Asmara Dibalik Dendam 2
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
kurang dari sepuluh orang sudah roboh terkena tikaman kerisnya, hantaman tangan
kirinya atau tendangan kakinya. Akan tetapi, betapapun kuatnya, dia hanya
seorang diri. Bagaimana mungkin dapat melawan puluhan orang lawan yang
kesemuanya jelas merupakan orang yang sudah biasa berkelahi" Raden Mas Ramsang
yang telah mendapat beberapa luka di tubuhnya, meneriaki isterinya agar membawa
lari Niken Sasi. "Dajeng, larilah! Bawa anak kita berlari.........!" Dia berteriak, akan tetapi
terpelanting ketika sebatang golok menyerempet pundak kirinya.
"Kakangmas.........!" Dewi Muntari menjerit melihat suaminya roboh. Ia mendorong
punggung puterinya. "Niken larilah! Cepat!!"
Didorong sampai terhuyung oleh ibunya dan mendengar ibunya berteriak agar ia
melarikan diri, Niken Sasi yang biasanya taat kepada ibunya itu, kini
menanatinya dan larinya anak inipun menantinya, dan larilah anak ini tunggang
langgang. Sang ibu, bagaikan seekor singa betina, menerjang ke depan dengan sebatang keris
kecil. Dengan kerisnya itu ia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Akan
tetapi tusukan kerisnya yang kedua itu terselip di antara tualang iga lawan dan
sukar dicabutnya kembali, dan pada saat itu , sebuah tangan yang besar menangkap
pergelangan tangannya, memutar pergelangan tangan itu sehingga ia terpaksa
melepaskan kerisnya. Pada saat itu, tubuhnya sudah ditelikung dan dipondong
seorang pria tinggi besar yang tertawa bergelak sambil memerintahkan anak
buahnya untuk membunuh Raden Mas Ramsang.
Biarpun luka-luka di tubuhnya sudah membuat dia mandi darah tenaganya hampir
habis, akan tetapi melihat isterinya dipondong seorang penjahat, Raden Mas
Ramsang mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan diapun melompat maju
untuk menyerang Si tinggi besar yang memondong isterinya. Akan tetapi dia
disambut oleh lima orang yang menggerakkan golok mereka. Kerisnya dapat
merobohkan seorang lawan, akan tetapi dia sendiri roboh dengan dada dan leher
robek-robek! "Kakangmas..............!!" Dewi Muntari terkulai lemas dalam pondongan
penawannya, pingsan karena duka dan ngeri melihat kematian suaminya.
Gerombolan itu meninggalkan tempat itu sambil membawa teman-teman mereka yang
terluka atau tewas, dan meninggalkan mayat Raden Mas Ramsang menggeletak di
tempat yang kembali menjadi sunyi.
Yang memondong tubuh Dewi Muntari adalah pimpinan rombongan, seorang raksasa
ber- muka penuh bopeng yang tubuhnya kuat sekali. Mereka menuju ke balik bukit
dan Dewi Muntari mulai siuman dari pingsannya. Ia menggeliat dan ketiak
mendapatkan dirinya dalam pondongan lengan yang besar itu, ia terkejut dan
segera teringat akan segala yang telah terjadi. Cepat ia mengepal tangannya dan
menghantam ke arah leher orang yang memondongnya.
"Wuuuttt.......plakk.......!!" Pukulan itu cukup kuat dan si raksasa bopeng
terkejut bukan main,lehernya terasa nyeri dan terpaksa ia melepaskan wanita itu.
Dewi Muntari sudah meloncat ke atas tanah dan biarpun ia sudah tidak memegang
senjata, ia bertekat melakukan perlawanan sampai mati. Ia berdiri tegak. Kedua
tangan terkepal dan siap melakukan bela diri.
"Ha-ha-ha.Kakang Blendu, engkau kena sepak kuda betina itu". Ha-ha-ha!" Yang
menertawakan itu adalah seorang pria jangkung bermuka pucat, yang merupakan
pembantu atau wakil dari Ki Blendu, pimpinan gerombolan itu.
"Hushh, jangan mengejek kau!" Bentak Ki Blendu dengan suara geram dan dia
mengusap-usap leher yang terpukul tadi. Kulitnya kebal dan tebal seperti kulit
badak, dan biarpun pukulan yang dilakukan Dewi Muntari tadi mengandung kekuatan
dan hawa sakti, namun hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit, sama sekali tidak
melukainya. Setelah mengusap lehernya, Ki Blendu melangkah maju menghadapi Dewi Muntari dan
dia tertawa. Tawanya sampai mengakak menyeramkan dan Dewi Muntari bergidik.
Orang ini seperti bukan manusia, pikirnya. Mukanya penuh bopeng yang besar-
besar, seperti kulit salak, dan matanya begitu besar seperti mendelik terus,
hidung dan mulutnya juga besar. Otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh pria ini
yang usiany tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
Hua-ha-ha-ha, bojleng-bojleng iblis laknat! Setiap mawar yang harum tentu
mengandung duri ! Akan tetapi tamparanmu tadi bagiku seperti dipijat, wong ayu !
Terasa hangat,nyaman dan enak! Mari mari manis, mari kupondong lagi. Tak lama
lagi kita kan sampai di tempat tinggalku dan engkau akan menjadi isteriku yang
tersayang, terkasih, ha-ha-ha-ha!"
"Keparat jahanam! Engkau kejam, engkau tidak berprikemanusiaan. Kalian
mengeroyok dan membunuh suamiku Raden Mas Rangsang dan engkau hendak menagkap
aku! Padahal di antara kita belum pernah saling mengenal atau ada urusan kenapa
engkau bertindak begini kejam kepada kami"
Ha-ha-ha, jangan salah mengerti, wong ayu. Aku, Ki Blendu, sama sekali tidak
kejam, bah- kan amat menyayang wanita cantik jelita seperti andinda. Kami hanya
menjadi orang-orang suruhan manis. Bukan kami yang bermaksud memusuhi
keluargamu. Semua ini adalah untuk memnuhi keinginan Gusti Pangeran Panjiluwih.
Ha-ha-ha-ha !" Ki Blendu merasa aman membuka rahasianya itu karena Raden Mas
Rangsang kini telah terbunuh dan isterinya kini sudah berada di tangannya.
Wajah Dewi Muntari menjadi pucat sekali dan kedua matanya terbelalak, tangan
kirinya diangkat ke depan mulutnya yang ternganga saking terkejut dan herannya
mendengar pengakuan raksasa itu. Pangeran Panjiluwih" Akan tetapi, pangeran itu
adalah kakak sendiri lain ibunya. Kakak tirinya. Pangeran Panjiluwih juga
seorang putera Sang Prabu Jayabaya yang lahir dari seorang selir yang bersal
dari Blambangan. Akan tetapi kenapa" Selama ini hubungan di antara mereka baik
dan biasa-biasa saja, bahkan keluarga Pangeran Panjiluwih juga agaknya memnadang
rendah kepadanya sehingga diantara mereka taidak ada hubungan dekat. Dengan
sendirinya tidak ada permusuhan di antara mereka. Mengapa kini pangeran itu
menyuruh gerombolan untuk membunuh keluarganya" Terbayang di mata Dewi Muntari
suaminya yang roboh mandi darah dan tewas, juga wajah puterinya yang melarikan
diri entah ke mana. "Jangan bohong kau!" ia membentak karena masih juga belum dapat percaya.
"Ha-ha-ha-ha, wanita cantik itu memang biasanya bodoh!" Ki Blendu tertawa lagi.
"Percaya atau tidak terserah wong ayu. Yang penting, kami sudah melaksanakan
tugas dan menerima upahnya. Nah, sekarang ke sinilah, akan kupondong engkau agar
kedua kakimu yang indah itu tidak menjadi kelelahan manis."
Ki Blendu menubruk ke depan untuk merangkul Dewi Muntari. Akan tetapi sang
puteri mengelak dan tangannya menampar ke arah muka raksasa itu.
"Ha-ha-ha!" Ki Blendu menangkis dan langsung menangkap lengan itu. Dewi Muntari
hanya belajar ilmu kanuragan dari suaminya setelah ia menikah maka tentu saja
ilmunya tidak dapat dibandingkan dengan tenaga Ki Blendu yang besar. Ia sudah
diringkus lagi dan meronta-ronta dalam pondongan dua lengan besar itu,
ditertawakan oleh Ki Blendu dan anak buahnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan menyeramkan. Suara tawa itu pendek-
pendek, bukan seperti suara tawa melainkan seperti suara leher tercekik.
"Kek-kek-kek-kekkk! Kerbau gendut tolol, Lepaskan ia!" Ki Blendu tiba-tiba
merasa kedu lengannya seperti lumpuh sehingga di terpaksa melepaskan
pondongannya dan Dewi Muntari cepat melompat ke dekat seorang kakek yang tiba-
tiba saja muncul dan berada di situ. Melihat kakek ini, Dewi Muntari merasa
ngeri juga. Muka kakek itu seperti muka tengkorak dibungkus kulit saja, demikian
kurus. Apalagi sepasang matanya yang cekung ke dalam itu mengeluarkan sinar
berapi-api. Usianya tentu sudah tua sekali, sedikitnya sembilan puluh tahun ,
pakaiannya juga hanya kain dilibat-libatkan tubuhnya yang kurus kering. Kain itu
sudah kuamal dan kotor sehingga keadaan kakek ini menjijikkan, seperti seorang
gembel tua berpenyakitan.
Akan tetapi,tentu saja ia memilih dekat dengan kakek ini daripada dengan Ki
Blendu dan anak buahnya, maka iapun lalu berdiri di belakang kakek itu untuk
berlindung. "Kek-kek-kekkk.........laki-laki macam kalian ini tidak berharga untuk mendekati
seorang dewi kahyangan, kek-kek-kekkk!" kakek itu menudingkan telunjuknya yang
tinggal tulang terbungkus kulit dan kini Dewi Muntari melihat persamaan antara
kakek ini dengan seorang tokoh pewayangan, yaitu seorang tokoh yang amat sakti,
cerdik licik dan curang, yaitu bernama Begawan atau Danyang Durna! Tubuh yang
kurus bongkok itu, muka yang seperti tengkorak, sungguh amat menyeramkan, akan
tetapi karena kakek itu agaknya hendak melindunginya, maka Dewi Muntari
memberanikan diri mendekat.
"Babo-babo, kakek tuwek elek!" Bentak Ki Blendu marah sekali. "Siapa andika tua
bangka mau mampus berani mencampuri urusanku dengan isteriku sendiri! Dia
isteriku, jangan mencampuri urusan rumah tangga orang!"
"Tidak, eyang..........saya bukan isterinya. Dia penjahat besar, dia bahkan
telah membunuh suamiku!" kata Dewi Muntari.
"Kek-kek-kekk......!. Tentu saja kerbau gendut ini berbohong. Ah, nini dewi,
siapakah namamu " "Nama saya Dewi Muntari, eyang. Harap suka menyelamatkan saya dari tangan para
penjahat keji ini." "Kek-kek-kekk.........benar dugaanku. Engkau seorang dewi. Heh, kerbau-kerbau
busuk, hari ini kalian bertemu. Kolokrendo, sama saja dengan bertemu Yamadipati,
kalian akan mampus semua, kek-kek-kekkk!"
Ki Blendu menjadi marah sekali. Dia menggerakkan tangannya, memberi isyarat
kepada anak buahnya untuk menyerbu. "Bunuh kakek tua bangka gila ini, biarkan
aku menangkap kembali calon isteriku!"
Puluhan orang itu berbesar hati. Kalau cuma membunuh seorang tua bangka
kerempeng seperti itu mudah saja. Sekali bacokpun beres. Tiga orang yang berada
paling depan sudah mengayun golok mereka ke arah tubuh kakek itu. Kakek itu
agaknya sama sekali tidak mengelak dan Dewi Muntari sudah merasa ngeri . Tulang-
tulang kakek itu tentu akan berantakan diserang tiga batang golok yang bergerak
cepat dan amat kuat itu. "Krak-krak-kark......!" Tiga batang golok itu bertemu tulang tangan terbungkus
kulit dan patah-patah! Dan tiga orang itu terbelalak, lalu memekik mengerikan
ketika jari-jari tangan yang panjang melengkung itu berturut-turut menancap di
batok kepala mereka dan mereka pun terjengkang roboh dengan kepala berlubang-
lubang, mengucurkan darah bercampur otak!
Dewi Muntari sampai hampir muntah meliahat ini, akan tetapi para penjahat itu
menjadi marah sekali. Merekapun seperti sekumpulan semuat maju mengeroyok dengan
golok mereka. Bahkan Ki Blendu juga merasa penasaran, lalu sekali meloncat dia
sudah berda di belakang kakek yang mengaku bernama Kolokrendo itu. Goloknya
menyambar ke arah kepala kakek itu.
"Wuuuuuttt......plakkk!" Kepala itu tepat dihantam golok dalam tangan Ki Blendu,
akan tetapi bukan kepala itu yang pecah, melainkan Ki Blendu yang terhuyung ke
belakang. Dia merasa seperti sedang membacok baja yang amat kuat. Dan selagi dia
terhuyung, kakek itu membalikkan tubuhnya, tangan kirinya mencuat ke depan dan
terdengar Ki Blendu menjerit mengerikan. Tangan kiri kakek itu ternyata sudah
mencengkeram dada Ki Blendu dan jari-jari tangan yang kurus itu telah menencap
dan masuk ke dalam dada yang bidang itu! Tangan itu mencengkeram ke dalam dan
ketika ditarik keluar ......jari-jari tangan yang berlepotan darah itu telah
menggenggam sepotong jantung yang masih menggelempar hidup !
"Keke-kek-kekkk........jamu obat kuat, obat muda, kek-kek-kekk!" Kemudian Dewi
Muntari menyaksikan penglihatan yang sedemikian mengerikan sehingga ia menutupi
muka dengan kedua tangannya. Kakek kurus itu ternyata makan jantung yang segar
itu dengan lahapnya, dan kaki tangannya terus bergerak ke sana sini dan
terdengar pekik-pekik keskitan dari mereka yang nyawanya direnggut maut. Setiap
tendangan atau setiap tamparan itu mematikan. Dalam waktu singkat saja duapuluh
orang lebih telah tewas! Tentu saj kini yang lain menjadi ngeri dan ketakutan.
Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi kini kakek itu seperti dapat terbang
ke sana sini, menyambar-nyambar dan sisa gerombolan itu roboh malang melintang
dengan kepala pecah! Akhirnya, tidak seorangpun di antara mereka dapat lolos
dari maut di tangan Kolokrendo! Bahkan mereka yang tadinya terluka oleh
pengamukan Raden Mas Rangsang dan sedang dibawa oleh kawan-kawan mereka kini
tidak terbebas dari pada maut yang lebih mengerikan lagi.
"Keke-kek-kek-kekkkk, .......!" Kakek itu tertawa-tawa aneh dan menggunakan
pakaian para korbannya untuk mengusap mulut dan kedua tangannya. Kemudian baru
dia menghampiri Dewi Muntari. Wanita ini memang tadinya girang mendapat
pertolongan kakek itu, akan tetapi ketika menyaksikian sepak terjang kakek itu,
ia merasa ngeri dan ketakutan. Ia berhadapan dengan makhluk yang tidak seperti
manusia lagi. Seorang iblis haus darah! Maka, ketiak Kolorendo maju
menghampirinya, Dewi Muntari mundur-mundur dengan ketakutan.
"Kek-kek-kekkkk, mereka semua telah mampus, Dewi."
Dewi Muntari merangkap kedua tangan memberi hormat. "Terima kasih atas
pertolongan eyang. Sekarang saya harus pergi dari sini!" Bergegas diankatnya
ujung kainnya agar ia dapat berjalan lebih cepat meninggalkan tempat itu, tanpa
menoleh lagi. Hatinya sudah merasa tenang karena tidak terdengar suara apapun.
Kakek ituagaknya mengejarnya. Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan,
tiba-tiba saja ia terperanjat melihat kakek itu suadh berada di depan sana,
berdiri membungkuk sambil mengeluarkan bunyi tawa seperti leher tercekik.
Dengan jantung berdebar tidak karuan, badan panas dingin Dewi Muntari memutar
tubuhnya dan berlari pergi kelain jurusan. Ia mengerahkan tenaga berlari secepat
mungkin dan kini ia hampir yakin bahwa kakek itu tidak mengejarnya. Hampir putus
napasnya dipakai berlari cepat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kedua kakinya
tertahan dan ia tidak mampu bergerak saking takutnya. Terdengar suara itu. "Kek-
kek-kek-kekkk.......!"akan tetapi orangnya tidak nampak. Selagi memandanf ke
kanan kiri, tiba-tiba terdengar suara dari atas.
"Dewiku, engkau tidak akan dapat pergi begitu saja. Engkau harus ikut denganku!"
Muntari memandang ke atas dan ternyata kakek itu sudah duduk ongkang-ongkang di
atas sebatang dahan pohon.
"Eyang...... ahh, biarkan saya pergi, eyang. Saya memohon..... biarkan saya
pergi ......" katanya dengan suara lirih saking takutnya.
"Kek-kek-kekkk........! Enak saja.Andika harus menemani aku, mengusir kesepian
hidupku, kek-kek-kekkkk!"
Kini tubuh kakek itu melayang turun dari atas dahan pohon. Dewi Muntari hendak
lari, akan tetapi begitu tangan kakek itu menyambar dan menyentuh pundaknya,ia
tidak lagi dapat bergerak dan berdiri saja seolah tubuhnya sudah berubah menjadi
patung! "Kek-kek-kekkk......., andika cantik, Dewiku!" Jari-jari yang kurus dan keras
itu membelai dagu dan Dewi Muntari masih dapat merasa betapa jari-jari tangan
itu dingin seperti batang pohon pisang. Mengerikan sekali! Dan lebih mengerikan
lagi, ketika ia berusaha untuk menghindarkan diri dari tangan itu, ia tidak
mampu menggerakkan kepalanya! Seolah ada daya yang amat kuat yang membuat
kepalanya menempel pada jari-jari tangan itu.
Pada saat tangan yang berjari kurus kering itu hendak merayap lebih lanjut,
tiba-tiba terdengar suara yang lebih menyeramkan lagi. Kalau suara tawa kakek
itu seperti leher dicekik, suara tawa ini mengiki seperti suara siluman dari
balik kubur. "Hih-hih-hih-hih!"
Aneh sekali, kakek tengkorak hidup yang sakti mandraguna itu, begitu mendengar
suara tawa ini, kelihatan terkejut sekali dan dijauhkannya tangannya dari tubuh
Dewi Muntari, bahkan dia melangkah mundur. Matanya memandang ke arah satu
tempat. Dewi Muntari memutar tubuhnya memandang dan iapun terkejut bukan main, merasa
seolah ia tidak berada di dunia tempat tinggal manusia, melainkan di ambang
neraka tempat tinggal jin setan iblis. Di depannya berdiri seorang nenek yang
walaupun tidak lebih buruk dari pada Ki Kolokrendo, namun tidak kalah aneh dan
mengerikan. Usia nenek itu sekitar delapan puluh tahun, tubuhnya pendk gendut.
Wajahnya biasa-biasa saja, akan tetapi yang aneh dan menjadi mengerikan adalah
betapa wajah ini tertutup bedak putih yang tebal, ditempat alis yang sudah tidak
berbulu itu dicoreti penghitam alis yang panjang melengkung,dan pada pipi dan
bibirnya diberi pemerah bibir yang menyolok sekali. Pakaiannya hanya merupakan
kain yang dilibat-libatkan tubuh, akan tetapi kain itu terbuat dari pada sutera
halus dan mahal! Dan gerak geriknya! Minta ampun! Lebih genit daripada seorang
dara remaja! Akan tetapi saat itu agaknya nenek ini sedang marah sekali. Mulutnya
menyeringai, tersenyum tidak cemberut pun tidak, hanya menyeringai seperti
memamerkan giginya yang masih lengkap sehingga nampaknya semakin aneh.Mukanya
yang ditutupi bedak putih seperti topeng itu tidak menuenjukkan perasaan apapun,
akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang ditujukan kepada
kakek itu, tanda bahwa ia sedang marah.
"Keprat busuk kau Kolokrendo! Batas terakhir kau langgar, berarti engkau harus
siap menerima kematianmu sebagai hukuman!"
Aneh sekali. Kakek yang demikian sakti mandraguna, yang membunuhi puluhan orang
muda perkasa dengan amat mudahnya, kini menjadi pucat dan tubuhnya menggigil
menghadapi wanita pendek gembrot itu.Dan demikian besar rasa takutnya sehingga
diapun menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! Dan tangisnya juga bersuara
seperti leher dicekik, "Kek-kek-kek-kekkk......! Ampunkan aku sekali ini, Ni
Durgogini. Ampunkan aku.....aku belum ingin mati........."
"Hih-hi-hi-hik! Beberapa kali sudah engkau minta ampun seperti ini" Lupakah
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau yang terakhir kali ketika engkau menagkap dua orang gadis dusun itu" Aku
masih mengampunimu dan mengatakan itu yang terakhir kalinya dan kalau engkau
melanggar aku akan membunuhmu! Dan apa yang kau lakukan sekarang" Tetap saja
engkau menyakitkan hatiku, tergila-gila seorang wanita muda yang cantik. Akan
tetapi mengingat bahwa sudah banyak berjasa di waktu dahulu, aku memberi
kesempatan kepadamu. Kalau engkau mampu menahan seranganku selama lima puluh
jurus, engkau boleh bebas dan boleh pergi dari sini!"
Ahh, Ni Durgogini. Mana berani aku melawanmu" Ampunkan aku, aku sudah bertaubat,
sungguh mati......."
"Sumpahmu tidak ada harganya secuil pun! Sejak dahulu engkau kuperlakukan dengan
baik, kuberi pelajaran segala macam ilmu, bahkan kuberikan tubuhku kepadamu.
Akan tetapi berulang kali engkau menyakiti hatiku. Sudahlah, bersiaplah untuk
menghadapi seranganku selama limapuluh jurus, atau aku akan bunuh engkau
seketika juga walaupun engkau tidak akan melawanku! "
Nenek itu berbicara dengan amat cepat dan cerewet sekali. Suaranya melengkin-
lengkin. Akan tetapi, ada sesuatu pada nama itu. Terdengar tidak asing baginya,
atau setidaknya, ia pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh ayahnya, Sang
Prabu Jayabay. Ah, sekarang teringatlah ia.Terjadinya belasan tahun yang lalu.
Ia berusia enambelas tahun ketika itu, dan belum lama datang dari gunung diantar
kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya dan diteriam sebagai seorang puterinya.
Pada suatu pagi ia mendengar para pengawal dan para puteri bicara bahwa Sang
Prabu Jayabaya semalam menerima seorang tamu yang aneh. Tamu itu seorang nenek
yang tua dan penuh rahasia, kabarnya tahu-tahu berada di istana, tanpa ada yang
mengetahui kapan masuknya! Tentu saja menimbulkan geger, akan tetapi Sang Prabu
Jayabaya muncul dan melarang para pengawal untuk mengganggu nenek yang katanya
hendak menghadap itu. Bahkan nenek itu diterima oleh Sang Prabu Jayabaya di
ruangan dalam dan bercakap-cakap berdua saj. Dan nenek itupun tahu-tahu telah
pergi, tanpa ada orang lain mengetahui kepergiannya. Hal yang aneh ini
mengganggu pikirannya dan sebagai puteri baru yang lebih berani karena belum
mengenal adat istiadat di istana. Dewi Muntari lalu bertanya kepada ayahnya
tentang tamu yang penuh rahasia itu. Dan ketika itulah ayahnya menyebut nama Ni
Durgogini! Menurut ayahnya, Ni Durgogini adalah seorang tokoh besar di dunia
orang-orang sakti dan menghadapnya untuk menghaturkan sebatang keris pusaka.
Menurut penuturan para penghuni istana, ayahnya adalah seorang raja yang sakti
mandraguna dan mata bijaksana, sehingga banyak orang sakti di dunia ini tunduk
kepadanya dan menyerah tanpa dipergunakan kekerasan.
Kini Dewi Muntari menonton dengan hati penuh ketegangan. Biarpun kakek yang
bernama Ki Kolokrendo itu ketakutan, akan tetapi ketika dia diserang, diapun
cepat melompat, menghindar dan membalas serangan nenek itu.
Dewi Muntari adalah seorang yang pernah mempelajari ilmu kanuragan dari mendiang
suaminya. Karena itu ia tidak merasa asing dengan gerakan silat. Akan tetapi
sekali ini ia hanya bengong, sama sekali tidak mampu mengikuti gerakan dua orang
yang sedang bertanding itu. Hebat sekali pertandingan itu. Kalau tadi Ki
Kolokrendo membunuhi puluhan orang dengan enak dan mudah seperti orang membubuti
rumput saja, sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
seluruh kepandaiannya untuk membela diri dari serangan wanita yang selama ini
menjadi isterinya, juga gurunya!
Mereka berdua menggunakan tenaga sakti sehingga di sekitar tempat itu dilanda
angin yang mengemuk seperti badai, seolah-oleh dalam hutan itu terdapat banyak
raksasa atau iblis yang mengamuk. Dan sambil berkelahi mati-matian, mereka
berdua tetap mengeluarkan suara mereka yang khas.
"Kek-kek-kek-kekkkk..........! "
"Hihi-hi-hi-hi-hik.........! "
Dewi Muntari bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Angin pukulan kedua
orang itu terasa sekali olehnya, kadang ada hawa panas seperti apai menyergapnya
dan terkadang ada hawa dingin seperti ampak-ampak. Dengan bersembunyi di
belakang pohon besar ia merasa aman terlindung. Ia mengintai dan kedua orang itu
telah lenyap bentuk tubuh mereka, yang nampak hanyalah bayangan dua orang saling
kejar dan saling serang dengan dahsyatnya.
Ia tidak tahu berapa jurus lamanya mereka bertanding.Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara berhi-hi itu semakin nyaring dan suara berkek-kek makin lemah
dan akhirnya ia mendengar bentakan.
"Mampuslah laki-laki tidak setia! "
Dewi Muntari melihat tubuh kakek itu melayang ke atas dan menabrak cabang dan
daun pohon, lalu jatuh seperti sepotong batu ke atas tanah, tak jauh dari tempat
ia berdiri. Ia dapat melihat betapa kakek itu sama sekali tidak terluka, akan
tetapi dari matanya, telinganya, hidung dan mulutnya bercucuran darah segar dan
mata kakek itupun terpentang lebar. Dia sudah tewas!
