Pencarian

Suling Pusaka Kumala 7

Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 7


Hayo tertawa. Ha ha-ha-ha-ha!" Toa Ok tertawa bergelak
sampai tubuhnya bergoyang-goyang. Han Lin merasa betapa
ada dorongan yang kuat sekali memaksanya untuk tertawa,
akan tetapi dia maklum pula bahwa ini-pun pengaruh ilmu
sihir, maka dia menahan napas dan mengerahkan sin-kangnya
untuk menolak pengaruh itu.
"Hauuungggg....., engkaulah yang tertawa sepuasmu, Toa
Ok!" katanya setelah mengeluarkan suara auman singa. Dan
Toa Ok terus tertawa, sampai terguncang-guncang dia
tertawa. Dia merasa terkejut sendiri dan cepat tangan kirinyamenotok tiga kali
ke dadanya. Baru suara tawanya berhenti
dan dia menarik napas panjang. Tak disangkanya bahwa
pemuda itu sedemikian lihainya. Kenyataan ini membuat dia
menjadi marah. Demikianlah watak datuk sesat itu. Dia tidak
dapat menerima kenyataan bahwa ada orang yang dapat
mengalahkannya!! Apalagi seorang yang masih demikian
muda. Karena itulah, melihat kenyataan yang menjadi
kebalikan dari keinginannya itu dia menjadi marah dan
otaknya yang cerdik dan curang itupun bekerja keras. Dia
membentak dan mengirim serangan, kini bukan dengan
tangan melainkan dengan pedang. Demikian cepat dia
mencabut pedang dan menyerang sehingga yang nampak
hanyalah sinar emas yang menyambar panjang ke arah tubuh
Han Lin. Itulah pedang milik Toa Ok yang disebut Kim-liongkiam (Pedang Naga
Emas). Pedang itu terbuat dari baja akan
tetapi dibalut emas sehingga tampaknya seperti pedang emas.
Pedang itu menyambar dengan dahsyatnya sehingga Han Lin
cepat melompat ke belakang. Sama sekali tidak disangkanya
bahwa Toa Ok juga melompat ke dekat Kiok Hwa dan sekali
sambar dia telah memegang lengan gadis itu dan
menempelkan pedangnya di leher Kiok Hwa!
"Toa Ok!" seru Han Lin kaget. "Apa yang kau lakukan itu?"
"Ha-ha-ha-ha, orang muda. Engkau tinggal pilih. Serahkan
Im-yang-kiam kepadaku dan gadis ini kubebaskan atau
engkau lebih suka melihat gadis ini mampus di depan
hidungmu?" "Kakek curang!" bentak Han Lin akan tetapi dia merasa tidak berdaya. Dia melihat
betapa Kiok Hwa tampak tenangtenang saja walaupun lehernya telah ditodong pedang
dan gadis ini memandangnya dengan mata bersinar-sinar penuh
selidik. Dia tidak tahu mengapa dalam keadaan terancam
nyawanya, gadis itu masih tetap tenang dan memandangnya
seperti itu. Dia menoleh ke kiri, memandang kepada sepotong
bambu yang menggeletak di atas tanah.
"Hayo cepat serahkan Im-yang-kiam, itu kepadaku atau
akan kupenggal kepala gadis ini!" Ancam Toa Ok dan Han Lin tidak ragu lagi bahwa
kakek itu bukan hanya menggertak
kosong belaka. Bukan Toa Ok julukannya kalau dia tidak
kejam dan curang jahat. "Baiklah, akan tetapi engkau harus berjanji untuk
membebaskan gadis itu setelah menerima Im-yang-kiam."
Toa Ok tidak bodoh. Dia berpikir sejenak. Kalau Im-yangkiam
dan Kim liong-kiam berada di tangannya, bocah itu dapat
berbuat apakah" Memang dalam ilmu tangan kosong pemuda
itu mampu mengimbanginya, akan tetapi kalau kedua pedang
pusaka itu berada di tangannya, pemuda itu tentu tidak akan
mampu menandinginya. Pula, kalau pedang sudah diberikan
kepadanya, diapun tidak akan melepaskan mereka begitu saja!
Mereka berdua itu harus dibunuh agar di kemudian hari tidak
mendatangkan kerepotan kepadanya. Demikianlah jalan
pikirannya, maka tanpa ragu dia menjawab dengan suara
lantang. "Aku berjanji akan membebaskan gadis ini setelah Imyang-
kiam kauserahkan kepadaku!"
Han Lin lalu mjengambil buntalan pakaiannya yang terletak
di atas tanah, membukanya dan mengeluarkan Im-yang-kiam
dari dalamnya. Sambil lalu dia melirik ke arah potongan
bambu itu dan dengan girang mendapat kenyataan bambu itu
masih utuh dan baik, dan panjangnya tepat untuk dia pakai
sebagai senjata tongkat. Dia bangkit berdiri dan menjulurkan
tangannya menyerahkan pedang Im-yang-kiam kepada Toa
Ok sambil berkata dengan tenang.
"Inilah Im-yang-kiam, boleh kau terima. Akan tetapi
bebaskan Nona Tan dengan segera." katanya.
Toa Ok melepaskan tangannya yang menangkap lengan
Kiok Hwa dan menggunakan tangan kiri itu untuk menerima
Im-yang-kiam sambil tertawa. Akan tetapi tiba-tiba dia
berseru, "Mampuslah!" Dan pedangnya dengan cepat sekali telah menyerang Kiok Hwa
yang baru saja dilepas lengannya.
Pedang menyambar ke arah leher gadis itu. Akan tetapi tibatiba dengan cepatnya
Kiok Hwa dapat mengelak sambil
menggeser kakinya. "Ehhh.....?" Toa Ok menjadi heran dan terkejut. Pedangnya menyambar lagi
berturut-turut, akan tetapi sampai tiga kali
pedangnya menyerang, tetap saja Kiok Hwa dapat
mengelakkan diri dengan cepatnya.
"Tua bangka curang!" Han Lin membentak dan dia sudah menyambar tongkat bambu
tadi. Dengan tongkat itu dia
menyerang ke arah Toa Ok sehingga kakek itu terpaksa
meninggalkan Kiok Hwa dan menghadapi Han Lin dengan dua
pedang di tangan! Han Lin segera mainkan Sin-kek -tung (Tongkat Bambu
Sakti) dan tongkatnya bergerak seperti seekor naga bermain
di antara gelombang yang menekan lawan. Toa Ok terkejut
dan cepat memainkan sepasang pedangnya. Akan tetapi
karena dia tidak biasa memainkan sepasang pedangnya,
permainannya agak kaku dan pedang di tangan kiri itu hanya
membantu saja, sedangkan yang benar-benar melakukan
penyerangan adalah pedang di tangan kanan, yaitu pedang
Kim-liong-kiam. Terjadi perkelahian yang amat hebat. Kini Han Lin
mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan
kepandaiannya. Bukan hanya tongkatnya yang bergelombang
dimainkan dengan ilmu tongkat Sin-tek-tung, akan tetapi juga
kadang kalau ada kesempatan, tangan kirinya melepaskan
tongkat dan melakukan penyerangan dengan It-yang-ci yang
ampuh. Diserang seperti ini, Toa Ok menjadi repot. Ilmu
tongkat lawannya yang masih muda itu sudah
membingungkannya, apalagi ditambah lagi dengan
penyerangan It-yang-ci yang membuat dia gentar karena ilmu
totok itu benar-benar dahsyat sekali dan amat berbahaya
baginya. Dia merasa kecelik sekali. Tadinya dia mengira
bahwa kalau pedang Im-yang-kiam sudah berada di
tangannya, dia akan dengan mudah dapat membunuh Han Lin
dan gadis itu. Sekarang ternyata bahwa pemuda itu
menemukan sebuah senjata sederhana, sebatang tongkat
bambu yang dapat di-mainkannya sedemikian hebatnya
sehingga dia mulai terdesak. Jangankan membunuh kedua
orang muda itu, mendesak Han Lin pun dia tidak mampu!
Setelah lewat lima puluh jurus, Toa Ok menjadi benarbenar
repot dan terdesak hebat. Pedangnya seolah bertemu
dengan dinding baja, ke manapun pedangnya menyerang
selalu bertemu dengan gulungan sinar tongkat bambu yang
demikian kuatnya. Sebaliknya, ujung tongkat bambu itu
beberapa kali mengancam jalan darahnya. Tiba-tiba Han Lin
memutar tongkatnya secara aneh dan tahu-tahu tongkat itu
sudah menyambar ke arah tenggorokan Toa Ok. Kakek ini
terkejut sekali, cepat menarik tubuh atasnya ke belakang dan
menggerakkan pedangnya menangkis. Pada saat itu, tangan
kiri Han Lin menyerang dengan totokan It-yang-ci ke arah
lengan kirinya. "Cusss....!" Siku lengan kiri Toa Ok terlanggar totokan dan seketika lengannya
lumpuh dan pedang Im-yang-kiam
terlepas dari pegangannya. Sebelum dia hilang kagetnya,
pedang pusaka itu telah berpindah ke tangan kiri Han Lin!
Biarpun dia kaget dan marah sekali, namun kakek yang licik
ini maklum bahwa kalau dilanjutkan, dia akan celaka, maka
sambil mengeluarkan suara melengking panjang, tubuhnya
melayang jauh ke depan dan dia melarikan diri, lenyap di
antara pohon-pohon. Han Lin yang sudah berhasil merampas
kembali Im-yang-kiam, tidak melakukan pengejaran. Dia
tersenyum senang dan memutar tubuhnya untuk menghadapi
Kiok Hwa. Akan tetapi gadis itu tidak berada ditempat di mana
ia tadi berdiri. Han Lin celingukan mencari-cari dengan
pandang matanya akan tetapi tetap saja tidak dapat
menemukan gadis itu. Akhirnya dia melihat coret-coretan di
atas tanah di mana Kiok Hwa tadi berdiri.
Cepat dihampirinya tempat itu dan tak lama kemudian dia
sudah berjongkok membaca tulisan yang ditinggalkan Kiok
Hwa di atas tanah itu. "Aku pergi karena tidak ingin terlibat ke dalam perkelahianperkelahian dan
permusuhan yang tiada habisnya."
Han Lin tertegun, merasa betapa hatinya kosong dan
kesepian. Dia merasa kehilangan sekali dengan kepergian
gadis itu dan merasa ngelangsa. Kenyataan ini membuat dia
merasa heran sendiri. Meng apa dia merasa begitu bersedih
ditinggal pergi Kiok Hwa" Merasa kesepian dan keadaan
sekelilingnya terasa tidak menarik lagi"
Tiba-tiba dia teringat. Tadi, ketika ditawan Toa Ok, gadis
itu memandangnya dengan mata bersinar-sinar dan aneh,
kemudian dia teringat pula betapa gadis itu diserang beberapa
kali oleh pedang Toa Ok namun selalu dapat menghindarkan
diri. Kenapa ketika ditangkap Kiok Hwa tidak menghindarkan
diri" Dan pandang mata itu Han Lin termangu-mangu.
Agaknya baru sekarang dia dapat memahami apa artinya
pandang mata gadis itu. Kiok Hwa ingin mengujinya! Kiok Hwa
ingin melihat apakah dia mau menukar pedang Im-yang-kiam
untuk membebaskan dirinya. Kiok Hwa sengaja membiarkan
dirinya ditawan untuk melihat sampai di mana pembelaannya
terhadap gadis itu! Dan dia merasa girang sekali bahwa dia
telah mengambil keputusan yang tepat, yaitu menyerahkan
pedang untuk ditukar dengan kebebasan Kiok Hwa. Hal ini
saja sedikitnya sudah menunjukkan bahwa dia memberatkan
keselamatan gadis itu dari pada pedang Im-yang-kiam. Akan
tetapi setelah mengetahui perasaannya terhadap dirinya,
kenapa gadis itu meninggalkannya"
Dalam waktu singkat itu, terbayanglah semua yang terjadi
ketika gadis itu masih melakukan perjalanan bersamanya,
ketika gadis itu masih dekat dengannya.
Dan dalam bayangan ini, terasa olehnya betapa segala
gerak-gerik gadis itu, setiap tutur katanya, setiap pandang
matanya, selalu amat menyenangkan hatinya. Biarpun Han Lin
belum pernah selamanya jatuh cinta kepada seorang wanita,
namun dia merasakan betapa dia rindu terhadap Kiok Hwa,
betapa di dalam hatinya hanya ada rasa suka dan selalu ingin
berdekatan dengan gadis itu. Maka diam-diam diapun harus
mengakui bahwa dia telah jatuh hati kepada gadis ahli
pengobatan itu. Bukan hanya tertarik karena wajahnya yang
cantik jelita, akan tetapi terutama sekali karena tertarik oleh wataknya yang
amat bijaksana dan berbudi mulia.
"Kiok-moi......!" Dia mengeluh lalu menggendong
buntalannya dan melanjutkan perjalanan dengan hati terasa
hampa. Terasa benar himpitan cinta di dalam, hatinya pada
saat itu. Dengan penuh kewaspadaan dia meneliti
perasaannya sendiri dan dapat merasakan bahwa cinta
asmara membuat dia rindu kepada wanita yang dicintanya.
Rindu, ingin bertemu, ingin berkumpul, ingin mendekati, ingin
menyenangkan, ingin menghibur dan ingin melindungi.
"Kiok-moi.....!" kembali dia mengeluh dan mempercepat langkahnya untuk mengusir
pikiran yang mengganggu itu,
akan tetapi juga dengan harapan mudah-mudahan dia akan
dapat mengejar dan menyusul gadis itu!
Senja telah tiba dan Han Lin belum juga bertemu dengan
dusun. Dia berjalan menyusuri Sungai Huang-ho. Matahari
telah condong ke barat dan sinarnya membuat garis merah
memanjang di permukaan sungai. Burung-burung yang sehari
sibuk mencari makan sudah berbondong-bondong terbang
pulang ke sarang. Cuaca mulai gelap. Han Lin mengeluh.
Agaknya tidak terdapat dusun di dekat situ. Tidak tampak
sebuahpun perahu, dan tidak ada pula penggembala ternak
yang menggiring ternak mereka pulang kandang. Agaknya
terpaksa dia harus melewatkan malam di alam terbuka.
Baginya sudah terbiasa melewatkan malam di tempat terbuka,
akan tetapi entah mengapa. Setelah ditinggalkan Kiok Hwa,
dia merindukan kehadiran orang-orang lain dan dia akan
merasa senang dan terhibur kalau dapat bermalam di rumah
keluarga dusun. Akan tetapi agaknya dia harus melewatkan
malam di tepi sungai seorang diri. Tidak akan ada makanan
dan minuman hangat seperti kalau dia bermalam di rumah
seorang dusun dengan keluarganya yang ramah. Padahal
perutnya terasa lapar sekali. Terakhir kali perutnya terisi
adalah ketika pergi tadi dia sarapan di sungai bersama Kiok
Hwa. Gadis itu masih membawa bekal roti kering dan dia
menangkap ikan besar yang banyak berkeliaran di tepi sungai,
kemudian ikan itu dibumbui oleh Kiok Hwa dan dipanggang.
Betapa lezatnya makan roti kering dengan panggang ikan!
Apalagi makan bersama Kiok Hwa. Dan semenjak pagi tadi dia
belum makan apa-apa, maka sekarang perutnya terasa lapar
sekali. Dia harus cepat mencari makanan, sebelum malam tiba,
pikirnya. Dia melepaskan buntalan pakaiannya dan meletakkan
di bawah sebatang pohon yang tumbuh di tepi sungai. Lalu dia
mendekat ke tepi sungai, membawa sepotong bambu yang
tadi dia pakai melawan Toa Ok. Maksudnya hendak mencari
kalau-kalau ada ikan berenang di tepi, akan ditangkapnya
dengan tongkat bambu itu. Akan tetapi hatinya kecewa karena
di tepi sungai itu tidak ada ikan yang berenang. Untuk mencari ke tengah tentu
saja dia tidak mampu karena tidak ada
perahunya. Maka dia lalu meninggalkan tepi sungai dan
mencari-cari di antara semak belukar. Akhirnya dia melihat
apa yang dicarinya. Seekor kelenci bergerak hendak lari dari
semak-semak. Cepat Han Lin melemparkan tongkat bambunya
dan tepat tongkat bam bu itu mengenai kelenci dan tewaslah
binatang itu. Han Lin cepat mengambilnya.
