Suling Pusaka Kumala 6
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 6
hati Suma Eng ketika melihat bahwa di situ terdapat banyak
wanita dan kanak-kanak. Ternyata apa yang dikatakan Song
Cin benar. Para bajak itu ada yang mempunyai isteri dan
anak-anak. Anak-anak yang tidak berdaya! Melihat para isteri
bajak itu memandang dengan wajah pucat dan ketakutan,
Suma Eng berkata kepada mereka.
"Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian. Kalau
ada suami kalian yang tewas dalam pertempuran, itu adalah
kesalahan suami kalian sendiri yang menjadi bajak sungai.
Yang suaminya belum tewas, bujuklah suami kalian agar
jangan menjadi bajak lagi, sedangkan yang suaminya tewas,
kuburkan dengan baik-baik dan hiduplah sebagai orang baikbaik.
Sekarang katakan di mana rumah yang ditinggali kepala
bajak Huang-ho Tiat-go Lo Kiat."
Para wanita itu menunjuk sebuah rumah yang terbesar di
perkampungan itu. Suma Eng lalu memasuki rumah itu dan
tiga orang isteri kepala bajak itu menjatuhkan diri mereka
berlutut. "Ampunkan kami, tai-hiap (pendekar besar).....!" Mereka memohon kepada Suma Eng
dan Song Cin. "Jangan takut, kalian tidak bersalah, kami tidak akan
mengganggu kalian. Sekarang tunjukkan tempat penyimpanan
harta Lo Kiat, dia mempunyai hutang padaku yang harus
dibayarnya." Tiga orang wanita itu lalu menunjukkan kamar suami
mereka dan harta itu disimpan dalam sebuah peti besar. Suma
Eng membuka peti itu dan ternyata berisi si emas, perak dan
permata yang banyak sekali.
"Jangan khawatir, aku bukan perampok! Akan tetapi ketika
aku diganggu anak buah suamimu, barang milikku hanyut di
sungai. Karena itu suamimu harus membayar kembali barangbarangku yang hilang!"
Suma Eng lalu mengambil beberapa
potong emas untuk mengganti uangnya yang hilang dan
mengambil beberapa potong perak untuk membeli pakaian
pengganti pakaiannya yang hilang. Dibuntalnya emas dan
perak itu ke dalam sehelai kain berwarna biru dan ia lalu
menoleh kepada Song Cin. "Cin-ko, engkau boleh mengambil sebagian dari harta ini
kalau engkau membutuhkannya untuk bekal dalam perjalanan.
Wajah Song Cin berubah kemerahan dia menggeleng
kepalanya. "Aku masih mempunyai bekal, Eng..... siauwte,"
Jawabnya cepat karena hampir dia menyebut Eng-moi lagi,
"dan para bajak itu tidak berhutang apapun kepadaku."
"Hei, kalian bertiga," kata Suma Eng kepada tiga orang isteri Lo Kiat. "Ada
beberapa orang bajak yang mati dan
karena mati dalam membela suami kalian, maka sudah
sepatutnya kalau kalian mengeluarkan biaya untuk membantu
penguburan mereka. Kuharap kalian dapat membujuk para
bajak yang masih hidup agar mereka mengubah jalan hidup
mereka. Menjadi petani tersedia tanah yang amat subur di
Lembah Huang-ho, menjadi nelayanpun Sungai Huang-ho
menyediakan ikan yang amat banyak. Mengertikah kalian?"
"Baik, baik, tai-hiap." kata tiga orang isteri Lo Kiat itu dengan berbareng. Di
sebelah Suma Eng, Song Cin
mendengarkan dan wajahnya berseri. Gadis ini pada dasarnya
bukan seorang yang berhati kejam dan ganas, pikirnya. Dapat
memaafkan para isteri bajak, bahkan menasihatkan mereka
agar membujuk para bajak yang masih hidup agar menjadi
orang baik-baik. Dan ketika mengambil sebagian uang, iapun
hanya mengambil sebagia kecil saja sesuai dengan uangnya
yang hilang, tidak mempergunakan kesempatan itu untuk
mengambil sebanyaknya. Bahkan tidak sepotongpun perhiasan
permata ia ambil. Gadis itu tidaklah sekeras seperti yang
diperlihatkannya. Agaknya ia hanya terpengaruh lingkungan,
seperti batu permata di antara batu-batu biasa berdebu. Kalau
digosok, tentu debunya hilang dan akan tampak
kecemertangnya. "Tadinya kami bermaksud hendak membakar sarang para
bajak ini, akan tetapi melihat kalian para wanita dan kanakkanak, kami tidak
melakukan pembakaran. Akan tetapi kalau
lain kali kami lewat di sini dan para bajak masih melakukan
pekerjaan jahat itu, terpaksa kami akan membakar
perkampungan ini!" kata lagi Suma Eng kepada para wanita
itu yang hanya mampu mengangguk-angguk ketakutan.
"Mari, Cin-ko, kita pergi dari sini." kata pula Suma Eng dan Song Cin
mengangguk. Dua orang muda itu lalu pergi dari
perkampungan itu. Setelah tiba di dekat sungai dan melihat
gadis itu menanti, Song Cin berkata.
"Eng-moi," dia berani menyebut demikian karena di situ tidak terdapat orang
lain. "Silakan naik ke perahuku." Dia mendorong perahunya memasuki air, dan
memegangi tali perahunya. "Tidak, Cin-ko. Kita berpisah di sini. Kita mempunyai urusan masing-masing."
Song Cin memandang dengan wajah berubah agak pucat.
Mendengar bahwa ia harus berpisah dari gadis itu membuat
perasaannya terasa nyeri dan begitu tiba-tiba datangnya.
Sebelumnya dia tidak pernah membayangkan akan berpisah
dari gadis yang dicintanya itu. "Tapi..... tapi, Eng-moi. Tidak dapatkah kita
melakukan perjalanan bersama?"
"Tidak, Cin-ko. Aku akan pergi mencari ayah dan mencari
pengalaman, sedangkan engkau tentu mempunyai urusanmu
sendiri." "Akan tetapi, aku juga sedang merantau dan akan kubantu
engkau mencari ayahmu, Eng-moi." Song Cin membantu
karena dia tidak ingin berpisah.
Akan tetapi Suma Eng menggeleng kepalanya. "Terima
kasih, Cin-ko. Akan tetapi aku hendak mencarinya sendiri. lagi Pula, aku ingin
mencari pengalaman se-orang diri. Juga
apabila aku bertemu dengan ayah dan dia melihat aku
melakukan perjalanan denganmu, mungkin dia akan marah
kepadaku." Song Cin menghela napas panjang. Baru teringat dia
sekarang bahwa sesungguhnya memang tidak pantas bagi
Suma Eng, seorang gadis belia, melakukan perjalanan berdua
saja dengan seorang pria yang bukan anggauta keluarganya,
bahkan baru saja dikenalnya! Baru dia melihat kejanggalan itu
dan sebagai seorang yang terdidik baik, dia maklum dan
mengerti akan penolakan Suma Eng untuk melakukan
perjalanan bersama. "Eng-moi, aku..... tidak akan melupakanmu."
Suma Eng adalah seorang gadis yang masih hijau dan ia
tidak dapat menangkap getaran suara pemuda itu,
menganggap ucapan itu seperti ucapan biasa saja. Maka iapun
menjawab dengan senyum ramah.
"Akupun tidak akan melupakanmu, Cin-ko."
Bagi Song Cin, jawaban ini menyenangkan sekali. Dia
sendiripun seorang pemuda yang belum pernah jatuh cinta
dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bercinta.
Akan tetapi mendengar betapa gadis yang dicintainya itu tidak
akan melupakannya, dia merasa gembira sekali!
"Aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang
cantik jelita dan gagah perkasa, dan aku akan merindukanmu,
Eng-moi." ucapan yang jelas menunjukkan perasaan cinta
inipuu tidak dimengerti oleh Suma Eng yang menganggapnya
bagai ucapan ramah dan biasa. "Akupun akan mengenangmu
sebagai eorang yang baik sekali dan sudah menyelamatkan
aku diri ancaman maut, Cin-ko."
"Eng-moi, kalau hari ini kita berpisah, kapankah kita dapat bertemu kembali?"
"Sekali waktu kita pasti akan dapat bertemu kembali, Cinko.
Nah selamat tinggal, aku hendak melanjutkan
perjalananku." "Selamat jalan dan selamat berpisah Eng-moi......" suara Song Cm terdengar hampa
dan lirih. Suma Eng membalikka
tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pemuda itu.
Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, Song Cin
memanggilnya. "Eng-moi......!" Suma Eng menoleh dan ia melihat Song Cin berlari
menghampirinya. "Ada apakah, Cin-ko?"
"Eng-moi, engkau jagalah dirimu baik-baik, Eng-moi. Dan
jangan sekali-kali membiarkan dirimu terpancing naik perahu.
Engkau tidak pandai bermain di air sedangkan orang-orang
jahat itu licik sekali." kata Song Cin dengan nada suara penuh kekhawatiran.
Suma Eng tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak
lagi, Cin-ko. Sekali saja sudah cukup bagiku. Aku tidak akan
naik perahu dengan orang yang belum kukenal keadaannya.
Nah, selamat tinggal."
"Selamat jalan, Eng-moi." Song Cin memandang gadis itu dengan wajah muram dan
pandang matanya sayu. Dia merasa
seolah-olah sukmanya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia
mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya
sampai gadis itu lenyap di sebuah tikungan. Dan dia merasa
begitu kehilangan, begitu kesepian seolah-olah hanya hidup
seorang diri saja di dunia yang mendadak menjadi sepi ini.
Kalau dia seorang anak-anak, tentu dia akan menangis sedih.
Dengan langkah gontai dia kembali menghampiri perahunya,
mendorong lagi perahunya ke air, kemudian duduk di dalam
perahu, tanpa menggerakkan dayung dan duduk saja di situ
sambil melamun. Perahunya bergoyang-goyang lirih dan Song
Cin memejamkan mata karena di depan matanya yang
terbayang hanyalah wajah Suma Eng dengan matanya yang
bening indah, mulutnya yang bibirnya merah basah berbentuk
gendewa terpentang itu. Semakin dikenang, semakin rindu rasa hatinya. Kini teringat
dan terbayanglah semua kenangan itu, terutama sekali di
waktu dia menolong gadis itu dengan pernapasan,
merapatkan mulutnya dengan mulut gadis itu dan meniup
kuat-kuat! Kalau dulu di waktu melakukannya dia tidak
membayangkan yang bukan-bukan,! kini ketika perbuatan itu
dikenangnya, teringatlah dia akan peristiwa itu sampai hal
yang sekecil-kecilnya, betapa hangat dan lunak bibir itu!
Betapa manis kenangan itu dan timbul ah berahinya terhadap
Suma Eng. "Ahhh, Eng-moi.....!" Dia mengeluh berkali-kali sambil membisikkan nama itu
dengan mesra. Sumber segala macam perasaan, malu, senang, sedih,
marah, duka timbul dari pikiran yang mengenang-ngenangkan
masa lalu dan membayangkan masa depan. Mengenangkan
masa lalu menimbulkan duka, kemarahan atau rasa malu.
Membayangkan masa depan menimbulkan rasa takut atau
khawatir. Karena itu, tidak ada gunanya mengenangkan masa lalu
dan membayangkan masa depan. Yang terpenting adalah
masa kini, sekarang, saat ini. Hidup adalah saat demi saat
yang kita hadapi, seperti apa adanya, kesunyataannya. Kalau
kita menghadapi segala sesuatu yang datang pada saat ini
dengan penuh kewaspadaan, dengan mawas diri dan dengan
penuh kepasrahan kepada Tuhan di samping tindakan kita
yang keluar secara spontan, maka kita akan dapat
menanggulangi setiap masalah yang timbul. Suka dukanya
sebab dari timbulnya pikiran yang mengunyah-ngunyah
permasalahan. Kita harus berani menghadapi segala
permasalahan yang timbul dengan penuh ketabahan, tidak
melarikan diri, melainkan menghadapinya dan mengatasinya.
Itulah seni kehidupan. Menghadapi kenyataan dan
mengatasinya! Kenyataan hidup adalah suatu kewajaran, tidak
baik maupun untuk selama si-aku tidak muncul dan menilai -
nilai, membanding - bandingkan, menyesuaikan dengan
kepentingan diri sendiri, dengan dasar diuntungkan atau
dirugikan, disenangkan atau tidak disenangkan.
Kalau kita hanyut dalam ulah si-aku yang bukan lain adalah
nafsu yang mengaku-aku, maka kita akan terombang-ambing
di antara suka dan duka, di mana kenyataannya, lebih banyak
duka ketimbang suka. Pemuda itu berpakaian sederhana seperti seorang pemuda
petani biasa, namun pakaian itu bersih dan rapi. Bentuk
tubuhnya sedang dan tampak kuat ketika dia berjalan dengan
langkah seperti langkah seekor harimau. Langkahnya begitu
ringan namun membayangkan kekuatan yang kokoh.
Wajahnya tampan dan menarik dengan sepasang mata
mencorong penuh wibawa namun juga sinarnya lembut,
hidungnya mancung dan bibirnya selalu terhias senyum
terbuka dan ramah. Di punggungnya tergendong sebuah
buntalan kain kuning yang berisi pakaian.
Pemuda itu melangkah dengan tenang dan gagahnya
menyusuri Sungai Fen Ho. Tadinya dia berjalan biasa saja
ketika masih berpapasan dengan orang-orang yang melakukan
perjalanan melalui jalan itu. Akan tetapi setelah jalan itu sunyi dan dia hanya
berjalan seorang diri, setelah menengok ke
depan belakang dan tidak melihat adanya orang lain, dia lalu
melompat dan lari cepat sekali seperti terbang! Kalau ada
yang melihatnya, tentu orang itu terkejut dan baru
mengetahui bahwa pemuda yang berpakaian dan bersikap
sederhana itu sesungguhnya merupakan seorang pemuda
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda yang agak
jangkung itu adalah Han Lin atau Cheng Lin Seperti telah kita
ketahui, Han Lin disuruh turun gunung oleh kedua orang
gurunya, yaitu Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Dia
melakukan perjalanan merantau sambil mengemban tugas
yang berat dan banyak. Pertama, tentu saja dia harus
melakukan sepak-terjang sebagai seorang pendekar yang
berkepandaian silat untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, untuk menentang si-jahat yang menindas dan untuk
membela si-lemah yang tertindas. Kedua, dia harus mencari Aseng dan merampas
kembali Suling Pusaka Kemala yang dicuri
oleh pemuda berhati palsu dan jahat itu. Ke tiga, gurunya Bubeng Lo-jin berpesan
agar mencoba peruntungannya untuk
mencabut pedang Im-yang kiam peninggalan Panglima Kam
Tio yang gagah perkasa dan setia kepada negara dan bangsa.
Ke empat, dia harus bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu
Kaisar Cheng Tung dan melihat bagaimana sikap kaisar itu
kalau bertemu dengan dia dan menegur ayah kandungnya
yang sama sekali melupakan ibu kandungnya itu. Dan ke lima,
walaupun agaknya hal ini sia-sia belaka, dia harus menyelidiki apakah ibu
kandungnya benar-benar sudah tewas ketika
terjerumus ke dalam jurang. Ucapan-ucapan Cheng Hian
Hwesio menimbulkan harapan baru dalam hati kalau kalau ibu
kandungnya masih hidup. Masih ada satu hal lagi sebagai
yang ke enam, yaitu dia akan mencari Huang ho Sin-liong
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suma Kiang yang telah menyebabkan ibunya tewas dalam
jurang, lihat keadaan orang itu. Kalau masih saja merupakan
seorang yang jahat, tentu ia akan turun tangan
menghajarnya, kalau perlu membunuhnya, bukan semata
untuk membalaskan sakit hati ibunya, melainkan terutama
sekali untuk membasmi orang jahat yang membahayakan
manusia lain itu. Pagi hari itu amat indahnya. Biarpun ia berlari cepat, Han
Lin yang selalu waspada itu, dapat menikmati keindahan alam
itu. Air sungai mengalir tenang, menampung bayang-bayang
pohon-pohon dari sepanjang tepi yang ditimbulkan oleh sinar
matahari pagi. Air sungai berkeriput dalam alirannya, kadang
memecah ketika bertemu batu besar yang menonjol dari
permukaan air. Karena sudah jauh meninggalkan sumber
mata airnya, maka air yang dulunya bersil jernih itu sekarang
telah berubah keruh kekuningan bercampur segala macam
kotoran yang ditampungnya di sepanjang perjalanan dari
sumber air menuju ke Sungai Huang-ho dimana Sungai Fen-ho
membaurkan diri-nya. Burung-burung berkicau di dahan dan
ranting-ranting pohon, di antara daun daun hijau, siap untuk
melaksanakan pekerjaan mencari makan di hari itu. beberapa
ekor kelinci dengan ketakutan dan tergesa-gesa menyusup ke
dalam semak-semak ketika Han Lin lewat dan pemuda itu
tersenyum sendiri. Dalam keadaan dan waktu lain, mungkin
saja dia menangkap seekor kelinci gemuk untuk sarapan pagi.
Akan tetapi pagi hari itu dia tidak merasa lapar dan di dalam
buntalannya masih tersimpan lima buah kueh bak-pao yang
dibelinya semalam di dusun terakhir yang dilewatinya.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara nyanyian. Dia
menahan langkahnya dan memandang ke arah datangnya
suara nyanyian itu. Nyanyian lagu sederhana dan dengan
suara yang sederhana pula. Penyanyinya seorang yang
bersahaja pula. Seorang petani berusia kurang lebih em-pat
puluh tahun tanpa baju, hanya bercelana hitam sebatas lutut.
Bajunya yang ditanggalkan itu berada di atas sebuah batu
besar di luar ladang yang sedang dicangkulnya. Dia bekerja
dengan tenang, lengan rajin dan seenaknya sambil bernyanyinyanyi.
Han Lin terpesona. Pagi yang indah itu tampak
semakin berseri. Karena tertarik, diapun berhenti dan duduk di bawah sebatang
pohon, melihat petani itu bekerja seperti
suatu pemandangan yang indah sekali. Sebetulnya suatu
pemandangan yang biasa saja, dapat dilihat di mana saja
setiap hari. Akan tetapi entah mengapa, bagi Han Lin
pemandangan itu menyentuh perasaannya dan membuatnya
terharu. Petani miskin nrnyanyi-nyanyi sambil bekerja!
Seorang wanita petani berusia tiga puluh tahun lebih
berjalan menghampiri tempat bekerja petani itu. Dia
membawa sebuah keranjang berisi makanan dan ninuman.
Petani itu berhenti bernyanyi dan menunda pekerjaannya,
mencuci tangan dan kakinya di solokan kecil di tepi ladang
kemudian menghampiri isteri-ya yang telah mengeluarkan
mangkok, panci-panci tempat nasi dan sayuran, juga cangkir
dan poci minuman. "Kebetulan engkau datang, perutku memang sudah mulai
bernyanyi." kata suami itu sambil mengangkat sebuah
mangkok. "Karena itu aku dengar tadi engkau bernyanyi." kata sang isteri sambil
mengambilkan nasi yang ditampung di mangkok
yang dipegang suaminya. "Aku bernyanyi untuk melupakan rasa laparku." kata pula suami itu sambil tertawa
dan isterinyapun ikut tertawa. Tawa
mereka begitu lepas dan terbuka dan Han Lin yang
menyaksikan serta mendengarkan itu semua, ikut tersenyum
senang. Petani itu lalu makan, dilayani isteri nya. Dari tempat dia
duduk Han Lin melihat betapa makanan itu amat sederhana.
Nasi dengan hanya satu macam masakan sayur. Dan
minumnya itupun hanya air jernih! Akan tetapi petani itu
makan dengan lahapnya dan kelihatan nikmat sekali.
Itulah orang berbahagia! Itulah keluarga bahagia! Demikian
Han Lin berpikir Dalam bekerja berat, bernyanyi, itu tardanya
bahagia. Makan begitu bersahaja tampak demikian lezat dan
nikmat. Demikianlah orang yang sudah merasa cukup segalagalanya.
Karena merasa penasaran bagaimana orang yang miskin
seperti petani itu dapat hidup berbahagia, setelah petani itu
selesai makan dan isterinya sudah pergi membawa tempat
makanan kosong, dia lalu bangkit dan menghampiri petani
yang masih duduk mengaso itu. Melihat sedang pemuda yang
juga berpakaian seperti petani namun pakaiannya bersih,
petani itu lalu mengangguk dan tersenyum.
"Siauwte (adik laki-laki), hendak ke manakah?"
"Aku melihat twako (kakak laki-laki) dan merasa tertarik
sekali. Ingin aku bercakap-cakap sebentar dengan twako kalau
kiranya tidak mengganggu pekerjaan twako."
"Ah, tidak. Aku bekerja tidak tergesa gesa. Hujan belum
akan turun sebelum lewat bulan ini dan aku pasti akan
merampungkan pencangkulan ladangku ini belum hujan turun.
Marilah kita bercakap-cakap kalau engkau menghendaki.dari
logat bicaranya seperti bukan orang sini, siauwte. Dari
manakah engkau?" "Benar, twako. Aku datang dari daerah utara sana. Aku
tertarik melihat engkau bekerja dan makan tadi. Twako
apakah engkau dapat menjawab pertanyaanku ini?"
"Pertanyaan apakah, siauwte?"
"Berbahagiakah hidupmu, twako?"
Mendengar pertanyaan itu, si petani termenung dan
mengerutkan alisnya seperti menghadapi pertanyaan yang
sukar dimengerti dan sukar pula dijawab.
"Bahagia" Apakah itu, siauwte?"
Kini berbalik Han Lin yang termenung. Dia belum pernah
mempertanyakan kepada diri sendiri apakah bahagia itu.
"Bahagia itu......" dia menjawab dengan sukar sekali. "......
eh, yaitu kalau engkau selalu merasa senang dalam hidupmu
tidak pernah merasa susah dan khawatir, tidak kekurangan
sesuatu, merasakan damai dan tenteram lahir batin.....
pendeknya, ya berbahagia begitulah."
Petani itu masih mengerutkan alisnya "Sukar benar. Aku
tidak mengerti apa bahagia itu dan bagaimana rasanya,
bahkan tidak membutuhkan bahagia yang tidak kukenal itu.
Akan tetapi aku selalu merasa senang. Tanah yang kugarap ini
milikku sendiri, dan tanahnya subur. Hanya cukup untuk
makan aku bersama isteri dan dua orang anakku. Isteriku
seorang wanita yang baik dan anak-anakku juga penurut.
Apalagi yang kubutuhkan?"
Han Lin tersenyum. Kini dia melihat kenyataan dari
pelajaran yang seringkali di dengarnya dari Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian
Hwesio. Inilah contoh atau buktinya seorang yang
berbahagia, yaitu orang yang telah dapat menerima segalakeadaan sebagaimana
adanya tanpa mengharapkan apa-apa!
Tidak mengharap-kan apa-apa yang dibayangkannya lebih
pada apa yang ada! Apa yang ada itu-Kebenaran. Apa yang
ada dan yang jadi itulah Kekuasaan Tuhan. Orang seperti
petani yang sederhana ini adalah orang yang hidup selaras
dengan kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi nafsu akan
menyeretnya untuk mengejar-ngejar kesenangan, untuk
mencari apa apa yang lebih daripada apa yang ada yang
dianggapnya tentu akan lebih menyenangkan.
Petani itu minum air putih yang jernih dengan hati akal
pikiran terbebas daripada nafsu. Kalau nafsu mengusik hatinya
dan timbul keinginan untuk minum air teh atau arak, tentu
seketika air putih itu akan menjadi hambar dan tidak enak dan
timbul ah kecewa dan penyesalan. Demikian pula dengan
makanan yang sederhana itu. Kalau di waktu makan nasi dan
sayur itu nafsunya mempengaruhi pikirannya sehingga dia
menginginkan makan paha ayam atau dagi sapi, tentu
seketika nasi sayur itu tak terasa tidak enak dan dia mungkin
akan marah-marah kepada isterinya. Jadi jelasnya,
kebahagiaan itu sebenarnya, seperti juga Tuhan, sudah selalu
ada pada diri kita masing-masing. Hanya karena nafsu -
menguasai, nafsu yang mendorong kita untuk mengejarngejar
kesenangan, maka kita tidak merasakan bahwa
kebahagian sudah ada pada kita setiap saat.
Kesehatan adalah kebahagiaan. Kesehatan ada pada diri
kita setiap saat, akan tetapi kita masih mencarinya ke manamana.
Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkannya"
Kesehatan SUDAH ada ada diri kita. Kalau kita merasa tidak
sehat, hal itu tentu ada penyebabnya, yaitu penyakit. Kalau
penyakit itu sudah dihilangkan, maka kesehatan itu ada. akan
tetapi, siapakah di antara kita yang SADAR akan
kesehatannya" Demikian pula kebahagiaan. Kebahagiaan
sudah ada pada kita setiap saat, seperti petani sederhana itu.
Kalau kita merasa tidak bahagia, jangan mencari kebahagiaan,
melainkan carilah sebabnya mengapa kita merasa tidak
berbahagia. Kalau penyebab atau halangan kebahagiaan itu
dapat disingkirkan, maka kita SUDAH BERBAHAGIA! Seperti
petani itu, dia tidak mempunyai sesuatupun yang menutup
atau menghalangi kebahagiaan, dengan menerima apa
adanya, menerima kenyataan, menerima keputusan atau
kehendak Tuhan, maka dia sudah berbahagia, walau- mungkin
dia tidak tahu apa itu kebahagiaan! kebahagiaan adalah suatu
keadaan diri lahir batin, karenanya tidak bisa dibuat buat,
tidak bisa dicari-cari. Tepat sekail ujar-ujar nabi Khong Cu
dalam kita Tiong-yong pasal empat dan lima yang berbunyi
seperti berikut: "Hi Nouw Al Lok Ci Di Hoat,
Wi Ci Tiong. Hoat si Kai Tiong Ciat,
Wi Ci Hoo. Tiong Ya Cia, Thian He Ci Tai Pun Ya. Hoo Ya Cia,
Thian He Ci Tat Too Ya. Ti Tiong Hoo, Thian Tee Wi Yan,
Dan Dut Yok Yan." artinya : "Sebelum timbul Senang, Marah, Duka dan Gembira,
keadaan itu disebut Dalam Imbangan Jejak (Seimbang)
Apabila pelbagai perasaan itu timbul namun mengenal
batas, keadaan itu disebut Keselarasan. Keseimbangan Jejak ini
adalah Pokok Terbesar dunia. Keselarasan adalah Jalan Utama
sesuai dengan Kekuasaan Tuhan. Apabila Keseimbangan
Jejak dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, kebesaran abadi
akan meliputi seluruh langit dan bumi."
Han Lin mengangguk-angguk sambil melamun. Pantas saja
kedua orang guru-nya itu selalu menganjurkan agar dia
selamanya menjaga agar dirinya selalu berada dalam
Keseimbangan Jejak, dalam arti kata tidak diseret oleh nafsunafsunya sendiri dan
dalam Keselarasan, dalam arti kata
selaras dengan kenyataan apa adanya, sehingga dalam
keadaan yang bagaimanapun dia waspada bahwa semuanya
itu ada yang mengatur, bahwa Kekuasaan Tuhan selalu
bekerja dan berkuasa di manapun juga. Inilah yang
dinamakan Penyerahan. Menyerah terhadap kekuasaan Tuhan
yang Maha Bijaksana. Tentu saja penyerahan dalam arti kata
yang sehat, yaitu tidak melupakan ikhtiar lahiriah. Berikhtiar berlandaskan
penyerahan. "He, siauwte. Engkau sedang mengapa?" Tiba-tiba petani itu bertanya heran
Han Lin balas memandang deng heran pula. "Aku
mengapa?" "Engkau sejak tadi hanya mengangguk angguk dan
tersenyum -senyum seorang diri. Apa sih yang membuat
engkau bersikap seaneh itu?"
Han Lin bangkit berdiri dan menjura "Aku sedang
mempertimbangkan dan melihat kenyataan bahwa engkau
seorang yang berbahagia, twako. Terima kasih atas
keramahanmu." Dia lalu membalikan tubuhnya dan pergi dari situ dengan perasaan
ringan. Petani itu memandang dan mengikuti bayangannya sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh. Pemuda yang aneh.
Bahagia?" Dia menggerakkan pundaknya, Ia berjalan ke
tengah ladang, memegang dan mengayun cangkulnya
kembali. Setengah belahan tanah oleh ayunan cangulnya
mendatangkan perasaan puas dan senang dalam hatinya
sehingga sebentar saja dia sudah melupakan pemuda aneh
itu. Han Lin melanjutkan perjalanan dengan hati gembira. Dia
telah menemukan bukti pelajaran tentang hidup yang amat
penting. Pelajaran tentang kehidupan tidak ada artinya sama
sekali kalau tidak dapat menghayati dan pengertian hanya
mengambang kalau kita tidak menemukan bukti.
Han Lin mendaki lereng di pegunungan itu. Sungai Fen-ho
mengalir di bawah sana. Dia tidak dapat lagi menyusuri tepi
sungai karena di bagian itu tepinya Merupakan dinding bukit
yang terjal. dan lereng itu penuh dengan pohon-pohon besar.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang dari dalam hutan
dan dia cepat memasuki hutan dan menuju ke arah suara itu.
Dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar ketika melihat
tiga orang laki-laki kasar tinggi besar sedang mengepung
seorang gadis yang berpakaian sutera putih. Gadis itu cantik
sekali, berkulit putih mulus dan kedua pipinya kemerahan
karena sehatnya. Gerak-geriknya lembut dan biarpun
dikepung tiga orang laki-laki kasar yang sikapnya mengancam
ia tampak tenang saja. Sepasang matanya seperti mata
burung Hong, indah dan tajam pandangannya namun lembut.
Hidungnya kecil mancung dan mulutnya berbentuk indah
dengan bibir yang selalu tersenyum ramah. Di punggungnya ia
mengendong sebuah buntalan kain kuning yang besar.
Pinggangnya ramping dan kedua kakinya mengenakan sepatu
kulit yang mengkilat, berwarna hitam.
"Saudara-saudara, apa yang kalian kehendaki maka kalian
menghadang perjalananku" Harap suka minggir dan memberi
jalan kepadaku," kata gadis itu dengan suara halus. Han Lin tersenyum. Terdengar
aneh sekali. Gadis itu bicara dengan
sikap sopan dan lembut, padahal sekali pandang saja dia
dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki itu bukan orang
baik-baik! Tiga orang laki-laki itu saling pandang dan
menyeringai. Agaknya merekapun heran disapa sedemikian
lembutnya oleh gadis itu. Sepatutnya gadis itu menangis
Ketakutan dan minta ampun!