Kini nenek itu berdiri memandang tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu,
kemudian terdengar dari mulutnya suara yangseperti tawa dan juga seperti tangis
itu, "Hi-hi-hi-hi-hi-hi.........! Ki Kolokrendo, kenapa engkau mati meninggalkan
aku" Lalu bagaimana hidupku, siapa yanga akan menemaniku........" Hi-hi-hi-hi-
hi............! " Kini Dewi Muntari dapat menduga bahwa suara itu tetulah merupakan tangis dan ia
merasa kasihan. Alangkah anehnya. Tadi mengamuk dan membunuh kakek itu, dan
sekarang setelah mati ditangisi! Ia lalu melangkah keluar dari balik pohon besar
dan gerakan ini dilihat oleh Ni Durgogini. Ia segera menghampiri Dewi Muntari
dengan langkah lebar dan berhenti di depannya sambil memandang tajam penuh
ancaman. "Hemm, engkau! Ya, engkaulah yang membuat suamiku mati! Engkau harus menebusnya
dengan nyawamu! " Akan tetapi dalam saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawanya itu timbul
keberanian dalam hati Dewi Muntari. Tidak percuma ia menjadi puteri Sang Prabu
Jayabaya. Dalam tubuhnya mengalir darah satria linuwih. Dengan berdiri tegak ia
menentang pandang mata yang mencorong itu, lalu ia berkata dengan suara tegas
penuh ketenangan. "Ni Durgogini, kalau engkau hendak membunuhku, tentu mudah kau lakukan. Akan
tetapi, aku tidak takut karena kanjeng romo tentu tidak akan mengampunimu kalau
engkau menggangu seujung rambutku saja."
"Hi-hi-hi-hik! Babo-babo keparat! Siapa takut kepada kanjeng romomu" Siapa dia"
Akan kubuh sekalian! "
"Datanglah ke kota raja Daha kalau engkau berani. Ayah kandungku adalah kanjeng
romo Prabu Jayabaya! "
Sepasang mata yang tadinya mencorong itu terbelalak kepada Dewi Muntari penuh
selidik. "Ni Durgogini, aku mengetahui ketika belasan tahun yang lalu andika menghadap
Kanjeng Romo untuk menyerahkan sebatang keris pusaka! "
Kini keraguan nenek aneh itu menghilang dan sikapnya berubah lunak. "Tobil-
tobil.....! Jadi andika ini puteri Sang Prabu Jayabaya" Si keparat Kolokrendo,
pantas mati sretus kali, berani mengganggu puteri Sang Prabu Jayabaya. Akan
tetapi, kenapa andika dapat berada seorang diri di tempat sunyi ini, gusti
puteri" " "Ah, malapetaka telah menimpa keluarga kami, bibi." kata Dewi Muntari dan
teringat akan suami dan puteri, tak tertahankan lagi ia menangis.
Kini sikap Ni Durgogini sama sekali berubah. Dengan gerakan halus ia menghampiri
dan mengelus rambut kepala Dewi Muntari.
"Hemm, tenanglah, gusti puteri. Apa yang telah terjadi" Ceritakanlah kepada Nini
Durgogini dan akulah yang akan membasmi anjing dan tikus yang berani
menggangumu." Dewi Muntari menahan tangisnya. Lalu ia menceritakan semua peristiwa yang
menimpa dirinya, betapa suaminya tewas ketika gerombolan penjahat menyerang
mereka. Pasukan pengawal lari kocar-kacir, suaminya tewas dan puterinya mudah-
mudahan dapat meloloskan diri.
"Aku sempat memberi perlawanan akan tetapi akhirnya tertangkap. Kemudian mucul
.....dia itu...." Ia menuding ke arah jenazah Ki Kolokrendo. Dia membunuh semua
gerombolan penjahat yang hendak memaksanya menjadi teman hidupnya. Aku lari
sampai ke sini dan andika muncul menyelamatkan aku, bibi."
Hemm, kalau begitu para penjahat itu sudah tewas semua.Dendammu sudah terbayar
lunas. Juga Ki Kolokrendo sudah mampus. Apa yang hendak kau lakukan sekarang,
gusti puteri" "
"Bibi, pertama-tama kuharap andika tidak menyebut gusti puteri kepadaku. Kalau
boleh, aku akan ikut denganmu, mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian. Aku
ingin menjadi muridmu, bibi."
"Ehh" " Hi-hi-hi-hi! Mana aku berani" Sang Prabu Jayabaya akan marah kepadaku
kalau aku berani lancang mengambil murid puterinya. Sebaiknya paduka kuantarkan
kembali ke istana gusti."
"Bibi Durgogini, namaku Dewi Muntari. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak
kembali ke istana. Banyak orang membenciku di sana, dan akupun curiga atas
peristiwa yang menimpa keluargaku. Patut dicurigai bahwa yang mengatur semua ini
berada di kota raja! "
"Hi-hi-hi-hi-hik, begitukah" Biar aku yang menyelidikinya dan membekuk
pelakunya! " "Tidak usah, bibi. Aku sendiri yang akan melakukan, akan tetapi tentu saja kalau
bibi mau menerimaku sebagai murid. Kalau kanjeng romo kelak menegur, biarlah aku
yang akan menghadapi dan siap meneriam hukuman! "
Akhirnya Ni Durgogini tak dapat menolak lagi. "Baiklah, Dewi! Mulai sekarang
namamu Dewi saja dan engkau akan kugembleng aji kesaktian. Muridku hanyalah Ki
Kolokrendo seorang. Setelah dia kini mampus, engkaulah yamh menjadi
penggantinya." Ia menggandeng tangan Dewi Muntari. "Mari kita pergi! "
Wanita yang mulai sekarang menggunakan nama Dewi, memandang kearah jenazah kakek
itu dan berkata, "Akan tetapi, Bibi. Bagaimana dengan jenazah itu" Apakah tidak
perlu disempurnkan dulu" "
"Hi-hi-hi-hik, dia sudah mati, mau diapakan lagi" Dia hanyalah sebatang mayat,
bukan lagi Kolokrendo. Hayo pergi! " Sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat
dan Dewi merasa betapa tubuhnya terayun seperti dibawa terbang! Ia pasrah. Ia
sudah mengambil keputusan bulat.Ia akan mempelajari aji-aji kesaktian dan kelak
ia sendiri yang akan melakukan penyelidikan dan membalas dendam kepada mereka
yang mengatur jatuhnya malapetaka yang menimpa keluarganya. Tentang nasib
puterinya, ia serahkan saja kepada Hyang Widhi.Tekatnya sudah bulat. Kembali ke
istana ia sudah tidak mau. Hidup berdua dengan puterinya saja juga berbahaya
karena ia tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi dai mereka berdua.
Sang waktu melesat dengan cepatnya, melewati segala apa yang terdapat dan
terjadi di alam maya pada ini. Tidak ada yang dapat mengalahkan Sang Waktu.
Bagaikan Bathara Kalla Sang Waktu mencaplok dan melahap semua yang ada. Yang
tadinya tidak ada menjadi ada, yang muda menjadi tua, yang tua menjadi mati dan
demikianlah semua itu terus menerus mengalir melalui Sang Waktu. Kita sudah
biasa menjadi permainan waktu, dengan masa lalu yang mengalir pada masa kini
untuk menuju masa depan. Kita hidup di dalam waktu, semua tergantung kepada
waktu. Sebenarnya, apakah waktu itu" Masa lalu kini dan masa depan, benarkah ada
hubungannya" Tentu saja berhubungan kalau hidup ini menjadi ajang dari kenangan
dan pikiran. Pikiran adalah aku, maka selalu hendak mempertahankan keadaan
dirinya. Dan tanpa waktu, keberadaan dirinya akan terancam musnah. Siapa aku ini
tanpa masa lalu, masa kini dan masa depan"
Justeru hidup lepas dari pada permainan waktu adalah hidup yang sejati. Hidup
dari saat ke saat, tidak terpengaruh oleh masa lalu atau masa depan.Tidak ada
dendam, tidak ada budi dihutang, yang ada hanyalah saat ini dan segala yang
terjadi adalah wajar. Segala yang terjadi adalah kenyataan yang tak dapt
dipungkiri lagi, lepas dri segala bentuk dendam maupun pamrih. Kalau begitu,
maka kekuasaan Tuhan akan bekerja. Kekuasaan Tuhan mengatur segalanya, melalui
segala macam kekuatan yang ada di permukaan bumi ini. Juga melalui tenaga yang
ada pada diri manusia. Semua itu menjadi alat Tuhan dan semua akan berjalan
sesuai dengan alur dan jalurnya.
Kalau orang memperhatikan jalannya waktu, maka akan ternyatalah bahwa waktu
berjalan amatlah lambatnya, seperti siput. Kalau diperhatikan, sejam rasanya
sehari, sehari rasanya sebulan, dan sebulan rasanya setahun. Akan tetapi kalau
diperhatikan, waktu melesat lewat seperti anak panah dilepas sebuah gendawa
sakti. Bertahun-tahun lewat seperti beberapa hari saja!
Sepuluh tahun telah lewat sejak Budhidharma hidup sebagai murid Sang Bhagawan
Tejolelono di lereng Gunung Kawi.Bocah yang dulu berusia sepuluh tahun itu kini
menjadi seorang pemuda berusia duapuluh tahun! Seorang pemuda dewasa yang
bertubuh tegap dan kuat, dengan dada yang bidang dan kalau berdiri tegak dan
kokoh seperti batukarang, kalau berjalan langkahnya gontai namun tegap seperti
langkah seekor harimau. Gerak geriknya lembut dan tutur sapanya halus. Dari
sikapnya saj tentu orang dapat menduga bahwa dia bukanlah pemuda dusun biasa,
lebih mirip seorang pemuda bangsawan dari kota raja yang menyamar sebagai
seorang pemuda dusun. Juga sikapnya yang rendah hati dan sama sekali tidak
congkak ini sama sekali tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang
pemuda yang digdayadan sakti mandraguna! Dia lembut namun bukan berarti pendiam.
Tidak, Budhidharma pandai bicara dan dipun pembawaannya lincah gembira sehingga
semua orang di sekitar lereng Gunung Kawi, Yaitu rakyat yang tinggal di dusun-
dusun sekitarnya mengenalnya dengan baik dan pergaulan mereka cukup akrab.
Terutama sekali para perawan dusun, hampir semua tertarik dan tergila-gila
kepada pemuda ini. Budhidharma memang seorang pemuda rupawan. Wajahnya tampan gagah, kulitnya
kuning bersih. Rambut di kepalanya hitam panjang dan berombak. Sepasang alisnya
berbentuk seperti golok, hitam tebal membayangkan kejantanan. Sepasang matanya
begitu lembut akan tetapi kadang dapat mencorong seperti mata naga atau mata
harimau di dalam gelap. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, dagunya
yang runcing itu agak berlekuk membuat wajah itu nampak jantan.
Kalau dibuat perbandingan dalam tokoh pewayangan, Budhidharma bukan seorang
satria tampan halus seperti seorang bambang misalnya Sang Arjuna atau Sang
Lesmana, akan tetapi dia seorang satria yang lembut gagah ganteng seperti Sang
Gatutkaca. Dalam hal kesaktian pemuda ini sudah digembleng siang malam selama
sepuluh tahun oleh Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi. Sebelum pindah ke
Gunung Kawi, Bhagawan Tejolelono tinggal di Gunung Kelud dan disana terkenal
dengan julukan Sang Mbaurekso Gunung Kelud. Setelah belasan tahun yang lalau
orang-orang sakti berdatangan ke Kelud untuk meperebutkan kedudukan sebagai
datuk atau yang berkuasa atas Pnca Giri { Lima Gunung} yaitu Semeru, Bromo,
Kelud, Arjuna Anjasmoro, dia tidak mau terlibat dalam perebutan nama atau
kekuasaan itu dan pergi pindah ke Gunung Kawi. Dia memilih sebuah lereng yang
sunyi dan indah pemendangannya, lalau bertapa di tempat itu. Bhagawan Tejolelono
yang sudah beberapa tahun tinggal di lereng Kawi, jarang meninggalkan tempat
itu, ketika dia meninggalkan pertapaannya, menurutkan getarnya hati, lalu
menyelamatkan Budhidharma, di menganggap bahwa sudah menjadi kehendak Yang Maha
Kuasa bahwa dia harus menjadi guru pemuda itu. Dia ternyata pilihannya yang
tidak keliru. Budhidharma membuktikan dirinya menjadi murid yang berbakat dan
rajin sekali, akan tetapi bahkan juga menjadi seorang cantrik yang berbakti dan
sayang kepadanya. Anak itu bekerja rajin, mencukupi semua kebutuhan hidup sang
bhagawan. Budhidharma memang seorang pemuda rupawan. Wajahnya tampan gagah, kulitnya
kuning bersih. Rambut di kepalanya hitam panjang dan berombak. Sepasang alisnya
berbentuk seperti golok, hitam tebal membayangkan kejantanan. Sepasang matanya
begitu lembut akan tetapi kadang dapat mencorong seperti mata naga atau mata
harimau di dalam gelap. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, dagunya
yang runcing itu agak berlekuk membuat wajah itu nampak jantan.
Kalau dibuat perbandingan dalam tokoh pewayangan, Budhidharma bukan seorang
satria tampan halus seperti seorang bambang misalnya Sang Arjuna atau Sang
Lesmana, akan tetapi dia seorang satria yang lembut gagah ganteng seperti Sang
Gatutkaca. Dalam hal kesaktian pemuda ini sudah digembleng siang malam selama
sepuluh tahun oleh Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi. Sebelum pindah ke
Gunung Kawi, Bhagawan Tejolelono tinggal di Gunung Kelud dan disana terkenal
dengan julukan Sang Mbaurekso Gunung Kelud. Setelah belasan tahun yang lalau
orang-orang sakti berdatangan ke Kelud untuk meperebutkan kedudukan sebagai
datuk atau yang berkuasa atas Pnca Giri { Lima Gunung} yaitu Semeru, Bromo,
Kelud, Arjuna Anjasmoro, dia tidak mau terlibat dalam perebutan nama atau
kekuasaan itu dan pergi pindah ke Gunung Kawi. Dia memilih sebuah lereng yang
sunyi dan indah pemendangannya, lalau bertapa di tempat itu. Bhagawan Tejolelono
yang sudah beberapa tahun tinggal di lereng Kawi, jarang meninggalkan tempat
itu, ketika dia meninggalkan pertapaannya, menurutkan getarnya hati, lalu
menyelamatkan Budhidharma, di menganggap bahwa sudah menjadi kehendak Yang Maha
Kuasa bahwa dia harus menjadi guru pemuda itu. Dia ternyata pilihannya yang
tidak keliru. Budhidharma membuktikan dirinya menjadi murid yang berbakat dan
rajin sekali, akan tetapi bahkan juga menjadi seorang cantrik yang berbakti dan
sayang kepadanya. Anak itu bekerja rajin, mencukupi semua kebutuhan hidup sang
bhagawan. Dari Bhagawan Tejolelono, Budhidharma menerima gemblengan lahir batin sehingga
bukan saja tubuhnya amat kuat dan kebal, dan dia mengenal berbagai kesaktian
yang menjadikan dia seorang lawan yang sukar dikalahkan, juga dia dituntun dalam
hal pengertian hidup sehingga batinnya terbuka dan dia memiliki watak yang baik,
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengertian yang mendalam dan waspada.
Pada suatu pagi, tidak seperti biasanya, pagi sekali Sang Bhagawan Tejolelono
telah dududk bersila di ruangan depan pondoknya lalu berseru halus memanggil
muridnya yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan dan minuman untuk gurunya.
Dari dapur, Budhidharma menjawab panggilan gurunya dan karena sarapan memang
sudah siap, dia lalu membawanya ke ruangan depan di mana gurunya sudah duduk
bersial. Budhidarma menghidangkan sarapan itu di atas tikar. Pisang tanduk
rebus, air the kental dengan gula kelapa.
"Silakan sarapan dulu, Eyang Bhagawan." katanya dengan lembut.
Gurunya tersenyum. Anak ini selalu demikian penuh perhatian kepadanya. Bahkan
pakaiannyapun diurus oleh Budhidharma.
"Wah, pisang rebus" Hemm, seperti pisang tanduk, ya" "
"Benar, Eyang. Pemberian dari paman Suto........"
"Mari, kautemani aku sarapan, Budhi."
"Baik, Eyang. Eyang tadi memanggil saya" "
"Ya, ada sesuatu yang penting hendak kusampaikan kepadamu, angger. Akan tetapi
mari kita sarapan dulu, setelah itu baru kita bicara."
Kakek dan pemuda itu lalu sarapan pisang.Hanya pisang rebus, akan tetapi pisang
tanduk yang sudah tua merupakan makanan yang lezat sekali. Juga minuman air teh
kental dengan gula kelapa juga nikmat sekali diminum di waktu pagi yang dingin.
Setelah kenyang sarapan, Bhagawan Tejolelono membiarkan muridnya menyingkirkan
sisa makanan dan membersihkan tikar, barulah dia menceritakan apa yang hendak
dibicarakan tadi. Begini, angger. Tahukah andika, sudah berapa lama andika tinggal dan belajar
ilmu di sini" "
"Kalau tidak salah, sudah kurang lebih sepuluh tahun, eyang."
"Benar, dahulu usiamu sepuluh tahun dan sekarang engkau telah menjadi seorang
pemuda perkasa berusia dupuluh tahun."
"Semua ini berkat bimbingan Eyang yang bijaksana dan saya tidak akan menyia-
nyiakan semua yang telah Eyang ajarkan kepada saya."
"Bagus, semoga begitu adanya. Ketahuilah bahwa semua ilmu yang kumiliki telah
kuajarkan kepadamu, angger. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang dapat
kuajarkan." Budhidharma menatap wajah kakek itu. Dia sudah dapat menduga apa yang
dimaksudkan gurunya. "Akan tetapi, Eyang. Saya masih mempunyai kewajiban yang
amat penting, yaitu menemani dan menjaga Eyang sebagai Darmabakti seorang murid
kepada gurunya tercinta."
"Darmabaktimu sudah cukup untukku, kulup. Darmabaktimu untuk Sang Hyang Tunggal,
untuk rakyat dan kemanusiaanlah yang perlu kau lakukan. Oleh karena itu, mulai
hari ini engkau harus mengambil jalan hidupmu sendiri kita harus berpisah."
"Ampun Eyang. Akan tetapi, tidak dapatkah saya mengikuti Eyang dan melayani
Reyang yang sudah tua" Siapa yang akan mengurus keperluan hidup Eyang sehari-
hari......" "Ha-ha-ha-, aku menjadi seorang yang malas dan manja, Budhi. Aku masih dapat
mengurus diriku sendiri dan aku kan pergi merantau, maka tidak mungkin kita
pergi bersama. Dan aku mempunyai tugas bagimu yang kuharap dapat kaulaksanakan
dengan baik karena inipun merupakan tugasmu untuk menentramkan jagat."
Budhidharma menjadi girang sekali. Dia menyembah dan berkata, "Hamba akan
melaksanakan perintah Eyang sebaik-baiknya. Tugas apakah yang harus hamba
kerjakan, Eyang" "
"Kisahnya dimulai kurang lebuh seratus tahun yang lalu. Seabad yang lalu, ketika
Sang Prabu Airlangga sudah merasa sepuh, beliau turun tahta dan hidup sebagi
seorang pendeta dan terkenal karena kebijaksanaannya, Sang Mahaprabu Airlangga
memakai nama julukan Resi Gentayu. Setelah beliau mengundurkan diri, banyak
pusaka keraton yang diboyong ke pertapaan. Dalam keadaan perpindahan pusaka itu,
terjadi geger karena hilangnya sebuah pusaka keris yang disebut Sang Tilam Upih!
Pusaka ini merupakan keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan dan mengandung hawa
yang jahat sekali. Kabarnya, jangankan sampai melukai kulit orang baru diacungkan saja, hawa dan
pengaruh yang berdaya kuat dari keris pusaka itu dapat membuat tubuh lawan
menjadi melepuh seperti disiram air mendidih atau seperti disambar petir."
"Wah bukan main ampuhnya keris pusaka itu, Eyang! " seru Budhi dengan kagum.
"buatan atau ciptaan siapakah pusaka itu, eyang" Saya belum pernah
mendengarnya." "Pusaka itu diciptakan oleh Empu Brobokendali, seorang empu yang terkenal ampuh
di jaman negeri Medang Kamulan, delapan ratus tahunyang lalu. Menurut dongeng,
ketiak menciptakan keris pusaka Tilam Upih itu, Empu Bromokendali kedatangan
seorang perawan cantik dan dia tidak mampu menahan gejolak birahinya. Terjadilah
perbuatan susila yang sebetulnya merupakan pantangan bagi Empu Bromokendali di
waktu dia sedang membuat sebuah keris pusaka. Setelah kesemuanya terjadi,
barulah dia mendapat kenyataan bahwa tubuh perawan itu dipergunakan oleh iblis
untuk menggodanya. Dan dia telah melanggar pantangan berat."
"Akan tetapi Eyang dalam hal ini, sama sekali kita tidak boleh menyalahkan iblis
yang menggoda. Menurut bimbingan Eyang bukankah sumber segala perbuatan tidak
benar terletak di dalam hati akal pikiran sendiri" "
"Memang benar demikian, kulup. Dan iblis yang memang pekerjaannya menggoda
manusia, tahu akan kelemahan hati akal pikiran manusia itu. Dia tahu di mana
letak kelemahan itu dan dselalu mempergunakan kesempatan untuk menggoda manusia
melalui kelemahannya itu. Justeru kelemahan Empu Bromo kendali terletak kepada
nafsu birahinya, maka iblis lalu mempergunakan tubuh perawan itu untuk
menjatuhkannya." Budhidharma menganguk-angguk. "Menurut petunjuk Eyang, manusia tidak mungkin
dapat melawan nafsu daya rendah yang menghuni hati akal pikiran kita sendiri.
Satu-satunya kekuasaan yang mampu menundukkan daya rendah itu hanyalah kekuasaan
Tuhan! Dan setiap orang akan dilindungi oleh kekuasaan Tuhan ini apabila dai
dengan sepenuh jiwanya menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan, penuh keimanan
kepada Hyang Widhi Wasa."
"Tepat sekali, kulup. Akan tetapi sayang, Empu Bromokendali lengah dan setelah
semuanya terjadi, ada hawa yang jahat menyusup ke dalam keris pusaka Tilam Upih
yang sedang dibuatnya. Setelah keris itu jadi, tahulah sang empu bahwa keris
pusaka itu mengandung pengaruh dan hawa yanga amat jahatnya, yang kelak dapat
membahayakan kehidupan manusia. Oleh karena itu, sang empu mempergunakan
kesaktiannya, membungkus pusaka itu dengan daun pisang kering, lalu
melarungkannya {membuang} ke Lautan Kidul."
"Jadi setiap benda buatan manusia itu akan terpengaruh oleh keadaan batin
pembuatnya pada saat membuat benda itu , Eyang" "
"Tentu saja! Karena itu, segala macam benda itu merupakan bahaya besar karena
mengandung daya pengaruh yang amat kuat. Hanya batin orang yang benar-benar
pasrah dan menyerah kepada Tuhan sajalah yang akan dapat terhindar dari pengaruh
daya benda. Kembali kepada keris pusaka Sang Tilam Upih. Tentu tidak akan timbul
akibat lain setelah keris pusaka itu dibuang ke Lutan Kidul kalau saja di waktu
mudanya Sang Mahaprabu Airlangga bersama patihnya yang juga amat sakti dan setia
yaitu Raden Narottama tidak melakukan tapabrata di tepi Lautan Kidul. Dalam
pertapaan itulah Sang Mahaprabu Airlangga mendapat ilham sehingga beliau
mengetahui adanya sebauh keris pusaka ampuh di dasar samudera. Beliau lalu
mengutus patihnya untuk mengambil pusaka itu. Raden Narottama yang sakti lalu
menyelam dan berhasil mengeluarkan keris Pusaka Tilam Upih itu."
"Wah, hebat sekali ilmu kepandaian patih itu, Eyang."
"Tentu saja. Ki patih Narottama yang sejak mudanya menjadi sahabat Sang
Mahaprabu Airlangga memmang seorang yang sakti mandraguna, bahkan seperguruan dengan Prabu Airlangga. Akan tetapi raja yang sakti mandraguna itu melihat
betapa keris pusaka itu mengeluarkan hawa pengaruh yang amat jahat, maka beliau
lalu memperbaikinya, mengisinya dengan hawa pengaruh yang baik, bahkan mengubah
sedikit bentuknya. Setelah diisi pengaruh kebaikan oleh sang Prabu Airlangga,
keris pusaka itu kini memiliki daya pengaruh dua macam. Kalau pusaka itu jatuh
ketangan seorang yang budiman, maka keris pusaka itu akan amat berguna bagi nusa
dan bangsa. Akan tetapi sebaliknya kalau tejatuh ke dalam tangan seorang yang
pada dasarnya berwatak kotor, maka keris itu akan mendatangkan malapetaka bagi
nusa dan bangsa." "Wah, gawat kalau begitu, Eayng."
"Ketika Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri menjadi pertapa, dalam kesibukan
itu, keris pusaka Tilam Upih lenyap. Yang menerima tugas untuk mencari pusaka
itu adalah eyang guruku yang bernama Ki Empu Dewaraga. Akan tetapi Ki Empu
Dewaraga gagal menemukan kembali kerena menurut perhitungannya, keris pusaka itu
terjatuh ke dalam tangan seorang yang sakti mandraguna dan amat jahat. Keris
pusaka itu dijadikan senjata untuk mendirikan sebuah kerajaan di barat, jauh di
pesisir Lautan Kidul. Saking sedihnya karena tidak mampu menemukan keris pusaka
itu seperti diperintahkan Sang Mahaprabu Airlangga yang telah menjadi Sang Resi
Gentayu, eyang guruku Empu Dewaraga merasa berduka yang mengakibatkan
kematiannya." "Wah, kasihan sekali eyang buyut itu! Kata Budhidharma."
Gurunya menghela napas panjang. "Semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Yang
Maha Kuasa. Tidak ada yang perlu disesalkan. Sang Prabu Jayabaya adalah seorang
yang sakti mandraguna bijaksana dan menguasai aji meneropong tirai rahasia alam.
