Pencarian

Suling Pusaka Kumala 14

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 14


suaranya gemetar. "Apa kesalahanmu" Engkau masih menanyakan hal itu"
Engkau bedebah biadab. Engkau telah menggunakan muslihat
untuk menodai Lo Siang Kui! Setelah engkau menodainya,
engkau berjanji akan menentukan hari pernikahan kalian
dalam waktu seminggu. Akan tetapi telah sepuluh hari engkau
tidak muncul. Apa engkau sudah ingin mampus?" Sian Eng
menekan pedangnya dan ujung pedang menembus baju,
menyentuh kulit terasa betapa keras dan runcingnya.
Mendengar ucapan itu, Cheng Kun memutar pikiran-nya.
Sudah pasti wanita ini bukan Siang Kui sendiri karena dia
tentu akan mengenali suaranya walaupun bentuk tubuh gadis
ini mirip Siang Kui. Dan teringatlah dia akan adik sepupu Siang Kui, gadis yang
amat lihai itu, yang seingatnya ber-nama Lo
Sian Eng. Tentu gadis ini adik sepupu itu. Cheng Kun cukup
cerdik dan diapun dapat menduga bahwa gadis ini tentu
hanya menakut-nakutinya dan mengancamnya, tidak
bermaksud membunuh-nya. Dia menjadi berani dan dia
sengaja membuat suaranya nyaring ketika berseru.
"Ampunkan saya! Jangan bunuh saya.. ....."
"Hushh! Jangan berteriak-teriak!" bentak Sian Eng.
"Katakanlah apa yang harus saya lakukan. Saya akan
menaati semua perintahmu, akan tetapi jangan bunuh saya."
kata Cheng Kun yang merendahkan suaranya lagi dengan
keyakinan bahwa teriakannya tadi tentu terdengar oleh Sian
Hwa Sian-li yang kamarnya tidak jauh dari situ.
"Engkau tidak ingin mampus" Kalau begitu, besok pagi
engkau harus datangi keluarga Lo dan menyatakan
keputusan-mu untuk segera menikahi Lo Siang Kui dalam
waktu secepatnya, dalam bulan ini juga. Kalau tidak kau
lakuknn itu, pasti pedangku akan memenggal lehermu!"
Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat memasuki
pintu kamar itu dan ada sinar merah menyambar ke arah leher
Sian Eng dari belakang. Sinar merah itu ternyata adalah
sehelai sabuk merah yang digerakkan secara lihai sekali oleh
Sian Hwa Sian-li. Biarpun hanya sabuk sutera merah, akan
tetapi karena digerakkan dengan pengerahan sin-kang, kalau
ujung sabuk itu mengenai tengkuk Sian Eng, tentu gadis ini
akan roboh. Namun, ketika itu tingkat kepandaian Sian Eng sudah maju
pesat. Ia dapat menangkap sambaran angin serangan ke arah
tengkuknya itu dan secepat kilat ia merendahkan tubuhnya
lalu membalik dan pedangnya sudah mendahuluinya
menyerang ke arah dada penyerang gelapnya itu.
"Singgg.....!" Sinar pedang menyambar dan Sian Hwa Sianli terkejut bukan main.
Hebat sekali serangan balasan yang
tiba-tiba itu dan terpaksa ia melompat ke belakang untuk
menghindarkan diri dari sambaran pedang Sian Eng.
"Hemmm, engkau tentu Sian Hwa Moli yang tak tahu malu
itu!" bentak Sian Eng yang sengaja mengubah julukan Sian
Hwa Sian-li (Dewi Bunga Dewa) menjadi Sian Hwa Mo-li (Iblis
Betina Bunga Dewa)! Sian Hwa Sian-li mengerutkan alisnya dan memandang
penuh perhatian, akan tetapi ia tidak mengenai gadis yang
separuh mukanya tertutup kain merah ini. Seorang gadis yang
lihai, bukan saja mampu menghindarkan serangannya, bahkan
dapat melakukan serangan balasan yang amat berbahaya. Ia
mengerling ke arah Cheng Kun dan melihat pemuda itu telah
lari bersembunyi ke sudut kamar. Hatinya lega bahwa
pangeran itu tidak terluka.
"Siapa engkau" Mau apa engkau mengacau di sini?" bentak Sian Hwa Sian li.
"Mau membunuh iblis betina semacam engkau!" bentak
Sian Eng dan ia sudah menyerang lagi. Tadinya Sian Eng
sengaja menutupi mukanya dengan kain merah agar ia tidak
akan dikenal dan kalau keadaannya berbahaya seperti yang
diceritakan Siang Kui, ia akan melarikan diri. Akan tetapi
begitu melihat Sian Hwa Sian-li, ia teringat akan cerita Siang Kui dan timbul
kebenciannya terhadap wanita cantik pesolek
itu. Ia lalu mengambil keputusan untuk membasmi wanita ini.
Serangan Sian Eng hebat karena gadis itu memainkan ilmu
pedang Coa-tok Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Bisa Ular),
Bukan hanya jurusnya saja yang berbahaya bahkan
pedangnya itu sendiri amat berbahaya karena pedang itu
mengandung racun ular yang amat ganas. Sian Hwa Sian-li
sendiri adalah seorang ahli tenting racun, maka begitu pedang
itu menyambar, ia dapat menangkap bau racun yang keluar
dari pedang. Ia terkejut dan tentu saja maklum bahwa sekali
saja tergores pedang itu cukup untuk mendatangkan ancaman
maut baginya. Iapun mem-pergunakan kegesitannya untuk
melompat keluar dari kamar yang terlalu sempit untuk
berkelahi itu. Sian Eng melompat dan mengejar. Mereka
bertanding di luar kamar yang lebih luas dan segera sinar
pedang di tangan Sian Eng sudah mendesak dengan
hebatnya. Cheng Kun yang masih ketakutan segera berteriak-teriak,
"Tolonggg! Ada pembunuh! Tolongggg.....!!"
Teriakan itu mengundang munculnya Suma Kiang dan Toa
Ok! Sian Eng terkejut bukan main ketika dua orang datuk
yang lihai ini muncul. Ia sudah berhasil mendesak Sian Hwa
Sian-li dengan hebat. Melihat orang yang pernah diakuinya
menjadi ayahnya dan juga gurunya muncul bersama Toa Ok,
maklumlah ia bahwa ia berhadapan dengan lawan-lawan yang
terlalu kuat baginya. Melawan Sian Hwa Sian-li seorang diri ia tentu akan dapat
mengalahkannya. Juga ia merasa mampu
menandingi bekas ayah dan gurunya yang sesungguhnya
musuh besarnya itu, ia merasa bahwa ilmu kepandaiannya kini
sudah melebihi tingkat kepandaian Suma Kiang. Akan tetapi ia
meragu apakah ia akan mampu menandingi Toa Ok yang
amat lihai itu. Apalagi kalau mereka bertiga maju bcrsama.
Bagaimana mungkin ia akan dipat menang" Tentu ia terancam
bahaya maut kalau ia terus nekat menandingi mereka bertiga.
Tiba-tiba Sian Eng melompat jauh untuk melarikan diri.
Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan, dari balik
dinding itu muncul sesosok bayangan. Secara amat tiba-tiba
bayangan itu menyerang dengan totokan It-yang-ci yang amat
hebat. Sian Eng sama sekali tidak menduga akan ada orang
muncul di tikungan dan langsung menyerang dengan totokan,
terkejut dan cepat miringkan tubuhnya untuk menge-lak dari
totokan. Akan tetapi pada saat itu, kaki orang itu menendang
dengan gerakan melingkar yang aneh sekali. Ia tidak mampu
menghindarkan diri lagi dan pinggir lututnya terkena
tendangan. Tanpa dapat dihindarkan lagi tubuh Sian Eng
terpelanting. Pada saat itu, Sian Hwa Sian-li telah melompat
dekat dan wanita yang berhati kejam ini yang merasa
penasaran dan marah tadi didesak oleh Sian Eng, segera
menggerakkan sabuk sutera merahnya ke arah leher Sian Eng,
mengirim serangan maut. "Syuuuutttt....!" Ujung sabuk sutera merah itu meluncur cepat. Biarpun
terpelanting jauh, namun Sian Eng dapat
menguasai dirinya, maka melihat menyambarnya sinar merah,
iapun menggerakkan pedangnya menangkis.
"Brettt.....!" Ujung sabuk sutera merah itu putus terobek pedang di tangan Sian
Eng. Sian Hwa Sian-li terkejut sekali
dan melompat ke belakang. Pada saat itu, Toa Ok juga sudah
mendekati dan sinar emas berkelebat ketika pedang Kimliong-
kiam (Pedang Naga Emas) di tangannya menyambar
dengan tusukan ke arah dada Sian Eng. Dalam keadaan yang
amat gawat dan berbahaya itu Sian Eng masih mampu dengan
amat cepatnya menggulingkan tubuhnya sehingga tusukan itu
luput! Hal ini membuat Toa Ok men-jadi penasaran dan
marah. Dengan sekali lompatan dia sudah mengejar dan dia
mengangkat pedangnya, kemudian diba-cokkan ke arah leher
Sian Eng yang masih bergulingan.
"Wuuuuttt..... trang......!!" Tampak bunga api berpijar menyilaukan mata ketika
pedang Kim-liong-kiam yang
menyambar ke arah leher Sian Eng itu tertangkis dari
samping. Toa Ok membelalakkan matanya ketika melihat
bahwa yang me-nangkis pedangnya adalah Suma Kiang!
"Hei i! Apa artinya ini?" teriaknya penasaran.
"Jangan bunuh ia! Aku mengenal ilmu pedangnya!" kata Suma Kiang yang segera
mendekati Sian Eng dan sekali
tangan kirinya bergerak, dia telah merenggut kain merah
penutup muka gadis itu. Sian Eng melompat berdiri dan iapun
beradu pandang dengan Suma Kiang yang terbelalak.
Kemudian Suma Kiang berseru dengan girang sekali karena
tentu saja dia segera mengenai wajah anaknya.
"Suma Eng, anakku....!" teriaknya.
Sian Eng adalah seorang yang cerdik ekali. Sekilas pandang
saja maklumlah ia bahwa dirinya berada dalam bahaya. Ia
berhadapan dengan banyak lawan pandai dan tidak mungkin
ia akan mampu menyelamatkan dirinya kalau ia menggunakan
kekerasan melawan mereka. Biarpun kini melihat muka Suma
Kiang timbul kebenciannya yang amat sangat mengingat akan
kematian ibunya yang diperkosa secara biadab oleh laki-laki
yang tadinya ia sangka ayahnya sendiri ini, namun Sian Eng
menahan perasaannya. Ia harus bersikap cerdik, kalau ia ingin selamat. Pihak
lawan terlampau kuat, teru-tama sekali pemuda yang kini
berdiri tegak sambil memandang kepadanya itu. Pemuda yang
tampan dan gagah, berpakaian indah. Itukah Pangeran Cheng
Lin tunangan gadis bernama Ciang Mei Ling seperti diceritakan
oleh Siang Kui kepadanya" Akan tetapi, betapa hebat ilmu
kepandaian pemuda itu! Dengan tangan kosong, dalam
beberapa gebrakan saja pemuda itu mampu merobohkannya,
walaupun serangan itu dilakukan mendadak dan tidak
tersangka-sangka olehnya. Na-mun, agaknya biarpun ia
diserang dalam keadaan siap siaga, akan sukar mengalahkan
pemuda itu! Semua ini berkelebat seperti kilat dalam
benaknya dan Sian Eng segera menekan perasaannya dan
mengatur siasat dalam sikapnya.
"Ayah....!" Serunya kaget, heran dan girang. "Ayah berada di sini?" Ia
menyarungkan pedangnya dan maju menghampiri
ayahnya sambil mengembangkan kedua lengannya. Iapun
membiarkan dirinya di-peluk oleh Suma Kiang yang benarbenar
merasa girang bukan main.
"Anakku! Ia ini anakku. Ia Suma Eng, anakku tersayang.
Ah, untung aku mengenai ilmu pedangmu tadi, Eng-ji (anak
Eng) sehingga aku sempat menangkis pedang Toa Ok. Kalau
tidak.... ah, engkau tentu telah menjadi mayat....!" kata Suma Kiang terharu.
"Anakku, mereka semua ini bukanlah musuh,
melainkan sahabat-sahabatku yang baik. Perkenalkanlah.
Beliau ini adalah Pangeran Cheng Lin yang masih keponakan
dari Pangeran Cheng Boan pemilik istana ini!" Dia menunjuk kepada Ouw Ki Seng
yang kini memandang dengan
senyumnya yang khas kepada Sian Eng. Diam-diam pemuda
ini kagum kepada Sian Eng. Tadi telah dilihatnya betapa Sian
Eng dapat mendesak dan mengalahkan Sian Hwa Sian-li! Dan
kini setelah penutup mukanya direnggut, tampak betapa
cantik jelitanya gadis itu!
"Seorang pangeran, ayah?" kata Sian Eng yang
bersandiwara dengan pandainya. "Kalau begitu aku harus
memberi hormat dengan berlutut!" Ia membuat gerakan
hendak berlutut, akan tetapi Ki Seng cepat maju dan
memegang kedua pundak nya untuk mencegahnya berlutut.
"Tidak perlu berlutut, Nona Suma Eng!" Ketika merasa betapa kedua telapak tangan
pangeran itu menyentuh kedua
pundaknya, Sian Eng hendak mem-perlihatkan kekuatannya
sekalian hendak menguji kepandaian pangeran yang tadi telah
merobohkannya itu. Ia mengerahkan sinkang dan
menyalurkannya ke arah kedua pundaknya. Hawa yang panas
dengan kuatnya keluar dari kedua pundaknya itu untuk
menolak dan membuat kedua telapak tangan itu kepanasan
dan terpental! Wajah Ki Seng tampak kaget akan tetapi senyumnya
berubah sinis. Dia maklum bahwa gadis jelita ini hendak
mengujinya, maka diapun mengerahkan tenaga saktinya dan
kedua tangannya tetap menempel di pundak itu, tidak dapat
di-lontarkan tenaga sakti yang dikerahkan Sian Eng dan gadis
itu merasa betapa kedua telapak tangan yang menempel di
kedua pundaknya itu terasa dingin seperti es! Adu tenaga ini
hanya sebentar saja, tidak tampak oleh orang biasa, akan
tetapi orang-orang seperti Suma Kiang, Toa Ok, dan Sian Hwa
Sian-li tentu saja dapat menduganya.
"Pangeran, terimalah hormat saya." kata Sian Eng setelah kedua tangan itu
melepaskan pundaknya dan iapun mengangkat
kedua tangan ke depan dada. Inipun merupakan
serangan ujian, karena gerakan kedua tangannya itu
menimbulkan serangkum hawa yang menyambar ke arah dada
pangeran itu. "Nona, engkau terlampau sungkan!" kata Ki Seng sambil merangkap kedua tangan
pula dan menggerakkannya ke
depan untuk menyambut penghormatan gadis itu. Tentu saja
dalam melakukan ini, diapun mengerahkan sin-kang dan
akibatnya, Sian Eng terdorong mundur sampai dua langkah!
Tahulah gadis ini bahwa pemuda itu benar-benar sakti,
mengingatkan ia akan kesaktian Han Lin. Agaknya pangeran
ini akan merupakan seorang lawan yang berat bagi Han Lin.
"Paman Suma Kiang, puterimu ini sungguh hebat dan
mengagumkan!" kata Ki Seng sambil tersenyum.
Suma Kiang tertawa. Hatinya senang sekali. Diapun tahu
bahwa tadi puterinya telah menguji kelihaian pangeran palsu
itu. "Suma Eng, perkenalkan, kakek yang gagah perkasa ini adalah Toat-beng Kui-
ong...." "Aku sudah mengenalnya, ayah. Dia adalah Toa Ok dan
pernah aku hampir mati di tangannya." kata Sian Eng dengan cepat mendahului Toa
Ok. Ia tahu bahwa kalau ia tidak
mengaku telah mengenai Toa Ok dan kemudian Toa Ok
mengenalnya, maka tentu orang-orang itu akan merasa curiga
padanya. Karena itu ia mendahului dan mengaku terus terang.
