Kubah 1
Kubah Karya Ahmad Thohari Bagian 1
K U B A H Novel Ahmad Thohari Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak-geriknya serba kikuk sehingga
mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan.
Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu
dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin
seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu.
Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini
berada dalam genggamannya.
Sampai di dekat pintu keluar, Karman kembali gagap dan tertegun. Menoleh ke kiri
dan kanan seakan ia merasa sedang ditonton oleh seribu pasang mata. Akhirnya,
dengan kaki gemetar ia melangkah menuruni tangga gedung Markas Komando Distrik
Militer itu. Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman mencapai tempat terbuka
di halaman gedung. Panas. Rumput dan tanaman hias yang tak terawat tampak kusam
dan layu. Banyak daun dan rantingnya yang kering dan mati. Debu mengepul
mengikuti langkah-langkah letaki yang baru datang dari Pulau B itu.
Dari jauh Karman melihat lapisan aspal jalan raya memantulkan fatamorgana.
Atap seng gedung olahraga di seberang jalan itu berbinar karena terpanggang
panas matahari. Karena kegamangan belum sepenuhnya hilang, Karman berhenti di dekat tonggak
pintu halaman. Tubuhnya terpayungi oleh bayang pohon waru yang daun-daunnya
putih karena debu. Karman makin terpana. Dua belas tahun yang lalu suasana tak
seramai itu. Mobil-mobil, sepeda motor, dan kendaraan lain saling berlari
serabutan. Anak-anak sekolah membentuk kelompok-kelompok di atas sepeda masing-
masing. Mereka bergurau sambil mengayuh sepeda. Dan semua bersepatu serta
berpakaian baik, sangat berbeda dengan keadaan ketika Karman belum terbuang
selama dua belas tahun di Pulau B.
Karman masih terpaku di tempatnya. Kedua matanya disipitkan. Dilihatnya banyak
gedung baru bermunculan. Gedung-gedung lama dipugar atau diganti sama sekali.
Oh, kota kabupaten ini benar-benar sudah berubah, pikirnya. Dan anehnya
perubahan yang tampak merata di depan mata itu membuat Karman merasa makin
terasing. Sangat jelas terasakan ada garis pemisah yang tajam antara dirinya
dengan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bagian dari bumi dan lingkungan
yang sedang dipijaknya. Karman merasa dirinya begitu kecil; bukan apa-apa. Semut
pun bukan. 1 "Ya, tentu saja. Aku kan hanya seorang bekas Tapol, tahanan politik!" begitu
Karman berkali-kali meyakinkan dirinya.
Lelaki itu masih belum mampu beringsut dari bawah bayangan pohon waru. Ia tidak
sadar, Komandan Kodim memperhatikarmya dari dalam gedung. Pak Komandan menduga
ada sesuatu yang menyebabkan lelaki itu tidak bisa segera meneruskan perjalanan
ke kampungnya. Padahal surat-surat resmi sebagai bekalnya kembali ke tengah
masyarakat sudah cukup. Sudah lengkap. Pak Komandan tahu pasti. Maka perwira itu
menggapai ajudannya. "Temui orang yang baru tiba dari Pulau B itu. Dia masih berdiri di pintu
halaman. Suruh dia cepat meneruskan perjalanan. Atau berilah dia dua ratus rupiah,
barangkali ia kehabisan bekal."
"Siap!" Ajudan keluar, langsung melangkah ke arah Karman yang masih berdiri, bingung
karena tak yakin apa yang sebaiknya dia lakukan. Kesadaran Karman benar-benar
sedang berada di luar dirinya. Maka ia tak mendengar suara langkah sepatu
tentara yang sedang mendekat. Ketika ajudan yang berpangkat sersan itu menepuk
pundaknya, Karman terkejut. Darah langsung lenyap dari wajahnya. Sikap santun
Pak Sersan tak mampu menepis rasa takut yang mendadak mencengkeram hati Karman.
"Atas perintah Komandan, saya menemui Anda. Surat-surat pembebasan Anda sudah
lengkap. Kata Komandan, sebaiknya Anda segera meneruskan perjalanan.
Apabila uang jalan sudah habis, Komandan memberikan ini untuk Anda."
Karman sedikit pun tidak memperhatikan lembaran uang yang ditawarkan oleh sersan
itu. Ia masih tercengang. "Oh, untunglah Komandan bukan memanggilku untuk
diperiksa kembali," pikir Karman. Bibirnya gemetar. Setelah detak jantungnya
mereda, Karman berkata tergagap.
"Oh. Terima kasih. Anu. Baik. Baiklah. Saya akan meneruskan perjalanan. Terima
kasih. Uang jalan saya masih ada."
Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, Karman memberi hormat kepada Pak
Sersan. Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan beberapa langkah sampai ke
gili-gili. Dan berhenti. Termangu. Lalu-lintas di hadapannya terlalu sibuk dan
asing baginya. Namun ia harus menyeberang.
Dari depan gedung Kodim, Karman berjalan ke barat mengikuti iring-iringan orang
banyak. Karman, meski ukuran tubuhnya tidak kecil, saat itu merasa menjadi rayap
yang berjalan di antara barisan lembu. Ia selalu merasa dirinya tak berarti,
bahkan tiada. Demikian, pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman
malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Waktu berjalan ke barat
sepanjang gili-gili itu Karman sebenarnya amat tersiksa. Tatapan mata sekilas
orang-orang yang kebetulan berpapasan terasa sangat menyiksa. Oh, andaikan ada
secuil tempat untuk bersembunyi, mungkin Karman akan menyelinap ke sana. Karman
2 akan menyembunyikan diri karena pembebasan dirinya belum mampu mengembalikan dia
dari keterasingan. Dan tak lama kemudian lelaki berusia 42 tahun itu mendapatkan apa yang
diinginkannya, sebuah tempat yang enak untuk duduk, di bawah pohon beringin
alun-alun Kabupaten. Sudah beberapa saat lamanya matahari memasuki langit belahan barat. Di sebuah
sudut jalan, seorang penjaja rokok terkantuk-kantuk, punggungnya tersandar pada
dinding gardu listrik. Dua orang tukang becak bahkan sedang meringkuk lelap di
atas jok kendaraan masing-masing. Dan yang sedang duduk menghitung uang recehan
adalah seorang lelaki penjual makanan kecil. Bunyi kericik uang aluminium
mungkin terdengar bagai suara gambang di mata lelaki itu. Merdu dan penuh arti.
Dari dalam kerimbunan beringin terdengar kicau burung-burung. Ria dan gembira.
Unggas-unggas kecil itu meluruhkan buah beringin. Di atas tanah, ratusan butir
buah beringin jatuh dan pecah berserakan.
Karman duduk di atas sebuah tonjolan akar. Di sampingnya ada gulungan kertas
yang berisi kain sarung, dan masing-masing selembar baju dan celana tua. Itulah
semua hartanya yang ia bawa kembali dari Pulau B. Angin bergerak ke utara
menggoyangkan daun-daun tanaman hias di halaman Kabupaten. Seorang perempuan
muda berjalan dan melintas di hadapan Karman. Alisnya, matanya, sangat
mengesankan. Oh, tungkainya enak dipandang. Dan bibirnya. Bibir seperti itu
gampang mengundang gairah lelaki. "Mungkin dia seorang guru sekolah," pikir
Karman yang merasa jantungnya berdebar lebih keras. "Bila guru secantik itu,
setiap murid lelaki akan betah tinggal di kelas." Oh, Karman tersenyum. Dan
kaget sendiri ketika menyadari kelelakiannya ternyata masih tersisa pada
dirinya. Keramaian kota sedang surut. Beringin besar di pojok alun-alun itu seakan
memayungi wilayah kecil yang sepi dan sejuk. Maka siapa pun yang berada di sana
bisa duduk terkantuk atau bahkan lelap dalam mimpin. Tetapi Karman tidak.
Karman sama sekali tidak terpengaruh oleh kesejukan di pojok alun-alun itu dan
pikirannya sudah lebih dulu melayang sampai ke kampungnya, tiga puluh kilometer
dari tempat di mana kini ia duduk. Boleh jadi Pegaten, kampung halamannya, juga
sudah banyak berubah. Boleh jadi semuanya menjadi bertambah baik di sana. Tetapi
Karman tidak tertarik untuk memikirkannya.
Yang sedang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman
sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau
buangan, Parta menceraikan istrinya dan kemudian mengawini Marni. Meskipun sudah
punya tiga anak, Marni memang lebih cantik daripada istri Parta yang diceraikan.
Hal ini tidak akan dibantah oleh siapa pun di Pegaten, tidak juga oleh Karman.
Juga, semua orang percaya bahwa kecantikan Marni adalah sebab utama mengapa
Parta sampai hati melepas istri pertamanya.
3 Mula-mula Marni menolak kawin lagi meski sudah lima tahun ditinggal suami.
Betapapun, tekad Marni saat itu, ia akan menunggu suaminya kembali. "Siapa tahu,
suamiku masih hidup. Dan perasaanku mengatakan, entah kapan dia akan kembali."
Marni tidak menghiraukan bujukan sanak-saudara yang menghendaki dia menikah
lagi. Akibatnya, mereka mulai mengambil jarak. Bantuan berupa kebutuhan hidup
sehari-hari mulai jarang diterima oleh perempuan muda beranak tiga itu.
Namun dengan tabah Marni menghadapi semua kesulitan hidupnya. Dicobanya bekerja
untuk memenuhi kebutuhan diri bersama ketiga anaknya yang masih kecil.
Marni pernah bersekolah di Sekolah Kepandaian Putri, SKP, meskipun tak tamat.
Maka ia bisa menjahit pakaian. Tetapi Marni memang kurang beruntung. Upayanya
untuk hidup mandiri, gagal. Marni anak-beranak makin menderita.
Tahun 1971 Marni memaksakan diri mengubah pendiriannya. Ia mau mengikuti saran
sanak famili. Maka sehelai surat ditulis untuk suaminya. Dengan surat itu Marni
meminta pengertian dan keikhlasan suami. Marni sudah mengambil keputusan hendak
kawin lagi. Orang-orang yang tahu keadaan Marni anak-beranak dapat dengan mudah memahami
keputusan perempuan muda itu. Marni baru berusia tiga puluh tahun, segar dan
cantik. Karena lama ditinggalkan suami, banyak lelaki, yang beristri atau tidak,
ingin memiliki dia. Jadi semuanya wajar saja. Karman sendiri dapat menerima hal
yang masuk akal itu. "Tetapi masalahnya, Marni adalah istri saya!" keluh Karman.
Keluhan itu bahkan tak juga pupus meskipun sudah enam tahun mengendap dalam
hatinya. Waktu menerima surat Marni itu di Pulau B, mula-mula Karman merasa sangat
gembira. Surat dari istri yang terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tak
ternilai harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang. Sebelum membaca
surat itu, sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir Marni yang bagus;
suaranya yang lembut, atau segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni adalah
perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai membaca surat itu
Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang datar yang kerontang dan penuh
kerikil seakan mendadak tergetar di hadapannya. Padang yang sangat mengerikan,
asing, dan Karman merasa tegak seorang diri. Keseimbangan batin Karman
terguncang keras. Semangat hidupnya nyaris runtuh.
Selama beberapa hari sesudah itu Karman hanya bisa diam, merenung dan merenung.
Dan untuk mengurangi beban yang sangat menekan jiwanya Karman mencoba membagi
duka bersama teman-teman sebarak. Dia datangi mereka dan dia ceritakan isi surat
yang diterimanya dari Marni. Oh, ternyata Karman tidak mendapat apa-apa dari
para teman kecuali tanggapan tak berharga dan kadang menyakitkan.
"Sekarang nasib kita sama," kata Birin. "Aku dan kamu sama-sama punya tiga anak.
Bedanya, istriku hanya tahan empat bulan hidup dalam kesepian. Jadi, Man, 4
kamu masih lebih beruntung; istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri
selama lima tahun." "Yah, kita memang senasib," kata Asep. "Meskipun istri tidak minta cerai, namun
saya kira sama saja. Sewaktu saya masih tinggal serumah, istriku biasa membuka
pintu untuk lelaki lain. Apalagi sekarang. Maka Birin benar, kamu masih lebih
beruntung, Man." "Tetapi aku mengerti mengapa Karman kini begitu sedih," sambung Birin. "Bung
Asep pernah melibat foto istri Karman?"
"Pernah! Memang dapat kupahami mengapa para lelaki di kampungnya tidak tahan
melihat istri Karman tidur sendiri setiap malam. Dia terlalu menarik. Oh,
Karman. Sekarang kamu harus percaya bahwa ada kalanya lebih beruntung punya
istri sumbing!" Birin dan Asep terbahak. Namun hanya sebentar, kerena Sitepu mendekat.
Wajahnya tampak bersungguh-sungguh. Ucapannya pelan tapi tandas. "He, cecurut-
cecurut! Kalian lupa, partai menuntut segalanya. Partai menuntut segala apa yang
ada pada kita! Lalu apa artinya seorang istri yang tidak setia" Apa?"
Karman tersinggung. Bangkit menuju biliknya di ujung barak. Rasa tidak hormatnya
atas norma partai bertambah satu lagi. "Ya, karena partailah saya kini di sini,
terbuang jauh. Dan istriku mau kawin lagi," Karman mengeluh seorang diri;
keluhan yang menyertakan rasa amat sakit di dasar hati.
Pada hari kedelapan Karman bermaksud membalas surat Marni. Entah dari mana
datangnya, yang jelas ada pikiran bening di otaknya. "Betapapun terasa pahit,
Marni sepantasnya kulepaskan. Keadaan dirikulah yang memastikannya. Kapan dan
bagaimana akhir penahanan dan pengasingan ini tidak dapat diramalkan, apalagi
dipastikan. Padahal Marni masih muda. Tidaklah adil memaksa Marni ikut menderita
dan kehilangan masa depannya. Apalagi anak-anaknya, anak-anakku, perlu santunan.
Nah, baiklah. Marni kulepaskan walaupun hati dan jiwaku tak pernah
menceraikannya. Takkan pernah!"
Keputusan Karman yang penuh nalar dan jujur itu ternyata terlalu berat bagi
dirinya sendiri. Ia patah semangat. Kekosongan terasa mengepungnya. Sepi, sangat
terasing, dan hampa tanpa makna. Kini satu-satunya taruhan yang menyebabkan dia
masih ingin hidup, yakni harapan bisa hidup kembali bersama istri dan anak-
anaknya, telah runtuh. Karman merasa dirinya benar-benar sudah selesai, tamat,
dan hilang. Sebenarnya Karman telah memahami benar keadaan dirinya. Ia hidup dalam martabat
manusia kelas tiga, kelas yang terbuang karena dianggap penuh dosa sosial.
Tetapi di hatinya masih tersisa harapan; kiranya Marni tidak ikut menganggapnya
demikian. Karman masih ingin diperlakukan sebagai seorang suami, betapapun
keadaannya saat itu. Namun kenyataan yang harus dihadapinya amat pahit. Bahkan
Marni, satu-satunya manusia yang diharap bisa memberi secuil 5
harapan, bertekad melepaskan diri menjadi orang lain. "Sungguh dunia,
seluruhnya, telah membelakangiku."
Setiap hari jiwa dan raga Karman bertambah rapuh. Akhirnya ia tergeletak tanpa
daya dalam biliknya yang berdinding papan dan beratap ilalang. Lelaki muda itu
telah kehilangan semangat hidup. Catu tak pernah dimakannya. Bahkan berbicara
pun Karman tak suka. Para petugas kesehatan datang merawatnya, dan Karman tetap sakit. Orang boleh
mengatakan, Karman tidak kunjung sembuh karena obat dan cara merawatnya tidak
baik. Bisa jadi kata-kata demikian ada benarnya. Yang jelas para petugas
kesehatan itu tidak mengerti penyebab penyakit Karman yang sesungguhnya.
Namun mereka tak dapat dipersalahkan. Mereka telah melaksanakan tugas. Perihal
si sakit tetap tidak bangun adalah perkara lain.
Ada seorang perwira yang karena pembawaan pribadi serta tugasnya harus
memperhatikan Karman. Dia adalah Kapten Somad, perwira yang bertugas membina
kehidupan rohani para tahanan. Kapten Somad mencatat sudah dua kali Karman tidak
hadir pada ceramah keagamaan yang diselenggarakannya.
Mengetahui keadaan Karman yang sakit, perwira itu bermaksud menjenguknya.
Di luar dugaan Kapten Somad, keadaan Karman sangat menyedihkan. Badannya kurus
dan lemah. Pandangan matanya tak hisa diartikan lain kecuali keputusasaan yang
mendalam. Alisnya turun dan masuk ke dalam cekungan tulang. Kumis dan cambang
hanya menambah kesan berantakan pada wajah Karman yang sudah amat pucat.
Melihat kedatangan Kapten Somad, Karman berusaha bangkit. Tetapi kepalanya jatuh
kembali ke atas gumpalan kain bekas yang mengganjalnya.
Setelah mengucapkan salam, Kapten Somad bergerak sampai dekat sekali pada kepala
Karman. "Aku datang karena aku ingin melihat keadaanmu. Hari ini kamu merasa lebih baik,
bukan?" Si sakit tak segera menjawab. Hanya bola matanya sedikit tergulir ke kiri dan ke
kanan. Kemudian dari tenggorokannya terdengar suara parau.
"Terima kasih atas kunjungan Kapten. Rasanya, keadaanku masih tetap begini."
"Badanmu tampak lemah sekali; bukankah ransummu selalu kaumakan?"
"Ya, Kapten," jawab Karman bohong.
Dan aku tidak ingin didakwa sedang melancarkan mogok makan, sambung Karman dalam
hati. "Obat-obatan?" Karman diam. Wajahnya yang beku dibadapkannya ke dinding papan. Dari caranya
menarik napas, Kapten Somad tahu bahwa Karman sedang diburu oleh 6
perasaan yang menekan. Tiba-tiba terdengar ucapan Karman. Lirih saja, dan bibir
itu hampir-hampir tidak bergerak.
"Kadang-kadang saya minum obat, Kapten."
"Kadang-kadang" Hanya kadang-kadang" Apakah kamu hanya diberi obat sedikit?"
"Tidak. Obat itu banyak."
"Dan hanya kadang-kadang kauminum?"
"Ya, Kapten. ."
"Mengapa?" Sebagai jawaban, Karman menggerakkan lensa matanya ke arah Kapten Somad.
Tatapan yang sayu itu mampu mencapai dasar hati sang kapten. Tiga kali Kapten
Somad mengulangi pertanyaannya, sebanyak itu pula ia mendapat jawahan dengan
cara yang sama. Bahkan akhirnya perwira itu melihat ada air mata menggenang.
"Kapten bersungguh-sungguh dengan pertanyaan itu?"
"Pasti. Mengapa tidak?"
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jawabannya tidak akan masuk nalar Kapten. Bagaimana?"
"Oh, baik, katakanlah. Aku akan senang mendengarnya. Siapa tahu aku dapat
membantu meringankan perasaanmu."
"Nah, Kapten. Saya memang segan minum obat karena saya tidak ingin sembuh.
Saya merasa tidak perlu sembuh. Lebih baik saya tidak sembuh."
Kapten Somad mengerutkan kening.
"Kenapa?" tanyanya dengan sungguh-sungguh.
"Kalau Kapten sungguh-sungguh ingin tahu, bacalah surat ini."
Karman menggeliat. Dari bawah gumpalan kain bekas itu dikeluarkannya sehelai
kartu pos. Ya, kartupos. Para tahanan di Pulau B itu hanya boleh menerima surat
tanpa sampul. Sebelum membaca Kapten Somad membetulkan letak kacamatanya. Sejenak perwira itu
tampak tercenung. Alisnya mendatar, dan perlahan-lahan lelaki itu memutar tubuh
kemudian bergerak ke arah pintu dan berhenti, termangu. Kedua tangannya
bersilang di punggung. Ketika berdiri di pintu menghadap ke luar itu, Kapten Somad teringat akan
keluarganya yang ditinggal jauh di seberang lautan, di Magelang. Ia sama sekali
tidak mengkhawatirkan kesetiaan istrinya. Ia hanya meyakinkan bahwa lepas dari
kenyataan dirinya seorang perwira yang harus taat sepenuhnya kepada tugas,
sebaiknya seorang suami selalu dekat dengan istri dan keluarganya. Dengan
demikian tidak perlu ada tragedi di mana seorang istri minta izin suami untuk
menikah lagi. Ah, Kapten Somad jadi teringat anak-istri sendiri. Kerinduan
mengusik hatinya. Tetapi apa mau di kata, tugasnya di Pulau B baru akan berakhir
5 bulan mendatang. 7 Beberapa saat kemudian Kapten Somad itu berbalik menuju dipan tempat Karman
terbaring. Bagaimanapun, wajahnya tetap jernih dan tersenyum. Perwira yang baik
tahu mengambil sikap yang benar dalam segala keadaan. Dengan gaya seorang ayah,
Kapten Somad meraba dahi Karman sambil berkata, "Ya, ya, Karman, aku mengerti.
Aku dapat merasakan penderitaanmu. Andaikata aku sendiri yang menghadapi masalah
seperti itu, hatiku akan benar-benar hancur. Sekarang marilah!
Aku akan menemanimu mencari sikap yang terbaik dalam menghadapi masalah yang
tidak ringan ini. Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban
yang benar. Tidak pernah! Dan yang pasti pula, bagaimanapun ketiga anakmu ingin
melihat ayahnya pada suatu saat. Oh ya, kau tahu tempat ini bukan kamp
konsentrasi. Aku percaya Pemerintah tidak bermaksud mengubur para tahanan di
pulau ini. Camkanlah, ini permintaan pribadiku kepadamu. Bila kau dapat
menyingkirkan angan-angan untuk berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang
terbaik. Nah, sekarang minumlah obat-obat itu. Mari kubantu."
Selesai minum obat, Karman terbaring kembali. Tetapi matanya terus mengikuti
segala gerak Kapten Somad. Laki-laki yang sakit itu merasa terkesan oleh sikap
Pak Kapten, sehingga ia tak mampu menjawab ketika tamunya minta diri. "Aku
permisi dulu, Karman, lain kali aku akan datang khusus bagimu. Jangan lupa,
minumlah obat-obat itu."
Lama sekali Karman merenungkan kunjungan Kapten Somad siang itu. Mula-mula ia
merasa bimbang terhadap dirinya sendiri; haruskah anjuran Kapten Somad dituruti"
Atau, biarlah aku ikuti keputusasaan sampai diriku hancur dan dengan demikian
kepedihan ini cepat berakhir"
Karman kembali menarik napas panjang. Tetapi kemudian ada titik-titik bening
muncul pada akal budinya yang semula hampir mati. "Seorang kapten dengan ikhlas
menunjukkan pengertian dan simpatinya padaku. Kebenaran yang disampaikan padaku
sukar kubantah. Ah, setidaknya telah ada satu orang yang mau memahami diriku,
pikir Karman. Tetapi betulkah penderitaanku telah terbagi"
Bisakah aku memastikan aku telah mempunyai seorang teman di dunia ini"
Kapten Somad berjanji akan membantuku mencari jalan yang terbaik. Dan mestinya
aku sendiri sudah mengerti. Menginginkan Marni tetap menjadi istriku adalah
sangat sulit, hampir mustahil. Jadi keputusan yang terbaik adalah melepaskannya.
Ya. Malah hal itu pun sudah kulaksanakan. Tetapi ternyata bagiku persoalan belum
selesai. Kini aku tak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mererima kenyataan
aku telah ditinggalkan oleh Marni. Aku telah kehilangan satu-satunya milikku.
Oh, andaikata aku hidup di alam yang wajar, pastilah persoalannya akan menjadi
lebih sederhana. Seorang istri minta cerai, dan cerailah. Aku bisa dengan mudah
mencari ganti. Tetapi kini aku sedang terpencil dalam buangan.
Dan harus pula kehilangan istri. Oh, betapa mengerikan hidup yang harus
kujalani. Mengerikan!" 8 Benar, secara teratur Kapten Somad menjenguk Karman. Tulus senyumnya, lapang
dadanya selagi perwira itu menerima segala keluhan laki-laki yang hampir putus
asa itu. Si sakit sendiri merasakan nikmatnya sesuatu yang sukar didapat di
pulau buangan itu: kemanusiaan.
Namun sebagai akibat sikap santunnya terhadap Karman, Kapten Somad pernah
ditegur oleh Mayor Darius.
"Maaf, Mayor, saya merasa wajib mengembalikan kesehatan tahanan itu. Dia
mengalami tekanan jiwa yang berat. Tugas saya adalah mengembalikan kesehatan
dia. Dan saya percaya pengobatan secara medis tidaklah cukup. Karena itu saya
melakukan pendekatan moral dan sama sekali bukan pendekatan pribadi. Saya
sekali-kali tidak melupakan setiap peraturan yang berlaku di pulau ini," Kapten
Somad meneranakan. Dalam suatu kesempatan ketika putih mata Karman mulai bening dan bercahaya,
Kapten Somad berkunjung lagi. Yang sakit sudah bisa duduk. Di mulutnya ada
sebatang rokok buatan sendiri. Rupanya Karman memungut puntung yang dibuang oleh
tamunya, dan menggulungnya kembali dengan daun pisang kering. Bila orang sakit
sudah ingin merokok itulah pertanda baik. Perwira itu tersenyum.
"Hanya Tuhan yang berhak atas segala pujian. Kau tampak sedikit segar sekarang.
Obat-obatmu belum habis?"
"Tinggal sedikit, Kapten. Sebenarnya saya sudah merasa sembuh. Sayang, saya
masih sukar tidur." "Baiklah, akan kusampaikan masalahmu kepada petugas medis. Mudah-mudahan besok
mereka mengantar obat yang kauperlukan."
"Terima kasih, Kapten. Tetapi, maaf, saya masih bingung."
"Bingung?" "Ya, Kapten." "Mengapa?" Karman tidak segera memberikan jawaban. Namun tak lama kemudian ia bicara.
"Apa yang bisa saya harapkan sesudah saya sembuh" Rasanya saya sudah kehilangan
tujuan. Kehilangan segala-gala. Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong."
"Yah, kukira semuanya akan tampak wajar pada dirimu. Semua orang akan merasakan
seperti itu sesudah mengalami kekecewaan yang luar biasa. Jadi yang sebenarnya
kaudambakan adalah obat kekecewaan itu, bukan?"
"Saya kira begitu, Kapten."
"Tanpa diobati kekosongan hati akan menghilangkan segala macam citarasa hidup.
Dengan senang hati aku akan mengobatimu sebisa-bisaku. Namun aku khawatir
syaratnya terlalu sulit kauterima. Bagaimana?"
9 Dengan segala daya Karman mencoba memahami kata-kata Kapten Somad.
Syarat" Aku harus memenuhi syarat bila aku ingin mendapatkan obat bagi
kekosongan dalam jiwaku" pikir Karman.
"Yah, dengarlah apa yang kumaksud dengan syarat itu. Untuk mendasari upaya
penyembuhan jiwamu, kau harus memulai dari kepercayaan. Ya, kepercayaan."
"Kepercayaan?" sela Karman.
"Ya, kepercayaan bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa atas dirimu.
Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu. Pokoknya kau hanya memiliki
kekuasaan yang kecil saja atas dirimu sendiri. Memang, kau dapat menerangkan
dengan kekuatan akakmu misalnya, mengapa bisa sampai menghuni tempat ini.
Tetapi pada batasnya, kau akan jatuh tak berdaya. Terbukti, beberapa hari yang
lalu kau berniat menghancurkan dirimu sendiri karena kau tak bisa memahami
sesuatu yang sedang terjadi pada dirimu. Itulah bukti yang nyata atas
ketidakberdayaanmu. Nah, kau bekas seorang ateis; dapatkah kau menata sikap batinmu" Dapatkah kau
mendudukkan kepercayaan di atas kekuatan akalmu" Itulah syarat yang kumaksud."
Karman tertunduk; Tuhan. Yang dimaksud oleh Kapten Somad pastilah kepercayaan
terhadap keberadaan Tuhan. Ah, ya. Selama menjadi pengikut partai, Karman memang
didorong untuk membuang jauh semua kepercayaan atas segala sesuatu yang tidak
membenda. Ajaran partainya mengatakan, apa yang tidak membenda sama dengan omong
kosong. Tuhan pun hanya ada bagi mereka yang menganggapnya ada. Dan ajaran
partainya juga mengatakan kalaulah ada sesuatu yang boleh disebut tuhan, maka
dia adalah partai itu sendiri. Dan revolusi!
Karman tetap tertunduk. Ada kejujuran yang lambat-laun mengembang dalam dirinya.
Ia ingin mengaku dengan tulus, meskipun ia lama menjadi anggota partai komunis,
bahwa kehadiran Tuhan tetap terasa pada dirinya. Karman tak pernah berhasil
memaksa dirinya percaya bahwa Tuhan sama dengan omong kosong. Dan bahwa pada
kenyataannya, walaupun ia lama bergabung dengan partai komunis, Karman
sebenarnya ingin dipahami melalui jalur yang lain.
Kemudian Karman menatap Kapten Somad dengan mata sedih.
"Kapten, syarat yang diajukan dengan mudah bisa saya terima. Ya, meskipun saya
malu mengatakannya namun sebenarnya masih ada kepercayaan terhadap Tuhan dalam
hidup saya. Sungguh, Kapten. Tetapi kenyataan bahwa Kapten mengajukan syarat
seperti itu, itulah yang membuat saya merasa sedih."
Kapten Somad merasa tersodok. Namun perwira itu cepat bisa tersenyum.
"Kalau begitu, maafkanlah aku. Dan baiklah, mari kita mulai sekarang. Sebelum
datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan; sulit
mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. Yang
kini sedang terjadi pada dirimu, saya kira, adalah gabungan ketiga cobaan hidup
10 itu. Luar biasa memang. Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada
Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia. Jadi, hanya kepercayaan terhadap
kebesaran dan kasih sayang Tuhan-lah yang bisa membuat kamu tenang, tak merasa
sia-sia. Apakah kata-kataku bisa sampai ke hatimu?"
"Sedikit, Kapten."
"Ketika kau merasa berada dalam pikiran yang amat gelap, ketika kau merasa
benar-benar tak berdaya, sesungguhnya ada tangan-tangan terjulur kepadamu.
Tangan pertama mewakili pertolongan Tuhan, dan tangan lainnya mewakili kuasa
buruk yang menghendaki kehancuran atas dirimu. Kau dapat mengatakan siapa yang
mengajakmu berputus asa serta meyakinkan dirimu bahwa jalan itulah yang terbaik.
Jangan ikuti ajakan dari kuasa buruk itu. Lebih baik kaudengarkan suara nuranimu
sendiri karena dia dapat melihat jalan yang disukai Tuhan. Turutilah jalan itu,
karena bersama Dia segala penderitaan jadi terasa ringan atau bahkan tak ada
sama sekali." *** Angin yang menembus sela-sela kerimbunan beringin di pojok alun-alun itu
menimbulkan suara mendesau. Sebutir buah beringin runtuh dan menimpa pundak
Karman. Satu lagi jatuh di dekat kaki kirinya. Karman yang sedang larut dalam
kenangan ketika terbuang di Pulau B, tersadar. Ia mendengar riuh suara burung
yang makin ramai. Burung-burung berebut tempat yang paling baik untuk tidur
sampai menjelang fajar esok pagi. Kota Kabupaten itu pun sedang bersiap memasuki
suasana malam. Lampu-lampu jalan menyala serentak. Karman bangkit. Namun hanya
termangu bingung. "Oh, rupanya aku terlalu lama duduk di tempat ini,"
keluhnya. Tanpa tujuan yang jelas, Karman kemudian melangkahkan kaki, berjalan ke arah
selatan. Di pojok alun-alun sebelah sana ia kembali berhenti, gamang. Namun
akhirnya ia bergerak lagi, membelok ke barat. Dan sekali lagi, kebimbangan
mengepungnya ketika Karman sampai di pojok yang ketiga. Maka ia hanya mengikuti
pembawaan kaki dan berbelok lalu melangkah ke utara. Karman melihat ada pedagang
makanan. Tiba-tiba perutnya terasa sangat lapar.
Karman mengeluarkan uang kumal untuk membeli sebuah ketupat dan segera
memakannya sambil jongkok. Setelah meminta segelas teh yang langsung diminumnya,
Karman melangkah sepembawa kaki ke timur. Maka lengkap sudah; tanpa tujuan
tertentu Karman telah sempurna mengelilingi alun-alun Kabupaten.
Bahkan karena tetap tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, Karman menurutkan
kedua kakinya mengelilingi alun-alun buat kali kedua. Dan kali ini Karman
berpapasan dengan serombongan anak-anak besar-kecil. Mereka berkopiah dan
berkain sarung, lucu menawan, dan berjalan hiruk-pikuk. Tanpa kesadaran penuh,
Karman berbalik mengikuti rombongan anak-anak itu. Anak-anak terus berhamburan
menuju serambi mesjid besar Kabupaten. Tetapi Karman mendadak 11
berhenti, gagap. Termangu. Dua-tiga orang yang hendak sembahyang melewatinya
tanpa peduli. Namun akhirnya seorang lelaki tua sambil berjalan menepuk pundak
Karman. "Mari. Pak, sudah hampir ikamah!"
Dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, Karman ikut melangkah memasuki
halaman mesjid. Pukul tujuh malam Karman keluar. Ada setitik rasa lega dalam hatinya karena ia
telah berhimpun dengan orang banyak ketika salat berjamaah. Memang, orang-orang
itu tak satu pun mengenalnya dan mereka tak mengajaknya bicara. Mereka hanya
menawarkan jabat tangan dan. . senyum! "Oh, boleh jadi senyum itu mereka berikan
justru karena mereka tidak tahu siapa aku," renung Karman. "Tetapi cukuplah;
senyum adalah tanda keramahan yang sangat berharga bagiku. Terima kasih, oh,
terima kasih." Dan tanpa terasa air mata Karman meleleh.
Setelah berhasil mengendapkan gejolak perasaannya, Karman sadar bahwa dirinya
sedang berada dalam perjalanan pulang yang sangat panjang dari Pulau B.
Pulang" tanya Karman berkali-kali kepada dirinya sendiri. Pulang ke mana" Aku
memang lahir di sana, di Pegaten. Di sana aku dibesarkan dan di sana pula aku
pernah punya r-umah, istri, dan anak. Namun masih adakah semua itu" Dan, apakah
kampungku, terutama orang-orangnya, mau menermna aku kembali" Sebuah letupan
ketakutan tiba-tiba menggoyahkan hatinya.
Tetapi entahlah; Karman keluar juga meninggalkan halaman mesjid dan berjalan
hampir dua kilometer menuju terminal bis. Di sana Karman menemukan kenyataan.
