Pencarian

Suling Pusaka Kumala 12

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 12


ketika wanita itu melihat munculnya Han Lin di situ!
"Lin-ko, mari kita kejar!" Sian Eng berseru dan gadis ini lalu berlari cepat
keluar dari tempat itu untuk mengejar Sam Ok
dan Ji Ok. Han Lin juga mengerahkan gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) untuk mengejar.
Keadaan di tempat pesta menjadi gempar. Akan tetapi Lo
Kang dapat menenangkan suasana dan pesta dilanjutkan.
Semua orang membicarakan tentang gadis dan pemuda itu
yang dapat membuat dua orang datuk besar seperti Sam Ok
dan Ji Ok melarikan diri ketakutan! Sementara itu, Lo Kang
dan dua orang anaknya, Lo Cin Bu dan Lo Siang Kui, juga
membicarakan Sian Eng yang diluar dugaan mereka sama
sekali ternyata merupakan seorang gadis yang memiliki ilmu
silat yang amat tinggi. Cheng Kun, putera Pangeran Cheng
Boan yang menjadi tunangan Siang Kui, juga menyatakan
kekagumannya, bahkan dia berkata dengan sungguh-sungguh
kepada Siang Kui. "Kalau aku melaporkan kepandaian adik sepupumu Lo Sian
Eng itu kepada ayahku, tentu ayah mau memanfaatkan
kepandaiannya dan mau mengangkatnya menjadi pengawal
atau penjaga keselamatan keluarga kami."
Mendengar ini, Siang Kui cemberut dan mengerling manja.
"Engkau yang akan kesenangan mendapatkan seorang
pengawal yang cantik!"
Putera pangeran itu tertawa sehingga matanya yang sipit
itu menjadi semakin sipit sehingga nyaris terpejam. "Ha-haha, agaknya engkau
cemburu, kasihku?" Akan tetapi Sian Kui hanya cemberut dan matanya
mengerling marah. "Baiklah, kalau begitu aku berjanji tidak akan melaporkan kepada ayahku. Nah,
aku sudah berjanji, engkau puas, bukan"
Senyumlah agar wajahmu menjadi tambah manis." Ucapan
bernada rayuan itu dikeluarkan oleh putera pangeran itu
begitu saja di depan calon ayah ibu mertuanya dan di depan
banyak orang tanpa sungkan-sungkan. Mendengar ini, Siang
Kui mengerling lagi, akan tetapi kini mulutnya yang berbentuk
manis itu tidak cemberut lagi, melainkan tersenyum.
Pesta dilanjutkan dan suasana menjadi gembira lagi.
Sekarang para tamu kehormatan yang duduk di bagian atas
menghujani Lo Kang dengan pertanyaan tentang keponakan
perempuan yang amat lihai itu.
"Ah, ia adalah Lo Siang Eng, keponakanku." kata Lo Kang dengan nada bangga.
"Ayahnya bernama Lo Kiat dan dia itu
adikku yang menjadi seorang sasterawan. Akan tetapi kini
adikku itu dan isterinya telah meninggal dunia sehingga Sian
Eng menjadi yatim piatu dan tentu saja ia akan ikut dengan
kami." Pesta dilanjutkan dan diam-diam, dalam hati mereka,
keluarga Lo itu bertanya-tanya, apa yang terjadi dengan Sian
Eng dan Han Lin yang tadi melakukan pengejaran terhadap
Sam Ok dan Ji Ok. Sam Ok harus mengerahkan seluruh tenaganya agar ia
tidak tertinggal oleh Ji Ok. Wanita itu masih merasa
pundaknya agak sakit dan hal ini membuat larinya agak
terganggu. Setelah mereka berlari cepat sampai di lereng
sebuah bukit yang sunyi, Ji Ok tidak sabar lagi.
"Sam Ok, terpaksa aku akan meninggalkan engkau di sini.
Kita berpisah saja dan mengambil jalan masing-masing."
"Akan tetapi, Ji Ok. Bagaimana kalau pemuda setan itu
melakukan pengejaran" Kalau kita berdua tentu akan lebih
kuat untuk melawannya." bantak Sam Ok.
"Justeru karena ada kemungkinan dia melakukan
pengejaran, maka kita harus berpisah. Kalau kita berpisah,
tentu seorang di antara kita akan lolos dari pengejarannya.
Kuharapkan saja aku yang akan lolos itu!" kata Ji Ok yang sudah akan
meninggalkan rekannya itu. Akan tetapi tiba-tiba
dua orang datuk sesat itu terkejut setengah mati ketika
terdengar suara orang di belakang mereka.
"Kalian berdua tidak akan dapat lolos dari tangan kami!"
Mereka berdua memutar tubuh dan melihat Han Lin dan
Sian Eng sudah berdiri di situ. Melarikan diri agaknya tidak
mungkin lagi karena mereka tentu akan dikejar dan tersusul.
Mereka berdua terpaksa menghadapi dua orang lawan muda
yang mereka takuti itu. "Lo Sian Eng, di antara kita tidak ada permusuhan apapun.
Kenapa engkau mendesak aku?" tanya Sam Ok dengan suara
mengandung penasaran. Sian Eng tersenyum mengejek. "Sam Ok, engkau katakan
tidak ada permusuhan apapun antara kita" Hemm,
kesalahanmu kepadaku sudah bertumpuk-tumpuk, dan
sebesar Gunung Thai-san! Pertama, engkau dan dua orang
rekanmu, telah menyerang guruku Hwa Hwa Cinjin dan
mengakibatkan kematiannya. Ke dua, kalian bertiga pernah
menawan aku bersama kakak Han Lin dan enci Tan Kiok Hwa,
nyaris membunuh kami. Dan kau bilang tidak ada urusan di
antara kita" baru mengingat akan kejahatanmu yang amat keji
itu saja sudah cukup bagiku untuk memusuhimu dan
membunuhmu!" "Menawanmu" Ketika kami menawan Han Lin dan Kiok
Hwa, engkau tidak ikut kami tawan. Yang ada hanya seorang
pemuda yang.... ahh, kiranya engkaukah pemuda bernama
Eng-ji itu?" seru Sam Ok yang ingat akan persamaan wajah
antara Sian Eng dan pemuda bernama Eng-ji itu.
Sian Eng tersenyum. "Engkau sudah tahu sekarang dan
bersiaplah untuk memasuki neraka!" Sian Eng menggerakkan
tangan kanannya ke pundak dan sebatang pedang bersinar
hijau telah berada di tangannya. Itu adalah Ceng-liong-kiam
(Pedang Naga Hijau) pemberian ayahnya! yang kini menjadi
musuh besarnya, yaitu Suma Kiang.
Melihat ini, biarpun hatinya merasai gentar, Sam Ok juga
mencabut Hek-kong kiam (Pedang Sinar Hitam), melintangkan
pedang bersinar hitam itu di depan dada dan berseru,
"Engkaulah yang akani mampus di ujung pedangku, bocah
sombong!" "Sambut seranganku!" Sian Eng berteriak lantang dan sinar hijau menyambar
dahsyat ke arah dada Sam Ok. Datuk wanita
inipun menggerakkan pedangnya menangkis.
"Tranggg.....!!" Tampak bunga api berpijar dan kedua orang wanjta itu melangkah
ke belakang untuk memeriksa
pedang masing-masing. Pedang mereka tidak rusak dan Sian
Eng sudah menerjang lagi, mengirim serangan bertubi-tubi.
Sam Ok mengelak dan menangkis, juga membalas setiap
terdapat kesempatan sehingga kedua orang wanita ini sudah
bertanding dengan serunya. Pedang di tangan mereka lenyap
bentuknya, berubah menjadi sinar hijau dan sinar hitam yang
bergulung-gulung bagaikan dua ekor naga yang berlaga di
angkasa. Sementara itu, Ji Ok yang merasa gentar terhadap Han Lin,
mencoba untuk meloloskan diri dengan membujuk pemuda
itu. "Han Lin, ingatlah bahwa aku dan ibumu saling mencinta.
Aku mencinta ibumu dengan segenap jiwa ragaku. Apakah
engkau tidak dapat membiarkan aku pergi?"
Sinar mata Han Lin mencorong ketika dia memandang
kepada laki-laki berusia enam puluh tahun yang masih tampan
dan gagah itu. Teringat akan nasib dan kematian ibunya,-
sinar matanya mengandung api kemarahan. "Ji Ok, ibuku tidak pernah mencintaimu.
Akan tetapi engkau telah menguasainya
dengan sihir! Bahkan pisau-pisaumulah yang telah merenggut
nyawanya! Kau masih berani menyangkal kenyataan itu?"
"Tapi aku tidak sengaja. Dan ingat, aku pernah
menyelamatkan ibumu dari bahaya maut ketika ia terjungkal
ke dalam jurang! Ia berhutang nyawa kepadaku dan kami
saling mencinta!" "Ji Ok, tidak perlu engkau membujuk aku! Sebagai
anggauta Thian-te Sam-ok, kejahatanmu sudah melewati
takaran. Aku tidak mungkin dapat melepaskanmu.
Sambutlah!" Han Lin sudah menerjang dengan Im-yang-kiam
karena sekali ini dia memang sudah mengambil keputusan
untuk menewaskan datuk yang amat jahat ini.
Ji Ok juga melolos sabuk suteranya, mengelak dan balas
menyerang. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat antara
kedua orang ini dan untuk membela diri dan mempertahankan
nyawanya, Ji Ok mengeluarkan seluruh ilmu simpanannya
untuk melawan Han Lin. Pertandingan antara Sian Eng dan Sam Ok juga
berlangsung amat seru dan mati-matian. Sian Eng yang sekali
ini tidak mau membiarkan lawannya lolos, sudah memainkan
pedang hijaunya dengan Coa-tok Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang
Sakti Racun Ular) dan selain serangan pedang di tangan kanan
yang amat berbahaya, juga tangan kirinya menyelingi
serangan pedang dengan pukulan Toat-beng Tok-lung yang
tidak kalah ampuhnya! Diserang dengan pedang dan pukulan
beracun yang ampuh itu, Sam Ok menjadi kewalahan.
Memang iapun menyambut serangan itu dengan pedangnya di
tangan kanan dan tangan kirinya juga menyerang dengan
Ban-tok-ci yang merupakan totokan jari telunjuk yang dapat
mematikan, namun ia kalah cepat dan segera terdesak hebat
dan lebih banyak mengelak dan menangkis dan menyerang.
"Hyaaaatt....!!" Pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang meluncur cepat
sekali, menusuk ke arah muka Sam Ok,
di antara kedua matanya. Datuk sesat ini terkejut sekali
karena sinar hijau itu cepat bukan main, seperti kilat
menyambar. Ia miringkan kepalanya ke kiri sambil melangkah
mundur, akan tetapi sinar pedang hijau itu mendadak sudah
membalik dan mengejarnya dengan sabetan ke arah
pinggang. Sabetan pedang ini dilakukan Sian Eng dengan
pengerahan tenaga sin-kang sepenuhnya. Sam Ok menangkis
dengan pedang hitamnya. "Tranggg......!" Bunga api berpijar dan sekali ini Sam Ok merasa betapa beratnya
menangkis pedang hijau itu sehingga
ia terhuyung. Dalam keadaan terhuyung itu, Sian Eng sudah
melangkah maju dan mengirim pukulan tangan kirinya dengan
Toat-beng Tok-ciang ( Tangan Beracun Pencabut Nyawa).
Sam Ok tidak sempat mengelak dan terpaksa ia menyambut
pukulan telapak tangan itu dengan tangan kiri pula sambil
mengerahkan ilmu Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun).
"Plakk....!!" Tubuh Sam Ok terpelanting. Sebelum ia sempat bangkit, sinar pedang
hijau menyambar dan meluncur masuk,
menusuk lambungnya. "Capp....!" pedang itu menusuk sampai dalam dan cepat dicabut kembali oleh Sian
Eng. Tubuh Sam Ok terguling dua
kali lalu rebah menelungkup, tak bergerak lagi. Darah
mengucur dari luka di lambungnya.
Sian Eng menghampiri tubuh Sam Ok yang sudah tidak
bergerak itu untuk memeriksa apakah benar lawannya telah
tewas. Pada saat ia membungkuk untuk memeriksa keadaan
tubuh lawan, tiba-tiba saja pedang sinar hitam mencuat dan
meluncur ke arah dadanya! Serangan ini tiba-tiba sekali. Akan
tetapi baiknya Sian Eng sudah waspada.
Ia memang masih sangsi apakah lawannya benar-benar
sudah tewas maka ia bersikap hati-hati sekali ketika
menghampiri dan membungkuk tadi. Ia sudah siap siaga
dengan pedang di tangan, maka ketika tiba-tiba ada sinar
hitam menyambar ke arah dadanya, Sian Eng cepat
menggerakkan pedangnya menangkis.
"Tranggg......!!" Bunga cipi berpijar lagi dan Sian Eng cepat mengayun tangan
kirinya menampar ke arah kepala Sam Ok
yang kini sudah membalik dan menengadah.
"Plakkkk!" Pelipis Sam Ok kena ditampar tangan kiri Sian Eng. Kepala itu
terkulai dan muka itu berubah menjadi hitam.
Sam Ok benar-benar tewas sekali ini. Andaikata tidak disusul
tamparan dengan ilmu Toat-beng Tok-ciang sekalipun, ia pasti
akan tewas karena pedang Ceng-liong-kiam tadi telah
menembus lumbungnya. Dengan pedang masih di tangan dan namun kewaspadaan
Sian Eng kini berdiri dari jauh mayat Sam Ok dan menonton
ke arah pertandingan antara Han Lin dan Ji Ok. Ia tidak mau
mengeroyok karena selain hal ini dapat merendahkan
kekasihnya itu, juga ia yakin bahwa Han Lin tidak akan kalah.
Ia hanya waspada untuk berjaga-jaga, kalau-kalau munculToa nk, orang pertama Thian-te Sam-ok itu.
Ji Ok yang sudah jerih itu selain terdesak oleh Han Lin.
Akan tetapi karena tahu bahwa pemuda itu tidak akan tnau
mengampuninya dan nyawanya terancam maut, maka Ji Ok
melawan sekuat tenaga. Sabuk sutera putihnya berubah
menjadi sinar putih bergulung-gulung, merupakan perisai yang
amat kokoh kuat dan ketat melindungi dirinya dari sambaran
sinar pedang di tangan Han Lin.
Ketika kembali pedang Im-yang Pek-liong-kiam menyambar
dengan dahsyatnya, Ji Ok tidak berani menangkis dengan
sabuknya karena ujung sabuk itu sudah dua kali putus
terbabat pedang. Dia melempar diri ke belakang dan
bergulingan. Ketika bergulingan inilah dia melihat Sam Ok
yang sudah tewas. Hatinya menjadi semakin ketakutan.
Sambil bergulingan dia mencabut pisau-pisau terbangnya dan
melemparkan ketiga batang pisau itu berturut-turut ke arah
Han Lin. Melihat sinar-sinar menyambar ke arahnya itu, Han Lin
menangkis dua kali dengan pedangnya sehingga dua batang
pisau terbang itu terpukul runtuh, akan tetapi pisau ke tiga
disambar oleh tangan kiri Han Lin. Ji Ok mempergunakan
kesempatan itu untuk melompat berdiri dan melarikan diri
secepatnya. Akan tetapi, Han Lin yang sudah mempunyai niat
ketika menangkap pisau ke tiga tadi untuk membunuh Ji Ok
seperti ketika ibunya tewas oleh pisau Ji Ok, cepat
menyambitkan pisau itu ke arah tubuh lawan yang mencoba
untuk melarikan diri itu. Dia mengarahkan sambitannya ke
leher Ji Ok. "Wuuuutt..... ceppp.....I!" Pisau itu dengan tepat sekali mengenai tengkuk Ji Ok
sampai tembus ke leher! Ji Ok Phoa Li
Seng tidak mampu mengeluarkan teriakan lagi dan tubuhnya
roboh, berkelojotan sejenak lalu diam, pisau masih menancap
di lehernya yang mengucurkan darah!