"Ha-ha-ha, tadinya kami menghendaki buntalanmu itu,
akan tetapi melihat dirimu yang jauh lebih berharga dari
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala macam harta, maka kami mengajakmu untuk hidup
bersama kami. Kami tanggung hidupmu akan kecukupan dan
terlindung. Lihat, engkau berada di tangan orang kuat, nona."
Pembicara itu, yang mukanya brewok, menggerakkan tangan
kanannya, miring menghantam sebatang pohon sebesar paha
orang dewasa seperti dibacokkan, terdengar suara keras dan
pohon itupun tumbang! Akan tetapi agaknya demonstrasi
tenaga kuat itu tidak mendatangkan kesan kepada gadis itu.
Ia menggeleng kepalanya. "Maaf, saudara. Aku seorang perantau yang tidak ingin
terikat oleh siapa dan apapun juga. Tugasku amat banyak,
yaitu menolong dan mengobati orang-orang yang dilanda
sakit, mengusir wabah yang sedang melanda dusun-dusun
karena itu biarkanlah aku lewat. Kebaikanmu tentu akan
mendapat berkah dari Thian (Tuhan)."
"Teng-ko, kenapa mesti banyak cakap" Tubruk dan
pondong saja!" kata orang ke dua yang mukanya pucat kuning sambil tertawa. Si
brewok juga tertawa. akan tetapi tiba-tiba, tanpa memberi peringatan, dia sudah
menubruk ke arah gadis itu dengan kedua lengan dipentang lebar, siap untuk
merangkul dan menangkap! Han Lin mengerutkan alisnya, akan tetapi kerut alisnya
hilang lagi dan dia tersenyum melihat betapa gadis itu dengan
langkah yang ringan dan teratur baik telah dapat mengelak
sehingga tubrukan itu luput! Kiranya gadis lemah itu bukan
tidak memiliki kepandaian. Dari gerakannya yang ringan dan
gesit. mudah diduga bahwa ia memiliki ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang lumayan. Si brewok terbelalak dan
menjadi penasaran. Bagaikan seekor biruang yang berdiri di
atas kaki belakangnya, dia berbalik dan kini menubruk lagi
sambil membuka lengan untuk menghalangi gadis itu
mengelak. Akan tetapi kembali tubrukannya tidak berhasil
karena gadis itu meloncat ke belakang.
"Hayo kalian bantu aku menangkap gadis ini!" Si brewok berseru kepada dua orang
kawannya dan mereka bertiga
menghadang dari tiga jurusan dengan kedua lengan
terpentang lebar, siap untuk menangkap dan merangkul gadis
itu. Melihat ini, Han Lin tidak dapat tinggal diam lagi. Dia
melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari
menghampiri mereka. "Hei, kalian bertiga! Tidak malukah tiga orang laki-laki
mengganggu seorang gadis terhormat?" tegur Han Lin kepada tiga orang itu.
Si brewok dan dua orang kawannya itu terkejut mendengar
teguran ini dan mereka cepat memutar tubuh menghadapi
Han Lin. Akan tetapi orang-orang seperti mereka yang
terbiasa memaksakan kehendak dan mempergunakan
kekerasan, mana dapat sadar mendengar teguran orang"
Bukan teguran itu membuat mereka marah dan menganggap
pemuda itu usil mencampuri urusan mereka dan lancang
mulut mengeluarkan kata-kata yang mereka anggap
menghina. Si brewok menudingkan telunjuk kanannya ke arah
muka Han Lin dan membentak dengan suara kasar.
"Bocah lancang mulut! Berani engkau mencampuri urusan
kami" Hayo serahkan buntalanmu itu dan berlutut minta
ampun, baru mungkin kami dapat mengampuni dan tidak
membunuhmu!" Han Lin tersenyum. "Hemm, sekaran aku mengerti. Kiranya
kalian adalah perampok-perampok dan pengganggu wanita.
Orang-orang seperti kalian patut dihajar!"
"Bocah setan, kau sudah bosan hidup!" Si brewok
menerjang ke depan dan kepalan tangan kirinya yang sebesar
kepala orang itu sudah menyambar ke arah Han Lin. Orang itu
ternyata memiliki tenaga yang besar sekali dan pukulannya
menyambar bagaikan peluru kc arah muka Han Lin. Pemuda
itu mengelak dengan mudah sehingga pukulan itu hanya
mengenai tempat kosong. Akan tetapi dua orang perampok
yang lain sudah menyerang pula dengan dahsyatnya dan
ternyata merekapun bertenaga besar dan dapat bergerak
cepat. Akan tetapi, kecepatan mereka itu tidak ada artinya
bagi Han Lin. Kembali hanya dengan beberapa langkah
berputar dia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan
mereka. Si brewok yang penasaran melihat pukulannya dapat
dielakkan sudah menyerang lagi dengan pukulan beruntun,
tangan kiri memukul kepala dan tangan kanan mencengkeram
ke arah perut. Menghadapi serangan maut yang berbahaya
ini, Han Lin merendahkan tubuh sehingga pukulan ke arah
kepalanya lewat di atas kepala dan cengkeraman ke arah
perutnya itu dia tangkis dengan tangan kiri sambil menotok ke
pergelangan tangan kanan lawan.
"Tukk!" Seketika tangan kanan si brewok menjadi kejang dan pada saat itu Han Lin
sudah menggerakkan kakinya
menendang. Si brewok roboh terjengkang. Dua orang
kawannya menerjang, akan tetapi merekapun roboh
terjengkang disambar tendangan kaki Han Lin. Ketiganya
merasa pening dan sakit perut, akan tetapi mereka merangkak
bangun sambil menghunus golok mereka. Kini dengan wajah
beringas penuh ancaman mereka mengepung Han Lin.
Han Lin melirik ke arah gadis itu. Gadis itu berdiri di bawah
pohon, sikapnya tenang sekali dan ia menonton pertarungan
itu dengan alis berkerut, agaknya hatinya tidak berkenan
melihat orang berkelahi. Akan tetapi iapun maklum bahwa
tidak mungkin menghentikan penyerang tiga orang perampok
yang ganas dan kejam itu. Maka iapun hanya menonton
dengan tenang karena beberapa gebrak tadi saja sudah
membuat ia mengerti bahwa pemuda itu tidak akan kalah!
Melihat betapa tiga orang itu mencabut golok dan
mengepungnya dengan wajah beringas dan kejam, Han Lin
menjadi gemas juga. Orang-orang seperti ini harus diberi
pelajaran yang lebih keras, pikirnya, untuk membuat mereka
menyadari bahwa banyak orang yang jauh lebih kuat dari
mereka. Mengharapkan mereka akan bertaubat merupakan
harapan yang terrlalu muluk, akan tetapi setidaknya hajaran
keras akan membuat mereka agak jera. Diapun berdiri dengan
tenang dan waspada menghadapi mereka karena dia pun tahu
bahwa mereka bertiga memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Akan tetapi dia masih merasa cukup untuk menghadapi tiga
batang golok mereka dengan tangan kosong saja.
"Mampuslah.....!!" Si brewok sudah menerjang ke depan, goloknya menyambar
menjadi sinar putih dan mengeluarkan
suara berdesing mengarah leher Han Lin. Pemuda ini
mengatur langkahnya. Selangkah saja ke kanan dan memutar
tubuh dia sudah terhindar dari sambaran golok itu. Akan tetapi terdengar desing-
desing lain dan dua golok yang lain juga
sudah menyambarnya dari dua jurusan. Dia mempergunakan
kelincahannya bergerak dan meloncat ke belakang. Tiga orang
itu mengejar dan menghujani Han Lin dengan serangan golok.
Demikian cepat gerakan golok mereka sehingga lenyap untuk
tiga batang golok itu, berubah menjadi gulungan sinar yang
menyambar-nyambar. Diam-diam Han Lin menyayangkan bahwa tiga orang yang
memiliki ilmu golok yang sudah demikian tangguh, lau
merendahkan diri menjadi perampok dan pengganggu wanita.
Padahal, kalau saja mereka mau masuk menjadi tentara,
mereka tentu akan memperoleh kedudukan lumayan. Gadis
berpakaian putih itu menonton dengan sinar mata tajam dan
waspada, iapun mengerti bahwa tiga orang perampok itu
memiliki ilmu golok yang tangguh. Akan tetapi ia tidak
khawatir karena tepat seperti diduganya, pemuda itu lihai
bukan main. Dia dapat berkelebatan diantara tiga gulungan
sinar golok, bagaikan seekor burung murai beterbangan
dengan lincah sekali. Gadis itu bernapas lega dan diam-diam
ia merasa kagum juga pada pemuda yang berpakaian seperti
orang pemuda petani itu. Si brewok dan dua orang kawannya merasa penasaran
bukan main. Mereka telah mengerahkan tenaga dan
mengerahkan semua ilmu golok mereka menyerang bertubitubi,
akan tetapi golok mereka seperti menyerang bayangan
saja. Tidak pernah golok mereka mengenai sasaran bahkan
tidak pernah dapat menyentil ujung baju pemuda itu.
Sebaliknya malah seringkali mereka kehilangan bayangan
pemuda itu seolah-olah pemuda itu pandai menghilang"
Setelah lewat tiga puluh jurus, karena pemuda itu membuat
mereka berputar-putar, mereka merasa pening.
Han Lin merasa sudah cukup mempermainkan mereka.
Ketika golok si brewok menyambar ke arah tubuhnya, dia
mendahului, dengan jari telunjuk kiri menotok siku kanan si
brewok sehingga lengan kanannya lumpuh seketika dan Han
Lin memegangi tangan kanan yang masih mengenggam
gagang golok dan didorong ke arah lengan kiri lawan.
"Crokkk....! Aduhh..... " Pangkal lengan kiri si brewok dibacok goloknya sendiri
sehingga terluka parah. dan
tendangan membuat tubuh si brewok terlempar dan diapun
roboh terbanting, goloknya terlepas dan mencelat jauh. Dia
tidak segera dapat berdiri melainkan memegang lengan kirinya
sambil meringis kesakitan.
Dua orang kawannya menjadi terkejut dan juga marah.
Mereka memperhebat serangan mereka terhadap Han Lin.
Akan tapi Han Lin tidak memberi kesempatan lagi kepada
mereka. Seperti yang dilakukan terhadap si brewok tadi,
diapun memaksa kedua orang perampok itu membacok lengan
kirinya sendiri kemudian merobohkan mereka dengan
tendangan! robohlah tiga orang itu dengan pangkal lengan
luka parah. Walaupun luka itu tidak sampai mematahkan
tulang, namun mengerat daging sampai ke tulang dan darah
mengucur dengan derasnya! Juga tendangan yang keras dan
mengenai dada mereka itu membuat dada mereka terasa
sesak dan nyeri. Setelah Han Lin merobohkan tiga orang lawannya, dia
menjadi bengong melihat pemandangan di depannya. Dia
melihat gadis itu sedang merawat luka parah di pangkal
lengan si brewok Dengan dua buah jari tangan, gadis itu
menotok jalan darah di pundak untuk menghentikan
mengalirnya darah keluar dari luka di pangkal lengan. Setelah
itu ia membuka buntalannya, mengambil bungkusan obat
bubuk berwarna kuning dan menaburkan obat itu ke atas luka
yang menganga. Juga dari buntalannya itu ia mengambil kain
putih yang bersih dan membalut luka itu kuat-kuat. Tanpa
berkata-kata kepada mereka, ia merawat luka pada lengan
tiga orang perampok itu dan setelah tiga orang perampok itu
mendapat perawatan, ia berkata dengan lembut.
"Luka itu jangan sampai terkena air dan setelah dua hari
baru boleh pembalutnya dibuka."
Si brewok membungkuk kepada gadis itu dan berkata,
"Terima kasih, nona." juga dua orang temannya membungkuk kemudian setelah
memandang ke arah Han Lin dengan mata
mengandung kebencian, mereka meninggalkan tempat itu
dengan cepat, menghilang di antara pohon-pohon yang lebat.
Han Lin yang sejak tadi berdiri bengong melihat pekerjaan
gadis itu, seolah baru terbangun dari mimpi. Dia menelan
ludah dan menegur dengan hati-hati.
"Nona, tiga orang perampok itu tadi berniat buruk terhadap dirimu!"
Gadis itu membereskan buntalannya, menggendong
kembali di punggungnya, baru ia mengangkat muka
memandang kepada Han Lin. Dua pasang mata bertemu
pandang dan Han Lin merasa betapa lembut namun tajamnya
sepasang mata gadis itu sehingga mau tidak mau dia yang
lebih dulu menundukkan pandang matanya. Kemudian ia
mendengar suara yang lunak halus itu.
"Kalau begitu, mengapa?"
"Mereka itu jahat dan engkau nyaris celaka oleh mereka,
akan tetapi mengapa engkau malah membantu dan merawat
luka di lengan mereka?"
Gadis berpakaian putih itu tersenyum, seperti senyum
seorang guru yang mendengar pertanyaan bodoh dari seorang
murid. Senyun yang penuh pengertian, sekaligus teguran.
Kemudian ia bicara dan suaranya yang lembut itu terdengar
seperti seorang guru yang memberi pelajaran kepada seorang
murid. "Sobat, selama bertahun-tahun aku mempelajari ilmu
pengobatan dan sudah menjadi kewajibanku untuk
melaksanakan pelajaran itu dalam kehidupan ini. Mereka itu
tcrluka parah yang dapat membahayakan nyawa mereka.
Tentu saja aku menolongnya. Seandainya perkelahian tadi
berakibat engkau yang terluka parah, tentu akupun akan
menolong dan mengobatimu."
Entah bagaimana, mendengar ucapan gadis itu dan melihat
sikapnya yang seperti menegurnya, mendadak Han Lin merasa
dirinya bersalah! Bersalah telah melukai tiga orang itu! Dia
merasa seolah olah gadis itu menegurnya karena dia telah
melukai mereka. "Akan tetapi..... aku tadi..... maksudku hanya untuk
menolongmu dari tangan tiga orang penjahat tadi, nona."
"Aku tahu dan aku menghargai pertolonganmu. Agaknya
karena engkau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, maka
sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang penjahat. Akan
tetapi akupun mempunyai kewajiban, yaitu mengobati orang
yang menderita sakit. Kita sama-sama melaksanakan
kewajiban kita, bukan" jadi, jangan persalahkan aku kalau aku
mengobati mereka tadi."
Han Lin menundukkan mukanya. Tampak nyata perbedaan
antara kewajiban mereka. Tindakannya hanya menimbulkan
bencian dan sakit hati di pihak tiga orang penjahat tadi,
sedangkan tindakan gadis itu menimbulkan perasaan terima
kasih kepada mereka! "Akan tetapi aku melihat tadi engkau inipun menghindarkan diri dari serangan
mereka, nona. Aku yakin bahwa nona tentu
juga memiliki ilmu kepandaian silat, atau setidaknya pernah
belajar ilmu silat."
"Aku belajar cukup dari guruku sekedar membela dan
menyelamatkan diri."
"Engkau ahli ilmu pengobatan, juga kau memiliki gin-kang
(ilmu meringankan tubuh) yang lihai. Dua orang guruku,
Cheng Hian Hwesio dan Bu-beng Lo-jin, pernah memberitahu
kepadaku bahwa dunia kang-ouw (persilatan) terdapat orang
ahli pengobatan yang budiman berjuluk Thian-beng Yok-sian
(Dewa Obat Anugerah Tuhan). Apakah dia.....?"
"Tepat sekali. Thian beng Yok-sian adalah guruku," kata gadis itu memotong kata-
kata Han Lin. "Ah, aku girang sekali dapat berkenalan dengan murid
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang lo-cian-pwe(orang tua gagah) yang budiman itu
ternyata engkau juga seorang pendekar budiman.
Perkenalkan, nona, namaku Han Lin. Kalau boleh aku
mengetahui namamu, nona?"
"Namaku Tan Kiok Hwa." kata gadis itu dengan singkat.
"Nona Tan Kiok Hwa, pertemuan antara kita sungguh
merupakan suatu kebetulan dan aku akan merasa terhormat
dan girang sekali kalau engkau sudi menerima perkenalanku.
Aku berasal dari gunung Thai-san di Puncak Bambu di mana
tinggal guru-guruku. Ibuku..... sudah meninggal dunia dan
ayahku.... telah lenyap sejak aku belum lahir. Aku sedang
merantau untuk mencari ayahku dan mempergunakan ilmuilmu
yang telah kupelajari untuk membela kebenaran dan
keadilan. membela mereka yang lemah tertindas, menentang
mereka yang jahat dan menindas. Nah, kalau engkau suka
menceritakan riwayatmu, nona....."
Gadis itu menundukkan mukanya, "aku sudah yatim piatu.
Ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit ketika ada
wabah menyerang dusun kami di sebelah selatan Sungai
Yang-se-kiang. Aku sejak berusia lima tahun diambil murid
dan telah merantau dan mempelajari ilmu pengobatan."
"Dan ilmu silat....."
"Ya, dan ilmu silat. Akan tetapi aku mengutamakan ilmu
pengobatan, Ayah ibuku meninggal karena penyakit, oleh
karena itu aku merasa sudah menjadi kewajibanku untuk
menolong orang-orang yang terserang penyakit dan melawan
kalau ada wabah menyerang dusun kota."
"Kalau begitu, sudah lama engkau berpisah dari gurumu?"
tanya Han Lin. "Belum begitu lama, baru kurang lebih setengah tahun.
Suhu menyuruh aku turun gunung dan mempergunakan
kepandaianku untuk menolong sebuah dusun yang terserang
wabah demam, kemudian aku diharuskan mengambil jalan
hidup sendiri memasuki dunia ramai."
"Akan tetapi engkau seorang gadis. Banyak sekali bahaya
yang mengancammu." Jilid XI "AKU tidak takut, selain aku dapat menjaga diri, juga
siapakah orang yang mau mengganggu seorang ahli
pengobatan yang siap untuk menolong siapa saja yang
terkena penyakit?" Han Lin tidak menjawab melainkan cepat memutar
tubuhnya karena dia mendengar suara yang tidak wajar di
sebelah belakangnya. Ternyata tampak bayangan berkelebat
dan seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun
telah berdiri di depannya. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan agak kurus,
wajahnya merah dan jenggotnya sampai ke leher.
Di punggungnya tampak gagang pedang, bajunya longgar dan
lengan bajunya panjang dan lebar, seperti baju seorang
pendeta. Wajahnya memperlihatkan ketenangan, akan tetapi
matanya bergerak liar dan mengandung kekejaman. Dia
berdiri dalam jarak empat meter dari Han Lin dan Kiok Hwa,
dan matanya mengamati wajah Kiok Hwa seperti orang yang
menyelidiki. Lalu pandang matanya memandangi ke arah
buntalan di punggung gadis itu, setelah itu dia memandang ke
arah pakaian Kiok Hwa yang serba putih.
"Nona, apakah benar aku berhadapan dengan Pek I Yok
Sianli (Dewi Obat Baju Putih)" Apakah nona yang sebulan
yang lalu menolong dusun di hulu sungai dari wabah muntah
berak?" Kiok Hwa mengangguk. "Yang menolong dusun itu
memang benar aku, akar tetapi mengenai julukan itu,
mungkin hanya panggilan orang-orang saja, aku sendiri tidak
pernah mempergunakan julukan itu."
"Bagus sekali! Ha-ha-ha, sudah hampir satu bulan aku
mencarimu, ke dusun itu dan mencoba untuk mencari
jejakmu. Akhirnya dapat kutemukan di sini. Nona, engkau
harus ikut denganku ke rumah kami!"
"Kenapa aku harus ikut denganmu?"
"Engkau harus mengobati puteraku yang menderita luka
keracunan yang amat parah. Marilah, nona. Engkau ikut aku
ke rumah kami sekarang juga!"
Wajah Han Lin menjadi merah dan dia melangkah maju lalu
berkata dengan suara tegas namun halus, "Paman, di mana
ada aturannya orang minta tolong dengan memaksa?"
Laki-laki itu memandang kepada Han Lin dengan mata
mencorong lalu menghardik, "Siapa engkau" Apamu nona ini?"
"Bukan apa, hanya seorang kenalan baru. Akan tetapi......"
"Kalau begitu, jangan mencampuri urusan orang lain! Atau
barangkali engkau sudah bosan hidup?" Orang itu bersikap
menantang. Han Lin menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebelum dia
menjawab, Kiok Hwa sudah menengahi. "Saudara Han Lin,
biarkanlah. Aku mau pergi dengan paman ini untuk menolong
puteranya." "Akan tetapi, Kiok-moi!" Saking gugupnya, Han Lin
kelepasan menyebut gadis itu Kiok-moi (adik perempuan
Kiok). "Engkau tidak boleh begitu saja mengikuti seorang yang sama sekali tidak
kau ketahui siapa!" Mendengar ucapan ini, orang itu mengerutkan alisnya.
"Heh, pemuda dusun, Ketahuilah bahwa aku bukan orang
sembarangan! Aku adalah majikan Hek-ke san (Bukit Ayam
Hitam) dan orang kang ouw menjuluki aku Kim-kiam-sian
(Dewa Pedang Emas)! Apa engkau ingin lehermu kupenggal
dengan pedangku?" "Sudahlah, Paman Kim!" Kiok Hwa kembali melerai.
"Maafkan sahabatku ini, Aku siap untuk mengikutimu ke
rumahmu untuk mengobati puteramu. Mari kita berangkat.
Lin-ko (kakak laki-laki Lin)! aku pergi dulu!"
Dengan senyum dan pandang mata penuh kemenangan
dan ejekan terhadap Han Lin, Kim Cun Wi, nama orang yang
berjuluk Dewa Pedang Emas itu, melangkah pergi bersama
Kiok Hwa. Langkahnya lebar dan cepat, akan tetapi dengan
mudah Kiok Hwa dapat mengimbangi kecepatannya sehingga
sebentar saja mereka telah pergi jauh. Han Lin berdiri
tertegun dengan muka merah. Apa yang dapat dia lakukan"
Biarpun orang itu bersikap memaksa, akan tetapi Kiok Hwa
yang dipaksanya mau! Dia bahkan menjadi malu kendiri. Akan
tetapi hatinya merasa kurang enak. Orang itu kelihatan seperti bukan orang baik-
baik. Biarpun mengaku kebagai majikan
sebuah bukit, akan tetapi sikapnya seperti orang yang biasa
memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Kiok Hwa dapat
terancam bahaya dari orang semacam itu dan dia tidak
mungkin dapat membiarkannya saja tanpa bertindak. Tidak,
dia tidak boleh menegakan, tidak boleh membiarkan Kiok Hwa
pergi bersama orang itu tanpa dikawal, berpikir demikian, dia
lalu mempergunakan ilmu berlari cepat dan melakukan
pengejaran, kemudian membayangi dua orang itu dari jarak
jauh. Dia melihat mereka mendaki sebuah bukit yang puncaknya
dari jauh tampak seperti seekor ayam hitam. Itulah agaknya
yang menyebabkan bukit itu disebut bukit Ayam Hitam.
Padahal yang berbentuk seperti ayam hitam itu adalah sebuah
hutan yang lebat. Dia membayangi terus dan akhirnya dua
orang itu memasuki hutan yang lebat itu. Tak lama kemudian
mereka tiba di sebuah perkampungan kecil yang berada di
tengah hutan di puncak itu. Sebuah perkampungan yang
terdiri dari belasan rumah mengepung sebuah rumah yang
besar dan megah. Sekeliling perkampungan itu tertutupi oleh
pagar tembok yang setinggi manusia dan di bagian depan
pagar tembok itu terdapat sebuah pintu gapura yang besar.
Kim Cun Wi dan Kiok Hwa menghilang di balik pintu gapura
pagar tembok itu dan Han Lin mengambil jalan memutari
pagar tembok dan meloncati pagar itu di bagian belakang
perkampungan itu yang merupakan perkebunan penuh
tanaman sayur-sayuran. Tanpa rasa takut sedikitpun, Kiok Hwa mengikuti tuan
rumah memasuki rumah besar. Beberapa orang wanita
menyambut Kim Cun Wi. Mereka adalah isteri dan dua orang
selirnya. Begitu bertemu mereka, Kim Cun Wi segera bertanya,
"Bagaimana keadaan Hok-ji (anak Hok)?"
Isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh tahun
lebih, menangis. Sambil menahan tangisnya sehingga terisak,
ia menjawab, "Badannya bertambah panas dan dia
mengigau......." "Sudah, jangan menangis. Aku sudah mengundang seorang
tabib yang amat lihai, dan anak kita tentu akan sembuh.
Marilah, Yok Sianli, mari silakan masuk dan langsung saja ke
kamar anak kami." kata Kim Cun Wi.
Kiok Hwa merasd aneh disebut Yok Sianli (Dewi Obat),
akan tetapi iapun diam saja, hanya mengikuti tuan dan
nyonya rumah memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap
dan mewah. Di atas pembaringan rebah seorang laki-laki
muda yang berwajah pucat. Wajah itu cukup tampan, namun
pucat dan bersinar kehijauan, dan tubuh yang telentang di
pem-baringan itu tinggi besar. Sepasang mata itu terpejam
dan pernapasannya lemah. Melihat sekilas saja, Kiok Hwa dapat menduga bahwa
pemuda itu telah keracunan hebat dan racunnya tentu
mengandung hawa panas. Tanpa diminta lagi di-hampirinya
pembaringan dan ia menyeret sebuah kursi ke dekat
pembaringan dani duduk di atas kursi. Ditariknya sebelah
lengan pemuda itu, diperiksanya denyut nadinya dan ia
mengerutkan alisnya. Ter-nyata penyakit pemuda itu lebih
berat daripada yang diduganya. Ia mendekatkan jari
tangannya depan hidung pemuda itu dan merasakan betapa
panasnya pernapasan yang lemah itu. Dirabanya dahi pemuda
itu dan akhirnya ia menoleh kepada Kim Cun Wi dan para
isterinya yang menonton dengan hati gelisah namun sinar
mata mereka mengandung penuh harapan.
"Bagaimana, Yok Sianli" Bagaimana keadaannya"
Berbahayakah keadaannya dan dapatkah dia diobati sampai
sembuh?" tanya Kim Cun Wi dengan suara gelisah.
"Dia telah terluka dalam yang hebat, agaknya terkena
pukulan beracun. Di bagian manakah dia terpukul?" tanya Kiok Hwa dengan sikap
tenang. "Di dada kanannya. Ada tanda sebuah jari yang hitam
kehijauan di bekas pukulan itu." kata Kim Cun Wi yang
berjuluk Kim-kiam-sian (Dewa Pedang Emas) itu. Diam-diam
Han Lin merasa heran. Pemuda itu memiliki seorang ayah ahli
pedang yang sudah berjuluk Dewa Pedang, bagaimana dapat
terluka seperti ini" Akan tetapi ia tidak perduli akan hal itu.
Bukan urusannya. "Tolong bukakan bajunya. Aku ingin memeriksa luka di
dadanya itu." Kim Cun Wi cepat membukakan baju puteranya yang masih
rebah telentang dalam keadaan pingsan. Kiok Hwa
memeriksanya. Di dada sebelah kanan memang terdapat
bekas jari telunjuk yang warnanya hitam menghijau, dan di
seputar bekas jari itu, kulit dadanya hitam dan melepuh.
"Wah, ini pukulan Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun)!
Terlambat sehari lagi saja nyawanya tidak akan dapat
tertolong lagi." Tentu saja tuan rumah dan para isterinya terkejut setengah
mati mendengar ucapan itu. "Akan tetapi, Yok Sianli, engkau sekarang masih dapat
menyembuh kannya, bukan?"
"Mudah-mudahan saja, kalau Thian membimbingku." kata Kiok Hwa dan ia lalu
berdiri, mengerahkan tenaga sin-kang
dan menotok dengan dua jari ke arah dada pemuda itu.
Beberapa bagian tertentu ditotoknya.
"Untuk apa ditotok jalan darahnya di banyak tempat?"
tanya Kim Cun Wi yang mengikuti semua gerak-gerik Kiok
Hwa dengan penuh perhatian.
"Aku mencegah agar darah yang keracunan tidak mencapai
jantung. Dan sekarang, racun yang bercampur dengan darah
itu harus dikeluarkan. Ambilkan pisau yang tajam dan bersih."
Kim Cun Wi sendiri melayani Kiok Hwa.
"Sediakan air panas."
Kembali permintaannya dipenuhi. Kiok Hwa lalu membakar
pisau itu di bagian ujungnya sampai ke tengah, lalu
membersihkannya dengan kain bersih.
"Paman Kim, sekarang engkau harus memegangi
puteramu, jangan sampai dia meronta. Darah yang keracunan
harus dikeluarkan semua dari lukanya."
"Baik, Yok Sianli." Kim Cun Wi lalu naik ke atas tempat tidur dan dia memegangi
kedua lengan puteranya. Kiok Hwa lalu
menggerakkan pisau yang tajam itu, menoreh kulit dada di
mana terdapat tanda bekas jari tangan hitam. Darah mengalir
keluar dari luka yang dibuat oleh pisaunya. Darah yang kental
menghitam. Tanpa jijik sedikitpun Kiok Hwa memijat-mijat
dada di sekitar luka sehingg darah yang keluar banyak dan
ada darah yang mengotori jari-jari tangannya. Setelah yang
keluar darah merah, Kiok Hwi menghentikan pijatannya dan
mencuci luka itu dengan air panas. Kemudian ia mengambil
bubuk obat dari buntalan pakaiannya dan menaburkan bubuk
putih ke dalam luka itu. Setelah itu, ia membalut luka di dada itu dengan kain
putih yang disediakan oleh Kim Cun Wi.
Kiok Hwa lalu mengeluarkan tiga jarum emas dan tiga
jarum perak dari buntalan pakaiannya, lalu menusukkan
jarum-jarum itu di sekitar luka.
"Darah beracun telah keluar, akan tetapi di dalam dadanya masih ada hawa
beracun. Jarum-jarum ini mencegah hawa
beracun menyebar dan setelah hawa beracun dapat
dikeluarkan, dia akan selamat dan sembuh."
Kim Cun Wi merasa girang sekali. "Dan bagaimana untuk
mengeluarkan hawa beracun itu?"
"Paman sebagai seorang ahli silat mengapa masih bertanya
kepadaku" Tentu saja dengan menghimpun hawa murni ke
tan-tian (bawah pusar) dan dengan sin-kang (tenaga sakti)
mendorong keluar hawa beracun itu. Kurasa sebagai putera
paman, dia akan mampu melakukannya."
Pada saat itu, Kim Hok, ialah putera Kim Cun Wi mengeluh
dan bergerak. Ayahnya segera menghampirinya, dan
menyentuh pundaknya. "Bagaimana rasanya badanmu, Hok-ji (anak Hok)?"