Sepi; tak ada lagi kendaraan yang melayani penumpang, kecuali mobil borongan.
Ah, tak mungkin, uang Karman di saku hanya tinggal seratus lima puluh rupiah.
Karman berdiri dan kembali termangu, merasa terasing seperti benda langit yang
baru sedetik jatuh ke bumi. Diperlukan waktu beberapa menit sebelum Karman
menemukan sesuatu yang bisa segera dilakukan; pergi ke Jalan Pandanan. Saudara
sepupunya dulu tinggal di sana. "Dari bila aku beruntung, Gono, sepupuku itu,
belum pindah." Pikiran Karman sudah bulat, daripada berdiri bingung di halaman mesjid ia merasa
lebih baik pergi ke rumah Gono. Maka Karman berjalan ke sana. Jalan Pandanan
yang dulu hanya dikeraskan dengan batu kali, sekarang sudah dilapisi aspal.
Rumah-rumah yang berderet sepanjang jalan kecil itu tampak lebih baik, lebih
teratur, jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1965 ketika terakhir kali Karman
berkunjung ke rumah Gono. Pagar-pagar halaman diterangi lampu neon.
Banyak rumah yang berganti dengan pagar tembok. Dan yang lebih menarik perhatian
Karman adalah banyaknya remaja di sepanjang jalan itu. Mereka duduk bergerombol
di bawah cahaya lampu neon, menyanyi dan merokok. Pemandangan serupa tak pernah
ditemukan di kota Kabupaten itu dua belas tahun yang lalu.
Rumah Gono terletak di tepi sebuah kanal kecil. Itu petunjuk yang jelas meski
misalnya sudah terjadi banyak perubahan di sana. Maka Karman merasa pasti telah
12 sampai ke tujuan ketika ia melihat kanal kecil itu. Tetapi rumah yang dulu
ditempati keluarga Gono itu sudah berubah menjadi sebuah gedung yang bagus.
Halamannya, meskipun tetap terbuka dan tak terlalu luas, namun ditata rapi
dengan berbagai tanaman hias. Maka Karman ragu-ragu ketika hendak memasuki
halaman rumah gedung itu; jangan-jangan pemiliknya bukan lagi Gono.
Dalam keraguan dan kegagapannya, Karman bahkan ingin berbalik. Ia mulai
merasakan keangkuhan mengepungnya dari segenap penjuru. Karman kembali merasa
sebagai benda asing di bumi, dan kakinya mulai bergetar. Lalu dengan gerakan
gamang Karman benar-benar berbalik. Namun pada saat yang sama Karman terkejut
karena mendengar suara gagang pintu diputar. Detak jantungnya menjadi cepat,
tetapi Karman memberanikan din menoleh kembali ke arah rumah gedung itu.
Di sana, di beranda, berdiri seorang anak lelaki remaja. Ia mungkin keluar
karena hendak berkumpul dengan teman-teman sebaya. Namun anak muda itu terhenti
di beranda karena ia melihat seorang lelaki berdiri di pintu halaman. Dan entah
mendapat kekuatan dari mana, Karman melangkah mendekat. Dari jarak kurang dari
dua meter Karman menatap anak muda yang berdiri diam di depannya. Karman
terkesan pada mata anak muda itu. Terasa ada perasaan aneh yang mengembang.
Mata anak muda itu, dengan cara yang amat sulit dimengerti, memberikan sasmita
bahwa Karman sedang berhadapan dengan darah daging sendiri.
Rudio" pikir Karman. Ia memang punya anak lelaki yang baru berusia tujuh tahun
ketika ia harus berangkat ke tanah Pengasingan. Karman bergerak satu langkah ke
depan. Anak muda itu menegakkan leher karena merasa didekati dan ditatap oleh
orang yang belum dikenalnya.
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dalam waktu yang singkat itu akal budi anak remaja itu bekerja. Ia sudah
mendengar bahwa pemerintah telah membebaskan seribu tahanan dari Pulau B.
Dari ibunya, dia pernah memperoleh gambaran tentang ayahnya. Perawakannya gagah,
kaya akan rambut, serta lubang hidung lebar. Dan, wajah laki-laki yang sedang
tegak di depannya itu mirip gambar pada pasfoto tua yang dimilikinya.
Kemudian atas nama nalurinya, anak remaja itu berkata ragu-ragu, "Ayah. .?"
Sepi. Karman menelan ludah, mendan kembali perasaannya yang tiba-tiba akan meledak.
Air matanya meleleh. "Ya, Nak. Aku Ayah!"
Hening lagi. Ayah dan anak yang jumpa setelah belasan tahun terpisah jauh itu
tidak berpelukan. Rudio menunduk lemas. Ayahnya menjatuhkan kedua pundaknya dan
mengosongkan paru-paru dengan desahan panjang. Namun suasana menjadi agak ribut
ketika Bu Gono keluar. Perempuan itu terpana dalam gerakan yang janggal.
Ditatapnya lelaki yang sedang berhadapan dengan Rudio.
Setelah menyadari siapa yang sedang ditatapnya, Bu Gono berlari dan langsung 13
memeluk Karman. Tangisnya meledak sehingga anak-anak berhamburan keluar karena
ingin tahu apa yang terjadi.
"Ya Tuhan. . Mas Karman" Kau masih hidup, Mas Karman?"
Karman yang merasa sulit berbicara, tidak segera menjawab.
"Ya, Dik. Syukurlah. Kita masih bisa bertemu lagi. Sekarang tenanglah. Mari kita
duduk dulu." Tetapi Bu Gono belum bisa tenang dan belum mau duduk. Dipeluknya Karman erat-
erat. Di sela-sela tangisnya, ia masih berkata-kata penuh emosi.
"Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau takkan menemukan
apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan,
oalah Gusti, Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak-pinak. Anakmu yang
terkecil meninggal. Mas Karman, kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak
punya apa-apa lagi."
"Astaghfirullah. . Ya, ya. Sekarang tenanglah dulu. Mari duduk."
Rudio menata kursi bagi ayahnya. Bu Gono masuk untuk mengambil minuman.
"Jadi kau tinggal bersama bibimu di sini?"
"Ya, Ayah." "Sekolahmu?" "Di STM, kelas tiga. Empat bulan lagi ujian."
"Syukurlah. Dan adik-adikmu?"
"Tini tinggal bersama Ibu. Dia hanya menamatkan SMP."
"Dan Tono meninggal?"
"Benar, Ayah. Sudah satu tahun. Saya dilarang memberi kabar pada Ayah. Hanya
akan menambah beban pikiran Ayah, begitu kata Ibu."
Karman mengerutkan kening. Jakunnya turun naik.
"Oh, ya, tak mengapa. Seorang seperti Ayah ini sudah terlalu sering mengalami
hal yang menyedihkan. Lupakan itu. Tetapi di mana pamanmu" Tampaknya sepi saja?"
Dalam perkawinannya dengan Parta, Marni memperoleh dua orang anak. Parta
memiliki tanah sawah yang lumayan luasnya. Jadi soal kesulitan pangan tidak
dirasakan oleh Marni dan keluarga barunya. Perempuan itu juga sadar Parta
berusaha keras menjadi suami yang baik. Tampaknya Parta lebih mencintai Marni
daripada istrinya yang lama. Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan
Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya terhadap Rudio. Ia
tak mau tahu akan biaya yang diperlukan anak tirinya itu. Maka Marni harus
menjual semua harta yang ditinggalkan Karman untuk membiayai pendidikan Rudio,
dari SMP sampai STM. Orang-orang Pegaten melihat perangai Marni berubah setelah hidup bersama Parta.
Kecerahannya lenyap, ia jadi pendiam. Tidak seperti dulu, kini Marni jarang 14
bergaul dengan perempuan-perempuan lain. Hanya perempuan itu sendiri yang tahu
mengapa. Yang jelas Marni merasa perkawinannya dihantui oleh kekhawatiran
munculnya Karman pada suatu saat. Rasa khawatir itu kemudian berubah menjadi
rasa takut dan bersalah. Setitik pengakuan dosa mulai melembaga di hati Marni.
Bahkan nuraninya sering menuntut; mana kesetiaanmu sebagai istri sejati" Mengapa
kautinggalkan Karman dalam segala kesengsaraannya"
Pada saat itu orang Pegaten sudah mulai berbicara tentang para tahanan yang
dibebaskan. Seribu orang dilepas dari Pulau B, tujuh ratus dari Nusakambangan,
dan masih banyak lagi. Hati Marni seperti terpanggang. Rasa bersalah menghunjam
keras. Apalagi sudah sampai selentingan yang mewartakan Karman mungkin termasuk
tahanan yang dibebaskan. Seorang penduduk Pegaten mengaku melihat Karman di
rumah Gono, di kota. Dan Marni menangis. Sore itu pun Marni membersihkan beras
sambil menangis. Tapi ia berusaha keras menahan dirinya, karena terdengar Tini
datang dari belik. Anak gadisnya langsung masuk kamar.
Nyanyian cinta mengalun ringan. Oh, akhirnya Marni mampu tersenyum. "Pada saat
ini pasti Tini percaya bahwa Bukit Kendeng yang gundul itu indah," kata Marni
dalam hati. Senyumnya terurai kembali.
Keluar dari kamar, Tini sudah rapi. Bajunya berwarna kuning ringan. Rok bawahnya
cokelat hampir hitam. Kini ia berani mewarnai bibirnya. Rambutnya yang pendek
menggulung di atas pundak. Marni ingin memuji kecantikan anaknya, namun urung.
Wajah Karman seakan menopengi muka Tini.
Dengan berlari seperti anak kecil, Tini menghampiri ibunya. Ia duduk
berdempetan. Mula-mula Tini ikut menjumput-jumput gabah. Tetapi kemudian
mengambil tampah itu dan meletakkannya ke samping. Tangan ibunya digenggamnya.
"Ibu sudah mendengar?"
"Apa?" "Kak Jabir berkata. ."
"Ah, kau selalu menyebut nama Jabir bila hendak berkata sesuatu padaku."
Tini merengut. Pipinya merah. Ia hendak bangkit merajuk, tapi ibunya cepat
menahan. "Ibu suka begitu sih. ."
"Aku hanya berolok-olok, Tini, kau mau mengatakan apa padaku?"
"Kak Jabir bilang sudah ada orang yang melihat Ayah di rumah Paman Gono.
Jadi Ayah pasti pulang ya, Bu" Jadi aku punya ayah yang sebenarnya ya, Bu" Aku
sangat ingin melihat Ayah. Ibu juga senang bila Ayah pulang?"
Tini menunggu jawaban ibunya. Tapi Marni bahkan tertunduk. Ada rasa getir dan
sakit menyapu hati perempuan itu. Tangan Tini digenggamnya erat-erat.
15 Kelenjar air mata Marni bekerja, meskipun ia berusaha menahannya. Kini Marni tak
menyembunyikan tangisnya.
"Tini, kau sudah besar. Kita sama-sama mempunyai hati perempuan. Tentu kau dapat
menduga apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku takut kepada ayahmu. Di mata
ayahmu pasti aku seorang perempuan tidak setia, tidak berharga.
Aku. ." "Salah Ibu sendiri, mengapa Ibu kawin lagi. Coba kalau tidak, aku tak pernah
disebut anak tiri. Nggak enak lho, Bu."
"Ya, anakku. Tapi segalanya sudah terjadi."
"Ibu menyesal?"
"Andaikata penyesalan itu ada gunanya."
"Tetapi Ibu masih mencintai Ayah?"
Sekilas Marni memandang mata anaknya, tapi ia tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Jantungnya berdebar. Lalu sambil membuang muka ia balik bertanya.
"Kau mencintai Jabir. Iya, kan?"
Kedua ibu dan anak itu berpandangan. Mendadak Tini merasa dirinya jauh lebih
dewasa. Pengertian tentang perasaan ibunya makin mendalam. "Kasihan ibuku,"
pikir Tini. "Ia perempuan yang malang."
"Dan, Bu, seandainya Ibu tahu keinginanku bersama Rudio. . keinginan sejati dari
anak-anak terhadap kedua orangtuanya."
"Yah, aku mengerti. Di dunia ini tak ada anak yang menginginkan kedua
orangtuanya hidup terpisah. Aku tahu. Tapi Tini, kehidupan ini ternyata sering
begitu kejam. Kehidupan ini telah memisahkan aku dan ayahmu secara paksa. Dan
untuk bersatu lagi, meskipun ayahmu sudah kembali, masalahnya sungguh tidak
gampang. Boleh jadi tak mungkin."
"Tapi, Bu, siapa tahu Tuhan menghendaki Ibu kumpul lagi sama Ayah?"
Marni mengusap matanya. "Ah, Tini, Ibu takut berandai-andai seperti itu."
Dari kamar Parta terdengar suara batuk beruntun. Penyakit napasnya sedang
kambuh. Marni dan anaknya kembali duduk tegak. Khawatir suaminya akan keluar,
Marni segera mengalihkan pembicaraan. Tini melayaninya dengan pintar.
"Kemarin Jabir bertamu sampai malam, tidak pantas, bukan?"
Tini mencubit lengan ibunya.
"Sayang, Tin, Jabir cucu Haji Bakir!"
"Jadi mengapa?"
"Oh, tidak mengapa. Di kampung ini keluarga itu terlalu kaya. Orang sering
berbicara tentang keimbangan antarbesan. Apakah kau pernah berjumpa dengan
keluarga Jabir?" 16 "Sering, Bu. Pada malam Mauludan yang lalu aku duduk berdampingan dengan. ."
"Jabir?" potong Marni.
Dalam perkawinannya dengan Parta, Marni memperoleh dua orang anak. Parta
memiliki tanah sawah yang lumayan luasnya. Jadi soal kesulitan pangan tidak
dirasakan oleh Marni dan keluarga barunya. Perempuan itu juga sadar Parta
berusaha keras menjadi suami yang baik. Tampaknya Parta lebih mencintai Marni
daripada istrinya yang lama. Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan
Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya terhadap Rudio. Ia
tak mau tahu akan biaya yang diperlukan anak tirinya itu. Maka Marni harus
menjual semua harta yang ditinggalkan Karman untuk membiayai pendidikan Rudio,
dari SMP sampai STM. Orang-orang Pegaten melihat perangai Marni berubah setelah hidup bersama Parta.
Kecerahannya lenyap, ia jadi pendiam. Tidak seperti dulu, kini Marni jarang
bergaul dengan perempuan-perempuan lain. Hanya perempuan itu sendiri yang tahu
mengapa. Yang jelas Marni merasa perkawinannya dihantui oleh kekhawatiran
munculnya Karman pada suatu saat. Rasa khawatir itu kemudian berubah menjadi
rasa takut dan bersalah. Setitik pengakuan dosa mulai melembaga di hati Marni.
Bahkan nuraninya sering menuntut; mana kesetiaanmu sebagai istri sejati" Mengapa
kautinggalkan Karman dalam segala kesengsaraannya"
Pada saat itu orang Pegaten sudah mulai berbicara tentang para tahanan yang
dibebaskan. Seribu orang dilepas dari Pulau B, tujuh ratus dari Nusakambangan,
dan masih banyak lagi. Hati Marni seperti terpanggang. Rasa bersalah menghunjam
keras. Apalagi sudah sampai selentingan yang mewartakan Karman mungkin termasuk
tahanan yang dibebaskan. Seorang penduduk Pegaten mengaku melihat Karman di
rumah Gono, di kota. Dan Marni menangis. Sore itu pun Marni membersihkan beras
sambil menangis. Tapi ia berusaha keras menahan dirinya, karena terdengar Tini
datang dari belik. Anak gadisnya langsung masuk kamar.
Nyanyian cinta mengalun ringan. Oh, akhirnya Marni mampu tersenyum. "Pada saat
ini pasti Tini percaya bahwa Bukit Kendeng yang gundul itu indah," kata Marni
dalam hati. Senyumnya terurai kembali.
Keluar dari kamar, Tini sudah rapi. Bajunya berwarna kuning ringan. Rok bawahnya
cokelat hampir hitam. Kini ia berani mewarnai bibirnya. Rambutnya yang pendek
menggulung di atas pundak. Marni ingin memuji kecantikan anaknya, namun urung.
Wajah Karman seakan menopengi muka Tini.
Dengan berlari seperti anak kecil, Tini menghampiri ibunya. Ia duduk
berdempetan. Mula-mula Tini ikut menjumput-jumput gabah. Tetapi kemudian
mengambil tampah itu dan meletakkannya ke samping. Tangan ibunya digenggamnya.
"Ibu sudah mendengar?"
17 "Apa?" "Kak Jabir berkata. ."
"Ah, kau selalu menyebut nama Jabir bila hendak berkata sesuatu padaku."
Tini merengut. Pipinya merah. Ia hendak bangkit merajuk, tapi ibunya cepat
menahan. "Ibu suka begitu sih. ."
"Aku hanya berolok-olok, Tini, kau mau mengatakan apa padaku?"
"Kak Jabir bilang sudah ada orang yang melihat Ayah di rumah Paman Gono.
Jadi Ayah pasti pulang ya, Bu" Jadi aku punya ayah yang sebenarnya ya, Bu" Aku
sangat ingin melihat Ayah. Ibu juga senang bila Ayah pulang?"
Tini menunggu jawaban ibunya. Tapi Marni bahkan tertunduk. Ada rasa getir dan
sakit menyapu hati perempuan itu. Tangan Tini digenggamnya erat-erat.
Kelenjar air mata Marni bekerja, meskipun ia berusaha menahannya. Kini Marni tak
menyembunyikan tangisnya.
"Tini, kau sudah besar. Kita sama-sama mempunyai hati perempuan. Tentu kau dapat
menduga apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku takut kepada ayahmu. Di mata
ayahmu pasti aku seorang perempuan tidak setia, tidak berharga.
Aku. ." "Salah Ibu sendiri, mengapa Ibu kawin lagi. Coba kalau tidak, aku tak pernah
disebut anak tiri. Nggak enak lho, Bu."
"Ya, anakku. Tapi segalanya sudah terjadi."
"Ibu menyesal?"
"Andaikata penyesalan itu ada gunanya."
"Tetapi Ibu masih mencintai Ayah?"
Sekilas Marni memandang mata anaknya, tapi ia tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Jantungnya berdebar. Lalu sambil membuang muka ia balik bertanya.
"Kau mencintai Jabir. Iya, kan?"
Kedua ibu dan anak itu berpandangan. Mendadak Tini merasa dirinya jauh lebih
dewasa. Pengertian tentang perasaan ibunya makin mendalam. "Kasihan ibuku,"
pikir Tini. "Ia perempuan yang malang."
"Dan, Bu, seandainya Ibu tahu keinginanku bersama Rudio. . keinginan sejati dari
anak-anak terhadap kedua orangtuanya."
"Yah, aku mengerti. Di dunia ini tak ada anak yang menginginkan kedua
orangtuanya hidup terpisah. Aku tahu. Tapi Tini, kehidupan ini ternyata sering
begitu kejam. Kehidupan ini telah memisahkan aku dan ayahmu secara paksa. Dan
untuk bersatu lagi, meskipun ayahmu sudah kembali, masalahnya sungguh tidak
gampang. Boleh jadi tak mungkin."
"Tapi, Bu, siapa tahu Tuhan menghendaki Ibu kumpul lagi sama Ayah?"
Marni mengusap matanya. 18 "Ah, Tini, Ibu takut berandai-andai seperti itu."
Dari kamar Parta terdengar suara batuk beruntun. Penyakit napasnya sedang
kambuh. Marni dan anaknya kembali duduk tegak. Khawatir suaminya akan keluar,
Marni segera mengalihkan pembicaraan. Tini melayaninya dengan pintar.
"Kemarin Jabir bertamu sampai malam, tidak pantas, bukan?"
Tini mencubit lengan ibunya.
"Sayang, Tin, Jabir cucu Haji Bakir!"
"Jadi mengapa?"
"Oh, tidak mengapa. Di kampung ini keluarga itu terlalu kaya. Orang sering
berbicara tentang keimbangan antarbesan. Apakah kau pernah berjumpa dengan
keluarga Jabir?" "Sering, Bu. Pada malam Mauludan yang lalu aku duduk berdampingan dengan. ."
"Jabir?" potong Marni.
"Bukan. Aku berdampingan dengan Bu Haji Bakir, nenek Jabir. Wah, malu. ."
"Beliau mau bicara denganmu?"
"Mau. Malah lebih dari itu. Aku diajak singgah ke rumahnya. Beliau juga memuji
bacaan Quranku. Dan Ibu tahu tentang kain kerudungku yang berwarna biru, bukan?"
"Ya, tahu. Pemuda yang sedang pacaran memang suka memberi hadiah kecil-kecilan."
"Ah, Ibu salah terus. Kain kerudung itu bukan hadiah dari Kak Jabir."
"Lalu?" "Dari neneknya, buat aku."
Marni tersenyum. Anehnya Tini agak tersinggung karena tidak yakin akan arti
senyum ibunya. "Kenapa Ibu tersenyum?"
Marni cepat sadar bahwa anaknya mudah merasa dilecehkan. Untung ibu yang bijak
itu bisa mengalihkan perhatian Tini.
"Tidak mengapa, Tini. Aku hanya sedikit heran bila mengingat Jabir. Dia lebih
suka menjadi sopir truk kakeknya daripada bersekolah. Padahal bila dia mau,
biaya pasti tersedia sampai ke mana pun dia menuntut pelajaran."
"Ibu kan tahu, Kak Jabir seperti aku; anak tiri."
"Tetapi dia tinggal bersama kakeknya, kan" Lagi pula Haji Bakir tampaknya begitu
sayang kepadanya. Oh, lupakan semua, Tini. Yang penting aku tahu pacarmu itu
bukan sembarang sopir. Tentu saja."
Tini tersenyum malu-malu. Jabir memang bukan sembarang sopir. Dia cucu orang
kaya yang sengaja memilih bekerja sendiri. Terkadang Jabir berhari-hari mondar-
mandir dengan truk milik kakeknya itu. Jabir menjual pasir, batu kali, atau 19
tahi kuda. Yang terakhir itu untuk melayani permintaan para petani sayuran dan
tembakau. Atau kadang Jabir menembak tupai di kebun kelapa kakeknya yang sangat
luas. Kulit binatang itu dikelupasi dan dijemur. Setelah kering kulit itu akan
menutupi sebagian besar kamar tidurnya. Jumlah korban buruannya memang bisa
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencapai puluhan ekor. Jabir juga pernah meminta kakeknya tidak menjual belasan ribu buah kelapa yang
telah memenuhi tempat penimbunan. Anak urakan itu memimpikan sebuah kilang
pengolahan minyak goreng. "Aku bisa memperoleh kredit bank untuk membiayai
pembangunan kilang itu," pikir Jabir. Dan orang boleh tidak pereaya bahwa yang
kemudian datang berbicara dengan Jabir adalah para tengkulak kelapa, bukan
pegawai bank. Timbunan kelapa milik kakek dijual habis. Dua hari kemudian motor
Jabir berganti dengan yang baru. Dan Haji Bakir hanya tersenyum melihat ulah
cucunya. Itu Jabir, si urakan yang punya daya pikat terlalu kuat bagi semua
gadis di Pegaten. Tak pelak lagi Tini.
Malam yang sangat menggelisahIcan Tini; besok ia akan pergi ke kota, ke rumah
Paman Gono. Tini tidak meragukan kabar itu. Ayahku, yang hanya hidup dalam
angan-angan selama belasan tahun, pasti sudah berada di sana. Tadi sore Ibu
sudah memberinya bekal. Tini tahu, sebenarnya Ibu juga ingin segera memperoleh
kepastian tentang kepulangan Ayah.
Kegembiraan Tini makin mengembang ketika Jabir datang. Bajunya putih lengan
panjang tanpa leher. Kain sarungnya hijau tua dan kopiahnya baru. Sayang, cucu
Haji Bakir itu hanya sebentar menemui Tini. Ia bangkit minta diri setelah
menyerahkan sebuah bingkisan. Ini oleh-oleh pamanku dari Mekah untuk kamu dan
Ibu. Isinya dua sajadah. Aku senang bila kamu dan Ibu salat di atas sajadah
itu." Agak larut malam Tini baru bisa tidur. Tetapi ibunya tetap terjaga dan mendengar
kentongan dipukul satu kali. Kedua anaknya yang masih kecil sudah lama lelap.
Dan Marni keluar kamar, ingin menyendiri. Namun ia tak tega melihat Parta yang
mendadak terjaga dan napasnya tersengal-sengal. Bengeknya kambuh. Udara dingin
agaknya ikut memperburuk keadaan Parta. Marni membantu suaminya minum obat
pelonggar saluran napas. Setengah jam kemudian lelaki yang lemah itu tertidur
setelah tubuhnya mengeluarkan keringat seperti orang habis berpacu lari.
Marni kini terjaga seorang diri. Berjalan mengelilingi ruang tengah, duduk dekat
mesin jahit, dan bangkit lagi demi melihat kedua anaknya di kamar. Kentongan di
balai desa dipukul dua kali. Dan Marni makin gelisah. "Apa yang sebaiknya
kulakukan bila Mas Karman, bekas suamiku itu pulang" Bekas suami" Apakah aku
benar-benar pernah bercerai dari dia?"
Pertanyaan-pertanyaan itu mengepung dan terus menyudutkan Marni. Karena merasa
terdesak oleh pertanyaan yang mengembang di hati sendiri, Marni pernah ingin
menjawabnya dengan lugas.
20 "Demi menjaga perasaanku maupun perasaan dia; aku tidak akan menemui Mas Karman
bila dia sampai ke kampung ini."
Namun ketetapan itu tak bertahan lama. "Apa kata senma orang nanti apabila aku
tak mau menemui Mas Karman; mereka akan mengatakan aku perempuan yang tak punya
perasaan. Tak patut. Lagi pula aku membohongi diriku sendiri.
Aku ternyata tak bisa melupakan ayah Tini itu. Karman satu-satunya lelaki yang
telah mengisi keindahan masa mudaku. Dialah orang yang pernah kuserahi segalanya
yang ada padaku. Secara pribadi, kepadaku dia tidak bersalah sedikit pun. Dia
memang meninggalkan aku dalam penderitaan selama dua belas tahun; namun aku tahu
hal itu bukan kehendak dia. Ya Tuhan, aku kini bukan istri Karman.
Kini aku istri Parta yang sah. Lalu aku harus bagaimana karena Mas Karman masih
ringgal di hatiku" Dan aku akan bertemu dia besok atau lusa, jadi aku harus
bagaimana?" Marni bankit karena tersadar oleh bunyi kentongan tiga kali. Mula-mula ia
berjalan menuju kamar suaminya. Dipandangnya Parta yang tetap tertidur di bawah
cahaya lampu minyak, dengan tarikan-tarikan napas yang berat. Dalam tidurnya
pundak lelaki itu tampak naik dan agak lengkung ke depan, ciri utama seorang
penderita penyakit napas yang menahun. Tulang pelipis dan tulang pipinya
menonjol. Entahlah, tiba-tiba ada rasa tak suka terhadap suami yang telah
memberinya dua anak itu. Dan sebelum perasaan demikian mengembang menjadi
kebencian, Marni memalingkan wajah ke dipan sebelah. Di sana kedua anaknya, anak
Parta, lelap dalam wajah tanpa dosa. Itu, wajah-wajah kesucian. Marni hanya
bergerak membetulkan kain yang menutup tubuh anak-anaknya, dan keluar menuju
kamar Tini. Ditatapnya wajah Tini dengan matanya, dengan hatinya, dengan seluruh
perasaannya. Dari sosoknya, Marni melihat Tini adalah titisan Karman. Bentuk
hidung dan alis Tini itu. Juga rona kulitnya. Dan dari segi keberadaannya, Marni
tidak hanya melihat Tini sebagai titisan ayahnya. Gadis yang sedang lelap dalam
kedamaian itu adalah buah dan makna kebersamaan yang total antara dirinya dengan
Karman. Mendadak dada Marni terasa menyesak. Air matanya berjatuhan.
Dalam isaknya, Marni mengeluh. "Oh, Tini anakku. Kamu tidak tahu siapa
sebenarnya orang yang paling merindukan ayahmu."
Marni menghapus air mata, dan perlahan keluar dari kamar Tini. Termangu
sebentar, telinganya mendengar kokok ayam jantan pertama. Entahlah, suara kokok
itu membawa suasana jernih dan kudus. Ada ketenangan merambah hati, membuat
Marni teringat sesuatu. Diambilnya lampu tempel. Pintu samping berderit ketika
Marni membukanya. Marni ingin mengambil air sembahyang.
Di kamar pesalatan Marni berusaha mencari kesadaran tertinggi agar bisa
berdekat-dekat dengan Tuhan. Ia bersimpuh dan merasa begitu kecil dan lemah.
Namun dalam kesadaran akan kelemahan itulah Marni menemukan sikap yang 21
akan ditempuhnya. "Besok, aku akan bertawakal; membiarkan apa yang harus
terjadi, terjadilah."
Marni lega. Ternyata, kepasrahan telah menyebabkan sebagian besar beban
pikirannya lenyap. Kokok ayam jantan yang terdengar makin ramai, monyebabkan Marni ingin mengakhiri
salatnya. Ia berdiri. Dan mendadak termangu. Sepotong rekaman masa lalu tiba-
tiba berputar dengan sangat jelas di depan matanya.
Waktu itu usia perkawinannya dengan Karman baru mencapai bulan yang keempat.
Suatu malam, ketika Karman tertidur nyenyak di sampingnya, Marni masih terjaga
dan gelisah. Marni sangat menginginkan sesuatu tetapi setiap kali menoleh ke
samping, suaminya tetap nyenyak. Karman memang lelah dan lemas sehingga tidurnya
sangat pulas. Marni menangis karena merasa tak dipedulikan.
Menangis karena keinginannya akan sesuatu hampir tak tertahankan. Maka, dengan
melawan perasaannya Marni memberanikan diri membangunkan Karman. Ke telinga
suaminya itu Marni berbisik pelan, pelan sekali karena kamar mereka bersebelahan
dengan kamar mertua. "Mas. . Mas Karman. .!"
Karman menggeliat dan kemudian membuka mata.
"Ya. .?" "Mas. ." "Ya" Mengapa kamu menangis?"
Marni diam. Ia membalikkan tubuh, tetapi kemudian berputar kembali. Karman
bingung. Macam-macam dugaan memenuhi kepalanya.
"Kamu sakit" Perutmu sakit?"
Marni menggeleng. "Aku ingin, Mas, aku ingin. ."
Karman menatap Marni. Samar, karena matanya baru terbuka, Karman melihat wajah
istrinya. Ya, wajah itu menyiratkan Marni sedang menuntut sesuatu. "Ah, ya,"
pikir Karman. "Jangan khawatir. Aku lelaki tulen." Karman merasa ada tagihan
terhadap kelelakiannya. Maka suami muda itu pun bersiap. Tetapi kemudian
tertegun karena Marni tiba-tiba mengambil sikap tengkurap sambil memeluk bantal
erat-erat. Tangisnya malah makin menjadi.
"Mas, aku kepengin kedondong. Itu, pohon kedondong di belakang rumah sedang
berbuah. Ambilkan sekarang, Mas. Sekarang!"
Marni terus terisak. Karman memerlukan waktu setengah menit untuk menyadari apa
yang benar-benar didengar dari mulut istrinya. Kedondong" Larut malam begini
Marni kepengin kedondong"
"Bukan main! Tetapi baiklah. Akan kuambilkan sekarang."
22 Karman turun dari tempat tidur. Kain sarung digulungnya di perut, terus
melangkah ke pintu belakang. Marni ikut bangkit, namun hanya untuk duduk di
pinggir tempat tidur. Di belakang rumah memang ada pohon kedondong muda yang baru kali pertama
berbuah. Batangnya masih kecil, buahnya pun tidak lebat. Tetapi untuk
mendapatkan buah masam itu Karman harus menemukan galah. Tetapi di malam gulita,
galah atau tangga bambu sulit didapat. Celakanya, Karman juga tak pandai
memanjat pohon. Bingung karena merasa harus mendapat buah kedondong, Karman mengusap-usap
keningnya. Ah, suami muda itu masuk kembali ke rumah dan keluar lagi dengan
sebuah golok di tangan. Tanpa pikir macam-macam, pohon yang tidak seberapa besar
itu ditebangnya. Tumbang. Suaranya membuat Bu Mantri - ibu Karman - dan para
tetangga terbangun. "Karman, kamu gila" Malam begini kamu menebang pohon?" seru Bu Mantri sambil
mengucek-ucek mata di depan pintu. Yang ditanya hanya tersenyum, tanpa menoleh.
Sebuah bakul dipenuhinya dengan kedondong yang jadi berserakan di tanah. Sambil
berjalan masuk ke rumah, Karman memberi aba-aba kepada ibunya.
Bu Mantri maklum. Anak dan ibunya kemudian tertawa bersama.
"Oh, Karman, istrimu ngidam" Aku hampir punya cucu" Dan kamu lelaki yang tak
bisa memanjat pohon?"
Selesai berkata demikian Bu Mantri berjalan cepat mendahului Karman. Masuk kamar
menantu, dan Marni dicium, Marni diusap-usap rambutnya. Bu Mantri menyayang-
nyayang seakan Marni seorang gadis kecil yang sedang merajuk. Oh, sang menantu
jadi sangat kikuk. Sampai pagi mulut Marni tak berhenti mengunyah kedondong. Kadang-kadang Karman
ikut mencicipi karena Marni mendesaknya. Tetapi sesungguhnya Karman hanya ingin
melayani Marni; mengupaskan buah masam itu, mengiris menjadi potongan kecil-
kecil atau malah menyuapkannya. Saat itu Marni benar-benar merasakan keindahan
hidup bersama Karman. Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935. Ayahnya seorang mantri pasar di sebuah
kota kecamatan. Waktu itu gaji seorang mantri pasar bisa diandalkan untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hampir semua warga desa Pegaten adalah petani.
Maka ayah Karman sangat bangga akan jabatannya sebagat pegawai gubermen.
Dia tak suka dipanggil dengan nama aslinya. Itulah sebabnya orang Pegaten hampir
lupa siapa nama ayah Karman yang sesungguhnya. Sehari-hari lelaki yang selalu
bertopi gabus itu biasa dipanggil sebagai Pak Mantri. Dan karena begitu
membanggakan kepriyayiannya, Pak Mantri merasa dirinya tak pantas menggarap
sawah. Padahal dia punya satu setengah hektar warisan orangtuanya. Setiap tahun
sawah Pak Mantri disewakan kepada petani penggarap.
