Pencarian

Suling Pusaka Kumala 8

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 8


Eng-ji terbatuk-batuk karena tadi menahan napas ketika
keluar dari kamar yang penuh asap itu. "Ia berada dalam
kamar. Tadi kami berdua berada di dalam kamar ketika tibatiba
ada yang melemparkan benda meledak di dalam kamar
yang mengeluarkan asap tebal." kata Eng-ji bukan tanpa rasa cemburu karena Han
Lin tampaknya demikian mengkhawatirkan Kiok Hwa. Mendengar ini, Han Lin menahan
napas dan melompat ke dalam kamar yang masih penuh
dengan asap itu. Dia melepaskan bajunya dan menggunakan
tenaga sin-kang untuk me-ngebut-ngebut sehingga asap
membubung keluar dari jendela dan pintu. Setelah sap
menipis, dan dia dapat melihat, ternyata Kiok Hwa tidak
berada dalam kamar itu! Eng-ji juga memasuki kamar dan dia pun merasa heran
tidak dapat menemukan Kiok Hwa. Ketika dia melihat pandang
mata Han Lin kepadanya, dia berkata, "Tadi enci Kiok Hwa
masih berada di sini!"
Jilid XIV PARA PENGHUNI kamar losmen yang lain bubaran setelah
ternyata tidak terjadi apa-apa, meninggalkan Han lin dan Engji yang masih berada
di kamar itu. "Ke mana perginya Kiok-moi?" tanya Han Lin kepada diri sendiri dan dia memeriksa
keadaan kamar itu dengan teliti.
Buntalan pakaian Kiok Hwa masih berada di kamar itu. Akan
tetapi dia melihat bangku yang pecah menjadi dua potong
bekas terbabat pedang dan dia memeriksa bangku itu.
"Agaknya terjadi penyerangan di sini." katanya dan Eng-ji diam saja karena
bangku itu tadi dia yang membacoknya
sehingga menjadi pecah. "Jangan-jangan enci Kiok Hwa telah berlari keluar melalui jendela." katanya
penuh harap. "Ah, lihatlah ini!" Han Lin menghampiri dinding di mana tertancap sebatang
belati. dan terdapat sehelai kertas berisi
tulisan di pisau itu. Han Lin mencabut pisau itu dan
melemparkan pisau ke atas meja setelah mengambil suratnya.
Kertas itu mengandung tulisan yang singkat.
"Kalau ingin gadis itu dibebaskan, antarkan Im-yang-kiam
ke Bukit Perahu." "Jahanam!" Han Lin mengepal tinjunya. "Thian-te Sam-ok keparat!"
Eng-ji mengambil surat itu dari tangan Han Lin dan
membacanya. "Hemm, tentu Sam Ok yang telah menawan enci Kiok Hwa
dan membawanya ke sarang Pek-lian-kauw. Sayang tadi
keadaannya gelap sekali sehingga aku tidak dapat melihat
apa-apa. Akan tetapi aku telah berhasil memukul roboh
seorang di antara mereka. Pukulanku itui keras sekali, aku
yakin orang yang kupukul tentu akan mampus!"
"Keparat Toa Ok!" kembali Han Lin memaki. "Agaknya dia masih belum mau berhenti
sebelum mendapatkan Im-yangkiam.
Berkali-kali dia mengajak teman-temannya untuk
menyerangku dan merampas Im-yang-kiam dan sekarang dia
menggunakan cara yang amat curang, menculik Kiok-moi."
"Sekarang apa yang akan kaulakukan, Lin-ko?"
"Tentu saja menyusul ke Bukit Perahu! Bukan hanya untuk
membebaskan Kiok-moi, akan tetapi juga untuk membebaskan
ibuku." "Akan tetapi sekarang mereka telah mengetahui bahwa kita
akan datang. Tentu mereka telah bersiap-siap dan keadaan itu
berbahaya sekali, Lin-ko. Mereka itu kuat sekali, apalagi
ditambah dengan para tosu Pek-lian-kauw."
"Aku tidak takut!" kata Han Lin.
"Aku juga tidak takut. Akan tetapi yang penting adalah
bagaimana membebaskan enci Kiok Hwa -dan ibumu agar
tidak sampai gagal."
"Toa Ok menghendaki Im-yang-kiam. Kalau perlu aku akan
menukar Im-yang-kiam dengan pembebasan Kiok-moi dan
ibuku." "Aku masih khawatir, Lin-ko. Mereka itu adalah datuk-datuk sesat yang curang dan
licik. Aku khawatir mereka akan
menggunakan kecurangan untuk menjebak kita."
"Aku harus berani menghadapi resika itu, Eng-ji. Kalau
engkau khawatir, sudalah jangan engkau ikut. Biar aku sendiri
yang menghadapi bahaya. Aku merasa tidak enak sekali kalau
engkau sampai tertimpa bahaya karena membantuku
membebaskan Kiok-moi dan ibuku." kata Han Lin dengan
suara bersungguh-sungguh.
Eng-ji marah sekali. "Begitukah pendapatmu, Lin-ko"
Engkau sama sekali tidak menghargai bantuan dan
kesungguhan hatiku membantumu! Apa engkau hanya dapat
menghargai enci Kiok Hwa saja?"
Han Lin terkejut dan memandang tajam kepada Eng-ji. Dia
tadi sudah menyalakan lilin di atas meja sehingga dapat
menentang pandang mata Eng-ji dengatl jelas. Mata pemuda
remaja itu tampak berapi-api, penuh kemarahan.
"Apa.... apa maksudmu, Eng-ji?"
Eng-ji membanting kaki kanannya keatas lantai. "Sudahlah, kalau engkau tidak
suka melakukan perjalanan bersama-ku,
biar aku seorang diri pergi ke Bukit Perahu untuk
membebaskan enci Kiok Hwa!" Setelah berkata demikian Engji memutar tubuhnya dan
bergegas kembali ke dalam
kamarnya. Tak lama kemudian Han Lin menyusul memasuki kamar.
Dia melihat Eng-ji sudah rebah miring menghadap ke dinding
di atas pembaringan dan dia merasa menyesal sekali telah
membuat marah sahabat baiknya yang selama ini ramah baik
dan setia kepadanya itu. Dia duduk di tepi pembaringan dan
menghela napas panjang. "Adik Eng-ji, aku minta maaf kepadamu. Bukan aku tidak
menghargai bantuan mu, sama sekali tidak. Aku hanya
mengkhawatirkan kalau akan terjadi apa-apa denganmu.
Maafkan aku dan biarlah kita melakukan perjalanan bersama
ke Bukit Perahu. Kalau mereka tidak mau membebaskan Kiokmoi
dan ibuku, kita berdua akan mengobrak-abrik sarang
mereka dan akan membasmi mereka!"
Eng-ji membalikkan tubuhnya dan Han Lin merasa heran
sekali melihat mata dan pipi pemuda remaja itu basah. Eng ji
menangis! Sungguh sulit dia membayangkan hal ini. Pemuda
yang demikian penuh keberanian, Jenaka cekatan nakal,
Menangis! "Aku hanya ingin membantu, Lin-ko." katanya dengan
suara parau. Han Lin merasa terharu. Pemuda remaja ini sungguh amat
baik terhadap dirinya. Biarpun dia putera Suma Kiang yang
dibencinya dan merupakan musuh besar ibunya, namun Eng-ji
ternyata seorang pemuda yang baik hati dan gagah. Sungguh
jauh bedanya dibandingkan ayahnya yang seperti manusia
iblis itu. "Aku terima bantuanmu, adik Eng ji dan aku akan selalu
berterima kasih dan bersukur atas bantuanmu yang amat
berharga itu." Malam itu Han Lin tidak tidur melainkan duduk bersila dan
bersamadhi di atas pembaringannya sendiri. Dia mencoba
untuk menenteramkan hatinya yang penuh kegelisahan.
Memikirkan ibunya saja dia sudah gelisah, kini ditambah lagi
memikirkan keadaan Kiok Hwa yang menjadi tawanan Sam Ok
yang amat jahat. Apa yang terjadi dengan Kiok Hwa" Ketika benda itu
meledak di dalam kamarnya dan mengeluarkan asap hitam
yang amat tebal sehingga ia tidak dapat melihat apa-apa, tibatiba saja ada angin
nenyambar dari sampingnya. Kiok Hwa
mencoba untuk mengelak, akan tetapi dari lain sisi
menyambar pula jari tangan yang menotoknya. Ia terkena
totokan dan tidak mampu bergerak lagi. Tubuhnya menjadi
lemas dan ia tidak berdaya ketika tubuhnya dipondong orang
dibawa meloncat keluar jendela. Selanjutnya ia dibawa lari
dan di bawah sinar bulan ia melihat bahwa yang melarikannya
ada tiga orang dan ternyata mereka adalah Thian-te Sam-ok!
Yang menotok dan membawanya lari itu adalah Toa Ok
sendiri. Ia dipanggul dalam keadaan lemas dan tidak mampu
bergerak. Tanpa diberitahu Kiok Hwa maklum bahwa ia dilarikan ke
Bukit Perahu, ke sarang Pek-lian-kauw yang mempunyai
cabang di tempat itu. Mereka tiba pagi pagi sekali di
perkampungan Pek-lian kauw di puncak Bukit Perahu. Kiok
Hwa yang dipanggul itu memperhatikan saja tadi ia melihat
betapa Sam Ok berada dalam keadaan terluka dalam. Wanita
itu agak terhuyung dan mukanya pucat sekali
Setelah tiba di pintu gerbang perkampungan itu, Toa Ok
membebaskan Kiok Hwa dan membiarkan gadis itu berjalan
sendiri. Kiok Hwa memperhatikan keadaan sekelilingnya.
Perkampungan Pek-lian kauw itu dikelilingi dinding yang cukup
tinggi dan memiliki pintu gerbang yan cukup besar. Di pintu
gerbang terdapat belasan orang anggauta Pek-Iian-kau yang
kepalanya di kat kain putih dan baju di dada mereka terdapat
gambar bunga teratai putih. Juga tampak beberapa orang
tosu berjubah lebar dengan baju dalamnya juga digambari
teratai putih. Para penghuni perkampungan itu berbondong
keluar dan Kiok Hwa menaksir bahwa jumlah para anggauta
dan para tosu itu tidak kurang dari lima puluh orang
banyaknya. Kedudukan mereka kuat juga, pikir Kiok Hwa dan
ia mengkhawatirkan Han Lin. Ia tahu bahwa Han Lin tidak
akan tinggal diam dan pasti akan menyusul ke tempat ini
untuk membebaskannya dirinya juga membebaskan ibunya.
Tiba-tiba ia melihat wanita itu! Wanita yang diaku sebagai ibu oleh Han Lin.
Kiok Hwa memandang dengan penuh perhatian.
Wanita tu berusia kurang lebih empat puluh tahun dan
wajahnya masih cantik, walaupun agak pucat dan kurang
semangat. Pandang matanya kurang bergairah dan sinarnya
aneh, kadang bersinar keras dan ganas.
Mulutnya yang bentuknya manis dan ramah itu tidak
pernah tersenyum. Kiok Hwa merasa kasihan sekali. Sebagai
seorang ahli pengobatan yang pandai ia dapat menduga
bahwa wanita itu tidak sehat keadaannya. Sebatang pedang
beronce merah tergantung di punggung wanita. itu. Ia
berjalan datang dan memandang kepada Kiok Hwa dengan tak
acuh dan sambil lalu saja. Kemudian ia mendekati Ji Ok yang
segera memegang tangan wanita itu. Dan Kiok Hwa melihat
sesuatu yang amat luar biasa. Ia melihat betapa Ji Ok
memandang wanita itu dengan sinar mata penuh kasih sayang
dan semnyumnya kepada wanita itupun membayangkan kasih
sayang! Melihat pandang mata dan sikapnya saja Kiok Hwa
hampB merasa yakin bahwa Ji Ok amat mencinta wanita itu.
Ia diajak masuk ke dalam sebuam bangunan yang besar.
Tiga orang Sam Ok, wanita ibu Han Lin itu, dan dua orang
tosu Pek-lian-kauw yang melihat sikap dan jubah mereka
tentulah merupakan tokoh atau pimpinan di situ.
Setelah tiba di dalam, Toa Ok berkata kepada Kiok Hwa.
"Nona, engkau tahukah mengapa engkau kami tawan dan
bawa ke sini?" "Aku selalu dibutuhkan di mana terdapat orang sakit yang
terancam maut untuk mengobatinya." kata Kiok Hwa dengan
sikap tenang, seolah-olah ia tidak sedang berada di sarang
musuh yang berbahaya. Sam-ok saling pandang, demikian pula dua orang tosu yang
menjadi ketua dan wakil ketua cabang Pek-lian-kauw. Ketua
cabang Pek-lian-kauw di Bukit Perahu itu adalah seorang
kakek berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi
kurus dan berjuluk Lian Hoat Tosu. Adapun wakilnya, yang
sedikit lebih muda darinya dan bertubuh pendek gendut,
adalah Lian Bok Tosu. Ilmu kepandaian silat mereka cukup
tinggi. Juga mereka berdua adalah ahli-ahli sihir dan memiliki senjata bahan
peledak yang mengeluarkan asap tebal, bahkan
ada peledak yang mengandung asap beracun sehingga
berbahaya sekali. Anak buah mereka yang berjumlah lima
puluh orang juga rata-rata memiliki ilmu silat aliran Pek-liankauw.
Toa Ok tertawa mendengar ucapan Kiok Hwa itu. "Ha-haha,
engkau terlalu membanggakan ilmumu mengobati orang,
nona. Akan tetapi sekali ini engkau menjadi tawanan kami,
menjadi sandera untuk memaksa pemuda itu datang
menyerahkan Im-yang-kiam kepada kami. Kami tidak
membutuhkan pengobatanmu karena tidak ada orang yang
sakit di sini." Kiok Hwa dengan tenangnya tersenyum lalu menoleh
kepada Sam Ok. "Sam Ok, apakah engkau merasa sehat-sehat saja?"
Sam Ok terkejut dan mengerutkan alisnya. "Tentu saja aku
sehat." "Aih, sungguh kasihan. Nyawa sudarara terancam maut
masih merasa sehat. Coba engkau tekan Tiong-cu-hiat (jalan
darah di belakang leher) perlahan saja kemudian tekan Kinceng-
hiat (jalan darah di pundak kiri), dan engkau akan tahu
bagaimana rasanya." Biarpun meragu dan alisnya berkerut tanda tak senang
hati, namun tangan wanita itu lalu menekan jalan darah di
belakang leher lalu di pundak kirinya. Dan ia menjerit lalu
terpelanting roboh, mukanya pucat dan tubuhnya gemetaran
menahan rasa nyeri. "Engkau menggunakan sihir!" bentak Toa Ok marah.
Kiok Hwa tersenyum. "Siapa menggunakan sihir" Aku
menggunakan ilmu pengobatanku dan aku tahu bahwa nyawa
Sam Ok terancam bahaya maut karena ia telah mendapatkan
pukulan beracun yang amat berbahaya."
Sam Ok bangkit berdiri sambil menyeringai menahan nyeri.
"Aku memang menerima pukulan di dalam kegelapan kamar
yang penuh asap itu, dan aku sempat jatuh. Akan tetapi
pukulan itu tidak keras dan kemudian tidak terasa apa-apa."
Ia membantah. "Begitukah" Coba buka bajumu bagian pundak dan lihat
pundak kirimu." kata Kiok Hwa.
Sam Ok menyingkap bajunya dan semua orang melihat
betapa pundak kiri yang berkulit putih itu kini telah menghitam dan ada tanda
tiga buah jari tangan di pundak itu.
"Pukulan beracun tiga jari tangan!" Kiok Hwa berseru.
"Kalau aku tidak keliru, itulah pukulan beracun yang
dinamakan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun Pencabut
Nyawa)! Memang tidak terasa dan tidak keras, namun hawa
beracun berbahaya sudah masuk ke tubuh melalui bagian
yang terpukul dan kalau sudah menjalar sampai ke jantung
biar dewa sekalipun tidak akan dapat menolong. Kalau tidak


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya coba tekan tengah-tengah luka itu."
