Suling Pusaka Kumala 9
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo Bagian 9
bermaksud untuk membasmi cabang Pek-lian kauw karena
biarpun tadinya mereka berdua tidak ada permusuhan dengan
Pek lian-kauw, namun perkumpulan itu telah membantu
Thian-te Sam-ok untuk memusuhi mereka, bahkan menjebak
mereka dengan tempat-tempat jebakan mereka.
Karena Eng-ji dan Han Lin mempergunakan ilmu berlari
cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di depan pintu
gerbang pagar dinding perkumpulan itu. Akan tetapi di sana
tampak sepi saja tidak tampak seorangpun.
"Hemm, agaknya mereka sudah meninggalkan
perkampungan, seperti yang kuduga, Lin-ko." kata Eng-ji
penasaran. Mereka memasuki perkampungan dan benar saja.
Perkampungan itu kosong, tidak tampak seorang pun
manusia. Agaknya dua orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw
itu sudah mengetahui betapa Thian-te Sam-ok telah kalah dan
melarikan diri. Karena menduga bahwa para pemuda yang
sakti itu tentu akan membuat perhitungan dengan mereka,
maka mereka sudah cepat-cepat mengosongkan
perkampungan dan melarikan diri.
Setelah melihat bahwa perkampungan itu benar-benar
telah kosong ditinggalkan penghuninya, Eng-ji lalu membakar
semua rumah yang berada di situ! Api mengamuk, berkobar
menelan habis semua benda yang berada di situ. Puaslah hati
Eng-ji melihat api berkobar membasmi bekas sarang cabang
Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi setelah melihat api berkobar
besar, Han Lin yang teringat kepada Kiok Hwa lalu
mengajaknya kembali ke kuburan ibunya.
"Mari kita tinggalkan, tempat ini, Eng-ji. Kembali ke
kuburan ibuku." Eng-ji mengerutkan alisnya. Hatinya panas membayangkan
bahwa Han Lin tergesa-gesa karena ingin segera berkumpul
kembali dengan Kiok Hwa. Akan tetapi dia tidak membantah
dan mereka berdua lalu meninggalkan perkampungan yang
telah menjadi lautan api itu dan kembali ke tempat di mana
jenazah Chai Li dikubur dan di mana Kiok Hwa menanti
mereka. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka tidak
menemukan Kiok Hwa! Han Lin terkejut dan bingung, mencari
sana-sini dan memanggil-manggil nama Kiok Hwa. Akan tetapi
Eng-ji diam-diam maklum bahwa Kiok Hwa telah pergi.
Ternyata Kiok Hwa melakukan apa yang pernah dikatakan
kepadanya bahwa Eng-ji lebih cocok dengan Han Lin dan
gadis baju putih itu telah mengalah dan diam-diam pergi
meninggalkan mereka berdua. Dia merasa terharu sekali dan
duduk bertopang dagu di dekat gundukan tanah kuburan.
Han Lin kembali dari mencari-cari dan menghampiri Eng-ji.
"Ia tidak ada. Ah, ke mana perginya dan mengapa ia pergi
tanpa berpamit kepada kita?" Dia mengeluh lalu menjatuhkan diri terduduk di
depan makam ibunya. "Aku yang kehilangan besar sekali, Lin-ko. Tahukah engkau bahwa aku.. aku amat
mencintanya" Aku telah jatuh cinta
kepadanya sejak pertemuan kami yang pertama kali." Setelah berkata demikian Eng-
ji memandang Han Lin dengan sinar
mata tajam penuh selidik.
Han Lin tidak terkejut mendengar ini karena memang
sudah diduganya bahwa Eng-ji mencinta Kiok Hwa. Dia hanya
mengangguk dan berkata, "Aku tidak heran kalau engkau
jatuh cinta kepada-nya. Ia memang seorang gadis yang balk
sekali, berbudi mulia." Ucapannya terdengar lirih dan
mengandung kesedihan. Hatinya memang terasa sedih bukan
main. Baru saja dia ditinggal mati ibunya dan kenyataan ini
merobek-robek hatinya dan membuatnya merasa ngelangsa
sekali. Kini ditambah lagi dengan kepergian Kiok Hwa tanpa
pamit kepadanya! Mengapa" Bukankah mereka saling
mencinta" Ah" dunia rasanya sunyi sekali setelah kini Kiok
Hwa pergi. "Lin-ko, memang enci Kiok Hwa seorang gadis yang luar
biasa. Apakah.....apakah engkau juga...... tidak jatuh cinta
kepadanya?" Pertanyaan Eng-ji ini terdengar seperti sambil lalu saja, akan
tetapi sebenarnya merupakan pertanyaan yang
serius dan sinar matanya menatap mata Han Lin seperti
hendak menjenguk isi hati pemuda itu.
Han Lin memandang Eng-ji dan melihat betapa sinar mata
pemuda remaja itu mencorong dan memandang kepadanya
penuh selidik. Ah, untuk apa mengaku cinta kepada Kiok Hwa
di depan pemuda ini" Hanya akan menimbulkan perasaan
yang tidak enak saja. Maka diapun lalu menggeleng kepalanya
dan kembali berlutut di depan makam ibunya sehingga Eng-ji
tidak bertanya lebih jauh.
Han Lin mencari sebatang pohon muda lalu memindahkan
pohon itu di bagian atas dari makam ibunya, menanamnya
dengan baik, kemudian dia menggelindingkan sebuah batu
besar yang dipergunakan sebagai tanda atau nisan kuburan
ibunya. Dengan pisau tajam yang telah merenggut nyawa
ibunya, dia membuat ukiran huruf-huruf di atas batu itu yang
berbunyi : Di sini kuburan ibunda tercinta..Chai Li.
Kemudian dia teringat akan pesan terakhir ibunya bahwa
dia harus mencari ayahnya, maka dia mengajak Eng-ji untuk
melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja.
00-dewi-00 Sudah lama sekali kita meninggalkan pemuda yang
mengaku bernama Coa Seng atau A-seng, yang dengan tipu
daya yang keji dan amat cerdiknya telah dapat menipu Cheng
Hian Hwesio sehingga dia dapat diambil murid oleh hwesio tua
yang sakti itu dan diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi!
Kemudian, setelah dapat menguasai hampir semua ilmu silat
tinggi dari Cheng Hian Hwesio, dia membunuh Nelayan Gu
dan Petani Lai, dum orang murid dan juga pelayan Cherng
Hian Hwesio. Bahkan dia nyaris dapat membunuh Cheng Hian
Hwesio sendiri. Namun gagal karena ketika dilawan gurunya
itu, dia masih kalah setingkat dalam hal tenaga sakti.
Kemudian, dia menipu Han Lin, bermalam di kamar Han Lin
dan mencuri Suling Pusaka Kemala milik Han Lin dan
melarikan diri! Siapakah sebenarnya Coa Seng atau A-Seng itu" Dia adalah
seorang pemuda bernama Ouw Ki Seng. Sejak kecil dia telah
ditinggal mati ayah ibunya dan dia oleh kedua orang
pamannya yang menjadi ketua dan wakil ketua Ban-tok-pang
(Perkumpulan Selaksa Racun), sebuah perkumpulan sesat
yang berada di sebuah di antara puncak-puncak di
Pegunungan hai-san. Kedua pamannya itu bernama Hiw Kian
dan Ouw Sian yang menjadi ketua dan wakil ketua Ban-tokpang.
mereka ini pernah menjadi murid Toa Ok dan
menguasai ilmu pukulan Ban-tok-Ciang, maka mereka
mendirikan perkumpulan dengan nama Ban-tok-pang,
disesuaikan dengan nama ilmu mereka Ban-tok-lang (Tangan
Selaksa Racun). Sejak kecil Ouw Ki Seng merupakan seorang anak yang
nakal dan cerdik bukan main. Kenakalan dan kecerdikannya ini
membuat kedua orang pamannya berhati-hati dan biarpun
mereka mendidik Ki Seng dan mengajarkan ilmu silat namun
pemuda itu tidak diberi pelajaran ilmu-ilmu simpanan mereka,
apalagi Ban tok-ciang yang ampuh.
Di dalam hatinya, Ki Seng merasa penasaran dan sakit hati,
namun dia tidak memperlihatkannya dan tetap bersabar. Pada
suatu hari, Ban-tok-pang kedatangan seorang tamu yang
dihormati oleh ketua dan wakilnya. Tamu itu adalah lah Suma
Kiang yang telah dikenal sejak lama oleh Ouw Kian dan Ouw
Sian sebagai Huang-ho Sin-liong. Ketika mendengar bahwa
tamu itu seorang datuk yang berilmu tinggi, diam-diam timbul
keinginan di hati Ki Seng untuk menjadi muridnya. Akan tetapi
dia tidak berani menyatakan keinginan hatinya.
Setelah Suma Kiang meninggalkan Ban-tok-ciang, diamdiam
Ki Seng mengikuti dari jauh dan tanpa disengaja dia
melihat Suma Kiang dan Suma Eng, yaitu puteri Suma Kiang
yang ikut ayahnya menjadi tamu Ban-tok-pang, mendaki
puncak dan menyerang Nelayan Gu dan petani Lai yang
dikalahkan oleh Suma Kiang. Akan tetapi, ketika Cheng Hian
Hwesio muncul, Suma Kiang dapat dikalahkan dengan mudah
oleh hwesio tua yang sakti itu.
Setelah melihat peristiwa ini, Ki Seng tidak jadi minta untuk
dijadikan murid oleh Suma Kiang. Sebaliknya dia mengincar
Cheng Hian Hwesio yang sakti untuk menjadi gurunya. Maka,
diaturnyalah siasat yang amat keji itu. Dia membunuh sepuluh
orang dusun, kemudian lari ke puncak menemui Cheng Hian
Hwesio dan menceritakan betapa keluarganya dibantai orang
jahat. Bahkan dia nekat berlutut selama dua hari dua malam
tanpa makan minum dan bertekad untuk tidak bangun lagi
sebelum Cheng Hian Hwesio menerimanya sebagai murid.
Keteguhan hatinya ini menarik perhatian Cheng Hian Hwesio.
Tipu dayanya yang keji dapat mengelabui Cheng Hian Hwesio
sehingga akhirnya dia diangkat menjadi murid!
Setelah membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai dan gagal
membunuh Cheng Hian Hwesio, kemudian berhasil mencuri
Suling Pusaka Kemala milik Han Lin, Ki Seng lalu melarikan diri pulang ke Ban-
tok-pang. Ouw Kian dan Ouw Sian sudah mendengar bahwa
keponakan mereka berhasil diterima sebagai murid oleh Cheng
Hian Hwesio dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Maka
setelah pemuda itu pulang, mereka menyambut dengan
gembira dan menjamu pemuda itu dengan sebuah pesta
keluarga yang meriah. Mereka semua menghadapi meja dengan gembira. Ouw
Kian yang berusia lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar,
mukanya penuh brewok duduk di kepala meja, wajahnya
tampak riang. Dialah ketua Ban-tok-pang. Wakil ketua adalah
adiknya sendiri, Ouw Sian yang berusia empat puluh delapan
tahun dan bertubuh tinggi kurus bermuka kuning. Wajahnya
tampak agak muram karena memang orang ini tidak pernah
memperlihatkan kegembiraan dan selalu murung. Kalau
kakaknya, Ouw Kian terkenal lihai mempergunakan pedang,
Ouw Sian bersenjatakan siang-to (sepasang golok) dan tentu
saja kedua kakak beradik ini merupakan ahli-ahli ilmu pukulan
Ban-tok-riang yang ampuh.
Karena merasa bangga dan gembira, Ouw Kian sendiri
menyuguhkan beberapa cawan arak kepada Ki Seng untuk
menyatakan selamat atas keberhasilan pemuda itu. Mereka
makan minum dengan gembira dan sambil makan minum,
keluarga itu minta kepada Ki Seng untuk menceritakan semua
pengalamannya. Setelah makan minum selesai, mereka masih bercakapcakap
di meja makan. "Ki Seng, sungguh aku merasa girang
sekali dengan kepulanganmu membawa ilmu kepandaian yang
tinggi. Engkau dapat memperkuat kedudukan Ban-tok-pang,
membantu aku dan pamanmu Ouw Sian." kata Ouw Kian
dengan gembira. "Paman, kedudukan yang diberikan kepada seseorang
haruslah disesuaikan dengan tingkat kepandaian orang itu.
Setujukah paman dengan pendapatku itu?"
Tanpa mencurigai maksud ucapan itu, Ouw Kian
mengangguk. "Tentu saja aku setuju sekali!"
"Dan bagaimana dengan engkau, paman Ouw Sian"
Setujukah paman dengan pendapatku bahwa kedudukan
seseorang harus disesuaikan dengan tingkat kepandaian orang
itu?" "Hemm, aku setuju akan tetapi apa maksudmu dengan
ucapan itu?" tanya Ouw Sian, agak curiga.
"Maksudku, tingkat kepandaian Paman Ouw Kian tentu
yang tertinggi di Ban tok-pang, maka dia diangkat menjai
ketua dan kepandaian Paman Ouw Sian berada di bawahnya,
maka hanya menjadi wakil ketua. Bukankah begitu?"
"Benar, betul sekali!" kata Ouw Kian masih belum dapat menduga ke arah mana
tujuan kata-kata Ki Seng itu.
Jilid XVI "WAH, sekarang aku datang. Untuk menentukan
kedudukanku, tentu sudah sepatutnya kalau aku diuji dan
siapa pengujinya kalau bukan Paman Ouw Kian atau Paman
Ouw Sian sendiri" Paman berdua hanya baru mendengar
bahwa aku telah mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan
tetapi tanpa menguji, bagaimana kedua paman akan menjadi
yakin akan kemampuanku?"
"Bagus, memang sudah sepantasnya begitu. Biarlah
sekarang juga, kami akan mengujimu. Sian-te (adik Sian),
cobalah engkau dulu yang menguji Ki Seng. Engkau harus
bersilat sungguh-sungguh dan mengeluarkan semua
kemampuanmu, baru kita dapat menilai sampai di mana
tingkat kepandaiannya. Mari kita pergi ke lian-bu-thia
(ruangan berlatih silat)." Dia mengajak semua keluarganya, termasuk isterinya,
dua orang anak laki-laki berusia tiga belas dan dua puluh lima tahun isteri Ouw
Sian dan seorang anak perempuan Ouw San yang berusia sembilan belas tahun,
untuk menonton ujian kepandaian silat Ki Seng itu. Bahkan
beberapa orang anggauta Ban-tok-pang yang menjadi
pembantu-pembantu, yang merupakan tokoh-tokoh Ban-tokpang
yang sudah memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup,
ikut pula menonton. Ouw Sian berhadapan dengan Ki Seng di lian-bu-thia,
ditonton oleh keluarga dan para pembantu. Semua orang
berwajah gembira karena mengharapkan pertunjukan yang
menarik dan tentu saja tidak ada bahayanya karena adu
kepandaian itu hanya merupakan ujian belaka, tidak sungguhsungguh.
"Ki Seng, engkau hendak menggunakan senjata apakah"
Pilihlah di rak senjata itu. Aku sendiri akan menggunakan
siang-to (sepasang golok) ini!" kata Ouw Sian sambil
mencabut sepasang goloknya yang biasanya tergantung di
punggungnya. "Suhu mengajarkan bahwa segala benda di dunia ini dapat
saja dijadikan sebagai senjata, kecuali kaki dan tangan
sendiri." kata Ki Seng dengan senyum dingin. Dia tidak
berbohong karena memang demikian yang diajarkan Cheng
Hian Hwesio. Buktinya, Nelayan Gu dapat mempergunakan
dayung sebagai senjata, dan Petani Lai juga dapat
mempergunakan sebatang cangkul sebagai senjatanya yang
ampuh. Dia melirik ke arah kursi dan menyambung, "misalnya kursi itu, dapat saja
kupakai sebagai senjata untuk
menghadapi serangan golokmu, Paman Ouw Sian."
Dua orang pimpinan Ban-tok-pang itu mengerutkan alisnya.
Mereka menganggap Ki Seng terlalu sombong. Baru belajar
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
silat lima tahun sudah berani menantang untuk menghadapi
Ouw Sian dengan sepasang goloknya yang amat lihai hanya
dengan bersenjatakan sebuah kursi kayu!
"Ki Seng, jangan gegabah. Sepasang golok pamanmu Ouw
Sian amat hebat, bagaimana akan kau lawan dengan sebuah
kursi" Pilihlah pedang atau golok!" kata Ouw Kian.
"Tidak, paman, aku cukup mengguna-kan kursi kayu ini dan
seandainya aku kalah oleh Paman Ouw Sian, biarlah aku
menempati kedudukan sebagai anggauta biasa saja."
Ucapan ini walaupun dikeluarkan dengan sederhana,
namun mengandung tantangan yang memandang rendah
Ouw Sian! Ouw Kian dan Ouw Sian adalah murid-murid Toa
Ok. Mereka merasa diri mereka sudah mencapai tingkat tinggi
dalam ilmu silat, maka melihat sikap dan mendengar ucapan
Ki Seng, tentu saja mereka menjadi penasaran sekali.
Terutama Ouw Sian, wajahnya yang biasanya kekuningan kini
menjadi agak merah dan dia sudah menjadi marah.
"Baiklah, Ki Seng, engkau yang berjanji sendiri. Kurasa
tingkat kepandaianmu juga tidak terlalu jauh dari tingkat
seorang anggauta perkumpulan kita yang biasa. Nah, mari kita
mulai!" Setelah berkata demikian, Ouw Sian sudah
menyilangkan sepasang goloknya di depan dada dan
memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Melihat ini, Ki Seng
mengambil sebuah kursi kayu berkaki empat. Dia menganggap
kursi itu merupakan senjata yang cukup baik untuk
menghadapi sepasang golok pamannya.
"Aku sudah siap, Paman Ouw Sian!" katanya lantang dan sikapnya biasa saja. Dia
berdiri tegak dan memegang kursi itu
secara terbalik sehingga empat buah kaki kursi berada di
depan. Ouw Sian merasa dipandang rendah sekali. Dia mengambil
keputusan untuk memberi hajaran kepada keponakannya yang
bersikap jumawa ini. Akan dihancurkannya kursi yang
dipegangnya, kemudian dia akan merobohkan Ki Seng dengan
tendangan kakinya. Maka dia lalu memutar sepasang goloknya
di atas kepala dan berseru, "Awas, Ki Seng, lihat seranganku!"
Dan diapun menyerang dengan dahsyatnya. Dia
memperhitungkan bahwa serangan sepasang goloknya tentu
akan ditangkis dengan kursi itu dan itulah saatnya sepasang
goloknya membikin remuk kursi itu menjadi berkeping-keping.
Akan tetapi ternyata tidak terjadi seperti yang ia sangka.
Ketika sepasang goloknya menyambar, mengancam tubuh Ki
Seng dengan bacokan dan tusukan, pemuda itu sama sekali
tidak menggunakan kursi itu untuk menangkis, melainkan dia
mengelak dengan gerakan cepat sekali sehingga mengejutkan
hati Ouw Sian. Akan tetapi hati orang tinggi kurus ini selain
terkejut, juga penasaran sekali melihat betapa amat
mudahnya Ki Seng mengelak dari serangan-serangannya,
seolah penyerangannya itu tidak ada artinya dan dipandang
rendah. Dia lalu mempercepat gerakan sepasang goloknya
dan menyerang dengan hebat.
Akan tetapi dia terkejut sekali ketika kehilangan Ki Seng!
Pemuda itu berkelebat dan lenyap dari depannya dan tahu
tahu telah berada di belakangnya! Demikian cepat gerakan
tubuh Ki Seng seolah olah dia pandai menghilang saja. Ouw
Sian memutar tubuhnya dan menggunakan sepasang goloknya
untuk membacok dengan cara menyilang dan menggunting
Sekali ini Ki Seng menggerakkan kursi nya dua kali, akan
tetapi dia tidak menangkis dengan memapaki pedang,
melainkan menghantam dari samping mengenai badan golok.
"Trang-trang......!!" Demikian kuatnya tangkisan itu membuat Ouw Sian menjadi
terpelanting dan terhuyung!
Tentu saja kursi itu tidak menjadi rusak karena menangkis dari samping, tidak
bertemu dengan mata golok yang tajam. Ouw
Sian menjadi semakin terkejut dan dia hampir tidak percaya
bahwa tangkisan kursi itu dapat membuat dia terhuyung. Dari
terkejut, heran dan penasaran, dia menjadi marah. Wakil
ketua Ban-tok-pang ini bukanlah orang yang dapat menerima
kekalahan. Dia selalu mengagulkan kepandaian sendiri dan
tidak memandang mata kepada orang lain. Karena marahnya,
lupalah dia bahwa yang dihadapinya adalah keponakan sendiri
dan dia sedang menguji kepandaian sang keponakan itu. Kini
dalam pandang matanya, yang dihadapinya adalah seorang
musuh besar yang telah membuat dia malu! Dia mengeluarkan
suara gerengan dahsyat lalu menyerang dengan dahsyat pula,
sepasang goloknya berubah menjadi tangan-tangan maut
yang siap mencengkeram dan membinasakan Ki Seng!
Namun Ki Seng tersenyum dingin. Diapun tahu akan
kemarahan pamannya dan bahwa kini pamannya sudah mata
gelap dan penyerangannya adalah untuk mematikannya. Akan
tetapi dia bersikap tenang saja karena maklum bahwa dia
dapat mengatasi pamannya ini dengan mudah. Ketika golok
kiri pamannya menyambar lagi, dia mengelak ke kanan dani
sebelum golok kanan bergerak, dia sudah mendahului
pamannya, menggunakan kursi untuk balas menyerang dan
menghantami ke arah tangan kanan Ouw Sian. Kaki kursi itu
menotok ke arah siku dan seketika lengan kanan Ouw Sian
menjadi kaku dan golok kanannya terlepas dari pegangan. Hal
ini membuat Ouw Sian semakin marah dan tanpa
memperdulikan apapun dia sudah menubruk dan melancarkan
pukulan Ban-tok-ciang yang ampuh itu ke arah tubuh Ki Seng!
Jari-jari tangan terbuka itu menyambar ke arah dada dengan
kecepatan luar biasa dan mendatangkan hawa panas yang
beracun. "Wuuuuttt......!" Pukulan Ban-tok-ciang itu meluncur ke arah dada Ki Seng.
Melihat ini, Ki Seng tersenyum dan sinar
matanya mencorong, berubah kejam. Tahulah dia bahwa
kalau Ouw Sian dibiarkan hidup, kelak hanya akan menjadi
orang yang memusuhinya. Maka, cepat dia menangkis
serangan itu dengan tangan kirinya dan tangan kanannya
secepat kilat menotok dengan satu jari. Itulah It-yang-ci dan
dengan tepat sekali jari telunjuk kanannya masuk dan
menotok dada Ouw Sian bagian kiri.
"Tukkkk.....I" Ouw Sian mengeluh dan roboh terjengkang, tewas seketika karena
totokan tadi telah merusak jantungnya!
Ouw Kian terkejut bukan main ketika adiknya roboh dan
tidak bangkit kembali. Apalagi ketika dia melihat betapa mata
adiknya mendelik dan tidak bergerak-gerak. Cepat dia
meloncat ke dekat adiknya dan berjongkok untuk memeriksa.
Matanya terbelalak ketika dia mendapat kenyataan bahwa
adiknya ternyata telah tewas! Dia lalu bangkit berdiri,
memutar tubuhnya menghadapi Ki Seng dengan mata
melotot. "Ki Seng.....!!" bentaknya dengan kemarahan luar biasa.
"Apa yang telah kaulakukan ini" Engkau telah membunuhi
pamanmu Ouw Sian!" "Hemm, paman sendiri tentu tahu bahwa yang
menggunakan Ban-tok-ciang dan bermaksud membunuhku
adalah Pa-man Ouw Kian. Aku hanya membalas apa yang
hendak dia lakukan terhadap diri-ku." jawab Ki Seng dengan sikap tenang-tenang
saja, bahkan pandang matanya
menantang. "Ki Seng, engkau anak durhaka. Engkau telah membunuh
Ouw Sian dan karena itu aku harus menghukummu!" bentak
Ouw Kian marah dan dia sudah mencabut pedangnya.
Ki Seng mengerutkan alisnya. "Hemm kalau paman hendak
menyusulnya, mari kuantarkan paman!"
Ucapan ini bagaikan minyak yang disiramkan kepada api
kemarahan Ouw Kian, membuat kemarahannya semakin
berkobar. "Anak setan, mampuslah engkau!" Setelah berkata demikian, Ouw Kian
menyerang dengan pedangnya. Melihat
ini, Ki Seng membungkuk dan menyambar sebatang golok
milik Ouw Sian yang tadi terjatuh dan dia menangkis dengan
golok itu ketika pedang menyambar.
Sementara itu, ketika mendengar bahwa suami dan ayah
mereka telah tewas, isteri Ouw Sian dan anak perempuannya
lalu menubruk mayat Ouw Sian sambil menangis.
Perkelahian antara Ouw Kian dan Ki Seng makin hebat dan
ketika tangkisan golok Ki Seng membuat tangannya tergetar
dan pedangnya terpental, Ouw Kian menjadi terkejut sekali
dan segera meneriaki para pembantunya untuk turun tangan
membantunya. Lima orang pembantu ketua itu lalu mencabut
golok masing-masing dan berlompatan maju mengeroyok Ki
Seng. Serangan Ouw Kian dan para pembantunya itu
merupakan serangan mematikan karena mereka semua sudah
bertekad untuk membunuh pemuda yang berbahaya itu.
Akan tetapi Ki Seng kini mengamuk, dan goloknya
berkelebatan, menjadi sinar yang bergulung-gulung dan
belasan jurus kemudian, lima orang pembantu ketua itu roboh
satu demi satu dan tewas seketika karena golok di tangan Ki
Seng menyerang dengan amat hebatnya! Melihat itu Ouw Kian
menjadi marah akan tetapi juga gentar. Bagaimana juga, dia
tidak dapat menghindarkan diri lagi dan ketika dia menangkis
golok yang menyambar dahsyat, pedangnya terpental dan
terlepas dari tangannya. Pada saat itu tangan kiri Ki Seng
sudah meluncur ke depan dan totokan satu jari yang demikian
dahsyatnya sehingga gerakan itu mengeluarkan suara
mencicit. Itulah It-yang ci yang dipergunakan untuk menyeran
ke arah ulu hati. "Tukk....!!" Tubuh Ouw Kian terjengkang lalu roboh
menggelepar, mulutnya muntahkan darah segar dan dia hanya
dapat terbelalak, tangannya menuding ki arah Ki Seng dan
diapun tewas seketika Pada saat itu terdengar teriakan nyaring. Ouw Cun, putera
Ouw Kian yang berusia dua puluh lima tahun sudah
menerjang dengan sebatang pedang di tangannya. Juga Ouw
Ci Hwa, puteri Ouw Sian yang tadi menangisi ayahnya kini
menyerang dengan sebatang pedang. Bahkan janda kedua
orang pimpinan Ban-tok-pang itu sudah mencabut pedang dan
ikut menyeroyok untuk membalas kematian suami mereka.
Ki Seng tersenyum lebar. Golok di tangannya berkelebat
dan Ouw Ci Hwa, gadis berusia sembilan belas tahun itupun
roboh mandi darah, dadanya terobek golok dan dia tewas di
dekat jenazah ayahnya. Ouw Cun dengan marah dan nekat
menubruk maju dengan pedangnya, dibantu oleh dua orang
janda yang juga sudah nekat. Ki Seng memutar goloknya.
"Trang-trang-tranggg......!" Tiga batang pedang itu
terpental dan terlepas dari tangan tiga orang pengeroyok itu
dan sebelum mereka sempat menghindar, golok di tangan Ki
Seng menyambar-nyambar dan robohlah tiga orang itu, tewas
seketika terkena bacokan golok yang dilakukan dengan tenaga
dalam yang amat kuatnya. Sunyi di tempat itu. Kesunyian yang mencekam. Para anak
buah Ban-tok-pang yang tadi berlari-lari mendatangi ruangan
yang menjadi tempat pembantaian itu berdiri dengan mata
terbelalak dan muka pucat. Di lantai berserakan sebelas orang
yang telah menjadi mayat dan darah membanjiri lantai itu. Ki
Seng berdiri tegak, memandang ke kanan kiri, menyapu
wajah-wajah para anak buah Ban-tok-pang,
Sinar mata Ki Seng mencorong ketika dia mengamati
wajah-wajah para anggauta itu sehingga setiap orang
anggauta yang bertemu pandang dengan dia merasa ngeri
dan menundukkan muka. Para anggauta Ban-tok-pang adalah
orang-orang yang sudah biasa melakukan perbuatan
sewenang-wenang dan kejam, tidak mengenal rasa takut.
Akan tetapi kini menghadapi Ki Seng yang membantai sebelas
orang, di antaranya paman-paman dan bibi-bibinya sendiri,
mereka menjadi ketakutan dan merasa ngeri.
"Hayo siapa lagi yang berani menentang aku?" bentak Ki Seng sambil mengelebatkan
goloknya. Tak seorang pun berani menjawab, bahkan tidak ada yang
berkutik. Dua orang di antara para anggauta itu melangkah
maju dan memberi hormat kepada Ki Seng.
"Ouw-kongcu (tuan muda Ouw), tidak ada seorangpun di
antara kami yang akan menentang kongcu." kata seorang di
antara mereka. Dua drang itu adalah A Kiu dan A Hok, dua
orang anggauta Ban-tok-pang yang memang sejak dahulu
menjadi sahabat Ki Seng, bahkan kedua orang ini yang
menemuinya di waktu malam ketika Ki Seng membunuh
Nelayan Gu dan Petani Lai.
"A Kiu dan A Hok, kalian berdua menjadi dua orang
pembantuku. Hei i kalian semua, kalau tidak ada yang berani
menentangku, kalian semua harus berlutut. Akulah yang
menjadi pangcu (ketua) Ban-tok-pang mulai saat ini!" kata Ki Seng sambil
meluncurkan goloknya ke atas lantai sehingga
golok itu menancap sampai ke gagangnya di lantai.
Mendengar ini, semua anggauta lalu menjatuhkan diri berlutut
dan serempak mereka berseru. "Pangcu......!"
Hati Ki Seng merasa senang sekali. "Bagus, aku akan
memimpin kalian dan membuat Ban-tok-pang menjadi
perkumpulan terbesar. A Kiu dan A Hok, pimpin orang-orang
ini untuk mengubur mayat-mayat itu dan membersihkan
ruangan ini. Aku hendak beristirahat!" Setelah berkata
demikian, Ki Seng memasuki gedung itu, masuk ke dalam
kamar besar yang biasanya ditempati ketua Ban-tok-pang dan
di lain saat ia telah tidur mendengkur di atas pembaringan!