Dengan mengandalkan kedudukan Suma Kiang di situ, ia
merasa tenang dan ada yang diandalkan untuk menolongnya.
Toa Ok memandang dengan ragu. "Nona mengenai aku"
Ah, aku sudah terlau tua sehingga tidak mengenai lagi siapa
nona." Sian Eng tersenyum, manis sekali. Ia tahu bahwa kakek ini
belum mengetahui bahwa kedua orang rekannya, Ji Ok dan
Sam Ok, telah tewas di tangannya dan tangan Han Lin. Ia
tidak perlu memberi-tahukan hal itu. Kematian dua orang
datuk sesat itu memang di tempat sepi dan tidak ada


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seorangpun mengetahui. Yang tahu hanya ia dan Han Lin.
"Toa Ok, mungkin engkau sudah lupa. Akan tetapi cobalah
ingat baik-baik. Ketika engkau bersama Ji Ok dan Sam Ok,
dan seorang wanita lagi, menyerang guruku Hwa Hwa Cinjin
di Puncak Ekor Naga pegunungan Cin-Ling-san, aku
membantu guruku itu dan memukul mundur kalian berempat."
Toa Ok terbelalak. "Ahh! Jadi eng-kaukah gadis murid Hwa
Hwa Cinjin itu?" "Jadi engkau telah menyerang supek Hwa Hwa Cinjin, Toa
Ok?" Suma Kiang bertanya kaget.
"Serangan itu mengakibatkan kematian suhu Hwa Hwa
Cinjin yang sudah tua, ayah." Sian Eng memberitahu dengan maksud untuk mengadu
domba dua orang itu. "Ah, hal itu terjadi lama sebelum kita menjadi rekan dan
sahabat Huang-ho Sin-liong." kata Toa Ok.
Pada saat itu, Pangeran Cheng Boan datang dikawal
belasan orang perajurit. Dia mendengar ucapan dua orang
jagoan-nya itu dan melihat sikap mereka yang seperti akan
bermusuhan. "Tenang dulu kalian berdua! Ada urusan dapat dibicarakan.
Apa yang telah terjadi" Kami mendengar bahwa ada se-orang
pembunuh masuk ke sini dan hendak membunuh Cheng Kun!"
Suma Kiang segera melangkah maju menghadapi Pangeran
Cheng Boan. Dia adalah pembantu pangeran itu sejak dua
puluh tahun lebih yang lalu, menjadi pembantu yang setia.
Kini dia maklum bahwa keadaan puterinya gawat dan dia
harus dapat membelanya. "Ampun, Yang Mulia." katanya merendah. "Yang masuk ke sini ternyata adalah anak
perempuan saya sendiri. Agak-nya
terjadi kesalah-pahaman di sini, harap paduka suka
mengampuninya dan suka mendengarkan alasannya mengapa
ia sampai datang membikin ribut di sini."
Pangeran Cheng Boan mengerutkan alisnya dan
memandang kepada Sian Eng. Ia menduga tentu gadis ini
yang diaku anak oleh Suma Kiang, karena ia tidak mengenai
gadis itu. Kenapa gadis cantik ini hendak membunuh
puteranya" Apa alasannya"
"Mari kita semua masuk ke ruangan belakang dan bicara di
sana. Kalau alasan anakmu ini masuk akal, kami akan
mempertimbangkannya."
perintah Pangeran Cheng Boan dan
semua orang mengikutinya masuk ke ruangan belakang.
Mereka semua duduk mengelilingi sebuah meja besar.
Pangeran Cheng Boan, Cheng Kun, Ki Seng, Toa Ok, Sian Hwa
Sian-li, Suma Kiang dan Sian Eng yang duduk di sebelah kiri
ayahnya. Gadis ini sama sekali tidak tampak gentar.
Ia duduk dengan tenang, yakin bahwa ayahnya tentu akan
membelanya dan iapun terus bersandiwara sebagai anak
Suma Kiang yang merasa bahagia bertemu dengan "ayahnya"
itu! Pada saat itu, seorang gadis cantik memasuki ruangan itu.
Ia tampak ragu melihat semua orang duduk mengelilingi meja
dengan wajah serius. Akan tetapi melihat gadis itu, Pangeran
Cheng Boan segera berkata kepadanya.
"Masuk dan duduklah, Nona Ciang."
"Maaf, Pangeran. Saya mendengar ribut-ribut bahwa ada
seorang penjahat datang mengacau dan...."
"Duduklah, nona. Engkaupun sebagai seorang penjaga
keamanan keluarga di sini, berhak untuk mengetahui. Kami
sedang hendak membicarakan tentang hal itu." kata Pangeran Cheng Boan. Sian Eng
memandang kepada gadis itu dan
mendengar bahwa gadis itu disebut "nona Ciang", iapun menduga bahwa tentu gadis
ini yang bernama Ciang Mei Ling,
tunangan Pangeran Cheng Lin seperti yang diceritakan oleh
Siang Kui. Mei Ling mengangguk dan segera duduk di kursi
kosong dekat Ki Seng. "Yang Mulia, sebelum kita semua membicarakan tentang
kedatangan anak saya ini, perkenankan saya memperkenalkan
paduka dan semua yang hadir kepada anak saya." Mendengar
permintaan itu, Pangeran Cheng Boan mengangguk dan
memandang kepada Sian Eng dengan penuh perhatian, dalam
hatinya menduga-duga apa sebabnya gadis cantik jelita itu
hendak membunuh puteranya. Sementara itu, Cheng Boan
juga memandang kepada Sian Eng dengan alis berkerut.
"Suma Eng, anakku. Tadi sudah kuper-kenalkan padamu
Pangeran Cheng Lin dan Toa Ok. Biar kulanjutkan
memperkenalkan semua yang hadir kepadamu. Beliau ini
adalah tuan rumah, dan kepada beliau inilah aku
menghambakan diri. Beliau adalah Pangeran Cheng Boan,
paman dari Pangeran Cheng Lin atau adik dari Yang Mulia
Sribaginda Kaisar." Sian Eng bangkit dari tempat duduk-nya dan dengan
gerakan lembut gemulai ia mengangkat kedua tangan
memberi hormat sambil membungkuk dalam-dalam dan
suaranya halus penuh hormat, "Terimalah hormat saya, Yang Mulia." Sebutan itu ia
tiru dari Suma Kiang. Pangerran Cheng Boan mengangguk.
Kemudian Suma Kiang memperkenalkan Cheng Kun. "Dan
ini adalah Cheng Kongcu, putera Yang Mulia Pangeran Cheng
Boan." Kembali Sian Eng memberi hormat dan Cheng Kun hanya
menganggukkan kepala sedikit dengan mulut masih cemberut
teringat akan ancaman Sian Eng tadi.
"Wanita ini adalah Sian Hwa Sian-li, seorang di antara para pembantu Pangeran,
dan gadis ini adalah Nona Ciang Mei
Ling, juga menjadi penjaga keamanan bersama kami semua."
Setelah diperkenalkan kepada semua yang hadir, Sian Eng
duduk kembali. Pada saat itu, seorang perajurit pengawal
masuk dan memberi hormat kepada Pangeran Cheng Boan,
melaporkan ditemukannya dua orang peronda yang pingsan,
seorang di taman dan yang seorang lagi di bagian belakang
gedung dekat kamar Cheng Kun, di belakang sebuah pot
kembang. Pangeran Cheng Boan mengangguk dan menyuruh
perajurit itu mundur. Semua perajurit yang tadi mengawal
Pangeran Cheng Boan hanya menjaga di luar ruangan itu.
"Nah, sekarang ceritakan apa yang telah terjadi malam ini.
Engkau cerita lebih dulu Cheng Kun. Apa yang terjadi
denganmu tadi." kata Pangeran Cheng Boan kepada
puteranya. Cheng Kun memandang kepada Sian Eng yang tersenyum
kepadanya. Dia mengerutkan alisnya lalu berkata kepada
ayahnya. "Saya sedang duduk dalam kamar saya ketika ada
orang mengetuk daun pintu kamar saya dari luar. Ketika saya
tanya siapa itu, ia menjawab bahwa ia seorang pelayan baru.
Saya membuka daun pintu dan gadis ini dengan muka
tertutup kain merah menodongkan pedangnya kepada saya
dan mengancam akan membunuh saya." pemuda itu berhenti
sebentar dan meragu. "Hemm, kau tidak bertanya mengapa ia hendak
membunuhmu?" tanya ayahnya.
"Saya bertanya, ayah, dan ia...... ia mengatakan bahwa
saya harus segera menikahi Lo Siang Kui dalam bulan ini juga,
kalau tidak ia akan memenggal leherku." kata pula Cheng Kun sambil me-raba
lehernya. "Apa artinya ini?" bentak Pangeran Cheng Boan kepada Sian Eng. "Nona Lo siang
Kui adalah tunangan puteraku,
kenapa engkau memaksanya untuk segera menikahinya
dengan ancaman akan membunuhnya" Sudah tentu dia akan
menikahinya, akan tetapi tidak dengan jalan diancam hendak
dibunuh seperti itu! Apa maksudmu dengan ancaman itu?"
Sian Eng tersenyum tenang dan berkata kepada Cheng
Kun. "Cheng Kongcu, kenapa tidak bicara yang sesungguhnya menceritakan apa yang
telah terjadi antara engkau dan Lo
Siang Kui?" Ditegur begitu, Cheng Kun diam saja, merasa
takut dan malu untuk menceritakan perbuatannya terhadap
tunangannya sendiri. "Apa-apaan semua ini" Bicara apa. kalian" Hayo ceritakan!"
bentak Pangeran Cheng Boan.
"Yang Mulia, gadis ini memang hendak mengacau. Jelas ia
hendak membunuh Cheng Kongcu, maka sebaiknya tangkap ia
sebagai pembunuh!" tiba-tiba Sian Hwa Sian-li berkata dengan pangeran itu.
"Nanti dulu!" bentak Suma Kiang. "Kalau belum ada kepastian anakku bersalah, aku
akan membelanya! Yang Mulia, setidaknya berilah dulu kesempatan kepada Suma Eng
untuk menceritakan mengapa ia melakukan ancaman kepada
Cheng Kongcu." Pangeran Cheng Boan mengangguk-angguk. Baginya,
Suma Kiang merupakan pembantu utama yang paling setia
dan dapat dipercaya, maka tentu saja dia tidak akan begitu
saja menghukum anak perempuan pembantu itu. Maka dia
laiu memandang kepada Sian Eng dan berkata, "Nona,
ceritakanlah dengan jujur apa yang terjadi dan mengapa
engkau berani masuk ke sini dan mengancam putera kami."
"Tentu saja saya akan menceritakan dengan terus terang
dan sejujurnya, Yang Mulia. Apalagi setelah saya bertemu
dengan ayah saya yang ternyata menghambakan diri kepada
paduka, ayah yang sudah lama saya cari. Saya akan bercerita
dengan sebenarnya. Saya datang ke kota raja untuk mencari
ayah saya ini dan saya mondok di rumah keluarga Lo,
perguruan Hek-tiauw Bu-koan dan pada suatu hari, yaitu
kemarin, saya melihat enci Lo Siang Kui berduka bahkan
hampir ia membunuh diri dengan tidak mau makan sampai
berhari-hari. Setelah saya bujuk-bujuk, akhirnya ia mengaku
bahwa sepuluh hari yang lalu, ketika ia berkunjung kepada
tunangannya, yaitu Cheng Kongcu di sini, ia telah dinodai oleh Cheng Kongcu."
"Apa....?" Pangeran Cheng Boan bertanya sambil menoleh kepada puteranya. Dia
tidak perduli kalau puteranya
berhubungan dengan para wanita, akan tetapi menodai
tunangannya sendiri, sungguh hal ini membuat dia merasa
tidak senang karena perbuatan itu dapat mencemarkan nama
dan kehormatan keluarga mereka. "Benarkah itu, Cheng Kun?"
Cheng Kun menundukkan mukanya yang berubah
kemerahan dan dia melirik kepada Sian Hwa Sian-li, khawatir
kalau gadis itu menceritakan betapa Siang Kui telah
dirobohkan sampai pingsan oleh Sian Hwa Sian-li kemudian
dia bawa ke kamarnya. "Benar, ayah. Kami berdua telah khilaf.... telah lupa diri...."
Sian Eng tidak begitu bodoh untuk menceritakan semua
peristiwa itu karena ia tidak ingin dimusuhi oleh Cheng Kun. Ia sudah mengambil
keputusan untuk menyelidiki keadaan
keluarga ini yang agaknya menyimpan rahasia besar dengan
mengadakan persekutuan dengan orang-orang seperti
ayahnya, Toa Ok, dan pemuda lihai yang ternyata pangeran
putera Kaisar itu. "Enci Lo Siang Kui tidak menceritakan bagaimana hal itu
terjadi. Ia hanya mengatakan bahwa ia telah ternoda dan
Cheng Kongcu berjanji kepadanya untuk dalam waktu
seminggu berkunjung kepadanya untuk menentukan hari
pernikahan mereka. Akan tetapi ditunggu sampai sepuluh hari,
Cheng Kongcu tidak kunjung datang sehingga enci Siang Kui
menjadi putus asa dan bertekad untuk membunuh diri dengan
tidak mau makan. Saya meng hiburnya dan malam ini saya
sengaja datang menemui Cheng Kongcu untuk memaksanya
agar dia memenuhi janjinya kepada enci Siang Kui dan segera
mengajukan ketentuan hari pernikahan mereka. Saya sama
sekali tidak tahu bahwa ayah saya menghambakan diri di sini,
kalau saya tahu tentu saya tidak akan melakukan hal itu, Yang
Mulia." "Ampunkan hamba dan anak hamba, Yang Mulia." kata
Suma Kiang. "Dengan penjelasan itu, ternyata anak saya tidak bermaksud membunuh
Cheng Kongcu, melainkan hendak
menggertaknya demi untuk menolong nona Lo Siang Kui.
Karena itu mohon pengampunan paduka, dan anak saya ini
dapat menyumbangkan kepandaian silatnya untuk membantu
paduka." "Cheng Kun, engkau telah bertindak gegabah dengan
menggauli tunanganmu sendiri. Bagaimana kalau hal itu
tersiar di luaran" Nama baik dan kehormatan kita akan
tercemar. Tidak ada jalan lain, engkau harus memboyongnya
ke sini dan menikahinya dengan sah walaupun untuk itu tidak
perlu dirayakan secara besar-besaran. Kelak, kalau engkau
menikah dengan puteri pilihanku, Nona Lo Siang Kui dapat
dijadikan selir pertama."
"Baik, ayah. Akan saya laksanakan." kata Cheng Kun
dengan hati lega karena ternyata Sian Eng tidak menceritakan
seluruhnya. "Suma-sicu, engkau menawarkan puterimu untuk
membantu kami, apakah ia yang hanya seorang gadis muda
ini memiliki ilmu kepandaian yang cukup memadai?"
"Tidak semestinya kalau saya memuji pandaian anak saya
sendiri, Yang Mulia. Akan tetapi paduka dapat menanyakan
kepada Sian Hwa Sian-li ini karena tadi ia sudah bertanding
melawan anak saya." jawab Suma Kiang sambil tersenyum
memandang kepada Sian Hwa Sian-li yang tadi terdesak hebat
oleh Sian Eng. "Bagaimana pendapatmu tentang Ilmu kepandaian silat
Nona Suma Eng ini, Sian Hwa Sian-li?" tanya Pangeran Cheng Boan sambil menoleh
kepada wanita itu. Sian Hwa Sian-li
menjadi merah mukanya. Ia tidak dapat memungkiri bahwa
Sian Eng lebih lihai darinya, bahwa ia tadi sudah hampir kalah melawan gadis
itu, akan tetapi untuk mengakui kekalahannya
tentu saja ia merasa malu.
