Pencarian

Suling Pusaka Kumala 13

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 13


Ki Seng yang amat cerdik maklum bahwa tidak ada artinya
membantah lagi. Suma Kiang yang pernah bertemu dengan
Han Lin, tentu dapat mengenalnya sebagai bukan Pangeran
Cheng Lin dan kalau sampai kaisar mendengar tentang hal itu,
celakalah dia! Maka, tidak lain jalan baginya kecuali berdamai dengan Pangera
Cheng Boan. "Dan apa yang harus saya lakukan untuk paman?"
tanyanya langsung saja karena dia yakin bahwa pangeran itu
tentu menghendaki imbalan.
Pangeran Cheng Boan senang dengan sikap Ki Seng yang
demikian tegas dan tidak berbelit-belit, melainkan langsung
saja membicarakan syarat-syarat yang dibutuhkannya.
"Kita dapat bekerja sama dengan baik sekali, pangeran.
Akan tetapi, sebelum kami menceritakan kerja sama yang
bagaimana kami kehendaki darimu, kami ingin lebih dulu
mengetahui, siapa sebenarnya engkau ini?"
Karena maklum bahwa keselamatan dirinya berada dalam
genggaman tangan Pangeran Cheng Boan yang cerdik dan
licik itu, Ki Seng menghela napas dan terpaksa mengalah.
"Nama saya Ouw Ki Seng dan saya adalah ketua Ban-tokpang, juga saya menguasai
Hek-houw-pang dan Pek-eng-Pang
di lereng Thai-san."
"Hemm, masih amat muda sudah menjadi ketua Ban-tokpang
dan menguasai dua perkumpulan itu. Sungguh hebat!"
kata Suma Kiang kagum. "Akan tetapi bagaimana engkau dapat memiliki Suling
Pusaka Kemala?" tanya Pangeran Cheng Boan.
Ki Seng memandang tajam dan berkata dengan suara
tegas. "Pangeran, saya akan menceritakan semua rahasia
saya. Akan tetapi kalau sampai paman mengkhianati saya,
percayalah, saya masih memiliki cukup kekuatan untuk
membasmi paman sekeluarga!"
Pangeran Cheng Boan tertawa dan mengelus jenggotnya.
"Ha-ha-ha, siapa yang akan mengkhianatimu" Engkau juga
tentu tidak akan mengkhianatiku setelah kita bekerja sama,
bukan" Nah, ceritakan saja, kami akan menyimpan rahasiamu
karena itu merupakan rahasia kami juga."
"Aku mencuri Suling Pusaka Kemala dari tangan Han Lin."
akhirnya dia mengaku terus terang karena tidak ada pilihan
lain. "Pangeran, saya pernah bertemu dengan pemuda bernama
Han Lin itu dan dia kini telah menjadi seorang pemuda yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi." kata Toa Ok. "Dan saya tahu benar bahwa Han
Lin itu memang bukan pemuda ini."
"Akan tetapi, Ouw Ki Seng....." kata Suma Kiang dan pada saat itu Pangeran Cheng
Boan memotongnya. "Suma Sicu, kami telah berjanji kepadanya untuk tetap
menganggap dan memanggilnya sebagai Pangeran Cheng
Lin!" "Ah, benar sekali. Maafkan saya, pangeran Cheng Lin! Akan tetapi saya melihat
tadi bahwa engkau mempergunakan Ityang-ci dan gerakan silatmu mirip lengan
gerakan silat Han Lin. Apakah ida hubungan antara engkau dan dia?"
"Kami memang saudara seperguruan." kata Ki Seng. "Akan tetapi, Paman Pangeran,
paman belum menceritakan kepada
saya apa yang harus saya kerjakan dalam kerja sama antara
kita ini." "Begini, Pangeran Cheng Lin, sebelumnya perkenalkanlah
sicu (orang gagah) ini dalah Suma Kiang atau Huang-ho SinTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ hong, seorang pembantuku yang setia. Dan yang seorang ini
adalah sahabatnya yang juga ingin menghambakan diri
kepada kami, nama julukannya adalah Toat-beng Kui-ong."
"Akan tetapi terkenal dengan sebutan Toa Ok!" kata Suma Kiang.
Ki Seng memberi hormat kepada dua orang datuk itu.
Pangeran Cheng Boan lalu melanjutkan. "Engkau akan tetap
kami anggap sebagai Pangeran Cheng Lin yang aseli dan kita
merupakan sekutu yang saling membantu. Kami membantumu
mempertahankan dirimu sebagai Pangeran Cheng Lin dan kita
bekerja sama untuk menyingkirkan saingan-saingan dan
musuh-musuh kita yang berada di istana."
"Saingan-saingan dan musuh-musuh" Siapakah mereka
yang paman maksudkan?" tanya Ki Seng, ingin sekali
mengetahui. "Pangeran Cheng Lin." Pangeran Cheng Boan menoleh ke kanan kiri dani melanjutkan
ketika melihat bahwa tidak ada
pengawal yang mendengarkan percakapan mereka. "Apakah
engkau tidak ingin kelak menggantikan kedudukan kaisar?"
Bukan main kagetnya hati Ki Seng.
Hal inilah yang sejak siang tadi menjadi bahan
pemikirannya. Otomatis dia mengangguk dan menjawab,
"Tentu saja saya ingin, paman!"
"Bagus! Akan tetapi apa engkau kira mudah kelak
menggantikan kedudukan Kaisar" Engkau mempunyai banyak
saingan. Di sana ada lima orang pangeran, dan engkau
sebagai putera keturunan Mongol tentu saja hampir tidak
mempunyai harapan untuk menggantikan kedudukan kaisar.
Akan tetapi dengan bantuan kami, bukan tidak mungkin,
bahkan hampir dapat dipastikan engkau kelak akan menjadi
kaisar, pengganti kaisar yang sekarang."
Bukan main girangnya hati Ki Seng. Siang tadi ketika
melamunkan kedudukan kaisar, dia sudah melihat ketidakmungkinan itu dan membuat
dia hampir putus harapan. Akan
tetapi kini dia melihat kemungkinan itu kalau dibantu oleh
Pangeran Cheng Boan! "Dan apa yang harus saya lakukan, Paman?" tanyanya
penuh gairah seolah-olah besok atau lusa dia sudah akan
dapat duduk sebagai kaisar!
"Tenang dan bersabarlah, pangeran Kita menghadapi
urusan besar yang harus diperhitungkan dengan masakmasak.
Biarlah sementara ini, hubungan antara kita berjalan
secara wajar saja, seperi hubungan antara keponakan dan
pamannya. Kelak akan kita perbincangkan dan bagaimana kita
dapat menyingkirkan lima orang pangeran yang lain itu dan
membasmi pendukung-pendukung mereka. Untuk
menyingkirkan lima orang pangeran itu, engkaulah yang akan
mudah melakukannya karena engkau tinggal dalam istana.
Akan tetapi jangan tergesa-gesa, tunggu komandoku kapan
engkau harus bergerak. 5ementara itu, engkau harus bersikap
baik dan berbakti kepada kaisar agar memudahkan kami
membantu dan mengangkat menonjolkanmu sebagai seorang
pangeran yang baik dan penting. Dan sewaktu-waktu kami
panggil, engkau harus datang ke sini agar kita dapat
mengadakan perbincangan."
Ki Seng mengangguk-angguk. "Baiklah, paman, akan saya
taati semua pesan paman dan saya tidak akan melakukan
sesuatu sebelum menerima petunjuk dari paman. Akan tetapi
yang membuat saya merasa heran, mengapa paman demikian
baik terhadap diri saya" Mengapa paman suka membantu
saya agar kelak menggantikan kedudukan kaisar?" Sambil
bertanya demikian, mata Ki Seng menatap wajah pangeran itu
dengan penuh selidik. Pangeran Cheng Boan tertawa dan mengelus jenggotnya.
"Ha-ha-ha, tidak ada pekerjaan yang sia-sia, tidak ada usaha keras yang tidak
menghasilkan keuntungan. Kami juga tidak
mau bekerja tanpa hasil. Pangeran Cheng Lin, kami merasa
yakin bahwa tanpa bantuan kami, engkau tidak mungkin sama
sekali untuk kelak menjadi kaisar. Karena itu, tentu saja kami mengharapkan
imbalan untuk bantuan kami kepadamu. Kalau
kelak engkau sudah menjadi seorang kaisar, engkau harus
mengangkat puteraku Cheng Kun ini sebagai orang kedua
yang paling berkuasa dalam negeri. Dengan demikian, hasil
kerja sama kita ini akan membahagiakan kita bersama.
Maukah engkau berjanji?"
Ki Seng berkata dengan sikap sungguh sungguh. "Saya
berjanji, paman, bahwa kelak kalau saya sudah menjadi
kaisar, saya akan mengangkat kanda Cheng Kun menjadi
perdana menteri dan wakil saya!"
"Bersumpahlah untuk itu, Pangeran Cheng Lin." kata
Pangeran Cheng Boan. Ki Seng bangkit berdiri dan berkata dengan suara lantang.
"Saya bersumpah bahwa kelak kalau saya sudah menjadi
kaisar, saya akan mengangkat kanda Cheng Kun menjadi
perdana menteri dari wakil saya!"
Empat orang itu bergembira sekail dan dalam kesempatan
itu Pangeran Cheng Boan mendengarkan keterangan tentang
diri Toa Ok untuk lebih mengenal datuk yang baru
dijumpainya itu. Ki Seng juga bergembira dan dia maklumi
bahwa dia tidak boleh mempermainkan pangeran yang cerdik
itu. Sekali dia mempunyai pikiran tidak baik dan ketahuan, dia akan celaka.
Bukan saja rahasianya berada di tangan
Pangeran Cheng Boan, akan tetapi pangeran itu juga
mempunyai pembantu-pembantu yang lihai sekali. Tiba-tiba
dia teringat akan dua orang wanita kekasihnya yang dia
tinggalkan. Terhadap Pangeran Cheng Boan yang menjadi
sekutunya dia tidak perlu merahasiakan keadaan dirinya lagi
dan tempat mana lagi yang lebih aman untuk menitipkan dua
orang kekasihnya itu kalau bukan di dalam istana Pangeran
Cheng Boan" Pangeran Cheng Boan melihat Ki Seng yang tiba-tiba
termenung itu dan dia bertanya, "Pangeran Cheng Lin, apa
yang kau risaukan" Agaknya engkau memikirkan dan
merenungkan sesuatu."
"Ah, paman sungguh berpemandangan tajam sekali.
Memang ada suatu hal yang agak merisaukan hati saya dan
saya mohon kebaikan dan kebijaksanaan paman untuk
menolong saya." "Pertolongan apakah yang kau butuhkan" Katakanlah dan
kami akan berusaha untuk menolongmu." kata Pangeran
Cheng Boan. "Kalau engkau menghadapi musuh yang kuat, serahkan
saja kepada saya Pangeran Cheng Lin!" kata Suma Kiang.
"Saya juga siap untuk menyingkirkan musuh-musuh yang
mengancammu, pangeran." kata Toak Ok.
"Terima kasih atas kesediaan Ji-wi (kalian berdua)
membantu saya. Akan tetapi, paman pangeran, bukan itu
yang saya ingin minta dibantu. Sesungguhnya, saya
mempunyai dua orang.... kekasih dan saya ingin mereka
berdua itu berada di kota raja. Karena tidak mungkin
mengajak mereka ke istana, maka saya mohon bantuan
paman agar suka menampung mereka dan membiarkan
mereka berdua tinggal di istana paman agar sewaktu-waktu
saya dapat menjumpai mereka."
"Wah, sebelum menjadi pangeran engkau sudah
mempunyai dua orang selir, Lin-te, (adik Lin)" Hebat sekali
kau!" Cheng Kun tertawa.
"Ah, kalau cuma itu yang kau butuh-kan, tentu saja kami
akan membantu. Biarlah mereka berdua tinggal di sini dan
sewaktu-waktu engkau boleh menemui mereka, Pangeran
Cheng Lin." "Terima kasih, paman. Mereka adalah dua orang wanita
yang memiliki ilmu silat cukup tinggi dan tentu saja dapat
membantu paman untuk menjaga keselamatan keluarga
paman." "Siapakah mereka berdua itu, pangeran" Kalau mereka
merupakan orang-orang berkepandaian tinggi, tentu namanya
sudah terkenal di dunia kang-ouw (sungai telaga atau
persilatan) dan mungkin kami sudah pernah mendengar atau
mengenal mereka." kata Suma Kiang.
"Yang seorang bernama Ciang Mei Ling, puteri mendiang
Ciang Hok ketua Pek-eng-pang dan ia adalah tunanganku.
Yang kedua adalah seorang wanita kang-ouw bernama Kim
Goat dan berjuluk Sian Hwa Sian-li."
"Ah! Sian Hwa Sian-li, wanita berpayung yang lihai itu" Aku pernah mendengar
namanya yang besar!" kata Suma Kiang.
"Saya pernah satu kali bertemu dengan wanita cantik
berpayung yang lihai itu." kata pula Toa Ok.
Mendengar bahwa dua orang kekasih Ki Seng adalah
wanita-wanita yang lihai tentu Pangeran Cheng Boan menjadi
girang sekali. Berarti tidak percuma dia menampung dua
orang wanita itu karena mereka dapat memperkuat
kedudukannya dan dapat menjaga keselamatan keluarganya.
Setelah mereka bercakap-cakap, Ki Seng pamit dan dia
tidak segera kembali ke istana, melainkan mengunjungi rumah
penginapan An Lok. Sian Hwa Sian-li menyambutnya dengan
hangat dan gembira dan mereka melepaskan kerinduan dalam
kamar yang mereka sewa. "Ki Seng, kenapa begitu lama engkau pergi" Sampai tiga
hari, aku merasa rindu sekali padamu. Rindu dan khawatir
kalau-kalau engkau sudah melupakan aku."
"Kim Goat, mulai detik ini engkau harus menyebutku
Pangeran Cheng Lin, apalagi kalau berhadapan dengan orang
lain." "Ah, jadi..... jadi.... engkau..... eh, paduka telah diterima oleh sribaginda
Kaisar dan kini telah menjadi Pangeran Cheng
Lin" Saya merasa gembira sekali dan Kiong-hi (selamat),
pangeran!" Sian Hwa Sian-li memberi hormat dengan
membungkuk sampai dalam. Ki Seng merangkulnya, "Kalau tidak ada orang lain, tidak
perlu engkau menghormat seperti itu. Aku telah bertemu
dengan ayahanda Kaisar dan aku segera diterima,
diperkenalkan kepada semua keluarga istana dan aku
mendapatkan sebuah kamar di dalam bangunan untuk para
pangeran. Aku tinggal bersama lima orang pangeran lain yang
menjadi saudara-saudara tiriku di sana."
"Wah, bagus sekali! Kalau begitu paduka tentu akan segera membawa saya masuk
istana dan tinggal pula di sana!"
"Hemm, tidak semudah itu, Kim Goat. Peraturan istana
tidak memperbolehkan seorang pangeran yang masih
bujangan membawa isteri atau selirnya ke dalam istana.
Kecuali kalau dia telah menikah dengan sah, baru dia boleh
mendapatkan bangunan terpisah dan tersendiri. Akan tetapi,
aku telah mendapatkan pertolongan seorang pangeran, dia
adalah adik Kaisar, jadi masih pamanku sendiri. Aku telah
bercerita kepadanya tentang engkau dan Ciang Mei Ling dan
dia mau menerima kalian berdua untuk tinggal di istananya.
Dengan demikian, maka setiap waktu aku dapat mengunjungi
kalian di sana. Nah, sekarang engkau harus melakukan
perintahku. Engkau pergilah ke Thai-san, jemputlah Ciang Mei


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ling dan bawa ke rumah panginapan ini. Kalau ia sudah
datang, aku akan membawa kalian tinggal di istana Paman
Pangeran Cheng Boan."
