Pencarian

Anak Naga 15

Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung Bagian 15


"Ayah" Liu Tin cu menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia tidak jatuh hati kepadaku, karena tadi dia
menasihatiku agar menurut kata-kata Ayah."
"Aaaah.." Pembesar Liu menghela nafas panjang.
"Sulit ketemu pemuda seperti dia lagi"
Setelah meninggalkan rumah pembesar Liu, Thio Han Liong
terus melanjutkan perjalanannya menuju Tibet.
Sepuluh hari kemudian, ia sudah memasuki daerah itu.
Tidak sulit baginya mencari kuil Agung, sebab penduduk
setempat tahu semua. Maka, ia langsung menuju kuil
tersebut, dan di sana di sambut oleh seorang Dhalai Lhama.
"Maaf, Tuan ke mari mau bertemu siapa?" ucap Dhalai
Lhama itu. "Aku mau bertemu sembilan Dhalai Lhama," sahut Thio
Han Liong. Dhalai Lhama itu terbelalak.
"Tapi... sembilan Dhalai Lhama tidak akan bertemu siapa
pun...." "Katakan kepada mereka, bahwa aku Thio Han Liong, putra
Thio Bu Ki ke mari mencari mereka" ujar Thio Han Liong
dingini Dhalai Lhama itu tampak terkejut
"Tuan tunggu sebentar, aku akan melapor"
"Terima kasih." Thio Han Liong menunggu di luar kuil.
Berselang beberapa saat kemudian, Dhalai Lhama itu telah
kembali dan mempersilakan Thio Han Liong masuki
"Mari ikut aku ke dalam"
Thio Han Liong mengangguk lalu mengikuti Dhalai Lhama
itu ke ruang depan. sesampai di ruang depan Dhalai Lhama itu
mempersilakan nya duduk "Terima kasih," ucap Thio Han Liong sambil duduki
Tak lama kemudian, muncullah seorang Dhalai Lhama tua,
yang jenggotnya panjang putih dan mengkilap.
Thio Han Liong segera bangkit dari tempat duduknya,
sekaligus memberi hormat sambil menatap Dhalai Lhama tua
itu. "Anak muda, mau apa engkau ke mari cari para muridku?"
tanya Dhalai Lhama tua. Bukan main terkejutnya Thio Han Liong, ternyata Dhalai
Lama tua itu ketua para Dhalai Lhama di kuil Agung, juga guru
sembilan Dhalai Lhama tersebut.
"Dhalai Lhama tua," sahutnya.
"Aku ke mari ingin membuat perhitungan dengan sembilan
Dhalai Lhama itu." Dhalai Lhama tua itu mengerutkan kening.
"Silakan duduk" ujarnya.
"Terima kasih." ucap Thio Han Liong lalu duduk kembali.
"Anak muda" Dhalai Lhama tua menatapnya tajam.
"Ada permusuhan apa engkau dengan para muridku?"
"Belasan tahun lalu, sembilan Dhalai Lhama itu menyerbu
ke tempat tinggal kami. Mereka membunuh bibi, melukai dan
merusak wajah ke dua orangtuaku." Thio Han Liong
memberitahukan. "Oh?" Wajah Dhalai Lhama tua tampak berubah.
"Belasan tahun lalu, Lie Wie Kiong, pemimpin pengawal
istana ke mari mengundang mereka ke istana. Tapi... aku
sama sekali tidak tahu akan kejadian penyerbuan itu."
"Itu memang benar." Thio Han Liong memberitahukan lagi.
"Bahkan mereka pun menangkapku, namun aku berhasil
meloloskan diri" "Oh?" Dhalai Lhama tua itu segera menyuruh salah seorang
Dhalai Lhama muda untuk memanggil para Dhalai Lhama yang
dimaksud. Dhalai Lhama muda itu mengangguk dan segera
masuk ke dalam. Berselang beberapa saat kemudian, Dhalai Lhama muda itu
sudah kembali bersama sembilan Dhalai Lhama. Walau
mereka sudah agak tua, Thio Han Liong masih mengenali
mereka. Namun sebaliknya mereka sudah tidak mengenalinya
lagi. "Guru," tanya salah seorang Dhalai Lhama itu.
"Ada urusan apa Guru memanggil kami?"
"Betulkah belasan tahun lalu kalian menyerbu ke tempat
tinggal pemuda itu?" tanya Dhalai Lhama tua sambil menunjuk
Thio Han Liong. "Guru...." Dhalai Lhama itu mengerutkan kening, lalu
bertanya kepada Thio Han Liong.
"Anak muda, siapa engkau?"
"Kalian sudah lupa" Aku adalah Thio Han Liong, putra Thio
Bu Ki. Kalian telah membunuh bibiku, bahkan juga telah
melukai sekaligus membuat wajah ke dua orangtuaku menjadi
rusak" sahut Thio Han Liong dingini
"Maka aku ke mari ingin membuat perhitungan dengan
kalian" "Engkau...." sembilan Dhalai Lhama itu terbelalak.
"Benar kejadian itu?" tanya Dhalai Lhama tua sambil
menatap mereka dengan tajam sekali.
"Ya, Guru." sembilan Dhalai Lhama itu mengangguk.
"Kalian telah mencemarkan nama baik Dhalai Lhama Tibet,
karena itu, kalian harus bertanggungjawab atas perbuatan
kalian itu" tegas Dhalai Lhama tua dan menambahkan,
"Hukuman kalian adalah memusnahkan kepandaian kalian"
"Guru...." sembilan Dhalai Lhama itu segera berlutut di
hadapan Dhalai Lhama tua.
"Guru Guru...."
"Kalian yang berbuat, maka kalian pula yang harus
bertanggungjawab" ujar Dhalai Lhama tua.
"Dhalai Lhama tua," ujar Thio Han Liong.
"Terima-kasih atas kebijaksanaan Dhalai Lhama tua. Aku ke
mari ingin bertanding dengan mereka, maka aku mohon agar
Dhalai Lhama tua jangan memusnahkan kepandaian mereka"
"Oh?" Dhalai Lhama tua itu menatapnya tajam.
"Engkau ingin bertanding dengan mereka?"
"Ya." Thio Han Liong mengangguk
"Itu...." Dhalai Lhama tua berpikir lama sekali, setelah itu
barulah manggut-manggut. "Baiklah! Mari kita ke halaman depan"
Thio Han Liong mengangguk Mereka lalu ke halaman depan
yang amat luas itu. Di saat itulah Dhalai Lhama tua berbisik
kepada para muridnya. "Kalian tidak boleh melukainya"
"Ya, Guru." Para Dhalai Lhama itu mengangguk
Sampai di halaman, sembilan Dhalai Lhama itu berdiri di
hadapan Thio Han Liong dan memandangnya dalam-dalam.
"Belasan tahun lalu, kalian melukai ayahku dengan ilmu le
Kang Tui Tik (Memindahkan Iweekang Menggempur Musuh),
dan juga menyerang ayahku dengan Liak Hwee Tan. Nah, aku
ingin mencoba ilmu le Kang Tui Tik dan Liak Hwee Tan
tersebut" "Anak muda...." salah seorang Dhalai Lhama itu
menggeleng-gelengkan kemala.
"Kami menyesal sekali...."
"Menyesal sekali?" Thio Han Liong tersenyum dingin
"Hati-hati Aku mau mulai menyerang"
"Silakan" sahut Dhalai Lhama itu
Sementara Dhalai Lhama tua terus memperhatikan gerakgerik
Thio Han Liong, lalu manggut-manggut.
Di saat bersamaan, Thio Han Liong bersiul panjang
sekaligus mulai menyerang para Dhalai Lhama itu dengan ilmu
siauw Lim Liong Jiauw Kang. setelah berlatih di dasar telaga,
ilmu tersebut pun bertambah dahsyat dan lihay.
Salah seorang Dhalai Lhama menangkis serangan itu,
namun terpental beberapa depa. Betapa terkejutnya Dhalai
Lhama lain, begitu pula dengan Dhalai Lhama tua yang
menonton pertandingan itu.
Sembilan Dhalai Lhama itu tidak dapat menangkis
serangan-serangan yang dilancarkan Thio Han Liong, akhirnya
mereka terpaksa membentuk suatu barisan.
Di saat mereka membentuk barisan, Thio Han Liong
mengerahkan Kian Kun Taylo sin Kang. Mendadak Dhalai
Lhama yang paling depan membentak keras, lalu melancarkan
serangan. Thio Han Liong segera berkelit. Ternyata ia belum mau
menyambut Iweekang gabungan sembilan Dhalai Lhama itu.
setelah berkelit, ia bergerak cepat melesat ke belakang
barisan itu, maksudnya ingin menyerang Dhalai Lhama yang
paling belakang. Akan tetapi, di saat bersamaan barisan itu berbalik Dhalai
Lhama yang berdiri paling belakang kini berubah menjadi
paling depan, bahkan sekaligus menyerang Thio Han Liong.
Pemuda itu tidak sempat lagi berkelit, maka terpaksa
menyambut serangan itu. setelah itu, terdengarlah suara
benturan yang amat dahsyat. Blaaam...
Thio Han Liong terpental beberapa depa. Pada waktu itulah
tiga Dhalai Lhama yang di belakang juga terpental beberapa
depa dengan mengeluarkan darah segar.
Kini barisan itu tinggal tersisa enam orang. Dapat
dibayangkan betapa terkejutnya Dhalai Lhama itu.
"Lap Han CoanTe (Enam Bersatu Memutarkan Bumi)" seru
Dhalai Lhama yang paling depan.
Mendadak Dhalai Lhama yang di belakang meloncat ke atas
lalu berdiri di bahu Dhalai Lhama itu, begitu pula Dhalai
Lhama yang lain. setelah itu, mereka pun langsung
menyerang ke arah Thio Han Liong.
Pemuda itu tidak berkelit, melainkan menyambut serangan
mereka dengan jurus Kian Kun Taylo Hap It (segala galanya
Menyatu Di Alam semesta). Daaar... Terdengar suara ledakan
dahsyat yang memekakkan telinga.
Thio Han Liong terpental beberapa depa, sedangkan enam
Dhalai Lhama itu terpental tujuh delapan depa, kemudian
roboh dengan mulut mengeluarkan darah.
Wajah Thio Han Liong tampak pucat pias. la menarik nafas
dalam-dalam untuk mengatur pernafasannya dan menekan
pergolakan darahnya. Beberapa saat kemudian, barulah
wajahnya normal kembali. Dhalai Lhama tua itu mendekatinya.
"Engkau telah menghukum mereka, maka kini urusan
kalian sudah selesai."
"Dhalai Lhama tua," ucap Thio Han Liong.
"Terima kasih atas kebijaksanaanmu."
Dhalai Lhama tua menatapnya tajam.
"Engkau masih begitu muda, namun... Iweekangmu begitu
tinggi. Itu.. sungguh tak masuk akal. Apakah engkau pernah
makan semacam buah yang dapat menambah Iweekangmu?"
"Ya." Thio Han Liong mengangguk
"Aku pernah makan buah soatsan Ling che, kemudian aku
pun memperoleh petunjuk dari Bu Beng sian su."
"Oooh" Dhalai Lhama tua manggut-manggut.
"Anak muda, engkau sungguh beruntung"
"Dhalai Lhama tua, aku mohon engkau jangan
memusnahkan kepandaian mereka" ujar Thio Han Liong.
"Aku mau mohon pamit"
"Baiklah." Dhalai Lhama tua mengangguk
"Selamat jalan, anak muda"
"Sampai jumpa, Dhalai Lhama tua" Thio Han Liong
memberi hormat, lalu melesat pergi.
Dhalai Lhama tua manggut-manggut, setelah itu barulah
mendekati para muridnya yang terkapar itu
Bab 52 Dewi Kecapi Thio Han Liong kembali ke Tionggoan dengan hati riang
gembira, karena ia telah berhasil membuat perhitungan
dengan para Dhalai Lhama itu.
Kini ia telah memasuki daerah Tionggoan. Ketika ia
memasuki sebuah rimba, sayup,sayup terdengar alunan suara
kecapi yang amat menggetarkan hati. suara kecapi itu
membuatnya tertarik, maka ia melesat ke arah suara itu.
Tampak seorang gadis berpakaian aneh duduk di bawah
pohon. Bukan main cantiknya gadis itu, dari berpakaiannya
sudah dapat diduga bahwa dia bukan gadis Tionggoan,
melainkan entah gadis dari suku apa.
Suara kecapi itu memang merdu, namun bernada agak
sedih. Karena tertarik, sehingga tanpa sadar Thio Han Liong
mengeluarkan lonceng saktinya, sekaligus membunyikannya
mengikuti irama suara kecapi. Maka terjadilah perpaduan
suara lonceng dengan suara kecapi.
Gadis itu tersentak lalu perlahan-lahan mendongakkan
kepalanya. Ketika melihat seorang pemuda tampan duduk tak
jauh dari tempatnya, wajahnya langsung berubah kemerahmerahan.
Berselang beberapa saat kemudian, barulah gadis itu
berhenti memainkan kecapinya. Thio Han Liong pun berhenti
membunyikan loncengnya, lalu memandang gadis itu.
Kebetulan gadis itu pun sedang memandangnya, sehingga
mereka berdua beradu pandang.
Thio Han Liong tersenyum lembut, membuat hati gadis itu
berdebar-debar aneh, maka cepat-cepat ia menundukkan
kepalanya. "Maaf, aku telah mengganggu Nona" ujar Thio Han Liong.
"Tidak apa-apa," sahut gadis itu lalu bertanya,
"Bolehkah aku tahu siapa saudara?"
"Namaku Thio Han Liong. Karena tertarik akan suara
kecapimu, maka aku ke mari. Nona siapa" Kenapa berada di
rimba seorang diri?"
"Aku Dewi Kecapi, Putri suku Hui."
"Putri suku Hui?" Thio Han Liong terbelalak.
"Tapi... kenapa berada di sini?"
"Aku baru memasuki Tionggoan." Dewi Kecapi
memberitahukan. "Aku sedang mencari seseorang."
"Engkau sedang mencari siap "
"Bu Sim Hoatsu."
"Bu sim Hoatsu?"
"Engkau kenal dia?"
"Maaf, aku tidak pernah mendengar nama orang tersebut,"
sahut Thio Han Liong. "Dewi Kecapi, ada urusan apa engkau mencarinya?"
"Dia pembunuh ke dua orangtuaku." Dewi Kecapi
memberitahukan. "Kira-kira dua puluh tahun yang lalu, Bu sim Hoatsu adalah
kawan baik ayahku. Akan tetapi secara tidak sengaja ayahku
memperoleh sebuah kitab pusaka, karena itu, timbullah niat


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jahat dalam hati Bu sim Hoatsu. Dia meracuni ayahku dan
membunuh ibuku, untung pamanku cepat-cepat muncul
menolongku, kalau tidak aku pun pasti mati di tangannya.
Pada waktu itu, aku baru berusia setahun."
Bagian 27 "Oooh!" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Aku akan berkelana dalam rimba persilatan Tionggoan
untuk mencarinya," jawab Dewi Kecapi dan menambahkan,
"Dia mahir ilmu hitam, kini kepandaiannya pasti sudah
tinggi sekali." "Kalau begitu, cara bagaimana engkau menghadapinya?"
tanya Thio Han Liong penuh perhatian.
"Kalau kepandaianku masih rendah, tentunya aku tidak
berani mencarinya." Dewi Kecapi tersenyum.
"Hampir lima belas tahun aku belajar ilmu silat...."
"Oh?" Thio Han Liong memandangnya.
"Bolehkah aku tahu siapa gurumu?"
"Beliau adalah seorang pertapa sakti di gunung Himalaya."
Dewi Kecapi memberitahukan.
"Sebelum aku meninggalkan beliau, beliau pun pernah
mengatakan bahwa sesampainya aku di Tionggoan, aku akan
bertemu seorang pemuda tampan yang baik hati dan pemuda
itu akan membantu aku...."
"oh?" Thio Han Liong tersenyum.
"Kalau begitu, gurumu pasti ahli nujum juga."
"Kira-kira begitulah." Dewi Kecapi tertawa kecil.
"Buktinya aku bertemu engkau di sini."
"Tapi belum tentu aku adalah pemuda yang dimaksud itu."
"Namun aku yakin pemuda yang dimaksud itu adalah
engkau." "Buktinya aku tidak bisa membantu apa-apa, karena aku
tidak tahu tempat tinggal Bu sim Hoatsu."
"Aku yakin..." Dewi Kecapi menatapnya sambil tersenyum
lembut. "Engkau pasti membantuku kelak."
"Oh?" Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu belum tentu, sebab sebentar lagi kita akan berpisah."
"Aku tahu." Dewi Kecapi tersenyum lagi.