Melihat lawannya sudah tewas, Han Lin masih berdiri
seperti patung. Dia teringat akan ibunya dan semua
penderitaan ibunya. Masih ada dua orang lagi yang harus dia
mintai pertanggunganjawanan atas kesengsaraan ibunya.
Pertama adalah Suma Kiang yang membuat ibunya hidup
penuh kesengsaraan. Dia harus membunuh Suma Kiang! Dan
kedua adalah Kaisar Cheng Tung, ayah kandungnya sendiri.


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dia harus bertemu dengan ayah kandungnya itu dan
menegurnya dengan keras karena ayah kandungnya telah menyia-
nyiakan ibunya dan dia, meninggalkan ibunya dalam
keadaan mengandung dan sama sekali tidak
memperdulikannya lagi! Teringat kepada ibunya, Han Lin
berdiri menundukkan mukanya dengan hati yang sedih sekali.
Dia membayangkan keadaan ibunya yang penuh
kesengsaraan itu. Lalu dia memandang kepada mayat Ji Ok.
Dia tahu bahwa Ji Ok mencinta ibunya. Kalau saja ibunya
ketika itu mencinta Ji Ok dengan wajar, tentu dia tidak akan
membunuh Ji Ok yang pernah menyelamatkan ibunya dari
kematian ketika terjatuh ke dalam jurang. Akan tetapi ibunya
tidak mencinta Ji Ok, melainkan berada dalam pengaruh sihir
sehingga ibunya mirip boneka hidup yang menuruti segala
perintah Ji Ok! Kemudian, pisau Ji Ok yang membunuh ibunya,
walaupun hal itu dilakukan tidak dengan sengaja. Hatinya
puas telah dapat membunuh Ji Ok, karena bagaimanapun
juga, Ji Ok adalah seorang datuk sesat yang amat jahat dan
sudah sepatutnya kalau disingkirkan dari dunia di mana dia
hanya akan menyusahkan orang-orang lain dengan
perbuatannya yang jahat. Dia dapat menduga bahwa tentu sudah tak terhitung
banyaknya orang-orang tak berdosa yang tewas di tangan Ji
Ok, maka sebagai seorang pendekar yang membela
kebenaran dan keadilan, menentang kejahatan, sudah
sepatutnya dia membunuh datuk sesat itu.
"Lin-ko....! Engkau kenapakah.....?"
Sian Eng bertanya sambil memegang lengan pemuda itu
dan mengguncangnya. Han Lin mengangkat muka
memandang gadis itu lalu menghela napas panjang.
"Aku tidak apa-apa, Eng-moi. Kulihat engkau telah berhasil menewaskan Sam Ok.
Sukurlah." "Kita telah berhasil menewaskan Ji Ok dan Sam Ok. Hatiku
puas, Lin-ko. Sekarang kita tinggal mencari Toa Ok dan Suma
Kiang. Dua orang jahanam busuk itu harus dapat kita
musnahkan!" kata gadis itu penuh semangat. "Sekarang mari kita kembali ke rumah
toa-pek (Uwa) Lo Kang, karena mereka
tentu sedang menanti-nanti kita."
"Nanti dulu, Eng-moi." kata Han Lin sambil menunjuk ke arah mayat Ji Ok dan Sam
Ok. "Hemm, apakah engkau hendak mengambil pedang hitam
itu?" tanya Siang Eng sambil mengerutkan alisnya.
"Tidak, Eng-moi. Aku hendak mengubur dua jenazah itu
lebih dulu." "Ah, untuk apa" Untuk apa mengubur jenazah dua orang
iblis jahat itu?" cela Sian Eng.
Han Lin menatap wajah dara itu dengan pandang mata
tajam dan suaranya terdengar tegas ketika dia berkata, "Engmoi, engkau tidak
boleh berkata demikian. Ketika mereka
masih hidup, mereka memang Ji Ok dan Sam Ok, dua orang
yang amat jahat dan sudah selayaknya kalau kita menentang
mereka. Akan tetapi sekarang mereka bukan orang-orang
jahat lagi, melainkan dua sosok jenazah yang tidak berdaya.
5udah sepatutnya kita menghormatinya dan mengurus
sebagaimana mestinya. Sebagai manusia-manusia yang
berakal sehat kita tidak mungkin meninggalkan dua jenazah
itu terkapar di sini lalu membusuk dan mengotori udara di
sekitarnya. Aku harus mengubur dulu kedua jenazah itu, Engmoi.
Kalau engkau hendak kembali dulu ke rumah keluarga
Lo, silakan. Aku akan menyusul nanti."
"Hei , engkau marah, Lin-ko" Kalau itu kehendak dan
keputusanmu, tentu saja akupun suka membantumu
mengubur dua jenazah itu!" kata Sian Eng.
Han Lin dapat tersenyum lagi melihat betapa Sian Eng
dengan penuh semangat membantunya menggali lubang,
menggunakan pisau-pisau yang tadi disambitkan Ji Ok kepada
Han Lin namun dapat ditangkisnya. Tentu amat sulit menggali
lubang untuk mengubur jenazah hanya menggunakan pisaupisau.
Akan tetapi karena dua orang itu memiliki tenaga sinkang
yang kuat, akhirnya mereka dapat juga menggali sebuah
lubang yang cukup besar. Mereka lalu mengangkat dan
merebahkan dua jenazah itu berjajar dalam satu lubang,
kemudian menimbuni lubang itu dengan tanah sampai
menjadi segunduk tanah. Setelah selesai, matahari telah naik tinggi dan mereka
berdua lalu membersih kan kedua tangan di sebuah anak
sungai, kemudian mereka pergi kembali ke kota raja dan
langsung menuju ke rumah keluarga Lo.
Ketika mereka berdua tiba di rumah Lo Kang, ternyata
pesta itu telah bubaran. Semua tamu telah meninggalkan
tempat itu. Akan tetapi Lo Kang, isterinya, dan dua orang
anaknya menyambut kedatangan Sian Eng dengan gembira
sekali! "Silakan kalian berdua masuk dan mari kita duduk dan
bicara di dalam!" kata Lo Kang.
"Adik Sian Eng, engkau ternyata hebat sekali! Engkau harus mengajarkan ilmu
silat tinggi kepadaku!" kata Siang Kui sambil menggandeng tangan Sian Eng dengan
akrabnya. Sikap keluarga itu berubah sepenuhnya sekarang. Mereka sama
sekali tidak angkuh lagi terhadap dua orang muda itu, bahkan
ramah dan memuji-muji. Begitu mereka memasuki ruangan dalam dan duduk
mengitari sebuah meja bundar, pelayan berdatangan
membawa hidangan. Lo Kang sendiri yang menyuguhkan arak
secawan kepada Sian Eng dan Han Lin.
"Mari kita minum sebagai ucapan selamat datang kepada
keponakanku Lo Sian Eng dan ananda Han Lin yang menjadi
sahabat baiknya!" katanya dan semua orang minum secawan
arak. Kemudian, dengan ramahnya Lo Kang dan isterinya lalu
menawarkan hidangan itu kepada Sian Eng dan Han Lin. Dua
orang mud inipun makan minum bersama keluarga Lo.
"Bagaimana hasil kalian mengejar Ji Ok dan Sam Ok tadi,
Sian Eng?" tanya Lo Kang kepada keponakannya sambil
memandang wajah gadis itu dengan senyum penuh kagum.
"Kami telah berhasil membunuh dua orang datuk sesat
yang jahat itu, toapek. kami lalu menguburkan dua jenazah itu
lebih dulu, maka kami agak terlambat datang."
Keluarga itu menjadi terkejut sekali mendengar ini, "Kalian telah membunuh Ji Ok
dan Sam Ok" Ahhh.....!" kata Lo Kang sambil membelalakkan matanya memandang
kepada dua orang itu. Dia terkejut sekali dan juga heran. Terkejut bahwa
keponakannya dan sahabatnya itu telah membunuh dua orang
datuk besar dan hal ini pasti akan menggegerkan dunia kangouw.
Dan dia heran bagaimana keponakannya yang masih
amat muda dan wanita pula itu bersama sahabatnya yang
juga masih muda, mampu membunuh dua orang datuk sesat
yang sakti itu. "Kenapa, toa-pek?" tanya Sian Eng ambil menatap tajam wajah uwanya.
"Ah, tidak apa-apa, aku hanya heran dan terkejut.
Bagaimana kalian dapat membunuh dua orang datuk besar
yang sakti itu" Dan kalau hal ini terdengar oleh kawan-kawan
mereka, apakah tidak akan membahayakan kalian berdua?"
"Aku sama sekali tidak takut, toapek! Kalau ada yang
menuntut balas atas kematian Ji Ok dan Sam Ok, dia akan
kuhadapi dan akan kubasmi semua orang jahat yang
mengotorkan dunia! Sam Ok dan Ji Ok itu jahat sekali, dan
kalau Toa Ok sebagai orang pertama dari Thi-an-te Sam-ok itu
datang, akan kuhadapi dia!" kata Sian Eng dengan sikap
gagah. Lo Kang dan dua orang anaknya saling pandang.
Mereka merasa amat kagum, akan tetapi juga khawatir.
"Sian Eng, aku sungguh merasa heran sekali dan tidak
mengerti bagaimana engkau dapat memiliki ilmu silat setinggi
itu. Padahal ayahmu, setahuku adalah seorang kutu buku,
seorang sastrawar yang lemah, bahkan sekarang sudah
meninggal dunia dalam usia muda, juga ibumu. Bagaimana
engkau dapat memilik kepandaian seperti ini" Siapa gurumu?"
Sian Eng masih ingat akan sikap angkuh keluarga ayahnya
ini, maka ia tidak ingin menceritakan tentang kematian ayah
dan ibunya yang mengenaskan "Ayah dan ibu meninggal
dunia selagi aku masih kecil, berusia tiga tahun. Semenjak itu, aku dipungut
oleh guruku yang mengajarkan semua ilmu silat
ini kepadaku." "Ah, gurumu tentu seorang yang amat sakti. Siapakah dia,
Sian Eng?" tanya Lo kang dengan ingin tahu sekali.
Sian Eng tidak mau mengakui Suma Kiang sebagai gurunya
lagi, maka ia menjawab tanpa menyebut nama gurunya yang
pertama dan yang merupakan orang yang memeliharanya
sejak kecil itu. "Guru saya adalah mendiang Hwa Hwa Cin-jin yang tinggal di
puncak Ekor Naga di pergunungan Cin-lingsan."
"Hwa Hwa Cinjin" Belum pernah aku mendengar nama itu.
Dia telah meninggal dunia?"
"Benar, toapek, meninggal dalam usia tua dan karena sakit sebagai akibat
pengeroyokan Thian-te Sam-ok. Karena itulah
maka aku dan Lin-ko ini membunuh Ji Ok dan Sam Ok!"
Lo Kang mengangguk-angguk. "Engkau hebat, Sian Eng.
Kami senang sekali dapat menerima sebagai keluarga dekat
kami. Engkau masih semarga dengan kami, puteri adik
kandungku sendiri. Karena engkau sekarang sudah yatim
piatu, maka sudah sepantasnyalah kalau engkau tinggal
bersama kami. Engkau akan kami anggap sebagai anakku
sendiri dan engkau dapat membimbing kedua kakakmu Cin Bu
dan Siang Kui untuk memperdalam ilmu-ilmu silat mereka."
"Eng-moi (adik Eng), tinggal ah di sini bersama kami." kata Cin Bu dengan senyum
ramah. "Tentu saja! Engkau harus tinggal bersama kami, Eng-moi!
Engkau adalah adikku sendiri, kita dapat berlatih bersama.
Oya, aku sudah bertunangan, Eng moi dan tak lama lagi akan
menikah. Engkau sudah melihat tunanganku, bukan?" kata
Siang Kui. "Benar, Siang Eng. Akupun akan senang sekali kalau
engkau suka menjadi anggauta keluarga kami dan tinggal di
sini." kata pula Nyonya Lo Kang.
Melihat keramahan mereka, hati Sia Eng merasa terhibur
juga. Agaknya ia salah kira. Mereka itu ternyata tidak
seangkuh yang ia sangka. Ia memandang Siang Kui sambil
tersenyum. "Aku sudah melihat tunanganmu, enci Siang Kui. Bukankah
dia putera pangeran itu?" katanya.
"Benar dia! Bagaimana pendapatmu tentang dia" Cukup
baik dan cocok untuk menjadi suamiku, bukan?" tanya pula
Siang Kui dengan sikap terbuka sekali.
Sian Eng tersenyum lebar, timbul kegembiraannya melihat
sikap yang terbuka dan polos dari Siang Kui itu. "Hemm,
menurut penglihatanku, dia cukup gagah dan berwibawa,
cukup cocok untuk menjadi jodohmu, enci Kui."
Semua orang tertawa gembira mendengar jawaban ini dan
Siang Kui lalu mendekati Sian Eng dan merangkulnya. "Terima kasih, adik Eng. Dan
bagaimana dengan engkau sendiri"
Apakah engkau sudah mendapatkan jodoh?" Sambil berkata
demikian, Siang Kui mengerling ke arah Han Lin yang hanya
menundukkan muka "Ah, belum.....!" kata Sian Eng lirih.
"Tunangan juga belum?"
Sian Eng menggeleng kepalanya, menahan senyum.
"Akan tetapi tentu sudah memiliki pilihan hati, bukan"
Kulihat saudara Han Lin ini...."
Han Lin terkejut dan cepat dia bangkit berdiri sambil
memberi hormat. "Saya dan nona Lo Sian Eng adalah sahabat-sahabat baik
yang sudah melebihi saudara sendiri. Eng-moi, engkau telah
dapat bertemu dengan keluargamu dan diterima dengan baik.
Oleh karena itu, perkenankan aku pergi melanjutkan
perjalananku." "Akan tetapi bukankah tujuan perjalananmu ke kota raja,
Lin-ko" Dan sekarang kita sudah tiba di kota raja!" bantah Sian Eng yang
sebetulnya tidak ingin berpisah dari pemuda
itu. "Benar, Eng-moi. Akupun tidak akan pergi dari kota raja
karena tujuanku memang ke sini. Akan tetapi banyak hal yang
harus kukerjakan. Karena itu, biarlah engkau tinggal di sini
bersama keluargamu dan aku akan menyelesaikan urusanku."
"Akan tetapi, kalau engkau dapat bertemu dengan Toa Ok
atau Suma Kiang, harap kau kabarkan kepadaku, Lin-ko. Aku
akan selalu merasa penasaran kalau tidak dapat merobohkan
mereka dengan tanganku sendiri. Engkaupun membutuhkan
bantuanku, Lin-ko. Mereka adalah orang-orang berbahaya."
Untuk melegakan hati Sian Eng, Han Lin berkata, "Baiklah, Eng-moi. Aku akan
mengabarkan kepadamu kalau aku
bertemu dengan mereka." Dia lalu bangkit berdiri dan
memberi hormat kepada Lo Kang.
"Paman Lo Kang, terima kasih atas penerimaan keluarga
paman kepada saya dengan ramah sekali. Mudah-mudahan
sahabat baik saya adik Lo Sian Eng akan dapat hidup
berbahagia dengan paman kalian di sini. Selamat tinggal!"
"Jaga dirimu baik-baik, Lin-ko!" kata Sian Eng dan suaranya terdengar agak
menggetar. "Engkau juga, jaga dirimu baik-baik, Eng-moi." kata Han Lin dengan setulus
hatinya. Dia sungguh amat menyayang
gadis itu dan dia tahu betapa besar cinta kasih gadis itu
kepadanya. Dia tahu bahwa kalau di sana tidak ada Tan Kiok
Hwa yang telah menjatuhkan hatinya, kiranya akan mudah
sekali baginya untuk jatuh cinta kepada Lo Sian Eng.
