Suling Pusaka Kumala 15
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 15
percaya bahwa pemuda Han Lin itu adalah penyelamat
Pangeran Cheng Hwa."
"Akan tetapi, bagaimana paduka bisa berpendapat seperti
itu" Apa buktinya?" tanya Lai-ciangkun ragu.
"Bukti nyata memang belum ada, hal itu masih akan kucari.
Akan tetapi melihat keadaannya, kita dapat mengambil
kesimpulan dan patut mencurigainya."
"Keadaan yang bagaimana, Pangeran"
"Pertama, bagaimana seorang pemuda petani dapat
berkeliaran dalam hutan terlindung dan terlarang itu, seorang
diri pula" Hal ini tentu saja amat aneh dan mencurigakan,
apalagi kemunculannya begitu tepat pada saat Pangeran
Cheng Hwa terancam bahaya dan semua pengawalnya telah
tewas. Dan kedua, kalau memang benar dia berkepandaian
tinggi, kenapa dia membiarkan dua orang pembunuh itu lolos
dan melarikan diri" dia mestinya dia menangkap seorang di
antara mereka agar dapat diketahui siapa pembunuh itu dan
ditanya mengapa mereka melakukan pembunuhan. Nah,
kecurigaanku ini beralasan kuat, bukan?"
Para perwira dan thaikam yang jumlahnya tujuh orang itu
mengerutkan alis mereka dan mulailah mereka terpengaruh.
Hal ini dapat dengan mudah terjadi karena memang
sebelumnya ada perasaan iri dalam hati mereka terhadap Han
Lin yang diangkat menjadi pengawal pribadi keluarga kaisar.
"Akan tetapi, pangeran. Andaikata benar dia seorang di
antara pembunuh, lalu apa maksudnya berpura-pura
menolong Pangeran Cheng Hwa dari ancaman maut?"
"Ah, mengapa kalian masih bertanya lagi" Hal itu mudah
saja kita duga. Dia sengaja menanam budi itu agar dapat
dibawa masuk ke istana dan dipercaya sebagai penyelamat
pangera mahkota, dan ternyata usahanya itu berhasil dengan
baik!" "Akan tetapi apa maksudnya?"
"Jelas dia bermaksud buruk. Melihat betapa Pangeran
Cheng Siu sudah mereka bunuh, tentu pemuda Han Lin itu
bermaksud agar dia dapat masuk istana dan menjadi leluasa
untuk bergerak. Mungkin dia bermaksud membunuhi semua
pangeran. Kalau dia sudah tinggal di sini, hal itu tentu akan
lebih mudah dia lakukan, apalagi mengingat bahwa dia
memiliki ilmu silat yang tinggi."
Para kepala pengawal itu terbelalak dan wajah mereka
menjadi pucat. Mereka saling pandang dengan kaget dan
khawatir. "Pangeran, semua yang paduka katakan itu memang
masuk akal dan mungkin saja benar. Akan tetapi, tanpa bukti
mana mungkin kita dapat bertindak" Apa buktinya bahwa Han
Lin itu sebenarnya seorang di antara para pembunuh yang
sengaja menyusup ke istana dengan niat jahat?"
"Tenang dan sabarlah. Aku mengumpulkan kalian di sini
justeru untuk membicarakan hal itu. Setelah kalian tahu
bahwa Han Lin itu patut dicurigai, kalian dapat bersiap-siap.
Ingat, dia seorang yang lihai sekali. Aku sendiri yang akan
menyelidikinya. Kalian harus selalu siap dan diam-diam
melakukan perondaan dan penjagaan ketat. Kalau kalian
melihat dia menyerang seorang di antara para pangeran,
terutama aku, kalian harus cepat cepat turun tangan
menangkapnya. aku mempunyai dugaan bahwa dia menyusuo
ke dalam istana untuk membunuhku dan para pangeran
lainnya. Mengertikah kalian?"
"Kami mengerti, pangeran."
"Malam ini aku akan menyelidikinya, kalian agar siap dan
membantuku kalau sampai aku diserang olehnya."
Semua kepala pengawal itu menyatakan siap dan
pertemuan itu dibubarkan.
Han Lin merasa penasaran sekali, sejak pagi dia berada di
istana, akan tetapi orang yang dicarinya tidak pernah muncul.
Ingin sekali dia bertemu dengan Ki Seng atau A Seng yang
telah menipu Suling Pusaka Kemala miliknya dan ia tahu
bahwa kini A Seng telah mempergunakan pusaka itu untuk
mengaku dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin dan bahkan
telah diterima dan diakui oleh Kaisar sebagai puteranya.
Akan tetapi yang berada di bangunan untuk tempat tinggal
para pangeran itu hanya ada empat orang pangeran, yaitu
Pangeran Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek dan Cheng Bhok.
Jenazah Pangeran Cheng Siu sudah berada dalam peti mati
yang ditaruh di ruangan berkabung. Pangeran Cheng Lin atau
A Seng tidak pernah tampak batang hidungnya. Dia sudah
bertanya kepada Pangeran Cheng Hwa tentang orang yang
dicarinya itu. "Pangeran, hamba mendengar kalau di antara para
pangeran yang sudah hamba temui, terdapat seorang
pangeran yang bernama Pangeran Cheng Lin. Akan tetapi
hamba tidak pernah melihat bertemu."
"Ah, Pangeran Cheng Lin" Sejak pagi tadi, setelah
mendengar tentang pembunuhan dalam hutan, dia lalu
memimpin sepasukan pengawal untuk menyelidiki hutan dan
mencari para pembunuh itu."
Han Lin mengangguk-angguk dan dalam hatinya dia tidak
merasa heran kalau Pangeran Cheng Lin palsu itu berusaha
mencari pembunuh Pangeran Cheng lin karena A Seng itu
memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi pada sore hari itu dia mendengar
bahwa Pangeran Cheng Lin palsu itu telah
pulang ke istana. Tentu saja dia merasa tidak enak kalau
harus mencarinya di bangunan tempat tinggal para pangeran.
Bagaimanapun juga, A Seng kini oleh seluruh penghuni istana
telah diterima sebagai Pangeran Cheng Lin. Hanya dia seorang
yang tahu dan kepalsuannya dan tidak mungkin dirinya untuk
mengatakan di depan kaisar dan para pangeran bahwa
Pangeran Cheng Lin itu palsu. Dia tidak mempunyai bukti
untuk membongkar kepalsuannya. Satu-satunya jalan baginya
hanyalah kalau dia dapat bertemu berdua saja dengan A Seng.
Malam itu Han Lin sudah bersiap-"ip untuk menyelidiki A
Seng. Dia belum tahu bahwa orang yang dulu mengaku
bernama Coa Seng atau panggilannya A Seng itu sebetulnya
mempunyai nama lengkap Ouw Ki Seng. Dia bersembunyi
bayangan yang gelap dekat bangunan tempat tinggal pafa
pangeran dan menanti. Penantiannya tidak sia-sia karena tibatiba dia melihat
orang yang ditunggu-tunggunya itu, A Seng,
keluar dari pintu samping bangunan bersama tiga orang
pangeran, yaitu Pangeran Cheng Ki, Cheng Tek, dan Cheng
Bhok. ia melihat A Seng berpakaian mewah seperti seorang
pangeran sehingga dia tampak gagah sekali. Akan tetapi Han
Lin masih mengenalnya. Jantungnya berdebar keras dan juga
terasa panas mengingat bahwa orang itu telah memalsukan
dirinya. Akan tetapi karena A Seng keluar bersama tiga orang
pangeran yang lain, dia tidak berani berbuat apa-apa dan
hanya mengintai. -00d00w00- Jilid XX VII SAMA sekali Han Lin tidak tahu bahwa sebelum empat
orang pemuda itu keluar, A Seng telah lebih dulu menyatakan
kecurigaannya terhadap Han Lin kepada tiga orang pangeran
itu. "Kita harus berhati-hati. Pembunuhan terhadap dinda
Cheng Siu dan penyerangan terhadap kakanda Cheng Hwa
menunjukkan bahwa para pembunuh mengancam kita para
pangeran. Dan aku amat mencurigai pemuda bernama Han
Lin itu. besar sekali kemungkinannya dia adalah seorang di
antara para pembunuh yang berpura-pura menolong Cheng
Hwa agar dapat menyusup ke dalam istana sehingga dia akan
mempunyai banyak kesempatan untuk menyerang kita."
Tiga orang pangeran itu saling pandang dan tampak
terkejut sekali. Tentu saja timbul kecurigaan besar terhadap
Han Lin dan mereka juga merasa takut.
"Akan tetapi itu hanya dugaan." kata Pangeran Cheng Ki.
"Kita tidak mempunyai bukti apapun."
"Benar, karena itu kita harus mencai buktinya," kata A Seng atau Ki Seng
"Serahkan saja kepadaku. Aku akan mencari
buktinya dan akan menangkap penjahat itu. Mari kita keluar
dan pergi ke pondok Teratai untuk memancingnya. Jangan
khawatir, aku telah mempersiapkan semua pengawal untuk
melindungi kita kalau terjadi sesuatu."
Pondok Teratai yang dimaksudkan Ki Seng adalah sebuah
pondok indah yang berada di dekat kolan teratai di tengah
taman bunga istana yang luas itu. Tiga orang pangeran itu
menurut dan pergilah empat orang pemuda itu ke taman. Dan
ketika mereka keluar dari pintu samping, Han Lin melihat
mereka dan ketika mereka berjalan memasuki taman menuju
ke pondok dekat kolam teratai, Han Lin membayanginya. Tiga
orang pangeran yang lain tidak mengetahui, akan tetapi Ki
Seng yang memiliki panca indera yang tajam tentunya sudah
mengetahui bahwa ada orang membayangi mereka dan dia
dapat menduga bahwa orang itu tentu Han Lin. Ketika empat
orang itu memasuki pondok, Han Lin segera menghampiri
jendela. Dia ingin mendengar percakapan mereka. Ketika
akhirnya dia berhasil mendekati jendela pondok itu, memilih
bagian yang gelap lalu mengintai ke dalam, dia merasa heran
karena yang dilihatnya hanya ada tiga orang pangeran . A
Seng sama sekali tidak tampak ada di dalam ruangan pondok
itu. selagi dia merasa heran dan menduga-duga tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring yang datang dari arah
belakangnya. "Penjahat! Tangkap penjahat!" teriakan itu disusul
menyambarnya sebuah pukulan yang amat dahsyat ke arah
punggungnya. Han Lin maklum bahwa itu merupakan
serangan yang amat berbahaya. Dia cepat melompat ke
samping untuk mengelak dan dia melihat bahwa
penyerangnya bukan lain adalah Pangeran Cheng Lin palsu
atau A Seng! "A Seng, iblis kau! Kembalikan sulingku!" bentak Han Lin marah.
"Penjahat! Pembunuh! Tangkap pembunuh.....!!" Ki Seng berteriak dan dia sudah
menyerang lagi dengan ilmu silat Sinliong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti).
Melihat gerakan lawan yang amat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali
itu Han Lin lalu memainkan ilmu silat Ngo-heng Sin-kun (Silat
Sakti Lima unsur). Ternyata ketika lengan mereka saling
beradu, tenaga mereka seimbang. Perkelahian tangan kosong
terjadi dengan serunya di luar Pondok Teratai itu, di bawah
sinar lampu yang cukup terang.Tapi diam-diam Ki Seng keluar
dari dalam pondok dan mengambil jalan melingkar melalui
pintu belakang sehingga Han Lin tidak melihat dan tahu-tahu
dia muncul di belakang pemuda yang melakukan pengintaian
itu. Teriakan-teriakan Ki Seng tadi memancing datangnya
banyak perajurit pengawal yang dipimpin oleh para komandan
pasukan pengawal yang memang telah dipersiapkan oleh Ki
Seng lebih dulu. Para perwira ini sudah terpengaruh oleh katakata Ki Seng.
Ketika mereka melihat betapa Pangeran Cheng
Lin bertanding melawan Han Lin, otomatis mereka mengira
bahwa Han Lin hendak membunuh Pangeran Cheng Lin
seperti telah dikatakan oleh Ki Seng. Maka dengan sendirinya
mereka lalu mencabut senjata dan tanpa dikomando lagi
mereka lalu mengepung dan mengeroyok Han Lin!
Han Lin terkejut bukan main. Melihat dirinya dikepung dan
dikeroyok para perajurit pengawal dan perwira pimpinan
mereka, sadarlah dia bahwa dia telah terjebak ke dalam
perangkap yang agaknya sudah diatur Ki Seng! Dia dianggap
sebagai pengacau, penjahat yang hendak membunuh
Pangeran Cheng Lin! "Tahan! Aku bukan pembunuh!" Dia mengerahkan ilmu
kekebalannya Tiat-pouw-sin (Kekebalan Baju Besi) untuk
menjaga diri dan menggerakkan kedua tangannya untuk
menangkis dan berloncatan kekanan kiri menghindarkan
semua serangan yang datang bertubi-tubi menghujani dirinya.
"Dia penjahat! Dia hendak membunuh kami para
pangeran!" teriak Ki Seng sehingga tentu saja para komandan pengawal itu tidak
menghiraukan kata-kata Han Lin dan lebih
percaya kepada pangeran Cheng Lin.
Han Lin menjadi bingung juga. ia dikeroyok belasan orang
pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan
tangguh karena beberapa orang antara mereka adalah
perwira-perwira. Apalagi di situ ada A Seng yang ia tahu
memiliki ilmu kepandaian silat yang sudah mencapai tingkat
tinggi berkat gemblengan Cheng Hian Hwesio. Tingkat
kepandaian A Seng sebanding dengan tingkat kepandaiannya
sendiri. Dan dia tentu saja tidak ingin membunuh para
pengawal yang mengeroyoknya. Akan tetapi dia harus
membela diri agar jangan sampai mati konyol.
Han Lin mulai mempercepat gerakannya dan dia mulai
merobohkan para pengeroyok dengan menggunakan totokan
It-yang-ci. Melihat ini, Ki Seng menjadi terkejut dan juga
heran. Dia sendiri mengandalkan ilmunya It-yang-ci untuk
mengalahkan Han Lin dan sekarang ternyata Han Lin mampu
mempergunakan ilmu itu. empat orang pengeroyok sudah
roboh terguling dan tak berdaya walau tidak terluka dan yang
lain menjadi gentar. gerakan Han Lin demikian cepat sehingga
mereka tidak dapat melihat bagaimana caranya Han Lin
merobohkan empat orang rekan mereka itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Hei, ada apa ini"
Kalian semua, hentikan perkelahian ini! Aku perintahkan,
hentikan perkelahian!"
Semua orang yang mendengar perintah yang keluar dari
mulut Pangeran Mahkoka Cheng Hwa menahan gerakan
masing-masing dan melompat ke belakang. Bahkan Ki Seng
sendiri tidak berani membangkang karena dia tahu akan
kekuasaan putera Mahkota ini.
"Apa yang terjadi di sini" Kenapa Han Lin dikeroyok" Kalian semua tahu bahwa dia
telah kami angkat sebagai pengawal
pribadi keluarga, kenapa malam ini kalian mengeroyoknya?"
Pangeran Cheng Hwa menegur Ki Seng dan para komandan
pengawal yang mengeroyok Han Lin.
"Kakanda Pangeran, kakanda telah tertipu! Han Lin ini
bukan orang baik baik! Mungkin dia malah bersekongkol
dengan para pembunuh di hutan itu! ia tadi mengintai ketika
kami para pangeran sedang bercakap-cakap dalam Pondok
Teratai dan dia menyerang dan hendak membunuhku.
Kakanda, berhati-hatilah dia telah menipu kita semua dan
berhasil menyelundup ke dalam istana untuk membunuh kita
semua para pangeran!" kata Ki Seng.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cheng Hwa mengerutkan alisnya memandang penuh
perhatian kepada Han Lin. "Han Lin, benarkah engkau
melakukan pengintaian terhadap empat orang adikku ini?"
tanya Pangeran Cheng Hwa sambil menunjuk ke arah Ki Seng
dan tiga orang pangeran lain yang kini sudah berani muncul
keluar. "Be...... benar, Pangeran." jawab Han Lin yang menjadi gugup dan tidak tahu
harus berkata apa kecuali mengaku
sejujurnya. "Dan benarkah engkau hendak membunuh adikku
Pangeran Cheng Lin?"
"Benar, Pangeran, akan tetapi dia...."
"Sudah cukup, kakanda. Penjahat ini harus ditangkap dan
dihadapkan Ayahanda kaisar agar dapat diputuskan hukuman
apa yang harus dijatuhkan kepadanya!" setelah berkata
demikian, Ki Seng memberi perintah kepada para komandan
pengawal, "Tangkap dan belenggu kedua tangannya!"
Para perwira itu maju dan menelikung kedua tangan Han
Lin lalu mengikatnya, Han Lin tidak melawan karena dia tahu
bahwa melawan akan semakin memberatkan dirinya. Di depan
Pangeran Cheng Hwa dia tidak berani melakukan kekerasan.
Diapun tidak mungkin mengaku dirinya sebagai Pangeran
Cheng Lin tanpa bukti apapun. Ki Seng seolah sudah
mencengkeramnya dan dia tidak berdaya sama sekali.
"Baik, mari hadapkan dia kepada Ayahanda Kaisar, biar
beliau yang akan memutuskan." kata Pangeran Cheng Hwa
yang menjadi ragu terhadap Han Lin.
Han Lin lalu digiring oleh Ki Seng dan empat orang
pangeran, dikawal pula oleh para perwira pengawal memasuki
bangunan induk. Kepada para thaikam pengawal pribadi
Kaisar, Pangeran Cheng Hwa minta agar dilaporkan kepada
kaisar bahwa dia mohon menghadap karena ada urusan yang
teramat penting dan tidak dapat ditunda lagi. Dia mohon
menghadap bersama empat orang pangeran yang lain, juga
akan menghadapkan Han Lin dan dikawal oleh para perwira
pasukan pengawal. Mendengar laporan bahwa puteranya yang paling disayang
dan dipercaya mohon menghadap bersama para pangeran
yang lain, Kaisar Cheng Tung segera mengijinkan mereka
masuk. Mereka semua diterima di dalam ruangan pustaka di
mana kaisar sedang duduk bersantai. Kaisar merasa heran
melihat Han lin dibawa rombongan itu dengan tangan
terborgol. Semua orang memberi hormat dengan berlutut.
"Pangeran Cheng Hwa, apakah yang telah terjadi" Kenapa
pemuda yang kau terima menjadi pengawal istana ini malah
menjadi tangkapan?" tanya kaisar dengan heran.
"Ampunkan kalau hamba mengganggu paduka yang
sedang bersantai. Telah terjadi peristiwa penting dan hamba
semua menanti keputusan paduka dalam peristiwa ini."
"Peristiwa apakah itu?"
"Han Lin dituduh sebagai penjahat dan pembunuh oleh
adinda Cheng Lin. karena hamba tidak ingin ada yang main
hakim sendiri, maka hamba mengajak mereka semua untuk
menghadap paduka memohon pengadilan paduka."
"Hemmm, benarkah itu, Cheng Lin" Engkau menuduh Han
Lin sebagai penjahat dan pembunuh" Bukankah dia malah
telah menyelamatkan kakakmu Cheng Hwa" Apa alasan dan
bukti tuduhanmu. " tanya Sri Baginda Kaisar kepada Ki Seng.
"Ampunkan hamba, ayahanda yang mulia. Sesungguhnya,
sejak terjadinya pembunuhan atas diri Cheng Siu dan
penyerangan atas diri kakanda Cheng Hwa, lalu dibawanya
Han Lin ke istana sebagai penyelamat kakanda Cheng Hwa,
hamba telah menaruh kecurigaan besar kepada pemuda ini.
Ketika hamba melakukan penyelidikan ke hutan, dari jejak kaki
dan bekas perkelahian, hamba berpendapat bahwa
pembunuhnya bukan hanya satu dua orang, melainkan paling
sedikit tiga orang. Hamba mempunyai dugaan bahwa Han Lin
ini seorang di antara para pembunuh itu yang kemudian purapura menjadi penolong
kakanda Cheng Hwa." "Nanti dulu," Kaisar memotong. "Apa alasanmu menduga seperti itu?"
"Kecurigaan hamba ini mempunyai alasan yang kuat.
Pertama, kemunculan Han Lin di hutan itu amat aneh.
Seorang pemuda petani berada seorang diri di hutan
terlarang, dan tepat pada saat kakanda Pangeran Cheng Hwa
diserang penjahat. Dan kedua, mana mungkin seorang
pemuda petani memiliki ilmu silat yang tinggi dan mengapa
pula dia yang memiliki ilmu silat tinggi itu membiarkan kedua
orang bertopeng itu melarikan diri" Bukankah seharusnya
ditangkap agar dapat diketahui siapa mereka?"
Kaisar Cheng Tung mengangguk-anguk dan memandang
kepada Han Lin dengan alis berkerut. Kemudian dia menoleh
lagi kepada Ki Seng. "Akan tetapi, kalau memang benar dugaanmu bahwa dia
itu seorang diantara para pembunuh, mengapa pula malah
menyelamatkan Pangeran Cheng Hwa?" tanya Kaisar ragu.
"Itu hanya merupakan siasatnya yang licik, Ayahanda Yang
Mulia. Dia sengaja melakukan itu agar mendapat kesempatan
memasuki istana, agar dia akan dapat membunuh para
pangeran dengan mudah dan siapa tahu, mungkin pula dia
akan membunuh paduka. Buktinya, tadi dia lakukan
pengintaian ketika hamba bersama para pangeran lain sedang
berada Pondok Teratai. Ketika hamba keluar memergokinya,
dia menyerang hamba hendak membunuh hamba."
Keadaan menjadi hening setelah Ki Seng berhenti bicara.
Kaisar kini memandang kepada Han Lin dengan alis berkerut
dan pandang mata marah. "Han Lin, benarkah semua yang dituduhkan Pangeran
Cheng Lin kepadamu itu?"
"Ampun, Yang Mulia. Semua itu fitnah belaka." jawab Han Lin dengan suara tegas.
"Hemm, kalau begitu, apa jawabanmu terhadap semua
tuduhan itu?" "Hamba berada di hutan karena melihat rombongan dua
orang pangeran, hamba seorang pendatang baru dan merasa
tertarik sekali, ingin tahu bagaimana caranya para pangeran
berburu. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa itu adalah
hutan terlarang bagi orang biasa. Kemudian hamba melihat
betapa Pangeran Cheng Hwa diserang orang bertopeng.
Hamba cepat turun tangan membela pangeran akan tetapi
terlambat menolong lima orang pengawal yang dibantai,
hamba berhasil memukul penyerang itu, akan tetapi muncul
orang bertopeng kedua yang memiliki ilmu silat tinggi
melarikan orang pertama. Hamba tidak melakukan pengejaran
karena hamba khawatir kalau hamba meninggalkan Pangeran
Cheng Hwa seorang diri, akan muncul penjahat lain yang akan
menyerangnya. Kemudian Pangeran Cheng Hwa mengajak
hamba ke istana dan hamba menuruti perintahnya."
"Semua pernyataan yang diucapkan Han Lin itu benar dan
hamba menjadi saksinya, Ayahanda Yang Mulia." Pangeran
Cheng Hwa yang bagaimanapun juga masih merasa berhutang
budi kepada Han Lin dan karenanya ingin membela Han Lin.
Kaisar Cheng Tung tetap mengerutkan alisnya dan
mendengar pembelaan putra mahkota itu dia menganggukangguk
sambil mengelus jenggotnya sambil memandang
kepada Han Lin. "Han Lin, bagaimana jawabanmu terhadap tuduhan bahwa
engkau telah mengintai para pangeran yang berada di Pondok
Teratai kemudian ketika Pangeran Cheng Lin memergokimu,
engkau menyerangnya dan hendak membunuhnya. Benarkah
semua itu?" "Hamba akui bahwa hal itu memang benar, Yang Mulia.
Hamba telah mendapat tugas untuk melindungi keselamatan
keluarga paduka, dan karena hamba khawatir kalau-kalau
para penjahat akan datang untuk membunuh para pangeran,
maka ketika para pangeran memasuki pondok Teratai, hamba
sengaja memdatangi dan menjaga. Kemudian Pangeran
Cheng Lin keluar dan meneriaki hamba sebagai penjahat dan
pembunuh, kemudian hamba berkelahi dengannya....."
"Kenapa engkau melawannya dan hendak membunuhnya?"
Kaisar mendesak, mulai marah karena semua yang dituduhkan
Pangeran Cheng Lin itu diakui oleh Han Lin.
"Karena...... karena..... dia.... dan hamba memang
bermusuhan sejak dia belum menjadi pangeran." Terpaksa
Han Lin mengaku demikian karena dia tahu bahwa kalau dia
mengatakan yang sesungguhnya tentang diri pangeran palsu
itu, tentu dia tidak akan dipercaya bahkan membuat dia makin
kelihatan jelek dan bersalah, disangka melakukan fitnah
karena kata-katanya tidak mungkin dibuktikan.
"Ayahanda Yang Mulia, jelas pemuda ini berdosa besar.
Mungkin dia pula yang telah membunuh adinda Cheng Siu.
oleh karena itu hamba berpendapat bahwa ia adalah seorang
yang amat berbahaya bagi keselamatan keluarga istana dan
patut dijatuhi hukuman mati!" kata Ki Seng.
Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya dan memandang
Putera Mahkota Cheng Hwa. "Pangeran Cheng Hwa,
bagaimana pendapatmu?"
Pangeran Cheng Hwa memberi hormat lalu berkata dengan
sikap tenang dan suaranya tegas. "Ayahanda Yang Mulia
menurut pendapat dan pandangan hamba semua yang
dikemukakan adinda Cheng Lin itu baru merupakan dugaan
belaka. Tidak ada buktinya bahwa Han Lin adalah seorang di
antara para pembunuh. Hanya satu yang sudah terbukti dia
bersalah, yaitu bahwa dia melawan dan menyerang adinda
Cheng Lin, akan tetapi hal itupun dilakukan karena dia
mempunyai permusuhan dengan adinda Cheng Lin,
permusuhan pribadi. Karena itu, dia belum pantas dikenakan
hukuman karena kedosaannya belum terbukti."
Kaisar Cheng Tung mengangguk-anguk kemudian berkata.
"Baiklah, kami akan mengambil keputusan tengah-tengah
dengan seadilnya. Han Lin belum terbukti menjadi pembunuh,
akan tetapi dia tetap bersalah karena berani menyerang
Pangeran Cheng Lin. Karena itu, dia harus dihukum cambuk
dua puluh kali dan diusir keluar dari kota raja!"
Ki Seng merasa kecewa, akan tetapi karena hal itu telah
menjadi keputusan. dan tak seorangpun boleh atau berani
membantah. "Menaati perintah Yang Mulia Kaisar, hayo seret dia keluar istana,
laksanakan hukumannya sekarang juga"
Kata Ki Seng kepada para pengawal.
Kaisar menyuruh mereka semua mengundurkan diri. Ki
Seng memimpin para pengawal membawa Han Lin keluar dari
istana. Pangeran Cheng Hwa tidak ikut, akan tetapi dia
berkata kepada adiknya "Adinda Cheng Lin, ingat, engkau
tidak boleh lancang melanggar perintah Yang Mulia. Han Lin
tidak boleh dibunuh lalu setelah dihukum cambuk dua puluh
kali harus dibebaskan."
"Baik, kakanda. Tentu saja saya tidak berani melanggar
perintah." kata Ki Seng dengan sikap patuh.
Dengan disaksikan empat orang pangeran itu, Han Lin
dibawa keluar istana dan di alun-alun depan istana, hukuman
cambuk dilaksanakan oleh seorang pengawal bertubuh tinggi
besar yang menjadi algojonya. Hukuman itu dilaksanakan di
bawah pohon besar yang tumbuh di alun alun itu. Han Lin
dibelenggu kedua tangannya ke belakang tubuhnya dan dia di
suruh berlutut. Bajunya ditanggalkan. Sebuah lampu gantung
besar di pohon menerangi dan tampak algojo yang tinggi
besar dengan kedua lengan berotot kekar itu sudah siap
dengan sebatang cambuk terbuat dari pada rotan. Lima orang
pangeran, Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek, Cheng Lin dan
Cheng Bhok sudah duduk di atas kursi, tidak jauh dari situ.
Dua losin perajurit berdiri melakukan penjagaan.
"Laksanakan hukuman sekarang juga" teriak Pangeran
Cheng Lin. Mendengar ini, Pangeran Cheng Hwa mengerutkan
alisnya. Lancang benar, pikirnya. Dia berada di situ dan
sepatutnya dialah yang mengeluarkan perintah, bukan
Pangeran Cheng Lin. Akan tetapi karena perintah sudah
dikeluarkan, dia diam saja. Biarpun demikian, mendengar
perintah yang keluar dari mulut Ki Seng itu, Algojo itu
menoleh dan memandang kepada Pangeran Mahkota Cheng
Hwa dengan pandang mata menanti perintah. Algojo itu tahu
benar bahwa di antara semua pangeran yang hadir di situ,
Pangeran Cheng Hwa yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Melihat ini, Pangeran Cheng Hwa mengangguk. Diapun ingin
melihat pelaksanaan hukuman cambuk itu cepat diselesaikan
agar Han Lin dapat segera bebas.
Algojo segera melaksanakan tugasnya setelah melihat
anggukan Pangeran Cheng Hwa. Dia mengangkat cambuknya
ke atas dan mengayun cambuk menimpa punggung Han Lin
yang telanjang. "Tarr..... tarrr.... tarrr.....!!" Cambuk melecut-lecut ke atas kulit punggung
Han Lin. Algojo menghitung sebelum
Cambuknya melecut. Kalau bukan punggung Han Lin yang
tertimpa lecutan cambuk rotan seperti itu yang digerakkan
oleh tenaga yang kuat, tentu kulit punggungnya akan pecahpecah.
Akan tetapi Han Lin melindungi tubuhnya dengan ilmu
kebal Tiat-pouw-san (Baju Besi) sehingga cambuk itu seolah
melecut papan yang amat kuat dan tidak mendatangkan luka
apapun kecuali sedikit memar dan bilur-bilur!
"Sebelas.... tarrr! Dua belas.... tarr!!" hitungan dan cambukan itu berlangsung
bertubi-tubi, namun sedikitpun
tidak ada rintihan keluar dari mulut Han Lin dan tubuhnya
sedikitpun tidak bergerak. Pangeran Cheng Hwa diam-diam
kagum dan senang. Dia dapat menduga bahwa pemuda
penolongnya itu tentu melindungi tubuhnya dengan kekebalan
sehingga cambukan itu tidak melukainya.
".....tujuh belas.... tarr! Delapan belas. ". .tarrr!!"
"Tahan!!" tiba-tiba Ki Seng bangkit berdiri dan mengangkat tangannya
menghentikan cambukan itu. Sang algojo menahan
cambukan berikutnya dan menoleh kepadanya.
"Ada apakah, Yang Mulia Pangeran?" tanyanya.
"Hentikan dulu cambukan itu. Engkau tidak memukul
dengan sungguh-sungguh. Lecetpun tidak kulit punggung
yang kau cambuk itu. Ini bukan hukuman namanya. Kakanda
Pangeran, perkenankan hamba melakukan cambukan yang
tinggal dua kali lagi itu. Saya harus ikut menghukum orang
yang tadi hendak membunuhku!"
