Pencarian

Suling Pusaka Kumala 5

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


Menaklukkan orang lain adalah berjaya,
menaklukkan diri sendiri adalah kuat perkasa.
Mengetahui batas kecukupan berarti kaya,
tidak mengenal cukup berarti murka.
Enggan meninggalkan kedudukan akan terbelenggu,
mati tanpa tersesat berarti panjang usia."
"Bagus. Akan tetapi jangan hanya pandai menghafalkan
saja ujar-ujar atau pelajaran itu, melainkan harus dicamkan
benar dan dilaksanakan dalam kehidupanmu. Kalau kita
melaksanakan dalam hidup, maka barulah tidak sia-sia Sang
Bijaksana Lo-cu memberikan pelajaran itu."
"Omitohud, indah sekali wejanganmu itu, Lo-jin. Memang
sesungguhnyalah, Han Lin. Menghafal selaksa kata-kata
mutiara yang indah-indah tiada gunanya sama sekali, kalau
hanya sekadar dihafalkan. Akan tetapi melaksanakan satu saja
kata-kata mutiara itu akan membuat kita dapat melalui jalan
kebenaran. Kami ber dua orang-orang tua yang sudah mulai
kehilangan tenaga dan semangat, hanya dapat mengundurkan
diri di tempat sunyi sambil memberi doa restu kepadamu."
"Terima kasih, ji-wi suhu."
"Sekarang berkemaslah karena hari ini juga engkau harus
turun gunung." kata Bu-beng Lo-jin. "Aku hanya mempunyai sebuah pesan. Kalau
engkau turun gunung dan melalui
pegunungan Lu-liang-san, jangan lupa singgahlah ke sebuah
puncak di Lu-liang-san di mana Sungai Fen-ho masuk ke
Sungai Huang-ho. Puncak itu adalah Puncak Burung Hong, di
mana terdapat sebuah guha besar yang disebut Guha Dewata.
Di depan guha itu, di atas batu-batu besar, terdapat sebatang
pedang yang menancap di atas batu. Pedang itu adalah
sebuah pusaka langka dan ampuh sekali yang disebut Im-yang
-kiam dan sudah sejak ratusan tahun menancap di situ. Ada
ukiran tulisan pada batu yang mengatakan bahwa siapa yang
mampu mencabut pedang Itu berhak memilikinya, akan tetapi
sampai sekarang tidak ada orang yang mampu mencabutnya.
Nah, aku ingin engkau singgah di sana dan cobalah engkau
mencabut pedang itu, Han Lin. Kalau engkau mampu
mencabutnya, berarti engkau berhak memilikinya. Pedang itu
mempunyai riwayat yang amat terhormat, sebagai pedang
milik seorang gagah, pahlawan sejati yang patriotik."
"Omitohud, pinceng pernah mendengar adanya Im-yangkiam
itu, Lo-jin. Akan tetapi belum pernah mendengar
riwayatnya. Dapatkah engkau menceritakan riwayat pedang
aneh itu?" "Pedang itu milik seorang panglima Kerajaan Sung yang
bernama Kam Tiong. Ketika Kerajaan Sung diserbu oleh
bangsa Mongol dan akhirnya dapat dikuasai bangsa Mongol,
Panglima Kam Tiong merupakan seorang panglima yang gigih
melakukan perlawanan. Namun, dia melihat pengkhianatan
beberapa orang menteri dan panglima yang bersekutu dengan
bangsa Mongol sehingga Kerajaan Sung jatuh. Dia menjadi
demikian menyesal dan sakit hati. Ketika kota raja Sung jatuh, dia melarikan
diri dan menjadi pertapa di Puncak Burung Hong
di pegunungan Lu-liang-san. Kemudian dia menghilang, tak
seorangpun tahu di mana kuburnya. Akan tetapi dia
meninggalkan pedang yang ditusukkan menancap pada batu
itu dan meningalkan pesan dengan tulisan berukir di batu
bahwa siapa yang mampu mencabut pedang pusaka itu, dia
berhak memilikinya. Tusukan pedang di batu itu merupakan
pelampiasan penyesalan dan kemarahannya yang melihat
bebe-rapa orang menteri dan panglima seolah "menjual"
Kerajaan Sung kepada musuh. Demikianlah ceritanya."
"Menarik sekali. Kalau begitu pinceng juga menganjurkan
agar engkau mencoba coba, Han Lin. Siapa tahu engkau
berjodoh dengan pedang itu." kata Cheng Hian Hwesio.
"Akan tetapi, suhu. Pedang itu sudah berada di sana
selama ratusan tahun. Tentu sudah didatangi banyak sekali
orang gagah dari seluruh penjuru."
"Memang, banyak sekali para datuk dan tokoh kang-ouw
datang ke sana untuk mencabut pedang pusaka itu, akan
tetapi tiada seorangpun berhasil. Pedang itu seolah telah
menjadi satu dengan batu dan tidak dapat d cabut lagi."
"Kalau demikian banyaknya orang gagah yang berilmu
tinggi tidak berhasil mencabut pedang itu, bagaimana pula
teecu....." "Omitohud, jangan berkata demikian, Han Lin, sebelum
engkau sendiri mencobanya. Di dalam kehidupan ini ada apa
yang dikatakan jodoh. Kalau engkau berjodoh dengan pedang
itu, bukan tidak mungkin engkau yang akan dapat mencabut
dan memilikinya." "Benar, Han Lin."
"Akan tetapi, kenapa ji-wi suhu sendiri tidak mencoba
untuk mencabutnya" Dengan tingkat kepandaian ji-wi suhu,
mungkin saja pedang itu dapat dicabut?"
"Omitohud, untuk apa pedang bagi pinceng" Menyembelih
ayampun pinceng tidak pernah."
"Akupun bukan orang yang suka memiliki pedang, Han Lin.
Tongkat bambu ini cukup untuk mengusir setan, kalau ada
yang mencoba menggangguku. Engkau cobalah, hitung-hitung
mewakili kami." "Baiklah, suhu. Akan teecu kunjungi tempat itu dan akan
teecu coba. Pedang pusaka itu milik seorang pahlawan yang
gagah perkasa, tentu bertuah."
"Han Lin, pinceng telah mengajarkan kepadamu bagaimana
untuk memperguna-kan It-yang-ci untuk pengobatan. Pinceng
akan lebih senang kalau engkau pergunakan It-yang-ci untuk
pengobatan daripada untuk merobohkan orang."
"Teecu mengerti, Losuhu."
Han Lin lalu berkemas. Tidak banyak yang dibawanya.
Hanya beberapa potong pakaian yang dibungkus dengan kain
kuning dan beberapa potong uang emas dalam kantung. Uang
itu pemberian Bu-beng Lo-jin. Sambil memegang sebatang
tongkat bambu diapun memberi hormat dengan berlutut
sebagai penghormatan terakhir atau salam perpisahan.
"Ji-wi suhu, teecu mohon pamit dan senantiasa mohon doa
restu dari ji-wi suhu."
Dua orang kakek itu mengangguk-angguk dan
menggerakkan tangan kanan, Bu-beng Lo-jin tersenyum lebar
dan sepa sang mata Cheng Hian Hwesio berlinang.
Bagaimanapun juga, pemuda itu adalah cucu-buyut
keponakannya sendiri! 0oo-dewi-oo0 Pegunungan Cin-ling-pai memanjang dari utara ke selatan.
Sungai Huang-ho mengalir di sepanjang pegunungan ini dan
banyak mendapat tambahan air dari sumber-sumber yang
mengalir di pegunungan itu. Pegunungan yang amat panjang
ini mempunyai banyak sekali bukit dan puncak-puncak yang
berbahaya. Hanya beberapa bukit rendahan saja yang dihuni
manusia. Di lereng-lereng dari bukit-bukit ini terdapat
pedusunan sederhana dari para petani gunung. Akan tetapi
banyak puncak yang sama sekali tidak dihuni manusia, bahkan
jarang atau bahkan tidak pernah terinjak kaki manusia.
Satu di antara puncak-puncak yang tidak pernah didatangi
manusia bahkan para pemburupun tidak berani mendaki
puncak yang amat berbahaya, dengan hutan-hutan liar yang
penuh binatang buas, adalah Puncak Ekor Naga. Memang
dilihat dari jauh, puncak ini bentuknya seperti ekor naga.
Akan tetapi pada suatu pagi, seorang laki-laki dan seorang
gadis remaja mendaki puncak itu dengan gerakan cepat. Setengah berlari mereka
mendaki puncak dan memasuki hutan
yang lebat itu. Laki laki itu sudah berusia enam puluh
tahunan, bertubuh tinggi kurus dengan muka merah, dahinya
lebar dan sepasang matanya sipit. Mulutnya selalu tersenyum
sinis, dan mata yang sipit itu kadang mencorong liar.
Jenggotnya sudah penuh uban dan berjuntai sampai ke
lehernya. Tangan kanannya memegang sebatang tongkal ular
hitam. Adapun gadis remaja itu berusia kurang lebih tiga belas
tahun. Wajah gadis remaja itu cantik manis, dengan mata
yang lebar dan kocak. Mulutnya manis sekali dengan bibir
yang selalu merah basah dan murah senyum mengejek.
Lesung pipit di pipi kanannya dan tahi lalat kecil di pipi kirinya membuat wajah
itu manis sekali, apalagi kalau tersenyum.
Akan tetapi sinar mata yang kocak itu kadang-kadang
mengeras dengan pandangan yang tajam menusuk. Biarpun
usianya baru tiga belas tahun, namun sudah tampak tandatanda
bahwa ia akan menjadi seorang, gadis yang bertubuh
langsing dan padat. Gerak-geriknya lincah dan ringan sekali
ketika ia mendaki puncak itu sambil setengah berlari.
Mereka itu bukan lain adalah Huang-ho Sin-liong Suma
Kiang dan anak yang sudah dianggap puterinya sendiri, yaitu
Suma Eng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, setelah
Suma Kiang dikalahkan Cheng Hian Hwesio di Puncak Awan
Putih, dia tidak mau lagi tinggal di pegunungan Thai-san dan
dia membawa Suma Eng ke Lu-liang-san untuk menghadap
seorang supeknya (uwa gurunya) yang bertapa di Puncak Ekor
Naga di Lu-liang-san. "Hati-hati, Eng Eng. Tempat ini berbahaya. Aku mencium
bau binatang buas!" kata Suma Kiang kepada puterinya
"Hutan ini tentu dihuni banyak binatang buas yang
berbahaya." "Ayah, perlu apa kita takut terhadap binatang buas" Kalau mereka berani muncul,
tentu akan kubunuh dengan
pedangku!" jawab Suma Eng dengan suara tegas penuh
keberanian. "Awas, Eng Eng, di atasmu!" tiba-tiba Suma Kiang berseru.
Cepat gadis remaja itu memandang ke atas dan pada saat itu,
seekor ular yang ekornya melibat dahan pohon dan kepalanya
bergantung ke bawah berayun dan menyambar ke arah Suma
Eng! Gadis remaja itu dengan sigapnya mengelak sehingga
sambaran moncong ular itu luput. Sedikitpun dara cantik itu
tidak merasa ngeri atau takut. Dengan gerakan yang cepat
sekali tangan kanannya sudah mencabut Ceng-liong-kiam
(Pedang Naga Hijau) yang bersinar hijau itu dan ia menanti
dengan gagah. Ular sebesar paha orang dewasa itu agaknya
tidak melihat bahaya. Dia penasaran sekali ketika
sambarannya tadi luput dan kini dia sudah terayun kembali
dan menyambar dengan cepat sambil uembuka moncongnya
dan mengeluarkan suara mendesis! Kembali Suma Eng
mengelak dengan merendahkan tubuhnya sehingga kepala
ular itu menyambar lewat di atas kepalanya dan sebelum ular
itu dapat membalik dan menyerang lagi, gadis remaja itu telah
meloncat seperti terbang dan sinar hijau berkelebat.
"Crakkk....!" Darah muncrat dan tubuh ular itu terlepas dan dahan, jatuh ke atas
tanah menyusul kepalanya yang lebih
dulu terpisah dari badan dan jatuh. Tubuh ular tanpa kepala
itu berkelojotan sebentar lalu diam tak bergerak. Suma Eng
melihat pedangnya. Sedikitpun tidak ternoda darah,
menunjukkan betapa cepatnya gerakan memenggal leher ular
itu tadi. "Bagus!" Suma Kiang memuji dengan girang dan bangga.
Biarpun masih belum dewasa, Suma Eng telah memiliki ilmu
pedang yang cukup tangguh. "Sekarang kita cari biruang. Di daerah sini terdapat
biruang hitam yang buas. Aku ingin
melihat apakah engkau berani melawan seekor biruang."
"Tentu saja aku berani, ayah!" kata Suma Eng penuh
semangat sambil menyarungkan kembali pedangnya.
Mereka berjalan terus dan di tempati terbuka di depan
mereka melihat seekor biruang yang cukup besar. Seekor
biruang jantan yang sedang mendongkel-dongkel tanah
mencari sesuatu. "Nah itu dia! Beranikah engkau melawan biruang itu, Eng
Eng?" tanya Suma Kiang.
Suma Eng memandang binatang itu dai matanya bersinarsinar
penuh semangat "Tentu saja aku berani, ayah. Lihat, aku
akan membunuh biruang itu!"
Dengan tabah Suma Eng lalu mempercepat langkahnya lari
menghampiri biruang itu. Suma Kiang berlari di belakangnya
dan datuk inipun siap untuk sewaktu waktu melindungi
puterinya kalau-kalau terancam bahaya.
Biruang itu mendengar langkah kaki lalu memutar tubuhnya
dan mengangkat kedua kaki depannya. Tingginya dua kali
tinggi Suma Eng! Matanya mencorong dan melihat gadis
remaja itu, dia memperlihatkan taringnya dan menggrreng.
Akan tetapi Suma Eng tidak menjadi takut dan ia sudah
memcabut pedangnya, berindap-indap menghampiri lebih
dekat, tubuhnya ringan dan gesit, matanya menatap tajam
wajah biruang itu. Ketika bertemu pandang, biruang itu
mengedipkan mata beberapa kali seperti silau. Semua
binatang selalu silau kalau bertemu pandang dengan manusia
yang tidak merasa takut. Dia sudah menoleh ke belakang
seolah segan untuk berkelahi melawan manusia. Akan tetapi
Suma Eng menantang. "Hayo, biruang jelek. Lawanlah aku dan aku akan
membunuhmu!" Kakinya menendang sepotong batu yang
terlempar menyambar ke arah biruang itu. Akan tetapi
binatang yang besar itu ternyata gesit juga.
Dengan mudah dia mengelak dari sambaran batu yang
ditendang Suma Eng dari dia menjadi marah. Dia menurunkan
kaki depannya, menggereng-gereng seperti menggertak.
Suma Eng tidak menjadi gentar, bahkan ia sudah
menerjang ke depan, membacokkan pedangnya ke arah dada
biru-ang itu. Biruang itu bangkit berdiri dan menyampok
dengan kaki depan kanannya, tepat mengenai dari arah
samping. Kuat bukan main sampokan itu. Saking kuatnya
sehingga pedang itu terpental dan tubuh Suma Eng ikut pula
terpental dan cepat gadis remaja ini bergulingan! karena pada
saat itu, biruang sudah menubruknya. Kalau ia tidak
bergulingan, tentu ia kena ditubruk dan celakalah ia kalau
sampai empat kaki yang berkuku panjang itu dapat
mencengkeramnya. Suma Eng melompat lagi dan kini ia lebih berhati-hati. Ia
tahu bahwa binatang itu bertenaga besar sekali dan kaki
depannya amat kuat sehingga berani menangkis pedangnya.