Sekeluarga itu mengantar Han Lin sampai keluar
pekarangan rumah itu. Setelah Han Lin pergi dan lenyap di
sebuah tikungan jalan, Sian Eng masih berdiri termenung di
situ, merasa kehilangan sekali, seolah semangatnya ikut
terbang mendampingi Han Lin.
Siang Kui merangkul pundaknya. "Mari kita kembali ke
dalam, Eng-moi." Sian Eng menghela napas panjang dan menyadari
keadaannya, lalu ia ikut masuk bersama keluarga itu.
Sepasang orang muda yang memasuki pintu gerbang kota
raja sebelah selatan itu tampak serasi. Pemudanya berusia
kurang lebih dua puluh satu tahun, bertubuh tinggi tegap dan
wajahnya tampan, sepasang matanya yang tajam itu
membayangkan kecerdikan, senyumnya sinis seolah selalu
mengejek apa yang dilihatnya. Gadis pasangannya itu lebih
menarik hati. Melihat wajah dan bentuk badan nya, iapun
kelihatan masih muda sekali, tidak lebih dari dua puluh tahun.
Wajahnya cantik jelita, mata dan mulutnya indah


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggairahkan, akan tetapi pada mata dan mulut itu tampak
kegenitan, terutama matanya dengan kerling-kerling yang
tajam memikat. Bibirnya juga selalu tersenyum menantang. Pakaiannya
indah dan mewah, dan gadis ini membawa sebuah payung
yang digambari beraneka warna dengan dasar warna merah
sehingga ketika payung itu melindungi wajahnya dari sinar
matahari, timbul warna kemerahan yang membuat wajahnya
tampak semakin menarik. Mereka itu bukan lain adalah Ouw Ki Seng dan Sian Hwa
Sian-li. Seperti telah kita ketahui, kedua orang ini melakukan perjalanan
bersama ke kota raja. Ouw Ki Seng pergi ke kota
raja dengan niat hendak memperkenalkan diri kepada Kaisar
Cheng Tung sebagai Cheng Lin, putera kaisar itu. Sian Hwa
Sian-li. yang sudah menjadi sahabat baik, juga kekasihnya itu
menemaninya sehingga perjalanan itu seolah merupakan
perjalanan bulan madu bagi mereka berdua. Hubungan
mereka semakin lekat dan mesra.
"Sianli, kita telah tiba di kota raja. Ah, betapa indah dan megahnya bangunan
bangunan itu!" kata Ki Seng sambil
memandang ke kanan kiri dengan kagum.
Belum pernah dia datang ke kota raja sebelumnya dan dia
amat kagum akai kemegahan kota raja.
Sian Hwa Sian-li yang sudah pernah beberapa kali
berkunjung ke kota raja tersenyum melihat kekaguman Ki
Seng "Tunggu sampai engkau melibat istana kaisar, tentu
engkau akan menjadi semakin kagum." katanya.
"Sebaiknya kita lebih dulu mencari sebuah kamar di rumah
penginapan, dan kita berunding apa yang harus kulakukan
selanjutnya, Eh..... alangkah cantik jelitanya gadis itu..,.!" Ki Seng memandang
ke arah kiri dari mana datang seorang
gadis. Memang sungguh luar biasa cantik jelita dan
menariknya gadis yang melenggang dengan tenang itu.
Usianya kurang lebih sembilan belas tahun. Wajahnya cantik
jelita dan manis sekali. Kulit muka, leher, dan tangannya tampak putih dan agak
kemerahan tanda sehat. Pakaiannya terbuat dari sutera putih
yang bersih sekali. Sepatunya berwarna hitam, Ki Seng seperti
terpesona memandangnya. Sepasang mata gadis itu
mengingatkan dia akan mata burung Hong dalam gambar,
hidungnya kecil mancung dan mulutnya amat indah dengan
bibir yang merah basah dan selalu tersenyum ramah, sinar
matanya juga lembut sekali dan penuh pengertian. Gadis itu
membawa sebuah buntalan kuning di punggungnya. Seorang
gadis yang luar biasa cantiknya, mengingatkan Ki Seng akan
patung Kwan Im Posat yang pernah dilihatnya dalam sebuah
kuil! Sian Hwa Sian-li juga sudah melihat gadis berpakaian putih
itu dan iapun harus mengakui bahwa gadis itu memang cantik
bukan main. "Hemm, engkau tergila-gila kepadanya?" tanyanya lirih, tanpa rasa cemburu. Kedua
orang ini memang sudah bersepakat bahwa hubungan mereka tidak ada ikatan apapun
dan masing-masing bebas untuk bersenang-senang dengan
pasangan lain. Itu pula sebabnya maka Sian Hwa Sian-li tidak
cemburu kepada Ciang Mei Ling, bahkan membantu Ki Seng
mendapatkan gadis itu. "Ah, ia manis sekali. Sian-li, tolonglah aku
mendapatkannya. Aku akan merasa berbahagia sekali dan
berterima kasih sekali kepadamu kalau aku bisa mendapatkan
gadis itu!" kata Ki Seng penuh gairah.
Mereka melihat betapa gadis berpakaian putih itu
memasuki sebuah toko obat besar.
"Kita cari kamar dulu. Itu ada sebuah rumah penginapan.
Mari kita mencari kamar di sana, baru kita atur bagaimana
untuk mendapatkan gadis itu. Jangat khawatir, aku akan
membantumu sampai berhasil." Mereka berdua lalu pergi ke
rumah penginapan An Lok yang berdiri di seberang jalan, tak
jauh dari rumah obat itu. Cepat mereka memesan sebuah
kamar pada pengurus rumah penginapan dan mendapatkan
sebuah kamar nomor sebelas. Setelah mendapatkan kamar,
mereka berdua lalu keluar lagi dan menuju ke rumah obat.
"Kau tunggu saja di luar, biar aku yang akan menyelidiki
keadaannya." kata Sian Hwa Sian-li. Ki Seng mengangguk dan dia menanti di luar,
membiarkan Sian Hwa Sian-li masuk
sendiri ke rumah obat yang besar itu.
Gadis berpakaian putih yang cantik jelita itu adalah Tan
Kiok Hwa yang berjuluk Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat berbaju
Putih). Karena ia kehabisan beberapa macam obat penting
yang selalu dibawanya sebagai bekal untuk menolong orang
kalau sewaktu-waktu dibutuhkan, maka melihat toko obat
besar itu, ia lalu masuk melihat-lihat.
Ketika Sian Hwa Sian-li memasuki toko obat itu, ia purapura
melihat-lihat dan mendekati Kiok Hwa yang sedang
memesan beberapa macam obat kepada pelayan toko. Kiok
Hwa menyebutkan beberapa macam obat dengan lancar dan
bahkan memberi keterangan obat macam apa yang ia
perlukan. Pelayan toko obat Itu memandang heran.
"Wah, nona begitu hafal dan lancar menyebutkan obat-obat
yang langka dan jarang dikenal orang. Bagaimana nona dapat
mengenal semua nama obat-obat itu?" tanya pelayan toko
obat sambil sibuk mengambilkan obat-obat yang dipesan Kiok
Hwa. Kiok Hwa tersenyum, manis sekali "Aku memang biasa
mengobati orang orang yang sakit, maka aku mengenal
banyak macam obat." "Aih, kiranya nona seorang tabib yang pandai?" pelayan itu berseru penuh kagum.
Orang masih begini muda, wanita lagi,
ternyata seorang tabib yang pandai.
"Ah, bukan tabib pandai, akan tetap kalau ada orang sakit yang membutuhkan
pertolongan, setiap saat aku siap sedia
untuk mencoba mengobatinya." kata Kiok Hwa.
Mendengar percakapan itu, cepat Sia Hwa Sian-li keluar
dari toko obat. "Ki Seng, ternyata ia seorang ahli pengobatan. Cepat
engkau kembali ke kamar kita di rumah penginapan. Aku akan
memancingnya ke sana untuk mengobatimu. Engkau boleh
berpura-pura sakit berat."
"Hemm, aku memang sakit berat,Sian-li. Sakit rindu....."
"Hushh, sudahlah, cepat sana. Aku akan membujuknya
agar mau mengobatimu."
Ki Seng bergegas menuju ke rumah penginapan An Lok,
memasuki kamarnya dan menunggu di situ dengan hati
berdebar penuh harapan. Dia sudah membayangkan betapa
akan senangnya dapat memeluk gadis berpakaian putih yang
amat cantik jelita itu. Sian Hwa Sian-li masuk kembali ke dalam toko obat dan
begitu memasuki toko obat, ia menangis terisak-isak, air
matanya bercucuran dan diusapnya dengan tangannya.
Melihat seorang wanita cantik masuk sambil menangis, hal ini
tentu saja menarik perhatian pelayan toko obat. Segera dia
menghampiri wanita yang menangis itu dan bertanya.
"Nona, engkau kenapakah" .Mengapa rngkau menangis di
sini?" Sambil terisak Sian Hwa Sian-li berkata, berdirinya dekat
gadis berpakaian putih tadi. "Aku..... aku bingung sekali.
Adikku terserang penyakit keras, entah mengapa.... dia
pingsan..... badannya panas.... aku ingin membeli obat, akan
tetapi tidak tahu obat apa yang harus kubeli...." Ia menangis lagi.
"Wah, kebetulan sekali. Nona ini adalah seorang tabib
pandai, engkau dapat minta tolong kepadanya!" kata pelayan toko itu sambil
menuding ke arah Kiok Hwa.
Mendengar ini, Sian Hwa Sian-li lalu maju dan menjatuhkan
diri berlutut di depan kaki Kiok Hwa. "Tolonglah, tolong-lah adikku yang sakit
berat!" katanya memohon.
Kiok Hwa memegang kedua pundak Sian Hwa Sian-li dan
menariknya bangkit. "Bangunlah, enci, tidak perlu engkau berlutut seperti ini.
Aku pasti akan suka menolong adikmu yang sakit. Di mana
dia?" "Kami adalah pendatang dari luar kota dan kini kami tinggal di rumah penginapan,
tak jauh dari sini." kata Sian Hwa Sianli.
Kiok Hwa lalu membayar harga obat-obat yang dibelinya,
memasukkan bungkusan obat-obat ke dalam buntalan di
gendongannya, kemudian ia keluar dari toko obat mengikuti
Sian Hwa Sian-li. Setibanya di luar kamar di mana Ki Seng menanti, Sian-li
bicara cukup lantang kepada Kiok Hwa. "Mendadak saja
wajahnya menjadi pucat, tubuhnya panas dan jatuh pingsan.
Aku khawatir sekali dia terserang penyakit yang berbahaya,
nona. Tolonglah sembuhkan dia!"
Ki Seng yang berada dalam kamar itu tentu saja
mendengar ucapan ini yang memang dilakukan Sian Hwa
Sian-li agar terdengar olehnya. Ki Seng cepat merebahkan diri
terlentang di atas pembaringan.
"Tenanglah, enci. Setelah memeriksanya dan menentukan
bagaimana keadaannya dan apa penyakitnya, mudahmudahan
aku dapat mengobati dan menyembuhkannya." kata
Kiok Hwa sambil mengikuti Sian Hwa Sian-li yang membuka
pintu dan memasuki kamar itu.
"Nah, itu dia, nona. Lihat, dia begitu pucat dan napasnya memburu. Dia masih
pingsan...... ahhh......!" kata Sian Hwa Sian-li, dalam hatinya merasa geli
melihat Ki Seng yang berpura-pura pingsan. Kiok Hwa menarik sebuah kursi didekatkan dengan
pembaringan. Ia melihat seorang pemuda tampan gagah
telentang di atas pembaringan, wajahnya pucat sekali,
napasnya terengah dan sepert orang tidur atau tak sadar. Ia
lalu duduk di atas kursi dekat pembaringan, kemudian
memegang pergelangan tangan kiri Ki Seng untuk merasakan
denyut nadinya Ia mengerutkan alisnya, meraba leher dan
dahi, kemudian tersenyum, wajahnya keheranan. Ia tahu
benar bahwa pemuda itu hanya pura-pura saja pingsan.
Wajah pucat, napas memburu dan tubuh panas itu hanya
buatan, dilakukan dengan pengerahan sin-kang. Ia tahu
bahwa pemuda ini seorang ahli sin-kang (tenaga sakti) yang
sedang mempermainkannya. Kiok Hwa bangkit berdiri dan menghampiri buntalannya
yang tadi ia turunkan dari punggung dan ia letakkan di atas
meja. "Enci, adikmu ini tidak sakit apa-apa, jangan kau
khawatir. Dia akan sembuh dengan sendirinya tanpa obat."
Sian Hwa Sian-li dan Ki Seng terkejut dan kagum
mendengar ucapan itu. Tahulah mereka bahwa gadis cantik
jelita berpakaian putih ini benar-benar seorang yang ahli
dalam pengobatan. Sian Hwa Sian-li pura-pura heran.
"Akan tetapi dia pingsan...."
"Jangan khawatir, mungkin dia lelah atau bermain-main
saja." kata pula Kiok Hwa. "Dia tidak memerlukan bantuanku."
Sian Hwa Sian-li cepat menghampiri meja dan menuangkan
air teh dari poci ke dalam cangkir yang memang sudah
dipersiapkan Ki Seng sejak tadi.
"Nona, sebelum engkau pergi, terimalah suguhanku ini.
Hanya inilah yang dapat kami berikan sebagai ucapan terima
kasih atas kebaikan hatimu!" Ia memberikan cangkir yang di si setengahnya dengan
air teh itu kepada Kiok Hwa. Kiok Hwa
tersenyum dan ia mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari
dalam buntalan pakaiannya, membuka bungkusan itu, barulah
ia menerima secangkir air teh. Dituangkannya sedikit bubuk
putih dari bungkusan itu dalam air teh.
"Terima kasih." katanya lalu diminumnya air teh itu sampai habis.
Setelah minum air teh dan meletakkan cangkir kosong itu
ke atas meja Kiok Hwa memejamkan matanya dan agak
terhuyung ia duduk di atas kursinya kembali, matanya tetap
terpejam dan ia duduk tegak di atas kursi. Melihat ini, Sian
Hwa Sian-li dan Ki Seng menjadi girang. Obat perangsang
milik Sian Hwa Sian-li yang dicampurkan dalam air teh itu
biasanya manjur sekali dan mereka menduga bahwa Kiok Hwa
tentu mulai terpengaruh. Sambil tersenyum kepada Ki Seng yang sudah membuka
kedua matanya, Sian Hwa Sian-li mengangguk lalui bangkit
berdiri dan keluar dari kamar itu, menutupkan kembali daun
pintu kamar dari luar. Ia hendak memberi kesempatan kepada
Ki Seng untuk berdua saja dengan calon korban itu.
Melihat dia sudah tinggal berdua saja dengan gadis jelita
itu Ki Seng lalu bangkit duduk dan memandang kepada Kiok
Hwa. Gadis ini masih duduk di atas kursi, kedua tangannya
diletakkan di atas meja di depannya dan kedua matanya
masih terpejam, sepasang pipinya kemerahan.
Ki Seng menduga bahwa tentu gadis itu sudah mulai
terpengaruh obat perangsang. Karena ketika dia
mempergunakannya untuk menundukkan Ciang Mei Ling,
gadis itupun segera saja terpengaruh dan terangsang. Dia lalu
turun dari pembaringan, duduk di atas kursi dekat Kiok Hwa
dan tangannya bergerak hendak memegang tangan Kiok Hwa
yang berada di atas meja.
Akan tetapi pegangannya itu luput. Dengan cepat sekali
Kiok Hwa sudah menarik kedua tangannya dari atas meja
ketika hendak ditangkap. Ketika Ki Seng memandang, ternyata
Kiok Hwa sudah membuka kedua matanya dan memandang
kepadanya dengan sinar mata tajam.