Pangeran Cheng Hwa tersenyum mengejek. Dia sama
sekali tidak tahu bahwa Ki Seng yang disangkanya benar adik
tirinya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dipikirnya
hanya memil ki ilmu silat biasa saja dan belum tentu
tenaganya lebih kuat dibandingkan algojo raksasa itu. Apa
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
artinya dua kali cambukan yang dilakukan Pangeran Cheng Lin
dibandingkan dengan delapan belas kali cambukan yang telah
dilakukan oleh algojo raksasa itu. Dia tersenyum dan
mengangguk. "Silakan, adinda pangeran. Tapi ingat engkau hanya boleh
mencambuk punggungnya, jangan mencambuk tengkuk atau
kepala, apalagi sampai mematikannya!" ulang suaranya yang lembut terdapat wibawa
yang tegas. Diam-diam Ki Seng
merasa mendongkol juga. Tadinya dia memang ingin
melakukan sisa dua kali cambukan untuk membunuh Han Lin.
kalau dia mencambuk tengkuk atau kepala, pasti Han Lin akan
tewas. Akan tetapi angeran Mahkota Cheng Hwa sudah
mendahuluinya dan melarangnya. Dia terpaksa harus menaati
karena kalau melanggar, dia menempatkan diri dalam posisi
yang amat berbahaya. "Tentu saja, kakanda. Terima kasih."
Ki Seng lalu menghampiri tempat pelakuan hukuman itu,
mengambil cambuk dari tangan sang algojo.
Han Lin terkejut sekali ketika melihat cambuk itu kini
diambil oleh Ki seng. Mengertilah dia bahwa dirinya terancam
bahaya maut. Akan tetapi dalam keadaan menjadi terhukum,
dia tidak dapat berbuat sesuatu. Tidak mungkin dia
membantah. Hanya ada satu hal yang menyelamatkannya,
yaitu ucapan Pangeran Cheng Hwa kepada Ki Seng.
Pangeran Mahkota itu melarang "adiknya" untuk
mencambuk tengkuk atau kepala. Hal inilah yang
menyelamatkannya, kalau hanya dicambuk di bagian
punggung dia tidak akan tewas, walaupun kemungkinan besar
dia menderita luka dan Kekebalan ilmu Tiat-pouw-san saja
tidak akan mampu menahan kehebatan pukulan cambuk yang
dilakukan oleh Ki Seng yang lihai sekali. Tentu Ki Seng akan
memilih bagian jalan darah yang paling lemah. Han Lin lalu
mengheningkan seluruh batinnya, mempersatukan semua
kekuatan dalam tubuhnya dan menyalur kekuatan itu untuk
melindungi jalan darah di kedua pundaknya.
Ki Seng menghitung dengan selantang lalu mencambuk dan
seperti sudah diperhitungkan Han Lin, dia mengerahkan
seluruh tenaganya pada dua cambukan itu.
"Sembilan belas! Syuuuuuttt...... darr.....!!" Han Lin merasa pundaknya seperti
disambar petir dan dia merasa pula betapa
dari perutnya keluar darah melalui mulutnya. Namun dia
masih tetap menghimpun dan mengerahkan tenaganya untuk
menerima pukulan ke dua. "Dua puluh! Syuuuuttt..., darrr....!!" tubuh Han Lin terguling dan dari mulutnya
muntah darah segar! Ki Seng memandang kepada Han Lin yang rebah miring
sambil tersenyum puas. "Mampus kau!" desisnya lirih dan lalu mengembalikan
cambuk kepada algojo dan menghampiri saudara-saudaranya.
Pangeran Cheng Hwa bangkit dari kursinya dan lari
menghampiri Han Lin. Han Lin sudah bangkit perlahan, masih
berlutut. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pening sekali.
"Han Lin, engkau tidak apa-apakah?" tanya Pangeran
Cheng Hwa khawatir. Han Lin menggeleng kepalanya. "Ti , tidak apa-apa, terima kasih Pangeran."
"Sekarang engkau boleh pergi dengan bebas," kata pula Pangeran Cheng Hwa, lalu
berkata kepada kepala pasukan
yang memimpin dua losin perajurit yang berjan di situ. "Antar dan kawal dia
sampai keluar dari pintu gerbang selatan. Awas,
jaga baik-baik jangan sampai ada orang mengganggunya.
Kalian yang bertanggung jawab atas keselamatannya sampai
keluar pintu gerbang!"
Perintah ini dilaksanakan dengan baik oleh perwira yang
memimpin dua losin perajurit pengawal itu. Dalam keadaan
lunglai Han Lin dikawal sampai ke pintu gerbang selatan
kemudian dilepaskan. Ketika itu malam sudah larut dan Han
Lin melangkah terhuyung-huyung dalam kegelapan malam
yang hanya diterangi oleh bintang-bintang yang bertaburan di
angkasa. Menjelang fajar dia sudah jauh meninggalkan pintu
gerbang kota raja dan dia merasa betapa tenaganya sudah
hampir habis. Kedua kakinya gemetar dan akhirnya dia jatuh
terkulai di bawah sebatang pohon yang berdiri di tepi jalan
raya. Seorang gadis berpakaian putih cepat menghampirinya.
"Sobat, engkau kenapakah" Engkau sakit?" tanya gadis itu dengan suara lembut
sambil menghampiri Han Lin dan cepat
meraba pergelangan tangan kiri Han Lin untuk merasakan
denyut nadinya. Han Lin bangkit duduk dan mereka saling
pandang. "Adik Tan Kiok Hwa.....!" seru Han Lin dengan girang sekali sehingga sejenak ia
melupakan rasa sesak dan nyeri
didadanya. "Kakak Han Lin.....! Engkaukah ini" diamlah saja, jangan
bergerak, engkau terluka. Duduklah bersila, akan kucoba
mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu!"
Karena maklum akan kelihaian gadis yang tak pernah dia
lupakan itu dalam ilmu pengobatan, Han Lin menurut. ia
duduk bersila dan mengendurkan seluruh urat syarafnya.
Setelah memeriksa detak nadi dan pernapasan Han Lin,
Kiok Hwa lalu menotok beberapa jalan darah di kedua pundak
dan punggung. Setelah itu ia mengeluarkan jarum emas dan
jarum peraknya dan mulai mengobati Han Lin dengan tusukjarum
di sekitar punggungnya, setelah Han Lin melepaskan
bajunya. Fajar menyingsing. Sinar matahari mulai mengusir kabut
pagi dengan sinarnya yang lembut. Han Lin merasa betapa
sesak dan nyeri di dadanya sudah menghilang. Kiok Hwa
mencabuti jarum-jarumnya dan berkata dengan nada lega.
"Bahaya sudah lewat, Lin-ko. sekarang tinggal mengobati
luka di kedua pundakmu." Ia mengeluarkan sebungkus obat
bubuk putih dan menaburkan obat kepada luka-luka di pundak
Han Lin. Terasa dingin dan nyaman sekali oleh Han Lin.
"Terima kasih, Hwa-moi, aku sudah sembuh kembali.
Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul
menolongku." "Jangan bicara dulu, Lin-ko. Walaupun engkau sudah
sembuh, akan tetapi engkau kehabisan tenaga. Himpunlah
dulu tenaga murni untuk memulihkan kekuatanmu. Dalam
keadaan seperti sekarang ini engkau harus selalu siap siaga,
dalam keadaan sehat dan memiliki tenaga sepenuhnya."
Han Lin mengangguk, lalu diapun memejamkan mata dan
menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya, Kiok
Hwa duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari
tanah, memandang dan menjaga pemuda itu dengan pandang
mata penuh kasih sayang. Terbayanglah semua
pengalamannya dengan Han Lin. Tanpa melalui banyak
pengakuan kata-kata, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia
mencinta Han Lin dan pemuda itupun mencintanya. Akan
tetapi karena ia tahu betapa gadis yang dikenalnya sebagai
Suma Eng itu mati-matian mencintai Han Lin. Ia tidak tega
untuk merebut pemuda itu dari gadis yang sudah lama
mencinta pemuda itu. Ia mengalah dan meninggalkan mereka.
Ia lalu memasuki kota raja dan mendapat pengalaman tidak
enak ketika ia hendak dijebak orang jahat yang berpura-pura
sakit di sebuah kamar losmen. Akan tetapi tidak lama ia
berada di kota raja karena mendengar bahwa di daerah Lamteng
yang berada sebelah selatan kota raja berjangkit
penyakit demam panas yang sudah makan banyak korban. Ia
bergegas pergi ke daerah itu untuk menolong orang-orang
yang kejangkitan penyakit itu. la sudah berhasil menolong dan
menyelamatkan banyak orang sehingga namanya sebagai Pek
I Yok Sian-li semakin terkenal. Untuk keperluan itu, Kiok Hwa
harus mondar mandir ke kota raja untuk membeli obat obatan
dari rumah obat. Ketika ia datang pergi ke kota raja membeli
obat, bertemu dengan Souw Tek dan Su Te Ek yang terluka
dalam pi-bu (adu silat di Hek-tiauw Bu-koan. Juga pada hari
ini ia sedang hendak pergi ke kota raja untuk membeli obat
ketika ia melihat pemuda terhuyung-huyung lalu roboh di
bawah pohon yang kemudian ternyata adalah Han Lin.
Kiok Hwa menghela napas panjang, sudah mengalah
terhadap Suma Eng dan berusaha menjauhkan diri dari Han
Lin, Akan tetapi nasib rupanya menghendaki lain dan secara
tidak terduga sama sekali kini ia bertemu lagi dengan Han Lin
bahkan harus mengobatinya karena pemuda itu menderita
luka yang cukup parah. Dan pertemuan itu menambah
goresan yang memperdalam perasaan cinta kasih-kepada Han
Lin. Baru memandang kearah pemuda itu yang bersamadhi
memejamkan mata saja, ada daya tarik yang luar biasa yang
mencengkeram perasaan hatinya. Pada saat itu tahu benarlah
Kiok Hwa bahwa tanpa adanya pemuda itu di sampingnya,
hidup selangjutnya akan terasa hampa dan tidak menarik!
Matahari makin cerah. Cahayanya yang tadinya kuning
kemerahan mulai memutih dan panas mulai menyengat, Kiok
Hwa merasa senang melihat betapa kedua pipi Han Lin mulai
memerah, menunjukkan bahwa pemuda itu sudah sehat betul
dan selain kesehatannya sudah pulih, juga tenaganya sudah
utuh kembali. Han lin menggerakkan pelupuk matanya kemudian
membuka kedua matanya, lalu menoleh ke arah Kiok Hwa.
Keduanya tersenyum. "Hwa-moi, kembali engkau telah menolongku. Entah
berapa kali sudah kau menolong dan menyelamatkan aku
akan tetapi mengapa engkau selalu menjauhkan diri dariku,
Hwa-moi?" Ada tuntutan terkandung dalam ucapan itu dan Kiok Hwa
merasa terharu. "Sudahlah, jangan bicarakan hal itu Lin-ko. Sekarang
ceritakan, bagaimana engkau sampai menderita seperti ini.
Engkau terkena pukulan pada kedua jalan darah di pundakmu,
dan pukulan itu mengandung hawa beracun yang jahat. dan
punggungmu penuh bilur-bilur seperti bekas cambukan. Apa
yang terjadi?" Han Lin menghela napas panjang, ia tidak ingin
menceritakan tentang sebenarnya bahwa dia seorang
pangeran, Ia khawatir kalau hal itu diketahui Kiok Hwa, akan
mengubah sikap gadis itu terhadap dirinya. Tidak, dia ingin
dikenal Kiok Hwa sebagai Han Lin, pemuda biasa. Bahkan
kepada Sian Engpun dia tidak membuka rahasia ini. Sekali saja
membuka rahasia sudah cukup menyengsarakannya, yaitu
ketika dia membuka rahasianya itu kepada A Seng.
Mendengar pertanyaan itu, otomatis Han Lin meraba
punggungnya dan baru menyadari bahwa dia telah kehilangan
pedangnya. Im-yang-kiam telah hilang, Ia mengingat-ingat.
Ketika dia ditangkap oleh para perajurit, pedangnya diambil
oleh Ki Seng! "Ada apakah, Lin-ko" Engkau seperti mencari sesuatu!"
tegur Kiok Hwa. "Pedangku....., pedangku diambil orang....!" kata Han Lin dan teringat akan
semua perbuatan Ki Seng yang kini menjadi
Pangeran Cheng Lin dia merasa gemas sekali.
"Im-yang-kiam" Ah, siapa yang telah mengambilnya, Linko?"
tanya Kiok Hwa yang ikut merasa menyesal bahwa
pedang pusaka yang langka itu diambil orang.
Kan Lin menghela napas panjang.
"Panjang ceritanya, Hwa-moi. Aku telah menyelamatkan
Pangeran Mahkota Cheng Hwa yang akan dibunuh orang jahat
dekat hutan. Beliau lalu membawaku ke istana dan aku diberi
pekerjaan sebagai seorang pengawal di istana. Akan tetapi
malam tadi, aku difitnah. Aku dituduh hendak membunuh para
pangeran. Kiasar marah sekali dan aku tentu sudah dijatuhi
hukuman mati kalau saja Pangeran Mahkota Cheng Hwa tidak
membela. Karena pembelaan beliau maka hukuman ku
diperingan, yaitu menerima hukuman dua puluh kali
cambukan." "Hemm, engkau yang memiliki sinkang amat kuat dan
memiliki kekebalan, mengapa sampai menjadi begini ketika
dicambuk" Kukira jangankan hanya dua puluh kali, biar
seratus kalipun engkau tentu tidak akan terluka kalau engkau
mengerahkan sin-kang melindungi tubuhmu." kata Kiok Hwa
heran. "Algojo hanya mencambuk sampai delapan belas kali saja,
lalu cambuknya di minta Pangeran Cheng Lin dan dia yang
mencambuk aku dua kali sehingga aku menderita luka parah."
"Hemm, jadi Pangeran Cheng Lin itu seorang yang memiliki
ilmu kepandaian silat tinggi?"
"Benar, dan dia jahat seperti iblis."
"Ah, kalau begitu dia pula yang menjatuhkan fitnah atas
dirimu?" "Benar." "Dan dia pula yang mengambil im yang-kiam darimu?"
"Memang benar, Hwa-moi."
"Hemm. Tidak akan ada asap kalau dak ada apinya. Tidak
akan turun hujan kalau tidak ada awalnya. Tidak ada akibat
tanpa sebabnya. Lin-ko, mengapa seorang pangeran dapat
begitu membencimu" Padahal engkau telah menyelamatkan
Pangeran Mahkota" Katakan, mengapa Pangeran Cheng Lin
itu demikian membencimu, Lin-ko?"
Han Lin merasa terdesak, namun dia bertekad untuk
mempertahankan rahasianya. Setelah berpikir sesaat, dia
menjawab, "Dia baru saja diterima sebagai pangeran, Hwamoi.
Aku sudah mengenalnya dengan baik sebelum dia
menjadi pangeran, yaitu ketika dia masih menjadi murid
Cheng Hian Hwesio, Bahkan boleh dibilang dia itu masih
saudara seperguruanku karena akupun dilatih ilmu silat oleh
Cheng Hian Hwesio. Ketika itu, dia melakukan perbuatan
menyeleweng dan minggat meninggalkan kami. Kemudian
menjadi pangeran dan melihat aku berada di istana, mungkin
dia khawatir aku aku membeberkan kejahatannya dan
mungkin dia menganggap aku sebagai saingan."
Tiba-tiba Han Lin memegang lengan Kiok Hwa dan matanya
memandang ke depan. Kiok Hwa menengok dan gadis inipun
melihat bayangan dua orang berlari cepat menuju ke tempat
itu. Setelah dua orang itu tiba dekat, dengan kaget Han Lin
dan Kiok Hwa melihat bahwa mereka itu bukan lain adalah
Toa Ok dan Suma Kiang! "Itu dia!" seru Toa Ok.
"Bunuh dia!!" kata pula Suma Kiang.
Dua orang datuk ini memang diutus oleh Pangeran Cheng
Boan yang sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istana malam itu. Mendengar bahwa Han Lin atau Pangeran
Cheng Lin yang aseli itu hanya dihukum cambuk dan dilukai
oleh Ki Seng akan tetapi tidak dapat di bunuh karena dibela
Pangeran Mahkota Cheng Hwa, dia cepat mengutus dua orang
jagoannya itu. "Cepat kejar dan bunuh dia selagi terluka parah" demikian perintahnya.
Demikianlah, dua orang itu keluar dari kota raja
dan melakukan pengejaran. Mereka mengira bahwa Han Lin
masih menderita luka parah maka segera mereka menerjang
maju untuk membunuhnya. Toa Ok sudah menggunakan Kimliong-
kiam (Pedang Sinar Emas) yang berubah menjadi
gulungan sinar emas yang dahsyat. Suma Kiang juga sudah
mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan langsung saja
menyerang dengan cepat dan kuatnya.
Pada saat itu, Han Lin memang sudah sembuh sama sekali
dari luka dalam di tubuhnya. Akan tetapi walaupun dia sudah
menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya dan
tenaga sin-kang-sudah kembali, namun dia masih sedikit
lemah dari pada biasanya.
Menghadapi serangan tiga batang pedang yang digerakkan
tangan-tangan yang amat kuat itu, Han Lin segera
mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sehingga
tubuhnya bergerak cepat dan lincah searti seekor burung
walet, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya berubah
menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara sinar tiga
batang pedang itu. Dia bersilat dengan Ngo-heng Sin-kun
(Ilmu Sakti Lima Unsur) dan kadang membalas dengan
totokan It-yang-ci. Namun, kondisinya yang masih lemah dan kepalanya yang
masih terasa sedikit pening itu membuat Han Lin desak hebat.
Tiga batang pedang di tangan kedua orang lawannya benarbenar
amat berbahaya dan biarpun Han Lin sudah mengelak
sedapatnya, tetap saja ujung pedang Toa Ok melukai pangkal
lengan kirinya dan ujung pedang Suma Kiang juga melukai
paha kanannya. Pangkal lengan kiri dan paha kanan Han Lin
terluka mengucurkan darah dan dari rasa panas di kedua
bagian tubuh yang terluka itu tahulah dia bahwa lukanya itu
mengandung racun. Pedang-pedang kedua orang datuk sesat
itu tentu telah direndam racun. Karena dua luka di tubuhnya
itu, gerakan Han Lin menjadi semakin kendur dan lambat.
Melihat ini, Kiok Hwa dengan nekad menerjang untuk
membela Han Lin. "Kalian jahat dan tidak tahu malu mengeroyok seorang
yang tidak membawa senjata!" Kiok Hwa berkelebat dan
berusaha merampas pedang di tangan Toa Ok dengan jalan
memukul siku kanannya agar pedang itu terlepas dari
tangannya. Gerakan Kiok Hwa itu cepat bukan main sehingga
Toa Ok tidak dapat menghindar.
"Plakk!" Siku kanannya terpukul dan seketika tangannya menjadi tergetar lumpuh
dan pedangnya terlepas dari
pegangannya. Tangan kirinya menyambar dan menyambar
bawah pundak kanan Kiok Hwa.
"Desss.....!" tubuh Kiok Hwa terpental dan terbanting roboh di bawah pohon.
"Hwa-moi.....!" Han Lin berseru dan cepat dia menyerang Toa Ok dengan tiga buah
totokan secara bertubi. Toa Ok
terkejut dan melompat ke belakang. Akan tetapi Han Lin tidak
sempat menghampiri Kiok Hwa karena Suma Kiang sudah
menyerangnya lagi dengan sepasang pedangnya.
"Lin-ko, sambut.....!" Kiok Hwa yang telah terluka bawah pundak kanannya itu
menemukan sebatang kayu ranting
sebesar lengannya di bawah pohon itu. Dengan tangan kirinya
ia melontarkan ranting itu ketika Han Lin melompat belakang
dan menoleh kepadanya, han Lin menyambar tongkat itu
dengan tangannya. Pada saat itu, Toa Ok dan Suma Kiang
sudah menyerang lagi. Han Lin memutar tongkat ranting itu
dan segera memainkan ilmu silat Sin-tek-tung (Tongkat
Bambu Sakti). Gulungan sinar kuning yang aneh melingkarlingkar dan mencuat ke
sana-sini tampak dan ternyata
gulungan sinar permainan tongkatnya mampu membendung
gelombang serangan ketiga pedang. Namun, dalam keadaan
terluka dan mengeluarkan banyak darah, Han Lin menjadi
semakin lemah sehingga tongkatnya itu hanya dapat
dipergunakan untuk melindungi dirinya saja tanpa mendapat
kesempatan untuk balas menyerang.
Kiok Hwa melihat bahaya ini, akan tetapi ketika ia bangkit
untuk nekat menolong lagi, tubuhnya terkulai lemah dan ia
roboh kembali. Ternyata pukulan tangan kiri Toa Ok yang
mengenai dadanya tadi membuat terluka di sebelah dadanya
yang cukup parah. Keadaan Han Lin gawat. Agaknya tak lama lagi ia akan
roboh dan tewas, dan kalau hal ini terjadi, tentu keselamatan
kiok Hwa juga terancam maut.
Mendadak berkelebat bayangan merah muda dan terdengar
bentakan nyaring, "Toa Ok dan Suma Kiang dua manusia iblis yang hina dan jahat!"
Sinar pedang berwarna hijau
menyambar ganas ke arah leher Suma Kiang. Datuk ini
terkejut dan cepat menangkis dengan pedang kanannya.
"Cringgg....!!" Bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu dan Suma Kiang
melihat bahwa yang menyerangnya
bukan lain adalah Lo Sian Eng, atau yang diakuinya sebagai
Suma Eng, anak- yang dahulu amat disayangnya!
"Suma Eng, mundurlah, aku tidak ingin membunuhmu!"
kata Suma Kiang yang bagaimanapun juga masih mempunyai
perasaan sayang kepada gadis yang semenjak kecil dianggap
sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan semua ilmunya
sudah dia turunkan kepada gadis itu.
"Aku Lo Sian Eng, bukan Suma Eng. Engkau tidak ingin
membunuhku, akan tetapi aku ingin membunuhmu seratus
kali untuk membalaskan dendam ayah dan ibu kandungku!"
bentak Sian Eng dan iapun sudah menyerang dengan hebat.
Suma Kiang terpaksa menangkis dan membalas menyerang
untuk membela diri. Sementara itu, Toa Ok masih bertanding melawan Han Lin.
Karena kini Han Lin tidak dikeroyok lagi, maka lawannya
menjadi agak ringan baginya. Akan tetapi sebaliknya, darah
banyak keluar dari tubuhnya dan dia mulai lemas. Dengan
demikian, kekuatan mereka berdua seimbang dan
pertandingan itu berlangsung seru dan mati-matian.
Kiok Hwa yang bersandar di batang pohon menjadi agak
lega melihat munculnya Sian Eng. Diam-diam ia menghela
napas panjang. Mereka bertiga selalu bertemu. Mengapa
begitu kebetulan" Sian Eng yang penuh dendam itu mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya sehingga Suma Kiang menjadi
kewalahan. Datuk ini segera terdesak hebat oleh pedang
Ceng-liong- kiam (Pedang Naga Hijau) di tangan gadis perkasa
itu. Suma Kiang melindungi dirinya sekuat mungkin, namun
akhirnya sebuah sambaran pedang Sian Eng mengenai lengan
kirinya sehingga lengan itu terluka menganga di atas siku.
Suma Kiang melompat belakang.
Sian Eng hendak mendesak untuk nembunuh ayah
angkatnya itu, akan tetapi pada saat itu terdengar Kiok Hwa
berseru, "Eng-moi (Adik Eng), bantulah Lin-ko.....!"
Sian Eng menoleh dan melihat betapa Han Lin dengan
wajah pucat didesak Toa Ok yang bergerak semakin ganas.
Khawatir akan keadaan Han Lin, Sian Eng melompat ke dekat
dua orang yang sedang bertanding mati-matian itu.
Pedangnya meluncur dan menusuk ke arah punggung Toa Ok
dari belakang. "Singgg....!!" Sinar hijau menyambar ke arah dada Toa Ok.
Datuk yang lihai ini mendengar suara pedang dari arah
belakangnya. Dia memutar tubuh ke kiri untuk mengelak, akan
tetapi tetap saja pedang itu menyerempet iga kiri di bawah
lengan. Toa Ok menggerakkan tangan kirinya memukul.
"Crakk......desss....!" Pedang itu mengenai dada kiri Toa Ok, akan tetapi
pukulan tangan kiri yang mengandung ilmu
Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) itupun mengenai
pundak Sian Eng. Dara perkasa itu terdorong ke belakang
akan tetapi tidak sampai jatuh. Toa Ok yang melihat betapa
Suma Kiang sudah melarikan diri dan dia sudah terluka, tidak
ada semangat lagi untuk melanjutkan perkelahian karena
maklum bahwa hal akan sangat membahayakan dirinya. ia lalu
melompat jauh dan melarikan diri dengan luka berdarah pada
dada kirinya Sian Eng melihat Han Lin berdarah darah pada pangkal
lengan dan pahanya dan pemuda itu berdiri dengan tubuh
bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Ia melihat pula Kiok
Hwa menghampiri Han Lin dan gadis berpakaian putih itupun
terhuyung-huyung, agaknya terluka pula. Sian Eng merasa
betapa dadanya sesak dan sukar bernapas, namun ia
menguatkan dirinya dan menghampiri mereka.
"Lin-ko, bagaimana luka-lukamu?" tanyanya khawatir
sambil memegang lengan pemuda itu. Lengan kanan pemuda
itu sudah dipegang oleh Kiok Hwa.
Han Lin memandangnya dan tersenyum. "Aku tidak apaapa,
Eng-moi. Hanya luka-luka daging saja dan lemas..."
"Dia kehilangan banyak darah, adik Eng." kata Kiok Hwa.
Sian Eng merasa lega dan tiba-tiba ia merasa kepalanya
pening sekali. Segala tampak berpusing.
"Sukur..... sukurlah....." katanya dan ia lalu roboh terkulai, pingsan!
"Eng-moi....!" Seru Han Lin.
"Adik Eng! Engkau kenapa?" seru Kiok Hwa dan mereka
berdua berjongkok dekat tubuh Sian Eng yang rebah telentang
dengan muka pucat sekali. Kiok Hwa cepat memeriksa
keadaan Sian Eng. tak lama kemudian ia berdiri dan
mengerutkan alisnya. "Bagaimana, Hwa-moi" Bagaimana keadaannya?"
Kiok Hwa menghela napas panjang.
"Keji sekali Toa Ok. Adik Eng terkena pukulan Ban-tokciang pada pundaknya. Masih
untung bahwa ia memiliki tubuh
yang sehat dan tenaga sin-kang yang kuat. Dan lebih
menguntungkan lagi agaknya ia dahulu telah banyak minum
obat anti racun ketika ia mempelajari pukulan-pukulan
beracun. Kurasa hawa beracun Ban-tok-ciang tidak akan
menjalar kejantungnya dan aku masih sanggup mengobati
dan menyembuhkannya."
"Ah, sukur sekali kalau begitu, Hwa moi." kata Han Lin dan diapun mengeluh
karena tubuhnya terasa lemah sekali, ia lalu
duduk bersila dekat Sian Eng yang masih pingsan.
"Lin-ko, aku tadi sudah menotok jalan darahmu untuk
menghentikan keluarnya darah dari kedua luka di pangkal
lengan dan pahamu. Akan tetapi engkau sudah mengeluarkan
banyak darah dan engkau harus beristirahat dan makan obat
kuat yang akan kubuatkan untukmu."
"Hwa-moi, aku lihat engkau sendiri juga terluka. Engkau
tadi juga terkena pukulan tangan Toa Ok yang berbahaya!"
Han Lin memandang wajah Kiok Hwa yang pucat.
Kiok Hwa menggeleng kepalanya. "Aku memang terluka,
akan tetapi aku dapat mengatasinya. Jangan
mengkhawatirkan aku. Lebih baik sekarang mari kita bawa
adik Eng. Aku tadi melihat sebuah pondok bambu di hutan
sana itu, pondok bambu kosong yang agaknya ditinggalkan
para pemburu. Kita beristirahat di sana."
Han Lin mengerahkan tenaganya dan bangkit berdiri. Kiok
Hwa menotok beberapa jalan darah di tubuh Sian Eng dan
gadis itu mengeluh lirih lalu membuka matanya.
"Bagaimana keadaanmu, Eng-moi?" Han Lin bertanya.
"Dadaku...... nyeri panas dan napasku sesak......" keluh Sian Eng.
"Adik Eng, mari kita masuk hutan di sana itu, ada sebuah
pondok bambu di sana, kita dapat beristirahat dan mengobati
luka kita. Lin-ko dan akupun terluka dan lemah, maka tidak
dapat memondongmu. Mari kami bantu engkau berjalan ke
sana." Kiok Hwa lalu membantu Sian Eng bangkit dan gadis
perkasa ini menggigit bibir mengerahkan sisa tenaganya untuk
melangkah dan ia dipapah oleh Han Lin dan Kiok Hwa. Tiga
orang muda yang terluka itu terhuyung-huyung memasuki
hutan dan benar saja, tidak jauh dari situ terdapat sebuah
pondok bambu, bahkan ada empat buah dipan bambu di
dalam pondok. Tempat ini biasanya menjadi tempat pondokan
para pemburu kalau kemalaman di dalam hutan.
Setelah membaringkan Sian Eng di atas sebuah dipan, Kiok
Hwa lalu mulai mengobati Sian Eng dan juga Han Lin. Iapun
minum obat untuk menyembuhkan lukanya sendiri.
Pengobatan dari Kiok Hwa itu manjur bukan main sehingga
menjelang malam hari, mereka semua telah dapat terhindar
dari bahaya dan telah sembuh. Akan tetapi mereka, terutama
Han Lin, harus istirahat selama beberapa hari untuk
memulihkan tenaganya. Kebetulan sekali dalam pondok itu
terdapat banyak lilin yang ditinggalkan para pemburu
sehingga mereka tidak sampai kegelapan. Pada keesokan
pagi-pagi, Kiok Hwa yang keadaannya paling baik di antara
mereka, meninggalkan pondok dalam hutan itu untuk pergi
membeli bahan makan. Ia membeli bahan makanan yang
sekiranya cukup untuk mereka makan beberapa hari lamanya.
Lo Sian Eng dan Han Lin duduk bersila di atas dipan
bambu. Mereka duduk berhadapan, Sian Eng di atas dipan
yang satu, Han Lin di atas dipan yang lain. mereka melatih
pernapasan untuk menghimpun dan memulihkan tenaga
mereka. Sejak tadi Sian Eng mengamati Han Lin yang duduk bersila
sambil memejamkan kedua matanya. Gadis itu memandang
kagum. Bukan main pemuda yang telah merampas hatinya ini.
Seorang pangeran tulen. Betapa kuatnya menyimpan rahasia
dirinya, bersikap seperti seorang pemuda sederhana. Biarpun
pertanyaan tentang kepangeranannya itu sudah ada di ujung
lidahnya, namun Sian Eng menekan dan menahannya, tidak
ingin membuka rahasia pemuda itu. Dia harus menghormati
rahasia itu. Ia hanya memandang penuh kagum.
Pandang mata yang terdorong oleh perasaan hati memiliki
daya yang kuat sekali. Han Lin yang tadinya memejamkan
matanya itu, tidak dapat menahan lebih lama lagi. Ada
sesuatu yang seseorang mendorongnya untuk membuka
kedua matanya. Ketika dia membuka kedua matanya,
pandang matanya tepat bertemu dengan sepasang mata jeli
yang menatapnya. Dua pasang matanya bertemu pandang,
bertaut, melekat. Sian Eng tersenyum memecahkan pesona
yang membius mereka. "Lin-ko, mengapa engkau memandangku seperti itu?"
tanyanya, malu-malu.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa......" Ah, aku ingin sekali tahu bagaimana engkau tiba-tiba dapat berada
di sana menolongku ketika kami
terancam bahaya maut itu, Eng-moi?"