"Tapi aku yakin kita pasti berjumpa kembali kelak."
"Oh, ya?" Thio Han Liong tersenyum.
"Kalau begitu, engkau pasti sudah mewarisi ilmu nujum
gurumu. Ya, kan?" "Aku tidak pernah belajar ilmu nujum, aku cuma mendugaduga
saja," sahut Dewi Kecapi dan menambahkan.
"Aku tahu engkau memiliki kepandaian yang amat tinggi.
oleh karena itu, aku ingin mohon petunjuk."
"Nona...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Jangan menolak" desak Dewi Kecapi.
"Biar bagaimana pun engkau harus memberi petunjuk
kepadaku." "Itu...." Thio Han Liong menarik nafas dalam-dalam.
"Saudara Thio...." Dewi Kecapi tersenyum.
"Kalau engkau menolak. aku akan marah lho"
"Nona, cara bagaimana aku memberi petunjuk kepadamu?"
tanya Thio Han Liong. "Aku akan bersilat dengan tangan kosong, engkau harus
memperhatikan," sahut Dewi Kecapi.
"Setelah aku berhenti, engkau harus memberitahukan
kepadaku apakah terdapat kesalahan?"
"Itu...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.
Dewi Kecapi menaruh kecapinya, lalu berjalan ke depan
beberapa langkah. setelah itu, mulailah ia bersilat tangan
kosong. Bukan main kagumnya Thio Han Liong menyaksikan
gerakan-gerakannya. la tidak menyangka Putri Hui itu
berkepandaian begitu tinggi.
"Bagaimana?" tanya Dewi Kecapiseusai bersilat tangan
kosong. "Apakah terdapat gerakan yang salah?"
"Gerakanmu begitu cepat, sungguh menyilaukan mataku"
sahut Thio Han Liong dan melanjutkan,
"Menurutku tiada kesalahan dalam gerakanmu."
"Oh, ya?" Dewi Kecapi tersenyum, lalu duduk disisiThlo Han
Liong. "Aku telah memperlihatkan ilmu silatku, kini giliranmu lho"
"Aku...." Thio Han Liong menggeleng gelengkan kemala.
"Ayolah" desak Dewi Kecapi.
"Jangan terus menolak. itu akan menyinggung perasaanku"
"Baiklah." Thio Han Liong bangkit berdiri, kemudian mulai
bergerak memperlihatkan Kiu Im Pek Kut Jiauw.
Menyaksikan itu, pucatlah wajah Dewi Kecapi. sebab setiap
jurus yang dimainkan Thio Han Liong, justru memecahkan
jurus-jurus ilmu silatnya yang diperlihatkannya tadi.
Berselang beberapa saat, barulah Thio Han Liong berhenti.
Di saat bersamaan, Dewi Kecapi langsung mendekatinya dan
sekaligus mengayunkan tangannya. Plaaak...
"Auuh" jerit Thio Han Liong, kemudian menatap Dewi
Kecapi dengan mata terbelalak.
"Kenapa engkau menamparku?"
"Karena engkau telah menipuku," sahut Dewi Kecapi.
"Apa?" Thio Han Liong mengerutkan kening.
"Aku telah menipumu?"
"Ya." Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Engkau berpura-pura memuji ilmu silatku, tapi engkau
pula yang memecahkan ilmu silatku. Nah, bukankah engkau
telah menipuku?" "Nona...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"Tadi engkau minta petunjuk, maka aku memberi petunjuk
cara memecahkan ilmu silatmu, itu agar engkau berhati-hati
menghadapi musuh tangguh. Tapi... engkau malah menampar
pipiku, engkau sungguh keterlaluan"
"Jadi...." Dewi Kecapi tertegun.
"Tadi engkau memberi petunjuk kepadaku, sungguh?"
"Tentu sungguh."
"Kalau begitu, bolehkah engkau mengajarku ilmu silat yang
engkau perlihatkan tadi?"
"Ilmu silat yang kuperlihatkan tadi amat ganas, engkau
tidak boleh belajar ilmu silat itu," sahut Thio Han Liong sambjl
menggelengkan kepala. "Lho" Memangnya kenapa?"
"Karena engkau cepat marah dan gampang emosi, buktinya
tadi engkau langsung menamparku. Kalau engkau belajar ilmu
silat itu, tentunya akan mencelakai orang lain."
Mendengar itu Dewi Kecapi malah tertawa, kemudian
menatap Thio Han Liong dalam-dalam sambil berkata.
"Engkau memang pemuda yang jujur, tidak sia-sia kita
bertemu di sini, aku suka sekali kepadamu."
"Apa?" Thio Han Liong tertegun.
"Engkau suka sekali kepadaku?"
"Ya." Dewi Kecapi mengangguk.
"Kok engkau tampak terkejut" Kenapa sih?"
"Terus terang...." Thio Han Liong memberitahukan.
"Aku sudah punya tunangan, maka engkau tidak boleh suka
padaku." "Hi hi hi" Dewi Kecapi tertawa geli.
"Seandainya engkau sudah punya isteri aku masih boleh
menyukaimu." "Eh" Engkau...."
"Engkau harus tahu, kaum lelaki Hui boleh punya isteri
lebih dari satu," ujar Dewi Kecapi memberitahukan.
"Kalau aku bersedia menjadi isteri mudamu, tunanganmu
itu pun tidak bisa berbuat apa-apa."
"Dewi Kecapi, engkau...." Thio Han Liong menggelenggelengkan
kepala. "Han Liong" Dewi Kecapi tersenyum.
"Engkau harus tahu aku bukanlah gadis yang cepat marah
dan gampang emosi. Tadi aku menamparmu hanya ingin
menguji kesabaranmu saja."
"Tak disangka engkau begitu sabar."
"Oh?" Mulut Thio Han Liong ternganga lebar.
"Dan juga akupun tidak akan belajar ilmu silat itu. Aku
berkata begitu hanya ingin menarik panjang waktu bercakapcakap
denganmu saja." Dewi Kecapi menatapnya dengan
penuh perhatian. "Engkau memang amat tampan dan lemah lembut,
pokoknya aku akan bersaing dengan tunanganmu."
"Nona...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kemala.
"Aku ingin bertanya, dia atau aku yang lebih cantik?" tanya
Dewi Kecapi mendadak. "Kalian berdua sama-sama cantik," jawab Thio Han Liong
dengan jujur. "Tapi masing-masing punya keistimewaan."
"Bagaimana keistimewaan kami?"
"Engkau periang, nakal dan blak-blakan. Dia agak kalem,
lembut dan anggun, itulah keistimewaan kalian."
"Oooh" Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Han Liong, aku masih punya urusan lain, terpaksa harus
pergi duluan. Kita pasti berjumpa kembali kelak."
"Nona harus ingat, aku sudah punya tunangan" ujar Thio
Han Liong mengingatkan. "Maka Nona jangan menaruh hati padaku"
"Oh?" Dewi Kecapi tersenyum.
"Karena engkau berkata demikian, justru membuatku
semakin menaruh hati padamu. sampai jumpa"
Dewi Kecapi melesat pergi, sedangkan Thio Han Liong
termangu-mangu berdiri di tempat, lama sekali barulah
melesat pergi. Thio Han Liong menarik nafas lega, sebab Dewi Kecapi
telah meninggalkannya. Kalau tidak- tentunya ia akan
kewalahan menghadapinya. Kini ia melanjutkan perjalanannya
menuju Kotaraja dengan perasaan tenang. Beberapa hari
kemudian ia sudah sampai di sebuah desa. Dilihatnya ada
sebuah kedai teh di pinggir jalan dan ia segera mampir.
"Tuan mau minum apa?" tanya pemilik kedai.
"Teh saja," sahut Thio Han Liong.
Pemilik kedai langsung menyuguhkan teh wangi. Ketika
Thio Han Liong baru menghirup tehnya, di saat bersamaan
masuk ke dalam seorang pemuda, yang ternyata Ouw Yang
Bun. Wajahnya tampak murung sekali.
"Saudara Ouw Yang Bun mari duduk sini" seru Thio Han
Liong sambil melambaikan tangannya.
Begitu melihat Thio Han Liong, wajah Ouw Yang Bun
tampak agak berseri dan segera menyapanya.
"Saudara Thio...."
"Silakan duduk" ucap Thio Han Liong dengan ramah.
"Terima kasih," Ouw Yang Bun duduk.
Pemilik kedai langsung menyuguhkan teh wangi kepada
Ouw Yang Bun. setelah menghirup teh wangi itu, Ouw Yang
Bun berkata. "Saudara Thio, apakah engkau tidak dendam padaku?"
"Kenapa aku harus dendam padamu?" sahut Thio Han
Liong lalu menghela nafas panjang.
"Semua itu telah berlalu, mungkin juga merupakan suatu
takdir." "Maaf" ucap Ouw Yang Bun sambil menatapnya.
"Engkau bawa ke mana mayat Giok Cu?"
"Ke rumahnya di desa Hok An, dan ku makamkan di
pekarangan belakang, di sebelah makam ke dua orangtuanya."
Thio Han Liong memberitahukan.
"Nasib Giok Cu memang malang. Ke dua orangtuanya
dibunuh para anggota Hiat Mo Pang, sedangkan dia malah
bunuh diri Aaaah...."
"Saudara Thio" Ouw Yang Bun menggeleng-gelengkan
kepala. "Aku yang bersalah dalam hal ini. Kalau aku tidak menikah
dengannya, tentunya tidak ada kejadian tragis itu."
"Engkau tidak bersalah, sebaliknya aku amat kagum
kepadamu," ujar Thio Han Liong sungguh-sungguh.
"Engkau mau memperisterinya yang dalam keadaan begitu,
bahkan amat mencintainya. Kalau aku tahu, akupasti tidak
akan menyadarkannya, agar tetap hidup berdampingan
denganmu." "Saudara Thio...." Ouw Yang Bun menggeleng-gelengkan
kepala. "Oh ya, engkau sudah pergi mencari Hiat Mo?"
"Sudah." Thio Han Liong mengangguk.
"Namun aku tidak membunuhnya, karena harus
memandang Lan Nio yang baik hati itu. Lagipula.... Hiat Mo
menikahkan kalian dengan maksud tujuan yang baik, maka
aku tidak membunuhnya."
"Engkau...." Ouw Yang Bun terbelalak.
".... Engkau mampu mengalahkan Hiat Mo?"
"Syukurlah" ucap Ouw Yang Bun gembira.
"Saudara Ouw Yang Bun" Thio Han Liong memandangnya
seraya bertanya. "Kok engkau berada di desa ini, di mana guru dan
putrimu?" "Aaaah...." Ouw Yang Bun menghela nafas panjang.
"Guruku terluka dan Putriku diculik"
"Apa?" Thio Han Liong tersentak.
"Siapa yang melukai gurumu dan menculik putrimu?"
"Bu sim Hoatsu." Ouw Yang Bun memberitahukan.
"Hah?" Thio Han Liong terkejut.
"Bu sim Hoatsu?"
"Ya." Ouw YangBun mengangguk.
"Engkau kenal Bu sim Hoatsu?"
"Tidak kenal." Thio Han Liong menggelengkan kemala.
"Kok dia melukai gurumu dan menculik putrimu?"
"Guruku dan Bu sim Hoatsu adalah musuh besar, namun
sudah hampir dua puluh tahun dia menghilang entah ke
mana." sahut Ouw Yang Bun.
"Sebulan lalu mendadak ia muncul di tempat tinggal guru,
kemudian terjadi pertarungan. guruku terluka dan kebetulan
putriku ke luar. Dia tertarik pada putriku, maka menculik-nya."
"Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Kalau begitu, putrimu tidak dalam keadaan bahaya. oh ya,
bagaimana gurumu?" "Sudah agak sembuh." sahut Ouw Yang Bun sambil
menghela nafas panjang.

Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah belasan hari aku melakukan perjalanan. sungguh
kebetulan kita bertemu di sini."
"Engkau sedang mencari Bu sim Hoatsu?"
"Ya. Ketika mau membawa pergi putriku, dia
memberitahukan bahwa tempat tinggalnya di gunung oey san
Gua Ceng Hong Tong. Maka aku menuju ke sana, tak disangka
bertemu engkau di sini."
"Saudara Ouw Yang Bun" Thio Han Liong menatapnya
sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Percuma engkau ke sana mencari Bu sim Hoatsu."
"Maksudmu?" "Bagaimana mungkin engkau dapat melawannya?"
"Aku tahu itu, tapi dia menculik putriku. Biar bagaimanapun
aku harus melawannya."
"Urungkan niatmu itu, percuma engkau ke sana" ujar Thio
Han Liong. "Kalau dia tertarik pada putrimu, tentunya akan
menerimanya sebagai murid. Nah, bukankah kelak engkau
akan berjumpa dengan putrimu?"
"Memang. Tapi...." Ouw Yang Bun memandangnya.
"Saudara Thio, aku tahu engkau berkepandaian amat
tinggi. Aku... aku ingin mohon bantuanmu."
"Maksudmu aku pergi bersamamu ke oey san?"
"Ya." "Itu...." Thio Han Liong berpikir lama sekali, kemudian
mengangguk karena teringat akan cerita Dewi Kecapi tentang
Bu sim Hoatsu itu. "Baiklah, aku akan pergi bersamamu ke gunung oey san."
"Terima kasih, saudara Thio," ucap Ouw Yang Bun.
"Terima kasih...."
"Sudahlah Tidak usah terus mengucapkan terima kasih"
Thio Han Liong tersenyum.
"Kita adalah teman, bukan musuh."
"Saudara Thio...." Ouw Yang Bun menundukkan kepala.
"Saudara Ouw Yang Bun, engkau jangan merasa tidak enak
terhadapku," ujar Thio Han Liong.
"Urusan itu telah berlalu, lagi pula itu bukan kesalahanmu."
"Engkau sungguh baik, aku jadi malu hati." Ouw Yang Bun
menggeleng-gelengkan kepala.
"Oh ya, ketika aku mulai melakukan perjalanan, aku dengar
dalam rimba persilatan telah muncul seorang nenek gila
berkepandaian amat tinggi. Dia menamai dirinya Im Sie Popo
(Nenek Alam Baka). "
"Im Sie Popo?" Thio Han Liong heran.
"Siapa nenek itu?"
"Entahlah." Ouw Yang Bun menggelengkan kepala.
"Aku tidak pernah bertemu nenek gila itu, jadi tidak tahu
siapa dia." "Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Saudara Ouw Yang, bagaimana kita berangkat sekarang?"
"Baik," Ouw Yang Bun mengangguk.
Mereka berdua langsung menuju ke gunung oey San
menggunakan ilmu ginkang, agar cepat tiba di tempat tujuan.
Dua hari kemudian, Thio Han Liong dan Ouw Yang Bun
sudah tiba di Gua Ceng Hong Tong di gunung oey san. Akan
tetapi, gua itu kosong tiada penghuninya.
"Aaah...." keluh Ouw Yang Bun.
"Bu sim Hoatsu pasti telah membawa putriku ke tempat
lain" "Ngmm" Thio Han Liong mengangguk.
"Lalu apa rencanamu sekarang?"
"Aku tetap akan mencari putriku," sahut Ouw Yang Bun dan
kemudian menghela nafas panjang.
"Tapi entah dibawa ke mana putriku" Aku...."
"Saudara Ouw Yang Bun" Thio Han Liong menatapnya
seraya berkata. "Lebih baik engkau pergi ke desa Hok An ziarah ke kuburan
isterimu dan ke dua orangtuanya."
"Ya." Ouw Tang Bun mengangguk.
"Aku memang harus ke sana. Terima kasih atas
peringatanmu. " "Temui bibi Ah Hiang dan ceritakan tentang dirimu" pesan
Thio Han Liong sekaligus memberitahukan.
"Bibi Ah Hiang adalah pembantu yang amat setia, dia tetap
tinggal di rumah itu."
"Ya." Ouw YangBun mengangguk.
"Oh ya Kalau engkau bertemu Busim Hoatsu, haruslah
berhati-hati, sebab dia mahir ilmu hitam dan ahli racun"
Thio Han uong manggut-manggut, mereka lalu berpisah.
Ouw Yang Bun menuju desa Hok An, sedangkan Thio Han
Liong menuju arah Kotaraja.
Ouw Yang Bun telah tiba di desa Hok An. sesuai dengan
petunjuk penduduk desa ia langsung menuju rumah mendiang
isterinya. Ah Hiang, pembantu yang setia itu menyambut
kedatangannya dengan penuh keheranan.
"Tuan mau mencari siapa?" tanyanya.
"Maaf" ucap Ouw Yang Bun.
"Aku ke mari mau ziarah kuburan Giok Cu dan ke dua
orangtuanya." "Oh?" Ah Hiang menatapnya.
