Suling Pusaka Kumala 3
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 3
duduk, lapm memegang tangan itu.
Phoa Li Seng mendekatkan mukanya dan mencium pipi
Chai Li. Wanita itu menerima ciuman bahkan membalasnya
Chai Li telah benar-benar jatuh ke dalam pengaruh sihir pria
itu. "Sekarang kulatih engkau menerima hawa sakti dan
mengendalikannya." kata Phoa Li Seng yang lalu duduk bersila di depan Chai Li
yang disuruhnya duduk bersila pula.
"Luruskan kedua lenganmu," perintahnya. Chai Li menurut tanpa ragu. Pria itu
lalu menyambut dengan kedua tangan nya
sehingga dua pasang telapak tangan bertemu.
"Terima saja, jangan melawan!" katanya dan diapun
mengerahkan sin-kangnya. Tenagd yang hangat menjalar dari
kedua telapak tangannya memasuki tubuh Chai li melalui
telapak tangan pula. Chai Li merasakan ini dan dengan patuh
ia menerima tanpa meronta atau melawan.
"Sekarang coba kerahkan tenaga dari bawah pusar dan
kendalikan hawa hangat itu di seluruh tubuhmu."
Chai Li menaati. Biarpun pada mulanya ia mengalami
kesukaran untuk menguasai hawa liangat itu, namun lambat
laun ia dapat pula menguasainya dan mengendalikannya.
"Bagus! Terus kendalikan, dorong keseluruh bagian tubuh
sampai ujung jari kaki dan tanganmu." kata Phoa Li Seng
sambil perlahan-lahan melepaskan kedua tangannya.
Sejam lamanya Chai Li berlatih. "Cukup, tarik napas dalamdalam lalu turunkan
tanganmu. Kelak akan kuajarkan engkau
bagaimana untuk menghimpun hawa murni untuk
memperkuat tenaga saktimu." Chui Li tersenyum dan
mengangguk-angguk dengan wajah memperlihat kan
kegembiraan. Hatinya memang merasa senang sekali kepada
pria ini, dan ia suka diajar ilmu silat.
Phoa Li Seng merangkulnya dan membelainya,
menciumnya. "Kelak engkau akan menjadi seorang wanita
sakti, menjadi pembantu utamaku, Chai Li." Dan wanita itu merebahkan kepalanya
di atas dada pria itu dengan wajah
bahagia! Tak lama kemudian Phoa Li Seng memondong tubuh Chai
Li dan dibawanya mendaki tebing itu, naik ke atas. Chai Li
memejamkan matanya, ngeri melihat ke bawah karena
pendakian tebing yang amat terjal itu memang berbahaya
sekali. Kalau orang tidak memiliki ilmu gin-kang (meringankan
tubuh) yang lihai, tidak mungkin dapat mendaki tebing seperti
itu, apalagi dengan memondong tubuh seorang wanita
dewasa! Dari kenyataan ini saja mudah diketahui bahwa Phoa
Li Seng adalah seorang yang memiliki ilrnu kepandaian tinggi.
Akhirnya Phoa Li Seng dapat sampai di puncak yang
berbatu-batu. Di situ terdapat hanya sebatang pohon dan dia
melepaskan tubuh Chai Li di bawah pohon itu. "Mengasolah di sini Sebentar, kita
nanti akan melakukan perjalanan jauh.
Akupun ingin mengaso," katanya dan dia pun mengambil
tempat duduk di atas sebuah batu datar, bersila dan duduk
melakukan siu-lian (samadhi). Chai Li yang merasa tubuhnya
lelah sekali setelah tadi berlatih sin-kang, menyandarkan
kepalanya di batang pohon lalu memejamkan mata mencoba
untuk tidur, la sama sekali tidak ingat lagi kepada Han Lin,
tidak ingat akan semua hal yang telah lalu. Yang memenuhi
ingatannya hanyalah Phoa Li Seng yang dianggapnya sebagai
kekasih, suami dan juga guru yang harus ditaatinya, disayang
dan mencintainya! Tiba-tiba terdengar suara orang yang lembut. "Bagus!
Kiranya engkau bersenang-senang dengan seorang wanita
cantik di sini!" Yang bicara itu adalah seorang laki-laki tinggi besar.
Orang kedua, seorang wanita cantik juga berkata
mencemooh, "Orang tak tahu diri! Orang lain sedang repot
membutuhkan bantuan, engkau malah enak-enak dan
bersenang-senang dengan seorang wanita di sini. Rekan
macam apa engkau ini?"
Phoa Li Seng membuka matanya dan memandang kepada
dua orang itu sambil tersenyum. "Toa Ok dan Sani Ok, jangan salah mengerti.
Wanita ini adalah kekasihku, isteriku dan juga muridku! Ada urusan apakah kalian
berdua marah-marah kepadaku?" "Ji Ok, kami bertemu dengan lawan yang amat tangguh.
Kalau engkau muncul tadi, setidaknya dengan bertiga kami
akan mampu melawannya."
Phoa Li Seng, atau lebih terkenal dengan julukan Ji Ok (si
Jahat Kedua) tertegun dan terkejut mendengar ada orang
yang mampu membuat dua orang rekannya itu kewalahan.
Dia menoleh kepada Toa Ok dan terbelalak melihat Ton Ok
menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam meluncur dari
tangan kiri itu ke arah Chai Li yang masih bersandar di pohon.
"Crottt....!!" Darah mengalir di leher yang berkulit putih mulus itu.
Ji Ok melompat turun dari atas batunya dan tangannya
sudah melolos sabuk sutera putihnya. "Toa Ok, berani engkau mengganggu
kekasihku, isteriku dan juga muridku?" Sekali
tangannya bergerak, sabuk sutera putih itu meluncur dan
menyerang dengan totokan ke arah tubuh Toa Ok. Sabuk
sutera putih ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan,
kaiena di tangan Ji Ok, sabuk yang lunak dan lemas itu dapat
berubah menjadi kaku menegang sehingga dapat dipakai
menotok jalan darah yang mematikan.
Toa Ok maklum akan bahayanya serangan sabuk itu, maka
dia melompat kesamping menghindarkan diri dan berseru
marah, "Ji Ok, cinta telah membuat matamu menjadi buta!
Lihat dulu baik-baik keadaan kekasihmu!"
Ji Ok menarik sabuk suteranya dan sekali melompat dia
sudah berada dekat pohon di mana Chai Li masih bersandar
sambil tertidur. Dia melihat dengan mata terbelalak kepada
seekor ular yang berada di pohon itu, tepat di atas Chai Li dan moncong ular itu
berada dekat sekali dengan lehernya. Kepala
ular itu kini meneteskan darah dan sudah ditembusi se-batang
paku yang menancap di pohon. Kiranya darah yang mengalir
di leher Chai Li itu adalah darah ular itu.
"Toa Ok, kau maafkanlah aku!" kat Ji Ok dengan muka
berubah merah. Tadi nya dia mengira bahwa Toa Ok
membunuh Chai Li. "Apakah aku sudah gila membunuh wanita yang menjadi
isterimu?" kata Toa Ok mengejek, sedangkan Sam Ok tertawatawa cekikikan.
Agaknya kekuasaan sihir masih amat menguasainya dan
membuatnya seperti orang mabok sehingga dalam keadaan
seperti itu Chai Li masih saja tertidur pulas! Ji Ok lalu
menggunakan daun membersihkan darah dari lehernya,
kemudian membangunkan Chai Li.
"Bangunlah, Chai Li."
Chai Li terbangun dan ia memandang kepada Toa Ok dan
Sam Ok dengan alis berkerut karena ia tidak mengenal dua
orang itu. la menengok dan memandang kepada Ji Ok dengan
mata mengandung pertanyaan.
"Perkenalkan, Chai Li. Ini adalah Toa Ok dan yang ini
adalah Sam Ok. Mereka berdua ini adalah rekan-rekan dan
sahabat-sahabatku, juga sahabatmu. Aku sendiri disebut Ji
Ok." Karena pada dasarnya Chai Li memang wanita sopan, maka
setelah diperkenalkan, ia lalu memberi hormat dan
mengangkat kedua tangan depan dada.
"Toa Ok dan Sam Ok, ketahuilah bahwa Chai Li ini tidak
dapat bicara, akan tetapi ia pandai menuliskan kata-kata yang
akan ia ucapkan. Telah kuperiksa dan ternyata lidahnya
tinggal sepotong, Entah siapa yang telah memotong lidahnya
sehingga ia tidak bisa bicara, ia belum sempat menceritakan
kepadaku." "Ji Ok, kalau engkau mengambilnya sebagai isteri dan
murid, engkau harus mengetahui benar riwayatnya agar kelak
tidak menyesal." Ji Ok mengangguk angguk. "Kata-katamu itu benar juga,
Toa Ok." Setelah berkata demikian, dia memegang pundak
Chai Li dengan sikap lembut dan mesra, dan berkata dengan
halus namun mengandung wibawa, "Chai Li, sekarang
ceritakanlah semuanya. Untuk itu, rebahlah di atas tanah ini
dan tidurlah." Chai Li menurut saja. la merebahkan dirinya telentang dan
memejamkan kedua matanya. "Sekarang engkau tertidur,
tidur yang nyenyak, tubuhmu terasa lelah sekali dan
membutuhkan tidur. Tidurlah yang pulas dan nikmat....." Ji Ok menggerak-gerakkan
kedua tangannya dekat wajah dan tubuh
Chai Li dan dalam waktu singkat saja Chai Li telah tertidur
nyenyak dan napasnya menjadi halus.
"Chai L i, sekarang engkau ingat akan semua riwayatmu,
sejak engkau masih gadis. Dari mana engkau berasal, siapa
pula yang memotong lidahmu."
"Hi-hi-hi-hik, aku tahu siapa ia!" Tiba-tiba Sam Ok berkata, sementara itu Chai
Li dalam tidurnya menangis terisak-isak.
"Sarn Ok, biarkan ia bercerita sendiri!" kata Toa Ok menegur.
"Chai Li, ingat di sini ada aku, kekasihmu, suamimu,
gurumu dan penolongmu. Engkau ingat semua peristiwa itu
dan dengan singkat tuliskanlah semua itu agar aku mengerti.
Bangkit dan tuliskanlah semua riwayatmu!" perintah Ji Ok.
Masih dalam keadaan trrsihir Chai Li bangkit duduk,
kemudian menerima sepotong batu runcing dari tangan Ji Ok
dan mulailah ia menulis.. Tulisannya cepat namun indah dan
cukup jelas, dibaca oleh tiga orang itu.
"Aku bernama Chai Li, keponakan Kapokai Kham kepala
suku Mongol. Aku diperisteri Kaisar Cheng Tung ketika dia
menjadi tawanan paman. Akan tetapi dia meninggalkan aku,
kembali ke selatan. ketika aku mengandung, dengan janji
akan menjemputku kelak. Anakku terlahir bernama Cheng Lin
dan kuberi nama panggilan Han Lin agar tidak ada yang tahu
bahwa dia keturunan Kaisar Ceng-tiauw (kerajaan Beng). Lalu
muncul si jahat Suma Kiang. Dia menculik aku dan Han Lin,
membawa kami pergi meninggalkan perkampungan Mongol.
Dia hendak memperkosaku dan aku menggigit lidahku sendiri
untuk membunuh diri. Kami ditolong oleh Gobi Sam-sian dan
Han Lin menjadi muridnya dan kami pindah tinggal di kota
Pao-tow. Akan tetapi Suma Kiang yang jahat dapat mengejar
kami beberapa tahun kemudian dan dia mengejar-ngejar
kami. Aku dan anakku melarikan diri sampai di tepi jurang.
Suma Kiang mendesakku dan hendak menangkapku, maka
aku lalu meloncat terjun ke dalam jurang ......" Chai Li
berhenti menulis dan menangis.
Ji Ok memegang kedua pundak Chai Li dan berkata lembut,
"Akan tetapi aku telah menolongmu. Tidurlah kembali, Chai Li." Seperti binatang
peliharaan yang jinak sekali Chai Li menurut dan tidur telentang, seketika tidur
nyenyak. "Sekarang dengar baik-baik, Chai Li. Setelah engkau
bangun dari tidurmu, engkau tidak ingat apa-apa lagi kecuali
bahwa aku adalah penolongmu, kekasihmu dan suamimu,
juga gurumu. Engkau hanya menaati semua kata dan
perintahku." Dia mengulang ucapan ini sampai tujuh kali,
setiap kali menambah tekanan dalam suaranya. Kemudian dia
membiarkan wanita itu tidur pulas.
"Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau bisa tahu
siapa ia!" kata Ji Ok sambil memandang kepada Sam Ok.
Wanita ini cekikikan dan kalau ia tertawa seperti itu,
keadaannya sungguh menyeramkan, seperti bukan manusia
lagi. "Aku ditemui Suma Kiang dan diajak untuk menandingi Gobi Sam-sian, untuk
merampas ibu dan anak. Dia bilang
padaku bahwa ibu itu adalah seorang puteri Mongol yang
hendak diperisteri, dan anak itu adalah seorang pangeran,
putera Kaisar kerajaan Beng. Untuk bantuan itu, dia
menjanjikan untuk menyerahkan bocah itu kepadaku. Bocah
itu sudah berada di tanganku, akan tetapi celaka sekali,
muncul Bu-beng Lo-jin itu yang merampasnya dari tangan
kami berdua. Kami menanti-nantimu untuk membantu, akan
tetapi engkau tidak kunjung muncul, Ji Ok!"
"Hemm, siapakah Bu-beng Lo-jin itu?" tanya Ji Ok
penasaran kepada Toa Ok. Kalau ada orang mampu
mengalahkan pengeroyokan Toa Ok dan Sam Ok, orang itu
tentu memiliki kesaktian luar biasa sekali. Mengalahkan Toa
Ok dan Sam Ok saja sudah merupakan suatu hal yang amat
sukar, apalagi mengalahkan pengeroyokan mereka berdua!
Siapakah tokoh di dunia ini yang sanggup melakukan hal ini"
"Kami juga tidak tahu dan tidak mengenalnya. Dia
merupakan tokoh sakti yang sama sekali tidak terkenal,
mungkin seorang tokoh yang selama ini bertapa di
pegunungan sebelah utara. Akan tetapi ilmu kepandaiannya
sungguh luar biasa," kata Toa Ok.
"Aha, baru sekarang aku mendengar Toa Ok menyatakan
rasa jerihnya terhadap seseorang!" kata Ji Ok sambil tertawa mengejek.
"Tidak perlu saling mengejek dan main-main. Sekali ini aku bersungguh-sungguh.
Kita bertiga tidak mendapat kemajuan
selama ini karena kita selalu mengandalkan kerja sama.
Karena itu, karena kini muncul lawan yang amat tangguhnya,
bahkan Suma Kiang itupun merupakan lawan yang tangguh
sekali, sebaiknya kita berpencar untuk mencari tambahan
pengetahuan masing-masing. Setahun sekali kita mengadakan
pertemuan bersama untuk memperlihatkan kemajuan masingmasing."
"Bagus!" Sam Ok tertawa genit. "Pertemuan itu sekaligus untuk menentukan siapa
yang berhak disebut Toa Ok, siapa
yang menjadi Ji Ok dan Sam Ok."
"Ha-ha-ha, Sam Ok agaknya sudah rindu sekali untuk
menjadi Toa Ok. Agak nya ilmumu Ban tok-ci kini sudah maju
pesat karena banyak darah dan sumsum anak remaja yang
kauhisap!" Sam Ok tertawa genit. "Untuk menjadi Toa Ok, aku harus
lebih dulu menjadi Ji Ok, dan setahun kemudian engkaulah
yang menjadi Sam Ok, Phoa Li Seng!"
"Ha-ha-ha, kita sama lihat saja! Dalam setahun ini, aku
juga tidak akan tinggal diam untuk memajukan ilmu
kepandaianku." kata Ji Ok.
"Sudahlah jangan bertengkar. Kita tentukan waktunya.
Setahun kemudian pada bulan dan hari seperti ini kita
mengadakan pertemuan di tepi Huang-ho, di luar kota Paotow.
Setuju?" "Setuju, dan bersiap-siaplah kalian, karena kalau aku tidak dapat menjadi Toa
Ok, setidaknya menjadi Ji Ok. Sudahi
bosan aku menjadi orang nomor tiga, ha-ha-ha!" Sambil
tertawa-tawa Sam Ok menggerakkan tubuhnya dan ia sudah
melesat cepat sekali lenyap dari situ. Diam-diam Ji Ok terkejut dan kagum. Kalau
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia tidak berhati-hati dan memajukan
ilmunya, bukan tidak boleh jadi kedudukan Ji Ok akan direbut
wanita itu. "Ji Ok, kalau engkau hanya tenggelam dalam pelukan
kekasihmu, setahun kemudian engkau akan menjadi Sam Ok
dan kedudukanmu akan digeser oleh Ban-tok-ci! Ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, tubuh Toa Ok berkelebat lenyap
dari situ sedangkan suara tawanya masih bergema.
Ji Ok tersenyum, lalu menghela napas dan menghampiri
Chai Li. "Chai Li, bangunlah. Engkau tidak akan menghalangi kemajuanku, bahkan
engkau akan menjadi pembantuku yang
baik dan kita bersama akan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih
tinggi daripada ilmu yang dikuasai Sam Ok, bahkan Toa Ok.
Marilah, kekasihku, kita pergi dari sini." Dia menggandeng tangan Chai Li dan
wanita itu tampak gembira, tersenyum
girang dan mereka pergi sambil bergandeng tangan seperti
dua orang kekasih yang saling mencinta.
Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang
luas dan memiliki banyak gunung yang puncaknya tinggi
menembus awan. Juga pegunungan itu kaya akan bukit-bukit
dan hutan-hutan. Para pemburu binatang hanya berani
berburu binatang di bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi.
Banyak puncak yang belum pernah dikunjungi manusia karena
merupakan daerah berbahaya dan amat sukarlah untuk
mendaki puncak itu. Akan tetapi pada suatu pagi yang cerah, di sebuah diantara
puncak-puncak yang menembus awan itu, tampak sinar
bergulung-gulung dibarengi suara mendesing-desing. Kalau
orang melihat ini, dia tentu akan merasa heran sekali dan
tidak tahu sinar apa itu yang bergulung-gulung karena selain
sinar bergulung itu tidak tampak apa-apa. Sinar yang
mengeluarkan suara mendesing-desing itu berwarna kehijauan
dan ketika sinar itu menyambar-nyambar ke bawah sebatang
pohon, tampak daun-daun pohon berguguran. Bukan hanya
daun kuning, juga tampak daun hijau ikut berguguran.
Namun gerakan sinar itu makin melambat dan mulai
tampaklah kaki tangan orang diantara gulungan sinar itu,
kemudian bahkan tampak bahwa gulungan sinar kehijauan itu
adalah sebatang pedang yang dimainkan secara hebat sekali
oleh seorang anak perempuan. Anak itu masih remaja,
usianya kurang lebih tiga belas tahun. Sungguh menakjubkan
sekali betapa seorang anak berusia tiga belas tahun dapat
memainkan ilmu silat pedang sedemikian hebatnya!
Kalau orang mengetahui siapa yang memberi pelajaran
ilmu silat kepada si gadis cilik ini, tentu orang tidak merasa heran lagi
melihat bahwa ia masih begitu muda sudah
memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Gurunya
adalah ayahnya sendiri dan ayahnya itu bukan lain adalah
Huang-ho Sin-liong Suma Kiang!
Bagaimana pula ini" Bagaimana Suma Kiang yang kita
ketahui hidup menyendiri itu memiliki seorang puteri"
Sebetulnya bukan anak kandmgnya sendiri dan peristiwanya
terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu.
Ketika itu, Suma Kiang sedang dalam perjalanan dari kota
raja menuju ke utara untuk mendatangi perkampungan orang
Mongol yang dikepalai Kapokai Khan, mencari keturunan
Kaisar Cheng Tung dan membunuhnya seperti ditugaskan
kepadanya oleh Pangeran Cheng Boan.
Dalan perjalanan itu, pada suatu pagi di luar sebuah dusun,
Suma Kiang melihat seorang wanita muda bersama seorang
anak perempuannya yang berusia tiga tahun sedang mandi
berdua di anak sungai yang airnya jernih.
Melihat wanita yang usianya dua puluh tahun lebih itu
mandi, hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, jantung
Suma Kiang bergejolak dan bangkitlah nafsu berahinya.
Wanita muda itu memang cantik dun memiliki tubuh yang
padat menggairahkan. Jilid V DIHAMPIRINYA wanita yang sedang mandi bersama
anaknya itu. Anak dan ibu tampak gembira sekali, sama sekali
tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki datang menghampiri
mereka. "Nyonya manis, tampaknya segar dan senang sekali engkau
mandi di sini." Suma Kiang duduk di atas batu di tepi sungai dan menegur dengan
suara lembut dan pandang matanya
seolah hendak menelan bulat-bulat tubuh yang berkulit putih
kuning mulus itu. Wanita itu terkejut dan memandang ke arah suara. Ia
terbelalak lalu cepat merendam tubuhnya sampai ke leher.
"Siapa kau" Pergilah, dan jangan ganggu orang yang
sedang mandi!" tegurnya dengan alis berkerut.
Suma Kiang tertawa. "Jangan takut, manis. Keluarlah dari
air dan ke sinilah, aku ingin bicara denganmu."
"Tidak, tidak!!" Wanita itu menggeleng kepalanya dan memandang ke kanan kiri
untuk melihat kalau-kalau ada
orang yang dapat dimintai tolong. "Pergilah dan jangan
ganggu aku!" Suma Kiang mengerutkan alisnya dan sekali tubuhnya
bergerak, dia sudah menyambar anak itu dan memegangnya
dengan tangan kirinya. Anak itu terkejut dan menangis.
"Kembalikan anakku.....! Jangan ganggu anakku.....!"
Wanita itu berteriak dan karena khawatirnya, ia sampai lupa
diri dan bangkit berdiri tidak perduli betapa tubuhnya tampak
jelas membayang di balik pakaian dalam yang tipis dan basah.
"Boleh, ambil ah ke sini." kata Suma Kiang sambil
melompat dari atas batu ke tepi sungai.
Khawatir akan keadaan anaknya, wanita itu tersaruk-saruk
keluar dari sungai dan menghampiri Suma Kiang sambil
menjulurkan kedua tangannya.
"Kembalikan anakku....!"
Anak perempuan itu ketakutan dan menangis makin keras.
"Ibu....! Ibu....!"
"Sini...., berikan anakku kepadaku....!" Ibu itu mengejar.
"Baik, aku bebaskan anakmu, akan tetapi engkau harus
menuruti kehendakku," kata Suma Kiang dan ia menurunkan
anak itu ke atas tanah, melepaskan tongkat ularnya dan tibatiba saja ia sudah
menangkap lengan wanita itu, menarik dan
mendekapnya. "Tidak...., tidak...., jangan....!!" Wanita Itu meronta-ronta.
Akan tetapi apa dayanya seorang wanita seperti dia dalam
tangan seorang jagoan seperti Suma Kiang" la tidak dapat
meronta lagi dan banya dapat menangis tersedu-sedu ketika
dirinya digagahi Suma Kiang yang tidak mengenal kasihan
sedikitpun. Tangis ibu dan anak itu memecah kesunyian, dan
menarik perhatian empat orang laki-laki yang kebetulan lewat
di dekat sungai itu. "Hei, apa yang terjadi?" Empat orang itu berseru. Rada saat itu, Suma Kiang
telah selesai memperkosa wanita itu dan dia
bangkit berdiri, membereskan pakaian nya. Melihat ada empat
orang laki-laki dusun berlari mendatangi, dia menyeringai,
menyambar tongkatnya dan begitu empat orang itu tiba
dekat, dia melompat dan menyambut mereka dengan
serangan tongkat ular hitamnya.
Kasihan empat orang itu. Mereka adalah orang-orang
dusun. Bagaimana mungkin mereka dapat bertahan diserang
oleh Suma Kiang dengan tongkatnya. Merekapun mengaduh
dan roboh satu demi satu.
Tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan dan ibu muda yang
baru saja diperkosa itu, dalam keadaan setengah telanjang
telah lari dan menubrukkan dirinya kepada batu besar.
Kepalanya beradu dengan kerasnya menghantam batu besar
dan kepala itu pecah dan ia tewas seketika!
Melihat wanita itu telah tewas dan empat orang laki-laki
itupun sudah dibunuhnya, Suma Kiang tersenyum. Dia
mendengar tangis anak itu dan dengan beringas dia memutar
tubuh laiu menghampirinya. Pandang matanya sudah bengis
sekali karena timbul niat di hatinya untuk sekalian membunuh
anak itu. Akan tetapi terjadilah keanehan. Hati Suma Kiang yang
biasanya keras seperti baja dan tidak pernah mengenal
kasihan Itu, tiba-tiba saja mencair ketika dia melihat wajah
anak yang menangis itu. Entah dari mana dan bagaimana,
timbul rasa sayang dan kasihan dalam hatinya terhadap anak
itu. Dijulurkan tangannya lalu dipondongnya anak perempuan
yang baru berusia tiga tahun itu.
"Sayang, diamlah sayang. Mari ikut dengan aku, ikut ayah
pergi." kata Suma Kiang dengan lembut. Dan sungguh aneh.
Anak itu berhenti menangis setelah dipondong oleh Suma
Kiang. Tanpa menoleh lagi kepada lima orang yang
menggeletak sebagai mayat itu, Suma Kiang lalu melompat
pergi sambil memondong anak tu. Dia tidak tahu bahwa
seorang diantara empat orang laki-laki tadi, tidak sampai
tewas oleh tongkatnya, melainkan hanya terluka parah
pundaknya dan dia pura pura mati. Laki-laki itu melihat semua
apa yang terjadi dan setelah lama Suma Kiang pergi
membawa anak perempuan itu, barulah dia bangkit,
terhuyung-huyung memasuki dusun dan minta pertolongan
waiga dusun. Sementara itu, Suma Kiang membawa anak itu sampai
amat jauh meninggalkan dusun itu. Anak ituptin tidak
menangis. "Anak baik, siapa namamu?"
"Eng Eng..... Eng Eng.....I" kata anak itu.
"Bagus" Namamu Suma Eng!" Suma Kiang tertawa
bergelak dan anak itu pun tertawa. Agaknya sikap Suma Kiang
menyenangkan hati anak yang belum tahu apa-apa ini.
Setelah tiba di sebuah dusun yang besar, Suma Kiang
menemukan seorang janda berusia empat puluhan tahun
tanpa anak. Dia menyerahkan Suma Eng kepada janda itu.
"Ibu anak ini sudah meninggal dunia dan aku sebagai
ayahnya tidak dapat memeliharanya karena aku mempunyai
tugas yang amat penting dan makan waktu lama. Kau
peliharalah anak ini dan ini uang boleh kaupakai secukupnya.
Beberapa tahun lagi mungkin, setelah tugasku selesai, aku
akan mengambil anak ini."
Janda Cia menerima tawaran Ini dengan senang hati
karena Suma Kiang memberinya uang emas yang cukup
banyak, arpun harus merawat anak itu selama bertahun
tahun, uang itu cukup, bahkan berleblhan. Setelah memesan
dengan disertai ancaman agar Bibi Cia memelihara Suma Eng
dengan baik-baik, Suma Kiang alu meninggalkan dusun itu
dan melanjutkan perjalanannya ke perkampungan Mongol di
utara. Demikianlah, selama lima tahun dia meninggalkan anak itu
untuk mengurus tugasnya untuk membunuh keturunan Kaisar
Cheng Tung di Mongol. Akan tetapi tugasnya itu ternyata
gagal, bahkan Chai Li tewas dalam jurang dan Han Lin,
puteranya itu terjatuh ke tangan Toa Ok dan Sam Ok. Setelah
Itu, dia teringat kepada Suma Eng dan dijemputnya anak itu
dari dusun. Suma Eng telah menjadi seorang anak perempuan yang
mungil berusia delapan tahun ketika Suma Kiang
menjemputnya. Oleh Bibi Cia, Suma Kiang diperkenalkan sebagai ayahnya.
Suma Eng menyambut ayahnya dengan gembira, walaupun
agak malu-malu. Akan tetapi karena Suma Kiang bersikap
ramah dan lemah-lembut kepadanya, sebentar saja hubungan
mereka menjadi akrab. Ternyata Bibi Cia tidak menyia-nyia-kan tugas yang
dipikulnya. Bukan saja ia memelihara Suma Eng dengan baik,
bahkan anak itu di kutkan belajar membaca dan menulis dari
guru di dusun itu dan ternyata Suma Eng adalah seorang anak
yang cerdik dan pintar. Dengan hati penuh kebanggaan dan kegirangan Suma
Kiang mengajak "puteri-nya" itu pergi dan membawanya tinggal di sebuah puncak
dari Pegunungan Thai-san di mana
dia menggembleng gadis cilik itu dengan ilmu silat. Suma Eng
juga menganggapnya sebagai ayah kandung dan gadis itu
ternyata amat sayang kepadanya. Hal ini mendatangkan rasa
kasih sayang yang besar sekali dalam hati Suma Kiang. Dia
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengajarkan ilmu
silat kepada Suma Eng sehingga lima tahun kemudian, dalam
usia tiga belas tahun, Suma Eng telah menjadi seorang gadis
remaja yang pandai sekali dalam ilmu silat.
Selain berbakat dan pandai sekali, juga Suma Eng
menyukai pelajaran silat dan ia rajin sekali. Setiap pagi ia
berlatih seorang diri di bawah pohon besar itu dan ilmu
pedangnya telah mencapai tingkat yang lumayan tingginya.
Kalau hanya jago pedang yang biasa saja jangan harap akan
mampu menandinginya! Setelah selesai memainkan ilmu pedangnya, Suma Eng
mengaso di bawah pohon. Ia menyeka keringat yang
membasahi lehernya. Ia seorang gadis remaja yang cantik
manis. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan pada ujung
kuncirnya di kat dengan tali sutera merah.
Yang paling kuat daya tariknya adalah sepasang matanya
dan mulutnya. Sepasang matanya cemerlang dan bentuknya
indah, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas dan
kerlingnya seperti pedang pusaka tajamnya. Hidungnya kecil
mancung dan mulutnya memiliki sepasang bibir yang selalu
merah segar. Seorang gadis remaja yang telah memiliki daya
pikat yang kuat sekali, bagaikan setangkai bunga yang sedang
berkuncup namun sudah semerbak wangi. Biarpun tubuh itu
masih kekanak-kanakan karena sedang bertumbuh, namun
sudah tampak betapa pinggang itu ramping sekali dan kulit
tubuhnya putih mulus kekuningan. Sepasang pipinya yang
jarang bertemu bedak itu selalu putih halus dan kemerahan
seperti diberi yanci (pemerah pipi).
Selagi Suma Eng duduk beristirahat setelah latihan pedang
tadi, ia tiba-tiba melihat tiga orang berjalan mendaki puncak di depan. Puncak
itu letaknya tidak berapa jauh dari puncak di
mana ia berada, maka ia dapat melihat dengan jelas tiga
orang itu. Yang berjalan di depan adalah seorang hwesio tua
berjubah kuning dan berkepala gundul, memegang sebatang
tongkat bambu. Sedangkan yang berjalan di belakang hwesio
itu adalah seorang laki-laki tinggi besar dan seorang lagi tinggi kurus. Yang
tinggi besar membawa sebatang tongkat seperti
liyung bentuknya dan yang tinggi kurus memanggul sebatang
cangkul bergagang panjang.