Pada keesokan harinya, Ki Seng memeriksa gedung itu dan
mengumpulkan emua barang-barang berharga yang kini
menjadi miliknya. Kemudian ia memerintahkan A Kiu A Hok
yang diangkatnya menjadi pembantu-pembantunya untuk
menggerakkan anak buahnya mengadakan pesta untuk
merayakan pengangkatan diri nya sendiri sebagai ketua Bantok-
pang. Semua anggauta diharuskan ikut berpesta pora. Pesta itu
dilakukan semalam suntuk dan para anak buah itu rata-rata
merasa senang karena mereka tahu bahwa ketua baru yang
sekarang ini adalal seorang yang sakti, jauh lebih lihai di
bandingkan para pimpinan mereka yang telah tewas. Hal ini
tentu saja membesarkan hati mereka. Ketua mereka yang
baru ini seorang yang masih amat muda, baru dua puluh satu
tahun usianya, tampan sekali dan gagah perkasa! Hati siapa
tidak akan bangga menjadi anak buahnya"
Ban-tok-pang adalah sebuah perkumpulan sesat yang
terkenal suka mempergunakan racun. Sesuai dengan namanya
Ban tok-pang (Perkumpulan Selaksa Racun) perkumpulan ini
terkenal sekali dalam mempergunakan senjata beracun, juga
sarang mereka penuh dengan jebakan jebakan yang
mengandung racun berbahaya. Sebelum menjadi murid Chen
Hian Hwesio, Ki Seng sudah hafal akan racun-racun yang
dipergunakan Ban-to pang. Setelah dia menjadi ketua, di
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperbarui jebakan-jebakan itu untuk mencegah orang luar
memasuki perkampungan Ban-tok-pang. juga dia melarang
anak buahnya untuk melakukan perampokan seperti yang
biasa mereka lakukan. Biasanya, para anak buah Ban-tokpang
tidak segan-segan untuk melakukan pencurian dan
perampokan, dan membunuh kalau ada yang melawan.
"Kita adalah sebuah perkumpulan besar, harus dapat
menjaga nama dan kehormatan. Mulai sekarang, kalian tidak
boleh mencuri atau merampok. Kalau ada yang melanggar,
akan dihukum mati!" kata Ki Seng.
Para anggauta itu tidak ada yang berani membantah. Akan
tetapi A Kiu yang diangkat menjadi pembantu, lalu maju dan
berkata, "Akan tetapi, Ouw-kongcu..."
"Bodoh! Jangan sebut aku kongcu lagi. Aku adalah ketua
kalian, mengerti?" "Ah, baiklah, pangcu dan maafkan saya. Akan tetapi,
pangcu, kalau kami dilarang untuk melakukah pencurian atau
perampokan, lalu dari mana kita akan memperoleh hasil untuk
membiayai kehidupan kita yang sebanyak puluhan orang ini?"
kata A Kiu. "Benar, pangcu. Biasanya, kita mempergunakan hasil
pencurian dan perampokan untuk biaya hidup lima puluh
orang anggauta kita." A Hok membenarkan rekannya.
"Jangan khawatir, akan ada orang-orang lain yang
mencarikan biaya untuk kita. Mari kalian berdua, A Kiu dan A
Hok, ikut dengan aku!" ajak Ki Seng dan dua orang itupun
tidak banyak membantah lagi, lalu mengikuti pemuda itu
keluar dari perkampungan mereka.
Sudah merupakan peraturan tidak tertulis dari Hek-houwpang
untuk mengharuskan setiap orang yang lewat melalui
daerah kekuasaan mereka di lereng sebelah timur
Pegunungan Thai-san untuk membayar "pajak", istilah yang diperhalus dari
perbuatan merampok. Maka, ketika Ki Seng, A
Kiu dan A Hok melangkah tenang di lereng itu, tiba-tiba dari
balik pohon-pohon dan semak belukar berloncatan belasan
orang yang rata-rata bertubuh tegap dan kuat, bersikap kasar
dan bengis, dan di dada baju mereka terdapat gambar seekor
harimau hitam. Setiap orang dari mereka memegang sebatang
golok yang tajam mengkilap.
"Berhenti.....!" Seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan menjadi
pemimpin mereka, mengacungkan golok
dan membentak dengan suara garang. Belasan orang itu kini
mengepung tiga orang yang tampak tenang-tenang saja.
Ki Seng melangkah maju menghadapi si muka hitam.
Dengan sikap tenang dia berkata, "Sobat, apa artinya ini"
Mengapa kalian menghentikan dan mengepung kami bertiga?"
"Kalian bertiga harus membayar pajak jalan kepada kami
karena kalian melanggar wilayah kami. Hayo cepat keluarkan
semua bawaan dan harta kalian untuk kami ambil separuhnya.
Jangan membantah atau melawan karena kami akan
membunuh kalian kalau berani melawan. Dan jangan mainmain.
Kami adalah orang-orang Hek-houw-pang yang
menguasai wilayah ini!"
Ki Seng mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Ah,
kiranya orang-orang Hek houw-pang! Bukankah ketua kalian
adalah Toat-beng Hek-houw dan wakil ketua kalian Tiat-ciang
Hek-houw" Kebetulan sekali, aku memang ingin bertemu dan
bicara dengan mereka. Hayo bawalah kami menghadap dua
orang pimpinan kalian itu!"
Tentu saja tokoh Hek-houw-pang itu tidak memperdulikan
kata-kata ini dan dia bahkan marah sekali. "Lancang sekali mulutmu! Siapakah
engkau yang berani hendak bertemu
dengan para pimpinan kami" Hayo cepat keluarkan semua
milikmu kalau tidak ingin mampus!" Sambil berkata demikian, si muka hitam
mengelebatkan goloknya penuh ancaman.
"A Kiu dan A Hok, wakili aku dar hajar mereka!" kata Ki Seng kepada dua orang
pembantunya. A Kiu dan A Hok adalah dua orang tokoh Ban-tok-pang
yang berpengalaman Mereka adalah orang-orang yang telah
mendapatkan kepercayaan para pimpinar Ban-tok-pang yang
telah tewas maka mereka berdua sudah diberi pelajaran ilmu
pukulan Ban-tok-ciang dan memiliki ilmu kepandaian yang
cukup tinggi. A Kiu yang berusia lima puluh tahun itu bertubuh tinggi besar dan
membawa sebatang pedang di punggungnya.
A Hok bertubuh kecil kurus akan tetapi gerak-geriknya gesit,
usianya sekitar empat puluh lima tahun dan diapun membawa
sebatang pedang di punggungnya.
Mendengar perintah ketua baru mereka, keduanya lalu
melangkah maju dan A Kiu berkata kepada si muka hitam
dengan suara membentak bengis, "Mundurlah kalian dan
jangan ganggu kami lagi!"
Akan tetapi melihat dua orang itu maju seperti menantang,
si muka hitam berseru kepada kawan-kawannya, "Serbu!
Bunuh!!" Belasan orang itu bergerak dengan golok mereka, akan
tetapi A Kiu dan A Hok mendahului mereka, menggerakkan
tangan kanan dan sinar-sinar kecil hitam meluncur ke arah
para pengepung. Terdengar jerit-jerit mengerikan dan
robohlah enam orang. Mereka berkelojotan dan tak lama
kemudian mereka tewas dengan muka berubah menghitam.
Ternyata mereka telah menjadi korban jarum-jarum beracun
yang amat ampuh. Melihat ini si muka hitam terkejut, akan
tetapi juga marah sekali. Dia menerjang dengan goloknya,
di kuti sisa kawan-kawannya yang masih ada sebelas orang.
Dua belas orang itu menerjang dan menyerang A Kiu dan A
Hok dengan golok mereka. A Kiu dan A Hok mencabut pedang mereka dan mengamuk.
Tingkat kepandaian dua orang ini memang sudah cukupi tinggi
dan ilmu pedang mereka juga hebat, maka biarpun dikeroyok
dua belas orang, mereka tidak terdesak, bahkan sebaliknya
mereka dapat melukai empat orang dan mendesak para
pengeroyoknya.! Akhirnya si muka hitam sendiri tertusuk pedang A Kiu yang
mengenai pundak kanannya. Goloknya terlepas dan
maklumlah dia bahwa melawan terus sama dengan bunuh diri.
Maka dia meneriaki kawan-kawannya untuk melarikan diri,
meninggalkan mereka yang tewas dan terluka parah.
"Kejar mereka sampai ke sarangnya!" kata Ki Seng dan diapun membayangi
segerombolan orang yang melarikan diri
itu, di kuti oleh A Kiu dan A Hok.
Akan tetapi sebelum memasuki perkampungan Hek-houwpang,
baru tiba di luar pintu, mereka melihat berbondongbondong
para anggauta Hek-houw-pang telah keluar dari
pintu gerbang perkampungan, mengikuti dua orang laki-laki
yang gagah perkasa. Ki Seng yang pernah datang ke
perkampungan Hek-houw-pang bersama mendiang Nelayan
Gu dan Petani Lai segera mengenal dua orang pimpinan Hekhouw-
pang itu. Si muka hitam menunjuk ke arah Ki Seng, A Kiu dan A Hok
dan dua orang pimpinan Hek-houw-pang bersama semua anak
buahnya segera menghadapi tiga orang itu di depan pintu
gerbang. Toat-beng Hek-houw, ketua Hek-houw-pang yang bertubuh
sedang tegap dan bersikap gagah itu memandang ke arah Ki
Seng dan dua orang pembantunya dengan alis berkerut. Dia
sudah tidak ingat lagi kepada Ki Seng yang lima tahun lalu
pernah datang ke sarangnya. Tiat-ciang Hek-houw, wakil
ketua yang bertubuh tinggi besar itupun tidak mengenal Ki
Seng dan dua orang pembantunya.
Ki Seng yang dihadang itu berhenti melangkah dan
berhadapan dengan dua orang pemimpin Hek-houw-pang. Dia
ter-| senyum dan berkata, "Bagus sekali kalian yang datang sendiri menemuiku,
Toat beng Hek-houw dan Tiat-ciang Hekhouw.
Aku memang ingin bicara dengan kalian berdua!"
Dua orang pimpinan Hek-houw-pay itu tidak merasa heran
kalau pemuda itu mengenal nama mereka karena mereka
berdua memang terkenal sekali untuk daerah itu. Akan tetapi
mereka merasa heran sekali melihat sikap Ki Seng yang sama
sekali tidak menghormatinya, bahkan suaranya seperti
menantang! "Orang muda, engkau dan dua orang kawanmu telah
berani membunuh beberapa anak buah kami, untuk itu kalian
harus mati di tangan kami. Katakanlah siapa engkau dan mau
apa engkau mencari kami, jangan kalian mati tanpa nama!"
kata Toat-beng Hek-houw sambil menahan kemarahannya
karena dia sudah mendengar pelaporan si muka hitam bahwa
enam orang anak buahnya telah tewas dan beberapa orang
luka-luka. Ki Seng tersenyum, senyum dingin yang membuat
wajannya yang tampan itu tampak mengandung sesuatu yang
menyeramkan. Matanya mencorong seperti mata harimau dan
senyumnya mengandung penuh ejekan dan memandang
rendah. "Toat-beng Hek-houw, ketahuilah bahwa aku adalah
pangcu (ketua) dari Ban-tok-pang. Kedatanganku ini untuk
bertemu dan bicara dengan pimpinan Hek-houw-pang."
Toat-beng Hek-houw terkejut bukan main. Dia sudah
mendengar tentang Ban-tok-pang dan menurut apa yang
pernah didengarnya, para pimpinan Ban-tok-pang adalah
keluarga Ouw. Sama sekali tidak disangkanya bahwa ketuanya
masih begini muda, seorang pemuda remaja atau yang belum
dewasa benar, paling banyak dua puluh satu tahun usianya!
Akan tetapi mendengar bahwa pemuda itu ketua Ban-tokpang,
dua orang pimpinan Hek-houw-pang bersikap hati-hati.
"Hemm, kalau benar engkau Ban-tok- pangcu, lalu apa
yang hendak kau bicarakan dengan kami?" tanya Toat-beng
Hek-houw. "Hemmm, apakah kalian tidak meng-undang kami untuk
masuk dan bicara didalam" Layakkah kalau kita bicara diluar
seperti ini?" tanya Ouw Ki Seng.
Toat-beng Hek-houw mengerutkan alisnya. "Bagaimana
kami dapat menerima dan menyambut kalian sebagai tamu
yang terhormat setelah kalian membunuhi dan melukai anak
buah kami?" "Anak buak kalian itu mencari mati sendiri. Mereka telah
berani menghadangi kami dan mencoba untuk merampok
kami. Nah, sekarang kalian mau mengundang aku bicara di
dalam atau tidak?" "Hemm, kalau engkau hendak bicara di sini saja juga sudah cukup. Apa yang hendak
engkau bicarakan dengan kami"!"
"Tidak banyak. Aku hanya minta agar kalian menyerahkan
semua tempat perjudian dan tempat pelesiran di kota-kota
sekitar sini kepada kami dan setiap hasil rampokan yang kalian lakukan harus
diserahkan separuhnya kepada kami. Aku minta
agar kalian mengakui Ban-tok-pang sebagai perkumpulan
yang membawahi Hek-houw-pang dan mengakui aku sebagai
pimpinan!" Toat-beng Hek-houw dan Tiat-ciang Hek-houw terbelalak
dan muka mereka menjadi merah sekali karena marah.
Sungguh pemuda itu mengajukan tuntutan yang berlebihan
dan sangat menghina mereka! Dengan suara gemetar saking
marahnya Toat-beng Hek-houw membentak.
"Keparat! Bagaimana kalau kami menolak semua
permintaanmu itu?" Ouw Ki Seng tersenyum dingin. "Kalau begitu, terpaksa
kalian berdua akan kubunuh dan Hek-houw-pang kupaksa
menjadi cabang Ban-tok-pang, siapa yang menentang akan
kubunuh!" "Jahanam sombong! Engkaulah yang akan kami bunuh!"
Setelah berkata demikian, Toat-beng Hek-houw memberi
isarat kepada para anak buahnya, kemudian dia mencabut
pedangnya dan menyerang Ki Seng dengan dahsyat. Tiat-cang
Hek-houw juga mencabut pedang dan menyerangnya.
Menghadapi serangan dua orang itu, Ki Seng bersikap tenang
saja. Dengan lincahnya dia melompat ke belakang sehingga
serangan kedua orang pimpinan Hek-houw-pang itu mengenai
tempat kosong. Kembali dua orang itu menerjang dengan
ganasnya. Namun, Ki Seng bergerak cepat sekali. Tubuhnya
seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di
antara dua sinar pedang kedua orang pengeroyoknya.
Sementara itu, melihat puluhan orang anak buah Hekhouw-
pang sudah bergerak mengepung, A Kiu dan A Hok
mencabut pedang masing-masing dan mereka meng-amuk.
Pedang mereka menyambar-nyambar dan dengan cepat sekali
mereka telah merobohkan empat orang yang berada paling
depan. Mereka lalu dikepung dan dikeroyok karena para anak
buah Hek-houw-pang itu tidak ada yang berani membantu dua
orang pimpinan mereki yang mereka anggap pasti akan
mampu mengalahkan pemuda yang mengaku sebagai ketua
Ban-tok-pang itu. Akan tetapi kenyataannya terjadi tidak seperti yang mereka
harapkan dan bayangkan. Toat-beng Hek-houw dan Tiat-ciang
Hek-houw sudah memainkan pedang mereka dengan cepat
dan kuat, mengerahkan sepenuh tenaga mereka, namun tetap
saja pedang mereka tidak mampu menyentuh tubuh Ki Seng
yang melawan dengan tangan kosong saja! Pemuda itu
bergerak amat lincahnya dan membiarkan kedua orang
lawannya melancarkan serangan bertubi-tubi sampai belasan
jurus tanpa dibalasnya. "Kalian belum mau menyerah?" bentak Ki Seng karena
sebetulnya dia ingin agar kedua orang pimpinan Hek-houwpang
ini taluk kepadanya dan menjadi pembantupembantunya.
Akan tetapi, karena sejak tadi hanya mengelak
saja tanpa membalas, dua orang ketua Hek-houw-pang itu
menganggap dia takut, maka mereka menyerang terus
semakin gencar dan tentu saja tidak mau menyerah.
Setelah membiarkan dua orang itu menyerangnya secara
bertubi selama belasan jurus dan mereka tetap tidak mau
menyerah, Ki Seng menjadi marah.
"Baik, kalau begitu matilah kalian!" bentaknya dan tiba-tiba dia mengelak dengan
loncatan ke atas, lalu berjungkir balik,
menukik dan kedua tangannya bergerak menyambar seperti
seekor ular terbang menyerang ke arah kedua orang pimpinan
Hek-houw-pang itu. "Tukk! Tukk!" Dua orang itu tidak dapat menghindarkan diri dari totokan It-yang-
ci yang amat dahsyat dan jari tangan Ki
Seng telah menotok kepala mereka. Tampaknya totokan itu
tidak terlalu kuat, akan tetapi akibatnya, dua orang itu
terjungkal dan tewas seketika!
Melihat dua orang pemimpin mereka tewas, para anak
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buah Hek-houw-pang menjadi terkejut bukan main. Pada saat
itu, Ki Seng berseru dengan suara lantang.
"Ketua dan wakil ketua kalian telah tewas! Siapa yang tidak mau menyerah akan
mati juga! Lemparkan senjata kalian dan
berlututlah, baru kami akan mengampuni nyawa kalian!"
Mendengar ini, para anak buah Hek-houw-pang yang sudah
ketakutan itu lalu membuang senjata masing-masing dan
menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah Ki Seng. A
Kiu dan A Hok berhenti mengamuk dan merekapun berdiri di
belakang Ki Seng dengan hati bangga. Mereka berdua tidak
pernah dapat membayangkan betapa pemuda itu dengan
amat mudahnya telah membunuh ketua dan wakil ketua Hekhouw-
pang yang terkenal gagah itu.
Mereka sendiri sudah merobohkan belasan orang anak
buah Hek-houw-pang, akan tetapi hanya melukai mereka dan
tidak sampai membunuh mereka seperti yang dipesankan Ki
Seng sebelum mereka menyerbu ke situ. Ki Seng
menginginkan agar anak buah Hek-houw-pang tidak dibunuh
karena dia ingin mereka menjadi anak buahnya untuk
memperkuat kedudukan Ban-tok-pang.
"Kalian sudah menyerah" Bagus! Mulai sekarang, Hekhouw-
pang dan semua usahanya berada di bawah
pengawasan kami, dan Hek-houw-pang menjadi perkumpulan
yang berada di bawah kekuasaan Ban tok-pang. Mulai
sekarang, yang menjadi pemimpin Hek-houw-pang adalah A
Hok! A Hok, engkau kuserahi tugas memimpin Hek-houwpang.
Umumkan hal ini kepada seluruh anak buah Hek-houwpang
yang mengurus rumah-rumah judi dan rumah-rumah
pelesir di semua tempat."
A Hok merasa girang sekali. Tak pernah dia
membayangkan bahwa dia akan, "naik pangkat" sedemikian cepatnya, tahu tahu telah
menjadi ketua Hek-houw-pang!
"Baik, pangcu!" katanya girang.
"Kalau ada yang membangkang bunuh saja!" kata pula Ki Seng. "A Kiu, mari kita
pergi mengunjungi Pek-eng-pang, Aku ingin melihat-lihat keadaan di sana."
Setelah menyerahkan semua urusan mengenai Hek-houwpang
kepada A Hok juga urusan mengenai keluarga kedua
orang ketua lama yang tewas itu, Ki Seng lalu mengajak A Kiu
untuk pergi dari situ. Anggauta Pek-eng-pang yang masih muda, berusia kurang
lebih dua puluh tiga tahun dan bertubuh tinggi tegap itu
berlari-lari secepatnya. Terengah-engah dia tiba di
perkampungan Pek-eng-pang. Teman-temannya
menyambutnya dengan heran. Mereka bertanya mengapa dia
berlari-lari seperti itu. Akan tetapi pemuda itu hanya
menggeleng kepala dan bergegas lari ke dalam mencari Pekeng
Pang-cu Ciang Hok, ketua perkumpulan Pek-eng-pang
(Perkumpulan Garuda Putih). Setelah mendapat keterangan
bahwa sang ketua berada di dalam rumah nya, dia lalu
memasuki rumah ketuanya dan minta kepada para penjaga
untuk disampaikan kepada ketuanya bahwa dia mohon
menghadap karena akan memberikan pelaporan yang teramat
penting. Tak lama kemudian dia sudah menghadap Pek-eng Pang-cu
Ciang Hok. Ciang Hok adalah seorang laki-laki yang gagah
perkasa, bertubuh tegap dan rambutnya dibiarkan terurai di
punggungnya. Jenggot dan kumisnya pendek dan tebal, dan
alisnya hitam tebal. Dengan sikap tenang dan alis berkerut dia menyambut
anggauta yang menghadap dengan napas masih
terengah-engah itu. "Mengapa engkau seperti orang ketakutan begitu" Apa
yang hendak kau lapor-kan?" tegur sang ketua, tak senang
melihat anggautanya begitu penakut.
"Ada berita yang amat mengejutkan pangcu. Saya
mendengar dari seorang anggauta Hek-houw-pang yang
melarikan diri bahwa Hek-houw-pang geger, ketua dan wakil
ketuanya terbunuh dan banyak pula anak buahnya yang lukaluka.
Serangan itu dilakukan oleh tiga orang yang mengaku
datang dari Ban-tok pang dan kini mereka menguasai Hek
houw-pang dengan kekerasan."
Ciang Hok mengerutkan alisnya dani mengelus jenggotnya
yang tebal dan pendek. "Hemmm, mengapa engkau ributi
ribut setengah mati" Apa yang terjadi pada Hek-houw-pang
tidak ada sangkut pautnya dengan kita sama sekali!"
"Pangcu, saya khawatir sekali kalau-kalau mereka akan
menyerang kita juga." kata pelapor itu.
Pek-eng Pang-cu Ciang Hok tersenyum tenang, penuh
kepercayaan kepada diri sendiri. "Kita melakukan pekerjaan sebagai piauwsu
(pengawal barang kiriman), mencari nafkah
secara halal, tidak pernah mengganggu siapapun juga,
mengapa ada orang hendak menyerang kita" Kalaupun ada
yang menyerang, apa yang harus kita takuti" Kedudukan kita
cukup kuat, anggauta kita tidak kurang dari enam puluh orang
dan aku sendiri tidak takut menghadapi siapapun yang berniat
buruk terhadap perkumpulan kita. Engkau masih muda, di
mana nyalimu" Keluarlah dan beritahu kepada semua
anggauta untuk bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan, akan tetapi jangan gegabah bertindak sebelum
ada perintah dariku."
Pelapor itu lalu keluar dan memberitahukan temantemannya
tentang perintah sang ketua. Ciang Hok adalah
seorang ahli silat yang pandai. Dia telah menguasai ilmu silat yang disebut Pek-
Eng Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih). Pekeng Sin-kun adalah ilmu silat yang
menggubahnya sendiri dari
ilmu silat Bu-tong-pai yang pernah dipelajarinya. Karena
dasarnya adalah ilmu silat Bu-tong-pai, maka tentu saja ilmu
silat itu cukup hebat dan selain dapat dimainkan dengan
tangan kosong, dapat pula dimainkan dengan pedang dan
disebut Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih). Karena
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh, apalagi anak
buahnya merupakan juga murid-muridnya yang sudah
digembleng dengan ilmu silat selama bertahun-tahun, dia
merasa bahwa kedudukannya cukup kuat dan dia tidak takut
menghadapi ancaman dari manapun juga datangnya. Karena
kepercayaan kepada diri sendiri inilah maka dia berani
membuka Piauw-kiok (perusahaan pengiriman barang) untuk
mengawal barang barang kiriman dan menjaganya dari
gangguan perampok. Matahari telah condong ke barat ketika Ki Seng dan A Kiu
tiba di depan pintu gerbang perkampungan yang menjadi
pusat Pek-eng-pang. Pek-eng-pang memilih tempat di lereng
itu sebagal perkampungannya, walaupun pekerjaan mereka
berada di kota karena hanya orang-orang kota yang menjadi
pedagang yang suka mengirim barang dagangan yang
berharga untuk dikirim dan dikawal. Di atas pintu gerbang
terdapat papan nama bertuliskan Pek-eng-pang dengan hurufhuruf besar dan ada
sehelai bendera bergambar garuda putih
berkibar di tempat jaga di pintu gerbang itu. Ki Seng pernah
datang ke tempat ini bersama mendiang Petani Lai dan
Nelayan Gu, lima tahun yang lalu. Dia tahu bahwa sikap Pekeng-
pang tidak seperti orang-orang Hek-houw-pang, tidak
kasar dan bengis. Juga ketuanya adalah seorang gagah, tidak
seperti ketua Hek-houw-pang yang mengandalkan
pengeroyokan. Oleh karena itu, diapun mengambil sikap lain
dalam menghadapi Pek-eng-pang.
Ketika Ki Seng dan A Kiu tiba di depan pintu gerbang,
belasan orang yang berjaga di situ, yaitu para anak buah Pekengpang yang
melaksanakan perintah ketua mereka untuk
bersiap siaga, berdiri dan keluar dari gardu penjagaan.
Seorang di antara mereka yang menjadi kepala jaga segera
menegur dua orang pendatang itu.
"Siapakah ji-wi (anda berdua) dan ada keperluan apakah
mendatangi tempat kami?" Pertanyaan itu tegas akan tetapi cukup hormat. Ki Seng
memandang kepada mereka, lalu
berkata dengan nada suara halus.
"Aku bernama Ouw Ki Seng, ketua dari Ban-tok-pang dan
ini adalah pembantuku bernama A Kiu. Kami datang untuk
bertemu dan bicara dengan ketua kalian. Pek-eng Pang-cu."
"Orang muda, harap jangan berkati bohong. Aku sendiri
sudah pernah bertemu dengan para pimpinan Ban tok-pang.
Mereka adalah orang-orang yang sudah setengah tua,
ketuanya adalah Pangcu Ouw Kian dan wakilnya bernama
Ouw Sian. Bagaimana engkau berani mengaku bahwa engkau
yang menjadi ketua Ban-tok-pang?" kata kepala jaga, seorang yang usianya sudah
lima puluh tahun dan bertubuh tinggi
kurus. Ki Seng tersenyum. "Benar apa yanh kaukatakan, paman.
Akan tetapi kedua orang pemimpin Ban-tok-pang itu sekarang
telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya, akulah yang
kini menjadi ketua Ban-tok-pang. Harap sampaikan kepada loeng-
hiong (pendekar tua) Ciang Hok, dan dia tentu akan
mengerti setelah bicara dengan aku."
Pada saat itu muncul seorang gadis berpakaian serba
kuning. Gadis ini berusia kurang lebih delapan belas tahun,
wajahnya cantik sekali, manis dan menggairahkan. Bentuk
tubuhnya ramping padat, rambutnya panjang sampai ke
pinggang, sebagian disanggul dan sebagian pula dibiarkan
menjuntai ke bawah. Alisnya kecil panjang melengkung indah,
menghias sepasang mata yang tajam bersinar, dengan
kerlingan setajam gunting. Hidungnya kecil mancung dan
mulutnya selalu dibayangi senyum manja. Ia melangkah maju
dan mengerutkan alisnya sambil memandang kepada Ki Seng.
"Siapakah yang ingin bertemu dengan ayahku?" tanyanya dengan suaranya yang
nyaring dan merdu. Ki Seng memandang dan dia terpesona. Pemuda ini belum
pernah bergaul dengan wanita, belum pernah jatuh cinta
kepada seorang wanita, bahkan belum pernah memikirkan
tentang wanita sama sekali. Akan tetapi, begitu melihat gadis
itu, darah mudanya bergolak dan dia terpesona. Belum pernah
dia melihat seorang atau sesuatu yang membuat jantungnya
terguncang sedemikian rupa. Dari ujung rambut sampai kaki
yang bersepatu hitam itu, gadis itu memiliki daya tarik yang
luar biasa sekali baginya. Setiap bagian tubuh gadis itu
mempesona, bahkan suaranya terdengar sedemikian
merdunya sehingga Ki Seng seperti kehilangan kesadaran dan
hanya berdiri memandang dengan mulut ternganga!
Sebaliknya, gadis itupun termangu ketika melihat bahwa
yang ditegurnya adalah seorang pemuda yang tampan dan
gagah, dan ia merasa geli melihat pemuda itu hanya
ternganga memandangnya. Akan tetapi ada rasa rikuh
menyelubungi rasa girang karena dari pengalamannya
dipandang mata pria yang terkagum-kagum kepadanya, ia
dapat menduga bahwa pemuda tampan inipun kagum
melihatnya. Hatinya merasa girang dan juga bangga!
"Hei, aku bertanya kepadamu! Siapakah engkau yang ingin
bertemu dengan ayahku?" kembali ia menegur dan kini
langsung memandang wajah Ki Seng.
Ki Seng gelagapan, seolah baru saja disentakkan kembali
ke dunia. "Eh..... ohh.... aku, aku yang ingin bertemu dengan Pekeng Pangcu. Apakah dia
itu ayahmu, nona?" Akhirnya dia
dapat menguasai ketegangannya dan berbalik mengajukan
pertanyaan yang terdengar ramah dan sopan.
"Dia adalah ayahku. Siapakah engkau dan apa perlumu
mencari ayah?" Ki Seng menjura dengan sikap hormat. "Aku bernama Ouw
Ki Seng, dan aku ingin bertemu dengan Pek-eng Pang-cu
untuk membicarakan urusan yang penting sekali."
Gadis itu mengamati Ki Seng, meman dang dengan penuh
selidik dari kepala sampai ke kaki. "Hemm, engkau datang
sebagai kawan atau lawan?"
Kembali Ki Seng tertegun mendengar pertanyaan yang
merupakan todongan ini. Akan tetapi, kemunculan gadis ini,
perjumpaannya dengan gadis itu telah sama sekali mengubah
semua rencana terhadap, Pek-eng-pang dalam hatinya.
"Aku...... datang sebagai kawan tentu saja!" katanya cepat setelah agak tergagap
sedikit. Gadis itu mengerutkan alisnya, "Hemm, sebagai kawan"
Agaknya engkau tidak pantas menjadi sahabat ayahku.
Pertama, usiamu tidak sebaya dengan dia, dan ke-dua,
apakah kepandaianmu sudah patut untuk dijadikan sahabat
ayahku" Para sahabat ayahku tentu orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi!" Ki Seng makin tertarik kepada gadis ini. Bicaranya begitu
ceplas-ceplos, terbuka dan jujur, "Aku juga memiliki ilmu kepandaian yang
kiranya tidak akan mengecewakan ayahmu,
nona." jawabnya sambil tersenyum.
"Hemm, aku meragukan hal itu. Beranikah engkau kalau
kuuji dulu sebelum engkau menemui ayahku" Kalau
kepandaianmu hanya dangkal saja, engkau tidak pantas minta
bertemu ayah dan urusanmu cukup kau bicarakan dengan
anak buah Pek-eng-pang, atau paling-paling juga kau
bicarakan dengan aku sudah cukup. Beranikah engkau?"
Ki Seng tersenyum lebar. Makin tertarik hatinya. Dalam
pandangannya, gadis itu selain cantik menarik juga amat lucu
dan manja, menyenangkan sekali baginya.
"Tentu saja aku berani, nona, asal nona tidak terlalu kejam kepadaku dan
menggunakan tangan besi terhadap diriku."
"Jangan khawatir! Ini hanya ujian saja, dan memang aku
suka sekali bertanding ilmu silat. Karena itu, kita bertanding tangan kosong
saja, tanpa senjata."
"Baiklah, nona."
