couw menganggap dirinya
dipandang rendah. Dia sangat kesal dan geram sekali.
Ketika Raja Song menyerahkan rencana undangan utuk musim Ciu, Raja Couw Seng-ong
menyambutnya dan memeriksa surat itu, di sana ada dijelaskan mengenai maksud
Raja Song hendak menggabung seluruh Raja-muda seperti dulu Raja Cee melakukannya. Diminta
agar semua raja datang dengan pakaian biasa, tanpa membawa senjata. Surat itu
ditandatangani oleh Raja Song. Melihat surat itu Raja Couw jadi geli sendiri.
"Jika Anda sendiri bisa memanggil semua Raja-muda, mengapa harus memakai namaku
juga?" kata Raja Couw.
"Raja The dan Raja Khouw sudah lama berada di bawah perintah Tuanku," sahut
Siang-kong dengan paras muka merah, karena dia mengerti dirinya dia disindir, "sedang Raja
Coa dan Raja Tan belum lama ikut berserikat dengan Raja Cee, manakala tidak nama kalian
tidak disertakan, aku khawatir Raja-raja muda itu tidak mau mengindahkannya."
"O, kalau begitu sebaiknya Cee-kun (Raja Cee) lebih dahulu yang membubuhkan
tanda tangannya, sesudah itu baru aku!" kata Couw Seng-ong sambil tertawa.
"Bagi Raja-raja muda yang bersahabat denganku pasti mereka akan datang, sebab
mereka tahu Raja Cee di bawah pengaruh Kerajaan Song," kata Cee Hauw-kong perasaan
kurang senang. "Melainkan raja-raja muda yang di bawah pengaruh Raja Couw yang belum
tentu mau menurut, maka tidak boleh tidak harus Raja Couw yang membubuhkan tanda
tangan lebih dulu." Sekali lagi Raja Couw tertawa, dan segera dia membubuhkan tanda tangannya,
kemudian ipit itu dia serahkan kepada Raja Cee.
"Sudah ada Couw tidak perlu ada tanda tangan dari Raja Cee," kata Cee Hauw-kong
menolak membubuhkan tanda tangannya. "Aku cuma seorang rendah, negriku tidak sampai
hancur lebur pun sudah merasa sangat bersyukur, masa aku berani sembarangan tanda
tangan, hanya akan mengotori surat yang mulia itu?"
Sudah berulang-ulang Raja Cee dipaksa, tetapi Raja Cee Hauw-kong tetep menolak.
Padahal Raja Song Siang-kong begitu baik, bahkan pernah membantu Raja Cee,
sedikit pun tidak menyangka Raja Cee akan berbuat begitu kepadanya. Maka dia ambil surat itu
yang dia simpandenganrapih.Sesudahitu RajaSongpunpulang ke
negaranya. Tatkala Raja Couw Seng-ong sudah pulang, dia ceritakan kejadian itu pada Leng-i
Chu Bun. "Permintaan Raja Song sangat keterlaluan dan gila," kata Chu Bun, "mengapa
Tuanku terima saja untuk tanda tangan?"
"Lantaran kegilaannya itu, maka aku hendak mengambil keuntungan dari kegilaannya
itu," jawab Raja Couw sambil tertawa. "Aku sudah lama berniat menjadi pemimpin
perserikatan raja-raja muda di Tiongkok, tetapi niat itu belum terkabul. Sekarang Raja Song
ingin menghimpun Raja-muda dengan berpakaian biasa. Inilah kesempatan yang baik."
"Betul," kata menteri Seng Tek Sin. "Raja Song menganggap dirinya hebat, tetapi
tidak punya akal. Dengan mudah bisa kita akali dia!"
"Ya, maksudku juga begitu!" sahut Raja Couw girang.
"Aku kurang sepakat," kata Chu Bun. "Mengapa Tuanku setuju tanda-tangan, kalau
kita akan merampas haknya. Apa ini tidak akan menjadi tertawaan orang?"
"Karena Raja Song menganggap dirinya bakal jadi pemimpin perserikatan, pasti dia
bersikap angkuh pada semua raja muda," sahut Seng Tek Sin, "hal ini pasti akan membuat
semua raja- muda itu marah. Lalu kita rebut posisi pemimpin perserikatan dari Raja Song. Ini
untuk menunjukan pada semua raja bahwa kita mampu. Kemudian kita serahkan lagi pada
Raja Song. Ini untuk menunjukkan bahwa kita bijaksana. Manakala semua raja muda telah
menyaksikan Raja Song tidak mempunyai kepandaian, jika tidak bukan tunduk pada
Couw, pada siapakah mereka akan tunduk" Maka menurut pendapatku, ini adalah tipu-
muslihat yang paling bagus!" "Kau hebat, aku kagum padamu," memuji Chu Bun merasa malu.
Raja Couw Seng-ong memerintahkan Seng Tek Sin dan Touw Put memilih seribu
tentara yang gagah berani, untuk bersedia merebut kekuasaan pemimpin perserikatan.
Sesudah Raja Song pulang dia merasa sangat girang, parasnya riang. Dia berkata pada Pangeran
Bak I: "Raja Couw sudah meluluskan permintaanku akan menyerahkan semua raja muda di
bawah kekuasaanku." "Orang Couw mirip bangsa Ban-ie, hatinya sulit diduga," kata Pangeran Bak I.,
"Jika Tuanku percaya saja ucapannya, dan tidak curigai, hamba khawatir Tuanku akan dihina
oleh mereka." "Ah, kau terlalu curiga," kata Raja Song Siang-kong. "Aku berpegang pada
kejujuran dan kepercayaan pada orang lain, mustahil orang begitu tega hendak menghina padaku?"
Kembali dia tidak memperhatikan nasihat Pangeran Bak I, dia mengeluarkan surat
selebaran untuk mengundang semua Raja-raja muda, dia perintahkan orangnya mendirikan
panggung tempat tamu, pembuatan panggung diatur rapi dan indah, serta lebih jauh dia
suruh orangnya menyediakan rumput di gudang, juga bahan makanan untuk para tamu.
Ketika musim Ciu telah tiba, saat Raja Song Siang-kong hendak berangkat,
Pangeran Bak I memberi saran. "Couw sangat kuat, jangan percaya mereka memegang janji!" kata Pangeran Bak I.
"Bawa kereta perang untuk menjaga keselamatan Tuanku."
"Jangan, tidak boleh begitu!" cegah Raja Song Siang-kong. "Aku sudah berjanji
pada semua raja muda untuk berhimpun dengan berpakaian biasa, jika aku melanggar dan
membawa kereta perang, itu berarti aku melanggar janjiku sendiri!"
"Kalau begitu, Tuanku naik kereta memakai pakaian biasa, untuk menunjukkan bahwa
Tuanku memegang janji. Sedang aku akan menyembunyikan angkatan perangku, aku
akan siap-siaga kalau-kalau dibutuhkan!" kata Pangeran Bak I.
"O! Jangan, jangan lakukan! Kau yang berpakaian perang dan membawa tentara, lalu
itu tak bedanya dengan aku sendiri yang membawanya!" kata Raja Song.
Bak I jadi tak berdaya, karena Raja Song tak setuju pada gagasannnya. Dia juga
sangat menyayangkan atas kebodohan junjungannya itu. Ketika saatnya telah tiba akan
berangkat, karena takut Pangeran Bak I membawa pasukannnya, Raja Song sengaja mengajak Bak
I ikut bersamanya. Pangeran Bak I memang mau ikut, sebab dia merasa tidak enak hati,
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jika dia tak mendampingi junjungannya itu.
Di tempat pertemuan semua raja sudah hadir, di antaranya Raja Couw, Tan, Coa,
Khouw, Co, enam raja negeri sudah hadir. Hanya Cee Hauw-kong karena sakit hati, dan Raja
Louw Hi- kong tidak tunduk pada Raja Couw, kedua raja itu tidak hadir. Raja Song Siang-
kong memerintahkan orangnya menyambut para raja muda itu dengan manis sekali. Raja
Song pun mendapat laporan bahwa semua raja berpakaian biasa.
"Aku pun yakin, Raja Couw tidak akan menghinaku..." kata Raja Song girang.
Dalam persidangan Raja Tan Bok-kong, Coa Cong-kong, The Bun-kong, Khouw Hi-kong
dan Co Kiong-kong, lima raja muda, sudah datang. Lama mereka menunggu, sampai sudah
siang baru Raja Couw datang. Mereka saling memberi hormat, tetapi pada umumnya mereka
sangat menghargai Raja Couw Seng-ong.
Tak lama upacara dilangsungkan, seperti minum arak bercampur darah, dan berbagai
acara lain. Mereka lalu mencatat nama mereka pada sebuah buku, sebagai ikrar bahwa
mereka akan tunduk pada semua aturan yang berlaku.
Sesudah upacara selesai Raja Song Siang-kong mengawasi Raja Couw Seng-ong untuk
meminta agar Raja Couw mengangkat dia jadi Pemimpin Perserikatan. Tetapi Couw
diam saja, dia pura-pura lupa. Raja muda yang lain pun jadi saling pandang saja. Raja
Song Siang- kong tidak sabar lagi, dia berkata.
"Hari ini aku ingin melanjutkan tradisi Raja Cee yaitu mendukung Kerajaan Ciu,
dan memakmurkan negara, agar rakyat hidup bahagia. Terutama mengamankan keadaan.
Bagaimana pendapat Tuan-tuan sekalian?" kata Raja Song.
Tiba-tiba Raja Couw bangkit dari kursinya dengan marah sekali.
"Usul itu baik sekali, hanya aku tidak tahu siapa yang pantas jadi pemimpin kita
semua?" kata Raja Couw. "Tuan-tuan sudah tahu, siapa yang berjasa besar, tidak perlu bertanya lagi!"
kata Raja Song. "Sudah lama aku memakai gelar Ong!" kata Couw Seng-ong. "Sekalipun Raja Song
bergelar Kong yang mulia, tetapi mana bisa dibanding dengan gelar Ong! Ini sudah diakui
oleh Kaisar Ciu!" Sikap Raja Couw angkuh sekali. Melihat situasi kurang baik, Pangeran Bak I
menarik tangan junjungannya. Dia minta agar Raja Song bersabar.
Tetapi Raja Song Siang-kong yang yakin bisa jadi pemimpin, tidak menghiraukan
nasihat Bak I. Seperti kalap dia malah menantang. Dia tak sadar bahaya mengancam
dirinya. "Gelar Kong yang kusandang telah mendapat pengesahan dari Kaisar Ciu! Maka
bagaimana gelar Ong Anda bisa mengalahkan gelarku?" kata Raja Song.
"Jika kau anggap gelarku kosong, mengapa kau mengundangku kemari?" kata Raja
Couw makin sengit. "Kau datang ke sini, sesuai dengan perundingan kita di Lok-siang," kata Raja
Song. "Sudah, jangan ribut, lebih baik begini saja!" kata Seng Tek Sin ikut bicara.
"Sekarang coba tanya pada semua raja muda, apakah kedatangan mereka karena Raja Couw atau Raja
Song?" Raja Tan, Coa dan yang lain-lain memang takut pada pengaruh Raja Couw, setelah
mendengar pertanyaan itu, semua menyahut mereka datang karena taat pada Raja
Couw. Raja Couw Seng-ong tertawa terbahak-bahak.
"Sekarang Anda mau bilang apa lagi?" kata Raja Couw.
Saat itu Raja Song Siang-kong murka bukan main. Dia mau mengadu bicara, tetapi
tidak ada yang meladeninya. Dia mau memakai kekarasan, tetapi tidak ada tentara yang ikut
bersamanya. Dia jadi serba salah.
Saat Raja Song sedang kebingungan, justru dia melihat Seng Tek Sin dan Touw Put
membuka baju luarnya, sehingga kelihatan pakaian perangnya. Hal ini membuat Raja Song
jadi sangat ketakutan. Kedua panglima Couw itu segera memberi tanda, dan semua pengikutnya
segera mengepung panggung. Semua raja muda jadi sangat kaget dan ketakutan.
Seng Tek Sin menangkap Raja Song Siang-kong yang dia ikat kencang. Kemudian
bersama Touw Put ia ajak tentaranya merampas semua perabotan yang terbuat dari batu
giok, kain sutera dan lain-lainnya milik Raja Song. Orang-orang negeri Song yang mengurus
tempat itu, mereka ketakutan lalu kabur.
Waktu itu Raja Song Siang-kong melihat Pangeran Bak I telah bergeser ke
sampingnya, dan berbisik. "Aku menyesal aku tidak mau mendengar nasihatmu, sehingga hari ini aku celaka.
Lekas kau pulang untuk menjaga negeri, dan jangan pikirankan tentang diriku."
Pangeran Bak I berpikir memang tidak ada gunanya jika dia tetap di samping Raja
Song. Maka dengan menggunakan saat sedang kacau, dia kabur pulang ke negeri Song.
Raja Couw mengajak Seng Tek Sin, Touw Put dan Kui Lu Sin dan Touw Poan (anak Chu
Bun) membawa pasukan besar.
Sesudah Raja Song ditangkap, Raja Tan, Coa, The, Khouw dan Co, sangat ketakutan
tidak ada yang berani berbuat apa-apa. Raja Couw Seng-ong mengajak semua Raja-muda
pergi ke gedung tamu, di sini dia mengejek dan menyindir Raja Song Siang-kong.
"Aku akan menyerang kota Ci-yang, untuk menghancurkan Ibukota Song." kata Raja
Couw. Sesudah pesta sampai sepuluh hari sepuluh malam lamanya, baru semua raja-raja
diizinkan pulang ke negrinya. Semua Raja-muda tidak ada yang berani membantah. Raja Song
Siang- kong diam saja sambil berdiri seperti patung. Dari matanya meleleh air mata,
tanda dia sangat menyesal dan pilu hatinya.
Tidak lama angkatan perang negeri Couw yang berjumlah 500 kereta perang sudah
siap. Raja Couw membagi-bagikan hadiah pada tentaranya, mereka maju menyerang ke kota
Ci- yang. Dikisahkan Pangeran Bak I yang sudah lolos sudah sampai di negeri Song.
Dia segera menghadap Kong-sun Kouw, lalu menceritakan bahwa Raja Song Siang-kong
telah ditawan oleh Raja Couw.
"Tidak lama lagi tentara Couw pasti akan datang menyerang ke negeri Song. Kita
harus segera menyiapkan tentara dan mengatur penjagaan," kata Bak I.
"Karena di dalam negeri harus ada yang memimpin," kata Kong-sun Kouw. "sebaiknya
untuk sementara kau menggantikan Song Siang-kong, supaya negeri ada pemimpinnya."
"Orang Couw menawan raja kita dan menyerang negeri kita, karena ada yang mereka
inginkan. . . . " Bak I membisiki kuping Kong-sun Kouw menyampaikan apa yang
dimaui Raja Couw. "Pasti Raja kita akan dibebaskan," kata Bak I akhirnya.
"Ya," kata Kong-sun Kouw girang.
Sesudah itu Kong-sun Kouw berkata kepada semua menterinya.
"Raja kita belum tentu bisa pulang, karena itu kita harus mengangkat Pangeran
Bak I untuk mengatur negeri ini." kata Kong-sun Kouw.
Karena semua menteri sudah mengetahui kepandaian Bak I, mereka girang mendengar
kabar itu. Pangeran Bak I lalu diangkat menjadi pengganti Raja Song. Dia segera
mengatur tentaranya dengan keras tetapi adil untuk menghadapi tentara Couw. Tidak lama,
benar saja tentara Couw datang menyerang. Mereka telah membangun perkemahan di luar kota.
"Raja kalian sudah kami tangkap, sekarang dia sudah dibawa ke sini! Sekarang
kalian serahkan kota ini dan takluk pada kami. Dengan demikian jiwa rajamu bisa
tertolong!" kata panglima Couw. Kong-sun Kouw segera menjawab dari atas loteng kota.
"Kami sudah mengangkat Raja yang baru! Maka itu Raja lama, jika hendak kalian
bunuh atau tidak, terserah kalian saja! Tetapi jika kami disuruh takluk, jangan harap!"
"Tetapi raja kalian masih hidup, jadi mana boleh kalian mengangkat raja lagi?"
"Raja kami harus ada di dalam negeri, karena dia tidak ada, maka kami mengangkat
raja yang baru!" kata Kong-sun Kouw.
"Seandainya kami kembalikan rajamu, bagaimana kau membalas budi kami?" tanya
panglima Couw. "Bila raja lama sudah tertangkap, berarti dia telah membuat malu negeri kami,
sekalipun dia kembali, dia tak bisa jadi raja lagi." kata Kong-sun Kouw. "Pulang atau tidak
pulang baginya sama saja. Jika kalian mau berperang pun, akan kami ladeni. Terserah apa maumu?"
Touw Put mendongkol, lalu pulang ke pesanggrahannya untuk memberitahu Raja Couw.
Bukan main marahnya Raja Couw Seng-ong, dia perintahkan agar tentaranya melabrak
kota secara hebat. Tetapi bagaimanapun hebatnya serangan tentara Couw, mereka tidak bisa mendekati
tembok kota. Bahkan tentara Couw rusak berat, karena terkena anak panah dan batu yang
dilemparkan dari atas kota oleh tentara Song.
Sudah tiga hari tiga malam lamanya tentara Couw menyerang, tetapi tetap sia-sia
saja. Melihat keadaan itu, Raja Couw Seng-ong berkata pada meneteri-menterinya.
"Karena sekarang Raja Song Siang-kong tidak dihargai lagi oleh rakyatnya, apa
kita bunuh saja?" kata Raja Couw.
"Jangan, kita tidak boleh berbuat begitu," Seng Tek Sin mencegah. "Bukankah
Tuanku menuduh Raja Song berdosa karena dia membunuh Raja Kwee" Jika sekarang Tuanku
membunuh Raja Song, itu sama saja Tuanku meniru perbuatannya. Jika kita bunuh
Raja Song, artinya kita hanya membunuh seorang, itu tidak ada artinya. Bukan mendapat
daerah Song, malah membuat orang jadi gusar. Menurut pendapat hamba, lebih baik
lepaskan saja dia." "Menyerang Song saja tidak berhasil, malah kita melepaskan rajanya. Apa itu
tidak memalukan sekali?" kata Raja Couw Seng-ong sangsi. "Jika mau membebaskannya,
kita harus mencari alasan yang tepat?"
"Soal itu sudah hamba pikirkan," kata Seng Tek Sin. "Negeri Cee sahabat kita,
tidak perlu kita pikirkan lagi. Sedang Louw sahabat Cee dan jika dia membantu Cee menjadi
jago, maka Couw tidak akan mereka hiraukan lagi. Sekarang kita kirim barang hasil rampasan
dari negeri Song ke negeri Louw, hadiahkan kepadanya. Jika mereka mau menerimanya, Song
pasti ngeri dan mau berserikat dengan kita. Louw dan Song bersahabat baik. Ingat Raja Louw
sangat budiman, pasti dia akan meminta agar Raja Song kita bebaskan. Lalu kita kabulkan
permintaannya. Maka dengan demikian bukan saja kita bisa memiliki daerah Louw,
tetapi juga daerah Song." Raja Couw girang dia sepakat pada usul itu. Tak lama Raja Couw Seng-ong menarik
mundur tentaranya pergi ke Pok-touw, sebagai utusan dia mengirim Gi Seng. Dengan
membawa iringan kereta barang rampasan dari negeri Song mereka pergi ke negeri Louw.
Setiba di negeri Louw, utusan negeri Couw diterima baik oleh Louw Hi-kong. Dalam
surat Raja Louw meminta pertimbangan mengenai masalah Raja Song yang dia telah tawan.
Membaca surat itu Raja Louw kaget. Dia tak sadar kalau itu cuma gertakan Raja
Couw kepadanya. Namun, jika Louw mau melawan, Raja Louw sadar negaranya lemah.
Raja Louw itu berkata pada Gi Seng.
"Baiklah, aku menerima dengan baik undangan itu." kata Raja Louw.
Raja Louw Hi-kong dengan mengajak Tay-hu Tiong Sui datang ke Pok-touw.
Saat itu Raja-muda Tan, Coa, The, Khouw, Louw dan Co, sudah datang semua.
Sebelum pertemuan dimulai, para raja muda itu sepakat mengangkat Raja Couw menjadi
pemimpin perserikatan raja-raja. Hanya syaratnya Raja Song harus dibebaskan oleh Raja
Couw. Rencana itu bocor ke tangan Seng Tek Sin yang menyampaikannnya kepada Raja Couw.
"Ternyatadugaanmu itu benar!"kataRajaCouw padaSengTekSin.
Raja Couw setuju sekali. Sehari sebelum diadakan persidangan, Raja Song Siang-
kong dibebaskan. Esok harinya, The Bun-kong mengajak semua raja muda mengundang Couw Seng-ong
naik ke panggung mengepalai persidangan. Semua raja-raja minum darah mengangkat
sumpah, Raja Couw Seng-ong diangkat menjadi kepala perserikatan.
Raja Song Siang-kong sangat mendongkol, tetapi tidak berani berkata apa-apa.
Setelah semua selesai, raja-raja itu bubar dan pulang ke negerinya masing-masing.
Sedang Raja Song Siang-kong yang mendengar kabar Bak I sudah jadi raja, dia
mengungsi ke negeri We untuk menumpang di sana. Tetapi sebelum berangkat, datang utusan dari
Bak I menyerahkan surat. "Hamba menduduki takhta kerajaan, menggantikan Tuanku buat menjaga negeri.
Sekarang silahkan Tuanku pulang, sebab negeri Song milik Tuanku."
Raja Song Siang-kong merasa kagum sekali atas kesetiaan Bak I ini. Tidak lama
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kereta yang indah sudah tersedia, untuk membawa pulang Raja Song Siang-kong ke negeri Song.
Tatkala Raja Song Siang-kong sampai di negrinya, Bak I segera turun dari tahta
kerajaan lalu berbaris di tempat menteri-menteri.
Sementara itu Raja Song yang sudah pulang ke negrinya, senantiasa merasa sakit
hati kepada Raja Couw. Karena sudah dengan susah payah dia berikhtiar hendak menjagoi di
antara para raja, tetapi ternyata dia ditawan oleh Raja Couw. Dia merasa malu dan gemas
kepada Raja The yang mengajak semua raja muda mengangkat Raja Couw menjadi kepala
perserikatan. *** Pada tahun Raja Ciu Siang-ong memerintah yang ke-14, di musim Cun bulan tiga,
Raja The Bun-kong pergi ke negeri Couw untuk memberi hormat pada Raja Couw seolah kepada
Kaisar. Kabar ini membuat Raja Song Siang-kong sangat marah, dia ingin mengerahkan
tentara Song untukmelabrak negeriTheyangdianggapmerendahkandiriitu.
Tetapi Bak I segera mencegah niat Raja Song ini, karena dia tak setuju.
"Ingat Tuanku, Raja Couw dan Raja The sedang rukun!" kata Bak I. "Jika Song
menyerang Raja The, pasti Raja Couw akan menolongnya. Bila hal ini terjadi, hamba khawatir
kita akan kalah. Lebih baik Tuanku renungkan kembali dengan bijaksana sambil menunggu
datangnya kesempatan yang tepat."
Kong-sun Kouw juga mencegah dan menasehati seperti Bak I. Song Siang-kong yang
sudah sering membuktikan kepandaian Bak I, dan Kong-sun Kouw, tetapi dia tidak mau
mendengarkan nasehat mereka.
"Jika kalian tidak setuju, biar aku yang memimpin sendiri berperang!" kata Raja
Song. Melihat kemarahan Song Siang-kong, tanpa banyak bicara Kong-sun Kouw
mengeluarkan tentara untuk menyerang negeri The. Song Siang-kong memimpin pasukan perang
bagian tengah, dibantu oleh Kong-sun Kouw. Sedangkan Gak Pok I, Hoa Siu Lo, Pangeran
Tong memimpin pasukan depan dan belakang.
Tetapi gerakan tentara Song ini segera dilaporkan oleh mata-mata dari negeri The
pada Raja The Bun-kong. Raja The terkejut mendengar tentara Song menyerang negaranya. Dengan terburu-
buru dia menyuruh orang untuk minta pertolongan kepada Raja Couw. Raja Couw Seng-ong
mengumpulkan menteri-menterinya.
"Raja The sangat hormat kepada kita, maka itu kita harus menolongnya." kata Raja
Couw. "Daripada kita menolong Raja The, lebih baik kita sendiri menyerang ke negeri
Song," kata Seng Tek Sin mengajukan usul.
"Kenapa?" "Sebab Raja Song tanpa menyadari kekuatannya, telah mengerahkan pasukan besar
untuk menyerang negeri The. Dengan demikian negrinya pasti kosong. Apabila kita serang
negrinya yang kosong itu, pasti orang-orang yang ada di dalam negeri jadi ketakutan. Jadi
tanpa harus berperang lagi kita akan menang. Bila Raja Song yang pulang hendak menolong
negerinya, tentaranya pasti sudah lelah dalam perjalanan. Dengan demikian tentara kita yang
masih segar, akan mampu mengalahkan tentara Song yang sudah lelah itu dengan gampang.
Dan pasti kita akan mendapatkan kemenangan!"
Raja Couw Seng-ong setuju pada usul Seng Tek Sin, dia segera mengangkat Seng Tek
Sin menjadi komandan perang. Touw Put menjadi pembantunya. Angkatan perang Couw
segera berangkat akan menyerang ke negeri Song.
Saat itu Raja Song Siang-kong belum memaklumkan perang pada Raja The, dia
mendapat laporan bahwa Raja Couw menyerang ke negeri Song. Mendengar laporan itu Raja
Song kaget. Dia segera memimpin tentaranya pulang untuk menolong negaranya. Setiba di
sana dia mendirikan pesanggrahan di tepi Selatan sungai Hong-sui untuk menangkis serangan
tentara Couw. Seng Tek Sin memerintahkan orang untuk membawa surat tantangan. Kong-sun Kouw
mengajukan saran pada Raja Song.
"Kedatangan tentara Couw kemari, maksudnya hendak membantu Raja The. Jika The
tidak jadi kita serang, lalu Tuanku minta maaf pada Raja Couw, pasti Raja Couw akan
menarik mundur pasukannya dan tidak terjadi berperang." kata Kong-sun Kouw.
"Dulu Raja Cee Hoan-kong mengerahkan angkatan perangnya menyerang ke negeri
Couw," kata Raja Song Siang-kong dengan tidak senang, "Sekarang orang Couw malah
menyerang kita. Kalau aku tidak melayaninya, bagaimana mungkin aku bisa meneruskan
pekerjaan Raja Cee Hoan-kong?" "Tapi pasukan perang kita tidak seperti tentara Couw yang masih gagah," kata
Kong-sun Kouw. "Bisa dikatakan tentara Song takut kepada tentara Couw. Mereka takut
seperti takut pada harimau, jadi bagaimana mungkin kita berharap akan memenangkan peperangan
ini?" "Walau pun Raja Couw dan tentaranya sangat kuat, tapi Raja Couw tidak bijaksana.
" kata Raja Song. "Sebaliknya aku, sekalipun tentaraku sedikit, tetapi aku bijaksana."
Sesudah itu Raja Song membalas surat tantangan perang. Dalam surat itu dia
menantang perang di Hong-yang. Ketika itu dua pasukan perang sudah saling berhadapan.
Kong-sun Kouw mengusulkan pada Raja Song agar segera menyiapkan pasukan. Tetapi Raja Song
santai saja. Ketika tentara Couw sudah menyeberangi sungai, Kong-sun Kouw
kembali mengajukan usul supaya menyerang musuh.
"Tunggu sampai mereka menyerang semua!" kata Raja Song.
"Seharusnya dalam ilmu perang, tentara Couw harus menyeberang pada malam hari.
Maksudnya supaya kita tidak mengetahui gerakannya," kata Kong-sun Kouw. "Kali
ini ternyata mereka menyeberang sesudah fajar menyingsing, itu berarti mereka sangat
menghina kita. Saat mereka sedang menyeberangi sungai dan tentara nereka baru separuhnya
yang menyeberang, mereka harus kita serang! Ini saat yang sangat baik! Dengan
demikian kita pasti akan mendapat kemenangan. Apabila kita menunggu sampai tentara mereka
sudah menyeberangi sungai semua, maka karena jumlah tentara Couw lebih banyak dari
tentara kita yang sedikit, aku khawatir kita tidak akan sanggup melawan mereka."
Raja Song Siang-kong segera menunjuk ke bendera besarnya sambil berkata, "Coba
kau lihat dua huruf "Jin Gi" itu! Sudah berkali-kali aku jelaskan kepadamu, bahwa aku
hendak berpegang teguh pada kebajikan dan budi! Apakah kau masih belum juga mengerti"
Apalagi pasukanku yang gagah dan banyak. Lagipula di mana ada peraturan musuh baru
menyeberang separuh sudah diserang!"
Mengetahui rajanya tidak bisa dinasehati, Kong-sun Kouw jadi kesal hatinya.
Tidak berapa lama tentara Couw pun sudah menyeberang semuanya. Terlihat Seng Tek
Sin sedang mengatur tentaranya. Melihat hal itu Kong-sun Kouw kembali menasehati
Raja Song Siang-kong. "Panglima Couw sedang mengatur pasukannya dan belum rapi benar, segera bunyikan
tambur tanda berperang. Dengan demikian musuh akan kacau."
Raja Song Siang-kong meludahi muka Kong-sun Kouw. Dengan marah dia berkata, "Kau
sungguh licik! Apa kau akan menang dengan kelicikanmu, tetapi kau lupa,
perbuatanmu itu akan merusak nama kita!"
Mendengar jawaban itu bukan main mendongkolnya Kong-sun Kouw. Sekarang tentara
Couw sudah ada di seberang, sehingga membuat tentara Song merasa jerih.