Sian Eng tidak tersipu lagi. Ia merasa bersukur karena
ucapan Han Lin itu mengusir rasa canggung dan rikuh yang
timbul oleh bertemunya pandang mata mereka.
"Panjang ceritanya, Lin-ko. Sebaiknya engkau yang
bercerita lebih dulu mengapa engkau terluka dan berkelahi
melawan Toa Ok dan Suma Kiang kemarin?"
Han Lin tersenyum. Gadis ini masih seperti dulu. Tak
pernah mau mengalah, bahkan dalam menceritakan
pengalaman sekalipun. "Setelah meninggalkan Hek-tiauw Bu koan, aku melakukan
penyelidikan dan mendengar banyak tentang keluarga istana."
Baru mendengar ini saja Sian Eng telah tersenyum dalam
hatinya. Tidak aneh kalau dia menyelidiki tentang keluarga
istana karena dia sendiri adalah seorang pangeran, pikirnya.
"Pada suatu hari aku mendengar pula bahwa Suma Kiang dan
Toa Ok bekerja pada Pangeran cheng Boan. Ketika melihat
Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu keluar pintu
gerbang bersama sepasukan pengawal, aku menjadi tertarik
dan membayangi dari belakang. Kiranya rombongan itu pergi
ke hutan untuk berburu dan di dalam hutan itu aku melihat
mereka berpencar, kedua orang pangeran itu berpisah dan
mengambil jalan masing-masing untuk berburu. Aku melihat
Pangeran mahkota Cheng Hwa diserang orang bertopeng,
maka aku segera melindunginya. Penyerang itu dapat
melarikan diri bersama temannya yang juga bertopeng,
Pangeran Cheng Hwa membawaku ke istana dan mengangkat
aku sebagai pengawal".
Sian Eng merasa heran sekali. Sungguh aneh, pikirnya. Dia
sendiri seorang pangeran dan Pangeran Mahkota itu tentu
masih saudaranya, mengapa dia telah menyembunyikan diri"
Lalu ia teringat, Tentu karena Ki Seng telah mencuri Suling
Pusaka Kemala dan orang jahat itu kini menyamar sebagai
Pangeran Cheng Lin. Karena Han Lin tidak memegang bukti
diri, yaitu Suling Pusaka Kemala maka dia belum dapat
menyatakan dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin yang sejati!
Sian Eng yang cerdik itu segera dapat menduga akan tetapi ia
diam saja. "Lalu bagaimana, Lin-ko?" Ketika menyebut Lin-ko kali ini, lidahnya terlalu kaku
karena ia menyadari sepenuhnya bahwa
yang dipanggilnya itu adalah seorang pangeran.
"Kemarin malam terjadinya malapetaka itu di taman istana.
Aku dituduh berniat jahat terhadap para pangeran, bahkan
Pangeran Cheng Lin menyerang dan menuduh aku hendak
membunuh pargeran-pangeran di istana. Aku ditangkap dan
hendak dibunuh, akan tetapi aku dibela oleh Pangeran
Mahkota Cheng Hwa sehingga oleh Sri Baginda Kaisar aku
dijatuhi hukuman dua puluh kali cambukan, oleh algojo aku
dicambuk dan tentu saja aku dapat melindungi tubuhku
dengan kekebalan. Akan tetapi baru delapan belas kali,
cambuk itu diminta oleh Pangeran cheng Lin dan aku
dicambuk dua kali olehnya. Dia memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan tenaga sin-kangnya besar sehingga cambukan dua
kali itu membuat aku terluka berat. Aku lalu diusir dari istana bahkan
diharuskan keluar kota raja."
"Betapa kejam dan jahatnya dia....!!" Sian Eng berseru marah sekali terhadap Ki
Seng. "Hemm, kalau aku bertemu
lagi dengan dia, pasti akan kuhancurkan kepalanya!"
"Siapa yang kau maksudkan, Eng-moi?"
"Pangeran Cheng Lin, siapa lagi?"
"Hemm, dia itu lihai bukan main Eng-moi."
"Lalu bagaimana" Lanjutkan ceritara Lin-ko."
"Keluar dari pintu gerbang dalam keadaan terluka parah
aku bertemu dengan adik Tan Kiok Hwa."
"Hemm, sungguh kebetulan sekali" kata Sian Eng, suaranya terdengar aneh
"Memang kebetulan sekali, Eng-moi, Agaknya Tuhan
memang menghendaki agar aku tetap hidup. Hwa-moi
mengobatiku sehingga lukaku agak mendingan, Akan tetapi
muncul dua orang itu, Toa Ok dan Suma Kiang. Entah
bagaimana mereka dapat mengejarku dan hendak
membunuhku. Hwa-moi dan aku terdesak hebat dan kami
berdua tentu mati kalau engkau tidak muncul dan menolong
kami. Nah, begitulah ceritaku, Eng-moi. Sekarang ceritakanlah
bagaimana engkau secara kebetulan dapat muncul
menolongku". "Ceritaku juga panjang, Lin-ko. Aku tinggal di rumah
Paman Lo Kang. Engkau lihat Cheng Kun, putera Pangeran
Cheng Boan yang menjadi tunangan enci Lo Siang Kui itu,
bukan" Nah, telah lama Cheng Kun tidak datang berkunjung
sehingga enci Siang Kui menjadi gelisah.
kemudian ia pergi berkunjung ke istana pangeran Cheng
Boan, menemui Cheng Kun. Dan apa yang ia dapatkan dan
alami di sana sungguh hebat, Lin-ko. Ternyata di rumah
Pangeran Cheng Boan itu terdapat Suma Kiang, Toa Ok, dan
Sian Hwa Sian-Ii yang menjadi pengawal-pengawal pribadi.
Juga Pangeran Cheng Lin yang jahat itu agaknya menjadi
komplotan mereka yang berkumpul di rumah pangeran Cheng
Boan. Dan kau tahu apa yang dialami enci Siang Kui di sana"
Ia dijebak oleh Cheng Kun yang dibantu Sian Hwa Sian-li,
diberi minum anggur yang sudah diberi racun sehingga ia
terjatuh ke tangan Cheng Kun dan dinodai tunangannya
sendiri." "Hemm, sudah kuduga bahwa dia bukan manusia baik-baik.
Jadi engkau sudah bertemu pula dengan Pangeran Cheng Lin
yang menjatuhkan fitnah kepadaku itu Eng-moi?"
"Bukan saja bertemu, Lin-ko. Bahkan pernah dia ikut
mengeroyokku." "Bagaimana terjadinya itu?" Han Lil berseru kaget.
"Dengar sajalah, jangan tergesa-gesa, Nanti juga ceritaku akan sampai ke bagian
itu. Sampai di mana ceritaku tadi" Oya,
enci Kui telah menjadi korban kebiadapan Cheng Kun. Ia
pulang dan menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Cheng
Kun yang berjanji akan datang dalam waktu seminggu, sampai
sepuluh hari tak kunjung datang untuk menentukan hari
pernikahan. Enci Siang Kui gelisah dan aku marah sekali.
Malam itu aku diam-diam mendatangi istana Pangeran Cheng
Boan!" "Aku dapat membayangkan itu. Engkau tentu marah sekali,
Eng-moi." "Ya, aku dapat temukan Cheng Kui dan aku
mengancamnya, memaksanya untuk segera menikahi enci
Siang Kui. akan tetapi tiba-tiba muncul Sian Hwa Sian Li dan
kami bertanding. Aku dapat mendesaknya akan tetapi lalu
muncul Toa Ok, Suma Kiang dan juga Pangeran cheng Lin
yang merobohkan aku dengan tendangan. Toa Ok hendak
membunuhku, akan tetapi Suma Kiang mencegah karena
mengenal gerakanku dan merenggut topeng yang kupakai.
Karena maklum pada saat itu aku tidak berdaya, maka aku
pura-pura gembira bertemu dengan dia, kusebut dia ayah.
Aku dimaafkan dan Cheng Kun berjanji akan menikahi Siang
Kui sebagai selirnya. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi,
Cheng Kun dibunuh seorang gadis yang juga menjadi
korbannya. Gadis itu kemudian dibunuh oleh pangeran Cheng
Lin yang kebetulan malam itu berada di sana. Malam itu juga
sebetulnya aku hendak membunuh Suma Kiang, akan tetapi
gagal karena yang lain datang mengeroyok. Aku masih dapat
meloloskan diri dari sana dan melarikan diri keluar dari kota
raja. Karena aku tahu bahwa aku tentu menjadi orang buruan
mereka dan akan tidak aman berada di kota raja. maka aku
lalu berkeliaran di luar kota raja sampai aku melihat engkau
dikeroyok oleh Suma Kiang dan Toa Ok tadi. Nah, begitulah
pengalamanku, Lin-ko." Sian Eng sengaja tidak mau bercerita bahwa ia telah
mendengar akan persekutuan Pangeran Cheng
Boan dengan Pangeran Cheng Lin palsu dan bahwa ia tahu
pula siapa Han Lin sebenarnya, yaitu Pangeran Cheng Lin
yang aseli. Pada saat itu Kiok Hwa pulang dari berbelanja. Melihat dua
orang itu bercakap-cakap, Kiok Hwa menegur. "Lin ko engkau tidak boleh banyak bicara, engkau
perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu. Kita masih belum terbebas dari
ancaman bahaya. Bagaimana kalau orang orang jahat datang
dan tenagamu masih belum pulih" Dan engkau, adik Eng,
Jangan mengajak Lin-ko banyak bicara!"
Sian Eng tertawa, apalagi melihat Han Lin segera duduk
bersila dan memejamkan kedua matanya kembali, begitu
patuh kepada Kiok Hwa. "Habis, aku rindu sekali padanya, enci Kiok Hwa!" Lalu ia turun dan memeriksa
barang belanjaan Kiok Hwa.
"Uhh! kenapa hanya ikan asin dan daging kering saja yang
kau beli, enci Hwa" Kenapa tidak membeli beberapa ekor
ayam" bosan dong setiap hari makan ikan asin dan daging
kering melulu!" "Ain, Eng-moi. Memangnya kita ini sedang pesiar" Yang
enak-enak saja yang kau bayangkan!"
"Habis, kalau tidak membayangkan yang enak-enak,
apakah hidup yang sekali saja harus membayangkan yang
tidak enak melulu?" "Ih, engkau memang nakal!" kata Kiok hwa yang mau tidak mau harus tersenyum
juga. Senyum yang menutupi perasaan
dalam hatinya. Ia merasakan benar dalam tatapan Sian Eng
tadi betapa besar rasa kasih dalam hati gadis itu terhadap Han Lin. Ia harus
mengalah. Demi kebahagiaan mereka. Mereka
memang cocok. Sama para pendekar yang gagah perkasa.
ooo00d0w00ooo Ketika Toa Ok dan Suma Kiang melapor kepada Pangeran
Cheng Boan tentang kegagalan mereka membunuh Han Lin
karena dihalangi oleh Sian Eng, pangeran Cheng Boan menjadi
marah sekali. "Semua ini gara-gara engkau, Suma Sicu! Kalau engkau tidak
melindungi gadis liar itu, tentu sekarang kita
telah dapat membunuh Pangeran Cheng Lin yang aseli."
Pangeran Cheng Boan berjalan hilir mudik dalam ruangan
itu, wajahnya muram dan pandang matanya penuh
kekecewaan dan kemarahan. "Sekarang, bagaimana baiknya"
Selama dia masih berkeliaran, semua rencana kita terancam
menjadi berantakan!"
^od0wo^ Jilid XXVIII SUMA KIANG berkata, "Harap paduka tenang dan tidak
menjadi kecil hati, yang Mulia. Saya telah menyelidiki dan
ternyata pemuda dan dua orang gadis itu berada dalam
pondok pemburu dalam hutan. Kita dapat menggunakan akal
untuk membinasakan mereka bertiga sekaligus. akan tetapi
untuk ini perlu bantuan Pangeran Cheng Lin."
"Hemm, engkau mempunyai siasat" laksanakan itu, aku
akan mengirim utusan mengundang Pangeran Cheng Lin."
kata Pangeran Cheng Boan dan tak lama kemudian Pangeran
Cheng Lin atau Ki Seng sudah datang ke istana itu. Mereka
lalu mengadakan perundingan dalam ruangan belakang, yaitu
Pangeran Cheng boan, Pangeran Cheng Lin palsu, Suma
Kiang, Toa Ok, dan tidak ketinggalan Sian Hwa Sian-li.
Dalam pertemuan itu, Suma Kiang menceritakan tentang
siasat yang direncanakan. Mendengar itu, Ki Seng
mengerutkan alisnya. "Memang baik sekali ...! tidak sukar melaksanakan siasat
ini. Akan tetapi resikonya teramat berat buat saya, Paman
Pangeran. Bayangkan, kalau rahasia ini bocor dan ketahui..
Celakalah aku. Paman hanya menjadi penonton saja, akan
tetapi saya yang harus menanggung semua akibatnya."
"Hemm, siapakah yang akan memetik buahnya kalau
berhasil" Pangeran, engau tentu tahu betapa bahayanya
ancaman yang datang dari Han Lin itu. Sebelum dia dapat
disingkirkan, kita semua terancam bahaya. Akan tetapi kalau
dia dapat disingkirkan dulu, barulah yang lain akan dapat
dilaksanakan dengan amat mudah. Ingat, hasilnya adalah
rahasia pribadimu akan terjamin dan kelak engkau akan
menjadi satu-satunya pangeran yang akan menggantikan
kedudukan kaisar!" Ki Seng menarik napas panjang. Dia merasa seperti
menunggang harimau, Kalau turun dia akan celaka, terpaksa
meneruskannya. Kalau dia tidak mau bekerja sama,
rahasianya berada di tangan Pangeran Cheng Boan. Kalau
Pangeran Cheng Boan membuka rahasia kepada Kaisar, akan
celakalah dia. Tidak ada pilihan lain. Dia harus melanjutkan
dan berpegang kepada harapan cemerlang bahwa kalau
semua rencana persekutuan itu berhasil, kelak dia akan
menjadi kaisar. Harapan ini yang menimbulkan semangat
baginya. Dua hari kemudian baru rencana yang dirundingkan di
rumah Pangeran Cheng Boan itu dapat terlaksana. Pada sore
hari itu, diam-diam Pangeran Cheng Boan memberi seekor
kuda yang amat baik, besar dan kuat, kepada Pangeran Cheng
Lin atau Ki Seng. Ki Seng membawa kuda yang amat indah itu
ke istal. Kemudian ia menemui Pangeran Cheng Bhok yang
mempunyai kesukaan memelihara dan menunggang kuda.
"Adinda Pangeran, saya mempunyai hadiah untuk adinda!"
kata Ki Seng dengan suara gembira dan wajahnya penuh
senyum. Pada saat itu kebetulan Pangeran Cheng Bhok berada
seorang diri. Dia tersenyum. "Hadiah apakah itu, kakanda
Cheng Lin?" "5aya ingin membuat kejutan. Sebaiknya adinda melihat
sendiri saja. Mari ikut dengan saya!" kata Ki Seng yang lalu menggandeng tangan
Pangeran Cheng Bhok dan mengajaknya pergi ke istal, bagian belakang taman.
Mereka berhenti di depan istal di mana kuda hitam tinggi
besar itu berada "Wah, kuda siapakah ini, kakanda" Bagus sekali!" seru Pangeran Cheng Bhok sambil
memandang kuda itu dengan
kagum. "Ini kuda adinda. Sengaja saya beli untuk hadiah bagi
adinda." kata Ki Seng sambil tersenyum.
"Ahh...! Benarkah" Terima kasih, kakanda Cheng Lin.
Kakanda baik sekali" Pangeran Cheng Bhok mendekati kuda
hitam itu dan mengelus kepala kuda.
"Kuda ini sudah terlatih baik sekali adinda. Namanya Hekliong-ma (Kuda Naga
Hitam), larinya seperti angin. Mari kita
coba, adinda. Saya akan menunggangi kuda lain dan kita coba
kecepatan Hek-liong-ma."
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Cheng Bhok merasa girang bukan main. Kedua
orang pangeran itu itu menunggang kuda keluar dari kebun
istana. Pangeran Cheng Bhok menunggang kuda hitam dan Ki
Seng menunggangi kuda lain. Mereka terus membiarkan kuda
mereka berlari congklang menuju ke pintu gerbang selatan. Di
sepanjang jalan penduduk kota raja memandang ketika dua
orang pangeran yang tampan itu menunggang kuda mereka.
Betapa tampan dan gagahnya kedua orang muda bangsawan
itu. Pangeran Cheng Lin palsu atau Ki Seng melarikan kudanya
keluar pintu gerbang dan setelah tiba di luar, sambil tertawa
dia berkata, "Adinda Cheng Bhok, sekarang kita menguji
kecepatan hek-liong-ma. Coba adinda kejar saya kalau dapat!"
Dia mencambuk kudanya sehingga kuda itu melompat ke
depan dan membalap. Pangeran Cheng Bhok adalah seorang
penggemar kuda dan dia suka sekali berlumba kuda. Hatinya
gembira mendapatkan kuda yang demikian bagus, maka
tantangan itu disambutnya dengan tawa dan diapun
mencambuk kuda hitam dan melesat ke depan, mengejar.
Kedua orang pangeran itu berkejaran dan kuda mereka
membalap dengan amat cepatnya, makin lama makin jauh
meninggalkan tembok benteng kota raja.
Sementara itu, senja mulai menggelapkan cuaca, malam
hampir tiba. Ki Seng membalapkan kudanya dengan cepat. Pangeran
Cheng Bhok berusaha mengejarnya. Akan tetapi ternyata kuda
hitam itu tidak sehebat namanya. Biar pun Pangeran Cheng
Bhok sudah mencambukinya dan menendang-nendang
dengan kakinya, namun tetap saja kuda hitam itu tidak
mampu menyusul kuda yang berada di depannya, selalu
tertinggal belasan meter di belakang. Hal ini membuat
Pangeran Cheng Bhok menjadi penasaran sekali karena
biasanya, dalam adu balap kuda, Pangeran Cheng Lin tidak
pernah mampu mengalahkannya.
Cuaca sudah menjadi remang-remang ketika Ki Seng
menghentikan kudanya dan pangeran Cheng Bhok tentu saja
menahan kudanya dan berhenti di samping kakaknya. Mereka
telah tiba di tepi hutan dan tempat itu sunyi sekali. Tidak
tampak ada orang lain di sekitarnya.
"Kakanda, mengapa berhenti di sini?" tanya Pangeran
Cheng Bhok dan nada suaranya tidak gembira karena hatinya
memang merasa kesal melihat kenyataan bahwa kuda hitam
yang ditungganginya tidak mampu mengalahkan larinya kuda
yang ditunggangi Pangeran Cheng Lin.
"Malam hampir tiba, mari kita pulang saja!"
"Nanti dulu, adinda, ada sesuatu yang amat menarik di
sana. Saya ingin memperlihatkannya kepadamu. Mari, ikutilah
saya." Pangeran Cheng Lin palsu itu lalu menjalankan kudanya
memasuki hutan. Pangeran Cheng Bhok mengerutkan alisnya,
agak ragu, akan tetapi terpaksa iapun mengikuti dari belakang
karena dia ingin tahu apa yang akan diperlihatkan kakaknya
itu. Sementara itu, di istana kerajaan, Pangeran Cheng Boan
tergesa-gesa menemui Pangeran Cheng Hwa.
"Wah, celaka, pangeran! Kita harus cepat mengambil
tindakan. Bahaya besar mengancam Pangeran Cheng Lin dan
pangeran Cheng Bhok!" katanya dengan muka pucat dan
tampak gelisah sekali. "Ada apakah, paman" Apa yang terjadi?" tanya Pangeran Cheng Hwa dengan sikapnya
yang tenang. "Saya melihat tadi kedua orang pangeran itu membalapkan
kuda mereka keluar pintu gerbang selatan dan ketika saya
tanyakan kepada penjaga istana, saya mendapat keterangan
bahwa kedua orang pangeran itu hendak berlumba
menunggang kuda di luar pintu gerbang!"
"Paman, apa salahnya dengan itu" Mereka sudah biasa
berlumba balap kuda seperti itu. Apa yang perlu
dikhawatirkan?" tanya Pangeran Cheng Hwa sambi tersenyum.
"Aduh celaka! Kenapa anda tidak melihat bahaya besar
yang mengancam". Dahulu tidak dapat disamakan dengan
sekarang! Bukankah sekarang ada penjahat Han Lin yang
berkeliaran di luar kota raja" Ada penyelidik saya baru saja
memberi kabar kepada saya bahwa penjahat ini
mengumpulkan kawan-kawannya di hutan sebelah selatan
kota raja. Tentu ia bermaksud jahat. Bagaimana kalau
penjahat itu dan kawan-kawannya menghadang kedua orang
pangeran itu" Kita harus cepat mengejar ke sana dan
melindungi mereka! Cepatlah, pangeran!"
Biarpun dalam hatinya dia meragukan bahwa Han Lin
adalah seorang jahat, akan tetapi ucapan Pangeran Cheng
Boan dan sikapnya yang ketakutan itu mempengaruhi
Pangeran Cheng Hwa. Cepat dia memanggil kepala pengawal
dan memerintahkan dia mempersiapkan sepasukan pengawal
sebanyak dua losin orang. Kemudian dia sendiri bersama
Cheng Boan ikut dalam pasukan ini dan mereka membalapkan
kuda keluar dari pintu gerbang selatan. Debu mengepul tinggi
mengiringi derap kaki dua puluh tujuh ekor kuda itu, membuat
keremangan senja menjadi tambah gelap lagi.
Sementara itu, Pangeran Cheng Lin palsu turun dari atas
punggung kudanya sambil berkata, "Adinda Pangeran Cheng
Bhok, turunlah. Kita tinggalkan kuda di sini dan harus berjalan kaki."
Pangeran Cheng Bhok menurut, ia lompat turun dan
bertanya, "Akan tetapi ke mana kita hendak pergi dan apa
yang hendak kakanda perlihatkan kepada ku?"
Pada saat itu, tangan Ki Seng bergerak cepat dan dia sudah
menotok pundak Pangeran Cheng Bhok. Pangeran itu seketika
terkulai lemas dan roboh.
"Kakanda Cheng Lin....."
Akan tetapi kembali Ki Seng menotok dan pangeran itu
tidak mampu mengeluarkan suara atau bergerak lagi, hanya
matanya yang terbelalak memandang kepergian kakaknya,
penuh rasa kaget, heran dan takut. Ki Seng lalu menuntun
kedua ekor kuda dan menambatkan mereka di batang pohon
tepi jalan. Kemudian dia kembali mendekati tubuh Pangeran
Cheng Bhok yang masih rebah telentang. Dia tidak
memperdulikan pandang mata Pangeran Cheng Bhok yang
ditujukan kepadanya dan hanya berdiri mendengarkan. Tak
lama kemudian pendengarannya yang tajam dapat
menangkap derap kaki banyak kuda. Setelah banyak kuda itu
terdengar berhenti di pinggir hutan, agaknya telah
menemukan dua ekor kuda yang ditambatkannya tadi, Ki Seng
cepat memanggul tubuh Pangeran Cheng Bhok dan dibawanya
berlari memasuki hutan. Setelah dalam keremangan senja dia
melihat sebuah pondok di kejauhan, dia lalu melempar tubuh
Pangeran Cheng Bhok ke atas tanah.
Ki Seng mencabut pedang yang tadi diselipkan di bawah
jubahnya, sebatang pedang telanjang yang berwarna dua,
yang sebelah berwarna hitam dan yang sebelah lagi berwarna
putih! Pangeran Cheng Bhok yang jatuhnya terlentang itu melihat
Ki Seng mencabut pedang. Wajahnya menjadi pucat sekali
dan matanya yang terbelalak membayangkan ketakutan,
bahkan ada air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya,
sinar matanya seperti memohon-mohon agar dirinya jangan
dibunuh. Akan tetapi sambil tersenyum sinis Ki Seng
menggerakkan pedang itu, ditusukkan ke dada Pangeran
Cheng Bhok. "Blesss....!" Pedang itu menusuk sampai tembus dan
Pangeran Cheng Bhok hanya terbelalak. Dia tewas dengan
mata terbelalak, tewas seketika karena pedang itu menembus
jantungnya. Ki Seng membiarkan pedang itu menancap di
dada pangeran Cheng Bhok.
Dia memperhatikan dan pendengarannya menangkap suara
gaduh banyak orang mendatangi tempat itu. Dia tersenym
puas dan dicabutnya sebatang pedang lain, pedangnya sendiri
dan dengan pedang itu dia melukai pundak kiri dan paha
kanannya. Baju dan celananya robek berikut kulit dan sedikit
dagingnya, akan tetapi yang mengeluarkan darah cukup
banyak sehingga baju dan celana itu berlepotan darah.
Ketika Pangeran Cheng Hwa dan pangeran Cheng Boan
bersama perwira yang memimpin dua losin perajurit pengawal
tiba di situ, mereka melihat Pangeran Cheng Bhok rebah
telentang dan tewas dengan sebatang pedang masih
menancap di dadanya, sedangkan Pangeran Cheng Lin
mendekam dalam keadaan terluka dan pakaiannya berlepotan
darah. "Adinda Cheng Lin! Apa yang terjadi?" Pangeran Cheng Hwa berjongkok dekat Ki
Seng. Ki Seng mengeluh kesakitan. "Kami diserang..... saya
melawan akan tetapi terluka dan Cheng Bhok..... dia
terbunuh...." "Siapa yang melakukan ini?" Pangeran Cheng Boan yang turut berjongkok berkata
marah. ".....dia..... Han Lin dan dua orang wanita.... mereka lari meninggalkan saya
ketika mendengar orang banyak datang....
mereka lari ke pondok itu....." Ki Seng menuding ke arah
pondok yang tampak dari situ.
"Cepat, kejar dan serbu pondok itu!" pangeran Cheng Boan berseru dan memimpin
sendiri pasukan pengawal yang berlarilarian menuju pondok.
"Mari kita bantu.... kakanda Pangeran Cheng Hwa....
penjahat-penjahat itu lihai sekali...." Ki Seng berkata
kemudian bangkit dan terpincang-pincang dia bersama Cheng
Hwa menuju ke pondok itu.
Sementara itu, di dalam pondok diterangi dua batang lilin
menyala, mereka bertiga duduk bersila menghimpun tenaga.
Han Lin duduk di atas dipan di sudut sedangkan Kiok Hwa dan
Sian Eng berdua duduk di atas sebuah dipan lain. kesehatan
mereka sudah pulih berkat pengobatan Kiok Hwa, bahkan
tenaga mereka juga sudah kuat kembali. Mereka bertiga
terkejut mendengar suara ribut ribut di luar pondok. Suara
banyak sekali orang yang mengepung pondok. Kini bahkan
hanya dua puluh delapan orang termasuk Ki Seng yang
mengepung pondok melainkan ditambah lagi dua puluh orang
perajurit yang dipimpin Toa Ok, Suma Kiang, dan Sian Hwa
Sian-li. Tentu saja semua ini sudah diatur dan direncanakan
oleh Pangeran Cheng Boan komplotannya!
Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa membuka pintu pondok
dan keluar. Ternyata di depan pintu telah berdiri Pangeran
Cheng Boan, Pangeran Cheng Hwa, dan Ki Seng yang
pakaiannya berlepotan darah, dan pondok itu telah dikepung
puluhan orang perajurit. "Mereka inilah pembunuhnya!" teriak Ki Seng sambil
menudingkan telunjuknya kepada tiga orang yang terkejut dan
terheran itu. "Engkau keparat busuk! Ini fitnah keji" bentak Sian Eng dengan marah dan gadis
ini sudah siap untuk menerjang.
Akan tetapi Han Lin memegang lengannya dan memandang
kepada Pangeran Cheng Hwa.
"Pangeran, apakah artinya ini?" tanyanya.
Pangeran Cheng Hwa memandang ragu. Akan tetapi
buktinya telah cukup. Pangeran Cheng Bhok tewas dan
Pangeran Cheng Lin luka-luka.
"Han Lin, perbuatan kalian bertiga sudah terbukti. Kalian telah membunuh
pangeran Cheng Bhok dan melukai Pangeran
Cheng Lin. Karena itu, menyerahlah saja untuk kami tangkap
dan kami hadapkan kepada Sri Baginda Kaisar."
"Membunuh" Tidak, pangeran, kami sama sekali tidak
membunuh orang." kata Han Lin.
"Engkau masih berani menyangkal?" bentak Pangeran
Cheng Boan yang mengangkat sebatang pedang yang
berlepotan darah. "Coba lihat, pedang siapa ini?"
"Im-yang-kiam.....! Itu pedang saya" kata Han Lin yang mengenal pedang itu.
"Nah, mau menyangkal apa lagi" pangeran Cheng Hwa,
pedang inilah tadi yang menancap di dada Pangeran Cheng
Bhok. Pedang ini saya cabut untuk dijadikan bukti."
"Han Lin, tidak perlu menyangkal lagi. Menyerahlah untuk
kami tangkap!" suara Pangeran Cheng Hwa terdengar tegas
dan sepasang alisnya berkerut. Bukti pedang yang diakui
sebagai milik Han Lin ini membuat dia percaya bahwa
pembunuhnya memang Han Lin.
"Lin-ko, kita lawan dan kita meloloskan diri!" kata Sian Eng dan ia sudah
mencabut Ceng-liong-kiam yang benpendar
hijau, siap untuk mengamuk. Akan tetapi kembali Han Lin
memegang lengan gadis itu. Dia berpikir bahwa kalau dia
melawan, hal itu bahkan menambah kuat-dugaan bahwa dia
yang melakukan pembunuhan. Dan dia tentu akan menjadi
musuh kerajaan, menjadi pelarian dan orang buruan. Apalagi
dia melihat Ki Seng, yang biarpun berlepotan darah namun dia
yakin semua itu hanya sandiwara dan manusia berwatak iblis
itu tidak apa-apa dan masih lihai sekali. Juga melihat Toa Ok, Suma Kiang, dan
Sian Hwa Sian-li berada pula di situ, berbaur
dengan para perajurit. Pihak lawan amat banyak dan terlalu
kuat sehingga kalau mereka bertiga melawan, tentu mereka
bertiga akan tewas pula. la tidak mau tewas sebagai seorang
pemberontak dan penjahat!
"Simpan pedangmu, Eng-moi. Kita menyerah saja. Aku
yakin bahwa Pangeran Cheng Hwa dan Sri Baginda adalah
orang-orang bijaksana dan adil." katanya lembut namun
mengandung wibawa sehingga Sian Eng menghela napas dan
dengan wajah membayangkan penasaran ia menyarungkan
kembali pedangnya. "Tangkap dan belenggu tangan mereka!" Pangeran Cheng Boan memerintah Beberapa
orang perajurit yang memang
sudah mempersiapkan tali yang kuat segera dan
membelenggu tangan tiga orang itu ke belakang. Pangeran
Cheng Boan juga merampas pedang dari punggung Sian Eng.
Kemudian mereka bertiga digiring keluar hutan dan dibawa ke
kota raja. Hanya kehadiran Pangeran Cheng Hwa saja yang
melindungi Han Lin, sian Eng, dan Kiok Hwa sehingga mereka
bertiga tidak diganggu atau disiksa. Pangeran Mahkota ini
melarang mereka menganggu dan setelah tiba di istana dia
lalu menyerahkan tiga orang tawanan kepada perwira
komandan pasukan pengawal istana agar dimasukkan dalam
kamar tahanan dan dijaga ketat agar tidak melarikan diri.
