Pencarian

Asmara Dibalik Dendam 3

Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


batin sedikit demi sedikit dari cengkeraman nafsu daya rendah.
*** Lautan Kidul merupakan samudera yang teramat luas. Dari pantai Jawa dwipa (Pulau
Jawa) orang dapat menyaksikan dan mengagumi kebesaran samudar itu yang tidak
nampak batasnya ke arah selatan. Dari pantai itu, kalau orang memandang
keselatan, dia seolah akan merasa bahwa selebihnya ke arah selatan, dunia itu
nampak air belaka.Air laut yang membiru dengan gelombang yang dahsyat memecah di
pantai. Gunungkarang yang merupakan tanggul di pantai selatan itu dengan kokohnya
menyambut hantaman ombak dahsyat, mengeluarkan suara menggelegar seperti
halilintar mengamuk, disusul suara ngese seperti air mendidih. Setiap orang yang
berdiri seorang diri di pantai, menyaksikan kebesaran dan kekuasaan alam ini,
orang itu akan merasa betapa dirinya kecil tak berarti, sama kecilnya dengan
butir-butir pasir di pantai. Dia akan merasa betapa dirinya itu kecil tanpa
arti, bahwa dunia tidak akan berubah dan tidak akan kehilangan andaikata saat
itu dia melempar diri di antara gelombang dan ditelan air. Dunia akan tetap
bekerja seperti biasa, dan diapun akan lenyap dilupakan orang! Alangkah bedanya
perasaan seseorang setelah berada seorang diri di antara kebesaran alam dengan
ketika dia berada di antara orang-orang lain. Dia akan merasa dirinya besar,
penting, dan harus diperhatikan orang lain. Dia akan merasa dirinya paling besar
dan paling berarti. Wanita itu duduk di atas batu karang di tepi pantai yang sunyi itu. Pantai itu
tidak pernah dikunjungi orang karena memang sukar didatangi, penuh dengan batu
karang yang runcing tajam, dan gelombang lautan kadang menutupi semua batu
karang dengan dasyatnya. Akan tetapi wanita itu sudah mengenal tanda-tanda
gerakan gelombang dan tahu benar bahwa saat matahari mengurangi cahayanya dan
condong ke barat, gelombang lautan tidak akan mencapai batu karang yang
didudukinya. Ia duduk melamun, tidak bergerak seperti sebuah arca. Arca yang indah sekali.
Tubuhnya yang hanya mengenakan kain yang menutupi dari dada ke bawah, ramping
padat, tubuh seorang wanita yang sudah matang sepenuhnya. Kulit pundak, leher
dan lengannya sebetulnya putih kuning mulus, akan tetapi agaknya terik matahari
membakar kulit itu sehingga menjadi agak coklat kemerahan. Rambutnya hitam
panjang ngandan-andan dibiarkan terurai tidak digelung atau diikat karena rambut
itu masih basah setelah mandi keramas tadi. Rambut itu menutupi punggung dan
sebagian lagi terurai di depan menutupi bukit dadanya yang nampak di balik
kainnya. Ia tidak mengenakan perhiasan apapun, akan tetapi kesederhanaan ini tidak
mengurangi kejelitaannya, bahkan tidak mengurangi keanggungannya. Ia cantik dan
anggun dan orang akan mudah menyangka ia penjelmaan Sang Ratu Kidul sendiri!
Helaan napas halus keluar dari sepasang cuping hidung yang tipis itu, dan
sepasang mata bintang itu menjadi redup seperti tertutup mendung. Kalau sudah
begini, nampaklah bahwa ia bukan lagi wanita remaja, melainkan sudah dewasa
sekali. Biarpun demikian, karena ia cantik jelita, maka ia nampak jauh lebih muda dari
pada usia yang sebenarnya. Usianya sudah tiga puluh enam tahun, akan tetapi ia
kelihatan seperti baru tigapuluh tahun saja.
Tiba-tiba ia mengepal tinju kanannya mengacungkannya ke arah gelombang lautan
yang mengganas, seolah ia melihat ada orang yang berada di atas gelombang itu.
"Pangeran Panjiluwih tunggu saja andika akan menerima pembalasanku! "
Wanita itu adalah Dewi, atau dahulu, delapan tahun yang lalu ia masih bernama
Dewi Muntari. Bukan seorang wanita biasa saja, melainkan seorang puteri istana.
Puteri Sang Maha Prabu Jayabaya. Hidup berbahagia bersama suaminya yang
tercinta, Raden Mas Rangsang, dan puterinya yang tunggal, Niken Sasi. Aakn
tetapi, ketika ia sedang melakukan wisata bersama suami dan puterinya di lereng
gunung Anjasmoro, keluarga ini diserang gerombolan penjahat. Pasuakn pengawal
mereka melarikan diri, Raden Mas Rangsang tewas. Ia berhasil menyuruh puterinya
melarikan diri, sedangkan ia sendiri ditawan oleh kepala gerombolan. Gerombolan
itu bertemu dengan Ki Kolokrendo si tengkorak hidup yang mirip Danyang Durno,
yang bahkan lebih keji dan mengerikan dibandingkan para anak buah gerombolan
itu. Akhirnya, Ki Kolokrendo yang berniat jahat terhadap dirinya, tewas oleh Ni
Durgogini yang sakti mandraguna dan iapun diambil murid oleh nenek tua-renta
yang gendut itu. Oleh Ni Durgogini yang menjadi gurunya, ia diajak pergi ke
pantai Lautan Kidul, di sebuah bukit kapur yang menjadi tempat tinggal nenek
itu. Ternyata Ni Durgogini amat segan dan hormat kepada Sang Prabu Jayabaya,
oleh karena itu ketika mendengar bahwa Dewi adalah puteri raja besar itu, ia
bersikap baik sekali, bahkan menurunkan semua aji kesaktiannya kepada murid ini.
Didorong dendam sakit hati, Dewi mendapatkan semangat yang bernyala-nyala dan ia
belajar dengan tekun sekali tanpa mengenal lelah. Dan ternyata sebagai keturunan
Sang Prabu Jayabaya darah satria mengalir di dalam tubuhnya dan bakatnya unggul
sekali. Hal ini membuat Ni Durgogini menjadi semakin gembira mengajarkan ilmu-
ilmunya. Tak terasa waktu berjalan dengan amat cepatnya. Delapan tahun telah lewat sejak
Dewi mempelajari ajijaya-kawijayan di bawah bimbingan Ni Durgogini. Dan selama
waktu delapan tahun itu, Dewi telah memperoleh kemajuan yang pesat sekali. Kalau
sedang mencurahkan perhatiannya terhadap satu hal, wanita lebih tekun dari pada
pria. Dewi mempelajari kanuragan dengan luar biasa tekunnya karena untuk itu ia
mempunyai satu cita-cita, yaitu membalas atas kematian suaminya dan lenyapnya
puterinya. Memang, gerombolan yang melakukan kejahatan itu terhadap keluarganya
sudah tertumpas dan mati semua. Akan tetapi dalangnya, yang mengatur semua itu,
masih belum terbalas. Dan dalangnya adalah Pangeran Panjiluwih, seperti
pengakuan Ki Blendu yang memimpin gerombolan itu.
Pada sore hari itu, ketika Dewi duduk di atas batu karang mengamati gelombang
dahsyat yang bergulung-gulung, ingin rasanya ia menumpahkan dendamnya kepada
ombak samudera itu. Ia melihat seolah ombak yang bergulung-gulung itu merupakan
musuh yang mengancamnya. Ia merasa sudah kuat sekarang untuk menghadapi musuh
yang manapun. Baru tadi pagi Ni Durgogini menyatakan kepadanya bahwa kini semua
ilmu yang dikuasai nenek sakti itu telah diajarkan semuanya kepadanya.Bukan
hanya ilmu bela diri silat tangan kosong maupun menggunakan senjata keris telah
dipelajarinya dengan tuntas, bahkan juga aji-aji kesaktian telah dikuasainya. Di
antaranya yang paling dasyat adalah Aji Trenggiling Wesi yang membuat tubuhnya
menjadi kebal, tak dapat terluka oleh senjata lawan. Kemudian Aji Jaladi Geni
[Ilmu Lautan Api] yang mendatangkan hawa panas seperti api keluar dari kedua
telapak tanganya sehingga jarang ada lawan yang mampu bertahan menghadapi aji
kesaktian ini. Masih ada lagi aji Jerit Sardulo Krodo [Teriakan Harimau Marah]
yang dapat melumpuhkan lawannya seolah-olah lawan itu menghadapi seekor harimau
yang sedang mengaum-aum! Setelah udara di barat terbakar cahaya kemerahan, Dewi lalu bangkit berdiri di
atas karang, memandang lepas ke laut yang tak terbatas itu, lalu berloncatan
dari batu ke batu yang tajam itu. Biarpun telapak kakinya kelihatan putih mulus
kemerahan dan halus, namun ternyata telapak kaki itu menginjak batu karang yang
runcing tajam itu tanpa mengalami luka atau nyeri sedikitpun. Sungguh, kalau ada
yang meliahatnya di saat itu, tentu tidak akan ada yang percaya bahwa ia adalah
seorang manusia biasa. Cantik jelita, dengan rambut panjang terurai berloncatan seperti itu! Agaknya
hanya peri penjaga lautan yang mampu berlompatan seperti itu.
Sementara itu, sekitar dua kilometer dari situ, Ni Durgogini sedang duduk di
depan guanya yang berada di antara batu-batu karang. Sebuah gua di dinding
karang yang tersembunyi di tempat yang sunyi itu. Tiba-tiba telinga nenek tua
renta yang masih berpendengaran tajam itu menangkap suara orang bercakap-cakap
dan juga langkah kaki mereka menuju ke tempat itu. Ia merasa heran sekali dan
juga marah. Siapa orang-orang yang berani lancang mendatangi tempat tinggalnya
yang keramat itu" Karena merasa penasaran, Ni Durgogini lalu menyambar sebatang tongkat yang
bentuknya seperti ular kering, dan iapun berloncatan dari tempat duduknya tadi
ke atas batu-batu karang menuju ke arah datangnya suara orang-orang itu.
"Hi-hi-hi-hik! "
Suara tawa yang nyaring dan bergema aneh ini mengejutkan enam orang pria yang
sedang melangkah perlahan-lahan di antara batu-batu karang sambil bercakap-
cakap. Mereka adalah enam orang pria yang nampaknya gagah perkasa, berusia antara
tigapuluh sampai limapuluh tahun dan dari bentuk pakaian dan terutama kain
kepala dapat diduga bahwa mereka tentulah orang-orang dari daerah timur.
Mendengar suara tawa yang mengerikan itu, enam orang tadi sudah berloncatan
dengan sigapnya, lalu memperhatikan ke arah datangnya suara tawa yang seperti
tawa kuntilanak itu. Dan ketika mereka melihat Ni Durgogini mereka segera
berhenti melangkah dan memandang dengan penuh perhatian. Kemudian, seorang di
antara mereka berseru, "Ia adalah Ni Durgogini! "
Enam orang itu nampak terkejut. Akan tetapi pemimpin mereka, seorang laki-laki
berusia limapuluh tahu, tidak nampak gentar ketika dia maju menghampiri Ni
Durgogini, diikuti oleh lima orang kawannya. Laki-laki yang berkumis sekepal
sebelah itu memandang dengan sinar mata penuh selidik.
"Hi-hi-hi-hik! Kalian pasti orang-orang dari Blambangan! Mau apa datang
melanggar wilayah tempat tinggalku ini" Apakah kalian berenam sudah bosan hidup
dan arwah kalian ingin menjadi abdi Gunung Kidul" Hi-hi-hi-hik! "
Laki-laki berkumis tebal itu tanpa rasa takut menghadapi Ni Durgogini, bertolak
pinggang lalu berkata dengan sikap angkuh. "Ni Durgogini, orang-orang lain boleh
takut kepadamu, akan tetapi aku, datuk dari Teluk Banyubiru, sama sekali tidak
gentar menghadapimu.Aku adalah Menak Koncar, bersama teman-teman mengemban
perintah Gusti Adipati Blambangan untuk mencari keris pusaka Tilam Upih. Nah,
kalau engkau mengetahui di mana adanya keris pusaka itu, katakan kepada kami, Ni
Durgogini dan kami akan memberi imbalan berharga kepadamu. Akan tetapi jangan
sekali-kali engaku membohongiku karena tidak ada orang yang berani berbohong
kepadaku tetap hidup! "
"Hi-hi-hi-hik! Menak Koncar, andika anjing-anjingBlambangan berani bersuara
besar di sini" Biarpun aku sudah tua, akan tetapi belum terlalu berat bagiku
untuk membasmi kalian berenam! Andaikata aku mengetahui tentang Tilam Upih pun
tidak akan kuberitahukan kepada kalian. Nah, kalian mau apa" "
"Kakang Menak Koncar, nenek tua renta ini mencurigakan sekali. Ia tinggal di
pantai Laut Kidul, dan orang macam ia inilah yang sepantasnya mengetahui di mana
adanya keris pusaka Tilam Upih! Kita tangkap dan siksa ia agar mengaku di mana
adanya keris pusaka itu! " kata seorang di antara mereka yang bertubuh seperti
raksasa kepada Menak Koncar, pemimpin mereka.
Menak Koncar memang sudah mencurigai nenek yang mengerikan itu, maka mendengar
ucapan pembantunya, dia lalu menudingkan telunjuknya kepada Ni Durgogini
sambilmembentak memberi aba-aba kepada anak buahnya. "Tangkap nenek ini! "
Akan tetapi pada saat itu terdengar teriakan melengking nyaring dan terbawa
angin dari samudera, terdengar seperti auman seekor harimau yang marah! Enam
orang Blambangan itu terkejut dan menoleh ke arah lautan dari mana terdengar
auman mengerikan itu. Dan mereka semua terbelalak melihat sosok tubuh wanita
yang ramping itu, dengan rambut panjang hitam terurai, berlompatan dari batu ke
batu seperti seekor kera saja. Semua orang tertegun mengikuti gerakan wanita itu
sehingga mereka sejenak melupakan Ni Durgogini.
Perjalanan dari tepi lautan mendaki ke tebing di mana terdapat goa tempat
tinggal Ni Durgogini itu merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Selain tebing itu
terjal sekali, juga mendaki ke situ harus melallui batu-batu karang yang kasar,
runcing tajam. Akan tetapi tubuh wanita itu dengan cepatnya berloncatan dan
sebentar saja ia sudah tiba di depan enam orang laki-laki yang kini menjadi
semakin terpesona. Kalau tadi mereka kagum melihat seorang wanita dapat bergerak
selincah itu, kini mereka terpesona melihat wanita itu ternyata cantik jelita
bukan main, kecantikan alami yang membuat mereka merasa dalam mimpi bertemu
seorang dewi kahyangan! Bahkan orang yang delapan tahun yang lalu sudah mengenal baik Dewi Muntari pun
kalau sekarang berhadapan dengan dewi, tentu akan pangling dan tidak menduga
sama sekali bahwa wanita berurai rambut ini adalah puteri Raja Daha. Dewi kini
tidak pernah merias diri, wajahnya tidak pernah bertemu bedak dan gicu, juga di
tubuhnya tidak ada sepotong barang perhiasan yang menempel. Kecantikannya yang
sekarang adalah kecantikan yang alami, yang khas, bagaikan kecantikan setangkai
mawar hutan liar bermandikan embun.