"Mari ikut aku ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) di belakang, mari kita
mengambil jalan memutar lewat taman
bunga." kata gadis itu, mendahului Ki Seng sebagai penunjuk jalan. Ki Seng
mengikutinya dari belakang dan A Kiu mengikuti
di belakangnya. Para anak buah Pek-eng-pang yang ingin
sekali melihat nona mereka "menguji" tamu itu, menjadi tertarik sekali dan ikut
pula memasuki taman untuk pergi ke
ruangan berlatih silat yang berada di bagian belakang rumah
itu. Mereka ini tahu mengapa si gadis mengambil jalan lewat
taman bunga menuju ke belakang. Gadis itu takut kalau
perbuatannya "menguji" tamu diketahui ayahnya. Gadis yang pemberani dan keras
hati itu hanya merasa takut kepada
ayahnya saja. Setelah tiba di dalam ruangan yang luas dan kosong itu,
gadis yang lincah itu menghadapi Ki Seng dan bertanya "Hayo, siapa yang akan
maju lebih dulu, engkau ataukah temanmu
itu?" Ia menunjuk kepada A Kiu.
"Temanku ini hanya pengikut, kalau hendak menguji,
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akulah yang harus diuji," jawab Ki Seng tenang.
"Bagus, bersiaplah, orang she Ouw!" seru gadis itu dan ia segera memasang kuda-
kuda. Karena ia seorang ahli Pek-eng
Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih) maka ia memasang jurus
pembukaan yang disebut Pek-eng-tiam-ci (Garuda Putih
Pentang Sayap), kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat
sampai ke lutut kaki kiri, kedua lengan terpentang ke kanan
kiri, kedua tangan ditegakkan dengan jari-jari menunjuk ke
atas. Sikapnya gagah sekali seperti seekor burung garuda
yang hendak terbang! Ki Seng menjadi semakin kagum dan dia berkata sambil
tersenyum manis. "Nona, karena engkau sudah mengetahui
namaku, maka sebelum kita bertanding, harap nona suka
memperkenalkan nama. Aku hanya tahu bahwa nona sebagai
puteri Ketua Ciang Hok, tentulah bermarga Ciang."
"Aku bernama Ciang Mei Ling. Sudahlah jangan banyak
cakap dan bersiaplah jntuk menghadapi seranganku!" kata Mei Ling tanpa bergerak
dari pasangan kuda-kudanya.
"Sejak tadi aku sudah siap, nona Ciang Mei Ling. Namamu
begitu indah......" "Awas, lihat seranganku!" bentak Mei Ling dan iapun sudah menyerang ke depan.
Lengan yang berkembang tadi terayun
dan sambil membanting kaki kanan ke depan, tangan
kanannya mengirim pukulan langsung ke arah dada Ki Seng.
Ki Seng yang tadinya berdiri santai saja, melihat datangnya
pukulan yang cukup cepat dan kuat mendatangkan angin
pukulan yang menyambar itu, mengelak dengan menarik kaki
kirinya ke belakang dan miringkan tubuhnya sehingga,
pukulan tangan kanan Mei Ling luput dan lenyap di samping
dadanya. Akan tetapi gerakan gadis itu memang cepat sekali. Begitu
pukulan itu luput, ia sudah menggeser kakinya dan menekuk
lengan kanannya sehingga kini siku kanan nya meluncur ke
arah dada Ki Sengl. Pemuda itu tentu saja dapat mengikuti
gerakan cepat ini dan diapun menggunakan tangan kirinya
untuk menangkis serangan siku itu. Akan tetapi Ki Seng
menggunakan sin-kang yang membuat tangannya menjadi
lunak dan kuat. Ketika siku Mei Ling bertemu dengan tangan
kiri Ki Seng, gadis itu merasa betapa sikunya bertemu dengan
daging lunak yang seolah menyedot tenaga serangannya! Ia
terkejut dan cepat melompat ke belakang lalu kakinya
mencuat dengan tendangannya yang cepat ke arah perut
pemuda itu. Kembali Ki Seng mengelak dengan loncatan ke
samping. Akan tetapi kaki kiri gadis itu bukan hanya
melakukan serangan satu kali saja, melainkan merupakan
tendangan berganda! Begitu luput, kaki itu ditekuk pada lutut
dan sudah menendang lagi, mengikuti ke mana pemuda itu
mengelak. Sampai empat kali kaki itu menyerang bertubi-tubi,
dan yang terakhir kalinya ditangkis oleh tangan yang lunak
namun kuat dari Ki Seng. Mei Ling merasa penasaran bukan main setelah melihat
betapa serangannya yang bertubi-tubi itu semua dapat
dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu. Selama ini belum
pernah ada seorangpun, wanita maupun pria yang mampu
mengalahkannya. Tingkat kepandaiannya sudah hampir dapat
menandingi tingkat kepandaian ayannya! Akan tetapi sekali
ini, serangannya yang bertubi dan dilakukan dengan sungguhsungguh itu semua
dapat dihindarkan pemuda itu dengan baik
dan tampaknya amat mudah! Penasaran membuat ia marah
dan sambil berseru nyaring ia menyerang lagi.
"Hyaaaatttt.....!" Kedua tangannya kini membentuk cakar garuda dan bergerak-
gerak ke depan, menyerang dengan
cakaran dan cengkeraman ke arah bagian tubuh yang
berbahaya dari lawan. Sasaran nya adalah lambung,
tenggorokan, dan muka! Akan tetapi kembali Ki Seng hanya
mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak, dia
sengaja membiarkan Mei Ling menyerang sampai tiga pulu
jurus lebih tanpa membalas satu kalipun juga. Hal ini
membuat gadis itu merasa gemas dan marah. Ia. merasa
dipandang rendah sekali. Maka ketika ada kesempatan, ia
berseru, "Balaslah kalau engkau mampu!"
Ditantang begini, Ki Seng tersenyum dan tiba-tiba
tangannya terjulur ke depan meluncur dengan cepat sekali ke
arah hidung Mei Ling, seolah hendak memegang hidung gadis
itu. Tentu saja Mei Ling cepat mengelak dengan merendahkan
tubuh dan menundukkan kepalanya dan pada saat itu ia
merasa ada sesuatu hinggap di kepalanya. Ketika ia meloncat
ke belakang dan meraba rambutnya, ternyata hiasan
rambutnya yang terbuat dari emas ditabur permata telah
lenyap dari kepalanya. Ketika ia memandang ke arah pemuda
itu, ternyata perhiasan kepala itu telah berada di tangan Ki
Seng! Wajah Mei Ling berubah merah dan tahulah ia bahwa
pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa sehingga
dengan sekali serangan saja sudah dapat mengambil hiasan
rambutnya! Kalau dikehen-daki tentu saja tangan pemuda itu
tidak hanya mengambil hiasan rambut, akan tetapi melakukan
serangan yang akan membahayakan nyawanya. Dengan
dirampasnya hiasan rambut itu berarti ia sudah kalah mutlak
dan hal ini tidak mungkin dapat dibantahnya lagi.
"Maafkan aku, nona Ciang Mei Ling!" kata Ki Seng dengan lirih dan sekali
tangannya bergerak, ada sinar meluncur ke
arah kepala Mei Ling dan tahu-tahu hiasan rambut itu telah
terselip pula di rambutnya tanpa melukainya sedikitpun.
seolah dipasang oleh sebuah tangan yang tidak tampak.
Pada saat itu terdengar suara bentakan halus. "Apa yang
terjadi di sini?" Ki Seng memandang dan dia segera mengenal pria yang
gagah perkasa itu. Dia adalah Pek-eng Pangcu Ciang Hok yang
pernah dijumpainya ketika dia ber-kunjung ke perkampungan
perkumpulan itu bersama mendiang Petani Lai dani Nelayap
Gu. "Eh, orang muda, siapakah engkau?" tanya pula Ciang Hok sambil memandang kepada
Ki Seng. Ki Seng tersenyum ramah, lalu memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan di depan dada. "Apakah saya
berhadapan dengan yang terhormat locianpwe (orang tua
gagah) Ciang Hok ketua Pek-eng-pang?"
Dia pura-pura bertanya dan suaranya terdengar lembut dan
sikapnya sopan. "Benar, orang muda. Aku adalah Ciang Hok ketua Pek-engpang.
Siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat berada
di sini" Apa yang telah terjadi?"
"Maafkan saya, locianpwe. Nama saya Ouw Ki Seng, ketua
Ban-tok-pang." "Apa" Bukankah ketua Ban-tok-pang adalah Ouw Kian dan
wakilnya adalah Ouw Sian kakak beradik itu?"
"Benar, mereka adalah paman-paman saya, locianpwe.
Akan tetapi kedua orang paman itu telah meninggal dunia dan
sayalah yang menggantikan mereka menjadi ketua Ban-tokpang."
"Hemm, begitukah" Lalu apa yang menjadi keperluanmu
datang berkunjung ke sini dan apa yang telah terjadi di sini?"
Dia bertanya dan menoleh untuk memandang kepada
puterinya yang menunduk sambil tersenyum-senyum manja.
"Maaf, Ciang-locianpwe. Ketika saya dan pengikut saya ini, A Kiu, tiba di depan
perkampungan, saya bertemu dengan
Nona Ciang Mei Ling. Nona Ciang mengatakan bahwa untuk
dapat bertemu dengan locianpwe saya harus diuji lebih dulu.
Saya diajak ke sini kemudian saya diuji ilmu silat oleh Noa
Ciang Mei Ling. Harap locianpwe sudi memaafkan karena saya terpaksa
datang ke lian-bu-thia ini."
Ciang Hok mengerutkan alisnya dan memandang puterinya.
"Benarkah itu, Mei Ling" Engkau telah menguji kepandaian
silatnya?" Gadis itu kembali tersenyum lalu mendekati ayahnya dan
memegang lengan ayahnya dengan manja. "Benar, ayah. Aku
pikir, orang sembarangan saja tidak pantas untuk minta
bertemu dengan ayah, maka aku sengaja menguji kepandaian
silatnya." "Dan hasilnya?"
"Aku kalah, ayah."
"Hemmm.......!" Kini Ciang Hok memandang kepada Ki
Seng dengan penuh perhatian. Orang yang dapat
mengalahkan puterinya tidak boleh dipandang ringan karena
tingkat kepandaian puterinya itu sudah mendekati tingkatnya
sendiri. "Ouw-pangcu, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi.
Apakah keperluanmu datang berkunjung ke Pek-eng-pang?"
"Karena saya telah menjadi ketua Ban-tok-pang dan
mengingat bahwa perkumpulan kita sama-sama berada di
wilayah Thai-san, maka saya datang berkunjung untuk
memperkenalkan diri dan mengikat persahabatan."
Ciang Hok mengangguk-angguk dan senang hatinya
mendengar ini. Pemuda ini cukup tampan dan pembawaannya
gagah, juga sopan, ramah dan halus tutur sapanya. Juga
sebagai orang tua dia dapat menarik kesimpulan, melihat
sikap puterinya, bahwa puterinya agaknya tertarik kepada
pemuda yang telah mengalahkannya itu.
"Kalau begitu, silakan masuk, Ouw-pangcu, dan
pengikutmu yang bernama A Kiu itu. Kita bicara di dalam."
"Terima kasih, Ciang-locianpwe." jawab Ki Seng dengan girang. Setelah bertemu
dan berkenalan dengan Ciang Mei
Ling, rencananya berubah sama sekali. Tadinya dia berniat
untuk menguasai Pek-eng-pang pula seperti- dia telah
menguasai Hek-houw-pang, kalau perlu mem bunuh ketuanya.
Akan tetapi setelah bertemu Mei Ling, dia mengubah sama
sekali rencananya itu sehingga diam-diam A Kiu merasa heran
bukan main. Ciang Hok juga dapat menghargai persahabatan dengan
seorang ketua perkumpulan yang amat terkenal seperti Bantok-
pang, walaupun sebenarnya dia merasa agak risi
mengingat bahwa Ban-tok-pang adalah sebuah perkumpulan
sesat yang kabarnya amat kejam dan suka mempergunakan
racun terhadap musuh-musuhnya. Akan tetapi karena sikap
Ouw Ki Seng yang demikian ramah dan sopan, rasa risinya
menjadi hilang dan dia sudah menjamu pemuda itu dengan
sebuah pesta kecil. Yang duduk di sekeliling meja pesta itu
adalah Ciang Hok, isterinya, Ciang Mei Ling, lalu dua orang
tamunya, Ouw Ki Seng dan A Kiu.
Dengan sopan dan sikap yang menyenangkan sekali, Ki
Seng tiga kali mengangkat cawan araknya untuk menghormati
Ciang Hok, lalu isterinya, kemudian Mei Ling. Sikap ini amat
menyenangkan keluarga itu dan mereka segera merasa akrab.
Ciang Hok dan isterinya merasa tertarik sekali, dan suka
kepada pemuda ini. Masih begitu muda menjadi ketua sebuah
perkumpulan besar, dan melihat kenyataan bahwa dia mampu
mengalahkan Mei Ling mudah diduga bahwa dia juga telah
memiliki kepandaian tinggi.
"Ouw-pangcu, kalau boleh aku bertanya, apakah pangcu
sudah berumah tangga?"
Ki Seng tersenyum mendengar pertanyaan ini. "Sama sekali
belum, locianpwe." "Ah, Ouw-pangcu, harap jangan menyebut aku locianpwe.
Setelah kita berkenalan, lebih akrab kalau engkau menyebut
pangcu atau paman saja kepadaku."
"Baiklah, Paman Ciang dan terima kasih atas kehormatan
yang diberikan kepada saya."
"Engkau sudah menjadi ketua sebuah perkumpulan besar
seperti Ban-tok-pang, mengapa belum beristeri?"
"Ah, saya masih terlalu muda, paman, baru berusia dua
puluh satu tahun, juga baru saja menjadi ketua."
"Akan tetapi tentu sudah mempunyai seorang tunangan,
seorang calon isteri." kata Ciang Hok.
Secara otomatis Ki Seng melirik ke arah Mei Ling yang
duduk di depannya di seberang meja dan dia tersenyum, agak
tersipu dan menggeleng kepala. "Juga belum, paman."
Pada saat itu, terdengar bunyi genderang dipukul di luar
gedung tempat tinggal Ketua Ciang.
"Ah, rombongan piauwsu (pengawal kiriman barang) telah
pulang!" kata Ciang Hok dan diapun bangkit dari tempat
duduknya. Mei Ling dan ibunya juga bangkit berdiri dan
mengikuti Ciang Hok keluar. Dengan sendirinya Ki Seng dan A
Kiu juga bangkit berdiri dan mengikutil mereka keluar yang
agaknya hendak menyambut kedatangan para piauwsu yang
baru pulang dari mengawal barang. Biasa nya, para piauwsu
yang kembali dara kota itu membawa barang-barang
belanjaan untuk mereka dari hasil yang mereka peroleh dari
biaya pengawalan barang. Bahkan Nyonya Ciang dan anak
perempuannya memesan beberapa bahan pakaian kepada
pimpinan piauwsu dan sekarang tentu saja dengan girang
mereka menyambut kedatangan rombongan itu untuk
"melihat" pesanan mereka.
Akan tetapi alangkah terkejut hati keluarga Ciang ketika
melihat keadaan belasan orang piauwsu itu. Jumlah piauwsu
yang mengawal kiriman itu berjumlah tujuh belas orang
karena sekali ini barang yang dikawal amat berharga, dan
ketujuh belas orang piauwsu itu rata-rata piauwsu pilihan atau para murid
tingkat pertama yang sudah memiliki ilmu
kepandaian yang lumayan tingginya, rata-rata telah
menguasai ilmu silat Pek-eng Sin-kun dan ilmu pedang Pekeng
Kiam-sut. Akan tetapi mereka kembali tanpa membawa
kereta yang biasa mereka bawa untuk memuat dan menarik
barang kiriman, dan mereka semua dalam keadaan luka-luka!
Bahkan ada tiga orang yang lukanya berat sehingga harus
digotong. "Apa....... apa yang terjadi.....?" Ciang Hok bertanya kepada seorang piauwsu
yang berwajah brewokan dan
bertubuh tinggi. Piauwsu ini adalah kepala dari rombongan
piauwsu yang mengawal barang berharga itu.
"Ah, celaka, pangcu!" kata piauwsu brewok itu dengan muka pucat. Pangkal lengan
kanannya masih dibalut dan ada
bekas darah pada balutan itu. "Kami dihadang perampok di
lereng Bukit Merak. Kami melawan akan tetapi perampok itu
lihai sekali, kami semua terluka dan kereta bersama barangbarang itu dibawa
pergi perampok!" Ciang Hok mengerutkan alisnya. Sudah puluhan kali dia
sendiri mengawal barang lewat Bukit Merak, akan tetapi belum
pernah menghadapi gangguan perampok.
"Berapa orang banyaknya perampok itu?"
"Hanya seorang saja, pangcu."
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ciang Hok terbelalak. "Hanya seorang saja dan kalian tujuh belas orang kalah
olehnya?" teriak Ciang Hok penasaran.
"Siapakah orang itu?"
Ciang Mei Ling yang juga merasa penasaran lalu
menyambung ucapan ayahnya. "Paman, ceritakan sejelasnya
bagaimana terjadinya peristiwa perampokan itu."
Piauwsu brewok itu lalu menghela napas panjang dan
bercerita dengan sikap yang lebih tenang. "Ketika kereta kami tiba di lereng
Bukit Merak, suasananya tenang dan sunyi. Kami
sama sekali tidak menyangka buruk ketika tiba-tiba dari atas
lereng turun seorang wanita yang memakai sebuah payung
merah. Akan tetapi tentu saja kami tertarik sekali karena
penglihatan itu sungguh luar biasa dan aneh. Di tempat yang
sunyi itu tampak seorang wanita muda yang cantik,
berpakaian mewah memakai payung seperti orang sedang
berjalan-jalan saja. Akan tetapi ketika kami berpapasan,
wanita itu sengaja menghadang di tengah jalan sehingga
terpaksa kereta barang kami yang ditarik dua ekor kuda itu
kami hentikan agar jangan menabraknya."
"Hemm, tindakannya itu aneh, apakah kalian tidak
mencurigainya?" tanya Ciang Hok.
"Kami sama sekali tidak curiga, pangcu. Ia hanya seorang
wanita yang tampaknya baru berusia kurang lebih dua puluh
tahun, selain cantik juga pakaiannya menunjukkan bahwa ia
seorang yang kaya raya, dan iapun sama sekali tidak
membawa senjata. Akan tetapi ketika kami bertanya dan
menegurnya supaya menyingkir dan minggir, ia mengatakan
bahwa ia menghendaki kereta barang kita! Tentu saja kami
marah dan timbul pertengkaran, kemudian kami berusaha
menangkapnya karena dari tingkah dan ucapannya jelas
bahwa ia seorang perampok yang hendak merampok kereta
barang yang kami kawal. Akan tetapi, ternyata ia lihai bukan
main. Ia menggunakan sehelai sabuk merah sebagai senjata
dan kami semua tidak mampu menandinginya, bahkan kami
semua dapat ia robohkan dengan menderita luka-luka. Ia lalu
meloncat ke atas kereta, memukul jatuh kusirnya dan ia
mengusiri sendiri kereta itu, melarikannya menuju ke atas
bukit. Kami tidak kuasa mengejarnya, pula kami memang
bukan tandingannya, maka terpaksa kami pulang dan
melaporkan kepada pangcu."
00dewi00 Jilid XVII "APAKAH ia tidak meninggalkan nama?" tanya Ciang Mei Ling penasaran sekali.
"Kami juga meneriakinya agar ia meninggalkan nama dan
ia berseru bahwa namanya Sian Hwa Sian-li (Dewi Bunga
Dewa)." Cang Hok mengerutkan alisnya. "Sian Hwa Sian-li" Hemm,
tak pernah aku mendengar ada tokoh dengan julukan seperti
itu. Ouw-pangcu, apakah engkau pernah mendengar nama
julukan itu?" Tanya Ciang Hok kepada Ki Seng yang sejak tadi hanya mendengarkan
saja. "Belum pernah, Paman Ciang." jawab Ki Seng.
"Julukan itu bukan seperti julukan seorang tokoh sesat,"
kata Mei Ling. "Lebih pantas menjadi julukan seorang pertapa wanita."
"Siapapun adanya wanita itu, ia telah merampok barang
berharga yang menjadi tanggungan kita. Aku harus
mengejarnya ke Bukit Merak sekarang juga!" kata Ciang Hok penuh kemarahan sambil
meraba golok besar yang tergantung
di punggungnya. "Ayah, biar aku saja yang akan mencari dan menghajarnya,
lalu merampas kembali barang tanggungan kita!" kata Mei
Ling dengan sikap gagah. "Ia seorang wanita muda, akulah
lawannya!" "Aku akan menemanimu, Nona Ciang!" kata Ki Seng sambil memandang wajah gadis
itu. Kemudian disambungnya cepat
sambil memandang kepada Ciang Hok. "Paman Ciang, ijinkan
saya membantu untuk merampas kembali kereta barang itu,
sebagai tanda persahabatan antara kita."
Ciang Hok mengangguk-angguk. "Terima kasih atas
bantuanmu, Ouw-pangcu. Akan tetapi karena urusan ini cukup
gawat, aku sendiripun akan pergi mencarinya. Biarlah kita
pergi bertiga, siapa tahu kalau-kalau wanita itu mempunyai
kawan-kawan di sana."
Demikianlah, Ciang Hok, Ciang Mei Ling dan Ouw Ki Seng
berangkat menuju ke Bukit Merak. Mereka bertiga
menunggang kuda dan untuk keperluan itu, Ciang Hok telah
menyediakan tiga ekor kuda terbaik.
oo000oo Karena hari telah menjadi malam, dan cuaca yang gelap
tidak memungkinkan mereka melanjutkan perjalanan, Ciang
Hok mengajak dua orang muda itu untuk berhenti di sebuah
dusun. Dia sudah mengenal baik kepala dusun karena dia
sering melakukan pengawalan barang lewat dusun itu. Kepala
dusun menerima mereka dengan ramah dan selain menjamu
mereka makan malam, juga menyediakan tiba buah kamar
untuk mereka. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang
Hok sudah berpamit dari tuan rumah untuk melanjutkan
perjalanan menuju ke Bukit Merak yang jauhnya dari situ
masih setengah hari perjalanan naik kuda.
Ketika mereka bertiga tiba di kaki Bukit Merak, suasana di
tempat itu sudah sunyi karena jauh dari dusun-dusun. Jalan
raya yang kasar itu memang melewati Bukit Merak, mendaki
lereng bukit itu. Matahari telah naik tinggi ketika mereka
bertiga melarikan kuda mendaki lereng bukit.
Tiba di tempat di mana para piauWsu kemarin dulu
dihadang dan dirampok seperti diterangkan para piauwsu,
Ciang Hok menghentikan kudanya, diturut oleh Mei Ling dan
Ki Seng. Mereka bertiga memandang ke sekeliling yang
tampak sunyi, tidak ada seorangpun di sekitar situ.
"Sunyi sekali di sini, ke mana kita harus mencarinya?" kata Mei Ling.
"Menurut keterangan mereka, kereta barang itu dilarikan
menuju ke puncak bukit. Mari kita kejar ke sana, mungkin
penjahat itu bersembunyi di bagian atas bukit." kata Ciang Hok.
Tiba-tiba Ki Seng berkata, "Lihat, siapa itu yang datang!"
Ayah dan anak itu menoleh kepadanya dan melihat bahwa Ki
Seng menunjuk ke arah belakang dari mana mereka tadi
datang dan mereka berdua terbelalak melihat seorang wanita
berjalan datang. Wanita muda berpakaian mewah dan
berpayung merah! Ciang Hok segera meloncat turun dari atas
kudanya, di kuti oleh Mei Ling dan Ki Seng.
Ki Seng memandang dengan kagum. Gadis itu berusia
kurang lebih dua puluh tahun. Cantik jelita dengan dandanan
yang mewah dan rapi. Rambutnya hitam panjang, digelung
tinggi di atas kepala dan dihias dengan burung Hong dari
emas permata. Telinganya memakai anting-anting yang juga
terbuat dari emas permata. Demikian pula lehernya dihias
kalung dan pada kedua lengan tangannya terhias gelang
emas. Pakaiannya dari sutera halus berkembang. Pinggangnya
yang ramping memakai sabuk merah. Payung yang
dipegangnya juga berwarna merah dan payung itu ujungnya
runcing, gagangnya terbuat dari perak. Ia berjalan
menghampiri dengan ayunan kaki berlenggang seperti langkah
seorang penari yang pandai, berlenggang-lenggok. Pinggang
yang ramping itu seperti patah-patah ke kanan kiri dan
pinggul yang besar itu membuat ayunan ke kanan kiri.
Wajahnya yang cantik menjadi semakin manis karena ia
tersenyum dan sepasang matanya yang tajam itu mengamati
mereka bertiga lalu berhenti pada wajah Ki Seng dan
tersenyum melebar sehingga tampak kilatan giginya yang
putih. Kulitnya putih kuning dan mulus. Sungguh merupakan
seorang gadis yang cantik, bahkan dalam pandangan Ki Seng
kecantikan wanita itu menandingi kecantikan Mei Ling!
Ciang Hok juga tertegun dan agaknya dia merasa agak
rikuh untuk menegur seorang gadis cantik seperti itu. Mei Ling yang tidak ragu
lagi bahwa inilah orangnya yang merampok
kereta barang para piauwsu, segera melangkah maju
menyambut kedatangan gadis berpayung itu. Payung
berwarna merah itu mendatangkan bayang-bayang merah
sehingga wajah gadis itupun menjadi agak kemerahan,
menambah kejelitaannya. "Berhenti dulu!" bentak Mei Ling setelah ia berhadapan dengan gadis berpayung
itu. Gadis itu berhenti melangkah dan
memandang kepada Mei Ling, mengamatinya dari kepala
sampai ke kaki dan tetap tersenyum manis dengan sikap
tenang sekali. "Apa yang kau kehendaki, adik yang manis?" tanyanya, sikapnya mengejek dan
memandang rendah. Mei Ling menudingkan telunjuk kanan nya ke arah muka
gadis itu dan bertanya, "Apakah engkau yang berjuluk Sian Hwa Sian-li?"
Wanita itu tersenyum dan memainkan matanya yang tajam,
kerlingnya menyambar ke arah Ki Seng. "Hemm, matamu
tajam juga, adik yang manis. Memang benar akulah yang
disebut Sian Hwa Sian-li. Dan engkau siapakah?"
"Aku bernama Ciang Mei Ling, puteri dari ketua Pek-engpang.
Benarkah engkau telah merampok dan melarikan kereta
berisi barang-barang yang dikawal oleh para piauwsu Pekeng-
pang dan melukai mereka?"
Wanita itu memutar-mutar payung yang dipanggul di atas
pundak kirinya dan tertawa sehingga deretan giginya tampak
berkilauan. "Kalau benar, engkau mau apa, Ciang Mei Ling?"
Pertanyaan ini diajukan seperti bertanya kepada seorang anak
kecil, nadanya mengejek dan memandang rendah sekali.
"Kembalikan kereta berisi barang-barang itu!" bentak Mei Ling sambil mencabut
pedangnya dan mengelebatkan
pedangnya itu di depan Sian Hwa Sian-li yang masih
tersenyum mengejek. "Hik-hik, ambil ah dariku kalau engkau mampu!"
"Perempuan jahanam, engkau patut dihajar!" bentak Mei Ling yang sudah menjadi
marah sekali dan ia menggerakkan
pedangnya lalu berseru, "Lihat pedangku!" Pedang itu ia gerakkan dengan tusukan
yang meluncur cepat ke arah dada
Sian Hwa Sian-li. "Singgg...!" Pedang itu berdesing seperti anak panah ketika menusuk ke arah
lawan. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li bersikap
tenang saja dari. ia menggerakkan payung yang tadi
dipanggulnya di pundak kiri itu dengan tangan kiri,
menghadang pedang Mei Ling.
"Tranggg.....!" Ujung payung yang runcing itu sudah
menangkis pedang dan Mei Ling merasa betapa tangannya
yang memegang pedang terguncang hebat. Diam-diam ia
terkejut dan maklum bahwa lawannya memiliki tenaga sakti
yang amat kuat. Namun, gadis perkasa ini tidak menjadi
gentar dan ia menyerang lagi dengan gencar dan dahsyat.
Karena maklum bahwa lawannya adalah seorang yang
tangguh maka ia lalu mainkan pedangnya dengan ilmu pedang
Pek-eng Kiam-sut. Pedangnya menyambar-nyambar laksana
seekor garuda menerkam mangsanya.
"Trang-trang-trang.....!" Kembali pedang yang menyerang secara bertubi-tubi itu
tertangkis oleh payung dan tiba-tiba
payung itu menutup lalu ujungnya yang runcing meluncur dan
menusuk ke arah lambung Mei Ling! Dara perkasa ini pun
cepat mengelak dan pedangnya balas menyerang. Terjadilah
saling serang yang hebat, dan payung itu terbuka tertutup
membingungkan Mei Ling. Setiap kali menghadapi serangan
berbahaya, payung itu terbuka dan berubah menjadi semacam
perisai yang kokoh kuat karena tulang-tulangnya terbuat dari
baja murni yang kuat dan kalau digunakan untuk menyerang,
payung itu tertutup dan dalam keadaan tertutup payung itu
dapat digunakan untuk menusuk atau juga memukul.
Setelah lewat lima puluh jurus belum juga ia dapat
mengalahkan Mei Ling yang melakukan perlawanan dengan
gigih walaupun ia sudah dapat mendesaknya, Sian Hwa Sian-li
menjadi penasaran dan tiba-tiba tangan kanannya melolos
sabuk sutera merah dari pinggangnya. Ketika ia
menggerakkan tangan kanan itu, tampak sinar merah
bergulung-gulung seperti kilat menyambar ke arah kepala Mei
Ling! Dara ini cepat menggerakkan pedangnya ke atas untuk
menangkis dan sekaligus memutuskan sabuk sutera merah itu.
Akan tetapi ujung sabuk sutera merah itu, seperti seekor ular
saja, telah menggulung dan membelit ujung pedang sehingga
pedang Mei Ling tidak dapat ditarik kembali. Pada saat itu,
payung itu tertutup dan meluncur ke arah dada Mei Ling
dengan cepat sekali. Mei Ling terkejut. Tak mungkin menangkis karena
pedangnya masih tertahan oleh belitan sabuk. Maka ia
menarik pedang dengan tenaga sepenuhnya sambil
menambah tenaga dengan berat badannya yang ditarik
condong ke belakang untuk mengelakkan tusukan payung.
Pada saat itu, secara tiba-tiba Sian Hwa Sian-li melepaskan
libatan sabuknya dan tidak dapat dicegah lagi, tubuh Mei Ling
terjengkang ke belakang dengan kerasnya, terdorong oleh
tenaga tarikan dan berat badannya sendiri.
Untung bahwa Mei Ling telah memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang tinggi dan memiliki ketenangan. Ia
masih dapat mematahkan tenaga dorongan itu dengan cara
melompat ke belakang membuat pok-sai (salto) sampai tiga
kali sebelum kakinya hinggap di atas tanah, walaupun dalam
keadaan terhuyung-huyung. Wajahnya berubah kemerahan.
Nyaris ia terancam maut di ujung payung lawan.