"Sobat, engkau sama sekali tidak sakit. Jangan mencobacoba untuk mempermainkan
aku. Engkau hanya berpurapura."
kata Kiok Hwa dengan suara mengandung nada
teguran. Ki Seng yang mengira gadis itu sudah terpengaruh obat
perangsang, tersenyum. "Nona yang cantik, aku memang
sakit, benar-benar sakit. Aku menderita sakit rindu kepadamu,
aku tergila-gila kepada mu, begitu melihatmu, aku langsung
jatuh cinta! Marilah, manisku, engkaupu cinta padaku,
bukan?" Ki Seng meraih dengan tangannya untuk merangkul,
akan tetapi gadis itu telah bangkit dan mengelak mundur
sehingga tangan itu meraih tempat kosong. Kiok Hwa
menggendong lagi buntalannya di belakang punggung.
"Tidak, aku tidak cinta padamu. Kita baru saja bertemu,
aku tidak mengenalmu. Sungguh tidak sopan bicara tentang
cinta!" -00dw00kz00- Jilid XXII KI SENG membelalakkan kedua matanya, hampir tidak
percaya melihat sikap dan mendengar ucapan gadis itu, "Akan tetapi, engkau sudah


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

minum...." "Hemm, jangan dikira bahwa aku tidak tahu akan
perbuatan keji itu, mencampurkan racun perangsang ke dalam
air teh! Akan tetapi jangan harap dapat menjebak aku dengan
segala macam racun pembius atau perangsang. Sobat, aku
melihat bahwa engkau bukan orang bodoh, bahkan engkau
memiliki tenaga sin-kang yang sudah cukup tinggi sehingga
engkau dapat main-main seperti orang menderita sakit berat.
Kenapa engkau hendak menggunakan kepandaianmu itu
untuk melakukan kejahatan yang amat keji, menjebak seorang
wanita" Apakah engkau tidak malu" Sepatutnya engkau
mempergunakan ilmu yang tentu telah engkau pelajari
bertahun-tahun itu untuk melakukan kebaikan, bukan untuk
mengumbar nafsu melakukan kejahatan yang keji. Nah, aku
pergi!" Setelah berkata demikian, Kiok Hwa melangkah menuju ke
pintu. Ki Seng hanya memandang dengan mata terbelalak
keheranan, juga dia semakin kagum kepada gadis ahli
pengobatan itu. Kiranya bukan hanya seorang gadis tabib
biasa, melainkan agaknya juga seorang ahli silat yang pandai.
Buktinya tahu bahwa dia berpura-pura sakit menggunakan sinkang dan pula, dua
kali tangannya meraih namun selalu luput.
Pada saat Kiok Hwa hampir tiba dI pintu, daun pintu itu
terbuka dari luar dan masuklah Sian Hwa Sian-li. Wanita ini
melihat Kiok Hwa melangkah hendak pergi dan melihat pula Ki
Seng berdiri dekat meja dengan mata terbelalak.
"Eh, apa yang terjadi?" tanyanya heran. Ia tadi
mendengarkan dari luar pintu dan mendengar ucapan Kiok
Hwa maka ia membuka pintu karena menduga telah terjadi
kegagalan. Maka, ketika melihat Kiok Hwa sudah
menggendong buntaiannya hendak pergi dari situ sedangkan
Ki Seng diam saja tidak mencegah, ia merasa heran sekali.
Melihat wanita itu, Kiok Hwa memandang tajam dengan
hati merasa jijik. ia tahu bahwa wanita ini bersekongkol
dengan pemuda itu untuk menjebaknya.
"Aku tidak dibutuhkan siapapun di sini. biarkan aku pergi!"
katanya dan ia melangkah hendak keluar dari dalam kamar.
"Hemm, engkau tentu telah menelan obat penawar tadi.
Perlahan dulu, jangan pergi!" kata Sian Hwa Sian-li dan cepat tangannya meluncur
untuk menotok pundak Kiok Hwa.
"Wuuuttt....!" Dan totokan itu luput, dengan gerakan langkahnya yang aneh, Kiok
Hwa telah dapat mengelak dari
totokan itu. Sian Hwa Sian-li terkejut dan cepat tangan kirinya mencengkeram ke
arah pundak untuk menangkap Kiok Hwa,
akan tetapi pundak itu bergerak ke bawah dan cengkeraman
itupun luput "Biarkan ia pergi!" tiba-tiba terdengar Ki Seng berseru.
"Akan tetapi...." Sian Hwa Sian-li membantah.
"Biarkan ia pergi kataku!" Ki Seng membentak dan Sian Hwa Sian-li tidak berani
membantah lagi, lalu melangkah
mundur membiarkan Kiok Hwa yang melangkah keluar dari
pintu kamar itu. Setelah Kiok Hwa pergi, Sian Hwa Sian-li cepat
menghampiri Ki Seng yang telah duduk di atas kursi. "Ki Seng, apa yang telah
terjadi" Kenapa ia....ia tidak....."
"Hemm, kau lihat sendiri. Obatmu itu tidak dapat
mempengaruhinya!" kata Ki Seng agak ketus karena kecewa.
"Kau tidak melihat tadi, ketika ia akan minum air teh, lebih dulu ia
mencampurkan bubuk putih ke dalam air teh itu. Itu
tentu merupakan obat penawar. Tidak aneh kalau ia tidak
terpengaruh oleh obat perangsangku." Sian Hwa Sian-Li
membela obatnya. "Akan tetapi apa sukarnya untuk
menangkap dan menundukkannya" Kenapa engkau tidak
menangkapnya dan engkau malah mencegah aku
menangkapnya dan membiarkan ia pergi?" Pertanyaan ini
mengandung penasaran. "Tidak! Aku tidak suka mendapatkan seorang gadis dengan
paksa, aku tidak sudi melakukan perkosaan. Dan lagi, aku......
mencintanya, Sian-li, aku sungguh mencintanya, aku kagum
kepadanya." Sian Hwa Sian-li tidak menyadari bahwa ialah yang menjadi
guru pertama bagi Ki Seng dalam bercinta. Dan ia merupakan
seorang guru yang bukan hanya sukarela menyerahkan diri,
bahkan penuh kemesraan dan penuh cinta kasih. Karena itu,
sedikit banyak hal ini membentuk watak Ki Seng terhadap
wanita, dia menghendaki agar semua wanita menyerahkan diri
kepadanya seperti yang dilakukan Sian Hwa Sian-li, dengan
suka rela dan mesra. "Akan tetapi engkau telah membiarkan ia pergi, Ki Seng.
Bagaimana engkau kelak akan bisa mendapatkannya?"
"Biarlah. Kalau aku sudah menjadi seorang pangeran, tentu aku akan dapat
nenemukannya kembali. Dan aku ingin tahu
apakah ia akan menolak cinta seorang pangeran kepadanya!
Aku ingin ia menyerah dengan suka rela dan membalas
cintaku." Sian Hwa Sian-Li mengerutkan alisnya. Hatinya merasa
tidak senang dan tidak enak. Ia merasa cemburu kepada Kiok
Hwa yang agaknya demikian dicinta oleH Ki Seng.
"Sekarang, apa yang akan kau lakukan?" tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.
"Aku akan segera pergi menghadap Kaisar. Sekarang mari
kita makan dulu. perutku terasa lapar sekali."
Sian Hwa Sian-li dan Ki Seng meninggalkan rumah
penginapan karena rumah penginapan itu tidak menyediakan
restoran. Akan tetapi mereka tidak perlu berjalan jauh. Tak
jauh dari situ terdapal sebuah rumah makan yang besar. Siang
itu banyak tamu mengunjungi rumah makan itu. Ki Seng dan
Sian Hwa Sian-li mendapatkan meja di sudut, agak terpisahl
dari ruangan depan yang luas dan penuhi tamu. Tak jauh dari
situ duduk seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih,
seorang diri dan agaknya dia juga masih menanti hidangan
yang dipesannya karena di mejanya belum terdapat hidangan,
kecuali sebuah guci arak dan cawannya, kakek itu minum arak
seorang diri. Ki Seng duduk dan kebetulan posisi duduknya menghadap
ke arah kakek yang duduk seorang diri itu. Pandang mata
mereka bertemu, akan tetapi kakek itu lalu mengalihkan
pandangan matanya, sama kali tidak memperhatikan pemuda
itu. Akan tetapi Ki Seng mencuri pandang dengan penuh
perhatian. Sepasang pedang yang tersembul gagangnya di
belakang pundak kakek itu menarik perhatiannya, membuat
dia memperhatikan kakek itu. Seorang kakek yang bertubuh
kurus tinggi, mukanya kemerahan, dahinya lebar dan
sepasang matanya sipit. Mulutnya seperti tersenyum
mengejek dan jenggotnya panjang sampai ke leher.
Sian Hwa Sian-li duduk di depan Ki Seng dan wajah wanita
cantik ini tampak muram, mulutnya yang menggairahkan dan
penuh nafsu itu sekali ini cemberut. Seorang pelayan
menghampiri mereka dan Ki Seng memesan masakan dan
minuman setelah bertanya kepada Sian Hwa Sian-li dan
wanita itu mempersilakan dia saja yang memilih macam
masakan yang di pesan. Ketika mereka menanti datangnya hidangan yang mereka
pesan, Ki Seng me lihat wajah temannya yang cemberut "Eh, Sian-li, kenapa
wajahmu muram dan engkau cemberut saja"
Apa yang meng ganggu pikiranmu?" tanya Ki Seng yanj
melihat bahwa kakek di meja depan itu masih asik minum arak
dan makan kue kering dengan sikap tidak acuh. Namun tetap
saja dia bicara dengan suara lirih hampir berbisik. Sama sekali dia tidak pernah
mengira bahwa yang duduk di depannya
bukan orang biasa, melainkan seorang datuk yang berilmu
tinggi sehingga biarpun dia berbisik, datuk itu tetap saja
mampu menangkap suaranya. Apalagi ketika dia menyebut
Sian-li (Dewi) kepada temannya. Kakek itu walaupun tampak
tidak mengacuhkan, sebenarnya diam diam memasang telinga
dan kadang-kadang mengerling dengan matanya yang sipit
sehingga tidak kentara bahwa matanya itu mengerling ke arah
meja Ki Seng. Sian Hwa Sian-li menjawab sambil berbisik pula. "Perlukah engkau bertanya lagi"
Engkau menyakitkan hatiku. Engkau
jatuh cinta kepada seorang wanita di depan mataku, sungguh
menyakitkan hati ekali!"
Ki Seng mengerutkan alisnya. "Hemm, jadi engkau
cemburu, Sian-li" Bukankah kita tidak saling terikat dan
memberi kebebasan kepada masing-masing" Kepada Mei Ling
pun engkau tidak cemburu. Kenapa sekarang engkau cemburu
kepada gadis itu, padahal aku belum melakukan apa-apa
terhadapnya?" "Justeru itulah yang membuat hatiku panas!" kata Sian Hwa Sian-li dan saking
marahnya, suaranya agak kuat.
"Andaikata engkau memaksanya menyerah, aku tidak akan
cemburu. Akan tetapi tidak, engkau tidak tega memaksanya
karena ngkau jatuh cinta kepadanya. Gadis itu telah membuat
engkau lupa diri. Kalau lain kali aku bertemu dengannya, pasti ia akan kubunuh!"
Ki Seng yang benar-benar jatuh cinta kepada Kiok Hwa,
menjadi marah pula mendengar ucapan itu. "Hemm, kalau
engkau hendak membunuhnya, maka aku yang akan
membelanya mati-matian! Sian-li, apakah engkau sudah lupa
kepada ini?" Dia menyingkap bajunya memperlihatkan suling kemala yang terselip
di pinggangnya. Melihat benda itu, seketika Sian-li diam dan menundukkan
mukanya. Teringatlah ia bahwa pemuda yang duduk di
depannya ini adalah seorang pangeran. Dan bagi seorang
pangeran, tentu saja wajar kalau membagi-bagi cintanya di
antara banyak wanita! Pelayan datang mengantarkan hidangan di atas meja.
"Sudahlah, tidak perlu bicara yang bukan-bukan. Mari kita makan!" ajak Ki Seng
dan Sian-li menurut tanpa banyak
membantah lagi, wajahnya juga tidak semuram tadi. Ia
memaksa diri untuk bermuka manis kembali. Ki Seng
mengangkat muka dan kebetulan ia bertemu pandang dengan
kakek itu yang juga sudah mulai makan hidangan yang
dipesannya. Sejenak Ki Seng terkejut melihat sinar mata yang
mencorong dari kakek itu. Akan tetapi kakek itu lalu
mengalihkan pandangan dan melanjutkan makan dengan
sikap tak acuh sehingga Ki Seng kehilangan kecurigaannya.
Tentu saja Suma Kiang terkejut sekali ketika tadi Ki Seng
menyingkap bajunya memperlihatkan suling kemala kepada
Sian-li. Dia segera mengenal suling pusaka kemala itu sebagai
milik mendiang Chai Li yang tentu saja terjatuh ke tangan
puteranya yang dia tahu bernama Cheng Lin, putera Kaisar
Cheng Tung! Karena itu dia memperhatikan wajah pemuda
itu. Dia masih ingat baik-baik akan wajah Cheng Lin dan yakin
benar bahwa biarpun usia dan perawakan pemuda ini sama
dengan Cheng Lin, namun wajahnya berbeda. Apalagi setitik
tahi lalat di bawah telinga kanan pemuda ini jelas
menunjukkan bahwa dia bukanlah Cheng Lin, putera kaisar!
Bagaimana suling pusaka kemala itu dapat berada di tangan
pemuda ini" Dan pemuda itu memperlihatkan suling pusaka
itu kepada teman perempuannya dengan lagak
mempengaruhi. Tentu ada maksud tertentu dengan suling itu
bagi pemuda yang tidak dikenalnya ini.
Suma Kiang adalah seorang yang amat cerdik. Dia segera
dapat menduga bahwa pemuda itu mungkin sekali akan
mengakui dirinya sebagai Cheng Lin agar diterima kaisar
sebagai puteranya. Pemuda itu hendak memalsukan Cheng Lin
yang tidak diketahuinya kini berada di mana, masih hidup
ataukan sudah mati. Dia telah selesai makan. Akan tetapi
sengaja dia atur sehingga selesainya sama waktunya dengan
pemuda dan gadis yang sudah selesai makan pula. Suma
Kiang memanggil pelayan dan membayar harga makanan dan
minuman. Akan tetapi dia tidak segera pergi melainkan duduk
menghadapi mejanya. Ketika melihat pemuda dan gadis itu
membayar makanan, dia cepat bangkit dan menghampiri meja
kasir d mana duduk pengurus rumah makan itu. Di situ dia
minta pinjam alat tulis dan kertas, lalu membuat tulisan
pendek, Setelah itu, dia keluar dari rumah maka dan berdiri di tepi jalan.
Kertas bertulis itu dilipatnya beberapa kali.
Ki Seng dan Sian Hwa Sian-li keluar dari rumah makan.
Setelah mereka tiba di tepi jalan, tiba-tiba Ki Seng melihat
sebuah benda putih melayang ke arah mukanya. Cepat dia
menangkap benda itu dan mengangkat muka memandang.
Ternyata kakek yang tadi duduk berhadapan meja dengannya
itulah yang telah melemparkan benda itu kepadanya. Benda
itu ternyata sehelai kertas yang dilipat-lipat. Dapat
melontarkan kertas seringan itu dari jarak jauh dengan cukup
kuat menunjukkan bahwa kakek itu memiliki tenaga sakti yang
kuat. Cepat dibukanya surat itu.
"Apakah itu?" tanya Sian Hwa Sian-li yang melihat ketika Ki Seng menangkap benda
kecil yang terbang menyambar tadi.
Wanita inipun segera dapat mengetahui siapa pelempar benda
itu. Ki Seng tidak menjawab melainkan membuka surat itu dan
membacanya, Sian Hwa Sian-li mendekatkan mukanya dan
ikut membaca. "Aku tahu akan rahasiamu. Ikuti aku keluar kota dan kita
bicara tentang Suling Pusaka Kemala!"
Membaca surat itu, tentu saja Ki Seng terkejut bukan main.