"Tuan siapa?" "Aku Ouw Yang Bun, suami Giok Cu."
"Oh?" Ah Hiang terbelalak.
"Ternyata Tuan adalah suami Giok Cu. Mari ikut aku ke
halaman belakang" "Terima kasih." Ouw Yang Bun mengikutinya ke halaman
belakang. "Han Liong yang membawa mayat Giok Cu ke mari, dia...."
Ah Hiang menceritakan tentang keadaan Thio Han Liong di
saat itu, lalu menambahkan.
"Kalau An Lok Kong cu tidak muncul, Han Liong pasti
mati...." "Aku sudah bertemu Han Liong." Ouw Tang Bun
memberitahukan. "Dia telah menutur tentang semua itu."
"oooh" Ah Hiang manggut-manggut.
Tak lama mereka sudah sampai di halaman belakang.
Begitu melihat kuburan Tan Giok Cu, Ouw Yang Bun langsung
berlutut, kemudian menangis terisak-isak.
"Giok Cu Giok Cu...." Air mata Ouw Tang Bun berderaiderai.
"Semoga engkau tenang di sana, aku pasti baik-baik
mengurusi Hui sian Tapi... kini dia di tangan Bu sim Hoatsu,
aku sedang mencarinya...."
Setelah itu, Ouw Yang Bun pun berlutut di hadapan
kuburan ke dua orangtua Tan Giok Cu, lama sekali barulah ia
bangkit berdiri "Aaah...." Ouw Yang Bun menghela nafas panjang.
"semua kejadian itu bagaikan sebuah mimpi...."
"Tuan" Ah Hiang menatapnya seraya bertanya.
"Betulkah putri Tuan berada di tangan penjahat?"
"Ya." Ouw Yang Bun mengangguk.
"Aku sedang mencarinya, tapi tidak tahu dia dibawa ke
mana?" "Kalau begitu...." Ah Hiang mengerutkan kening.
"Bagaimana mungkin Tuan akan berhasil mencarinya?"
"Aku akan terus menerus mencarinya." ujar Ouw Yang Bun.
"Bibi Ah Hiang, aku mohon pamit."
"Tuan..." Ah Hiang menggelengkan kepala, kemudian
mengantarnya sampai di depan rumah.
"Bibi Ah Hiang, sampai jumpa" ucap Ouw Yang Bun, lalu
berjalan pergi. -ooo000000ooo- Thio Han Liong terus melakukan perjalanan ke Kotaraja.
Hari itu dia tiba di sebuah kota, sekaligus bermalam di kota itu
pula. la duduk di dalam kamar penginapan, pelayan segera
menyuguhkan teh. "Pelayan" panggil Tio Han Liong ketika pelayan itu mau
meninggalkannya. "Ya, Tuan." Pelayan itu berhenti dan membalikkan
badannya. "Mau pesan apa, Tuan?"
"Siapa yang tinggal di kamar sebelah?" tanya Thio Han
Liong. "Kenapa ada suara tangisan?"
"Maaf, Tuan" jawab pelayan.
"Aku pun tidak kenal mereka. Kelihatannya anak gadis itu
sakit keras, maka ke dua wanita itu tampak cemas sekali."
"Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.
Pelayan itu pergi. Thio Han Liong mengerutkan kening,
akhirnya ia berjalan ke luar menuju ke kamar sebelah.
Perlahan-lahan diketuknya pintu kamar itu, tak lama terdengar
suara sahutan dari dalam.
"Siapa?" "Maaf, aku juga tamu" sahut Thio Han Liong.
"Bolehkah aku masuk untuk bercakap-cakap sebentar?"
Tiada sahutan dari dalam, namun kemudian pintu kamar itu
terbuka. seorang wanita cantik berusia empat puluhan berdiri
di situ. Ketika melihat Thio Han Liong, wanita itu tampak
tertegun. "Siapa Anda?" "Namaku Thio Han Liong, Pelayan memberitahukan
kepadaku bahwa anak gadis yang bersama kalian itu sakit
keras. Aku sedikit mengerti ilmu pengobatan, bolehkah aku
mencoba memeriksanya?"
"Terima kasih atas maksud baik Anda, tapi...." Wanita itu
menggeleng-gelengkan kepala.
"Penyakit yang diderita nona kami, bukan merupakan
penyakit biasa. Kami...."
"Biar dia coba periksa penyakit siauw Cui" ujar wanita lain,
yang duduk dipinggir tempat tidur.
"Ya, Kak." sahut wanita yang berdiri dekat pintu, kemudian
mempersilakan Thio Han Liong masuk.
"Masuklah" "Terima kasih," ucap Thio Han Liong sambil melangkah ke
dalam mendekati anak gadis yang berbaring di tempat tidur,
lalu bertanya pada wanita yang duduk di pinggir tempat tidur.
"Adik kecil ini menderita penyakit apa?"
"Kalau Anda tahu ilmu pengobatan, tentunya akan tahu
setelah memeriksanya," sahut wanita itu.
"Kalau begitu, bolehkah aku memeriksanya sekarang?"
"Silakan" Thio Han Liong mulai memeriksa anak gadis itu dengan
intensif sekali. seketika wajahnya tampak serius dan kening
tampak berkerut-kerut. "Aaah...." Thio Han Liong menghela nafas panjang seusai
memeriksa anak gadis itu.
"Bagaimana?" tanya wanita itu tegang.
"Anda sudah tahu nona kami menderita penyakit apa?"
"Adik kecil ini tidak sakit." sahut Thio Han Liong
memberitahukan. "Dia terkena semacam racun, namun jantungnya masih
terlindung oleh semacam obat, maka racun itu belum
menyerang kejantungnya. Akan tetapi... obat yang melindungi
jantungnya cuma dapat bertahan beberapa hari lagi. setelah
itu, adik kecil ini tak akan tertolong."
"Aaaah...." Ke dua wanita itu menghela nafas panjang,
kemudian berlutut dihadapan Thio Han Liong.
"Kami mohon Anda menyelamatkan nyawa nona kami...."
"Bangunlah" sahut Thio Han Liong sambil membangunkan
ke dua wanita itu. "Aku akan berusaha menolongnya."
"Terima kasih, Tuan." ucap ke dua wanita itu sambil
bangkit berdiri "Adik kecil ini terkena racun yang bukan berasal dari
Tionggoan." ujar Thio Han Liong dan menambahkan.
"Kalau tidak salah, racun itu berasal dari perbatasan
Mongolia, dan boleh dikatakan tiada obatnya."
"Betul." salah seorang wanita itu mengangguk.
"Kami memang bukan orang Tionggoan."
"Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Kebetulan aku membawa obat penawar racun, mudahmudahan
obat itu dapat menawarkan racun yang ada di dalam
tubuh adik kecil ini."
Thio Han Liong mengeluarkan sebuah botol pualam kecil,
kemudian manuang dua butir obat ke tangannya. Ternyata Bu
Beng siang su yang meramu obat penawar racun itu dari akar
dan daun soat san Ling Che.
Dengan hati-hati sekali ke dua butir obat itu
dimasukkannya ke dalam mulut anak gadis tersebut, lalu
menyuruh salah seorang wanita itu pergi mengambil sebuah
baskom. "Ya." Wanita itu segera pergi mengambil baskom, dan tak
segerapa lama ia sudah kembali ke kamar itu dengan
membawa sebuah baskom tembaga.
"Apabila adik kecil ini mau muntah, cepatlah sodorkan
baskom itu ke mulutnya" pesan Thio Han Liong.
"Ya." Wanita itu mengangguk.
Thio Han Liong memandang wajah anak gadis itu yang
semula tampak pucat pias, kini sudah agak memerah, dan itu
sungguh menggirangkan Thio Han Liong. la segera
membangunkan anak gadis itu, agar duduk dan ia pun duduk
di belakangnya. sepasang telapak tangan Thio Han Liong
ditempelkan di punggung anak gadis itu, lalu mengerahkan
Kiu Yang sin Kang. Berselang beberapa saat kemudian, anak gadis itu
kelihatan mau muntah. Wanita yang memegang baskom
langsung menyodorkan baskom itu ke mulutnya.
"uaaakh uaaakh uaaakh..." Anak gadis itu memuntahkan
lendir yang agak kehijau-hijauan.
Usai muntah, anak gadis itu membuka matanya perlahanlahan.
Ternyata tadi la dalam keadaan pingsan dan kini sudah
tersadar. "Bibi Bibi..." panggil anak gadis itu
"Siauw Cui.. siauw Cui..." sahut ke dua wanita itu dengan
air mata berderai-derai saking gembiranya.
Sedangkan Thlo Han Liong telah menurunkan sepasang
tangannya, lalu meloncat turun sambil tersenyum.
"Bibi berdua" ujarnya memberitahukan.
"Kini adik kecil ini telah pulih, dia memiliki Iweekang yang
cukup tinggi."

Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tuan...." Mendadak ke dua wanita itu berlutut di hadapan
Thio Han Liong. "Tuan telah menyelamatkan nyawa nona kami, entah harus
bagaimana kami berterima kasih kepada Tuan?"
"Jangan berkata begitu" Thio Han Liong tersenyum.
"Bangunlah" Ke dua wanita itu bangkit berdiri, sedangkan anak gadis itu
terus memandang Thio Han Liong.
"Kakak yang menyelamatkan nyawaku?" tanyanya. Thio
Han Liong mengangguk. "Terima kasih, Kakak." ucap anak gadis itu.
"Aku telah berhutang budi kepada Kakak, entah bagaimana
aku harus membalasnya?"
"Adik kecil" Thio Han Liong tersenyum lembut.
"Jangan berkata begitu, aku menolongmu tanpa pamrih."
"Oh?" Anak gadis itu tertawa kecil.
"Bolehkah aku tahu nama Kakak?"
"Namaku Thio Han Liong. Namamu?"
"Namaku siauw Cui."
"Nama yang indah" puji Thio Han Liong.
"Adik siauw Cui amat cantik,"
Siauw Cui tersenyum. "Kakak sungguh tampan, sudah punya isteri belum?"
"Belum, tapi sudah punya tunangan." Thio Han Liong
memberitahukan. "Aku yakin tunangan Kakak pasti cantik sekali. Ke-napa dia
tidak bersama Kakak?"
"Dia tinggal di Kotaraja, sekarang aku sedang mau ke sana"
"Hoooh "siauw Cui manggut- manggut.
"Sayang sekali kami harus segera pulang. Kalau tidak, kami
ingin jalan-jalan ke Kotaraja."
"Adik kecil" Thio Han Liong membelainya.
"Ke dua orangtua mu pasti sangat mencemaskan mu, maka
kalian harus cepat-cepat pulang."
"Betul." sahut salah seorang wanita itu, kemudian
memandang Thio Han Liong seraya bertanya.
"Thio siau-hiup, obat penawar racunmu itu dibuat dari
ramuan apa?" "Akar dan daun soat san Ling Che." Thio Han Liong
memberitahukan. "Haah...?" Mulut ke dua wanita itu ternganga lebar.
"Pantas dapat memunahkan racun itu oh ya, tadi siauhiap
menggunakan Iweekang apa membantu nona kami mendesak
ke luar racun itu?" "Kiu Yang Sin Kang."
"Oh?" Ke dua wanita itu manggut-manggut.
"Tidak disangka siauhiap telah memiliki Iweekang tingkat
tinggi itu. Apakah siauhiap yang makan buah soat san Ling
che itu?" "Ya." Thio Han Liong mengangguk.
"Siauhiap sungguh beruntung." ujar salah seorang wanita,
itu. "Siauhiap masih muda, tapi berkepandaian tinggi dan mahir
ilmu pengobatan pula, itu sungguh di luar dugaan"
"Bibi berdua pun berkepandaian amat tinggi," sahut Thio
Han Liong sambil tersenyum.
"Siauhiap, kami berdua cuma merupakan pelayan.
Kepandaian kami tidak seberapa."
"Bibi berdua terlampau merendahkan diri oh ya, bolehkah
aku tahu kalian berdua dari mana?"
"Kami...." Ke dua wanita itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Maaf, kami tidak bisa memberitahukan Mudah-mudahan
kelak kita akan berjumpa lagi"
"Baiklah." Thio Han Liong manggut-manggut.
"Kalau begitu aku mohon diri"
"Kakak" panggil siauw Cui.
"Kakak tinggal di mana?" tanyanya.
"Aku tinggal di pulau Hong Hoang To Pak Hai." Thio Han
Liong memberitahukan. "Pulau itu jauh sekali."
"Tempat tinggal kami pun jauh sekali." siauw Cui
memberitahukan. "Di puncak gunung. Kami tidak pernah berhubungan
dengan orang luar." "Oooh" Thio Han Liong tersenyum.
"Adik kecil, sampai jumpa kelak"
"Ya, Kakak" sahut siauw Cui.
"Semoga kita berjumpa kembali kelak"
Thio Han Liong menatapnya sejenak. lalu kembali ke
kamarnya dan duduk. la tidak habis pikir, siapa sebenarnya
siauw Cui dan ke dua wanita itu....
Bab 53 Bu sim Hoatsu Seorang pendeta Taosme berwajah dingin dan kaku
menuntun seorang gadis kecil memasuki sebuah lembah.
Mereka berdua ternyata Bu sim Hoatsu dan Ouw Yang Hui
sian, putri Ouw Yang Bun.
"Aku tidak mau ikut Aku tidak mau ikut..." gadis kecil itu
berhenti. "Paman pendeta jahat Jahat sekali Aku tidak mau ikut..."
"Hui sian" Bu sim Hoatsu mengerutkan kening.
"Kalau hari itu aku tidak tertarik padamu, mungkin Tong
Koay dan ayahmu telah kubunuh"
"Aku tidak mau menjadi muridmu Aku tidak mau..." Ouw
Hui sian terus menggelengkan kepala dan tak mau berjalan
sama sekali. "Aku benci engkau pendeta jahat"
"He he he" Bu sim Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh.
"Aku justru mau mengangkatmu sebagai murid, sekaligus
menjadikan dirimu pendekar wanita yang tak terkalahkan. He
he he..." "Pokoknya aku tidak mau" Ouw Yang Hui sian membantingbanting
kaki. "Tidak mau..." "Oh?" Bu sim Hoatsu melotot, kemudian mendadak menarik
lengan gadis kecil itu seraya membentak gusar.
"Ayoh, cepat jalan"
Bu Sim Hoatsu menyeretnya, namun gadis kecil itu tetap
berkeras tidak mau bergerak, bahkan me ronta- ronta dan
mencakar tangan Bu sim Hoatsu.
"Kurang ajar" Bu sim Hoatsu mengayunkan tangannya.
Plaaak Pipi Ouw Yang Hui sian terkena tamparan keras,
membuatnya menjerit kesakitan.
"Aduuuuh..." gadis itu pun menangis dengan air mata
bercucuran. "Pendeta jahat, kenapa engkau menamparku?"
"Diam" sahut Busim Hoatsu membentaknya.
"Kalau engkau masih tidak mau jalan, aku akan
menyeretmu" Di saat bersamaan, muncullah seorang wanita
tua berusia enam puluhan sambil bernyanyi-nyanyi kecil, lalu
tertawa-tawa pula. Walau pakaiannya compang-camping, tapi
kelihatannya bersih sekali.
Ketika melihat Ouw Yang Hui sian menangis, dan melihat
Bu sim Hoatsu menyeret gadis kecil itu, wajahnya langsung
berubah. "Hei Pendeta busuk. kenapa engkau menyakiti gadis kecil
itu?" bentak wanita tua itu sambil mendekati mereka.
Bu sim Hoatsu diam saja, namun terus menatapnya dengan
penuh perhatian dan kening pun berkerut-kerut.
"Hi hi hi" Wanita tua itu tertawa.
"Pendeta busuk, ternyata engkau gagu tetapi berhati jahat"
"Popo (Nenek)" seru Ouw Yang Hui sian.
"Tolonglah aku, pendeta jahat ini mau membawa ku pergi"
"Hi hi hi" Wanita tua itu tertawa gembira.
"Betul Betul Aku adalah nenekmu, aku harus menolongmu."
la mendekati Ouw Yang Hui sian, namun mendadak Bu sim
Hoatsu membentak. "Diam di tempat"
"Haaah?" Wanita tua itu tampak tersentak, kemudian
memandang Bu sim Hoatsu dengan mata tak berkedip.
"Engkau tidak gagu, tapi kenapa tadi tidak mau bicara?"
"Nenek gembel" Bu sim Hoatsu menatapnya tajam.
"Cepatlah tinggalkan tempat ini."
"He he he Pendeta busuk, kalau aku tidak mau
meninggalkan tempat ini, mau apa engkau?"
"Nenek gembel" Bu sim Hoatsu mengerutkan kening.