Malam itu juga, Pangeran Cheik Boan, Pangeran Cheng
Hwa dan Pangeran Cheng Lin menghadap Kaisar untuk
melaporkan peristiwa kematian Pangeran Cheng Bhok yang
terbunuh itu. Mendengar bahwa kembali ada pangeran yang terbunuh,
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sri Baginda Kaisar Cheng Tung marah sekali.
"Pangeran Cheng Bhok terbunuh?" teriaknya. "Siapa yangg membunuhnya" Tangkap
pembunuh itu. Tangkap!!"
"Pembunuhnya tiga orang sudah kami tangkap, Kakanda
Kaisar." Pangeran Cheng Boan melapor.
"Bagus! Hukum mati penggal kepala mereka besok pagi di
lapangan dan suruh rakyat menyaksikannya!"
"Ayahanda Yang Mulia, apakah keputusan ayahanda ini
tidak terlalu tergesa-gesa" Paduka belum mendengar
bagaimana terjadi peristiwa itu." kata Pangeran heng Hwa.
"Adinda Cheng Lin dapat menceritakannya."
Kaisar Cheng Tung memandang Pangeran Cheng Lin dan
baru tampak olehnya betapa pakaian pangeran ini berlepotan
darah. "Eh, engkau kenapa, Cheng lin" Terluka?"
"Hamba nyaris tewas seperti adinda pangeran Cheng Bhok,
ayahanda yang Mulia. Peristiwanya begini. Hamba memberi
hadiah seekor kuda kepada adinda Cheng Bhok dan dia
mengajak hamba untuk menguji larinya kuda itu. Hamba
berdua lalu berlumba di luar pintu gerbang kota raja. Ketika
hamba berdua tiba di tepi hutan di sebelah selatan i u, hamba
melihat bayangan tiga orang memasuki hutan. Hamba menjadi
curiga karena seorang di antara mereka adalah Han Lin yang
tempo hari pernah menyerang hamba dalam taman. Hamba
dan adinda Cheng Bhok lalu turun dari kuda dan memasuki
hutan untuk menyelidiki. Ketika hamba berdua tiba dekat
sebuah pondok, tiba-tiba Han Lin dan dua orang gadis muncul
dan menyerang hamba berdua, Han Lin itu amat lihai dan dua
orang gadis temannya itupun lihai sekali. Hamba
mempertahankan diri mati-matian sehingga luka-luka dan
adinda Pangeran Cheng Bhok ditusuk dadanya oleh pedang
yang dipegang penjahat Han Lin, Padi saat itu, rombongan
kakanda Pangeran Cheng Hwa tiba sehingga tiga orang itu
melarikan diri ke pondok, meninggalkan jenazah adinda Cheng
Bhok yang masih tertusuk pedang dadanya dan hamba yang
terluka parah." "Penjahat itu telah membunuh dua orang puteraku. Dia
harus dihukum pancung di depan rakyat agar menjadi
contoh!" kata lagi Kaisar Cheng Tung dengan nada suara
mengandung kedukaan. "Penjahat Han Lin itu sudah mengakui bahwa pedang yang
menancap di dada adinda Pangeran Cheng Bhok adalah
miliknya, Kakanda Kaisar. Hukuman itu sudah lebih daripada
adil!" kata Pangeran Cheng Boan.
"Maaf, Ayahanda Yang Mulia. Hamba tetap menganggap
keputusan hukuman itu agak tergesa-gesa. Perlu diselidiki
dulu apakah benar-benar Han Lin dan dua orang gadis itu
yang menjadi pembunuh, hamba khawatir kalau kita salah
tangkap dan menghukum mati orang-orang yang tidak
berdosa." "Cheng Hwa, Ada bukti pedang itu dan ada saksi dan
keterangan adikmu Cheng Lin, dan engkau masih juga belum
yakin" Apakah engkau tidak percaya kepada adikmu Cheng
Lin?" "Hamba mohon Ayahanda Kaisar sudi memaafkan kakanda
Cheng Hwa. Dia membela Han Lin karena teringat bahwa Han
Lin pernah menyelamatkannya ketika dia diserang orang jahat
di dalam hutan," kata Ki Seng dengan cerdik berlagak
membela Pangeran Cheng Hwa.
"Kakanda Kaisar, sekarang hamba yakin benar bahwa
perbuatannya menolong ananda Pangeran Cheng Hwa dahulu
itu memang direncanakan agar dia dapat menyusup ke dalam
istana. Tentu pembunuh Pangeran Cheng Sui dahulu itu dia
juga atau teman-temannya!" kata Pangeran Cheng Boan.
Ucapan Pangeran Cheng Boan termakan betul oleh kaisar
sehingga dia menjadi semakin marah. "Adinda Pangeran
Cheng Boan. Laksanakan hukum pancung terhadap tiga orang
pembunuh itu. Atur agar pelaksanaan hukum itu dilalukan di
lapangan depan istana, disaksikan oleh rakyat dan dirikan
panggung karena kami sendiri juga akan menyaksikan untuk
menghibur arwah kedua orang putera kami!"
"Baik, kakanda Kaisar!" jawab Pangeran Cheng Boan
dengan lantang karena dalam hatinya dia bersorak gembira.
Siasat yang diaturnya bersama Ki Seng ternyata berhasil
dengan baik sekali. Bukan saja dapat melenyapkan seorang
pangeran lagi, akan tetapi juga dapat membasmi pangeran
Cheng Lin aseli berikut Lo sian Eng, gadis yang lihai dan
berbahaya itu. Kaisar lalu meninggalkan ruangan dan mereka semua
bubaran. Pangeran Cheng Boan dan Ki Seng meninggalkan
ruangan itu dengan hati gembira sekali. Akan tapi walaupun
tidak memperlihatkan pada wajahnya, dalam hatinya
Pangeran Cheng Hwa masih merasa ragu. Dia masih sukar
untuk dapat percaya bahwa seorang pemuda seperti Han Lin
itu dapat melakukan perbuatan yang demikian jahat, juga dua
orang teman Han Lin itu tidak pantas menjadi penjahat. Gadis
cantik berpakaian merah muda itu demikian gagah sikapnya,
seperti seorang pendekar wanita, sedangkan gadis berpakaian
serba putih yang amat jelita itu sikapnya demikian lembut dan
halus seperti seorang dewi! Bagaimana mungkin tiga orang itu
menjadi sebuah komplotan pembunuh. Tapi dia tidak dapat
berbuat sesuatu. Bukti pedang dan saksi Pangeran Cheng Lin
sudah begitu kuat dan keputusan hukuman dijatuhkan Kaisar.
Semalaman Pangeran Cheng Hwa tidur dengan gelisah.
Bayangan wajah tiga orang terhukum itu selalu tampak dalam
benaknya. Pagi-pagi sekali pengumuman itu tersiar luas sehingga
diketahui semua penduduk kota raja, bahkan terbawa sampai
ke luar kota raja. Tiga orang penjahat yang telah membunuh
Pangeran Cheng Siu dan Pangeran Cheng Bhok tertangkap
dan akan dihukum pancung di lapangan depan istana. Semua
orang diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menonton
pelaksanaan hukuman itu. Bahkan Sri Baginda Kaisar sendiri
akan ikut menyaksikan. Suatu peristiwa yang langka. Maka
berbondong-bondong orang berdatangan kelapangan di depan
istana. Tentu saja sebagian besar dari mereka adalah laki-laki karena kebanyakan
wanita dan kanak-kanak merasa ngeri
menyaksikan kepala orang dipenggal!
Tepat di depan pintu gerbang istana dibangun sebuah
panggung yang akan menjadi tempat duduk Sri Baginda
Kaisar dan para pengiringnya. Sejak pagi sekali panggung
yang masih kosong itu sudah dijaga sepasukan perajurit
pengawal. Dan Di tengah-tengah lapangan itupun dibangun
sebuah panggung, yang akan menjadi tempat tiga orang
terhukum itu dipenggal kepalanya. Rakyat berduyun-duyun
memenuhi lapangan itu. Yang berdiri di belakang juga dapat
menonton dengan enak karena panggung tempat pelaksanaan
hukuman dan panggung tempat duduk Kaisar itu cukup tinggi
sehingga dapat tampak jelas oleh mereka yang berdiri di
belakang, mereka yang berhati tabah berdiri mengelilingi
panggung tempat pelaksanaan hukuman agar dapat melihat
lebih jelas, sedangkan mereka yang berhati tidak tega berdiri
menonton di belakang dalam jarak jauh.
Terdengar tambur dibunyikan pertama bahwa Sri Baginda
Kaisar akan keluar dari istana. Pintu gerbang istana dibuka
dan muncul ah rombongan Kaisar. Kaisar dengan wajah yang
masih membayangkan kesedihan melangkah dengan tegak
dan tenang menuju tangga yang membawanya naik ke
panggung. Dia di ringkan empat orang puteranya, yaitu
Pangeran Cheng Hwa, Pangeran Cheng Ki, Pangeran Cheng
Tek, dan Pangeran Cheng Lin. Kemudian di belakang para
pangeran berjalan para perwira pengawal dengan pasukan
pengawal pribadi yang berhenti, dan berdiri berjajar di bagian belakang tempat
duduk Kaisar dan para pangeran. Para
pejabat tinggi yang sudah hadir terlebih dulu di kursi-kursi
yang terletak di bagian bawah panggung, bangkit berdiri dan
membungkuk dengan hormat ketika kaisar menaiki panggung.
Juga para komandan pasukan penjaga memberi hormat dan
para perajurit bersikap hormat dan tegak.
Setelah Kaisar Cheng Tung duduk di atas kursi yang
disediakan, dia mengangkat tangan kiri ke atas. Ini
merupakan tanda bahwa pelaksanaan hukuman boleh dimulai.
Terdengar bunyi tambur yang nadanya berbeda dari tadi dan
dari dalam pintu gerbang istana muncul ah dua losin perajurit
pengawal yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cheng Boan
yang bertugas mengatur pelaksanaan hukuman itu,
mengiringkan tiga orang yang kedua dengan mereka
dibelenggu ke belakang tubuh. Terdengar berdengung seperti
ribuan kumbang beterbangan keluar dari sarangnya ketika
para penonton menyambut keluarnya tiga orang hukuman itu.
Ada yang terheran-heran, ada yang merasa penasaran, ada
yang marah, akan tetapi sebagian besar dari mereka merasa
aneh dan kasihan. Tadinya mereka mengira bahwa tiga orang
pembunuh itu tentu tiga orang laki-laki yang kelihatan bengis
dan menyeramkan. Akan tetapi apa yang mereka lihat"
Seorang pemuda yang masih muda, paling banyak dua puluh
satu tahun usianya, berpakaian sederhana dan sikapnya halus,
wajahnya tampan, sedikitpun tidak membayangi watak kejam
atau jahat! Dan dua orang "pembunuh" yang lain itu, Seorang gadis cantik,
usianya paling banyak sembilan belas tahun,
berpakaian serba merah muda, langkahnya tegak dan gagah,
sedikit pun tidak tampak jahat, juga tidak ada tanda-tanda
takut padanya, tidak menangis. Dan gadis yang ke dua, yang
berpakaian serba putih, cantik jelita sepi bidadari, lembut ayu dan mulutnya
selalu dihias senyum manis. Bagaimana
mungkin tiga orang muda seperti itu merupakan pembunuhpembunuh yang dikabarkan
kejam dan jahat" Tiba-tiba
terdengar banyak orang berseru ketika mereka mengenal Kiok
Hwa sebagai gadis yang pernah menolong dan mengobati
mereka. "PeK i Yok Sian-li.....! PeK i Yok Sian-li.....!!" Terjadi kegaduhan, akan
tetapi para penjaga segera mendekati
mereka dan mengacungkan tombak, mengancam agar mereka
tidak membikin ribut. Orang-orang itu takut dan diam. akan
tetapi mereka memandang kepada Kiok Hwa dengan mata
terbelalak dan merasa semakin penasaran. Gadis ahli
pengobatan itu mana mungkin menjadi pembunuh yang akan
dihukum pancung. Han Lin menjadi sedih, bukan soal karena dia menghadapi
hukuman mati yang dijatuhkan oleh ayah kandungnya sendiri,
melainkan sedih melihat betapa Sian Eng dan terutama Kiok
Hwa juga menjadi korban karena dia. Akan tetapi ketika
mengerling ke arah dua orang disayang berjalan di kanan
kirinya itu, Dia terheran-heran melihat Sian eng berwajah
tenang, sama sekali tidak tampak sedih atau takut, dan
terutama kali Kiok Hwa. Gadis ini bahkan tersenyum-senyum,
seolah bukan digiring ke arah maut melainkan digiring ke
ruang pengantin! "Eng-moi, engkau tidak takut?" bisiknya ke kiri di mana Sian Eng berjalan di
sisinya. "Takut" Tidak, aku bahkan merasa beruntung dapat
menghadapi maut bersamamu, Lin-ko."
"Dan engkau, Hwa-moi?"
"Aku merasa bangga dan bahagia dapat mati bersama
kalian!" kata gadis itu sambil tersenyum manis dan Han Lin dapat menangkap sinar
mata gadis itu yang penuh dengan
cinta kasih! "Diam kalian!" bentak suara kasar dan parau di belakang mereka. Yang membentak
ini adalah seorang laki-laki tinggi
besar seperti raksasa yang memanggul sebatang golok besar,
berat dan mengkilap saking tajamnya. Semua orang
memandang kepada algojo ini dan goloknya dengan perasaan
ngeri. Bagaimana mereka tega melihat algojo raksasa itu
mengayun goloknya memenggal leher tiga orang muda yang
tampan dan cantik itu! Tiga orang hukuman itu dengan dikawal algojo raksasa,
dengan langkah tebing menghampiri pangung tempat
pelaksanaan hukuman dan menaiki tangga. Kini mereka tiba di
atas panggung, menghadap Kaisar Cheng Tung yang duduk di
kursi dan memandang kepada mereka bertiga. Timbul sedikit
keraguan dalam hati Kaisar Cheng Tung melihat tiga orang
muda itu. Benarkah mereka ini pembunuh" Pertanyaan ini
timbul dalam hati sanubarinya karena melihat pemuda dan
dua orang gadis itu, dia menjadi ragu. Akan tetapi bukti dan
saksi semua jelas dan diapun sudah menjatuhkan keputusan
hukuman mati. Melihat ayah kandungnya duduk di atas kursi di panggung
yang agak tertinggi dari panggung di mana dia berada, Han
Lin tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun
menjatuhkan dirinya berlutut dan memberi hormat kepada
Kaisar Cheng Tung. Sian Eng yang tahu bahwa Han Lin adalah
Pangeran Cheng Lin, putera dari kaisar itu, merasa penasaran
dan tidak senang kepada kaisar yang menjatuhkan hukuman
mati kepada puteranya sendiri yang tidak berdosa, maka ia
tetap berdiri tegak bahkan memandang ke arah kaisar dengan
mata bersinar penuh rasa penasaran. Akan tetapi, Kiok Hwa
yang melihat Han Lin berlutut, dengan patuh berlutut pula dan
gadis ini menarik tangan Sian Eng sehingga akhirnya, melihat
mereka berdua berlutut, Sian Eng juga ikut berlutut.
Melihat mereka yang dia jatuhi hukuman mati itu berlutut
menghadap padanya, Kaisar Cheng Tung merasa iba dan dia
khawatir kalau-kalau dia akan mengubah keputusannya, maka
dia cepat mengangkat tangan kanan ke atas sebagai isarat
kepada algojo untuk melaksanakan tugasnya dengan cepat.
Sang algojo yang bertubuh raksasa itu mengangkat golok
yang besar dan mengkilat itu. Sebagian besar penonton tidak
tahan melihatnya. Ada yang membalikkan tubuhnya, ada yang
membuang muka, dan ada pula yang memejamkan kedua
mata dan menutupi kedua telinganya. Sang algojo
mengerahkan tenaganya dan siap mengayun golok yang
sudah berada di atas kepalanya itu ke bawah, ke arah leher
Han Lin. "Omitohud.....Tahan......!!" Tiba-tiba saja berkelebat bayangan kuning dan tahu-
tahu di atas panggung tempat
pelaksanaan hukuman itu telah berdiri seorang hwesio berusia
hampir tujuh puluh tahun. Tangan kanannya memegang
sebatang tongkat bambu. Melihat ini, algojo itu lalu mengayunkan goloknya, bukan
kepada leher Han Lin, melainkan ke arah kepala hwesio itu.
Algojo ini telah menerima uang sogokan dari Pangeran Cheng
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Boan dan dipesan agar melaksanakan hukuman itu dengan
baik dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk
menghalangi pelaksanaan hukuman. Akan tetapi hwesio tua
itu menggerakkan tangan kirinya. Serangan itu tertahan di
udara seolah tubuh algojo itu berubah menjadi arca, kemudian
sekali hwesio itu mendorongkan tangannya, tubuh algojo yang
tinggi besar itu terjengkang dan terjatuh ke bawah panggung.
Dia jatuh seperti sebongkah batu dan diam diatas tanah
karena tidak mampu bergerak lagi. Algojo itu telah terkena
totokan It-yang ci yang amat dahsyat.
Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan terbelalak
melihat kejadian itu. Para perwira pasukan pengawal sudah
siap untuk mengerahkan pasukan mereka untuk mengepung
dan menyerbu hwesio yang mereka anggap membikin kacau
itu. Akan tetapi pada saat itu, tiga orang pejabat tinggi yang
sudah tua melangkah maju mendekati panggung di mana
hwesio itu berdiri, lalu ketiganya menjatuhkan diri berlutut.
"Hamba menghaturkan hormat kepada Yang Mulia Sri
Baginda Kaisar Hui Ti!" seru mereka bertiga dengan suara
lantang sehingga mengejutkan semua orang. Orang-orang
yang usianya lima puluhan tahun ke atas dapat mengenal
hwesio itu setelah tiga orang pejabat tinggi itu memberi
hormat. Kiranya hwesio itu adalah Kaisar Hui Ti yang pada
empat puluh tahun yang lalu terpaksa melarikan diri karena
istananya diserbu oleh pasukan Pangeran Yen, pamannya
sendiri yang memberontak. Selama empat puluh tahun Kaisar
Hui Ti disangka orang sudah mati, akan tetapi tidak pernah
ditemukan jenazahnya. Karena selama empat puluh tahun
tidak pernah muncul, dia dianggap sudah hilang. Maka,
kemunculannya sebagai seorang hwesio tentu saja amat
mengejutkan. Kaisar Cheng Tung juga menjadi amat terkejut ketika
mendengar bahwa hwesio tua itu adalah bekas Kaisar Hui Ti.
Peristiwa terbuang dan larinya Kaisar Hu Ti dari istana terjadi ketika dia masih
kecil, akan tetapi sejak kecil dia sudah
mendengar cerita keluarga tentang Kaisar Hui Ti itu. Ketika
itu. Kaisar Hui ti yang baru berusia delapan belas tahun,
diserbu oleh pamannya sendiri. Pangeran Yen yang membawa
pasukan dari Peking menyerbu istana Kaisar Hui Ti di Nan
king. Setelah Kaisar Hui Ti melarikan diri.
Pangeran Yen menjadi kaisar baru yang berjuluk Kaisar
Yung Lo. Ketika Kaisar Yung Lo meninggal dunia dalam tahun
1425, penggantinya adalah puteranya Kaisar Hung Hsi. Akan
tetapi kaisar ini sudah berpenyakitan dan meninggal dunia
dalam tahun itu juga. Tahta kerajaan lalu diwariskan kepada
cucu mendiang Kaisar Yung Lo, yaitu Kaisar Hsuan Tek yang
menjadi kaisar hanya selama sebelas tahun. Kaisar Hsuan Tek
adalah ayah Kaisar Cheng Tung. Ketika ayahanda meninggal
dunia, Kaisar Cheng Tung memegang tahta dalam usia
delapan tahun. Kalau di ngat bahwa mendiang Kaisar Yung Lo adalah
kakek buyutnya, dan Kaisar Hui Ti adalah keponakan Kaisar
Yung Lo, maka Kaisar Hui Ti masih terhitung paman kakeknya.
Kaisar Cheng Tung adalah seorang Ahli sastra, seorang
yang memegang peraturan dan kebudayaan, seorang yang
bijaksana. Biarpun Kaisar Hui Ti adalah orang pelarian, akan
tetapi sekarang telah menjadi hwesio dan sudah tua, maka
diapun lalu turun dari kursinya, berdiri menghadap ke arah
hwesio itu dan merangkap kedua tangan depan dada lalu
memungkuk dengan hormat, "Saya Cheng Tung memberi hormat kepada paman kakek
Hui Ti!" Suaranya lembut namun lantang dan mendengar ini, semua pejabat yang
hadir di situ lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Hwesio itu dan memberi
hormat. "Omitohud....! Sribaginda Kaisar Cheng Tung yang
bijaksana dan semua pembesar kerajaan. Harap jangan
memberi penghormatan secara berlebihan. Pinceng (aku)
bukan lagi Kaisar Hui Ti, melainkan seorang hwesio tua
pengembara bernama Cheng Hian Hwesio."
"Paman Kakek yang budiman, petunjuk apakah yang
hendak kakek berikan kepada kami" Mengapa kakek
menghalangi pelaksanaan hukuman terhadap orang-orang
yang membunuh dua orang putera kami?"
"Omitohud! Sri Baginda Kaisar, pinceng tahu bahwa paduka
adalah seorang yang amat bijaksana dan baik hati, yang
kadang dapat mendatangkan kelemahan ini hingga paduka
mudah diperdaya orang jahat. Ketahuilah bahwa pemuda yang
memakai nama Han Lin ini adalah murid yang amat baik.
Pinceng berani menjamin, berani menanggung bahwa dia
tidak mungkin membunuh kedua orang pangeran putera
paduka itu." "Akan tetapi, paman kakek yang budiman, ketahuilah
bahwa ada bukti dan saksi dalam tuduhan itu dan sudah
terbukti bahwa Han Lin ini yang membunuh pangeran Cheng
Bhok. Tanpa bukti dan saksi, tidak mungkin kami mau
menjatuhkan hukuman dengan semena-mena terhadap orang
yang tidak berdosa." kata Kaisar Cheng Tung.
"Bukti dan saksi itu bohong semua!" kata Sian Eng dan begitu ia mengerahkan
tenaga sin-kang, tali yang
membelenggu kedua tangannya sudah putus dan kedua
tangannya itu kini bebas. Ia lalu membebaskan pula belenggu
kedua tangan Kiok Hwa dan melihat suhunya di situ, Han Lin
juga membebaskan kedua tangannya yang terbelenggu.
Para perwira yang memimpin pasukan pengawal adalah
orang-orang yang sudah tepengaruhi Pangeran Cheng Boan,
maka ketika Pangeran Cheng Boan berseru,
"Tangkap mereka!" para perwira itu meemberi isarat
kepada anak buahnya untuk bergerak.
"Semua diam dan tidak boleh bergerak!" tiba-tiba Kaisar Cheng Tung membentak dan
semua pengawal itu tentu saja
tidak berani bergerak. Bagaimanapun juaga, mereka tentu
saja lebih tunduk kepada Kaisar Cheng Tung daripada kepada
pangeran Cheng Boan. "Nona, katakan mengapa engkau bilang bahwa bukti dan
saksi itu bohong semua."
"Yang Mulia, lo-cian-pwe ini benar kalau mengatakan
bahwa paduka terlalu lemah sehingga mudah diperdaya
orang. Paduka tidak tahu bahwa ada komplotan besar yang
bergerak di belakang paduka yang merencanakan semua
pembunuhan atas diri para pangeran itu. Paduka tidak tahu
bahwa Pangeran Cheng Lin yang berdiri di belakang paduka
itu adalah seorang manusia berhati iblis yang menyamar
sebagai Pangeran Cheng Lin, dan bahwa Pangeran Cheng Lin
yang aseli bukan lain adalah saudara Han Lin inilah"
Tentu saja ucapan yang lantang sekali ini seperti
menyambarnya halilintar dalam cuaca terang. Semua orang
terkejut dan pada saat itu, sesosok bayangan meluncur dari
atas panggung Kaisar dan melayang ke atas panggung di
mana Sian Eng berdiri. "Bohong! Fitnah! Perempuan busuk engkau patut mati!" Ki Seng sudah menerjang
bagaikan seekor burung elang
menyambar, kedua tangannya sudah memukul dan
mendorong dengan pengerahan tenaga sakti ke arah Sian
Eng. Han Lin melihat serangan yang amat berbahaya itu. Diapun
melompat ke depan Sian Eng menyambut serangan itu
dengan kedua telapak tangannya pula.
"Blaarrr.....!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat dan kuat itu saling
bertumbukan dan akibatnya, tubuh Ki Seng terpental
keluar panggung dan tubuh Han Lin juga terdorong mundur.
Dua orang pemuda itu sudah siap lagi untuk saling serang,
akan tetapi pada saat itu terdengar suara Kaisar Cheng Tung.
"Semua berhenti! Yang berani bergerak menyerang berarti
menentang perintah kami dan akan dihukum berat!"
Mendengar perintah ini, Ki Seng tidak berani bergerak,
akan tetapi dia menoleh ke arah panggung tempat kaisar
berada dan dia berseru dengan lantang. "Akan tetapi,
ayahanda Kaisar yang mulia! Mereka ini berani melempar
fitnah dan menghina hamba, berarti mereka berani menghina
paduka pula!" "Diamlah dulu, Pangeran Cheng Lin. kami akan menyelidiki
semua ini dan kalau mereka bersalah, pasti kami jatuhi
hukuman. Tidak perduli siapa, kalau dia bersalah pasti tidak
akan terlepas dari hukuman. Sekarang kami perintahkan
engkau Cheng Lin dan juga semua pangeran, dan kalian
bertiga yang didakwa sebagai pembunuh, agar menghadap
kami dalam persidangan. Paman Kakek Cheng Hian Hwesio
juga kami persilakan hadir dalam persidangan, demikian pula
semua menteri agar hadir dan ikut menyaksikan!" Setelah
berkata demikian, Kaisar Cheng Tung membungkuk terhadap
Cheng Hian Hwesio dan meninggalkan panggung kembali ke
dalam istana. Dapat dibayangkan betapa panik rasa hati Pangeran Cheng
Boan melihat betapa keadaan menjadi berbalik dan
mengancam dirinya. Akan tetapi, hadirnya Cheng Hian Hwesio
bekas kaisar Hui Ti sungguh membuat dia tidak mampu
berkutik. Diapun tidak berani mengerahkan para pembantunya
untuk menyerang Han Lin dan dua orang gadis itu. Han Lin
saja sudah demikian lihainya, apalagi Cheng Hian Hwesio yang
menjadi gurunya. Juga para pejabat tinggi kini menggiringkan
Cheng Hian Hwesio dan tiga orang muda itu. Dia tidak
berdaya, tidak berani bergerak dan terpaksa mengikuti mereka
masuk ke istana, menuju ke ruangan persidangan di mana
Kaisar Cheng Tung sudah duduk dijaga ketat oleh para
perwira pengawal yang berdiri di belakang tempat duduk
kaisar. Mereka semua menghadap Kaisar. Dalam ruangan
persidangan ini, para penghadap tidak berlutut seperti biasa,
melainkan disediakan kursi-kursi untuk mereka, di bagian yang
lebih rendah daripada tempat duduk kaisar. Kaisar Cheng
Tung nenghendaki demikian karena terasa tidak enak dan
tidak leluasa baginya kalau harus bersidang dengan orangorang
yang berlutut. Hui Sian Hwesio mendapatkan kursi
kehormatan di sebelah kiri kaisar Cheng Tung yang
menghormatinya sebagai sesepuh. Para menteri duduk di kiri
kanan. Empat orang pangeran, yaitu Pangeran Cheng Hwa,
Cheng Ki, Cheng Tek dan Cheng Lin palsu duduk menghadap
di depan kaisar. Tak jauh dari situ, menghadap Kaisar pula,
Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa berlutut di atas lantai.
Sebagai pesakitan tentu saja mereka tidak duduk di atas kursi, melainkan
berlutut. Suasana dalam ruang-persidangan itu
hening dan angker, dengan penjagaan yang ketat sehingga
Sian Eng yang biasanya rewel itupun tidak banyak ulah,
melainkan menurut saja ketika disuruh berlutut di sebelah kiri Han Lin,
sedangkan Kiok Hwa berlutut di sebelah kanan
pemuda itu. Suasana hening itu membuat suara Kaisar Cheng Tung
terdengar lantang dan jelas ketika dia berkata sambil
memandang Cheng Hian Hwesio yang duduk di sebelah
kirinya. "Paman Kakek Cheng Hian Hwesio, kami harap kakek suka
lebih dulu menceritakan tentang diri Han Lin sebagai murid
paman kakek." "Omitohud, pinceng hanya dapat menegaskan bahwa murid
pinceng Han Lin adalah seorang pemuda yang baik dan
pinceng berani menanggung bahwa dia tidak mungkin
melakukan pembunuhan terhadap para pangeran. Adapun
yang mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin juga pinceng
kenal dengan baik. karena dia dahulu menjadi murid pinceng
dengan nama A-seng. Pinceng telah melatih A-seng selama
bertahun-tahun, akan tapi ternyata kemudian bahwa dia
adalah seorang yang berwatak jahat sekali, dia bahkan pernah
berusaha untuk membunuh pinceng, dan dia telah membunuh
dua orang pengikut pinceng. Karena itu, pinceng harap
paduka agar berhati-hati dengan orang muda yang sesat itu."
kata Theng Hian Hwesio sambil memandang ada Ki Seng.
"Ayahanda Kaisar, hwesio tua ini sejak dulu pilih kasih,
tidak heran kalau dia kini membela Han Lin dan melemparkan
fitnah kepada hamba." kata Ki Seng, mengambil keputusan
untuk menyangkal semua tuduhan dan membela diri
sekuatnya. "Diamlah, Cheng Lin dan jangan bicara kalau tidak ditanya.
Ini merupakan persidangan dan harus dipatuhi oleh siapapun
juga." Kaisar Cheng Tung menegur.
"Sekarang giliranmu, nona. Siapa namamu?" Kaisar
memandang kepada Sian Eng dan gadis ini mengangkat muka
dan menatap wajah kaisar dengan berani. Kaisar Cheng Tung
tertegun. Jarang ada wanita muda berani menentang pandang
matanya setabah itu. "Nama hamba Lo Sian Eng, Sribaginda yang mulia." jawab Sian Eng.
"Coba jelaskan apa maksudmu ketika mengatakan tadi
bahwa ada komplotan yang merencanakan pembunuhan
terhadap para pangeran."
"Kebetulan sekali hamba tinggal di rumah Pangeran Cheng
Pedang Jimat Lanang 1 Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis Pendekar Cacad 20
percaya bahwa pemuda Han Lin itu adalah penyelamat
Pangeran Cheng Hwa."
"Akan tetapi, bagaimana paduka bisa berpendapat seperti
itu" Apa buktinya?" tanya Lai-ciangkun ragu.
"Bukti nyata memang belum ada, hal itu masih akan kucari.
Akan tetapi melihat keadaannya, kita dapat mengambil
kesimpulan dan patut mencurigainya."
"Keadaan yang bagaimana, Pangeran"
"Pertama, bagaimana seorang pemuda petani dapat
berkeliaran dalam hutan terlindung dan terlarang itu, seorang
diri pula" Hal ini tentu saja amat aneh dan mencurigakan,
apalagi kemunculannya begitu tepat pada saat Pangeran
Cheng Hwa terancam bahaya dan semua pengawalnya telah
tewas. Dan kedua, kalau memang benar dia berkepandaian
tinggi, kenapa dia membiarkan dua orang pembunuh itu lolos
dan melarikan diri" dia mestinya dia menangkap seorang di
antara mereka agar dapat diketahui siapa pembunuh itu dan
ditanya mengapa mereka melakukan pembunuhan. Nah,
kecurigaanku ini beralasan kuat, bukan?"