23 Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang Pegaten mengalami masa yang sangat
sulit. Kurang pangan terjadi di mana-mana karena padi orang kampung dijarah oleh
tentara Jepang. Kemarau selama sembilan bulan juga ikut menyengsarakan semua
orang. Di Pegaten, orang sudah beruntung apabila masih bisa makan ubi-ubian, tak
terkecuali keluarga Pak Mantri. Priyayi itu sangat tersiksa, bukan hanya karena
harus makan ubi. Menurut keyakinannya, seorang mantri hanya pantas makan nasi
dari beras kualitas terbaik. Ubi tak pantas dihidangkan kepada Pak Mantri, baik
pada zaman normal maupun pada zaman Jepang.
Dalam kesulitan memperoleh beras, Pak Mantri mengetahui bahwa Haji Bakir
berhasil menyembunyikan sebagian padinya sehingga luput dari jarahan tentara
Jepang. Dengan keyakinan bahwa dirinya hanya pantas makan nasi, Pak Mantri
menemui Haji Bakir. Mantri pasar itu ingin melakukan tukar-menukar; ia akan
memberikan sebagian sawahnya dan Haji Bakir diminta memberinya padi. Dalam
suasana kurang pangan yang amat rawan itu, padi memang menjadi benda yang amat
mahal. Pada mulanya Haji Bakir tidak ingin melayani ajakan Pak Mantri. Karena, padi
yang berhasil ia sembunyikan sebenarnya tak seberapa, malah diperkirakan tak
cukup untuk keperluan keluarga besarnya. Namun karena terus didesak, juga karena
takut rahasia simpanan padinya dibocorkan, akhirnya Haji Bakir mengalah. Dan
terjadilah tukar-menukar itu. Sebagian sawah Pak Mantri ditukar dengan lima
kwintal padi. Belum lagi lima bulan, padi milik Pak Mantri yang diperoleh dari tukar-menukar
itu habis. Menyusul kemudian tukar-menukar yang kedua, dan akhirnya habislah
warisan milik priyayi Pegaten itu. Namun tak mengapa. Pak Mantri sangat yakin
akan tiba kembali zaman normal. Ia akan kembali menjadi mantri pasar, duduk di
gardu atau mengedarkan karcis retribusi, dan menerima gaji setiap akhir bulan.
Sialnya masa lalu yang ditunggu Pak Mantri tak pernah kembali.
Kemudian pecah perang kemerdekaan. Tatanan kemasyarakatan porak-poranda. Pasar
seakan bubar. Masyarakat terbelah dua; satu ikut Republik, dan sebagian kecil
lainnya ikut pemerintaban sipil Belanda yang sedang dicoba kembali ditegakkan.
Pak Mantri, karena cinta kepada kepriyayiannya, tidak ikut barisan Republik yang
di Pegaten dimotori oleh pemuda kampung dan para santri. Namun pilihan Pak
Mantri salah. Dia tak pernah kembali jadi mantri pasar karena para pemuda
pejuang membawanya ke hutan. Ayah Karman itu tak pernah terlihat kembali oleh
anak-istrinya. Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan seorang adik perempuan
yang masih kecil. Sebenarnya Karman punya dua kakak lelaki. Tetapi keduanya
meninggal dalam bencana kelaparan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman
amat menyedihkan. Apalagi setelah terjadi kekerasan oleh tentara 24
Belanda di Pegaten tahun 1948. Bersama ibu dan adiknya, Karman pergi mengungsi
jauh ke pedalaman. Belanda lalu membuat markas pertahanan di Pegaten.
Setelah datang masa aman Karman dan ibunya pulang ke Pegaten. Masa kurang pangan
berakhir. Namun Karman kecil harus menerima kenyataan bahwa dia dan ibunya sudah
tak punya apa-apa lagi. Untunglah, karena panen padi selalu bagus maka orang
Pegaten kurang peduli terhadap ubi dan singkong di ladang mereka.
Maka Karman yang masih bocah biasa mengumpulkan singkong dari ladang orang dan
dibawa pulang sebagai bahan makanan. Singkong direbus, singkong ditanak, atau
malah singkong cukup dibenam dalam api sampai empuk; semuanya cukup buat
mengganjal perut Karman bersama ibu dan adiknya.
Hingga dua tahun lamanya Karman hidup dengan singkong. Hanya sesekali dia
menemukan sebungkus nasi, itu pun bila dia punya kesempatan bermain dengan
Rifah, anak bungsu Haji Bakir. Rifah masih kecil, usianya beberapa tahun lebih
muda daripada Karman. Banyak cara bisa dilakukan agar Karman bisa bermain dengan
gadis cilik itu. Untuk Rifah, Karman harus punya sesuatu yang menarik hatinya.
Misalnya mainan baling-baling yang terbuat dari daun kelapa. Tanpa dipancing-
pancing, jika Rifah metihat mainan itu, pasti dia akan memintanya. Rifah yang
agak dimanjakan biasa memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
"Wah, mainan kamu bagus. Buat aku, ya!" kata Rifah kepada Karman suatu hari.
"Oh, jangan," jawab Karman. Ia pura-pura bertahan.
"Tapi aku ingin mainan kamu itu," sambung Rifah. Gayanya khas seorang anak yang
terbiasa dimanja. Karman tahu Rifah akan memberikan apa saja apabila ia diberi
baling-baling mainan itu. Itulah yang biasa terjadi.
"Kamu pulang dulu. Kamu ambil nasi buat aku. Nanti baling-baling ini buat kamu."
Rifah gadis kecil yang segar. Betis dan pundaknya montok. Kedua pipinya padat
dan matanya bulat tajam. Mendengar permintaan Karman, ia lari gesit seperti
tupai. "Tentu dia gesit. Setiap hari dia makan nasi sampai kenyang," Karman iri.
Tak berapa lama Rifah muncul kembali, dan tanpa sebungkus nasi di tangannya.
Karman sangat kecewa. Anak lelaki itu beberapa kali mendan ludah. Perutnya
melintir perih. Tetapi wajah Karman berubah terang setelah mendengar ucapan
Rifah. Ada harapan. "Ibu meminta kamu datang ke sana. Adik kamu diminta datang juga."
Yakin akan mendapat sebungkus nasi yang sangat diharapkan, Karman menyerahkan
baling-baling daun kelapa itu kepada Rifah. Gadis kecil itu tertawa dan
melompat-lompat gembira. 25 Di dapur rumah Haji Bakir sudah tersedia dua piring nasi dengan lauk-pauknya.
Bu Haji menyilakan Karman dan adiknya makan. Rifah sendiri lenyap entah ke mana
bersama mainan barunya. Diam-diam Bu Haji memperhatikan Karman dan adiknya. Kedua anak yatim itu makan
dengan sangat lahap. Mungkin mereka sudah beberapa bulan hanya bertemu singkong
dan kini mereka menghadapi sepiring nasi.
Bu Haji menarik napas panjang. Tiba-tiba perempuan itu merasa malu kepada diri
sendiri. "Mengapa sampai sejauh ini aku baru sadar ada dua anak yang wajib
kusantuni?" keluhnya. "Seharusnya sejak dulu kuperhatikan kedua anak yatim ini."
Hari-hari selanjutnya, Karman dan adiknya mendapat perhatian cukup dari keluarga
Haji Bakir. Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan Karman
sementara anak itu momong adiknya. Dengan memberi pekerjaan kecil, Bu Haji
bermaksud mendidik Karman bekerja sehingga ia tidak terbiasa bergantung kepada
pemberian orang. "Manakala mengaji berangkatlah lebih awal. Bantulah kami
menyalakan lampu-tampu atau menyapu lantai mesjid. Kita dapat makan bersama
sesudah itu." Atau, "Sambil mengajak adikmu bermain, berilah makan ikan-ikan di
kolam kami. Kamu suka makan pagi dengan lauk ikan mujair goreng, bukan?"
Tanpa terasa akhirnya Karman seakan menjadi anggota keluarga Haji Bakir. Ia
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sering terlihat mengiringkan gerobak yang mengangkut kelapa yang baru dipanen
dari kebun Haji Bakir. Petani kaya itu merasa puas, karena kalau menyangkut
panen kelapa, Karman selalu teliti. Sering anak yang pintar itu melapor, panen
kelapa kali ini berjumlah 836 buah. Sejumlah 43 buah rusak dimakan tupai. Dalam
perjalanan, anak-anak nakal naik ke atas gerobak dan membawa lari 3 buah. Jadi
sampai ke gudang tinggal 790 buah."
Tiga tahun berjalan. Setelah adik Karman bisa bermain sendiri, Bu Haji Bakir
menemui Bu Mantri. Mereka ingin membicarakan dan mencari kesepakatan tentang
Karman. Terjadi persetujuan antara kedua perempuan itu: Karman yang saat itu
sudah mencapai usia tiga belas tahun akan tinggal bersama keluarga Haji Bakir.
Meski belum dewasa, Karman akan dianggap bekerja penuh pada keluarga kaya itu.
Pangan dan pakaian sehari-hari Karman ditanggung, dan sehabis panen Karman
berhak menerima tiga kwintal padi sebagai upah tahunan.
Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu
rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan
pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan
yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan
oleh anak seusianya; mengantarkan makanan bagi orang yang sedang bekerja di
sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan di kolam, dan melayani si
manja Rifah. Si bungsu bertambah ceria. Sekarang di rumahnya tinggal seorang
anak yang harus mau disuruhnya mencari bulu jagung untuk membuat boneka, 26
mengumpulkan buah saga untuk bermain pasar-pasaran. Atau terjun ke air jika bola
Rifah masuk ke kolam. Namun karena hendak menolong Rifah, Karman pernah mengalami kejadian yang hampir
mencelakakan dirinya. Haji Bakir membeli seekor kambing jantan besar. Idul Qurban hampir tiba.
Kambing itu berwarna hitam, bersurai dan berjanggut panjang. Sepasang tanduknya
sebesar lengan Karman. Pohing, anak tetangga Haji Bakir yang mempunyai seekor
kambing jantan berwarna putih, ingin membuat pertunjukan. Ia ingin membuktikan
bahwa kamhingnya juga hebat, tak mungkin dikalahkan oleh kambing Haji Bakir.
Binatang-binatang jantan itu didekatkan schingga keduanya berlaga sangat seru.
Terjadilah. Anak-anak banyak berkumpul. Rifah datang bersama Karman. Bukan main
senang anak-anak melibat kedua kambing itu saling membenturkan tanduk mereka.
Mula-mula keduanya berdiri pada sepasang kaki belakang. Kepala sedikit
dimiringkan. Lalu serentak mereka menjatuhkan kaki depan sambil mengadu tanduk
mereka. Suaranya keras dan mengerikan.
Kambing Pohing tidak bertahan lama. Kibas berbulu putih itu lari. Kambing Haji
Bakir penasaran, lalu mengamuk. Matanya jalang. Tiba-tiba ia mengambil ancang-
ancang hendak menyerang seorang gadis kecil yang berbaju putih. Mungkin binatang
itu mengira Rifah adalah lawannya yang telah lari. Karman maju melindungi Rifah
yang menjerit dengan muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena
tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu.
Tapi Karman bertahan sampai beberapa orang dewasa bertindak. Rifah masih
menggigil ketakutan ketika diangkat oleh Haji Bakir.
Tampaknya Karman baik-baik saja kecuali goresan kecil di betisnya. Namun pada
malam harinya ia tidak kelihatan di mesjid. Sekujur tubuhnya terasa sakit.
Belikatnya terkilir sehingga keesokan harinya ia tak bisa bekerja.
Karena merasa tidak enak menganggur di rumah Haji Bakir, Karman minta permisi
pulang ke rumah ibunya sampai badannya segar kembali. Bu Mantri memanggil tukang
pijat. Rifah datang membawa banyak makanan, tetapi gadis cilik itu merasa sulit
berbicara dengan Karman. Namun wajah Rifah berseri-seri ketika melihat Karman
mengupas pisang ambon yang dibawanya.
"Aku ingin Karman mengerti bahwa aku sangat berterima kasih kepada dia,"
kata Rifah dalam hati. "Tetapi aku malu mengatakannya, jadi aku diam saja. Wah,
sungguh kasihan Karman. Dia sampai terbanting-banting karena ingin melindungi
aku." Hanya tiga hari Karman tinggal di rumah ibunya. Ia cepat sehat kembali. Kepada
teman-teman sepermainan, Rifah sering bercerita bahwa entah apa jadinya bila
Karman tidak menahan kambing yang mengamuk itu.
Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai meniup-niup puput. Di pagi hari
burung-burung gelatik dan murai terbang berkelompok-kelompok menuju 27
sawah. Musim ini panenan baik. Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut
senang. Mereka ikut menuai. Dari hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh
atau seperdelapan bagian. Selebihnya menjadi hak pemilik sawah.
Karman tahu Bu Mantri, ibunya, tak pandai menuai. Jadi bagaimanapun baiknya
panen musim itu, Bu Mantri tidak akan mendapat bawon, yaitu upah menuai padi.
Padi yang diterima dari Bu Haji Bakir sebagai upah Karman sudah habis, karena
sebagian dijual untuk keperluan lain. "Tak pantas pada waktu panen seperti ini
ibuku tak punya beras. Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat
merasakan nasi yang empuk."
Sebelum berangkat tidur di serambi mesjid bersama kawan-kawannya, Karman
menghadap Bu Haji Bakir. Sekali lagi ia minta permisi barang empat-lima hari,
mulai besok pagi. Bu Haji Bakir tak kuasa menahan Karman. Perempuan itu sadar
bahwa masa panen adalah masa istimewa bagi semua anak kampung. Maka Karman
diberinya kesempatan ikut terjun ke sawah untuk melak-sanakan kepentingan
sendiri. Karena mendapat izin menuai padi untuk diri sendiri, malam itu Karman sulit
tidur. Dia baru terlelap hampir tengah malam. Namun ketika ayam jantan mulai
berkokok Karman sudah terjaga. Anak-anak yang tidur di serambi mesjid meng-hafal
dua suara yang menandakan fajar telah tiba; kicau burung sikatan di atas kolam
mesjid atau bunyi terompah kayu Haji Bakir. Pohing yang selalu bangun lebih dulu
mengguncang kaki teman-temannya. "He, bangun. Bangun! Nanti ka-lian diperciki air oleh Pak Haji!" Begitu cara Pohing membangunkan
Karman dan selusin anak lainnya.
Bunyi derek timba mengawali hiruk-pikuk di sumur. Anak-anak mulai bermain
ciprat-cipratan air. Dan suasana baru reda bila Haji Bakir datang.
"Hayo, jangan bergurau. Bersucilah! Matahari hampir terbit."
Pada saat seperti itu tentu Haji Bakir tidak tahu anak-anak sering bermain
kotor. Seorang anak yang telah mandi dan bersuci didekati oleh lainnya yang masih
bugil. Si bugil akan menyambar ta-ngan anak pertama, lalu disentuhkan ke kubul sehingga
pemilik tangan itu batal wudunya.
Demikianlah sumur mesjid itu selalu ramai oleh gurau anak-anak selagi fajar
merekah di timur. Hiruk-pikuk baru berakhir apabila sembahyang subuh sudah
dimulai. Dan ketika jamaah yang tua-tua masih berzikir sehabis sembahyang, anak-
anak sudah bubar berhamburan. Mereka kembali ke ru-mah masing-masing dengan
gurauan yang gembira. Gumpalan-gumpalan cadas di puncak Bukit Kendeng di sebelah selatan Pegaten mulai
tampak dengan jelas. Matahari sudah menyorotkan sinarnya ke sana. Tapi di
kampung itu kampret-kam-pret baru saja masuk ke lubang kayu atau kuncup daun
pisang. Kabut tipis masih membayangi sawah luas dengan padinya yang menguning.
28 Sepagi itu Karman keluar dari rumah ibunya dengan caping bambu menutup
kepalanya. Di ba-gian bawah caping itu terselip ani-ani. Ia tidak lupa membawa
pikulan bambu yang akan diguna-kan untuk membawa ikatan-ikatan padi dari sawah
ke rumah pemiliknya. Kalau Karman dapat tujuh ikatan ia akan membawa pulang
satu. Tetapi ia tidak yakin. Ia belum dapat menggunakan ani-ani dengan cepat.
Di gang yang menuju ke sawah, Karman ber-temu dengan para penuai lainnya.
Mereka berjalan seraya tertawa-tawa. Sungguh, banyak orang Pega-ten yang tertawa
pada waktu penen tiba. "Ke sawah siapa kita pergi?" kata seseorang kepada temannya.
"Ke sawah Pak Dulah," jawab yang lain.
"Benar, aku setuju. Pak Dulah menanam padi bengawan. Nasinya wangi dan pulan.
Dimakan dengan sambal bunga pisang kuah santan, wa-duh. ."
"Pergilah kalian ke sana," sahut seseorang. "Aku memilih sawah Santika. Padinya
rojolele. Batangnya tumbuh tidak terlalu rapat, tidak roboh. Sebentar saja kita
bisa dapat banyak tuaian. Pagi-pagi sarapan nasi rojolele yang masih hangat,
lauknya oseng jagung muda, oh. ."
"Dengar," sera laki-laki yang bercaping lebar. "Sawah Pak Dulah dan Santika amat
jauh di tengah. Di sana akan kautemui lintah sebesar tanduk kerbau. Yang bodoh
akan pergi ke sana. Tapi aku akan ke sawah Sanawi!"
"Sawah Sanawi" Oh ya, itu cocok bagimu. Sanawi menanam padi mundung.
Nasinya merah dan tidak dapat kausuap kecuali dengan sendok besar. Karena pera,
sekilo beras mundung sudah cukup membuat tujuh anakmu kenyang. Jangan lupa,
lauknya gulai keladi kemarin sore. Ho. ."
Entah apa alasannya, ternyata kelompok penuai itu berbelok menuju sawah Sanawi,
tak satu pun yang menyimpang. Memang sawah Sanawi terletak di pinggir kampun,
agak tinggi. Lumpurnya sudah mengeras, karena Sanawi menutup pintu air sepuluh
hari yang lalu. Keadaan demikian amat disukai oleh para penuai. Tak heran, makin
banyak saja penuai yang datang, hingga Sanawi merasa kewalahan.
Ia berjalan keliling pematang, waspada kalau ada penuai yang curang. Sering
ditemukan ikatan padi sengaja disembunyikan di balik jerami.
Meskipun banyak orang di sawah itu, yang terdengar hanya suara puluhan ani-ani
yang menggerek tangkai padi serta suara sibakan jerami. Atau suara burung ciplak
yang sedih karena sarangnya di tengah rumpun jerami rusak oleh para penuai.
Setiap orang ingin memperoleh hasil sebanyak-banyaknya. Mereka bekerja keras
tanpa bicara, tak terkecuali Karman yang jarinya sudah terluka oleh mata ani-
ani. Hari sudah panas ketika Karman melihat seorang perempuan berdiri di bawah pohon
dadap di tepian sawah. Kinah sedang membujuk bayinya agar cepat tidur.
Perempuan itu merasa cemas karena panenan sawah si Sanawi itu hampir usai.
Apabila Kinah belum juga ikut turun ia bisa kehilangan peluang mendapat bawon.
29 Burung branjangan terbang tinggi mengitari para penuai yang sedang sibuk
memotong tangkai bulir-bulir padi. Suaranya renyah. Unggas itu terkenal pintar
menirukan suara burung-burung yang lain. Segumpal awan tiba-tiba mengelilingi
matahari. Sejuk, walaupun sejenak. Bayi Kinah tertidur, mungkin karena lelah
mengisap tetek ibunya yang kempis. Dengan sebelah tangan, Kinah menggelar
kainnya di atas tanah. Bayinya ditidurkan. Kemudian perempuan itu bangkit,
menarik napas lega. Diambilnya ani-ani yang terselip di kondenya. "Akhirnya aku
mendapat peluang memperoleh sedikit bawon," gumam Kinah sambil bergerak terjun
ke sawah. Tak ada tudung menutupi kepala perempuan itu. Sebentar saja mukanya merah dan
kepalanya pusing oleh sengatan matahari. Kebayanya dilepas untuk digunakan
sebagai penutup kepala. Sekarang di bagian atas tubuh Kinah hanya ada kutang. Di
matanya sudah terbayang sepincuk bubur beras untuk bayinya. "Aku tak ingin
menyuapinya dengan singkong bakar lagi. Anakku harus ikut menikmati enaknya
nasi." Suara puluhan ani-ani masih terdengar seperti bunyi serangga yang rakus. Semua
orang seperti sedang berlomba adu cepat memainkan ani-ani demi bawon yang lebih
banyak. Kemudian, mengapa tak seorang pun sadar bahwa pada saat yang sama kuasa
Tuhan sedang menggerakkan seekor binatang kecil di bawah keteduhan pohon dadap
itu. Seekor semut merah bergerak di antara hilang dan tampak, meraba-raba dengan
sepasang sungut halus yang mencuat di kepalanya. Mula-mula serangga kecil itu
merayap di atas permukaan daun kering yang luruh, lalu menyelinap di bawahnya.
Sekarang sampailah ia pada ujung kain yang digelar Kinah. Sejengkal lebih jauh
semut itu menemukan benda hidup yang baginya berukuran amat besar.
Dengan sungutnya ia meraba-raba, lalu kembali menjauh. Ia menuniti hukum yang
berlaku bagi semut sejenisnya; apabila menemukan mangsa yang besar ia harus
mengundang sebanyak mungkin teman.
Semut merah itu tiba-tiba berubah perangai. Ia bergerak lebih cepat, lebih
bersemangat. Jalannya menempuh lintasan yang patah-patah. Teman yang berhasil
dijumpai diberitahu dengan bahasa ketukan. Semut kedua ini pun tiba-tiba
mengubah perangai seperti semut pertama dan seterusnya. Maka hanya dalam
beberapa menit tempat teduh di bawah pohon dadap itu penuh semut merah dan
bergerak ke arah yang sama: bayi Kinah.
Anggaplah peristiwa yang kemudian terjadi merupakan kejadian kecil dan alami,
suatu peristiwa yang menyangkut semut-semut merah dan seorang bayi. Namun
peristiwa ini akan menggetarkan jiwa Karman. Akan terbukti ketak, kejadian kecil
ini mempunyai andil amat besar dan mampu mengubah sikap hidup Karman sampai ia
harus mengalami pembuangan selama dua belas tahun di Pulau B.
Puluhan, atau ratusan semut merah sudah merayapi hampir seluruh tubuh bayi
Kinah. Seekor di antaranya sudah sampai ke ujung kulup bayi yang sedang nyenyak
30 itu. Mungkin karena sepersekian persen air seni yang melewati lubang kulup
adalah gula, maka semut di sanalah yang pertama kali menggigit. Si semut
tentulah tidak bermaksud menyakiti si buyung. Namun bayi Kinah menggeliat karena
kenyenyakan tidurnya terusik. Dan pada saat yang sama ratusan semut merah di
sekujur tubuh si buyung menggigit serentak. Gatal, perih, dan panas. Tangis si
bayi langsung berupa jerit yang mengentak, melengking tinggi, putus, lalu
senyap. Si buyung tak mampu mengembalikan napas dan mulutnya tetap ternganga.
Hampir setengah menit lewat, keadaan tidak berubah. Kecuali kulit bayi itu yang
lama-lama berubah menjadi biru karena kurang zat asam.
Karman bingung, amat bingung menghadapi perkembangan yang terjadi.
Ternyata semua orang yang ada di sawah Sanawi hanya menoleh sebentar ke arah
suara jerit bayi Kinah, kemudian asyik kembali dengan ani-ani mereka. Bahkan, ya
bahkan, Kinah sendiri tidak segera menghentikan pekerjaannya. Memang Kinah
kemudian bergerak ke arah bayinya, namun hanya dengan langkah lamban dan malas-
malasan. Sangat jelas Kinah tak ingin menghentikan ani-ani nya. Hasil tuaiannya
belum cukup memenuhi genggamannya, maka berapa sepertujuhnya yang akan dia
terima sebagai upah"
Nyai Nusi yang berada di sebelah kanan Karman kelihatan berkali-kali menelan
ludah. Mata Nyai Nusi berkaca-kaca. Andaikan Karman bisa mendengar keluhan
perempuan tua itu. "Oh, buyung. Aku juga seorang ibu. Aku amat pilu mendengar
tangismu dan ingin segera menolongmu. Tapi mengapa Kinah melahirkan kamu padahal
ibumu itu tak punya suami" Sesungguhnya kamu tidak bersalah meski kamu lahir
dengan ayah yang tak jelas. Soalnya, aku dan semua orang di sini tak ingin
dikatakan tidak membenci percabulan." Air mata Nyai Nusi kembali meleleh.
Karena melihat Kinah masih berdiri menuai padi, Karman bertindak. Padi dan ani-
ani diletakkannya di atas pematang. Kemudian secepatnya ia berlari. Ketika
sampai di tujuan, hal pertama yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi Kinah
dengan kain. Karman tahu bayi itu masih kelenger. Kulitnya yang sudah membiru
tampak bentol-bentol. Karman panik. Tetapi Karman ingat di sekolah ia pernah
melihat gurunya melakukan gerakan membuat napas buatan. Karman mencoba menirukan
gurunya dan berhasil. Bayi Kinah bisa mengembalikan napas lalu kembali menjerit.
Semua orang jadi marah. Kata-kata kasar mulai berhamburan ke arah Kinah.
Akhirnya perempuan itu benar-benar bergerak, naik ke darat. Kinah mengambil
bayinya yang masih menangis dari tangan Karman. Teteknya yang layu dikeluarkan.
Bayi itu tersedak-sedak dan tak bisa diam, mungkin karena sakit bekas gigitan
semut merah masih menyiksa dirinya.
Kinah pulang sambil berulang-ulang menghapus air mata. Sebelumnya Sanawi
menyerahkan bawon yang menjadi hak Kinah. Banyaknya hanya sepertujuh dari
genggaman tangkai padi; tak lebih dari dua puluh butir.
31 Matahari berada tepat di atas kepala ketika panen di sawah Sanawi usai. Para
penuai mengumpulkan hasil kerjanya dan mengangkutnya ke rumah pemilik sawah.
Yang lelaki memikul, yang perempuan menggendong dengan kain. Karman berhasil
mengetam enam ikat padi dan upahnya pasti lumayan. Bersama belasan penuai lain
Karman harus menunggu di halaman rumah Sanawi sampai pemilik sawah itu melakukan
pembagian. Kelak, manakala Karman sudah menjadi orang binaan Margo, kisah Si Kinah dan
bayinya sering dimunculkan dalam diskusi-diskusi. Margo, seorang kader partai
yang cerdik, amat pandai merekayasa kehalusan hati Karman demi kepentingan
politiknya. Maka pada suatu rapat pembinaan, Margo berkata kepada Karman.
"Cobalah ingat kembali peristiwa si Kinah. Saat itu Kinah hanya memperoleh
sejumput padi, padahal ia telah mempertaruhkan keselamatan bayinya. Kita tahu,
Kinah sama seperti kita; manusia. Ia bukan burung pipit yang bisa kenyang oleh
beberapa bulir biji padi. Tetapi begitulah yang terjadi. Jadi, yakinlah kamu;
demikian jahat para tuan tanah. Mereka memperlakukan para penuai sekehendak
hati!" Dalam diskusi-diskusi seperti itu Margo selalu melukiskan Kinah sebegai martir
yang suci. Margo tak pernah berkata dengan jujur bahwa di luar masalah bawon,
Sanawi juga taat membayar zakat setiap kali panen. Salah seorang penerima zakat
itu adalah Kinah meskipun Sanawi tahu perempuan itu kurang disukai orang Pegaten
karena percabulannya. Sesudah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, banyak anggota Laskar Hisbullah
meletakkan senjata. Mereka kembali ke kampung halaman setelah empat tahun ikut
mempertahankan kemerdekaan Republik yang masih muda. Salah seorang di antara
mereka pulang ke Pegaten. Dia adalah Hasyim, adik Bu Mantri.
Kepulangan pamannya ini membuat Karman sangat gembira. Karman merasa mempunyai
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sosok lelaki yang bisa memberinya perlindungan setelah ayahnya hilang pada masa
awal revolusi. Sebelum menjadi anggota Laskar Hisbullah, Hasyim adalah petani yang tekun.
Hasyim mempunyai sawah dan tegalan, serta kolam ikan. Maka tanpa kesulitan yang
berarti Hasyim bisa mengembalikan kehidupan rumah tangga setelah sekian lama
ditinggalkannya. Dan karena kasihan melihat kehidupan Bu Mantri, Hasyim memberi
kakaknya itu modal buat berdagang nasi rames. Hasyim juga pergi menemui Haji
Bakir untuk berbicara tentang Karman. Kemenakannya ini diminta kembali ke rumah
orangtuanya karena akan disekolahkan ke tingkat lanjutan. Haji Bakir tak bisa
menolak permintaan Hasyim. Orang tua itu menyadari sepenuhnya bahwa Hasyim-lah
yang paling berhak mengatur dan membimbing Karman.
Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun
ajaran baru tahun 1950, Karman sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota
kabupaten yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh
pendidikan sampai ke tingkat menengah.
32 Sekali sebulan, Karman pulang ke Pegaten. Bersepatu dengan kaos kaki, pakaian
diseterika dan pakai minyak rambut. Karman seakan berubah menjadi anak kota.
Teman-teman sepermainan di Pegaten merasa kagum terhadap anak Bu Mantri itu.
Dalam usianya yang lima belas tahun itu Karman memang terlambat masuk SMP. Namum
Karman merasa beruntung. Karena kelebihan umur ia jadi cepat menerima pelajaran
dengan sangat baik. Maka Karman dapat menyelesaikan pendidikannya di SMP tepat
pada waktunya. Sesungguhnya Karman sangat berhasrat meneruskan sekolah ke
tingkat lanjutan atas. Namun Paman Hasyim menyatakan tak sanggup lagi menyokong
kemenakan itu. "Cukupkan dulu sekolahmu sampai di sini," kata Hasyim suatu hari.
"Carilah pekerjaan di kantor atau perusahaan. Bila sudah dapat, kamu bisa
meneruskan sekolah atau kursus di sore hari."
Karman tidak melihat jalan lain kecuali menuruti nasihat pamannya. Karman pun
maklum, anak pamannya banyak dan dua di antaranya sudah mulai bersekolah di
kota. Jadi Karman mengerti bahwa beban pamannya sudah cukup berat.
Dengan ijazah SMP ternyata Karman tidak mudah mendapatkan pekerjaan.
Dua tahun dicari dan ditunggu, pekerjaan yang sangat diharapkan tak kunjung
tiba. Untung Haji Bakir tetap bersedia memberinya kesibukan sehingga Karman
tidak nganggur. Pak Haji sering meminta Karman mengantar bertruk-truk kelapa ke
pabrik minyak. Karman menerima permintaan Haji Bakir dengan senang hati, demi mendapat
kesibukan atau demi lebih sering bertemu Rifah. Gadis bungsu Haji Bakir sudah
enam belas tahun. Rifah tidak terlalu cantik. Namun kulitnya yang bersih,
matanya yang hidup, dan perangainya yang selalu gembira membuat Rifah jadi
menarik. Segar. Dan bagi Karman, anak Haji Bakir itu sudah lama akrab. Rifah sudah lama,
sejak masa anak-anak, ada dalam jiwanya. Maka wajar bila Rifah adalah nama
pertama yang terbaca di hati Karman ketika ia merasa sudah menjadi lelaki
dewasa. Bahkan Karman pun merasa punya alasan untuk berharap karena sikap Rifah yang
tetap hangat. Kemanjaannya terhadap Karman tak berubah seperti ketika keduanya
masih suka bermain baling-baling yang terbuat dari daun kelapa.
Sayangnya ada satu hal yang pasti tak disadari oleh Karman; Rifah sudah dilamar
oleh pemuda lain. Calon suami Rifah sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir.
Pemuda itu sedang belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur, dan boleh jadi
Rifah pun belum tahu apa-apa tentang perjodohannya.
* * * Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar. Makar ini dikoharkan
untuk merobohkan Republik yang baru berusia tiga tahun, dan menggantinya 33
dengan sebuah pemerintahan komunis. Namun makar yang meminta ribuan korban itu
gagal. Para pelaku yang tertangkap diadili dan dihukum mati.
Banyak orang kurang menaruh perhatian terhadap para pelaku makar yang bisa lolos
dan Madiun. Orang juga kurang memperhitungkan bahwa Muso, tokoh komunis
penggerak makar itu, telah berhasil menanamkan pengaruh terhadap sementara kaum
terpelajar. Seorang terpelajar yang sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Muso lolos dari
Madiun dan menjadi guru di Pegaten. Kawan Margo, demikian ia dipanggil oleh
teman-teman separtai, adalah seorang kader pilihan. Cerdik dan ulet serta sangat
gemar membaca buku atau brosur yang menyangkut partainya. Ia pun berlangganan
Harian Merah, sebuah organ partai yang sangat dibanggakannya.
Margo berbadan sedang, rambutnya berombak, dan kebetulan ia punya sepasang alis
yang rapat ke mata, mirip alis Lenin.
Tanpa diketahui masyarakat luas Margo berhasil menghimpun beberapa orang yang
secita-cita. Yang paling tua di antara kelompok Margo adalah seorang pensiunan
masinis pengikut Suryopranoto, seorang tokoh buruh kereta api yang komunis. Tiga
tokoh tua lain adalah sisa-sisa pengikut Si Merah, yaitu sempalan organisasi
Sarekat Islam membelot ke kiri karena pengaruh Alimin dan Darsono.
Seorang lagi adalah Triman yang seusia dengan Margo. Namun Triman berhasil
merahasiakan hubungannya dengan kelompok Margo. Ini taktik. Demi taktik itu
Triman pada kenyataannya adalah seorang ketua Partai Indonesia, Partindo yang
nasionalis. Margo sangat aktif menambah jumlah anggota partainya. Teman-teman sejawat mulai
dipengaruhinya, juga tetangga kiri-kanan, terutama para pemuda. Margo ingin
menemukan bibit unggul di antara para pemuda itu untuk dimatangkan menjadi kader
pilihan seperti dirinya. Bibit itu memang harus berusia muda, cerdas, dan yang
terpenting: anak muda itu punya sejarah demikian rupa sehingga mudah dipengaruhi
dan dibina menjadi kader pilihan.
Cukup lama Margo mencari calon kader yang memenuhi persyaratan itu.
Kemudian ia mendengar kabar bahwa Karman yang pernah menjadi muridnya, kini
sedang gelisah karena ingin jadi pegawai dan belum terkabul. Margo cepat
menangkap isyarat munculnya sebuah peluang untuk menemukan pemuda yang
dibutuhkannya. Dan sebagai sesama warga Pegaten, Margo punya pengetahuan cukup
banyak tentang anak Bu Mantri itu. Latar belakang kehidupan keluarganya,
kecakapannya serta wataknya. Bahkan Margo juga sudah tahu bahwa Karman naksir
Rifah, anak bungsu Haji Bakir. "Tentang kenyataan bahwa Karman dekat dengan
tokoh agama seperti Haji Bakir, adalah tantangan bagiku," pikir Margo. "Yang
jelas Karman bisa dijadikan bibit yang luar biasa."