Sam Ok menekan tengah-tengah tanda tiga jari tangan itu
dengan ibu jarinya. Ia menjerit dan roboh pingsan!
Toa Ok memandang Kiok Hwa dan berkata dengan suara
mengandung ancaman. "Nona, cepat sembuhkan Sam Ok!"
Kiok Hwa tersenyum. Sikapnya tenang sekali. "Toa Ok,
selama aku mengobati orang sakit, tidak ada yang memaksaku
dan tidak ada yang mengancamku. Akan tetapi tanpa diminta
sekalipun aku akan mencoba untuk menolong orang yang
sakit. Apakah engkau masih menganggap aku sebagai seorang
tawanan?" Toa Ok sejenak menatap wajah gadis itu, kemudian
wajahnya yang gagah dan tampan itu berseri, ia tersenyum
dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan
depan dada. "Nona, aku hampir lupa bahwa engkau adalah
Pek I Yok Sian-li (Dewi Obat Baju Putih) yang dihormati oleh
semua orang kang-ouw. Tidak, Sian-li, kami tidak berani
menganggap engkau sebagai tawananku. Kami harap engkau
suka menaruh kasihan kepada Sam Ok dan suka menolong
keselamatan nyawanya."
Kiok Hwa tersenyum manis. "Toa Ok, guruku mengajarkan
kepadaku bahwa untuk mengobati orang, aku tidak harus
melihat apakah orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh,
dan baik atau jahat. Juga aku harus mengobatinya tanpa
pamrih. Soal dapat sembuh atau tidak itu idalah berada dalam
kekuasaan Thian. Kalau Thian menghendaki, tentu si sakit
akan menjadi sembuh, akan tetapi sebaliknya kalau Thian
menghendaki lain, biar dewa sekalipun tidak akan mampu
menolongnya. Aku harus melihat dulu apakah keadaan Sam
Ok sudah terlambat atau belum. Harap bawa ia ke dalam
kamar dan rebahkan ke atas pembaringan. Kemudian,
sediakan air mendidih untuk mencuci jarum-jarumku..... ah,
betul sekali. Jarum-jarumku berada di dalam buntalan
pakaianku, berada di dalam kamarku di rumah penginapan itu.
Dapat-kah engkau mencarikan pinjaman jarum-jarum emas
dan perak dari tabib-tabib dari Tai-goan?"
Toa Ok lalu menoleh kepada Lian Hoat Tosu. "Totiang,
dapatkah engkau menolong" Barangkali totiang lebih tahu
tentang para tabib di kota Taigoan yang kiranya memiliki
jarum-jarum emas dan perak."
"Kami akan mencobanya. Kami dengar ada seorang tabib
yang suka menggunakan jarum-jarum untuk pengobatan.
Kami akan mencoba meminjam darinya." kata ketua itu yang
lalu mengutus anak buahnya untuk mencari jarum yang
dibutuhkan ke kota Taigoan.
Sementara itu, Sam-ok lalu digotong ke dalam kamar dan
dibaringkan. Kiok Hwa cepat menanggalkan baju wanita itu
dan memeriksa keadaan luka di pundak. ia tahu bahwa yang
melakukan pemukulan itu tentu Eng-ji, karena di dalam kamar
hanya ada dia dan Eng-ji. Dan ia tidak merasa heran kalau
Eng-ji memiliki ilmu pukulan sekeji itu, karena melihat sifat
dan wataknya, sangat boleh jadi Eng-ji adalah murid seorang
datuk sesat yang sakti. Setelah melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa berkat
tubuhnya yang terlatih dan kuat serta tenaga sin-kangnya
yang juga kuat, Sam Ok dapat mempertahankan diri dan hawa
beracun dari pukulan Toat-beng Tok-ciang itu belum menjalar
ke jantungnya. Melihat ini Kiok Hwa menjadi girang dan ia
merasa yakin bahwa nyawa Sam Ok dapat tertolong. Ia lalu
menggunakan ilmunya untuk menotok beberapa jalan darah
untuk menghentikan darah beracun mengalir lebih jauh lagi,
kemudian mengurut-urut di sekeliling tanda tiga jari tangan
menghitam itu sampai warna hitamnya berkumpul di tengahtengah
dan bagian itu membengkak. Tiba-tiba ia mendengar
suara kaki di belakangnya. Ia menoleh dan melihat wanita
yang dianggap ibu oleh Han Lin sudah berdiri di situ dengan
tangan memegang pedang. "Bibi, tolong pinjamkan pedangmu itu kepadaku," katanya lembut.
"Untuk apa pinjam pedang?" suara itu kaku dan tidak jelas seperti suara kanak
kanak. "Engkau tidak boleh membunuh."
"Tidak ada yang membunuh," jawab Kiok Hwa sambil
tersenyum ramah dan halus, "aku meminjam pedang untuk
merobek sedikit kulit di pundaknya untuk mengeluarkan darah
yang beracun." menunjuk ke arah pundak Sam Ok.
Wanita itu tampak ragu lalu berkata dengan suara pelo.
"Lakukanlah, akan tetapi kalau engkau membunuh Sam Ok
aku akan membunuhmu." Ia menyerahkah pedangnya. Kiok
Hwa menerima pedang itu dan menahan diri untuk bicara. ia
tahu bahwa wanita itu masih belum menyadari keadaan
dirinya, masih dikuasai pengaruh sihir dan racun perampas
ingatan. Biarpun ia bicara juga tidak ada gunanya. Dalam
keadaan seperti itu ia sendiripun tidak berdaya. Semua obat
penting yang selalu dibawanya berada dalam buntalan
pakaiannya yang tertinggal kamar penginapan. Ah, kalau saja
ada jarum-jarum emas. Tiba-tiba ia teringat. Dengan jarum
emas ia dapat membuka jalan darah tertentu untuk membuat
wanita itu terbuka pula ingatannya, walaupun hanya untuk
sebentar atau untuk sementara waktu. Kalau saja ia mendapat
kesempatan untuk mempergunakan jarum-jarum yang
diusahakan oleh pihak tuan rumah untuk dipinjamkan itu!
Akan tetapi bagaimana caranya untuk mempergunakan jarumjarum
itu terhadap wanita ini"
Pada saat itu Toa Ok memasuki kamar itu dengan wajah
riang. Akan tetapi ketika dia melihat Kiok Hwa berdiri di dekat pembaringan
sambil memegang sebatang pedang, dia terkejut
dan memandang kepada wanita itu, lalu membentak Kiok
Hwa. "Apa yang akan kau lakukan dengan pedang itu?" Dia
bersiap-siap untuk menyerang.
"Tenanglah, Toa Ok......"
Toa Ok membentak ke arah wanita itu. "Bukankah itu
pedangmu" Hayo ambil kembali!"
Mendengar kata-kata itu, wanita itu tiba-tiba menyerang
Kiok Hwa dengan cengkeraman ke arah dada. Kiok Hwa
terkejut dan cepat mengelak dan cengkeraman itu berubah
arah lalu merampas pedang yang dipegang Kiok Hwa. Karena
Kiok Hwa tidak ingin berkelahi, maka ia melepaskan pedang
itu dirampas oleh pemiliknya.
"Hem m, Toa Ok. Apakah engkau tidak menghendaki
kesembuhan Sam Ok" Apakah engkau ingin melihat ia mati?"
"Apa maksudmu?" tanya Toa Ok.
"Lihat pundak Sam Ok itu. Aku telah mengumpulkan darah
beracun di tengah tengah bekas tapak jari dan aku meminjam
pedang untuk menoreh dan membuka kulit itu agar darah
yang beracun dapat keluar."
"Ah, begitukah" Maafkan aku, Sian li. Akan tetapi pedang
itu beracun. Ini jarum-jarum emas dan peraknya sudah
berhasil kami dapatkan. Apakah engkau tidak dapat
mempergunakan jarum-jarum ini untuk mengeluarkan darah
itu?" "Bagus. Dengan jarum aku juga dapat menoreh kulit
pundak ini. Tolong minta-kan air mendidih, aku harus
merendam dulu jarum-jarum itu ke dalam air mendidih." kata Kiok Hwa sambil
menerima untaian kain putih berisi jarumjarum
itu. Sementara wanita itu yang telah merampas
pedangnya kembali, kini berdiri seperti patung dan hanya
memandang kepada Kiok Hwa. Ia seperti seorang anak kecil
yang tidak tahu urusan dan bodoh.
Pada saat itu, anggauta Pek-lian-kauw yang memasak air
datang membawa sepanci air mendidih.
"Letakkan di situ!" lata Toa Ok sambil menuding ke atas meja. Sepanci air panas
itu lalu ditaruh di atas meja dan Kiok Hwa berkata kepada Toa Ok. "Toa Ok, aku
akan segera melakukan pengobatan atas diri Sam Ok, harap engkau suka
keluar dari kamar ini. tidak pantas kalau seorang pria
menonton pengobatan ini."
Toa Ok tertawa lalu berkata kepada wanita yang diaku
sebagai ibu oleh Hai Lin itu. "Engkau berjaga di sini, jaga jangan sampai nona
ini membunuh Sam Ok."
"Baik," jawab wanita itu dengan singkat dan iapun lalu duduk di atas bangku di
sudut berjaga-jaga dengan pedang di
tangan. Kiok Hwa merendam tiga batang jarum emas dan tiga
batang jarum perak di dalam air mendidih beberapa lamanya!
Kemudian ia mengambil sebatang jarum emas dan
menggunakan jarum itu untul menoreh kulit pundak sehingga
kulit dan sebagian dagingnya terobek. Darah hitam mengalir
keluar dari torehan kulit pundak itu. Kiok Hwa tanpa rasa jijik lalu mencuci
pundak itu dengan kain dan air panas. Ia
memijit-mijit sehingga banyak darah hitam keluar dari luka itu.
"Bibi, aku hendak menulis resep untuk membeli obat luka,
harap bibi menyuruh orang mengambil kertas dan alat tulis."
kata Kiok Hwa kepada wanita itu dengan suara lembut dan
pandang mata ramah. Wanita itu mengerutkan alis dan memandang ragu, akan
tetapi ia melangkah juga keluar dari kamar dan muncul
kembali bersama Toa Ok. Kiranya datuk itu tidak pergi jauh
dari kamar itu! "Apalagi yang kau butuhkan, Sian-li?"
"Toa Ok, semua darah beracun telah dapat kukeluarkan.
Bahaya telah lewat, akan tetapi aku harus mengobati luka Ini
dan juga aku harus mengusir semua hawa beracun dari
tubuhnya dengan tusukan jarum. Aku butuh kertas dan alat
tulis untuk membuat resep agar dibelikan obatnya."
Toa Ok pergi dan kembali membawa kertas dan alat tulis.
Agaknya dia masih curiga kepada Kiok Hwa sehingga semua
kebutuhannya dia yang melayani, bahkan dia ikut berjaga
tidak jauh dari kamar itu!
Setelah menuliskan resep obat luka, Kiok Hwa lalu mulai
melakukan pengobat dengann tusuk jarum ke bagian-bagian
tubuh yang penting. Setelah membiarkan jarum-jarum itu
menancap di bagian tubuhnya yang penting, Kiok Hwa hanya
mempergunakan dua jarum emas dan dua jarum perak,
menyisakan dua macam jarum itu masing-masing sebatang.
Kemudian ia menoleh kepada wanita yang masih berjaga
dengan pedang di tangan itu dari menghampirinya.
"Pengobatan telah selesai dan Sam Ok telah sembuh,
hanya tinggal menanti ia siuman kembali," katanya sambil
tersenyum. Wanita itu menggerakkan bibirnya yang manis
seperti hendak tersenyum pula, akan tetapi senyum itu urung,
akan tetapi cukup membuat wajah itu tampak manis sekali.
"Engkau pandai mengobati," demikian komentarnya dengan kata-kata yang tidak
begitu jelas. Tiba-tiba Kiok Hwa mendekatinya dan berseru, "Hei ,
engkau juga dalam keadaan tidak sehat, bibi!"
Wanita itu tampak kaget, akan tetapi ia menggeleng
kepala. "Tidak, aku tidak sakit."
"Kalau tidak percaya coba tekan ke dua pelipismu dengan
kedua tangan, tentu akan terasa pening dan nyeri." kata Kiok Hwa dan suaranya
mengandung kekuatan karena diam-diam
ia mengerahkan khi-kang dalam suaranya.
Wanita itu tampak ragu, akan tetapi lalu menyarungkan
pedangnya di punggung dan ia menggunakan dua buah jari
tangan kanan kiri untuk menekan kedua jelipisnya. Pada saat
itu, dengan kecepatan kilat dan gerakan ringan sekali, tubuh
Kiok Hwa berkelebat dan ia sudah berhasil menotok jalan
darah thian-hu-liat di tubuh wanita itu. Tanpa dapat berteriak wanita itu roboh
dengan lemas. Kiok Hwa menyambut
tubuhnya dan merebahkan wanita itu telentang di atas lantai.
Kemudian dengan cepat ia menggunakan sebatang jarum
emas dan sebatang jarum perak untuk menusuk dahi dan
ubun-ubun kepala wanita itu. Ia memutar-mutar dua batang
jarum itu dan melihat wanita itu memejamkan kedua matanya
dan alisnya berkerut-kerut.
"Bibi, engkau dicari puteramu yang bernama Han Lin,"
berulang-ulang Kiok Hwa membisikkan kata-kata ini di dekat
telinga wanita itu. Setelah beberapa kali memutar-mutar dua batang jarum itu
dan membisikkal kata-kata ini, wanita itu membuka matanya
dan ia memandang kepada Kiok Hwa dengan sinar mata
penuh pertanyaan. Kiok Hwa yang melihat betapa sinar mata
itu telah normal, cepat berkata.
"Bibi yang baik, Han Lin mencari-carimu." Ia lalu mencabut kedua batang jarum
itu. Wanita itu bangkit duduk.
"Han Lin..... Han Lin..... di mana Han Lin puteraku......"
Han Lin....!" Ia menjerit memanggil-manggil Han Lin. Ia
bangkit berdiri dan mencari-cari dengan pandang matanya ke
kanan kiri. Dua sosok bayangan berkelebat masu dan mereka adalah
Toa Ok dan Ji Ok. Ji Ok segera menghampiri wanita itu, dan
wanita itupun memegang lengannya. "Suamiku, di mana Han
Lin.....?" ia bertanya dan Ji Ok merangkulnya dengan mesra,
"Tenanglah, isteriku. Jangan khawatir aku akan mencarikan untukmu.
Marilah ....!" Dia merangkul dan mengajak wanita itu keluar dari kamar.
Sementara itu, Toa Ok sudah mencabut pedangnya dan
menodongkan pedang itu ke depan dada Kiok Hwa. Dia
menghardik, "Sian-li, apa yang kaulakukan terhadap wanita itu?"
Kiok Hwa menggerakkan kedua pundaknya. "Apa yang
kulakukan" Bukankah pertanyaan itu terbalik" Sepatutnya aku
yang bertanya kepada kalian, apa yang kalian lakukan
terhadap wanita itu! Aku hanya berusaha mengobatinya,
karena ia berada dalam keadaan terbius racun perampas
ingatan." "Awas kau! Jangan mencampuri urusan kami. Wanita itu
adalah isteri Ji Ok. Engkau tidak berhak mencampuri urusan
uami isteri itu! Engkau di sini adalah eorang tawanan, tidak
boleh berbuat semaumu sendiri!" Pedang itu masih menodong dada, akan tetapi
dengan tersenyum Kiok Hwa menggunakan
tangannya untuk mendorong pedang itu ke samping.