Baru Raja Song Siang-kong memerintahkan membunyikan tambur tanda berperang.
Tetapi hal ini disambut oleh pasukan Couw dengan hebat. Raja Song maju sambil memegang
tombak panjang, mengajak Pangeran Tong, Hiang Cu Siu, kedua panglima perangnya
itu, maju menyerang pasukan Couw.
Melihat kedatangan musuh begitu buas, diam-diam Seng Tek Sin mengeluarkan
perintah agar membiarkan musuh maju terus ke dalam pasukannya. Tetapi yang diincar untuk masuk
cuma Raja Song Siang-kong dan satu pasukan perangnya saja. Sedangkan Kong-sun Kouw
yang mengikuti Raja Song Siang-kong berada di belakang.
Setelah Raja Song Siang-kong menyerang masuk ke tengah pasukan musuh, mereka
bertemu dengan Touw Put, Kong-sun Kouw maju ke depan rajanya menghadapi musuh.
Touw Put dan Kong-sun Touw pun bertarung hebat.
Tidak lama Gak Pok I dari pihak Song datang, tetapi dia dihadapi oleh Kui Lu Si.
Ketika Kong-sun Kouw sudah agak terdesak segera dia kabur ke tengah pasukan
Couw. Touw Put mengangkat goloknya dan mengejar Kong-sun Kouw. Tetapi panglima Song yang
bernama Hoa Siu Lo datang ke tempat itu, mereka jadi bertempur hebat.
Kong-sun Kouw tidak melihat Raja Song di sekitarnya, dia mencoba mencarinya.
Tetapi sia- sia. Dia maju terus tetapi dihadang oleh tentara Couw yang menyemut banyak
sekali. Dia segera maju terus, dan bertemu dengan panglima Song bernama Hiang Cu Siu yang
mukanya berlumuran darah. "Su-ma lekas tolongi Cu-kong kita!" teriak panglima Song itu.
Kong-sun Kouw dan Hiang Cu Siu menyerang masuk ke dalam kepungan musuh yang
berlapis-lapis itu. Di sana dia melihat tentara Song banyak yang terluka berat,
tetapi mereka tidak mau mundur.Melihat Kong-sun Kouw yang gagah perkasa mengamuk, tentara Couw
mundur sedikit tidak berani merapat.
Ketika Kong-sun Kouw menoleh ke dalam kereta perang Raja Song, dia melihat
Pangeran Tong yang terluka berat, telah rebah di dalam kereta perangnya, sedangkan
bendera besar yang terlukis huruf "Jin Gi", sudah dirampas oleh musuh. Raja Song Siang-kong
juga terluka parah. Paha kanannya terkena panah sehingga urat lututnya putus. Dengan demikian
dia tidak bisa bangun untuk berdiri.
Ketika melihat Kong-sun Kouw Pangeran Tong girang sekali.
"Su-ma! Jaga Cu-kong kita baik-baik, aku rasa aku sudah tidak tahan lagi!" kata
Pangeran Tong. Benar saja Pangeran Tong menghembuskan napasnya yang penghabisan. Hati Kong-sun
Kouw sangat pilu, buru-buru dia angkat Raja Song Siang-kong ke dalam kereta
perangnya. Dengan tubuh sengaja menghalangi Raja Song, dan dengan seluruh kekuatannya Kong-
sun Kouw menerjang keluar dari kepungan musuh. Sedang Hiang Cu Siu menjaga di
belakang mereka, dibantu oleh tentara Song. Tetapi karena orang Song banyak yang
melarikan diri sambil berperang, akhirnya setelah keluar dari kepungan tentara Couw, tentara
istana Song itu sudah hampir binasa semuanya. Tepatnya pasukan Song sembilan puluh persen telah
binasa oleh musuh. Ketika Gak Pok I dan Hoa Siu Lo melihat raja mereka sudah terhindar dari bahaya
maut mereka pulang. Bab 22 Tetapi Seng Tek Sin yang tidak mau memberi kesempatan pada mereka, segera
memimpin tentaranya mengejar. Akibatnya tentara Song menderita kerusakan berat. Ransum,
senjata dan kereta mereka dirampas oleh musuh.
Saat itu Kong-sun Kouw mengajak Raja Song Siang-kong pulang ke kota Ci-yang.
Sementara itu keluarga tentara Song yang binasa di medan perang, seperti ayah,
ibu, istri atau anak, semua datang menggerutu di luar istana. Mereka semua menyesalkan Raja Song
Siang- kong yang tidak menuruti nasihat Kong-sun Kouw, sehingga mendapat kekalahan
besar. Raja Song Siang-kong yang mendengar sesalan itu, dengan menghela napas berkata,
"Padahal aku berpegang pada kebajikan dan kewajiban dalam menjalankan peperangan, tetapi
yang aku tidak mengerti mengapa sampai mendapat kekalahan begini besar?"
Mendengar ucapan Raja Song Siang-kong tidak seorang pun yang tidak mendongkol,
karena kekeliruan raja mereka dalam mengartikan maksud perkataan "Jin Gi" itu. Saat itu
mereka menganggap arti kebajikan dan kewajiban seumpama kucing yang bodoh, sebab waktu
melihat tikus, kucing itu tidak mau menerkamnya.
Sementara itu angkatan perang Couw yang dapat kemenangan besar, segera
menyeberang di sungai Hong-sui, sambil menyanyikan lagu kemenangan perang. Setelah pasukan
perang itu keluar dari batas negeri Song, seorang juru kabar memberi laporan pada Seng Tek
Sin. "Raja Couw telah memerintahkan pasukan besar untuk menyambut kedatangan Tuan.
Mereka sudah mendirikan pasanggrahan di Ko-tek." kata pelapor itu.
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar laporan itu Seng Tek Sin segera pergi ke Ko-tek untuk menemui Raja
Couw dan memberi laporan tentang kemenangannya itu. Raja Couw Seng-ong sangat girang.
"Besok Raja The akan mengajak permaisurinya datang kemari untuk menghaturkan
selamat. Kalian harus mengatur barisan serapih mungkin!" kata Raja Couw.
Hu-jin The Bun-kong ialah adik perempuan Couw Seng-ong, yang disebut Bun-bi. Dia
datang ke Ko-tek bersama Raja The Bun-kong karena ingin bertemu dengan kandanya.
Tatkala Raja The dan permaisurinya sampai, Raja Couw Seng-ong menceritakan kemenangannya atas
negeri Song. Raja The Bun-kong, suami-isteri langsung mengucapkan selamat.
Sesudah itu dia undang Couw-ong supaya berkunjung ke pesta yang akan diadakan nanti.
Esok harinya, Raja The Bun-kong menyambut Raja Couw dan mengajaknya masuk ke
dalam kota. Raja The menghormati Raja Couw seperti pada seorang Kaisar saja.
Permaisuri Bun-bi mempunyai dua orang putri, yaitu Pek-bi dan Siok-bi, keduanya belum menikah.
Permaisuri lalu mengajak kedua putrinya menghadap Couw Seng-ong, menjalankan adat istiadat
pertemuan keponakan dengan pamannya.
Melihat keelokan paras kedua keponakannya Raja Couw senang sekali. Waktu Raja
Couw hendak pulang ke pesanggrahannya, Couw Seng-ong minta pada Bun-bi, adiknya agar
kedua putrinya mengantar dia. Permintaan itu diterima baik oleh Bun-bi dan Raja The.
Raja The Bun-kong hanya mengantarkan Raja Couw Seng-ong sampai di luar kota, sedang Bun-
bi dan kedua putrinya mengantarkannya sampai di pesanggrahan Couw. Tetapi karena hari
sudah sore dan menjelang malam, Bun-bi dan kedua putrinya terpaksa bermalam di dalam
pesanggrahan Raja Couw. Malam harinya, Raja Couw Seng-ong pergi mendatangi kamar tidur kedua
keponakannya dan memperkosa keduanya. Sedangkan Bun-bi kebingungan, sehingga semalaman dia tidak
bisa tidur pulas. Karena takut oleh pengaruh Raja Couw, terpaksa dia harus belagak
bodoh, tidak berani berkata apa-apa. Padahal saat itu kedua anak perempuannya sedang dirusak
kehormatannya oleh kandanya yang durjana itu.
Pada esok harinya, Raja Couw Seng-ong menghadiahi Bun-bi separuh dari barang-
barang rampasan dari negeri Song. Sedangkan kedua puteri Raja The, Pek-bi dan Siok-bi
tidak diizinkan pulang lagi, kedua putri Raja The itu dibawa pulang ke negeri Couw dan
dijadikan gundik oleh pamannya. Kelakuan Raja Couw yang seperti binatang, membuat Raja The
gusar, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Raja The lemah dan Raja Couw sangat
kuat. Begitulah nasib orang lemah yang berurusan dengan orang kuat! Kasihan.
Sementara itu Chin Kong-cu sudah tujuh tahun tinggal di negeri Cee, yaitu sejak
tahun Ciu Siang-ong ke-8 sampai tahun ke-14. Dia tahu saat Raja Cee Hoan-kong yang
tertimpa nasib naas, dan para Raja-muda berebut kekuasaan dan jatuhnya negeri Cee. Ketika Cee
Hauw- kong menjadi raja, tetapi dia hanya menjadi raja bodoh yang tidak bisa
meneruskan kekuasaan ayahnya dan kerajaannya berada di bawah kekuasaan Raja Song dan Raja
Couw. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, diam-diam Tio Swi berunding dengan
kawan-kawannya. "Kita sedang menumpang di negeri Cee, karena ingin meminjam tentara Cee supaya
bisa pulang ke negeri Chin," kata Tio Swi. "Tetapi ternyata sekarang Raja Cee yang
baru tidak berkuasa seperti ayahnya, hingga para raja tidak mengindahkannya lagi. Maka kita
tak bisa mengharapkan bantuannya. Lebih baik Kong-cu pindak ke negeri lain saja."
Semua setuju pada saran Tio Swi. Akhirnya mereka pergi ke tempat Pangeran Tiong
Ji untuk menyampaikan niat mereka itu. Pangeran Tiong Ji sulit ditemui, karena dia sedang
mengeloni Cee Kiang, famili Raja Cee Hoan-kong yang diserahkan kepadanya untuk dijadikan
istrinya. Siang dan malam dia ada di samping si nona manis itu, sudah tidak perduli
apapun. Para menterinya yang setia, menunggu ingin bertemu dengan Pangeran Tiong Ji, bahkan
hampir sepuluh hari lamanya. Gui Cun uring-uringan, dia menggerutu.
"Karena kupikir Pangeran akan memperoleh kemajuan, maka aku ikut dengannya.
Tetapi sepanjang hari kerjanya cuma bersenang-senang dengan perempuan saja selama tujuh
tahun sia-sia. Bayangkan kita menunggu tujuh tahun lamanya dengan sia-sia saja. Dia
cuma memikirkan bersenang-senang saja. Sudah sepuluh hari lebih kita menunggu ingin
bertemu dengannya, tetapi dia tidak mau muncul, jika terus begini bagaimana dia bisa
mengerjakan usaha besar?" "Diam," kata Ho Yan sambil menggoyangkan tangannya. "Di sini bukan tempat
berunding, mari ikut aku pergi di suatu tempat yang sunyi."
Semua setuju, sesudah berjalan sejauh 10 li, mereka sampai di Song-im yang di
sekitarnya banyak tumbuh pohon Song (murbui), karena daun pohon ini lebat hingga matahari
tidak mampu menembus, hingga keadaannnya sangat teduh.. Di sini Tio Swi dan sembilan
kawannya lalu berkumpul sambil duduk di tanah.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Tio Swi pada Ho Yan.
"Untuk mengajak Pangeran Tiong Ji pergi, kita gunakan saja siasat. Kita ajak dia
berburu, sekeluar dia dari negeri Cee baru kita bujuk dia pergi dari sini. Tetapi sesudah
itu, kita harus menumpang di negeri apa?" kata Ho Yan.
"Raja Song berniat menjadi jago di antara semua Raja-muda, ditambah lagi rajanya
bijaksana, mengapa kita tidak ke negeri Soing saja?" kata Tio Swi yang mengajukan usulnya.
"Seandainya kita menumpang di negeri Song dan juga tidak berhasil mencapai niat
kita, kita harus segera pergi ke negeri Cin atau Couw. Suatu saat kita akan menemukan jalan
yang baik." "Ya, aku dengan Kong-sun Kouw bersahabat, boleh dicoba kita pergi dulu ke negeri
Song," kata Ho Yan yang menyatakan setuju.
Begitu mereka berunding dan membuat rencana lalu mereka bubar. Mereka berunding
di tempat sepi, maksudnya supaya jangan ada orang lain yang tahu, tetapi tidak
disangka ketika mereka berunding, justru beberapa budak Cee Kiang sedang memetik daun murbei
(song) untuk makanan ulat sutera. Mereka tetap bersembunyi sampai semua yang berunding
bubar, baru mereka pulang ke istana dan melaporkan pada Cee Kiang.
Mendengar laporan itu Cee Kiang marah-marah dan pura-pura tidak percaya.
Menganggap laporan budak-budak itu bohong, lalu Cee Kiang menyuruh menahan budak-budaknya
itu dalam kamar tahanan. Sungguh cerdik Cee Kiang ini.
"Sungguh berbahaya bagi Pangeran Tiong Ji dan kawan-kawannnya, aku harus berbuat
sesuatu," kata Cee Kiang.
Malamnya budak-budak yang ditahan itu dibunuh seluruhnya. Ini untuk menghindari
bahaya di kemudian hari. Sesudah itu Cee Kiang membangunkan suaminya, yaitu Pangeran
Tiong Ji. "Suamiku, anak buahmu hendak mengajakmu pergi dari negeri Cee, saat mereka
berunding budak-budakku mengetahuinya, karena khawatir budak-budakku membocorkan rahasia
ini, mereka sudah kubunuh semua. Sekarang juga kau harus mengambil keputusan untuk
segera meninggalkan negeri Cee." kata Cee Kiang.
"Aku sudah hidup bahagia di sini, untuk apa aku pergi dari sini. Aku akan hidup
dan mati di negeri ini," kata Pangeran Tiong Ji. Dia kelihatan kurang senang oleh adanya
rencana anak buahnya itu. "Pendapatmu keliru, suamiku," kata Cee Kiang. "Sejak kau meninggalkan negeri
Chin, sampai saat ini keadaan di negeri Chin belum aman. I Gouw yang lemah, angkatan
perangnya hancur, hingga rakyat kurang puas kepadanya, tetangga negaranya kurang senang.
Ini jelas Thian mengharapkan kau. Hamba yakin kau akan berhasil menduduki negeri Chin!"
Karena Pangeran Tiong Ji sangat mencintai Cee Kiang yang elok, dia merasa berat
untuk berpisahan dengan Cee Kiang. Maka itu dia tak mau mendengarkan nasihat isterinya
itu. Esok paginya, Tio Swi, Ho Yan, Kiu Kui dan Gui Cun, empat orang anak buahnya,
telah menunggu di luar keraton, mereka ingin mengajak Pangeran Tiong berburu.
Mendengar kabar itu Cee Kiang di luar tahu Pangeran Tiong Ji, suaminya, dia buru-buru menyuruh
orang memanggil Ho Yan, hanya seorang diri saja masuk ke dalam istananya.
Ketika Ho Yan menghadap, Cee Kiang menyuruh semua pelayannya mundur. Baru
sesudah itu Cee Kiang menanyakan maksud kunjungan Ho Yan dan kawan-kawannya itu.
"Pangeran senang berburu oleh karena itu kami ingin mengajaknya berburu," jawab
Ho Yan pada Cee Kiang. "O, begitu," kata Cee Kiang sambil tersenyum. "Tetapi kali ini kalau bukan ke
negeri Song pasti kalian akan ke negeri Cin atau ke negeri Couw. Bukan begitu?"
Ho Yan agak kaget. Dia mencoba menenangkan diri.
"Ah, mustahil berburu sampai sekian jauhnya?" sahut Ho Yan.
"Jangan bohong. Aku tahu kau akan membawa kabur Pangeran Tiong, semua aku sudah
tahu." kata Cee Kiang. "Kalian jangan berdusta padaku! Tadi malam pun aku sudah
bujuk suamiku agar pergi dari negeri ini, tetapi dia tidak mau ."
Ho Yan heran, tetapi dia girang.
"Lalu bagaimana selanjutnya?" kata Ho Yan.
"Begini. Nanti malam akan kuajak dia minum sampai mabuk, dalam keadaan mabuk
kalian naikkan ke sebuah kereta lalu bawa dia pergi jauh...." kata Cee Kiang. "Dengan
cara demikian baru kalian berhasil!' Bukan main senangnya Ho Yan, dia berlutut mengucapkan terima kasih.
"Hamba berterima kasih, ternyata Nyonya seorang yang mulia. Rela berpisah dengan
suami tercinta demi kemajuan suami, wanita seperti Nyonya sangat jarang di muka bumi
ini...." puji Ho yan. Tio Swi, Ho Mo dan lain-lain berangkat duluan sampai di tanah lapang mereka akan
menunggu, hanya Ho Yan, Gui Cun dan Tian Kiat, tiga orang, yang membawa dua buah
kereta kecil yang disembunyikan dekat istana. Mereka menunggu kabar baik dari
Cee Kiang, yaitu sesudah suaminya mabuk berat. Malam harinya, benar saja Cee Kiang telah
mengatur perjamuan, dia menyediakan makanan. Saat makan minum Cee Kiang merayu Pangeran
Tiong Ji sehingga pangeran makin senang hatinya. Cee Kiang juga memerintahkan
beberapa budak perempuannya menyanyi dan menari, hingga akhirnya Cee Kiang berhasil
hingga suaminya ini mabuk berat. Sesudah suaminya tertidur karena mabuk, Cee Kiang lalu
mengambil selimut dan menutupi tubuh suaminya, kemudian baru memerintahkan orang
memanggil Ho Yan. "Ho Yan mengerti pasti Pangeran Tiong Ji sudah mabuk berat, maka dia ajak Gui
Cun dan Tan Kiat masuk ke dalam istana, lalu menggotong Pangeran Tiong Ji bersama
selimutnya terus dibawa keluar, dan ditaruh di dalam sebuah kereta kecil yang lebih dulu
memang sudah diberi kasur. Sesudah selesai, Ho Yan mengucapkan selamat tinggal pada Cee Kiang yang
sebenarnya merasa berat berpisah dengan pangeran, tetapi terpaksa ia mengeraskan hatinya
sambil menangis, karena ingin suaminya mendapat kemajuan. Ho Yan dan dua kawannya
dengan cepat, tetapi dengan berhati-hati sekali melarikan kereta yang membawa Pangeran
Tiong Ji, ketika hampir tengah malam mereka sudah meninggalkan ibukota Cee cukup jauh, di
suatu tempat mereka bertemu dengan Tio Swi dan yang lain-lain, dan dalam keadaan gelap
gulita mereka memeruskan perjalanan.
Kira-kira sudah berjalan lima atau enam puluh li jauhnya, terdengar suara ayam
berkokok, sementara dari arah Timur mulai tampak sinar cahaya terang. Waktu itulah
Pangeran Tiong Ji baru sadar dari tidurnya, dia berguling-guling di dalam kereta, dia berteriak
memanggil pelayan istana meminta air minum karena dia haus. Ho Yan yang memegang kendali
kereta itu ada di sampingnya lalu menyahut. "Mau air harus menunggu sebentar siang."
Tiong Ji merasa dirinya ada tergoyang-goyang hingga rasanya tidak enak, sembari
mengulet ia berkata: "Marilah, bangunkan aku dan turun dari ranjang!"
"Ini bukan ranjang, tetapi kereta," sahut Ho Yan. Tiong Ji terkejut, dia membuka
matanya celingukan ke kian kemari, lalu dia pegang Ho Yan dan bertanya dengan kasar.
"Siapa kau?" "Hamba Ho Yan, Tuanku," sahut menteri yang setia ini. Waktu itu Pangeran Tiong
Ji jadi
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget, segera dia sadar kalau dia tekah diculik oleh anak buahnya. Segera dia
bangun. "Chu Hoan, mengapa kalian tidak memberitahuku dulu kalau aku mau diajak kabur?"
bentak Pangeran Tiong Ji gusar bukan main. "Apa ,maksud kalian ini?"
"Kami hendak menyerahkan negeri Chin pada Pangeran," sahut Ho Yan dengan sabar.
"Sebelum mendapatkan negeri Chin, tetapi aku telah kehilangan negeri Cee, aku
tidak mau! Berhenti di sini! Aku tidak mau pergi!"
"Tetapi kita sudah meninggalkan negeri Cee sejauh seratus li lebih," kata Ho Yan
sengaja membohongi junjungannya. "Lagi pula jika Raja Cee mengetahui Kong-cu minggat,
niscaya dia akan mengerahkan pasukan mengejar kita, ini sungguh berbahaya sekali jika
kembali ke sana." Pangeran Tiong Ji tidak bisa menahan amarahnya, justru dia melihat Gui Cun
sedang memegang tombak berjaga di sampingnya, dia lantas rebut tombak itu, dengan
tombak itu dia hendak menyerang Ho Yan. Melihat gelagat kurang baik, Ho Yan buru-buru turun dari kereta dan pergi
menyelamatkan diri. Pangeran Tiong Ji melompat turun, lalu mengejar Ho Yan. Sementara itu Tio
Swi, Kiu Kui, Ho Sia Kouw, Kay Cu Cui dan yang lain-lain turun dari kereta menghalangi
niat Pangeran Tiong Ji. Meski sudah dinasehati, tetapi kemarahan Pangeran Tiong Ji
belum bisa lenyap, sambil uring-uringan dia lemparkan tombaknya ke tanah. Ho Yan langsung
menghampiri Pangeran Tiong Ji, sesudah itu dia memberi hormat.
"Jika Tuanku membunuhku dan Kong-cu bisa menjadi raja di negeri Chin, aku rela
mati di sini." kata Ho Yan. "Karena kami ingin Pangeran menjadi Raja Chin," kata Tio Swi menyambung
pembicaraaan Ho Yan, "maka kami sudah meninggalkan kampung halaman kami, rumah dan anak
isteri kami pergi ikut dengan Kong-cu, sebab berharap barangkali saja di kemudian hari
nama kami tercatat di dalam buku hikayat. Sekarang Chin Hui-kong tidak memegang aturan,
semua rakyat negeri ingin sekali mengangkat Kong-cu menjadi raja, tetapi jika Kong-cu
sendiri tidak mau mencari jalan supaya bisa masuk ke negeri sendiri, siapa yang nanti mau
menjemput Pangeran ke negeri Cee" Apa yang terjadi tadi malam, sebenarnya sudah disetujui
oleh kami semua termasuk istri Pangeran bukan sekali-kali cuma rencana Chu Hoan seorang,
maka harap Kong-cu jangan salah mengerti."
Gui Cun yang terkenal beradat, dengan suara nyaring lantas nyeletuk: "Satu laki-
laki harus bersemangat untuk memperoleh nama, supaya bisa tersohor sampai di zaman
kemudian! Mengapa hanya memberatkan seorang perempuan, yang cuma menyenangkan sekejap,
tetapi tidak memikirkan hari depan."
Sementara yang lain-lain pun memberi nasihat pada Pangeran Tiong Ji. Mendengar
nasihat semua menterinya yang demikian pedas dan pantas, paras Tiong Ji berubah sabar
kembali, dia menghela napas seraya berkata, "Ya, sudahlah, sekarang sudah jadi begini, aku
menurut saja." Ho Mo datang menyuguhkan ransum kering pada Tiong Ji, sedang Kay Cu Cui datang
membawakan air minum. Tiong Ji dan semua anak buahnya makan bersama-sama. Ouw
Siok dan beberapa kawannya menyabit rumput untuk memelihata kuda. Kemudian sesudah
membereskan semua barang-barang, mereka lalu meneruskan perjalanan.
Mereka berjalan belum sehari telah sampai di negeri Co. Sebenarnya Raja Co
Kiong-kong tidak mau menerima Tiong Ji singgah di negerinya, sebab dia keberatan karena
tidak menguntungkan baginya menerima kedatangan Pangeran dari negeri Chin ini. Tetapi
ketika di antara menterinya ada yang berkata bahwa Pangeran Tiong Ji anak-anakan mata ada
dua dan tulang iganya rangkap menjadi satu, Raja Co Kiong-kong jadi heran dan penasaran
sekali, maka dia lantas memerintahkan orangnya menyambut kedatangan Pangeran Tiong Ji,
dan diizinkan tinggal di gedung tamu.
Tetapi Raja Co memperlakukan Tiong Ji dan menteri-menterinya tidak dengan
sepantasnya, dia cuma menyuruh orang membawakan air dan nasi untuk menyuguhi tamunya itu,
tidak menghaturkan selamat datang, tidak mengadakan pesta kehormatan bagi tamunya,
tegasnya dia tidak menjalankan peraturan menyambut tamu sebagai tuan rumah seperti yang
semestinya. "Karena dihina begitu rupa, Tiong Ji jadi mendongkol dan tidak sudi makan
suguhan dari Raja Co itu. Tidak lama budak gedung membawa masuk sebuah paso untuk mandi, lalu
menyilakan Pangeran Tiong Ji mencuci badan. Karena melakukan perjalanan jauh dan
banyak keluar keringat, memang Tiong Ji hendak mandi maka segera dia pun mandi,
Waktu itu Raja Co Kiong-kong bersama beberapa pengikutnya yang dia sangat sayang
dengan berpakaian seperti orang kecil datang di gedung tetamu dan terus masuk ke
kamar mandi, di sana mereka mendekati Tiong Ji dan memeriksa tulang iganya, mereka
jadi ribut mengeluarkan pendapat mereka.
Ho Yan dan yang lain-lain ketika mendengar ada orang masuk di kamar mandi, buru-
buru memeriksa, tetapi sayang semua orang itu sudah pergi. Ho Yan masih sempat
mendengar tawa mereka. Ketika Ho Yan minta keterangan, penjaga mengatakan yang datang
adalah Raja Co. Tiong Ji dan para pengikutnya bukan main mendongkolnya, tetapi mereka menahan
sabar, dan belum bisa membalas penghinaan raja tolol itu. Ketika Raja Co hendak
mengintip, yang sebenarnya itu perbuatan hina telah dicegah dengan sangat oleh Tay-hu Hi Hu Ki,
tetapi Raja Co yang angkuh itu tidak mempedulikannya, hingga menteri itu pulang ke rumahnya
dengan hati mendongkol. Malam harinya, diam-diam Hi Hu Ki membawakan rupa-rupa hidangan yang lezat ke
gedung tamu, sedang di dalam nasi dia selipkan batu mustika yang berharga mahal.
Ketika itu Tiong Ji punya perut memang sedang kelaparan dan duduk diam dengan
menahan kemarahan, setelah dia mendengar Hi Hu Ki datang minta bertemu serta membawakan
hidangan, lalu dia suruh orang menyambut dan mengajak menteri ini masuk.
Setelah Hi Hu Ki bertemu dengan Pangeran Chin, dia memberi hormat, lebih dulu
dia minta dimaafkan atas kelakuan Raja Co yang tidak patut, kemudian baru menjelaskan
bahwa kedatangannya ini cuma untuk menyatakan hormatnya.
Tiong Ji girang, dengan menghela napas dia berkata, "Aku tidak menyangka di
negeri Co ada menteri yang berbudi. Di kemudian hari apabila aku beruntung pulang ke negeriku
sendiri, niscaya aku tidak akan melupakan budi ini."
Sehabis berkata begitu Tiong Ji lantas makan, tetapi di dalam mangkuk nasinya
dia menemukan sebuah batu mustika yang begitu bagus, hingga dengan terkejut dia
berkata pada Hi Hu Ki, "Tay-hu menaruh budi padaku membuat aku tidak sampai kelaparan itu
sudah cukup, kenapa harus memberi hadiah ini yang mahal harganya" Tidak, aku tidak
bisa menerimanya, harap Tay-hu terima kembali. Aku sudah menanggung cukup besar budi
Tay- hu." "Itu cuma sekedar hormatku yang ada dalam hatiku, harap Kong-cu jangan menolak,"
kata Hi Hu Ki yang seberapa bisa hendak memaksa. Tetapi meski dipaksa bagaimana pun,
Tiong Ji, tetap tidak mau terima. Setelah Hi Hu Ki berpisah dengan Tiong Ji, dengan menghela napas dia berkata,
"Chin Kong- cu begitu miskin dan melarat, tetapi dia tidak tertarik oleh barang mustikaku
yang berharga, jelas dia seorang yang berbudi luhur!"
Pada esok harinya, Tiong Ji dan menteri-menterinya segera berangkat. Hi Hu Ki
dengan diam-diam pergi mengantarkan keluar kota sampai kira-kira sepuluh li jauhnya.
Dari negeri Co, kemudian Pangeran Chin dan semua menterinya pergi ke negeri
Song. Ho Yan yang berjalan dulu telah sampai lebih dulu, lalu pergi menemui Su-ma Kong-
sun Kouw. Kong-sun Kouw menceritakan pada Ho Yan, bahwa rajanya karena tidak tidak
menyadari tenaga sendiri, sudah menggunakan kekuatan tentaranya menyerang negeri Couw,
hingga tentaranya mendapat kerusakan besar dan pahanya sendiri terluka, penyakitnya
sampai sekarang belum sembuh. "Tetapi Pangeran Tiong Ji sudah lama namanya termasyur,
kedatangannya pasti akan diterima baik oleh rajaku."
Sehabis berkata begitu Kong-sun Kouw mempersilakan sahabatnya itu duduk
menunggu, sedang dia lalu masuk ke istana memberi kabar pada Raja Song Siang-kong tentang
kedatangan Pangeran Chin bersama menteri-menterinya.