"Siapa engkau?"
"Aku bukan nenek gembel" sahut wanita tua itu.
"Aku Im Sie Popo (Nenek Alam Baka) He he he..."
Wanita tua itu ternyata Kwee In Loan yang sudah tidak
waras, setelah berhasil mempelajari ilmu yang tercantum di
dalam kitab pusaka Im Sie Cin Keng. Maka ia pun
meninggalkan goa yang di dasar jurang itu dan berkelana
daiam keadaan gila. "Im Sie Popo?" Bu sim Hoatsu tercengang. Karena tidak
pernah mendengar nama julukan tersebut.
"Betul" Im Sie Popo-Kwee In Loan tertawa terkekeh-kekeh,
kemudian membentak. "Pendeta jahat, kenapa engkau menyakiti gadis kecil itu?"
"Hmm" dengus Bu sim Hoatsu dingini
"Ini adalah urusanku, engkau jangan turut campur"
"Popo Popo" seru Ouw Yang Hui sian.
"Tolong aku Tolong aku, Popo"
"Hi hi hi Cucuku yang manis, jangan takut, aku pasti
menolongmu" sahut Im Sie Popo sambil tertawa cekikikan.
"Hihihi Engkau memang cucuku"
Im Sie Popo mendekati Bu Sim Hoatsu. Pendeta itu terus
menatapnya dengan tajam, dan mendadak membentak
dengan suara yang amat berpengaruh.
"Engkau harus menuruti semua perintahku"
Suara bentakan itu membuat Im Sie Popo tersentak.
Ternyata Bu sim Hoatsu mengerahkan ilmu hitam untuk
mempengaruhi Im Sie Popo. Akan tetapi, nenek itu hanya
tersentak, sama sekali tidak terpengaruh dan sebaliknya malah
terus tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he He he he Aku tidak akan menuruti semua
perintahmu" ujarnya.
"Hai pendeta jahat, cepat lepaskan gadis kecil itu"
"Eh?" Bu sim Hoatsu terperanjat, sebab Im Sie Popo tidak
terpengaruh oleh ilmu hitamnya. la terus menatapnya tajam
kemudian manggut-manggut.
"Engkau ternyata nenek gila, pantas begitu berani
terhadapku" "Pendeta jahat" bentak Im Sie Popo.
"Cepat lepaskan gadis kecil itu, kalau tidak...."
"Ha ha ha..." Bu sim Hoatsu tertawa gelak, akan tetapi
mendadak.... "Plaaak" sebuah tamparan keras mendarat di pipinya,
sehingga ia menjerit kesakitan sambil mengusap pipinya, dan
tampak terbelalak pula saking terkejutnya. "Aduuuuh..."
"He h e h e" Im Sie Popo tertawa.
"Kalau engkau masih berani menyakiti gadis kecil itu, aku
pasti akan menghajarmu lagi Ayoh cepat lepaskan dia"
"Hm" dengus Bu sim Hoatsu, kemudian mendadak
menyerangnya dengan secepat kilat dan bertubi-tubi.
"He he he" Im Sie Popo tertawa terkekeh-kekeh.
"Asyik mari kita main-main"
Im Sie Popo berkelit ke sana ke mari. Dengan gampang
sekali ia menghindari semua serangan itu. Betapa terkejutnya
Bu sim Hoatsu. la tidak menyangka Im Sie Popo
berkepandaian begitu tinggi.
Oleh karena itu, ia mulai mengeluarkan jurus-jurus
andalannya untuk menyerang Im Sie Popo. Akan tetapi, nenek
itu tetap dapat mengelak sambil tertawa terkekeh-kekeh.
"Popo" seru Ouw Yang Hui sian.
"Hajar pendeta jahat itu"
"Baik, cucuku," sahut Im Sie Popo, lalu balas menyerang Bu
sim Hoatsu dengan jurus-jurus yang amat aneh.
Bukan main terkejutnya Bu sim Hoatsu karena seranganserangan
itu tampak kacau balau tapi cepat, lihay dan dahsyat
sekali. Plak Plok Plaak Pipi Bu sim Hoatsu tertampar beberapa
kali. "Aduuh" jeritnya kesakitan. la terhuyung-huyung ke
belakang dengan pipi membengkak.
"Hi hi hi" Im Sie Popo tertawa.
"Pendeta busuk, pipimu sudah bengkak Hi hi hi..."
"Nenek gila" Bu sim Hoatsu menatapnya dengan mata
berapi api. "Engkau..." "Mau berkelahi lagi?" tanya Im Sie Popo sambil
mendekatinya. Di saat bersamaan, Bu sim Hoatsu merogoh ke dalam
bajunya. Ketika Im Sie Popo sudah mendekat, tiba-tiba ia
mengibaskan tangannya. Tampak asap yang agak ke-merahmerahan
mengarah Im Sie Popo. Namun nenek itu tidak
berkelit, sebaliknya malah tertawa gembira menyaksikan asap
yang amat indah itu. "Hi hi hi..." Mendadak ia terkulai.
"Ha ha ha" Bu sim Hoatsu tertawa gelak.
"Im Sie Popo, kini engkau telah terkena Mi Hun san (Racun
Penyesat sukma) oleh karena itu, mulai sekarang engkau
sudah dibawah pengaruhku"
Im Sie Popo diam saja. Ouw Yang Hui sian segera mendekatinya, lalu menarik
tangannya seraya berkata.
"Popo Popo Mari kita pergi"
"Cucuku...." Im Sie Popo menatapnya. Di saat itulah
terdengar suara bentakan Bu sim Hoatsu.
"Im Sie Popo Cepat tangkap gadis kecil itu"
"Ya," sahut Im Sie Popo dan langsung menangkap Ouw
Yang Hui sian. "Popo Popo...." gadis kecil itu mulai menangis dengan air
mata bercucuran. "Kenapa Popo menurut padanya" Popo tidak mau
menolongku lagi?" "Cucuku...." Im Sie Popo kelihatan tidak tahu harus berbuat
apa. Kemudian memegang kepalanya sendiri seraya berkata,
"Aku... aku harus menuruti semua perintahnya."
"Bagus, bagus" Bu sim Hoatsu tertawa gembira.
"Ha ha ha Mulai sekarang engkau adalah pelayanku, apa
yang kukatakan engkau harus menurut"
"Ya." Im Sie Popo mengangguk.


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gendong gadis kecil itu dan ikut aku" perintah Bu sim
Hoatsu sambil melangkah pergi.
"Ya." Im Sie Popo segera menggendong Ouw Yang Hui
sian, lalu mengikuti pendeta itu menuju gunung cing san.
Walau Im Sie Popo-Kwee In Loan telah terpengaruh Mi Hun
san, sehingga menurut pada Bu sim Hoatsu, namun nenek itu
tetap menyayangi Ouw Yang Hui sian.
"Popo jahat" ujar gadis kecil itu sambil meronta-ronta
dalam gendongan Im Sie Popo.
"Cepat lepaskan aku"
"Cucuku...." Im Sie Popo tersenyum lembut.
"Popo, aku masih ingat...." Ouw Yang Hui sian
memandangnya. "Apakah Popo sudah lupa padaku?"
"Cucuku...." Im Sie Popo tampak tercengang.
"Hi hi hi Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu, tidak
mengerti." "Popo pernah menjadi ketua Hiat Mo Pang." gadis kecil itu
memberitahukan. "Namaku Ouw Yang Hui sian, kita bersama tinggal di
lembah Pek Yun Kok. Apakah Popo sudah lupa?"
"Hi hi" Im Sie Popo tertawa.
"Cucuku, aku memang sudah lupa Hi hi...."
"Popo...." bisik Ouw Yang Hui sian.
"Kita harus cepat-cepat meninggalkan pendeta jahat itu"
"Ha ha ha" Bu sim Hoatsu tertawa gelak.
"Hui siam, engkau masih kecil, tapi sudah pandai
menghasut. Tapi... itu percuma. Im Sie Popo tidak akan
mendengarnya sebab dia cuma mendengar perintahku saja"
"Engkau jahat "sahut Ouw Yang Hui sian
"Jahat sekali" "Oh, ya?" Bu sim Hoatsu tertawa-tawa, tapi mendadak
keningnya tampak berkerut. Ternyata ia mendengar suara
yang mencurigakan- Tak segerapa lama kemudian, muncul seseorang yang tidak
lain adalah ou Yang Bun, ayah gadis kecil itu.
"Hui sian Hui sian" serunya girang.
"Hui sian" "Ayah Ayah" sahut gadis kecil itu.
"Cepat tolong aku, Ayah"
"Jangan takut, Nak" Ouw YangBun mendekati putrinya,
namun Bu sim Hoatsu langsung menghadangnya.
"Ouw Yang Bun" bentak pendeta itu dingini
"Hari itu aku tidak membunuhmu, dikarenakan aku tertarik
pada putrimu. Tapi kalau hari ini engkau berani bertingkah,
nyawamu pasti melayang"
"Bu sim Hoatsu...." Tiba-tiba Ouw Yang Bun terbelalak.
Ternyata ia melihat Kwee In Loan yang menggendong
putrinya itu. "Ketua Kwee...."
"Hi hi hi" Im Sie Popo-Kwee In Loan cuma tertawa, sama
sekali tidak mengenali Ouw yang Bun.
"Ketua Kwee" siapa dia?"
"Ketua Kwee terpukul jatuh ke dalam jurang, tapi...." Ouw
Yang Bun tidak habis pikir, kemudian berkata dengan penuh
harap. "Ketua Kwee amat menyayangi Hui sian, tolong bawa dia
ke mari" Im Sie Popo diam saja.
Di saat itulah Bu sim Hoatsu tertawa gelak. matanya
menatap Ouw Yang Bun seraya berkata,
"Ha ha ha Nenek itu telah gila, lagipula dia terkena racun
Mi Hun san, maka dia cuma menuruti perintahku saja Ha ha
ha..." "Bu sim Hoatsu, cepat kembalikan putriku" bentak Ouw
Yang Bun sambil mengerahkan Iweekang. Ke-Hhatannya ia
sudah siap bertarung mati matian melawan pendeta itu.
"Hm" dengus Bu Sim Hoatsu dan mendadak melesat ke sisi
Im Sie Popo. "Aku akan menjaga gadis kecil ini, cepatlah engkau pergi
usir orang itu" "Ya." Im Sie Popo meloncat ke hadapan Ouw Yang Bun.
"Pergi Cepat pergi"
"Ketua Kwee" Ouw Yang Bun memberi hormat.
"Gadis kecil itu adalah putriku, namanya Hui sian...."
"Ayoh" bentak Im Sie Popo.
"Cepat pergi" "Aku adalah Ouw Yang Bun, apakan ketua Kwee sudah
lupa?" tanyanya sambil mengerutkan kening.
"Kita tinggal di lembah Pek Yun Kok...."
"Ouw Yang Bun" bentak Bu sim Hoatsu.
"Kalau engkau tidak mau pergi, aku akan suruh dia
membunuhmu" "Pendeta jahat" sahut Ouw Yang Hui sian.
"Kalau engkau berani menyuruh Popo itu membunuh
ayahku, aku... aku pasti membencimu selama-lamanya"
"Oh?" Bu sim Hoatsu mengerutkan kening, kemudian
berseru. "Im Sie Popo, totok jalan darahnya agar lumpuh"
"Ya." Im Sie Popo mengangguk, lalu bergerak laksana kilat
menotok jalan darah Ouw Yang Bun.
"Ketua Kwee...." Ouw Yang Bun berkelit, namun akhirnya
tertotok juga sehingga terkulai dan tak bergerak lagi.
"Ayah Ayah..." teriak Ouw Yang Hui sian.
"Nak...," sahut Ouw Yang Bun sambil memandangnya.
"Ayah...." "Ha ha ha" Bu sim Hoatsu tertawa gelak. lalu menarik Ouw
Yang Hui sian meninggalkan tempat itu sekaligus berseru.
"Im Sie Popo, mari kita pergi"
Nenek itu mengangguk. lalu segera menyusul mereka.
sedangkan Ouw Yang Bun tetap tergeletak tak bergerak. la
terus berteriak-teriak memanggil putrinya.
"Hui Sian Hui Sian..."
Im Sie Popo menggendong Ouw Yang Hui siam lagi. gadis
kecil itu terus menangis dalam gendongannya. Ketika
memasuki sebuah lembah, tiba-tiba tampak dua sosok
bayangan berkelebat ke arah mereka.
Bu sim Hoatsu dan Im Sie Popo langsung berhenti. Di saat
bersamaan melayang turun dua orang, yaitu seorang lelaki
dan seorang wanita berusia empat puluhan. Rupanya mereka
berdua adalah sepasang suami isteri.
"Suamiku" ujar si perempuan.
"Bagaimana kalau kita menolong gadis kecil itu" Aku suka
padanya." "Baik," sang suami manggut-manggut.
"Hm" Bu sim Hoatsu mendengus dingin.
"Siapa kalian" sungguh berani kalian menghadang kami"
"Pendeta" sahut lelaki itu.
"Aku harap engkau sudi melepaskan gadis kecil itu"
"Ha ha ha" Bu sim Hoatsu tertawa gelak. kemudian
mendadak menatapnya dengan tajam, ternyata ia
mengerahkan ilmu hitam. "Engkau harus menuruti perintahku"
"Pendeta" Lelaki itu tersenyum.
"Ilmu hitammu tidak akan dapat mempengaruhiku,
percuma engkau mengerahkan ilmu hitam itu"
"Hah?" Bu sim Hoatsu tersentak.
Di saat bersamaan, terdengar suara jeritan Ouw Yang Hui
sian. "Paman, Bibi Tolong aku..."
"Diam" bentak Bu sim Hoatsu, lalu memandang lelaki itu
seraya berkata, "Kita bukan musuh, maka alangkah baiknya kalau kita tidak
saling mengganggu" "Hm" dengus wanita itu dingin
"Engkau menculik gadis kecil, kebetulan kita bertemu di
sini, maka kami harus menyelamatkannya"
"Oh?" Bu sim Hoatsu tertawa dingin
Di saat bersamaan, Ouw Tang Hui sian berseru agak
terisak. "Bibi, tolonglah aku Pendeta itu jahat sekali. Dia... dia
melukai ayahku hingga tak bergerak."
"Jangan cemas, Nak" sahut wanita itu sambil tersenyum.
"Bibi pasti menolongmu."
Mendadak wanita itu bergerak cepat sekali menyerang Bu
sim Hoatsu. Itu sungguh mengejutkan pendeta tersebut,
namun ia masih sempat berkelit.
Di saat Bu sim Hoatsu berkelit, di saat itu pula wanita
tersebut menyerangnya lagi, membuat pendeta itu kelab akan.
"Wanita sialan" caci Bu sim Hoatsu dan berseru,
"Im Sie Popo, cepat...."
Ternyata Bu sim Hoatsu ingin minta bantuan nenek itu,
namun wanita yang menyerangnya sama sekali tidak memberi
kesempatan kepadanya. la mempergencar serangannya.
Belasan jurus kemudian, wanita tersebut berhasil menotok
jalan darah Giok Tiong Hiat dan ci Kiong Hiat di dada Bu sim
Hoatsu, sehingga membuat pendeta itu terkulai dan dadanya
terasa sakit sekali. "Cepat suruh nenek itu melepaskan gadis kecil yang
digendongnya" bentak wanita tersebut.
"Hm" dengus Bu sim Hoatsu.
"Kalau begitu...." Wanita itu tertawa dingin.
"Aku terpaksa harus memusnahkan kepandaianmu"
"Hah?" Air muka Bu sim Hoatsu langsung berubah.
"Engkau...." "Nan Cepatlah suruh dia melepaskan gadis kecil itu" bentak
wanita tersebut. "Kalau tidak...."
Bu sim Hoatsu menghela nafas panjang.
"Im Sie Popo, lepaskan gadis kecil itu" serunya kemudian.
Nenek itu mengangguk. sekaligus menurunkan Ouw Yang
Hui siam. gadis kecil itu segera berlari menghampiri wanita
tersebut. "Terima kasih, Bibi," ucapnya.
"Ngmm" Wanita itu manggut-manggut, dan langsung
menggendong Ouw Yang Hui sian.
"Suamiku, mari kita pergi" serunya kepada lelaki yang
berdiri di sampingnya. Lelaki itu mengangguk. mereka lalu
melesat pergi. Bu sim Hoatsu memandang mereka dengan mata berapiapi,
sedangkan Im Sie Popo malah tertawa terkekeh-kekeh.
"He he he..." "Diam" bentak Bu sim Hoatsu.
Im Sie Popo langsung diam.
"Kini gadis kecil itu tidak bersamaku lagi, aku pun tidak
usah ke gunung cing san," gumam Bu sim Hoatsu.