"Mundurlah, Mei Ling!" kata Ciang Hok yang sudah
mencabut golok besarnya dan dia melompat ke depan
menghadapi gadis berpayung yang kini tersenyum-senyum
mengejek itu. Melihat ayahnya maju, dan merasa bahwa ia
tidak mampu menandingi lawan, Mei Ling mundur ke dekat Ki
Seng yang hanya berdiri menonton.
"Sian Hwa Sian-li, kami tidak ingin bermusuhan denganmu.
Kami datang dan minta dengan baik-baik agar barang dalam
kereta dikembalikan kepada kami. Barang-barang itu bukan
milik kami, hanya menjadi tanggung jawab kami sebagai
piauwsu yang mengawal barang itu. Harap engkau suka
memandang persahabatan di dunia kang-ouw dan
mengembalikan barang-barang itu kepada kami."
Pada saat itu Sian Hwa Sian-li melihat Ki Seng dan segera
perhatiannya tertuju kepada pemuda yang tampan dan tinggi
tegap itu. Senyumnya melebar sehingga deretan giginya yang
putih mengkilap dan matanya mengerling tajam. Ia seolah
tidak mendengar ucapan Ciang Hok karena perhatiannya
tertuju kepada Ki Seng. Melihat wanita cantik itu hanya senyum-senyum dan
melirik-lirik kepada Ouw Ki Seng, Ciang Hok mengerutkan
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alisnya dan bertanya lagi dengan suara nyaring. "Sian Hwa Sian-li, jawablah
ucapanku!" "Eh..... oh......apa" Apa yang kauucapkan tadi?" tanya Sian Hwa Sian-li sambil
memandang ketua Pek-eng-pang itu.
Ki Seng yang sejak tadi memperhatikan wanita itu diamdiam
merasa geli, juga merasa senang hatinya. Dia telah
tertarik sekali kepada Sian Hwa Sian-li sejak pertama kali
melihatnya. Sungguh seorang wanita yang amat cantik, juga
memiliki mata dan mulut yang menggairahkan dan
menggemaskan. Apa lagi dia melihat bahwa wanita itu
bermain mata dan tersenyum-senyum manis kepadanya!
Biarpun selama ini Ki Seng belum pernah bergaul dengan
wanita, bahkan tidak pernah memperhatikan wanita dan untuk
pertama kalinya hatinya tertarik adalah ketika bertemu Ciang
Mei Ling, akan tetapi dia dapat merasakan bahwa Sian Hwa
Sian-li menaruh hati dan suka kepadanya.
"Kukatakan tadi kepadamu agar engkau suka
mengembalikan barang-barang dan kereta yang kaurampas
dari tangan para anak buah kami. Aku tidak ingin bermusuhan
denganmu dan kalau engkau mengembalikan kereta dan
isinya kepadaku, kita habiskan perkara antara kita sampai di
sini saja." kata pula Ciang Hok.
Sian Hwa Sian-li yang sudah membuka payungnya dan
memanggul payung itu di pundak kiri dengan tangan kirinya,
memutar-mutar payung itu dan tersenyum. "Agaknya engkau
ini yang menjadi ketua Pek-eng-pang, Benarkah?" tanyanya.
"Benar, aku adalah Ciang Hok, pangcu (ketua) dari Pekeng-
pang. Kami harap sekali lagi agar engkau mengembalikan
kereta dengan isinya kepada kami."
Kembali Sian Hwa Sian-li memutar-mutar payung di atas
pundaknya dan ia pun berkata dengan suaranya yang merdu
dan lantang. "Pangcu, aku telah merampas kereta dan isinya menggunakan
kepandaian, karena itu kalau mampu,
pergunakanlah kepandaianmu untuk merampasnya dariku.
Kalau engkau dapat mengalahkan aku, kereta dan isinya itu
boleh kau ambil kembali dan tidak ada satupun dari isinya
yang berkurang." "Engkau adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian
tinggi. Apakah dengan perbuatanmu ini engkau ingin disebut
sebagai seorang perampok?" kata pula Ciang Hok penasaran.
Dia ingin agar wanita itu menjadi malu dan mengembali kan
barangnya tanpa harus bertanding karena tadi dia melihat
betapa lihainya wanita itu ketika bertanding melawan Mei Ling
dan dia sendiri sangsi apakah dia akan mampu mengalahkan
wanita berpayung itu. Mendengar ucapan Ciang Hok itu, Sian Hwa Sian-li tertawa.
Ketika mulutnya terbuka karena tawa itu, Ki Seng yang sejak
tadi mengikuti setiap gerakgeriknya,
melihat di antara deretan gigi putih itu tampak
lidah yang ujungnya merah dan rongga mulut yang lebih
merah lagi. Selama ini belum pernah dia memperhatikan
penglihatan seperti ini dan jantungnya berdebar. Wanita ini
sungguh cantik luar biasa dan memiliki daya tarik yang amat
kuat, pikirnya. Tampaknya sebaya dengan Mei Ling, tidak lebih
dari dua puluhan tahun usianya, walaupun Ki Seng dapat
menduga bahwa wanita itu tentu lebih tua dari tampaknya,
melihat sikap dan gerak-geriknya yang matang dan terkendali.
"Heh-heh-hi-hik! Ciang-pangcu, aku bukan seorang
perampok murahan! Akan tetapi sekarang aku adalah
penguasa Bukit Merak, oleh karena itu, siapapun juga yang
lewat di jalan melalui Bukit Merak ini, harus mendapat ijin
dariku. Akan tetapi para piauwsu anak buahmu tidak mau
menghormati aku dan mengakui kekuasaanku. Oleh karena itu
aku tahan kereta mereka dan semua isinya, hendak kulihat
kalian dapat berbuat apa!"
"Hemm, begitukah, Sian Hwa Sian-li" Kalau begitu, biarlah sekarang aku yang
menyatakan hormatku kepadamu dan aku
yang mintakan ijin untuk mereka. Lain kali kalau mereka
mengawal barang lewat di tempat ini akan kupesan mereka
agar menghadapmu untuk menyampaikan hormat mereka."
"Tidak semudah itu, Ciang-pangcu. Aku sudah merasa
tersinggung, dan aku katakan tadi, aku merampas kereta itu
menggunakan kepandaian. Karena itu, seperti kebiasaan dunia
kang-ouw, engkau pun harus mempergunakan kepandaianmu
kalau ingin mendapatkannya kembali!" Dalam ucapan yang
dikeluarkan dengan suara halus merdu itu terkandung
tantangan! "Bagus! Kalau begitu terpaksa aku harus mempergunakan
kekerasan seperti yang kau kehendaki, Sian Hwa Sian-li!" kata Ciang Hok dengan
muka berubah merah dan tangan kanannya
sudah mencabut sebatang golok besar yang tadi tergantung di
pinggangnya. Sian Hwa Sian-li juga maklum bahwa lawannya sekali ini
tentu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi
dibandingkan Mei Ling, maka iapun sudah menggerakkan
tangan kanannya untuk melolos sabuk merah yang tadi sudah
dikenakan kembali melingkari pinggangnya yang amat
ramping itu. Sambil memutar-mutar payung di pundak kirinya
dan menggantungkan sabuk merah di tangan kanan, Sian Hwa
Sian-li melangkah maju menghampiri Ciang Hok.
"Perlihatkan kemampuanmu, Ciang-pangcu!" katanya dan kembali matanya mengerling
ke arah Ki Seng disertai senyuman memikat. "Sian Hwa Sian-li, lihat serangan golokku!" Ciang Hok membentak dan dia pun
segera menggerakkan goloknya
menyerang dengan jurus Tiong-sin-hian-in (Menteri Setia
Persembahkan Cap Kebesaran). Golok menyambar ke depan
dan tangan kiri juga membantu tangan kanan memegang
gagang golok sehingga tusukan itu dilakukan dengan
pengerahan tenaga kedua tangan. Golok meluncur dengan
amat cepat dan kuatnya. Akan tetapi dengan gerakan tubuh
yang ringan sekali. Sian Hwa Sian-li telah mengelak ke samping sambil
memutar payungnya yang menyambar ke depan untuk
menghalau golok lawan, kemudian dari samping, sabuk
merahnya menyambar dan menotok ke arah pelipis kiri Ciang
Hok. Serangan balasan inipun cepat dan berbahaya sekali
karena kalau ujung sabuk merah itu sampai mengenai sasaran
di pelipis, dapat merenggut nyawa lawan!
Ciang Hok maklum akan datangnya se rangan maut, maka
diapun sudah melangkah mundur dan menarik goloknya lalu
memutar tubuh dengan jurus Sin-eng-hoan-sin (Garuda Sakti
Memutar Badan). Tubuhnya berputar satu kali dan tiba-tiba
goloknya mencuat dan menyambar ke arah leher lawan!
Sian Hwa Sian-li memutar pergelangan tangan kirinya dan
payungnya yang masih terbuka itu menangkis golok. Tak
dapat dicegah lagi golok beradu dengan ujung payung, keras
sekali. "Tranggg.......!" Bunga api berpijar dan Ciang Hok merasa betapa tangannya
tergetar hebat dan cepat dia menarik
goloknya agar tidak sampai terlepas dari pegangannya.
Tahulah dia bahwa wanita cantik itu memiliki tenaga sin-kang
yang luar biasa kuatnya. Diapun cepat memutar goloknya dan
memainkan ilmu golok Pek-eng To-hoat (Ilmu Golok Garuda
Putih) yang merupakan ilmu andalan Pek-Eng-pang. Goloknya
berubah menjadi gulungan sinar putih dan mengeluarkan
suara berdesingan. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li menghadapi gulungan sinar
golok ini dengan tenang saja. Ia menggerakkan payungnya
sehingga tertutup dan kini ia mainkan payung yang tertutup
itu sebagai sebatang pedang, mengimbangi putaran golok
lawan, sedangkan sabuk merahnya siap untuk melakukan
serangan selingan. Terjadilah pertandingan yang seru. Akan
tetapi setelah pertandingan berlangsung tiga puluh jurus, Ki
Seng melihat dengan jelas betapa Ciang Hok akan kalah.
Goloknya kini hanya bergerak untuk mempertahankan diri saja
dari desakan sepasang senjata yang amat lihai dari lawan.
"Haaai i i tttt........ singgg.....!!" Golok menyamoar dahsyat karena dalam
keadaan terdesak itu, Ciang Hok yang merasa
penasaran mengerahkan seluruh tenaganya dan membalas
serangan bertubi lawan dengan bacokan golok dalam jurus
Pek-ho-to-coa (Bangau Putih Sambar Ular). Bacokan itu hebat
sekali, menyambar dari atas ke bawah ke arah leher lawan.
Seperti tadi ketika mengalahkan Mei Ling, sabuk merah
Sian Hwa Sian-li meluncur dan menyambut golok itu, ujungnya
melilit bagaikan ular dan golok itu tertahan di udara. Pada saat mereka
bersitegang saling tarik, payung itu menyambar ke
bawah. Dua kali payung itu me-notok ke arah lutut Ciang Hok
dan ketua Pek-eng-pang ini tidak mampu mengelak. Kedua
lututnya tersentuh ujung payung dan diapun jatuh berlutut!
Kini payung itu meluncur dan menyambar ke arah kepala.
Akan tetapi tiba-tiba payung itu bertemu dengan sebuah
lengan yang amat kuat sehingga payung itu terpental kembali.
Sian Hwa Sian-li terkejut dan cepat melompat kebelakang
sambil menarik sabuk merahnya. Ketika dengan kaget dan
heran ia memandang, ternyata yang menangkis payungnya
tadi adalah pemuda yang sejak tadi telah amat menarik
perhatiannya. Pemuda yang tampan gagah dan sikapnya
tenang sekali itu. Sementara itu, Mei Ling segera membantu
ayahnya untuk bangkit dan Ciang Hok mengundurkan diri
sambil terpincang-pincang. Untung wanita itu tidak
mempergunakan seluruh Lenaganya ketika menotok dengan
ujung payungnya tadi sehingga tulang lututnya tidak patah
dan tidak ada otot yang putus.
Kini Ki Seng berhadapan dengan Sian Hwa Sian-li. Sejenak
kedua orang itu hanya saling pandang. Keduanya tersenyum
karena dari tatapan mata keduanya jelas sekali memancarkan
kekaguman. Senyum Sian Hwa Sian-li manis sekali karena
wanita ini menjadi semakin kagum. Kalau tadi ia hanya kagum
melihat ketampanan dan kegagahan sikap Ki Seng, kini
kekagumannya meningkat melihat betapa pemuda itu sanggup
menangkis payungnya dengan lengan dan membuat
payungnya terpental. Hal ini hanya berarti bahwa pemuda itu
memiliki tenaga yang kuat sekali.
"Sian Hwa Sian-li, tidak ada gunanya engkau mendesak
orang yang sudah kalah. Kalau hendak bertanding, akulah
lawanmu!" kata Ki Seng dengan suaranya yang lembut dan
sikapnya yang halus, matanya menggerayangi tubuh wanita
itu dari kepala sampai ke kaki. Melihat ini, Sian Hwa Sian-li
memperlebar senyumnya dan sebelum mengeluarkan katakata,
lebih dulu ia menjilat bibirnya dengan lidahnya yang
merah. "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan apa
hubunganmu dengan Pek-eng-pang maka engkau mencampuri
urus-anku dengan mereka?" suaranya seperti orang
bernyanyi. "Aku bernama Ouw Ki Seng, ketua Ban-tok-pang yang
berada di Puncak Bi-ruang di Thai-san."
"Ahh! Kiranya ketua Ban-tok-pang yang telah terkenal di
seluruh dunia kang-ouw! Dan mengapakah Ban-tok Pangcu
mencampuri urusanku dengan Pek-Eng-pang?"
"Ketahuilah, Sian Hwa Sian-li. Pada saat ini aku menjadi
tamu dari Pek-eng-pang. Di antara kedua perkumpulan itu
terdapat hubungan persahabatan. Karena itu, sebagai sahabat
Pek-eng-pang, aku tidak dapat melepas tangan begitu saja.
Kuharap engkau suka memandang aku sebagai ketua Ban-tokpang
untuk mengembalikan kereta berikut isinya kepada
Ciang-pangcu yang tidak ingin bermusuhan denganmu."
Sian Hwa Sian-li tersenyum manis. "Sebetulnya, setelah
Pek-eng Pangcu dan puterinya tidak dapat mengalahkan aku,
maka kereta berikut isinya itu sudah mutlak menjadi hak dan
milikku. Akan tetapi karena Ouw-pangcu dari Ban-tok-pang
yang memintakannya, baiklah aku akan menurut omonganmu,
akan tetapi dengan dua syarat. Kalau kedua syarat itu tidak
dipenuhi, sampai bagaimanapun uga aku tidak akan
mengembalikan kereta dan barang-barang itu."
"Katakan, apa kedua syarat itu?" tanya Ki Seng sambil menatap wajal cantik itu
sambil tersenyum. "Pertama, engkau harus mampu menandingiku aku selama
seratus jurus" tantang wanita itu sambil memutar pa yungnya di belakang
pundaknya. Ki Seng mengangguk. "Aku sanggul melakukan hal itu.
Asalkan engkau tidak mempergunakan tangan kejam, kiranya
aku akan mampu bertahan melayanimu sampai seratus jurus.
Apa syaratnya yang kedua?"
"Syarat ke dua tidak sukar untuk engkau lakukan. Kalau
engkau sudah mampi menandingi aku sampai seratus jurus,
aku akan mengembalikan kereta beserta seluruh isinya. Akan
tetapi tidak ada orang lain yang boleh pergi bersamaku ke
puncak Bukit Merak untuk mengambilnya kecuali engkau,
Ouw-pangcu. Engkau harus mengambilnya dari puncak dai
berdiam di sana sebagai tamuku selama tiga hari.
Bagaimana?" Mendengar syarat yang ke dua itu Ouw Ki Seng tersenyum
dan jantungnya berdebar aneh. Sedangkan Ciang Hok dan Mei
Ling, terutama gadis itu, mengerutkan alisnya dan
menganggap usul itu tidak tahu malu! Seorang wanita
mengundang seorang pemuda menjadi tamunya selama tiga
hari! Akan tetapi karena mereka sudah kalah, pula karena
mereka mengharapkan dikembalikannya kereta beserta semua
isinya, mereka hanya mengerutkan alis dan tidak dapat
memberi komentar apapun. "Bagaimana, Ouw-pangcu" Kalau engkau tidak bersedia
memenuhi kedua syaratku itu, lebih baik engkau pergi saja
bersama Ciang-pangcu dan jangan mengganggu aku lebih
lama lagi!" "Syaratmu yang kedua cukup pantas. Aku sanggup
melaksanakannya!" kata Ouw Ki Seng yang merasa suka sekali kepada wanita cantik
dan aneh itu. Wanita seperti itu lebih
baik menjadi kawan daripada menjadi lawan, dan akan
menjadi seorang pembantu yang baik dan menyenangkan.
Wajah yang cantik itu berseri dan kerling matanya semakin
tajam ke arah wajah Ki Seng. "Bagus, kalau begitu mari kita mulai bertanding.
Ingin sekali kuke tahui sampai di mana
kemampuanmu!" Setelah berkata demikian, Sian Hwa Sian-li
memutar payungnya dan melambai-lambaikan ujung sabuk
merahnya. Akar tetapi Ki Seng hanya berdiri tegak menanti
saja sambil mengikuti gerak-gerik wanita itu. Melihat betapa Ki Seng tidak
segera mengeluarkan senjatanya, Siar Hwa Sian-li
berkata sambil menghentikan putaran payungnya.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ouw-pangcu, harap segera keluarkan senjatamu!"
Ki Seng tersenyum. "Kita bukan musuh dan tidak sedang
bertanding untuk saling membunuh, mengapa menggunakan
senjata" Pula, aku tidak mempunyai senjata apapun, dan aku
akan menghadapimu dengan kaki tangan kosong saja."
Biarpun ucapan Ki Seng ini halus dan tidak dimaksudkan
untuk menghina, akan tetapi wajah Sian Hwa Sian-li menjadi
kemerahan dan ia merasa dipandang rendah! Pemuda itu akan
menghadapi payung dan sabuk merahnya dengan tangan
kosong" Kalau saja ia tidak sudah terlanjur tertarik hatinya
oleh wajah dan sikap pemuda itu, tentu ia akan
menyerangnya dengan serangan maut. Akan tetapi, ia
menekan rasa penasaran di hatinya, lalu menancapkan ujung
payungnya yang sudah tertutup itu ke atas tanah.
"Baiklah, aku akan menggunakan sabukku ini saja agar
jangan sampai melukaimu terlalu parah. Nah, lihat seranganku!"
Tiba-tiba ujung sabuk sutera merah itu meluncur cepat
dan sudah menotok ke arah jalan darah di pundak kiri Ki
Seng. Serangan itu tampaknya saja ringan, akan tetapi
sesungguhnya hebat sekali. Sabuk yang digerakkan dengan
saluran tenaga sakti itu ujungnya menjadi keras dan kuat dan
meluncur untuk menotok jalan darah Kin-ceng-hiat-to di
pundak kiri. Kalau jalan darah Jni terkena dengan tepat, tubuh bagian kiri dari
pemuda itu akan menjadi lumpuh sejenak.
Akan tetapi, Ki Seng juga maklum akan lihainya serangan
ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan pengerahan
ilmu kekebalannya, dia akan mampu menerima totokan ini
tanpa terpengaruh. Akan tetapi dia memperlihatkan kelincahannya dan cepat
sekali tubuhnya bergerak, berkelebat dan dia sudah mengelak
sehingga sambaran ujung sabuk merah itu luput.
"Bagus!" Sian Hwa Sian-li memuji melihat gerakan yang amat cepat dari Ki Seng.
Ia lalu mempergunakan seluruh
kecepatan gerakannya dan seluruh tenaga saktinya untuk
mengirim serangan beruntun. Sabuknya lenyap bentuknya,
berubah menjadi gulungan sinar merah yang indah dan
panjang, berputar-putar dan bergulung-gulung mengejar ke
arah Ki Seng, kemanapun tubuh itu bergerak!
Kegembiraan Sian Hwa Sian-li menjadi-jadi ketika Ki Seng
dapat menghindarkan serangannya yang dilakukan bertubitubi
itu. Belasan jurus sudah ia menyerang dengan cepat
sekali, namun semua serangannya itu kalau tidak dielakkan,
tentu ditangkis oleh Ki Seng dan gagal mengenai tubuhnya.
Bukan main kagum dan gembiranya hati Sian Hwa Sian-li. Ia
semakin tergila-gila kepada pemuda itu yang bukan saja
tampan dan gagah, akan tetapi juga ternyata memiliki
Kepandaian yang amat hebat pula.
Setalah menghindar terus sampai dua puluh jurus, mulailah
dia membalas dengan tamparan dan tendangan yang semua
ditujukan ke daerah tubuh yang tidak berbahaya seperti
pundak, pangkal lengan, pinggul dan paha. Dan serangan
balasannya itu ternyata membuat Sian Hwa Sian-li repot sekali
untuk mengelak. Terjadi keanehan dalam hati Ki Seng.
Sebelum ini, kalau berhadapan dengan lawan, dia selalu
menurunkan tangan kejam dan dengan hati dingin dia akan
membunuh lawannya. Akan tetapi sekali ini, berhadapan
dengan Sian Hwa Sian-li, dia bukan saja tidak mau membunuh
atau melukainya, bahkan timbul keinginannya untuk
menggoda. Setiap kali tamparan atau totokannya akan
mengenai tubuh lawan, begitu jarinya menyentuh kulit, dia
tidak jadi menampar atau menotok, melainkan mengelus dan
membelai! Akan tetapi gerakannya demikian cepat sehingga
Ciang Hok dan Ciang Mei Ling yang menonton pertandingan
itu tidak melihatnya. Tentu saja Sian Hwa Sian-li
merasakannya dan wanita ini menjadi girang bukan main.
Pemuda ini ternyata bahkan melebihi apa yang diharapkan
dan disangkanya. Lihai bukan main sehingga dengan tangan
kosong tidak hanya mampu menandinginya, bahkan agaknya
kalau dikehendaki, dengan mudah mampu merobohkan-nya!
Lebih gembira lagi hatinya melihati kenyataan betapa Ki Seng
tidak ingin melukai atau merobohkannya, bahkan meng-elus
dan membelai! Bagi Ciang Hok dan Ciang Mei Lina yang menjadi penonton,
pertandingan itu berjalan seru bukan main, juga amat
indahnya. Gulungan sinar kemerahan dari sabuk sutera merah
itu membentuk lingkaran lebar dan dua bayangan itu seperti
berkelebatan dan menari-nari di dalam lingkaran itu. Gerakan
kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat mereka ikuti dengan
pandang mata. Sian Hwa Sian-li merasa senang bukan main. Ia adalah
seorang wanita petualang yang sudah malang melintang di
dunia kang-ouw selama bertahun-tahun, bukan saja
bertualang dalam pertandingan silat melawan siapa saja yang
dianggap pantas menjadi lawannya. Akan tetapi juga
bertualang dalam mengumbar cinta berahi. Ia seorang wanita
yang mata keranjang. Oleh karena itu, bertemu dengan Ki
Seng, ia segera tergila-gila dan jatuh cinta. Apalagi setelah
mendapat kenyataan bahwa Ki Seng memiliki ilmu kepandaian
yang lebih tinggi daripadanya dan ternyata pemuda itu tidak
mau mengalahkannya, hanya menggoda dan mengelus dan
menowel. Akan tetapi dari elusan dan belaian yang kaku itu
iapun mengetahui bahwa Ki Seng adalah seorang pemuda
yang tidak biasa bergaul dengan wanita. Hal ini bahkan
menambah kegembiraan hatinya.
Untuk lebih dalam menguji kepandaian pemuda yang luar
biasa itu, tiba-tiba Sian Hwa Sian-li melompat dan menyambar
payung yang tadi ditancapkan di atas tanah. Kemudian
secepat kilat ia menyerang Ki Seng dengan payung dan sabuk
merahnya! Melihat kini wanita itu menggunakan dua macam
senjatanya yang li-hay, Mei Ling merasa khawatir sekali. Akan
tetapi Ciang Hok yang merasa bahwa pertandingan itu tentu
sudah lebih dari seratus jurus, berseru.
"Sian Hwa Sian-li, seratus jurus sudah lama terlewat,
berarti engkau telah kalah!"
Akan tetapi, wanita itu tidak menjawab bahkan menyerang
Ki Seng dengan lebih dahsyat lagi. Diserang menggunakan
ilma senjata yang ampuh itu, Ki Seng merasa bahwa kalau dia
tidak turun tangan mengalahkan, tentu dapat berbahaya juga
bagi dirinya. Maka, tiba-tiba tangan kirinya meraih dan
menangkap ujung payung, kemudian tangan kanannya
secepat kilat menotok dengan It-yang-ci! Demikian cepat
gerakannya sehingga sebelum Sian Hwa Sian-li dapat
mengelak, tahu-lahu jalan darah di pundaknya telah tertotok
dan seketika tubuhnya menjadi kaku tak dapat digerakkan.
Tentu saja Sian Hwa Sian-li menjadi terkejut sekali, akan
tetapi ia merasa betapa jari-jari tangan pemuda itu mengelus
dan menekan pundaknya dan iapun dapat bergerak kembali!
Tahulah ia bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali dan
kalau dikehendakinya, ia tentu sudah roboh sedari tadi. Maka
iapun cepat melompat kebelakang, melibatkan sabuk sutera
merahnya ke pinggang, dan memanggul payungnya yang
sudah terbuka kembali. Ia tersenyum ke arah Ciang Hok dan
membungkuk ke arah Ki Seng.
"Aku mengaku kalah, Ouw-pango, Engkau telah mampu
menandingi aku selama seratus jurus. Sekarang tinggi syarat
ke dua. Engkau harus pergi bersamaku untuk mengambil
kereta dan semua isinya, dan menjadi tamu kehormatanku
selama tiga hari tiga malam!"
Ki Seng menghadapi Ciang Hok dan Ciang Mei Ling, lalu
berkata, "dan Pangcu, harap suka menanti sampai tiga hari lamanya. Saya akan
membawa kereta berikut isinya kembali
kepadamu!" Ciang Hok merasa girang sekali melihat pemuda itu telah
mampu menandingi Sian Hwa Sian-li yang lihai selama seratus
jurus dan mendapat janji bahwa kereta berikut isinya yang
dirampas Wanita itu akan dikembalikan kepadanya. Akan
tetapi dia juga merasa tidak enak karena pemuda itu harus
pergi bersama wanita berbahaya itu selama tiga hari. seolahTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ olah usaha mendapatkan kereta kembali itu hanya dipikul oleh
Ouw Ki Seng seorang dan dia tinggal enak-enakan saja
menanti hasilnya di rumah!
"Kami sungguh telah membikin repot Ouw-pangcu,"
katanya sambil memberi hormat dengan mengangkat kedua
tangan didepan dada. "Ah, tidak mengapa, locianpwe. Bukankah di antara kita
telah terjalin persahabatan" Sudah menjadi kewajiban searang
laki-laki untuk menolong sahabatnya. Selamat tinggal,
locianpwe, dan selamat tinggal, nona Ciang Mei Ling, aku
harus ikut pergi bersama Sian Hwa Sian-li." katanya sambil memberi hormat yang
dibalas oleh Ciang Hok dan puterinya.
Kemudian dia menoleh kepada wanita berpayung itu dan
berkata, "Marilah, Sian Hwa Sian-li, kita pergi mengambil kereta itu."
Sian Hwa Sian-li tersenyum dan memutar payungnya.
"Mari, Ouw-pangcu."
Setelah berkata demikian, ia memuta dengan gerakan
seperti seorang penari membelakangi Ciang Hok dan Mei Ling
kemudian dengan langkah gontai ia berjalan pergi.
Lenggangnya lemah-gemulai dan karena pinggangnya amat
kecil dan ramping, maka pinggulnya tampak besar
membusung dan ketika ia melangkah pinggulnya bergoyanggoyang
seperti menari-nari. Akan tetapi gerakan langkah
kakinya amat cepat dan tubuhnya meluncur cepat ke depan,
di kuti Ki Seng yan berjalan di sampingnya.
Ciang Mei Ling berdiri bengong, memandang ke arah tubuh
belakang Sia Hwa Sian-li dan alisnya berkerut, wajahnya
tampak muram. Ciang. Hok melihat keadaan puterinya ini dan
dia berkata "Kenapakah, Mei Ling" Engkau kelihatan seperti orang yang murung.
Bukanka Ouw-pangcu sedang mengambil
kembal kereta kita?"
"Ayah, aku mengkhawatirkan Ouw pangcu. Wanita itu
sungguh berbahaya sekali, seperti seekor ular berbisa yang
cantik." "Aah, apa yang dapat ia lakukan terhadap Ouw-pangcu"
Tadi jelas bahwa ia telah mengaku kalah. Aku yakin Ouwpangcu
akan berhasil membawa kereta Kita." Dia lalu
memegang tangan puterinya. "Hayo kita kembali, pulang!"
Ciang Mei Ling mengikuti ayahnya. Akan tetapi yang ia
khawatirkan bukan seperti yang disangka ayahnya. Naluri
Kewanitaannya membisikkannya bahwa wanita itu amat
berbahaya bukan karena ilmu silatnya, melainkan karena
kecantikan dan kegenitannya. Ia khawatir apakah Ki Seng
akan mampu dan kuat mempertahankan diri terhadap rayuan
wanita yang seperti siluman itu. Dan ia cemas. Hatinya sudah
terpikat oleh ketua Ban-tok-pang yang muda itu semenjak ia
dikalahkan olehnya. Apalagi mendengar pengakuan Ouw Ki
Seng bahwa dia belum menikah dan belum bertunangan.
Diam-diam ia mengharapkan untuk dapat menjadi jodoh ketua
yang menarik hatinya itu.
Sian Hwa Sian-li kini tidak berjalan biasa lagi, melainkan
berlari dengan cepat sekali mendaki bukit. Kiranya ie telah
mengerahkan seluruh gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan
berlari cepat sekali biarpun ia masih memakai payungnya,
Tubuhnya meluncur bagaikan larinya seekor kijang muda. Ia
sengaja mengerahkan seluruh tenaganya untuk menguji
kemampuan Ki Seng. Akan tetapi, betapa kagum dan girang
hatinya melihat pemuda itu tetap dapat berlari di sampingnya
dan dapat mengimbangi kecepatannya. Seorang pemuda
pilihan yang jarang terdapat, pikirnya.
Ki Seng sendiri menanti perkembangan apa yang akan
dialaminya dengan wanita itu. Hatinya berdebar tegang. Akar
tetapi diapun tidak mengurangi kewaspadaan karena dia
maklum bahwa wanita ini selain lihai, juga cerdik dan
berbahaya sekali, di samping menggairahkan dan menarik
Jerat Peri Kembangan 1 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Aneh Dari Kanglam 6
bermaksud untuk membasmi cabang Pek-lian kauw karena
biarpun tadinya mereka berdua tidak ada permusuhan dengan
Pek lian-kauw, namun perkumpulan itu telah membantu
Thian-te Sam-ok untuk memusuhi mereka, bahkan menjebak
mereka dengan tempat-tempat jebakan mereka.
Karena Eng-ji dan Han Lin mempergunakan ilmu berlari
cepat, sebentar saja mereka sudah tiba di depan pintu
gerbang pagar dinding perkumpulan itu. Akan tetapi di sana
tampak sepi saja tidak tampak seorangpun.