Peristiwa ini merupakan hal yang umat menarik hati Suma
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eng. Selama lima tahun ia tinggal di puncak itu bersama
ayahnya, tidak pernah ada orang berani naik ke puncak di
mana ia berada maupun di puncak sebelah depan itu. Ia
berhubungan dengan orang lain hanya kalau ia turun dari
puncak ke lereng-lereng bagian bawah di mana terdapat
dusun-dusun para petani. Siapakah mereka" Ia tahu bahwa
peristiwa ini akan merupakan berita menarik bagi ayahnya.
Ayahnya pernah berkata kepadanya bahwa kalau ia melihat
ada orang naik ke puncak, agar cepat memberitahu
kepadanya. "Kita berdua sedang menyepi di sini, sedangkan engkau
sedang mempelajari Ilmu silat. Tidak boleh ada orang lain
melihat kita." Demikian kata ayahnya.
Suma Eng menyimpan kembali pedang nya di sarung
pedang yang berada dipunggungnya dan iapun berlari mendak
puncak menuju ke pondok di mana ayah nya berada.
Ketika ia tiba di pondok, ayahnya sedang duduk di depan
pondok dan tersenyum ketika memandangiya. Suma Kian
amat mencinta puterinya ini dan di selalu memandang
puterinya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih
sayang. Dia bahkan lupa bahwa Suma Rng buka anaknya, dia
menganggapnya sebagi anak kandungnya sendiri. Naluri yan
membangkitkan cinta kasih seorang ayah terhadap anaknya
telah menggerakkai hatinya dan dia sungguh mencinta gadis
itu seperti mencinta puterinya sendiri.
"Engkau sudah berlatih pedang denga baik-baik, anakku?"
"Ayah, ada berita penting sekali. Aku melihat ada tiga
orang mendaki puncak Awan Putih di depan sana."
Suma Kiang terbelalak. "Tiga orang?" Benarkah yang
kaukatakan Itu?" Otomatis Suma Kiang teringat kepada Gobi Sam sian dan
juga kepada Thian-te Sam Ok (Tiga Jahat Langit dan Bumi).
Entah yang mana dari kedua kelompok itu yang mendaki
puncak dan keduanya merupakan musuh-musuhnya.
"Bagaimana macam mereka?"
"Yang pertama berpakaian seperti seorang hwesio berjubah
kuning dan memegang sebatang tongkat. Orang kedua
bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang tombak
seperti dayung, sedangkan orang ketiga tinggi kurus dan
memanggul sebatang cangkul gagang panjang."
Suma Kiang bernapas lega. Ternyata bukan dua kelompok
yang diduganya itu. Dia tersenyum dan berkata, "Kalau begitu aku harus
mengunjungi mereka untuk menanyakan keperluan
mereka datang ke wilayah kita ini. Aku tidak mau tempat kita
diganggu orang-orang iseng." Suma Kiang bangkit berdiri.
"Ayah, aku ikut!"
Suma Kiang tersenyum memandang puterinya. Biarpun
baru berusia tiga belas tahun, anaknya ini telah memiliki ilmu kepandaian silat
yang cukup memadai untuk melindungi diri
sendiri. "Mau apa engkau ikut?" tanyanya ingin menjenguk isi hati anaknya.
"Aku ingin melihat bagaimana ayah akan mengusir mereka.
Kalau perlu aku ingin membantu!" kata Sumn Eng penuh
semangat dan ia membusungkan dadanya yang masih agak
kerempeng. Suma Kiang tertawa bergelak. Hatinya senang sekali.
Anaknya ini bukan hanya mewarisi ilmunya, akan tetapi juga
mewarisi keberaniannya. "Ha-ha-ha, boleh-boleh. Engkau
boieh ikut dan lihat betapa ayahmu mengusir tiga orang yang
mengganggu ketenangan hidup kita itu!"
Mereka berdua meninggalkan pondok dan menuruni puncak
itu untuk pergi ke puncak di depan menyusul ketiga orang
yang tadi tampak oleh Suma Eng. Perjalanan itu tidak mudah.
Pendakian yang terjal. Namun agaknya Sumo Eng telah
terlatih dengan baik karena ia dapat mendaki puncak dengan
cepat mengikuti ayahnya yang sengaja bergerak cepat untuk
menguji kepandaian anaknya. Diam-diam dia semakin bangga.
Dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari
cepat anaknyapun tidak mengecewakan!
Setelah melakukan pendakian yang melelahkan itu, tibalah
mereka di puncak. ternyata puncak itu tidak kalah indahnya
dengan puncak di mana mereka tinggal. di puncak itu juga
terdapat lapangan yang rata dan di tengah-tengah lapangan
Itu tampak seorang hwesio berusia sekitar enam puluh tahun
duduk bersila di atas ratu besar. Dia tampaknya sedang
bersamadhi, meletakkan kedua tangan di atas paha yang
duduk bersila dan kedua matanya terpejam. Terdengar suara
ketuk-ini-ketukan dan ketika mereka melihat kesebelah kiri, di sana terdapat dua
orang yang sedang bekerja membuat
rangka pondok dari kayu. "Kalian tidak boleh membuat pondok di sini!" Suma Kiang berseru dan dua orang
itu berhenti bekerja. Ketika mereka
melihat Suma Kiang dan Suma Eng berdiri di situ, mereka lalu
meninggalkan pekerjaan mereka dan menghampiri Suma
Kiang dan puterinya. Seorang diantara mereka, yang bertubuh
tinggi besar, membawa sebuah dayung baja dan orang yang
tinggi kurus membawa sebatang cangku bergagang panjang.
Si pembawa dayung berpakaian seperti seorang nelayan dan 3
pembawa cangkul berpakaian sepert seorang petani.
Mereka menghampiri dan memandang kepada Suma Kiang
dengan penuh perhatian, kemudian si Nelayan berkata dengan
suaranya yang lantang. "Siapakah engkau dan ada hak apakah engkau melarang
kami mendirikan pondok di sini?" Biarpun dia berpakaian
sebaga seorang nelayan sederhana, namun kata katanya
teratur dan tegas. "Ha-ha-ha, kuberitahupun engkau tidak akan mengenal
siapa aku. Aku disebut orang Huang-ho Sin-liong din bernama
Suma Kiang. Dan siapakah kalian yang berani hendak
mendirikan pondok di sini Ketahuilah bahwa semua puncak di
Pegunungan Thai - san merupakan wilayahku dan tidak
seorangpun boleh tinggal di satu puncak tanpa seijinku!"
Suma Kiang berkata dengan garang sambil menggerakkan
tongkat ular hitamnya. "Aku she (bermarga) Gu akan tetap boleh disebut Si
Nelayan atau Nelayan Gu," jawab yang tinggi besar. "Dan ini adalah si Petani
atau Petani Lai. Kami berdua sedang
mendirikan sebuah pondok untuk suhu kami yang mulia.
Harap engkau tidak mengganggu kami."
"Ha-ha-ha, siapa yang mengganggu, lupa" Kalianlah yang
datang mengganggu ketenangan kami. Hayo cepat pergi dari
sini kalau kalian tidak ingin aku mempergunakan kekerasan
untuk mengusir kalian!"
Dua orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu
saling pandang, kemudian Petani Lai yang tinggi kurus itu
berkata dengan suaranya yang lembut. "Hemm, nama Huangho
Sin-liong sudah lama kami dengar. Kalau engkau hendak
menguasai sekitar lembah Huang-ho, hal Itu masih pantas
mengingat bahwa engkau adalah datuk lembah sungai itu.
Akan tetapi kalau engkau menganggap Thai-San ini
wilayahmu, sungguh lucu sekali. Apakah lembah sungai itu
sudah kekurangan makan maka engkau mengungsi ke
pergunungan?" Suma Kiang mengerutkan alisnya.
"Tidak perlu banyak cakap. Kalian tinggal memilih ingin
hidup atau ingin mat Kalau ingin hidup, cepat pergi dan aja
hwesio itu meninggalkan tempat ini sekarang juga!"
"Hemm, kita berada di alam terbuka bukan milik siapasiapa.
Kami tidak akan pergi dari sini!" kata Nelayan Gu,
suaranya keras dan tegas.
Tiba-tiba Suma Eng meloncat ke depan, dan ia sudah
mencabut pedangnya. Pedang itu adalah sebatang pedang
yang ampuh pemberian ayahnya, yaitu Ceng-liong kiam
(Pedang Naga Hijau) yang mengeluarkan sinar kehijauan.
Sambil menudingkan pedangnya ke arah muka Nelayan Gu ia
berkata, "Ayahku sudah menyuruh kalian pergi, mengapa
kalian tidak lekas pergi melainkan banyak membantah. Jangan
salahkan aku kalau pedangku yang bicara!"
Gadis cilik itu memandang dengan mata menantang kepada
Nelayan Gu. Melihat lagak anak perempuan itu danmendengar suaranya,
Nelayan Gu tersenyum. Dia tidak merasa heran. Kalau
ayahnya seperti Huang-ho Sin-liong, tentu anaknya berlagak
jagoan pula! "Anak yang baik, lebih baik engkau pulanglah kepada
ibumu dan belajar menyulam memainkan jarum daripada
memegang pedang. Tidak baik seorang anak perempuan
bermain pedang, salah-salah luka menggores tanganmu
sendiri!" Nelayan Gu mengeluarkan kata-kata itu sama sekali bukan untuk
mengejek, melainkan benar-benar memberi
nasihat. Akan tetapi Suma Eng menjadi marah.
"Jangan banyak cakap! Sambut permainan pedangku kalau
engkau memang rnampu!" Dan iapun menerjang dengan
pedangnya. Begitu menerjang, iapun menusukkan pedangnya
ke arah lambung Nelayan Gu dan gerakannya amat cepat dan
bertenaga. "Wutttt...... singggg.....!" Nelayan Gu terkejut juga melihat serangan yang
hebat itu. Cukup hebat serangan itu maka diapun
tidak berani memandang rendah dan cepat mengelak,
kemudian dia memutar dayungnya untuk menyambut
serangan lanjutan. Suma Eng memutar pergelangan tangannya, pedangnya
yang tadi luput menusuk membuat gerakan balik yang cepat
sekali dan kini menyambar ke arah pinggang orang dengan
bacokan yang kuat "Bagus......1" Nelayan Gu memuji dan diapun
menggetarkan dayungnya untuk menangkis sambil
mengerahkan tenaga, karena dia ingin membuat pedang itu
terlepas dari pegangan Suma Eng. Akan tetapi Suma Eng
lincah sekali. Agaknya gadis cilik inipun maklum bahwa kalau
mengadu tenaga, mungkin ia kalah kuat, maka cepat ia
menarik kembali pedangnya dan sambil melangkah maju,
pedang itu kini menusuk ke arah ulu hati lawan!
Sekali ini Nelayan Gu benar-benar terkejut. Ternyata bocah
itu telah memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan gerakannya
juga gesit sekali. Dia memalangkan dayungnya dan sekali ini
dapat menangkis pedang. "Trangggg......!" Biarpun tangan Suma Eng terpental, namun pedang itu tidak
terlepas dari pegangannya.
Pedangpun terpental, akan tetapi cepat sekali pedang itu
meluncur lagi dan kini menyerampang kearah kedua kaki
Nelayan Gu! Begitu cepat gerakan itu sehingga yang tampak
hanya sinar kehijauan menyambar kearah kaki.
"Hebat....!" Nelayan Gu memuji dan terpaksa melompat ke atas. Pedang itu
menyambar lewat bawah kakinya. Melihat
bahwa kalau dia membiarkan dirinya maka gadis cilik itu akan
terus menyerangnya, kini Nelayan Gu lalu balas menyerang
dengan dayung bajanya. Dayung itu menyambar dahsyat dan
mendatangkan angin yang kuat. Namun, Suma Eng lebih
cepat dan iapun sudah mengelak, gerakannya bagaikan seekor
burung walet. Dayung baja itu terus menyerang bertubi-tubi
dan Suma Eng hanya mampu menghindarkan diri dengan
loncatan-loncatan ringan. Melihat puterinya terdesak dan tidak mampu membalas
serangan lawan, Suma Kiang melompat ke
depan sambil menggarukkan tongkatnya dan berseru kepada
puterinya. "Eng Eng, mundur kau!"
"Tranggg...!" Dayung baja itu bertemu dengan tongkat ular hitam yang
menangkisnya dan Nelayan Gu terhuyung ke
belakang. Demikian kuatnya tongkat itu menangkis
dayungnya. Ketika melawan Suma Eng tadi, jelas bahwa Nelayan Gu
banyak mengalah dan tidak berniat mencelakai atau melukai
gadis cilik itu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia
bukan seorang yang berwatak kejam dan tidak berniat melukai
seorang anak-anak. Serangannya tadi seperti gertakan saja.
Akan tetapi Suma Kiang tidak mau tahu akan kenyataan ini.
Begitu dia maju dia mulai menyerang dengan tongkat ular
hitamnya dan serangannya dahsyat sekali. Nelayan Gu
maklum bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka
diapun memutar dayung bajanya dengan hati hati melindungi
diri sendiri. "Mampuslah!" bentak Suma Kiang dan tongkat ular
hitamnya menyambar dari atas ke bawah memukul ke arah
kepala Nelayan Gu. Orang yang diserang ini memegangi
dayungnya dengan kedua tangan dan memalangkannya di
atas kepala untuk menangkis.
"Tranggg.....!" Nelayan Gu harus mengerahkan seluruh tenaganya karena tongkat
ular hitam itu menghantamnya
dengan tenaga yang dahsyat. Setelah berhasil menangkis
tongkat, dayung itu diputar turun kini sebelah ujungnya
menyambar ke arah iga kiri Suma Kiang. Namun, datuk sesat
ini sudah memutar tongkatnya lagi menyambut.
Terdengar suara tang-tung tang-tung- berapa kali ketika
tongkat bertemu dayung dan akibatnya, Nelayan Gu
terhuyung mundur. Ternyata dalam hal tenaga lakti, Nelayan
Gu masih kalah kuat setingkat dibandingkan lawannya. Akan
tetapi, dengan seluruh tenaga yang dimilikinya, dia
mengadakan perlawanan dengan gigih sehingga terjadilah
perkelahian yang amat seru.
Biarpun dia menang dalam hal tenaga sin kang, namun
ilmu tongkat dayung Nelayan Gu sungguh hebat sehingga
Suma Kiang mengalami kesukaran untuk merobohkan lawan
ini. Diam-diam dia terkejut. Kalau orang yang memegang
cangkul dan disebut Petani Lai itu maju mengeroyoknya, tentu
dia menjadi repot. Apalagi kalau hwesio itu yang maju pula
mengeroyok, mungkin akan sukar baginya untuk menang.
Oleh karena itu, dia berseru nyaring dan tongkatnya kini
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Ternyata dia telah
mainkan Ciu-sian-tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Arak) yang
kalau dimainkan, yang memainkannya seperti orang mabok,
akan tetapi gerakan tongkat itu sukar di kuti lawan.
"BukkkM" Karena bingung melihat perubahan ilmu tongkat lawan, akhirnya punggung
Nelayan Gu terkena hantaman
tongkat. Dia terhuyung dan melompat ke belakang. Namun
tongkat itu mengejarnya dan menyambar ke aral kepalanya.
"Trakkk!" Cangkul bergagang panjang itu menangkis dan selamatlah Nelayan Gu. Dia
melompat ke pinggir dan kini
Petani Lai yang bertanding hebat melawan Suma Kiang.
Melihat betapa Petani Lai melawan Suma Kiang seorang
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri, dan Nelayan Gu tidak ikut mengeroyok, dapat pula
diketahui watak gagah kedua orang itu Mereka tidak mau
main keroyok walaupun lawan amat tangguhnya. Ini
menunjukkan watak pendekar.
Petani Lai juga amat lihai memainkan cangkul gagang
panjangnya. Namun, setelah lewat lima puluh jurus dalam
perkelahian yang seru, akhirnya harus mengakui keunggulan
lawan. Dalam pertemui antara dua senjata mereka, gagang
cangkul itu patah dan terpaksa Petani Lui. harus melompat ke
belakang karena keadaannya berbahaya sekali. Akan tetapi
Suma Kiang yang merasa penasaran karena belum dapat
merobohkan seorang diantara mereka, melompat dan
mengejar dengan pukulan tongkatnya yang menyambar ke
arah punggung Petani Lai dengan totokan maut. Kalau ujung
tongkat itu mengenai punggung, maka Petani Lai akan
tertotok tewas! Demikian kejamnya hati Suma Kiang.
"Wuuuuttt..... plakk!" Suma Kiang terpental ke belakang dan dia terpaksa membuat
pok-sai (jungkir balik) di udara
sampai tiga kali barulah dia dapat turun ke atas tanah dengan
baik. Dia terkejut Bukan main karena tadi hanya melihat
bayangan kuning berkelebat menangkis tongkatnya. Kiranya
hwesio berkepala gundul berjubah kuning itu kini telah berdiri di depannya
sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
"Omitohud.....! Hwesio itu berdoa.
"Mengapa begitu kejam untuk membunuh lawan yang
sudah kalah" Sicu (tuan yang gagah), membunuh merupakan
dosa yang amat besar!"
Suma Kiang mengerutkan alisnya. "Hwesioo , siapakah
nama julukanmu?" Dia bertanya secara tidak menghormat sama sekali.
"Orang menyebut pinceng (saya) Cheng Hian Hwesio."
jawab hwesio itu dengan sikap tetap sopan.
"Kenapa tidak kembali saja ke kuilmu dan berkeliaran di
sini?" "Omitohud! Pinceng tidak mempunyai tempat tinggal yang
tetap, tidak mempunyai kuil. Kuil pinceng adalah tubuh ini dan tempat tinggal
pinceng adalah alam ini, atapnya langit dan
dindingnya gunung-gunung."
"Pergilah dari sini, hwesio, karena di sini merupakan
wilayahku. Jangan ganggu ketenangan hidupku di sini.
Pergilah!" "Omitohud! Tidak ada manusia yang memiliki gununggunung.
Melihat tempat ini tidak dihuni orang maka pinceng
menetapkan untuk tinggal di sjni. Pinceng dan dua orang
murid tidak mengganggu siapa-siapa. Sebaliknya, siculah yang
mengganggu kami yang sedang membuat pondok."
"Hwesio, kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa aku akan
menggunakan kekerasan!" bentak Suma Kiang sambil
menggerakkan tongkat ulat hitamnya.
"Omitohud, yang menggunakan kekerasan akan menjadi
korban kekerasan itu sendiri." kata hwesio itu sambil
merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Mampuslah!" bentak Suma Kiang dan dia langsung saja menerjang maju,
menggerakkan tongkatnya untuk menusuk
ke arah ulu hati hwesio itu.
Hwesio yang mengaku bernama Cheng Hian Hwesio itu
tidak mengelak, melainkan membuka kedua tangan yang
dirangkap di depan dada dan menyambut ujung tongkat itu
yang segera terjepit oleh kedua tangannya. Suma Kiang
terkejut dan mencoba untuk menarik tongkatnya, namun tidak
dapat tongkat itu ditarik, seolah-olah telah melekat pada
kedua telapak tangan itu. Suma Kiang mengerahkan seluruh
sin-kangnya untuk melepaskan tongkatnya, namun tetap saja
dia tidak mampu. Selagi dia bersitegang hendak melepaskan
tongkatnya, tiba-tiba Cheng Hian Hwesio melepaskan tongkat
itu sambil mendorong dan tubuh Suma Kiang terdorong ke
belakang sampai terhuyung-huyung!
Suma Kiang bukan hanya terkejut, akan tetapi juga marah
sekali. Dia masih belum dapat menerima kenyataan dan tidak
mau percaya bahwa ada orang mampu mengalahkannya
dalam segebrakan saja! Ditancapkannya tongkatnya di atas
tanah dan sekali kedua tangannya bergerak ke punggung dia
telah mencabut sepasang pedangnya. Tampak dua sinar hitam
menyambar ketika dia mencabut Tok-coa Siang kian
(Sepasang Pedang Racun Ular) yang ampuh itu.
"Omitohud, pinceng tidak ingin berkelahi, Suma sicu!"
Hwesio itu berseru. Akan tetapi sia-sia saja ucapannya in
karena Suma Kiang sudah bergerak maju, sepasang
pedangnya diputar cepat dan dia sudah menyerang dengan
dahsyat sekali. Sepasang pedang itu menyambar dari arah
yang berlawanan, yang kanan menyambar ke arah leher dan
yang kiri menyambar ke arah pinggang. Suatu serangan
berganda yang amat berbahaya karena pedang itu selain
tajam dan kuat, juga mengandung racun yang kalau
menggores kulit lawan, dapat mematikan seketika!
"Omitohud......!" Cheng Hian Hwesi o berkata lagi dan dia menggerakkan tubuhnya
mengelak sambil mengebutkan
kedua ujung lengan bajunya untuk menangkis sepasang
pedang itu. Suma Kiang merasa betapa kuatnya ujung lengan baju itu
membentur pedangnya sehingga kedua tangannya tergetar
hebat, akan tetapi datuk yang keras kepala dan selalu
memandang rendah orang lain ini terus menyerang dengan
hebatnya, mengirim serangan - serangan hebat.
Cheng Hian Hwesio bergerak mengelak yang tampaknya
lambat, namun semua serangan itu dapat dielakkan dan yang
tidak terelakkan dia tangkis dengan ujung lengan baju.
Betapapun saktinya Cheng Hian Hwesio, kalau dia hanya
mengelak dan menangkis saja dan membiarkan Suma Kiang
terus menghujaninya dengan erangan, akhirnya dia terdesak
juga. "Omitohud.....! Terpaksa pinceng melawan!" Setelah
berkata demikian, tubuhnya bergerak lebih cepat dan kedua
ujung bajunya juga menyambar-nyambar dengan tmat
cepatnya. Belum sampai tiga puluh jurus kakek ini bergerak
cepat, tiba-tiba saja sepasang lengan bajunya telah menotok
secara istimewa sekali dan menyentuh kedua pundak Suma
Kiang. Seketika Suma Kiang tidak mampu menggerakkan
tubuhnya dan berdiri seperti patung!
"Sudah cukup, Suma sicu!" kata Cheng Hian Hwesio dan secepat kilat jari
tangannya bergerak dua kali ke arah pundak
Suma Kiang dan datuk Lembah Sunga Huang-ho ini sudah
mampu bergerak kembali! Akan tetapi dasar orang jahat yang berkepala batu, begitu
dapat bergerak dia sudah menubruk ke depan dan menyerang
dengan sepasang pedangnya Serangan itu tiba-tiba datangnya
dan amat cepat. Akan tetapi tiba-tiba dia kehilangan kakek itu.
Ternyata, dalam keadaan gawat itu Cheng Hian Hwesio sudah
mencelat ke atas dan kini tubuhnya turun dengan jungkir
balik, tangan kanannya lurus dengan jari telunjuk menyerang
ke bawah. Suma Kiang coba menghindar, namun serangan dengan
satu jari itu bukan main hebatnya. Hawa serangan itu saja
sudah membuat Suma Kiang tertegun dan sebelum dia
sempat mengelak, jari telunjuk kakek itu sudah menyentuh
pundak kirinya dan seketika tubuhnya menjadi lemas dan dia
terkulai roboh! Masih untung baginya bahwa kakek itu
menotok pundaknya, kalau jari itu menyentuh ubun-ubun
kepalanya, tentu dia akan tewas seketika. Dia tidak tahu
bahwa itulah ilmu totok It-yang-ci (Totok Satu Jari) yang amat ampuh dari Siauw-
lim-pai! "Omitohud, pinceng harap engkau tidak akan
menggunakan kekerasan lagi, Suma sicu!" kata Cheng Hian
Hwesio setelah dia turun ke atas tanah.
"Berani engkau membunuh ayahku!" Tiba-tiba Suma Eng
berseru dan ia menerjang maju menyerang Cheng Hian
Hwesio dengan pedang Ceng-liong-kiam yang bersinar hijau.
Cheng Hian Hwesio menyambut serangan ini dengan
menyentil pedang itu menggunakan jari tangannya.
"Tringgg.....!" Tubuh Suma Eng terbawa pedang itu
terputar-putar mundur! "Omitohud, ayahmu tidak mati, anak yang u-hauw
(berbakti)!" kata Cheng Hian Hwesio dan sekali tangannya
bergerak menotok, Suma Kiang dapat bergerak kembali. Sekali
ini, biarpun hatinya masih penuh dengan penasaran dan
marah, Suma Kiang maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang yang sakti dan memiliki kepandaian jauh lebih tinggi
daripada kepandaiannya. Maka diapun lalu menyimpan
sepasang pedangnya di punggung, mencabut tongkat ular
hitamnya dan menggandeng tangan Suma Eng sambil
berkata, suaranya penuh dengan kekecewaan dan
kemurungan. "Mari kita pergi dari sini, Eng Eng!"
Suma Eng mengerutkan alisnya dan ia merasa penasaran
dan kecewa sekali! Ayahnya yang dianggapnya orang paling
jagoan di dunia ini, sama sekali tidak berdaya melawan
seorang hwesio tua yang lemah! Hampir ia tidak dapat
percaya kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri!
Setelah mulai mendaki puncak mereka sendiri, Suma Eng
tidak tahan lagi untuk berdiam diri. "Ayah, kenapa ayah kalah oleh hwesio tua
yang lemah itu?" Suma Kiang menghela napas panjangi sebelum menjawab.
"Eng Eng, engkau tidak tahu. Hwesio itu sama sekali tidak lemah. Dia adalah
seorang sakti yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali. Dua orang muridnya itupun lihai,
akan tetapi dibandingkan guru mereka, sangat jauh selisihnya.
Sama sekali aku tidak pernah mimpi akan bertemu dengan
serang yang demikian lihainya. Ini berarti kita tidak dapat
lebih lama tinggal di tempat ini, Eng Eng."
"Akan tetapi kenapa, ayah?"
"Orang telah mengalahkan aku dan tinggal di puncak
sebelah, bagaimana mungkin aku lebih lama tinggal di sini"
Tentu dia akan datang menggangguku. Pula, melihat ada
orang yang lebih lihai dariku, engkau harus mendapat
pendidikan dari seorang sakti, karena itu engkau akan kubawa
menghadap supek-ku (uwa guruku) yang bertapa di puncak
Cin-ling-an." Mendengar ini wajah yang manis itu menjadi berseri. "Ah,
apakah kepandaian supek-kong (kakek uwa guru) itu hebat
sekali, ayah" Bagaimana kalau dibandingkan dengan hwesio
tadi?" "Kalau bertanding melawan supek, Hwesio tadi pasti kalah.
Di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandingi
kesaktian supek!" Suma Kiang menyombong dan puterinya
tersenyum puas. "Kalau begitu aku ingin sekali belajar ilmu silat darinya."
Setelah tiba di pondok mereka di puncak, mereka berkemas
dan hari itu juga mereka berangkat meninggalkan Thai-san.
Melihat Suma Kiang dan Suma Eng sudah pergi jauh turun
dari puncak Awan Putih, Nelayan Cu dan Petani Lai lalu
menghadap Cheng Hian Hwesio dan mereka menjatuhkan diri
berlutut di depan hwesio itu yang masih berdiri tegak
memandang ke arah perginya Suma Kiang.
"Mohon paduka memberi ampun kepada hamba berdua
yang tidak mampu mengusir datuk sesat itu." kata Nelayan Gu dengan sikap hormat
sekali. "Sudahlah, jangan pikirkan itu. Dia memang lihai sekali,
dan kalian hentikan sikap kalian ini. Ingat, telah puluhan tahun aku menjadi
Cheng Hian Hwesio yang juga menjadi guru
kalian. Pinceng lebih suka disebut suhu daripada sebutan
muluk lainnya. Ingatlah, hanya orang bodoh yang suka
berenang di lautan masa lalu. Masa lalu sudah lewat, sudah
mati, saat inilah yang penting. Karena itu, rubahlah sikapmu
agar jangan sampai orang lain mengetahui masa lalu
pinceng." "Harap suhu sudi memaafkan kami." kata kedua orang itu hampir berbareng.
"Sekarang lanjutkanlah membuat pondok untuk kita."
Hwesio itu kembali duduk di atas batu besar dan melanjutkan
samadhinya yang tadi terganggu dan dua orang pembantunya
itupun melanjutkan pekerjaan mereka membuat pondok
bambu yang sederhana. Siapakah hwesio yang sakti itu" Dan mengapa kedua orang
murrdnya itu bersikap seolah berhadapan dengan seorang
yang tinggi kedudukannya"
Hwesio yang mengaku bernama Cheng Hian Hwesio itu
bukan lain adalah Kaisar Hui Ti yang telah dinyatakan hilang
ketika kota raja Nan-king diserbu oleh pamannya, yaitu
Pangeran Yen yang kemudian menjadi Kaisar Yung Lo. Dia
melarikan diri dan dinyatakan hilang tak tentu rimbanya.
Peristiwa itu terjadi kurang lebih empat puluh tahun yang
lalu. Ketika itu pendiri Kerajaan Beng, Kaisar Hong Bi atau
lebih terkenal dengan nama Goan Ciang, meninggal dunia.
Karena puteranya telah lebih dulu meninggal dunia karena
sakit, maka yang menggantikan menjadi kaisar adalah
cucunya yang bernama Hui Ti. Kaisar Hui Ti memerintah
dalam usia muda, baru kurang lebih dua puluh tahun. Hal ini
mendatangkan kemarahan kepada Pangeran Yen, putera Cu
Goan Ciang yang lain dan yang menjadi panglima besar
berkedudukan di Peking. Pangeran Yen menganggap bahwa
setelah kakaknya meninggal dunia, sudah sepatutnya kalau
dia yang menggantikan menjadi kaisar, bukan keponakannya,
Hui Ti. Karena kemarahan ini dia lalu menggerakkan
pasukannya, dari Peking menyerbu ke selatan. Dalam perang
saudara ini pasukan Nan-king kalah dan pasukan Pangeran
Yen menyerbu ke istana. Istana Kaisar Hui Ti terbakar
sehingga ketika orang tidak menemukan Kaisar Hui Ti,
dikabarkan bahwa kaisar muda Itu mati terbakar di dalamistana.
Padahal, sebetulnya Kaisar Hui Ti yang muda itu tidak mati
terbakar dalam istananya, melainkan berhasil lolos bersama
para pengawalnya yang setia. Kaisar Hui Ti menggunduli
kepalanya dan menyamar sebagai seorang hwesio perantau
dan melakukan perjalanan di seluruh Tiongkok. Akhirnya dia
benar-benar menjadi hwesio yang mendalami pelajaran
agama. Bahkan dia bertemu dengan serang hwesio perantau
yang sakti, kemudian mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari
hwesio itu. Setelah dia menjadi tua, yang mengikutinya hanya tinggal
dua orang yang sejak muda menjadi pengawalnya dan juga
menjadi sahabat-sahabatnya. Dua orang pengawal itupun
memiliki ilmu alat yang tinggi dan akhirnya belajar dari Cheng Hian Hwesio yang
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah menjadi seorang hwesio sakti. Mereka
menyamar sebagai seorang nelayan dan seorang petani,
kemudian disebut Nelayan Gu dan Petani Lai.