Kim Hok memandang ayahnya. "Badan rasanya panas,
ayah, ada hawa bergolak di dalam dada." Dia meraba dadanya dan mendapatkan
dadanya terbalut dan ada beberapa batang
jarum masih menusuk di sekitar luka. "Siapa yang mengobati aku, ayah?"
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang menyelamatkan nyawamu adalah nona ini. Ia adalah
Pek I Yok Sianli." Kim Hok menoleh dan melihat gadis itu, dia terbelalak dan
terpesona. Demikian cantiknya gadis itu dalam pandang
matanya sehingga pada saat itu juga dia sudah jatuh cinta!
"Nona....... engkau telah menyelamatkan nyawaku. Terima
kasih banyak, nona Aku telah berhutang nyawa kepadamu,
entah bagaimana aku harus membalasnya Aku bernama Kim
Hok, nona, aku harus mengetahui namamu. Siapakah
namamu, nona?" Kim Hok bangkit duduk biarpur dia meringis menahan sakit, dibantu
oleh ayahnya. Kiok Hwa mengerutkan alisnya, akan tetapi menjawab
dengan wajar. "Namaku Tan Kiok Hwa."
Agaknya Kim Hok belum kuat duduk terlalu lama, maka dia
merebahkan dirinya lagi telentang dan mulutnya berkata
seperti orang mengigau. "Nama yang indah, seindah
orangnya. Ayah, aku tidak mau menikah kalau tidak dengan
nona Tan Kiok Hwa ini. Dengan ia disampingku sebagai isteri,
aku tidak takut lagi akan pukulan beracun!"
Wajah Kiok Hwa berubah merah, akan tetapi ia bersikap
tenang saja. Tanpa berkata sepatahpun ia mencabuti jarumjarumnya, menyimpannya
kembali ke dalam buntalan, lalu
melangkah keluar kamar sambil berkata kepada Kim Cun Wi.
"Tugasku di sini sudah selesai, paman. Ijinkan aku
melanjutkan perjalananku." Setelah berkata demikian dengan cepat ia keluar dari
rumah besar itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan pintu, sesosok bayangan
berkelebat cepat mendahuluinya dan tahu-tahu Kim Cun Wi telah berdiri di
depannya. Orang tua ini memberi hormat dengan kedua
tangan terangkap di depan dada dan berkata dengan ramah.
"Perlahan dulu, Yok Sianli. Kami menghendaki agar engkau
tinggal beberapa hari di sini untuk kami jamu sebagai eorang
tamu kehormatan untuk menyatakan terima kasih kami."
Kiok Hwa membalas penghormatan itu lalu berkata lembut,
"Terima kasih Paman Kim. Akan tetapi aku tidak pernah
mengobati orang dengan minta imbalan apapun juga.
Mengobati orang merupakan tugas kewajiban bagiku."
"Akan tetapi, ini adalah kehendak Kim Hok!"
"Juga darinya aku tidak mengharapkah terima kasih.
Melihat dia dapat disembuhkan saja sudah merupakan imbalan
yang amat berharga bagiku. Selamat tinggal, paman!" Kiok
Hwa mengambil jalan menyimpang dari orang yang
menghadangnya itu. Akan tetapi dengan cepat Kim Cun Wi
melompat dan kembali menghadangnya.
"Akan tetapi kami mempunyai urusan penting denganmu
untuk kita bicarakan."
Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai
urusan apapun denganmu, paman. Kalau ada, katakan saja di
sini." "Urusan ini harus dibicarakan dengan kami sekeluarga,
terutama sekali dengan Kim Hok. Engkau tentu mendengar
tadi ucapan puteraku bahwa dia tidak akan menikah kalau
bukan denganmu. Karena itu, marilah kembali ke dalam
rumah dan kita bicarakan urusan ini."
Kembali wajah Kiok Hwa berubah merah dan alisnya
berkerut. "Maaf, paman. Akan tetapi aku sama sekali tidak pernah berpikir
tentang perjodohan. Aku sama sekali belum
siap untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Harap paman
sekeluarga mencari saja gadis lain yang lebih cocok dengan
puteramu. Nah, aku pergi!"
Setelah berkata demikian, Kiok Hwa hendak menyingkir,
akan tetapi kembali Kim Cun Wi menghadangnya. Kini wajah
majikan Bukit Ayam Hitam itu memandang dengan mata
diliputi kemarahan dan tarikan wajahnya mengeras.
"Jadi engkau tidak mau menjadi isteri puteraku?"
Kiok Hwa tidak menjawab, melainkan menggeleng
kepalanya. "Tidak ada kata tidak mau bagiku, Pek I Yok Sianli. Mau
tidak mau engkau harus menjadi isteri puteraku!"
"Kalau aku tetap tidak mau?"
"Aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu dan
memaksamu." "Hemm, bagus. Kiranya begini macam dan wataknya orang
yang menyebut dirinya Kim - kiam - sian, majikan Hek-ke-san.
Aku tetap tidak mau!"
Tiba-tiba Kim Cun Wi menubruk urtuk menangkap gadis itu.
Akan tetapi dengan sigapnya gadis itu mengelak. Kim Cun Wi
menjadi penasaran dan menubruk lagi sambil berusaha untuk
menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi dengan lincahnya
Kiok Hwa melangkah ke sana sini dan langkahnya demikian
teratur. tubuhnya demikian gesit dan ringan sehingga sampai
belasan kali Kim Cun Wi menubruk, belum juga dia dapat
menangkap gadis itu. Menyentuh ujung bajunya-pun tidak
mampu! Pada saat itu, belasan orang anak buah Bukit Ayam
Hitam datang berlari-lari untuk melihat apa yang terjadi.
Melihat anak buahnya, Kim Cun Wi berseru, "Hayo bantu aku tangkapi gadis ini!"
Untuk menangkap gadis cantik itu" Tentu saja para anak
buah itu bergembira mendengar perintah ini dan bagaikan
anjing-anjing kelaparan melihat tulang, mereka berebut dan
menubruk untuk mendekap atau menangkap Kiok Hwa. Gadis
itu menjadi sibuk juga, melangkah ke sana-sini untuk
menghindarkan diri dari sergapan mereka.
Pada saat itu berkelebat bayangan yang gerakannya cepat
sekali dan begitu dia terjun ke dalam pengeroyokan itu, empat
orang sudah terguling roboh oleh tamparan dan
tendangannya. Orang itu bukan lain adalah Han Lin.
Seperti kita ketahui, Han Lin juga me masuki
perkampungan itu lewat belakang. Melompati pagar tembok
dan tiba di ladang milik perkampungan itu. Dia menggunakan
kecepatan gerakannya untuk menyusup ke dalam dan
bersembunyi di wuwungan rumah besar. Dia tidak berbuat
apa-apa dan tidak turun tangan selama Kiok Hwa tidak
diganggu. Akan tetapi dia mendengarkan pembicaraan antara
Kiok Hwa dan Kim Cun Wi. Gadis itu hendak dipaksa menjadi
mantunya! Kemudian, melihat betapa Kiok Hwa dikeroyok oleh
belasan orang yang hendak menangkapnya, dia tidak dapat
berdiam diri lebih lama lagi. Melayanglah dia turun dari
wuwungan dan menerjang mereka yang mengeroyok Kiok
Hwa. Ketika Kim Cun Wi melihat siapa yang merobohkan orangorangnya, dia marah sekali
melihat bahwa orang itul adalah
pemuda yang tadinya membujuk Kiok Hwa agar tidak mau
diajak pergi untuk mengobati anaknya. Dia segera meraba
punggungnya dan di lain saat tampak sinar keemasan
berkelebat. Tangannya telah memegang sebatang pedang!
yang berkilauan seperti terbuat dari emas, atau baja yang
diselaput emas. Itulah yang membuat dia dijuluki Kim-kiam
sian (Dewa Berpedang Emas)!
Han Lin melihat betapa ketika menggerakkan pedang
emasnya, gerakan Kim Cun Wi itu cukup dahsyat. Maka
diapun segera memungut sebatang pedang milik seorang di
antara empat pengeroyok yang dirobohkan tadi dan
menghadapi Kim Cun Wi dengan pedang ini.
"Bocah tidak tahu diri! Berani engkau mencampuri
urusanku?" bentak majikan bukit Ayam Hitam itu sambil
menuding dengan telunjuk kirinya.
"Engkau yang tidak tahu diri!" jawab Han Lin. "Sudah memaksa orang untuk
mengobati puteramu yang sakit,
sekarang hendak memaksa orang untuk menjadi mantumu!
Aturan mana ini?" "Jangan banyak mulut! Mampuslah!" Kim Cun Wi
menerjang dengan pedangnya, namun Han Lin sudah
mengelak sehingga pedang itu hanya mengenai tempat
kosong belaka. Kembali Kim Cun Wi nenyerang, sekali ini
sambil mengerahkan tenaganya. Lenyap bentuk pedang dan
yang tampak hanya sinar emas yang meluncur cepat ke arah
dada Han Lin. "Singgg.......!" Pedang berdesing akan tetapi kembali luput karena Han Lin sudah
menggeser kakinya ke kanan sambil
nenarik tubuhnya ke belakang. Begitu sinar pedang lewat,
diapun mengimbangi serangan lawan dengan menusukkan
pedangnya ke samping, ke arah lambung lawan. Akan tetapi
Kim Cun Wi juga dapat mengelak dan kini dia memutar
pedangnya, menyerang Han Lin dengan bertubi-tubi. Karena
serangan pedang itu amal berbahaya, tidak cukup hanya
dielakkan saja, Han Lin menangkis ketika pedang menyambar
ke lehernya. "Trangggg.......!" Bunga api berpijar dan Han Lin terkejut juga melihat betapa
pedang di tangannya tinggal setengahnya
saja. Pedang itu sudah buntung! Hal ini tidak aneh karena
pedang yang dipegang Han Lin adalah pedang biasa,
sedangkan yang berada di tangan Kim Cun Wi adalah
sebatang pedang pusaka. Melihat ini, Kim Cun Wi
mengeluarkan suara tawa mengejek, lalu mendesak terus
dengan serangan pedang emasnya.
Namun Han Lin sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan
pedang buntungnya dia balas menyerang, menjaga dengan
hati-hati agar mereka tidak mengadu pedang lagi. Dia hanya
mengelak dari serangan lawan, dan membalas dengan pedang
buntungnya. Kalau lawan menangkis, diapun menarik kembali
pedang buntungnya dan menyerang di lain bagian. Terjadilah
perkelahian yang amat seru dan ternyata bahwa Kim Cun Wi
tidak membual menggunakan julukan Dewa Pedang. Ilmu
pedangnya memang hebat sekali. Akan tetapi lawannya
memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya, maka
setelah Han Lin memainkan Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang
Sinar Dingin), Kim Cun Wi mulai kewalahan.
Sementara itu, Kiok Hwa juga masih dikeroyok oleh belasan
orang yang seakan berlumba untuk menangkapnya. Karena
tidak mungkin hanya mengandalkan langkah-langkah kakinya
untuk menghindarkan diri dari pengeroyokan banyak orang
itu, mulailah Kiok Hwa menggunakan kakinya untuk
menendangi mereka. Ia berhasil merobohkan empat orang
pengeroyok, akan tetapi karena tendangannya tidak
dimaksudkan untuk membunuh atau melukai lawan, mereka
yang terkena tendangan hanya terjengkang dan segera
bangkit dan mengeroyok kembali.
Pertandingan antara Han Lin dan Kim Cun Wi berlangsung
seru. Pedang di tangan mereka berubah menjadi gulungan
sinar yang menyelimuti tubuh mereka. Hanya kaki mereka
yang tampak berlompatan atau bergeser ke sana-sini. Akan
tetapi, setelah Han Lin mengeluarkan ilmu pedang Leng-kong
Kiam-sut, Kini Cun Wi terdesak hebat. Dia berjuluk Dewa
Pedang dan hampir seluruh ilmu pedang di dunia persilatan
dikenalnya. Karena mengenal ilmu pedang dari berbagai aliran
inilah yang membuat dia sukar dikalahkan. Akan tetapi sekali
ini menghadapi Leng-kong Kiam-sut dia menjadi bingung
karena tidak mengenal ilmu pedang itu. Han Lin mempercepat
gerakannya. Gerakan ini mengandung sin-kang yang
menimbulkan hawa dingin. Cepat pedang buntung itu
menyambar ke arah leher Kim Cun Wi. Orang- ini terkejut
bukan main. Demikian cepatnya serangan itu sehingga tidak
keburu ditangkis lagi. Satu-satunya cara menghindarkan diri
hanya mengelak, maka cepat dia menarik tubuh atas ke
belakang. "Crattl" Pedang buntung luput mengenai leher, akan tetapi masih mengenai ujung
pundak sehingga baju, kulit dan
dagingnya robek dan mengeluarkan banyak darah. Kim Cun
Wi terhuyung ke belakang dan menggunakan kesempatan ini,
Han Lin menerjang mereka yang mengeroyok Kiok Hwa.
Dalam waktu singkat, enam orang telah berpelantingan
terkena tamparan atau tendangannya. Para pengeroyok
menjadi panik, dan Han Lin cepat menyambar lengan Kiok
Hwa. "Mari kita pergi dari sini!" ajaknya dan dia menarik lengan itu dan diajaknya
gadis itu melarikan diri. Kiok Hwa maklum
bahwa kalau lebih lama tinggal di tempat itu tentu
mendatangkan hal yang tidak enak, maka iapun mengerahkan
gin-kangnya dan mengikuti Han Lin meninggalkan
perkampungan itu. Mereka berdua mempergunakan ilmu
berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah turun dari Bukit
Ayam Hitam. Setelah tiba di kaki gunung, Han Lin mengajak
Kiok Hwa ber henti di bawah sebatang pohon besar.
"Nah, engkau sekarang tentu sudah ahu benar betapa
banyaknya orang jahat di dunia ini, Kiok-moi. Engkau
menolong mereka, akan tetapi sebaliknya engkau malah
diganggu. Sebaiknya kalau engkau hendak menolong orang,
engkau lihat-lihat dulu macam apa orang yang akan kautolong
itu." "Kewajibanku menolong siapa saja tanpa membedakan
keadaan orang itu Lin-ko. Tidak perduli apakah dia baik atau
jahat, kaya atau miskin, kalau mereka membutuhkan bantuan
pengobatan tentu akan kubantu."
"Akan tetapi, Kim Cun Wi tadi bahkan hendak memaksamu
menikah dengan puteranya!"
"Aku menolak dan kalau mereka menggunakan kekerasan,
aku akan membela diri mati-matian."
Han Lin menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia pernah
mendengar dari Cheng Hian Hwesio bahwa seorang budiman
sejati membalas kejahatan dengan perbuatan baik, membalas
kebencian dengai kasih sayang. Agaknya Kiok Hwa merupakan
orang seperti itu. Dia sendiri, biar pun sudah dijejali banyak pelajaran tertang
hidup dan kebatinan, rasanya tidak sanggup
membalas kejahatan dengan perbuatan baik, atau membalas
kebencian orang kepadanya dengan kasih sayang!
"Engkau seorang yang luar biasa dan berbudi mulia, Kiokmoi."
katanya dengan jujur sambil memandang kagum.
"Engkaulah yang luar biasa. Engkau memiliki ilmu silat yang tinggi dan aku
girang dan kagum melihat engkau tidak
menjatuhkan tangan, maut kepada mereka."
"Akan tetapi aku belum dapat mengalahkan kebencian di
hatiku terhadap orang yang jahat, Kiok-moi. Sekarang, kalau
boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak pergi ke pertemuan antara Sungai Fen-ho dan
Huang-ho, ke puncak Hong-san......."
"Dan ke Guha Dewata di puncak itu" Akupun hendak pergi
ke sana, Kiok-moi, aku hendak mencoba untuk mencabut
pedang Im-yang-kiam. Apakah engkau hendak pergi ke sana
dengan niat yang sama?"
"Kalau banyak tokoh kang-ouw tidak berhasil mencabut Imyangkiam, apalagi aku,
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lin-ko. Aku hanya ingin benar melihat
pedang istimewa itu. Kabarnya terbuat dari baja putih yang
mampu menawarkan segala macam racun."
"Kalau begitu, marilah kita pergi ke sana bersama, Kiokmoi.
Tentu saja jika engkau tidak berkeberatan melakukan
perjalanan bersama aku."
"Mengapa keberatan" Marilah, Lin-ko."
Hati Han Lin terasa gembira bukar main. Walaupun dia
tidak memperlihatkai dalam sikapnya, namun pandang
matanya berbinar-binar tanda senangnya hati. Mereka lalu
melakukan perjalanan bersama dan karena sepanjang jalan itu
sunyi, mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menyusuri
sungai. 00-dewi-00 Puncak Burung Hong adalah sebuah di antara bukit-bukit
terakhir di kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pertemuan antara
Sungai Fen-ho dan Huang-ho terjadi di kaki bukit ini. Puncak
Burung Hong mengandung banyak batu-batu besar yang dari
jauh saja sudah tampak seperti raksasa berjajar.
Di antara batu-batu besar itu terdapat banyak guna yang
lebar, akan tetapi yang amat terkenal adalah Guha Dewata.
Menurut dongeng para dewa kalau menerima hukuman lalu
diturunkan ke dunia dan para dewa terhukum itu memilih
guha itu untuk bersamadhi menebus dosa. Guha itu lebarnya
ada sepuluh meter dan dalamnya tiga meter. Di dalam guha
tampak batu-batu besar bertumpuk-tumpuk Dan di antara
batu-batu yang bertumpuk itu tampaklah sebatang pedang
yang menancap di batu besar, yang kelihatan hanya
gagangnya saja. Di kanan kiri Guha Dewata ini terdapat dua losin orang
serdadu yang menjaga dengan ketat, setiap hari diganti
dengan pasukan penjaga lain. Mengapa ada pasukan tentara
berjaga di situ" Ini adalah tindakan pemerintah untuk menjaga
agar pencabutan pedang Im-yang-kiam dilakukan dengan
tertib dan jujur. Tidak oleh membongkar batu-batu itu dan
mengambil pedang itu harus dengan dicabut. Kalau ada yang
melanggar tentu akan ditangkap oleh pasukan itu. Betapa pun
inginnya para tokoh kang-ouw untuk memiliki pedang
peninggalan seorang panglima yang gagah perkasa itu, namun
tak seorangpun berani mencoba untuk membongkar batu-batu
di situ. Siapa yang berani bermusuhan dengan pemerintah
yang memiliki banyak pasukan"! Para tokoh kang-ouw,
bahkan para jagoan istana dan para datuk, sudah mencoba
untuk mencabut pedang itu, akan tetapi sampai saat itu, tidak
ada yang berhasil. Karena itu, pedang Im-yang-kiam itu
menjadi terkenal sekali dan hampir setiap orang berbondongbondong datang, ada
yang hanya ingin menyaksikan, juga ada
yang ingin mencoba peruntungannya untuk mencabut pedang
pusaka itu. Karena para jagoan istana dan para datuk gagal mencabut
pedang Im-yang-kiam, muncul anggapan bahwa pedang itu
bertuah dan hanya orang yang berjodoh dengan pedang itu
saja yang akan mampu mencabutnya.
Hari itu telah siang, matahari sudah berada di atas kepala
condong ke selatan. Orang-orang yang berdatangan di tempat itu sudah cukup
banyak. Tidak kurang dari tiga puluh orang. Akan tetapi
sebagian besar dari mereka hanya ingin menonton.
Han Lin dan Kiok Hwa juga tiba di tempat itu. Mereka telah
melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari. Selama
dalam perjalanan itu, Kiok Hwa mendapat kenyataan bahwa
Han Lin adalah seorang pemuda yang selalu sopan terhadap
dirinya. Ketika mereka tiba di tempat itu, merekapun
menggabungkan diri dengan mereka yang ingin menonton
pertunjukan ang menarik itu. Pada saat itu, seorang bertubuh
tinggi besar dengan muka penuh brewok dengan langkah
tegap menghampiri batu besar di mana pedang Im-yang-kiam
menancap. Dia memandang ke kanan kiri sambil tersenyum,
seolah dia sudah yakin akan mampu mencabut pedang itu.
Lalu ditanggalkan bajunya yang hitam. Dengan bertelanjang
dada dia menghadapi gagang pedang itu.
"Waaaahhhh......!" Banyak orang mengeluarkan seman
kagum ketika melihat tubuh dari pinggang ke atas itu. Tampak
otot besar menggembung melingkari tubuh itu. Tubuh yang
amat kokoh kuat dan melihat bentuk tubuh seperti itu mudah
diduga bahwa orang itu tentu memiliki tenaga raksasa! Semua
orang menonton dengan hati tegang. Agaknya orang inilah
yang akan mampu mencabut pedang itu.
Setelah memberi waktu cukup lama untuk memamerkan
otot-ototnya, sambil tersenyum si tinggi besar brewokan itu
lalu memegang gagang pedang dengan tangan kirinya. Dia
hendak pamer bahwa hanya dengan tangan kiri saja dia pasti
sudah akan dapat mencabut keluar pedang itu. Semua orang
memandang sambil menahan napas.
Setelah memegang gagang pedang dengan tangan kirinya,
dia berseru dengan nyaring, "Hyaaaaaaatttt......!" Dia mengerahkan segala
tenaganya pada tangan kiri dan menarik
pedang itu. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak
bergoyang, apalagi tercabut keluar! Beberapa kali dia
mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka. Dengan
penasaran dia menggunakan kedua tangannya, menarik dan
mengeluarkan suara ah-ah uh-uh. Sia-sia, pedang itu tidak
dapat tercabut. Si tinggi besar brewokan ini semakin
penasaran. Dia berusaha terus sampai peluhnya membasahi
badan dan dadanya berkilauan, napasnya terengah-engah.
Akhirnya dia menyerah dan terdengar suara tawa di sana-sini.
Sambil menyambar bajunya dan menundukkan mukanya, si
tinggi besar itu pergi meninggalkan tempat itu.
Para penonton ramai membicarakan kegagalan demi
kegagalan yang terjadi sejak pagi tadi. Sudah ada belasan
orang yang gagal. Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima
puluh tahunan, berpakaian seperti seorang tosu, melangkah
maju menghampiri Im-yang-kiam. Orang itu bertubuh sedang
saja, sama sekali tidak tampak kokoh kuat seperti si tinggi
besar tadi. Gerak-geriknya bahkan tenang sekali, akan tetapi
sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam membuat orang
yang bertemu pandang dengannya dapat menduga bahwa
orang ini "berisi"!
Dengan langkah tenang dan penuh kepercayaan pada diri
sendiri, tosu (pendeta To) itu menghampiri batu besar.
Sejenak dia memandang gagang pedang itu. Ronce-ronce
merah pada gagang pedang itu sudah kotor dan lapuk, saking
lamanya berada di situ, kehujanan dan kepanasan. Kemudian
tosu itu memegang gagang pedang dan diam tak bergerak.
Dia mengumpulkan segala kekuatannya dan mengerahkan
tenaga saktinya. Kemudian, dia menarik sekuat tenaga.
"Haai i ittttt!" Dia berseru sambil menarik. Akan tetapi siasia belaka. Pedang
itu seolah telah melekat menjadi satu
dengan batu. Tiga kali dia mengerahkan tenaga dan mencoba
untuk menarik, namun selalu gagal. Akhirnya dia melepaskan
pegangannya, memandang kepada gagang pedang dengan
alis berkerut, lalu pergi dengan muka merah.
Dua orang tinggi besar yang kelihatan kasar kini maju dan
mereka meraba batu besar, seperti hendak mendorong atau
membongkarnya. Akan tetapi sebelum mereka membongkar,
dua losin perajurit sudah mengepung mereka. Komandannya
berkata, "Dilarang keras untuk membongkar batu-batu ini.
Bacalah pengumuman itu!" Dia menunjuk ke batu di sebelah.
Dua orang itu memandang ke arah yang ditunjuk dan ternyata
pada batu itu terdapat ukir-ukiran huruf yang cukup jelas.
"Siapapun juga diperbolehkan untuk mencoba peruntungan
mencabut Im-yang-kiam. Akan tetapi dilarang keras untuk
membongkar batu-batu untuk mendapatkan pedang itu."
Demikianlah bunyi huruf-huruf yang terukir di situ.
Dua orang itu mengerutkan alisnya, akan tetapi karena
maklum bahwa kalau mereka memaksa, selain belum tentu
mampu membongkar batu-batu besar itu, juga mereka akan
ditangkap dan dikeroyok, maka merekapun tidak jadi
mencoba-coba untuk membongkar batu. Dengan bergantian
mereka mencoba untuk menarik gagang pedang, akan tetapi
seperti juga yang lain, mereka gagal dan pergi dari situ
dengan kecewa. Setelah menanti sampai lama tidak ada lagi yang mencoba
untuk mencabut pedang itu, Kiok Hwa berbisik kepada Han
Lin. "Lin-ko, apakah engkau juga ingin mencobanya" Kalau
begitu, lakukan-lah sekarang juga. Siapa tahu engkau
berjodoh dengan pedang itu."
Han Lin mengangguk, "Baik, akan ku-coba." Setelah
berkata demikian, dengan langkah tegap namun tenang Han
Lin berjalan menghampiri guha yang letaknya agak tinggi itu.
Di depan batu besar di mana pedang itu menancap dia
berhenti dan mengamati keadaan batu itu denganl seksama.
Dia membaca pengumuman pemerintah yang melarang
membongkar batu-batu itu dan yang hendak mencoba
peruntungannya harus mencabut pedang itu. Dia teringat
bahwa pedang itu peninggalan seorang panglima yang gagah
perkasa dan setia dan tiba-tiba timbul perasaan hormatnya
yang mendalam terhadap pemilik pedang itu. Panglima itu
tentulah seorang yang setia dan berjiwa patriot. Rasa hormat
ini membuat Han Lin tidak berani sembarangan mencabut
pedang, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan
batu besar itu, seolah hendak minta ijin untuk mencabut
pedang. Dia memberi hormat dengan membenturkan dahinya
ke atas tanah. Pada saat itu, matanya melihat ukiran yang
berbentuk huruf-huruf amat kecilnya. Kalau dia tidak berlutut
dan membenturkan dahinya ke atas tanah, dia tidak akan
melihat ukiran-ukiran huruf-huruf itu!
"Putar batu hitam ini tiga kali kekanan"
Demikianlah bunyi ukir-ukiran itu dan di dekat ukiran itu
terdapat sebuah batu hitam sebesar kepalan tangan.
Giranglah hati Han Lin membaca ini. Agaknya rahasia
pencabutan pedang itu berada di sini, pikirnya, mengingat
betapa banyaknya orang pandai yang telah mencoba
mencabut pedang tanpa hasil. Tanpa ragu lagi dia lalu
memegang batu hitam itu, mengerahkan sin-kang (tenaga
sakti) dan memutar ke kiri. Memang ternyata berat sekali,
akan tetapi karena dia sudah mengerahkan tenaga, batu itu
dapat diputarnya ke kiri. Dia memutar tiga kali ke kiri,
kemudian tiga kali ke kanan. Karena dia melakukannya sambil
berlutut, maka tidak ada orang lain yang mengetahui apa
yang dilakukannya itu. Mereka yang masih menonton hanya
merasa geli, bahkan ada yang tertawa mencemoohkan melihat
Han Lin berlutut sampai lama di depan batu itu.
"Hei ! Engkau hendak mencabut pedang atau hendak
bersembahyang minta rejeki?" terdengar seorang mengolokolok, disusul suara tawa
yang lain. Namun Han Lin hanya
tersenyum mendengar ini dan dia menggunakan telapak
tangannya mengusap huruf-huruf yang terukir di bawah batu
itu. Karena dia menggunakan sin-kang yang amat kuat,
permukaan batu itu menjadi halus dan ukiran huruf itupun
lenyap. Setelah itu barulah dia bangkit berdiri. Semua orang
memandangnya dengan ingin tahu sekali.
Diam-diam Han Lin mengerahkan sinkang ke dalam lengan
kanannya, lalu dipegangnya gagang pedang Im-yang-kiam itu,
lalu ditariknya. Pada saat itu terdengar suara keras dan batu
besar itu bergoyang. Han Lin memperkuat tarikannya dan......
dia berhasil mencabut pedang
Semula semua orang terdiam dan terbelalak, lalu pecah
suara gaduh dan mereka semua mendekati dan menghampiri
Han Lin untuk melihat macam apakah pedang itu.
Melihat kemungkinan ada orang yang berniat jahat
merampas pedang dari tangan yang berhak, komandan
pasukan lalu mengerahkan anak buahnya untuk melindungi
Han Lin. "Berhenti! Kalian tidak boleh mengganggu pemuda ini.
Dialah yang berhak memiliki Im-yang-kiam seperti bunyi
peraturan yang telah ditetapkan. Mundur semua!"
Orang-orang itu mundur. Dengan wajah berseri karena
gembiranya telah dapat memenuhi pesan gurunya untuk
mencabut Im-yang-kiam, Han Lin memperlihatkan pedang itu
kepada Kiok Hwa yang telah mendekatinya. Gadis ini
memegang pedang itu dengan kagum. Ditelitinya pedang itu.
Sebatang pedang yang aneh warnanya, sebelah hitam sebelah
putih! Yang hitam tajam yang putih tumpul. Tahulah ia apa
maksudnya. Yang hitam itu adalah mata pedang untuk
membunuh lawan, sedangkan yang putih adalah mata pedang
yang dipergunakan untuk mengobati orang yang keracunan!
"Pokiam (Pedang Pusaka), kuharap pemilikmu yang baru
akan lebih banyak mempergunakan putihmu daripada
hitammu." kata Kiok Hwa dari ia mengembalikan pedang itu
kepada Han Lin. Karena pedang itu tidak memiliki sarung pedang, Han Lin
lalu menyimpannya di dalam buntalannya. Setelah
menggendong buntalan pakaiannya itu kembali ke
punggungnya, dia lalu mengajak Kiokh Hwa pergi.
Para penonton yang berada di situ juga bubaran dan dalam
perjalanan pulang, mereka ramai membicarakan pemuda yang
dengan mudahnya dapat mencabut pedang pusaka itu setelah
memberi hormat dengan berlutut.
"Nah, apa kataku. Pedang itu bertuah! Baru mau dicabut
setelah diberi hormat secara berlebihan!" kata seorang.
"Kalau aku lebih percaya bahwa di dalam batu besar itu ada setannya yang
memegangi ujung pedang sehingga tidak dapat
dicabut. Setelah diberi hormat, setan itu lalu melepaskan
pedang sehingga pemuda itu mampu mencabutnya." kata
yang lain. Ramai mereka membicarakan dan mengutarakan
pendapat mereka masing-masing.
Sementara itu, Han Lin dan Kiok Hwa dihadang oleh
komandan pasukan yang tadi berjaga di tempat itu.