"Saya mendapat kenyataan bahwa ilmu silatnya cukup lihai, Yang Mulia." katanya
sederhana. Sejak tadi ketika penutup muka Sian Eng dibuka, Ki Seng diam-diam
merasa kagum bukan main. Tadi melihat betapa gadis itu dapat menandingi
bahkan mendesak Sian Hwa Sian-li, dia sudah merasa kagum
sekali. Setelah melihat wajah yang cantik jelita itu, dia
terpesona dan dalam pandang matanya, wajah Sian Hwa Sianli
dan wajah Ciang Mei Ling tampak buruk dibandingkan wajah
gadis ini! Demikianlah memang ulah nafsu yang menguasai
diri manusia. Nafsu selalu me-nuntut dan menghendaki yang
baru, yang dianggapnya akan lebih menyenangkan daripada
yang telah dimilikinya. Kesenangan nafsu berakhir dengan
kebosanan karena nafsu ingin menjangkau yang lebih, dan
yang belum terdapat, belum di-miliki selalu tampak lebih
bagus, lebih menyenangkan daripada yang telah berada di
tangan. "Ilmu kepandaian silat nona ini hebat sekali, Paman
Pangeran, bahkan ia mampu mengalahkan Sian Hwa Sian-li
tadi," kata Ki Seng atau Pangeran Cheng Lin palsu. Mendengar ini, Sian Hwa Sian-


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

li mengerling kepadanya dengan alis berkerut.
Akan tetapi wanita ini tidak berani berkata apa-apa
walaupun dalam hati-nya ia marah sekali. Rasa tidak sukanya
kepada Ki Seng yang telah diketahuinya bukan pangeran aseli
itu semakin mene-bal. Mendengar ucapan Ki Seng itu, Pangeran Cheng Boan
merasa girang sekali. Dia percaya sepenuhnya kepada
keterangan pemuda yang sakti itu dan tentu saja dia merasa
senang mendapatkan pembantu baru yang selain cantik jelita
juga memiliki ilmu silat yang tinggi dan boleh diandalkan,
apalagi mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Suma Kiang
yang sudah dipercaya benar.
"Suma-sicu, kami maafkan apa yang telah diperbuat Suma
Eng malam ini dan kami suka menerimanya sebagai pembantu
kami." kata pangeran itu.
Sian Eng menjadi girang sekali. Kini ia mendapat
kesempatan untuk membalas dendam sakit hatinya kepada
Suma Kiang, juga kepada Toa Ok, dan ia akan dapat pula
menyelidiki persekongkolan itu. Kini semua orang
mengucapkan selamat kepada Sian Eng, bahkan Sian Hwa
Sian-li sendiri tampak ramah kepadanya. Semua tampak
ramah kecuali Ciang Mei Ling yang bersikap dingin dan tidak
acuh kepadanya. Pangeran Cheng Boan lalu memerintahkan
para pelayan untuk menghidangkan makanan dan minuman
karena dia hendak merayakan diterimanya Siar Eng sebagai
pembantu dengan sebuah pesta kecil di antara mereka semua.
Sian Eng yang amat cerdik pandai membawa diri sehingga
tidak ada seorang pun yang mencurigainya, kecuali mungkin
Ciang Mei Ling yang kadang-kadang mengerling kepadanya
dan Sian Eng mendapatkan betapa kerling mata gadis itu amat
tajam dan seolah menembus ke dalam dada dan menjenguk
hatinya. ia menjadi waspada terhadap Ciang Mei Ling yang
dianggapnya berbahaya. Sian Eng mendapatkan sebuah kamar dalam istana yang
besar itu. Malam itu juga ia berpamit dari Pangeran Cheng
Boan untuk kembali sebentar ke rumah Lo Siang Kui,
mengabarkan tentang hasil pertemuannya dengan keluarga
Pangeran Cheng Boan sekalian berpamit dari keluarga Lo Kang
karena mulai malam itu ia akan tinggal di istana Pangeran
Cheng Boan sebagai seorang pengawal atau penjaga
keamanan keluarga pangeran itu.
Siang Kui dan ayah ibunya senang mendengar keterangan
Siang Kui bahwa soal pernikahan antara Siang Kui dan Cheng
Kun akan ditangani oleh Pangeran Cheng Boan sendiri dan
keputusannya pasti akan dilakukan pangeran itu dalam waktu
dekat. Biarpun ayah dan ibu Siang Kui belum mengetahui
keadaan puteri mereka yang ternoda oleh calon mantu
mereka itu, namun berita tentang akan dipercepatnya hari
pernikahan puteri mereka, membuat mereka merasa gembira.
Malam itu juga Sian Eng berpamit dari mereka dan membawa
buntalan pakaian-nya, berpindah ke dalam istana Pangeran
Cheng Boan. Semenjak malam jahanam itu di mana ia terbius oleh
anggur beracun yang disuguhkan Sian Hwa Sian-li kepadanya
sehingga dalam keadaan tidak sadar dan terangsang ia
ternoda oleh Cheng Kun, hati Ciang Mei Ling dipenuhi
kebencian Bukan hanya benci kepada Cheng Kui dan Sian Hwa
Sian-li yang menggunakai siasat keji sehingga ia menyerahkan
kehormatannya kepada Cheng Kun, akan tetapi juga timbul
kebenciannya terhadap tunangannya sendiri, Ouw Ki Seng
atau Pangeran Cheng Lin! Kini baru terbuka, matanya bahwa
pangeran yang menjadi tunangannya itu bukan seorang lakilaki
yang baik. Ia tahu bahwa Pangeran Cheng Lin mengadakan hubungan
gelap berjina dengan para selir muda Pangeran Cheng Boan,
dan bahwa tunangannya itu pun berbuat mesum dengan Sian
Hwa Sian-li. Kini ia dapat menduga bahwa ketika ia dahulu
menyerahkan diri kepada Pangeran Cheng Lin, sama seperti ia
menyerahkan diri kepada Cheng Kun, semua itu terjadi di luar
kesadarannya. Peristiwanya sama dan kini ia dapat mengambil
kesimpulan bahwa semua itu telah diatur oleh Sian Hwa Sianli!
Ia merasa dirinya kotor tercemar, dan ia melihat pula sikap
tunangannya yang kini tidak acuh terhadap dirinya. Kini
tinggal dendam membara di hatinya, bahkan kini timbul
kecurigaan tentang kematian ayah ibunya. Benarkah Twa-to
Siang-houw (Sepasang Harimau Golok Besar) yang membunuh
ayah ibunya" Kenapa dua orang perampok itu membunuh
ayah ibunya" Dan malam itu ia sudah melawan mereka
berdua. Rasanya mustahil kalau ayahnya sampai kalah dan
terbunuh oleh mereka berdua. Ia sendiri dikeroyok oleh
mereka berdua dan biarpun ia terdesak, namun ia merasa
yakin bahwa mereka berdua bukan lawan ayahnya. Mereka
tidak akan mampu mengalahkan ayahnya! Jangan-jangan ini
hanya merupakan tipu muslihat yang sudah diatur oleh
Pangeran Cheng Lin dan Sian Hwa Sian-li!
Semua pemikiran itu membuat Mei Ling merasa muak dan
benci kepada tunangannya, biarpun tunangannya itu seorang
pangeran! Ia tidak akan merasa bahagia menjadi isteri
seorang pria seperti itu.
Semenjak ia ternoda oleh Cheng Kun, diam-diam Mei Ling
melakukan pengintaian terhadap mereka semua. Karena itu ia
mengetahui belaka ketika Cheng Kun memperdaya Lo Siang
Kui sehingga gadis tunangannya itu dijadikan korban
kebiadabannya. Ia sudah berusaha menemui Lo Siang Kui
ketika pada keesokan harinya gadis itu pergi meninggalkan
gedung Pangeran Cheng Boan. Ia sudah berusaha membuka
rahasia kejahatan Cheng Kun, akan tetapi Lo Siang Kui tidak
percaya kepadanya. Mei Ling lalu mengintai mereka. Akan tetapi Pangeran
Cheng Boan dan para kaki tangannya itu bersikap hati-hati
sekali dan Mei Ling juga tidak berani sembrono karena
maklum betapa lihainya para pembantu pangeran itu. Kalau
sampai pengintaiannya ketahuan, ia tentu akan celaka. Karena
itu, sampai peristiwa munculnya Sian Eng di rumah itu untuk
mengancam Cheng Kun, Mei Ling masih belum dapat
mengetahui rahasia komplotan itu. Akan tetapi ia menduga
keras bahwa hubungan antara Pangeran Cheng Lin dan
Pangeran Cheng Boan bukan hubungan kekeluargaan biasa.
Pasti ada rahasia di balik semua itu dan ingin la mengetahui
rahasia itu. Kemunculan Sian Eng yang menyerang dan mengancam
Cheng Kun untuk mem-pertanggungjawabkan perbuatannya
terhadap Lo Siang Kui, pada mulanya menarik perhatian Mei
Ling dan ia kagum kepada Sian Eng. Akan tetapi alangkah
menyesal dan kecewanya ketika pada akhirnya ternyata
bahwa Sian Eng adalah puteri Suma Kiang dan gadis itu
bahkan menghambakan diri kepada Pangeran Cheng Boan!
Rasa suka yang tadinya timbul di hatinya terhadap Sian Eng
yang menyerang Cheng Kun berubah menjadi kebencian
karena ia menganggap Sian Eng seorang di antara para kaki
tangan Pangeran Cheng Boan.
Pada suatu senja Mei Ling melakukan pengintaian terhadap
Cheng Kun dan Sian Hwa Sian-li. Dua orang ini mengadakan
pertemuan di pondok kecil di tengah taman, minum arak
sambil bercakap-cakap. Melihat kedua orang itu duduk di
bangunan pondok yang terbuka itu sambil bercakap-cakap,
Mei Ling lalu menginta dan menyelinap di balik rumpun bunga
yang banyak daunnya sehingga tubuhnya tertutup sama
sekali. Apalagi tempat ia bersembunyi mengintai dan
mendengarkan itu terlindung bayangan pohon yang gelap.
"Aku masih merasa heran sekali, Cheng Kongcu. Kalau
ayahmu pangeran sudah mengetahui bahwa Ouw Ki Seng itu
adalah Pangeran Cheng Lin yang palsu, mengapa ayahmu
mau saja menerimanya sebagai sekutunya, bahkan
membiarkan dia berbuat sesuka hatinya menggaul para selir
ayahmu?" Mei Ling terbelalak dan jantungnya berdebar keras
membuat kedua kakinya gemetar. Apa yang didengarnya itu
terlalu hebat dan penting. Ouw Ki Seng, tunangannya itu,
ternyata hanya seorang pangeran palsu" Apa pula ini"
Tiba-tiba ia terkejut setengah mati ketika pundaknya ada
yang menyentuh. Ia cepat menoleh dan betapa kagetnya
ketika ia melihat bahwa yang menyentuh pundaknya itu bukan
lain adalah Sian Eng, puteri Suma Kiang! Secara otomatis Mei
Ling menggerakkan tangannya untuk memukul, akan tetapi
Sian Eng sudah menangkap pergelangan tangannya dan
menaruh telunjuk tangan kanannya di depan mulut, memberi
tanda supaya Mei Ling tidak membuka suara membuat gaduh.
Melihat tanda dan sikap ini, biarpun la merasa heran dan
curiga, Mei Ling tidak jadi bergerak menyerang. Mereka
berdua berhimpitan bersembunyi di balik rumpun bunga dan
mendengarkan sambil mengintai ke arah dua orang yang
duduk berhadapan terhalang meja kecil di mana terdapat dua
guci anggur dan arak. "Sssttt, hati-hati engkau bicara!" desis Cheng Kun ketika mendengar ucapan Sian
Hwa Sian-li tadi. "Ah, apa yang kau khawatirkan, Cheng Kongcu" Malam ini
Pangeran Cheng Lin tidak berada di sini." kata wanita itu.
"Benar, akan tetapi bagaimana dengan Ciang Mei Ling" Dan
Suma Eng yang kini juga berada di sini" Kalau mereka
mendengarnya...." "Sudahlah, tidak perlu banyak khawa-tir, kekasihku yang
tampan." kata Sian Hwa Sian-li dengan sikap genit. "Sebelum mengajakmu ke sini
tadi, aku sudah memeriksa dan mengintai
kamar mereka. Dua orang gadis itu berada di kamar masingmasing.
Pula, tempat ini terbuka, kalau ada orang datang
mendekat tentu iku akan melihatnya. Kita dapat bicara dengan
leluasa di tempat ini."
"Aku tidak begitu khawatir tentang Mei Ling. Bukankah ia
sudah kutundukkan" Pula, ia adalah tunangan Pangeran
Cheng Lin, mungkin ia sudah tahu bahwa pangeran itu palsu.
Yang kukhawatirkan adalah Suma Eng itu. Ia tampaknya galak
dan ganas, ilmu kepandaiannya tinggi sekali."
"Tidak perlu takut. Gadis itu adalah puteri Suma Kiang.
Mungkin saja ayahnya sudah memberi tahu tentang diri
Pangeran Cheng Lin."
"Akan tetapi hatiku belum yakin. Ah, kalau saja aku bisa
mendapatkan si cantik jelita itu seperti aku mendapatkai Mei
Ling, tentu ia akan dapat kukuasai Akan tetapi mungkinkah hal
itu dilaksanakan" Ia begitu lihai!"
"Hi-hik, mengapa tidak mungkin" Dengan anggur
perangsangku, seorang dewa dari kahyanganpun dapat
terjatuh ke dalam pelukanmu, Cheng Kongcu."
"Aih! Benarkan itu, Sian-li" Kalau begitu, cepatlah lakukan untukku. Ia cantik
jelita sekali dan ia pernah menghinaku Aku
ingin sekali mendapatkannya agar puas hatiku dan dapat
membalas penghinaanku."
"Tunggu saja tanggal mainnya! Suatu waktu ia pasti akan
menjadi milikmu akan tetapi apa yang kau peroleh atas semua
jasaku itu?" "Jangan khawatir, Sian-li. Aku tidak akan melupakanmu.
Kalau kelak ayah sudah dapat menjadi kaisar, engkau tentu
akan menjadi mantu kaisar, menjadi seorang di antara isteri steriku yang paling
berjasa dan kucinta."
"Hemm," Sian Hwa Sian-li cemberut "Engkau akan
mempunyai berapa orang isterikah, Cheng Kongcu?"
"Tentu saja banyak! Kalau ayah sudah menjadi Kaisar
kelak, berarti aku menjadi putera mahkota yang kelak
menggantikan ayah menjadi Kaisar. Aku akan mempunyai
isteri sebanyak mungkin, juga selir dan dayang-dayang yang
cantik jelita." "Hemm, dasar mata keranjang." Sian Hwa Sian-li berlagak marah dengan sikap
genit. "Jangan khawatir, Sian-li. Engkau tetap akan menjadi
seorang di antara isteriku yang kucinta. Engkau akan selalu
berdekatan dengan aku karena engkau juga menjadi
pengawal pribadiku dan pelindungku."
"Akan tetapi bagaimana ayahmu pangeran akan dapat
menjadi kaisar menggantikan Kaisar Cheng Tung" Bukankah
masih ada Pangeran Cheng Lin itu, walaupun sebenarnya dia
Ouw Ki Seng" Kaisar Cheng Tung sendiri sudah menerimanya
sebagai seorang pangeran."
"Ah, jangan khawatirkan tentang pangeran palsu itu."
"Akan tetapi Ouw Ki Seng itu lihai sekali, Cheng Kongcu.
Kita harus berhati-hati sekali!" Sian Hwa Sian-li
memperingatkan. "Takut apa" Di sini ada Suma Kiang ada Toa Ok, ada
engkau sendiri, ditambah lagi Ciang Mei Ling dan Lo Sian Kui
yang tentu sekarang suka membantu kita!"
"Akan tetapi kalau ayahmu pangeran sudah mengetahui
bahwa dia Pangeran palsu, kenapa tidak dilaporkan saja
kepada Kaisar Cheng Tung agar dia ditangkap dan dihukum?"