Demikianlah mengapa dua orang itu bersikap seperti itu,
menghormati Cheng Hian Hwesio sebagai seorang kaisar!
Mereka tidak pernah melupakan bahwa hwesio itu adalah
Kaisar Hui Ti. Kini dalam hati Cheng Hian Hwesio sudah bersih
dari pamrih untuk kembali ke kota raja. Biarpun Kaisar Yung
Lo sudah lama meninggal dunia dan dia tidak dikejar-kejar
lagi, namun dia memilih menjadi hwesio yang hidup tenang
dan penuh damai, mengajarkan keagamaan kepada para
hwesio muda di kuil-kuil dan memilih tempat-tempat indah
dan sunyi di puncak gunung gunung.
Ketika melihat puncak Awan Putih d Thai-san, dia merasa
suka sekali dan mengambil keputusan untuk membuat pondok
di situ dan untuk sebentar" menikmati keindahan alam yang
berada di tempat itu. Sama sekali tidak pernah tersangka oleh
Cheng Hian Hwesio bahwa di tempat itu dia akan diganggu
oleh, Huang-ho Sin-liong Suma Kiang. Akan tetapi dia telah
berhasil membuat datuk sesat itu menjadi jerih dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi.
Sebulan kemudian, pondok yang dibuat oleh dua orang
pengawal itu telah rampung. Sebuah pondok yang cukup
besar dan kokoh walaupun bentuknya sederhana.
Cheng Hian Hwesio sudah duduk di atas batu besar depan
rumah, dan dua orang pembantunya duduk di atas batu-batu
yang lebih kecil, di kanan kiri hwesio itu. Mereka tidak bicara, namun mereka
bertiga sadar sepenuhnya dan waspada akan
keadaan sekeliling mereka. Betapa indahnya saat itu tidak
dapat mereka gambarkan. Mereka merasa seolah-olah berada
di alam lain. Awan putih seperti domba berarak di atas, ber
gerak perlahan seperti sekumpulan domba yang taat dan jinak
digembala oleh Sang Gembala yang tidak nampak. Sinar
matahari pagi menembus awan-awan putih yang tipis,
mendatangkan kehangatan di permukaan puncak Awan Putih,
mengusir kabut yang masih enggan meninggalkan tanah,
memaksa kabut membubung ke atas bercampur dengan
awan. Permukaan puncak tampak terang dan segala yang
berada di situ mulai hidup menyambut cahaya matahari
pemberi kehidupan Burung-burung berkicau riang menyambut
sinar matahari pagi, siap untuk mulai dengan pekerjaan
mereka sehari-har mencari makan. Kuncup-kuncup bunga
mulai mekar tersentuh kehangatan matahari dan ujung-ujung
daun pohon masih menahan embun yang bergantungan
bagaikan mutiara. Angin pagi yang sejuk segar bersilir ringan, dan tiga orang
itu seperti tenggelam dalam keadaan itu.
Mereka merasa menjadi bagian dari keheninga dan keindahan
itu. Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan terasa sekali dalam
keadaan seperti itu dan hidup merupakan kebahagiaan,
terlepas dari kesenangan dan kesusahan. Alam menjadi satu
dengan kita, dan perasaan si-aku yang membuat kita hidup
terpisah dari segala sesuatu, juga terikat dengan segala
sesuatu, tidak terasa lagi pada saat itu. Memandang awan
berarak di atas, memandang rumput-rumput hijau segar,
bunga-bunga aneka warna yang indah, daun-daun pohon
yang dihias mutiara embun, sudah merupakan kebahagiaan
tersendiri. Bahkan menghirup udara yang bersih sejuk
memenuhi rongga dada dan perut merupakan kebahagiaan
tersendiri pula. Nafsu-nafsu yang biasanya meliar, dalam keadaan seperti
itu menjadi jinak, tidak mengejar-ngejar, tidak menguasai diri, tidak
merajalela. Nafsu yang biasanya meniadakan
kebahagiaan, karena nafsu hanya mengejar kesenangan,
selalu ingin mendapatkan yang lebih daripada apa adanya.
Akan tetapi kita tidak mungkin hidup tanpa nafsu karena nafsu
yang membuat kita mencukupi semua kebutuhan hidup. Akan
tetapi kalau nafsu menguasai kita, nafsu pula yang menyeret
kita ke dalam duka dan perbuatan dosa.
"Suhu, mengapa hanya dalam keadaan seperti sekarang ini
saja teecu (murid) merasakan suatu keadaan yang amat
hahagia" Mengapa perasaan seperti ini tidak dapat terus
tinggal di dalam hati tecu?" tanya Petani Lai kepada hweaio itu.
Cheng Hian Hwesio tersenyum. "Omitohud! Segala macam
perasaan yang meniadakan kebahagiaan adalah kalau hati
akal pikiran mulai bekerja. Hati aku pikiran kita sudah
bergelimang nafsu karena itu begitu hati akal pikiran mulai
bekerja, yang dicarinya hanya kesenangan. Pikiran mulai
membanding-bandingkan antara senang dan tidak senang,
antara indah dan buruk dan selalu merindukan yang baik-baik,
yang Indah-indah, yang menyenangkan saja. Sebaliknya,
dalam keadaan seperti yang kau katakan itu, hati akal pikiran
tidak bekerja dan apa pun yang ada diterima dengan apa ada
nya dan sewajarnya, tanpa baik buruk tanpa menyenangkan
atau menyusahkan dan itulah menimbulkan kebahagiaan
sejati." "Kalau begitu, suhu. Apakah kita tidak boleh
mempergunakan hati akal pikiran dan menyerahkan segala
sesuatu, kepada keadaan saja, menerima sebulatnya?" tanya Nelayan Gu.
"Omitohud, sama sekali tidak demikian. Sejak lahir kita
sudah disertai akal pikiran, sudah disertai nafsu, akan tetapi semua peserta ini
harus menjadi alat, jangan sampai
memperalat kita. Kita berkewajiban untuk mempergunakan
hati akal pikiran dan nafsu, demi kelangsungan hidup kita.
Kalau matahari bersinar terlampau terik, kita dapat berusaha
untuk mencari tempat teduh, sebaliknya kalau hawa udara
terlampau dingin, kita wajib berusaha untuk mencari
kehangatan melawan dingin. Akan tetapi kita harus menerima
segala sesuatu seperti apa adanya dan bertindak sesuai
dengan ke-adaan itu, tanpa mengeluh, tanpa merasa berduka,
tanpa dipengaruhi untung rugi dan baik buruk. Itulah yang
dinamakan hidup sesuai dengan kodrat alam."
"Akan tetapi, suhu. Kalau yang mendatangkan duka itu
nafsu adanya, mengapa kita tidak mematikan nafsu itu saja
agar terbebas daripada duka?"
"Omitohud! Tidak mungkin manusia mematikan nafsunya,
karena mematikan nafsu berarti mematikan dirinya. Yang
mungkin adalah mengendalikan nafsu se-hingga nafsu-nafsu
kita menjadi seperti beberapa ekor kuda yang jinak dan taat
agar dapat menarik kereta kita dengan benar. Kereta itu
di baratkan kehidupan kita. Kalau kita dapat mengendalika
nafsu, maka nafsu akan menjadi seperti kuda yang jinak dan
penurut, sebaliknya kalau kita tidak mampu mengendalikan
nafsu, maka nafsu akan menjadi kuda kuda liar dan akan
membawa kabur kereta dengan kemungkinan masuk ke
jurang dan menghancurkan kereta itu."
"Akan tetapi bagaimana caranya mengendalikan nafsu yang
sudah menggelimangi hati akal pikiran kita, suhu?" tanya pula Petani Lai.
"Dengan menyerahkan diri kepada Yang Maha Kuasa,
seikhlas-ikhlasnya mohon bimbingan dari Yang Maha Kuasa
agar kita dapat terbebas dari pengaruh nafsu dan mampu
mengendalikannya. Namun hal ini tidaklah mudah, perlu
latihan terus menerus selama hidup kita."
"Akan tetapi, suhu....." Petani Lai hendak bertanya lagi, akan tetapi Chen Hian
Hwesio mengangkat tangan kirinya, ke
atas dan berkata lembut, "Sudahlah,jangan bicara lagi.
Tengoklah ke sekelilingmu, buka mata batinmu dan
pandanglah mata pelajaran tentang hidup yang diberikan
alam. Pelajaran rahasia yang tidak dapat diterima hati akal
pikiran, karena kalau sudah diterima pikiran tentu
diselewengkan, melainkan terimalah dengan hati dan
sanubarimu. Kalau sudah begitu, segala macam pembicaraan
tidak ada gunanya lapi. Sekarang, sambutlah datangnya tamu
yang mendaki puncak. Tidak ada kebahagiaan yang lebih
mendalam laripada menerima seorang sahabat dari jauh yang
sudah lama tidak bertemu."
Dua orang murid itu mengangkat muka memandang ke
bawah puncak dan mereka kini melihat pula dua orang yang
sedang mendaki puncak itu. Seorang kakek bertubuh pendek
katai dengan rambut, sampai di pinggang dan jenggot sampai
ke dada, bersama seorang pemuda remaja berusia sekitar lima
belas tahun. Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan berwajah
tampan dan anggur, pandang matanya mencorong seperti
mata seekor naga! Dua orang bekas pengawal itu lalu bangkit
berdiri dan cepat menyambut kakek pendek dan pemuda
remaja itu. Keduanya tidak menghendaki kalau ada orang
mengganggu ketenteraman guru dan junjungan mereka. Dan
biarpun Cheng Hian Hwesio tadi mengatakan kedatangan
sahabat, akan tetapi mereka tahu bahwa guru mereka itu
menganggap semua orang sahabat. Mereka sendiri harus
berhati-hati. Siapa tahu kakek yang datang itu seorang jahat
seperti halnya Huang-ho Sin-liong Suma Kiang!
Akan tetapi melihat kakek itu sudah tua, tidak kurang dari
tujuh puluh tahun usianya, Nelayan Gu dan petani Lai segera
mengangkat kedua tangan depan dada.
"Selamat datang di Puncak Awan Putih, locianpwe (orang
tua yang gagah). Siapakah locianpwe dan ada keperluan
apakah locianpwe mendatangi tempat kami ini?"
Kakek itu bukan lain adalah Bu-beng Lo-jin (Orang Tua
Tanpa Nama). Dan anak remaja itu adalah Han Lin. Seperti
kita ketahui, ketika Bu-beng Lo-jin berhasil mengusir Toa Ok
dan Sam Ok dan menolong Han Lin, kakek itu membawa Han
Lin kepada Gobi Sam-sian, tiga orang murid keponakannya itu.
Dia minta agar Gobi Sam-sian menggembleng Han Lin selama
lima tahun. Baru setelah lewat lima tahun, tiga orang tokoh itu diminta
mengantarkan Han Lin kepadanya di puncak Thai-san.
Baru beberapa hari yang lalu, Gobi Sam-sian mengantarkan
Han Lin kepada supek mereka. di sebuah diantara puncakpuncak
di Thai-san. Setelah menyerahkan Han Lin yang telah
mereka gembleng selama lima tahun itu kepada Bu-beng Lojin,
Gobi Sam-sian lalu meninggalkan Han Lin dan supek
mereka. Han Lin kini telah menjadi seorang pemuda berusia lima
belas tahun yang gagah. Dia telah menguasai ilmu-ilmu yang
diajarkan ketiga orang gurunya. bukan hanya ilmu silat tinggi
yang dipelajarinya dari Gobi Sam-sian, melainkan juga ilmu
sastera dan filsafat. Dia telah menjadi seorang pemuda remaja
yang pendiam, cerdik dan pandai membawa diri.
Setelah Gobi Sam-sian meninggalkan puncak di mana Bubeng
Lo-jin bertapa, kakek ini lalu berkata kepada Han Lin
"Han Lin, sebelum aku mulai dengan mengajarkan ilmu
kepadamu, terlebih dulu aku akan membawamu menghadap
seorang sahabat baikku yang baru saja datang di Puncak
Awan Putih dan agaknya hendak menetap di sana. Engkau
perlu kuperkenalkan karena dari orang itu engkau akan dapat
mempelajari berbagai ilmu kesaktian yang tinggi."
Demikianlah, pada keesokan harinya!
Han Lin berkunjung ke puncak di sebelah yaitu Puncak
Awan Putih yang menjadi tempat tinggal Cheng Hian Hwesio.
Dalam perjalanan yang sukar ini, diapun menguji ilmu
meringankan tubuh dari pemuda itu dan melihat bahwa apa
yang diajarkan ketiga Gobi Sam-sian ternyata tidak
mengecewakan. Ketika Nelayan Gu menyambutnya dengan pertanyaan
siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu, Bu
Beng Lo-jin memandang kepada dua orang Itu dan tertawa.
"Ha-ha-ha, kalian berpakaian sebagai Nelayan dan petani,
memegang dayung dan cangkul, akan tetapi sikap kalian
seperti pengawal-pengawal yang setia kepada junjungannya!
Aku adalah Kakek tanpa Nama dan aku datang hendak
bertemu dengan sahabat baikku, Cheng hian Hwesio."
Nelayan Gu dan Petani Lai saling pandang dan
mengerutkan alisnya. Mereka merasa belum pernah bertemu
dengan kakek ini, akan tetapi kakek ini telah pagi-pagi sekali Bu-beng Lo-jin
mengejek dan menyindir mereka sebagai
pengawal-pengawal! "Suhu sedang beristirahat dan tidak mau diganggu.
Katakan dulu apa keperluanmu sebelum menghadap suhu."
kata Nelayan Gu. "Ha-ha, aku tidak mempunyai keperluan apapun. Akan
tetapi melihat Cheng Hian Hwesio memilih tempat tinggal di
puncak Awan Putih, tidak dapat tidak ku harus
mengunjunginya." "Bagaimana kalau kami berdua melarangmu?" tanya pula Nelayan Gu mencoba dan
hendak melihat bagaimana sikap
tamu aneh ini. Bu-beng Lo-jin tersenyum. "Ji-Ciangkun (Panglima Berdua), aku tahu benar siapa
kalian dan aku tahu pula siapa junjungan
kalian. Bukankah kenyataan ini sudah merupakan tanda
persahabatan yang akrab" Apakah kalian masih tidak percaya
kepadaku?" Terdengar suara dari atas puncak "Nelayan Gu dan Petani
Lai, harap jangan memakai banyak peraturan dan persilahkan
sahabat pinceng itu naik ke sini!"
Dua orang murid itu menjawab, "Baik suhu. Silakan,
locianpwe." "Mari, Han Lin, kita temui orang yang paling aneh dan
paling baik di dunia ini." ajak si kakek katai itu dan Han Lin berjalan di
belakangnya dengan sikap hormat.
Bu-beng Lo-jin melangkah cepat menghampiri batu besar di
mana Cheng Hian Hwesio sudah duduk menanti sambil
tersenyum lebar. "Sobat, bagaimana engkau tahu bahwa pinceng berada di
sini?" tanya Cheng Hian Hwesio sambil tersenyum dan
kemudian sepasang matanya yang lembut memandang ke
arah Han Lin dan mata itu mengeluarkan sinar kagum.
"Heh-heh, sudah hampir lima tahun aku tinggal di puncak
sebelah selat itu. Tentu saja aku tahu semua yang terjadi di
Puncak Awan Putih. Termasuk ketika engkau mengusir Huangho
Sin liong Suma Kiang dari sini." kata Bu beng Lo-jin sambil tertawa.
"Omitohud! Pinceng sama sekali tidak mengusirnya."
bantah Cheng Hian Hwesio.
"Aku tahu! Seorang suci seperti engkau yang membunuh
seekor semut pun tidak mau, bagaimana tega hati untuk
mengusir seorang manusia walaupun manusia itu sejahat
Suma Kiang" Akan tetapi dia telah pergi sendiri dari puncak
yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Puterinya itu
seorang vang memiliki bakat baik sekali, sayang seorang yang
seperti itu dididik seorang datuk macam Suma Kiang."
"Omitohud, hal itu tidak bergantung kepada pendidikan
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seseorang, melainkan atas karma anak itu sendiri. Mudah
mudahan saja ia berkarma baik dan tidak akan mewarisi
watak yang jahat dari pendidiknya."
"Ha-ha-ha, selamanya engkau berpengharapan baik, Cheng
Hian Hwesio." "Tentu saja. Tanpa harapan-harapan haik dalam
kehidupan, lalu apa isinya" Tidak mungkin hanya di si dengan
keluh kesah belaka. Akan tetapi siapakah anak yang datang
bersamamu, Lo-jin?" Bu-beng Lo-jin menoleh kepada Han lin dan berkata, "Dia
adalah muridku." "Bagus, pinceng ikut gembira melihat engkau memiliki
seorang murid yang baik, Lo-jin."
"Aku membawanya menghadapmu agar engkau sudi
menjulurkan tangan menolongnya dengan membimbingnya
dan mengajarnya satu dua macam ilmu yang kau kuasai,
Cheng Hian Hwesio." "Omitohud......! Setelah mempunyai guru seperti engkau,
ilmu apa lagi yang dapat diajarkan orang lain kepada
muridmu?" "Aku bicara sungguh-sungguh, hwesio tua! Aku
menginginkan agar engkau mengajarkan ilmumu kepada anak
ini. Sebaiknya kalau dua orang muridmu itu menguji dulu
sampai di mana tingkat kepandaian anak ini sehingga kelak
mudah bagimu untuk mengajarnya. Nelayan Gu Petani Lai,
ajaklah muridku ke belakang dan ujilah sampai di mana
tingkat kemampuannya!"
Dua orang itu hendak membantah akan tetapi Cheng Hian
Hwesio menggerakkan tangan kepada mereka sambil berkata.
"Lakukanlah apa yang mintanya. Kalian tidak akan mampu
membantah kemauannya!" Dan hwesio itu tertawa lembut.
Nelayan Gu dan Petani Lai saling pandang, lalu dengan
sikap apa boleh buat mereka mengajak Han Lin. "Anak muda, marilah engkau ikut
dengan kami ke belakang pondok!"
Han Lin adalah seorang anak yang cerdik. Tanpa
dijelaskanpun dia sudah maklum akan apa yang dimaksudkan
oleh dua orang tua itu, maka diapun bangkit berdiri dan
mengikuti dua orang itu tanpa bertanya apalagi membantah.
Setelah Han Lin pergi bersama dua orang itu, Cheng Hian
Hwesio berkata kepada Bu-beng Lo-jin sambil tersenyum. "Lojin, engkau agaknya
hendak bicara padaku tanpa didengar
anak itu. Nah, katakanlah, apa yang hendak kaubicara-kan
itu?" "Ha-ha-ha, siapa yang akan dapat membohongimu"
Agaknya engkau dapat membaca isi hati dan pikiran orang!
Memang sesungguhnya aku ingin bicara denganmu mengenai
anak itu dan kalau aku sudah bicara, aku tanggung engkau
tidak akan ragu lagi untuk menurunkan ilmu-ilmu mu
kepadanya." "Katakanlah, tidak baik menyimpan rahasia."
"Ceng Hian Hwesio, engkau tentu mengetahui siapa adanya
Kaisar Cheng Tung, bukan?"
Hwesio itu tersenyum. "Apakah engkau hendak menggoda
pinceng, Lo-jin" Tentu saja pinceng tahu siapa adanya Kaisar
Cheng Tung, karena dia masih terhitung cucu-keponakan
pinceng sendiri." "Dan tahukah engkau bahwa Kaisar Cheng Tung pernah
ditawan selama hampir dua tahun oleh seorang kepala suku
Mongol?" "Kekalahan pasukan Beng di Hu lai itu" Suatu perbuatan
yang bodoh sekali dari Kaisar Cheng Tung'" kata Cheng Hian Hwesio.
"Akan tetapi akhirnya dia dibebask dan ini merupakan suatu kebijaksanaa dari
kaisar itu sehingga dia tidak dibunuh bahkan di sana dia telah menikah dengan
seorang Puteri Mongol!"
"Ah, benarkah itu?"
"Dan anak yang dilahirkan Puteri Mongol itu seorang anak
laki-laki, bernama Cheng Lin yang kemudian disebut Han Lin
agar jangan diketahui orang bahwa dia keturunan Kaisar
Cheng Tung. Dan pangeran berdarah Mongol itu adalah anak
yang menjadi muridku itu."
"Omitohud.......' Cheng Hian Hwesi tertegun lalu
termenung. "Ya, dia adalah putera Kaisar Cheng Tung dan kalau kaisar itu masih terhitung
cucu-keponakanmu sendiri, berarti Han Lin
adalah cucu-buyut-keponakanmu."
"Omitohud! Bagaimana bisa begini kebetulan" Bagaimana
dia dapat menjadi muridmu dan di manakah ibunya?"
"Panjang ceritanya," kata Bu-beng Lo-jin sambil menarik napas panjang. "Setelah
melahirkan, tiga tahun lamanya
Puteri Mongol itu menanti-nanti penjemputan dari Kaisar
Cheng Tung, namun tidak kunjung tiba jemputan itu.
Kemudian, muncul datuk sesat Huang-ho Sin-liong Suma
Kiang yang menculik ibu dan anak itu dan membawa mereka
keluar dari perkampungan Mongol. Agaknya Suma Kiang itu
merupakan utusan dari kota raja, mungkin dari para pangeran
lain untuk membunuh ibu dan anak itu. Kebetulan sekali murid
keponakanku, Gobi Sam-sian, melihatnya dan mereka bertiga
menolong dan menyelamatkan ibu dan sejak itu,
membawanya mengungsi ke selatan. Akan tetapi tujuh tahun
kemudian, Suma Kiang muncul lagi bersama Sam Ok dan
mereka berhasil merampas anak Itu. Sedangkan ibunya
terpukul oleh Suma Kiang dan jatuh ke dalam jurang yang
amat dalam. Ketika aku datang, anak itu diperebutkan antara
Sam Ok dan Toa Ok maka aku turun tangan
menyelamatkannya. Kemudian aku membawanya menyusul
Gobi Sam-sian. Kiranya mereka tek luka-luka oleh Suma Kiang
dan Sam Ok bahkan It-kiam-sian buntung lengan kanannya
oleh Sam Ok. Setelah mengobati mereka aku lalu
menyerahkan Han Lin kepada mereka untuk digembleng lagi
selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun beberapa hari
yang lalu mereka mengantarkan Han Lin kepadaku untuk
menjadi muridku. Aku lalu teringat bahwa engkau berada di
Puncak Awan Putih ini, maka aku membawanya ke sini agar
engkau membantu aku menggemblengnya dengan ilmu-ilmu
yang kau kuasai." "Omitohud......Kasihan sekali anak itu. Baiklah, Lo-jin.
Setelah pinceng memilih tinggal di sini, pinceng akan mendidik anak itu
bersamamu." Sementara itu, Han Lin mengiringi Nelayan Gu dan Petani
Lai menuju belakang pondok di mana terdapat sebuah taman
yang baru dibuat sehingga tumbuh-tumbuhannya belum
banyak. Dua orang itu berhenti di petak rumput bawah pohon
lalu Nelayan Gu berkata kepada Han Lin.
"Anak muda, engkau mendengar sendiri tadi betapa
gurumu menyuruh kami untuk menguji kepandaianmu. Karena
itu, keluarkan senjatamu dan cobalah engkau melawan aku
selama beberapa jurus, hadapi tongkat dayungku ini!"
Han Lin memandang dengan sinar mata tajam, kemudian
dia berkata dengan sikap hormat. "Locianpwe......"
"Jangan sebut aku locianpwe. Cukup sebut aku Paman
Nelayan dan dia itu Paman Petani." kata Nelayan Gu.
"Baiklah, paman. Karena saya tidak memiliki senjata,
bolehkah kalau saya mengambil dari pohon ini?" Dia menuding ke atas, ke arah
pohon besar yang tumbuh di situ.
"Tentu saja boleh!" jawab Nelayan
Han Lin segera mengangkat mukanya, matanya mencaricari
kemudian sekali dia menggerakkan tubuhnya, dia telah
meloncat ke atas dan menghilang ke dahan pohon yang
daunnya lebat itu. Tak lama kemudian terdengar suara kayu
patah dan dia sudah melompat turun lagi sambil membawa
sebatang cabang pohon sebesar lengan dan panjangnya satu
meter lebih Dia membuangi ranting dan daun pada cabang itu
dan jadilah sebatang tongkal kayu yang akan dipergunakan
sebagai senjata! Jilid VI MELIHAT ini, Nelayan Gu merasa tidak enak sekali. Dayung
bajanya akan dihadapi oleh pemuda remaja itu hanya dengan
sebatang kayu! Dia sejak mudanya telah mempelajari ilmu
silat dan bekerja sebagai seorang pengawal. Kemudian dia
bahkan memperdalam ilmunya, bersama Petani Lai, dibawah
bimbingan Cheng Hian Hwesio sendiri yang sudah menjadi
orang sakti setelah berguru kepada seorang hwesio perantau
dari siauw-lim-pai. Bagaimana mungkin kini dia harus
menghadapi seorang pemuda remaja yang hanya
bersenjatakan sebatang kayu sedangkan dia mempergunakan
dayung bajanya yang ampuh"
"Anak muda, aku menggunakan dayung baja, bagaimana
mungkin engkau akan melawanku hanya menggunakan
sebatang tongkat kayu?"
"Maaf, Paman Nelayan. Hanya ini senjata yang saya kenal."
"Apakah kakek yang menjadi gurumu itu tidak mengajarkan
ilmu menggunakan senjata lain kepadamu?"
"Kakek itu baru saja menjadi guru dan belum mengajarkan
apa-apa. Ketiga guruku yang dahulu mengajarkan saya
menggunakan tongkat seperti ini yang dapat dipergunakan
sebagai tongkat, sebagai pedang, dan juga sebagai gagang
kebutan. Saya tidak mengenal senjata lain, paman."
"Hemm, baiklah kalau begitu. Akupun hanya bertugas
untuk mengukur sampai di mana kemampuanmu. Sekarang,
lihat seranganku dan sambutlah!"
Setelah berkata demikian, Nelayan Gu menggerakkan
dayungnya. Dayung itu berat dan digerakkan dengan tenaga
yang kuat, maka dayung itu menyambar dan mengeluarkan
suara mendengung! Dayung itu menyambar ke arah kepala
Han Lin. Anak ini selama lima tahun telah digembleng oleh
Gobi Sam-sian dan tiga orang tokoh itu telah menurunkan
ilmu-ilmu mereka kepada Han Lin. Biarpun usianya baru lima
belas tahun namun Han Lin sudah menguasai ilmu-ilmu yang
tinggi. Melihat sambaran dayung yang dahsyat ini, Han Lin
mempergunakan keringanan tubuhnya dan mengelak dengan
cepat sambil menekuk kedua lututnya sehingga ubuhnya
merendah dan dayung itu lewat di atas kepalanya.
Menggunakan kesempatan yang amat singkat itu, Han Lin
sudah menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati lawan.
"Hemm....!" Nelayan Gu kagum juga. baru segebrakan saja anak muda Itu sudah
mampu membalas serangannya! Dia
meemutar tongkatnya dengan kuat untuk menangkis tongkat
kayu dan sekaligus mengukur kekuatan pemuda itu. Demikian
cepatnya tangkisan itu sehingga Han Lin ndak sempat lagi
untuk menghindarkan tongkatnya dari benturan dengan
dayung baja. "Tunggg.....'!" Han Lin merasa lengannya tergetar akan tetapi dia sudah memutar
tubuhnya untuk mematahkan
getaran itu dan meloncat ke kiri ketika dayung itu menyambar
ke arah pinggangnya. Akan tetapi dayung itu dengan cepat
dan hebatnya sudah menyambar lagi, kini menyerampang
kedua kakinya. Dengan gerakan amat ringan dan cepat, ginkang
yang dilatihnya dari Pek-tim-sian, Han Lin melompat ke
atas dan dayung itu menyambar ke bawah kakinya. Dan dari
atas itu kaki kanan Han Lin mencuat dan sudah menyambar
ke arah dagu Nelayan Gu! Nelayan Gu terkejut sekali dan tahu bahwa anak itu telah
memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.
Terpaksa dia mengelak ke belakang katau tidak ingin dagunya
tertendang! Mereka sudah bergerak lagi saling serang. Hebatnya, Han
Lin tidak terdesak hebat, bahkan dapat membalas serangan
lawan. Tentu saja Nelayan Gu tidak berkelahi dengan
sungguh-sungguh karena diapun hanya ingin menguji saja.
Setelah tiga puluh jurus mereka bertanding, Petani Lai berseru sambil melompat
ke depan. "Biarkan aku mengujinya!" Mendengar ini, Nelayan Gu
melompat kebelakang dan Petani Lai sudah menggerakkan
cangkul gagang panjangnya, menyerang dan serangannya
memang aneh. serangan itu digerakkan seperti orang
mencangkul. Cangkul menyerang ke arah kepala Han Lin dan
ketika Han Lin mengelak, cangkul itu membuat gerakan
membalik dan menyerang lagi seperti mengungkit! Han Lin
terkejut. Serangan senjata cangkul itu asing baginya, namun
dengan menggunakan gin-kangnya, dia selalu dapat mengelak
dan kadang dia menangis dengan tongkatnya. Dia tahu bahwa
menghadapi lawan inipun dia kalah kuat dalam hal tenaga
sakti, akan tetapi bagaimanapun juga dia masih menang
dalam hal kecepatan gerakan. Karena itu dia mengandalkan
kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak dan membalas
serangan lawan. Diam-diam Petani Lai, seperti juga Nelayan
Gu, merasa kagum sekali. Biarpun kalau dalam perkelahian
yang sungguh-sungguh anak ini belum dapat
mengalahkannya, akan tetapi tingkat kepandaiannya sudah
demikian tinggi sehingga mampu menandinginya selama tiga
puluh jurus lebih. Kalau anak ini memiliki tenaga sin-kang
lebih hebat sedikit saja, tentu dia akan sukar
mengalahkannya. Setelah lewat tiga puluh jurus, dia pun merasa cukup dan
melompat ke belakang sambil berseru, "Cukup!"
Han Lin juga menghentikan gerakannya dan membuang
tongkatnya lalu menjura kepada mereka berdua. "Banyak
terima kasih atas petunjuk yang paman berdua berikan
kepada saya." Dua orang itu merasa senang. Seorang anak yang pandai
membawa diri dan sopan sekali, seperti seorang anak yang
terpelajar baik. "Mari kita kembali menghadap suhu" kata Nelayan Gu dan mereka bertiga kembali ke
depan pondok. Di sana mereka
melihat betapa Bu-beng Lo-jin kini sedang asyik bermain catur
melawan-Cheng Hian Hwesio.
Dua orang kakek itu berhenti berma catur dan Cheng Hian
Hwesio memandang kepada Han Lin, kemudian kepada dua
orang pembantunya lalu bertanya.