"Hemm, agaknya mereka sudah meninggalkan
perkampungan, seperti yang kuduga, Lin-ko." kata Eng-ji
penasaran. Mereka memasuki perkampungan dan benar saja.
Perkampungan itu kosong, tidak tampak seorang pun
manusia. Agaknya dua orang pimpinan cabang Pek-lian-kauw
itu sudah mengetahui betapa Thian-te Sam-ok telah kalah dan
melarikan diri. Karena menduga bahwa para pemuda yang
sakti itu tentu akan membuat perhitungan dengan mereka,
maka mereka sudah cepat-cepat mengosongkan
perkampungan dan melarikan diri.
Setelah melihat bahwa perkampungan itu benar-benar
telah kosong ditinggalkan penghuninya, Eng-ji lalu membakar
semua rumah yang berada di situ! Api mengamuk, berkobar
menelan habis semua benda yang berada di situ. Puaslah hati
Eng-ji melihat api berkobar membasmi bekas sarang cabang
Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi setelah melihat api berkobar
besar, Han Lin yang teringat kepada Kiok Hwa lalu
mengajaknya kembali ke kuburan ibunya.
"Mari kita tinggalkan, tempat ini, Eng-ji. Kembali ke
kuburan ibuku." Eng-ji mengerutkan alisnya. Hatinya panas membayangkan
bahwa Han Lin tergesa-gesa karena ingin segera berkumpul
kembali dengan Kiok Hwa. Akan tetapi dia tidak membantah
dan mereka berdua lalu meninggalkan perkampungan yang
telah menjadi lautan api itu dan kembali ke tempat di mana
jenazah Chai Li dikubur dan di mana Kiok Hwa menanti
mereka. Akan tetapi ketika tiba di tempat itu, mereka tidak
menemukan Kiok Hwa! Han Lin terkejut dan bingung, mencari
sana-sini dan memanggil-manggil nama Kiok Hwa. Akan tetapi
Eng-ji diam-diam maklum bahwa Kiok Hwa telah pergi.
Ternyata Kiok Hwa melakukan apa yang pernah dikatakan
kepadanya bahwa Eng-ji lebih cocok dengan Han Lin dan
gadis baju putih itu telah mengalah dan diam-diam pergi
meninggalkan mereka berdua. Dia merasa terharu sekali dan
duduk bertopang dagu di dekat gundukan tanah kuburan.
Han Lin kembali dari mencari-cari dan menghampiri Eng-ji.
"Ia tidak ada. Ah, ke mana perginya dan mengapa ia pergi
tanpa berpamit kepada kita?" Dia mengeluh lalu menjatuhkan diri terduduk di
depan makam ibunya. "Aku yang kehilangan besar sekali, Lin-ko. Tahukah engkau bahwa aku.. aku amat
mencintanya" Aku telah jatuh cinta
kepadanya sejak pertemuan kami yang pertama kali." Setelah berkata demikian Eng-
ji memandang Han Lin dengan sinar
mata tajam penuh selidik.
Han Lin tidak terkejut mendengar ini karena memang
sudah diduganya bahwa Eng-ji mencinta Kiok Hwa. Dia hanya
mengangguk dan berkata, "Aku tidak heran kalau engkau
jatuh cinta kepada-nya. Ia memang seorang gadis yang balk
sekali, berbudi mulia." Ucapannya terdengar lirih dan
mengandung kesedihan. Hatinya memang terasa sedih bukan
main. Baru saja dia ditinggal mati ibunya dan kenyataan ini
merobek-robek hatinya dan membuatnya merasa ngelangsa
sekali. Kini ditambah lagi dengan kepergian Kiok Hwa tanpa
pamit kepadanya! Mengapa" Bukankah mereka saling
mencinta" Ah" dunia rasanya sunyi sekali setelah kini Kiok
Hwa pergi. "Lin-ko, memang enci Kiok Hwa seorang gadis yang luar
biasa. Apakah.....apakah engkau juga...... tidak jatuh cinta
kepadanya?" Pertanyaan Eng-ji ini terdengar seperti sambil lalu saja, akan
tetapi sebenarnya merupakan pertanyaan yang
serius dan sinar matanya menatap mata Han Lin seperti
hendak menjenguk isi hati pemuda itu.
Han Lin memandang Eng-ji dan melihat betapa sinar mata
pemuda remaja itu mencorong dan memandang kepadanya
penuh selidik. Ah, untuk apa mengaku cinta kepada Kiok Hwa
di depan pemuda ini" Hanya akan menimbulkan perasaan
yang tidak enak saja. Maka diapun lalu menggeleng kepalanya
dan kembali berlutut di depan makam ibunya sehingga Eng-ji
tidak bertanya lebih jauh.
Han Lin mencari sebatang pohon muda lalu memindahkan
pohon itu di bagian atas dari makam ibunya, menanamnya
dengan baik, kemudian dia menggelindingkan sebuah batu
besar yang dipergunakan sebagai tanda atau nisan kuburan
ibunya. Dengan pisau tajam yang telah merenggut nyawa
ibunya, dia membuat ukiran huruf-huruf di atas batu itu yang
berbunyi : Di sini kuburan ibunda tercinta..Chai Li.
Kemudian dia teringat akan pesan terakhir ibunya bahwa
dia harus mencari ayahnya, maka dia mengajak Eng-ji untuk
melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja.
00-dewi-00 Sudah lama sekali kita meninggalkan pemuda yang
mengaku bernama Coa Seng atau A-seng, yang dengan tipu
daya yang keji dan amat cerdiknya telah dapat menipu Cheng
Hian Hwesio sehingga dia dapat diambil murid oleh hwesio tua
yang sakti itu dan diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi!
Kemudian, setelah dapat menguasai hampir semua ilmu silat
tinggi dari Cheng Hian Hwesio, dia membunuh Nelayan Gu
dan Petani Lai, dum orang murid dan juga pelayan Cherng
Hian Hwesio. Bahkan dia nyaris dapat membunuh Cheng Hian
Hwesio sendiri. Namun gagal karena ketika dilawan gurunya
itu, dia masih kalah setingkat dalam hal tenaga sakti.
Kemudian, dia menipu Han Lin, bermalam di kamar Han Lin
dan mencuri Suling Pusaka Kemala milik Han Lin dan
melarikan diri! Siapakah sebenarnya Coa Seng atau A-Seng itu" Dia adalah
seorang pemuda bernama Ouw Ki Seng. Sejak kecil dia telah
ditinggal mati ayah ibunya dan dia oleh kedua orang
pamannya yang menjadi ketua dan wakil ketua Ban-tok-pang
(Perkumpulan Selaksa Racun), sebuah perkumpulan sesat
yang berada di sebuah di antara puncak-puncak di
Pegunungan hai-san. Kedua pamannya itu bernama Hiw Kian
dan Ouw Sian yang menjadi ketua dan wakil ketua Ban-tokpang.
mereka ini pernah menjadi murid Toa Ok dan
menguasai ilmu pukulan Ban-tok-Ciang, maka mereka
mendirikan perkumpulan dengan nama Ban-tok-pang,
disesuaikan dengan nama ilmu mereka Ban-tok-lang (Tangan
Selaksa Racun). Sejak kecil Ouw Ki Seng merupakan seorang anak yang
nakal dan cerdik bukan main. Kenakalan dan kecerdikannya ini
membuat kedua orang pamannya berhati-hati dan biarpun
mereka mendidik Ki Seng dan mengajarkan ilmu silat namun
pemuda itu tidak diberi pelajaran ilmu-ilmu simpanan mereka,
apalagi Ban tok-ciang yang ampuh.
Di dalam hatinya, Ki Seng merasa penasaran dan sakit hati,
namun dia tidak memperlihatkannya dan tetap bersabar. Pada
suatu hari, Ban-tok-pang kedatangan seorang tamu yang
dihormati oleh ketua dan wakilnya. Tamu itu adalah lah Suma
Kiang yang telah dikenal sejak lama oleh Ouw Kian dan Ouw
Sian sebagai Huang-ho Sin-liong. Ketika mendengar bahwa
tamu itu seorang datuk yang berilmu tinggi, diam-diam timbul
keinginan di hati Ki Seng untuk menjadi muridnya. Akan tetapi
dia tidak berani menyatakan keinginan hatinya.
Setelah Suma Kiang meninggalkan Ban-tok-ciang, diamdiam
Ki Seng mengikuti dari jauh dan tanpa disengaja dia
melihat Suma Kiang dan Suma Eng, yaitu puteri Suma Kiang
yang ikut ayahnya menjadi tamu Ban-tok-pang, mendaki
puncak dan menyerang Nelayan Gu dan petani Lai yang
dikalahkan oleh Suma Kiang. Akan tetapi, ketika Cheng Hian
Hwesio muncul, Suma Kiang dapat dikalahkan dengan mudah
oleh hwesio tua yang sakti itu.
Setelah melihat peristiwa ini, Ki Seng tidak jadi minta untuk
dijadikan murid oleh Suma Kiang. Sebaliknya dia mengincar
Cheng Hian Hwesio yang sakti untuk menjadi gurunya. Maka,
diaturnyalah siasat yang amat keji itu. Dia membunuh sepuluh
orang dusun, kemudian lari ke puncak menemui Cheng Hian
Hwesio dan menceritakan betapa keluarganya dibantai orang
jahat. Bahkan dia nekat berlutut selama dua hari dua malam
tanpa makan minum dan bertekad untuk tidak bangun lagi
sebelum Cheng Hian Hwesio menerimanya sebagai murid.
Keteguhan hatinya ini menarik perhatian Cheng Hian Hwesio.
Tipu dayanya yang keji dapat mengelabui Cheng Hian Hwesio
sehingga akhirnya dia diangkat menjadi murid!
Setelah membunuh Nelayan Gu dan Petani Lai dan gagal
membunuh Cheng Hian Hwesio, kemudian berhasil mencuri
Suling Pusaka Kemala milik Han Lin, Ki Seng lalu melarikan diri pulang ke Ban-
tok-pang. Ouw Kian dan Ouw Sian sudah mendengar bahwa
keponakan mereka berhasil diterima sebagai murid oleh Cheng
Hian Hwesio dan mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Maka
setelah pemuda itu pulang, mereka menyambut dengan
gembira dan menjamu pemuda itu dengan sebuah pesta
keluarga yang meriah. Mereka semua menghadapi meja dengan gembira. Ouw
Kian yang berusia lima puluh tahun dan bertubuh tinggi besar,
mukanya penuh brewok duduk di kepala meja, wajahnya
tampak riang. Dialah ketua Ban-tok-pang. Wakil ketua adalah
adiknya sendiri, Ouw Sian yang berusia empat puluh delapan
tahun dan bertubuh tinggi kurus bermuka kuning. Wajahnya
tampak agak muram karena memang orang ini tidak pernah
memperlihatkan kegembiraan dan selalu murung. Kalau
kakaknya, Ouw Kian terkenal lihai mempergunakan pedang,
Ouw Sian bersenjatakan siang-to (sepasang golok) dan tentu
saja kedua kakak beradik ini merupakan ahli-ahli ilmu pukulan
Ban-tok-riang yang ampuh.
Karena merasa bangga dan gembira, Ouw Kian sendiri
menyuguhkan beberapa cawan arak kepada Ki Seng untuk
menyatakan selamat atas keberhasilan pemuda itu. Mereka
makan minum dengan gembira dan sambil makan minum,
keluarga itu minta kepada Ki Seng untuk menceritakan semua
pengalamannya. Setelah makan minum selesai, mereka masih bercakapcakap
di meja makan. "Ki Seng, sungguh aku merasa girang
sekali dengan kepulanganmu membawa ilmu kepandaian yang
tinggi. Engkau dapat memperkuat kedudukan Ban-tok-pang,
membantu aku dan pamanmu Ouw Sian." kata Ouw Kian
dengan gembira. "Paman, kedudukan yang diberikan kepada seseorang
haruslah disesuaikan dengan tingkat kepandaian orang itu.
Setujukah paman dengan pendapatku itu?"
Tanpa mencurigai maksud ucapan itu, Ouw Kian
mengangguk. "Tentu saja aku setuju sekali!"
"Dan bagaimana dengan engkau, paman Ouw Sian"
Setujukah paman dengan pendapatku bahwa kedudukan
seseorang harus disesuaikan dengan tingkat kepandaian orang
itu?" "Hemm, aku setuju akan tetapi apa maksudmu dengan
ucapan itu?" tanya Ouw Sian, agak curiga.
"Maksudku, tingkat kepandaian Paman Ouw Kian tentu
yang tertinggi di Ban tok-pang, maka dia diangkat menjai
ketua dan kepandaian Paman Ouw Sian berada di bawahnya,
maka hanya menjadi wakil ketua. Bukankah begitu?"
"Benar, betul sekali!" kata Ouw Kian masih belum dapat menduga ke arah mana
tujuan kata-kata Ki Seng itu.
Jilid XVI "WAH, sekarang aku datang. Untuk menentukan
kedudukanku, tentu sudah sepatutnya kalau aku diuji dan
siapa pengujinya kalau bukan Paman Ouw Kian atau Paman
Ouw Sian sendiri" Paman berdua hanya baru mendengar
bahwa aku telah mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan
tetapi tanpa menguji, bagaimana kedua paman akan menjadi
yakin akan kemampuanku?"
"Bagus, memang sudah sepantasnya begitu. Biarlah
sekarang juga, kami akan mengujimu. Sian-te (adik Sian),
cobalah engkau dulu yang menguji Ki Seng. Engkau harus
bersilat sungguh-sungguh dan mengeluarkan semua
kemampuanmu, baru kita dapat menilai sampai di mana
tingkat kepandaiannya. Mari kita pergi ke lian-bu-thia
(ruangan berlatih silat)." Dia mengajak semua keluarganya, termasuk isterinya,
dua orang anak laki-laki berusia tiga belas dan dua puluh lima tahun isteri Ouw
Sian dan seorang anak perempuan Ouw San yang berusia sembilan belas tahun,
untuk menonton ujian kepandaian silat Ki Seng itu. Bahkan
beberapa orang anggauta Ban-tok-pang yang menjadi
pembantu-pembantu, yang merupakan tokoh-tokoh Ban-tokpang
yang sudah memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup,
ikut pula menonton. Ouw Sian berhadapan dengan Ki Seng di lian-bu-thia,
ditonton oleh keluarga dan para pembantu. Semua orang
berwajah gembira karena mengharapkan pertunjukan yang
menarik dan tentu saja tidak ada bahayanya karena adu
kepandaian itu hanya merupakan ujian belaka, tidak sungguhsungguh.
"Ki Seng, engkau hendak menggunakan senjata apakah"
Pilihlah di rak senjata itu. Aku sendiri akan menggunakan
siang-to (sepasang golok) ini!" kata Ouw Sian sambil
mencabut sepasang goloknya yang biasanya tergantung di
punggungnya. "Suhu mengajarkan bahwa segala benda di dunia ini dapat
saja dijadikan sebagai senjata, kecuali kaki dan tangan
sendiri." kata Ki Seng dengan senyum dingin. Dia tidak
berbohong karena memang demikian yang diajarkan Cheng
Hian Hwesio. Buktinya, Nelayan Gu dapat mempergunakan
dayung sebagai senjata, dan Petani Lai juga dapat
mempergunakan sebatang cangkul sebagai senjatanya yang
ampuh. Dia melirik ke arah kursi dan menyambung, "misalnya kursi itu, dapat saja
kupakai sebagai senjata untuk
menghadapi serangan golokmu, Paman Ouw Sian."
Dua orang pimpinan Ban-tok-pang itu mengerutkan alisnya.
Mereka menganggap Ki Seng terlalu sombong. Baru belajar
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
silat lima tahun sudah berani menantang untuk menghadapi
Ouw Sian dengan sepasang goloknya yang amat lihai hanya
dengan bersenjatakan sebuah kursi kayu!
"Ki Seng, jangan gegabah. Sepasang golok pamanmu Ouw
Sian amat hebat, bagaimana akan kau lawan dengan sebuah
kursi" Pilihlah pedang atau golok!" kata Ouw Kian.
"Tidak, paman, aku cukup mengguna-kan kursi kayu ini dan
seandainya aku kalah oleh Paman Ouw Sian, biarlah aku
menempati kedudukan sebagai anggauta biasa saja."
Ucapan ini walaupun dikeluarkan dengan sederhana,
namun mengandung tantangan yang memandang rendah
Ouw Sian! Ouw Kian dan Ouw Sian adalah murid-murid Toa
Ok. Mereka merasa diri mereka sudah mencapai tingkat tinggi
dalam ilmu silat, maka melihat sikap dan mendengar ucapan
Ki Seng, tentu saja mereka menjadi penasaran sekali.
Terutama Ouw Sian, wajahnya yang biasanya kekuningan kini
menjadi agak merah dan dia sudah menjadi marah.
"Baiklah, Ki Seng, engkau yang berjanji sendiri. Kurasa
tingkat kepandaianmu juga tidak terlalu jauh dari tingkat
seorang anggauta perkumpulan kita yang biasa. Nah, mari kita
mulai!" Setelah berkata demikian, Ouw Sian sudah
menyilangkan sepasang goloknya di depan dada dan
memasang kuda-kuda yang kokoh kuat. Melihat ini, Ki Seng
mengambil sebuah kursi kayu berkaki empat. Dia menganggap
kursi itu merupakan senjata yang cukup baik untuk
menghadapi sepasang golok pamannya.
"Aku sudah siap, Paman Ouw Sian!" katanya lantang dan sikapnya biasa saja. Dia
berdiri tegak dan memegang kursi itu
secara terbalik sehingga empat buah kaki kursi berada di
depan. Ouw Sian merasa dipandang rendah sekali. Dia mengambil
keputusan untuk memberi hajaran kepada keponakannya yang
bersikap jumawa ini. Akan dihancurkannya kursi yang
dipegangnya, kemudian dia akan merobohkan Ki Seng dengan
tendangan kakinya. Maka dia lalu memutar sepasang goloknya
di atas kepala dan berseru, "Awas, Ki Seng, lihat seranganku!"
Dan diapun menyerang dengan dahsyatnya. Dia
memperhitungkan bahwa serangan sepasang goloknya tentu
akan ditangkis dengan kursi itu dan itulah saatnya sepasang
goloknya membikin remuk kursi itu menjadi berkeping-keping.
Akan tetapi ternyata tidak terjadi seperti yang ia sangka.
Ketika sepasang goloknya menyambar, mengancam tubuh Ki
Seng dengan bacokan dan tusukan, pemuda itu sama sekali
tidak menggunakan kursi itu untuk menangkis, melainkan dia
mengelak dengan gerakan cepat sekali sehingga mengejutkan
hati Ouw Sian. Akan tetapi hati orang tinggi kurus ini selain
terkejut, juga penasaran sekali melihat betapa amat
mudahnya Ki Seng mengelak dari serangan-serangannya,
seolah penyerangannya itu tidak ada artinya dan dipandang
rendah. Dia lalu mempercepat gerakan sepasang goloknya
dan menyerang dengan hebat.
Akan tetapi dia terkejut sekali ketika kehilangan Ki Seng!
Pemuda itu berkelebat dan lenyap dari depannya dan tahu
tahu telah berada di belakangnya! Demikian cepat gerakan
tubuh Ki Seng seolah olah dia pandai menghilang saja. Ouw
Sian memutar tubuhnya dan menggunakan sepasang goloknya
untuk membacok dengan cara menyilang dan menggunting
Sekali ini Ki Seng menggerakkan kursi nya dua kali, akan
tetapi dia tidak menangkis dengan memapaki pedang,
melainkan menghantam dari samping mengenai badan golok.
"Trang-trang......!!" Demikian kuatnya tangkisan itu membuat Ouw Sian menjadi
terpelanting dan terhuyung!
Tentu saja kursi itu tidak menjadi rusak karena menangkis dari samping, tidak
bertemu dengan mata golok yang tajam. Ouw
Sian menjadi semakin terkejut dan dia hampir tidak percaya
bahwa tangkisan kursi itu dapat membuat dia terhuyung. Dari
terkejut, heran dan penasaran, dia menjadi marah. Wakil
ketua Ban-tok-pang ini bukanlah orang yang dapat menerima
kekalahan. Dia selalu mengagulkan kepandaian sendiri dan
tidak memandang mata kepada orang lain. Karena marahnya,
lupalah dia bahwa yang dihadapinya adalah keponakan sendiri
dan dia sedang menguji kepandaian sang keponakan itu. Kini
dalam pandang matanya, yang dihadapinya adalah seorang
musuh besar yang telah membuat dia malu! Dia mengeluarkan
suara gerengan dahsyat lalu menyerang dengan dahsyat pula,
sepasang goloknya berubah menjadi tangan-tangan maut
yang siap mencengkeram dan membinasakan Ki Seng!
Namun Ki Seng tersenyum dingin. Diapun tahu akan
kemarahan pamannya dan bahwa kini pamannya sudah mata
gelap dan penyerangannya adalah untuk mematikannya. Akan
tetapi dia bersikap tenang saja karena maklum bahwa dia
dapat mengatasi pamannya ini dengan mudah. Ketika golok
kiri pamannya menyambar lagi, dia mengelak ke kanan dani
sebelum golok kanan bergerak, dia sudah mendahului
pamannya, menggunakan kursi untuk balas menyerang dan
menghantami ke arah tangan kanan Ouw Sian. Kaki kursi itu
menotok ke arah siku dan seketika lengan kanan Ouw Sian
menjadi kaku dan golok kanannya terlepas dari pegangan. Hal
ini membuat Ouw Sian semakin marah dan tanpa
memperdulikan apapun dia sudah menubruk dan melancarkan
pukulan Ban-tok-ciang yang ampuh itu ke arah tubuh Ki Seng!
Jari-jari tangan terbuka itu menyambar ke arah dada dengan
kecepatan luar biasa dan mendatangkan hawa panas yang
beracun. "Wuuuuttt......!" Pukulan Ban-tok-ciang itu meluncur ke arah dada Ki Seng.
Melihat ini, Ki Seng tersenyum dan sinar
matanya mencorong, berubah kejam. Tahulah dia bahwa
kalau Ouw Sian dibiarkan hidup, kelak hanya akan menjadi
orang yang memusuhinya. Maka, cepat dia menangkis
serangan itu dengan tangan kirinya dan tangan kanannya
secepat kilat menotok dengan satu jari. Itulah It-yang-ci dan
dengan tepat sekali jari telunjuk kanannya masuk dan
menotok dada Ouw Sian bagian kiri.
"Tukkkk.....I" Ouw Sian mengeluh dan roboh terjengkang, tewas seketika karena
totokan tadi telah merusak jantungnya!
Ouw Kian terkejut bukan main ketika adiknya roboh dan
tidak bangkit kembali. Apalagi ketika dia melihat betapa mata
adiknya mendelik dan tidak bergerak-gerak. Cepat dia
meloncat ke dekat adiknya dan berjongkok untuk memeriksa.
Matanya terbelalak ketika dia mendapat kenyataan bahwa
adiknya ternyata telah tewas! Dia lalu bangkit berdiri,
memutar tubuhnya menghadapi Ki Seng dengan mata
melotot. "Ki Seng.....!!" bentaknya dengan kemarahan luar biasa.
"Apa yang telah kaulakukan ini" Engkau telah membunuhi
pamanmu Ouw Sian!" "Hemm, paman sendiri tentu tahu bahwa yang
menggunakan Ban-tok-ciang dan bermaksud membunuhku
adalah Pa-man Ouw Kian. Aku hanya membalas apa yang
hendak dia lakukan terhadap diri-ku." jawab Ki Seng dengan sikap tenang-tenang
saja, bahkan pandang matanya
menantang. "Ki Seng, engkau anak durhaka. Engkau telah membunuh
Ouw Sian dan karena itu aku harus menghukummu!" bentak
Ouw Kian marah dan dia sudah mencabut pedangnya.
Ki Seng mengerutkan alisnya. "Hemm kalau paman hendak
menyusulnya, mari kuantarkan paman!"
Ucapan ini bagaikan minyak yang disiramkan kepada api
kemarahan Ouw Kian, membuat kemarahannya semakin
berkobar. "Anak setan, mampuslah engkau!" Setelah berkata demikian, Ouw Kian
menyerang dengan pedangnya. Melihat
ini, Ki Seng membungkuk dan menyambar sebatang golok
milik Ouw Sian yang tadi terjatuh dan dia menangkis dengan
golok itu ketika pedang menyambar.
Sementara itu, ketika mendengar bahwa suami dan ayah
mereka telah tewas, isteri Ouw Sian dan anak perempuannya
lalu menubruk mayat Ouw Sian sambil menangis.
Perkelahian antara Ouw Kian dan Ki Seng makin hebat dan
ketika tangkisan golok Ki Seng membuat tangannya tergetar
dan pedangnya terpental, Ouw Kian menjadi terkejut sekali
dan segera meneriaki para pembantunya untuk turun tangan
membantunya. Lima orang pembantu ketua itu lalu mencabut
golok masing-masing dan berlompatan maju mengeroyok Ki
Seng. Serangan Ouw Kian dan para pembantunya itu
merupakan serangan mematikan karena mereka semua sudah
bertekad untuk membunuh pemuda yang berbahaya itu.
Akan tetapi Ki Seng kini mengamuk, dan goloknya
berkelebatan, menjadi sinar yang bergulung-gulung dan
belasan jurus kemudian, lima orang pembantu ketua itu roboh
satu demi satu dan tewas seketika karena golok di tangan Ki
Seng menyerang dengan amat hebatnya! Melihat itu Ouw Kian
menjadi marah akan tetapi juga gentar. Bagaimana juga, dia
tidak dapat menghindarkan diri lagi dan ketika dia menangkis
golok yang menyambar dahsyat, pedangnya terpental dan
terlepas dari tangannya. Pada saat itu tangan kiri Ki Seng
sudah meluncur ke depan dan totokan satu jari yang demikian
dahsyatnya sehingga gerakan itu mengeluarkan suara
mencicit. Itulah It-yang ci yang dipergunakan untuk menyeran
ke arah ulu hati. "Tukk....!!" Tubuh Ouw Kian terjengkang lalu roboh
menggelepar, mulutnya muntahkan darah segar dan dia hanya
dapat terbelalak, tangannya menuding ki arah Ki Seng dan
diapun tewas seketika Pada saat itu terdengar teriakan nyaring. Ouw Cun, putera
Ouw Kian yang berusia dua puluh lima tahun sudah
menerjang dengan sebatang pedang di tangannya. Juga Ouw
Ci Hwa, puteri Ouw Sian yang tadi menangisi ayahnya kini
menyerang dengan sebatang pedang. Bahkan janda kedua
orang pimpinan Ban-tok-pang itu sudah mencabut pedang dan
ikut menyeroyok untuk membalas kematian suami mereka.
Ki Seng tersenyum lebar. Golok di tangannya berkelebat
dan Ouw Ci Hwa, gadis berusia sembilan belas tahun itupun
roboh mandi darah, dadanya terobek golok dan dia tewas di
dekat jenazah ayahnya. Ouw Cun dengan marah dan nekat
menubruk maju dengan pedangnya, dibantu oleh dua orang
janda yang juga sudah nekat. Ki Seng memutar goloknya.
"Trang-trang-tranggg......!" Tiga batang pedang itu
terpental dan terlepas dari tangan tiga orang pengeroyok itu
dan sebelum mereka sempat menghindar, golok di tangan Ki
Seng menyambar-nyambar dan robohlah tiga orang itu, tewas
seketika terkena bacokan golok yang dilakukan dengan tenaga
dalam yang amat kuatnya. Sunyi di tempat itu. Kesunyian yang mencekam. Para anak
buah Ban-tok-pang yang tadi berlari-lari mendatangi ruangan
yang menjadi tempat pembantaian itu berdiri dengan mata
terbelalak dan muka pucat. Di lantai berserakan sebelas orang
yang telah menjadi mayat dan darah membanjiri lantai itu. Ki
Seng berdiri tegak, memandang ke kanan kiri, menyapu
wajah-wajah para anak buah Ban-tok-pang,
Sinar mata Ki Seng mencorong ketika dia mengamati
wajah-wajah para anggauta itu sehingga setiap orang
anggauta yang bertemu pandang dengan dia merasa ngeri
dan menundukkan muka. Para anggauta Ban-tok-pang adalah
orang-orang yang sudah biasa melakukan perbuatan
sewenang-wenang dan kejam, tidak mengenal rasa takut.
Akan tetapi kini menghadapi Ki Seng yang membantai sebelas
orang, di antaranya paman-paman dan bibi-bibinya sendiri,
mereka menjadi ketakutan dan merasa ngeri.
"Hayo siapa lagi yang berani menentang aku?" bentak Ki Seng sambil mengelebatkan
goloknya. Tak seorang pun berani menjawab, bahkan tidak ada yang
berkutik. Dua orang di antara para anggauta itu melangkah
maju dan memberi hormat kepada Ki Seng.
"Ouw-kongcu (tuan muda Ouw), tidak ada seorangpun di
antara kami yang akan menentang kongcu." kata seorang di
antara mereka. Dua drang itu adalah A Kiu dan A Hok, dua
orang anggauta Ban-tok-pang yang memang sejak dahulu
menjadi sahabat Ki Seng, bahkan kedua orang ini yang
menemuinya di waktu malam ketika Ki Seng membunuh
Nelayan Gu dan Petani Lai.
"A Kiu dan A Hok, kalian berdua menjadi dua orang
pembantuku. Hei i kalian semua, kalau tidak ada yang berani
menentangku, kalian semua harus berlutut. Akulah yang
menjadi pangcu (ketua) Ban-tok-pang mulai saat ini!" kata Ki Seng sambil
meluncurkan goloknya ke atas lantai sehingga
golok itu menancap sampai ke gagangnya di lantai.
Mendengar ini, semua anggauta lalu menjatuhkan diri berlutut
dan serempak mereka berseru. "Pangcu......!"
Hati Ki Seng merasa senang sekali. "Bagus, aku akan
memimpin kalian dan membuat Ban-tok-pang menjadi
perkumpulan terbesar. A Kiu dan A Hok, pimpin orang-orang
ini untuk mengubur mayat-mayat itu dan membersihkan
ruangan ini. Aku hendak beristirahat!" Setelah berkata
demikian, Ki Seng memasuki gedung itu, masuk ke dalam
kamar besar yang biasanya ditempati ketua Ban-tok-pang dan
di lain saat ia telah tidur mendengkur di atas pembaringan!