Beliau itu weruh sakdurunge winarah {tahu sebelum terjadi}. Beliau mengumumkan
perhitungannya dengan pasti bahwa keris pusaka Ki Tilam Upih itu tidak akan
muncul kepermukaan bumi, dalam arti kata ditemukan orang, sebelum satu abad
lamanya semenjak hilang. Dan sekaranglah tiba saatnya keris pusaka itu akan
muncul. Berita tentang ini terdengar oleh seluruh orang gagah, maka orang-orang sakti
mandraguna bermunculan untuk berlomba mencari dan menemukan keris pusaka Tilam
Upih itu." "Untuk dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya, Eyang" "
Kembali kakek itu menghela napas panjang. "Hemm, tentu ada yang berpamrih
demikian. Akan tetapi akau khawatir bahwa sebagian besar di antara mereka
berlomba mencari keris pusaka itu untuk dirinya sendiri, untuk dimilikiny
sendiri. Ketahuilah, kulup, bahwa keris pusaka yang ampuh mempunyai pengaruh dan
kekuasaan. Dan siapa orangnya yang tidak akan tertarik kalau ada kemungkinan
kekuasaan jatuh pada dirinya" Karena itulah, kulup. Andika kuberi tugas, yaitu
mewakili aku mencari keris pusaka itu agar dapat kita kembalikan kepada Sang
Parbu Jayabaya. Bagaimanapun juga, menjadi tugas kita untuk dapat menemukan
pusaka itu, sebagai pemenuhan tugas dahulu yang gagal dilakukan eyang guruku
Empu Dewaraga." Timbul kegembiraan dalam hati Budhidharma. Dia sebetulnya tidak takut hidup
menyendiri, terpisah dari gurunya. Yang membuat dia ragu adalah permulaan dari
hidup sendiri itu. Tanpa tujuan, dia harus pergi ke mana" Kini dengan adanya
tugas itu, maka perjalanannya mempunyai satu tujuan tertentu dan ini amat
menggembirakan hatinya. "Saya akan melaksanakan perintah eyang! Akan tetapi, saya mohon petunjuk eyang.
Kemanakah saya harus mencari pusaka Tilam Upih itu dan bagaimana pula bentuk dan
rupanya agar kelak saya tidak mendapatkan barang yang palsu" "
"Ingat baik-baik, kulup. Keris pusaka Tilam Upih adalah sebatang keris berlekuk
tiga, dan setelah diubah bentuknya oleh mendiang Mahaprabu Airlangga maka dapur
keris menjadi dapur Mahesa suka, yaitu badan lebar panjang sedang, dengan
rincian: Lambe Gajah Lamba, Kembang Kacang, sogokan panjang. Mata keris bagian
bawah amatlah tajamnya karena di situ terletak pengaruh jahat itu. Sehelai
rambut yang diletakkan di atas mata keris itu lalau ditiup akan putus seperti
dijilat apai. Akan tetapi mata keris bagian atas berbeda dengan bagian bawah.
Pamor di bagian atas seperti perak mencorong, akan tetapi pamor bagian bawah
menghitam seperti angus. Ke mana mencarinya" Kulup, keris pusaka itu dahulunya
di Lautan Kidul, di sebelah barat Nusa Barung. Nah, mulailah dari ujung timur,
dari Balmbangan sampai ke Teluk Prigi, Kulup."
Demikianlah, setelah menerima banyak wasiat dan wejangan dari gurunya, tiga hari
kemudaian berangkatlah Budhidharma meninggalkan Gunung Kawi. Kalau dahulu,
sepuluh tahunyang lalu, dia naik ke Gunung Kawi sebagai seorang anak berusia
sepuluh tahun, kini dia menuruni lereng gunung itu sebagai seorang pemuda dewasa
yang gagah dan tampan. Dia menuruni lereng dari sebelah selatan karena dia akan
langsung saja melaksanakan perintah gurunya, yaitu menuju pantai selatan untuk
menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih itu. Tugasnya yang ke dua adalah
pribadinya yang tidak pernah dia lupakan semenjak dia berada di Gunung Kawi.
Yaitu, mencari pembunuh ayah ibunya, gerombolan Gagak Seto dan terutama sekali
ketuanya. Tidak, hatinya tidak diracuni dendam. Dia sudah menerima genblengan
batin yang mantap dari gurunya sehingga hatinya tidak cengeng dan selemah itu.
Dia maklum bahkan kematian setiap orang sudah ditentuakn oleh kekuasaan Sang
Hyang Syiwa, karena itu tidak semestinya kalau dia mendendam. Pelaku pembunuhan
atas ayah ibunya itu hanya merupakan alat yang kebetulan dipergunakan oleh Sang
Hyang Syiwa untuk mencabut nyawa ayah ibunya. Hal itu terjadi karena karma
mereka. Dia ingin mencari ketua dan gerombolan Gagak Seto untuk bertanya, apa
sebabnya mereka melakukan pembunuhan itu. Hal ini haruslah jelas dan untuk
melihat pula bagaimana sesungguhnya keadaan gerombolan Gagak Seto. Kalau memang
gerombolan penjahat, dia tidak akan ragu lagi untuk membasminya, dan kalau
ketuanya memang jahat, dia tidak akan ragu untuk menumpasnya.
Inilah kewajiban seorang satria, bukan membunuh karena balas dendam!
Dengan langkah tegap Budhidharma menuruni lereng Gunung Kawi.
Kita tinggalkan dulu Budhidhrma yang turun gunung mulai memasuki dunia ramai,
dan marilah kita menengok keadaan lain di Gunung Anjasmoro!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketua Gagak Seto yaitu Ki Sudibyo
yang menderita sakit batinnya sehingga tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan,
tidak begitu memperhatikan urusan perkumpulan. Untuk perkumpulan Gagak Seto dia
serahkan kepada dua orang pembantu utamanya, yaitu Ki Klabangkoro dan Ki
Mayangmurko. Adapun dia sendiri lebih banyak berada di dalam sanggar pamujan
atau di ruangan tertutup di bagian belakang yang menjadi tempat beristirahat dan
berlatih silat baginya. Akan tetapi, sejak dia mengangkat Niken Sasi menjadi
murid, muridnya itulah yang selalu menemaninya. Niken Sasi bukan hanya menjadi
murid tersayang, akan tetapi juga gadis cilik ini melayani segala keperluan
gurunya yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibunya.
Kemudian, dia mendapatkan kenyataan bahwa murid barunya ini ternyata memiliki
bakat yang hebat sekali! Sama sekali sukar dapat dipercaya bahwa dalam tubuh
yang mungil dan lemah gemulai, yang luwes itu tersimpan tenaga sakti yang hanya
butuh dilatih dan dikembangkan. Kemudian dia teringat bahwa bagaimanapun juga,
gadis kecil ini adalah cucu SangPrabu Jayabaya yang sakti mandraguna! Maka,
tentu saja Ki Sudibyo girang bukan main dan diapun melatih gadis itu lebih tekun
lagi. Bukan hanya semua ilmu dan aji kesaktian diajarkan kepada gadis itu,
bahkan aji simpanannya, yaitu Aji Has-bajra [Tangan Kilat] yang selama ini tidak
pernah diajarkan kepada murid lain, kini diajarkan kepada Niken Sasi, setelah
gadis itu menjadi seorang gadis dewasa.
Hati Ki Sudibyo merasa terhibur. Dia masih merasa hidupnya penuh penderitaan
kalau teringat akan penyelewengan dan pengkhianatan isterinya tercinta, kalau
dia teringat betapa dia hidup seorang diri tanpa keluarga, tanpa isteri dan
tanpa anak. Akan tetapi kini dalam diri Niken Sasi dia menemukan seorang murid, sekaligus
seorang anak yang amat membanggakan dan menyenangkan hatinya.
Bukan kehebatan Niken Sasi dalam mewarisi semua aji kesaktiannya saja yang
membuat Ki Sudibyo bahagia dan bangga. Akan tetapi keahliannya dalam ilmu lain,
terutama sekali kecantikannya. Niken Sasi yang kini telah menjadi seorang gadis
yang memiliki kecantikan sebanding dewi-dewi kahyangan! Wajahnya yang bulat
telur, rambutnya yang hitam panjang ngandan-andan, alisnya yang hitam kecil
melengkung, matanya yang redup jeli kadang mencorong, hidungnya yang kecil
mungil dan terutama sekali mulutnya yang menggairahkan, semua itu masih
diperindah pula oleh bentuk tubuhnya yang padat ramping dan kulit putih
kekuningan. Di samping kecantikannya yang membuat semua pria di Anjasmoro dan sekitarnya
terpesona, juga gadis ini amat pandai dalam kesenian berjoget, bertembang dan
lain kesenian kaum wanita. Jelas sekali nampak trahing kusumo rembesing madu
mengalir dalam darah yang lembut berisi ini. Namun, Niken Sasi tetap bersikap
sederhana, seperti para perawan dusun pada umumnya. Ia sudah melupakanbahwa
dirinya adalah cucu sang Prabu Jayabaya, dan menganggap dirinya seorang perawan
dusun murid dan anak anagkat Ki Sudibyo yang amat dihormati dan disayangnya.
Biarpun pakaian dan gerak geriknya sederhana tidak ada bedanya dengan para
perawan dusun, namun apabila ia berada di antara mereka, semua orang melihat
kepandaiannya, seolah seekor merak berada di antara sekumpulan bebek!
Pada suatu sore Ki Sudibyo memanggil muridnya ke dalam ruangan belakang yang
tertutup. Dia kini telah menjadi seorang laki-laki yang kelihatan tua sekali.
Usianya memang sudah enampuluh tahun, akan tetapi dia nampak jauh lebih tua.
Tubuhnya jangkung kurus, rambutnya sudah putih semua, dibiarkan terurai panjang,
demikian pula jengkot dan kumisnya yang sudah putih dibiarkan tak terpelihara.
Namun dia mesih tetap kelihatan bersih dan anggun.
Niken Sasi mengenakkan kain bercorak hitam dan kemben berwarna hijau pupus.
Pinggangnya ramping sekali dan ia nampak seperti setangkai mawar. Jambon yang
segar dan semerbak mengharum. Mendengar panggilan gurunya, Niken Sasi cepat
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadap dan memberi hormat dengan sembah. Pertama kali disembah oleh puteri
bangsawan cucu raja ini, Ki Sudibyo merasa rikuh sekali. Akan tetapi kini dia
sudah terbiasa dan dia menerima penghormatan itu dengan tersenyum dan mengamati
wajah murid terkasihnya itu sambil mengangguk-angguk.
"Sembahmu sudah kuterima, dan keadaanku sehat-sehat saja hari ini, Niken.
Duduklah, aku ingin bercakap-cakap denganmu."
"Perintah dan petunjuk apakah yang akan Bapa Guru berikan kepada saya" Saya siap
melaksanakan semua perintah bapa." kata Niken Sasi dengan suara merdu dan
mantap. Ki Sudibyo mengelus jenggotnya dan tersenyum gembira sekali. Sepasang matanya
sejenak bersinar-sinar dan dia mengangguk-angguk.
"Tiada habisnya aku menghaturkan Hyang Agung yang sudah mengaruniaku seorang
murid seperti andika ini di hari tuaku, Niken. Hatiku gembira sekali, apalagi
ketika pagi tadi aku melihat bahwa latihanmu mempergunakan aji Hasta Bajra telah
mencapai titik tertinggi. Nah, sekarang aku ingin melihat aji itu dengan
menggunakan tenaga sepenuhnya, seolah engkau sedang berhadapan dan bertanding
melawan seorang yang tangguh. Aku sendiri akan mengujimu menggunakan aji itu,
Niken." Niken Sasi nampak khawatir. "Akan tetapi, Bapa, bertanding dengan aji itu amat
berbahaya karena sekali dikeluarkan bagaimana kita dapat mengendalikannya
sehingga tidak membahayakan lawan" "
"Memang tidak dapat dikendalikan begitu saja. Bagaikan menyambarnya kilat,
akibatnya tergantung dari kuat atau tidaknya lawan menerimanya. Akan tetapi aku
bukan hendak mengujimu bertanding aji itu, Niken Sasi. Andika tahu sendiri bahwa
tenagaku sudah habis, digerogoti penyakitku. Aku tidak mampu lagi mengerahkan
tenaga Hasta Bajra. Karena itu, aku akan menyerangmu dengan lemparan balok-balok
kayu yang sudah kupersiapkan ini. Semua lemparan balok-balok ini sambutlah
dengan aji Hasta Bajra. Jangan batasi tengamu karena kau ingin melihat sampai di
mana tingkatmu dalam aji itu."
"Ah, begitukah, Bapa" " kata Niken Sasi dengan hati lega. "Baiklah, akan
kulaksanakan perintah Bapa Guru." Ia meloncat ke tengah ruangan itu dan memasang
kuda-kuda. Tubuhnya memasang kuda-kuda miring menghadapi gurunya, kaki kanan di
depan, kaki kiri di belakang agak ditekuk, kedua lengannya di angkat ke atas
dengan telapak tangan menghadao ke arah atas seperti sedang menyangga langit.
Tubuhnya tegak, matanya memandang tajam ke depan, pernapasannya menjadi lambat
dan panjang karena ia mulai menyalurkan tenaga Hasta Bajra ke dalam kedua
tangannya. "Saya sudah siap, Bapa! " Katanya dengan sikap gagah. Ki Sudibyo memang tidak
berani lagi menggunakan aji Hasta-bajra karena penggunaan tenaga sakti itu
terlalu kuat bagi tubuhnya yang sudah ringkih. Maka, dia sejak pagi tadi telah
mengumpulkan belasan potongan balok yang cukup besar, dan beberapa bongkah batu
gunung. Kini, dia lalu mengangkat balok-balok itu, satu demi satu dan
dilontarkan ke arah muridnya dengan sekuat kemampuannya. Biarpu dia sudah
berpenyakitan, akan tetapi karena bekas pendekar perkasa, lontarannya itu masih
cukup kuat dan potongan balok itu menyambar dahsyat ke arah muridnya.
"Siyyyttt.............wirrrrrr........! " Blok pertama menyambar ke arah kepala
Niken Sasi. Hyattttt........ahhhhh! " Gadis jelita ini menggerakkan tangan kirinya, dengan
jari tangan terbuka menghantam ke arah balok itu. Nampaknya tidak terlalu keras
ia menghantam, akan tetapi ketika tangannya menyambar batu, terdengar suara
keras. "Brakkkkk.........! " Dan balok itupun berantakan, pecah menjadi beberapa potong
dan berhamburan ke dinding ruangan menimbulkan suara gaduh.
Balok ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul, cepat sekali. Niken Sasi bergerak,
memainkan ilmu silat Hasta Bajra, kedua tangannya seperti sepasang golok
menyambar-nyambar ke arah balok dan batu yang datang susul-menyusul. Balok-balok
itu pecah dan ketiak batu-batu mulai menyambar, batu-batu itupun porak-poranda
terkena hantaman tangan yang berkulit halus itu. Kini dari ruangan itu terdengar
suara hiruk-pikuk karena pecahan kayu dan batu menghantam dinding, ditambah lagi
menyambarnya hawa pukulan Hasta Bajra yang mengguncangkan seluruh ruangan!
Para murid Gagak Seto terkejut bukan main ketika dari ruangan tertutup itu
terdengar suara hiruk-pikuk ditambah lagi didnding ruangan itu tergetar seperti
dilanda angin badai yang mengamuk.
Akan tetapi Klabangkoro dan Mayangmurko yang juga sudah berada di luar ruangan
itu saling pandanga dan Klabangkoro berbisik, "Bagaimana Bapa Guru dapat
berlatih sehebat itu" Bukankah dia sakit dan lemah......." "
Setelah suara gaduh itu berhenti, Klabangkoro lalau mengetuk daun pintu ruangan
itu sambil berteriak memanggil gurunya, Bapa Guru........! Apakah yang terjadi"
Harap suka membuka pintu dan mengijinkan kami masuk....! "
Agak lama tidak ada jawaban, kemudian pintu terbuka dari dalam dan yang muncul
adalah Niken Sasi, adik seperguruan mereka termuda. Niken Sasi tersenyum melihat
Klabangkoro, Mayangmurko dan Gajahpuro, aeorang pemuda tampan dan gagah putera
Klabangkoro, dan banyak sekali murid Gagak Seto berada di belakang mereka.
"Haiiii, kalian kenapakah" Membikin kaget kepada Bapa Guru saja. "Niken Sasi
menegur, akan tetapi sambil tersenyum.
Niken Sasi, apakah yang terjadi di dalam" " Gajahpuo yang sebaya dengan gadis
itu dan hubungan di antara mereka akrab sekali, segera bertanya.
"Ya, apakah yang terjadi , Niken" " tanya pula Klabangkoro sambil mencoba untuk
menjenguk ke dalam.Dia tebelalak melihat pecahan-pecahan kayu dan batu di
ruangan itu, berserakan memnuhi ruangan.
"Ah, tidak ada apa-apa. Hanya Bapa Guru sedang berlatih aji Hasta Bajra,
mengguankan kayu dan batu yang harus kulemparkan kepada Bapa Guru." kata gadis
itu dengan suara wajar. Ia memang seorang gadis yang cerdik. Ia sudah diberitahu
oleh gurunya bahwa tidak ada seorangpun boleh mengetahui bahwa dia telah
menerima pelajaran aji Hasta Bajra dari gurunya, harus merahasiakan sampai aji
itu dikuasainya dengan sempurna. Oelh karena itu, ketika mereka bertanya-tanya,
mudah saja ke luar dari bibirnya jawaban itu.
Klabangkoro dan Mayangmurko kembali saling pandang dan mata mereka terbelalak.
"Akan tetapi.......bukankah......bukankah Bapa Guru sedang sakit......." "
tanyannya heran. Pada saat itu Ki Sudibyo muncul dari ambang pintu. Wajahnya agak pucat dan
napasnya memburu. Dia mengangkat tangan menenangkan muridnya lalau berkata
sambil tersenyum lemah "Kalian semua jangan khawatir. Aku hanya berlatih dan ......... latihan itu
menghabiskan tenagku. Aku......aku ingin beristirahat, jangan mengganguku.
Engkaupun beristirahatlah, Niken. Engkau sudah cukup membantuku....."Ki Sudibyo
lalu menutupkan kembali dauan pintu setelah masuk kembali ke dalam ruangan itu.
"Niken, engkau harus menceritakan kepadaku tentang latihan Hasta Bajra itu.
Tentu hebat bukan main! " tanya Gajahpuro sambil mendekati Niken Sasi.
Gadis itu tersenyum, sambil menuruni anak tangga dan melangkah perlahan.
Gajahpuro mendampinginya, juga Klabangkoro dan Mayangmurko.
"Bukan hebat lagi, dahsyat! " kata gadis itu tersenyum, diam-diam ia girang
bukan main karena tadi sehabis latihan, gurunya mengatakan bahwa ia telah
mencapai tingkat yang cukup tinggi.
"Niken, andika melihat semua gerakan Bapa Guru ketika berlatih aji Hasta Bajra"
" Benar-benarkah dia memainkan aji itu dengan dahsyatnya" "
"Aku melihatnya sendiri, paman. Semua balok dan batu yang kulemparkan kepadanya
dihancurkan oleh kedua tangannya. Jawab gadis itu.
Klabangkoro saling pandang dengan Mayangmurko. "Akan tetapi dia sedang sakit,
tubuhnya lemah, bagaimana....."
"Siapa bilang Bapa Guru sakit dan lemah" " Niken Sasi membantah. "Dia sehat dan
kuat, buktinya mampu berlatih Hasta Bajra."
"Wah, kalau begitu tentu engkau sudah mempelajarinya pula, Niken" " kata
Gajahpuro girang, akan tetapi juga suaranya mengandung iri.
"Aji itu terlalu berat dan sukar bagiku, dan Bapa Guru juga tidak mengajarinya
kepada siapapu. Sudahlah, aku ingin mandi, hari sudah mulai gelap dan sebentar
lagi aku harus mempersiapkan makan malam untuk Bapa Guru."
Gadis itu lalu pergi meninggalkan para murid Gagak Seto yang masih tertegun dan
bertanya-tanya itu. Klabangkoro lalu menarik tangan Mayangmurko memasuki
pondoknya. Dengan daun pintu dan jendela tertutup mereka berdua lalu bercakap-
cakap dengan hati-hati dan setengah berbisik sehingga tidak akan terdengar lain
orang. "Ssstt......Kakang Klabangkoro, apa yang kita dengar tadi" Ternyata Bapa Guru
masih sehat dan kuat. Sungguh celaka! Bisa berantakan semua rencana kita yang
sudah kita rencanakan bertahun-tahun! " kata Mayangmurko.
Klabangkoro memukul telapak tangan kiri dengan tinju kanan.
"Plakkk! " dia berjalan hilir mudik. "Pantas saja ketika itu Sepasang Keris Maut
dari Nusa barung yang dikirim Jambuka Sakti gagal membunuhnya. Akan tetapi
menurut Sepasang Keris Maut, pukulan Bapa Guru tidak begitu kuat lagi sehingga
tidak membuat mereka terluka berat. Mungkinkah sekarang telah pulih kembali
semua kekuatannya" Rasanya tidak mungkin! Kelihatannya dia berpenyakitan dan
lemah, apa lagi usianya menjadi semakin tua."
"Kakang Klabangkoro, jangan-jangan Niken Sasi......."
"Hemm, bocahperempuan itu" Mana mungkin ia dapat menguasai Hasta Bajra ayang
amat sulit dan membutuhkan landasan tenaga sakti yang kuat. Bocah perempuan itu
tidak ada apa-apanya, adi Mayangmurko."
"Akan tetapi ia dekat dengan Bapa Guru dan ia amat disayang. Aku khawatir Bapa
Guru mewariskan aji itu kepadanya, baik dalam bentuk pelajaran atau dalam bentuk
kitab agar kelak dapat dipelajarinya. Kurasa jalan terbaik adalah melenyapkan
perawan itu, kakang."
"Hushh! Lancang ucapanmu, Mayangmurko! Tidak tahukah andika bahwa puteraku si
Gajahpuro itu cinta setengah mati kepada Niken Sasi" Tidak, membunuhnya bukan
jalan terbaik, pula akan menimbulkan kecurigaan kepada Bapa Guru. Lebih baik
kalau perawan itu menjadi isteri puteraku sehingga andaikata benar ia memiliki
warisan Hasta Bajra, kelak akan terjatuh ketangan puteraku pula."
"Akan tetapi bagaimana kalau dia tidak mau menjadi isteri Gajahpuro" " bantah
Mayangmurko. "Harus diusahakan agar ia mau! Aku ada akal. Rencana ini pertama untuk menguji
apakah benar gadis itu memiliki aji Hasta Bajra, dan kedua membuat ia berhutang
budi kepada Gajahpuro. Kalau cara ini tetap tidak berhasil, masih ada cara
ketiga, yaitu menodainya sehingga terpeksa ia akan menerima Gajah[puro sebagai
suaminya untuk mencuci aib."
Mendengar ini, Mayangmurko mengacungkan ibu jarinya. "Wah, andika memang hebat,
kakang. Mari kita cepat melaksanakan rencana itu agar jangan sampai terlambat! "
Kedua orang itu lalu meninggalkan ruangan tertutup itu dan menyelinap dalam
kegelapan malam yang mulai menyelimuti bumi.
Sementara itu, ketika Niken Sasi melayani gurunya makan malam, Ki Sudibyo
mengajak muridnya itu makan bersama. Hal ini agak aneh bagi Niken Sasi, karena
tidak biasanya gurunya mengajak makan bersama. Melihat pandang mata Niken Sasi
yang penuh keheranan dan keraguan itu, Ki Sudibyo berkata lembut.
"Niken, jangan ragu-ragu. Marilah temani aku makan malam. Siapa tahu, dalam
beberapa hari ini merupakan hari-hari terakhir bagi kita untuk berduaan."
"Eh" Maksud Bapa Guru, bagaimana" " tanya gadis itu dengan mata terbelalak,
terkejut. "Niken Sasi, engkau kini telah menjadi seorang gadis remaja, bahkan sudah dewasa
karena usiamu sudah delapanbelas tahun. Ingatlah, engkau berasal dari istana! "
Niken Sasi memenuhi permintaan gurunya dan makan bersama gurunya, dan sambil
makan mereka bercakap-cakap. "Saya kira Bapa masih ingat bahwa saya sama sekali
tidak mengharapkan untuk kembali ke istana. Saya ingin tinggal saja di sini
melayani Bapa Guru."
Ki Sudibyo tersenyum. "Boleh saja engkau melupakan istana dan tidak ingin
kembali ke sana. Itu adalah hak pribadimu untuk memilih kehidupan macam apa yang
ingin kautempuh.Akan tetapi, juga tidak mungkin kalau engkau terus tinggal di
sini melayaniku. Aku t6idak ingin disebut manusia yang mementingkan dirinya
sendiri. Tidak, angger, engkau harus pergi dari sini karena banyak persoalan yang harus
kau hadapi di samping engkau harus pula memanfaatkan semua ilmu yang pernah kau
pelajari di sini dengan segala jerih payah."
"Akan tetapi, Bapa. Persoalan apakah yang saya hadapi" Saya tidak mempunyai
persoalan." "Hemm, benarkah itu" Apakah engkau bicara dari dasar hatimu, ataukah memang
engkau sudah lupa bahwa ayah ibumu terbunuh orang tanpa kauketahui dosanya dan
siapa pula para pembunuh itu" "
Mendengar pertanyaan gurunya itu, tiba-tiba saja Niken Sasi menundukkan mukanya
untuk menyembunyikan matanya yang tiba-tiba menjadi basah itu. Ia menahan
makannya dan melihat ini, Ki Sudibyo tersenyum.
Tabahkanlah hatimu dan tidak pantas seorang dara perkasa sepertimu menjadi
cengeng.Hayo lanjutkan dulu makan kita, nanti aku ingin bicara denganmu."
Guru dan murid itu melanjutkan makan mereka. Patut dikagumi gadis itu, yang baru
berusia delapanbelas tahun akan tetapi demikian kuatnya menahan gejolak hatinya.
Tadi, diingatkan tentang kematian ayahnya dan lenyapnya ibunya, hatinya seperti
ditusuk dan kedua matanya menjadi basah. Nasi di lehernya sukar ditelan. Akan
tetapi mendengar ucapan gurunya, ketabahannya timbul dan semangatnya membakar
sehingga ia mampu melanjutkan makannya.