"Begini sikap seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang
berjuluk Toat-beng Kui-ong Toa Ok" Baru saja terlepas dari
mulutmu bahwa engkau tidak menganggap aku sebagai
tawanan. Akan tetapi setelah aku mengobati Sam Ok sampai
berhasil sembuh, engkau menjilat kembali kata-kata yang
telah keluar dari mulutmu. Tidakkah engkau khawatir namamu
akan jatuh menjadi rendah karena sikapmu ini?" Setelah
berkata demikian Kiok Hwa menghampiri Sam Ok dan
memeriksa keadaannya. Pernapasan datuk wanita itu sudah
normal kembali, maka ia lalu mecabuti empat batang jarum
dan mengurut tengkuk Sam Ok. Diurut tengkuknya, Sam Ok


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka matanya dan menghela napas panjang. Ketika ia
melihat Kiofk Hwa berdiri di tepi pembaringan dan merasakan
betapa tubuhnya tidak nyeri lagi ia segera menyadari bahwa
Kiok Hwa telah menyembuhkannya. Iapun cepat bangkit dan
melihat Toa Ok masih memegang pedang mengancam gadis
itu. Sam Ok berdiri dan memandang kepada Toa Ok dengan
alis berkerut. "Toa Ok, apa yang kaulakukan itu" Bukankah gadis ini telah mengobati dan
menyembuhkan aku" Aku tidak ingin engkau
bersikap kasar kepadanya!"
"Hemm, Sam Ok berpikirlah yang sehat!" Balas Toa Ok
dengan bentakan! "Memang benar Pek I Yok Sian-li ini telah
menyembuhkanmu, akan tetapi tetap saja ia masih menjadi
sandera kita dan ia merupakan satu-satunya jalan untuk
mendatangkan Im-yang-kiam."
Sam Ok memandang kepada Kiok Hwa dengan sinar mata
penuh selidik. "Jadi Engkaukah Pek I Yok Sian-li yang terkenal itu" Apakah benar
pemuda itu akan datang menukarkan Imyang-kiam untuk membeli kebebasanmu?"
Kiok Hwa maklum bahwa ia berhadapan dengan orangorang
yang tidak segan melakukan kecurangan dan kejahatan
apapun juga dan ia tidak dapat mengharapkan orang macam
Sam Ok untuk mengenal budi pertolongan orang. Maka iapun
menjawab seenaknya. "Kuharap saja tidak begitu bodoh untuk menyerahkan Im-yang-
kiam kepadamu. Aku tidak peduli apa
yang akan kalian lakukan kepada ku. Aku tidak takut mati."
Mendengar ucapan ini, Sam Ok yang baru saja
diselamatkan nyawanya oleh gadis itu malah tertawa geli. "Hihi-hi-hi , orang
yang amat berguna seperti engkau ini sayang
kalau mati begitu saja. Dengan adanya engkau di sisiku, aku
tidak takut akan serangan musuh yang bagaimanapun juga.
Engkau selalu akan dapat mengobatiku, hi-hi-hik! Toa Ok,
gadis ini tidak seharusnya ditodong pedang! Ia harus dijaga
sebaiknya agar jangan sampai lolos, akan tetapi juga jangan
dibunuh. Kita membutuhkan tenaga ahli seperti gadis ini!"
"Ha-ha-ha, engkau benar sekali, Sam ok. Akan tetapi kita
harus memancing bocah itu datang menyerahkan Im-yangkiam.
Dengan begitu kita akan mendapatkan kedua-duanya.
Kalau pedang Im-yang-kiam berada bersama kita dan Pek I
Yok Sianli selalu menemani kita, kita tidak takut apa-apa lagi."
Kiok Hwa sengaja tertawa mengejek "Bicara memang
mudah, Toa Ok dan Sam Ok. Kalian boleh merencanakan apa
saja. Akan tetapi Han Lin adalah seorang pendekar yang
berilmu tinggi. Kalian semua akan kalah olehnya. Apalagi dia
dibantu oleh Eng-ji yang juga memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Lihat saja pukulan Toat-beng Tok-ciang yang dipergunakan
Eng-ji terhadap Sam Ok. Sekali pukul saja Sam Ok hampir
mati!" Mendengar ini, Sam Ok mengepal kedua tangannya dan ia
berseru, "Kiranya bocah remaja keparat itu yang telah
memukulku. Aku akan membalasnya dan kalau dia berani
datang ke sini, aku akan membunuhnya dengan kedua
tanganku sendiri!" Berkata demikian ia mengamangkan
tinjunya dan karena mengerahkan tenaga ini, lukanya
mengeluarkan darah. "Sam Ok, lukamu masih belum tertutup, menanti obat yang
sedang dibelikan." kata Kiok Hwa dan pada saat seperti itu kembali ia menjadi
seorang ahli pengobatan yang
memperhatikan si-sakit yang dirawatnya. Pada saat itu, anak
buah Pek-lian-kauw yang membeli obat datang dan masuk,
menyerahkan bungkusan obat kepada Toa Ok. Toa Ok
menerimanya dan memberikan kepada Kiok Hwa.
"Ini obatnya. Pergunakanlah untuk mengobati luka di
pundak Sam Ok." Kiok Hwa menerima obat itu sambil tersenyum. Ia bersikap
tenang sekali sehingga Toa Ok dan Sam Ok diam-diaw merasa
tidak enak juga. Dua orang ini sudah terbiasa melakukan
kejahatan dari terbiasa pula melihat korban mereka ketakutan
setengah mati. Kini melihat korban mereka bersikap demikian
tenang, bahkan mengobati Sam Ok dengan ketelitian yang
sama sekali tidak memperlihatkan permusuhan, mereka
berdua merasa aneh dan tidak enak sekali. Kalau Kiok Hwa
menangis dan mohon ampun mereka tentu akan merasa
gembira bukan main. Akan tetapi melihat kini Kiok Hwa
membubuhkan obat pada luka di pundak Sam Ok, mereka
berdua merasa seolah-olah dipandang rendah dan
ditertawakan oleh gadis itu.
Kiok Hwa mencurahkan perhatiannya kepada pundak Sam
Ok dan sebentar saja ia sudah menutup luka torehan jarum
tadi dengan obat bubuk yang dibeli menurut resepnya.
"Nah, sekarang tinggal menunggu luka itu kering. Darah
dan hawa beracun sudah bersih, lukanyapun tidak seberapa
dalam, dalam waktu satu dua hari akan kering dan sembuh."
kata Kiok Hwa sambil membungkus lagi sisa obat dan enam
batang jarum pinjaman itu. Setelah membungkusnya, ia
menaruhnya di atas meja. Sam Ok dan Toa Ok saling pandang, merasa tidak enak
sekali. Kalau orang lain melihat sikap dan kata-kata Kiok Hwa
tentu akan menjadi rikuh sekali. Akan tetapi bagi dua orang
datuk sesat ini, sudah lama rasa rikuh dan tenggang rasa
sudah mati dalam batin mereka. Mereka hanya merasa tidak
enak. Dari perasaan tidak enak dan merasa tidak dipandang
sebelah mata oleh Kiok hwa yang kelihatan meremehkan
keganasan dan kejahatan mereka, Toa Ok menjadi marah.
Orang yang tidak memandang Kepada kekuasannya sama
dengan menghinanya! "Gadis ini berbahaya, harus dikurung dan dijaga ketat agar tidak meloloskan
diri!" katanya kepada Sam Ok. Kemudian
kepada Kiok Hwa dia berkata. "Hayo Sianli, keluar dari kamar ini dan ikut aku!"
Kiok Hwa tidak membantah. Ia melangkah keluar digiring
oleh Toa Ok menuju ke bagian belakang dari rumah besar itu.
Ternyata ia dibawa ke sebuah kamar yang agaknya memang
dibuat untuk mengeram orang yang dianggap berbahaya.
Kamar itu sederhana sekali tetapi cukup lengkap dengan
pembaringan meja dan kursi. Akan tetapi pintu dan jendelanya
terbuat dari jeruji besi yang kokoh kuat.
"Masuklah, engkau akan dilayani sebagai tamu kami di
kamar ini. Asalkan engkau tidak mencoba untuk meloloskan
diri, kami tidak akan mengganggumu" Setelah berkata
demikian, Toa Ok meninggalkan kamar itu, menutup dan
mengunci pintunya, menyerahkan kunci kepada penjaga dan
kamar itu dijaga oleh lima orang anak buah Pek-lian-kauw.
00-dewi-00 Malam itu Kiok Hwa duduk bersila diatas pembaringan
dalam kamar tahanan itu. Sedikitpun ia tidak merasa khawatir
akan dirinya sendiri. Ia tidak pernah mempunyai musuh dan
tidak ada alasan bagi siapapun juga untuk memusuhinya, Ia
selalu mengulurkan tangan untuk menolong orang, bukan
untuk mengganggu orang atau memusuhinya. Dalam
membela diri sekalipun ia tidak ingin melukai orang lain. Ia
hanya memikirkan Han Lin. Ia yakin bahwa Han Lin tidak akan
tinggal diam dan tentu akan mencarinya, untuk
membebaskannya dan sekalian membebaskan ibunya. Ia
merasa yakin kini bahwa wanita itu memang benar ibu Han
Lin. Tadi ketika ia berhasil menyadarkannya barang sebentar,
wanita itu teringat kepada Han Lin dan memanggil-manggilnya.
Ia maklum bahwa Han Lin seorang ang tinggi ilmunya dan
memiliki kebijaksanaan, juga cukup cerdik maka tidak perlu ia
mengkhawatirkan keselamatannya. Akan tetapi dengan
adanya ia dan ibunya yang seolah menjadi sandera di situ, ia
khawatir kalau-kalau Han Lin akan menjadi lemah dan terjatuh
ke dalam perangkap musuh. Ia tahu pula bahwa Eng-ji tentu
akan membantu Han Lin dan Eng ji juga memiliki ilmu yang
tinggi. Akan tetapi Sam Ok amat lihai dan mereka berada di
sarang Pek-lian-kauw yang anak buahnya amat banyak.
Bagaimana Han Lin berdua Eng-ji akan mampu membebaskan
ia dan ibu Han Lin tanpa menempuh bahaya besar" Teringat
akan semua ini, tiba-tiba ia teringat kepada Eng-ji. Gadis yang menyamar pria
itu amat mencinta Han Lin. Demikian hebat
cintanya sehingga hampir-hampir saja gadis itu nekat
membunuhnya karena cemburu!
Teringat akan kenyataan ini, sejenak hati Kiok Hwa diliputi
kesedihan. Ia tahu bahwa ia amat mencinta Han Lin dan ia
pun tahu bahwa Han Lin juga mencintai-nya. Akan tetapi, di
sana ada Eng-ji yang cintanya mengebu-ngebu terhadap Han
Lin. Gadis itupun telah memperlihatkan kesetiaannya kepada
Han Lin, walaupun Han Lin belum tahu bahwa Eng-Ji adalah
seorang wanita. Ia tahu bahwa kalau ia berkeras
mempertahankan hubungannya dengan Han Lin, menjadikan
Han Lin kelak sebagai suaminya, hal itu akan menghancurkan
kebahagiaan dan mungkin kehidupan Eng-ji Dan ia tidak mau
melakukan hal yang membuat hancur hati seseorang. Tidak, ia
harus mengalah! Ia harus membiarkan Han Lin nenjadi jodoh
Eng-ji, bukan jodohnya. Ia rela berkorban. Pula, belum tentu
ia akan dapat hidup berbahagia di samping Han Lin. Ia tidak
menyukai kekerasan. Ia tidak suka melihat orang saling
melukai, apalagi saling membunuh. Dan Han Lin dalah
seorang pendekar yang selalu memusuhi para penjahat.
Banyak musuh-nya, padahal ia tidak ingin mempunyai seorang
pun musuh. Eng-ji lebih cocok menjadi isteri Han Lin.
Keduanya sama-sama pendekar, keduanya sama-sama memusuhi
dunia penjahat. Malam telah larut. Lima orang pengawal di luar kamar
tahanan telah diganti oleh lima orang lain, kunci diserah
terima. Kiok Hwa masih duduk bersila di atas pembaringan dan
lima orang penjaga itu hanya menengok dan memandang
padanya. Biarpun tawanan itu seorang gadis yang cantik jelita, tidak seperti
biasanya, lima orang anak-anak buah Pek-liankauw tidak berani mengganggunya
karena mereka tahu bahwa tawanan ini adalah tawanan istimewa, seorang ahli
pengobatan yang dijadikan tawanan juga tamu yang
diperlakukan dengan baik dan hormat. Bicarapun mereka
berbisik bisik seolah-olah tidak mau mengganggu gadis yang
sedang duduk bersila dan mejamkan kedua matanya seperti
orang tertidur pulas itu.
Sementara itu, di luar, di bawah sinar bulan, dua sosok
bayangan berkelebat dengan cepat sekali sehingga tidak dapat
dilihat bayangan mereka. Mereka menyelinap dari bawah
pohon yang satu ke pohon yang lain mendekati
perkampungan Pek-lian-kauw. Mereka itu bukan lain adalah
Han Lin dan Eng-ji. Han Lin bergerak di depan dan Eng-ji
mengikuti dari belakang. Ini adalah kehendak Han Lin yang
menduga bahwa sarang Pek-lian kauw tentu mengandung
perangkap dan jebakan yang berbahaya. Maka dia bergerak di
depan dengan hati-hati dan dia menyuruh Eng-ji mengikutinya
dari belakang. Setelah tiba di luar tembok yang mengelilingi
perkampungan itu, Han Lin berhenti dan memberi isarat
kepada Eng-ji untuk berhenti bergerak pula. Dia menuding ke
atas tembok, memberi isarat bahwa dia akan menyelidiki
medan terlebih dulu. Eng-ji mengerti dan dia mengangguk.
Setelah memperhitungkan dengan hati-hati, Han Lin lalu
membuat gerakan melompat. Dia hinggap di atas pagar
tembok itu dan berjongkok, memeriksa ke dalam. Sunyi saja di
situ dan di sebelah dalam pagar tembok itu adalah sebuah
kebun. Tidak ada yang berjaga di situ dan agaknya yang
dijaga hanya di gapura pagar tembok itu, di mana terdapat
lima orang penjaga. Melihat ini dia menjadi girang dan cepat
memberi isarat kepada Eng-ji yang menunggu di bawah untuk
melompat naik. Eng-ji melompat dan berjongkok di samping Han Lin. Di
bawah sinar bulan, dua orang itu tampak seperti dua ekor
burung besar yang hinggap di atas pagar tembok itu.
"Mari kita ke bangunan besar yang dikelilingi bangunan
kecil di sana itu," Han Lin berbisik sambil menuding ke depan.
Di bawah sinar bulan mereka dapat melihat sebuah bangunan
besar yang dikelilingi setengah lingkaran oleh bangunan kecil
sedangkan di belakang bangunan besar itu terdapat sebuah
bukit besar. "Akan tetapi hati-hati, ikuti jejakku. Kalau aku terjebak engkau
dapat menolongku, jangan sampai kita
keduanya terjebak musuh."
Eng-ji mengangguk. Ia cukup cerdik untuk dapat mengerti
apa yang dimaksudkan oleh Han Lin. Iapun dapat menduga
bahwa sarang perkumpulan sesat seperti Pek-lian-kauw tentu
dilindungi oleh perangkap-perangkap atau jebakan-jebakan
yang berbahaya. Han Lin melompat turun ke sebelah dalam pagar.
Kemudian dia dan Eng-ji menyusup-nyusup di antara pohonpohon
dan semak di kebun itu mendekati bangunan-bangunan
di perkampungan itu. Tidak terjadi sesuatu, tidak ada jebakan!
menghalangi mereka sampai mereka menyelinap di antara
bangunan-bangunan kecil yang mengelilingi bangunan besar.
Mereka mendengar suara orang-orang di dalam bangunanbangunan
kecil, suara para anggauta Pek-lian-kauw. Akan
tetapi tidak banyak di antara mereka yang berada di luar
sehingga Han Lin dan Eng-ji tidak dapat menemui kesulitan
untuk menghampiri bangunan besar.
Mereka melihat betapa di depan bangunan besar itu
terdapat sebuah gardu penjaga dan terdapat belasan orang
penjaga di situ. Tidak salah lagi, mereka menduga, bangunan
ini tentu menjadi pusat dan tempat tinggal para pimpinan.
Sam Ok tentu berada di situ pula, bersama Kiok Hwa dan juga
ibu Han Lin. Maka, Han Lin mengambil jalan memutar ke
belakang bangunan besar dan meloncat ke atas wuwungan
rumah. Eng-ji mengikutinya dari belakang. Dari atas
wuwungan mereka mengintai ke bawah dan melihat bahwa
keadaan di bawah remang-remang. Agaknya para
penghuninya sudah masuk kamar atau tertidur, dan lampulampu
besar telah dipadamkan, hanya tinggal beberapa lampu
gantung saja yang menerangi ruangan tengah itu. Bangunan
itu besar dan di bagian tengah ada ruangan terbuka, semacam
taman. Tiba-tiba mereka melihat dua orang sedang meronda,
membawa sebuah lampu di tangan kiri dan sebatang golok di
tangan kanan. Melihat mereka, Han Lin berbisik.