Ketika Ki Seng berpamit, Sian Hwa Sian-li berkeras hendak
menahannya. "Pangeran, paduka bermalam saja di sinl malam ini. Besok pagi saya
akan berangkat ke Thai-san dan malam
ini berilah kesempatan kepada saya utuk melepaskan rindu
saya kepada paduka!" Ia merengek manja.
"Hushh, jangan bodoh, Kim Goat. Ingat, sekarang aku
sudah sah menjadi pangeran dan aku harus cepat kembali ke
istana. Sebagai seorang pangeran baru aku harus pandai
membawa diri. Akupun rindu kepadamu, akan tetapi nanti
kalau engkau dan Mei Ling sudah berada di istana Paman
Pangeran Cheng Boan, kita dapat melepaskan rindu kita
sepuas hati kita." Ki Seng lalu bergegas pulang ke istana dan karena kesepian
ditinggal kekasihnya itu, Sian Hwa Sian-li lalu berangkat
malam itu juga meninggalkan kota raja.
ooo00000ooo Pria tinggi besar berusia tiga puluh tahun itu saling papah
dengan seorang pria tinggi kurus berusia lima puluh tahun.
Mereka berdua melangkah terhuyung-huyung keluar dari kota
raja melalui pintu gerbang utara dan wajah mereka pucat,
napas mereka terengah-engah eperti orang-orang yang
sedang menderita sakit parah.
Mereka itu adalah Souw Tek dan suhengnya (kakak
seperguruannya), Si Toan Ek. Seperti telah diceritakan di
bagian depan, dua orang ini menjadi tamu dalam pesta ulang
tahun Lo Kang ketua Hek-tiauw Bu-koan. Kemudian, karena
merasa tak senang melihat kesombongan keluarga Lo, apalagi
ketika Lo Siang Ku menantang adu kepandaian kepada para
tamu, mereka maju untuk menguji kepandaian. Akan tetapi,
dua orang anak Lo Kang, Lo Siang Kui dan kakaknya, Lo Cin
Bu, bersikap kejam sekali dan memukuli mereka yang sudah
kalah itu sehingga mereka berdua terluka parah. Dengan
bersusah payah, saling papah, mereka berdua berhasil keluar
dari kota raja menuju ke dusun Pak-siang-bun.
Ketika mereka tiba di luar kota raja di jalan yang sepi itu
mereka merasa tidak kuat menahan nyeri dan keduanya lalu
beristirahat, duduk di bawah sebatang pohon besar. Su Toan
Ek duduk bersila dan mengumpulkan hawa murni untuk
mengurangi rasa nyeri yang menyesakkan dadanya. Souw Tek
juga duduk bersila dan menggosok-gosok dadanya yang
terkena tendangan keji Lo Siang Kui. Dari mulut mereka
terkadang terdengar keluhan dan rintihan.
Pada saat itu, dari arah utara datang seorang wanita. Ia
berjalan seorang diri di atas jalan yang sunyi itu. Wanita itu masih muda,
seorang gadis yang usianya paling banyak dua
puluh tahun dan ia tentu akan menarik perhatian semua pria
yang melihatnya. Gadis itu cantik luar biasa. Kulitnya putih
mulus dan kedua pipinya kemerahan karena sehat. Matanya
yang tajam bersinar lembut seperti mata burung Hong,
hidungnya kecil mancung dan bibirnya selalu membayangkan
senyum ramah. Rambutnya yang amat hitam panjang
digelung ke atas bagaikan mahkota hitam yang membuat kulit
muka dan lehernya tampak semakin putih mulus. Ia
membawa sebuah buntalan kain kuning di punggungnya dan
pakaiannya terbuat dari sutera putih bersih, sepatunya
berwarna hitam, terbuat dari kulit.
Gadis cantik jelita ini bukan lain adalah Tan Kiok Hwa yang
dijuluki orang PeK I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih). Seperti kita ketahui,
setelah ia bersama Han Lin dan Sian Eng
terbebas dari tangan Thian-te Sam-ok yang dibantu orang
orang Pek-lian-kauw, Kiok Hwa tinggalkan Han Lin dan Sian
Eng tanpa pamit. Hal ini terpaksa ia lakukan walaupun dengan
berat hati karena ia harus berpisah dari satu-satunya pria yang pernah
dicintanya di dunia ini. Ia amat mencintai Han Lin,
akan tetapi ia tidak suka terlibat dalam permusuhan dan
perkelahian dan selain itu, iapun tahu bahwa Sian Eng amat
mencinta Han Lin, karena itu ia lebih suka mengalah dan
menjauhkan diri dari Han Lin, walaupun hatinya merana.
Wataknya yang lembut membuat Kiok Hwa seialu suka
mengalah dan rela berkorban demi kebahagiaan orang lain!
Ketika Kiok Hwa tiba di dekat bawah pohon di mana Souw
Tek dan Su Toan Ek duduk bersila mengumpulkan hawa murni
sambil kadang mengerang kesakitan, segera perhatian Kiok
Hwa tertarik sekali. Bagi seorang yang sudah menjadi
pekerjaannya mengobati orang sakit, setiap melihat orang
sakit merupakan tantangan besar bagi Kiok Hwa. Ia harus
menolong dan mengobatinya, siapapun adanya orang yang
sakit itu, pria atau wanita, besar atau kecil, kaya atau miskin, baik atau
jahat. Ia selalu memandang penyakit seperti
lawannya yang harus dihadapi dan ditundukkan. Maka,
melihat dua orang itu, ia lalu mendekat dan sekilas pandang
saja tahulah gadis lihai ini bahwa dua orang laki-Iaki itu
menderita luka dalam yang cukup berat.
"Sobat-sobat, kalian terluka dalam yang cukup parah!"
tegurnya dengan suara lembut.
Dua orang yang menderita luka dalam itu membuka mata
mereka dan mereka memandang dengan heran ketika melihat
seorang gadis cantik jelita berdiri di de-pan mereka dan
memandang mereka dengan sinar mata lembut dan bibir yang
manis sekali itu tersenyum ramah.
Karena merasa heran dan penasaran Souw Tek bertanya,
"Nona, siapakah engkau dan bagaimana engkau bisa tahu
bahwa kami menderita luka dalam yang parah?"
Kiok Hwa tersenyum. "Siapa aku bukan hal yang penting,
akan tetapi aku mengerti bahwa kalian terluka parah karena
aku adalah orang yang biasa mengobati. Maukah kalian
kuobati sehingga lukamu sembuh dan kalian terhindar dari
maut?" Sebelum Souw Tek menjawab, Su Toan Ek sudah bangkit
berdiri dan bertanya kepada Kiok Hwa, "Bukankah nona PeK I Yok Sian-li?"
Kiok Hwa tersenyum. "Orang-orang terlalu melebihlebihkan
dalam memberi nama kepadaku."
"Ak, kiranya nona adalah PeK I Yok Sian-li yang amat
terkenal!" seru Souw Tek dengan girang sekali karena dia
sudah pernah mendengar nama besar gadis berbaju putih
yang suka sekali mengobati dan menolong orang yang
menderita sakit. "Kalau begitu, tolonglah kami, nona. Kami memang telah terluka
dalam." "Bagian tubuh yang manakah engkau terpukul" Aku akan
mencoba mengobati engkau lebih dulu, paman, karena aku
melihat bahwa lukamu lebih parah." kata Kiok Hwa kepada Su Toan Ek sambil
menghampiri pria yang usianya sudah lima
puluh tahun itu. "Sian-li, aku terkena pukulan keji selagi aku sudah roboh, di bagian dadaku."
"Bukalah bajumu dan perlihatkan dadamu yang terpukul."
kata Kiok Hwa de ngan tenang sambil menurunkan buntalan
pakaian dan obat dari punggungnya, meletakkannya di atas
tanah dan iapun berlutut depan Su Toan Ek.
Su Toan Ek membuka bajunya sehingga dadanya telanjang.
Di atas kulit dadanya tampak warna menghitam bekas pukulan
Lo Cin Bu. Kiok Hwa segera memeriksanya.
"Hemm, pukulan disertai sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat. Untung tidak
mengandung hawa beracun sehingga
mudah disembuhkan, apalagi karena engkau sendiri juga
seorang ahli Iweekeh (ahli tenaga dalam) yang kuat, paman
Sekarang aku akan mengobati dengan tusuk jarum, harap
paman duduk santai dan jangan mengerahkan tenaga
apapun." Setelah berkata demikian, Kiok Hwa mengeluarkan dua
batang jarum emas dan tiga batang jarum perak. Dia menusuk
dengan jarum emas di dada kanan kiri bawah pundak dan
menusukkan tiga batang jarum perak di seputar warna hitam
di dada. Kemudian ia mengambil sebutir obat pulung
berwarna putih dan menyuruh Su Toan Ek menelannya
dengan bantuan secawan air putih yang dituangkan dari
sebuah guci. Setelah itu, Kiok Hwa menggunakan ibu jari
tangan kirinya untuk menekan-nekan bagian dada yang
berwarna hitam. Sungguh hebat. Dalam waktu sebentar saja,
warna hitam itu makin pudar.
"Sekarang bernapaslah dalam-dalam dan kerahkan sin-kang
ke dada untuk memulihkan jalan darah." kata Kiok Hwa ambil mencabuti lima batang
jarum itu. Su Toan Ek melakukan apa
yang dika-takan Kiok Hwa dan setelah belasan kali menghirup
udara sampai penuh dan mengerahkan sin-kang ke dada, dia
merasa betapa dadanya sembuh kembali, rasa nyeri telah
lenyap dan ketika dia melihat ke arah dadanya, warna hitam
tadi-pun telah lenyap! "Sian-li, aku telah sembuh sama sekali, Sungguh tidak
kosong belaka julukan PeK I Yok Sian-li. Terima kasih banyak,
Sian-li." Dia bangkit dan membungkuk memberi hormat.
"Ah, harap jangan bersikap sungkan, paman. Sekarang
biarlah saya mencoba untuk mengobati saudara ini." katanya sambil menghampiri
Souw Tek yang masih duduk bersila.
Tanpa diminta Souw Tek juga melepas bajunya dan
memperlihatkan dadanya yang membiru akibat tendangan
kaki Lo Siang Kui yang amat keras.
"Aku juga terluka terkena tendangan pada dadaku, Sian-li."
kata Souw Tek. Kiok Hwa memeriksa luka itu. "Ah, tidak berapa parah
lukamu karena tendangan itu hanya mengandalkan tenaga
kasar. Untung tulang rusukmu tidak ada yang patah." Kiok
Hwa menggunakanl jari-jari tangannya untuk menotok dan
menekan di sana-sini, kemudian memberi kebutir obat pulung
untuk ditelan Souw Tek. Seperti halnya Su Toan Ek, sebentar
saja Souw Tek sudah sembuh dan terbebas dari rasa nyeri di
dadanya. Juga warna membiru pada dadanya hampir hilang.
"Terima kasih, Sian-li. Engkau sungguh hebat sekali. Aku
mendengar bahwa mgkau adalah murid Thian Beng Yok-sian
(Dewa Obat Kurnia Langit), Melihat kelihaianmu dalam ilmu
pengobatan, maka tidak mengecewakan kalau engkau menjadi
murid Dewa Obat itu!" Souw Tek memuji dengan girang
sekali. Kiok Hwa menyimpan kembali obat dan jarum-jarumnya ke
dalam buntalan pakaian, lalu mengikatkan kembali buntalan
kain kuning itu pada punggungnya. Sambil melakukan ini, ia
berkata lembut. "Sebenarnya, jauh lebih mudah menjaga agar tidak sakit daripada
mengobati. luka ji-wi (kalian berdua)
terjadi karena pukulan dan hal ini hanya dapat timbul Karena
jiwi berkelahi. Kalau ji-wi dapat menahan diri dan tidak
berkelahi, tentu tidak akan terluka dan untuk tidak berkelahi
jauh lebih mudah daripada mengobati."
"Aih, Sian-li. Engkau tidak tahu. Kami sama sekali bukanlah orang-orang yang
suka mengandalkan kekuatan untuk
berkelahi. Akan tetapi dua orang muda ke-luarga Lo itu
sungguh sombong dan kejam bukan main. Hek-tiauw Bu-koan
mengandalkan kepandaian dan kedudukan calon mantunya
yang seorang putera pangeran, untuk bertindak sewenangwenang
dan kejam." kata Souw Tek penasaran.
"Apakah yang terjadi?" tanya Kiok Hwa. Biasanya, ia tidak mau mencampuri urusan
orang, apalagi kalau urusan
permusuhan dan perkelahian. Akan tetapi kini mendengar ada
dua orang muda yang sewenang-wenang, ia menjadi ingin
tahu. Souw Tek menghela napas. Mereka bertiga duduk di atas
batu-batu yang berada di bawah pohon besar itu. "Hek tiauw Bu-koan adalah sebuah
perguruan yang paling besar dan
terkenal di kota raja. Lo-pangcu, ketua Hek-tiauw Bu koan
mengadakan pesta ulang tahun dan kami berdua juga datang
hadir sebagai tamu. Dalam perayaan itu, seorang anak
perempuan Lo-pangcu yang bernama Lo Siang Kui
memamerkan ilmu silatnya. Yang memanaskan hati, gadis
sombong itu lalu bersumbar, menantang siapa saja yang
merasa memiliki kepandaian silat untuk mengadu ilmu silat
dengannya. Melihat kesombongannya, aku lalu maju
menandinginya, hanya dengan maksud untuk menguji ilmu
silatnya. Akan tetapi kalau aku hanya berniat menguji, gadis
itu ternyata menyerang dengan sungguh-sungguh,
mengeluarkan jurus-jurus maut. Aku terdesak karena ia
memiliki gerakan yang cepat sekali. Setelah lewat lima puluh
jurus, aku terkena tamparannya dan jatuh terduduk di atas
panggung. Dalam keadaan sudah tidak berdaya itu, tiba-tiba
gadis itu menendang dadaku sehingga aku terlempar ke
bawah panggung dalam keadaan pingsan."
Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Hemm, kejam sekali gadis
itu." "Mungkin ia menganggap aku sebagai musuh besarnya
karena aku adalah saudara seperguruan dari ketua Hek-houw
Bu-koan yang menjadi saingan Hek-tiauw Bu-koan."
"Lalu bagaimana paman ini sampai terluka?" tanya Kiok Hwa sambil memandang
kepada Su Toan Ek. Su Toan Ek menghela napas panjang "Sungguh membuat
orang merasa penasaran sekali. Semula sama sekali tidak ada
niat di hatiku untuk melakukan pentandingan di tempat
perayaan pesta ulang tahun Hek-tiauw Bu-koan itu. akan
tetapi melihat kekejaman gadis itu menendang dada Souwsute
(adik seperguruan Souw) sampai terluka parah, aku
menjadi penasaran dan aku segera naik ke panggung untuk
memberi hajaran kepada gadis sombong itu. Akan tetapi
kemudian yang maju melawan aku adalah seorang pemuda
kakak gadis itu yang bernama Lo Cin Bu. Kami bertanding dan
ternyata pemuda itu jauh lebih lihai dibandingkan adiknya. Dia mampu mengimbangi
aku bahkan setelah lama bertanding
seimbang, dia berhasil menotok punggung dan pada saat aku
tidak berdaya, dia memukul dadaku dengan kuat sekali
sehingga aku terluka parah. Aku dan Souw-te lalu memaksa
diri meninggalkan tempat itu dalam keadaan terluka parah.
Untung kami bertemu denganmu, Sian-li, sehingga kami tidak
sampai tewas dan dapat tertolong."
Mendengar keterangan mereka, Kiok Hwa menghela napas
panjang. "Hemmm, sayang sekali orang-orang muda
menyombongkan dan mengagulkan kepandaian mereka untuk
bersikap kejam melukai orang lain tanpa alasan yang kuat.