"Kanjeng bibi, siapakah mereka ini dan apa kehendak mereka" " tanya Dewi kepada
gurunya. Ia memang selalu menyebut bibi kepada gurunya karena Ni Durgogini tidak
pernah mau disebut guru. Nenek ini ternyata merasa sungkan dan takut kepada Sang
Prabu Jayabaya, maka tidak mau disebut guru oleh puteri raja itu, takut kalau
mendapat marah! "Hi-hi-hi-hik! Mereka itu adalah anjing-anjing Blambangan yang hendak memaksaku
menunjukan kepada mereka di mana adanya keris pusaka Tilam Upih."
Sebagai puteri raja, tentu saja Dewi pernah mendengar tentang keris pusaka yang
pernah dimiliki mendiang Sang Prabu Airlangga itu karena keris pusaka Tilam Upih
itu menjadi semacam kisah atau dongeng bagi keluarga istana. Pusaka itu lenyap
dan ayah handanya memang berusaha untuk menumukannya kembali. Sekarang, orang-
orang Blambangan mencari keris pusaka itu, bahkan hendak memaksa gurunya menunjukkan di mana adanya. Tentu saja ia menjadi marah sekali.
"Dan kanjeng bibi hendak memberi tahu mereka" "tanyanya.
"Hi-hi-hi-hik, mana mungkin" Andaikata aku mengetahuinya pun, tidak akan
kuberitahukan kepada mereka. Akan tetapi mereka hendak memaksa, hendak menangkap
aku dan menyiksaku! "
"Babo-babo, keparat! Lagaknya seperti dapat melangkahi Gunung Semeru! Kanjeng
bibi harap menonton saja, biar aku yang akan membasmi gerombolan anjing ini! "
Setelah berkata demikian, sekali tubuhnya bergerak, ia telah melayang ke atas
dan berjungkir balik beberapa kali. Ketika ia turun, ia sudah berdiri di atas
batu karang, berhadapan dengan enam orang itu.
Menak Koncar yang memimpin rombongan orang itu dan yang mengaku sebagai datuk
Teluk Banyubiru, agaknya baru sadar dari keadaan terpesona tadi. Dia mengelus
jenggotnya dengan tangan kiri, menghela napas beberapa kali lalu berkata,
"Tobat-tobat, ada wanita begini jelitanya, seperti seorang dewi kahyangan. Eh,
wong ayu, kami tidak ingin bermusuhan dengan seorang wanita jelita seperti
andika. Aku ini Menak Koncar sudah terkenal paling lunak dan menyayang wanita
jelita. Aku kaya raya berkedudukan tinggi, menjadi orang kepercayaan Sang
Adipati Blambangan. Karena itu marilah kita bersahabat saja, wong ayu dan kalau
andika mau ikut berasamaku, andika akan kujadikan isteri mudaku yang tersayang."
Mendengar ucapan ini, lima orang pemgikutnya tertawa-tawa gembira. Akan tetapi
wajah Dewi menjadi merah sekali, sepasang mata yang bening itu tiba-tiba
mencorong dengan cahaya berapi, bibirnya gemetar saking marahnya.
Tanpa dapat mengeluarkan kata-kata lagi saking marahnya, tubuh Dewi menerjang
maju dan tangan kirinya menampar. Saking marahnya, tangan kiri itu mengandung
aji pukulan Jaladi Geni. Nampak cahaya kemerahan ketika telapak tangan itu
menyambar dan terasa hawa yang amat panas. Orang terdekat yang menghadapi
serangan itu maklum bahwa dia menghadapi pukulan ampuh. Ternyata enam orang
jagoan Blambangan itu bukanlah orang-orang sembarangan saja.Orang tinggi kurus
yang menerima tamparan tangan kiri Dewi, dapat cepat mengelak dan melompat dari
batu karang di mana tadi berdiri.
"Wuuuuttt................pyaarrrr............! " Batukarang itu pecah
berhamburan terkena hantaman telapak tangan kiri Dewi. Bukan main kagetnya hati
enam orang jagoan Balmbangan itu. Terutama sekali Menak Koncar. Tak disangkanya
sama sekali bahwa wanita jelita itu memiliki aji pukulan sedemikian ampuhnya.
Menak Koncar sendiri, seorang jagoan yang sakti, mengenal pukulan ampuh dan dia
tidak berani memandang rendah, tidak berani main-main lagi.
"Bunuh wanita berbahaya ini! Bentaknya memberi komando dan dia sendiri sudah
menghunus kerisnya yang panjang berlekuk tigabelas. Keris itu terkenal dengan
dapur Naga Siluman, selain terbuat dari besi aji yang mat kuat, juga keris itu
dilumuri racun yang mapuh sekali. Denga keris di tangan, Menak Moncar melompat
dan menyerang Dewi dari arah kiri. Kerisnya menyambar dengan tusukan yang
dahsyat. "Singggg........wuuuutt......! " Bagaikan seekor burung walet, tubuh yang
diserang keris itu sudah lenyap dari atas batu karang tadi, membuat Menak Moncar
tertegun. Kiranya wanita itu telah meloncat dengan cepatnya ke kanan dan sudah menerjang
ke arah seorang pengeroyok. Orang itu menusukkan kerisnya, akan tetapi denag
cekatan Dewi menangkis lengan yang menusukkan keris, kemudian tangan kanannya
mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah dada lawan.
"Desss..........! " Tubuh itu terlempar jauh ke belakang dan tanpa dapat
dihindarkan lagi tubuh itu terlempar ke bawah tebing! Orang yang terkena
hantaman di dada itu masih belum tewas dan terdengar jeritnya mengerikan ketika
tubuhnya melayang ke bawah tebing, di mana batu-batu karang yang keras, tajam
dan runcing sudah menanti untuk melumatkan tubuhnya.
Melihat ini, dua orang yang memegang golok membacokkan senjata mereka ke arah
punggung dan lambung Dewi darI sebelah kanan dan belakang. Dewi dapat mendengar
gerakan penyarangan itu, ia memutar tubuhnya dan melompat ke belakang sehingga


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serangan itu luput. KetiKa dua orang itu maju lagi, Dewi menggerakkan kepalanya
dan rambutnya yang hitam, panjang dan harum itu menyambar bagaikan pecut ke
depan. Prat-prattt!" Dua kali ujung rambut itu melecut muka dua orang itu, hampir
mengenai mata mereka sehingga mereka terhuyung ke belakang sambil memejamkan
mata. Akan tetapi pada saat itu, Dewi menerjangnya dengan dua kali tendangan.
"Dukk......dukkk........!" dua tubuh lawan itu terpental dan kembali terdengar
lengking panjang mengerikan dua orang itu terlempar ke bawah tebing.
Tentu saja Menak Koncar dan dua orang kawannya menjadi terkejut bukan main.
Terkejut akan tetapi juga marah dan penasaran. Sama sekali tidak pernah
tersangka oleh Menak Koncar bahwa tiga orang kawannya dalam waktu singkat telah
tewas di tangan wanita jelita itu.
Dewi tidak berhenti sampai di situ saja. Tubuhnya sudah menerjang lagi ke depan,
sekali ini ia menyerang Menak Koncar dengan loncatan yang disambung dengan
tendangan di udara. Tendangan terbang ini berbahaya sekali, selain tidak terduga
dan cepat, juga tenaga tendangan ditambah dengan tenaga loncatan tubuhnya
sehingga merupakan tendangan maut yang berbahaya. Akan tetapi Menak Koncar sudah
memasang kuda-kuda di atas batu karang dan begitu tendangan datang, dia
menggunakan tangan kirinya untuk menangkis dari samping.Sambil menangkis dia
mengerahkan tenaganya dan tangkisan itu sedemikian kuatnya sehingga tubuh Dewi
menyeleweng kesamping. Akan tetapi gerkan Dewi benar-benar tangkas seperti
burung. Ia sudah dapat turun pula ke atas batu karang pada saat Menak Koncar
mengejarnya dengan tusukan keris Naga Silumannya. Keris itu menyambar dahsyat ke
arah dada yang padat membusung itu dan kalau mengenai sasaran, sudah pasti dada
itu akan ditembusi keris berlekuk tigabelas itu! Namun, tidak percuma Dewi sudah
mewarisi seluruh aji yang diajarkan Ni Durgogini. Ia sudah menjadi seorang
wanita yang digdaya dan sakti mandraguna. Karena sudah tidak ada kesempatan lagi
untuk mengelak dari tusukan keris selagi tubuhnya baru saja turun, ia nekat dan
mengerahkan Aji Trenggiling Wesi, yang seolah-olah menyelimuti seluruh tubuhnya
dengan aji kekebalan. "Syuuuuuttt......tukkk!" Keris Naga Siluman itu menhgenai dada di atas kemben
dan.....mental kembali, tidak mampu menembus atau melukai kulit yang lunak dan
putih mulus dari dada itu. Dan selagi Menak Koncar terbelalak, tangan kiri Dewi
sudak menampar ke arah kepalanya. Biarpun dalam keadaan terkejut, Menak Koncar
masih sempat menundukkan kepala untuk mengelak.
"Plakkk........!" Tangan itu masih saja mengenai pundaknya, membuat tubuh Menak
Koncar terpelanting. Akan tetapi jagoan dari Banyubiru ini ternyata hebat juga.
Dia terpelanting, namun dapat mematahkan dorongan itu dengan berjungkir balik
tiga kali. Sementara dua orang kawannya sudah cepat maju menggerakkan golok
mereka untuk menyerang Dewi. Seorang menyabetkan goloknya untuk memenggal leher
yang indah dan putih mulus itu, sedangkan orang kedua membabatkan goloknya
menyerampang ke arah kaki wanita jelita itu.
Dewi melihat bahwa gerakan kedua orang penyerangnya ini tidak secepat dan sekuat
Menak Koncar, maka iapun bersikap tenang saja. Golok yang membabat lehernya ia
elakkan dengan merendahkan tubuh dan menundukkan kepala sehingga golok itu
menyambar lewat di atas kepalanya. Sedangkan golok yang menyerampang kakinya, ia
sambut dengan tendangan kakinya yang tepat mengenai tangan yang memegang golok
sehingga senjata itu terlepas. Dewi cepat menyusulkan tendangan kepada orang
yang menyerang kakinya, dan tangan kanannya menyambar dari samping ke arah
kepala penyerang pertama.
"Wuut-wuuuut ........plak-desss........!"
Dua orang itu menjerit dan tubuh mereka terpelanting. Dewi menyusulkan tendangan
keras dua kali dan tubuh kedua orang itupun terlempar ke bawah tebing menyusul
tiga orang kawan mereka yang sudah lebih dulu terjungkal dan tewas di bawah
tebing, disambut batu-batu karang dan gelombang mengganas.
"Jahanam keparat! Kubunuh kau! Bukan Menak Koncar namaku kalau akau tidak dapat
membalas kematian lima orang kawanku!" Menak Koncar membentak marah sekali dan
diapun mengeluarkan teriakan melengking. Itu adalah aji Petak Gelap Saketi,
yaitu teriakan yang dikeluarkan untuk melumpuhkan semangat lawan-lawan yang
kurang kuat batinnya, mendengar teriakan ini, akan tergetar seluruh tubuhnya,
terguncang batinnya dan lumpuh seluruh syarafnya sehingga mudah ditundukkan.
Gemetar juga tubuh Dewi menghadapi aji ini, akan tetapi ia sendiri juag memiliki
aji yang sama sifatnya, yaitu jerit Sardulo Kroda. Maka, iapun mengeluarkan
jerit melengking itu untuk melawan aji lawan. Terdengar dua macam pekik yang
berlawanan, dan akibtanya, tubuh Menak Koncar terhuyung-huyung dan mukanya
menjadi pucat sekali. Melihat keadaan lawan ini, Dewi lalu menerjang dengan
kedua tangan terbuka, mengirim serangan. Kedua tangannya bergantian melakukan
serangan tamparan atau cengkeraman,bertubi-tubi, dan Menak Koncar juga berusaha
melindungi dirinya dengan mengelebatkan kerisnya. Akan tetapi dia kalah cepat
dan ketika tangan kiri Dewi mencuat, sebuah tendangan mengenai tangan yang
memegang keris. "Plakk! Ahhh.....!"Keris itu terlepas dari pegangan dan sebelum jatuh di antara
batu-batu karang, Dewi menangkapnya dengan tangan kanan. Melihat kerisnya sudah
terampas lawan dan tangan kanannya seperti lumpuh terkena tendangan tangan kanan
yang amat keras tadi. Menak Koncar kehilangan semangatnya bertanding. Dia yakin bahwa dia tidak akan
menang melawan wanita itu dan kalau pertandingan dilanjutkan, sama halnya dengan
membunuh diri saja. Maka, dia lalu berusaha melarikan diri. Sekali meloncat dia
telah berada di atas batu karang di depan. Selagi dia hendak meloncat lagi ke
batu karang yang lebih jauh, tiba-tiba dia merasa punggungnya nyeri seprti
digigit ular. Rasa nyeri itu makin menghebat menyerang dadanya dan iapun tidak
dapat menahan lagi, terhuyung dan terjungkal ke bawah tebing dengan keris Naga
Siluman menancap di punggungnya. Kiranya keris itu tadi dilontarkan oleh Dewi
dan tepat sekali mengenai punggungnya.
Melihat enam orang lawanya semua terjungkal di tebing dan tewas, Dewi
tertawa.Suara tawanya merdu dan nyaring melengking, bergema disambut ombak.
Mengerikan sekali melihat wanita cantik itu tertawa, seperti seorang iblis
betina! "Hi-hi-hi-hik! Bagus sekali, Dewi! Andika membuatku merasa puas dan bangga.
Kiranya tidak sia-sia selama bertahun-tahun ini andika belajar ilmu dariku.
Andika murid yang baik sekali. Enam orang tadi memang sudah sepatutnya mampus.
Mereka kurang ajar dan memandang rendah kepada kita."
Dengan beberapa loncatan Dewi sudah tiba di depan Ni Durgogini dan berkata,
"Semua ini berkat budi Bibi dan aku berterima kasih sekali."
Mendengar ucapan Dewi itu, tiba-tiba saja Ni Durgogini terhuyung ke depan, lalau
merangkul leher Dewi dan dari kerongkongannya terdengar suara yang menyayat hati
itu, setengah menangis dan setengah tertawa. "Hi-hi-hi-hi-hi-hih..........!"
Dewi terkejut. Ia sudah mengenal benar suara gurunya ini dan dapat membedakan
mana suara gembira dan mana suara bersedih. Sekali ini suara gurunya adalah
suara bersedih, menangis!
"Eh,bibi! Apa yang terjadi" Apakah bibi terluka......?"
Ni Durgogini tidak menjawab, melainkan menangis terus, berha-ha-hi-hi-hi di atas
pundak Dewi. Dewi membiarkannya saja, menuntun gurunya memasuki goa dan mereka
berdua lalu duduk bersial berhadapan di lantai goa yang ditilami jerami kering
dan hangat. "Nah, bibi. Sekarang ceritakan, kenapa bibi berduka?"
Ni Durgogini memandang muridnya. Kedua matanya tidak basah, akan tetapi kini
kedua matanya menajdi sipit hampir terpejam dan dari balik pelupuk mata itu
nampak pandang mata yang redup bagikan dian kehabisan minyak.