"Ah, ternyata engkau masih bodoh Sian-li. Kita mengajak
Ouw Ki Seng bersekutu dan sengaja mendukungnya sebaga
pangeran hanya untuk memperalat dia dalam usaha
menyingkirkan para penghalang, Tanpa disingkirkannya para
penghalang dalam istana itu, bagaimana mungkin ayah akan
dapat menjadi kaisar?"
"Siapakah penghalang-penghalang itu, Cheng Kongcu?"
"Ssstt, jangan kuat-kuat bicara!" Cheng Kun
memperingatkan, Sian Hwa sian-li menoleh ke kanan kiri,
dengan pandang mata tajam menyapu keadaan sekeliling. Lo
Sian Eng dan Mei Ling yang melakukan pengintaian menahan
nafas. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li agaknya tidak mencurigai
sesuatu. "Tenanglah, tidak ada siapa-siapa di sekitar sini." katanya.
"Ceritakanlah, Siapa penghalang-penghalang yang harus disingkirkan itu, Cheng
Kongcu" Ingat, aku adalah pembantu
dan juga pelindungmu, Maka sebaiknya kalau aku mengetahui
segala keadaan sehingga dapat membantu dengan tepat dan
tahu siapa kawan siapa lawan."
"Mereka adalah lima orang pangeran yang berada di dalam
istana. Mereka itu harus disingkirkan karena merupakan
penghalang bagi ayah untuk menjadi kaisar. Tentu saja hal ini
akan dapat dilakukan dengan mudah oleh Ouw Ki Seng yang
tinggal di istana sebagai seorang pangeran pula."
"Apakah dia mau melakukannya?"
"Kenapa tidak" Kami mendukungnya sebagai pangeran dan
kami menjanjikan kelak akan mendukungnya menjadi puteri
mahkota kalau para pangeran yang lair telah disingkirkan."


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hernm, mengerti aku sekarang." Siai Hwa Sian-li
mengangguk-angguk. "Dan kalau mereka berlima itu berhasil disingkirkan, kita
lalu menyingkirkan Pangeran palsu itu,
bukan" Wah, cerdik sekali rencana itu! Akan tetapi, bagaimana
dengan Pangeran Cheng Lin yang aseli" Bukan-kah Ouw Ki
Seng telah merampas Suling Pusaka Kemala itu dari
tangannya" Di mana adanya Pangeran Cheng Lin yang aseli
itu" Apakah telah dibunuh oleh Ouw Ki Seng?"
"Itulah yang kadang merisaukan hati ayah. Menurut
keterangan Ouw Ki Seng Pangeran Cheng Lin yang aseli itu
masih hidup dan dia adalah saudara seperguruannya sendiri
bernama Han Lin yang katanya amat lihai."
Lo Sian Eng yang mendengarkan percakapan itu hampir
saja mengeluarkar seruan kaget, akan tetapi cepal ia
menggunakan tangan untuk membungkam mulut sendiri.
Jantungnya berdebar penuh ketegangan. Han Lin itu
penyamaran pangeran Cheng Lin"
"Nah, bagaimana kalau Pangeran Cheng Lin yang aseli itu
muncul dan menceritakan semuanya kepada Kaisar Cheng
Tung" Kedok Ouw Ki Seng akan terbuka dan persekutuan ini
tidak ada gunanya lagi malah mungkin membahayakan nama
baik ayahmu." "Hal itupun sudah kami pikirkan dan justeru karena adanya kemungkinan munculnya
Pangeran Cheng Lin yang aseli maka
kami menarik Ouw Ki Seng menjadi sekutu kami. Dengan
adanya Ouw Ki Seng yang berada di sini sebagai pangeran,
apa yang dapat dilakukan Pangeran Cheng Lin yang aseli"
Bukti diri pangeran itu hanyalah Suling Pusaka Kemala, dan
benda pusaka itu sudah menjadi milik Ouw Ki Seng. Siapa
yang akan percaya kepada Pangeran Cheng Lin yang aseli.
Begitu muncul, dia akan ditangkap sebagai pemalsu pangeran.
Juga dengan sdanya Ouw Ki Seng, maka kalau pangeran aseli
itu muncul akan ada yang menandinginya."
"Wan, semua sudah diatur dan direncanakan dengan baik
sekali. Ayahmu pangeran memang cerdik sekali, Cheng
Kongcu. Aku senang sekali dapat membantu."
"Sudahlah, mari kita masuk, Sian li. Hawanya mulai dingin di sini." kata Cheng
Kun sambil bangkit berdiri, diturut oleh Sian Hwa Sian-li. Tak lama kemudian
mereka sudah meninggalkan taman sambil bergandeng tangan, memasuKi
gedung melalui pintu belakang.
"Jahanam.....!" Sian Eng memaki setelah dua orang itu pergi.
Mei Ling memandang dengan heran dan penuh selidik.
Tentu saja ia meraa ragu. Bukankah gadis ini puteri Suma
Kiang yang menjadi pembantu utama Pangeran Cheng Boan"
"Siapa yang engkau maki?" tanyanya penuh keraguan.
"Mereka semua!" jawab Sian Eng sambil mengepal tinju dengan gemas "Mereka
seluruh komplotan jahat itu. Aku
mengenalmu, Ciang Mei Ling. Engkau tentu tunangan
Pangeran Cheng Lin palsu itu. Enci Siang Kui sudah bercerita
tentang engkau kepadaku. Engkau juga menjadi korban
mereka." "Akan tetapi engkau.... bukankah engkau ini puteri Suma
Kiang?" tanya Mei Ling, masih ragu.
"Kita semua tertipu oleh mereka yang berhati palsu itu.
Engkau tidak perlu tahu siapa aku, hanya engkau boleh tahu
bahwa akupun memusuhi komplotan busuk Itu!"
Sikap keras dan tegas dari Sian Eng itu entah mengapa
menimbulkan kepercayaan dalam hati Mei Ling. "Aku tidak
mengerti mengapa engkau sebagai puteri suma Kiang
memusuhi mereka, akan tetapi aku percaya kepadamu, Suma
Eng. kuharap engkau berhati-hati karena di sini terdapat
banyak orang pandai. Baru Suma Kiang dan Toa Ok saja
sudah merupakan dua orang yang amat sukar dikalahkan,
apalagi kalau Ouw Ki Seng atau Pangeran palsu itu maju. Dia
lebih lihai lagi. Juga Sian Hwa Sian-li seorang iblis betina yang licik dan
jahat." "Aku tahu, Ciang Mei Ling. Lalu, apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya.
Sian Eng yang merasa bahwa mereka berdua telah
mendengar terbukanya rahasia besar komplotan itu, dan tentu
gadis yang telah dinodai Cheng Kun ini tidak akan tinggal
diam. "Aku akan membunuh si jahanan Cheng Kun itu!" kata Mei Ling dengan gemas. "Dia
dan iblis betina itu telah
memperdayaku dan jahanam itu telah menodaiku!"
Sian Eng mengangguk. "Mereka semua layak dibasmi. Akan
tetapi engkau haru berhati-hati, Mei Ling. Iblis betina itu tentu akan
membelanya." Kedua orang gadis itu lalu berpisah meninggalkan taman
dengan cara menyusup melalui kegelapan malam, kembali ke
kamar masing-masing dalam gedung Pangeran Cheng Boan
itu. Mereka berunding di dalam ruangan belakang yang
tertutup itu. Pangeran Cheng Boan duduk di kepala meja dan
yang lain-lain duduk mengelilingi meja bundar yang besar itu.
Ouw Ki Seng duduk di seberangnya dan di kanan kirinya
duduk Suma Kiang dan Toa Ok, sedang-kan Sian Hwa Sian-li
dan Cheng Kun di kanan kiri Pangeran Cheng Boan. Ciang Mei
Ling tidak tampak di situ. Bagaimanapun juga, Pangeran
Cheng Boan masih belum dapat menerima gadis itu sebagai
orang kepercayaannya biarpun Mei Ling diaku sebagai
tunangan Ouw Ki Seng. Bahkan Ouw Ki Seng sendiripun tidak
berani mengajak gadis itu masuk ke dalam persekutuan
rahasia itu dan diapun tidak ingin gadis itu mengetahui bahwa
dia adalah seorang pangeran palsu. Karena itulah maka pada
malam hari itu Mei Ling tidak diperkenankan hadir dalam rapat
rahasia itu. "Pangeran Cheng Lin, sudah paham benarkah engkau
tugasmu" Coba ulangi apa yang harus kaulakukan." kata
Pangeran Cheng Boan kepada Ki Seng yang duduk dengan
sikap tenang. "Sudah, paman. Saya sudah paham betul. Tiga hari yang
akan datang Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu
akan mengadakan perjalanan berburu binatang di hutan
selatan seperti biasa dikawal sebanyak dua puluh orang
perajurit pengawal. Saya harus menyamar dan
mempergunakan kesempatan itu untuk membunuh mereka."
"Bagus. Ingat, untuk tugas ini engkau harus bekerja sendiri agar tidak
mencurigakan. Dan yang terpenting dan yang harus
tidak boleh lolos adalah Pangeran Cheng Hwa. Engkau tahu
bahwa dia adalah Pangeran Mahkota yang kelak akan
nenggantikan Kaisar Cheng Tung. Sukur kalau engkau dapat
membunuh keduanya." kata pula Pangeran Cheng Boan.
"Jangan khawatir, paman. Saya akan dapat melakukannya
dengan baik dan mudah. Apa artinya dua puluh orang
perajurit pengawal itu untuk saya" Di-tambah dua kali lipat
lagipun tidak akan lapat menghalangi aku membunuh mereka
berdua." "Bagus! Kalau Pangeran Cheng Hw sudah dapat
disingkirkan, empat orang yang lain itu mudah menyusul. Aku
sendiri yang akan menutupimu kalau ada yang berprasangka.
Akan kunyatakan dengan sumpah bahwa pada saat kedua
orang pangeran itu diserang orang di tengah hutan, engkau
sedang berada bersamaku di rumah kami ini."
Setelah selesai mengadakan perundingan, mereka bubaran
dan Ki Seng menuju ke sebuah kamar yang memang
disediakan untuk dia kalau dia berada di istana Pangeran
Cheng Boan. Denga gembira Ki Seng menuju ke kamar yang
cukup besar dan mewah Itu karena sebelum rapat dimulai dia
sudah memesan kepada Mei Ling untuk menunggunya dalam
kamarnya itu. Malam ini dia ingin bersenang-senang dengan
tunangannya yang secara tidak resmi telah menjadi isterinya
itu. Sementara itu, Cheng Kun juga kembali ke kamarnya.
Ketika dia memasuk kamarnya, dia tercengang akan tetapi
juga girang melihat Ciang Mei Ling telah berada di dalam
kamar itu! Sejak dia berhasil menggauli gadis itu dengan
bantuan obat perangsang dalam anggur yang disuguhkan Sian
Hwa Sian-li kurang lebih sebulan yang lalu, dia tidak pernah
lagi berkesempatan mendekati Mei Ling. Gadis itu selalu
menjauhkan diri. Akan tetapi malam ini, tahu-tahu gadis itu
sudah berada di dalam kamarnya dan menantinya, Tentu saja
dia girang bukan main dan cepat dia menghampiri sambil
mengembangkan kedua tangannya, siap untuk merangkul.
"Nona Chiang Mei Ling, betapa rindu aku kepadamu,
manis!" Cheng Kun melangkah maju dan kedua tangannya
sudah menyentuh pundak gadis itu.
Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba sebatang
pedang yang dipegang tangan kanan gadis itu telah
menodong dadanya. Dia merasa betapa ujung pedang yang
runcing dan tajam itu telah menembus kain bajunya dan
sudah menyentuh kulit dadanya.
"Cheng Kun, manusia busuk! Dengan bantuan iblis betina
itu, engkau telah menodaiku, untuk itu sekarang engkau harus
mampus di tanganku!"
Cheng Kun menjadi ketakutan. Wajarnya pucat, matanya
terbelalak. "Tidak....tidak....jangan bunuh aku.... toloooonnngggg!!"
Akan tetapi jerit melengking itu di sambung teriakan
kematian karena pedang di tangan Mei Ling sudah memasuki
dadanya. Ketika Mei Ling melangkah mundur dan mencabut
pedangnya, tubuh Cheng Kun terkulai roboh dan darahnya
membanjiri lantai kamarnya.
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Ouw
Ki Seng telah berdiri di ambang kamar itu. Ketika tadi dia
kembali ke kamarnya, dia tidak melihat Mei Ling berada di
kamarnya seperti yang telah dipesannya. Dia menjadi kecewa
dan bermaksud untuk pergi ke kamar gadis itu. Pada saat
mencari Mei Ling itulah dia mendengar jerit melengking dari
kamar Cheng Kun. Dia cepat melompat dan berlari menuju ke
kamar itu dan dilihatnya Mei Ling telah berada di kamar itu
dengan pedang yang berlumuran darah di tangannya
sedangkan Cheng Kun telah menggeletak mandi darah.
"Ling-moi, apa yang kaulakukan ini?" seru Ki Seng dengan kaget sekali.
Mei Ling memandang kepada Ki Seng dengan mata
mencorong. Timbul kebencian dan kemuakan besar dalam
hatinya terhadap pemuda yang dahulu membuatnya kagum
dan tertarik ini. "Ouw Ki seng!" katanya dengan suara yang dingin. "Engkau pangeran palsu, engkau
laki-laki jahanam!" "Mei Ling, apa artinya sikap dan makianmu itu?" bentak Ki Seng dengan heran dan
marah, juga terkejut sekali.
"Artinya bahwa aku tahu betapa engkau telah mengatur
siasat yang amat jahat. Dibantu iblis betina Sian Hwa Sian-li
itu engkau telah menodaiku, dan aku tidak akan sangsi lagi
bahwa pembunuhan atas diri ayah ibuku tentu diatur olehmu."
"Mei Ling.....!" Seru Ouw Ki Seng dan pada saat itu, Pangeran Cheng Boan datang
berlari-lari bersama Toa Ok dan
Sian Hwa Sian-li, di kuti pula enam orang perajurit pengawal.
Melihat ini, Ki Seng segera mengambil keputusan. Mei Ling
telah membunuh Cheng Kun dan karena gadis itu adalah
tunangannya maka dia tentu akan terlibat kalau dia tidak
mengambil keputusan cepat.
"Engkau pembunuh!" bentaknya dan cepat dia menyerang Mei Ling dengan pukulan
maut Sin-liong-jut-tong (Nagdl Sakti
Keluar Guha) sebuah jurus ampuh dari ilmu silat Sin-liong
Ciang-hoat (lima Silat Naga Sakti). Pukulan dengan kedua
tangan mendorong ke depan mengarah dada Mei Ling ini
hebat sekali. Serangkum tenaga sakti menyambar ke arah
gadis itu. Mei Ling yang sudah tahu bahwa pemuda itu amat
lihai, cepat melempar tubuh ke samping dan berjungkir balik
tiga kali, kemudian dengan nekat ia menyerang dengan
pedangnya. Dengan penuh kebencian ia menusukkan
pedangnya untuk membunuh pemuda yang telah merusak
kehidupannya itu. Akan tetapi tingkat kepandaian silat gadis
puteri ketua Pek-eng-pang itu masih jauh di bawah tingkat
kepandaian Ki Seng, maka tusukan itu dengan amat
mudahnya dihindarkan oleh Ki Seng dengan miringkan tubuh
ke kanan, menggeser kakinya sehingga tubuhnya kini tiba di
samping kiri Mei Ling. Dengan gerakan cepat sekali, dia
membalik dan tangan kanannya sudah menampar ke arah
punggung gadis itu dengan pengerahan tenaga sakti yang
amat kuat. "Wuuttt..... plakkk!" Itulah pukulan ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) yang
pernah dipelajari Ki Seng dari
perkumpulan Ban-tok-pang. Tubuh Mei Ling tersungkur dan
gadis itu tidak bergerak lagi. Tewas dengan mulut
mengeluarkan darah. Ketika melihat puteranya menggeletak mandi darah,
Pangeran Cheng Boan berteriak keras dan dia menangis
setelah mendapat kenyataan bahwa puteranya telah tewas.