Setelah selesai makan dan bekas makanan disingkirkan oleh Niken Sasi, tikar di
lantai juga sudah dibersihkan Ki Sudibyo bersila di depan muridnya dan suaranya
terdengar sungguh-sungguh ketika dia bertanya, "Muridku yang baik. Benarkah
engkau sudah melupakan apa yang menimpa diri ayah bundamu" "
Niken Sasi sekarang telah dapat menguasai hatinya sepenuhnya dan dia mengangkat
muka menatap wajah gurunya, kemudian menjawab dengan suara tenang, "Bapa Guru,
bagaimana saya akan mampu melupakan kematian ayah yang menyedihkan itu, dan
lenyapnya ibu yang dilarikan penjahat" "
"Kalau begitu, di dalam hatimu tumbuh dendam kebencian yang membara terhadap
mereka yang berbuat jahat terhadap ayah ibumu" "
Niken Sasi menggelengkan kepalanya danmenjawab dengan tegas. "Tidak, sama
sekali, Bapa.Sudah nampak jelas oleh saya dengan pengertian yang mendalam bahwa
mendendam adalah suatu perbuatan yang amat bodoh dan yang akhirnya hanya
merugikan diri sendiri saja. Tidak, saya tidak lagi mengandung dendam. Akan
tetapi karena kematian ayah itu dalam penasaran, juga saya harus melihat apakah
ibu saya telah meninggal dunia ataukah masih hidup, maka saya harus melakukan
penyelidikan, siapa yang telah melakukan penyerangan terhadap mendiang ayah,
siapa pula dalangnya dan apa pula sebabnya mereka melakukan hal itu terhadap
ayah dan ibu. Kemudian, kalau ibu masih hidup, saya harus membebaskan ibu dari
tangan penjahat." "Dan bagaimana sikapmu terhadap para penjahat itu sendiri, Niken Sasi" "
"Hal itu tergantung kepada mereka sendiri, Bapa. Kalau saya mendapatkan bahwa
mereka itu adalah orang-orang jahat yang masih mkelakukan kejahatan, sudah
menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan itU. Akan tetapi, yang saya
tentang bukanlah manusia-manusianya yang berdasarkan dendamj, melainkan
perbuatannya. Demi keselamatan dan keamanan orang-orang yang tidak berdosa,
kalau mereka jahat akan saya tentang dan basmi! "
Ki Sudibyo menganguk-angguk senang, "Bagus sekali, kuharap saja engkau sudah
mengerti benar karena pengertian itulah yang akan menjadi obor bagi semua
tindakanmu. Celakalah kalau engkau bertindak karena dorongan dendam. Aku sendiri
telah melakukan hal itu, Niken. Dan sampai sekarang aku masih tenggelam dalam
penyesalan." Saya aku selalu mengingat semua wejangan Bapa, dan mudah-mjudahan Sang Hyang
Wisnu akan selalu memberi bimbingan kepada hamba sehingga akan timbul
kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam segala sepak terjang saya."
"Sekarang ada dua hal yang aku harapkan dengan sangat agar engkau dapat
melaksanakannya, Niken. Kalau engkau dapat melaksanakan dua hal ini dengan baik
sebagai pesan terakhirku, maka aku akan menghadapi kematian dengan hati tenteram
dan mata terpejam mulut tersenyum."
"Katakanlah, Bapa. Tugas apakah yang harus saya laksanakan" Saya siap untuk
menanti perintah Bapa dan melaksanakannya dengan sekuat tenaga saya."
"Begini, angger. Dari anak buah Gagak Seto aku mendapat aku mendapat berita
penting sekali, yaitu bahwa kini semua oran g gagah saling berlomba untuk
menemuakan keris pusaka Tilam Upih. Keris pusaka ini milik mendiang Sang Prabu
Airlangga yang telah hilang seabad yang lalu. Menurut perhitungan Sang Prabu
Jayabaya yang diumumkan, dikabarkan bahwa keris pusaka itu akan mucul pada hari-
hari ini. Karena itu, berduyun-duyun orang gagah dari segala penjuru bermunculan
untuk berlumba mendapatkan keris pusaka itu. Nah, aku mengharap agar engkaupun
tidak ketinggalan, menyumbangkan tenagamu untuk mencari dan mendapatkan pusaka
itu, angger." "Bapa Guru, bukan sekali-kali saya menolak atau keberatan melakukan perintah
Bapa ini. Akan tetapi, Bapa. Kalau semua orang gagah sudah bermunculan, berlumba
mendapatkan pusaka itu, masih perlukah saya ikut mencarinya" Pusaka itu pasti
akan dapat ditemukan mereka dan dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya."
"Ah, kalau benar seperti ucapanmua itu, tentu akupun tidak akan mengutusmu
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi, angger. Akan tetapi kenyataannya bukan begitu. Tidak semua orang
berpamrih mencari pusaka itu untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya.
Mereka mencari untuk diri sendiri. Dan berbahayalah kalau sampai pusaka itu
jatuh ke dalam tangan seorang penjahat karena pusaka itu ampuhnya menggiriskan.
Jadi, engkau harus membantu mereka yang berpamrih baik, mengembalikan pusaka itu
kepada yang berhak, yaitu kerajaan Daha. "Hemm, begitukah Bapa" Sekarang
mengerti saya, dan kalau begitu memang sudah menjadi kewajiban saya untuk ikut
mencarinya dan mencegah pusaka itu terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Akan
tetapi, kalau saya mulai mencarinya, ke manakah saya harus pergi, Bapa" Tanpa
arah petunjuk, bagaimana saya dapat mencarinya" "
"Sang Tilam Upih itu oleh penciptanya, yaitu mendiang Empu Bromokendali pada
jaman negeri Medang Kamulan, sembilan abad yang lalu, dibuang ke Lautan Kidul.
Yang menemukannya adalah mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narrotama.
Akan tetapi, pada saat Sang Mahaprabu Airlangga mengundurkan diri dan menjadi
Sang Resi Gentayu, pusaka Tilam Upih itu hilang. Karena keris pusaka itu
ditemukan di Lautan Kidul, maka timbul dugaan bahwa dia kembali lagi ke Lautan
Kidul. Nah, hanya itulah petunjuknya dan dalam usahamu itu, engkau dapat
menyusuri lautan itu untuk mencarinya."
"Baiklah, Bapa. Saya akan berusaha keras untuk dapat menemukannya. Dan andaikata
saya berhasil, apa yang harus saya lakukan dengan pusaka itu" "
Ki Sudibyo tersenyum, girang melihat besarnya semangat muridnya. "Kalau engkau
berhasil, bawalah ke sini. Kalau aku masih hidup, aku akan menyertaimu menghadap
Sang Prabu Jayabaya untuk menghaturkan pusaka itu."
Gadis itu mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak nyaman mendengar bahwa ia
kelak harus menghadap eyangnya, Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi ia tidak
membantah dan hanya mengangguk, lalu bertanya, "Dan hal yang kedua yang harus
saya lakukan itu apakah, Bapa" "
"Hal pertama ini harus kau lakukan dulu, karena itu merupakan ujian bagimu untuk
melaksanakan tugas ke dua. Dalam tugas pertama itu, engkau akan digembleng oleh
pengalaman-pengalaman hebat, bertemu dengan orang-orang sakti mandraguna
berbagai aliran. Mungkin pula engaku akan menghadapi pertandingan-pertandingan
di mana engkau akan mengetrapkan semua ilmu dan aji yang telah kau pelajari
dariku. Hanya, pesanku jangan sekali-kali menggunakan aji Hasta Bajra kalau tidak perlu
sekali, karena penggunaan aji ini amat berbahaya bagi lawan dan dapat
menimbulkan korban. Kalau engkau sudah melaksanakan tugas pertama itu, baik
berhasil menemukan keris atau tidak, barulah engkau kembali ke sini dan
melaksanakan tugasmu yang ke dua."
"Apakah tugas itu, Bapa" Saya akan melaksanakan dengan seluruh kemampuan saya."
"Tugas itu adalah menggantikan kedudukanku sebagi ketua perkumpulan Gagak Seto!
" Mendengar ucapan gurunya ini, Niken Sasi benar-benar terkejut sehingga ia
mengangkat mukanya memandang wajah gurunya dengan penuh perhatian. Akan tetapi
gurunya tidak main-main. Wajah gurunya bersunguh-sungguh.
"Akan tetapi, Bapa......! Bagaimana saya dapat menjadi ketua" Bukankah di sana
terdapat Paman Klabangkoro dan Paman Mayangmurko yang lebih memenuhi syarat dan
berpengalaman" "
"Sudah kupertimbangkan baik-baik, Niken Sasi. Perkumpulankita adalah perkumpulan
kita adalah perkumpulan orang gagah yang sudah terbiasa dengan tindakan
kekerasan. Kalau mereka tidak dipimpin oleh seorang yang benar-benar bijaksana
dan berwatak baik, mereka dengan mudah akan dibaw menyeleweng dan berbahayalah
kalau terjadi demikian. Dan aku tidak melihat seorangpun di antara para murid
yang tepat untuk menjadi ketua, kecuali engkau! "
"Akan tetapi saya hanyalah seorang wanita, Bapa Guru! " bantah Niken Sasi yang
merasa ngeri diserahi tugas menjadi ketua itu. "Apa alasan yang Bapa Guru ambil
untuk memilih saya, seorang wanita muda, menjadi ketua perkumpulan besar ini" "
"Untuk menjadi pemimpin pria atau wanita sama saja. Ingat, Dewi Woro Srikandi
juga seorang wanita, namun ia telah terkenal sebagi seorang senopati yang gagah
perkasa dan pilih tanding. Alasanku memilihmu, karena engkau merupakan murid
yang paling tangguh di antara semua muridku. Terutama sekali karena engkau yang
mewarisi aji Hasta Bajra selain itu, hanya engkau yang kupandang memiliki
kebijaksanaan walaupu usiamu masih muda. Nah, aku sungguh mengharapkan engkau
tidak akan menolak permintaanku ini, Niken Sasi! "
"Maaf, Bapa. Sama sekali bukan saya keberatan, hanya saya pikir masih banyak
murid pria yang saya pandang juga bijaksana dan berwatak baik seperti misalnya
kakang Gajahpuro." "Hemm, tidak salah pendapatmu. Gajahpuro memang seorang pemuda yang baik dari
pada ayahnya, Klabangkoro. Akan tetapi, dia kurang berbakat dan tidak cukup
tangguh untuk menjadi seorang pemimpin. Ketahuilah, hanya seorang ketua yang
menguasai aji Hasta Bajra dan selain aku, hanya engkau yang kini menguasainya.
Bahkan aku sendiri sudah tidak mampu mempergunakannya dengan baik, jadi engkau
seoranglah yang kini menguasainya dengan sepenuhnya. Karena itu, harap jangan
menolak lagi, Niken."
Gadis itu menghela napas panjang. Sebetulnya, sedikitpun tidak ada keinginan di
hatinya untuk menjadi ketua Gagak Seto. Akan tetapi iapun tidak tega untuk
menolak begitu saja permintaan gurunya yang demikian sungguh-sungguh. "Bapa,
biarlah tentang kedudukan ketua itu akan saya pikirkan dulu, karena bukankah
sekarang saya harus melaksanakan tugas pertama mencari pusaka itu" "
Baiklah, Niken. Maafkan aku yang telah membebani pikiranmu dengan banyak
persoalan. Memang sebaiknya engkau menghadapi satu masalah saja dahulu yaitu
mencari pusaka Tilam Upih. Mudah-mudahan saja para dewata melindngimu sehingga
engkau yang akhirnya menemukan pusaka yang diperebutkan itu."
"Bapa, kapan saya harus berangkat" Saya harus membuat persiapan untuk perjalanan
itu." "Tiga hari kemudian merupakan hari yang amat baik bagimu untuk mulai dengan
perjalananmu, Niken. Berkemas dan bersiap-siaplah, dan pusakaku Kyai Megantoro
ini kuberikan kepadamu. Bawalah untuk pelindung diri. Biarpun tidak sehebat Kyai
Tilam Upih, akan tetapi Megantoro ini sudah menemaniku selama puluhan tahun dan
sudah amat besar jasanya." Kakek itu mengambil kerisnya dan menyerahkan kepada
Niken Sasi. Niken Sasi menerima keris itu dengan kedua tangannya. Kyai Megantoro
adalah sebatang keris yang bentuknya lurus, juga tidak terlalu panjang sehingga
cocok untuk dipergunakan seorang wanita.
Pada saat itu, sesosok tubuh meninggalkan daun jendela ruangan itu di mana tadi
ia berdiri tanpa bergerak dan menahan napas. Orang itu sempat mendengarkan
bagian terakhir dari percakapan antara Niken Sasi dan Ki Sudibyo.
Ia seorang wanita muda yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Usianya
sekitar duapuluh tahun, seorang gadis yang lumayan cantiknya, dan yang sudah
bekerja kepada Ki Sudibyo sejak berusia sepuluh tahun. Oelh karena itu Jinten,
demikian nama gadis itu, telah dipercaya. Ialah yang dahulu selalu melayani Ki
Sudibyo, akan tetapi semenjak Niken Sasi menjadi murid orang tua itu dan Niken
Sasi berkeras melayani sendiri gurunya, Jinten hanya membantunya kalau
dikehendakinya saja. Sejak ada Niken Sasi, Jinten lebih banyak bekerja di dapur,
masak dan mencuci pakaian. Ia seorang gadis yang manis yang lincah dan agak
genit. Sudah lebih dari tiga tahun Jintenditarik oleh Klabangkoro menjadi mata-mata
untuk selalu mengikuti gerak-gerik Ki Sudibyo. Apa lagi akhir-akhir ini, Jinten
dipesan oleh majikannya itu agar selalu mengintai atau mendengarkan kalau Ki
Sudibyo bercakap-cakap dengan Niken Sasi. Maka, pada malam hari itu, ketika
melihat Ki Sudibyo bercaklap-cakap dengan Niken Sasi, ia cepat menyelinap dekat
jendela dan dengan hati-hati mendengarkan percakapan itu.
Sebelum Niken Sasi yang menerima keris itu bangkit meninggalkan ruangan, Jinten
mendahuluinya, pergi dengan berjingkat-jingkat. Kemudian wanita ini berlari ke
pondok Klabangkoro. Ketika tiba di sana Klabangkoro sedang bercakap-cakap dengan
Gajahpuro, puteranya. Biarpun di situ tidak ada orang lain lagi, Jinten nampak
meragu ketiak melihat pemuda itu.Memang ia merasa takut kepada Gajahpuro. Pernah
ia bersikap genit dan berusaha merayu Gajahpuro, akan tetapi perjaka ini
bukannya tertarik, bahkan menghardik dan memakinya! Sejak saat itu, ia tidak
berani lagi mendekati putera tokoh Gagak Seto itu. Melihat Jinten datang
berlarian, kemudian meragu sambil memandang kepada puteranya, Klabangkoro
berkata kepada Gajahpuro, "Anakku, Gajahpuro, engkau tinggalkanlah dulu ruangan
ini. Aku perlu bicara berdua dengan Jinten."
Gajahpuro bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan alis
berkerut. Dia tahu bahwa Jinten adalah orang kepercayaan ayahnya, akan tetapi dia tidak
tahu apa tugas Jinten. Dia tidak suka dan muak kepada gadis pelayan yang genit
itu. Setelah Gajahpuro pergi, Jinten lalu berkata, "Bendoro, saya membawa berita yang
teramat penting sekali ini! " kata Jinten dengan wajah gembira dan sepasang
matanya bersinar-sinar. "Akan tetapi bagaimana dengan janji paduka" Telah banyak jasa saya, akan tetapi
belum juga paduka memenuhi janji paduka kepada saya." kata Jinten dengan sikap
jual mahal dan manja. "Setan! Kurang banyakkah hadiah yang kuberiakan kepadamu berupa uang dan
pakaian" " bentak Ki Klabangkoro dengan mata melotot.
Jinten memainkan matanya dengan sikap menarik. "Eh, bukan itu yang saya
maksudkan. Soal hadiah memang sudah cukup, akan tetapi paduka pernah berjanji
akan mengembil saya sebagai selir."
Ki Klabangkoro tertawa, tangannya yang besar itu terulur dan di lain saat Jinten
sudah didekapnya dan diberiakan ciuman yang kuat, lalu dilepaskannya kembali.
Wanita itu sampai terengah-engah karena dipeluk kuat sekali.
"Ha-ha-ha, bodoh! Kalau engkau menjadi selirku, bagaimana engkau dapat
membantuku lagi" Soal menjadi selir itu mudah. Kalau sudah selesai tugasmu dan
tercapai cita-citaku menjadi ketua Gagak Seto, tentu engkau akan menjadi selirku
yang pertama. Yang pertama, kaudengar" Akan tetapi sekarang belum, tugasmu masih
banyak dan tugas itu baru dapat kau laksanakan kalau engkau menjadi pelayan
seperti sekarang. Mengerti" "
Jinten mengangguk-angguk, padahakekatnya, ia memang takut sekali kepada
Klabangkoro. Tadinya ia sendiri tergila-gila kepada Gajahpuro akan tetapi karena
semua usahanya merayu pemuda itu gagal, ia lalu hendak mengait ayahnya.Apalagi
setelah ia membantu Ki Klabangkoro dan mengetahui bahwa orang itu ingin menjadi
ketua Gagak Seto, ia membayangkan betapa akan terhormat dan senangnya kalau ia
menjadi selir ketua! Saya......saya mengerti......"
"Bagus! Nah, sekarang ceritakan apa berita penting itu! " Jinten bicara
perlahan, setengah berbisik dan mendekati Klabangkoro. "Saya mendengar
percakapan Ketua dan Niken Sasi. Yang pertama adalah supaya gadis itu pergi
mencari keris pusaka Tilam Upih milik kerajaan Daha yang hilang dan ketua telah
memberikan keris pusakanya Kyai Megantoro kepada Niken Sasi."
"Hemmm, apa yang kedua" "
"Yang kedua penting sekali. Ketua hendak mengangkat Niken Sasi menjadi
penggantinya kelak, menjadi ketua Gagak Seto."
"Keparat! Sudah kuduga! Hemmmm, setan cilik itu......! "Ki Klabangkoro mengepal
tangannya dan berjalan hilir mudik. "Kita harus cepat bertindak! Jinten, cepat
kau pergi mengundang adi Mayangmurko ke sini! "
Perintah itu cepat dilaksanakan. Sebagai seorang pelayan ketua, tentu saja
Jinten bebas berkeliaran di perkampungan Gagak Seto itu tanpa ada yang
mencurigainya sama sekali. Dan beberapa menit kemudian Klabangkoro dan
Mayangmurko sudah berhadapan di dalam bilik tertutp berdua saja.
"Celaka! Kalau begitu, kita harus cepat turun tangan, kakang Klabangkoro sebelum
terlambat! " kata Mayangmurko ketika mendengar bahwa Niken Sasi akan diangkat
menjadi ketua menggantikan Ki Sudibyo.
"Tenang dan sabarlah, adai. Kita harus mengatur rencana serapi mungkin agar
siasat kita jangan sampai gagal. Kebetulan sekali bocah itu mendapat tugas
mencari Keris Pusaka Tilam Upih. Bapa Guru tentu mempunyai alasan kuat mengapa
dia mempercaya bocah itu untuk mencari pusaka yang diperebutkan semua orang
gagah itu. Dan karena itu amat amapuh, sungguh menguntungkan sekali kita bisa
mendapatkannya, maka kita pergunakan kesempatan ini untuk keuntungan kita."
"Wah, memiliki pusaka Tilam Upih sungguh berbahaya, kakang. Pusaka itu milik
kerajaan Daha dan kalau kita mendapatkannya, tentu kita akan berhadapan dengan
kerajaan Daha. Berbahaya sekali! "
"Ha-ha-ha, kalaupusaka itu sudah berada di tangan kita, mudah saja nanti mencari
jalan terbaik. Klau mungkin kita miliki, kalau tidak mungkin, kita dapat
mengembalikan kepada kerajaan dan memperoleh imbalan jasa besar. Dan semua itu
akan kita dapatkan tanpa susah payah. Biarlah Niken Sasi mencarikan dan
mendapatkan untuk kita. Ha-ha-ha! "
"Wah, kakang Klabangkoro. Itu siasat yang bagus sekali! Jadi kita tidak langsung
turun tangan, akan tetapi menanti sampai bocah itu mendapatkan pusaka Tilam
Upih" " Untuk itu kita mesti minta bantuan gerombolan Jambuka Sakti. Karena tanpa
bantuan mereka, bagaimana mungkin kita dapat membayangi perjalanan Niken Sasi" "
"Dan bagaimana dengan Bapa Guru" "
"Kebetulan sekali Niken Sasi akan pergi. Siapa tahu ia memiliki kepandaian
tangguh dan ia tentu akan membela gurunya. Nah, kita tunggu sampai ia pergi,
lalu kita paksa Bapa Guru untuk menuliskan ilmu Hasta Bajra."
"Kalau dia menolak" "
"Hemm, untuk melawanpun dia tidak mampu."
"Tapi, kakang. Baru siang tadi dia berlatih Hasta Bajra dengan hebatnya di
ruangan itu! " kata Mayangmurko gentar.
"Jangan percaya! Mungkin dia dan Niken Sasi berlatih. Kalu Bapa Guru sudah
menyuruh bocah itu mencari pusaka, hal itu dapat dipastiakn berarti bahwa Niken
Sasi telah memiliki kepandaian yang tinggi. Bpa Guru sendiri masih lemah, apakah
yang dapat dia lakukan terhadap tekanan kita" "
"Akan tetapi pekerjaan ini berat dan berbahaya. Sebaiknya kalu kita pergi
menemui Ki Brotokeling dan membicarakannya dengan dia. Tanpa bantuan Jambuka
Sakti, aku khawatir kita gagal."kata Mayangmurko.
"Baik, marilah malam ini juga kita berkunjung ke sana." kata Ki Klabangkoro dan
kedua orang itu lalu menyusup dalam kegelapan malam. Mereka tidak perlu pergi ke
lereng Gunung Bromo tempat asal Jambuka Sakti, karena pada waktu itu, ketuanya,
Brotokeling sedang berada di sebuah hutan di kaki gunung Anjasmoro. Ki
Brotokeling mempunyai cita-cita yang besar, yaitu dia ingin menjadi datuk atau
penguasa dari Panca-Giri ( lima Gunung ). Kalau cita-citanya berhasil, dengan
menundukkan gerombolan-gerombolan yang berkuasa di lima gunung itu, maka dia
akan menjadi kepala dari para gerombolan di Gunung Semeru, Bromo, Kelud, Arjuna,
dan Anjasmoro! Dan kini dia sedang melakukan penjajagan, maka dia turun dari
Bromo dan sementara berada di kakai gunung Anjasmoro. Di sini dia mengadakan
sekutu dengan Ki Klabangkoro dan Mayangmurko yang berkeinginan menguasai Gagak
Seto. Demikianlah, Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko hanya memerlukan waktu setengah
malam saja untuk sampai di tempat kediaman sementara Ki Brotokeling, di kaki
gunung Anjasmoro, dalam sebuah hutan lebat.
Hutan di kaki gunung Anjasmoro yang dijadikan tempat tinggal sementara
gerombolan Jembuka Sakti itu kelihatan sepi saja, seolah tidak ada penghuninya.
Akan tetapi sesungguhnya di jantung hutan itu terdapat bangunan-bangunan pondok
darurat yang merupakan perkampungan kecil. Gerombolan itu terdiri kurang lebih
seratus orang, dipimpin sendiri oleh Jambuka Sakti setelah selama beberapa tahun
dia menyebar para pembantunya untuk menyelidiki keadaan lima buah gunung yang
akan ditaklukannya itu. Andaikata Ki Sudibyo masih kuat dan sehat seperti dahulu dan masih memegang
sendiri kendali perkumpulannya, jangan harap bagi Jembuka Sakti untuk bermukim
di hutan itu. Seluruh daerah pegunungan Anjasmoro sudah berda di bawah
pengawasan dan kekuasaan perkumpualan Gagak Seto. Akan tetapi, kini yang
berkuasa adalah Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko, dan mereka inilah yang
memperkenankan gerombolan Jembuka Sakti tinggal di situ karena memeng mereka
bersekutu dengan perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat itu. Ki
Brotokeling, ketua Jembuka Sakti, menjanjikan kepada Ki Klabangkoro untuk
membantu sehingga Klabangkoro dapat merebut kedudukan ketua Gagak Seto sedangkan
sebaliknya Klabangkoro menyatakan dukungannya kepada Jambuka Sakti untuk
menjagoi Panca-giri. Setelah tiba di dalam hutan, kedua orang pimpinan Gagak Seto itu, tidak berani
lancang melanjutkan perjalanan karena mereka tahu bahwa mereka telah tiba di
wilayah tempat persembunyian perkumpulan Jambuka Sakti. Ki Klabangkoro lalu
membuka mulutnya dan dari kerongkongannya terdengarlah suara parau seperti suara
seekor burung gagak. "Kraaaaakkk.........kraaaaakkkk......kraaakkk......! "
Hening sekali mengikuti bunyi suara burung gagak itu.Bahkan kicau burungpun
berhenti, seolah semua binatang merasa takut mendengar bunyi parau yang aneh
itu. Akan tetapi tidak lama kemudian terdengar suara gonggongan anjing atau srigala.
"Haunggg.....haunnnnggg..........! "
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, kita telah disambut." kata Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko juga
mengangguk. Mereka sudah mengenal pula bunyi srigala itu yang merupakan tanda
rahasia para anggota Jambuka Sakti.
Tak lama kemudian dari balik semak-semak bermunculan empat orang pria tinggi
besar berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan mereka berempat memegang
sebatang golok yang gagangnya berbentuk kepala srigala dengan ronce merah.
Agaknya empat orang ini mengenal Ki Klabangkoro dengan baik karena begitu
melihat dua orang pimpinan Gagak-seto itu, mereka berempat lalu menyimpan golok
mereka di sarung golok yang tergantung di pinggang kiri.
"Kiranya sampeyan berdua yang datang berkunjung, Ki Klabangkoro! " mereka
berkata sambil tertawa. "Benar, kawan. Kami ingin bertemu dengan Kakang Brotokeling." jawab Klabangkoro
sambil tertawa. "Kalian berdua memang sedang dinanti-nanti. Mari, silakan! Empat orang itu
menjuadi petunjuk jalan dan dua orang pimpinan Gagak Seto itu lalu mengikuti
mereka dari belakang, melalui semak-semak belukar dan pohon-pohon besar.
Akhirnya tibalah mereka diperkampungan Jambuka- sakti yang berada di tengah-
tengah hutan, di antara pohon-pohon raksasa. Di situ dibangun pondok-pondok
darurat. Karena ketua Jambuka-sakti memang sedang menanti-nanti kunjungan kedua orang
pimpinan Gagak-seto ini, maka mereka berdua segera disambut dan dipersilakan
memasuki pondok induk di mana sang ketua telah menanti mereka.
Tak lama kemudian. Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko sudah duduk bersila di atas
tiakr tebal, berhadapan dengan Ki Brotokeling. ketua Jambuka Sakti ini seorang
yang bertubuh jangkung kurus, berusia limapuluh delapan tahun. Biarpun tubuhnya
jangkungkurus akan tetapi penampilannya penuh wibawa. Kumis dan jenggot tebal
dan membuat dia kelihatan gagah dan menyeramkan. Sebagian mukanya yang kemerahan
itu tertutup kumis, jenggot dan cambang sehingga yang nampak hanya hidungnya
yang besar dan matanya yang tajam seperti mata burung elang.
"Bagus kalian datang! " kata Brotokeling. "Bagaimana perkembangan di Gagak-seto"
Dan bagaimana keadaan Ki Sudibyo sekarang" " tanya ketua Jambuka-sakti itu.