"Bagaimana dengan hasil ujian kalian terhadap anak ini?"
"Suhu, dia sudah memiliki dasar yang kuat, dapat
menandingi teecu (murid) berdua lebih dari tiga puluh jurus
dengan bersenjatakan sebatang kayu. Biarpun tecu masih
menang dalam hal tenaga Sin-kang, namun ilmu gin-kang
yang dimilikinya sudah lebih tinggi dari yang tecu kuasai."
Nelayan Gu melapor. Mendengar ini, wajah Cheng Hian Hwesio tampak berseri.
"Bagus! Han Lin, maukah engkau mempelajari ilmu silat dari pinceng?"
Mendengar ini, Han Lin yang cerdik segera menjatuhkan
dirinya berlutut di depan kakek itu. "Sebelumnya teecu
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan suhu."
"Omitohud, pinceng senang sekali. Akan tetapi ingatlah
bahwa engkau adaan murid Bu-beng Lo-jin dan bahwa
pinceng hanya ikut memberi beberapa macam ilmu yang
kiranya berguna bagimu. Setiap bulan sekali engkau boleh
endaki puncak ini untuk menerima bimbingan beberapa
macam ilmu dari pinceng."
"Cepat haturkan terima kasih, Han Lin!" kata Bu-beng Lojin sambil tertawa,
"sebelum hwesio yang aneh ini balik pikir!"
Han Lin memberi hormat kepada Cheng Hian Hwesio.
"banyak terima kasih teecu haturkan dan teecu berjanji akan menaati semua
petunjuk suhu." Pada saat itu, terdengar teriak orang. "Losuhu, tolonglah saya.....!"
Semua orang menengok dan tampaklah seorang pemuda
remaja dengan wajah pucat, rambut awut-awutan dan pakai
cabik-cabik, napas terengah-engah mendaki puncak itu lalu
menjatuhkan diri dan berlutut di depan batu yang diduduki
Ceng Hian Hwesio. Cheng Hian Hwesio mengamati wajah pemuda itu dengan
penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar enam belas
tahun, bentuk tubuhnya tinggi besar dan gagah, wajahnya
juga tampan sekali, walaupun pakaiannya seperti pakaian
seorang petani dan sudah compang-camping pula. Kedua
lengannya tampak luka-luka Berdarah.
Nelayan Gu dan Petani Lai mengerutkan alisnya dan sudah
hendak menegur anak muda yang berani mendaki puncak itu,
mengganggu ketenangan guru mereka. akan tetapi Cheng
Hian Hwesio mendahului mereka.
"Omitohud, anak muda, siapakah engkau dan mengapa
pula engkau berlari lari minta tolong kepada pinceng?"
Ditanya demikian, pemuda itu lalu menangis. "Celaka,
losuhu (guru tua, sebutan untuk pendeta). Seluruh keluarga
saya mereka bunuh.....! Dan saya nyaris dibunuh juga, maka
saya melarikan diri ke puncak ini.... mohon pertolongan
losuhu......" Anak itu menengok ke belakang, agaknya
khawatir kalau ada yang mengejarnya dari belakang.
"Omitohud, siapakah mereka yang membunuh dan
mengapa pula keluargamu dibunuh?"
"Saya..... saya tidak tahu, losuhu. mereka serombongan
terdiri dari lima utau enam orang, datang-datang mengamuk
dan membunuhi orang. Ayah dan ibu saya, dua orang saudara
saya dan dan seorang paman saya mereka bunuh. empat
orang tetangga sebelah yang datang hendak menolong kami
mereka bunuh. Saya telah melawan mati-matian namun
mereka itu demikian ganas kejam. Akhirnya saya mampu
meloloskan diri dan mereka kejar-kejar dan sampai melarikan
diri naik ke puncak ini."
"Di mana engkau tinggal?"
"Kami tinggal di dusun bawah lereng sana, losuhu.....'"
Pemuda remaja itu menuding ke bawah, dan air matanya mas
bercucuran. "Nelayan Gu, obati luka-lukanya dan kemudian bersama
Petani Lai kalian lihatlah apa yang terjadi di dusun anak ini.
Ajak dia untuk menjadi petunjuk jalan," kata Cheng Hian
Hwesio. Nelayan Gu dan Petani Lai mengajak anak itu memasuki
pondok, mengobati luka-luka di lengannya, kemudian
mengajaknya turun dari puncak. Ternyata anak muda itupun
pandai berlari cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di
sebuah dusun yang terpencil. Sebetulnya bukan dusun karena
hanya terdiri dari tiga rumah yang sederhana! Ketika mereka
menghampiri rumah itu, Nelayan Gu dan petani Lai segera
melihat mayat beberapa orang berserakan di situ.
Ketika mereka sedang memeriksa mayat-mayat itu,
terdengar rintihan dan pemuda itu lalu melompat dan
menubruk seorang laki-laki yang agaknya belum tewas.
"Ayah.....!" Pemuda itu berseru dan dia mencabut sebatang pisau yang masih
menancap di dada orang itu.
Nelayan Gu dan Petani Lai melompat.
"Jangan cabut....." Akan tetapi terlambat.
Pemuda itu sudah mencabutnya dan dia memanggilmanggil
ayahnya, mengguncang-guncang tubuhnya dengan
tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegang pisau
yang masih berlumuran darah itu.
"Ayah.....! Ayah....U" teriaknya sambil menangis.
Laki-laki berusia lima puluh tahun itu masih mampu
bergerak, mengangkat mukanya memandang pemuda itu,
menggerakkan tangan dengan lemah mencoba meraih kepala
anak itu. "Kau..... kau.....!" Diapun terkulai tewas. Nelayan Gu dan Petani Lai meloncat
mendekat, akan tetapi ketika mereka
memeriksa, laki-laki itu telah meninggal dunia.
"Ayah.....! Ayah.....!" Anak itu memanggil-manggil terus.
"Lepaskan dia. Dia telah tiada." ka Petani Lai.
"Ayah....!!!" Pemuda Itu melempar pisau yang berlumur darah, menubruk ayahnya
dan menangis tersedu-sedu atas
dada ayahnya sehingga darah ayahnya mengenai baju dan
dagunya. "Cukup! Yang mati tidak perlu ditangisi lagi. Tidak ada
gunanya!" Nelaya Gu membentak dan pemuda itu melepaskan
rangkulannya, berhenti menangis akan tetapi masih
sesenggukan menahan tangisnya.
Nelayan Gu dan Petani Lai lalu mengadakan pemeriksaan.
Mereka memeriksa mayat itu satu demi satu dan semuanya
tewas karena tusukan pisau belati itu. Ayah dan ibu anak itu,
lalu dua orang kakak dan adiknya, dua orang pamannya dan
empat orang laki-laki lain yang menurut pemuda itu adalah
tetangganya. semua ada sepuluh orang yang terbantai di
tempat itu secara kejam sekali.
Dua orang bekas pengawal itu mengadakan pemeriksaan
dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa rumah itu tidak
diganggu barang-barangnya.
"Apakah ada barangnya yang hilang?" tanya Petani Lai kepada pemuda itu. Pemuda
itu seperti orang yang ling-lung
Karena duka mengadakan pemeriksaan. Tidak banyak yang
dimilikinya dan dia menggeleng kepala.
"Tidak ada barang yang hilang." katanya lirih, dan air matanya kembali mengalir
bila mana dia menoleh kepada
mayat ayah dan ibunya. "Hemm, berarti para pembunuhnya bukan golongan
perampok. Keadaan tiga keluarga ini sederhana saja, tidak
memiliki barang-barang berharga, juga tidak kehilangan
sesuatu. Lalu apa yang menyebabkan pembunuhan begini
banyak orang ini?" kata Nelayan Gu.
"Anak malang, siapakah namamu?"
"Saya she (marga) Coa, bernama Se akan tetapi panggilan
sehari-hari adalah A-seng," jawab pemuda remaja itu.
"Seluruh keluargamu terbunuh akan tetapi engkau mampu
membebaskan diri juga tadi engkau pandai berlari cepat.
Siapakah gurumu dalam ilmu silat?"
"Seorang tosu pengembara yang kebetulan lewat di tempat
tinggal kami mengajarkan ilmu silat kepada saya, akan tetapi
dia tidak mengatakan siapa naman dan bahkan tidak ingin
diketahui siapa namanya. Saya sempat dilatih selama
beberapa tahun kemudian disuruh latihan seorang diri.
Dengan segala kemampuan saya, saya melawan ketika
hendak dibunuh dan akhirnya dapat melarikan diri walaupun
luka-luka pada lengan saya."
"Siapakah orang-orang yang membunuh keluargamu"
Apakah engkau mengenal mereka?" tanya Petani Lai yang
juga tertarik sekali ingin mengetahui siapa pembunuhpembunuh
sadis yang membantai sepuluh orang dusun yang
tak berdosa Itu. "Saya tidak mengenal mereka, akan tetapi di baju mereka
bagian dada ada gambar seekor harimau hitam."
"Seekor harimau hitam" Apa engkau tahu apa artinya itu?"
Nelayan Gu bertanya. A-seng menggeleng kepalanya. "Saya hanya pernah
mendengar bahwa di balik puncak ini terdapat sebuah
perkampungan yang menjadi tempat tinggal Hek-houw-pang
(Perkumpulan Harimau Hitam) yang kabarnya ditakuti semua
orang karena mereka bersikap ugal-ugalan. Akan tetapi saya
sendiri tidak pernah pergi ke sana, apa lagi bertemu dengan
mereka." "Hek-houw-pang....." Petani Lai, pernahkah engkau
mendengar tentang Hek-houw-pang?" tanya Nelayan Gu
kepada Petani Lai yang dijawab dengan gelengan kepala.
"Sekarang lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini
terlebih dulu. Karena di sini tidak ada orang lain, terpaksa kita bertiga yang
harus menguburnya dan setelah itu baru kita
melapor kepada suhu" kata Petani Lai.
Mereka bertiga lalu bekerja. Menggunakan cangkul gagang
panjang yang selalu dibawa Petani Lai, dia menggali tanah
belakang rumah-rumah itu dengan cepat Nelayan Gu dan Aseng
membantunya dengan menggunakan cangkul yang
mereka temukan di pondok ketiga orang tani itu.
Kalau tidak dikerjakan oleh Petani Lai dan Nelayan Gu,
tentu akan makan waktu lama menggali sepuluh buah lubang
kuburan itu. Akan tetapi kedua orang adalah orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tenaga sakti
yang membuat pekerjaan itu dapat dilakukan cepat sekali.
Apalagi A-seng ternyata juga merupakan seorang pemuda
yang kuat dan dapat menggali dengan cepat walaupun
dilakukan dengan kadang diselingi tangisnya karena kematian
keluarganya. Setelah selesai mengubur sepuluh jenazah itu dan
membiarkan A-seng berlutut sambil menangis menyebut ayah
ibunya nelayan Gu lalu menyentuh pundaknya,
"Sudahlah, cukup engkau menangis. Sekarang mari kita
menghadap suhu untuk mendapatkan petunjuk beliau
selanjutnya." A-seng bangkit dan sambil menundukkan
mukanya dengan sedih diapun mengikuti kedua orang itu
mendaki Puncak Awan utih.
Setelah Nelayan Gu, Petani Lai dan A-seng pergi
meninggalkan puncak, Bung Lo-jin berkata kepada Han Lin.
"Han Lin, sekarang tunjukkanlah kepada kami apa saja yang sudah diajarkan Gobi
Sam-sian kepadamu. Bersilatlah
menggunakan tongkat seperti ketika engkau melawan Nelayan
Gu dan Petani Lai tadi. Aku sendiri juga ingin mengetahui
sampai di mana kemampuanmu."
Han Lin mematuhi permintaan Bu-Beng Lo-jin. Dia mencari
lagi sebatang kayu cabang pohon, dijadikannya tongkat lalu
mulailah dia bersilat. Tongkat itu dimainkan sesuai dengan
ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Ang-bin-sian, kemudian
dia mainkan seperti pedang sesuai dengan ajaran It-kiam-sian,
kemudian dia mainkan sebagai gagang kebutan yang
melakukan totokan-totokan seperti yang diajarkan Pek-timsian.
Dua orang kakek itu menonton dengan senang dan
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Cheng Hian Hwesio, apakah engkau hendak menerima
pemuda tadi sebar muridmu?"
"Kalau perlu, mengapa tidak" Ayah ibunya telah tewas dan
dia hidup sebatang kara, perlu ditolong, bukan?"
"Akan tetapi aku melihat bahwa anak itu terlalu cerdik, hal ini dapat dilihat
dari gerakan matanya. Engkau belum
mengenal benar asal-usulnya, bagaimana demikian mudah
menerimanya sebaga murid" Bagaimana kalau engkau salah
pilih?" "Omitohud, pinceng bermaksud baik. Kalau ternyata keliru, hal itu adalah sudah
menjadi karma masing-masing. Kenapa
engkau menaruh curiga kepada orang anak malang yang
belum kau kenal keadaannya?"
Bu-beng Lo-jin tertawa. "Ha-ha bukan curiga, Cheng Hian
Hwesio. Hanya aku teringat bahwa ilmu silat yang kau Ajarkan
tentulah ilmu silat tingkat tinggi dan ilmu itu akan berbahaya sekali kalau
sampai dimiliki seorang yang pada dasar-nya
memang jahat. Kalau engkau salah memilih murid, berarti
engkau mencipta-kan bencana bagi dunia di kemudian hari."
"Omitohud, maksudmu memang baik, Bu-beng Lo-jin. Akan
tetapi engkau kurang tebal kepasrahanmu kepada Yang Maha
Kuasa. Yang terpenting bagi kita adalah meneliti dengan
waspada bahwa apa yang kita lakukan tidak menyimpang
daripada kebenaran. Adapun hasilnya bagaimana, hal itu
terserah kepada Yang Maha Kuasa. Bukankah begitu
seharusnya?" "Ha-ha-ha, aku tidak hendak berbantahan denganmu,
Cheng Hian Hwesio. Aku hanya memperingatkan, karena kalau
engkau salah pilih, kelak engkau sendiri akan terseret ke
dalam kesulitan." "Omitohud, terima kasih atas perhatianmu, Lo-jin. Akan
tetapi tentu saja pinceng bertanggung jawab sepenuhnya atas
segala yang pinceng lakukan."
"Bagus kalau begitu. Sekarang, perkenankan kami untuk
pulang lebih dulu. sebulan sekali aku akan menyuruh Lin
datang ke Puncak Awan Putih untuk menerima petunjuk
darimu." "Baiklah, Lo-jin. Dan engkau, Han Lin. Setiap malam bulan purnama, datanglah ke
sini. Nelayan Gu dan Petani Lai tentu
akan membiarkanmu masuk karena mereka berdua sudah
tahu bahwa engkau akan belajar ilmu dari pinceng."
"Baik, losuhu dan terima kasih atas budi kebaikan losuhu."
kata Han Lin sambil memberi hormat. Kemudian, dia dan Bubeng
Lo-jin meninggalkan puncak itu, kembali ke puncak
tempat kediama mereka sendiri.
Ketika Nelayan Gu, Petani Lai da A-seng kembali ke puncak,
mereka melihat Cheng Hian Hwesio masih duduk di atas batu
sambil memejamkan kedua matanya. Melihat hwesio tua itu
sedang bersamadhi, mereka tidak berani mengganggunya.
Akan tetapi A-seng menangis dan isak tangisnya agaknya
membangunkan hwesio itu. Dia bergerak menoleh dan melihat
mereka bertiga, maka dia lalu menegur.
"Nelayan Gu, Petani Lai, apa yang telah terjadi di sana?"
Dua orang itu menghadap guru mereka, sambil berlutut,
di kuti pula oleh A-seng, mereka bercerita.
"Seluruh keluarga A-seng, juga empat orang tetangganya,
berjumlah sepuluh orang semua terbantai dan tewas, suhu.
Pembantaian yang kejam karena agaknya sepuluh orang itu
tidak mampu melawan sama sekali. Para pembunuh itu tidak
mengambil apa-apa dan tidak meninggalkan bekas. Akan
tetapi menurut keterangan A-seng ini, dia melihat bahwa di
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baju bagian dada para pembunuh itu terdapat lukisan seekor
harimau hitam, dan dia pernah mendengar tentang
gerombolan yang menamakan diri mereka Hek-houw-ang dan
tinggal di balik puncak."
"Omitohud! Begitu kejam mereka itu. Nelayan Gu dan
Petani Lai, kalian harus menyelidiki ke balik puncak dan
bertanya mengapa mereka membunuhi warga dusun yang
tidak berdosa. Kalau perlu mereka itu pantas dihukumi"
Meskipun sudah menjadi hwesio selama puluhan tahu
namun watak adil seorang kaisar masih melekat di hati Cheng
Hian Hwesio "Engkaupun ikutlah dengan mereka, kalau perlu menjadi saksi mata
terhadap para pembunuh itu!"
Sambungnya kepada A-seng.
Berangkatlah ketiga orang itu menuruni Puncak Awan Putih
dan Cheng Hian Hwesio melanjutkan samadhinya. Mereka
turun dari puncak melalui timur dan belum pernah mereka
melalui jalan ini maka mereka mencari jalan yang amat sukar
itu. Namun kedua orang pembanti atau murid Cheng Hian
Hwesio itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi,
maka mereka dapat maju terus menuruni puncak yang sukar
itu. Yang membuat mereka kagum adalah ketika mereka
melihat kenyataan betapa A-seng juga mampu mengikuti
mereka walaupun perjalanan itu kadang-kadang amat sukar,
harus menuruni tebing dan memanjat sambil berpegangan
kepada akar-akar dan hatu-batu gunung.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di
lereng puncak yang ditumbuhi hutan. Mereka memasuki hutan
itu dan di tengah hutan mereka melihat buah perkampungan.
Ketika mereka tiba di pintu gerbang perkampungan itu, di
depan pintu gerbang terdapat papan nama yang berbunyi
"Hek Houw Pang" (Perkumpulan Harimau Hitam). Mereka
berhenti dan tiba-tiba saja tampak banyak tubuh berkelebatan
dan di lain saat mereka telah dikepung oleh belasan orang
yang memegang golok di tangan dan sikap mereka garang
sekali. Seorang di antara mereka yang mukanya penuh
brewok dan bertubuh tinggi besar mengelebatkan goloknya
dan bertanya dengan suaranya yang parau. "Siapakah kalian bertiga yang berani
datang ke tempat kami tanpa ijin?"
Nelayan Gu dan Petani Lai bersikap tenang. Nelayan Gu
melihat bahwa pada baju bagian dada orang-orang itu
memang terdapat sulaman gambar seekor harimau hitam.
Cocok dengan keterangan A-seng maka dia berpendapat tentu
mereka inilah yang telah melakukan pembantaian terhadap
sepuluh orang dusun itu. "Aku disebut Nelayan Gu, dan rekanku ini adalah Petani Lai, sedangkan anak ini
bernama A-seng. Kami datang untuk
bicara dengan pimpinan kalian, maka kami minta menghadap
Ketua Hek-houw pang." kata Nelayan Gu dengan sikap
tenang. "Ha-ha-ha, tidak begitu mudah untuk dapat bertemu
dengan ketua kami. Kalau engkau ada urusan, cukup bicara
dengan aku saja sebagai wakil ketua di sini."
"Kami membawa urusan besar dan hanya ingin bicara
dengan ketua kalian. Harap bawa kami menghadap." kata pula Nelayan Gu.
"Hemm, untuk dapat bertemu dengan ketua kami, engkau
harus mendapatkan kuncinya!"
"Bagaimana kami mendapatkan kuncinya?"
"Kuncinya ada padaku! Kalau engkau dapat menandingi
aku Tiat-ciang Hek-houw (Harimau Hitam Tangan Besi) baru
engkau boleh bertemu dengan ketua kami."
Setelah berkata demikian, Tiat-ciang -houw itu lalu
memutar goloknya di depan dada dengan sikap menantang
sekali. "Bagus, kalau begitu biar aku yang akan menandingimu.
Apakah engkau hendak berjanji bahwa kalau aku dapat
menangkan engkau, kami bertiga boleh langsung menghadap
ketua kalian?" "Ha-ha-ha, tidak mungkin engkau akan mampu
mengalahkan Tiat-ciang Hek-houw! Baik, kalau engkau
mampu menangkan aku, kalian boleh bertemu dengan ketua
kami, Toat-beng Hek-houw (Harimau Hitam Pencabut
Nyawa)!" Kemudian dia berseru kepada teman-temannya yang masih
mengerumuni mereka. "Minggir kalian, beri kami lapangan
yang luas untuk bertanding!" Semua orang mundur dan kini
dua orang itu berhadapan, sama-sama tinggi besar bagaikan
dua orang raksasa yang sedang berlagak hendak mengadu
kesaktian. Petani Lai juga membawa A-seng untuk mundur
dan hanya menonton dari pinggiran. Dia percaya penuh akan
kemampuan kawannya, maka dia menonton dengan sikap
tenang saja. Sebaliknya A-seng yang kelihatan gelisah.
"Coba amati, siapa di antara mereka yang membunuh
keluargamu?" tanya Petani Lai perlahan kepada A-seng. Aseng memandangi mereka
itu lalu menggeleng kepalanya.
"Saya tidak tahu, Paman. Saya rasa para pembunuh itu
tidak berada di antara mereka walaupun baju mereka sama."
Jawaban ini membuat alis Petani Lai berkerut dan dia
merasa kecewa. Akan tetapi mungkin gerombolan pembunuh
itu masih berada di dalam perkampungan itu. Nelayan Gu
bertindak benar untuk minta bertemu kepalanya saja agar
dapat bicara dengan ketua mereka, karena kalau harus
mencari sendiri, tentu akan suka apalagi kalau para pembunuh
itu menyembunyikan diri. "Aku sudah siap, engkau mulai lah Tiat-ciang Hek-houwl"
kata Nelayan yang telah melintangkan dayung bajanya di
depan dada. "Bagus! Lihat golokku!" bentak wakil ketua Hek-houw-pang itu dan diapun sudah
menerjang ke depan, goloknya
membacok miring ke arah leher lawan. Tenaganya besar
sekali, hal ini dapat di-lihat dari gerakan golok besar yang
amat cepat dan mengeluarkan suara berdesing.
"Singggg.....!" Golok meluncur dan menyambar ke arah leher. Namun Nelayan Gu
dengan tenangnya mengelak ke
belakang dan melintangkan dayung bajanya Menangkis.
"Trangggg.....!" Tampak bunga api berpijar ketika golok bertemu dengan dayung
baja. Kedua orang itu merasa tapak
tangan mereka yang memegang senjata tergetar hebat. Ini
menandakan bahwa kekuatan mereka seimbang. Keduanya
melompat mundur dan memeriksa senjata masing-masing.
Ternyata senjata mereka tidak rusak dan Tiat-ciang Hek-uw
sudah menerjang maju lagi, kini goloknya membacok ke arah
kepala Nelayan Gu dari atas. Nelayan Gu melihat datangnya
golok yang berat dan tajam itu, cepat mengelak dengan
miringkan tubuhnya, sambil memutar dayung bajanya balas
menyerang dengan pukulan dari samping ke arah leher. Wakil
ketua Hek-houw-pang itu menangkis dengan goloknya.
"Tranggg.....!" Kembali bunga api berpijar dari pertemuan kedua senjata ini.
Nelayan Gu menjadi penasaran dia mainkan
dayung bajanya dengan dassyat, dayung itu berubah menjadi
seperti kitiran angin, menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Tiat-ciang Hek -houw terkejut dan diapun memutar golok
untuk melindungi diri sehingga tampak gulungan sinar
goloknya membentuk dinding menangkis, setiap ujung dayung
baja itu menyambar dekat.
"Trakk!" Golok itu tertahan oleh dayung dan seperti
melekat. Melihat kesempatan ini, Tiat-ciang Hek-houw
menggunakan tangan kirinya, dengan telapak tang terbuka dia
menghantam sambil mengerahkan ilmu dan tenaga Tiat-ciang
(Tangan Besi) yang kuat sekali. Melihat Nelayan Gu
melepaskan tangan kanan yang bersama tangan kiri
memegang dayung dan tangan kanan itu menyambut
hantaman tangan kiri lawan.
"Wuuutttt..... plakkk.....I!" Dua telapak tangan saling bertumbukan di udara dan
akibatnya, tubuh Tiat-ciang Hekhouw
huyung ke belakang. Dari pertemuan telapak tangan ini
saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sin-kang (tenaga
sakti) wakil ketua Hek-houw-pang itu masih kalah setingkat!
Melihat pimpinan mereka terhuyung, lima belas orang anak
buah Hek-houw-pang segera melompat maju dan mengeroyok
dengan golok mereka! Petani Lai dan Nelayan Gu tidak
menjadi gentar dan mereka mengamuk sambil mencoba untuk
melindungi A-seng. Akan tetapi ternyata A-seng tidak
membutuhkan perlindungan. Ketika seorang pengeroyok
membacokkan goloknya ke arah kepalanya, dengan gerakan
yang gesit A-seng mengelak dan ketika golok menyambar ke
bawah, dia menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan
untuk memukul pergelangan tangan lawan yang memegang
golok. "Wuuttt..... plakk..... tranggg..!" Golok itu terlepas dari pegangan dan cepat
sekali A-seng sudah menyambar golok itu
dan diapun menangkis sambaran golok yang ditujukan
kepadanya. Pemuda remaja itu segera berkelahi melawan
seora anggauta Hek-houw-pang dan ternyata dia mampu
menandinginya. Nelayan Gu dan Petani Lai mengamuk dan para
pengeroyoknya terdesak mundur. Namun mereka berdua
tetap bersikap sebagai orang gagah yang tidak mau
sembarangan membunuh sebelum tahu benar kesalahan
orang. Kesalahan Hek-houw-pa belum jelas, maka mereka
tidak mau membunuh atau membuat para pengeroyoknya
terluka parah, hanya menggertak saja dengan dayung baja
dan cangkul mereka. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring "Berhenti! Tahan
semua senjata!" Mendengar bentakan ini, Tiat-cia Hek-houw dan anak
buahnya berlompat ke belakang. Nelayan Gu dan Petani Lui
juga menahan gerakan senjata mereka A-seng melompat ke
belakang mereka-sambil masih memegang golok rampasan.
Diam-diam Nelayan Gu dan Petani Lai merasa kagum juga
kepada pemuda remaja itu yang ternyata gagah dan memiliki
keberanian. Mereka memandang kepada orang yang
membentak tadi dan melihat seorang laki-laki berusia lima
puluh tahunn berdiri di situ dengan sikap berwibawa. Laki-laki ini bertubuh
tegap senang, mukanya yang persegi itu tampak
gagah, jenggotnya pendek dan rambutnya digelung ke atas
dan di kat dengan pita biru. Di punggungnya tergantung
sebatang pedang dan pandangan matanya tajam sekali dan
kini mengamati Nelayan Gu dan petani Lai dengan penuh
selidik. . Dengan sikap gagah, pria itu mengangkat kedua tangan
didepan dada lalu bertanya kepada Nelayan Gu dan Petani Lai.
"Siapakah sam-wi (kalian bertiga) dan mengapa pula berkelahi dengan anak buah
kami?" Tahulah Nelayan Gu bahwa dia berhadapan dengan ketua
Hek-houw-pang, maka diapun membalas penghormatan itu
dan menjawab, "Maafkan kalau kami menimbulkan keributan
di sini, pangcu (ketua). Akan tetapi sesungguhnya kami tidak
bermaksud menimbulkan perkelahian. Kami datang untuk
bertemu dengan pangcu karena ada sesuatu yang penting
sekali ingin kami bicarakan dengan pangcu akan tetapi
saudara-saudara ini memaksa kami untuk beradu
kepandaian." Hek-houw Pang-cu (Ketua Hek-hou pang) itu kelihatan
marah kepada anak buahnya. Dia bahkan menegur wakilnya
"Tiat-ciang (Tangan Besi), kenapa engkau bersikap demikian terhadap tamu"
Sepantasnya engkau persilakan mereka
bertemu dan bicara denganku. Maafkan, jikalau Kalau kalian
hendak bicara dengan aku, silakan masuk perkampungan
kami." Biarpun mereka tahu bahwa tawaran masuk ke
perkampungan ini dapat berbahaya bagi mereka, namun
Nelayan Gu dan Petani Lai lidak merasa gentar dan dengan
gagah mereka mengikuti Ketua Hek-houw-pang yang berjuluk
Toat-bei Hek-houw (Harimau Hitam Pencabut Nyawa) itu
memasuki perkampungan. A-seng juga masuk dan pemuda
remaja ini tampak tabah dan tidak memperlihatkan rasa takut,
sehingga semakin senanglah hati Nelayan Gu dan Petani Lai
kepadanya. Mereka dipersilakan duduk di ruangan dalam dan segera
hidangan makan minum dikeluarkan. Karena memang sehari
itu mereka bertiga belum makan, maka suguhan itu tentu saja
mereka terima dengan senang hati.
"Sebelum kita bicara, mari kita makan dulu sebagai
sambutan kami terhadap tamu yang kami hormati." kata ketua hek-houw pang yang
tadi melihat betapa tiga orang tamunya,
terutama dua orang laki-laki gagah itu, memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan dia sendiri belum tentu akan mampu
menandingi mereka. Inilah sebabnya mengapa dia bersikap
hormat sekali. Tanpa curiga Nelayan Gu dan Petani Lai makan minum
bersama tuan rumah. Mereka adalah orang-orang kang-ouw
yang sudah berpengalaman dan mereka akan tahu apabila
pihak tuan rumah bertindak curang, misalnya menggunakan
racun. Mereka yakin bahwa tuan rumah tidak akan
melakukaan kecurangan itu, karena mereka semua makan dari
tempat makanan yang sama, dan minum dari guci arak yang
sama pula. Setelah mereka selesai makan minum, ketua Hekhouw
Pang segera bertanya kepada para tamunya.
"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk bicara." Dia memberi isarat kepada
pelayan untuk membersihkan meja
dan mereka siap untuk bercakap-cakap. Setelah meja
dibersihkan, Nelayan Gu berkata sambil menatap tajam wajah
rumah. "Pangcu, kami datang untuk minta keterangan kepadamu
tentang sepak terjang lima atau enam orang anggautamu
yang telah membantai sepuluh orang petani yang tidak
berdosa. Mengapa anak buahmu melakukan perbuatan yang
kejam tak berprikemanusiaan itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es 9 Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 6
duduk, lapm memegang tangan itu.
Phoa Li Seng mendekatkan mukanya dan mencium pipi
Chai Li. Wanita itu menerima ciuman bahkan membalasnya
Chai Li telah benar-benar jatuh ke dalam pengaruh sihir pria
itu. "Sekarang kulatih engkau menerima hawa sakti dan
mengendalikannya." kata Phoa Li Seng yang lalu duduk bersila di depan Chai Li
yang disuruhnya duduk bersila pula.
"Luruskan kedua lenganmu," perintahnya. Chai Li menurut tanpa ragu. Pria itu
lalu menyambut dengan kedua tangan nya
sehingga dua pasang telapak tangan bertemu.