"Dewi, aku meratapi nasib diriku sendiri. Aku menyesal sekali memakai nama
eyang-buyut- guruku yang dahulu juga berjuluk Ni Durgogini. Akan tetapi ia
memang seorang petualang dan selalu mengejar kesenangan duniawi. Ia memang
menderita, akan tetapi juga sudah menikmati segala penderitaannya. Kalau aku"
Ahh, aku tidak terlalu mengejar kesenangan. Aku tidak mencampuri urusan
kenegaraan, akan tetapi hidupku selalu merana. Sejak muda aku selalu dikecewakan
pria, dan hanya seorang pria saja yang kusembah, kuhornati dan kujunjung tinggi
di dunia ini. Pria itu adalah kanjeng ramamu, Sang Prabu Jayabaya. Beliau
seorang pria yang bijaksana dan aku pernah berhutang nyawa kepadanya. Namun
sayang, aku seorang petualang, beliau seorang Maharaja, dan beliau jauh lebih
muda dariku, dua tiga puluh tahun lebih muda. Aku selalu dipermainkan pria
sehingga sselam hidupku, tujuh orang pria yang pernah mendampingiku,akhirnya
semua terpaksa kubunuh, yang terakhir adalah Ki Kolokrendo yang selain menjadi
suamiku, juga menjadi muridku sendiri. Aahh, hidupku tak pernah berbahagia. Aku
tidak pernah melakukan kejahatan, tidak pernah menggangu orang. Aku membunuh
orang hanya kalau dia mengganguku. Akhirnya aku bertemu engkau, Dewi. Dan selama
delapan tahun ini hidupku ada artinya. Akan tetapi sekarang........aahh, hi-hi-
hi-hih, sekarang terpaksa pula kita harus berpisah."
"Ehh" Mengapa, bibi" Kita tidak harus saling berpisah. Aku akan tetap tinggal di
sini bersamamu." "Hi-hi-hi-hih, sama sekali tidak mungkin, Dewi. Lupakah andika bahwa andika
masih mempunyai banyak sekali tugas dalam hidupmu" Ingat, andika harus
menyelidiki siapa yang melakukan pembunuhan terhadap suamimu, siapa menjadi
dalangnya" Dan andika juga harus mencari anakmu yang hilang."
"Akan tetapi aku tidak ingin meninggalkan bibi seorang diri di sini. Marilah
ikut bersamaku, bibi. Kita pergi berdua!"
"Tidak, aku sudah lemah sekali,Dewi. Lelah luar dalam, lelah lahir batin
mengarungi hidup ini, Ahhh, terkutuklah aku. Mengapa aku dulu menguasai Aji
Penyu Dheles itu" Terkutuklah aku........hi-hi-hi-hih!"
"Aji Penyu Dheles" Apakah itu, bibi" Kenapa bibi belum pernah menceritakan
kepadaku, juga tidak mengajarkan?"
"Ah, jangan andika mempelajari itu, Dewi. Aji itu merupakan kutukan bagiku dan
sekarang aku menyesal sekali telah menguasai aji itu. Aji itu membuat usiaku
menjadi panjang sekali, seperti usia seekor penyu (kura-kura). Kautahu" Kura-
kura itu dapat hidup sampai ratusan tahun! Dan aku....ah, celaka,apa artinya
hidup terlalu lama" Hanya untuk memperpanjang derita siksaan hidup! Mata makin lamur, telinga semkin
tuli, lidah dan hidung mulai melemah, kesehatan mundur, tenaga makin habis,
tubuh digerogoti usia tua akan tetapi nyawa tidak juag mau loncat! Semua ini
gara-gara Aji Penyu Dheles! Dan dalam keadaan semakin lemah, ada saja orang
orang-orang datang memusuhiku. Apa ini bukan siksaan namanya" Aduh Gusti,
mengapa tidak segera diakhiri saja kehidupan seperti ini?" Nenek itu lalu
menangis dengan suara yang khas.
Dewi memandang gurunya dengan mata terbelalak. Nampak jelas sekali olehnya
hikmah pelajaran dari pengalaman gurunya itu. Memang aneh mendengar orang
berkeluh kesah karena panjang usia! Semua orang hidup di dunia ini menghendaki
umur panjang. Dan gurunya sudah memiliki Aji Penyu Dheles yang membuat usianya
dapat panjang sampai seratus tahun lebih, dan apa jadinya" Gurunya itu tidak
merasa bahagia, malah merasa tersiksa dan kini menangis mohon kepada dewata agar
dicabut saja nyawanya! Di sisni jelas nampak betapa jauh bedanya antara apa yang
diharapkan dengan kenyataannya. Kenyataan tidak selalu seindah yang
diharapkan,bahkan apa yang diharap-harapkan itu mungkin saja setelah terdapat
menjadi sesuatu yang menyengsarakan. Demikian pula dengan apa saja di dunia ini,
bukan hanya usia panjang. Orang mengejar dan memperebutkan kedudukan dan
akhirnya setelah memperoleh kedudukan dai menjadi sengsara karena kedudukannya
itu, yang ternyata tiodak senikmat ketika masih dalam pengejaran. Harta benda
juga demikian. Jarang di antara mereka yang berharta dapat benar-benar
menikmatai harta bendanya, bahkan lebih banyak mendatangkan kejengkelan dan
kesusahan. Hanya mereka yang belum memiliki emas dapat mengagumi kemilau emas.
"Bibi, kalau bibi tidak mau ikut pergi bersamaku, lebih baik aku berada saja di
sini menemanimu." akhirnya Dewi menghibur.
"Ah,tidak,tidak! Hi-hi-hi-hik, tidak!" Nenek itu mengetuk-ngetukkan ujung
tongkatnya keatas batu karang. "Untuk apa aku dengan susah payah mengajarkan
semua aji itu kepadamu kalau engkau hanya tinggal di sini". Ingat, aku
menghendaki agar engkau melanjutkan apa yang selama ini telah kulakukan.
Merantau, kalau bertemu dengan orang jahat, bunuh jangan beri ampun! Dan engkau
harus berdarma bakti kepada kerajaan Daha, membersihkan kerajaanaan ayahandamu
dari orang-orang jahat yang menodai nama harum ramandamau! Andika tahu apa yang
dicari oleh anjing-anjing Blambangan tadi" Keris pusaka Tilam Upih! Hi-hi-hik,
kiranya keris pusaka itu telah muncul kembali dan menjadi perebutan. Dewi,
pusaka itu adalah pusaka milik kerajaan Daha, menjadi lambang kerajaan Daha.
Karena itu, sudah menjadi tugasmu pula untuk menemukannya. Kau wakililah aku
untuk mencari keris pusaka itu dan mengembalikannya kepada ayahmu.
"Baiklah, bibi. Akan kutaati perintah bibi. Akan tetapi, biarpun aku tahu bahwa
keris pusaka itu oleh kanjeng rama telah diramalkan akan muncul ke mana aku
harus mencarinya" Akupun sudah pernah mendengar bahwa keris itu berasal dari
Lautan Kidul dan akan muncul di Lautan Kidul pula, akan tetapi pesisir kidul
merupakan pesisir yang panjang sekali, sepanjang Nusa Jawa. Ke manakah aku harus
mencari, bibi?" "Hi-hi-hik,orang lain tentu tidak akan tahu di mana adanya pusaka Tilam Upih
itu, akan tetapi aku tahu. Mendiang suamiku, Ki Kolokrendo, mempunyai adik
seorang laki-laki bernama Ki Koloyitmo. Akhir-akhir ini terjadi hal yang aneh
kepadanya. Orang kasar dahulunya hanya hidup sebagai begal itu kabarnya kini menjadi orang
besar. Mula-mula di menguasai Nusa Kambangan, bahkan kemudian terdengar berita
bahwa dia telah berhasil mendirikan sebuah kerajaan kecil di sana dan dia yang
menjadi rajanya! Hi-hi-hi-hik, tidak mungkin seorang kasar seperti dia dapat
menjadi raja kalau saja dia tidak mendapatkan wahyu kerajaan. Dan siapa tahu,
wahyu itu berujut keris pusaka Tilam Upih. Kalau dia menemukan Tilam Upih, bukan
tidak mungkin dia dapat menjadi raja. Nah, karena itu, pergilah engkau ke Nusa
Kambangan, Dewi. Selidikilah, dan kalau kemudian engkau mendapatkan bahwa benar-
benar dia memiliki Tilam Upih, rampaslah keris pusaka itu dan kalau perlu
bunuhlah dia." Dewi menjadi girang sekali mendengar ini. "Kalau begitu, aku akan segera pergi
menyelidiki ke Nusa Kambangan, bibi!"
"Akan tetapi berhati-hatilah engkau,Dewi. Soal aji jaya-kawijayan, aku tidak
percaya bahwa engkau akan kalah olehnya. Akan tetapi, keris pusaka Tilam Upih
itu ampuh sekali, gawat keliwat-liwat. Kita tidak akan mampu bertahan menerima
serangan keris pusaka ampuh itu. Karena itu berhati-hatilah dan lebih baik
menghindar kalau dia menggunakan keris pusaka itu. Jangan sekali-kali berani
mencoba kekuatan Aji Trenggilin Wesi terhadap keris itu.
Dewi menganguk. "Aku mengerti, bibi. Aku akan mempergunakan kecepatan gerakan
untuk menghindar kemudian merampas keris pusaka itu."
"Bagus, akan tetapi ada lagi yang mengkhawatirkan. Aku pernah mendengar bahwa Ki
Koloyitmo kabarnya juga telah mendapatkan pusaka ampuh Wijoyokusumo yang hanya
tumbuh seabad sekali di Nusa Kambangan."
"Hemm,apakah keampuhan setangkai kembang saja, bibi?"
"Hi-hi-hi-hik,apakah engkau sudah lupa akan kisah lama, Dewi" Kembang
Wijoyokusumo adalah milik Sang Hyang Wishnu, bukan sembarang kembang melainkan
pusaka yang dapat menghidupkan orang dari kematian yang tidak wajar.
Nah, dengan pusaka itu, di tangannya, seolah Ki Koloyitmo memiliki nyawa rangkap
dan tidak mudah membunuhnya!"
"Akan ku perhatikan baik-bai, bibi. Aku tidak bermaksud membunuhnya kalau saja
dia mau menyerahkan Tilam Upih kepadaku."
"Hi-hi-hi-hik,aku yakin bahwa engkaulah yang akan berhasil merampas keris pusaka
itu. Nah, sekarang berangkatlah,Dewi. Keberangkatanmu merupakan hiburan besar
bagiku karena aku akan dapat mengenangmu dengan puas hati bahwa engkau sedang
mewakili aku mendapatkan keris itu. Mudah-mudahan saja kita masih akan dapat
saling bertemu lagi. Aku akan selalu berada di goa ini, karena aku sudah
mengambil keputusan uantuk tidak lagi mencampuri urusan dunia ramai dan akan
menanti sampai Sang Yamadipati datang mengambil nyawaku."
Dewi lalu berkemas, Tegang juga rsa hatinya. Setelah delapan tahun mengasingkan
diri bersama Ni Durgogini, oia merasa aneh dan asing sekali membayangkan bahwa
ia akan terjun ke dunia ramai, bahkan memperebutkan Tilam Upih dan menyelidiki
dalang pembunuhan suaminya, lalu mencari puterinya, Niken Sasi! Tugas pekerjaan
yang bertumpuk itu menyalakan semangatnya dan setelah berkemas, pada keesokan
harinya, pagi-pagi sekali Dewi sudah berpamit dari gurunya dan meninggalkan goa
tepat tinggal Ni Durgogini.
*** Sang Maha Prabu Jayabaya{1135-1157} adalah raja Daha atau Kediri dan dijamannya
inilah Jenggalamenjadi satu kembali dengan Kediri seperti di jaman Sang Prabu
Airlangga, sebelum kerajaan itu dipecah menjadi dua, yaitu Jenggala dan Panjalu
atau Kediri{Daha}.Sang Prabu Jayabaya memiliki gelar yang panjang, yaitu
lengkapnya : Sang Maha Panji Jayabhaya Sri Dareswa ra Madhusudanawataraninidita
Suhertsingha! Akan tetapi nama besar Sang Prabu Jayabaya amat terkenal karena
beliau amat pandai mempergunakan tenaga orang-orang bijaksana dan para ahli
diundang dan diberi kedudukan penting. Tidaklah mengherankan kalau negara berada
dalam keadaan tenteram dan rakyatpun hidup penuh kebahagiaan dalam suasana
tenteram dan damai.

Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sang Prabu Jayabaya sediri seorang ahli sastra yang amat bijaksana dan sakti
mandraguna. Namun tiada henti-hentinya dia memperdalam pengetahuan dalam
berbagai ilmu dan dikabarkan orang bahwa beliau adalah seorang pujangga yang
sidik paningal dan tahu sebelum terjadi. Namun, tentu saja sebagai seorang yang
sidik paningal, yang dikabarkan sebagai titisan Sang Hyang Wishnu, Sang Prabu
Jayabaya tidak mau mendahului kebendak para dewata dan tidak berani pula membuka
rahasia alam dengan menceritakan apa yang akan terjadi secara terang-terangan.
Diapun cukup bijaksana untuk menerima apapun yang terjadi, baik maupun buruk,
memang sudah digariskan oleh dewata, karenanya, mengubah atau menghalanginya
akan merupakan dosa besar sekali.
Pada suatu hari, Sang Prabu Jayabaya mengundang semua nayaka praja, para
senopati dan para penasehat. Di antara mereka terdapat Empu Sedah dan Empu
Panuluh, dua orang empu yang amat terkenal karena mereka telah membuahkan hasil
karya besar. Cerita terkenal "Bharatayudha" adalah hasil tulisan kedua orang
empu ini. Memang, kisah wayang purwo Mahabarata berasal dari India dan penulisan
kedua orang empu itu bersumber dari cerita dari India itu,akan tetapi hasil
tulisan mereka bukan hanya sekedar menyadur cerita India melainkan disesuaikan
dengan keadaan dan kebudayaan rakyat sehingga tidak berbau asing.
Penulisan Bharatayudha terpengaruh oleh keadaan di dalam negeri. Telah terjadi
perang saudara antara Daha dan Jenggala yang berakhir dengan menyatunya kedua
negara bersaudara ini dan demikian pula cerita Bharatayudha. Terjadi perang
saudara antara kaum Kurawa dan Pendawa yang berakhir dengan kemenangan pihak
Pendawa. Persidangan yang diadakan Sang Prabu Jayabaya iniada kaitannya dengan
hasil karya besar itu, yiitu untuk merayakannya. Di samping itu juga
membicarakan keadaan dalam negeri, terutama di bidang keamanan dan juga tentang
keris pusaka Tilam Upih yang sedang dicari, bukan saja oleh pihak kerajaan,
melainkan oleh semua orang gagah yang seolah hendak memperebutkannya.
Sang Prabu Jayabaya menugaskan seorang senopati yang terkenal gagah perkasa,
yaitu Lembudigdo, untuk mencari keris pusaka Tilam Upih.