Raja Song memang sangat sakit hati pada negeri Couw, siang dan malam berharap-
harap bisa mendapat bantuan orang-orang pintar untuk melakukan pembalasan pada musuh
besarnya itu, maka ketika dia mendengar Pangeran Chin datang di tempatnya, bukan main
girangnya. Raja Song ini, dia pikir negeri Chin negeri besar, sementara Pangeran Tiong Ji
terkenal pintar serta berbudi. Cuma dia merasa menyesal karena luka di pahanya masih belum
sembuh juga, hingga dia tidak bisa menyambut sendiri, maka apa boleh buat dia perintahkan
Kong-sun Kouw pergi keluar kota untuk menyambut, lalu mengajak tamu agung itu tinggal di
gedung tempat tamu terhormat. Esok harinya, Tiong Ji hendak berangkat lagi, tetapi Kong-sun Kouw yang
diperintah oleh Song Siang-kong sebisa-bisanya meminta agar pangeran itu mau tinggal beberapa
hari lagi. Begitulah Tiong Ji dan menteri-menterinya tinggal di negeri Song sampai beberapa
hari lamanya dengan mendapat perhatian besar dari Raja Song. Melihat penyakit Raja
Song Siang- kong belum sembuh, dengan diam-diam Ho Yan berunding dengan Kong-sun Kouw
mengenai maksud untuk mengantarkan Tiong Ji pulang ke negeri Chin. Kong-sun Kouw
memberitahu dengan jelas.
"Jika Chin Kong-cu cuma mau menumpang di negeri Song selamanya Raja Song
bersedia menampungnya, tetapi kalau untuk mengantarkan pulang ke negeri Chin, pasti
negeri Song belum sanggup melakukannya, lantaran baru mendapat kerusakan besar, maka lebih
baik jika mencari bantuan dari negeri besar, supaya bisa terkabul apa yang dimaksudkan."
kata Kong- sun Kouw. Kejujuran Kong-sun Kouw membuat Ho Yan jadi senang hati, maka dia pun tidak mau
buang waktu, dia segera memberi tahu Pangeran Tiong Ji tentang hal itu dan mengajak
kawan sejabatnya membereskan barang-barang mereka bersiap untuk berangkat.
"Mendengar Tiong Ji hendak berangkat, Raja Song mengantarkan ransum, pakaian dan
lain- lain barang yang perlu dalam perjalanan. Tiong Ji menghatur kan terima kasih
atas kebaikan Raja Song ini. Luka yang diderita Raja Song makin hari makin berbahaya. Ketika Raja Song merasa
ajalnya akan tiba, dia memanggil Pangeran Ong Sin untuk diberi pesan terakhir.
"Lantaran aku tidak menuruti nasihat Cu Gi, maka aku sampai jadi begini rupa,"
kata Raja Song Siang-kong. "Kau sebagai pewaris tahtaku. Maka kau harus mendengar nasihat
Cu Gi. Sedangkan Raja Couw musuh besar kita, kau jangan bersahabat dengannya. Jika
Pangeran Chin bisa pulang ke negerinya, niscaya dia akan menjadi raja di negeri Chin. Kau
harus bersatu dengan negeri Chin." kata Raja Song. "Ingat baik-baik pesanku ini."
Sehabis meninggalkan pesan, selang tidak berapa lama Raja Song Siang-kong
menghembuskan napasnya yang penghabisan. Dia menjadi raja selama empat belas
tahun lamanya. Cita-citanya menjadi Raja Jagoan tidak berhasil.
Sesudah mengurus upacara berkabung beres, Pangeran Ong Sin langsung naik takhta
kerajaan, yang memakai gelar Raja Song Seng-kong. Sekeluarnya dari negri Song,
rombongan Pangeran Tiong Ji berjalan sampai di negeri The. Tetapi Raja The Bun-
kong tidak sudi menyambut kedatangan rombongan Pangeran Tiong Ji, malah Raja The telah
memerintahkan menterinya yang menjaga pintu kota menutup rapat pintu kotanya.
Maka Tiong Ji yang melihat begitu lalu berjalan terus pergi ke negeri Couw.
Raja Couw menerima baik kedatangan pangeran Tiong Ji, malah dia menghormatinya.
Hampir setiap hari Raja Couw Seng-ong mengadakan pesta, Pangeran Tiong Ji
menghaturkan terima kasih. Begitulah mereka berdua ternyata cocok satu sama lain, maka Tiong
Ji pun jadi betah tinggal di negeri Couw.
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada suatu hari, Raja Couw Seng-ong mengajak Tiong Ji pergi berburu di tanah In-
tek dan Bong-tek. Dalam perburuan itu Raja Couw mengeluarkan kepandaiannya, yaitu dengan
beruntun dia memanah menjangan dan seekor kelinci, yang semuanya telah kena
dengan jitu. Semua panglima Couw berlutut di tanah memberi selamat. Sementara itu justru
muncul seekor beruang menyeruduk lewat di depan keretanya. Raja Couw berkata pada Tiong
Ji. "Kong-cu, lekas panah beruang itu!" kata Raja Couw.
Tiong Ji mengangkat busur dan anak panahnya, setelah busur panah menjeprat,
beruang itu segera jatuh terguling-guling. Tentara Couw mengambil beruang itu ternyata sudah
mati dan dibawa ke hadapan Raja Couw. Raja Couw terkejut, dan merasa kagum dia berkata,
"Kong-cu betul-betul seperti malaikat panah!"
Tiong Ji menolak pujian itu dan coba bersikap merendah. Tiba-tiba terdengar
suara riuh. Couw Seng-ong memerintahkan pengikutnya pergi memeriksa ada apa hingga orang
jadi begitu ribut. Tidak lama orang suruhan sudah kembali, dia memberitahu. "Di sebuah sela gunung
orang telah mengejar satu binatang aneh, rupanya seperti beruang, hidungnya seperti
gajah, kepalanya seperti singa, kakinya seperti macan, bulunya seperti anjing hutan,
kumisnya seperti babi hutan, buntutnya seperti kerbau, badannya seperti kuda dengan
belang hitam dan putih, meski orang sudah menombak, dan membacok dengan kapak, digaet dan
dipanah, tetapi tidak mempan, dia menggigit besi seperti menggigit lumpur, roda gerobak
yang terlapis besi semua sudah digigitnya sampai hancur, tegasnya orang sudah putus akal untuk
membinasakan binatang itu, maka orang telah jadi ribut kalang kabut." kata
pesuruh Raja Couw itu. Mendengar laporan itu Raja Couw heran, lalu bertanya pada Tiong Ji.
"Kong-cu lahir di Tiong-goan (Tiongkok), pandanganmu luas dan pengetahuanmu pun
banyak, apakah kau tahu binatang apa namanya?"
Tiong Ji lantas berpaling dan mengawasi Tio Swi.
"Hamba tahu namanya binatang itu!" kata Tio Swi sambil maju di hadapan Raja
Couw. "Binatang itu namanya binatang Bo, dia lahir dari barang logam yang mendapat
hawa langit dan bumi, kepalanya kecil, kakinya pendek, dia suka makan tembaga dan besi,
tulangnya padat tidak ada sumsumnya, keras seperti palu, kulitnya kalau dijadikan kasur,
bisa menolak segala hawa jelek." "Tetapi bagaimana akalnya untuk menangkap binatng itu?" tanya Raja Couw.
"Kulit dan dagingnya semua berasal dari besi, pasti berbagai alat senjata tidak
akan mempan," sahut Tio Swi. "Cuma di tengah lubang hidungnya ada lubang kosong, jika kita
menggunakan benda terbuat dari baja asli untuk menusuk hidungnya, atau kita gunakan api,
karena binatang itu takut api pasti dia binasa."
Baru saja Tio Swi berhenti bicara, Gui Cun lantas berseru, "Tidak usah memakai
senjata, hamba sanggup menangkap binatang itu untuk dibawa kemari!". Sehabis berkata
begitu, orang gagah ini segera melompat turun dari keretanya terus berlari dengan
kencang sekali. Couw Seng-ong tercengang melihat kehebatan Gui Cun ini, dia berkata pada Tiong
Ji. "Mari kita pergi melihatnya." kata Raja Couw.
Setelah Tiong Ji menyatakan setuju, Raja Couw langsung memerintah kusirnya
menjalankan kendaraannya pergi ke tempat orang banyak yang sedang mengepung binatang itu. Di
tempat itu mereka melihat Gui Cun sudah sampai di depan binatang itu, dia mengangkat
kepalannya menjotos sampai beberapa kali, tetapi binatang itu sedikit pun tidak merasa
sakit, malah dia mengeluarkan suara seperti kerbau, segera dia menerjang dan berdiri, dengan
lidahnya sekali jilat pinggang Gui Cun, ikat pinggangnya yang terbuat dari kuningan telah hilang
sepotong. "Meski pertandingan itu sangat berbahaya, tetapi sedikit pun Gui Cun tidak
merasa takut, malah dengan sangat marah dia berkata, "Hei, kau jangan kurang ajar!" Sambil
berkata begitu Gui Cun melompat hingga terpisah dari tanah kira-kira lima kaki tingginya.
Binatang itu langsung terguling di tanah, lalu melompat dan menunggangi bagian
belakang binatang itu, sedang tangannya langsung memeluk leher binatang itu sekencang-
kencangnya. Binatang itu berjingkrak dan berontak, tetapi Gui Cun mengikutinya saja, meski
dia dilemparkan ke atas atau dibanting ke tanah, dia peluk terus leher binatang itu
tidak mau dia lepaskan. Sesudahbergulatlama,tenaga binatang ituperlahan-lahan jadi
berkurang. Melihat demikian Gui Cun lantas kencangkan sikutnya, mencekik leher binatang itu
semakin keras. Binatang itu karena susah bernapas, dan memang tenaganya sudah habis,
diam saja tidak bisa berkutik. Gui Cun melompat turun, dengan tangannya yang seperti tulang besi urat kawat
lalu memegang hidung binatang yang mirip belalai gajah itu, terus dia tuntun seperti
orang menuntun anjing atau kambing dibawa menghadap ke hadapan Raja Couw dan Tiong Ji.
Tio Swi memerintahkan laskar perang mengambil api untuk memanggang hidung binatang
itu. Begitu hawa api menembus ke hidungnya, binatang itu langsung jadi lemas dan
jatuh tengkurup. Gui Cun baru melepaskan tangannya, kemudian mencabut pedang yang
tergantung di pinggangnya mau membacok binatang itu. Tetapi bacokan itu seperti orang
membacok besi saja, melainkan memancarkan percikan api saja, sedang bulu binatang itu tidak
rusak sedikit pun. "Jika mau membunuh binatang ini dan mengambil kulitnya, harus memakai api,
kurung dan panggang dia," kata Tio Swi.
Raja Couw menurut omongan Tio Swi, lalu memerintahkan tentaranya berbuat begitu.
Setelah dari empat penjuru berhasil dipanggang dengan api, binatang yang kulit
dan dagingnya seperti besi itu perlahan-lahan jadi lunak, hingga dapat dikuliti
dengan gampang. Melihat begitu Couw Seng-ong kagum sekali, dia bersyukur pada Tiong Ji yang
punya pengikut begitu tangkas, di bagian sipil pembantunya begitu pintar, dan di
bagian militernya begitu gagah. Waktu berburu itu dihentikan, Raja Couw mengajak Tiong Ji pulang
ke istananya, di sana diadakan pesta besar.
"Jika Kong-cu bisa pulang ke negeri Chin, bagaimana kau akan membalas
kebaikanku?" kata Raja Couw Seng-ong pada Tiong Ji.
"Perempuan cantik, batu mustika dan kain sutera, ini semua di sini masih sangat
banyak," sahut Tiong Ji. "Bulu burung dan kulit binatang memang keluar dari tanah Couw,
sesungguhnya aku pun bingung tidak tahu dengan apa aku membalas kebaikan
Tuanku." "Sekalipun demikian, pasti kau bisa membalas kebaikanku, coba aku ingin dengar,"
kata Raja Couw sambil tertawa. "Seperti kubilang, aku tidak tahu bagaimana nanti membalas kebaikan Tuanku,
sebab segala macam barang yang berharga, Tuanku sudah memilikinya. Cuma seandainya aku bisa
mendapatkan kembali negeri Chin, kami bersahabat baik demi kesejahteraan rakyat.
Jika Tuanku mengerahkan angkatan perang, aku akan memberi hormat dengan mudur sejauh
90 li sebagai penghormatan."
Sesudah itu perjamuan ditutup dan Tiong Ji pulang ke gedungnya. Seng Tek Sin
marah-marah dan langsung berkata kepada Raja Couw Seng-ong. "Tuanku telah berlaku begitu
baik pada Chin Kong-cu, tetapi sekarang dia telah mengeluarkan perkataan yang tidak
pantas, jelas di kemudian hari jika dia sudah pulang ke negeri Chin, niscaya dia akan melupakan
budi Tuanku. Karena itu harus diberi pelajaran atas kesombongannya, yaitu hamba mohon
izin akan membunuhnya." kata Seng Tek Sin.
"Jangan, kita tidak pantas bertindak begitu," kata Raja Couw yang tidak setuju.
"Chin Kong- cu seorang yang budiman, sedang pengikutnya semua seperti alat negara yang baik,
jelas seperti dibantu oleh Allah, maka bagaimana kita berani melawan pada Allah?"
"Jika Tuanku tidak mau membunuh Tiong Ji, lebih baiklah kita tahan saja Ho Yan,
Tio Swi dan beberapa kawannnya. Ini untuk membuat agar macan tambah sayap."
"Menahan mereka itu tidak baik, malah akan membuat orang jadi benci pada kita.
Sekarang aku sedang memberikan kebajikan pada Chin Kong-cu, kalau demi kebajikan lalu
diganti dengan kebencian, ini bukan cara yang bagus."
Melihat rajanya berpegang keras kebijakannya, Seng Tek Sin tidak bisa membujuk
lagi, melainkan menarik napas panjang pendek. Begitulah seterusnya Couw Seng-ong
bersikap baik sekali pada Kong-cu Tiong Ji.
*** Pada tahun Ciu Siang-ong ke-15, Chin Hui-kong jatuh sakit. Sakitnya Chin Hui-
kong cukup berat. Putranya, yaitu Pangeran Gi sudah lama berada negeri Cin sebagai jaminan,
di sana dia sudah dinikahkan pada anak perempuan Raja Cin Bok-kong yang disebut Chin Hoay-
ong. Ibu Pangeran Gi putri raja negeri Liang. Raja Liang sangat kejam pada rakyat
negerinya, setiap hari dipaksa bekerja berat, karena itu semua rakyat negrinya jadi sangat
mendongkol, hingga bukan sedikit yang pindah ke negeri Cin, supaya luput dari siksaan yang
keji. Raja Cin Bok-kong menggunakan waktu yang baik itu, lalu memerintahkan Pek Li He
menggerakkan angkatan perang melabrak negeri Liang. Dalam peperangan itu Raja
Liang terbunuh oleh rakyat negerinya, yang semuanya tunduk kepada Raja Cin.
Tatkala Pangeran Gi mengetahui negeri Liang telah dimusnahkan dan kakek-luarnya
telah binasa, dia jadi sakit hati pada Raja Cin.
"Dia juga mendapat kabar ayahnya, Raja Chin Hui-kong, sakit parah, dia berpikir
jika dia ditahan selamanya di negeri Cin, esok lusa jika ayahnya menutup mata, maka akan
ada lain pangeran yang merebut tahtanya. Karena dia ingin sekali menjadi raja, maka
Pangeran Gi pun dengan tidak permisi lagi pada Raja Cin lalu kabur ke negaranya.
Setelah Raja Cin Bok-kong mengetahui Pangeran Gi sudah kabur, dia marah sekali,
lalu dia berkata pada semua mentrinya.
"I Gouw, ayah dan anak semuanya telah mengkhianatiku, aku harus membalas
kejahatannya. Ah, sesungguhnya aku menyesal dulu tidak mengambil Tiong Ji untuk dijadikan raja
di negeri Chin." Semua pembesar pun marah oleh sikap kurangajar dari pangeran Gi itu. Raja Cin
Bok-kong lalu mencari tahu keberadaan Pangeran Tiong Ji. Setelah tahu Tiong Ji ada di
negeri Couw, sudah beberapa bulan lamanya, Raja Cin Bok-kong memerintahkan Pangeran Ci dengan
membawa bingkisan pergi ke negeri Couw.
Kong-sun Ci menyampaikan bingkisan itu pada Raja Couw, serta berkata bahwa dia
diperintah menyambut Pangeran Tiong Ji untuk diajak ke negeri Cin, karena hendak
diantarkan pulang ke negerinya.
Mendengar berita itu Pangeran Tiong Ji girang sekali, tetapi dia sengaja
berpura-pura berkata pada Raja Couw, "Daripada pergi ke negeri Cin, aku rasa lebih baik aku menunggu
saja Tuanku punya pertolongan."
"Couw dan Chin terpisah jauh," jawab Couw Seng-ong, "apabila Kong-cu hendak ingin
masuk ke negeri Chin, pasti harus melewati beberapa negeri lagi. Sedang Raja Cin
dengan Raja Chin batas negaranya bersambung, jika berangkat pagi, baru sorenya sampai,
apalagi Raja Cin kabarnya pintar dan berbudi, ditambah dia sangat benci pada Raja Chin.
Ini boleh dibilang Allah telah membuka jalan buat kebaikanmu, maka haraplah Kong-cu segera
berangkat." Tiong Ji menghaturkan terima kasih dan menyatakan setuju dengan pendapat Raja
Couw. Raja Couw Seng-ong menghadiahi Pangeran Tiong Ji emas, kain sutera, kuda, kereta
dan lain-lain barang berharga. Sesudah pamitan pada Raja Couw, Pangeran Chin alias
Tiong Ji dan pengikutnya ikut dengan Kong-sun Ci berangkat.
Beberapa bulan berselang barulah mereka sampai di perbatasan negeri Cin.
Meskipun di dalam perjalanan telah melewati beberapa negeri, tetapi lantaran Tiong Ji di
antar oleh Kong- sun Ci dan pasukan perang Cin, maka dalam perjalanan itu tidak kurang satu apa
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun. Tatkala Cin Bok-kong terima kabar Tiong Ji sudah sampai di negrinya, parasnya
kelihatan sangat girang, ia sendiri ajak mentri-mentrinya pergi ke luar kota untuk
menyambut Tiong Ji dan mengajak masuk ke dalam kota. Cin Hu-jin Bok-ki juga cinta Tiong Ji dan
benci Si-cu Gi, lalu bujuk Cin Bok-kong supaya serahkan Hoay-eng pada Tiong Ji buat teruskan
perhubungan famili. Bok-kong setuju dengan pikiran itu, segera menyuruh Kong-sun
Ci menyampaikan itu kepada Tiong Ji.
Oleh karena Tiong Ji pikir, Si-cu Gi dengan ia pernah paman dan cucu, sedang
Hoay-eng sendiri juga terhitung ia punya cucu perempuan, apabila ia terima untuk
dinikahi, ia khawatir ada melanggar kesopanan, maka ia berniat hendak menolak. Tetapi Tio Swi mencegah
seraya berkata: "Hamba dengar Hoay-eng cantik dan pintar, raja Cin dan permaisurinya
sangat sayang padanya. Jika tidak terima putrinya Cin, jadi tidak ada jalan buat
menggirangkan Cin. Hamba mendengar, kalau orang hendak cinta kita, lebih dulu kita harus cinta
orang, begitupun jika orang hendak turut kita punya keinginan, lebih dulu kita harus turut orang
punya kehendak. Tegasnya manakala tidak bikin senang Cin dan hendak pakai Cin punya
tenaga, tentu tidak boleh terima. Dari itu, menurut pikiran hamba, sebaiknya Kong-cu
jangan menolak." Tiong Ji masih merasa sangsi, lalu menanya bagaimana pikiran Ho Yan.
"Sekarang Kong-cu hendak masuk di negri Chin," berkata Ho Yan, "apakah Kong-cu
mau tunduk kepada Si-cu Gi atau ingin gantikan ia menjadi raja?"
Tiong Ji diam saja tidak menyahut.
"Negri Chin punya kendali pemerintah akan dipegang oleh Gi," kata Ho Yan ketika
lihat Tiong Ji diam saja. "Jika Kong-cu hendak takluk pada Gi, maka Hoay-eng jadi
pernah ibu- suri. Akan tetapi kalau mau gantikan Gi jadi raja, maka putrinya raja Cin itu
jadi terhitung musuhnya bekas istri. Demikianlah hamba punya pikiran, Kong-cu boleh ambil
putusan sendiri." "Justru Kong-cu mau rebut ia punya negri, kenapa musti ia punya istri?" kata Tio
Swi, menyambung bicara Ho Yan. "Tegasnya, kalau mau jalankan urusan besar dan takut
langgar pada peraturan kecil, di kemudian hari nanti mau menyesal sudah jadi kasep."
Kiu Kui dan yang lain-lain juga turut bantu membujuk.
Melihat mentri-mentrinya semua kasih pikiran yang serupa, Tiong Ji lantas ambil
putusan terima baik itu persetujuan. Kong-sun Ci segera balik kembali memberi berita
kepada Bok- kong, bahwa Tiong Ji bersedia terima pernikahan itu. Ini kabar membuat Bok-kong
girang sekali, lalu kasih tahu pada Bok-ki, yang juga jadi sangat senang.
Ketika sampai pada hari yang ditetapkan itu, pernikahan pun dirayakan, Tiong Ji
sambut Hoay-eng dan mengajak pulang ke gedung tempat tinggalnya. Hoay-eng punya paras
lebih elok dari Ce-kiang, sementara empat perempuan yang jadi pengantarnya juga
berparas cantik, hingga membuat Tiong Ji bukan main girangnya. Lantaran ini, cinta Cin Bok-kong
kepada Tiong Ji semakin kekal, hingga setiap tiga hari dibikin satu pesta kecil dan
lima hari bikin satu pesta besar. Sekarang biarlah kita tinggalkan dulu pada Tiong Ji, baiklah kita menyusul pula
pada Si-cu Gi yang telah minggat pulang ke negrinya. Pulangnya Si-cu Gi membuat Chin Hui-kong
jadi girang sekali, lalu ia berkata pada anaknya itu: "Aku menanggung sakit sudah
lama, memang aku sedang jengkel tidak ada putraku untuk menerima warisan, sekarang engkau
bisa terlepas dari kurungan musuh dan bisa pulang kembali ke negri sendiri, inilah yang
membuat hatiku senang." Si-cu Gi minta ayahnya jangan buat jengkel, dan juga ia harap biarlah itu
penyakit bisa lekas sembuh. Pada musim Ciu bulan Kauw-gwe, Chin Hui-kong rasakan penyakitnya bakal
membawanya ke lubang kubur, lalu ia tinggalkan pesanan pada Lu I seng dan Kiok Peng, supaya
nanti membela Si-cu Gi dengan segenap hati.
Pada malam itu benar saja Chin Hui-kong menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Mendengar kabar itu Pangeran Gi dan menterinya menyatakan berduka cita. Kemudian
sesudah mengurus jenazah dan selesai berkabung, Pangeran Gi segera menjadi raja,
yang memakai gelar Chin Hoay-kong.
Karena Chin Hoay-kong khawatir Pangeran Tiong Ji mengadakan pemberontakan, dia
ingin menarik semua pengikut Pangeran Tiong Ji, jika tidak punya pembantu pasti Tiong
Ji tidak bisa bergerak. Maka dia langsung mengeluarkan perintahnya, dalam tiga hari sejak
saat itu diumumkan, setiap pembesar yang masih famili pada menteri-menteri yang yang ikut
dengan Pangeran Tiong Ji harus segera dipanggil pulang. Jika yang tidak pulang atau
terlambat maka daftar namanya akan dihapus jabatannnya, ditiadakan. Bahkan sanak familinya pun
akan dihukum sesuai aturan. Lo-kok-kiu Ho Tut mempunyai dua orang putera, yaitu Ho Mo dan Ho Yan, semua ikut
dengan Pangeran Tiong Ji dan tinggal di negeri Cin. Dengan diam-diam Kiok Peng
membujuk Ho Tut supaya menulis surat memanggil kedua putranya itu pulang.
Tapi Ho Tut berkeras tidak mau menurut. Lantaran bujukannya tidak berhasil, Kiok
Peng mengadu pada Raja Chin Hoay-kong, bahwa Ho Tut bermaksud buruk, karena dia tidak
mau memanggil dua orang putranya kembali dari negeri Cin.
Raja Chin Hoay-kong segera memerintahkan orang memanggil Ho Tut. Setelah Ho Tut
datang menghadap, Chin Hoay-kong mengajukan pertanyaan.
"Ho Mo dan Ho Yan ada di luar negeri, apa Lo-kok-kiu sudah mengirim surat untuk
memanggil mereka pulang?" kata Raja Chin.
"Belum," sahut Ho Tut.
"Aku telah mengeluarkan perintah, barang siapa yang lewat waktu masih belum
pulang, maka orang itu dianggap berdosa. Bahkan keluarganya pun ikut tersangkut, apa kau
sudah tahu hal itu?" "Kedua putra hamba sudah diserahkan kepada Kong-cu Tiong Ji, itu bukan baru
sehari. Menurut kewajiban orang yang menjadi hamba harus membela dengan setia pada
junjungannya sampai mati. Mereka tidak boleh berhamba pada orang lain lagi.
Tegasnya kedua putra dan kesetiaanya kepada Kong-cu Tiong Ji, seperti semua pembesar di
istana ini kepada Tuanku. Seandainya mereka sendiri yang kabur dan datang kemari, akulah
yang akan menghukum mereka! Mereka akan aku bunuh di negeri leluhur kaum Ho, maka
bagaimana aku mau disuruh memanggil mereka pulang?"
Jawaban Ho Tut membuat Raja Chin Hoay-kong marah sekali, lalu memerintahkan dua
orang algojo dengan golok yang tajam memenggal kepala Ho Tut.
"Jika kau bisa memanggil putramu pulang, jiwamu selamat dari kematian. Kalau
tidak, kau tahu sendiri!" ancam Chin Hoay-kong.
Kemudian dia perintahkan orangnya mengambil alat tulis yang ditaruh di hadapan
Ho Tut. Kiok Peng memegangi tangan Ho Tut dan dia dipaksa menulis surat.
"Jangan pegangi tanganku, aku akan menulis sendiri!" bentak Ho Tut, lalu dia
mengambil pina dan menulis delapan buah huruf besar, kata-katanya demikian bunyinya:
"Anak tidak dua ayah, menteri tidak dua raja." Melihat tulisan itu, bukan alang
kepalang marahnya Raja Chin Hoay-kong, sambil berjingkrak dan memukul meja dia berseru,
"Oh, sesungguhnya kau tidak takut padaku!"
"Jadi anak tidak berbakti dan jadi menteri tidak setia, itu hamba takutkan,"
jawab Ho Tut dengan suara tetap. "Pendeknya mati dalam perkara yang patut, itu hamba pandang
seperti perkara yang lumrah, kenapa hamba harus takut?"
Sehabis berkata begitu pembesar tua dan jujur itu memasang lehernya untuk
menerima hukuman. Raja Chin Hoay-kong tidak bisa menahan sabar lagi, segera dia
memerintahkan algojo memenggal leher Ho Tut di tengah pasar.
Di antara budak-budak keluarga Ho segera ada yang melarikan diri ke negeri Cin
untuk memberitahukan kabar celaka itu pada kedua Ho bersaudara. Setelah Ho Mo dan Ho
Yan mengetahui ayahnya telah dianiaya oleh Raja Chin Hoay-kong, alangkah terharu dan
penasarannya mereka, sambil memukuli dada, mereka pun menangis sedih sekali. Tio
Swi, Kiu Kui dan yang lain-lain semua datang menghibur.
"Orang yang sudah mati pasti tidak bisa hidup kembali, terlalu banyak sedih pun
tidak ada gunanya," kata Tio Swi menghibur lebih jauh. "Mari kita bersama-sama menemui
Kong-cu Tiong Ji untuk berunding mengenai urusan besar ini."
Ho Mo dan Ho Yan baru berhenti menangis, bersama Tio Swi dan yang lain-lainnya
mereka pergi menemui Pangeran Tiong Ji. Dua saudara Ho lalu menceritakan apa yang
terjadi di negeri Chin, dan sehabis bercerita kembali mereka berdua menangis dengan sedih.
"Jangan menangis, tunggu sampai aku sudah kembali, sakit hati kalian akan
kubalas!" kata pangeran Tiong Ji. Pangeran Tiong Ji naik kereta pergi menemui Raja Cin Bok-kong, dia ceritakan apa
yang telah terjadi di negeri Chin.
"Ini seperti Allah telah membuka jalan bagimu untuk mendapatkan negeri Chin,"
kata Raja Cin Bok-kong. "Aku akan antarkan kau ke negerimu!"
TiongJimenghaturkanterima kasih, lalupamitkembalike
gedungnya. Ia pulang belum berapa lama, pengawal pintu datang melapor. "Ada orang dari
negeri Chin datang minta bertemu, katanya membawa kabar rahasia." kata pengawal itu.
TiongJisegeramenyuruh pengawalsupaya orang itu diajakmasuk.
Setelah orang itu memberi hormat pada Tiong Ji, lalu dia memperkenalkan diri
sambil berkata, "Hamba putra Chin Tay-hu Loan Ci yang bernama Loan Tun. Raja Chin yang
baru kejam dan kasar hingga rakyat benci. Semua pembesar tidak suka kepadanya. Maka
Ayah hamba memerintahkan hamba secara rahasia mengantarkan kabar ini pada Kong-cu."
Mendengar keterangan dari Loan Tun, wajah Tiong Ji kelihatan girang.