Kalau ia kurang hati hati pedangnya dapat tertangkis dan
terpental lepas dari pegangannya. Maka, kini ia tidak
menyerang lagi melainkan menunggu serangan binatang itu.
"Grrrr......" Biruang itu menggereng dan tiba-tiba ia menubruk ke depan. Suma
Eng melihat betapa tubuh yang


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar itu menerkam ke arahnya, namun baginya gerakan
binatang itu lamban saja sehingga dengan amat mudah ia
sudah mengelak dengan loncatan ke samping, Ia mengelak
lagi ketika biruang itu membalik dan menubruk lagi. Suma Eng
menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak terus,
sengaja mempermainkan biruang itu agar menjadi marah dan
lengah. Ia memaki-maki untuk memancing kemarahan biruang
itu. "Biruang jelek! Engkau seperti tikus besar, jelek dan bau!"
Suma Eng memaki maki sambil berloncatan mengelilingi
biruang itu. Biruang itu berdiri di atas dua kaki belakangnya dan kini
mencoba untuk menerkam dengan kedua kaki depannya.
Suma Eng kembali mengelak dan ketika ia melihat biruang itu
agak lengah, membuka kedua kaki depan lebar-lebar, secepat
kilat pedangnya menusuk ke arah dada binatang itu.
Tusukannya selain cepat juga amat kuat karena ia
mengerahkan tenaga sin-kangnya.
"Singgg..... ceppp.....!" pedang itu amblas ke dalam dada biruang sampai
setengahnya! Begitu menancap, Suma Eng
mencabut lagi sambil melompat ke belakang sehingga ia lolos
dari sambaran kaki depan biruang. Biruang itu menggerengTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ gereng, darah mengulir keluar dari luka di dadanya. Dia
kesakitan dan agaknya menjadi jerih karena tiba-tiba dia
membalikkan tubuhnya dan lari dari situ sambil berteriakteriak.
"Bagus, Eng Eng. Engkau telah mampu mengalahkannya!"
teriak Suma Kiang dengan girang.
"Akan tetapi aku belut dapat membunuhnya, ayah!" kata Suma Eng menyesal.
"Siapa bilang" Tusukan pedangmu tadi sudah cukup dalam
untuk melukai bagian dalam dadanya. Dia tentu akan mati di
tempat persembunyiannya."
"Ayah, ada lagi!" Tiba-tiba Suma Eng berteriak sambil menuding ke depan dengan
mata terbelalak. Suma Kiang
membalikkan tubuhnya dan diapun terbelalak kaget karena di
sana berdiri seekor biruang kulit putih yang besarnya luar
biasa! Ada dua kali tubuhnya besar biruang itu.
"Wah, hati-hati, Eng Eng, dia berbahaya sekali!" seruanya lirih. "Mari kita
pergi saja dari sini!"
"Tidak, ayah. Aku akan melawannya!" kata gadis remaja yang tidak mengenal takut
Itu. Suma Kiang memandang
dengan khawatir sekali dan diapun mencabut sepasang
pedangnya. Suma Eng sudah tiba di depan biruang putih itu. Tiba-tiba
ia mendapat akal yang berani sekali. Sambil mengeluarkan
teriakan keras, gadis itu menggulingkan tubuhnya ke depan,
bergulingan cepat dan pedangnya menyerang ke arah kedua
kaki belakang yang berdiri itu!
Akan tetapi ternyata biruang itu, biarpun memiliki tubuh
yang amat besar, dapat bergerak lincah. Dia dapat mengelak
dari sambaran pedang itu dan melompat ke atas, kemudian
menurunkan kedua kaki depannya dan menubruk ke arah
Suma Eng! "Awas, Eng Eng!" Suma Kiang berseru kaget. Akan tetapi Suma Eng yang masih rebah
di atas tanah sudah menggulingkan tubuhnya dengan cepat bagaikan seekor
binatang trenggiling dan tubrukan biruang itu pun mengenai
tempat kosong! Sebelum binatang itu mampu menyerang lagi,
Suma Eng sudah melompat berdiri pula dan memasang kudakuda,
siap untuk menghindarkan diri dari serangan biruang
itu. Ia hendak menggunakan siasat yang sama dengan ketika
mengalah-kan biruang hitam tadi, yaitu membiarkan binatang
itu menyerang terus sampai terlengah sehingga ia dapat
menusukkan pedangnya ke arah perut atau dada.
Akan tetapi biruang itu kini sudah berdiri lagi di atas kedua
kaki belakangnya dan kedua kaki depan yang menjadi seperti
sepasang tangan itu siap untuk menyerang. Dia melangkah
perlahan ke depan, kedua kaki depan siap di kanan kiri dan
setelah dekat, kedua kaki itu menyambar dan kanan kiri
dengan kuat dan cepat. Suma Eng mengelak mundur dan
ketika tangan atau kaki depan yang kanan menyambar lagi, ia
menyusup ke bawah kaki yang menyambar itu dan dari situ ia
menusukkan pedangnya. "Cessss.....!" Pedangnya menusuk dada bawah lengan,
akan tetapi tidak terjadi apa-apa. Ia merasa seperti menusuk
setumpuk kapas saja dan ketika pedang dicabut, tidak tampak
binatang itu terluka, bahkan kaki depan kanan kembali
menyambar disusul pula dengan kaki depannya yang kiri dan
hampir saja kepala Suma Eng kena disambar kaki depan kiri
yang lebih besar dari kepalanya! Akan tetapi gadis remaja itu
memang memiliki kecepatan gerakan yang cukup hebat, maka
ia masih berhasil menghindarkan diri dari kaki depan itu. Suma Eng terkejut
bukan main. Pedangnya sudah jelas menusuk
dada sampai hampir setengahnya, akan tetapi mengapa
biruang itu tidak terluka" Seperti menusuk kapas, atau seperti menusuk bayangan
saja! Dengan marah ia lalu melompat ke
atas dan mengayunkan pedangnya, dengan cepat sekali
sambil melompat itu ia menebas leher biruang itu.
"Singgg.... wusssshhhh.....!" Kembali pedangnya mengenai leher, akan tetapi
biruang itu tidak apa-apa dan pedangnya
seperti menembus leher tanpa merasakan apa-apa seolah
leher itupun hanya bayangan saja!
"Ayah.....!!" Suma Eng berseru, kini terkejut dan gentar.
Kalau binatang itu tidak dapat terluka oleh pedangnya, tentu
ia berada dalam bahaya besar sekali.
Sejak tadi Suma Kiang juga sudah memperhatikan
perkelahian antara puterinya dan biruang itu dan melihat pula
keganjilan itu. Biruang itu tidak dapat terluka oleh pedang,
Kalau tidak terluka karena kebal, hal itu masil tidak
mengejutkan. Akan tetapi ini bukan karena ketebalan kulit
atau kekebalan karena pedang itu tembus dan seperti
mengenai bayangan belaka.
"Eng Eng! Mundur kau....!" Serunya. Akan tetapi biruang itu telah menerkam ke
arah Suma Eng dan gadis itupun cepat
menghindarkan diri dengan lompatan ke samping.
Suma Kiang berkemak-kemik dan menudingkan telunjuknya
ke arah biruang itu. Dia menggunakan sihirnya karena
menduga bahwa ini tentu permainan sihir. Mendadak biruang
itu terpecah menjadi dua dan muncul dua biruang yang sama
besarnya! Suma Eng menjerit kecil dan cepat ia melompat
mendekati ayahnya. Suma Kiang juga terbelalak. Sihirnya
tidak dapat mempengaruhi biruang jadi-jadian itu bahkan kini
berubah menjadi dua, menggereng dan mengancam dengan
buasnya. Tiba-tiba dia teringat dan cepat Suma Kiang
menjatuhkan diri berlutut.
"Supek yang mulia, maafkan teecu berdua yang datang
untuk menghadap supek!"
Mendengar ini, Suma Eng terkejut sekali dan baru
menyadari bahwa biruang itu adalah binatang jadi-jadian yang
diciptakan oleh uwa kakeknya yang menurut ayahnya
merupakan seorang yang memiliki kesaktian hebat. Ia adalah
seorang anak yang cerdik sekali, maka tanpa diperintah iapun
sudah menjatuhkan diri berlutut meniru perbuatan ayahnya.
Sambil berlutut ia melirik ke depan, ke arah dua ekor biruang
putih itu dan tiba-tiba ada asap mengepul dan dua ekor
biruang itupun lenyap. Di tempat binatang-binatang itu kini
berdiri seorang kakek yang sudah tua sekali. Usianya tentu
lebih dari tujuh puluh tahun, jenggotnya panjang putih,
matanya mencorong tajam dan tubuhnya tinggi kurus sekali
seperti tengkorak. Pakaian kakek itu serba kuning potongan
pakaian tosu (pendeta To) atau pertapa. Kedua ujung
jubahnya amat panjang sehingga hampir menyentuh tanah
kalau tangannya tergantung lepas-lepas. Rambutnya yang
sudah putih itu digelung dan di kat dengan kain berwarna
putih. "Ha-ha-ha-ha! Kiranya engkau Suma Kiang! Aku tertarik
sekali kepada bocah perempuan itu, maka aku sengaja ingini
melihat ketabahan dan kelincahannya lalu menggodanya. Haha,
ternyata ia sama sekali tidak takut bahkan melawan mati
matian. Siapakah anak ini, Suma Kiang" Apakah ia muridmu?"
"Bukan hanya murid, supek. Akan tetapi juga anak. Ia anak tecu, namanya Suma
Eng. Hayo, Eng Eng, beri hormat kepada
uwa-kakek gurumu!" "Teecu Suma Eng menghaturkan hormat kepada su-pekkong
(uwa kakek guru)!" "Ha-ha, bagus! Suma Eng. Kalau engkau mendapat latihan
yang baik, kelak engkau bahkan lebih hebat daripada ayah
mu. Ha-ha-hal" Tentu saja ayah dan anak itu gembira sekali mendengar ini,
karena memang kedatangan mereka ke tempat tinggal kakek
ini adalah untuk minta digembleng ilmu-ilmu yang tinggi.
"Supek, sesungguhnya kunjungan teecu berdua ini adalah
untuk minta petunjuk supek."
"Mari kita bicara di pondokku. Aku-pun ingin bicara, sudah bertahun-tahun aku
tidak pernah bicara dengan siapapun
juga!" kata kakek itu gembira dan tanpa menoleh lagi dia lalu melangkah pergi
dari situ mendaki puncak. Suma Kiang
bergegas mengajak putennya untuk mengikuti. Agaknya kakek
itu memang sengaja hendak melihat bagaimana mereka,
terutama gadis remaja itu, mengejarnya, maka dia melangkah
dengan cepat, tentu saja tidak terlalu cepat karena dia hanya
ingin menguji Suma Eng. Suma Kiang tentu saja dengan mudah mengikuti supeknya
yang berjalan tidak terlalu cepat. Akan tetapi bagi Suma Eng,
langkah uwa-kakeknya itu sudah cepat sekali sehingga ia
harus mengerahkan tenaga untuk mengejarnya sehingga ia
tidak sampai tertinggal jauh.
Siapakah kakek tua renta yang aneh itu" Kalau kita tahu
bahwa Suma Kiang seorang datuk yang sudah memiliki ilmu
kepandaian tinggi, tentu saja kakek itu sebagai uwa gurunya
memiliki kesaktian yang amat hebat. Kakek itu menyebut
dirinya sebagai Hwa Hwa Cinjin dan puluhan tahun yang lalu
dia adalah seorang datuk yang amat terkenal dengan
wataknya yang aneh. Akan tetapi dia terkenal pula sebagai
tokoh golongan yang tidak bersih. Usianya sudah tujuh puluh
lima tahun dan di antara saudara-saudara seperguruannya,
yaitu guru Suma Kiang dan para paman-gurunya, hanya dia
seorang yang masih hidup. Selama belasan tahun ini, Hwa
Hwa Cinjin bertapa di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san dan
tidak pernah terdengar namanya di dunia persilatan. Bahkan
dunia ramai tidak mengenalnya dan tidak pernah melihatnya
karena kakek ini memang menjauhkan diri dari dunia ramai
dan hanya bertapa. Akan tetapi dasar seorang datuk yang
tidak bersih, dia bertapa bukan untuk menebus dosa dan
mencari jalan terang, melainkan untuk memperdalam ilmuilmu
nya, yaitu ilmu silat dan ilmu sihirnya!
Setelah tiba di depan pondoknya, sebuah pondok bambu
dan kayu sederhana yang berada di purcak itu, Hwa Hwa
Cinjin berhenti dan membalikkan tubuhnya, tertawa senang
melihat Suma Eng dapat tiba pula di situ tidak tertinggal jauh walaupun mukanya
kemerahan dan lehernya basah oleh
keringat. Diam-diam dia menjadi semakin senang dengan
anak perempuan itu. "Supek-kong tampaknya berjalan dan melangkah biasa
saja, akan tetapi bagaimana dapat demikian cepatnya melebihi
orang lari?" Suma Eng bertanya kepada kakek itu setelah ia tiba di depannya.
"Itulah Ilmu Liok-te Hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi), kalau sudah kau-
kuasai engkau dapat berlari secepat terbang.
Maukah engkau mempelajarinya?"
Tiba-tiba Suma Eng menjatuhkan dirinya berlutut di depan
kakek Hwa Hwa Cinjin. "Tentu saja teecu suka
mempelajarinya!" "Ha-ha-ha, Suma Kiang. Anakmu ini cocok dengan aku!"
"Teecu merasa beruntung sekali, supek. Memang
kunjungan teecu berdua ini untuk memohon kepada supek
agar sud memberi bimbingan kepada Suma Eng."
"Eh" Kenapa engkau mempunyai pikiran begitu" Bukankah
kepandaianmu sendiri sudah memadai untuk mendidik puteri
mu sendiri?" "Itulah, supek. Teecu merasa bahwa kepandaian yang
teecu miliki tidak ada artinya. Berkali-kali teecu dikalahkan
orang, dan teecu menginginkan agar kepandaian puteri teecu
melebihi teecu, agar kelak dapat membalaskan kekalahan
teecu dari orang-orang itu."
"Oho! Ada yang dapat mengalahkan-mu" Engkau yang
sudah menguasai Ciu-sian Tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa
Arak) dan Coa-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Racun Ular)"
Siapa mereka yang dapat mengalahkanmu itu?"
Suma Kiang menghela napas panjang. Hatinya masih
merasa penasaran sekali mengingat betapa dia kehilangan
Chai Li dan Cheng Lin, karena dikalahkan orang.
"Pertama tecu kalah ketika bertanding melawan Toa Ok."
"Toa Ok" Kau maksudkan Toat-beng-kui (Setan Pencabut
Nyawa) itu" Hemm, dia memang lihai, akan tetapi tidak
semestinya engkau kalah oleh dia. Lalu siapa lagi yang dapat
mengalahkanmu?" "Menghadapi Toa Ok, teecu masih dapat melakukan
perlawanan. Akan tetapi menghadapi hwesio tua yang bertapa
di Puncak Awan Putih di Thai-san itu, sungguh teecu merasa
seperti seorang anak anak yang tidak berdaya, Dalam
beberapa gebrakan saja teecu telah tertotok dan tidak
berdaya!" Hwa Hwa Cinjin membelalakkan mata nya. "Hemm,
begitukah" Dan siapa hwe-sioa tua yang amat sakti itu?"