"Senopati Lembudigdo, engkau kami beri tugas ganda. Ada berita baha di pulau-
pulau selatan ada gerakan-gerakan yang sifatnya menntang kerajaan Daha. Terutama
sekali kerajaan baru di Nusa Kamabangan. Nah, menjadi tugasmu untuk melakukan
penyelidikan dan kalau memang benar demikian, jangan ragu lagi, perintahkan
mereka untuk tunduk dan kalau mereka membangkang, terpaksa harus dipergunakan
kekerasan. Akan tetapi, jaga sedemikian rupa agar jangan sampai jatuh banyak
korban. Cukup untuk memberi pelajaran agar mereka menaluk sebelum banyak yang
tewas." "Hamba siap, ada sebuah tugas lagi yang tidak kalah pentingnya, Lembudigdo.
Selain menyelidiki keadaan para gerombolan di pulau-pulau selatan itu, juga
selidikilah kalau-kalau keris pusaka Tilam Upih sudah muncul. Andika harus dapat
merampas keris pusaka itu dari tangan siapapun, karena keris pusaka itu adalah
keris kerajaan dan akan menimbulkan malapetaka kalau terjatuh ke tangan orang
jahat yang tidak berhak."
"Hamba siap melaksanakan perintah!" kata senopati itu dengan suara tegas dan
sikap yang tegap gagah. Sang Prabu Jayabaya tersenyum menyaksikan sikap panglimanya.
"Lembudigdo, apakah andika telah mengetahui bagaimana bentuk dan macamnya Tilam
Upih?" Ditanya demikian, senopati itu gelagapan. Memang,bermimpipun belum pernah
dia melihat keris pusaka itu. Dia menyembah dan menjawab gugup,
"Hamba.......ini.....ini.....hamba belum mengetahuinya. Mohon beribu ampun,
gusti........" "Ha-ha-ha, belum pernah melihatnya bukan merupakan kesalahan yang perlu
diampuni, Lembudigdo. Kami sendiripun belum pernah melihatnya karena keris
pusaka itu lenyap pada jaman eyang Prabu Rake Halu Shri Lokeshwara Dharmawangsha
Airlangga Anantawikrama Tunggadewa. Akan tetapi, kami kira para pinisepuh yang
ahdir dalam persidangan ini tentu ada yang mengetahuinya. Kami kira Kakang Empu
Sedah dapat menerangkannya." Sang Prabu Jayabaya menoleh kepada Empu Sedah
dengan sinar mata bertanya.
Empu Sedah memang lebih tua dari pada Sang Prabu Jayabaya. Usianya sudah
empatpuluh lima tahun, sepuluh tahun lebih tua dibandingkan junjungannya itu.Dan
sebagai seorang empu dan pujangga, pengetahuannya luas. Dia menghaturkan sembah
lalu berkata. "Sesungguhnya, Kanjeng Gusti.Hamba pernah mendengar penggambaran tentang Kyai
Tilam Upih. Ciri-cirinya pusaka itui berlekuk tiga, kembang kacang, sogokan
Srawean, Heri pandan, Greneng Pada gigir pusaka bagian atas berpamao perak
mencorong dan itulah bagian yang baik dari pusaka itu. Akan tetapi bagian
bawahnya berpamor hitam dan bagian ini ganas buakn main, lagi ampuh."
"Nah, andika telah mendengar jelas. Senopati Lembudigdo" Keris bentuk dan macam
itulah yang harus kau temukan."
Senopati itu menyembah. "Hamba telah mengetahuinya dengan jelas, Kanjeng Gusti.
Semoga dengan restu paduka hamba akan berhasil menemukan pusaka itu."
Tiba-tiba Empu Panuluh yang berusia limapuluh tahun itu menghaturkan sembah.
"Beribu ampun hamba berani menghaturkan suatu peringatan, Gusti."
"Empu Pnuluh, setiap peringatan merupakan sesuatu yang amat berharga dan patut
dibalas dengan ucapan syukur dan terima kasih. Katakanlah, peringatan apa yang
ingin andika sampaikan kepada kami?"
"Ampun, Gusti. Sejak jaman dahulu setiap pusaka yang ampuh dan baik selalu
mendatangkan berkah dan anugerah kepada siapa yang memilikinya, sebaiknya,
setiap pusaka yang ampuh dan mengandung hawa yang jahat akan mendatangkan
malapetaka bagi pemiliknya. Kyai Tilam Upih memang pusaka ampuh dan juga telah
ditangani oleh mendiang Gusti Prabu Airlangga sendiri sehingga mengandung
kebikan, namun sayang pusaka itu memang pada awalnya sudah memiliki kandungan
hawa yang tidak baik. Oleh karena itu, tentu akan mendatangkan malapetaka yang
tidak diinginkan kepada pemiliknya."
Sang Prabu Jayabaya mengangguk-angguk. "Benar ucapanmu, Empu Panuluh. Dan kalau
menurut perhitunganmu, malapetaka apakah yang dapat didatangkan Tilam Upih kalau
berada di tangan kami?"
"Ampun hamba, Gusti. Hamba tidak berani mendahului kehendak Hyang Widhi, akan
tetapi biasanya, keris pusaka yang berhawa hitam itu pasti akan membawa korban
di antara keluarga pemiliknya."
Kembali Sang Prabu Jayabaya mengangguk-angguk. "Jagat Dewa Bathara! Segala
kehendak Hyang Widhi Wasa pasti akan terlaksana tanpa ada kekuasaan apapu yang
sanggup mengubahnya. Empu Panuluh, andika pasti memaklumi pula bahwa siapapun
orangnya, kalau dia sudah dipilih untuk menjadi korban Sang Hyang Syiwa, maka
orang itu memang sudah digariskan sesuai dengan karmanya sendiri. Oleh karena
itu, tidak ada penyesalan apapun."
"Hamba tidak dapat lain kecuali menyetujui sabda paduka yang bijaksana dan
mulia." Empu Panuluh menghaturkan sembah.
Pada saat itu, seorang pria muda berusia tigapuluh tahun, berwajah tampan,
menghaturkan sembah. "Kanjeng Rama, hamba menghaturkan sembah dan perkenankan
hamba mengajukan usul hamba."
Sang Prabu Jayabaya memandang dan tersenyum. Yang bicara ini adalah Pangeran
Arya Iswara, yaitu pangeran mahkota atau calon pengganti kedudukan raja Kediri
kalau Sang Prabu Jayabaya sudah mengundurkan diri.
"Puterada pangeran, di dalam persidangan, hak bicara menyatakan pendapat adalah
hak setiap orang yang hadir. Kalau andika memiliki pendapat dan usul, cepat
katakan karena setiap pendapat tentu ada manfaatnya bagi sidang." kata Sang
Prabu sambil tersenyum memberi semangat.
Kembali pangeran yang tampan itu menghaturkan sembah, lalu berkata, "Kanjeng
Rama, pusaka Tilam Upih adalah pusaka keraton, berarti ada hubungan erat dengan
keluarga kerajaan sehingga sudah semestinyalah kalau keluarga kerajaan sendiri
turun tangan dalam usaha menemukan karena menjadi kebutuhan pribadi keluarga.
Tentu saja paduka tiodak mungkin dapat meninggalkan tahta hanya untuk mencari
pusaka itu, akan tetapi hamba dapat mewakili paduka untuk mencari dan
menemukannya. Sudah menjadi kewajiban hamba pribadi kiranya untuk menemukan pusaka keluarga
kita itu, Kanjeng Rama. Hamba akan menemani Paman Lembudigdo mencari pusaka
Tilam Upih, yaitu apabila paduka mengijinkan."
Semua orang yang hadir menganguk-angguk setuju dan kagum kepada pangeran ini.
Tidak seperti pangeran kerajaan kebanyakan yang hanya suka pergi berburu dan
bersenang-senang saja, pangeran Arya Iswara ini terkenal sebagai seorang pemuda
yang rajin dan gemar belajar bukan hanya mempelajari kesusasteraan dan kesenian,
kan tetapi juga ulah keperajuritansehingga dia terkenal sebagai seorang muda
yang digdaya dan sakti mandraguna seperti ayahnya.
Akan tetapi sebelum Sang Parabu Jayabaya menaggapi usul ini, tiba-tiba terdengar
suara orang terbatuk-batuk. Orang itu adalah seorang pria yang usianya sekitar
enampuluh tahun, wajahnya mirip wajah Sang Prabu Jayabaya, tubuhnya sedang namun
tegap dan sinar matanya mencorong.Dia ini memang seorang pangeran, kakak tiri
Sang Prabu Jayabaya, yaitu seorang pangeran dari selir. Namanya adalah Pangeran
Wijayanto atau lebih terkenal dengan sebutan Pangeran Sepuh, karena hanya dia
seoranglah pangeran Kakak Sang Prabu yang masih hidup.
Sang Prabu Jayabaya menoleh kepadanya dan bertanya ramah. "Andika kenapakah,
kanda pangeran?" "Uugh-ugh-ugh.......maafkan hamba, yayi prabu. Mendengar ucapan angger Pangeran
Arya Iswara tadi, hamba merasa amat bangga dan juga terharu sekali sehingga
hamba terbatuk-batuk. Akan tetapi sebelum paduka menjatuhkan keputusan, hamba
kira ada baiknya kalau hamba mohon paduka mempertimbangkannya masak-masak lebih
dulu. Angger Pangeran Arya Iswara adalah seorang pangeran pati seorang putera mahkota
yang kelak akan menggantikan kedudukan paduka sebagai raja Kediri. Dia adalah
seorang yang teramat penting.Oleh karena itu, sungguh berbahaya sekali kalau
paduka memperkenannya pergi mencari Tilam Upih. Kita semua tehu bahawa keris
pusaka iti kini dikejar dan diperebutkan orang-orang gagah senusantara, sehingga
bahaya besar akan mengancam diri Angger Pangeran Arya Iswara. Masih kurangkah
para senopati dan juga pangeran lain di kerajaan Kediri maka menugaskan
pekerjaan berbahaya itu kepada seorang pangeran pati" Hamba kira Pangeran
Panjiluwih cukup pantas untuk mewakili kakaknya sang pangeran pati untuk pergi
mencari keris pusaka itu bersama para senopati. Demikianlah pendapat hamba,
adinda prabu!" "Hamba siap melaksanakan perintah paduka. Kanjeng Rama. Tidak perlu Kakanda
Pangeran Mahkota yang pergi,hamba sanggup mencari pusaka itu sampai dapat!" kata
Pangeran Panjiluwih, seorang pangeran berusia duapuluh lima tahun yang bertubuh
tinggi besar dan gagah perkasa, dengan kumis yang tebal melingkap di kanan kiri
hidungnya, bagaikan Sang Arya Gatutkaca!
Sang Parabu Jayabaya menganguk-angguk sambil tersenyum tenang.
"Sungguh bijaksana sekali pendapat kanda Pangeran Sepuh, dan agaknya sudah bulat
tekadmu untuk mewakili ramandamu,Panjiluwih. Baiklah, kami perkenankan Pangeran
Panjiluwih untuk menemani Senopati Lembudigdo mencari keris pusaka Tilam Upih.
Dan andika, Arya Iswara, andika jangan pergi, biarkan andindamu yang
mewakilimu." "Hamba menaati perintah paduka kanjeng rama." kata Pangeran Arya Iswara dengan
senyum tenang, lalu menoleh kepada adiknya dan berkata lirih. "Andika harus
berhati-hati melaksanakan tugas berat itu, adinda pangeran."
Pangeran Panjiluwih tidak menjawab, hanya melirik ke arah pangeran pati itu
sambil mengangguk sedikit, akan tetapisenyum licik tersembunyi di balik kumisnya
yang tebal. Pangeran Panjiluwih menghaturkan sembah kepada sang prabu sambil berkata,
"Ampun Kanjeng Rama. Biarpun hamba maklum bahwa tugas mencari keris pusaka itu
merupakan tugas yang tidak mudah dan berbahaya, namun hamba bersumpah akan
mencari sekuat kemampuan hamba. Dan untuk mempertebal keyakinan hamba akan
keberhasilan hamba, maka hamba mohon sudilah kiranya Kanjeng Rama memberikan
sebuah pusaka kepada hamba untuk bekal dan pelindung diri dalam perjalanan."
Sang Prabu Jayabaya tersenyum. "Jagat Dewa Bathara! Ternyata andika seorang yang
cukup cerdik, angger. Baiklah. Kami memiliki sebuah pusaka, sebatang keris
pusaka bernama Kyai Gliyeng. Berkat keampuhan keris ini, andika dapat
mengharapkan ditemukannya kembali keris pusaka Tilam Upih itu. Biasanya, kalau
para dewata menghendaki Kyai Gliyeng dapat menunjukkan arah hilangnya sebuah
benda yang dicari. Nah, inilah Kyai Gliyeng, kuserahkan kepada nadika untuk
membantu pencarian Tilam Upih!"
Terima kasih, Kanjeng Rama!" kata Pangeran Panjiluwih girang sambil menghaturkan
sembah dan menerima keris Kyai Gliyeng itu.
Persidangan lalu dibubarkan dan Pangeran Panjiluwih mengadakan perundingan
dengan Senopati Lembudigdo untuk melaksanakan perintah Sribaginda mencari pusaka
yang hilang seabad yang lalu. Mereka membentuk sebuah pasukan khusus terdiri
dari limapuluh orang dan mulailah mereka berangkat menuju ke selatan. Di samping
itu,merekapun menyebar para penyelidik ke seluruh bagian pantai dari timur ke
barat. *** Niken Sasi menuruni lereng terakhir dari Gunung Anjasmoro. Ia meninggalkan
gurunya dan melakukan perjalanan dengansantai sambil menikmati keindahan
pemandangan alam di sepnjang perjalanan menuruni gunung itu. Ia merasa seperti
hidup baru, memulai lembaran baru dalam hidupnnya. Karena ia sendiri tidak tahu
kapan ia akan kembali ke gunung Anjasmoro, maka ia ingin menikmati keindahan
tempat itu untuk terakhir kalinya sebelum ia pergi melaksanakan tugas yang
berat. Kini ia tiba di tempat di mana dahulu ayah igunya diserang gerombolan penjahat.
Gurunya sudah memberitahu bahwa gurunya telah mengubur janazah ayahnya di tempat
itu, di bawah pohon kenanga dan makam itu ditandai dengan batu besar.
Sebelum meninggalkan kaki gunung, ia ingin lebih dulu menemukan makam ayahnya
. Akhirnya, ia dapat menemukan makam itu, di bawah pohon kenanga, dan batu besar
sebagi nisannya. "Kanjeng rama..........!" Niken Sasi berlari menghampiri makam itu dan iapun
menjatuhkan diri berlutut dan menyembah. Hatinya terasa perih, akan tetapi ia
tidak menangis. Tidak, ia adalah seorang dara perkasa yang pantang untuk
menangis. Ia membayangkan wajah ayahnya yang tampan dan gagah. Kemudian ia
teringat pula kepada ibunya dan hatinya menjadi semakin perih kalau ia
membayangkan ibunya. Apa yang telah terjadi dengan ibunya" Masih hidupkah ibunya, ataukah sudah tewas
pula seperti ayahnya"Ia pasti akan menyelidiki hal ini, menyelidiki siapa yang
telah membunuh ayahnya dan mengapa pula orang tuanya dibunuh. Akan tetapi hal
itu akan dilakukannya setelah ia berhasil dengan tugas pertama, yaitu mencari
keris pusaka Tilam Upih. Setelah merasa cukup puas dan lama berada di makam ayahnya, Niken Sasi lalu
bangkit berdiri dan siap hendak meninggalkan tempat itu. Akan tetapi, tiba-tiba
ia terkejut melihat munculnya belasan orang dari balik semak belukar dan pohon.