"Kepercayaan Raja baru ada dua orang, mereka itu, Lu I Seng dan Kiok Peng
berdua," kata Loan Tun menyambung pembicaraannya, "pejabat lama seperti Kiok Pouw Yang, Han
Kan dan yang lain-lain, semua tidak terpakai, maka mereka berdua jangan
dikhawatirkan. Ayah hamba sudah membuat perjanjian dengan Kiok Cin, Ciu Ci Kauw juga yang lainnya,
dengan diam-diam telah mengumpulkan tentara, mereka menunggu sampai Kong-cu menyerang
dari luar, mereka akan segera menyambut dari dalam." Tiong Ji girang sekali, dia
lantas menetapkan perjanjian, pada awal tahun yang akan datang dia hendak menyerang ke
negeri Chin. Loan Tun lalu pamitan dan kembali ke negeri Chin.
Esok harinya....... Pangeran Tiong Ji menemui Raja Cin Bok-kong memberi tahu pembicaraannya dengan
Loan Tun. Kabar ini membuat Raja Cin Bok-kong jadi senang sekali, lalu dia tetapkan
pada musim Tang bulan Cap-ji-gwe (sebelas Imlek), dia akan menggerakan pasukan perangnya ke
negeri Chin. Panglima Pi Pa mendengar kabar bahwa Raja Cin Bok-kong hendak mengantarkan
Tiong Ji, dia memohon ingin menjadi Sian-hong (Panglima Pasukan Pelopor),
permohonan itu diluluskan oleh Raja Cin.
Tiga hari sebelum sampai pada hari yang ditetapkan, Raja Cin Bok-kong mengadakan
pesta di gunung Kiu-liong-san untuk mengucapkan selamat jalan pada Kong-cu Tiong Ji.
Kemudian Raja Cin yang baik budi itu memberi hadiah pada Tiong Ji sepuluh pasang
batu mustika, empat ratus ekor kuda, dan rupa-rupa berbagai keperluan, ransum dan
rumput secukupnya. Sedang Tio Swi dan kawan-kawannya yang berjumlah sembilan orang,
juga masing-masing diberi sepasang batu mustika dan empat ekor kuda.
Tiong Ji dan menteri-menterinya memberi hormat serta mengucapkan terima kasih.
Setelah sampai pada hari yang telah ditetapkan, Raja Cin Bok-kong mengajak Pek
Li Hee, Yu I, Pangeran Ci dan Kong-sun Ci memerintahkan Pi Pa (anaknya Pi The Hu) menjadi
Siang- hong, memimpin empat ratus kereta perang, segera berangkat dari kota Yong-ciu
untuk mengantarkan Kong-cu Tiong Ji pulang ke negeri Chin.
Pangeran Eng (anak Raja Cin Bok-kong) bersahabat baik dengan Pangeran Tiong Ji,
mereka merasa berat sekali untuk berpisah, lalu dia antarkan sahabatnya itu sampai di
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wi-yang, di sana satu sama lain sambil menangis terpaksa harus berpisah.
Pada tahun Ciu Siang-ong ke-16, atau tahun pertama pemerintahan Raja Chin Hoay-
kong, pada musim Cun bulan Chia-gwe (bulan satu) waktu Raja Cin Bok-kong dan Kong-cu
Tiong Ji telah berjalan sampai di tepi sungai Hong-ho.
Di situ sudah tersedia perahu cukup banyak untuk orang-orang menyeberang.
Sekali lagi Raja Cin Bok-kong mengadakan pesta untuk mengucapkan selamat jalan
kepada Tiong Ji. Kemudian baru dia bagi sebagian tentaranya. Dia perintahkan Pangeran
Ci dan Pi Pa memimpin pasukan perang untuk mengantarkan Tiong Ji menyeberang di sungai,
sedang Raja Cin sendiri lalu menempatkan tentaranya di pinggir sungai sebelah barat, untuk
menunggu kabar baik. Sesudah Pangeran Tiong Ji dengan pengantarnya menyeberangi sungai Hong-ho, Tiong
Ji yang diiringkan oleh pasukan perang Cin lalu berjalan menuju ke jurusan timur,
terus sampai di kota Leng-ho. Pembesar yang menjaga di tempat itu bernama Teng Hun, segera dia menyiapkan
tentaramya hendak menghadang kedatangan musuh ini. Balatentara Cin lantas mengepung kota
itu. Pi Pa maju dan menyerbu. Dia naik ke atas kota, perbuatan Pi Pa segera ditiru oleh
anak buahnya. Maka dalam pertempuran yang hebat, kota pun akhirnya jatuh ke tangan tentara
Cin. Sesudah itu Tiong Ji bersama angkatan perang Cin maju terus, ketika sampai di
kota Song- coan dan kota Pek-swe, semua pembesarnya keluar menyerah. Tatkala juru kabar
memberitahukan kabar ini, Raja Chin Hoay-kong kaget sekali, lalu dia
mengeluarkan seluruh kereta perang dan tentaranya yang ada dalam negeri, memerintahkan Lu I Seng dan
Kiok Peng memimpin pasukan perang, dan berjaga-jaga di Li-liu untuk menahan majunya
tentara Cin. Tetapi dua panglima yang dengki hati ini merasa jerih pada pasukan Cin yang
tangguh itu, mereka tidak berani maju hanya berjaga saja di dalam kota. Pangeran Ci sebagai
wakilnya Raja Cin Bok-kong lalu menulis surat pada dua pembesar itu, dalam suratnya
dikatakan kejahatan Chin Hui-kong dan Chin Hoay-kong, karena mereka berdua telah
berkhianat pada ayahnya Raja Cin Bok-kong, sekarang Raja Cin Bok-kong hendak mengantarkan
Pangeran Tiong Ji untuk menggantikan jadi raja, dia minta agar kedua pembesar itu
membantu dari bagian dalam untuk menyambut Pangeram Tiong Ji, dengan demikian dosa mereka akan
diampuni dan kemuliaan pangkatnya tidak akan hilang.
Lu I Seng dan Kiok Peng sesudah menerima surat itu jadi sangsi, hendak melawan
perang mereka khawatir tidak akan menang, mau menyerah mereka takut Tiong Ji masih
ingat peristiwa meninggalnya Li Kek dan Pi The Hu. Akhirnya sesudah berunding cukup
lama juga, baru mereka bisa mengambil keputusan, yaitu menulis surat balasan pada
Pangeran Ci, mereka mau menyerah, asalkan Pangeran Tiong Ji tidak mengungkap dosa lama
mereka. "Setelah Kong-cu Ci membaca surat balasan itu, Pangeran Ci mengerti bahwa kedua
dorna itu sangsi, maka dengan hanya seorang diri Pangeran Ci naik kereta pergi di Li-liu
untuk menemui kedua pembesar itu.
Lu I Seng dan Kiok Peng dengan sangat girang mereka keluar menyambut, sesudah
menpersilakan tamunya duduk, mereka menerangkan rahasia hatinya, yaitu bukan
mereka tidak mau menyerah, sebenarnya mereka takut pada Kong-cu Tiong Ji tidak bersedia
memakai mereka, maka mereka ingin mendapat perjanjian yang pasti.
"Jika Tay-hu suka mengundurkan tentara ke jurusan barat-daya," kata Kong-cu Ci,
"atas jasa Tay-hu ini akan kusampaikan pada Kong-cu Tionbg Ji, pasti dia akan membuat
perjanjian yang Tay-hu inginkan itu."
Dua pembesar itu menyatakan baik. Setelah Kong-cu Ci pulang, segera mereka
berdua menarik mundur tentaranya ke kota Sun-shia. Tatkala Kong-cu Ci memberi tahu hal
ini, Pangeran Tiong Ji memerintahkan Ho Yan ikut Kong-cu Ci pergi di kota Sun-shia
untuk berunding dengan Lu I Seng dan Kiok Peng. Di sini mereka berunding dan bersumpah
dengan cara minum darah dan berjanji akan mendukung Pangeran Tiong Ji menjadi Raja Chin
yang baru. Sesudah perjanjian itu dibuat, Lu I Seng dan Kiok Peng lalu mengutus orangnya
ikut Ho Yan pergi di Pek-swe, untuk menyambut Pangeran Tiong Ji datang ke kota Sun-shia
untuk memimpin pasukan besar menyerang ke negeri Chin.
Dikisahkan Raja Chin Hoay-kong, karena sudah lama tidak menerima laporan apa-apa
dari Lu I Seng dan Kiok Peng, hatinya jadi merasa khawatir, lalu memerintahkan Put Te
pergi memberi bantuan. Put Te baru berjalan setengah jalan dia mendapat kabar bahwa Lu
I Seng dan Kiok Peng telah mengundurkan tentaranya ke kota Sun-shia, mereka sudah
berdamai dan menyerah dan bergabung dengan Ho Yan dan Kong-cu Ci akan berontak melawan Raja
Chin Hoay-kong. Buru-buru dia pulang dan memberitahukan hal ini pada Raja Chin Hoay-
kong. Bukan main kagetnya Chin Hoay-kong, buru-buru dia perintahkan orang memanggil
Kiok Pouw Yang, Han Kan, Loan Ci, Su Hwe dan yang lain-lain, karena dia hendak
mengajak mereka berunding mencari cara untuk menghadapi serangan dari Pangeran Tiong Ji.
Tetapi semua pembesar yang diundang dengan alasan sakit dan alasan lainnya tidak ada
yang mau datang, Karena mereka pun sudah sepakan akan melawan pada Raja Chin.
Melihat keadaan yang berbahaya Chin Hoay-kong jadi putus asa, dia menarik napas
dan meratap. "Mengapa para pembesar itu tidak mau datang?" kata Raja Chin.
"Hamba dengar semua pembesar sudah mengadakan persekutuan rahasia, mereka
bersama- sama hendak menyambut raja baru, maka Cu-kong tidak boleh tinggal lebih lama
lagi di sini," kata Put Te. "Sekarang hamba mohon menjadi kusir kereta, hamba hendak mengajak
Cu-kong pergi menyingkir ke Ko-liang untuk sementara waktu, di sana nanti boleh
berikhtiar lagi bagaimana baiknya." Raja Chin Hoay-kong yang sudah putus asa, lalu menurut saja pada usul anak
buahnya itu, dia ikut Put Te pergi lari ke Ko-liang. Ketika Pangeran Tiong Ji sampai di
perkemahan tentara besar, Lu I Seng dan Kiok Peng memberi hormat pada Tiong Ji dan mohon diampuni
dosanya. Sedang Tiong Ji dengan perkataan lemah lembut menghibur pada kedua
menteri durjana itu. Tio Swi, Kiu Kui dan yang lain-lain juga menemui Lu I Seng dan Kiok Peng, mereka
saling memberi hormat dan mencoba menghilangkan dendam mereka. Lu I Seng dan Kiok Peng
sangat girang, lalu mengajak Pangeran Tiong Ji masuk ke dalam kota Kiok-ak untuk
sembayang di kelenteng raja Chin almarhum. Para pembesar lama pun menyambut
kedatangan Pangeran Tiong Ji, terutama para bekas pengikut Raja Chin Hui-kong
almarhum. Tidak lama Kong-cu Tiong Ji naik tahta kerajaan, yang memakai gelar Chin Bun-
kong. Terhitung sejak berumur 43 tahun dia lari ke negeri Ek, umur 55 tahun tinggal di
negeri Cee, umur 61 tahun tinggal di negeri Cin, dan sampai kembali di negerinya menjadi
raja, usianya sudah 62 tahun. Sesudah Chin Bun-kong pegang kendali pemerintah di negeri Chin, lalu ia
perintahkan orang pergi ke Ko-liang untuk membunuh Chin Hoay-kong. Chin Hoay-kong yang baru
memerintah enam bulan lamanya, dia terbunuh.
Panglima Put Te merawat dan mengurus jenazah Chin Hoay-kong, kemudian dia
kembali ke negeri Chin. Raja Chin Bun-kong mengadakan pesta besar untuk menghormati para
panglima Cin, yaitu Kong-cu Ci dan yang lain-lain, juga dia tidak lupa memberi hadiah
pada tamu dan tentara Cin yang telah membantu merebut kerajaannya. Di antara panglima Cin
adalah Pi Pa yang berlutut di hadapan Raja Chin Bun-kong sambil menangis, dia memohon pada
Chin Bun-kong supaya kuburan ayahnya, Pi The Hu, diperbaiki. Dengan senang Raja Chin
Bun- kong meluluskan permintaan itu.
Kemudian Raja Chin Bun-kong hendak menahan Pi Pa supaya bekerja kembali di
negeri Chin, tetapi Pi Pa menolak, dia berkata, "Karena hamba sudah mengabdikan diri
pada Raja Cin, maka hamba tidak berani berhamba pada dua orang raja."
Sesudah pamitan, Pi Pa ikut Kong-cu Ci kembali ke sungai Hong-ho, di sana mereka
memberi kabar pada Raja Cin Bok-kong, bahwa pekerjaan mereka sudah berjalan dengan baik
dan berhasil bagus. Lapor itu membuat Raja Cin Bok-kong senang sekali, lalu dia menark mundur
tentaranya pulang kembali ke negerinya. Lu I Seng dan Kiok Peng, sebetulnya menyerah karena
terpaksa saja, sebab mereka takut pada pengaruh pasukan perang Cin. Sekarang sesudah Raja
Chin Bun-kong memerintah, hati mereka selalu curiga, begitu pun jika bertemu dengan
Tio Swi, Kiu Kui dan yang lain-lain, tidak urung mereka merasa jengah pada dirinya
sendiri, meski pun orang tidak menghina atau mengejek atau menyindir mereka.
Ditambah lagi sejak Chin Bun-kong menjadi raja beberapa hari lamanya, beliau
belum memberi hadiah maupun pangkat pada mereka, hal ini makin membuat mereka gelisah
dan curiga saja bahkan terhadap yang berjasa mau pun berdosa belum dilakukannya.
Maka itu kedua dorna ini berniat mengacau dan hendak membakar istana serta membunuh Chin
Bun- kong. Meski pun niat mereka telah bulat, tetapi kedua durjana ini masih berpikir-
pikir, di istana tidak ada pejabat yang bisa dijadikan andalan yang bisa mendukung gerakan
mereka. Hanya Put Te seorang yang menjadi musuh Chin Bun-kong. Sekarang Raja Chin Bun-kong
sudah sangat berpengaruh, pasti Put Te pun takut dihukum, maka mereka pikir Put Te
boleh diajak bekerja sama. Segera mereka memanggil Put Te, mereka menceritakan maksud hati mereka. Put Te
girang sekali dan menerima perintah untuk menjalankan perbuatan khianat itu. Tiga orang
dengan minum darah menetapkan perjanjian, dalam bulan Ji-gwe saat rembulan sedang
gelap, tengah malam nanti secara bersama mereka akan menerbitkan huru-hara. Lu I Seng dan Kiok
Peng masing-masing pergi ke tanah miliknya, dengan diam-diam mengumpulkan orang untuk
dijadikan tentara mereka.
Tetapi tidak disangka Put Te cuma mulutnya saja menyatakan setuju, sedang dalam
hatinya berlainan. Put Te berpikir sekarang Hui-kong dan Hoai-kong yang dia anggap
seperti junjungan yang sejati, semuanya sudah meninggal dunia, sedang Raja Chin Bun-kong
seorang raja yang budiman dan menteri-menterinya semua pintar dan gagah, jika dia
melakukan perbuatan khianat, bukan saja dia bakal celaka, lagi pula bisa membuat negeri
Chin jadi kacau kembali. Tetapi dia tidak berani langsung menemui Raja Chin Bun-kong untuk memberi tahu
tentang rencana Lu I Seng dan Kiok Peng tersebut. Dia sadar dia berdosa dan bekas
pengikut Raja Chin yang digulingkan. Bahkan jatuhnya Raja Chin itu pun atas prakarsa Lu I Seng
dan Kiok Peng yang berkhianat. Maka diam diam pada tengah malam dia pergi menemui Ho Yan
dulu. Melihat kedatangan Put Te yang luar biasa, Ho Yan terkejut, lalu bertanya apa
maksudnya. Put Te tidak bersedia memberi penjelasan, dia hanya minta diantarkan menemui
Raja Chin Bun-kong. Ho Yan mengerti pasti Put Te punya rahasia besar, maka dengan tidak ayal lagi
dia ajak Put Te pergi ke istana. Ketika Ho Yan memberitahukan bahwa Put Te minta berjumpa,
Raja Chin Bun-kong marah sekali, dia lantas mau mengeluarkan perintah untuk menebas kepala
Put Te. Tetapi sesudah dicegah oleh Ho Yan dan dikasih mengerti bahwa Put Te pasti
membawa
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kabar rahasia besar, apa boleh buat Chin Bun-kong menyabarkan hatinya dan
terpaksa mengizinkan Put Te datang menghadap.
Meski pun demikian Raja Chin ini belum hilang kemarahannya, maka ketika Put Te
datang bertemu dan mejalankan kehormatan, dengan sengit Raja Chin menistanya.
"Oh, orang durhaka! Kau tebas bajuku, sampai sekarang baju itu aku masih
kusimpan, setiap kali aku melihatnya, hatiku merasa sangat pedih. Kemudian kembali kau datang ke
negeri Ek hendak menikamku, meski pun Chin Hui-kong memberi waktu tiga hari, tokh esok
harinya kau berangkat, untung Allah masih melindungiku, hingga aku tidak sampai mati di
tanganmu. Sekarang aku sudah menjadi Raja di negeri Chin, bagaimana kau masih punya muka
untuk datang menemuiku" Tetapi aku masih kasihan pada jiwamu, ayo, lekas kau keluar
dari negri Chin, jika ayal kau akan binasa!"
"Ha, ha, ha! Sekalipun Cu-kong sudah mengembara 19 tahun lamanya di luaran,
ternyata pengalamanmu masih cetek." kata Put Te dengan berani. "Ayah Tuanku Raja Chin
Hian- kong, sedangkan Raja Chin Hui-kong, adik Tuanku. Coba bayangkan, dalam hal ini
telah terjadi ayah memusuhi anaknya dan adik memusuhi kandanya, apa lagi bagi Put Te
yang hanya menjadi menterinya" Tegasnya Put Te hanya seorang bawahan yang rendah, dia
cuma tahu Chin Hian-kong dan Chin Hui-kong, bagaimana aku harus tunduk pada Tuanku"
Dulu Koan Tiong membela Kong-cu Kiu, Koan Tiong telah memanah Raja Cee Hoan-kong
hingga sangketan angkinnya kena terpanah, tetapi akhirnya lantaran Cee Hoan-kong
memakai dia, hingga dia bisa menjagoi di dunia. Maka pertemuan Tuanku dengan hamba saat ini,
mirip dengan kejadian yang dialami Raja Cee dan Koan Tiong. Jika hamba pergi dari
sini, maka bahaya besar akan menimpa Tuanku!"
Mendengar kata-kata Put Te begitu, Raja Chin Bun-kong heran, dia suruh mundur
Muslihat Para Iblis 3 Lembah Patah Hati Lembah Beracun Karya Khu Lung Iblis Pulau Hitam 1
tidak membawa senjata, dalam pertempuran yang kacau banyak menteri yang setia kepada
Pangeran Ciauw binasa. Terpaksa mereka kabur dari istana. Dua dorna segera
mengajak Bu Kui ke istana dan langsung dia diangkat menjadi raja. Saat pengangkatan tidak
ada menteri yang hadir, hanya Yong Bu dan Si Tiauw saja yang ada di situ. Pangeran Bu Kui
jadi kurang senang dan malu, karena itu berarti dia tidak disetujui menjadi raja.
Tahu bahwa Bu Kui tak mendapat dukungan dari para menteri negeri Cee yang lain,
Si Tiauw dan Yong Bu menyarankan agara Bu Kui mengundang Kok I Tiong dan Kho Houw, dua
menteri senior untuk mohon dukungan. Bu Kui menurut saja, lalu memerintahkan
seorang budak istana memanggil kedua menteri itu.
Mendapat panggilan itu, dua menteri itu segera mengetahui, bahwa Raja Cee sudah
meninggal. Mereka segera mengenakan pakaian berkabung dan langsung ke istana.
Yong Bu dan Si Tiauw buru-buru keluar menyambut kedatangan menteri senior itu.
"Sekarang Pangeran Bu Kui sudah menjadi Raja Cee, kami minta Tuan-tuan
menetapkan kedudukannya." kata Si Tiauw.
Kok I Tiong dan Kho Houw jadi mendongkol, mereka menyahut.
"Jika jenazah Cu-kong belum dikuburkan dan sudah mengangkat raja baru, maka kami
tidak setuju!" kata dua menteri senior itu.
Sambilmenangiskedua menterisenioritu langsung
meninggalkan istana. Bu Kui kebingungan sekali.
"Karena urusan penguburan Ayahanda belum dilaksanakan, semua menteri tak
mendukung padaku, sekarang bagaimana?" kata Bu Kui.
"Masalah hari ini mirip dengan orang yang sedang menangkap harimau, siapa yang
kuat dialah yang akan menang," kata Si Tiauw. "Tuan tenang saja, semua ini akan kami
bereskan." Bu Kui yang memang ingin menjadi raja jadi tidak menghiraukan pengurusan jenazah
ayahnya. Dia menuruti saja keinginan dua menteri jahat itu. Si Tiauw dan Ek Gee
lalu mengatur pasukan dan menjaga istana dengan ketat.
Pangeran Kay Hong berpihak dan membela anak Kat-eng yaitu Pangeram Poan. Kay
Hong mengumpulkan tentara dan mendirikan benteng di sebelah kanan istana. Sedang
Pangeran Siang Jin berserikat dengan Pangeran Goan. Mereka membangun kubu di sebelah kiri
istana. Pangeran Yong tidak mau terlibat perselisihan, dia pergi ke negeri Cin dan minta
perlindungan pada Cin Bok-kong. Yong Bu alias Ek Gee dan Si Tiauw yang merasa
jerih pada tiga pangeran itu, mereka hanya berjaga-jaga saja di pintu istana tidak
berani keluar untuk bertempur. Tiga pangeran pun tidak berani maju dulu. Keadaan seperti itu
berlangsung berbulan-bulan, tidak pasti. Kho Houw dan Kok I Tiong akhirnya mengambil
putusan, apa boleh buat mengangkat Pangeran Bu Kui menjadi raja, asalkan jenazah Raja Cee
Hoan-kong diurus. Mereka berdua datang ke istana, tetapi kedatangannya dihadang oleh Si Tiauw dan
Ek Gee. Sesudah dijelaskan maksud kedatangan dua menteri senior itu, baru Ek Gee dan Si
Tiauw girang. Dua menteri ini menemui Bu Kui, si raja Cee yang baru. Mereka menasihati
Bu Kui agar mengurus jenazah ayahnya dengan baik.
Bu Kui setuju, upacara segera diadakan. Semua menteri jadi terharu sekali. Bu
Kui juga jadi menangis, dia turun dari kursi kebesaran memberi hormat. Jenazah Raja Cee
almarhum ada di atas pembaringannya, tetapi selama itu tak ada yang mengurus, tubuhnya sudah
mulai rusak dan bau dan penuh belatung. Semua menteri merasa ngeri dan jijik. Mereka jadi
sedih dan menangis. Peti mati segera disediakan, mayat segera dibungkus dan dimasukkan ke
dalam peti mati. Mereka juga menemukan mayat An Ngo Ji, selir Raja Cee yang setia,
banyak menteri yang memuji kesetiaannya itu.
Pangeran Poan, Pangeran Goan dan Pangeran Siang Jin ketika melihat menteri Kho
dan Kok mengajak semua menteri melaksanakan upacara berkabung, mereka jadi curiga.
Tetapi tidak mengetahui ada masalah apa. Kemudian setelah mereka mendengar kabar jenazah Raja
Cee Hoan-kong sudah diurus, semua menteri telah mengangkat Bu Kui menjadi Raja Cee,
maka musnahlah harapan mereka. Mereka segera berunding. "Jika Menteri Kho dan Kok
yang memimpin upacara, kita tidak bisa berebut lagi!" kata salah seorang pangeran
itu. Segera mereka membongkar kubu-kubu mereka, mereka berdatangan ke istana untuk
menyatakan berduka-cita. Dikisahkan Pangeran Ciauw yang lari ke negri Song. Setelah itu putra mahkota
dari negri Cee sampai di negeri Song, dia menemui Raja Song Siang-kong, di hadapan raja itu dia
berlutut dan menangis, dia ceritakan bagaimana Yong Bu dan Si Tiauw telah membuat huru-
hara. Raja Song membujuk dan bersedia membantu. Kemudian Raja Song mengumpulkan
menterinya diajak berunding.
"Dulu Raja Cee Hoan-kong menitipkan Pangeran Ciauw kepadaku agar dibantu supaya
menggantikannnya," kata Raja Song. "Sekarang Ek Gee dan Si Tiauw mengacau di
negeri Cee. Aku berniat mengumpulkan Raja-muda untuk menghukum mereka berdua. Lalu
membawa Ciauw ke Cee untuk menjadi raja. Aku sendiri akan menduduki posisi Raja
Cee almarhum mengepalai semua Raja-muda. Bagaimana menurut kalian?"
"Aku rasa negeri Song tidak bisa menjadi jago, sebab ada beberapa hal yang tidak
sama dengan Raja Cee," kata salah satu menterinya.
Raja Song Siang-kong melirik dan mengawasi pada menteri itu, orang itu adalah
putra sulung Raja Song Hoan-kong bernama Pangeran Bak I. Ketika Song Hoan-kong wafat Pangeran
Bak I mengalah tidak mau menjadi raja, maka Song Siang-kong yang menjadi raja, dan
mengangkat dia menjadi menteri.
"Apa maksudmu?" tanya Raja Song Siang-kong.
"Negeri Cee kuat bagaikan gunung Tay, luas bagai laut Put-hay. Mereka punya
tanah Long-ya dan Cek-bek yang subur. Mereka juga punya menteri senior Kok dan Kho. Dulu
mereka punya Koan Tiong, Leng Cek, Sek Peng dan Pauw Siok Gee yang telah membangun
negaranya. Sedang negeri Song kecil dan tanahnya kurang bagus. Tentara dan
ransumnya sedikit, menteri militer dan sipilnya juga sedikit. Itu alasanku." kata Bak I.
"Maksudku aku ingin menegakkan kebijaksanaan," kata Raja Song dengan kurang
senang. "Maka jika aku tidak membantu Ciauw, maka aku jadi kurang bijaksana."
Segera Raja Song Siang-kong mengeluarkan surat selebaran, mengajak para Raja-
muda di lain tahun pergi mengantarkan Pangeran Ciauw ke negeri Cee. Waktu berjalan
dengan cepat sekali,selangtidak berapa lama sudahsampai saatmereka
bergabung. Song Siang-kong segera menggabungkan pasukan perangnya pada pasukan perang negri
We, Co dan Cu, mengiringkan Kong-cu Ciauw pergi menyerang ke negri Cee.
Waktu itu Yong Bu alias Ek Gee sudah naik pangkat menjadi Su-ma dan memegang
kekuasaan dalam masalah ketentaraan. Pangeran Bu Kui begitu mendapat kabar
angkatan perang Song hendak datang menyerang, segera dia perintahkan Yong Bu memimpin
tentara untuk menangkis serangan dari Raja Song itu. Si Tiauw tetap tinggal di dalam
kota untuk mengurus segala keperluan, sedang Kho dan Kok, dua menteri besar itu
diperintahkan untuk menjaga kota. Sebenarnya Menteri Kho Houw dan Menteri Kok I Tiong sangat benci kepada Ek Gee
alias Tong Bu dan Si Tiauw ini. Mereka ingin sekali mengangkat Pangeran Ciauw menjadi
raja. Diam-diam mereka mengadakan perserikatan rahasia.
Ketika Ek Gee sedang mengatur tentaranya untuk menangkis serangan musuh, Kho
Houw cs di dalam kota mengadakan pemberontakan. Pertama-tama Si Tiauw dibujuk kemudian
dibunuh. Sesudah itu Pangeran Bu Kui pun dibinasakan juga. Baru sesudah itu
mereka keluar kota untuk mengepung dan membunuh Ek Gee.
Tetapi sayang Ek Gee mengetahui rencana ini, dia ajak beberapa orangnya yang
paling dipercaya, melarikan diri ke negeri Louw. Kho Houw dan pembesar lain pergi
menyambut Pangeran Ciauw. Kemudian berserikat dengan negeri Song, We, Co dan Cu, empat
negara. Sesudah keadaan aman ke empat negara itu segera mengundurkan tentaranya, sedang
Menteri Kho Houw lalu mengiringkan Pangeran Ciauw masuk ke dalam kota. Tetapi tidak
diduga pintu kota telah ditutup rapat dan tidak mau dibuka. Pangeran Siang Jin,
Pangeran Goan dan Pangeran Poan, tidak bersedia menerima Pangeran Ciauw diangkat menjadi raja,
malah mereka hendak mengadakan pembalasan kematian Pangeran Bu Kui. Karena Kho Houw
merasa tidak mampu menyerang kota, maka dia ajak Pangeran Ciauw kembali ke
negeri Song. Ketika itu Raja Song Siang-kong baru mundur dan tentaranya sudah dekat negrinya.
Melihat Pangeran Ciauw dengan tergopoh-gopoh datang menyusul, dia jadi terkejut.
"Ada apa kau menyusulku?" kata Raja Song.
Kho Hoauw menceritakan apa yang terjadi.
"Ini salahku karena aku menarik tentaraku terlalu cepat," kata Raja Song. "Sudah
jangan cemas selama masih ada aku!"
Kemudian Raja Song memerintahkan panglima Kong-cu Tong menjadi Sian-hong, Hoa Gi
Su jadi pengiring di belakang, sedang Raja Song sendiri memimpin pasukan tengah, kembali ke
negeri Cee bersama Pangeran Ciauw.