Akan tetapi, peristiwa ini harap ji-wi dapat mengambil
hikmahnya. Kalau saja ji-wi bersikap sabar dan tidak timbul
emosi menyambut tantangan mereka, tentu tidak terjadi
perkelahian dan ji-wi tidak sampai terluka. Permusuhan, adu
kepandaian dan perkelahian hanya akan merusak hubungan


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baik antara manusia, me-nimbulkan kebencian dan dendam.
Apakah ji-wi menaruh perasaan dendam terhadap mereka dan
ingin menuntut balas?"
Souw Tek saling pandang dengan su-hengnya (kakak
seperguruannya). Mereka telah mendengar semua kata-kata
Pek I Yok Sian-li yang bernada bijaksana, sehingga mereka
merasa malu dan sungkan untuk mengaku bahwa mereka
menaruh dendam. "Tidak, Sian-li. Kami tidak mendendam." kata Souw Tek.
"Bagus sekali kalau begitu. Dendam hanya akan membakar
diri sendiri dan akan menciptakan ikatan karma yang kuat.
Andaikata kalian berdua menaruh dendam lalu berusaha
membalas sampai berhasil merobohkan mereka, apakah ji-wi
yakin bahwa merekapun juga tidak akan mendendam. Mereka
akan berusaha pula untuk menuntut balas, maka terjadilah
permusuhan dan dendam-mendendam, balas-membalas,
mungkin sekali terjadi bunuh-membunuh yang tidak ada akhirnya, dilanjutkan oleh
murid-murid atau anak-anak ji-wi."
"Ya Tuhan! engkau masih begini muda sudah memiliki ilmu
kepandaian pengobatan yang lihai, memiliki watak bijaksana
dan suka menolong, ditambah lagi wawa-san tentang
kehidupan yang demikian luas. Sungguh kami merasa kagum
dan taluk, Sian-li." kata Su Toan Ek sambil memberi hormat, diturut oleh
sutenya. Kiok Hwa membalas penghormatan itu. "Ji-wi harap jangan
terlalu memuji. Aku hanya melaksanakan tugas hidupku. Nah,
selamat tinggal, ji-wi. Aku harus melanjutkan perjalananku ke
kota raja." Setelah berkata demikian, Kiok Hwa melanjutkan perjalanan menuju ke
kota raja yang tembok bentengnya yang
mengitari kota raja sudah tampak dari situ. Dua orang laki-laki itu mengikuti
bayangannya dengan pandang mata kagum.
"Seorang wanita yang hebat luar biasa!" gumam Souw Tek setelah bayangan Kiok Hwa
lenyap di sebuah tikungan ja-lan.
"Seolah Dewi Kwan Im saja yang menjelma....." kata pula Su Toan Ek.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan pulang ke dusun Paksiang-
bun. Hubungan Ki Seng dengan keluarga Pangeran Cheng Boan
menjadi semakin akrab. Dia segera mendapatkan kenyataan
pahit bahwa hampir seluruh keluarga kaisar di dalam istana,
dari permaisuri dan para selir sampai para thaikam dan
pengawal di istana, tidak akrab dengannya. Terutama sekali
para pangeran. Mereka itu seolah menjauhinya, seperti
mengasingkannya. Dia merasa dibenci, hanya seorang di
antara lima orang pangeran itu yang tidak kelihatan
membencinya, yaitu Pangeran Cheng Hwa, pangeran yang
tertua. Akan tetapi pangeran yang usianya dua puluh lima
tahun inipun tidak akrab dengannya, seperti tidak acuh.
Karena merasa tidak disuka di istana, kecuali Kaisar Cheng
Tung yang jarang bertemu dan bercakap-cakap dengannya Ki
Seng merasa tidak betah tinggal d istana dan dia lebih sering
berada di rumah Pangeran Cheng Boan. Di sana dia diterima
dengan penuh keramahan, dan juga seringnya dia berkunjung
ke rumah Pangeran Cheng Boan tidak mendatangkan
kecurigaan apa-apa pada keluarga istana. Karena itu, hampir
setiap hari dia berada di istana Pangeran Cheng Boan dan
istana kaisar seolah hanya merupakan tempat untuk tidur
saja. Karena setiap hari Ki Seng berkunjung ke istana Pangeran
Cheng Boan maka hubungannya menjadi akrab sekali,
terutama dengan para selir muda pangeran itu yang selalu
mengelu-elukan kunjungannya. Dari pagi sampai petang Ki
Seng berada di istana itu, sedangkan Pangeran Cheng Boan
pergi melakukan tugasnya. Juga Cheng Kun jarang berada di
rumah sehingga Ki Seng berada di gedung istana itu bersama
para selir yang melayaninya. Maka tidaklah mengherankan
kalau segera terjadi hubungan yang nmat mesra antara Ki
Seng dan para selir muda pamannya! Tujuh orang selir muda
itu bagaikan tujuh tangkai bunga sedang mekar membutuhkan
siraman yang menyegarkan dan mereka kehausan akan cinta
kasih. Mereka bertemu dengan Ki Seng, seorang pemuda
tampan gagah yang dengan senang hati suka menyirami
mereka sehingga mereka dapat melepaskan dan memuaskan
dahaga mereka. Sejak jatuh oleh rayuan Sian Hwa Sian-li, Ki
Seng menjadi budak dari nafsunya sendiri. Maka, bertemu
dengan tujuh orang perempuan muda yang genit-genit itu,
mana mungkin dia mampu bertahan" Segera berlangsung
perjinaan di antara Ki Seng dan tujuh orang selir itu. Ki Seng seperti mabok dan
tidak ingat bahwa perbuatannya itu
keterlaluan sekali, melanggar kesusilaan.
Akan tetapi aneh. Pangeran Cheng Boan seolah
memejamkan mata terhadap semua itu. Dia pura-pura tidak
tahu saja. Padahal, tentu saja dia segera mendengar
hubungan gelap antara tujuh orang selirnya itu dan Pangeran
Cheng Lin palsu, Akan tetapi dia tidak marah. Pangeran ini
menganggap tujuh orang selirnya sebagai alat untuk
bersenang-senang saja dan mereka itu mudah diganti wanitawanita lain kalau dia
sudah merasa bosan. Maka diapun
mendiamkannya saja dan pura-pura tidak tahu. Bahkan para
selirnya itu dapat menjadi pengikat bahwa Ki Seng agar
pemuda itu benar-benar tunduk kepadanya.
Ketika Ki Seng menjemput Sian Hwa Sian-li dan Ciang Mei
Ling yang sudah tiba di hotel, lalu membawa dua orang wanita
itu ke istana Pangeran Cheng lioan, dua orang wanita itupun
diterima dengan ramah dan senang hati. Dua orang wanita itu
merasa girang sekali dan kagum terhadap gedung besar
seperti Istana yang mewah dan indah itu. Bahkan Sian Hwa
Sian-li sendiri yang telah banyak pengalaman, tetap saja
merasa rendah diri dan takjub melihat istana dan isinya yang
demikian megah dan mewah.
Pangeran Cheng Boan merasa gembira melihat dua orang
wanita cantik itu, apalagi mendengar dari Suma Kiang dan Toa
Ok bahwa wanita yang lebih tua itu adalah seorang tokoh
kang-ouw yang berkepandaian tinggi sehingga dapat diandalkan
memperkuat barisan pengawal dan jagoannya.
Berbeda dengan Sian Hwa Sian-li Kim Goat yang dapat
menikmati keberadaannya di dalam gedung istana Pangeran
Cheng Boan itu, Ciang Mei Ling merasa tidak enak. Ia merasa
dititipkan oleh Pangeran Cheng Lin kepada keluarga Pangeran
Cheng Boan. Tentu saja ia mengharapkan untuk tinggal
bersama Pangeran Cheng Lin. Bukankah ia sudah menjadi
tunangan pangeran itu, bahkan secara sembunyi telah
menjadi isterinya" Kenapa Pangeran Cheng Lin tidak mau
segera menikahinya secara resmi dan membawanya ke istana"
Diam-diam gadis ini merasa khawatir dan merasa tidak enak
sekali. Apalagi ketika ia melihat betapa "suaminya" itu dengan bebasnya berjina
dengan Sian Hwa Sian-li, juga dengan tujuh
orang selir muda Pangeran Chen Boan dalam rumah itu! Ia
mulai merasa muak dan menyesal bahwa ia telah terlanjur
menyerahkan diri kepada Pangeran Cheng Lin yang dulunya
dikenal sebagai Ouw Ki Seng. Akan tetapi apa yang dapat ia
lakukan" Suami tidak resmi itu adalah seorang pangeran.
Bukan hal yang aneh kalau seorang pangeran mempunyai
banyak orang selir. Ia menyesal sekali akan tetapi nasi sudah
menjadi bubur. Apa yang dapat ia lakukan kecuali menerima nasib" Mei
Ling mulai segan menerima Pangeran Cheng Lin dalam kamarnya
dan ia lebih banyak menangis kalau berada dalam
kamarnya seorang diri. Kehadiran dua orang wanita kekasih Pangeran Cheng Lin ini
menarik perhatian Cheng Kun. Pemuda bangsawan ini
bukanlah seorang pemuda alim. Dia adalah seorang pemuda
yang sejak kecil dimanja dan dituruti semua kehendaknya.
Sejak dia remaja dia sudah berkeliaran dan bergaul dengan
pemuda-pemuda yang selalu mengejar kesenangan. Dia
sombong dan mata keranjang. Maka, tentu saja kehadiran dua
orang wanita secantik Sian Hwa Sian-li dan Ciang Mei Ling di
rumahnya tidak luput dari perhatiannya. Terutama sekali Sian
Hwa Sian-Ji yang baginya amat menarik hati dan
menggairahkan. Wanita yang banyak pengalaman ini-pun tidak tinggal
diam. Begitu melihal putera pangeran yang biarpun tidak
tampan namun gagah berwibawa itu, ia segera pasang aksi.
Mata dan mulutnya membuat gerakan-gerakan memikat
dengan kerling tajam dan senyum manis penB tantangan. Dari
percakapannya dengan Ki Seng, ia mendengar keluhan
pangeran itu bahwa keluarga istana tampaknya tidak senang
kepadanya, mungkin karena ibunya seorang wanita Mongol.
Hal ini menipiskan harapan Sian Hwa Sian-li untuk menjadi
seorang di antara isteri Pangeran Cheng Lin yang mungkin
kelak menjadi Kaisar! Maka perhatiannya beralih kepada
putera Pangeran Cheng Boan. Selain alasan itu, juga pada
dasarnya adalah seorang wanita mata keranjang yang tidak
akan melewatkan pria, apalagi muda dan bangsawan pula,
begitu saja! Pada suatu malam bulan purnam Tujuh orang selir muda
Pangeran Che Boan bersenang-senang di bawah bulan
purnama dalam taman. Mereka mengajak Sian Hwa Sian-li dan
Ciang Mei Ling yang sudah akrab dengan mereka setelah
kedua orang wanita itu tinggal di dalam istana pangeran itu
selama kurang lebih satu bulan. Dalam kesempatan itu, atas
desakan dan permintaan para selir, Sian Hwa Sian-li
memperlihatkan kepandaian silatnya dengan bersilat
menggunakan senjata sabuk sutera merahnya. Indah sekali
ketika ia bersilat dengan selendang sutera merah itu.
Selendang sutera itu lenyap bentuknya menjadi sinar merah
yang bergulung-gulung. Ia tampak seperti seorang bidadari
yang sedang menari. Setelah menyelesaikan tarian silatnya, sian Hwa Sian-li,
dibantu para selir ganti membujuk Ciang Mei Ling untuk
nemperlihatkan kepandaiannya.
"Ah, aku malu untuk memperlihatkan ilmu silatku di depan
Sian-li. Mana aku dapat dibandingkan dengan ia yang begitu
lihai?" Mei Ling mencoba menolaknya karena ia tahu benar
bahwa ilmu silatnya masih jauh kalah dibandingkan ilmu Sian
Hwa Sian-li. "Ayolah, adik Mei Ling," bujuk para selir itu. "Engkau tidak bermain silat untuk
Sian-li, melainkan untuk kami yang sama
sekali tidak bisa silat."
"Ilmu pedangnya bagus sekali!" kata sian Hwa Sian-li.
Mendengar itu, para selir menggapai seorang pelayan dan
memerintahkan agar para pelayan itu mengambilkan pedang
milik Ciang Mei Ling yang berada di dalam kamarnya.
Setelah pelayan datang membawa pedangnya, Mei Ling
tidak dapat menolak lagi. Terpaksa ia lalu mencabut pedang
itu dan bersilat pedang. Tentu saja ia memainkan Pek-engkiamsut (Ilmu Pedang
Garuda Putih), yaitu ilmu andalannya.
Benar saja, para selir yang tidak mengerti ilmu silat itu
terpesona dan kagum. Gerakan Mei Ling demikian gesit,
demikian indah sehingga mereka yang tidak mengerti ilmu
silat tidak melihat bahwa ilmu pedang Mei Ling kalah kalau
bertanding melawan ilmu sabuk sutera merah Sian Hwa Sianli.
Setelah Mei Ling berhenti bermain pedang tiba-tiba giliran
para selir itu yang memperlihatkan kepandaian mereka,
meniup suling, memetik yang-kim, bernyanyi bahkan ada yang
menari. Mereka bersenang-senang dan minum anggur harum
sampai akhirnya mereka menjadi setengah, mabok.
Setelah puas bersenang-senang, karena hawa udara mulai
dingin, para selir itu lalu meninggalkan taman sambil tertawatawa.
Mei Ling juga kembali ke kamarnya. Hanya Sian-li yang
tinggal di taman. Ia masih ingin menikmati keindahan taman
yang bermandikan cahaya bulan. ia minta kepada pelayan
untuk meninggalkan seguci anggur dan sebuah cawan
untuknya. Sian Hwa Sian-li duduk termenung. Ia merindukan Ki Seng,
atau lebih tepat lagi, ia merindukan kehadiran seorang pria di sisinya pada saat
seromantis itu. Ki Seng tidak pernah datang
berkunjung di waktu malam, hanya pada pagi sampai sore
hari. Dituangkannya anggur dalam cawan dan diminumnya
perlahan-lahan, seolah hendak menikmati anggur itu sedikit
demi sedikit. Dalam keadaan yang sunyi itu, suara langkah kaki di
belakangnya dapat tertangkap pendengarannya yang tajam
ter-latih. Sian Hwa Sian-li tidak bergerak, tetap duduk dengan santai di atas
bangku menghadapi meja kayu yang kecil.
Pendengarannya yang tajam memberitahu kepadanya bahwa
yang datang menghampiri nya adalah seorang pria! Hal ini
dapat ia ketahui dari bunyi langkah itu. Langkah wanita lebih
ringan dari langkah pria. Langkah kaki ini berat dan tegap. Ia sudah dapat
menduga siapa yang datang menghampirinya.
"Sian-li...." orang yang datang itu memanggilnya lirih.
Sian Hwa Sian-li menoleh dan wajahnya tersenyum manis
sekali ketika matanya memandang kepada wajah Cheng Kun
yang telah berdiri dekat di belakangnya. Ia lalu bangkit berdiri dan memberi
hormat dengan gaya lemah gemulai.
"Ain, kiranya engkau, Cheng-kongcu!" kata Sian Hwa Sianli, suaranya seperti
bernyanyi. "Sian-li, sedang apakah engkau duduk seorang diri malammalam di dalam taman?"
tanya Cheng Kun sambil memandangi wajah yang amat cantik jelita tertimpa sinar
bulan yang lembut itu. Gigi yang seperti mutiara berjajar itu
mengkilap ketika sepasang bibir itu terbuka.
"Saya sedang minum anggur sambil menikmati indahnya
taman di malam terang bulan purnama, Cheng-kongcu.
Kongcu, silakan duduk dan maukah kongcu menemani saya
minum anggur menikmati malam indah ini?"
Cheng Kun merasa girang sekali. Wanita itu terangterangan
menawarkan hubungan yang lebih akrab. Dia pun
lalu duduk di atas bangku, bersanding dengan Sian Hwa Sianli.