Tujubelas orang yang rata-rata bertubuh tinggi besar itu mengepungnya dan yang
mengejutkan dan mengherankan Niken Sasi adalah melihat betapa belasan orang itu
semua mengenakan saputangan hitam yang menutupi muka mereka dari mata kebawah.
Karena kepala merekapun mengenakan pengikat kepala dari kain hitam, maka yang
nampak hanya sepasang mata mereka yang saja yang memandang dengan liar dan
ganas. Niken Sasi memang terkejut dan heran. Akan tetapi sama sekali ia tidak merasa
takut dan dengan tenang ia menghadapi para pengepungnya.
"Siapakah kalian dan apa maksud kalian mengepungku?" tanyanya dengan suara yang
merdu, lembut namun berwibawa. Akan tetapi belasan orang itu tidak memperdulikan
pertanyaannya dan serentak lalu mereka menerjang, dengan tendangan kaki, pukulan
tangan dan mencengkeram jari-jari tangan yang penuh semangat. Marahlah Niken
Sasi. "Manusia-manusia busuk!" bentaknya dan tubuhnya sudah bergerak cepat sekali,
berkelebatan di antara belasan orang pengeroyoknya. Terdengar suara lengkingan
berkali-kali disusul robohnya beberapa orang pengeroyok. Niken Sasi berkelebat
menjauhkan diri dari serangan banyak orang itu, dan ketika mereka mengejar, ia
membalik dan balas menyerang.
"Haiiiiiiittt.......yahhhh......! bentaknya dan setiap kali kakinya mencuat
dalam tendangan atau tangannya menyambar dalam tamparan tentu ada seorang
pengeroyok yang terpelanting robih dan baru setelah agak lama dapat bangkit
kembali. Belasan orang itu mempercept pengeroyokan mereka, dan serangan mereka semakin
gencar. Namun sungguh aneh belasan orang pria yang kuat mengeroyok seorang dara
dengan hujan serangan tak sekalipun dari semua serangan pukulan dan tendangan
itu dapat mengenai tubuh Niken Sasi. Jangankan mengenai kulit tubuhnya.
Menyerempet pakaiannyapun tidak. Demikian cepatnya gerakan Niken Sasi. Inilah
Aji Tapak Srikatan yang membuat tubuh dara itu dapat berkelbatan bagaikan burung
srikatan lincahnya. "Hiaaaaaatttt........!" Kembali beberapa orang berpelantingan sehingga belasan
orang itu hampir semua sudah merasa akan roboh terpelanting. Agaknya belasan
orang itu menjadi marah dan begitu terdengar seruan "Bunuh.........!!!" sebagai
isyarat, mereka semua telah mencabut senjata mereka! Tujuh belas orang itu kini
memegang senjata tajam, ada yang memegang golok yang besar dan panjang, ada pula
yang memegang pedang dan ada juga yang memegang keris. Berkialuan senjata-


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

senjata itu terkena sinar matahari dan keadaan mereka menyeramkan sekali. Akan
tetapi Niken Sasi tidak menjadi gentar malah tertawa. Suara tawanya merdu dan
hanya sebentar mulutnya terbuka, memperlihatkan giginya yang putih mengkilap.
Hatinya merasa gembira karena baru sekarang ia membuktikan sendiri bahwa segala
macam aji yang dipelajarinya dari gurunya, ternyata dapat membuat ia pandai
membela diri dengan baiknya sehingga para pengeroyokan belasan orang itu
dirasakannya ringansekali. Bru sekarang ia membuktikan sendiri bahwa ia telah
menjadi seorang dara yang digdaya dan sakti mandraguna. Kebanggan dan
kegembiraan tanpa rasa sombong memenuhi hatinya dan kepercayaan terhadap dirinya
sendiri menjadi menggunung.
"Kalian ini mengapakah mengeroyok akau" Katakan siapa kalian, dan apa artinya
pengeroyokan ini, mungkin aku masih dapat mengampunimu!"
Akan tetapi, ucapan ini disambut serangan serentak dari berbagai penjuru. Keris,
pedang dan golok menyambar-nyambar, mengancam keselamatan Niken Sasi. Akan
tetapi gadis itu memang sudah siap siaga. Ketika dari semua penjuru para
pngeroyoknya menyerbu, tiba-tiba saja pengeroyoknya menyerbu, Tiba-tiba saja
orang yang mereka serang itu telah lenyap. Hanya nampak bayangan berkelebat ke
atas dibarengai suara tawa dan ketika mereka mencari sambil memutar tubuh,
ternyata Niken Sasi telah berada di luar kepungan mereka. Setelah melihat para
pengeroyok membalikan tubuh hendak mengejarnya, mulailah Niken Sasi menggerakkan
kaki tangnya dengan cepat. Mereka yang berada di depan berusaha menggerkkan
senjata mereka, akan tetapi mereka kalah cepat. Sebelum senjata mereka mampu
menyerang, tamparan dan tendangan telah membuat mereka terpelanting ke kanan
kiri dan sekali ini tendangan dan tamparan itu lebih keras lagi sehingga mereka
yang roboh itu mengaduh-aduh dan berusaha bangkit. Pedang, golok dan keris
beterbangan dari tangan meraka yang roboh.
Akan tetapi, orang-orang bertopeng itu masih nekat mengeroyok dengan lebih
ganas. Karena jumlah lawan yang banyak, Niken khawatir kalau-kalau ada senjata nyasar
mengenai dirinya, maka iapun melompat jauh ke belakang,lalu menggosok-gosok
kedua tangannya mengerahkan Aji Hasta Bajra. Ia tidak menanti sampai kedua
telapak tangannya panas sekali karena ia ingin membatasi tenaganya dan setelah
kedua telapak tangan itu agak panas, dan melihat mereka sudah mengejarnya lagi,
ia lalu memasang kuda-kuda dan kedua tangannya didorongkan ke depan dengan
telapak tangan terbuka. "Blaarrrrrr........!" Empat orang yang berada paling depan tiba-tiba terjengkang
ke balakang menabrak teman-temannya seperti disambar petir dan mereka pingsan
seketika, kawan-kawannya yang ditabrak berpelantingan.
Pada saat itu, muncul seorang pemuda tanpa banyak cakap lagi mengamuk, menampar
dan menendangi para pengeroyok itu sehingga mereka menjadi semakin mawut dan
kacau. Akhirnya, mereka yang belum terluka parah menyambar tubuh temannya yang
terluka dan segera melarikan diri.Niken Sasi merasa heran melihat munculnya
pemuda itu, akan tetapi ketika melihat bahwa yang muncul membantunya adalah
Gajahpuro, iapun meresa senang dan tersenyum. Gajahpuro juga tidak mengejar
orang-orang yang melarikan diri itu, melainkan cepat menghampiri Niken Sasi.
Niken.......! Engkau tidak apa-apa?" tanya pemuda itu yang kelihatan khawatir
sekali. Niken Sasi tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Gerombolan penjahat itu tidak
melukai aku, Kakang Gajahpuro. Sukur engkau datang membantuku."
"Siapakah mereka itu, Niken" Dan mengapa pula mereka mengeroyokmu?"
Niken Sasi menggeleng kepalanya dan iapun mengambil buntalan bekal pakaiannya
yang tadi ia lepaskan dan sampirkan di semak-semak.
"Aku tidak tahu mereka siapa dan mengapa mereka mengeroyokku. Mereka tidak ada
yang mengaku." Gajahpuro mengepal tinjunya, dan memukul telapak tangan kiri dengan gemas. "Ah,
kalau tahu begitu, tentu kutangkap seorang di antara mereka untuk ditanya.
Kurang ajar sekali mereka!"
"Sudahlah, kakang. Aku kan tidak terluka dan mereka itu sudah melarikan diri.
Akan tetapi bagaimana engkau mendadak dapat muncul membantuku" Kenapa engkau
berada di sini,kakang Gajahpuro?"
"Aku memang pergi menyusulmu, Niken. Engkau pergi tidak berpamit padaku dan
ketika tadi aku mendengar bahwa engkau sudah pergi, aku segera mengejarmu dan
melihat engkau dikeroyok di sini aku lau membantumu."
"Ah, kakang Gajahpuro. Kemarin aku sudah menceritakan kepada semua murid bahwa
aku pergi untuk melaksanakan perintah Bapa Guru mencari Tilam Upih untuk
dihaturkan kepada KerajaanDaha, dan juga untuk mencari para pembunuh orang
tuaku." "Karena itulah aku merasa khawatir. Engkau seorang gadis remaja pergi sorang
diri menempuh bahaya! Bagaimana hatiku tidak merasa khawatir"Maka aku lalu
menyusulmu karena aku hendak menemanimu dalam me;aksanakan perintah Bapa Guru."
Niken Sasi tersenyum memandang wajah pemuda ganteng itu.Gajahpuro memang selalu
bersikap manis kepadanya dan ia menganggapnya sebagai teman sejak kecil yang
baik sekali. "Terima kasih, kakang Gajahpuro. Akan tetapi aku tidak ingin
ditemani karena Bapa Guru memerintahkan aku pergi sendiri. Aku tidak ingin
melawan perintah Bapa Guru."
"Ah, Niken! Bapa Guru tidak akan mengetahui bahwa aku menemani dan membantumu!"
"Tidak,Kakang. Urusan mencari para pembunuh orang tuaku merupakan urusan pribadi
yang harus kupertanggung-jawabkan sendiri. Orang lain tidak boleh mencampuri."
"Akan tetapi, aku dapat membantumu mencari Tilam Upih."
"Kalau engkau hendak membantuku, mencari keris pusaka itu, silakan. Akan tetapi
jalan kita bersimpang. Aku ingin merantau dan melakukan perjalanan seorang
diiri." Gajahpuro tidak membujuk-bujuk lagi, memandang gadis yang dicintainya sampai
lama, kemudian dai menghela napas dan berkata. "Aku tahu, Niken. Engkau tidak
mau aku temani karena engkau merasa sudah cukup kuat. Engkau bahkan lebih sakti
daripada murid-murid Bapa Guru yang lain. "Kulihat tafi engkau telah menguasai
Hasta Bajara!" Niken Sasi terkejut. "Engkau melihatnya , kakang" Harap engkau berbaik hati
untuk tidak bercerita kepada siapapun, apa lagi kepada Bapa Guru yang tentu akan
merah mendengar aku mempergunakan aji itu walaupun keadaan tidak terpaksa
sekali." "Tenanglah, aku tidak akan bercerita. Akan tetapi kita akn bertemu kembali,
Niken. Aku akan membantumumencari Tilam Upih yang besar kemungkinan kita akan saling
bertemu dalam usaha mencari keris pusaka itu."
"Baiklah, kakang. Sekarang aku hendak melanjutkan perjalananku. Selamat
berpisah, kakang Gajahpuro."
Pandang mata pemuda itu nampak kecewa sekali. Menurut perhitungannya, gadis itu
tentu akan girang ditemani melakukan perjalanan, ada kawan yang membantunya.
Siapa kira, gadis itu menolaknya dan tidak mempunyai alasan lain untuk mendesak.
"Baiklah,Niken. Semoga para dewa melindungimu dan engkau akan berhasil."
"Terima kasih Kakang. Engkau memang baik sekali!"
Mereka berpisah dan ucapan terakhir Niken Sasi itu setidaknya merupakan hiburan
bagi Gajahpuro. Mereka berpisah mengambil jalan masing-masing. Setelah tiba di luar dusun
pertama di kaki Gunung Anjasmoro. Niken Sasi melihat seorang kakek berjalan
datang dari arah depan . Ia segara mengenal kakek itu.
Paman Joyosentiko, serunya. Paman datang dari manakah?"
Kakek itu adalah Ki Joyosentiko, seorang anggota tua dari Gagak Seto. Sebetulnya
dia masih kakak seperguruan dari Ki Sudibyo, akan tetapi tingkat kepandaiannya
masih kalah jauh dibandingkan adik seperguruan yang menjadi ketua Gagak Seto
itu. Di pergurun Gagak Seto, Ki Joyosentiko ini bertugas mengajarkan kesussastraan
kepada para murid. Menurut peraturan yang diadakan Ki Sudibyo, semua murid Gagak
Seto harus mempelajari kebudayaan, karena dia berpendapat bahwa ilmu kedigdayaan
tanpa disertai ilmu kebudayaan, dapat membuat murid menjadi seorang yang hanya
menurutkan nafsu sendiri mengandalkan kesaktiannya.
Ki Joyosentiko mengangkat tangan ke atas." Aku memang sengaja menantimu di sini,
Niken. Ada beberapa hal yang ingin kubicarakan denganmu sebelum engkau
melanjutkan perjalananmu. Mari kita pergi ke gubuk di tengah Ladang itu agar
dapat bicara dengan leluasa."
"Baik, paman." Niken Sasi menghormati orang tua ini karena segala macam kesenian
ia pelajari darinya, juga tentang adat istiadat dan kesusilaan.
Setelah mereka duduk berhadapan, Ki Joyosentiko berkata dengan suaranya yang
lembut dan tenang. "Angger, Niken Sasi. Aku mendengar bahwa engkau mendapat
tugas dari gurumu untuk mencari Tilam Upih, dan juga untuk mencari para pembunuh
ayah bundamu." "Benar, paman."
"Dan aku mendengar pula bahwa engkau kelak akan diangkat menjadi ketua Gagak
Seto menggantikan adi Sudibyo, benarkah?"
Niken Sasi memandang tajam wajah pamannya! Ia menganggap bahwa hal itu tidak
perlu dirahasiakan lagi. "Memang demikianlah kehendak Bapa Guru, paman.
"Aku melihat bahwa pilihan Bapa Gurumu tidak keliru. Walupun andika murid
wanita, namun andika lebih maju daripada yang lain, baik kemajuan lahir maupun
batin. Bahkan lebih lagi tadi akupun sempat menyaksikan engkau menguasai Hasta
Bajra." Niken Sasi membelalakan matanya. "Paman melihatnya" Paman tahu siapa gerombolan
jahat yang tadi mengeroyokku?"
Kakek itu menggeleng kepala. "Aku sendiri tidak mengenal mereka karena mereka
bertopeng. Akan tetapi peristiwa itu menunjukkan betapa berat tugasmu dan engkau
haruslah berhati-hati dan waspada. Ingat, jangan sembarangan mempercayai orang
karena di dunia ini lebih banyak terdapat orang yang berwatak palsu daripada
orang yang tulus benar. Akan tetapi yang hendak kuberitakan ini adalah soal yang
lain lagi, yaitu mengenai diri bapa gurumu."
Pandang sepasang mata yang jeli itu penuh selidik menatap wajah Ki Joyosentiko
yang sudah terbiasa keriput. "Ada apakah dengan Bapa Guru, paman?"