Di depan pasukan itu ada Houw maju, ketika mereka sampai di negeri Cee, panglima
Cee yang menjaga perbatasan menyambutnya. Dengan demikian pasukan Song bisa maju
sampai ke kota Lan-cu. Begitu sampai Raja Song memaklumkan perang. Dalam suatu perang besar, Pangeran
Goan dikalahkan, dia kabur ke negeri We, sedang Pangeran Pan dan Siang Jin yang kalah
perang, masuk ke dalam kota. Tetapi tentara Song berhasil masuk ke dalam kota, karena
tidak mampu dibendung. Semua pembesar negeri Cee menyilahkan Pangeran Ciauw masuk istana. Kemudian dia
diangkat menjadi Raja Cee dengan gelar Cee Hauw-kong. Sesudah menjadi Raja Cee,
Pangeran Ciauw membagi-bagi hadiah pada menterinya yang setia.
Selama lima hari lamanya Raja Song Siang-kong tinggal di negeri Cee. Sesudah
menganggap tidak ada bahaya lagi, dia kembali ke negerinya. Pangeran Poan dan Siang Jin
mengaku yang bersalah adalah Pangeran Goan. Tetapi Kho Houw dan Kok I Tiong tahu dua pangeran
ini pun ikut bersalah. Dua menteri senior ini ingin mengakhiri perselisihan di
antara mereka, maka kesalahan ditimpakan pada Ek Gee dan Si Tiauw saja. Maka sanak keluarga Ek
Gee dan Si Tiauw akhirnya dihukum mati semuanya.
Pada musim Ciu bulan delapan jenazah Raja Cee baru dikubur di atas gunung Gu-
siu-kong, dan di sampingnya dikuburkan jenazah An Ngo Ji. Dikisahkan, sesudah Raja Song
mengangkat Pangeran Ciauw menjadi Raja Cee, dia merasa bangga dan menganggap
sudah pantas menjadi jago di antara para Raja-muda seperti Raja Cee dulu. Maka itu, ia
berniat mengangkat dirinya menjadi Beng-cu (Pemimpin) di antara Raja-muda. Tetapi karena
masih khawatir raja-raja yang negerinya besar dan kuat tidak setuju, maka dia segera
mengadakan perserikatan dengan raja-raja dari negeri Teng, Kwee, Co, Chu.
Raja negeri Teng, bernama Teng Eng Cee, datang ke pertemuan paling terlambat
dari semua raja muda. Raja Song marah, lalu menahan Raja Teng ini di sebuah rumah. Karena
takut Raja Kwee yang negerinya lebih kecil dari negeri Song, dia juga datang terlambat dua
hari. Raja Song Siang-kong menganggap Raja Kwe berani menentang padanya.
"Negeri Kwee yang kecil saja berani menantangku, jika tidak dihukum bagaimana
aku bisa berwibawa?" kata Raja Song.
"Ketika Raja Cee menjadi jago, beliau telah mengalahkan bangsa Tong-i di sebelah
Utara. Jika Tuanku ingin mengalahkan mereka, kita perlu menggunakan Raja Kwee." kata
Kong-sun Tong. "Bagaimana caranya aku memakai dia?" kata Raja Song.
"Bangsa Tong-i sangat menghormati malaikat di sungai Ci-sui, sehingga mereka
mendirikan rumah pemujaan di sana. Mereka menyembahyanginya setiap musim. Jika Tuanku
membunuh Raja Kwee dan gunakan kepalanya untuk bersembahyang, pasti bangsa Tong-
i akan ketakutan, sebab mereka pikir dengan gampang Tuanku membunuh Raja Kwee. Aku
yakin bangsa Tong-i akan tunduk kepada Tuanku. Dengan demikian Tuanku bisa minta
bantuan pada mereka untuk menaklukkan semua raja muda yang membangkang pada
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tuanku." "Oh jangan, kita tidak boleh berbuat begitu," kata Pangeran Bak I coba mencegah.
"Jika Tuanku juga ikut sembahyang pada siluman sungai Ci-sui, berarti Tuanku ikut
tradisi bangsa Tong-i. Jadi bagaimana mereka akan takut kepada Tuanku" Sedangkan Raja Cee Hoan-
kong memimpin perserikatan empat puluh tahun lamanya, dan selama itu beliau melakukan
kebijaksanaan, sehingga semua raja-muda takluk dan hormat kepadanya. Sebaliknya
Tuanku, baru mau menghimpun raja-muda, sudah berlaku kejam main bunuh, bukan mereka
takut malah berbalik mereka akan menyerang kita!"
"Pendapat Anda salah," kata Pangeran Tong. "Sekarang Cu-kong akan menjagoi dan
caranya tentu saja berbeda dengan Raja Cee Hoan-kong. Raja Cee baru termasyur sesudah
membangunnya selama 20 tahun lebih, baru menjadi jago. Apa kita juga harus
menunggu selama itu" Dengan berbuat bijaksana, hasilnya lambat, sebaliknya jika mau cepat
harus dengan kekerasan. Hal ini harus dipikirkan baik-baik. Jika kita bunuh Raja Kwee
dan mana mungkin bangsa Tong-i tidak takluk karena takut. Zaman dulu Bu Ong membunuh
Kaisar Tiu Ong, kepalanya dia pancang di ujung tiang bendera. Akhirnya Bu Ong berkuasa.
Lalu apa manfaatnya membiarkan Raja Kwee yang membangkang itu?"
Raja Song Siang-kong yang memang ingin segera menjadi raja jagoan, dia
menyetujui saran Pangeran Tong. Maka segera dikeluarkan perintah agar Cu Bun-kong menangkap Raja
Kwee, dan segera dibunuh, dagingnnya dimasak dipakai menyembahyangi siluman sungai Ci-
sui. Karena bangsa Tong-i tidak pernah berhubungan, maka mereka tidak ada yang datang
melihat sembahyang besar itu. Mendengar kejadian itu Raja Teng terkejut bukan main,
segera dia minta pada orangnnya agar menyuap Raja Song, sehingga dia dibebaskan. Raja Co
Kiang- kong kurang senang pada tindakan Raja Song Siang-kong yang kejam iti. Diam-diam
dia kembali ke negerinya. Raja Song Siang-kong menjadi murka, dia anggap Raja Co kurang ajar. Maka Raja
Song memerintahkan menyerang negeri Co tersebut.
Pangeran Bak I coba mencegah niat ini.
"Dulu Raja Cee Hoan-kong tidak pernah bertindak kejam pada raja-raja muda. Harap
Tuanku jangan menyerang negeri Co!" kata Pangeran Bak I.
Tetapi Raja Song Siang-kong tidak menuruti nasihat itu, dia perintahkan Pangeran
Tong memimpin angkatan perang menyerang ke negeri Co. Berangkatlah tentara Song ke
negeri Co. Kedatangan mereka disambut oleh tentara Co, hingga terjadi pertempuran yang
sengit. Tiga bulan lamanya tentara Song telah mengepung kota negeri Co, tetapi orang Co
bisa bertahan dengan sempurna. Sulit bagi Song untuk merebut negeri Co.
Ketika itu Raja The yang kurang puas pada Raja Song mengajak Raja Louw, Cee, Tan
dan Raja Coa, empat negara, untuk mengadakan perserikatan dengan Raja Couw, mereka
berjanji akan berkumpul di daerah Cee.
Kabar ini membuat Raja Song Siang-kong jadi sangat gusar, karena dia juga
khawatir Raja Cee atau Raja Louw yang akan menjadi pemimpin perserikatan. Selain itu dia juga
cemas, karena Pangeran Tong yang menyerang Co belum berhasil merebut Co. Dengan
demikian pamor negeri Song akan turun. Maka dia minta agar Pangeran Tong mundur dari
negeri Co. Raja Co juga takut tentara Song datang kembali, mereka mengirim utusan minta
berdamai dengan Song. Dengan demikian mereka menjadi akur kembali. Semula Raja Song ingin
menjadi jago. Sekarang malah banyak Raja-muda yang bergabung dengan Raja Couw
menentangnya. Hal ini membuat dia berduka sekali.
"Sekarang ini tak ada negara yang sekuat negeri Cee dan Couw," kata Pangeran
Tong. "Hanya negeri Cee, sekalipun rajanya turunan jago, negaranya baru bangkit, itu
pun atas bantuan kita. Jadi pengaruhnya belum besar, tetapi Raja Couw yang menggunakan
gelar Kaisar sangat ditakuti. Kita harus menggunakan pengaruh Couw, maka Tuanku harus
menyuap dan merendah padanya. Mohon pada Raja Couw agar Raja-muda yang berada di
bawah pengaruhnya diserahkan kepada Tuanku. Sesudah mereka menjadi bawahan
Tuanku, maka diam-diam kita ajak semua Raja-muda itu menghantam Raja Couw!"
"Itu tidak masuk akal, itu bukan cara yang benar!" kata Pangeran Bak I. "Raja
Couw sudah menalukkan semua Raja-muda, mana mungkin dia begitu bodoh mau menyerahkannya
kepada kita" Malah jika usaha tipu itu dilasannakan, malah kita akan berselisih
dengan Couw." Raja Song Siang-kong tidak sepakat dengan pendapat Bak I. Dia perintahkan
Pangeran Tong membawa bingkisan menemui Raja Couw. Kedatangan Pangeran Tong diterima baik oleh
Raja Couw Seng-ong. Malah keinginan Raja Song pun dikabulkan dan ditetapkan pada
musim Cun tahun depan boleh berhimpun di tanah Lok-siang (tanahnya Cee).
Pangeran Tong pulang dan mengabarkan hal itu pada Raja Song yang girang bukan
main. Karena pertemuan di tanah Raja Cee, maka Raja Song memberi kabar pada Raja Cee,
Pangeran Tong sambil membawa bingkisan menemui Raja Cee. Sesudah menerima
bingkisan Raja Cee setuju dengan pertemuan itu.
Ketika sudah tiba musim Cun, Raja Song Siang-kong sudah tiba di Lok-siang, di
sana dia mendirikan panggung untuk tempat berkumpul dan menunggu kedatangan Raja Cee dan
Raja Couw. Tidak lama Raja Cee datang disusul oleh Raja Couw. Mereka menjalankan
kehormatan sebagai mana layaknya para raja.
Baru bertemu saja Raja Song yang bernafsu ingin menjadi jago, sudah mengatur
tempat duduk. Dia menempatkan Raja Couw di bawah pengaruhnya. Tentu saja hal ini
membuat Raja Couw jadi kurang senang. Dalam pertemuan itu Raja Song minta dukungan Raja Cee dan Raja Couw. Jika
disetujui maka pada musim Ciu akan mengadakan pertemuan besar dengan para Raja-muda.
Keinginan Raja Song ini membuat Raja Couw kurang senang. Raja Couw menganggap dirinya
dipandang rendah. Dia sangat kesal dan geram sekali.
Ketika Raja Song menyerahkan rencana undangan utuk musim Ciu, Raja Couw Seng-ong
menyambutnya dan memeriksa surat itu, di sana ada dijelaskan mengenai maksud
Raja Song hendak menggabung seluruh Raja-muda seperti dulu Raja Cee melakukannya. Diminta
agar semua raja datang dengan pakaian biasa, tanpa membawa senjata. Surat itu
ditandatangani oleh Raja Song. Melihat surat itu Raja Couw jadi geli sendiri.
"Jika Anda sendiri bisa memanggil semua Raja-muda, mengapa harus memakai namaku
juga?" kata Raja Couw.
"Raja The dan Raja Khouw sudah lama berada di bawah perintah Tuanku," sahut
Siang-kong dengan paras muka merah, karena dia mengerti dirinya dia disindir, "sedang Raja
Coa dan Raja Tan belum lama ikut berserikat dengan Raja Cee, manakala tidak nama kalian
tidak disertakan, aku khawatir Raja-raja muda itu tidak mau mengindahkannya."
"O, kalau begitu sebaiknya Cee-kun (Raja Cee) lebih dahulu yang membubuhkan
tanda tangannya, sesudah itu baru aku!" kata Couw Seng-ong sambil tertawa.
"Bagi Raja-raja muda yang bersahabat denganku pasti mereka akan datang, sebab
mereka tahu Raja Cee di bawah pengaruh Kerajaan Song," kata Cee Hauw-kong perasaan
kurang senang. "Melainkan raja-raja muda yang di bawah pengaruh Raja Couw yang belum
tentu mau menurut, maka tidak boleh tidak harus Raja Couw yang membubuhkan tanda
tangan lebih dulu." Sekali lagi Raja Couw tertawa, dan segera dia membubuhkan tanda tangannya,
kemudian ipit itu dia serahkan kepada Raja Cee.
"Sudah ada Couw tidak perlu ada tanda tangan dari Raja Cee," kata Cee Hauw-kong
menolak membubuhkan tanda tangannya. "Aku cuma seorang rendah, negriku tidak sampai
hancur lebur pun sudah merasa sangat bersyukur, masa aku berani sembarangan tanda
tangan, hanya akan mengotori surat yang mulia itu?"
Sudah berulang-ulang Raja Cee dipaksa, tetapi Raja Cee Hauw-kong tetep menolak.
Padahal Raja Song Siang-kong begitu baik, bahkan pernah membantu Raja Cee,
sedikit pun tidak menyangka Raja Cee akan berbuat begitu kepadanya. Maka dia ambil surat itu
yang dia simpandenganrapih.Sesudahitu RajaSongpunpulang ke
negaranya. Tatkala Raja Couw Seng-ong sudah pulang, dia ceritakan kejadian itu pada Leng-i
Chu Bun. "Permintaan Raja Song sangat keterlaluan dan gila," kata Chu Bun, "mengapa
Tuanku terima saja untuk tanda tangan?"
"Lantaran kegilaannya itu, maka aku hendak mengambil keuntungan dari kegilaannya
itu," jawab Raja Couw sambil tertawa. "Aku sudah lama berniat menjadi pemimpin
perserikatan raja-raja muda di Tiongkok, tetapi niat itu belum terkabul. Sekarang Raja Song
ingin menghimpun Raja-muda dengan berpakaian biasa. Inilah kesempatan yang baik."
"Betul," kata menteri Seng Tek Sin. "Raja Song menganggap dirinya hebat, tetapi
tidak punya akal. Dengan mudah bisa kita akali dia!"
"Ya, maksudku juga begitu!" sahut Raja Couw girang.
"Aku kurang sepakat," kata Chu Bun. "Mengapa Tuanku setuju tanda-tangan, kalau
kita akan merampas haknya. Apa ini tidak akan menjadi tertawaan orang?"
"Karena Raja Song menganggap dirinya bakal jadi pemimpin perserikatan, pasti dia
bersikap angkuh pada semua raja muda," sahut Seng Tek Sin, "hal ini pasti akan membuat
semua raja- muda itu marah. Lalu kita rebut posisi pemimpin perserikatan dari Raja Song. Ini
untuk menunjukan pada semua raja bahwa kita mampu. Kemudian kita serahkan lagi pada
Raja Song. Ini untuk menunjukkan bahwa kita bijaksana. Manakala semua raja muda telah
menyaksikan Raja Song tidak mempunyai kepandaian, jika tidak bukan tunduk pada
Couw, pada siapakah mereka akan tunduk" Maka menurut pendapatku, ini adalah tipu-
muslihat yang paling bagus!" "Kau hebat, aku kagum padamu," memuji Chu Bun merasa malu.
Raja Couw Seng-ong memerintahkan Seng Tek Sin dan Touw Put memilih seribu
tentara yang gagah berani, untuk bersedia merebut kekuasaan pemimpin perserikatan.
Sesudah Raja Song pulang dia merasa sangat girang, parasnya riang. Dia berkata pada Pangeran
Bak I: "Raja Couw sudah meluluskan permintaanku akan menyerahkan semua raja muda di
bawah kekuasaanku." "Orang Couw mirip bangsa Ban-ie, hatinya sulit diduga," kata Pangeran Bak I.,
"Jika Tuanku percaya saja ucapannya, dan tidak curigai, hamba khawatir Tuanku akan dihina
oleh mereka." "Ah, kau terlalu curiga," kata Raja Song Siang-kong. "Aku berpegang pada
kejujuran dan kepercayaan pada orang lain, mustahil orang begitu tega hendak menghina padaku?"
Kembali dia tidak memperhatikan nasihat Pangeran Bak I, dia mengeluarkan surat
selebaran untuk mengundang semua Raja-raja muda, dia perintahkan orangnya mendirikan
panggung tempat tamu, pembuatan panggung diatur rapi dan indah, serta lebih jauh dia
suruh orangnya menyediakan rumput di gudang, juga bahan makanan untuk para tamu.
Ketika musim Ciu telah tiba, saat Raja Song Siang-kong hendak berangkat,
Pangeran Bak I memberi saran. "Couw sangat kuat, jangan percaya mereka memegang janji!" kata Pangeran Bak I.
"Bawa kereta perang untuk menjaga keselamatan Tuanku."
"Jangan, tidak boleh begitu!" cegah Raja Song Siang-kong. "Aku sudah berjanji
pada semua raja muda untuk berhimpun dengan berpakaian biasa, jika aku melanggar dan
membawa kereta perang, itu berarti aku melanggar janjiku sendiri!"
"Kalau begitu, Tuanku naik kereta memakai pakaian biasa, untuk menunjukkan bahwa
Tuanku memegang janji. Sedang aku akan menyembunyikan angkatan perangku, aku
akan siap-siaga kalau-kalau dibutuhkan!" kata Pangeran Bak I.
"O! Jangan, jangan lakukan! Kau yang berpakaian perang dan membawa tentara, lalu
itu tak bedanya dengan aku sendiri yang membawanya!" kata Raja Song.
Bak I jadi tak berdaya, karena Raja Song tak setuju pada gagasannnya. Dia juga
sangat menyayangkan atas kebodohan junjungannya itu. Ketika saatnya telah tiba akan
berangkat, karena takut Pangeran Bak I membawa pasukannnya, Raja Song sengaja mengajak Bak
I ikut bersamanya. Pangeran Bak I memang mau ikut, sebab dia merasa tidak enak hati,
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jika dia tak mendampingi junjungannya itu.
Di tempat pertemuan semua raja sudah hadir, di antaranya Raja Couw, Tan, Coa,
Khouw, Co, enam raja negeri sudah hadir. Hanya Cee Hauw-kong karena sakit hati, dan Raja
Louw Hi- kong tidak tunduk pada Raja Couw, kedua raja itu tidak hadir. Raja Song Siang-
kong memerintahkan orangnya menyambut para raja muda itu dengan manis sekali. Raja
Song pun mendapat laporan bahwa semua raja berpakaian biasa.
"Aku pun yakin, Raja Couw tidak akan menghinaku..." kata Raja Song girang.
Dalam persidangan Raja Tan Bok-kong, Coa Cong-kong, The Bun-kong, Khouw Hi-kong
dan Co Kiong-kong, lima raja muda, sudah datang. Lama mereka menunggu, sampai sudah
siang baru Raja Couw datang. Mereka saling memberi hormat, tetapi pada umumnya mereka
sangat menghargai Raja Couw Seng-ong.
Tak lama upacara dilangsungkan, seperti minum arak bercampur darah, dan berbagai
acara lain. Mereka lalu mencatat nama mereka pada sebuah buku, sebagai ikrar bahwa
mereka akan tunduk pada semua aturan yang berlaku.
Sesudah upacara selesai Raja Song Siang-kong mengawasi Raja Couw Seng-ong untuk
meminta agar Raja Couw mengangkat dia jadi Pemimpin Perserikatan. Tetapi Couw
diam saja, dia pura-pura lupa. Raja muda yang lain pun jadi saling pandang saja. Raja
Song Siang- kong tidak sabar lagi, dia berkata.
"Hari ini aku ingin melanjutkan tradisi Raja Cee yaitu mendukung Kerajaan Ciu,
dan memakmurkan negara, agar rakyat hidup bahagia. Terutama mengamankan keadaan.
Bagaimana pendapat Tuan-tuan sekalian?" kata Raja Song.
Tiba-tiba Raja Couw bangkit dari kursinya dengan marah sekali.
"Usul itu baik sekali, hanya aku tidak tahu siapa yang pantas jadi pemimpin kita
semua?" kata Raja Couw. "Tuan-tuan sudah tahu, siapa yang berjasa besar, tidak perlu bertanya lagi!"
kata Raja Song. "Sudah lama aku memakai gelar Ong!" kata Couw Seng-ong. "Sekalipun Raja Song
bergelar Kong yang mulia, tetapi mana bisa dibanding dengan gelar Ong! Ini sudah diakui
oleh Kaisar Ciu!" Sikap Raja Couw angkuh sekali. Melihat situasi kurang baik, Pangeran Bak I
menarik tangan junjungannya. Dia minta agar Raja Song bersabar.
Tetapi Raja Song Siang-kong yang yakin bisa jadi pemimpin, tidak menghiraukan
nasihat Bak I. Seperti kalap dia malah menantang. Dia tak sadar bahaya mengancam
dirinya. "Gelar Kong yang kusandang telah mendapat pengesahan dari Kaisar Ciu! Maka
bagaimana gelar Ong Anda bisa mengalahkan gelarku?" kata Raja Song.
"Jika kau anggap gelarku kosong, mengapa kau mengundangku kemari?" kata Raja
Couw makin sengit. "Kau datang ke sini, sesuai dengan perundingan kita di Lok-siang," kata Raja
Song. "Sudah, jangan ribut, lebih baik begini saja!" kata Seng Tek Sin ikut bicara.
"Sekarang coba tanya pada semua raja muda, apakah kedatangan mereka karena Raja Couw atau Raja
Song?" Raja Tan, Coa dan yang lain-lain memang takut pada pengaruh Raja Couw, setelah
mendengar pertanyaan itu, semua menyahut mereka datang karena taat pada Raja
Couw. Raja Couw Seng-ong tertawa terbahak-bahak.
"Sekarang Anda mau bilang apa lagi?" kata Raja Couw.
Saat itu Raja Song Siang-kong murka bukan main. Dia mau mengadu bicara, tetapi
tidak ada yang meladeninya. Dia mau memakai kekarasan, tetapi tidak ada tentara yang ikut
bersamanya. Dia jadi serba salah.
Saat Raja Song sedang kebingungan, justru dia melihat Seng Tek Sin dan Touw Put
membuka baju luarnya, sehingga kelihatan pakaian perangnya. Hal ini membuat Raja Song
jadi sangat ketakutan. Kedua panglima Couw itu segera memberi tanda, dan semua pengikutnya
segera mengepung panggung. Semua raja muda jadi sangat kaget dan ketakutan.
Seng Tek Sin menangkap Raja Song Siang-kong yang dia ikat kencang. Kemudian
bersama Touw Put ia ajak tentaranya merampas semua perabotan yang terbuat dari batu
giok, kain sutera dan lain-lainnya milik Raja Song. Orang-orang negeri Song yang mengurus
tempat itu, mereka ketakutan lalu kabur.
Waktu itu Raja Song Siang-kong melihat Pangeran Bak I telah bergeser ke
sampingnya, dan berbisik. "Aku menyesal aku tidak mau mendengar nasihatmu, sehingga hari ini aku celaka.
Lekas kau pulang untuk menjaga negeri, dan jangan pikirankan tentang diriku."
Pangeran Bak I berpikir memang tidak ada gunanya jika dia tetap di samping Raja
Song. Maka dengan menggunakan saat sedang kacau, dia kabur pulang ke negeri Song.
Raja Couw mengajak Seng Tek Sin, Touw Put dan Kui Lu Sin dan Touw Poan (anak Chu
Bun) membawa pasukan besar.
Sesudah Raja Song ditangkap, Raja Tan, Coa, The, Khouw dan Co, sangat ketakutan
tidak ada yang berani berbuat apa-apa. Raja Couw Seng-ong mengajak semua Raja-muda
pergi ke gedung tamu, di sini dia mengejek dan menyindir Raja Song Siang-kong.
"Aku akan menyerang kota Ci-yang, untuk menghancurkan Ibukota Song." kata Raja
Couw. Sesudah pesta sampai sepuluh hari sepuluh malam lamanya, baru semua raja-raja
diizinkan pulang ke negrinya. Semua Raja-muda tidak ada yang berani membantah. Raja Song
Siang- kong diam saja sambil berdiri seperti patung. Dari matanya meleleh air mata,
tanda dia sangat menyesal dan pilu hatinya.
Tidak lama angkatan perang negeri Couw yang berjumlah 500 kereta perang sudah
siap. Raja Couw membagi-bagikan hadiah pada tentaranya, mereka maju menyerang ke kota
Ci- yang. Dikisahkan Pangeran Bak I yang sudah lolos sudah sampai di negeri Song.
Dia segera menghadap Kong-sun Kouw, lalu menceritakan bahwa Raja Song Siang-kong
telah ditawan oleh Raja Couw.
"Tidak lama lagi tentara Couw pasti akan datang menyerang ke negeri Song. Kita
harus segera menyiapkan tentara dan mengatur penjagaan," kata Bak I.
"Karena di dalam negeri harus ada yang memimpin," kata Kong-sun Kouw. "sebaiknya
untuk sementara kau menggantikan Song Siang-kong, supaya negeri ada pemimpinnya."
"Orang Couw menawan raja kita dan menyerang negeri kita, karena ada yang mereka
inginkan. . . . " Bak I membisiki kuping Kong-sun Kouw menyampaikan apa yang
dimaui Raja Couw. "Pasti Raja kita akan dibebaskan," kata Bak I akhirnya.
"Ya," kata Kong-sun Kouw girang.
Sesudah itu Kong-sun Kouw berkata kepada semua menterinya.
"Raja kita belum tentu bisa pulang, karena itu kita harus mengangkat Pangeran
Bak I untuk mengatur negeri ini." kata Kong-sun Kouw.
Karena semua menteri sudah mengetahui kepandaian Bak I, mereka girang mendengar
kabar itu. Pangeran Bak I lalu diangkat menjadi pengganti Raja Song. Dia segera
mengatur tentaranya dengan keras tetapi adil untuk menghadapi tentara Couw. Tidak lama,
benar saja tentara Couw datang menyerang. Mereka telah membangun perkemahan di luar kota.
"Raja kalian sudah kami tangkap, sekarang dia sudah dibawa ke sini! Sekarang
kalian serahkan kota ini dan takluk pada kami. Dengan demikian jiwa rajamu bisa
tertolong!" kata panglima Couw. Kong-sun Kouw segera menjawab dari atas loteng kota.
"Kami sudah mengangkat Raja yang baru! Maka itu Raja lama, jika hendak kalian
bunuh atau tidak, terserah kalian saja! Tetapi jika kami disuruh takluk, jangan harap!"
"Tetapi raja kalian masih hidup, jadi mana boleh kalian mengangkat raja lagi?"
"Raja kami harus ada di dalam negeri, karena dia tidak ada, maka kami mengangkat
raja yang baru!" kata Kong-sun Kouw.
"Seandainya kami kembalikan rajamu, bagaimana kau membalas budi kami?" tanya
panglima Couw. "Bila raja lama sudah tertangkap, berarti dia telah membuat malu negeri kami,
sekalipun dia kembali, dia tak bisa jadi raja lagi." kata Kong-sun Kouw. "Pulang atau tidak
pulang baginya sama saja. Jika kalian mau berperang pun, akan kami ladeni. Terserah apa maumu?"
Touw Put mendongkol, lalu pulang ke pesanggrahannya untuk memberitahu Raja Couw.
Bukan main marahnya Raja Couw Seng-ong, dia perintahkan agar tentaranya melabrak
kota secara hebat. Tetapi bagaimanapun hebatnya serangan tentara Couw, mereka tidak bisa mendekati
tembok kota. Bahkan tentara Couw rusak berat, karena terkena anak panah dan batu yang
dilemparkan dari atas kota oleh tentara Song.
Sudah tiga hari tiga malam lamanya tentara Couw menyerang, tetapi tetap sia-sia
saja. Melihat keadaan itu, Raja Couw Seng-ong berkata pada meneteri-menterinya.
"Karena sekarang Raja Song Siang-kong tidak dihargai lagi oleh rakyatnya, apa
kita bunuh saja?" kata Raja Couw.
"Jangan, kita tidak boleh berbuat begitu," Seng Tek Sin mencegah. "Bukankah
Tuanku menuduh Raja Song berdosa karena dia membunuh Raja Kwee" Jika sekarang Tuanku
membunuh Raja Song, itu sama saja Tuanku meniru perbuatannya. Jika kita bunuh
Raja Song, artinya kita hanya membunuh seorang, itu tidak ada artinya. Bukan mendapat
daerah Song, malah membuat orang jadi gusar. Menurut pendapat hamba, lebih baik
lepaskan saja dia." "Menyerang Song saja tidak berhasil, malah kita melepaskan rajanya. Apa itu
tidak memalukan sekali?" kata Raja Couw Seng-ong sangsi. "Jika mau membebaskannya,
kita harus mencari alasan yang tepat?"
"Soal itu sudah hamba pikirkan," kata Seng Tek Sin. "Negeri Cee sahabat kita,
tidak perlu kita pikirkan lagi. Sedang Louw sahabat Cee dan jika dia membantu Cee menjadi
jago, maka Couw tidak akan mereka hiraukan lagi. Sekarang kita kirim barang hasil rampasan
dari negeri Song ke negeri Louw, hadiahkan kepadanya. Jika mereka mau menerimanya, Song
pasti ngeri dan mau berserikat dengan kita. Louw dan Song bersahabat baik. Ingat Raja Louw
sangat budiman, pasti dia akan meminta agar Raja Song kita bebaskan. Lalu kita kabulkan
permintaannya. Maka dengan demikian bukan saja kita bisa memiliki daerah Louw,
tetapi juga daerah Song." Raja Couw girang dia sepakat pada usul itu. Tak lama Raja Couw Seng-ong menarik
mundur tentaranya pergi ke Pok-touw, sebagai utusan dia mengirim Gi Seng. Dengan
membawa iringan kereta barang rampasan dari negeri Song mereka pergi ke negeri Louw.