"Teecu tidak tahu siapa dia, hanya dua orang pembantunya
mempunyai ciri yang khas. Yang seorang adalah seorang
nelayan yang membawa dayung baja dan orang kedua adalah
seorang petani yang membawa cangkul sebagai senjata."
"Ahhh....! Hwesio yang mempunyai pembantu seperti
pengawal Aku dapat menduga siapa dia. Dia tentu Cheng Hian
Hwesio! Tidak aneh kalau engkau, kalah menghadapi dia,
karena dia adalah seorang yang menguasai ilmu sakti It-yangci.
Aku sendiri, biarpun tidak akan kalah olehnya, setidaknya
juga tidak mudah untuk mengalahkannya. Sudahlah, aku akan
menurunkan semua ilmu simpananku kepada Suma Eng agar
kelak ia dapat menjunjung tinggi nama kita. Tinggalkan ia di
sini bersamaku selama lima tahun."
"Baik, dan terima kasih, supek." Kemudian kepada
puterinya dia berkata, "Eng Eng, engkau baik-baiklah belajar kepada supek. Hari
ini juga aku akan meninggalkanmu di sini."


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akan tetapi, ayah hendak pergi ke manakah" Apakah ayah
tidak bisa tinggal di sini pula bersama supek-kong dan aku?"
"Tidak bisa. Supek menghendaki aku pergi dan aku hanya
akan mengganggu ketekunanmu kalau aku berada di sini. Aku
akan mengembara dan lima tahun kemudian aku akan
menjemputmu di sini."
Mereka memang orang-orang yang memiliki watak aneh.
Murid keponakannya baru saja tiba dan sudah disuruhnya
pergi lagi meninggalkan putennya di situ, demikian anehnya
watak Hwa Hwa Cinjin. Suma Kiang juga tidak keberatan dan
dengan mudah saja dia meninggalkan puteri yang dicintanya.
Bahkan Suma Eng juga sudah menunjukkan watak yang keras
dan aneh. Ia tidak tampak sedih atau terharu ditinggal
ayahnya di tempat yang asing baginya itu, apalagi mereka
akan berpisah selama lima tahun! Dari sini saja dapat
dibayangkan betapa keras dan tabahnya hati gadis remaja ini.
Demikianlah, mulai hari itu Suma En tinggal di Puncak Ekor
Naga di Cin-ling-san, menerima gemblengan ilmu-ilmu dari
uwa-kakek gurunya. Dua ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya,
yaitu Ciu-sian Tung-hoat dan Coa-tok Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Racun Ular), disempurnakan oleh Hwa Hwa Cinjin menjadi
ilmu yang amat ampuh. Di samping menyempurnakan dua
ilmu yang telah dikuasai Suma Eng, diapun menurunkan ilmu
pukulan Pek-Lek ciang-hoat (Ilmu Silat Halilintar) dan juga
ilmu sihir yang mengandalkan tenaga khi-kang. Selama lima
tahun Suma Eng belajar dengan giat dan tekun sekali
sehingga ia memperoleh kemajuan yang hebat.
Akan tetapi ada sesuatu kesedihan yang kadang
mengganjal hati Suma Eng, yaitu kalau ia teringat akan
ibunya. Seperti anak-anak biasa, sejak kecil ia merindukan
ibunya. Akan tetapi setiap kali ia bertanya kepada ayahnya di
mana ibunya, ayahnya selalu mengatakan bahwa ibunya telah
mati. Kalau ia mendesak kepada ayahnya agar menceritakan
tentang ibunya, ayahnya bahkan membentaknya dengan
marah, dan ketika ia menanyakan dari mana ibunya berasal,
ayahnya hanya mengatakan dengan singkat bahwa ibunya
orang dari dusun Ban-Li-cung di kaki pegunungan Thai-san.
Nama dusun ini tak pernah terlupakan oleh Suma Eng dan
timbul niatnya bahwa sekali waktu ia pasti akan berkunjung ke
dusun itu untuk mencari keterangan tentang ibunya.
Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta itu agaknya senang
sekali kepada Suma Eng. Melihat ketekunan dan juga
kecerdikan gadis itu, yang dengan mudah mampu menerima
pelajaran ilmu yang tinggi-tinggi, kakek itu lalu menurunkan
semua ilmunya. Agaknya sebelum dia mati, dia ingin
mewariskan ilmu-ilmunya kepada seseorang dan sekarang dia
telah menemukan ahli warisnya, yaitu Suma Eng.
Dengan amat cepatnya waktu berlalu dan tahu-tahu Suma
Eng sudah tinggal di Puncak Ekor Naga selama lima tahun!
Pada suatu hari, di kebun belakang pondok di Puncak Ekor
Naga itu tampak seorang gadis yang sedang duduk bersila di
atas sebuah batu datar. Gadis itu berusia delapan belas tahun, cantik jelita
wajahnya, manis dengan tahi lalat di pipi kiri,
matanya yang terpejam itu dilindungi bulu mata yang panjang
lentik, tubuhnya yang duduk bersila dengan punggung tegak
lurus itu ramping padat mempesona. Pakaiannya berwarna
nrerah muda dan tampak ringkas. Di punggungnya tergantung
sebatang pedang sehingga gadis itu tampak cantik jelita dan
juga gagah sekali. Gadis itu bukan lain adalah Suma Eng yang
kini telah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun.
Pagi itu dia sudah berlatih silat dan setelah lelahi berlatih silat tangan
kosong, silat pedang dan silat tongkat, ia lalu duduk
bersila di situ untuk menghirup hawa murni dan memulihkan
tenaga menghilangkan kelelahan.
Tiba-tiba telinganya yang memiliki pendengaran amat
tajam dan terlatih, dapat menangkap suara yang tidak wajar
yang datang dari depan pondok. Cepat ia meloncat turun dari
atas batu dan dengan gerakan seperti seekor burung terbang,
ia sudah lari menuju depan pondok. Ketika tiba di depan
pondok, ia tertegun. Uwa-kakek gurunya, Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta
itu, sedang berdiri di luar pintu dan sedang mengadu tenaga
sakti melawan empat orang! Hwa Hwa Cinjin berdiri dengan
tubuh direndahkan dan kedua tangannya didorongkan ke
depan, bertemu dengan dua tangan yang juga didorongkan
menyambut tangan Hwa Hwa Cinjin. Dua tangan ini milik
seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang bertubuh tinggi
besar dan berpakaian mewah. Di belakang kakek tinggi besar
ini masih berdiri secara berbaris tiga orang lagi. Seorang
berusia enam puluhan tahun yang bertubuh sedang juga
mendorongkan kedua tangan ke depan menempel pada
punggung laki-laki tinggi besar tadi. Di belakang laki-laki ke dua ini berdiri
seorang wanita cantik berusia hampir empat
puluh tahun juga menempelkan kedua tangan di punggung
laki-laki ke dua, dan di belakang sendiri berdiri seorang wanita pula yang
berusia enam puluh tahun namun masih nampak
cantik jelita dan mewah. Mereka semua mengerahkan tenaga
sin-kang dan di kepala mereka mengepul uap putih.
Sekali pandang saja tahulah Suma Eng apa yang sedang
terjadi. Empat orang itu sedang mengadu tenaga sin-kang
melawan kakek gurunya! Mereka berempat menyatukan
tenaga sin-kang dan melalui kakek terdepan mereka berusaha
sekuatnya untuk mengalahkan Hwa Hwa Cinjin. Dan melihat
keadaan kakek gurunya yang sudah berpeluh dan seluruh
tubuhnya gemetar, mengerti pula Suma Eng bahwa kakek
gurunya terdesak dan dalam bahaya besar. Tanpa membuang
waktu lagi ia melompat ke belakang gurunya lalu
mendorongkan kedua tangannya, ditempelkan ke punggung
gurunya dan nengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Akibat bantuan Suma Eng ini hebat sekali. Empat orang
yang sedang mengeroyok Hwa Hwa Cinjin itu terpental ke
belakang dan roboh tunggang langgang saling tindih! Tentu
saja mereka terkejut sekali dan hampir tidak percaya bahwa
tenaga yang luar biasa besarnya itu datang dari seorang gadis
muda belia. Mereka maklum bahwa kalau gadis itu membantu
Hwa Hwa Cinjin, mereka tidak akan menang. Apalagi Hwa
Hwa Cinjin yang biarpun sudah terdesak, kini masih tampak
segar dan kokoh kuat. "Pergi......!" kata kakek pertama yang paling tua dan empat orang itu lalu
melompat jauh dengan cepat sekali dan pergi
meninggalkan Puncak Ekor Naga. Suma Eng yang merasa
penasaran hendak mengejar, akan tetapi tidak jadi karena ia
melihat betapa uwa-kakek gurunya terhuyung dan dari
mulutnya keluar darah segar!
"Supek-kong (uwa kakek guru).....!"
katanya khawatir. Akan tetapi kakek itu terhuyung dan
roboh. Cepat Suma Eng menangkap tubuh itu dan
merangkulnya sehingga tidak jatuh akan tetapi ternyata kakek
itu telah pingsan! Suma Eng lalu memondong tubuh Hwa Hwa
Cinjin dan membawanya memasuki pondok. Dia merebahkan
tubuh kakek itu ke atas pembaringan kayu dalam kamar Hwa
Hwa Cinjin dan cepat melakukan pemeriksaan. Melihat
keadaan kakek itu berbahaya sekali, isi dadanya terguncang
dan tampak tanda-tanda bahwa dalam dada itu penuh hawa
beracun, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak dan
leher untuk menghentikan pendarahan. Kemudian setelah
membuka baju kakek itu, ia menempelkan kedua telapak
tangannya ke atas dada yang berwarna agak kehitaman itu
dan mengerahkan sinkang untuk mengukir hawa beracun dan
dalam dada Hwa Hwa Cinjin. Tiba-tiba Suma Eng terkejut dan
melepaskan kedua telapak tangannya dari dada kakek itu. Ada
hawa yang amat panas menyambut kedua tangannya.
Jilid IX HWA HWA CINJIN membuka kedua matanya dan mengeluh
lirih. Suma Eng segera mendekatkan mukanya dan bertanya,
"Supek-kong, bagaimana rasanya badan supek-kong?"
Kakek itu memandang kepada Suma Eng, mulutnya
menyeringai seperti kalau dia tertawa. Biasanya, kakek ini
memang suka sekali tertawa, dalam keadaan bagaimanapun
dia selalu tertawa. Akan tetapi sekarang agaknya rasa nyeri
membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara tawa.
"Mereka menyerangku dengan Ban-tok-ciang (Tangan
Selaksa Racun), dalam tubuhku penuh hawa beracun...."
"Siapakah mereka yang menyerangmu tadi, supek-kong?"
Kakek itu agaknya berdaya mengumpulkan semua tenaga
yang tersisa untuk dapat bicara, "..... mereka itu.... Thian-te Sam-ok (Tiga
Jahat Bumi Langit) dan yang seorang wanita
mungkin murid mereka."
"Hemm, Thian-te Sam-ok" Mengapa mereka
menyerangmu, supek-kong?"
"Ha-ha-ha..... uh-uh-uhhh.....!" Karena tertawa ini, kakek itu terbatuk-batuk
dan darah segar keluar dari mulutnya.
Suma Eng cepat membersihkan bibir kakek itu dengan sehelai
saputangan. "Mereka memang musuh lama. Tidak pernah menang
melawanku dan tadi mereka muncul setelah berhasil
menemukan tempat pertapaanku ini. Aku sudah terlalu tua,
tenagaku banyak berkurang namun aku masih dapat bertahan
menghadapi mereka. Akan tetapi mereka mempergunakan
Ban-tok-ciang yang penuh dengan hawa beracun yang
busuk......" dia terengah-engah.
"Supek-kong....!" seru Suma Eng dengan khawatir.
"Sudahlah, jangan banyak bercakap, supek-kong harus
beristirahat untuk memulihkan tenaga."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak ada
gunanya..... seluruh tubuhku telah keracunan..... tak mungkin
disembuhkan lagi. Dengar baik-baik pesan ku, Eng Eng......"
Dengan alis berkerut dan sikap bersungguh-sungguh, Suma
Eng mengangguk. "Teecu mendengarkan, supek-kong!"
"Setelah aku mati, bakar pondok ini dan biarkan jenazahku terbakar di dalamnya.
Lalu taburkan dan biarkan hanyut abu
jenazahku ke Sungai Huang-ho di bawah lereng itu...."
"Baik, supek-kong." kata Suma Eng tegas.
"Kemudian jangan lupa, kelak carilah Thian-te Sam-ok dan
bunuh mereka......" "Baik, supek-kong. Akan teecu bunuh mereka satu demi
satu " kata pula Suma Eng sambil mengepal tangan kanan.
"Ha-ha, aku puas sudah.... bantulah aku bangkit duduk...."
Suma Eng membantu kakek itu duduk bersila di atas
pembaringannya. Setelah duduk bersila dengan tegak, kakek
itu mengambil napas dalam sekali dan tubuhnya menjadi
kaku, masih duduk bersila akan tetapi matanya terpejam dan
napasnya putus! Kiranya tadi dia mengerahkan seluruh sisa
tenaganya untuk bicara dan setelah berhenti bicara, tenaga
dan daya tahannyapun habis dan dia menghembuskan napas
terakhir dalam keadaan masih duduk bersila.
"Supek-kong.....!" Suma Eng memanggil, lalu menyentuh nadinya dan mendekatkan
tangannya ke depan hidung kakek
itu. Maka tahulah ia bahwa gurunya itu telah tewas.
Biarpun hatinya merasa sedih, Suma Eng tidak menangis,
hanya memandang kepada jenazah yang duduk bersila itu
dengan mata penasaran. "Supek-kong, tenangkan arwahmu,
teecu pasti akan membunuh Thian-te Sam-ok!"
Kemudian ia teringat akan pesan kakek itu untuk
membakar pondok, la lalu berkemas, mengumpulkan semua
miliknya yang kiranya dapat ia bawa merantau, membungkus
semua pakaian dalam sebuah buntalan kain biru. Setelah itu,
ia mengumpulkan daun dan kayu kering, menumpuknya di
dalam dan di luar sekitar pondok kemudian membakar pondok
itu. Api berkobar melahap pondok, menimbulkan suara
berkerotokan. Suma Eng menjauhi pondok dan duduk di
bawah pohon memandang api yang bernyala besar, dan pada
saat itu terbayang olehnya semua kebaikan Hwa Hwa Cinjin
selama ia berguru kepada kakek tua renta itu. la mengepal
tangan kanannya dan mulutnya mengeluarkan bisikan lirih.
"Awas kalian, Thian-te Sam-ok. Aku akan membalaskan
kematian supek-kong!"
Berjam-jam ia menunggu sampai seluruh pondok terbakar
habis. Setelah semua api padam, la lalu mencari di antara
puing dan menemukan abu putih setumpuk, abu jenazah Hwa
Hwa Cinjin. Dengan hati-hati ia mengumpulkan abu itu dan
memasukkan dalam buntalan kain kuning yang memang
sudah ia persiapkan, lalu membungkus abu itu dalam kain
kuning. Setelah itu, ia menggendong dua buntalan itu, yang
sebuah buntalan pakaiannya dan yang sebuah lagi dan kecil
adalah buntalan abu jenazah gurunya. Maka berangkatlah ia
meninggalkan Puncak Ekor Naga, menuruni puncak menuju ke
Sungai Huang-ho yang mengalir di bawah lereng sebelah
selatan. Suma Eng berjalan seenaknya sambil melamun. Ia teringat
akan ayahnya. Di mana ayahnya berada" Dahulu ayahnya
mengatakan bahwa setelah lewat lima tahun, ayahnya akan
datang ke Puncak Ekor Naga untuk menjemputnya.