"Nanti dulu, sicu (orang gagah)," kata komandan itu
dengan sikap hormat dan ramah. "Sudah menjadi peraturan
dan kewajiban kami untuk mencatat nama dan alamat sicu
sebagai orang yang berhasil memiliki Im-yang-kiam."
Han Lin tersenyum. "Baiklah, ciang-kun (perwira). Aku she Han dan namaku Lin dan
aku adalah seorang perantau yang
berasal dari Pegunungan Thai-san."
Perwira itu mencatat dalam buku catatannya untuk bahan
laporan, lalu berkata, "Kami percaya bahwa engkau seorang pendekar, sicu. Karena
itu kami hanya mengharapkan agar
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau mempergunakan pedang untuk membela kebenaran
dan keadilan. Kalau kelak ternyata engkau mempergunakan
untuk kejahatan, pemerintah tentu akan menentangmu."
"Aku mengerti, ciangkun." jawab Han Lin.
Han Lin mengajak Kiok Hwa untuk melanjutkan perjalanan
meninggalkan Puncak Burung Hong. Setelah mereka tiba di
kaki pegunungan itu, Han Lin berhenti, menurunkan
buntalannya, mengambil Im-yang-kiam dari buntalan dan
menyerahkannya kepada Kiok Hwa.
"Kiok-moi, aku berpikir bahwa pedang ini lebih pantas
menjadi milikmu. Engkau memang benar, lebih baik pedang ini
dipergunakan untuk mengobati orang dari pada melukai atau
membunuh." "Tidak bisa begitu, Lin-ko. Pedang itu engkau yang
mencabutnya, maka engkau pula yang berhak memilikinya."
"Akan tetapi aku memberikannya kepadamu dengan hati
yang ikhlas karena tahu bahwa di tanganmu pedang ini akan
lebih bermanfaat bagi orang banyak."
"Terima kasih, Lin-ko, akan tetapi aku tidak dapat
menerimanya. Untuk mengobati orang, aku tidak
membutuhkan bantuan pedang itu."
Han Lin menghela napas panjang dan tidak memaksa. Dia
masih memegang Im-yang-kiam dengan tangan kanannya!
ketika tiba-tiba ada lima sosok bayangan berkelebat dan tahutahu ada lima orang!
tosu berdiri di depannya.
"Siancai......! Engkau harus menyerahkan pedang itu
kepada kami, sicu!" Se-orang di antara mereka, yang
berjenggot panjang sampai ke dada, berseru dengan! suara
lembut. Han Lin dan Kiok Hwa memandangi dengan penuh
perhatian. Mereka adalah lima orang tosu yang berusia antara
empat puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin tosu
berjenggot panjang dan di punggung mereka masing-masing
terdapat sebatang pedang. Sikap mereka tenang namun
berwibawa. Di bagian depan jubah mereka, tepat di dada,
terdapat gambar tanda Im-yang hitam putih.
"Mereka orang-orang Im-yang-pai (Partai Im Yang)!" bisik Kiok Hwa kepada Han
Lin. Biarpun Kiok Hwa hanya berbisik lirih, agaknya terdengar
oleh para tosu itu dan si jenggot panjang tersenyum. "Bagus kalau kalian sudah
mengenal pinto dan kawan-kawan sebagai
orang-orang Im-yang-pai."
Han Lin juga pernah mendengar akan nama besar Imyang-
pai dari Gobi Sam-sian, guru-gurunya yang pertama.
Maka dia cepat memberi hormat karena maklum bahwa
orang-orang Im-yang-pai adalah golongan putih yang tidak
pernah berbuat jahat, bahkan berjiwa patriot dan banyak
jasanya ketika tentara rakyat dahulu menjatuhkan kekuasaan
Mongol sehingga kerajaan Beng yang pemerintahannya
dipegang bangsa sendiri, didirikan.
"Kiranya ngo-wi totiang (lima orang pendeta) adalah tokohtokoh Im-yang-pai.
Terimalah hormat saya, Han Lin, dan kalau
saya boleh mengetahui, apa maksud ngo-wi (anda berlima)
menjumpai saya?" "Siancai (damai)! Ternyata sicu adalah seorang pemuda
yang sopan bijaksana. Pinto berharap sicu dapat
mempergunakan kebijaksanaan untuk memenuhi permintaan
kami." "Permintaan apakah itu, totiang?"
"Permintaan kami ialah agar sicu suka menyerahkan Imyang-
kiam kepada kami. Kami amat membutuhkan pedang
pusaka itu untuk dijadikan pusaka perkumpulan kami.
Bukankah pedang itu bernama Im-yang-kiam" Jadi cocok
sekali dengan perkumpulan kami yang bernama Im-yang-pai."
Han Lin otomatis memandang pedang yang masih
terpegang oleh tangan kanannya. Dia memandang tosu
berjenggot panjang itu dan berkata, "Akan tetapi, totiang.
Pedang ini saya dapatkan karena saya telah mencabutnya dari
himpitan batu. Kalau memang totiang membutuhkan, kenapa
totiang tadinya tidak mencoba untuk mencabutnya?"
Tosu itu tersipu, lalu tersenyum dan berkata sejujurnya,
"Kami berlima telah mencobanya, namun kami telah gagal
mencabutnya, sicu. Sebetulnya kami tidak berhak minta dari
sicu, akan tetapi karena perkumpulan kami membutuhkan,
kami mohon kebijaksanaan sicu untuk menyerahkan Im-yangkiam
itu kepada kami. Untuk itu, sicu boleh menerima pedang
pinto sebagai penggantinya. Pedang pinto ini juga sebatang
pedang pusaka yang ampuh."
Setelah berkata demikian, tosu berjenggot panjang itu
mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilauan dari
pedang itu. "Pinto harap sicu suka menukar Im-yang-kiam itu dengan
pedang ini beserta ucapan terima kasih perkumpulan kami."
"Maafkan saya, totiang, bahwa saya terpaksa tidak dapat
memenuhi permintaan totiang. Hendaknya ngo-wi totiang
ketahui bahwa saya mencabut Im-yang-kiam itu atas perintah
guru saya, dan kedua kalinya untuk menghormati mendiang
pahlawan Kam Tiong yang telah mengijinkan saya mencabut
pedang itu terpaksa saya harus mempertahankan pedang Imyang-
kiam ini." Wajah lima orang tosu itu berubah kemerahan dan alis
mereka berkerut. "Kalau begitu, kami hanya ingin meminjamnya, sicu. Kami
akan membuat tiruannya untuk dijadikan pusaka kami, setelah
itu akan kami kembalikan kepadamu."
"Maaf, terpaksa tidak dapat kuberikan totiang."
Lima orang tosu itu menjadi marah "Kalau begitu, terpaksa pula kami akan
menggunakan kekerasan mengambil pedang
itu dari tanganmu!" Kiok Hwa yang sejak tadi mendengarkan dan diam saja,
kini berkata dengan suaranya yang lembut, "Selama ini saya mendengar bahwa
orang-orang Im-yang-pai adalah orangorang
yang gagah perkasa. Akan tetapi sungguh
mengecewakan, hari ini mereka bersikap seperti sekawanan
perampok!" Tosu berjenggot panjang itu memandang kepada Kiok Hwa
dengan sinar mata mencorong. "Engkau siapakah, nona"
Berani berkata demikian terhadap kami?"
Han Lin yang menjawab. "Totiang, nona ini adalah murid
locianpwe (orang tua gagah) Thian-te Yok-sian."
"Siancai......!" Tosu itu terperanjat dan memandang kepada Kiok Hwa dengan penuh
perhatian. "Kiranya nona yang
berjuluk Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih)" Maaf kalau
kami bersikap kurang hormat. Nama besar nona sudah terpuji
oleh ribuan orang, membuat kami kagum. Akan tetapi kami
harap dalam urusan Im yang-kiam ini, nona tidak akan
mencampuri. Pinto berlima, orang-orang Im-yang-pai bukan
perampok. Kami hanya ingin meminjam dan terpaksa kami
menggunakan kekerasan kajau ditolak, karena kami
membutuhkan sekali."
"Maaf, totiang. Dipinjampun saya tidak dapat memberikan
pedang ini!" kata Han Lin dengan tegas.
"Orang muda, engkau berani menantang kami?" bentak
tosu berjenggot panjang itu.
"Saya tidak menantang siapa-siapa!"
"Akan tetapi engkau menolak permintaan kami, berarti
bahwa engkau berani melawan kami?"
"Apa boleh buat, saya hanya membela diri."
"Hemm, kami juga terpaksa demi perkumpulan kami, bukan
ingin merampok, hanya ingin pinjam selama beberapa waktu.
Nah, bersiaplah, orang muda. Hendak pinto lihat bagaimana
kepandaianmu maka engkau berani menentang kami!"
"Singgg......!" Ketika tosu itu mengelebatkan pedangnya di atas kepala,
terdengar bunyi berdesing. Han Lin maklum
bahwa orang itu memiliki ilmu pedang yang hebat. Akan tetapi
dia tidak menjadi gentar dan melintangkan pedangnya di
depan dada. "Saya sudah siap membela diri, totiang." katanya.
"Lihat pedang!" tiba-tiba tosu jenggot panjang itu
membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar
menyambar ke arah tangan Han Lin yang memegang pedang.
Agaknya dia hendak memaksa pemuda itu melepaskan
pedangnya untuk dirampas. Akan tetapi dengan tenang
namun cepat, Han Lin sudah menarik tangannya lalu membuat
geseran langkah ke lepan lalu membalik sehingga tahu-tahu
dia berada di sebelah kiri lawan. Tosu itu terkejut, namun
cepat diapun membalik ke kiri, didahului pedangnya yang
menyambar lagi, kini ke arah muka Han Lin. Kembali Han Lin
mengelak dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu dia
telah berada di belakang lawan. Tosu berjenggot panjang itu
kembali terkejut dan juga penasaran. Di Im-yang-pai dia
adalah orang ke dua setelah ketuanya, dan ilmu pedangnya
juga sudah mencapai tingkat tinggi, hanya kalah setingkat
dibandingkan tingkat ketua Im-yang-pai. Akan tetapi beberapa
kali serangannya yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga,
dapat dielakkan dengan mudah oleh pemuda itu! Gerakan
pemuda itu sedemikian ringan dan gesitnya sehingga seolaholah
dapat menghilang saja. Dia memutar pedangnya lebih
gencar dan kini terpaksa Han Lin menangkis dengan pedang
Im-yang-kiam yang masih dipegangnya.
"Cringgg..... trakkk.....!!" Tosu berjenggot panjang itu terkejut bukan main
karena ujung pedang pusakanya patah!
Han Lin juga terkejut dan merasa menyesal telah mematahkan
pedang pusaka lawan. "Maaf, totiang. Saya tidak tahu..... tidak sengaja......"
"Sudahlah!" dengus tosu itu. "Sekali lagi, orang muda. Kau berikan kepada kami
atau tidak Im-yang-kiam itu?"
"Tidak, totiang."
Tosu berjenggot panjang memberi isarat kepada empat
orang rekannya dar kini lima orang tosu itu mengepung Han
Lin. "Orang muda, kalau engkau mampu memecahkan Ngoheng-
tin (Barisan Lima Unsur) kami akan mengundurkan diri
dar tidak akan mengganggumu lagi."
Han Lin sudah mendengar dari Gobi Sam-sian bahwa Imyang-
pai amat terkenal dengan Ngo-heng-tin itu. Boleh dikata
hampir tidak ada orang yang mampu memecahkan barisan
lima unsur yang saling menunjang itu. Lima unsur itu adalah
Logam, Kayu, Air, Tanah dan Api. Yang menempati kedudukan
yang satu menunjang dan membela yang lain sehingga
barisan pedang ini berbahaya sekali.
Namun Han Lin tidak menjadi gentar, biarpun dia belum
memiliki banyak pengalaman bertanding, namun dia telah
digembleng secara hebat oleh dua orang sakti dan telah
menerima banyak petunjuk tentang pertandingan dari Gobi
Sam-sian. Biarpun sudah mendengar akan kehebatan NgoTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ heng-tin, dia malah merasa bergembira karena akan dapat
membuktikan sendiri bagaimana kehebatannya. Selain itu, dia
juga dapat menguji kemampuannya sendiri dan juga
keampuhan Im-yang-kiam yang tadi telah mematahkan ujung
pedang tosu berjenggot panjang. Han Lin penuh kepercayaan
akan dirinya sendiri, apalagi dia yakin bahwa lima orang tosu
Im-yang-pai itu bukanlah orang-orang jahat, melainkan hanya
ingin "meminjam" pedang pusakanya. Mustahil orang-orang golongan bersih seperti
mereka akan menurunkan tangan keji
terhadap dirinya. "Tidak berani saya memecahkan Ngo-heng-tin, akan tetapi
saya akan membela diri sekuat tenaga!" jawabnya dan dia
melintangkan pedangnya di depan dada, mengerahkan tenaga
sakti Matahari dan Bulan ke dalam kedua lengannya.
"Hyaaaaattt.....!" Lima orang tosu itu membentak dengan suara berbareng sehingga
terdengar lantang sekali. Juga di
dalam suara ini terkandung khi-kang (hawa sakti) yang amat
berwibawa, dapal menggetarkan jantung dan membuat takut
lawan. Namun Han Lin yang mengalami selombang suara
yang menyerangnya itu segera menggeram dan mengeluarkan
suara seperti singa. Itulah Sai-cu Ho-kang (Ilmu
Auman Singa) yang mengandung getaran amat kuatnya.
Jangankan hanya bentakan lima orang tosu itu, bahkan segala
macam kekuatan sihir akan punah kalau dilawan dengan Sai
cu Ho-kang ini. Lima orang tosu itu berbalik menjadi tergetar oleh auman
itu, maka mereka-pun segera menyusun serangan yang silih
berganti dan bertubi-tubi datangnya!
Han Lin menggerakkan pedang Im-Yang-kiam dan
tampaklah gulungan sinar keabu-abuan, campuran dari warna
hitam dian putih. Dia memainkan ilmu pedang seperti yang
telah diajarkan oleh It-kiam-lan dan sudah disempurnakan
oleh Bu-beng Lo-jin. Gerakannya seperti bayang-bayang saja,
dan kecepatannya seperti seekor burung walet. Tubuhnya
yang berubah menjadi bayang-bayang itu menyusup di antara
gulungan lima sinar pedang lawan. Setelah dia
mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan
diri sambil memperhatikan gerakan barisan itu, tahulah dia
bahwa kelihaian barisan itu terletak kepada sifatnya yang
sambung menyambung dan saling melindungi seperti sehelai
rantai baja yang amat kuat. Setelah memperhitungkan, dia
bergerak cepat, berputaran. Lima orang lawannya terpaksa
ikut berputar-putar dan mereka sama sekali tidak sempat
menyerang lagi karena gerakan berputar Han Lin amat
cepatnya seperti gasing! Dan selagi mereka kebingungan dan
hendak menyusun kembali barisan mereka yang tidak berdaya
menyerang itu, tiba-tiba saja Han Lin berbalik menyerang dan
dia menyerang di bagian tengah, yaitu orang ke tiga dari
pinggir yang berada di tengah-tengah. Tosu yang diserang itu
terkejut karena masih bergerak melangkah berputaran,
terpaksa dia menangkis sendiri tidak dapat mengandalkan
kawan di sebelahnya untuk melindunginya.
"Cringgg..... trakkk.....!" Pedangnya patah menjadi dua potong! Sebelum barisan
itu sempat mengatur kembali
posisinya, pedang Han Lin sudah menyambar-nyambar,
membuat para lawannya terpaksa menangkis. Terdengar
suara nyaring berturut-turut dan semua pedang di tangan lima
orang tosu itu telah patah tengahnya menjadi dua potong!
Tenti saja lima orang tosu itu terkejut bukan main dan mereka
cepat berlompatan ke belakang. Tahulah mereka bahwa sekali
ini Ngo-heng-kiam-tin mereka telah dapat dipecahkan orang!
Wajah mereka menjadi pucat lalu kemerahan. Tosu yang
berjenggot panjang lalu menjura kepada Han Lin.
"Siancai.....! Ilmu kepandaian sicu sungguh hebat! Pinto
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengaku kalah. Akan tetapi kekalahan ini membuat kami
menjadi penasaran dan ingin sekali mengetahui. Murid
siapakah sicu yang memiliki kepandaian sehebat ini?"
Terhadap lima orang tosu dari Im-yang-pai itu, Han Lin
tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya. Apalagi yang
ditanyakan hanya guru-gurunya dan sudah menjadi haknya
untuk membanggakan siapa gurunya. Diapun balas menjura
sebagai tanda penghormatan lalu menjawab, "Guru-guru saya ada lima orang. Gobi
Sam-sian, Bu-beng Lo-jin dan Cheng
Hian Hwesio. Merekalah yang mengajar saya, totiang."
"Siancai.....! Gobi Sam-sian adalah tiga orang datuk yang berkepandaian tinggi.
Sedangkan Cheng Hian Hwesio, hwesio
perantau yang penuh rahasia itu, kabarnya seorang sakti pula.
Hanya kami tidak pernah mendengar siapa itu Bu-beng Lo-jin.
Akan tetapi melihat kelihai-mmu, kami percaya bahwa diapun
seorang yang amat sakti. Kami tidak menjadi penasaran lagi,
juga bahwa kami tidak dapat memaksamu meminjamkan Im -
yang-kiam, karena kami memang tidak mampu
mengalahkanmu. Selamat tinggal, sicu. Mudah-mudahan
pedang pusaka itu akan kaupergunakan untuk membela
kebenaran dan keadilan!"
Setelah berkata demikian, lima orang tosu itu lalu berjalan
pergi meninggalkan tempat itu.
Han Lin menoleh ke arah di mana tadi Kiok Hwa berdiri dan
dia melihat gadis itu masih berada di sana, akan tetapi
pandang matanya tidak gembira dan bahkan alisnya berkerut
ketika ia memandang kepada Han Lin.
"Engkau kenapa, Kiok-moi?"
Gadis itu menggeleng kepalanya, "Aku tidak apa-apa, akan
tetapi engkau yang agaknya setelah mendapatkan Im-yangkiam
tiba-tiba saja dimusuhi banyak orang! Aih, betapa
tepatnya kata orang-orang bijaksana bahwa silat dan pedang
hanya mendatangkan permusuhan belaka."
"Akan tetapi, Kiok-moi. Pertentangan itu mana dapat
dihilangkan" Bukankah sudah sejak semula terdapat dua
unsur yang bertentangan di dunia ini, sebagai perwujudan dari
Im-yang" Ada siang ada malam, ada susah ada senang, ada
baik ada jahat" Selama ada baik dan ada jahat, pertentangan
tidak akan pernah berhenti. Tergantung kepada kita hendak
menempatkan diri di unsur mana. Yang jahat atau yang baik.
Kalau kita berdiri berpijak kebenaran dan kebaikan, kita tidak perlu takut
menghadapi tantangan kejahatan."
"Hemm, tentu saja engkau akan berdalih demikian, Lin-ko.
Akan tetapi kebaikan yang bagaimanakah" Kejahatan yang
bagaimanakah" Bukankah kebaikan dan keburukan itu
tergantung kepada penilainya" Engkau tentu menganggap
para tosu Im-yang-pai tadi jahat karena mereka hendak
memaksa pinjam Im-yang-kiam yang menjadi milikmu. Akan
tetapi sebaliknya, mereka tentu menganggap engkau jahat
yang tidak mau meminjamkan po-kiam (pedang pusaka) yang
amat mereka butuhkan itu. Nah, bukankah dalam pandangan
masing-masing kalian semua sama jahatnya?"
Han Lin merasa terdesak dan diapun berkata mengalah.
"Habis, kalau menurut pcndapatmu, bagaimana, Kiok-moi"
Apakah aku harus memberikan Im-yang-kiam kepada mereka
tadi?" "Bukan begitu maksudku, Lin-ko. Apa yang kaulakukan tadi
sudah benar. Aku hanya ingin mengatakan bahwa setelah
mendapatkan pedang itu, engkau mendapatkan banyak
musuh dan hal itu sungguh amat tidak baik bagimu."
"Apa boleh buat. Yang penting aku tidak mencari
permusuhan, aku tidak memusuhi mereka. Akan tetapi kalau
mereka memusuhi aku, tentu aku akan membela diri." Untuk
menyudahi percakapan tentang Im-yang-kiam, Han Lin lalu
mengajak gadis itu. "Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Kiokmoi!"
Gadis itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan
perjalanan menyusuri Sungai Huang-ho yang lebar. Akan
tetapi belum ada satu li (mil) mereka berjalan, tiba-tiba
terdengar seruan orang dari belakang.
"Orang muda, perlahan dulu!"
Han Lin dan Kiok Hwa menengok dan sesosok bayangan
berkelebat dan muncul ah seorang laki-laki berusia tua renta,
sedikitnya tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan
pakaiannya mewah seperti hartawan atau bangsawan.
Wajahnya lebar dan ramah, mukanya cerah dan dipandang
sepintas lalu, pantasnya dia seorang yang baik hati. Akan
tetapi kalau orang menentang matanya, orang akan melihat
sesuatu yang mengerikan pada pandang matanya. Pandang
matanya seperti harimau kelaparan melihat domba!
Ketika Han Lin memandang kakek itu, dia terkejut bukan
main. Jantungnya berdebar keras, mukanya terasa panas
karena dia teringat akan ibunya. Inilah seorang di antara
mereka yang mengakibatkan ibunya tewas terlempar ke dalam
jurang, walaupun tidak secara langsung dia melakukannya.
Suma Kiang yang bertanggung jawab, akan tetapi kakek ini
juga ikut memperebutkan dia, bahkan berusaha untuk
membunuhnya belasan tahun yang lalu, atau sepuluh tahun
yang lalu. Orang itu membawa sebatang pedang di
punggungnya dan memandang kepadanya dengan penuh
perhatian, lalu menatap ke arah buntalan di punggungnya.
Han Lin tidak melupakan orang itu karena wajahnya tidak
berubah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Wajah ToaOk
(si Jahat ke Satu). Jilid XII KIOK HWA yang masih muda itu ternyata juga mempunyai
pandangan tajam dan pengetahuan yang luas. Melihat kakek
ini, ia sudah dapat menduga siapa orangnya dan ia terkejut
bukan main kakek ini, ia sudah dapat menduga siapa
orangnya dan ia terkejut bukan main karena ia sudah
mendengar bahwa Toa Ok yang berjuluk Toat-beng Kwi-ong
(Raja Iblis Pencabut Nyawa) adalah seorang datuk sesat yang
amat ditakuti di dunia kang-ouw bersama dua rekannya, yaitu
Ji Ok (si Jahat ke Dua) dan Sam Ok (si Jahat ke Tiga).
"Dia Toa Ok......!" bisik Kiok Hwa kepada Han Lin. Namun Han Lin bersikap tenang
dan tidak menjadi kaget karena dia
memang sudah tahu siapa kakek itu. Bagaimanapun juga, dia
berhadapan dengan seorang yang sudah tua sekali, maka dia
bersikap cukup hormat ketika berkata.
"Toat-beng Kwi-ong Toa Ok, apa maksudmu mengejarku?"
"Ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda ternyata awas juga.
Bagus kalau kalian tahu bahwa aku adalah Toat-beng Kwi ong
Toa Ok. Biasanya kalau aku hendak mengambil sesuatu dari
seseorang, aku akan bunuh orang itu dan mengambil
barangnya, habis perkara. Akan tetapi melihat kalian masih
muda, biarlah sekali ini aku mengampuni kalian dan
membiarkan kalian pergi setelah kalian menyerahkan Imyang-
kiam kepadaku." Han Lin mengerutkan alisnya dan Kiok Hwa mengundurkan
diri menjauh, agaknya tidak ingin mencampuri urusan mereka.
"Toa Ok, apa alasanmu minta Im-yang-kiam dariku?"
tanyanya, diam diam mencatat bahwa datuk sesat ini dalam
usia tuanya ternyata masih juga jahat sehingga pantas dia
tentang. "Alasannya" Ha-ha-ha, aku sudah mendengar bahwa
engkau berhasil mencabut Im-yang-kiam, dan kalau engkau
tidak memberikannya kepadaku dengan baik-baik, tentu
engkau akan kubunuh dan Im-yang-kiam dalam buntalanmu
itu akan kuambil juga, ha-ha-ha!" Toa Ok mengelus
jenggotnya yang jarang sambil tertawa dan memandang
kepada pemuda itu dengan meremehkan sekali.
Han Lin melepaskan buntalannya dan menaruhnya di atas
tanah. Dia berdiri tegak di depan kakek itu dan berkata.
"Boleh saja engkau merampas Im-yang-kiam kalau engkau
mampu merebutnya dari tanganku!"
Toa Ok membelalakkan matanya saking kaget dan
herannya. "Apa katamu" Engkau, bocah kemarin sore ini,
berani menantangku" Ha-ha-ha-ha-ha!"
"Bukan menantang, Toa Ok. Engkaulah yang mencari
perkara dan permusuhan, bukan aku!"
"Aku bukan hanya ingin merampas Im-yang-kiam, akan
tetapi juga untuk mencabut nyawamu. Ingat julukanku adalah
Toat-beng Kwi-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa)!"
"Pencabut nyawa atau pencabut rumput aku tidak perduli.
Aku akan membela diri sekuat kemampuanku!" kata Han Lin,
sederhana namun tegas dan mengandung ejekan akan nama
julukan kakek itu. Sepasang mata kakek itu mencorong karena marah. "Akan
kuremukkan kepalamu, akan kupecah dadamu!" Berkata
demikian, tiba-tiba Toa Ok menubruk dengan pukulan yang
amat dahsyat. Si Jahat Nomor Satu ini begitu menyerang
sudah tidak segan-segan untuk mempergunakan ilmu
pukulannya yang keji dan mengerikan, yaitu Ban-tok-ciang
(Tangan Selaksa Racun)! Akan tetapi Han Lin yang sudah
mengenal kelihaian orang, sudah cepat mengelak,
mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ketika kakek itu
hendak menyambar buntalannya yang berada di atas tanah,
diapun cepat menyerang dengan tamparan ke arah ubun-ubun
kepala kakek itu. "Wuuuutttt......!!" Sambaran angin yang dahsyat itu
membuat Toa Ok terperanjat dan cepat dia menggerakkan
lengannya untuk menangkis tamparan itu.
"Plakkk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Toa Ok
terhuyung ke belakang, akan tetapi Han Lin juga melangkah
dua tindak ke belakang. Toa Ok menjadi semakin terheranheran.
Dia menatap wajah Han Lin seperti orang melihat setan
di siang hari. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa
pemuda itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga
mampu menandingi tenaga Ban-tok-ciang yang mengandung
hawa beracun itu. Apakah dia yang sudah menjadi terlalu tua"
"Orang muda siapakah engkau?" dia bertanya, kini tidak berani memandang rendah.
Han Lin tersenyum. "Toa Ok, lupakah engkau kepadaku"
Engkau pernah memperebutkan diriku dengan Sam Ok,
bahkan hendak membunuhku, kurang lebih sepuluh tahun
yang lalu." Toa Ok mengerutkan alisnya dan diapun teringat. "Ah,
engkaukah bocah itu" Bagus, kalau dulu aku tidak sempat
membunuhmu, sekarang engkau tidak akan dapat lolos lagi!"
Diapun menyerang lagi dengan Ban-tok-ciang, kini
mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi kembali
pukulannya mengenai tempat kosong dan Han Lin juga
membalas dengan serangan ilmu silat tangan kosong Ngoheng
Sin-kun. Ilmu silat ini jauh bedanya dengan Ngo-heng
Klam-tin yang dipergunakan oleh lima orang tosu Im-yang-pai,
karena kalau para tosu itu mempergunakan pedang untuk
memainkan barisan itu, Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima
Unsur) menggunakan tangan kosong yang berubah-ubah lima
macam sehingga membingungkan lawan. Kadang ganas dan
liar seperti api, kadang bergelombang seperti air, kadang
tenang keras seperti logam.
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Akan tetapi, Toa Ok
merasa memperoleh tanding yang amat kuat. Kalau dia
mengerahkan pukulan Ban-tok-ciang yang mengeluarkan
bunyi mencicit dan mengandung hawa beracun, Han Lin
mengimbanginya dengan It-yang-ci, serangan dengan satu jari
yang juga mengeluarkan suara mencicit dan memiliki daya
serang yang amat berbahaya. Pukulan Ban-tok-ciang terpental
kalau bertemu dengan It-yang-ci, menunjukkan bahwa ilmu
Ban-tok-ciang itu kalah kuat dalam hal tenaga sakti.
"Bocah keparat, awan racun hitam akan menelan dirimu!"
tiba-tiba Toa Ok membentak dan tiba-tiba dari kedua
tangannya keluar asap hitam yang amat tebal bergerak ke
arah Han Lin. Pemuda ini maklum bahwa itu adalah kekuatan
sihir yang dikerahkan oleh Toa Ok, maka diapun mengerahkan
kekuatan batinnya dan mengeluarkan auman seperti singa
dengan ilmu Sai-cu Ho-kang.
"Hauuuungggg.....!" Suara itu demikian kuat, mengandung getaran hebat dan asap
tebal hitam itu yang tadinya
menyerang ke arah Han Lin tiba-tiba membalik seperti tertiup
angin yang kuat dan Toa Ok yang tadinya tidak tampak
tersembunyi di dalam asap hitam itu kini tampak kembali. Dia
menjadi semakin penasaran. Bocah itu malah dapat
memunahkan sihirnya! Tiba-tiba Toa Ok berseru dengan suara yang penuh
wibawa, "Orang muda, marilah ikut aku tertawa! Tidak ada
yang dapat menahan engkau tertawa. Tertawalah sepuasmu.
Istana Yang Suram 9 Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir Selubung Tabir Hitam 2
hati Suma Eng ketika melihat bahwa di situ terdapat banyak
wanita dan kanak-kanak. Ternyata apa yang dikatakan Song
Cin benar. Para bajak itu ada yang mempunyai isteri dan
anak-anak. Anak-anak yang tidak berdaya! Melihat para isteri
bajak itu memandang dengan wajah pucat dan ketakutan,
Suma Eng berkata kepada mereka.
"Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian. Kalau
ada suami kalian yang tewas dalam pertempuran, itu adalah
kesalahan suami kalian sendiri yang menjadi bajak sungai.
Yang suaminya belum tewas, bujuklah suami kalian agar
jangan menjadi bajak lagi, sedangkan yang suaminya tewas,
kuburkan dengan baik-baik dan hiduplah sebagai orang baikbaik.
Sekarang katakan di mana rumah yang ditinggali kepala
bajak Huang-ho Tiat-go Lo Kiat."