Para perwira dan thaikam yang jumlahnya tujuh orang itu
mengerutkan alis mereka dan mulailah mereka terpengaruh.
Hal ini dapat dengan mudah terjadi karena memang
sebelumnya ada perasaan iri dalam hati mereka terhadap Han
Lin yang diangkat menjadi pengawal pribadi keluarga kaisar.
"Akan tetapi, pangeran. Andaikata benar dia seorang di
antara pembunuh, lalu apa maksudnya berpura-pura
menolong Pangeran Cheng Hwa dari ancaman maut?"
"Ah, mengapa kalian masih bertanya lagi" Hal itu mudah
saja kita duga. Dia sengaja menanam budi itu agar dapat
dibawa masuk ke istana dan dipercaya sebagai penyelamat
pangera mahkota, dan ternyata usahanya itu berhasil dengan
baik!" "Akan tetapi apa maksudnya?"
"Jelas dia bermaksud buruk. Melihat betapa Pangeran
Cheng Siu sudah mereka bunuh, tentu pemuda Han Lin itu
bermaksud agar dia dapat masuk istana dan menjadi leluasa
untuk bergerak. Mungkin dia bermaksud membunuhi semua
pangeran. Kalau dia sudah tinggal di sini, hal itu tentu akan
lebih mudah dia lakukan, apalagi mengingat bahwa dia
memiliki ilmu silat yang tinggi."
Para kepala pengawal itu terbelalak dan wajah mereka
menjadi pucat. Mereka saling pandang dengan kaget dan
khawatir. "Pangeran, semua yang paduka katakan itu memang
masuk akal dan mungkin saja benar. Akan tetapi, tanpa bukti
mana mungkin kita dapat bertindak" Apa buktinya bahwa Han
Lin itu sebenarnya seorang di antara para pembunuh yang
sengaja menyusup ke istana dengan niat jahat?"
"Tenang dan sabarlah. Aku mengumpulkan kalian di sini
justeru untuk membicarakan hal itu. Setelah kalian tahu
bahwa Han Lin itu patut dicurigai, kalian dapat bersiap-siap.
Ingat, dia seorang yang lihai sekali. Aku sendiri yang akan
menyelidikinya. Kalian harus selalu siap dan diam-diam
melakukan perondaan dan penjagaan ketat. Kalau kalian
melihat dia menyerang seorang di antara para pangeran,
terutama aku, kalian harus cepat cepat turun tangan
menangkapnya. aku mempunyai dugaan bahwa dia menyusuo
ke dalam istana untuk membunuhku dan para pangeran
lainnya. Mengertikah kalian?"
"Kami mengerti, pangeran."
"Malam ini aku akan menyelidikinya, kalian agar siap dan
membantuku kalau sampai aku diserang olehnya."
Semua kepala pengawal itu menyatakan siap dan
pertemuan itu dibubarkan.
Han Lin merasa penasaran sekali, sejak pagi dia berada di
istana, akan tetapi orang yang dicarinya tidak pernah muncul.
Ingin sekali dia bertemu dengan Ki Seng atau A Seng yang
telah menipu Suling Pusaka Kemala miliknya dan ia tahu
bahwa kini A Seng telah mempergunakan pusaka itu untuk
mengaku dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin dan bahkan
telah diterima dan diakui oleh Kaisar sebagai puteranya.
Akan tetapi yang berada di bangunan untuk tempat tinggal
para pangeran itu hanya ada empat orang pangeran, yaitu
Pangeran Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek dan Cheng Bhok.
Jenazah Pangeran Cheng Siu sudah berada dalam peti mati
yang ditaruh di ruangan berkabung. Pangeran Cheng Lin atau
A Seng tidak pernah tampak batang hidungnya. Dia sudah
bertanya kepada Pangeran Cheng Hwa tentang orang yang
dicarinya itu. "Pangeran, hamba mendengar kalau di antara para
pangeran yang sudah hamba temui, terdapat seorang
pangeran yang bernama Pangeran Cheng Lin. Akan tetapi
hamba tidak pernah melihat bertemu."
"Ah, Pangeran Cheng Lin" Sejak pagi tadi, setelah
mendengar tentang pembunuhan dalam hutan, dia lalu
memimpin sepasukan pengawal untuk menyelidiki hutan dan
mencari para pembunuh itu."
Han Lin mengangguk-angguk dan dalam hatinya dia tidak
merasa heran kalau Pangeran Cheng Lin palsu itu berusaha
mencari pembunuh Pangeran Cheng lin karena A Seng itu
memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi pada sore hari itu dia mendengar
bahwa Pangeran Cheng Lin palsu itu telah
pulang ke istana. Tentu saja dia merasa tidak enak kalau
harus mencarinya di bangunan tempat tinggal para pangeran.
Bagaimanapun juga, A Seng kini oleh seluruh penghuni istana
telah diterima sebagai Pangeran Cheng Lin. Hanya dia seorang
yang tahu dan kepalsuannya dan tidak mungkin dirinya untuk
mengatakan di depan kaisar dan para pangeran bahwa
Pangeran Cheng Lin itu palsu. Dia tidak mempunyai bukti
untuk membongkar kepalsuannya. Satu-satunya jalan baginya
hanyalah kalau dia dapat bertemu berdua saja dengan A Seng.
Malam itu Han Lin sudah bersiap-"ip untuk menyelidiki A
Seng. Dia belum tahu bahwa orang yang dulu mengaku
bernama Coa Seng atau panggilannya A Seng itu sebetulnya
mempunyai nama lengkap Ouw Ki Seng. Dia bersembunyi
bayangan yang gelap dekat bangunan tempat tinggal pafa
pangeran dan menanti. Penantiannya tidak sia-sia karena tibatiba dia melihat
orang yang ditunggu-tunggunya itu, A Seng,
keluar dari pintu samping bangunan bersama tiga orang
pangeran, yaitu Pangeran Cheng Ki, Cheng Tek, dan Cheng
Bhok. ia melihat A Seng berpakaian mewah seperti seorang
pangeran sehingga dia tampak gagah sekali. Akan tetapi Han
Lin masih mengenalnya. Jantungnya berdebar keras dan juga
terasa panas mengingat bahwa orang itu telah memalsukan
dirinya. Akan tetapi karena A Seng keluar bersama tiga orang
pangeran yang lain, dia tidak berani berbuat apa-apa dan
hanya mengintai. -00d00w00- Jilid XX VII SAMA sekali Han Lin tidak tahu bahwa sebelum empat
orang pemuda itu keluar, A Seng telah lebih dulu menyatakan
kecurigaannya terhadap Han Lin kepada tiga orang pangeran
itu. "Kita harus berhati-hati. Pembunuhan terhadap dinda
Cheng Siu dan penyerangan terhadap kakanda Cheng Hwa
menunjukkan bahwa para pembunuh mengancam kita para
pangeran. Dan aku amat mencurigai pemuda bernama Han
Lin itu. besar sekali kemungkinannya dia adalah seorang di
antara para pembunuh yang berpura-pura menolong Cheng
Hwa agar dapat menyusup ke dalam istana sehingga dia akan
mempunyai banyak kesempatan untuk menyerang kita."
Tiga orang pangeran itu saling pandang dan tampak
terkejut sekali. Tentu saja timbul kecurigaan besar terhadap
Han Lin dan mereka juga merasa takut.
"Akan tetapi itu hanya dugaan." kata Pangeran Cheng Ki.
"Kita tidak mempunyai bukti apapun."
"Benar, karena itu kita harus mencai buktinya," kata A Seng atau Ki Seng
"Serahkan saja kepadaku. Aku akan mencari
buktinya dan akan menangkap penjahat itu. Mari kita keluar
dan pergi ke pondok Teratai untuk memancingnya. Jangan
khawatir, aku telah mempersiapkan semua pengawal untuk
melindungi kita kalau terjadi sesuatu."
Pondok Teratai yang dimaksudkan Ki Seng adalah sebuah
pondok indah yang berada di dekat kolan teratai di tengah
taman bunga istana yang luas itu. Tiga orang pangeran itu
menurut dan pergilah empat orang pemuda itu ke taman. Dan
ketika mereka keluar dari pintu samping, Han Lin melihat
mereka dan ketika mereka berjalan memasuki taman menuju
ke pondok dekat kolam teratai, Han Lin membayanginya. Tiga
orang pangeran yang lain tidak mengetahui, akan tetapi Ki
Seng yang memiliki panca indera yang tajam tentunya sudah
mengetahui bahwa ada orang membayangi mereka dan dia
dapat menduga bahwa orang itu tentu Han Lin. Ketika empat
orang itu memasuki pondok, Han Lin segera menghampiri
jendela. Dia ingin mendengar percakapan mereka. Ketika
akhirnya dia berhasil mendekati jendela pondok itu, memilih
bagian yang gelap lalu mengintai ke dalam, dia merasa heran
karena yang dilihatnya hanya ada tiga orang pangeran . A
Seng sama sekali tidak tampak ada di dalam ruangan pondok
itu. selagi dia merasa heran dan menduga-duga tiba-tiba
terdengar bentakan nyaring yang datang dari arah
belakangnya. "Penjahat! Tangkap penjahat!" teriakan itu disusul
menyambarnya sebuah pukulan yang amat dahsyat ke arah
punggungnya. Han Lin maklum bahwa itu merupakan
serangan yang amat berbahaya. Dia cepat melompat ke
samping untuk mengelak dan dia melihat bahwa
penyerangnya bukan lain adalah Pangeran Cheng Lin palsu
atau A Seng! "A Seng, iblis kau! Kembalikan sulingku!" bentak Han Lin marah.
"Penjahat! Pembunuh! Tangkap pembunuh.....!!" Ki Seng berteriak dan dia sudah
menyerang lagi dengan ilmu silat Sinliong Ciang-hoat (Ilmu Silat Naga Sakti).
Melihat gerakan lawan yang amat cepat dan mengandung tenaga kuat sekali
itu Han Lin lalu memainkan ilmu silat Ngo-heng Sin-kun (Silat
Sakti Lima unsur). Ternyata ketika lengan mereka saling
beradu, tenaga mereka seimbang. Perkelahian tangan kosong
terjadi dengan serunya di luar Pondok Teratai itu, di bawah
sinar lampu yang cukup terang.Tapi diam-diam Ki Seng keluar
dari dalam pondok dan mengambil jalan melingkar melalui
pintu belakang sehingga Han Lin tidak melihat dan tahu-tahu
dia muncul di belakang pemuda yang melakukan pengintaian
itu. Teriakan-teriakan Ki Seng tadi memancing datangnya
banyak perajurit pengawal yang dipimpin oleh para komandan
pasukan pengawal yang memang telah dipersiapkan oleh Ki
Seng lebih dulu. Para perwira ini sudah terpengaruh oleh katakata Ki Seng.
Ketika mereka melihat betapa Pangeran Cheng
Lin bertanding melawan Han Lin, otomatis mereka mengira
bahwa Han Lin hendak membunuh Pangeran Cheng Lin
seperti telah dikatakan oleh Ki Seng. Maka dengan sendirinya
mereka lalu mencabut senjata dan tanpa dikomando lagi
mereka lalu mengepung dan mengeroyok Han Lin!
Han Lin terkejut bukan main. Melihat dirinya dikepung dan
dikeroyok para perajurit pengawal dan perwira pimpinan
mereka, sadarlah dia bahwa dia telah terjebak ke dalam
perangkap yang agaknya sudah diatur Ki Seng! Dia dianggap
sebagai pengacau, penjahat yang hendak membunuh
Pangeran Cheng Lin! "Tahan! Aku bukan pembunuh!" Dia mengerahkan ilmu
kekebalannya Tiat-pouw-sin (Kekebalan Baju Besi) untuk
menjaga diri dan menggerakkan kedua tangannya untuk
menangkis dan berloncatan kekanan kiri menghindarkan
semua serangan yang datang bertubi-tubi menghujani dirinya.
"Dia penjahat! Dia hendak membunuh kami para
pangeran!" teriak Ki Seng sehingga tentu saja para komandan pengawal itu tidak
menghiraukan kata-kata Han Lin dan lebih
percaya kepada pangeran Cheng Lin.
Han Lin menjadi bingung juga. ia dikeroyok belasan orang
pengawal yang rata-rata memiliki ilmu silat yang lumayan
tangguh karena beberapa orang antara mereka adalah
perwira-perwira. Apalagi di situ ada A Seng yang ia tahu
memiliki ilmu kepandaian silat yang sudah mencapai tingkat
tinggi berkat gemblengan Cheng Hian Hwesio. Tingkat
kepandaian A Seng sebanding dengan tingkat kepandaiannya
sendiri. Dan dia tentu saja tidak ingin membunuh para
pengawal yang mengeroyoknya. Akan tetapi dia harus
membela diri agar jangan sampai mati konyol.
Han Lin mulai mempercepat gerakannya dan dia mulai
merobohkan para pengeroyok dengan menggunakan totokan
It-yang-ci. Melihat ini, Ki Seng menjadi terkejut dan juga
heran. Dia sendiri mengandalkan ilmunya It-yang-ci untuk
mengalahkan Han Lin dan sekarang ternyata Han Lin mampu
mempergunakan ilmu itu. empat orang pengeroyok sudah
roboh terguling dan tak berdaya walau tidak terluka dan yang
lain menjadi gentar. gerakan Han Lin demikian cepat sehingga
mereka tidak dapat melihat bagaimana caranya Han Lin
merobohkan empat orang rekan mereka itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, "Hei, ada apa ini"
Kalian semua, hentikan perkelahian ini! Aku perintahkan,
hentikan perkelahian!"
Semua orang yang mendengar perintah yang keluar dari
mulut Pangeran Mahkoka Cheng Hwa menahan gerakan
masing-masing dan melompat ke belakang. Bahkan Ki Seng
sendiri tidak berani membangkang karena dia tahu akan
kekuasaan putera Mahkota ini.
"Apa yang terjadi di sini" Kenapa Han Lin dikeroyok" Kalian semua tahu bahwa dia
telah kami angkat sebagai pengawal
pribadi keluarga, kenapa malam ini kalian mengeroyoknya?"
Pangeran Cheng Hwa menegur Ki Seng dan para komandan
pengawal yang mengeroyok Han Lin.
"Kakanda Pangeran, kakanda telah tertipu! Han Lin ini
bukan orang baik baik! Mungkin dia malah bersekongkol
dengan para pembunuh di hutan itu! ia tadi mengintai ketika
kami para pangeran sedang bercakap-cakap dalam Pondok
Teratai dan dia menyerang dan hendak membunuhku.
Kakanda, berhati-hatilah dia telah menipu kita semua dan
berhasil menyelundup ke dalam istana untuk membunuh kita
semua para pangeran!" kata Ki Seng.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Cheng Hwa mengerutkan alisnya memandang penuh
perhatian kepada Han Lin. "Han Lin, benarkah engkau
melakukan pengintaian terhadap empat orang adikku ini?"
tanya Pangeran Cheng Hwa sambil menunjuk ke arah Ki Seng
dan tiga orang pangeran lain yang kini sudah berani muncul
keluar. "Be...... benar, Pangeran." jawab Han Lin yang menjadi gugup dan tidak tahu
harus berkata apa kecuali mengaku
sejujurnya. "Dan benarkah engkau hendak membunuh adikku
Pangeran Cheng Lin?"
"Benar, Pangeran, akan tetapi dia...."
"Sudah cukup, kakanda. Penjahat ini harus ditangkap dan
dihadapkan Ayahanda kaisar agar dapat diputuskan hukuman
apa yang harus dijatuhkan kepadanya!" setelah berkata
demikian, Ki Seng memberi perintah kepada para komandan
pengawal, "Tangkap dan belenggu kedua tangannya!"
Para perwira itu maju dan menelikung kedua tangan Han
Lin lalu mengikatnya, Han Lin tidak melawan karena dia tahu
bahwa melawan akan semakin memberatkan dirinya. Di depan
Pangeran Cheng Hwa dia tidak berani melakukan kekerasan.
Diapun tidak mungkin mengaku dirinya sebagai Pangeran
Cheng Lin tanpa bukti apapun. Ki Seng seolah sudah
mencengkeramnya dan dia tidak berdaya sama sekali.
"Baik, mari hadapkan dia kepada Ayahanda Kaisar, biar
beliau yang akan memutuskan." kata Pangeran Cheng Hwa
yang menjadi ragu terhadap Han Lin.
Han Lin lalu digiring oleh Ki Seng dan empat orang
pangeran, dikawal pula oleh para perwira pengawal memasuki
bangunan induk. Kepada para thaikam pengawal pribadi
Kaisar, Pangeran Cheng Hwa minta agar dilaporkan kepada
kaisar bahwa dia mohon menghadap karena ada urusan yang
teramat penting dan tidak dapat ditunda lagi. Dia mohon
menghadap bersama empat orang pangeran yang lain, juga
akan menghadapkan Han Lin dan dikawal oleh para perwira
pasukan pengawal. Mendengar laporan bahwa puteranya yang paling disayang
dan dipercaya mohon menghadap bersama para pangeran
yang lain, Kaisar Cheng Tung segera mengijinkan mereka
masuk. Mereka semua diterima di dalam ruangan pustaka di
mana kaisar sedang duduk bersantai. Kaisar merasa heran
melihat Han lin dibawa rombongan itu dengan tangan
terborgol. Semua orang memberi hormat dengan berlutut.
"Pangeran Cheng Hwa, apakah yang telah terjadi" Kenapa
pemuda yang kau terima menjadi pengawal istana ini malah
menjadi tangkapan?" tanya kaisar dengan heran.
"Ampunkan kalau hamba mengganggu paduka yang
sedang bersantai. Telah terjadi peristiwa penting dan hamba
semua menanti keputusan paduka dalam peristiwa ini."
"Peristiwa apakah itu?"
"Han Lin dituduh sebagai penjahat dan pembunuh oleh
adinda Cheng Lin. karena hamba tidak ingin ada yang main
hakim sendiri, maka hamba mengajak mereka semua untuk
menghadap paduka memohon pengadilan paduka."
"Hemmm, benarkah itu, Cheng Lin" Engkau menuduh Han
Lin sebagai penjahat dan pembunuh" Bukankah dia malah
telah menyelamatkan kakakmu Cheng Hwa" Apa alasan dan
bukti tuduhanmu. " tanya Sri Baginda Kaisar kepada Ki Seng.
"Ampunkan hamba, ayahanda yang mulia. Sesungguhnya,
sejak terjadinya pembunuhan atas diri Cheng Siu dan
penyerangan atas diri kakanda Cheng Hwa, lalu dibawanya
Han Lin ke istana sebagai penyelamat kakanda Cheng Hwa,
hamba telah menaruh kecurigaan besar kepada pemuda ini.
Ketika hamba melakukan penyelidikan ke hutan, dari jejak kaki
dan bekas perkelahian, hamba berpendapat bahwa
pembunuhnya bukan hanya satu dua orang, melainkan paling
sedikit tiga orang. Hamba mempunyai dugaan bahwa Han Lin
ini seorang di antara para pembunuh itu yang kemudian purapura menjadi penolong
kakanda Cheng Hwa." "Nanti dulu," Kaisar memotong. "Apa alasanmu menduga seperti itu?"
"Kecurigaan hamba ini mempunyai alasan yang kuat.
Pertama, kemunculan Han Lin di hutan itu amat aneh.
Seorang pemuda petani berada seorang diri di hutan
terlarang, dan tepat pada saat kakanda Pangeran Cheng Hwa
diserang penjahat. Dan kedua, mana mungkin seorang
pemuda petani memiliki ilmu silat yang tinggi dan mengapa
pula dia yang memiliki ilmu silat tinggi itu membiarkan kedua
orang bertopeng itu melarikan diri" Bukankah seharusnya
ditangkap agar dapat diketahui siapa mereka?"
Kaisar Cheng Tung mengangguk-anguk dan memandang
kepada Han Lin dengan alis berkerut. Kemudian dia menoleh
lagi kepada Ki Seng. "Akan tetapi, kalau memang benar dugaanmu bahwa dia
itu seorang diantara para pembunuh, mengapa pula malah
menyelamatkan Pangeran Cheng Hwa?" tanya Kaisar ragu.
"Itu hanya merupakan siasatnya yang licik, Ayahanda Yang
Mulia. Dia sengaja melakukan itu agar mendapat kesempatan
memasuki istana, agar dia akan dapat membunuh para
pangeran dengan mudah dan siapa tahu, mungkin pula dia
akan membunuh paduka. Buktinya, tadi dia lakukan
pengintaian ketika hamba bersama para pangeran lain sedang
berada Pondok Teratai. Ketika hamba keluar memergokinya,
dia menyerang hamba hendak membunuh hamba."
Keadaan menjadi hening setelah Ki Seng berhenti bicara.
Kaisar kini memandang kepada Han Lin dengan alis berkerut
dan pandang mata marah. "Han Lin, benarkah semua yang dituduhkan Pangeran
Cheng Lin kepadamu itu?"
"Ampun, Yang Mulia. Semua itu fitnah belaka." jawab Han Lin dengan suara tegas.
"Hemm, kalau begitu, apa jawabanmu terhadap semua
tuduhan itu?" "Hamba berada di hutan karena melihat rombongan dua
orang pangeran, hamba seorang pendatang baru dan merasa
tertarik sekali, ingin tahu bagaimana caranya para pangeran
berburu. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa itu adalah
hutan terlarang bagi orang biasa. Kemudian hamba melihat
betapa Pangeran Cheng Hwa diserang orang bertopeng.
Hamba cepat turun tangan membela pangeran akan tetapi
terlambat menolong lima orang pengawal yang dibantai,
hamba berhasil memukul penyerang itu, akan tetapi muncul
orang bertopeng kedua yang memiliki ilmu silat tinggi
melarikan orang pertama. Hamba tidak melakukan pengejaran
karena hamba khawatir kalau hamba meninggalkan Pangeran
Cheng Hwa seorang diri, akan muncul penjahat lain yang akan
menyerangnya. Kemudian Pangeran Cheng Hwa mengajak
hamba ke istana dan hamba menuruti perintahnya."
"Semua pernyataan yang diucapkan Han Lin itu benar dan
hamba menjadi saksinya, Ayahanda Yang Mulia." Pangeran
Cheng Hwa yang bagaimanapun juga masih merasa berhutang
budi kepada Han Lin dan karenanya ingin membela Han Lin.
Kaisar Cheng Tung tetap mengerutkan alisnya dan
mendengar pembelaan putra mahkota itu dia menganggukangguk
sambil mengelus jenggotnya sambil memandang
kepada Han Lin. "Han Lin, bagaimana jawabanmu terhadap tuduhan bahwa
engkau telah mengintai para pangeran yang berada di Pondok
Teratai kemudian ketika Pangeran Cheng Lin memergokimu,
engkau menyerangnya dan hendak membunuhnya. Benarkah
semua itu?" "Hamba akui bahwa hal itu memang benar, Yang Mulia.
Hamba telah mendapat tugas untuk melindungi keselamatan
keluarga paduka, dan karena hamba khawatir kalau-kalau
para penjahat akan datang untuk membunuh para pangeran,
maka ketika para pangeran memasuki pondok Teratai, hamba
sengaja memdatangi dan menjaga. Kemudian Pangeran
Cheng Lin keluar dan meneriaki hamba sebagai penjahat dan
pembunuh, kemudian hamba berkelahi dengannya....."
"Kenapa engkau melawannya dan hendak membunuhnya?"
Kaisar mendesak, mulai marah karena semua yang dituduhkan
Pangeran Cheng Lin itu diakui oleh Han Lin.
"Karena...... karena..... dia.... dan hamba memang
bermusuhan sejak dia belum menjadi pangeran." Terpaksa
Han Lin mengaku demikian karena dia tahu bahwa kalau dia
mengatakan yang sesungguhnya tentang diri pangeran palsu
itu, tentu dia tidak akan dipercaya bahkan membuat dia makin
kelihatan jelek dan bersalah, disangka melakukan fitnah
karena kata-katanya tidak mungkin dibuktikan.
"Ayahanda Yang Mulia, jelas pemuda ini berdosa besar.
Mungkin dia pula yang telah membunuh adinda Cheng Siu.
oleh karena itu hamba berpendapat bahwa ia adalah seorang
yang amat berbahaya bagi keselamatan keluarga istana dan
patut dijatuhi hukuman mati!" kata Ki Seng.
Kaisar Cheng Tung mengerutkan alisnya dan memandang
Putera Mahkota Cheng Hwa. "Pangeran Cheng Hwa,
bagaimana pendapatmu?"
Pangeran Cheng Hwa memberi hormat lalu berkata dengan
sikap tenang dan suaranya tegas. "Ayahanda Yang Mulia
menurut pendapat dan pandangan hamba semua yang
dikemukakan adinda Cheng Lin itu baru merupakan dugaan
belaka. Tidak ada buktinya bahwa Han Lin adalah seorang di
antara para pembunuh. Hanya satu yang sudah terbukti dia
bersalah, yaitu bahwa dia melawan dan menyerang adinda
Cheng Lin, akan tetapi hal itupun dilakukan karena dia
mempunyai permusuhan dengan adinda Cheng Lin,
permusuhan pribadi. Karena itu, dia belum pantas dikenakan
hukuman karena kedosaannya belum terbukti."
Kaisar Cheng Tung mengangguk-anguk kemudian berkata.
"Baiklah, kami akan mengambil keputusan tengah-tengah
dengan seadilnya. Han Lin belum terbukti menjadi pembunuh,
akan tetapi dia tetap bersalah karena berani menyerang
Pangeran Cheng Lin. Karena itu, dia harus dihukum cambuk
dua puluh kali dan diusir keluar dari kota raja!"
Ki Seng merasa kecewa, akan tetapi karena hal itu telah
menjadi keputusan. dan tak seorangpun boleh atau berani
membantah. "Menaati perintah Yang Mulia Kaisar, hayo seret dia keluar istana,
laksanakan hukumannya sekarang juga"
Kata Ki Seng kepada para pengawal.
Kaisar menyuruh mereka semua mengundurkan diri. Ki
Seng memimpin para pengawal membawa Han Lin keluar dari
istana. Pangeran Cheng Hwa tidak ikut, akan tetapi dia
berkata kepada adiknya "Adinda Cheng Lin, ingat, engkau
tidak boleh lancang melanggar perintah Yang Mulia. Han Lin
tidak boleh dibunuh lalu setelah dihukum cambuk dua puluh
kali harus dibebaskan."
"Baik, kakanda. Tentu saja saya tidak berani melanggar
perintah." kata Ki Seng dengan sikap patuh.
Dengan disaksikan empat orang pangeran itu, Han Lin
dibawa keluar istana dan di alun-alun depan istana, hukuman
cambuk dilaksanakan oleh seorang pengawal bertubuh tinggi
besar yang menjadi algojonya. Hukuman itu dilaksanakan di
bawah pohon besar yang tumbuh di alun alun itu. Han Lin
dibelenggu kedua tangannya ke belakang tubuhnya dan dia di
suruh berlutut. Bajunya ditanggalkan. Sebuah lampu gantung
besar di pohon menerangi dan tampak algojo yang tinggi
besar dengan kedua lengan berotot kekar itu sudah siap
dengan sebatang cambuk terbuat dari pada rotan. Lima orang
pangeran, Cheng Hwa, Cheng Ki, Cheng Tek, Cheng Lin dan
Cheng Bhok sudah duduk di atas kursi, tidak jauh dari situ.
Dua losin perajurit berdiri melakukan penjagaan.
"Laksanakan hukuman sekarang juga" teriak Pangeran
Cheng Lin. Mendengar ini, Pangeran Cheng Hwa mengerutkan
alisnya. Lancang benar, pikirnya. Dia berada di situ dan
sepatutnya dialah yang mengeluarkan perintah, bukan
Pangeran Cheng Lin. Akan tetapi karena perintah sudah
dikeluarkan, dia diam saja. Biarpun demikian, mendengar
perintah yang keluar dari mulut Ki Seng itu, Algojo itu
menoleh dan memandang kepada Pangeran Mahkota Cheng
Hwa dengan pandang mata menanti perintah. Algojo itu tahu
benar bahwa di antara semua pangeran yang hadir di situ,
Pangeran Cheng Hwa yang memiliki kekuasaan tertinggi.
Melihat ini, Pangeran Cheng Hwa mengangguk. Diapun ingin
melihat pelaksanaan hukuman cambuk itu cepat diselesaikan
agar Han Lin dapat segera bebas.
Algojo segera melaksanakan tugasnya setelah melihat
anggukan Pangeran Cheng Hwa. Dia mengangkat cambuknya
ke atas dan mengayun cambuk menimpa punggung Han Lin
yang telanjang. "Tarr..... tarrr.... tarrr.....!!" Cambuk melecut-lecut ke atas kulit punggung
Han Lin. Algojo menghitung sebelum
Cambuknya melecut. Kalau bukan punggung Han Lin yang
tertimpa lecutan cambuk rotan seperti itu yang digerakkan
oleh tenaga yang kuat, tentu kulit punggungnya akan pecahpecah.
Akan tetapi Han Lin melindungi tubuhnya dengan ilmu
kebal Tiat-pouw-san (Baju Besi) sehingga cambuk itu seolah
melecut papan yang amat kuat dan tidak mendatangkan luka
apapun kecuali sedikit memar dan bilur-bilur!
"Sebelas.... tarrr! Dua belas.... tarr!!" hitungan dan cambukan itu berlangsung
bertubi-tubi, namun sedikitpun
tidak ada rintihan keluar dari mulut Han Lin dan tubuhnya
sedikitpun tidak bergerak. Pangeran Cheng Hwa diam-diam
kagum dan senang. Dia dapat menduga bahwa pemuda
penolongnya itu tentu melindungi tubuhnya dengan kekebalan
sehingga cambukan itu tidak melukainya.
".....tujuh belas.... tarr! Delapan belas. ". .tarrr!!"
"Tahan!!" tiba-tiba Ki Seng bangkit berdiri dan mengangkat tangannya
menghentikan cambukan itu. Sang algojo menahan
cambukan berikutnya dan menoleh kepadanya.
"Ada apakah, Yang Mulia Pangeran?" tanyanya.
"Hentikan dulu cambukan itu. Engkau tidak memukul
dengan sungguh-sungguh. Lecetpun tidak kulit punggung
yang kau cambuk itu. Ini bukan hukuman namanya. Kakanda
Pangeran, perkenankan hamba melakukan cambukan yang
tinggal dua kali lagi itu. Saya harus ikut menghukum orang
yang tadi hendak membunuhku!"
Pangeran Cheng Hwa tersenyum mengejek. Dia sama
sekali tidak tahu bahwa Ki Seng yang disangkanya benar adik
tirinya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi. Dipikirnya
hanya memil ki ilmu silat biasa saja dan belum tentu
tenaganya lebih kuat dibandingkan algojo raksasa itu. Apa
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
artinya dua kali cambukan yang dilakukan Pangeran Cheng Lin
dibandingkan dengan delapan belas kali cambukan yang telah
dilakukan oleh algojo raksasa itu. Dia tersenyum dan
mengangguk. "Silakan, adinda pangeran. Tapi ingat engkau hanya boleh
mencambuk punggungnya, jangan mencambuk tengkuk atau
kepala, apalagi sampai mematikannya!" ulang suaranya yang lembut terdapat wibawa
yang tegas. Diam-diam Ki Seng
merasa mendongkol juga. Tadinya dia memang ingin
melakukan sisa dua kali cambukan untuk membunuh Han Lin.
kalau dia mencambuk tengkuk atau kepala, pasti Han Lin akan
tewas. Akan tetapi angeran Mahkota Cheng Hwa sudah
mendahuluinya dan melarangnya. Dia terpaksa harus menaati
karena kalau melanggar, dia menempatkan diri dalam posisi
yang amat berbahaya. "Tentu saja, kakanda. Terima kasih."