Kalau ada Kiok Hwa, gadis itu mempunyai persediaan yang
lengkap. Pisau dan bumbu-bumbu. Akan tetapi dia sama sekali
tidak mempunyai perlengkapan. Pisaupun tidak punya.
Terpaksa dia menggunakan Im-yang-kiam, bagian mata
pedang yang putih, untuk menguliti kelenci itu!


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiba-tiba terdengar suara orang bernyanyi, Suaranya
merdu dan Han Lin mengira bahwa yang bernyanyi itu
seorang wanita, akan tetapi ternyata penyanyi itu seorang
pemuda yang mendayung perahu ke tepi, dekat tempat dia
duduk menguliti kelenci. Dia memandang dan melihat seorang
pemuda remaja yang pakaiannya seperti seorang petani,
wajahnya tampan dan tersenyum-senyum, mata nya bersinarsinar
nakal. "Aihh, menguliti kelenci menggunakan pedang! Ha-ha,
betapa lucu dan canggung nya!" pemuda itu berkata sambil
tertawa ketika menarik perahunya ke pinggir dan mengikat tali
perahunya pada pohon di bawah mana Han Lin duduk. Han
Lin memperhatikan pemuda remaja itu. Seorang pemuda biasa
saja, pemuda dusun, agaknya nelayan atau petani. Tampan
dan gembira sikapnya. "Terpaksa, kawan. Aku tidak mempunyai pisau, maka
terpaksa menggunakan pedang." jawab Han Lin sambil
tersenyum juga. "Pedang yang begitu indah lagi. Sayang dipergunakan
untuk menguliti kelenci. Aku mempunyai pisau kalau engkau
membutuhkannya." kata pemuda itu dan dia mengambil
sebuah pisau dari dalam perahunya, menyerahkannya kepada
Han Lin. Han Lin tersenyum senang. "Engkau baik sekali, sobat.
Terima kasih. Maukah engkau menemani aku memanggang
kelen ci ini dan makan bersamaku?" Dia menawarkan.
Pemuda remaja itu mengernyitkan hidungnya, seperti
memandang rendah. "Panggang kelenci" Pakai bumbu apa?"
Han Lin menjadi rikuh. "Aku tidak mempunyai bumbu, jadi
dipanggang begitu saja."
"Ih, mana bisa dimakan" Daging apapun tidak enak
rasanya tanpa bumbu. Aku tidak suka makan panggang
daging tanpa bumbu, tentu rasanya hambar dan tidak enak.
Kulitilah sampai bersih, buang isi perutnya. Nanti akan kuberi bumbu dan baru
dipanggang." "Engkau mempunyai bumbunya?"
"Jangan khawatir. Aku mempunyai persediaan lengkap."
kata pemuda remaja itu. "Bahkan aku mempunyai sepuluh
buah bakpau yang masih baru, dan tadi aku menangkap enam
ekor udang besar. Biarkan aku yang memanggang daging
kelenci dan udang itu, ditanggung lezat!"
Han Lin merasa girang sekali. Harus diakui bahwa dia tidak
begitu pandai memanggang daging, apalagi tanpa bumbu.
Rasanya memang tidak enak dan tidak karuan, hambar seperti
dikatakan pemuda remaja itu.
"Terima kasih. Engkau baik sekali. Aku sungguh beruntung
dapat bertemu dan berkawan denganmu. Kenalkan, nama ku
Han Lin. Engkau siapa?"
"Aku Eng-ji." kawab pemuda remaja itu dengan singkat dan dia mengeluarkan sebuah
buntalan dari dalam perahunya,
juga enam ekor udang besar yang masih hidup. Dibukanya
buntalan itu dan ternyata dia membawa perlengkapan masak
yang lebih lengkap dibanding perlengkapan yang dibawa Kiok
Hwa. Bahkan terdapat pula panci, mangkok dan sumpit!
"Sudah selesai membersihkan kelenci itu" Ke sinikan
dagingnya dan buatkanlah api unggun yang besar." kata Engji dengan suara
memerintah. Han Lin tidak membantah atau
menjawab, melainkan memberikan daging kelenci dan
pisaunya, mencuci tangannya lalu mencari dan mengumpulkan
daun dan kayu kering untuk membuat api unggun.
Dengan cekatan dan trampil sekali Eng-ji memotong begini
kelenci, memilih dagingnya dan membuang tulangnya,
kemudian menusuk daging-daging itu dengan dua potong
kayu. Setelah itu, dia menyayat enam ekor udang itu,
memberinya bumbu seperti juga daging kelenci tadi,
bumbunya sederhana saja, garam, mrica dan bawang, lalu dia
membungkus udang itu dengan tanah liat! Han Lin
memandang dengan heran dan tak dapat menahan dirinya
untuk tidak bertanya. "Kenapa udang-udang itu dibungkus dengan tanah liat
seperti itu" Apakah tidak menjadi kotor dan bagaimana
memanggangnya?" Eng-ji memandang kepadanya, matanya bersinar dan
mulutnya tersenyum. Han Lin melihat betapa manisnya
pemuda remaja itu kalau tersenyum. Giginya putih kecil-kecil
dan rata. "Engkau belum pernah makan udang panggang bungkus
tanah liat" Hem kau lihat dan coba saja nanti. Tidak ada
masakan udang yang lebih lezat daripada di panggang dalam
tanah liat begini." Mulailah Eng-ji memanggang dua tu-suk daging kelenci dan
enam ekor udang yang dibungkus tanah liat itu. Sibuk dia
bekerja, dan ketika Han Lin hendak membantunya, ditolaknya
dengan keras. "Memanggang begini memerlukan ke-ahlian dan
perhitungan yang tepat. Kalau tidak, dapat hangus dan berbau
sangit. Biarkan aku yang memanggangnya. Lebih baik engkau
mencari air jernih di panci untuk dimasak dan untuk membuat
air teh nanti." "Air teh?" "Habis kita mau minum apa" Aku ada membawa teh
harum." Han Lin terheran-heran. Pemuda remaja ini sungguh luar
biasa! Akan tetapi hatinya menjadi senang sekali. Dia
mendapatkan seorang kenalan yang cekatan dan pandai
masak. Dia lalu mencari air jernih dalam panci, lalu membuat
api unggun lagi untuk memasak air dalam panci.
Setelah airnya mendidih, Eng-ji menyuruh Han Lin
mengambil bungkusan teh dari dalam buntalannya. Nadanya
memerintah, akan tetapi Han Lin menaati perintah itu dan
jadilah air teh yang berbau harum! Daging kelenci sudah
masak pula. "Nah, daging ini sudah masak! Nih, untuk kau setusuk. Ini bakpaunya. Bakpau
dimakan dengan daging kelenci ini tentu
enak." kata Eng-ji sambil mengambil buntalan bakpau yang
sepuluh buah banyaknya itu. Bakpau itu masih baru dan lunak
Mereka mulai makan bakpau dan daging kelenci yang
rasanya amat gurih. "Dan udangnya?" tanya Han Lin sambil memandang kepada enam ekor udang bungkus
tanah liat yang masih dipanggang
itu. "Belum matang. Dan memang sebaiknya kita makan daging
kelenci lebih dulu, karena kalau kita makan udangnya dulu,
nanti daging kelencinya akan terasa kurang enak."
"Kenapa begitu?"
"Karena udangnya luar biasa lezatnya sih!" kata Eng-ji sambil menggigit daging
kelenci dengan giginya yang putih
berkilau. Sementara itu, malam telah tiba dan cuaca mulai gelap.
Nyamuk mulai berdatangan. Akan tetapi mereka aman dari
gangguan nyamuk dan hawa udara yang mulai dingin karena
adanya api unggun yang mengusir nyamuk dan hawa dingin,
Agaknya Eng-ji juga lapar benar seperti halnya Han Lin.
Akan tetapi dia tidak dapat menghabiskan lima buah bakpau.
Setelah habis empat buah, dia memberikan yang sebuah lagi
untuk Han Lin. "Nih, satu lagi untukmu. Aku sudah kenyang. Apalagi nanti masih harus makan tiga
ekor udang panggang!" kata Eng-ji.
Han Lin juga tidak sungkan-sungkan dan menerima tambahan
sebuah bakpau itu. Dia merasa berterima kasih sekali kepada
sahabat barunya yang demikian ramah dan baik.
Akhirnya semua bakpau dan daging kelenci itu habis. Han
Lin harus diam-diam memuji pemuda remaja itu. Masakan nya
daging kelenci walaupun hanya dipanggang, demikian lezat.
Daging kelenci gemuk itu lemaknya terasa gurih bukan main
dan memanggangnya pun pas sekali, bagian luarnya agak
kering dan bagian dalamnya lunak. Rasa asinnya tepat dan
merica serta bawangnya mendatangkan aroma amat sedap.
Han Lin menjilat-jilati bibirnya dan merasa puas.
"Enakkah panggang kelenci tadi?" tanya Eng-ji sambil tersenyum lebar melihat Han
Lin menjilat bibir sendiri.
"Luar biasa sekali! Biarpun aku sering makan daging kelenci panggang, namun
selamanya belum pernah makan yang
selezat tadi. Engkau benar-benar hebat dan pandai sekali
masak, Eng-ji. Kalau engkau membuka warung makan, tentu
akan laku sekali." "Itu belum seberapa. Coba rasakan sekarang udang ini!"
Dia mengambil seekor udang dari api, lalu menggunakan pisau
untuk memukul tanah liat yang sudah menjadi kering. Tanah
liat itu pecah dan ternyata kulit udang besar itu ikut pula
terbuka bersama tanah liat, meninggalkan dagingnya yang
tampak kemerahan sebesar ibu jari kaki! Eng-ji mengambil
daging yang sudah terkelupas kulitnya itu dengan sepasang
sumpit. "Nah, terimalah ini dengan sumpit dan coba makan
bagaimana rasanya!" kata Eng-ji dengan suara gembira.
Han Lin mengambil sepasang sumpit dan menerima daging
udang itu. Baru melihatnya saja sudah menimbulkan selera.
Daging putih kemerahan yang menghamburkan aroma yang
khas udang. Sedap dan gurih. Dia meniup daging itu agar
jangan terlalu panas, lalu mencoba menggigitnya. Hebat!
Bukan main enaknya. Gurih, manis dan sedap! Han Lin sampai
terbelalak saking heran dan kagum, lalu makan daging udang
itu tergesa-gesa sampai mulutnya kepanasan dan melihat ini
Eng-ji tertawa geli. Diapun memecahkan lagi seekor udang
lalu memakannya, sedikit demi sedikit tidak seperti Han Lin.
"Kalau menggigitnya sedikit demi sedikit, dikunyah lembut, tentu akan lebih
lezat." katanya. Tanpa ditawari lagi, setelah udang pertama habis, Han Lin
mengambil udang kedua dan memecah tanah liatnya dengan
pisau, lalu mengambil daging udangnya dengan sumpit. Dia
menurut nasehat Eng ji, menggigit dan makan sedikit-sedikit
dan memang makin terasa benar lezatnya!
Air teh dituang dalam mangkok dan makan udang
panggang sambil minum air, teh harum sungguh merupakan
kenikmatan yang belum pernah dialami Han Lin. Seperti juga
tadi ketika makan bakpau, Eng-ji hanya makan dua ekor
udang, yang satu dia berikan kepada Han Lin sehingga
pemuda ini makan empat ekor. Han Lin menerima dengan
senang hati karena memang udang itu lezat sekali dan orang
memberinya dengan ikhlas.
Setelah kenyang mereka mencuci tangan dan mulut. Han
Lin melihat betapa Eng-ji teliti sekali dalam membersihkan
tangan dan mulut, bahkan pemuda remaja itu berkumur dan
menggosok gigi. "Sehabis makan malam orang harus membersihkan gigi dan
mulut sampai bersih benar agar jangan mudah terkena
penyakit." demikian pemuda remaja itu berkata dan Han Lin teringat akan nasihat
Kiok Hwa yang sama benar. Diapun
mencontoh perbuatan Eng-ji dan membersihkan mulutnya.
Kemudian mereka duduk dekat api unggun dan bercakapcakap.
"Engkau datang dari manakah, twako (kakak besar)?"
tanya Lng-ji sambil meng amati wajah Han Lin yang tertimpa
cahaya api unggun. Sepasang mata pemuda remaja itu
berkilauan terkena cahaya api.
"Aku seorang perantau, datang dari tempat jauh sekali di
utara." jawab Han Lin. "Dan engkau sendiri, datang dari manakah, Eng-ji?"
"Aku juga seorang perantau, datang dari Cin-ling-san.
Engkau dari mana?" "Dari Thai-san."
"Wah, kita ini sama-sama perantau, sama-sama datang dari
gunung yang jauh. Kita sama-sama pemuda gunung!" kata
Eng-ji gembira. "Engkau ini masih kecil bagaimana merantau seorang diri"
Di manakah orang tuamu?" tanya Han Lin dengan perasaan
iba. "Di dunia yang begini luas dan berbahaya, banyak orang jahat, tentu
penghidupanmu akan terancam sekali."
"Ayahku meninggalkan aku, dan ibuku..... sudah tidak ada.
Engkau mengatakan aku masih kecil" Apa kaukira engkau ini
sudah tua renta" Kalau aku masih kecil, engkaupun masih
kecil, sobat!" "Hemm, aku sudah hampir dua puluh satu tahun! Aku
sudah dewasa dan aku dapat menjaga diriku sendiri dari
bahaya." "Huh! Hanya dua tahun lebih tua dari ku dan engkau
berlagak seperti orang tua renta!"
"Benarkah?" kata Han Lin sambil mengamati wajah yang tampan itu. "Tadi nya
kukira engkau baru berusia empat belas atau lima belas tahun! Akan tetapi
biarpun usia kita tidak terpaut banyak, aku pandai menjaga diri dari bahaya!"
"Hemm, akupun manusia hidup dan sehat kuat. Apa kau
kira hanya engkau saja yang mampu menjaga diri" Akupun
mampu, buktinya sampai sekarang semenjak aku
meninggalkan Cin-ling-san, aku berada dalam keadaan
selamat!" Berkata demikian, ia mencoba untuk menutup
bungkusan pakaiannya, akan tetapi terlambat karena Han Lin
sudah dapat melihat sebatang pedang dengan sarungnya yang
indah tersembul keluar. "Ah, kiranya selain pandai memasak, agaknya engkau
pandai bermain pedang pula, Eng-ji!" katanya kagum.
Eng-ji tersenyum. "Siapa yang bermain pedang" Aku hanya
dapat menjaga diri, seperti juga engkau. Sudahlah, aku lelah
dan mengantuk. Aku mau mandi dulu lalu terus tidur."
"Mandi" Sudah malam begini?"
"Apa salahnya" Aku tidak akan dapat tidur kalau belum
membersihkan badan dan berganti pakaian. Di sana ada air
sumber yang jernih, aku mau mandi dulu. Tolong jagakan
buntalan pakaianku, ya?"
Tanpa menanti jawaban, Eng-ji sudah pergi membawa satu
pasang pakaian pengganti dan menghilang di dalam
kegelapan. Han Lin membesarkan api unggun, duduk melamun dan
teringat akan sahabat barunya itu. Seorang yang lebih muda
darinya dan hidupnya tampak demikian gembira. Juga seorang
perantau dan seorang yang terpisah dari ayahnya, sudah
kehilangan ibunya pula. Seperti dirinya! Akan tetapi pemuda
remaja itu tampaknya selalu gembira dan besar hati, pandai
membawa dan menyesuaikan diri. Ingin sekali dia melihat
sampai di mana tingkat kepandaian pemuda remaja itu.