"Terima saja, jangan melawan!" katanya dan diapun
mengerahkan sin-kangnya. Tenagd yang hangat menjalar dari
kedua telapak tangannya memasuki tubuh Chai li melalui
telapak tangan pula. Chai Li merasakan ini dan dengan patuh
ia menerima tanpa meronta atau melawan.
"Sekarang coba kerahkan tenaga dari bawah pusar dan
kendalikan hawa hangat itu di seluruh tubuhmu."
Chai Li menaati. Biarpun pada mulanya ia mengalami
kesukaran untuk menguasai hawa liangat itu, namun lambat
laun ia dapat pula menguasainya dan mengendalikannya.
"Bagus! Terus kendalikan, dorong keseluruh bagian tubuh
sampai ujung jari kaki dan tanganmu." kata Phoa Li Seng
sambil perlahan-lahan melepaskan kedua tangannya.
Sejam lamanya Chai Li berlatih. "Cukup, tarik napas dalamdalam lalu turunkan
tanganmu. Kelak akan kuajarkan engkau
bagaimana untuk menghimpun hawa murni untuk
memperkuat tenaga saktimu." Chui Li tersenyum dan
mengangguk-angguk dengan wajah memperlihat kan
kegembiraan. Hatinya memang merasa senang sekali kepada
pria ini, dan ia suka diajar ilmu silat.
Phoa Li Seng merangkulnya dan membelainya,
menciumnya. "Kelak engkau akan menjadi seorang wanita
sakti, menjadi pembantu utamaku, Chai Li." Dan wanita itu merebahkan kepalanya
di atas dada pria itu dengan wajah
bahagia! Tak lama kemudian Phoa Li Seng memondong tubuh Chai
Li dan dibawanya mendaki tebing itu, naik ke atas. Chai Li
memejamkan matanya, ngeri melihat ke bawah karena
pendakian tebing yang amat terjal itu memang berbahaya
sekali. Kalau orang tidak memiliki ilmu gin-kang (meringankan
tubuh) yang lihai, tidak mungkin dapat mendaki tebing seperti
itu, apalagi dengan memondong tubuh seorang wanita
dewasa! Dari kenyataan ini saja mudah diketahui bahwa Phoa
Li Seng adalah seorang yang memiliki ilrnu kepandaian tinggi.
Akhirnya Phoa Li Seng dapat sampai di puncak yang
berbatu-batu. Di situ terdapat hanya sebatang pohon dan dia
melepaskan tubuh Chai Li di bawah pohon itu. "Mengasolah di sini Sebentar, kita
nanti akan melakukan perjalanan jauh.
Akupun ingin mengaso," katanya dan dia pun mengambil
tempat duduk di atas sebuah batu datar, bersila dan duduk
melakukan siu-lian (samadhi). Chai Li yang merasa tubuhnya
lelah sekali setelah tadi berlatih sin-kang, menyandarkan
kepalanya di batang pohon lalu memejamkan mata mencoba
untuk tidur, la sama sekali tidak ingat lagi kepada Han Lin,
tidak ingat akan semua hal yang telah lalu. Yang memenuhi
ingatannya hanyalah Phoa Li Seng yang dianggapnya sebagai
kekasih, suami dan juga guru yang harus ditaatinya, disayang
dan mencintainya! Tiba-tiba terdengar suara orang yang lembut. "Bagus!
Kiranya engkau bersenang-senang dengan seorang wanita
cantik di sini!" Yang bicara itu adalah seorang laki-laki tinggi besar.
Orang kedua, seorang wanita cantik juga berkata
mencemooh, "Orang tak tahu diri! Orang lain sedang repot
membutuhkan bantuan, engkau malah enak-enak dan
bersenang-senang dengan seorang wanita di sini. Rekan
macam apa engkau ini?"
Phoa Li Seng membuka matanya dan memandang kepada
dua orang itu sambil tersenyum. "Toa Ok dan Sani Ok, jangan salah mengerti.
Wanita ini adalah kekasihku, isteriku dan juga muridku! Ada urusan apakah kalian
berdua marah-marah kepadaku?" "Ji Ok, kami bertemu dengan lawan yang amat tangguh.
Kalau engkau muncul tadi, setidaknya dengan bertiga kami
akan mampu melawannya."
Phoa Li Seng, atau lebih terkenal dengan julukan Ji Ok (si
Jahat Kedua) tertegun dan terkejut mendengar ada orang
yang mampu membuat dua orang rekannya itu kewalahan.
Dia menoleh kepada Toa Ok dan terbelalak melihat Ton Ok
menggerakkan tangan kirinya. Sinar hitam meluncur dari
tangan kiri itu ke arah Chai Li yang masih bersandar di pohon.
"Crottt....!!" Darah mengalir di leher yang berkulit putih mulus itu.
Ji Ok melompat turun dari atas batunya dan tangannya
sudah melolos sabuk sutera putihnya. "Toa Ok, berani engkau mengganggu
kekasihku, isteriku dan juga muridku?" Sekali
tangannya bergerak, sabuk sutera putih itu meluncur dan
menyerang dengan totokan ke arah tubuh Toa Ok. Sabuk
sutera putih ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan,
kaiena di tangan Ji Ok, sabuk yang lunak dan lemas itu dapat
berubah menjadi kaku menegang sehingga dapat dipakai
menotok jalan darah yang mematikan.
Toa Ok maklum akan bahayanya serangan sabuk itu, maka
dia melompat kesamping menghindarkan diri dan berseru
marah, "Ji Ok, cinta telah membuat matamu menjadi buta!
Lihat dulu baik-baik keadaan kekasihmu!"
Ji Ok menarik sabuk suteranya dan sekali melompat dia
sudah berada dekat pohon di mana Chai Li masih bersandar
sambil tertidur. Dia melihat dengan mata terbelalak kepada
seekor ular yang berada di pohon itu, tepat di atas Chai Li dan moncong ular itu
berada dekat sekali dengan lehernya. Kepala
ular itu kini meneteskan darah dan sudah ditembusi se-batang
paku yang menancap di pohon. Kiranya darah yang mengalir
di leher Chai Li itu adalah darah ular itu.
"Toa Ok, kau maafkanlah aku!" kat Ji Ok dengan muka
berubah merah. Tadi nya dia mengira bahwa Toa Ok
membunuh Chai Li. "Apakah aku sudah gila membunuh wanita yang menjadi
isterimu?" kata Toa Ok mengejek, sedangkan Sam Ok tertawatawa cekikikan.
Agaknya kekuasaan sihir masih amat menguasainya dan
membuatnya seperti orang mabok sehingga dalam keadaan
seperti itu Chai Li masih saja tertidur pulas! Ji Ok lalu
menggunakan daun membersihkan darah dari lehernya,
kemudian membangunkan Chai Li.
"Bangunlah, Chai Li."
Chai Li terbangun dan ia memandang kepada Toa Ok dan
Sam Ok dengan alis berkerut karena ia tidak mengenal dua
orang itu. la menengok dan memandang kepada Ji Ok dengan
mata mengandung pertanyaan.
"Perkenalkan, Chai Li. Ini adalah Toa Ok dan yang ini
adalah Sam Ok. Mereka berdua ini adalah rekan-rekan dan
sahabat-sahabatku, juga sahabatmu. Aku sendiri disebut Ji
Ok." Karena pada dasarnya Chai Li memang wanita sopan, maka
setelah diperkenalkan, ia lalu memberi hormat dan
mengangkat kedua tangan depan dada.
"Toa Ok dan Sam Ok, ketahuilah bahwa Chai Li ini tidak
dapat bicara, akan tetapi ia pandai menuliskan kata-kata yang
akan ia ucapkan. Telah kuperiksa dan ternyata lidahnya
tinggal sepotong, Entah siapa yang telah memotong lidahnya
sehingga ia tidak bisa bicara, ia belum sempat menceritakan
kepadaku." "Ji Ok, kalau engkau mengambilnya sebagai isteri dan
murid, engkau harus mengetahui benar riwayatnya agar kelak
tidak menyesal." Ji Ok mengangguk angguk. "Kata-katamu itu benar juga,
Toa Ok." Setelah berkata demikian, dia memegang pundak
Chai Li dengan sikap lembut dan mesra, dan berkata dengan
halus namun mengandung wibawa, "Chai Li, sekarang
ceritakanlah semuanya. Untuk itu, rebahlah di atas tanah ini
dan tidurlah." Chai Li menurut saja. la merebahkan dirinya telentang dan
memejamkan kedua matanya. "Sekarang engkau tertidur,
tidur yang nyenyak, tubuhmu terasa lelah sekali dan
membutuhkan tidur. Tidurlah yang pulas dan nikmat....." Ji Ok menggerak-gerakkan
kedua tangannya dekat wajah dan tubuh
Chai Li dan dalam waktu singkat saja Chai Li telah tertidur
nyenyak dan napasnya menjadi halus.
"Chai L i, sekarang engkau ingat akan semua riwayatmu,
sejak engkau masih gadis. Dari mana engkau berasal, siapa
pula yang memotong lidahmu."
"Hi-hi-hi-hik, aku tahu siapa ia!" Tiba-tiba Sam Ok berkata, sementara itu Chai
Li dalam tidurnya menangis terisak-isak.
"Sarn Ok, biarkan ia bercerita sendiri!" kata Toa Ok menegur.
"Chai Li, ingat di sini ada aku, kekasihmu, suamimu,
gurumu dan penolongmu. Engkau ingat semua peristiwa itu
dan dengan singkat tuliskanlah semua itu agar aku mengerti.
Bangkit dan tuliskanlah semua riwayatmu!" perintah Ji Ok.
Masih dalam keadaan trrsihir Chai Li bangkit duduk,
kemudian menerima sepotong batu runcing dari tangan Ji Ok
dan mulailah ia menulis.. Tulisannya cepat namun indah dan
cukup jelas, dibaca oleh tiga orang itu.
"Aku bernama Chai Li, keponakan Kapokai Kham kepala
suku Mongol. Aku diperisteri Kaisar Cheng Tung ketika dia
menjadi tawanan paman. Akan tetapi dia meninggalkan aku,
kembali ke selatan. ketika aku mengandung, dengan janji
akan menjemputku kelak. Anakku terlahir bernama Cheng Lin
dan kuberi nama panggilan Han Lin agar tidak ada yang tahu
bahwa dia keturunan Kaisar Ceng-tiauw (kerajaan Beng). Lalu
muncul si jahat Suma Kiang. Dia menculik aku dan Han Lin,
membawa kami pergi meninggalkan perkampungan Mongol.
Dia hendak memperkosaku dan aku menggigit lidahku sendiri
untuk membunuh diri. Kami ditolong oleh Gobi Sam-sian dan
Han Lin menjadi muridnya dan kami pindah tinggal di kota
Pao-tow. Akan tetapi Suma Kiang yang jahat dapat mengejar
kami beberapa tahun kemudian dan dia mengejar-ngejar
kami. Aku dan anakku melarikan diri sampai di tepi jurang.
Suma Kiang mendesakku dan hendak menangkapku, maka
aku lalu meloncat terjun ke dalam jurang ......" Chai Li
berhenti menulis dan menangis.
Ji Ok memegang kedua pundak Chai Li dan berkata lembut,
"Akan tetapi aku telah menolongmu. Tidurlah kembali, Chai Li." Seperti binatang
peliharaan yang jinak sekali Chai Li menurut dan tidur telentang, seketika tidur
nyenyak. "Sekarang dengar baik-baik, Chai Li. Setelah engkau
bangun dari tidurmu, engkau tidak ingat apa-apa lagi kecuali
bahwa aku adalah penolongmu, kekasihmu dan suamimu,
juga gurumu. Engkau hanya menaati semua kata dan
perintahku." Dia mengulang ucapan ini sampai tujuh kali,
setiap kali menambah tekanan dalam suaranya. Kemudian dia
membiarkan wanita itu tidur pulas.
"Nah, sekarang ceritakan bagaimana engkau bisa tahu
siapa ia!" kata Ji Ok sambil memandang kepada Sam Ok.
Wanita ini cekikikan dan kalau ia tertawa seperti itu,
keadaannya sungguh menyeramkan, seperti bukan manusia
lagi. "Aku ditemui Suma Kiang dan diajak untuk menandingi Gobi Sam-sian, untuk
merampas ibu dan anak. Dia bilang
padaku bahwa ibu itu adalah seorang puteri Mongol yang
hendak diperisteri, dan anak itu adalah seorang pangeran,
putera Kaisar kerajaan Beng. Untuk bantuan itu, dia
menjanjikan untuk menyerahkan bocah itu kepadaku. Bocah
itu sudah berada di tanganku, akan tetapi celaka sekali,
muncul Bu-beng Lo-jin itu yang merampasnya dari tangan
kami berdua. Kami menanti-nantimu untuk membantu, akan
tetapi engkau tidak kunjung muncul, Ji Ok!"
"Hemm, siapakah Bu-beng Lo-jin itu?" tanya Ji Ok
penasaran kepada Toa Ok. Kalau ada orang mampu
mengalahkan pengeroyokan Toa Ok dan Sam Ok, orang itu
tentu memiliki kesaktian luar biasa sekali. Mengalahkan Toa
Ok dan Sam Ok saja sudah merupakan suatu hal yang amat
sukar, apalagi mengalahkan pengeroyokan mereka berdua!
Siapakah tokoh di dunia ini yang sanggup melakukan hal ini"
"Kami juga tidak tahu dan tidak mengenalnya. Dia
merupakan tokoh sakti yang sama sekali tidak terkenal,
mungkin seorang tokoh yang selama ini bertapa di
pegunungan sebelah utara. Akan tetapi ilmu kepandaiannya
sungguh luar biasa," kata Toa Ok.
"Aha, baru sekarang aku mendengar Toa Ok menyatakan
rasa jerihnya terhadap seseorang!" kata Ji Ok sambil tertawa mengejek.
"Tidak perlu saling mengejek dan main-main. Sekali ini aku bersungguh-sungguh.
Kita bertiga tidak mendapat kemajuan
selama ini karena kita selalu mengandalkan kerja sama.
Karena itu, karena kini muncul lawan yang amat tangguhnya,
bahkan Suma Kiang itupun merupakan lawan yang tangguh
sekali, sebaiknya kita berpencar untuk mencari tambahan
pengetahuan masing-masing. Setahun sekali kita mengadakan
pertemuan bersama untuk memperlihatkan kemajuan masingmasing."
"Bagus!" Sam Ok tertawa genit. "Pertemuan itu sekaligus untuk menentukan siapa
yang berhak disebut Toa Ok, siapa
yang menjadi Ji Ok dan Sam Ok."
"Ha-ha-ha, Sam Ok agaknya sudah rindu sekali untuk
menjadi Toa Ok. Agak nya ilmumu Ban tok-ci kini sudah maju
pesat karena banyak darah dan sumsum anak remaja yang
kauhisap!" Sam Ok tertawa genit. "Untuk menjadi Toa Ok, aku harus
lebih dulu menjadi Ji Ok, dan setahun kemudian engkaulah
yang menjadi Sam Ok, Phoa Li Seng!"
"Ha-ha-ha, kita sama lihat saja! Dalam setahun ini, aku
juga tidak akan tinggal diam untuk memajukan ilmu
kepandaianku." kata Ji Ok.
"Sudahlah jangan bertengkar. Kita tentukan waktunya.
Setahun kemudian pada bulan dan hari seperti ini kita
mengadakan pertemuan di tepi Huang-ho, di luar kota Paotow.
Setuju?" "Setuju, dan bersiap-siaplah kalian, karena kalau aku tidak dapat menjadi Toa
Ok, setidaknya menjadi Ji Ok. Sudahi
bosan aku menjadi orang nomor tiga, ha-ha-ha!" Sambil
tertawa-tawa Sam Ok menggerakkan tubuhnya dan ia sudah
melesat cepat sekali lenyap dari situ. Diam-diam Ji Ok terkejut dan kagum. Kalau
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dia tidak berhati-hati dan memajukan
ilmunya, bukan tidak boleh jadi kedudukan Ji Ok akan direbut
wanita itu. "Ji Ok, kalau engkau hanya tenggelam dalam pelukan
kekasihmu, setahun kemudian engkau akan menjadi Sam Ok
dan kedudukanmu akan digeser oleh Ban-tok-ci! Ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, tubuh Toa Ok berkelebat lenyap
dari situ sedangkan suara tawanya masih bergema.
Ji Ok tersenyum, lalu menghela napas dan menghampiri
Chai Li. "Chai Li, bangunlah. Engkau tidak akan menghalangi kemajuanku, bahkan
engkau akan menjadi pembantuku yang
baik dan kita bersama akan mempelajari ilmu-ilmu yang lebih
tinggi daripada ilmu yang dikuasai Sam Ok, bahkan Toa Ok.
Marilah, kekasihku, kita pergi dari sini." Dia menggandeng tangan Chai Li dan
wanita itu tampak gembira, tersenyum
girang dan mereka pergi sambil bergandeng tangan seperti
dua orang kekasih yang saling mencinta.
Pegunungan Thai-san adalah sebuah pegunungan yang
luas dan memiliki banyak gunung yang puncaknya tinggi
menembus awan. Juga pegunungan itu kaya akan bukit-bukit
dan hutan-hutan. Para pemburu binatang hanya berani
berburu binatang di bukit-bukit yang tidak terlalu tinggi.
Banyak puncak yang belum pernah dikunjungi manusia karena
merupakan daerah berbahaya dan amat sukarlah untuk
mendaki puncak itu. Akan tetapi pada suatu pagi yang cerah, di sebuah diantara
puncak-puncak yang menembus awan itu, tampak sinar
bergulung-gulung dibarengi suara mendesing-desing. Kalau
orang melihat ini, dia tentu akan merasa heran sekali dan
tidak tahu sinar apa itu yang bergulung-gulung karena selain
sinar bergulung itu tidak tampak apa-apa. Sinar yang
mengeluarkan suara mendesing-desing itu berwarna kehijauan
dan ketika sinar itu menyambar-nyambar ke bawah sebatang
pohon, tampak daun-daun pohon berguguran. Bukan hanya
daun kuning, juga tampak daun hijau ikut berguguran.
Namun gerakan sinar itu makin melambat dan mulai
tampaklah kaki tangan orang diantara gulungan sinar itu,
kemudian bahkan tampak bahwa gulungan sinar kehijauan itu
adalah sebatang pedang yang dimainkan secara hebat sekali
oleh seorang anak perempuan. Anak itu masih remaja,
usianya kurang lebih tiga belas tahun. Sungguh menakjubkan
sekali betapa seorang anak berusia tiga belas tahun dapat
memainkan ilmu silat pedang sedemikian hebatnya!
Kalau orang mengetahui siapa yang memberi pelajaran
ilmu silat kepada si gadis cilik ini, tentu orang tidak merasa heran lagi
melihat bahwa ia masih begitu muda sudah
memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebat. Gurunya
adalah ayahnya sendiri dan ayahnya itu bukan lain adalah
Huang-ho Sin-liong Suma Kiang!
Bagaimana pula ini" Bagaimana Suma Kiang yang kita
ketahui hidup menyendiri itu memiliki seorang puteri"
Sebetulnya bukan anak kandmgnya sendiri dan peristiwanya
terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu.
Ketika itu, Suma Kiang sedang dalam perjalanan dari kota
raja menuju ke utara untuk mendatangi perkampungan orang
Mongol yang dikepalai Kapokai Khan, mencari keturunan
Kaisar Cheng Tung dan membunuhnya seperti ditugaskan
kepadanya oleh Pangeran Cheng Boan.
Dalan perjalanan itu, pada suatu pagi di luar sebuah dusun,
Suma Kiang melihat seorang wanita muda bersama seorang
anak perempuannya yang berusia tiga tahun sedang mandi
berdua di anak sungai yang airnya jernih.
Melihat wanita yang usianya dua puluh tahun lebih itu
mandi, hanya mengenakan pakaian dalam yang tipis, jantung
Suma Kiang bergejolak dan bangkitlah nafsu berahinya.
Wanita muda itu memang cantik dun memiliki tubuh yang
padat menggairahkan. Jilid V DIHAMPIRINYA wanita yang sedang mandi bersama
anaknya itu. Anak dan ibu tampak gembira sekali, sama sekali
tidak tahu bahwa ada seorang laki-laki datang menghampiri
mereka. "Nyonya manis, tampaknya segar dan senang sekali engkau
mandi di sini." Suma Kiang duduk di atas batu di tepi sungai dan menegur dengan
suara lembut dan pandang matanya
seolah hendak menelan bulat-bulat tubuh yang berkulit putih
kuning mulus itu. Wanita itu terkejut dan memandang ke arah suara. Ia
terbelalak lalu cepat merendam tubuhnya sampai ke leher.
"Siapa kau" Pergilah, dan jangan ganggu orang yang
sedang mandi!" tegurnya dengan alis berkerut.
Suma Kiang tertawa. "Jangan takut, manis. Keluarlah dari
air dan ke sinilah, aku ingin bicara denganmu."
"Tidak, tidak!!" Wanita itu menggeleng kepalanya dan memandang ke kanan kiri
untuk melihat kalau-kalau ada
orang yang dapat dimintai tolong. "Pergilah dan jangan
ganggu aku!" Suma Kiang mengerutkan alisnya dan sekali tubuhnya
bergerak, dia sudah menyambar anak itu dan memegangnya
dengan tangan kirinya. Anak itu terkejut dan menangis.
"Kembalikan anakku.....! Jangan ganggu anakku.....!"
Wanita itu berteriak dan karena khawatirnya, ia sampai lupa
diri dan bangkit berdiri tidak perduli betapa tubuhnya tampak
jelas membayang di balik pakaian dalam yang tipis dan basah.
"Boleh, ambil ah ke sini." kata Suma Kiang sambil
melompat dari atas batu ke tepi sungai.
Khawatir akan keadaan anaknya, wanita itu tersaruk-saruk
keluar dari sungai dan menghampiri Suma Kiang sambil
menjulurkan kedua tangannya.
"Kembalikan anakku....!"
Anak perempuan itu ketakutan dan menangis makin keras.
"Ibu....! Ibu....!"
"Sini...., berikan anakku kepadaku....!" Ibu itu mengejar.
"Baik, aku bebaskan anakmu, akan tetapi engkau harus
menuruti kehendakku," kata Suma Kiang dan ia menurunkan
anak itu ke atas tanah, melepaskan tongkat ularnya dan tibatiba saja ia sudah
menangkap lengan wanita itu, menarik dan
mendekapnya. "Tidak...., tidak...., jangan....!!" Wanita Itu meronta-ronta.
Akan tetapi apa dayanya seorang wanita seperti dia dalam
tangan seorang jagoan seperti Suma Kiang" la tidak dapat
meronta lagi dan banya dapat menangis tersedu-sedu ketika
dirinya digagahi Suma Kiang yang tidak mengenal kasihan
sedikitpun. Tangis ibu dan anak itu memecah kesunyian, dan
menarik perhatian empat orang laki-laki yang kebetulan lewat
di dekat sungai itu. "Hei, apa yang terjadi?" Empat orang itu berseru. Rada saat itu, Suma Kiang
telah selesai memperkosa wanita itu dan dia
bangkit berdiri, membereskan pakaian nya. Melihat ada empat
orang laki-laki dusun berlari mendatangi, dia menyeringai,
menyambar tongkatnya dan begitu empat orang itu tiba
dekat, dia melompat dan menyambut mereka dengan
serangan tongkat ular hitamnya.
Kasihan empat orang itu. Mereka adalah orang-orang
dusun. Bagaimana mungkin mereka dapat bertahan diserang
oleh Suma Kiang dengan tongkatnya. Merekapun mengaduh
dan roboh satu demi satu.
Tiba-tiba terdengar jeritan mengerikan dan ibu muda yang
baru saja diperkosa itu, dalam keadaan setengah telanjang
telah lari dan menubrukkan dirinya kepada batu besar.
Kepalanya beradu dengan kerasnya menghantam batu besar
dan kepala itu pecah dan ia tewas seketika!
Melihat wanita itu telah tewas dan empat orang laki-laki
itupun sudah dibunuhnya, Suma Kiang tersenyum. Dia
mendengar tangis anak itu dan dengan beringas dia memutar
tubuh laiu menghampirinya. Pandang matanya sudah bengis
sekali karena timbul niat di hatinya untuk sekalian membunuh
anak itu. Akan tetapi terjadilah keanehan. Hati Suma Kiang yang
biasanya keras seperti baja dan tidak pernah mengenal
kasihan Itu, tiba-tiba saja mencair ketika dia melihat wajah
anak yang menangis itu. Entah dari mana dan bagaimana,
timbul rasa sayang dan kasihan dalam hatinya terhadap anak
itu. Dijulurkan tangannya lalu dipondongnya anak perempuan
yang baru berusia tiga tahun itu.
"Sayang, diamlah sayang. Mari ikut dengan aku, ikut ayah
pergi." kata Suma Kiang dengan lembut. Dan sungguh aneh.
Anak itu berhenti menangis setelah dipondong oleh Suma
Kiang. Tanpa menoleh lagi kepada lima orang yang
menggeletak sebagai mayat itu, Suma Kiang lalu melompat
pergi sambil memondong anak tu. Dia tidak tahu bahwa
seorang diantara empat orang laki-laki tadi, tidak sampai
tewas oleh tongkatnya, melainkan hanya terluka parah
pundaknya dan dia pura pura mati. Laki-laki itu melihat semua
apa yang terjadi dan setelah lama Suma Kiang pergi
membawa anak perempuan itu, barulah dia bangkit,
terhuyung-huyung memasuki dusun dan minta pertolongan
waiga dusun. Sementara itu, Suma Kiang membawa anak itu sampai
amat jauh meninggalkan dusun itu. Anak ituptin tidak
menangis. "Anak baik, siapa namamu?"
"Eng Eng..... Eng Eng.....I" kata anak itu.
"Bagus" Namamu Suma Eng!" Suma Kiang tertawa
bergelak dan anak itu pun tertawa. Agaknya sikap Suma Kiang
menyenangkan hati anak yang belum tahu apa-apa ini.
Setelah tiba di sebuah dusun yang besar, Suma Kiang
menemukan seorang janda berusia empat puluhan tahun
tanpa anak. Dia menyerahkan Suma Eng kepada janda itu.
"Ibu anak ini sudah meninggal dunia dan aku sebagai
ayahnya tidak dapat memeliharanya karena aku mempunyai
tugas yang amat penting dan makan waktu lama. Kau
peliharalah anak ini dan ini uang boleh kaupakai secukupnya.
Beberapa tahun lagi mungkin, setelah tugasku selesai, aku
akan mengambil anak ini."
Janda Cia menerima tawaran Ini dengan senang hati
karena Suma Kiang memberinya uang emas yang cukup
banyak, arpun harus merawat anak itu selama bertahun
tahun, uang itu cukup, bahkan berleblhan. Setelah memesan
dengan disertai ancaman agar Bibi Cia memelihara Suma Eng
dengan baik-baik, Suma Kiang alu meninggalkan dusun itu
dan melanjutkan perjalanannya ke perkampungan Mongol di
utara. Demikianlah, selama lima tahun dia meninggalkan anak itu
untuk mengurus tugasnya untuk membunuh keturunan Kaisar
Cheng Tung di Mongol. Akan tetapi tugasnya itu ternyata
gagal, bahkan Chai Li tewas dalam jurang dan Han Lin,
puteranya itu terjatuh ke tangan Toa Ok dan Sam Ok. Setelah
Itu, dia teringat kepada Suma Eng dan dijemputnya anak itu
dari dusun. Suma Eng telah menjadi seorang anak perempuan yang
mungil berusia delapan tahun ketika Suma Kiang
menjemputnya. Oleh Bibi Cia, Suma Kiang diperkenalkan sebagai ayahnya.
Suma Eng menyambut ayahnya dengan gembira, walaupun
agak malu-malu. Akan tetapi karena Suma Kiang bersikap
ramah dan lemah-lembut kepadanya, sebentar saja hubungan
mereka menjadi akrab. Ternyata Bibi Cia tidak menyia-nyia-kan tugas yang
dipikulnya. Bukan saja ia memelihara Suma Eng dengan baik,
bahkan anak itu di kutkan belajar membaca dan menulis dari
guru di dusun itu dan ternyata Suma Eng adalah seorang anak
yang cerdik dan pintar. Dengan hati penuh kebanggaan dan kegirangan Suma
Kiang mengajak "puteri-nya" itu pergi dan membawanya tinggal di sebuah puncak
dari Pegunungan Thai-san di mana
dia menggembleng gadis cilik itu dengan ilmu silat. Suma Eng
juga menganggapnya sebagai ayah kandung dan gadis itu
ternyata amat sayang kepadanya. Hal ini mendatangkan rasa
kasih sayang yang besar sekali dalam hati Suma Kiang. Dia
mencurahkan seluruh perhatiannya untuk mengajarkan ilmu
silat kepada Suma Eng sehingga lima tahun kemudian, dalam
usia tiga belas tahun, Suma Eng telah menjadi seorang gadis
remaja yang pandai sekali dalam ilmu silat.
Selain berbakat dan pandai sekali, juga Suma Eng
menyukai pelajaran silat dan ia rajin sekali. Setiap pagi ia
berlatih seorang diri di bawah pohon besar itu dan ilmu
pedangnya telah mencapai tingkat yang lumayan tingginya.
Kalau hanya jago pedang yang biasa saja jangan harap akan
mampu menandinginya! Setelah selesai memainkan ilmu pedangnya, Suma Eng
mengaso di bawah pohon. Ia menyeka keringat yang
membasahi lehernya. Ia seorang gadis remaja yang cantik
manis. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan pada ujung
kuncirnya di kat dengan tali sutera merah.
Yang paling kuat daya tariknya adalah sepasang matanya
dan mulutnya. Sepasang matanya cemerlang dan bentuknya
indah, dengan kedua ujung agak menjungat ke atas dan
kerlingnya seperti pedang pusaka tajamnya. Hidungnya kecil
mancung dan mulutnya memiliki sepasang bibir yang selalu
merah segar. Seorang gadis remaja yang telah memiliki daya
pikat yang kuat sekali, bagaikan setangkai bunga yang sedang
berkuncup namun sudah semerbak wangi. Biarpun tubuh itu
masih kekanak-kanakan karena sedang bertumbuh, namun
sudah tampak betapa pinggang itu ramping sekali dan kulit
tubuhnya putih mulus kekuningan. Sepasang pipinya yang
jarang bertemu bedak itu selalu putih halus dan kemerahan
seperti diberi yanci (pemerah pipi).
Selagi Suma Eng duduk beristirahat setelah latihan pedang
tadi, ia tiba-tiba melihat tiga orang berjalan mendaki puncak di depan. Puncak
itu letaknya tidak berapa jauh dari puncak di
mana ia berada, maka ia dapat melihat dengan jelas tiga
orang itu. Yang berjalan di depan adalah seorang hwesio tua
berjubah kuning dan berkepala gundul, memegang sebatang
tongkat bambu. Sedangkan yang berjalan di belakang hwesio
itu adalah seorang laki-laki tinggi besar dan seorang lagi tinggi kurus. Yang
tinggi besar membawa sebatang tongkat seperti
liyung bentuknya dan yang tinggi kurus memanggul sebatang
cangkul bergagang panjang.