34 Pada sebuah pertemuan partai, Margo melaporkan perihal Karman kepada atasannya,
seorang lelaki enam puluhan tahun yang selalu berkopiah dan bergigi baja putih.
Jabatan resminya adalah pegawai Dinas Sosial Kabupaten.
"Apabila laporan Kawan Margo benar, saya pun berpendapat bahwa Karman bisa
dijadikan bibit unggul," kata si Gigi Baja itu. "Namun untuk mencapai tujuan
kita, Kawan Margo hanus sabar, sangat sabar. Ingat, dalam usaha mencetak seorang
kader baru, tak boleh ada kata gagal apabila pilihan sudah ditentukan. Maka kita
harus bertindak sangat hati-hati, Nah, Kawan Margo punya gagasan apa untuk
pendekatan pertama?"
"Yah, tentu saja berusaha menanam jasa kepada dia. Sudah saya laporkan, saat ini
Karman sangat membutuhkan pekerjaan. Apabila dia bisa menjadi pegawai atas
bantuan kita, maka perkenalan dia dengan kita berlangsung sangat wajar dan
mulus. Jadi pertanyaan saya saat ini adalah: apakah ada lowongan pekerjaan yang bisa
kita berikan kepada Karman?"
"Tentang lowongan pekerjaan buat Karman, Kawan Margo-lah yang harus
menemukannya. Ini tugas partai!"
"Wah, saya hanya mempunyai satu saluran, yakni ke kantor kecamatan. Itu pun tak
gampang karena di sana orang-orang Nasional bersikap sangat tertutup.
Belum lagi orang-orang Masyumi yang pasti akan menentang setiap usaha saya."
Si Gigi Baja tersenyum sehingga kilatan logam terbersit di antara kedua
bibirnya. Orang tua itu merasa pengetahuannya tak cukup terbaca oleh Margo.
"Satu hal yang Kawan Margo ketahui, pengaruh Kawan Triman terhadap Camat.
Meskipun Kawan Triman hanya seorang kepala Kantor Penerangan tingkat kecamatan,
wibawanya cukup besar. Camat yang sok ningrat dan bersikap asal tahu beres itu
sering menggunakan Kawan Triman untuk menutupi semua kckurangannya. Dan di sana
peran Kawan Triman tidak mencolok sebab dia tidak dikenal sebagai orang kita,
melainkan orang Partindo."
"Kalau begitu, Kawan Triman akan menangani penempatan Karman di kantor
Kecamatan." "Ya, Kawan Margo telah mengatakannya demikian."
"Ada jaminan Kawan Triman akan berhasil?"
"Keberhasilan berada di tangan kita. Itu ajaran partai. Dan saya tahu betul
keadaan di kantor Kecamatan Kokosan itu. Selain Camat yang sok ningrat, kepala
tata usaha di sana hanya tamatan Sekolah Rakyat Ongko Telu. Jadi Kawan Triman
mempunyai alasan yang kuat untuk meyakinkan Camat bahwa seorang yang lebih
berpendidikan perlu diangkat untuk membereskan administrasi. Saya akan membantu
usaha Kawan Triman dari atas, dari tingkat kabupaten."
Margo merasa puas. Ia bersandar ke belakang, lalu menyalakan rokok. Atasannya
membuka lembaran-lembaran kertas berisi data tentang Karman. Tiba-tiba Margo 35
berkata, "Bila pekerjaan kita pada taraf pertama telah berhasil, apa yang
selanjutnya bisa saya lakukan?"
Laki-laki bergigi baja putih itu tersenyum kembali. Tanpa mengalihkan
perhatiannya dari kertas-kertas yang sedang dibaca ia menjawab. Nadanya pasti.
"Jauhkan Karman dari Haji Bakir, dari mesjidnya. Harus ditemukan cara untuk
memisahkan Karman dari tuan tanah dan mesjidnya itu."
"Itu saya sanggup," jawab Margo.
"Kenyataan bahwa orangtua Karman pernah memiliki satu setengah hektar sawah yang
sekarang dikuasai Haji Bakir harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Ini senjata
utama. Selanjutnya terserah, asal jangan lupa pekerjaan ini amat memerlukan
kesabaran!" Margo pulang ke Pegaten. Bersama Triman ia mematangkan siasat lebih lanjut.
Peran utama untuk sementara beralih kepada orang partai yang sehari-hari dikenal
sebagai ketua Partindo itu.
Perburuan dimulai. Halus sekali, tanpa letupan-letupan, bahkan tanpa nada kasar
sedikit pun. Karman sungguh terlalu muda untuk menyadari bahwa sedang
berlangsung kisah safari yang ditujukan kepada dirinya.
Dalam "tugas kelilingnya" suatu pagi Triman singgah di rumah Hasyim.
"Sebagai juru penerang saya memerlukan sedikit kisah Pak Hasyim dalam masa
perjuangan," demikian Triman memulai.
Hasyim tidak melihat sesuatu yang tidak wajar pada kunjungan Triman itu.
Dan imannya melarang ia berburuk sangka. Jadi Hasyim melayani Triman dengan
semestinya. "Saya tidak merasa telah berbuat sesuatu yang istimewa, Pak Triman. Siapa pun
merasa wajib membela kebenaran, membela negeri ini. Hanya itu yang telah saya
lakukan. Atau katakanlah, hanya demikian yang mampu saya berikan kepada negara
yang masih muda ini."
"Pak Hasyim tidak minta didaftar menjadi tentara?"
"Jangankan meminta, menginginkan pun tidak."
"Dengan luka di leher yang hampir menewaskan Anda?"
"Oh." Hasyim tersenyum. "Saya tak pantas jadi tentara."
"Tetapi orang-orang mengerti bagaimana keberanian Pak Hasyim ketika terjadi
pencegatan terhadap tentara Belanda di Lemah Abang. Dengan berhasilnya
pencegatan itu, satu kompi Laskar Hisbullah jadi lengkap persenjataannya,
bukan?" "Tuhan Yang Mahakuasa yang mengatur segalanya. Oh ya, karena takdir Tuhan juga
saya harus kembali menjadi petani. Kebetulan saya mempunyai sedikit sawah.
Tugas memanggul senjata sudah saya tunaikan sebisa-bisanya. Kini saya kembali
pada tugas keluarga, dan itu ternyata tidak ringan. Apalagi Pak Triman mengerti,
36 kakak saya, Bu Mantri, telah menjadi janda dengan dua anak. Wah, saya merasa
tidak dapat memenuhi kewajiban saya terhadap kakak saya tersebut. ."
"Oh, apa maksud Pak Hasyim?"
"Karman, Pak Triman. Betapa saya ingin menyekolahkan dia sampai tingkat menengah
atas, tetapi tak dapat. Anak saya sendiri sudah waktunya membutuhkan biaya.
Karman anak yang baik, pintar. Sayang ia harus puas dengan ijazah SMP.
Sekarang Karman kusuruh mencari pekerjaan. Apa boleh buat."
"Wah, sayang memang," jawab Triman tanpa mengubah sikapnya.
Naif. Hasyim tidak sadar apa yang baru saja diucapkannya adalah kenaifan yang
sebesar-besarnya. Ia tidak tahu tamunya merasa amat lega. Seorang pemburu telah
diberitahu di mana binatang buruannya berada. Maka dengan hati-hati Triman
meneruskan, "Jadi Karman tidak bersekolah lagi?"
"Begitulah." "Dalam keadaan pemerintahan yang belum mapan benar, tidak gampang mencari
pekerjaan. Sungguh Pak Hasyim tidak mempunyai cara lain agar Karman bisa
meneruskan sekolah?"
"Seperti Pak Triman lihat sendiri."
"Sungguh sayang, Karman harus menempuh banyak kesulitan sampai ia dapat
menemukan pekerjaan. Kecuali misalnya. ."
Sengaja Triman berhenti. Sengaja, supaya ia dapat mengukur tanggapan Hasyim.
"Kecuali bagaimana, Pak Triman?" tanya Hasyim penuh minat.
"Yah... kecuali Karman mempunyai sedikit kesabaran serta sedikit nrimo,
barangkali saya bisa menolongnya."
"Lho tunggu, Pak Triman. Saya merasa wajib menyuruh kemenakan saya bersikap
sabar dan nrimo bila Pak Triman bersungguh-sungguh."
"Tentu. Seandainya Karman bisa bersabar saya dapat menempatkan dia sebagai
magang di kantor Kecamatan Kokosan. Tentu saja Karman mempunyai harapan baik.
Bukankah masih jarang pemuda yang memiliki ijazah SMP seperti dia?"
Hasyim mengangguk-angguk. Di wajahnya jelas terlihat kesan kegembiraan. Ia
kelihatan mau berbicara lagi. Dan inilah detik yang baik bagi Triman untuk
meminta diri. Pedagang yang licik harus tahu cara merangsang minat seorang calon
pembeli. "Untuk saat ini cukup sekian dulu. Terima kasih atas pelayanan Pak Hasyim.
Khusus mengenai Karman; bila dia berminat, suruhlah ia datang ke rumah saya.
Sekali lagi, bila ia berminat."
"Nanti malam?" Hasyim memburu.
"Jangan tergesa-gesa. Besok malam, saya tunggu pukul delapan."
37 Keduanya berpisah di pintu. Hasyim menjabat tangan tamunya kuat-kuat. Ia merasa
puas karena telah menemukan jalan untuk menolong kemenakannya.
Tentulah Triman merasa lebih puas, dan Hasyim tidak akan menyadarinya.
Benarlah, Triman mempunyai pengaruh yang kuat atas diri Camat Kokosan.
Ketika ia mengusulkan diangkatnya seorang pegawai baru untuk mengatasi kekalutan
administrasi di kantornya, camat yang ningrat itu langsung setuju.
Kalaulah ia mengemukakan sedikit syarat, hanyalah karena ia harus menjaga
martabatnya. Martabat seorang kepala wilayah yang seharusnya tidak bisa didikte
oleh bawahan. "Apakah pemuda yang bernama Karman cukup mengetahui tata krama dan kesopanan?"
Camat perlu bertanya demikian agar ia dapat menyembunyikan pertanyaan lain yang
sebenarnya perlu ia kemukakan, "Apakah Karman tahu aku seorang keturunan
bangsawan?" Beberapa saat sebelum waktunya, Karman telah tiba di rumah Triman. Di tangan
pemuda itu ada gulungan kertas tebal yang diam-diam amat dibanggakannya; ijazah
SMP berangka tahun 1953. Selain tuan rumah, Karman menjumpai Margo di sana.
Kedua orang itu sudah dikenalnya. Triman adalah kepala Kantor Penerangan dan
Margo adalah guru sekolah. Karman tidak tahu lebih dari itu.
Triman melayani tamunya dengan ramah, tetapi Margo biasa saja. Ia tetap menekuni
brosur yang sedang dibacanya, tidak bangkit menyalami Karman.
Pemburu dan mangsanya sudah berhadap-hadapan. Sungguh, tergambarlah dengan
saksama kelicikan manusia di satu pihak dan keluguan di pihak lainnya.
"Jadi Paman Hasyim telah mengatakan semuanya kepadamu?" Triman mulai bicara.
Senyumnya terkembang, sangat ramah.
"Ya, Pak," jawab Karman agak malu.
"Tentu pamanmu juga mengatakan syarat-syarat yang harus kaupenuhi agar saya bisa
menolongmu, bukan?" "Sabar dan nrimo," kata Karman menirukan nasihat Paman Hasyim.
"Dan satu lagi. Kau mengerti jer basuki mowo beyo?"
Mata Karman membulat. Pada dasarnya ia paham maksud ungkapan itu; untuk mencapai
suatu tujuan diperlukan biaya. Melihat Karman tercengang, Triman segera
meneruskan kata-katanya. "Nah, pokoknya kamu ingin mendapat pekerjaan. Rasanya, saya dapat menolongmu.
Biaya yang kuinginkan bukan berupa uang, tetapi suatu sikap yang kauberikan
dengan tulus dan wajar. Apa yang kaujanjikan padaku apabila nanti kamu diterima
menjadi pegawai Kantor Kecamatan?"
Karman menundukkan kepala. Bingung ia.
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan uang yang kubutuhkan!" Triman menegaskan.
38 "Kalau begitu saya hanya dapat menyampaikan rasa terima kasih," jawab Karman
akhirnya. "Cukup, lebih dari cukup. Hanya itu yang perlu kauberikan kepadaku. Tidak
berat?" Karman tersipu dan menggeleng. Matanya bersinar-sinar, hatinya penuh harapan.
Dan ia sedikit pun tak merasa, utang moral baru saja ditandatanganinya.
"Selanjutnya, ketahuilah, saya tidak bekerja sendiri. Bapak itu (sambil menunjuk
Margo), yang akan membantumu selanjutnya. Percayalah, dengan bantuan dia kau
akan berhasil. Berterimakasihlah kepadanya kelak."
Hanya seminggu Karman menunggu jawaban dari kantor Kecamatan. Selama tujuh hari
itu ia gelisah, ia berdoa. Keinginannya untuk meneruskan sekolah sudah
ditinggalkan. Yang diharapkannya sekarang adalah diterima magang di kantor
Kecamatan, lalu memasuki masa percobaan menjadi pegawai tetap.
Kalau benar Pak Triman dan Margo membantunya, Karman merasa dirinya patut
diangkat menjadi juru tulis, kemudian akan naik menjadi kepala tata usaha atau
mantri polisi praja. "Pada saat itu umurku masih amat muda. Ijazah SMP akan
mengantar aku ke jabatan wedana. Dan siapa yang menganggap aneh bila pada suatu
saat aku dipanggil Bapak Wedana?"
Karman tidak merasa lain kecuali nasib mujur sedang menimpanya. Lamarannya
diterima. Doanya terkabul. Sedikit pun ia tidak sadar adanya kekuatan tangan-
tangan manusia yang sedang menariknya.
Secara berkala Triman mengunjungi anak binaannya yang baru. Diberikannya
petunjuk-petunjuk yang perlu diperhatikan oleh seorang calon pegawai. Ia
bersikap seperti seorang ayah yang amat memperhatikan kepentingan anaknya.
Pengaruh serta wibawa ditanamkan di hati anak muda itu dengan perhitungan yang
saksama. Sementara, Karman merasa tak bisa berbuat lain kecuali selalu bersikap hormat
kepada para penolongnya. "Amat penting bagimu untuk selalu menambah pengetahuan," kata Triman suatu kali.
"Apalagi sebelum menjadi pegawai tetap, pasti kau akan diuji. Gunakan kesempatan
yang ada untuk membaca buku-buku atau brosur-brosur yang kubawa ini. Mata ujian
yang akan kautempuh nanti akan berkisar pada isi buku-buku itu."
Apa yang dikatakan oleh Triman tentang isi buku dan mata ujian itu tidak
semuanya benar. Apa hubungannya antara mata ujian yang harus dihadapi oleh
Karman dengan teori-teori tentang pertentangan kelas, cerita tentang pertanian
kolektif di Rusia, bahkan teori-teori tentang sejarah materialisme" Tetapi
Karman membaca semua buku itu serta sebuah buku kecil tentang pengetahuan
administrasi pemerintahan.
Ketika menempuh ujian untuk menjadi pegawai tetap, seorang penilai dari
Kabupaten menyatakan Karman lulus. Tetapi yang lain, seorang laki-laki bergigi
baja putih, berpendapat sebaliknya. "Saya juga berpendapat Karman tidak bodoh.
39 Ia dapat kita harapkan bisa menjadi pegawai yang cakap, tetapi ia sekarang belum
siap. Lihat jawabannya tentang Perjanjian Renville itu. Karman menyebutnya
kemenangan di pihak Republik. Padahal kita harus mengatakannya sebagai kekalahan
mutlak," kata laki-laki itu.
Itulah yang terjadi. Karman tidak lulus! Bukan main kecut dan khawatir rasa
hatinya. Padahal kalau tahu, Karman tidak perlu punya perasaan demikian.
Kelompok Margo hanya menginginkan tambahan waktu untuk membina Karman lebih
lanjut, tidak lebih. Lulus atau tidaknya Karman berada di tangan mereka
sepenuhnya. Dan kini mereka mempunyai waktu tiga bulan lagi untuk memberi Karman
bacaan-bacaan yang berisi doktrin-doktrin partai komunis dan pikiran-pikiran
Lenin. Pada ujian ulangan, Karman lulus. Ia takkan pernah mengaku bahwa ia membayar
mahal untuk keberhasilannya itu. Gerak alam bawah sadarnya telah dibelokkan ke
arah meyakini komunisme yang secara sabar dan teratur diajarkan oleh kelompok
Margo. Melalui buku-buku yang diberikan kepada Karman, orang-orang partai itu
berhasil menyusun dasar-dasar kejiwaan yang akan mempermudah mereka membina anak
didik yang masih hijau itu menjadi pengikut mereka.
Adalah nyata, Karman merasa ada sesuatu yang kurang ketika ia menerima beslit
dua bulan kemudian. Tetapi sebabnya tak bersangkut-paut dengan Margo atau
Triman. Karman merasa sayang mengapa beslitnya diterima setelah kabar
pertunangan Rifah dengan pemuda lain sudah didengar orang sekampung.
"Sungguh tidak adil!" begitu keluh Karman setiap kali teringat lamarannya yang
tidak diterima oleh Haji Bakir. Lamaran Karman untuk memperistri Rifah yang
disampaikan oleh Paman Hasyim ternyata terlambat sehingga tak mungkin dilayani.
Paman Hasyim bisa memahami sikap Haji Bakir. Bagi ayah Rifah itu, memang tak
mungkin menerima Karman sebagai calon menantu karena sudah ada calon lain yang
diterimanya. Namun lain halnya dengan Karman.
Terlambat, itu memang nyata. Tetapi Karman curiga hal tersebut merupakan satu-
satunya alasan. Kecurigaan itu terus berkembang karena Karman sendiri yang
mengembangkannya. "Seandainya aku yang melamar Rifah lebih dahulu dan diterima,
baru kemudian datang Abdul Rahman, kurasa lamaranku akan dibatalkan oleh Haji
Bakir." Abdul Rahman itu! Semua orang tahu siapa dia. Pemuda dari seberang desa,
orangnya memang gagah. Walaupun ayahnya hanya dikenal sebagai pedagang batu
akik, tetapi sesungguhnya batu permata yang dimilikinya sekotak penuh.
Pokoknya kekayaan kedua calon besan itu berimbang. Abdul Rahman naik Harley
Davidson bila pergi ke pesantren di Jombang. Tampan adalah ciri utamanya.
"Seandainya keadaanku lebih baik daripada Abdul Rahman, barangkali Haji Bakir
akan menghapus kata 'teriambat' dan aku akan diteritna menjadi menantunya.
Pokoknya tidak adil."
40 Pemuda yang baru menginjak usia dua puluh tahun itu terguncang batinnya oleh
kekecewaan yang amat sangat. Dia merasa telah ngemong Rifah selagi ia masih
senang bermain titiran. Dia membuatkan Rifah boneka dengan rambut jagung. Rifah
menyimpan pasfoto Karman. Rifah minta dituliskan lagu Sepasang Mata Bola. Rifah
yang masih memandang dan tersenyum penuh arti. "Dan lamaranku, seorang pemuda
yang sudah memegang beslit juru tulis ini, ditolak oleh ayahnya!" keluh Karman.
"Seandainya dulu aku tidak berkelahi melawan kambing gila itu, mungkin Rifah
telah mati. Setidaknya ia pasti cedera. Jadi kalau bukan karena aku, Rifah tidak
akan cantik seperti sekarang. Haji Bakir sungguh tidak tahu diri dan tidak
adil!" Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur di hati Karman. Akibatnya ia mendendam dan
membenci Haji Bakir. Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah
orangtua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan ia memilih tempat
lain bila menunaikan sembahyang Jumat.
Apa yang diperbuat Karman adalah balas dendam. Ia merasa disakiti, dinista.
Dengan meninggalkan mesjid Haji Bakir, ia pun bermaksud membalas dendam.
Bahkan ketika ia mulai sekali-dua meninggalkan sembahyang wajib, ia juga merasa
sedang membayar kesumat. Haji Bakir mempunyai mesjid, dan bagi Karman, orang tua
itu adalah tokoh agama. Dan wujud nyata agama di desa Pegaten adalah pribadi
Haji Bakir itulah! Maka makin sering meninggalkan peribadatan, Karman makin
makin merasa puas. Pemberontakan jiwa anak muda itu segera diketahui oleh Triman dan Margo.
Mereka tahu, apa yang sedang dibutuhkan Karman dalam rangka pemberontakannya
itu; sokongan dan tepuk tangan! Orang-orang partai itu dengan senang hati akan
memberikannya. Mereka berbuat seolah-olah menolong si anak malang. Bukan hendak
menenteramkan jiwa Karman, melainkan sebaliknya. Melihat ada dua orang yang
memberikan dukungan, Karman bersikap seperti anak kecil yang menangis karena
berkelahi dengan teman sepermainan. Di dekat ibunya ia mengepalkan tinju: ini
dadaku! Tentang Haji Bakir, kedua orang partai itu berpropaganda kepada Karman:
"Kebaikan yang pernah ia berikan kepadamu adalah contoh kemunafikan yang nyata.
Takkan pernah ia menolongmu, menyantunimu ketika kau masih kanak-kanak, apabila
ia tidak melihat keuntungan yang dapat diperoleh darimu. Tenagamu, misalnya!
Jadi tidak mengherankan apabila Haji Bakir menolak lamaranmu. Seorang tuan tanah
selalu jahat, tidak berperikemanusiaan. Pasti ia menganggap kau tidak pantas
menjadi menantunya lantaran kau keturunan rakyat jelata. Bukan karena kau datang
terlambat. Bukan! Tetapi karena kau miskin dan Abdul Rahman anak orang terkaya
juga. 41 Mereka, orang-orang kaya, adalah kaum penindas yang secara historis selalau
mempertahankan kelestarian kelasnya. Mereka tidak ingin seorang seperti engkau
masuk ke dalam kalangan mereka. Sadarlah kau sekarang, betapa jahat kaum tuan
tanah itu." Dan propaganda itu masih ditambah rasa pedas oleh hasutan yang hebat.
"Kau ingat, Karman! Seorang tokoh agama seperti Hap Bakir dengan serakah
menguasai tanah sawah milik orangtuamu! Itulah kenyataan yang ada. Haji Bakir
dengan caranya yang licin dan licik kini menguasai sawah milik orangtuamu. Lalu
apa namanya hal semacam itu kalau bukan kejahatan yang sangat nyata?"
Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi
pada pribadi Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu, apalagi yang menyangkut
Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk. Karman pun mulai berani
berterus terang meninggalkan mesjid, meninggalkan peribadatan.
Bahkan tentang agama, Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama
adalah candu untuk membius kaum tertindas.
Namun puncak perubahan kepribadian Karman terjadi dekat sumur di belakang rumah.
Siang itu Karman berdiri di sana. Tangannya memegang sebuah parang.
Kelihatannya ia agak ragu-ragu. Alisnya turun-naik beberapa kali. Namun akhirnya
ia maju mendekati padasan bambu itu dan langsung membelahnya. Penampung air wudu
itu dibuatnya menjadi serpihan bambu kecil-kecil. Karman hanya menghancurkan
tiga ruas bambu yang tampak tidak berarti itu. Tetapi itulah perlambang yang
nyata atas pergeseran nilai yang telah melanda dirinya.
Orang yang paling memperhatikan keadaan Karman adalah pamannya sendiri, Hasyim.
Ia menjadi amat masygul. Seperti orang-orang lain, Hasyim mengira Karman hanya
sedang merajuk lantaran gagal memperistri Rifah. Tak diketahuinya sesuatu yang
lebih serius telah terjadi. Orang tidak mengetahui Margo telah menguasai Karman
hampir secara mutlak. Memang, hubungan antara keduanya tidak mencolok. Lagi pula
siapa yang tahu bahwa Margo sebenarnya seorang kader partai komunis" Justru
orang Pagetan lebih mengenal pribadi Triman. Karena jabatannya ia sering keluar-
masuk kampung. Semua orang tahu Triman ketua Partindo. Bagi orang Pegaten adalah
mustahil seorang Partindo mempengarahi Karman agar meninggalkan sembahyang.
Apa yang dijumpai Hasymn ketika ia datang memperingatkan kemenakannya, sangat
mengejutkan. "Sungguh kelewatan, rupanya aku datang terlambat," keluh bekas
Laskar Hisbullah itu. Hasyim merasa ngeri bila teringat pembicaraan dengan
Karman. "Karman, aku tak bisa mengerti mengapa kau meninggalkan nikmat itu, nikmatnya
orang yang melaksanakan kewajiban. Apakah kau belum bisa merasakan kepuasan jiwa
selagi kau bersujud, sehingga kau menganggap kewajiban itu hanya sebagai pikulan
yang menindih pundakmu" Atas nama almarhum ayahmu, aku 42
minta kau kembali seperti semula. Kembali menjadi manusia yang menyadari siapa
dirinya; yang tak mempunyai andil sedikit pun atas keberadaanmu di dunia ini.
Sujudlah kembali kepada yang lebih berkuasa atas dirimu.
Pamanmu ini tahu kau merasa kecewa karena gagal memperistri Rifah, sehingga kau
ingin menjauhi Haji Bakir dan keluarganya. Namun kekecewaan ini seharusnya tidak
mempengaruhi hubunganmu dengan Tuhan. Dan kurasa Haji Bakir tidak bersalah. Dia
berhak menerima lamaran Abdul Rahman bagi anak gadisnya. Haji Bakir berbuat
demikian tanpa maksud hendak menyakiti siapa pun, tidak juga engkau."
Kemenakannya itu diam. Bukan karena hendak menaati nasihat pamannya, melainkan
karena ia belum melihat jalan untuk menjawab. Bila kata pertama sudah keluar,
pastilah rentetan jawaban akan segera menghambur. Segudang tangkisan sudah siap
di otak Karman. Karena melihat Karman terdiam Hasyim menyambung,
"Supaya engkau mudah menemukan jalan kembali, perbaiki dulu silaturahmi dengan
Haji Bakir. Kau pantas berbuat demikian. Beliau telah memberi kesempatan padamu
untuk menamatkan sekolah rakyat. Beliau pula yang mengkhitanmu, bukan?"
Karman gelisah oleh gejolak perasaannya. Sudah terbuka pintu bagi kata-kata
tangkisan. Ia mengangkat muka ke arah pamannya, satu tindakan yang baru pertama
kali dilakukannya. "Paman, aku tak mungkin berbaik kembali dengan Haji Bakir, bukan karena hanya
soal Rifah. Masih banyak alasan lain bagiku untuk bersikap seperti itu."
"Lho. . kenapa?"
"Karena bersikap baik terhadap haji itu sudah tak perlu lagi. Kalau Haji Bakir
merasa telah berbuat kebajikan padaku, ia telah memperoleh kembali imbalan yang
lebih." Hasyim terkejut mendengar jawaban kemenakannya.
"Sejak kapan kau berpikiran seperti itu, Karman?" tanyanya keras. Tetapi Karman
kelihatan siap menghadapi pertanyaan yang betapapun tajamnya. Secara mantap
kemenakan itu melanjutkan kata-katanya.
"Siapa pun yang hendak bersikap adil, Paman, tidak boleh ingkar bahwa aku telah
membayar tunai tiap butir nasi yang kuterima dari Haji Bakir. Aku bekerja
padanya, bahkan ketika aku masih belum pantas bekerja. Hasil kerjaku di sana
lebih besar nilainya daripada imbalan yang kuterima. Jadi aku tak berutang apa
pun kepada Haji Bakir."
"Karman! Meskipun ada sedikit kebenaran pada kata-katamu, tetapi setan apa yang
sedang mendiktemu" Saya tahu pasti Haji Bakir tidak sekali-kaii memeras
tenagamu. Beliau hanya melatihmu mengetahui pekerjaan, agar kau tidak menjadi
pengemis! Itu tugas mulia, tahu"
43 Dan jangan pungkiri kenyataan setiap panenan Haji Bakir membayar zakatnya.
Perutmu sendiri sering dibuat kenyang oleh padi zakat beliau!"
Kata-kata keras itu disengaja oleh Hasyim untuk menghentikan jawaban
kemenakannya yang keji. Dan ia salah perkiraan. Karman malah jadi beringas
ketika mendengar ucapan-ucapan keras yang dilontarkan pamannya.
"Nah, Paman," kata Karman terengah-engah menahan marah, "sesungguhnya aku tak
ingin mengatakan, tetapi Paman telanjur menyinggungnya. Seperti Paman juga,
orangtuaku mendapat warisan satu setengah hektar sawah. Di mana sawah orangtuaku
sekarang" Sawah itu sekarang dikuasai Haji Bakir, bukan?"
Hasyim terbelalak. Samar-samar ia mengetahui ke mana arah pertanyaan Karman.
"Kau ingin tahu, apa kau belum tahu?" jawab Hasyim.
"Saya sudah tahu, Paman. ."
"Lalu?" potong paman itu pula.
"Saya ingin Paman yang mengatakan di mana sawah orangtuaku sekarang."
"Sudah menjadi milik Haji Bakir."
"Dengan cara bagaimana?" kejar Karman dengan sinis. Seandainya Hasyim tahu,
itulah gaya Margo. "Demi aku hendak menjadi saksi atas kebenaran! Ayahmu sendiri yang mendesak Haji
Bakir agar melaksanakan tukar-menukar. Satu setengah hektar sawah milik ayahmu
menjadi milik Haji Bakir yang memberikan satu ton padi. Itu terjadi ketika
hampir semua orang mati kelaparan. Padi menjadi amat sangat jarang. Bila ada,
harganya bukan main mahalnya. Karman, kau bayi ingusan. Mana tahu tentara Jepang
merampas semua bahan makanan milik penduduk untuk kepentingan peperangan. Bila
orang sedang sekarat karena lapar, maka baginya sepiring nasi lebih berharga
daripada sehektar sawah. Sudah kukatakan ayahmulah yang mendesak Haji Bakir.
Tukar-menukar itu sah karena telah disepakati oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Dari segi apa pun aku tidak melihat kesalahan Haji Bakir.
Tapi kalau kau mau terus bertanya, beginilah kalimatnya: Mengapa ayahku tidak
tahan makan ubi rebus untuk mengganti nasi, seperti dilakukan semua orang saat
itu" Mengapa ayahku mengharuskan dirinya tetap makan nasi sehingga sawah itu
terpaksa berpindah tangan"
Jangan menyalahkan orang lain bila sudah nyata ayahmulah yang bertanggung jawab.
Kini ayahmu telah meninggal. Tuhan melarang kita mengungkit-ungkit perbuatan
orang yang telah selesai melaksanakan tugasnya."
"Paman, bagaimana aku akan mengatakan adil bila satu setengah hektar sawah hanya
ditukar dengan satu ton padi" Pokoknya tidak adil. Sudah bagus bila aku tidak
menuntut sawah itu kembali. Mengapa aku harus berbaik terhadap orang yang
menyebabkan seisi rumahku sengsara?"
44 Hasyim menutup muka dengan kedua tangannya. Tiga kah beristighfar, belum cukup
menenangkan perasaannya. "Luar biasa," pikirnya. "Hati kemenakanku telah penuh dengan keingkaran, hati
nurani serta akal budinya telah tertutup. Inilah cikal bakal kesesatan Karman."
Setelah diam beberapa saat untuk menciptakan suasana yang lebih sabar, Hasyim
meneruskan bicaranya. "Bagaimana juga, Karman, kau adalah anakku. Jangan ajak aku berdebat.
Turutilah nasihatku: kembalilah kau ke jalan semula. Paling tidak, kembalilah
kepada Tuhanmu. Itu perintah."
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarkan aku pada diriku sendiri, Paman."
"Hai, Karman! Hanya untuk menjadikan dirimu seperti inikah aku bersusah payah
menyekolahkanmu?" "Aku sudah dewasa, Paman. Benar, aku mengaku telah Paman beri biaya. Kalau Paman
menghendaki segala biaya itu kembali, pasti akan kubayar."
"Laknat. .!" Hasyim bangkit. Badannya menggigil menahan amarah. Keringat di dahinya.
Keringat di telapak tangannya. Mata dan seluruh wajahnya merah. "Misalkan aku
masih menjadi Laskar Hisbullah. Misalkan masih ada bedil di tanganku, sebutir
peluru cukup untuk menutup mulut anak durhaka ini."
Otak Hayim telah mengirim perintah ke otot tangan. Tetapi batal pada saat
terakhir. Saat ketika Hasyim teringat: berwasiatlah dalam kebenaran dan
kesabaran. Paman yang sedih dan masygul itu pulang. Hatinya menangis.
Kamar itu tidak bisa dikatakan sebagai ruang perpustakaan yang baik. Tidak cukup
luas, lemari bukunya hanya terbuat dari kayu murahan. Peliturnya sudah botak di
sana-sini. Di atas lemari terpasang potret tokoh komunis Rusia; Lenin pada latar
Walet Besi 4 Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka Sumpah Palapa 22
K U B A H Novel Ahmad Thohari Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak-geriknya serba kikuk sehingga
mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan, Karman membungkuk berlebihan.
Kemudian dia mundur beberapa langkah, lalu berbalik. Kertas-kertas itu
dipegangnya dengan hati-hati, tetapi tangannya bergetar. Karman merasa yakin
seluruh dirinya ikut terlipat bersama surat-surat tanda pembebasannya itu.
Bahkan pada saat itu Karman merasa totalitas dirinya tidak semahal apa yang kini
berada dalam genggamannya.
Sampai di dekat pintu keluar, Karman kembali gagap dan tertegun. Menoleh ke kiri
dan kanan seakan ia merasa sedang ditonton oleh seribu pasang mata. Akhirnya,
dengan kaki gemetar ia melangkah menuruni tangga gedung Markas Komando Distrik
Militer itu. Terik matahari langsung menyiram tubuhnya begitu Karman mencapai tempat terbuka
di halaman gedung. Panas. Rumput dan tanaman hias yang tak terawat tampak kusam
dan layu. Banyak daun dan rantingnya yang kering dan mati. Debu mengepul
mengikuti langkah-langkah letaki yang baru datang dari Pulau B itu.
Dari jauh Karman melihat lapisan aspal jalan raya memantulkan fatamorgana.