Orang itu mengetahui tentang suling pusaka, berarti dia tahu
pula bahwa dia bukan Cheng Lin yang asli. Dia mengangkat
muka dan melihat kakek itu sudah melangkah pergi menuju ke
pintu gerbang sebelah timur.
"Mari kita ikuti dia!" kata Ki Seng kepada Sian Hwa Sian-li dan mereka berdua
cepat melangkah dan mengikuti kakek
pengirim surat tadi. Kakek yang kita kenal sebagai Suma Kiang itu berjalan
menuju ke pintu gerbang sebelah timur yang sepi
keadaannya. Dia antara ke empat pintu gerbang kota raja,
yang paling ramai lalu lintasnya adalah pintu gerbang selatan.
Di pintu gerbang timur ini jarang ada orang berlalu lalang.
Suma Kiang keluar dari pintu gerbang, maklum bahwa dua
orang muda itu terus mengikutinya. Setelah tiba di tempat
yang sunyi dan tidak tampak ada orang lain, dia lalu
mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari
cepat menuju ke sebuah bukit. Seperti telah diduganya, dua
orang muda itu kini juga berlari cepat dan dapat mengimbangi
kecepatan larinya. Setelah tiba di kaki bukit yang amat sepi, dekat sebuah
hutan, Suma Kiang berhenti dan membalikkan tubuh, menanti
dua orang muda itu yang cepat telah datang di depannya.
Kini Ki Seng berhadapan dengan Suma Kiang. Keduanya


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saling pandang dengan penuh perhatian, kemudian Ki Seng
bertanya dengan suara lantang. "Siapakah engkau dan apa
maksudmu dengan surat ini?"
"Orang muda, aku telah melihat suling yang kau bawa di
pinggangmu itu. Aku mengenal suling itu sebagai suling
pusaka kemala. Suling itu milik Kaisar Cheng Tung yang
diberikan kepada isteri-nya yang bernama Chai Li dan
kemudian diberikan kepada putera mereka bernama Cheng
Lin. Bagaimana suling pusaka kemala itu dapat berada di
tanganmu?" Bukan main kagetnya hati Ki Seng mendengar ucapan itu.
Kakek itu ternyata telah mengetahui dengan jelas akan
riwayat suling pusaka kemala, Bahkan agaknya tahu benar
tentang Pangeran Cheng Lin, ibunya dan ayahnya. Teringatlah
dia akan cerita Han Lin tentang ibunya yang tewas oleh
seorang musuh besarnya bernama Suma Kiang!
"Akulah Pangeran Cheng Lin. Chai Li adalah mendiang
ibuku dan Kaisar Cheng Tung adalah ayahku!" kata Ki Seng.
Dia harus mati-matian mempertahankan pengakuannya
sebagai Pangeran Cheng Tung karena di situ terdapat pula
Sian Hwa Sian-li. "Ha-ha-ha! Aku mengenal siapa itu Pangeran Cheng Lin.
Bukan engkau. Pangeran Cheng Lin yang aseli tidak
mempunyai tahi lalat di bawah telinga kanannya dan
wajahnya juga beda darimu! Ha-ha-ha!" Suma Kiang
menertawakan Ki Seng. Wajah Ki Seng berubah merah. "Kakek jahanam
pembohong! Akulah Pangeran Cheng Lin dan aku tahu siapa
engkau! Engkau tentu jahanam Suma Kiang yang telah
menyebabkan tewasnya ibu kandungku Puteri Chai Li!"
"Benar, akulah Huang-ho Sin-liong (Naga Sakti Sungai
Kuning) Suma Kiang. Serahkan suling pusaka kemala
kepadaku atau terpaksa aku akan membunuhmu!"
"Suma Kiang, hari ini engkau harus menebus dosamu
terhadap ibuku. Aku akan membalas dendam atas kematian
ibuku!" Setelah berkata demikian, Ki Seng segera menyerang dengan dahsyatnya.
Pemuda ini tahu bahwa dia harus
membunuh Suma Kiang yang telah mengetahui rahasianya
bahwa dia bukan Pangeran Cheng Lin yang aseli! Maka begitu
menyerang dia telah mempergunakan ilmu silat Sin-liongciang-
hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) yang gerakannya amat
hebat dan kuat. Melihat datangnya serangan yang membawa angin pukulan
dahsyat itu, Suma Kiang terkejut bukan main. Dia segera
dapat mengenal serangan ampuh, maka cepat dia bergerak
mengelak dan membalas dengan ilmu silat Ciu-siai Ciang-hoat
(Ilmu Silat Dewa Mabok) yang gerakannya aneh seperti orang
mabok. "Hyaaattt....!" Suma Kiang balas menyerang dengan
pengerahan tenaga sepenuhnya karena dia ingin segera
membunuh pemuda yang agaknya merupakan lawan tangguh
ini. Diserang dengan pukulan yang amat kuat itu, Ki Seng
tidak mengelak melainkan menyambut pukulan itu dengan
tangkisan sambil mengerahkan tenaga saktinya.
"Wuuutttt..... desss.....!!" Suma Kiang terkejut bukan main karena benturan
lengan itu membuat dia terhuyung ke
belakang sedangkan pemuda itu masih tetap berdiri dengan
tegak. Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini. Dia
tadi telah mengerahkan seluruh tenaganya karena bermaksud
untuk membunuh pemuda itu dengan sekali pukul. Akan tetapi
ternyata pemuda itu bukan hanya dapat menangkis
pukulannya, bahkan dapat membuat dia terhuyung.
Suma Kiang adalah seorang yang terbiasa mengagulkan diri
dan kepandaian sendiri. Dia menjadi penasaran sekali dan
tidak mau mengaku bahwa dia kalah kuat. Dia tidak percaya
bahwa dirinya kalah oleh seorang lawan yang masih begitu
muda. Yang pantas menjadi cucunya! Sambil mengeluarkan
suara gerengan seperti binatang buas yang terluka, Sum Kiang
melompat dan menerjang maju mengeluarkan semua jurus
simpanannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk
menyerang dengan ilmu Ciu-sia Ciang-hoat yang dapat
membingungkan lawan karena, gerakannya yang aneh itu.
Ki Seng yang maklum akan ketangguhan lawan, tidak
berani memandang rendah dan diapun melawan dengan terus
memainkan Sin-liong Ciang-hoat. Terjadilah perkelahian yang
amat seru. Sian Hwa Sian-li yang menonton menjadi semakin
kagum kepada kekasihnya itu. Ia dapat melihat betapa
tangguhnya kakek itu, akan tetapi Ki Seng sama sekali tidak
tampak terdesak, bahkan sebaliknya pemuda itu mulai
mendesak lawannya setelah pertandingan itu berlangsung tiga
puluh jurus lebih. "Hai itt....!" Tiba-tiba Suma Kiang melakukan serangan totokan dengan satu jari.
Ki Seng cepat mengelak dengan
cepat dan heran karena dia mengenal jurus serangan ilmu Ityang-ci (Totokan Satu
jari). Akan tetapi melihat betapa jurus
It-yang-ci itu tidak begitu sempurna, dia-pun lalu
mengeluarkan ilmu It-yang-ci yang dipelajarinya dari Cheng
Hian Hwesio, membalas serangan lawan. jurus It-yang-ci yang
dia pergunakan lebih hebat karena sudah dia campur dengan
Bin-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) sehingga totokan Ityang-
ci yang dipergunakan Ki Seng itu mengandung hawa
beracun yang amat jahat. Kini giliran Suma Kiang yang kaget
setengah mati melihat betapa Ki Seng juga mempergunakan
It-yang-ci, bahkan lebih dahsyat dari pada serangannya
sendiri. Karena kewalahan dan maklum bahwa kalau dia sampai
terkena totokan It-yang-ci yang mengandung hawa panas luar
biasa itu dia dapat celaka, Suma Kiang mencabut sepasang
pedangnya dan memainkan Coa-tok Siang-kiam (Sepasang
Pedang Racun Ular) yang amat dahsyat itu. Sepasang pedang
itu bagaikan dua ekor ular yang mematuk-matuk dari segala
jurusan. Gerakannya amat cepat dan juga mengandung
tenaga yang amat kuat. Melihat dirinya dihujani serangan dua
sinar pedang yang bergulung-gulung itu, Ki Seng maklum
bahwa lawannya ini benar-benar amat lihai. Maka, diapun
segera mengerahkan sin-kang dan memainkan ilmu silat Sinliong
Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti) dengan menggunakan
tenaga Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Putih). Hebat bukan
main ilmu silat yang dimainkan Ki Seng dengan tenaga yang
mengandung kekuatan sihir itu. Kedua tangannya
mengeluarkan uap putih yang tebal dan uap itu mengandung
tenaga luar biasa, membuat sepasang pedang di tangan Suma
Kiang selalu terpental kalau sinarnya bertemu dengan uap
putih itu. Suma Kiang menjadi semakin terkejut. Tak disangkanya
pemuda yang memalsu putera kaisar ini memiliki ilmu
kepandaian yang demikian hebatnya. Dengan kedua tangan
kosong pemuda itu mampu melawan sepasang pedangnya
yang telah mengangkat namanya menjadi datuk persilatan
yang jarang bertemu tanding. Dia penasaran sekali dan masih
mencoba berlaku nekat dan melawan sambil menghujankan
serangan dengan jurus-jurus pilihan. Namun, semua
serangannya gagal, bahkan akhirnya, setelah lewat lima puluh
jurus dalam perkelahian yang amat seru, dia sendiri yang
mulai terdesak oleh uap putih tebal itu. Karena tidak ingin
roboh di tangan pemuda itu, kemungkinan yang besar sekali
mengingat bahwa pemuda itu masih mempunyai teman
wanita cantik yang belum turun tangan, Suma Kiang
mengeluarkan seruan yang disertai kekuatan sihirnya.
"Berhenti!!!" Seruan itu kuat sekali pengaruhnya sehingga biarpun Ki Seng juga
memiliki kekuatan sihir, namun bentakan
itu sempat membuat dia menghentikan gerakannya sejenak.
Kesempatan itu dipergunakan Suma Kiang untuk melompat
dan melarikan diri ke dalam hutan lebat di samping jalan.
Hutan itu lebat dan gelap maka Ki Seng tidak berani
melakukan pengejaran. Selain dia tidak mempunyai urusan
dengan Suma Kiang, juga mengejar lawan yang amat lihai di
dalam hutan yang gelap itu amat berbahaya baginya.
"Ki Seng, mengapa tidak kejar dia?" Sian Hwa Sian-li bertanya.
"Kim Goat, mengejarnya merupakan kebodohan." kata Ki Seng yang kadang menyebut
nama aseli wanita itu dan
kadang hanya menyebut Sian-li saja.
"Kenapa merupakan kebodohan" Bukankah engkau tadi
sudah mulai dapat mendesaknya?" tanya Kim Goat atau Sian
Hwa Sian-li. "Engkau melihat sendiri betapa lihainya orang itu. Setelah bersusah payah
demikian lamanya, barulah aku mulai dapat
mendesaknya. Akan tetapi kalau mengejar seorang lawan
selihai itu dalam sebuah hutan lebat yang asing bagiku, hal itu merupakan
perbuatan bodoh dan berbahaya sekali. Dia dapat
menyebabkan aku terjebak, juga dia dapat menyerangku
secara tiba-tiba. Hal itu berbahaya sekali."
"Akan tetapi dia tadi menuduhmu yang bukan-bukan,
mengatakan bahwa engkau bukan pangeran putera kaisar!"
kata Sian Hwa Sian-li dengan khawatir.
"Dan engkau percaya" Bodoh sekali! Dia sudah lupa
kepadaku karena ketika kami bertemu dahulu, aku masih kecil.
Dia adalah seorang yang teramat licik dan jahat. Sayang aku
tadi belum berhasil membunuhnya."
"Siapa sih sebetulnya orang itu, Ki Seng?"
"Namanya Suma Kiang. Dialah orangnya yang memaksa ibu
kandungku meninggalkan perkampungan Mongol di utara,
bahkan kemudian dia mengejar-ngejar ibu sampai akhirnya
ibu terjatuh ke dalam jurang dan tewas. Dia yang
menyebabkan kematian ibu kandungku!"
"Aku khawatir, orang yang licik itu akan merupakan
ancaman bahaya bagimu, Ki Seng. Kita harus berhati-hati
sekali. Aku dengar banyak sekali terdapat orang orang yang
berkepandaian tinggi di kota raja. Siapa tahu Suma Kiang itu
mempunyai teman-teman yang juga amat lihai."
Ki Seng mengangguk. "Karena itu, aku harus secepat
mungkin menghadap Kaisar. Kalau Kaisar sudah menerimaku
sebagai puteranya dan menjadi pangeran. siapa yang akan
dapat menggangguku" Malam ini kita bermalam di rumah
penginapan dan besok pagi aku akan berusaha untuk
menghadap Kaisar. Engkau tinggal saja di rumah penginapan
agar tidak menarik perhatian. Nanti kalau aku sudah diterima
sebagai pangeran, akar kucarikan jalan agar engkau dapat
pula masuk istana." Mereka kembali ke kota raja dan memasuki kamar mereka
di rumah penginapan An Lok. Mereka menyewa sebuah kamar
nomor sebelas dengan mengaku sebagai suami isteri, maka
ketika mereka masuk ke kamar itu, seorang pelayan yang
melihatnya tidak menaruh curiga apapun.
Setelah tiba di dalam kamar dan menutupkan daun pintu,
Sian Hwa Sian-li segera menuntun Ki Seng duduk di tepi
pembaringan dan wanita itu dengan sikap manja
merangkulnya. "Ki Seng, benarkah engkau akan mengusahakan agar aku
dapat masuk ke dalam istana" Jangan-jangan setelah engkau
menjadi pangeran dalam istana, engkau akan melupakan aku
begitu saja!" Ki Seng memeluk dan mencium wanita itu. "Aih, Kim Goat!
Bagaimana mungkin aku dapat melupakanmu" Engkau adalah
pembantuku yang utama, pembantuku yang cantik manis,
yang kusayang. Tidak mungkin aku melupakanmu,, kau
tunggu sajalah besok di sini, aku pasti akan datang
menjemputmu!" Mereka berangkulan dan bermesraan seperti
biasa. Setelah melalui pasukan pengawal yang berlapis-lapis,
akhirnya Ki Seng dapat membujuk para perwira yang bertugas
menjaga keamanan istana untuk dibawa menghadap kaisar.
Kepada para perwira itu dia menyatakan bahwa dia datang
membawa berita yang teramat penting bagi Kaisar dan
sebagai tanda bahwa dia memiliki hubungan dekat dan
dipercaya oleh Kaisar, dia memperlihatkan Suling Pusaka
Kemala yang dibawanya. Melihat suling milik Kaisar itu
akhirnya para panglima yang bertanggung jawab atas
keselamatan Kaisar mengawal Ki Seng menghadap. Dua orang
panglima yang bertugas menjaga keselamatan Kaisar
mengawal Ki Seng ke ruangan di mana Kaisar biasanya
menerima pelaporan-pelaporan dari para pembantunya.