"Kita robohkah mereka tanpa suara"
Eng-ji mengangguk dan mereka berdua segera melayang
turun. Dua orang peronda itu terkejut sekali ketika tiba-tiba


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ada dua orang berada di depan mereka. Sebelum mereka
dapat bersuara atau bergerak, cepat sekali Han Lin dan Eng ji
menyerang dengan totokan dan dua orang itu roboh dengan
lemas. Han Lin dan Eng-ji merampas lampu yang mereka
bawa. Han Lin mengambil sebatang dari golok mereka dan
menodongkan golok itu di leher seorang di antara dua
peronda yang sudah tidak mampu bergerak atau bersuara itu.
"Hayo tunjukkan kepadaku di mana gadis berbaju putih itu
dikeram!" bisiknya kepada peronda itu sambil membebaskan
totokannya sehingga orang itu dapat bergerak kembali akan
tetapi membiarkan totokan yang membuat dia tidak dapat
mengeluarkan suara. Orang itu bangkit berdiri dan
mengangguk-angguk sambil menuding ke arah belakang
rumah. Han Lin lalu menyeret orang ke dua, disembunyikan di
dalam kegelapan, kemudian Ia menodong peronda yang
ditawannya untuk menjadi petunjuk jalan. Eng-ji mengikutinya
dari belakang dengan sikap waspada kalau-kalau mereka
diserang orang dari belakang. Melihat mereka berhasil
sedemikian mudahnya, hati kedua orang muda itu bahkan
merasa tidak enak sekali. Mengapa sarang Pek-lian-Kiuw ini
begitu lemah penjagaannya" Akan tetapi karena mereka
sudah menangkap seorang peronda yang menjadi penunjuk
jalan, merekapun melanjutkan usaha mereka untuk
membebaskan ibu lian Lin dan Kiok Hwa.
Dalam keadaan tidak mampu mengeluarkan suara dan
ditodong, peronda itu tidak berdaya. Dia berjalan di depan
Han Lin, leher bajunya dicengkeram tangan kiri Han Lin dan
punggungnya ditodong golok. Dia membawa Han Lin ke
belakang bangunan itu, melalui lorong sempit dan akhirnya dia
berhenti, menunjuk ke depan di mana terdapat sebuah kamar
dan di depan kamar itu terdapat lima orang penjaga.
Melihat peronda datang bersama Han Lin dan Eng-ji, lima
orang penjaga itu menjadi terheran-heran, akan tetapi Han Lin
sudah menotok roboh penunjuk jalan kemudian bersama Engji
dia menerjang maju. Dua orang itu mengamuk, dengan
mudah merobohkan lima orang itu dengam totokan-totokan.
Han Lin mempergunakan It-yang-ci sehingga tiga kali
menggerahkan tangan dia telah merobohkan tiga orang,
sedangkan Eng-ji mempergunakan Pek-lek-ciang-hoat (Ilmu
Pukulan Halilintar) yang membuat dua orang roboh pingsan
dalam waktu singkat. Han Lin lalu menggeledah dan dalam saku seorang di
antara mereka dia menemukan kunci pintu kamar tahanan.
Cepat dia membuka pintu itu dan masuk, di kuti oleh Eng-ji.
Dalam kamar mereka melihat Kiok Hwa duduk bersila di atas
pembaringan. Ketika mendengar pintu terbuka, Kiok Hwa
membuka matanya dan melihat Han Lin dan Eng-ji ia tidak
menjadi terkejut karena memang sudah menduganya sejak
semula. Akan tetapi ia menjadi khawatir sekali.
"Hati-hati, cepat keluar!" katanya. akan tetapi terlambat!
Terdengar suara ledakan-ledakan keras dan beberapa buah
benda dilempar ke dalam kamar, juga pintu kamar itu telah
tertutup dari luar dan dirantai kokoh kuat! Ledakan itu di kuti oleh asap
kebiruan yang memenuhi kamar itu.
"Asap beracun! Tahan napas!" teriak Ciok Hwa. Mendengar ini, Han Lin dan Eng-ji
menahan napas mereka. Akan tetapi,
Han Lin berpikir bahwa tidak mungkin mereka menahan napas
terlalu lama. maka diapun berkata dengan nyaring.
"Eng-ji! Kiok-moi! Mari satukan tenaga dan dorong pintu
agar jebol!" Setelah berkata demikian, dia mengerahkan
separuh tenaga sinkangnya mendorong ke arah pintu, dibantu
oleh Eng-ji dan Kiok Hwi Tenaga sinkang tiga orang itu
dikerahkan dan disatukan.
"Brol l......!" Pintu yang terbuat dari besi beruji itupun ambrol, terlepas dari
tembok dan jatuh bergedubrakan diluar
kamar tahanan. Tiga orang itu lalu berloncatan keluar. Han Lin memegang Im yang-
kiam, Eng-ji memegang Ceng-hong kiam
dan Kiok Hwa yang tadinya bertangan kosong diberi golok
rampasan oleh Han Lin. Mereka bertiga melompat keluar dan
disambut oleh Sam Ok bertiga yang dibantu oleh dua orang
pimpinan Pek-lian-kauw dan belasan orang anak buahnya!
"Ha-ha-ha-ha!" Terdengar Toa Ok tertawa. "Kalian seperti tikus-tikus yang sudah
masuk perangkap!" Akan tetapi Han Lin dan Eng-ji sama sekali bukan tikustikus
yang tidak berdaya. Sama sekali bukan. Mereka
mengamuk dan membuka jalan keluar! Han Lin sengaja
membiarkan Kiok Hwa di tengah, Eng-ji yang berada di depan
dan dia dibelakang. Dengan amukan mereka berdua, dibantu
oleh Kiok Hwa yang ternyata mampu memainkan golok
dengan indahnya melindungi dirinya dari serangan banyak
orang, mereka mampu menerobos keluar dari kepungan dan
melarikan diri keluar dari lorong itu. Akan tetapi karena
dihadang, mereka tidak dapat mengambil jalan semula,
melainkan terdesak dan terpaksa mengambil jalan belakang
yang membawa mereka tiba di bagian belakang gedung itu.
Mereka lalu melarikan diri di belakang gedung yang
merupakan sebuah kebun dan jalan mendaki karena di
belakang gedung itu terdapat sekuah bukit.
"Eng-ji, lari terus naik ke bukit itu!" Han Lin berseru sambil memutar pedang-
menahan para pengejar dan pengeroyok .
Dia harus menghadapi Thian-te Sam Ok yang dibantu oleh
ketua dan wakil ketua cabang Pek-lian-kauw yang cukup lihai
sehingga Han Lin harus mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya tutuk menahan mereka sehingga Eng-ji dan
Kiok Hwa sempat melarikan diri ke arah bukit. Dengan Ityang-
ci yang dikerahkan dengan tenaga sakti Jit-goat Sin-kang
(Tenaga Sakti Matahari dan Bulan) dia memaksa lima orang
pengeroyoknya untuk mundur dan dia lalu melompat dan
mengejar Eng-ji dan Kiok Hwa yang sudah berlari lebih
dahulu. Akan tetapi Thian-te Sam-ok dan para anggauta Pek
lian-kauw melakukan pengejaran dan di antara mereka ada
yang membawa obor. Han Lin dapat menyusul Eng-ji dai Kiok Hwa. Mereka berlari
terus mendaki bukit yang berbatu-batu itu. Ketika melihat
sebuah gua besar, Han Lin berseru "Mari kita masuk dan
sembunyi dalam gua itu agar terhindar dari pengepungan dan
pengeroyokan!" Mereka bertiga lalu berlari menuju guha.
Kalau berada di guha, mereka tidak dapat dikepung dari dapat
melakukan perlawanan lebih baik karena jumlah
pengeroyoknya tidak dapat banyak. mengingat guha itu terlalu
sempit untuk mereka yang hendak mengeroyok!
Mulut guha itu ada dua meter lebarnya, akan tetapi sebelah
dalamnya ternyata luas. Akan tetapi sinar bulan tidak hanyak
memasuki guha sehingga keadaan di dalam guha itu gelap
sekali. "Kita bersembunyi di dalam!" kata Han Lin sambil bergerak di depan, meraba-raba
mencari jalan. Sementara itu, para
pengejar juga sudah tiba di depan Guha.
"Ha-ha-ha-ha, kalian benar-benar seperti tikus-tikus dalam kurungan!" terdengar
suara Toa Ok tertawa dan terdengarlah suara gemuruh. Tiga orang pe-larian itu
cepat menengok dan di bawah sinar banyak obor mereka melihat betapa ada pintu
baja yang berat dan kuat sekali tiba-tiba telah menutup mulut
guha dari atas! "Mari kita menerjang keluar!" ajak Eng-ji. Dengan nekat ia telah memutar
tubuhnya dan dengan pedang di tangan ia
hendak menerjang dan membobol pintu haja. Akan tetapi dari
luar tiba-tiba meluncur banyak sekali senjata rahasia seperti
pisau terbang, paku, jarum dan anak panah.
"Awas, Eng-ji. Cepat kembali masuk!" seru Han Lin yang melompat ke depan dan
memutar Im-yang-kiam untuk
menangkis semua senjata rahasia itu bersama Eng-ji. Mereka
lalu berlompat lagi masuk ke dalam guha. Di situ mereka
aman dari serangan senjata rahasia karena terowongan dalam
guha itu membelok ke kanan dan mereka terlindung.
"Kita berlindung di sini. Mereka tidak akan mampu
menyerang kita," kata Han Lin.
"Akan tetapi, Lin-ko. Berapa lama kita akan mampu
bertahan di sini" Jika tidak mampu keluar dan kita tentu akan
mati kelaparan di tempat ini." kata Kiok Hwa dengan suara lembut dan sikap
tenang. "Kita tunggu sampai terang tanah baru mencari jalan untuk dapat keluar dari
sini," kata Han Lin.
Mereka bertiga tidak dapat berbuat lain kecuali menanti
lewatnya malam yang gelap dalam guha itu. Mereka bertiga
duduk bersila dan menghimpun tenaga untuk menghadapi
segala kemungkinan. Diam-diam Han Lin merasa lega juga
melihat sikap kedua orang itu. Kiok Hwa tampak tenang sekali,
sedangkan Eng-ji yang kelihatan marah kepada musuh juga
sama sekali tidak kelihatan takut. Bahkan Eng-ji bersikap
seolah hendak menghibur dan membesarkan hati kedua orang
kawannya. "Kalian tunggu saja. Kalau mereka berani memasuki guha
ini, mereka akan kubunuh semua! Jangan takut selama masih
ada aku di sini." katanya kepada Han Lin dan Kiok Hwa. Kiok Hwa tersenyum
melihat lagak Eng-ji. "Masih baik kalau mereka memasuki guha dan mencoba
menyerang kita, karena kita mendapat kesempatan untuk
lolos. Akan tetapi kalau mereka hanya berjaga di luar dengan
senjata rahasia mereka dan mencegah kita keluar dari sini,
bagaimana?" tanya Kiok Hwa.
"Kita coba lagi untuk menerjang keluar!" kata Eng-ji penuh semangat.
"Kita tunggu sampai besok baru kita mencari jalan kejuar.
Sekarang lebih baik kita beristirahat sambil menghimpun
tenaga untuk menghadapi besok." kata Han Lin.
"Wah, mana mungkin aku dapat tidur" Dalam keadaan
terperangkap, terkepung dan tidak berdaya begini" Lebih baik
kita mengobrol dan menceritakan riwayat kita masing-masing.
Kita sekarang sudah senasib sepenanggungan, sudah
sewajarnya kalau kita lebih mengenal satu sama ain. Kalau
kita sudah pernah bercerita tentang riwayat hidup kita,
sekarang toleh diulang lagi dengan jelas. Giliran-ku lebih dulu, enci Kiok Hwa.
Ceritakanlah siapa orang tuamu, siapa gurumu
dan dari mana engkau berasal?"
Kiok Hwa menghela napas panjang. Beringat akan keadaan
dirinya yang sebatang kara dan tidak mempunyai keluarga
lagi, ia menjadi sedih juga. Ditelannya kesedihannya dan
sambil mengembangkan senyum di wajahnya ia menjawab.
"Tidak ada yang menarik dalam riwayatku. Aku dilahirkan di sebuah dusun kecil
yang tidak berarti. Ayahku seorang ahli
sastra yang gagal menjadi sarjana dan hidup miskin bersama
ibu dan aku di dusun, hidup sebagai petani penggarap karena
tidak mempunyai tanah sendiri. Ilmu kesusasteraan yang
dikuasainya sama sekali tidak ada harga dan gunanya di
dusun yang kecil terpencil itu. Pada suatu waktu, dusun kami
dilanda wabah penyakit yang amat ganas. Kami sekeluarga
diserang penyakit. Pada waktu itu muncul ah seorang ahli
pengobatan yang merantau. Dia adalah Thian-beng Yok sian.
Dia turun tangan mengobati penduduk dusun yang terserang
penyakit. Dia juga mengobati kami, akan tetapi hanya aku
yang dapat diselamatkan. Ayah dan ibuku sudah terlampau
berat penyakitnya dan meninggal dunia, meninggalkan aku
seorang diri di dunia ini. Aku lalu diambil murid oleh Thianbeng Yok-sian dan
ikut suhu merantau sambil mempelajari
ilmu silat dan ilmu pengobatan. Akan tetapi aku lebih tekun
mendalami ilmu pengobatan karena setelah ayah dan ibu
meninggal karena penyakit, aku mengambil keputusan untuk
memerangi penyakit dan menyembuhkan orang-orang yang
terserang penyakit tanpa membedakan kaya miskin, pintar
bodoh atau baik maupun jahat."
Eng-ji mengerutkan alisnya. "Hemm, sekarang mengertilah
aku mengapa aku melihat Sam Ok masih segar bugar, pada
hal ia telah terkena pukulan Toat-beng lok-ciang dariku. Tentu engkau yang telah
mengobati dan menyembuhkannya, enci
Kiok Hwa." "Benar, Eng-ji. Aku melihat ia terluka keracunan lalu aku mengobatinya."
Eng-ji menghela napas. "Boleh saja engkau tidak
membedakan antara kaya miskin atau pandai dan bodoh.
Akan tetapi kalau engkau menolong dan mengobati yang
jahat, itu berarti mencari penyakit sendiri! Lihat buktinya,
walau pun engkau telah menolong Sam Ok, tetap saja ia
memusuhimu." "Aku mengobati tanpa pamrih, tidak menuntut balas jasa,
maka terserah apa yang akan ia lakukan, Eng-ji. Akan te-tapi
kalau ia hendak membunuhku atau mencelakakan aku, tentu
aku akan membela diri sedapat mungkin."
"Enci Kiok Hwa, apa artinya membela diri kalau engkau
tidak mau melukai atau membunuh orang?" Eng-ji menegur
Melihat betapa Eng-ji seperti mendesak Kiok Hwa, Han Lin lalu
berkata "Eng-ji, sekarang tiba giliranmu untuk menceritakan riwayatmu. Aku
pernah mendengar ceritamu, akan tetapi
belum jelas benar." "Benar, Eng-ji. Akupun ingin mendengar riwayatmu." kata Kiok Hwa.
Eng-ji menghela napas panjang. "Riwayatku tidak lebih baik daripada riwayatmu,
enci Kiok Hwa. Akupun ditinggal mati
ibuku dan ayahku juga meninggalkah aku, biarpun ketika itu
dia masih hidup, Aku tidak tahu jelas di mana dia sekarang.