Peristiwa ini merupakan hal yang umat menarik hati Suma
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Eng. Selama lima tahun ia tinggal di puncak itu bersama
ayahnya, tidak pernah ada orang berani naik ke puncak di
mana ia berada maupun di puncak sebelah depan itu. Ia
berhubungan dengan orang lain hanya kalau ia turun dari
puncak ke lereng-lereng bagian bawah di mana terdapat
dusun-dusun para petani. Siapakah mereka" Ia tahu bahwa
peristiwa ini akan merupakan berita menarik bagi ayahnya.
Ayahnya pernah berkata kepadanya bahwa kalau ia melihat
ada orang naik ke puncak, agar cepat memberitahu
kepadanya. "Kita berdua sedang menyepi di sini, sedangkan engkau
sedang mempelajari Ilmu silat. Tidak boleh ada orang lain
melihat kita." Demikian kata ayahnya.
Suma Eng menyimpan kembali pedang nya di sarung
pedang yang berada dipunggungnya dan iapun berlari mendak
puncak menuju ke pondok di mana ayah nya berada.
Ketika ia tiba di pondok, ayahnya sedang duduk di depan
pondok dan tersenyum ketika memandangiya. Suma Kian
amat mencinta puterinya ini dan di selalu memandang
puterinya dengan sinar mata penuh kebanggaan dan kasih
sayang. Dia bahkan lupa bahwa Suma Rng buka anaknya, dia
menganggapnya sebagi anak kandungnya sendiri. Naluri yan
membangkitkan cinta kasih seorang ayah terhadap anaknya
telah menggerakkai hatinya dan dia sungguh mencinta gadis
itu seperti mencinta puterinya sendiri.
"Engkau sudah berlatih pedang denga baik-baik, anakku?"
"Ayah, ada berita penting sekali. Aku melihat ada tiga
orang mendaki puncak Awan Putih di depan sana."
Suma Kiang terbelalak. "Tiga orang?" Benarkah yang
kaukatakan Itu?" Otomatis Suma Kiang teringat kepada Gobi Sam sian dan
juga kepada Thian-te Sam Ok (Tiga Jahat Langit dan Bumi).
Entah yang mana dari kedua kelompok itu yang mendaki
puncak dan keduanya merupakan musuh-musuhnya.
"Bagaimana macam mereka?"
"Yang pertama berpakaian seperti seorang hwesio berjubah
kuning dan memegang sebatang tongkat. Orang kedua
bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang tombak
seperti dayung, sedangkan orang ketiga tinggi kurus dan
memanggul sebatang cangkul gagang panjang."
Suma Kiang bernapas lega. Ternyata bukan dua kelompok
yang diduganya itu. Dia tersenyum dan berkata, "Kalau begitu aku harus
mengunjungi mereka untuk menanyakan keperluan
mereka datang ke wilayah kita ini. Aku tidak mau tempat kita
diganggu orang-orang iseng." Suma Kiang bangkit berdiri.
"Ayah, aku ikut!"
Suma Kiang tersenyum memandang puterinya. Biarpun
baru berusia tiga belas tahun, anaknya ini telah memiliki ilmu kepandaian silat
yang cukup memadai untuk melindungi diri
sendiri. "Mau apa engkau ikut?" tanyanya ingin menjenguk isi hati anaknya.
"Aku ingin melihat bagaimana ayah akan mengusir mereka.
Kalau perlu aku ingin membantu!" kata Sumn Eng penuh
semangat dan ia membusungkan dadanya yang masih agak
kerempeng. Suma Kiang tertawa bergelak. Hatinya senang sekali.
Anaknya ini bukan hanya mewarisi ilmunya, akan tetapi juga
mewarisi keberaniannya. "Ha-ha-ha, boleh-boleh. Engkau
boieh ikut dan lihat betapa ayahmu mengusir tiga orang yang
mengganggu ketenangan hidup kita itu!"
Mereka berdua meninggalkan pondok dan menuruni puncak
itu untuk pergi ke puncak di depan menyusul ketiga orang
yang tadi tampak oleh Suma Eng. Perjalanan itu tidak mudah.
Pendakian yang terjal. Namun agaknya Sumo Eng telah
terlatih dengan baik karena ia dapat mendaki puncak dengan
cepat mengikuti ayahnya yang sengaja bergerak cepat untuk
menguji kepandaian anaknya. Diam-diam dia semakin bangga.
Dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan berlari
cepat anaknyapun tidak mengecewakan!
Setelah melakukan pendakian yang melelahkan itu, tibalah
mereka di puncak. ternyata puncak itu tidak kalah indahnya
dengan puncak di mana mereka tinggal. di puncak itu juga
terdapat lapangan yang rata dan di tengah-tengah lapangan
Itu tampak seorang hwesio berusia sekitar enam puluh tahun
duduk bersila di atas ratu besar. Dia tampaknya sedang
bersamadhi, meletakkan kedua tangan di atas paha yang
duduk bersila dan kedua matanya terpejam. Terdengar suara
ketuk-ini-ketukan dan ketika mereka melihat kesebelah kiri, di sana terdapat dua
orang yang sedang bekerja membuat
rangka pondok dari kayu. "Kalian tidak boleh membuat pondok di sini!" Suma Kiang berseru dan dua orang
itu berhenti bekerja. Ketika mereka
melihat Suma Kiang dan Suma Eng berdiri di situ, mereka lalu
meninggalkan pekerjaan mereka dan menghampiri Suma
Kiang dan puterinya. Seorang diantara mereka, yang bertubuh
tinggi besar, membawa sebuah dayung baja dan orang yang
tinggi kurus membawa sebatang cangku bergagang panjang.
Si pembawa dayung berpakaian seperti seorang nelayan dan 3
pembawa cangkul berpakaian sepert seorang petani.
Mereka menghampiri dan memandang kepada Suma Kiang
dengan penuh perhatian, kemudian si Nelayan berkata dengan
suaranya yang lantang. "Siapakah engkau dan ada hak apakah engkau melarang
kami mendirikan pondok di sini?" Biarpun dia berpakaian
sebaga seorang nelayan sederhana, namun kata katanya
teratur dan tegas. "Ha-ha-ha, kuberitahupun engkau tidak akan mengenal
siapa aku. Aku disebut orang Huang-ho Sin-liong din bernama
Suma Kiang. Dan siapakah kalian yang berani hendak
mendirikan pondok di sini Ketahuilah bahwa semua puncak di
Pegunungan Thai - san merupakan wilayahku dan tidak
seorangpun boleh tinggal di satu puncak tanpa seijinku!"
Suma Kiang berkata dengan garang sambil menggerakkan
tongkat ular hitamnya. "Aku she (bermarga) Gu akan tetap boleh disebut Si
Nelayan atau Nelayan Gu," jawab yang tinggi besar. "Dan ini adalah si Petani
atau Petani Lai. Kami berdua sedang
mendirikan sebuah pondok untuk suhu kami yang mulia.
Harap engkau tidak mengganggu kami."
"Ha-ha-ha, siapa yang mengganggu, lupa" Kalianlah yang
datang mengganggu ketenangan kami. Hayo cepat pergi dari
sini kalau kalian tidak ingin aku mempergunakan kekerasan
untuk mengusir kalian!"
Dua orang yang berusia kurang lebih lima puluh tahun itu
saling pandang, kemudian Petani Lai yang tinggi kurus itu
berkata dengan suaranya yang lembut. "Hemm, nama Huangho
Sin-liong sudah lama kami dengar. Kalau engkau hendak
menguasai sekitar lembah Huang-ho, hal Itu masih pantas
mengingat bahwa engkau adalah datuk lembah sungai itu.
Akan tetapi kalau engkau menganggap Thai-San ini
wilayahmu, sungguh lucu sekali. Apakah lembah sungai itu
sudah kekurangan makan maka engkau mengungsi ke
pergunungan?" Suma Kiang mengerutkan alisnya.
"Tidak perlu banyak cakap. Kalian tinggal memilih ingin
hidup atau ingin mat Kalau ingin hidup, cepat pergi dan aja
hwesio itu meninggalkan tempat ini sekarang juga!"
"Hemm, kita berada di alam terbuka bukan milik siapasiapa.
Kami tidak akan pergi dari sini!" kata Nelayan Gu,
suaranya keras dan tegas.
Tiba-tiba Suma Eng meloncat ke depan, dan ia sudah
mencabut pedangnya. Pedang itu adalah sebatang pedang
yang ampuh pemberian ayahnya, yaitu Ceng-liong kiam
(Pedang Naga Hijau) yang mengeluarkan sinar kehijauan.
Sambil menudingkan pedangnya ke arah muka Nelayan Gu ia
berkata, "Ayahku sudah menyuruh kalian pergi, mengapa
kalian tidak lekas pergi melainkan banyak membantah. Jangan
salahkan aku kalau pedangku yang bicara!"
Gadis cilik itu memandang dengan mata menantang kepada
Nelayan Gu. Melihat lagak anak perempuan itu danmendengar suaranya,
Nelayan Gu tersenyum. Dia tidak merasa heran. Kalau
ayahnya seperti Huang-ho Sin-liong, tentu anaknya berlagak
jagoan pula! "Anak yang baik, lebih baik engkau pulanglah kepada
ibumu dan belajar menyulam memainkan jarum daripada
memegang pedang. Tidak baik seorang anak perempuan
bermain pedang, salah-salah luka menggores tanganmu
sendiri!" Nelayan Gu mengeluarkan kata-kata itu sama sekali bukan untuk
mengejek, melainkan benar-benar memberi
nasihat. Akan tetapi Suma Eng menjadi marah.
"Jangan banyak cakap! Sambut permainan pedangku kalau
engkau memang rnampu!" Dan iapun menerjang dengan
pedangnya. Begitu menerjang, iapun menusukkan pedangnya
ke arah lambung Nelayan Gu dan gerakannya amat cepat dan
bertenaga. "Wutttt...... singggg.....!" Nelayan Gu terkejut juga melihat serangan yang
hebat itu. Cukup hebat serangan itu maka diapun
tidak berani memandang rendah dan cepat mengelak,
kemudian dia memutar dayungnya untuk menyambut
serangan lanjutan. Suma Eng memutar pergelangan tangannya, pedangnya
yang tadi luput menusuk membuat gerakan balik yang cepat
sekali dan kini menyambar ke arah pinggang orang dengan
bacokan yang kuat "Bagus......1" Nelayan Gu memuji dan diapun
menggetarkan dayungnya untuk menangkis sambil
mengerahkan tenaga, karena dia ingin membuat pedang itu
terlepas dari pegangan Suma Eng. Akan tetapi Suma Eng
lincah sekali. Agaknya gadis cilik inipun maklum bahwa kalau
mengadu tenaga, mungkin ia kalah kuat, maka cepat ia
menarik kembali pedangnya dan sambil melangkah maju,
pedang itu kini menusuk ke arah ulu hati lawan!
Sekali ini Nelayan Gu benar-benar terkejut. Ternyata bocah
itu telah memiliki ilmu pedang yang dahsyat dan gerakannya
juga gesit sekali. Dia memalangkan dayungnya dan sekali ini
dapat menangkis pedang. "Trangggg......!" Biarpun tangan Suma Eng terpental, namun pedang itu tidak
terlepas dari pegangannya.
Pedangpun terpental, akan tetapi cepat sekali pedang itu
meluncur lagi dan kini menyerampang kearah kedua kaki
Nelayan Gu! Begitu cepat gerakan itu sehingga yang tampak
hanya sinar kehijauan menyambar kearah kaki.
"Hebat....!" Nelayan Gu memuji dan terpaksa melompat ke atas. Pedang itu
menyambar lewat bawah kakinya. Melihat
bahwa kalau dia membiarkan dirinya maka gadis cilik itu akan
terus menyerangnya, kini Nelayan Gu lalu balas menyerang
dengan dayung bajanya. Dayung itu menyambar dahsyat dan
mendatangkan angin yang kuat. Namun, Suma Eng lebih
cepat dan iapun sudah mengelak, gerakannya bagaikan seekor
burung walet. Dayung baja itu terus menyerang bertubi-tubi
dan Suma Eng hanya mampu menghindarkan diri dengan
loncatan-loncatan ringan. Melihat puterinya terdesak dan tidak mampu membalas
serangan lawan, Suma Kiang melompat ke
depan sambil menggarukkan tongkatnya dan berseru kepada
puterinya. "Eng Eng, mundur kau!"
"Tranggg...!" Dayung baja itu bertemu dengan tongkat ular hitam yang
menangkisnya dan Nelayan Gu terhuyung ke
belakang. Demikian kuatnya tongkat itu menangkis
dayungnya. Ketika melawan Suma Eng tadi, jelas bahwa Nelayan Gu
banyak mengalah dan tidak berniat mencelakai atau melukai
gadis cilik itu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia
bukan seorang yang berwatak kejam dan tidak berniat melukai
seorang anak-anak. Serangannya tadi seperti gertakan saja.
Akan tetapi Suma Kiang tidak mau tahu akan kenyataan ini.
Begitu dia maju dia mulai menyerang dengan tongkat ular
hitamnya dan serangannya dahsyat sekali. Nelayan Gu
maklum bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka
diapun memutar dayung bajanya dengan hati hati melindungi
diri sendiri. "Mampuslah!" bentak Suma Kiang dan tongkat ular
hitamnya menyambar dari atas ke bawah memukul ke arah
kepala Nelayan Gu. Orang yang diserang ini memegangi
dayungnya dengan kedua tangan dan memalangkannya di
atas kepala untuk menangkis.
"Tranggg.....!" Nelayan Gu harus mengerahkan seluruh tenaganya karena tongkat
ular hitam itu menghantamnya
dengan tenaga yang dahsyat. Setelah berhasil menangkis
tongkat, dayung itu diputar turun kini sebelah ujungnya
menyambar ke arah iga kiri Suma Kiang. Namun, datuk sesat
ini sudah memutar tongkatnya lagi menyambut.
Terdengar suara tang-tung tang-tung- berapa kali ketika
tongkat bertemu dayung dan akibatnya, Nelayan Gu
terhuyung mundur. Ternyata dalam hal tenaga lakti, Nelayan
Gu masih kalah kuat setingkat dibandingkan lawannya. Akan
tetapi, dengan seluruh tenaga yang dimilikinya, dia
mengadakan perlawanan dengan gigih sehingga terjadilah
perkelahian yang amat seru.
Biarpun dia menang dalam hal tenaga sin kang, namun
ilmu tongkat dayung Nelayan Gu sungguh hebat sehingga
Suma Kiang mengalami kesukaran untuk merobohkan lawan
ini. Diam-diam dia terkejut. Kalau orang yang memegang
cangkul dan disebut Petani Lai itu maju mengeroyoknya, tentu
dia menjadi repot. Apalagi kalau hwesio itu yang maju pula
mengeroyok, mungkin akan sukar baginya untuk menang.
Oleh karena itu, dia berseru nyaring dan tongkatnya kini
menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Ternyata dia telah
mainkan Ciu-sian-tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa Arak) yang
kalau dimainkan, yang memainkannya seperti orang mabok,
akan tetapi gerakan tongkat itu sukar di kuti lawan.
"BukkkM" Karena bingung melihat perubahan ilmu tongkat lawan, akhirnya punggung
Nelayan Gu terkena hantaman
tongkat. Dia terhuyung dan melompat ke belakang. Namun
tongkat itu mengejarnya dan menyambar ke aral kepalanya.
"Trakkk!" Cangkul bergagang panjang itu menangkis dan selamatlah Nelayan Gu. Dia
melompat ke pinggir dan kini
Petani Lai yang bertanding hebat melawan Suma Kiang.
Melihat betapa Petani Lai melawan Suma Kiang seorang
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diri, dan Nelayan Gu tidak ikut mengeroyok, dapat pula
diketahui watak gagah kedua orang itu Mereka tidak mau
main keroyok walaupun lawan amat tangguhnya. Ini
menunjukkan watak pendekar.
Petani Lai juga amat lihai memainkan cangkul gagang
panjangnya. Namun, setelah lewat lima puluh jurus dalam
perkelahian yang seru, akhirnya harus mengakui keunggulan
lawan. Dalam pertemui antara dua senjata mereka, gagang
cangkul itu patah dan terpaksa Petani Lui. harus melompat ke
belakang karena keadaannya berbahaya sekali. Akan tetapi
Suma Kiang yang merasa penasaran karena belum dapat
merobohkan seorang diantara mereka, melompat dan
mengejar dengan pukulan tongkatnya yang menyambar ke
arah punggung Petani Lai dengan totokan maut. Kalau ujung
tongkat itu mengenai punggung, maka Petani Lai akan
tertotok tewas! Demikian kejamnya hati Suma Kiang.
"Wuuuuttt..... plakk!" Suma Kiang terpental ke belakang dan dia terpaksa membuat
pok-sai (jungkir balik) di udara
sampai tiga kali barulah dia dapat turun ke atas tanah dengan
baik. Dia terkejut Bukan main karena tadi hanya melihat
bayangan kuning berkelebat menangkis tongkatnya. Kiranya
hwesio berkepala gundul berjubah kuning itu kini telah berdiri di depannya
sambil merangkap kedua tangan di depan dada.
"Omitohud.....! Hwesio itu berdoa.
"Mengapa begitu kejam untuk membunuh lawan yang
sudah kalah" Sicu (tuan yang gagah), membunuh merupakan
dosa yang amat besar!"
Suma Kiang mengerutkan alisnya. "Hwesioo , siapakah
nama julukanmu?" Dia bertanya secara tidak menghormat sama sekali.
"Orang menyebut pinceng (saya) Cheng Hian Hwesio."
jawab hwesio itu dengan sikap tetap sopan.
"Kenapa tidak kembali saja ke kuilmu dan berkeliaran di
sini?" "Omitohud! Pinceng tidak mempunyai tempat tinggal yang
tetap, tidak mempunyai kuil. Kuil pinceng adalah tubuh ini dan tempat tinggal
pinceng adalah alam ini, atapnya langit dan
dindingnya gunung-gunung."
"Pergilah dari sini, hwesio, karena di sini merupakan
wilayahku. Jangan ganggu ketenangan hidupku di sini.
Pergilah!" "Omitohud! Tidak ada manusia yang memiliki gununggunung.
Melihat tempat ini tidak dihuni orang maka pinceng
menetapkan untuk tinggal di sjni. Pinceng dan dua orang
murid tidak mengganggu siapa-siapa. Sebaliknya, siculah yang
mengganggu kami yang sedang membuat pondok."
"Hwesio, kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa aku akan
menggunakan kekerasan!" bentak Suma Kiang sambil
menggerakkan tongkat ulat hitamnya.
"Omitohud, yang menggunakan kekerasan akan menjadi
korban kekerasan itu sendiri." kata hwesio itu sambil
merangkapkan kedua tangan di depan dada.
"Mampuslah!" bentak Suma Kiang dan dia langsung saja menerjang maju,
menggerakkan tongkatnya untuk menusuk
ke arah ulu hati hwesio itu.
Hwesio yang mengaku bernama Cheng Hian Hwesio itu
tidak mengelak, melainkan membuka kedua tangan yang
dirangkap di depan dada dan menyambut ujung tongkat itu
yang segera terjepit oleh kedua tangannya. Suma Kiang
terkejut dan mencoba untuk menarik tongkatnya, namun tidak
dapat tongkat itu ditarik, seolah-olah telah melekat pada
kedua telapak tangan itu. Suma Kiang mengerahkan seluruh
sin-kangnya untuk melepaskan tongkatnya, namun tetap saja
dia tidak mampu. Selagi dia bersitegang hendak melepaskan
tongkatnya, tiba-tiba Cheng Hian Hwesio melepaskan tongkat
itu sambil mendorong dan tubuh Suma Kiang terdorong ke
belakang sampai terhuyung-huyung!
Suma Kiang bukan hanya terkejut, akan tetapi juga marah
sekali. Dia masih belum dapat menerima kenyataan dan tidak
mau percaya bahwa ada orang mampu mengalahkannya
dalam segebrakan saja! Ditancapkannya tongkatnya di atas
tanah dan sekali kedua tangannya bergerak ke punggung dia
telah mencabut sepasang pedangnya. Tampak dua sinar hitam
menyambar ketika dia mencabut Tok-coa Siang kian
(Sepasang Pedang Racun Ular) yang ampuh itu.
"Omitohud, pinceng tidak ingin berkelahi, Suma sicu!"
Hwesio itu berseru. Akan tetapi sia-sia saja ucapannya in
karena Suma Kiang sudah bergerak maju, sepasang
pedangnya diputar cepat dan dia sudah menyerang dengan
dahsyat sekali. Sepasang pedang itu menyambar dari arah
yang berlawanan, yang kanan menyambar ke arah leher dan
yang kiri menyambar ke arah pinggang. Suatu serangan
berganda yang amat berbahaya karena pedang itu selain
tajam dan kuat, juga mengandung racun yang kalau
menggores kulit lawan, dapat mematikan seketika!
"Omitohud......!" Cheng Hian Hwesi o berkata lagi dan dia menggerakkan tubuhnya
mengelak sambil mengebutkan
kedua ujung lengan bajunya untuk menangkis sepasang
pedang itu. Suma Kiang merasa betapa kuatnya ujung lengan baju itu
membentur pedangnya sehingga kedua tangannya tergetar
hebat, akan tetapi datuk yang keras kepala dan selalu
memandang rendah orang lain ini terus menyerang dengan
hebatnya, mengirim serangan - serangan hebat.
Cheng Hian Hwesio bergerak mengelak yang tampaknya
lambat, namun semua serangan itu dapat dielakkan dan yang
tidak terelakkan dia tangkis dengan ujung lengan baju.
Betapapun saktinya Cheng Hian Hwesio, kalau dia hanya
mengelak dan menangkis saja dan membiarkan Suma Kiang
terus menghujaninya dengan erangan, akhirnya dia terdesak
juga. "Omitohud.....! Terpaksa pinceng melawan!" Setelah
berkata demikian, tubuhnya bergerak lebih cepat dan kedua
ujung bajunya juga menyambar-nyambar dengan tmat
cepatnya. Belum sampai tiga puluh jurus kakek ini bergerak
cepat, tiba-tiba saja sepasang lengan bajunya telah menotok
secara istimewa sekali dan menyentuh kedua pundak Suma
Kiang. Seketika Suma Kiang tidak mampu menggerakkan
tubuhnya dan berdiri seperti patung!
"Sudah cukup, Suma sicu!" kata Cheng Hian Hwesio dan secepat kilat jari
tangannya bergerak dua kali ke arah pundak
Suma Kiang dan datuk Lembah Sunga Huang-ho ini sudah
mampu bergerak kembali! Akan tetapi dasar orang jahat yang berkepala batu, begitu
dapat bergerak dia sudah menubruk ke depan dan menyerang
dengan sepasang pedangnya Serangan itu tiba-tiba datangnya
dan amat cepat. Akan tetapi tiba-tiba dia kehilangan kakek itu.
Ternyata, dalam keadaan gawat itu Cheng Hian Hwesio sudah
mencelat ke atas dan kini tubuhnya turun dengan jungkir
balik, tangan kanannya lurus dengan jari telunjuk menyerang
ke bawah. Suma Kiang coba menghindar, namun serangan dengan
satu jari itu bukan main hebatnya. Hawa serangan itu saja
sudah membuat Suma Kiang tertegun dan sebelum dia
sempat mengelak, jari telunjuk kakek itu sudah menyentuh
pundak kirinya dan seketika tubuhnya menjadi lemas dan dia
terkulai roboh! Masih untung baginya bahwa kakek itu
menotok pundaknya, kalau jari itu menyentuh ubun-ubun
kepalanya, tentu dia akan tewas seketika. Dia tidak tahu
bahwa itulah ilmu totok It-yang-ci (Totok Satu Jari) yang amat ampuh dari Siauw-
lim-pai! "Omitohud, pinceng harap engkau tidak akan
menggunakan kekerasan lagi, Suma sicu!" kata Cheng Hian
Hwesio setelah dia turun ke atas tanah.
"Berani engkau membunuh ayahku!" Tiba-tiba Suma Eng
berseru dan ia menerjang maju menyerang Cheng Hian
Hwesio dengan pedang Ceng-liong-kiam yang bersinar hijau.
Cheng Hian Hwesio menyambut serangan ini dengan
menyentil pedang itu menggunakan jari tangannya.
"Tringgg.....!" Tubuh Suma Eng terbawa pedang itu
terputar-putar mundur! "Omitohud, ayahmu tidak mati, anak yang u-hauw
(berbakti)!" kata Cheng Hian Hwesio dan sekali tangannya
bergerak menotok, Suma Kiang dapat bergerak kembali. Sekali
ini, biarpun hatinya masih penuh dengan penasaran dan
marah, Suma Kiang maklum bahwa dia berhadapan dengan
seorang yang sakti dan memiliki kepandaian jauh lebih tinggi
daripada kepandaiannya. Maka diapun lalu menyimpan
sepasang pedangnya di punggung, mencabut tongkat ular
hitamnya dan menggandeng tangan Suma Eng sambil
berkata, suaranya penuh dengan kekecewaan dan
kemurungan. "Mari kita pergi dari sini, Eng Eng!"
Suma Eng mengerutkan alisnya dan ia merasa penasaran
dan kecewa sekali! Ayahnya yang dianggapnya orang paling
jagoan di dunia ini, sama sekali tidak berdaya melawan
seorang hwesio tua yang lemah! Hampir ia tidak dapat
percaya kalau tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri!
Setelah mulai mendaki puncak mereka sendiri, Suma Eng
tidak tahan lagi untuk berdiam diri. "Ayah, kenapa ayah kalah oleh hwesio tua
yang lemah itu?" Suma Kiang menghela napas panjangi sebelum menjawab.
"Eng Eng, engkau tidak tahu. Hwesio itu sama sekali tidak lemah. Dia adalah
seorang sakti yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi sekali. Dua orang muridnya itupun lihai,
akan tetapi dibandingkan guru mereka, sangat jauh selisihnya.
Sama sekali aku tidak pernah mimpi akan bertemu dengan
serang yang demikian lihainya. Ini berarti kita tidak dapat
lebih lama tinggal di tempat ini, Eng Eng."
"Akan tetapi kenapa, ayah?"
"Orang telah mengalahkan aku dan tinggal di puncak
sebelah, bagaimana mungkin aku lebih lama tinggal di sini"
Tentu dia akan datang menggangguku. Pula, melihat ada
orang yang lebih lihai dariku, engkau harus mendapat
pendidikan dari seorang sakti, karena itu engkau akan kubawa
menghadap supek-ku (uwa guruku) yang bertapa di puncak
Cin-ling-an." Mendengar ini wajah yang manis itu menjadi berseri. "Ah,
apakah kepandaian supek-kong (kakek uwa guru) itu hebat
sekali, ayah" Bagaimana kalau dibandingkan dengan hwesio
tadi?" "Kalau bertanding melawan supek, Hwesio tadi pasti kalah.
Di dunia ini tidak ada orang yang mampu menandingi
kesaktian supek!" Suma Kiang menyombong dan puterinya
tersenyum puas. "Kalau begitu aku ingin sekali belajar ilmu silat darinya."
Setelah tiba di pondok mereka di puncak, mereka berkemas
dan hari itu juga mereka berangkat meninggalkan Thai-san.
Melihat Suma Kiang dan Suma Eng sudah pergi jauh turun
dari puncak Awan Putih, Nelayan Cu dan Petani Lai lalu
menghadap Cheng Hian Hwesio dan mereka menjatuhkan diri
berlutut di depan hwesio itu yang masih berdiri tegak
memandang ke arah perginya Suma Kiang.
"Mohon paduka memberi ampun kepada hamba berdua
yang tidak mampu mengusir datuk sesat itu." kata Nelayan Gu dengan sikap hormat
sekali. "Sudahlah, jangan pikirkan itu. Dia memang lihai sekali,
dan kalian hentikan sikap kalian ini. Ingat, telah puluhan tahun aku menjadi
Cheng Hian Hwesio yang juga menjadi guru
kalian. Pinceng lebih suka disebut suhu daripada sebutan
muluk lainnya. Ingatlah, hanya orang bodoh yang suka
berenang di lautan masa lalu. Masa lalu sudah lewat, sudah
mati, saat inilah yang penting. Karena itu, rubahlah sikapmu
agar jangan sampai orang lain mengetahui masa lalu
pinceng." "Harap suhu sudi memaafkan kami." kata kedua orang itu hampir berbareng.
"Sekarang lanjutkanlah membuat pondok untuk kita."
Hwesio itu kembali duduk di atas batu besar dan melanjutkan
samadhinya yang tadi terganggu dan dua orang pembantunya
itupun melanjutkan pekerjaan mereka membuat pondok
bambu yang sederhana. Siapakah hwesio yang sakti itu" Dan mengapa kedua orang
murrdnya itu bersikap seolah berhadapan dengan seorang
yang tinggi kedudukannya"
Hwesio yang mengaku bernama Cheng Hian Hwesio itu
bukan lain adalah Kaisar Hui Ti yang telah dinyatakan hilang
ketika kota raja Nan-king diserbu oleh pamannya, yaitu
Pangeran Yen yang kemudian menjadi Kaisar Yung Lo. Dia
melarikan diri dan dinyatakan hilang tak tentu rimbanya.
Peristiwa itu terjadi kurang lebih empat puluh tahun yang
lalu. Ketika itu pendiri Kerajaan Beng, Kaisar Hong Bi atau
lebih terkenal dengan nama Goan Ciang, meninggal dunia.
Karena puteranya telah lebih dulu meninggal dunia karena
sakit, maka yang menggantikan menjadi kaisar adalah
cucunya yang bernama Hui Ti. Kaisar Hui Ti memerintah
dalam usia muda, baru kurang lebih dua puluh tahun. Hal ini
mendatangkan kemarahan kepada Pangeran Yen, putera Cu
Goan Ciang yang lain dan yang menjadi panglima besar
berkedudukan di Peking. Pangeran Yen menganggap bahwa
setelah kakaknya meninggal dunia, sudah sepatutnya kalau
dia yang menggantikan menjadi kaisar, bukan keponakannya,
Hui Ti. Karena kemarahan ini dia lalu menggerakkan
pasukannya, dari Peking menyerbu ke selatan. Dalam perang
saudara ini pasukan Nan-king kalah dan pasukan Pangeran
Yen menyerbu ke istana. Istana Kaisar Hui Ti terbakar
sehingga ketika orang tidak menemukan Kaisar Hui Ti,
dikabarkan bahwa kaisar muda Itu mati terbakar di dalamistana.
Padahal, sebetulnya Kaisar Hui Ti yang muda itu tidak mati
terbakar dalam istananya, melainkan berhasil lolos bersama
para pengawalnya yang setia. Kaisar Hui Ti menggunduli
kepalanya dan menyamar sebagai seorang hwesio perantau
dan melakukan perjalanan di seluruh Tiongkok. Akhirnya dia
benar-benar menjadi hwesio yang mendalami pelajaran
agama. Bahkan dia bertemu dengan serang hwesio perantau
yang sakti, kemudian mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi dari
hwesio itu. Setelah dia menjadi tua, yang mengikutinya hanya tinggal
dua orang yang sejak muda menjadi pengawalnya dan juga
menjadi sahabat-sahabatnya. Dua orang pengawal itupun
memiliki ilmu alat yang tinggi dan akhirnya belajar dari Cheng Hian Hwesio yang
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
telah menjadi seorang hwesio sakti. Mereka
menyamar sebagai seorang nelayan dan seorang petani,
kemudian disebut Nelayan Gu dan Petani Lai.