Atap seng gedung olahraga di seberang jalan itu berbinar karena terpanggang
panas matahari. Karena kegamangan belum sepenuhnya hilang, Karman berhenti di dekat tonggak
pintu halaman. Tubuhnya terpayungi oleh bayang pohon waru yang daun-daunnya
putih karena debu. Karman makin terpana. Dua belas tahun yang lalu suasana tak
seramai itu. Mobil-mobil, sepeda motor, dan kendaraan lain saling berlari
serabutan. Anak-anak sekolah membentuk kelompok-kelompok di atas sepeda masing-
masing. Mereka bergurau sambil mengayuh sepeda. Dan semua bersepatu serta
berpakaian baik, sangat berbeda dengan keadaan ketika Karman belum terbuang
selama dua belas tahun di Pulau B.
Karman masih terpaku di tempatnya. Kedua matanya disipitkan. Dilihatnya banyak
gedung baru bermunculan. Gedung-gedung lama dipugar atau diganti sama sekali.
Oh, kota kabupaten ini benar-benar sudah berubah, pikirnya. Dan anehnya
perubahan yang tampak merata di depan mata itu membuat Karman merasa makin
terasing. Sangat jelas terasakan ada garis pemisah yang tajam antara dirinya
dengan alam sekitar. Ia merasa tidak menjadi bagian dari bumi dan lingkungan
yang sedang dipijaknya. Karman merasa dirinya begitu kecil; bukan apa-apa. Semut
pun bukan. 1 "Ya, tentu saja. Aku kan hanya seorang bekas Tapol, tahanan politik!" begitu
Karman berkali-kali meyakinkan dirinya.
Lelaki itu masih belum mampu beringsut dari bawah bayangan pohon waru. Ia tidak
sadar, Komandan Kodim memperhatikarmya dari dalam gedung. Pak Komandan menduga
ada sesuatu yang menyebabkan lelaki itu tidak bisa segera meneruskan perjalanan
ke kampungnya. Padahal surat-surat resmi sebagai bekalnya kembali ke tengah
masyarakat sudah cukup. Sudah lengkap. Pak Komandan tahu pasti. Maka perwira itu
menggapai ajudannya. "Temui orang yang baru tiba dari Pulau B itu. Dia masih berdiri di pintu
halaman. Suruh dia cepat meneruskan perjalanan. Atau berilah dia dua ratus rupiah,
barangkali ia kehabisan bekal."
"Siap!" Ajudan keluar, langsung melangkah ke arah Karman yang masih berdiri, bingung
karena tak yakin apa yang sebaiknya dia lakukan. Kesadaran Karman benar-benar
sedang berada di luar dirinya. Maka ia tak mendengar suara langkah sepatu
tentara yang sedang mendekat. Ketika ajudan yang berpangkat sersan itu menepuk
pundaknya, Karman terkejut. Darah langsung lenyap dari wajahnya. Sikap santun
Pak Sersan tak mampu menepis rasa takut yang mendadak mencengkeram hati Karman.
"Atas perintah Komandan, saya menemui Anda. Surat-surat pembebasan Anda sudah
lengkap. Kata Komandan, sebaiknya Anda segera meneruskan perjalanan.
Apabila uang jalan sudah habis, Komandan memberikan ini untuk Anda."
Karman sedikit pun tidak memperhatikan lembaran uang yang ditawarkan oleh sersan
itu. Ia masih tercengang. "Oh, untunglah Komandan bukan memanggilku untuk
diperiksa kembali," pikir Karman. Bibirnya gemetar. Setelah detak jantungnya
mereda, Karman berkata tergagap.
"Oh. Terima kasih. Anu. Baik. Baiklah. Saya akan meneruskan perjalanan. Terima
kasih. Uang jalan saya masih ada."
Dengan cara menekuk punggung dalam-dalam, Karman memberi hormat kepada Pak
Sersan. Kemudian ia memutar tubuhnya dan berjalan beberapa langkah sampai ke
gili-gili. Dan berhenti. Termangu. Lalu-lintas di hadapannya terlalu sibuk dan
asing baginya. Namun ia harus menyeberang.
Dari depan gedung Kodim, Karman berjalan ke barat mengikuti iring-iringan orang
banyak. Karman, meski ukuran tubuhnya tidak kecil, saat itu merasa menjadi rayap
yang berjalan di antara barisan lembu. Ia selalu merasa dirinya tak berarti,
bahkan tiada. Demikian, pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas, Karman
malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Waktu berjalan ke barat
sepanjang gili-gili itu Karman sebenarnya amat tersiksa. Tatapan mata sekilas
orang-orang yang kebetulan berpapasan terasa sangat menyiksa. Oh, andaikan ada
secuil tempat untuk bersembunyi, mungkin Karman akan menyelinap ke sana. Karman
2 akan menyembunyikan diri karena pembebasan dirinya belum mampu mengembalikan dia
dari keterasingan. Dan tak lama kemudian lelaki berusia 42 tahun itu mendapatkan apa yang
diinginkannya, sebuah tempat yang enak untuk duduk, di bawah pohon beringin
alun-alun Kabupaten. Sudah beberapa saat lamanya matahari memasuki langit belahan barat. Di sebuah
sudut jalan, seorang penjaja rokok terkantuk-kantuk, punggungnya tersandar pada
dinding gardu listrik. Dua orang tukang becak bahkan sedang meringkuk lelap di
atas jok kendaraan masing-masing. Dan yang sedang duduk menghitung uang recehan
adalah seorang lelaki penjual makanan kecil. Bunyi kericik uang aluminium
mungkin terdengar bagai suara gambang di mata lelaki itu. Merdu dan penuh arti.
Dari dalam kerimbunan beringin terdengar kicau burung-burung. Ria dan gembira.
Unggas-unggas kecil itu meluruhkan buah beringin. Di atas tanah, ratusan butir
buah beringin jatuh dan pecah berserakan.
Karman duduk di atas sebuah tonjolan akar. Di sampingnya ada gulungan kertas
yang berisi kain sarung, dan masing-masing selembar baju dan celana tua. Itulah
semua hartanya yang ia bawa kembali dari Pulau B. Angin bergerak ke utara
menggoyangkan daun-daun tanaman hias di halaman Kabupaten. Seorang perempuan
muda berjalan dan melintas di hadapan Karman. Alisnya, matanya, sangat
mengesankan. Oh, tungkainya enak dipandang. Dan bibirnya. Bibir seperti itu
gampang mengundang gairah lelaki. "Mungkin dia seorang guru sekolah," pikir
Karman yang merasa jantungnya berdebar lebih keras. "Bila guru secantik itu,
setiap murid lelaki akan betah tinggal di kelas." Oh, Karman tersenyum. Dan
kaget sendiri ketika menyadari kelelakiannya ternyata masih tersisa pada
dirinya. Keramaian kota sedang surut. Beringin besar di pojok alun-alun itu seakan
memayungi wilayah kecil yang sepi dan sejuk. Maka siapa pun yang berada di sana
bisa duduk terkantuk atau bahkan lelap dalam mimpin. Tetapi Karman tidak.
Karman sama sekali tidak terpengaruh oleh kesejukan di pojok alun-alun itu dan
pikirannya sudah lebih dulu melayang sampai ke kampungnya, tiga puluh kilometer
dari tempat di mana kini ia duduk. Boleh jadi Pegaten, kampung halamannya, juga
sudah banyak berubah. Boleh jadi semuanya menjadi bertambah baik di sana. Tetapi
Karman tidak tertarik untuk memikirkannya.
Yang sedang menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman
sekampung. Tujuh tahun yang lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau
buangan, Parta menceraikan istrinya dan kemudian mengawini Marni. Meskipun sudah
punya tiga anak, Marni memang lebih cantik daripada istri Parta yang diceraikan.
Hal ini tidak akan dibantah oleh siapa pun di Pegaten, tidak juga oleh Karman.
Juga, semua orang percaya bahwa kecantikan Marni adalah sebab utama mengapa
Parta sampai hati melepas istri pertamanya.
3 Mula-mula Marni menolak kawin lagi meski sudah lima tahun ditinggal suami.
Betapapun, tekad Marni saat itu, ia akan menunggu suaminya kembali. "Siapa tahu,
suamiku masih hidup. Dan perasaanku mengatakan, entah kapan dia akan kembali."
Marni tidak menghiraukan bujukan sanak-saudara yang menghendaki dia menikah
lagi. Akibatnya, mereka mulai mengambil jarak. Bantuan berupa kebutuhan hidup
sehari-hari mulai jarang diterima oleh perempuan muda beranak tiga itu.
Namun dengan tabah Marni menghadapi semua kesulitan hidupnya. Dicobanya bekerja
untuk memenuhi kebutuhan diri bersama ketiga anaknya yang masih kecil.
Marni pernah bersekolah di Sekolah Kepandaian Putri, SKP, meskipun tak tamat.
Maka ia bisa menjahit pakaian. Tetapi Marni memang kurang beruntung. Upayanya
untuk hidup mandiri, gagal. Marni anak-beranak makin menderita.
Tahun 1971 Marni memaksakan diri mengubah pendiriannya. Ia mau mengikuti saran
sanak famili. Maka sehelai surat ditulis untuk suaminya. Dengan surat itu Marni
meminta pengertian dan keikhlasan suami. Marni sudah mengambil keputusan hendak
kawin lagi. Orang-orang yang tahu keadaan Marni anak-beranak dapat dengan mudah memahami
keputusan perempuan muda itu. Marni baru berusia tiga puluh tahun, segar dan
cantik. Karena lama ditinggalkan suami, banyak lelaki, yang beristri atau tidak,
ingin memiliki dia. Jadi semuanya wajar saja. Karman sendiri dapat menerima hal
yang masuk akal itu. "Tetapi masalahnya, Marni adalah istri saya!" keluh Karman.
Keluhan itu bahkan tak juga pupus meskipun sudah enam tahun mengendap dalam
hatinya. Waktu menerima surat Marni itu di Pulau B, mula-mula Karman merasa sangat
gembira. Surat dari istri yang terpisah ribuan kilometer adalah sesuatu yang tak
ternilai harganya bagi seorang suami yang sedang jauh terbuang. Sebelum membaca
surat itu, sudah terbayang oleh Karman lekuk sudut bibir Marni yang bagus;
suaranya yang lembut, atau segala tingkah lakunya yang membuktikan Marni adalah
perempuan yang bisa jadi penyejuk hati suami. Tetapi selesai membaca surat itu
Karman mendadak merasa sulit bernapas. Padang datar yang kerontang dan penuh
kerikil seakan mendadak tergetar di hadapannya. Padang yang sangat mengerikan,
asing, dan Karman merasa tegak seorang diri. Keseimbangan batin Karman
terguncang keras. Semangat hidupnya nyaris runtuh.
Selama beberapa hari sesudah itu Karman hanya bisa diam, merenung dan merenung.
Dan untuk mengurangi beban yang sangat menekan jiwanya Karman mencoba membagi
duka bersama teman-teman sebarak. Dia datangi mereka dan dia ceritakan isi surat
yang diterimanya dari Marni. Oh, ternyata Karman tidak mendapat apa-apa dari
para teman kecuali tanggapan tak berharga dan kadang menyakitkan.
"Sekarang nasib kita sama," kata Birin. "Aku dan kamu sama-sama punya tiga anak.
Bedanya, istriku hanya tahan empat bulan hidup dalam kesepian. Jadi, Man, 4
kamu masih lebih beruntung; istrimu lumayan setia karena tahan tidur sendiri
selama lima tahun." "Yah, kita memang senasib," kata Asep. "Meskipun istri tidak minta cerai, namun
saya kira sama saja. Sewaktu saya masih tinggal serumah, istriku biasa membuka
pintu untuk lelaki lain. Apalagi sekarang. Maka Birin benar, kamu masih lebih
beruntung, Man." "Tetapi aku mengerti mengapa Karman kini begitu sedih," sambung Birin. "Bung
Asep pernah melibat foto istri Karman?"
"Pernah! Memang dapat kupahami mengapa para lelaki di kampungnya tidak tahan
melihat istri Karman tidur sendiri setiap malam. Dia terlalu menarik. Oh,
Karman. Sekarang kamu harus percaya bahwa ada kalanya lebih beruntung punya
istri sumbing!" Birin dan Asep terbahak. Namun hanya sebentar, kerena Sitepu mendekat.
Wajahnya tampak bersungguh-sungguh. Ucapannya pelan tapi tandas. "He, cecurut-
cecurut! Kalian lupa, partai menuntut segalanya. Partai menuntut segala apa yang
ada pada kita! Lalu apa artinya seorang istri yang tidak setia" Apa?"
Karman tersinggung. Bangkit menuju biliknya di ujung barak. Rasa tidak hormatnya
atas norma partai bertambah satu lagi. "Ya, karena partailah saya kini di sini,
terbuang jauh. Dan istriku mau kawin lagi," Karman mengeluh seorang diri;
keluhan yang menyertakan rasa amat sakit di dasar hati.
Pada hari kedelapan Karman bermaksud membalas surat Marni. Entah dari mana
datangnya, yang jelas ada pikiran bening di otaknya. "Betapapun terasa pahit,
Marni sepantasnya kulepaskan. Keadaan dirikulah yang memastikannya. Kapan dan
bagaimana akhir penahanan dan pengasingan ini tidak dapat diramalkan, apalagi
dipastikan. Padahal Marni masih muda. Tidaklah adil memaksa Marni ikut menderita
dan kehilangan masa depannya. Apalagi anak-anaknya, anak-anakku, perlu santunan.
Nah, baiklah. Marni kulepaskan walaupun hati dan jiwaku tak pernah
menceraikannya. Takkan pernah!"
Keputusan Karman yang penuh nalar dan jujur itu ternyata terlalu berat bagi
dirinya sendiri. Ia patah semangat. Kekosongan terasa mengepungnya. Sepi, sangat
terasing, dan hampa tanpa makna. Kini satu-satunya taruhan yang menyebabkan dia
masih ingin hidup, yakni harapan bisa hidup kembali bersama istri dan anak-
anaknya, telah runtuh. Karman merasa dirinya benar-benar sudah selesai, tamat,
dan hilang. Sebenarnya Karman telah memahami benar keadaan dirinya. Ia hidup dalam martabat
manusia kelas tiga, kelas yang terbuang karena dianggap penuh dosa sosial.
Tetapi di hatinya masih tersisa harapan; kiranya Marni tidak ikut menganggapnya
demikian. Karman masih ingin diperlakukan sebagai seorang suami, betapapun
keadaannya saat itu. Namun kenyataan yang harus dihadapinya amat pahit. Bahkan
Marni, satu-satunya manusia yang diharap bisa memberi secuil 5
harapan, bertekad melepaskan diri menjadi orang lain. "Sungguh dunia,
seluruhnya, telah membelakangiku."
Setiap hari jiwa dan raga Karman bertambah rapuh. Akhirnya ia tergeletak tanpa
daya dalam biliknya yang berdinding papan dan beratap ilalang. Lelaki muda itu
telah kehilangan semangat hidup. Catu tak pernah dimakannya. Bahkan berbicara
pun Karman tak suka. Para petugas kesehatan datang merawatnya, dan Karman tetap sakit. Orang boleh
mengatakan, Karman tidak kunjung sembuh karena obat dan cara merawatnya tidak
baik. Bisa jadi kata-kata demikian ada benarnya. Yang jelas para petugas
kesehatan itu tidak mengerti penyebab penyakit Karman yang sesungguhnya.
Namun mereka tak dapat dipersalahkan. Mereka telah melaksanakan tugas. Perihal
si sakit tetap tidak bangun adalah perkara lain.
Ada seorang perwira yang karena pembawaan pribadi serta tugasnya harus
memperhatikan Karman. Dia adalah Kapten Somad, perwira yang bertugas membina
kehidupan rohani para tahanan. Kapten Somad mencatat sudah dua kali Karman tidak
hadir pada ceramah keagamaan yang diselenggarakannya.
Mengetahui keadaan Karman yang sakit, perwira itu bermaksud menjenguknya.
Di luar dugaan Kapten Somad, keadaan Karman sangat menyedihkan. Badannya kurus
dan lemah. Pandangan matanya tak hisa diartikan lain kecuali keputusasaan yang
mendalam. Alisnya turun dan masuk ke dalam cekungan tulang. Kumis dan cambang
hanya menambah kesan berantakan pada wajah Karman yang sudah amat pucat.
Melihat kedatangan Kapten Somad, Karman berusaha bangkit. Tetapi kepalanya jatuh
kembali ke atas gumpalan kain bekas yang mengganjalnya.
Setelah mengucapkan salam, Kapten Somad bergerak sampai dekat sekali pada kepala
Karman. "Aku datang karena aku ingin melihat keadaanmu. Hari ini kamu merasa lebih baik,
bukan?" Si sakit tak segera menjawab. Hanya bola matanya sedikit tergulir ke kiri dan ke
kanan. Kemudian dari tenggorokannya terdengar suara parau.
"Terima kasih atas kunjungan Kapten. Rasanya, keadaanku masih tetap begini."
"Badanmu tampak lemah sekali; bukankah ransummu selalu kaumakan?"
"Ya, Kapten," jawab Karman bohong.
Dan aku tidak ingin didakwa sedang melancarkan mogok makan, sambung Karman dalam
hati. "Obat-obatan?" Karman diam. Wajahnya yang beku dibadapkannya ke dinding papan. Dari caranya
menarik napas, Kapten Somad tahu bahwa Karman sedang diburu oleh 6
perasaan yang menekan. Tiba-tiba terdengar ucapan Karman. Lirih saja, dan bibir
itu hampir-hampir tidak bergerak.
"Kadang-kadang saya minum obat, Kapten."
"Kadang-kadang" Hanya kadang-kadang" Apakah kamu hanya diberi obat sedikit?"
"Tidak. Obat itu banyak."
"Dan hanya kadang-kadang kauminum?"
"Ya, Kapten. ."
"Mengapa?" Sebagai jawaban, Karman menggerakkan lensa matanya ke arah Kapten Somad.
Tatapan yang sayu itu mampu mencapai dasar hati sang kapten. Tiga kali Kapten
Somad mengulangi pertanyaannya, sebanyak itu pula ia mendapat jawahan dengan
cara yang sama. Bahkan akhirnya perwira itu melihat ada air mata menggenang.
"Kapten bersungguh-sungguh dengan pertanyaan itu?"
"Pasti. Mengapa tidak?"
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jawabannya tidak akan masuk nalar Kapten. Bagaimana?"
"Oh, baik, katakanlah. Aku akan senang mendengarnya. Siapa tahu aku dapat
membantu meringankan perasaanmu."
"Nah, Kapten. Saya memang segan minum obat karena saya tidak ingin sembuh.
Saya merasa tidak perlu sembuh. Lebih baik saya tidak sembuh."
Kapten Somad mengerutkan kening.
"Kenapa?" tanyanya dengan sungguh-sungguh.
"Kalau Kapten sungguh-sungguh ingin tahu, bacalah surat ini."
Karman menggeliat. Dari bawah gumpalan kain bekas itu dikeluarkannya sehelai
kartu pos. Ya, kartupos. Para tahanan di Pulau B itu hanya boleh menerima surat
tanpa sampul. Sebelum membaca Kapten Somad membetulkan letak kacamatanya. Sejenak perwira itu
tampak tercenung. Alisnya mendatar, dan perlahan-lahan lelaki itu memutar tubuh
kemudian bergerak ke arah pintu dan berhenti, termangu. Kedua tangannya
bersilang di punggung. Ketika berdiri di pintu menghadap ke luar itu, Kapten Somad teringat akan
keluarganya yang ditinggal jauh di seberang lautan, di Magelang. Ia sama sekali
tidak mengkhawatirkan kesetiaan istrinya. Ia hanya meyakinkan bahwa lepas dari
kenyataan dirinya seorang perwira yang harus taat sepenuhnya kepada tugas,
sebaiknya seorang suami selalu dekat dengan istri dan keluarganya. Dengan
demikian tidak perlu ada tragedi di mana seorang istri minta izin suami untuk
menikah lagi. Ah, Kapten Somad jadi teringat anak-istri sendiri. Kerinduan
mengusik hatinya. Tetapi apa mau di kata, tugasnya di Pulau B baru akan berakhir
5 bulan mendatang. 7 Beberapa saat kemudian Kapten Somad itu berbalik menuju dipan tempat Karman
terbaring. Bagaimanapun, wajahnya tetap jernih dan tersenyum. Perwira yang baik
tahu mengambil sikap yang benar dalam segala keadaan. Dengan gaya seorang ayah,
Kapten Somad meraba dahi Karman sambil berkata, "Ya, ya, Karman, aku mengerti.
Aku dapat merasakan penderitaanmu. Andaikata aku sendiri yang menghadapi masalah
seperti itu, hatiku akan benar-benar hancur. Sekarang marilah!
Aku akan menemanimu mencari sikap yang terbaik dalam menghadapi masalah yang
tidak ringan ini. Dan yang pasti, sikap putus asa tidak pernah menjadi jawaban
yang benar. Tidak pernah! Dan yang pasti pula, bagaimanapun ketiga anakmu ingin
melihat ayahnya pada suatu saat. Oh ya, kau tahu tempat ini bukan kamp
konsentrasi. Aku percaya Pemerintah tidak bermaksud mengubur para tahanan di
pulau ini. Camkanlah, ini permintaan pribadiku kepadamu. Bila kau dapat
menyingkirkan angan-angan untuk berputus asa, kau akan sampai pada jalan yang
terbaik. Nah, sekarang minumlah obat-obat itu. Mari kubantu."
Selesai minum obat, Karman terbaring kembali. Tetapi matanya terus mengikuti
segala gerak Kapten Somad. Laki-laki yang sakit itu merasa terkesan oleh sikap
Pak Kapten, sehingga ia tak mampu menjawab ketika tamunya minta diri. "Aku
permisi dulu, Karman, lain kali aku akan datang khusus bagimu. Jangan lupa,
minumlah obat-obat itu."
Lama sekali Karman merenungkan kunjungan Kapten Somad siang itu. Mula-mula ia
merasa bimbang terhadap dirinya sendiri; haruskah anjuran Kapten Somad dituruti"
Atau, biarlah aku ikuti keputusasaan sampai diriku hancur dan dengan demikian
kepedihan ini cepat berakhir"
Karman kembali menarik napas panjang. Tetapi kemudian ada titik-titik bening
muncul pada akal budinya yang semula hampir mati. "Seorang kapten dengan ikhlas
menunjukkan pengertian dan simpatinya padaku. Kebenaran yang disampaikan padaku
sukar kubantah. Ah, setidaknya telah ada satu orang yang mau memahami diriku,
pikir Karman. Tetapi betulkah penderitaanku telah terbagi"
Bisakah aku memastikan aku telah mempunyai seorang teman di dunia ini"
Kapten Somad berjanji akan membantuku mencari jalan yang terbaik. Dan mestinya
aku sendiri sudah mengerti. Menginginkan Marni tetap menjadi istriku adalah
sangat sulit, hampir mustahil. Jadi keputusan yang terbaik adalah melepaskannya.
Ya. Malah hal itu pun sudah kulaksanakan. Tetapi ternyata bagiku persoalan belum
selesai. Kini aku tak tahu bagaimana cara yang tepat untuk mererima kenyataan
aku telah ditinggalkan oleh Marni. Aku telah kehilangan satu-satunya milikku.
Oh, andaikata aku hidup di alam yang wajar, pastilah persoalannya akan menjadi
lebih sederhana. Seorang istri minta cerai, dan cerailah. Aku bisa dengan mudah
mencari ganti. Tetapi kini aku sedang terpencil dalam buangan.
Dan harus pula kehilangan istri. Oh, betapa mengerikan hidup yang harus
kujalani. Mengerikan!" 8 Benar, secara teratur Kapten Somad menjenguk Karman. Tulus senyumnya, lapang
dadanya selagi perwira itu menerima segala keluhan laki-laki yang hampir putus
asa itu. Si sakit sendiri merasakan nikmatnya sesuatu yang sukar didapat di
pulau buangan itu: kemanusiaan.
Namun sebagai akibat sikap santunnya terhadap Karman, Kapten Somad pernah
ditegur oleh Mayor Darius.
"Maaf, Mayor, saya merasa wajib mengembalikan kesehatan tahanan itu. Dia
mengalami tekanan jiwa yang berat. Tugas saya adalah mengembalikan kesehatan
dia. Dan saya percaya pengobatan secara medis tidaklah cukup. Karena itu saya
melakukan pendekatan moral dan sama sekali bukan pendekatan pribadi. Saya
sekali-kali tidak melupakan setiap peraturan yang berlaku di pulau ini," Kapten
Somad meneranakan. Dalam suatu kesempatan ketika putih mata Karman mulai bening dan bercahaya,
Kapten Somad berkunjung lagi. Yang sakit sudah bisa duduk. Di mulutnya ada
sebatang rokok buatan sendiri. Rupanya Karman memungut puntung yang dibuang oleh
tamunya, dan menggulungnya kembali dengan daun pisang kering. Bila orang sakit
sudah ingin merokok itulah pertanda baik. Perwira itu tersenyum.
"Hanya Tuhan yang berhak atas segala pujian. Kau tampak sedikit segar sekarang.
Obat-obatmu belum habis?"
"Tinggal sedikit, Kapten. Sebenarnya saya sudah merasa sembuh. Sayang, saya
masih sukar tidur." "Baiklah, akan kusampaikan masalahmu kepada petugas medis. Mudah-mudahan besok
mereka mengantar obat yang kauperlukan."
"Terima kasih, Kapten. Tetapi, maaf, saya masih bingung."
"Bingung?" "Ya, Kapten." "Mengapa?" Karman tidak segera memberikan jawaban. Namun tak lama kemudian ia bicara.
"Apa yang bisa saya harapkan sesudah saya sembuh" Rasanya saya sudah kehilangan
tujuan. Kehilangan segala-gala. Hidup saya terasa sangat enteng. Dan kosong."
"Yah, kukira semuanya akan tampak wajar pada dirimu. Semua orang akan merasakan
seperti itu sesudah mengalami kekecewaan yang luar biasa. Jadi yang sebenarnya
kaudambakan adalah obat kekecewaan itu, bukan?"
"Saya kira begitu, Kapten."
"Tanpa diobati kekosongan hati akan menghilangkan segala macam citarasa hidup.
Dengan senang hati aku akan mengobatimu sebisa-bisaku. Namun aku khawatir
syaratnya terlalu sulit kauterima. Bagaimana?"
9 Dengan segala daya Karman mencoba memahami kata-kata Kapten Somad.
Syarat" Aku harus memenuhi syarat bila aku ingin mendapatkan obat bagi
kekosongan dalam jiwaku" pikir Karman.
"Yah, dengarlah apa yang kumaksud dengan syarat itu. Untuk mendasari upaya
penyembuhan jiwamu, kau harus memulai dari kepercayaan. Ya, kepercayaan."
"Kepercayaan?" sela Karman.
"Ya, kepercayaan bahwa ada kekuatan besar yang berkuasa atas dirimu.
Kekuatan itu mengatasi apa saja yang ada padamu. Pokoknya kau hanya memiliki
kekuasaan yang kecil saja atas dirimu sendiri. Memang, kau dapat menerangkan
dengan kekuatan akakmu misalnya, mengapa bisa sampai menghuni tempat ini.
Tetapi pada batasnya, kau akan jatuh tak berdaya. Terbukti, beberapa hari yang
lalu kau berniat menghancurkan dirimu sendiri karena kau tak bisa memahami
sesuatu yang sedang terjadi pada dirimu. Itulah bukti yang nyata atas
ketidakberdayaanmu. Nah, kau bekas seorang ateis; dapatkah kau menata sikap batinmu" Dapatkah kau
mendudukkan kepercayaan di atas kekuatan akalmu" Itulah syarat yang kumaksud."
Karman tertunduk; Tuhan. Yang dimaksud oleh Kapten Somad pastilah kepercayaan
terhadap keberadaan Tuhan. Ah, ya. Selama menjadi pengikut partai, Karman memang
didorong untuk membuang jauh semua kepercayaan atas segala sesuatu yang tidak
membenda. Ajaran partainya mengatakan, apa yang tidak membenda sama dengan omong
kosong. Tuhan pun hanya ada bagi mereka yang menganggapnya ada. Dan ajaran
partainya juga mengatakan kalaulah ada sesuatu yang boleh disebut tuhan, maka
dia adalah partai itu sendiri. Dan revolusi!
Karman tetap tertunduk. Ada kejujuran yang lambat-laun mengembang dalam dirinya.
Ia ingin mengaku dengan tulus, meskipun ia lama menjadi anggota partai komunis,
bahwa kehadiran Tuhan tetap terasa pada dirinya. Karman tak pernah berhasil
memaksa dirinya percaya bahwa Tuhan sama dengan omong kosong. Dan bahwa pada
kenyataannya, walaupun ia lama bergabung dengan partai komunis, Karman
sebenarnya ingin dipahami melalui jalur yang lain.
Kemudian Karman menatap Kapten Somad dengan mata sedih.
"Kapten, syarat yang diajukan dengan mudah bisa saya terima. Ya, meskipun saya
malu mengatakannya namun sebenarnya masih ada kepercayaan terhadap Tuhan dalam
hidup saya. Sungguh, Kapten. Tetapi kenyataan bahwa Kapten mengajukan syarat
seperti itu, itulah yang membuat saya merasa sedih."
Kapten Somad merasa tersodok. Namun perwira itu cepat bisa tersenyum.
"Kalau begitu, maafkanlah aku. Dan baiklah, mari kita mulai sekarang. Sebelum
datang kematian, setiap orang akan mengalami satu di antara tiga cobaan; sulit
mendapat rezeki, kesehatan yang buruk, dan hilangnya orang-orang terdekat. Yang
kini sedang terjadi pada dirimu, saya kira, adalah gabungan ketiga cobaan hidup
10 itu. Luar biasa memang. Namun apabila kamu percaya dan berserah diri kepada
Tuhan, maka jalan keluar selalu tersedia. Jadi, hanya kepercayaan terhadap
kebesaran dan kasih sayang Tuhan-lah yang bisa membuat kamu tenang, tak merasa
sia-sia. Apakah kata-kataku bisa sampai ke hatimu?"
"Sedikit, Kapten."
"Ketika kau merasa berada dalam pikiran yang amat gelap, ketika kau merasa
benar-benar tak berdaya, sesungguhnya ada tangan-tangan terjulur kepadamu.
Tangan pertama mewakili pertolongan Tuhan, dan tangan lainnya mewakili kuasa
buruk yang menghendaki kehancuran atas dirimu. Kau dapat mengatakan siapa yang
mengajakmu berputus asa serta meyakinkan dirimu bahwa jalan itulah yang terbaik.
Jangan ikuti ajakan dari kuasa buruk itu. Lebih baik kaudengarkan suara nuranimu
sendiri karena dia dapat melihat jalan yang disukai Tuhan. Turutilah jalan itu,
karena bersama Dia segala penderitaan jadi terasa ringan atau bahkan tak ada
sama sekali." *** Angin yang menembus sela-sela kerimbunan beringin di pojok alun-alun itu
menimbulkan suara mendesau. Sebutir buah beringin runtuh dan menimpa pundak
Karman. Satu lagi jatuh di dekat kaki kirinya. Karman yang sedang larut dalam
kenangan ketika terbuang di Pulau B, tersadar. Ia mendengar riuh suara burung
yang makin ramai. Burung-burung berebut tempat yang paling baik untuk tidur
sampai menjelang fajar esok pagi. Kota Kabupaten itu pun sedang bersiap memasuki
suasana malam. Lampu-lampu jalan menyala serentak. Karman bangkit. Namun hanya
termangu bingung. "Oh, rupanya aku terlalu lama duduk di tempat ini,"
keluhnya. Tanpa tujuan yang jelas, Karman kemudian melangkahkan kaki, berjalan ke arah
selatan. Di pojok alun-alun sebelah sana ia kembali berhenti, gamang. Namun
akhirnya ia bergerak lagi, membelok ke barat. Dan sekali lagi, kebimbangan
mengepungnya ketika Karman sampai di pojok yang ketiga. Maka ia hanya mengikuti
pembawaan kaki dan berbelok lalu melangkah ke utara. Karman melihat ada pedagang
makanan. Tiba-tiba perutnya terasa sangat lapar.
Karman mengeluarkan uang kumal untuk membeli sebuah ketupat dan segera
memakannya sambil jongkok. Setelah meminta segelas teh yang langsung diminumnya,
Karman melangkah sepembawa kaki ke timur. Maka lengkap sudah; tanpa tujuan
tertentu Karman telah sempurna mengelilingi alun-alun Kabupaten.
Bahkan karena tetap tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan, Karman menurutkan
kedua kakinya mengelilingi alun-alun buat kali kedua. Dan kali ini Karman
berpapasan dengan serombongan anak-anak besar-kecil. Mereka berkopiah dan
berkain sarung, lucu menawan, dan berjalan hiruk-pikuk. Tanpa kesadaran penuh,
Karman berbalik mengikuti rombongan anak-anak itu. Anak-anak terus berhamburan
menuju serambi mesjid besar Kabupaten. Tetapi Karman mendadak 11
berhenti, gagap. Termangu. Dua-tiga orang yang hendak sembahyang melewatinya
tanpa peduli. Namun akhirnya seorang lelaki tua sambil berjalan menepuk pundak
Karman. "Mari. Pak, sudah hampir ikamah!"
Dan seperti ada sesuatu yang mendorongnya, Karman ikut melangkah memasuki
halaman mesjid. Pukul tujuh malam Karman keluar. Ada setitik rasa lega dalam hatinya karena ia
telah berhimpun dengan orang banyak ketika salat berjamaah. Memang, orang-orang
itu tak satu pun mengenalnya dan mereka tak mengajaknya bicara. Mereka hanya
menawarkan jabat tangan dan. . senyum! "Oh, boleh jadi senyum itu mereka berikan
justru karena mereka tidak tahu siapa aku," renung Karman. "Tetapi cukuplah;
senyum adalah tanda keramahan yang sangat berharga bagiku. Terima kasih, oh,
terima kasih." Dan tanpa terasa air mata Karman meleleh.
Setelah berhasil mengendapkan gejolak perasaannya, Karman sadar bahwa dirinya
sedang berada dalam perjalanan pulang yang sangat panjang dari Pulau B.
Pulang" tanya Karman berkali-kali kepada dirinya sendiri. Pulang ke mana" Aku
memang lahir di sana, di Pegaten. Di sana aku dibesarkan dan di sana pula aku
pernah punya r-umah, istri, dan anak. Namun masih adakah semua itu" Dan, apakah
kampungku, terutama orang-orangnya, mau menermna aku kembali" Sebuah letupan
ketakutan tiba-tiba menggoyahkan hatinya.
Tetapi entahlah; Karman keluar juga meninggalkan halaman mesjid dan berjalan
hampir dua kilometer menuju terminal bis. Di sana Karman menemukan kenyataan.
Sepi; tak ada lagi kendaraan yang melayani penumpang, kecuali mobil borongan.
Ah, tak mungkin, uang Karman di saku hanya tinggal seratus lima puluh rupiah.