"Sian-li, tentu saja aku mau. Akan tetapi, benar-benarkah engkau ingin aku
menemanimu minum arak malam ini?"
Sian Hwa Sian-li mengerling dan tersenyum manis sekali.
"Kenapa tidak" Saya benar-benar menginginkannya. Siapakah orangnya yang tidak
ingin minum anggur menikmati
keindahan taman, malam bulan purnama didampingi seorai
pemuda yang ganteng dan gagah?"
Cheng Kun menjadi semakin girang "Sian-li, engkaulah
yang cantik jelita dan menarik hati, pula aku melihat ketika
engkau bersilat sabuk sutera merah tadi. Alangkah indahnya,
dan alangkah lihainya. Akan tetapi, kulihat di sini hanya ada
sebuah cawan. Tidak ada cawan untukku."


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aih, kongcu. Satu cawan bukankah sudah cukup" Secawan
anggur kita minum berdua, bukankah menambah keharuman
dan kehangatan anggur?" Setelah berkata demikian, Sian-li menuangkan anggur dari
guci ke dalam cawan itu sampai
penuh lalu menyerahkannya kepada Cheng Kun. Cheng Kun
menerima cawan itu, membawanya ke dekat bibir lalu berkata
dengan gembira. "Untuk persahabatan kita!" Dia minum anggur itu
setengahnya dan menyerahkan cawan yang masih ada anggur
setengahnya itu kepada Sian-li.
"Giliranmu minum. Secawan diminum berdua katamu tadi!"
kata Cheng Kun. Sian-li tersenyum dan minum anggur dari cawan itu.
Kemudian ia mengisi lagi cawan kosong itu dengan anggur
sampai penuh. Akan tetapi ketika ia menyerahkannya kepada
Cheng Kun, pemuda itu berkata sambil tersenyum.
"Sekarang giliranmu minum lebih dulu, Sian-li."
Sian Hwa Sian-li tidak membantah. Ia mengangkat cawan
itu dan berkata, "Untuk malam indah ini yang
mempertemukan kita berdua!" Dan iapun minum anggur
setengahnya, lalu yang setengah cawan lagi diminum habis
oleh Cheng Kun. Demikianlah, mereka berdua berganti-ganti
minum anggur dari satu cawan sehingga tubuh terasa hangat
dan suasana menjadi gembira.
Akan tetapi tiba-tiba Sian Hwa Sian li menggerakkan kedua
pundaknya seperti orang menggigil. "Ihh, malam indah sudah larut dan hawa mulai
dingin sekali. Kalau minum dalam kamar
tertutup tentu akan hangat dan nyaman." Tentu saja ucapan yang jelas mengandung
ajakan ini tidak disia-siakan oleh
Cheng Kun yang telah dicengkeram nafsunya sendiri yang
berkobar. "Benar sekali, Sian-li. Bagaimanai kalau kita melanjutkan minum angur dalam
kamarmu?" Sian Hwa Sian-li pura-pura terkejut kemalu-maluan dan
mengerling genit sambil tersenyum. "Ihhh, kongcu.....!"
desahnya manja. "Bagaimana, maukah engkau kutemani minum anggur
dalam kamarmu?" Cheng Kun yang sudah yakin menang itu
mendesak. Sian Hwa Sian-li mengangguk dan keduanya
bangkit. Wanita itu dengan langkah gemulai meninggalkan
taman, di kuti oleh Cheng Kun yang membawakan guci anggur
dan cawan masih terisi anggur setengahnya.
Bagaikan dua orang maling, mereka berindap-indap.
Namun malam itu sudah larut dan hawa udara amat dinginnya
sehingga tidak ada penghuni rumah yang masih berada di luar
kamarnya. Mereka dapat memasuki kamar Sian Hwa Sian-li
tanpa diketahui orang lain. Dalam kamar itu mereka
melanjutkan kesenangan mereka berenang dalam lautan nafsu
yang memabokkan dan membuat mereka lupa akan segala.
Kemewahan dan kemegahan yang bergelimpangan
merupakan wujud lahiriah yang belum tentu membungkus
sesuatu yang indah dan bersih. Segala macam kekayaan,
kemuliaan, kedudukan, kekuasaan, kepandaian, bahkan
agama hanya merupakan pakaian yang tidak menentukan
kebersihan si pemakai. Pakaian itu memang indah dan juga
bersih, namun belum dapat dipastikan bahwa si pemakai
menjadi bersih pula. Bahkan banyak sekali terjadi dalam
keluarga bangsawan-bangsawan tinggi, hartawan-hartawan
yang kaya raya, yang hidupnya dihormati semua orang,
tampak agung berwibawa, di dalamnya terdapat hal-hal yang
kotor sekali, jauh lebih kotor daripada kekotoran yang
terdapat dalam keluarga miskin sederhana. Hal ini tidaklah
aneh karena segala kecemerlangan lahiriah itu bahkan
menjadi pendorong untuk orang yang memilikinya untuk
melakukan hal-hal yang kotor. Harta yang dikaruniakan Tuhan
kepada mereka itu yang semestinya selain untuk
dipergunakan untuk kebutuhan keluarga sendiri, juga sisanya
yang banyak dapat dimanfaatkan untuk menolong orangorang
yang kekurangan, bahkan mereka pergunakan untuk
mencapai keinginan mereka. Untuk mendapatkan kekuasaan,
untuk mendapatkan kemenangan, dan untuk mendapatkan
apa yang dikejar untuk memuaskan nafsu-nafsu pribadinya.
Dalam rumah gedung milik Pangeran Cheng Boan yang
indah seperti istana itu telah terjadi hal-hal yang amat kotor menjijikkan.
Pertama-tama Pangeran Cheng Boan yang sudah
tidak kekurangan apapun itu merencanakan siasat yang jahat
dan keji untuk meraih kedudukan tertinggi! Kemudian, setelah
Ki Seng bersekutu dengannya, Ki Seng melakukan perjinaan
dengan semua selir pangeran itu dan sang pangeran purapura
tidak tahu dan mendiamkannya saja. Kini terjadi lagi hal
yang tidak senonoh. Cheng Kun bermain gila dengan Sian Hwa
Sian-i di dalam gedung itu juga!
Menjelang fajar, sebelum meninggalkan kamar Sian Hwa
Sian-li, Cheng Kun berkata kepada wanita itu, "Sian-li, kita Ini telah menjadi
orang sendiri. Aku akan berterus terang
kepadamu dan minta bantuanmu. Terus terang saja aku juga
tergila-gila kepada Ciang Mei Ling.bantulah aku untuk
mendapatkannya, Sian-li."
Sian Hwa Sian-li mengerutkan diam dan pura-pura
cemberut. Padahal dalam hatinya ia merasa geli. Baginya tidak
ada rasa cemburu karena ia menyerahkan diri kepada pemuda
itu tidak berikut hatinya. Baginya Cheng Kun hanyalah sebuah
di antara alat-alat baginya untuk menyenangkan diri, untuk
memuaskan nafsu birahinya dan tentu saja demi mencapai
cita-citanya agar dapat hidup mulia dan terhormat di masa
depan. Tentu saja ia suka membantu karena ia tahu bahwa
tidak mungkin memonopoli pemuda bangsawan ini untuk
dirinya sendiri dan kalau ia membantu sampai berhasil, berati
Cheng Kun berhutang budi kepadanya.
"Hemm, Cheng Kongcu, engkau mau mendapatkan Mei
Ling dan lupa kepadaku."
"Tidak mungkin aku melupakanmu. Bahkan kalau engkau
mau membantu sampai berhasil, engkau menjadi pembantuku
yang setia." "Apakah engkau tidak takut kalau ketahuan Pangeran
Cheng Lin" Ingat, kini berdua adalah kekasihnya dan kalau dia
tahu bahwa kongcu menggoda kami, tentu dia akan marah."
"Kenapa dia harus marah" Dia telah merayu dan memiliki
hubungan gelap dengan semua ibu tiriku, aku dan ayah juga
mengetahuinya dan tidak marah kepada-nya. Sudahlah,
jangan khawatir tentang pangeran Cheng Lin, dia pasti tidak
akan marah. Maukah engkau membantuku, sayang?"
"Baiklah, akan tetapi setelah berhasil, engkau harus
memberi hadiah yang amat langka dan berharga untukku,
Kongcu." "Jangan khawatir, kalau berhasil aku akan memberimu
sepasang giwang dari berlian yang amat indah dan mahal
harganya." Tentu saja Sian Hwa Sian-li menjadi girang dan mereka
berdua lalu mengatur siasat.
Beberapa hari kemudian, pada suatu malam, Ciang Mei
Ling duduk seorang diri dalam kamarnya. Wanita muda ini
termenung sedih. Baru sekarang ia mendapat dugaan bahwa
dirinya dipermainkan oleh Pangeran Cheng Lin. Terkenanglah
ia akan semua pengalamannya dahulu Pangeran Cheng Lin
yang dahulu bernama Ouw Ki Seng sebagai ketua Ban-tok
pang itu datang dan mengadakan persahabatan dengan
ayahnya yang menjadi ketua Pek-eng-pang.
-00dw00kz00- Jilid XXIV KEMUDIAN, Ki Seng itu membantu ayahnya mendapatkan
kembali kereta berisi barang kawalan yang di-rampas oleh
Sian Hwa Sian-li. Kemudian ia dijodohkan oleh ayahnya
kepada Ouw Ki Seng. Dan terjadilah malapetaka itu. Ayahnya
terbunuh penjahat, Dan secara aneh penuh rahasia, ia telah
menyerahkan diri kepada Ouw Ki Seng. Sampai sekarang hal
itu masih menjadi rahasia baginya. Tentu saja ia bukan gadis
semurah itu, menyerahkan diri begitu saja di luar pernikahan
kepada seorang pemuda. Hal itu terjadi di luar kesadarannya,
hal yang amat aneh dan sampai sekarang masih merupakan
teka-teki yang belum dapat terjawab olehnya. Sekarang, baru
tampak olehnya watak aseli pria yang menjadi tunangannya,
bahkan yang telah merenggut kehormatannya sebagai
seorang gadis itu. Ternyata di antara Ki Seng dan Sian Hwa
Sian-li terjalin hubungan gelap, Bukan hanya itu, bahkan
setelah berada di gedung keluarga Pangeran Cheng Boan, ia
melihat sendiri betapa Ki Seng juga berhubungan mesum
dengan ketujuh selir pangeran itu. Ia merasa muak sekali dan
mulai merasa tidak betah tinggal di situ.
"Tok-tok-tok.....!" Daun pintu kamarnya diketuk orang dari luar.
"Siapa di luar?" tanya Mei Ling sambil bangkit dari tempat duduknya dan
menghampiri pintu. "Adik Mei Ling, engkau belum tidur" Ini aku, bukalah
pintumu!" terdengar jawaban suara Sian Hwa Sian-li.
Mendengar suara itu, Mei Ling lalu membuka daun pintu
dan masuklah Sian Hwa Sian-li. Ia membawa seguci anggur
dan dua cawan. Diletakkannya guci dan cawan ke atas meja
dan iapun duduk di atas sebuah kursi tanpa dipersilakan lagi.
Hubungannya dengan Mei Ling memang sudah akrab.
"Sukur engkau belum tidur, Mei Ling." katanya sambil tersenyum.
"Aku masih belum mengantuk dan belum ingin tidur." kata Mei Ling sejujur-nya.
"Sama kalau begitu. Akupun tidak dapat tidur, maka aku
lalu mencarimu untuk kuajak minum anggur agar nanti enak
tidur. Mari kita minum dan lupakan segala masalah, Ling-moi
(adik Ling)." Sian Hwa Sian-li menuangkan anggur ke dalam dua cawan itu.
Mei Ling merasa bersukur juga atas kedatangan Sian Hwa
Sian-li. Setidaknya kedatangan wanita itu mengalihkan
perhatiannya daripada renungan yang menyedihkan hatinya.
Ia menerima cawan dan minum isinya. Dadanya terasa hangat
setelah anggur itu memasuki perutnya. Mereka duduk
berhadapan dan Sian Hwa Sian-li menuangkan anggur lagi ke
dalam dua cawan mereka. Mei Ling menghela napas panjang berulang kali, masih
teringat akan renungannya tadi.
"Eh, Mei Ling, kulihat engkau seperti sedang bersusah hati.
Ada apakah?" "Enci Sian-li, aku merasa tidak betah tinggal di sini lebih lama lagi!" kata Mei
Ling, mengungkapkan perasaan hatinya karena tidak orang lain lagi yang dapat
diajak bicara. "Eh" Mengapa, Mei Ling" Bukankah kita hidup di sini serba mewah, cukup dan
senang, dan juga setiap hari kita dapat
berjumpa dengan Pangeran Cheng Lin?" tanya Sian Hwa Sianli sambil memandang
heran penuh selidlk. Mei Ling menghela napas panjang lagi. "Justru karena
kedatangannya setiap hari di sini membuat aku merasa tidak
betah tinggal di sini!" katanya, teringat dengan hati muak ketika Pangeran Cheng
Lin memasuki kamar para selir
Pangeran Cheng Boan dan bercumbu dengan mereka di kamar
itu. "Eh" Mengapa begitu" Oh, mengerti aku sekarang. Agaknya
engkau merasa cemburu dan tidak senang melihat Pangeran
Cheng Lin bermesraan dengan para selir muda itu. Memang
begitulah watak pria. Selalu menyakiti hati wanita dengan
penyelewengan-penyelewengannya. Akan tetapi menurut
pendapatku, kita wanita jangan mudah saja dipermainkan
seperti itu. Kalau pria pandai menyeleweng, kenapa kita tidak"
Kita balas penyelewengan mereka, baru hati ini tidak
penasaran dan merasa puas!"
Mei Ling mengerutkan alisnya. "Enci Sian-li, aku bukan
wanita macam begitu!" katanya ketus.
"Hemm, baiklah. Sudahlah, jangan memikirkan itu lagi. Mari kita minum sepuasnya
dan melupakan semua itu." ia
menuangkan lagi cawan yang ketiga, mereka minum, lalu
dituangkannya lagi cawan ke empat dan seterusnya.
Setelah anggur satu guci itu habis, Mei Ling merebahkan
kepalanya di atas meja, berbantalkan lengannya sendiri. Sian
Hwa Sian-li tersenyum puas. Ia lalu mengeluarkan selembar
kertas bertulis dari balik ikat pinggangnya dan meletakkannya
di atas meja. Kemudian ia memapah Mei Ling yang sudah
mabok, lalu membawa gadis itu terhuyung menuju ke kamar
sebelah dalam, yaitu kamar Cheng Kun. Diketuknya pintu
kamar itu lima kali sebagai isarat. Daun pintu terbuki dan
Cheng Kun menyambut dengan senyum girang. Dia menerima
Mei Ling yang harus dipapahnya memasuki kamat dan Sian
Hwa Sian-li lalu pergi setelah pintu kamar ditutup dari dalam.
Sambil tersenyum ia kembali ke kamar Mei Ling mengambil
guci dan dua cawan, lalu keluar lagi, menutupkan daun pintu
dari luar, kemudian ia kembali ke dalam kamarnya sendiri.
Di bawah pengaruh obat perangsang yang memabokkan,
dalam keadaan tidak sadar Ciang Mei Ling menyerahkan diri
dengan gairah dan dengan suka rela kepada Cheng Kun yang
tentu saja merasa girang bukan main.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, Mei Ling
terbangun dan sadar sepenuhnya. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya ketika mendapatkan dirinya rebah di atas
pembaringan yang asing baginya, rebah telentang tanpa
pakaian, di samping tubuh Cheng Kun yang masih tidur
mendengkur. Pemuda itu juga dalam keadaan tanpa pakaian.
Ia kaget setengah mati dan lapat-lapat terbayang olehnya
betapa ia telah melayani pemuda itu bermain cinta.
Cepat Mei Ling menyambar pakaiannya dan setelah
mengenakan semua pakaiannya, ia menyambar selimut dan
melemparkan ke atas tubuh. Cheng Kun yang telanjang, lalu
mengguncang pundak pemuda itu dengan kuat.