Agaknya tidak mungkin ilmu kepandaiannya cukup tinggi


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melihat dia masih begitu muda. Dia masih berpendapat bahwa
usia pemuda itu tidak akan lebih dari lima belas tahun. Akan
tetapi kalau ilmu silatnya rendah, bagaimana dia berani
merantau sampai demikian jauhnya" Sungguh seorang
pemuda yang menarik hati dan mengandung rahasia. Akan
tetapi bukan seorang sahabat yang tidak menyenangkan.
Sebaliknya, sikapnya menyenangkan sekali. Begitu ramah dan
sebentar saja jika dia sudah merasa akrab.
"Lin-ko, engkau tidak mandi?" tiba-tiba dia mendengar suara dan ketika dia
menengok, dia melihat Eng-ji sudah
mandi dan wajahnya tampak segar, rambutnya basah
digelung ke atas dan di kat dengan sehelai kain hitam.
"Aku hanya akan mencuci muka saja." kata Han Lin. "Harap engkau ganti berjaga di
sini, aku hendak pergi ke sumber air
itu." Dia lalu bangkit dan berjalan pergi. Dia merasa heran kepada dirinya
sendiri. Kenapa dia begitu percaya kepada
pemuda remaja itu" Dalam buntalan-nya terdapat Im-yangkiam!
Bagaimana kalau pemuda itu mengambil Im-yang-kiam
dan membawanya lari" Dia menjadi ragu dan hatinya agak
was-was. Akan tetapi untuk kembali dan mengambil
pedangnya itu dia merasa tidak enak, bukankah pemuda tadi
juga meninggalkan semua isi buntalannya ketika pergi mandi"
Dia melanjutkan langkahnya menuju ke sumber air. Sambil
meraba-raba, diterangi sinar api unggun yang masih dapat
mencapai tempat itu, dia membasuh muka, kaki dan
lengannya. Kemudian kembali ke tempat semula. Hatinya lega
melihat Eng-ji masih duduk mengeringkan rambut dekat api
unggun dan buntalannya masih berada di tempat semula,
tidak terusik. Dia merasa malu kepada diri sen diri yang tadi
telah meragukan kejujuran pemuda remaja itu!
"Aku mau tidur. Tadi makan terlalu kenyang sehingga
sekarang amat mengantuk." kata Eng-ji dan dia lalu bangkit berdiri, menghampiri
perahunya yang sudah ditarik ke pinggir,
memasuki perahu lalu merebahkan diri membujur di dalam
perahunya, berbantalkan buntalan pakaian nya, tidak
mengeluarkan kata-kata lagi. Han Lin masih duduk di dekat
api unggun dan beberapa kali dia menengok, memandang ke
arah Eng-ji, akan tetapi agaknya pemuda itu telah tertidur
karena sama sekali tidak bergerak atau bersuara. Karena ingin
tahu, Han Lin bangkit berdiri dan menghampiri ke dalam
perahu. Dia melihat pemuda itu tidur miring dengan menarik
kedua kakinya ke dada, tanda bahwa dia kedinginan. Memang
hawa malam itu amat dingin dan pemuda itu tidurnya agak
jauh dari api unggun. Han Lin merasa kasihan juga. Dia
mengambil sehelai baju luarnya dan mempergunakan baju
luar itu untuk menyelimuti Eng-ji. Yang diselimutinya tidak
bergerak, agaknya memang sudah tidur nyenyak.
Han Lin tidak tidur. Dia berjaga di dekat api unggun sambil
menjaga agar api unggun tidak padam, bahkan dia menggeser
api unggun itu agar lebih mendekati perahu yang berada di
tepi sungai agar Eng-ji mendapatkan kehangatannya. Dia tidak
berani tidur karena selain harus menjaga keselamatan mereka
berdua, dia juga harus menjaga agar pedang mereka tidak
diambil oleh orang. Dia duduk sambil melamun. Ketika dia
melamun dengan pikiran kosong itu, mendadak muncul Kiok
Hwa dalam lamunannya. Dia tetap merindukan gadis itu dan
mengharapkan akan dapat bertemu. Akan tetapi kini tidak ada
rasa kesepian tadi. Bagaimanapun juga, dia sudah memperoleh seorang teman
yang baik untuk menerima pembagian perhatiannya.
Tengah malam telah lewat dan Han Lin masih duduk
melamun di dekat api unggun sambil memandang nyala api
yang bergoyang-goyang ditiup angin.
"Lin-ko.....!" Dia cepat menengok dan melihat Eng-ji sudah berdiri di
situ, memegangi baju luar yang tadi diselimutkannya. "Eh, kenapa terbangun Eng
ji" Tidurlah." "Tidak, aku sudah cukup lama tidur. Sekarang giliranmu
beristirahat, twako. Biar aku yang berjaga di sini menggantikanmu.
Ini bajumu, terima kasih bahwa engkau telah
menyelimutiku. Pakailah agar engkau tidak kedinginan."
Dalam suara Eng-ji terdapat ketegasan yang memerintah
sehingga Han Lin tidak dapat membantah lagi. Dan dia merasa
aneh. Pemuda remaja itu memang luar biasa, kadang dalam
suaranya dan sikapnya seperti orang yang suka memimpin!
"Baiklah, Eng-ji." katanya dan dia menerima bajunya lalu memasuki perahu itu dan
merebahkan diri membujur di dalam
perahu. Karena dia memang perlu beristirahat untuk
memulihkan tenaganya, maka tak lama kemudian diapun
tertidur nyenyak. Ketika ayam hutan jantan mulai berkokok dan burungburung
berkicau, Han Lin terbangun. Malam baru saja bersiapsiap
untuk meninggalkan bumi dan cuaca masih remangremang
ketika dia keluar dari dalam perahu yang menjadi
tempat tidurnya itu. Api unggun telah padam dan dia
mendapatkan Eng-ji tertidur melengut sambil duduk di bawah
pohon. Pagi itu dingin sekali. Han Lin menanggalkan baju
luarnya yang semalam dia pakai untuk menyelimuti dirinya
dan menyelimutkannya pada tubuh Eng-ji. Lalu dia
menyalakan lagi api unggun. Dilihatnya Eng-ji tertidur nyenyak dan wajah pemuda
remaja itu seperti wajah seorang kanakkanak.
Dia tersenyum. Memang dia masih kanak-kanak,
pikirnya. Akan tetapi seorang anak yang luar biasa!
Nyala api unggun itu agaknya membangunkan Eng-ji. Dia
terbangun dan menggosok-gosok matanya, melihat baju luar
yang menyelimutinya dan diapun mengambil baju itu dan
memandang kepada Han Lin yang duduk di dekat api unggun.
"Ah, celaka! Apakah aku tertidur" Wah, membikin engkau
repot saja, Lin-ko. Nih bajumu, terima kasih."
"Kalau masih mengantuk, tidurlah, Eng-ji. Hari masih terlalu pagi."
"Apa" Tidur lagi" Tidak, aku sudah kenyang tidur, aku
hendak mandi!" Dan diapun bangkit berdiri, membawa kain
penyeka badan lalu setengah berlari menuju ke sumber air
yang berada tak berapa jauh dari situ dan terhalang batu
besar. Han Lin tersenyum. Anak itu demikian suka mandi! Lalu
teringatlah dia akan nasihat Kiok Hwa yang juga menganjurTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ kan agar orang sering mandi karena hal itu akan
mendatangkan kesehatan. Tal lama kemudian Eng-ji sudah
selesai mandi dan Han Lin juga segera mandi untuk
membersihkan diri. Dia merasa sejuk dan segar sekali. Ketika
dia kembali ke tempat tadi, dia melihat Eng-ji sudah
memegang dua batang pedang, yaitu pedangnya sendiri dan
pedang Im-yang-kiam, dan pemuda remaja itu kelihatan
tegang. "Eh, Eng-ji, ada apakah?" tanyanya! Akan tetapi Eng-ji sudah melemparkan Im-
yang-kiam yang telanjang itu
kepadanya. Han Lin menerimanya dan pemudi itu berkata lirih.
"Ada orang datang! Kita harus berhati hati." katanya menuding ke arah sungai!
Han Lin menengok dan benar saja.
Dari tengah sungai tampak sebuah perahu meluncur ke
pinggir, ke tempat mereka dan perahu itu ditumpangi dua
orang. Masih terlalu jauh untuk dapat melihat siapa adanya
dua orang itu. Hati Han Lin menjadi tegang karena dia melihat
sikap Eng-ji yang juga tegang dan penuh kekhawatiran.
Setelah perahu itu datang dekat. Han Lin terbelalak kaget
bukan main karena dia mengenal dua orang itu.
"Hati-hati, Lin-ko. Mereka itu adalah Toa Ok dan Sam Ok,
dua orang datuk yang amat lihai dan jahat!" terdengar Eng-ji berkata kepadanya
dan Han Lin terkejut bukan main.
Bagaimana pemuda remaja ini dapat mengenal dua orang
datuk sesat itu" Dia menjadi semakin heran saja melihat Eng
ji, apalagi melihat betapa Eng-ji sama sekali tidak kelihatan
takut walaupun Lelah mengenal siapa ada nya dua orang itu.
"Mereka itu tentu datang untuk merampas pedangku ini,"
kata Han Lin. "Jangan khawatir. Lin-ko. Serahkan saja mereka
kepadaku!" kata Eng-ji sambil mencabut pedangnya. Han Lin melihat sinar
kehijauan dari pedang yang terhunus itu dan dia
menjadi semakin kagum. Kiranya pemuda remaja itupun
memiliki sebatang pedang yang ampuh. Akan tetapi
ketenangannya dan keberaniannya yang membuat dia
terheran-heran. Hanya orang yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi saja yang dapat bersikap demikian berani dan tenang
menghadapi ancaman orang berbahaya seperti Toa Ok dan
Sam Ok! Toa Ok dan Sam Ok telah tiba di sungai dan mereka segera
menarik perahu ke pinggir dan setelah mengikatkan perahu,
mereka berdua berloncatan ke depan dua orang pemuda yang
telah berdiri menanti dengan pedang di tangan itu! Toa Ok
telah bertemu dengan Sam Ok dan dia mengajak rekannya itu
untuk mengejar Han Lin. Dengan ditemani Sam Ok dia yakin
bahwa dia tentu akan dapat mengalahkan Han Lin dan
merampas Im-yang-kiam. Dia terheran-heran melihat Han Lin
sudah menantinya dengan Im-yang-kiam di tangan dan di
sampingnya berdiri seorang pemuda remaja lain yang juga
memegang sebatang pedang yang sinarnya kehijauan dan
pemuda ini memandang kepadanya dengan mata bersinarsinar
penuh kemarahan! "Wah, engkau benar, Toa Ok. Dia adalah pemuda yang
dulu itu. Kini telah menjadi seorang pemuda yang amat
ganteng! Pedangnya boleh untukmu, akan tetapi pemudanya
berikan kepadaku, Toa Ok!" terdengar Sam Ok berkata. Han
Lin melihat betapa wanita itu masih tampak cantik saja seperti dulu, cantik dan
genit pesolek, padahal usianya tentu telah
mendekati enam puluh tahun!
"Sam Ok, cepat engkau bunuh pemuda yang lain itu agar
kita dapat sama-sama menghadapi dia dan merampas Imyang-
kiam!" kata Toa Ok. Sam Ok memandang kepada Eng-ji. "Wah, yang ini juga
ganteng sekali! Pedangnya juga merupakan pusaka yang baik.
Orang muda, marilah engkau menyerah saja kepadaku, anak
manis!" Sambil berkata demikian, Sum Ok mencoba untuk
menangkap lengan tangan Eng-ji. Akan tetapi Eng-ji sudah
mengelebatkan pedangnya yang bersinar hijau untuk
membacok lengan tangan Sam Ok sehingga Sam Ok terkejut
setengah mati dan cepat menarik kembali tangannya.
"Sam Ok, perempuan tua bangka yang tidak tahu malu!
Kematianmu sudah di depan mata dan engkau masih berani
banyak berlagak" Hari ini engkau akan mampus di tanganku!"
bentak Eng-ji dengan garang dan Han Lin menjadi semakin
terkejut. Pemuda remaja itu berani mengeluarkan ucapan
sesombong itu! Terhadap seorang datuk sesat seperti Sam Ok
yang amat lihai lagi! Sam Ok marah sekali mendengar penghinaan itu. "Bocah
lancang mulut. Aku akan membuat engkau merangkakrangkak
minta ampun dan menjilati kakiku!" katanya dan
iapun sudah menerjang maju sambil menggunakan jari-jarinya
untuk mencengkeram dan menotok. Itulah Ban-tok-ci (Jari
Selaksa Racun) yang amat berbahaya sehingga Han Lin
menjadi khawatir dan hendak maju melindungi Eng-ji. Akan
tetapi Eng-ji bergerak cepat sekali dan sudah memutar
pedangnya sehingga bukan Sam Ok yang mengancam,
bahkan jari-jari tangannya kini terancam oleh sinar pedang
kehijauan! Han Lin bernapas lega melihat betapa Eng-ji benarbenar mampu menjaga
diri sendiri, maka perhatiannya kini
tertuju kepada Toa Ok. Toa Ok merasa terkejut juga melihat betapa pemuda
remaja itu mampu menandingi Sam Ok, bahkan kini mereka
sudah bertanding hebat karena Sam Ok juga sudah mencabut
pedangnya, yaitu Hek-kong-kiam (Pedang Sinar Hitam) yang
beracun. Kalau Sam Ok menggunakan pedang, hal itu berarti
bahwa lawannya tentu tangguh sekali. Toa Ok merasa kecelik
sekali. Tadinya dia membawa Sam Ok untuk membantunya
mengeroyok Han Lin, tidak tahunya di situ ada seorang
pemuda remaja yang demikian tangguhnya, mampu
menandingi Sam Ok! Karena sudah kepalang dan diapun ingin sekali dapat
memiliki Im-yang-kiam, maka tanpa banyak cakap lagi dia
sudah mencabut Kim-liong-kiam (Pedang Naga Emas) miliknya
dan menyerang Han Lin yang sudah memegang Im-yangkiam.
Han Lin menangkis dan membalas menyerang. Terjadi
perkelahian yang amat seru.
Yang mengagumkan adalah Eng-ji. Biarpun masih amat
muda, namun ternyata ilmu pedangnya amat hebat
gerakannya. Hal ini sebetulnya tidak mengherankan karena
Eng-ji sebetulnya adalah Suma Eng! Dengan ilmu pedang Coatok
Sin-kiam-sut (Ilmu Pedang Sakti Racun Ular) ia dapat
mengimbangi permainan pedang Sam Ok. Bahkan pedangnya
yang bergerak dengan lenggang-lenggok seperti seekor ular
itu membuat Sam Ok kewalahan!
Dengan penasaran sekali Sam Ok membantu pedang di
tangan kanannya dengan tangan kiri yang menyerang dengan
Ban-tok-ci. Akan tetapi hal ini bahkan merugikannya karena
Eng-ji kini juga membantu pedangnya dengan pukulan tangan
kiri yang amat ampuh. Tangan kiri itu mendorong dengan
telapak tangan dan serangkum hawa panas sekali menyambar
Sam Ok. Itulah pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Beracun
Pencabut Nyawa), sebuah pukulan jarak jauh yang
mengandung racun panas yang ampuh sekali. Sam Ok
terhuyung dan ia terdesak terus.
Keadaan Toa Ok tidak lebih baik dari pada Sam Ok. Diapun
terdesak hebat oleh pedang Im-yang-kiam di tangan Han Lin.
Toa Ok kecewa sekali. Dia memang sudah tahu bahwa ilmu
kepandaian pemuda ini hebat sekali dan dia tidak mampu
menandinginya. Akan tetapi Sam Ok sama sekali tidak dapat
membantunya bahkan ketika dia melirik ke arah rekannya itu,
Sam Ok juga terdesak hebat oleh lawannya.
Melihat ini Sam Ok lalu mengambil sesuatu dari saku
jubahnya dan membantingnya ke atas tanah. Terdengar
ledakan dan asap hitam tebal mengepul tinggi.