Pada keesokan harinya, Ki Seng memeriksa gedung itu dan
mengumpulkan emua barang-barang berharga yang kini
menjadi miliknya. Kemudian ia memerintahkan A Kiu A Hok
yang diangkatnya menjadi pembantu-pembantunya untuk
menggerakkan anak buahnya mengadakan pesta untuk
merayakan pengangkatan diri nya sendiri sebagai ketua Bantok-
pang. Semua anggauta diharuskan ikut berpesta pora. Pesta itu
dilakukan semalam suntuk dan para anak buah itu rata-rata
merasa senang karena mereka tahu bahwa ketua baru yang
sekarang ini adalal seorang yang sakti, jauh lebih lihai di
bandingkan para pimpinan mereka yang telah tewas. Hal ini
tentu saja membesarkan hati mereka. Ketua mereka yang
baru ini seorang yang masih amat muda, baru dua puluh satu
tahun usianya, tampan sekali dan gagah perkasa! Hati siapa
tidak akan bangga menjadi anak buahnya"
Ban-tok-pang adalah sebuah perkumpulan sesat yang
terkenal suka mempergunakan racun. Sesuai dengan namanya
Ban tok-pang (Perkumpulan Selaksa Racun) perkumpulan ini
terkenal sekali dalam mempergunakan senjata beracun, juga
sarang mereka penuh dengan jebakan jebakan yang
mengandung racun berbahaya. Sebelum menjadi murid Chen
Hian Hwesio, Ki Seng sudah hafal akan racun-racun yang
dipergunakan Ban-to pang. Setelah dia menjadi ketua, di
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memperbarui jebakan-jebakan itu untuk mencegah orang luar
memasuki perkampungan Ban-tok-pang. juga dia melarang
anak buahnya untuk melakukan perampokan seperti yang
biasa mereka lakukan. Biasanya, para anak buah Ban-tokpang
tidak segan-segan untuk melakukan pencurian dan
perampokan, dan membunuh kalau ada yang melawan.
"Kita adalah sebuah perkumpulan besar, harus dapat
menjaga nama dan kehormatan. Mulai sekarang, kalian tidak
boleh mencuri atau merampok. Kalau ada yang melanggar,
akan dihukum mati!" kata Ki Seng.
Para anggauta itu tidak ada yang berani membantah. Akan
tetapi A Kiu yang diangkat menjadi pembantu, lalu maju dan
berkata, "Akan tetapi, Ouw-kongcu..."
"Bodoh! Jangan sebut aku kongcu lagi. Aku adalah ketua
kalian, mengerti?" "Ah, baiklah, pangcu dan maafkan saya. Akan tetapi,
pangcu, kalau kami dilarang untuk melakukah pencurian atau
perampokan, lalu dari mana kita akan memperoleh hasil untuk
membiayai kehidupan kita yang sebanyak puluhan orang ini?"
kata A Kiu. "Benar, pangcu. Biasanya, kita mempergunakan hasil
pencurian dan perampokan untuk biaya hidup lima puluh
orang anggauta kita." A Hok membenarkan rekannya.
"Jangan khawatir, akan ada orang-orang lain yang
mencarikan biaya untuk kita. Mari kalian berdua, A Kiu dan A
Hok, ikut dengan aku!" ajak Ki Seng dan dua orang itupun
tidak banyak membantah lagi, lalu mengikuti pemuda itu
keluar dari perkampungan mereka.
Sudah merupakan peraturan tidak tertulis dari Hek-houwpang
untuk mengharuskan setiap orang yang lewat melalui
daerah kekuasaan mereka di lereng sebelah timur
Pegunungan Thai-san untuk membayar "pajak", istilah yang diperhalus dari
perbuatan merampok. Maka, ketika Ki Seng, A
Kiu dan A Hok melangkah tenang di lereng itu, tiba-tiba dari
balik pohon-pohon dan semak belukar berloncatan belasan
orang yang rata-rata bertubuh tegap dan kuat, bersikap kasar
dan bengis, dan di dada baju mereka terdapat gambar seekor
harimau hitam. Setiap orang dari mereka memegang sebatang
golok yang tajam mengkilap.
"Berhenti.....!" Seorang di antara mereka yang bermuka hitam dan menjadi
pemimpin mereka, mengacungkan golok
dan membentak dengan suara garang. Belasan orang itu kini
mengepung tiga orang yang tampak tenang-tenang saja.
Ki Seng melangkah maju menghadapi si muka hitam.
Dengan sikap tenang dia berkata, "Sobat, apa artinya ini"
Mengapa kalian menghentikan dan mengepung kami bertiga?"
"Kalian bertiga harus membayar pajak jalan kepada kami
karena kalian melanggar wilayah kami. Hayo cepat keluarkan
semua bawaan dan harta kalian untuk kami ambil separuhnya.
Jangan membantah atau melawan karena kami akan
membunuh kalian kalau berani melawan. Dan jangan mainmain.
Kami adalah orang-orang Hek-houw-pang yang
menguasai wilayah ini!"
Ki Seng mengangguk-angguk sambil tersenyum. "Ah,
kiranya orang-orang Hek houw-pang! Bukankah ketua kalian
adalah Toat-beng Hek-houw dan wakil ketua kalian Tiat-ciang
Hek-houw" Kebetulan sekali, aku memang ingin bertemu dan
bicara dengan mereka. Hayo bawalah kami menghadap dua
orang pimpinan kalian itu!"
Tentu saja tokoh Hek-houw-pang itu tidak memperdulikan
kata-kata ini dan dia bahkan marah sekali. "Lancang sekali mulutmu! Siapakah
engkau yang berani hendak bertemu
dengan para pimpinan kami" Hayo cepat keluarkan semua
milikmu kalau tidak ingin mampus!" Sambil berkata demikian, si muka hitam
mengelebatkan goloknya penuh ancaman.
"A Kiu dan A Hok, wakili aku dar hajar mereka!" kata Ki Seng kepada dua orang
pembantunya. A Kiu dan A Hok adalah dua orang tokoh Ban-tok-pang
yang berpengalaman Mereka adalah orang-orang yang telah
mendapatkan kepercayaan para pimpinar Ban-tok-pang yang
telah tewas maka mereka berdua sudah diberi pelajaran ilmu
pukulan Ban-tok-ciang dan memiliki ilmu kepandaian yang
cukup tinggi. A Kiu yang berusia lima puluh tahun itu bertubuh tinggi besar dan
membawa sebatang pedang di punggungnya.
A Hok bertubuh kecil kurus akan tetapi gerak-geriknya gesit,
usianya sekitar empat puluh lima tahun dan diapun membawa
sebatang pedang di punggungnya.
Mendengar perintah ketua baru mereka, keduanya lalu
melangkah maju dan A Kiu berkata kepada si muka hitam
dengan suara membentak bengis, "Mundurlah kalian dan
jangan ganggu kami lagi!"
Akan tetapi melihat dua orang itu maju seperti menantang,
si muka hitam berseru kepada kawan-kawannya, "Serbu!
Bunuh!!" Belasan orang itu bergerak dengan golok mereka, akan
tetapi A Kiu dan A Hok mendahului mereka, menggerakkan
tangan kanan dan sinar-sinar kecil hitam meluncur ke arah
para pengepung. Terdengar jerit-jerit mengerikan dan
robohlah enam orang. Mereka berkelojotan dan tak lama
kemudian mereka tewas dengan muka berubah menghitam.
Ternyata mereka telah menjadi korban jarum-jarum beracun
yang amat ampuh. Melihat ini si muka hitam terkejut, akan
tetapi juga marah sekali. Dia menerjang dengan goloknya,
di kuti sisa kawan-kawannya yang masih ada sebelas orang.
Dua belas orang itu menerjang dan menyerang A Kiu dan A
Hok dengan golok mereka. A Kiu dan A Hok mencabut pedang mereka dan mengamuk.
Tingkat kepandaian dua orang ini memang sudah cukupi tinggi
dan ilmu pedang mereka juga hebat, maka biarpun dikeroyok
dua belas orang, mereka tidak terdesak, bahkan sebaliknya
mereka dapat melukai empat orang dan mendesak para
pengeroyoknya.! Akhirnya si muka hitam sendiri tertusuk pedang A Kiu yang
mengenai pundak kanannya. Goloknya terlepas dan
maklumlah dia bahwa melawan terus sama dengan bunuh diri.
Maka dia meneriaki kawan-kawannya untuk melarikan diri,
meninggalkan mereka yang tewas dan terluka parah.
"Kejar mereka sampai ke sarangnya!" kata Ki Seng dan diapun membayangi
segerombolan orang yang melarikan diri
itu, di kuti oleh A Kiu dan A Hok.
Akan tetapi sebelum memasuki perkampungan Hek-houwpang,
baru tiba di luar pintu, mereka melihat berbondongbondong
para anggauta Hek-houw-pang telah keluar dari
pintu gerbang perkampungan, mengikuti dua orang laki-laki
yang gagah perkasa. Ki Seng yang pernah datang ke
perkampungan Hek-houw-pang bersama mendiang Nelayan
Gu dan Petani Lai segera mengenal dua orang pimpinan Hekhouw-
pang itu. Si muka hitam menunjuk ke arah Ki Seng, A Kiu dan A Hok
dan dua orang pimpinan Hek-houw-pang bersama semua anak
buahnya segera menghadapi tiga orang itu di depan pintu
gerbang. Toat-beng Hek-houw, ketua Hek-houw-pang yang bertubuh
sedang tegap dan bersikap gagah itu memandang ke arah Ki
Seng dan dua orang pembantunya dengan alis berkerut. Dia
sudah tidak ingat lagi kepada Ki Seng yang lima tahun lalu
pernah datang ke sarangnya. Tiat-ciang Hek-houw, wakil
ketua yang bertubuh tinggi besar itupun tidak mengenal Ki
Seng dan dua orang pembantunya.
Ki Seng yang dihadang itu berhenti melangkah dan
berhadapan dengan dua orang pemimpin Hek-houw-pang. Dia
ter-| senyum dan berkata, "Bagus sekali kalian yang datang sendiri menemuiku,
Toat beng Hek-houw dan Tiat-ciang Hekhouw.
Aku memang ingin bicara dengan kalian berdua!"
Dua orang pimpinan Hek-houw-pay itu tidak merasa heran
kalau pemuda itu mengenal nama mereka karena mereka
berdua memang terkenal sekali untuk daerah itu. Akan tetapi
mereka merasa heran sekali melihat sikap Ki Seng yang sama
sekali tidak menghormatinya, bahkan suaranya seperti
menantang! "Orang muda, engkau dan dua orang kawanmu telah
berani membunuh beberapa anak buah kami, untuk itu kalian
harus mati di tangan kami. Katakanlah siapa engkau dan mau
apa engkau mencari kami, jangan kalian mati tanpa nama!"
kata Toat-beng Hek-houw sambil menahan kemarahannya
karena dia sudah mendengar pelaporan si muka hitam bahwa
enam orang anak buahnya telah tewas dan beberapa orang
luka-luka. Ki Seng tersenyum, senyum dingin yang membuat
wajannya yang tampan itu tampak mengandung sesuatu yang
menyeramkan. Matanya mencorong seperti mata harimau dan
senyumnya mengandung penuh ejekan dan memandang
rendah. "Toat-beng Hek-houw, ketahuilah bahwa aku adalah
pangcu (ketua) dari Ban-tok-pang. Kedatanganku ini untuk
bertemu dan bicara dengan pimpinan Hek-houw-pang."
Toat-beng Hek-houw terkejut bukan main. Dia sudah
mendengar tentang Ban-tok-pang dan menurut apa yang
pernah didengarnya, para pimpinan Ban-tok-pang adalah
keluarga Ouw. Sama sekali tidak disangkanya bahwa ketuanya
masih begini muda, seorang pemuda remaja atau yang belum
dewasa benar, paling banyak dua puluh satu tahun usianya!
Akan tetapi mendengar bahwa pemuda itu ketua Ban-tokpang,
dua orang pimpinan Hek-houw-pang bersikap hati-hati.
"Hemm, kalau benar engkau Ban-tok- pangcu, lalu apa
yang hendak kau bicarakan dengan kami?" tanya Toat-beng
Hek-houw. "Hemmm, apakah kalian tidak meng-undang kami untuk
masuk dan bicara didalam" Layakkah kalau kita bicara diluar
seperti ini?" tanya Ouw Ki Seng.
Toat-beng Hek-houw mengerutkan alisnya. "Bagaimana
kami dapat menerima dan menyambut kalian sebagai tamu
yang terhormat setelah kalian membunuhi dan melukai anak
buah kami?" "Anak buak kalian itu mencari mati sendiri. Mereka telah
berani menghadangi kami dan mencoba untuk merampok
kami. Nah, sekarang kalian mau mengundang aku bicara di
dalam atau tidak?" "Hemm, kalau engkau hendak bicara di sini saja juga sudah cukup. Apa yang hendak
engkau bicarakan dengan kami"!"
"Tidak banyak. Aku hanya minta agar kalian menyerahkan
semua tempat perjudian dan tempat pelesiran di kota-kota
sekitar sini kepada kami dan setiap hasil rampokan yang kalian lakukan harus
diserahkan separuhnya kepada kami. Aku minta
agar kalian mengakui Ban-tok-pang sebagai perkumpulan
yang membawahi Hek-houw-pang dan mengakui aku sebagai
pimpinan!" Toat-beng Hek-houw dan Tiat-ciang Hek-houw terbelalak
dan muka mereka menjadi merah sekali karena marah.
Sungguh pemuda itu mengajukan tuntutan yang berlebihan
dan sangat menghina mereka! Dengan suara gemetar saking
marahnya Toat-beng Hek-houw membentak.
"Keparat! Bagaimana kalau kami menolak semua
permintaanmu itu?" Ouw Ki Seng tersenyum dingin. "Kalau begitu, terpaksa
kalian berdua akan kubunuh dan Hek-houw-pang kupaksa
menjadi cabang Ban-tok-pang, siapa yang menentang akan
kubunuh!" "Jahanam sombong! Engkaulah yang akan kami bunuh!"
Setelah berkata demikian, Toat-beng Hek-houw memberi
isarat kepada para anak buahnya, kemudian dia mencabut
pedangnya dan menyerang Ki Seng dengan dahsyat. Tiat-cang
Hek-houw juga mencabut pedang dan menyerangnya.
Menghadapi serangan dua orang itu, Ki Seng bersikap tenang
saja. Dengan lincahnya dia melompat ke belakang sehingga
serangan kedua orang pimpinan Hek-houw-pang itu mengenai
tempat kosong. Kembali dua orang itu menerjang dengan
ganasnya. Namun, Ki Seng bergerak cepat sekali. Tubuhnya
seperti berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di
antara dua sinar pedang kedua orang pengeroyoknya.
Sementara itu, melihat puluhan orang anak buah Hekhouw-
pang sudah bergerak mengepung, A Kiu dan A Hok
mencabut pedang masing-masing dan mereka meng-amuk.
Pedang mereka menyambar-nyambar dan dengan cepat sekali
mereka telah merobohkan empat orang yang berada paling
depan. Mereka lalu dikepung dan dikeroyok karena para anak
buah Hek-houw-pang itu tidak ada yang berani membantu dua
orang pimpinan mereki yang mereka anggap pasti akan
mampu mengalahkan pemuda yang mengaku sebagai ketua
Ban-tok-pang itu. Akan tetapi kenyataannya terjadi tidak seperti yang mereka
harapkan dan bayangkan. Toat-beng Hek-houw dan Tiat-ciang
Hek-houw sudah memainkan pedang mereka dengan cepat
dan kuat, mengerahkan sepenuh tenaga mereka, namun tetap
saja pedang mereka tidak mampu menyentuh tubuh Ki Seng
yang melawan dengan tangan kosong saja! Pemuda itu
bergerak amat lincahnya dan membiarkan kedua orang
lawannya melancarkan serangan bertubi-tubi sampai belasan
jurus tanpa dibalasnya. "Kalian belum mau menyerah?" bentak Ki Seng karena
sebetulnya dia ingin agar kedua orang pimpinan Hek-houwpang
ini taluk kepadanya dan menjadi pembantupembantunya.
Akan tetapi, karena sejak tadi hanya mengelak
saja tanpa membalas, dua orang ketua Hek-houw-pang itu
menganggap dia takut, maka mereka menyerang terus
semakin gencar dan tentu saja tidak mau menyerah.
Setelah membiarkan dua orang itu menyerangnya secara
bertubi selama belasan jurus dan mereka tetap tidak mau
menyerah, Ki Seng menjadi marah.
"Baik, kalau begitu matilah kalian!" bentaknya dan tiba-tiba dia mengelak dengan
loncatan ke atas, lalu berjungkir balik,
menukik dan kedua tangannya bergerak menyambar seperti
seekor ular terbang menyerang ke arah kedua orang pimpinan
Hek-houw-pang itu. "Tukk! Tukk!" Dua orang itu tidak dapat menghindarkan diri dari totokan It-yang-
ci yang amat dahsyat dan jari tangan Ki
Seng telah menotok kepala mereka. Tampaknya totokan itu
tidak terlalu kuat, akan tetapi akibatnya, dua orang itu
terjungkal dan tewas seketika!
Melihat dua orang pemimpin mereka tewas, para anak
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
buah Hek-houw-pang menjadi terkejut bukan main. Pada saat
itu, Ki Seng berseru dengan suara lantang.
"Ketua dan wakil ketua kalian telah tewas! Siapa yang tidak mau menyerah akan
mati juga! Lemparkan senjata kalian dan
berlututlah, baru kami akan mengampuni nyawa kalian!"
Mendengar ini, para anak buah Hek-houw-pang yang sudah
ketakutan itu lalu membuang senjata masing-masing dan
menjatuhkan dirinya berlutut menghadap ke arah Ki Seng. A
Kiu dan A Hok berhenti mengamuk dan merekapun berdiri di
belakang Ki Seng dengan hati bangga. Mereka berdua tidak
pernah dapat membayangkan betapa pemuda itu dengan
amat mudahnya telah membunuh ketua dan wakil ketua Hekhouw-
pang yang terkenal gagah itu.
Mereka sendiri sudah merobohkan belasan orang anak
buah Hek-houw-pang, akan tetapi hanya melukai mereka dan
tidak sampai membunuh mereka seperti yang dipesankan Ki
Seng sebelum mereka menyerbu ke situ. Ki Seng
menginginkan agar anak buah Hek-houw-pang tidak dibunuh
karena dia ingin mereka menjadi anak buahnya untuk
memperkuat kedudukan Ban-tok-pang.
"Kalian sudah menyerah" Bagus! Mulai sekarang, Hekhouw-
pang dan semua usahanya berada di bawah
pengawasan kami, dan Hek-houw-pang menjadi perkumpulan
yang berada di bawah kekuasaan Ban tok-pang. Mulai
sekarang, yang menjadi pemimpin Hek-houw-pang adalah A
Hok! A Hok, engkau kuserahi tugas memimpin Hek-houwpang.
Umumkan hal ini kepada seluruh anak buah Hek-houwpang
yang mengurus rumah-rumah judi dan rumah-rumah
pelesir di semua tempat."
A Hok merasa girang sekali. Tak pernah dia
membayangkan bahwa dia akan, "naik pangkat" sedemikian cepatnya, tahu tahu telah
menjadi ketua Hek-houw-pang!
"Baik, pangcu!" katanya girang.
"Kalau ada yang membangkang bunuh saja!" kata pula Ki Seng. "A Kiu, mari kita
pergi mengunjungi Pek-eng-pang, Aku ingin melihat-lihat keadaan di sana."
Setelah menyerahkan semua urusan mengenai Hek-houwpang
kepada A Hok juga urusan mengenai keluarga kedua
orang ketua lama yang tewas itu, Ki Seng lalu mengajak A Kiu
untuk pergi dari situ. Anggauta Pek-eng-pang yang masih muda, berusia kurang
lebih dua puluh tiga tahun dan bertubuh tinggi tegap itu
berlari-lari secepatnya. Terengah-engah dia tiba di
perkampungan Pek-eng-pang. Teman-temannya
menyambutnya dengan heran. Mereka bertanya mengapa dia
berlari-lari seperti itu. Akan tetapi pemuda itu hanya
menggeleng kepala dan bergegas lari ke dalam mencari Pekeng
Pang-cu Ciang Hok, ketua perkumpulan Pek-eng-pang
(Perkumpulan Garuda Putih). Setelah mendapat keterangan
bahwa sang ketua berada di dalam rumah nya, dia lalu
memasuki rumah ketuanya dan minta kepada para penjaga
untuk disampaikan kepada ketuanya bahwa dia mohon
menghadap karena akan memberikan pelaporan yang teramat
penting. Tak lama kemudian dia sudah menghadap Pek-eng Pang-cu
Ciang Hok. Ciang Hok adalah seorang laki-laki yang gagah
perkasa, bertubuh tegap dan rambutnya dibiarkan terurai di
punggungnya. Jenggot dan kumisnya pendek dan tebal, dan
alisnya hitam tebal. Dengan sikap tenang dan alis berkerut dia menyambut
anggauta yang menghadap dengan napas masih
terengah-engah itu. "Mengapa engkau seperti orang ketakutan begitu" Apa
yang hendak kau lapor-kan?" tegur sang ketua, tak senang
melihat anggautanya begitu penakut.
"Ada berita yang amat mengejutkan pangcu. Saya
mendengar dari seorang anggauta Hek-houw-pang yang
melarikan diri bahwa Hek-houw-pang geger, ketua dan wakil
ketuanya terbunuh dan banyak pula anak buahnya yang lukaluka.
Serangan itu dilakukan oleh tiga orang yang mengaku
datang dari Ban-tok pang dan kini mereka menguasai Hek
houw-pang dengan kekerasan."
Ciang Hok mengerutkan alisnya dani mengelus jenggotnya
yang tebal dan pendek. "Hemmm, mengapa engkau ributi
ribut setengah mati" Apa yang terjadi pada Hek-houw-pang
tidak ada sangkut pautnya dengan kita sama sekali!"
"Pangcu, saya khawatir sekali kalau-kalau mereka akan
menyerang kita juga." kata pelapor itu.
Pek-eng Pang-cu Ciang Hok tersenyum tenang, penuh
kepercayaan kepada diri sendiri. "Kita melakukan pekerjaan sebagai piauwsu
(pengawal barang kiriman), mencari nafkah
secara halal, tidak pernah mengganggu siapapun juga,
mengapa ada orang hendak menyerang kita" Kalaupun ada
yang menyerang, apa yang harus kita takuti" Kedudukan kita
cukup kuat, anggauta kita tidak kurang dari enam puluh orang
dan aku sendiri tidak takut menghadapi siapapun yang berniat
buruk terhadap perkumpulan kita. Engkau masih muda, di
mana nyalimu" Keluarlah dan beritahu kepada semua
anggauta untuk bersiap-siap menghadapi segala
kemungkinan, akan tetapi jangan gegabah bertindak sebelum
ada perintah dariku."
Pelapor itu lalu keluar dan memberitahukan temantemannya
tentang perintah sang ketua. Ciang Hok adalah
seorang ahli silat yang pandai. Dia telah menguasai ilmu silat yang disebut Pek-
Eng Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih). Pekeng Sin-kun adalah ilmu silat yang
menggubahnya sendiri dari
ilmu silat Bu-tong-pai yang pernah dipelajarinya. Karena
dasarnya adalah ilmu silat Bu-tong-pai, maka tentu saja ilmu
silat itu cukup hebat dan selain dapat dimainkan dengan
tangan kosong, dapat pula dimainkan dengan pedang dan
disebut Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda Putih). Karena
memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh, apalagi anak
buahnya merupakan juga murid-muridnya yang sudah
digembleng dengan ilmu silat selama bertahun-tahun, dia
merasa bahwa kedudukannya cukup kuat dan dia tidak takut
menghadapi ancaman dari manapun juga datangnya. Karena
kepercayaan kepada diri sendiri inilah maka dia berani
membuka Piauw-kiok (perusahaan pengiriman barang) untuk
mengawal barang barang kiriman dan menjaganya dari
gangguan perampok. Matahari telah condong ke barat ketika Ki Seng dan A Kiu
tiba di depan pintu gerbang perkampungan yang menjadi
pusat Pek-eng-pang. Pek-eng-pang memilih tempat di lereng
itu sebagal perkampungannya, walaupun pekerjaan mereka
berada di kota karena hanya orang-orang kota yang menjadi
pedagang yang suka mengirim barang dagangan yang
berharga untuk dikirim dan dikawal. Di atas pintu gerbang
terdapat papan nama bertuliskan Pek-eng-pang dengan hurufhuruf besar dan ada
sehelai bendera bergambar garuda putih
berkibar di tempat jaga di pintu gerbang itu. Ki Seng pernah
datang ke tempat ini bersama mendiang Petani Lai dan
Nelayan Gu, lima tahun yang lalu. Dia tahu bahwa sikap Pekeng-
pang tidak seperti orang-orang Hek-houw-pang, tidak
kasar dan bengis. Juga ketuanya adalah seorang gagah, tidak
seperti ketua Hek-houw-pang yang mengandalkan
pengeroyokan. Oleh karena itu, diapun mengambil sikap lain
dalam menghadapi Pek-eng-pang.
Ketika Ki Seng dan A Kiu tiba di depan pintu gerbang,
belasan orang yang berjaga di situ, yaitu para anak buah Pekengpang yang
melaksanakan perintah ketua mereka untuk
bersiap siaga, berdiri dan keluar dari gardu penjagaan.
Seorang di antara mereka yang menjadi kepala jaga segera
menegur dua orang pendatang itu.
"Siapakah ji-wi (anda berdua) dan ada keperluan apakah
mendatangi tempat kami?" Pertanyaan itu tegas akan tetapi cukup hormat. Ki Seng
memandang kepada mereka, lalu
berkata dengan nada suara halus.
"Aku bernama Ouw Ki Seng, ketua dari Ban-tok-pang dan
ini adalah pembantuku bernama A Kiu. Kami datang untuk
bertemu dan bicara dengan ketua kalian. Pek-eng Pang-cu."
"Orang muda, harap jangan berkati bohong. Aku sendiri
sudah pernah bertemu dengan para pimpinan Ban tok-pang.
Mereka adalah orang-orang yang sudah setengah tua,
ketuanya adalah Pangcu Ouw Kian dan wakilnya bernama
Ouw Sian. Bagaimana engkau berani mengaku bahwa engkau
yang menjadi ketua Ban-tok-pang?" kata kepala jaga, seorang yang usianya sudah
lima puluh tahun dan bertubuh tinggi
kurus. Ki Seng tersenyum. "Benar apa yanh kaukatakan, paman.
Akan tetapi kedua orang pemimpin Ban-tok-pang itu sekarang
telah meninggal dunia dan sebagai penggantinya, akulah yang
kini menjadi ketua Ban-tok-pang. Harap sampaikan kepada loeng-
hiong (pendekar tua) Ciang Hok, dan dia tentu akan
mengerti setelah bicara dengan aku."
Pada saat itu muncul seorang gadis berpakaian serba
kuning. Gadis ini berusia kurang lebih delapan belas tahun,
wajahnya cantik sekali, manis dan menggairahkan. Bentuk
tubuhnya ramping padat, rambutnya panjang sampai ke
pinggang, sebagian disanggul dan sebagian pula dibiarkan
menjuntai ke bawah. Alisnya kecil panjang melengkung indah,
menghias sepasang mata yang tajam bersinar, dengan
kerlingan setajam gunting. Hidungnya kecil mancung dan
mulutnya selalu dibayangi senyum manja. Ia melangkah maju
dan mengerutkan alisnya sambil memandang kepada Ki Seng.
"Siapakah yang ingin bertemu dengan ayahku?" tanyanya dengan suaranya yang
nyaring dan merdu. Ki Seng memandang dan dia terpesona. Pemuda ini belum
pernah bergaul dengan wanita, belum pernah jatuh cinta
kepada seorang wanita, bahkan belum pernah memikirkan
tentang wanita sama sekali. Akan tetapi, begitu melihat gadis
itu, darah mudanya bergolak dan dia terpesona. Belum pernah
dia melihat seorang atau sesuatu yang membuat jantungnya
terguncang sedemikian rupa. Dari ujung rambut sampai kaki
yang bersepatu hitam itu, gadis itu memiliki daya tarik yang
luar biasa sekali baginya. Setiap bagian tubuh gadis itu
mempesona, bahkan suaranya terdengar sedemikian
merdunya sehingga Ki Seng seperti kehilangan kesadaran dan
hanya berdiri memandang dengan mulut ternganga!
Sebaliknya, gadis itupun termangu ketika melihat bahwa
yang ditegurnya adalah seorang pemuda yang tampan dan
gagah, dan ia merasa geli melihat pemuda itu hanya
ternganga memandangnya. Akan tetapi ada rasa rikuh
menyelubungi rasa girang karena dari pengalamannya
dipandang mata pria yang terkagum-kagum kepadanya, ia
dapat menduga bahwa pemuda tampan inipun kagum
melihatnya. Hatinya merasa girang dan juga bangga!
"Hei, aku bertanya kepadamu! Siapakah engkau yang ingin
bertemu dengan ayahku?" kembali ia menegur dan kini
langsung memandang wajah Ki Seng.
Ki Seng gelagapan, seolah baru saja disentakkan kembali
ke dunia. "Eh..... ohh.... aku, aku yang ingin bertemu dengan Pekeng Pangcu. Apakah dia
itu ayahmu, nona?" Akhirnya dia
dapat menguasai ketegangannya dan berbalik mengajukan
pertanyaan yang terdengar ramah dan sopan.
"Dia adalah ayahku. Siapakah engkau dan apa perlumu
mencari ayah?" Ki Seng menjura dengan sikap hormat. "Aku bernama Ouw
Ki Seng, dan aku ingin bertemu dengan Pek-eng Pang-cu
untuk membicarakan urusan yang penting sekali."
Gadis itu mengamati Ki Seng, meman dang dengan penuh
selidik dari kepala sampai ke kaki. "Hemm, engkau datang
sebagai kawan atau lawan?"
Kembali Ki Seng tertegun mendengar pertanyaan yang
merupakan todongan ini. Akan tetapi, kemunculan gadis ini,
perjumpaannya dengan gadis itu telah sama sekali mengubah
semua rencana terhadap, Pek-eng-pang dalam hatinya.
"Aku...... datang sebagai kawan tentu saja!" katanya cepat setelah agak tergagap
sedikit. Gadis itu mengerutkan alisnya, "Hemm, sebagai kawan"
Agaknya engkau tidak pantas menjadi sahabat ayahku.
Pertama, usiamu tidak sebaya dengan dia, dan ke-dua,
apakah kepandaianmu sudah patut untuk dijadikan sahabat
ayahku" Para sahabat ayahku tentu orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi!" Ki Seng makin tertarik kepada gadis ini. Bicaranya begitu
ceplas-ceplos, terbuka dan jujur, "Aku juga memiliki ilmu kepandaian yang
kiranya tidak akan mengecewakan ayahmu,
nona." jawabnya sambil tersenyum.
"Hemm, aku meragukan hal itu. Beranikah engkau kalau
kuuji dulu sebelum engkau menemui ayahku" Kalau
kepandaianmu hanya dangkal saja, engkau tidak pantas minta
bertemu ayah dan urusanmu cukup kau bicarakan dengan
anak buah Pek-eng-pang, atau paling-paling juga kau
bicarakan dengan aku sudah cukup. Beranikah engkau?"
Ki Seng tersenyum lebar. Makin tertarik hatinya. Dalam
pandangannya, gadis itu selain cantik menarik juga amat lucu
dan manja, menyenangkan sekali baginya.
"Tentu saja aku berani, nona, asal nona tidak terlalu kejam kepadaku dan
menggunakan tangan besi terhadap diriku."
"Jangan khawatir! Ini hanya ujian saja, dan memang aku
suka sekali bertanding ilmu silat. Karena itu, kita bertanding tangan kosong
saja, tanpa senjata."
"Baiklah, nona."