"Tahukah andika, Niken, bahwa bapa guru selalu sakit-sakitan, tubuhnya menjadi
lemah dan dia kehilangan tenaga saktinya, juga selalu terbenam kedalam
kesedian?" Niken Sasi mengerutkan alisnya, akan tetapi ia harus membenarkan pendapat
pamannya dan ia menganggu-angguk. "Memang demikian, paman. Akan tetapi, saya
tidak tahu mengapa demikian. Mengapa Bapa Guru kelihatan seperti lemah
berpenyakitan dan wajahnya selalu diliputi wan kedukaan. Tahukah paman mengapa
Bapa Guru bersedih seperti itu?"
Ki Joyosentiko menghela napas panjang beberapa kali, lalu berkata, "Aku merasa
iba sekali kepada Adi Sudibyo, walaupun semua ini terjadi karena kesalahannya
sendiri pula. Hatinya terlampau keras, dan sudah menjadi wataknya, sejak muda
bahwa dia tidak mau kalah oleh siapapun. Nah, dengarkan ceritaku Niken. Hal ini
perlu kau ketahui agar engkau mengerti benar persoalannya yang terjadi dalam
keluarga Bapa Gurumu yang akan kau gantikan kedudukannya di Gagak Seto."
Niken Sasi mendengarkan dengan penuh perhatian. Kembali Ki Joyosentiko menghela
napas lalu mulai dengan ceritanya. "Kurang lebih duapuluh tahunyang lalu, di
perguruan Gagak Seto ini terdapat seorang murid wanita bernama Ni Sawitri. Ia
seorang yatiam piatu dan setelah menjadi murid di Gagak Seto, ia amat dekat
dngan aku sehingga menganggap aku sebagai ayah angkatnya sendiri. Dalam
perguruan terdapat pula seorang murid pria bernama Margono dan di antar kedua
orang muda ini terjalin hubungan cinta kasih yang mendalam."
Karena kakek itu berhenti bercerita, Niken lalu mengomentari, "Mereka berdua
tentu berbahagia sekali, paman."
Akan tetapi kakek itu menggeleng kapala dan menghela napas panjang. "Mestinya
begitu. Akan tetapi sudah di tentukan oleh dewata agaknya bahwa nasib mereka
tidaklah demikian gemilang.Ternyata Adi Sudibyo yang ketiaka itu berusia
empatpuluh tahun dan masih membujang,jatuh cinta pula kepada Ni Sawitri. Inilah
awal malapetaka itu. Ki sudibyo meminang muridnya sendiri dan Ni Sawiitri tidak
berani menolaknya. Sejak kecil ia yang sudah yatim piatu diteriama menjadi murid
Gagak Seto, berarti ia berhuatang budi besar sekali kepada Ki Sudibyo. Biarpun
perasaanya hancur lebur, ia tidak berani menolak pinangan gurunya. Aku yang
mengetahui persoalan ini sudah memberi ingat kepada Adi Sudibyo bahwa Ni Sawitri
sudah mempunyai pilhan hati, akan tetapi Ki Sudibyo malah marah-marah dan
menuduhku menghalangai kehendaknya. Nah, pernikahan itupun dilangsungkan.
Hanya aku yang mengetahui betapa hancur rasa hati Ni Sawitri dan juga
kekasihnya, Margono. Kurang lebih tiga bulan kemudian Margono jatuh sakit dan
penyakitnya sedemikain beratnya sehingga orang sudah putus harapan untuk dapat
menyembuhkannya. Ni Sawitri yang sudah tiga bulan menikah, memperoleh kesempatan
untuk menjenguk dan terjadilah pertemuan antara kedua kekasih ini yang
membangkitkan kenangan lama dan sekligus menjadi obat yang amat mujarab bagi
Margono. Dia sembuh dan pertemuan itu menjadi semacam tekad mereka berdua.
Tanpa diketahui siapapun, pada suatu malam, kedua orang itu minggat meninggalkan
perkampungan Gagak Seto!"
Kembali kakek itu menghela napas panjang dan Niken Sasi merasa tertarik sekali.
Sungguh sukar ia dapat membayangkan gurunya yang demikian berwibawa dan halus
budi, dapat memaksa seorang wanita berpisah dari kekasihnya dan menjadi
isterinya! "Cinta memang dapat meimbulkan perbuatan yang aneh-aneh dan sukar dipercaya akal
sekat," kata Ki Joyosentiko, seolah dapat membaca pikiran Niken Sasi.
"Lalu bagaimana tanggapan Bapa Guru setelah melihat mereka berdua itu melarikan
diri, paman?" "Nanti dulu, sebelum aku melanjutkan ceritaku, aku ingin lebih dulu mendengar
pendapatmu tentang perbuatan mereka itu. Hal imi penting sekali untuk menentukan
sikapmu kelak setelah engkau menjadi ketua Gagak Seto."
Tanpa ragu lagi, dengan suara yang pasti, Niken Sasi menjawab. "Saya tidak dapat
menyalahkan mereka berdua itu, paman. Walaupun hal ini merupakan pengkhianatan
terhadap Bapa Guru dan membuat Bapa Guru tentu sja merasa terhina dan duka, akan
tetapi hal itu adalah kesalahan Bapa Guru sendiri. Tidak semestinya dai memaksa
Ni Sawitri untuk menjadi isterinya, apa lagi Ni Sawitri telah memiliki seorang
kekasih. Bapa Guru sudah mengetahui karena paman telah memberi tahu, akan tetapi Bapa
Guru nekat." "Bagus! Kalau begitu pendapatmu,aku berani melanjutkan ceritaku karena sikapmu
kelak sudah kuketahui. Nah, ketika gurumu mendengar tentang minggatnya isterinya
bersama Margono, dia menjadi marah bukan main dan segera melakukan pengejaran.
Akan tetapi semua usahanya gagal dan dia mencari terlalu jauh."
"Hemm,agaknya paman mengetahui tempat persembunyian mereka akan tetapi tidak mau
memberitahu kepada Bapa Guru."
Kakek itu menganguk-angguk. "Bukan hanya mengerti, bahkan aku membantu mereka
dan menyembunyikan mereka di dalam goa tidak jauh dari puncak Gunung Anjasmo.
Baru setelah keadaan aman dan gurumu tidak mencari sendiri lagi, aku melepaskan
mereka. Mereka melarikan diri jauh sekali, akan tetapi karena gurumu masih terus
mengirim murid-murid untuk melakukan pencarian, mereka harus selalu berpindah-
pindah dan aku sendiri tidak tahu di mana anak angkatku dan suaminya itu
berada." Kembali di berhenti.
"Lalu bagaimana, paman?"
"Ki Sudibyo sungguh keras hati. Dia diracuni dendam. Kurang lebih sepuluh tahun
yang lalu, yaitu setelah sepuluh tahun lamanya Ni Sawitri melarikan diri, dia
masih saja menyuruh murid-muridnya melakukan pencarian. Yang diutus adalah
Klabangkoro. Padahal aku sendiri mengetahui dengan jelas bahwa dahulu, si
Klabangkoro itu juga jatuh hati kepada Ni Sawitri, akan tetapi tidak pernah
ditanggapi oleh wanita itu. Jadi, ketiak disuruh oleh girimu, Klabangkoro juga
mempunyai dendam pribadi, Dan sekali ini, usahanya berhasil. Dia dan teman-
temannya dapat menemukan Ni Sawitri dan Margono di Bukit Bathok dan berhasil
membunuh Ni Sawitri dan Margono."
Niken Sasi bangkit berdiri dengan mata terbelalak. "Alanglah kejamnya!"
bentaknya . "Tenanglah, Niken. Demikianlah kalau orang sudah dibuat gila oleh cinta asmara
yang bukan lain hanya nafsu yang sudah memuncak,dan kematian setiap orang sudah
ditentukan oleh para dewata sesuai dengan karma masing-masing. Dan sejak
menerima berita bahwa Margono suda terbunuh, akan tetapi bahwa Ni Sawitri juga
tewas, KI Sudibyo menjadi semakin rusak hatinya sehingga mempengaruhi
kesehatannya. Bertahun-tahun dia tenggelam dalam kedukaan. Mungkin juga timbul
penyesalan dalam hatinya."
"Kalau begitu, hal itu adalah salahnya sendiri. Setiap orang sudah pasti akan
angunduh wehing pakaryaan{ memetik buah perbuatannya}."
"Memang benar, angger. Akan tetapi patut dikasihani Ki Sudibyo. Semua itu
dilakukan demi cintanya kepada Ni Sawitri. Dan dia hanya dapat menikmati
kebahagian hidup sebagai suami isteri bersama Ni Sawitri selama tiga bulan saja.
Karena itulah maka aku merasa iba kepadanya. Yang kukhawatirkan adalah putera
dari Ni Sawitri." Niken Sasi terbelalak memandang kakek itu. "Mereka mempunyai putera"
Bagaimana dapat lolos dari pembunuhan itu"


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka mempunyai seorang anak laki-laki. Menurut cerita para murid, ketika
mereka sudah membunuh Margono dan Ni Sawitri juga tewas membunuh diri, anak
laki-laki yang berusia sepuluh tahun itu mengamuk. Anak itu tentu sudah dapat
dibunuh pula kalau tidak muncul seorang kakek tua renta yang menyelamatkannya.
Kakek itu amat sakti dan mengusir Klabangkoro dan kawan-kawannya."
"Bapa Guru juga mendengar tentang nak itu?"
"Tentu saja. Akan tetapi agaknya hatinya sudah luluh dan hancur mendengar
kematian Ni Sawitri sehingga dia tidak memperdulikannya lagi. Padahal dia tahu
benar bahwa kelak besar kemungkinan anak itu akan membalas dendam kematian orang
tuanya." "Hemm, tentu saja. Dan anak itu kini sudah dewasa, paman" Sepuluh tahun yang
lalu dia berusia sepuluh, tentu sekarang sudah berusia duapuluh tahun.
"Benar, karena itulah aku bercerita kepadamu. Aku khawatir anak itu datang
membalas dendam dan agaknya engkau yang harus menghadapinya karena engkau akan
menjadi ketua." "Paman kau tidak menyalahkan anak laki-laki itu kalau dia hendak membalas
dendam. Akan tetapi karena aku adalah murid Bapa Guru, maka sudah menjadi
kewajibanku untuk membela Bapa Guru. Kalau bocah itu datang dengan niat membunuh
Bapa Guru, saya akan menasihatinya agar dia tidak melakukan hal itu, dengan
mengingatkan kesalahan yang telah diperbuat orang tuanya terhadap Bapa Guru.
Kalau dia nekat, terpaksa akan saya lawan!"
"Memang seharusnya demikian. Akan tetapi ada satu rahasia yang sampai saat ini
hanya diketahui olehku seorang dan sekarang rahasia itu akan akan kubuka
kepadamu. Ketahuilah, pemuda itu sama sekali tidak boleh membalas dendam, tidak
boleh membunuh Ki Sudibyo karena Ki Sudibyo adalah bapak kandungnya."
Niken Sasi yang tadi sudah duduk kembali, kini meloncat lagi dan matanya
terbelalak bundar. "Apa......." Apa maksud paman?" katanya bingung.
"Ketika Margono daqn Sawitri bersembunyi, Sawitri yang sudah seperti anakku
sendiri, membuat pengakuan kepadaku bahwa ia sudah mengandung selama dua bulan.
Jadi, anak itu adalah anak kandung Sudibyo, bukan anak kandung Margono."
"Dan Bapa Guru tahu pula akan hal itu?"
Ki Joyosentiko menggeleng kepala. "Tidak, tidak kuberitahu karena kenyataan itu
tentu akan semakin menghancurkan hatinya. Aku tidak tega Niken."
"Ampun, Gusti.........! Kenapa mereka melakukan perbuatan seperti itu" Bapa Guru
sudah jelas bersalah karena memperisteri wanita yang sudah mempunyai kekasih,
kemudian keasalahannya menjadi semakin berlarut ketika dia menyuruh bunuh
Margono sehingga Ni Sawitri ikut pula tewas. Ni Sawitri juga bersalah karena
setelah ia menikah dengan Bapa Guru, apalagi sudah mengandung, mengapa ia
mengkhianatinya dan minggat bersama kekasihnya" Juga Margono bersalah. Dia
merampas isteri orang lain yang sudah mengandung,merusak pagar ayu namanya.
Wah, tiga orang berbuat kesalahan dan akibatnya mengerikan.!"
"Akan lebih mengerikan lagi kalau kelak anaknya membalas dendam kepada bapak
kandung sendiri!" Niken Sasi mengangguk-angguk. "Sekarang saya mengerti mengapa paman menceritakan
semua ini kepada saya. Baiklah, paman. Saya berjanji akan menghalangi pembunuhan
antara ayah dan anak kandung ini. Kalau sudah tiba saatnya bertemu dengan anak
itu, akan saya beritahu kepadanya perkara yang sebenarnya dan saya akan mencegah
dia melakukan pembalasan terhadap Bapa Guru.
Juga saya yang akan memberitahu Bapa Guru kelak bahwa pemuda itu adalah putera
kandungnya." "Terima kasih kepada Gusti Yang Maha Agung!" Ki Joyosentiko memanjatkan puji.
"Hanya andika seorang yang akan mampu menyelamatkan mereka, Niken Sasi.
Sekarang legalah hatiku setelah aku menceritakan segalanya kepadamu.Nah, andika
boleh melanjutkan perjalanan sekarang."
"Baik,paman dan selamat tinggal."
"Selamat jalan dan semoga para dewata akan melindungimu, angger!"
Niken Sasi meninggalkan gubuk itu dan mengerahkan aji Tapak Srikatan yang
membuat larinya seperti seekor burung sedang terbang terbang cepatnya, diikuti
pandang mata Ki Joyosentiko yang mengangguk-angguk sambil tersenyum puas.
*** Niken Sasi sama sekali tidak mengetahui bahwa semua gerak-geriknya semenjak
meninggalkan perkampungan Gagak Seto selau diawasi orang. Ke manapun ia pergi,
selalu selalusaja ada orang yang membayanginya. Ketika ia mengadakan pertemuan
dengan Ki Joyosentiko, juga tidak terlepas dari pengamatan orang-orang itu. Akan
tetapi Ki Joyosentiko bertindak cerdik, mengajak ia bercakap-cakap disebuah
gubuk di tengan sawah sehingga tidak mungkin ada orang dapat mendekati gubuk itu
tanpa diketahui. Orang yang membayangi Niken hanya mampu mengintai saja dari
jauh, tahu bahwa ia bercakap-cakap dengan Ki Joyosentiko, akan tetapi tidak
dapat mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Dan pertemuan itupun tidak
menimbulkan kecurigaan, karena Ki Joyosentiko adalah paman guru Niken Sasi
sendiri. Perjalanan Niken Sasi tidak menemui kesulitan. Karena ia bersikap ramah dan juga
membawa bekal uang, maka di mana saja ia diterima penduduk dusun untuk
melewatkan malam. Pada suatu hari tibalah ia ditepi Sungai Lesti, di kaki Gunung Kelud. Tempat itu
sunyi, jauh dari dusun dan selagi ia melihat-lihat ke kanan kiri untuk mencari
perahu penyeberangan, tiba-tiba bermunculan dua belas orang laki-laki yang
segera mengepungnya. Melihat pakaian mereka yang ringkas, dada telanjang dan
sikap mereka yang kasar, Niken Sasi waspada. Mereka itu jelas bukan petani
biasa, lebih pantas menjadi orang-orang yang biasa memaksa kehendak mereka dan
tidak pantang melakukan kejahatan.