"Awas, mundur!" Seru Han Lin dan Eng-ji juga melompat ke belakang karena
khawatir kalau-kalau asap hitam itu beracun.
Setelah asap hitam membuyar dan menipis, ternyata dua
orang itu telah lenyap bersama perahu mereka.
"Kita kejar mereka!" kata Eng-ji sam bil menghampiri perahunya siap untuk
melakukan pengejaran. Akan tetapi Han
Lin mencegahnya. "Tidak baik kita mengejar. Mereka itu licik dan curang


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali, amat berbahaya mengejar mereka. Apalagi di atas air
di mana kita tidak berdaya. Kecuali kalau engkau mahir
bermain di air, Eng-ji."
Eng-ji bergidik, dan menggeleng kepalanya. Dia teringat
akan pengalamannya dengan para bajak sungai. "Tidak, aku
tidak pandai renang."
"Kalau begitu, jangan kejar. Eng-ji, aku kagum sekali
kepadamu. Sama sekali tidak kusangka bahwa engkau akan
mampu menandingi orang yang demikian lihai dan berbahaya
seperti Sam Ok!" kata Han Lin sambil memandang kagum.
Eng-ji tersenyum. "Akupun kagum dan heran melihatmu.
Engkau Bahkan dapat menandingi Toa Ok, raja datuk sesat
yang sakti itu! Kepandaianmu hebat sekali, Lin-ko!"
"Engkau juga sudah mengenal mereka, Eng-ji. Bagaimana
engkau dapat mengenal orang-orang macam itu?"
"Mereka adalah musuh besarku. Masih ada seorang lagi,
yaitu Ji Ok. Mereka bertiga merupakan Thian-te Sam-ok yang
menjadi musuh besarku karena mereka telah melukai guruku
dan menyebab kan kematian guruku."
"Ah, begitukah" Melihat kelihaianmu, gurumu tentu seorang yang sakti. Kalau
boleh aku mengetahui, siapakah gurumu itu,
Eng-ji?" "Guruku seorang pertapa di Cin-ling-san, julukannya adalah Hwa Hwa Cinjin. Pada
suatu hari dia didatangi Thian-te Samok
dan dikeroyok. Suhu mampu mengusir mereka akan tetapi
dia terluka dan akhirnya tewas."
"Hemm, Thian-te Sam-ok itu jahat sekali. Dulu di waktu aku masih kecil merekapun
sudah berusaha untuk membunuhku.
Sekarang selelah aku dewasa, mereka masih mencoba untuk
merampas Im-yang-kiam dan membunuhku."
"Baru sekarang aku menyadari bahwa kiranya engkau yang
telah berhasil memiliki Im-yang-kiam, Lin-ko. Ayahku pernah
bercerita tentang Im-yang-kiam itu, bahkan ayah sendiri tidak
berhasil mencabutnya. Kiranya engkau yang berhasil
mencabutnya. Tidak heran kalau Toa Ok datang hendak
merampasnya. Kabarnya Im-yang-kiam itu merupakan pedang
pusaka yang amat ampuh sekali."
"Eng-ji, melihat kepandaianmu, aku yakin bahwa ayahmu
juga tentu seorang gagah yang berilmu tinggi. Boleh aku
mengetahui siapa ayahmu?"
Eng-ji menghela napas panjang. "Ayahku juga seorang
perantau. Dia berjuluk Huang-ho Sin-liong bernama Suma
Kiang." Dapat dibayangkan betapa terkejutnya hati Han Lin
mendengar ini. Suma Kiang adalah musuh besarnya yang
mengakibatkan tewasnya ibunya! Suma Kiang yang berusaha
untuk membunuhnya di waktu dia masih kecil, yang menculik
dia dan ibunya dari perkampungan Mongol! Ternyata pemuda
remaja ini, yang dalam waktu semalam telah menjadi sahabat
baiknya, bahkan yang telah membantunya dalam menghadapi
Toa Ok dan Sam Ok, adalah putera Suma Kiang, musuh
besarnya! Biarpun Han Lin dapat menekan perasaannya dan
tidak memperlihatkan sesuatu pada wajahnya, namun dia
tertegun dan memandang Eng-ji dengan diam tak berkedip.
"Engkau kenapakah, Lin-ko" Engkau memandangku seperti
orang merasa heran. Mengapa?"
Bocah ini memiliki pandang mata yang tajam dan amat
cerdik, pikir Han Lin. Dia sadar dan pandang matanya men
jadi biasa lagi. "Ah, aku hanya terheran-heran melihat engkau yang masih begini
muda ternyata telah memiliki ilmu kepan
daian tinggi sekali. Mengagumkan dan mengherankan, Eng-ji!"
"Hemm, kepandaianmu lebih tinggi lagi, Lin-ko. Aku dapat
menandingi Sam Ok, akan tetapi kalau aku harus menandingi
Toa Ok, agaknya sukar bagiku untuk mencapai kemenangan.
Engkau sudah mengetahui nama guruku. Aku yakin bahwa
gurumu tentu juga .seorang yang sakti seperti guruku.
Siapakah gurumu, Lin-ko?"
Karena pemuda itu sudah berterus terang kepadanya,
walaupun dia putera musuh besarnya, Han Lin merasa tidak
enak kalau tidak berterus terang pula. Akan tetapi mengingat
bahwa Go-bi Sam sian, tiga orang gurunya yang pertama,
pernah bentrok dengan Suma Kiang, dia tidak menyebut tiga
orang gurunya itu, melainkan dua orang gurunya yang
terakhir. "Guruku ada dua orang. Yang pertama bernama Cheng
Hian Hwesio dan yang ke dua berjuluk Bu-beng Lo-jin."
"Ah, mereka tentu orang-orang sakti." kata Eng-ji.
"Sekarang engkau hendak melanjutkan perjalanan ke
manakah, Lin-ko?" "Aku hendak melanjutkan perjalanan ke selatan, ke kota
raja untuk mencari pengalaman dan menambah pengetahuan.
Dan engkau sendiri, Eng-te (adik laki-laki Eng)?"
"Aku juga hendak merantau ke selatan. Kebetulan aku
sendiri juga ingin sekali berkunjung ke kota raja untuk melihat kebesaran kota
raja dan keramaiannya, maka kuharap engkau
tidak keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama, Linko!"
Tentu saja Han Lin tidak merasa keberatan walaupun
hatinya ragu mengingat bahwa pemuda ini adalah putera
Suma Kiang. Bagaimana kalau dalam perjalanan mereka
berjumpa dengan Suma Kiang" Dia tentu akan menentang
datuk itu! Dia merasa tidak enak sendiri.
"Aku tidak keberatan, Eng-ji. Akan tetapi bukankah engkau katakan hendak mencari
ayahmu" Di manakah ayahmu itu
sekarang?" "Aku tidak tahu. Dia meninggalkan aku pada mendiang
suhu dan tidak mem-beritahu ke mana akan pergi. Katanya
dia akan menjemput di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san.
Akan tetapi sampai suhu meninggal dunia dia tidak muncul.
Terpaksa aku meninggalkan tempat itu. A-kan tetapi aku
pernah mendengar ayahku menyatakan bahwa dia ingin sekali
pergi ke kota raja. Karena itu, kebetulan sekali kita pergi ke sana, siapa tahu
aku akan bertemu dengan ayahku di sana."
"Akan tetapi untuk melakukan perjalanan ke selatan
sebaiknya kita melakukan perjalanan darat. Terpaksa kita
harus meninggalkan perahumu."
Eng-ji tertawa. "Tentu saja! Untuk apa perahu macam itu"
Aku sendiri juga sudah bosan berperahu, pula, aku tidak
berani mendayung perahu ke tengah, selalu jalan di tepi."
"Kenapa?" "Aku mengalami hal yang pahit sekali dan hampir membuat
aku mati tenggelam. Aku bertemu bajak sungai. Kami
berkelahi dan aku mengamuk dengan berloncatan dari satu
perahu ke perahu yang lain. Akan tetapi bajak-bajak sungai
yang curang itu menenggelamkan perahu sehingga aku
tercebur ke dalam air dan nyaris tenggelam!"
"Ah, lalu bagaimana?" Han Lin terkejut juga mendengar cerita pemuda itu.
"Untung muncul seorang pendekar dari Kun-lun-pai yang
pandai renang. Dialah yang menyelamatkan aku dari mati
tenggelam. Namanya Gui Song Cin dan orang nya baik sekali."
"Untung muncul seorang pendekar yang baik hati. Aku
sendiripun tidak pandai renang. Itulah sebabnya aku
mencegahmu ketika engkau hendak melakukan pengejaran
terhadap Toa Ok dan Sam Ok yang melarikan diri dengan
perahu mereka." "Aku dapat memahami maksud baikmu, Lin-ko. Karena itu
akupun tidak berkeras untuk mengejar mereka. Akan tetapi
kalau saja perahu ini dapat kita jual, tentu akan dapat untuk
menambah uang biaya perjalanan kita." Dia berhenti sebentar lalu menoleh kepada
Han Lin. "Engkau membawa bekal uang
untuk biaya, Lin-ko?"
Han Lin menggeleng kepalanya. Dia memang sudah tidak
mempunyai uang. "Jangan khawatir, Lin-ko. Aku masih mempunyai sisa uang
cukup banyak. Lihat ini!" Eng-ji memperlihatkan sisa uang nya dan memang cukup
banyak. "Lagi Pula, kalau kita kehabisan, apa sukarnya" Kita dapat mengambil
uang dari para hartawan atau bangsawan yang kelebihan uang yang mereka dapatkan
dengan tidak halal."
"Mencuri?" tanya Han Lin kaget.
"Apa salahnya" Kita mengambil uang mereka bukan untuk
bersenang-senang, mengambil secukupnya saja untuk
keperluan hidup dalam perjalanan kita. Atau kalau engkau
tidak tega mengambil uang mereka, kita mengambil uang dari
para perampok dan penjahat!" kata pula Eng-ji dengan suara gembira. Han Lin
terpaksa hanya tersenyum saja karena
diapun tidak melihat cara lain untuk mendapatkan uang bekal
perjalanan. "Mari kita lanjutkan perjalanan, Eng-te." katanya dan kedua orang muda itu lalu
melangkah pergi meninggalkan tempat
itu. Han Lin merasa tetap tidak enak melakukan perjalanan
bersama putera musuh besarnya, akan tetapi dia tidak
mempunyai alasan untuk memisahkan diri. Pula, ayahnya jadi
boleh jahat,. menyebabkan ibunya hidup menderita, tidak
dapat bicara bahkan akhirnya menyebabkan kematian ibunya.
Ayahnya memang jahat sekali, akan tetapi hal itu apa
hubungannya dengan anaknya" Kalau anaknya tidak jahat,
tidak semestinya dia menentangnya. Dia hendak melihat saja
nanti bagaimana perangai Eng-ji yang sebenarnya. Dia belum
dapat menilai watak pemuda remaja itu yang baru dikenalnya
semalam. Melihat dia menentang orang-orang macam Thiante
Sam-ok saja sudah menimbulkan kesan baik di hatinya.
Ternyata kemudian oleh Han Lin bahwa Eng-ji bersikap
amat ramah dan baik kepadanya. Bahkan terlalu baik. Kalau
mereka kemalaman di hutan, Eng-ji selalu sibuk melayani
segala keperluan Han Lin. Membuatkan masakan dan ternyata
pemuda itu pandai sekali masak. Walaupun alat masak dan
bumbunya sederhana, namun dia dapat membuatkan
masakan yang enak-enak. Bahkan ketika dia mencuci pakaian
kotornya, dia minta pakaian Han Lin yang kotor untuk
dicucikan sekalian. Kalau mereka tiba di sebuah dusun atau kota, Eng-ji
menggunakan uangnya untuk berbelanja dan selalu berusaha
untuk menyenangkan hati Han Lin. Han Lin sampai merasa
canggung dan rikuh sekali melihat pelayanan Eng-ji. Seolaholah Eng-ji menganggap
dia sebagai majikannya. Karena sikap
ini, Han Lin merasa semakin suka kepada pemuda putera
musuh besarnya itu. Akan tetapi ada kalanya Eng-ji bersikap
seperti seorang anak yang nakal dan bandel.
Pada suatu hari ketika mereka memasuki sebuah rumah
makan di sebuah kota, Han Lin melihat sebuah keluarga
duduk menghadapi meja makan dan di antara mereka
terdapat dua orang gadisnya yang cantik. Dia hanya
memandang biasa saja, akan tetapi Eng-ji menggodanya
ketika mereka duduk menghadapi meja. Godaan yang lebih
bersifat tuduhan. "Lin-ko, ternyata engkau seorang pemuda yang mata
keranjang!" demikian katanya.
Jilid XIII "HAH?""Mengapa engkau berkata demikian, Eng-ji?"
"Kau kira aku tidak melihatnya ketika kita lewat di depan meja keluarga itu"
Matamu seperti hendak meloncat keluar
ketika engkau memperhatikan dua orang gadis itu. Engkau
tergila-gila kepada mereka, bukan?"
"Ah, aku hanya memandang biasa saja, Eng-ji."
"Memandang biasa" Engkau memandang mereka seperti
seekor srigala melihat dua ekor domba! Aku paling benci
melihat laki-laki yang mata keranjang! Memalukan sekali!"
Eng-ji tiba-tiba tampak marah dan bersungut-sungut.
Han Lin merasa lucu, lalu timbul niatnya untuk menggoda.
"Eh, Eng-te, jangan pura-pura. Kurasa engkaupun tentu
senang melihat seorang gadis yang cantik."
Eng-ji memandang Han Lin dan matanya berapi-api. "Tidak
sudi aku! Aku bukan seorang yang mata keranjang, melainkan
seorang yang gagah! Sudahlah, kalau engkau mata keranjang,
aku tidak sudi berdekatan denganmu!" Setelah berkata
demikian, dengan gerakan marah Eng-ji menyambar
buntalannya dan duduk di meja lain!
Han Lin merasa terkejut juga. Tidak disangkanya bahwa
Eng-ji bersungguh-sungguh dan benar-benar menjadi marah
besar kepadanya karena dia memandangi kedua orang gadis
cantik itu. Benarkah Eng-ji seorang pemuda yang tidak suka
kepada gadis cantik" Dan memandang rendah kepada pria
yang suka melihat gadis cantik"
Dia mengalah, lalu bangkit berdiri dan menghampiri
sahabatnya itu. "Maafkan aku, Eng-te, aku telah membuat
engkau marah." katanya sambil duduk di meja itu. Akan tetapi Eng-ji tidak
menjawab, hanya bersungut-sungut sambil
melambaikan tangan memanggil pelayan, lalu memesan nasi
dan masakan dengan singkat. Biasanya dia mesti bertanya
kepada Han Lin, masakan apa yang hendak dipesannya. Sekali
ini dia memesan sendiri, dengan sikap sembarangan saja.
Eng-ji bersikap dingin dan marah, tidak pernah memandang
kepada Han Lin, bahkan ketika masakan datang, dia lalu
makan tanpa mempersilakan Han Lin makan. Han Lin merasa
tidak enak sekali, akan tetapi diapun makan dan bersikap
seperti biasa saja. Melihat pemuda itu makan dalam keadaan
tidak enak dan terpaksa, Han Lin merasa menyesal telah
membikin marah sahabat yang biasanya bersikap baik itu
maka sambil makan dia pun berkata, "Eng-te, aku merasa
menyesal sekali telah membuat engkau marah. Maafkanlah
aku, demi persahabatan kita."
Eng-ji menunda sumpitnya dan menatap wajah Han Lin.
Matanya basah! Dan suaranya terdengar parau ketika dia
berkata agak ketus, "Berjanjilah bahwa engkau tidak akan
bersikap mata keranjang kalau melihat wanita cantik!"
