Pencarian

Suling Pusaka Kumala 11

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 11


dari luar. Karena maklum bahwa Eng-ji mendapat guncangan hebat.
Han Lin lalu mempergunakan ilmu It-yang-ci untuk menotok
kedua pundak dan tengkuk Eng-ji, lalu dia melepaskan
kancing baju pemuda remaja itu untuk mengurut dadanya
Akan tetapi tiba-tiba dia menarik kedua tangannya seperti
dipagut ular dan matanya menatap ke arah dada yang telah
terbuka kancing bajunya itu.
"Ya Tuhan.....! Dia..... dia ...... perempuan.....!" bisiknya dan cepat dia
mengancingkan lagi baju itu dengan jari tangan
gemetar. Setelah itu dia mengurut punggung Eng-ji dan
menekan bawah hidungnya. Tak lama kemudian Eng-ji
mengeluh, menarik napas panjang dan membuka matanya.
"Jahanam keparat!" Tiba-tiba Eng ji memaki dan bangkit duduk, memandang ke
sekeliling, lalu mendapatkan Han Lin
yang duduk di tepi pembaringan dan diapun tersadar.
"Lin-ko, mana paman yang bercerita tadi" Kenapa aku
rebah di sini?" "Kau tadi pingsan, Eng-ji. Mereka berada di luar."
"Aku ingin mendengarkan ceritanya lagi. Mari kita keluar, Lin-ko."
"Engkau sudah merasa sehat" Tenangkanlah hatimu, Engji."
"Aku tidak apa-apa. Mari kita keluar." Diapun turun dari pembaringan dan bersama
Han Lin keluar dari kamar itu.
Melihat dia sudah sembuh kembali, kepala dusun menjadi lega
dan girang. "Siauwte (adik), engkau tadi mengagetkan dan
menggelisahkan kami." katanya pada Eng-ji.
Eng-ji tersenyum. "Maafkan aku, Chung-cu (lurah),
agaknya aku masuk angin sehingga jatuh sakit dengan tibatiba.
Akan tetapi sekarang aku sudah sembuh kembali. Paman,
teruskanlah ceritamu tadi. Lalu bagaimana setelah laki-laki
jahanam itu membawa pergi anak itu?"
A-lok melanjutkan ceritanya. "Setelah dia pergi dan tidak tampak lagi, barulah
aku berani bangkit berdiri. Tanpa
memperdulikan kaki kananku yang cedera dan nyeri sekali,
aku berlari setengah merangkak memasuki dusun dan minta
bantuan penduduk. Kami berbondong-bondong lari ke tempat
itu dan mengurus jenazah Teng Siu Lin dan tiga orang
kawanku. Suami Teng Siu Lin, yaitu Lo Kiat, hancur hatinya
melihat isterinya tewas secara demikian mengerikan. Dia jatuh
sakit dan beberapa bulan kemudian diapun meninggal dunia
menyusul isterinya," A lok berhenti bercerita dan keadaan menjadi sunyi sekali.
Han Lin memandang wajah Eng-ji. Dia
melihat betapa dengan susah payah Eng-ji menahan diri untuk
tidak menjerit-jerit. Kini tampak jelas olehnya apa yang
sesungguhnya terjadi. Eng-ji bukanlah putera Suma Kiang!
Namanya bukan Eng-ji melainkan Lo Sian Eng, seorang gadis,
puteri mendiang Lo Kiat dan mendiang Teng Siu Lin yang
malang itu, yang menjadi korban kekejian Suma Kiang lalu
membunuh diri. Lo Sian Eng menjadi gadis yatim piatu. Dia melihat gadis
yang selama ini mengelabuhi dan dalam pandangannya
merupakan seorang pemuda remaja yang lincah
menyenangkan itu menelan ludah agaknya untuk
menenangkan hatinya yang tergoncang, lalu bertanya dengan
suara lemah. "Jadi mereka berdua telah meninggal dunia" Di mana
makam mereka?" "Mereka kami makamkan berjajar di pemakaman umum
dusun ini." kata A-Lok.
Han Lin dan Eng-ji lalu mengucapkan banyak terima kasih
kepada kepala dusun dan dua orang tua itu, kemudian
berpamit meninggalkan rumah kepala dusun. Eng-ji segera
mengajak Han Lin pergi ke perkuburan umum di luar dusun
dan memasuki tanah kuburan yang sepi. Tidak sukar bagi
mereka untuk menemukan sepasang kuburan itu karena di
depan gundukan tanah itu terdapat batu nisan yang
tertuliskan nama Lo Kiat dan Teng Siu Lin.
Mereka berdiri di depan sepasang makam itu dan Han Lin
berkata dengan suara lembut. "Eng-moi....."
Eng-ji yang bukan lain adalah Sian Eng itu terkejut dan
menoleh, memandang kepada Han Lin dengan wajahnya yang
masih pucat. "Lin-ko, kau menyebut aku apa.....?"
"Eng-moi, aku tahu bahwa engkau sesungguhnya adalah Lo
Sian Eng, puteri suami isteri yang terkubur di sini."
"Kau...... kau..... sudah tahu.....?"
"Mudah saja menduga, Eng-moi. Aku yang selama ini
seperti buta, tidak tahu bahwa engkau seorang gadis."
Kesedihan yang sejak tadi ditahan-tahan oleh Sian Eng, kini
seperti bendungan air bah yang pecah. Ia jatuh berlutut dan
menangis tersedu-sedu, hal yang sejak tadi ingin ia lakukan.
Banyak hal yang menusuk-nusuk hatinya dan membuat ia
ingin menjerit-jerit menangis. Pertama karena ayah dan ibu
kandungnya telah tewas, kedua karena kematian ibu
kandungnya demikian mengenaskan, ketiga karena orang
yang selama ini dianggap ayah yang mencintanya, ternyata
adalah musuh besarnya, pembunuh ibunya dan
menghancurkan keluarga orang tuanya. Ia menangis
sesenggukan sampai kedua pundaknya terguncang-guncang.
"Ayah, ibu..... ampunkan anakmu......tadinya aku tidak
tahu..... aku menganggap dia ayahku yang baik.... ampunkan
aku..... ayah, ibu, aku bersumpah, akan kubalaskan sakit hati
dan kematian ayah dan ibu.... akan kubunuh si jahanam
keparat Suma Kiang, iblis busuk jahat itu... .!!" katanya sambil memukuli tanah
di depannya. Ia lalu menangis lagi sambil mengeluarkan kata-kata yang
tidak ada maknanya. Han Lin memandang dengan terharu, teringat akan ibu
kandungnya sendiri. Ibu kandungnya juga menderita lahir
batin karena ulah Suma Kiang. Dia menghela napas panjang.
Dia tahu bahwa Sian Eng sedang dilanda kesedihan besar dan
jalan satu-satunya yang terbaik adalah membiarkannya
melampiaskan kesedihannya melalui tangis.
Air matanya saja yang akan mencuci kesedihannya,
menjadi penyalur sakit hatinya. Karena itu dia mendiamkannya
saja, hanya memandang dengan perasaan iba. Sekarang dia
merasa betapa bodohnya dia. Setelah melakukan perjalanan
berminggu-minggu bersama gadis itu, dia masih belum tahu
bahwa ia adalah seorang wanita, bukan seorang pemuda
remaja seperti yang dianggapnya selama ini.
Dan teringat akan sikap Eng-ji yang demikian baik
kepadanya, teringatlah betapa Eng-ji dengan mesra
merangkul Pek I Yok Sian-li sehingga membuatnya cemburu,
teringat betapa Eng-ji mengatakan bahwa ia mencinta Pek I
Yok Sian li, Han Lin merasa betapa mukanya menjadi panas.
Dia merasa malu sekali, akan tetapi juga timbul perasaan tidak enak dalam
hatinya, perasaannya tidak nyaman.
Bukankah semua ulah dan sikap Sian Eng ketika menyamar
sebagai pria itu menunjukkan bahwa gadis ini agaknya
menaruh hati kepadanya"
Kalau di ngat betapa Eng-ji marah-marah melihat dia
memandang wanita cantik dalam rumah makan itu! Tak salah
lagi, Sian Eng mencintanya! Bukan cinta sahabat seperti yang
tadinya dia sangka, melainkan cinta seorang gadis terhadap
seorang pria! Dari dugaan ini mendatangkan rasa tidak enak sekali dalam
hatinya. Sebetulnya, betapa mudahnya bagi dia untuk jatuh
cinta kepada seorang gadis seperti Sian Eng yang cantik jelita dan berkepandaian
tinggi pula, berwatak baik dan ternyata
keturunan orang baik-baik, bukan puteri Suma Kiang seperti
yang tadinya dia sangka. Akan tetapi, bagaimana hal itu dapat
terjadi" Dia sudah jatuh cinta kepada Tan Kiok Hwa, gadis ahli pengobatan yang
berhati emas itu. Teringat akan ini, betapa
Sian Eng mencintanya dan dia tidak akan mampu
membalasnya, hatinya terasa pedih dan dia merasa amat iba
kepada Sian Eng. Setelah tangis Sian Eng mereda, barulah Han Lin berani
menghiburnya. "Sudahlah, Eng-moi. Tidak baik menurutkan
kedukaan hati, tidak sehat membenamkan hati dalam
kesedihan. Orang tuamu sudah terbebas dari kesengsaraan
hidup, sudah kembali ke alam asal. Kita doakan saja semoga
mereka mendapatkan tempat yang baik, aman dan tenteram.
Bagaimanapun juga, sekarang engkau telah dapat
menemukan siapa sebenarnya dirimu, dan aku sungguh
merasa berbahagia sekali mendapat kenyataan bahwa engkau
bukanlah anak dari manusia iblis Suma Kiang itu."
Sian Eng menyeka sisa air matanya dan memandang
kepada Han Lin dengan mata merah. "Lin-ko, hati siapa tidak kan hancur melihat
kenyataan ini" Ibuku diperkosa sampai
membunuh diri sehingga ayahku juga menjadi sakit dan
meninggal dunia, semua ini akibat perbuatan terkutuk iblis
Suma Kiang. Akan tetapi sejak kecil aku dipelihara dan dididik oleh iblis itu
dengan penuh kasih sayang! Ternyata dia musuh
besarku. Suma Kiang, manusia iblis jahanam, aku pasti akan
membalaskan sakit hati ayah dan ibu kandungku!"
"Tenangkan hatimu, Eng-moi, aku pasti membantumu
karena akupun mencari orang bernama Suma Kiang itu."
"Kenapa engkau mencarinya, Lin-ko?"
"Ingatkah engkau akan ceritaku dulu bahwa ibuku menjadi
sengsara hidupnya karena seorang yang amat jahat" Orang
itu bukan lain adalah Suma Kiang!"
Sian Eng membelalakkan matanya yang kemerahan.
"Jadi.... selama ini engkau tahu bahwa aku adalah anak dari musuh besarmu" Akan
tetapi kenapa engkau bersikap amat
baik kepadaku Lin-ko" Padahal engkau tahu bahwa aku yang
ketika itu menyamar adalah puteri musuh besarmu."
"Tadinya akupun terkejut sekali ketika engkau sebagai Engji menceritakan bahwa
ayahmu adalah Suma Kiang. Akan
tetapi bagaimana aku dapat membencimu, walaupun yang
kusangka ayahmu itu telah menghancurkan kehidupan ibuku"
Engkau amat baik dan engkau tidak jahat seperti Suma Kiang,
maka akupun tentu saja bersikap baik kepadamu."
Sian Eng memandang penuh haru. "Lin ko, engkau seorang
yang bijaksana dan baik sekali. Semestinya engkau benci
kepadaku yang waktu itu tentu kau kira putera orang yang
telah berbuat keji terhadap ibumu, akan tetapi engkau malah
baik sekali kepadaku."
"Dan aku girang bahwa ternyata engkau bukan putera
Suma Kiang, Eng-moi. engkau adalah Lo Sian Eng, puteri
mendiang sasterawan Lo Kiat dan isterinya yang bernama
Teng Siu Lin." "Dan bagaimana engkau mengetahui bahwa aku adalah Lo
Sian Eng seperti diceritakan paman A-lok?" Sian Eng ingin sekali tahu.
Wajah Han Lin menjadi agak kemerahan. Dia teringat
betapa dia mengetahui bahwa Eng-ji adalah seorang wanita
ketika dia membuka kancing baju gadis yang menyamar
sebagai pemuda remaja itu Akan tetapi tentu saja dia tidak
berani mengatakan hal ini kepada Sian Eng karena tentu gadis
itu akan menjadi malu sekali dan mungkin juga marah
kepadanya. "Setelah melihat reaksimu ketika mendengar penuturan Alok, timbul dugaanku itu,
Eng-moi. Aku menduga bahwa
engkaulah Lo Sian Eng itu, dan aku lalu teringat akan sikap
yang aneh dari Eng ji, maka semakin yakinlah aku bahwa
engkau adalah seorang gadis yang menyamar sebagai seorang
pemuda." "Sikap aneh yang bagaimana, Lin ko?" Percakapan itu
menarik hati Sian Eng sehingga sejenak ia melupakan
kesedihannya. Memang duka itu diberi umpan oleh ingatan
yang mengingat-ingat keadaan masa lalu dan membayangkan
keadaan dirinya sehingga timbul perasaan iba dan Kalau
pikiran dipergunakan untuk memperhatikan hal lain dan tidak
bermaim main dengan ingatan masa lalu, maka kedukaannya
akan menghilang. "Banyak setelah kuperhatikan dan ingat sekarang, Eng-moi.
Di antaranya, engkau tidak mau tidur sepembaringan
bersamaku. Engkau selalu sembunyi-sembunyi kalau mandi
dan bertukar pakaian. engkau pandai memasak. Bahkan
engkau menjadi marah-marah ketika aku memandang gadisgadis
cantik di rumah makan itu."
Kini wajah Sian Eng yang berubah kemerahan. "Aku paling
tidak suka melihat laki-laki yang mata keranjang, maka aku
tidak senang engkau memandangi gadis-gadis cantik."
katanya. Kemudian ia bangkit berdiri dan dan berkata, "Lin-ko, aku hendak pergi
sebentar." "Ke mana, Eng-moi?"
"Membeli perlengkapan sembahyang. Aku ingin
bersembahyang dengan pantas di depan makam ayah ibuku."
"Mari kutemani, Eng-moi."
Keduanya lalu meninggalkan tanah kuburan itu. Kebetulan
sekali dalam dusun yang cukup besar itu terdapat beberapa
buah toko yang menjual barang-barang cukup lengkap. Sian
Eng, masih berpakaian sebagai Eng-ji, membeli perlengkapan
sembahyang dan juga membeli tiga stel pakai an wanita
dusun. Dalam perjalanan mereka kembali ke tanah kuburan, Han
Lin bertanya. "Untuk apa engkau membeli pakaian wanita, Eng-moi?"
Sian Eng menoleh, menatap wajah Han Lin dan tersenyum!
Han Lin menjadi lega. Gadis ini memang memiliki watak yang
lincah dan gembira sehingga tidak berlarut-larut tenggelam
dalam kedukaan dan wataknya yang gembira itu sudah
muncul kembali dengan cepat.
"Lin-ko, engkau sudah tahu bahwa aku seorang wanita.
Kukira tidak ada gunanya lagi aku menyamar sebagai pria
karena engkau sudah mengetahuinya. Mulai sekarang aku
akan mengenakan pakaian wanita biasa."
"Wah, aku akan kehilangan Eng-ji, sahabatku yang lucu
dan ramah itu!" Han Lin menggodanya.
Tiba-tiba Sian Eng berhenti melangkah sehingga Han Lin
terpaksa berhenti juga dan memandang wajah Sian Eng yang
kelihatan gelisah. "Eh, ada apa, Eng-moi?"