Cheng Kun terbangun dengan kaget, lalu bangkit duduk,
badan bagian bawah tertutup selimut. Dan terbelalak
memandang Mei Ling yang sudah berpakaian dan kini berdiri
memandangnya seperti seekor singa betina marah.
"Jahanam busuk! Apa yang telah kau lakukan padaku"
Engkau memperkosa aku selagi aku berada dalam keadaan
mabok! Engkau patut kubunuh!" Ia sudah siap menyerang
dengan pukulan maut. "Nona Ciang Mei Ling, tenang dan lihatlah baik-baik!
Bagaimana kaukatakan bahwa aku memperkosamu" Bukan
aku yang datang memasuki kamarmu, melainkan engkau yang
berada di kamarku! Engkau yang mendatangi aku bukan aku
yang mendatangimu." Mei Ling memandang ke sekeliling, Kamar itu diterangi
lampu yang remang-remang, namun ia masih dapat melihat
dengan jelas bahwa ini bukanlah kamarnya.


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana hal ini dapat terjadi" Bagaimana aku dapat
berada di kamar ini dan.... dan.... apa yang telah terjadi.....?"
tanyanya bingung dan menyadari bahwa ucapan Cheng Kun
tadi benar. Ia tidak mungkin dapat menuduh pemuda itu yang
menggaulinya dengan paksa karena ialah yang berada di
kamar pemuda itu! "Tadi malam aku sudah tidur ketia daun pintu kamarku
terketuk. Ketika aku membukanya, ternyata engkau yang
mengetuk dan engkau langsung masuk ke dalam kamarku ini
dan engkau yang menghendaki untuk tidur bersamaku di sini.
Aku sama sekali tidak memaksamu, nona. Semua terjadi
dengan suka rela, atas kehendak kita berdua."
Mei Ling tidak tahan mendengarkan terus. Ia merasa malu,
merasa rendali dan hina. Ia lari ke pintu membukanya dan
berlari keluar ke kamarnya. Pintu kamarnya tertutup dari luar, ia membukanya dan
berlari masuk. Dilihatnya di atas meja
terdapat sepotong kertas bertulis dan cepat diambil dan
dibacanya surat itu. "Adik Mei Ling, Karena engkau mabok berat, maka aku tidak dapat pamit
dan aku tinggalkan engkau melepaskan lelah. Senang sekali
telah dapat minum bersama malam, ini.
Sian Hwa Sian-li." Mei Ling terduduk lemas di atas kursi. Ia mengingat-ingat.
Kini teringat-lah ia bahwa semalam ia minum anggur bersama
Sian Hwa Sian-li di kamarnya ini. Hanya sampai di situ
ingatannya. Tahu-tahu ia terbangun dalam keadaan telanjang
bulat di samping Cheng Kun, di atas pembaringan pemuda itu,
dalam kamar pemuda itu. Dan samar-samar teringatlah ia
betapa ia telah melayani pemuda itu dengan senang hati.
Teringat akan semua itu, meledaklah tangis Mei Ling. Ia
menangis tersedu-sedu, menutup mulutnya agar tangisnya
tidak terdengar sampai keluar kamarnya.
"Tidak mungkin.....! Tidak mungkin...!" Ia berseru dalam tangisnya.
Bagaimana mungkin ia berbuat seperti itu" Mendatangi
kamar Cheng Kun dan mengajak pemuda itu tidur bersama"
Ia bukan wanita macam itu. Sedikitpun tidak pernah ada
dalam benaknya untuk berbuat tidak senonoh seperti itu.
Tiba-tiba ia melempar dirinya ke atas pembaringan, menangis
tersedu-sedu, membenamkan mukanya pada bantal. Akan
tetapi ia bangkit duduk dan sedu-sedannya terhenti tiba-tiba.
Ia teringat sesuatu. Teringat akan peristiwa yang dialaminya
bersama Ki Seng. Betapa mirip benar dengan peristiwa
semalam. Ketika itu, ia minum-minum dengan Ki Seng di
taman. Kemudian ia tidak tahu apa-apa lagi, tidak ingat apa
yang terjadi dan tahu-tahu ia terbangun di dalam kamar Ki
Seng, di atas pembaringannya dan ia telah menyerahkan
kehormatannya, kegadisannya, kepada Ki Seng tanpa ia
sadari. Betapa besar persamaannya dengan peristiwa semalam.
Agaknya rahasianya terletak pada minuman itu. Setelah
minum, ia menjadi mabok dan selanjutnya ia tidak tahu apa
yang terjadi dan tahu-tahu terbangun di atas tempat tidur
dalam kamar seorang laki-laki dan ia telah menyerahkan
dirinya. Teringat ini, ia bangkit berdiri dan menyambar
pedangnya yang tergantung di dinding kamar. Sian Hwa Sianli
agaknya yang menjadi biang keladinya, atau setidaknya ia
tahu akan hal ini. Ia akan memaksa wanita itu mengakui terus
terang apa yang terkandung dalam anggur semalam dan apa
yang sebenarnya telah terjadi. Akan tetapi baru saja tiga
langkah ia menuju pintu, ia menahan kakinya, memutar tubuh
dan dengan lemas kembali duduk di atas kursi dan meletakkan
pedang yang sudah dicabutnya ke atas meja.
Ia teringat bahwa ia sama sekali bukan tandingan Sian Hwa
Sian-li. Kalau ia menggunakan kekerasan, ia pasti kalah. Pula, Sian Hwa Sian-li
sudah menjelaskan peristiwa semalam dalam
surat yang ditinggalkannya di atas meja. Kepada siapa ia
harus menuntut" Tidak ada bukti apapun bahwa Sian Hwa
Sian-li yang mengatur semua itu. Tidak ada bukti bahwa ia
keracunan. Tidak ada bukti bahwa ia diperkosa. Bahkan
buktinya ia sendiri yang berada di kamar Cheng Kun! Kalau ia
ribut-ribut, tentu peristiwa itu terbuka dan diketahui semua
orang bahwa semalam ia telah tidur di kamar Cheng Kun.
Akibatnya ia sendiri yang akan menderita malu.
Mei Ling mengembalikan pedangnya, disarungkan dan
digantungkan di dinding kembali. Ia tidak menangis lagi. Pada
wajahnya terbayang suatu tekad dan keteguhan hati. Ia akan
menyelidiki mereka semua. Ia akan mempergunakan
kesempatan selagi ia berada di istana pangeran itu untuk
menyelidiki semua. Ia harus dapat membongkar rahasia Sian
Hwa Sian-li yang ia duga menjadi biang keladi sehingga
dirinya dua kali menyerahkan kehormatannya kepada dua
orang pria. Iapun akan menyelidiki keadaan Pangeran Cheng
Lin yang sama sekali tidak mendatangkan rasa kagum dan
hormat dalam dirinya. Bahkan rasa cinta yang pernah ada
terhadap pemuda itu kini hampir lenyap, terganti kemuakan
dan kecurigaan. Ia harus menyelidiki apa hubungan yang ada
antara Pangeran Cheng Lin dan Pangeran Cheng Boan yang
membiarkan Pangeran Cheng Lin menggauli semua selir
mudanya. Pasti ada apa-apa-nya di sini, pikirnya.
"Enci Siang Kui, kenapa engkau menangis begini sedih?"
Tanya Sian Eng yang memasuki kamar Lo Siang Kui dan
mendapatkan gadis itu menangis terisak-isak di atas
pembaringannya. Sian Eng duduk di tepi pembaringan dan
menyentuh pundak saudara sepupunya itu. Mendengar
pertanyaan dan merasakan sentuhan tangan Sian Eng, Siang
Kui menjadi semakin mengguguk menangis. Sian Eng maklum
bahwa gadis itu sedang tercekam kesusahan, maka ia tahu
bahwa sebaiknya dalam keadaan seperti itu, ia membiarkan
menangis agar sedihnya larut bersama air matanya.
Setelah tangisnya mereda, Siang Kui bangkit duduk dan
pada saat itulah Sian Eng yang masih duduk di tepi
pembaringan mengulangi pertanyaannya.
"Enci Siang Kui, apakah yang terjadi sehingga engkau
menjadi sedih begini" Katakanlah kepadaku, barangkali aku
dapat menolongmu." Siang Kui menyusut air matanya dengan saputangan.
"Apakah engkau tidak melihat, Eng-moi (adik Eng)" Biasanya setiap seminggu dua
kali dia pasti datan berkunjung. Akan
tetapi akhir-akhir ini, belum tentu dua minggu sekali dia
datang dan kalau dia datang, sikapnya kepadaku dingin saja.
Aku tahu dan merasakan bahwa tentu ada apa-apa yang
terjadi kepadanya yang membuat dia seolah-olah tidak tertarik
dan tidak perduli lagi kepadaku, tidak mencinta lagi......" Sian Kui menghapus
lagi air matanya yang bercucuran.
"Aahhh.... Cheng Kun Kongcu yang kau maksudkan" Aku
tahu itu dan aku pun diam-diam merasa heran."
"Eng-moi, apa yang dapat kulakukan" Apa yang harus
kulakukan agar dia dapat berubah kembali sikapnya seperti
dulu?" "Kui-ci (kakak Kui), engkau amat mencinta Cheng Kongcu,
bukan?" "Tentu saja! Aku mencintanya setengah mati!"
"Kalau memang begitu, kenapa engkau tidak segera
menikah saja dengannya" Setelah menikah, engkau tentu
akan tinggal serumah dengan dia dan setiap hari dapat
berkumpul." "Kepastian hari pernikahan tentu saja bergantung
kepadanya, Eng-moi. Aku dan ayah hanya menanti
keputusannya saja." "Kalau begitu, nanti bila dia datang, utarakanlah
keinginanmu untuk segera menikah dengannya."
"Sudah, Eng-moi. Tempo hari aku sudah kemukakan hal ini,
minta agar dia segera menentukan hari pernikahan, akan
tetapi dia malah menjadi marah dan mencelaku terlalu
tergesa-gesa karena dia masih harus menyelesaikan dulu
banyak urusan penting tanpa menerangkan apa urusan
penting itu." "Hemm, kalau begitu, terpaksa engkau harus menunggu,
enci Kui." "Akan tetapi yang merisaukan hatiku adalah sikapnya, Engmoi.
Menunggu hari pernikahanku sih bukan masalah, aku
dapat menunggu sampai kapanpun. Akan tetapi sikapnya yang
dingin, dan jarangnya dia datang berkunjung. Bayangkan,
sudah hampir tiga minggu ini dia tidak pernah datang,
memberi kabarpun tidak. Padahal, kalau dia memang ingat
kepadaku, dia kan mempunyai banyak pelayan untuk disuruh
memberi kabar kepadaku" Jarak dari istana ayahnya sampai
ke tempat ini pun tidak berapa jauh."
Melihat kesedihan dan kemarahan kakak sepupunya, Sian
Eng lalu menghibur dan berkata, "Sudahlah, tidak perlu
bersusah hati benar, enci Kui. Kalau memang engkau merasa
penasaran, kenapJ engkau tidak datang saja menyusul ke
sana, bertemu dengannya dan menanyakan sendiri" Engkau
bukan seorang gadis lemah dan cengeng!"
Bangkitlah semangat Lo Siang Kui mendengar ucapan Sian
Eng ini. Ia mengeringkan air matanya, lalu bangkit berdiri dan berkata, "Engkau
benar! Tentu ada apa-apa yang tidak beres dengan dia dan aku harus mengetahui
hal itu. Aku harus menyusulnya ke rumahnya dan menanya kan hal ini
kepadanya. Dia harus berterus terang. Kalau dia sudah tidak
cinta lagi kepadaku, biar putus saja hubungan ini. Aku tidak
mau dipermainkan!" "Bagus! Begitulah seharusnya sikap seorang wanita gagah,
bukan seperti wanita-wanita lemah dan cengeng yang bisanya
hanya menangis kalau dipermainkan pria." kata Sian Eng.
Dara perkasa ini bukan sekadar memanaskan hati Siang Kui,
melainkan ucapannya itu keluar dari lubuk hatinya, sesuai
dengan wataknya yang keras. Andaikata apa yang dialami
Siang Kui itu menimpa padanya, tentu iapun akan mengambil
sikap tegas seperti yang ia anjurkan kepada Siang Kui.
Siang Kui segera berganti pakaian baru dan membedaki
mukanya agar tidak tampak bekas tangisnya. Kemudian, tanpa
pamit kepada ayah dan keluarganya, dan hanya Sian Eng saja
yang mengetahuinya, iapun meninggalkan perguruan Hektiauw
Bu-koan dan menuju ke rumah gedung besar milik
Pangeran Cheng Boan yang seperti istana itu.
Ketika Siang Kui tiba di pintu gapura pekarangan istana
Pangeran Cheng Boan, lima orang perajurit penjaga
menghadangnya. Seorang di antara lima orang perajurit itu,
melihat Siang Kui yang cantik, segera timbul niatnya untuk
menggoda. "Selamat siang, nona manis. Nona hendak mencari
siapakah?" tanyanya sambil menyeringai dan memasang gaya
cengar-cengir. "Aku hendak bertemu dengan Cheng Kongcu." kata Siang Kui singkat tanpa
menanggapi ucapan ceriwis itu.
"Wah, tidak mudah bertemu dengan Cheng Kongcu, nona
manis. Bagaimana kalau bertemu dan bicara dengan aku saja"
Aku akan melayanimu dengan baik-baik. Percayalah!" kata
penjaga itu dengan sikap genit. Empat orang penjaga yang
lain tertawa-tawa melihat tingkah rekan mereka yang genit
itu. Selagi Siang Kui hendak marah dan menghajar penjaga
yang kurang ajar itu, muncul seorang kepala jaga yang lebih
tua. Begitu melihat Siang Kui, dia segera mengenal gadis itu
dan cepat maju memberi hormat. "Ah, kiranya Lo Siocia (Nona Lo) yang datang. Apa
yang dapat kami lakukan untukmu,
nona?" "Aku ingin bertemu dengan Cheng Kongcu."
"Tadi saya lihat dia berada di taman bunga. Biar saya
laporkan, nona." "Tidak usah, biar aku mencarinya sendiri di taman." kata Siang Kui dan ia lalu
cepat masuk dan membelok ke taman
bunga yang berada di kiri gedung. Taman itu luas sekali,
berada di sebelah kiri gedung terus sampai ke belakang
gedung. Lima orang penjaga muda itu merasa heran melihat sikap
kepala jaga yang demikian hormat kepada gadis cantik tadi.
"Kau gila! Kaukira siapa yang kau permainkan tadi?" bentak kepala jaga kepada
penjaga yang tadi menggoda Siang Kui.
"Ia.... ia siapakah.....?" tanya si penggoda tadi.
"Mau tahu" Ia adalah tunangan Cheng Kongcu! Dan ia
adalah puteri Lo Kauwsu (Guru Silat Lo) ketua dari Hek-tiauw
Bu-Koan. Ia tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi!"
Si penggoda tadi menjadi pucat dan matanya terbelalak.
"Wah..... celaka.....! Aku.... aku tidak tahu.....!"
"Hayo cepat engkau hajar mulutmu yang lancang itu sendiri atau aku akar
melaporkan kelakuanmu kepada Cheng
Kongcu!" "Ah, jangan..... jangan..... jangan lapor. Baik, aku akan menghajar mulutki
sendiri .....!" kata si penggoda itu dar diapun lalu menggunakan kedua tangannya
untuk menampari mulutnya sendil dari kanan kiri. "Plok-plak-pIok-plak...."
berulang kali sampai bibirnya pecah berdarah, ditertawakan
oleh teman-temannya Sementara itu, Lo Siang Kui memasuki taman. Setelah tiba
di taman bunga bagian belakang, dari jauh ia melihat Cheng
Kongcu berjalan perlahan bersama seorang wanita. Ia melihat
mereka dari belakang dan tampaknya mereka berdua itu
berjalan berdampingan dan bercakap-cakap dengan asyik.