Biarpun dia seorang pemuda yang tabah dan penuh
keberanian, namun sekali ini, memasuki istana yang dilengkapi
perabotan yang serba indah dan megah, di mana-mana
terdapat perajurit pengawal yang berpakaian indah dan
gagah, dia merasa dirinya kecil dan timbul perasaan rendah
diri. Sayang dia tidak mungkin mengajak Sian Hwa Sian-li
untuk bersama-sama menghadap Kaisar, pikir-nya. Kalau ada
wanita yang penuh pengalaman itu, dia tentu tidak akan
merasa demikian gugup. Lebih lagi ketika kedua orang panglima itu membawanya
memasuki sebuah ruangan yang luas di mana sang kaisar
duduk di atas singasana. Kemewahan dan kemegahan
ruangan yang indah itu, keagungan kaisar yang duduk dengan
sikap berwibawa sekali, dihadap beberapa orang menteri dan
di pinggir ruangan di kanan kiri duduk para perajurit
pengawal, di belakang berderet pula pasukan thaikam,
membuat hati Ki Seng merasa tegang luar biasa. Jantungnya
berdegup kencang dan timbul perasaan takut dalam hatinya
kalau dia teringat bahwa dia datang sebagai Cheng Lin yang
palsu! Dua orang panglima itu berbisik kepadanya agar dia
menjatuhkan diri berlutut. Dia segera berlutut bersama dua
orang, panglima itu. Pembesar yang bertugas menjaga dan mengatur ketertiban
di ruangan persidangan itu lalu dengan suara lantang melapor
kepada Kaisar. Dia sudah diberi-tahu oleh seorang pengawal
tadi bahwa Ki Seng mohon menghadap Kaisar dengan
membawa berita yang teramat penting. Tentu saja Kaisar
mengerutkan alis dengan heran dan juga tidak senang karena
persidangannya terganggu oleh datangnya seorang pemuda
yang mohon menghadap kepadanya. Akan tetapi karena
pemuda itu menyatakan bahwa dia datang menghadap
membawa berita yang teramat penting, sebagai seorang
kaisar yang bijaksana Kaisar Cheng Tung lalu bertanya.
"Orang muda, siapakah engkau!"
Ki Seng menekan perasaan takutnya dan menjawab sambil
menunduk, suaranya terdengar tegas dan tenang.
"Hamba bermarga Cheng, bernama Lin, Yang Mulia."
Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya lebih dalam lagi


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan matanya memandang pemuda itu penuh perhatian.
Bahkan semua pembesar yang duduk menghadap di situ,
semua mengerling ke arah pemuda itu dengan hati bertanyatanya.
"Engkau bernama Cheng Lin" Datang dan berasal dari
mana?" "Hamba berasal dari perkampungan Mongol di utara, Yang
Mulia." Kerut di kening Kaisar Cheng Tung semakin mendalam.
Kaisar berusia kurang lebih lima puluh tahun itu tentu saja
segera teringat akan pengalamannya sekitar dua puluh tahun
yang lalu. Teringatlah dia betapa ketika itu dia meninggalkan
seorang wanita Mongol yang diper-isterinya dan wanita itu
dalam keadaan mengandung. Dia meninggalkan pesan kepada
isterinya itu bahwa kalau isterinya melahirkan seorang putera
agar diberi nama Cheng Lin! Dia masih ingat semuanya karena
dia mencinta wanita Mongol itu. Akan tetapi, ketika dia
berkehendak mendatangkan isterinya itu ke kota raja dan
tinggal di istana sebagai isterinya yang sah, para penasihatnya mencegah dan
mengingatkannya bahwa hal itu akan
merendahkan derajatnya. Dan ia menyetujui para penasehat
itu. Dia lalu memandang kepada menteri yang duduk
menghadapnya. Mereka telah menyampaikan pelaporan
masing-masing sebelum pemuda itu datang, maka dia lalu
berkata kepada mereka sambil menggerakkan tangan.
"Kalian semua boleh meninggalkan ruangan ini. Kami ingin
berbincang-bincang dengan pemuda ini berdua saja."
Mendengar peritah itu, semua pejabat memberi hormat lalu
pergi dengan perasaan heran. Segera ruangan itu menjadi
sunyi. Yang ada hanya Kaisar Cheng Tung bersama Ki Seng.
Tentu saja belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar
masih berjaga di dekat pintu-pintu ruangan itu. Akan tetapi
mereka ini adalah pengawal-pengawal pribadi yang amat
rahasia, pengawal-pengawal thaikam yang berkepandaian silat
tinggi dan mereka seperti robot-robot saja. Mereka tidak akan
perduli bahkan tidak memperhatikan semua percakapan
antara kaisar dan tamunya, akan tetapi mereka selalu
waspada terhadap keselamatan kaisar. Menjaga dan
menyelamatkan kaisar dari bahaya, itulah satu-satunya tugas
mereka yang akan mereka laksanakan dengan taruhan nyawa.
Setelan semua pejabat pergi, dan setelah memandang ke
sekelilingnya, Kaisar Cheng Tung memandang Ki Seng yang
masih menundukkan mukanya.
"Nah, sekarang semua orang telah pergi, tinggal kita
berdua yang berada di sini. Orang muda, kenapa engkau
menghadap kami tanpa dipanggil dan berita penting apakah
yang hendak kau sampaikan kepada kami?"
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan Ki Seng
menjawab. "Yang Mulia, hamba berani menghadap paduka
karena hamba ingin memenuhi pesan terakhir ibu hamba dan
berita yang hendak hamba sampaikan kepada paduka adalah
bahwa ibu hamba telah meninggal dunia."
"Siapa ibumu itu?" tanya Kaisar Cheng Tung dan dalam suaranya terkandung nada
gemetar. "Nama mendiang ibu adalah Puteri Chai Li, keponakan
kepala suku Kapokai Khan, Yang Mulia."
"Ahh.....!" Kaisar Cheng Tung tidak dapat menahan
kekagetan dan kedukaan nya. Terbayanglah wajah Chai Li
yang pernah dicintanya dan dia menggunakan kedua tangan
untuk menutupi mukanya. Tak lama kemudian dia menurunkan kedua tangannya
memejamkan kedua matanya yang tampak agak basah.
"Coba angkat mukamu!" perintah Kaisar Cheng Tung
kepada Ki Seng yang sejak tadi menundukkan muka, tidak
berani menatap wajah kaisar yang berwibawa itu. Ki Seng
mengangkat mukanya dan dia bertemu pandang dengan
sepasang mata Kaisar Cheng Tung, membuat pemuda itu
merasa bulu tengkuknya meremang. Kaisar Cheng Tung
memperhatikan wajah Ki Seng. Seorang pemuda yang cukup
tampan dan gagah. Dia sudah dapat menduga dari tadi bahwa
pemuda ini tentu putera Chai Li, puteranya. Akan tetapi dia
tidak dapat menerimanya begitu saja tanpa bukti yang pasti.
"Jadi engkau ini adalah Cheng Lin putera Puteri Chai Li?"
tanyanya. Dengan mengerahkan kekuatannya Ki Seng
mempertahankan diri sehingga tetap mengangkat mukanya.
"Benar sekali Yang Mulia. Hamba putera ibu Chai Li satusatunya."
"Dan tahukan engkau siapa ayah kandungmu?" tanya
Kaisar Cheng Tung dengan pandang mata tajam seolah
hendak menembus melalui mata Ki Seng untuk menjenguk isi
hatinya. "Hamba...... hamba tidak berani, Yang Mulia....." kata Ki Seng sambil
menundukkan mukanya, dan suaranya gemetar.
"Hemm, katakan saja siapa ayah kandungmu, jangan takut
asalkan engkau tidak berbohong. Awas, kalau engkau
membohong dan hendak menipu, engkau akan dihukum
berat!" kata Kaisar Cheng Tung.
"Menurut ibu hamba...... ketika ibu hamba hendak
meninggal..... beliau mengatakan..... bahwa..... bahwa ayah
hamba adalah...... paduka yang mulia sendiri."
"Hemm, orang muda. Tidak semudah itu untuk mengaku
sebagai seorang puteraku! Apa buktinya bahwa engkau ini
benar Cheng Lin putera Puteri Chai Li dan putera kami"
Engkau harus mampu membuktikannya!"
"Ampun, Yang Mulia.,. Hamba hanya mendengar semua ini
dari mendiang ibu hamba. Ibu hamba yang menceritakan
bahwa hamba adalah putera yang mulia Sri Baginda Kaisar
Cheng Tung. Ibu hamba menceritakan bahwa paduka
meninggalkan ibu ketika ibu sedang mengandung hamba dan
paduka ada meninggalkan sebuah suling pusaka kemala
kepada ibu hamba. Inilah suling pusaka kemala itu Yang
Mulia." Ki Seng mencabut suling yang suda dipersiapkannya dari
ikat pinggangnya dan menyerahkan benda itu dengan kedua
tangan kepada Kaisar Cheng Tung.
Dengan tangan kanan yang gemetar Kaisar Cheng Tung
menerima suling kemala itu, mengamatinya dan setelah yakin
bahwa itu benar sulingnya yang pernah dia berikan kepada
Chai Li, dia memejamkan matanya dan menekan suling itu ke
dadanya. Seolah terngiang dalam telinganya ketika Chai Li
meniup suling itu, memainkan lagu Mongol yang dia sudah
lupa lagi namanya. Setelah agak lama dan Kaisar Cheng Tung dapat
menenteramkan lagi hatinya dia memandang kepada Ki Seng
yang sudah menundukkan lagi mukanya dan berkata,
suaranya terdengar ramah. "Cheng Lin, engkau memang
benar putera mendiang Chai Li, engkau putera kami.
Terimalah suling ini."
Ki Seng mengangkat mukanya dan menerima suling itu
dengan hati berdebar girang. "Beribu terima kasih hamba
haturkan, Yang Mulia, bahwa paduka sudah menerima hamba
sebagai putera paduka yang mulia."
"Bangkitlah, Cheng Lin dan mari ikut kami ke dalam, kami
perkenalkan kepada seluruh keluarga istana." Kaisar bangkit berdiri dan Ki Seng
juga berdiri. Kaisar memberi isarat kepada para pengawal pribadinya dan
perlahan-lahan kaisar berjalan
masuk ke bagian dalam istana, di ikuti oleh Ki Seng dan para
pengawal yang belasan orang banyaknya itu.
Dengan jantung berdebar-debar karena tegang dan girang,
juga agak rendah diri, Ki Seng diperkenalkan kepada seluruh
keluarga Kaisar di istana! Ki Seng diperkenalkan sebagai
Pangeran Cheng Lin dan diterima secara sah oleh keluarga
bangsawan tinggi itu. Dia mendapatkan sebuah kamar
tersendiri, juga pakaian yang biasa dipakai seorang pangeran
dan masih banyak lagi barang yang indah indah diterimanya.
Ki Seng merasa bagaikan terbang ke angkasa. Kepalanya
terasa membesar dan dadanya makin membusung ketika dia
diperlakukan dengan sikap hormat oleh semua perajurit
pengawal istana dan para pelayan yang amat banyak
jumlahnya. Juga hatinya gembira bukan main ketika dia
diperkenalkan dengan belasan orang puteri-puteri istana yang
menjadi adik-adiknya. Puteri-puteri yang cantik jelita,
membuat dia merasa seperti dirubung serombongan bidadari.
Biarpun lima orang pangeran putera Kaisar Cheng Tung
menerimanya dengan pandang mata yang tampaknya tidak
senang, dia tidak perduli.
Hanya lima orang pangeran itu yang menyambutnya
dengan senyum merendahkan dan tampaknya tidak senang,
akan tetapi sisa keluarga yang lain semua menerimanya
dengan ramah. Sehari penuh itu dihabiskan waktunya oleh Ki
Seng untuk berjalan-jalan, ditemani seorang thai-kam sebagai
penunjuk jalan, memeriksa seluruh istana sampai ke dalam
taman-tamannya yang luas dan indah. Dia merasa seperti
hidup dalam sorga. Dia mendapat sebuah kamar yang indah, luas dan megah
dalam sebuah bangunan yang khusus menjadi tempat tinggal
para pangeran. Bersama lima orang pangeran lainnya dia
tinggal di situ dan dia mulai memperhatikan dan mempelajari
keadaan lima orang "saudara" isterinya itu. Dua orang pangeran lebih tua
darinya, berusia dua puluh lima dan dua
puluh tujuh tahun, sedang yang tiga lagi lebih muda darinya,
berusia antara tujuh belas sampai dua puluh tahun. Lima
orang pangeran itu agaknya memandang rendah kepadanya.
Ki Seng yang cerdik maklum bahwa hal itu mungkin karena
"ibunya" seorang Mongol.
Dia tidak merasa takut kepada mereka. Dia harus dapat
menyesuaikan diri di dalam istana dan di antara keluarga
Kaisar. Setelah dapat menyesuaikan diri, barulah dia akan
mengatur siasat, apa yang selanjutnya akan dia lakukan. Dia
juga melihat bahwa hanya para pangeran yang belum
menikah saja yang tinggal dalam bangunan untuk pangeran
itu. Demikian pula puteri-puterinya, yang belum menikah
tinggal bersama dalam sebuah bangunan. Adapun puteri yang
sudah menikah lalu keluar dari bangunan itu dan tinggal
dalam bangunan lain bersama suami dan anaknya, walaupun
masih dalam kompleks istana.
Akan tetapi, kesenangan dan kepuasan yang memenuhi
hati Ki Seng yang kini menjadi "Pangeran Cheng Lin" itu mulai menipis setelah
lewat dua hari saja. Namanya bukan sifat
nafsu kalau merasa puas dan cukup. Nafsu memang selalu
mendorong kita untuk mendapatkan apa yang kita kejar dan
inginkan, akan tetapi kalau yang kita kejar sudah terdapat,
maka kepuasan yang ditimbulkannya hanya bertahan sebentar
saja. Segera kepuasan itu lenyap terganti kehausan untuk
mengejar yang lain lagi, yang kita anggap akan lebih
menyenangkan daripada apa yang sudah kita peroleh. Nafsu
adalah kelaparan yang tak kunjung kenyang.
Cawan tanpa dasar sehingga di si berapa pun takkan
pernah penuh. Demikian pula dengan Ki Seng. Tadinya dia mengejar
kedudukan pangeran dan untuk memperoleh kedudukan yang
dianggap akan amat menyenangkan itu, dia tidak segan untuk
mencuri suling pusaka, tidak segan untuk menipu kaisar. Akan
tetapi setelah kedudukan pangeran itu dia peroleh, kepuasan
dan kesenangan akan hasilnya hanya berlangsung sebentar
saja karena sudah tertutup oleh keinginan lain untuk
memperoleh sesuatu yang dia anggap akan lebih memuaskan
dan menyenangkan. Setelah kini menjadi pangeran, dia
membayangkan betapa akan senang dan nikmatnya kalau dia
dapat menjadi pengganti kaisar. Dia menjadi kaisar! Bukan
hanya mimpi kosong, karena dia sekarang telah menjadi
seorang pangeran Dan kaisar tentu selalu mewariskan tahta
kerajaannya kepada seorang di antara putera-puteranya!
Yaitu, seorang di antara dia dan saudara-saudara tirinya! Dia
harus mencari jalan agar warisan tahta itu dapat terjatuh ke
tangannya. Bayangan akan kesenangan menjadi kaisar ini
sekaligus menghapus semua kesenangan menjadi pangeran.
Pangeran Cheng Boan yang sudah berusia empat puluh
delapan tahun itu memasuki gedungnya yang megah dengan
muka merah dan mulut cemberut. Ketika pelayan
menyambutnya, dia memandang dengan mata melotot
sehingga pelayan itu menjadi ketakutan, maklum bahwa
majikannya sedang marah. Maka dia hanya berdiri di pinggir
memberi hormat, membiarkan majikannya lewat memasuki
rumah. "Cepat panggil Suma Lo-sicu (Orang Tua Gagah Suma) ke
sini. Cepat! Suruh dia langsung masuk ke kamar kerjaku!"
bentak Pangeran Cheng Boan kepada pelayan tua itu.
Pelayan itu membungkuk dalam dan berkata penuh hormat,
"Baik, yang mulia pangeran!"
Pangeran Cheng Boan dengan uring uringan langsung
memasuki kamar kerjanya. Pangeran ini seorang laki-laki
bertubuh tinggi gendut dengan wajah bunda dan kekanakkanakan.