Ayahku adalah seorang yang terkenal di dunia kang-ouw,
bernama Suma Kiang dan berjuluk Huang-ho Sin-liong (Naga
Sakti Sungai Huangho). Adapun ibuku, menurut ayahku,
hanya seorang wanita dusun belaka, dari dusun Cia-ling bun di
lereng Tai-hang-san. Akan tetapi ibuku telah meninggal dunia
ketika aku masih kecil dan ayah tidak memberitahukan
mengapa ibuku meninggal dunia. Dia bahkan marah kalau aku
minta penjelasan. Dia hanya mengatakan ibuku telah mati di
dusun itu dan sejak itu aku hidup berdua bersama ayah,
setelah untuk sepuluh lahun lamanya ayahku menitipkan aku
kepada Bibi Cia, seorang janda yang baik gati. Dalam usia tiga belas tahun aku
Ikut ayah merantau dan mempelajari Ilmu
silat. Kemudian ayah membawaku ke Puncak Ekor Naga di Cin
ling-san dan uku berguru kepada suhu Hwa Hwa Cin-jin,
mempelajari ilmu sampai lima tahun. Akan tetapi pada suatu
hari muncul Thian-te Sam-ok bersama wanita yang diaku Ibu
oleh Lin-ko itu. Mereka mengeroyok dan biarpun suhu Hwa
Hwa Cinjin berhasil memukul mundur dan mengusir mereka,
akan tetapi dia terluka parah dan meninggal dunia. Dia
memesan agar aku membakar jenazahnya dan menaburkan
abu jenazahnya di Sungai Huang-ho, dan agar aku mencari
ayah dan membalas dendam kepada Thian-te Sam-ok. Nah,


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ternyata sebelum aku berhasil membalas dendam kepada
mereka, aku malah masuk dalam perangkap mereka!" Eng-ji
mengepal tinju dengan gemas.
"Ketika aku melihat engkau bertanding, aku melihat engkau mempergunakan pukulan
dengan jari dan gerakanmu itu mirip
sekali dengan ilmu It-yang-ci. Apakah engkau pernah
mempelajari ilmu it Yang-ci?"
"Ilmu itu adalah Toat-beng Tok-cian. Menyerangnya
dengan menggunakan tiga jari. Memang pada dasarnya ilmu
itu adalah ilmu It-yang-ci yang oleh ayahku telah diubah
menjadi Toat-beng Tok-cian yang mengandung hawa beracun.
Ayah menguasai ilmu It-yang-ci, walaupun tidak sepenuhnya.
Katanya pernah dia mempelajarinya dari seorang hwesio Siaw
lim-pai." Tentu saja Eng-ji tidak mengerti bahwa setelah
mempelajari It-yang-Ci dari hwesio tua itu, Suma Kiang
bahkan membunuh hwesio itu!
Han Lin mengangguk-angguk, diami diam mencatat dalam
hatinya bahwa musuh besarnya itu, Suma Kiang, ternyata
paham pula ilmu It-yang-ci. Dia harus bersikap hati-hati kalau bertemu dan
terpaksa bertanding dengan musuh besarnya
"Guruku pernah bercerita bahwa Huang-ko Sin-liong adalah
seorang tokoh di sepanjang Lembah Huang-ho yang terkenal
sekali, Eng-ji." kata Kiok Hwa. "Menurut suhu, belasan tahun yang lalu Huang-ho
Sin-liong amat ditakuti di daerah itu,"
Eng-ji tersenyum bangga. "Memang, menurut ayahku
sendiri, belasan tahun yang lalu dia menjadi rajanya di
Lembah huang-ho, semua perampok dan bajak sungai tunduk
dan takluk belaka kepadanya!"
Kiok Hwa dan Han Lin saling pandang penuh arti. Mereka
merasa heran melihat kebandelan Eng-ji yang merasa bangga
karena ayahnya adalah seorang datuk sesat yang
menundukkan semua perampok dan bajak sungai! Akan tetapi
karena Eng-ji sendiri memperlihatkan sikap yang gagah dan
baik, tidak seperti penjahat bahkan lebih cocok menjadi
pendekar, keduanya hanya merasa heran saja.
Kiok Hwa memandang Han Lin. "Kalau saja Lin-ko tidak
keberatan, sekarang tiba gilirannya untuk menceritakan
riwayatnya yang pasti menarik sekali."
Han Lin menunduk dan berpikir. bagaimana dia dapat
menceritakan riwayatnya yang sesungguhnya" Satu kali ia
pernah menceritakan riwayat yang sesungguhnya, yaitu
kepada A-seng dan akibatnya, A-seng mencuri Suling Pusaka
Kemala miliknya! Tidak, dia harus menyembunyikan
identitasnya sebagai seorang pangeran! Kalau hal itu
diceritakan, maka hanya akan menimbulkan banyak urusaan
saja. "Lin-ko, kenapa diam saja" Bagaimana riwayatmu" Aku
ingin sekali mendengar yang sejelasnya. Apalagi dengan
keadaan ibumu di sini, sungguh membuat aku tertarik sekali
untuk mengetahui sejelasnya duduk perkaranya." kata Eng-ji.
"Riwayatku juga tidak menarik dan hanya penuh dengan
kesedihan belaka Aku tinggal di utara bersama ibuku. Aku
adalah seorang Puteri Mongol, keponakan seorang kepala
suku Mongol di sana."
"Ahhh......!" Eng-ji berseru dan memandang kagum.
"Pantas wajah Lin-ko seperti agak asing dan menarik!"
Kiok Hwa tersenyum saja dan tidak mengeluarkan
komentar. "Akan tetapi ibuku bernasib malang, bahkan sampai
sekarang juga....." Han Lin menghela napas panjang.
Kemudian Ia dapat menekan perasaannya. "Aku tidak pernah
mengenal ayahku. Ayah telah meninggalkan ibu sejak aku
berada dalam kandungan."
"Ahh!" Kembali Eng-ji berseru. "Siapakah nama ayahmu, Lin-ko?"
"Ayahku seorang Han, kebetulan she Han juga, bernama
Tung. Menurut ibuku, ayahku seorang laki-laki yang gagah
perkasa dan bijaksana. Dia meninggalkan ibuku untuk
merantau ke selatan, akan tetapi tidak pernah ada berita
darinya sampai aku lahir dan berusia tiga tahun."
"Aneh sekali. Tentu telah terjadi apa-apa dengan ayahmu,
Lin-ko." kata Kiok Hwa.
"Ibu juga mengira demikian. Menurut ibu, ayah seorang
bijaksana, tidak mungkin melupakan ibu. Akan tetapi
malapetaka menimpa diri kami ketika aku berusia tiga tahun.
Seorang penjahat besar datang mengacau perkampungan
kami dan menculik ibu dan aku. Dia lihai sekali sehingga
penduduk perkampungan Mongol tidak berdaya. Kami
dilarikan ke selatan oleh penjahat itu."
"Siapa penjahat terkutuk itu, Lin ko?"
Han Lin memandang kepada Eng-Ji dan tersenyum,
menggeleng kepalanya "Aku tidak tahu namanya."
Jilid XV "LALU BAGAIMANA, LIN-KO?" kata Kiok Hwa yang merasa
tertarik sekali dan ikut terharu dengan nasib Han Lin dan
ibunya. "Penjahat itu membawa kami ke selatan," kata Han Lin yang ingin mempersingkat
riwayatnya karena dia tidak ingin
menyebut-nyebut nama Gobi Sam-sian di depan Eng-ji. "Si
jahanam itu hendak memaksa ibu menjadi isterinya. Ibu tidak
mau dan ketika dikejar penjahat itu, ibu melompat ke dalam
jurang yang teramat dalam dan aku ketika itu menganggap
bahwa tidak mungkin ibuku dapat selamat setelah terjatuh
dari tempat yang sedemikian tingginya sampai seolah-olah
tanpa dasar. Aku dijadikan perebutan antara penjahat itu dan
Toa Ok, kemudian Toa Ok dan Sam Ok juga memperebutkan
aku. Pada saat itulah aku ditolong oleh Bu-beng Lo-jin, yang
kemudian menjadi guruku, bernama Cheng Hian Hwesio."
"Dan sampai sekarang engkau belum tahu di mana adanya
penjahat itu, Lin ko?" tanya Eng-ji.
Han Lin menggeleng kepalanya.
"Jahanam terkutuk. Kalau aku bertemu dia, akan kutabas
batang lehernya untuk membalas sakit hatimu, Lin-ko" kata Eng-ji dan Han Lin
diam saja, merasa tidak enak sekali karena
pemuda remaja itu tidak tahu bahwa yang diancam itu adalah
ayahnya sendiri! "Dan engkau juga tidak tahu di mana ayahmu berada, Linko?"
"Menurut ibuku, ayahku tadinya pergi hendak mencari
pekerjaan di kota raja. Karena itu, aku hendak menyusul ke
kota raja mencarinya." jawab Han Lin.
Setelah saling menceritakan riwayat masing-masing, ketiga
orang muda itu lalu duduk beristirahat menghimpun kekuatan
sambil menunggu datangnya pagi hari di mana diharapkan
sinar matahari akan menerangi guha itu dan mereka dapat
mencari jalan keluar. Sinar matahari pagi mulai menerobos kasuk ke bagian luar
dari guha itu dan sinar terang mulai mengusir kegelapan di
dalam guha. Tiga orang yang terperangkap itu sudah sadar
dari samadhi mereka, tiba-tiba mereka mendengar suara
ribut-ribut di sebelah luar guha.
Eng-ji meletakkan telunjuknya di depan mulut memberi
isyarat kepada dua orang kawannya untuk tidak mengeluarkan
suara. Lalu dia berindap keluar mendekati pintu jeruji baja dan mengintai
keluar. Ternyata yang ribut-ribut di luar dan saling berbantahan itu adalah Toa
ok, Ji ok dan Sam Ok. "Tidak, aku tidak akan menyerahkan mereka itu kepada
kalian. Mereka semua harus dibunuh!" kata Toa Ok dengan
sikap marah kepada Ji Ok dan Sam Ok.
"Toa Ok, sudah terlalu lama engkau bersikap seolah-olah
engkau menguasai kami dan kami harus selalu tunduk
terhadap kehendakmu! Sudah tiba saatnya bagi kita
menentukan siapa yang pantas menjadi Toa Ok (si Jahat
Nomor Satu)! bagaimanapun juga, dua orang pemuda itu
harus diserahkan kepadaku!" kata Sam Ok dengan nada suara marah.
"Dan gadis ahli pengobatan itu harus menjadi milikku!" kata pula Ji Ok. "Toa Ok,
engkau sudah hendak memiliki Im-yangkiam dan kami hanya minta orang orang itu,
mengapa engkau berkeras tidak menyetujui kehendak kami" Sikapmu membuat
aku tidak mungkin mau tunduk lagi kepadamu!"
Toa Ok mengerutkan alisnya yang tebal. "Sejak kapan
kalian berani membantah kehendakku" Im-yang-kiam
memang akan menjadi milikku dan tiga orang itu harus mati
karena mereka akan merupakan ancaman bahaya bagi kita.
Aku sudah memutuskan itu dan habis perkara!!"
"Ha-ha, Ji Ok dan Sam Ok. Kalian hanya diperalat oleh Toa Ok, hanya dijadikan
antek untuk memenuhi semua
kehendaknya. Kalian berdua telah dipandang rendah dan tidak
dihargai oleh Toa Ok. Hal ini terjadi karena kalian adalah
pengecut-pengecut yang tidak berani melawannya!"
Toa Ok marah sekali mendengar ucapan Eng-ji itu, apalagi
ketika melihat Eng-ji mengintai dari balik pintu jeruji. Dia
menggerakkan tangan kirinya menghantam dengan pukulan
jarak jauh ke arah Eng-ji. Akan tetapi Eng-ji sudah mengelak
dan melompat kembali ke dalam guha.
"Ji Ok dan Sam Ok, kalau kalian tidak berani merentang
Toa Ok, ternyata kalian hanya boneka-boneka yang tidak ada
harganya sama sekali!" Kembali Eng-ji berteriak dari dalam guha.
Suara lantang Eng-ji ini terdengar deh Ji Ok dan Sam Ok
dan cukup membakar hati mereka. Ji Ok yang biarpun usianya
sudah enam puluh tahun namun tampak masih seperti orang
berusia empat puluh tahun, tampan dan lemah-lembut itu
berkata sambil tersenyum.
"Toa Ok, mulai saat ini aku tidak mengakuimu lagi sebagai orang pertama dari
Thian-te Sam-ok!" "Aku juga tidak sudi mengakuimu sebagai pemimpin kami!"
kata Sam Ok. "Keparat, kalian hendak menentang aku?" bentak Toa Ok.
"Aku tidak takut padamu!" Ji Ok.
"Akupun tidak takut!" kata pula Sam Ok
"Ha-ha-ha, setelah kalian berani, lihat muka Toa Ok yang
menjadi pucat panik .Dia tidak berani menghadapi kalian?"
Eng-ji berteriak lagi sambil tertawa.
Kini Toa Ok yang merasa hatinya panas sekali. "Persetan
kalian!" Bentaknya dan cepat dia menerjang maju menyerang kedua orang rekannya
itu dengan pukulan Ban-tok-ciang yang
amat dahsyat itu. Dua orang itu cepat mengelak dan membalas sehingga
terjadilah perkelahian yang seru dan hebat antara Toa Ok
melawan Ji Ok dan Sam Ok yang mengeroyoknya.
Melihat ini, Eng-ji cepat berkata kepada Han Lin dan Kiok
Hwa. "Sekarang kesempatan kita untuk menerjang keluar
membobolkan pintu!" Han Lin menarik tangan Kiok Hwa dan mereka bertiga
menyerbu pintu Akan tetapi mereka terkejut ketika banyak
senjata rahasia menyambutnya.
Kiranya para penjaga itu masih tetap berjaga di situ dan
menghujankan anak anah dan senjata rahasia lain sehingga
tiga orang itu sibuk mengelak lalu terpaksa kembali ke dalam
guha. "Kita tidak dapat lolos dari depan," kata Han Lin. "Biarpun engkau berhasil
memancing tiga orang Thian-te Sam-ok itu
berkelahi sendiri, akan tetapi penjagaan masih ketat."
"Setidaknya, perpecahan antara Thian-te Sam-ok telah
melemahkan keadaan mereka," bantah Eng-ji.
Thian-te Sam-ok adalah tiga orang tokoh datuk yang
berwatak aneh dan jahat sekali. Kalau tidak begitu mereka
tidak akan mendapat julukan Thian-te Sam-ok (Tiga Jahat
Bumi Langit). Mereka itu kejam, licik, tinggi hati dan mau
menang sendiri saja. Karena mereka membagi diri sendiri
menjadi bertingkat, ada tingkat satu, dua dan tiga, maka
terjadilah persaingan antara mereka sendiri. kalau tidak ada
sesuatu yang diperebutkan memang mereka tidak saling
mengiri, akan tetapi kalau sudah mengenai kepentingan diri
masing-masing, timbul ah hati dan permusuhan di antara
mereka. Ji Ok tidak pernah merasa kalah dalam hal apa juga
dibanding Toa Ok, dan Sam Ok juga tidak mau tunduk begitu
saja terhadap Ji Ok atau Toa Ok.
Terutama sekali terhadap Toa Ok yang selalu bersikap
memimpin dan mau enaknya sendiri saja, sudah lama Ji Ok
dan Sam Ok merasa tidak puas. Kini, permintaan Ji Ok untuk
mendapatkan Kiok Hwa dan permintaan Sam Ok untuk
mendapatkan Han Lin dan Eng-ji ditolak oleh Toa Ok maka
setelah mendengar ucapan Eng ji yang memanaskan perut,
Persaingan tiga orang yang memang sudah mulai bernyala itu
menjadi semakin berkobar dan perkelahian tidak dapat
dihindarkan lagi. Toa Ok dikeroyok oleh Ji Ok dan Sam Ok!
Lian Hoat Tosu dan Lian Bok Tok ketua dan wakil ketua
cabang Pek-liai kauw itu melihat perkelahian di antara Thiante Sam-ok, tidak
dapat berbuat sesuatu. Mereka tidak berani
mencampuri urusan tiga orang datuk itu karena bergabungnya
tiga orang datuk itu dengan mereka memperkuat kedudukan
mereka. Pula, mereka sama sekali tidak mempunyai
kepentingan dengan cekcoknya tiga orang datuk itu, maka
merekapun hanya nenonton sambil tetap mempersiapkan
anak buahnya untuk menjaga agar tiga orang musuh yang
terperangkap dalam guha itu tidak dapat lolos.