Siang Kui mengerutkan alisnya dan ia lalu membayangi dari
belakang, bersembunyi di balik-balik rumpun bunga atau
batang pohon, makin mendekati mereka.
"Sian-li." ia mendengar suara Cheng Kun bicara, "aku sudah menerangkan semua hal
kepadamu, apakah engkau masih
juga tidak percaya?"
Siang Kui mendengarkan dengan penuh perhatian. "Akan
tetapi, Cheng Kongcu, agaknya tidak masuk di akal."
terdengar wanita itu berkata. "Bukankah dia telah
membuktikan dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin dan
memiliki Suling Pusaka Kemala, bahkan Sribaginda kaisar
sendiri telah menerima dan mengakuinya sebagai puteranya?"
"Semua orang memang dapat terpedaya, akan tetapi
pembantu ayahku yang bernama Suma Kiang tidak dapat
dikelabuhi karena dia mengenal Pangeran Cheng Lin yang
aseli. Ketika dia didesak dan diterima sebagai sekutu ayah,
akhirnya dia mengaku. Suling itu dicurinya dari Pangeran
Cheng Lin yang aseli. Sebenarnya dia adalah Ouw Ki Seng
ketua Ban-tok-pang."


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aih, sungguh tidak kusangka sama sekali. Aku juga telah
ditipunya!" seru wanita itu.
"Hal ini sebetulnya harus dirahasiakan. Yang
mengetahuinya hanya ayah, aku, Paman Suma Kiang dan
Paman Toa Ok. Akan tetapi karena engkau telah menjadi
sekutu dan.... kekasihku yang ku-percaya, maka aku
memberitahu kepadamu."
"Terima kasih, Kongcu. Engkau sungguh baik sekali
kepadaku!" kata wanita itu yang membiarkan dirinya dipeluk dan dicium. Siang Kui
tidak dapat menahan diri lagi. ia
melompat keluar dan gerakannya ini dapat ditangkap
pendengaran Sian Hwa Sian-li yang amat tajam. Sian-li cepat
melepaskan rangkulan Ciang Kun, membalikkan tubuhnya dan
melompat ke depan Lo Siang Kui.
Melihat bahwa wanita yang dicumbu Cheng Kun ternyata
amat cantik, Siang Kui menjadi semakin cemburu. Wataknya
memang keras dan galak, maka melihat wanita itu
menghampirinya, tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang
dengan jurus Hek-tiauw-pok-touw (Rajawali Hi-tam
Menyambar Kelenci), tangan kirinya mencengkeram ke arah
muka sedangkan tangan kanannya mencengkeram ke arah
dada. Serangan ini sungguh keji dan berbahaya. Kalau tangan
kiri mengenai sasaran, muka yang cantik dari Sian Hwa Sian-li
tentu akan rusak dan kalau tangan kanan yang mengenai
dada, dapat menewaskan wanita cantik itu!
Namun, tingkat kepandaian Sian Hwa Sian-li jauh lebih
tinggi daripada tingkat Lo Siang Kui, maka biarpun ia juga
harus berlaku waspada dan hati-hati, dengan Cepat ia dapat
menghindarkan diri dengan melangkah ke belakang dan menjauhkan sasaran yang
diserang. Melihat serangennya gagal,
Siang Kui menjadi penasaran dan menyambung dengan
serangan beruntun. Karena tidak mengenai siapa wanita itu
yang tanpa sebab menyerangnya, Sian Hwa Sian-li tidak
bertindak sembrono dan iapun mempergunakan kecepatan
gerakan untuk menghindar. Sampai tujuh kali ia
menghindarkan diri dengan elakan-elakan.
Cheng Kun terkejut melihat munculnya Siang Kui yang tibatiba
menyerang Sian Hwa Sian-li kalang kabut.
"Kui-moi, jangan serang!" bentaknya, akan tetapi Siang Kui yang galak sudah
terlalu marah untuk dapat menghentikan
serangannya. la.menyerang terus.
"Dukk.....!" Sian Hwa Sian-li kini menangkis dan karena tenaga sin-kangnya lebih
kuat, maka Siang Kui terhuyung ke
belakang. Akan tetapi, kenyataan bahwa ia kalah kuat itu tidak membuat ia
mundur. Ia menyerang lagi dengan gencar.
Cheng Kun tahu bahwa Sian Hwa Sian-li amat lihai.
"Sian-li, jangan, bunuh ia!" Dia memperingatkan.
Sambil mengelak ke kanan kiri, Sian-li bertanya, "Kongcu, ia ini siapakah?"
"Ia tunanganku, jangan bunuh!" kata lagi Cheng Kun.
Pada saat itu, Sian Hwa Sian-li memperoleh kesempatan. Ia
menggunakan sebagian besar tenaganya untuk menangkis
pukulan Siang Kui sehingga gadis itu terhuyung dan
kesempatan ini dipergunakan Sian Hwa Sian-li untuk balas
menyerang. Tangan kirinya menampar pundak, membuat
Siang Kui terputar dan tangan kanannya menampar tengkuk.
Siang Kui yang pingsan itu tidak sampai terbanting jatuh.
"Dia terluka.....?" tanya Cheng Kun khawatir.
"Tidak, hanya pingsan. Sebaiknya kita bawa ke dalam dan
kalau ia siuman, kau bujuk ia agar lain kali jangan bersikap
galak kepadaku. Pergunakan ini untuk menjinakkannya." kata Sian-li sambil
menyerahkan sebuah botol kecil berisi cairan
merah kepada Cheng Kun. Cheng Kun tersenyum dan dia lalu memondong tubuh
Siang Kui yang pingsan, lalu dia membawanya ke rumah
gedung. Di dalam rumah, dia bertemu dengan para pelayan
dan para ibu tirinya, akan tetapi mereka tidak berani
mencampuri urusannya dan tidak berani bertanya. Ketika
ibunya sendiri yang muncul, ibunya bertanya.
"Ada apakah" Kenapa ia....." Ehh, bukankah ia Lo Siang
Kui, tunanganmu" Kenapa ia?"
"Agaknya masuk angin, ibu. Ia pingsan, biarlah aku akan
merawatnya dalam kamarku." kata Cheng Kun dan ibu
kandungnya tidak berkata apa-apa lagi. Ibu yang anaknya
hanya tunggal ini sejak Cheng Kun masih kecil terlalu
memanjakannya. Tidak ada permintaan yang tidak diturutinya.
Setelah kini Cheng Kun dewasa, ibunya tidak berani
menghalangi semua perbuatannya karena kalau ia melakukan
itu, anaknya tentu akan melawannya dan bersikap kasar
kepadanya. Karena itu, melihat puteranya membawa
tunangannya itu ke dalam kamar, iapun tidak berani
melarang, hanya menggeleng kepala dan menghela napas lalu
pergi meninggalkan tempat itu.
Di dalam kamarnya, Cheng Kun merebahkan tubuh Siang
Kui di atas pembaringan dan seperti yang telah diajarkan oleh
Sian Hwa Sian-li, dia mengurut perlahan tengkuk gadis itu.
Tak lama kemudian Siang Kui mengeluh lirih dan bergerak,
lalu membuka matanya. Melihat dirinya rebah di atas
pembaringan dan Cheng Kun duduk di tepi pembaringan, ia
terkejut dan mencoba untuk bangkit duduk.
"Di mana ia" Perempuan busuk itu...!"
"Tenanglah, Kui-moi." Cheng Kun me-nekan kedua pundak gadis itu dengan lembut
agar Siang Kui tetap rebah telentang.
"Ia adalah seorang di antara pembantu-pembantu ayah yang
amat lihai. Engkau sama sekali bukan tandingannya dan ia
tidak ingin mencelakaimu. Bukti nya engkaupun tidak terluka.
Akan tetapi engkau masih lemah dan pikiranmu kacau, maka
minumlah dulu anggur ini agar hati dan pikiranmu menjadi
tenang." Sambil berkata demikian, Ciang Kun mengambil
sebuah cawan penuh anggur merah yang sudah dipersiapkan
sejak tadi dan dia membantu Siang Kui bangun duduk,
merangkul pundaknya dan memberinya minum anggur itu.
Melihat betapa dirinya dirangkul dan diperlakukan dengan
sikap lembut dan manis oleh tunangannya, meredalah
kemarahan Siang Kui dan ia tidak menolak ketika dianjurkan
untuk minum anggur dalam cawan yang sudah ditempelkan ke
bibirnya oleh Cheng Kun. Ia minum anggur secawan itu
sampai habis. "Nah, sekarang rebahlah kembali dan mengaso sebentar
sampai tubuhmu segar dan pikiranmu tenang kembali." kata
Cheng Kun sambil membantu gadis itu merebahkan kepalanya
di atas bantal. Matanya terpejam dan ia merasakan betapa
seluruh tubuhnya dijalari kehangatan setelah anggur tadi
diminumnya. Rasa hangat yang nikmat sekali. Rasa hangat itu
perlahan-lahan menjadi semakin panas dan akhirnya ia
mengerang lirih karena tubuh, hati dan pikirannya telah
dibakar oleh gairah berahi yang berkobar. Ia merasakan
betapa kedua tangan Cheng Kun membelainya, akan tetapi ia
tidak menolak, bahkan menyambutnya dengan girang. Gairah
yang tidak wajar membakarnya dan menuntut kepuasan.
Akhirnya ia lupa akan segala. Bukan saja ia menurut saja akan
apapun yang akan dilaku-kan Cheng Kun atas dirinya, bahkan
ia menyambutnya penuh gairah.
Dalam jaman apapun, wanita selalu terancam oleh bujuk
rayu pria. Oleh karena itu, para pria, terutama para gadis
remaja dan mulai dewasa, haruslah waspada sekali, pandai
menjaga diri, kehormatan dan harga dirinya. Tentu saja tidak
semua pria berwatak seperti srigala kelaparan, namun banyak
sekali pria yang tampak baik-baik, sopan santun dan
terhormat, bagaikan srigala berbulu domba siap untuk
menerkam bila diberi kesempatan. Dengan mempergunakan
segal macam daya, pamer harta, bujuk rayu, sumpah palsu
pria-pria macam itu selalu mengintai para gadis yang
dipilihnya Sedikit saja gadis itu lengah, terkulai oleh bujuk
rayu dan sumpah palsu, sila oleh pamer kekayaan, pria srigala
itu akan menerkamnya. Maka hancurlah martabat, harga diri
dan kehormatan gadis itu!
Masih mending kalau pria bertanggung jawab dan
menikahinya sebagai isterinya yang sah. Akan tetapi, tidak
jarang terdapat pria yang benar-benar berwatak srigala.
Setelah calon korban jatuh oleh rayuannya, srigala itu akan
menggerogoti daging korbannya sekenyang dan sepuasnya,
kemudian meninggalkan pergi bangkai korban itu begitu saja,
tergeletak di tepi jalan sampai membusuk.
Betapa ngerinya kalau sudah begitu. Karena itu, wahai para
gadis, waspadalah dan perkuatkan imanmu, hargailah diri dan
kehormatanmu sendiri, jangan mabok oleh bujuk rayu gombal,
jangan silau oleh pameran harta, jangan tertipu oleh sumpah
setia sampai mati, jangan secara murah menyerahkan diri dan
kehormatanmu sebelum kamu dinikahi sebagai isteri. Dan
Wahai para pria pada umumnya dan para pemuda khususnya.
Waspadalah, jangan membiarkan nafsu daya rendah
menguasai dirimu sehingga kamu lupa diri dan menodai
seorang gadis, apalagi kalau ia pacar dan calon isterimu.
Ingatlah bahwa menikmati sejenak itu dapat mengakibatkan
penyesalan seumur hidup! Jangan terpikat dan minum anggur yang digunakan iblis
karena anggur yang rasanya nikmat itu mengandung racun
yang amat berbahaya sekali!. Akan tetapi kalau hal itu
memang telah terjadi karena kamu tidak dapat mengalahkan
nafsumu sendiri, ber-sikaplah jantan. Bertanggung jawablah!
Karena meninggalkan seorang gadis yang telah kamu nodai
merupakan perbuatan yang amat terkutuk dan yang akan
menghantui dirimu selama hidup.
Pada keesokan harinya, setelah pengaruh racun
perangsang itu habis daya pengaruhnya, Lo Siang Kui terkejut
melihat keadaan dirinya. Ia menangis dan menyesali
perbuatannya, Akan tetapi Cheng Kun merangkulnya dan
menghiburnya. "Sudahlah, Kui-moi. Mengapa engka menangis" Bukankah
kita saling mencinta dan bukankah engkau adalah calon isteriku"
Kita melakukan ini karena salin mencinta. Kenapa
disesali?" "Kun-ko.... akan tetapi.... kita belum menikah...." tangis Siang Kui mereda
karena kata-kata tunangannya tadi telah
menghibur hatinya. "Kalau belum, mengapa" Kita menikah hanya menunggu
waktu saja. Sudahlah jangan menangis dan jangan bersedih.
Engkau akan menjadi isteriku, maka perbuatan yang kita
lakukan tadi sama sekali tidak ada salahnya, Kui-moi.
Sekarang beriaslah dan pulanglah dulu."
Lo Siang Kui mengeringkan air matanya dan iapun
mengenakan pakaiannya dan membedaki mukanya yang agak
pucat. "Kun-ko, siapakah perempuan jahat yang amat lihai
itu?" Hatinya terasa panas kembali mengingat betapa
tunangannya bersikap demikian akrab dan mesra terhadap
wanita cantik yang ilmu silat-nya amat lihai itu.
"Ah, ia bukan orang sembarangan, Kui-moi. Ia seorang
tokoh besar dalam dunia kang-ouw yang sekarang
menghambakan diri kepada ayahku. Namanya Kim Goat dan
julukannya adalah Sian Hwa Sian-li. Ilmu silatnya tinggi sekali dan ia menjadi
seorang di antara para pengawal keluarga
kami. Sudahlah, sekarang engkau pulang dulu dan tak lama
lagi kita menikah." "Akan tetapi, kapankah kita menikah, Kun-ko" Tetapkanlah
hari dan tanggalnya agar aku tidak menunggu-nunggu."
"Ah, hal itu dapat kita bicarakan nanti, Kui-moi?"
Siang Kui mengerutkan alisnya dan menatap wajah
tunangannya dengan tajam. "Kenapa nanti" Engkau harus
menentukan sekarang, Kun-ko. Ingat, aku telah....."
"Akan kupikirkan dulu, Kui-moi."
"Tidak, Kun-ko. Aku minta kepastiannya sekarang juga. Aku tidak akan pulang
sebelum memperoleh kepastian dari-mu!"
kata Siang Kui dengan keras kepala.
Cheng Kun menghela napas panjang. "Baiklah, begini saja.
Dalam waktu satu minggu ini aku pasti akan datang ke
rumahmu dan memberi kepastian hari dan tanggal pernikahan
kita." "Betul dalam minggu ini" Jangan melanggar janji, Kun-ko.
Aku tunggu kedatanganmu dalam minggu ini. Sekarang aku
pulang dulu!" Gadis itu lalu meninggalkan gedung itu, diantar Cheng Kun sampai
di luar gedung. Setelah agak jauh meninggalkan istana Pangeran Cheng
Boan menuju ke Hek-tiauw Bu-koan yang berada di ujung
kota, dari sebuah gang kecil tiba-tiba muncul seorang gadis
cantik manis. Gadis berusia sekitar sembilan belas tahun itu
adalah Ciang Mei Ling dan ia menghampiri Siang Kui lalu
berkata lirih. "Enci Lo Siang Kui, bukan?"
Siang Kui memandang heran karena ia merasa belum
mengenai gadis ini. "Benar, aku Lo Siang Kui. Siapakah engkau dan ada
keperluan apakah engkau menegur aku di jalan?"
"Namaku Ciang Mei Ling, enci. Aku mempunyai urusan
penting sekali untuk dibicarakan denganmu."