Han Lin menelan ludahnya, diam-diam merasa geli, akan
tetapi juga penasaran. Sekarang dia melihat watak yang lain dari pemuda remaja
yang mempunyai segi-segi yang aneh itu. "Baiklah, aku
berjanji!" katanya sambil mengangguk. Dan seketika sikap
Eng-ji berubah! Kembali ramah seperti biasa, bahkan
memilihkan dan menyumpitkan daging pilihan dari masakan
itu untuk Han Lin! Ketika mereka selesai makan dan Eng-ji sudah membayar
harga makanan, mereka meninggalkan rumah makan itu dan
untuk menyenangkan hati sahabatnya itu, Han Lin
menengokpun tidak ketika lewat dekat rombongan keluarga
yang ada dua orang gadis cantiknya itu.
Atas ajakan Eng-ji, mereka langsung meninggalkan kota itu
menuju ke selatan. Sebentar saja mereka sudah meninggalkan


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kota dan tiba di tempat sunyi di luar kota sebelah selatan.
Han Lin menimbang-nimbang. Akan diteruskan
perjalanannya bersama Eng-ji ini" Ataukah dia akan
memisahkan dirinya" Akan lebih enak kalau melakukan
perjalanan seorang diri, dia dapat bebas sesuka hatinya dan
tidak menyinggung atau membuat tidak senang hati
sahabatnya itu. Akan tetapi kalau dia teringat akan keramahan
Eng-ji, akan sikapnya yang teramat baik dan ramah
kepadanya, dia merasa tidak tega. Bagaimana Eng-ji akan
menerimanya kalau dia mengajak berpisahan" Agaknya
pemuda remaja itu sudah melekat kepadanya, dan agaknya
Eng-ji akan berduka kalau diharuskan berpisah. Eng-ji sudah
dia anggap dia lebih dari pada sahabat biasa, bahkan
menganggap seperti kakaknya sendiri. Mencucikan
pakaiannya! Mempersiapkan makanan yang enak-enak.
Bahkan pernah ketika mereka bermalam di kamar sebuah
rumah penginapan di kota, pada malam hari ketika dia
terbangun, dia melihat Eng-ji tertidur di atas lantai, tidak
disampingnya di atas tempat tidur! Ketika pada pagi harinya
dia menegur, pemuda remaja itu mengatakan bahwa dia
merasa gerah sekali maka berpindah tidur di bawah, tidak
berani membangunkannya! Dalam segala hal pemuda remaja
itu mengalah kepadanya dan menyediakan yang terbaik
untuknya. Dan dalam perjalanan selama beberapa hari itu dia
merasa betapa perkenalan mereka telah menjadi
persahabatan yang amat akrab. Bagaimana dia akan tega
untuk mengatakan kepada Eng-ji bahwa dia ingin memisahkan
diri" "Lin-ko, mengapa engkau melamun" Apa yang
kaulakukan?" Han Lin tertegun. Pemuda remaja itu begitu penuh
perhatian terhadap dirinya, seperti biasa! "Tidak apa-apa, Engte."
"Sejak tadi engkau berdiam diri saja. Apakah ada yang
mengganggu pikiranmu?"
"Ah, tidak ada."
"Sukurlah kalau begitu. Aku khawatir bahwa aku telah
membuat hatimu tidak senang."
"Tidak, tidak ada apa-apa, Eng-te."
"Sttt.... dari depan ada orang-orang yang mencurigakan.
Mereka mempergunakan ilmu berlari cepat!" tiba-tiba Eng-ji memperingatkan.
Han Lin mengangkat muka memandang dan benar saja.
Jauh di depan di atas jalan yang lurus itu tampak bayangan
enam orang menuju ke tempat mereka dengan gerakan cepat
sekali seperti terbang. Jelas mereka itu adalah orang-orang
yang memiliki ilmu berlari cepat dan sedang menghampiri
mereka. Han Lin bersikap waspada dan berhenti melangkah,
memandang kepada mereka dengan sikap tenang walaupun
hatinya merasa tegang. "Wah, mereka datang lagi! Kini langkah mereka bertiga
ditambah tiga orang lagi. Gawat keadaannya, Lin-ko!" bisik Lng-ji yang sudah
cepat mengeluarkan Ceng-liong-kiam
(Pedang Naga Hijau) dari buntalan pakaiannya! Han Lin juga
segera dapat mengenal mereka. Dia mengenal Toa Ok dan
Sam Ok. Akan tetapi dia tidak mengenal Ji Ok, dan dari jarak
jauh itu diapun tidak mengenal tiga orang lain yang datang
bersama mereka. Karena maklum bahwa munculnya orang-orang itu tentu
dengan niat buruk, yaitu hendak merampas Im-yang-kiam,
maka Han Lin juga membuat persiapan dan diapun sudah
melolos Im-yang-kiam dari buntalan pakaiannya.
Akan tetapi setelah enam orang itu tiba di depan mereka
dan Han Lin memandangi mereka satu demi satu, tiba-tiba
wajahnya menjadi pucat sekali, matanya terbelalak dan
mulutnya ternganga. Dia memandang kepada seorang wanita
dan merasa bagaikan mimpi. Wanita yang berusia kurang
lebih empat puluh tahun, masih cantik jelita, wanita yang
selama hidupnya tidak akan pernah terlupakan oleh Han Lin
karena wanita itu adalah ibunya!
"Ibuuuu.....! Engkau adalah ibuku......!!"
Han Lin melompat di depan wanita itu sambil berteriak
memanggil. Wanita itu memang Chai Li adanya. Seperti telah
di ceritakan di bagian depan, Chai Li menjadi tawanan Ji Ok
setelah diselamatkan oleh datuk sesat itu. Ji Ok jatuh cinta
kepada Chai Li dan dengan kekuatan sihirnya dia membuat
Chai Li tunduk dan menyerah kepadanya menjadi isterinya.
Ternyata bagaimanapun juga, Ji Ok merupakan suami yang
baik dan amat mencinta isterinya sehingga walaupun Chai Li
berada dalam keadaan di bawah pengaruh sihir, namun ia
hidup cukup bahagia dengan suaminya yang mencinta. Juga Ji
Ok telah menggembleng dan mendidiknya dengan ilmu silat
sehingga Chai Li berubah menjadi seorang wanita yang lihai,
akan tetapi wataknya juga sesuai dengan watak suaminya,
keras dan kejam terhadap lawan.
Ketika Han Lin melompat ke depannya dan menyebutnya
ibu, Chai Li mundur-mundur dengan wajah berubah pucat dan
matanya terbelalak. Ia tampak bingung sekali, seperti tidak
tahu apa yang harus ia lakukan.
Melihat ibunya mundur-mundur dan memandang
kepadanya dengan bingung, Han Lin melangkah maju. "Ibu,
aku adalah anakmu. Aku adalah Han Lin anakmu.......!!"
Chai Li menjadi semakin bingung. Mulutnya menggerakkan
nama "Han Lin" tanpa mengeluarkan suara dan ia seperti orang yang kehilangan
ingatan. "Isteriku, serang bocah itu!" tiba-tiba Ji Ok berseru dengan suara mengandung
penuh wibawa dan mendengar teriakan Ji
Ok ini, tiba-tiba Chai Li menyerangnya dengan ganas,
menggunakan tangan kanan untuk memukul dengan telapak
tangan yang mengeluarkan hawa panas. Itulah pukulan Bantok-
ciang yang amat berbahaya.
Han Lin terkejut sekali dan cepat dia mengerahkan sinkang
pada dadanya yang terkena pukulan itu sehingga dia
terjengkang. "Ibuuuu..... kenapa engkau memukul aku, anakmu?" Han Lin bangkit lagi. untung
sinkangnya amat kuat sehingga
pukulan itu tidak melukainya. Mendengar seruan ini, kembali
Chai Li ragu-ragu dan bingung sehingga tidak menyerang lagi,
melainkan memandang dengan mata terbelalak.
Melihat kembali Chai Li- ragu-ragu dan bingung, Ji Ok
berseru lagi, kini lebih berwibawa suaranya, mengandung
kekuatan sihir yang menguasai Chai Li. "Isteriku, pemuda ini musuh kita. Bunuh
dia!" Mendengar suara itu, Chai Li mencabut pedang yang
berada di punggungnya dan menyerang Han Lin dengan
tusukan maut. Han Lin cepat mengelak dan dia menjadi
bingung sekali. Sementara itu, ketika melihat betapa Han Lin mengakui
wanita cantik itu sebagai ibunya akan tetapi malah diserang
oleh wanita itu atas perintah Ji Ok, Eng-ji menjadi marah
sekali kepada Ji Ok. "Jahanam terkutuk engkau!" bentaknya dan ia sudah
menggunakan Ceng-liong-kiam untuk menyerang Ji Ok
dengan dahsyatnya. Menghadapi serangan Eng-ji yang hebat
ini, Ji Ok cepat mempergunakan senjatanya yang istimewa,
yaitu sabuk sutera putih, untuk melawannya.-Akan tetapi Sam
Ok segera terjun ke dalam perkelahian itu sambil memutar
Hek-kong-kiam di tangannya sambil berseru.
"Ji Ok, engkau bantu Toa Ok merampas Im-yang-kiam!"
dan Sam Ok segera menyerang Eng-ji, dibantu oleh seorang
kakek yang berpakaian seperti tosu yang tadi datang bersama
mereka. Mendengar ini, Ji Ok lalu melompat keluar dan mendekati
Chai Li yang masih menyerang Han Lin. "Terus serang dia,
bunuh musuh kita ini, isteriku!" katanya dan diapun segera menggunakan sabuk
sutera putihnya untuk membantu Chai Li
menyerang Han Lin. Melihat ini, Toa Ok tidak tinggal diam dan
diapun sudah menggerakkan Kim-liong-kiamnya untuk
mengeroyok Han Lin. Tosu kedua yang datang bersama
mereka, tanpa di minta juga mengeroyok Han Lin,
Han Lin masih kebingungan melihat sikap ibunya yang
menyerangnya dengan hebat itu, menjadi marah bukan main.
Tahulah dia bahwa ibunya berada dalam keadaan tidak wajar.
Berada di bawah pengaruh sihir. Akan tetapi biarpun dia
marah sekali, dia masih bingung dan sedih menghadapi ibunya
seperti itu sehing ga karena perhatiannya tercurah kepada
ibunya, dia menjadi kurang waspada dan ketika dia memutar
pedang Im-yang-kiam untuk melindungi tubuhnya dari hujan
serangan, tendangan kaki kiri Ji Ok mengenai dadanya dan
diapun terjengkang dan terbanting roboh! Dadanya terasa
nyeri akan tetapi tidak dirasakannya karena pada saat itu dia
melihat Chai Li udah menusukkan pedangnya ke arah
lehernya. Han Lin terpaksa menggulingkan dirinya agar terhindar dari
tusukan maut itu dan kembali dia berseru, "Ibuuu.....!" Ini aku, Han Lin
anakmu....!!" Kembali Chai Li tersentak kaget, akan tetapi Ji Ok kembali
berkata kepadanya, "Jangan dengarkan ocehannya, isteriku.
Dia musuh besar kita, serang dan bunuh dia!"
Kembali Chai Li menggerakkan pedangnya menusuk,
disusul oleh Ji Ok yang mengelebatkan sabuk suteranya. Bagai
ikan seekor ular sabuk sutera putih itu meluncur dan ujungnya
menotok ke arah tubuh Han Lin! Pemuda ini menjadi
penasaran sekali melihat ibunya. Dia melompat berdiri dan
menangkis pedang ibunya dan sabuk sutera putih yang
menotoknya, akan tetapi dari belakang menyambar pedang
Kim-liong-kiam di tangan Toa Ok dan sebatang pedang lain di
tangan tosu pembantu Toa Ok. Han Lin memutar pedangnya
ke belakang. "Ibu.......!" Dia mencoba untuk memanggil lagi.
"Desss.....!" Hebat sekali tamparan tangan kiri Toa Ok yang disertai ilmu
pukulan Ban-tok-ciang. Kalau bukan Han Lin yang
punggungnya terkena pukulan itu, tentu akan roboh tewas
atau setidaknya terluka parah. Akan tetapi pemuda itu telah
melindungi tubuhnya dengan sin-kang, maka biarpun dia
terpelanting roboh, dia tidak terluka parah dan sudah
melompat kembali sambil memutar pedang Im-yang-kiam
melindungi dirinya. Bukan pengeroyokan empat orang itu yang membuat Han
Lin kewalahan, melainkan karena dia bingung dan sedih
melihat keadaan ibunya yang tidak mengenalnya. Kenyataan
ini membuat dia lengah dan lemah sehingga beberapa kali dia
terkena tendangan dan hantaman. Masih untung bahwa dia
tidak lupa untuk melindungi dirinya dengan sin-kang yang
membuat tubuhnya kebal dan tidak dapat ditembusi oleh
hawa beracun dari pukulan Ban-tok-ciang.
"Ibuuu.... ingatlah, ibuuu.....!" Kembali dia berseru.
"Desss.....!" Kembali dia terkena tendangan, sekali ini kaki Toa Ok yang
menendangnya, keras sekali sehingga tubuhnya
terpental sampai lima meter! Empat orang pengeroyoknya itu
mengejarnya dan kembali pedang ibunya menusuk ke arah
dadanya. Dia menangkap pedang itu dengan tangan kirinya.
"Ibu, aku Han Lin.....!" Dia memperingatkan ibunya. Akan tetapi Chai Li
mengerahkan tenaga dan mencabut pedangnya.
Ia kini telah memiliki tenaga sin-kang cukup kuat sehingga
Han Lin yang tidak mencengkeram pedang dengan sungguhsungguh
itu melepaskan pedang yang mengakibatkan telapak
tangan kirinya tergores pedang dan berdarah!
"lbuuuu.....! Desss.....!" Kembali tubuh Han Lin terkena tendangan Ji Ok
sehingga terpelanting dan terguling-guling.
Kepalanya terasa pening dan pada saat itu sadarlah dia bahwa
kalau dia terus terbenam dalam kebingungan dan kedukaan,
dia dapat tewas di tangan para pengeroyok itu. Bangkitlah
semangat Han Lin dan dia menjadi marah sekali, marah
kepada mereka yang telah membuat ibunya seperti itu.
"Aaaaauuuungggg......!" Tiba-tiba dia mengeluarkan pekik semacam auman yang
melengking-lengking dan empat orang
pengeroyoknya terpental mundur seperti dilanda angin bddai.
Itulah Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa) yang
dikeluarkannya dengan pengerahan tenaga sekuatnya
sehingga akibatnya amat hebat, membuat para
pengeroyoknya terhuyung-huyung ke belakang. Juga sekaligus
getaran suara itu menghancurkan semua kekuatan sihir
sehingga pada saat itu Chai Li seolah-olah terbebas dari
pengaruh sihir. Ia terbelalak pucat, memandang kepada Han
Lin. "Kau..... kau.....?" katanya dengan suara tidak jelas. Wanita itu masih dapat
bicara walaupun kalau mengeluarkan suara
tidak jelas karena lidahnya tinggal separuh. Melihat dan
mendengar suara ibunya, Han Lin menjadi timbul harapannya
lagi dan diapun mendekati ibunya.
"Ibu, ini aku anakmu, Han Lin!"
Akan tetapi pada saat itu, kembali serangan datang bertubi.
Han Lin yang mencurahkan perhatiannya kepada ibunya,
memutar pedang menangkis, akan tetapi dari belakang dia
menerima hantaman tangan kiri Ji Ok.
"Plakk....!" Punggungnya kena dihantam ilmu pukulan Bantok-ciang dan kembali Han
Lin terpelanting jatuh. Pedang KimTiraikasih Website http://kangzusi.com/
liong-kiam di tangan Toa Ok menyambar dengan tusukan ke
arah dadanya pada saat dia jatuh itu. Han Lin masih sempat
menggulingkan dirinya ke samping sehingga pedang itu
menusuk dan menancap di atas tanah. Han Lin
menggulingkan tubuhnya menjauh dan pada saat itu, pedang
tosu pembantu Toa Ok sudah membacok ke arah perut Han
Lin. Melihat datangnya pedang yang dibacokkan ke arah
perutnya, Han Lin cepat menggerakkan kedua kakinya
menendang. Kaki kiri menendang pergelangan tangan yang
memegang pedang sehingga pedang itu terlepas, dan kaki
kanan menendang ke arah dada lawan. Tosu itu mengelak
namun tetap saja dadanya tertendang sehingga dia
terjengkang roboh. Han Lin meloncat bangun dan sudah
memutar Im-yang-kiam lagi untuk melindungi dirinya. Yang
amat menyedihkan hatinya adalah ketika dia melihat ibunya
kembali sudah menyerangnya dengan ganas!