"Lin-ko, setelah Eng-ji menjadi Sian Eng, engkau masih
akan suka memandangnya sebagai sahabat baik, bukan" Kita
masih menjadi sahabat yang saling membantu, iya kan?" Di
dalam suaranya terkandung permintaan dan harapan yang
mendesak. Han Lin merasa tidak tega untuk menyangkal. Pula,
bukankah memang dia amat suka kepada Eng-ji" Setelah EngTiraikasih Website


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

http://kangzusi.com/ ji ternyata adalah seorang gadis bernama Sian Eng, hal itu
tidak perlu menghilangkan rasa sukanya.
"Tentu saja, Eng-moi. Kita adalah sahabat-sahabat yang
baik!" katanya sungguh-sungguh.
Wajah yang tadinya membayangkan kegelisahan itu
menjadi cerah kembali. Senyumnya menghias wajah itu manis
sekali dan mata itu amat indah, seperti sepasang bintang
kejora. Han Lin kagum dan baru sekarang setelah dia tahu
bahwa Eng-ji adalah seorang gadis, dia melihat betapa
"cantik" wajah pemuda remaja itu, terlalu cantik. Mengapa dia begitu bodoh
sehingga tidak pernah menduga bahwa Eng-ji
sebenarnya seorang gadis yang amat cantik"
Mereka kini tiba di tanah kuburan dan kembali mendung
menyelimuti wajah Sian Eng yang tadinya berseri. Dengan
khidmat ia mengatur peralatan sembahyang, membakar hioswa
(dupa biting) dan bersembahyang. Han Lin tanpa diminta
juga ikut bersembahyang. Setelah bersembahyang dengan
hio, Sian Eng lalu berlutut di depan makam kedua orang
tuanya dan berkata dengan suara terharu.
"Ayah, ibu, di sini anakmu Lo Sian Eng bersumpah untuk
membalaskan sakit hati ayah dan ibu. Tenanglah ayah dan
ibu, aku akan mencari jahanam Suma Kiang dan tidak akan
berhenti sebelum dapat menemukan dan membunuhnya!"
Suaranya lirih akan tetapi mengandung ancaman yang terasa
oleh Han Lin. Sua ra itu demikian dingin dan mengandung
ancaman maut! Sian Eng menancapkan batu nisan dan dibantu oleh Han
Lin, ia menuliskan nama ayah dan ibunya di batu nisan
masing-masing. Kemudian ia duduk termenung di tempat
kuburan yang teduh oleh pohon-pohon yang ditanam orang
dan tumbuh subur di situ.
"Eng-moi, sekarang apa yang hendak kau lakukan" Setelah
meninggalkan tempat ini, engkau akan pergi ke manakah?"
tanya Han Lin memecahkan kesunyian yang menyelubungi
mereka berdua. "Aku akan melaksanakan tugasku!" kata Sian Eng dengan pasti.
"Apakah tugasmu itu kalau boleh aku mengetahui?"
"Ada dua tugas yang harus kulaksana-kan dalam hidupku.
Pertama mencari dan membunuh Suma Kiang karena dia yang
menyebabkan kematian ayah ibuku."
"Akan tetapi bukankah menurut pengakuanmu sendiri,
Suma Kiang telah memelihara dan membesarkanmu,
mendidikmu dengan kasih sayang?" tanya Han Lin untuk
meredakan dendam yang dia tahu amat mendalam itu.
"Hemm, tidak ada budi, betapa besarpun, yang sanggup
menghapus dosa yang telah dia lakukan terhadap orang tuaku
terutama terhadap ibu kandungku. Aku harus membunuh
manusia berwatak iblis itu!"
"Dan tugas yang kedua?"
"Tugasku yang kedua adalah mencari dan membunuh
Thian-te Sam-ok karena mereka bertiga telah membunuh
guruku Hwa Hwa Cinjin." kata Sian Eng dengan suara tegas.
Han Lin terkejut. Melihat tingkat kepandaian gadis itu,
untuk membunuh Suma Kiang, mungkin saja ia dapat
melakukannya. Akan tetapi melawan Thian-te Sam-ok yang
demikian lihai" "Eng-moi, bagaimana engkau akan mampu membunuh
Thian-te Sam-ok" Mereka itu lihai sekali! Engkau akan
terancam bahaya besar jika menghadapi mereka bertiga!"
"Aku tidak takut, Lin-ko! Untuk melaksanakan tugasku, aku mempertaruhkan
nyawaku. Aku tidak akan menyesal kalau
sampai aku tewas dalam melaksanakan tugas ini. Pula, aku
yakin bahwa tidak sia-sialah aku mempunyai seorang sahbat
baik seperti engkau, Lin-ko. Aku yakin bahwa engkau tentu
akan suka membantuku menghadapi para musuh besarku itu.
Bukankah Suma Kiang itu merupakan musuh besar kita
bersama?" Ia berhenti sebentar, mengamati wajah Han Lin
peluh selidik. "Dan bukankah Thian-te Sam Ok juga
memusuhimu, bahkan hampir saja membunuh kita" Aku yakin
engkau akan suka membantuku dan melawan mereka."
"Tentu! Tentu saja aku suka sekali membantumu, Eng-moi.
Akan tetapi, aku sendiri mempunyai beberapa tugas yang
amat penting." "Tugas apakah itu, Lin-ko?"
Han Lin meragu sejenak, lalu menjawab, "Aku harus
mencari seseorang yang telah mencuri sebuah benda pusaka
peninggalan ibu kandungku." Dia berhenti sampai di situ, tidak ingin membuka
rahasia pribadinya. "Siapakah yang telah mencuri benda pusaka itu, Lin-ko"
Aku teringat akan pesan ibumu bahwa engkau harus mencari
ayah kandungmu pula."
Han Lin hanya mengangguk, menghela napas dan berkata
lirih, nadanya minta maaf. "Maafkan aku, Eng-moi. Aku tidak dapat menceritakan
hal itu kepadamu, untuk sekarang ini."
Sian Eng mengerutkan alisnya dan menatap Han Lin
dengan penuh selidik, akan tetapi ia lalu menghela napas dan
berkata, "Baiklah kalau engkau ingin merahasiakan hal itu, Lin-ko. Akan tetapi
setidaknya aku boleh mengetahui, bukan!
ke mana engkau hendak mencari pencuri benda pusakamu
itu?" "Aku hendak mencarinya ke kota raja." jawab Han Lin terus terang.
Wajah Sian Eng berseri ketika ia memandang kepada
pemuda itu. "Ke kota raja" Ah, kalau begitu tujuan kita sama, Lin-ko! Aku tidak
tahu ke mana harus mencari Thian-te SamTiraikasih Website http://kangzusi.com/
ok yang tidak tentu tempat tinggalnya itu. Akan tetap aku
tahu atau dapat menduga bahwa Suma Kiang mungkin sekali
berada di kota raja pula. Dahulu, ketika dia meninggalkan aku
di Puncak Ekor Naga di Cin-ling san, dia mengatakan bahwa
dia hendak pergi ke kota raja. Karena itu, sekarang aku
hendak pergi mencarinya ke kota raja. Kita dapat melakukan
perjalanan bersama, bukan" Kuharap engkau tidak
menolaknya, Lin-ko. Aku..... aku tidak dapat membayangkan
berpisah denganmu dalam keadaan seperti ini. Aku akan
merasa kesepian dan kehilangan segala-galanya."
Han Lin merasa terharu. Dia dapat membayangkan
perasaan duka yang sangat menghimpit hati gadis itu. Baru
saja gadis itu menemukan siapa sebenarnya ayah dan ibu
kandungnya, akan tetapi hanya menemukan mereka dalam
nama saja karena mereka telah menjadi segunduk tanah
berjajar dua. Ia tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Orang yang
tadinya dianggap ayahnya dan masih hidup, ternyata
merupakan orang yang telah mengakibatkan kematian ayah
dan ibu kandungnya, ternyata merupakan musuh besarnya.
Satu-satunya orang yang kini dianggap dekat adalah Han Lin,
yang dianggap sebagai seorang sahabat baik. Dan dia dapat
merasakan bahwa gadis itu mencintanya.
Tentu saja gadis itu akan merasa hancur hatinya dan
berduka sekali kalau dalam saat seperti itu dia
meninggalkannya. Tidak mungkin dia dapat menolak
permintaan Sian Eng untuk melakukan perjalanan bersama ke
kota raja. Tidak ada alasannya yang tepat. Apalagi kalau dia
teringat bahwa gadis itu mempunyai musuh besar lain yang
amat berbahaya, yaitu Thian-te Sam-ok.
Melihat watak Sian Eng dia tahu bahwa kalau gadis itu
bertemu dengan mereka, tentu Sian Eng akan berlaku nekat
dan menyerang mereka. Akibatnya tentu akan mencelakakan
bagi gadis itu. Thian-te Sam-ok terlalu tangguh bagi Sian Eng.
"Baiklah, Eng-moi. Kita melakukan, perjalanan bersama ke
kota raja. Akan tetapi sebelumnya aku lebih dulu hendak
memberitahu kepadamu bahwa setelah kita tiba di kota raja,
terpaksa kita harus berpisah karena aku harus melaksanakan
tugasku seorang diri saja."
Sian Eng menjadi girang sekali. Sepasang matanya bersinar
dan wajahnya berseri. Saking girangnya, ia lupa diri bahwa ia
bukan lagi pemuda remaja Eng-ji. Ia memegang kedua tangan
Han Lin ambil berkata penuh senyum, "Aku tahu, engkau
tentu tidak akan keberatan, Lin-ko. Aku tahu engkau seorang
yang baik bati sekali, berbudi luhur dan bijaksana. Aku sangat berterima kasih
kepadamu, Lin-ko!" Biarpun gadis itu masih berpakaian pria namun karena dia
sudah tahu bahwa ia adalah seorang gadis, kini dipegang
kedua tangannya dengan jari-jari tangan yang memegang
kuat-kuat, Han Lin merasa rikuh sekali dan mukanya berubah
kemerahan. Dengan lembut dia menarik lepas tangannya dan
untuk mengalihkan perhatian dan percakapan diapun berkata
ambil tersenyum. "Eng-moi, engkau lupa bahwa sekarang
engkau tidak perlu menyamar lagi, kenapa engkau tidak
berganti pakaian?" "Ah ya, aku sampai lupa, Lin-ko! Akan tetapi......" Ia memandang ke sekeliling
mencari tempat untuk berganti
pakaian. "Di sana ada pohon-pohon besar, engkau dapat berganti
pakaian di belakang pohon. Biar aku yang berjaga di sini agar
tidak ada orang lewat dan melihatmu" kata Han Lin yang
mengerti bahwa gadis itu kebingungan mencari tempat
sembunyi untuk bertukar pakaian.
Sian Eng lalu pergi ke pohon besar itu dan kebetulan di situ
terdapat semak semak yang agak tebal. Di belakang semak
semak itulah ia berganti pakaian, yakin bahwa Han Lin tidak
akan menoleh atau memandang ke arahnya.
Han Lin berdiri membelakangi tempat itu. Tanpa dapat
dicegahnya, benaknya membayangkan Sian Eng bertukar
pakaian menanggalkan pakaian pria yang membungkus
tubuhnya. Mukanya terasa panas dan ada bisikan-bisikan di
belakangnya, "Kalau engkau menoleh dan memandang, apa salahnya"
Alangkah bagusnya penglihatan itu....."
"Hushh! Tidak sopan kau!" hati Hari Lin membantah dan menegur.
"Aihh, siapa bilang tidak sopan" Bukankah gadis itu pernah melihat engkau
telanjang ketika mencuri pakaianmu selama
engkau mandi" Kini tiba giliranmu melihat ia bertelanjang!"
"Setan.....!" Han Lin memaki.
"Tidak orang melihatnya, apa sih salahnya" Ia tidak akan
rugi. Tengoklah! pandanglah!"
"Keparat!" Han Lin menampar kepalanya sendiri. Rasa nyeri mengusir bisikan-
bisikan itu dan diapun duduk termenung,
mengatur perasaannya dan menentramkan hatinya yang
sempat terguncang oleh bisikan-bisikan pembujuk tadi.
"Lin-ko.....!" Tiba-tiba Han Lin terkejut ketika mendengar suara Sian Eng
memanggilnya dari arah belakang. Akan tetapi
dia menahan diri untuk tidak segera menoleh.
"Eng-moi, engkau sudah selesai berpakaian?" Dia bertanya.
"Tentu saja sudah, kalau belum, masa aku datang
menghampirimu?" jawab Sian Eng.
Han Lin memutar tubuhnya dan matanya terbelalak! Dia
berhadapan dengan seorang gadis yang bertubuh ramping
padat, wajahnya cantik dan manis sekali. walaupun ia hanya
mengenakan pakaian wanita dusun yang sederhana.
Rambutnya terurai, di kat tengahnya dengan pita merah dan
ada setangkai bunga menghiasi rambutnya. Wajahnya segar
berseri dan senyumnya sungguh menawan. Ternyata Sian Eng
jauh lebih cantik daripada yang dia bayangkan! Seperti
setangkai bunga yang amat indah.
"Lin-ko, engkau kenapa?" tanya Sian Eng sambil tersenyum menggoda, hatinya
girang dan bangga sekali melihat Han Lin
menatapnya dengan sinar mata membayangkan kekaguman.
"Aku..... aku kenapa?" Han Lin bertanya gagap dan baru menyadari bahwa dia tadi
hanya berdiri bengong dan
terpesona. Sian Eng tersenyum makin lebar dan bagi Han Lin, dunia
seakan ikut tersenyum. "Lin-ko, kenapa engkau memandangku seperti itu?"
"Seperti apa?" tanya Han Lin yang kini sudah dapat
menguasai hatinya. "Seperti..... seperti orang melihat setan!" Sian Eng tertawa.
Han Lin juga tertawa. Tawa mereka itu membuyarkan
semua pesona dan dia merasa biasa kembali, seperti kalau
berhadapan dengan Eng-ji karena tawa Sian Eng itu wajar dan
sama dengan tawa Eng-ji. "Tidak, bukan seperti melihat setan melainkan seperti
melihat seorang bidadari turun dari kahyangan! Engkau canti
jelita seperti bidadari, Eng-moi."
Ucapan ini keluar dari lubuk hatinya, dengan tulus dan
tanpa maksud memuji untuk merayu.
Wajah Sian Eng berubah kemerahan dan ia menjadi
semakin tampak cantik. Matanya berbinar-binar. "Lin-ko,
sesungguhnyakah ucapanmu itu atau sekedar pujian kosong
belaka?" Han Lin menjawab dengan sungguh sungguh. "Demi
Tuhan, aku bicara sesungguhnya, Eng-moi. Engkau memang
cantik luar biasa." "Mana lebih cantik antara aku dan Pek I Yok Sian-li, Linko?"
Han Lin terkejut bukan main mendengar pertanyaan ini,
seperti dipagut ular Dia tersentak dan memandang kepada
Sian Eng, sampai lama tidak dapat menjawab. Pada saat yang
amat pendek itu, dalam benaknya muncul bayangan Pek I Yok
Sian-li (Dewa Obat Baju Putih Tan Kiok Hwa, cantik jelita
lemah lembut bijaksana! Dan dalam waktu amat singkat itu pikirannya telah
membuat perbandingan. Ibarat burung, Kiok Hwa adalah
burung merak yang indah lembut penuh damai sedangkan
Sian Eng adalah seekor burung rajawali yang gagah perkasa,
liar dan ganas. Ibarat kembang, Kiok Hwa adalah setangkai kembang
seruni yang berwarna lembut dan tenang sedangkan Sian Eng
adalah setangkai mawar yang berwarna merah menyala dan
penuh duri! Keduanya sama-sama cantik menarik, memiliki
daya tarik yang khas masing-masing.
"Jawablah, Lin-ko. Jawablah dengan jujur. Aku tahu bahwa
engkau adalah seorang laki-laki yang jujur dan tidak berhati
palsu." "Apa" Apa yang harus kujawab?" Han Lin tergagap.