"Kabar penting yang kami bawa, kakang Brotokeling. Kami telah melaksanakan semua
pesan andika. Perkumpulan Gagak-seto praktis sudah berada di tangan kami.
Seluruh anak buah juga sudah tunduk kepada kami. Mereka semua telah ikut makan
hasil sepak-terjang dan ikut terlibat sehingga mau tidak mau mereka semua akan
setia kepada kami." "Bagus! Dan Ki Sudibyo tidak mengetahui semua itu" " tanya Brotokeling, "Apakah
dia sudah tidak lagi merasa penasaran dengan penyerangan yang dilakukan anak
buah kami sepuluh tahun yang lalu " "
"Ah, urusan itu sudah dia lupakan Brotokeling. Kami sudah melaporkan kepadanya
bahwa andika tidak tahu-menahu dengan serangan itu, bahwa penyerangan itu
mungkin dilakukan oleh anak buah Jambuka-sakti yang sudah keluar dari
perkumpulan dan bertindak liar. Diapun menghabiskan saja urusan sampai di situ.
Dan selama ini, dia hanya mengurung diri dalam sanggar pamujan."
"Ha-ha-ha, tidak kusangka Ki Sudibyo mempunyai hati selemah itu. Kalau dia
demikian cinta kepada isterinya, kenapa dia mengutus engkau untuk membunuhnya
bersama pacar isterinya itu" "
"Kami juga merasa heran sekali kakang. Dia sendiri yang menyuruh membunuh
isterinya yang menyeleweng, sekarang dia membenamkan dirinya dalam duka. Akan
tetapi hal itu malah kebetulan karena melemahkan semangatnya."
"Kalau begitu, kenapa kalian belum turun tangan" Sebaiknya menguasai Gagak-seto
secara sah, dengan membunuh Ki Sudibyo dan mengangkat diri sendiri menjadi
ketua. Kalau terjadi keributan kami akan membantu kalian menumpas semua
penghalang." "Itulah kesulitannya, kakang Brotokeling. Selama sepuluh tahun ini, Bapa Guru
hanya sibuk dengan muridnya yang baru, yaitu Niken Sasi. Dan baru kemarin kami
mendapat kenyataan yang amat mengejutkan. Di dalam ruangan tertutup yang hanya
ditempati Ki Sudibyo dan Niken Sasi, Bapa Guru telah berlatih aji Hasta-bajra
dengan hebat sekali! "
"Ahh! Dan kaukatakan dia telah menjadi lemah, baik badan maupun semangatnya" "
teriak Brotokeling penasaran.
"Memang sesungguhnya demikian, kakang. Bapa Guru makin hari makin lemah dan
setiap hari dia minum jamu. Akan tetapi di ruangan tertutup itu ada yang latihan
ilmu pukulan ampuh itu sampai terdengar suara gaduh dan dinding-dinding
tergetar." "Hemm, benarkah itu, adi Mayangmurko" "
Benar, kakang Brotokeling. Aku juga mendengarnya sendiri dan menurut keterangan
Niken Sasi, yang menimbulkan suara gaduh itu adalah Bapa Guru yang berlatih
Hasta Bajra." "Eh, Ladahlah! Jangan-jangan murid barunya, gadis bernama Niken Sasi itu yang
berlatih Hasta Bajra ! " kata Brotokeling dengan alis berkerut.
Klabangkoro dan Mayangmurko tertawa. "Ha-ha-ha, harap jangan khawatir, kakang
Brotokeling. Tadinya kami juga mempunyai dugaan seperti itu. Akan tetapi mana
mungkin bocah perempuan berusia delapanbelas tahun itu dapat menguasai Hasta
Bajra yang membutuhkan tenaga sakti yang besar" " kata Klabangkoro.
"Pula, andaikata benar demikian, kami sudah merencanakan siasat untuk
menaklukannya. Akan tetapi semua rencana kami membutuhkan bantuan kakang
Brotokeling." kata Mayangmurko.
"Tentu saja, kami akan membantu. Bukankah selama ini kita sudah saling membantu"
Nah, sekarang ceritakan, apa rencana siasat kalian itu agar aku dapat
melaporkannya kepada Kanjeng Gusti! "
Ki Klabangkoro mengamati wajah tuan rumah dengan penuh selidik.
"Kakang Brotokeling, sebelum kami menceritakan rencana kami, lebih dahulu kami
mohon sukalah kiranya andika memberitahukan kepada kami, siapa sesungguhnya
Kanjeng Gusti itu. Kami sepantasnya mengetahui untuk siapa kami bekerja dan
menghambakan diri." "Benar sekali, kakang Brotokeling kami harus tahu kepada siapa kami mengabdi."
sambung Mayangmurko. Ki Brotokeling membelalakkan matanya dengan marah. "Andika berdua sungguh
lancang mulut! Apakah kalian sudah tidak sayang lagi kepada nyawa kalian"
Merupakan pantangan besar untuk mencoba mengetahui siapa Kanjeng Gusti. Aku
sendiripun belum pernah melihat wajahnya yang sesungguhnya. Sudah kukatakan
dahulu bahwa kalau dikehendaki Kanjeng Gusti, beliau akan memperkenalkan diri
sendiri kepada kita. Sekarang yang penting, kita tahu bahwa kita menghambakan diri kepada Kanjeng
Gusti, menerima upah yang besar, bahkan kelak akan diberi kedudukan tinggi. Akan
tetapi siapa mengkhianatinya, biarlah akan lari ke neraka sekalipun tentu akan
dapat ditangkap dan dihukum. Cukup kukatakan bahwa kekuasaan Kanjeng Gusti tidak
terbatas. Jangan ulangi lagi pertanyaan goblok itu."
Kalbangkoro dan Mayangmurko beruabh agak pucat wajah mereka mendengar ini.
"Maafkan kami.Sebetulnya kami bertanya bukan karena curiga ataun tidak percaya,
melainkan agar yakin dan menambah besarnya kesetiaan kami. Akan tetapi kalau itu
merupakan pantangan besar, biarlah kami mencabut kembali pertanyaan itu. Sekali
lagi harap maafkan kami, kakang Brotokeling."
"Sudahlah, adi Klabangkoro, jangan singgung lagi persoalan itu. Sekarang lebih
baik ceritakan segala yang terjadi dan apa yang kalian rencanakan.
Klabangkoro dan Mayangmurko lalu menceritakan semua yang mereka ketahui tentang
Ki Sudibyo dan Niken Sasi. Betapa gadis itu diberi tugas oleh Ki Sudibyo untuk
mencari pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya.
Kemudian menceritakan pula betapa Niken Sasi akan diangkat menjadi ketua Gagak
Seto menggantikan Ki Sudibyo.
"Walah-walah........! Itu gawat sekali! " kata Ki Brotokeling sambil mengepal
tinju. "Soal mencari pusaka Tolam Upih, kami sudah mendengar karena Kanjeng Gusti juga
memberi perintah kepada kami untuk embantu dan memperebutkannya. Akan tetapi,
kalau gadis itu hendak diangkat menjadi ketua Gagak Seto, hal ini berbahaya
sekali. Kalian tentu akan kehilangan kekuasaan atas anak buah Gagak Seto. Lalu
apa rencana kalian untuk menghadapi semua itu" Memang mencurigakan sekali. Kalu
gadis itu hendak dijadikan ketua, bukan mustahil ia sudah menguasai Hasta-
bajra." Harap jangan khawatir, kakang Brotokeling. "Kami sudah mengatur rencana siasat
begitu. Kalau gadis itu sudah menguasai Hasta Bajra, kami akan berusaha agar ia
dapat menjadi jodoh puteraku sehingga aji itu akan dengan mudah kita kuasai
kalau ia sudah menjadi mantuku. Kami akan menggunakan siasat agar puteraku
berjasa dan ia berhutang budi kepada Gajahpuro, anakku. Andaikata siasat ini
gagal, kami masih dapat menggunakan saisat lain, yaitu menodainya agar ia
terpaksa mau menjadi isteri Gajahpuro untuk mencuci aib. Langkah kami yang
kedua, kami akan membayangi Niken Sasi membiarkan ia mendapatkan Tilam Upih.
Baru setelah itu kami merampasnya dari tangannya, Akan tetapi untuk menjamin
keberhasilan rencana ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan kakang
Brotokeling, karena untuk membayangi gadis itu, apalagi kalu benar-benar ia
menguasai aji Hasta Bajra, tidaklah mudah dan membutuhkan anak buah yang kuat."
"Hemm, jangan khawatir. Untuk mengatasi gadis itu, serahkan kepada kami. Akan
tetapi, bagimana rencana kalian terhadap Ki Sudibyo" Kenapa sampai sekarang dia
dibiarkan hidup dan belum juga kalian usahakan agar aji itu jatuh ke tangan
kalian" "Untuk menghadapi Ki Sudibyo kamipun sudah mempunyai rencana siasat yang matang,
kakang. Kalau benar seperti yang kami lihat dan duga bahwa Ki Sudibyo itu sudah
menjadi seorang kakek yang lemah, tentu saja hal itu amat mudah. Kami akan
memaksanya untuk mengajarkan Hasta Bajra kepada kami dengan membuatkan
kitabnya." "Hemm, aku sudah lama mengenal Ki Sudibyo dan dia adalah seorang laki-laki yang
berhati sekeras baja. Bagaimana mungkin kalian akan dapat memaksanya" Orang
macam dia tidak takut mati, dan kalau tidak mau menyerahkan, biar dia sudah
menjadi lemah dan kalian ancam, akan sukarlah untuk dapat memaksanya manyerah."
"Untuk itupun kami sudah merencanakan siasat yang pasti akan berhasil." Kata
Klabangkoro gembira. "Pendeknya, serahkan urusan meminta Ki Sudibyo membuatkan
kitab pelajaran aji Hasta Braja itu kepada kami. Adapun mengenai pekerjaan
membayangi Niken Sasi, kemudian kelak menguasainya kalau kami gagal dengan
pengerahan tenaga, kami harap kakang Brotokeling membantu kami."
"Baik, sekarang membagi tugas. Ingat, kalau aji Hasta Braja sudah berhasil
dibuatkan kitabnya, kalian harus memberi kesempatan kepadaku untuk
mempelajarinya." "Wah, kakang Brotokeling sudah sakti mandraguna, untuk apa lagi mempelajari
Hasta Bajra" " Klabangkoro mencela.
Ki Brotokeling mengelus jenggotnya. "Pernah akau mengadu ilmu dengan Ki Sudibyo.
Kami setanding dan aku pasti tidak akan kalah olehnya kalau saja dia tidak
mempergunakan Hata-bajra. Karena itu, setelah kalian berhasil memperoleh kitab
pelajaran aji itu, aku harus ikut mempelajarinya. Dan kalian tidak boelh
menolaknya, atau mungkin andika berdua tidak suka bekerja di bawah kekuasaan
Kanjeng Gusti. Dan tidak suka bekerja sama itu berarti menetang! "
Demikianlah, setelah berbincang-bincang dan mengatur siasat, dua orang pimpinan
Gagak Seto itu meninggalkan hutan dan kembali ke lereng Anjasmoro.
Perbuatan jahat yang bagaimanapun juga tidak akan tersa jahat bagi pelakunya.
Seperti yang dilakukan oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga Brotokeling itu,
yang mengadakan persekutuan untuk mencelakakan Ki Sudibyo. Bagi mereka,
perbuatan mereka itu sama sekali tidak jahat! Demikian pula bagi semua manusia
di dunia ini. Mereka semua menganggap bahwa apapun yang mereka lakukan itu adalah benar dan
tidak jahat. Mengapa demikian" Karena semua perbuatan itu mereka lakukan dengan
pamrih demi kebaikan dan kesenangan diri pribadi! Dan melakukan perbuatan untuk
menyenangkan diri ini mereka anggap tidak jahat! Mereka anggap sebagai "
perbaikan nasib"! Nafsu daya rendah yang sudah bergelimang dalam hati akal
pikiran siap untuk menjadi pokral membela semua perbuatan kita. Ada saja alasan
yang mereka kemukakan untuk menutupi kesalahan perbuatan kita, atau setidaknya
untuk mengurangai kadar kejahatanya. Seorang maliang dibela hati pikirannya
sendiri bahwa dia melakukan pencurian demi membela perut keluarga, demi
membiayai hidup mereka, dan sebagainya.
Seorang pembunuh dibela hati akal pikirannya bahwa dia membunuh karena yang
dibunuh itu jahat sekali sehingga pembunuhan yang dilakukannya itu malah baik!
Seorang koruptor dibela hati pikirannya sendiri bahwa korupsi yang dilakukan itu
adalah hal yang wajar dan umum, bahwa semua karyawan juga melakukannya, demi
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, membayar uang sekolah anak-anak mereka
yang mahal dan sebagainya. Pendeknya, semua perbuatan akan dibela oleh hati
pikirannya sendiri, karena hati akal pikan itu, seperti juga perbuatan, telah
dicengkeram oleh nafsu daya rendah yang merebut tahta kerajaan dalam diri dan
menyebut diri sendiri sebagai aku yang penting! Nafsu daya rendah sedemikian
kuatnya mencengkeram diri lahir batin, dan nafsu itu amatlah julingnya, amat
pandai dan bersalin rupa. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain yang akan mampu
mengalahkannya dan menaklukannya kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa!
Hanya dengan menyerah kepada kekuasan tuhan sajalah yang akan dapat membersihkan
Dewi Penyebar Maut I X 1 Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa Raja Lihai Langit Bumi 2
kurang dari sepuluh orang sudah roboh terkena tikaman kerisnya, hantaman tangan
kirinya atau tendangan kakinya. Akan tetapi, betapapun kuatnya, dia hanya
seorang diri. Bagaimana mungkin dapat melawan puluhan orang lawan yang
kesemuanya jelas merupakan orang yang sudah biasa berkelahi" Raden Mas Ramsang
yang telah mendapat beberapa luka di tubuhnya, meneriaki isterinya agar membawa
lari Niken Sasi. "Dajeng, larilah! Bawa anak kita berlari.........!" Dia berteriak, akan tetapi
terpelanting ketika sebatang golok menyerempet pundak kirinya.
"Kakangmas.........!" Dewi Muntari menjerit melihat suaminya roboh. Ia mendorong
punggung puterinya. "Niken larilah! Cepat!!"
Didorong sampai terhuyung oleh ibunya dan mendengar ibunya berteriak agar ia
melarikan diri, Niken Sasi yang biasanya taat kepada ibunya itu, kini
menanatinya dan larinya anak inipun menantinya, dan larilah anak ini tunggang
langgang. Sang ibu, bagaikan seekor singa betina, menerjang ke depan dengan sebatang keris
kecil. Dengan kerisnya itu ia berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Akan
tetapi tusukan kerisnya yang kedua itu terselip di antara tualang iga lawan dan
sukar dicabutnya kembali, dan pada saat itu , sebuah tangan yang besar menangkap
pergelangan tangannya, memutar pergelangan tangan itu sehingga ia terpaksa
melepaskan kerisnya. Pada saat itu, tubuhnya sudah ditelikung dan dipondong
seorang pria tinggi besar yang tertawa bergelak sambil memerintahkan anak
buahnya untuk membunuh Raden Mas Ramsang.
Biarpun luka-luka di tubuhnya sudah membuat dia mandi darah tenaganya hampir
habis, akan tetapi melihat isterinya dipondong seorang penjahat, Raden Mas
Ramsang mengeluarkan gerengan seperti seekor harimau dan diapun melompat maju
untuk menyerang Si tinggi besar yang memondong isterinya. Akan tetapi dia
disambut oleh lima orang yang menggerakkan golok mereka. Kerisnya dapat
merobohkan seorang lawan, akan tetapi dia sendiri roboh dengan dada dan leher
robek-robek! "Kakangmas..............!!" Dewi Muntari terkulai lemas dalam pondongan
penawannya, pingsan karena duka dan ngeri melihat kematian suaminya.
Gerombolan itu meninggalkan tempat itu sambil membawa teman-teman mereka yang
terluka atau tewas, dan meninggalkan mayat Raden Mas Ramsang menggeletak di
tempat yang kembali menjadi sunyi.
Yang memondong tubuh Dewi Muntari adalah pimpinan rombongan, seorang raksasa
ber- muka penuh bopeng yang tubuhnya kuat sekali. Mereka menuju ke balik bukit
dan Dewi Muntari mulai siuman dari pingsannya. Ia menggeliat dan ketiak
mendapatkan dirinya dalam pondongan lengan yang besar itu, ia terkejut dan
segera teringat akan segala yang telah terjadi. Cepat ia mengepal tangannya dan
menghantam ke arah leher orang yang memondongnya.
"Wuuuttt.......plakk.......!!" Pukulan itu cukup kuat dan si raksasa bopeng
terkejut bukan main,lehernya terasa nyeri dan terpaksa ia melepaskan wanita itu.
Dewi Muntari sudah meloncat ke atas tanah dan biarpun ia sudah tidak memegang
senjata, ia bertekat melakukan perlawanan sampai mati. Ia berdiri tegak. Kedua
tangan terkepal dan siap melakukan bela diri.
"Ha-ha-ha.Kakang Blendu, engkau kena sepak kuda betina itu". Ha-ha-ha!" Yang
menertawakan itu adalah seorang pria jangkung bermuka pucat, yang merupakan
pembantu atau wakil dari Ki Blendu, pimpinan gerombolan itu.
"Hushh, jangan mengejek kau!" Bentak Ki Blendu dengan suara geram dan dia
mengusap-usap leher yang terpukul tadi. Kulitnya kebal dan tebal seperti kulit
badak, dan biarpun pukulan yang dilakukan Dewi Muntari tadi mengandung kekuatan
dan hawa sakti, namun hanya mendatangkan rasa nyeri sedikit, sama sekali tidak
melukainya. Setelah mengusap lehernya, Ki Blendu melangkah maju menghadapi Dewi Muntari dan
dia tertawa. Tawanya sampai mengakak menyeramkan dan Dewi Muntari bergidik.
Orang ini seperti bukan manusia, pikirnya. Mukanya penuh bopeng yang besar-
besar, seperti kulit salak, dan matanya begitu besar seperti mendelik terus,
hidung dan mulutnya juga besar. Otot melingkar-lingkar di seluruh tubuh pria ini
yang usiany tentu tidak kurang dari empat puluh tahun.
Hua-ha-ha-ha, bojleng-bojleng iblis laknat! Setiap mawar yang harum tentu
mengandung duri ! Akan tetapi tamparanmu tadi bagiku seperti dipijat, wong ayu !
Terasa hangat,nyaman dan enak! Mari mari manis, mari kupondong lagi. Tak lama
lagi kita kan sampai di tempat tinggalku dan engkau akan menjadi isteriku yang
tersayang, terkasih, ha-ha-ha-ha!"
"Keparat jahanam! Engkau kejam, engkau tidak berprikemanusiaan. Kalian
mengeroyok dan membunuh suamiku Raden Mas Rangsang dan engkau hendak menagkap
aku! Padahal di antara kita belum pernah saling mengenal atau ada urusan kenapa
engkau bertindak begini kejam kepada kami"
Ha-ha-ha, jangan salah mengerti, wong ayu. Aku, Ki Blendu, sama sekali tidak
kejam, bah- kan amat menyayang wanita cantik jelita seperti andinda. Kami hanya
menjadi orang-orang suruhan manis. Bukan kami yang bermaksud memusuhi
keluargamu. Semua ini adalah untuk memnuhi keinginan Gusti Pangeran Panjiluwih.
Ha-ha-ha-ha !" Ki Blendu merasa aman membuka rahasianya itu karena Raden Mas
Rangsang kini telah terbunuh dan isterinya kini sudah berada di tangannya.
Wajah Dewi Muntari menjadi pucat sekali dan kedua matanya terbelalak, tangan
kirinya diangkat ke depan mulutnya yang ternganga saking terkejut dan herannya
mendengar pengakuan raksasa itu. Pangeran Panjiluwih" Akan tetapi, pangeran itu
adalah kakak sendiri lain ibunya. Kakak tirinya. Pangeran Panjiluwih juga
seorang putera Sang Prabu Jayabaya yang lahir dari seorang selir yang bersal
dari Blambangan. Akan tetapi kenapa" Selama ini hubungan di antara mereka baik
dan biasa-biasa saja, bahkan keluarga Pangeran Panjiluwih juga agaknya memnadang
rendah kepadanya sehingga diantara mereka taidak ada hubungan dekat. Dengan
sendirinya tidak ada permusuhan di antara mereka. Mengapa kini pangeran itu
menyuruh gerombolan untuk membunuh keluarganya" Terbayang di mata Dewi Muntari
suaminya yang roboh mandi darah dan tewas, juga wajah puterinya yang melarikan
diri entah ke mana. "Jangan bohong kau!" ia membentak karena masih juga belum dapat percaya.
"Ha-ha-ha-ha, wanita cantik itu memang biasanya bodoh!" Ki Blendu tertawa lagi.
"Percaya atau tidak terserah wong ayu. Yang penting, kami sudah melaksanakan
tugas dan menerima upahnya. Nah, sekarang ke sinilah, akan kupondong engkau agar
kedua kakimu yang indah itu tidak menjadi kelelahan manis."
Ki Blendu menubruk ke depan untuk merangkul Dewi Muntari. Akan tetapi sang
puteri mengelak dan tangannya menampar ke arah muka raksasa itu.
"Ha-ha-ha!" Ki Blendu menangkis dan langsung menangkap lengan itu. Dewi Muntari
hanya belajar ilmu kanuragan dari suaminya setelah ia menikah maka tentu saja
ilmunya tidak dapat dibandingkan dengan tenaga Ki Blendu yang besar. Ia sudah
diringkus lagi dan meronta-ronta dalam pondongan dua lengan besar itu,
ditertawakan oleh Ki Blendu dan anak buahnya.
Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan menyeramkan. Suara tawa itu pendek-
pendek, bukan seperti suara tawa melainkan seperti suara leher tercekik.
"Kek-kek-kek-kekkk! Kerbau gendut tolol, Lepaskan ia!" Ki Blendu tiba-tiba
merasa kedu lengannya seperti lumpuh sehingga di terpaksa melepaskan
pondongannya dan Dewi Muntari cepat melompat ke dekat seorang kakek yang tiba-
tiba saja muncul dan berada di situ. Melihat kakek ini, Dewi Muntari merasa
ngeri juga. Muka kakek itu seperti muka tengkorak dibungkus kulit saja, demikian
kurus. Apalagi sepasang matanya yang cekung ke dalam itu mengeluarkan sinar
berapi-api. Usianya tentu sudah tua sekali, sedikitnya sembilan puluh tahun ,
pakaiannya juga hanya kain dilibat-libatkan tubuhnya yang kurus kering. Kain itu
sudah kuamal dan kotor sehingga keadaan kakek ini menjijikkan, seperti seorang
gembel tua berpenyakitan.
Akan tetapi,tentu saja ia memilih dekat dengan kakek ini daripada dengan Ki
Blendu dan anak buahnya, maka iapun lalu berdiri di belakang kakek itu untuk
berlindung. "Kek-kek-kekkk.........laki-laki macam kalian ini tidak berharga untuk mendekati
seorang dewi kahyangan, kek-kek-kekkk!" kakek itu menudingkan telunjuknya yang
tinggal tulang terbungkus kulit dan kini Dewi Muntari melihat persamaan antara
kakek ini dengan seorang tokoh pewayangan, yaitu seorang tokoh yang amat sakti,
cerdik licik dan curang, yaitu bernama Begawan atau Danyang Durna! Tubuh yang
kurus bongkok itu, muka yang seperti tengkorak, sungguh amat menyeramkan, akan
tetapi karena kakek itu agaknya hendak melindunginya, maka Dewi Muntari
memberanikan diri mendekat.
"Babo-babo, kakek tuwek elek!" Bentak Ki Blendu marah sekali. "Siapa andika tua
bangka mau mampus berani mencampuri urusanku dengan isteriku sendiri! Dia
isteriku, jangan mencampuri urusan rumah tangga orang!"
"Tidak, eyang..........saya bukan isterinya. Dia penjahat besar, dia bahkan
telah membunuh suamiku!" kata Dewi Muntari.
"Kek-kek-kekk......!. Tentu saja kerbau gendut ini berbohong. Ah, nini dewi,
siapakah namamu " "Nama saya Dewi Muntari, eyang. Harap suka menyelamatkan saya dari tangan para
penjahat keji ini." "Kek-kek-kekk.........benar dugaanku. Engkau seorang dewi. Heh, kerbau-kerbau
busuk, hari ini kalian bertemu. Kolokrendo, sama saja dengan bertemu Yamadipati,
kalian akan mampus semua, kek-kek-kekkk!"
Ki Blendu menjadi marah sekali. Dia menggerakkan tangannya, memberi isyarat
kepada anak buahnya untuk menyerbu. "Bunuh kakek tua bangka gila ini, biarkan
aku menangkap kembali calon isteriku!"
Puluhan orang itu berbesar hati. Kalau cuma membunuh seorang tua bangka
kerempeng seperti itu mudah saja. Sekali bacokpun beres. Tiga orang yang berada
paling depan sudah mengayun golok mereka ke arah tubuh kakek itu. Kakek itu
agaknya sama sekali tidak mengelak dan Dewi Muntari sudah merasa ngeri . Tulang-
tulang kakek itu tentu akan berantakan diserang tiga batang golok yang bergerak
cepat dan amat kuat itu. "Krak-krak-kark......!" Tiga batang golok itu bertemu tulang tangan terbungkus
kulit dan patah-patah! Dan tiga orang itu terbelalak, lalu memekik mengerikan
ketika jari-jari tangan yang panjang melengkung itu berturut-turut menancap di
batok kepala mereka dan mereka pun terjengkang roboh dengan kepala berlubang-
lubang, mengucurkan darah bercampur otak!
Dewi Muntari sampai hampir muntah meliahat ini, akan tetapi para penjahat itu
menjadi marah sekali. Merekapun seperti sekumpulan semuat maju mengeroyok dengan
golok mereka. Bahkan Ki Blendu juga merasa penasaran, lalu sekali meloncat dia
sudah berda di belakang kakek yang mengaku bernama Kolokrendo itu. Goloknya
menyambar ke arah kepala kakek itu.
"Wuuuuuttt......plakkk!" Kepala itu tepat dihantam golok dalam tangan Ki Blendu,
akan tetapi bukan kepala itu yang pecah, melainkan Ki Blendu yang terhuyung ke
belakang. Dia merasa seperti sedang membacok baja yang amat kuat. Dan selagi dia
terhuyung, kakek itu membalikkan tubuhnya, tangan kirinya mencuat ke depan dan
terdengar Ki Blendu menjerit mengerikan. Tangan kiri kakek itu ternyata sudah
mencengkeram dada Ki Blendu dan jari-jari tangan yang kurus itu telah menencap
dan masuk ke dalam dada yang bidang itu! Tangan itu mencengkeram ke dalam dan
ketika ditarik keluar ......jari-jari tangan yang berlepotan darah itu telah
menggenggam sepotong jantung yang masih menggelempar hidup !