Sementara itu, Eng-ji yang dikeroyok oleh Sam Ok dan
seorang tosu pembantu menjadi repot sekali. Menghadapi
Sam Ok seorang dia masih mampu menandingi bahkan
mengungguli wanita datuk sesat itu, akan tetapi tosu yang
mengeroyoknya itu lihai juga ilmu pedangnya sehingga dia
mulai terdesak. Apa lagi ketika dia melihat berulang kali Han
Lin terpelanting roboh dan pemuda itu tampak bingung sekali
memanggil-manggil ibunya dia sendiri menjadi kacau dan


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada suatu saat, ujung pedang Sam Ok telah menyerempet
paha kirinya sehingga celananya robek berikut kulitnya dan
mengeluarkan banyak darah. Akan tetapi hal ini tidak
membuat Eng-ji menjadi gentar atau lemah, bahkan membuat
dia menjadi marah sekali dan gerakan pedangnya menjadi
semakin hebat! "Hai i ttt....!" Eng-ji mengeluarkan teriakan melengking dan hampir saja
pedangnya membabat pundak Sam Ok yang
menjadi terkejut sekali. Akan tetapi datuk wanita itu masih
mampu mengelak dan sebelum Eng-ji dapat mendesaknya,
tosu yang mengeroyoknya telah datang membantu sehingga
kembali Eng-ji menghadapi dua orang yang menyerangnya
dengan bertubi-tubi. Eng-ji memutar Ceng-liong-kiam di
tangannya dan dia tidak hanya melindungi dirinya, akan tetapi
dapat juga membalas serangan dua orang pengeroyoknya
dengan tusukan atau bacokan yang berbahaya. Ilmu pedang
Coa-tok Sin-kiam yang dimainkannya memang merupakan
ilmu pedang yang hebat dan ganas sekali. Pedangnya seolah
menjadi seekor ular yang melenggang-lenggok dan mematukmatuk
sehingga dua orang pengeroyoknya harus berlaku hatihati
sekali. Han Lin yang selalu masih merisaukan ibunya kini
terkepung dan terdesak hebat. Terutama sekali pedang Toa
Ok dan sabuk sutera putih Ji Ok amat mendesak nya sehingga
dia menjadi repot. Hal ini adalah karena perhatiannya lebih
banyak ditujukan kepada ibunya yang juga ikut menyerangnya
dengan ganas. Han Lin merasa hatinya seperti ditusuk-tusuk
melihat ibunya mati-matian menyerangnya dengan tusukantusukan
maut itu. Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan sebatang tongkat
kayu sederhana menyambar dan menangkis pedang Toa Ok
yang mengancam Han Lin. Ternyata yang datang membantu
Han Lin itu adalah seorang gadis berpakaian putih yang bukan
lain adalah Tan Kiok Hwa!
Melihat gadis ini membantu, Han Lin khawatir sekali kalaukalau gadis itu celaka.
Maka dia lalu kembali mengeluarkan
pekik aumannya yang dahsyat dan Han Lin kini mengamuk!
Sambil menghin darkan diri dari serangan ibunya, dia
mengamuk dan melakukan penyerangan yang hebat terhadap
Toa Ok, Ji Ok dan tosu pembantu mereka. Pedangnya
berubah menjadi seperti kilat yang menyambar-nyambar,
amat dahsyatnya. Dia sudah marah sekali. Bukan marah
karena dirinya dikeroyok dan diserang, melainkan marah
karena melihat keadaan ibunya yang tidak mengenal dirinya
lagi. Dia mengamuk dan melihat ini. Toa Ok menjadi terkejut
sekali. Datuk sesat ini merasa amat penasaran. Dia ingin sekali merampas Im-
yang-kiam. Tadinya dia yakin bahwa dia akan
mampu mengalahkan Han Lin. Akan tetapi, ternyata
bertanding satu lawan satu dia tidak mampu menang.
Kemudian dia minta bantuan Sam Ok. Juga gagal. Sekarang
dia dibantu Sam Ok dan Ji Ok bersama dua orang tosu lihai
lagi, akan tetapi ternyata kembali dia gagal. Han Lin dibantu
pemuda remaja yang amat lihai itu dan kini bahkan dibantu
pula oleh gadis berpakaian putih yang juga memiliki ilmu
tongkat yang amat aneh dan gerakannya demikian luar biasa
sehingga sukar disambar pedangnya.
Gadis berpakaian putih itu memiliki ilmu langkah yang ajaib
sekali. Maklum bahwa sekali inipun dia gagal, bahkan setelah Han
Lin mengamuk keadaan dia dan kawan-kawannya berbalik
terancam bahaya, Toa Ok lalu melempar bahan peledak.
Ledakan itu menimbulkan asap hitam tebal dan tanpa
diberitahu, ledakan itu merupakan isarat kepada kawankawannya
untuk melarikan diri. Akan tetapi Han Lin tidak memperdulikan asap hitam tebal
itu. Dia menerjangnya sambil menahan napas.
"Ibuuu....! Jangan pergi, ibu.....!" Dia berseru lalu berlari melakukan
pengejaran. Akan tetapi para pengeroyok itu telah
lenyap dan Han Lin terus mengejar ke depan dengan nekat
sambil memanggil-manggil ibunya.
Sementara itu, setelah terjadi ledakan dan timbulnya asap
hitam tebal, Eng-ji melompat ke belakang. Setelah para
pengeroyoknya pergi, barulah terasa oleh nya betapa luka di
pahanya perih dan nyeri. Dia terhuyung.
"Engkau terluka.....!" terdengar teguran dan ketika dia menoleh, dia berhadapan
dengan seorang gadis berpakaian
serba putih yang cantik jelita. Gadis itu membawa sebatang
tongkat kayu di tangan kanannya dan sebuah buntalan besar
tergendong di punggungnya.
Eng-ji melihat betapa gadis itu tadi menggunakan tongkat
untuk membantu Han Lin. Dia memandang tajam penuh
perhatian, akan tetapi rasa nyeri di pahanya membuat dia
menjatuhkan diri terduduk dan sambil memijati pahanya yang
terluka dia bertanya, "Kalau aku terluka mengapa?"
Kiok Hwa tersenyum mendengar jawaban yang ketus itu. Ia
tadi melihat betapa pemuda remaja itu amat lihainya, mampu
menandingi Sam Ok dan seorang tosu yang mengeroyoknya.
"Adik yang baik, kalau engkau terluka, aku dapat
mengobatimu. Aku adalah seorang ahli pengobatan. Aku
khawatir kalau lukamu itu mengandung racun."
Eng-ji terkejut dan juga girang. Dia memandang kepada
luka di pahanya dan melihat betapa luka itu tidak dalam akan
tetapi di sekitar lukanya terdapat warna menghitam! Itulah
merupakan tanda bahwa luka itu memang mengandung
racun! "Ah, kalau begitu, periksalah lukaku dan obati, enci!"
katanya khawatir. Kiok Hwa tersenyum lalu menghampiri Eng-ji. Ia
berjongkok dan merobek celana itu agar terbuka lebih lebar
dan memeriksa lukanya. Ketika melihat bentuk paha dan kaki
Eng-ji, Kiok-hwa berseru heran dan kaget.
"Engkau..... engkau seorang wanita....!"
"Hushh, enci. Ini rahasiaku dan jangan kaukatakan kepada
pemuda tadi." "Maksudmu koko Han Lin?" tanya Kiok Hwa.
Eng-ji memandang tajam. "Engkau sudah mengenal Linko?"
"Aku pernah bertemu dengannya dan kami saling
mengenal." "Hemm. Sekali lagi, harap engkau tidak membuka
rahasiaku ini kepada Lin-ko. Dia tetap menganggap aku
sebagai seorang pemuda yang bernama Eng-ji."
Kiok Hwa tersenyum heran. Akan tetapi ia mengangguk.
"Jangan khawatir, aku tidak membuka rahasiamu." Ia
memeriksa lagi dan berkata. "Tahanlah, aku akan menotok
dan memijat untuk mengeluarkan racun dari lukamu, agak
nyeri sedikit." "Cepat lakukan, aku akan bertahan. Cepat, jangan sampai
Lin-ko melihat keadaanku ini."
Kiok Hwa lalu menotok ke jalan darah di sekitar luka, lalu
memijit-mijit sehingga darah yang keracunan keluar dari luka.
Memang terasa nyeri, akan tetapi, Eng-ji menggigit bibirnya
dan tidak mengeluarkan keluhan sehingga mengagumkan hati
Kiok Hwa. Gadis ini ternyata tabah dan tahan nyeri, seorang
yang gagah sekali. Setelah racunnya keluar semua, ia
menaburkan bubuk obat kepada luka itu dan membalut paha
itu dengan sehelai kain bersih. Kemudian ia membantu Eng-ji
menukar celananya yang robek.
Mereka bekerja cepat dan untung Eng-ji telah menukar
celananya karena tak lama kemudian Han Lin muncul. Melihat
wajah pemuda itu yang muram,
Eng-ji segera menyongsongnya dan jalannya agak
terpincang. "Bagaimana, Lin-ko" Apakah engkau dapat mengejar dan
menyusul mereka?" Han Lin menggeleng kepalanya dan menghela napas
panjang. "Tidak. Mereka menghilang dalam sebuah hutan. Aku menyesal sekali tidak
dapat menyusul mereka..... ibuku.....
ahhh....." Han Lin menjatuhkan diri duduk di bawah pohon
dan menutupi mukanya dengan kedua tangannya. Kedua
matanya basah dan dia menahan isak tangisnya, mengeraskan
hatinya sehingga kedua tangannya menjadi tegang dan kaku
karena dia mengerahkan tenaganya untuk menahan
tangisnya. Kiok Hwa dan Eng-ji saling pandang sambil mengerutkan
alisnya. Kiok Hwa menggeleng kepalanya perlahan seolah
hendak melarang Eng-ji berbuat sesuatu dan membiarkan Han
Lin tenggelam ke dalam kesedihannya. Akan tetapi Eng-ji tidak
perduli dan dengan kaki terpincang dia menghampiri Han Lin
dan menjatuhkan diri berlutut dekat pemuda itu, menaruh
tangannya dengan lembut kepundak Han Lin.
"Lin-ko," katanya lembut, "Sudahlah jangan bersedih, Linko.
Benarkah wanita tadi ibumu?"
Tanpa menurunkan kedua tangannya dari depan mukanya,
Han Lin. menjawab dengan suara lirih dan parau, "Aku yakin bahwa ia itu
ibuku....." "Akan tetapi kenapa ia.... tidak mengakuimu dan seperti
tidak mengenalmu, bahkan menyerangmu dengan dahsyat?"
Eng-ji bertanya penasaran sekali.
Han Lin menggeleng kepalanya lalu menghela napas
panjang. "Agaknya ia terpengaruh sihir laki-laki yang
bersenjata sabuk sutera putih itu...."
"Dia adalah Ji Ok, Si Jahat Nomor Dua, jahanam keparat
itu!" kata Eng-ji. "Melihat keadaan bibi itu, kemungkinan besar ia telah
minum racun perampas ingatan." kata Kiok Hwa dengan suara lembut.
Mendengar suara ini, Han Lin melepaskan kedua tangannya
dari depan mukanya dan menoleh, memandang kepada Kiok
Hwa. Mukanya masih pucat dan kedua pipinya basah air mata.
"Kiok-moi! Aku sampai lupa kepadamu. Terima kasih, Kiokmoi, engkau tadi telah
membantuku menghadapi iblis-iblis
itu." "Ah, tidak perlu dibicarakan lagi itu, Lin-ko. Aku ikut
prihatin melihat ibumu."
Han Lin memandang kepada Eng-ji. Pandang matanya
menuju ke pahanya. "Dan engkau tadi agaknya terluka, Engji"
Aku khawatir sekali karena pedang di tangan Sam Ok itu
tentu mengandung racun dan kalau melukaimu....."
"Memang ia yang melukai pahaku dan memang luka itu
mengandung racun yang berbahaya. Akan tetapi untung ada
enci ini yang mengobatiku. Eh, enci yang baik, sampai lupa
aku bertanya. Siapakah namamu?"
Kiok Hwa tersenyum. "Namaku Tan Kiok Hwa, adik Eng-ji."
"Untung ada Enci Kiok, kalau tidak mungkin kakiku harus
dipotong!" Han Lin memandang kepada Kiok Hwa. "Kiok-moi,
benarkah pendapatmu tadi bahwa mungkin ibuku telah minum
racun perampas ingatan?"
"Besar sekali kemungkinannya, Lin-ko. Kalau ia hanya
terpengaruh sihir, teriakanmu yang mengandung tenaga khikang
sepenuhnya tadi tentu akan mampu membuyarkan sihir
dan mengembalikan ingatannya. Akan tetapi kalau ia minum
racun perampas ingatan, tentu saja tidak dapat disembuhkan
dengan teriakanmu tadi."
Han Lin menggangguk-angguk lalu bangkit berdiri. Eng-ji
juga bangkit berdiri, akan tetapi dia terhuyung dan tentu akan roboh kalau saja
Kiok Hwa tidak cepat merangkulnya. Eng-ji
juga merangkul gadis itu sehingga keduanya saling rangkul.
Eng-ji tertawa. "Ah, ternyata masih terasa nyeri juga pahaku ini!" katanya, tanpa menyadari
bahwa dia saling rangkul dengan Kiok Hwa.
Melihat sikap yang demikian mesra, saling rangkul dan
tidak segera melepaskan rangkulan antara pemuda remaja
dan gadis itu, tiba-tiba saja Han Lin merasa jantungnya seperti dicengkeram.
Sakit dan panas! Tanpa dia sadari, dia telah
dicengkeram oleh rasa cemburu yang besar. Kiok Hwa
dirangkul Eng-ji, demikian suara hatinya berteriak dengan
marah! Cemburu! Suatu perasaan yang membuat orang merasa
tidak enak sekali. Panas, pedih dan menimbulkan sakit hati
dan kemarahan besar. Orang bilang bahwa cemburu adalah
kembangnya cinta. Bahwa adanya cinta harus ada cemburu,
bahkan katanya cinta tidak sungguh-sungguh tanpa adanya
cemburu! Benarkah itu" Cemburu menimbulkan kemarahan,
membuat cinta berbalik menjadi benci! Cemburu timbul
karena perasaan bahwa orang yang dicintanya, yang
dimilikinya, direbut orang. Bahwa yang dicintanya itu ternyata mencinta orang
lain. Cemburu hanya timbul kalau cinta itu
sifatnya ingin memiliki, ingin menguasai, ingin memonopoli
orang yang dicintainya. Cemburu timbul dari cinta yang ingin
menyenangkan diri sendiri, sehingga menjadi marah dan benci
kalau diri sendiri tidak disenangkan lagi. Cemburu timbul dari cinta yang
bergelimang nafsu berahi, nafsu memiliki dan nafsu
ingin disenangkan. Cinta sejati tidak akan menimbulkan
cemburu! Cinta sejati mendorong orang ingin menyenangkan
hati orang yang dicintanya, ingin membahagiakan dan
mengesampingkan keinginan untuk senang sendiri.
Kebahagiaan orang yang dicintanya mendatangkan
kebahagiaan padanya juga. Cinta sejati tidak ingin mengikat
atau di kat, memberi kebebasan kepada orang yang
dicintanya. Akan tetapi Han Lin adalah seorang manusia biasa dan
semua manusia tidak akan terlepas dari cengkeraman
nafsunya sendiri. Melihat Kiok Hwa berangkulan bersama Engji,
hatinya terasa seperti dibakar dan hal ini tampak dari
pandang matanya yang berapi-api! Kiok Hwa dapat melihat
pandang mata itu dan seketika ia melepaskan rangkulannya
kepada Eng-ji. Ia baru sadar bahwa ia saling berangkulan
dengan seorang "pemuda" menurut pandangan Han Lin.