"Bojleng-bojleng belis laknat!" seorang di antara mereka yang mata kirinya
terpejam dan hanya mempunyai sebuah mata kanan yang melotot menyeramkan berseru
sambil menyeringai sehingga nampak giginya yang besar-besar menguning. "Ada
bidadari dari kahyangan berjalan seorang diri. Siapakah andika, cah ayu, dan
hendak pergi kemanakah?" Sementara itu, sebelas orang kawannya juga menyeringai
gembira dengan pandang mata seolah hendak menelan bulat-bulat seluruh tubuh
Niken Sasi. Bahkan ada yang menjulurkan lidah yang meneteskan air liur bagaikan srigala-
srigala kelaparan melihat seekor domba yang lunak dan gemuk gadingnya.
Biarpun nada pertanyaan itu tidak sopan, akan tetapi karena orang bertanya,
Niken Sasi menjawab juga,dengan suara datar, "Namaku Niken Sasi dan aku hendak
pergi ke Lautan Kidul. Siapakah kalian dan mau apa kalian mengepungku" Biarkan
aku lewat!" "Hoa-ha-aha.........!" Si Mata satu yang tinggi besar seperti raksasa itu
tertawa, diikuti anak buahnya yang juga terkekeh-kekeh. "Ayu manis dan centil!
Kawan-kawan,apakah pantas ia menjadi isteri baruku?"
Semua orang tertawa, "Pantas sekali, kakang Mamangmurko!" kata mereka.
"Wah, jangan-jangan ia ini Kanjeng Ratu Kidul atau hulubalangnya!" tiba-tiba
terdengar seorang di antara mereka berseru dan mendengar seruan itu, tiba-tiba
saja suara tawa mereka terhenti seperti orang-orang terpijak. Dan semua orang
termasuk si mata satu, kini terbelalak mengamati Niken Sasi dengan penuh
kecurigaan dan rasa takut.
Niken Sasi maklum apa yang berada dalam benak orang-orang tahyul dan kasar itu.
Mereka tentu amat takut kalau-kalau ia penjelmaan Kanjeng Ratu Kidul atau
hulubalangnya, maka iapun menggunakan kesempatan itu agar jangan terganggu
perjalanannya. "Aku memang seorang senopati dari Kanjeng Ratu Kidul!" katanya lantang sambil
bertolak pinggang. "Aku baru pulang melaksanakan tugasku ke puncak Gunung Kelud
dan sekarang hendak kembali ke Lautan Kidul. Hayo cepat kalian sediakan sebuah
perahu untuk menyeberangi sungai ini!" Suaranya terdengar lantang berwibawa,
sikapnya gagah dan duabelas orang itu surut ke belakang,lalau berbisik-bisik
dengan ketakutan. "Hayo cepat sediakan perahu!"kata si mata satu yang namanya Mamangmurko itu.
Dia sudah ketakutan sekali. Siapa yang tidak takut akan kemurkaan Kanjeng Ratu
Kidul, Ratu dari Samudera Selatan yang terkenal ganas itu"
Duabelas orang itu lalau berlarian, kemudian menyeret keluar enam buah perahu
kecil dari balik semak-semak di tepi sungai. Perahu-perahu itu mereka turunkan
ke atas air dan Mamangmurko membungkuk di depan Niken Sasi sambil berkat,
"Silakan Den Roro.......!"
Niken Sasi mengangguk dan tersenyum. Ia tidak merasa janggal mendengar sebutan
Raden Roro itu, karena sesungguhnya ia bahkan berhak mendapat panggilan yang
lebih mulia lagi. Bukankah ia cucu Sang Prabu Jayabaya di Daha" Ia lalau
melangkah ke dalam sebuah perahu dan perahu-perahu itu meluncur menyeberagi
Sungai Lesti.Karena sungai Lesti, anak sungai Brantas itu ketiak tiba disitu
masih belum besar benar, sebentar saja perhu-perahu itu telah tiba di sebelah
selatan sungai dan para anak buah gerombolan itu berloncatan ke daratan.
Demikian pun Niken Sasi melangkah keluar dari dalam perahu, mendarat di atas
tepi sungai yang berumput.
Akan tetapi pada saat itu, seorang di antara mereka berseru, kawan-kawan, kita
tertipu! Kalau nona ini seorang senopati dari Kerajaan Kidul, mana mungkin ia
ikut dengan kita naik perahu" Seorang senopati dari Kerajaan Kidul tentu tidak
takut air, apalagi hanya air sungai! Ia ini bukan senopati Kidul, melainkan
gadis biasa yang telah membohongi kita."
Mendengar ini, Niken Sasi melangkah ke depan dan bertolak pinggang. "Hemm, siapa
berani mengatakan bahwa aku penipu dan berbohong" Siapa yang tidak percaya bahwa
aku senopati Kidul boleh maju dan menguji kesaktianku."
Orang berteriak tadi kini didorong-dorong temannya. Karena dia tadi meneriakkan
bahwa gadis itu bukan senopati Kidul, maka dia pula yang harus mengujinya. Dia
seorang pria berusia tigapuluh tahun yang bertubuh kekar, kaki tangannya di
lingkari otot-otot seperti tali tambang. Biarpun agak jerih, dia memberanikan
diri untuk membuktikan tuduhanya tadi.
Baik,akau yang akan menguji andika!" katanya dan tanpa menanti jawaban lagi,
langsung saja dia menubruk ke depan untuk merangkul dan meringkus dara jelita
itu. "Wuuutt..........brukkk.....!" Pemuda itu tidak merangkul Niken yang tiba-tiba
lenyap dan menubruk tanah. Dia terkejut dan penasaran, melompat
bangun,membalikkan tubuhnya dan kembali dia menerjang, kembali ingin memeluk.
Kembali Niken Sasi mengelak. Melihat temannya berusaha menubruk dan merangkul
sedangkan gadis itupun hanya mengelak, teman-temannya menjadi iri dan merekapun
serentak bergerak mengejar dan menubruk Niken Sasi, seolah sekawanan anak yang
bergembira mengejar-ngejar seekor kelinci!
Kini Niken Sasi menjadi marah. Melihat duabelas orang itu semua berebutan dan
berusaha untuk memeluknya, ia pun tidak hanya mengelak melainkan juga menangkis,
menampar dan menendang. Dan terdengarlah teriakan-teriakan mengaduh dan tubuh
para pengeroyok itu berpelantingan. Mendapat hajaran ini, duabelas orang itu
kembali menjadi ketakutan karena kini mereka percaya bahwa dara itu benar-benar
sakti. Kalau ia senopati Kidul, celakalah mereka! Maka dipimpin oleh
Mamangmurko, mereka semua brelutut dan menyembah-nyembah kepada Niken Sasi.
"Gusti Puteri Senopati, hamba semua mohon ampun....." kata Mamagmurko dengan
bibir berdarah karena tadi dia menerima tamparan tangan kiri Niken Sasi.
Enak saja, tadi menyerang dengan niat buruk, kini minta ampun, pikir Niken Sasi.
Kemudian ia teringat. Bekal uang yang diterimanya dari Ki Sudibyo memang cukup
banyak, akan tetapi ia melakukan perjalanan jauh dan tidak diketahui kapan
berakhir, maka ia membutuhkan banyak uang untuk biaya perjalanan.
"Hayo keluarkan semua uang yang berada di pakaian kalian. Keluarkan semua dan
kumpulkan. Awas,jangan menyembunyikan karena aku akan mengetahui dan siapa
menipu akan kuseret nyawanya ke Lautan Kidul!"
Tak seorangpun dari mereka berani membantah atau berani menyembunyikan sesuatu
dan keluarlah semua milik mereka dari sabuk dan saku mereka, ditumpuk di atas
tanah. Dari barng-barang itu, mudah diduga bahwa gerombolan itu adalah perampok
karena bermacam barang perhiasan wanita terdapat dalam tumpukan itu, selain uang
dan emas. Niken Sasi lalu membungkus semua harta itu dan memasukkannya ke dalam buntelan
pakaiannya. "Hemm, biarlah sekali ini kalian kuampuni. Akan tetapi mulai
sekarang kalian harus menghentikan pekerjaan jahat. Jangan lagi merampok dan
mengganggu orang. Awas, kalau kelak kulihat kalian masih berbuat jahat, aku
pasti akan mencabut nyawa kalian!"
Setelah berkata demikian, Niken Sasi menggunakan aji Tapak Srikatan dan sekali
meloncat ia telah berada di tempat jauh dan segera ia berlari cepat seperti
terbang. Duabelas orang itu memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.Akan
tetapi, Mamangmurko lalu bangkit brediri, mengepal tinju dan memaki-maki.
Bojleng-bojleng, jahanam busuk, kita telah tertipu! Bocah setan itu tentu saja
bukan senopati Kidul. Karena kerajaan Kidul terkenal kaya raya dan batu-batunya
saja emas, bagaimana mungkin ia merampas uang dan perhiasan kita" Kita telah
tertipu!" Ia menyumpah-nyumpah.
"Akan tetapi harus diakui bahwa ia sakti mandraguna, kakang Mamagmurko. Kita
tidak dapat menandinginya. Gerakannya seperti terbang saja."
"Dan pukulannya juga ampuh, masih terasa panas bekas tangannya!" kata yang lain.
Mamangmurko menjadi semakin jengkel. "Dasar kita yang sedang sial, bertemu
dengan gadis seperti itu. Habislah semua hasil pekerjaan kita selama berbulan-
bulan." "Akan tetapi kita dapat mencari lagi dan kita tidak perlu takut, karena gadis
itu pasti tidak akan mengetahuinya." kata yang lain.
"Awas saja dara itu! Kalau sekali lagi lewat di sini, aku akan mengerhkan banyak
kawan untuk menagkapnya ancam Mamangmurko dengan geram. Dan gagallah usaha Niken
Sasi untuk memaksa kawanan gerombolan itu untk mengubah jalan hidup mereka .
Mereka kembali menjadi perampok yang ganas.
Sementara itu, Niken Sasi melanjutkan perjalannya menuju selatan setelah
melewatkan malam di sebuah dusun kicil, pada keesokan harinya tibalah ia di
dusun Lodaya yang cukup banyak penghuninya.
Seperti dalam perjalanannya yang sudah dilaluinya, ketika memasuki dusun Lodaya
di siang hari itu, Niken Sasi menjadi perhatian banyak orang. Dandanannya memang
tidak banyak berbeda dari gadis-gadis dusun lainnya. Akan tetapi kulitnya yang
putih kuning, wajahnya yang cantik jelita, dan keberadaanya seorang diri,
menarik perhatian orang. Dara secantik jelita itu, yang dari kulitnya, wajahnya
dan gerak-geriknya jelas menunjukkan bahwa ia bukan seorang gadis dusun biasa,
berkeliaran seorang diri!
Niken Sasi merasa lapar dan ia mencari-cari kedai nasi di dusun itu. Akhirnya ia
menemukan beberapa buah warung di dekat pasar yang mulai sunyi dan ia memilih
warung terbesar dan memasukinya.Ada beberapa buah bangku panjang di dalam
warung, menghadapi meja panjang yang penuh makanan. Terdapat lima orang tamu di
kedai nasi itu dan mereka semua pria. Melihat masuknya seorang dara jelita, lima
orang pria yang berusia dari tigapuluh sampai empat puluh tahun itu menengok dan
mengikuti gerak-gerik Niken sambil menatap wajah cantik itu penuh kagum.
Penjaga warung itu seorang wanita berusia hampir empatpuluh tahun, masih
membekas kecantikan wajahnya dan pakaiannya bersih, wajahnya dibedaki dengan
rambut digulung rapi, sikapnya ramah dan agak genit. Melihat munculnya Niken ,
penjaga warung itupun memandang heran. Biasanya, kalau ada tamu wanita yang
memasuki warungnya, tentu tamu wanita itu datang bersama suaminya atau keluarga
lain. Belum pernah ada dara apalagi demikian ayunya, datang seorang diri.
Makanya ia menyambut dengan ramah dan pandang mata heran.
"Silakan duduk, adik manis. Apa yang dapat kubantu untukmu?"
Niken agak ragu melihat bangku-bangku itu sudah diduduki para tamu pria. Akan tetapi, lima orang tamu
itu serentak bangkit berdiri dan dengan suara saur manuk (
burung bersautan ) mereka merpersilakan Niken duduk.
"Mari, dududk di bangku ini, jeng......!" Mulut mereka menyeringai dan pandang
mata terpesona. Akan tetapi Niken Sasi melihat sebuah bangku panjang di sudut
yang masih kosong dan iapun memilih bangku itu untuk menjadi tempat duduknya.
"Terima kasih, mbakyu, saya ingin makan. Apakah mbakyu menjual nasi?"
"Oh,ada! Ada nasi gudangan, nasi tumpang, nasi pecel. Tinggal pilih dik.'' kata
wanita itu. "Pilih saja nasi gudangan, jeng. Ditanggung enak. Sayurnya dan kenikir, daun
bayam, daun pepaya, dicampur daun singkong, kacang panjang dan kecambah, sedap
dan gurih bukan main!" kata seorang laki-laki yang kumisnya panjang.
"Ah pilih saja nasi tumpang, jeng!" kata yang alin, yang tubuhnya kurus. "Semua
sayur itu disiram sambal tumpang tempe bosok,wah, lezat dan sedap bau jeruk
purut, dan selain membuat orang bernafsu besar untuk makan juga melegakan
perut!" "Dan jangan lupa goreng tempenya, jeng!" kata orang ketiga sehingga ramailah
keadaan di dalam warung itu.
"Kalau aku pilih nasi pecelnya. Sambelnya kental dan pedasnya cukup,
menggoyangkan lidah!" kata orang keempat.
Niken Sasi tersenyum ramah kepada empat orang itu, akan tetapi perhatiannya
tertuju kepada pria ke lima yang tadi tidak dilihatnya. Pria ini duduknya di
sudut menyendiri dan sejak tadi dia tidak ikut bicara, bahkan menengokpun tidak
kepadanya! Juga pria ini masih muda sekali, paling banyak duapuluh tahun
usianya,masih seperti bocah yang mentah! Agaknya malu-malu untuk memandang
seorang gadis. Entah mengapa,melihat ada seorang pria yang acuh saja kepadanya,


Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melirikpun tidak hati Niken terasa panas seolah pria itu memandang rendah
padanya! "Beri aku nasi pecelnya sepincuk mbakyu, minumnya the panas manis secangkir."
katanya kepada penjaga warung itu dan melihat betapa empat orang laki-laki itu
tersenyum-senyum kepadanya,iapun membalas dengan senyuman manis. Akan tetapi
kembali senyumnya menghilang ketika ia melihat pemuda itu masih membuang muka
dan mengacuhkannya. Tentu saja ia tidak ingin diperhatikan laki-laki, akan
tetapi diacuhkan seperti itu sungguh membuat perutnya terasa panas. Justeru
kalau ada laki-laki yang memperhatikannya, Niken akan acuh saja.Maka kini
melihat ada seorang pemuda sama sekali tidak memperdulikan kehadirannya, hal ini
amat menarik hati Niken dan ia bahkan yang memperhatikan pemuda itu melalui
kerling matanya. Dia seorang pemuda tampan. Pakaiannya seperti pemuda dusun biasa, akan tetapi
keadaan pakaiannya itu sama sekali tidak mampu menyembunyikan keadaan dirinya
yang amat berbeda dibandingkan pemuda dusun biasa. Dia memiliki kepribadian yang
lain dan luar biasa. Sikapnya acuh dan pendiam, sinar matanya berbeda jauh dari
sinar pemuda biasa yang nampak bodoh dan ingin tahu.