"Jawablah, menurut engkau, siapa yang lebih cantik antara aku dan enci Tan Kiok
Hwa?" Han Lin sudah dapat menenangkan hatinya yang
terguncang dan bingung oleh pertanyaan itu. Dia menjawab
sambil tersenyum. "Kedua-duanya cantik jelita, tidak ada yang lebih tidak ada yang kurang."
"Lin-ko, engkau..... mencintai enci Kiok Hwa, bukan?"


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Han Lin tidak tahan menentang pedang mata yang
demikian tajam dan bersinar penuh selidik. Dia menjadi
bingung. Dia tahu bahwa gadis ini mencintanya maka akan
tidak enaklah kalau dia mengatakan bahwa dia mencinta Kiok
Hwa seperti keadaan yang sesungguhnya.
Akan tetapi, tidak baik pula kalau dia berbohong
mengatakan tidak. Kini teringatlah dia ketika dulu Eng-ji
mengaku cinta kepada Kiok Hwa dan kini tahulah dia mengapa
Eng-ji mengaku demikian. Tentu ada maksud lain kecuali agar
dia tidak mencinta Kiok Hwa!
"Aku kagum dan suka kepadanya, Eng-moi." Akhirnya dia berkata, mengambil jawaban
yang berada di tengah-tengah.
"Dan kepadaku, Lin-ko" Apakah terdapat sedikit perasaan
suka di hatimu terhadap aku?" Mata yang bersinar seperti
bintang itu mengandung harapan dan permintaan.
Han Lin menjawab sejujurnya, seperti apa yang
dirasakannya. "Aku juga kagum dan suka sekali padamu, Engmoi."
"Lin-ko, sungguhpun engkau mencintai enci Kiok Hwa,
jangan..... jangan engkau lupakan aku dan membiarkan aku
merana seorang diri...." Suara gadis itu gemetar dan pandang matanya sayu.
"Aku tidak akan melupakanmu, Eng-moi. Sudahlah, mari
kita berangkat. Hari telah hampir sore, apakah kita harus
melewatkan malam di tanah kuburan ini?"
Sian Eng lalu memberi hormat kepada makam ayah ibunya,
diturut oleh Han Lin dan keduanya melangkah meninggalkan
tanah kuburan itu. Sian Eng beberapa kali menoleh,
memandang ke arah batu nisan yang sudah terukir nama ayah
ibunya. Karena tidak ingin menarik perhatian semua orang di dusun
Cia-lim-bun, mereka meninggalkan dusun itu dan menuruni
lereng pertama di mana dusun itu berada.
Setelah tiba di kaki pegunungan Tai hang-san mereka
mendapatkan sebuah dusun lain. Senja telah datang mereka
mendapatkan sebuah rumah penginapan sederhana di dusun
itu. Rumah penginapan ini biasanya disewa oleh para pemburu
dari kota yang suka berburu di hutan hutan pegunungan Taihang-
san. Sebuah rumah penginapan kecil yang sederhana
namun lumayan karena mereka bisa mendapatkan dua buah
kamar yang mereka sewa. Malam itu mereka dapat memesan masakan dan nasi
kepada pemilik rumah penginapan. Seekor ayam disembelih
dan dimasak menjadi beberapa macam masakan untuk
mereka. Ketika mereka sedang makan di dalam ruangan belakang,
Sian Eng teringat dan berkata kepada Han Lin. "Ah, Lin ko.
Aku sampai terlupa karena kedukaan yang melandaku siang
tadi. Kenapa aku begitu bodoh" Aku sama sekali tidak ingat
untuk menyelidiki apakah ayah dan ibuku mempunyai keluarga
di dusun Cia-lim-bun."
Han Lin juga tertegun. "Ah, kenapa aku juga lupa untuk
mengingatkanmu, Eng-moi" Jangan khawatir, besok pagi-pagi
aku akan kembali ke Cia-lim-bun dan akan menanyakan
keterangan kepada lurah dusun itu. Engkau menunggu saja di
sini." "Baik, Lin-ko. Akupun tidak ingin menjadi pusat perhatian orang yang tentu akan
mengetahui bahwa aku adalah bocah
yang dibawa pergi oleh pembunuh ibuku. Nanti kalau ternyata
ada keluarga orang tuaku di dusun itu, baru aku akan
menemui mereka di sana."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Lin
meninggalkan rumah penginapan itu seorang diri dan dia
berlari cepat menuju ke dusun Cia-lim-bun. Sebentar saja dia
sudah tiba di dusun itu dan langsung saja dia menuju ke
rumah kepala dusun. Kebetulan sekali kepala dusun sedang hendak keluar
melakukan pemeriksaan terhadap para pekerja di sawahnya
dan pamannya yang tua menemaninya.
"Hei, orang muda. Engkau sepagi ini sudah datang ke sini"
Ada keperluan apakah yang membawamu pagi-pagi datang
berkunjung?" tanya kepala dusun yang ramah itu.
"Harap suka memaafkan saya, chung cu (lurah) karena
sepagi ini saya sudah berani datang mengganggu. Saya hanya
mohon sedikit keterangan mengenai mendiang Lo Kiat dan
isterinya, mendiang Teng Siu Lin. Yaitu, apakah mereka
menpunyai sanak keluarga di dusun ini, atau di tempat lain"
Saya ingin sekali mengetahui siapa dan di mana adanya
keluarga mereka itu?"
Jilid XX "MENGENAI hal itu, pamanku ini tentu mengetahui karena
selain dia lama sekali menjadi penduduk Cia-lim-bun, juga
kebetulan sekali dia dahulu tetangga dan mengenal baik Lo
Kiat dan isterinya itu. Nah, paman, ceritakanlah apa yang
paman ketahui tentang mereka berdua kepada orang muda
ini." kata kepala dusun.
Kakek itu kelihatan senang untuk bercerita karena hal ini
membuktikan bahwa dia lebih tahu daripada orang lain. "Teng Sui Lin itu sudah
yatim piatu. Ayah ibunya meninggal dunia
tidak lama setelah ia menikah, terserang wabah penyakit
menular yang melanda dusun ini. tidak memiliki saudara atau
sanak keluarga lain. Sedangkan suaminya, Lo Kiat, adalah
seorang sasterawan yang gagal ujian. Menurut cerita mereka
ketika kami sempat mengobrol, Lo Kiat mempunyai seorang
kakak sebagai saudara tunggal. Menurut cerita Lo Kiat,
kakaknya itu bernama Lo Kang dan berbeda dengan Lo Kiat
yang sejak kecil menekuni sastra, Lo Kang itu sejak kecil
memperlajari ilmu silat sehingga menjadi seorang guru silat
yang kenamaan di kota raja, bahkan menurut cerita mendiang
Lo Kiat, perguruan silat yang di pimpin Lo Kang itu bernama
Hek-tiauw Bu-koan (Perguruan Silat Rajawali Hitam) yang
amat terkenal di kota raja. Hanya itulah yang kuketahui."
Akan tetapi itu sudah cukup bagi Han Lin. Dia merasa
girang sekali mendengar bahwa Sian Eng memiliki seorang
paman tua di kota raja! Selain hal ini tentu akan
menggembirakan hati Sian Eng, juga setelah tiba di kota raja
dia dapat berpisah dari gadis itu yang tentu tidak akan
kesepian lagi karena sudah bertemu dengan keluarga
ayahnya. Setelah mengucapkan terima kasih, Han Lin lalu
meninggalkan dusun Cia-lim-bun dan menuruni lereng,
kembali ke dusun di kaki pegunungan di mana Sian Eng masih
menanti di rumah penginapan.
Sian Eng menyambut kedatangan Han Lin yang berseri
wajahnya itu dengan pertanyaan penuh harap, "Bagaimana,
Lin-ko" Berita apa yang kau dapatkan di sana?"
"Berita baik yang amat menggembirakan, Eng-moi. Ayah
ibumu memang tidak mempunyai sanak keluarga di dusun
Ciang-lim-bun, bahkan ibumu tidak diketahui memiliki sanak
keluarga sama sekali karena kakek dan nenekmu telah
meninggal dunia karena wabah penyakit menular di dusun itu.
Akan tetapi ayah kandungmu mempunyai seorang kakak
bernama Lo Kang yang kini memimpin sebuah perguruan silat
terkenal bernama Hek-tiauw Bu-koan di kota raja."
"Ah, aku masih mempunyai seorang Toa-pek (uwa)
bernama Lo Kang" Sungguh menyenangkan sekali!" seru Sian
Eng gembira. "Yang lebih menggembirakan lagi, dia tinggal di kota raja, Eng-moi. Padahal,
kitapun sedang pergi ke sana, jadi
kebetulan sekali, engkau dapat mencari dan menjumpainya di
sana. Kiraku untuk mencari sebuah bu-koan (perguruan silat)
yang terkenal tidaklah sukar."
"Oooh, aku gembira sekali, Lin-ko. Bertemu dengan satusatunya keluarga ayah
kandungku! Dan dia seorang guru silat
terkenal" Akan tetapi kenapa ayah kandungku bahkan menjadi
sasterawan?" "Entahlah, menurut cerita paman dari kepala dusun,
memang sejak kecil ayah kandungmu tekun mempelajari
sastra sedangkan kakaknya itu tekun mempelajari ilmu silat
sehingga menjadi seorang pemimpin perguruan silat yang
terkenal di kota raja."
Pada pagi hari itu juga Han Lin dan Sian Eng melanjutkan
perjalanan mereka ke kota raja. Mereka melakukan perjalanan
cepat sekali dan baru berhenti kalau terhalang datangnya
malam. ooo00d0w00ooo Hek-Tiauw Bu-koan (Perguruan Silat Rajawali Hitam)
merupakan perguruan silat terbesar di kota raja. Banyak orang
muda, bahkan putera para hartawan dan bangsawan yang
ingin belajar silat, menjadi murid di situ walaupun bayarnya
cukup mahal. Akan tetapi di antara para muridnya yang lebih
seratus orang banyaknya, hanya sedikit yang jadi atau yang
dapat mengusai ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan dengan
baik. Kebanyakan dari mereka tidak tahan dan tidak sabar
untuk mempelajari dasar-dasar ilmu silat yang sukar dan
membutuhkan keuletan. Baru mempelajari pasangan kudakuda
saja seorang muridnya harus tekun belajar setiap hari
selama berbulan-bulan, bahkan bagi yang tidak memiliki bakat
besar, sampai belajar setahun lamanya belum juga mampu
memasang kuda-kuda yang cukup kokoh. Karena itu,
kebanyakan dari mereka hanya menguasai kembanganTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
kembangannya saja dan putus di tengah jalan karena tidak
tahan uji. Yang memimpin Hek-tiauw Bu-koan adalah seorang
pendekar bernama Lo Kang, seorang laki-laki bertubuh tinggi
besar dan tegap berusia kurang lebih lima puluh tahun.
Wajahnya gagah, dengan kumis dan jenggot lebat seperti
tokoh Kwan Kong dalam cerita Sam Kok. Dia terkenal memiliki
ilmu silat yang banyak ragamnya, akan tetapi yang paling
terkenal adalah ilmu silatnya yang disebut Hek-tiauw Sin-kun
(Silat Sakti Rajawali Hitam).
Ilmu silat ini merupakan ilmu yang paling dalam dari
perguruan itu dan yang dapat mencapai tingkat sehingga
menguasai ilmu silat Rajawali Hitam ini hanya beberapa orang
murid saja. Mereka inipun belum menguasai secara sempurna
karena untuk menguasai sepenuhnya, orang harus memiliki
sinkang (tenaga sakti) yang cukup.
Lo Kang dibantu oleh dua orang anak nya. Anak pertama
adalah seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang
bertubuh tinggi besar gagah seperti ayahnya, berwajah
tampan dan bermata lebar. Adapun anak kedua adalah
seorang gadis yang berusia dua puluh tahun, wajahnya bulat
dan cantik, pandang matanya keras seperti pandang mata
kakaknya. Dua orang kakak beradik ini sejak kecil digembleng oleh
ayah mereka dan keduanya merupakan murid-murid yang
paling tinggi tingkat kepandaiannya di antara para murid
lainnya. Karena itu mereka membantu ayah mereka untuk
mendidik murid-murid yang sudah agak tinggi tingkatnya.
Adapun murid-murid tingkat permulaan diajar oleh lima orang
murid kepala. Putera Lo Kang itu bernama Lo Cin Bu dan pemuda tinggi
besar, tampan dan gagah ini terkenal berhati keras dan
wataknya agak angkuh. Hal ini karena dia tahu bahwa
ayahnya merupakan guru silat yang paling terkenal di kota
raja dan dia merasa bahwa keluarganya memiliki ilmu silat
yang tidak akan dapat dikalahkan oleh orang lain! Adiknya,
gadis itu bernama Lo Siang Kui dan gadis yang cantik manis
inipun memiliki watak yang mirip kakaknya, agak angkuh dan
merasa diri sendiri paling hebat.
Pembentukan watak seperti ini tidak terlalu mengherankan
karena ayah mereka, Lo Kang juga berwatak tinggi hati dan
menganggap diri sendiri paling jagoan. Dan ini bukan sekedar
kesombongan! kosong belaka karena sudah seringkali
keluarga Lo ini mengalahkan jagoan-jagoan yang sengaja
datang untuk mencoba dan menguji kepandaian mereka.
Watak keluarga Lo ini menjadi lebih congkak lagi setelah
mereka menerima pinangan Cheng Kun yang biasa disebul
Cheng-kongcu (tuan muda Cheng) karena dia adalah seorang
pemuda bangsawan,' seorang di antara putera - putera
Pangeran Cheng Boan yang menjadi adik kaisar! Pinangan itu
diterima dan setelah Lo Siang Kui ini menjadi tunangan Cheng'
kongcu, watak keluarga Lo menjadi semakin tinggi hati.
Lo Kang merasa dirinya terangkat karena akan menjadi
besan Pangeran Cheng Boan.
Hek-tiauw Bu-koan memiliki bangunan yang besar,
dikelilingi pagar tembok yang setinggi dua meter. Gedung itu
amal luas, memiliki taman bunga dan kebun belakang dan di
belakang terdapat bangunan yang dijadikan lian-bu-thia
(ruangan bermain silat) yang luas sekali.
Letak pusat Hek-tiauw Bu-koan ini di pinggir kota raja,
dekat pintu gapura sebelah selatan, di tepi jalan besar
sehingga semua yang memasuki kota raja lewat pintu gerbang
selatan yang merupakan pintu paling ramai, tentu akan
melihat papan nama besar yang tergantung di depan gedung
itu. Pada hari itu, pintu gerbang halaman rumah dan gedung
itu sendiri tampak terhias meriah. Papan nama yang
bertuliskan Hek-tiauw Bu-koan di depan pintu gerbang juga
dicat baru dan mengkilap. Beberapa orang murid perguruan
itu dengan pakaian serba baru berjaga di pintu gerbang dan
sejak pagi berdatanganlah tamu-tamu yang disambut para
murid, diantar masuk dan di ruangan depan para tamu itu
disambut oleh Lo Kang yang ditemani dua orang anaknya, Lo
Cin Bu dan Lo Siang Kui. Cin Bu tampak gagah dan tampan dalam pakaiannya yang
baru, demikian pula Siang Kui tampak cantik dan gagah. Ayah
dan dua orang anaknya itu memang kelihatan gagah dan
berwibawa. Di punggung mereka tergantung sebatang pedang
dengan ronce kuning, menunjukkan bahwa mereka adalah ahli
ahli bermain pedang. Ketika pagi hari itu Han Lin dan Sian Eng tiba di depan
pintu gerbang perguruan Rajawali Hitam yang terhias meriah
itu, mereka berdua merasa heran. Melihat ada tujuh orang
muda, agaknya murid-murid perguruan itu, berdiri di depan
pintu gerbang menyambut para tamu,, setelah tidak tampak
tamu datang, Han Lin dan Sian Eng lalu maju menghampiri
pintu gerbang itu. Para murid itu mengira bahwa mereka berdua juga tamu,
maka mereka menyambut dengan hormat. Han Lin dan Sian
Eng cepat membalas penghormatan mereka. Para murid itu
dalam menyambut para tamu, selalu menanyakan nama para


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tamu untuk dilaporkan ke dalam ketika mereka mengantar
tamu itu ke dalam. Akan tetapi sebelum mereka bertanya
kepada Han Lin dan Sian Eng, Han Lin mendahului mereka
bertanya, "Saudara-saudara, perguruan Hek-tiauw Bu-koan ini sedang merayakan
apakah maka di sini dihias begini meriah?"