Para wanita itu menunjuk sebuah rumah yang terbesar di
perkampungan itu. Suma Eng lalu memasuki rumah itu dan
tiga orang isteri kepala bajak itu menjatuhkan diri mereka
berlutut. "Ampunkan kami, tai-hiap (pendekar besar).....!" Mereka memohon kepada Suma Eng
dan Song Cin. "Jangan takut, kalian tidak bersalah, kami tidak akan
mengganggu kalian. Sekarang tunjukkan tempat penyimpanan
harta Lo Kiat, dia mempunyai hutang padaku yang harus
dibayarnya." Tiga orang wanita itu lalu menunjukkan kamar suami
mereka dan harta itu disimpan dalam sebuah peti besar. Suma
Eng membuka peti itu dan ternyata berisi si emas, perak dan
permata yang banyak sekali.
"Jangan khawatir, aku bukan perampok! Akan tetapi ketika
aku diganggu anak buah suamimu, barang milikku hanyut di
sungai. Karena itu suamimu harus membayar kembali barangbarangku yang hilang!"
Suma Eng lalu mengambil beberapa
potong emas untuk mengganti uangnya yang hilang dan
mengambil beberapa potong perak untuk membeli pakaian
pengganti pakaiannya yang hilang. Dibuntalnya emas dan
perak itu ke dalam sehelai kain berwarna biru dan ia lalu
menoleh kepada Song Cin. "Cin-ko, engkau boleh mengambil sebagian dari harta ini
kalau engkau membutuhkannya untuk bekal dalam perjalanan.
Wajah Song Cin berubah kemerahan dia menggeleng
kepalanya. "Aku masih mempunyai bekal, Eng..... siauwte,"
Jawabnya cepat karena hampir dia menyebut Eng-moi lagi,
"dan para bajak itu tidak berhutang apapun kepadaku."
"Hei, kalian bertiga," kata Suma Eng kepada tiga orang isteri Lo Kiat. "Ada
beberapa orang bajak yang mati dan
karena mati dalam membela suami kalian, maka sudah
sepatutnya kalau kalian mengeluarkan biaya untuk membantu
penguburan mereka. Kuharap kalian dapat membujuk para
bajak yang masih hidup agar mereka mengubah jalan hidup
mereka. Menjadi petani tersedia tanah yang amat subur di
Lembah Huang-ho, menjadi nelayanpun Sungai Huang-ho
menyediakan ikan yang amat banyak. Mengertikah kalian?"
"Baik, baik, tai-hiap." kata tiga orang isteri Lo Kiat itu dengan berbareng. Di
sebelah Suma Eng, Song Cin
mendengarkan dan wajahnya berseri. Gadis ini pada dasarnya
bukan seorang yang berhati kejam dan ganas, pikirnya. Dapat
memaafkan para isteri bajak, bahkan menasihatkan mereka
agar membujuk para bajak yang masih hidup agar menjadi
orang baik-baik. Dan ketika mengambil sebagian uang, iapun
hanya mengambil sebagia kecil saja sesuai dengan uangnya
yang hilang, tidak mempergunakan kesempatan itu untuk
mengambil sebanyaknya. Bahkan tidak sepotongpun perhiasan
permata ia ambil. Gadis itu tidaklah sekeras seperti yang
diperlihatkannya. Agaknya ia hanya terpengaruh lingkungan,
seperti batu permata di antara batu-batu biasa berdebu. Kalau
digosok, tentu debunya hilang dan akan tampak
kecemertangnya. "Tadinya kami bermaksud hendak membakar sarang para
bajak ini, akan tetapi melihat kalian para wanita dan kanakkanak, kami tidak
melakukan pembakaran. Akan tetapi kalau
lain kali kami lewat di sini dan para bajak masih melakukan
pekerjaan jahat itu, terpaksa kami akan membakar
perkampungan ini!" kata lagi Suma Eng kepada para wanita
itu yang hanya mampu mengangguk-angguk ketakutan.
"Mari, Cin-ko, kita pergi dari sini." kata pula Suma Eng dan Song Cin
mengangguk. Dua orang muda itu lalu pergi dari
perkampungan itu. Setelah tiba di dekat sungai dan melihat
gadis itu menanti, Song Cin berkata.
"Eng-moi," dia berani menyebut demikian karena di situ tidak terdapat orang
lain. "Silakan naik ke perahuku." Dia mendorong perahunya memasuki air, dan
memegangi tali perahunya. "Tidak, Cin-ko. Kita berpisah di sini. Kita mempunyai urusan masing-masing."
Song Cin memandang dengan wajah berubah agak pucat.
Mendengar bahwa ia harus berpisah dari gadis itu membuat
perasaannya terasa nyeri dan begitu tiba-tiba datangnya.
Sebelumnya dia tidak pernah membayangkan akan berpisah
dari gadis yang dicintanya itu. "Tapi..... tapi, Eng-moi. Tidak dapatkah kita
melakukan perjalanan bersama?"
"Tidak, Cin-ko. Aku akan pergi mencari ayah dan mencari
pengalaman, sedangkan engkau tentu mempunyai urusanmu
sendiri." "Akan tetapi, aku juga sedang merantau dan akan kubantu
engkau mencari ayahmu, Eng-moi." Song Cin membantu
karena dia tidak ingin berpisah.
Akan tetapi Suma Eng menggeleng kepalanya. "Terima
kasih, Cin-ko. Akan tetapi aku hendak mencarinya sendiri. lagi Pula, aku ingin
mencari pengalaman se-orang diri. Juga
apabila aku bertemu dengan ayah dan dia melihat aku
melakukan perjalanan denganmu, mungkin dia akan marah
kepadaku." Song Cin menghela napas panjang. Baru teringat dia
sekarang bahwa sesungguhnya memang tidak pantas bagi
Suma Eng, seorang gadis belia, melakukan perjalanan berdua
saja dengan seorang pria yang bukan anggauta keluarganya,
bahkan baru saja dikenalnya! Baru dia melihat kejanggalan itu
dan sebagai seorang yang terdidik baik, dia maklum dan
mengerti akan penolakan Suma Eng untuk melakukan
perjalanan bersama. "Eng-moi, aku..... tidak akan melupakanmu."
Suma Eng adalah seorang gadis yang masih hijau dan ia
tidak dapat menangkap getaran suara pemuda itu,
menganggap ucapan itu seperti ucapan biasa saja. Maka iapun
menjawab dengan senyum ramah.
"Akupun tidak akan melupakanmu, Cin-ko."
Bagi Song Cin, jawaban ini menyenangkan sekali. Dia
sendiripun seorang pemuda yang belum pernah jatuh cinta
dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bercinta.
Akan tetapi mendengar betapa gadis yang dicintainya itu tidak
akan melupakannya, dia merasa gembira sekali!
"Aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang
cantik jelita dan gagah perkasa, dan aku akan merindukanmu,
Eng-moi." ucapan yang jelas menunjukkan perasaan cinta
inipuu tidak dimengerti oleh Suma Eng yang menganggapnya
bagai ucapan ramah dan biasa. "Akupun akan mengenangmu
sebagai eorang yang baik sekali dan sudah menyelamatkan
aku diri ancaman maut, Cin-ko."
"Eng-moi, kalau hari ini kita berpisah, kapankah kita dapat bertemu kembali?"
"Sekali waktu kita pasti akan dapat bertemu kembali, Cinko.
Nah selamat tinggal, aku hendak melanjutkan
perjalananku." "Selamat jalan dan selamat berpisah Eng-moi......" suara Song Cm terdengar hampa
dan lirih. Suma Eng membalikka
tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pemuda itu.
Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, Song Cin
memanggilnya. "Eng-moi......!" Suma Eng menoleh dan ia melihat Song Cin berlari
menghampirinya. "Ada apakah, Cin-ko?"
"Eng-moi, engkau jagalah dirimu baik-baik, Eng-moi. Dan
jangan sekali-kali membiarkan dirimu terpancing naik perahu.
Engkau tidak pandai bermain di air sedangkan orang-orang
jahat itu licik sekali." kata Song Cin dengan nada suara penuh kekhawatiran.
Suma Eng tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak
lagi, Cin-ko. Sekali saja sudah cukup bagiku. Aku tidak akan
naik perahu dengan orang yang belum kukenal keadaannya.
Nah, selamat tinggal."
"Selamat jalan, Eng-moi." Song Cin memandang gadis itu dengan wajah muram dan
pandang matanya sayu. Dia merasa
seolah-olah sukmanya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia
mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya
sampai gadis itu lenyap di sebuah tikungan. Dan dia merasa
begitu kehilangan, begitu kesepian seolah-olah hanya hidup
seorang diri saja di dunia yang mendadak menjadi sepi ini.
Kalau dia seorang anak-anak, tentu dia akan menangis sedih.
Dengan langkah gontai dia kembali menghampiri perahunya,
mendorong lagi perahunya ke air, kemudian duduk di dalam
perahu, tanpa menggerakkan dayung dan duduk saja di situ
sambil melamun. Perahunya bergoyang-goyang lirih dan Song
Cin memejamkan mata karena di depan matanya yang
terbayang hanyalah wajah Suma Eng dengan matanya yang
bening indah, mulutnya yang bibirnya merah basah berbentuk
gendewa terpentang itu. Semakin dikenang, semakin rindu rasa hatinya. Kini teringat
dan terbayanglah semua kenangan itu, terutama sekali di
waktu dia menolong gadis itu dengan pernapasan,
merapatkan mulutnya dengan mulut gadis itu dan meniup
kuat-kuat! Kalau dulu di waktu melakukannya dia tidak
membayangkan yang bukan-bukan,! kini ketika perbuatan itu
dikenangnya, teringatlah dia akan peristiwa itu sampai hal
yang sekecil-kecilnya, betapa hangat dan lunak bibir itu!
Betapa manis kenangan itu dan timbul ah berahinya terhadap
Suma Eng. "Ahhh, Eng-moi.....!" Dia mengeluh berkali-kali sambil membisikkan nama itu
dengan mesra. Sumber segala macam perasaan, malu, senang, sedih,
marah, duka timbul dari pikiran yang mengenang-ngenangkan
masa lalu dan membayangkan masa depan. Mengenangkan
masa lalu menimbulkan duka, kemarahan atau rasa malu.
Membayangkan masa depan menimbulkan rasa takut atau
khawatir. Karena itu, tidak ada gunanya mengenangkan masa lalu
dan membayangkan masa depan. Yang terpenting adalah
masa kini, sekarang, saat ini. Hidup adalah saat demi saat
yang kita hadapi, seperti apa adanya, kesunyataannya. Kalau
kita menghadapi segala sesuatu yang datang pada saat ini
dengan penuh kewaspadaan, dengan mawas diri dan dengan
penuh kepasrahan kepada Tuhan di samping tindakan kita
yang keluar secara spontan, maka kita akan dapat
menanggulangi setiap masalah yang timbul. Suka dukanya
sebab dari timbulnya pikiran yang mengunyah-ngunyah
permasalahan. Kita harus berani menghadapi segala
permasalahan yang timbul dengan penuh ketabahan, tidak
melarikan diri, melainkan menghadapinya dan mengatasinya.
Itulah seni kehidupan. Menghadapi kenyataan dan
mengatasinya! Kenyataan hidup adalah suatu kewajaran, tidak
baik maupun untuk selama si-aku tidak muncul dan menilai -
nilai, membanding - bandingkan, menyesuaikan dengan
kepentingan diri sendiri, dengan dasar diuntungkan atau
dirugikan, disenangkan atau tidak disenangkan.
Kalau kita hanyut dalam ulah si-aku yang bukan lain adalah
nafsu yang mengaku-aku, maka kita akan terombang-ambing
di antara suka dan duka, di mana kenyataannya, lebih banyak
duka ketimbang suka. Pemuda itu berpakaian sederhana seperti seorang pemuda
petani biasa, namun pakaian itu bersih dan rapi. Bentuk
tubuhnya sedang dan tampak kuat ketika dia berjalan dengan
langkah seperti langkah seekor harimau. Langkahnya begitu
ringan namun membayangkan kekuatan yang kokoh.
Wajahnya tampan dan menarik dengan sepasang mata
mencorong penuh wibawa namun juga sinarnya lembut,
hidungnya mancung dan bibirnya selalu terhias senyum
terbuka dan ramah. Di punggungnya tergendong sebuah
buntalan kain kuning yang berisi pakaian.
Pemuda itu melangkah dengan tenang dan gagahnya
menyusuri Sungai Fen Ho. Tadinya dia berjalan biasa saja
ketika masih berpapasan dengan orang-orang yang melakukan
perjalanan melalui jalan itu. Akan tetapi setelah jalan itu sunyi dan dia hanya
berjalan seorang diri, setelah menengok ke
depan belakang dan tidak melihat adanya orang lain, dia lalu
melompat dan lari cepat sekali seperti terbang! Kalau ada
yang melihatnya, tentu orang itu terkejut dan baru
mengetahui bahwa pemuda yang berpakaian dan bersikap
sederhana itu sesungguhnya merupakan seorang pemuda
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Pemuda yang agak
jangkung itu adalah Han Lin atau Cheng Lin Seperti telah kita
ketahui, Han Lin disuruh turun gunung oleh kedua orang
gurunya, yaitu Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian Hwesio. Dia
melakukan perjalanan merantau sambil mengemban tugas
yang berat dan banyak. Pertama, tentu saja dia harus
melakukan sepak-terjang sebagai seorang pendekar yang
berkepandaian silat untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan, untuk menentang si-jahat yang menindas dan untuk
membela si-lemah yang tertindas. Kedua, dia harus mencari Aseng dan merampas
kembali Suling Pusaka Kemala yang dicuri
oleh pemuda berhati palsu dan jahat itu. Ke tiga, gurunya Bubeng Lo-jin berpesan
agar mencoba peruntungannya untuk
mencabut pedang Im-yang kiam peninggalan Panglima Kam
Tio yang gagah perkasa dan setia kepada negara dan bangsa.
Ke empat, dia harus bertemu dengan ayah kandungnya, yaitu
Kaisar Cheng Tung dan melihat bagaimana sikap kaisar itu
kalau bertemu dengan dia dan menegur ayah kandungnya
yang sama sekali melupakan ibu kandungnya itu. Dan ke lima,
walaupun agaknya hal ini sia-sia belaka, dia harus menyelidiki apakah ibu
kandungnya benar-benar sudah tewas ketika
terjerumus ke dalam jurang. Ucapan-ucapan Cheng Hian
Hwesio menimbulkan harapan baru dalam hati kalau kalau ibu
kandungnya masih hidup. Masih ada satu hal lagi sebagai
yang ke enam, yaitu dia akan mencari Huang ho Sin-liong
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Suma Kiang yang telah menyebabkan ibunya tewas dalam
jurang, lihat keadaan orang itu. Kalau masih saja merupakan
seorang yang jahat, tentu ia akan turun tangan
menghajarnya, kalau perlu membunuhnya, bukan semata
untuk membalaskan sakit hati ibunya, melainkan terutama
sekali untuk membasmi orang jahat yang membahayakan
manusia lain itu. Pagi hari itu amat indahnya. Biarpun ia berlari cepat, Han
Lin yang selalu waspada itu, dapat menikmati keindahan alam
itu. Air sungai mengalir tenang, menampung bayang-bayang
pohon-pohon dari sepanjang tepi yang ditimbulkan oleh sinar
matahari pagi. Air sungai berkeriput dalam alirannya, kadang
memecah ketika bertemu batu besar yang menonjol dari
permukaan air. Karena sudah jauh meninggalkan sumber
mata airnya, maka air yang dulunya bersil jernih itu sekarang
telah berubah keruh kekuningan bercampur segala macam
kotoran yang ditampungnya di sepanjang perjalanan dari
sumber air menuju ke Sungai Huang-ho dimana Sungai Fen-ho
membaurkan diri-nya. Burung-burung berkicau di dahan dan
ranting-ranting pohon, di antara daun daun hijau, siap untuk
melaksanakan pekerjaan mencari makan di hari itu. beberapa
ekor kelinci dengan ketakutan dan tergesa-gesa menyusup ke
dalam semak-semak ketika Han Lin lewat dan pemuda itu
tersenyum sendiri. Dalam keadaan dan waktu lain, mungkin
saja dia menangkap seekor kelinci gemuk untuk sarapan pagi.
Akan tetapi pagi hari itu dia tidak merasa lapar dan di dalam
buntalannya masih tersimpan lima buah kueh bak-pao yang
dibelinya semalam di dusun terakhir yang dilewatinya.
Tiba-tiba telinganya menangkap suara nyanyian. Dia
menahan langkahnya dan memandang ke arah datangnya
suara nyanyian itu. Nyanyian lagu sederhana dan dengan
suara yang sederhana pula. Penyanyinya seorang yang
bersahaja pula. Seorang petani berusia kurang lebih em-pat
puluh tahun tanpa baju, hanya bercelana hitam sebatas lutut.
Bajunya yang ditanggalkan itu berada di atas sebuah batu
besar di luar ladang yang sedang dicangkulnya. Dia bekerja
dengan tenang, lengan rajin dan seenaknya sambil bernyanyinyanyi.
Han Lin terpesona. Pagi yang indah itu tampak
semakin berseri. Karena tertarik, diapun berhenti dan duduk di bawah sebatang
pohon, melihat petani itu bekerja seperti
suatu pemandangan yang indah sekali. Sebetulnya suatu
pemandangan yang biasa saja, dapat dilihat di mana saja
setiap hari. Akan tetapi entah mengapa, bagi Han Lin
pemandangan itu menyentuh perasaannya dan membuatnya
terharu. Petani miskin nrnyanyi-nyanyi sambil bekerja!
Seorang wanita petani berusia tiga puluh tahun lebih
berjalan menghampiri tempat bekerja petani itu. Dia
membawa sebuah keranjang berisi makanan dan ninuman.
Petani itu berhenti bernyanyi dan menunda pekerjaannya,
mencuci tangan dan kakinya di solokan kecil di tepi ladang
kemudian menghampiri isteri-ya yang telah mengeluarkan
mangkok, panci-panci tempat nasi dan sayuran, juga cangkir
dan poci minuman. "Kebetulan engkau datang, perutku memang sudah mulai
bernyanyi." kata suami itu sambil mengangkat sebuah
mangkok. "Karena itu aku dengar tadi engkau bernyanyi." kata sang isteri sambil
mengambilkan nasi yang ditampung di mangkok
yang dipegang suaminya. "Aku bernyanyi untuk melupakan rasa laparku." kata pula suami itu sambil tertawa
dan isterinyapun ikut tertawa. Tawa
mereka begitu lepas dan terbuka dan Han Lin yang
menyaksikan serta mendengarkan itu semua, ikut tersenyum
senang. Petani itu lalu makan, dilayani isteri nya. Dari tempat dia
duduk Han Lin melihat betapa makanan itu amat sederhana.
Nasi dengan hanya satu macam masakan sayur. Dan
minumnya itupun hanya air jernih! Akan tetapi petani itu
makan dengan lahapnya dan kelihatan nikmat sekali.
Itulah orang berbahagia! Itulah keluarga bahagia! Demikian
Han Lin berpikir Dalam bekerja berat, bernyanyi, itu tardanya
bahagia. Makan begitu bersahaja tampak demikian lezat dan
nikmat. Demikianlah orang yang sudah merasa cukup segalagalanya.
Karena merasa penasaran bagaimana orang yang miskin
seperti petani itu dapat hidup berbahagia, setelah petani itu
selesai makan dan isterinya sudah pergi membawa tempat
makanan kosong, dia lalu bangkit dan menghampiri petani
yang masih duduk mengaso itu. Melihat sedang pemuda yang
juga berpakaian seperti petani namun pakaiannya bersih,
petani itu lalu mengangguk dan tersenyum.
"Siauwte (adik laki-laki), hendak ke manakah?"
"Aku melihat twako (kakak laki-laki) dan merasa tertarik
sekali. Ingin aku bercakap-cakap sebentar dengan twako kalau
kiranya tidak mengganggu pekerjaan twako."
"Ah, tidak. Aku bekerja tidak tergesa gesa. Hujan belum
akan turun sebelum lewat bulan ini dan aku pasti akan
merampungkan pencangkulan ladangku ini belum hujan turun.
Marilah kita bercakap-cakap kalau engkau menghendaki.dari
logat bicaranya seperti bukan orang sini, siauwte. Dari
manakah engkau?" "Benar, twako. Aku datang dari daerah utara sana. Aku
tertarik melihat engkau bekerja dan makan tadi. Twako
apakah engkau dapat menjawab pertanyaanku ini?"
"Pertanyaan apakah, siauwte?"
"Berbahagiakah hidupmu, twako?"
Mendengar pertanyaan itu, si petani termenung dan
mengerutkan alisnya seperti menghadapi pertanyaan yang
sukar dimengerti dan sukar pula dijawab.
"Bahagia" Apakah itu, siauwte?"
Kini berbalik Han Lin yang termenung. Dia belum pernah
mempertanyakan kepada diri sendiri apakah bahagia itu.
"Bahagia itu......" dia menjawab dengan sukar sekali. "......
eh, yaitu kalau engkau selalu merasa senang dalam hidupmu
tidak pernah merasa susah dan khawatir, tidak kekurangan
sesuatu, merasakan damai dan tenteram lahir batin.....
pendeknya, ya berbahagia begitulah."
Petani itu masih mengerutkan alisnya "Sukar benar. Aku
tidak mengerti apa bahagia itu dan bagaimana rasanya,
bahkan tidak membutuhkan bahagia yang tidak kukenal itu.
Akan tetapi aku selalu merasa senang. Tanah yang kugarap ini
milikku sendiri, dan tanahnya subur. Hanya cukup untuk
makan aku bersama isteri dan dua orang anakku. Isteriku
seorang wanita yang baik dan anak-anakku juga penurut.
Apalagi yang kubutuhkan?"
Han Lin tersenyum. Kini dia melihat kenyataan dari
pelajaran yang seringkali di dengarnya dari Bu-beng Lo-jin dan Cheng Hian
Hwesio. Inilah contoh atau buktinya seorang yang
berbahagia, yaitu orang yang telah dapat menerima segalakeadaan sebagaimana
adanya tanpa mengharapkan apa-apa!
Tidak mengharap-kan apa-apa yang dibayangkannya lebih
pada apa yang ada! Apa yang ada itu-Kebenaran. Apa yang
ada dan yang jadi itulah Kekuasaan Tuhan. Orang seperti
petani yang sederhana ini adalah orang yang hidup selaras
dengan kekuasaan Tuhan, tidak dipengaruhi nafsu akan
menyeretnya untuk mengejar-ngejar kesenangan, untuk
mencari apa apa yang lebih daripada apa yang ada yang
dianggapnya tentu akan lebih menyenangkan.
Petani itu minum air putih yang jernih dengan hati akal
pikiran terbebas daripada nafsu. Kalau nafsu mengusik hatinya
dan timbul keinginan untuk minum air teh atau arak, tentu
seketika air putih itu akan menjadi hambar dan tidak enak dan
timbul ah kecewa dan penyesalan. Demikian pula dengan
makanan yang sederhana itu. Kalau di waktu makan nasi dan
sayur itu nafsunya mempengaruhi pikirannya sehingga dia
menginginkan makan paha ayam atau dagi sapi, tentu
seketika nasi sayur itu tak terasa tidak enak dan dia mungkin
akan marah-marah kepada isterinya. Jadi jelasnya,
kebahagiaan itu sebenarnya, seperti juga Tuhan, sudah selalu
ada pada diri kita masing-masing. Hanya karena nafsu -
menguasai, nafsu yang mendorong kita untuk mengejarngejar
kesenangan, maka kita tidak merasakan bahwa
kebahagian sudah ada pada kita setiap saat.
Kesehatan adalah kebahagiaan. Kesehatan ada pada diri
kita setiap saat, akan tetapi kita masih mencarinya ke manamana.
Bagaimana mungkin kita bisa mendapatkannya"
Kesehatan SUDAH ada ada diri kita. Kalau kita merasa tidak
sehat, hal itu tentu ada penyebabnya, yaitu penyakit. Kalau
penyakit itu sudah dihilangkan, maka kesehatan itu ada. akan
tetapi, siapakah di antara kita yang SADAR akan
kesehatannya" Demikian pula kebahagiaan. Kebahagiaan
sudah ada pada kita setiap saat, seperti petani sederhana itu.
Kalau kita merasa tidak bahagia, jangan mencari kebahagiaan,
melainkan carilah sebabnya mengapa kita merasa tidak
berbahagia. Kalau penyebab atau halangan kebahagiaan itu
dapat disingkirkan, maka kita SUDAH BERBAHAGIA! Seperti
petani itu, dia tidak mempunyai sesuatupun yang menutup
atau menghalangi kebahagiaan, dengan menerima apa
adanya, menerima kenyataan, menerima keputusan atau
kehendak Tuhan, maka dia sudah berbahagia, walau- mungkin
dia tidak tahu apa itu kebahagiaan! kebahagiaan adalah suatu
keadaan diri lahir batin, karenanya tidak bisa dibuat buat,
tidak bisa dicari-cari. Tepat sekail ujar-ujar nabi Khong Cu
dalam kita Tiong-yong pasal empat dan lima yang berbunyi
seperti berikut: "Hi Nouw Al Lok Ci Di Hoat,
Wi Ci Tiong. Hoat si Kai Tiong Ciat,
Wi Ci Hoo. Tiong Ya Cia, Thian He Ci Tai Pun Ya. Hoo Ya Cia,
Thian He Ci Tat Too Ya. Ti Tiong Hoo, Thian Tee Wi Yan,
Dan Dut Yok Yan." artinya : "Sebelum timbul Senang, Marah, Duka dan Gembira,
keadaan itu disebut Dalam Imbangan Jejak (Seimbang)
Apabila pelbagai perasaan itu timbul namun mengenal
batas, keadaan itu disebut Keselarasan. Keseimbangan Jejak ini
adalah Pokok Terbesar dunia. Keselarasan adalah Jalan Utama
sesuai dengan Kekuasaan Tuhan. Apabila Keseimbangan
Jejak dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, kebesaran abadi
akan meliputi seluruh langit dan bumi."
Han Lin mengangguk-angguk sambil melamun. Pantas saja
kedua orang guru-nya itu selalu menganjurkan agar dia
selamanya menjaga agar dirinya selalu berada dalam
Keseimbangan Jejak, dalam arti kata tidak diseret oleh nafsunafsunya sendiri dan
dalam Keselarasan, dalam arti kata
selaras dengan kenyataan apa adanya, sehingga dalam
keadaan yang bagaimanapun dia waspada bahwa semuanya
itu ada yang mengatur, bahwa Kekuasaan Tuhan selalu
bekerja dan berkuasa di manapun juga. Inilah yang
dinamakan Penyerahan. Menyerah terhadap kekuasaan Tuhan
yang Maha Bijaksana. Tentu saja penyerahan dalam arti kata
yang sehat, yaitu tidak melupakan ikhtiar lahiriah. Berikhtiar berlandaskan
penyerahan. "He, siauwte. Engkau sedang mengapa?" Tiba-tiba petani itu bertanya heran
Han Lin balas memandang deng heran pula. "Aku
mengapa?" "Engkau sejak tadi hanya mengangguk angguk dan
tersenyum -senyum seorang diri. Apa sih yang membuat
engkau bersikap seaneh itu?"
Han Lin bangkit berdiri dan menjura "Aku sedang
mempertimbangkan dan melihat kenyataan bahwa engkau
seorang yang berbahagia, twako. Terima kasih atas
keramahanmu." Dia lalu membalikan tubuhnya dan pergi dari situ dengan perasaan
ringan. Petani itu memandang dan mengikuti bayangannya sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aneh. Pemuda yang aneh.
Bahagia?" Dia menggerakkan pundaknya, Ia berjalan ke
tengah ladang, memegang dan mengayun cangkulnya
kembali. Setengah belahan tanah oleh ayunan cangulnya
mendatangkan perasaan puas dan senang dalam hatinya
sehingga sebentar saja dia sudah melupakan pemuda aneh
itu. Han Lin melanjutkan perjalanan dengan hati gembira. Dia
telah menemukan bukti pelajaran tentang hidup yang amat
penting. Pelajaran tentang kehidupan tidak ada artinya sama
sekali kalau tidak dapat menghayati dan pengertian hanya
mengambang kalau kita tidak menemukan bukti.
Han Lin mendaki lereng di pegunungan itu. Sungai Fen-ho
mengalir di bawah sana. Dia tidak dapat lagi menyusuri tepi
sungai karena di bagian itu tepinya Merupakan dinding bukit
yang terjal. dan lereng itu penuh dengan pohon-pohon besar.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara orang dari dalam hutan
dan dia cepat memasuki hutan dan menuju ke arah suara itu.
Dia bersembunyi di balik sebatang pohon besar ketika melihat
tiga orang laki-laki kasar tinggi besar sedang mengepung
seorang gadis yang berpakaian sutera putih. Gadis itu cantik
sekali, berkulit putih mulus dan kedua pipinya kemerahan
karena sehatnya. Gerak-geriknya lembut dan biarpun
dikepung tiga orang laki-laki kasar yang sikapnya mengancam
ia tampak tenang saja. Sepasang matanya seperti mata
burung Hong, indah dan tajam pandangannya namun lembut.
Hidungnya kecil mancung dan mulutnya berbentuk indah
dengan bibir yang selalu tersenyum ramah. Di punggungnya ia
mengendong sebuah buntalan kain kuning yang besar.
Pinggangnya ramping dan kedua kakinya mengenakan sepatu
kulit yang mengkilat, berwarna hitam.
"Saudara-saudara, apa yang kalian kehendaki maka kalian
menghadang perjalananku" Harap suka minggir dan memberi
jalan kepadaku," kata gadis itu dengan suara halus. Han Lin tersenyum. Terdengar
aneh sekali. Gadis itu bicara dengan
sikap sopan dan lembut, padahal sekali pandang saja dia
dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki itu bukan orang
baik-baik! Tiga orang laki-laki itu saling pandang dan
menyeringai. Agaknya merekapun heran disapa sedemikian
lembutnya oleh gadis itu. Sepatutnya gadis itu menangis
Ketakutan dan minta ampun!
"Ha-ha-ha, tadinya kami menghendaki buntalanmu itu,
akan tetapi melihat dirimu yang jauh lebih berharga dari
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
segala macam harta, maka kami mengajakmu untuk hidup
bersama kami. Kami tanggung hidupmu akan kecukupan dan
terlindung. Lihat, engkau berada di tangan orang kuat, nona."
Pembicara itu, yang mukanya brewok, menggerakkan tangan
kanannya, miring menghantam sebatang pohon sebesar paha
orang dewasa seperti dibacokkan, terdengar suara keras dan
pohon itupun tumbang! Akan tetapi agaknya demonstrasi
tenaga kuat itu tidak mendatangkan kesan kepada gadis itu.