Sinar matanya lembut dan dalam, seolah penuh pengertian, dan kadang ada kilatan
aneh mencorong dari manik matanya. Dan pemuda ini mempunyai kepribadian yangamat
menarik hati Niken Sasi. Anggun dan berwibawa.
Agaknya pemuda itupun baru sajamasuk karena di atas meja di depannya hanya
nampak secangkir minuman teh panas.Dan memang benar demikian karena setelah
melayani pesanan nasi pecel kepada Niken, sepincuk nasi pecel yang kelihatannya
enak, wanita tukang warung itu lalu bertanya kepada pemuda itu.
"Bagaimana, den bagus, apakah andika sudah menentukan pilihan?" Andika ingin
makan nasi apa?" Dari sebutan den bagus itu, Niken Sasi dapat menduga bahwa
pamuda itu tentulah bukan penduduk Lodaya, dan karena dia oemuda asing dan
penampilannya memang mengesankan sebagai seorang yang luar biasa, maka wanita
penjaga warung itu menyapanya dengan sebutan den bagus, sebutan yang biasanya
ditujukan kepada pemuda putera bangsawan atau setidaknya kepala dusun.
Aku juga minta nasi pecel sepincuk, mbakyu." kata pemuda itu setelah mengerling
ke arah pincuk yang dipegang Niken Sasi. Niken Sasi tidak peduli,setelah mencuci
tangannya dengan air kendi, iapun mulai makan nasi pecelnya. Dan ternyata memang
benar. Nasi pecel itu enak sekali.Nasinya hangat dan pulen, pecelnya juga terasa
sedap dan lezat. Pemuda itu minta tambah sepincuk lagi, akan tetapi Niken Sasi merasa cukup.
Setelah makan dan minum, Niken Sasi membayar harga makanan dan minuman, lalu
meninggalkan warung. ia melihat pemuda itu masih makan, sama sekali tidak
menengok kepadanya! "Huh, pemuda tinggi hati, angkuh dan sombong. Kau kira dirimu itu siapa!" Niken
Sasi memaki dalam hatinya dengan hati panas. Biarpun Niken Sasi bukan seorang
dara yang haus pujian pria, akan tetapi karena baru sekali ini ia melihat
seorang pria yang begitu acuh dan memandang rendah kepadanya, hatinya menjadi
panas juga. Beberapa kali ia memandang ke arah pemuda itu sebelum meninggalkan warung
itu,akan tetapi pemuda itu tetap saja tidak melirik ke arahnya.
Setelah keluar dari warung nasi itu. Niken dengan santai lalu berjalan jalan di
dusun itu.Sebuah dusun yang cukup besar dan karena ia sudah semakin mendekati
daerah Laut Kidul,maka ia mulai memperhatikan tempat itu untuk memperhatikan
tempat itu untuk melakukan penyelidikan tentang pusaka Tilam Upih yang hilang.
Ia mulai mencari tempat untuk bermalam karena ia ingin tinggal di Lodaya selama
beberapa hari. Melihat sebuah rumah sederhana berdiri agak menyendiri di sudut dusun itu,Niken
Sasi tertarik dan menghampiri. Rumah itu mempunyai perkarangan yang luas dan
dipekarangan itu tumbuh empat batang pohon nyiur yang sudah sarat dengan buah
kelapa. Melihat buah kelapa muda yang hijau, Niken menelan ludah, membayangkan
kesegaran air dawegan hijau yang tentu akan nikmat sekali diminum di waktu hari
sepanas itu. Akan tetapi sampai lama ia menanti, tidak juga ada orang yang membuka pintu
rumah dan keluar dari dalam rumah itu. Ia menjadi tidak sabar setelah menanti
lama, lalu dihampirinya dan diketuknya daun pintu itu.
"Tok-tok-tok........kulonuwon.......!"
Setelah bebrapa kali mengetuk pintu dan mengucapkan salam tanpa ada jawaban,
Niken menduga bahwa rumah itu agaknya kosong. Dan keinginannya minum dawegan
[kelapa muda] hijau sudah begitu mendesak dan membuat kerongkongannya terasa
haus sekali. Ia kembali ke pekarangan dan setelah beberapa lamanya berdongak memandangi buah
kelapa muda itu, memilih-milih, ia lalu mengambil sebuah batu sebesar kepalan
tangan dan sekali membuat gerakan dengan tangannya, batu itu menyambar ke atas
dengan kecepatan yang tidak dapat diikuti oleh pandangan mata.
"Wuuuutt........takk!" batu itu jatuh lagi bersama sebutir buah kelapa yang
dibidik oleh Niken. Batu itu ternyatatepat mengenai gagang kelapa muda itu tanpa
mengganggu butiran kelapa yang lain.
Dengan gembira Niken mengambil dawegan hijau itu. Akan tetapi pada saat itu
terdengar seruan seorang wanita, Siapa berani mencuri dawegan kami?"
Tentu saja Niken terkejut bukan main sehingga hampir saja kelapa muda itu
terlepas dari tangannya. Ia menengok ke belakang dan sama terkejutnya dengan
wanita itu, yang kini memandangnya dengan mata terbelalak.
"Nimas ayu Niken......!"
"Jinten, andika Jinten......" Bagaimana dapat berada di sini, Jinten?" kata
Niken yang mengenal pelayan yang biasa membantunya melayani gurunya itu.
Mereka saling berpegang tangan. "Nah, panjang ceritanya, Nimas Ayu. Mari masuk
ke dalam rumah dan kita bicara. Ini adalah rumah saya, di mana saya hidup
bersama seorang paman saya."
Baiklah, dan.....eh, dawegan ini, maafkan....." Tentu saja Niken merasa canggung
dan malu. "Bawa saja ke dalam, Nimas Ayu. Andika ingin minum dawegan" Nanti kukupaskan,
memang segar sekali minum air dawegan di siang hari begini.Dan dawegan hijau
kami manis sekali." Dengan ramah Jinten mengajak Niken memasuki rumahnhya, sebuah rumah sederhana.
Mereka lalu duduk di sebuah balai-balai dan Jinten mengupas dawegan itu.
Benar saja, air dawegan itu manis dan segar, juga daging dawegannya lezat
sekali. "Nah, ceritakan bagaimana tiba-tiba aku dapat bertemu denganmu di sini, Jinten"
Kapan engkau meninggalkan Gagak Seto, dan kenapa engkau pergi dari sana?"
"Nimas ayu, setelah andika pergi, saya merasa kesepian sekali dan menjadi tidak
kerasan lagi. Kebetulan paman saya datang berkunjung menengokku, maka saya lalu
mengambil keputusan untuk pulang ke dusun, ikut paman saya. Sehari setelah
andika pergi, saya pergi dari sana dan saya langsung menuju dusunLodaya ini."
"Ah, pantas saja engkau dapat datang lebih dulu di sini dari pada aku. Aku
mengambil jalan berkeliling dan sering berhenti di suatu tempat."
"Nimas ayu, andika hendak pergi ke manakah?"
"Aku hendak pergi ke pantai Lutan Kidul , Jinten."
"Wah, masih jauh sekali, nimas. Dan matahari sudah condong ke barat. Panasnya
seperti membakar. Karena kita kebetulan bertemu di sini, saya harap andika suka
melewatkan malam di sini dan baru besok pagi-pagi melanjutkan perjalanan."
"Hem, aku hanya akan merepotkanmu saja ,jinten."
Ah, tidak, nimas ayu! Kita telah tinggal serumah selam bertahun-tahundan
sekarang tidak mungkin saya melepas andika begitu saja. Tinggallah di sini
semalam, Nimas ayu dan nanti saya perkenankan kepada pamanku, Paman Kartiko."
Karena iapun tidak tergesa-gesa, akhirnya Niken merasa tidak enak untuk menolak
dan iapuntinggal di rumah Jinten itu. Tak lama kemudian, seorang laki-laki
berusia empatpuluh tahunan yang berpakaian seperti petani datang dan Jinten
cepat memperkenalkan laki-laki itu kepada Niken sebagai pamannya. Kartiko, paman
Jinten itu, bersikap hormat kepada Niken dan tak lama hadir di situ, cepat
keluar lagi sehingga Niken merasa enak dan betah karena di rumah itu hanya ada
ia dan Jinten. Bahkan ketika Jinten masak-masak, menyembelih ayam kemudian menghidangkan makan
malam di ruangan tengah, sang paman tidak juga kelihatan. Untuk basa-basi Niken
menanyakan kepada Jinten.
"Ke mana pamanmu, Jinten" Kenapa tidak diminta makan malam bersama?"
"Ah, pamanku adalah seorang dusun yang sederhana dan pemalu, nimas ayu! Silakan
makan dulu, biar paman Kartiko tidak mungkin akan mau makan bersama andika.Mari,
silakan." dengan ramah dan akrab Jinten melayani Niken makan.
Jinten, engkau sekarang bukanlah pelayanku lagi. Engkau bahkan kini menjadi
nonna rumah dan aku tamunya, karena itu janganlah melayani aku seperti seorang
pelayan. Mari kita sama-sama makan. Aku terpaksa menolak kalau engkau tidak mau
menemaniku makan bersama."
Jinten menarik napas panjang. "Ahh, nimas ayu. Sebetulnya ingin sekali saya
melayani andika makan,akan tetapi kalu andika memaksa, abiklah saya temani
andika makan." Jinten lalu mengambil nasi dan lauk pauk untuk dirinya sendiri
dan setelah melihat Jinten makan, baru legalah hati Niken Sasi. Tentu saja ia
percaya kepada Jinten yang sudah bertahun-tahun hidup dengannya di Gagak Seto.
Akan tetapi sekarang mereka bukan berada di perkumpulan itu lagi dan Jinten buak
apa-apa. Oleh karena itu, biar tidak menaruh curiga,ia harus waspada.
Jinten memang pandai memasak. Hidangan yang disugukan itu lezat dan biarpun
Jinten belum merasa lapar benar, Iapun makan agak banyak. Akan tetapi, tiba-tiba
ia merasa kepalanya pening, pandang matanya berputar, seluruh ruangan di
depannya seperti bergoyang-goyang. Biarpun ia belum pernah keracunan, akan
tetapi pernah ia mendengar dari gurunya tentang makanan yang mengandung racun,
yang membuat orang terbius dan tak sadarkan diri. Ia terkejut. Apakah Jinten
sengaja memberinya makanan beracun" Ia cepat menoleh kepada Jinten, akan tetapi
alangkah kagetnya ketika ia melihat gadis pelayan itu sudah terkulai di atas
tikar, agaknya tertidur atau pingsan!
"Celaka........!" Ia cepat bangkit dan meloncat, akan tetapi kepalanya terasa
berat sekali dan semakin pusing sehingga ia tetpelanting roboh di atas lantai.
Pada saat itu terdengar suara tawa yang lantang dan menyeramkan dan muncul
belasan orang laki-laki dalam ruangan itu. Niken Sasi terkejut sekali, juga
marah. Tahulah ia bahwa ia telah masuk perangkap. Entah bagimana makanan itu
mengandung racun, akan tetapi pasti bukan jinten yang melakukannya karena wanita
itupun terkulai pingsan keracunan. Ia mencoba untuk mengerahkan tenaganya dan
bersiap siaga untuk melakukan perlawanan akan tetapi kepeningan kepalanya tidak
dapat ditahan lagi dan iapun terpelanting dan terkulai tak sadarkan diri.
"Cepat, ikat kaki tangannya!" terdengar seorang di antara mereka berseru dan nak
buahnya lalu mengikat kaki tangan Niken Sasi. Sementara itu Jinten sudah
bergerak dan ternyata ia tidak pingsan seperti yang diduga Niken Sasi. Kemudian,
limabelas orang laki-laki itu memanggul tubuh Niken Sasi,di bawa pergi
meninggalkan dusun Lodaya tanpa ada orang lain mengetahui karena memang rumah
itu berdiri terpencil di sudut dusun.
Seperti kita ketahui, Jinten telah menjadi tangan kanan Klabangkoro. Ia pula
yang memata-matai Ki Sudibyo ketika bercakap-cakap dengan Niken Sasi dan membuka
rahasia Ki Sudibyo yang hendak mengangkat Niken Sasi menjadi ketua dan mengutus
murid itu mencari pusaka Tilam Upih. Setelah Klabangkoro dan Mayangmurko
menyusun siasat bersama Ki Brotokeling ketua Jambuka Sakti, Jinten lalu
mendapatkan tugas penting, yaitu menghadang perjalanan Niken Sasi. Hal ini mudah
dilakukan karena memang sejak berangkat dari Anjasmoro, perjalanan dara itu
selalu dibayangi oleh orang-orang yang menjadi anak buah Klabangkoro dan juga
Brotokeling. Siasat pertama, yaitu menonjolkan Gajahpuro agar dapat mendekati
dan menemani Niken Sasi dengan membantu gadis itu dari pengeroyokan segerombolan
orang, ternyata telah gagal. Niken Sasi tidak mau ditemani pemuda itu sehingga
sukar diharapkan Niken akan jatuh hati kepada Gajahpuro. Apalagi pemuda putera
Klabangkoro ini memiliki watak yang berbeda dengan ayahnya. Pemuda itu pasti
akan menolak kalau mengtahui akan siasat yang diatur ayahnya untuk menjebak
Niken Sasi. Dia memang mencintai Niken,akan tetapi cintanya tulus, bukan cinta
nafsu yang menghalalkan segala cara untuk memperoleh orang yang dicintanya.
Setelah siasat pertama gagal kini Klabangkoro melakukan siasat kedua, yait
menagkap Niken Sasi. Hal ini dilakukan hati-hati dan dengan jebakan. Jinten
disuruh maju untuk menjebak Niken Sasi karena mereka sudah tahu bahwa Niken Sasi
benar-benar telah menjadi seorang dara yang sakti mandraguna. Dengan menggunakan
racun pembius yang amat kuat, akhirnya Niken Sasi dapat dibuat tak sadarkan diri
dan tidak berdaya. Setelah berhasil menjalankan perannya menjebak Niken Sasi yang sudah berhasil
dibawa oleh gerombolan Jambuka Sakti seperti direncanakan, Jinten lalu berkata
kepada Kartiko yang sebenarnya adalah seorang pembantu, bukan pamannya.
"Paman Kartiko, engkau jagalah di sini. Aku akan pergi melapor kepada kakang
Klabangkoro!" Gadis yang sudah diangkat menjadi selir oleh Klabangkoro itu lalu
pergi meninggalkan rumah yang terpencil itu. Klabangkoro dan anak buahnya juga
berada di dusun Lodaya untuk mengatur siasat. Mereka bertempat tinggal di sebuah
rumah besar yang mereka sewa untuk keparluan itu.
Ketika mendengar laporan Jinten bahwa Niken Sasi tekah dapt ditangkap,
Klabangkoro menjadi gembira bukan main. Dia merangkul Jinten dan menciuminya
Kekasih Sang Pendekar 1 Pendekar Pemabuk Karya Kho Ping Hoo Rahasia Istana Kuno 1
^