Mendengar pertanyaan ini, para murid perguruan silat itu
terbelalak dan saling pandang. Mengertilah mereka bahwa
pemuda dan gadis ini sama sekali bukan tamu untuk
menghadiri perayaan, buktinya mereka tidak tahu apa yang
sedang dirayakan. "Jadi ji-wi (kalian berdua) belum tahu" Perayaan ini adalah merayakan hari ulang
tahun ketua kami yang ke lima puluh
tahun. Kalau begitu ji-wi bukan tamu undangan. Ada
keperluan apakah ji-wi datang ke sini?" kata seorang di antara mereka, sikapnya
berbalik tidak hormat lagi, melainkan curiga.
Pada saat itu, dari dalam muncul lima orang laki-laki yang
usianya antara tiga puluh lima tahun, bersikap gagah. Mereka
ini adalah lima orang murid kepala. Seorang di antara mereka
yang mukanya penuh brewok, melihat para murid mengepung
seorang pemuda dan seorang gadis, segera maju dan
membentak. "Ada apa ini?"
"Twa-suheng (kakak seperguruan tertua)," seorang di
antara para murid yang lebih muda itu berkata, "dua orang ini bukan tamu-tamu
undangan karena mereka tidak tahu untuk
apa perayaan ini diadakan."
Si brewok itu mengamati wajah Han Lin dan Sian Eng.
Melihat gadis yang cantik jelita itu, sikapnya melunak dan
pandang matanya tidak segalak tadi.
"Kalau kalian bukan tamu undangan, lalu untuk apa kalian
datang ke sini" Ada keperluan apakah datang berkunjung ke
Hek-tiauw Bu-koan?" Kini Sian Eng menjawab dengan pertanyaan pula.
"Bukankah ketua Hek-tiauw Bu-koan ini seorang yang
bernama Lo Kang?" "Benar, nona. Suhu memang bernama Lo Kang." jawab si brewok.
"Kalau begitu, tolong antarkan kami untuk bertemu dengan
dia! Saya ingin menghadap Lo-kauwsu (guru silat Lo)!" kata Sian Eng penuh
gairah. "Apakah kalian hendak belajar silat" Kalau untuk itu, tidak perlu bertemu suhu,
cukup mendaftarkan kepada kami saja.
Akan tetapi jangan hari ini karena hari ini kami sibuk.
Datanglah ke sini besok pagi."
"Kami bukan datang untuk belajar silat." kata Sian Eng.
"Aku datang untuk bertemu Lo-kauwsu. Dia adalah pamantuaku.
Aku ini keponakannya yang datang dari dusun Cia-limbun
di Tai-hang-san!" Si brewok itu tampak tertegun dan heran. Dia belum
pernah mendengar bahwa gurunya mempunyai seorang
keponakan perempuan seperti ini, padahal dia sudah menjadi
murid guru silat Lo Kang selama sepuluh tahun. "Akan tetapi suhu sedang sibuk
sekali menerima para tamu, dan sedang
merayakan hari ulang tahunnya, tidak dapat diganggu."
"Coba laporkan kepadanya. AKu yakin dia akan senang
sekali menerima kedatanganku!" kata Sian Eng mendesak.
"Baiklah, akan saya laporkan. Siapa nama kalian?"
"Aku bernama Lo Sian Eng dan ini sahabatku bernama Han
Lin." "Harap kalian tunggu sebentar di sini, akan saya laporkan kepada suhu." kata si
brewok yang lalu masuk ke dalam
dengan langkah lebar. Han Lin dan Sian Eng melangkah
mundur dan berdiri di pinggiran karena ada beberapa orang
tamu berdatangan dan disambut oleh para murid Hek-tiauw
Bu-koan. Akan tetapi mereka tidak menunggu lama. Si brewok
sudah datang dan dia langsung menghadapi Sian Eng dan
berkata dengan alis berkerut.
"Suhu telah saya lapori, akan tetapi beliau menyatakan
bahwa beliau tidak mempunyai seorang keponakan yang
bernama Lo Sian Eng. Mungkin nona salah alamat, kata suhu,
karena itu sebaiknya nona tidak mengganggu suhu yang
sedang sibuk." Sian Eng mengerutkan alisnya. Han Lin tahu bahwa gadis
itu akan marah, maka dia cepat berkata kepada si brewok
tadi. "Saudara agaknya terjadi kekurang-pengertian di sini.
Memang adik Lo Sian Eng ini tidak pernah bertemu dengan
Lo-kauwsu (guru silat Lo). Akan tetapi kalau engkau
melaporkan bahwa adik Lo Sian Eng adalah puteri dari
sasterawan Lo Kiat, kami yakin dia akan mengenal dengan
baik. Kami mohon dengan hormat, sukalah saudara melapor
sekali lagi dengan mengatakan bahwa puteri sasterawan Lo
Kiat mohon bertemu."
Sian Eng maklum bahwa Han Lin tidak menghendaki ia
main kasar, maka iapun segera tersenyum manis kepada si
brewok itu dan berkata, "Tolonglah, saudara yang baik.
Tolong sekali ini saja lagi."
Si brewok meragu. Tadinya dia hendak menolak dan
mengusir mereka, akan tetapi melihat senyum manis dan
pandang mata gadis cantik jelita itu, hatinya luluh dan dia
mengerutkan alis sambil mengangguk. "Baiklah, akan tetapi kalau suhu merasa
terganggu dan marah, kalian sendiri yang
harus bertanggung jawab." Setelah berkata demikian, kembali dia melangkah lebar
memasuki pekarangan yang luas itu
menuju ke rumah yang sedang menerima para tamu.
Kembali Sian Eng dan Han Lin menunggu. Tiba-tiba Sian
Eng menarik tangan Han Lin dan mereka mundur menjauh,
bahkan lalu membalikkan tubuh agar jangan sampai muka
mereka tampak oleh dua orang yang baru datang sebagai
tamu. Mereka itu bukan lain adalah Ji Ok dan Sam Ok!
"Aku harus bunuh mereka!" kata Sian Eng lirih dengan suara mengandung kemarahan.
Ia teringat betapa gurunya,
Hwa Hwa Cinjin, tewas setelah bertanding melawan Thian-te
Sam-ok. Apalagi kalau ia teringat betapa ibu Han Lin juga
tewas oleh pisau yang disambitkan, oleh oleh Ji Ok, hatinya
menjadi panas, sekali. "Sssstt.....tenanglah, Eng-moi. Engkau tidak ingin membikin kacau perayaan
pamanmu, bukan" Sekarang belum waktunya
untuk menentang mereka. Kita tunggu saatnya yang tepat."
bisik Han Lin dan Sian Eng menjadi tenang kembali, teringat
bahwa kalau ia menyerang kedua orang itu, tentu akan terjadi
pertempuran dan hal ini tentu saja mengacaukar perayaan
yang diadakan oleh pamannya itu. Maka ia mendiamkan saja
sampai kedua orang musuh besar yang tidak menyadari
tentang keberadaan ia dan Han Lin diantar masuk oleh para
murid Hek-tiauw Bu-koan. Tak lama kemudian si brewok datang lagi dan dari
wajahnya yang berseri dapat diduga bahwa dia membawa
berita baik. "Memang benar bahwa suhu mempunyai seorang
adik bernama Lo Kiat! Suhu memanggil kalian untuk masuk
dan menghadap." "Terima kasih!" kata Han Lin dan dia bersama Sian Eng lalu mengikuti si brewok
memasuki pekarangan menuju ke rumah
gedung itu. Ruangan depan di mana perayaan itu diadakan,
amat luas dan ruangan itu telah penuh dengan tamu. Tidak
kurang dari seratus orang memenuhi ruangan itu. Agaknya
para tamu terbagi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri
dari tamu-tamu muda yang dipersilakan duduk di bagian
bawah, sedangkan kelompok ke dua terdiri dari para tamu
yang agaknya merupakan tokoh-tokoh besar, hanya ada
belasan orang saja dan mereka ini duduk di bagian atas,
sejajar dengan tempat duduk pihak tuan rumah.
Han Lin dan Sian Eng dibawa menghadap Lo Kiang dan dua
orang anaknya. Sian Eng memandang kepada laki-laki berusia
lima puluh tahun itu dengan penuh perhatian. Hatinya
berdebar dan ia merasa bangga. Inilah orang yang menjadi
kakak dari ayah kandungnya. Begitu gagah dan berwibawa
paman-tuanya itu! Di lain pihak, Lo Kang dan dua orang anaknya yang tadi
diberitahu si brewok tentang seorang gadis yang mengaku
sebagai puteri Lo Kiat, kini memandang Sian Eng dengan
penuh selidik. Ketika Han Lin dan Sian Eng mengangkat kedua
tangan depan dada untuk memberi hormat, Lo Kang hanya
mengangguk, dan dua orang anaknya juga hanya
mengangguk. Diam-diam Sian Eng merasa tidak enak hati.
Apakah mereka masih tidak percaya kepadanya maka bersikap
demikian angkuh" "Pek-hu (Uwa), saya Lo Sian Eng menghaturkan hormat
saya kepada pek-hu." kata Sian Eng yang menghadapi Lo
Kang. "Hemm, engkaukah puteri Lo Kiat" Bagaimana keadaan
ayahmu?" tanya Lo Kang sambil mengamati wajah gadis itu.
"Pek-hu, ayah dan ibu saya telah meninggal dunia karena
sakit." Lo Kang mengerutkan alisnya yang tebal. "Hemm,
begitulah kalau mempunyai tubuh yang lemah. Sejak kecil aku
sudah menganjurkan kepadanya untuk berlatih silat, akan
tetapi dia memilih menjadi kutu buku yang lemah dan
berpenyakitan! Berbeda dengan aku yang setua ini masih
sehat kuat! Dan siapa pemuda ini?" tanya nya sambul
menunjuk kepada Han Lin. "Nama saya Han Lin, locianpwe (orang tua yang gagah)."
jawab Han Lin. "Dia adalah seorang sahabat yang menjadi teman
seperjalanan saya, pek-hu." kata Sian Eng memperkenalkan.
Sepasang alis Lo Kang mengerut semakin dalam dan
matanya memandang kepada Sian Eng penuh teguran.
"Seorang gadis melakukan perjalanan bersama seorang
pemuda" Sungguh tidak pantas!"
"Akan tetapi, pek-hu....." Sian Eng hendak membantah akan tetapi Lo Kang sudah
menggerakkan tangan dengan
tidak sabar. "Sudahlah, kita bicara nanti saja. Sekarang kami sedang sibuk
menerima tamu. Kalian berdua duduklah
bersama para tamu di sana."
Dia menuding kearah kelompok tamu yang duduk di bagian
bawah. "O ya," sambungnya cepat. "Lo Sian Eng, perkenalkan, inilah anak-anakku,
saudara-saudara sepupumu. Dia ini Lo Cin
Bu dan yang ini Lo Siang Kui,"
Dia menuding kepada dua orang anaknya itu yang tetap
saja bersikap angkuh terhadap Sian Eng. Mereka hanya
mengangguk ketika Sian Eng memberi hormat, akan tetapi Cin
Bu agak tersenyum memandang adik sepupunya yang cantik
itu. Kembali Lo Kang melambaikan tangan memberi isarat
kepada Sian Eng dan Han Lin untuk duduk di kelompok
bawah. Sian Eng dan Han Lin segera turun dari undak-undakan dan
mencari tempat duduk di antara para tamu yang berada di
bawah. Sian Eng yang hatinya merasa tidak puas dengan
sikap uwanya dan saudara-saudara sepupu nya, tidak perduli
ketika banyak pasan mata para tamu memandangnya dengan
kagum. Ia dan Han Lin mendapatkan tempat duduk di bagian
belakang dan segera lenyap di antara para tamu.
Mereka melihat betapa Ji Ok dan Sam Ok mendapat tempat
duduk kehormatan, di kelompok yang duduk di bagian atas.
"Hemmm........ sombong amat......!"
Sian Eng mendesis setelah duduk di bagian paling belakang
bersama Han Lin karena di bagian depan kelompok bawah itu
sudah penuh tamu. "Ssstt..... tenanglah, Eng-moi. Di sini kita malah tidak
tampak oleh Ji Ok dan Sam Ok, sebaliknya kita dapat
mengintai gerak-gerik mereka." kata Han Lin lirih.
Tiba-tiba terdengar seruan para murid yang berjaga di
depan. "Yang terhormat Kongcu Cheng Kun datang......!"
Mendengar ini, Lo Siang Kui berlari keluar, di kuti oleh Lo
Kang dan kakaknya, Lo Cin Bu. Agaknya keluarga ini begitu
bangga untuk menyambut calon suami Siang Kui, yaitu Cheng
Kun atau Cheng Kongcu, putera Pangeran Cheng Boan!
Bahkan Nyonya Lo Kang yang tadinya duduk di kursi, bahkan
tidak ambil perduli ketika Siang Eng dan Han Lin muncul, kini
bangkit dari kursinya dari biarpun ia tidak keluar menyambut,
namun ia tetap berdiri sambil tersenyum, gembira dan
bangga. Setelah menyambut Cheng Kongcu di depan, Lo Kang
dani Cin Bu mengikuti pemuda itu yang berjalan
berdampingan dengan tunangannya, Siang Kui.
Sian Eng dan Han Lin memandangi penuh perhatian.
Pemuda itu memang gagah, pakaiannya mewah gemerlapan,
dari topi di kepalanya sampai sepatu di kakinya, semua serba
baru dan merupakan barang mewah dan mahal. Wajahnya
tidak dapat disebut tampan, akan tetapi karena pembawaan
dan pakaiannya, dia tampak gagah berwibawa.
Lo Kang membawa tamu muda itu ke bagian atas dan
setelah tiba di atas Lo Kang menghadap kepada para tamunya
dan berkata dengan suara lantang memperkenalkan tamunya
yang amat dihormatinya itu.
"Cu-wi (saudara sekalian), perkenalkanlah. Beliau ini adalah Kongcu Cheng Kun,
putera dari yang mulia Pangeran Cheng
Boan dan beliau ini adalah calon mantu kami!"
Mendengar ini, sebagian besar dari para tamu bangkit
berdiri dan memberi hormat ke arah putera pangeran itu,
yang dibalas oleh Cheng Kun dengan anggukan kepala yang
angkuh dan bangga. Akan tetapi Sian Eng dan Han Lin
termasuk diantara mereka yang tetap duduk. Mereka melihat
bahwa Ji Ok dan Sam Ok juga tetap duduk di tempatnya.
Cheng Kun lalu mendapatkan kursi di samping Lo Kang dan
Siang Kui, diapit di tengah-tengah. Agaknya kedatangan
putera pangeran ini merupakan pertanda bahwa pesta
dimulai, atau dibukanya pesta perayaan itu menunggu
kedatangannya. Seperti juga sebagian dari para tamu, Cheng
Kun membawa hadiah yang dibawakan dua orang
pembantunya yang datang belakangan.
Hadiah yang dibawa dua orang pembantunya itu tidak
kepalang banyaknya. Kalau lain tamu hanya masing-masing
membawa sebuah bungkusan, dua orang pembantu itu
membawa tidak kurang dari sepuluh buah bungkusan besarbesar!