"Apa yang terjadi di sini" Siapa yang membunuh puteraku?"
teriaknya. Ouw Ki Seng melangkah maju, "Paman Pangeran, saya
mendengar teriakan dan ketika saya datang ke sini, saya
melihat kanda Cheng Kun telah tewas Pembunuhnya adalah
Ciang Mei Ling ini!"
Dia menuding ke arah tubuh gadis itu yang telah tewas
pula. "Melihat kejadian itu saya lalu membunuhnya."
"Akan tetapi..... mengapa ia membunuh Cheng Kun"
Bukankah ia itu gadis tunanganmu?" Pangeran Cheng Boan
bertanya penasaran. "Saya sendiri tidak mengerti, paman Agaknya terjadi
percekcokan di antara mereka."
"Pangeran, kenapa tergesa-gesa membunuhnya"
Seharusnya ia ditangkap dan ditanya dulu mengapa ia
membunuh Cheng Kongcu." kata Sian Hwa Sian li dengan
suara menegur. Ia merasa terpukul sekali dengan kematian
Cheng Kun yang diharapkannya kelak akan mengangkat
dirinya. "Ia telah mengetahui rahasia...." Ki Seng menyadari bahwa di situ terdapat pula
enam orang perajurit, lalu disambungnya,
"....rahasia yang seharusnya tidak ia ketahui. Maka aku lalu membunuhnya, Sian-
li." "Aduh, celaka! Bagaimana sampai bisa terjadi hal seperti
ini?" Keluh Pangeran Cheng Boan dengan hati hancur. Dia
hanya mempunyai seorang saja putera dan sekarang
puteranya telah terbunuh!
"Dimana Suma Kiang" Dia seharusnya menjaga
keselamatan Cheng Kun!"


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu terdengar suara beradu-nya senjata tajam di
ujung lorong yang menuju ke belakang. Semua orang terkejut
dan tanpa diperintah lagi, Toa Ok dan Sian Hwa Sian-li sudah
berloncatan menuju ke arah itu. Ki Seng juga me-lompat dan
mengejar mereka. Apa yang terjadi di bagian belakang rumah itu" Suma Kiang
sedang duduk di luar kamarnya mencari hawa sejuk karena di
dalam kamarnya hawanya agak panas. Tiba-tiba muncul Sian
Eng. Melihat gadis itu berdiri di depannya, Suma Kiang
menegur dengan ramah sambil memandang kepada
"puterinya" itu dengan sinar mata menyayang.
"Suma Eng, anakku, engkau belum tidur" Mari duduk di sini dan mengobrol
bersama." Akan tetapi alangkah heran hati Suma Kiang ketika melihat
gadis itu tetap saja berdiri di depannya, bahkan ia bertolak
pinggang dan berkata dengan suara aneh, suara yang penuh
kemarahan dan kebencian. "Suma Kiang, manusia iblis! Aku adalah Lo Sian Eng, bukan Suma Eng!"
"Eh, Suma Eng, apa artinya ini?" tanya Suma Kiang dengan kaget dan heran masih
belum menduga apa-apa. -00d00w00- JILID XXVI "ARTINYA, engkau sama sekali bukan ayah kandungku!
Engkau bahkan musuh besarku yang telah memperkosa ibuku
sehingga ia membunuh diri dan menyebabkan kematian ayah
kandungku pula, karena itu, sekarang engkau harus mati di
tanganku!" Setelah berkata demikian, Sian Eng mencabut
pedang Ceng-liong-kiam (Pedang Naga Hijau) dari
punggungnya dan langsung saja ia menyerang Suma-Kiang
dengan cepat. Pedangnya menyambar dari atas ke bawah,
membacok ke arah kepala Suma Kiang. Serangan ini
datangnya cepat sekali dan mengandung tenaga dahsyat.
Suma Kiang terkejut setangah mati mendengar ucapan Sian
Eng tadi. Seketika diapun tahu bahwa gadis itu telah
mengetahui akan rahasianya, Entah bagaimana gadis itu dapat
mengetahuinya, akan tetapi dia maklum bahwa gadis itu tentu
akan membalas dendam dan benar-benar akan
membunuhnya. Ketika Sian Eng menyerang dengan hebat itu,
tidak ada jalan lain baginya untuk menghindarkan diri dari
maut kecuali dengan melempar diri ke belakang dan terus
bergulingan di atas lantai.
"Singg.....craakkkkk!" Kursi yang tadi diduduki Suma Kiang terbelah menjadi dua
oleh sambaran pedang. Akan tetapi
Suma Kiang sudah dapat menyelamatkan diri dan karena
maklum bahwa ilmu kepandaian gadis itu kini sudah tinggi
sekali, diapun cepat mencabut siang-kiam (sepasang pedang)
dari punggungnya. Sebagai seorang pengawal pribadi dan
penjaga keamanan di istana Pangera Cheng Boan, sepasang
pedangnya tidak pernah terpisah dari tubuhnya.
"Suma Eng, sabar dulu, mari kita bicara...." katanya menyabarkan.
"Tutup mulut dan bersiaplah untuk mati dan menebus
dosamu!" bentak Sian Eng yang sudah menyerang lagi.
Pedangnya menyambar ke arah leher. Ketika Suma Kiang
melangkah mundur dan menekuk lutut sehingga sambaran
pedang itu lewat di atas kepalanya, tahu-tahu pedang di
tangan Sian Eng sudah membalik dan kini menusuk lehernya.
Suma Kiang terkejut dan cepat mengarakkan pedang
kirinya menangkis. "Tranggg....!" Dua pedang bertemu dan pedang kanan
Suma Kiang kini membalas dengan tusukan ke arah dada
gadis itu. Akan tetapi dengan mudahnya Sian Eng mengelak.
Segera mereka terlibat dalam perkelahian yang amat seru.
Suma Kiang yang sebetulnya mencinta Sian Eng dengan
sungguh-sungguh dan menganggapnya sebagai puterinya
sendiri, terpaksa membela diri dan balas menyerang.
Hatinya terasa sakit sekali melihat gadis yang disayangnya
itu bersungguh-sungguh hendak membunuhnya. Akan tetapi,
bagaimanapun juga tentu saja dia lebih sayang dirinya sendiri
daripada gadis itu. Dia harus membela diri dengan sungguhsungguh kalau tidak
ingin mati di tangan gadis yang amat lihai
itu. Dan pembelaan diri yang paling kuat adalah dengan balas
menyerang pula. "Hai itttt.....!!" Sian Eng sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya. Pedangnya
lenyap bentuknya dan yang tampak
hanya gulungan sinar kehijauan dari Ceng-liong kiam yang
membacok ke arah leher suma Kiang dari samping. Bagaikan
kilat menyambar pedang itu meluncur ke arah leher lawan
dengan kekuatan yang cepat akan dapat memancung leher
lawan kalau mengenai sasaran.
Karena serangan itu berbahaya sekali, Suma Kiang tidak
sempat mengelak dan kembali dia menangkis dengan pedang
tangan kirinya. "Tranggg....!" Bunga api berpijar, Suma Kiang terkejut karena merasa betapa
lengan kirinya tergetar hebat, tubuhnya
terdorong dan membuat dia terhuyung ke belakang. Pada saat
itu, tangan kiri Sian Eng sudah berkelebat, menyerang dengan
pukulan Pek-lek Ciang- hoat. Suma Kiang masih mencoba
untuk membuang diri ke belakang, akan tetapi hawa pukulan
yang amat dahsyat membuatnya terpelanting. Pada saat itu,
pedang Sian Eng sudah menyambar lagi kearah lehernya!
"Celaka....!" Suma Kiang berseru dan menggunakan kedua pedangnya untuk
menggunting pedang Sian Eng yang
menyerangnya. Pedang gadis itu tertangkis, meleset dan
masih melukai pundak kiri suma Kiang! Datuk ini terpaksa
melompat ke samping lalu bergulingan di atas tanah sambil
melindungi tubuhnya dengan memutar kedua pedangnya.
Keadaannya gawat dan berbahaya sekali. Sian Eng sudah siap
untuk menyerang lagi pada saat musuh besarnya sedang
bergulingan Itu. Akan tetapi tiba-tiba terdengar jejak kaki berlari
mendatangi tempat itu dan terdengar pula teriakan Sian Hwa
Sian-li, "Tangkap pembunuh!"
Melihat Sian Hwa Sian-li datang bersama Toa Ok dan juga
Ouw Ki Seng yang lihai, tahulah Sian Eng bahwa kalau ia
melawan mereka, tentu ia akan celaka. Maka cepat ia
meloncat dan melarikan diri keluar dari dalam rumah itu, terus ke taman belakang
dan melompati pagar yang mengelilingi
tempat tinggal Pangeran Cheng Boan. Ketika para kaki tangan
pangeran itu mengejar, Sian Eng telah lenyap ditelan
kegelapan malam. Pangeran Cheng Boan menjadi semakin bingung dan
marah. "Apa artinya semua ini?" teriaknya ketika dia mengetahui bahwa pembantu
utamanya, Suma Kiang yang
telah menjadi pembantu setianya sejak puluhan tahun yang
lalu, nyaris terbunuh oleh anaknya sendiri.
"Sebetulnya ia bukan anak kandung saya, Pangeran." Suma Kiang menjelaskan "Akan
tetapi sejak berusia tiga tahun saya rawat dan didik menjadi seperti anak saya
sendiri. Beberapa tahun ini menjadi murid supek (uwa guru) saya dan ilmu
kepandaiannya meningkat hebat bahkan saya sendiri tidak
mampu menandinginya."
"Akan tetapi mengapa ia hendak membunuh engkau yang
merawat dan mendidiknya sejak kecil?" Pangeran Cheng Boan bertanya, penasaran.
"Entahlah bagaimana..., ia tahu bahwa saya yang
menyebabkan kematian ibunya dan ia hendak membalas
dendam untuk itu." "Hemm, ada-ada saja!" Pangeran Cheng Boan berkata
marah dan sedih mengingat akan kematian puteranya. "Ia
merupakan bahaya. Sebar para penyelidik cari dan bunuh
gadis itu. Pangeran Cheng Lin, terjadinya peristiwa tidak enak ini, apalagi yang
menyebabkan kematian puteraku, maka
rencana kita harus dilaksanakan dengan cepat. Mari kita
semua berunding di ruangan dalam!"
Jenazah Cheng Kun dan Ciang Mei Ling diurus oleh orangorangnya pangeran itu dan
keluarga Pangeran Cheng Boan
menangisi kematian Cheng Kun. Akan tetapi pada malam hari
itu juga Pangeran Cheng Boan mengajak para jagoannya
untuk berunding di ruangan rahasia mereka. Dalam
perundingan itu direncanakan dengan matang bagaimana
Ouw Ki Seng harus melakukan tugas membunuh dua orang
pangeran yang akan melakukan perjalanan ke hutan sebelah
selatan kota raja untuk berburu binatang hutan.
"Ingat, Pangeran Cheng Lin. Engkau harus melakukan
tugas ini seorang diri dan penuh rahasia. Jangan sampai gagal
dan jangan sampai rahasia ini diketahui orang lain. Kalau
sampai gagal dan bocor, engkau harus menanggungnya
sendiri kami tidak dapat membela atau melindungimu." pesan Pangeran Cheng Boan
"Harap Paman Pangeran jangan khawatir. Saya pasti akan
dapat membunuh Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng
Siu. Akan tetapi saya khawatir seorang di antara mereka akan
lolos, Agar tugas saya dapat terlaksana dengan baik, saya
minta agar Sian Hwa Sian li diperbolehkan membantu saya. Ia
belum banyak dikenal orang di kota raja sehingga akan lebih
aman kalau dia yang membantu daripada Paman Suma Kiang
atau Paman Toa Ok." kata Ki Seng.
"Saya akan membantu Panger Cheng Lin, Yang Mulia, agar
tugas dapat dilaksanakan dengan hasil baik" kata Sian Hwa Sian-li sambil
tersenyum manis dan menatap wajah Pangeran
Cheng Boan dengan pandang mata memikat. Setelah kini
Cheng Kun tewas, perhatian wanita itu beralih kepada
Pangeran Cheng Boan. Ia sudah mendengar seluruh siasat
yang dilakukan pangeran ini menipu Ouw Ki Seng pangeran
palsu itu. kalau semua rencana berhasil, Pangeran Cheng
Boan inilah yang besar kemungkin besar akan menggantikan
kedudukan kaisar, bahkan perlu ia dekati.
Pangeran Cheng Boan mengangguk-angguk. "Baiklah, aku
setuju kalau Sian hwa Sian-li ikut dan membantumu, Pameran
Cheng Lin." ooo00d0w00ooo Rombongan berkuda itu terdiri dari dua puluh orang
perajurit mengawal dua orang pangeran keluar dari pintu
gerbang kota raja sebelah selatan. Mereka semua tampak
gagah sekali, terutama dua orang pangeran itu. Pangeran
Cheng Hwa adalah seorang pangeran yang bertubuh tinggi
tegap, berusia dua puluh lima tahun dan dia merupakan
putera mahkota karena dia adalah pangeran tertua, lahir dari
permaisuri. Sikapnya lemah lembut dan agung berwibawa.
Pangeran Cheng siu yang menemaninya pergi berburu berusia
sekitar sembilan belas tahun merupakan pangeran kelima dan
dia disayang oleh Pangeran Cheng Hwa. Pangeran kelima ini
bertubuh tinggi kurus berwajah tampan agak kewanitaan. Dua
orang pangeran ini menunggang dua ekor kuda pilihan yang
besar, melarikan kuda mereka depan di kuti dua puluh orang
perajurit pengawal itu. Di sepanjang perjalanan dua orang
pangeran ini menjadi tontonan yang mengagumkan, terutama
bagi para wanitanya. Tidak lama kemudian mereka telah tiba di luar hutan
selatan yang cukup lebat. Hutan ini merupakan hutan yang
dilindungi, hutan yang memang dipelihara dan menjadi tempat
Kaisar dan keluarganya pergi berburu. Para pemburu umum
dilarang keras memburu binatang di hutan ini dan siapa berani
melanggar diancam hukuman berat. Karena itu, hutan selatan
ini dihuni banyak binatang hutan.
Mereka berhenti di luar hutan itu. Matahari telah naik dan
sinarnya menembus celah - celah daun pohon-pohon yang
memenuhi hutan. Dari dalam hutan sudah terdengar kicau
bermacam burung dan suara berbagai binatang hutan, seakan
menantang para pemburu itu.
Pangeran Cheng Siu memandang kakaknya dengan wajah
berseri. "Kanda Cheng Hwa, mari kita berlumba. Kita
berpencar masing-masing membawa sepuluh orang pengawal
dan kita lihat nanti, siapa di antara kita yang mendapatkan
buruan paling banyak!"
Pangeran Cheng Hwa tersenyum gembira. Dia senang
melihat adiknya gembira seperti itu. "Baiklah, Cheng Siu.
Engkau boleh membawa lima belas orang mengawal, sisanya
yang lima orang mengawalku. Akan tetapi kita tidak boleh
curang, para pengawal dilarang ikut berburu, harus dari hasil
buruan kita sendiri."
"Baik, kanda. Jangan khawatir, aku mengerti akan
peraturan permainan!" kata Pangeran Cheng Siu yang lalu
menoleh kepada rombongan pengawal.
"Harap lima belas orang dari kalian mengikuti aku,
sedangkan sisanya yang lima orang mengawal kanda
pangeran!" Lima belas orang pengawal lalu memisahkan diri dan ketika
Pangeran Cheng Siu menggerakkan kudanya memasuki hutan
mereka juga menjalankan kuda mengiringkan dari belakang.