Bagaimana kalau nanti ayahnya datang dan melihat pondok
sudah terbakar habis dan ia sudah tidak berada di sana" Ia
terpaksa harus membakar pondok untuk menaati pesan
supek-kongnya, dan sekarang ia harus pergi menebarkan abu
jenazah itu ke Sungai Huang-ho. Teringat akan ayahnya, ia
merasa rindu juga dan segera ia kembali ke Puncak Ekor Naga
yang belum jauh ia tinggalkan. Di depan pondok itu terdapat
sebuah pohon besar dan Suma Eng lalu mencabut pedangnya.
Sinar kehijauan tampak ketika ia mencabut Ceng-liong-kiam
(Pedang Naga Hijau), kemudian ia mencorat-coret dengan
ujung pedangnya pada batang pohon. Ia meninggalkan
beberapa huruf untuk memberitahu kepada ayahnya kalau
ayahnya datang ke Puncak Ekor Naga.
"Supek-kong telah meninggal dunia. Aku membawa abunya
untuk dihanyutkan di Sungai Huang-ho dan setelah itu aku
akan merantau ke selatan."
Demikianlah coretan-coretan berupa huruf-huruf yang
dibuat di batang pohon itu. Kalau ayahnya datang ke Puncak
Ekor Naga, ayahnya tentu akan melihat tulisan itu dan akan
mengerti. Setelah elesai meninggalkan pesan lewat coretan di
belakang pohon, Suma Eng lalu menuruni kembali puncak itu
dan kini ia mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar
saja sudah tiba di lereng. Tiba-tiba muncul belasan orang yang keluar dari balik
semak belukar dan pohon-pohon yang banyak
terdapat di luar hutan itu. Mereka terdiri dari laki-laki berusia antara dua
puluh lima sampai empat puluh tahun, sikap


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka kasar dan bengis dan tangan mereka memegang
sebatang golok yang tajam.
Biarpun Suma Eng belum pernah mengalami hal seperti ini,
namun dari cerita ayahnya ia dapat menduga bahwa ia
berhadapan dengan segerombolan perampok yang biasa
menghadang orang lewat dan merampas barangnya.
Melihat belasan orang itu sengaja menghadang di
depannya, Suma Eng bertanya dengan suara nyaring,
"Siapakah kalian dan mau apa kalian menghadang
perjalananku?" "Mau apa" Ha-ha-ha, apa-apa kami mau! Terutama
buntalan di punggungmu itu!" kata seorang yang brewokan
dan berkulit hitam. "Orangnya kami juga mau!" terdengar orang lain dan
semua laki-laki itu tertawa bergelak. Mereka menyeringai dan
sikap mereka kurang ajar sekali.
"Hushh!" kata si brewok yang tampak nya adalah pemimpin mereka. "Sekali ini
orangnya untukku dan barang-barangnya kita bagi rata!"
Suma Eng mengangguk-angguk dan senyumnya melebar.
Orang-orang itu tidak tahu betapa bahayanya kalau Suma Eng
sudah tersenyum lebar seperti itu. Ini tandanya bahwa ia
marah sekali. Ia marah bukan karena dihadang hendak
dirampok, melainkan marah karena kata-kata mereka yang
kurang ajar terhadap dirinya.
"Hemm, mengerti aku sekarang! Jadi kalian ini adalah
anjing-anjing perampok yang tak tahu diri dan kurang ajar"
Bagus, kebetulan sekali, nonamu juga sedang gatal tangan
dan akan mengirim nyawa kalian ke neraka! Kalian mau
mengambil buntalan- buntalan ini?" la menurunkan dua
buntalannya dan meletakan di atas tanah.
"Nah, siapa mau boleh ambili" katanya.
Setelah buntalan itu turun dari punggungnya, baru tampak
oleh para perampok itu bahwa gadis itu membawa sebatang
pedang di punggung mereka. Akan tetapi tentu saja mereka
tidak gentar oleh ucapan Suma Eng. Gadis muda seperti itu,
akan mampu berbuat apakah terhadap mereka" Maka, dua
orang segera menubruk hendak mengambil buntalan itu.
"Plak! Plak!" Dua kali tangan kiri dan kanan Suma Eng bergerak menampar dan
tepat mengenai muka dua orang itu
tanpa dapat dielakkan atau ditangkis karena perhatian mereka
ditujukan kepada buntalan itu dan tamparan yang dilakukan
Suma Eng cepat seperti kilat. Dua orang itu terpelanting
roboh, berkelojotan dan tewas dengan mata mendelik. Semua
orang terkejut melihat betapa di muka dua orang rekan
mereka itu terdapat tanda telapak tangan hitam.
"Dan siapa mau memiliki aku" Boleh ambil!" Suma Eng
membusungkan dadanya seperti hendak menyerahkan dirinya.
Kepala perampok yang brewokan dan berkulit hitam itu
menjadi marah sekali. Dia membuka bajunya sehingga tampak
dadanya yang berbulu dan membentak, "Gadis setan berani
engkau membunuh anak buahku?" Dia lalu menubruk, seperti
seekor biruang yang menubruk sambil mengembangkan kedua
lengan seperti hendak menerkam Suma Eng. Gadis itu
menggerakkan kedua tangan menangkis dan ketika lengan
tangan kepala rampok itu terpental ke kanan kiri dan dadanya
terbuka lebar, tangan kirinya menghantam dengan telapak
tangan terbuka kearah dada itu.
"Bukk.....!!" Tubuh kepala perampok Itu terpental ke belakang dan roboh
terjengkang, berkelojotan lalu tewas. Di
dadanya yang hitam itu tampak bekas telapak tangan yang
lebih hitam lagi! Melihat pimpinan mereka roboh dan tewas, para perampok
itu terbelalak dan menjadi marah sekali. Mereka adalah orangorang yang busa
mengandalkan kekuatan tidak
mempergunakan pikiran sehingga mereka tidak menyadari
bahwa mereka berhadapan dengan orang yang memiliki
kesaktian. Belasan orang itu lalu menggerakkan golok mereka
dan menerjang Suma Eng dari berbagai jurusan.
Suma Eng maklikn bahwa biarpun ilmu kepandaian para
perampok itu tidak seberapa, namun karena belasan orang
maju bersama, maka dapat membahayakan keselamatannya
juga. Hal ini membuatnya makin marah dan dengan
mempergunakan kecepatan gerakannya, ia berloncatan dan
menyusup di antara mereka, menggunakan ilmu silat yang
disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Memasuki
Serbuan Ratusan Golok). Tubuhnya berkelebatan, lenyap
bentuknya hanya tampak bayangan yang berkelebatan di
antara golok-golok itu dan kedua tangannya sibuk membagibagi
tamparnn yang dilakukan dengan ilmu Toat-beng Tokciang
(Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hanya terdengar
suara piok-plak plak dan disusul jeritan dan robohnya para
perampok. Satu demi satu mereka roboh dan semua tewas
dengan tanda telapak jari tangan hitam dan mata mendelik!
Setelah hampir semua dari mereka roboh dan tewas,
tinggal dua orang yang masih hidup, barulah mereka
menyadari dan dua orang itu lalu membalikkan tubuh dan lari
tunggang-langgang Suma Eng tertawa mengejek, memungut dua batang golok
dari atas tanah dan sekali ia lontarkan golok itu, dua sinar
menyambar ke arah orang yang melarikan diri dan di lain saat
mereka berteriak dan roboh menelungkup dengan punggung
ditembusi golok. Suma Eng menepuk-nepuk kedua tangan seperti hendak
membersihkan dari debu sambil tersenyum puas. Matanya
bersinar-sinar dan ia merasa bangga sekali atas kemampuan
dirinya. Kalau saja ayahnya dan supek-kongnya menyaksikan
apa yang baru saja ia lakukan, mereka tentu akan merasa
senang dan bangga sekali.
Ia memandang belasan mayat yang berserakan itu dan
menggumam sendiri, " Anjing-anjing perampok hina, baru
kalian tahu sekarang akan kelihaian nonamu!" Dia mengambil buntalannya,
menggendong lagi buntalan pakaian dan
buntalan abu jenazah gurunya, lalu melanjutkan
perjalanannya. Hari telah jauh siang ketika ia tiba di kaki pegunungan dan
memasuki sebuah dusun yang cukup ramai. Ketika melihat
sebuah warung makan di tepi jalan, barulah terasa olehnya
betapa perutnya lapar sekali dan teringatlah ia bahwa sejak
pagi ia belum makan apapun atau minum apapun. Bau sedap
masakan yang memakai bawang menusuk hidungnya dan
membuat perutnya menjadi semakin lapar. Ia lalu memasuki
warung itu. Sebuah warung makan yang sederhana namun
cukup besar dan mempunyai tujuh meja. Tiga buah meja telah
dihadapi tamu, dan ia lalu memilih meja kosong dan duduk di
bangku. Buntalannya ia lepas dari punggung dan ia letakkan di
atas meja, tanpa melepas pedangnya dari punggung. Seorang
pelayan, satu-satunya pelayan di warung itu, seorang yang
usianya sudah setengah tua, lima puluhan tahun,
menghampirinya. "Nona hendak memesan makanan dan minuman?"
"Ambilkan air teh cair, arak lunak setengah guci kecil dan nasi serta dua macam
masakan yang enak dari dagingi ayam
dan sapi." "Baik, nona." Pada saat itu, tamu yang makan di meja sebelah, tiga
orang banyaknya, telah selesai dengan makanan mereka dan
mereka sudah hendak meninggalkan meja. Seorang di antara
mereka mengeluarkan sebuah pundi-pundi kecil untuk
mengeluarkan uang. Pada saat itu barulah Suma Eng teringat
bahwa membeli makanan dan minuman haruslah membayar,
padahal ia sama sekali tidak mempunyai uang sepeserpun! Ia
memandang orang yang memiliki pundi-pundi uang itu.
Pemilik pundi-pundi uang itu mengeluarkan beberapa potong
uang dan dibayarkan kepada pelayan, kemudian menyimpan
kembali pundi-pundi uangnya di dalam saku bajunya yang
longgar. Suma Ing tersenyum. Ada jalan untuk dapat
membayar harga makanan dan minuman, pikirnya.
Ia menanti sampai tiga orang itu bangkit berdiri dan
melangkah melewati dekat mejanya. Tiba-tiba ia berdiri dan
menghadang laki-laki yang memiliki pundi-pundi uang itu dan
menepuk pundaknya sambil tersenyum girang.
"Hei ! Tan-twako (kakak Tan), engkau hendak pergi ke
manakah?" Laki-laki itu memandang dengan bingung akan tetapi
tersenyum girang karena yang menegurnya adalah seorang
gadis yang amat cantik. "Aku.... aku bukan orang she (marga) Tan....." katanya ragu. "Nona siapakah?"
"Ah, maafkan aku. Wajahmu mirip sekali dengan Tantwako."
kata Suma Eng, tersipu lalu kembali duduk di
kursinya. Tiga orang itu melanjutkan langkah mereka sambil
tertawa-tawa. Orang yang ditegurnya tadi berkata kepada dua
orang temannya. "Sungguh sayang aku bukan orang she Tan, kalau iya,
alangkah senangnya mengobrol dengan si cantik jelita itu."
Dan tiga orang itu tertawa-tawa lagi sambil keluar dari warung makan. Sementara
itu, sambil mengulum senyum, Suma Eng
menyelipkan pundi-pundi uang yang telah diambilnya dari
kantung orang tadi ke dalam buntalannya.
Suma Eng lalu makan dengan enaknya. Setelah selesai
makan dan membayar harga makanan dan minuman, ia lalu
menggendong lagi buntalannya dan beranjak meninggalkan
warung makan itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan
warung, terdengar teriakan orang dan tiga orang laki-laki tadi datang berlarian.
Pemilik pundi-pundi tadi menuding-nuding
kepadanya. "Itu ia! Cepat jangan sampai ia lari!" Akan tetapi Suma Eng tidak lari dan
memandang kepada mereka dengan sikap he
ran. la melirik ke keranjang sampah di depan warung, di mana
baru saja ia melemparkan pundi-pundi kosong itu dan semua
uang yang tadi berada di pundi-pundi kini telah berada dalam
buntalan pakaiannya dengan aman.
"Hei, nona. Kembalikan pundi-pundi uangku!" Laki-laki itu menghampiri Suma Eng
dan menudingkat telunjuknya ke arah
muka gadis itu. "Hemm, apa maksudmu" Aku tidak tahu tentang pundipundi
uangmu!" jawab Suma Eng dengan tenang.
"Engkau tentu yang mengambil pundi-pundi uangku. Sejak
aku keluar dari warung ini, selain engkau tidak ada orang lain lagi yang
mendekati aku. Hayo turun kan dan buka
buntalanmu, akan kuperiksa. Pundi-pundi uangku tentu
berada dalam buntalanmu itu!" kata pula pemilik pundi-pundi.
"Asalkan engkau mau melayani kami bertiga selama sehari
semalam, biarlah pundi-pundi itu tidak usah kau kembali-kan!"
kata seorang di antara mereka ber tiga sambil menyeringai.
Ucapan dan sikap inilah yang membuat Suma Eng menjadi
marah, Ia melepaskan buntalannya dan membuka buntalan itu
di atas tanah di depan mereka. "Nah, kalian lihat. Mana pundipundi itu" Kau kira
aku tidak punya uang dan mencuri pundipundimu"
Lihat, akupun mempunyai cukup banyak uang."
katanya sam bil memperlihatkan uang dalam buntalan, uang
pindahan dari pundi-pundi. Tentu saja orang tidak akan
mampu mengenali uang, karena uang itu di mana-manapun
sama saja. Pundi-pundi yang menjadi tanda milik orang itu
sudah tidak ada! Banyak orang berdatangan dan merubung tempat itu untuk
menonton apa yang terjadi. Tiga orang itu tidak menemukan
pundi-pundi dalam buntalan dan si pemilik pundi-pundi
berkata, "Tentu kau-sembunyikan dalam bajumu!"
"Kita geledah saja pakaiannya!" kata pula yang tadi
mengeluarkan ucapan kurang ajar.
Suma Eng menggendong lagi buntalannya dan nenghadapi
tiga orang yang sudah siap untuk menggeledah pakaiannya itu
ia berkata, "Kalian hendak menggeledah pakaianku. Silakan, kalau kalian mampu!"
Seperti tiga ekor anjing berebutan tulang, tiga orang lakilaki itu menjulurkan
tangan-tangan yang penuh gairah hendak
mengerayangi tubuh Suma Eng. Gadis itu mengelak ke
belakang dan ketika tiga orang itu mengejar, kedua tangannya
bergerak cepat sekali. "Plak-plak-plak-plak-plak-plak!" Dengan kecepatan yang tidak dapat di kuti
pandang mata, tiga orang itu masingmasing
telah kena ditampar pipi kiri dan kanan mereka.
Mereka mengaduh-aduh dan terhuyung sambil menggunakan
kedua tangan memegangi kedua pipi mereka yang bengkakbengkak
dan bibir mereka yang berdarah karena gigi mereka
banyak yang copot! "Masih ingin menggeledahku?" tanya Suma Eng yang hanya menggunakan tenaga ketika
menampar, tidak mengerahkan
pukulan beracun. Biarpun ayahnya selalu menasihatkan
padanya agar membunuh setiap orang yang berani
menentangnya, namun gadis ini tidaklah sekejam ayahnya.