Semua hadiah berupa bungkusan itu ditumpuk di atas
sebuah meja besar yang telah disediakan di situ, dan hadiah
dari Cheng Kun itu diletakkan di atas meja bagian paling
depan sehingga kelihatan oleh semua orang.
Lo Kang bangkit berdiri dan melangkah ke tengah
panggung yang dipasang di tengah ruangan itu. Panggung ini
sengaja dibuat untuk tempat pertunjukan. Semua orang dunia
persilatan kalau mengadakan perayaan tentu membangun
panggung seperti itu, mempersiapkan tempat untuk


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pertunjukkan karena biasanya tentu ada pertunjukan tarian
atau permainan silat. Lo Kang juga sudah mengundang
serombongan penyanyi dan penari yang terkenal di kota raja
dengan bayaran tinggi. "Cu-wi (saudara sekalian) yang terhormat. Kami seluruh
keluarga mengucap kan selamat datang dan terima kasih atas
kehadiran cuwi, juga terima kasih atas semua sumbangan dan
hadiah yang diberikan kepada kami. Kami merayakan hari
ulang tahun saya yang ke lima puluh, juga sekalian merayakan
berdirinya Hek-tiauw Bu-koan yang sudah dua puluh lima
tahun. Untuk menyambut kedatangan cuwi, kami persilakan
cuwi untuk minum secawan arak!"
Setelah berkata demikian dengan suara lantang, Lo Kang
lalu mengambil secawan arak yang disodorkan oleh Siang Kui
dan mengajak para tamu minum. Para tamu menyambut
dengan minum arak dari cawan masing-masing.
Setelah sambutan yang singkat dari Lo Kang ini, mulailah
hidangan disuguhkan dan para tamu mulai makan minum
dengan gembira. Tak lama kemudian para penabuh musik dan
para penyanyi muncul dan perayaan itu menjadi semakin
meriah ketika para gadis penyanyi yang muda-muda dan
cantik-cantik itu mulai menyanyi dengan iringan musik.
Kemudian merekapun mulai menari sehingga suasana semakin
meriah. Sejak tadi Han Lin diam saja. Kadang kadang dia
memandang ke arah Ji Ok yang duduk di samping Sam Ok di
kelompok bagian atas sebagai tamu-tamu kehormatan.
Pertemuannya dengan Ji Ok tanpa disangka-sangka ini
membuatnya termenung. Dia teringat kepada ibunya yang
tewas oleh pisau yang disambitkan Ji Ok untuk
membunuhnya. Ji Ok telah membunuh ibunya! Biarpun hal itu tidak
disengaja, tetap saja Ji Ok yang membunuh ibunya. Diapun
teringat ketika ibunya yang terluka parah dan dalam keadaan
sekarat itu melarangnya untuk membunuh Ji Ok karena ibunya
sudah berhutang nyawa kepada Ji Ok! Teringat akan semua
itu, hatinya menjadi sedih sekali. Bagaimanapun juga, Ji Ok
bukanlah manusia baik-baik, bahkan seorang tokoh sesat yang
jahat sekali. Biarpun ibunya tampak mencinta dan taat kepada Ji Ok,
namun hal itu dilakukan karena ibunya terpengaruh sihir. Ji Ok telah menyihir
ibunya sehingga ibunya menjadi seperti sebuah
boneka hidup! Untuk semua kejahatannya itu Ji Ok pantas
dihajar, atau kalau perlu dibunuh! Hidupnya seseorang macam
Ji Ok hanya akan mengotorkan dunia dan mendatangkan
bencana bagi orang lain! "Lin-ko....." Mendengar bisikan Sian Eng itu barulah Han Lin tersadar
dari lamunannya dan dia menoleh. "Ada apakah, Eng-moi?"
"Engkau diam dan melamun saja, tidak menonton taritarian.
Ada apakah?" "Ah, tidak apa-apa."
Mereka tidak melanjutkan percakapan bisik-bisik itu karena
menjadi perhatian para tamu lain yang duduk dekat mereka.
Untuk memindahkan perhatian, Han Lin lalu mengajak Sian
Eng untuk minum araknya dan makan hidangan yang berada
di meja depan mereka. Setelah para penari meramaikan pesta itu dengan tarian
dan nyanyian dan para tamu sudah makan secukupnya,
tampak Lo Siang Kui maju ke tengah panggung dan memberi
tanda dengan tangannya agar musik dan nyanyian dihentikan.
Suasana menjadi agak sunyi setelah musik dihentikan, hanya
terdengar suara para tamu yang bicara dengan gembira.
Ketika Siang Kui berdiri di tengah panggung dan mengangkat
tangan kanan memberi isarat agar para tamu tidak berisik,
semua orang terdiam dan suasana menjadi sepi.
Semua orang memandang kepada gadis yang berwajah
bulat seperti bulan dan cantik itu. Kedua pipi Siang Kui
kemerah-merahan, agaknya pengaruh arak yang membuatnya
menjadi berani tampil ke depan dan bicara di depan orang
banyak. "Cuwi yang terhormat. Untuk meriahkan hari ulang tahun
ayah dan memperingati berdirinya Hek-tiauw Bu-koan, saya
akan menyuguhkan tarian ilmu silat pedang dari perguruan
kami." Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak ke punggung dan
tampaklah sinar pedang berkilat ketika ia
mencabut pedangnya dari sarung pedang.
Tepuk tangan gemuruh menyambut ucapan gadis itu. Siang
Kui memandang ke arah Cheng Kun dan melihat pemuda
bangsawan inipun bertepuk tangan dengan gembira dan
bangga, Siang Kui tersenyum. Memang sesungguhnya gadis
ini hendak memamerkan ilmu pedangnya kepada sang
tunangan itu. Dengan gerakan tangkas Siang Kui lalu memasang kudakuda.
Kaki kanannya ditekuk ke belakang dan ia berdiri
dengan kaki kiri saja, pedangnya disembunyikan di bawah
lengan kanan dan kedua lengannya dipentang ke kanan kiri.
Inilah pasangan kuda-kuda yang disebut Hek-tiauw-tiam-ci
(Rajawali Hitam Pentang Sayap). Memasang kuda-kuda seperti
itu sambil matanya tajam menatap ke depan dan mulutnya
tersenyum, Siang Kui tampak manis sekali.
"Hemm, melihat betapa kokohnya kuda-kuda itu, aku
percaya ia memiliki ilmu pedang yang cukup kuat." kata Sian Eng.
Han Lin mengangguk. "Agaknya saudara sepupunya itu
bukan hanya sombong kosong belaka, melainkan benar-benar
lihai." kata Han Lin.
"Hai ittt.....!" Siang Kui mengeluarkan bentakan nyaring dan mulailah ia
bersilat. Pedangnya menyambar-nyambar dengan
ganas, mengeluarkan desing saking kuatnya, makin lama
semakin cepat gerakannya sehingga lenyap bentuk pedangnya
berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung dan
mengeluarkan suara mendengung-dengung.
"Bagus!" bisik Sian Eng kagum.
Han Lin mengangguk-angguk. "Benar, ilmu silat perguruan
Hek-tiauw Bu-koan memang hebat."
Semua tamu juga kagum menonton gadis cantik itu
bermain silat pedang. Kini bahkan tubuhnya hanya tampak
bayangannya saja dan hanya kadang-kadan tampak kakinya
menginjak lantai karena gulungan sinar pedangnya demikian
panjang dan lebar sehingga membungkus tubuhnya dan suara
gerakan pedang itu berdesingan seperti kilat menyambarnyambar.
Yang paling gembira dan bangga tentu saja Cheng
Kun, pemuda bangsawan itu. Saking bangganya, diapun
bertepuk tangan dan begitu terdengar tepuk tangan itu,
sebagian besar tamu juga ikut-ikutan bertepuk tangan
memuji. Siang Kui menghentikan permainan pedangnya dan ia
berdiri dengan senyum menghias wajahnya. Tidak tampak
napasnya memburu, hanya ada sedikit keringat membasahi
anak rambut yang terjuntai di atas dahinya, membuatnya
tampak manis sekali. Begitu ia berhenti bersilat, tepuk tangan gemuruh
menyambutnya dan banyak di antara para tamu
bahkan bangkit berdiri dan bertepuk tangan untuk
menyambutnya. Juga para tamu di kelompok atas, para tamu kehormatan
ada yang bertepuk tangan. Akan tetapi, sepasang mata tajam
dari Siang Kui melihat betapa dua orang diantara tamu
kehormatan itu tidak bertepuk tangan.
Mereka adalah Ji Ok dan Sam Ok yang tidak bertepuk
tangan, bahkan tersenyum mengejek. Dan ada pula beberapa
orang yang duduk di deretan terdepan dari tamu kelompok
bawah tidak menyambut dengan tepuk tangan.
Hal ini memanaskan hati Siang Kui. Gadis itu merasa
dirinya paling hebat dan merasa bahwa ilmu pedangnya sudah
tinggi sekali. Sudah terbiasa ia oleh pujian, maka sekali ini
melihat ada orang-orang yang tidak turut memuji, tentu saja
ia merasa tidak senang hatinya.
Setelah tepuk tangan mereda dan berhenti, gadis itu lalu
memandang ke arah mereka yang tidak bertepuk tangan dan
berkata dengan lantang. "Terima kasih atas pujian cuwi. Akan tetapi saya melihat
ada beberapa orang yang tidak bertepuk
tangan memuji bahkan menertawakan saya. Tentu mereka ini
menganggapi rendah ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan dan
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Karena itu, bagi mereka yang
memandang rendah dan merasa memiliki ilmul silat tinggi,
saya persilakan untuk maju dan mari kita main-main sebentar
untuk menguji ilmu siapa yang lebih unggul!"
Dasar keluarga Lo itu memiliki keangkuhan tinggi, terlalu
memandang tinggi ilmu kepandaian sendiri, maka mendengar
kata-kata dan melihat sikap Siang Kui, Lo Kang sama sekali
tidak menegur atau menyalahkannya. Bahkan dia
mengangguk-angguk tanda setuju. Demikian pula Lo Cin Bu.
Pemuda ini menganggap adiknya benar dan mempertahankan
namai besar Hek-tiauw Bu-koan.
Suasana sunyi menyambut ucapan Siang Kui tadi. Biarpun
gadis itu tidak memperlihatkan kemarahan, namun isi ucapan
itu jelas menunjukkan bahwa ia tersinggung oleh mereka yang
tidak menyambutnya dengan tepuk tangan, bahkan secara
terang-terangan gadis itu menantang mereka. Hati para tamu
mulai terasa tegang karena biasanya, orang-orang dunia
persilatan pantang kalau ditantang, walaupun ditantang secara
halus. Tidak akan terasa aneh kalau ada yang menyambut
tantangan itu dan kalau terjadi demikian, perayaan itu
berjalan seperti yang mereka harapkan, yaitu terjadinya
pertandingan adu ilmu silat.
"Hemm, ia mencari perkara." bisik Sian Eng. "Ia mengeluarkan tantangan, padahal
tadi aku melihat Ji Ok dan
Sam Ok tidak ikut bertepuk tangan memuji. Kalau kedua
orang itu maju, tentu ia akan celaka."
"Kita lihat saja perkembangannya. Bagaimanapun juga, ia
adalah saudara sepupumu dan yang merayakan pesta ini
adalah keluargamu, maka engkau harus membantu mereka."
bisik Han Lin. Apa yang diduga Sian Eng segera menjadi kenyataan.
Bukan Ji Ok atau Sam Ok yang menyambut tantangan itu,
melainkan seorang laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun
yang bangkit dari tempat duduknya di kelompok bawah. Dia
seorang yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya
membayangkan kekerasan hati. Setelan bangkit dari tempat
duduknya, dia langsung naik panggung dan menghampiri
Siang Kui yang memegang pedangnya.
"Kepandaian Lo-siocia (nona Lo) cukup menganggumkan.
Sudah lama aku mendengar bahwa Hek-tiauw Bu-koan adalah
perguruan silat yang paling terkenal di kota raja sehingga lainTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
lain perguruan mati dan tidak berkembang. Karena itu, aku
ingin sekali mencoba kemampuan sendiri dan bermain-main
dengan nona." Siang Kui memandang pria itu dengan alis berkerut.
"Siapakah engkau" Kenalkan diri lebih dulu sebelum kita
bertanding." Suaranya mengandung tantangan dan sikapnya
memandang rendah. "Aku bernama Souw Tek dari dusun Pak-siang-bun di
sebelah utara kota raja. Karena aku hanya ingin menguji ilmu
silat, bukan hendak berkelahi atau bermusuhan, maka aku
ingin agar kita saling mengadu ilmu silat tangan kosong, tanpa mempergunakan
senjata. Aku ingin sekali membuktikan
kehebatan ilmu silat Hek-tiauw Sin-kun (Silat Sakti Rajawali
Hitam) !" Tampak sinar pedang berkelebat ketika Siang Kui
memasukkan kembali pedangnya di sarung pedang yang
menempel di punggungnya. Gerakannya demikian cepat
sehingga sukar di kuti dengan pandangan mata.
"Bagus, bertanding tangan kosongpun aku tidak gentar.
Majulah, aku sudah siap!" kata Siang Kui sambil membuka
pasangan kuda-kuda seperti tadi, yaitu pasangan Rajawali
Hitam Pentang Sayap, akan tetapi sekali ini tanpa pedang.
Pria yang bernama Souw Tek itupun segera memasang
kuda-kuda. Kedua kaki terpentang lebar, tubuh agak
merendah, kedua tangan membentuk cakar, yang kiri
menempel pinggang, yang kanan di depan muka.
Tiba-tiba terdengar bentakan. "Tahan....!" Siang Kui dan calon lawannya menunda
gerakan mereka dan menoleh.
Ternyata yang berseru itu adalah Lo Kang.
"Souw Tek, engkau mempergunakan pasangan pembukaan
ilmu silat Hek-houw Sin-kun (Silat Sakti Harimau Hitam). Ada
hubungan apakah antara engkau dengan Hek-houw Bu-koan
(Perguruan Silat Harimau Hitam)?" tanya Lo Kang. Perguruan Silat Harimau Hitam
adalah sebuah di antara para perguruan
silat yang berada di kota raja dan menjadi saingan Hek-tiauw
Bu-koan. Souw Tek menghadap ke arah Lo Kang dan memberi
hormat. "Lo-kauwsu, saya bukan anggauta Hek-houw Bukoan,
akan tetapi ketuanya masih terhitung saudara
seperguruanku. Akan tetapi saya menyambut tantangan Losiocia
tidak ada sangkut pautnya dengan Hek-houw Bu-koan,
melainkan atas kehendak saya sendiri."
"Baiklah, kalau begitu lanjutkan." kata Lo Kang sambil duduk kembali.
"Orang she Souw, aku sudah siap!" tantang Siang Kui
sambil memasang kuda-kuda kembali.
"Baiklah, nona. Lihat seranganku!" kata Souw Tek yang telah memasang kuda-kuda
dan tiba-tiba tubuhnya melompat
ke depan seperti seekor harimau menubruk dan menggunakan
tangannya yang membentuk cakar untuk mencengkeram
pundak gadis itu. Akan tetapi dengan gerakan ringan dan
lincah seperti seekor burung, gadis itu telah melompat ke
belakang sehingga cengkeraman itu luput dan langsung saja
Siang Kui sudah menendangkan kakinya.
Cepat sekali kaki itu mencuat ke depan dan mengarah
lambung lawan. Souw Tek terkejut, tidak menyangka akan
mendapat serangan balasan secepat itu. Dia menggerakkan
lengan kanannya ke bawah untuk menangkis kaki itu.
"Dukk!" Kaki kiri Siang Kui tertangkis, akan tetapi secepat kilat kaki kanannya
menendang lagi, kini mengarah lutut kiri
lawan. "Bagus!" Souw Tek terkejut dan kagum, akan tetapi sempat menarik kaki yang
tertendang ke belakang sehingga luput dari
ciuman ujung sepatu Siang Kui.