Ia menggeleng kepalanya. "Maaf, saudara. Aku seorang perantau yang tidak ingin
terikat oleh siapa dan apapun juga. Tugasku amat banyak,
yaitu menolong dan mengobati orang-orang yang dilanda
sakit, mengusir wabah yang sedang melanda dusun-dusun
karena itu biarkanlah aku lewat. Kebaikanmu tentu akan
mendapat berkah dari Thian (Tuhan)."
"Teng-ko, kenapa mesti banyak cakap" Tubruk dan
pondong saja!" kata orang ke dua yang mukanya pucat kuning sambil tertawa. Si
brewok juga tertawa. akan tetapi tiba-tiba, tanpa memberi peringatan, dia sudah
menubruk ke arah gadis itu dengan kedua lengan dipentang lebar, siap untuk
merangkul dan menangkap! Han Lin mengerutkan alisnya, akan tetapi kerut alisnya
hilang lagi dan dia tersenyum melihat betapa gadis itu dengan
langkah yang ringan dan teratur baik telah dapat mengelak
sehingga tubrukan itu luput! Kiranya gadis lemah itu bukan
tidak memiliki kepandaian. Dari gerakannya yang ringan dan
gesit. mudah diduga bahwa ia memiliki ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang lumayan. Si brewok terbelalak dan
menjadi penasaran. Bagaikan seekor biruang yang berdiri di
atas kaki belakangnya, dia berbalik dan kini menubruk lagi
sambil membuka lengan untuk menghalangi gadis itu
mengelak. Akan tetapi kembali tubrukannya tidak berhasil
karena gadis itu meloncat ke belakang.
"Hayo kalian bantu aku menangkap gadis ini!" Si brewok berseru kepada dua orang
kawannya dan mereka bertiga
menghadang dari tiga jurusan dengan kedua lengan
terpentang lebar, siap untuk menangkap dan merangkul gadis
itu. Melihat ini, Han Lin tidak dapat tinggal diam lagi. Dia
melompat keluar dari tempat persembunyiannya dan berlari
menghampiri mereka. "Hei, kalian bertiga! Tidak malukah tiga orang laki-laki
mengganggu seorang gadis terhormat?" tegur Han Lin kepada tiga orang itu.
Si brewok dan dua orang kawannya itu terkejut mendengar
teguran ini dan mereka cepat memutar tubuh menghadapi
Han Lin. Akan tetapi orang-orang seperti mereka yang
terbiasa memaksakan kehendak dan mempergunakan
kekerasan, mana dapat sadar mendengar teguran orang"
Bukan teguran itu membuat mereka marah dan menganggap
pemuda itu usil mencampuri urusan mereka dan lancang
mulut mengeluarkan kata-kata yang mereka anggap
menghina. Si brewok menudingkan telunjuk kanannya ke arah
muka Han Lin dan membentak dengan suara kasar.
"Bocah lancang mulut! Berani engkau mencampuri urusan
kami" Hayo serahkan buntalanmu itu dan berlutut minta
ampun, baru mungkin kami dapat mengampuni dan tidak
membunuhmu!" Han Lin tersenyum. "Hemm, sekaran aku mengerti. Kiranya
kalian adalah perampok-perampok dan pengganggu wanita.
Orang-orang seperti kalian patut dihajar!"
"Bocah setan, kau sudah bosan hidup!" Si brewok
menerjang ke depan dan kepalan tangan kirinya yang sebesar
kepala orang itu sudah menyambar ke arah Han Lin. Orang itu
ternyata memiliki tenaga yang besar sekali dan pukulannya
menyambar bagaikan peluru kc arah muka Han Lin. Pemuda
itu mengelak dengan mudah sehingga pukulan itu hanya
mengenai tempat kosong. Akan tetapi dua orang perampok
yang lain sudah menyerang pula dengan dahsyatnya dan
ternyata merekapun bertenaga besar dan dapat bergerak
cepat. Akan tetapi, kecepatan mereka itu tidak ada artinya
bagi Han Lin. Kembali hanya dengan beberapa langkah
berputar dia sudah dapat menghindarkan diri dari serangan
mereka. Si brewok yang penasaran melihat pukulannya dapat
dielakkan sudah menyerang lagi dengan pukulan beruntun,
tangan kiri memukul kepala dan tangan kanan mencengkeram
ke arah perut. Menghadapi serangan maut yang berbahaya
ini, Han Lin merendahkan tubuh sehingga pukulan ke arah
kepalanya lewat di atas kepala dan cengkeraman ke arah
perutnya itu dia tangkis dengan tangan kiri sambil menotok ke
pergelangan tangan kanan lawan.
"Tukk!" Seketika tangan kanan si brewok menjadi kejang dan pada saat itu Han Lin
sudah menggerakkan kakinya
menendang. Si brewok roboh terjengkang. Dua orang
kawannya menerjang, akan tetapi merekapun roboh
terjengkang disambar tendangan kaki Han Lin. Ketiganya
merasa pening dan sakit perut, akan tetapi mereka merangkak
bangun sambil menghunus golok mereka. Kini dengan wajah
beringas penuh ancaman mereka mengepung Han Lin.
Han Lin melirik ke arah gadis itu. Gadis itu berdiri di bawah
pohon, sikapnya tenang sekali dan ia menonton pertarungan
itu dengan alis berkerut, agaknya hatinya tidak berkenan
melihat orang berkelahi. Akan tetapi iapun maklum bahwa
tidak mungkin menghentikan penyerang tiga orang perampok
yang ganas dan kejam itu. Maka iapun hanya menonton
dengan tenang karena beberapa gebrak tadi saja sudah
membuat ia mengerti bahwa pemuda itu tidak akan kalah!
Melihat betapa tiga orang itu mencabut golok dan
mengepungnya dengan wajah beringas dan kejam, Han Lin
menjadi gemas juga. Orang-orang seperti ini harus diberi
pelajaran yang lebih keras, pikirnya, untuk membuat mereka
menyadari bahwa banyak orang yang jauh lebih kuat dari
mereka. Mengharapkan mereka akan bertaubat merupakan
harapan yang terrlalu muluk, akan tetapi setidaknya hajaran
keras akan membuat mereka agak jera. Diapun berdiri dengan
tenang dan waspada menghadapi mereka karena dia pun tahu
bahwa mereka bertiga memiliki ilmu silat yang cukup tangguh.
Akan tetapi dia masih merasa cukup untuk menghadapi tiga
batang golok mereka dengan tangan kosong saja.
"Mampuslah.....!!" Si brewok sudah menerjang ke depan, goloknya menyambar
menjadi sinar putih dan mengeluarkan
suara berdesing mengarah leher Han Lin. Pemuda ini
mengatur langkahnya. Selangkah saja ke kanan dan memutar
tubuh dia sudah terhindar dari sambaran golok itu. Akan tetapi terdengar desing-
desing lain dan dua golok yang lain juga
sudah menyambarnya dari dua jurusan. Dia mempergunakan
kelincahannya bergerak dan meloncat ke belakang. Tiga orang
itu mengejar dan menghujani Han Lin dengan serangan golok.
Demikian cepat gerakan golok mereka sehingga lenyap untuk
tiga batang golok itu, berubah menjadi gulungan sinar yang
menyambar-nyambar. Diam-diam Han Lin menyayangkan bahwa tiga orang yang
memiliki ilmu golok yang sudah demikian tangguh, lau
merendahkan diri menjadi perampok dan pengganggu wanita.
Padahal, kalau saja mereka mau masuk menjadi tentara,
mereka tentu akan memperoleh kedudukan lumayan. Gadis
berpakaian putih itu menonton dengan sinar mata tajam dan
waspada, iapun mengerti bahwa tiga orang perampok itu
memiliki ilmu golok yang tangguh. Akan tetapi ia tidak
khawatir karena tepat seperti diduganya, pemuda itu lihai
bukan main. Dia dapat berkelebatan diantara tiga gulungan
sinar golok, bagaikan seekor burung murai beterbangan
dengan lincah sekali. Gadis itu bernapas lega dan diam-diam
ia merasa kagum juga pada pemuda yang berpakaian seperti
orang pemuda petani itu. Si brewok dan dua orang kawannya merasa penasaran
bukan main. Mereka telah mengerahkan tenaga dan
mengerahkan semua ilmu golok mereka menyerang bertubitubi,
akan tetapi golok mereka seperti menyerang bayangan
saja. Tidak pernah golok mereka mengenai sasaran bahkan
tidak pernah dapat menyentil ujung baju pemuda itu.
Sebaliknya malah seringkali mereka kehilangan bayangan
pemuda itu seolah-olah pemuda itu pandai menghilang"
Setelah lewat tiga puluh jurus, karena pemuda itu membuat
mereka berputar-putar, mereka merasa pening.
Han Lin merasa sudah cukup mempermainkan mereka.
Ketika golok si brewok menyambar ke arah tubuhnya, dia
mendahului, dengan jari telunjuk kiri menotok siku kanan si
brewok sehingga lengan kanannya lumpuh seketika dan Han
Lin memegangi tangan kanan yang masih mengenggam
gagang golok dan didorong ke arah lengan kiri lawan.
"Crokkk....! Aduhh..... " Pangkal lengan kiri si brewok dibacok goloknya sendiri
sehingga terluka parah. dan
tendangan membuat tubuh si brewok terlempar dan diapun
roboh terbanting, goloknya terlepas dan mencelat jauh. Dia
tidak segera dapat berdiri melainkan memegang lengan kirinya
sambil meringis kesakitan.
Dua orang kawannya menjadi terkejut dan juga marah.
Mereka memperhebat serangan mereka terhadap Han Lin.
Akan tapi Han Lin tidak memberi kesempatan lagi kepada
mereka. Seperti yang dilakukan terhadap si brewok tadi,
diapun memaksa kedua orang perampok itu membacok lengan
kirinya sendiri kemudian merobohkan mereka dengan
tendangan! robohlah tiga orang itu dengan pangkal lengan
luka parah. Walaupun luka itu tidak sampai mematahkan
tulang, namun mengerat daging sampai ke tulang dan darah
mengucur dengan derasnya! Juga tendangan yang keras dan
mengenai dada mereka itu membuat dada mereka terasa
sesak dan nyeri. Setelah Han Lin merobohkan tiga orang lawannya, dia
menjadi bengong melihat pemandangan di depannya. Dia
melihat gadis itu sedang merawat luka parah di pangkal
lengan si brewok Dengan dua buah jari tangan, gadis itu
menotok jalan darah di pundak untuk menghentikan
mengalirnya darah keluar dari luka di pangkal lengan. Setelah
itu ia membuka buntalannya, mengambil bungkusan obat
bubuk berwarna kuning dan menaburkan obat itu ke atas luka
yang menganga. Juga dari buntalannya itu ia mengambil kain
putih yang bersih dan membalut luka itu kuat-kuat. Tanpa
berkata-kata kepada mereka, ia merawat luka pada lengan
tiga orang perampok itu dan setelah tiga orang perampok itu
mendapat perawatan, ia berkata dengan lembut.
"Luka itu jangan sampai terkena air dan setelah dua hari
baru boleh pembalutnya dibuka."
Si brewok membungkuk kepada gadis itu dan berkata,
"Terima kasih, nona." juga dua orang temannya membungkuk kemudian setelah
memandang ke arah Han Lin dengan mata
mengandung kebencian, mereka meninggalkan tempat itu
dengan cepat, menghilang di antara pohon-pohon yang lebat.
Han Lin yang sejak tadi berdiri bengong melihat pekerjaan
gadis itu, seolah baru terbangun dari mimpi. Dia menelan
ludah dan menegur dengan hati-hati.
"Nona, tiga orang perampok itu tadi berniat buruk terhadap dirimu!"
Gadis itu membereskan buntalannya, menggendong
kembali di punggungnya, baru ia mengangkat muka
memandang kepada Han Lin. Dua pasang mata bertemu
pandang dan Han Lin merasa betapa lembut namun tajamnya
sepasang mata gadis itu sehingga mau tidak mau dia yang
lebih dulu menundukkan pandang matanya. Kemudian ia
mendengar suara yang lunak halus itu.
"Kalau begitu, mengapa?"
"Mereka itu jahat dan engkau nyaris celaka oleh mereka,
akan tetapi mengapa engkau malah membantu dan merawat
luka di lengan mereka?"
Gadis berpakaian putih itu tersenyum, seperti senyum
seorang guru yang mendengar pertanyaan bodoh dari seorang
murid. Senyun yang penuh pengertian, sekaligus teguran.
Kemudian ia bicara dan suaranya yang lembut itu terdengar
seperti seorang guru yang memberi pelajaran kepada seorang
murid. "Sobat, selama bertahun-tahun aku mempelajari ilmu
pengobatan dan sudah menjadi kewajibanku untuk
melaksanakan pelajaran itu dalam kehidupan ini. Mereka itu
tcrluka parah yang dapat membahayakan nyawa mereka.
Tentu saja aku menolongnya. Seandainya perkelahian tadi
berakibat engkau yang terluka parah, tentu akupun akan
menolong dan mengobatimu."
Entah bagaimana, mendengar ucapan gadis itu dan melihat
sikapnya yang seperti menegurnya, mendadak Han Lin merasa
dirinya bersalah! Bersalah telah melukai tiga orang itu! Dia
merasa seolah olah gadis itu menegurnya karena dia telah
melukai mereka. "Akan tetapi..... aku tadi..... maksudku hanya untuk
menolongmu dari tangan tiga orang penjahat tadi, nona."
"Aku tahu dan aku menghargai pertolonganmu. Agaknya
karena engkau seorang pendekar yang pandai ilmu silat, maka
sudah menjadi kewajibanmu untuk menentang penjahat. Akan
tetapi akupun mempunyai kewajiban, yaitu mengobati orang
yang menderita sakit. Kita sama-sama melaksanakan
kewajiban kita, bukan" jadi, jangan persalahkan aku kalau aku
mengobati mereka tadi."
Han Lin menundukkan mukanya. Tampak nyata perbedaan
antara kewajiban mereka. Tindakannya hanya menimbulkan
bencian dan sakit hati di pihak tiga orang penjahat tadi,
sedangkan tindakan gadis itu menimbulkan perasaan terima
kasih kepada mereka! "Akan tetapi aku melihat tadi engkau inipun menghindarkan diri dari serangan
mereka, nona. Aku yakin bahwa nona tentu
juga memiliki ilmu kepandaian silat, atau setidaknya pernah
belajar ilmu silat."
"Aku belajar cukup dari guruku sekedar membela dan
menyelamatkan diri."
"Engkau ahli ilmu pengobatan, juga kau memiliki gin-kang
(ilmu meringankan tubuh) yang lihai. Dua orang guruku,
Cheng Hian Hwesio dan Bu-beng Lo-jin, pernah memberitahu
kepadaku bahwa dunia kang-ouw (persilatan) terdapat orang
ahli pengobatan yang budiman berjuluk Thian-beng Yok-sian
(Dewa Obat Anugerah Tuhan). Apakah dia.....?"
"Tepat sekali. Thian beng Yok-sian adalah guruku," kata gadis itu memotong kata-
kata Han Lin. "Ah, aku girang sekali dapat berkenalan dengan murid
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang lo-cian-pwe(orang tua gagah) yang budiman itu
ternyata engkau juga seorang pendekar budiman.
Perkenalkan, nona, namaku Han Lin. Kalau boleh aku
mengetahui namamu, nona?"
"Namaku Tan Kiok Hwa." kata gadis itu dengan singkat.
"Nona Tan Kiok Hwa, pertemuan antara kita sungguh
merupakan suatu kebetulan dan aku akan merasa terhormat
dan girang sekali kalau engkau sudi menerima perkenalanku.
Aku berasal dari gunung Thai-san di Puncak Bambu di mana
tinggal guru-guruku. Ibuku..... sudah meninggal dunia dan
ayahku.... telah lenyap sejak aku belum lahir. Aku sedang
merantau untuk mencari ayahku dan mempergunakan ilmuilmu
yang telah kupelajari untuk membela kebenaran dan
keadilan. membela mereka yang lemah tertindas, menentang
mereka yang jahat dan menindas. Nah, kalau engkau suka
menceritakan riwayatmu, nona....."
Gadis itu menundukkan mukanya, "aku sudah yatim piatu.
Ayah ibuku meninggal dunia karena penyakit ketika ada
wabah menyerang dusun kami di sebelah selatan Sungai
Yang-se-kiang. Aku sejak berusia lima tahun diambil murid
dan telah merantau dan mempelajari ilmu pengobatan."
"Dan ilmu silat....."
"Ya, dan ilmu silat. Akan tetapi aku mengutamakan ilmu
pengobatan, Ayah ibuku meninggal karena penyakit, oleh
karena itu aku merasa sudah menjadi kewajibanku untuk
menolong orang-orang yang terserang penyakit dan melawan
kalau ada wabah menyerang dusun kota."
"Kalau begitu, sudah lama engkau berpisah dari gurumu?"
tanya Han Lin. "Belum begitu lama, baru kurang lebih setengah tahun.
Suhu menyuruh aku turun gunung dan mempergunakan
kepandaianku untuk menolong sebuah dusun yang terserang
wabah demam, kemudian aku diharuskan mengambil jalan
hidup sendiri memasuki dunia ramai."
"Akan tetapi engkau seorang gadis. Banyak sekali bahaya
yang mengancammu." Jilid XI "AKU tidak takut, selain aku dapat menjaga diri, juga
siapakah orang yang mau mengganggu seorang ahli
pengobatan yang siap untuk menolong siapa saja yang
terkena penyakit?" Han Lin tidak menjawab melainkan cepat memutar
tubuhnya karena dia mendengar suara yang tidak wajar di
sebelah belakangnya. Ternyata tampak bayangan berkelebat
dan seorang laki-laki berusia kurang lebih lima puluh tahun
telah berdiri di depannya. Laki-laki itu bertubuh jangkung dan agak kurus,
wajahnya merah dan jenggotnya sampai ke leher.
Di punggungnya tampak gagang pedang, bajunya longgar dan
lengan bajunya panjang dan lebar, seperti baju seorang
pendeta. Wajahnya memperlihatkan ketenangan, akan tetapi
matanya bergerak liar dan mengandung kekejaman. Dia
berdiri dalam jarak empat meter dari Han Lin dan Kiok Hwa,
dan matanya mengamati wajah Kiok Hwa seperti orang yang
menyelidiki. Lalu pandang matanya memandangi ke arah
buntalan di punggung gadis itu, setelah itu dia memandang ke
arah pakaian Kiok Hwa yang serba putih.
"Nona, apakah benar aku berhadapan dengan Pek I Yok
Sianli (Dewi Obat Baju Putih)" Apakah nona yang sebulan
yang lalu menolong dusun di hulu sungai dari wabah muntah
berak?" Kiok Hwa mengangguk. "Yang menolong dusun itu
memang benar aku, akar tetapi mengenai julukan itu,
mungkin hanya panggilan orang-orang saja, aku sendiri tidak
pernah mempergunakan julukan itu."
"Bagus sekali! Ha-ha-ha, sudah hampir satu bulan aku
mencarimu, ke dusun itu dan mencoba untuk mencari
jejakmu. Akhirnya dapat kutemukan di sini. Nona, engkau
harus ikut denganku ke rumah kami!"
"Kenapa aku harus ikut denganmu?"
"Engkau harus mengobati puteraku yang menderita luka
keracunan yang amat parah. Marilah, nona. Engkau ikut aku
ke rumah kami sekarang juga!"
Wajah Han Lin menjadi merah dan dia melangkah maju lalu
berkata dengan suara tegas namun halus, "Paman, di mana
ada aturannya orang minta tolong dengan memaksa?"
Laki-laki itu memandang kepada Han Lin dengan mata
mencorong lalu menghardik, "Siapa engkau" Apamu nona ini?"
"Bukan apa, hanya seorang kenalan baru. Akan tetapi......"
"Kalau begitu, jangan mencampuri urusan orang lain! Atau
barangkali engkau sudah bosan hidup?" Orang itu bersikap
menantang. Han Lin menjadi penasaran sekali, akan tetapi sebelum dia
menjawab, Kiok Hwa sudah menengahi. "Saudara Han Lin,
biarkanlah. Aku mau pergi dengan paman ini untuk menolong
puteranya." "Akan tetapi, Kiok-moi!" Saking gugupnya, Han Lin
kelepasan menyebut gadis itu Kiok-moi (adik perempuan
Kiok). "Engkau tidak boleh begitu saja mengikuti seorang yang sama sekali tidak
kau ketahui siapa!" Mendengar ucapan ini, orang itu mengerutkan alisnya.
"Heh, pemuda dusun, Ketahuilah bahwa aku bukan orang
sembarangan! Aku adalah majikan Hek-ke san (Bukit Ayam
Hitam) dan orang kang ouw menjuluki aku Kim-kiam-sian
(Dewa Pedang Emas)! Apa engkau ingin lehermu kupenggal
dengan pedangku?" "Sudahlah, Paman Kim!" Kiok Hwa kembali melerai.
"Maafkan sahabatku ini, Aku siap untuk mengikutimu ke
rumahmu untuk mengobati puteramu. Mari kita berangkat.
Lin-ko (kakak laki-laki Lin)! aku pergi dulu!"
Dengan senyum dan pandang mata penuh kemenangan
dan ejekan terhadap Han Lin, Kim Cun Wi, nama orang yang
berjuluk Dewa Pedang Emas itu, melangkah pergi bersama
Kiok Hwa. Langkahnya lebar dan cepat, akan tetapi dengan
mudah Kiok Hwa dapat mengimbangi kecepatannya sehingga
sebentar saja mereka telah pergi jauh. Han Lin berdiri
tertegun dengan muka merah. Apa yang dapat dia lakukan"
Biarpun orang itu bersikap memaksa, akan tetapi Kiok Hwa
yang dipaksanya mau! Dia bahkan menjadi malu kendiri. Akan
tetapi hatinya merasa kurang enak. Orang itu kelihatan seperti bukan orang baik-
baik. Biarpun mengaku kebagai majikan
sebuah bukit, akan tetapi sikapnya seperti orang yang biasa
memaksakan kehendaknya dengan kekerasan. Kiok Hwa dapat
terancam bahaya dari orang semacam itu dan dia tidak
mungkin dapat membiarkannya saja tanpa bertindak. Tidak,
dia tidak boleh menegakan, tidak boleh membiarkan Kiok Hwa
pergi bersama orang itu tanpa dikawal, berpikir demikian, dia
lalu mempergunakan ilmu berlari cepat dan melakukan
pengejaran, kemudian membayangi dua orang itu dari jarak
jauh. Dia melihat mereka mendaki sebuah bukit yang puncaknya
dari jauh tampak seperti seekor ayam hitam. Itulah agaknya
yang menyebabkan bukit itu disebut bukit Ayam Hitam.
Padahal yang berbentuk seperti ayam hitam itu adalah sebuah
hutan yang lebat. Dia membayangi terus dan akhirnya dua
orang itu memasuki hutan yang lebat itu. Tak lama kemudian
mereka tiba di sebuah perkampungan kecil yang berada di
tengah hutan di puncak itu. Sebuah perkampungan yang
terdiri dari belasan rumah mengepung sebuah rumah yang
besar dan megah. Sekeliling perkampungan itu tertutupi oleh
pagar tembok yang setinggi manusia dan di bagian depan
pagar tembok itu terdapat sebuah pintu gapura yang besar.
Kim Cun Wi dan Kiok Hwa menghilang di balik pintu gapura
pagar tembok itu dan Han Lin mengambil jalan memutari
pagar tembok dan meloncati pagar itu di bagian belakang
perkampungan itu yang merupakan perkebunan penuh
tanaman sayur-sayuran. Tanpa rasa takut sedikitpun, Kiok Hwa mengikuti tuan
rumah memasuki rumah besar. Beberapa orang wanita
menyambut Kim Cun Wi. Mereka adalah isteri dan dua orang
selirnya. Begitu bertemu mereka, Kim Cun Wi segera bertanya,
"Bagaimana keadaan Hok-ji (anak Hok)?"
Isterinya, seorang wanita yang berusia empat puluh tahun
lebih, menangis. Sambil menahan tangisnya sehingga terisak,
ia menjawab, "Badannya bertambah panas dan dia
mengigau......." "Sudah, jangan menangis. Aku sudah mengundang seorang
tabib yang amat lihai, dan anak kita tentu akan sembuh.
Marilah, Yok Sianli, mari silakan masuk dan langsung saja ke
kamar anak kami." kata Kim Cun Wi.
Kiok Hwa merasd aneh disebut Yok Sianli (Dewi Obat),
akan tetapi iapun diam saja, hanya mengikuti tuan dan
nyonya rumah memasuki sebuah kamar yang besar, lengkap
dan mewah. Di atas pembaringan rebah seorang laki-laki
muda yang berwajah pucat. Wajah itu cukup tampan, namun
pucat dan bersinar kehijauan, dan tubuh yang telentang di
pem-baringan itu tinggi besar. Sepasang mata itu terpejam
dan pernapasannya lemah. Melihat sekilas saja, Kiok Hwa dapat menduga bahwa
pemuda itu telah keracunan hebat dan racunnya tentu
mengandung hawa panas. Tanpa diminta lagi di-hampirinya
pembaringan dan ia menyeret sebuah kursi ke dekat
pembaringan dani duduk di atas kursi. Ditariknya sebelah
lengan pemuda itu, diperiksanya denyut nadinya dan ia
mengerutkan alisnya. Ter-nyata penyakit pemuda itu lebih
berat daripada yang diduganya. Ia mendekatkan jari
tangannya depan hidung pemuda itu dan merasakan betapa
panasnya pernapasan yang lemah itu. Dirabanya dahi pemuda
itu dan akhirnya ia menoleh kepada Kim Cun Wi dan para
isterinya yang menonton dengan hati gelisah namun sinar
mata mereka mengandung penuh harapan.
"Bagaimana, Yok Sianli" Bagaimana keadaannya"
Berbahayakah keadaannya dan dapatkah dia diobati sampai
sembuh?" tanya Kim Cun Wi dengan suara gelisah.
"Dia telah terluka dalam yang hebat, agaknya terkena
pukulan beracun. Di bagian manakah dia terpukul?" tanya Kiok Hwa dengan sikap
tenang. "Di dada kanannya. Ada tanda sebuah jari yang hitam
kehijauan di bekas pukulan itu." kata Kim Cun Wi yang
berjuluk Kim-kiam-sian (Dewa Pedang Emas) itu. Diam-diam
Han Lin merasa heran. Pemuda itu memiliki seorang ayah ahli
pedang yang sudah berjuluk Dewa Pedang, bagaimana dapat
terluka seperti ini" Akan tetapi ia tidak perduli akan hal itu.
Bukan urusannya. "Tolong bukakan bajunya. Aku ingin memeriksa luka di
dadanya itu." Kim Cun Wi cepat membukakan baju puteranya yang masih
rebah telentang dalam keadaan pingsan. Kiok Hwa
memeriksanya. Di dada sebelah kanan memang terdapat
bekas jari telunjuk yang warnanya hitam menghijau, dan di
seputar bekas jari itu, kulit dadanya hitam dan melepuh.
"Wah, ini pukulan Ban-tok-ci (Jari Selaksa Racun)!
Terlambat sehari lagi saja nyawanya tidak akan dapat
tertolong lagi." Tentu saja tuan rumah dan para isterinya terkejut setengah
mati mendengar ucapan itu. "Akan tetapi, Yok Sianli, engkau sekarang masih dapat
menyembuh kannya, bukan?"
"Mudah-mudahan saja, kalau Thian membimbingku." kata Kiok Hwa dan ia lalu
berdiri, mengerahkan tenaga sin-kang
dan menotok dengan dua jari ke arah dada pemuda itu.
Beberapa bagian tertentu ditotoknya.
"Untuk apa ditotok jalan darahnya di banyak tempat?"
tanya Kim Cun Wi yang mengikuti semua gerak-gerik Kiok
Hwa dengan penuh perhatian.
"Aku mencegah agar darah yang keracunan tidak mencapai
jantung. Dan sekarang, racun yang bercampur dengan darah
itu harus dikeluarkan. Ambilkan pisau yang tajam dan bersih."
Kim Cun Wi sendiri melayani Kiok Hwa.
"Sediakan air panas."
Kembali permintaannya dipenuhi. Kiok Hwa lalu membakar
pisau itu di bagian ujungnya sampai ke tengah, lalu
membersihkannya dengan kain bersih.
"Paman Kim, sekarang engkau harus memegangi
puteramu, jangan sampai dia meronta. Darah yang keracunan
harus dikeluarkan semua dari lukanya."
"Baik, Yok Sianli." Kim Cun Wi lalu naik ke atas tempat tidur dan dia memegangi
kedua lengan puteranya. Kiok Hwa lalu
menggerakkan pisau yang tajam itu, menoreh kulit dada di
mana terdapat tanda bekas jari tangan hitam. Darah mengalir
keluar dari luka yang dibuat oleh pisaunya. Darah yang kental
menghitam. Tanpa jijik sedikitpun Kiok Hwa memijat-mijat
dada di sekitar luka sehingg darah yang keluar banyak dan
ada darah yang mengotori jari-jari tangannya. Setelah yang
keluar darah merah, Kiok Hwi menghentikan pijatannya dan
mencuci luka itu dengan air panas. Kemudian ia mengambil
bubuk obat dari buntalan pakaiannya dan menaburkan bubuk
putih ke dalam luka itu. Setelah itu, ia membalut luka di dada itu dengan kain
putih yang disediakan oleh Kim Cun Wi.
Kiok Hwa lalu mengeluarkan tiga jarum emas dan tiga
jarum perak dari buntalan pakaiannya, lalu menusukkan
jarum-jarum itu di sekitar luka.
"Darah beracun telah keluar, akan tetapi di dalam dadanya masih ada hawa
beracun. Jarum-jarum ini mencegah hawa
beracun menyebar dan setelah hawa beracun dapat
dikeluarkan, dia akan selamat dan sembuh."
Kim Cun Wi merasa girang sekali. "Dan bagaimana untuk
mengeluarkan hawa beracun itu?"
"Paman sebagai seorang ahli silat mengapa masih bertanya
kepadaku" Tentu saja dengan menghimpun hawa murni ke
tan-tian (bawah pusar) dan dengan sin-kang (tenaga sakti)
mendorong keluar hawa beracun itu. Kurasa sebagai putera
paman, dia akan mampu melakukannya."
Pada saat itu, Kim Hok, ialah putera Kim Cun Wi mengeluh
dan bergerak. Ayahnya segera menghampirinya, dan
menyentuh pundaknya. "Bagaimana rasanya badanmu, Hok-ji (anak Hok)?"
Kim Hok memandang ayahnya. "Badan rasanya panas,
ayah, ada hawa bergolak di dalam dada." Dia meraba dadanya dan mendapatkan
dadanya terbalut dan ada beberapa batang
jarum masih menusuk di sekitar luka. "Siapa yang mengobati aku, ayah?"