Perkelahian itu telah mencapai puncaknya. Toa Ok telah
mencabut pedang kim-liong-kiam dan mengamuk dikeroyok
dua oleh rekan-rekannya sendiri. Ji Ok iuga sudah
mengeluarkan sabuk sutera putihnya dan bersilat dengan
menggerakkan sabuk sutera putih itu yang berkelebatan dan
berliak-liuk seperti seekor ular putih yang panjang. Sam Ok
juga sudah mencabut Hek-kong-kiam yang beracun tu.
Mereka berkelahi mati-matian, mengirim serangan-serangan
maut, baik dengan senjata mereka maupun dengan tangan
kiri yang mengirim pukulan-pukulan beracun yang amat
berbahaya. Tangan kiri Toa Ok dan Ji Ok mendorong-dorong
dengan ilmu pukulan Ban-tok-ciang, sedangkan jari tangan kiri
Sam Ok juga menyambar-nyambar dengan ilmu Ban tok-ci
(Jari Selaksa Racun). Biarpun mereka merupakan rekan-rekan yang telah samasama
membuat nama besar sebagai tri tunggal, namun
ternyata dasar ilmu silat mereka saling berbeda. Hanya ilmu
Ban-tok-ciang saja yang sama karena ilmu ini memang
dirangkai oleh mereka bertiga. Maka pertandingan itu menjadi
seru bukan main. Kalau lawan satu sama satu, tingkat Toa Ok
memang agak lebih tinggi dibandingkan dua orang rekannya.
Akan tetapi sekali ini dia dikeroyok dua sehingga keadaan
menjadi seimbang, bahkan Toa Ok mulai terdesak setelah
perkelahian berjalan lima puluh jurus lebih.
Toa Ok marah sekali dan menganggap bahwa dua orang


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rekan bawahannya itu memberontak. Maka diapun
menggerakkan pedang dan tangan kirinya dengan sungguhsungguh,
dengan niat untuk membunuh mereka berdua yang
kini dianggap menghalanginya. Demikian pula Ji Ok dan Sam
Ok, mereka ingin membunuh Toa Ok agar tidak ditekan dan
dikuasai lagi oleh Toa Ok.
Tiba-tiba Toa Ok mengeluarkan teriakan memanjang dan
tubuhnya berputar seperti gasing! Dia telah mengeluarkan
Ilmu silat simpanannya, yaitu yang disebut Pat-hong Hong-i
(Delapan Penjuru angin Hujan). Tubuhnya berputar seperti
gasing dan dari putaran itu mencuat sambaran pedangnya dan
hantaman Ban-tok-ciang. Demikian cepatnya gerakan Toa Ok
ini sehingga dalam detik yang sama, tangan kirinya
menghantam dada Ji Ok dan pedang Kim-liong-kiam di tangan
kanannya menusuk paha Sam Ok! Akan tetapi sebelum roboh,
Sam Ok berhasil pula menyabetkan pedang Hek-kong-kiam
dan mengenai pundak Toa Ok!
Tiga orang Thian-te Sam-ok itupun roboh semua dan
menderita luka-luka parah. Chai Li yang melihat Ji Ok roboh,
dengan ganas lalu menyerang Toa Ok dengan pedangnya. Toa
Ok sudah roboh karena terluka pundaknya, akan tetapi ketika
melihat Chai Li menyerangnya, dia menggerakkan kakinya
menendang. "Wuuuttt...... desss....!!" Tendangan yang keras mengenai lambung Chai Li dan
wanita itu terlempar jauh lalu robot
pingsan, pedangnya terlempar pula!
Toa Ok yang menderita luka bacokan pedang Hek-kongkiam
di pundaknya, maklum. bahwa keadaan dirinya
berbahaya sekali. Pedang Sam Ok itu mengandung racun yang
amat berbahaya. Kalau tidak segera mendapat pengobatan
seorang ahli, dia tentu akan tewas karena lukanya itu. Dia
teringat akan Pek I Yok Sian-li, maka dengan suara nyaring
diapui berteriak ke arah dalam guha.
"Pek I Yok Sian-li, keluarlah engkau. Kami membutuhkan
bantuanmu untuk mengobati luka-luka kami!"
"Toa Ok!" seru Eng-ji nyaring. "Jangan mencoba-coba untuk membujuk enci Kiok Hwa
untuk mengobati kalian. Kalian amat jahat dan telah menjebak kami biarlah kalian
mampus karena luka-luka itu. Enci Kiok Hwa tidak sudi
mengobatimu!" Akan tetapi, Toa Ok berseru lagi "Pek I Yok Sian-li,
keluarlah. Kami berjanji akan membebaskanmu kalau engkau
suka mengobati kami sampai sembuh!"
Sementara itu, di sebelah dalam guha, Kiok Hwa yang
melihat betapa buntalan pakaiannya berada dalam gendongan
Han Lin, segera berkata kepada pemuda itu.
"Lin-ko, ke sinikanlah buntalanku itu. Aku hendak
mengobati mereka." "Kiok-moi! Engkau akan ditipunya! Dia tidak akan
membebaskanmu setelah engkau menolong mereka. Mereka
amat jahat, tidak perlu ditolong....!"
"Tidak, Lin-ko. Aku harus menolong mereka yang
menderita luka-luka parah dan aku tidak minta imbalan
apapun." kata Kiok Hwa dengan suara tegas. Mendengar katakata dan melihat sikap
Kiok Hwa ini, Eng-ji berteriak lagi
keluar guha. "Toa Ok, berjanjilah bahwa engkau akan membebaskan
kami semua, baru enci Kiok Hwa akan mengobati kalian!"
Terdengar jawaban Toa Ok, ditujukan kepada Kiok Hwa,
"Pek I Yok Sian-li, kami berjanji kalau engkau sudah
mengobati kami sampai sembuh, kami akan membebaskan
kalian bertiga!" Eng-ji berteriak lagi, nyaring sekali "Bukan berjanji,
bersumpahlah!" Sampai lama tidak terdengar jawaban lalu Toa Ok
berteriak, "Kami bersumpah akan membebaskan kalian semua
setelah kami disembuhkan!"
Eng-ji bersungut-sungut. "Jangan percaya kepada Toa Ok,
enci Kiok Hwa. Biar dia sudah bersumpah, orang macam itu
mana dapat dipercaya sumpahnya?"
"Eng-ji, aku harus mengobati mereka dan aku tidak minta
imbalan apa-apa untuk itu." kata Kiok Hwa sambil menerima buntalan pakaiannya
dan Han Lin. "Nah aku keluar dulu. Sukur kalau mereka mau
membebaskan kita kelak."
Tanpa dapat dibujuk lagi oleh Eng ji dan Han Lin, Kiok Hwa
melangkah ke pintu jeruji baja. Melihat yang keluar hanya Kiok Hwa yang
menggendong buntalan, Toa Ok lalu menyuruh Lian
Hoa Tosu ketua cabang Pek-lian-kauw untul membukakan
pintu guha itu. Dengan tenang Kiok Hwa keluar dari pintu lalu dikunci dan
dirantai lagi. Kiok Hwa langsung saja memeriksa luka dipundak
Toa Ok. Ia mengerutkan alisnya.
"Otot besar dan tulangnya tidak terbacok putus, akan tetapi pedang itu
mengandung racun yang amat berbahaya. Kalau
tidak cepat diobati, dapat merenggut nyawa." katanya sambil membubuhkan obat
bubuk penyedot racun pada luka itu,
kemudian membalut pundak itu. "Tinggal mengobati dengan
tusuk jarum untuk menghilangkan hawa beracun yang
mengeram di dalam pundak." katanya. Kemudian ia
memeriksa Sam Ok yang pahanya tertusuk pedang Kim-liongkiam.
Seperti halnya dengan Toa Ok, luka di paha ini juga
mengandung racun yang berbahaya. Setelah mengobati luka
di paha Sam Ok dan menotok jalan darahnya menyadarkannya
dari pingsannya, iapun menyuruh Sam Ok pergi ke dalam
rumah seperti Toa Ok untuk diobati dengan tusuk jarum.
Setelah itu ia memeriksa keadaan Ji ok. Akan tetapi ketika
ia menghampiri Sam Ok untuk memeriksa, Ji Ok yang meringis
karena menderita nyeri itu berkata, "Periksalah isteriku lebih dulu, aku nanti
saja belakangan." Kiok Hwa menoleh kepada Chai Li yang masih rebah
pingsan. Ia merasa heran melihat sikap Ji Ok demikian
mementingkan wanita yang disebutnya isterinya itu. Akan
tetapi ia menurut dan menghampiri Chai Li. Setelah
diperiksanya, ternyata Chai Li tidak menderita luka dalam yang parah, hanya isi
perutnya terguncang karena tendangan yang
mengenai lambung itu. Akan tetapi karena timbul dalam
pikirannya untuk coba menyadarkan ingatan Chai Li, Kiok Hwa
pura-pura mengerutkan alisnya dan ia berkata, "Wah, lukanya berbahaya sekali!
Aku harus mengobatinya dengan tusuk
jarum. Harap bawa ia ke dalam rumah."!
Ji Ok lalu memberi perintah kepada anak buah Pek-liankauw
untuk mengangkut Chai Li ke dalam rumah. Setelah itu
barulah dia membiarkan dirinya diperiksa. Lukanya hebat dan
berbahaya. Di dadanya terdapat tanda telapak jari tangan
yang menghitam, sebagai akibat pukulan Ban-tok-ciang oleh
Toa Ok. Kiok Hwa menotok beberapa jalan darah untuk
mencegah racun menjalar makin jauh, lalu mengusulkan agar
Ji Ok diangkut pula ke dalam rumah.
Akan tetapi Ji Ok minta dibaringkan sekamar dengan Chai
Li! Dia ingin tahu bagaimana keadaan wanita yang dianggap
sebagai isterinya yang tercinta itu.
Kiok Hwa mempergunakan kepandaiannya untuk
mengobati mereka semua dan berkat kepandaiannya yang
tinggi dan obat-obat manjur yang tersedia dalam buntalan
pakaiannya, ia dapat menyembuhkan Toa Ok dan Sam Ok.
Akan tetapi ia masih merawat Ji Ok dan Chai Li. Ia sengaja
memberi pengobatan tusuk jarum kepada Ji Ok yang
membuat datuk itu tidak sadarkan diri untuk beberapa jam
lamanya! Kesempatan ini dipergunakan oleh Kiok Hwa untuk
mengobati Chai Li, tidak saja mengobati bekas tendangan dari
Toa Ok kepada wanita itu, akan tetapi terutama sekali untuk
menyadarkan kembali ingatannya yang bilang karena
pengaruh racun perampas ingatan!
Mula-mula memang ia mengobati lebih dulu lambung Chai
Li yang terkena tendangan hebat dari Toa Ok itu. Setelah
memberi minum obat yang akan melindungi isi perut, ia mulai
melakukan tusuk jarum yang membuka ingatan Chai Li yang
tertutup. Selama mengalami pengobatan tusuk jarum ini, Chai
Li tidak sadarkan diri dan memang hal ini dilakukan dengan
sengaja oleh Kiok Hwa sebagai ahli pengobatan. Setelah
tertidur selama tiga jam, Chai Li membuka matanya perlahan
dan ia merintih, lalu memandang kepada Kiok Hwa.
"Siapa engkau......" Di mana aku....?"
Kiok Hwa girang sekali. Dua kalimat itu saja sudah
menunjukkan bahwa Chai Li mulai menyadari keadaan dirinya.
ia mendekati dan berkata lembut.
"Bibi Chai Li, aku Tan Kiok Hwa yang mengobatimu karena
engkau terluka." katanya.
Chai Li memandang ke sekeliling dan melihat Ji Ok rebah
seperti orang tidur. Ia mencoba untuk bangkit, dibantu oleh
Kiok Hwa. "Dia suamiku.... kenapa dia.."
"Dia juga terluka, akan tetapi sudah kuobati dan dia akan sembuh kembali. Akan
tetapi, bibi, apakah engkau tidak ingat
kepada puteramu Han Lin?"
Chai Li membelalakkan matanya dan mukanya berubah
pucat. "Han Lin anakku....! Di mana dia....?"
"Dia telah terperangkap di dalam guha berpintu baja di
bukit sebelah belakang. Dia terperangkap oleh Thian-te Samok
dan keselamatannya terancam."
"Ohhhh....., akan tetapi kenapa" Kenapa....." Ah, kepalaku pusing sekali!" Ia
rebah kembali dan Kiok Hwa lalu berkata halus.
"Kalau begitu tidurlah dulu, bibi Chai Li. Engkau perlu
beristirahat untuk memulihkan pikiranmu." Ia lalu menotok beberapa jalan darah
dan wanita itu lalu tertidur kembali.
Dengan kepandaiannya dalam hal ilmu pengobatan yang
tinggi, dalam waktu beberapa jam saja Kiok Hwa telah mampu
menyembuhkan Thian-te Sam-ok dan juga Chai Li. Mereka itu
hanya tinggal menyempurnakan kesembuhan itu dengan
minum obat penguat tubuh. Malam itu Chai Li sudah sadar
beberapa kali. akan tetapi Kiok Hwa yang mengatakan kepada
Ji Ok bahwa ia masih harus merawat Chai Li, membuat wanita
itu tertidur lagi dengan tusukan jarumnya.
Pada keesokan harinya, Thian-te Sam Ok sudah merasa
sembuh betul dan Kiok Hwa berkata kepada Toa Ok ketika
mereka semua, kecuali Chai Li yang masih tertidur di
kamarnya, berkumpul di ruangan besar di rumah ketua Peklian-
kauw itu. "Toa Ok, sekarang kalian bertiga sudah sembuh, maka aku
harap engkau suka memenuhi sumpah dan janjimu bahwa
engkau akan membebaskan kami bertiga."
Mendengar ucapan Kiok Hwa itu, Toa Ok tertawa bergelak
dan sambil memandang kepada Ji Ok dan Sam Ok, dia
bertanya, "Ji Ok dan Sam Ok, bagaimana pendapat kalian
dengan permintaan Pek Yok Sian-li ini?"
Memang watak tiga orang ini aneh sekali. Kemarin baru
saja mereka saling serang untuk saling bunuh, dan sekarang
mereka telah berkumpul dan berbicara kembali seolah tidak
pernah terjadi apa apa kemarin di antara mereka.
"Engkau yang berjanji, Toa Ok, akan tetapi aku tidak, maka aku tidak akan
membebaskan mereka!" kata Ji Ok dengan
suara dingin. "Aku juga tidak setuju kalau mereka dibebaskan. Susahsusah kita menjebak mereka,
enak saja mau dibebaskan.
Tidak, pemuda-pemuda itu kalau tidak bisa keduanya, yang
seorang di antara mereka, harus menjadi milikku!" kata Sam Ok.
Kiok Hwa sudah menduga akan hal ini dan tidak menjadi
kaget atau heran. Ia lahu bahwa Thian-te Sam-ok adalah tiga
orang yang amat jahat dan terkenal kelicikan mereka di dunia
kang-ouw. Ia hanya menyesal bahwa Han Lin dan Eng-Ji tidak
harapan untuk dibebaskan dan ia mencela Toa Ok. "Toa Ok,
engkau sungguh seorang yang tidak pantas dihormati,
menjilat sumpah sendiri."
"Ha-ha-ha, siapa bilang bahwa aku salah seorang yang
suka memenuhi janjiku" Akan tetapi terhadap engkau aku
bersikap lain, Pek I Yok Sian-li. Sekarang juga aku
membebaskanmu dan tidak seorangpun boleh menghalangi.
Nah, engkau sekarang boleh pergi dengan bebas, tidak
menjadi tawananku lagi."
Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Aku datang bertiga,
pergipun harus bertiga Toa Ok. Aku tidak mau bebas kalau
dua orang kawanku itu tidak dibebaskan juga."
"Tidak bisa, Sian-li. Permintaanmu itu tidak mungkin dapat kupenuhi. Dua orang
pemuda itu tidak akan kubebaskan!"
kata Toa Ok. "Biarpun Im-yang-kiam akan diberikan kepadamu?"