Para perampok itu memang dibunuhnya karena kesalahan
mereka sudah jelas. Akan tetapi tiga orang ini tidak bersalah
apa-apa kecuali bersikap kurang ajar, bahkan uang mereka
telah ia curi. Karena itulah maka ia hanya menghajar mereka
dengan tamparan itu saja. Tiga orang itu merasa kesakitan
dan juga ketakutan. Mereka lalu melarikan diri sambil
memegangi kedua pipi mereka. Para penonton banyak yang
tertawa melihat peristiwa yang mereka anggap lucu. itu. Akan
tetapi banyak pula yang memandang kepada Suma Eng
dengan jerih, apalagi melihat sebatang pedang tergantung di
punggung gadis itu. Suma Eng tidak memperdulikan pandang mata semua
orang itu dan ia melanjutkan perjalanan dengan cepat
meninggalkan dusun itu. Setelah senja tiba, belum juga ia
bertemu dusun lain dan terpaksa ia berhenti di luar sebuah
hutan, membuat api unggun di bawah sebatang pohon besar
dan melewatkan malam di tempat itu. Ia tidak dapat tidur
pulas membiarkan dirinya terancam bahaya di tempat terbuka
itu, akan tetapi hal ini bukan merupakan persoalan baginya, la sudah dilatih
oleh Hwa Hwa Cinjin dan sudah biasa duduk
bersila dalam samadhi. Dalam keadaan seperti ini, tidak
bedanya dengan orang tidur karena semua urat syaraf di
tubuhnya beristirahat sepenuhnya, namun kesadarannya
selalu siap sehingga sedikit saja terdengar suara yang tidak
wajar akan cukup untuk membangunkannya. Dapat dikata
bahwa ia tidur dalam keadaan sadar! Demikian pula, kalau api
unggun hampir padam, ia dapat merasakannya, terbangun
dan menambahkan kayu bakar pada api unggun. Dan1
panasnya api unggun itu mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Suma Eng membuka matanya. Api unggun sudah hampir


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

padam dan hawa udara masih dingin. Akan tetapi karena sinar
matahari pagi sudah mulai menerangi tanah, iapun tidak
membesarkan api unggun. Pagi telah tiba. Sejenak ia enikmati
suasana pagi yang cerah itu. Kicau burung di atas pohon,
diseling kuruyuk ayam jantan dari hutan, mendatangkan
suasana yang tenteram dan penuh emangat hidup. Suma Eng
bangkit berdiri, menggendong buntalannya dan meninggalkan
bawah pohon untuk mencari anak sungai atau sumber air.
Akhirnya ia enemukan pancuran air di dalam hutan itu segera
ia membersihkan dirinya degan air yang jernih itu. Segar sejuk rasanya. Kemudian
ia lalu mengikuti aliran air dari pancuran
itu karena maklum bahwa Sungai Huang-ho tentu sudah dekat
dan air yang mengalir dari pancuran itu akhirnya tentu akan
terjun ke dalam Sungai Huang-ho. Ternyata air itu masuk ke
dalam sebatang anak sungai yang lumayan besarnya dan ia
lalu menyusuri tepi anak sungai ini, mengikuti jalannya yang
menuju ke barat. Perutnya terasa lapar. Melihat betapa
banyaknya ikan yang berenang di anak sungai itu, ia lalu
mengambil sebatang ranting, diruncingkannya ujungnya dan
dengan senjata ini ia menuruni tepi sungai. Sebentar saja,
dengan rantingnya, ia telah dapat menangkap dua ekor ikan
sebesar tangannya. Lalu dibuatnya api unggun dan
dipanggangnya ikan itu. Akan tetapi ketika dimakannya, ia
menyeringai. Rasa daging ikan itu hambar. Tentu saja
hambar. Segala macam daging akan terasa hambar dan tidak
enak kalau dipanggang atau dimasak tanpa bumbu terutama
garam, la sama sekali tidak berpengalaman melakukan
perjalanan seorang diri, maka iapun tidak membawa garam
maupun bumbu masak lainnya. Dibuangnya ikan-ikan itu dan
setelah mencuci tangannya, ia melanjutkan perjalanannya.
Setelah hari menjadi siang, barulah anak sungai itu terjun
ke dalam Sungai Huang-ho. Suma Eng menjadi girang sekali.
Inilah tempatnya di mana ia harus menaburkan abu jenazah
Hwa Hwa Cinjin seperti yang dipesan oleh kakek itu.
Akan tetapi ia tidak mempunyai perahu. Bagaimana dapat
menaburkan abu itu" Dari tepi" Penaburan itu tentu tidak
sempurna, dan abunya akan banyak yang terjatuh di tepi
sungai karena terbawa angin ketika ia taburkan. Suma Eng
menjadi bingung dan duduk di atas sebuah batu besar.
Tempat itu sunyi, dari mana ia akan dapat menyewa perahu"
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan wajahnya berseri, la melihat
sebuah perahu hitam didayung oleh seorang laki-laki setengah
tua. "Paman.....1 Paman tukang perahu! Kesinilah, aku ingin
menyewa perahumu!" Teriak Suma Eng sambil mengerahkan
tenaga dalamnya sehingga suaranya melengking nyaring dan
dapat terdengar dari jauh.
Tukang perahu itu juga mendengarnya dan berdiri di
perahunya sambil memanjang ke arah pantai di mana Suma
Eng melambai-lambaikan tangannya.
"Ke sinilah, paman! Aku akan menyewa perahumu
menyeberang, berapa saja sewanya akan kubayar!" kembali
Suma Eng berseru. Agaknya tukang perahu itu mengerti baik
dan iapun duduk kembali mendayung perahunya menuju ke
pantai di mana Suma Eng berdiri. Gadis itu men jadi girang
bukan main. Setelah perahu itu tiba di pinggir, Suma Eng melihat bal
tukang perahu itu bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya
sudah setengah tua, tampak sehat dan kokoh kuat. Sebuah
caping besar menutupi kepalanya. Tidak tampak alat jala atau
pancing di perahu seperti dimiliki tukang perahu yang
pekerjaannya sebagai nelayan. Akan tetapi Suma Eng tidak
memperhatikan hal ini. Ia sudah terlalu girang ada perahu di
situ dan si tukang perahu mau mendatanginya untuk disewa
perahunya. "Paman, aku hendak menyeberang dan sekalian hendak
menaburkan abu jenazah) di tengah sungai. Seberangkan aku
dan aku akan membayar berapapun yang engkau minta."
Tukang perahu itu mengamati wajah dan tubuh Suma Eng,
juga mengamati buntalan yang berada di punggung gadis itu.
Akhirnya dia mengangguk. "Baiklah nona. Naiklah ke
perahuku. Akan tetapi maklumlah, tidak ada pelindung dari
panas matahari di perahuku."
"Tidak mengapa, paman." kata Suma Eng yeng segera
melangkah ke atas perahu. "Pinjamkan saja capingmu itu
kepadaku." Tukang perahu menyerahkan capingnya dan ketika dia
menanggalkan capingnya, baru tampak bahwa rambutnya
di kat bagian atasnya dengan sehelai pita merah dari sutera.
Akan tetapi hal ini tidak menarik perhatian Suma Eng yang
sudah memakai caping dan duduk di atas perahu. Tukang
perahu lalu mendayung perahunya ke tengah sungai yang
lebar itu. Perahu meluncur cepat ke tengah sungai. Akan
tetapi perahu itu tidak langsung menyeberang, melainkan
menghilir-milir dengan cepatnya. Melihat ini, Suma Eng
berkata, "Paman, aku ingin menyeberang, bukan ingin ke
hilir." "Akan tetapi, nona. Di seberang sana terdapat tepi sungai yang terjal dan
melupakan bagian dari bukit berhutan yang
liar. Aku membawa nona sedikit ke hilir karena di sana
terdapat pedusunan. Apakah nona tidak lebih senang
mendarat di pedusunan itu?"
"Ah, begitukah" Baik, teruskan mendayung. Tentu saja aku
lebih suka menyeberang ke pedusunan itu."
Perahu meluncur terus. Karena mengikuti aliran air
ditambah kekuatan dayung, perahu itu meluncur cepat sekali.
Tak lama kemudian, tiba-tiba dari tepi sungai sebelah sana,
muncul tiga buah perahu besar yang masing-masing
ditumpangi sedikitnya sepuluh orang. Melihat ini, Suma Eng
tidak menduga buruk karena perahu mereka sudah tiba dekat
pantai. Pantai sana sudah dekat walaupun ia belum melihat
ada pedusunan di sana, melainkan pohon-pohon dan semaksemak
belukar. Mendadak tukang perahu itu bersuit nyaring tiga kali dan
dia mendayung perahunya menyongsong tiga buah perahu
besar itu. Melihat ini, barulah Suma Eng merasa heran. Akan
tetapi ia mengira bahwa perahu mereka itu sudah hampir tiba
di tempat tujuan dan si tukang perahu hendak mendayung
perahu mendekati daratan. Akan tetapi tiga perahu besar itu
bergerak mengepung perahu kecil yang ditumpanginya
"Hei, apa artinya ini, paman?" tanya Suma Eng sambil bangkit berdiri, Ia
memandang ke arah tiga perahu besar dan
para penumpangnya terdiri dari laki-laki kasar yang
menyeringai memandang ke arahnya dan apa yang tampak
menyolok dari mereka adalah pita rambut mereka yang
kesemuanya merah! "Artinya, nona, bahwa engkau kini sudah dikepung oleh
kawan-kawanku. Menyerahlah dan berikan semua milikmu
agar kami tidak perlu melakukan kekerasan." kata tukang
perahu yang kini sikapnya berubah sama sekali. Diapun
bangkit berdiri dan tahu-tahu sudah memegang sebatang
golok yang tajam mengkilat.
Seorang laki-laki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu
besar yang berada terdekat dengan perahu kecil itu berseru
dengan suaranya yang lantang, "A-sam, jangan lukai gadis itu!
Tangkap dan bawa ke sini!"
Suma Eng menjadi marah bukan main. Kini mengertilah ia
bahwa ia berhadapan dengan bajak sungai seperti yang sering
ia dengar dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang datuk Sungai
Huang-ho, dan semua bajak sungai di situ tunduk belaka!
kepada ayahnya. Biarpun demikian ia tidak mau menggertak
mereka dengan nama ayahnya, la sudah terlampau marah dan
mengambil keputusan untuk memberi, hajaran kepada para
bajak sungai itu. "Hemm, kiranya kalian ini adalah anjing-anjing bajak sungai yang tidak tahu diri
dan sudah bosan hidup!" la melepaskan buntalan abu jenazah gurunya, menaburkan
abu itu ke dalam sungai sampai habis, melepaskan buntalan pakaiannya ke atas
perahu dan mencabut pedangnya. Melihat gadis itu
menaburkan abu dari buntalan, A-sam, tukang perahu itu,
tidak mencegahnya. Akan tetapi ketika melihat gadis itu
mencabut pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan dia
terkejut. Apalagi ketika tiba-tiba sinar kehijauan itu meluncur ke arahnya. Dia
cepat menggerakkan goloknya untuk
menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk membuat
pedang itu terpental dari tangan pemegangnya.
"Singgg..... trang......!" Golok itu patah menjadi dua, disusul leher A-sam yang
putus terbabat sinar kehijauan dan
kepalanya terpental dalam air sungai! Suma Eng menendang
dengan kaki kirinya dan tubuh itupun terlempar dari tercebur
ke dalam sungai. Perahu bergoyang goyang keras dan perahu
besar yang ditumpangi kepala bajak yang tinggi besar itu
sudah menempel dekat perahu kecil, bahkan hendak
menabraknya. Suma Eng maklum bahwa kalau perahunya
ditabrak, tentu akan terguling dan iapun akan terjatuh ke
dalam air. Maka sebelum perahu kecil itu tertabrak, ia sudah
mengenjot tubuhnya, melompat ke atas perahu besar!
Kepala bajak itu bersama anak buahnya segera
menyambutnya dengan juluran tangan, seolah sekumpulan
kanak-kanak lendak memperebutkan seekor burung. Akan
tetapi sinar hijau berkelebat dan empat orang roboh mandi
darah dan tewas seketika. Melihat ini, semua bajak itu terkejut dan mereka lalu
menyerang dengan golok mereka, dipimpin
oleh kepala bajak yang memegang sebatang pedang.
Menghadapi hujan serangan golok ini, Suma Eng mengenjot
tubuhnya dan meloncat ke atas atap perahu besar itu, dan
dari atas atap ia menerjang lagi ke bawah. Bagaikan seekor
burung walet tubuhnya menyambar dan empat orang kembali
roboh mandi darah. Sisanya, tiga orang termasuk kepala
bajak, menjadi jerih menyaksikan kehebatan gerakan Suma
Eng dan tanpa dikomando lagi mereka melompat ke dalam air,
meninggalkan perahu mereka.
Akan tetapi mereka bukan hanya mencebur sekedar untuk
melarikan diri. Mereka lalu memegang perahu dari bawah dan
mengguncang perahu itu, berusaha untuk menggulingkan
perahu! Suma Eng terkejut sekali ketika perahu yang sudah
ditinggalkan para bajak itu terguncang hebat, la berusaha
mengatur keseimbangan tubuhnya agar jangan terlempar dari
perahu, akan tetapi perahu terguncang semakin keras, la
melihat betapa perahu kecil yang ditumpanginya tadi telah
terbalik. Maka ia menoleh ke kanan, ke arah perahu besar
kedua yang sudah mulai mendekat. Setelah memperhitungkan
jaraknya, ia mengenjot tubuhnya lagi, dengan cepat dan
ringan tubuhnya melompat ke atas perahu besar kedua. Para
bajak sungai di perahu itupun menyambutnya dengan
serangan golok. Akan tetapi sambil melompat Suma Eng
sudah memutar pedangnya sehingga pedang itu lenyap
berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung.
"Trang-trang.... trak-trakk!" Empat batang golok patahpatah begitu bertemu
gulungan sinar kehijauan itu disusul
suara jeritan empat orang dan robohnya empat tubuh mereka
yang mandi darah. Lima orang yang lain terkejut dan
merekapun berlompatan ke dalam air sungai. Mereka melihat
betapa hebatnya gadis itu memainkan pedang, hal yang sudah
mereka saksikan ketika Suma Eng mengamuk di perahu
pertama tadi. Mereka berlima lalu mengguncang perahu itu
dan kembali Suma Eng harus mempertahankan keseimbangan
tubuhnya yang ikut terguncang. Ketika ia sudah tidak dapat
bertahan lagi, ia melompat ke perahu ke tiga yang tidak
berapa jauh dari perahu ke dua itu.
Bagaikan seekor burung terbang, ia melayang ke perahu ke
tiga. Akan tetapi di sini ia tidak disambut dengan golok,
karena semua yang berada di perahu itu sudah melihat sepak
terjang gadis itu di perahu pertama dan ke dua. Mereka
semua lalu melompat keluar dari perahu, terjun ke dalam air
dan mengguncang perahu ke tiga!
Sedapat mungkin Suma Eng mempertahankan diri agar
jangan sampai jatuh keluar perahu. Akan tetapi guncangan itu
semakin kuat, membuat perahu miring dan hampir terbalik.
Suma Eng menyarungkan lagi pedangnya di punggung dan
dengan susah payah ia mengatur keseimbangannya,
melompat ke sana -sini di atas perahu itu dan akhirnya
kakinya terpeleset dan iapun terjatuh ke dalam air sungai.