Ki Seng lalu menghampiri tempat pelakuan hukuman itu,
mengambil cambuk dari tangan sang algojo.
Han Lin terkejut sekali ketika melihat cambuk itu kini
diambil oleh Ki seng. Mengertilah dia bahwa dirinya terancam
bahaya maut. Akan tetapi dalam keadaan menjadi terhukum,
dia tidak dapat berbuat sesuatu. Tidak mungkin dia
membantah. Hanya ada satu hal yang menyelamatkannya,
yaitu ucapan Pangeran Cheng Hwa kepada Ki Seng.
Pangeran Mahkota itu melarang "adiknya" untuk
mencambuk tengkuk atau kepala. Hal inilah yang
menyelamatkannya, kalau hanya dicambuk di bagian
punggung dia tidak akan tewas, walaupun kemungkinan besar
dia menderita luka dan Kekebalan ilmu Tiat-pouw-san saja
tidak akan mampu menahan kehebatan pukulan cambuk yang
dilakukan oleh Ki Seng yang lihai sekali. Tentu Ki Seng akan
memilih bagian jalan darah yang paling lemah. Han Lin lalu
mengheningkan seluruh batinnya, mempersatukan semua
kekuatan dalam tubuhnya dan menyalur kekuatan itu untuk
melindungi jalan darah di kedua pundaknya.
Ki Seng menghitung dengan selantang lalu mencambuk dan
seperti sudah diperhitungkan Han Lin, dia mengerahkan
seluruh tenaganya pada dua cambukan itu.
"Sembilan belas! Syuuuuuttt...... darr.....!!" Han Lin merasa pundaknya seperti
disambar petir dan dia merasa pula betapa
dari perutnya keluar darah melalui mulutnya. Namun dia
masih tetap menghimpun dan mengerahkan tenaganya untuk
menerima pukulan ke dua. "Dua puluh! Syuuuuttt..., darrr....!!" tubuh Han Lin terguling dan dari mulutnya
muntah darah segar! Ki Seng memandang kepada Han Lin yang rebah miring
sambil tersenyum puas. "Mampus kau!" desisnya lirih dan lalu mengembalikan
cambuk kepada algojo dan menghampiri saudara-saudaranya.
Pangeran Cheng Hwa bangkit dari kursinya dan lari
menghampiri Han Lin. Han Lin sudah bangkit perlahan, masih
berlutut. Dadanya terasa sesak dan kepalanya pening sekali.
"Han Lin, engkau tidak apa-apakah?" tanya Pangeran
Cheng Hwa khawatir. Han Lin menggeleng kepalanya. "Ti , tidak apa-apa, terima kasih Pangeran."
"Sekarang engkau boleh pergi dengan bebas," kata pula Pangeran Cheng Hwa, lalu
berkata kepada kepala pasukan
yang memimpin dua losin perajurit yang berjan di situ. "Antar dan kawal dia
sampai keluar dari pintu gerbang selatan. Awas,
jaga baik-baik jangan sampai ada orang mengganggunya.
Kalian yang bertanggung jawab atas keselamatannya sampai
keluar pintu gerbang!"
Perintah ini dilaksanakan dengan baik oleh perwira yang
memimpin dua losin perajurit pengawal itu. Dalam keadaan
lunglai Han Lin dikawal sampai ke pintu gerbang selatan
kemudian dilepaskan. Ketika itu malam sudah larut dan Han
Lin melangkah terhuyung-huyung dalam kegelapan malam
yang hanya diterangi oleh bintang-bintang yang bertaburan di
angkasa. Menjelang fajar dia sudah jauh meninggalkan pintu
gerbang kota raja dan dia merasa betapa tenaganya sudah
hampir habis. Kedua kakinya gemetar dan akhirnya dia jatuh
terkulai di bawah sebatang pohon yang berdiri di tepi jalan
raya. Seorang gadis berpakaian putih cepat menghampirinya.
"Sobat, engkau kenapakah" Engkau sakit?" tanya gadis itu dengan suara lembut
sambil menghampiri Han Lin dan cepat
meraba pergelangan tangan kiri Han Lin untuk merasakan
denyut nadinya. Han Lin bangkit duduk dan mereka saling
pandang. "Adik Tan Kiok Hwa.....!" seru Han Lin dengan girang sekali sehingga sejenak ia
melupakan rasa sesak dan nyeri
didadanya. "Kakak Han Lin.....! Engkaukah ini" diamlah saja, jangan
bergerak, engkau terluka. Duduklah bersila, akan kucoba
mengusir hawa beracun dari dalam tubuhmu!"
Karena maklum akan kelihaian gadis yang tak pernah dia
lupakan itu dalam ilmu pengobatan, Han Lin menurut. ia
duduk bersila dan mengendurkan seluruh urat syarafnya.
Setelah memeriksa detak nadi dan pernapasan Han Lin,
Kiok Hwa lalu menotok beberapa jalan darah di kedua pundak
dan punggung. Setelah itu ia mengeluarkan jarum emas dan
jarum peraknya dan mulai mengobati Han Lin dengan tusukjarum
di sekitar punggungnya, setelah Han Lin melepaskan
bajunya. Fajar menyingsing. Sinar matahari mulai mengusir kabut
pagi dengan sinarnya yang lembut. Han Lin merasa betapa
sesak dan nyeri di dadanya sudah menghilang. Kiok Hwa
mencabuti jarum-jarumnya dan berkata dengan nada lega.
"Bahaya sudah lewat, Lin-ko. sekarang tinggal mengobati
luka di kedua pundakmu." Ia mengeluarkan sebungkus obat
bubuk putih dan menaburkan obat kepada luka-luka di pundak
Han Lin. Terasa dingin dan nyaman sekali oleh Han Lin.
"Terima kasih, Hwa-moi, aku sudah sembuh kembali.
Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat tiba-tiba muncul
menolongku." "Jangan bicara dulu, Lin-ko. Walaupun engkau sudah
sembuh, akan tetapi engkau kehabisan tenaga. Himpunlah
dulu tenaga murni untuk memulihkan kekuatanmu. Dalam
keadaan seperti sekarang ini engkau harus selalu siap siaga,
dalam keadaan sehat dan memiliki tenaga sepenuhnya."
Han Lin mengangguk, lalu diapun memejamkan mata dan
menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya, Kiok
Hwa duduk di atas akar pohon yang menonjol keluar dari
tanah, memandang dan menjaga pemuda itu dengan pandang
mata penuh kasih sayang. Terbayanglah semua
pengalamannya dengan Han Lin. Tanpa melalui banyak
pengakuan kata-kata, ia menyadari sepenuhnya bahwa ia
mencinta Han Lin dan pemuda itupun mencintanya. Akan
tetapi karena ia tahu betapa gadis yang dikenalnya sebagai
Suma Eng itu mati-matian mencintai Han Lin. Ia tidak tega
untuk merebut pemuda itu dari gadis yang sudah lama
mencinta pemuda itu. Ia mengalah dan meninggalkan mereka.
Ia lalu memasuki kota raja dan mendapat pengalaman tidak
enak ketika ia hendak dijebak orang jahat yang berpura-pura
sakit di sebuah kamar losmen. Akan tetapi tidak lama ia
berada di kota raja karena mendengar bahwa di daerah Lamteng
yang berada sebelah selatan kota raja berjangkit
penyakit demam panas yang sudah makan banyak korban. Ia
bergegas pergi ke daerah itu untuk menolong orang-orang
yang kejangkitan penyakit itu. la sudah berhasil menolong dan
menyelamatkan banyak orang sehingga namanya sebagai Pek
I Yok Sian-li semakin terkenal. Untuk keperluan itu, Kiok Hwa
harus mondar mandir ke kota raja untuk membeli obat obatan
dari rumah obat. Ketika ia datang pergi ke kota raja membeli
obat, bertemu dengan Souw Tek dan Su Te Ek yang terluka
dalam pi-bu (adu silat di Hek-tiauw Bu-koan. Juga pada hari
ini ia sedang hendak pergi ke kota raja untuk membeli obat
ketika ia melihat pemuda terhuyung-huyung lalu roboh di
bawah pohon yang kemudian ternyata adalah Han Lin.
Kiok Hwa menghela napas panjang, sudah mengalah
terhadap Suma Eng dan berusaha menjauhkan diri dari Han
Lin, Akan tetapi nasib rupanya menghendaki lain dan secara
tidak terduga sama sekali kini ia bertemu lagi dengan Han Lin
bahkan harus mengobatinya karena pemuda itu menderita
luka yang cukup parah. Dan pertemuan itu menambah
goresan yang memperdalam perasaan cinta kasih-kepada Han
Lin. Baru memandang kearah pemuda itu yang bersamadhi
memejamkan mata saja, ada daya tarik yang luar biasa yang
mencengkeram perasaan hatinya. Pada saat itu tahu benarlah
Kiok Hwa bahwa tanpa adanya pemuda itu di sampingnya,
hidup selangjutnya akan terasa hampa dan tidak menarik!
Matahari makin cerah. Cahayanya yang tadinya kuning
kemerahan mulai memutih dan panas mulai menyengat, Kiok
Hwa merasa senang melihat betapa kedua pipi Han Lin mulai
memerah, menunjukkan bahwa pemuda itu sudah sehat betul
dan selain kesehatannya sudah pulih, juga tenaganya sudah
utuh kembali. Han lin menggerakkan pelupuk matanya kemudian
membuka kedua matanya, lalu menoleh ke arah Kiok Hwa.
Keduanya tersenyum. "Hwa-moi, kembali engkau telah menolongku. Entah
berapa kali sudah kau menolong dan menyelamatkan aku
akan tetapi mengapa engkau selalu menjauhkan diri dariku,
Hwa-moi?" Ada tuntutan terkandung dalam ucapan itu dan Kiok Hwa
merasa terharu. "Sudahlah, jangan bicarakan hal itu Lin-ko. Sekarang
ceritakan, bagaimana engkau sampai menderita seperti ini.
Engkau terkena pukulan pada kedua jalan darah di pundakmu,
dan pukulan itu mengandung hawa beracun yang jahat. dan
punggungmu penuh bilur-bilur seperti bekas cambukan. Apa
yang terjadi?" Han Lin menghela napas panjang, ia tidak ingin
menceritakan tentang sebenarnya bahwa dia seorang
pangeran, Ia khawatir kalau hal itu diketahui Kiok Hwa, akan
mengubah sikap gadis itu terhadap dirinya. Tidak, dia ingin
dikenal Kiok Hwa sebagai Han Lin, pemuda biasa. Bahkan
kepada Sian Engpun dia tidak membuka rahasia ini. Sekali saja
membuka rahasia sudah cukup menyengsarakannya, yaitu
ketika dia membuka rahasianya itu kepada A Seng.
Mendengar pertanyaan itu, otomatis Han Lin meraba
punggungnya dan baru menyadari bahwa dia telah kehilangan
pedangnya. Im-yang-kiam telah hilang, Ia mengingat-ingat.
Ketika dia ditangkap oleh para perajurit, pedangnya diambil
oleh Ki Seng! "Ada apakah, Lin-ko" Engkau seperti mencari sesuatu!"
tegur Kiok Hwa. "Pedangku....., pedangku diambil orang....!" kata Han Lin dan teringat akan
semua perbuatan Ki Seng yang kini menjadi
Pangeran Cheng Lin dia merasa gemas sekali.
"Im-yang-kiam" Ah, siapa yang telah mengambilnya, Linko?"
tanya Kiok Hwa yang ikut merasa menyesal bahwa
pedang pusaka yang langka itu diambil orang.
Kan Lin menghela napas panjang.
"Panjang ceritanya, Hwa-moi. Aku telah menyelamatkan
Pangeran Mahkota Cheng Hwa yang akan dibunuh orang jahat
dekat hutan. Beliau lalu membawaku ke istana dan aku diberi
pekerjaan sebagai seorang pengawal di istana. Akan tetapi
malam tadi, aku difitnah. Aku dituduh hendak membunuh para
pangeran. Kiasar marah sekali dan aku tentu sudah dijatuhi
hukuman mati kalau saja Pangeran Mahkota Cheng Hwa tidak
membela. Karena pembelaan beliau maka hukuman ku
diperingan, yaitu menerima hukuman dua puluh kali
cambukan." "Hemm, engkau yang memiliki sinkang amat kuat dan
memiliki kekebalan, mengapa sampai menjadi begini ketika
dicambuk" Kukira jangankan hanya dua puluh kali, biar
seratus kalipun engkau tentu tidak akan terluka kalau engkau
mengerahkan sin-kang melindungi tubuhmu." kata Kiok Hwa
heran. "Algojo hanya mencambuk sampai delapan belas kali saja,
lalu cambuknya di minta Pangeran Cheng Lin dan dia yang
mencambuk aku dua kali sehingga aku menderita luka parah."
"Hemm, jadi Pangeran Cheng Lin itu seorang yang memiliki
ilmu kepandaian silat tinggi?"
"Benar, dan dia jahat seperti iblis."
"Ah, kalau begitu dia pula yang menjatuhkan fitnah atas
dirimu?" "Benar." "Dan dia pula yang mengambil im yang-kiam darimu?"
"Memang benar, Hwa-moi."
"Hemm. Tidak akan ada asap kalau dak ada apinya. Tidak
akan turun hujan kalau tidak ada awalnya. Tidak ada akibat
tanpa sebabnya. Lin-ko, mengapa seorang pangeran dapat
begitu membencimu" Padahal engkau telah menyelamatkan
Pangeran Mahkota" Katakan, mengapa Pangeran Cheng Lin
itu demikian membencimu, Lin-ko?"
Han Lin merasa terdesak, namun dia bertekad untuk
mempertahankan rahasianya. Setelah berpikir sesaat, dia
menjawab, "Dia baru saja diterima sebagai pangeran, Hwamoi.
Aku sudah mengenalnya dengan baik sebelum dia
menjadi pangeran, yaitu ketika dia masih menjadi murid
Cheng Hian Hwesio, Bahkan boleh dibilang dia itu masih
saudara seperguruanku karena akupun dilatih ilmu silat oleh
Cheng Hian Hwesio. Ketika itu, dia melakukan perbuatan
menyeleweng dan minggat meninggalkan kami. Kemudian
menjadi pangeran dan melihat aku berada di istana, mungkin
dia khawatir aku aku membeberkan kejahatannya dan
mungkin dia menganggap aku sebagai saingan."
Tiba-tiba Han Lin memegang lengan Kiok Hwa dan matanya
memandang ke depan. Kiok Hwa menengok dan gadis inipun
melihat bayangan dua orang berlari cepat menuju ke tempat
itu. Setelah dua orang itu tiba dekat, dengan kaget Han Lin
dan Kiok Hwa melihat bahwa mereka itu bukan lain adalah
Toa Ok dan Suma Kiang! "Itu dia!" seru Toa Ok.
"Bunuh dia!!" kata pula Suma Kiang.
Dua orang datuk ini memang diutus oleh Pangeran Cheng
Boan yang sudah mendengar akan peristiwa yang terjadi di
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
istana malam itu. Mendengar bahwa Han Lin atau Pangeran
Cheng Lin yang aseli itu hanya dihukum cambuk dan dilukai
oleh Ki Seng akan tetapi tidak dapat di bunuh karena dibela
Pangeran Mahkota Cheng Hwa, dia cepat mengutus dua orang
jagoannya itu. "Cepat kejar dan bunuh dia selagi terluka parah" demikian perintahnya.
Demikianlah, dua orang itu keluar dari kota raja
dan melakukan pengejaran. Mereka mengira bahwa Han Lin
masih menderita luka parah maka segera mereka menerjang
maju untuk membunuhnya. Toa Ok sudah menggunakan Kimliong-
kiam (Pedang Sinar Emas) yang berubah menjadi
gulungan sinar emas yang dahsyat. Suma Kiang juga sudah
mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dan langsung saja
menyerang dengan cepat dan kuatnya.
Pada saat itu, Han Lin memang sudah sembuh sama sekali
dari luka dalam di tubuhnya. Akan tetapi walaupun dia sudah
menghimpun hawa murni untuk memulihkan tenaganya dan
tenaga sin-kang-sudah kembali, namun dia masih sedikit
lemah dari pada biasanya.
Menghadapi serangan tiga batang pedang yang digerakkan
tangan-tangan yang amat kuat itu, Han Lin segera
mengerahkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) sehingga
tubuhnya bergerak cepat dan lincah searti seekor burung
walet, mengelak ke sana-sini sehingga tubuhnya berubah
menjadi bayang-bayang yang berkelebatan di antara sinar tiga
batang pedang itu. Dia bersilat dengan Ngo-heng Sin-kun
(Ilmu Sakti Lima Unsur) dan kadang membalas dengan
totokan It-yang-ci. Namun, kondisinya yang masih lemah dan kepalanya yang
masih terasa sedikit pening itu membuat Han Lin desak hebat.
Tiga batang pedang di tangan kedua orang lawannya benarbenar
amat berbahaya dan biarpun Han Lin sudah mengelak
sedapatnya, tetap saja ujung pedang Toa Ok melukai pangkal
lengan kirinya dan ujung pedang Suma Kiang juga melukai
paha kanannya. Pangkal lengan kiri dan paha kanan Han Lin
terluka mengucurkan darah dan dari rasa panas di kedua
bagian tubuh yang terluka itu tahulah dia bahwa lukanya itu
mengandung racun. Pedang-pedang kedua orang datuk sesat
itu tentu telah direndam racun. Karena dua luka di tubuhnya
itu, gerakan Han Lin menjadi semakin kendur dan lambat.
Melihat ini, Kiok Hwa dengan nekad menerjang untuk
membela Han Lin. "Kalian jahat dan tidak tahu malu mengeroyok seorang
yang tidak membawa senjata!" Kiok Hwa berkelebat dan
berusaha merampas pedang di tangan Toa Ok dengan jalan
memukul siku kanannya agar pedang itu terlepas dari
tangannya. Gerakan Kiok Hwa itu cepat bukan main sehingga
Toa Ok tidak dapat menghindar.
"Plakk!" Siku kanannya terpukul dan seketika tangannya menjadi tergetar lumpuh
dan pedangnya terlepas dari
pegangannya. Tangan kirinya menyambar dan menyambar
bawah pundak kanan Kiok Hwa.
"Desss.....!" tubuh Kiok Hwa terpental dan terbanting roboh di bawah pohon.
"Hwa-moi.....!" Han Lin berseru dan cepat dia menyerang Toa Ok dengan tiga buah
totokan secara bertubi. Toa Ok
terkejut dan melompat ke belakang. Akan tetapi Han Lin tidak
sempat menghampiri Kiok Hwa karena Suma Kiang sudah
menyerangnya lagi dengan sepasang pedangnya.
"Lin-ko, sambut.....!" Kiok Hwa yang telah terluka bawah pundak kanannya itu
menemukan sebatang kayu ranting
sebesar lengannya di bawah pohon itu. Dengan tangan kirinya
ia melontarkan ranting itu ketika Han Lin melompat belakang
dan menoleh kepadanya, han Lin menyambar tongkat itu
dengan tangannya. Pada saat itu, Toa Ok dan Suma Kiang
sudah menyerang lagi. Han Lin memutar tongkat ranting itu
dan segera memainkan ilmu silat Sin-tek-tung (Tongkat
Bambu Sakti). Gulungan sinar kuning yang aneh melingkarlingkar dan mencuat ke
sana-sini tampak dan ternyata
gulungan sinar permainan tongkatnya mampu membendung
gelombang serangan ketiga pedang. Namun, dalam keadaan
terluka dan mengeluarkan banyak darah, Han Lin menjadi
semakin lemah sehingga tongkatnya itu hanya dapat
dipergunakan untuk melindungi dirinya saja tanpa mendapat
kesempatan untuk balas menyerang.
Kiok Hwa melihat bahaya ini, akan tetapi ketika ia bangkit
untuk nekat menolong lagi, tubuhnya terkulai lemah dan ia
roboh kembali. Ternyata pukulan tangan kiri Toa Ok yang
mengenai dadanya tadi membuat terluka di sebelah dadanya
yang cukup parah. Keadaan Han Lin gawat. Agaknya tak lama lagi ia akan
roboh dan tewas, dan kalau hal ini terjadi, tentu keselamatan
kiok Hwa juga terancam maut.
Mendadak berkelebat bayangan merah muda dan terdengar
bentakan nyaring, "Toa Ok dan Suma Kiang dua manusia iblis yang hina dan jahat!"
Sinar pedang berwarna hijau
menyambar ganas ke arah leher Suma Kiang. Datuk ini
terkejut dan cepat menangkis dengan pedang kanannya.
"Cringgg....!!" Bunga api berpijar ketika kedua pedang bertemu dan Suma Kiang
melihat bahwa yang menyerangnya
bukan lain adalah Lo Sian Eng, atau yang diakuinya sebagai
Suma Eng, anak- yang dahulu amat disayangnya!
"Suma Eng, mundurlah, aku tidak ingin membunuhmu!"
kata Suma Kiang yang bagaimanapun juga masih mempunyai
perasaan sayang kepada gadis yang semenjak kecil dianggap
sebagai anak kandungnya sendiri, bahkan semua ilmunya
sudah dia turunkan kepada gadis itu.
"Aku Lo Sian Eng, bukan Suma Eng. Engkau tidak ingin
membunuhku, akan tetapi aku ingin membunuhmu seratus
kali untuk membalaskan dendam ayah dan ibu kandungku!"
bentak Sian Eng dan iapun sudah menyerang dengan hebat.
Suma Kiang terpaksa menangkis dan membalas menyerang
untuk membela diri. Sementara itu, Toa Ok masih bertanding melawan Han Lin.
Karena kini Han Lin tidak dikeroyok lagi, maka lawannya
menjadi agak ringan baginya. Akan tetapi sebaliknya, darah
banyak keluar dari tubuhnya dan dia mulai lemas. Dengan
demikian, kekuatan mereka berdua seimbang dan
pertandingan itu berlangsung seru dan mati-matian.
Kiok Hwa yang bersandar di batang pohon menjadi agak
lega melihat munculnya Sian Eng. Diam-diam ia menghela
napas panjang. Mereka bertiga selalu bertemu. Mengapa
begitu kebetulan" Sian Eng yang penuh dendam itu mengerahkan seluruh
kepandaian dan tenaganya sehingga Suma Kiang menjadi
kewalahan. Datuk ini segera terdesak hebat oleh pedang
Ceng-liong- kiam (Pedang Naga Hijau) di tangan gadis perkasa
itu. Suma Kiang melindungi dirinya sekuat mungkin, namun
akhirnya sebuah sambaran pedang Sian Eng mengenai lengan
kirinya sehingga lengan itu terluka menganga di atas siku.
Suma Kiang melompat belakang.
Sian Eng hendak mendesak untuk nembunuh ayah
angkatnya itu, akan tetapi pada saat itu terdengar Kiok Hwa
berseru, "Eng-moi (Adik Eng), bantulah Lin-ko.....!"
Sian Eng menoleh dan melihat betapa Han Lin dengan
wajah pucat didesak Toa Ok yang bergerak semakin ganas.
Khawatir akan keadaan Han Lin, Sian Eng melompat ke dekat
dua orang yang sedang bertanding mati-matian itu.
Pedangnya meluncur dan menusuk ke arah punggung Toa Ok
dari belakang. "Singgg....!!" Sinar hijau menyambar ke arah dada Toa Ok.
Datuk yang lihai ini mendengar suara pedang dari arah
belakangnya. Dia memutar tubuh ke kiri untuk mengelak, akan
tetapi tetap saja pedang itu menyerempet iga kiri di bawah
lengan. Toa Ok menggerakkan tangan kirinya memukul.
"Crakk......desss....!" Pedang itu mengenai dada kiri Toa Ok, akan tetapi
pukulan tangan kiri yang mengandung ilmu
Ban-tok-ciang (Tangan Selaksa Racun) itupun mengenai
pundak Sian Eng. Dara perkasa itu terdorong ke belakang
akan tetapi tidak sampai jatuh. Toa Ok yang melihat betapa
Suma Kiang sudah melarikan diri dan dia sudah terluka, tidak
ada semangat lagi untuk melanjutkan perkelahian karena
maklum bahwa hal akan sangat membahayakan dirinya. ia lalu
melompat jauh dan melarikan diri dengan luka berdarah pada
dada kirinya Sian Eng melihat Han Lin berdarah darah pada pangkal
lengan dan pahanya dan pemuda itu berdiri dengan tubuh
bergoyang-goyang seperti hendak roboh. Ia melihat pula Kiok
Hwa menghampiri Han Lin dan gadis berpakaian putih itupun
terhuyung-huyung, agaknya terluka pula. Sian Eng merasa
betapa dadanya sesak dan sukar bernapas, namun ia
menguatkan dirinya dan menghampiri mereka.
"Lin-ko, bagaimana luka-lukamu?" tanyanya khawatir
sambil memegang lengan pemuda itu. Lengan kanan pemuda
itu sudah dipegang oleh Kiok Hwa.
Han Lin memandangnya dan tersenyum. "Aku tidak apaapa,
Eng-moi. Hanya luka-luka daging saja dan lemas..."
"Dia kehilangan banyak darah, adik Eng." kata Kiok Hwa.
Sian Eng merasa lega dan tiba-tiba ia merasa kepalanya
pening sekali. Segala tampak berpusing.
"Sukur..... sukurlah....." katanya dan ia lalu roboh terkulai, pingsan!
"Eng-moi....!" Seru Han Lin.
"Adik Eng! Engkau kenapa?" seru Kiok Hwa dan mereka
berdua berjongkok dekat tubuh Sian Eng yang rebah telentang
dengan muka pucat sekali. Kiok Hwa cepat memeriksa
keadaan Sian Eng. tak lama kemudian ia berdiri dan
mengerutkan alisnya. "Bagaimana, Hwa-moi" Bagaimana keadaannya?"
Kiok Hwa menghela napas panjang.
"Keji sekali Toa Ok. Adik Eng terkena pukulan Ban-tokciang pada pundaknya. Masih
untung bahwa ia memiliki tubuh
yang sehat dan tenaga sin-kang yang kuat. Dan lebih
menguntungkan lagi agaknya ia dahulu telah banyak minum
obat anti racun ketika ia mempelajari pukulan-pukulan
beracun. Kurasa hawa beracun Ban-tok-ciang tidak akan
menjalar kejantungnya dan aku masih sanggup mengobati
dan menyembuhkannya."
"Ah, sukur sekali kalau begitu, Hwa moi." kata Han Lin dan diapun mengeluh
karena tubuhnya terasa lemah sekali, ia lalu
duduk bersila dekat Sian Eng yang masih pingsan.
"Lin-ko, aku tadi sudah menotok jalan darahmu untuk
menghentikan keluarnya darah dari kedua luka di pangkal
lengan dan pahamu. Akan tetapi engkau sudah mengeluarkan
banyak darah dan engkau harus beristirahat dan makan obat
kuat yang akan kubuatkan untukmu."
"Hwa-moi, aku lihat engkau sendiri juga terluka. Engkau
tadi juga terkena pukulan tangan Toa Ok yang berbahaya!"
Han Lin memandang wajah Kiok Hwa yang pucat.
Kiok Hwa menggeleng kepalanya. "Aku memang terluka,
akan tetapi aku dapat mengatasinya. Jangan
mengkhawatirkan aku. Lebih baik sekarang mari kita bawa
adik Eng. Aku tadi melihat sebuah pondok bambu di hutan
sana itu, pondok bambu kosong yang agaknya ditinggalkan
para pemburu. Kita beristirahat di sana."
Han Lin mengerahkan tenaganya dan bangkit berdiri. Kiok
Hwa menotok beberapa jalan darah di tubuh Sian Eng dan
gadis itu mengeluh lirih lalu membuka matanya.
"Bagaimana keadaanmu, Eng-moi?" Han Lin bertanya.
"Dadaku...... nyeri panas dan napasku sesak......" keluh Sian Eng.
"Adik Eng, mari kita masuk hutan di sana itu, ada sebuah
pondok bambu di sana, kita dapat beristirahat dan mengobati
luka kita. Lin-ko dan akupun terluka dan lemah, maka tidak
dapat memondongmu. Mari kami bantu engkau berjalan ke
sana." Kiok Hwa lalu membantu Sian Eng bangkit dan gadis
perkasa ini menggigit bibir mengerahkan sisa tenaganya untuk
melangkah dan ia dipapah oleh Han Lin dan Kiok Hwa. Tiga
orang muda yang terluka itu terhuyung-huyung memasuki
hutan dan benar saja, tidak jauh dari situ terdapat sebuah
pondok bambu, bahkan ada empat buah dipan bambu di
dalam pondok. Tempat ini biasanya menjadi tempat pondokan
para pemburu kalau kemalaman di dalam hutan.
Setelah membaringkan Sian Eng di atas sebuah dipan, Kiok
Hwa lalu mulai mengobati Sian Eng dan juga Han Lin. Iapun
minum obat untuk menyembuhkan lukanya sendiri.
Pengobatan dari Kiok Hwa itu manjur bukan main sehingga
menjelang malam hari, mereka semua telah dapat terhindar
dari bahaya dan telah sembuh. Akan tetapi mereka, terutama
Han Lin, harus istirahat selama beberapa hari untuk
memulihkan tenaganya. Kebetulan sekali dalam pondok itu
terdapat banyak lilin yang ditinggalkan para pemburu
sehingga mereka tidak sampai kegelapan. Pada keesokan
pagi-pagi, Kiok Hwa yang keadaannya paling baik di antara
mereka, meninggalkan pondok dalam hutan itu untuk pergi
membeli bahan makan. Ia membeli bahan makanan yang
sekiranya cukup untuk mereka makan beberapa hari lamanya.
Lo Sian Eng dan Han Lin duduk bersila di atas dipan
bambu. Mereka duduk berhadapan, Sian Eng di atas dipan
yang satu, Han Lin di atas dipan yang lain. mereka melatih
pernapasan untuk menghimpun dan memulihkan tenaga
mereka. Sejak tadi Sian Eng mengamati Han Lin yang duduk bersila
sambil memejamkan kedua matanya. Gadis itu memandang
kagum. Bukan main pemuda yang telah merampas hatinya ini.
Seorang pangeran tulen. Betapa kuatnya menyimpan rahasia
dirinya, bersikap seperti seorang pemuda sederhana. Biarpun
pertanyaan tentang kepangeranannya itu sudah ada di ujung
lidahnya, namun Sian Eng menekan dan menahannya, tidak
ingin membuka rahasia pemuda itu. Dia harus menghormati
rahasia itu. Ia hanya memandang penuh kagum.
Pandang mata yang terdorong oleh perasaan hati memiliki
daya yang kuat sekali. Han Lin yang tadinya memejamkan
matanya itu, tidak dapat menahan lebih lama lagi. Ada
sesuatu yang seseorang mendorongnya untuk membuka
kedua matanya. Ketika dia membuka kedua matanya,
pandang matanya tepat bertemu dengan sepasang mata jeli
yang menatapnya. Dua pasang matanya bertemu pandang,
bertaut, melekat. Sian Eng tersenyum memecahkan pesona
yang membius mereka. "Lin-ko, mengapa engkau memandangku seperti itu?"
tanyanya, malu-malu.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa......" Ah, aku ingin sekali tahu bagaimana engkau tiba-tiba dapat berada
di sana menolongku ketika kami
terancam bahaya maut itu, Eng-moi?"