"Awas....!" Bentak Souw Tek dengan suaranya yang besar dan nyaring. Kini


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tubuhnya melompat seperti seekor harimau
menubruk mangsanya dan memang inilah jurus Go-houw-pothouw
(Harimau Lapar Tubruk Kelenci). Tubuhnya melompat
ke atas dan menubruk ke arah lawan, mencengkeram dengan
kedua tangan yang kiri mengancam ubun-ubun kepala, yang
kanan terjulur mencengkeram ke arah pundak kiri. Sungguh
ini merupakan jurus serangan yang amat berbahaya.
Namun dengan tenang Siang Kui menggunakan jurus Hektiauw-
sia-hui (Rajawali Hitam Terbang Miring), tubuhnya
mengelak dengan miring ke kiri, kemudian sambungan jurus
Hek-tiauw-sin-yauw (Rajawali Hitam Menggeliat) kedua
tangannya menangkis dari samping diputar ke arah atas
sehingga dua lengannya dapat menangkis dua lengan lawan
yang menyerang ke arah kepala dan pundak.
"Dukk! Dukk!" Empat lengan bertemu dan serangan Souw Tek itu gagal. Bahkan dia
harus cepat berjungkir balik
membuat salto sampai tiga kali ke belakang kalau dia tidak
mau jatuh oleh tangkisan itu.
Kemudian terjadilah pertandingan yang menarik sekali.
Para tamu menonton dengan kagum. Gerakan kedua orang itu
tidak pernah menyimpang dari aliran masing-masing sehingga
Souw Tek menubruk-nubruk dan mencakar-cakar seperti
seekor harimau, sedangkan Siang Kui bergerak lincah dan
kadang-kadang melompat ke atas seperti terbang. Seolah-olah
para tamu itu menyaksikan seekor harimau sakti berkelahi
melawan seekor rajawali sakti!
Mereka saling serang dengan dahsyatnya, berusaha sekuat
tenaga untuk keluar sebagai pemenang.
"Siang Kui memang hebat,. ia tidak akan kalah." bisik Sian Eng kepada Han Lin.
"Agaknya begitulah. Tenaga mereka seimbang akan tetapi
gadis itu memiliki gerakan yang lebih lincah. Pula ia tidak
ragu-ragu dalam penyerangannya, bahkan eranganserangannya
ganas sekali, berbeda dari lawannya yang
agaknya masih ragu-ragu untuk menggunakan tenaga
sepenuhnya menyerang seorang gadis." kata Han Lin.
Dugaan mereka ternyata benar. Setelah mereka bertanding
lewat lima puluh jurus, mulailah Souw Tek terdesak. Dan
agaknya Siang Kui mempergunakan kesempatan ini untuk
mendesak dan melancarkan serangan-serangan yang
berbahaya. Agaknya gadis ini tidak sekedar hendak mencapai
kemenangan, melainkan juga berniat untuk merobohkan
lawannya. Souw Tek yang terdesak hebat itu hanya mampu mengelak
dan menangkis, tidak sempat lagi untuk balas menyerang dan
Siang Kui menjadi semakin ganas seperti seekor rajawali yang
kelaparan menyerang lawan, berkelebatan dan kadang
melompat ke atas seperti terbang.
"Hai itttt....!!" Tiba-tiba tubuh gadis itu melayang ke atas, lalu menukik dan
menyerang ke arah ubun-ubun kepala Souw
Tek dengan totokan. Tangan kanannya itu seperti paruh
rajawali yang mematuk, mengarah ubun-ubun. Serangan ini
bukan main hebat dan berbahayanya.
Karena maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya maut,
Souw Tek mengangkat kedua tangannya ke atas, bukan hanya
untuk menangkis dan melindungi ubun-ubun kepalanya,
melainkan juga untuk berusaha menangkap lengan
penyerangnya itu. Akan tetapi, tanpa diduga-duganya, Siang
Kui bahkan membiarkan lengan kanannya yang menyerang itu
tertangkis dan tertangkap dan tiba-tiba sekali tangan kirinya
menampar tengkuk lawan. "Plakk!" Tamparan dengan tangan miring itu menyambar tengkuk dan tubuh Souw Tek
terpelanting roboh. Tamparan
itu nampaknya saja tidak keras, akan tetapi karena dilakukan
dengan pengerahan tenaga dalam, maka akibatnya cukup
parah bagi Souw Tek. Dia merasa seolah kepalanya pecah dan
kepeningan membuat dia tidak dapat segera bangkit berdiri,
hanya bangkit duduk sambil memegangi kepalanya. Pada saat
itu, Siang Kui sudah melangkah datang dan mengayun kakinya
menendang ke arah dada Souw Tek yang sudah tidak berdaya
itu. "Desss.....!" Tubuh Souw Tek terlempar dan terpelanting jatuh ke bawah panggung
dalam keadaan pingsan! "Ganas dan kejam!" kata Han Lin lirih dan Sian Eng
mengerutkan alisnya. Ia tidak lagi dapat membanggakan
saudara sepupunya itu karena apa yang dilakukan sungguh
memalukan. Seorang gagah tidak akan melakukan hal itu.
Menyerang lawan yang sudah jelas kalah dan tidak mampu
melawan lagi. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun bangkit dari
tempat duduknya di kelompok bawah itu, menghampiri Souw
Tek dan setelah menotok dan mengurut beberapa bagian
tubuh Souw Tek, laki-laki itu membantu Souw Tek yang sudah
siuman untuk duduk kembali. Laki-laki itu lalu melangkah ke
arah panggung dan setelah berhadapan dengan Siang Kui, dia
berkata, suaranya bernada teguran.
"Nona Lo, engkau sungguh keterlaluan. Sute-ku (adik
seperguruanku) tadi sudah kalah dan tidak dapat melawan
lagi, kenapa nona masih menyerangnya dengan tendangan
keji" Nona dapat membunuhnya!"
Siang Kui bertolak pinggang menghadapai laki-laki yang
bertubuh tinggi kurus itu dan suaranya terdengar menantang
ketika ia berkata lantang, "Dalam pertandingan adu silat, kematian merupakan hal
lumrah. Apa lagi kalau hanya terluka.
Kalau takut terluka atau tewas, lebih baik tinggal di rumah dan jangan memasuki
pertandingan silat!" Ia memandang dengan
sikap gagah. "Baiklah, kalau begitu sekarang aku yang maju
menggantikan sute-ku yang sudah kalah. Hendak kulihat
sampai di mana kehebatanmu, nona!" kata orang itu.
Pada saat itu, Lo Cin Bu bangkit dari tempat duduknya dan
berseru, "Kui-moi! Engkau sudah bertanding satu kali, biarkan aku yang
menghadapinya!" Pemuda tinggi besar itu lalu
melangkah lebar ke tengah panggung. Melihat kakaknya
datang, Siang Kui tersenyum dan berkata sambil melirik ke
arah laki-laki tinggi kurus itu.
"Sayang, sebetulnya aku ingin menghadapi dan menghajar
yang ini juga, akan tetapi kalau engkau ingin mendapat
bagian, silakan, Bu-ko!" Dan iapun melangkah kembali ke
tempat duduknya dekat Cheng Kun, tunangannya yang
menyambutnya dengan senyum penuh kebanggaan.
Lo Cin Bu kini berhadapan dengan laki-laki tinggi kurus itu.
"Aku. Lo Cin Bu menggantikan adikku dan berdiri di sini
sebagai wakil Hek-tiauw Bu-koan. Engkau siapakah yang
berani menentang Hek-tiauw Bu-koan?" '
Laki-laki itu tersenyum pahit. "Aku bernama Su Toan Ek,
toa-suheng (kakak seperguruan tertua) dari Souw Tek. Tadi
adikmu menantang-nantang dan sute-ku yang berdarah muda
menyambut tantangan itu dan telah diberi pelajaran keras
oleh adikmu. Karena itu akupun ingin diberi pelajaran oleh
Hek-tiauw Bu-koan." "Engkau datang atas nama Hek-houw Bu-koan?" tanya Cin Bu.
Laki-laki itu menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan.
Seperti juga suteku tadi, aku maju atas nama pribadi dan
menyambut tantangan pihak tuan rumah untuk ikut
meramaikan perayaan ini."
"Bagus, kalau begitu mari kita bertanding mengadu ilmu
silat untuk mengetahui siapa di antara kita yang lebih
tangguh." tantang Cin Bu.
"Majulah, orang muda. Aku sudah siap!" kata laki-laki bernama Su Toan Ek itu,
sikapnya tenang sekali dan dia tidak
memasang kuda-kuda seperti yang dilakukan Souw Tek tadi.
Lo Cin Bu sudah lebih berpengalaman dibandingkan adiknya,
maka dia dapat menduga bahwa lawannya ini tentu seorang
yang memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi dari pada
Souw Tek. Diapun berlaku hati-hati.
"Lihat serangan." bentaknya dan tangan kanannya
menyambar ke depan dengan pukulan ke arah dada. Akan
tetapi pukulan itu hanya pancingan belaka dan sudah
ditariknya kembali, bia hanya ingin melihat gerakan lawan
kalau diserang. Dia melihat Su Toan Ek menggerakkan tangan
dari bawah ke atas dan mencengkeram. Kalau pukulannya tadi
dilanjutkan, tentu lengannya akan dicengkeram dari bawah.
Sungguh merupakan tangi kisan sekaligus serangan
balasan yana berbahaya, dan cengkeraman itu merupakan ciri
khas bahwa lawannya adalah seorang ahli silat Hek-houw Sinkun
yang pandai. Cin Bu yang menarik kembali tangan
kanannya, sudah menggerakkan tangan kiri menampar ke
arah pelipis dengan tangan membentuk kepala rajawali yang
mematuk dengan ujung kelima jarinya.
Su Toan Ek juga mengenal serangan berbahaya. Dia
mengelak sambil melangkah ke belakang, kemudian kedua
tangan nya menyerang dari kanan kiri membentuk
cengkeraman ke arah kedua pundak Cin Bu sambil menubruk
ke depan. Cin Bu juga mengelak mundur sambil
mengembangkan kedua tangan seperti sayap seekor rajawali
untuk menangkis. "Dukk! Dukk!" Dua pasang lengan bertemu dan Cin Bu
merasa tubuhnya terguncang. Dia melangkah mundur lagi dan
maklumlah dia bahwa Su Toan Ek adalah seorang ahli Iweekeh
(tenaga dalam) yang tangguh. Diapun mengerahkan sinkang
(tenaga sakti) dan menyerang seperti seekor rajawali
yang menyambar-nyambar dengan tangkasnya. Su Toan Ek
yang bertubuh tinggi kurus itupun melawan dengan
mengandalkan kekuatannya dan berusaha untuk menerkam
dan mencengkeram dengan kedua tangan yang membentuk
cakar harimau. Pertandingan ini lebih menegangkan dibandingkan yang
pertama tadi. Kalau pertandingan yang pertama tadi, Siang
Kui dan Souw Tek mengerahkan kecepatan untuk
mengalahkan lawan, pertandingan kedua ini dilakukan dengan
pengerahan tenaga sakti sehingga setiap sambaran tangan
mendatangkan angin yang kuat dan mengeluarkan suara
bersiutan. "Pemuda itu lebih tangguh dari adiknya." kata Han Lin yang sejak tadi
memperhatikan pertandingan itu.
"Akan tetapi lawannyapun lebih tangguh daripada sutenya
tadi." kata Sian Eng.
"Pemuda itu tidak akan kalah. Ilmu silatnya yang
berdasarkan pada gerakan burung rajawali itu lebih lincah dan
lebih banyak perkembangannya daripada gerakan orang tinggi
kurus yang bergerak seperti harimau itu." kata pula Han Lin.
"Agaknya dia sama ganas dan bengis seperti adiknya.
Jurus-jurus pukulannya merupakan serangan maut yang
berbahaya." Sian Eng berkata sambil mengerutkan alisnya.
Memang ada rasa bangga di dalam hatinya bahwa keluarga
ayah kandungnya terdiri dari keluarga ahli silat yang pandai.
Akan tetapi keganasan, kebengisan dan keangkuhan mereka
membuat ia merasa kecewa dan tidak senang sekali.
"Hyaaattt.....!" Tiba-tiba Cin Bu membentak nyaring dan tubuhnya melayang ke
depan, didahului kedua kakinya yang
melakukan tendangan seperti sepasang kaki rajawali yang
menyerang lawan. Su Toan Ek terkejut dan cepat
merendahkan dirinya untuk mengelak.
Akan tetapi pada saat itu Cin Bu membuat gerakan pok-sai
(salto) sehingga tubuhnya berjung-kir balik, kepalanya di
bawah dan kakinya di atas. Kedua tangan membentuk paruh
rajawali menyerang ke bawah, yang kanan mematuk kepala
dan kiri mematuk jalan darah di punggung!
Su Toan Ek membalikkan tubuh, akan tetapi gerakannya
kurang cepat dan terlambat. Biarpun dia dapat menghindarkan
kepalanya dari serangan dengan miringkan kepalanya, namun
totokan ke arah punggungnya tepat mengenai sasaran.
"Tukkk.... aahhh....!" Dia terhuyung-huyung ke belakang dan saat itu Cin Bu
sudah turun dan cepat pemuda ini
mengirim pukulan ke arah dada lawan yang sudah terhuyung
itu. "Bukk....." Tubuh Su Toan Ek terpental keluar dari
panggung, jatuh ke bawah dan dia rnuntuhkan darah segar.
Souw Tek cepat menolong Toa-suhengnya dan memapahnya
keluar dari tempat perayaan itu, terus keluar dari pekarangan
rumah untuk meninggalkan tempat itu. Mereka telah kalah
mutlak dan tidak ada gunanya lagi bagi mereka untuk tinggal
lebih lama di situ, hanya akan menjadi bahan tertawaan orang
saja. Setelah memperoleh kemenangan, Cin Bu berdiri tegak
memandang ke sekeliling, lalu berkata dengan suara lantang.
"Siapa yang merasa memiliki kepandaian dan tadi berani
memandang rendah kepada adikku, silakan maju untuk
menguji kepandaian." Setelah berkata demikian, Cin Bu
kembali ke tempat duduknya semula.
Suasana yang tadinya hening ketika semua orang
menonton pertandingan itu, kini kembali berisik karena para
tamu saling bicara sendiri, membicarakan ketangguhan kakak
beradik she Lo yang telah mengalahkan dua orang lawannya
tadi. Tiba-tiba terdengar suara tawa nyaring seorang wanita.
Ketika Han Lin dan Sian Eng memandang, mereka diam-diam
merasa khawatir karena melihat bahwa yang tertawa itu
adalah Sam Ok yang kini telah bangkit dari tempat duduknya
dan melangkah dengan lenggang gemulai menuju ke tengah
panggung. Suara tawa itu mengatasi semua suara berisik
sehingga para tamu menoleh dan memandang.
Tentu saja mereka tertarik sekali melihat seorang wanita
cantik melangkah dengan lenggang yang membuat pinggulnya
menari-nari. Wanita itu tampaknya berusia kurang lebih empat
puluh tahun, sama sekali tidak kelihatan seperti usianya yang
sebenarnya, yaitu sudah enam puluh tahun. Wajah yang
cantik itu tersenyum-senyum dan matanya melirik-lirik tajam.
Setelah semua orang tidak lagi berisik melainkan
memandang kepadanya dengan penuh perhatian, Sam Ok lalu
menghadap ke arah tempat duduk tuan rumah dan ia berkata
lantang, dan karena ia memandang ke arah Lo Kang, maka ia
seolah bicara kepada Ketua Hek-tiauw Bu-koan itu.