Demikianlah mengapa dua orang itu bersikap seperti itu,
menghormati Cheng Hian Hwesio sebagai seorang kaisar!
Mereka tidak pernah melupakan bahwa hwesio itu adalah
Kaisar Hui Ti. Kini dalam hati Cheng Hian Hwesio sudah bersih
dari pamrih untuk kembali ke kota raja. Biarpun Kaisar Yung
Lo sudah lama meninggal dunia dan dia tidak dikejar-kejar
lagi, namun dia memilih menjadi hwesio yang hidup tenang
dan penuh damai, mengajarkan keagamaan kepada para
hwesio muda di kuil-kuil dan memilih tempat-tempat indah
dan sunyi di puncak gunung gunung.
Ketika melihat puncak Awan Putih d Thai-san, dia merasa
suka sekali dan mengambil keputusan untuk membuat pondok
di situ dan untuk sebentar" menikmati keindahan alam yang
berada di tempat itu. Sama sekali tidak pernah tersangka oleh
Cheng Hian Hwesio bahwa di tempat itu dia akan diganggu
oleh, Huang-ho Sin-liong Suma Kiang. Akan tetapi dia telah
berhasil membuat datuk sesat itu menjadi jerih dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi.
Sebulan kemudian, pondok yang dibuat oleh dua orang
pengawal itu telah rampung. Sebuah pondok yang cukup
besar dan kokoh walaupun bentuknya sederhana.
Cheng Hian Hwesio sudah duduk di atas batu besar depan
rumah, dan dua orang pembantunya duduk di atas batu-batu
yang lebih kecil, di kanan kiri hwesio itu. Mereka tidak bicara, namun mereka
bertiga sadar sepenuhnya dan waspada akan
keadaan sekeliling mereka. Betapa indahnya saat itu tidak
dapat mereka gambarkan. Mereka merasa seolah-olah berada
di alam lain. Awan putih seperti domba berarak di atas, ber
gerak perlahan seperti sekumpulan domba yang taat dan jinak
digembala oleh Sang Gembala yang tidak nampak. Sinar
matahari pagi menembus awan-awan putih yang tipis,
mendatangkan kehangatan di permukaan puncak Awan Putih,
mengusir kabut yang masih enggan meninggalkan tanah,
memaksa kabut membubung ke atas bercampur dengan
awan. Permukaan puncak tampak terang dan segala yang
berada di situ mulai hidup menyambut cahaya matahari
pemberi kehidupan Burung-burung berkicau riang menyambut
sinar matahari pagi, siap untuk mulai dengan pekerjaan
mereka sehari-har mencari makan. Kuncup-kuncup bunga
mulai mekar tersentuh kehangatan matahari dan ujung-ujung
daun pohon masih menahan embun yang bergantungan
bagaikan mutiara. Angin pagi yang sejuk segar bersilir ringan, dan tiga orang
itu seperti tenggelam dalam keadaan itu.
Mereka merasa menjadi bagian dari keheninga dan keindahan
itu. Kebesaran dan Kekuasaan Tuhan terasa sekali dalam
keadaan seperti itu dan hidup merupakan kebahagiaan,
terlepas dari kesenangan dan kesusahan. Alam menjadi satu
dengan kita, dan perasaan si-aku yang membuat kita hidup
terpisah dari segala sesuatu, juga terikat dengan segala
sesuatu, tidak terasa lagi pada saat itu. Memandang awan
berarak di atas, memandang rumput-rumput hijau segar,
bunga-bunga aneka warna yang indah, daun-daun pohon
yang dihias mutiara embun, sudah merupakan kebahagiaan
tersendiri. Bahkan menghirup udara yang bersih sejuk
memenuhi rongga dada dan perut merupakan kebahagiaan
tersendiri pula. Nafsu-nafsu yang biasanya meliar, dalam keadaan seperti
itu menjadi jinak, tidak mengejar-ngejar, tidak menguasai diri, tidak
merajalela. Nafsu yang biasanya meniadakan
kebahagiaan, karena nafsu hanya mengejar kesenangan,
selalu ingin mendapatkan yang lebih daripada apa adanya.
Akan tetapi kita tidak mungkin hidup tanpa nafsu karena nafsu
yang membuat kita mencukupi semua kebutuhan hidup. Akan
tetapi kalau nafsu menguasai kita, nafsu pula yang menyeret
kita ke dalam duka dan perbuatan dosa.
"Suhu, mengapa hanya dalam keadaan seperti sekarang ini
saja teecu (murid) merasakan suatu keadaan yang amat
hahagia" Mengapa perasaan seperti ini tidak dapat terus
tinggal di dalam hati tecu?" tanya Petani Lai kepada hweaio itu.
Cheng Hian Hwesio tersenyum. "Omitohud! Segala macam
perasaan yang meniadakan kebahagiaan adalah kalau hati
akal pikiran mulai bekerja. Hati aku pikiran kita sudah
bergelimang nafsu karena itu begitu hati akal pikiran mulai
bekerja, yang dicarinya hanya kesenangan. Pikiran mulai
membanding-bandingkan antara senang dan tidak senang,
antara indah dan buruk dan selalu merindukan yang baik-baik,
yang Indah-indah, yang menyenangkan saja. Sebaliknya,
dalam keadaan seperti yang kau katakan itu, hati akal pikiran
tidak bekerja dan apa pun yang ada diterima dengan apa ada
nya dan sewajarnya, tanpa baik buruk tanpa menyenangkan
atau menyusahkan dan itulah menimbulkan kebahagiaan
sejati." "Kalau begitu, suhu. Apakah kita tidak boleh
mempergunakan hati akal pikiran dan menyerahkan segala
sesuatu, kepada keadaan saja, menerima sebulatnya?" tanya Nelayan Gu.
"Omitohud, sama sekali tidak demikian. Sejak lahir kita
sudah disertai akal pikiran, sudah disertai nafsu, akan tetapi semua peserta ini
harus menjadi alat, jangan sampai
memperalat kita. Kita berkewajiban untuk mempergunakan
hati akal pikiran dan nafsu, demi kelangsungan hidup kita.
Kalau matahari bersinar terlampau terik, kita dapat berusaha
untuk mencari tempat teduh, sebaliknya kalau hawa udara
terlampau dingin, kita wajib berusaha untuk mencari
kehangatan melawan dingin. Akan tetapi kita harus menerima
segala sesuatu seperti apa adanya dan bertindak sesuai
dengan ke-adaan itu, tanpa mengeluh, tanpa merasa berduka,
tanpa dipengaruhi untung rugi dan baik buruk. Itulah yang
dinamakan hidup sesuai dengan kodrat alam."
"Akan tetapi, suhu. Kalau yang mendatangkan duka itu
nafsu adanya, mengapa kita tidak mematikan nafsu itu saja
agar terbebas daripada duka?"
"Omitohud! Tidak mungkin manusia mematikan nafsunya,
karena mematikan nafsu berarti mematikan dirinya. Yang
mungkin adalah mengendalikan nafsu se-hingga nafsu-nafsu
kita menjadi seperti beberapa ekor kuda yang jinak dan taat
agar dapat menarik kereta kita dengan benar. Kereta itu
di baratkan kehidupan kita. Kalau kita dapat mengendalika
nafsu, maka nafsu akan menjadi seperti kuda yang jinak dan
penurut, sebaliknya kalau kita tidak mampu mengendalikan
nafsu, maka nafsu akan menjadi kuda kuda liar dan akan
membawa kabur kereta dengan kemungkinan masuk ke
jurang dan menghancurkan kereta itu."
"Akan tetapi bagaimana caranya mengendalikan nafsu yang
sudah menggelimangi hati akal pikiran kita, suhu?" tanya pula Petani Lai.
"Dengan menyerahkan diri kepada Yang Maha Kuasa,
seikhlas-ikhlasnya mohon bimbingan dari Yang Maha Kuasa
agar kita dapat terbebas dari pengaruh nafsu dan mampu
mengendalikannya. Namun hal ini tidaklah mudah, perlu
latihan terus menerus selama hidup kita."
"Akan tetapi, suhu....." Petani Lai hendak bertanya lagi, akan tetapi Chen Hian
Hwesio mengangkat tangan kirinya, ke
atas dan berkata lembut, "Sudahlah,jangan bicara lagi.
Tengoklah ke sekelilingmu, buka mata batinmu dan
pandanglah mata pelajaran tentang hidup yang diberikan
alam. Pelajaran rahasia yang tidak dapat diterima hati akal
pikiran, karena kalau sudah diterima pikiran tentu
diselewengkan, melainkan terimalah dengan hati dan
sanubarimu. Kalau sudah begitu, segala macam pembicaraan
tidak ada gunanya lapi. Sekarang, sambutlah datangnya tamu
yang mendaki puncak. Tidak ada kebahagiaan yang lebih
mendalam laripada menerima seorang sahabat dari jauh yang
sudah lama tidak bertemu."
Dua orang murid itu mengangkat muka memandang ke
bawah puncak dan mereka kini melihat pula dua orang yang
sedang mendaki puncak itu. Seorang kakek bertubuh pendek
katai dengan rambut, sampai di pinggang dan jenggot sampai
ke dada, bersama seorang pemuda remaja berusia sekitar lima
belas tahun. Pemuda itu bertubuh tinggi tegap dan berwajah
tampan dan anggur, pandang matanya mencorong seperti
mata seekor naga! Dua orang bekas pengawal itu lalu bangkit
berdiri dan cepat menyambut kakek pendek dan pemuda
remaja itu. Keduanya tidak menghendaki kalau ada orang
mengganggu ketenteraman guru dan junjungan mereka. Dan
biarpun Cheng Hian Hwesio tadi mengatakan kedatangan
sahabat, akan tetapi mereka tahu bahwa guru mereka itu
menganggap semua orang sahabat. Mereka sendiri harus
berhati-hati. Siapa tahu kakek yang datang itu seorang jahat
seperti halnya Huang-ho Sin-liong Suma Kiang!
Akan tetapi melihat kakek itu sudah tua, tidak kurang dari
tujuh puluh tahun usianya, Nelayan Gu dan petani Lai segera
mengangkat kedua tangan depan dada.
"Selamat datang di Puncak Awan Putih, locianpwe (orang
tua yang gagah). Siapakah locianpwe dan ada keperluan
apakah locianpwe mendatangi tempat kami ini?"
Kakek itu bukan lain adalah Bu-beng Lo-jin (Orang Tua
Tanpa Nama). Dan anak remaja itu adalah Han Lin. Seperti
kita ketahui, ketika Bu-beng Lo-jin berhasil mengusir Toa Ok
dan Sam Ok dan menolong Han Lin, kakek itu membawa Han
Lin kepada Gobi Sam-sian, tiga orang murid keponakannya itu.
Dia minta agar Gobi Sam-sian menggembleng Han Lin selama
lima tahun. Baru setelah lewat lima tahun, tiga orang tokoh itu diminta
mengantarkan Han Lin kepadanya di puncak Thai-san.
Baru beberapa hari yang lalu, Gobi Sam-sian mengantarkan
Han Lin kepada supek mereka. di sebuah diantara puncakpuncak
di Thai-san. Setelah menyerahkan Han Lin yang telah
mereka gembleng selama lima tahun itu kepada Bu-beng Lojin,
Gobi Sam-sian lalu meninggalkan Han Lin dan supek
mereka. Han Lin kini telah menjadi seorang pemuda berusia lima
belas tahun yang gagah. Dia telah menguasai ilmu-ilmu yang
diajarkan ketiga orang gurunya. bukan hanya ilmu silat tinggi
yang dipelajarinya dari Gobi Sam-sian, melainkan juga ilmu
sastera dan filsafat. Dia telah menjadi seorang pemuda remaja
yang pendiam, cerdik dan pandai membawa diri.
Setelah Gobi Sam-sian meninggalkan puncak di mana Bubeng
Lo-jin bertapa, kakek ini lalu berkata kepada Han Lin
"Han Lin, sebelum aku mulai dengan mengajarkan ilmu
kepadamu, terlebih dulu aku akan membawamu menghadap
seorang sahabat baikku yang baru saja datang di Puncak
Awan Putih dan agaknya hendak menetap di sana. Engkau
perlu kuperkenalkan karena dari orang itu engkau akan dapat
mempelajari berbagai ilmu kesaktian yang tinggi."
Demikianlah, pada keesokan harinya!
Han Lin berkunjung ke puncak di sebelah yaitu Puncak
Awan Putih yang menjadi tempat tinggal Cheng Hian Hwesio.
Dalam perjalanan yang sukar ini, diapun menguji ilmu
meringankan tubuh dari pemuda itu dan melihat bahwa apa
yang diajarkan ketiga Gobi Sam-sian ternyata tidak
mengecewakan. Ketika Nelayan Gu menyambutnya dengan pertanyaan
siapa dia dan ada keperluan apa datang ke tempat itu, Bu
Beng Lo-jin memandang kepada dua orang Itu dan tertawa.
"Ha-ha-ha, kalian berpakaian sebagai Nelayan dan petani,
memegang dayung dan cangkul, akan tetapi sikap kalian
seperti pengawal-pengawal yang setia kepada junjungannya!
Aku adalah Kakek tanpa Nama dan aku datang hendak
bertemu dengan sahabat baikku, Cheng hian Hwesio."
Nelayan Gu dan Petani Lai saling pandang dan
mengerutkan alisnya. Mereka merasa belum pernah bertemu
dengan kakek ini, akan tetapi kakek ini telah pagi-pagi sekali Bu-beng Lo-jin
mengejek dan menyindir mereka sebagai
pengawal-pengawal! "Suhu sedang beristirahat dan tidak mau diganggu.
Katakan dulu apa keperluanmu sebelum menghadap suhu."
kata Nelayan Gu. "Ha-ha, aku tidak mempunyai keperluan apapun. Akan
tetapi melihat Cheng Hian Hwesio memilih tempat tinggal di
puncak Awan Putih, tidak dapat tidak ku harus
mengunjunginya." "Bagaimana kalau kami berdua melarangmu?" tanya pula Nelayan Gu mencoba dan
hendak melihat bagaimana sikap
tamu aneh ini. Bu-beng Lo-jin tersenyum. "Ji-Ciangkun (Panglima Berdua), aku tahu benar siapa
kalian dan aku tahu pula siapa junjungan
kalian. Bukankah kenyataan ini sudah merupakan tanda
persahabatan yang akrab" Apakah kalian masih tidak percaya
kepadaku?" Terdengar suara dari atas puncak "Nelayan Gu dan Petani
Lai, harap jangan memakai banyak peraturan dan persilahkan
sahabat pinceng itu naik ke sini!"
Dua orang murid itu menjawab, "Baik suhu. Silakan,
locianpwe." "Mari, Han Lin, kita temui orang yang paling aneh dan
paling baik di dunia ini." ajak si kakek katai itu dan Han Lin berjalan di
belakangnya dengan sikap hormat.
Bu-beng Lo-jin melangkah cepat menghampiri batu besar di
mana Cheng Hian Hwesio sudah duduk menanti sambil
tersenyum lebar. "Sobat, bagaimana engkau tahu bahwa pinceng berada di
sini?" tanya Cheng Hian Hwesio sambil tersenyum dan
kemudian sepasang matanya yang lembut memandang ke
arah Han Lin dan mata itu mengeluarkan sinar kagum.
"Heh-heh, sudah hampir lima tahun aku tinggal di puncak
sebelah selat itu. Tentu saja aku tahu semua yang terjadi di
Puncak Awan Putih. Termasuk ketika engkau mengusir Huangho
Sin liong Suma Kiang dari sini." kata Bu beng Lo-jin sambil tertawa.
"Omitohud! Pinceng sama sekali tidak mengusirnya."
bantah Cheng Hian Hwesio.
"Aku tahu! Seorang suci seperti engkau yang membunuh
seekor semut pun tidak mau, bagaimana tega hati untuk
mengusir seorang manusia walaupun manusia itu sejahat
Suma Kiang" Akan tetapi dia telah pergi sendiri dari puncak
yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Puterinya itu
seorang vang memiliki bakat baik sekali, sayang seorang yang
seperti itu dididik seorang datuk macam Suma Kiang."
"Omitohud, hal itu tidak bergantung kepada pendidikan
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seseorang, melainkan atas karma anak itu sendiri. Mudah
mudahan saja ia berkarma baik dan tidak akan mewarisi
watak yang jahat dari pendidiknya."
"Ha-ha-ha, selamanya engkau berpengharapan baik, Cheng
Hian Hwesio." "Tentu saja. Tanpa harapan-harapan haik dalam
kehidupan, lalu apa isinya" Tidak mungkin hanya di si dengan
keluh kesah belaka. Akan tetapi siapakah anak yang datang
bersamamu, Lo-jin?" Bu-beng Lo-jin menoleh kepada Han lin dan berkata, "Dia
adalah muridku." "Bagus, pinceng ikut gembira melihat engkau memiliki
seorang murid yang baik, Lo-jin."
"Aku membawanya menghadapmu agar engkau sudi
menjulurkan tangan menolongnya dengan membimbingnya
dan mengajarnya satu dua macam ilmu yang kau kuasai,
Cheng Hian Hwesio." "Omitohud......! Setelah mempunyai guru seperti engkau,
ilmu apa lagi yang dapat diajarkan orang lain kepada
muridmu?" "Aku bicara sungguh-sungguh, hwesio tua! Aku
menginginkan agar engkau mengajarkan ilmumu kepada anak
ini. Sebaiknya kalau dua orang muridmu itu menguji dulu
sampai di mana tingkat kepandaian anak ini sehingga kelak
mudah bagimu untuk mengajarnya. Nelayan Gu Petani Lai,
ajaklah muridku ke belakang dan ujilah sampai di mana
tingkat kemampuannya!"
Dua orang itu hendak membantah akan tetapi Cheng Hian
Hwesio menggerakkan tangan kepada mereka sambil berkata.
"Lakukanlah apa yang mintanya. Kalian tidak akan mampu
membantah kemauannya!" Dan hwesio itu tertawa lembut.
Nelayan Gu dan Petani Lai saling pandang, lalu dengan
sikap apa boleh buat mereka mengajak Han Lin. "Anak muda, marilah engkau ikut
dengan kami ke belakang pondok!"
Han Lin adalah seorang anak yang cerdik. Tanpa
dijelaskanpun dia sudah maklum akan apa yang dimaksudkan
oleh dua orang tua itu, maka diapun bangkit berdiri dan
mengikuti dua orang itu tanpa bertanya apalagi membantah.
Setelah Han Lin pergi bersama dua orang itu, Cheng Hian
Hwesio berkata kepada Bu-beng Lo-jin sambil tersenyum. "Lojin, engkau agaknya
hendak bicara padaku tanpa didengar
anak itu. Nah, katakanlah, apa yang hendak kaubicara-kan
itu?" "Ha-ha-ha, siapa yang akan dapat membohongimu"
Agaknya engkau dapat membaca isi hati dan pikiran orang!
Memang sesungguhnya aku ingin bicara denganmu mengenai
anak itu dan kalau aku sudah bicara, aku tanggung engkau
tidak akan ragu lagi untuk menurunkan ilmu-ilmu mu
kepadanya." "Katakanlah, tidak baik menyimpan rahasia."
"Ceng Hian Hwesio, engkau tentu mengetahui siapa adanya
Kaisar Cheng Tung, bukan?"
Hwesio itu tersenyum. "Apakah engkau hendak menggoda
pinceng, Lo-jin" Tentu saja pinceng tahu siapa adanya Kaisar
Cheng Tung, karena dia masih terhitung cucu-keponakan
pinceng sendiri." "Dan tahukah engkau bahwa Kaisar Cheng Tung pernah
ditawan selama hampir dua tahun oleh seorang kepala suku
Mongol?" "Kekalahan pasukan Beng di Hu lai itu" Suatu perbuatan
yang bodoh sekali dari Kaisar Cheng Tung'" kata Cheng Hian Hwesio.
"Akan tetapi akhirnya dia dibebask dan ini merupakan suatu kebijaksanaa dari
kaisar itu sehingga dia tidak dibunuh bahkan di sana dia telah menikah dengan
seorang Puteri Mongol!"
"Ah, benarkah itu?"
"Dan anak yang dilahirkan Puteri Mongol itu seorang anak
laki-laki, bernama Cheng Lin yang kemudian disebut Han Lin
agar jangan diketahui orang bahwa dia keturunan Kaisar
Cheng Tung. Dan pangeran berdarah Mongol itu adalah anak
yang menjadi muridku itu."
"Omitohud.......' Cheng Hian Hwesi tertegun lalu
termenung. "Ya, dia adalah putera Kaisar Cheng Tung dan kalau kaisar itu masih terhitung
cucu-keponakanmu sendiri, berarti Han Lin
adalah cucu-buyut-keponakanmu."
"Omitohud! Bagaimana bisa begini kebetulan" Bagaimana
dia dapat menjadi muridmu dan di manakah ibunya?"
"Panjang ceritanya," kata Bu-beng Lo-jin sambil menarik napas panjang. "Setelah
melahirkan, tiga tahun lamanya
Puteri Mongol itu menanti-nanti penjemputan dari Kaisar
Cheng Tung, namun tidak kunjung tiba jemputan itu.
Kemudian, muncul datuk sesat Huang-ho Sin-liong Suma
Kiang yang menculik ibu dan anak itu dan membawa mereka
keluar dari perkampungan Mongol. Agaknya Suma Kiang itu
merupakan utusan dari kota raja, mungkin dari para pangeran
lain untuk membunuh ibu dan anak itu. Kebetulan sekali murid
keponakanku, Gobi Sam-sian, melihatnya dan mereka bertiga
menolong dan menyelamatkan ibu dan sejak itu,
membawanya mengungsi ke selatan. Akan tetapi tujuh tahun
kemudian, Suma Kiang muncul lagi bersama Sam Ok dan
mereka berhasil merampas anak Itu. Sedangkan ibunya
terpukul oleh Suma Kiang dan jatuh ke dalam jurang yang
amat dalam. Ketika aku datang, anak itu diperebutkan antara
Sam Ok dan Toa Ok maka aku turun tangan
menyelamatkannya. Kemudian aku membawanya menyusul
Gobi Sam-sian. Kiranya mereka tek luka-luka oleh Suma Kiang
dan Sam Ok bahkan It-kiam-sian buntung lengan kanannya
oleh Sam Ok. Setelah mengobati mereka aku lalu
menyerahkan Han Lin kepada mereka untuk digembleng lagi
selama lima tahun. Setelah lewat lima tahun beberapa hari
yang lalu mereka mengantarkan Han Lin kepadaku untuk
menjadi muridku. Aku lalu teringat bahwa engkau berada di
Puncak Awan Putih ini, maka aku membawanya ke sini agar
engkau membantu aku menggemblengnya dengan ilmu-ilmu
yang kau kuasai." "Omitohud......Kasihan sekali anak itu. Baiklah, Lo-jin.
Setelah pinceng memilih tinggal di sini, pinceng akan mendidik anak itu
bersamamu." Sementara itu, Han Lin mengiringi Nelayan Gu dan Petani
Lai menuju belakang pondok di mana terdapat sebuah taman
yang baru dibuat sehingga tumbuh-tumbuhannya belum
banyak. Dua orang itu berhenti di petak rumput bawah pohon
lalu Nelayan Gu berkata kepada Han Lin.
"Anak muda, engkau mendengar sendiri tadi betapa
gurumu menyuruh kami untuk menguji kepandaianmu. Karena
itu, keluarkan senjatamu dan cobalah engkau melawan aku
selama beberapa jurus, hadapi tongkat dayungku ini!"
Han Lin memandang dengan sinar mata tajam, kemudian
dia berkata dengan sikap hormat. "Locianpwe......"
"Jangan sebut aku locianpwe. Cukup sebut aku Paman
Nelayan dan dia itu Paman Petani." kata Nelayan Gu.
"Baiklah, paman. Karena saya tidak memiliki senjata,
bolehkah kalau saya mengambil dari pohon ini?" Dia menuding ke atas, ke arah
pohon besar yang tumbuh di situ.
"Tentu saja boleh!" jawab Nelayan
Han Lin segera mengangkat mukanya, matanya mencaricari
kemudian sekali dia menggerakkan tubuhnya, dia telah
meloncat ke atas dan menghilang ke dahan pohon yang
daunnya lebat itu. Tak lama kemudian terdengar suara kayu
patah dan dia sudah melompat turun lagi sambil membawa
sebatang cabang pohon sebesar lengan dan panjangnya satu
meter lebih Dia membuangi ranting dan daun pada cabang itu
dan jadilah sebatang tongkal kayu yang akan dipergunakan
sebagai senjata! Jilid VI MELIHAT ini, Nelayan Gu merasa tidak enak sekali. Dayung
bajanya akan dihadapi oleh pemuda remaja itu hanya dengan
sebatang kayu! Dia sejak mudanya telah mempelajari ilmu
silat dan bekerja sebagai seorang pengawal. Kemudian dia
bahkan memperdalam ilmunya, bersama Petani Lai, dibawah
bimbingan Cheng Hian Hwesio sendiri yang sudah menjadi
orang sakti setelah berguru kepada seorang hwesio perantau
dari siauw-lim-pai. Bagaimana mungkin kini dia harus
menghadapi seorang pemuda remaja yang hanya
bersenjatakan sebatang kayu sedangkan dia mempergunakan
dayung bajanya yang ampuh"
"Anak muda, aku menggunakan dayung baja, bagaimana
mungkin engkau akan melawanku hanya menggunakan
sebatang tongkat kayu?"
"Maaf, Paman Nelayan. Hanya ini senjata yang saya kenal."
"Apakah kakek yang menjadi gurumu itu tidak mengajarkan
ilmu menggunakan senjata lain kepadamu?"
"Kakek itu baru saja menjadi guru dan belum mengajarkan
apa-apa. Ketiga guruku yang dahulu mengajarkan saya
menggunakan tongkat seperti ini yang dapat dipergunakan
sebagai tongkat, sebagai pedang, dan juga sebagai gagang
kebutan. Saya tidak mengenal senjata lain, paman."
"Hemm, baiklah kalau begitu. Akupun hanya bertugas
untuk mengukur sampai di mana kemampuanmu. Sekarang,
lihat seranganku dan sambutlah!"
Setelah berkata demikian, Nelayan Gu menggerakkan
dayungnya. Dayung itu berat dan digerakkan dengan tenaga
yang kuat, maka dayung itu menyambar dan mengeluarkan
suara mendengung! Dayung itu menyambar ke arah kepala
Han Lin. Anak ini selama lima tahun telah digembleng oleh
Gobi Sam-sian dan tiga orang tokoh itu telah menurunkan
ilmu-ilmu mereka kepada Han Lin. Biarpun usianya baru lima
belas tahun namun Han Lin sudah menguasai ilmu-ilmu yang
tinggi. Melihat sambaran dayung yang dahsyat ini, Han Lin
mempergunakan keringanan tubuhnya dan mengelak dengan
cepat sambil menekuk kedua lututnya sehingga ubuhnya
merendah dan dayung itu lewat di atas kepalanya.
Menggunakan kesempatan yang amat singkat itu, Han Lin
sudah menusukkan tongkatnya ke arah ulu hati lawan.
"Hemm....!" Nelayan Gu kagum juga. baru segebrakan saja anak muda Itu sudah
mampu membalas serangannya! Dia
meemutar tongkatnya dengan kuat untuk menangkis tongkat
kayu dan sekaligus mengukur kekuatan pemuda itu. Demikian
cepatnya tangkisan itu sehingga Han Lin ndak sempat lagi
untuk menghindarkan tongkatnya dari benturan dengan
dayung baja. "Tunggg.....'!" Han Lin merasa lengannya tergetar akan tetapi dia sudah memutar
tubuhnya untuk mematahkan
getaran itu dan meloncat ke kiri ketika dayung itu menyambar
ke arah pinggangnya. Akan tetapi dayung itu dengan cepat
dan hebatnya sudah menyambar lagi, kini menyerampang
kedua kakinya. Dengan gerakan amat ringan dan cepat, ginkang
yang dilatihnya dari Pek-tim-sian, Han Lin melompat ke
atas dan dayung itu menyambar ke bawah kakinya. Dan dari
atas itu kaki kanan Han Lin mencuat dan sudah menyambar
ke arah dagu Nelayan Gu! Nelayan Gu terkejut sekali dan tahu bahwa anak itu telah
memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang hebat.
Terpaksa dia mengelak ke belakang katau tidak ingin dagunya
tertendang! Mereka sudah bergerak lagi saling serang. Hebatnya, Han
Lin tidak terdesak hebat, bahkan dapat membalas serangan
lawan. Tentu saja Nelayan Gu tidak berkelahi dengan
sungguh-sungguh karena diapun hanya ingin menguji saja.
Setelah tiga puluh jurus mereka bertanding, Petani Lai berseru sambil melompat
ke depan. "Biarkan aku mengujinya!" Mendengar ini, Nelayan Gu
melompat kebelakang dan Petani Lai sudah menggerakkan
cangkul gagang panjangnya, menyerang dan serangannya
memang aneh. serangan itu digerakkan seperti orang
mencangkul. Cangkul menyerang ke arah kepala Han Lin dan
ketika Han Lin mengelak, cangkul itu membuat gerakan
membalik dan menyerang lagi seperti mengungkit! Han Lin
terkejut. Serangan senjata cangkul itu asing baginya, namun
dengan menggunakan gin-kangnya, dia selalu dapat mengelak
dan kadang dia menangis dengan tongkatnya. Dia tahu bahwa
menghadapi lawan inipun dia kalah kuat dalam hal tenaga
sakti, akan tetapi bagaimanapun juga dia masih menang
dalam hal kecepatan gerakan. Karena itu dia mengandalkan
kecepatan gerakan tubuhnya untuk mengelak dan membalas
serangan lawan. Diam-diam Petani Lai, seperti juga Nelayan
Gu, merasa kagum sekali. Biarpun kalau dalam perkelahian
yang sungguh-sungguh anak ini belum dapat
mengalahkannya, akan tetapi tingkat kepandaiannya sudah
demikian tinggi sehingga mampu menandinginya selama tiga
puluh jurus lebih. Kalau anak ini memiliki tenaga sin-kang
lebih hebat sedikit saja, tentu dia akan sukar
mengalahkannya. Setelah lewat tiga puluh jurus, dia pun merasa cukup dan
melompat ke belakang sambil berseru, "Cukup!"
Han Lin juga menghentikan gerakannya dan membuang
tongkatnya lalu menjura kepada mereka berdua. "Banyak
terima kasih atas petunjuk yang paman berdua berikan
kepada saya." Dua orang itu merasa senang. Seorang anak yang pandai
membawa diri dan sopan sekali, seperti seorang anak yang
terpelajar baik. "Mari kita kembali menghadap suhu" kata Nelayan Gu dan mereka bertiga kembali ke
depan pondok. Di sana mereka
melihat betapa Bu-beng Lo-jin kini sedang asyik bermain catur
melawan-Cheng Hian Hwesio.