Wajahnya berubah kemerahan, namun jantungnya berdebar
tegang. Kenapa Han Lin tampak marah melihat ia berangkulan
dengan seorang "pemuda?" Tentu hanya berarti satu, yaitu bahwa Han Lin tidak
suka ia berangkulan dengan pemuda lain!
Untuk menutupi rasa rikuh ini, Kiok Hwa menegur Eng-ji.
"Engkau berhati-hatilah kalau berdiri Engkau bisa terjatuh.
Racun di lukamu memang sudah hilang, akan tetapi luka itu
sendiri belum sembuh benar."
Eng-ji sendiri tidak melihat pandang mata Han Lin yang
berapi-api melihat dia berangkulan dengan Kiok Hwa tadi. Dia
sendiri lupa bahwa tidak sepatutnya dia sebagai seorang
"pemuda" berangkulan dengan Kiok Hwa demikian mesranya.


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada saat itu memang dia lupa bahwa dia seorang pemuda.
"Lin-ko, orang bersenjata sabuk sutera putih tadi adalah Ji Ok. Tadi mereka
bertiga muncul dengan lengkap, yaitu Thiante
Sam-ok dan bersama wanita tadilah mereka menyerang
guruku ketika itu." kata Eng-ji.
"Dan dua orang tosu tadi adalah tosu dari Pek-lian-kauw
(Agama Teratai Putih), tampak dari gambar teratai putih di
balik jubah mereka." kata Kiok Hwa.
"Hemm, ternyata ibuku masih hidup dan ia telah terjatuh
ke tangan Thian-te Sam-ok. Bagaimanapun juga aku harus
membebaskan ibuku dari tangan mereka." kata Han Lin sambil mengepal tinjunya.
"Jangan khawatir, Lin-ko. Aku akan membantumu
membebaskan ibumu!" kata Eng-ji penuh semangat.
"Akupun akan suka membantumu, Lin-ko," kata Kiok Hwa.
"Akan tetapi bagaimana" Ke mana kita harus mencari
mereka?" "Enci Kiok Hwa, benarkah kata-katamu tadi bahwa dua
orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw?" tanya Eng-ji kepada Kiok Hwa.
"Benar sekali, Eng-ji. Aku melihat gambar teratai putih itu di balik jubah
mereka." "Kalau begitu, Thian-te Sam-ok agaknya tentu berdiam di
sarang Pek-lian-kauw dan aku tahu bahwa di balik gunung di
sana itu terdapat sebuah bukit yang disebut Bukit Perahu dan
di sana terdapat sarang cabang Pek-lian-kauw. Tentu mereka
melarikan diri ke sana."
"Bagus kalau begitu!" kata Han Lin. "Aku akan menyusul ke sana!"
"Aku ikut, Lin-ko!" kata Eng-ji.
"Akupun akan membantumu, Lin-ko." kata Kiok Hwa.
"Sebaiknya kalian tidak ikut, apalagi engkau, Kiok-moi.
Perjalananku ini adalah untuk berusaha membebaskan ibuku
dari cengkeraman Thian-te Sam-ok dan ini berbahaya sekali.
Selain mereka bertiga itu sakti, juga Pek-lian-kauw memiliki
tosu-tosu yang lihai. Aku tidak ingin kalian terancam bahaya
kalau ikut denganku."
"Aku tidak takut bahaya, Lin-ko. Enci Kiok Hwa lebih baik tidak ikut, akan
tetapi aku akan ikut denganmu. Aku tidak
takut mati!" kata Eng-ji kukuh.
"Akan tetapi yakinkah engkau bahwa bibi tadi ibumu, Linko?"
tanya Kiok Hwa. "Akupun heran, Lin-ko. Bukankah dulu engkau pernah
mengatakan kepadaku hahwa ibumu telah meninggal dunia?"
tanya pula Eng-ji. Han Lin menghela napas panjang. Teringat dia akan
peristiwa ketika dia berusia sepuluh tahun dan mereka dikejar
Uejar Suma Kiang itu. "Aku melihat sendiri ketika ibuku
dikejar-kejar seorang jahat, ibu terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam.
Tak mungkin kiranya orang yang terjatuh ke
dalam jurang tak berdasar seperti itu akan tinggal hidup. Akan tetapi aku yakin
benar bahwa wanita tadi adalah ibuku! Akan
tetapi sungguh aneh dan mengherankan sekali bagaimana ia
muncul sebagai isteri Ji Ok dan sama sekali tidak mengenalku.
Dan ibu yang dahulu tidak pandai ilmu silat itu sekarang
menjadi demikian lihai." Kembali dia menghela napas panjang dengan wajah muram.
"Sudahlah, Lin-ko, tidak perlu engkau bersedih terus. Yang penting sekarang
marilah cepat mencari ibumu di sarang Peklian-kauw di Bukit Perahu!" kata Eng-ji
penuh semangat. Mendengar ini, timbul pula semangat di hati Han Lin.
"Baiklah, mari kita berangkat. Sebaiknya engkau tidak ikut, Kiok-moi. Aku
khawatir kalau-kalau engkau terancam bahaya."
kata-kata ini keluar dari hati Han Lin yang mengkhawatirkan
dara yang dicintanya itu.
"Jangan khawatir, aku dapat menjaga diriku, Lin-ko. Mari
kita berangkat." kata Kiok Hwa. Mereka lalu pergi dari situ menuju ke gunung
yang tampak menghadang di depan.
Malam itu terang bulan. Akan tetapi karena terhalang hutan
yang lebat di gunung itu, terpaksa Han Lin, Eng-ji dan Kiok
Hwa menghentikan perjalanan mereka dan melewatkan
malam di tengah hutan. Han Lin yang tampak murung dan
berduka mendatangkan suasana sunyi dan diam. Bahkan Engji
yang biasanya lincah itu tampak pendiam, mengetahui akan
kedukaan yang mengganggu hati Han Lin. Akan tetapi diamdiam
diapun memperiapkan makanan malam untuk mereka
bertiga, dibantu Kiok Hwa. Mereka berdua menyambit jatuh
tiga ekor burung yang cukup besar dan memanggang daging
burung itu untuk menjadi teman roti kering yang dibawa Kiok
Hwa. "Lin-ko, mari makanlah. Kami telah memanggang daging
burung untukmu." kata Eng-ji menawarkan.
Han Lin memandang tak acuh. Hatinya sedang tertindih
perasaan duka yang mendalam. Mana mungkin ada selera
makan dalam keadaan seperti itu" Maka dia hanya
menggeleng kepalanya. "Lin-ko, makanlah dulu. Mari kita bertiga makan bersama,
tidak baik perut dibiarkan kosong. Engkau bisa masuk angin."
kembali Eng-ji membujuk sambil menarik-narik tangan Han
Lin. Kiok Hwa memandang ulah Eng-ji dan diam-diam ia
merasa kasihan kepada Eng-ji. Dari sikap Eng-ji, ia maklum
bahwa yang menyamar pria itu sebenarnya mencinta Han Lin!
Hal ini mudah diduganya dari gerak-gerik dan pandang
mata Eng-ji kepada pemuda itu. Melihat Eng-ji tidak berhasil
membujuk Han Lin untuk makan, padaha Eng-ji sudah susah
payah memanggangkan daging burung untuk pemuda itu,
Kiok Hwa menjadi kasihan juga.
"Eng-ji benar, Lin-ko. Engkau harus makan malam bersama
kami. Tidak baik membiarkan hati berduka dan perut kosong.
Engkau dapat jatuh sakit."
"Ah, aku tidak ada selera makan Kiok-moi."
"Harus dipaksa, Lin-ko. Bukan demi selera, melainkan demi kesehatan dan Eng-ji
sudah bersusah payah membuatkan
panggang daging burung untukmu."
Han Lin merasa tidak enak menolak terus, maka dengan
sikap apa boleh buat diapun duduk di dekat api unggun dan
mereka bertiga makan roti kering dan panggang daging
burung sambil minum air teh. Akan tetapi Han Lin hanya
makan sedikit. Malam terang bulan. Bulan sepotonp itu cukup terang
karena tidak terhalang awan. Langit amat bersih dan cahaya
bulan sepotong mendatangkan cahaya kebiruan yang
mendatangkan suasana romantis.
Han Lin bangkit berdiri dan pergi menjauhi api unggun,
menghampiri sebuah batu besar dan duduk di atas batu,
melamun. Eng-ji saling pandang dengan Kiok Hwa dan melihat
wajah Eng-ji yang demikian muram dan nelangsa, ia merasa
kasihan. Ia menggunakan mukanya memberi isarat kepada
Eng-ji untuk mendekati dan menemani Han Lin sedangkan ia
sendiri menjaga agar api unggun tidak menjadi padam.
Eng-ji maklum akan isarat itu dan dia lalu bangkit dan
menghampiri batu besar di mana Han Lin duduk melamun.
"Lin-ko......!" katanya lirih.
Tanpa menoleh Han Lin berkata kepadanya, "Eng-ji,
kuminta dengan sangat agar engkau tidak menggangguku
pada saat ini. Aku ingin bersendiri, tinggalkanlah aku dan
beristirahatlah." "Lin-ko, aku ingin menemanimu, menghiburmu....." kata pula Eng-ji dengan suara
membujuk. "Sudah kukatakan, jangan ganggu aku Eng-ji!" kata Han Lin dan suaranya terdengar
agak ketus. Eng-ji mundur dar
meninggalkannya. Dia duduk dekat apj unggun, di mana Kiok
Hwa juga duduk. "Enci Kiok, dia marah kepadaku." kata Eng-ji, penasaran dan kecewa, bahkan
suaranya agak parau seperti orang mau
menangis. Kiok Hwa merasa kasihan kepadanya.
"Dia sedang berduka, Eng-ji. Sebaiknya dalam keadaan
seperti itu biarkan saja dia seorang diri sampai kedukaannya
mereda. Lebih baik engkau istirahat saja, tidur, biar aku yang berjaga di sini."
Eng-ji memandang ke langit, ke arah bulan sepotong. Ada
awan-awan tipis datang dan lewat, menipu penglihatan seolah-
olah bulannya yang bergerak, bukan awannya.
"Kau lihat bulan itu, enci Kiok. Aku merasa seperti bulan itu."
Kiok Hwa menegadah. "Eh, seperti bulan itu" Mengapa?"
"Menyendiri, kesepian!" jawab Eng-ji yang lalu bangkit dan menyambung kata-
katanya. "Sebaiknya aku tidur saja, untuk apa berjaga kalau tidak diperdulikan
orang?" Diapun pergi ke bawah pohon, membersihkan tanah di bawahnya,
menaburkan daun-daun kering lalu dia merebahkan diri
miring, berbantalkan buntalannya. Sebentar saja dia tidak
bergerak-gerak lagi dan pernapasannya halui tanda bahwa dia
telah tidur pulas. Kiok Hwa memandang kepadanya, tersenyum, lalu menoleh
ke arah Han Lin. Pemuda itu masih duduk termenung
memandang ke langit, agaknya juga memandangi bulan.
Berulang kali dia menarik napas panjang. Kiok Hwa merasa iba
kepada pemuda itu. Ia sendiri sudah tidak mempunyai ayah
bunda sehingga tidak ada yang diharapkannya lagi, tidak ada
yang disusahkannya. Akan tetapi ia dapat merasakan betapa
bingung dan hancur hati Han Lin yang menemukan kembali
ibunya yang tadinya disangka telah mati itu dalam keadaan
seperti itu. Kiok Hwa menengok lagi ke arah Eng-ji. Gadis
yang menyamar pemuda itu masih tidur nyenyak. Watak Engji
yang masih muda itu demikian mudah berubah. Sebentar
susah sebentar senang! Orang yang lincah seperti dia itu tidak dapat berlama-
lama dalam kesusahan. Sebentar saja apa yang
mengganjal hatinya akan lewat dan terlupa. Kalau tadi
kelihatan kecewa dan bersedih karena merasa diabaikan oleh
Han Lin, kini dia sudah tidur dan terbuai di alam mimpi!
Sampai hampir tengah malam, Kiok Hwa melihat bahwa
Han Lin masih saja duduk melamun seperti telah berubah
menjadi arca batu, duduk diam tidak bergerak sama sekali di
atas batu besar itu. Ia merasa kasihan sekali dan perlahanlahan ia bangkit
berdiri setelah menaruh kayu-kayu bakar
kedalam api unggun. Lalu ia melangkah perlahan menghampiri
batu besar dari arah belakang Han Lin. Setelah tangannya
menyentuh batu besar itu iapun berkata lirih seperti kepada
diri sendiri. "Susah dan senang datang silih berganti seperti ombak
samudera yang bergerak ke kanan dan ke kiri. Yang satu tidak
dapat berada tanpa yang lain, silih berganti saling menguasai
singgasan hati. Membiarkan diri hanyut terlalu dalam ke dalam
gelombang susah senang bukanlah perbuatan bijaksana."
Han Lin tersadar dari lamunannya merasa seolah ditarik
oleh suara itu kembali ke dunia nyata. Dia merasa seolah
mendengar suara Bu-beng Lo-jin, karena pernah gurunya itu
mengeluarkan kata-kata yang sama artinya dengan yang baru
saja terdengar olehnya itu. Dia menoleh dan melihat Kiok Hwa
berdiri di bawah, di dekat batu besar yang didudukinya.
"Ah, engkau itu, Kiok-moi" Kata-katamu menyadarkan aku
dari alam lamunan. Engkau benar. Aku terlalu membiarkan
diriku terseret dan hanyut ke dalam duka. Kiok-moi, maukah
engkau naik ke sini, duduk dan bercakap-cakap denganku
untuk memberi kesadaran sepenuhnya kepadaku" Hatiku
sedang merana, dan aku merasa kehilangan kepribadianku."
Kiok Hwa meragu, menoleh ke arah di mana Eng-ji tertidur.
Ia melihat betapa Eng-ji masih pulas tidak bergerak-gerak,
dan ia merasa kasihan kepada pemuda yang amat
dikaguminya itu. "Baiklah." katanya dan iapun melompat ke atas batu besar itu dengan gerakan
ringan sekali. "Aku akan menemanimu
bercakap-cakap sebentar,, akan tetapi Engkau perlu istirahat,
Lin-ko." Mereka duduk saling berhadapan di atas batu besar itu.
Batu itu mempunyai permukaan yang rata, maka mereka
dapat duduk bersila dengan enak di atasnya. Setelah duduk
saling berhadapan di bawah sinar bulan itu, Han Lin
mengamati dengan tajam wajah gadis yang diam-diam telah
menjatuhkan hatinya itu. "Kiok-moi, kata-katamu tadi menyadarkan aku, seolah aku
ditarik kembali kealam kenyataan oleh suaramu. Dan katakatamu
tadi tidak asing bagiku karena kelima orang guruku
sudah sering membicarakannya. Aku tahu bahwa susah
senang adalah dua hal yang tak terpisahkan mempengaruhi
kehidupan manusia, bahwa itu adalah dua sifat yang saling
bertentangan akan tetapi saling mengis dari Im dan Yang, dua
kekuatan yan membuat alam semesta ini berputar, du
kekuatan yang kalau bertemu dapat me nimbulkan kehidupan
di alam semesta ini Aku tahu akan semua itu dan bahka hafal
akan pelajaran tentang Im dan Yang itu. Orang tidak akan
mengenal Yan kalau tidak mengenal Im. Orang tida akan
mengenal kesusahan kalau tidak mengenal kesenangan dan
sebaliknya Menurut ujar-ujar para bijaksana, manusia baru
akan dapat membebaskan dirinya secara penuh kalau dia tidak
terseret oleh gelombang yang diakibatkan oleh Im dan Yang
(Positif dan Negatif) itu. Aka tetapi, Kiok-moi, aku manusia
biasa. Kedukaan yang menyelubungi hatiku ini tidak kubuatbuat, melainkan datang
dengan sendirinya sebagai akibat
daripada kenyataan yang kuhadapi. Betapa hatiku tidak akan
hancur melihat ibuku seperi itu" Ah, engkau tidak tahu apa
yang pernah diderita ibuku tercinta! Ibuku ditinggal ayah
kandungku, kemudian ibu dan aku diculik penjahat, hampir
saja ibuku diperkosa sehingga ia menggigit putus lidahnya
sendiri. Kami dikejar-kejar penjahat sehingga hidup penuh
penderitaan lahir batin. Kemudian aku melihat dengan mata
kepalaku sendiri betapa ibuku terjungkal ke dalam jurang yang
tak berdasar sehingga tadinya aku yakin bahwa ibuku telah
meninggal dunia. Kalau ibu meninggal dunia ketika terjatuh
itu, berarti ia telah terbebas dari kesengsaraan hidup di dunia.