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang menyelamatkan nyawamu adalah nona ini. Ia adalah
Pek I Yok Sianli." Kim Hok menoleh dan melihat gadis itu, dia terbelalak dan
terpesona. Demikian cantiknya gadis itu dalam pandang
matanya sehingga pada saat itu juga dia sudah jatuh cinta!
"Nona....... engkau telah menyelamatkan nyawaku. Terima
kasih banyak, nona Aku telah berhutang nyawa kepadamu,
entah bagaimana aku harus membalasnya Aku bernama Kim
Hok, nona, aku harus mengetahui namamu. Siapakah
namamu, nona?" Kim Hok bangkit duduk biarpur dia meringis menahan sakit, dibantu
oleh ayahnya. Kiok Hwa mengerutkan alisnya, akan tetapi menjawab
dengan wajar. "Namaku Tan Kiok Hwa."
Agaknya Kim Hok belum kuat duduk terlalu lama, maka dia
merebahkan dirinya lagi telentang dan mulutnya berkata
seperti orang mengigau. "Nama yang indah, seindah
orangnya. Ayah, aku tidak mau menikah kalau tidak dengan
nona Tan Kiok Hwa ini. Dengan ia disampingku sebagai isteri,
aku tidak takut lagi akan pukulan beracun!"
Wajah Kiok Hwa berubah merah, akan tetapi ia bersikap
tenang saja. Tanpa berkata sepatahpun ia mencabuti jarumjarumnya, menyimpannya
kembali ke dalam buntalan, lalu
melangkah keluar kamar sambil berkata kepada Kim Cun Wi.
"Tugasku di sini sudah selesai, paman. Ijinkan aku
melanjutkan perjalananku." Setelah berkata demikian dengan cepat ia keluar dari
rumah besar itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan pintu, sesosok bayangan
berkelebat cepat mendahuluinya dan tahu-tahu Kim Cun Wi telah berdiri di
depannya. Orang tua ini memberi hormat dengan kedua
tangan terangkap di depan dada dan berkata dengan ramah.
"Perlahan dulu, Yok Sianli. Kami menghendaki agar engkau
tinggal beberapa hari di sini untuk kami jamu sebagai eorang
tamu kehormatan untuk menyatakan terima kasih kami."
Kiok Hwa membalas penghormatan itu lalu berkata lembut,
"Terima kasih Paman Kim. Akan tetapi aku tidak pernah
mengobati orang dengan minta imbalan apapun juga.
Mengobati orang merupakan tugas kewajiban bagiku."
"Akan tetapi, ini adalah kehendak Kim Hok!"
"Juga darinya aku tidak mengharapkah terima kasih.
Melihat dia dapat disembuhkan saja sudah merupakan imbalan
yang amat berharga bagiku. Selamat tinggal, paman!" Kiok
Hwa mengambil jalan menyimpang dari orang yang
menghadangnya itu. Akan tetapi dengan cepat Kim Cun Wi
melompat dan kembali menghadangnya.
"Akan tetapi kami mempunyai urusan penting denganmu
untuk kita bicarakan."
Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai
urusan apapun denganmu, paman. Kalau ada, katakan saja di
sini." "Urusan ini harus dibicarakan dengan kami sekeluarga,
terutama sekali dengan Kim Hok. Engkau tentu mendengar
tadi ucapan puteraku bahwa dia tidak akan menikah kalau
bukan denganmu. Karena itu, marilah kembali ke dalam
rumah dan kita bicarakan urusan ini."
Kembali wajah Kiok Hwa berubah merah dan alisnya
berkerut. "Maaf, paman. Akan tetapi aku sama sekali tidak pernah berpikir
tentang perjodohan. Aku sama sekali belum
siap untuk mengikatkan diri dengan perjodohan. Harap paman
sekeluarga mencari saja gadis lain yang lebih cocok dengan
puteramu. Nah, aku pergi!"
Setelah berkata demikian, Kiok Hwa hendak menyingkir,
akan tetapi kembali Kim Cun Wi menghadangnya. Kini wajah
majikan Bukit Ayam Hitam itu memandang dengan mata
diliputi kemarahan dan tarikan wajahnya mengeras.
"Jadi engkau tidak mau menjadi isteri puteraku?"
Kiok Hwa tidak menjawab, melainkan menggeleng
kepalanya. "Tidak ada kata tidak mau bagiku, Pek I Yok Sianli. Mau
tidak mau engkau harus menjadi isteri puteraku!"
"Kalau aku tetap tidak mau?"
"Aku akan menggunakan kekerasan menangkapmu dan
memaksamu." "Hemm, bagus. Kiranya begini macam dan wataknya orang
yang menyebut dirinya Kim - kiam - sian, majikan Hek-ke-san.
Aku tetap tidak mau!"
Tiba-tiba Kim Cun Wi menubruk urtuk menangkap gadis itu.
Akan tetapi dengan sigapnya gadis itu mengelak. Kim Cun Wi
menjadi penasaran dan menubruk lagi sambil berusaha untuk
menangkap lengan gadis itu. Akan tetapi dengan lincahnya
Kiok Hwa melangkah ke sana sini dan langkahnya demikian
teratur. tubuhnya demikian gesit dan ringan sehingga sampai
belasan kali Kim Cun Wi menubruk, belum juga dia dapat
menangkap gadis itu. Menyentuh ujung bajunya-pun tidak
mampu! Pada saat itu, belasan orang anak buah Bukit Ayam
Hitam datang berlari-lari untuk melihat apa yang terjadi.
Melihat anak buahnya, Kim Cun Wi berseru, "Hayo bantu aku tangkapi gadis ini!"
Untuk menangkap gadis cantik itu" Tentu saja para anak
buah itu bergembira mendengar perintah ini dan bagaikan
anjing-anjing kelaparan melihat tulang, mereka berebut dan
menubruk untuk mendekap atau menangkap Kiok Hwa. Gadis
itu menjadi sibuk juga, melangkah ke sana-sini untuk
menghindarkan diri dari sergapan mereka.
Pada saat itu berkelebat bayangan yang gerakannya cepat
sekali dan begitu dia terjun ke dalam pengeroyokan itu, empat
orang sudah terguling roboh oleh tamparan dan
tendangannya. Orang itu bukan lain adalah Han Lin.
Seperti kita ketahui, Han Lin juga me masuki
perkampungan itu lewat belakang. Melompati pagar tembok
dan tiba di ladang milik perkampungan itu. Dia menggunakan
kecepatan gerakannya untuk menyusup ke dalam dan
bersembunyi di wuwungan rumah besar. Dia tidak berbuat
apa-apa dan tidak turun tangan selama Kiok Hwa tidak
diganggu. Akan tetapi dia mendengarkan pembicaraan antara
Kiok Hwa dan Kim Cun Wi. Gadis itu hendak dipaksa menjadi
mantunya! Kemudian, melihat betapa Kiok Hwa dikeroyok oleh
belasan orang yang hendak menangkapnya, dia tidak dapat
berdiam diri lebih lama lagi. Melayanglah dia turun dari
wuwungan dan menerjang mereka yang mengeroyok Kiok
Hwa. Ketika Kim Cun Wi melihat siapa yang merobohkan orangorangnya, dia marah sekali
melihat bahwa orang itul adalah
pemuda yang tadinya membujuk Kiok Hwa agar tidak mau
diajak pergi untuk mengobati anaknya. Dia segera meraba
punggungnya dan di lain saat tampak sinar keemasan
berkelebat. Tangannya telah memegang sebatang pedang!
yang berkilauan seperti terbuat dari emas, atau baja yang
diselaput emas. Itulah yang membuat dia dijuluki Kim-kiam
sian (Dewa Berpedang Emas)!
Han Lin melihat betapa ketika menggerakkan pedang
emasnya, gerakan Kim Cun Wi itu cukup dahsyat. Maka
diapun segera memungut sebatang pedang milik seorang di
antara empat pengeroyok yang dirobohkan tadi dan
menghadapi Kim Cun Wi dengan pedang ini.
"Bocah tidak tahu diri! Berani engkau mencampuri
urusanku?" bentak majikan bukit Ayam Hitam itu sambil
menuding dengan telunjuk kirinya.
"Engkau yang tidak tahu diri!" jawab Han Lin. "Sudah memaksa orang untuk
mengobati puteramu yang sakit,
sekarang hendak memaksa orang untuk menjadi mantumu!
Aturan mana ini?" "Jangan banyak mulut! Mampuslah!" Kim Cun Wi
menerjang dengan pedangnya, namun Han Lin sudah
mengelak sehingga pedang itu hanya mengenai tempat
kosong belaka. Kembali Kim Cun Wi nenyerang, sekali ini
sambil mengerahkan tenaganya. Lenyap bentuk pedang dan
yang tampak hanya sinar emas yang meluncur cepat ke arah
dada Han Lin. "Singgg.......!" Pedang berdesing akan tetapi kembali luput karena Han Lin sudah
menggeser kakinya ke kanan sambil
nenarik tubuhnya ke belakang. Begitu sinar pedang lewat,
diapun mengimbangi serangan lawan dengan menusukkan
pedangnya ke samping, ke arah lambung lawan. Akan tetapi
Kim Cun Wi juga dapat mengelak dan kini dia memutar
pedangnya, menyerang Han Lin dengan bertubi-tubi. Karena
serangan pedang itu amal berbahaya, tidak cukup hanya
dielakkan saja, Han Lin menangkis ketika pedang menyambar
ke lehernya. "Trangggg.......!" Bunga api berpijar dan Han Lin terkejut juga melihat betapa
pedang di tangannya tinggal setengahnya
saja. Pedang itu sudah buntung! Hal ini tidak aneh karena
pedang yang dipegang Han Lin adalah pedang biasa,
sedangkan yang berada di tangan Kim Cun Wi adalah
sebatang pedang pusaka. Melihat ini, Kim Cun Wi
mengeluarkan suara tawa mengejek, lalu mendesak terus
dengan serangan pedang emasnya.
Namun Han Lin sama sekali tidak menjadi gentar. Dengan
pedang buntungnya dia balas menyerang, menjaga dengan
hati-hati agar mereka tidak mengadu pedang lagi. Dia hanya
mengelak dari serangan lawan, dan membalas dengan pedang
buntungnya. Kalau lawan menangkis, diapun menarik kembali
pedang buntungnya dan menyerang di lain bagian. Terjadilah
perkelahian yang amat seru dan ternyata bahwa Kim Cun Wi
tidak membual menggunakan julukan Dewa Pedang. Ilmu
pedangnya memang hebat sekali. Akan tetapi lawannya
memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi tingkatnya, maka
setelah Han Lin memainkan Leng-kong Kiam-sut (Ilmu Pedang
Sinar Dingin), Kim Cun Wi mulai kewalahan.
Sementara itu, Kiok Hwa juga masih dikeroyok oleh belasan
orang yang seakan berlumba untuk menangkapnya. Karena
tidak mungkin hanya mengandalkan langkah-langkah kakinya
untuk menghindarkan diri dari pengeroyokan banyak orang
itu, mulailah Kiok Hwa menggunakan kakinya untuk
menendangi mereka. Ia berhasil merobohkan empat orang
pengeroyok, akan tetapi karena tendangannya tidak
dimaksudkan untuk membunuh atau melukai lawan, mereka
yang terkena tendangan hanya terjengkang dan segera
bangkit dan mengeroyok kembali.
Pertandingan antara Han Lin dan Kim Cun Wi berlangsung
seru. Pedang di tangan mereka berubah menjadi gulungan
sinar yang menyelimuti tubuh mereka. Hanya kaki mereka
yang tampak berlompatan atau bergeser ke sana-sini. Akan
tetapi, setelah Han Lin mengeluarkan ilmu pedang Leng-kong
Kiam-sut, Kini Cun Wi terdesak hebat. Dia berjuluk Dewa
Pedang dan hampir seluruh ilmu pedang di dunia persilatan
dikenalnya. Karena mengenal ilmu pedang dari berbagai aliran
inilah yang membuat dia sukar dikalahkan. Akan tetapi sekali
ini menghadapi Leng-kong Kiam-sut dia menjadi bingung
karena tidak mengenal ilmu pedang itu. Han Lin mempercepat
gerakannya. Gerakan ini mengandung sin-kang yang
menimbulkan hawa dingin. Cepat pedang buntung itu
menyambar ke arah leher Kim Cun Wi. Orang- ini terkejut
bukan main. Demikian cepatnya serangan itu sehingga tidak
keburu ditangkis lagi. Satu-satunya cara menghindarkan diri
hanya mengelak, maka cepat dia menarik tubuh atas ke
belakang. "Crattl" Pedang buntung luput mengenai leher, akan tetapi masih mengenai ujung
pundak sehingga baju, kulit dan
dagingnya robek dan mengeluarkan banyak darah. Kim Cun
Wi terhuyung ke belakang dan menggunakan kesempatan ini,
Han Lin menerjang mereka yang mengeroyok Kiok Hwa.
Dalam waktu singkat, enam orang telah berpelantingan
terkena tamparan atau tendangannya. Para pengeroyok
menjadi panik, dan Han Lin cepat menyambar lengan Kiok
Hwa. "Mari kita pergi dari sini!" ajaknya dan dia menarik lengan itu dan diajaknya
gadis itu melarikan diri. Kiok Hwa maklum
bahwa kalau lebih lama tinggal di tempat itu tentu
mendatangkan hal yang tidak enak, maka iapun mengerahkan
gin-kangnya dan mengikuti Han Lin meninggalkan
perkampungan itu. Mereka berdua mempergunakan ilmu
berlari cepat dan sebentar saja mereka sudah turun dari Bukit
Ayam Hitam. Setelah tiba di kaki gunung, Han Lin mengajak
Kiok Hwa ber henti di bawah sebatang pohon besar.
"Nah, engkau sekarang tentu sudah ahu benar betapa
banyaknya orang jahat di dunia ini, Kiok-moi. Engkau
menolong mereka, akan tetapi sebaliknya engkau malah
diganggu. Sebaiknya kalau engkau hendak menolong orang,
engkau lihat-lihat dulu macam apa orang yang akan kautolong
itu." "Kewajibanku menolong siapa saja tanpa membedakan
keadaan orang itu Lin-ko. Tidak perduli apakah dia baik atau
jahat, kaya atau miskin, kalau mereka membutuhkan bantuan
pengobatan tentu akan kubantu."
"Akan tetapi, Kim Cun Wi tadi bahkan hendak memaksamu
menikah dengan puteranya!"
"Aku menolak dan kalau mereka menggunakan kekerasan,
aku akan membela diri mati-matian."
Han Lin menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia pernah
mendengar dari Cheng Hian Hwesio bahwa seorang budiman
sejati membalas kejahatan dengan perbuatan baik, membalas
kebencian dengai kasih sayang. Agaknya Kiok Hwa merupakan
orang seperti itu. Dia sendiri, biar pun sudah dijejali banyak pelajaran tertang
hidup dan kebatinan, rasanya tidak sanggup
membalas kejahatan dengan perbuatan baik, atau membalas
kebencian orang kepadanya dengan kasih sayang!
"Engkau seorang yang luar biasa dan berbudi mulia, Kiokmoi."
katanya dengan jujur sambil memandang kagum.
"Engkaulah yang luar biasa. Engkau memiliki ilmu silat yang tinggi dan aku
girang dan kagum melihat engkau tidak
menjatuhkan tangan, maut kepada mereka."
"Akan tetapi aku belum dapat mengalahkan kebencian di
hatiku terhadap orang yang jahat, Kiok-moi. Sekarang, kalau
boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak pergi ke pertemuan antara Sungai Fen-ho dan
Huang-ho, ke puncak Hong-san......."
"Dan ke Guha Dewata di puncak itu" Akupun hendak pergi
ke sana, Kiok-moi, aku hendak mencoba untuk mencabut
pedang Im-yang-kiam. Apakah engkau hendak pergi ke sana
dengan niat yang sama?"
"Kalau banyak tokoh kang-ouw tidak berhasil mencabut Imyangkiam, apalagi aku,
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Lin-ko. Aku hanya ingin benar melihat
pedang istimewa itu. Kabarnya terbuat dari baja putih yang
mampu menawarkan segala macam racun."
"Kalau begitu, marilah kita pergi ke sana bersama, Kiokmoi.
Tentu saja jika engkau tidak berkeberatan melakukan
perjalanan bersama aku."
"Mengapa keberatan" Marilah, Lin-ko."
Hati Han Lin terasa gembira bukar main. Walaupun dia
tidak memperlihatkai dalam sikapnya, namun pandang
matanya berbinar-binar tanda senangnya hati. Mereka lalu
melakukan perjalanan bersama dan karena sepanjang jalan itu
sunyi, mereka mempergunakan ilmu berlari cepat menyusuri
sungai. 00-dewi-00 Puncak Burung Hong adalah sebuah di antara bukit-bukit
terakhir di kaki Pegunungan Lu-liang-san. Pertemuan antara
Sungai Fen-ho dan Huang-ho terjadi di kaki bukit ini. Puncak
Burung Hong mengandung banyak batu-batu besar yang dari
jauh saja sudah tampak seperti raksasa berjajar.
Di antara batu-batu besar itu terdapat banyak guna yang
lebar, akan tetapi yang amat terkenal adalah Guha Dewata.
Menurut dongeng para dewa kalau menerima hukuman lalu
diturunkan ke dunia dan para dewa terhukum itu memilih
guha itu untuk bersamadhi menebus dosa. Guha itu lebarnya
ada sepuluh meter dan dalamnya tiga meter. Di dalam guha
tampak batu-batu besar bertumpuk-tumpuk Dan di antara
batu-batu yang bertumpuk itu tampaklah sebatang pedang
yang menancap di batu besar, yang kelihatan hanya
gagangnya saja. Di kanan kiri Guha Dewata ini terdapat dua losin orang
serdadu yang menjaga dengan ketat, setiap hari diganti
dengan pasukan penjaga lain. Mengapa ada pasukan tentara
berjaga di situ" Ini adalah tindakan pemerintah untuk menjaga
agar pencabutan pedang Im-yang-kiam dilakukan dengan
tertib dan jujur. Tidak oleh membongkar batu-batu itu dan
mengambil pedang itu harus dengan dicabut. Kalau ada yang
melanggar tentu akan ditangkap oleh pasukan itu. Betapa pun
inginnya para tokoh kang-ouw untuk memiliki pedang
peninggalan seorang panglima yang gagah perkasa itu, namun
tak seorangpun berani mencoba untuk membongkar batu-batu
di situ. Siapa yang berani bermusuhan dengan pemerintah
yang memiliki banyak pasukan"! Para tokoh kang-ouw,
bahkan para jagoan istana dan para datuk, sudah mencoba
untuk mencabut pedang itu, akan tetapi sampai saat itu, tidak
ada yang berhasil. Karena itu, pedang Im-yang-kiam itu
menjadi terkenal sekali dan hampir setiap orang berbondongbondong datang, ada
yang hanya ingin menyaksikan, juga ada
yang ingin mencoba peruntungannya untuk mencabut pedang
pusaka itu. Karena para jagoan istana dan para datuk gagal mencabut
pedang Im-yang-kiam, muncul anggapan bahwa pedang itu
bertuah dan hanya orang yang berjodoh dengan pedang itu
saja yang akan mampu mencabutnya.
Hari itu telah siang, matahari sudah berada di atas kepala
condong ke selatan. Orang-orang yang berdatangan di tempat itu sudah cukup
banyak. Tidak kurang dari tiga puluh orang. Akan tetapi
sebagian besar dari mereka hanya ingin menonton.
Han Lin dan Kiok Hwa juga tiba di tempat itu. Mereka telah
melakukan perjalanan bersama selama beberapa hari. Selama
dalam perjalanan itu, Kiok Hwa mendapat kenyataan bahwa
Han Lin adalah seorang pemuda yang selalu sopan terhadap
dirinya. Ketika mereka tiba di tempat itu, merekapun
menggabungkan diri dengan mereka yang ingin menonton
pertunjukan ang menarik itu. Pada saat itu, seorang bertubuh
tinggi besar dengan muka penuh brewok dengan langkah
tegap menghampiri batu besar di mana pedang Im-yang-kiam
menancap. Dia memandang ke kanan kiri sambil tersenyum,
seolah dia sudah yakin akan mampu mencabut pedang itu.
Lalu ditanggalkan bajunya yang hitam. Dengan bertelanjang
dada dia menghadapi gagang pedang itu.
"Waaaahhhh......!" Banyak orang mengeluarkan seman
kagum ketika melihat tubuh dari pinggang ke atas itu. Tampak
otot besar menggembung melingkari tubuh itu. Tubuh yang
amat kokoh kuat dan melihat bentuk tubuh seperti itu mudah
diduga bahwa orang itu tentu memiliki tenaga raksasa! Semua
orang menonton dengan hati tegang. Agaknya orang inilah
yang akan mampu mencabut pedang itu.
Setelah memberi waktu cukup lama untuk memamerkan
otot-ototnya, sambil tersenyum si tinggi besar brewokan itu
lalu memegang gagang pedang dengan tangan kirinya. Dia
hendak pamer bahwa hanya dengan tangan kiri saja dia pasti
sudah akan dapat mencabut keluar pedang itu. Semua orang
memandang sambil menahan napas.
Setelah memegang gagang pedang dengan tangan kirinya,
dia berseru dengan nyaring, "Hyaaaaaaatttt......!" Dia mengerahkan segala
tenaganya pada tangan kiri dan menarik
pedang itu. Akan tetapi pedang itu sama sekali tidak
bergoyang, apalagi tercabut keluar! Beberapa kali dia
mengerahkan tenaga, namun sia-sia belaka. Dengan
penasaran dia menggunakan kedua tangannya, menarik dan
mengeluarkan suara ah-ah uh-uh. Sia-sia, pedang itu tidak
dapat tercabut. Si tinggi besar brewokan ini semakin
penasaran. Dia berusaha terus sampai peluhnya membasahi
badan dan dadanya berkilauan, napasnya terengah-engah.
Akhirnya dia menyerah dan terdengar suara tawa di sana-sini.
Sambil menyambar bajunya dan menundukkan mukanya, si
tinggi besar itu pergi meninggalkan tempat itu.
Para penonton ramai membicarakan kegagalan demi
kegagalan yang terjadi sejak pagi tadi. Sudah ada belasan
orang yang gagal. Tiba-tiba seorang laki-laki berusia lima
puluh tahunan, berpakaian seperti seorang tosu, melangkah
maju menghampiri Im-yang-kiam. Orang itu bertubuh sedang
saja, sama sekali tidak tampak kokoh kuat seperti si tinggi
besar tadi. Gerak-geriknya bahkan tenang sekali, akan tetapi
sepasang matanya mengeluarkan sinar tajam membuat orang
yang bertemu pandang dengannya dapat menduga bahwa
orang ini "berisi"!
Dengan langkah tenang dan penuh kepercayaan pada diri
sendiri, tosu (pendeta To) itu menghampiri batu besar.
Sejenak dia memandang gagang pedang itu. Ronce-ronce
merah pada gagang pedang itu sudah kotor dan lapuk, saking
lamanya berada di situ, kehujanan dan kepanasan. Kemudian
tosu itu memegang gagang pedang dan diam tak bergerak.
Dia mengumpulkan segala kekuatannya dan mengerahkan
tenaga saktinya. Kemudian, dia menarik sekuat tenaga.
"Haai i ittttt!" Dia berseru sambil menarik. Akan tetapi siasia belaka. Pedang
itu seolah telah melekat menjadi satu
dengan batu. Tiga kali dia mengerahkan tenaga dan mencoba
untuk menarik, namun selalu gagal. Akhirnya dia melepaskan
pegangannya, memandang kepada gagang pedang dengan
alis berkerut, lalu pergi dengan muka merah.
Dua orang tinggi besar yang kelihatan kasar kini maju dan
mereka meraba batu besar, seperti hendak mendorong atau
membongkarnya. Akan tetapi sebelum mereka membongkar,
dua losin perajurit sudah mengepung mereka. Komandannya
berkata, "Dilarang keras untuk membongkar batu-batu ini.
Bacalah pengumuman itu!" Dia menunjuk ke batu di sebelah.
Dua orang itu memandang ke arah yang ditunjuk dan ternyata
pada batu itu terdapat ukir-ukiran huruf yang cukup jelas.
"Siapapun juga diperbolehkan untuk mencoba peruntungan
mencabut Im-yang-kiam. Akan tetapi dilarang keras untuk
membongkar batu-batu untuk mendapatkan pedang itu."
Demikianlah bunyi huruf-huruf yang terukir di situ.
Dua orang itu mengerutkan alisnya, akan tetapi karena
maklum bahwa kalau mereka memaksa, selain belum tentu
mampu membongkar batu-batu besar itu, juga mereka akan
ditangkap dan dikeroyok, maka merekapun tidak jadi
mencoba-coba untuk membongkar batu. Dengan bergantian
mereka mencoba untuk menarik gagang pedang, akan tetapi
seperti juga yang lain, mereka gagal dan pergi dari situ
dengan kecewa. Setelah menanti sampai lama tidak ada lagi yang mencoba
untuk mencabut pedang itu, Kiok Hwa berbisik kepada Han
Lin. "Lin-ko, apakah engkau juga ingin mencobanya" Kalau
begitu, lakukan-lah sekarang juga. Siapa tahu engkau
berjodoh dengan pedang itu."
Han Lin mengangguk, "Baik, akan ku-coba." Setelah
berkata demikian, dengan langkah tegap namun tenang Han
Lin berjalan menghampiri guha yang letaknya agak tinggi itu.
Di depan batu besar di mana pedang itu menancap dia
berhenti dan mengamati keadaan batu itu denganl seksama.
Dia membaca pengumuman pemerintah yang melarang
membongkar batu-batu itu dan yang hendak mencoba
peruntungannya harus mencabut pedang itu. Dia teringat
bahwa pedang itu peninggalan seorang panglima yang gagah
perkasa dan setia dan tiba-tiba timbul perasaan hormatnya
yang mendalam terhadap pemilik pedang itu. Panglima itu
tentulah seorang yang setia dan berjiwa patriot. Rasa hormat
ini membuat Han Lin tidak berani sembarangan mencabut
pedang, maka dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan
batu besar itu, seolah hendak minta ijin untuk mencabut
pedang. Dia memberi hormat dengan membenturkan dahinya
ke atas tanah. Pada saat itu, matanya melihat ukiran yang
berbentuk huruf-huruf amat kecilnya. Kalau dia tidak berlutut
dan membenturkan dahinya ke atas tanah, dia tidak akan
melihat ukiran-ukiran huruf-huruf itu!
"Putar batu hitam ini tiga kali kekanan"
Demikianlah bunyi ukir-ukiran itu dan di dekat ukiran itu
terdapat sebuah batu hitam sebesar kepalan tangan.
Giranglah hati Han Lin membaca ini. Agaknya rahasia
pencabutan pedang itu berada di sini, pikirnya, mengingat
betapa banyaknya orang pandai yang telah mencoba
mencabut pedang tanpa hasil. Tanpa ragu lagi dia lalu
memegang batu hitam itu, mengerahkan sin-kang (tenaga
sakti) dan memutar ke kiri. Memang ternyata berat sekali,
akan tetapi karena dia sudah mengerahkan tenaga, batu itu
dapat diputarnya ke kiri. Dia memutar tiga kali ke kiri,
kemudian tiga kali ke kanan. Karena dia melakukannya sambil
berlutut, maka tidak ada orang lain yang mengetahui apa
yang dilakukannya itu. Mereka yang masih menonton hanya
merasa geli, bahkan ada yang tertawa mencemoohkan melihat
Han Lin berlutut sampai lama di depan batu itu.
"Hei ! Engkau hendak mencabut pedang atau hendak
bersembahyang minta rejeki?" terdengar seorang mengolokolok, disusul suara tawa
yang lain. Namun Han Lin hanya
tersenyum mendengar ini dan dia menggunakan telapak
tangannya mengusap huruf-huruf yang terukir di bawah batu
itu. Karena dia menggunakan sin-kang yang amat kuat,
permukaan batu itu menjadi halus dan ukiran huruf itupun
lenyap. Setelah itu barulah dia bangkit berdiri. Semua orang
memandangnya dengan ingin tahu sekali.
Diam-diam Han Lin mengerahkan sinkang ke dalam lengan
kanannya, lalu dipegangnya gagang pedang Im-yang-kiam itu,
lalu ditariknya. Pada saat itu terdengar suara keras dan batu
besar itu bergoyang. Han Lin memperkuat tarikannya dan......
dia berhasil mencabut pedang
Semula semua orang terdiam dan terbelalak, lalu pecah
suara gaduh dan mereka semua mendekati dan menghampiri
Han Lin untuk melihat macam apakah pedang itu.
Melihat kemungkinan ada orang yang berniat jahat
merampas pedang dari tangan yang berhak, komandan
pasukan lalu mengerahkan anak buahnya untuk melindungi
Han Lin. "Berhenti! Kalian tidak boleh mengganggu pemuda ini.
Dialah yang berhak memiliki Im-yang-kiam seperti bunyi
peraturan yang telah ditetapkan. Mundur semua!"
Orang-orang itu mundur. Dengan wajah berseri karena
gembiranya telah dapat memenuhi pesan gurunya untuk
mencabut Im-yang-kiam, Han Lin memperlihatkan pedang itu
kepada Kiok Hwa yang telah mendekatinya. Gadis ini
memegang pedang itu dengan kagum. Ditelitinya pedang itu.
Sebatang pedang yang aneh warnanya, sebelah hitam sebelah
putih! Yang hitam tajam yang putih tumpul. Tahulah ia apa
maksudnya. Yang hitam itu adalah mata pedang untuk
membunuh lawan, sedangkan yang putih adalah mata pedang
yang dipergunakan untuk mengobati orang yang keracunan!
"Pokiam (Pedang Pusaka), kuharap pemilikmu yang baru
akan lebih banyak mempergunakan putihmu daripada
hitammu." kata Kiok Hwa dari ia mengembalikan pedang itu
kepada Han Lin. Karena pedang itu tidak memiliki sarung pedang, Han Lin
lalu menyimpannya di dalam buntalannya. Setelah
menggendong buntalan pakaiannya itu kembali ke
punggungnya, dia lalu mengajak Kiokh Hwa pergi.
Para penonton yang berada di situ juga bubaran dan dalam
perjalanan pulang, mereka ramai membicarakan pemuda yang
dengan mudahnya dapat mencabut pedang pusaka itu setelah
memberi hormat dengan berlutut.
"Nah, apa kataku. Pedang itu bertuah! Baru mau dicabut
setelah diberi hormat secara berlebihan!" kata seorang.
"Kalau aku lebih percaya bahwa di dalam batu besar itu ada setannya yang
memegangi ujung pedang sehingga tidak dapat
dicabut. Setelah diberi hormat, setan itu lalu melepaskan
pedang sehingga pemuda itu mampu mencabutnya." kata
yang lain. Ramai mereka membicarakan dan mengutarakan
pendapat mereka masing-masing.