"Ya, biarpun Im-yang-kiam akan diberikan kepadaku, dua
orang muda itu tidak akan kubebaskan."
"Betul sekali, serahkan mereka kepadaku, Toa Ok!" kata Sam Ok.
Kiok Hwa memandang dengan sinr mata tajam. "Toa Ok,
kalau begitu, biarlah aku kembali ke dalam guha. Aku tidak
mau dibebaskan sendiri saja!" Kiok Hwa lalu melangkah keluar dari rumah menuju
ke belakang, di kuti oleh Toa Ok.
Sampai di depan guha, Kiok Hwa berkata kepada para
penjaga. "Buka pintu guha, biarkan aku masuk!"
"Sian-li, engkau sendiri yang minta kembali ke guha, kelak jangan salahkan
kami!" kata Toa Ok yang memberi isarat
kepada para penjaga untuk membuka pintu guha itu. Kiok
Hwa menyelinap masuk. Han Lin dan Eng-ji menyambutnya
dengan heran. "Kiok-moi, bagaimana engkau kembali ke sini?" tanya Han Lin.
"Enci Kiok Hwa, apakah mereka itu menipumu dan
mengembalikanmu ke sini?" tanya Eng-ji.
"Tidak, aku kembali ke sini atas permintaanku sendiri
karena mereka hanya akan membebaskan aku dan tidak mau
membebaskan kalian. Aku tidak mau meninggalkan kalian."
Diam-diam Han Lin merasa terharu. Gadis ini sungguh
merupakan seorang yang setia! Karena dia menduga bahwa
tentu Kiok Hwa tidak mau meninggalkan dia seorang diri
menghadapi bahaya, maka dengan hati terharu dan juga
bahagia Han Lin menghampiri Kiok Hwa dan memegang kedua
tangan gadis itu dfl memandang dengan mesra.
"Kiok-moi, kenapa engkau lakukan semua ini" Aku rela
menderita apa saja asalkan engkau selamat lolos dari sini.
Kenapa engkau masuk kembali?"
Kiok Hwa melirik ke arah Eng-ji dan melihat betapa Eng-ji
memandang mereka dengan muka berubah merah dan mata
berapi-api. Maka, dengan halus ia melepaskan pegangan
tangan Han Lin dan berkata, "Kita terjebak bersama-sama
bagaimana mungkin aku meninggalkan kalian menghadapi


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahaya berdua saja. Biarlah kita menghadapi bahaya bertiga
juga." Kini Thian-te Sam-ok bertiga sudah berada di depan pintu
guha semua, di temani oleh dua orang pimpinan Pek-lian kau
w. Matahari mulai naik tinggi dan keadaan di dalam guha tidak
begitu gelap lagi. Han Lin melihat bahwa guha ini mempunyai
terowongan yang dalamnya ada sepuluh meter, akan tetapi
lalu tertutup sama sekali oleh dinding batu. Tidak ada jalan
untuk meloloskan diri dari dalam guha itu sama sekali!
"Hei i, Han Lin. Cepat kau lemparkan Im-yang-kiam ke
pintu ini! Kemudian kalian satu demi satu keluar dan
menyerah kepada kami!" Terdengar Toa Ok berseru dengan
lantang. Han Lin tidak segera menjawab, melainkan bertanya
kepada Kiok Hwa dan Eng-ji. "Bagaimana pendapat kalian?"
"Terserah kepadamu, Lin-ko." kata Kiok Hwa lembut.
"Tidak, jangan menyerah. Kalau kita menyerah, kita tentu
akan celaka. Sebaiknya kita menerjang keluar dan melawan
Mati-matian!" kata Eng-ji.
"Toa Ok, engkau sungguh seorang yang tidak tahu malu,
tidak dapat memegang janji dan sumpahmu. Aku tidak akan
menyerahkan Im-yang-kiam kepada orang seperti kamu!"
Toa Ok menjadi marah sekali. "Ledakkan pembius ke dalam
guha!" perintahnya dan dua pimpinan Pek-lian-kauw lalu
memberi isarat kepada anak buah mereka. Beberapa orang
lalu melemparkan berapa buah benda hitam ke dalam guha
dan terdengar ledakan-ledakan. Asap kebiruan mengepul tebal
memenuhi guha. "Cepat masuk ke sini!" Han Lin berseru kepada dua orang kawannya dan mereka lalu
memasuki terowongan guha Asap
kebiruan itu tidak mencapai sebelah dalam guha, akan tetapi
terdengar ledakan-ledakan lagi dan asap semakin tebal mulai
perlahan-lahan masuk dan mengejar mereka yang
bersembunyi di sebelah dalam guha!
Keadaan mereka gawat sekali. Kabut asap sudah
memenuhi dalam guha itu. mereka akan terkepung asap dan
tidak mungkin mereka terus menahan napas. Akhirnya mereka
akan menyedot asap itu dan akan terbius!
"Kita tahan napas dan menerobos keluar dengan nekat!"
kata Eng-ji. Ia sudah siap untuk menerjang keluar dan
mengamuk di pintu guha. "Tunggu dulu!" Han Lin memegang tangannya dan
mencegahnya karena pada saat itu terdengar suara dari
belakang mereka. Dinding batu itupun bergerak dan segera
terbuka sebuah lubang selebar satu meter pada dinding itu!
Sesosok bayangan muncul dari dalam lubang itu.
Tiga orang muda itu terkejut karena tidak menyangka
bahwa dinding itu dapat terbuka dan muncul seorang yang
sama sekali tidak pernah mereka sangka-sangka.
"Ibuuuu......!!" Han Lin berteriak sambil melangkah maju menyambut wanita yang
keluar dari lubang itu. Chai Li menatap wajah Han Lin dengan muka pucat dan
matanya terbelalak. "Han Lin......?" katanya dengan suara cadel. "Engkau....
Han Lin.....?" Suaranya tergetar mengandung isak.
"Ibuuuu......!!" Han Lin berseru lagi dan mengembangkan kedua lengannya.
Ibu dan anak itu saling tubruk dan di lain saat mereka
sudah berangkulan sambil menangis. Han Lin tidak malu-malu
untuk menangis seperti seorang anak kecil dan Chai Li
mendekap kepala Han Lin di dadanya, lalu memegang kepala
itu dengan kedua tangannya, memandangi muka itu lalu
menciuminya dengan mata bercucuran air mata.
"Han Lin..... anakku.....!" isaknya.
"Darr..... darrr.....!" Terdengar lagi ledakan-ledakan di dalam guha itu dan hal
ini menyadarkan Chai Li. Ia segera
memegang tangan kanan puteranya dai menariknya.
"Mari, kita harus cepat pergi dari sini!" katanya dengan suara yang tidak jelas,
akan tetapi cukup dimengerti oleh Han
Lin yang sudah terbiasa mendengar suara atau cara bicara
ibunya yang pelok. Chai Li menarik Han Lin memasuki lubang
pintu yang muncul di dinding tadi. Tanpa diajak atau
diperintah, Eng-ji dan Kiok Hwa mengikuti mereka memasuki
pintu itu. Setelah tiba di dalam, Chai Li menggerakkan sebuah
besi yang menonjol di antara batu-batu di dinding. Terdengar
suara keras dan dinding itu bergerak menutup kembali.
Kiranya pintu itu adalah sebuah pintu rahasia yang dapat
dibuka tutup dari sebelah dalam. Chai Li terus menarik tangan
Han Lin diajak lari melalui sebuah terowongan yang lebarnya
hanya satu meter dan tingginya sekitar dua meter.
Sementara itu, di luar guha, mereka tidak mengetahui apa
yang terjadi di dalam karena memang tidak tampak dari luar.
Akan tetapi ketika mereka sedang menonton asap kebiruan
yang bergulung-gulung memenuhi guha, tiba-tiba Ji Ok
berseru, "Eh, mana Chai Li?"
Seruan Ji Ok ini menyadarkan Toa Ok. "Celaka! Janganjangan wanitamu itu berusaha
untuk membebaskan mereka lewat pintu rahasia!" Setelah berkata demikian, Toa Ok lalu berkata kepada dua
orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw.
"Ji-wi totiang (bapak pendeta berdua) harap kalian
menjaga di sini dan jangan biarkan mereka menerjang keluar.
Kami akan memeriksa dari balik bukit!" Dia lalu berlari dan mengajak belasan
orang anak buah Pek-lian-kauw, di kuti pula
oleh Ji Ok dan Sam Ok. Lorong sempit itu ternyata panjang dan berbelak-belok lagi
gelap. Sambil meraba-raba Chai Li yang berjalan di depan,
terus bergerak maju dan tiga orang muda itu mengikutinya.
Setelah suatu perjalanan yang gelap dan lama, akhirnya
mereka melihat cahaya di depan dan ternyata lorong itu
tembus sebuah guha kecil balik bukit!
Akan tetapi begitu mereka muncul keluar dari guha kecil
itu, terdengar bentakan-bentakan nyaring dan mereka
berempat telah dikepung oleh Thian-te Sam-ok dan lima belas
orang anak buah Pek-lian-kauw yang kesemuanya telah
memegang senjata tajam di tangan mereka!
"Chai Li! Engkau mau mengkhianat aku suamimu?"
terdengar Ji Ok membentak dengan suara mengandung
kemarahan. Terdengar suara gerengan melengking yang menggetarkan
seluruh tempat itu dan mengguncang jantung semua orang.
Itulah teriakan Sai-cu Ho-kang yang dikeluarkan oleh Han Lin
yang menjadi marah sekali! Sekaligus lengkingan itu mengusir
semua pengaruh sihir dan dia berseru, "Ibu, jangan dengarkan omongannya yang
beracun. Manusia laknat itu telah
menyihirmu!" Akan tetapi Toa Ok dengan marah sudah menerjangnya
sambil mengerahkah semua anak buah untuk mulai
mengepung dan menyerang. Sementara itu, Chai Li dengan
suaranya yang tidak jelas berkata, "Suamiku, ini adalah Han Lin puteraku...!"
Kata-kata itu membuat Ji Ok menjadi semakin marah dan
dia sudah mengeluarkan tiga buah pisau terbang dan dengan
repat tangannya bergerak dan tiga sinar menyambar ke arah
Han Lin. Melihat ini, Chai Li menjerit.
"Jangan bunuh anakku!" Dan diapun melompat,
menghadang dan melindungi Han Lin dari sambaran tiga
batang pisau itu. Tak dapat dicegah lagi, sebatang pisau
menancap di dada Chai Li dan ia-pun roboh terpelanting!
Han Lin terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa
ibunya akan melakukan perbuatan nekat itu. "Ibuuuuu......!"
Teriaknya, akan tetapi karena Toa Ok dan Sam Ok sudah
mendesaknya, diapun terpaksa menggerakkan Im-yang-kiam
untuk rnelindungi dirinya.
Sementara itu, Eng-ji mengamuk, dikeroyok oleh belasan
orang anak buah Pek-lian-kauw. Amukan Eng-ji mengerikan
karena setiap kali pedangnya berkelebat, tentu ada seorang
anggauta Pek lian-kauw yang roboh terluka hebat atas tewas
seketika! Kiok Hwa juga dikeroyok akan tetapi ia hanya
mengelak dan merobohkan penyerangnya dengan totokan
totokan. Melihat betapa lontaran pisau-pisaunya tidak mengenai
sasaran bahkan sebatang pisau telah mengenai Chai Li dan
merobohkannya, mata Ji Ok terbelalak, mukanya menjadi
pucat dan tanpa memperdulikan apapun dia lalu menubruk
Chai Li, mengangkat tubuh atasnya dan merangkulnya sambil
mengeluh dan meratap! "Chai Li, isteriku...... ah, mengapa kau lakukan ini....."
Isteriku, bukalah matamu...... jangan mati, jangan tinggalkan
aku seorang diri....." Dan terjadilah suatu keganjilan! Ji Ok Phoa Li Seng,
datuk yang terkenal sadis, kejam dan amat
jahat itu, kini menangis seperti seorang anak kecil! Dia tidak berani mencabut
pisau yang menancap di dada Chai Li.
maklum bahwa kalau hal itu dilakukan akibatnya akan
membahayakan keselamatan nyawa wanita itu.
Chai Li membuka matanya dan berkata lemah, ".....
jangan..... jangan bunuh anakku Han Lin..... jangan......"
kembali ia memejamkan kedua matanya.
"Isteriku.....! Jangan mati.....!" Ji Ok kembali berseru dan merangkul isterinya
dengan khawatir sekali. Sementara itu, Han Lin melihat betapa Ji Ok merangkul
ibunya. Dia menjadi arah bukan main, hatinya penuh
kebencian dan kemarahannya membuat gerakannya liar dan
ganas sekali. Toa Ok dan Sam Ok yang mengeroyoknya
dibantu beberapa orang anak buah Pek-lian-kauw, terpaksa
mundur melihat betapa Im-yang-kiam berubah menjadi
tangan maut yang menyambar-nyambar.
Eng-ji yang mengamuk akhirnya telah merobohkan semua
pengeroyoknya dan kini dia menerjang mereka yang
mengeroyok Han Lin. Terjangannya membuat para
pengeroyok menjadi semakin kacau. Melihat ini, Toa Ok dan
Sam Ok maklum bahwa keadaan mereka berbalik terancam
bahaya, maka tanpa dikomando lagi, mereka berdua lalu
berlompatan jauh dan melarikan diri, di kuti oleh sisa anak
buah Pek-lian-kauw yang belum roboh Hanya Ji Ok yang
masih berada di situ, masih merangkul dan menangisi Chai Li.
Han Lin tidak mengejar Toa Ok dai Sam Ok yang melarikan
diri. Dia menengok ke arah ibunya dan melihat Ji Ok
merangkul tubuh ibunya. Dengan geram dia melangkah maju.
"Jahanam busuk, lepaskan ibuku!" bentaknya dengan suara yang lantang sekali
saking marahnya. Demikian lantang bentakannya sehingga mengejutkan Ji Ok
dan perlahan-lahan Ji Ok melepaskan tubuh atas Chai Li dan
merebahkannya di atas tanah.
Begitu Ji Ok melepaskan Chai Li Han Lin menerjang ke
depan dan gerakannya demikian cepat dan demikian ganas
kakinya mencuat dengan tendangan yang kuat sekali, yang
tidak mungkin dapat dielakkan atau ditangkis oleh Ji Ok yang
masih berjongkok. "Wuuuutt...... desss......!" Bagaikan sebuah bola, tubuh Ji Ok melambung
dihantam tendangan kaki kanan yang amat
keras itu dan jatuh terbanting. Han Lin hendak mengejar,
dengan pedang Im-yang-tiam masih di tangan, akan tetapi
tiba-tiba terdengar Chai Li berseru.
"Han Lin, jangan.....!! Han Lin, kesinilah.....!"
Mendengar seruan ibunya, Han Lin tidak melanjutkan
pengejarannya dan cepat menjatuhkan dirinya berlutut di
dekat Chai Li sambil meletakkan pedangnya di atas tanah, lalu
dirangkulnya ibunya yang sudah terengah-engah itu.
"Jangan pukul dia, Han Lin..... dia......ia...... suamiku....."
"Akan tetapi, ibu....."
"Aku berhutang...... nyawa..... kepadanya....." kembali Chai Li berkata,
suaranya terputus-putus dan iapun terkulai
pingsan. "lbuuuu.....! Kiok-moi, cepat tolonglah ibuku.....!" kata Han Lin kepada Kiok
hwa. Gadis itu cepat berlutut di sebelah Han
Lin, memeriksa keadaan Chai Li, detak jantungnya melalui urat
nadi, pernapasannya dan ia lalu menggeleng dengan sedih
sambil memandang kepada Han Lin dengan penuh perasaan
iba. "Ibumu telah mangkat, Lin-ko...." katanya lirih.
Han Lin terbelalak memandang ibunya mengguncangguncang
tubuh yang masih hangat itu dan sekali lagi Chai Li
menggerakkan bibirnya. "Han Lin..... carilah!! ayahmu......"
Lalu ia terkulai dan menghembuskan napasnya yang terakhir.
"Ibuuuuu......!" Han Lin menjerit dan diapun roboh pingsan.