Akan tetapi matanya tajam dan membayangkan
kecerdikan dan kelicikan. Pakaiannya mewah sekali Dia adalah
seorang adik dari Kaisar Cheng Tung yang terlahir dari
seorang selir. Karena dia pandai mengambil hati kakaknya
yang berkuasa, maka Kaisar Cheng Tung memberi kedudukan
yang cukup penting kepadanya. Dia menjadi pengawas
keuangan kerajaan. Pangeran Cheng Boan mempunyai
seorang isteri yang memberinya seorang putera, yaitu Cheng
Kun atau yang biasa disebut Cheng Kongcu yang sudah kita
kenal sebagai tunangan dari Lo Siang Kui saudara sepupu Lo
Sian Eng. Selain isterinya yang menjadi ibu Cheng Kun, Cheng
Boan juga mempunyai tujuh orang selir, namun tak
seorangpun dari tujuh orang selir yang masih muda-muda dan
cantik-cantik itu menurunkan anak. Cheng Kun menjadi anak
tunggal yang amat dimanja.
Begitu memasuki kamar kerjanya, Pangeran Cheng Boan
menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi besar dan meneriaki
pelayannya. Seorang pelayan wanita berlari-lari memasuki
kamar itu. Setelah membungkuk dengan hormat, wanita pelayan itu
bertanya, "Perintah apa yang harus hamba lakukan, yang
mulia?" Pangeran Cheng Boan, walaupun hanya seorang
pangeran, namun dia mengharuskan para pelayan dan
pengawalnya bersikap hormat kepadanya seperti orang
menghormati kaisar. "Cepat ambilkan huncwe, tembakau dan peralatannya. Aku
mau isap. Cepat!" Pelayan yang sudah biasa melayaniangeran itu bergegas


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengambilkan huncwe (pipa tembakau), tembakau, pemuat
api dan dengan cekatan ia memasukkan tembakau ke dalam
kepala huncwe, menyerahkannya kepada pangeran itu,
kemudian menyulut tembakau. Pangeran Cheng Boan
menyedot huncwenya dan matanya terpejam dengan
nikmatnya ketika asap tembakau itu memasuki paru-parunya.
Pelayan itu lalu mengundurkan diri sambil membungkukbungkuk
karena pada saat itu masuk seorang pemuda yang
bukan lain adalah Cheng Kun yang baru pulang dari
kebiasaannya sehari-hari, yaitu pergi melancong ke mana saja
bersenang-senang dengan kawan-kawannya sesama pemuda
bangsawan di kota raja. "Hemm, engkau baru muncul, Chenji Kun" Tadi kucari-cari
tidak ada. Kemana saja engkau?" tegur Pangeran Cheng Boan.
"Aku pergi melancong dengan teman-teman, ayah. Ada
keperluan apakah ayah mencariku?" tanya pemuda
bangsawan itu. "Kita diundang Kaisar."
"Aku juga, ayah?"
"Ya, engkau dan aku. Ibumu tidak-masuk hitungan."
"Eh, ada urusan apakah Paman Kaisar mengundang kita?"
"Itulah yang mengesalkan hatiku. Kita diperkenalkan
dengan seorang pangeran baru."
"Pangeran baru" Bibi yang manakah yang melahirkan
putera?" "Tidak ada isteri Kaisar yang melahirkan. Pemuda itu
seperti muncul dari neraka. Dia adalah anak dari wanita
Mongol yang pernah diperisteri Kaisar ketika dia ditawan
orang-orang Mongol di utara, dua puluh tahun yang lalu.
Sialan benar! Bocah keturunan Mongol itu kini menjadi
seorang pangeran yang harus dihormati!" Suara Pangeran
Cheng Boan mengandung kemarahan dan penasaran besar.
Pada saat itu muncul ah Suma Kiang yang tadi dipanggil
oleh pelayan yang disuruh Pangeran Cheng Boan. Suma Kiang
memberi hormat sambil membungkuk dan bertanya dengan
nada menghormat. "Yang mulia Pangeran mengundang saya?"
Pangeran Cheng Boan memandang wajah Suma Kiang
dengan muka cemberut. "Suma-sicu, duduklah." katanya pendek dan dari sikap ini saja tahulah Suma Kiang
bahwa majikannya ini sedang berada
dalam keadaan marah besar. Diapun duduk di atas kursi,
berhadapan dengan Pangeran Cheng Boan dan Cheng Kun.
Setelah jagoannya itu duduk, Pangeran Cheng Boan segera
melontarkan rasa penasaran di hatinya. "Suma-sicu, semua ini gara-gara
kegagalanmu ketika dua puluh tahun yang lalu
engkau kuutus untuk membunuh wanita Mongol dan anaknya
itu. Gara-gara kegagalanmu itulah sekarang pemuda itu
muncul menuntut haknya dan dia diterima oleh Kaisar sebagai
seorang pangeran yang sah!"
"Pemuda yang manakah paduka maksudkan?" tanya Suma
Kiang dengan sikapnya yang tenang.
"Pemuda mana lagi kalau bukan si keparat anak
perempuan Mongol itu!" bentak Pangeran Cheng Boan.
"Bagaimana dia dapat diterima oleh Yang Mulia Kaisar" Apa buktinya bahwa dia itu
benar-benar Pangeran putera Kaisar
dari ibu wanita Mongol itu" Apakah ada tanda-tandanya,
Pangeran?" "Buktinya sudah jelas dan dapat diterima oleh Kaisar.
Pemuda itu membawa Suling Pusaka Kemala, milik Kaisar
yang dulu oleh Kaisar diberikan kepada wanita Mongol, ibu
pemuda itu. Nama pemuda itu Cheng Lin, Pangeran Cheng
Lin!" Segera Suma Kiang teringat akan pemuda pembawa suling
kemala yang dijumpainya pada hari kemarin. Sekarang
tahulah dia bahwa pemuda yang dia tahu bukan putera Chai Li
yang sesungguhnya itu telah memperdaya kaisar dengan
menunjukkan suling kemala dan mengaku sebagai Pangeran
Cheng Lin putera Puteri Chai Li.
"Dia bukan putera wanita Mongol itu! Dia adalah Pangeran
Cheng Lin yang palsu!" seru Suma Kiang.
"Suma-sicu! Jangan bicara sembarangan! Pemuda itu telah
membawa bukti suling kemala dan dia sudah diterima oleh
Kaisar sebagai puteranya dan kini menjadi pangeran!"
Suma Kiang tertawa sehingga matanya menjadi semakin
sipit, hampir terpejam dan tangan kirinya mengelus
jenggotnya yang panjang. "Ha-ha-ha! Saya berani tanggung
bahwa dia bukan putera wanita Mongol itu. Saya telah
bertemu dengan pangeran palsu itu kemarin, Pangeran,
bahkan sudah sempat bertanding silat dengannya. Ternyata
dia lihai bukan main. Akan tetapi dia bukanlah Pangeran
Cheng Lin walaupun dia benar membawa suling pusaka
kemala yang entah bagaimana telah terjatuh di tangannya.
Saya sudah pernah bertemu dengan pangeran yang aseli,
putera dari Chai Li wanita Mongol itu. Yang sekarang mengaku
pangeran dan diterima oleh Kaisar sebaga puteranya jelas
bukan yang aseli. Yang palsu ini mempunyai setitik tahi lalat di bawah telinga
kanannya, sedangkan yang aseli tidak memiliki
tahi lalat di mukanya. Saya mengenal betul Pangeran Cheng
Lin yang aseli, yang menggunakai nama Han Lin. Maka saya
berani memastikan dengan yakin bahwa pemuda yang
mengaku Pangeran Cheng Lin dan diterima oleh Sribaginda
Kaisar itu adalah pangeran palsu."
"Keparat!" Pangeran Cheng Boan mengepal tinju dan
memukul pahanya sendiri. "Aku akan membongkar rahasia
jahanam itu agar dia dijatuhi hukuman mati!"
"Biar sekarangpun juga aku pergi membawa pengawal dan
menghadap Sri baginda Kaisar untuk melaporkan hal itu, ayah.
Aku sendiri yang akan menghajar hocah palsu itu!" kata Cheng Kun dengan marah.
"Cheng Kongcu harap sabar dulu." kata Suma Kiang.
"Sabar" Engkau menyuruh Cheng Kun bersabar
menghadapi seorang yang memalsukan pangeran?" tegur
Pangeran Cheng Boan sambil mengerutkan alis memandang
kepada Suma Kiang. "Harap paduka tenang dulu, Pangeran. Menghadapi segala
hal, kita perlu bersikap tenang dan dapat memanfaatkan
segala keadaan. Paduka sudah tahu akan rahasia pangeran
palsu itu, berarti nasibnya berada di telapak tangan paduka.
Nah, dengan demikian, tidaklah paduka dapat memanfaatkan
dia yang sudah diterima sebagai pangeran di dalam istana"
Pangeran palsu itu adalah seorang pemuda yang memiliki ilmu
silat tinggi sekali, hal ini sudah saya buktikan sendiri. Kalau dia dapat
diancam lalu dibujuk sehingga mau menjadi pembantu
paduka, terbukalah jalan bagi paduka untuk menyingkirkan
lawan-lawan paduka dalam istana."
Mendengar ucapan Suma Kiang itu Pangeran Cheng Boan
termenung. Tent saja sebagai orang kepercayaannya yang
sudah bertahun-tahun, Suma Kiang mengetahui segala
rencananya. Pangeran Cheng Boan mempunyai cita-cita yang
besar dan sudah mengatur rencana yang belum juga dapat dia
laksanakan. Bahkan bantuan Suma Kiang juga tidak membuka
kesempatan baginya untuk melaksanaka rencana itu.
Rencananya adalah menyingkirkan lima orang pangeran
putera Kaisar Cheng Tung. Kalau semua pangeran itu dapat
disingkirkan, maka tahta kerajaan besar sekali
kemungkinannya akan terjatuh ke dalam tangannya kelak. Dia
adalah adik kaisar tertua dan terdekat dengan kaisar. Kalau
lima orang pangeran itu lenyap, kiranya tidak ada orang lain
yang lebih pantas untuk mewarisi tahta kerajaan kecuali dia.
"Plakkkk!!" Dia menampar pahanya sendiri sambil
memandang kepada Suma Kiang dengan mata bersinar dan
wajah berseri gembira. "Benar! Engkau benar sekali, Sumasicu!
Bagus! Kini aku mendapatkan jalan! Kesempatan terbuka
lebar bagiku." "Ayah, apa maksud ayah?" Cheng Kun bertanya ketika
melihat kegembiraan ayahnya.
"Cheng Kongcu, apakah kongcu tidak dapat menduganya"
Sekarang Pangeran akan mempunyai seorang mata-mata dan
pembantu yang amat boleh diandalkan dalam istana kaisar."
kata Suma Kiang sambil tersenyum.
"Suma-sicu, engkau tentu mengerti akan rencana dan
siasatku. Malam besok akan kuundang makan Pangeran
Cheng Lin untuk menyambutnya sebagai ucapan selamat
datang dan menghormatinya. Dalam kesempatan itu aku akan
membuka matanya bahwa aku telah memegang kunci rahasia
dirinya dan bahwa dia harus menuruti kehendakku kalau ingin
selamat. Engkau kumpulkan para jagoan untuk menyertaiku
menyambutnya dengan pesta makan, untuk berjaga-jaga
kalau dia bertindak yang bukan-bukan."
"Pangeran, pemuda itu lihai sekali, Terus terang saja, kalau saya seorang diri
menghadapinya, akan berbahaya sekali. Dan
kalau saya membawa terlalu banyak kawan untuk menjaga
keselamatan paduka, hal itupun tidak baik karena berarti
rencana rahasia paduka akan di ketahui banyak orang. Akan
tetapi saya mempunyai seorang kawan yang berilmi tinggi dan
yang sudah menyatakan ingin menghambakan diri kepada
paduka asalkan diberi janji bahwa kelak dia akan
mendapatkan anugerah pangkat tinggi Dengan orang itu di
samping saya, maka saya yakin akan dapat menundukkan
pemuda lihai yang memalsu pangeran itu."
"Hemm, baik sekali. Siapakah tokoh itu?"
"Namanya terkenal di dunia kang-ouw sebagai Toat-beng
Kui-ong atau juga disebut Toa Ok karena dia adalah orang
tertua dari Thian-te Sam-ok. Adapun nama aselinya, tidak
pernah ada orang tahu."
"Bagus, panggil dia ke sini agar besok malam dapat
bersamamu menyertai kami berpesta menyambut pangeran
baru. Rahasianya sudah kuketahui, dan kalau dia masih
membandel, ada engkau dan Toa Ok yang akan menekannya.
Dia pasti tidak akan terlepas dari tanganku!" kata Pangeran Cheng Boan gembira.
"Akan tetapi, dia tidak akan dapat menjadi pembantu yang
benar-benar dapat dipercaya kalau hanya ditundukkan dengan
ancaman, Pangeran. Sebaiknya kalau dia diberi janji yang
akan menguntungkan dan menyenangkan hatinya. Dengan
demikian maka dia akan bersungguh sungguh membantu
paduka karena ada harapan memperoleh keuntungan."
"Hadiah apakah yang akan kita janjikan kepadanya"
Sebagai seorang pangeran yang hidup dalam istana, tentu
saja dia sudah tidak kekurangan apa-apa." kata Pangeran
Cheng Boan. "Aku tahu, ayah! Aku tahu hadiah yang pasti akan sangat
menarik hatinya dan yang membuat dia mati-matian
membantu ayah!" kata Cheng Kun.
"Hemm, hadiah apakah itu?"
"Kita janjikan bahwa kalau rencana ayah berhasil dilakukan dengan bantuan-nya,
maka kelak kita akan membantu dia
agar dia dapat naik tahta!"
"Gila! Hadiah gila itu!" bentak Pangeran Cheng Boan.
"Sama sekali tidak gila, Pangeran. Bahkan usul Cheng
Kongcu itu baik sekali!" kata Suma Kiang. "Besok malam kalau kita menjamu dia,
selain paduka menyatakan bahwa
rahasianya telah berada dalam tangan paduka, juga paduka
janjikan bahwa kalau dia mau membantu sehingga rencana
paduka berhasil baik, kita akan membantu dia agar kelak
dapat naik tahta menggantikan Sribaginda Kaisar. Tentu saja
ini hanya merupakan janji agar dia lebih bersemangat
membantu. Kelak, kalau semua rencana berhasil baik, saya
kira tidak akan sukar untuk menyingkirkan dia dari permukaan
bumi. Untuk hal itu, saya dan Toa Ok akan sanggup untuk
melakukannya dengan baik."
Wajah Pangeran Cheng Boan berseri dan dia tertawa-tawa,
lalu bangkit dan menghampiri puteranya, menepuk-nepuk
pundak puteranya dengan girang dan bangga.
"Bagus sekali! Semua boleh diatur sesuai rencana. Sumasicu, sekarang pergilah
untuk menghadang Toa Ok agar besok
malam dia dapat bersamamu menghadiri perjamuan.
Sementara itu, sore ini juga aku akan pergi ke istana menemui
dan mengundang Pangeran Cheng Lin. engkau ikut, Cheng
Kun, agar dapat ku-perkenalkan dengan Yang Mulia Pangeran
Cheng Lin." Dia tertawa-tawa sinis. Cheng Kun dan Suma
Kiang juga tertawa gembira, seolah telah dapat
membayangkan hasil dari siasat yang mereka rencanakan.
Pada sore hari itu juga, Pangeran Cheng Boan dan Cheng
Kun berkunjung ke istana. Sebagai seorang pangeran adik
kaisar, tentu saja dengan mudah dia dapat masuk ke istana
tanpa banyak gangguan. Apalagi kedatangannya hanya untuk
menjumpai seorang pangeran. Dengan mudah Pangeran
Cheng Boan dan puteranya bertemu dengan Pangeran Cheng
Lin di bangunan tempat tinggal para pangeran.
Pangeran Cheng Lin palsu atau Ouw Ki Seng menyambut
kedua orang tamunya dengan wajah ramah. Dia memang
pandai membawa diri dan dia tahu bahwa untuk mendapatkan
kepercayaan seluruh keluarga kaisar, dia harus bersikap
ramah dan baik terhadap semua keluarga. Dia sudah
berjumpa pada kemarin harinya dengan Pangeran Cheng Boan
yang juga diperkenalkan dengannya, maka dia menyambut
kunjungan pamannya itu dengan hormat dan ramah.