Pada saat itu tampak meluncur perahu kecil.
Penumpangnya hanya seorang. seorang pemuda berpakaian
serba kuning. Pemuda ini melihat betapa Suma Eng berada di
atas perahu besar kosong yang digoncang dari bawah oleh
banyak laki-laki. Dan dia melihat pula betapa gadis itu terjatuh ke dalam air Ia
gelagapan timbul tenggelam, tanda hahwa
gadis itu tidak pandai berenang!
Melihat ini, pemuda itu lalu meloncat ke dalam air lalu
berenang dengan amat cepatnya ke arah Suma Eng. Gadis itu
telah menjadi lemas dan banyak menelan air. Ketika akhirnya
pemuda itu dapat meraih dan merangkulnya, Suma Eng jatuh
pingsan sehingga dengan mudah pemuda itu dapat
mengangkat dan membawanya berenang tanpa perlawanan.
Beberapa orang bajak yang melihat ini, segera berenang
mendekati dan mereka menjulurkan tangan untuk merampas
tubuh Suma Eng. Namun, biarpun lengan lengannya
memanggul tubuh Suma Eng, tangan kiri pemuda itu dapat
digerakan ke sana-sini membagi-bagi pukulan dan semua
pukulannya mengenai sasaran, membuat para pengeroyoknya
terpelanting! Pemuda itu lalu berenang dengan tepat ke arah
perahunya yang hanyut terbawa air. Cepat dia menangkap
perahunya, melepaskan tubuh Suma Eng ke dalam perahu dan
dia sendiri lalu naik dan masuk ke dalam perahunya,
menyambar dayung perahunya. Pada saat itu, berapa orang
bajak sungai sudah berenang mendekati perahunya. Pemuda
itu lalu mengayun dayungnya ke kanan kiri, memukul para
bajak sehingga mereka terpaksa menjauh.
Dengan cekatan pemuda itu lalu mendayung perahunya ke
tepi sungai. Cepat sekali perahu itu meluncur, menandakan
betapa kuatnya pemuda itu mendayung perahu. Setelah tiba
di tepi, dia menarik perahunya naik dan mengikat tali
perahunya ke sebatang pohon. Setelah itu baru ia
menghampiri Suma Eng yang masih telentang pingsan di
dalam perahu. Melihat betapa perut gadis itu agak
menggembung, tahulah dia apa yang harus dilakukannya. Dia
mengangkat tubuh Suma Eng dan dijungkir balikkan tubuh


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gadis itu sehingga air mengalir keluar dari mulut dan hidung
Suma Eng! Semua air yang tadi tertelan masuk ke perutnya
kini mengalir keluar. Setelah itu, dia merebahkan kembali Suma Eng telentang,
kini memindahkan ke atas rumput di tepi sungai. Gadis itu
menggeletak dengan wajah pucat dan tidak bergerak sama
sekali. Pemuda itu mendekatkan jari tangannya ke depan
mulut dan hidung Suma Eng dan dia terkejut. Celaka, pikirnya.
Gadis ini napasnya terhenti!
Sebagai seorang yang sering melihat korban yang
tenggelam dalam air dan tahu akan cara pengobatannya, dia
mengambil keputusan tetap. Dia menyingkirkan semua rasa
rikuh, dan tekadnya hanya untuk menyelamatkan nyawa
seorang manusia tanpa memperdulikan lagi akan sopan
santun dan kesusilaan. Dengan tangan kirinya dia mengangkat
leher gadis itu, dengan tangan kanan membuka mulutnya dan
menutup hidungnya, kemudian melupakan segalanya kecuali
niatnya hendak menolong, diapun mempertemukan mulutnya
dengan mulut gadis yang ternganga itu dan meniup
sekuatnya! Dia mengangkat mulutnya, lalu menempelkan lagi
dan meniup lagi. Perbuatan ini diulanginya sampai lima kali
dan dengan girang dia melihat betapa gadis itu sudah dapat
bernapas kembali! Dia merebahkan lagi kepala Suma Eng yang terbatuk-batuk
dan gadis itu cepat meloncat bangkit. Wajahnya menjadi
merah sekali, sambil berbatuk-batuk ia memandang kepada
pemuda itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka
orang. Bagaimana ia tidak akan marah. Pada ciuman keempat
tadi saja ia sudah siuman dari pingsannya dan melihat serta
merasakan dengan penuh kesadaran betapa pemuda itu
kembali "mencium"nya untuk terakhir kalinya! Ia hendak meronta ketika dicium dan
mulut pemuda itu meniup kuat
sehingga ia terbatuk-batuk, akan tetapi entah mengapa,
mungkin saking kaget dan marahnya, ketika dicium untuk
terakhir kalinya tadi, ia tidak mampu bergerak, semangatnya
seperti tenggelam. Baru setelah ia meloncat bangun, ia
menjadi marah sekali. "Jahanam keparat engkau!!" Bentaknya dan tangannya
sudah menampar ke arah muka pemuda itu.
Akan tetapi dengan sigapnya pemuda itu mengelak
mundur. Cepat sekali gerakannya sehingga tamparan itu
luput. "Nona, mengapa engkau menyerangku?"
Pemuda itu bertanya dengan heran dan terkejut. Suma Eng
menatap wajah itu. Wajah yang tampan dan gagah, tubuh
yang tegap dan sedang besarnya. Akan tetapi hal Ini tidak
mengurangi kemarahannya. "Jahanam engkau!" Dan ia menyerang lagi dengan
tamparan, sekali ini lebih cepat lagi. Akan tetapi kembali
pemuda itu melompat ke belakang dan ketika Suma Eng
menyambung serangannya dia menangkis.
"Dukkk!" Pertemuan dua lengan itu membuat si pemuda
terhuyung dan hal ini membuat dia terkejut bukan main. Dia
merasakan betapa kuatnya tenaga yang ada pada lengan kecil
mungil itu. "Nanti dulu, nona. Dengarkan dulu kata-kataku, setelah itu kalau engkau tetap
hendak menyerangku, silakan!"
Suma Eng menahan serangannya. "Engkau hendak bicara
apa lagi" Engkau berani..... men.....ciumku selagi aku
pingsan!" Kemarahan membuat suaranya tergagap, juga ia
merasa malu bukan main 1an merasa terhina.
"Nona, kalau nona sudah mengetahui ahwa nona pingsan,
bagaimana dalam keadaan pingsan nona dapat berada di tepi
sungai ini" Lihat, pakaian nona basah kuyup seperti juga
pakaianku. Aku telah menolongmu dari bahaya tenggelam
dalam sungai setelah engkau terjatuh dari perahu, dan aku
yang menghalau para bajak yang hendak menyerangmu selagi
engkau akan tenggelam. Aku menaikkan engkau ke perahuku
dan membawamu sampai ke tepi sungai ini....."
"Apakah untuk semua itu engkau harus menciumku"
Apakah engkau merasa berhak melakukan apa saja terhadap
diriku setelah engkau menolongku" Engkau harus menebus
dengan nyawamu!" Suma Eng sudah hendak bergerak
menyerang lagi, akan tetapi pemuda itu berseru.
"Nanti dulu, untuk itupun aku mempunyai penjelasan.
Ketahuilah nona. Setelah engkau kubawa ke tepi, aku melihat
perutmu kembung penuh air. Maka aku terpaksa harus
menjungkirbalikkan tubuhmu sehingga semua air keluar dari
mulutmu. Akan tetapi kemudian aku melihat bahwa napasmu
terhenti! Engkau terancam maut karena paru-parumu tidak
bekerja. Dan aku tahu bahwa untuk menyelamatkanmu dari
ancaman maut, jalan satu-satunya hanya meniupkan hawa
melalui mulut ke dalam paru-parumu sehingga paru-paru itu
bekerja kembali dan engkau dapat bernapas lagi. Sama sekali
aku tidak berniat berbuat tidak sopan atau melanggar susila.
Yang teringat olehku hanya untuk menyelamatkan sebuah
nyawa, tidak ada apa-apa lagi. Kalau engkau tidak percaya
kepadaku dan hendak mem bunuhku, silakan!"
Pada saat itu, tampak banyak orang muncul dari sungai
dan berteriak-teriak, "Itu mereka! Tangkap! Bunuh!" Dua puluh lima bajak
berloncatan ke tepi sungai dengan golok di
tangan, dipimpin oleh kepala bajak yang tinggi besar itu.
Mereka semua marah bukan main karena gadis itu telah
membunuh banyak kawan mereka.
Suma Eng menjadi marah kepada para bajak sungai itu.
Tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedang Ceng-liong-kiam
dari punggungnya dan menyambut para bajak sungai yang
menyerang. juga pemuda itu mencabut sebatang pedang lalu
melawan ketika dia dikeroyok banyak bajak sungai.
Ternyata pemuda itu lihai juga. Gerakan pedangnya indah
dan bagi ahli pedang kalau melihat gerakan pedangnya tentu
akan mengetahui bahwa dia memainkan ilmu pedang dari
partai persilatan Kun-lun-pai. Pedangnya bergerak naik turun
seperti seekor naga bermain di angkasa dan banyak golok
terpental ketika bertemu dengan pedangnya, bahkan
beberapa batang golok terlepas dari pemegangnya. Akan
tetapi, pemuda itu tidak menggunakan pedangnya untuk
merobohkan para pengeroyok, melainkan menggunakan
kedua kaki dan tangan kiri nya untuk merobohkan mereka
tanp membunuh. Dalam beberapa gebraka saja sudah ada
empat orang bajak sunga yang roboh oleh tendangan atau
tamparannya. Gerakan Suma Eng jauh lebih ganas Ketika pedangnya
berdesing dan membentuk sinar kehijauan yang bergulunggulung,
cepat sekali pedang itu mendapatkan korban.
Berturut-turut lima orang pengeroyok sudah roboh dan tewas
seketika, terbacok atau tertusuk pedang.
Melihat betapa lihainya gadis dan pemuda itu, kepala bajak
sungai berteriak memberi aba-aba dan mereka semua lalu
berloncatan ke dalam air sungai, menyelam dan berenang
melarikan diri. Suma Eng berdiri di tepi sungai, pedang di tangan dan ia
membanting kaki dengan gemas. "Sayang mereka melarikan
diri lewat air. Kalau lewat darat, mereka akan kubunuh
semua!" katanya. Pemuda berbaju kuning Itu menyarungkan pedangnya dan
menghampiri Suma Eng. "Nona, kalau ada kesempatan, jauh
lebih baik memberi ampun kepada mereka daripada
membunuh mereka. Berilah kesempatan kepada mereka untuk
bertaubat dan hidup melalui jalan benar."
Suma Eng memutar tubuhnya dan memandang kepada
pemuda itu. Ia kini tidak marah lagi. Ia telah ditolong, bahkan diselamatkan
nyawanya. Bagaimana ia dapat marah" Tentang
"ciuman" itu, karena itu perlu untuk menyelamatkan nyawa, sebaiknya akan ia
lupakan saja, kalau dapat.
"Mereka bertaubat" Jangan mimpi, sobat. Tidak ingatkah
engkau, berapa anyak orang yang tidak berdosa mereka
bunuh, wanita lemah mereka hina" Orang orang seperti itu
tidak akan mau bertaubat, dan sudah saatnya nereka itu
dihukum mati!" Pemuda itu menghela napas panjang akan tetapi tidak
membantah. "Nona, bajumu basah kuyup, aku khawatir kalau
engkau akan masuk angin dan sakit."
Hampir Suma Eng tertawa. Ia masuk angin" Betapa
lucunya ucapan itu. Tubuhnya yang terlatih dan kuat, sehat
dan segar bugar, tidak mungkin masuk angin. Akan tetapi ia
segera merasakan betapa tidak enaknya mengenakan pakaian
yang basah kuyup! Ia menoleh ke arah sungai dan berkata
dengan gemas. "Keparat-keparat itu! Buntalan pakaianku
hanyut dan hilang entah ke rnana! Berikut uangku! Aku tidak
dapat berganti pakaian, keparat!"
Pemuda itu tampak bengong melihat gadis itu marahmarah
dan maki-makian demikian mudahnya meluncur dari
sepasang bibirnya yang manis dan merah basah itu.
"Nona......" dia menahan kata-katanya, takut kalau-kalau gadis itu akan marah.
Suma Eng menengok dan memandang kepadanya dengan
alis berkerut. "Engkau mau bicara apa sih" Katakan, apa
maumu?" Pemuda itu semakin gugup. "Nona, kalau sudi, engkau
dapat berganti pakaian dan pakailah satu stel pakaianku yang
kering dan bersih." Tanpa menanti jawaban dia lalu
mengambil buntalan pakaiannya dari perahu, membuka dan
mengeluarkan sestel baju dan celana yang baru dan bersih
berwarna kuning. Tanpa berkata-kata lagi dia menyerahkan
setumpuk pakaian itu kepada Suma Eng.
Gadis itu ragu-ragu akan tetapi menerima juga ketika
melihat bahwa pakaian itu bersih dan kering. Akan tetapi ia
ragu-ragu lagi. Bagaimana ia dapat berganti pakaian"
Agaknya pemuda itu maklum akan hal ini. "Nona, di sana
ada batu besar. Engkau dapat berganti pakaian di balik batu
itu." Suma Eng menoleh dan benar saja. Tak jauh dari situ
terdapat sebuah batu besar dan ia sama sekali tidak akan
tampak kalau berada di balik batu itu. Ia mengangguk lalu
melangkah ke arah batu besar dan menghilang di balik batu.
Pemuda itu lalu duduk menghadap ke arah air sungai sambil
melamun. Dia merasa betapa hatinya terpikat dan jatuh
terhadap gadis itu. Betapa cantik jelitanya, manis menarik. Dia tertarik sekali
dan timbul rasa sayang kepada gadis itu. Gadis yang lihai bukan main. Melihat
sepak terjangnya tadi ketika
menghadapi pengeroyokan para bajak, dia dapat menduga
bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat yang amat
hebat namun juga ganas sekali!
Akan tetapi sayang, gadis itu liar dan ganas sekali! Begitu
mudahnya membunuh orang! Gadis ini membutuhkan
bimbingan karena kalau tidak ia dapat terjerumus ke dunia
sesat yang penuh kekejaman. Sayang sekali kalau sampai
terjadi demikian. Gadis itu masih demikian muda.
"Wah, aku menjadi seperti laki-laki!" terdengar suara dan pemuda itu memutar
tubuh. Dia melihat gadis tadi sudah
mengenakan pakaian miliknya, agak kebesaran dan tampak
lucu karena pakaian itu pakaian pria sedangkan tata-rambut
itu masih menujukkan bahwa ia seorang wanita.
"Nona, kurasa itu bahkan baik sekali. Kenapa engkau tidak menyamar saja sebagai
pria" Atur rambutmu itu agar tata
rambutnya seperti tata-rambut pria. Sebagai pria engkau tentu
tidak akan mengalami gangguan dalam perjalanan, lebih
leluasa." Wajah Suma Eng berseri dan matanya bersinar-sinar. "Ah,
bagus juga pendapat-rnu itu! Akan tetapi bagaimanakah
dandanan rambut seorang pria" Aku tidak bisa...."
"Maaf, kalau boleh aku membantumu. Rambutmu itu harus
di kat ke atas dengan pita rambut. Aku masih mempunyai
beberapa helai pita rambut." Pemuda itu mencari-cari dalam buntalannya dan
mengeluarkan sehelai pita rambut berwarna
biru. "Maaf, kalau boleh, aku dapat menata rambutmu seperti seorang pria, nona."