"Kalau begitu.. aku harus membawa Im Sie Popo pergi
mencari Thio Han Liong. Dia membunuh Leng Leng Hoatsu
adik seperguruanku."
Kemudian ia memandang Im Sie Popo.
"Im Sie Popo, mari ikut aku" ajaknya.
"Ya." sahut nenek itu
Bu sim Hoatsu melesat pergi. Im Sie Popo pun melesat
pergi mengikutinya. Sementara itu, sepasang suami isteri yang menyelamatkan
Ouw Yang Hui sian terus melesat pergi menggunakan ginkang.
selang beberapa saat, barulah mereka berhenti lalu duduk di
bawah sebuah pohon. "Anak manis," tanya wanita itu setelah menurunkan Ouw
Yang Hui sian ke bawah. "Siapa engkau dan siapa ke dua orangtuamu?"
"Namaku Ouw Yang Hui sian," jawab gadis kecil itu
memberitahukan. "Ayahku bernama Ouw Tang Bun, ibuku sudah meninggal."
"Oooh" Wanita itu manggut-manggut.
"Kenapa pendeta jahat dan nenek gila itu menculikmu" "
"Pendeta jahat itu melukai Kakek oey...." Ouw Yang Hui
siam menutur tentang kejadian itu, kemudian menambahkan.
"Nenek itu terkena racun, maka menuruti semua perintah
pendeta jahat itu." "Ngmm" Wanita itu manggut-manggut dan
memberitahukan. "Sebelum terkena racun, nenek itu memang sudah gila?"
"Bibi, aku kenal nenek itu," ujar Ouw Yang Hui Sian dan
memberitahukan tentang Kwee In Loan, bahkanjuga
memberitahukan tentang ayahnya yang gagal
menyelamatkannya. Wanita itu manggut-manggut ketika
mendengar penuturan Ouw TYang Hui sian.
"Kami tidak tahu ayahmu berada di mana, maka tidak bisa
mengantarmu ke sana. oleh karena itu, bagaimana kalau
engkau ikut kami saja?" tanyanya.
"Bibi dan Paman bukan orang jahat kan?" tanya Ouw Yang
Hui sian mendadak sambil memandang mereka.
suami isteri itu saling memandang, lalu tersenyum seraya
berkata dengan lembut sekali.
"Kami bukan orang jahat, percayalah" Wanita itu
menambahkan. "Kami pun punya satu anak perempuan berusia sebelas
tahun." "Oh?" Ouw Yang Hui sian tampak gembira.
"Dimana kakak itu?"
"Kami datang di Tionggoan ini justru menyusul putri kami
itu," sahut wanita tersebut.
"Dua pelayan kami mendampinginya, namun... entah
berada di mana mereka sekarang."
"Kenapa Bibi dan Paman tidak mendampinginya?" tanya
Ouw Yang Hui sian. "Kami pikir...," sahut wanita itu.
"Cukup ke dua pelayan kami mendampinginya. oh ya, putri
kami bernama siauw Cui. Aku bernama Lie Hong suan,
suamiku bernama Kam Ek Thian. Kami datang dari gunung
Altai, dekat terbatasan Mongolia. siauw Cui terkena racun...."
"Kakak siauw Cui terkena racun?" Ouw Yang Hui sian
terkejut. "Kenapa Bibi tidak mengobatinya" "
"Aaaa..." Lie Hong Suan menghela nafas panjang.
"Kami tidak punya obat penawar racun itu, maka terpaksa
menyuruh ke dua pelayan itu membawa siau Cui ke Tionggoan
menemui tabib yang terkenal. Karena sudah hampir dua bulan
mereka belum pulang, maka kami menyusul."
"Tapi kami tidak berhasil menemukan mereka," ujar Kam


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ek Thian sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Mereka entah berada di mana sekarang, kami pun tidak
tahu bagaimana keadaan siauw Cui."
Di saat bersamaan, tampak tiga sosok bayangan berkelebat
ke arah mereka. seketika juga Kam Ek Thian dan Lie Hong
suan bangkit berdiri dan terdengarlah suara seruan yang riang
gembira. "Ayah Ibu..." "Siauw Cui siauw Cui" Betapa gembiranya Kam Ek Thian
dan Lie Hong sua n, sebab yang muncul itu ternyata putri
kesayangan mereka bersama kc dua pelayan itu.
"Ayah ibu" siauw Cui langsung mendekap di dada ibunya,
sedangkan ke dua pelayan itu segera memberihormat kepada
mereka. "Tuan, Nyonya...."
"Yen Yen," tanya Kam Ek Thian.
"Bagaimana keadaan siauw Cui" Apakah kalian sudah
berhasil menemukan tabib yang terkenal?"
"Tuan, kami tidak berhasil menemukan tabib yang terkenal,
tapi kini Nona telah sembuh." Yen Yen, pelayan itu
memberitahukan. "Racun yang ada didalam tubuh Nona telah punah."
"Lho?" Kam Ek Thian heran.
"Kenapa bisa begitu?"
"Ketika kami menginap di sebuah penginapan, seorang
pemuda...." Yen Yen menutur tentang Thio Han Liong yang
menyembuhkan siauw Cui dan menambahkan.
"Obat itu dibuat dari daun dan akar soat san Ling che.
Kemudian pemuda itu pun menyalurkan Iweekang-nya ke
dalam tubuh Nona, maka Nona begitu cepat pulih."
"Oh?" Kam Ek Thian tampak tercengang.
"Siapa pemuda itu?" tanya Lie Hong suan sambil membelaibelai
putrinya. "Thio Han Liong," sahut Yen Yen memberitahukan.
"Kelihatannya dia berkepandaian tinggi, bahkan juga mahir
ilmu pengobatan." "Oooh" Lie Hong suan manggut-manggut.
"Syukurlah kini siauw Cui telah pulih. Kita segera pulang ke
gunung Aitai." Ke dua pelayan itu mengangguk. Di saat itulah Kam siauw
Cui bertanya, "Ibu, siapa adik itu?"
"Siauw Cui," Lie Hong suan sambil tersenyum.
"Dia bernama Ouw Yang Hui sian. Ibu akan mengajaknya
ke tempat tinggal kita."
"Asyik" seru Kam siauw Cui gembira.
"Adik Hui sian, aku senang sekali berteman denganmu."
"Kakak," Ouw Yang Hui sian sambil tersenyum.
"Aku pun senang sekali."
"Ibu, bagaimana Adik Hui sian bisa bersama Ibu dan
Ayah?" tanya Kam siauw Cui.
"Hui sian ditangkap pendeta jahat, maka ibu
menolongnya," jawab Lie Hong suan.
"Karena tidak lahu di mana ayahnya, jadi dia harus ikut
kita." "Bagus" Kam siauw Cui tertawa girang.
"Aku punya teman main"
"Nak," Lie Hong suan menatapnya lembut.
"Kalau kalian tidak kebetulan bertemu Thio Han Liong,
entah bagaimana nasibmu?"
"Ibu," Kam siauw Cui memberitahukan.
"Kakak Thio itu tampan sekali, aku suka sekali padanya."
"Oh?" Lie Hong suan tersenyum.
"Namun sayang, ibu dan ayahmu belum membalas budi
pertolongannya itu."
"Ibu," ujar Kam siauw Cui.
"Kakak Thio tidak menghendaki kita membalas budinya. Dia
seorang pendekar yang gagah dan berhati bajik,"
"Sayang sekali...." Kam Ek Thian menggeleng-gelengkan
kepala. "Entah kapan ayah dan ibumu akan bertemu Thio Han
Liong?" "Ayah, bagaimana kalau kita pergi mencari Kakak Thio?"
tanya Kam siauw Cui mendadak.
"Itu tidak bisa, sebab kita harus segera pulang," jawab Kam
Ek Thian dan menambahkan,
"Lagi pula aliran kita tidak pernah berkecimpung dalam
rimba persilatan Tionggoan."
"Tapi kita cuma mencari Kakak Thio, bukan bermaksud
berkecimpung dalam rimba persilatan Tionggoan. Itu... itu
tidak melanggar peraturan, bukan?"
"Memang." Kam Ek Thian manggut-manggut.
"Namun kita tidak usah pergi mencari Thio Han Liung.
Kalau berjodoh kita pasti akan berjumpa kelak."
"Yah, Ayah" Kam siauw Cui menggeleng-gelengkan kepala.
"Kita berada di gunung Aitai, bagaimana mungkin akan
berjumpa kembali dengan Kakak Thio?"
Lie Hong Suan tersenyum lembut.
"Nak, kita harus segera pulang. Kini engkau sudah punya
teman main, engkau masih tidak gembira?"
"Gembira sekali," ujar Kam Siauw Cui lalu bertanya kepada
Ouw Yang Hui Sian. "Adik Hui Sian, engkau senang ikut kami ke gunung Aitai?"
"Senang, tapi...." Ouw Yang Hui Sian menundukkan kepala.
"Ayahku entah berada di mana sekarang."
"Hui Sian," Lie Hong Suan memegang bahunya seraya
berkata, "Setelah engkau dewasa, engkau boleh pulang ke
Tionggoan mencari ayahmu."
"Ya, Bibi." Ouw Yang Hui Sian mengangguk.
"Nah, kita berangkat sekarang" ujar Kam Ek Thian.
"Yen Yen, gendong Hui Sian"
"Ya, Tuan" Pelayan itu segera menggendong Ouw Yang Hui
Sian. Lie Hong Suan menggandeng tangan putrinya, kemudian
melesat pergi diikuti Kam Ek Thian dan lainnya. Ternyata
mereka menggunakan ilmu ginkang.
Bagaimana keadaan Ouw Yang Bun yang tertotok jalan
darahnya" la masih tergeletak di tempat itu tak bergerak sama
sekali, namun mulutnya dapat mengeluarkan suara rintihan.
"Aaah Aaaah Hui Sian...."
Mendadak sosok bayangan berkelebat ke arahnya.
Bayangan itu ternyata seorang gadis yang cantik jelita,
tangannya membawa sebuah kecapi.
"Eh?" gadis yang ternyata Dewi Kecapi itu mengerutkan
kening. "Kenapa Anda merintih- rintih" Apakah Anda terluka?"
"Jalan darahku tertotok, maka aku tak bisa bergerak sama
sekali." Ouw Yang Bun memberitahukan.
"Nona, tolong buka jalan darahku."
Dewi Kecapi menatapnya tajam. sejenak kemudian ia
manggut-manggut... sekaligus menjulurkan tangannya untuk
membebaskan jalan darah Ouw Yang Bun yang tertotok itu
"Aaah..." Ouw Yang Bun menarik nafas dalam-dalam.
setelah itu badannya mulai bergerak.
"Terima-kasih, Nona," ucapnya.
"siapa Anda?" tanya Dewi Kecapi.
"Namaku Ouw Yang Bun," sahutnya lalu bertanya.
"Bolehkah aku tahu siapa Nona?"
"Aku Dewi Kecapi, juga adalah Putri suku Hui."
"Hah?" Ouw Yang Bun terkejut dan segera memberi
hormat. "Ternyata Nona Putri suku Hui. Tapi kenapa Nona berada di
Tionggoan?" "Aku mencari seseorang," sahut Dewi Kecapi sambil
menatapnya. "Kenapa engkau berada di sini dan siapa yang menotok
jalan darahmu?" "Aku mencari putriku yang diculik orang, tapi malah aku
dilumpuhkan." Ouw Yang Bun menggeleng-gelengkan kepala.
"Mereka telah membawa pergi putriku. Kalau Nona tidak
muncul, mungkin aku akan dimangsa binatang buas."
"Siapa yang menculik putrimu?"
"Bu sim Hoatsu."
"Apa?" Dewi Kecapi tersentak.
"Bu sim Hoatsu yang menculik putrimu?"
"Ya." Ouw Tang Bun mengangguk dengan wajah murung.
"Entah di bawa ke mana putriku...."
"Hm" dengus Dewi Kecapi.
"Busim Hoatsu, ke mana engkau pergi, aku pasti
memburumu" "Nona...." Ouw YangBun menatapnya dengan heran.
"Nona punya dendam dengan Bu sim Hoatsu itu?"
"Ya." Dewi Kecapi mengangguk.
"Dia membunuh ke dua orang tuaku, maka aku harus
menuntut balas kepadanya."
"Tapi...." Ouw Yang Bun menghela nafas panjang.
"Bu sim Hoatsu berkepandaian tinggi, bahkan kini ditambah
Im Sie Popo yang kepandaiannya lebih tinggi. oleh karena itu,
sulit bagi Nona untuk menuntut balas."
"Siapa Im Sie Popo itu?"
"Im Sie Popo bernama Kwee In Loan..." tutur Ouw Yang
Bun tentang itu "Kini dia telah gila dan dibawah pengaruh Bu sim Hoatsu."
"Ngmm" Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Oh ya Mereka menuju ke arah mana?"
"Tuh" Ouw Yang Bun menunjuk ke arah mereka pergi.
"Nona harus berhati-hati, sebab Bu sim Hoatsu mahir ilmu
hitam" "Terima kasih," ucap Dewi Kecapi, kemudian melesat pergi.
"sampai jumpa...."
Ouw YangBun berdiri termangu- mangu, lama sekali
barulah melesat pergi mengikuti arah itu pula.
Bab 54 An Lok Kong Cu Bertemu Dewi Kecapi.
An Lok Kong cu duduk melamun dekat taman bunga.
Wajahnya tampak muram sekali, kelihatannya ada sesuatu
yang tcrganjd dalam hatinya. Kemudian ia pun menghela
nafas panjang. "Kong cu" LanLan, dayang pribadinya menghampirinya.
"Kenapa Kong cu duduk melamun di sini?"
"Aaah..." An Lok Kong cu menghela nafas panjang lagi.
"Lan Lan, sudah dua bulan lebih...."
"Maksud Kong cu, Tuan Muda Thio?" tanya Lan Lan dengan
suara rendah. "Ya." An Lok Kong cu mengangguk.
"Sudah dua bulan lebih dia pergi, tapi kenapa belum
kembali?" "Kong cu harus sabar," hibur Lan Lan.
"Aku yakin tidak lama lagi Tuan Muda Thio akan kembali."
"Lan Lan...." An Lok Kong cu menggeleng- gelengkan
kepala. "Aku harus pergi mencarinya."
"Kong cu...?" Lan Lan terperanjat.
"Itu...." "Jangan khawatir, Lan Lan" An Lok Kong cu tersenyum.
"Aku pasti akan minta ijin kepada ayah."
"Oooh" Lan Lan menarik nafas lega.
"Tadi aku kira Kong cu akan pergi begitu saja."
"Tentu tidak. Bagaimana mungkin aku membuat cemas
ayahku?" sahut An Lok Kong cu.
"Tapi...." Lan Lan menatapnya seraya bertanya,
"Bagaimana kalau Yang Mulia tidak mengijinkannya" "
"Itu tidak mungkin," jawab An Lok Kong cu yakin.
"Ayah ku pasti memberi ijin, aku percaya itu."
"Mudah-mudahan begitu" ucap Lan Lan.
An Lok Kong cu bangkit berdiri, lalu pergi ke istana Cu
Goan ciang. Kebetulan kaisar itu sedang duduk santai di ruang
istirahat sambil menikmati teh wangi. Perlahan-lahan An Lok
Kong cu mendekatinya. "Ananda memberi hormat kepada Ayahanda," ucap An Lok
Kong cu sambil memberi hormat.
"Oh, Ay Ceng" Cu Goan Ciang tersenyum.
"Duduklah" "Terima kasih, Ayahanda." An Lok Kong cu duduk.
"Ananda...." "Ada apa, katakanlah"
"Ananda ingin pergi mencari Han Liong, mohon Ayahanda
mengijinkan Ananda" ujar An Lok Kong cu dengan kepala
tertunduk. " Kenapa engkau harus pergi mencarinya?" tanya Cu Goan
Ciang. "Bukankah dia akan kembali ke mari?"
"Sudah dua bulan lebih, tapi dia masih belum kembali.
Maka... aku ingin pergi mencarinya."
"Nak" Cu goan ciang menatapnya.
"Kenapa engkau tidak bisa sabar menunggu" Lagipula
engkau mau kc mana cari dia?"
"Ananda akan ke Tibet, dia pasti berada di sana."
"Nak...." Cu Goan ciang menggeleng-gelengkan kepala.
"Kalau pun ayah melarang, engkau juga pasti akan pergi.
oleh karena itu, lebih baik ayah mengijinkanmu. Ya, kan?"
Bagian 28 "Terima kasih, Ayahanda," ucap An Lok Kong cu sambil
tersenyum, sehingga wajahnya tampak berseri-seri.