"Namaku Ciu Leng Ci dan aku bukanlah seorang tamu
undangan. Aku datang ikut rekanku Phoa Li Seng untuk
memberi selamat kepada Hek-tiauw Bu-koan yang merupakan
perguruan silat paling terkenal di kota raja. Tadi aku tidak ikut bertepuk
tangan memuji karena bagiku permainan pedang itu
biasa-biasa saja. Akan tetapi nona Lo tadi menantang kepada
mereka yang tidak bertepuk tangan, maka aku merasa bahwa


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

aku juga ditantang. Karena itu, aku sekarang ingin main-main
sebentar dengan ilmu silat dari keluarga Hek-tiauw Bu-koan."
Mendengar kata-kata yang diucapkan dengan lembut dan
sambil tersenyum itu, Lo Siang Kui merasa diejek dan
ditantang! Sebelum ayah dan kakaknya sempat mencegah, ia
sudah melompat dan berlari ke tengah panggung menghadapi
Sam Ok dan langsung saja ia mencabut pedangnya sehingga
tampak sinar terang berkelebat. Dengan pedang di tangan
kanan ia menghadapi Sam Ok dan menudingkan telunjuk
kirinya ke arah muka wanita itu.
"Ciu Leng Ci! Kalau memang engkau menganggap ilmu
pedangku biasa-biasa saja dan tidak ada harganya untuk
dipuji, marilah coba engkau tandingi ilmu pedangku!"
Sam Ok tersenyum mengejek. Tangan kanannya meraih ke
belakang pundak dan di lain saat tampak sinar hitam
berkelebat ketika ia sudah mencabut Hek-kong-kiam (Pedang
Sinar Hitam) dari sarung pedangnya yang menempel di
punggung. "Wah, Lo Siang Kui bisa celaka sekarang.....!" Sian Eng berseru lirih dengan
alis berkerut. "Aku akan membantunya!" Ia bangkit berdiri akan tetapi Han Lin menyentuh
lengannya, memberinya isarat untuk
duduk kembali. Setelah gadis itu duduk kembali, Han Lin
berbisik kepadanya. "Jangan turun tangan dulu, hal itu berarti akan
merendahkan pihak tuan rumah. Aku tidak percaya Sam Ok
berani mencelakai gadis itu karena begini banyak tokoh kangouw berada di sini."
Sian Eng mengangguk dan membenarkan pendapat Han
Lin. Saudara sepupunya itu demikian angkuhnya. Kalau ia
maju tentu akan disambut dengan marah dan ia yang akan
mendapat nnalu. Maka iapun lalu menonton saja dengan hati
gelisah. Bagaimanapun juga, Siang Kui adalah saudara
sepupunya dan ia sudah tahu betul betapa lihai dan kejamnya
Sam Ok si iblis betina itu.
Biarpun dari sinar pedangnya saja sudah dapat dikatakan
bahwa Sam Ok memiliki sebuah pedang pusaka bersinar hitam
yang ampuh, Siang Kui yang berwatak angkuh itu sama sekali
tidak takut. "Nona Lo, pedang yang berada di tanganmu itu hanya
pedang biasa, tidak dapat diandalkan dan ilmu pedangmu
tadipun biasa-biasa saja. Aku bukan sekadar membual,
melainkan mengatakan dengan sebenarnya. Kalau dua orang
dari aliran Hek-houw Bu-koan tadi dikalahkan olehmu dan
kakakmu, hal itu adalah karena kepandaian mereka masih
rendah sekali. Untuk membuktikan kebenaran ucapanku, nah,
maju dan seranglah aku dengan pedangmu itu. Hendak kulihat
apa yang dapat kaulakukan dengan pedangmu itu terhadap
diriku!" Sam Ok mengeluarkan kata-kata itu dengan lantang
sehingga terdengar oleh para tamu, dan biarpun ia
mengucapkannya dengan tersenyum dan dengan kata-kata
halus, namun bagi Siang Kui merupakan tantangan yang amat
memandang rendah kepadanya. Tentu saja ia menjadi marah
sekali. "Perempuan sombong, lihat pedangku!" bentaknya dan ia sudah menyerang dengan
dahsyat, mengelebatkan pedangnya
yang menyambar ke arah leher Sam Ok dengan pengerahan
tenaga seakan-akan ia hendak sekali serang membabat putus
leher wanita itu! Akan tetapi dengan gerakan amat tenang Sam Ok
mengangkat pedangnya dan menangkis sambaran pedang
lawan itu. "Tranggg....!" Tampak bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu dan Siang
Kui terkejut setengah mati ketika
merasa betapa tangannya tergetar hebat dan pedang itu
hampir saja terlepas dari pegangannya! Hal ini jelas
membuktikan bahwa tenaga sin-kang wanita itu amat
kuatnya. Akan tetapi biar tahu akan hal ini, Siang Kui tidak menjadi
gentar dan pedangnya sudah menyambar dan menyerang
bertubi-tubi sehingga lenyap bentuk pedangnya, berubah
menjadi gulungan sinar yang menyambar-nyambar ke arah
tubuh Sam Ok. Akan tetapi dengan sikap masih tenang Sam Ok
menghadapi hujan serangan itu dengan elakan atau tangkisan
dan setiap kali ia menangkis dengan pedangnya, pedang di
tangan Siang Kui terpental. Akan tetapi gadis ini nekat terus
mendesak dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari Hektiauw
Kiam-sut (Ilmu Pedang Rajawali Hitam).
Tubuhnya berkelebatan dan kadang melompat ke atas
seperti terbang untuk kemudian menukik dan menyerang dari
atas dengan pedangnya. Namun, semua usahanya itu gagal
dan semua serangannya dapat dipatahkan atau dihindarkan
oleh Sam Ok. Sam Ok membiarkan dirinya diserang sampai tiga puluh
jurus lebih. Siang Kui sudah mulai kebingungan dan penasaran
sekali karena semua serangannya gagal. Tiba-tiba Sam Ok
berseru dengan nyaring sekali.
"Patah....!" Pedangnya yang bersinar hitam itu dibacokkan dengan pengerahan
tenaga sepenuhnya menyambut pedang
Siang Kui sehingga kedua pedang itu bertemu dengan dahsyat
di udara. "Trakkk......!!" Siang Kui terkejut dan melompat ke
belakang, lalu memandang pedang yang berada di tangannya.
Pedang itu tinggal sepotong karena telah patah di tengahtengahnya ketika beradu
dengan pedang hitam di tangan Sam
Ok! Sam Ok tertawa. "Nah, apa kataku tadi" Pedang dan ilmu
pedangmu memang belum pantas menerima pujianku!"
Sambil berkata demikian, ia sendiri menyimpan kembali
pedangnya. Siang Kui menjadi merah mukanya. Sudah jelas bahwa ia
kalah dalam pertandingan silat pedang, akan tetapi ia masih
tidak mau menerimanya, seolah-olah ia tidak percaya bahwa
dirinya dapat dikalahkan orang lain. Ia membanting sisa
pedangnya ke atas lantai dan berkata dengan berang.
"Ciu Leng Ci, pedangku memang kalah kuat dibanding
pedangmu, akan tetapi apakah engkau berani bertanding
melawanku dengan tangan kosong?" tantangnya.
Sam Ok tersenyum mengejek. "Apa yang kau andalkan
untuk dapat menang dariku" Lebih baik engkau kembali ke
tempat dudukmu agar terhindar dari terluka olehku!"
"Manusia sombong! Jagalah serangan-ku!" Tiba-tiba Siang Kui yang sudah tidak
dapat menahan kemarahannya sudah
melompat cepat ke depan menerjang dengan pukulannya. Ia
memainkan ilmu silat tangan kosong Hek-tiauw Sin-kun dan
menyerang sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Ia amat
bernapsu untuk menebus kekalahannya bermain pedang tadi,
maka serangannya bertubi-tubi dan membabi-buta!
Seperti juga tadi, Sam Ok mengandalkan kelincahannya
untuk mengelak atau kadang menangkis pukulan dan
tendangan yang dilakukan Siang Kui sehingga lewat dua puluh
jurus. Tiba-tiba ia berseru nyaring.
"Roboh!" Telunjuk tangan kiri menuding. Suara bercuitan terdengar dan dari
telunjuk itu menyambar hawa pukulan
yang amat dahsyat. Itulah ilmu Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun) yang hebatnya
bukan alang kepalang! Siang Kui merasa betapa pundak kanannya dilanggar
sesuatu seperti tertusu pedang iapun roboh terjengkang. Ia
merasa nyeri sekali di pundaknya, panas dan perih. Ketika ia
menunduk dan memandang, ternyata bajunya di bagian
pundak kanan sudah hangus dan kulit pundaknya tampak
kehitaman. Ia kaget sekali, maklum bahwa ia telah terkena
pukulan jarak jauh yang mengandung hawa beracun jahat
sekali. Siang Kui bangkit berdiri dengan wajah pucat
memandang kepada lawannya. Lo Kang sudah melompat ke
dekat puterinya dan merangkulnya.
"Lo-kauwsu, anakmu telah terkena pukulan Ban-tok-ci,
kalau engkau tidak menggunakan obat penawar ini, tidak ada
obat lain yang akan mampu menyembuhkannya." kata Sam
Ok sambil menyerahkan sebuah bungkusan kertas dan Lo
Kang menerimanya tanpa sepatahpun kata. Dia lalu memapah
puterinya kembali ke kursinya dan cepat mencampurkan obat
penawar itu dengan air teh dan meminumkannya kepada
Siang Kui. Ternyata obat itu manjur bukan main karena
seketika rasa panas dan perih pada pundaknya menghilang.
"Ciu Leng Ci, coba engkau melawan aku!" tiba-tiba
terdengar bentakan dan Lo Cin Bu sudah melompat ke depan
Sam Ok sebelum wanita itu meninggalkan panggung.
Sam Ok memandang kepada pemuda itu dengan sinar
mata penuh selidik dan penilaian, seperti seorang pedagang
kuda yang sedang menilai seekor kuda yang hendak dibelinya.
Ia memandang pemuda itu dari kepala sampai ke kaki
kemudian tersenyum senang. Dalam penilaiannya, pemuda itu
mengagumkan hatinya. Tinggi besar tampak kokoh kuat dan
gagah! "Orang muda yang gagah, siapakah engkau?"
"Aku adalah Lo Cin Bu. Adikku Lo Siang Kui telah kalah
olehmu. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa ilmu silat dari aliran Hek-tiauw
Bu-koan rendah dan tidak dapat
menandingimu, melainkan tingkat adikku yang belum begitu
tinggi. Hayo tandingilah aku kalau engkau memang tidak mau
menghargai ilmu silat kami."
"Hi-hi-hik, orang muda. Boleh jadi ilmu silat Hek-tiauw Bukoan sudah baik dan
tinggi, akan tetapi ingatlah bahwa di
dunia ini banyak sekali ilmu silat yang lebih tinggi daripada
yang kalian bangga-banggakan itu. Lebih baik engkau ikut
denganku selama satu dua tahun untuk memperdalam ilmu
silatmu. Bagaimana?"
Ucapan itu dilakukan penuh kerling memikat dan senyum
manis, akan tetapi Cin Bu merasa dipandang rendah sekali.
Dia adalah jagoan dari Hek-tiauw Bu-koan, tingkatnya hanya
kalah oleh ayahnya saja dan di kota raja dia sudah sukar
menemukan tandingnya. Sekarang dipandang rendah oleh
wanita ini, tentu saja ketinggian hatinya tersinggung dan
mukanya berubah merah karena marah.
"Ciu Leng Ci, tidak perlu banyak cakap lagi. Mari kita
bertanding untuk menentukan siapa di antara kita yang lebih
unggul!" bentak Cin Bu dan dia sudah maju tiga langkah
menghampiri wanita itu dan memasang kuda-kuda dengan
membuka kedua lengan seperti seekor burung rajawali hendak
terbang. "Bagus, pemuda gagah. Aku ingin melihat sampai di mana
kemampuanmu!" kata Leng Ci atau Sam Ok.
"Sambut seranganku!" Ci Bu sudah menerjang dengan
dahsyatnya. Begitu menyerang Cin Bu sudah mengerahkan
seluruh tenaga dan kecepatannya karena dia maklum betapa
lihai lawannya. "Bagus!" Sam Ok memuji dan iapun menggerakkan tangan untuk menangkis dan sengaja
ia menggunakan tenaga untuk
mengukur kekuatan pemuda itu.
"Dukkk.....!!" Cin Bu tertolak ke belakang, akan tetapi Sam Ok juga merasa
betapa lengannya tergetar sehingga tahulah
ia bahwa pemuda ini memiliki tenaga sin-kang yang lebih kuat
dibandingkan Siang Kui. -00dw00kz00- Jilid XXI CIN BU merasa penasaran sekali ketika tubuhnya terpental,
seolah dia bertemu dengan dinding yang amat kuat. Dia
segera menyerang lagi dan tangannya yang membentuk paruh
burung itu menotok ke arah bagian tubuh yang berbahaya
karena sekali ini dia hendak menebus kekalahan adiknya agar
nama besar Hek-tiauw Bu-koan terangkat lagi.
Akan tetapi, ke manapun dia menyerang, dia selalu
memukul angin kosong belaka atau pukulannya itu ditangkis
dan selalu tangannya terpental dan seluruh lengannya tergetar
hebat. Setelah belasan jurus dia menyerang tanpa hasil dan
lawan hanya mengelak atau menangkis saja tanpa balas
menyerang dia merasa dipandang rendah sekali.
"Balaslah menyerang kalau engkau mampu!" tantangnya.
"Hi-hik, sayang kalau sampai melukaimu, pemuda gagah!"
Sam Ok tertawa dan tiba-tiba secepat kilat tangannya
menyambar dan telapak tangan yang halus dan hangat itu
mengelus pipi Cin Bu. Pemuda ini terkejut sekali karena kalau
wanita itu menghendaki, tentu saja pipinya bukan hanya
dielus, melainkan dipukul atau ditampar.
Pertandingan dilanjutkan, akan tetapi kini Cin Bu merasa
menjadi permainan wanita itu. Pipinya dielus, dagunya diusap,
bahkan kadang pahanya dicubit dan pinggulnya ditepuk.
Wajahnya berubah merah sekali karena dia belum dapat
menyentuh tubuh lawan dengan semua serangannya,
sebaliknya kalau lawannya itu menghendaki, tentu sejak tadi
dia sudah roboh, terluka berat bahkan mungkin sekali tewas!
Dia merasa penasaran sekali dan sambil menggigit bibir
sendiri dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
semua ilmu silatnya, bahkan menyerang dengan membabi
buta. Anehnya, semua serangannya yang dahsyat itu tidak
pernah dapat menyentuh tubuh lawan. Tiba-tiba Sam Ok
mengeluarkan suara tawa kecil dan begitu jari-jari tangannya
menyambar, Cin Bu merasa betapa semua tenaganya lenyap,
tubuhnya lemas dan dia tidak kuat berdiri lagi dan ambruk
berlutut di depan lawannya itu! Secara cepat sekali sehingga
sukar di kuti pandangan mata, ternyata Sam Ok telah berhasil
mempergunakan tiam-hiat-to (menotok jalan darah) membuat
tubuh pemuda itu lumpuh dan lemas.
Melihat Cin Bu berlutut di depannya, sambil tersenyum
lebar Sam Ok membungkuk dan kedua tangannya memegang
kedua pundak pemuda itu sambil berkata lembut namun
nyaring sehingga terdengar semua orang yang hadir di situ.
"Ah, pemuda gagah, tidak perlu menghormatiku dengan
berlutut seperti ini!"
Jari-jari tangan yang mungil itu menyentuh pundak dan
seketika Cin Bu bergerak lagi. Dia segera bangkit berdiri.
Mukanya menjadi merah sekali dan sambil menundukkan
mukanya dia melangkah kembali ke tempat duduknya. Semua
orang melihat betapa dia sudah jatuh berlutut. Dia sudah
kalah, hal ini harus ia sadari dan akui. Wanita itu terlalu kuat, terlalu
tangguh baginya. Dia tahu benar bahwa kalau wanita
itu menghendaki, dia dapat tewas dalam perkelahian tadi.