Karman berdiri dan kembali termangu, merasa terasing seperti benda langit yang
baru sedetik jatuh ke bumi. Diperlukan waktu beberapa menit sebelum Karman
menemukan sesuatu yang bisa segera dilakukan; pergi ke Jalan Pandanan. Saudara
sepupunya dulu tinggal di sana. "Dari bila aku beruntung, Gono, sepupuku itu,
belum pindah." Pikiran Karman sudah bulat, daripada berdiri bingung di halaman mesjid ia merasa
lebih baik pergi ke rumah Gono. Maka Karman berjalan ke sana. Jalan Pandanan
yang dulu hanya dikeraskan dengan batu kali, sekarang sudah dilapisi aspal.
Rumah-rumah yang berderet sepanjang jalan kecil itu tampak lebih baik, lebih
teratur, jauh berbeda dengan keadaan pada tahun 1965 ketika terakhir kali Karman
berkunjung ke rumah Gono. Pagar-pagar halaman diterangi lampu neon.
Banyak rumah yang berganti dengan pagar tembok. Dan yang lebih menarik perhatian
Karman adalah banyaknya remaja di sepanjang jalan itu. Mereka duduk bergerombol
di bawah cahaya lampu neon, menyanyi dan merokok. Pemandangan serupa tak pernah
ditemukan di kota Kabupaten itu dua belas tahun yang lalu.
Rumah Gono terletak di tepi sebuah kanal kecil. Itu petunjuk yang jelas meski
misalnya sudah terjadi banyak perubahan di sana. Maka Karman merasa pasti telah
12 sampai ke tujuan ketika ia melihat kanal kecil itu. Tetapi rumah yang dulu
ditempati keluarga Gono itu sudah berubah menjadi sebuah gedung yang bagus.
Halamannya, meskipun tetap terbuka dan tak terlalu luas, namun ditata rapi
dengan berbagai tanaman hias. Maka Karman ragu-ragu ketika hendak memasuki
halaman rumah gedung itu; jangan-jangan pemiliknya bukan lagi Gono.
Dalam keraguan dan kegagapannya, Karman bahkan ingin berbalik. Ia mulai
merasakan keangkuhan mengepungnya dari segenap penjuru. Karman kembali merasa
sebagai benda asing di bumi, dan kakinya mulai bergetar. Lalu dengan gerakan
gamang Karman benar-benar berbalik. Namun pada saat yang sama Karman terkejut
karena mendengar suara gagang pintu diputar. Detak jantungnya menjadi cepat,
tetapi Karman memberanikan din menoleh kembali ke arah rumah gedung itu.
Di sana, di beranda, berdiri seorang anak lelaki remaja. Ia mungkin keluar
karena hendak berkumpul dengan teman-teman sebaya. Namun anak muda itu terhenti
di beranda karena ia melihat seorang lelaki berdiri di pintu halaman. Dan entah
mendapat kekuatan dari mana, Karman melangkah mendekat. Dari jarak kurang dari
dua meter Karman menatap anak muda yang berdiri diam di depannya. Karman
terkesan pada mata anak muda itu. Terasa ada perasaan aneh yang mengembang.
Mata anak muda itu, dengan cara yang amat sulit dimengerti, memberikan sasmita
bahwa Karman sedang berhadapan dengan darah daging sendiri.
Rudio" pikir Karman. Ia memang punya anak lelaki yang baru berusia tujuh tahun
ketika ia harus berangkat ke tanah Pengasingan. Karman bergerak satu langkah ke
depan. Anak muda itu menegakkan leher karena merasa didekati dan ditatap oleh
orang yang belum dikenalnya.
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan dalam waktu yang singkat itu akal budi anak remaja itu bekerja. Ia sudah
mendengar bahwa pemerintah telah membebaskan seribu tahanan dari Pulau B.
Dari ibunya, dia pernah memperoleh gambaran tentang ayahnya. Perawakannya gagah,
kaya akan rambut, serta lubang hidung lebar. Dan, wajah laki-laki yang sedang
tegak di depannya itu mirip gambar pada pasfoto tua yang dimilikinya.
Kemudian atas nama nalurinya, anak remaja itu berkata ragu-ragu, "Ayah. .?"
Sepi. Karman menelan ludah, mendan kembali perasaannya yang tiba-tiba akan meledak.
Air matanya meleleh. "Ya, Nak. Aku Ayah!"
Hening lagi. Ayah dan anak yang jumpa setelah belasan tahun terpisah jauh itu
tidak berpelukan. Rudio menunduk lemas. Ayahnya menjatuhkan kedua pundaknya dan
mengosongkan paru-paru dengan desahan panjang. Namun suasana menjadi agak ribut
ketika Bu Gono keluar. Perempuan itu terpana dalam gerakan yang janggal.
Ditatapnya lelaki yang sedang berhadapan dengan Rudio.
Setelah menyadari siapa yang sedang ditatapnya, Bu Gono berlari dan langsung 13
memeluk Karman. Tangisnya meledak sehingga anak-anak berhamburan keluar karena
ingin tahu apa yang terjadi.
"Ya Tuhan. . Mas Karman" Kau masih hidup, Mas Karman?"
Karman yang merasa sulit berbicara, tidak segera menjawab.
"Ya, Dik. Syukurlah. Kita masih bisa bertemu lagi. Sekarang tenanglah. Mari kita
duduk dulu." Tetapi Bu Gono belum bisa tenang dan belum mau duduk. Dipeluknya Karman erat-
erat. Di sela-sela tangisnya, ia masih berkata-kata penuh emosi.
"Mas Karman, saudaraku, tinggallah bersama kami di sini. Kau takkan menemukan
apa-apa lagi di Pegaten. Rumahmu habis dimusnahkan, tanahmu habis terjual. Dan,
oalah Gusti, Marni istrimu telah kawin lagi dan beranak-pinak. Anakmu yang
terkecil meninggal. Mas Karman, kau tak punya apa-apa lagi di Pegaten. Kau tak
punya apa-apa lagi."
"Astaghfirullah. . Ya, ya. Sekarang tenanglah dulu. Mari duduk."
Rudio menata kursi bagi ayahnya. Bu Gono masuk untuk mengambil minuman.
"Jadi kau tinggal bersama bibimu di sini?"
"Ya, Ayah." "Sekolahmu?" "Di STM, kelas tiga. Empat bulan lagi ujian."
"Syukurlah. Dan adik-adikmu?"
"Tini tinggal bersama Ibu. Dia hanya menamatkan SMP."
"Dan Tono meninggal?"
"Benar, Ayah. Sudah satu tahun. Saya dilarang memberi kabar pada Ayah. Hanya
akan menambah beban pikiran Ayah, begitu kata Ibu."
Karman mengerutkan kening. Jakunnya turun naik.
"Oh, ya, tak mengapa. Seorang seperti Ayah ini sudah terlalu sering mengalami
hal yang menyedihkan. Lupakan itu. Tetapi di mana pamanmu" Tampaknya sepi saja?"
Dalam perkawinannya dengan Parta, Marni memperoleh dua orang anak. Parta
memiliki tanah sawah yang lumayan luasnya. Jadi soal kesulitan pangan tidak
dirasakan oleh Marni dan keluarga barunya. Perempuan itu juga sadar Parta
berusaha keras menjadi suami yang baik. Tampaknya Parta lebih mencintai Marni
daripada istrinya yang lama. Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan
Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya terhadap Rudio. Ia
tak mau tahu akan biaya yang diperlukan anak tirinya itu. Maka Marni harus
menjual semua harta yang ditinggalkan Karman untuk membiayai pendidikan Rudio,
dari SMP sampai STM. Orang-orang Pegaten melihat perangai Marni berubah setelah hidup bersama Parta.
Kecerahannya lenyap, ia jadi pendiam. Tidak seperti dulu, kini Marni jarang 14
bergaul dengan perempuan-perempuan lain. Hanya perempuan itu sendiri yang tahu
mengapa. Yang jelas Marni merasa perkawinannya dihantui oleh kekhawatiran
munculnya Karman pada suatu saat. Rasa khawatir itu kemudian berubah menjadi
rasa takut dan bersalah. Setitik pengakuan dosa mulai melembaga di hati Marni.
Bahkan nuraninya sering menuntut; mana kesetiaanmu sebagai istri sejati" Mengapa
kautinggalkan Karman dalam segala kesengsaraannya"
Pada saat itu orang Pegaten sudah mulai berbicara tentang para tahanan yang
dibebaskan. Seribu orang dilepas dari Pulau B, tujuh ratus dari Nusakambangan,
dan masih banyak lagi. Hati Marni seperti terpanggang. Rasa bersalah menghunjam
keras. Apalagi sudah sampai selentingan yang mewartakan Karman mungkin termasuk
tahanan yang dibebaskan. Seorang penduduk Pegaten mengaku melihat Karman di
rumah Gono, di kota. Dan Marni menangis. Sore itu pun Marni membersihkan beras
sambil menangis. Tapi ia berusaha keras menahan dirinya, karena terdengar Tini
datang dari belik. Anak gadisnya langsung masuk kamar.
Nyanyian cinta mengalun ringan. Oh, akhirnya Marni mampu tersenyum. "Pada saat
ini pasti Tini percaya bahwa Bukit Kendeng yang gundul itu indah," kata Marni
dalam hati. Senyumnya terurai kembali.
Keluar dari kamar, Tini sudah rapi. Bajunya berwarna kuning ringan. Rok bawahnya
cokelat hampir hitam. Kini ia berani mewarnai bibirnya. Rambutnya yang pendek
menggulung di atas pundak. Marni ingin memuji kecantikan anaknya, namun urung.
Wajah Karman seakan menopengi muka Tini.
Dengan berlari seperti anak kecil, Tini menghampiri ibunya. Ia duduk
berdempetan. Mula-mula Tini ikut menjumput-jumput gabah. Tetapi kemudian
mengambil tampah itu dan meletakkannya ke samping. Tangan ibunya digenggamnya.
"Ibu sudah mendengar?"
"Apa?" "Kak Jabir berkata. ."
"Ah, kau selalu menyebut nama Jabir bila hendak berkata sesuatu padaku."
Tini merengut. Pipinya merah. Ia hendak bangkit merajuk, tapi ibunya cepat
menahan. "Ibu suka begitu sih. ."
"Aku hanya berolok-olok, Tini, kau mau mengatakan apa padaku?"
"Kak Jabir bilang sudah ada orang yang melihat Ayah di rumah Paman Gono.
Jadi Ayah pasti pulang ya, Bu" Jadi aku punya ayah yang sebenarnya ya, Bu" Aku
sangat ingin melihat Ayah. Ibu juga senang bila Ayah pulang?"
Tini menunggu jawaban ibunya. Tapi Marni bahkan tertunduk. Ada rasa getir dan
sakit menyapu hati perempuan itu. Tangan Tini digenggamnya erat-erat.
15 Kelenjar air mata Marni bekerja, meskipun ia berusaha menahannya. Kini Marni tak
menyembunyikan tangisnya.
"Tini, kau sudah besar. Kita sama-sama mempunyai hati perempuan. Tentu kau dapat
menduga apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku takut kepada ayahmu. Di mata
ayahmu pasti aku seorang perempuan tidak setia, tidak berharga.
Aku. ." "Salah Ibu sendiri, mengapa Ibu kawin lagi. Coba kalau tidak, aku tak pernah
disebut anak tiri. Nggak enak lho, Bu."
"Ya, anakku. Tapi segalanya sudah terjadi."
"Ibu menyesal?"
"Andaikata penyesalan itu ada gunanya."
"Tetapi Ibu masih mencintai Ayah?"
Sekilas Marni memandang mata anaknya, tapi ia tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Jantungnya berdebar. Lalu sambil membuang muka ia balik bertanya.
"Kau mencintai Jabir. Iya, kan?"
Kedua ibu dan anak itu berpandangan. Mendadak Tini merasa dirinya jauh lebih
dewasa. Pengertian tentang perasaan ibunya makin mendalam. "Kasihan ibuku,"
pikir Tini. "Ia perempuan yang malang."
"Dan, Bu, seandainya Ibu tahu keinginanku bersama Rudio. . keinginan sejati dari
anak-anak terhadap kedua orangtuanya."
"Yah, aku mengerti. Di dunia ini tak ada anak yang menginginkan kedua
orangtuanya hidup terpisah. Aku tahu. Tapi Tini, kehidupan ini ternyata sering
begitu kejam. Kehidupan ini telah memisahkan aku dan ayahmu secara paksa. Dan
untuk bersatu lagi, meskipun ayahmu sudah kembali, masalahnya sungguh tidak
gampang. Boleh jadi tak mungkin."
"Tapi, Bu, siapa tahu Tuhan menghendaki Ibu kumpul lagi sama Ayah?"
Marni mengusap matanya. "Ah, Tini, Ibu takut berandai-andai seperti itu."
Dari kamar Parta terdengar suara batuk beruntun. Penyakit napasnya sedang
kambuh. Marni dan anaknya kembali duduk tegak. Khawatir suaminya akan keluar,
Marni segera mengalihkan pembicaraan. Tini melayaninya dengan pintar.
"Kemarin Jabir bertamu sampai malam, tidak pantas, bukan?"
Tini mencubit lengan ibunya.
"Sayang, Tin, Jabir cucu Haji Bakir!"
"Jadi mengapa?"
"Oh, tidak mengapa. Di kampung ini keluarga itu terlalu kaya. Orang sering
berbicara tentang keimbangan antarbesan. Apakah kau pernah berjumpa dengan
keluarga Jabir?" 16 "Sering, Bu. Pada malam Mauludan yang lalu aku duduk berdampingan dengan. ."
"Jabir?" potong Marni.
Dalam perkawinannya dengan Parta, Marni memperoleh dua orang anak. Parta
memiliki tanah sawah yang lumayan luasnya. Jadi soal kesulitan pangan tidak
dirasakan oleh Marni dan keluarga barunya. Perempuan itu juga sadar Parta
berusaha keras menjadi suami yang baik. Tampaknya Parta lebih mencintai Marni
daripada istrinya yang lama. Pada dasarnya Parta bukan suami yang mengecewakan
Marni, kecuali penyakit asma yang dideritanya serta sikapnya terhadap Rudio. Ia
tak mau tahu akan biaya yang diperlukan anak tirinya itu. Maka Marni harus
menjual semua harta yang ditinggalkan Karman untuk membiayai pendidikan Rudio,
dari SMP sampai STM. Orang-orang Pegaten melihat perangai Marni berubah setelah hidup bersama Parta.
Kecerahannya lenyap, ia jadi pendiam. Tidak seperti dulu, kini Marni jarang
bergaul dengan perempuan-perempuan lain. Hanya perempuan itu sendiri yang tahu
mengapa. Yang jelas Marni merasa perkawinannya dihantui oleh kekhawatiran
munculnya Karman pada suatu saat. Rasa khawatir itu kemudian berubah menjadi
rasa takut dan bersalah. Setitik pengakuan dosa mulai melembaga di hati Marni.
Bahkan nuraninya sering menuntut; mana kesetiaanmu sebagai istri sejati" Mengapa
kautinggalkan Karman dalam segala kesengsaraannya"
Pada saat itu orang Pegaten sudah mulai berbicara tentang para tahanan yang
dibebaskan. Seribu orang dilepas dari Pulau B, tujuh ratus dari Nusakambangan,
dan masih banyak lagi. Hati Marni seperti terpanggang. Rasa bersalah menghunjam
keras. Apalagi sudah sampai selentingan yang mewartakan Karman mungkin termasuk
tahanan yang dibebaskan. Seorang penduduk Pegaten mengaku melihat Karman di
rumah Gono, di kota. Dan Marni menangis. Sore itu pun Marni membersihkan beras
sambil menangis. Tapi ia berusaha keras menahan dirinya, karena terdengar Tini
datang dari belik. Anak gadisnya langsung masuk kamar.
Nyanyian cinta mengalun ringan. Oh, akhirnya Marni mampu tersenyum. "Pada saat
ini pasti Tini percaya bahwa Bukit Kendeng yang gundul itu indah," kata Marni
dalam hati. Senyumnya terurai kembali.
Keluar dari kamar, Tini sudah rapi. Bajunya berwarna kuning ringan. Rok bawahnya
cokelat hampir hitam. Kini ia berani mewarnai bibirnya. Rambutnya yang pendek
menggulung di atas pundak. Marni ingin memuji kecantikan anaknya, namun urung.
Wajah Karman seakan menopengi muka Tini.
Dengan berlari seperti anak kecil, Tini menghampiri ibunya. Ia duduk
berdempetan. Mula-mula Tini ikut menjumput-jumput gabah. Tetapi kemudian
mengambil tampah itu dan meletakkannya ke samping. Tangan ibunya digenggamnya.
"Ibu sudah mendengar?"
17 "Apa?" "Kak Jabir berkata. ."
"Ah, kau selalu menyebut nama Jabir bila hendak berkata sesuatu padaku."
Tini merengut. Pipinya merah. Ia hendak bangkit merajuk, tapi ibunya cepat
menahan. "Ibu suka begitu sih. ."
"Aku hanya berolok-olok, Tini, kau mau mengatakan apa padaku?"
"Kak Jabir bilang sudah ada orang yang melihat Ayah di rumah Paman Gono.
Jadi Ayah pasti pulang ya, Bu" Jadi aku punya ayah yang sebenarnya ya, Bu" Aku
sangat ingin melihat Ayah. Ibu juga senang bila Ayah pulang?"
Tini menunggu jawaban ibunya. Tapi Marni bahkan tertunduk. Ada rasa getir dan
sakit menyapu hati perempuan itu. Tangan Tini digenggamnya erat-erat.
Kelenjar air mata Marni bekerja, meskipun ia berusaha menahannya. Kini Marni tak
menyembunyikan tangisnya.
"Tini, kau sudah besar. Kita sama-sama mempunyai hati perempuan. Tentu kau dapat
menduga apa yang sedang kurasakan sekarang. Aku takut kepada ayahmu. Di mata
ayahmu pasti aku seorang perempuan tidak setia, tidak berharga.
Aku. ." "Salah Ibu sendiri, mengapa Ibu kawin lagi. Coba kalau tidak, aku tak pernah
disebut anak tiri. Nggak enak lho, Bu."
"Ya, anakku. Tapi segalanya sudah terjadi."
"Ibu menyesal?"
"Andaikata penyesalan itu ada gunanya."
"Tetapi Ibu masih mencintai Ayah?"
Sekilas Marni memandang mata anaknya, tapi ia tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Jantungnya berdebar. Lalu sambil membuang muka ia balik bertanya.
"Kau mencintai Jabir. Iya, kan?"
Kedua ibu dan anak itu berpandangan. Mendadak Tini merasa dirinya jauh lebih
dewasa. Pengertian tentang perasaan ibunya makin mendalam. "Kasihan ibuku,"
pikir Tini. "Ia perempuan yang malang."
"Dan, Bu, seandainya Ibu tahu keinginanku bersama Rudio. . keinginan sejati dari
anak-anak terhadap kedua orangtuanya."
"Yah, aku mengerti. Di dunia ini tak ada anak yang menginginkan kedua
orangtuanya hidup terpisah. Aku tahu. Tapi Tini, kehidupan ini ternyata sering
begitu kejam. Kehidupan ini telah memisahkan aku dan ayahmu secara paksa. Dan
untuk bersatu lagi, meskipun ayahmu sudah kembali, masalahnya sungguh tidak
gampang. Boleh jadi tak mungkin."
"Tapi, Bu, siapa tahu Tuhan menghendaki Ibu kumpul lagi sama Ayah?"
Marni mengusap matanya. 18 "Ah, Tini, Ibu takut berandai-andai seperti itu."
Dari kamar Parta terdengar suara batuk beruntun. Penyakit napasnya sedang
kambuh. Marni dan anaknya kembali duduk tegak. Khawatir suaminya akan keluar,
Marni segera mengalihkan pembicaraan. Tini melayaninya dengan pintar.
"Kemarin Jabir bertamu sampai malam, tidak pantas, bukan?"
Tini mencubit lengan ibunya.
"Sayang, Tin, Jabir cucu Haji Bakir!"
"Jadi mengapa?"
"Oh, tidak mengapa. Di kampung ini keluarga itu terlalu kaya. Orang sering
berbicara tentang keimbangan antarbesan. Apakah kau pernah berjumpa dengan
keluarga Jabir?" "Sering, Bu. Pada malam Mauludan yang lalu aku duduk berdampingan dengan. ."
"Jabir?" potong Marni.
"Bukan. Aku berdampingan dengan Bu Haji Bakir, nenek Jabir. Wah, malu. ."
"Beliau mau bicara denganmu?"
"Mau. Malah lebih dari itu. Aku diajak singgah ke rumahnya. Beliau juga memuji
bacaan Quranku. Dan Ibu tahu tentang kain kerudungku yang berwarna biru, bukan?"
"Ya, tahu. Pemuda yang sedang pacaran memang suka memberi hadiah kecil-kecilan."
"Ah, Ibu salah terus. Kain kerudung itu bukan hadiah dari Kak Jabir."
"Lalu?" "Dari neneknya, buat aku."
Marni tersenyum. Anehnya Tini agak tersinggung karena tidak yakin akan arti
senyum ibunya. "Kenapa Ibu tersenyum?"
Marni cepat sadar bahwa anaknya mudah merasa dilecehkan. Untung ibu yang bijak
itu bisa mengalihkan perhatian Tini.
"Tidak mengapa, Tini. Aku hanya sedikit heran bila mengingat Jabir. Dia lebih
suka menjadi sopir truk kakeknya daripada bersekolah. Padahal bila dia mau,
biaya pasti tersedia sampai ke mana pun dia menuntut pelajaran."
"Ibu kan tahu, Kak Jabir seperti aku; anak tiri."
"Tetapi dia tinggal bersama kakeknya, kan" Lagi pula Haji Bakir tampaknya begitu
sayang kepadanya. Oh, lupakan semua, Tini. Yang penting aku tahu pacarmu itu
bukan sembarang sopir. Tentu saja."
Tini tersenyum malu-malu. Jabir memang bukan sembarang sopir. Dia cucu orang
kaya yang sengaja memilih bekerja sendiri. Terkadang Jabir berhari-hari mondar-
mandir dengan truk milik kakeknya itu. Jabir menjual pasir, batu kali, atau 19
tahi kuda. Yang terakhir itu untuk melayani permintaan para petani sayuran dan
tembakau. Atau kadang Jabir menembak tupai di kebun kelapa kakeknya yang sangat
luas. Kulit binatang itu dikelupasi dan dijemur. Setelah kering kulit itu akan
menutupi sebagian besar kamar tidurnya. Jumlah korban buruannya memang bisa
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mencapai puluhan ekor. Jabir juga pernah meminta kakeknya tidak menjual belasan ribu buah kelapa yang
telah memenuhi tempat penimbunan. Anak urakan itu memimpikan sebuah kilang
pengolahan minyak goreng. "Aku bisa memperoleh kredit bank untuk membiayai
pembangunan kilang itu," pikir Jabir. Dan orang boleh tidak pereaya bahwa yang
kemudian datang berbicara dengan Jabir adalah para tengkulak kelapa, bukan
pegawai bank. Timbunan kelapa milik kakek dijual habis. Dua hari kemudian motor
Jabir berganti dengan yang baru. Dan Haji Bakir hanya tersenyum melihat ulah
cucunya. Itu Jabir, si urakan yang punya daya pikat terlalu kuat bagi semua
gadis di Pegaten. Tak pelak lagi Tini.
Malam yang sangat menggelisahIcan Tini; besok ia akan pergi ke kota, ke rumah
Paman Gono. Tini tidak meragukan kabar itu. Ayahku, yang hanya hidup dalam
angan-angan selama belasan tahun, pasti sudah berada di sana. Tadi sore Ibu
sudah memberinya bekal. Tini tahu, sebenarnya Ibu juga ingin segera memperoleh
kepastian tentang kepulangan Ayah.
Kegembiraan Tini makin mengembang ketika Jabir datang. Bajunya putih lengan
panjang tanpa leher. Kain sarungnya hijau tua dan kopiahnya baru. Sayang, cucu
Haji Bakir itu hanya sebentar menemui Tini. Ia bangkit minta diri setelah
menyerahkan sebuah bingkisan. Ini oleh-oleh pamanku dari Mekah untuk kamu dan
Ibu. Isinya dua sajadah. Aku senang bila kamu dan Ibu salat di atas sajadah
itu." Agak larut malam Tini baru bisa tidur. Tetapi ibunya tetap terjaga dan mendengar
kentongan dipukul satu kali. Kedua anaknya yang masih kecil sudah lama lelap.
Dan Marni keluar kamar, ingin menyendiri. Namun ia tak tega melihat Parta yang
mendadak terjaga dan napasnya tersengal-sengal. Bengeknya kambuh. Udara dingin
agaknya ikut memperburuk keadaan Parta. Marni membantu suaminya minum obat
pelonggar saluran napas. Setengah jam kemudian lelaki yang lemah itu tertidur
setelah tubuhnya mengeluarkan keringat seperti orang habis berpacu lari.
Marni kini terjaga seorang diri. Berjalan mengelilingi ruang tengah, duduk dekat
mesin jahit, dan bangkit lagi demi melihat kedua anaknya di kamar. Kentongan di
balai desa dipukul dua kali. Dan Marni makin gelisah. "Apa yang sebaiknya
kulakukan bila Mas Karman, bekas suamiku itu pulang" Bekas suami" Apakah aku
benar-benar pernah bercerai dari dia?"
Pertanyaan-pertanyaan itu mengepung dan terus menyudutkan Marni. Karena merasa
terdesak oleh pertanyaan yang mengembang di hati sendiri, Marni pernah ingin
menjawabnya dengan lugas.
20 "Demi menjaga perasaanku maupun perasaan dia; aku tidak akan menemui Mas Karman
bila dia sampai ke kampung ini."
Namun ketetapan itu tak bertahan lama. "Apa kata senma orang nanti apabila aku
tak mau menemui Mas Karman; mereka akan mengatakan aku perempuan yang tak punya
perasaan. Tak patut. Lagi pula aku membohongi diriku sendiri.
Aku ternyata tak bisa melupakan ayah Tini itu. Karman satu-satunya lelaki yang
telah mengisi keindahan masa mudaku. Dialah orang yang pernah kuserahi segalanya
yang ada padaku. Secara pribadi, kepadaku dia tidak bersalah sedikit pun. Dia
memang meninggalkan aku dalam penderitaan selama dua belas tahun; namun aku tahu
hal itu bukan kehendak dia. Ya Tuhan, aku kini bukan istri Karman.
Kini aku istri Parta yang sah. Lalu aku harus bagaimana karena Mas Karman masih
ringgal di hatiku" Dan aku akan bertemu dia besok atau lusa, jadi aku harus
bagaimana?" Marni bankit karena tersadar oleh bunyi kentongan tiga kali. Mula-mula ia
berjalan menuju kamar suaminya. Dipandangnya Parta yang tetap tertidur di bawah
cahaya lampu minyak, dengan tarikan-tarikan napas yang berat. Dalam tidurnya
pundak lelaki itu tampak naik dan agak lengkung ke depan, ciri utama seorang
penderita penyakit napas yang menahun. Tulang pelipis dan tulang pipinya
menonjol. Entahlah, tiba-tiba ada rasa tak suka terhadap suami yang telah
memberinya dua anak itu. Dan sebelum perasaan demikian mengembang menjadi
kebencian, Marni memalingkan wajah ke dipan sebelah. Di sana kedua anaknya, anak
Parta, lelap dalam wajah tanpa dosa. Itu, wajah-wajah kesucian. Marni hanya
bergerak membetulkan kain yang menutup tubuh anak-anaknya, dan keluar menuju
kamar Tini. Ditatapnya wajah Tini dengan matanya, dengan hatinya, dengan seluruh
perasaannya. Dari sosoknya, Marni melihat Tini adalah titisan Karman. Bentuk
hidung dan alis Tini itu. Juga rona kulitnya. Dan dari segi keberadaannya, Marni
tidak hanya melihat Tini sebagai titisan ayahnya. Gadis yang sedang lelap dalam
kedamaian itu adalah buah dan makna kebersamaan yang total antara dirinya dengan
Karman. Mendadak dada Marni terasa menyesak. Air matanya berjatuhan.
Dalam isaknya, Marni mengeluh. "Oh, Tini anakku. Kamu tidak tahu siapa
sebenarnya orang yang paling merindukan ayahmu."
Marni menghapus air mata, dan perlahan keluar dari kamar Tini. Termangu
sebentar, telinganya mendengar kokok ayam jantan pertama. Entahlah, suara kokok
itu membawa suasana jernih dan kudus. Ada ketenangan merambah hati, membuat
Marni teringat sesuatu. Diambilnya lampu tempel. Pintu samping berderit ketika
Marni membukanya. Marni ingin mengambil air sembahyang.
Di kamar pesalatan Marni berusaha mencari kesadaran tertinggi agar bisa
berdekat-dekat dengan Tuhan. Ia bersimpuh dan merasa begitu kecil dan lemah.
Namun dalam kesadaran akan kelemahan itulah Marni menemukan sikap yang 21
akan ditempuhnya. "Besok, aku akan bertawakal; membiarkan apa yang harus
terjadi, terjadilah."
Marni lega. Ternyata, kepasrahan telah menyebabkan sebagian besar beban
pikirannya lenyap. Kokok ayam jantan yang terdengar makin ramai, monyebabkan Marni ingin mengakhiri
salatnya. Ia berdiri. Dan mendadak termangu. Sepotong rekaman masa lalu tiba-
tiba berputar dengan sangat jelas di depan matanya.
Waktu itu usia perkawinannya dengan Karman baru mencapai bulan yang keempat.
Suatu malam, ketika Karman tertidur nyenyak di sampingnya, Marni masih terjaga
dan gelisah. Marni sangat menginginkan sesuatu tetapi setiap kali menoleh ke
samping, suaminya tetap nyenyak. Karman memang lelah dan lemas sehingga tidurnya
sangat pulas. Marni menangis karena merasa tak dipedulikan.
Menangis karena keinginannya akan sesuatu hampir tak tertahankan. Maka, dengan
melawan perasaannya Marni memberanikan diri membangunkan Karman. Ke telinga
suaminya itu Marni berbisik pelan, pelan sekali karena kamar mereka bersebelahan
dengan kamar mertua. "Mas. . Mas Karman. .!"
Karman menggeliat dan kemudian membuka mata.
"Ya. .?" "Mas. ." "Ya" Mengapa kamu menangis?"
Marni diam. Ia membalikkan tubuh, tetapi kemudian berputar kembali. Karman
bingung. Macam-macam dugaan memenuhi kepalanya.
"Kamu sakit" Perutmu sakit?"
Marni menggeleng. "Aku ingin, Mas, aku ingin. ."
Karman menatap Marni. Samar, karena matanya baru terbuka, Karman melihat wajah
istrinya. Ya, wajah itu menyiratkan Marni sedang menuntut sesuatu. "Ah, ya,"
pikir Karman. "Jangan khawatir. Aku lelaki tulen." Karman merasa ada tagihan
terhadap kelelakiannya. Maka suami muda itu pun bersiap. Tetapi kemudian
tertegun karena Marni tiba-tiba mengambil sikap tengkurap sambil memeluk bantal
erat-erat. Tangisnya malah makin menjadi.
"Mas, aku kepengin kedondong. Itu, pohon kedondong di belakang rumah sedang
berbuah. Ambilkan sekarang, Mas. Sekarang!"
Marni terus terisak. Karman memerlukan waktu setengah menit untuk menyadari apa
yang benar-benar didengar dari mulut istrinya. Kedondong" Larut malam begini
Marni kepengin kedondong"
"Bukan main! Tetapi baiklah. Akan kuambilkan sekarang."
22 Karman turun dari tempat tidur. Kain sarung digulungnya di perut, terus
melangkah ke pintu belakang. Marni ikut bangkit, namun hanya untuk duduk di
pinggir tempat tidur. Di belakang rumah memang ada pohon kedondong muda yang baru kali pertama
berbuah. Batangnya masih kecil, buahnya pun tidak lebat. Tetapi untuk
mendapatkan buah masam itu Karman harus menemukan galah. Tetapi di malam gulita,
galah atau tangga bambu sulit didapat. Celakanya, Karman juga tak pandai
memanjat pohon. Bingung karena merasa harus mendapat buah kedondong, Karman mengusap-usap
keningnya. Ah, suami muda itu masuk kembali ke rumah dan keluar lagi dengan
sebuah golok di tangan. Tanpa pikir macam-macam, pohon yang tidak seberapa besar
itu ditebangnya. Tumbang. Suaranya membuat Bu Mantri - ibu Karman - dan para
tetangga terbangun. "Karman, kamu gila" Malam begini kamu menebang pohon?" seru Bu Mantri sambil
mengucek-ucek mata di depan pintu. Yang ditanya hanya tersenyum, tanpa menoleh.
Sebuah bakul dipenuhinya dengan kedondong yang jadi berserakan di tanah. Sambil
berjalan masuk ke rumah, Karman memberi aba-aba kepada ibunya.
Bu Mantri maklum. Anak dan ibunya kemudian tertawa bersama.
"Oh, Karman, istrimu ngidam" Aku hampir punya cucu" Dan kamu lelaki yang tak
bisa memanjat pohon?"
Selesai berkata demikian Bu Mantri berjalan cepat mendahului Karman. Masuk kamar
menantu, dan Marni dicium, Marni diusap-usap rambutnya. Bu Mantri menyayang-
nyayang seakan Marni seorang gadis kecil yang sedang merajuk. Oh, sang menantu
jadi sangat kikuk. Sampai pagi mulut Marni tak berhenti mengunyah kedondong. Kadang-kadang Karman
ikut mencicipi karena Marni mendesaknya. Tetapi sesungguhnya Karman hanya ingin
melayani Marni; mengupaskan buah masam itu, mengiris menjadi potongan kecil-
kecil atau malah menyuapkannya. Saat itu Marni benar-benar merasakan keindahan
hidup bersama Karman. Karman lahir di Pegaten pada tahun 1935. Ayahnya seorang mantri pasar di sebuah
kota kecamatan. Waktu itu gaji seorang mantri pasar bisa diandalkan untuk
mencukupi kebutuhan rumah tangga. Hampir semua warga desa Pegaten adalah petani.
Maka ayah Karman sangat bangga akan jabatannya sebagat pegawai gubermen.
Dia tak suka dipanggil dengan nama aslinya. Itulah sebabnya orang Pegaten hampir
lupa siapa nama ayah Karman yang sesungguhnya. Sehari-hari lelaki yang selalu
bertopi gabus itu biasa dipanggil sebagai Pak Mantri. Dan karena begitu
membanggakan kepriyayiannya, Pak Mantri merasa dirinya tak pantas menggarap
sawah. Padahal dia punya satu setengah hektar warisan orangtuanya. Setiap tahun
sawah Pak Mantri disewakan kepada petani penggarap.