"Mari ikut aku ke lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) di belakang, mari kita
mengambil jalan memutar lewat taman
bunga." kata gadis itu, mendahului Ki Seng sebagai penunjuk jalan. Ki Seng
mengikutinya dari belakang dan A Kiu mengikuti
di belakangnya. Para anak buah Pek-eng-pang yang ingin
sekali melihat nona mereka "menguji" tamu itu, menjadi tertarik sekali dan ikut
pula memasuki taman untuk pergi ke
ruangan berlatih silat yang berada di bagian belakang rumah
itu. Mereka ini tahu mengapa si gadis mengambil jalan lewat
taman bunga menuju ke belakang. Gadis itu takut kalau
perbuatannya "menguji" tamu diketahui ayahnya. Gadis yang pemberani dan keras
hati itu hanya merasa takut kepada
ayahnya saja. Setelah tiba di dalam ruangan yang luas dan kosong itu,
gadis yang lincah itu menghadapi Ki Seng dan bertanya "Hayo, siapa yang akan
maju lebih dulu, engkau ataukah temanmu
itu?" Ia menunjuk kepada A Kiu.
"Temanku ini hanya pengikut, kalau hendak menguji,
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
akulah yang harus diuji," jawab Ki Seng tenang.
"Bagus, bersiaplah, orang she Ouw!" seru gadis itu dan ia segera memasang kuda-
kuda. Karena ia seorang ahli Pek-eng
Sin-kun (Silat Sakti Garuda Putih) maka ia memasang jurus
pembukaan yang disebut Pek-eng-tiam-ci (Garuda Putih
Pentang Sayap), kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat
sampai ke lutut kaki kiri, kedua lengan terpentang ke kanan
kiri, kedua tangan ditegakkan dengan jari-jari menunjuk ke
atas. Sikapnya gagah sekali seperti seekor burung garuda
yang hendak terbang! Ki Seng menjadi semakin kagum dan dia berkata sambil
tersenyum manis. "Nona, karena engkau sudah mengetahui
namaku, maka sebelum kita bertanding, harap nona suka
memperkenalkan nama. Aku hanya tahu bahwa nona sebagai
puteri Ketua Ciang Hok, tentulah bermarga Ciang."
"Aku bernama Ciang Mei Ling. Sudahlah jangan banyak
cakap dan bersiaplah jntuk menghadapi seranganku!" kata Mei Ling tanpa bergerak
dari pasangan kuda-kudanya.
"Sejak tadi aku sudah siap, nona Ciang Mei Ling. Namamu
begitu indah......" "Awas, lihat seranganku!" bentak Mei Ling dan iapun sudah menyerang ke depan.
Lengan yang berkembang tadi terayun
dan sambil membanting kaki kanan ke depan, tangan
kanannya mengirim pukulan langsung ke arah dada Ki Seng.
Ki Seng yang tadinya berdiri santai saja, melihat datangnya
pukulan yang cukup cepat dan kuat mendatangkan angin
pukulan yang menyambar itu, mengelak dengan menarik kaki
kirinya ke belakang dan miringkan tubuhnya sehingga,
pukulan tangan kanan Mei Ling luput dan lenyap di samping
dadanya. Akan tetapi gerakan gadis itu memang cepat sekali. Begitu
pukulan itu luput, ia sudah menggeser kakinya dan menekuk
lengan kanannya sehingga kini siku kanan nya meluncur ke
arah dada Ki Sengl. Pemuda itu tentu saja dapat mengikuti
gerakan cepat ini dan diapun menggunakan tangan kirinya
untuk menangkis serangan siku itu. Akan tetapi Ki Seng
menggunakan sin-kang yang membuat tangannya menjadi
lunak dan kuat. Ketika siku Mei Ling bertemu dengan tangan
kiri Ki Seng, gadis itu merasa betapa sikunya bertemu dengan
daging lunak yang seolah menyedot tenaga serangannya! Ia
terkejut dan cepat melompat ke belakang lalu kakinya
mencuat dengan tendangannya yang cepat ke arah perut
pemuda itu. Kembali Ki Seng mengelak dengan loncatan ke
samping. Akan tetapi kaki kiri gadis itu bukan hanya
melakukan serangan satu kali saja, melainkan merupakan
tendangan berganda! Begitu luput, kaki itu ditekuk pada lutut
dan sudah menendang lagi, mengikuti ke mana pemuda itu
mengelak. Sampai empat kali kaki itu menyerang bertubi-tubi,
dan yang terakhir kalinya ditangkis oleh tangan yang lunak
namun kuat dari Ki Seng. Mei Ling merasa penasaran bukan main setelah melihat
betapa serangannya yang bertubi-tubi itu semua dapat
dielakkan atau ditangkis oleh pemuda itu. Selama ini belum
pernah ada seorangpun, wanita maupun pria yang mampu
mengalahkannya. Tingkat kepandaiannya sudah hampir dapat
menandingi tingkat kepandaian ayannya! Akan tetapi sekali
ini, serangannya yang bertubi dan dilakukan dengan sungguhsungguh itu semua
dapat dihindarkan pemuda itu dengan baik
dan tampaknya amat mudah! Penasaran membuat ia marah
dan sambil berseru nyaring ia menyerang lagi.
"Hyaaaatttt.....!" Kedua tangannya kini membentuk cakar garuda dan bergerak-
gerak ke depan, menyerang dengan
cakaran dan cengkeraman ke arah bagian tubuh yang
berbahaya dari lawan. Sasaran nya adalah lambung,
tenggorokan, dan muka! Akan tetapi kembali Ki Seng hanya
mempergunakan kecepatan gerakannya untuk mengelak, dia
sengaja membiarkan Mei Ling menyerang sampai tiga pulu
jurus lebih tanpa membalas satu kalipun juga. Hal ini
membuat gadis itu merasa gemas dan marah. Ia. merasa
dipandang rendah sekali. Maka ketika ada kesempatan, ia
berseru, "Balaslah kalau engkau mampu!"
Ditantang begini, Ki Seng tersenyum dan tiba-tiba
tangannya terjulur ke depan meluncur dengan cepat sekali ke
arah hidung Mei Ling, seolah hendak memegang hidung gadis
itu. Tentu saja Mei Ling cepat mengelak dengan merendahkan
tubuh dan menundukkan kepalanya dan pada saat itu ia
merasa ada sesuatu hinggap di kepalanya. Ketika ia meloncat
ke belakang dan meraba rambutnya, ternyata hiasan
rambutnya yang terbuat dari emas ditabur permata telah
lenyap dari kepalanya. Ketika ia memandang ke arah pemuda
itu, ternyata perhiasan kepala itu telah berada di tangan Ki
Seng! Wajah Mei Ling berubah merah dan tahulah ia bahwa
pemuda itu memiliki kepandaian yang luar biasa sehingga
dengan sekali serangan saja sudah dapat mengambil hiasan
rambutnya! Kalau dikehen-daki tentu saja tangan pemuda itu
tidak hanya mengambil hiasan rambut, akan tetapi melakukan
serangan yang akan membahayakan nyawanya. Dengan
dirampasnya hiasan rambut itu berarti ia sudah kalah mutlak
dan hal ini tidak mungkin dapat dibantahnya lagi.
"Maafkan aku, nona Ciang Mei Ling!" kata Ki Seng dengan lirih dan sekali
tangannya bergerak, ada sinar meluncur ke
arah kepala Mei Ling dan tahu-tahu hiasan rambut itu telah
terselip pula di rambutnya tanpa melukainya sedikitpun.
seolah dipasang oleh sebuah tangan yang tidak tampak.
Pada saat itu terdengar suara bentakan halus. "Apa yang
terjadi di sini?" Ki Seng memandang dan dia segera mengenal pria yang
gagah perkasa itu. Dia adalah Pek-eng Pangcu Ciang Hok yang
pernah dijumpainya ketika dia ber-kunjung ke perkampungan
perkumpulan itu bersama mendiang Petani Lai dani Nelayap
Gu. "Eh, orang muda, siapakah engkau?" tanya pula Ciang Hok sambil memandang kepada
Ki Seng. Ki Seng tersenyum ramah, lalu memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan di depan dada. "Apakah saya
berhadapan dengan yang terhormat locianpwe (orang tua
gagah) Ciang Hok ketua Pek-eng-pang?"
Dia pura-pura bertanya dan suaranya terdengar lembut dan
sikapnya sopan. "Benar, orang muda. Aku adalah Ciang Hok ketua Pek-engpang.
Siapakah engkau dan bagaimana engkau dapat berada
di sini" Apa yang telah terjadi?"
"Maafkan saya, locianpwe. Nama saya Ouw Ki Seng, ketua
Ban-tok-pang." "Apa" Bukankah ketua Ban-tok-pang adalah Ouw Kian dan
wakilnya adalah Ouw Sian kakak beradik itu?"
"Benar, mereka adalah paman-paman saya, locianpwe.
Akan tetapi kedua orang paman itu telah meninggal dunia dan
sayalah yang menggantikan mereka menjadi ketua Ban-tokpang."
"Hemm, begitukah" Lalu apa yang menjadi keperluanmu
datang berkunjung ke sini dan apa yang telah terjadi di sini?"
Dia bertanya dan menoleh untuk memandang kepada
puterinya yang menunduk sambil tersenyum-senyum manja.
"Maaf, Ciang-locianpwe. Ketika saya dan pengikut saya ini, A Kiu, tiba di depan
perkampungan, saya bertemu dengan
Nona Ciang Mei Ling. Nona Ciang mengatakan bahwa untuk
dapat bertemu dengan locianpwe saya harus diuji lebih dulu.
Saya diajak ke sini kemudian saya diuji ilmu silat oleh Noa
Ciang Mei Ling. Harap locianpwe sudi memaafkan karena saya terpaksa
datang ke lian-bu-thia ini."
Ciang Hok mengerutkan alisnya dan memandang puterinya.
"Benarkah itu, Mei Ling" Engkau telah menguji kepandaian
silatnya?" Gadis itu kembali tersenyum lalu mendekati ayahnya dan
memegang lengan ayahnya dengan manja. "Benar, ayah. Aku
pikir, orang sembarangan saja tidak pantas untuk minta
bertemu dengan ayah, maka aku sengaja menguji kepandaian
silatnya." "Dan hasilnya?"
"Aku kalah, ayah."
"Hemmm.......!" Kini Ciang Hok memandang kepada Ki
Seng dengan penuh perhatian. Orang yang dapat
mengalahkan puterinya tidak boleh dipandang ringan karena
tingkat kepandaian puterinya itu sudah mendekati tingkatnya
sendiri. "Ouw-pangcu, engkau belum menjawab pertanyaanku tadi.
Apakah keperluanmu datang berkunjung ke Pek-eng-pang?"
"Karena saya telah menjadi ketua Ban-tok-pang dan
mengingat bahwa perkumpulan kita sama-sama berada di
wilayah Thai-san, maka saya datang berkunjung untuk
memperkenalkan diri dan mengikat persahabatan."
Ciang Hok mengangguk-angguk dan senang hatinya
mendengar ini. Pemuda ini cukup tampan dan pembawaannya
gagah, juga sopan, ramah dan halus tutur sapanya. Juga
sebagai orang tua dia dapat menarik kesimpulan, melihat
sikap puterinya, bahwa puterinya agaknya tertarik kepada
pemuda yang telah mengalahkannya itu.
"Kalau begitu, silakan masuk, Ouw-pangcu, dan
pengikutmu yang bernama A Kiu itu. Kita bicara di dalam."
"Terima kasih, Ciang-locianpwe." jawab Ki Seng dengan girang. Setelah bertemu
dan berkenalan dengan Ciang Mei
Ling, rencananya berubah sama sekali. Tadinya dia berniat
untuk menguasai Pek-eng-pang pula seperti- dia telah
menguasai Hek-houw-pang, kalau perlu mem bunuh ketuanya.
Akan tetapi setelah bertemu Mei Ling, dia mengubah sama
sekali rencananya itu sehingga diam-diam A Kiu merasa heran
bukan main. Ciang Hok juga dapat menghargai persahabatan dengan
seorang ketua perkumpulan yang amat terkenal seperti Bantok-
pang, walaupun sebenarnya dia merasa agak risi
mengingat bahwa Ban-tok-pang adalah sebuah perkumpulan
sesat yang kabarnya amat kejam dan suka mempergunakan
racun terhadap musuh-musuhnya. Akan tetapi karena sikap
Ouw Ki Seng yang demikian ramah dan sopan, rasa risinya
menjadi hilang dan dia sudah menjamu pemuda itu dengan
sebuah pesta kecil. Yang duduk di sekeliling meja pesta itu
adalah Ciang Hok, isterinya, Ciang Mei Ling, lalu dua orang
tamunya, Ouw Ki Seng dan A Kiu.
Dengan sopan dan sikap yang menyenangkan sekali, Ki
Seng tiga kali mengangkat cawan araknya untuk menghormati
Ciang Hok, lalu isterinya, kemudian Mei Ling. Sikap ini amat
menyenangkan keluarga itu dan mereka segera merasa akrab.
Ciang Hok dan isterinya merasa tertarik sekali, dan suka
kepada pemuda ini. Masih begitu muda menjadi ketua sebuah
perkumpulan besar, dan melihat kenyataan bahwa dia mampu
mengalahkan Mei Ling mudah diduga bahwa dia juga telah
memiliki kepandaian tinggi.
"Ouw-pangcu, kalau boleh aku bertanya, apakah pangcu
sudah berumah tangga?"
Ki Seng tersenyum mendengar pertanyaan ini. "Sama sekali
belum, locianpwe." "Ah, Ouw-pangcu, harap jangan menyebut aku locianpwe.
Setelah kita berkenalan, lebih akrab kalau engkau menyebut
pangcu atau paman saja kepadaku."
"Baiklah, Paman Ciang dan terima kasih atas kehormatan
yang diberikan kepada saya."
"Engkau sudah menjadi ketua sebuah perkumpulan besar
seperti Ban-tok-pang, mengapa belum beristeri?"
"Ah, saya masih terlalu muda, paman, baru berusia dua
puluh satu tahun, juga baru saja menjadi ketua."
"Akan tetapi tentu sudah mempunyai seorang tunangan,
seorang calon isteri." kata Ciang Hok.
Secara otomatis Ki Seng melirik ke arah Mei Ling yang
duduk di depannya di seberang meja dan dia tersenyum, agak
tersipu dan menggeleng kepala. "Juga belum, paman."
Pada saat itu, terdengar bunyi genderang dipukul di luar
gedung tempat tinggal Ketua Ciang.
"Ah, rombongan piauwsu (pengawal kiriman barang) telah
pulang!" kata Ciang Hok dan diapun bangkit dari tempat
duduknya. Mei Ling dan ibunya juga bangkit berdiri dan
mengikuti Ciang Hok keluar. Dengan sendirinya Ki Seng dan A
Kiu juga bangkit berdiri dan mengikutil mereka keluar yang
agaknya hendak menyambut kedatangan para piauwsu yang
baru pulang dari mengawal barang. Biasa nya, para piauwsu
yang kembali dara kota itu membawa barang-barang
belanjaan untuk mereka dari hasil yang mereka peroleh dari
biaya pengawalan barang. Bahkan Nyonya Ciang dan anak
perempuannya memesan beberapa bahan pakaian kepada
pimpinan piauwsu dan sekarang tentu saja dengan girang
mereka menyambut kedatangan rombongan itu untuk
"melihat" pesanan mereka.
Akan tetapi alangkah terkejut hati keluarga Ciang ketika
melihat keadaan belasan orang piauwsu itu. Jumlah piauwsu
yang mengawal kiriman itu berjumlah tujuh belas orang
karena sekali ini barang yang dikawal amat berharga, dan
ketujuh belas orang piauwsu itu rata-rata piauwsu pilihan atau para murid
tingkat pertama yang sudah memiliki ilmu
kepandaian yang lumayan tingginya, rata-rata telah
menguasai ilmu silat Pek-eng Sin-kun dan ilmu pedang Pekeng
Kiam-sut. Akan tetapi mereka kembali tanpa membawa
kereta yang biasa mereka bawa untuk memuat dan menarik
barang kiriman, dan mereka semua dalam keadaan luka-luka!
Bahkan ada tiga orang yang lukanya berat sehingga harus
digotong. "Apa....... apa yang terjadi.....?" Ciang Hok bertanya kepada seorang piauwsu
yang berwajah brewokan dan
bertubuh tinggi. Piauwsu ini adalah kepala dari rombongan
piauwsu yang mengawal barang berharga itu.
"Ah, celaka, pangcu!" kata piauwsu brewok itu dengan muka pucat. Pangkal lengan
kanannya masih dibalut dan ada
bekas darah pada balutan itu. "Kami dihadang perampok di
lereng Bukit Merak. Kami melawan akan tetapi perampok itu
lihai sekali, kami semua terluka dan kereta bersama barangbarang itu dibawa
pergi perampok!" Ciang Hok mengerutkan alisnya. Sudah puluhan kali dia
sendiri mengawal barang lewat Bukit Merak, akan tetapi belum
pernah menghadapi gangguan perampok.
"Berapa orang banyaknya perampok itu?"
"Hanya seorang saja, pangcu."
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ciang Hok terbelalak. "Hanya seorang saja dan kalian tujuh belas orang kalah
olehnya?" teriak Ciang Hok penasaran.
"Siapakah orang itu?"
Ciang Mei Ling yang juga merasa penasaran lalu
menyambung ucapan ayahnya. "Paman, ceritakan sejelasnya
bagaimana terjadinya peristiwa perampokan itu."
Piauwsu brewok itu lalu menghela napas panjang dan
bercerita dengan sikap yang lebih tenang. "Ketika kereta kami tiba di lereng
Bukit Merak, suasananya tenang dan sunyi. Kami
sama sekali tidak menyangka buruk ketika tiba-tiba dari atas
lereng turun seorang wanita yang memakai sebuah payung
merah. Akan tetapi tentu saja kami tertarik sekali karena
penglihatan itu sungguh luar biasa dan aneh. Di tempat yang
sunyi itu tampak seorang wanita muda yang cantik,
berpakaian mewah memakai payung seperti orang sedang
berjalan-jalan saja. Akan tetapi ketika kami berpapasan,
wanita itu sengaja menghadang di tengah jalan sehingga
terpaksa kereta barang kami yang ditarik dua ekor kuda itu
kami hentikan agar jangan menabraknya."
"Hemm, tindakannya itu aneh, apakah kalian tidak
mencurigainya?" tanya Ciang Hok.
"Kami sama sekali tidak curiga, pangcu. Ia hanya seorang
wanita yang tampaknya baru berusia kurang lebih dua puluh
tahun, selain cantik juga pakaiannya menunjukkan bahwa ia
seorang yang kaya raya, dan iapun sama sekali tidak
membawa senjata. Akan tetapi ketika kami bertanya dan
menegurnya supaya menyingkir dan minggir, ia mengatakan
bahwa ia menghendaki kereta barang kita! Tentu saja kami
marah dan timbul pertengkaran, kemudian kami berusaha
menangkapnya karena dari tingkah dan ucapannya jelas
bahwa ia seorang perampok yang hendak merampok kereta
barang yang kami kawal. Akan tetapi, ternyata ia lihai bukan
main. Ia menggunakan sehelai sabuk merah sebagai senjata
dan kami semua tidak mampu menandinginya, bahkan kami
semua dapat ia robohkan dengan menderita luka-luka. Ia lalu
meloncat ke atas kereta, memukul jatuh kusirnya dan ia
mengusiri sendiri kereta itu, melarikannya menuju ke atas
bukit. Kami tidak kuasa mengejarnya, pula kami memang
bukan tandingannya, maka terpaksa kami pulang dan
melaporkan kepada pangcu."
00dewi00 Jilid XVII "APAKAH ia tidak meninggalkan nama?" tanya Ciang Mei Ling penasaran sekali.
"Kami juga meneriakinya agar ia meninggalkan nama dan
ia berseru bahwa namanya Sian Hwa Sian-li (Dewi Bunga
Dewa)." Cang Hok mengerutkan alisnya. "Sian Hwa Sian-li" Hemm,
tak pernah aku mendengar ada tokoh dengan julukan seperti
itu. Ouw-pangcu, apakah engkau pernah mendengar nama
julukan itu?" Tanya Ciang Hok kepada Ki Seng yang sejak tadi hanya mendengarkan
saja. "Belum pernah, Paman Ciang." jawab Ki Seng.
"Julukan itu bukan seperti julukan seorang tokoh sesat,"
kata Mei Ling. "Lebih pantas menjadi julukan seorang pertapa wanita."
"Siapapun adanya wanita itu, ia telah merampok barang
berharga yang menjadi tanggungan kita. Aku harus
mengejarnya ke Bukit Merak sekarang juga!" kata Ciang Hok penuh kemarahan sambil
meraba golok besar yang tergantung
di punggungnya. "Ayah, biar aku saja yang akan mencari dan menghajarnya,
lalu merampas kembali barang tanggungan kita!" kata Mei
Ling dengan sikap gagah. "Ia seorang wanita muda, akulah
lawannya!" "Aku akan menemanimu, Nona Ciang!" kata Ki Seng sambil memandang wajah gadis
itu. Kemudian disambungnya cepat
sambil memandang kepada Ciang Hok. "Paman Ciang, ijinkan
saya membantu untuk merampas kembali kereta barang itu,
sebagai tanda persahabatan antara kita."
Ciang Hok mengangguk-angguk. "Terima kasih atas
bantuanmu, Ouw-pangcu. Akan tetapi karena urusan ini cukup
gawat, aku sendiripun akan pergi mencarinya. Biarlah kita
pergi bertiga, siapa tahu kalau-kalau wanita itu mempunyai
kawan-kawan di sana."
Demikianlah, Ciang Hok, Ciang Mei Ling dan Ouw Ki Seng
berangkat menuju ke Bukit Merak. Mereka bertiga
menunggang kuda dan untuk keperluan itu, Ciang Hok telah
menyediakan tiga ekor kuda terbaik.
oo000oo Karena hari telah menjadi malam, dan cuaca yang gelap
tidak memungkinkan mereka melanjutkan perjalanan, Ciang
Hok mengajak dua orang muda itu untuk berhenti di sebuah
dusun. Dia sudah mengenal baik kepala dusun karena dia
sering melakukan pengawalan barang lewat dusun itu. Kepala
dusun menerima mereka dengan ramah dan selain menjamu
mereka makan malam, juga menyediakan tiba buah kamar
untuk mereka. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ciang
Hok sudah berpamit dari tuan rumah untuk melanjutkan
perjalanan menuju ke Bukit Merak yang jauhnya dari situ
masih setengah hari perjalanan naik kuda.
Ketika mereka bertiga tiba di kaki Bukit Merak, suasana di
tempat itu sudah sunyi karena jauh dari dusun-dusun. Jalan
raya yang kasar itu memang melewati Bukit Merak, mendaki
lereng bukit itu. Matahari telah naik tinggi ketika mereka
bertiga melarikan kuda mendaki lereng bukit.
Tiba di tempat di mana para piauWsu kemarin dulu
dihadang dan dirampok seperti diterangkan para piauwsu,
Ciang Hok menghentikan kudanya, diturut oleh Mei Ling dan
Ki Seng. Mereka bertiga memandang ke sekeliling yang
tampak sunyi, tidak ada seorangpun di sekitar situ.
"Sunyi sekali di sini, ke mana kita harus mencarinya?" kata Mei Ling.
"Menurut keterangan mereka, kereta barang itu dilarikan
menuju ke puncak bukit. Mari kita kejar ke sana, mungkin
penjahat itu bersembunyi di bagian atas bukit." kata Ciang Hok.
Tiba-tiba Ki Seng berkata, "Lihat, siapa itu yang datang!"
Ayah dan anak itu menoleh kepadanya dan melihat bahwa Ki
Seng menunjuk ke arah belakang dari mana mereka tadi
datang dan mereka berdua terbelalak melihat seorang wanita
berjalan datang. Wanita muda berpakaian mewah dan
berpayung merah! Ciang Hok segera meloncat turun dari atas
kudanya, di kuti oleh Mei Ling dan Ki Seng.
Ki Seng memandang dengan kagum. Gadis itu berusia
kurang lebih dua puluh tahun. Cantik jelita dengan dandanan
yang mewah dan rapi. Rambutnya hitam panjang, digelung
tinggi di atas kepala dan dihias dengan burung Hong dari
emas permata. Telinganya memakai anting-anting yang juga
terbuat dari emas permata. Demikian pula lehernya dihias
kalung dan pada kedua lengan tangannya terhias gelang
emas. Pakaiannya dari sutera halus berkembang. Pinggangnya
yang ramping memakai sabuk merah. Payung yang
dipegangnya juga berwarna merah dan payung itu ujungnya
runcing, gagangnya terbuat dari perak. Ia berjalan
menghampiri dengan ayunan kaki berlenggang seperti langkah
seorang penari yang pandai, berlenggang-lenggok. Pinggang
yang ramping itu seperti patah-patah ke kanan kiri dan
pinggul yang besar itu membuat ayunan ke kanan kiri.
Wajahnya yang cantik menjadi semakin manis karena ia
tersenyum dan sepasang matanya yang tajam itu mengamati
mereka bertiga lalu berhenti pada wajah Ki Seng dan
tersenyum melebar sehingga tampak kilatan giginya yang
putih. Kulitnya putih kuning dan mulus. Sungguh merupakan
seorang gadis yang cantik, bahkan dalam pandangan Ki Seng
kecantikan wanita itu menandingi kecantikan Mei Ling!
Ciang Hok juga tertegun dan agaknya dia merasa agak
rikuh untuk menegur seorang gadis cantik seperti itu. Mei Ling yang tidak ragu
lagi bahwa inilah orangnya yang merampok
kereta barang para piauwsu, segera melangkah maju
menyambut kedatangan gadis berpayung itu. Payung
berwarna merah itu mendatangkan bayang-bayang merah
sehingga wajah gadis itupun menjadi agak kemerahan,
menambah kejelitaannya. "Berhenti dulu!" bentak Mei Ling setelah ia berhadapan dengan gadis berpayung
itu. Gadis itu berhenti melangkah dan
memandang kepada Mei Ling, mengamatinya dari kepala
sampai ke kaki dan tetap tersenyum manis dengan sikap
tenang sekali. "Apa yang kau kehendaki, adik yang manis?" tanyanya, sikapnya mengejek dan
memandang rendah. Mei Ling menudingkan telunjuk kanan nya ke arah muka
gadis itu dan bertanya, "Apakah engkau yang berjuluk Sian Hwa Sian-li?"
Wanita itu tersenyum dan memainkan matanya yang tajam,
kerlingnya menyambar ke arah Ki Seng. "Hemm, matamu
tajam juga, adik yang manis. Memang benar akulah yang
disebut Sian Hwa Sian-li. Dan engkau siapakah?"
"Aku bernama Ciang Mei Ling, puteri dari ketua Pek-engpang.
Benarkah engkau telah merampok dan melarikan kereta
berisi barang-barang yang dikawal oleh para piauwsu Pekeng-
pang dan melukai mereka?"
Wanita itu memutar-mutar payung yang dipanggul di atas
pundak kirinya dan tertawa sehingga deretan giginya tampak
berkilauan. "Kalau benar, engkau mau apa, Ciang Mei Ling?"
Pertanyaan ini diajukan seperti bertanya kepada seorang anak
kecil, nadanya mengejek dan memandang rendah sekali.
"Kembalikan kereta berisi barang-barang itu!" bentak Mei Ling sambil mencabut
pedangnya dan mengelebatkan
pedangnya itu di depan Sian Hwa Sian-li yang masih
tersenyum mengejek. "Hik-hik, ambil ah dariku kalau engkau mampu!"
"Perempuan jahanam, engkau patut dihajar!" bentak Mei Ling yang sudah menjadi
marah sekali dan ia menggerakkan
pedangnya lalu berseru, "Lihat pedangku!" Pedang itu ia gerakkan dengan tusukan
yang meluncur cepat ke arah dada
Sian Hwa Sian-li. "Singgg...!" Pedang itu berdesing seperti anak panah ketika menusuk ke arah
lawan. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li bersikap
tenang saja dari. ia menggerakkan payung yang tadi
dipanggulnya di pundak kiri itu dengan tangan kiri,
menghadang pedang Mei Ling.
"Tranggg.....!" Ujung payung yang runcing itu sudah
menangkis pedang dan Mei Ling merasa betapa tangannya
yang memegang pedang terguncang hebat. Diam-diam ia
terkejut dan maklum bahwa lawannya memiliki tenaga sakti
yang amat kuat. Namun, gadis perkasa ini tidak menjadi
gentar dan ia menyerang lagi dengan gencar dan dahsyat.
Karena maklum bahwa lawannya adalah seorang yang
tangguh maka ia lalu mainkan pedangnya dengan ilmu pedang
Pek-eng Kiam-sut. Pedangnya menyambar-nyambar laksana
seekor garuda menerkam mangsanya.
"Trang-trang-trang.....!" Kembali pedang yang menyerang secara bertubi-tubi itu
tertangkis oleh payung dan tiba-tiba
payung itu menutup lalu ujungnya yang runcing meluncur dan
menusuk ke arah lambung Mei Ling! Dara perkasa ini pun
cepat mengelak dan pedangnya balas menyerang. Terjadilah
saling serang yang hebat, dan payung itu terbuka tertutup
membingungkan Mei Ling. Setiap kali menghadapi serangan
berbahaya, payung itu terbuka dan berubah menjadi semacam
perisai yang kokoh kuat karena tulang-tulangnya terbuat dari
baja murni yang kuat dan kalau digunakan untuk menyerang,
payung itu tertutup dan dalam keadaan tertutup payung itu
dapat digunakan untuk menusuk atau juga memukul.
Setelah lewat lima puluh jurus belum juga ia dapat
mengalahkan Mei Ling yang melakukan perlawanan dengan
gigih walaupun ia sudah dapat mendesaknya, Sian Hwa Sian-li
menjadi penasaran dan tiba-tiba tangan kanannya melolos
sabuk sutera merah dari pinggangnya. Ketika ia
menggerakkan tangan kanan itu, tampak sinar merah
bergulung-gulung seperti kilat menyambar ke arah kepala Mei
Ling! Dara ini cepat menggerakkan pedangnya ke atas untuk
menangkis dan sekaligus memutuskan sabuk sutera merah itu.
Akan tetapi ujung sabuk sutera merah itu, seperti seekor ular
saja, telah menggulung dan membelit ujung pedang sehingga
pedang Mei Ling tidak dapat ditarik kembali. Pada saat itu,
payung itu tertutup dan meluncur ke arah dada Mei Ling
dengan cepat sekali. Mei Ling terkejut. Tak mungkin menangkis karena
pedangnya masih tertahan oleh belitan sabuk. Maka ia
menarik pedang dengan tenaga sepenuhnya sambil
menambah tenaga dengan berat badannya yang ditarik
condong ke belakang untuk mengelakkan tusukan payung.
Pada saat itu, secara tiba-tiba Sian Hwa Sian-li melepaskan
libatan sabuknya dan tidak dapat dicegah lagi, tubuh Mei Ling
terjengkang ke belakang dengan kerasnya, terdorong oleh
tenaga tarikan dan berat badannya sendiri.
Untung bahwa Mei Ling telah memiliki gin-kang (ilmu
meringankan tubuh) yang tinggi dan memiliki ketenangan. Ia
masih dapat mematahkan tenaga dorongan itu dengan cara
melompat ke belakang membuat pok-sai (salto) sampai tiga
kali sebelum kakinya hinggap di atas tanah, walaupun dalam
keadaan terhuyung-huyung. Wajahnya berubah kemerahan.