Dia dapat menduga bahwa dia jatuh berlutut tadi karena


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

totokan yang ampuh sekali. Dia dan adiknya telah dikalahkan
dengan mudah oleh wanita itu dan hal ini benar-benar
merupakan pukulan hebat bagi hatinya yang penuh
kecongkakan, yang biasanya terlalu memandang tinggi kepada
diri dan kemampuannya sendiri.
Lo Kang yang menyaksikan betapa kedua orang anaknya
itu kalah dengan amat mudahnya oleh tamu wanita itu,
menjadi merah sekali mukanya. Dari kekalahan kedua orang
anaknya tadi diapun sudah dapat mengukur kepandaian
wanita bernama Ciu Leng Ci itu. Dari kekalahan dua orang
anaknya yang amat mudah itu tadi saja diapun sudah maklum
bahwa dia sendiri tidak akan mampu menandingi wanita itu.
Dia teringat ketika wanita tadi memperkenalkan diri. Namanya
Ciu Leng Ci dan katanya ia bukan tamu undangan, melainkan
datang ikut bersama Phoa Li Seng.
Dia mengenal Phoa Li Seng sebagai Ji Ok, datuk yang amat
lihai. Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan wanita ini adalah Sam Ok, rekan
dari Ji Ok yang juga amat terkenal memiliki
ilmu silat yang amat hebat!
Dengan memberanikan diri Lo Kang bangkit dari tempat
duduknya, akan tetapi dia tidak menghampiri wanita itu,
melainkan menegur dari bagian atas di mana dia duduk dan
menghadap ke arah Sam Ok yang berdiri di atas panggung.
"Ciu-toanio (Nyonya Besar Ciu), engkau datang bersama
Phoa-locianpwe yang berjuluk Ji Ok. Apakah engkau yang
berjuluk Sam Ok?" Sam Ok tersenyum, senyum yang mengandung ejekan.
"Lo-busu (guru silat Lo), aku tidak ingin menggunakan nama julukanku untuk
menakut-nakuti orang. Dua orang anakmu
sudah membuktikan bahwa ilmu silat mereka masih amat
rendah, tepat seperti yang kukatakan tadi. Kalau engkau
setuju dengan penilaianku tadi, akuilah akan kerendahan mutu
Ilmu silat dari Hek-tiauw Bu-koan. Akan tetapi kalau engkau
menyangkal, engkau dapat mempertahankan kehebatan ilmu
silatmu itu dariku!"
Lo Kang menjadi penasaran sekali, hiarpun dia sudah dapat
memaklumi bahwa dia tidak akan mampu menandingi wanita
itu, namun kalau dia membiarkan orang meremehkan ilmu
silat dari perguruannya, namanya akan jatuh dan takkan ada
lagi orang mau berguru kepadanya. Karena itu dia menjadi
nekad dan dia melangkah maju hendak menghampiri Sam Ok
dengan alis berkerut dan sinar mata memancarkan api
kemarahan. Akan tetapi sebelum dia tiba di tengah panggung, tiba-tiba
tampak bayangan merah muda berkelebat dan Sian Eng sudah
melompat dari bagian bawah ke tengah panggung,
menghadang Lo Kang. "Toapek, harap toapek jangan turun tangan sendiri
memberi hajaran kepada wanita sombong itu. Toapek adalah
tuan rumah yang sedang mengadakan pesta perayaan.
Sebaiknya aku sajalah yang akan maju mewakili toapek
menghadapi perempuan sombong ini!"
Lo Kang terkejut dan memandang kepada keponakan yang
baru saja ditemuinya itu dengan alis berkerut. "Lawan itu lihai sekali. Engkau
hanya anak dari mendiang Lo Kiat, adikku yang
sasterawan lemah itu. Apa yang akan dapat kaulakukan untuk
menandinginya?" Cin Bu dan Siang Kui juga sudah bangkit dari tempat duduk
mereka dan menghampiri Sian Eng. "Hei, engkau ini anak kecil hendak ikut-ikutan!
Lancang benar hendak mewakili ayah
kami!" bentak Lo Siang Kui.
"Adik kecil, mundurlah dan jangan mencari perkara. Kalau
engkau maju melawannya dan terpukul mati, engkau hanya
membikin malu kami dan merepotkan saja!"
Sian Eng yang pada dasarnya berwatak keras, tersenyum
mengejek dan berkata kepada mereka bertiga, "Hemm, kalian lihat saja nanti!"
Setelah berkata demikian, tanpa
memperdulikan mereka bertiga ia sudah melompat ke depan
Sam Ok. Ia menudingkan telunjuk tangan kirinya ke arah
hidung wanita itu dan membentak dengan . suara lantang
sehingga terdengar oleh semua orang.
"Hei , Sam Ok iblis betina yang jahat dan busuk! Aku Lo
Sian Eng menantangmu bertanding, beranikah engkau
melawan aku?" Tantangan yang sekaligus memaki dan meremehkannya ini
tentu saja membuat Sam Ok marah sekali. Wajahnya menjadi
merah, sepasang matanya menyinarkan api. Ia tadi sudah
mendengar cegahan Lo Kang dan dua anaknya terhadap gadis
yang menantangnya ini. "Bocah gila! Engkau tidak tahu disayang keluargamu dan
nekat hendak melawanku. Apakah engkau sudah bosan hidup"
Kalau sudah bosan, biarlah aku akan mengantar nyawamu ke
alam baka!" "Sam Ok, bukan aku yang akan mati, melainkan engkau
yang akan mampus di tanganku untuk menebus semua
dosamu yang bertumpuk-tumpuk!" kata Sian Eng.
Sam Ok tidak dapat menahan kemarahannya lagi. "Bocah
setan, mampuslah!" teriaknya dan ia sudah menerjang maju, sekali ini tidak
seperti ketika ia melawan Siang Kui dan Cin Bu.
Kalau tadi ia hanya ingin mengalahkan mereka tanpa
membunuh, bahkan setelah memukul Siang Kui juga langsung
memberi obat penawar, akan tetapi sekarang, begitu ia
menyerang, ia telah mengerahkan tenaga sin-kangnya yang
beracun dari jari telunjuk tangan kirinya meluncur untuk
mengirim totokan maut dengan ilmu Ban-tok-ci (Jari Selaksa
Racun). Hebat bukan main totokannya itu karena kalau
mengenai sasaran, pasti lawan akan tewas seketika!
Sian Eng yang pernah bertanding melawan Sam Ok,
mengenal serangan ini dan iapun tidak mau mengalah atau
memperlihatkan kelemahannya. Ia tidak mengelak, melainkan
maju dan menyambut serangan totokan jari itu dengan ilmu
Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut Nyawa)! Ilmu
pukulan yang mengandung hawa beracun ini tidak kalah
dahsyatnya dibandingkan Ban-tok-ci yang dipergunakan Sam
Ok. "Dukkk!!" Dua lengan itu bertemu di udara dan akibatnya tubuh Sam Ok terdorong
mundur sampai lima langkah,
sedangkan Sian Eng hanya mundur dua langkah.
Bukan main kagetnya Sam Ok ketika merasa betapa lengan
lawan yang menangkisnya itu sedemikian kuatnya dan
mengandung hawa yang tidak kalah panasnya dengan hawa
pukulannya sendiri! Ia sama sekali tidak pernah mimpi bahwa
gadis muda yang cantik jelita ini bukan lain adalah pemuda
tampan bernama Eng-ji yang pernah menjadi lawan ketiga
Sam-ok menemani Han Lin dan Pek I Yok Sian-li Tan Kiok
Hwa! Ia menjadi penasaran dan semakin marah. Sambil
berteriak nyaring ia sudah menerjang lagi dan menghujankan
serangan maut. Siang Eng memperlihatkan kegesitan-nya. Ia mengelak
atau menangkis lalu membalas dengan tidak kalah dahsyatnya
sehingga kedua orang wanita itu sudah terlibat dalam
perkelahian yang amat dahsyat dan mati-matian. Bahkan
orang-orang di sekitar panggung itu dapat merasakan hawa
pukulan panas yang menyambar-nyambar!
Melihat jalannya pertandingan ini, Lo Kang terkejut dan
heran, juga girang dan timbul harapan dalam hatinya agar
keponakannya itu dapat memenangkan pertandingan dan
mengembalikan kehormatan dan nama besar Hek-tiauw Bukoan.
Saking tegang dan gembiranya, Lo Kang bangkit berdiri
dari kursinya dan menonton sambil berdiri.
Lo Cin Bu dan Lo Siang Kui juga bangkit berdiri dan
menonton dengan kedua mata terbelalak. Mereka berdua juga
merasa terkejut dan heran, akan tetapi yang lebih dari itu,
mereka merasa malu sekali mengingat betapa tadi mereka
bersikap angkuh dan memandang rendah kepada adik sepupu
yang baru saja datang itu. Wajah mereka menjadi merah
sekali, akan tetapi merekapun menonton dengan hati tegang
dan penuh harapan agar saudara sepupu itu dapat
membalaskan kekalahan mereka.
Tiga puluh jurus telah lewat dan pertandingan itu semakin
dahsyat dan seru. Sudah beberapa kali tubuh Sam Ok
terpental dan terhuyung ketika lengan mereka saling beradu.
Tiba-tiba Sian Eng mengubah gerakannya dan kini ia bersilat
dengan ilmu Pek-lek Ciang-hoat (Silat tangan Kosong
Halilintar)! Sam Ok terkejut sekali. dan sebelum ia dapat
menghindarkan diri, pundaknya terkena dorong in tangan kiri
Sian Eng. "Plakk!" Tubuh Sam Ok terpelanting dan terguling-guling di atas papan panggung.
Wanita itu melompat bangun, pundak
kanannya terasa nyeri, akan tetapi ia memaksakan diri untuk
mencabut pedang Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) dari
punggungnya. Akan tetapi sebelum pedang tercabut, sesosok
bayangan berkelebat di dekatnya.
"Sam Ok, mundurlah. Aku akan melawan gadis ini!"
Ternyata orang itu adalah Ji Ok. Sam Ok yang merasa pundak
kanannya nyeri sehingga lengan kanannya juga kurang leluasa
untuk bermain pedang, maklum bahwa kalau melawan terus ia
pasti kalah. Maka melihat kemunculan Ji Ok, hatinya merasa
girang dan diapun cepat melompat turun dari atas panggung,
tidak lagi duduk di bagian atas melainkan mencari tempat
kosong di bagian bawah panggung.
Sian Eng menghadapi Ji Ok dengan hati panas. Tentu saja
ia mengenal baik datuk ini, orang yang amat dibencinya
karena Ji Ok inilah orangnya yang pernah menguasai dan
mempengaruhi ibu Han Lin dengan sihir, kemudian bahkan
pisau terbang iblis ini pula yang telah menewaskan ibu Han
Lin. Sejak tadi Ji Ok memperhatikan gadis yang bertanding
melawan Sam Ok ini dan dia merasa kagum bukein main.
Bukan hanya kagum oleh kecantikan Sian Eng, akan tetapi
juga amat kagum melihat betapa lihainya gadis itu sehingga
mampu mendesak dan mengalahkan Sam Ok!
Dia telah kehilangan Chai Li dan kalau ada penggantinya,
agaknya gadis inilah yang pantas menjadi pengganti Chai Li,
untuk menjadi pembantu dan juga kekasih atau isterinya!
Kalau gadis ini dapat menjadi isterinya, keadaannya akan
menjadi kuat sekali dan dia bahkan tidak takut terhadap Toa
Ok atau musuh yang manapun! Maka, begitu berhadapan
dengan Sian Eng, Ji Ok diam-diam mengerahkan daya sihirnya
untuk mempengaruhi gadis itu.
Sama sekali dia tidak menduga bahwa gadis itu amat benci
kepadanya. Sian Eng memang sedang berusaha untuk
menekan perasaannya yang dilanda kebencian yang amat
sangat. Bukan saja karena Ji Ok telah membunuh ibu Han Lin,
walaupun tidak sengaja, melainkan juga karena dara ini
teringat betapa Thian-te Sam-ok adalah pembunuh-pembunuh
dari kakek-uwa gurunya yang juga menjadi gurunya yang ke
dua, yaitu mendiang Hwa Hwa Cinjin.
"Lo Sian Eng, engkau masih begini muda namun sudah
memiliki ilmu silat yang cukup lihai. Engkau pantas kalau
menjadi seorang sahabat baikku, dan aku akan mengajarkan
ilmu-ilmu yang lebih tinggi kepadamu. Untuk itu, aku
perintahkan kamu untuk berlutut memberi hormat kepadaku!"
Ji Ok mengerahkan daya sihirnya dan mulutnya berkemakkemik
membaca mantera. Dia sama sekali tidak tahu bahwa
gadis itu telah mempelajari ilmu sihir dari mendiang Hwa Hwa
Cinjin sehingga begitu ada kekuatan sihir menyerangnya, Sian
Eng segera mengetahuinya! Cepat gadis inipun mengerahkan
kekuatan sihirnya dan sepasang matanya yang tajam menatap
wajah Ji Ok, dipusatkan di antara kedua alis laki-laki itu dan sinar matanya
seolah menembus daerah itu dan mulutnya
mengeluarkan seruan yang menggetar.
"Siapa yang berlutut" Engkau atau aku" Engkaulah yang
berlutut, Ji Ok!" Ji Ok sama sekali tidak mengira akan mendapat serangan
yang membuat daya sihirnya membalik dan menghantam
dirinya sendiri. Tanpa dapat dicegah lagi ke dua kakinya
bertekuk lutut! Setelah berlutut barulah dia menyadari
keadaannya dan dengan pengerahan sin-kang dia dapat
memulihkan kesadarannya dan dia sudah melompat berdiri.
Wajahnya menjadi merah sekali, merah karena malu dan juga
marah. Kini dia mengamati wajah gadis itu dengan tajam
penuh selidik dan tiba-tiba teringat olehnya bahwa dia pernah
bertemu dengan gadis ini! Gadis ini pandai ilmu sihir pula!
Benar, dia ingat sekarang. Gadis ini adalah gadis yang dulu
membantu Hwa Hwa Cinjin ketika dia dan dua orang
rekannya, yaitu Toa Ok dan Sam Ok, menyerang kakek sakti
itu! "Kau..... kau..... murid Hwa Hwa Cinjin!" serunya marah, akan tetapi dia tidak
berani memandang rendah lagi dan cepat
dia melolos senjatanya yang ampuh, yaitu sehelai sabuk
sutera putih. Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat dan Han Lin
sudah berdiri di samping Sian Eng. "Eng-moi, mundurlah dan biarkan aku sendiri
yang menghadapi jahanam busuk ini!"
Sian Eng tersenyum dan melompat turun dari atas
panggung. Ketika Ji Ok melihat Han Lin, matanya terbelalak
dan mukanya menjadi pucat sekali. Dia tahu betapa lihainya
pemuda ini tahu pula bahwa putera Chai Li pasti tidak akan
mau melepaskannya, dan akan membunuhnya untuk
membalaskan ibunya. Maka, menggunakan kesempatan selagi
Han Lin belum siap, dia langsung saja menggerakkan sabuk
sutera putihnya yang meluncur dan ujungnya menyambar ke
arah leher Han Lin dalam serangan maut yang amat
berbahaya! Han Lin maklum akan datangnya bahaya maut.
Dia menggerakkan tubuhnya, melompat ke belakang untuk
menghindarkan diri dari serangan sabuk sutera putih itu. Akan
tetapi kesempatan itu dipergunakan oleh Ji Ok untuk
melompat jauh turun dari atas panggung dan melarikan diri,
mengejar Sam Ok yang sudah melarikan diri terlebih dahulu
Jodoh Rajawali 13 Pendekar Mata Keranjang 1 Istana Karang Langit Bara Diatas Singgasana 6
^