Setelah adiknya bersama para pengawal lenyap di antara
pohon-pohon dalam hutan, Pangeral Cheng Hwa juga lalu
memberi isarat kepada lima orang pengawalnya dan mereka
menjalankan kuda memasuki hutan. Pangeran Cheng Hwa
mempersiapkan busur dan anak panah di tangan kirinya dan
mulailah dia memandang ke sekeliling dengan waspada untuk
mencari binatang buruan. Dua orang pangeran dan dua puluh orang pengawal
mereka itu sama sekai tidak tahu bahwa ada dua pasang mata
mengikuti gerak-gerik mereka ketika mereka berhenti di luar
hutan tadi. Pengintai-pengintai itu adalah Ouw Ki Seng dan
sian Hwa Sian-li yang telah mendahului dan menanti di hutan
itu, bersembunyi diantara semak belukar dan mendengarkan
bercakapan antara kedua orang pangeran tadi.
Setelah melihat dua orang pangeran beserta rombongan
mereka memasuki hutan, Ki Seng berkata kepada Sian Hwa
Lan-li. "Sian-li, kau bereskan pangeran yang dikawal lima orang itu. Yang
dikawal lima belas orang tadi bagianku. Awas,
jangan sampai gagal. Bunuh mereka semua!"
Sian Hwa Sian-li tersenyum, lalu memasang topeng kain
hitam di depan mukanya. "Jangan khawatir. Mari kita
berlumba seperti mereka, siapa yang akan lebih cepat
membereskan mereka."
"Jangan main-main. Lakukanlah!" kata Ki Seng dan dia sendiripun lalu memasang
topeng kain hitam menutupi
mukanya. Kedua orang itu lalu berpencar, melakukan
pengejaran terhadap buruan masing-masing.
Sebentar saja Ki Seng sudah dapat nenyusul Pangeran
Cheng Siu yang dikawal lima belas orang perajurit. Pangeran
muda ini merasa gembira dan tegang. Busur dan anak panah
telah siap di tangan kirinya. Matanya jalang memandang ke
depan, kanan dan kiri untuk menangkap kalau ada gerakan


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seekor binatang hutan. Tiba-tiba matanya terbelalak girang.
Dia melihat seekor kelenci putih menyusup di antara semak
belukar. Cepat dia memasang anak panah pada busurnya dan
membidik, kemudian melepaskan anak panahnya ke arah
kelenci yang menongolkan kepalanya di antara semak. Anak
panah meluncur cepat ke arah kelenci. Akan tetapi Pangeran
Cheng Siu terbelalak kaget dan heran ketika melihat anak
panahnya itu disambar tangan seseorang yang tiba-tiba saja
sudah muncul di situ. Seorang yang mengenakan pakaian
serba hitam dan memakai topeng kain hitam pula. Hanya
sepasang mata orang itu yang tampak, mencorong di balik
dua lubang pada topeng itu. Dengan beberapa loncatan,
orang bertopeng itu telah berada di depan kuda yang
ditunggangi Pangeran Cheng Siu.
"Hei, apa yang kaulakukan ini" Siapa kau....?" Pangeran itu membentak, akan
tetapi pada saat itu, orang bertopeng yang
bukan lain adalah Ouw Ki Seng telah menggerakkan tangan
kanannya. anak panah yang tadi ditangkapnya menyambar
seperti kilat dan tepat mengenai dada pangeran itu sebelah
kiri. Sedemikian kuatnya lontaran Ki Seng sehingga anak
panah itu menancap sampai tembus ke punggung. Pangeran
Cheng Siu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya
terpelanting dari atas kudanya yang meringkik dan
mengangkat kedua kaki ke atas.
Peristiwa itu terjadi sedemikian cepatnya sehingga lima
belas orang perajurit pengawal itu tertegun. Sama sekali
mereka tidak pernah mengira akan ada orang yang berani
melakukan pembunuhan terhadap Pangeran Cheng Siu.
Apalagi hutan itu adalah hutan terlindung dan terlarang.
Mereka mengira tempat ini aman seperti biasa. Karena itu
ketika Ki Seng menangkap anak panah dan mendekati
pangeran, mereka masih belum menyadari akan adanya
bahaya. Tahu-tahu orang bertopeng itu menyerang Pangeran
Cheng Siu dengan anak panah yang ditangkapnya dan
pangeran itu kini telah menggeletak di atas tanah dengan
dada tertembus anak panah dan tewas seketika. Barulah lima
belas orang perajurit pengawal itu bergerak maju dan
berteriak-teriak. "Tangkap pembunuh!"
Akan tetapi Ki Seng tidak lari, bahkan dia menerjang ke
depan, tangan kirinya menampar ke arah kepala seorang
prajurit dan tangan kanannya merampas pedang yang
dipegang perajurit yang roboh terjungkal itu. Para perajurit
pengawal berloncatan dari atas kuda mereka dan sambil
berteriak-teriak mengepung serta mengeroyok Ki Seng.
Namun, dengan pedang rampasannya, Ki Seng mengamuk,
dia memang sengaja merampas pedang untuk menghadapi
para pengawal. Dia tidak mau mempergunakan pukulan
tangan karena pukulan yang mengandung sinkang yang
beracun akan dapat dikenali oleh seorang ahli silat. Akan
tetapi bacokan atau tusukan pedang untuk membunuh tentu
tidak akan ada yang mengenal siapa pelakunya. Dengan
alasan itu pula tadi dia membunuh Pangeran Cheng Siu
dengan menggunakan anak panah pangeran itu sendiri.
Lima belas orang perajurit pengawal itu sama sekali bukan
tandingan Ki Seng yang memiliki tingkat ilmu silat tinggi.
Pedang di tangannya menyambar-nyambar, menjadi gulungan
sinar yang panjang dan berturut-turut lima belas orang
prajurit itu roboh. Darah muncrat di mana mana dan tempat
itu menjadi mengerikan. Mayat-mayat malang melintang
berserakan. Setelah lawan terakhir roboh Ki Seng membuang
pedang rampasannya, sejenak meneliti dengan pandang
matanya yang menyapu di antara mayat-mayat itu. Setelah
merasa yakin bahwa mereka semua, terutama pangeran itu,
sudah tewas, Ki Seng lalu melompat meninggalkan tempat itu
untuk mencari Sian Hwa Sian-li yang diharapkan juga telah
berhasil melaksanakan tugasnya dengan baik.
Seperti telah disepakati berdua, Sian Hwa Sian-li melakukan
pengejaran terhadap Pangeran Cheng Hwa yang dikawal lima
orang perajurit. Sebentar saja Sian Hwa Sian-li sudah dapat
menyusul pangeran itu dan karena ia ingin cepat-cepat
menyelesaikan tugasnya, kalau mungkin mendahului Ki Seng,
Sian Hwa Sian-li langsung saja meloloskan sabuk sutera ikat
pinggangnya. Biasanya, ia mempergunakan sehelai sabuk
sutera berwarna merah. akan tetapi sekali ini, untuk
merahasiakan dirinya, ia memakai sabuk sutera berwarna
hitam, sesuai dengan pakaiannya yang juga serba hitam. Ia
juga tidak membawa senjatanya yang aneh, yaitu sebuah
payung karena kalau hal ini dilakukannya, tentu orang akan
dapat mudah mengenalnya. Pangeran Cheng Hwa yang menjalankan kudanya di depan,
terkejut bukan main ketika muncul seorang yang mengenakan
pakaian serba hitam dan juga mukanya ditutupi topeng kain
hitam. Hampir saja ia tadi melepaskan anak panah, karena
ketika berkelebat, orang itu hanya tampak bayangan hitam
saja yang dikiranya seekor binatang hutan. Ketika melihat
bahwa bayangan itu ternyata seorang manusia bertopeng,
tentu saja dirinya tidak jadi melepaskan anak panahnya.
"Siapa engkau dan apa maksudmu menghadang kami?"
bentak Pangeran Cheng Hwa.
"Aku datang untuk membunuhmu" kata Sian Hwa Sian-li
dengan suara yang di rendahkan agar terdengar seperti suara
pria. Mendengar ini, Pangeran Cheng Hwa yang ahli
menunggang kuda dan sedikit banyak pernah belajar silat,
cepat melompat ke belakang dan berjungkir balik sehingga dia
berada di antara lima orang pengawalnya. Para pengawal
itupun terkejut sekali mendengar ucapan orang bertopeng itu.
Dengan marah mereka lalu berlompatan turun dari atas
punggung kuda mereka, mencabut pedang dan serentak
mereka maju mengeroyok orang bertopeng itu.
"Tar-tar-tar....!" Sabuk sutera hitam itu meledak-ledak ketika digerakkan oleh
Sian Hwa Sian-li, menangkis pedang
pedang yang menyerang dan mengepungnya. Gerakan wanita
itu amat lincah dan cepat sehingga lima orang yang
menyerangnya menjadi bingung. Orang bertopeng itu seolah
telah menjadi banyak, berkelebatan ke sana - sini dan selalu
tidak dapat tersentuh pedang mereka. Kalau tidak mengelak
cepat, bayangan itu menangkis dengan sabuk sutera hitam
dan setiap kali pedang mereka bertemu dengan ujung sabuk,
tangan mereka tergetar hebat.
Lima orang pengawal itupun bukan tandingan Sian Hwa
Sian-li yang lihai. biarpun mereka mengeroyok dan
mengepung dalam usaha mereka melindungi Pangeran Cheng
Hwa, mengerahkan seluruh kemampuan mereka, namun
setelah lewat belasan jurus, satu demi satu lima orang
pengawal itu roboh terkena patukan ujung sabuk yang amat
lihai itu, Setiap patukan merupakan totokan ke arah jalan
darah kematian dan berturut-turut lima orang itu roboh dan
tidak mampu bangkit kembali karena mereka telah tewas.
"Sekarang engkau mampus!" bentak Sian Hwa Sian-li
sambil melompat ke dekat Pangeran Cheng Hwa dan sabuk
sutera hitamnya menyambar ganas. Pangeran Cheng Hwa
sudah mencabut pedangnya dan melihat sinar hitam
menyambar ke arahnya, diapun menangkis dengan
pedangnya. "Wuuuttt.....tranggg.....!" Pedang terlepas dari tangan Pangeran Cheng Hwa. Sian
Hwa Sian-li mengulang serangannya. Ujung sabuk menyambar dan lecutan dahsyat
dan mematikan ke arah ubun-ubun kepala pangeran itu.
"Ehh.....?"" Tiba-tiba Sian Hwa Sian li berseru kaget karena sabuknya itu
berhenti di udara. Ketika ia memutar tubuhnya,
ternyata ujung sabuk itu telah ditangkap seorang laki-laki
muda yang berpakaian sederhana seperti seorang petani,
wajahnya yang tampan itu tersenyum dan dia berdiri dengan
kedua kaki terpentang lebar. Tubuhnya sedang nampak kokoh
berisi, dan matanya mencorong memandang kepada orang
yang mukanya tertutup topeng itu.
Pemuda itu bukan lain adalah Han Lin. Seperti kita ketahui,
Han Lin bersama Siang Eng telah berhasil membunuh Ji Ok
dan Sam Ok. Setelah itu Han Lin mengantar Sian Eng ke
perguruan silat hek-tiauw Bu-koan di mana Sian Eng diterima
dengan baik oleh toapek-nya (uwa tua) Lo Kang yang menjadi
ketua Hek-Tiaw Bu-koan. Setelah melihat betapa gadis itu
diterima oleh keluarganya, hati Han Lin merasa lega dan dia
lalu meninggalkan keluarga Lo.
Selama ini dia tidak pernah meninggalkan kota raja. Dia
mulai melakukan penyelidikan dengan hati-hati dan cermat.
Dari para penduduk kota raja dia mendengar bahwa yang
menjadi kaisar masih Kaisar Cheng Tung yang menurut
keterangan ibunya adalah ayah kandungnya. Ayah
kandungnya masih menjadi kaisar. Dan yang lebih
membesarkan hatinya adalah keterangan yang di peroleh dari
penduduk bahwa Kaisar Cheng Tung adalah seorang kaisar
yang baik budi, dermawan dan memperhatikan nasib rakyat
kecil. Sebetulnya di dasar hatinya sejak dulu telah timbul
perasaan tidak senang kepada ayah kandungnya ini yang
dianggapnya telah menyia-nyiakan ibunya sehingga ibunya
yang isteri seorang kaisar itu hidup terlunta-lunta sengsara
sampai akhirnya meninggal dunia dalam keadaan
menyedihkan. Semua itu adalah karena Kaisar Cheng Tung tidak pernah
menjemput ibunya seakan akan tidak memperdulikannya.
Namun nama baik kaisar itu di mata rakyat sedikitnya
menyenangkan dan membanggakan hatinya, sedikit
mengurangi rasa tidak senangnya.
Diapun menyelidiki keadaan keluarga kaisar, mendengar
bahwa di samping belasan orang puteri, kaisar memiliki enam
orang putera. Pangeran pertama yang menjadi putera
mahkota bernama Pangeran Cheng Hwa dan di antara lima
pangeran yang lain terdapat seorang pangeran bernama
Pangeran Cheng Lin. Mendengar pula bahwa pangeran yang
satu ini baru beberapa pekan datang dan tinggal di istana,
tahulah dia bahwa yang disebut Pangeran Cheng Lin itu tentu
Coa Seng atau yang biasa dipanggil A Seng. Pemuda palsu
dan jahat itu tentu telah memalsukan dirinya, menghadap
kaisar Cheng Tung dan mengaku sebagai pangeran Cheng Lin
sambil memperlihatkan Suling Pusaka Kemala sebagai bukti
diri dan agaknya kaisar terpedaya dan menerimanya sebagai
puteranya. Han Lin merasa gemas, akan tetapi dia tidak berdaya! Apa
yang dapat dia lakukan" menghadap kaisar dan mengatakan
bahwa dialah Pangeran Cheng Lin yang aseli sedangkan Coa
Seng adalah pangeran palsu" Apa buktinya" Satu-satunya
benda yang dapat dijadikan bukti diri adalah suling Pusaka
Kemala dan sekarang suling itu telah berada di tangan Coa
Seng. Dia kalah bukti dan kalau dia nekat menghadap, tentu
dia yang dituduh palsu dan akan ditangkap.
Han Lin bersabar diri dan diam-diam melanjutkan
penyelidikannya. Diapun tidak mungkin menyerang A Seng
yang telah menjadi Pangeran Cheng Lin itu. bukan itu saja,
baik di dalam istana maupun di luar. Semua orang tentu akan
membela A Seng sebagai pangeran dan dia akan ditentang
seluruh penduduk dan semua bala tentara. Dia harus
bersabar. Dalam penyelidikannya, dia mengetahui bahwa A Seng
sering sekali pergi berkunjung ke istana Pangeran Cheng
Boan, adik Kaisar Cheng Tung. Akan tetapi dia tidak tahu apa
hubungan A Seng dengan Pangeran Cheng Boan selain
sebagai paman dan keponakan. Akan tetapi ada sesuatu yang
menegangkan hatinya, ia melihat Suma Kiang dan Toa Ok
berada di istana Pangeran Cheng Boan itu.
Biarpun hatinya terasa panas sekali melihat dua orang
musuh besarnya itu, dua orang yang jahat sekali bahkan
Suma Kiang adalah orang yang menjadi biang keladi
kesengsaraan hidup ibunya, namun terpaksa dia menahan diri.
Dua orang itu agaknya menjadi kaki tangan Pangeran Cheng
Boan dan kedudukan mereka kuat dan terlindung. Dia tidak
boleh gegabah, Apalagi agaknya A Seng yang sempat
berkunjung ke istana itu tentu mempunyai hubungan baik
dengan Suma Kiang dan Toa Ok. Kalau mereka bertiga
bergabung, sungguh merupakan kekuatan yang amat sulit
dilawan, amat tangguh dan berbahaya sekali.