"Keke-kek-kekkk........jamu obat kuat, obat muda, kek-kek-kekk!" Kemudian Dewi
Muntari menyaksikan penglihatan yang sedemikian mengerikan sehingga ia menutupi
muka dengan kedua tangannya. Kakek kurus itu ternyata makan jantung yang segar
itu dengan lahapnya, dan kaki tangannya terus bergerak ke sana sini dan
terdengar pekik-pekik keskitan dari mereka yang nyawanya direnggut maut. Setiap
tendangan atau setiap tamparan itu mematikan. Dalam waktu singkat saja duapuluh
orang lebih telah tewas! Tentu saj kini yang lain menjadi ngeri dan ketakutan.
Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi kini kakek itu seperti dapat terbang
ke sana sini, menyambar-nyambar dan sisa gerombolan itu roboh malang melintang
dengan kepala pecah! Akhirnya, tidak seorangpun di antara mereka dapat lolos
dari maut di tangan Kolokrendo! Bahkan mereka yang tadinya terluka oleh
pengamukan Raden Mas Rangsang dan sedang dibawa oleh kawan-kawan mereka kini
tidak terbebas dari pada maut yang lebih mengerikan lagi.
"Keke-kek-kek-kekkkk, .......!" Kakek itu tertawa-tawa aneh dan menggunakan
pakaian para korbannya untuk mengusap mulut dan kedua tangannya. Kemudian baru
dia menghampiri Dewi Muntari. Wanita ini memang tadinya girang mendapat
pertolongan kakek itu, akan tetapi ketika menyaksikian sepak terjang kakek itu,
ia merasa ngeri dan ketakutan. Ia berhadapan dengan makhluk yang tidak seperti
manusia lagi. Seorang iblis haus darah! Maka, ketiak Kolorendo maju
menghampirinya, Dewi Muntari mundur-mundur dengan ketakutan.
"Kek-kek-kekkkk, mereka semua telah mampus, Dewi."
Dewi Muntari merangkap kedua tangan memberi hormat. "Terima kasih atas
pertolongan eyang. Sekarang saya harus pergi dari sini!" Bergegas diankatnya
ujung kainnya agar ia dapat berjalan lebih cepat meninggalkan tempat itu, tanpa
menoleh lagi. Hatinya sudah merasa tenang karena tidak terdengar suara apapun.
Kakek ituagaknya mengejarnya. Akan tetapi ketika ia tiba di sebuah tikungan,
tiba-tiba saja ia terperanjat melihat kakek itu suadh berada di depan sana,
berdiri membungkuk sambil mengeluarkan bunyi tawa seperti leher tercekik.
Dengan jantung berdebar tidak karuan, badan panas dingin Dewi Muntari memutar
tubuhnya dan berlari pergi kelain jurusan. Ia mengerahkan tenaga berlari secepat
mungkin dan kini ia hampir yakin bahwa kakek itu tidak mengejarnya. Hampir putus
napasnya dipakai berlari cepat itu. Akan tetapi, tiba-tiba kedua kakinya
tertahan dan ia tidak mampu bergerak saking takutnya. Terdengar suara itu. "Kek-
kek-kek-kekkk.......!"akan tetapi orangnya tidak nampak. Selagi memandanf ke
kanan kiri, tiba-tiba terdengar suara dari atas.
"Dewiku, engkau tidak akan dapat pergi begitu saja. Engkau harus ikut denganku!"
Muntari memandang ke atas dan ternyata kakek itu sudah duduk ongkang-ongkang di
atas sebatang dahan pohon.
"Eyang...... ahh, biarkan saya pergi, eyang. Saya memohon..... biarkan saya
pergi ......" katanya dengan suara lirih saking takutnya.
"Kek-kek-kekkk........! Enak saja.Andika harus menemani aku, mengusir kesepian
hidupku, kek-kek-kekkkk!"
Kini tubuh kakek itu melayang turun dari atas dahan pohon. Dewi Muntari hendak
lari, akan tetapi begitu tangan kakek itu menyambar dan menyentuh pundaknya,ia
tidak lagi dapat bergerak dan berdiri saja seolah tubuhnya sudah berubah menjadi
patung! "Kek-kek-kekkk......., andika cantik, Dewiku!" Jari-jari yang kurus dan keras
itu membelai dagu dan Dewi Muntari masih dapat merasa betapa jari-jari tangan
itu dingin seperti batang pohon pisang. Mengerikan sekali! Dan lebih mengerikan
lagi, ketika ia berusaha untuk menghindarkan diri dari tangan itu, ia tidak
mampu menggerakkan kepalanya! Seolah ada daya yang amat kuat yang membuat
kepalanya menempel pada jari-jari tangan itu.
Pada saat tangan yang berjari kurus kering itu hendak merayap lebih lanjut,
tiba-tiba terdengar suara yang lebih menyeramkan lagi. Kalau suara tawa kakek
itu seperti leher dicekik, suara tawa ini mengiki seperti suara siluman dari
balik kubur. "Hih-hih-hih-hih!"
Aneh sekali, kakek tengkorak hidup yang sakti mandraguna itu, begitu mendengar
suara tawa ini, kelihatan terkejut sekali dan dijauhkannya tangannya dari tubuh
Dewi Muntari, bahkan dia melangkah mundur. Matanya memandang ke arah satu
tempat. Dewi Muntari memutar tubuhnya memandang dan iapun terkejut bukan main, merasa
seolah ia tidak berada di dunia tempat tinggal manusia, melainkan di ambang
neraka tempat tinggal jin setan iblis. Di depannya berdiri seorang nenek yang
walaupun tidak lebih buruk dari pada Ki Kolokrendo, namun tidak kalah aneh dan
mengerikan. Usia nenek itu sekitar delapan puluh tahun, tubuhnya pendk gendut.
Wajahnya biasa-biasa saja, akan tetapi yang aneh dan menjadi mengerikan adalah
betapa wajah ini tertutup bedak putih yang tebal, ditempat alis yang sudah tidak
berbulu itu dicoreti penghitam alis yang panjang melengkung,dan pada pipi dan
bibirnya diberi pemerah bibir yang menyolok sekali. Pakaiannya hanya merupakan
kain yang dilibat-libatkan tubuh, akan tetapi kain itu terbuat dari pada sutera
halus dan mahal! Dan gerak geriknya! Minta ampun! Lebih genit daripada seorang
dara remaja! Akan tetapi saat itu agaknya nenek ini sedang marah sekali. Mulutnya
menyeringai, tersenyum tidak cemberut pun tidak, hanya menyeringai seperti
memamerkan giginya yang masih lengkap sehingga nampaknya semakin aneh.Mukanya
yang ditutupi bedak putih seperti topeng itu tidak menuenjukkan perasaan apapun,
akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan sinar mencorong yang ditujukan kepada
kakek itu, tanda bahwa ia sedang marah.
"Keprat busuk kau Kolokrendo! Batas terakhir kau langgar, berarti engkau harus
siap menerima kematianmu sebagai hukuman!"
Aneh sekali. Kakek yang demikian sakti mandraguna, yang membunuhi puluhan orang
muda perkasa dengan amat mudahnya, kini menjadi pucat dan tubuhnya menggigil
menghadapi wanita pendek gembrot itu.Dan demikian besar rasa takutnya sehingga
diapun menjatuhkan diri berlutut sambil menangis! Dan tangisnya juga bersuara
seperti leher dicekik, "Kek-kek-kek-kekkk......! Ampunkan aku sekali ini, Ni
Durgogini. Ampunkan aku.....aku belum ingin mati........."
"Hih-hi-hi-hik! Beberapa kali sudah engkau minta ampun seperti ini" Lupakah
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
engkau yang terakhir kali ketika engkau menagkap dua orang gadis dusun itu" Aku
masih mengampunimu dan mengatakan itu yang terakhir kalinya dan kalau engkau
melanggar aku akan membunuhmu! Dan apa yang kau lakukan sekarang" Tetap saja
engkau menyakitkan hatiku, tergila-gila seorang wanita muda yang cantik. Akan
tetapi mengingat bahwa sudah banyak berjasa di waktu dahulu, aku memberi
kesempatan kepadamu. Kalau engkau mampu menahan seranganku selama lima puluh
jurus, engkau boleh bebas dan boleh pergi dari sini!"
Ahh, Ni Durgogini. Mana berani aku melawanmu" Ampunkan aku, aku sudah bertaubat,
sungguh mati......."
"Sumpahmu tidak ada harganya secuil pun! Sejak dahulu engkau kuperlakukan dengan
baik, kuberi pelajaran segala macam ilmu, bahkan kuberikan tubuhku kepadamu.
Akan tetapi berulang kali engkau menyakiti hatiku. Sudahlah, bersiaplah untuk
menghadapi seranganku selama limapuluh jurus, atau aku akan bunuh engkau
seketika juga walaupun engkau tidak akan melawanku! "
Nenek itu berbicara dengan amat cepat dan cerewet sekali. Suaranya melengkin-
lengkin. Akan tetapi, ada sesuatu pada nama itu. Terdengar tidak asing baginya,
atau setidaknya, ia pernah mendengar nama itu disebut-sebut oleh ayahnya, Sang
Prabu Jayabay. Ah, sekarang teringatlah ia.Terjadinya belasan tahun yang lalu.
Ia berusia enambelas tahun ketika itu, dan belum lama datang dari gunung diantar
kakeknya menghadap Sang Prabu Jayabaya dan diteriam sebagai seorang puterinya.
Pada suatu pagi ia mendengar para pengawal dan para puteri bicara bahwa Sang
Prabu Jayabaya semalam menerima seorang tamu yang aneh. Tamu itu seorang nenek
yang tua dan penuh rahasia, kabarnya tahu-tahu berada di istana, tanpa ada yang
mengetahui kapan masuknya! Tentu saja menimbulkan geger, akan tetapi Sang Prabu
Jayabaya muncul dan melarang para pengawal untuk mengganggu nenek yang katanya
hendak menghadap itu. Bahkan nenek itu diterima oleh Sang Prabu Jayabaya di
ruangan dalam dan bercakap-cakap berdua saj. Dan nenek itupun tahu-tahu telah
pergi, tanpa ada orang lain mengetahui kepergiannya. Hal yang aneh ini
mengganggu pikirannya dan sebagai puteri baru yang lebih berani karena belum
mengenal adat istiadat di istana. Dewi Muntari lalu bertanya kepada ayahnya
tentang tamu yang penuh rahasia itu. Dan ketika itulah ayahnya menyebut nama Ni
Durgogini! Menurut ayahnya, Ni Durgogini adalah seorang tokoh besar di dunia
orang-orang sakti dan menghadapnya untuk menghaturkan sebatang keris pusaka.
Menurut penuturan para penghuni istana, ayahnya adalah seorang raja yang sakti
mandraguna dan mata bijaksana, sehingga banyak orang sakti di dunia ini tunduk
kepadanya dan menyerah tanpa dipergunakan kekerasan.
Kini Dewi Muntari menonton dengan hati penuh ketegangan. Biarpun kakek yang
bernama Ki Kolokrendo itu ketakutan, akan tetapi ketika dia diserang, diapun
cepat melompat, menghindar dan membalas serangan nenek itu.
Dewi Muntari adalah seorang yang pernah mempelajari ilmu kanuragan dari mendiang
suaminya. Karena itu ia tidak merasa asing dengan gerakan silat. Akan tetapi
sekali ini ia hanya bengong, sama sekali tidak mampu mengikuti gerakan dua orang
yang sedang bertanding itu. Hebat sekali pertandingan itu. Kalau tadi Ki
Kolokrendo membunuhi puluhan orang dengan enak dan mudah seperti orang membubuti
rumput saja, sekali ini dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan
seluruh kepandaiannya untuk membela diri dari serangan wanita yang selama ini
menjadi isterinya, juga gurunya!
Mereka berdua menggunakan tenaga sakti sehingga di sekitar tempat itu dilanda
angin yang mengemuk seperti badai, seolah-oleh dalam hutan itu terdapat banyak
raksasa atau iblis yang mengamuk. Dan sambil berkelahi mati-matian, mereka
berdua tetap mengeluarkan suara mereka yang khas.
"Kek-kek-kek-kekkkk..........! "
"Hihi-hi-hi-hi-hik.........! "
Dewi Muntari bersembunyi di balik sebatang pohon besar. Angin pukulan kedua
orang itu terasa sekali olehnya, kadang ada hawa panas seperti apai menyergapnya
dan terkadang ada hawa dingin seperti ampak-ampak. Dengan bersembunyi di
belakang pohon besar ia merasa aman terlindung. Ia mengintai dan kedua orang itu
telah lenyap bentuk tubuh mereka, yang nampak hanyalah bayangan dua orang saling
kejar dan saling serang dengan dahsyatnya.
Ia tidak tahu berapa jurus lamanya mereka bertanding.Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara berhi-hi itu semakin nyaring dan suara berkek-kek makin lemah
dan akhirnya ia mendengar bentakan.
"Mampuslah laki-laki tidak setia! "
Dewi Muntari melihat tubuh kakek itu melayang ke atas dan menabrak cabang dan
daun pohon, lalu jatuh seperti sepotong batu ke atas tanah, tak jauh dari tempat
ia berdiri. Ia dapat melihat betapa kakek itu sama sekali tidak terluka, akan
tetapi dari matanya, telinganya, hidung dan mulutnya bercucuran darah segar dan
mata kakek itupun terpentang lebar. Dia sudah tewas!
Kini nenek itu berdiri memandang tubuh yang sudah tak bernyawa lagi itu,
kemudian terdengar dari mulutnya suara yangseperti tawa dan juga seperti tangis
itu, "Hi-hi-hi-hi-hi-hi.........! Ki Kolokrendo, kenapa engkau mati meninggalkan
aku" Lalu bagaimana hidupku, siapa yanga akan menemaniku........" Hi-hi-hi-hi-
hi............! " Kini Dewi Muntari dapat menduga bahwa suara itu tetulah merupakan tangis dan ia
merasa kasihan. Alangkah anehnya. Tadi mengamuk dan membunuh kakek itu, dan
sekarang setelah mati ditangisi! Ia lalu melangkah keluar dari balik pohon besar
dan gerakan ini dilihat oleh Ni Durgogini. Ia segera menghampiri Dewi Muntari
dengan langkah lebar dan berhenti di depannya sambil memandang tajam penuh
ancaman. "Hemm, engkau! Ya, engkaulah yang membuat suamiku mati! Engkau harus menebusnya
dengan nyawamu! " Akan tetapi dalam saat yang amat gawat bagi keselamatan nyawanya itu timbul
keberanian dalam hati Dewi Muntari. Tidak percuma ia menjadi puteri Sang Prabu
Jayabaya. Dalam tubuhnya mengalir darah satria linuwih. Dengan berdiri tegak ia
menentang pandang mata yang mencorong itu, lalu ia berkata dengan suara tegas
penuh ketenangan. "Ni Durgogini, kalau engkau hendak membunuhku, tentu mudah kau lakukan. Akan
tetapi, aku tidak takut karena kanjeng romo tentu tidak akan mengampunimu kalau
engkau menggangu seujung rambutku saja."
"Hi-hi-hi-hik! Babo-babo keparat! Siapa takut kepada kanjeng romomu" Siapa dia"
Akan kubuh sekalian! "
"Datanglah ke kota raja Daha kalau engkau berani. Ayah kandungku adalah kanjeng
romo Prabu Jayabaya! "
Sepasang mata yang tadinya mencorong itu terbelalak kepada Dewi Muntari penuh
selidik. "Ni Durgogini, aku mengetahui ketika belasan tahun yang lalu andika menghadap
Kanjeng Romo untuk menyerahkan sebatang keris pusaka! "
Kini keraguan nenek aneh itu menghilang dan sikapnya berubah lunak. "Tobil-
tobil.....! Jadi andika ini puteri Sang Prabu Jayabaya" Si keparat Kolokrendo,
pantas mati sretus kali, berani mengganggu puteri Sang Prabu Jayabaya. Akan
tetapi, kenapa andika dapat berada seorang diri di tempat sunyi ini, gusti
puteri" " "Ah, malapetaka telah menimpa keluarga kami, bibi." kata Dewi Muntari dan
teringat akan suami dan puteri, tak tertahankan lagi ia menangis.
Kini sikap Ni Durgogini sama sekali berubah. Dengan gerakan halus ia menghampiri
dan mengelus rambut kepala Dewi Muntari.
"Hemm, tenanglah, gusti puteri. Apa yang telah terjadi" Ceritakanlah kepada Nini
Durgogini dan akulah yang akan membasmi anjing dan tikus yang berani
menggangumu." Dewi Muntari menahan tangisnya. Lalu ia menceritakan semua peristiwa yang
menimpa dirinya, betapa suaminya tewas ketika gerombolan penjahat menyerang
mereka. Pasukan pengawal lari kocar-kacir, suaminya tewas dan puterinya mudah-
mudahan dapat meloloskan diri.
"Aku sempat memberi perlawanan akan tetapi akhirnya tertangkap. Kemudian mucul
.....dia itu...." Ia menuding ke arah jenazah Ki Kolokrendo. Dia membunuh semua
gerombolan penjahat yang hendak memaksanya menjadi teman hidupnya. Aku lari
sampai ke sini dan andika muncul menyelamatkan aku, bibi."
Hemm, kalau begitu para penjahat itu sudah tewas semua.Dendammu sudah terbayar
lunas. Juga Ki Kolokrendo sudah mampus. Apa yang hendak kau lakukan sekarang,
gusti puteri" "
"Bibi, pertama-tama kuharap andika tidak menyebut gusti puteri kepadaku. Kalau
boleh, aku akan ikut denganmu, mempelajari ilmu kanuragan dan aji kesaktian. Aku
ingin menjadi muridmu, bibi."
"Ehh" " Hi-hi-hi-hi! Mana aku berani" Sang Prabu Jayabaya akan marah kepadaku
kalau aku berani lancang mengambil murid puterinya. Sebaiknya paduka kuantarkan
kembali ke istana gusti."
"Bibi Durgogini, namaku Dewi Muntari. Aku sudah mengambil keputusan untuk tidak
kembali ke istana. Banyak orang membenciku di sana, dan akupun curiga atas
peristiwa yang menimpa keluargaku. Patut dicurigai bahwa yang mengatur semua ini
berada di kota raja! "
"Hi-hi-hi-hi-hik, begitukah" Biar aku yang menyelidikinya dan membekuk
pelakunya! " "Tidak usah, bibi. Aku sendiri yang akan melakukan, akan tetapi tentu saja kalau
bibi mau menerimaku sebagai murid. Kalau kanjeng romo kelak menegur, biarlah aku
yang akan menghadapi dan siap meneriam hukuman! "
Akhirnya Ni Durgogini tak dapat menolak lagi. "Baiklah, Dewi! Mulai sekarang
namamu Dewi saja dan engkau akan kugembleng aji kesaktian. Muridku hanyalah Ki
Kolokrendo seorang. Setelah dia kini mampus, engkaulah yamh menjadi
penggantinya." Ia menggandeng tangan Dewi Muntari. "Mari kita pergi! "
Wanita yang mulai sekarang menggunakan nama Dewi, memandang kearah jenazah kakek
itu dan berkata, "Akan tetapi, Bibi. Bagaimana dengan jenazah itu" Apakah tidak
perlu disempurnkan dulu" "
"Hi-hi-hi-hik, dia sudah mati, mau diapakan lagi" Dia hanyalah sebatang mayat,
bukan lagi Kolokrendo. Hayo pergi! " Sekali tubuhnya bergerak, ia sudah meloncat
dan Dewi merasa betapa tubuhnya terayun seperti dibawa terbang! Ia pasrah. Ia
sudah mengambil keputusan bulat.Ia akan mempelajari aji-aji kesaktian dan kelak
ia sendiri yang akan melakukan penyelidikan dan membalas dendam kepada mereka
yang mengatur jatuhnya malapetaka yang menimpa keluarganya. Tentang nasib
puterinya, ia serahkan saja kepada Hyang Widhi.Tekatnya sudah bulat. Kembali ke
istana ia sudah tidak mau. Hidup berdua dengan puterinya saja juga berbahaya
karena ia tidak mempunyai kekuatan untuk melindungi dai mereka berdua.
Sang waktu melesat dengan cepatnya, melewati segala apa yang terdapat dan
terjadi di alam maya pada ini. Tidak ada yang dapat mengalahkan Sang Waktu.
Bagaikan Bathara Kalla Sang Waktu mencaplok dan melahap semua yang ada. Yang
tadinya tidak ada menjadi ada, yang muda menjadi tua, yang tua menjadi mati dan
demikianlah semua itu terus menerus mengalir melalui Sang Waktu. Kita sudah
biasa menjadi permainan waktu, dengan masa lalu yang mengalir pada masa kini
untuk menuju masa depan. Kita hidup di dalam waktu, semua tergantung kepada
waktu. Sebenarnya, apakah waktu itu" Masa lalu kini dan masa depan, benarkah ada
hubungannya" Tentu saja berhubungan kalau hidup ini menjadi ajang dari kenangan
dan pikiran. Pikiran adalah aku, maka selalu hendak mempertahankan keadaan
dirinya. Dan tanpa waktu, keberadaan dirinya akan terancam musnah. Siapa aku ini
tanpa masa lalu, masa kini dan masa depan"
Justeru hidup lepas dari pada permainan waktu adalah hidup yang sejati. Hidup
dari saat ke saat, tidak terpengaruh oleh masa lalu atau masa depan.Tidak ada
dendam, tidak ada budi dihutang, yang ada hanyalah saat ini dan segala yang
terjadi adalah wajar. Segala yang terjadi adalah kenyataan yang tak dapt
dipungkiri lagi, lepas dri segala bentuk dendam maupun pamrih. Kalau begitu,
maka kekuasaan Tuhan akan bekerja. Kekuasaan Tuhan mengatur segalanya, melalui
segala macam kekuatan yang ada di permukaan bumi ini. Juga melalui tenaga yang
ada pada diri manusia. Semua itu menjadi alat Tuhan dan semua akan berjalan
sesuai dengan alur dan jalurnya.
Kalau orang memperhatikan jalannya waktu, maka akan ternyatalah bahwa waktu
berjalan amatlah lambatnya, seperti siput. Kalau diperhatikan, sejam rasanya
sehari, sehari rasanya sebulan, dan sebulan rasanya setahun. Akan tetapi kalau
diperhatikan, waktu melesat lewat seperti anak panah dilepas sebuah gendawa
sakti. Bertahun-tahun lewat seperti beberapa hari saja!
Sepuluh tahun telah lewat sejak Budhidharma hidup sebagai murid Sang Bhagawan
Tejolelono di lereng Gunung Kawi.Bocah yang dulu berusia sepuluh tahun itu kini
menjadi seorang pemuda berusia duapuluh tahun! Seorang pemuda dewasa yang
bertubuh tegap dan kuat, dengan dada yang bidang dan kalau berdiri tegak dan
kokoh seperti batukarang, kalau berjalan langkahnya gontai namun tegap seperti
langkah seekor harimau. Gerak geriknya lembut dan tutur sapanya halus. Dari
sikapnya saj tentu orang dapat menduga bahwa dia bukanlah pemuda dusun biasa,
lebih mirip seorang pemuda bangsawan dari kota raja yang menyamar sebagai
seorang pemuda dusun. Juga sikapnya yang rendah hati dan sama sekali tidak
congkak ini sama sekali tidak membayangkan bahwa pemuda ini adalah seorang
pemuda yang digdayadan sakti mandraguna! Dia lembut namun bukan berarti pendiam.
Tidak, Budhidharma pandai bicara dan dipun pembawaannya lincah gembira sehingga
semua orang di sekitar lereng Gunung Kawi, Yaitu rakyat yang tinggal di dusun-
dusun sekitarnya mengenalnya dengan baik dan pergaulan mereka cukup akrab.
Terutama sekali para perawan dusun, hampir semua tertarik dan tergila-gila
kepada pemuda ini. Budhidharma memang seorang pemuda rupawan. Wajahnya tampan gagah, kulitnya
kuning bersih. Rambut di kepalanya hitam panjang dan berombak. Sepasang alisnya
berbentuk seperti golok, hitam tebal membayangkan kejantanan. Sepasang matanya
begitu lembut akan tetapi kadang dapat mencorong seperti mata naga atau mata
harimau di dalam gelap. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, dagunya
yang runcing itu agak berlekuk membuat wajah itu nampak jantan.
Kalau dibuat perbandingan dalam tokoh pewayangan, Budhidharma bukan seorang
satria tampan halus seperti seorang bambang misalnya Sang Arjuna atau Sang
Lesmana, akan tetapi dia seorang satria yang lembut gagah ganteng seperti Sang
Gatutkaca. Dalam hal kesaktian pemuda ini sudah digembleng siang malam selama
sepuluh tahun oleh Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi. Sebelum pindah ke
Gunung Kawi, Bhagawan Tejolelono tinggal di Gunung Kelud dan disana terkenal
dengan julukan Sang Mbaurekso Gunung Kelud. Setelah belasan tahun yang lalau
orang-orang sakti berdatangan ke Kelud untuk meperebutkan kedudukan sebagai
datuk atau yang berkuasa atas Pnca Giri { Lima Gunung} yaitu Semeru, Bromo,
Kelud, Arjuna Anjasmoro, dia tidak mau terlibat dalam perebutan nama atau
kekuasaan itu dan pergi pindah ke Gunung Kawi. Dia memilih sebuah lereng yang
sunyi dan indah pemendangannya, lalau bertapa di tempat itu. Bhagawan Tejolelono
yang sudah beberapa tahun tinggal di lereng Kawi, jarang meninggalkan tempat
itu, ketika dia meninggalkan pertapaannya, menurutkan getarnya hati, lalu
menyelamatkan Budhidharma, di menganggap bahwa sudah menjadi kehendak Yang Maha
Kuasa bahwa dia harus menjadi guru pemuda itu. Dia ternyata pilihannya yang
tidak keliru. Budhidharma membuktikan dirinya menjadi murid yang berbakat dan
rajin sekali, akan tetapi bahkan juga menjadi seorang cantrik yang berbakti dan
sayang kepadanya. Anak itu bekerja rajin, mencukupi semua kebutuhan hidup sang
bhagawan. Budhidharma memang seorang pemuda rupawan. Wajahnya tampan gagah, kulitnya
kuning bersih. Rambut di kepalanya hitam panjang dan berombak. Sepasang alisnya
berbentuk seperti golok, hitam tebal membayangkan kejantanan. Sepasang matanya
begitu lembut akan tetapi kadang dapat mencorong seperti mata naga atau mata
harimau di dalam gelap. Hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk manis, dagunya
yang runcing itu agak berlekuk membuat wajah itu nampak jantan.