Setiba di negeri Louw, utusan negeri Couw diterima baik oleh Louw Hi-kong. Dalam
surat Raja Louw meminta pertimbangan mengenai masalah Raja Song yang dia telah tawan.
Membaca surat itu Raja Louw kaget. Dia tak sadar kalau itu cuma gertakan Raja
Couw kepadanya. Namun, jika Louw mau melawan, Raja Louw sadar negaranya lemah.
Raja Louw itu berkata pada Gi Seng.
"Baiklah, aku menerima dengan baik undangan itu." kata Raja Louw.
Raja Louw Hi-kong dengan mengajak Tay-hu Tiong Sui datang ke Pok-touw.
Saat itu Raja-muda Tan, Coa, The, Khouw, Louw dan Co, sudah datang semua.
Sebelum pertemuan dimulai, para raja muda itu sepakat mengangkat Raja Couw menjadi
pemimpin perserikatan raja-raja. Hanya syaratnya Raja Song harus dibebaskan oleh Raja
Couw. Rencana itu bocor ke tangan Seng Tek Sin yang menyampaikannnya kepada Raja Couw.
"Ternyatadugaanmu itu benar!"kataRajaCouw padaSengTekSin.
Raja Couw setuju sekali. Sehari sebelum diadakan persidangan, Raja Song Siang-
kong dibebaskan. Esok harinya, The Bun-kong mengajak semua raja muda mengundang Couw Seng-ong
naik ke panggung mengepalai persidangan. Semua raja-raja minum darah mengangkat
sumpah, Raja Couw Seng-ong diangkat menjadi kepala perserikatan.
Raja Song Siang-kong sangat mendongkol, tetapi tidak berani berkata apa-apa.
Setelah semua selesai, raja-raja itu bubar dan pulang ke negerinya masing-masing.
Sedang Raja Song Siang-kong yang mendengar kabar Bak I sudah jadi raja, dia
mengungsi ke negeri We untuk menumpang di sana. Tetapi sebelum berangkat, datang utusan dari
Bak I menyerahkan surat. "Hamba menduduki takhta kerajaan, menggantikan Tuanku buat menjaga negeri.
Sekarang silahkan Tuanku pulang, sebab negeri Song milik Tuanku."
Raja Song Siang-kong merasa kagum sekali atas kesetiaan Bak I ini. Tidak lama
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kereta yang indah sudah tersedia, untuk membawa pulang Raja Song Siang-kong ke negeri Song.
Tatkala Raja Song Siang-kong sampai di negrinya, Bak I segera turun dari tahta
kerajaan lalu berbaris di tempat menteri-menteri.
Sementara itu Raja Song yang sudah pulang ke negrinya, senantiasa merasa sakit
hati kepada Raja Couw. Karena sudah dengan susah payah dia berikhtiar hendak menjagoi di
antara para raja, tetapi ternyata dia ditawan oleh Raja Couw. Dia merasa malu dan gemas
kepada Raja The yang mengajak semua raja muda mengangkat Raja Couw menjadi kepala
perserikatan. *** Pada tahun Raja Ciu Siang-ong memerintah yang ke-14, di musim Cun bulan tiga,
Raja The Bun-kong pergi ke negeri Couw untuk memberi hormat pada Raja Couw seolah kepada
Kaisar. Kabar ini membuat Raja Song Siang-kong sangat marah, dia ingin mengerahkan
tentara Song untukmelabrak negeriTheyangdianggapmerendahkandiriitu.
Tetapi Bak I segera mencegah niat Raja Song ini, karena dia tak setuju.
"Ingat Tuanku, Raja Couw dan Raja The sedang rukun!" kata Bak I. "Jika Song
menyerang Raja The, pasti Raja Couw akan menolongnya. Bila hal ini terjadi, hamba khawatir
kita akan kalah. Lebih baik Tuanku renungkan kembali dengan bijaksana sambil menunggu
datangnya kesempatan yang tepat."
Kong-sun Kouw juga mencegah dan menasehati seperti Bak I. Song Siang-kong yang
sudah sering membuktikan kepandaian Bak I, dan Kong-sun Kouw, tetapi dia tidak mau
mendengarkan nasehat mereka.
"Jika kalian tidak setuju, biar aku yang memimpin sendiri berperang!" kata Raja
Song. Melihat kemarahan Song Siang-kong, tanpa banyak bicara Kong-sun Kouw
mengeluarkan tentara untuk menyerang negeri The. Song Siang-kong memimpin pasukan perang
bagian tengah, dibantu oleh Kong-sun Kouw. Sedangkan Gak Pok I, Hoa Siu Lo, Pangeran
Tong memimpin pasukan depan dan belakang.
Tetapi gerakan tentara Song ini segera dilaporkan oleh mata-mata dari negeri The
pada Raja The Bun-kong. Raja The terkejut mendengar tentara Song menyerang negaranya. Dengan terburu-
buru dia menyuruh orang untuk minta pertolongan kepada Raja Couw. Raja Couw Seng-ong
mengumpulkan menteri-menterinya.
"Raja The sangat hormat kepada kita, maka itu kita harus menolongnya." kata Raja
Couw. "Daripada kita menolong Raja The, lebih baik kita sendiri menyerang ke negeri
Song," kata Seng Tek Sin mengajukan usul.
"Kenapa?" "Sebab Raja Song tanpa menyadari kekuatannya, telah mengerahkan pasukan besar
untuk menyerang negeri The. Dengan demikian negrinya pasti kosong. Apabila kita serang
negrinya yang kosong itu, pasti orang-orang yang ada di dalam negeri jadi ketakutan. Jadi
tanpa harus berperang lagi kita akan menang. Bila Raja Song yang pulang hendak menolong
negerinya, tentaranya pasti sudah lelah dalam perjalanan. Dengan demikian tentara kita yang
masih segar, akan mampu mengalahkan tentara Song yang sudah lelah itu dengan gampang.
Dan pasti kita akan mendapatkan kemenangan!"
Raja Couw Seng-ong setuju pada usul Seng Tek Sin, dia segera mengangkat Seng Tek
Sin menjadi komandan perang. Touw Put menjadi pembantunya. Angkatan perang Couw
segera berangkat akan menyerang ke negeri Song.
Saat itu Raja Song Siang-kong belum memaklumkan perang pada Raja The, dia
mendapat laporan bahwa Raja Couw menyerang ke negeri Song. Mendengar laporan itu Raja
Song kaget. Dia segera memimpin tentaranya pulang untuk menolong negaranya. Setiba di
sana dia mendirikan pesanggrahan di tepi Selatan sungai Hong-sui untuk menangkis serangan
tentara Couw. Seng Tek Sin memerintahkan orang untuk membawa surat tantangan. Kong-sun Kouw
mengajukan saran pada Raja Song.
"Kedatangan tentara Couw kemari, maksudnya hendak membantu Raja The. Jika The
tidak jadi kita serang, lalu Tuanku minta maaf pada Raja Couw, pasti Raja Couw akan
menarik mundur pasukannya dan tidak terjadi berperang." kata Kong-sun Kouw.
"Dulu Raja Cee Hoan-kong mengerahkan angkatan perangnya menyerang ke negeri
Couw," kata Raja Song Siang-kong dengan tidak senang, "Sekarang orang Couw malah
menyerang kita. Kalau aku tidak melayaninya, bagaimana mungkin aku bisa meneruskan
pekerjaan Raja Cee Hoan-kong?" "Tapi pasukan perang kita tidak seperti tentara Couw yang masih gagah," kata
Kong-sun Kouw. "Bisa dikatakan tentara Song takut kepada tentara Couw. Mereka takut
seperti takut pada harimau, jadi bagaimana mungkin kita berharap akan memenangkan peperangan
ini?" "Walau pun Raja Couw dan tentaranya sangat kuat, tapi Raja Couw tidak bijaksana.
" kata Raja Song. "Sebaliknya aku, sekalipun tentaraku sedikit, tetapi aku bijaksana."
Sesudah itu Raja Song membalas surat tantangan perang. Dalam surat itu dia
menantang perang di Hong-yang. Ketika itu dua pasukan perang sudah saling berhadapan.
Kong-sun Kouw mengusulkan pada Raja Song agar segera menyiapkan pasukan. Tetapi Raja Song
santai saja. Ketika tentara Couw sudah menyeberangi sungai, Kong-sun Kouw
kembali mengajukan usul supaya menyerang musuh.
"Tunggu sampai mereka menyerang semua!" kata Raja Song.
"Seharusnya dalam ilmu perang, tentara Couw harus menyeberang pada malam hari.
Maksudnya supaya kita tidak mengetahui gerakannya," kata Kong-sun Kouw. "Kali
ini ternyata mereka menyeberang sesudah fajar menyingsing, itu berarti mereka sangat
menghina kita. Saat mereka sedang menyeberangi sungai dan tentara nereka baru separuhnya
yang menyeberang, mereka harus kita serang! Ini saat yang sangat baik! Dengan
demikian kita pasti akan mendapat kemenangan. Apabila kita menunggu sampai tentara mereka
sudah menyeberangi sungai semua, maka karena jumlah tentara Couw lebih banyak dari
tentara kita yang sedikit, aku khawatir kita tidak akan sanggup melawan mereka."
Raja Song Siang-kong segera menunjuk ke bendera besarnya sambil berkata, "Coba
kau lihat dua huruf "Jin Gi" itu! Sudah berkali-kali aku jelaskan kepadamu, bahwa aku
hendak berpegang teguh pada kebajikan dan budi! Apakah kau masih belum juga mengerti"
Apalagi pasukanku yang gagah dan banyak. Lagipula di mana ada peraturan musuh baru
menyeberang separuh sudah diserang!"
Mengetahui rajanya tidak bisa dinasehati, Kong-sun Kouw jadi kesal hatinya.
Tidak berapa lama tentara Couw pun sudah menyeberang semuanya. Terlihat Seng Tek
Sin sedang mengatur tentaranya. Melihat hal itu Kong-sun Kouw kembali menasehati
Raja Song Siang-kong. "Panglima Couw sedang mengatur pasukannya dan belum rapi benar, segera bunyikan
tambur tanda berperang. Dengan demikian musuh akan kacau."
Raja Song Siang-kong meludahi muka Kong-sun Kouw. Dengan marah dia berkata, "Kau
sungguh licik! Apa kau akan menang dengan kelicikanmu, tetapi kau lupa,
perbuatanmu itu akan merusak nama kita!"
Mendengar jawaban itu bukan main mendongkolnya Kong-sun Kouw. Sekarang tentara
Couw sudah ada di seberang, sehingga membuat tentara Song merasa jerih.
Baru Raja Song Siang-kong memerintahkan membunyikan tambur tanda berperang.
Tetapi hal ini disambut oleh pasukan Couw dengan hebat. Raja Song maju sambil memegang
tombak panjang, mengajak Pangeran Tong, Hiang Cu Siu, kedua panglima perangnya
itu, maju menyerang pasukan Couw.
Melihat kedatangan musuh begitu buas, diam-diam Seng Tek Sin mengeluarkan
perintah agar membiarkan musuh maju terus ke dalam pasukannya. Tetapi yang diincar untuk masuk
cuma Raja Song Siang-kong dan satu pasukan perangnya saja. Sedangkan Kong-sun Kouw
yang mengikuti Raja Song Siang-kong berada di belakang.
Setelah Raja Song Siang-kong menyerang masuk ke tengah pasukan musuh, mereka
bertemu dengan Touw Put, Kong-sun Kouw maju ke depan rajanya menghadapi musuh.
Touw Put dan Kong-sun Touw pun bertarung hebat.
Tidak lama Gak Pok I dari pihak Song datang, tetapi dia dihadapi oleh Kui Lu Si.
Ketika Kong-sun Kouw sudah agak terdesak segera dia kabur ke tengah pasukan
Couw. Touw Put mengangkat goloknya dan mengejar Kong-sun Kouw. Tetapi panglima Song yang
bernama Hoa Siu Lo datang ke tempat itu, mereka jadi bertempur hebat.
Kong-sun Kouw tidak melihat Raja Song di sekitarnya, dia mencoba mencarinya.
Tetapi sia- sia. Dia maju terus tetapi dihadang oleh tentara Couw yang menyemut banyak
sekali. Dia segera maju terus, dan bertemu dengan panglima Song bernama Hiang Cu Siu yang
mukanya berlumuran darah. "Su-ma lekas tolongi Cu-kong kita!" teriak panglima Song itu.
Kong-sun Kouw dan Hiang Cu Siu menyerang masuk ke dalam kepungan musuh yang
berlapis-lapis itu. Di sana dia melihat tentara Song banyak yang terluka berat,
tetapi mereka tidak mau mundur.Melihat Kong-sun Kouw yang gagah perkasa mengamuk, tentara Couw
mundur sedikit tidak berani merapat.
Ketika Kong-sun Kouw menoleh ke dalam kereta perang Raja Song, dia melihat
Pangeran Tong yang terluka berat, telah rebah di dalam kereta perangnya, sedangkan
bendera besar yang terlukis huruf "Jin Gi", sudah dirampas oleh musuh. Raja Song Siang-kong
juga terluka parah. Paha kanannya terkena panah sehingga urat lututnya putus. Dengan demikian
dia tidak bisa bangun untuk berdiri.
Ketika melihat Kong-sun Kouw Pangeran Tong girang sekali.
"Su-ma! Jaga Cu-kong kita baik-baik, aku rasa aku sudah tidak tahan lagi!" kata
Pangeran Tong. Benar saja Pangeran Tong menghembuskan napasnya yang penghabisan. Hati Kong-sun
Kouw sangat pilu, buru-buru dia angkat Raja Song Siang-kong ke dalam kereta
perangnya. Dengan tubuh sengaja menghalangi Raja Song, dan dengan seluruh kekuatannya Kong-
sun Kouw menerjang keluar dari kepungan musuh. Sedang Hiang Cu Siu menjaga di
belakang mereka, dibantu oleh tentara Song. Tetapi karena orang Song banyak yang
melarikan diri sambil berperang, akhirnya setelah keluar dari kepungan tentara Couw, tentara
istana Song itu sudah hampir binasa semuanya. Tepatnya pasukan Song sembilan puluh persen telah
binasa oleh musuh. Ketika Gak Pok I dan Hoa Siu Lo melihat raja mereka sudah terhindar dari bahaya
maut mereka pulang. Bab 22 Tetapi Seng Tek Sin yang tidak mau memberi kesempatan pada mereka, segera
memimpin tentaranya mengejar. Akibatnya tentara Song menderita kerusakan berat. Ransum,
senjata dan kereta mereka dirampas oleh musuh.
Saat itu Kong-sun Kouw mengajak Raja Song Siang-kong pulang ke kota Ci-yang.
Sementara itu keluarga tentara Song yang binasa di medan perang, seperti ayah,
ibu, istri atau anak, semua datang menggerutu di luar istana. Mereka semua menyesalkan Raja Song
Siang- kong yang tidak menuruti nasihat Kong-sun Kouw, sehingga mendapat kekalahan
besar. Raja Song Siang-kong yang mendengar sesalan itu, dengan menghela napas berkata,
"Padahal aku berpegang pada kebajikan dan kewajiban dalam menjalankan peperangan, tetapi
yang aku tidak mengerti mengapa sampai mendapat kekalahan begini besar?"
Mendengar ucapan Raja Song Siang-kong tidak seorang pun yang tidak mendongkol,
karena kekeliruan raja mereka dalam mengartikan maksud perkataan "Jin Gi" itu. Saat itu
mereka menganggap arti kebajikan dan kewajiban seumpama kucing yang bodoh, sebab waktu
melihat tikus, kucing itu tidak mau menerkamnya.
Sementara itu angkatan perang Couw yang dapat kemenangan besar, segera
menyeberang di sungai Hong-sui, sambil menyanyikan lagu kemenangan perang. Setelah pasukan
perang itu keluar dari batas negeri Song, seorang juru kabar memberi laporan pada Seng Tek
Sin. "Raja Couw telah memerintahkan pasukan besar untuk menyambut kedatangan Tuan.
Mereka sudah mendirikan pasanggrahan di Ko-tek." kata pelapor itu.
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mendengar laporan itu Seng Tek Sin segera pergi ke Ko-tek untuk menemui Raja
Couw dan memberi laporan tentang kemenangannya itu. Raja Couw Seng-ong sangat girang.
"Besok Raja The akan mengajak permaisurinya datang kemari untuk menghaturkan
selamat. Kalian harus mengatur barisan serapih mungkin!" kata Raja Couw.
Hu-jin The Bun-kong ialah adik perempuan Couw Seng-ong, yang disebut Bun-bi. Dia
datang ke Ko-tek bersama Raja The Bun-kong karena ingin bertemu dengan kandanya.
Tatkala Raja The dan permaisurinya sampai, Raja Couw Seng-ong menceritakan kemenangannya atas
negeri Song. Raja The Bun-kong, suami-isteri langsung mengucapkan selamat.
Sesudah itu dia undang Couw-ong supaya berkunjung ke pesta yang akan diadakan nanti.
Esok harinya, Raja The Bun-kong menyambut Raja Couw dan mengajaknya masuk ke
dalam kota. Raja The menghormati Raja Couw seperti pada seorang Kaisar saja.
Permaisuri Bun-bi mempunyai dua orang putri, yaitu Pek-bi dan Siok-bi, keduanya belum menikah.
Permaisuri lalu mengajak kedua putrinya menghadap Couw Seng-ong, menjalankan adat istiadat
pertemuan keponakan dengan pamannya.
Melihat keelokan paras kedua keponakannya Raja Couw senang sekali. Waktu Raja
Couw hendak pulang ke pesanggrahannya, Couw Seng-ong minta pada Bun-bi, adiknya agar
kedua putrinya mengantar dia. Permintaan itu diterima baik oleh Bun-bi dan Raja The.
Raja The Bun-kong hanya mengantarkan Raja Couw Seng-ong sampai di luar kota, sedang Bun-
bi dan kedua putrinya mengantarkannya sampai di pesanggrahan Couw. Tetapi karena hari
sudah sore dan menjelang malam, Bun-bi dan kedua putrinya terpaksa bermalam di dalam
pesanggrahan Raja Couw. Malam harinya, Raja Couw Seng-ong pergi mendatangi kamar tidur kedua
keponakannya dan memperkosa keduanya. Sedangkan Bun-bi kebingungan, sehingga semalaman dia tidak
bisa tidur pulas. Karena takut oleh pengaruh Raja Couw, terpaksa dia harus belagak
bodoh, tidak berani berkata apa-apa. Padahal saat itu kedua anak perempuannya sedang dirusak
kehormatannya oleh kandanya yang durjana itu.
Pada esok harinya, Raja Couw Seng-ong menghadiahi Bun-bi separuh dari barang-
barang rampasan dari negeri Song. Sedangkan kedua puteri Raja The, Pek-bi dan Siok-bi
tidak diizinkan pulang lagi, kedua putri Raja The itu dibawa pulang ke negeri Couw dan
dijadikan gundik oleh pamannya. Kelakuan Raja Couw yang seperti binatang, membuat Raja The
gusar, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, sebab Raja The lemah dan Raja Couw sangat
kuat. Begitulah nasib orang lemah yang berurusan dengan orang kuat! Kasihan.
Sementara itu Chin Kong-cu sudah tujuh tahun tinggal di negeri Cee, yaitu sejak
tahun Ciu Siang-ong ke-8 sampai tahun ke-14. Dia tahu saat Raja Cee Hoan-kong yang
tertimpa nasib naas, dan para Raja-muda berebut kekuasaan dan jatuhnya negeri Cee. Ketika Cee
Hauw- kong menjadi raja, tetapi dia hanya menjadi raja bodoh yang tidak bisa
meneruskan kekuasaan ayahnya dan kerajaannya berada di bawah kekuasaan Raja Song dan Raja
Couw. Melihat keadaan yang tidak menguntungkan itu, diam-diam Tio Swi berunding dengan
kawan-kawannya. "Kita sedang menumpang di negeri Cee, karena ingin meminjam tentara Cee supaya
bisa pulang ke negeri Chin," kata Tio Swi. "Tetapi ternyata sekarang Raja Cee yang
baru tidak berkuasa seperti ayahnya, hingga para raja tidak mengindahkannya lagi. Maka kita
tak bisa mengharapkan bantuannya. Lebih baik Kong-cu pindak ke negeri lain saja."
Semua setuju pada saran Tio Swi. Akhirnya mereka pergi ke tempat Pangeran Tiong
Ji untuk menyampaikan niat mereka itu. Pangeran Tiong Ji sulit ditemui, karena dia sedang
mengeloni Cee Kiang, famili Raja Cee Hoan-kong yang diserahkan kepadanya untuk dijadikan
istrinya. Siang dan malam dia ada di samping si nona manis itu, sudah tidak perduli
apapun. Para menterinya yang setia, menunggu ingin bertemu dengan Pangeran Tiong Ji, bahkan
hampir sepuluh hari lamanya. Gui Cun uring-uringan, dia menggerutu.
"Karena kupikir Pangeran akan memperoleh kemajuan, maka aku ikut dengannya.
Tetapi sepanjang hari kerjanya cuma bersenang-senang dengan perempuan saja selama tujuh
tahun sia-sia. Bayangkan kita menunggu tujuh tahun lamanya dengan sia-sia saja. Dia
cuma memikirkan bersenang-senang saja. Sudah sepuluh hari lebih kita menunggu ingin
bertemu dengannya, tetapi dia tidak mau muncul, jika terus begini bagaimana dia bisa
mengerjakan usaha besar?" "Diam," kata Ho Yan sambil menggoyangkan tangannya. "Di sini bukan tempat
berunding, mari ikut aku pergi di suatu tempat yang sunyi."
Semua setuju, sesudah berjalan sejauh 10 li, mereka sampai di Song-im yang di
sekitarnya banyak tumbuh pohon Song (murbui), karena daun pohon ini lebat hingga matahari
tidak mampu menembus, hingga keadaannnya sangat teduh.. Di sini Tio Swi dan sembilan
kawannya lalu berkumpul sambil duduk di tanah.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Tio Swi pada Ho Yan.
"Untuk mengajak Pangeran Tiong Ji pergi, kita gunakan saja siasat. Kita ajak dia
berburu, sekeluar dia dari negeri Cee baru kita bujuk dia pergi dari sini. Tetapi sesudah
itu, kita harus menumpang di negeri apa?" kata Ho Yan.
"Raja Song berniat menjadi jago di antara semua Raja-muda, ditambah lagi rajanya
bijaksana, mengapa kita tidak ke negeri Soing saja?" kata Tio Swi yang mengajukan usulnya.
"Seandainya kita menumpang di negeri Song dan juga tidak berhasil mencapai niat
kita, kita harus segera pergi ke negeri Cin atau Couw. Suatu saat kita akan menemukan jalan
yang baik." "Ya, aku dengan Kong-sun Kouw bersahabat, boleh dicoba kita pergi dulu ke negeri
Song," kata Ho Yan yang menyatakan setuju.
Begitu mereka berunding dan membuat rencana lalu mereka bubar. Mereka berunding
di tempat sepi, maksudnya supaya jangan ada orang lain yang tahu, tetapi tidak
disangka ketika mereka berunding, justru beberapa budak Cee Kiang sedang memetik daun murbei
(song) untuk makanan ulat sutera. Mereka tetap bersembunyi sampai semua yang berunding
bubar, baru mereka pulang ke istana dan melaporkan pada Cee Kiang.
Mendengar laporan itu Cee Kiang marah-marah dan pura-pura tidak percaya.
Menganggap laporan budak-budak itu bohong, lalu Cee Kiang menyuruh menahan budak-budaknya
itu dalam kamar tahanan. Sungguh cerdik Cee Kiang ini.
"Sungguh berbahaya bagi Pangeran Tiong Ji dan kawan-kawannnya, aku harus berbuat
sesuatu," kata Cee Kiang.
Malamnya budak-budak yang ditahan itu dibunuh seluruhnya. Ini untuk menghindari
bahaya di kemudian hari. Sesudah itu Cee Kiang membangunkan suaminya, yaitu Pangeran
Tiong Ji. "Suamiku, anak buahmu hendak mengajakmu pergi dari negeri Cee, saat mereka
berunding budak-budakku mengetahuinya, karena khawatir budak-budakku membocorkan rahasia
ini, mereka sudah kubunuh semua. Sekarang juga kau harus mengambil keputusan untuk
segera meninggalkan negeri Cee." kata Cee Kiang.
"Aku sudah hidup bahagia di sini, untuk apa aku pergi dari sini. Aku akan hidup
dan mati di negeri ini," kata Pangeran Tiong Ji. Dia kelihatan kurang senang oleh adanya
rencana anak buahnya itu. "Pendapatmu keliru, suamiku," kata Cee Kiang. "Sejak kau meninggalkan negeri
Chin, sampai saat ini keadaan di negeri Chin belum aman. I Gouw yang lemah, angkatan
perangnya hancur, hingga rakyat kurang puas kepadanya, tetangga negaranya kurang senang.
Ini jelas Thian mengharapkan kau. Hamba yakin kau akan berhasil menduduki negeri Chin!"
Karena Pangeran Tiong Ji sangat mencintai Cee Kiang yang elok, dia merasa berat
untuk berpisahan dengan Cee Kiang. Maka itu dia tak mau mendengarkan nasihat isterinya
itu. Esok paginya, Tio Swi, Ho Yan, Kiu Kui dan Gui Cun, empat orang anak buahnya,
telah menunggu di luar keraton, mereka ingin mengajak Pangeran Tiong berburu.
Mendengar kabar itu Cee Kiang di luar tahu Pangeran Tiong Ji, suaminya, dia buru-buru menyuruh
orang memanggil Ho Yan, hanya seorang diri saja masuk ke dalam istananya.
Ketika Ho Yan menghadap, Cee Kiang menyuruh semua pelayannya mundur. Baru
sesudah itu Cee Kiang menanyakan maksud kunjungan Ho Yan dan kawan-kawannya itu.
"Pangeran senang berburu oleh karena itu kami ingin mengajaknya berburu," jawab
Ho Yan pada Cee Kiang. "O, begitu," kata Cee Kiang sambil tersenyum. "Tetapi kali ini kalau bukan ke
negeri Song pasti kalian akan ke negeri Cin atau ke negeri Couw. Bukan begitu?"
Ho Yan agak kaget. Dia mencoba menenangkan diri.
"Ah, mustahil berburu sampai sekian jauhnya?" sahut Ho Yan.
"Jangan bohong. Aku tahu kau akan membawa kabur Pangeran Tiong, semua aku sudah
tahu." kata Cee Kiang. "Kalian jangan berdusta padaku! Tadi malam pun aku sudah
bujuk suamiku agar pergi dari negeri ini, tetapi dia tidak mau ."
Ho Yan heran, tetapi dia girang.
"Lalu bagaimana selanjutnya?" kata Ho Yan.
"Begini. Nanti malam akan kuajak dia minum sampai mabuk, dalam keadaan mabuk
kalian naikkan ke sebuah kereta lalu bawa dia pergi jauh...." kata Cee Kiang. "Dengan
cara demikian baru kalian berhasil!' Bukan main senangnya Ho Yan, dia berlutut mengucapkan terima kasih.
"Hamba berterima kasih, ternyata Nyonya seorang yang mulia. Rela berpisah dengan
suami tercinta demi kemajuan suami, wanita seperti Nyonya sangat jarang di muka bumi
ini...." puji Ho yan. Tio Swi, Ho Mo dan lain-lain berangkat duluan sampai di tanah lapang mereka akan
menunggu, hanya Ho Yan, Gui Cun dan Tian Kiat, tiga orang, yang membawa dua buah
kereta kecil yang disembunyikan dekat istana. Mereka menunggu kabar baik dari
Cee Kiang, yaitu sesudah suaminya mabuk berat. Malam harinya, benar saja Cee Kiang telah
mengatur perjamuan, dia menyediakan makanan. Saat makan minum Cee Kiang merayu Pangeran
Tiong Ji sehingga pangeran makin senang hatinya. Cee Kiang juga memerintahkan
beberapa budak perempuannya menyanyi dan menari, hingga akhirnya Cee Kiang berhasil
hingga suaminya ini mabuk berat. Sesudah suaminya tertidur karena mabuk, Cee Kiang lalu
mengambil selimut dan menutupi tubuh suaminya, kemudian baru memerintahkan orang
memanggil Ho Yan. "Ho Yan mengerti pasti Pangeran Tiong Ji sudah mabuk berat, maka dia ajak Gui
Cun dan Tan Kiat masuk ke dalam istana, lalu menggotong Pangeran Tiong Ji bersama
selimutnya terus dibawa keluar, dan ditaruh di dalam sebuah kereta kecil yang lebih dulu
memang sudah diberi kasur. Sesudah selesai, Ho Yan mengucapkan selamat tinggal pada Cee Kiang yang
sebenarnya merasa berat berpisah dengan pangeran, tetapi terpaksa ia mengeraskan hatinya
sambil menangis, karena ingin suaminya mendapat kemajuan. Ho Yan dan dua kawannya
dengan cepat, tetapi dengan berhati-hati sekali melarikan kereta yang membawa Pangeran
Tiong Ji, ketika hampir tengah malam mereka sudah meninggalkan ibukota Cee cukup jauh, di
suatu tempat mereka bertemu dengan Tio Swi dan yang lain-lain, dan dalam keadaan gelap
gulita mereka memeruskan perjalanan.