Han Lin masih bingung apa yang harus dia lakukan
terhadap A Seng. Juga dia tidak tahu bagaimana dia dapat
membalas dendam kematian dan kesengsaraan ibunya kepada
Toa Ok dan Suma Kiang. Akan tetapi dia tidak merasa putus
asa dan masih selalu mencari kesempatan. Pada hari itu,
seperti biasa dia berjalan-jalan dan melewati depan istana
tanpa tujuan tertentu. Pada saat itulah dia melihat rombongan
dua orang pangeran yang dikawal oleh dua puluh orang
perajurit itu. Dia merasa tertarik sekali. Dia sudah mengenal
bahwa pangeran yang lebih tua itu adalah putera mahkota,
Pangeran Cheng Hwa. Dia ingin tahu apa yang akan dilakukan
dua orang pangeran itu. Maka, diam-diam dia membayangi
rombongan berkuda itu keluar dari pintu gerbang selatan. Dia
terpaksa mengerahkan gin-kang (ilmu meringankan tubuh)
dan berlari cepat untuk dapat mengimbangi larinya
rombongan berkuda itu. Untung baginya bahwa rombongan
itu tidak pergi jauh. Kalau jarak yang harus ditempuhnya
terlampau jauh, tentu dia akan kehabisan tenaga dan napas,
tenaganya tidak akan mampu mengimbangi tenaga larinya
kuda yang memang sudah memiliki tenaga alamiah. Setelah
tiba tepi hutan lebat itu, rombongan berhenti lalu rombongan
berpencar menjadi dua rombongan. Karena dia lebih tertarik
kepada Putera Mahkota Pangeran Chei Hwa yang di luaran dia
dengar merupakan seorang pangeran yang paling bijaksana,
maka dia memilih untuk membayangi pangeran yang hanya
dikawal oleh lima orang perajurit itu.
Demikianlah, maka pada saat lima orang pengawal itu
tewas di tangan orang bertopeng hitam dan keselamatan
Pangeran Cheng Hwa terancam oleh sambaran sabuk sutera
hitam yang amat lihai itu, Han Lin cepat turun tangan,
melompat dekat dan berhasil menangkap ujung sabuk sutera
hitam yang menyerang Pangeran Cheng Hwa.
Sian Hwa Sian-li terkejut bukan main akan tetapi juga
marah karena melihat kegagalannya, Han Lin hanya
merupakan seorang petani muda.
"Engkau bosan hidup!" bentaknya. "Lekaskan sabukku!"
Ia lalu mengerahkan tenaga untuk menarik sabuknya agar


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terlepas dari pegangan pemuda tampan itu. akan tetapi
tarikannya macet. Sabuk itu seperti telah melekat pada jari
tangan pemuda itu yang memegangnya. Sian Hwa Sian-li
penasaran dan ia mengerahkan seluruh tenaganya menarik.
Tiba-liba Han Lin melepaskan pegangannya sehingga ujung
sabuk itu menyambar balik dengan amat cepatnya, melecut ke
arah muka Sian Hwa Sian-li sendiri. Akan tetapi wanita ini
adalah seorang yang amat lihai. Biarpun ia terkejut setengah
mati menghadapi serangan senjatanya sendiri itu, ia masih
sempat mengangkat tinggi tangannya yang memegang sabuk
sehingga ujung sabuk itu menyambar lewat di atas kepalanya
dan ia terhindar dari bahaya lecutan sabuknya sendiri.
"Manusia kejam!" Han Lin menegur orang bertopeng itu.
Sian Hwa Sian-li termasuk orang yang terlalu mengagulkan
kepandaian sendiri dan biasa memandang rendah orang lain.
Biarpun dua gerakan Han Lin tadi, menangkap ujung
sabuknya lalu menahan tarikannya, sudah menunjukkan
kelihaian pemuda itu, namun Sian Hwa Sian-li masih belum
menyadari. Ia marah karena usahanya membunuh Pangeran
Cheng Hwa digagalkan pemuda ini. Ia melihat pangeran itu
kini berdiri jauh di belakang pemuda yang membelanya, maka
ia harus dapat membunuh pemuda ini dan sebelum dapat
menyerang Pangeran Cheng Hwa.
"Jahanam, kubunuh engkau!" bentaknya dan ia
menggerak-gerakkan kedua tangannya yang membentuk
cakar kucing, digerak-gerakkan menyilang seperti se ekor
kucing marah. Han Lin melihat betapa kedua lengan itu, dari
kukunya sampai pergelangan tangan, berubah menghitam.
Maklumlah dia bahwa wanita itu ahli tangan beracun. Dan
memang benar demikian. Dalam kemarahannya Sian Hwa
Sian-li telah mengerahkan tenaganya dan mempersiapkan ilmu
Hek-tok-ciang (Tangan Racun Hitam) untuk membunuh
pemuda yang menghalang-halangi usahanya membunuh
pangeran itu. "Hai ittt.......!" Kembali sabuk sutera hitam berkelebat menyerang seperti
seekor ular mematuk ke arah ubun-ubun
kepala Han Lin. Pemuda ini dengan tenangnya mengelak
sehingga serangan sabuk hitam itu luput. Akan tetapi, sabuk
sutera hitam itu bergerak cepat membentuk gulungan sinar
hitam yang terus nengejar Han Lin, serangan ujung sabuk
diseling dengan serangan cakar kucing hitam. Serangan
datang bertubi-tubi, akan tetapi Han Lin masih terus bersilat
Ngo-heng Sin-kun dan mempergunakan keringanan tubuhnya
untuk melejit kesana-sini, bagaikan telah berubah menjadi
bayangan sehingga tak pernah tersentuh kabuk maupun
kedua cakar hitam. Setelah lewat dua puluh jurus, Han Lin dapat mengukur
kepandaian penyerangnya dan diam-diam merasa heran.
Melihat gerakan tubuh orang bertopeng Itu, dia dapat
menduga bahwa lawannya tentu seorang wanita! Gerakannya
demikian lentur dan menggeliat gemulai, juga dia dapat
mencium bau harum minyak wangi yang biasa dipakai kaum
wanita, Dia merasa heran mengapa ada seorang wanita
memakai topeng hendak membunuh Putera Mahkota. Timbul
niatnya untuk menangkap wanita itu hidup-hidup agar dapat
dikenal siapa orangnya dan mengapa hendak membunuh
Pangeran Cheng Hwa. Ketika dia mendapat kesempatan,
sedikit saja pertahanan lawan itu terbuka, secepat kilat jari
tangan kiri Han Lin meluncur dalam totokan It-yang-ci.
"Tukk....!" Sian Hwa Sian-li mengeluh pelan, ia mencoba untuk menggulingkan
tubuhnya ke atas tanah, akan tetapi
pengaruh totokan yang mengenai pundaknya Itu membuat
tubuhnya lemas dan iapun terkulai, tak berdaya karena tidak
mampu bergerak lagi. Pada saat itu, Ouw Ki Seng sudah tiba di situ. Dia melihat
dengan jelas ketika Sian Hwa Sian-li roboh oleh seorang
pemuda dan ketika dia memandang penuh perhatian, dia
terkejut setengah mati mengenal bahwa pemuda itu bukan
lain adalah Han Lin. Celaka, pikirnya. Dia harus cepat melarikan Sian Hwa Sian-li
karena kalau wanita itu tertangkap, rahasianya akan
terancam. Persekutuannya dengan Pangeran Cheng Boan
akan terbuka. Cepat ia menerjang maju, mngerahkan seluruh
tenaganya menyerang Han Lin dengan pukulan yang
mengandung tenaga sin-kang. Dia tidak berusaha
menggunakan It-yang-ci karena pukulan ini tentu dikenal oleh
Han Lin dan dan membuka rahasia penyamarannya.
"Wuuuuuttt......!" Angin pukulan yang amat dahsyat
mengejutkan Han Lin. Maklumlah dia bahwa dia diserang oleh
orang yang memiliki tenaga sin-kang amat kuat. Maka cepat
dia melompat ke belakang, menghindarkan diri. Kesempatan
itu dipergunakan Ki Seng untuk menyambar tubuh Sian Hwa
Sian-li dan sekali melompat, dia sudah lenyap di antara
pohon-pohon dan semak-semak belukar. Han Lin tidak
mengejar karena dia teringat bahwa Pangeran Cheng Hwa
berada seorang diri di situ dan kalau dia meninggalkannya, hal itu amat
berbahaya bagi keselamatan pangeran itu. Dia lalu
memutar tubuhnya menghadapi sang pangeran, lalu memberi
hormat dan bertanya. "Paduka tidak apa-apa, pangeran?"
Pangeran Cheng Hwa sejak tadi menonton pemuda yang
membelanya dan dia merasa bersukur dan kagum sekali. Dia
tahu bahwa tanpa adanya pertolongan dari pemuda sederhana
itu, tentu dia sekarang telah tewas.
"Engkau mengenal aku, sobat" Siapakah engkau?"
"Paduka adalah Pangeran Cheng Hwa, putera mahkota.
Semua orang mengenal paduka. Saya bernama Han Lin,
pangeran." "Han Lin, engkau telah menyelamatkan nyawaku. Jasa dan
budimu ini tidak akan kulupakan. Ahh..... kita harus cepat
mencari adikku, Pangeran Cheng Siu. Mari kita mencarinya.
Engkau boleh menunggang seekor dari kuda para pengawalku
yang tewas itu!" Pangeran Cheng Hwa lalu menghampiri kudanya yang
masih berada di situ dm menunggangi kuda itu. Han Lin juga
melompat ke atas punggung seekor di antara kuda-kuda para
pengawal, dan mereka berdua lalu menjalankan kuda masuk
ke bagian kiri hutan itu di mana tadi Pangeran Cheng Siu
berburu dikawal oleh lima belas orang perajurit.
Ketika akhirnya mereka menemukan Pangeran Cheng Siu,
Pangeran Cheng Hwa terbelalak pucat melihat adiknya
terkapar tanpa nyawa, dan lima belas orang perajurit yang
mengawalnya juga telah tewas semua!
"Celaka!" serunya sambil berlutut dekat jenazah adiknya.
"Siapa yang berani melakukan ini" Membunuh adikku dan
mencoba untuk membunuhku pula?"
"Penjahat-penjahat itu ada dua orang mungkin lebih,
pangeran. Yang mencoba membunuh paduka tadi memiliki
ilmu silat yang tinggi, akan tetapi orang kedua yang tadi
melarikannya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Saya
kira dia yang telah melakukan semua pembunuhan ini,
kemudian dia datang menolong kawannya yang tadi
menyerang paduka. Sayang mereka keburu melarikan diri dan
tidak dapat saya tangkap."
"Engkau telah berhasil menyelamatkanku, jasa itu saja
sudah cukup besar, Han Lin. Sekarang bantulah untuk
mengangkat dan membawa pulang jenazah adikku Pangeran
Cheng Siu ke istana. Biar nanti kukirim pasukan untuk
mengurus semua jenazah para perajurit pengawal.
Han Lin segera mengangkat dan memondong jenazah
Pangeran Cheng Siu dan membawanya naik ke atas punggung
kuda. Dia menunggang kuda sambil memangku jenazah itu
dan mengiringkan pangeran Cheng Hwa yang menunggang
kuda di depan keluar dari hutan itu menuju ke kota raja. Di
sepanjang jalan Han Lin bersikap waspada, khawatir kalaukalau
ada orang yang akan menyerang Pangeran Cheng Hwa.
Ternyata tidak terjadi serangan dan mereka tiba dikota raja
dengan selamat. Istana menjadi gempar ketika orang-orang mengetahui
bahwa Pangeran Cheng Siu telah dibunuh penjahat bertopeng
ketika dia sedang berburu binatang hutan. Tentu saja Kaisar
sekeluarganya berkabung dan Kaisar menjadi marah.
Diperintahkannya kepada panglima pasukan keamanan kota
raja untuk mencari para pembunuh itu.
Pangeran Cheng Hwa membawa Han Lin menghadap
kaisar. "Mari kuperkenalkan engkau kepada Ayahanda Kaisar" kata pangeran itu. "Beliau
perlu mengetahui bahwa engkaulah yang telah menyelamatkan aku dari ancaman baha
maut di tangan penjahat." "Akan tetapi saya hanya melakukan apa yang menjadi
kewajiban setiap warga negara, pangeran, Apa yang saya
lakukan itu sudah semestinya dan tidak perlu di besarbesarkan."
kata Han Lin merendah, dan jantungnya berdebar
tegang ketika mendengar ajakan Pangeran Cheng Hwa yang
hendak menghadapkan dia kepada kaisar. Dia akan
dipertemukan dengan ayah kandungnya.
"Jasamu tidak dapat dilupakan begitu saja, Han Lin. Aku
akan minta kepada Ayahanda Kaisar agar engkau diberi
kedudukan sebagai pengawal istana. Mari kita menghadapi
beliau." Han Lin tidak dapat membantah lagi. Dan memang
sebetulnya diapun ingin sekali menghadap dan bertemu muka
dengan orang yang menjadi ayah kandungnya. Pangeran
Cheng Hwa membawanya masuk ke ruangan dalam istana dan
setelah mendapat keterangan dari para thai-kam pengawal
bahwa Kaisar sedang berada di dalam ruangan pustaka,
menyendiri untuk menghibur diri atas kedukaan yang
menimpa keluarganya, yaitu kematian Pangeran Cheng Siu.
Dua orang thaikam pengawal yang berada di pintu ruangan
pustaka itu segera melapor ke dalam ketika melihat bahwa
yang datang bersama seorang pemuda asing adalah Putera
Mahkota. Kaisar Cheng Tung juga menyuruh pengawal itu
mempersilakan puteranya masuk.
Pangeran Cheng Hwa dan Han Lin memasuki ruangan itu
dan mereka berdua segera menjatuhkan dirinya berlutut di
depan kaisar yang sedang duduk seorang diri menghadapi
meja dan membaca kitab suci. Agaknya untuk menghibur
hatinya yang sedang susah itu kaisar menghiburan kepada
ayat-ayat dalam kitab suci. Dia mengalihkan pandangannya
dari kitab yang dipegangnya ketika puteranya menghadap dan
ketika melihat Han Lin Kaisar Cheng Tung memandang
dengan penuh perhatian dan dalam hatinya ia merasa heran
karena dia merasa seperti pernah mengenal pemuda
berpakaian seperti pemuda petani itu.
"Cheng Hwa, siapakah pemuda ini?" tanya kaisar kepada puteranya.
"Ayahanda, inilah pemuda yang telah menyelamatkan
nyawa ananda dari ancaman maut di tangan para penjahat."
kata Pangeran Cheng Hwa. "Cheng Hwa, sebetulnya apakah yang telah terjadi
sehingga adikmu Cheng Siu mengalami bencana dan tewas"
Tadi kami belum sempat mendengar sejelasnya. Ceritakanlah."
kata kaisar dengan suara yang dalam, mengandung kedukaan.
"Ananda berdua adik Cheng Siu mengadakan perburuan di
hutan selatan dikawal oleh dua puluh orang perajurit. setelah
tiba di hutan, adik Cheng Siu mengajak ananda untuk
berpencar dan berlumba siapa yang akan mendapatkan
buruan terbanyak. Ananda lalu menyuruh lima belas orang
perajurit mengawalnya dan yang lima orang mengawal
ananda, ketika ananda dan lima orang pengawal tiba di
tengah hutan, tiba-tiba ada seorang yang mengenakan
pakaian serba hitam dan mukanya tertutup topeng hitam
menyerang ananda. Dia bersenjata aneh, yaitu sehelai sabuk
hitam. Lima orang pengawal ananda mengeroyoknya, akan
tetapi mereka semua roboh dan tewas!. Ketika orang itu
hendak membunuh ananda, tiba-tiba muncul penolong ini. dia
yang melawan dan merobohkan penyerang ananda, akan
tetapi sebelum dapat menangkapnya, ada seorang bertopeng
lain yang datang lalu membawa lari orang bertopeng pertama.