Kalau dibuat perbandingan dalam tokoh pewayangan, Budhidharma bukan seorang
satria tampan halus seperti seorang bambang misalnya Sang Arjuna atau Sang
Lesmana, akan tetapi dia seorang satria yang lembut gagah ganteng seperti Sang
Gatutkaca. Dalam hal kesaktian pemuda ini sudah digembleng siang malam selama
sepuluh tahun oleh Bhagawan Tejolelono di lereng Gunung Kawi. Sebelum pindah ke
Gunung Kawi, Bhagawan Tejolelono tinggal di Gunung Kelud dan disana terkenal
dengan julukan Sang Mbaurekso Gunung Kelud. Setelah belasan tahun yang lalau
orang-orang sakti berdatangan ke Kelud untuk meperebutkan kedudukan sebagai
datuk atau yang berkuasa atas Pnca Giri { Lima Gunung} yaitu Semeru, Bromo,
Kelud, Arjuna Anjasmoro, dia tidak mau terlibat dalam perebutan nama atau
kekuasaan itu dan pergi pindah ke Gunung Kawi. Dia memilih sebuah lereng yang
sunyi dan indah pemendangannya, lalau bertapa di tempat itu. Bhagawan Tejolelono
yang sudah beberapa tahun tinggal di lereng Kawi, jarang meninggalkan tempat
itu, ketika dia meninggalkan pertapaannya, menurutkan getarnya hati, lalu
menyelamatkan Budhidharma, di menganggap bahwa sudah menjadi kehendak Yang Maha
Kuasa bahwa dia harus menjadi guru pemuda itu. Dia ternyata pilihannya yang
tidak keliru. Budhidharma membuktikan dirinya menjadi murid yang berbakat dan
rajin sekali, akan tetapi bahkan juga menjadi seorang cantrik yang berbakti dan
sayang kepadanya. Anak itu bekerja rajin, mencukupi semua kebutuhan hidup sang
bhagawan. Dari Bhagawan Tejolelono, Budhidharma menerima gemblengan lahir batin sehingga
bukan saja tubuhnya amat kuat dan kebal, dan dia mengenal berbagai kesaktian
yang menjadikan dia seorang lawan yang sukar dikalahkan, juga dia dituntun dalam
hal pengertian hidup sehingga batinnya terbuka dan dia memiliki watak yang baik,
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pengertian yang mendalam dan waspada.
Pada suatu pagi, tidak seperti biasanya, pagi sekali Sang Bhagawan Tejolelono
telah dududk bersila di ruangan depan pondoknya lalu berseru halus memanggil
muridnya yang sedang sibuk mempersiapkan sarapan dan minuman untuk gurunya.
Dari dapur, Budhidharma menjawab panggilan gurunya dan karena sarapan memang
sudah siap, dia lalu membawanya ke ruangan depan di mana gurunya sudah duduk
bersial. Budhidarma menghidangkan sarapan itu di atas tikar. Pisang tanduk
rebus, air the kental dengan gula kelapa.
"Silakan sarapan dulu, Eyang Bhagawan." katanya dengan lembut.
Gurunya tersenyum. Anak ini selalu demikian penuh perhatian kepadanya. Bahkan
pakaiannyapun diurus oleh Budhidharma.
"Wah, pisang rebus" Hemm, seperti pisang tanduk, ya" "
"Benar, Eyang. Pemberian dari paman Suto........"
"Mari, kautemani aku sarapan, Budhi."
"Baik, Eyang. Eyang tadi memanggil saya" "
"Ya, ada sesuatu yang penting hendak kusampaikan kepadamu, angger. Akan tetapi
mari kita sarapan dulu, setelah itu baru kita bicara."
Kakek dan pemuda itu lalu sarapan pisang.Hanya pisang rebus, akan tetapi pisang
tanduk yang sudah tua merupakan makanan yang lezat sekali. Juga minuman air teh
kental dengan gula kelapa juga nikmat sekali diminum di waktu pagi yang dingin.
Setelah kenyang sarapan, Bhagawan Tejolelono membiarkan muridnya menyingkirkan
sisa makanan dan membersihkan tikar, barulah dia menceritakan apa yang hendak
dibicarakan tadi. Begini, angger. Tahukah andika, sudah berapa lama andika tinggal dan belajar
ilmu di sini" "
"Kalau tidak salah, sudah kurang lebih sepuluh tahun, eyang."
"Benar, dahulu usiamu sepuluh tahun dan sekarang engkau telah menjadi seorang
pemuda perkasa berusia dupuluh tahun."
"Semua ini berkat bimbingan Eyang yang bijaksana dan saya tidak akan menyia-
nyiakan semua yang telah Eyang ajarkan kepada saya."
"Bagus, semoga begitu adanya. Ketahuilah bahwa semua ilmu yang kumiliki telah
kuajarkan kepadamu, angger. Sekarang sudah tidak ada apa-apa lagi yang dapat
kuajarkan." Budhidharma menatap wajah kakek itu. Dia sudah dapat menduga apa yang
dimaksudkan gurunya. "Akan tetapi, Eyang. Saya masih mempunyai kewajiban yang
amat penting, yaitu menemani dan menjaga Eyang sebagai Darmabakti seorang murid
kepada gurunya tercinta."
"Darmabaktimu sudah cukup untukku, kulup. Darmabaktimu untuk Sang Hyang Tunggal,
untuk rakyat dan kemanusiaanlah yang perlu kau lakukan. Oleh karena itu, mulai
hari ini engkau harus mengambil jalan hidupmu sendiri kita harus berpisah."
"Ampun Eyang. Akan tetapi, tidak dapatkah saya mengikuti Eyang dan melayani
Reyang yang sudah tua" Siapa yang akan mengurus keperluan hidup Eyang sehari-
hari......" "Ha-ha-ha-, aku menjadi seorang yang malas dan manja, Budhi. Aku masih dapat
mengurus diriku sendiri dan aku kan pergi merantau, maka tidak mungkin kita
pergi bersama. Dan aku mempunyai tugas bagimu yang kuharap dapat kaulaksanakan
dengan baik karena inipun merupakan tugasmu untuk menentramkan jagat."
Budhidharma menjadi girang sekali. Dia menyembah dan berkata, "Hamba akan
melaksanakan perintah Eyang sebaik-baiknya. Tugas apakah yang harus hamba
kerjakan, Eyang" "
"Kisahnya dimulai kurang lebuh seratus tahun yang lalu. Seabad yang lalu, ketika
Sang Prabu Airlangga sudah merasa sepuh, beliau turun tahta dan hidup sebagi
seorang pendeta dan terkenal karena kebijaksanaannya, Sang Mahaprabu Airlangga
memakai nama julukan Resi Gentayu. Setelah beliau mengundurkan diri, banyak
pusaka keraton yang diboyong ke pertapaan. Dalam keadaan perpindahan pusaka itu,
terjadi geger karena hilangnya sebuah pusaka keris yang disebut Sang Tilam Upih!
Pusaka ini merupakan keris pusaka yang ampuhnya menggiriskan dan mengandung hawa
yang jahat sekali. Kabarnya, jangankan sampai melukai kulit orang baru diacungkan saja, hawa dan
pengaruh yang berdaya kuat dari keris pusaka itu dapat membuat tubuh lawan
menjadi melepuh seperti disiram air mendidih atau seperti disambar petir."
"Wah bukan main ampuhnya keris pusaka itu, Eyang! " seru Budhi dengan kagum.
"buatan atau ciptaan siapakah pusaka itu, eyang" Saya belum pernah
mendengarnya." "Pusaka itu diciptakan oleh Empu Brobokendali, seorang empu yang terkenal ampuh
di jaman negeri Medang Kamulan, delapan ratus tahunyang lalu. Menurut dongeng,
ketiak menciptakan keris pusaka Tilam Upih itu, Empu Bromokendali kedatangan
seorang perawan cantik dan dia tidak mampu menahan gejolak birahinya. Terjadilah
perbuatan susila yang sebetulnya merupakan pantangan bagi Empu Bromokendali di
waktu dia sedang membuat sebuah keris pusaka. Setelah kesemuanya terjadi,
barulah dia mendapat kenyataan bahwa tubuh perawan itu dipergunakan oleh iblis
untuk menggodanya. Dan dia telah melanggar pantangan berat."
"Akan tetapi Eyang dalam hal ini, sama sekali kita tidak boleh menyalahkan iblis
yang menggoda. Menurut bimbingan Eyang bukankah sumber segala perbuatan tidak
benar terletak di dalam hati akal pikiran sendiri" "
"Memang benar demikian, kulup. Dan iblis yang memang pekerjaannya menggoda
manusia, tahu akan kelemahan hati akal pikiran manusia itu. Dia tahu di mana
letak kelemahan itu dan dselalu mempergunakan kesempatan untuk menggoda manusia
melalui kelemahannya itu. Justeru kelemahan Empu Bromo kendali terletak kepada
nafsu birahinya, maka iblis lalu mempergunakan tubuh perawan itu untuk
menjatuhkannya." Budhidharma menganguk-angguk. "Menurut petunjuk Eyang, manusia tidak mungkin
dapat melawan nafsu daya rendah yang menghuni hati akal pikiran kita sendiri.
Satu-satunya kekuasaan yang mampu menundukkan daya rendah itu hanyalah kekuasaan
Tuhan! Dan setiap orang akan dilindungi oleh kekuasaan Tuhan ini apabila dai
dengan sepenuh jiwanya menyerahkan diri dengan penuh keikhlasan, penuh keimanan
kepada Hyang Widhi Wasa."
"Tepat sekali, kulup. Akan tetapi sayang, Empu Bromokendali lengah dan setelah
semuanya terjadi, ada hawa yang jahat menyusup ke dalam keris pusaka Tilam Upih
yang sedang dibuatnya. Setelah keris itu jadi, tahulah sang empu bahwa keris
pusaka itu mengandung pengaruh dan hawa yanga amat jahatnya, yang kelak dapat
membahayakan kehidupan manusia. Oleh karena itu, sang empu mempergunakan
kesaktiannya, membungkus pusaka itu dengan daun pisang kering, lalu
melarungkannya {membuang} ke Lautan Kidul."
"Jadi setiap benda buatan manusia itu akan terpengaruh oleh keadaan batin
pembuatnya pada saat membuat benda itu , Eyang" "
"Tentu saja! Karena itu, segala macam benda itu merupakan bahaya besar karena
mengandung daya pengaruh yang amat kuat. Hanya batin orang yang benar-benar
pasrah dan menyerah kepada Tuhan sajalah yang akan dapat terhindar dari pengaruh
daya benda. Kembali kepada keris pusaka Sang Tilam Upih. Tentu tidak akan timbul
akibat lain setelah keris pusaka itu dibuang ke Lutan Kidul kalau saja di waktu
mudanya Sang Mahaprabu Airlangga bersama patihnya yang juga amat sakti dan setia
yaitu Raden Narottama tidak melakukan tapabrata di tepi Lautan Kidul. Dalam
pertapaan itulah Sang Mahaprabu Airlangga mendapat ilham sehingga beliau
mengetahui adanya sebauh keris pusaka ampuh di dasar samudera. Beliau lalu
mengutus patihnya untuk mengambil pusaka itu. Raden Narottama yang sakti lalu
menyelam dan berhasil mengeluarkan keris Pusaka Tilam Upih itu."
"Wah, hebat sekali ilmu kepandaian patih itu, Eyang."
"Tentu saja. Ki patih Narottama yang sejak mudanya menjadi sahabat Sang
Mahaprabu Airlangga memmang seorang yang sakti mandraguna, bahkan seperguruan dengan Prabu Airlangga. Akan tetapi raja yang sakti mandraguna itu melihat
betapa keris pusaka itu mengeluarkan hawa pengaruh yang amat jahat, maka beliau
lalu memperbaikinya, mengisinya dengan hawa pengaruh yang baik, bahkan mengubah
sedikit bentuknya. Setelah diisi pengaruh kebaikan oleh sang Prabu Airlangga,
keris pusaka itu kini memiliki daya pengaruh dua macam. Kalau pusaka itu jatuh
ketangan seorang yang budiman, maka keris pusaka itu akan amat berguna bagi nusa
dan bangsa. Akan tetapi sebaliknya kalau tejatuh ke dalam tangan seorang yang
pada dasarnya berwatak kotor, maka keris itu akan mendatangkan malapetaka bagi
nusa dan bangsa." "Wah, gawat kalau begitu, Eayng."
"Ketika Sang Prabu Airlangga mengundurkan diri menjadi pertapa, dalam kesibukan
itu, keris pusaka Tilam Upih lenyap. Yang menerima tugas untuk mencari pusaka
itu adalah eyang guruku yang bernama Ki Empu Dewaraga. Akan tetapi Ki Empu
Dewaraga gagal menemukan kembali kerena menurut perhitungannya, keris pusaka itu
terjatuh ke dalam tangan seorang yang sakti mandraguna dan amat jahat. Keris
pusaka itu dijadikan senjata untuk mendirikan sebuah kerajaan di barat, jauh di
pesisir Lautan Kidul. Saking sedihnya karena tidak mampu menemukan keris pusaka
itu seperti diperintahkan Sang Mahaprabu Airlangga yang telah menjadi Sang Resi
Gentayu, eyang guruku Empu Dewaraga merasa berduka yang mengakibatkan
kematiannya." "Wah, kasihan sekali eyang buyut itu! Kata Budhidharma."
Gurunya menghela napas panjang. "Semua yang terjadi sudah ditentukan oleh Yang
Maha Kuasa. Tidak ada yang perlu disesalkan. Sang Prabu Jayabaya adalah seorang
yang sakti mandraguna bijaksana dan menguasai aji meneropong tirai rahasia alam.
Beliau itu weruh sakdurunge winarah {tahu sebelum terjadi}. Beliau mengumumkan
perhitungannya dengan pasti bahwa keris pusaka Ki Tilam Upih itu tidak akan
muncul kepermukaan bumi, dalam arti kata ditemukan orang, sebelum satu abad
lamanya semenjak hilang. Dan sekaranglah tiba saatnya keris pusaka itu akan
muncul. Berita tentang ini terdengar oleh seluruh orang gagah, maka orang-orang sakti
mandraguna bermunculan untuk berlomba mencari dan menemukan keris pusaka Tilam
Upih itu." "Untuk dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya, Eyang" "
Kembali kakek itu menghela napas panjang. "Hemm, tentu ada yang berpamrih
demikian. Akan tetapi akau khawatir bahwa sebagian besar di antara mereka
berlomba mencari keris pusaka itu untuk dirinya sendiri, untuk dimilikiny
sendiri. Ketahuilah, kulup, bahwa keris pusaka yang ampuh mempunyai pengaruh dan
kekuasaan. Dan siapa orangnya yang tidak akan tertarik kalau ada kemungkinan
kekuasaan jatuh pada dirinya" Karena itulah, kulup. Andika kuberi tugas, yaitu
mewakili aku mencari keris pusaka itu agar dapat kita kembalikan kepada Sang
Parbu Jayabaya. Bagaimanapun juga, menjadi tugas kita untuk dapat menemukan
pusaka itu, sebagai pemenuhan tugas dahulu yang gagal dilakukan eyang guruku
Empu Dewaraga." Timbul kegembiraan dalam hati Budhidharma. Dia sebetulnya tidak takut hidup
menyendiri, terpisah dari gurunya. Yang membuat dia ragu adalah permulaan dari
hidup sendiri itu. Tanpa tujuan, dia harus pergi ke mana" Kini dengan adanya
tugas itu, maka perjalanannya mempunyai satu tujuan tertentu dan ini amat
menggembirakan hatinya. "Saya akan melaksanakan perintah eyang! Akan tetapi, saya mohon petunjuk eyang.
Kemanakah saya harus mencari pusaka Tilam Upih itu dan bagaimana pula bentuk dan
rupanya agar kelak saya tidak mendapatkan barang yang palsu" "
"Ingat baik-baik, kulup. Keris pusaka Tilam Upih adalah sebatang keris berlekuk
tiga, dan setelah diubah bentuknya oleh mendiang Mahaprabu Airlangga maka dapur
keris menjadi dapur Mahesa suka, yaitu badan lebar panjang sedang, dengan
rincian: Lambe Gajah Lamba, Kembang Kacang, sogokan panjang. Mata keris bagian
bawah amatlah tajamnya karena di situ terletak pengaruh jahat itu. Sehelai
rambut yang diletakkan di atas mata keris itu lalau ditiup akan putus seperti
dijilat apai. Akan tetapi mata keris bagian atas berbeda dengan bagian bawah.
Pamor di bagian atas seperti perak mencorong, akan tetapi pamor bagian bawah
menghitam seperti angus. Ke mana mencarinya" Kulup, keris pusaka itu dahulunya
di Lautan Kidul, di sebelah barat Nusa Barung. Nah, mulailah dari ujung timur,
dari Balmbangan sampai ke Teluk Prigi, Kulup."
Demikianlah, setelah menerima banyak wasiat dan wejangan dari gurunya, tiga hari
kemudaian berangkatlah Budhidharma meninggalkan Gunung Kawi. Kalau dahulu,
sepuluh tahunyang lalu, dia naik ke Gunung Kawi sebagai seorang anak berusia
sepuluh tahun, kini dia menuruni lereng gunung itu sebagai seorang pemuda dewasa
yang gagah dan tampan. Dia menuruni lereng dari sebelah selatan karena dia akan
langsung saja melaksanakan perintah gurunya, yaitu menuju pantai selatan untuk
menyelidiki dan mencari keris pusaka Tilam Upih itu. Tugasnya yang ke dua adalah
pribadinya yang tidak pernah dia lupakan semenjak dia berada di Gunung Kawi.
Yaitu, mencari pembunuh ayah ibunya, gerombolan Gagak Seto dan terutama sekali
ketuanya. Tidak, hatinya tidak diracuni dendam. Dia sudah menerima genblengan
batin yang mantap dari gurunya sehingga hatinya tidak cengeng dan selemah itu.
Dia maklum bahkan kematian setiap orang sudah ditentuakn oleh kekuasaan Sang
Hyang Syiwa, karena itu tidak semestinya kalau dia mendendam. Pelaku pembunuhan
atas ayah ibunya itu hanya merupakan alat yang kebetulan dipergunakan oleh Sang
Hyang Syiwa untuk mencabut nyawa ayah ibunya. Hal itu terjadi karena karma
mereka. Dia ingin mencari ketua dan gerombolan Gagak Seto untuk bertanya, apa
sebabnya mereka melakukan pembunuhan itu. Hal ini haruslah jelas dan untuk
melihat pula bagaimana sesungguhnya keadaan gerombolan Gagak Seto. Kalau memang
gerombolan penjahat, dia tidak akan ragu lagi untuk membasminya, dan kalau
ketuanya memang jahat, dia tidak akan ragu untuk menumpasnya.
Inilah kewajiban seorang satria, bukan membunuh karena balas dendam!
Dengan langkah tegap Budhidharma menuruni lereng Gunung Kawi.
Kita tinggalkan dulu Budhidhrma yang turun gunung mulai memasuki dunia ramai,
dan marilah kita menengok keadaan lain di Gunung Anjasmoro!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, ketua Gagak Seto yaitu Ki Sudibyo
yang menderita sakit batinnya sehingga tubuhnya menjadi lemah dan sakit-sakitan,
tidak begitu memperhatikan urusan perkumpulan. Untuk perkumpulan Gagak Seto dia
serahkan kepada dua orang pembantu utamanya, yaitu Ki Klabangkoro dan Ki
Mayangmurko. Adapun dia sendiri lebih banyak berada di dalam sanggar pamujan
atau di ruangan tertutup di bagian belakang yang menjadi tempat beristirahat dan
berlatih silat baginya. Akan tetapi, sejak dia mengangkat Niken Sasi menjadi
murid, muridnya itulah yang selalu menemaninya. Niken Sasi bukan hanya menjadi
murid tersayang, akan tetapi juga gadis cilik ini melayani segala keperluan
gurunya yang dianggapnya sebagai pengganti ayah ibunya.
Kemudian, dia mendapatkan kenyataan bahwa murid barunya ini ternyata memiliki
bakat yang hebat sekali! Sama sekali sukar dapat dipercaya bahwa dalam tubuh
yang mungil dan lemah gemulai, yang luwes itu tersimpan tenaga sakti yang hanya
butuh dilatih dan dikembangkan. Kemudian dia teringat bahwa bagaimanapun juga,
gadis kecil ini adalah cucu SangPrabu Jayabaya yang sakti mandraguna! Maka,
tentu saja Ki Sudibyo girang bukan main dan diapun melatih gadis itu lebih tekun
lagi. Bukan hanya semua ilmu dan aji kesaktian diajarkan kepada gadis itu,
bahkan aji simpanannya, yaitu Aji Has-bajra [Tangan Kilat] yang selama ini tidak
pernah diajarkan kepada murid lain, kini diajarkan kepada Niken Sasi, setelah
gadis itu menjadi seorang gadis dewasa.
Hati Ki Sudibyo merasa terhibur. Dia masih merasa hidupnya penuh penderitaan
kalau teringat akan penyelewengan dan pengkhianatan isterinya tercinta, kalau
dia teringat betapa dia hidup seorang diri tanpa keluarga, tanpa isteri dan
tanpa anak. Akan tetapi kini dalam diri Niken Sasi dia menemukan seorang murid, sekaligus
seorang anak yang amat membanggakan dan menyenangkan hatinya.
Bukan kehebatan Niken Sasi dalam mewarisi semua aji kesaktiannya saja yang
membuat Ki Sudibyo bahagia dan bangga. Akan tetapi keahliannya dalam ilmu lain,
terutama sekali kecantikannya. Niken Sasi yang kini telah menjadi seorang gadis
yang memiliki kecantikan sebanding dewi-dewi kahyangan! Wajahnya yang bulat
telur, rambutnya yang hitam panjang ngandan-andan, alisnya yang hitam kecil
melengkung, matanya yang redup jeli kadang mencorong, hidungnya yang kecil
mungil dan terutama sekali mulutnya yang menggairahkan, semua itu masih
diperindah pula oleh bentuk tubuhnya yang padat ramping dan kulit putih
kekuningan. Di samping kecantikannya yang membuat semua pria di Anjasmoro dan sekitarnya
terpesona, juga gadis ini amat pandai dalam kesenian berjoget, bertembang dan
lain kesenian kaum wanita. Jelas sekali nampak trahing kusumo rembesing madu
mengalir dalam darah yang lembut berisi ini. Namun, Niken Sasi tetap bersikap
sederhana, seperti para perawan dusun pada umumnya. Ia sudah melupakanbahwa
dirinya adalah cucu sang Prabu Jayabaya, dan menganggap dirinya seorang perawan
dusun murid dan anak anagkat Ki Sudibyo yang amat dihormati dan disayangnya.
Biarpun pakaian dan gerak geriknya sederhana tidak ada bedanya dengan para
perawan dusun, namun apabila ia berada di antara mereka, semua orang melihat
kepandaiannya, seolah seekor merak berada di antara sekumpulan bebek!
Pada suatu sore Ki Sudibyo memanggil muridnya ke dalam ruangan belakang yang
tertutup. Dia kini telah menjadi seorang laki-laki yang kelihatan tua sekali.
Usianya memang sudah enampuluh tahun, akan tetapi dia nampak jauh lebih tua.
Tubuhnya jangkung kurus, rambutnya sudah putih semua, dibiarkan terurai panjang,
demikian pula jengkot dan kumisnya yang sudah putih dibiarkan tak terpelihara.
Namun dia mesih tetap kelihatan bersih dan anggun.
Niken Sasi mengenakkan kain bercorak hitam dan kemben berwarna hijau pupus.
Pinggangnya ramping sekali dan ia nampak seperti setangkai mawar. Jambon yang
segar dan semerbak mengharum. Mendengar panggilan gurunya, Niken Sasi cepat
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghadap dan memberi hormat dengan sembah. Pertama kali disembah oleh puteri
bangsawan cucu raja ini, Ki Sudibyo merasa rikuh sekali. Akan tetapi kini dia
sudah terbiasa dan dia menerima penghormatan itu dengan tersenyum dan mengamati
wajah murid terkasihnya itu sambil mengangguk-angguk.
"Sembahmu sudah kuterima, dan keadaanku sehat-sehat saja hari ini, Niken.
Duduklah, aku ingin bercakap-cakap denganmu."
"Perintah dan petunjuk apakah yang akan Bapa Guru berikan kepada saya" Saya siap
melaksanakan semua perintah bapa." kata Niken Sasi dengan suara merdu dan
mantap. Ki Sudibyo mengelus jenggotnya dan tersenyum gembira sekali. Sepasang matanya
sejenak bersinar-sinar dan dia mengangguk-angguk.
"Tiada habisnya aku menghaturkan Hyang Agung yang sudah mengaruniaku seorang
murid seperti andika ini di hari tuaku, Niken. Hatiku gembira sekali, apalagi
ketika pagi tadi aku melihat bahwa latihanmu mempergunakan aji Hasta Bajra telah
mencapai titik tertinggi. Nah, sekarang aku ingin melihat aji itu dengan
menggunakan tenaga sepenuhnya, seolah engkau sedang berhadapan dan bertanding
melawan seorang yang tangguh. Aku sendiri akan mengujimu menggunakan aji itu,
Niken." Niken Sasi nampak khawatir. "Akan tetapi, Bapa, bertanding dengan aji itu amat
berbahaya karena sekali dikeluarkan bagaimana kita dapat mengendalikannya
sehingga tidak membahayakan lawan" "
"Memang tidak dapat dikendalikan begitu saja. Bagaikan menyambarnya kilat,
akibatnya tergantung dari kuat atau tidaknya lawan menerimanya. Akan tetapi aku
bukan hendak mengujimu bertanding aji itu, Niken Sasi. Andika tahu sendiri bahwa
tenagaku sudah habis, digerogoti penyakitku. Aku tidak mampu lagi mengerahkan
tenaga Hasta Bajra. Karena itu, aku akan menyerangmu dengan lemparan balok-balok
kayu yang sudah kupersiapkan ini. Semua lemparan balok-balok ini sambutlah
dengan aji Hasta Bajra. Jangan batasi tengamu karena kau ingin melihat sampai di
mana tingkatmu dalam aji itu."
"Ah, begitukah, Bapa" " kata Niken Sasi dengan hati lega. "Baiklah, akan
kulaksanakan perintah Bapa Guru." Ia meloncat ke tengah ruangan itu dan memasang
kuda-kuda. Tubuhnya memasang kuda-kuda miring menghadapi gurunya, kaki kanan di
depan, kaki kiri di belakang agak ditekuk, kedua lengannya di angkat ke atas
dengan telapak tangan menghadao ke arah atas seperti sedang menyangga langit.