"Oh ya Bagaimana setelah engkau pergi dia malah
kembali?" tanya cu Goan ciang sambil memandangnya.
"Suruh dia menunggu ananda di istana An Lok, ananda
pasti kembali" sahut An Lok Kong cu.
"Baiklah." cu Goan ciang manggut-manggut
"Nak, kapan engkau akan pergi?"
"Sekarang." "Sekarang?" cu Goan ciang mengerutkan kening, kemudian
menghela nafas panjang. "Baiklah, tapi... engkau harus berhati-hati dan lebih baik
menyamar sebagai sastrawan muda saja"
"Ya." An Lok Kong cu mengangguk.
"Dan..." tambah cu Goan ciang.
"Jangan lupa membawa pedang pusaka dan bekal
secukupnya" "Terima kasih, Ayahanda," ucap An Lok Kong cu sambil


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberi hormat. Wajah pun tampak cerah ceria.
"Kalau bertemu Han Liong, engkau harus langsung ajak dia
pulang, jangan pesiar ke mana-mana"
"Ya, Ayahanda." An Lok Kong cu mengangguk. lalu
meninggalkan ruangan istirahat itu untuk kembali ke istana An
Lok. An Lok Kong cu telah berangkat ke Tibet, dengan
menyamar sebagai sastrawan muda. Beberapa hari kemudian,
ketika ia memasuki sebuah lembah, mendadak muncul
belasan orang bertampang seram, yang ternyata para
perampok. "Ha ha ha" Kepala perampok itu tertawa gelak sambil
menatap An Lok Kong Cu. "Tak disangka ada sastrawan muda melewati lembah ini Ha
ha ha..." "Siapa kalian?" tanya An Lok Kong cu dengan kening
berkerut. "Kenapa kalian menghadangku" "
"Kami perampok yang akan merampok apa yang engkau
bawa" sahut kepala perampok.
"Oh?" An Lok Kong Cu tersenyum.
"Lebih baik kalian jangan menggangguku, biarlah aku
lewat." "Boleh, asal buntalanmu itu ditinggalkan di sini kami tidak
akan mengganggumu" "Tidak bisa" An Lok Kong cu menggelengkan kepala.
"Kalian tidak boleh merampok...."
"Ha ha ha" Kepala perampok itu tertawa terbahak-bahak.
"Hei sastrawan muda, kalau engkau tidak tinggalkan
buntalan itu, nyawamu pasti melayang"
"Kalian...." Pada saat bersamaan, berkelebat sosok bayangan ke arah
mereka, yang tidak lain adalah Dewi Kecapi.
"Hmm" dengus Dewi Kecapi sambil menatap kepala
perampok itu. "Aku harap kalian jangan mengganggu sastrawan muda
itu" "He he he" Kepala perampok itu tertawa terkekeh-kekeh.
"Engkau sungguh cantik, kebetulan engkau muncul, jadi
aku bisa bersenang-senang denganmu He he he..."
"Diam" bentak Dewi Kecapi gusar dengan mata berapi api.
"Engkau berani kurang ajar terhadapku?"
"He he Engkau sungguh cantik dan montok sudah lama aku
tidak tidur dengan kaum wanita, hari ini aku beruntung sekali"
ujar kepala perampok dan menambahkan.
"Gadis cantik, mari kita bersenang-senang"
"Engkau memang harus mampus" bentak Dewi Kecapi
sambil menyerang dengan kecapinya.
Serangannya membuat kepala perampok itu terkejut bukan
main, karena ia tidak menyangka kalau gadis cantik itu
berkepandaian begitu tinggi.
"Haaah...?" Kepala perampok itu berkelit.
Akan tetapi, Dewi Kecapi telah menyerangnya lagi. Maka
membuat kepala perampek itu agak kewalahan berkelit, dan
mendadak meloncat ke belakang.
"Siapa engkau?" tanyanya dengan wajah agak pucat pias.
"Dewi Kecapi" "Dewi Kecapi?" "Ya." Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Engkau kepala perampok hari ini bertemu aku, maka
ajalmu telah tiba." "Serang dia" seru kepala perampok itu memberi aba-aba
kepada anak buahnya. Seketika juga para anak buahnya menyerang Dewi Kecapi.
Akan tetapi mendadak Dewi Kecapi menarik tali senar
kecapinya. "Ting Ting Ting..."
"Aaaakh Aaaakh Aaaakh..."Terdengar suara jeritan para
perampok itu, tidak tahan akan suara yang bagaikan memukul
dada mereka. "Ting Ting Ting..."
"uaaakh uaaaakh..." Para perampok itu memuntahkan
darah. sedangkan kepala perampok itu terhuyung-huyung ke
belakang tujuh delapan langkah dengan wajah pucat pias.
"Ting Ting Ting..." Dewi Kecapi terus memetik tali senar
kecapinya membuat para perampok itu roboh satu persatu.
Akhirnya kepala perampok itu pun roboh dengan mulut
mengeluarkan darah, barulah Dewi Kecapi berhenti.
Setelah itu, Dewi Kecapi menghampiri An Lok Kong cu, lalu
memandangnya dengan penuh perhatian.
"Terima kasih atas pertolongan Nona," ucap An Lok Kong
cu. "Hi hi hi" Dewi Kecapi tertawa.
"Tak kusangka engkau pun berkepandaian tinggi."
"Tapi kepandaianmu jauh lebih tinggi," sahut An Lok Kong
cu dengan tersenyum. "Bahkan engkau pun cantik sekali."
"Oh ya?" Dewi Kecapi menatapnya.
"Engkau pun cantik sekali."
"Aku cantik?" An Lok Kong cu tercengang.
"Hi hi hi" Dewi Kecapi tertawa cekikikan.
"Engkau kira aku tidak tahu?"
"Maksudmu?" "Engkau adalah gadis cantik yang menyamar sebagai
sastrawan muda. Engkau dapat mengelabui mata orang lain,
namun tidak bisa mengelabui mataku."
"Engkau memang hebat," ujar An Lok Kong cu.
"Oh ya bolehkah aku tahu siapa engkau?"
"Aku Putri suku Hui dengan julukan Dewi Kecapi. siapa
engkau dan mau ke mana?"
"Aku sedang pesiar." sahut An Lok Kong cu.
"Aku berasal dari Kotaraja."
"Ngmmm" Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Aku yakin engkau adalah putri pejabat tinggi di Kotaraja.
Ya, kan?" "Ya." An Lok Kong cu mengangguk.
"Engkau Putri suku Hui, tapi kenapa berada di Tionggoan?"
"Mari kita duduk di bawah pohon itu" ajak Dewi Kecapi.
"Lebih asyik kita mengobrol di sana."
An Lok Kong cu mengangguk. Mereka berdua lalu duduk di
bawah sebuah pohon dan mengobrol lagi sambil tertawatawa.
"Aku datang di Tionggoan untuk mencari musuh
besarku...." Dewi Kecapi memberitahukan tentang itu.
"Oooh" An Lok Kong cu manggut-manggut.
"Ternyata engkau ingin menuntut balas kepada Bu sim
Hoat-su yang membunuh ke dua orangtuamu. Tapi... apakah
engkau sanggup melawannya?"
"Kalau pun tidak sanggup, aku tetap harus melawannya."
sahut Dewi Kecapi yang telah membulatkan tekadnya.
"Biar bagaimanapun, aku harus membunuhnya."
"Dewi Kecapi, aku sama sekali tidak menyangka kalau
engkau Putri suku Hui." An Lok Kong cu menatapnya.
"Kini suku kalian telah bebas dari kekuasaan Dinasti
Mongol, sebab Tionggoan telah kembali ke tangan bangsa
Han." "Betul." Dewi Kecapi manggut-manggut dan
menambahkan. "Mungkin tidak lama lagi, kami akan mengirim upeti untuk
kaisar Beng." "Itu tidak perlu, karena kaisar Beng sama sekali tidak
pernah menindas suku Hui maupun suku lain, melainkan
menghendaki perdamaian."
"Justru itu, kami amat menghormati kaisar Beng dan ingin
menjalin hubungan persahabatan." Dewi Kecapi
memberitahukan. "Mungkin aku akan mewakili kepala suku Hui untuk
mengantar upeti ke Kotaraja. oh ya, bolehkah aku tahu siapa
namamu?" "Namaku Cu An Lok."
"Kelak kalau aku akan ke Kotaraja, aku pasti
mengunjungimu," ujar Dewi Kecapi berjanji.
"Terima kasih." ucap An Lok Kong cu.
"Tapi aku tidak tahu di mana tempat tinggalmu, aku harus
ke mana mencarimu?" "Kalau engkau tiba di istana, tanyakan kepada kepala
pengawal istana, dia pasti memberitahukan di mana tempat
tinggalku." "Oooh" Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Itu pertanda ayahmu seorang pejabat tinggi dalam
istana." "Ya." An Lok Kong cu mengangguk sambil tersenyum.
"Maaf. Bolehkah aku bertanya sesuatu padamu" "
"Silakan" "Engkau sudah punya suami?"
"Belum." "Kekasih?" "Juga belum." "Engkau sedemikian cantik tapi kenapa belum punya
kekasih" Apakah belum bertemu pemuda idaman hati?"
"Kira- kira begitulah" Dewi Kecapi tersenyum.
"Belum lama ini aku bertemu dengan seorang pemuda Han.
Dia sungguh tampan, lemah lembut, sopan, gagah dan berhati
jujur." "Oh?" An Lok Kong cu tertawa kecil.
"Siapa pemuda itu?"
"Dia berkepandaian tinggi sekali. Aku... aku amat tertarik
padanya, bahkan boleh dikatakan telah jatuh hati padanya
pula. Namun...." Dewi Kecapi menggeleng-ge-lengkan kepala.
"Kenapa?" "Dia berterus terang padaku, bahwa sudah punya
tunangan." "Siapa tunangannya?"
"Aku tidak bertanya dan dia pun tidak memberitahukan,
akhirnya kami berpisah."
"Engkau rindu padanya?"
"Ya." Dewi Kecapi mengangguk, kemudian menghela nafas
panjang. "Tapi dia sudah punya tunangan, lagi pula kelihatannya
amat mencintai tunangannya itu."
"Dari mana engkau tahu itu?"
"Karena di belakang tunangannya, dia sama sekali tidak
mau menyeleweng. Itu pertanda dia adalah pemuda sejati,
juga amat mencintai tunangannya itu."
"Oh?" An Lok Kong cu tersenyum.
"Sebetulnya siapa pemuda itu?"
"Dia bernama Thio Han Liong."
"Hah" Apa" Thio Han Liong?" An Lok Kong cu tersentak,
namun bergirang dalam hati karena memperoleh kabar berita
pemuda tersebut. "Lho?" Dewi Kecapi menatapnya heran.
"Kenapa engkau tampak begitu tegang" Kenapa sih"
Engkau kenal dia?" "Aku memang kenai dia" An Lok Kong cu mengangguk.
"Ketika berpisah denganmu, dia bilang mau ke mana?"
"Mau ke Kotaraja," sahut Dewi Kecapi.
"Engkau berasal dari Kotaraja, tentunya engkau tahu siapa
tunangannya" "Aku...." An Lok Kong cu ragu menjawabnya.
"Engkau...." Dewi Kecapi tersenyum.
"Jangan-jangan engkau juga jatuh hati padanya, namun dia
sudah punya tunangan maka engkau merasa kecewa sekali."
"Aku...." An Lok Kong cu menggeleng-gelengkan kepala.
"Terus terang, aku amat penasaran sekali," ujar Dewi
Kecapi. "Rasanya ingin tahu siapa tunangannya itu"
"Lho" Kenapa?"
"Memperbandingkan kecantikanku dengan kecantikan
tunangannya itu. sebab aku adalah gadis yang tercantik dalam
suku Hui, mungkinkah tunangannya lebih cantik dariku?"
"Oooh" An Lok Kong cu manggut-manggut sambil
tersenyum. "Pemuda itu sudah punya tunangan, tapi engkau..."
"Terus terang, aku masih ingin mencoba mendekatinya.
Kalau dia tertarik padaku, aku pasti mengajaknya ke daerah
kami." "Oh?" An Lok Kong cu terperanjat.
"Kalau begitu secara tidak langsung engkau akan
memisahkan pemuda itu dengan tunangannya."
"Cinta memang harus bersaing," sahut Dewi Kecapi.
"Tapi belum tentu aku akan berhasil mendekatinya
mendekatinya." "Kenapa?" "Sebab dia bukan pemuda mata keranjang, lagi pula amat
mencintai tunangannya. Aaaah-"
An Lok Kong Cu diam saja, namun terus memandang Dewi
Kecapi dan bergirang dalam hati, sebab Thio Han Liong tidak
menyeleweng di belakangnya.
"Pertama kali aku jatuh hati, tapijuga membuat aku
kecewa." Dewi Kecapi menggeleng-gelengkan kepala.
"Dia pemuda baik, yang sulit dicari bandingannya."
"Dewi Kecapi" An Lok Kong cu tersenyum.
"Aku yakin kelak engkau pasti ketemu pemuda idaman hati,
percayalah" "Oh ya" Dewi Kecapi menatapnya seraya bertanya.
"Engkau sudah punya kekasih?"
"Aku sudah punya tunangan."
"Engkau sudah punya tunangan, tapi masih tertarik pada
Thio Han Liong?" Dewi Kecapi menggeleng-gelengkan kepala.
"Engkau lebih sinting daripada diriku, namun dia memang
merupakan pemuda yang baik dan gagah, gadis yang
manapun pasti akan tertarik padanya."
"Oh ya Engkau mau ke mana?"
"Aku mau mencari Bu sim Hoatsu. Engkau?"
"Aku harus segera pulang ke Kotaraja. Dewi Kecapi aku
sungguh bergembira berkenalan denganmu. Mudah-mudahan
kita akan berjumpa kembali kelak"
"Ya." Dewi Kecapi tersenyum.
"Aku pun bergembira sekali berkenalan denganmu. Kalau
aku mengantar upeti ke Kotaraja, pasti mengunjungimu."
"Terima kasih," ucap An Lok Kong cu sambi memberi
hormat.

Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sampai jumpa" "Selamat jalan" sahut Dewi Kecapi.
An-Lok Kong cu tersenyum, kemudian melesat pergi
laksana kilat. Dewi Kecapi berdiri termangu. la tidak
menyangka An Lok Kong cu berkepandaian begitu tinggi.
"Cu An Lok..." gumam Dewi Kecapi.
"Dia menyamar sebagai sastrawan muda sudah tampak
begitu cantik, apalagi berpakaian wanita. Dia sudah punya
tunangan, siapa tunangannya?"
Dewi Kecapi terus berpikir hingga keningnya berkerutkerut.
Kemudian ia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kenapa aku harus memikirkan hal itu?" Dewi Kecapi
menghela nafas. "Itu bukan urusanku, yang penting aku harus berhasil
mencari Bu sim Hoatsu."
Usai bergumam, Dewi Kecapi melesat pergi untuk mencari
Bu sim Hoatsu. sedangkan An Lok Kong Cu menuju ke
Kotaraja, Beberapa hari setelah An Lok Kong cu meninggalkan istana
pergi mencari Thio Han Liong, pemuda itu justru tiba di
Kotaraja dan langsung menuju ke istana menghadap Cu Goan
ciang. "Yang Mulia...." Thio Han Liong memberi hormat.
"Han Liong" cu Goan ciang tersenyum lembut.
"Duduklah" "Terima kasih," ucap Thio Han Liong lalu duduk dan
bertanya. "Di mana Adik An Lok?"
"Dia tidak sabar menunggu." Cu Goan ciang
memberitahukan. "Beberapa hari yang lalu dia berangkat ke Tibet, katanya
ingin menyusulmu." "Oh?" Thio Han Liong mengerutkan kening.
"Dia...." "Yaah" Cu Goan ciang menghela naf as panjang.
"Dia amat rindu padamu, lagipula sudah dua bulan lebih dia
menunggu, namun engkau belum kembali."
"Terhalang oleh sedikit urusan, maka aku terlambat sampai
di Kotaraja," ujar Thio Han Liong, kemudian menggelenggelengkan
kepala. "Aku tidak menyangka Adik An Lok akan berangkat ke
Tibet." "Dia berpesan, apabila engkau kembali harus menunggunya
di istana An Lok." Cu Goan Ciang memberitahukan.
"Ya." Thio Han Liong mengangguk.
"Engkau boleh ke istana An Lok sekarang untuk
beristirahat," ujar cu Goan Ciang, sekaligus menyuruh seorang
dayang mengantarnya ke istana itu.
"Terima kasih," ucap Thio Han Liong. la mengikuti dayang
ke istana An Lok. sampai di istana itu, LanLan, dayang pribadi
An Lok Kong cu menyambut kedatangannya dengan mata
terbelalak. "Tuan Muda, Kong cu...."