"Tentu saja boleh. Lakukanlah!" Suma Eng lalu duduk di atas batu dan pemuda itu
lalu menata rambutnya. Dia
mengedarkan sebuah sisir dan menyisir rambut Suma Eng ke
atas, lalu mengikatnya dengan pita rambut biru.
"Untung engkau tidak biasa memakai hiasan telinga dan
daun telingamu juga tidak dilubangi sehingga engkau kini
tampak sebagai seorang pemuda remaja aseli. Kalau engkau
dapat membesarkan sedikit suaramu, tentu tidak ada seorang
pun yang menduga bahwa engkau seorang wanita."
Suma Eng merasa gembira sekali Seperti seorang anak
kecil ia lalu turun dari atas batu, berlagak dan mengambil
sikap seperti seorang pria tulen dan berkata dengan suara
dibesarkan, "Aku Suma Kongcu (Tuan Muda Suma) dari kota
raja Peking, perkenalkanlah!" Lagaknya dibuat buat seperti seorang pria tulen
dan pemuda itu mau tidak mau tertawa
dibuatnya karena tingkah gadis yang lucu itu.
Melihat pemuda itu tertawa, Suma Eng baru ingat bahwa
pemuda itu telah menolongnya dan bahwa ia sama sekali
belum mengenalnya, maka lapun bertanya. "Sobat, siapakah
namamu?" "Aku she (marga) Gui bernama Song Cin. Aku berasal dari
Lok-yang di Propinsi Ho-nan dan baru saja aku turun gunung
setelah beberapa tahun belajar ilmu silat di Kun-lun-pai."
"Hemm, jadi engkau murid Kun-lun-pai" Pantas engkau
lihai. Akan tetapi bagaimana engkau pandai bermain di air?"
"Kampung halamanku di dusun Si-tek-bun daerah Lok-yang
di tepi sungai Huang-ho dan ayahku menjadi pedagang ikan.
Aku sejak kecil sudah biasa bermain di Sungai Huang-ho,
maka aku pandai berenang."
"Saudara Gui Song Cin, aku berterima kasih atas
pertolongan tadi, juga atas pemberian pakaian ini. Aku
bernama...." "Engkau she Suma......" potong Song Cin dan Suma Eng tersenyum.
"Benar, aku she Suma dan namaku Eng. Aku biasa
dipanggil Eng Eng." "Dari manakah asalmu, Eng-moi (adik Eng). Aku boleh
menyebutmu Eng-moi, bukan?"
"Hemm, boleh saja karena engkau tentu lebih tua. Usiaku
baru delapan belas tahun. Engkau tentu lebih tua."
"Aku sudah dua puluh satu tahun. Dari mana engkau
berasal dan siapakah erang tuamu, Eng-moi?"
"Orang tuaku tinggal ayahku saja. akan tetapi dia seorang perantau yang tidak
diketahui di mana dia sekarang, Aku juga
baru saja turun gunung, dari Puncak Ekor Naga di Cin-lingsan."
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama besar


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gurumu di sana, Eng-moi?" tanya Song Cin sambil
menggantungkan matanya pada bibir gadis itu. Betapa
manisnya bibir itu, apalagi kalau tersenyum.
"Kuberitahu juga engkau tidak akan mengenalnya, Cin-ko
(kakak Cin). Almarhum guruku itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin,
seorang pertapa di Puncak Ekor Naga di pegunungan Cin-lingsan."
"Hwa Hwa Cinjin" Aku belum pernah mendengar nama itu.
Mungkin kalau para suhu di Kun-lun-pai sudah
mendengarnya." "Tentu saja. Guruku itu dahulu terkenal sekali di dunia
persilatan." "Tentu gurumu itu sakti dan memiliki kepandaian yang
sangat tinggi." "Tentu saja, Cin-ko. Kurasa tidak ada orang di dunia ini
yang mampu menandingi mendiang guruku itu. Ayahku juga
seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Ayah adalah murid
keponakan dari mendiang Hwa Hwa Cinjin. Julukan ayah ku
adalah Huang-ho Sin-liong, namanya Suma Kiang." Suma Eng
memperkenalkan dengan nada penuh kebanggaan.
Gui Song Cin mengerutkan alisnya. "Huang-ho Sin-liong"
Ah, aku pernah mendengar julukan itu dari guruku. Kabarnya
dia seorang datuk yang menguasai Lembah Sungai Huang-ho,
akan tetapi telah bertahun-tahun tidak pernah muncul !agi."
"Memang selama bertahun-tahun Itu ayahku merantau ke
utara. Sekarang aku pun sedang mencarinya."
Percakapan terhenti dan suasana menjadi hening. Song Cin
menatap wajah gadis itu dan ketika Suma Eng kebetulan juga
memandangnya, dua pasang mata bertemu dan jantung Song
Cin terguncang. Betapa indahnya sepasang mata itu! Dalam
pandangannya, segala gerak gerik gadis itu amat mempesona,
begitu cantik jelita dan manisnya seperti gambaran seorang
bidadari! Terasa benar oleh Song Cin betapa dia sudah jatuh
cinta ada gadis itu. Cinta mendatangkan khayalan yang muluk-muluk dan
indah-indah. Padahal, pada hakekatnya cinta asmara adalah
Nafsu yang terselubung pakaian yang svrba indah dan halus
sehingga tampak bersih dan mengharukan. Cinta adalah Nafsu
sex yang wajar, dan seperti biasanya nafsu selalu berpamrih.
Pamrihnya adalah kesenangan bagi dirinya sendiri, nafsu
adalah aku yang ingin memiliki, ingin senang sendiri. Kalau
kita meneliti kepada diri sendiri, mengamati dengan waspada
"cinta" kita yang kita anggap suci dan mulia, maka akan tampaklah bahwa di balik
semua kehalusan dan keindahan itu
bersembunyi nafsu yang mengerikan. Kita mencinta pacar
kita, bahkan isteri kita. Akan tetapi cinta kita itu berpamrih untuk kesenangan
diri kita sendiri. Kalau si pacar atau isteri itu tidak mencinta kita, tidak
melayani kita dengan baik, kalau
tidak setia, ke manakah larinya cinta kita yang kita dengungdengungkan itu"
Bukan hanya akan lenyap, bahkan mungkin
berganti benci! Cinta kita itu hanya seperti jual beli di pasar saja. Kita beli
dengan cinta kita, akan tetapi kita minta balasan yang lebih lagi. Memang sebuah
kenyataan yang pahit sekali.
Cinta asmara yang sejak dahulu dipuja-puja semua orang,
sehingga nuncul istilah-istilah cinta suci, cinta murni dan
sebagainya, setelah diamati benar-benar, ternyata hanyalah
harimau berbulu domba! Cinta asmara tidak lain hanyalah
gairah berahi, tidak lain hanyalah nafsu sex yang berpakaian
indah. Apakah kalau begitu kita harus meniadakan cinta jelmaan
nafsu sex ini" Tentu saja tidak, karena hal Itu tidak mungkin.
Sejak kita lahir, kita telah disertai nafsu nafsu, di antaranya nafsu sex. Akan
tetapi nafsu ini hanyalah peserta, hanya
pelayan, untuk melengkapi hidup ini karena tanpa adanya
nafsu sex, manusia tidak akan berkembang biak. Kita dapat
mempergunakan nafsu sex ini pada tempatnya yang wajar,
misalnya dalam hubungan suami isteri. Akan tetapi kalau kita
lengah, dan nafsu sex ini menguasai kita, mencengkeram hati
akal pikiran kita, maka nafsu sex dapat menjerumuskan kita
ke dalam perbuatan-perbuatan yang sesat, seperti misalnya
pelacuran, perjinahan, perkosaan.
Seperti dengan nafsu-nafsu lain, nafsu sex merupakan
peserta yang teramat penting bagi kehidupan, akan tetapi di
lain pihak dia juga dapat menjerumuskan kita ke dalam
malapetaka kalau kita sampai dicengkeramnya. Lalu
bagaimana baiknya" Nafsu itu lawan akan tetapi juga kawan.
Nafsu itu kawan kalau kita mampu mengendalikannya, dan
menjadi lawan kalau kita dikuasainya. Jadi jalan keluarnya,
kita hanya dapat mengendalikannya. Akan tetapi mampukah
kita" Mengendalikan nafsu apapun merupakan pekerjaan yang
teramat sukar sekali, bahkan hampir tidak mungkin. Kalau kita
hanya mempergunakan hati akal pikiran saja untuk
mengendalikan, kebanyakan kita akan gagal karena hati-akalpikiran sendiri sudah
bergelimang nafsu sehingga bukannya
mengendalikan nafsu, bahkan membela dan membenarkan
nafsu. Semua pencuri di seluruh dunia ini tahu belaka bahwa
mencuri itu tidak baik, akan tetapi mereka tidak dapat
menghentikan perbuatan mereka karena hati akal pikiran
mereka bahkan membela perbuatan mencuri itu dengan
berbagai dalih. Karena terpaksa, karena ingin menghidupi
keluarga, dan sebagainya lagi.
Satu-satunya jalan untuk dapat menguasai nafsu sendiri
hanyalah datang dari Tangan Tuhan. Kita serahkan segalanya
kepada Tuhan dan mohon bimbinganNya dan atas
kehendakNya sajalah nafsu dalam diri kita dapat kita kuasai.
Hati akal pikiran, yaitu kesatuan dari aku, hanya mengamati
saja sambil pasrah kepada Kekuasaan Tuhan. Si aku tidak
bergerak lagi, yang ada hanyalah Kewaspadaan, yaitu
waspada dalam mengamati diri sendiri luar dalam, dengan
mawas diri. Dalam menghadapi segala kepalsuan sebagai ulah nafsu
ini, ada satu pegangan hagi batin untuk memperkuat diri.
Pegangan itu ialah Kewajiban. Kalau kita memegang teguh
dan melaksanakan kewajiban dalam kehidupan, maka batin
kita kuat menghadapi segala godaan dan serangan yang
datangnya dari nafsu kital sendiri. Kewajiban itu ada di segala waktu. Kewajiban
sebagai seorang anak, kewajiban sebagai
seorang sahabat, kewajiban sebagai seorang kekasih, sebagai
seorang suami atau isteri, sebagai se-orang ayah atau ibu,
dan seterusnya. Memenuhi semua kewajiban sambil menyerahkan diri
kepada Kekuasaan Tuhan akan membuat kita menjadi
manusiai seutuhnya, menjadi manusia yang selalu memenuhi
kewajiban, kewajiban sebagai manusia, sebagai warga negara
dan bang-sa. Gui Song Cin jatuh dalam perangkap cinta. Tidaklah aneh
kalau dia jatuh cinta kepada Suma Eng. Sembilan dari sepuluh
orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepada gadis itu
karena gadis itu memang cantik jelita! Andaikata gadis itu
buruk rupa, belum tentu Song Cin! akan jatuh cinta. Begitu
perasaannya jatuh cinta, berarti dia telah memberi beban
duka kepada batinnya. Melihat gadis itu bangkit berdiri dan berkata, "Nah, aku
harus pergi sekarang', dia merasa terkejut dan juga khawatir.
Dia akan ditinggalkan oleh orang yang membuatnya tergila
gila ini! Dan hal ini, perpisahan ini, agaknya tidak mungkin
dapat dicegah lagi. Dia akan merasa kesepian, rindu dan
kehilangan! "Eng-moi, engkau hendak pergi ke lanakah?" tanyanya
cepat seolah hendak mencegah kepergian gadis itu dengan
pertanyaan ini. "Aku hendak mencari sarang dari para bajak sungai bertali rambut merah itu.
Semua pakaian dan uangku habis, hanyut
di sungai karena ulah mereka. Mereka arus membayar untuk
semua kehilangan nu!" kata Suma Eng tegas.
Wajah Song Cin berseri penuh harapan. "Apakah engkau
sudah tahu di mana sarang bajak sungai itu, Eng-moi?"
Suma Eng memandang bingung dan nenggeleng
kepalanya. "Apakah engkau tahu, Cin-ko?"
Song Cin mengangguk. "Aku tahu. Aku pernah mendengar
tentang Bajak Ikat Rambut Merah ini. Mari kutunjukkan!"
"Bagus! Mari kita berangkat, Cin ko."
Dua orang itu segera pergi dari sit mendorong perahu dan
naik ke perahu kecil itu, kemudian Song Cin mendayuni
perahu itu ke barat. "Agaknya engkau mengenal daerah ini dengan baik, Cinko."
kata Suma Eng. "Tentu saja aku banyak mengenal tempat di sepanjang
Sungai Huang-ho ini Kampung halamanku, dusun Si-tek-hui
berada di tepi Huang-ho, tidak begitu jauh dari sini, dua hari perjalanan dengai
perahu ke hilir." "Jauhkah sarang bajak itu, Cin-ko?"
"Kalau aku tidak salah duga, sebelum sore kita sudah akan tiba di sana. Mereka
mempunyai sebuah perkampungan bajak
di tepi sungai. Akan tetapi setelah kita tiba di sana, apa yang hendak kau
lakukan Eng-moi?" "Apa yang hendak kulakukan terhadaf anjing-anjing itu"
Tentu akan kubasmi mereka sampai habis, terutama pemimpin
mereka, akan kubunuh!"
Song Cin merasa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah
ganasnya gadis ini. "Akan tetapi, Eng-moi, engkau tidak boleh membunuh mereka
semua!" "Mengapa tidak boleh" Mereka itu teluh menggangguku,
melenyapkan pakaian lan uangku, dan hampir saja
membunuhku!" kata Suma Eng dengan penasaran.
"Memang mereka jahat dan pekerjaan ereka memang
merampok. Akan tetapi ingatlah, mungkin mereka itu juga
mempunyai anak isteri yang tentu akan menderita kalau
engkau membunuhi ayah dan uami mereka."
"Hemm, kalau menurut engkau bagaimana?"
"Sebaiknya suruh saja mereka menyerah, mengembalikan
atau mengganti milik mu yang hilang, kemudian mereka
disuruh berjanji untuk bertaubat, sarangnya bakar dan mereka
diharuskan kembali hidup sebagai rakyat yang baik. Kiranya tu
sudah lebih dari cukup, Eng-moi."
"Kita lihat saja bagaimana sikap mereka nanti. Kalau
mereka tidak mau menyerah dan menyerangku, tentu mereka
akan kubunuh." "Aku mendengar bahwa Bajak Ikat Rambut Merah memiliki
seorang ketua yang lihai sekali, Eng-moi. Kita harus berhatihati."
"Wah, aku tidak takut! Dan setelah aku menyamar sebagai
pria, sebaiknya tempat umum engkau tidak menyebut aku
Eng-moi. Sebutan itu tentu akan membuat semua orang
terheran dan kemudian tahu bahwa aku seorang wanita Maka
percuma saja penyamaranku."
Jilid X SONG CIN tersenyum dan mengangguk. "Maafkan aku,
engkau benar juga, Eng-moi...... eh, maksudku siauw-te (adik
laki-laki)." "Bagus, engkau harus menyebutku siauw-te. Aku mulai
senang dengan penyamaranku ini. Mari kita percepat lajunya
perahu agar cepat tiba di tempat tujuan."
Benar saja dugaan Song Cin. Matahari baru mulai condong
ke barat ketika perahu mereka tiba di sebuah perkampungan
yang berada di tepi sungai. Mereka melihat betapa
perkampungan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan ada pintu
pagar yang besar menghadap ke sungai. Song Cin mendayung
perahunya ke tepi dan menarik perahu itu ke darat, lalu
mengikatkan tali perahu kepada sebuah batu besar. Kemudian
kedua orang muda itu melangkah menghampiri pintu gerbang
pagar itu. Baru saja mereka tiba di situ, enam orang yang memakai
ikat kepala merah menyambut mereka dengan sikap garang.