Sian Eng tidak tersipu lagi. Ia merasa bersukur karena
ucapan Han Lin itu mengusir rasa canggung dan rikuh yang
timbul oleh bertemunya pandang mata mereka.
"Panjang ceritanya, Lin-ko. Sebaiknya engkau yang
bercerita lebih dulu mengapa engkau terluka dan berkelahi
melawan Toa Ok dan Suma Kiang kemarin?"
Han Lin tersenyum. Gadis ini masih seperti dulu. Tak
pernah mau mengalah, bahkan dalam menceritakan
pengalaman sekalipun. "Setelah meninggalkan Hek-tiauw Bu koan, aku melakukan
penyelidikan dan mendengar banyak tentang keluarga istana."
Baru mendengar ini saja Sian Eng telah tersenyum dalam
hatinya. Tidak aneh kalau dia menyelidiki tentang keluarga
istana karena dia sendiri adalah seorang pangeran, pikirnya.
"Pada suatu hari aku mendengar pula bahwa Suma Kiang dan
Toa Ok bekerja pada Pangeran cheng Boan. Ketika melihat
Pangeran Cheng Hwa dan Pangeran Cheng Siu keluar pintu
gerbang bersama sepasukan pengawal, aku menjadi tertarik
dan membayangi dari belakang. Kiranya rombongan itu pergi
ke hutan untuk berburu dan di dalam hutan itu aku melihat
mereka berpencar, kedua orang pangeran itu berpisah dan
mengambil jalan masing-masing untuk berburu. Aku melihat
Pangeran mahkota Cheng Hwa diserang orang bertopeng,
maka aku segera melindunginya. Penyerang itu dapat
melarikan diri bersama temannya yang juga bertopeng,
Pangeran Cheng Hwa membawaku ke istana dan mengangkat
aku sebagai pengawal".
Sian Eng merasa heran sekali. Sungguh aneh, pikirnya. Dia
sendiri seorang pangeran dan Pangeran Mahkota itu tentu
masih saudaranya, mengapa dia telah menyembunyikan diri"
Lalu ia teringat, Tentu karena Ki Seng telah mencuri Suling
Pusaka Kemala dan orang jahat itu kini menyamar sebagai
Pangeran Cheng Lin. Karena Han Lin tidak memegang bukti
diri, yaitu Suling Pusaka Kemala maka dia belum dapat
menyatakan dirinya sebagai Pangeran Cheng Lin yang sejati!
Sian Eng yang cerdik itu segera dapat menduga akan tetapi ia
diam saja. "Lalu bagaimana, Lin-ko?" Ketika menyebut Lin-ko kali ini, lidahnya terlalu kaku
karena ia menyadari sepenuhnya bahwa
yang dipanggilnya itu adalah seorang pangeran.
"Kemarin malam terjadinya malapetaka itu di taman istana.
Aku dituduh berniat jahat terhadap para pangeran, bahkan
Pangeran Cheng Lin menyerang dan menuduh aku hendak
membunuh pargeran-pangeran di istana. Aku ditangkap dan
hendak dibunuh, akan tetapi aku dibela oleh Pangeran
Mahkota Cheng Hwa sehingga oleh Sri Baginda Kaisar aku
dijatuhi hukuman dua puluh kali cambukan, oleh algojo aku
dicambuk dan tentu saja aku dapat melindungi tubuhku
dengan kekebalan. Akan tetapi baru delapan belas kali,
cambuk itu diminta oleh Pangeran cheng Lin dan aku
dicambuk dua kali olehnya. Dia memiliki ilmu kepandaian
tinggi dan tenaga sin-kangnya besar sehingga cambukan dua
kali itu membuat aku terluka berat. Aku lalu diusir dari istana bahkan
diharuskan keluar kota raja."
"Betapa kejam dan jahatnya dia....!!" Sian Eng berseru marah sekali terhadap Ki
Seng. "Hemm, kalau aku bertemu
lagi dengan dia, pasti akan kuhancurkan kepalanya!"
"Siapa yang kau maksudkan, Eng-moi?"
"Pangeran Cheng Lin, siapa lagi?"
"Hemm, dia itu lihai bukan main Eng-moi."
"Lalu bagaimana" Lanjutkan ceritara Lin-ko."
"Keluar dari pintu gerbang dalam keadaan terluka parah
aku bertemu dengan adik Tan Kiok Hwa."
"Hemm, sungguh kebetulan sekali" kata Sian Eng, suaranya terdengar aneh
"Memang kebetulan sekali, Eng-moi, Agaknya Tuhan
memang menghendaki agar aku tetap hidup. Hwa-moi
mengobatiku sehingga lukaku agak mendingan, Akan tetapi
muncul dua orang itu, Toa Ok dan Suma Kiang. Entah
bagaimana mereka dapat mengejarku dan hendak
membunuhku. Hwa-moi dan aku terdesak hebat dan kami
berdua tentu mati kalau engkau tidak muncul dan menolong
kami. Nah, begitulah ceritaku, Eng-moi. Sekarang ceritakanlah
bagaimana engkau secara kebetulan dapat muncul
menolongku". "Ceritaku juga panjang, Lin-ko. Aku tinggal di rumah
Paman Lo Kang. Engkau lihat Cheng Kun, putera Pangeran
Cheng Boan yang menjadi tunangan enci Lo Siang Kui itu,
bukan" Nah, telah lama Cheng Kun tidak datang berkunjung
sehingga enci Siang Kui menjadi gelisah.
kemudian ia pergi berkunjung ke istana pangeran Cheng
Boan, menemui Cheng Kun. Dan apa yang ia dapatkan dan
alami di sana sungguh hebat, Lin-ko. Ternyata di rumah
Pangeran Cheng Boan itu terdapat Suma Kiang, Toa Ok, dan
Sian Hwa Sian-Ii yang menjadi pengawal-pengawal pribadi.
Juga Pangeran Cheng Lin yang jahat itu agaknya menjadi
komplotan mereka yang berkumpul di rumah pangeran Cheng
Boan. Dan kau tahu apa yang dialami enci Siang Kui di sana"
Ia dijebak oleh Cheng Kun yang dibantu Sian Hwa Sian-li,
diberi minum anggur yang sudah diberi racun sehingga ia
terjatuh ke tangan Cheng Kun dan dinodai tunangannya
sendiri." "Hemm, sudah kuduga bahwa dia bukan manusia baik-baik.
Jadi engkau sudah bertemu pula dengan Pangeran Cheng Lin
yang menjatuhkan fitnah kepadaku itu Eng-moi?"
"Bukan saja bertemu, Lin-ko. Bahkan pernah dia ikut
mengeroyokku." "Bagaimana terjadinya itu?" Han Lil berseru kaget.
"Dengar sajalah, jangan tergesa-gesa, Nanti juga ceritaku akan sampai ke bagian
itu. Sampai di mana ceritaku tadi" Oya,
enci Kui telah menjadi korban kebiadapan Cheng Kun. Ia
pulang dan menceritakan kepadaku apa yang terjadi. Cheng
Kun yang berjanji akan datang dalam waktu seminggu, sampai
sepuluh hari tak kunjung datang untuk menentukan hari
pernikahan. Enci Siang Kui gelisah dan aku marah sekali.
Malam itu aku diam-diam mendatangi istana Pangeran Cheng
Boan!" "Aku dapat membayangkan itu. Engkau tentu marah sekali,
Eng-moi." "Ya, aku dapat temukan Cheng Kui dan aku
mengancamnya, memaksanya untuk segera menikahi enci
Siang Kui. akan tetapi tiba-tiba muncul Sian Hwa Sian Li dan
kami bertanding. Aku dapat mendesaknya akan tetapi lalu
muncul Toa Ok, Suma Kiang dan juga Pangeran cheng Lin
yang merobohkan aku dengan tendangan. Toa Ok hendak
membunuhku, akan tetapi Suma Kiang mencegah karena
mengenal gerakanku dan merenggut topeng yang kupakai.
Karena maklum pada saat itu aku tidak berdaya, maka aku
pura-pura gembira bertemu dengan dia, kusebut dia ayah.
Aku dimaafkan dan Cheng Kun berjanji akan menikahi Siang
Kui sebagai selirnya. Akan tetapi sebelum hal itu terjadi,
Cheng Kun dibunuh seorang gadis yang juga menjadi
korbannya. Gadis itu kemudian dibunuh oleh pangeran Cheng
Lin yang kebetulan malam itu berada di sana. Malam itu juga
sebetulnya aku hendak membunuh Suma Kiang, akan tetapi
gagal karena yang lain datang mengeroyok. Aku masih dapat
meloloskan diri dari sana dan melarikan diri keluar dari kota
raja. Karena aku tahu bahwa aku tentu menjadi orang buruan
mereka dan akan tidak aman berada di kota raja. maka aku
lalu berkeliaran di luar kota raja sampai aku melihat engkau
dikeroyok oleh Suma Kiang dan Toa Ok tadi. Nah, begitulah
pengalamanku, Lin-ko." Sian Eng sengaja tidak mau bercerita bahwa ia telah
mendengar akan persekutuan Pangeran Cheng
Boan dengan Pangeran Cheng Lin palsu dan bahwa ia tahu
pula siapa Han Lin sebenarnya, yaitu Pangeran Cheng Lin
yang aseli. Pada saat itu Kiok Hwa pulang dari berbelanja. Melihat dua
orang itu bercakap-cakap, Kiok Hwa menegur. "Lin ko engkau tidak boleh banyak bicara, engkau
perlu beristirahat untuk memulihkan tenagamu. Kita masih belum terbebas dari
ancaman bahaya. Bagaimana kalau orang orang jahat datang
dan tenagamu masih belum pulih" Dan engkau, adik Eng,
Jangan mengajak Lin-ko banyak bicara!"
Sian Eng tertawa, apalagi melihat Han Lin segera duduk
bersila dan memejamkan kedua matanya kembali, begitu
patuh kepada Kiok Hwa. "Habis, aku rindu sekali padanya, enci Kiok Hwa!" Lalu ia turun dan memeriksa
barang belanjaan Kiok Hwa.
"Uhh! kenapa hanya ikan asin dan daging kering saja yang
kau beli, enci Hwa" Kenapa tidak membeli beberapa ekor
ayam" bosan dong setiap hari makan ikan asin dan daging
kering melulu!" "Ain, Eng-moi. Memangnya kita ini sedang pesiar" Yang
enak-enak saja yang kau bayangkan!"
"Habis, kalau tidak membayangkan yang enak-enak,
apakah hidup yang sekali saja harus membayangkan yang
tidak enak melulu?" "Ih, engkau memang nakal!" kata Kiok hwa yang mau tidak mau harus tersenyum
juga. Senyum yang menutupi perasaan
dalam hatinya. Ia merasakan benar dalam tatapan Sian Eng
tadi betapa besar rasa kasih dalam hati gadis itu terhadap Han Lin. Ia harus
mengalah. Demi kebahagiaan mereka. Mereka
memang cocok. Sama para pendekar yang gagah perkasa.
ooo00d0w00ooo Ketika Toa Ok dan Suma Kiang melapor kepada Pangeran
Cheng Boan tentang kegagalan mereka membunuh Han Lin
karena dihalangi oleh Sian Eng, pangeran Cheng Boan menjadi
marah sekali. "Semua ini gara-gara engkau, Suma Sicu! Kalau engkau tidak
melindungi gadis liar itu, tentu sekarang kita
telah dapat membunuh Pangeran Cheng Lin yang aseli."
Pangeran Cheng Boan berjalan hilir mudik dalam ruangan
itu, wajahnya muram dan pandang matanya penuh
kekecewaan dan kemarahan. "Sekarang, bagaimana baiknya"
Selama dia masih berkeliaran, semua rencana kita terancam
menjadi berantakan!"
^od0wo^ Jilid XXVIII SUMA KIANG berkata, "Harap paduka tenang dan tidak
menjadi kecil hati, yang Mulia. Saya telah menyelidiki dan
ternyata pemuda dan dua orang gadis itu berada dalam
pondok pemburu dalam hutan. Kita dapat menggunakan akal
untuk membinasakan mereka bertiga sekaligus. akan tetapi
untuk ini perlu bantuan Pangeran Cheng Lin."
"Hemm, engkau mempunyai siasat" laksanakan itu, aku
akan mengirim utusan mengundang Pangeran Cheng Lin."
kata Pangeran Cheng Boan dan tak lama kemudian Pangeran
Cheng Lin atau Ki Seng sudah datang ke istana itu. Mereka
lalu mengadakan perundingan dalam ruangan belakang, yaitu
Pangeran Cheng boan, Pangeran Cheng Lin palsu, Suma
Kiang, Toa Ok, dan tidak ketinggalan Sian Hwa Sian-li.
Dalam pertemuan itu, Suma Kiang menceritakan tentang
siasat yang direncanakan. Mendengar itu, Ki Seng
mengerutkan alisnya. "Memang baik sekali ...! tidak sukar melaksanakan siasat
ini. Akan tetapi resikonya teramat berat buat saya, Paman
Pangeran. Bayangkan, kalau rahasia ini bocor dan ketahui..
Celakalah aku. Paman hanya menjadi penonton saja, akan
tetapi saya yang harus menanggung semua akibatnya."
"Hemm, siapakah yang akan memetik buahnya kalau
berhasil" Pangeran, engau tentu tahu betapa bahayanya
ancaman yang datang dari Han Lin itu. Sebelum dia dapat
disingkirkan, kita semua terancam bahaya. Akan tetapi kalau
dia dapat disingkirkan dulu, barulah yang lain akan dapat
dilaksanakan dengan amat mudah. Ingat, hasilnya adalah
rahasia pribadimu akan terjamin dan kelak engkau akan
menjadi satu-satunya pangeran yang akan menggantikan
kedudukan kaisar!" Ki Seng menarik napas panjang. Dia merasa seperti
menunggang harimau, Kalau turun dia akan celaka, terpaksa
meneruskannya. Kalau dia tidak mau bekerja sama,
rahasianya berada di tangan Pangeran Cheng Boan. Kalau
Pangeran Cheng Boan membuka rahasia kepada Kaisar, akan
celakalah dia. Tidak ada pilihan lain. Dia harus melanjutkan
dan berpegang kepada harapan cemerlang bahwa kalau
semua rencana persekutuan itu berhasil, kelak dia akan
menjadi kaisar. Harapan ini yang menimbulkan semangat
baginya. Dua hari kemudian baru rencana yang dirundingkan di
rumah Pangeran Cheng Boan itu dapat terlaksana. Pada sore
hari itu, diam-diam Pangeran Cheng Boan memberi seekor
kuda yang amat baik, besar dan kuat, kepada Pangeran Cheng
Lin atau Ki Seng. Ki Seng membawa kuda yang amat indah itu
ke istal. Kemudian ia menemui Pangeran Cheng Bhok yang
mempunyai kesukaan memelihara dan menunggang kuda.
"Adinda Pangeran, saya mempunyai hadiah untuk adinda!"
kata Ki Seng dengan suara gembira dan wajahnya penuh
senyum. Pada saat itu kebetulan Pangeran Cheng Bhok berada
seorang diri. Dia tersenyum. "Hadiah apakah itu, kakanda
Cheng Lin?" "5aya ingin membuat kejutan. Sebaiknya adinda melihat
sendiri saja. Mari ikut dengan saya!" kata Ki Seng yang lalu menggandeng tangan
Pangeran Cheng Bhok dan mengajaknya pergi ke istal, bagian belakang taman.
Mereka berhenti di depan istal di mana kuda hitam tinggi
besar itu berada "Wah, kuda siapakah ini, kakanda" Bagus sekali!" seru Pangeran Cheng Bhok sambil
memandang kuda itu dengan
kagum. "Ini kuda adinda. Sengaja saya beli untuk hadiah bagi
adinda." kata Ki Seng sambil tersenyum.
"Ahh...! Benarkah" Terima kasih, kakanda Cheng Lin.
Kakanda baik sekali" Pangeran Cheng Bhok mendekati kuda
hitam itu dan mengelus kepala kuda.
"Kuda ini sudah terlatih baik sekali adinda. Namanya Hekliong-ma (Kuda Naga
Hitam), larinya seperti angin. Mari kita
coba, adinda. Saya akan menunggangi kuda lain dan kita coba
kecepatan Hek-liong-ma."
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pangeran Cheng Bhok merasa girang bukan main. Kedua
orang pangeran itu itu menunggang kuda keluar dari kebun
istana. Pangeran Cheng Bhok menunggang kuda hitam dan Ki
Seng menunggangi kuda lain. Mereka terus membiarkan kuda
mereka berlari congklang menuju ke pintu gerbang selatan. Di
sepanjang jalan penduduk kota raja memandang ketika dua
orang pangeran yang tampan itu menunggang kuda mereka.
Betapa tampan dan gagahnya kedua orang muda bangsawan
itu. Pangeran Cheng Lin palsu atau Ki Seng melarikan kudanya
keluar pintu gerbang dan setelah tiba di luar, sambil tertawa
dia berkata, "Adinda Cheng Bhok, sekarang kita menguji
kecepatan hek-liong-ma. Coba adinda kejar saya kalau dapat!"
Dia mencambuk kudanya sehingga kuda itu melompat ke
depan dan membalap. Pangeran Cheng Bhok adalah seorang
penggemar kuda dan dia suka sekali berlumba kuda. Hatinya
gembira mendapatkan kuda yang demikian bagus, maka
tantangan itu disambutnya dengan tawa dan diapun
mencambuk kuda hitam dan melesat ke depan, mengejar.
Kedua orang pangeran itu berkejaran dan kuda mereka
membalap dengan amat cepatnya, makin lama makin jauh
meninggalkan tembok benteng kota raja.
Sementara itu, senja mulai menggelapkan cuaca, malam
hampir tiba. Ki Seng membalapkan kudanya dengan cepat. Pangeran
Cheng Bhok berusaha mengejarnya. Akan tetapi ternyata kuda
hitam itu tidak sehebat namanya. Biar pun Pangeran Cheng
Bhok sudah mencambukinya dan menendang-nendang
dengan kakinya, namun tetap saja kuda hitam itu tidak
mampu menyusul kuda yang berada di depannya, selalu
tertinggal belasan meter di belakang. Hal ini membuat
Pangeran Cheng Bhok menjadi penasaran sekali karena
biasanya, dalam adu balap kuda, Pangeran Cheng Lin tidak
pernah mampu mengalahkannya.
Cuaca sudah menjadi remang-remang ketika Ki Seng
menghentikan kudanya dan pangeran Cheng Bhok tentu saja
menahan kudanya dan berhenti di samping kakaknya. Mereka
telah tiba di tepi hutan dan tempat itu sunyi sekali. Tidak
tampak ada orang lain di sekitarnya.
"Kakanda, mengapa berhenti di sini?" tanya Pangeran
Cheng Bhok dan nada suaranya tidak gembira karena hatinya
memang merasa kesal melihat kenyataan bahwa kuda hitam
yang ditungganginya tidak mampu mengalahkan larinya kuda
yang ditunggangi Pangeran Cheng Lin.
"Malam hampir tiba, mari kita pulang saja!"
"Nanti dulu, adinda, ada sesuatu yang amat menarik di
sana. Saya ingin memperlihatkannya kepadamu. Mari, ikutilah
saya." Pangeran Cheng Lin palsu itu lalu menjalankan kudanya
memasuki hutan. Pangeran Cheng Bhok mengerutkan alisnya,
agak ragu, akan tetapi terpaksa iapun mengikuti dari belakang
karena dia ingin tahu apa yang akan diperlihatkan kakaknya
itu. Sementara itu, di istana kerajaan, Pangeran Cheng Boan
tergesa-gesa menemui Pangeran Cheng Hwa.
"Wah, celaka, pangeran! Kita harus cepat mengambil
tindakan. Bahaya besar mengancam Pangeran Cheng Lin dan
pangeran Cheng Bhok!" katanya dengan muka pucat dan
tampak gelisah sekali. "Ada apakah, paman" Apa yang terjadi?" tanya Pangeran Cheng Hwa dengan sikapnya
yang tenang. "Saya melihat tadi kedua orang pangeran itu membalapkan
kuda mereka keluar pintu gerbang selatan dan ketika saya
tanyakan kepada penjaga istana, saya mendapat keterangan
bahwa kedua orang pangeran itu hendak berlumba
menunggang kuda di luar pintu gerbang!"
"Paman, apa salahnya dengan itu" Mereka sudah biasa
berlumba balap kuda seperti itu. Apa yang perlu
dikhawatirkan?" tanya Pangeran Cheng Hwa sambi tersenyum.
"Aduh celaka! Kenapa anda tidak melihat bahaya besar
yang mengancam". Dahulu tidak dapat disamakan dengan
sekarang! Bukankah sekarang ada penjahat Han Lin yang
berkeliaran di luar kota raja" Ada penyelidik saya baru saja
memberi kabar kepada saya bahwa penjahat ini
mengumpulkan kawan-kawannya di hutan sebelah selatan
kota raja. Tentu ia bermaksud jahat. Bagaimana kalau
penjahat itu dan kawan-kawannya menghadang kedua orang
pangeran itu" Kita harus cepat mengejar ke sana dan
melindungi mereka! Cepatlah, pangeran!"
Biarpun dalam hatinya dia meragukan bahwa Han Lin
adalah seorang jahat, akan tetapi ucapan Pangeran Cheng
Boan dan sikapnya yang ketakutan itu mempengaruhi
Pangeran Cheng Hwa. Cepat dia memanggil kepala pengawal
dan memerintahkan dia mempersiapkan sepasukan pengawal
sebanyak dua losin orang. Kemudian dia sendiri bersama
Cheng Boan ikut dalam pasukan ini dan mereka membalapkan
kuda keluar dari pintu gerbang selatan. Debu mengepul tinggi
mengiringi derap kaki dua puluh tujuh ekor kuda itu, membuat
keremangan senja menjadi tambah gelap lagi.
Sementara itu, Pangeran Cheng Lin palsu turun dari atas
punggung kudanya sambil berkata, "Adinda Pangeran Cheng
Bhok, turunlah. Kita tinggalkan kuda di sini dan harus berjalan kaki."
Pangeran Cheng Bhok menurut, ia lompat turun dan
bertanya, "Akan tetapi ke mana kita hendak pergi dan apa
yang hendak kakanda perlihatkan kepada ku?"
Pada saat itu, tangan Ki Seng bergerak cepat dan dia sudah
menotok pundak Pangeran Cheng Bhok. Pangeran itu seketika
terkulai lemas dan roboh.
"Kakanda Cheng Lin....."
Akan tetapi kembali Ki Seng menotok dan pangeran itu
tidak mampu mengeluarkan suara atau bergerak lagi, hanya
matanya yang terbelalak memandang kepergian kakaknya,
penuh rasa kaget, heran dan takut. Ki Seng lalu menuntun
kedua ekor kuda dan menambatkan mereka di batang pohon
tepi jalan. Kemudian dia kembali mendekati tubuh Pangeran
Cheng Bhok yang masih rebah telentang. Dia tidak
memperdulikan pandang mata Pangeran Cheng Bhok yang
ditujukan kepadanya dan hanya berdiri mendengarkan. Tak
lama kemudian pendengarannya yang tajam dapat
menangkap derap kaki banyak kuda. Setelah banyak kuda itu
terdengar berhenti di pinggir hutan, agaknya telah
menemukan dua ekor kuda yang ditambatkannya tadi, Ki Seng
cepat memanggul tubuh Pangeran Cheng Bhok dan dibawanya
berlari memasuki hutan. Setelah dalam keremangan senja dia
melihat sebuah pondok di kejauhan, dia lalu melempar tubuh
Pangeran Cheng Bhok ke atas tanah.
Ki Seng mencabut pedang yang tadi diselipkan di bawah
jubahnya, sebatang pedang telanjang yang berwarna dua,
yang sebelah berwarna hitam dan yang sebelah lagi berwarna
putih! Pangeran Cheng Bhok yang jatuhnya terlentang itu melihat
Ki Seng mencabut pedang. Wajahnya menjadi pucat sekali
dan matanya yang terbelalak membayangkan ketakutan,
bahkan ada air mata mengalir dari kedua pelupuk matanya,
sinar matanya seperti memohon-mohon agar dirinya jangan
dibunuh. Akan tetapi sambil tersenyum sinis Ki Seng
menggerakkan pedang itu, ditusukkan ke dada Pangeran
Cheng Bhok. "Blesss....!" Pedang itu menusuk sampai tembus dan
Pangeran Cheng Bhok hanya terbelalak. Dia tewas dengan
mata terbelalak, tewas seketika karena pedang itu menembus
jantungnya. Ki Seng membiarkan pedang itu menancap di
dada pangeran Cheng Bhok.
Dia memperhatikan dan pendengarannya menangkap suara
gaduh banyak orang mendatangi tempat itu. Dia tersenym
puas dan dicabutnya sebatang pedang lain, pedangnya sendiri
dan dengan pedang itu dia melukai pundak kiri dan paha
kanannya. Baju dan celananya robek berikut kulit dan sedikit
dagingnya, akan tetapi yang mengeluarkan darah cukup
banyak sehingga baju dan celana itu berlepotan darah.
Ketika Pangeran Cheng Hwa dan pangeran Cheng Boan
bersama perwira yang memimpin dua losin perajurit pengawal
tiba di situ, mereka melihat Pangeran Cheng Bhok rebah
telentang dan tewas dengan sebatang pedang masih
menancap di dadanya, sedangkan Pangeran Cheng Lin
mendekam dalam keadaan terluka dan pakaiannya berlepotan
darah. "Adinda Cheng Lin! Apa yang terjadi?" Pangeran Cheng Hwa berjongkok dekat Ki
Seng. Ki Seng mengeluh kesakitan. "Kami diserang..... saya
melawan akan tetapi terluka dan Cheng Bhok..... dia
terbunuh...." "Siapa yang melakukan ini?" Pangeran Cheng Boan yang turut berjongkok berkata
marah. ".....dia..... Han Lin dan dua orang wanita.... mereka lari meninggalkan saya
ketika mendengar orang banyak datang....
mereka lari ke pondok itu....." Ki Seng menuding ke arah
pondok yang tampak dari situ.
"Cepat, kejar dan serbu pondok itu!" pangeran Cheng Boan berseru dan memimpin
sendiri pasukan pengawal yang berlarilarian menuju pondok.
"Mari kita bantu.... kakanda Pangeran Cheng Hwa....
penjahat-penjahat itu lihai sekali...." Ki Seng berkata
kemudian bangkit dan terpincang-pincang dia bersama Cheng
Hwa menuju ke pondok itu.
Sementara itu, di dalam pondok diterangi dua batang lilin
menyala, mereka bertiga duduk bersila menghimpun tenaga.
Han Lin duduk di atas dipan di sudut sedangkan Kiok Hwa dan
Sian Eng berdua duduk di atas sebuah dipan lain. kesehatan
mereka sudah pulih berkat pengobatan Kiok Hwa, bahkan
tenaga mereka juga sudah kuat kembali. Mereka bertiga
terkejut mendengar suara ribut ribut di luar pondok. Suara
banyak sekali orang yang mengepung pondok. Kini bahkan
hanya dua puluh delapan orang termasuk Ki Seng yang
mengepung pondok melainkan ditambah lagi dua puluh orang
perajurit yang dipimpin Toa Ok, Suma Kiang, dan Sian Hwa
Sian-li. Tentu saja semua ini sudah diatur dan direncanakan
oleh Pangeran Cheng Boan komplotannya!
Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa membuka pintu pondok
dan keluar. Ternyata di depan pintu telah berdiri Pangeran
Cheng Boan, Pangeran Cheng Hwa, dan Ki Seng yang
pakaiannya berlepotan darah, dan pondok itu telah dikepung
puluhan orang perajurit. "Mereka inilah pembunuhnya!" teriak Ki Seng sambil
menudingkan telunjuknya kepada tiga orang yang terkejut dan
terheran itu. "Engkau keparat busuk! Ini fitnah keji" bentak Sian Eng dengan marah dan gadis
ini sudah siap untuk menerjang.
Akan tetapi Han Lin memegang lengannya dan memandang
kepada Pangeran Cheng Hwa.
"Pangeran, apakah artinya ini?" tanyanya.
Pangeran Cheng Hwa memandang ragu. Akan tetapi
buktinya telah cukup. Pangeran Cheng Bhok tewas dan
Pangeran Cheng Lin luka-luka.
"Han Lin, perbuatan kalian bertiga sudah terbukti. Kalian telah membunuh
pangeran Cheng Bhok dan melukai Pangeran
Cheng Lin. Karena itu, menyerahlah saja untuk kami tangkap
dan kami hadapkan kepada Sri Baginda Kaisar."
"Membunuh" Tidak, pangeran, kami sama sekali tidak
membunuh orang." kata Han Lin.
"Engkau masih berani menyangkal?" bentak Pangeran
Cheng Boan yang mengangkat sebatang pedang yang
berlepotan darah. "Coba lihat, pedang siapa ini?"
"Im-yang-kiam.....! Itu pedang saya" kata Han Lin yang mengenal pedang itu.
"Nah, mau menyangkal apa lagi" pangeran Cheng Hwa,
pedang inilah tadi yang menancap di dada Pangeran Cheng
Bhok. Pedang ini saya cabut untuk dijadikan bukti."
"Han Lin, tidak perlu menyangkal lagi. Menyerahlah untuk
kami tangkap!" suara Pangeran Cheng Hwa terdengar tegas
dan sepasang alisnya berkerut. Bukti pedang yang diakui
sebagai milik Han Lin ini membuat dia percaya bahwa
pembunuhnya memang Han Lin.
"Lin-ko, kita lawan dan kita meloloskan diri!" kata Sian Eng dan ia sudah
mencabut Ceng-liong-kiam yang benpendar
hijau, siap untuk mengamuk. Akan tetapi kembali Han Lin
memegang lengan gadis itu. Dia berpikir bahwa kalau dia
melawan, hal itu bahkan menambah kuat-dugaan bahwa dia
yang melakukan pembunuhan. Dan dia tentu akan menjadi
musuh kerajaan, menjadi pelarian dan orang buruan. Apalagi
dia melihat Ki Seng, yang biarpun berlepotan darah namun dia
yakin semua itu hanya sandiwara dan manusia berwatak iblis
itu tidak apa-apa dan masih lihai sekali. Juga melihat Toa Ok, Suma Kiang, dan
Sian Hwa Sian-li berada pula di situ, berbaur
dengan para perajurit. Pihak lawan amat banyak dan terlalu
kuat sehingga kalau mereka bertiga melawan, tentu mereka
bertiga akan tewas pula. la tidak mau tewas sebagai seorang
pemberontak dan penjahat!
"Simpan pedangmu, Eng-moi. Kita menyerah saja. Aku
yakin bahwa Pangeran Cheng Hwa dan Sri Baginda adalah
orang-orang bijaksana dan adil." katanya lembut namun
mengandung wibawa sehingga Sian Eng menghela napas dan
dengan wajah membayangkan penasaran ia menyarungkan
kembali pedangnya. "Tangkap dan belenggu tangan mereka!" Pangeran Cheng Boan memerintah Beberapa
orang perajurit yang memang
sudah mempersiapkan tali yang kuat segera dan
membelenggu tangan tiga orang itu ke belakang. Pangeran
Cheng Boan juga merampas pedang dari punggung Sian Eng.