Kira-kira sudah berjalan lima atau enam puluh li jauhnya, terdengar suara ayam
berkokok, sementara dari arah Timur mulai tampak sinar cahaya terang. Waktu itulah
Pangeran Tiong Ji baru sadar dari tidurnya, dia berguling-guling di dalam kereta, dia berteriak
memanggil pelayan istana meminta air minum karena dia haus. Ho Yan yang memegang kendali
kereta itu ada di sampingnya lalu menyahut. "Mau air harus menunggu sebentar siang."
Tiong Ji merasa dirinya ada tergoyang-goyang hingga rasanya tidak enak, sembari
mengulet ia berkata: "Marilah, bangunkan aku dan turun dari ranjang!"
"Ini bukan ranjang, tetapi kereta," sahut Ho Yan. Tiong Ji terkejut, dia membuka
matanya celingukan ke kian kemari, lalu dia pegang Ho Yan dan bertanya dengan kasar.
"Siapa kau?" "Hamba Ho Yan, Tuanku," sahut menteri yang setia ini. Waktu itu Pangeran Tiong
Ji jadi
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kaget, segera dia sadar kalau dia tekah diculik oleh anak buahnya. Segera dia
bangun. "Chu Hoan, mengapa kalian tidak memberitahuku dulu kalau aku mau diajak kabur?"
bentak Pangeran Tiong Ji gusar bukan main. "Apa ,maksud kalian ini?"
"Kami hendak menyerahkan negeri Chin pada Pangeran," sahut Ho Yan dengan sabar.
"Sebelum mendapatkan negeri Chin, tetapi aku telah kehilangan negeri Cee, aku
tidak mau! Berhenti di sini! Aku tidak mau pergi!"
"Tetapi kita sudah meninggalkan negeri Cee sejauh seratus li lebih," kata Ho Yan
sengaja membohongi junjungannya. "Lagi pula jika Raja Cee mengetahui Kong-cu minggat,
niscaya dia akan mengerahkan pasukan mengejar kita, ini sungguh berbahaya sekali jika
kembali ke sana." Pangeran Tiong Ji tidak bisa menahan amarahnya, justru dia melihat Gui Cun
sedang memegang tombak berjaga di sampingnya, dia lantas rebut tombak itu, dengan
tombak itu dia hendak menyerang Ho Yan. Melihat gelagat kurang baik, Ho Yan buru-buru turun dari kereta dan pergi
menyelamatkan diri. Pangeran Tiong Ji melompat turun, lalu mengejar Ho Yan. Sementara itu Tio
Swi, Kiu Kui, Ho Sia Kouw, Kay Cu Cui dan yang lain-lain turun dari kereta menghalangi
niat Pangeran Tiong Ji. Meski sudah dinasehati, tetapi kemarahan Pangeran Tiong Ji
belum bisa lenyap, sambil uring-uringan dia lemparkan tombaknya ke tanah. Ho Yan langsung
menghampiri Pangeran Tiong Ji, sesudah itu dia memberi hormat.
"Jika Tuanku membunuhku dan Kong-cu bisa menjadi raja di negeri Chin, aku rela
mati di sini." kata Ho Yan. "Karena kami ingin Pangeran menjadi Raja Chin," kata Tio Swi menyambung
pembicaraaan Ho Yan, "maka kami sudah meninggalkan kampung halaman kami, rumah dan anak
isteri kami pergi ikut dengan Kong-cu, sebab berharap barangkali saja di kemudian hari
nama kami tercatat di dalam buku hikayat. Sekarang Chin Hui-kong tidak memegang aturan,
semua rakyat negeri ingin sekali mengangkat Kong-cu menjadi raja, tetapi jika Kong-cu
sendiri tidak mau mencari jalan supaya bisa masuk ke negeri sendiri, siapa yang nanti mau
menjemput Pangeran ke negeri Cee" Apa yang terjadi tadi malam, sebenarnya sudah disetujui
oleh kami semua termasuk istri Pangeran bukan sekali-kali cuma rencana Chu Hoan seorang,
maka harap Kong-cu jangan salah mengerti."
Gui Cun yang terkenal beradat, dengan suara nyaring lantas nyeletuk: "Satu laki-
laki harus bersemangat untuk memperoleh nama, supaya bisa tersohor sampai di zaman
kemudian! Mengapa hanya memberatkan seorang perempuan, yang cuma menyenangkan sekejap,
tetapi tidak memikirkan hari depan."
Sementara yang lain-lain pun memberi nasihat pada Pangeran Tiong Ji. Mendengar
nasihat semua menterinya yang demikian pedas dan pantas, paras Tiong Ji berubah sabar
kembali, dia menghela napas seraya berkata, "Ya, sudahlah, sekarang sudah jadi begini, aku
menurut saja." Ho Mo datang menyuguhkan ransum kering pada Tiong Ji, sedang Kay Cu Cui datang
membawakan air minum. Tiong Ji dan semua anak buahnya makan bersama-sama. Ouw
Siok dan beberapa kawannya menyabit rumput untuk memelihata kuda. Kemudian sesudah
membereskan semua barang-barang, mereka lalu meneruskan perjalanan.
Mereka berjalan belum sehari telah sampai di negeri Co. Sebenarnya Raja Co
Kiong-kong tidak mau menerima Tiong Ji singgah di negerinya, sebab dia keberatan karena
tidak menguntungkan baginya menerima kedatangan Pangeran dari negeri Chin ini. Tetapi
ketika di antara menterinya ada yang berkata bahwa Pangeran Tiong Ji anak-anakan mata ada
dua dan tulang iganya rangkap menjadi satu, Raja Co Kiong-kong jadi heran dan penasaran
sekali, maka dia lantas memerintahkan orangnya menyambut kedatangan Pangeran Tiong Ji,
dan diizinkan tinggal di gedung tamu.
Tetapi Raja Co memperlakukan Tiong Ji dan menteri-menterinya tidak dengan
sepantasnya, dia cuma menyuruh orang membawakan air dan nasi untuk menyuguhi tamunya itu,
tidak menghaturkan selamat datang, tidak mengadakan pesta kehormatan bagi tamunya,
tegasnya dia tidak menjalankan peraturan menyambut tamu sebagai tuan rumah seperti yang
semestinya. "Karena dihina begitu rupa, Tiong Ji jadi mendongkol dan tidak sudi makan
suguhan dari Raja Co itu. Tidak lama budak gedung membawa masuk sebuah paso untuk mandi, lalu
menyilakan Pangeran Tiong Ji mencuci badan. Karena melakukan perjalanan jauh dan
banyak keluar keringat, memang Tiong Ji hendak mandi maka segera dia pun mandi,
Waktu itu Raja Co Kiong-kong bersama beberapa pengikutnya yang dia sangat sayang
dengan berpakaian seperti orang kecil datang di gedung tetamu dan terus masuk ke
kamar mandi, di sana mereka mendekati Tiong Ji dan memeriksa tulang iganya, mereka
jadi ribut mengeluarkan pendapat mereka.
Ho Yan dan yang lain-lain ketika mendengar ada orang masuk di kamar mandi, buru-
buru memeriksa, tetapi sayang semua orang itu sudah pergi. Ho Yan masih sempat
mendengar tawa mereka. Ketika Ho Yan minta keterangan, penjaga mengatakan yang datang
adalah Raja Co. Tiong Ji dan para pengikutnya bukan main mendongkolnya, tetapi mereka menahan
sabar, dan belum bisa membalas penghinaan raja tolol itu. Ketika Raja Co hendak
mengintip, yang sebenarnya itu perbuatan hina telah dicegah dengan sangat oleh Tay-hu Hi Hu Ki,
tetapi Raja Co yang angkuh itu tidak mempedulikannya, hingga menteri itu pulang ke rumahnya
dengan hati mendongkol. Malam harinya, diam-diam Hi Hu Ki membawakan rupa-rupa hidangan yang lezat ke
gedung tamu, sedang di dalam nasi dia selipkan batu mustika yang berharga mahal.
Ketika itu Tiong Ji punya perut memang sedang kelaparan dan duduk diam dengan
menahan kemarahan, setelah dia mendengar Hi Hu Ki datang minta bertemu serta membawakan
hidangan, lalu dia suruh orang menyambut dan mengajak menteri ini masuk.
Setelah Hi Hu Ki bertemu dengan Pangeran Chin, dia memberi hormat, lebih dulu
dia minta dimaafkan atas kelakuan Raja Co yang tidak patut, kemudian baru menjelaskan
bahwa kedatangannya ini cuma untuk menyatakan hormatnya.
Tiong Ji girang, dengan menghela napas dia berkata, "Aku tidak menyangka di
negeri Co ada menteri yang berbudi. Di kemudian hari apabila aku beruntung pulang ke negeriku
sendiri, niscaya aku tidak akan melupakan budi ini."
Sehabis berkata begitu Tiong Ji lantas makan, tetapi di dalam mangkuk nasinya
dia menemukan sebuah batu mustika yang begitu bagus, hingga dengan terkejut dia
berkata pada Hi Hu Ki, "Tay-hu menaruh budi padaku membuat aku tidak sampai kelaparan itu
sudah cukup, kenapa harus memberi hadiah ini yang mahal harganya" Tidak, aku tidak
bisa menerimanya, harap Tay-hu terima kembali. Aku sudah menanggung cukup besar budi
Tay- hu." "Itu cuma sekedar hormatku yang ada dalam hatiku, harap Kong-cu jangan menolak,"
kata Hi Hu Ki yang seberapa bisa hendak memaksa. Tetapi meski dipaksa bagaimana pun,
Tiong Ji, tetap tidak mau terima. Setelah Hi Hu Ki berpisah dengan Tiong Ji, dengan menghela napas dia berkata,
"Chin Kong- cu begitu miskin dan melarat, tetapi dia tidak tertarik oleh barang mustikaku
yang berharga, jelas dia seorang yang berbudi luhur!"
Pada esok harinya, Tiong Ji dan menteri-menterinya segera berangkat. Hi Hu Ki
dengan diam-diam pergi mengantarkan keluar kota sampai kira-kira sepuluh li jauhnya.
Dari negeri Co, kemudian Pangeran Chin dan semua menterinya pergi ke negeri
Song. Ho Yan yang berjalan dulu telah sampai lebih dulu, lalu pergi menemui Su-ma Kong-
sun Kouw. Kong-sun Kouw menceritakan pada Ho Yan, bahwa rajanya karena tidak tidak
menyadari tenaga sendiri, sudah menggunakan kekuatan tentaranya menyerang negeri Couw,
hingga tentaranya mendapat kerusakan besar dan pahanya sendiri terluka, penyakitnya
sampai sekarang belum sembuh. "Tetapi Pangeran Tiong Ji sudah lama namanya termasyur,
kedatangannya pasti akan diterima baik oleh rajaku."
Sehabis berkata begitu Kong-sun Kouw mempersilakan sahabatnya itu duduk
menunggu, sedang dia lalu masuk ke istana memberi kabar pada Raja Song Siang-kong tentang
kedatangan Pangeran Chin bersama menteri-menterinya.
Raja Song memang sangat sakit hati pada negeri Couw, siang dan malam berharap-
harap bisa mendapat bantuan orang-orang pintar untuk melakukan pembalasan pada musuh
besarnya itu, maka ketika dia mendengar Pangeran Chin datang di tempatnya, bukan main
girangnya. Raja Song ini, dia pikir negeri Chin negeri besar, sementara Pangeran Tiong Ji
terkenal pintar serta berbudi. Cuma dia merasa menyesal karena luka di pahanya masih belum
sembuh juga, hingga dia tidak bisa menyambut sendiri, maka apa boleh buat dia perintahkan
Kong-sun Kouw pergi keluar kota untuk menyambut, lalu mengajak tamu agung itu tinggal di
gedung tempat tamu terhormat. Esok harinya, Tiong Ji hendak berangkat lagi, tetapi Kong-sun Kouw yang
diperintah oleh Song Siang-kong sebisa-bisanya meminta agar pangeran itu mau tinggal beberapa
hari lagi. Begitulah Tiong Ji dan menteri-menterinya tinggal di negeri Song sampai beberapa
hari lamanya dengan mendapat perhatian besar dari Raja Song. Melihat penyakit Raja
Song Siang- kong belum sembuh, dengan diam-diam Ho Yan berunding dengan Kong-sun Kouw
mengenai maksud untuk mengantarkan Tiong Ji pulang ke negeri Chin. Kong-sun Kouw
memberitahu dengan jelas.
"Jika Chin Kong-cu cuma mau menumpang di negeri Song selamanya Raja Song
bersedia menampungnya, tetapi kalau untuk mengantarkan pulang ke negeri Chin, pasti
negeri Song belum sanggup melakukannya, lantaran baru mendapat kerusakan besar, maka lebih
baik jika mencari bantuan dari negeri besar, supaya bisa terkabul apa yang dimaksudkan."
kata Kong- sun Kouw. Kejujuran Kong-sun Kouw membuat Ho Yan jadi senang hati, maka dia pun tidak mau
buang waktu, dia segera memberi tahu Pangeran Tiong Ji tentang hal itu dan mengajak
kawan sejabatnya membereskan barang-barang mereka bersiap untuk berangkat.
"Mendengar Tiong Ji hendak berangkat, Raja Song mengantarkan ransum, pakaian dan
lain- lain barang yang perlu dalam perjalanan. Tiong Ji menghatur kan terima kasih
atas kebaikan Raja Song ini. Luka yang diderita Raja Song makin hari makin berbahaya. Ketika Raja Song merasa
ajalnya akan tiba, dia memanggil Pangeran Ong Sin untuk diberi pesan terakhir.
"Lantaran aku tidak menuruti nasihat Cu Gi, maka aku sampai jadi begini rupa,"
kata Raja Song Siang-kong. "Kau sebagai pewaris tahtaku. Maka kau harus mendengar nasihat
Cu Gi. Sedangkan Raja Couw musuh besar kita, kau jangan bersahabat dengannya. Jika
Pangeran Chin bisa pulang ke negerinya, niscaya dia akan menjadi raja di negeri Chin. Kau
harus bersatu dengan negeri Chin." kata Raja Song. "Ingat baik-baik pesanku ini."
Sehabis meninggalkan pesan, selang tidak berapa lama Raja Song Siang-kong
menghembuskan napasnya yang penghabisan. Dia menjadi raja selama empat belas
tahun lamanya. Cita-citanya menjadi Raja Jagoan tidak berhasil.
Sesudah mengurus upacara berkabung beres, Pangeran Ong Sin langsung naik takhta
kerajaan, yang memakai gelar Raja Song Seng-kong. Sekeluarnya dari negri Song,
rombongan Pangeran Tiong Ji berjalan sampai di negeri The. Tetapi Raja The Bun-
kong tidak sudi menyambut kedatangan rombongan Pangeran Tiong Ji, malah Raja The telah
memerintahkan menterinya yang menjaga pintu kota menutup rapat pintu kotanya.
Maka Tiong Ji yang melihat begitu lalu berjalan terus pergi ke negeri Couw.
Raja Couw menerima baik kedatangan pangeran Tiong Ji, malah dia menghormatinya.
Hampir setiap hari Raja Couw Seng-ong mengadakan pesta, Pangeran Tiong Ji
menghaturkan terima kasih. Begitulah mereka berdua ternyata cocok satu sama lain, maka Tiong
Ji pun jadi betah tinggal di negeri Couw.
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pada suatu hari, Raja Couw Seng-ong mengajak Tiong Ji pergi berburu di tanah In-
tek dan Bong-tek. Dalam perburuan itu Raja Couw mengeluarkan kepandaiannya, yaitu dengan
beruntun dia memanah menjangan dan seekor kelinci, yang semuanya telah kena
dengan jitu. Semua panglima Couw berlutut di tanah memberi selamat. Sementara itu justru
muncul seekor beruang menyeruduk lewat di depan keretanya. Raja Couw berkata pada Tiong
Ji. "Kong-cu, lekas panah beruang itu!" kata Raja Couw.
Tiong Ji mengangkat busur dan anak panahnya, setelah busur panah menjeprat,
beruang itu segera jatuh terguling-guling. Tentara Couw mengambil beruang itu ternyata sudah
mati dan dibawa ke hadapan Raja Couw. Raja Couw terkejut, dan merasa kagum dia berkata,
"Kong-cu betul-betul seperti malaikat panah!"
Tiong Ji menolak pujian itu dan coba bersikap merendah. Tiba-tiba terdengar
suara riuh. Couw Seng-ong memerintahkan pengikutnya pergi memeriksa ada apa hingga orang
jadi begitu ribut. Tidak lama orang suruhan sudah kembali, dia memberitahu. "Di sebuah sela gunung
orang telah mengejar satu binatang aneh, rupanya seperti beruang, hidungnya seperti
gajah, kepalanya seperti singa, kakinya seperti macan, bulunya seperti anjing hutan,
kumisnya seperti babi hutan, buntutnya seperti kerbau, badannya seperti kuda dengan
belang hitam dan putih, meski orang sudah menombak, dan membacok dengan kapak, digaet dan
dipanah, tetapi tidak mempan, dia menggigit besi seperti menggigit lumpur, roda gerobak
yang terlapis besi semua sudah digigitnya sampai hancur, tegasnya orang sudah putus akal untuk
membinasakan binatang itu, maka orang telah jadi ribut kalang kabut." kata
pesuruh Raja Couw itu. Mendengar laporan itu Raja Couw heran, lalu bertanya pada Tiong Ji.
"Kong-cu lahir di Tiong-goan (Tiongkok), pandanganmu luas dan pengetahuanmu pun
banyak, apakah kau tahu binatang apa namanya?"
Tiong Ji lantas berpaling dan mengawasi Tio Swi.
"Hamba tahu namanya binatang itu!" kata Tio Swi sambil maju di hadapan Raja
Couw. "Binatang itu namanya binatang Bo, dia lahir dari barang logam yang mendapat
hawa langit dan bumi, kepalanya kecil, kakinya pendek, dia suka makan tembaga dan besi,
tulangnya padat tidak ada sumsumnya, keras seperti palu, kulitnya kalau dijadikan kasur,
bisa menolak segala hawa jelek." "Tetapi bagaimana akalnya untuk menangkap binatng itu?" tanya Raja Couw.
"Kulit dan dagingnya semua berasal dari besi, pasti berbagai alat senjata tidak
akan mempan," sahut Tio Swi. "Cuma di tengah lubang hidungnya ada lubang kosong, jika kita
menggunakan benda terbuat dari baja asli untuk menusuk hidungnya, atau kita gunakan api,
karena binatang itu takut api pasti dia binasa."
Baru saja Tio Swi berhenti bicara, Gui Cun lantas berseru, "Tidak usah memakai
senjata, hamba sanggup menangkap binatang itu untuk dibawa kemari!". Sehabis berkata
begitu, orang gagah ini segera melompat turun dari keretanya terus berlari dengan
kencang sekali. Couw Seng-ong tercengang melihat kehebatan Gui Cun ini, dia berkata pada Tiong
Ji. "Mari kita pergi melihatnya." kata Raja Couw.
Setelah Tiong Ji menyatakan setuju, Raja Couw langsung memerintah kusirnya
menjalankan kendaraannya pergi ke tempat orang banyak yang sedang mengepung binatang itu. Di
tempat itu mereka melihat Gui Cun sudah sampai di depan binatang itu, dia mengangkat
kepalannya menjotos sampai beberapa kali, tetapi binatang itu sedikit pun tidak merasa
sakit, malah dia mengeluarkan suara seperti kerbau, segera dia menerjang dan berdiri, dengan
lidahnya sekali jilat pinggang Gui Cun, ikat pinggangnya yang terbuat dari kuningan telah hilang
sepotong. "Meski pertandingan itu sangat berbahaya, tetapi sedikit pun Gui Cun tidak
merasa takut, malah dengan sangat marah dia berkata, "Hei, kau jangan kurang ajar!" Sambil
berkata begitu Gui Cun melompat hingga terpisah dari tanah kira-kira lima kaki tingginya.
Binatang itu langsung terguling di tanah, lalu melompat dan menunggangi bagian
belakang binatang itu, sedang tangannya langsung memeluk leher binatang itu sekencang-
kencangnya. Binatang itu berjingkrak dan berontak, tetapi Gui Cun mengikutinya saja, meski
dia dilemparkan ke atas atau dibanting ke tanah, dia peluk terus leher binatang itu
tidak mau dia lepaskan. Sesudahbergulatlama,tenaga binatang ituperlahan-lahan jadi
berkurang. Melihat demikian Gui Cun lantas kencangkan sikutnya, mencekik leher binatang itu
semakin keras. Binatang itu karena susah bernapas, dan memang tenaganya sudah habis,
diam saja tidak bisa berkutik. Gui Cun melompat turun, dengan tangannya yang seperti tulang besi urat kawat
lalu memegang hidung binatang yang mirip belalai gajah itu, terus dia tuntun seperti
orang menuntun anjing atau kambing dibawa menghadap ke hadapan Raja Couw dan Tiong Ji.
Tio Swi memerintahkan laskar perang mengambil api untuk memanggang hidung binatang
itu. Begitu hawa api menembus ke hidungnya, binatang itu langsung jadi lemas dan
jatuh tengkurup. Gui Cun baru melepaskan tangannya, kemudian mencabut pedang yang
tergantung di pinggangnya mau membacok binatang itu. Tetapi bacokan itu seperti orang
membacok besi saja, melainkan memancarkan percikan api saja, sedang bulu binatang itu tidak
rusak sedikit pun. "Jika mau membunuh binatang ini dan mengambil kulitnya, harus memakai api,
kurung dan panggang dia," kata Tio Swi.
Raja Couw menurut omongan Tio Swi, lalu memerintahkan tentaranya berbuat begitu.
Setelah dari empat penjuru berhasil dipanggang dengan api, binatang yang kulit
dan dagingnya seperti besi itu perlahan-lahan jadi lunak, hingga dapat dikuliti
dengan gampang. Melihat begitu Couw Seng-ong kagum sekali, dia bersyukur pada Tiong Ji yang
punya pengikut begitu tangkas, di bagian sipil pembantunya begitu pintar, dan di
bagian militernya begitu gagah. Waktu berburu itu dihentikan, Raja Couw mengajak Tiong Ji pulang
ke istananya, di sana diadakan pesta besar.
"Jika Kong-cu bisa pulang ke negeri Chin, bagaimana kau akan membalas
kebaikanku?" kata Raja Couw Seng-ong pada Tiong Ji.
"Perempuan cantik, batu mustika dan kain sutera, ini semua di sini masih sangat
banyak," sahut Tiong Ji. "Bulu burung dan kulit binatang memang keluar dari tanah Couw,
sesungguhnya aku pun bingung tidak tahu dengan apa aku membalas kebaikan
Tuanku." "Sekalipun demikian, pasti kau bisa membalas kebaikanku, coba aku ingin dengar,"
kata Raja Couw sambil tertawa. "Seperti kubilang, aku tidak tahu bagaimana nanti membalas kebaikan Tuanku,
sebab segala macam barang yang berharga, Tuanku sudah memilikinya. Cuma seandainya aku bisa
mendapatkan kembali negeri Chin, kami bersahabat baik demi kesejahteraan rakyat.
Jika Tuanku mengerahkan angkatan perang, aku akan memberi hormat dengan mudur sejauh
90 li sebagai penghormatan."
Sesudah itu perjamuan ditutup dan Tiong Ji pulang ke gedungnya. Seng Tek Sin
marah-marah dan langsung berkata kepada Raja Couw Seng-ong. "Tuanku telah berlaku begitu
baik pada Chin Kong-cu, tetapi sekarang dia telah mengeluarkan perkataan yang tidak
pantas, jelas di kemudian hari jika dia sudah pulang ke negeri Chin, niscaya dia akan melupakan
budi Tuanku. Karena itu harus diberi pelajaran atas kesombongannya, yaitu hamba mohon
izin akan membunuhnya." kata Seng Tek Sin.
"Jangan, kita tidak pantas bertindak begitu," kata Raja Couw yang tidak setuju.
"Chin Kong- cu seorang yang budiman, sedang pengikutnya semua seperti alat negara yang baik,
jelas seperti dibantu oleh Allah, maka bagaimana kita berani melawan pada Allah?"
"Jika Tuanku tidak mau membunuh Tiong Ji, lebih baiklah kita tahan saja Ho Yan,
Tio Swi dan beberapa kawannnya. Ini untuk membuat agar macan tambah sayap."
"Menahan mereka itu tidak baik, malah akan membuat orang jadi benci pada kita.
Sekarang aku sedang memberikan kebajikan pada Chin Kong-cu, kalau demi kebajikan lalu
diganti dengan kebencian, ini bukan cara yang bagus."
Melihat rajanya berpegang keras kebijakannya, Seng Tek Sin tidak bisa membujuk
lagi, melainkan menarik napas panjang pendek. Begitulah seterusnya Couw Seng-ong
bersikap baik sekali pada Kong-cu Tiong Ji.
*** Pada tahun Ciu Siang-ong ke-15, Chin Hui-kong jatuh sakit. Sakitnya Chin Hui-
kong cukup berat. Putranya, yaitu Pangeran Gi sudah lama berada negeri Cin sebagai jaminan,
di sana dia sudah dinikahkan pada anak perempuan Raja Cin Bok-kong yang disebut Chin Hoay-
ong. Ibu Pangeran Gi putri raja negeri Liang. Raja Liang sangat kejam pada rakyat
negerinya, setiap hari dipaksa bekerja berat, karena itu semua rakyat negrinya jadi sangat
mendongkol, hingga bukan sedikit yang pindah ke negeri Cin, supaya luput dari siksaan yang
keji. Raja Cin Bok-kong menggunakan waktu yang baik itu, lalu memerintahkan Pek Li He
menggerakkan angkatan perang melabrak negeri Liang. Dalam peperangan itu Raja
Liang terbunuh oleh rakyat negerinya, yang semuanya tunduk kepada Raja Cin.
Tatkala Pangeran Gi mengetahui negeri Liang telah dimusnahkan dan kakek-luarnya
telah binasa, dia jadi sakit hati pada Raja Cin.
"Dia juga mendapat kabar ayahnya, Raja Chin Hui-kong, sakit parah, dia berpikir
jika dia ditahan selamanya di negeri Cin, esok lusa jika ayahnya menutup mata, maka akan
ada lain pangeran yang merebut tahtanya. Karena dia ingin sekali menjadi raja, maka
Pangeran Gi pun dengan tidak permisi lagi pada Raja Cin lalu kabur ke negaranya.
Setelah Raja Cin Bok-kong mengetahui Pangeran Gi sudah kabur, dia marah sekali,
lalu dia berkata pada semua mentrinya.
"I Gouw, ayah dan anak semuanya telah mengkhianatiku, aku harus membalas
kejahatannya. Ah, sesungguhnya aku menyesal dulu tidak mengambil Tiong Ji untuk dijadikan raja
di negeri Chin." Semua pembesar pun marah oleh sikap kurangajar dari pangeran Gi itu. Raja Cin
Bok-kong lalu mencari tahu keberadaan Pangeran Tiong Ji. Setelah tahu Tiong Ji ada di
negeri Couw, sudah beberapa bulan lamanya, Raja Cin Bok-kong memerintahkan Pangeran Ci dengan
membawa bingkisan pergi ke negeri Couw.
Kong-sun Ci menyampaikan bingkisan itu pada Raja Couw, serta berkata bahwa dia
diperintah menyambut Pangeran Tiong Ji untuk diajak ke negeri Cin, karena hendak
diantarkan pulang ke negerinya.
Mendengar berita itu Pangeran Tiong Ji girang sekali, tetapi dia sengaja
berpura-pura berkata pada Raja Couw, "Daripada pergi ke negeri Cin, aku rasa lebih baik aku menunggu
saja Tuanku punya pertolongan."
"Couw dan Chin terpisah jauh," jawab Couw Seng-ong, "apabila Kong-cu hendak ingin
masuk ke negeri Chin, pasti harus melewati beberapa negeri lagi. Sedang Raja Cin
dengan Raja Chin batas negaranya bersambung, jika berangkat pagi, baru sorenya sampai,
apalagi Raja Cin kabarnya pintar dan berbudi, ditambah dia sangat benci pada Raja Chin.
Ini boleh dibilang Allah telah membuka jalan buat kebaikanmu, maka haraplah Kong-cu segera
berangkat." Tiong Ji menghaturkan terima kasih dan menyatakan setuju dengan pendapat Raja
Couw. Raja Couw Seng-ong menghadiahi Pangeran Tiong Ji emas, kain sutera, kuda, kereta
dan lain-lain barang berharga. Sesudah pamitan pada Raja Couw, Pangeran Chin alias
Tiong Ji dan pengikutnya ikut dengan Kong-sun Ci berangkat.
Beberapa bulan berselang barulah mereka sampai di perbatasan negeri Cin.
Meskipun di dalam perjalanan telah melewati beberapa negeri, tetapi lantaran Tiong Ji di
antar oleh Kong- sun Ci dan pasukan perang Cin, maka dalam perjalanan itu tidak kurang satu apa
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pun. Tatkala Cin Bok-kong terima kabar Tiong Ji sudah sampai di negrinya, parasnya
kelihatan sangat girang, ia sendiri ajak mentri-mentrinya pergi ke luar kota untuk
menyambut Tiong Ji dan mengajak masuk ke dalam kota. Cin Hu-jin Bok-ki juga cinta Tiong Ji dan
benci Si-cu Gi, lalu bujuk Cin Bok-kong supaya serahkan Hoay-eng pada Tiong Ji buat teruskan
perhubungan famili. Bok-kong setuju dengan pikiran itu, segera menyuruh Kong-sun
Ci menyampaikan itu kepada Tiong Ji.