"Aku tidak mempunyai urusan apapun denganmu. Aku
tidak mengenalmu. Jangan ganggu aku!" kata Lo Siang. Kui
dengan suara ketus karena hatinya sedang risau dan timbul
watak galaknya. "Enci Siang Kui, aku tinggal di rumah gedung Pangeran
Cheng Boan dan aku tahu apa yang telah terjadi semalam atas
dirimu. Aku hendak bicara denganmu mengenai diri
tunanganmu Cheng Kun. Apakah engkau tetap tidak tertarik
dan tidak mau mendengarkan omongan-ku?"
Wajah Siang Kui berubah merah. Gadis ini mengetahui
tentang peristiwa yang terjadi semalam. Ia memandang penuh
perhatian dan melihat bahwa wajah yang cantik manis itu
seperti diliputi awan kedukaan.
"Bicaralah." katanya singkat.
Ciang Mei Ling memandang ke kanan kiri. Banyak orang
berlalu-lalang di jalan raya itu.
"Tidak enak kalau kita bicara di sini enci. Banyak orang
berlalu-lalang di sinl membuat kita tidak leluasa bicara." Ia menengok ke kiri
di mana terdapat sebuah rumah makan yang
cukup besar dan yang baru saja dibuka dan masih sepi,
"Bagaimana kalau kita masuk ke rumal makan itu, minum teh dan bicara?"
Lo Siang Kui menengok dan melihat rumah makan yang
masih sepi itu dan ia mengangguk. Tanpa bicara kedua orang
gadis itu lalu melangkah dan memasuki rumah makan itu.
Seorang pelayan menyambut tamu pertama itu dengan
ramah.

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ji-wi siocia (Nona berdua) hendak sarapan?" tanyanya.
"Kami hanya mau minum teh panas dan sediakan beberapa
kue kering." pesan Mei, Ling. Pelayan pergi dan tak lama
kemudian dia sudah menyuguhkan pesanan itu. Setelah
pelayan pergi bertanyaiah Siang Kui dengan tidak sabar.
"Nan, sekarang bicaralah. Apa yang ingin kaubicarakan
mengenai diri Cheng Kongcu?"
"Enci Lo Siang Kui, aku mengetahui semua yang telah
terjadi atas dirimu semalam, Engkau telah menjadi korban
kebiadaban pemuda bangsawan Cheng Kun yang kau anggap
sebagai seorang tunangan yang baik itu. Engkau telah menjadi
korban persekutuan busuk antara Cheng Kun dan Sian Hwa
Sian-li, iblis betina itu."
Wajah Siang Kui menjadi pucat, lalu menjadi merah. Ia
terkejut dan juga merasa malu sekali karena rahasianya
semalam diketahui orang lain.
"Apa...... apa yang kau bicarakan ini" Jangan main-main
engkau, Ciang Mei Ling!"
"Aku tidak main-main, enci. Aku tahu bahwa engkau telah
menjadi korban kecabulan Cheng Kun. Bukankah engkau
diberi minum anggur sebelumnya dan setelah minum anggur
itu engkau menjadi lupa keadaan?"
Wajah Siang Kui menjadi merah sekali, malu teringat akan
sikapnya semalam, betapa ia menyambut semua perbuatan
Cheng Kun terhadap dirinya dengan penuh gairah dan baru
pagi tadi ia sadar dan menyesali perbuatannya.
"Bagaimana...... bagaimana engkau bisa tahu.....?"
tanyanya gagap. Melihat gadis itu kebingungan, Mei Ling menyadari bahwa
ia terburu-buru dalam pengakuannya. Ia lalu berkata dengan
lebih tenang. "Enci Lo Siang Kui, sebelum aku menjawab
pertanyaanmu itu, biarlah engkau lebih dulu mengenal siapa
aku dan mengetahui keadaanku di istana Pangeran Cheng
Boan. Seperti kukatakan tadi, aku bernama Ciang Mei Ling.
Aku puteri dari mendiang ketua Pek-eng-pang di lereng
pegunungan Thai-san. Aku telah bertunangan dengan seorang
pangeran. Pangeran Cheng Lin namanya dan atas
kehendaknya aku dijemput Sian Hwa Sian-li dan diharuskan
tinggal di istana Pangeran Cheng Boan. Kurang, lebih sebulan
yang lalu, aku...... akupun menjadi korban kebiadaban Cheng
Kun: Aku tidak ingat apa-apa lagi setelah diberi minum anggur
oleh Sian Hwa Sian-li dan tahu-tahu. aku berada di dalam
kamar Cheng Kun dan aku dipermainkannya seperti dia
mempermainkanmu." "Ahhh.....!" Lo Siang Kui terkejut bukan main.
"Sejak engkau memasuki taman, aku sudah mengikuti,
enci. Aku memang sedang melakukan penyelidikan terhadap
mereka semua sejak aku dijadikan korban kebiadaban Cheng
Kun. Aku tahu bahwa mereka semua itu bersekongkol.
Pangeran Cheng Lin tunanganku itu bersekongkol dengan
Pangeran Cheng Boan, dibantu oleh Sian Hwa Sian-li. Mereka
semua bukan orang baik-baik, juga tunanganku Pangeran
Cheng Lin itu. Mereka bersekongkol, entah untuk urusan apa
sedang kuselidiki. Mereka itu semua orang hina Sian Hwa
Sian-li itu seorang iblis betina. Ia tidak saja berjina dengan Pangeran Cheng
Lin, akan tetapi juga dengan Cheng Kun."
Hati Lo Siang Kui merasa panas bukan main. Akan tetapi
tentu saja ia tidak mau mempercayai semua ucapan Ciang Mei
Ling yang baru saja dikenalnya. Apaiagi ia teringat bahwa
Cheng Kun sudah berjanji dalam waktu seminggu akan
memberi keputusan tentang hari pernikahan mereka.
Dengan marah Siang Kui bangkit berdiri dari kursinya.
"Sudahlah, jangan bicara lagi. Aku tidak percaya akan semua omonganmu!" Setelah
berkata demikian, ia cepat keluar dari rumah makan itu dan berjalan cepat menuju
pulang. Ia menahan air matanya yang sudah me-ngembang di pelupuk
matanya. Ciang Mei Ling menghela napas panjang. Ia merasa iba
kepada Lo Siang Kui. Gadis itu telah salah memilih, pikirnya.
Memilih seorang laki-Iaki busuk seperti Cheng Kun. Tiba-tiba
ia teringat akan dirinya sendiri dan berulang kali menghela
napas. Ia sendiripun telah salah memilih jodoh. Ia terkecoh
oleh sikap Ouw Ki Seng yang semula tampak baik sekali itu.
Biarpun kemudian ia mengetahui bahwa Ouw Ki Seng yang
menjadi tunangannya itu seorang pangeran, namun hal ini
tidak menghibur hatinya yang terluka.
Bukan saja ia telah terpedaya, menyerahkan diri dan
kehormatannya kepada pangeran itu dalam keadaan terbius,
akan tetapi juga kini ia menjadi korban kebiadaban Cheng
Kun. Kini ia dapat menduga bahwa semua itu tentu atas usaha
licik dari Sian Hwa Sian-li. Ketika ia diajak minum anggur,
tentu anggur itu diberi sesuatu oleh iblis betina itu yang
membuat ia terangsang dan tidak sadar. Iapun dapat
menduga bahwa dulu, ketika ia menyerahkan kehormatannya
kepada Pangeran Cheng Lin, iapun berada dalam keadaan
yang sama, terbius oleh racun perangsang yang dicampurkan
dalam minuman anggur. Presis seperti yang dialami oleh Lo
Siang Kui. Setelah melihat hubungan jina antara Pangeran
Cheng Lin atau dahulu-nya Ouw Ki Seng itu dengan Sian Hwa
Sian-li, iapun dapat menduga bahwa dahulupun ia menjadi
korban Ouw Ki Seng atas muslihat Sian Hwa Sian-li. Akan
tetapi ia akan menyelidiki terus untuk mengetahui
persekutuan apakah sebetulnya yang ada antara mereka
semua. Setelah membayar harga minuman dan makanan, Ciang
Mei Ling lalu bergegas kembali ke istana Pangeran Cheng
Boan. Ia bersikap biasa saja agar tidak menimbulkan
kecurigaan. Sudah sepuluh hari lamanya Lo Sian Kui menungu-nunggu
dengan tidak sabar, namun Cheng Kun yang ditunggu-tunggu
tidak kunjung muncul. Padahal sebelum adanya Sian Hwa
Sian-li di rumah tunangannya itu, Cheng Kun selalu
berkunjung ke rumahnya hampir setiap hari. Putera pangeran
itu berjanji akan datang berkunjung dalam seminggu untuk
membicarakan tentang hari pernikahan. Akan tetapi ditunggu
sampai sepuluh hari, dia tidak kunjung datang dan tidak
mengirim berita apapun. Padahal, ia sudah menyerahkan kehormatannya, walaupun
penyerahan itu dilakukannya dalam keadaan tidak sadar,
terpengaruh oleh sesuatu yang membuat ia kehilangan
pertimbangan. Teringat akan semua ini, Siang Kui menangis
tersedu-sedu dalam kamarnya. Setelah lewat seminggu Cheng
Kun belum juga datang, Lo Siang Kui mengu-rung diri dalam
kamarnya. Ia tidak mau makan dan hanya menangis saja
dengan sedihnya, membuat ayah dan ibunya dan juga
kakaknya menjadi bingung. Ketika ditanya, Siang Kui tidak
mau menjawab, hanya menangis dan mengusir pergi orang
orang yang bertanya. Bahkan ayah dan ibunya tidak ia
perdulikan, apalagi kakak nya.
Dengan hati khawatir Lo Kang lalu menemui Lo Sian Eng.
"Sian Eng, tolong-lah encimu Siang Kui itu. Sudah tiga hari ia tidak mau makan
dan hanya menangis dalam kamarnya. Kalau
kami tanya, ia tidak mau menjawab bahkan mengusir kami
dari kamarnya. Tolonglah, Sian Eng, barangkali engkau yang
akan mampu mengajaknya bicara." Demikian Lo Kang
meminta kepada Sian Eng. Sian Eng sudah tahu akan keadaan Siang Kui, akan tetapi
ia memang diam saja tidak ingin mencampurinya karena ia
tahu bahwa Siang Kui adalah seorang gadis yang keras hati.
Akan tetapi setelah pamannya mengajukan permintaan itu
dengan suara mengandung kegelisahan, iapun menyanggupi
dan ia segera menuju ke kamar Siang Kui yang tertutup daun
pintunya. Siang Eng pernah digembleng selama lima tahun oleh
mendiang Hwa Hwa Cinjin, seorang datuk besar ahli silat dan
ahli sihir. Maka, selain ilmu silat tinggi, iapun pernah
mempelajari ilmu sihir, ilmu untuk menguasai atau
mempengaruhi pikiran orang lain. Ia tahu bahwa pada saat itu
pikiran Siang Kui sedang kacau dan karena dilanda suatu
kedukaan maka pikirannya menjadi lemah sehingga akan
mudah untuk dipengaruhi. Maka, ia lalu mengerahkan
kekuatan batinnya, menyalurkan kekuatan itu pada suaranya
dan ia mengerahkan khi-kang agar suaranya terdengar
nyaring dan jelas ke dalam kamar itu dan mengetuk daun
pintunya. "Tok-tok-tok! Enci Siang Kui, dengar-kan aku, enci Siang
Kui. Aku Sian Eng yang akan mengangkatmu dari kedukaanmu.
Bukalah pintunya, enci Siang Kui. Buka pintu kamarmu
dan biarkan aku masuk!"
Terdengar suara kaki diseret dan daun pintu itupun dibuka
dari dalam oleh Siang Kui. Sian Eng terkejut melihat gadis
yang biasanya cantik pesolek itu kini keadaannya amat
menyedihkan. Pakaiannya kusut, rambutnya awut-awutan,
mukanya pucat dan matanya merah, tubuhnya tampak lemas
dan lesu! Sian Eng cepat merangkulnya dan membawanya ke
tempat tidur. "Duduklah, enci Siang Kui. Duduklah di sini." Siang Kui duduk di tepi
pembaringan dengan taat. "Sekarang berbaringlah. Engkau perlu beristirahat." kata pula Sian Eng yang
suaranya mengandung kekuatan sihir.
Siang Kui tidak membantah dan merebahkan diri, telentang di
atas pembaringan. Sian Eng mengetahui apa yang dibutuhkan gadis itu pada
saat ini. "Enci Siang Kui, engkau rebah dan mengaso dulu, aku akan mengambilkan
makanan dan minuman untukkmu.
Sebelum aku kembali, tenangkanlah hati dan pikiranmu,
jangan merisaukan apa-apa dan mengaso sajalah." Ia lalu
meninggalkan Siang Kui, menutupkan daun pintu dari luar dan
bergegas pergi ke dapur. Cepat ia minta kepada pelayan untuk
menyediakan bubur dan air teh yang ia bawa ke kamar Siang
Kui. Ketika ia memasuki kamar, ia minta agar Lo Kang dan
isterinya yang mengikutinya tidak mengganggunya dan
meninggalkan kamar itu. "Jangan khawatir, paman dan bibi Aku akan mencoba
untuk menghiburnya dan mengajaknya bicara. Sebaiknya
kalau kami ditinggalkan berdua saja di kamar ini."
Lo Kang dan isterinya mengangguk dan meninggalkan
kamar itu. Sian Eng lalu memasuki kamar, menutupkan daun
pintunya dan membawa bubur dan air teh mendekati Siang
Kui yang masih rebah telentang di atas pembaringan.
"Enci Siang Kui, bangun ,dan duduklah. Ini ada semangkuk
bubur. Makanlah dulu agar tubuhmu kuat dan minumlah air
teh ini." Karena terpengaruh oleh ucapan Sian Eng yang
mengandung kekuatan sihir, bagaikan orang yang sedang
bermimpi Siang Kui bangkit duduk, menerima cangkir berisi air
teh dan meminumnya. Kemudian dengan taat iapun makan
semangkuk bubur itu. Karena sudah tiga hari ia tidak makan
atau minum, sebentar saja semangkuk bubur dan secangkir
air teh itupun habis. Setelah makan, kedua pipi Siang Kui yang tadinya pucat
kini menjadi kemerahan. Sian Eng duduk di tepi pembaringan di samping Siang Kui.
Sambil merangkul pundak gadis itu, Sian Eng bertanya. "Enci Siang Kui, engkau
percaya kepadaku, bukan?"
Siang Kui mengangguk sambil menatap wajah Sian Eng.
"Dan engkau yakin bahwa kalau engkau membutuhkan
pertolongan, aku akan menoiongmu dan hanya aku yang akan
dapat menoiongmu?" Kembali Siang Kui mengangguk penuh keyakinan.
"Nah, kalau begitu, sekarang ceritakanlah kepadaku
mengapa engkau begini bersedih, enci Siang Kui. Apa yang
telah terjadi denganmu dan ketika tempo hari engkau tidak
pulang, engkau bermalam di manakah?"
Ditanya begitu, tiba-tiba Siang Kui menangis tersedu-sedu.
Ketika Sian Eng merangkulnya, Siang Kui juga memeluKi Sian
Eng sambil menangis. Sian Eng membiarkan gadis itu
menangis sepuasnya karena hal itu merupakan pelepasan
segala kedukaannya. Setelah tangis Siang Kui mereda, Sian Eng menggunakan
sehelai saputangan untuk mengusap air mata dari muka Siang
Kui. "Nah, bicaralah, enci. Percayalah bahwa aku tentu akan dapat membantumu
memecahkan segala persoalan yang
mengganggu hatimu." "Sian Eng, bagaimana aku harus mengatakan kepadamu"
Ah, Eng-moi, hatiku sakit sekali, kebahagiaanku hancur,
kehidupanku rusak binasa......"