Kepala ibunya terkulai menindih dadanya.
Melihat keadaan Han Lin ini, Eng ji menjadi marah bukan
main. Dengan pedang di tangan dia menerjang ke arah Ji Ok
sambil membentak, "Aku harus membunuhmu untuk ini!"
Dan diapun sudah menyerang dengan dahsyat. Akan tetapi
Ji Ok yang tadinya memandang kearah Chai Li dengan air
mata bercucuran cepat meloncat dan melarikan diri dengan
mengerahkan seluruh tenaganya.
Eng-ji hendak mengejar, akan tetap dia teringat akan Han
Lin dan menengok lalu menghampiri Han Lin yang masih
roboh pingsan. "Lin-ko......!" Diapun mengguncang pundak Han Lin dan tak dapat menahan
kesedihan hatinya diapun menangis
sesenggukan! "Minggirlah, Eng-ji, biar aku menyadarkannya." kata Kiok Hwa dan ia lalu menekan
bagian tengah bawah hidung Han
Lin. Tak berapa lama kemudian Han Lin siuman dan dia
menghela napas dan membuka matanya. Dia segera teringat
akan keadaan ibunya dan kembali dia merangkul jenazah
ibunya sambil menangis, tidak melihat betapa Eng-ji juga
menangis sesenggukan di sebelahnya.
"Ibuuu...... ah, ibu.....!!" Han Lin tidak kuasa menahan kesedihan hatinya lagi
dan dia mengguguk sambil menciumi
muka ibunya. Kiok Hwa memandang dengan kedua mata basah. Hatinya
seperti menjerit-jerit menemani kesedihan Han Lin. Hatinya
penuh iba kepada laki-laki yang dicintanya itu, akan tetapi
dengan kekuatan batinnya ia menahan diri agar tidak
menyakitkan hati Eng-ji yang masih sesenggukan itu.
Setelah menenangkan hatinya yang terguncang keharuan,
Kiok Hwa berkata dengan lembut dan lirih. "Sudahlah, Lin ko.
Tidak ada gunanya lagi ditangisi bahkan kesedihanmu yang
berlarut-larut akan menjadi penghambat perjalanan ibumu.
Ibumu telah kembali ke alam asalnya, telah terbebas dari
segala macam penderitaan dunia. Bahkan ibumu tewas karena
melindungimu, Lin-ko. Ibumu telah melakukan sesuatu pada
saat terakhir yang amat berharga dan bijaksana bagi seorang


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ibu." Han Lin menahan tangisnya dan menoleh kepada Kiok
Hwa. "Akan tetapi, Kiok-moi. Sudah bertahun-tahun aku
menganggap ibu telah meninggal, sekarang kami dapat saling
berjumpa lagi, akan tetapi ia...... ia..... ah, kasihan ibu..... aku harus
membunuh jahanam itu.....!" Tiba tiba Han Lin
mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melompat
jauh lalu berlari cepat seperti terbang melakukan pengejaran
dan pencarian terhadap Ji Ok.
Ji Ok melarikan diri. Dalam hatinya terjadi guncangan
hebat. Dia merasa bersedih bukan main atas kematian Chai Li
yang baginya telah menjadi isterinya Yang terkasih. Akan
tetapi dia terpaksa harus melarikan diri karena dia maklum
bahwa kalau dia tidak lari, tentu dia akan tewas. Apalagi dia
merasa gentar menghadapi Han Lin yang kematian ibunya dan
tentu pemuda itu menyalahkan dirinya dan akan
membunuhnya. Maka, dia melarikan diri tunggang-langgang
dan secepat mungkin. Karena berlari terlalu cepat, melebihi
kekuatannya dan mengerahkan seluruh tenaganya, maka
ketika tiba di depan sebuah rumah dusun yang terpencil dan
berada di luar dusun, napasnya terengah-engah seperti akan
putus! Seorang petani setengah tua, berusia kurang lebih empat
puluh lima tahun yang sedang mencangkul di kebun depan
tumahnya, melihat Ji Ok berhenti dari berlari-lari dan
napasnya terengah-engah, mukanya pucat, segera
menghentikan pekerjaannya dan menghampiri Ji Ok.
Ji Ok yang mengenakan pakaian mewah dan sikapnya
lemah-lembut itu menimbulkan rasa hormat dalam hati petani
sederhana itu dan dia menegur dengan heran. "Tuan, ada
apakah tuan berlari lari seperti ada yang mengejar?"
Ji Ok mengusap keringatnya dengai ujung lengan baju dan
menjawab denga sungguh-sungguh. "Aku memang dikejar
seekor harimau yang besar sekali, hampir saja aku
diterkamnya. Ah, aku lelah sekali, haus sekali. Boleh aku
singgah sebentar untuk beristirahat di rumahmu sobat?"
Petani itu memandang dengan wajah berseri. Mendapat
tamu orang kota yang terhormat itu tentu saja dia senang dan
merasa terhormat sekali. "Silakan marilah singgah di rumah kami yang butut,
tuan." Mereka memasuki rumah itu dan petani bergegas
memanggil isterinya "Cepat masak air dan buatkan air teh
yang kental, dan potong seekor ayam buatkan masakan untuk
tamu kita yang terhormat ini!"
Sang isteri juga menyambut tamunya dengan wajah berseri
dan gembira sekali. Ia segera melakukan apa yang diperintah
suaminya. Memang sudah menjadi kebiasaan penduduk
dusun, kalau didatangi orang kota merasa gembira dan
terhormat sekali, memiliki apapun akan dikeluarkan dan
dihidangkan dengan hati rela.
Tak lama kemudian Ji Ok sudah dijamu oleh suami isteri
yang hanya berdua tanpa anak itu, disuguhi makan dengan
masakan daging ayam dan minuman teh hangat. Ayam satusatunya
milik mereka itu mereka korbankan untuk dihidangkan
kepada tamu terhormat itu. Padahal, sama sekali mereka tidak
pernah mengenal Ji Ok. Ji Ok merasa lega setelah makan minum. Tubuhnya lelah
dan perutnya lapar. Kini dia telah disuguhi makan dan dapat
beristirahat di rumah petani itu, merasa aman. Andaikata Han
Lin mengejarnya, pemuda itu tentu tidak menyangka bahwa
dia berada di rumah petani yang terpencil itu.
Ji Ok sedang duduk di dalam rumah itu ditemani oleh si
petani. Isteri petani itu berada di luar rumah. Tiba-tiba
memasuki rumah itu dan berkata, "Dari jauh aku melihat ada seorang laki-laki
datang menuju ke sini."
Wajah Ji Ok berubah mendengar ini "Laki-laki tua atau
muda?" "Dia masih muda, pakaiannya seperti petani....." Tiba-tiba wanita itu roboh dan
tidak bergerak lagi ketika Ji Ok
mendorongkan tangan kirinya ke depan. Itulah pukulan Bantok-
ciang yang seketika menewaskan wanita itu. Si petani
terkejut, melompat berdiri, akan tetapi diapun segera roboh
ketika sekali lagi Ji Ok menggerakkan tangannya. Ji Ok telah
membunuh suami isteri yang baru saja menjamunya itu agar
mereka tidak membuka suara dan tidak membuka rahasianya
bahwa dia berada di situ!
Ketika Ji Ok mengintai dari balik pintu, benar saja dia
melihat Han Lin berjalan ke arah rumah itu sambil menoleh ke
kanan kiri mencari-cari. Cepat Ji Ok lalu berlari keluar rumah dari pintu
belakang. Melihat rumah yang terpencil itu timbul niat di hati Han Lin
untuk singgah dan bertanya kepada pemilik rumah itu kalaukalau mereka melihat Ji
Ok. Akan tetapi rumah itu tampak
sunyi saja ketika dia tiba di depan rumah. Dia tidak melihat
penghuninya dan setelah beberapa kali memanggil tidak ada
pemilik rumah yang keluar, Han Lin mengira bahwa pemilik
rumah tidak berada di rumah, maka diapun lalu kembali. Dia
telah kehilangan jejak Ji Ok dan tidak tahu ke mana larinya
datuk itu. Setelah tiba di belakang bukit, dia melihat Kiok Hwa dan
Eng-ji masih berada di situ, menunggu jenazah ibunya. Han
Lin tidak menangis lagi dan dia berlutut di samping jenazah
ibunya. Dia merasa seolah-olah dunia ini menjadi kosong dan
dia merasa kesepian sekali, dengan jari-jari tangan gemetar
dia lalu mencabut pisau yang masih menancap didada ibunya.
Tidak ada lagi darah yang keluar. Dia lalu menyimpan pisau
itu, diselipkan di ikat pinggangnya.
"Lin-ko, apakah engkau dapat mengejar jahanam busuk
itu?" tanya Eng-ji. Suaranya masih serak karena tangisnya tadi.
Han Lin menoleh kepadanya dan menggeleng kepalanya.
"Aku kehilangan jejaknya." katanya pendek.
"Mari kita basmi sarang Pek-lian kauw itu, Lin-ko. Mereka itupun bukan
perkumpulan yang baik, telah membantu Thiante
Sam-ok!" kata Eng-ji penuh semangat dan penasaran.
"Lin-ko, lebih baik kita kuburkan jenazah ibumu dulu.
Kasihan kalau terlalu lama dibiarkan seperti itu." kata Kiok Hwa dengan lembut.
Han Lin mengangguk. Dia lalu membungkuk, memondong
jenazah ibunya lalu membawanya mendaki bukit itu untuk
mencari tempat yang baik guna mengubur ibunya. Akhirnya
dia mendapatkan tempat yang dianggapnya cukup baik, dekat
sebuah sumber air yang mengucur dari celah-celah batu.
"Aku akan menguburkan jenazah ibu di sini." katanya. Dia merebahkan jenazah itu
di atas rumput, kemudian mulai
menggali lubang, ditunggui oleh Eng-Ji dan Kiok Hwa. Akan
tetapi melihat pemuda itu sibuk menggali lubang, Eng-ji tidak
tahan untuk berdiam diri saja. tanpa diminta diapun lalu turun tangan membantu
Han Lin menggali lubang. Melihat ini, Kiok
Hwa menghela napas panjang dan terasa olehnya betapa
besar rasa cinta Eng-ji kepada pemuda itu. Mereka memang
cocok untuk menjadi pasangan, sedangkan ia sendiri, ah, ia
tidak akan pernah merasa damai kalau menjadi pasangan Han
Lin yang dimusuhi begitu banyak orang. Ia pernah mendengar
nama ayah Eng-ji sebagai seorang datuk sesat, akan tetapi
iapun melihat bahwa Eng-ji biarpun galak dan pemberani
namun tidak dapat dibilang sesat atau jahat.
Di bawah bimbingan Han Lin, ia akan menjadi seorang
isteri yang baik. Ia harus mengalah, pikirnya sambil menekan
perasaannya agar jangan timbul kedukaan di balik sikap
mengalah itu. Ia memang mencinta Han Lin dengan sepenuh
jiwanya, akan tetapi seperti pernah ia dengar dari gurunya,
cinta bukan berarti memiliki dan menguasai. Bahkan menurut
gurunya itu, cinta membutuhkan bukti pengorbanan dan ia
siap untuk mengorbankan perasaannya sendiri.
Setelah lubang kuburan telah siap, Han Lin, dibantu Eng-ji
dan Kiok Hwa mengubur jenazah ibunya. Setelah memasukkan
jenazah ke dalam lubang, Han Lin tidak segera menutupi
lubang itu dengan tanah, melainkan dia berlutut sambil
mengamati wajah ibunya. Wajah jenazah itu tampak demikian
cantik, tersenyum ikhlas seperti orang tidur saja. Dia merasa
tidak tega untuk menutupinya dengan tanah sehingga sampai
lama dia hanya berlutut sambil menatap wajah itu. Wajah
yang selalu dirindukannya, wajah yang selama ini dianggapnya
sudah meninggal dunia. Wajah yang amat dikasihinya, yang
amat dihormati dan dijunjung tinggi. Ibunya yang bijaksana!
Mati seperti itu. Tak terasa air matanya turun lagi menetesnetes dari kedua
matanya. "Lin-ko, jenazah ibumu perlu segera dimakamkan dengan
baik." kata Kiok Hwa sambil menahan diri agar jangan
menyentuh lengan atau pundak pemuda itu.
Han Lin membalikkan tubuhnya dalam keadaan masih
berlutut, lalu berkata dengan suara parau, "Kiok-moi, Eng-ji, tolonglah aku,
kalian tutuplah lubang jenazah itu. Aku tidak
tega......!" Dia lalu menutupi mukanya dengan kedua tangan dan menangis. Kiok
Hwa memberi isarat kepada Eng-ji dengan
kedipan matanya, kemudian mereka berdua lalu
menggunakan tanah untuk menutupi jenazah itu dengan
urukan tanah sedikit demi sedikit seolah-olah tidak ingin
menyakiti jenazah itu. Dalam keadaan terpaksa sekali jenazah
itu dimakamkan tanpa menggunakan peti jenazah.
Setelah lubang itu ditutup menjadi gundukan tanah, Han
Lin lalu memberi hormat sambil berlutut. Setelah memberi
hormat, dia lalu berkata dengan suara lantang.
"Ibu, harap ibu tenang. Aku pasti akan dapat membalaskan
sakit hati ibu terhadap Ji Ok si laknat itu!"
Kiok Hwa mengerutkan alisnya. "Akan tetapi, Lin-ko.
Bukankah ibumu tadi mengatakan bahwa ia berhutang nyawa
kepada Ji Ok?" Han Lin mengerutkan alisnya. "Kalau ibu pernah berhutang
nyawa, sekarang telah ditebusnya karena nyawa itu direnggut
oleh pisau Ji Ok. Akan tetapi perbuatannya terhadap ibu,
menyihirnya dan meracuninya, tidak dapat kumaafkan begitu
saja." Kiok Hwa menghela napas panjang dan tidak membantah
lagi. Ia tahu bahwa Han Lin sedang dilanda kedukaan besar
dan mendalam maka sebaiknya didiamkan saja. Kalau dia
sudah tenang tentu rasa permusuhan dan kebencian itu akan
dapat disadarinya sendiri.
"Mari, Lin-ko, kita basmi Pek-lian-kauw!" tiba-tiba Eng-ji berkata penuh
semangat. "Mari kita berangkat." Han Lin menoleh kepada Kiok Hwa.
"Mari, Kiok-moi engkau ikut juga."
Akan tetapi Kiok Hwa menggeleng kepalanya. "Tidak, Linko.
Kalau kalian berdua hendak berkelahi, pergilah dan aku
akan menanti di sini saja."
Han Lin memandang dengan alis berkerut dan hatinya
kecewa, juga khawatir. Dia masih ingat ketika dia berkelahi
melawan Toa Ok dahulu, Kiok Hwa meninggalkannya tanpa
pamit, hanya meninggalkan coretan yang mengatakan bahwa
ia pergi karena tidak mau terlibat dalam perkelahian dan
permusuhan. "Akan tetapi, aku ingin engkau bersama kami, Kiok-moi."
"Maafkan aku, Lin-ko. Aku tidak perlu ikut. Sudah ada Engji yang akan
membantumu. Biar aku menunggu di sini saja."
jawab Kiok Hwa. "Marilah, Lin-ko. Aku khawatir kalau kita terlambat, mereka sudah melarikan
diri!" kata Eng-ji tidak sabaran lagi, apa lagi melihat Han Lin seperti hendak
membujuk Kiok Hwa untuk ikut, hal yang tidak disukainya tentu saja.
Karena Kiok Hwa berkeras tidak mau ikut dan Eng-ji sudah
mendesaknya, akhirnya Han Lin berkata, "Akan tetapi aku
mengharap engkau akan menunggu kami di sini, Kiok-moi."
Dia tidak berani terlalu menyolok memperlihatkan cintanya
kepada gadis itu karena dia melihat betapa Eng-ji agaknya
juga amat erat hubungannya dengan gadis itu.
Mereka berdua lalu berlari cepat meninggalkan balik bukit
itu menuju ke perkampungan Pek-lian-kauw. Mereka
Golok Bulan Sabit 9 Satria Lonceng Dewa 1 Perawan Sumur Api Bidadari Dari Sungai Es 6
^