Akan tetapi ternyata ia masih hidup dan berada dalam
cengkeraman manusia-manusia iblis seperti Thian-te Sam-ok!
Ah, dapat kubayangkan betapa hebat penderitaan ibuku yang
tercinta itu! Bagaimana aku dapat menahan kedukaan yang
begini besar, Kiok-moi" Ahhh, kasihan ibuku.....!" Han Lin tidak dapat menahan
kesedihan hatinya lagi dan teringat akan
keadaan ibunya, kedua matanya basah dan dia menundukkan
mukanya. Sudah sejak pertemuan pertama, hati Kiok Hwa terpikat
oleh Han Lin dan gadis yang bijaksana ini paham betul bahwa
diam-diam ia jatuh cinta kepada pemuda itu. Kini, melihat
wajah pemuda itu diliputi kedukaan, kedua matanya basah
dan seluruh tarikan mukanya menunjukkan kepedihan hati
yang amat besar, hati Kiok Hwa terasa seperti diremas-remas.
Ia merasa kasihan sekali dan ingin ia menghibur hati pemuda
itu sedapatnya. Karena ia merasa terharu sekali, perasaan


Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya mendorongnya untuk menyentuh pundak Han Lin
dengan tangannya. "Lin-ko, kita memang manusia lemah Tak mungkin kita
dapat menguasai hati kita sendiri. Karena itu, satu-satunya
jalan hanyalah menyerah kepada Thian Yang Maha Kasih."
Suara gadis itu menggetar penuh keharuan.
Sentuhan tangan Kiok Hwa pada pundaknya mendatangkan
getaran yang terasa menyusup ke seluruh dirinya. Seakan
mencari pegangan bagi hatinya yang sedang limbung itu Han
Lin menangkap tangan itu, memegang dan meremasnya
lembut. Dua pasang mata saling bertemu dan bertaut.
"Kiok-moi.....!"
"Lin-ko.....!" Entahlah siapa yang bergerak lebih dahulu, akan tetapi
tahu-tahu Kiok Hwa telah rebah dalam pelukan Han Lin dan
gadis itu menyandarkan kepalanya di dada pemuda itu. Han
Lin mendekap kepala itu dengan kuat, seolah takut akan
kehilangan sebuah mustika.
Sampai lama sekali mereka berdua tenggelam dalam
keadaan seperti itu. tak sepatahpun kata keluar dari mulut
mereka, akan tetapi detak jantung mereka seperti bicara
dalam seribu bahasa. Seluruh tubuh mereka tergetar oleh
kekuatan ajaib yang menyusup ke dalam diri mereka.
Pernapasan mereka seolah telah menjadi satu, detak jantung
mereka pun menjadi seirama.
Akhirnya Han Lin yang berbisik, suaranya penuh getaran
karena keharuan dan kebahagiaan menyelubungi hatinya.
"Terima kasih, Kiok-moi..... terima kasih.... engkau telah memberi kekuatan
hidup kembali kepadaku....." Han Lin
menunduk dan mencium rambut kepala gadis itu.
Kiok Hwa terisak. Air matanya bercucuran membasahi baju
Han Lin dan menembus membasahi kulit dadanya, menembus
lagi menyirami jantungnya.
Terasa sejuk segar mendatangkan gairah hidup baru,
membangkitkan semangatnya.
Han Lin memperkuat rangkulannya. "Engkau... engkau
menangis, Kiok-moi...,?"
Perlahan dengan lembut Kiok Hwa melepaskan kedua
lengan Han Lin yang merangkulnya. Dengan mata basah ia
memandang wajah pemuda itu dan tersenyum. Di bawah sinar
bulan, wajah yang tersenyum dengan kedua mata basah itu
tampak demikian cantik menggairahkan. "Aku..... aku bahagia, Lin-ko....." Tiba
tiba ia menoleh kepada Eng-ji. Gadis yang menyamar sebagai pemuda itu telah
membalikkan tubuhnya dan kini mukanya menghadap kepada mereka, akan tetapi
kedua matanya masih terpejam dan tidak bergerak sama
sekali. "Akan tetapi..... disana ada Eng-ji....."
Han Lin juga baru teringat bahwa ada Eng-ji di situ. "Apa hubungannya dengan
dia, Kiok-moi" Kita saling mencinta dan
dia..... eh, Kiok-moi, apakah..... apakah dia..... juga
mencintamu?" Kiok Hwa tersenyum. "Bagaimana engkau dapat menduga
begitu, Lin-ko?" "Kulihat hubungan antara kalian demikian akrab dan
mesra......!" kata Han Lin, cemburu mulai menggerogoti
hatinya. "Ah, kami memang saling menyayang, akan tetapi
menyayang seperti saudara." Kiok Hwa lalu melompat turun
dari atas batu besar. "Lin-ko, sekarang engkau harus
beristirahat, biar aku yang menjaga api unggunnya." Api
unggun itu sudah mengecil karena hampir kehabisan kayu
bakar. Kiok Hwa menghampiri dan menambahkan kayu bakar.
Han Lin masih duduk di atas batu besar. Seluruh tubuhnya
masih gemetar karena gelora perasaannya ketika berpelukan
dengan Kiok Hwa tadi. "Engkau yang harus beristirahat, Kiok moi. Biar aku yang
berjaga." katanya sambil melompat turun dari atas batu besar.
Dia menghampiri Kiok Hwa di dekat api unggun, duduk di
dekatnya dan hendak merangkul lagi. Akan tetapi dengan
lembut Kiok Hwa mengelak dan menjauhkan diri.
"Sudahlah, Lin-ko. Kita harus merahasiakan perasaan hati
kita." katanya sambil menoleh kepada Eng-ji. "Dan engkau tidurlah dulu, engkau
perlu beristirahat untuk mengusir pergi
semua perasaan dukamu."
Han Lin merasa heran ketika tiba-tiba teringat betapa dia
sama sekali sudah tidak merasa berduka, bahkan sama sekali
telah melupakan ibunya! Kini dia seperti di ngatkan dan
kemuraman mulai menyelubungi wajahnya kembali.
"Baiklah, Kiok-moi. Aku beristirahat lebih dulu, nanti
kugantikan engkau berjaga."
Han Lin menjauhi api unggun dan duduk bersila. Begitulah
caranya beristirahat dan dia tidak memerlukan tidur karena
dengan bersila dia dapat mengendurkan semua urat syarafnya
dan mengaso. Dua orang itu sama sekali tidak tahu, tadi telah terlena oleh
gelombang asmara sehingga tidak tahu bahwa Eng-ji
membuka matanya dan melihat mereka saling berangkulan!
Hampir saja Eng-ji melompat bangun saking marahnya.
Akan tetapi dia menahan diri dan pura pura tertidur.
Padahal setelah melihat dan menyaksikan sendiri betapa Han
Li dan Kiok Hwa saling mencinta, dia sama sekali tidak dapat
tidur lagi dan diam diam, tanpa suara dia menangis. Air
matanya bercucuran dan dia mengepal kedua tangannya kuatkuat,
seolah hendak menahan dirinya melakukan sesuatu yan
merusak. Pada keesokan harinya, Eng-ji tidak berkata apa-apa dan
tidak menyinggung tentang peristiwa yang dilihatnya
semalam. Akan tetapi dia bersikap pendiam tidak seperti
biasanya, bahkan setiap kali dia memandang kepada Kiok
Hwa, sinar matanya seperti mengeluarkan sinar kilat
Kiok Hwa adalah seorang gadis yang berperasaan halus
dan peka sekali. Ia sudah melihat perubahan sikap Eng-ji dan
menduga-duga apa yang menyebabkan dia bersikap seperti
itu. Diam-diam timbul kekhawatiran di dalam hatinya. Janganingar Eng-ji telah
mengetahui tentang hubungan cintanya
dengan Han Lin! Ia terasa khawatir sekali karena ia dapat
menduga bahwa gadis yang menyamar sebagai pria itu
mencinta Han Lin! Pada suatu hari tibalah mereka di kota Tai-goan yang besar
dan ramai. Mereka menyewa dua buah kamar. Sebuah untuk
Kiok Hwa seorang diri dan sebuah kamar lagi untuk Han Lin
dan Eng-ji. Kiok Hwa merasa tidak enak sekali melihat Han Lin
tidur sekamar dengan Eng-ji akan tetapi karena mengingat
bahwa Eng-ji dianggap pria oleh Han Lin, maka iapun
menyingkirkan perasaan tidak enak itu.
Malam itu tanpa banyak cakap mereka makan di rumah
makan, kemudian memasuki kamar masing-masing untuk
mengaso. Han Lin yang melihat Eng-ji diam saja tidak
mengusik, maklum akan keanehan watak "pemuda" remaja itu. Dianggapnya Eng-ji
sedang mengambek, entah karena
apa. Tak lama kemudian Han Lin sudah tidur pulas. Dia tidak
tahu betapa Eng-ji turun dari pembaringannya, ada dua
pembaringan di kamar itu, dan Eng-ji keluar dari kamar itu
dengan hati-hati sambil membawa pedangnya!
Kiok Hwa sudah tidur pulas akan tetapi ia dapat
menangkap suara yang tidak wajar pada jendela kamarnya.
Ketika bayangan itu berkelebat memasuki kamar, ia sudah
melihatnya, bahkan dari sinar penerangan yang menerobos
dari luar, ia mengenal bayangan itu yang bukan lain adalah
Eng-ji! Kiok Hwa terkejut, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu dan tetap tidur
pulas, akan tetapi setiap urat syarafnya tegang berjaga-jaga menghadapi segala
kemungkinan. Ia tidak dapat
melihat dengan jelas wajah Eng-ji, akan tetapi dengan melihat
bahwa Eng-ji membawa sebatang pedang terhunus! Kiok Hwa
sudah berjaga-jaga. Kalau Eng-ji menyerang dengan
pedangnya, tentu ia akan mengelak. Ia sudah bersiap siaga
untuk menghadapi serangan itu. Ia melihat Eng-ji melangkah
maju menghampiri pembaringan di mana ia rebah telentang.
Di depan pembaringan ia berdiri mematung, tak bergerak
seolah merasa ragu apa yang akan dilakukannya. Tiba-tiba ia
mengangkat pedangnya ke atas, siap untuk membacok.Kiok
Hwa juga sudah siap untuk menghindar. Akan tetapi setelah
pedang tiba di atas kepala, pedang itu berhenti dan tidak
segera dibacokkan, bahkan pedang itu turun kembali,
tergantung di sisi tubuh Eng-ji. Kembali dia berdiri seperti
berubah menjadi patung, sampai lama. Kiok juga berdiam diri,
sama sekali tidak bergerak.
Kembali pedang diangkat, siap membacok. Kembali Kiok
Hwa bersiap untuk mengelak. Sampai lama pedang diangkat
ke atas, tidak juga dibacokkan.
"Kau merebutnya dariku...... kau merebutnya dariku....."
Eng-ji berbisik-bisik dan kembali pedangnya bergerak, seperti
hendak membacok, akan tetapi ditahannya. Akhirnya dia
terisak, memutar tubuhnya dan membacokkan pedangnya
pada sebuah bangku. "Crokkk!!" Bangku itu pecah menjad dua potong. Eng-ji melempar pedangnya di atas
meja dan diapun menjatuhkan
dirinya duduk di atas bangku dekat meja itu dan menangis.
Kiok Hwa bangkit dari pembaringan lalu turun. "Eh,
engkaukah itu, adik Eng ji" Engkau menangis" Kenapakah,
dan apa maksudmu malam-malam begini datang berkunjung?"
Kiok Hwa menghampir dan merangkul pundak Eng-ji.
Sambil terisak Eng-ji merenggutkar tangan Kiok Hwa yang
memegang pundaknya. "Jangan sentuh aku!"
"Aih, Eng-ji! Engkau kenapakah" Kenapa engkau marahmarah
kepadaku" Apa kesalahanku kepadamu?"
Akan tetapi mendengar pertanyaan ini, tangis Eng-ji
semakin mengguguk sampai pundaknya bergoyang-goyang
Kiok Hwa membiarkannya menangis. Setelah tangis itu
mereda, ia bertanya lagi "Sekarang ceritakanlah, Eng-ji.
Kenapa engkau begini marah dan berduka. Apa yang telah
terjadi?" tanya Kiok Hwa
padahal di dalam hatinya ia sudah dapat menduga
mengapa Eng-ji bersikap seperti itu. Tentu karena peristiwa
beberapa hari yang lalu, di malam hari itu ketika ia saling
menumpahkan rasa kasih sayangnya dengan Han Lin. Tentu
Eng-ji telah melihatnya! "Engkau.... engkau pengkhianat!" Eng-li akhirnya dapat mengeluarkan kata-kata.
"Apa..... apa maksudmu, Eng-ji?" Kiok Hwa bertanya,
hatinya berdebar keras. "Engkau mengkhianatiku! Engkau merebut Lin-ko
dariku......!" kata Eng-ji sambil bangkit dan menatap wajah Kiok Hwa dengan mata
mencorong marah. "Ah, itukah" Eng-ji, jadi engkau mencinta Lin-ko?"
"Aku mencintanya dengan sepenuh jiwa ragaku. Aku
mencintanya lama sebelum engkau muncul. Dan engkau
mencoba untuk merebut dia dariku. Karena itu, ingin aku
membunuhmu...... akan tetapi...ah, aku benci kamu! Benci
kamu!" Eng-ji menangis lagi.
"Adik Eng-ji, kalau engkau memang demikian
mencintanya......, engkau memang jauh lebih cocok dengan
dia. Kalian sama-sama pendekar gagah perkasa, tukang
berkelahi, sedangkan aku.,.,"
"Awas, enci Kiok Hwa......!!" Tiba-tiba Eng-Ji berseru. Akan tetapi pada saat
itu, sebuah benda dilemparkan orang dari
jendela dan benda itu meledak, menimbulkan asap hitam yang
tebal memenuhi kamar itu. Eng-ji menahan napas dan dia
masih dapat melihat beberapa sosok bayangan berkelebatan
memasuk kamar itu dan seorang di antara bayangan itu
melompat ke dekatnya. Dengan hati marah sekali Eng-ji lalu
mengerahkan tenaganya dan memukul dengan ilmu Toatbeng
Tok-ciang, dengan jari-jari tangan terbuka.
"Wuuuttt..... desss.....!!" karena keadaannya gelap, pukulannya mengenai
sasaran, tepat mengenai pundak orang
itu. Orang itu terpelanting, akan tetapi karena kamar itu
penuh asap tebal, Eng-ji tidak melihat apa-apa. Dia lalu
melompat ke arah pintu kamar dan mendorong daun pintu
terbuka. Suara ribut-ribut itu menarik perhatian para tamu
losmen yang lain. Mereka keluar dari kamar dan terkejut
melihat asap tebal keluar dari kamar Kiok Hwa. Han Lin juga
sudah berada di situ dan melihat Eng-ji keluar dari kamar itu
sambil membawa pedang, Han Lin terkejut.
"Eng-ji, apa yang telah terjadi" Mana Kiok Hwa?" tanya Han Lin.
Dendam Iblis Seribu Wajah 9 Senja Jatuh Di Pajajaran Trilogi Pajajaran Karya Aan Merdeka Sepasang Naga Penakluk Iblis 7
^