Kemudian mereka bertiga digiring keluar hutan dan dibawa ke
kota raja. Hanya kehadiran Pangeran Cheng Hwa saja yang
melindungi Han Lin, sian Eng, dan Kiok Hwa sehingga mereka
bertiga tidak diganggu atau disiksa. Pangeran Mahkota ini
melarang mereka menganggu dan setelah tiba di istana dia
lalu menyerahkan tiga orang tawanan kepada perwira
komandan pasukan pengawal istana agar dimasukkan dalam
kamar tahanan dan dijaga ketat agar tidak melarikan diri.
Malam itu juga, Pangeran Cheik Boan, Pangeran Cheng
Hwa dan Pangeran Cheng Lin menghadap Kaisar untuk
melaporkan peristiwa kematian Pangeran Cheng Bhok yang
terbunuh itu. Mendengar bahwa kembali ada pangeran yang terbunuh,
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sri Baginda Kaisar Cheng Tung marah sekali.
"Pangeran Cheng Bhok terbunuh?" teriaknya. "Siapa yangg membunuhnya" Tangkap
pembunuh itu. Tangkap!!"
"Pembunuhnya tiga orang sudah kami tangkap, Kakanda
Kaisar." Pangeran Cheng Boan melapor.
"Bagus! Hukum mati penggal kepala mereka besok pagi di
lapangan dan suruh rakyat menyaksikannya!"
"Ayahanda Yang Mulia, apakah keputusan ayahanda ini
tidak terlalu tergesa-gesa" Paduka belum mendengar
bagaimana terjadi peristiwa itu." kata Pangeran heng Hwa.
"Adinda Cheng Lin dapat menceritakannya."
Kaisar Cheng Tung memandang Pangeran Cheng Lin dan
baru tampak olehnya betapa pakaian pangeran ini berlepotan
darah. "Eh, engkau kenapa, Cheng lin" Terluka?"
"Hamba nyaris tewas seperti adinda pangeran Cheng Bhok,
ayahanda yang Mulia. Peristiwanya begini. Hamba memberi
hadiah seekor kuda kepada adinda Cheng Bhok dan dia
mengajak hamba untuk menguji larinya kuda itu. Hamba
berdua lalu berlumba di luar pintu gerbang kota raja. Ketika
hamba berdua tiba di tepi hutan di sebelah selatan i u, hamba
melihat bayangan tiga orang memasuki hutan. Hamba menjadi
curiga karena seorang di antara mereka adalah Han Lin yang
tempo hari pernah menyerang hamba dalam taman. Hamba
dan adinda Cheng Bhok lalu turun dari kuda dan memasuki
hutan untuk menyelidiki. Ketika hamba berdua tiba dekat
sebuah pondok, tiba-tiba Han Lin dan dua orang gadis muncul
dan menyerang hamba berdua, Han Lin itu amat lihai dan dua
orang gadis temannya itupun lihai sekali. Hamba
mempertahankan diri mati-matian sehingga luka-luka dan
adinda Pangeran Cheng Bhok ditusuk dadanya oleh pedang
yang dipegang penjahat Han Lin, Padi saat itu, rombongan
kakanda Pangeran Cheng Hwa tiba sehingga tiga orang itu
melarikan diri ke pondok, meninggalkan jenazah adinda Cheng
Bhok yang masih tertusuk pedang dadanya dan hamba yang
terluka parah." "Penjahat itu telah membunuh dua orang puteraku. Dia
harus dihukum pancung di depan rakyat agar menjadi
contoh!" kata lagi Kaisar Cheng Tung dengan nada suara
mengandung kedukaan. "Penjahat Han Lin itu sudah mengakui bahwa pedang yang
menancap di dada adinda Pangeran Cheng Bhok adalah
miliknya, Kakanda Kaisar. Hukuman itu sudah lebih daripada
adil!" kata Pangeran Cheng Boan.
"Maaf, Ayahanda Yang Mulia. Hamba tetap menganggap
keputusan hukuman itu agak tergesa-gesa. Perlu diselidiki
dulu apakah benar-benar Han Lin dan dua orang gadis itu
yang menjadi pembunuh, hamba khawatir kalau kita salah
tangkap dan menghukum mati orang-orang yang tidak
berdosa." "Cheng Hwa, Ada bukti pedang itu dan ada saksi dan
keterangan adikmu Cheng Lin, dan engkau masih juga belum
yakin" Apakah engkau tidak percaya kepada adikmu Cheng
Lin?" "Hamba mohon Ayahanda Kaisar sudi memaafkan kakanda
Cheng Hwa. Dia membela Han Lin karena teringat bahwa Han
Lin pernah menyelamatkannya ketika dia diserang orang jahat
di dalam hutan," kata Ki Seng dengan cerdik berlagak
membela Pangeran Cheng Hwa.
"Kakanda Kaisar, sekarang hamba yakin benar bahwa
perbuatannya menolong ananda Pangeran Cheng Hwa dahulu
itu memang direncanakan agar dia dapat menyusup ke dalam
istana. Tentu pembunuh Pangeran Cheng Sui dahulu itu dia
juga atau teman-temannya!" kata Pangeran Cheng Boan.
Ucapan Pangeran Cheng Boan termakan betul oleh kaisar
sehingga dia menjadi semakin marah. "Adinda Pangeran
Cheng Boan. Laksanakan hukum pancung terhadap tiga orang
pembunuh itu. Atur agar pelaksanaan hukum itu dilalukan di
lapangan depan istana, disaksikan oleh rakyat dan dirikan
panggung karena kami sendiri juga akan menyaksikan untuk
menghibur arwah kedua orang putera kami!"
"Baik, kakanda Kaisar!" jawab Pangeran Cheng Boan
dengan lantang karena dalam hatinya dia bersorak gembira.
Siasat yang diaturnya bersama Ki Seng ternyata berhasil
dengan baik sekali. Bukan saja dapat melenyapkan seorang
pangeran lagi, akan tetapi juga dapat membasmi pangeran
Cheng Lin aseli berikut Lo sian Eng, gadis yang lihai dan
berbahaya itu. Kaisar lalu meninggalkan ruangan dan mereka semua
bubaran. Pangeran Cheng Boan dan Ki Seng meninggalkan
ruangan itu dengan hati gembira sekali. Akan tapi walaupun
tidak memperlihatkan pada wajahnya, dalam hatinya
Pangeran Cheng Hwa masih merasa ragu. Dia masih sukar
untuk dapat percaya bahwa seorang pemuda seperti Han Lin
itu dapat melakukan perbuatan yang demikian jahat, juga dua
orang teman Han Lin itu tidak pantas menjadi penjahat. Gadis
cantik berpakaian merah muda itu demikian gagah sikapnya,
seperti seorang pendekar wanita, sedangkan gadis berpakaian
serba putih yang amat jelita itu sikapnya demikian lembut dan
halus seperti seorang dewi! Bagaimana mungkin tiga orang itu
menjadi sebuah komplotan pembunuh. Tapi dia tidak dapat
berbuat sesuatu. Bukti pedang dan saksi Pangeran Cheng Lin
sudah begitu kuat dan keputusan hukuman dijatuhkan Kaisar.
Semalaman Pangeran Cheng Hwa tidur dengan gelisah.
Bayangan wajah tiga orang terhukum itu selalu tampak dalam
benaknya. Pagi-pagi sekali pengumuman itu tersiar luas sehingga
diketahui semua penduduk kota raja, bahkan terbawa sampai
ke luar kota raja. Tiga orang penjahat yang telah membunuh
Pangeran Cheng Siu dan Pangeran Cheng Bhok tertangkap
dan akan dihukum pancung di lapangan depan istana. Semua
orang diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk menonton
pelaksanaan hukuman itu. Bahkan Sri Baginda Kaisar sendiri
akan ikut menyaksikan. Suatu peristiwa yang langka. Maka
berbondong-bondong orang berdatangan kelapangan di depan
istana. Tentu saja sebagian besar dari mereka adalah laki-laki karena kebanyakan
wanita dan kanak-kanak merasa ngeri
menyaksikan kepala orang dipenggal!
Tepat di depan pintu gerbang istana dibangun sebuah
panggung yang akan menjadi tempat duduk Sri Baginda
Kaisar dan para pengiringnya. Sejak pagi sekali panggung
yang masih kosong itu sudah dijaga sepasukan perajurit
pengawal. Dan Di tengah-tengah lapangan itupun dibangun
sebuah panggung, yang akan menjadi tempat tiga orang
terhukum itu dipenggal kepalanya. Rakyat berduyun-duyun
memenuhi lapangan itu. Yang berdiri di belakang juga dapat
menonton dengan enak karena panggung tempat pelaksanaan
hukuman dan panggung tempat duduk Kaisar itu cukup tinggi
sehingga dapat tampak jelas oleh mereka yang berdiri di
belakang, mereka yang berhati tabah berdiri mengelilingi
panggung tempat pelaksanaan hukuman agar dapat melihat
lebih jelas, sedangkan mereka yang berhati tidak tega berdiri
menonton di belakang dalam jarak jauh.
Terdengar tambur dibunyikan pertama bahwa Sri Baginda
Kaisar akan keluar dari istana. Pintu gerbang istana dibuka
dan muncul ah rombongan Kaisar. Kaisar dengan wajah yang
masih membayangkan kesedihan melangkah dengan tegak
dan tenang menuju tangga yang membawanya naik ke
panggung. Dia di ringkan empat orang puteranya, yaitu
Pangeran Cheng Hwa, Pangeran Cheng Ki, Pangeran Cheng
Tek, dan Pangeran Cheng Lin. Kemudian di belakang para
pangeran berjalan para perwira pengawal dengan pasukan
pengawal pribadi yang berhenti, dan berdiri berjajar di bagian belakang tempat
duduk Kaisar dan para pangeran. Para
pejabat tinggi yang sudah hadir terlebih dulu di kursi-kursi
yang terletak di bagian bawah panggung, bangkit berdiri dan
membungkuk dengan hormat ketika kaisar menaiki panggung.
Juga para komandan pasukan penjaga memberi hormat dan
para perajurit bersikap hormat dan tegak.
Setelah Kaisar Cheng Tung duduk di atas kursi yang
disediakan, dia mengangkat tangan kiri ke atas. Ini
merupakan tanda bahwa pelaksanaan hukuman boleh dimulai.
Terdengar bunyi tambur yang nadanya berbeda dari tadi dan
dari dalam pintu gerbang istana muncul ah dua losin perajurit
pengawal yang dipimpin sendiri oleh Pangeran Cheng Boan
yang bertugas mengatur pelaksanaan hukuman itu,
mengiringkan tiga orang yang kedua dengan mereka
dibelenggu ke belakang tubuh. Terdengar berdengung seperti
ribuan kumbang beterbangan keluar dari sarangnya ketika
para penonton menyambut keluarnya tiga orang hukuman itu.
Ada yang terheran-heran, ada yang merasa penasaran, ada
yang marah, akan tetapi sebagian besar dari mereka merasa
aneh dan kasihan. Tadinya mereka mengira bahwa tiga orang
pembunuh itu tentu tiga orang laki-laki yang kelihatan bengis
dan menyeramkan. Akan tetapi apa yang mereka lihat"
Seorang pemuda yang masih muda, paling banyak dua puluh
satu tahun usianya, berpakaian sederhana dan sikapnya halus,
wajahnya tampan, sedikitpun tidak membayangi watak kejam
atau jahat! Dan dua orang "pembunuh" yang lain itu, Seorang gadis cantik,
usianya paling banyak sembilan belas tahun,
berpakaian serba merah muda, langkahnya tegak dan gagah,
sedikit pun tidak tampak jahat, juga tidak ada tanda-tanda
takut padanya, tidak menangis. Dan gadis yang ke dua, yang
berpakaian serba putih, cantik jelita sepi bidadari, lembut ayu dan mulutnya
selalu dihias senyum manis. Bagaimana
mungkin tiga orang muda seperti itu merupakan pembunuhpembunuh yang dikabarkan
kejam dan jahat" Tiba-tiba
terdengar banyak orang berseru ketika mereka mengenal Kiok
Hwa sebagai gadis yang pernah menolong dan mengobati
mereka. "PeK i Yok Sian-li.....! PeK i Yok Sian-li.....!!" Terjadi kegaduhan, akan
tetapi para penjaga segera mendekati
mereka dan mengacungkan tombak, mengancam agar mereka
tidak membikin ribut. Orang-orang itu takut dan diam. akan
tetapi mereka memandang kepada Kiok Hwa dengan mata
terbelalak dan merasa semakin penasaran. Gadis ahli
pengobatan itu mana mungkin menjadi pembunuh yang akan
dihukum pancung. Han Lin menjadi sedih, bukan soal karena dia menghadapi
hukuman mati yang dijatuhkan oleh ayah kandungnya sendiri,
melainkan sedih melihat betapa Sian Eng dan terutama Kiok
Hwa juga menjadi korban karena dia. Akan tetapi ketika
mengerling ke arah dua orang disayang berjalan di kanan
kirinya itu, Dia terheran-heran melihat Sian eng berwajah
tenang, sama sekali tidak tampak sedih atau takut, dan
terutama kali Kiok Hwa. Gadis ini bahkan tersenyum-senyum,
seolah bukan digiring ke arah maut melainkan digiring ke
ruang pengantin! "Eng-moi, engkau tidak takut?" bisiknya ke kiri di mana Sian Eng berjalan di
sisinya. "Takut" Tidak, aku bahkan merasa beruntung dapat
menghadapi maut bersamamu, Lin-ko."
"Dan engkau, Hwa-moi?"
"Aku merasa bangga dan bahagia dapat mati bersama
kalian!" kata gadis itu sambil tersenyum manis dan Han Lin dapat menangkap sinar
mata gadis itu yang penuh dengan
cinta kasih! "Diam kalian!" bentak suara kasar dan parau di belakang mereka. Yang membentak
ini adalah seorang laki-laki tinggi
besar seperti raksasa yang memanggul sebatang golok besar,
berat dan mengkilap saking tajamnya. Semua orang
memandang kepada algojo ini dan goloknya dengan perasaan
ngeri. Bagaimana mereka tega melihat algojo raksasa itu
mengayun goloknya memenggal leher tiga orang muda yang
tampan dan cantik itu! Tiga orang hukuman itu dengan dikawal algojo raksasa,
dengan langkah tebing menghampiri pangung tempat
pelaksanaan hukuman dan menaiki tangga. Kini mereka tiba di
atas panggung, menghadap Kaisar Cheng Tung yang duduk di
kursi dan memandang kepada mereka bertiga. Timbul sedikit
keraguan dalam hati Kaisar Cheng Tung melihat tiga orang
muda itu. Benarkah mereka ini pembunuh" Pertanyaan ini
timbul dalam hati sanubarinya karena melihat pemuda dan
dua orang gadis itu, dia menjadi ragu. Akan tetapi bukti dan
saksi semua jelas dan diapun sudah menjatuhkan keputusan
hukuman mati. Melihat ayah kandungnya duduk di atas kursi di panggung
yang agak tertinggi dari panggung di mana dia berada, Han
Lin tak dapat menahan keharuan hatinya dan diapun
menjatuhkan dirinya berlutut dan memberi hormat kepada
Kaisar Cheng Tung. Sian Eng yang tahu bahwa Han Lin adalah
Pangeran Cheng Lin, putera dari kaisar itu, merasa penasaran
dan tidak senang kepada kaisar yang menjatuhkan hukuman
mati kepada puteranya sendiri yang tidak berdosa, maka ia
tetap berdiri tegak bahkan memandang ke arah kaisar dengan
mata bersinar penuh rasa penasaran. Akan tetapi, Kiok Hwa
yang melihat Han Lin berlutut, dengan patuh berlutut pula dan
gadis ini menarik tangan Sian Eng sehingga akhirnya, melihat
mereka berdua berlutut, Sian Eng juga ikut berlutut.
Melihat mereka yang dia jatuhi hukuman mati itu berlutut
menghadap padanya, Kaisar Cheng Tung merasa iba dan dia
khawatir kalau-kalau dia akan mengubah keputusannya, maka
dia cepat mengangkat tangan kanan ke atas sebagai isarat
kepada algojo untuk melaksanakan tugasnya dengan cepat.
Sang algojo yang bertubuh raksasa itu mengangkat golok
yang besar dan mengkilat itu. Sebagian besar penonton tidak
tahan melihatnya. Ada yang membalikkan tubuhnya, ada yang
membuang muka, dan ada pula yang memejamkan kedua
mata dan menutupi kedua telinganya. Sang algojo
mengerahkan tenaganya dan siap mengayun golok yang
sudah berada di atas kepalanya itu ke bawah, ke arah leher
Han Lin. "Omitohud.....Tahan......!!" Tiba-tiba saja berkelebat bayangan kuning dan tahu-
tahu di atas panggung tempat
pelaksanaan hukuman itu telah berdiri seorang hwesio berusia
hampir tujuh puluh tahun. Tangan kanannya memegang
sebatang tongkat bambu. Melihat ini, algojo itu lalu mengayunkan goloknya, bukan
kepada leher Han Lin, melainkan ke arah kepala hwesio itu.
Algojo ini telah menerima uang sogokan dari Pangeran Cheng
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Boan dan dipesan agar melaksanakan hukuman itu dengan
baik dan membunuh siapa saja yang berusaha untuk
menghalangi pelaksanaan hukuman. Akan tetapi hwesio tua
itu menggerakkan tangan kirinya. Serangan itu tertahan di
udara seolah tubuh algojo itu berubah menjadi arca, kemudian
sekali hwesio itu mendorongkan tangannya, tubuh algojo yang
tinggi besar itu terjengkang dan terjatuh ke bawah panggung.
Dia jatuh seperti sebongkah batu dan diam diatas tanah
karena tidak mampu bergerak lagi. Algojo itu telah terkena
totokan It-yang ci yang amat dahsyat.
Tentu saja semua orang menjadi terkejut dan terbelalak
melihat kejadian itu. Para perwira pasukan pengawal sudah
siap untuk mengerahkan pasukan mereka untuk mengepung
dan menyerbu hwesio yang mereka anggap membikin kacau
itu. Akan tetapi pada saat itu, tiga orang pejabat tinggi yang
sudah tua melangkah maju mendekati panggung di mana
hwesio itu berdiri, lalu ketiganya menjatuhkan diri berlutut.
"Hamba menghaturkan hormat kepada Yang Mulia Sri
Baginda Kaisar Hui Ti!" seru mereka bertiga dengan suara
lantang sehingga mengejutkan semua orang. Orang-orang
yang usianya lima puluhan tahun ke atas dapat mengenal
hwesio itu setelah tiga orang pejabat tinggi itu memberi
hormat. Kiranya hwesio itu adalah Kaisar Hui Ti yang pada
empat puluh tahun yang lalu terpaksa melarikan diri karena
istananya diserbu oleh pasukan Pangeran Yen, pamannya
sendiri yang memberontak. Selama empat puluh tahun Kaisar
Hui Ti disangka orang sudah mati, akan tetapi tidak pernah
ditemukan jenazahnya. Karena selama empat puluh tahun
tidak pernah muncul, dia dianggap sudah hilang. Maka,
kemunculannya sebagai seorang hwesio tentu saja amat
mengejutkan. Kaisar Cheng Tung juga menjadi amat terkejut ketika
mendengar bahwa hwesio tua itu adalah bekas Kaisar Hui Ti.
Peristiwa terbuang dan larinya Kaisar Hu Ti dari istana terjadi ketika dia masih
kecil, akan tetapi sejak kecil dia sudah
mendengar cerita keluarga tentang Kaisar Hui Ti itu. Ketika
itu. Kaisar Hui ti yang baru berusia delapan belas tahun,
diserbu oleh pamannya sendiri. Pangeran Yen yang membawa
pasukan dari Peking menyerbu istana Kaisar Hui Ti di Nan
king. Setelah Kaisar Hui Ti melarikan diri.
Pangeran Yen menjadi kaisar baru yang berjuluk Kaisar
Yung Lo. Ketika Kaisar Yung Lo meninggal dunia dalam tahun
1425, penggantinya adalah puteranya Kaisar Hung Hsi. Akan
tetapi kaisar ini sudah berpenyakitan dan meninggal dunia
dalam tahun itu juga. Tahta kerajaan lalu diwariskan kepada
cucu mendiang Kaisar Yung Lo, yaitu Kaisar Hsuan Tek yang
menjadi kaisar hanya selama sebelas tahun. Kaisar Hsuan Tek
adalah ayah Kaisar Cheng Tung. Ketika ayahanda meninggal
dunia, Kaisar Cheng Tung memegang tahta dalam usia
delapan tahun. Kalau di ngat bahwa mendiang Kaisar Yung Lo adalah
kakek buyutnya, dan Kaisar Hui Ti adalah keponakan Kaisar
Yung Lo, maka Kaisar Hui Ti masih terhitung paman kakeknya.
Kaisar Cheng Tung adalah seorang Ahli sastra, seorang
yang memegang peraturan dan kebudayaan, seorang yang
bijaksana. Biarpun Kaisar Hui Ti adalah orang pelarian, akan
tetapi sekarang telah menjadi hwesio dan sudah tua, maka
diapun lalu turun dari kursinya, berdiri menghadap ke arah
hwesio itu dan merangkap kedua tangan depan dada lalu
memungkuk dengan hormat, "Saya Cheng Tung memberi hormat kepada paman kakek
Hui Ti!" Suaranya lembut namun lantang dan mendengar ini, semua pejabat yang
hadir di situ lalu menjatuhkan diri berlutut menghadap Hwesio itu dan memberi
hormat. "Omitohud....! Sribaginda Kaisar Cheng Tung yang
bijaksana dan semua pembesar kerajaan. Harap jangan
memberi penghormatan secara berlebihan. Pinceng (aku)
bukan lagi Kaisar Hui Ti, melainkan seorang hwesio tua
pengembara bernama Cheng Hian Hwesio."
"Paman Kakek yang budiman, petunjuk apakah yang
hendak kakek berikan kepada kami" Mengapa kakek
menghalangi pelaksanaan hukuman terhadap orang-orang
yang membunuh dua orang putera kami?"
"Omitohud! Sri Baginda Kaisar, pinceng tahu bahwa paduka
adalah seorang yang amat bijaksana dan baik hati, yang
kadang dapat mendatangkan kelemahan ini hingga paduka
mudah diperdaya orang jahat. Ketahuilah bahwa pemuda yang
memakai nama Han Lin ini adalah murid yang amat baik.
Pinceng berani menjamin, berani menanggung bahwa dia
tidak mungkin membunuh kedua orang pangeran putera
paduka itu." "Akan tetapi, paman kakek yang budiman, ketahuilah
bahwa ada bukti dan saksi dalam tuduhan itu dan sudah
terbukti bahwa Han Lin ini yang membunuh pangeran Cheng
Bhok. Tanpa bukti dan saksi, tidak mungkin kami mau
menjatuhkan hukuman dengan semena-mena terhadap orang
yang tidak berdosa." kata Kaisar Cheng Tung.
"Bukti dan saksi itu bohong semua!" kata Sian Eng dan begitu ia mengerahkan
tenaga sin-kang, tali yang
membelenggu kedua tangannya sudah putus dan kedua
tangannya itu kini bebas. Ia lalu membebaskan pula belenggu
kedua tangan Kiok Hwa dan melihat suhunya di situ, Han Lin
juga membebaskan kedua tangannya yang terbelenggu.
Para perwira yang memimpin pasukan pengawal adalah
orang-orang yang sudah tepengaruhi Pangeran Cheng Boan,
maka ketika Pangeran Cheng Boan berseru,
"Tangkap mereka!" para perwira itu meemberi isarat
kepada anak buahnya untuk bergerak.
"Semua diam dan tidak boleh bergerak!" tiba-tiba Kaisar Cheng Tung membentak dan
semua pengawal itu tentu saja
tidak berani bergerak. Bagaimanapun juaga, mereka tentu
saja lebih tunduk kepada Kaisar Cheng Tung daripada kepada
pangeran Cheng Boan. "Nona, katakan mengapa engkau bilang bahwa bukti dan
saksi itu bohong semua."
"Yang Mulia, lo-cian-pwe ini benar kalau mengatakan
bahwa paduka terlalu lemah sehingga mudah diperdaya
orang. Paduka tidak tahu bahwa ada komplotan besar yang
bergerak di belakang paduka yang merencanakan semua
pembunuhan atas diri para pangeran itu. Paduka tidak tahu
bahwa Pangeran Cheng Lin yang berdiri di belakang paduka
itu adalah seorang manusia berhati iblis yang menyamar
sebagai Pangeran Cheng Lin, dan bahwa Pangeran Cheng Lin
yang aseli bukan lain adalah saudara Han Lin inilah"
Tentu saja ucapan yang lantang sekali ini seperti
menyambarnya halilintar dalam cuaca terang. Semua orang
terkejut dan pada saat itu, sesosok bayangan meluncur dari
atas panggung Kaisar dan melayang ke atas panggung di
mana Sian Eng berdiri. "Bohong! Fitnah! Perempuan busuk engkau patut mati!" Ki Seng sudah menerjang
bagaikan seekor burung elang
menyambar, kedua tangannya sudah memukul dan
mendorong dengan pengerahan tenaga sakti ke arah Sian
Eng. Han Lin melihat serangan yang amat berbahaya itu. Diapun
melompat ke depan Sian Eng menyambut serangan itu
dengan kedua telapak tangannya pula.
"Blaarrr.....!" Dua tenaga sakti yang amat dahsyat dan kuat itu saling
bertumbukan dan akibatnya, tubuh Ki Seng terpental
keluar panggung dan tubuh Han Lin juga terdorong mundur.
Dua orang pemuda itu sudah siap lagi untuk saling serang,
akan tetapi pada saat itu terdengar suara Kaisar Cheng Tung.
"Semua berhenti! Yang berani bergerak menyerang berarti
menentang perintah kami dan akan dihukum berat!"
Mendengar perintah ini, Ki Seng tidak berani bergerak,
akan tetapi dia menoleh ke arah panggung tempat kaisar
berada dan dia berseru dengan lantang. "Akan tetapi,
ayahanda Kaisar yang mulia! Mereka ini berani melempar
fitnah dan menghina hamba, berarti mereka berani menghina
paduka pula!" "Diamlah dulu, Pangeran Cheng Lin. kami akan menyelidiki
semua ini dan kalau mereka bersalah, pasti kami jatuhi
hukuman. Tidak perduli siapa, kalau dia bersalah pasti tidak
akan terlepas dari hukuman. Sekarang kami perintahkan
engkau Cheng Lin dan juga semua pangeran, dan kalian
bertiga yang didakwa sebagai pembunuh, agar menghadap
kami dalam persidangan. Paman Kakek Cheng Hian Hwesio
juga kami persilakan hadir dalam persidangan, demikian pula
semua menteri agar hadir dan ikut menyaksikan!" Setelah
berkata demikian, Kaisar Cheng Tung membungkuk terhadap
Cheng Hian Hwesio dan meninggalkan panggung kembali ke
dalam istana. Dapat dibayangkan betapa panik rasa hati Pangeran Cheng
Boan melihat betapa keadaan menjadi berbalik dan
mengancam dirinya. Akan tetapi, hadirnya Cheng Hian Hwesio
bekas kaisar Hui Ti sungguh membuat dia tidak mampu
berkutik. Diapun tidak berani mengerahkan para pembantunya
untuk menyerang Han Lin dan dua orang gadis itu. Han Lin
saja sudah demikian lihainya, apalagi Cheng Hian Hwesio yang
menjadi gurunya. Juga para pejabat tinggi kini menggiringkan
Cheng Hian Hwesio dan tiga orang muda itu. Dia tidak
berdaya, tidak berani bergerak dan terpaksa mengikuti mereka
masuk ke istana, menuju ke ruangan persidangan di mana
Kaisar Cheng Tung sudah duduk dijaga ketat oleh para
perwira pengawal yang berdiri di belakang tempat duduk
kaisar. Mereka semua menghadap Kaisar. Dalam ruangan
persidangan ini, para penghadap tidak berlutut seperti biasa,
melainkan disediakan kursi-kursi untuk mereka, di bagian yang
lebih rendah daripada tempat duduk kaisar. Kaisar Cheng
Tung nenghendaki demikian karena terasa tidak enak dan
tidak leluasa baginya kalau harus bersidang dengan orangorang
yang berlutut. Hui Sian Hwesio mendapatkan kursi
kehormatan di sebelah kiri kaisar Cheng Tung yang
menghormatinya sebagai sesepuh. Para menteri duduk di kiri
kanan. Empat orang pangeran, yaitu Pangeran Cheng Hwa,
Cheng Ki, Cheng Tek dan Cheng Lin palsu duduk menghadap
di depan kaisar. Tak jauh dari situ, menghadap Kaisar pula,
Han Lin, Sian Eng dan Kiok Hwa berlutut di atas lantai.
Sebagai pesakitan tentu saja mereka tidak duduk di atas kursi, melainkan
berlutut. Suasana dalam ruang-persidangan itu
hening dan angker, dengan penjagaan yang ketat sehingga
Sian Eng yang biasanya rewel itupun tidak banyak ulah,
melainkan menurut saja ketika disuruh berlutut di sebelah kiri Han Lin,
sedangkan Kiok Hwa berlutut di sebelah kanan
pemuda itu. Suasana hening itu membuat suara Kaisar Cheng Tung
terdengar lantang dan jelas ketika dia berkata sambil
memandang Cheng Hian Hwesio yang duduk di sebelah
kirinya. "Paman Kakek Cheng Hian Hwesio, kami harap kakek suka
lebih dulu menceritakan tentang diri Han Lin sebagai murid
paman kakek." "Omitohud, pinceng hanya dapat menegaskan bahwa murid
pinceng Han Lin adalah seorang pemuda yang baik dan
pinceng berani menanggung bahwa dia tidak mungkin
melakukan pembunuhan terhadap para pangeran. Adapun
yang mengaku sebagai Pangeran Cheng Lin juga pinceng
kenal dengan baik. karena dia dahulu menjadi murid pinceng
dengan nama A-seng. Pinceng telah melatih A-seng selama
bertahun-tahun, akan tapi ternyata kemudian bahwa dia
adalah seorang yang berwatak jahat sekali, dia bahkan pernah
berusaha untuk membunuh pinceng, dan dia telah membunuh
dua orang pengikut pinceng. Karena itu, pinceng harap
paduka agar berhati-hati dengan orang muda yang sesat itu."
kata Theng Hian Hwesio sambil memandang ada Ki Seng.
"Ayahanda Kaisar, hwesio tua ini sejak dulu pilih kasih,
tidak heran kalau dia kini membela Han Lin dan melemparkan
fitnah kepada hamba." kata Ki Seng, mengambil keputusan
untuk menyangkal semua tuduhan dan membela diri
sekuatnya. "Diamlah, Cheng Lin dan jangan bicara kalau tidak ditanya.
Ini merupakan persidangan dan harus dipatuhi oleh siapapun
juga." Kaisar Cheng Tung menegur.
"Sekarang giliranmu, nona. Siapa namamu?" Kaisar
memandang kepada Sian Eng dan gadis ini mengangkat muka
dan menatap wajah kaisar dengan berani. Kaisar Cheng Tung
tertegun. Jarang ada wanita muda berani menentang pandang
matanya setabah itu. "Nama hamba Lo Sian Eng, Sribaginda yang mulia." jawab Sian Eng.
"Coba jelaskan apa maksudmu ketika mengatakan tadi
bahwa ada komplotan yang merencanakan pembunuhan
terhadap para pangeran."
"Kebetulan sekali hamba tinggal di rumah Pangeran Cheng
Pedang Jimat Lanang 1 Pendekar Gila 28 Penunggang Kuda Iblis Pendekar Cacad 20