"Aku sudah tahu," sahut Thio Han Liong sambil duduk.
"Adik An Lok tidak sabar menungguku. "
"Kong cu amat rindu pada Tuan Muda, maka...."
"Aaaah" Thio Han Liong menghela nafas panjang.
"Dia pergi seorang diri Aku khawatir akan terjadi sesuatu
atas dirinya." "Kong cu menyamar sebagai sastrawan muda, lagipula
Kong cu berkepandaian tinggi sekali." ujar Lan Lan dan
menambahkan. "Tentunya Kong cu tidak akan terjadi apa-apa."
"Mudah-mudahan begitu" ucap Thio Han Liong sambil
menggeleng-gelengkan kepala.
"Adik An Lok...."
Thio Han Liong terus menunggu di istana An Lok. Tak
terasa sebulan telah berlalu. Itu sungguh mencemas-kannya,
akhirnya ia pergi menemui Cu Goan ciang.
"Yang Mulia...."
"Aaaah" Cu Goan ciang menghela nafas panjang.
"Aku tahu engkau amat cemas memikirkan Ay Ceng
putriku, begitu pula aku. sudah sebulan lebih dia pergi, tapi
kenapa belum pulang?"
"Aku khawatir telah terjadi sesuatu atas dirinya," ujar Thio
Han Liong. "Oleh karena itu aku harus menyusulnya."
"Ngmmmr cu Goan ciang manggut-manggut.
"Engkau memang harus pergi mencarinya. Kapan engkau
akan berangkat?" "Hari ini." "Kalau dia pulang, aku pasti menyuruhnya agar
menunggumu di istana An Lok." ujar cu ,Goan Ciang.
"Pokoknya dia tidak boleh pergi ke mana-mana lagi, harus
diam di dalam istana An Lok."
"Dalam waktu satu bulan, aku pasti pulang." Thio Han
Liong memberitahukan. "Jika aku belum pulang dia harus tetap menunggu di dalam
istana, tidak boleh meninggalkan istana lagi"
"Itu sudah pasti." Cu ,Goan Ciang manggut-manggut.
"Setelah kalian berjumpa haruslah segera pulang."
"Ya." Thio Han Liong mengangguk sekaligus ber-pamit .
"Yang Mulia, aku berangkat sekarang."
"Selamat jalan" sahut Cu Goan ciang.
"Hati-hati dalam perjalanan"
"Ya." Thio Han Liong memberi hormat, setelah itu barulah
meninggalkan istana dengan hati tercekam, karena
memikirkan An Lok Kong cu.
Bab 55 Terkena Racun Pelemas Tulang
Kenapa sudah sebulan lebih An Lok Kong cu belum tiba di
Kotaraja" Apa yang terjadi atas dirinya" Ternyata ketika dalam
perjalanan pulang, ia melihat seorang pendeta sedang
menyiksa para penduduk desa, tampak pula seorang nenek
tertawa terkekeh-kekeh. "Kalian harus menyediakan makanan lezat untuk kami
Kalau tidak..." ujar pendeta itu dingin.
"Aku akan membunuh kalian semua"
"Kami... kami tidak pun ya makanan lezat, kami"
Para penduduk desa menyembah dekat kaki pendeta itu.
"Bukankah kalian pelihara ayam" Nah, ayam-ayam itu
harus kalian potong untuk menjamu kami Kalau tidak, nyawa
kalian pasti melayang"
"Itu... itu adalah harta benda kami...."
Plak Plok Pendeta itu langsung menampar penduduk desa
yang bicara itu. "Aduuh" jerit penduduk desa itu menjerit kesakitan.
"Ampun..." Menyaksikan itu, gusarlah An Lok Kong cu dan langsung
melesat ke arah pendeta itu.
"Pendeta jahat" bentaknya.
"Jangan menyiksa penduduk desa, cepat berhenti"
"Oh?" Pendeta itu menatap An Lok Kong cu yang telah
berdiri di hadapannya, kemudian tertawa dingin.
"He he he Sastrawan muda, tahukah engkau siapa diriku?"
"Katakan" sahut An Lok Kong Cu.
"Aku Bu Sim Hoat su dan nenek gila itu Im Sie Popo"
Pendeta itu memberitahukan. Memang sungguh di luar
dugaan, An Lok Kong Cu berjumpa mereka di desa tersebut.
"Hmm" dengus An Lok Kong Cu dingin.
"Engkau seorang pendeta, tapi kenapa begitu jahat?"
"Ha ha ha" Bu Sim Hoatsu tertawa gelak.
"Sastrawan muda, siapa engkau?"
"Namaku Cu An Lok" An Lok Kong Cu memberitahukan.
"Sebagai seorang pendeta seharusnya berhati welas asih,
tapi engkau...." "Diam" bentak Bu Sim hoatsu.
"Lebih baik engkau cepat meninggalkan tempat ini, jangan
mencampuri urusanku"
"Aku akan meninggalkan tempat ini, asal engkau tidak
menyiksa para penduduk desa" sahut An Lok Kong Cu.
"Ha ha ha" Bu Sim Hoatsu tertawa.
"Karena engkau begitu usil mencampuri urusanku, maka
aku terpaksa menangkapmu"
"Oh?" An Lok Kong cu tertawa dingin.
"Tidak begitu gampang engkau tangkap aku"
Bu sim Hoatsu menatapnya tajam.
"Im Sie Popo, cepat tangkap sastrawan muda itu" serunya.
"Ya." Im Sie Popo mengangguk. lalu mendadak menyerang
An Lok Kong Cu. Betapa terkejutnya An Lok Kong Cu, sebab tidak
menyangka kalau nenek itu akan bergerak begitu cepat.
Segeralah ia berkelit, namun Im Sie Popo menyerangnya
lagi. Sementara Bu sim Hoatsu terus tertawa gelak.
"Im Sie Popo, totok jalan darahnya agar tidak bisa
bergerak" serunya. "Ya." sahut Im Sie Popo dan mulai menotok jalan darah An
Lok Kong cu. Walau terus diserang, An Lok Kong cu masih berusaha
berkelit ke sana ke mari. Akan tetapi, belasan jurus kemudian,
Im Sie Popo berhasil menotok jalan darahnya. Maka tak ayal
lagi An Lok Kong cu langsung terkulai tak bergerak lagi.
Di saat bersamaan, berkelebat sosok bayangan ke belakang
pohon, lalu mengintip ke arah Im Sie Popo, Bu sim Hoatsu dan
An Lok Kong cu. Yang bersembunyi di belakang pohon adalah seorang tua
yang tidak tain adalah Pak Hong (si Gila Dari Utara-). la
tampak terkejut sekali ketika melihat Im Sie Popo.
"Dia... dia Kwee In Loan" Dia tidak mati di dasar jurang
itu?" gumamnya. la tidak berani keluar dari tempat
persembunyiannya karena tahu kepandaian Kwee In Loan
amat tinggi. "Itu.... Bu Sim Hoatsu Kenapa kelihatannya Kwee In Loan
di bawah pengaruh pendeta itu?" la tidak habis pikir.
"Dan kenapa Kwee In Loan seperti tidak waras?"
"He he he" BU sim Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh sambil
mendekati An Lok Kong cu yang tergeletak tak bergerak itu.
"Karena engkau begitu usil, maka aku memberi pelajaran
padamu" "Hm" dengus An Lok Kong cu.
"Engkau pendeta jahat dan pengecut pula Kalau engkau
berani, hadapilah seseorang"
"Oh?" Bu sim Hoatsu tersenyum sinis.
"Siapa orang itu?"
"Thio Han Liong"
"Apa?" Wajah Bu sim Hoatsu langsung berubah.
"Engkau kenal dia?"
"Kenal" "Bagus Ha ha ha" Bu sim Hoatsu tertawa terbahak-bahak.
"Kalau begitu, engkau akan kusandera Ha ha ha...."
"Engkau...." "Im Sie Popo, bopong dia" ujar Bu sim Hoatsu.
"Kita ke gua suan Hong Tong (Gua Angin Puyuh) di gunung
cing san." "Ya." Im Sie Popo segera membopong An Lok Kong cu.
"He he he" Bu sim Hoatsu tertawa terkekeh-kekeh,
kemudian memasukkan sesuatu ke mulut An Lok Kong cu.
Yang dimasukkan ke dalam mulut An Lok Kong cu ternyata
Jiu Kut Tok (Racun Pelemas Tulang). siapa yang terkena racun
tersebut, kian hari tulangnya akan bertambah lemas, akhirnya
akan mati lemas seperti tak bertulang sama sekali.
"Im Sie Popo, mari kita pergi" seru Bu sim Hoatsu sambil
melesat pergi. Nenek gila yang membopong An Lok Kong cupun melesat
pergi mengikutinya, sedangkan Pak Hong masih tetap
bersembunyi di belakang pohon.
"Siapa sastrawan muda itu?" gumamnya dengan kening
berkerut-kerut. "Karena dia menyebut nama Thio Han Liong, maka
ditangkap. Kalau begitu, tentu Bu sim Hoatsu punya dendam
terhadap Thio Han Liong. Aku harus berusaha mencari Thio
Han Liong. Tapi pemuda itu berada di mana?"
Pak Hong menggeleng-gelengkan kepala. sejenak
kemudian barulah ia pergi melesat ke arah timur untuk
mencari Thio Han Liong. Sudah tigg hari Thio Han Liong melakukan perjalanan ke
arah tenggara dengan hati tercekam. la yakin telah terjadi
sesuatu atas diri An Lok Kong cu. itulah yang
menyebabkannya menjadi cemas sekali.
Hari itu ketika ia memasuki sebuah rimba, mendadak
terdengar suara pertempuran. sebetulnya ia tidak mau
mendekati tempat pertempuran itu, karena sedang memburu
waktu ke daerah Tibet. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara
Ting Ting" yaitu suara kecapi.
Oleh karena itu, ia segera melesat ke arah suara
pertempuran. Tampak beberapa orang mengeroyok seorang
gadis bersenjata kecapi, yang tidak lain adalah Dewi Kecapi.
"Berhenti" seru Thio Han Liong.
suara seruannya yang begitu keras membuat mereka
langsung berhenti bertempur. Betapa girangnya Dewi Kecapi
ketika melihat pemuda itu.
"Han Llong Han Llong..."
Thio Han Liong tersenyum sambil manggut-mang-gut,
kemudian memandang orang-orang yang mengeroyok Dewi
Kecapi. "Kenapa kalian mengeroyok gadis itu?" tanyanya.
"Siapa engkau?" orang yang bertubuh jangkung balik
bertanya. "Lebih baik engkau segera enyah dari sini Kaiau tidak...."
"Namaku Thio Han Liong. Aku harap kalian jangan
bertempur lagi" ujarnya.
"Engkau... Thio Han Liong?" Beberapa orang itu terbelalak,
kemudian memberi hormat. "Maaf. Maaf...."
Mereka langsung melesat pergi. Itu membuat Thio Han
Liong tercengang, dan Dewi Kecapi pun terheran- heran.
"Kenapa mereka pergi begitu saja?" tanya gadis itu.
"Aku pun merasa heran. Padahal aku tidak kenal mereka,"
jawab Thio Han Liong. "Oh ya, kenapa engkau bertempur dengan mereka?"
"Aku sedang beristirahat di bawah pohon" Dewi Kecapi


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memberitahukan. "setelah itu pun aku memetik kecapi. Tak lama kemudian
mereka muncul dan marah-marah kepadaku."
"Kenapa mereka marah-marah kepadamu?"
"Mereka bilang suara kecapi ku telah mengganggu latihan
mereka, maka aku disuruh pergi. Karena mereka marahmarah,
maka darahku naik dan kami lalu bertempur. Tak
kusangka sama sekali, kepandaian mereka begitu tinggi."
"Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Maka lain kali jangan cepat gusar agar tidak menimbulkan
masalah" "Terima kasih atas nasihatmu," ucap Dewi Kecapi dengan
wajah berseri-seri. "oh ya, bagaimana engkau bisa muncul di sini?"
"Yaaah" Thio Han Liong menghela nafas panjang.
"Aku sedang menuju daerah Tibet."
"Mau apa engkau ke sana?" tanya Dewi Kecapi.
"Mencari tunanganku," sahut Thio Han Liong
memberitahukan. "Dia ke Tibet mencariku, maka aku ke sana menyusulnya."
"Oooh" Dewi Kecapi manggut-manggut dan bertanya
mendadak. "Engkau gembira bertemu aku?"
"Tentu gembira, sebab kita adalah teman," jawab Thio Han
Liong. "Kenapa engkau berada di sini?"
"Aku mencari Bu sim Hoatsu, tapi...." Dewi Kecapi
menggeleng-gelengkan kepala.
"Hingga saat ini belum berhasil."
"Aku pun pernah ke gua Ceng Hong Tong di gunung oey
san untuk mencari Bu sim Hoatsu, tapi pendeta itu sudah tidak
tinggal di sana." Thio Han Liong memberitahukan.
"Oh?" Dewi Kecapi tertegun.
"Mau apa engkau mencarinya?"
"Dia menculik putri temanku," sahut Thio Han Liong.
"Aku bertemu temanku itu di suatu tempat. Dia minta
bantuanku, maka aku pergi bersamanya."
"Oooh" Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Siapa temanmu itu?"
"Dia bernama Ouw Yang Bun."
"Ouw Yang Bun?"
"Ya." "Ternyata dia temanmu." ujar Dewi Kecapi dan
melanjutkan. "Aku pernah bertemu temanmu itu, dia dalam keadaan tak
bergerak karena jalan darahnya tertotok."
"Oh?" Thio Han Liong terbelalak.
"Siapa yang menotok jalan darahnya?"
"Bu sim Hoatsu dan seorang nenek gila, dia yang
memberitahukan," sahut Dewi Kecapi.
"Dia tidak berhasil menolong putrinya, sebaliknya malah
tertotok jalan darahnya."
"Siapa nenek gila itu?"
"Katanya Im Sie Popo."
"Im Sie Popo?" Thio Han Liong mengerutkan kening.
"Siapa Im Sie Popo itu?"
"Ouw Yang Bun memberitahukan, bahwa Im Sie Popo itu
bernama Kwee In Loan...."
"Apa?" Thio Han Liong terperangah.
"Im Sie Popo itu adalah Kwee In Loan?"
"Ya." Dewi Kecapi mengangguk.
"Engkau kenal nenek gila itu?"
"Kenal." Thio Han Liong manggut-manggut, kemudian
menceritakan tentang Kwee In Loan.
"Aku justru tidak habis pikir, dia tidak mati di dalam jurang
itu, hanya berubah tidak waras."
"Kata Ouw Yang Bun, kepandaian Im Sie Popo bertambah
tinggi. Tapi kini dia di bawah pengaruh Bu sim Hoatsu."
"Kalau begitu..." Thio Han Liong menatapnya.
"Engkau harus hati-hati menghadapi mereka"
"Terima kasih atas perhatianmu," ucap Dewi Kecapi sambil
tersenyum. "Oh ya sebulan yang lalu aku bertemu dengan seorang
gadis yang menyamar sebagai sastrawan muda."
"Oh" siapa gadis itu?"
"Dia mengaku bernama Cu An Lok...."
"Apa?" Thio Han Liong tersentak.
"Gadis yang menyamar sebagai sastrawan itu bernama Cu
An Lok?" "Engkau kenal dia?"
"Kenal. Dia ke mana?"
"Kalau tidak salah..." jawab Dewi Kecapi berpikir sejenak.
"... katanya mau pergi ke Tibet."
"Dia tahu engkau siapa?"
"Tentu tahu, sebab kami sudah berkenalan." Dewi Kecapi
tersenyum. "Aku memberitahukan bahwa aku pernah bertemu engkau,
dia tampak terkejut."
"Oh?" "Cukup lama kami mengobrol. Dia pun mengaku berasal
dari Kotaraja dan sudah punya tunangan. Aku juga
memberitahukan kepadanya, bahwa engkau kembali ke
Kotaraja." "Ngmmm" Thio Han Liong manggut-manggut, tapi hatinya
makin cemas, karena yakin telah terjadi sesuatu atas diri An
Lok Kong cu. "Han Liong" Dewi Kecapi menatapnya seraya berkata.
"Bolehkah aku berkenalan dengan tunanganmu kelak?"
"Tentu boleh." Thio Han Liong mengangguk. "Kenapa...
engkau ingin berkenalan dengan tunanganku?"
"Aku ingin tahu, dia atau aku yang lebih cantik," sahut Dewi
Kecapi dan menambahkan. "Kalau dia lebih cantik, aku tidak akan merasa penasaran.
Tapi seandainya aku yang lebih cantik itu pasti membuatku
penasaran sekali" "Lho" Memangnya kenapa?"