Nyaris ia terancam maut di ujung payung lawan.
"Mundurlah, Mei Ling!" kata Ciang Hok yang sudah
mencabut golok besarnya dan dia melompat ke depan
menghadapi gadis berpayung yang kini tersenyum-senyum
mengejek itu. Melihat ayahnya maju, dan merasa bahwa ia
tidak mampu menandingi lawan, Mei Ling mundur ke dekat Ki
Seng yang hanya berdiri menonton.
"Sian Hwa Sian-li, kami tidak ingin bermusuhan denganmu.
Kami datang dan minta dengan baik-baik agar barang dalam
kereta dikembalikan kepada kami. Barang-barang itu bukan
milik kami, hanya menjadi tanggung jawab kami sebagai
piauwsu yang mengawal barang itu. Harap engkau suka
memandang persahabatan di dunia kang-ouw dan
mengembalikan barang-barang itu kepada kami."
Pada saat itu Sian Hwa Sian-li melihat Ki Seng dan segera
perhatiannya tertuju kepada pemuda yang tampan dan tinggi
tegap itu. Senyumnya melebar sehingga deretan giginya yang
putih mengkilap dan matanya mengerling tajam. Ia seolah
tidak mendengar ucapan Ciang Hok karena perhatiannya
tertuju kepada Ki Seng. Melihat wanita cantik itu hanya senyum-senyum dan
melirik-lirik kepada Ouw Ki Seng, Ciang Hok mengerutkan
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
alisnya dan bertanya lagi dengan suara nyaring. "Sian Hwa Sian-li, jawablah
ucapanku!" "Eh..... oh......apa" Apa yang kauucapkan tadi?" tanya Sian Hwa Sian-li sambil
memandang ketua Pek-eng-pang itu.
Ki Seng yang sejak tadi memperhatikan wanita itu diamdiam
merasa geli, juga merasa senang hatinya. Dia telah
tertarik sekali kepada Sian Hwa Sian-li sejak pertama kali
melihatnya. Sungguh seorang wanita yang amat cantik, juga
memiliki mata dan mulut yang menggairahkan dan
menggemaskan. Apa lagi dia melihat bahwa wanita itu
bermain mata dan tersenyum-senyum manis kepadanya!
Biarpun selama ini Ki Seng belum pernah bergaul dengan
wanita, bahkan tidak pernah memperhatikan wanita dan untuk
pertama kalinya hatinya tertarik adalah ketika bertemu Ciang
Mei Ling, akan tetapi dia dapat merasakan bahwa Sian Hwa
Sian-li menaruh hati dan suka kepadanya.
"Kukatakan tadi kepadamu agar engkau suka
mengembalikan barang-barang dan kereta yang kaurampas
dari tangan para anak buah kami. Aku tidak ingin bermusuhan
denganmu dan kalau engkau mengembalikan kereta dan
isinya kepadaku, kita habiskan perkara antara kita sampai di
sini saja." kata pula Ciang Hok.
Sian Hwa Sian-li yang sudah membuka payungnya dan
memanggul payung itu di pundak kiri dengan tangan kirinya,
memutar-mutar payung itu dan tersenyum. "Agaknya engkau
ini yang menjadi ketua Pek-eng-pang, Benarkah?" tanyanya.
"Benar, aku adalah Ciang Hok, pangcu (ketua) dari Pekeng-
pang. Kami harap sekali lagi agar engkau mengembalikan
kereta dengan isinya kepada kami."
Kembali Sian Hwa Sian-li memutar-mutar payung di atas
pundaknya dan ia pun berkata dengan suaranya yang merdu
dan lantang. "Pangcu, aku telah merampas kereta dan isinya menggunakan
kepandaian, karena itu kalau mampu,
pergunakanlah kepandaianmu untuk merampasnya dariku.
Kalau engkau dapat mengalahkan aku, kereta dan isinya itu
boleh kau ambil kembali dan tidak ada satupun dari isinya
yang berkurang." "Engkau adalah seorang wanita yang memiliki kepandaian
tinggi. Apakah dengan perbuatanmu ini engkau ingin disebut
sebagai seorang perampok?" kata pula Ciang Hok penasaran.
Dia ingin agar wanita itu menjadi malu dan mengembali kan
barangnya tanpa harus bertanding karena tadi dia melihat
betapa lihainya wanita itu ketika bertanding melawan Mei Ling
dan dia sendiri sangsi apakah dia akan mampu mengalahkan
wanita berpayung itu. Mendengar ucapan Ciang Hok itu, Sian Hwa Sian-li tertawa.
Ketika mulutnya terbuka karena tawa itu, Ki Seng yang sejak
tadi mengikuti setiap gerakgeriknya,
melihat di antara deretan gigi putih itu tampak
lidah yang ujungnya merah dan rongga mulut yang lebih
merah lagi. Selama ini belum pernah dia memperhatikan
penglihatan seperti ini dan jantungnya berdebar. Wanita ini
sungguh cantik luar biasa dan memiliki daya tarik yang amat
kuat, pikirnya. Tampaknya sebaya dengan Mei Ling, tidak lebih
dari dua puluhan tahun usianya, walaupun Ki Seng dapat
menduga bahwa wanita itu tentu lebih tua dari tampaknya,
melihat sikap dan gerak-geriknya yang matang dan terkendali.
"Heh-heh-hi-hik! Ciang-pangcu, aku bukan seorang
perampok murahan! Akan tetapi sekarang aku adalah
penguasa Bukit Merak, oleh karena itu, siapapun juga yang
lewat di jalan melalui Bukit Merak ini, harus mendapat ijin
dariku. Akan tetapi para piauwsu anak buahmu tidak mau
menghormati aku dan mengakui kekuasaanku. Oleh karena itu
aku tahan kereta mereka dan semua isinya, hendak kulihat
kalian dapat berbuat apa!"
"Hemm, begitukah, Sian Hwa Sian-li" Kalau begitu, biarlah sekarang aku yang
menyatakan hormatku kepadamu dan aku
yang mintakan ijin untuk mereka. Lain kali kalau mereka
mengawal barang lewat di tempat ini akan kupesan mereka
agar menghadapmu untuk menyampaikan hormat mereka."
"Tidak semudah itu, Ciang-pangcu. Aku sudah merasa
tersinggung, dan aku katakan tadi, aku merampas kereta itu
menggunakan kepandaian. Karena itu, seperti kebiasaan dunia
kang-ouw, engkau pun harus mempergunakan kepandaianmu
kalau ingin mendapatkannya kembali!" Dalam ucapan yang
dikeluarkan dengan suara halus merdu itu terkandung
tantangan! "Bagus! Kalau begitu terpaksa aku harus mempergunakan
kekerasan seperti yang kau kehendaki, Sian Hwa Sian-li!" kata Ciang Hok dengan
muka berubah merah dan tangan kanannya
sudah mencabut sebatang golok besar yang tadi tergantung di
pinggangnya. Sian Hwa Sian-li juga maklum bahwa lawannya sekali ini
tentu memiliki tingkat kepandaian yang lebih tinggi
dibandingkan Mei Ling, maka iapun sudah menggerakkan
tangan kanannya untuk melolos sabuk merah yang tadi sudah
dikenakan kembali melingkari pinggangnya yang amat
ramping itu. Sambil memutar-mutar payung di pundak kirinya
dan menggantungkan sabuk merah di tangan kanan, Sian Hwa
Sian-li melangkah maju menghampiri Ciang Hok.
"Perlihatkan kemampuanmu, Ciang-pangcu!" katanya dan kembali matanya mengerling
ke arah Ki Seng disertai senyuman memikat. "Sian Hwa Sian-li, lihat serangan golokku!" Ciang Hok membentak dan dia pun
segera menggerakkan goloknya
menyerang dengan jurus Tiong-sin-hian-in (Menteri Setia
Persembahkan Cap Kebesaran). Golok menyambar ke depan
dan tangan kiri juga membantu tangan kanan memegang
gagang golok sehingga tusukan itu dilakukan dengan
pengerahan tenaga kedua tangan. Golok meluncur dengan
amat cepat dan kuatnya. Akan tetapi dengan gerakan tubuh
yang ringan sekali. Sian Hwa Sian-li telah mengelak ke samping sambil
memutar payungnya yang menyambar ke depan untuk
menghalau golok lawan, kemudian dari samping, sabuk
merahnya menyambar dan menotok ke arah pelipis kiri Ciang
Hok. Serangan balasan inipun cepat dan berbahaya sekali
karena kalau ujung sabuk merah itu sampai mengenai sasaran
di pelipis, dapat merenggut nyawa lawan!
Ciang Hok maklum akan datangnya se rangan maut, maka
diapun sudah melangkah mundur dan menarik goloknya lalu
memutar tubuh dengan jurus Sin-eng-hoan-sin (Garuda Sakti
Memutar Badan). Tubuhnya berputar satu kali dan tiba-tiba
goloknya mencuat dan menyambar ke arah leher lawan!
Sian Hwa Sian-li memutar pergelangan tangan kirinya dan
payungnya yang masih terbuka itu menangkis golok. Tak
dapat dicegah lagi golok beradu dengan ujung payung, keras
sekali. "Tranggg.......!" Bunga api berpijar dan Ciang Hok merasa betapa tangannya
tergetar hebat dan cepat dia menarik
goloknya agar tidak sampai terlepas dari pegangannya.
Tahulah dia bahwa wanita cantik itu memiliki tenaga sin-kang
yang luar biasa kuatnya. Diapun cepat memutar goloknya dan
memainkan ilmu golok Pek-eng To-hoat (Ilmu Golok Garuda
Putih) yang merupakan ilmu andalan Pek-Eng-pang. Goloknya
berubah menjadi gulungan sinar putih dan mengeluarkan
suara berdesingan. Akan tetapi Sian Hwa Sian-li menghadapi gulungan sinar
golok ini dengan tenang saja. Ia menggerakkan payungnya
sehingga tertutup dan kini ia mainkan payung yang tertutup
itu sebagai sebatang pedang, mengimbangi putaran golok
lawan, sedangkan sabuk merahnya siap untuk melakukan
serangan selingan. Terjadilah pertandingan yang seru. Akan
tetapi setelah pertandingan berlangsung tiga puluh jurus, Ki
Seng melihat dengan jelas betapa Ciang Hok akan kalah.
Goloknya kini hanya bergerak untuk mempertahankan diri saja
dari desakan sepasang senjata yang amat lihai dari lawan.
"Haaai i i tttt........ singgg.....!!" Golok menyamoar dahsyat karena dalam
keadaan terdesak itu, Ciang Hok yang merasa
penasaran mengerahkan seluruh tenaganya dan membalas
serangan bertubi lawan dengan bacokan golok dalam jurus
Pek-ho-to-coa (Bangau Putih Sambar Ular). Bacokan itu hebat
sekali, menyambar dari atas ke bawah ke arah leher lawan.
Seperti tadi ketika mengalahkan Mei Ling, sabuk merah
Sian Hwa Sian-li meluncur dan menyambut golok itu, ujungnya
melilit bagaikan ular dan golok itu tertahan di udara. Pada saat mereka
bersitegang saling tarik, payung itu menyambar ke
bawah. Dua kali payung itu me-notok ke arah lutut Ciang Hok
dan ketua Pek-eng-pang ini tidak mampu mengelak. Kedua
lututnya tersentuh ujung payung dan diapun jatuh berlutut!
Kini payung itu meluncur dan menyambar ke arah kepala.
Akan tetapi tiba-tiba payung itu bertemu dengan sebuah
lengan yang amat kuat sehingga payung itu terpental kembali.
Sian Hwa Sian-li terkejut dan cepat melompat kebelakang
sambil menarik sabuk merahnya. Ketika dengan kaget dan
heran ia memandang, ternyata yang menangkis payungnya
tadi adalah pemuda yang sejak tadi telah amat menarik
perhatiannya. Pemuda yang tampan gagah dan sikapnya
tenang sekali itu. Sementara itu, Mei Ling segera membantu
ayahnya untuk bangkit dan Ciang Hok mengundurkan diri
sambil terpincang-pincang. Untung wanita itu tidak
mempergunakan seluruh Lenaganya ketika menotok dengan
ujung payungnya tadi sehingga tulang lututnya tidak patah
dan tidak ada otot yang putus.
Kini Ki Seng berhadapan dengan Sian Hwa Sian-li. Sejenak
kedua orang itu hanya saling pandang. Keduanya tersenyum
karena dari tatapan mata keduanya jelas sekali memancarkan
kekaguman. Senyum Sian Hwa Sian-li manis sekali karena
wanita ini menjadi semakin kagum. Kalau tadi ia hanya kagum
melihat ketampanan dan kegagahan sikap Ki Seng, kini
kekagumannya meningkat melihat betapa pemuda itu sanggup
menangkis payungnya dengan lengan dan membuat
payungnya terpental. Hal ini hanya berarti bahwa pemuda itu
memiliki tenaga yang kuat sekali.
"Sian Hwa Sian-li, tidak ada gunanya engkau mendesak
orang yang sudah kalah. Kalau hendak bertanding, akulah
lawanmu!" kata Ki Seng dengan suaranya yang lembut dan
sikapnya yang halus, matanya menggerayangi tubuh wanita
itu dari kepala sampai ke kaki. Melihat ini, Sian Hwa Sian-li
memperlebar senyumnya dan sebelum mengeluarkan katakata,
lebih dulu ia menjilat bibirnya dengan lidahnya yang
merah. "Orang muda yang gagah, siapakah engkau dan apa
hubunganmu dengan Pek-eng-pang maka engkau mencampuri
urus-anku dengan mereka?" suaranya seperti orang
bernyanyi. "Aku bernama Ouw Ki Seng, ketua Ban-tok-pang yang
berada di Puncak Bi-ruang di Thai-san."
"Ahh! Kiranya ketua Ban-tok-pang yang telah terkenal di
seluruh dunia kang-ouw! Dan mengapakah Ban-tok Pangcu
mencampuri urusanku dengan Pek-Eng-pang?"
"Ketahuilah, Sian Hwa Sian-li. Pada saat ini aku menjadi
tamu dari Pek-eng-pang. Di antara kedua perkumpulan itu
terdapat hubungan persahabatan. Karena itu, sebagai sahabat
Pek-eng-pang, aku tidak dapat melepas tangan begitu saja.
Kuharap engkau suka memandang aku sebagai ketua Ban-tokpang
untuk mengembalikan kereta berikut isinya kepada
Ciang-pangcu yang tidak ingin bermusuhan denganmu."
Sian Hwa Sian-li tersenyum manis. "Sebetulnya, setelah
Pek-eng Pangcu dan puterinya tidak dapat mengalahkan aku,
maka kereta berikut isinya itu sudah mutlak menjadi hak dan
milikku. Akan tetapi karena Ouw-pangcu dari Ban-tok-pang
yang memintakannya, baiklah aku akan menurut omonganmu,
akan tetapi dengan dua syarat. Kalau kedua syarat itu tidak
dipenuhi, sampai bagaimanapun uga aku tidak akan
mengembalikan kereta dan barang-barang itu."
"Katakan, apa kedua syarat itu?" tanya Ki Seng sambil menatap wajal cantik itu
sambil tersenyum. "Pertama, engkau harus mampu menandingiku aku selama
seratus jurus" tantang wanita itu sambil memutar pa yungnya di belakang
pundaknya. Ki Seng mengangguk. "Aku sanggul melakukan hal itu.
Asalkan engkau tidak mempergunakan tangan kejam, kiranya
aku akan mampu bertahan melayanimu sampai seratus jurus.
Apa syaratnya yang kedua?"
"Syarat ke dua tidak sukar untuk engkau lakukan. Kalau
engkau sudah mampi menandingi aku sampai seratus jurus,
aku akan mengembalikan kereta beserta seluruh isinya. Akan
tetapi tidak ada orang lain yang boleh pergi bersamaku ke
puncak Bukit Merak untuk mengambilnya kecuali engkau,
Ouw-pangcu. Engkau harus mengambilnya dari puncak dai
berdiam di sana sebagai tamuku selama tiga hari.
Bagaimana?" Mendengar syarat yang ke dua itu Ouw Ki Seng tersenyum
dan jantungnya berdebar aneh. Sedangkan Ciang Hok dan Mei
Ling, terutama gadis itu, mengerutkan alisnya dan
menganggap usul itu tidak tahu malu! Seorang wanita
mengundang seorang pemuda menjadi tamunya selama tiga
hari! Akan tetapi karena mereka sudah kalah, pula karena
mereka mengharapkan dikembalikannya kereta beserta semua
isinya, mereka hanya mengerutkan alis dan tidak dapat
memberi komentar apapun. "Bagaimana, Ouw-pangcu" Kalau engkau tidak bersedia
memenuhi kedua syaratku itu, lebih baik engkau pergi saja
bersama Ciang-pangcu dan jangan mengganggu aku lebih
lama lagi!" "Syaratmu yang kedua cukup pantas. Aku sanggup
melaksanakannya!" kata Ouw Ki Seng yang merasa suka sekali kepada wanita cantik
dan aneh itu. Wanita seperti itu lebih
baik menjadi kawan daripada menjadi lawan, dan akan
menjadi seorang pembantu yang baik dan menyenangkan.
Wajah yang cantik itu berseri dan kerling matanya semakin
tajam ke arah wajah Ki Seng. "Bagus, kalau begitu mari kita mulai bertanding.
Ingin sekali kuke tahui sampai di mana
kemampuanmu!" Setelah berkata demikian, Sian Hwa Sian-li
memutar payungnya dan melambai-lambaikan ujung sabuk
merahnya. Akar tetapi Ki Seng hanya berdiri tegak menanti
saja sambil mengikuti gerak-gerik wanita itu. Melihat betapa Ki Seng tidak
segera mengeluarkan senjatanya, Siar Hwa Sian-li
berkata sambil menghentikan putaran payungnya.
Suling Pusaka Kumala Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ouw-pangcu, harap segera keluarkan senjatamu!"
Ki Seng tersenyum. "Kita bukan musuh dan tidak sedang
bertanding untuk saling membunuh, mengapa menggunakan
senjata" Pula, aku tidak mempunyai senjata apapun, dan aku
akan menghadapimu dengan kaki tangan kosong saja."
Biarpun ucapan Ki Seng ini halus dan tidak dimaksudkan
untuk menghina, akan tetapi wajah Sian Hwa Sian-li menjadi
kemerahan dan ia merasa dipandang rendah! Pemuda itu akan
menghadapi payung dan sabuk merahnya dengan tangan
kosong" Kalau saja ia tidak sudah terlanjur tertarik hatinya
oleh wajah dan sikap pemuda itu, tentu ia akan
menyerangnya dengan serangan maut. Akan tetapi, ia
menekan rasa penasaran di hatinya, lalu menancapkan ujung
payungnya yang sudah tertutup itu ke atas tanah.
"Baiklah, aku akan menggunakan sabukku ini saja agar
jangan sampai melukaimu terlalu parah. Nah, lihat seranganku!"
Tiba-tiba ujung sabuk sutera merah itu meluncur cepat
dan sudah menotok ke arah jalan darah di pundak kiri Ki
Seng. Serangan itu tampaknya saja ringan, akan tetapi
sesungguhnya hebat sekali. Sabuk yang digerakkan dengan
saluran tenaga sakti itu ujungnya menjadi keras dan kuat dan
meluncur untuk menotok jalan darah Kin-ceng-hiat-to di
pundak kiri. Kalau jalan darah Jni terkena dengan tepat, tubuh bagian kiri dari
pemuda itu akan menjadi lumpuh sejenak.
Akan tetapi, Ki Seng juga maklum akan lihainya serangan
ini. Kalau dia menghendaki, tentu saja dengan pengerahan
ilmu kekebalannya, dia akan mampu menerima totokan ini
tanpa terpengaruh. Akan tetapi dia memperlihatkan kelincahannya dan cepat
sekali tubuhnya bergerak, berkelebat dan dia sudah mengelak
sehingga sambaran ujung sabuk merah itu luput.
"Bagus!" Sian Hwa Sian-li memuji melihat gerakan yang amat cepat dari Ki Seng.
Ia lalu mempergunakan seluruh
kecepatan gerakannya dan seluruh tenaga saktinya untuk
mengirim serangan beruntun. Sabuknya lenyap bentuknya,
berubah menjadi gulungan sinar merah yang indah dan
panjang, berputar-putar dan bergulung-gulung mengejar ke
arah Ki Seng, kemanapun tubuh itu bergerak!
Kegembiraan Sian Hwa Sian-li menjadi-jadi ketika Ki Seng
dapat menghindarkan serangannya yang dilakukan bertubitubi
itu. Belasan jurus sudah ia menyerang dengan cepat
sekali, namun semua serangannya itu kalau tidak dielakkan,
tentu ditangkis oleh Ki Seng dan gagal mengenai tubuhnya.
Bukan main kagum dan gembiranya hati Sian Hwa Sian-li. Ia
semakin tergila-gila kepada pemuda itu yang bukan saja
tampan dan gagah, akan tetapi juga ternyata memiliki
Kepandaian yang amat hebat pula.
Setalah menghindar terus sampai dua puluh jurus, mulailah
dia membalas dengan tamparan dan tendangan yang semua
ditujukan ke daerah tubuh yang tidak berbahaya seperti
pundak, pangkal lengan, pinggul dan paha. Dan serangan
balasannya itu ternyata membuat Sian Hwa Sian-li repot sekali
untuk mengelak. Terjadi keanehan dalam hati Ki Seng.
Sebelum ini, kalau berhadapan dengan lawan, dia selalu
menurunkan tangan kejam dan dengan hati dingin dia akan
membunuh lawannya. Akan tetapi sekali ini, berhadapan
dengan Sian Hwa Sian-li, dia bukan saja tidak mau membunuh
atau melukainya, bahkan timbul keinginannya untuk
menggoda. Setiap kali tamparan atau totokannya akan
mengenai tubuh lawan, begitu jarinya menyentuh kulit, dia
tidak jadi menampar atau menotok, melainkan mengelus dan
membelai! Akan tetapi gerakannya demikian cepat sehingga
Ciang Hok dan Ciang Mei Ling yang menonton pertandingan
itu tidak melihatnya. Tentu saja Sian Hwa Sian-li
merasakannya dan wanita ini menjadi girang bukan main.
Pemuda ini ternyata bahkan melebihi apa yang diharapkan
dan disangkanya. Lihai bukan main sehingga dengan tangan
kosong tidak hanya mampu menandinginya, bahkan agaknya
kalau dikehendaki, dengan mudah mampu merobohkan-nya!
Lebih gembira lagi hatinya melihati kenyataan betapa Ki Seng
tidak ingin melukai atau merobohkannya, bahkan meng-elus
dan membelai! Bagi Ciang Hok dan Ciang Mei Lina yang menjadi penonton,
pertandingan itu berjalan seru bukan main, juga amat
indahnya. Gulungan sinar kemerahan dari sabuk sutera merah
itu membentuk lingkaran lebar dan dua bayangan itu seperti
berkelebatan dan menari-nari di dalam lingkaran itu. Gerakan
kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat mereka ikuti dengan
pandang mata. Sian Hwa Sian-li merasa senang bukan main. Ia adalah
seorang wanita petualang yang sudah malang melintang di
dunia kang-ouw selama bertahun-tahun, bukan saja
bertualang dalam pertandingan silat melawan siapa saja yang
dianggap pantas menjadi lawannya. Akan tetapi juga
bertualang dalam mengumbar cinta berahi. Ia seorang wanita
yang mata keranjang. Oleh karena itu, bertemu dengan Ki
Seng, ia segera tergila-gila dan jatuh cinta. Apalagi setelah
mendapat kenyataan bahwa Ki Seng memiliki ilmu kepandaian
yang lebih tinggi daripadanya dan ternyata pemuda itu tidak
mau mengalahkannya, hanya menggoda dan mengelus dan
menowel. Akan tetapi dari elusan dan belaian yang kaku itu
iapun mengetahui bahwa Ki Seng adalah seorang pemuda
yang tidak biasa bergaul dengan wanita. Hal ini bahkan
menambah kegembiraan hatinya.
Untuk lebih dalam menguji kepandaian pemuda yang luar
biasa itu, tiba-tiba Sian Hwa Sian-li melompat dan menyambar
payung yang tadi ditancapkan di atas tanah. Kemudian
secepat kilat ia menyerang Ki Seng dengan payung dan sabuk
merahnya! Melihat kini wanita itu menggunakan dua macam
senjatanya yang li-hay, Mei Ling merasa khawatir sekali. Akan
tetapi Ciang Hok yang merasa bahwa pertandingan itu tentu
sudah lebih dari seratus jurus, berseru.
"Sian Hwa Sian-li, seratus jurus sudah lama terlewat,
berarti engkau telah kalah!"
Akan tetapi, wanita itu tidak menjawab bahkan menyerang
Ki Seng dengan lebih dahsyat lagi. Diserang menggunakan
ilma senjata yang ampuh itu, Ki Seng merasa bahwa kalau dia
tidak turun tangan mengalahkan, tentu dapat berbahaya juga
bagi dirinya. Maka, tiba-tiba tangan kirinya meraih dan
menangkap ujung payung, kemudian tangan kanannya
secepat kilat menotok dengan It-yang-ci! Demikian cepat
gerakannya sehingga sebelum Sian Hwa Sian-li dapat
mengelak, tahu-lahu jalan darah di pundaknya telah tertotok
dan seketika tubuhnya menjadi kaku tak dapat digerakkan.
Tentu saja Sian Hwa Sian-li menjadi terkejut sekali, akan
tetapi ia merasa betapa jari-jari tangan pemuda itu mengelus
dan menekan pundaknya dan iapun dapat bergerak kembali!
Tahulah ia bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali dan
kalau dikehendakinya, ia tentu sudah roboh sedari tadi. Maka
iapun cepat melompat kebelakang, melibatkan sabuk sutera
merahnya ke pinggang, dan memanggul payungnya yang
sudah terbuka kembali. Ia tersenyum ke arah Ciang Hok dan
membungkuk ke arah Ki Seng.
"Aku mengaku kalah, Ouw-pango, Engkau telah mampu
menandingi aku selama seratus jurus. Sekarang tinggi syarat
ke dua. Engkau harus pergi bersamaku untuk mengambil
kereta dan semua isinya, dan menjadi tamu kehormatanku
selama tiga hari tiga malam!"
Ki Seng menghadapi Ciang Hok dan Ciang Mei Ling, lalu
berkata, "dan Pangcu, harap suka menanti sampai tiga hari lamanya. Saya akan
membawa kereta berikut isinya kembali
kepadamu!" Ciang Hok merasa girang sekali melihat pemuda itu telah
mampu menandingi Sian Hwa Sian-li yang lihai selama seratus
jurus dan mendapat janji bahwa kereta berikut isinya yang
dirampas Wanita itu akan dikembalikan kepadanya. Akan
tetapi dia juga merasa tidak enak karena pemuda itu harus
pergi bersama wanita berbahaya itu selama tiga hari. seolahTiraikasih Website
http://kangzusi.com/ olah usaha mendapatkan kereta kembali itu hanya dipikul oleh
Ouw Ki Seng seorang dan dia tinggal enak-enakan saja
menanti hasilnya di rumah!
"Kami sungguh telah membikin repot Ouw-pangcu,"
katanya sambil memberi hormat dengan mengangkat kedua
tangan didepan dada. "Ah, tidak mengapa, locianpwe. Bukankah di antara kita
telah terjalin persahabatan" Sudah menjadi kewajiban searang
laki-laki untuk menolong sahabatnya. Selamat tinggal,
locianpwe, dan selamat tinggal, nona Ciang Mei Ling, aku
harus ikut pergi bersama Sian Hwa Sian-li." katanya sambil memberi hormat yang
dibalas oleh Ciang Hok dan puterinya.
Kemudian dia menoleh kepada wanita berpayung itu dan
berkata, "Marilah, Sian Hwa Sian-li, kita pergi mengambil kereta itu."
Sian Hwa Sian-li tersenyum dan memutar payungnya.
"Mari, Ouw-pangcu."
Setelah berkata demikian, ia memuta dengan gerakan
seperti seorang penari membelakangi Ciang Hok dan Mei Ling
kemudian dengan langkah gontai ia berjalan pergi.
Lenggangnya lemah-gemulai dan karena pinggangnya amat
kecil dan ramping, maka pinggulnya tampak besar
membusung dan ketika ia melangkah pinggulnya bergoyanggoyang
seperti menari-nari. Akan tetapi gerakan langkah
kakinya amat cepat dan tubuhnya meluncur cepat ke depan,
di kuti Ki Seng yan berjalan di sampingnya.
Ciang Mei Ling berdiri bengong, memandang ke arah tubuh
belakang Sia Hwa Sian-li dan alisnya berkerut, wajahnya
tampak muram. Ciang. Hok melihat keadaan puterinya ini dan
dia berkata "Kenapakah, Mei Ling" Engkau kelihatan seperti orang yang murung.
Bukanka Ouw-pangcu sedang mengambil
kembal kereta kita?"
"Ayah, aku mengkhawatirkan Ouw pangcu. Wanita itu
sungguh berbahaya sekali, seperti seekor ular berbisa yang
cantik." "Aah, apa yang dapat ia lakukan terhadap Ouw-pangcu"
Tadi jelas bahwa ia telah mengaku kalah. Aku yakin Ouwpangcu
akan berhasil membawa kereta Kita." Dia lalu
memegang tangan puterinya. "Hayo kita kembali, pulang!"
Ciang Mei Ling mengikuti ayahnya. Akan tetapi yang ia
khawatirkan bukan seperti yang disangka ayahnya. Naluri
Kewanitaannya membisikkannya bahwa wanita itu amat
berbahaya bukan karena ilmu silatnya, melainkan karena
kecantikan dan kegenitannya. Ia khawatir apakah Ki Seng
akan mampu dan kuat mempertahankan diri terhadap rayuan
wanita yang seperti siluman itu. Dan ia cemas. Hatinya sudah
terpikat oleh ketua Ban-tok-pang yang muda itu semenjak ia
dikalahkan olehnya. Apalagi mendengar pengakuan Ouw Ki
Seng bahwa dia belum menikah dan belum bertunangan.
Diam-diam ia mengharapkan untuk dapat menjadi jodoh ketua
yang menarik hatinya itu.
Sian Hwa Sian-li kini tidak berjalan biasa lagi, melainkan
berlari dengan cepat sekali mendaki bukit. Kiranya ie telah
mengerahkan seluruh gin-kang (ilmu meringankan tubuh) dan
berlari cepat sekali biarpun ia masih memakai payungnya,
Tubuhnya meluncur bagaikan larinya seekor kijang muda. Ia
sengaja mengerahkan seluruh tenaganya untuk menguji
kemampuan Ki Seng. Akan tetapi, betapa kagum dan girang
hatinya melihat pemuda itu tetap dapat berlari di sampingnya
dan dapat mengimbangi kecepatannya. Seorang pemuda
pilihan yang jarang terdapat, pikirnya.
Ki Seng sendiri menanti perkembangan apa yang akan
dialaminya dengan wanita itu. Hatinya berdebar tegang. Akar
tetapi diapun tidak mengurangi kewaspadaan karena dia
maklum bahwa wanita ini selain lihai, juga cerdik dan
berbahaya sekali, di samping menggairahkan dan menarik
Jerat Peri Kembangan 1 Pendekar Kelana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Aneh Dari Kanglam 6