Sian Eng terkejut. "Ah....! Apakah yang telah terjadi
denganmu, enci" Tentu Cheng Kun itu penyebabnya! Hayo
kata-kan, apa yang telah dia lakukan kepadamu?" Sian Eng
dapat menduga dengan mudah. Bukankah ia yang
menganjurkan Siang Kui untuk mencari Cheng Kun yang tak
pernah datang lagi berkunjung. Kemudian Siang Kui pergi dan
semalam suntuk tidak pulang. Seminggu setelah pulang gadis
itu lalu mengeram diri dalam kamar, tidak makan tidak minum
sampai tiga hari lamanya! Siapa lagi yang menjadi
penyebabnya selain Cheng Kun"
Siang Kui menghela napas, melepaskan ganjalan hatinya.
Memang Sian Eng satu-satunya orang yang akan dapat
menolongnya menghadapi Sian Hwa Sian-li yang lihai. Tanpa
dipengaruhi kekuatan sihir sekalipun ia sudah mengambil
keputusan untuk menumpahkan semua kedukaannya kepada
Sian Eng. "Ketika engkau berkunjung ke rumah Cheng Kun, apa yang
terjadi, enci Siang Kui?" Sian Eng mendesak.
"Banyak hal terjadi, Eng-moi. Ketika aku berkunjung ke
sana, aku langsung mencari Kun-ko ke dalam taman. Dan
tahukah engkau apa yang kulihat" Dia sedang berkasihkasihan
dengan seorang wanita yang cantik dan pesolek.
Wanita yang menurut perkiraanku sudah berusia tiga puluhan
tahun akan tetapi genitnya bukan main. Seorang iblis betina!"
Wajah gadis itu menjadi merah sekali karena kemarahannya
timbul ketika ia teringat kepada Sian Hwa Sian-li.
"Hemm, sudah kuduga bahwa dia seorang laki-laki yang
tidak setia. Lalu apa yang terjadi, enci Siang Kui?"
"Melihat mereka berkasih-kasihan, aku menjadi panas hati
dan aku menyerang wanita itu untuk membunuhnya. Akan
tetapi..... ternyata ia lihai sekali, Eng-moi. Aku..... aku kalah dan roboh
tertotok oleh wanita itu."
"Hemm, kiranya ia lihai?" kata Sian Eng dengan kaget. Ia tahu bahwa ilmu silat
Siang Kui cukup tinggi. Kalau wanita itu mampu menotok roboh Siang Kui, jelas


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa wanita itu memang lihai sekali. "Aku jatuh pingsan dan ketika aku siuman kembali, aku
telah berada di kamar Kun-ko. Dia menghiburku dan memberi
minum anggur. Setelah minum anggur, aku..... aku menjadi
seperti mabok dan tidak dapat menguasai diriku. Kesadaranku
seperti hilang dan aku...... aku..... bahkan tidak menolak
ketika dia menggauliku....." Siang Kui menundukkan mukanya dan merasa malu
sekali. "Ya Tuhan......!" Sian Eng berseru, "Jahanam itu.....!!"
"Keesokan harinya baru aku menya-dari apa yang telah
kulakukan. Aku menyesal dan menangis. Kun-ko menghiburku,
dan mengatakan bahwa dalam waktu seminggu dia akan
datang untuk menentukan hari pernikahan kami. Tentu saja
aku percaya kepadanya dan aku merasa terhibur dan aku lalu
pulang. Akan tetapi di tengah perjalanan, seorang gadis cantik mengajak aku
bicara. Ia bernama Ciang Mei Ling dan ia
mengaku sebagai tunangan Pangeran Cheng Lin. Apa yang ia
ceritakan benar-benar membuat aku merasa gelisah sekali. Ia
menceritakan bahwa ia sendiripun menjadi korban kebiadaban
Cheng Kun, digauli setelah ia diberi minum anggur yang sama
dengan yang kuminum. Katanya semua itu diatur oleh Sian
Hwa Sian-li....." "Siapa itu Sian Hwa Sian-li?"
"Ia adalah wanita yang berkasih-kasihan dengan Cheng
Kun." "Ah, kiranya begitu?"
"Aku masih tidak percaya akan semua omongan Ciang Mei
Ling karena Kun-ko sudah menjanjikan kepadaku untuk
datang menentukan hari pernikahan kami. Akan tetapi setelah
lewat seminggu, dia tidak muncul dan tidak memberi
kabar.Aku menjadi khawatir sekali, Eng-moi, apalagi kalau aku
teringat akan cerita Ciang Mei Ling. Jangan-jangan....... Kunko itu memang benar
seorang yang jahat dan hanya akan
mempermainkan aku.... dan menurut Ciang Mei Ling, mereka
semua, Pangeran Cheng Lin, Pangeran Cheng Boan, Cheng
Kun dan Sian Hwa Sian-li, mereka semua itu bersekongkol,
entah untuk apa...."
"Gila! Aku harus turun tangan. Tak dapat kubiarkan saja
laki-laki itu merusak kehidupan dan kebahagiaanmu, enci
Siang Kui. Kalau perlu aku akan menggunakan kekerasan
untuk memaksa dia menikahimu. Tenang sajalah, aku pasti
akan menyeret dia bertekuk lutut di depanmu!" kata Sian Eng dengan nada suara
penuh kemarahan. "Hati-hatilah, Sian Eng. Iblis betina Sian Hwa Sian-li itu lihai bukan main dan
Pangeran Cheng Boan mempunyai banyak
jagoan lihai yang menjadi pengawal keluarganya." Siang Kui memperingatkan.
"Jangan khawatir, enci Siang Kui. Aku tentu akan berhatihati."
jawab Sian Eng. Malam itu bulan bersinar hampir sepenuhnya. Tidak ada
awan menghalang sehingga sinar bulan menerangi kota raja.
Suasana amatlah indahnya. Seluruh kota bermandikan cahaya
bulan dan hampir semua orang berada di luar rumah mereka.
Kanak-kanak bermain-main di pelataran rumah, teriakanteriakan
mereka mengundang suasana gembira. Orang-orang
dewasa berjalan-jalan dengan riangnya. Akan tetapi, suasana
yang ramai meriah itu tidak berlangsung lama.
Angin yang membawa hawa dingin datang bertiup. makin
lama hawa udara menjadi semakin dingin sehingga kanakkanak
sudah diteriaki ibu mereka untuk masuk ke dalam
rumah agar tidak sampai masuk angin. Orang-orang dewasa
juga tidak betah bertahan di luar. Tak lama kemudian suasana
menjadi sepi. Jalan-jalan ditinggalkan orang, jendela dan pintu rumah ditutup
agar hawa dingin tidak menyerang masuk ke
dalam rumah. Yang berkeadaan mampu segera membuat
perapi-an di tungku untuk menghangatkan badan.
Para perajurit yang bertugas jaga malam itu di gardu-gardu
penjagaan gedung-gedung para pembesar atau bangsawan
tinggi, mengenakan mantel bulu yang tebal dan ada pula yang
membuat api unggun di gardu penjagaan.
Akan tetapi dalam udara yang dingin itu ada orang yang
berada di luar. Bahkan ia bergerak cepat sekali, hanya tampak
bayangannya saja yang berkelebatan dan selalu ia memilih
tempat yang terlindung kegelapan bayangan bangunan atau
pohon. Ketika ia tiba di sebuah rumah, ia berhenti di dalam
bayangan rumah itu yang gelap. Dari situ ia memandang ke
seberang jalan di mana berdiri gedung megah seperti istana
milik Pangeran Cheng Boan. Bayangan itu adalah Lo Sian Eng,
Pakaiannya yang ringkas berwarna merah muda itu tampak
gelap dalam sinar bulan itu. Di punggungnya tergantung
sebatang pedang beronce merah.
Sian Eng marah sekali ketika mendengar cerita Lo Siang Kui
tentang perbuatan biadab yang dilakukan Cheng Kun atas diri
kakak sepupunya itu. Malam ini, tanpa memperdulikan hawa
udara yang amat dingin, gadis perkasa itu mengenakan
pakaian ringkas, membawa pedangnya dan keluar dari rumah
pamannya pergi menuju gedung tempat tinggal Cheng Kun.
Agar tidak menarik perhatian orang, Sian Eng menyelinap
dalam bayangan gelap dan kini ia berada di dalam bayangan
rumah yang berdiri di seberang gedung Pangeran Cheng
Boan. Dari tempat gelap di seberang jalan itu ia dapat melihat sebuah gardu
penjagaan dan melihat belasan orang perajurit
yang berjaga di sekitar gardu itu. Rumah gedung itu sendiri
sudah menutup semua daun jendela dan pintunya. Akan tetapi
di luar gedung tergantung banyak lampu teng yang cukup
memberi penerangan kepada pekarangannya yang luas. Dari
tempat persembunyiannya Sian Eng dapat melihat pula bahwa
gedung itu dikelilingi pagar tembok yang cukup tinggi, bahkan
di bagian atas pagar tembok dipasangi hiasan runcing seperti
tombak berjajar. Dengan jalan memutar, melalui tempat-tempat yang gelap
oleh bayangan bangunan dan pohon-pohon, Sian Eng tiba di
bagian belakang pagar tembok itu. Tempat itu sepi sekali dan
dengan pengerahan gin-kangnya (ilmu meringankan
tubuhnya) ia melompat dan bagaikan seekor burung tubuhnya
melayang ke atas dan mtangannya menangkap sebatang
tombak yang berada di atas pagar tembok. Dengan mudah ia
mengangkat tubuhnya dan kini ia berdiri di 4atas pagar
tembok, di antara tombak-tombak yang berjajar. Setelah
menjenguk ke sebelah dalam pagar tembok ia melihat bahwa
itu adalah sebuah taman yang berada di belakang gedung. Ia
lalu melompat turun tanpa menimbulkan suara ketika kakinya
menginjak tanah seperti seekor kucing saja. Akan tetapi ia
cepat menyusup ke belakang rumpun bunga ketika
mendengar kentungan dipukul orang dan ia melihat dua orang
perajurit datang meronda sambil membawa sebuah lampu
gantung di ujung sebatang tongkat.
"Bagus, inilah yang kuharapkan." bisik nya kepada diri sendiri sambil menyelinap
ke balik pepohonan untuk menghadang datangnya dua orang peronda itu. Ia tidak
mengenai keadaan di gedung itu dan ia membutuhkan
seorang penunjuk jalan! Dua orang perajurit peronda itu sama sekali tidak pernah
menyangka bahwa di depan mereka terdapat seorang gadis
perkasa yang telah siap menyerang mereka seperti seekor
singa betina siap menerkam dua ekor kelenci. Kemunculan
Sian Eng memang mengejutkan sekali. Dua orang itu hanya
tampak dua buah lengan berkelebat dan tahu-tahu mereka
sudah roboh dan tidak mampu bergerak lagi karena sudah
tertotok. Sian Eng menyambar tongkat yang ujungnya
tergantung lampu teng itu agar tidak sampai ter-banting dan
terbakar. Ia meniup padam lampu itu dan memandang kepada
dua orang yang sudah rebah telentang tanpa dapat bergerak.
Ia memilih seorang dari mereka yang wajahnya
membayangkan ketakutan. Inilah yang akan dapat dijadikan
penunjuk jalan, pikirnya dan tangan kirinya diayun memukul
leher orang ke dua yang matanya melotot. Orang itupun
mengeluh dan pingsan. Sian Eng menepuk pundak orang yang
dipilihnya. Ketika orang itu menggerakkan tubuhnya dan hendak
bangkit duduk, pedang Coa-tok Sin-kiam (Pedang Sakti Bisa
Ular) telah menodong lehernya. Ujung pedang yang runcing
itu terasa menggigit kulit sehingga orang yang sudah
ketakutan itu menjadi semakin takut sehingga dia menggigil.
"Ampun.... ampunkan saya.... jangan bunuh saya....." dia meratap.
"Aku tidak akan membunuhmu asal engkau dapat
menunjukkan kepadaku di mana. adanya kamar tuan muda
Cheng Kun!" bisik Sian Eng dengan nada suara mengancam.
"Awas, kalau engkau menipuku atau engkau berteriak,
pedangku ini akan menembus lehermu!"
"Baik.... baik..... lihiap (pendekar wanita)..... kamarnya berada di bagian
belakang, di sebelah kiri....." Tangan orang itu menunjuk ke arah gedung besar
itu. "Tunjukkan, bawa aku ke sana. Awas, jangan sampai
ketahuan orang, ambil jalan yang aman." kata Sian Eng dan orang itupun bangkit
berdiri, dan pedang di tangan Sian Eng
itu tidak pernah meninggalkan kulit lehernya.
Peronda itu lalu berjalan menyeberangi taman menuju ke
bagian belakang gedung. Sian Eng berjalan di belakangnya
menodongkan pedangnya. Sebagai seorang perajurit pengawal yang biasa meronda di
seluruh bagian gedung itu tentu saja orang itu mengenai
semua bagian gedung dan, diapun tahu pintu-pintu rahasia
dari mana dia memasuki gedung. Tentu saja pintu-pintu
rahasia itu hanya diketahui oleh penghuni gedung dan para
perajurit pengawal. Sian Eng terus menodong punggung
penjaga itu sampai penjaga itu berhenti melangkah dan
dengan telunjuk kanannya menuding ke arah pintu sebuah
kamar yang berada di bagian belakang sebelah kiri gedung itu.
"Lihiap, itulah kamar Cheng Kongcu." bisiknya lirih.
"Jangan bohong! Kalau engkau berani berbohong, akan
kubunuh kau!" desis Sian Eng sambil menodongkan
pedangnya ke dada orang itu.
Orang itu menggigil ketakutan. "Tidak ..... saya tidak berani berbohong,
lihiap." katanya. Setelah yakin bahwa orang itu tidak akan berani berbohong
kepadanya, tangan kiri Sian Eng
bergerak dan orang itu terkulai roboh dengan tubuh lemas tak
mampu bergerak. Setelah menyeret tubuh penjaga itu ke belakang sebuah
pot kembang besar, Sian Eng lalu menghampiri pintu kamar
itu dan mengetuk. "Tok-tok-tok!" Terdengar suara seorang laki-laki dari dalam kamar.
"Siapa itu?" -00dw-00kz-00- Jilid XXV SIAN ENG sengaja menjawab dengan suara yang lembut
dan mesra, "Saya, Kongcu, harap buka pintunya."
Hening sejenak, lalu suara laki-laki itu terdengar pula.
"Siapakah engkau?"
"Saya pelayan baru, kongcu, hendak melayani kongcu
kalau-kalau kongcu membutuhkan sesuatu." kata pula Sian
Eng dengan suara memikat.
Tepat seperti dugaannya. Kongcu itu mata keranjang dan
timbul keinginan hatinya untuk melihat wanita yang mengaku
pelayan baru dan yang suaranya merdu memikat itu. Sian Eng
mendengar langkah kaki menuju ke pintu. Ia sudah siap
dengan pedang di tangannya.
"Kri ittt....!" Daun pintu dibuka dan Cheng Kun terbelalak kaget melihat seorang
gadis yang memakai topeng kain. Akan
tetapi kekagetannya segera berubah menjadi ketakutan ketika
sebatang pedang sudah menodong dadanya. Dia mundurmundur
masuk kembali ke kamarnya, di kuti oleh Sian Eng
yang tetap menodongkan pedangnya.
"Kau..... siapakah engkau..... dan apa artinya ini......?"
"Tidak perlu engkau tahu siapa aku." kata Sian Eng yang sengaja mengenakan
topeng kain penutup separuh mukanya
bagian bawah sebelum ia mcngetuk daun pintu tadi. "Yang
perlu kau ketahui adalah bahwa aku akan menembuskan
pedang ini di dadamu kalau engkau berani berteriak!"
Wajah Cheng Kun berubah pucat sekali. "Jangan..... jangan bunuh aku. Apakah
kesalahanku dan apa sebetulnya yang kau
kehendaki dariku?" Dia berusaha untuk bersikap tenang, akan tetapi tetap saja
Pemberontakan Taipeng 1 Raja Petir 11 Penguasa Danau Keramat Istana Karang Langit 3
^