23 Pada masa pendudukan Jepang, orang-orang Pegaten mengalami masa yang sangat
sulit. Kurang pangan terjadi di mana-mana karena padi orang kampung dijarah oleh
tentara Jepang. Kemarau selama sembilan bulan juga ikut menyengsarakan semua
orang. Di Pegaten, orang sudah beruntung apabila masih bisa makan ubi-ubian, tak
terkecuali keluarga Pak Mantri. Priyayi itu sangat tersiksa, bukan hanya karena
harus makan ubi. Menurut keyakinannya, seorang mantri hanya pantas makan nasi
dari beras kualitas terbaik. Ubi tak pantas dihidangkan kepada Pak Mantri, baik
pada zaman normal maupun pada zaman Jepang.
Dalam kesulitan memperoleh beras, Pak Mantri mengetahui bahwa Haji Bakir
berhasil menyembunyikan sebagian padinya sehingga luput dari jarahan tentara
Jepang. Dengan keyakinan bahwa dirinya hanya pantas makan nasi, Pak Mantri
menemui Haji Bakir. Mantri pasar itu ingin melakukan tukar-menukar; ia akan
memberikan sebagian sawahnya dan Haji Bakir diminta memberinya padi. Dalam
suasana kurang pangan yang amat rawan itu, padi memang menjadi benda yang amat
mahal. Pada mulanya Haji Bakir tidak ingin melayani ajakan Pak Mantri. Karena, padi
yang berhasil ia sembunyikan sebenarnya tak seberapa, malah diperkirakan tak
cukup untuk keperluan keluarga besarnya. Namun karena terus didesak, juga karena
takut rahasia simpanan padinya dibocorkan, akhirnya Haji Bakir mengalah. Dan
terjadilah tukar-menukar itu. Sebagian sawah Pak Mantri ditukar dengan lima
kwintal padi. Belum lagi lima bulan, padi milik Pak Mantri yang diperoleh dari tukar-menukar
itu habis. Menyusul kemudian tukar-menukar yang kedua, dan akhirnya habislah
warisan milik priyayi Pegaten itu. Namun tak mengapa. Pak Mantri sangat yakin
akan tiba kembali zaman normal. Ia akan kembali menjadi mantri pasar, duduk di
gardu atau mengedarkan karcis retribusi, dan menerima gaji setiap akhir bulan.
Sialnya masa lalu yang ditunggu Pak Mantri tak pernah kembali.
Kemudian pecah perang kemerdekaan. Tatanan kemasyarakatan porak-poranda. Pasar
seakan bubar. Masyarakat terbelah dua; satu ikut Republik, dan sebagian kecil
lainnya ikut pemerintaban sipil Belanda yang sedang dicoba kembali ditegakkan.
Pak Mantri, karena cinta kepada kepriyayiannya, tidak ikut barisan Republik yang
di Pegaten dimotori oleh pemuda kampung dan para santri. Namun pilihan Pak
Mantri salah. Dia tak pernah kembali jadi mantri pasar karena para pemuda
pejuang membawanya ke hutan. Ayah Karman itu tak pernah terlihat kembali oleh
anak-istrinya. Sepeninggal ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan seorang adik perempuan
yang masih kecil. Sebenarnya Karman punya dua kakak lelaki. Tetapi keduanya
meninggal dalam bencana kelaparan pada zaman Jepang. Keadaan keluarga Karman
amat menyedihkan. Apalagi setelah terjadi kekerasan oleh tentara 24
Belanda di Pegaten tahun 1948. Bersama ibu dan adiknya, Karman pergi mengungsi
jauh ke pedalaman. Belanda lalu membuat markas pertahanan di Pegaten.
Setelah datang masa aman Karman dan ibunya pulang ke Pegaten. Masa kurang pangan
berakhir. Namun Karman kecil harus menerima kenyataan bahwa dia dan ibunya sudah
tak punya apa-apa lagi. Untunglah, karena panen padi selalu bagus maka orang
Pegaten kurang peduli terhadap ubi dan singkong di ladang mereka.
Maka Karman yang masih bocah biasa mengumpulkan singkong dari ladang orang dan
dibawa pulang sebagai bahan makanan. Singkong direbus, singkong ditanak, atau
malah singkong cukup dibenam dalam api sampai empuk; semuanya cukup buat
mengganjal perut Karman bersama ibu dan adiknya.
Hingga dua tahun lamanya Karman hidup dengan singkong. Hanya sesekali dia
menemukan sebungkus nasi, itu pun bila dia punya kesempatan bermain dengan
Rifah, anak bungsu Haji Bakir. Rifah masih kecil, usianya beberapa tahun lebih
muda daripada Karman. Banyak cara bisa dilakukan agar Karman bisa bermain dengan
gadis cilik itu. Untuk Rifah, Karman harus punya sesuatu yang menarik hatinya.
Misalnya mainan baling-baling yang terbuat dari daun kelapa. Tanpa dipancing-
pancing, jika Rifah metihat mainan itu, pasti dia akan memintanya. Rifah yang
agak dimanjakan biasa memperoleh apa saja yang dikehendakinya.
"Wah, mainan kamu bagus. Buat aku, ya!" kata Rifah kepada Karman suatu hari.
"Oh, jangan," jawab Karman. Ia pura-pura bertahan.
"Tapi aku ingin mainan kamu itu," sambung Rifah. Gayanya khas seorang anak yang
terbiasa dimanja. Karman tahu Rifah akan memberikan apa saja apabila ia diberi
baling-baling mainan itu. Itulah yang biasa terjadi.
"Kamu pulang dulu. Kamu ambil nasi buat aku. Nanti baling-baling ini buat kamu."
Rifah gadis kecil yang segar. Betis dan pundaknya montok. Kedua pipinya padat
dan matanya bulat tajam. Mendengar permintaan Karman, ia lari gesit seperti
tupai. "Tentu dia gesit. Setiap hari dia makan nasi sampai kenyang," Karman iri.
Tak berapa lama Rifah muncul kembali, dan tanpa sebungkus nasi di tangannya.
Karman sangat kecewa. Anak lelaki itu beberapa kali mendan ludah. Perutnya
melintir perih. Tetapi wajah Karman berubah terang setelah mendengar ucapan
Rifah. Ada harapan. "Ibu meminta kamu datang ke sana. Adik kamu diminta datang juga."
Yakin akan mendapat sebungkus nasi yang sangat diharapkan, Karman menyerahkan
baling-baling daun kelapa itu kepada Rifah. Gadis kecil itu tertawa dan
melompat-lompat gembira. 25 Di dapur rumah Haji Bakir sudah tersedia dua piring nasi dengan lauk-pauknya.
Bu Haji menyilakan Karman dan adiknya makan. Rifah sendiri lenyap entah ke mana
bersama mainan barunya. Diam-diam Bu Haji memperhatikan Karman dan adiknya. Kedua anak yatim itu makan
dengan sangat lahap. Mungkin mereka sudah beberapa bulan hanya bertemu singkong
dan kini mereka menghadapi sepiring nasi.
Bu Haji menarik napas panjang. Tiba-tiba perempuan itu merasa malu kepada diri
sendiri. "Mengapa sampai sejauh ini aku baru sadar ada dua anak yang wajib
kusantuni?" keluhnya. "Seharusnya sejak dulu kuperhatikan kedua anak yatim ini."
Hari-hari selanjutnya, Karman dan adiknya mendapat perhatian cukup dari keluarga
Haji Bakir. Selalu ada pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan Karman
sementara anak itu momong adiknya. Dengan memberi pekerjaan kecil, Bu Haji
bermaksud mendidik Karman bekerja sehingga ia tidak terbiasa bergantung kepada
pemberian orang. "Manakala mengaji berangkatlah lebih awal. Bantulah kami
menyalakan lampu-tampu atau menyapu lantai mesjid. Kita dapat makan bersama
sesudah itu." Atau, "Sambil mengajak adikmu bermain, berilah makan ikan-ikan di
kolam kami. Kamu suka makan pagi dengan lauk ikan mujair goreng, bukan?"
Tanpa terasa akhirnya Karman seakan menjadi anggota keluarga Haji Bakir. Ia
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sering terlihat mengiringkan gerobak yang mengangkut kelapa yang baru dipanen
dari kebun Haji Bakir. Petani kaya itu merasa puas, karena kalau menyangkut
panen kelapa, Karman selalu teliti. Sering anak yang pintar itu melapor, panen
kelapa kali ini berjumlah 836 buah. Sejumlah 43 buah rusak dimakan tupai. Dalam
perjalanan, anak-anak nakal naik ke atas gerobak dan membawa lari 3 buah. Jadi
sampai ke gudang tinggal 790 buah."
Tiga tahun berjalan. Setelah adik Karman bisa bermain sendiri, Bu Haji Bakir
menemui Bu Mantri. Mereka ingin membicarakan dan mencari kesepakatan tentang
Karman. Terjadi persetujuan antara kedua perempuan itu: Karman yang saat itu
sudah mencapai usia tiga belas tahun akan tinggal bersama keluarga Haji Bakir.
Meski belum dewasa, Karman akan dianggap bekerja penuh pada keluarga kaya itu.
Pangan dan pakaian sehari-hari Karman ditanggung, dan sehabis panen Karman
berhak menerima tiga kwintal padi sebagai upah tahunan.
Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah memperlakukan Karman sebagai pembantu
rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu diberi kesempatan menamatkan
pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua tahun ditinggalkannya. Pekerjaan
yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan sederhana yang bisa diselesaikan
oleh anak seusianya; mengantarkan makanan bagi orang yang sedang bekerja di
sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan di kolam, dan melayani si
manja Rifah. Si bungsu bertambah ceria. Sekarang di rumahnya tinggal seorang
anak yang harus mau disuruhnya mencari bulu jagung untuk membuat boneka, 26
mengumpulkan buah saga untuk bermain pasar-pasaran. Atau terjun ke air jika bola
Rifah masuk ke kolam. Namun karena hendak menolong Rifah, Karman pernah mengalami kejadian yang hampir
mencelakakan dirinya. Haji Bakir membeli seekor kambing jantan besar. Idul Qurban hampir tiba.
Kambing itu berwarna hitam, bersurai dan berjanggut panjang. Sepasang tanduknya
sebesar lengan Karman. Pohing, anak tetangga Haji Bakir yang mempunyai seekor
kambing jantan berwarna putih, ingin membuat pertunjukan. Ia ingin membuktikan
bahwa kamhingnya juga hebat, tak mungkin dikalahkan oleh kambing Haji Bakir.
Binatang-binatang jantan itu didekatkan schingga keduanya berlaga sangat seru.
Terjadilah. Anak-anak banyak berkumpul. Rifah datang bersama Karman. Bukan main
senang anak-anak melibat kedua kambing itu saling membenturkan tanduk mereka.
Mula-mula keduanya berdiri pada sepasang kaki belakang. Kepala sedikit
dimiringkan. Lalu serentak mereka menjatuhkan kaki depan sambil mengadu tanduk
mereka. Suaranya keras dan mengerikan.
Kambing Pohing tidak bertahan lama. Kibas berbulu putih itu lari. Kambing Haji
Bakir penasaran, lalu mengamuk. Matanya jalang. Tiba-tiba ia mengambil ancang-
ancang hendak menyerang seorang gadis kecil yang berbaju putih. Mungkin binatang
itu mengira Rifah adalah lawannya yang telah lari. Karman maju melindungi Rifah
yang menjerit dengan muka biru. Kedua tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena
tenaganya kalah kuat Karman terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu.
Tapi Karman bertahan sampai beberapa orang dewasa bertindak. Rifah masih
menggigil ketakutan ketika diangkat oleh Haji Bakir.
Tampaknya Karman baik-baik saja kecuali goresan kecil di betisnya. Namun pada
malam harinya ia tidak kelihatan di mesjid. Sekujur tubuhnya terasa sakit.
Belikatnya terkilir sehingga keesokan harinya ia tak bisa bekerja.
Karena merasa tidak enak menganggur di rumah Haji Bakir, Karman minta permisi
pulang ke rumah ibunya sampai badannya segar kembali. Bu Mantri memanggil tukang
pijat. Rifah datang membawa banyak makanan, tetapi gadis cilik itu merasa sulit
berbicara dengan Karman. Namun wajah Rifah berseri-seri ketika melihat Karman
mengupas pisang ambon yang dibawanya.
"Aku ingin Karman mengerti bahwa aku sangat berterima kasih kepada dia,"
kata Rifah dalam hati. "Tetapi aku malu mengatakannya, jadi aku diam saja. Wah,
sungguh kasihan Karman. Dia sampai terbanting-banting karena ingin melindungi
aku." Hanya tiga hari Karman tinggal di rumah ibunya. Ia cepat sehat kembali. Kepada
teman-teman sepermainan, Rifah sering bercerita bahwa entah apa jadinya bila
Karman tidak menahan kambing yang mengamuk itu.
Hampir musim panen. Anak-anak di Pegaten mulai meniup-niup puput. Di pagi hari
burung-burung gelatik dan murai terbang berkelompok-kelompok menuju 27
sawah. Musim ini panenan baik. Orang-orang yang tidak mempunyai sawah ikut
senang. Mereka ikut menuai. Dari hasil tuaian itu mereka berhak atas sepertujuh
atau seperdelapan bagian. Selebihnya menjadi hak pemilik sawah.
Karman tahu Bu Mantri, ibunya, tak pandai menuai. Jadi bagaimanapun baiknya
panen musim itu, Bu Mantri tidak akan mendapat bawon, yaitu upah menuai padi.
Padi yang diterima dari Bu Haji Bakir sebagai upah Karman sudah habis, karena
sebagian dijual untuk keperluan lain. "Tak pantas pada waktu panen seperti ini
ibuku tak punya beras. Sebaiknya aku ikut menuai padi agar ibuku sempat
merasakan nasi yang empuk."
Sebelum berangkat tidur di serambi mesjid bersama kawan-kawannya, Karman
menghadap Bu Haji Bakir. Sekali lagi ia minta permisi barang empat-lima hari,
mulai besok pagi. Bu Haji Bakir tak kuasa menahan Karman. Perempuan itu sadar
bahwa masa panen adalah masa istimewa bagi semua anak kampung. Maka Karman
diberinya kesempatan ikut terjun ke sawah untuk melak-sanakan kepentingan
sendiri. Karena mendapat izin menuai padi untuk diri sendiri, malam itu Karman sulit
tidur. Dia baru terlelap hampir tengah malam. Namun ketika ayam jantan mulai
berkokok Karman sudah terjaga. Anak-anak yang tidur di serambi mesjid meng-hafal
dua suara yang menandakan fajar telah tiba; kicau burung sikatan di atas kolam
mesjid atau bunyi terompah kayu Haji Bakir. Pohing yang selalu bangun lebih dulu
mengguncang kaki teman-temannya. "He, bangun. Bangun! Nanti ka-lian diperciki air oleh Pak Haji!" Begitu cara Pohing membangunkan
Karman dan selusin anak lainnya.
Bunyi derek timba mengawali hiruk-pikuk di sumur. Anak-anak mulai bermain
ciprat-cipratan air. Dan suasana baru reda bila Haji Bakir datang.
"Hayo, jangan bergurau. Bersucilah! Matahari hampir terbit."
Pada saat seperti itu tentu Haji Bakir tidak tahu anak-anak sering bermain
kotor. Seorang anak yang telah mandi dan bersuci didekati oleh lainnya yang masih
bugil. Si bugil akan menyambar ta-ngan anak pertama, lalu disentuhkan ke kubul sehingga
pemilik tangan itu batal wudunya.
Demikianlah sumur mesjid itu selalu ramai oleh gurau anak-anak selagi fajar
merekah di timur. Hiruk-pikuk baru berakhir apabila sembahyang subuh sudah
dimulai. Dan ketika jamaah yang tua-tua masih berzikir sehabis sembahyang, anak-
anak sudah bubar berhamburan. Mereka kembali ke ru-mah masing-masing dengan
gurauan yang gembira. Gumpalan-gumpalan cadas di puncak Bukit Kendeng di sebelah selatan Pegaten mulai
tampak dengan jelas. Matahari sudah menyorotkan sinarnya ke sana. Tapi di
kampung itu kampret-kam-pret baru saja masuk ke lubang kayu atau kuncup daun
pisang. Kabut tipis masih membayangi sawah luas dengan padinya yang menguning.
28 Sepagi itu Karman keluar dari rumah ibunya dengan caping bambu menutup
kepalanya. Di ba-gian bawah caping itu terselip ani-ani. Ia tidak lupa membawa
pikulan bambu yang akan diguna-kan untuk membawa ikatan-ikatan padi dari sawah
ke rumah pemiliknya. Kalau Karman dapat tujuh ikatan ia akan membawa pulang
satu. Tetapi ia tidak yakin. Ia belum dapat menggunakan ani-ani dengan cepat.
Di gang yang menuju ke sawah, Karman ber-temu dengan para penuai lainnya.
Mereka berjalan seraya tertawa-tawa. Sungguh, banyak orang Pega-ten yang tertawa
pada waktu penen tiba. "Ke sawah siapa kita pergi?" kata seseorang kepada temannya.
"Ke sawah Pak Dulah," jawab yang lain.
"Benar, aku setuju. Pak Dulah menanam padi bengawan. Nasinya wangi dan pulan.
Dimakan dengan sambal bunga pisang kuah santan, wa-duh. ."
"Pergilah kalian ke sana," sahut seseorang. "Aku memilih sawah Santika. Padinya
rojolele. Batangnya tumbuh tidak terlalu rapat, tidak roboh. Sebentar saja kita
bisa dapat banyak tuaian. Pagi-pagi sarapan nasi rojolele yang masih hangat,
lauknya oseng jagung muda, oh. ."
"Dengar," sera laki-laki yang bercaping lebar. "Sawah Pak Dulah dan Santika amat
jauh di tengah. Di sana akan kautemui lintah sebesar tanduk kerbau. Yang bodoh
akan pergi ke sana. Tapi aku akan ke sawah Sanawi!"
"Sawah Sanawi" Oh ya, itu cocok bagimu. Sanawi menanam padi mundung.
Nasinya merah dan tidak dapat kausuap kecuali dengan sendok besar. Karena pera,
sekilo beras mundung sudah cukup membuat tujuh anakmu kenyang. Jangan lupa,
lauknya gulai keladi kemarin sore. Ho. ."
Entah apa alasannya, ternyata kelompok penuai itu berbelok menuju sawah Sanawi,
tak satu pun yang menyimpang. Memang sawah Sanawi terletak di pinggir kampun,
agak tinggi. Lumpurnya sudah mengeras, karena Sanawi menutup pintu air sepuluh
hari yang lalu. Keadaan demikian amat disukai oleh para penuai. Tak heran, makin
banyak saja penuai yang datang, hingga Sanawi merasa kewalahan.
Ia berjalan keliling pematang, waspada kalau ada penuai yang curang. Sering
ditemukan ikatan padi sengaja disembunyikan di balik jerami.
Meskipun banyak orang di sawah itu, yang terdengar hanya suara puluhan ani-ani
yang menggerek tangkai padi serta suara sibakan jerami. Atau suara burung ciplak
yang sedih karena sarangnya di tengah rumpun jerami rusak oleh para penuai.
Setiap orang ingin memperoleh hasil sebanyak-banyaknya. Mereka bekerja keras
tanpa bicara, tak terkecuali Karman yang jarinya sudah terluka oleh mata ani-
ani. Hari sudah panas ketika Karman melihat seorang perempuan berdiri di bawah pohon
dadap di tepian sawah. Kinah sedang membujuk bayinya agar cepat tidur.
Perempuan itu merasa cemas karena panenan sawah si Sanawi itu hampir usai.
Apabila Kinah belum juga ikut turun ia bisa kehilangan peluang mendapat bawon.
29 Burung branjangan terbang tinggi mengitari para penuai yang sedang sibuk
memotong tangkai bulir-bulir padi. Suaranya renyah. Unggas itu terkenal pintar
menirukan suara burung-burung yang lain. Segumpal awan tiba-tiba mengelilingi
matahari. Sejuk, walaupun sejenak. Bayi Kinah tertidur, mungkin karena lelah
mengisap tetek ibunya yang kempis. Dengan sebelah tangan, Kinah menggelar
kainnya di atas tanah. Bayinya ditidurkan. Kemudian perempuan itu bangkit,
menarik napas lega. Diambilnya ani-ani yang terselip di kondenya. "Akhirnya aku
mendapat peluang memperoleh sedikit bawon," gumam Kinah sambil bergerak terjun
ke sawah. Tak ada tudung menutupi kepala perempuan itu. Sebentar saja mukanya merah dan
kepalanya pusing oleh sengatan matahari. Kebayanya dilepas untuk digunakan
sebagai penutup kepala. Sekarang di bagian atas tubuh Kinah hanya ada kutang. Di
matanya sudah terbayang sepincuk bubur beras untuk bayinya. "Aku tak ingin
menyuapinya dengan singkong bakar lagi. Anakku harus ikut menikmati enaknya
nasi." Suara puluhan ani-ani masih terdengar seperti bunyi serangga yang rakus. Semua
orang seperti sedang berlomba adu cepat memainkan ani-ani demi bawon yang lebih
banyak. Kemudian, mengapa tak seorang pun sadar bahwa pada saat yang sama kuasa
Tuhan sedang menggerakkan seekor binatang kecil di bawah keteduhan pohon dadap
itu. Seekor semut merah bergerak di antara hilang dan tampak, meraba-raba dengan
sepasang sungut halus yang mencuat di kepalanya. Mula-mula serangga kecil itu
merayap di atas permukaan daun kering yang luruh, lalu menyelinap di bawahnya.
Sekarang sampailah ia pada ujung kain yang digelar Kinah. Sejengkal lebih jauh
semut itu menemukan benda hidup yang baginya berukuran amat besar.
Dengan sungutnya ia meraba-raba, lalu kembali menjauh. Ia menuniti hukum yang
berlaku bagi semut sejenisnya; apabila menemukan mangsa yang besar ia harus
mengundang sebanyak mungkin teman.
Semut merah itu tiba-tiba berubah perangai. Ia bergerak lebih cepat, lebih
bersemangat. Jalannya menempuh lintasan yang patah-patah. Teman yang berhasil
dijumpai diberitahu dengan bahasa ketukan. Semut kedua ini pun tiba-tiba
mengubah perangai seperti semut pertama dan seterusnya. Maka hanya dalam
beberapa menit tempat teduh di bawah pohon dadap itu penuh semut merah dan
bergerak ke arah yang sama: bayi Kinah.
Anggaplah peristiwa yang kemudian terjadi merupakan kejadian kecil dan alami,
suatu peristiwa yang menyangkut semut-semut merah dan seorang bayi. Namun
peristiwa ini akan menggetarkan jiwa Karman. Akan terbukti ketak, kejadian kecil
ini mempunyai andil amat besar dan mampu mengubah sikap hidup Karman sampai ia
harus mengalami pembuangan selama dua belas tahun di Pulau B.
Puluhan, atau ratusan semut merah sudah merayapi hampir seluruh tubuh bayi
Kinah. Seekor di antaranya sudah sampai ke ujung kulup bayi yang sedang nyenyak
30 itu. Mungkin karena sepersekian persen air seni yang melewati lubang kulup
adalah gula, maka semut di sanalah yang pertama kali menggigit. Si semut
tentulah tidak bermaksud menyakiti si buyung. Namun bayi Kinah menggeliat karena
kenyenyakan tidurnya terusik. Dan pada saat yang sama ratusan semut merah di
sekujur tubuh si buyung menggigit serentak. Gatal, perih, dan panas. Tangis si
bayi langsung berupa jerit yang mengentak, melengking tinggi, putus, lalu
senyap. Si buyung tak mampu mengembalikan napas dan mulutnya tetap ternganga.
Hampir setengah menit lewat, keadaan tidak berubah. Kecuali kulit bayi itu yang
lama-lama berubah menjadi biru karena kurang zat asam.
Karman bingung, amat bingung menghadapi perkembangan yang terjadi.
Ternyata semua orang yang ada di sawah Sanawi hanya menoleh sebentar ke arah
suara jerit bayi Kinah, kemudian asyik kembali dengan ani-ani mereka. Bahkan, ya
bahkan, Kinah sendiri tidak segera menghentikan pekerjaannya. Memang Kinah
kemudian bergerak ke arah bayinya, namun hanya dengan langkah lamban dan malas-
malasan. Sangat jelas Kinah tak ingin menghentikan ani-ani nya. Hasil tuaiannya
belum cukup memenuhi genggamannya, maka berapa sepertujuhnya yang akan dia
terima sebagai upah"
Nyai Nusi yang berada di sebelah kanan Karman kelihatan berkali-kali menelan
ludah. Mata Nyai Nusi berkaca-kaca. Andaikan Karman bisa mendengar keluhan
perempuan tua itu. "Oh, buyung. Aku juga seorang ibu. Aku amat pilu mendengar
tangismu dan ingin segera menolongmu. Tapi mengapa Kinah melahirkan kamu padahal
ibumu itu tak punya suami" Sesungguhnya kamu tidak bersalah meski kamu lahir
dengan ayah yang tak jelas. Soalnya, aku dan semua orang di sini tak ingin
dikatakan tidak membenci percabulan." Air mata Nyai Nusi kembali meleleh.
Karena melihat Kinah masih berdiri menuai padi, Karman bertindak. Padi dan ani-
ani diletakkannya di atas pematang. Kemudian secepatnya ia berlari. Ketika
sampai di tujuan, hal pertama yang dilakukannya adalah menyapu tubuh bayi Kinah
dengan kain. Karman tahu bayi itu masih kelenger. Kulitnya yang sudah membiru
tampak bentol-bentol. Karman panik. Tetapi Karman ingat di sekolah ia pernah
melihat gurunya melakukan gerakan membuat napas buatan. Karman mencoba menirukan
gurunya dan berhasil. Bayi Kinah bisa mengembalikan napas lalu kembali menjerit.
Semua orang jadi marah. Kata-kata kasar mulai berhamburan ke arah Kinah.
Akhirnya perempuan itu benar-benar bergerak, naik ke darat. Kinah mengambil
bayinya yang masih menangis dari tangan Karman. Teteknya yang layu dikeluarkan.
Bayi itu tersedak-sedak dan tak bisa diam, mungkin karena sakit bekas gigitan
semut merah masih menyiksa dirinya.
Kinah pulang sambil berulang-ulang menghapus air mata. Sebelumnya Sanawi
menyerahkan bawon yang menjadi hak Kinah. Banyaknya hanya sepertujuh dari
genggaman tangkai padi; tak lebih dari dua puluh butir.
31 Matahari berada tepat di atas kepala ketika panen di sawah Sanawi usai. Para
penuai mengumpulkan hasil kerjanya dan mengangkutnya ke rumah pemilik sawah.
Yang lelaki memikul, yang perempuan menggendong dengan kain. Karman berhasil
mengetam enam ikat padi dan upahnya pasti lumayan. Bersama belasan penuai lain
Karman harus menunggu di halaman rumah Sanawi sampai pemilik sawah itu melakukan
pembagian. Kelak, manakala Karman sudah menjadi orang binaan Margo, kisah Si Kinah dan
bayinya sering dimunculkan dalam diskusi-diskusi. Margo, seorang kader partai
yang cerdik, amat pandai merekayasa kehalusan hati Karman demi kepentingan
politiknya. Maka pada suatu rapat pembinaan, Margo berkata kepada Karman.
"Cobalah ingat kembali peristiwa si Kinah. Saat itu Kinah hanya memperoleh
sejumput padi, padahal ia telah mempertaruhkan keselamatan bayinya. Kita tahu,
Kinah sama seperti kita; manusia. Ia bukan burung pipit yang bisa kenyang oleh
beberapa bulir biji padi. Tetapi begitulah yang terjadi. Jadi, yakinlah kamu;
demikian jahat para tuan tanah. Mereka memperlakukan para penuai sekehendak
hati!" Dalam diskusi-diskusi seperti itu Margo selalu melukiskan Kinah sebegai martir
yang suci. Margo tak pernah berkata dengan jujur bahwa di luar masalah bawon,
Sanawi juga taat membayar zakat setiap kali panen. Salah seorang penerima zakat
itu adalah Kinah meskipun Sanawi tahu perempuan itu kurang disukai orang Pegaten
karena percabulannya. Sesudah pengakuan kedaulatan pada tahun 1949, banyak anggota Laskar Hisbullah
meletakkan senjata. Mereka kembali ke kampung halaman setelah empat tahun ikut
mempertahankan kemerdekaan Republik yang masih muda. Salah seorang di antara
mereka pulang ke Pegaten. Dia adalah Hasyim, adik Bu Mantri.
Kepulangan pamannya ini membuat Karman sangat gembira. Karman merasa mempunyai
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sosok lelaki yang bisa memberinya perlindungan setelah ayahnya hilang pada masa
awal revolusi. Sebelum menjadi anggota Laskar Hisbullah, Hasyim adalah petani yang tekun.
Hasyim mempunyai sawah dan tegalan, serta kolam ikan. Maka tanpa kesulitan yang
berarti Hasyim bisa mengembalikan kehidupan rumah tangga setelah sekian lama
ditinggalkannya. Dan karena kasihan melihat kehidupan Bu Mantri, Hasyim memberi
kakaknya itu modal buat berdagang nasi rames. Hasyim juga pergi menemui Haji
Bakir untuk berbicara tentang Karman. Kemenakannya ini diminta kembali ke rumah
orangtuanya karena akan disekolahkan ke tingkat lanjutan. Haji Bakir tak bisa
menolak permintaan Hasyim. Orang tua itu menyadari sepenuhnya bahwa Hasyim-lah
yang paling berhak mengatur dan membimbing Karman.
Karman merasa menjadi anak yang paling berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun
ajaran baru tahun 1950, Karman sudah menjadi seorang murid SMP di sebuah kota
kabupaten yang terdekat. Karman menjadi anak Pegaten pertama yang menempuh
pendidikan sampai ke tingkat menengah.
32 Sekali sebulan, Karman pulang ke Pegaten. Bersepatu dengan kaos kaki, pakaian
diseterika dan pakai minyak rambut. Karman seakan berubah menjadi anak kota.
Teman-teman sepermainan di Pegaten merasa kagum terhadap anak Bu Mantri itu.
Dalam usianya yang lima belas tahun itu Karman memang terlambat masuk SMP. Namum
Karman merasa beruntung. Karena kelebihan umur ia jadi cepat menerima pelajaran
dengan sangat baik. Maka Karman dapat menyelesaikan pendidikannya di SMP tepat
pada waktunya. Sesungguhnya Karman sangat berhasrat meneruskan sekolah ke
tingkat lanjutan atas. Namun Paman Hasyim menyatakan tak sanggup lagi menyokong
kemenakan itu. "Cukupkan dulu sekolahmu sampai di sini," kata Hasyim suatu hari.
"Carilah pekerjaan di kantor atau perusahaan. Bila sudah dapat, kamu bisa
meneruskan sekolah atau kursus di sore hari."
Karman tidak melihat jalan lain kecuali menuruti nasihat pamannya. Karman pun
maklum, anak pamannya banyak dan dua di antaranya sudah mulai bersekolah di
kota. Jadi Karman mengerti bahwa beban pamannya sudah cukup berat.
Dengan ijazah SMP ternyata Karman tidak mudah mendapatkan pekerjaan.
Dua tahun dicari dan ditunggu, pekerjaan yang sangat diharapkan tak kunjung
tiba. Untung Haji Bakir tetap bersedia memberinya kesibukan sehingga Karman
tidak nganggur. Pak Haji sering meminta Karman mengantar bertruk-truk kelapa ke
pabrik minyak. Karman menerima permintaan Haji Bakir dengan senang hati, demi mendapat
kesibukan atau demi lebih sering bertemu Rifah. Gadis bungsu Haji Bakir sudah
enam belas tahun. Rifah tidak terlalu cantik. Namun kulitnya yang bersih,
matanya yang hidup, dan perangainya yang selalu gembira membuat Rifah jadi
menarik. Segar. Dan bagi Karman, anak Haji Bakir itu sudah lama akrab. Rifah sudah lama,
sejak masa anak-anak, ada dalam jiwanya. Maka wajar bila Rifah adalah nama
pertama yang terbaca di hati Karman ketika ia merasa sudah menjadi lelaki
dewasa. Bahkan Karman pun merasa punya alasan untuk berharap karena sikap Rifah yang
tetap hangat. Kemanjaannya terhadap Karman tak berubah seperti ketika keduanya
masih suka bermain baling-baling yang terbuat dari daun kelapa.
Sayangnya ada satu hal yang pasti tak disadari oleh Karman; Rifah sudah dilamar
oleh pemuda lain. Calon suami Rifah sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir.
Pemuda itu sedang belajar di sebuah pesantren di Jawa Timur, dan boleh jadi
Rifah pun belum tahu apa-apa tentang perjodohannya.
* * * Di Madiun, September 1948 terjadi pemberontakan besar. Makar ini dikoharkan
untuk merobohkan Republik yang baru berusia tiga tahun, dan menggantinya 33
dengan sebuah pemerintahan komunis. Namun makar yang meminta ribuan korban itu
gagal. Para pelaku yang tertangkap diadili dan dihukum mati.
Banyak orang kurang menaruh perhatian terhadap para pelaku makar yang bisa lolos
dan Madiun. Orang juga kurang memperhitungkan bahwa Muso, tokoh komunis
penggerak makar itu, telah berhasil menanamkan pengaruh terhadap sementara kaum
terpelajar. Seorang terpelajar yang sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Muso lolos dari
Madiun dan menjadi guru di Pegaten. Kawan Margo, demikian ia dipanggil oleh
teman-teman separtai, adalah seorang kader pilihan. Cerdik dan ulet serta sangat
gemar membaca buku atau brosur yang menyangkut partainya. Ia pun berlangganan
Harian Merah, sebuah organ partai yang sangat dibanggakannya.
Margo berbadan sedang, rambutnya berombak, dan kebetulan ia punya sepasang alis
yang rapat ke mata, mirip alis Lenin.
Tanpa diketahui masyarakat luas Margo berhasil menghimpun beberapa orang yang
secita-cita. Yang paling tua di antara kelompok Margo adalah seorang pensiunan
masinis pengikut Suryopranoto, seorang tokoh buruh kereta api yang komunis. Tiga
tokoh tua lain adalah sisa-sisa pengikut Si Merah, yaitu sempalan organisasi
Sarekat Islam membelot ke kiri karena pengaruh Alimin dan Darsono.