Sementara itu, Han Lin dan Kiok Hwa dihadang oleh
komandan pasukan yang tadi berjaga di tempat itu.
"Nanti dulu, sicu (orang gagah)," kata komandan itu
dengan sikap hormat dan ramah. "Sudah menjadi peraturan
dan kewajiban kami untuk mencatat nama dan alamat sicu
sebagai orang yang berhasil memiliki Im-yang-kiam."
Han Lin tersenyum. "Baiklah, ciang-kun (perwira). Aku she Han dan namaku Lin dan
aku adalah seorang perantau yang
berasal dari Pegunungan Thai-san."
Perwira itu mencatat dalam buku catatannya untuk bahan
laporan, lalu berkata, "Kami percaya bahwa engkau seorang pendekar, sicu. Karena
itu kami hanya mengharapkan agar
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau mempergunakan pedang untuk membela kebenaran
dan keadilan. Kalau kelak ternyata engkau mempergunakan
untuk kejahatan, pemerintah tentu akan menentangmu."
"Aku mengerti, ciangkun." jawab Han Lin.
Han Lin mengajak Kiok Hwa untuk melanjutkan perjalanan
meninggalkan Puncak Burung Hong. Setelah mereka tiba di
kaki pegunungan itu, Han Lin berhenti, menurunkan
buntalannya, mengambil Im-yang-kiam dari buntalan dan
menyerahkannya kepada Kiok Hwa.
"Kiok-moi, aku berpikir bahwa pedang ini lebih pantas
menjadi milikmu. Engkau memang benar, lebih baik pedang ini
dipergunakan untuk mengobati orang dari pada melukai atau
membunuh." "Tidak bisa begitu, Lin-ko. Pedang itu engkau yang
mencabutnya, maka engkau pula yang berhak memilikinya."
"Akan tetapi aku memberikannya kepadamu dengan hati
yang ikhlas karena tahu bahwa di tanganmu pedang ini akan
lebih bermanfaat bagi orang banyak."
"Terima kasih, Lin-ko, akan tetapi aku tidak dapat
menerimanya. Untuk mengobati orang, aku tidak
membutuhkan bantuan pedang itu."
Han Lin menghela napas panjang dan tidak memaksa. Dia
masih memegang Im-yang-kiam dengan tangan kanannya!
ketika tiba-tiba ada lima sosok bayangan berkelebat dan tahutahu ada lima orang!
tosu berdiri di depannya.
"Siancai......! Engkau harus menyerahkan pedang itu
kepada kami, sicu!" Se-orang di antara mereka, yang
berjenggot panjang sampai ke dada, berseru dengan! suara
lembut. Han Lin dan Kiok Hwa memandangi dengan penuh
perhatian. Mereka adalah lima orang tosu yang berusia antara
empat puluh sampai lima puluh tahun, dipimpin tosu
berjenggot panjang dan di punggung mereka masing-masing
terdapat sebatang pedang. Sikap mereka tenang namun
berwibawa. Di bagian depan jubah mereka, tepat di dada,
terdapat gambar tanda Im-yang hitam putih.
"Mereka orang-orang Im-yang-pai (Partai Im Yang)!" bisik Kiok Hwa kepada Han
Lin. Biarpun Kiok Hwa hanya berbisik lirih, agaknya terdengar
oleh para tosu itu dan si jenggot panjang tersenyum. "Bagus kalau kalian sudah
mengenal pinto dan kawan-kawan sebagai
orang-orang Im-yang-pai."
Han Lin juga pernah mendengar akan nama besar Imyang-
pai dari Gobi Sam-sian, guru-gurunya yang pertama.
Maka dia cepat memberi hormat karena maklum bahwa
orang-orang Im-yang-pai adalah golongan putih yang tidak
pernah berbuat jahat, bahkan berjiwa patriot dan banyak
jasanya ketika tentara rakyat dahulu menjatuhkan kekuasaan
Mongol sehingga kerajaan Beng yang pemerintahannya
dipegang bangsa sendiri, didirikan.
"Kiranya ngo-wi totiang (lima orang pendeta) adalah tokohtokoh Im-yang-pai.
Terimalah hormat saya, Han Lin, dan kalau
saya boleh mengetahui, apa maksud ngo-wi (anda berlima)
menjumpai saya?" "Siancai (damai)! Ternyata sicu adalah seorang pemuda
yang sopan bijaksana. Pinto berharap sicu dapat
mempergunakan kebijaksanaan untuk memenuhi permintaan
kami." "Permintaan apakah itu, totiang?"
"Permintaan kami ialah agar sicu suka menyerahkan Imyang-
kiam kepada kami. Kami amat membutuhkan pedang
pusaka itu untuk dijadikan pusaka perkumpulan kami.
Bukankah pedang itu bernama Im-yang-kiam" Jadi cocok
sekali dengan perkumpulan kami yang bernama Im-yang-pai."
Han Lin otomatis memandang pedang yang masih
terpegang oleh tangan kanannya. Dia memandang tosu
berjenggot panjang itu dan berkata, "Akan tetapi, totiang.
Pedang ini saya dapatkan karena saya telah mencabutnya dari
himpitan batu. Kalau memang totiang membutuhkan, kenapa
totiang tadinya tidak mencoba untuk mencabutnya?"
Tosu itu tersipu, lalu tersenyum dan berkata sejujurnya,
"Kami berlima telah mencobanya, namun kami telah gagal
mencabutnya, sicu. Sebetulnya kami tidak berhak minta dari
sicu, akan tetapi karena perkumpulan kami membutuhkan,
kami mohon kebijaksanaan sicu untuk menyerahkan Im-yangkiam
itu kepada kami. Untuk itu, sicu boleh menerima pedang
pinto sebagai penggantinya. Pedang pinto ini juga sebatang
pedang pusaka yang ampuh."
Setelah berkata demikian, tosu berjenggot panjang itu
mencabut pedangnya dan tampak sinar berkilauan dari
pedang itu. "Pinto harap sicu suka menukar Im-yang-kiam itu dengan
pedang ini beserta ucapan terima kasih perkumpulan kami."
"Maafkan saya, totiang, bahwa saya terpaksa tidak dapat
memenuhi permintaan totiang. Hendaknya ngo-wi totiang
ketahui bahwa saya mencabut Im-yang-kiam itu atas perintah
guru saya, dan kedua kalinya untuk menghormati mendiang
pahlawan Kam Tiong yang telah mengijinkan saya mencabut
pedang itu terpaksa saya harus mempertahankan pedang Imyang-
kiam ini." Wajah lima orang tosu itu berubah kemerahan dan alis
mereka berkerut. "Kalau begitu, kami hanya ingin meminjamnya, sicu. Kami
akan membuat tiruannya untuk dijadikan pusaka kami, setelah
itu akan kami kembalikan kepadamu."
"Maaf, terpaksa tidak dapat kuberikan totiang."
Lima orang tosu itu menjadi marah "Kalau begitu, terpaksa pula kami akan
menggunakan kekerasan mengambil pedang
itu dari tanganmu!" Kiok Hwa yang sejak tadi mendengarkan dan diam saja,
kini berkata dengan suaranya yang lembut, "Selama ini saya mendengar bahwa
orang-orang Im-yang-pai adalah orangorang
yang gagah perkasa. Akan tetapi sungguh
mengecewakan, hari ini mereka bersikap seperti sekawanan
perampok!" Tosu berjenggot panjang itu memandang kepada Kiok Hwa
dengan sinar mata mencorong. "Engkau siapakah, nona"
Berani berkata demikian terhadap kami?"
Han Lin yang menjawab. "Totiang, nona ini adalah murid
locianpwe (orang tua gagah) Thian-te Yok-sian."
"Siancai......!" Tosu itu terperanjat dan memandang kepada Kiok Hwa dengan penuh
perhatian. "Kiranya nona yang
berjuluk Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih)" Maaf kalau
kami bersikap kurang hormat. Nama besar nona sudah terpuji
oleh ribuan orang, membuat kami kagum. Akan tetapi kami
harap dalam urusan Im yang-kiam ini, nona tidak akan
mencampuri. Pinto berlima, orang-orang Im-yang-pai bukan
perampok. Kami hanya ingin meminjam dan terpaksa kami
menggunakan kekerasan kajau ditolak, karena kami
membutuhkan sekali."
"Maaf, totiang. Dipinjampun saya tidak dapat memberikan
pedang ini!" kata Han Lin dengan tegas.
"Orang muda, engkau berani menantang kami?" bentak
tosu berjenggot panjang itu.
"Saya tidak menantang siapa-siapa!"
"Akan tetapi engkau menolak permintaan kami, berarti
bahwa engkau berani melawan kami?"
"Apa boleh buat, saya hanya membela diri."
"Hemm, kami juga terpaksa demi perkumpulan kami, bukan
ingin merampok, hanya ingin pinjam selama beberapa waktu.
Nah, bersiaplah, orang muda. Hendak pinto lihat bagaimana
kepandaianmu maka engkau berani menentang kami!"
"Singgg......!" Ketika tosu itu mengelebatkan pedangnya di atas kepala,
terdengar bunyi berdesing. Han Lin maklum
bahwa orang itu memiliki ilmu pedang yang hebat. Akan tetapi
dia tidak menjadi gentar dan melintangkan pedangnya di
depan dada. "Saya sudah siap membela diri, totiang." katanya.
"Lihat pedang!" tiba-tiba tosu jenggot panjang itu
membentak dan pedangnya berubah menjadi sinar
menyambar ke arah tangan Han Lin yang memegang pedang.
Agaknya dia hendak memaksa pemuda itu melepaskan
pedangnya untuk dirampas. Akan tetapi dengan tenang
namun cepat, Han Lin sudah menarik tangannya lalu membuat
geseran langkah ke lepan lalu membalik sehingga tahu-tahu
dia berada di sebelah kiri lawan. Tosu itu terkejut, namun
cepat diapun membalik ke kiri, didahului pedangnya yang
menyambar lagi, kini ke arah muka Han Lin. Kembali Han Lin
mengelak dengan gerakan ringan sekali dan tahu-tahu dia
telah berada di belakang lawan. Tosu berjenggot panjang itu
kembali terkejut dan juga penasaran. Di Im-yang-pai dia
adalah orang ke dua setelah ketuanya, dan ilmu pedangnya
juga sudah mencapai tingkat tinggi, hanya kalah setingkat
dibandingkan tingkat ketua Im-yang-pai. Akan tetapi beberapa
kali serangannya yang dilakukan dengan cepat dan bertenaga,
dapat dielakkan dengan mudah oleh pemuda itu! Gerakan
pemuda itu sedemikian ringan dan gesitnya sehingga seolaholah
dapat menghilang saja. Dia memutar pedangnya lebih
gencar dan kini terpaksa Han Lin menangkis dengan pedang
Im-yang-kiam yang masih dipegangnya.
"Cringgg..... trakkk.....!!" Tosu berjenggot panjang itu terkejut bukan main
karena ujung pedang pusakanya patah!
Han Lin juga terkejut dan merasa menyesal telah mematahkan
pedang pusaka lawan. "Maaf, totiang. Saya tidak tahu..... tidak sengaja......"
"Sudahlah!" dengus tosu itu. "Sekali lagi, orang muda. Kau berikan kepada kami
atau tidak Im-yang-kiam itu?"
"Tidak, totiang."
Tosu berjenggot panjang memberi isarat kepada empat
orang rekannya dar kini lima orang tosu itu mengepung Han
Lin. "Orang muda, kalau engkau mampu memecahkan Ngoheng-
tin (Barisan Lima Unsur) kami akan mengundurkan diri
dar tidak akan mengganggumu lagi."
Han Lin sudah mendengar dari Gobi Sam-sian bahwa Imyang-
pai amat terkenal dengan Ngo-heng-tin itu. Boleh dikata
hampir tidak ada orang yang mampu memecahkan barisan
lima unsur yang saling menunjang itu. Lima unsur itu adalah
Logam, Kayu, Air, Tanah dan Api. Yang menempati kedudukan
yang satu menunjang dan membela yang lain sehingga
barisan pedang ini berbahaya sekali.
Namun Han Lin tidak menjadi gentar, biarpun dia belum
memiliki banyak pengalaman bertanding, namun dia telah
digembleng secara hebat oleh dua orang sakti dan telah
menerima banyak petunjuk tentang pertandingan dari Gobi
Sam-sian. Biarpun sudah mendengar akan kehebatan NgoTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ heng-tin, dia malah merasa bergembira karena akan dapat
membuktikan sendiri bagaimana kehebatannya. Selain itu, dia
juga dapat menguji kemampuannya sendiri dan juga
keampuhan Im-yang-kiam yang tadi telah mematahkan ujung
pedang tosu berjenggot panjang. Han Lin penuh kepercayaan
akan dirinya sendiri, apalagi dia yakin bahwa lima orang tosu
Im-yang-pai itu bukanlah orang-orang jahat, melainkan hanya
ingin "meminjam" pedang pusakanya. Mustahil orang-orang golongan bersih seperti
mereka akan menurunkan tangan keji
terhadap dirinya. "Tidak berani saya memecahkan Ngo-heng-tin, akan tetapi
saya akan membela diri sekuat tenaga!" jawabnya dan dia
melintangkan pedangnya di depan dada, mengerahkan tenaga
sakti Matahari dan Bulan ke dalam kedua lengannya.
"Hyaaaaattt.....!" Lima orang tosu itu membentak dengan suara berbareng sehingga
terdengar lantang sekali. Juga di
dalam suara ini terkandung khi-kang (hawa sakti) yang amat
berwibawa, dapal menggetarkan jantung dan membuat takut
lawan. Namun Han Lin yang mengalami selombang suara
yang menyerangnya itu segera menggeram dan mengeluarkan
suara seperti singa. Itulah Sai-cu Ho-kang (Ilmu
Auman Singa) yang mengandung getaran amat kuatnya.
Jangankan hanya bentakan lima orang tosu itu, bahkan segala
macam kekuatan sihir akan punah kalau dilawan dengan Sai
cu Ho-kang ini. Lima orang tosu itu berbalik menjadi tergetar oleh auman
itu, maka mereka-pun segera menyusun serangan yang silih
berganti dan bertubi-tubi datangnya!
Han Lin menggerakkan pedang Im-Yang-kiam dan
tampaklah gulungan sinar keabu-abuan, campuran dari warna
hitam dian putih. Dia memainkan ilmu pedang seperti yang
telah diajarkan oleh It-kiam-lan dan sudah disempurnakan
oleh Bu-beng Lo-jin. Gerakannya seperti bayang-bayang saja,
dan kecepatannya seperti seekor burung walet. Tubuhnya
yang berubah menjadi bayang-bayang itu menyusup di antara
gulungan lima sinar pedang lawan. Setelah dia
mempergunakan kecepatan gerakannya untuk menghindarkan
diri sambil memperhatikan gerakan barisan itu, tahulah dia
bahwa kelihaian barisan itu terletak kepada sifatnya yang
sambung menyambung dan saling melindungi seperti sehelai
rantai baja yang amat kuat. Setelah memperhitungkan, dia
bergerak cepat, berputaran. Lima orang lawannya terpaksa
ikut berputar-putar dan mereka sama sekali tidak sempat
menyerang lagi karena gerakan berputar Han Lin amat
cepatnya seperti gasing! Dan selagi mereka kebingungan dan
hendak menyusun kembali barisan mereka yang tidak berdaya
menyerang itu, tiba-tiba saja Han Lin berbalik menyerang dan
dia menyerang di bagian tengah, yaitu orang ke tiga dari
pinggir yang berada di tengah-tengah. Tosu yang diserang itu
terkejut karena masih bergerak melangkah berputaran,
terpaksa dia menangkis sendiri tidak dapat mengandalkan
kawan di sebelahnya untuk melindunginya.
"Cringgg..... trakkk.....!" Pedangnya patah menjadi dua potong! Sebelum barisan
itu sempat mengatur kembali
posisinya, pedang Han Lin sudah menyambar-nyambar,
membuat para lawannya terpaksa menangkis. Terdengar
suara nyaring berturut-turut dan semua pedang di tangan lima
orang tosu itu telah patah tengahnya menjadi dua potong!
Tenti saja lima orang tosu itu terkejut bukan main dan mereka
cepat berlompatan ke belakang. Tahulah mereka bahwa sekali
ini Ngo-heng-kiam-tin mereka telah dapat dipecahkan orang!
Wajah mereka menjadi pucat lalu kemerahan. Tosu yang
berjenggot panjang lalu menjura kepada Han Lin.
"Siancai.....! Ilmu kepandaian sicu sungguh hebat! Pinto
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengaku kalah. Akan tetapi kekalahan ini membuat kami
menjadi penasaran dan ingin sekali mengetahui. Murid
siapakah sicu yang memiliki kepandaian sehebat ini?"
Terhadap lima orang tosu dari Im-yang-pai itu, Han Lin
tidak ingin menyembunyikan keadaan dirinya. Apalagi yang
ditanyakan hanya guru-gurunya dan sudah menjadi haknya
untuk membanggakan siapa gurunya. Diapun balas menjura
sebagai tanda penghormatan lalu menjawab, "Guru-guru saya ada lima orang. Gobi
Sam-sian, Bu-beng Lo-jin dan Cheng
Hian Hwesio. Merekalah yang mengajar saya, totiang."
"Siancai.....! Gobi Sam-sian adalah tiga orang datuk yang berkepandaian tinggi.
Sedangkan Cheng Hian Hwesio, hwesio
perantau yang penuh rahasia itu, kabarnya seorang sakti pula.
Hanya kami tidak pernah mendengar siapa itu Bu-beng Lo-jin.
Akan tetapi melihat kelihai-mmu, kami percaya bahwa diapun
seorang yang amat sakti. Kami tidak menjadi penasaran lagi,
juga bahwa kami tidak dapat memaksamu meminjamkan Im -
yang-kiam, karena kami memang tidak mampu
mengalahkanmu. Selamat tinggal, sicu. Mudah-mudahan
pedang pusaka itu akan kaupergunakan untuk membela
kebenaran dan keadilan!"
Setelah berkata demikian, lima orang tosu itu lalu berjalan
pergi meninggalkan tempat itu.
Han Lin menoleh ke arah di mana tadi Kiok Hwa berdiri dan
dia melihat gadis itu masih berada di sana, akan tetapi
pandang matanya tidak gembira dan bahkan alisnya berkerut
ketika ia memandang kepada Han Lin.
"Engkau kenapa, Kiok-moi?"
Gadis itu menggeleng kepalanya, "Aku tidak apa-apa, akan
tetapi engkau yang agaknya setelah mendapatkan Im-yangkiam
tiba-tiba saja dimusuhi banyak orang! Aih, betapa
tepatnya kata orang-orang bijaksana bahwa silat dan pedang
hanya mendatangkan permusuhan belaka."
"Akan tetapi, Kiok-moi. Pertentangan itu mana dapat
dihilangkan" Bukankah sudah sejak semula terdapat dua
unsur yang bertentangan di dunia ini, sebagai perwujudan dari
Im-yang" Ada siang ada malam, ada susah ada senang, ada
baik ada jahat" Selama ada baik dan ada jahat, pertentangan
tidak akan pernah berhenti. Tergantung kepada kita hendak
menempatkan diri di unsur mana. Yang jahat atau yang baik.
Kalau kita berdiri berpijak kebenaran dan kebaikan, kita tidak perlu takut
menghadapi tantangan kejahatan."
"Hemm, tentu saja engkau akan berdalih demikian, Lin-ko.
Akan tetapi kebaikan yang bagaimanakah" Kejahatan yang
bagaimanakah" Bukankah kebaikan dan keburukan itu
tergantung kepada penilainya" Engkau tentu menganggap
para tosu Im-yang-pai tadi jahat karena mereka hendak
memaksa pinjam Im-yang-kiam yang menjadi milikmu. Akan
tetapi sebaliknya, mereka tentu menganggap engkau jahat
yang tidak mau meminjamkan po-kiam (pedang pusaka) yang
amat mereka butuhkan itu. Nah, bukankah dalam pandangan
masing-masing kalian semua sama jahatnya?"
Han Lin merasa terdesak dan diapun berkata mengalah.
"Habis, kalau menurut pcndapatmu, bagaimana, Kiok-moi"
Apakah aku harus memberikan Im-yang-kiam kepada mereka
tadi?" "Bukan begitu maksudku, Lin-ko. Apa yang kaulakukan tadi
sudah benar. Aku hanya ingin mengatakan bahwa setelah
mendapatkan pedang itu, engkau mendapatkan banyak
musuh dan hal itu sungguh amat tidak baik bagimu."
"Apa boleh buat. Yang penting aku tidak mencari
permusuhan, aku tidak memusuhi mereka. Akan tetapi kalau
mereka memusuhi aku, tentu aku akan membela diri." Untuk
menyudahi percakapan tentang Im-yang-kiam, Han Lin lalu
mengajak gadis itu. "Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Kiokmoi!"
Gadis itu mengangguk dan mereka lalu melanjutkan
perjalanan menyusuri Sungai Huang-ho yang lebar. Akan
tetapi belum ada satu li (mil) mereka berjalan, tiba-tiba
terdengar seruan orang dari belakang.
"Orang muda, perlahan dulu!"
Han Lin dan Kiok Hwa menengok dan sesosok bayangan
berkelebat dan muncul ah seorang laki-laki berusia tua renta,
sedikitnya tujuh puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan
pakaiannya mewah seperti hartawan atau bangsawan.
Wajahnya lebar dan ramah, mukanya cerah dan dipandang
sepintas lalu, pantasnya dia seorang yang baik hati. Akan
tetapi kalau orang menentang matanya, orang akan melihat
sesuatu yang mengerikan pada pandang matanya. Pandang
matanya seperti harimau kelaparan melihat domba!
Ketika Han Lin memandang kakek itu, dia terkejut bukan
main. Jantungnya berdebar keras, mukanya terasa panas
karena dia teringat akan ibunya. Inilah seorang di antara
mereka yang mengakibatkan ibunya tewas terlempar ke dalam
jurang, walaupun tidak secara langsung dia melakukannya.
Suma Kiang yang bertanggung jawab, akan tetapi kakek ini
juga ikut memperebutkan dia, bahkan berusaha untuk
membunuhnya belasan tahun yang lalu, atau sepuluh tahun
yang lalu. Orang itu membawa sebatang pedang di
punggungnya dan memandang kepadanya dengan penuh
perhatian, lalu menatap ke arah buntalan di punggungnya.
Han Lin tidak melupakan orang itu karena wajahnya tidak
berubah dibandingkan sepuluh tahun yang lalu. Wajah ToaOk
(si Jahat ke Satu). Jilid XII KIOK HWA yang masih muda itu ternyata juga mempunyai
pandangan tajam dan pengetahuan yang luas. Melihat kakek
ini, ia sudah dapat menduga siapa orangnya dan ia terkejut
bukan main kakek ini, ia sudah dapat menduga siapa
orangnya dan ia terkejut bukan main karena ia sudah
mendengar bahwa Toa Ok yang berjuluk Toat-beng Kwi-ong
(Raja Iblis Pencabut Nyawa) adalah seorang datuk sesat yang
amat ditakuti di dunia kang-ouw bersama dua rekannya, yaitu
Ji Ok (si Jahat ke Dua) dan Sam Ok (si Jahat ke Tiga).
"Dia Toa Ok......!" bisik Kiok Hwa kepada Han Lin. Namun Han Lin bersikap tenang
dan tidak menjadi kaget karena dia
memang sudah tahu siapa kakek itu. Bagaimanapun juga, dia
berhadapan dengan seorang yang sudah tua sekali, maka dia
bersikap cukup hormat ketika berkata.
"Toat-beng Kwi-ong Toa Ok, apa maksudmu mengejarku?"
"Ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda ternyata awas juga.
Bagus kalau kalian tahu bahwa aku adalah Toat-beng Kwi ong
Toa Ok. Biasanya kalau aku hendak mengambil sesuatu dari
seseorang, aku akan bunuh orang itu dan mengambil
barangnya, habis perkara. Akan tetapi melihat kalian masih
muda, biarlah sekali ini aku mengampuni kalian dan
membiarkan kalian pergi setelah kalian menyerahkan Imyang-
kiam kepadaku." Han Lin mengerutkan alisnya dan Kiok Hwa mengundurkan
diri menjauh, agaknya tidak ingin mencampuri urusan mereka.
"Toa Ok, apa alasanmu minta Im-yang-kiam dariku?"
tanyanya, diam diam mencatat bahwa datuk sesat ini dalam
usia tuanya ternyata masih juga jahat sehingga pantas dia
tentang. "Alasannya" Ha-ha-ha, aku sudah mendengar bahwa
engkau berhasil mencabut Im-yang-kiam, dan kalau engkau
tidak memberikannya kepadaku dengan baik-baik, tentu
engkau akan kubunuh dan Im-yang-kiam dalam buntalanmu
itu akan kuambil juga, ha-ha-ha!" Toa Ok mengelus
jenggotnya yang jarang sambil tertawa dan memandang
kepada pemuda itu dengan meremehkan sekali.
Han Lin melepaskan buntalannya dan menaruhnya di atas
tanah. Dia berdiri tegak di depan kakek itu dan berkata.
"Boleh saja engkau merampas Im-yang-kiam kalau engkau
mampu merebutnya dari tanganku!"
Toa Ok membelalakkan matanya saking kaget dan
herannya. "Apa katamu" Engkau, bocah kemarin sore ini,
berani menantangku" Ha-ha-ha-ha-ha!"
"Bukan menantang, Toa Ok. Engkaulah yang mencari
perkara dan permusuhan, bukan aku!"
"Aku bukan hanya ingin merampas Im-yang-kiam, akan
tetapi juga untuk mencabut nyawamu. Ingat julukanku adalah
Toat-beng Kwi-ong (Raja Iblis Pencabut Nyawa)!"
"Pencabut nyawa atau pencabut rumput aku tidak perduli.
Aku akan membela diri sekuat kemampuanku!" kata Han Lin,
sederhana namun tegas dan mengandung ejekan akan nama
julukan kakek itu. Sepasang mata kakek itu mencorong karena marah. "Akan
kuremukkan kepalamu, akan kupecah dadamu!" Berkata
demikian, tiba-tiba Toa Ok menubruk dengan pukulan yang
amat dahsyat. Si Jahat Nomor Satu ini begitu menyerang
sudah tidak segan-segan untuk mempergunakan ilmu
pukulannya yang keji dan mengerikan, yaitu Ban-tok-ciang
(Tangan Selaksa Racun)! Akan tetapi Han Lin yang sudah
mengenal kelihaian orang, sudah cepat mengelak,
mengandalkan kegesitan tubuhnya dan ketika kakek itu
hendak menyambar buntalannya yang berada di atas tanah,
diapun cepat menyerang dengan tamparan ke arah ubun-ubun
kepala kakek itu. "Wuuuutttt......!!" Sambaran angin yang dahsyat itu
membuat Toa Ok terperanjat dan cepat dia menggerakkan
lengannya untuk menangkis tamparan itu.
"Plakkk!" Dua lengan bertemu dan akibatnya Toa Ok
terhuyung ke belakang, akan tetapi Han Lin juga melangkah
dua tindak ke belakang. Toa Ok menjadi semakin terheranheran.
Dia menatap wajah Han Lin seperti orang melihat setan
di siang hari. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa
pemuda itu memiliki tenaga sedemikian kuatnya sehingga
mampu menandingi tenaga Ban-tok-ciang yang mengandung
hawa beracun itu. Apakah dia yang sudah menjadi terlalu tua"
"Orang muda siapakah engkau?" dia bertanya, kini tidak berani memandang rendah.
Han Lin tersenyum. "Toa Ok, lupakah engkau kepadaku"
Engkau pernah memperebutkan diriku dengan Sam Ok,
bahkan hendak membunuhku, kurang lebih sepuluh tahun
yang lalu." Toa Ok mengerutkan alisnya dan diapun teringat. "Ah,
engkaukah bocah itu" Bagus, kalau dulu aku tidak sempat
membunuhmu, sekarang engkau tidak akan dapat lolos lagi!"
Diapun menyerang lagi dengan Ban-tok-ciang, kini
mengerahkan seluruh tenaganya. Akan tetapi kembali
pukulannya mengenai tempat kosong dan Han Lin juga
membalas dengan serangan ilmu silat tangan kosong Ngoheng
Sin-kun. Ilmu silat ini jauh bedanya dengan Ngo-heng
Klam-tin yang dipergunakan oleh lima orang tosu Im-yang-pai,
karena kalau para tosu itu mempergunakan pedang untuk
memainkan barisan itu, Ngo-heng Sin-kun (Silat Sakti Lima
Unsur) menggunakan tangan kosong yang berubah-ubah lima
macam sehingga membingungkan lawan. Kadang ganas dan
liar seperti api, kadang bergelombang seperti air, kadang
tenang keras seperti logam.
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Akan tetapi, Toa Ok
merasa memperoleh tanding yang amat kuat. Kalau dia
mengerahkan pukulan Ban-tok-ciang yang mengeluarkan
bunyi mencicit dan mengandung hawa beracun, Han Lin
mengimbanginya dengan It-yang-ci, serangan dengan satu jari
yang juga mengeluarkan suara mencicit dan memiliki daya
serang yang amat berbahaya. Pukulan Ban-tok-ciang terpental
kalau bertemu dengan It-yang-ci, menunjukkan bahwa ilmu
Ban-tok-ciang itu kalah kuat dalam hal tenaga sakti.
"Bocah keparat, awan racun hitam akan menelan dirimu!"
tiba-tiba Toa Ok membentak dan tiba-tiba dari kedua
tangannya keluar asap hitam yang amat tebal bergerak ke
arah Han Lin. Pemuda ini maklum bahwa itu adalah kekuatan
sihir yang dikerahkan oleh Toa Ok, maka diapun mengerahkan
kekuatan batinnya dan mengeluarkan auman seperti singa
dengan ilmu Sai-cu Ho-kang.
"Hauuuungggg.....!" Suara itu demikian kuat, mengandung getaran hebat dan asap
tebal hitam itu yang tadinya
menyerang ke arah Han Lin tiba-tiba membalik seperti tertiup
angin yang kuat dan Toa Ok yang tadinya tidak tampak
tersembunyi di dalam asap hitam itu kini tampak kembali. Dia
menjadi semakin penasaran. Bocah itu malah dapat
memunahkan sihirnya! Tiba-tiba Toa Ok berseru dengan suara yang penuh
wibawa, "Orang muda, marilah ikut aku tertawa! Tidak ada
yang dapat menahan engkau tertawa. Tertawalah sepuasmu.
Istana Yang Suram 9 Pendekar Pulau Neraka 02 Pembalasan Ratu Sihir Selubung Tabir Hitam 2