Oleh karena Tiong Ji pikir, Si-cu Gi dengan ia pernah paman dan cucu, sedang
Hoay-eng sendiri juga terhitung ia punya cucu perempuan, apabila ia terima untuk
dinikahi, ia khawatir ada melanggar kesopanan, maka ia berniat hendak menolak. Tetapi Tio Swi mencegah
seraya berkata: "Hamba dengar Hoay-eng cantik dan pintar, raja Cin dan permaisurinya
sangat sayang padanya. Jika tidak terima putrinya Cin, jadi tidak ada jalan buat
menggirangkan Cin. Hamba mendengar, kalau orang hendak cinta kita, lebih dulu kita harus cinta
orang, begitupun jika orang hendak turut kita punya keinginan, lebih dulu kita harus turut orang
punya kehendak. Tegasnya manakala tidak bikin senang Cin dan hendak pakai Cin punya
tenaga, tentu tidak boleh terima. Dari itu, menurut pikiran hamba, sebaiknya Kong-cu
jangan menolak." Tiong Ji masih merasa sangsi, lalu menanya bagaimana pikiran Ho Yan.
"Sekarang Kong-cu hendak masuk di negri Chin," berkata Ho Yan, "apakah Kong-cu
mau tunduk kepada Si-cu Gi atau ingin gantikan ia menjadi raja?"
Tiong Ji diam saja tidak menyahut.
"Negri Chin punya kendali pemerintah akan dipegang oleh Gi," kata Ho Yan ketika
lihat Tiong Ji diam saja. "Jika Kong-cu hendak takluk pada Gi, maka Hoay-eng jadi
pernah ibu- suri. Akan tetapi kalau mau gantikan Gi jadi raja, maka putrinya raja Cin itu
jadi terhitung musuhnya bekas istri. Demikianlah hamba punya pikiran, Kong-cu boleh ambil
putusan sendiri." "Justru Kong-cu mau rebut ia punya negri, kenapa musti ia punya istri?" kata Tio
Swi, menyambung bicara Ho Yan. "Tegasnya, kalau mau jalankan urusan besar dan takut
langgar pada peraturan kecil, di kemudian hari nanti mau menyesal sudah jadi kasep."
Kiu Kui dan yang lain-lain juga turut bantu membujuk.
Melihat mentri-mentrinya semua kasih pikiran yang serupa, Tiong Ji lantas ambil
putusan terima baik itu persetujuan. Kong-sun Ci segera balik kembali memberi berita
kepada Bok- kong, bahwa Tiong Ji bersedia terima pernikahan itu. Ini kabar membuat Bok-kong
girang sekali, lalu kasih tahu pada Bok-ki, yang juga jadi sangat senang.
Ketika sampai pada hari yang ditetapkan itu, pernikahan pun dirayakan, Tiong Ji
sambut Hoay-eng dan mengajak pulang ke gedung tempat tinggalnya. Hoay-eng punya paras
lebih elok dari Ce-kiang, sementara empat perempuan yang jadi pengantarnya juga
berparas cantik, hingga membuat Tiong Ji bukan main girangnya. Lantaran ini, cinta Cin Bok-kong
kepada Tiong Ji semakin kekal, hingga setiap tiga hari dibikin satu pesta kecil dan
lima hari bikin satu pesta besar. Sekarang biarlah kita tinggalkan dulu pada Tiong Ji, baiklah kita menyusul pula
pada Si-cu Gi yang telah minggat pulang ke negrinya. Pulangnya Si-cu Gi membuat Chin Hui-kong
jadi girang sekali, lalu ia berkata pada anaknya itu: "Aku menanggung sakit sudah
lama, memang aku sedang jengkel tidak ada putraku untuk menerima warisan, sekarang engkau
bisa terlepas dari kurungan musuh dan bisa pulang kembali ke negri sendiri, inilah yang
membuat hatiku senang." Si-cu Gi minta ayahnya jangan buat jengkel, dan juga ia harap biarlah itu
penyakit bisa lekas sembuh. Pada musim Ciu bulan Kauw-gwe, Chin Hui-kong rasakan penyakitnya bakal
membawanya ke lubang kubur, lalu ia tinggalkan pesanan pada Lu I seng dan Kiok Peng, supaya
nanti membela Si-cu Gi dengan segenap hati.
Pada malam itu benar saja Chin Hui-kong menghembuskan napasnya yang penghabisan.
Mendengar kabar itu Pangeran Gi dan menterinya menyatakan berduka cita. Kemudian
sesudah mengurus jenazah dan selesai berkabung, Pangeran Gi segera menjadi raja,
yang memakai gelar Chin Hoay-kong.
Karena Chin Hoay-kong khawatir Pangeran Tiong Ji mengadakan pemberontakan, dia
ingin menarik semua pengikut Pangeran Tiong Ji, jika tidak punya pembantu pasti Tiong
Ji tidak bisa bergerak. Maka dia langsung mengeluarkan perintahnya, dalam tiga hari sejak
saat itu diumumkan, setiap pembesar yang masih famili pada menteri-menteri yang yang ikut
dengan Pangeran Tiong Ji harus segera dipanggil pulang. Jika yang tidak pulang atau
terlambat maka daftar namanya akan dihapus jabatannnya, ditiadakan. Bahkan sanak familinya pun
akan dihukum sesuai aturan. Lo-kok-kiu Ho Tut mempunyai dua orang putera, yaitu Ho Mo dan Ho Yan, semua ikut
dengan Pangeran Tiong Ji dan tinggal di negeri Cin. Dengan diam-diam Kiok Peng
membujuk Ho Tut supaya menulis surat memanggil kedua putranya itu pulang.
Tapi Ho Tut berkeras tidak mau menurut. Lantaran bujukannya tidak berhasil, Kiok
Peng mengadu pada Raja Chin Hoay-kong, bahwa Ho Tut bermaksud buruk, karena dia tidak
mau memanggil dua orang putranya kembali dari negeri Cin.
Raja Chin Hoay-kong segera memerintahkan orang memanggil Ho Tut. Setelah Ho Tut
datang menghadap, Chin Hoay-kong mengajukan pertanyaan.
"Ho Mo dan Ho Yan ada di luar negeri, apa Lo-kok-kiu sudah mengirim surat untuk
memanggil mereka pulang?" kata Raja Chin.
"Belum," sahut Ho Tut.
"Aku telah mengeluarkan perintah, barang siapa yang lewat waktu masih belum
pulang, maka orang itu dianggap berdosa. Bahkan keluarganya pun ikut tersangkut, apa kau
sudah tahu hal itu?" "Kedua putra hamba sudah diserahkan kepada Kong-cu Tiong Ji, itu bukan baru
sehari. Menurut kewajiban orang yang menjadi hamba harus membela dengan setia pada
junjungannya sampai mati. Mereka tidak boleh berhamba pada orang lain lagi.
Tegasnya kedua putra dan kesetiaanya kepada Kong-cu Tiong Ji, seperti semua pembesar di
istana ini kepada Tuanku. Seandainya mereka sendiri yang kabur dan datang kemari, akulah
yang akan menghukum mereka! Mereka akan aku bunuh di negeri leluhur kaum Ho, maka
bagaimana aku mau disuruh memanggil mereka pulang?"
Jawaban Ho Tut membuat Raja Chin Hoay-kong marah sekali, lalu memerintahkan dua
orang algojo dengan golok yang tajam memenggal kepala Ho Tut.
"Jika kau bisa memanggil putramu pulang, jiwamu selamat dari kematian. Kalau
tidak, kau tahu sendiri!" ancam Chin Hoay-kong.
Kemudian dia perintahkan orangnya mengambil alat tulis yang ditaruh di hadapan
Ho Tut. Kiok Peng memegangi tangan Ho Tut dan dia dipaksa menulis surat.
"Jangan pegangi tanganku, aku akan menulis sendiri!" bentak Ho Tut, lalu dia
mengambil pina dan menulis delapan buah huruf besar, kata-katanya demikian bunyinya:
"Anak tidak dua ayah, menteri tidak dua raja." Melihat tulisan itu, bukan alang
kepalang marahnya Raja Chin Hoay-kong, sambil berjingkrak dan memukul meja dia berseru,
"Oh, sesungguhnya kau tidak takut padaku!"
"Jadi anak tidak berbakti dan jadi menteri tidak setia, itu hamba takutkan,"
jawab Ho Tut dengan suara tetap. "Pendeknya mati dalam perkara yang patut, itu hamba pandang
seperti perkara yang lumrah, kenapa hamba harus takut?"
Sehabis berkata begitu pembesar tua dan jujur itu memasang lehernya untuk
menerima hukuman. Raja Chin Hoay-kong tidak bisa menahan sabar lagi, segera dia
memerintahkan algojo memenggal leher Ho Tut di tengah pasar.
Di antara budak-budak keluarga Ho segera ada yang melarikan diri ke negeri Cin
untuk memberitahukan kabar celaka itu pada kedua Ho bersaudara. Setelah Ho Mo dan Ho
Yan mengetahui ayahnya telah dianiaya oleh Raja Chin Hoay-kong, alangkah terharu dan
penasarannya mereka, sambil memukuli dada, mereka pun menangis sedih sekali. Tio
Swi, Kiu Kui dan yang lain-lain semua datang menghibur.
"Orang yang sudah mati pasti tidak bisa hidup kembali, terlalu banyak sedih pun
tidak ada gunanya," kata Tio Swi menghibur lebih jauh. "Mari kita bersama-sama menemui
Kong-cu Tiong Ji untuk berunding mengenai urusan besar ini."
Ho Mo dan Ho Yan baru berhenti menangis, bersama Tio Swi dan yang lain-lainnya
mereka pergi menemui Pangeran Tiong Ji. Dua saudara Ho lalu menceritakan apa yang
terjadi di negeri Chin, dan sehabis bercerita kembali mereka berdua menangis dengan sedih.
"Jangan menangis, tunggu sampai aku sudah kembali, sakit hati kalian akan
kubalas!" kata pangeran Tiong Ji. Pangeran Tiong Ji naik kereta pergi menemui Raja Cin Bok-kong, dia ceritakan apa
yang telah terjadi di negeri Chin.
"Ini seperti Allah telah membuka jalan bagimu untuk mendapatkan negeri Chin,"
kata Raja Cin Bok-kong. "Aku akan antarkan kau ke negerimu!"
TiongJimenghaturkanterima kasih, lalupamitkembalike
gedungnya. Ia pulang belum berapa lama, pengawal pintu datang melapor. "Ada orang dari
negeri Chin datang minta bertemu, katanya membawa kabar rahasia." kata pengawal itu.
TiongJisegeramenyuruh pengawalsupaya orang itu diajakmasuk.
Setelah orang itu memberi hormat pada Tiong Ji, lalu dia memperkenalkan diri
sambil berkata, "Hamba putra Chin Tay-hu Loan Ci yang bernama Loan Tun. Raja Chin yang
baru kejam dan kasar hingga rakyat benci. Semua pembesar tidak suka kepadanya. Maka
Ayah hamba memerintahkan hamba secara rahasia mengantarkan kabar ini pada Kong-cu."
Mendengar keterangan dari Loan Tun, wajah Tiong Ji kelihatan girang.
"Kepercayaan Raja baru ada dua orang, mereka itu, Lu I Seng dan Kiok Peng
berdua," kata Loan Tun menyambung pembicaraannya, "pejabat lama seperti Kiok Pouw Yang, Han
Kan dan yang lain-lain, semua tidak terpakai, maka mereka berdua jangan
dikhawatirkan. Ayah hamba sudah membuat perjanjian dengan Kiok Cin, Ciu Ci Kauw juga yang lainnya,
dengan diam-diam telah mengumpulkan tentara, mereka menunggu sampai Kong-cu menyerang
dari luar, mereka akan segera menyambut dari dalam." Tiong Ji girang sekali, dia
lantas menetapkan perjanjian, pada awal tahun yang akan datang dia hendak menyerang ke
negeri Chin. Loan Tun lalu pamitan dan kembali ke negeri Chin.
Esok harinya....... Pangeran Tiong Ji menemui Raja Cin Bok-kong memberi tahu pembicaraannya dengan
Loan Tun. Kabar ini membuat Raja Cin Bok-kong jadi senang sekali, lalu dia tetapkan
pada musim Tang bulan Cap-ji-gwe (sebelas Imlek), dia akan menggerakan pasukan perangnya ke
negeri Chin. Panglima Pi Pa mendengar kabar bahwa Raja Cin Bok-kong hendak mengantarkan
Tiong Ji, dia memohon ingin menjadi Sian-hong (Panglima Pasukan Pelopor),
permohonan itu diluluskan oleh Raja Cin.
Tiga hari sebelum sampai pada hari yang ditetapkan, Raja Cin Bok-kong mengadakan
pesta di gunung Kiu-liong-san untuk mengucapkan selamat jalan pada Kong-cu Tiong Ji.
Kemudian Raja Cin yang baik budi itu memberi hadiah pada Tiong Ji sepuluh pasang
batu mustika, empat ratus ekor kuda, dan rupa-rupa berbagai keperluan, ransum dan
rumput secukupnya. Sedang Tio Swi dan kawan-kawannya yang berjumlah sembilan orang,
juga masing-masing diberi sepasang batu mustika dan empat ekor kuda.
Tiong Ji dan menteri-menterinya memberi hormat serta mengucapkan terima kasih.
Setelah sampai pada hari yang telah ditetapkan, Raja Cin Bok-kong mengajak Pek
Li Hee, Yu I, Pangeran Ci dan Kong-sun Ci memerintahkan Pi Pa (anaknya Pi The Hu) menjadi
Siang- hong, memimpin empat ratus kereta perang, segera berangkat dari kota Yong-ciu
untuk mengantarkan Kong-cu Tiong Ji pulang ke negeri Chin.
Pangeran Eng (anak Raja Cin Bok-kong) bersahabat baik dengan Pangeran Tiong Ji,
mereka merasa berat sekali untuk berpisah, lalu dia antarkan sahabatnya itu sampai di
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wi-yang, di sana satu sama lain sambil menangis terpaksa harus berpisah.
Pada tahun Ciu Siang-ong ke-16, atau tahun pertama pemerintahan Raja Chin Hoay-
kong, pada musim Cun bulan Chia-gwe (bulan satu) waktu Raja Cin Bok-kong dan Kong-cu
Tiong Ji telah berjalan sampai di tepi sungai Hong-ho.
Di situ sudah tersedia perahu cukup banyak untuk orang-orang menyeberang.
Sekali lagi Raja Cin Bok-kong mengadakan pesta untuk mengucapkan selamat jalan
kepada Tiong Ji. Kemudian baru dia bagi sebagian tentaranya. Dia perintahkan Pangeran
Ci dan Pi Pa memimpin pasukan perang untuk mengantarkan Tiong Ji menyeberang di sungai,
sedang Raja Cin sendiri lalu menempatkan tentaranya di pinggir sungai sebelah barat, untuk
menunggu kabar baik. Sesudah Pangeran Tiong Ji dengan pengantarnya menyeberangi sungai Hong-ho, Tiong
Ji yang diiringkan oleh pasukan perang Cin lalu berjalan menuju ke jurusan timur,
terus sampai di kota Leng-ho. Pembesar yang menjaga di tempat itu bernama Teng Hun, segera dia menyiapkan
tentaramya hendak menghadang kedatangan musuh ini. Balatentara Cin lantas mengepung kota
itu. Pi Pa maju dan menyerbu. Dia naik ke atas kota, perbuatan Pi Pa segera ditiru oleh
anak buahnya. Maka dalam pertempuran yang hebat, kota pun akhirnya jatuh ke tangan tentara
Cin. Sesudah itu Tiong Ji bersama angkatan perang Cin maju terus, ketika sampai di
kota Song- coan dan kota Pek-swe, semua pembesarnya keluar menyerah. Tatkala juru kabar
memberitahukan kabar ini, Raja Chin Hoay-kong kaget sekali, lalu dia
mengeluarkan seluruh kereta perang dan tentaranya yang ada dalam negeri, memerintahkan Lu I Seng dan
Kiok Peng memimpin pasukan perang, dan berjaga-jaga di Li-liu untuk menahan majunya
tentara Cin. Tetapi dua panglima yang dengki hati ini merasa jerih pada pasukan Cin yang
tangguh itu, mereka tidak berani maju hanya berjaga saja di dalam kota. Pangeran Ci sebagai
wakilnya Raja Cin Bok-kong lalu menulis surat pada dua pembesar itu, dalam suratnya
dikatakan kejahatan Chin Hui-kong dan Chin Hoay-kong, karena mereka berdua telah
berkhianat pada ayahnya Raja Cin Bok-kong, sekarang Raja Cin Bok-kong hendak mengantarkan
Pangeran Tiong Ji untuk menggantikan jadi raja, dia minta agar kedua pembesar itu
membantu dari bagian dalam untuk menyambut Pangeram Tiong Ji, dengan demikian dosa mereka akan
diampuni dan kemuliaan pangkatnya tidak akan hilang.
Lu I Seng dan Kiok Peng sesudah menerima surat itu jadi sangsi, hendak melawan
perang mereka khawatir tidak akan menang, mau menyerah mereka takut Tiong Ji masih
ingat peristiwa meninggalnya Li Kek dan Pi The Hu. Akhirnya sesudah berunding cukup
lama juga, baru mereka bisa mengambil keputusan, yaitu menulis surat balasan pada
Pangeran Ci, mereka mau menyerah, asalkan Pangeran Tiong Ji tidak mengungkap dosa lama
mereka. "Setelah Kong-cu Ci membaca surat balasan itu, Pangeran Ci mengerti bahwa kedua
dorna itu sangsi, maka dengan hanya seorang diri Pangeran Ci naik kereta pergi di Li-liu
untuk menemui kedua pembesar itu.
Lu I Seng dan Kiok Peng dengan sangat girang mereka keluar menyambut, sesudah
menpersilakan tamunya duduk, mereka menerangkan rahasia hatinya, yaitu bukan
mereka tidak mau menyerah, sebenarnya mereka takut pada Kong-cu Tiong Ji tidak bersedia
memakai mereka, maka mereka ingin mendapat perjanjian yang pasti.
"Jika Tay-hu suka mengundurkan tentara ke jurusan barat-daya," kata Kong-cu Ci,
"atas jasa Tay-hu ini akan kusampaikan pada Kong-cu Tionbg Ji, pasti dia akan membuat
perjanjian yang Tay-hu inginkan itu."
Dua pembesar itu menyatakan baik. Setelah Kong-cu Ci pulang, segera mereka
berdua menarik mundur tentaranya ke kota Sun-shia. Tatkala Kong-cu Ci memberi tahu hal
ini, Pangeran Tiong Ji memerintahkan Ho Yan ikut Kong-cu Ci pergi di kota Sun-shia
untuk berunding dengan Lu I Seng dan Kiok Peng. Di sini mereka berunding dan bersumpah
dengan cara minum darah dan berjanji akan mendukung Pangeran Tiong Ji menjadi Raja Chin
yang baru. Sesudah perjanjian itu dibuat, Lu I Seng dan Kiok Peng lalu mengutus orangnya
ikut Ho Yan pergi di Pek-swe, untuk menyambut Pangeran Tiong Ji datang ke kota Sun-shia
untuk memimpin pasukan besar menyerang ke negeri Chin.
Dikisahkan Raja Chin Hoay-kong, karena sudah lama tidak menerima laporan apa-apa
dari Lu I Seng dan Kiok Peng, hatinya jadi merasa khawatir, lalu memerintahkan Put Te
pergi memberi bantuan. Put Te baru berjalan setengah jalan dia mendapat kabar bahwa Lu
I Seng dan Kiok Peng telah mengundurkan tentaranya ke kota Sun-shia, mereka sudah
berdamai dan menyerah dan bergabung dengan Ho Yan dan Kong-cu Ci akan berontak melawan Raja
Chin Hoay-kong. Buru-buru dia pulang dan memberitahukan hal ini pada Raja Chin Hoay-
kong. Bukan main kagetnya Chin Hoay-kong, buru-buru dia perintahkan orang memanggil
Kiok Pouw Yang, Han Kan, Loan Ci, Su Hwe dan yang lain-lain, karena dia hendak
mengajak mereka berunding mencari cara untuk menghadapi serangan dari Pangeran Tiong Ji.
Tetapi semua pembesar yang diundang dengan alasan sakit dan alasan lainnya tidak ada
yang mau datang, Karena mereka pun sudah sepakan akan melawan pada Raja Chin.
Melihat keadaan yang berbahaya Chin Hoay-kong jadi putus asa, dia menarik napas
dan meratap. "Mengapa para pembesar itu tidak mau datang?" kata Raja Chin.
"Hamba dengar semua pembesar sudah mengadakan persekutuan rahasia, mereka
bersama- sama hendak menyambut raja baru, maka Cu-kong tidak boleh tinggal lebih lama
lagi di sini," kata Put Te. "Sekarang hamba mohon menjadi kusir kereta, hamba hendak mengajak
Cu-kong pergi menyingkir ke Ko-liang untuk sementara waktu, di sana nanti boleh
berikhtiar lagi bagaimana baiknya." Raja Chin Hoay-kong yang sudah putus asa, lalu menurut saja pada usul anak
buahnya itu, dia ikut Put Te pergi lari ke Ko-liang. Ketika Pangeran Tiong Ji sampai di
perkemahan tentara besar, Lu I Seng dan Kiok Peng memberi hormat pada Tiong Ji dan mohon diampuni
dosanya. Sedang Tiong Ji dengan perkataan lemah lembut menghibur pada kedua
menteri durjana itu. Tio Swi, Kiu Kui dan yang lain-lain juga menemui Lu I Seng dan Kiok Peng, mereka
saling memberi hormat dan mencoba menghilangkan dendam mereka. Lu I Seng dan Kiok Peng
sangat girang, lalu mengajak Pangeran Tiong Ji masuk ke dalam kota Kiok-ak untuk
sembayang di kelenteng raja Chin almarhum. Para pembesar lama pun menyambut
kedatangan Pangeran Tiong Ji, terutama para bekas pengikut Raja Chin Hui-kong
almarhum. Tidak lama Kong-cu Tiong Ji naik tahta kerajaan, yang memakai gelar Chin Bun-
kong. Terhitung sejak berumur 43 tahun dia lari ke negeri Ek, umur 55 tahun tinggal di
negeri Cee, umur 61 tahun tinggal di negeri Cin, dan sampai kembali di negerinya menjadi
raja, usianya sudah 62 tahun. Sesudah Chin Bun-kong pegang kendali pemerintah di negeri Chin, lalu ia
perintahkan orang pergi ke Ko-liang untuk membunuh Chin Hoay-kong. Chin Hoay-kong yang baru
memerintah enam bulan lamanya, dia terbunuh.
Panglima Put Te merawat dan mengurus jenazah Chin Hoay-kong, kemudian dia
kembali ke negeri Chin. Raja Chin Bun-kong mengadakan pesta besar untuk menghormati para
panglima Cin, yaitu Kong-cu Ci dan yang lain-lain, juga dia tidak lupa memberi hadiah
pada tamu dan tentara Cin yang telah membantu merebut kerajaannya. Di antara panglima Cin
adalah Pi Pa yang berlutut di hadapan Raja Chin Bun-kong sambil menangis, dia memohon pada
Chin Bun-kong supaya kuburan ayahnya, Pi The Hu, diperbaiki. Dengan senang Raja Chin
Bun- kong meluluskan permintaan itu.
Kemudian Raja Chin Bun-kong hendak menahan Pi Pa supaya bekerja kembali di
negeri Chin, tetapi Pi Pa menolak, dia berkata, "Karena hamba sudah mengabdikan diri
pada Raja Cin, maka hamba tidak berani berhamba pada dua orang raja."
Sesudah pamitan, Pi Pa ikut Kong-cu Ci kembali ke sungai Hong-ho, di sana mereka
memberi kabar pada Raja Cin Bok-kong, bahwa pekerjaan mereka sudah berjalan dengan baik
dan berhasil bagus. Lapor itu membuat Raja Cin Bok-kong senang sekali, lalu dia menark mundur
tentaranya pulang kembali ke negerinya. Lu I Seng dan Kiok Peng, sebetulnya menyerah karena
terpaksa saja, sebab mereka takut pada pengaruh pasukan perang Cin. Sekarang sesudah Raja
Chin Bun-kong memerintah, hati mereka selalu curiga, begitu pun jika bertemu dengan
Tio Swi, Kiu Kui dan yang lain-lain, tidak urung mereka merasa jengah pada dirinya
sendiri, meski pun orang tidak menghina atau mengejek atau menyindir mereka.
Ditambah lagi sejak Chin Bun-kong menjadi raja beberapa hari lamanya, beliau
belum memberi hadiah maupun pangkat pada mereka, hal ini makin membuat mereka gelisah
dan curiga saja bahkan terhadap yang berjasa mau pun berdosa belum dilakukannya.
Maka itu kedua dorna ini berniat mengacau dan hendak membakar istana serta membunuh Chin
Bun- kong. Meski pun niat mereka telah bulat, tetapi kedua durjana ini masih berpikir-
pikir, di istana tidak ada pejabat yang bisa dijadikan andalan yang bisa mendukung gerakan
mereka. Hanya Put Te seorang yang menjadi musuh Chin Bun-kong. Sekarang Raja Chin Bun-kong
sudah sangat berpengaruh, pasti Put Te pun takut dihukum, maka mereka pikir Put Te
boleh diajak bekerja sama. Segera mereka memanggil Put Te, mereka menceritakan maksud hati mereka. Put Te
girang sekali dan menerima perintah untuk menjalankan perbuatan khianat itu. Tiga orang
dengan minum darah menetapkan perjanjian, dalam bulan Ji-gwe saat rembulan sedang
gelap, tengah malam nanti secara bersama mereka akan menerbitkan huru-hara. Lu I Seng dan Kiok
Peng masing-masing pergi ke tanah miliknya, dengan diam-diam mengumpulkan orang untuk
dijadikan tentara mereka.
Tetapi tidak disangka Put Te cuma mulutnya saja menyatakan setuju, sedang dalam
hatinya berlainan. Put Te berpikir sekarang Hui-kong dan Hoai-kong yang dia anggap
seperti junjungan yang sejati, semuanya sudah meninggal dunia, sedang Raja Chin Bun-kong
seorang raja yang budiman dan menteri-menterinya semua pintar dan gagah, jika dia
melakukan perbuatan khianat, bukan saja dia bakal celaka, lagi pula bisa membuat negeri
Chin jadi kacau kembali. Tetapi dia tidak berani langsung menemui Raja Chin Bun-kong untuk memberi tahu
tentang rencana Lu I Seng dan Kiok Peng tersebut. Dia sadar dia berdosa dan bekas
pengikut Raja Chin yang digulingkan. Bahkan jatuhnya Raja Chin itu pun atas prakarsa Lu I Seng
dan Kiok Peng yang berkhianat. Maka diam diam pada tengah malam dia pergi menemui Ho Yan
dulu. Melihat kedatangan Put Te yang luar biasa, Ho Yan terkejut, lalu bertanya apa
maksudnya. Put Te tidak bersedia memberi penjelasan, dia hanya minta diantarkan menemui
Raja Chin Bun-kong. Ho Yan mengerti pasti Put Te punya rahasia besar, maka dengan tidak ayal lagi
dia ajak Put Te pergi ke istana. Ketika Ho Yan memberitahukan bahwa Put Te minta berjumpa,
Raja Chin Bun-kong marah sekali, dia lantas mau mengeluarkan perintah untuk menebas kepala
Put Te. Tetapi sesudah dicegah oleh Ho Yan dan dikasih mengerti bahwa Put Te pasti
membawa
5 Jagoan 5 Raja Cun Ciu Cho Coan Karya Tjho Tjioe Beng di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kabar rahasia besar, apa boleh buat Chin Bun-kong menyabarkan hatinya dan
terpaksa mengizinkan Put Te datang menghadap.
Meski pun demikian Raja Chin ini belum hilang kemarahannya, maka ketika Put Te
datang bertemu dan mejalankan kehormatan, dengan sengit Raja Chin menistanya.
"Oh, orang durhaka! Kau tebas bajuku, sampai sekarang baju itu aku masih
kusimpan, setiap kali aku melihatnya, hatiku merasa sangat pedih. Kemudian kembali kau datang ke
negeri Ek hendak menikamku, meski pun Chin Hui-kong memberi waktu tiga hari, tokh esok
harinya kau berangkat, untung Allah masih melindungiku, hingga aku tidak sampai mati di
tanganmu. Sekarang aku sudah menjadi Raja di negeri Chin, bagaimana kau masih punya muka
untuk datang menemuiku" Tetapi aku masih kasihan pada jiwamu, ayo, lekas kau keluar
dari negri Chin, jika ayal kau akan binasa!"
"Ha, ha, ha! Sekalipun Cu-kong sudah mengembara 19 tahun lamanya di luaran,
ternyata pengalamanmu masih cetek." kata Put Te dengan berani. "Ayah Tuanku Raja Chin
Hian- kong, sedangkan Raja Chin Hui-kong, adik Tuanku. Coba bayangkan, dalam hal ini
telah terjadi ayah memusuhi anaknya dan adik memusuhi kandanya, apa lagi bagi Put Te
yang hanya menjadi menterinya" Tegasnya Put Te hanya seorang bawahan yang rendah, dia
cuma tahu Chin Hian-kong dan Chin Hui-kong, bagaimana aku harus tunduk pada Tuanku"
Dulu Koan Tiong membela Kong-cu Kiu, Koan Tiong telah memanah Raja Cee Hoan-kong
hingga sangketan angkinnya kena terpanah, tetapi akhirnya lantaran Cee Hoan-kong
memakai dia, hingga dia bisa menjagoi di dunia. Maka pertemuan Tuanku dengan hamba saat ini,
mirip dengan kejadian yang dialami Raja Cee dan Koan Tiong. Jika hamba pergi dari
sini, maka bahaya besar akan menimpa Tuanku!"
Mendengar kata-kata Put Te begitu, Raja Chin Bun-kong heran, dia suruh mundur
Muslihat Para Iblis 3 Lembah Patah Hati Lembah Beracun Karya Khu Lung Iblis Pulau Hitam 1