Seorang lagi adalah Triman yang seusia dengan Margo. Namun Triman berhasil
merahasiakan hubungannya dengan kelompok Margo. Ini taktik. Demi taktik itu
Triman pada kenyataannya adalah seorang ketua Partai Indonesia, Partindo yang
nasionalis. Margo sangat aktif menambah jumlah anggota partainya. Teman-teman sejawat mulai
dipengaruhinya, juga tetangga kiri-kanan, terutama para pemuda. Margo ingin
menemukan bibit unggul di antara para pemuda itu untuk dimatangkan menjadi kader
pilihan seperti dirinya. Bibit itu memang harus berusia muda, cerdas, dan yang
terpenting: anak muda itu punya sejarah demikian rupa sehingga mudah dipengaruhi
dan dibina menjadi kader pilihan.
Cukup lama Margo mencari calon kader yang memenuhi persyaratan itu.
Kemudian ia mendengar kabar bahwa Karman yang pernah menjadi muridnya, kini
sedang gelisah karena ingin jadi pegawai dan belum terkabul. Margo cepat
menangkap isyarat munculnya sebuah peluang untuk menemukan pemuda yang
dibutuhkannya. Dan sebagai sesama warga Pegaten, Margo punya pengetahuan cukup
banyak tentang anak Bu Mantri itu. Latar belakang kehidupan keluarganya,
kecakapannya serta wataknya. Bahkan Margo juga sudah tahu bahwa Karman naksir
Rifah, anak bungsu Haji Bakir. "Tentang kenyataan bahwa Karman dekat dengan
tokoh agama seperti Haji Bakir, adalah tantangan bagiku," pikir Margo. "Yang
jelas Karman bisa dijadikan bibit yang luar biasa."
34 Pada sebuah pertemuan partai, Margo melaporkan perihal Karman kepada atasannya,
seorang lelaki enam puluhan tahun yang selalu berkopiah dan bergigi baja putih.
Jabatan resminya adalah pegawai Dinas Sosial Kabupaten.
"Apabila laporan Kawan Margo benar, saya pun berpendapat bahwa Karman bisa
dijadikan bibit unggul," kata si Gigi Baja itu. "Namun untuk mencapai tujuan
kita, Kawan Margo hanus sabar, sangat sabar. Ingat, dalam usaha mencetak seorang
kader baru, tak boleh ada kata gagal apabila pilihan sudah ditentukan. Maka kita
harus bertindak sangat hati-hati, Nah, Kawan Margo punya gagasan apa untuk
pendekatan pertama?"
"Yah, tentu saja berusaha menanam jasa kepada dia. Sudah saya laporkan, saat ini
Karman sangat membutuhkan pekerjaan. Apabila dia bisa menjadi pegawai atas
bantuan kita, maka perkenalan dia dengan kita berlangsung sangat wajar dan
mulus. Jadi pertanyaan saya saat ini adalah: apakah ada lowongan pekerjaan yang bisa
kita berikan kepada Karman?"
"Tentang lowongan pekerjaan buat Karman, Kawan Margo-lah yang harus
menemukannya. Ini tugas partai!"
"Wah, saya hanya mempunyai satu saluran, yakni ke kantor kecamatan. Itu pun tak
gampang karena di sana orang-orang Nasional bersikap sangat tertutup.
Belum lagi orang-orang Masyumi yang pasti akan menentang setiap usaha saya."
Si Gigi Baja tersenyum sehingga kilatan logam terbersit di antara kedua
bibirnya. Orang tua itu merasa pengetahuannya tak cukup terbaca oleh Margo.
"Satu hal yang Kawan Margo ketahui, pengaruh Kawan Triman terhadap Camat.
Meskipun Kawan Triman hanya seorang kepala Kantor Penerangan tingkat kecamatan,
wibawanya cukup besar. Camat yang sok ningrat dan bersikap asal tahu beres itu
sering menggunakan Kawan Triman untuk menutupi semua kckurangannya. Dan di sana
peran Kawan Triman tidak mencolok sebab dia tidak dikenal sebagai orang kita,
melainkan orang Partindo."
"Kalau begitu, Kawan Triman akan menangani penempatan Karman di kantor
Kecamatan." "Ya, Kawan Margo telah mengatakannya demikian."
"Ada jaminan Kawan Triman akan berhasil?"
"Keberhasilan berada di tangan kita. Itu ajaran partai. Dan saya tahu betul
keadaan di kantor Kecamatan Kokosan itu. Selain Camat yang sok ningrat, kepala
tata usaha di sana hanya tamatan Sekolah Rakyat Ongko Telu. Jadi Kawan Triman
mempunyai alasan yang kuat untuk meyakinkan Camat bahwa seorang yang lebih
berpendidikan perlu diangkat untuk membereskan administrasi. Saya akan membantu
usaha Kawan Triman dari atas, dari tingkat kabupaten."
Margo merasa puas. Ia bersandar ke belakang, lalu menyalakan rokok. Atasannya
membuka lembaran-lembaran kertas berisi data tentang Karman. Tiba-tiba Margo 35
berkata, "Bila pekerjaan kita pada taraf pertama telah berhasil, apa yang
selanjutnya bisa saya lakukan?"
Laki-laki bergigi baja putih itu tersenyum kembali. Tanpa mengalihkan
perhatiannya dari kertas-kertas yang sedang dibaca ia menjawab. Nadanya pasti.
"Jauhkan Karman dari Haji Bakir, dari mesjidnya. Harus ditemukan cara untuk
memisahkan Karman dari tuan tanah dan mesjidnya itu."
"Itu saya sanggup," jawab Margo.
"Kenyataan bahwa orangtua Karman pernah memiliki satu setengah hektar sawah yang
sekarang dikuasai Haji Bakir harus dimanfaatkan sebaik mungkin. Ini senjata
utama. Selanjutnya terserah, asal jangan lupa pekerjaan ini amat memerlukan
kesabaran!" Margo pulang ke Pegaten. Bersama Triman ia mematangkan siasat lebih lanjut.
Peran utama untuk sementara beralih kepada orang partai yang sehari-hari dikenal
sebagai ketua Partindo itu.
Perburuan dimulai. Halus sekali, tanpa letupan-letupan, bahkan tanpa nada kasar
sedikit pun. Karman sungguh terlalu muda untuk menyadari bahwa sedang
berlangsung kisah safari yang ditujukan kepada dirinya.
Dalam "tugas kelilingnya" suatu pagi Triman singgah di rumah Hasyim.
"Sebagai juru penerang saya memerlukan sedikit kisah Pak Hasyim dalam masa
perjuangan," demikian Triman memulai.
Hasyim tidak melihat sesuatu yang tidak wajar pada kunjungan Triman itu.
Dan imannya melarang ia berburuk sangka. Jadi Hasyim melayani Triman dengan
semestinya. "Saya tidak merasa telah berbuat sesuatu yang istimewa, Pak Triman. Siapa pun
merasa wajib membela kebenaran, membela negeri ini. Hanya itu yang telah saya
lakukan. Atau katakanlah, hanya demikian yang mampu saya berikan kepada negara
yang masih muda ini."
"Pak Hasyim tidak minta didaftar menjadi tentara?"
"Jangankan meminta, menginginkan pun tidak."
"Dengan luka di leher yang hampir menewaskan Anda?"
"Oh." Hasyim tersenyum. "Saya tak pantas jadi tentara."
"Tetapi orang-orang mengerti bagaimana keberanian Pak Hasyim ketika terjadi
pencegatan terhadap tentara Belanda di Lemah Abang. Dengan berhasilnya
pencegatan itu, satu kompi Laskar Hisbullah jadi lengkap persenjataannya,
bukan?" "Tuhan Yang Mahakuasa yang mengatur segalanya. Oh ya, karena takdir Tuhan juga
saya harus kembali menjadi petani. Kebetulan saya mempunyai sedikit sawah.
Tugas memanggul senjata sudah saya tunaikan sebisa-bisanya. Kini saya kembali
pada tugas keluarga, dan itu ternyata tidak ringan. Apalagi Pak Triman mengerti,
36 kakak saya, Bu Mantri, telah menjadi janda dengan dua anak. Wah, saya merasa
tidak dapat memenuhi kewajiban saya terhadap kakak saya tersebut. ."
"Oh, apa maksud Pak Hasyim?"
"Karman, Pak Triman. Betapa saya ingin menyekolahkan dia sampai tingkat menengah
atas, tetapi tak dapat. Anak saya sendiri sudah waktunya membutuhkan biaya.
Karman anak yang baik, pintar. Sayang ia harus puas dengan ijazah SMP.
Sekarang Karman kusuruh mencari pekerjaan. Apa boleh buat."
"Wah, sayang memang," jawab Triman tanpa mengubah sikapnya.
Naif. Hasyim tidak sadar apa yang baru saja diucapkannya adalah kenaifan yang
sebesar-besarnya. Ia tidak tahu tamunya merasa amat lega. Seorang pemburu telah
diberitahu di mana binatang buruannya berada. Maka dengan hati-hati Triman
meneruskan, "Jadi Karman tidak bersekolah lagi?"
"Begitulah." "Dalam keadaan pemerintahan yang belum mapan benar, tidak gampang mencari
pekerjaan. Sungguh Pak Hasyim tidak mempunyai cara lain agar Karman bisa
meneruskan sekolah?"
"Seperti Pak Triman lihat sendiri."
"Sungguh sayang, Karman harus menempuh banyak kesulitan sampai ia dapat
menemukan pekerjaan. Kecuali misalnya. ."
Sengaja Triman berhenti. Sengaja, supaya ia dapat mengukur tanggapan Hasyim.
"Kecuali bagaimana, Pak Triman?" tanya Hasyim penuh minat.
"Yah... kecuali Karman mempunyai sedikit kesabaran serta sedikit nrimo,
barangkali saya bisa menolongnya."
"Lho tunggu, Pak Triman. Saya merasa wajib menyuruh kemenakan saya bersikap
sabar dan nrimo bila Pak Triman bersungguh-sungguh."
"Tentu. Seandainya Karman bisa bersabar saya dapat menempatkan dia sebagai
magang di kantor Kecamatan Kokosan. Tentu saja Karman mempunyai harapan baik.
Bukankah masih jarang pemuda yang memiliki ijazah SMP seperti dia?"
Hasyim mengangguk-angguk. Di wajahnya jelas terlihat kesan kegembiraan. Ia
kelihatan mau berbicara lagi. Dan inilah detik yang baik bagi Triman untuk
meminta diri. Pedagang yang licik harus tahu cara merangsang minat seorang calon
pembeli. "Untuk saat ini cukup sekian dulu. Terima kasih atas pelayanan Pak Hasyim.
Khusus mengenai Karman; bila dia berminat, suruhlah ia datang ke rumah saya.
Sekali lagi, bila ia berminat."
"Nanti malam?" Hasyim memburu.
"Jangan tergesa-gesa. Besok malam, saya tunggu pukul delapan."
37 Keduanya berpisah di pintu. Hasyim menjabat tangan tamunya kuat-kuat. Ia merasa
puas karena telah menemukan jalan untuk menolong kemenakannya.
Tentulah Triman merasa lebih puas, dan Hasyim tidak akan menyadarinya.
Benarlah, Triman mempunyai pengaruh yang kuat atas diri Camat Kokosan.
Ketika ia mengusulkan diangkatnya seorang pegawai baru untuk mengatasi kekalutan
administrasi di kantornya, camat yang ningrat itu langsung setuju.
Kalaulah ia mengemukakan sedikit syarat, hanyalah karena ia harus menjaga
martabatnya. Martabat seorang kepala wilayah yang seharusnya tidak bisa didikte
oleh bawahan. "Apakah pemuda yang bernama Karman cukup mengetahui tata krama dan kesopanan?"
Camat perlu bertanya demikian agar ia dapat menyembunyikan pertanyaan lain yang
sebenarnya perlu ia kemukakan, "Apakah Karman tahu aku seorang keturunan
bangsawan?" Beberapa saat sebelum waktunya, Karman telah tiba di rumah Triman. Di tangan
pemuda itu ada gulungan kertas tebal yang diam-diam amat dibanggakannya; ijazah
SMP berangka tahun 1953. Selain tuan rumah, Karman menjumpai Margo di sana.
Kedua orang itu sudah dikenalnya. Triman adalah kepala Kantor Penerangan dan
Margo adalah guru sekolah. Karman tidak tahu lebih dari itu.
Triman melayani tamunya dengan ramah, tetapi Margo biasa saja. Ia tetap menekuni
brosur yang sedang dibacanya, tidak bangkit menyalami Karman.
Pemburu dan mangsanya sudah berhadap-hadapan. Sungguh, tergambarlah dengan
saksama kelicikan manusia di satu pihak dan keluguan di pihak lainnya.
"Jadi Paman Hasyim telah mengatakan semuanya kepadamu?" Triman mulai bicara.
Senyumnya terkembang, sangat ramah.
"Ya, Pak," jawab Karman agak malu.
"Tentu pamanmu juga mengatakan syarat-syarat yang harus kaupenuhi agar saya bisa
menolongmu, bukan?" "Sabar dan nrimo," kata Karman menirukan nasihat Paman Hasyim.
"Dan satu lagi. Kau mengerti jer basuki mowo beyo?"
Mata Karman membulat. Pada dasarnya ia paham maksud ungkapan itu; untuk mencapai
suatu tujuan diperlukan biaya. Melihat Karman tercengang, Triman segera
meneruskan kata-katanya. "Nah, pokoknya kamu ingin mendapat pekerjaan. Rasanya, saya dapat menolongmu.
Biaya yang kuinginkan bukan berupa uang, tetapi suatu sikap yang kauberikan
dengan tulus dan wajar. Apa yang kaujanjikan padaku apabila nanti kamu diterima
menjadi pegawai Kantor Kecamatan?"
Karman menundukkan kepala. Bingung ia.
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bukan uang yang kubutuhkan!" Triman menegaskan.
38 "Kalau begitu saya hanya dapat menyampaikan rasa terima kasih," jawab Karman
akhirnya. "Cukup, lebih dari cukup. Hanya itu yang perlu kauberikan kepadaku. Tidak
berat?" Karman tersipu dan menggeleng. Matanya bersinar-sinar, hatinya penuh harapan.
Dan ia sedikit pun tak merasa, utang moral baru saja ditandatanganinya.
"Selanjutnya, ketahuilah, saya tidak bekerja sendiri. Bapak itu (sambil menunjuk
Margo), yang akan membantumu selanjutnya. Percayalah, dengan bantuan dia kau
akan berhasil. Berterimakasihlah kepadanya kelak."
Hanya seminggu Karman menunggu jawaban dari kantor Kecamatan. Selama tujuh hari
itu ia gelisah, ia berdoa. Keinginannya untuk meneruskan sekolah sudah
ditinggalkan. Yang diharapkannya sekarang adalah diterima magang di kantor
Kecamatan, lalu memasuki masa percobaan menjadi pegawai tetap.
Kalau benar Pak Triman dan Margo membantunya, Karman merasa dirinya patut
diangkat menjadi juru tulis, kemudian akan naik menjadi kepala tata usaha atau
mantri polisi praja. "Pada saat itu umurku masih amat muda. Ijazah SMP akan
mengantar aku ke jabatan wedana. Dan siapa yang menganggap aneh bila pada suatu
saat aku dipanggil Bapak Wedana?"
Karman tidak merasa lain kecuali nasib mujur sedang menimpanya. Lamarannya
diterima. Doanya terkabul. Sedikit pun ia tidak sadar adanya kekuatan tangan-
tangan manusia yang sedang menariknya.
Secara berkala Triman mengunjungi anak binaannya yang baru. Diberikannya
petunjuk-petunjuk yang perlu diperhatikan oleh seorang calon pegawai. Ia
bersikap seperti seorang ayah yang amat memperhatikan kepentingan anaknya.
Pengaruh serta wibawa ditanamkan di hati anak muda itu dengan perhitungan yang
saksama. Sementara, Karman merasa tak bisa berbuat lain kecuali selalu bersikap hormat
kepada para penolongnya. "Amat penting bagimu untuk selalu menambah pengetahuan," kata Triman suatu kali.
"Apalagi sebelum menjadi pegawai tetap, pasti kau akan diuji. Gunakan kesempatan
yang ada untuk membaca buku-buku atau brosur-brosur yang kubawa ini. Mata ujian
yang akan kautempuh nanti akan berkisar pada isi buku-buku itu."
Apa yang dikatakan oleh Triman tentang isi buku dan mata ujian itu tidak
semuanya benar. Apa hubungannya antara mata ujian yang harus dihadapi oleh
Karman dengan teori-teori tentang pertentangan kelas, cerita tentang pertanian
kolektif di Rusia, bahkan teori-teori tentang sejarah materialisme" Tetapi
Karman membaca semua buku itu serta sebuah buku kecil tentang pengetahuan
administrasi pemerintahan.
Ketika menempuh ujian untuk menjadi pegawai tetap, seorang penilai dari
Kabupaten menyatakan Karman lulus. Tetapi yang lain, seorang laki-laki bergigi
baja putih, berpendapat sebaliknya. "Saya juga berpendapat Karman tidak bodoh.
39 Ia dapat kita harapkan bisa menjadi pegawai yang cakap, tetapi ia sekarang belum
siap. Lihat jawabannya tentang Perjanjian Renville itu. Karman menyebutnya
kemenangan di pihak Republik. Padahal kita harus mengatakannya sebagai kekalahan
mutlak," kata laki-laki itu.
Itulah yang terjadi. Karman tidak lulus! Bukan main kecut dan khawatir rasa
hatinya. Padahal kalau tahu, Karman tidak perlu punya perasaan demikian.
Kelompok Margo hanya menginginkan tambahan waktu untuk membina Karman lebih
lanjut, tidak lebih. Lulus atau tidaknya Karman berada di tangan mereka
sepenuhnya. Dan kini mereka mempunyai waktu tiga bulan lagi untuk memberi Karman
bacaan-bacaan yang berisi doktrin-doktrin partai komunis dan pikiran-pikiran
Lenin. Pada ujian ulangan, Karman lulus. Ia takkan pernah mengaku bahwa ia membayar
mahal untuk keberhasilannya itu. Gerak alam bawah sadarnya telah dibelokkan ke
arah meyakini komunisme yang secara sabar dan teratur diajarkan oleh kelompok
Margo. Melalui buku-buku yang diberikan kepada Karman, orang-orang partai itu
berhasil menyusun dasar-dasar kejiwaan yang akan mempermudah mereka membina anak
didik yang masih hijau itu menjadi pengikut mereka.
Adalah nyata, Karman merasa ada sesuatu yang kurang ketika ia menerima beslit
dua bulan kemudian. Tetapi sebabnya tak bersangkut-paut dengan Margo atau
Triman. Karman merasa sayang mengapa beslitnya diterima setelah kabar
pertunangan Rifah dengan pemuda lain sudah didengar orang sekampung.
"Sungguh tidak adil!" begitu keluh Karman setiap kali teringat lamarannya yang
tidak diterima oleh Haji Bakir. Lamaran Karman untuk memperistri Rifah yang
disampaikan oleh Paman Hasyim ternyata terlambat sehingga tak mungkin dilayani.
Paman Hasyim bisa memahami sikap Haji Bakir. Bagi ayah Rifah itu, memang tak
mungkin menerima Karman sebagai calon menantu karena sudah ada calon lain yang
diterimanya. Namun lain halnya dengan Karman.
Terlambat, itu memang nyata. Tetapi Karman curiga hal tersebut merupakan satu-
satunya alasan. Kecurigaan itu terus berkembang karena Karman sendiri yang
mengembangkannya. "Seandainya aku yang melamar Rifah lebih dahulu dan diterima,
baru kemudian datang Abdul Rahman, kurasa lamaranku akan dibatalkan oleh Haji
Bakir." Abdul Rahman itu! Semua orang tahu siapa dia. Pemuda dari seberang desa,
orangnya memang gagah. Walaupun ayahnya hanya dikenal sebagai pedagang batu
akik, tetapi sesungguhnya batu permata yang dimilikinya sekotak penuh.
Pokoknya kekayaan kedua calon besan itu berimbang. Abdul Rahman naik Harley
Davidson bila pergi ke pesantren di Jombang. Tampan adalah ciri utamanya.
"Seandainya keadaanku lebih baik daripada Abdul Rahman, barangkali Haji Bakir
akan menghapus kata 'teriambat' dan aku akan diteritna menjadi menantunya.
Pokoknya tidak adil."
40 Pemuda yang baru menginjak usia dua puluh tahun itu terguncang batinnya oleh
kekecewaan yang amat sangat. Dia merasa telah ngemong Rifah selagi ia masih
senang bermain titiran. Dia membuatkan Rifah boneka dengan rambut jagung. Rifah
menyimpan pasfoto Karman. Rifah minta dituliskan lagu Sepasang Mata Bola. Rifah
yang masih memandang dan tersenyum penuh arti. "Dan lamaranku, seorang pemuda
yang sudah memegang beslit juru tulis ini, ditolak oleh ayahnya!" keluh Karman.
"Seandainya dulu aku tidak berkelahi melawan kambing gila itu, mungkin Rifah
telah mati. Setidaknya ia pasti cedera. Jadi kalau bukan karena aku, Rifah tidak
akan cantik seperti sekarang. Haji Bakir sungguh tidak tahu diri dan tidak
adil!" Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur di hati Karman. Akibatnya ia mendendam dan
membenci Haji Bakir. Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman rumah
orangtua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah. Dan ia memilih tempat
lain bila menunaikan sembahyang Jumat.
Apa yang diperbuat Karman adalah balas dendam. Ia merasa disakiti, dinista.
Dengan meninggalkan mesjid Haji Bakir, ia pun bermaksud membalas dendam.
Bahkan ketika ia mulai sekali-dua meninggalkan sembahyang wajib, ia juga merasa
sedang membayar kesumat. Haji Bakir mempunyai mesjid, dan bagi Karman, orang tua
itu adalah tokoh agama. Dan wujud nyata agama di desa Pegaten adalah pribadi
Haji Bakir itulah! Maka makin sering meninggalkan peribadatan, Karman makin
makin merasa puas. Pemberontakan jiwa anak muda itu segera diketahui oleh Triman dan Margo.
Mereka tahu, apa yang sedang dibutuhkan Karman dalam rangka pemberontakannya
itu; sokongan dan tepuk tangan! Orang-orang partai itu dengan senang hati akan
memberikannya. Mereka berbuat seolah-olah menolong si anak malang. Bukan hendak
menenteramkan jiwa Karman, melainkan sebaliknya. Melihat ada dua orang yang
memberikan dukungan, Karman bersikap seperti anak kecil yang menangis karena
berkelahi dengan teman sepermainan. Di dekat ibunya ia mengepalkan tinju: ini
dadaku! Tentang Haji Bakir, kedua orang partai itu berpropaganda kepada Karman:
"Kebaikan yang pernah ia berikan kepadamu adalah contoh kemunafikan yang nyata.
Takkan pernah ia menolongmu, menyantunimu ketika kau masih kanak-kanak, apabila
ia tidak melihat keuntungan yang dapat diperoleh darimu. Tenagamu, misalnya!
Jadi tidak mengherankan apabila Haji Bakir menolak lamaranmu. Seorang tuan tanah
selalu jahat, tidak berperikemanusiaan. Pasti ia menganggap kau tidak pantas
menjadi menantunya lantaran kau keturunan rakyat jelata. Bukan karena kau datang
terlambat. Bukan! Tetapi karena kau miskin dan Abdul Rahman anak orang terkaya
juga. 41 Mereka, orang-orang kaya, adalah kaum penindas yang secara historis selalau
mempertahankan kelestarian kelasnya. Mereka tidak ingin seorang seperti engkau
masuk ke dalam kalangan mereka. Sadarlah kau sekarang, betapa jahat kaum tuan
tanah itu." Dan propaganda itu masih ditambah rasa pedas oleh hasutan yang hebat.
"Kau ingat, Karman! Seorang tokoh agama seperti Hap Bakir dengan serakah
menguasai tanah sawah milik orangtuamu! Itulah kenyataan yang ada. Haji Bakir
dengan caranya yang licin dan licik kini menguasai sawah milik orangtuamu. Lalu
apa namanya hal semacam itu kalau bukan kejahatan yang sangat nyata?"
Hanya setahun sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi
pada pribadi Karman. Ia menjadi sinis. Segala sesuatu, apalagi yang menyangkut
Haji Bakir selalu ditanggapi dengan prasangka buruk. Karman pun mulai berani
berterus terang meninggalkan mesjid, meninggalkan peribadatan.
Bahkan tentang agama, Karman sudah pandai mengutip kata-kata Margo, bahwa agama
adalah candu untuk membius kaum tertindas.
Namun puncak perubahan kepribadian Karman terjadi dekat sumur di belakang rumah.
Siang itu Karman berdiri di sana. Tangannya memegang sebuah parang.
Kelihatannya ia agak ragu-ragu. Alisnya turun-naik beberapa kali. Namun akhirnya
ia maju mendekati padasan bambu itu dan langsung membelahnya. Penampung air wudu
itu dibuatnya menjadi serpihan bambu kecil-kecil. Karman hanya menghancurkan
tiga ruas bambu yang tampak tidak berarti itu. Tetapi itulah perlambang yang
nyata atas pergeseran nilai yang telah melanda dirinya.
Orang yang paling memperhatikan keadaan Karman adalah pamannya sendiri, Hasyim.
Ia menjadi amat masygul. Seperti orang-orang lain, Hasyim mengira Karman hanya
sedang merajuk lantaran gagal memperistri Rifah. Tak diketahuinya sesuatu yang
lebih serius telah terjadi. Orang tidak mengetahui Margo telah menguasai Karman
hampir secara mutlak. Memang, hubungan antara keduanya tidak mencolok. Lagi pula
siapa yang tahu bahwa Margo sebenarnya seorang kader partai komunis" Justru
orang Pagetan lebih mengenal pribadi Triman. Karena jabatannya ia sering keluar-
masuk kampung. Semua orang tahu Triman ketua Partindo. Bagi orang Pegaten adalah
mustahil seorang Partindo mempengarahi Karman agar meninggalkan sembahyang.
Apa yang dijumpai Hasymn ketika ia datang memperingatkan kemenakannya, sangat
mengejutkan. "Sungguh kelewatan, rupanya aku datang terlambat," keluh bekas
Laskar Hisbullah itu. Hasyim merasa ngeri bila teringat pembicaraan dengan
Karman. "Karman, aku tak bisa mengerti mengapa kau meninggalkan nikmat itu, nikmatnya
orang yang melaksanakan kewajiban. Apakah kau belum bisa merasakan kepuasan jiwa
selagi kau bersujud, sehingga kau menganggap kewajiban itu hanya sebagai pikulan
yang menindih pundakmu" Atas nama almarhum ayahmu, aku 42
minta kau kembali seperti semula. Kembali menjadi manusia yang menyadari siapa
dirinya; yang tak mempunyai andil sedikit pun atas keberadaanmu di dunia ini.
Sujudlah kembali kepada yang lebih berkuasa atas dirimu.
Pamanmu ini tahu kau merasa kecewa karena gagal memperistri Rifah, sehingga kau
ingin menjauhi Haji Bakir dan keluarganya. Namun kekecewaan ini seharusnya tidak
mempengaruhi hubunganmu dengan Tuhan. Dan kurasa Haji Bakir tidak bersalah. Dia
berhak menerima lamaran Abdul Rahman bagi anak gadisnya. Haji Bakir berbuat
demikian tanpa maksud hendak menyakiti siapa pun, tidak juga engkau."
Kemenakannya itu diam. Bukan karena hendak menaati nasihat pamannya, melainkan
karena ia belum melihat jalan untuk menjawab. Bila kata pertama sudah keluar,
pastilah rentetan jawaban akan segera menghambur. Segudang tangkisan sudah siap
di otak Karman. Karena melihat Karman terdiam Hasyim menyambung,
"Supaya engkau mudah menemukan jalan kembali, perbaiki dulu silaturahmi dengan
Haji Bakir. Kau pantas berbuat demikian. Beliau telah memberi kesempatan padamu
untuk menamatkan sekolah rakyat. Beliau pula yang mengkhitanmu, bukan?"
Karman gelisah oleh gejolak perasaannya. Sudah terbuka pintu bagi kata-kata
tangkisan. Ia mengangkat muka ke arah pamannya, satu tindakan yang baru pertama
kali dilakukannya. "Paman, aku tak mungkin berbaik kembali dengan Haji Bakir, bukan karena hanya
soal Rifah. Masih banyak alasan lain bagiku untuk bersikap seperti itu."
"Lho. . kenapa?"
"Karena bersikap baik terhadap haji itu sudah tak perlu lagi. Kalau Haji Bakir
merasa telah berbuat kebajikan padaku, ia telah memperoleh kembali imbalan yang
lebih." Hasyim terkejut mendengar jawaban kemenakannya.
"Sejak kapan kau berpikiran seperti itu, Karman?" tanyanya keras. Tetapi Karman
kelihatan siap menghadapi pertanyaan yang betapapun tajamnya. Secara mantap
kemenakan itu melanjutkan kata-katanya.
"Siapa pun yang hendak bersikap adil, Paman, tidak boleh ingkar bahwa aku telah
membayar tunai tiap butir nasi yang kuterima dari Haji Bakir. Aku bekerja
padanya, bahkan ketika aku masih belum pantas bekerja. Hasil kerjaku di sana
lebih besar nilainya daripada imbalan yang kuterima. Jadi aku tak berutang apa
pun kepada Haji Bakir."
"Karman! Meskipun ada sedikit kebenaran pada kata-katamu, tetapi setan apa yang
sedang mendiktemu" Saya tahu pasti Haji Bakir tidak sekali-kaii memeras
tenagamu. Beliau hanya melatihmu mengetahui pekerjaan, agar kau tidak menjadi
pengemis! Itu tugas mulia, tahu"
43 Dan jangan pungkiri kenyataan setiap panenan Haji Bakir membayar zakatnya.
Perutmu sendiri sering dibuat kenyang oleh padi zakat beliau!"
Kata-kata keras itu disengaja oleh Hasyim untuk menghentikan jawaban
kemenakannya yang keji. Dan ia salah perkiraan. Karman malah jadi beringas
ketika mendengar ucapan-ucapan keras yang dilontarkan pamannya.
"Nah, Paman," kata Karman terengah-engah menahan marah, "sesungguhnya aku tak
ingin mengatakan, tetapi Paman telanjur menyinggungnya. Seperti Paman juga,
orangtuaku mendapat warisan satu setengah hektar sawah. Di mana sawah orangtuaku
sekarang" Sawah itu sekarang dikuasai Haji Bakir, bukan?"
Hasyim terbelalak. Samar-samar ia mengetahui ke mana arah pertanyaan Karman.
"Kau ingin tahu, apa kau belum tahu?" jawab Hasyim.
"Saya sudah tahu, Paman. ."
"Lalu?" potong paman itu pula.
"Saya ingin Paman yang mengatakan di mana sawah orangtuaku sekarang."
"Sudah menjadi milik Haji Bakir."
"Dengan cara bagaimana?" kejar Karman dengan sinis. Seandainya Hasyim tahu,
itulah gaya Margo. "Demi aku hendak menjadi saksi atas kebenaran! Ayahmu sendiri yang mendesak Haji
Bakir agar melaksanakan tukar-menukar. Satu setengah hektar sawah milik ayahmu
menjadi milik Haji Bakir yang memberikan satu ton padi. Itu terjadi ketika
hampir semua orang mati kelaparan. Padi menjadi amat sangat jarang. Bila ada,
harganya bukan main mahalnya. Karman, kau bayi ingusan. Mana tahu tentara Jepang
merampas semua bahan makanan milik penduduk untuk kepentingan peperangan. Bila
orang sedang sekarat karena lapar, maka baginya sepiring nasi lebih berharga
daripada sehektar sawah. Sudah kukatakan ayahmulah yang mendesak Haji Bakir.
Tukar-menukar itu sah karena telah disepakati oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Dari segi apa pun aku tidak melihat kesalahan Haji Bakir.
Tapi kalau kau mau terus bertanya, beginilah kalimatnya: Mengapa ayahku tidak
tahan makan ubi rebus untuk mengganti nasi, seperti dilakukan semua orang saat
itu" Mengapa ayahku mengharuskan dirinya tetap makan nasi sehingga sawah itu
terpaksa berpindah tangan"
Jangan menyalahkan orang lain bila sudah nyata ayahmulah yang bertanggung jawab.
Kini ayahmu telah meninggal. Tuhan melarang kita mengungkit-ungkit perbuatan
orang yang telah selesai melaksanakan tugasnya."
"Paman, bagaimana aku akan mengatakan adil bila satu setengah hektar sawah hanya
ditukar dengan satu ton padi" Pokoknya tidak adil. Sudah bagus bila aku tidak
menuntut sawah itu kembali. Mengapa aku harus berbaik terhadap orang yang
menyebabkan seisi rumahku sengsara?"
44 Hasyim menutup muka dengan kedua tangannya. Tiga kah beristighfar, belum cukup
menenangkan perasaannya. "Luar biasa," pikirnya. "Hati kemenakanku telah penuh dengan keingkaran, hati
nurani serta akal budinya telah tertutup. Inilah cikal bakal kesesatan Karman."
Setelah diam beberapa saat untuk menciptakan suasana yang lebih sabar, Hasyim
meneruskan bicaranya. "Bagaimana juga, Karman, kau adalah anakku. Jangan ajak aku berdebat.
Turutilah nasihatku: kembalilah kau ke jalan semula. Paling tidak, kembalilah
kepada Tuhanmu. Itu perintah."
Kubah Karya Ahmad Thohari di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Biarkan aku pada diriku sendiri, Paman."
"Hai, Karman! Hanya untuk menjadikan dirimu seperti inikah aku bersusah payah
menyekolahkanmu?" "Aku sudah dewasa, Paman. Benar, aku mengaku telah Paman beri biaya. Kalau Paman
menghendaki segala biaya itu kembali, pasti akan kubayar."
"Laknat. .!" Hasyim bangkit. Badannya menggigil menahan amarah. Keringat di dahinya.
Keringat di telapak tangannya. Mata dan seluruh wajahnya merah. "Misalkan aku
masih menjadi Laskar Hisbullah. Misalkan masih ada bedil di tanganku, sebutir
peluru cukup untuk menutup mulut anak durhaka ini."
Otak Hayim telah mengirim perintah ke otot tangan. Tetapi batal pada saat
terakhir. Saat ketika Hasyim teringat: berwasiatlah dalam kebenaran dan
kesabaran. Paman yang sedih dan masygul itu pulang. Hatinya menangis.
Kamar itu tidak bisa dikatakan sebagai ruang perpustakaan yang baik. Tidak cukup
luas, lemari bukunya hanya terbuat dari kayu murahan. Peliturnya sudah botak di
sana-sini. Di atas lemari terpasang potret tokoh komunis Rusia; Lenin pada latar
Walet Besi 4 Pendekar Mabuk 054 Kipas Dewi Murka Sumpah Palapa 22