Ananda lalu mengajak penolong ini untuk mencari adik Cheng
Siu dan ananda menemukan adik Cheng Siu bersama lima
belas orang pengawalnya telah tewas di bagian lain dalam
hutan itu. Demikianlah, ayahanda, kalau tidak ada pemuda ini,
ananda tentu sudah menjadi korban pembunuh seperti adik
Cheng Siu." Kaisar Cheng Tung memandang kepada Han Lin yang
menundukkan mukanya. Keharuan menyelinap di hati pemuda
ini. Dia telah berhadapan dengan ayah kandungnya. Akan
tetapi, kemegahan dan kebesaran di ruangan itu menambah
kewibawaan yang amat kuat dari pria yang duduk di depannya
sehingga dia menundukkan muka, tidak berani memandang
wajah yang tadi hanya dilihatnya sepintas lalu saja.
"Orang muda, siapa namamu?" terdengar kaisar bertanya, suaranya ramah dan
lembut. "Nama hamba Han Lin, Yang Mulia" kata Han Lin, tetap menunduk. Kaisar Cheng Tung
mengerutkan alisnya. Nama
inipun terasa tidak asing baginya.
"Han Lin, coba angkat mukamu dan pandanglah kami!"
Han Lin mengangkat mukanya dan memandang. Dua
pasang mata bertemu pandang. Bermacam perasaan
mengaduk hati pemuda itu. Ada rasa bangga dan haru melihat
wajah kaisar yang masih tampan dan berwibawa itu, akan
tetapi juga ada rasa sakit mengingat betapa pria ini menyianyiakan ibu
kandungnya. Kaisar Cheng Tung juga merasakan
betapa sepasang mata pemuda itu mencorong dan seolah
dapat menjenguk isi hatinya.
"Han Lin, engkau telah berjasa besar menyelamatkan
Pangeran Mahkota. Katakan, apa yang kau minta sebagai
imbalan." Han Lin kembali menundukkan mukanya "Ampunkan
hamba, Yang Mulia. hamba menganggap bahwa perbuatan
hamba itu merupakan kewajiban, karena itu hamba tidak
mengharapkan imbalan apapun."
"Ayahanda, kalau paduka setuju, ananda mengusulkan agar
Han Lin ini diberi kedudukan sebagai pengawal istana. Dengan
ilmu silatnya yang tinggi tentu dia akan dapat memperkuat
penjagaan di istana sehingga keselamatan keluarga kerajaan
lebih terjamin." Kaisar Cheng Tung mengangguk-angguk "Kami setuju
sekali. Perintahkan saja kepada komandan pasukan pengawal


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

istana bahwa Han Lin mulai sekarang kami angkat sebagai
pengawal dalam istana yang tugasnya menjaga keselamatan
keluarga kerajaan." "Han Lin, mulai sekarang engkau menjadi pengawal
keluarga kami " kata Pangeran Cheng Hwa dengan girang.
Sebetulnya Han Lin tidak ingin bekerja sebagai pengawal,
akan tetapi karena pada saat itu tidak mungkin baginya
mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin, maka dia pun akan
mendapatkan kebebasan untuk menyelidiki keadaan istana
kalau menjadi pengawal dalam istana, maka diapun tidak
menolak. Dia segera memberi hormat sambil berlutut kepada
kaisar. "Hamba menghaturkan terima kasih atas anugerah paduka
yang diberikan kepada hamba." katanya.
Kaisar memberi isarat kepada Cheng Hwa untuk
mengundurkan diri. Pangeran itu lalu mengajak Han Lin
mengundurkan diri setelah memberi hormat kepada Kaisar.
Mereka keluar dari ruangan pustaka itu dan Pangeran Cheng
Hwa mengantar Han Lin ke bangunan yang menjadi tempt
tinggal para pangeran. "Mari kuperkenalkan engkau kepada adik-adikku dan para
anggauta keluarga kerajaan yang perlu mendapatkan
perlindunganmu." Ketika mereka memasuki bangunan tempat tinggal para
pangeran, hati Han lin berdebar. Dia akan bertemu dengan A
Seng! Akan tetapi yang menyambut mereka hanyalah tiga
orang pangeran saja, yaitu Pangeran Cheng Ki yang menjadi
pangeran ke dua berusia dua puluh empat tahun, pangeran ke
tiga bernama Cheng Tek yang berusia dua puluh tiga tahun
dan Pangeran Cheng Bhok berusia Dua puluh tahun sebagai
pangeran ke empat. Setelah mendengar ucapan tentang Han
Lin yang sudah menyelamatkan putera Mahkota, tiga orang
pangeran itu memuji dan merasa senang kini mempunyai
tambahan seorang pengawal yang berkepandaian silat tinggi.
"Di mana Pangeran Cheng Lin" Kenapa dia tidak berada di
sini?" tanya Pangeran Cheng Hwa dan mendengar ini, diamdiam Han Lin merasa
jantungnya berdebar tegang.
Pangeran Ki Seng menjawab, "Hmmnn Cheng Lin begitu
mendengar tentang terbunuhnya adik Cheng Siu segera
memimpin sepasukan perajurit untuk mencari pembunuhnya."
"Hemm, dia mencari penyakit- Pembunuh-pembunuh itu
berkepandaian tinggi sekali, bagaimana mungkin dia mampu
menandingi mereka" Kenapa tidak menyerahkan saja
pengejaran dan pencarian itu kepada para panglima dan
komandan pasukan?" Pangeran Cheng Hwa berkata sambil
mengerutkan alisnya. Diam-diam Han Lin mencatat dalam
hatinya bahwa para pangeran ini agaknya belum mengetahui
bahwa Ouw Ki Seng yang menjadi pangeran palsu itu memiliki
kepandaian silat yang amat tinggi.
Karena Han Lin menyatakan bahwa dia tidak suka
mengenakan pakaian seragam perajurit pengawal, Pangeran
Cheng Hwa lalu memberinya beberapa stel pakaian biasa yang
tentu saja bagi Han Lin yang biasanya memakai pakaian amat
sederhana seperti pakaian petani itu. pakaian pemberian
pangeran itu amat mewah dan indah, terbuat dari sutera
halus. Sebagai seorang pengawal dalam istana yang bertugas
menjaga keselamatan keuarga kerajaan, Han Lin juga
mendapatkan sebuah kamar di bangunan para komandan dan
thaikam pengawal yang jauh letaknya dari bangunan tempat
tinggal para pangeran. Diam-diam Han merasa senang karena
sini dia mendapat kesempatan dengan leluasa sebagai
pengawal melakukan penyelidikan terutama sekali terhadap
Pangeran Cheng Lin palsu alias Ouw Ki Seng atau A Seng.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Ouw Ki Seng
ketika dia melihat Sian Hwa Sian-li dirobohkan oleh Han Lin
dan tidak berhasil membunuh Pangeran Cheng Hwa. Khawatir
kalau-kalau Sian Hwa Sian-li tertangkap sehingga semua
rahasia persekutuan itu akan terbongkar, dia lalu cepat
melarikan Sian Hwa Sian-li keluar dari dalam hutan. setelah
membuang pakaian hitam dan topeng. dengan pakaian biasa
dia memasuki kota raja secara terpisah dengan Sian Hwa
Sian-li. Sebagai seorang ahli ilmu totok It-yang-ci, dengan
mudah Ouw Ki Seng dapat membebaskan totokan yang
dilakukan Han Lin terhadap tubuh Sian Hwa Sian-li.
Pangeran Cheng Boan segera mengadakan rapat dengan
kaki tangannya ketika melihat datangnya Ki Seng dan Sian
Hwa Sian-li. Dia sudah mendengar dari istana tadi bahwa
Pangeran Cheng siu telah tewas terbunuh penjahat, akan
tetapi mendengar pula betapa Pangeran Cheng Hwa selamat
dan tertolong oleh seorang dari ancaman maut.
Pangeran Cheng Boan duduk di atas kursi di kepala meja
dengan alis berkerut. Ouw Ki Seng, Sian Hwa Sian li, Suma
Kiang dan Toa Ok duduk di depannya, terhalang meja.
"Benarkah apa yang kami dengar di depan Kaisar tadi"
Pangeran Cheng Siu tewas akan tetapi Pangeran Cheng Hwa
lolos" Pangeran Cheng Lin, apakah engkau hendak
mengatakan bahwa engkau telah gagal membunuhnya?"
tanya Pangeran Cheng Boan dengan penasaran kepada Ki
Seng. "Apakah yang telah terjadi?"
"Harap Paman Pangeran dapat memaklumi. Beginilah
terjadinya peristiwa ini. Saya dan Sian Hwa Sian-li telah
mendekati di hutan ketika rombongan dua orang pangeran
yang dikawal dua puluh orang perajurit itu tiba di hutan. Akan tetapi mereka
lalu berpencar, terpecah menjadi dua
rombongan. Pangeran Cheng Siu dikawal oleh lima belas
orang perajurit dan Pangeran Cheng Hwa dikawal oleh lima
orang perajurit. Saya lalu minta kepada Sian Hwa Sian-li untuk mengikuti dan
membereskan Pangeran Cheng Hwa dan lima
orang pengawalnya. Sedang saya sendiri membayangi
Pangeran Cheng Siu dengan lima belas orang pegawalnya.
Saya berhasil membunuh Pangeran Cheng Siu berikut lima
belas orang pengawalnya. Ketika saya pergi mencari Sian Hwa
Sian-li, saya mendapatkan ia telah membunuh lima orang
pengawal Pangeran Cheng Hwa, akan tetapi ia tidak berhasil
membunuh Pangeran Cheng Hwa karena ada seseorang yang
menolongnya." Pangeran Cheng Boan mengerutkan alisnya. "Celaka!
Justeru Pangeran Cheng Hwa yang merupakan orang
terpenting yang harus disingkirkan lebih dulu! Apakah engkau
tidak mampu mengalahkan orang yang membela Pangeran
Cheng Hwa itu, Sian-li?"
Sian Hwa Sian-li menghela napas panjang dan berkata,
"Maaf, Pangeran, Orang itu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali dan terus
terang saja saya tidak mampu
menandinginya." "Ah, sialan!" Pangeran Cheng Bon memukulkan telapak
tangan kanannya ke atas pahanya dengan kecewa.
"Paman Pangeran, kita tidak dapat menyalahkan Sian Hwa
Sian-li. Orang yang menolong Pangeran Cheng Hwa memang
lihai sekali dan tahukah paman siapa dia" Dia itu bukan iain
adalah saudara seperguruanku sendiri, yaitu Han Lin yang
pernah saya ceritakan kepada paman."
Pangeran Cheng Boan terbelalak. "Apa katamu" Han Lin.....
kau maksudkan.... Pangeran Cheng Lin yang aseli.....?"
Ki Seng menghela napas dan mengangguk. "Benar, dialah
yang tahu-tahu muncul di sana. Sebetulnya saya tidak takut
menandinginya, akan tetapi melihat sian-li sudah roboh
tertotok, saya khawatir kalau sampai terbuka topeng Sian-li
sehingga rahasia kita dapat bocor. Karena itu, terpaksa saya
hanya melarikan sian-Ii dari hutan itu."
"Hemm, dia sudah muncul...." Pangeran Cheng Boan
bangkit dari kursinya dan berjalan hilir mudik di ruangan itu, tampaknya bingung
dan gelisah. "Dia merupakan bahaya
besar bagi kita.....!"
"Harap Paman Pangeran tidak usah khawatir. Saya sudah
diterima oleh Ayahanda Kaisar sebagai puteranya dan selama
saya diterima sebagai Pangeran Cheng Lin di istana, apa yang
akan dapat dilakukan oleh Han Lin" Dia tidak mempunyai bukti
diri lain kecuali Suling Pusaka Kemala yang sudah di tangan
saya." Mendengar ini, hati Pangeran Cheng Boan menjadi agak
tenang kembali dan dia lalu duduk di kursinya. "Akan tetapi aku mendengar bahwa
orang yang telah menyelamatkan
Pangeran Cheng Hwa itu kini diterima sebagai pengawal di
istana. Hal ini berbahaya sekali dan sebelum kita bergerak
lebih jauh, Han Lin itu harus dapat kita singkirkan. Sungguh
sial sekali. Baru saja puteraku tewas dan kini dibuat pusing
oleh gadis Suma Eng itu, sekarang muncul lagi Pangeran
Cheng Lin yang aseli!"
"Bukan Suma Eng, Yang Mulia, melainkan Lo Sian Eng."
kata Suma Kiang. "Tidak perduli siapa namanya, yang jelas ia merupakan
musuh dan ancaman bagi kita. Kita harus dapat
menyingkirkan gadis itu dan Han Lin terlebih dahulu, baru
rencana kita akan dapat berjalan lancar."
"Harap paduka tenang, Yang Mulia." kata Toa Ok yang
bersikap tenang. "Dua orang itu memang harus dibunuh dan
kita sudah mengetahui di mana adanya mereka, Lo Sian Eng
itu tentu berada di rumah perguruan Hek-tiauw Bu-koan. Ia
membela nona Lo Siang Kui dan ia mengaku bermarga Lo,
berarti ia masih sanak keluarga Lo dan di mana lagi ia berada
kalau bukan di rumah keluarga Lo Kang" Paduka kirim
pasukan dan saya sendiri yang akan membantu pasukan
menyerang Hek-tiauw Bu-koan dengan tuduhan Lo Sian Eng
yang telah melakukan pembunuhan atas diri Cheng Kongcu.
bersama saudara Suma Kiang, kami berlima tentu akan
mampu mengalahkan dan membunuh Lo Sian Eng."
"Ucapan Toa Ok itu benar sekali, Pangeran Cheng Boan.
Biarlah nona Lo Sian Eng dibereskan oleh Paman Suma Kiang
dan Toa Ok. Adapun mengenai diri Han Lin, biarlah saya akan
membereskannya. saya sudah mempunyai rencana yang baik
untuk menjatuhkannya. Harap Paman Pangeran jangan
khawatir!" Pertemuan itu selesai dan Ki Seng kembali ke istana. Dia
segera menghubungi para komandan pasukan pengawal dan
para thaikam pengawal, mengumpulkan mereka di sebuah
ruangan tertutup. "Aku mengumpulkan kalian untuk menanyakan pendapat
kalian tentang pemuda bernama Han Lin yang katanya telah
menyelamatkan Pangeran Mahkota kakanda Cheng Hwa.
Kalau menurut pendapat kalian, bagaimana dengan orang
itu?" "Kenapa dengan dia, Pangeran Cheng Lin" Dia adalah
seorang pemuda sederhana dan menurut keterangan
Pangeran Cheng Hwa, dia memiliki ilmu silat yang tinggi.
Karena itu sekarang dia diangkat menjadi seorang pengawal
pribadi keluarga kerajaan." kata komandan pasukan pengawal istana, yaitu Lai-
ciangkun (panglima Lai). Ki Seng menggelengkan kepala dan mengerutkan alisnya.
"Memang itulah tujuannya, agar dia dipercaya. Menurut hasil penyelidikanku di
hutan tempat terjadinya pembunuhan, ada
tanda-tanda bahwa penyerang dan pembunuh Pangeran
Cheng Siu bukan hanya dua orang, melainkan sedikitnya tiga
orang. Agar tidak ada saksi mata, maka semua pengawal yang
berjumlah dua puluh orang itu dibunuh. Kukira pemuda itu
merupakan seorang di antara para pembunuh itu!"
"Eh, bagaimana paduka dapat berpendapat demikian,
pangeran" Bukankah dia yang menyelamatkan Pangeran
Cheng Hwa dari tangan pembunuh?"
"Hemm, kurasa itu hanya sandiwara dia. Mungkin
pembunuhnya terdiri dari tiga orang. Setelah berhasil
membunuh pangeran Cheng Siu, seorang di antara pereka
menyerang dan membunuh lima orang pengawal Pangeran
Cheng Hwa lalu berpura-pura hendak membunuh Pangeran
Mahkota. Lalu muncul ah Han Lin itu menggagalkan usaha
pembunuhan dan mengalahkan si pembunuh. Akan tetapi
muncul orang ke tiga yang melarikan pembunuh pertama.
Semua itu telah diatur dengan baiknya sehingga kalian juga
Kisah Pedang Di Sungai Es 11 Wiro Sableng 034 Munculnya Sinto Gendeng Pecut Sakti Bajrakirana 11
^