"Jika aku lebih cantik, kenapa engkau tidak tertarik pada
ku" Sudah barang tentu aku merasa penasaran sekali."
Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala, kemudian
bangkit dari tempat duduknya dan berpamit.
"Maaf, aku mau pergi sekarang"
"Han Liong...." Dewi Kecapi juga bangkit dari tempat
duduknya. Wajahnya tampak murung sekali. "Kapan kita akan
berjumpa lagi?" "Entahlah." Thio Han Liong menghela nafas panjang.
"Dewi Kecapi...."
Ucapannya terputus karena mendadak terdengar suara
seruan, kemudian tampak sosok bayangan berkelebat ke arah
mereka. "Thio Han Liong ..Thio Han Liong..." Muncul seorang tua di
hadapan mereka, yang tak tidak lain Pak Hong.
"Pak Hong Locianpwee" Thio Han Liong segera memberi
hormat. "Syukurlah aku bertemu engkau di sini" sahut Pak Hong
sambil memandang Dewi Kecapi.
"Nona ini..,." "Dia adalah Dewi Kecapi, Putri suku Hut." Thio Han Liong
memperkenalkan mereka. "Dewi Kecapi, ini adalah Pak Hong Locianpwee."
"Locianpwee" Dewi Kecapi memberi hormat.
"Ha ha ha" Pak Hong tertawa gelak.
"Dewi Kecapi, engkau sungguh cantik sekali"
"Locianpwee...." Wajah Dewi Kecapi tampak kemerahmerahan.
"Locianpwee mencari aku?" tanya Thio Han Liong sambil
memandangnya. "Apakah ada sesuatu yang penting?"
"Ya." Pak Hong manggut-manggut.
"Sudah satu bulan lebih aku mencarimu ke sana ke mari,
tapi kini aku bersyukur karena kita telah bertemu."
"Locianpwee...." Thio Han Liong tercengang.
"Aku melihat Bu sim Hoatsu bersama Im Sie Popo..."
"Apa?" Dewi Kecapi tersentak.
"Di mana Bu sim Hoatsu?"
"Eh?" Pak Hong menatapnya.
"Engkau punya hubungan dengan pendeta jahat itu?"
"Aku harus membunuhnya," sahut Dewi Kecapi
memberitahukan. "Dia membunuh ke dua orangtuaku, maka kau harus batas
dendam." "Kepandaian Bu sim Hoatsu amat tinggi, apalagi Im Sie
Popo," ujar Pak Hong sambil menggeleng-geleng kan kepala.
"Bagaimana mungkin engkau dapat membunuhnya?"
"Aku...." Dewi Kecapi menghela napas panjang.
"Walau kepandaianku lebih rendah, aku memiliki kecapi
pusaka." "Kecapi pusaka?" Pak Hong terbelalak.
"Maksudmu dengan suara kecapi membunuhnya?"
"Ya." Dewi Kecapi mengangguk.
"Itu pun tidak gampang." Pak Hong menggeleng-gelengkan
kepala. "Sebab Bu sim Hoatsu memiliki Lwee-kang yang amat
tinggi, lagipula mahir ilmu hitam. sulit bagimu membunuhnya
.... " "Biar bagaimanapun, aku harus membunuhnya," tegas
Dewi Kecapi. "Aku khawatir engkau yang akan dibunuhnya," ujar Pak
Hong. "Tidak jadi masalah," sahut Dewi Kecapi.
"Engkau...." Pak Hong menggeleng-gelengkan kepala,
kemudian mendadak wajahnya berseri-seri.
"Hanya Han Liong yang dapat menundukkan mereka, maka
engkau harus minta bantuan kepadanya."
"Locianpwee, itu adalah urusanku. Bagaimana mungkin aku
minta bantuannya. Ya kan?"
"Tapi...." "Locianpwee. sebetulnya ada urusan penting apa
Locianpwee mencariku?" tanya Thio Han Liong.
"Aku menyaksikan sesuatu...." jawab Pak Hong serius.
"... seorang sastrawan muda bertarung dengan Im Sie
Popo, itu atas perintah Bu sim Hoatsu. sastrawan muda itu
tertotok jalan darahnya. Ternyata ia kenal engkau maka
ditangkap oleh Bu sim Hoatsu...."
"Sastrawan muda?" tanya Thio Han Liong tegang.
"Bagaimana rupanya?"
"Dia sangat tampan...." sahut Pak Hong memberitahukan
ciri-ciri sastrawan muda tersebut.
"Hah?" teriak Thio Han Liong tak tertahan
"Dia Cu An Lok"
"Engkau kenal dia?" tanya Pak Hong.
"Ya." Thio Han Liong mengangguk.
"Kenapa Bu sim Hoatsu menangkapnya?"
"Han Liong" pak Hong menatapnya.
"Engkau kenal Bu sim Hoatsu?"
"Tidak kenal." "Kalau begitu...." pak Hong menggeleng-gelengkan kepala.
"Itu sungguh mengherankan, karena kelihatannya Bu sim
Hoatsu menaruh dendam padamu. oleh karena itu, dia
menangkap sastrawan muda itu untuk dijadikan sandera."
"Locianpwee, aku sama sekali tidak kenal dan belum
pernah bertemu dengan Bu sim Hoatsu," ujar Thio Han Liong.
"Kenapa dia dendam padaku?"
"Han Liong, tahukah engkau siapa Im Sie Popo itu?" tanya
Pak Hong mendadak sambil memandangnya .
"Dewi Kecapi telah memberitahukan kepadaku, dia bertemu
Ouw Yang Bun" Thio Han Liong memberi tahukan tentang itu
"Aku justru tidak habis pikir. Kwee In Loan tidak mati di
dasar jurang itu, hanya tidak waras tapi kepandaiannya justru
bertambah tinggi." "Kini dia telah di bawah pengaruh Bu sim Hoatsu, maka
engkau harus hati-hati menghadapi mereka" pesan Pak Hong.
"Ya." Thio Han Liong mengangguk dan bertanya.
"Locianpwee tahu mereka pergi ke mana?"
"Kalau aku tidak salah dengar, Bu sim Hoatsu bilang mau
ke Gua suan Hong Tong di gunung cing san."
"Terima kasih, Locianpwee," ucap Thio Han Liong sambil
memberi hormat. "Kalau tidak berjumpa Locianpwee, aku pasti tidak tahu
jejak sastrawan muda itu. Aku... sungguh berterima kasih"
"Ha ha ha" Pak Hong tertawa gelak.
"Jangan berterima kasih , aku masih berhutang budi
padamu" "Locianpwee...." Thio Han Liong menghela nafas panjang.
"Oh ya, Locianpwee mau ke mana?"
"Rencanaku mau ke Tayti menemui Lam Khie (orang Aneh
dari Selatan)," sahut Pak Hong memberitahukan.
"Pemandangan di Tayli amat indah, aku ingin ke sana
menikmatinya." "Oooh" Thio Han Liong manggut-manggut.
"Han Liong, Dewi Kecapi" Pak Hong tersenyum.
"Sampai jumpa" Pak Hong melesat pergi. Thio Han Liong dan Dewi Kecapi
saling memandang kemudian gadis itu tersenyum.
"Han Liong, kita harus melakukan perjalanan bersama."
"Ya." Thio Han Liong mengangguk.
"Aku harus menyelamatkan cu An Lok, sedangkan engkau
harus menuntut balas kepada Bu sim Hoatsu."
"Betul." Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Engkau menghadapi Im Sie Popo, aku akan menghadapi
Bu sim Hoatsu." "Dewi Kecapi, engkau harus hati-hati menghadapi Bu sim
Hoatsu" pesan Thio Han Liong,
"Ya." Dewi Kecapi tersenyum manis.
"Han Liong, terima kasih atas perhatianmu."
"Kita teman baik,..."
"Hi hi hi" Dewi Kecapi tertawa cekikikan.
"Engkau takut aku akan menggodamu ya?"
"Takut sih tidak. hanya saja... aku harus menjaga jarak.
sebab aku sudah punya tunangan," sahut Thio Han Liong.
"Han Liong...." Dewi Kecapi ingin mengatakan sesuatu,
namun ditelan kembali, kemudian menghela nafas panjang.


Anak Naga Bu Lim Hong Yun Karya Chin Yung di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dewi Kecapi, mari kita berangkat" ajak Thio Han Liong.
"Baik," Dewi Kecapi mengangguk.
Mereka berdua lalu melesat pergi ke gunung cing San.
Dalam perjalanan, Dewi Kecapi tampak gembira sekali,
sedangkan Thio Han Liong bersikap biasa-biasa saja, dan itu
membuat Dewi Kecapi agak kecewa.
Beberapa hari kemudian, ketika mereka memasuki sebuah
rimba, mendadak Thio Han Liong berhenti sambil
mengerutkan kening. "Ada apa?" Dewi Kecapi berhenti di sisinya.
"Kenapa engkau berhenti?"
"Aku mendengar suara aneh" sahut Thio Han Liong
memberitahukan. "Oh?" Dewi Kecapi segera pasang kuping. Namun ia tidak
mendengar suara apa pun selain suara desiran daun-daun
yang terhembus angin. "Kok aku tidak mendengar suara aneh itu?" Dewi Kecapi
heran. "Suara aneh apa yang engkau dengar itu?"
"Mirip pekikan suara lelaki, tapi juga mirip suara pekikan
wanita." sahut Thio Han Liong memberitahukan.
"Aku yakin suara pekikan itu berasal dari satu orang, tapi
bernada lelaki dan wanita."
"Oh?" Dewi Kecapi tertegun.
"Bagaimana kalau kita ke tempat suara pekikan itu?"
"Itu...." Thio Han Liong berpikir sejenak, kemudian baru
manggul-manggut. "Baiklah, mari kita ke sana"
Thio Han Liong melesat pergi diikuti Dewi Kecapi. selang
beberapa saat barulah Dewi Kecapi mendengar suara pekikan
itu. Betapa kagumnya Putri suku Hui tersebut karena dari
jarak hampir satu mil Thio Han Liong dapat mendengar suara
pekikan itu Dapat dibayangkan berapa tinggi Lweekangnya.
"Mari kita bersembunyi di balik pohon" bisik Thio Han
Liong. Dewi Kecapi mengangguk. Mereka berdua melesat ke balik
sebuah pohon lalu mengintip. Tampak seorang pemuda
tampan sedang berlatih ilmu silat. Menyaksikan itu, kening
Thio Han Liong berkerut. "Ilmu silat itu amat lihay dan dahsyat," ujarnya dengan
suara rendah. "Entah ilmu silat apa itu?"
"Gerakannya begitu aneh dan cepat laksana kilat," tambah
Dewi Kecapi. "Setiap pukulan, penuh mengandung Lweekang. itu betulbetul
merupakan jurus-jurus maut."
"Benar." Thio Han Liong manggut-manggut.
"Itu baru gerakan-gerakan dasar, tapi sudah begitu hebat,
apalagi sesudah mencapai tingkat ilmu tertinggi...."
"Akan berhasilkah pemuda itu?"
"Dia begitu tekun dan berkemauan keras, tentu akan
berhasil." Di saat bersamaan, pemuda itu berhenti berlatih, lalu
tertawa keras, kelihatannya gembira sekali. Berselang
beberapa saat, suara tawanya itu berubah menjadi suara
wanita." "Eeeh?" Dewi Kecapi tercengang.
"Kok suara tawanya bisa berubah menjadi suara wanita?"
"Mungkinkah dia banci?"
"Dia begitu berotot, tidak mungkin banci."
"Itu...." Thio Han Liong menggeleng-gelengkan kepala.
"... sungguh mengherankan, Mungkinkah ilmu yang
dilatihnya itu mempengaruhi suara tawanya?"
"Mungkin begitu." Dewi Kecapi manggut-manggut.
"Aku tidak menyangka, begitu banyak pesilat di
Tionggoan." Sementara pemuda itu mulai berlatih lagi. Di saat itulah
Thio Han Liong dan Dewi Kecapi melesat pergi. Beberapa saat
kemudian, barulah mereka berhenti di suatu tempat.
"Han Liong, mungkinkah itu ilmu sesat?" tanya Dewi
Kecapi. "Menurut aku, itu bukan ilmu sesat, namun ilmu itu amat
hebat dan lihay sekali. Tidak lama lagi dalam rimba persilatan
akan muncul seorang pendekar muda."
"Mudah-mudahan pemuda itu tidak berhati jahat" ujar Dewi
Kecapi dan menambahkan. "Kalau dia berhati lahat, pasti akan menimbulkan bencana
dalam rimba persilatan."
"Benar." Thio Han Liong mengangguk.
"Mudah-mudahan pemuda itu tidak berhati jahat. Ayoh kita
melanjutkan perjalanan."
Thio Han Liong dan Dewi Kecapi sedang duduk dan
menikmati teh wangi di sebuah kedai. Kemudian pemuda itu
memanggil pelayan. "Ya, Tuan," sahut pelayan sambil mendekatinya.
"Mau pesan apa?"
"Aku mau bertanya, masih berapa jauh jarak gunung cing
san dari sini?" tanya Thio Han Liong.
"Kalau naik kuda jempolan, kira-kira masih memakan waktu
dua hari," jawab pelayan dan bertanya.
"Tuan dan Nona mau pesiar ke gunung itu?"
"Ya, "Thio Han Liong mengangguk.
"Apakah di gunung itu terdapat Gua Angin puyuh?"
"Gua Angin Puyuh?" wajah pelayan tampak memucat.
"Ya." Thio Han Liong menatapnya.
"Gua itu terletak di mana?"
"Tuan...." Pelayan rnenggeleng-gelengkan kepala.
"Lebih baik Tuan jangan pesiar ke gua itu"
"Kenapa?" "Gua itu angker. Kata orang, gua itu merupakan tempat
tinggal setan iblis, maka Tuan jangan ke gua itu"
"Oh?" Thio Han Liong tersenyum.
"Beritahukanlah pada kami, gua itu terletak di mana?"
"Tuan...." Pelayan tampak ragu memberitahukan.
"Beritahukanlah" desak Thio Han Liong sambil menyelipkan
setael perak ke tangan pelayan itu.
"Tuan...." Pelayan itu tidak berani menerima uang tersebut.
"Maaf..." "Terimalah" desak Thio Han Liong sambil berbisik
"Aku mengerti ilmu silat, maka engkau tidak usah khawatir"
"Oooh" Peiayan itu manggut-manggut.
"Gua Angin Puyuh terletak di sebelah barat gunung cing
san." "Terima kasih." ucap Thio Han Liong.
Pelayan itu segera pergi dengan wajah berseri-seri di saat
bersamaan tampak belasan orang memasuki kedai teh itu.
Mereka terdiri dari kaum lelaki dan wanita. Pakaian mereka
agak aneh. Di antara mereka tampak seorang gadis yang
cantik jelita. Mereka duduk dan sibuklah para pelayan, namun sungguh
mengherankan, tiada seorang pun yang membuka mulut.
"Sianli (Bidadari)" Salah seorang wanita berusia empat
puluhan memberi hormat kepada gadis tersebut
"Mau pesan minuman apa?"
"Teh wangi saja." sahut gadis itu sambil tersenyum manis.
"Ya, sianli." Wanita itu mengangguk dan berseru
"Pelayan, suguhkan teh wangi"
"Ya." sahut pelayan mulai menyuguhkan minuman
tersebut. Kemunculan rombongan itu membuat Thio Han Liong
terheran- heran. "Dewi Kecapi, tahukan engkau mereka berasal dari mana?"
bisiknya. "Aku tidak tahu," sahut Dewi Kecapi.
"Yang jelas mereka bukan orang Tionggoan."
"Mereka memang bukan orang Tionggoan, juga bukan
kaum pedagang," ujar Thio Han Liong.
"Sebab mereka rata-rata berkepandaian tinggi, terutama
gadis itu." "Oh?" Dewi Kecapi heran.
"Dari mana tahu itu?"
"Lihat Tay Yang Hiat mereka yang menonjol itu, pertanda
mereka memiliki Lweekang tinggi." Thio Han Liong
memberitahukan. "Tay Yang Hiat gadis itu tidak menonjol, tapi kok engkau
bilang kepandaiannya jauh lebih tinggi?"
"Lweekang gadis itu telah mencapai tingkat yang amat
tinggi, maka Tay Yang Hiat tidak menonjol. Namun...
sepasang matanya menyorot tajam sekali, itu berarti
Lweekangnya telah mencapai tingkat yang amat tinggi."
"Oooh" Dewi Kecapi manggut-manggut.
Ajian Sesat Pendekar Slebor 1 Rahasia Lukisan Kuno Seri Pendekar Cinta Karya Tabib Gila Cincin Maut 8
^