"Selamat sore, paman pangeran. Persilakan duduk dan
apakah yang dapat saya lakukan untuk paman?" katanya lalu dia memandang kepada
Cheng Kun yang belum dikenalnya.
"Selamat sore, pangeran. Perkenalkan ini adalah anak saya bernama Cheng Kun,
masih terhitung sepupu pangeran." kata Pangeran Cheng Boan setelah dia dan
puteranya duduk. "Ah, terimalah hormatku, kakak Cheng Kun." kata Ki Seng sambil bangkit dan
memberi hormat. Cheng Kun juga bangkit
dan membalas penghormatan itu.
"Terima kasih, Lin-te, (adik Lin). Ayah sengaja mengajakku ke sini karena tadi
tidak sempat bertemu dan berkenalan
denganmu. Karena itu aku sengaja datang untuk berkunjung
dan mengundangmu agar besok malam engkau suka
berkunjung ke rumah kami." kata Cheng Kun dengan ramah
pula. "Benar sekali, Pangeran Cheng Lin. kami ingin sekali
memperkenalkan engkau kepada keluarga kami di rumah.
Harap engkau tidak menolak undangan kami ini. Besok malam
kami sungguh mengharapkan kedatanganmu untuk
berkunjung dan berkenalan dengan keluarga kami."
Tentu saja Ki Seng tidak berani menolak. Dia tersenyum
dan mengangguk-angguk. "Baiklah, paman dan Kun-ko (kakak
Kun). Besok malam saya pasti akan datang berkunjung. Akan
tetapi, di manakah rumah paman" Maaf, karena baru tiba di


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kota raja maka saya belum mengetahui di mana rumah
paman." "Ah, dekat saja. Di luar istana ini kalau engkau pergi ke kiri engkau akan tiba
pada sebuah simpang empat. Nah, sebelah
kiri ada sebuah gedung bercat kuning dan ada arca seekor
harimau depan gedung. Itulah tempat tinggal kami."
Ki Seng mengangguk-angguk. "Baiklah paman. Besok
malam saya akan datang ke sana."
Setelah minum arak yang disuguhkan oleh pelayan, Cheng
Kun bertanya, "Kabarnya Lin-te dilahirkan dan dibesarkan di daerah utara. Tentu
banyak sekali pengalamanmu."
Ki Seng tersenyum. "Benar, Kun ko Akan tetapi aku hanya
hidup di perkampungan di utara sana. Tentu saja keadaan di
sana yang sunyi dan sederhana tidak dapat dibandingkan
dengan keadaan kota raja yang ramai dan serba mewah."
"Pangeran, tentu engkau senang tinggal di istana, bukan?"
tanya Pangeran Cheng Boan.
"Wah, senang sekali, paman. Selama tinggal dekat ayah
kandung dan saudara saudara, juga di sini serba ada,
berkecukupan dan serba indah."
"Lin-te, kabarnya kehidupan di utara amat keras dan sukar.
Tentu engkau yang dibesarkan di sana menjadi seorang yang
kuuat dan terbiasa menghadapi kekerasan, engkau tentu
pandai ilmu silat dan sudah biasa berkelahi dengan lawanlawan
yang kuat." kata Cheng Kun memancing.
Ki Seng tersenyum. Dia tidak ingin memamerkan
kelihaiannya dalam ilmu silat agar tidak menimbulkan
kecurigaan. "Ah, aku hanya mempelajari ilmu bela diri biasa saja. Maklum, di
utara kehidupan memang keras sehingga kita
harus membekali diri dengan ilmu bela diri untuk menjaga
keselamatan, Kun-ko."
Setelah puas mengobrol, ayah dan anak itu lalu berpamit
dan berpesan wanti-wanti agar besok malam Pangeran Cheng
Lin datang berkunjung. "Kami sekeluarga akan menantimu dengan gembira." kata Pangeran Cheng Boan.
Kemudian dia pergi bersama puteranya
meninggalkan istana. Ketika Ki Seng datang pada keesokan malamnya ke rumah
gedung tempat tinggal Pangeran Cheng Boan, dia disambut
oleh Pangeran Cheng Boan, Cheng Kui Nyonya Cheng, dan
tujuh orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik. Melihat
sambutan yang demikian meriah dan manis, terutama dari
para selir yang berusia dari dua puluh sampai dua puluh lima
tahun, cantik-cantik dan agak genit, Ki Seng merasa rikuh
juga. Pengalamannya dengan wanita hanya sempat bergaul
dengan Sian Hwa Sian-li Kim Goat dan Ciang Mei Ling, Kini,
dirubung demikian banyak wanita muda yang cantik dan
berpakaian mewah, dia menjadi bingung.
-00dw00kz00- Jilid XXIII AKAN tetapi keluarga Pangeran Cheng Boan amat ramah
kepadanya sehingga akhirnya rasa rikuhnya berkurang dan
mulailah dia berani mengangkat muka memperhatikan mereka
satu demi satu. Di dalam hatinya dia memuji pamannya yang
pandai memilih sehingga memiliki tujuh orang selir yang
demikian cantik manisnya.
Sebuah pesta keluarga diadakan untuk menyambut Ki Seng
yang tentu saja merasa terhormat sekali. Bermacam hidangan
serba mewah dan lezat disuguhkan dan bergantian, keluarga
itu menyulanginya dengan secawan arak sebagai ucapan
selamat datang. Mereka lalu bercakap-cakap dengan gembira. Hawa banyak
arak yang diminumnya membuat Ki Seng setengah mabok dan
lenyaplah semua rasa rikuh dan malu. Dia berani memandang
kepada selir selir yang cantik itu secara terbuka dan
tersenyum manis kepada mereka. Mereka makan minum dan
sesuai dengan anjuran Pangeran Cheng Boan yang memang
sudah mengatur sebelumnya, tujuh orang selir cantik itu
secara ramah dan mesra bergantian memilihkan daging yang
paling lunak dengan sumpit mereka dan menaruhnya ke
dalam mangkok Ki Seng. Perbuatan ini dapat dianggap
sebagai keramahan sesama anggauta keluarga, akan tetapi
dapat juga sebagai suatu kemesraan yang diperlihatkan
wanita terhada pria. Melihat ulah para selir yang genit itu,
Pangeran Cheng Boan tertawa saja sehingga Ki Seng juga
tidak merasa rikuh atau malu-malu lagi menerima semua sikap
mesra itu. Baru saja mereka selesai makan, seorang pengawal masuk
dan melapor bahwa Huang-ho Sin-liong dan Toat-beng Kuiong
datang dan ingin menghadap Pangeran Cheng Boan.
Inipun sesuai dengan siasat yang sudah direncanakan
sebelumnya. "Ah, mereka sudah datang" Hampir aku lupa bahwa aku
sudah berjanji untuk menyambut mereka. Pengawal,
persilakan kedua orang sicu itu untuk duduk dan menanti di
ruangan tamu!" kata Pangeran Cheng Boan kepada pengawal
yang melapor. Kemudian setelah pengawal pergi, Pangeran
Cheng Boan berkata kepada Ki Seng, "Pangeran, mari kita
bicara di ruangan tamu. Kebetulan sekali dua orang pembantu
kami datang, aku ingin memperkenalkan pangeran kepada
mereka." Ki Seng yang baru saja dijamu besar-besaran, tentu saja
mereka sungkan untuk menolak. Dia lalu bangkit berdiri,
memberi hormat dengan senyum manis kepada Nyonya Cheng
dan tujuh orang selir cantik itu, kemudian dia mengikuti
Pangeran Cheng Boan dan Cheng Kun menuju ke sebuah
ruangan luas yang menjadi ruangan tamu. Ketika mereka
bertiga memasuki ruangan itu, Ki Seng melihat betapa di luar
pintu ruangan itu terdapat tujuh orang pengawal berjaga dan
mereka memberi hormat ketika mereka bertiga lewat. Dalam
ruangan itu telah duduk dua orang laki-laki tua yang segera
bangkit berdiri ketika Pangeran Cheng Boan bersama Cheng
Kun dan Ki Seng masuk. Tentu saja Ki Seng merasa terkejut bukan main ketika dia
melihat dan mengenal Suma Kiang. Otaknya yang cerdik
bekerja cepat karena dia tahu bahwa dia berada dalam
bahaya. Suma Kiang yang sudah dapat menduga dan
mengetahui rahasianya bahwa dia adalah Pangeran Cheng Lin
yang palsu, tentu akan menceritakan rahasianya itu kepada
Pangeran Cheng Boan. Bahkan mungkin sudah
menceritakannya. Dia harus berkeras mempertahankan dirinya
sebagai Pangeran Cheng Lin dan untuk mempertahankan ini,
dia harus memperlihatkan permusuhannya terhadap Suma
Kiang yang sudah membunuh "ibu kandungnya", yaitu Puteri Chai Li dari Mongol.
Maka, setelah pikiran ini berkelebat dalam benaknya, dia memandang kepada Suma
Kiang dengan mata mendelik marah dan mukanya berubah merah.
"Suma Kiang, jahanam keparat busuk! sekali ini engkau
tidak akan lolos dari tanganku. Mampuslah untuk menebus
kematian ibu kandungku!" Setelah berkata demikian, diapun menerjang ke depan,
mengirim serangan sambil mengerahkan
tenaga sin-kang dengan satu jari tangan, totokan ini hebat
sekali karena totokan itu adalah ilmu It-yang-ci aseli yang dia campur dengan
pukulan beracun Ban-tok-ciang (Tangan
Selaksa Racun)! Suma Kiang yang sudah bangkit berdiri memang sudah
mempersiapkan diri. Dia masuk bersama Toat-beng Kui-ong
(Raja Setan Pencabut Nyawa) Toa Ok memang sudah
direncanakan semula. Dia sudah menduga bahwa untuk
mempertahankan identitasnya sebagai Pangeran Cheng Lin,
besar sekali kemungkinannya pemuda itu akan menyerangnya.
Karena itu, begitu Ki Seng menyerangnya dengan totokan,
diapun cepat menghindarkan diri meloncat ke belakang,
maklum bahwa serangan pemuda itu hebat bukan main.
Melihat lawannya menghindar, Ki Seng yang ingin menjaga
rahasianya, cepat melompat ke depan mengejar dan langsung
menyerang lagi, sekali ini menggunakan jurus dari ilmu Sinliong Ciang-hwat (Ilmu
Silat Naga Sakti). Serangannya itu
hebat bukan main karena dia telah mempergunakan jurus
pilihan, yaitu Sin-liong Lo-thian (Naga Sakti Mengacau Langit), tubuhnya
melayang ke atas dan dari atas dia mengirim
pukulan maut ke arah kepala lawannya. Melihat ini, Suma
Kiang menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
"Dukk....." Tubuh Suma Kiang terhuyung dan Ki Seng yang sudah turun kembali,
mengejarnya dan kembali mengirimi
totokan It-yang-ci yang akan mematikan lawan kalau
mengenai sasarannya, yaitu leher. Dalam keadaan terhuyung
itu, agaknya sulit bagi Suma Kiang untuk dapat
menghindarkan diri lagi. Akan tetapi, dalam keadaan yang
amat gawat-itu, Toa Ok yang melihat rekannya dalam bahaya,
cepat melompat ke depan dan menggerakkan lengannya
menangkis pukulan Ki Seng.
"Dukkk....!!" Toa Ok dan Ki Seng sama-sama terdorong ke belakang sehingga
keduanya terkejut bukan main karena
mengetahui bahwa pihak lawan memiliki tenaga sin-kang yang
amat kuat. "Tahan dulu.....!!" Pangeran Cheng Boan melerai dan
mengangkat tangannya ke atas. "Pangeran Cheng Lin, ada
apa ini" Mengapa engkau menyerang Suma-sicu yang menjadi
pembantu kami" Jangan berkelahi dalam rumah kami, dan
reritakan apa artinya semua ini!"
Ki Seng teringat bahwa Suma Kiang yang gagal dibunuhnya
itu adalah pembantu dari Pangeran Cheng Boan. Dia berada
dalam keadaan yang sulit sekali akan tetapi dia tetap harus
mempertahankan identitasnya sebagai Pangeran Cheng Lin.
Dia menghela napas dan menyadari bahwa tindakannya tadi
tentu saja amat kurang ajar, menyerang orang dalam rumah
Pangeran Cheng Boan. "Maafkan saya, paman. Akan tetapi orang ini.... dia Suma
Kiang dan dia musuh besar saya yang harus saya bunuh!"
Pangeran Cheng Boan tersenyum dan mengangkat tangan
memberi isarat kepada Ki Seng, Suma Kiang dan Toa Ok
untuk duduk. "Tenang dan sabar dulu, Pangeran Cheng Lin,
marilah kita bicara secara baik-baik. Mengapa engkau
memusuhi Suma-sicu dan hendak membunuhnya?"
"Dia telah menyebabkan kematian ibi kandung saya,
paman!" kata Ki Seng dengan suara tegas.
"Hemm, mungkin saya telah menyengsarakan Chai Li,
puteri Mongol. Akan tetapi saya sama sekali tidak mengenal
ibu pemuda ini!" kata Suma Kiang.
"Apa kau kata?" Ki Seng bangkit berdiri dan sikapnya marah dan hendak menyerang.
"Aku adalah Pangeran Cheng
Lin dan Puteri Chai Li adalah mendiang ibu kandungku!"
Kembali Pangeran Cheng Boan membujuk Ki Seng.
"Pangeran Cheng Lin duduk dan tenanglah. Kita harus bicara baik-baik dan melihat
kenyataan dengan damai. Ketahuilah
bahwa kami semua tidak ingin bermusuhan denganmu,
sungguhpun kami telah mengetahui semua rahasiamu."
"Rahasia apakah mengenai diri saya, paman?" tanya Ki Seng, waspada.
"Tidak perlu berpura-pura, pangeran. Kami tahu benar
bahwa engkau bukan Pangeran Cheng Lin!"
Mendengar ini, Ki Seng terkejut dan bangkit berdiri. Akan
tetapi Suma Kiang Nan Toa Ok juga sudah bangkit berdiri dan
begitu Pangeran Cheng Boan bertepuk tangan tiga kali,
belasan orang pengawal dengan senjata di tangan telah
berdiri di ambang pintu. Ki Seng maklum bahwa keadaannya
berbahaya sekali karena tadi dia sudah merasakan betapa
lihainya Toa Ok. Kalau dia harus menghadapi Toa Ok dan
Suma Kiang, sukar baginya untuk dapat menang, apalagi di
situ terdapat belasan orang pengawal.
"Tenanglah, pangeran. Kukatakan kepadamu, tenang dan
duduklah. Kita bicara baik-baik. Atau engkau memilih jalan
kekerasan dan tewas di sini?"
Melihat sikap dan mendengar ucapan Pangeran Cheng
Boan, tahulah Ki Seng bahwa pangeran itu agaknya hendak
mengajaknya berdamai dan akan menawarkan sesuatu. Maka
diapun duduk kembali. Pangeran Cheng Boan memberi isarat.
Kedua orang datuk itu duduk kembali dan belasan orang
pengawal juga keluar lagi dari ambang pintu.
"Nah, pangeran. Biarpun kami telah tahu bahwa engkau
bukan Pangeran Cheng Lin yang aseli, namun aku masih
memanggilmu pangeran. Hal ini membuktikan kemauan baik
kami. Kalau tidak demikian, tentu kami akan menangkapmu.
Kalau kami melapor kepada Kakanda Kaisar tentang dirimu,
tentu engkau akan ditangkap dan dihukum mati! Akan tetapi
jangan khawatir, kami tidak akan melaporkan, dan akan terus
menganggapm sebagai Pangeran Cheng Lin."
Bentrok Para Pendekar 9 Pendekar Baju Putih Karya Kho Ping Hoo Dua Musuh Turunan 2
^