Dua orang kakek itu berhenti berma catur dan Cheng Hian
Hwesio memandang kepada Han Lin, kemudian kepada dua
orang pembantunya lalu bertanya.
"Bagaimana dengan hasil ujian kalian terhadap anak ini?"
"Suhu, dia sudah memiliki dasar yang kuat, dapat
menandingi teecu (murid) berdua lebih dari tiga puluh jurus
dengan bersenjatakan sebatang kayu. Biarpun tecu masih
menang dalam hal tenaga Sin-kang, namun ilmu gin-kang
yang dimilikinya sudah lebih tinggi dari yang tecu kuasai."
Nelayan Gu melapor. Mendengar ini, wajah Cheng Hian Hwesio tampak berseri.
"Bagus! Han Lin, maukah engkau mempelajari ilmu silat dari pinceng?"
Mendengar ini, Han Lin yang cerdik segera menjatuhkan
dirinya berlutut di depan kakek itu. "Sebelumnya teecu
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan suhu."
"Omitohud, pinceng senang sekali. Akan tetapi ingatlah
bahwa engkau adaan murid Bu-beng Lo-jin dan bahwa
pinceng hanya ikut memberi beberapa macam ilmu yang
kiranya berguna bagimu. Setiap bulan sekali engkau boleh
endaki puncak ini untuk menerima bimbingan beberapa
macam ilmu dari pinceng."
"Cepat haturkan terima kasih, Han Lin!" kata Bu-beng Lojin sambil tertawa,
"sebelum hwesio yang aneh ini balik pikir!"
Han Lin memberi hormat kepada Cheng Hian Hwesio.
"banyak terima kasih teecu haturkan dan teecu berjanji akan menaati semua
petunjuk suhu." Pada saat itu, terdengar teriak orang. "Losuhu, tolonglah saya.....!"
Semua orang menengok dan tampaklah seorang pemuda
remaja dengan wajah pucat, rambut awut-awutan dan pakai
cabik-cabik, napas terengah-engah mendaki puncak itu lalu
menjatuhkan diri dan berlutut di depan batu yang diduduki
Ceng Hian Hwesio. Cheng Hian Hwesio mengamati wajah pemuda itu dengan
penuh perhatian. Pemuda itu berusia sekitar enam belas
tahun, bentuk tubuhnya tinggi besar dan gagah, wajahnya
juga tampan sekali, walaupun pakaiannya seperti pakaian
seorang petani dan sudah compang-camping pula. Kedua
lengannya tampak luka-luka Berdarah.
Nelayan Gu dan Petani Lai mengerutkan alisnya dan sudah
hendak menegur anak muda yang berani mendaki puncak itu,
mengganggu ketenangan guru mereka. akan tetapi Cheng
Hian Hwesio mendahului mereka.
"Omitohud, anak muda, siapakah engkau dan mengapa
pula engkau berlari lari minta tolong kepada pinceng?"
Ditanya demikian, pemuda itu lalu menangis. "Celaka,
losuhu (guru tua, sebutan untuk pendeta). Seluruh keluarga
saya mereka bunuh.....! Dan saya nyaris dibunuh juga, maka
saya melarikan diri ke puncak ini.... mohon pertolongan
losuhu......" Anak itu menengok ke belakang, agaknya
khawatir kalau ada yang mengejarnya dari belakang.
"Omitohud, siapakah mereka yang membunuh dan
mengapa pula keluargamu dibunuh?"
"Saya..... saya tidak tahu, losuhu. mereka serombongan
terdiri dari lima utau enam orang, datang-datang mengamuk
dan membunuhi orang. Ayah dan ibu saya, dua orang saudara
saya dan dan seorang paman saya mereka bunuh. empat
orang tetangga sebelah yang datang hendak menolong kami
mereka bunuh. Saya telah melawan mati-matian namun
mereka itu demikian ganas kejam. Akhirnya saya mampu
meloloskan diri dan mereka kejar-kejar dan sampai melarikan
diri naik ke puncak ini."
"Di mana engkau tinggal?"
"Kami tinggal di dusun bawah lereng sana, losuhu.....'"
Pemuda remaja itu menuding ke bawah, dan air matanya mas
bercucuran. "Nelayan Gu, obati luka-lukanya dan kemudian bersama
Petani Lai kalian lihatlah apa yang terjadi di dusun anak ini.
Ajak dia untuk menjadi petunjuk jalan," kata Cheng Hian
Hwesio. Nelayan Gu dan Petani Lai mengajak anak itu memasuki
pondok, mengobati luka-luka di lengannya, kemudian
mengajaknya turun dari puncak. Ternyata anak muda itupun
pandai berlari cepat dan tak lama kemudian tibalah mereka di
sebuah dusun yang terpencil. Sebetulnya bukan dusun karena
hanya terdiri dari tiga rumah yang sederhana! Ketika mereka
menghampiri rumah itu, Nelayan Gu dan petani Lai segera
melihat mayat beberapa orang berserakan di situ.
Ketika mereka sedang memeriksa mayat-mayat itu,
terdengar rintihan dan pemuda itu lalu melompat dan
menubruk seorang laki-laki yang agaknya belum tewas.
"Ayah.....!" Pemuda itu berseru dan dia mencabut sebatang pisau yang masih
menancap di dada orang itu.
Nelayan Gu dan Petani Lai melompat.
"Jangan cabut....." Akan tetapi terlambat.
Pemuda itu sudah mencabutnya dan dia memanggilmanggil
ayahnya, mengguncang-guncang tubuhnya dengan
tangan kiri sedangkan tangan kanannya memegang pisau
yang masih berlumuran darah itu.
"Ayah.....! Ayah....U" teriaknya sambil menangis.
Laki-laki berusia lima puluh tahun itu masih mampu
bergerak, mengangkat mukanya memandang pemuda itu,
menggerakkan tangan dengan lemah mencoba meraih kepala
anak itu. "Kau..... kau.....!" Diapun terkulai tewas. Nelayan Gu dan Petani Lai meloncat
mendekat, akan tetapi ketika mereka
memeriksa, laki-laki itu telah meninggal dunia.
"Ayah.....! Ayah.....!" Anak itu memanggil-manggil terus.
"Lepaskan dia. Dia telah tiada." ka Petani Lai.
"Ayah....!!!" Pemuda Itu melempar pisau yang berlumur darah, menubruk ayahnya
dan menangis tersedu-sedu atas
dada ayahnya sehingga darah ayahnya mengenai baju dan
dagunya. "Cukup! Yang mati tidak perlu ditangisi lagi. Tidak ada
gunanya!" Nelaya Gu membentak dan pemuda itu melepaskan
rangkulannya, berhenti menangis akan tetapi masih
sesenggukan menahan tangisnya.
Nelayan Gu dan Petani Lai lalu mengadakan pemeriksaan.
Mereka memeriksa mayat itu satu demi satu dan semuanya
tewas karena tusukan pisau belati itu. Ayah dan ibu anak itu,
lalu dua orang kakak dan adiknya, dua orang pamannya dan
empat orang laki-laki lain yang menurut pemuda itu adalah
tetangganya. semua ada sepuluh orang yang terbantai di
tempat itu secara kejam sekali.
Dua orang bekas pengawal itu mengadakan pemeriksaan
dengan teliti dan mendapat kenyataan bahwa rumah itu tidak
diganggu barang-barangnya.
"Apakah ada barangnya yang hilang?" tanya Petani Lai kepada pemuda itu. Pemuda
itu seperti orang yang ling-lung
Karena duka mengadakan pemeriksaan. Tidak banyak yang
dimilikinya dan dia menggeleng kepala.
"Tidak ada barang yang hilang." katanya lirih, dan air matanya kembali mengalir
bila mana dia menoleh kepada
mayat ayah dan ibunya. "Hemm, berarti para pembunuhnya bukan golongan
perampok. Keadaan tiga keluarga ini sederhana saja, tidak
memiliki barang-barang berharga, juga tidak kehilangan
sesuatu. Lalu apa yang menyebabkan pembunuhan begini
banyak orang ini?" kata Nelayan Gu.
"Anak malang, siapakah namamu?"
"Saya she (marga) Coa, bernama Se akan tetapi panggilan
sehari-hari adalah A-seng," jawab pemuda remaja itu.
"Seluruh keluargamu terbunuh akan tetapi engkau mampu
membebaskan diri juga tadi engkau pandai berlari cepat.
Siapakah gurumu dalam ilmu silat?"
"Seorang tosu pengembara yang kebetulan lewat di tempat
tinggal kami mengajarkan ilmu silat kepada saya, akan tetapi
dia tidak mengatakan siapa naman dan bahkan tidak ingin
diketahui siapa namanya. Saya sempat dilatih selama
beberapa tahun kemudian disuruh latihan seorang diri.
Dengan segala kemampuan saya, saya melawan ketika
hendak dibunuh dan akhirnya dapat melarikan diri walaupun
luka-luka pada lengan saya."
"Siapakah orang-orang yang membunuh keluargamu"
Apakah engkau mengenal mereka?" tanya Petani Lai yang
juga tertarik sekali ingin mengetahui siapa pembunuhpembunuh
sadis yang membantai sepuluh orang dusun yang
tak berdosa Itu. "Saya tidak mengenal mereka, akan tetapi di baju mereka
bagian dada ada gambar seekor harimau hitam."
"Seekor harimau hitam" Apa engkau tahu apa artinya itu?"
Nelayan Gu bertanya. A-seng menggeleng kepalanya. "Saya hanya pernah
mendengar bahwa di balik puncak ini terdapat sebuah
perkampungan yang menjadi tempat tinggal Hek-houw-pang
(Perkumpulan Harimau Hitam) yang kabarnya ditakuti semua
orang karena mereka bersikap ugal-ugalan. Akan tetapi saya
sendiri tidak pernah pergi ke sana, apa lagi bertemu dengan
mereka." "Hek-houw-pang....." Petani Lai, pernahkah engkau
mendengar tentang Hek-houw-pang?" tanya Nelayan Gu
kepada Petani Lai yang dijawab dengan gelengan kepala.
"Sekarang lebih baik kita mengurus mayat-mayat ini
terlebih dulu. Karena di sini tidak ada orang lain, terpaksa kita bertiga yang
harus menguburnya dan setelah itu baru kita
melapor kepada suhu" kata Petani Lai.
Mereka bertiga lalu bekerja. Menggunakan cangkul gagang
panjang yang selalu dibawa Petani Lai, dia menggali tanah
belakang rumah-rumah itu dengan cepat Nelayan Gu dan Aseng
membantunya dengan menggunakan cangkul yang
mereka temukan di pondok ketiga orang tani itu.
Kalau tidak dikerjakan oleh Petani Lai dan Nelayan Gu,
tentu akan makan waktu lama menggali sepuluh buah lubang
kuburan itu. Akan tetapi kedua orang adalah orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi dan memiliki tenaga sakti
yang membuat pekerjaan itu dapat dilakukan cepat sekali.
Apalagi A-seng ternyata juga merupakan seorang pemuda
yang kuat dan dapat menggali dengan cepat walaupun
dilakukan dengan kadang diselingi tangisnya karena kematian
keluarganya. Setelah selesai mengubur sepuluh jenazah itu dan
membiarkan A-seng berlutut sambil menangis menyebut ayah
ibunya nelayan Gu lalu menyentuh pundaknya,
"Sudahlah, cukup engkau menangis. Sekarang mari kita
menghadap suhu untuk mendapatkan petunjuk beliau
selanjutnya." A-seng bangkit dan sambil menundukkan
mukanya dengan sedih diapun mengikuti kedua orang itu
mendaki Puncak Awan utih.
Setelah Nelayan Gu, Petani Lai dan A-seng pergi
meninggalkan puncak, Bung Lo-jin berkata kepada Han Lin.
"Han Lin, sekarang tunjukkanlah kepada kami apa saja yang sudah diajarkan Gobi
Sam-sian kepadamu. Bersilatlah
menggunakan tongkat seperti ketika engkau melawan Nelayan
Gu dan Petani Lai tadi. Aku sendiri juga ingin mengetahui
sampai di mana kemampuanmu."
Han Lin mematuhi permintaan Bu-Beng Lo-jin. Dia mencari
lagi sebatang kayu cabang pohon, dijadikannya tongkat lalu
mulailah dia bersilat. Tongkat itu dimainkan sesuai dengan
ilmu tongkat yang dipelajarinya dari Ang-bin-sian, kemudian
dia mainkan seperti pedang sesuai dengan ajaran It-kiam-sian,
kemudian dia mainkan sebagai gagang kebutan yang
melakukan totokan-totokan seperti yang diajarkan Pek-timsian.
Dua orang kakek itu menonton dengan senang dan
mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Cheng Hian Hwesio, apakah engkau hendak menerima
pemuda tadi sebar muridmu?"
"Kalau perlu, mengapa tidak" Ayah ibunya telah tewas dan
dia hidup sebatang kara, perlu ditolong, bukan?"
"Akan tetapi aku melihat bahwa anak itu terlalu cerdik, hal ini dapat dilihat
dari gerakan matanya. Engkau belum
mengenal benar asal-usulnya, bagaimana demikian mudah
menerimanya sebaga murid" Bagaimana kalau engkau salah
pilih?" "Omitohud, pinceng bermaksud baik. Kalau ternyata keliru, hal itu adalah sudah
menjadi karma masing-masing. Kenapa
engkau menaruh curiga kepada orang anak malang yang
belum kau kenal keadaannya?"
Bu-beng Lo-jin tertawa. "Ha-ha bukan curiga, Cheng Hian
Hwesio. Hanya aku teringat bahwa ilmu silat yang kau Ajarkan
tentulah ilmu silat tingkat tinggi dan ilmu itu akan berbahaya sekali kalau
sampai dimiliki seorang yang pada dasar-nya
memang jahat. Kalau engkau salah memilih murid, berarti
engkau mencipta-kan bencana bagi dunia di kemudian hari."
"Omitohud, maksudmu memang baik, Bu-beng Lo-jin. Akan
tetapi engkau kurang tebal kepasrahanmu kepada Yang Maha
Kuasa. Yang terpenting bagi kita adalah meneliti dengan
waspada bahwa apa yang kita lakukan tidak menyimpang
daripada kebenaran. Adapun hasilnya bagaimana, hal itu
terserah kepada Yang Maha Kuasa. Bukankah begitu
seharusnya?" "Ha-ha-ha, aku tidak hendak berbantahan denganmu,
Cheng Hian Hwesio. Aku hanya memperingatkan, karena kalau
engkau salah pilih, kelak engkau sendiri akan terseret ke
dalam kesulitan." "Omitohud, terima kasih atas perhatianmu, Lo-jin. Akan
tetapi tentu saja pinceng bertanggung jawab sepenuhnya atas
segala yang pinceng lakukan."
"Bagus kalau begitu. Sekarang, perkenankan kami untuk
pulang lebih dulu. sebulan sekali aku akan menyuruh Lin
datang ke Puncak Awan Putih untuk menerima petunjuk
darimu." "Baiklah, Lo-jin. Dan engkau, Han Lin. Setiap malam bulan purnama, datanglah ke
sini. Nelayan Gu dan Petani Lai tentu
akan membiarkanmu masuk karena mereka berdua sudah
tahu bahwa engkau akan belajar ilmu dari pinceng."
"Baik, losuhu dan terima kasih atas budi kebaikan losuhu."
kata Han Lin sambil memberi hormat. Kemudian, dia dan Bubeng
Lo-jin meninggalkan puncak itu, kembali ke puncak
tempat kediama mereka sendiri.
Ketika Nelayan Gu, Petani Lai da A-seng kembali ke puncak,
mereka melihat Cheng Hian Hwesio masih duduk di atas batu
sambil memejamkan kedua matanya. Melihat hwesio tua itu
sedang bersamadhi, mereka tidak berani mengganggunya.
Akan tetapi A-seng menangis dan isak tangisnya agaknya
membangunkan hwesio itu. Dia bergerak menoleh dan melihat
mereka bertiga, maka dia lalu menegur.
"Nelayan Gu, Petani Lai, apa yang telah terjadi di sana?"
Dua orang itu menghadap guru mereka, sambil berlutut,
di kuti pula oleh A-seng, mereka bercerita.
"Seluruh keluarga A-seng, juga empat orang tetangganya,
berjumlah sepuluh orang semua terbantai dan tewas, suhu.
Pembantaian yang kejam karena agaknya sepuluh orang itu
tidak mampu melawan sama sekali. Para pembunuh itu tidak
mengambil apa-apa dan tidak meninggalkan bekas. Akan
tetapi menurut keterangan A-seng ini, dia melihat bahwa di
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
baju bagian dada para pembunuh itu terdapat lukisan seekor
harimau hitam, dan dia pernah mendengar tentang
gerombolan yang menamakan diri mereka Hek-houw-ang dan
tinggal di balik puncak."
"Omitohud! Begitu kejam mereka itu. Nelayan Gu dan
Petani Lai, kalian harus menyelidiki ke balik puncak dan
bertanya mengapa mereka membunuhi warga dusun yang
tidak berdosa. Kalau perlu mereka itu pantas dihukumi"
Meskipun sudah menjadi hwesio selama puluhan tahu
namun watak adil seorang kaisar masih melekat di hati Cheng
Hian Hwesio "Engkaupun ikutlah dengan mereka, kalau perlu menjadi saksi mata
terhadap para pembunuh itu!"
Sambungnya kepada A-seng.
Berangkatlah ketiga orang itu menuruni Puncak Awan Putih
dan Cheng Hian Hwesio melanjutkan samadhinya. Mereka
turun dari puncak melalui timur dan belum pernah mereka
melalui jalan ini maka mereka mencari jalan yang amat sukar
itu. Namun kedua orang pembanti atau murid Cheng Hian
Hwesio itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi,
maka mereka dapat maju terus menuruni puncak yang sukar
itu. Yang membuat mereka kagum adalah ketika mereka
melihat kenyataan betapa A-seng juga mampu mengikuti
mereka walaupun perjalanan itu kadang-kadang amat sukar,
harus menuruni tebing dan memanjat sambil berpegangan
kepada akar-akar dan hatu-batu gunung.
Matahari telah condong ke barat ketika mereka tiba di
lereng puncak yang ditumbuhi hutan. Mereka memasuki hutan
itu dan di tengah hutan mereka melihat buah perkampungan.
Ketika mereka tiba di pintu gerbang perkampungan itu, di
depan pintu gerbang terdapat papan nama yang berbunyi
"Hek Houw Pang" (Perkumpulan Harimau Hitam). Mereka
berhenti dan tiba-tiba saja tampak banyak tubuh berkelebatan
dan di lain saat mereka telah dikepung oleh belasan orang
yang memegang golok di tangan dan sikap mereka garang
sekali. Seorang di antara mereka yang mukanya penuh
brewok dan bertubuh tinggi besar mengelebatkan goloknya
dan bertanya dengan suaranya yang parau. "Siapakah kalian bertiga yang berani
datang ke tempat kami tanpa ijin?"
Nelayan Gu dan Petani Lai bersikap tenang. Nelayan Gu
melihat bahwa pada baju bagian dada orang-orang itu
memang terdapat sulaman gambar seekor harimau hitam.
Cocok dengan keterangan A-seng maka dia berpendapat tentu
mereka inilah yang telah melakukan pembantaian terhadap
sepuluh orang dusun itu. "Aku disebut Nelayan Gu, dan rekanku ini adalah Petani Lai, sedangkan anak ini
bernama A-seng. Kami datang untuk
bicara dengan pimpinan kalian, maka kami minta menghadap
Ketua Hek-houw pang." kata Nelayan Gu dengan sikap
tenang. "Ha-ha-ha, tidak begitu mudah untuk dapat bertemu
dengan ketua kami. Kalau engkau ada urusan, cukup bicara
dengan aku saja sebagai wakil ketua di sini."
"Kami membawa urusan besar dan hanya ingin bicara
dengan ketua kalian. Harap bawa kami menghadap." kata pula Nelayan Gu.
"Hemm, untuk dapat bertemu dengan ketua kami, engkau
harus mendapatkan kuncinya!"
"Bagaimana kami mendapatkan kuncinya?"
"Kuncinya ada padaku! Kalau engkau dapat menandingi
aku Tiat-ciang Hek-houw (Harimau Hitam Tangan Besi) baru
engkau boleh bertemu dengan ketua kami."
Setelah berkata demikian, Tiat-ciang -houw itu lalu
memutar goloknya di depan dada dengan sikap menantang
sekali. "Bagus, kalau begitu biar aku yang akan menandingimu.
Apakah engkau hendak berjanji bahwa kalau aku dapat
menangkan engkau, kami bertiga boleh langsung menghadap
ketua kalian?" "Ha-ha-ha, tidak mungkin engkau akan mampu
mengalahkan Tiat-ciang Hek-houw! Baik, kalau engkau
mampu menangkan aku, kalian boleh bertemu dengan ketua
kami, Toat-beng Hek-houw (Harimau Hitam Pencabut
Nyawa)!" Kemudian dia berseru kepada teman-temannya yang masih
mengerumuni mereka. "Minggir kalian, beri kami lapangan
yang luas untuk bertanding!" Semua orang mundur dan kini
dua orang itu berhadapan, sama-sama tinggi besar bagaikan
dua orang raksasa yang sedang berlagak hendak mengadu
kesaktian. Petani Lai juga membawa A-seng untuk mundur
dan hanya menonton dari pinggiran. Dia percaya penuh akan
kemampuan kawannya, maka dia menonton dengan sikap
tenang saja. Sebaliknya A-seng yang kelihatan gelisah.
"Coba amati, siapa di antara mereka yang membunuh
keluargamu?" tanya Petani Lai perlahan kepada A-seng. Aseng memandangi mereka
itu lalu menggeleng kepalanya.
"Saya tidak tahu, Paman. Saya rasa para pembunuh itu
tidak berada di antara mereka walaupun baju mereka sama."
Jawaban ini membuat alis Petani Lai berkerut dan dia
merasa kecewa. Akan tetapi mungkin gerombolan pembunuh
itu masih berada di dalam perkampungan itu. Nelayan Gu
bertindak benar untuk minta bertemu kepalanya saja agar
dapat bicara dengan ketua mereka, karena kalau harus
mencari sendiri, tentu akan suka apalagi kalau para pembunuh
itu menyembunyikan diri. "Aku sudah siap, engkau mulai lah Tiat-ciang Hek-houwl"
kata Nelayan yang telah melintangkan dayung bajanya di
depan dada. "Bagus! Lihat golokku!" bentak wakil ketua Hek-houw-pang itu dan diapun sudah
menerjang ke depan, goloknya
membacok miring ke arah leher lawan. Tenaganya besar
sekali, hal ini dapat di-lihat dari gerakan golok besar yang
amat cepat dan mengeluarkan suara berdesing.
"Singggg.....!" Golok meluncur dan menyambar ke arah leher. Namun Nelayan Gu
dengan tenangnya mengelak ke
belakang dan melintangkan dayung bajanya Menangkis.
"Trangggg.....!" Tampak bunga api berpijar ketika golok bertemu dengan dayung
baja. Kedua orang itu merasa tapak
tangan mereka yang memegang senjata tergetar hebat. Ini
menandakan bahwa kekuatan mereka seimbang. Keduanya
melompat mundur dan memeriksa senjata masing-masing.
Ternyata senjata mereka tidak rusak dan Tiat-ciang Hek-uw
sudah menerjang maju lagi, kini goloknya membacok ke arah
kepala Nelayan Gu dari atas. Nelayan Gu melihat datangnya
golok yang berat dan tajam itu, cepat mengelak dengan
miringkan tubuhnya, sambil memutar dayung bajanya balas
menyerang dengan pukulan dari samping ke arah leher. Wakil
ketua Hek-houw-pang itu menangkis dengan goloknya.
"Tranggg.....!" Kembali bunga api berpijar dari pertemuan kedua senjata ini.
Nelayan Gu menjadi penasaran dia mainkan
dayung bajanya dengan dassyat, dayung itu berubah menjadi
seperti kitiran angin, menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Tiat-ciang Hek -houw terkejut dan diapun memutar golok
untuk melindungi diri sehingga tampak gulungan sinar
goloknya membentuk dinding menangkis, setiap ujung dayung
baja itu menyambar dekat.
"Trakk!" Golok itu tertahan oleh dayung dan seperti
melekat. Melihat kesempatan ini, Tiat-ciang Hek-houw
menggunakan tangan kirinya, dengan telapak tang terbuka dia
menghantam sambil mengerahkan ilmu dan tenaga Tiat-ciang
(Tangan Besi) yang kuat sekali. Melihat Nelayan Gu
melepaskan tangan kanan yang bersama tangan kiri
memegang dayung dan tangan kanan itu menyambut
hantaman tangan kiri lawan.
"Wuuutttt..... plakkk.....I!" Dua telapak tangan saling bertumbukan di udara dan
akibatnya, tubuh Tiat-ciang Hekhouw
huyung ke belakang. Dari pertemuan telapak tangan ini
saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sin-kang (tenaga
sakti) wakil ketua Hek-houw-pang itu masih kalah setingkat!
Melihat pimpinan mereka terhuyung, lima belas orang anak
buah Hek-houw-pang segera melompat maju dan mengeroyok
dengan golok mereka! Petani Lai dan Nelayan Gu tidak
menjadi gentar dan mereka mengamuk sambil mencoba untuk
melindungi A-seng. Akan tetapi ternyata A-seng tidak
membutuhkan perlindungan. Ketika seorang pengeroyok
membacokkan goloknya ke arah kepalanya, dengan gerakan
yang gesit A-seng mengelak dan ketika golok menyambar ke
bawah, dia menggunakan tangan kanannya yang dimiringkan
untuk memukul pergelangan tangan lawan yang memegang
golok. "Wuuttt..... plakk..... tranggg..!" Golok itu terlepas dari pegangan dan cepat
sekali A-seng sudah menyambar golok itu
dan diapun menangkis sambaran golok yang ditujukan
kepadanya. Pemuda remaja itu segera berkelahi melawan
seora anggauta Hek-houw-pang dan ternyata dia mampu
menandinginya. Nelayan Gu dan Petani Lai mengamuk dan para
pengeroyoknya terdesak mundur. Namun mereka berdua
tetap bersikap sebagai orang gagah yang tidak mau
sembarangan membunuh sebelum tahu benar kesalahan
orang. Kesalahan Hek-houw-pa belum jelas, maka mereka
tidak mau membunuh atau membuat para pengeroyoknya
terluka parah, hanya menggertak saja dengan dayung baja
dan cangkul mereka. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring "Berhenti! Tahan
semua senjata!" Mendengar bentakan ini, Tiat-cia Hek-houw dan anak
buahnya berlompat ke belakang. Nelayan Gu dan Petani Lui
juga menahan gerakan senjata mereka A-seng melompat ke
belakang mereka-sambil masih memegang golok rampasan.
Diam-diam Nelayan Gu dan Petani Lai merasa kagum juga
kepada pemuda remaja itu yang ternyata gagah dan memiliki
keberanian. Mereka memandang kepada orang yang
membentak tadi dan melihat seorang laki-laki berusia lima
puluh tahunn berdiri di situ dengan sikap berwibawa. Laki-laki ini bertubuh
tegap senang, mukanya yang persegi itu tampak
gagah, jenggotnya pendek dan rambutnya digelung ke atas
dan di kat dengan pita biru. Di punggungnya tergantung
sebatang pedang dan pandangan matanya tajam sekali dan
kini mengamati Nelayan Gu dan petani Lai dengan penuh
selidik. . Dengan sikap gagah, pria itu mengangkat kedua tangan
didepan dada lalu bertanya kepada Nelayan Gu dan Petani Lai.
"Siapakah sam-wi (kalian bertiga) dan mengapa pula berkelahi dengan anak buah
kami?" Tahulah Nelayan Gu bahwa dia berhadapan dengan ketua
Hek-houw-pang, maka diapun membalas penghormatan itu
dan menjawab, "Maafkan kalau kami menimbulkan keributan
di sini, pangcu (ketua). Akan tetapi sesungguhnya kami tidak
bermaksud menimbulkan perkelahian. Kami datang untuk
bertemu dengan pangcu karena ada sesuatu yang penting
sekali ingin kami bicarakan dengan pangcu akan tetapi
saudara-saudara ini memaksa kami untuk beradu
kepandaian." Hek-houw Pang-cu (Ketua Hek-hou pang) itu kelihatan
marah kepada anak buahnya. Dia bahkan menegur wakilnya
"Tiat-ciang (Tangan Besi), kenapa engkau bersikap demikian terhadap tamu"
Sepantasnya engkau persilakan mereka
bertemu dan bicara denganku. Maafkan, jikalau Kalau kalian
hendak bicara dengan aku, silakan masuk perkampungan
kami." Biarpun mereka tahu bahwa tawaran masuk ke
perkampungan ini dapat berbahaya bagi mereka, namun
Nelayan Gu dan Petani Lai lidak merasa gentar dan dengan
gagah mereka mengikuti Ketua Hek-houw-pang yang berjuluk
Toat-bei Hek-houw (Harimau Hitam Pencabut Nyawa) itu
memasuki perkampungan. A-seng juga masuk dan pemuda
remaja ini tampak tabah dan tidak memperlihatkan rasa takut,
sehingga semakin senanglah hati Nelayan Gu dan Petani Lai
kepadanya. Mereka dipersilakan duduk di ruangan dalam dan segera
hidangan makan minum dikeluarkan. Karena memang sehari
itu mereka bertiga belum makan, maka suguhan itu tentu saja
mereka terima dengan senang hati.
"Sebelum kita bicara, mari kita makan dulu sebagai
sambutan kami terhadap tamu yang kami hormati." kata ketua hek-houw pang yang
tadi melihat betapa tiga orang tamunya,
terutama dua orang laki-laki gagah itu, memiliki ilmu
kepandaian tinggi dan dia sendiri belum tentu akan mampu
menandingi mereka. Inilah sebabnya mengapa dia bersikap
hormat sekali. Tanpa curiga Nelayan Gu dan Petani Lai makan minum
bersama tuan rumah. Mereka adalah orang-orang kang-ouw
yang sudah berpengalaman dan mereka akan tahu apabila
pihak tuan rumah bertindak curang, misalnya menggunakan
racun. Mereka yakin bahwa tuan rumah tidak akan
melakukaan kecurangan itu, karena mereka semua makan dari
tempat makanan yang sama, dan minum dari guci arak yang
sama pula. Setelah mereka selesai makan minum, ketua Hekhouw
Pang segera bertanya kepada para tamunya.
"Nah, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk bicara." Dia memberi isarat kepada
pelayan untuk membersihkan meja
dan mereka siap untuk bercakap-cakap. Setelah meja
dibersihkan, Nelayan Gu berkata sambil menatap tajam wajah
rumah. "Pangcu, kami datang untuk minta keterangan kepadamu
tentang sepak terjang lima atau enam orang anggautamu
yang telah membantai sepuluh orang petani yang tidak
berdosa. Mengapa anak buahmu melakukan perbuatan yang
kejam tak berprikemanusiaan itu?"
Kisah Para Pendekar Pulau Es 9 Gento Guyon 12 Ki Anjeng Laknat Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 6