Mereka semua memegang sebatang golok dan memandang
kepada dua orang itu itu dengan sinar mata mengancam.
Akan tetapi, seorang di antara mereka tadi ikut membajak dan
biarpun ia tidak mengenal Suma Eng yang kini berpakai pria,
dia masih mengenal Song Cin yang tadi menolong gadis itu
dan merobohkan beberapa orang anak buah bajak sungai.
Maka, dengan panik orang itu lalu kembali ke dalam pintu
gerbang dan terdengarlah kentungan dipukul gencar sebagai
tanda bahaya! Suma Eng dan Song Cin melihat betapa banyak
orang berlari lari dari dalam pintu gerbang menuju keluar dan
sebentar saja mereka berdua telah dikepung oleh kurang lebih
tiga puluh orang anak buah bajak sungai, Akan tetapi agaknya
para bajak sungai itu masih menunggu komando, karena
mereka tidak segera mengeroyok dan menyerang, melainkan
mengepung saja dengan ketat.
Suma Eng bersikap tenang saja. Ia bnhkan tersenyumsenyum
melihat pengepungan itu dan ia membiarkan Song Cin
yang menghadapi mereka. Ia hendak melihat bagaimana
pemuda itu akan menghadapi para bajak. Kalau menurut ia,
ingin rasanya ia bergerak mengamuk membunuhi para bajak
yang mengepungnya ini, akan tetapi karena ada Song Cin di
situ iapun menyerahkan saja kepada pemuda itu.
"Kami berdua hendak bicara dengan ketua kalian!" kata Song Cin dengan sikap
gagah. "Akulah ketuanya!" Terdengar suara parau dan muncul
seorang laki-laki yang bertubuh pendek gendut, bermuka
bundar dan tampaknya lucu dan kekanak-kanakan, akan tetapi
melihat sepasang mata-yang bersinar tajam, dapat diduga
bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian dan
kecerdikan. Hal inipun dapat diduga melihat kenyataan bahwa
ia dapat menjadi kepala dari segerombolan bajak sungai yang
ganas. Tanpa memiliki ilmu kepandaian tinggi bagaimana
mungkin dia dapat memimpin segerombolan bajak yang terdiri
dari puluhan orang" Pakaian kepala bajak itu terbuat dari kain tebal dan bersih,
berwarna biru, Rambutnya digelung ke atas
dan di kat dengan pita merah. Di punggungnya tampak
sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Kakinya
memakai sepatu satin sebatas bawah lutut dan di
pinggangnya terdapat sederetan senjata rahasia pisau pendek
atau belati, berjumlah tiga belas batang. Penampilannya lucu,
akan tetapi juga menyeramkan.
Song Cin mengamati kepala bajak itu, Dia sudah
mendengar bahwa bajak sungai Ikat Kepala Merah
mempunyai seorang pemimpin yang lihai. Agaknya inilah
orangnya. "Sobat," kata Song Cin. "Kami berdua datang untuk berdamai dengan kalian."
Kepala bajak sungai itu berjuluk Huang-ho Tiat-go (Buaya
Besi Sun Huang-ho) dan bernama Lo Kiat. Mendengar ucapan


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Song Cin, dia memandang heran lalu tertawa bergelak sambil
menengadah sehingga tampak perut gendut di balik baju itu
bergoyang-goyang. Dia telah mendengar tentang kegagalan
anak buahnya membajak seorang wanita, dan tadi menerima
laporan bahwa pemuda yang bicara itu adalah orang yang
menolong wanita yang terbajak itu. Tentu saja dia merasa
heran mengapa orang itu kini datang mengajak berdamai!
"Ha-ha-ha, kalian datang mengajak berdamai" Apa
maksudmu?" "Maksudku begini. Pagi tadi anak buahmu telah mencoba
untuk merampok orang nona dan anak buahmu dihajar ampai
kocar-kacir. Akan tetapi nona itu kehilangan buntalan berisi
pakaian dan uangnya. Sekarang, saudara ini, adik dari nona
itu, bersama aku datung untuk minta kerugian kepada kalian
yang telah membuat buntalan itu hilang. Kalau kalian
menyerah dan mengganti kerugian itu, kamipun tidak akan
mengganggu kalian." "Ha-ha-ha, enak saja engkau bicara, telah membunuhi
beberapa orang anak buah kami, sekarang datang malah
menuntut kerugian! Kalau kami menolak bagaimana?"
"Kalau menolak kami akan membasmi dan membunuh
kalian semua!" T1K7 tiba Suma Eng yang sudah tidak sabar
lagi berkata dengan suara dibesarkan.
Mendengar ucapan ini, kepala bajak itu menjadi marah
sekali. Sepasang matanya seperti memancarkan sinar berapi
mukanya berubah merah dan kedua tangannya dikepal. Juga
para bajak yan mengepung menjadi marah dan mereka
mengacung-acungkan goloknya dengan sikap mengancam.
"Singgg.....!" Huang-ho Tiat - go Lo Kiat mencabut
pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, jari telunjuk
kirinya ditudingkan ke arah muka Suma Eng.
"Bocah lancang mulut! Agaknya engkau telah bosan hidup
maka berani mengeluarkan kata-kata sombong! Berani engkau
mengancam Huang-ho Tiat-go Lo Kiat yang menguasai
seluruh Lembah Huang-ho ini!"
"Hah, segala Bo-bwe Jau-go (Buaya Jahat Tanpa Ekor)
berani bicara besar! Engkaulah yang bosan hidup dan biarlah
yang akan mengantarmu ke dasar neraka!" kata pula Suma
Eng sambil tersenyum lebar mengejek.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Huang-ho Tiat-go Lo
Kiat. Dia merasa dipandang rendah sekali, dimaki-maki di
depan anak buahnya! "Serbuu! Bunuh.....!!" Dia membentak memberi aba-aba kepada anak buahnya dan dia
sendiri sudah menerjang Suma
Eng, diturut oleh anak buahnya. Sekali- tidak kurang dan
enam orang menyerang Suma Eng dengan golok mereka.
Sedangkan Song Cin pun tidak terluput dari pengeroyokan.
Sebetulnya Lo Kiat ingin menghadapi Song Cin yang menurut
anak buahnya merupakan seorang yang lihai, akan tetapi
karena panas dan marah sekali terhadap Suma Eng, dia
menyerang gadis yang menyamar pemuda itu yang belum
diketahui bagaimana kepandaiannya. Melihat tujuh orang
menyerangnya itu Lo Kiat dan enam orang anak buahnya,
Suma Eng bersikap tenang saja. lalu mempergunakan
kecepatan gerakan tubuhnya, berkelebat dan lenyap dari
depan mereka yang mengeroyoknya! Selagi tujuh orang itu
terkejut dan bingun Suma Eng telah berada di belakang
mereka dan sekali kedua tangannya menyambar, dua orang
pengeroyok roboh dan berkelojotan karena mereka terkena
pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Deiaci Pencabut
Nyawa)' Huang-ho Tiat-go Lo Kiat menjadi terkejut setengah mati
nelihat ini. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian
lihai dan ganasnya. Maka diapun Ia menyerang dengan
pedangnya. Serangannya seperti kilat menyambar dan bukan
saja cepat melainkan juga mengandung tenaga sin-kang yang
amat kuat. Melihat serangan ini berbahaya juga, Suma Eng
melompat ke belakang sambil meraba pedangnya.
"Singgg.....!" Sinar kehijauan berkelebat ketika Ceng-liong kiam tercabut dari
sarungnya. Lo Kiat cepat mengejar dan
menyerang lagi dengan dahsyat. Suma Eng menangkis dengan
pedangnya. "Tranggg......"' Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika dua pedang bertemu.
Ternyata pedang di tangan Lo Kiat tidak
rusak dan hal ini saja membuktikan bahwa pedangnyapun
sebatang pedang yang ampuh dan baik. Suma Eng balas
menyerang namun dapat dielakkan pula oleh si gendut
pendek. Ternyata, biarpun tubuhnya gendut pendek, Lo Kiat
dapat bergerak dengar cepat sekali. Para anak buahnya kini
mengepung Suma Eng dan menyerang dari segala penjuru.
"Tranggg.....!" Pedang Suma Eng membabat berputar
menangkis banyak golok dan dua batang golok menjadi patah
karenanya. Patahnya golok disusul menyambarnya sinar hijau
dan dua orang anggauta bajak yang kehilangan golok itu
berteriak dan roboh mandi darah, tewas seketika! Para
pengeroyok menjadi gentar. Hanya Lo Kiat yang masih
menyerang dengan dahsyat, sedangkan yang lain hanya
mengepung sambil mengacung-acungkan golok saja.
Song Cin sibuk sekali. Dia dikeroyok oleh belasan orang
anak buah bajak! Pemuda ini memainkan pedangnya dengan
hati-hati dan dengan tenaga terbatas karena dia tidak mau
main bunuh. Sudah ada empat orang roboh oleh pedangnya
akan tetapi tidak satnpun mati, akan tetapi pengeroyokan
masih saja ketat dan di dihujani serangan golok. Terpaksa
pemuda tokoh Kun-lun-pai ini memutar pedangnya melindungi
diri. Sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai,
seolah-olah tubuhnya terlindung benteng baja yang
mengelilinginya sehingga dari arah manapun golok
menyerang, golok itu selalu bertemu dengan tangkisan
pedang yang kokoh kuat. Akan tetapi karena pengereyoknya
banyak sekali, bahkan kini yang tadinya membantu Lo Kiat
juga ikut mengeroyok Song Cin sehingga jumlah mereka
hampir tiga puluh orang, Song Cin menjadi repot juga. Kalau
dia mempergunakan kekejaman membunuh mereka, kiranya
dia masih akan merobokan sebanyak -banyaknya pengeroyok.
Namun pemuda tokoh Kun - lun - pai itu sudah menerima
gemblengan dari para tosu Kun-lun-pai, bukan hanya
gemblengan ilmu silat, akan tetapi juga gemblengan batin
maka dia tidak tega untuk sembarangan membunuhi para
anak buah para bajak sungai. Sedapat mungkin dia hanya
merobohkan mereka dengan tendangan, tamparan tangan kiri
atau kalau merobohkan dengan pedangnya, dia tidak melukai
bagian tubuh yang membahayakan nyawa, hanya melukai
paha, pundak dan sebagainya.
Pertandingan antara Suma Eng dan Lo Kiat berjalan
semakin seru. Kepala bajak itu merasa semakin terkejut bukan
main ketika mendapat kenyataan betapa lihainya "pemuda"
itu. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan
mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun sama sekali dia
tidak mampu mendesak lawannya yang amat muda itu. Ilmu
pedang pemuda itu amat aneh dan memiliki perubahanperubahan
yang sama sekali tidak dapat dia menduganya.
Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban pedang bersinar
hijau itu dan yang menggemasan hatinya, setiap kali dia
nyaris terkena pedang, pemuda itu tertawa mengejek, Lo Kiat
mengerahkan tenaganya dan membacok dari kanan ke kiri.
Pedangnya membabat ke arah pinggang lawan dan gerakan
ini dilakukan cepat sekali karena dia mengerahkan seluruh
tenaganya. Melihat serangan yang berbahaya ini, Suma Eng
mengelak ke belakang sehingga babatan pedang Lo Kiat luput.
Akan tetapi pada saat itu yang memang sudah diperhitungkan
oleh kepala bajak sungai itu Lo Kiat menggunakan tangan
kirinya, berulang-ulang mencabut pisau belati dan setiap kali
tangan kirinya bergerak, sebatang hui-to (pisau terbang)
menyamba ke arah bagian tubuh yang mematikan dari Suma
Eng. Mula-mula pisau pertama menyambar ke arah muka.
Ketika Suma Eng mengelak, pisau kedua sudah menyambar ke
arah lehernya! Kembali gadis itu mengelak dan pisau ke tiga
dan ke empat sudah cepat menyambar ke arah kedua pundak,
lalu pisau ke lima menyambar ke ulu hati! Suma Eng menjadi
gemas dan kini ia memutar pedangnya menangkis. Biarpun
tiga belas batang pisau menyambar secara bertubi-tubi dan
mengarah bagian tubuh yang berbahaya, tapi Suma Eng dapat
menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Marahlah
gadis itu. "Buaya darat, sudah habiskah pisau terbangmy" Nah,
sekarang nyawamu yang habis!" bentak Suma Eng dan
tubuhnya meluncur bagaikan terbang, pedangnya menyerang
ke arah dada lawan dengan kecepatan kilat.
"Wuuuuuuttt...... trang.....!!" Pedang Suma Eng ditangkis sehingga terpental,
akan tetapi cepat sekali pedang itu
membalik dan kini dari menusuk menjadi membabat
pinggang! Lo Kiat cepat melompat ke belakang sehingga babatan
pedang itu luput, akan tetapi kembali pedang itu sudah
menyambar ke arah lutut kanan! Diserang serara bertubi-tubi
itu, Lo Kiat menjadi terdesak juga. Dengan pedangnya dia
menangis pula, akan tetapi karena keadaannya udah terdesak,
dia tidak mampu menghindar lagi ketika tangan kiri Suma Eng
membarengi serangan pedang ke lutut itu dan menampar ke
arah dadanya. "Tranggg...... plakkk..... auughhh.....!!"
Tubuh Lo Kiat terjengkang, mulutnya muntahkan darah
segar dan matanya mendelik. Dia tewas seketika terkena
pukulan Toat-beng Tok-ciang yang amat ampuh dan keji.
Suma Eng memandang kepala bajak itu, kemudian ia
mendengar ribut-ribut dari belakangnya. Ketika ia menengok,
ia melihat Song Cin dikeroyok banyak sekali orang yang
mengeroyoknya sambil berteriak-teriak dan ternyata Song Cin
terdesak oleh pengeroyokan demikian banyaknya orang.
Melihat ini, Suma Eng lalu melompat ke depan, ringan dan
cepat sekali lompatannya. Begitu tiba di luar kepungan, ia
mengamuk dengan pedangnya dan dalam beberapa detik saja
empat orang telah roboh mandi darah dan tewas seketika!
Para pengeroyok itu terkejut sekali dan ketika mereka
melihat betapa ketua mereka telah roboh dan tewas,
pembantu ketua yang bertubuh tinggi besar itu segera berseru
nyaring. "Lari.....!" Akan tetapi baru saja mulutnya mengeluarkan teriakan itu, diapun
mengaduh dan roboh mandi darah,
lehernya kena disambar pedang di tangan Suma Eng. Melihat
ini, para anak buah bajak sungai menjadi semakin panik dan
tanpa dikomando lagi mereka lalu melarikan diri cerai berai
tanpa menoleh lagi. Sebagian besar dari mereka lari ke arah
sungai dan menceburkan diri, selanjutnya mereka menjauhkan
diri dengan berenang dan ada yang sempat menaiki perahu
mereka yang bercat hitam.
"Mari kita geledah sarang mereka lalu basmi sarang itu!"
ajak Suma Eng ke pada Song Cin yang hanya menurut saja,
Masih mending bahwa gadis itu tidak membunuh semua
bajak, pikirnya. Ngeri juga hatinya membayangkan keganasan
gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Mereka memasuki perkampungan bajak dan tercenganglah
Raja Lihai Langit Bumi 1 Siluman Ular Putih 15 Pengasuh Setan Rahasia Kunci Wasiat 5
^