Tubuhnya tegak, matanya memandang tajam ke depan, pernapasannya menjadi lambat
dan panjang karena ia mulai menyalurkan tenaga Hasta Bajra ke dalam kedua
tangannya. "Saya sudah siap, Bapa! " Katanya dengan sikap gagah. Ki Sudibyo memang tidak
berani lagi menggunakan aji Hasta-bajra karena penggunaan tenaga sakti itu
terlalu kuat bagi tubuhnya yang sudah ringkih. Maka, dia sejak pagi tadi telah
mengumpulkan belasan potongan balok yang cukup besar, dan beberapa bongkah batu
gunung. Kini, dia lalu mengangkat balok-balok itu, satu demi satu dan
dilontarkan ke arah muridnya dengan sekuat kemampuannya. Biarpu dia sudah
berpenyakitan, akan tetapi karena bekas pendekar perkasa, lontarannya itu masih
cukup kuat dan potongan balok itu menyambar dahsyat ke arah muridnya.
"Siyyyttt.............wirrrrrr........! " Blok pertama menyambar ke arah kepala
Niken Sasi. Hyattttt........ahhhhh! " Gadis jelita ini menggerakkan tangan kirinya, dengan
jari tangan terbuka menghantam ke arah balok itu. Nampaknya tidak terlalu keras
ia menghantam, akan tetapi ketika tangannya menyambar batu, terdengar suara
keras. "Brakkkkk.........! " Dan balok itupun berantakan, pecah menjadi beberapa potong
dan berhamburan ke dinding ruangan menimbulkan suara gaduh.
Balok ke dua, ke tiga dan ke empat menyusul, cepat sekali. Niken Sasi bergerak,
memainkan ilmu silat Hasta Bajra, kedua tangannya seperti sepasang golok
menyambar-nyambar ke arah balok dan batu yang datang susul-menyusul. Balok-balok
itu pecah dan ketiak batu-batu mulai menyambar, batu-batu itupun porak-poranda
terkena hantaman tangan yang berkulit halus itu. Kini dari ruangan itu terdengar
suara hiruk-pikuk karena pecahan kayu dan batu menghantam dinding, ditambah lagi
menyambarnya hawa pukulan Hasta Bajra yang mengguncangkan seluruh ruangan!
Para murid Gagak Seto terkejut bukan main ketika dari ruangan tertutup itu
terdengar suara hiruk-pikuk ditambah lagi didnding ruangan itu tergetar seperti
dilanda angin badai yang mengamuk.
Akan tetapi Klabangkoro dan Mayangmurko yang juga sudah berada di luar ruangan
itu saling pandanga dan Klabangkoro berbisik, "Bagaimana Bapa Guru dapat
berlatih sehebat itu" Bukankah dia sakit dan lemah......." "
Setelah suara gaduh itu berhenti, Klabangkoro lalau mengetuk daun pintu ruangan
itu sambil berteriak memanggil gurunya, Bapa Guru........! Apakah yang terjadi"
Harap suka membuka pintu dan mengijinkan kami masuk....! "
Agak lama tidak ada jawaban, kemudian pintu terbuka dari dalam dan yang muncul
adalah Niken Sasi, adik seperguruan mereka termuda. Niken Sasi tersenyum melihat
Klabangkoro, Mayangmurko dan Gajahpuro, aeorang pemuda tampan dan gagah putera
Klabangkoro, dan banyak sekali murid Gagak Seto berada di belakang mereka.
"Haiiii, kalian kenapakah" Membikin kaget kepada Bapa Guru saja. "Niken Sasi
menegur, akan tetapi sambil tersenyum.
Niken Sasi, apakah yang terjadi di dalam" " Gajahpuo yang sebaya dengan gadis
itu dan hubungan di antara mereka akrab sekali, segera bertanya.
"Ya, apakah yang terjadi , Niken" " tanya pula Klabangkoro sambil mencoba untuk
menjenguk ke dalam.Dia tebelalak melihat pecahan-pecahan kayu dan batu di
ruangan itu, berserakan memnuhi ruangan.
"Ah, tidak ada apa-apa. Hanya Bapa Guru sedang berlatih aji Hasta Bajra,
mengguankan kayu dan batu yang harus kulemparkan kepada Bapa Guru." kata gadis
itu dengan suara wajar. Ia memang seorang gadis yang cerdik. Ia sudah diberitahu
oleh gurunya bahwa tidak ada seorangpun boleh mengetahui bahwa dia telah
menerima pelajaran aji Hasta Bajra dari gurunya, harus merahasiakan sampai aji
itu dikuasainya dengan sempurna. Oelh karena itu, ketika mereka bertanya-tanya,
mudah saja ke luar dari bibirnya jawaban itu.
Klabangkoro dan Mayangmurko kembali saling pandang dan mata mereka terbelalak.
"Akan tetapi.......bukankah......bukankah Bapa Guru sedang sakit......." "
tanyannya heran. Pada saat itu Ki Sudibyo muncul dari ambang pintu. Wajahnya agak pucat dan
napasnya memburu. Dia mengangkat tangan menenangkan muridnya lalau berkata
sambil tersenyum lemah "Kalian semua jangan khawatir. Aku hanya berlatih dan ......... latihan itu
menghabiskan tenagku. Aku......aku ingin beristirahat, jangan mengganguku.
Engkaupun beristirahatlah, Niken. Engkau sudah cukup membantuku....."Ki Sudibyo
lalu menutupkan kembali dauan pintu setelah masuk kembali ke dalam ruangan itu.
"Niken, engkau harus menceritakan kepadaku tentang latihan Hasta Bajra itu.
Tentu hebat bukan main! " tanya Gajahpuro sambil mendekati Niken Sasi.
Gadis itu tersenyum, sambil menuruni anak tangga dan melangkah perlahan.
Gajahpuro mendampinginya, juga Klabangkoro dan Mayangmurko.
"Bukan hebat lagi, dahsyat! " kata gadis itu tersenyum, diam-diam ia girang
bukan main karena tadi sehabis latihan, gurunya mengatakan bahwa ia telah
mencapai tingkat yang cukup tinggi.
"Niken, andika melihat semua gerakan Bapa Guru ketika berlatih aji Hasta Bajra"
" Benar-benarkah dia memainkan aji itu dengan dahsyatnya" "
"Aku melihatnya sendiri, paman. Semua balok dan batu yang kulemparkan kepadanya
dihancurkan oleh kedua tangannya. Jawab gadis itu.
Klabangkoro saling pandang dengan Mayangmurko. "Akan tetapi dia sedang sakit,
tubuhnya lemah, bagaimana....."
"Siapa bilang Bapa Guru sakit dan lemah" " Niken Sasi membantah. "Dia sehat dan
kuat, buktinya mampu berlatih Hasta Bajra."
"Wah, kalau begitu tentu engkau sudah mempelajarinya pula, Niken" " kata
Gajahpuro girang, akan tetapi juga suaranya mengandung iri.
"Aji itu terlalu berat dan sukar bagiku, dan Bapa Guru juga tidak mengajarinya
kepada siapapu. Sudahlah, aku ingin mandi, hari sudah mulai gelap dan sebentar
lagi aku harus mempersiapkan makan malam untuk Bapa Guru."
Gadis itu lalu pergi meninggalkan para murid Gagak Seto yang masih tertegun dan
bertanya-tanya itu. Klabangkoro lalu menarik tangan Mayangmurko memasuki
pondoknya. Dengan daun pintu dan jendela tertutup mereka berdua lalu bercakap-
cakap dengan hati-hati dan setengah berbisik sehingga tidak akan terdengar lain
orang. "Ssstt......Kakang Klabangkoro, apa yang kita dengar tadi" Ternyata Bapa Guru
masih sehat dan kuat. Sungguh celaka! Bisa berantakan semua rencana kita yang
sudah kita rencanakan bertahun-tahun! " kata Mayangmurko.
Klabangkoro memukul telapak tangan kiri dengan tinju kanan.
"Plakkk! " dia berjalan hilir mudik. "Pantas saja ketika itu Sepasang Keris Maut
dari Nusa barung yang dikirim Jambuka Sakti gagal membunuhnya. Akan tetapi
menurut Sepasang Keris Maut, pukulan Bapa Guru tidak begitu kuat lagi sehingga
tidak membuat mereka terluka berat. Mungkinkah sekarang telah pulih kembali
semua kekuatannya" Rasanya tidak mungkin! Kelihatannya dia berpenyakitan dan
lemah, apa lagi usianya menjadi semakin tua."
"Kakang Klabangkoro, jangan-jangan Niken Sasi......."
"Hemm, bocahperempuan itu" Mana mungkin ia dapat menguasai Hasta Bajra ayang
amat sulit dan membutuhkan landasan tenaga sakti yang kuat. Bocah perempuan itu
tidak ada apa-apanya, adi Mayangmurko."
"Akan tetapi ia dekat dengan Bapa Guru dan ia amat disayang. Aku khawatir Bapa
Guru mewariskan aji itu kepadanya, baik dalam bentuk pelajaran atau dalam bentuk
kitab agar kelak dapat dipelajarinya. Kurasa jalan terbaik adalah melenyapkan
perawan itu, kakang."
"Hushh! Lancang ucapanmu, Mayangmurko! Tidak tahukah andika bahwa puteraku si
Gajahpuro itu cinta setengah mati kepada Niken Sasi" Tidak, membunuhnya bukan
jalan terbaik, pula akan menimbulkan kecurigaan kepada Bapa Guru. Lebih baik
kalau perawan itu menjadi isteri puteraku sehingga andaikata benar ia memiliki
warisan Hasta Bajra, kelak akan terjatuh ketangan puteraku pula."
"Akan tetapi bagaimana kalau dia tidak mau menjadi isteri Gajahpuro" " bantah
Mayangmurko. "Harus diusahakan agar ia mau! Aku ada akal. Rencana ini pertama untuk menguji
apakah benar gadis itu memiliki aji Hasta Bajra, dan kedua membuat ia berhutang
budi kepada Gajahpuro. Kalau cara ini tetap tidak berhasil, masih ada cara
ketiga, yaitu menodainya sehingga terpeksa ia akan menerima Gajah[puro sebagai
suaminya untuk mencuci aib."
Mendengar ini, Mayangmurko mengacungkan ibu jarinya. "Wah, andika memang hebat,
kakang. Mari kita cepat melaksanakan rencana itu agar jangan sampai terlambat! "
Kedua orang itu lalu meninggalkan ruangan tertutup itu dan menyelinap dalam
kegelapan malam yang mulai menyelimuti bumi.
Sementara itu, ketika Niken Sasi melayani gurunya makan malam, Ki Sudibyo
mengajak muridnya itu makan bersama. Hal ini agak aneh bagi Niken Sasi, karena
tidak biasanya gurunya mengajak makan bersama. Melihat pandang mata Niken Sasi
yang penuh keheranan dan keraguan itu, Ki Sudibyo berkata lembut.
"Niken, jangan ragu-ragu. Marilah temani aku makan malam. Siapa tahu, dalam
beberapa hari ini merupakan hari-hari terakhir bagi kita untuk berduaan."
"Eh" Maksud Bapa Guru, bagaimana" " tanya gadis itu dengan mata terbelalak,
terkejut. "Niken Sasi, engkau kini telah menjadi seorang gadis remaja, bahkan sudah dewasa
karena usiamu sudah delapanbelas tahun. Ingatlah, engkau berasal dari istana! "
Niken Sasi memenuhi permintaan gurunya dan makan bersama gurunya, dan sambil
makan mereka bercakap-cakap. "Saya kira Bapa masih ingat bahwa saya sama sekali
tidak mengharapkan untuk kembali ke istana. Saya ingin tinggal saja di sini
melayani Bapa Guru."
Ki Sudibyo tersenyum. "Boleh saja engkau melupakan istana dan tidak ingin
kembali ke sana. Itu adalah hak pribadimu untuk memilih kehidupan macam apa yang
ingin kautempuh.Akan tetapi, juga tidak mungkin kalau engkau terus tinggal di
sini melayaniku. Aku t6idak ingin disebut manusia yang mementingkan dirinya
sendiri. Tidak, angger, engkau harus pergi dari sini karena banyak persoalan yang harus
kau hadapi di samping engkau harus pula memanfaatkan semua ilmu yang pernah kau
pelajari di sini dengan segala jerih payah."
"Akan tetapi, Bapa. Persoalan apakah yang saya hadapi" Saya tidak mempunyai
persoalan." "Hemm, benarkah itu" Apakah engkau bicara dari dasar hatimu, ataukah memang
engkau sudah lupa bahwa ayah ibumu terbunuh orang tanpa kauketahui dosanya dan
siapa pula para pembunuh itu" "
Mendengar pertanyaan gurunya itu, tiba-tiba saja Niken Sasi menundukkan mukanya
untuk menyembunyikan matanya yang tiba-tiba menjadi basah itu. Ia menahan
makannya dan melihat ini, Ki Sudibyo tersenyum.
Tabahkanlah hatimu dan tidak pantas seorang dara perkasa sepertimu menjadi
cengeng.Hayo lanjutkan dulu makan kita, nanti aku ingin bicara denganmu."
Guru dan murid itu melanjutkan makan mereka. Patut dikagumi gadis itu, yang baru
berusia delapanbelas tahun akan tetapi demikian kuatnya menahan gejolak hatinya.
Tadi, diingatkan tentang kematian ayahnya dan lenyapnya ibunya, hatinya seperti
ditusuk dan kedua matanya menjadi basah. Nasi di lehernya sukar ditelan. Akan
tetapi mendengar ucapan gurunya, ketabahannya timbul dan semangatnya membakar
sehingga ia mampu melanjutkan makannya.
Setelah selesai makan dan bekas makanan disingkirkan oleh Niken Sasi, tikar di
lantai juga sudah dibersihkan Ki Sudibyo bersila di depan muridnya dan suaranya
terdengar sungguh-sungguh ketika dia bertanya, "Muridku yang baik. Benarkah
engkau sudah melupakan apa yang menimpa diri ayah bundamu" "
Niken Sasi sekarang telah dapat menguasai hatinya sepenuhnya dan dia mengangkat
muka menatap wajah gurunya, kemudian menjawab dengan suara tenang, "Bapa Guru,
bagaimana saya akan mampu melupakan kematian ayah yang menyedihkan itu, dan
lenyapnya ibu yang dilarikan penjahat" "
"Kalau begitu, di dalam hatimu tumbuh dendam kebencian yang membara terhadap
mereka yang berbuat jahat terhadap ayah ibumu" "
Niken Sasi menggelengkan kepalanya danmenjawab dengan tegas. "Tidak, sama
sekali, Bapa.Sudah nampak jelas oleh saya dengan pengertian yang mendalam bahwa
mendendam adalah suatu perbuatan yang amat bodoh dan yang akhirnya hanya
merugikan diri sendiri saja. Tidak, saya tidak lagi mengandung dendam. Akan
tetapi karena kematian ayah itu dalam penasaran, juga saya harus melihat apakah
ibu saya telah meninggal dunia ataukah masih hidup, maka saya harus melakukan
penyelidikan, siapa yang telah melakukan penyerangan terhadap mendiang ayah,
siapa pula dalangnya dan apa pula sebabnya mereka melakukan hal itu terhadap
ayah dan ibu. Kemudian, kalau ibu masih hidup, saya harus membebaskan ibu dari
tangan penjahat." "Dan bagaimana sikapmu terhadap para penjahat itu sendiri, Niken Sasi" "
"Hal itu tergantung kepada mereka sendiri, Bapa. Kalau saya mendapatkan bahwa
mereka itu adalah orang-orang jahat yang masih mkelakukan kejahatan, sudah
menjadi kewajiban saya untuk menentang kejahatan itU. Akan tetapi, yang saya
tentang bukanlah manusia-manusianya yang berdasarkan dendamj, melainkan
perbuatannya. Demi keselamatan dan keamanan orang-orang yang tidak berdosa,
kalau mereka jahat akan saya tentang dan basmi! "
Ki Sudibyo menganguk-angguk senang, "Bagus sekali, kuharap saja engkau sudah
mengerti benar karena pengertian itulah yang akan menjadi obor bagi semua
tindakanmu. Celakalah kalau engkau bertindak karena dorongan dendam. Aku sendiri
telah melakukan hal itu, Niken. Dan sampai sekarang aku masih tenggelam dalam
penyesalan." Saya aku selalu mengingat semua wejangan Bapa, dan mudah-mjudahan Sang Hyang
Wisnu akan selalu memberi bimbingan kepada hamba sehingga akan timbul
kewaspadaan dan kebijaksanaan dalam segala sepak terjang saya."
"Sekarang ada dua hal yang aku harapkan dengan sangat agar engkau dapat
melaksanakannya, Niken. Kalau engkau dapat melaksanakan dua hal ini dengan baik
sebagai pesan terakhirku, maka aku akan menghadapi kematian dengan hati tenteram
dan mata terpejam mulut tersenyum."
"Katakanlah, Bapa. Tugas apakah yang harus saya laksanakan" Saya siap untuk
menanti perintah Bapa dan melaksanakannya dengan sekuat tenaga saya."
"Begini, angger. Dari anak buah Gagak Seto aku mendapat aku mendapat berita
penting sekali, yaitu bahwa kini semua oran g gagah saling berlomba untuk
menemuakan keris pusaka Tilam Upih. Keris pusaka ini milik mendiang Sang Prabu
Airlangga yang telah hilang seabad yang lalu. Menurut perhitungan Sang Prabu
Jayabaya yang diumumkan, dikabarkan bahwa keris pusaka itu akan mucul pada hari-
hari ini. Karena itu, berduyun-duyun orang gagah dari segala penjuru bermunculan
untuk berlumba mendapatkan keris pusaka itu. Nah, aku mengharap agar engkaupun
tidak ketinggalan, menyumbangkan tenagamu untuk mencari dan mendapatkan pusaka
itu, angger." "Bapa Guru, bukan sekali-kali saya menolak atau keberatan melakukan perintah
Bapa ini. Akan tetapi, Bapa. Kalau semua orang gagah sudah bermunculan, berlumba
mendapatkan pusaka itu, masih perlukah saya ikut mencarinya" Pusaka itu pasti
akan dapat ditemukan mereka dan dihaturkan kembali kepada Sang Prabu Jayabaya."
"Ah, kalau benar seperti ucapanmua itu, tentu akupun tidak akan mengutusmu
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pergi, angger. Akan tetapi kenyataannya bukan begitu. Tidak semua orang
berpamrih mencari pusaka itu untuk dikembalikan kepada Sang Prabu Jayabaya.
Mereka mencari untuk diri sendiri. Dan berbahayalah kalau sampai pusaka itu
jatuh ke dalam tangan seorang penjahat karena pusaka itu ampuhnya menggiriskan.
Jadi, engkau harus membantu mereka yang berpamrih baik, mengembalikan pusaka itu
kepada yang berhak, yaitu kerajaan Daha. "Hemm, begitukah Bapa" Sekarang
mengerti saya, dan kalau begitu memang sudah menjadi kewajiban saya untuk ikut
mencarinya dan mencegah pusaka itu terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Akan
tetapi, kalau saya mulai mencarinya, ke manakah saya harus pergi, Bapa" Tanpa
arah petunjuk, bagaimana saya dapat mencarinya" "
"Sang Tilam Upih itu oleh penciptanya, yaitu mendiang Empu Bromokendali pada
jaman negeri Medang Kamulan, sembilan abad yang lalu, dibuang ke Lautan Kidul.
Yang menemukannya adalah mendiang Sang Prabu Airlangga dan Ki Patih Narrotama.
Akan tetapi, pada saat Sang Mahaprabu Airlangga mengundurkan diri dan menjadi
Sang Resi Gentayu, pusaka Tilam Upih itu hilang. Karena keris pusaka itu
ditemukan di Lautan Kidul, maka timbul dugaan bahwa dia kembali lagi ke Lautan
Kidul. Nah, hanya itulah petunjuknya dan dalam usahamu itu, engkau dapat
menyusuri lautan itu untuk mencarinya."
"Baiklah, Bapa. Saya akan berusaha keras untuk dapat menemukannya. Dan andaikata
saya berhasil, apa yang harus saya lakukan dengan pusaka itu" "
Ki Sudibyo tersenyum, girang melihat besarnya semangat muridnya. "Kalau engkau
berhasil, bawalah ke sini. Kalau aku masih hidup, aku akan menyertaimu menghadap
Sang Prabu Jayabaya untuk menghaturkan pusaka itu."
Gadis itu mengerutkan alisnya. Hatinya merasa tidak nyaman mendengar bahwa ia
kelak harus menghadap eyangnya, Sang Prabu Jayabaya. Akan tetapi ia tidak
membantah dan hanya mengangguk, lalu bertanya, "Dan hal yang kedua yang harus
saya lakukan itu apakah, Bapa" "
"Hal pertama ini harus kau lakukan dulu, karena itu merupakan ujian bagimu untuk
melaksanakan tugas ke dua. Dalam tugas pertama itu, engkau akan digembleng oleh
pengalaman-pengalaman hebat, bertemu dengan orang-orang sakti mandraguna
berbagai aliran. Mungkin pula engaku akan menghadapi pertandingan-pertandingan
di mana engkau akan mengetrapkan semua ilmu dan aji yang telah kau pelajari
dariku. Hanya, pesanku jangan sekali-kali menggunakan aji Hasta Bajra kalau tidak perlu
sekali, karena penggunaan aji ini amat berbahaya bagi lawan dan dapat
menimbulkan korban. Kalau engkau sudah melaksanakan tugas pertama itu, baik
berhasil menemukan keris atau tidak, barulah engkau kembali ke sini dan
melaksanakan tugasmu yang ke dua."
"Apakah tugas itu, Bapa" Saya akan melaksanakan dengan seluruh kemampuan saya."
"Tugas itu adalah menggantikan kedudukanku sebagi ketua perkumpulan Gagak Seto!
" Mendengar ucapan gurunya ini, Niken Sasi benar-benar terkejut sehingga ia
mengangkat mukanya memandang wajah gurunya dengan penuh perhatian. Akan tetapi
gurunya tidak main-main. Wajah gurunya bersunguh-sungguh.
"Akan tetapi, Bapa......! Bagaimana saya dapat menjadi ketua" Bukankah di sana
terdapat Paman Klabangkoro dan Paman Mayangmurko yang lebih memenuhi syarat dan
berpengalaman" "
"Sudah kupertimbangkan baik-baik, Niken Sasi. Perkumpulankita adalah perkumpulan
kita adalah perkumpulan orang gagah yang sudah terbiasa dengan tindakan
kekerasan. Kalau mereka tidak dipimpin oleh seorang yang benar-benar bijaksana
dan berwatak baik, mereka dengan mudah akan dibaw menyeleweng dan berbahayalah
kalau terjadi demikian. Dan aku tidak melihat seorangpun di antara para murid
yang tepat untuk menjadi ketua, kecuali engkau! "
"Akan tetapi saya hanyalah seorang wanita, Bapa Guru! " bantah Niken Sasi yang
merasa ngeri diserahi tugas menjadi ketua itu. "Apa alasan yang Bapa Guru ambil
untuk memilih saya, seorang wanita muda, menjadi ketua perkumpulan besar ini" "
"Untuk menjadi pemimpin pria atau wanita sama saja. Ingat, Dewi Woro Srikandi
juga seorang wanita, namun ia telah terkenal sebagi seorang senopati yang gagah
perkasa dan pilih tanding. Alasanku memilihmu, karena engkau merupakan murid
yang paling tangguh di antara semua muridku. Terutama sekali karena engkau yang
mewarisi aji Hasta Bajra selain itu, hanya engkau yang kupandang memiliki
kebijaksanaan walaupu usiamu masih muda. Nah, aku sungguh mengharapkan engkau
tidak akan menolak permintaanku ini, Niken Sasi! "
"Maaf, Bapa. Sama sekali bukan saya keberatan, hanya saya pikir masih banyak
murid pria yang saya pandang juga bijaksana dan berwatak baik seperti misalnya
kakang Gajahpuro." "Hemm, tidak salah pendapatmu. Gajahpuro memang seorang pemuda yang baik dari
pada ayahnya, Klabangkoro. Akan tetapi, dia kurang berbakat dan tidak cukup
tangguh untuk menjadi seorang pemimpin. Ketahuilah, hanya seorang ketua yang
menguasai aji Hasta Bajra dan selain aku, hanya engkau yang kini menguasainya.
Bahkan aku sendiri sudah tidak mampu mempergunakannya dengan baik, jadi engkau
seoranglah yang kini menguasainya dengan sepenuhnya. Karena itu, harap jangan
menolak lagi, Niken."
Gadis itu menghela napas panjang. Sebetulnya, sedikitpun tidak ada keinginan di
hatinya untuk menjadi ketua Gagak Seto. Akan tetapi iapun tidak tega untuk
menolak begitu saja permintaan gurunya yang demikian sungguh-sungguh. "Bapa,
biarlah tentang kedudukan ketua itu akan saya pikirkan dulu, karena bukankah
sekarang saya harus melaksanakan tugas pertama mencari pusaka itu" "
Baiklah, Niken. Maafkan aku yang telah membebani pikiranmu dengan banyak
persoalan. Memang sebaiknya engkau menghadapi satu masalah saja dahulu yaitu
mencari pusaka Tilam Upih. Mudah-mudahan saja para dewata melindngimu sehingga
engkau yang akhirnya menemukan pusaka yang diperebutkan itu."
"Bapa, kapan saya harus berangkat" Saya harus membuat persiapan untuk perjalanan
itu." "Tiga hari kemudian merupakan hari yang amat baik bagimu untuk mulai dengan
perjalananmu, Niken. Berkemas dan bersiap-siaplah, dan pusakaku Kyai Megantoro
ini kuberikan kepadamu. Bawalah untuk pelindung diri. Biarpun tidak sehebat Kyai
Tilam Upih, akan tetapi Megantoro ini sudah menemaniku selama puluhan tahun dan
sudah amat besar jasanya." Kakek itu mengambil kerisnya dan menyerahkan kepada
Niken Sasi. Niken Sasi menerima keris itu dengan kedua tangannya. Kyai Megantoro
adalah sebatang keris yang bentuknya lurus, juga tidak terlalu panjang sehingga
cocok untuk dipergunakan seorang wanita.
Pada saat itu, sesosok tubuh meninggalkan daun jendela ruangan itu di mana tadi
ia berdiri tanpa bergerak dan menahan napas. Orang itu sempat mendengarkan
bagian terakhir dari percakapan antara Niken Sasi dan Ki Sudibyo.
Ia seorang wanita muda yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Usianya
sekitar duapuluh tahun, seorang gadis yang lumayan cantiknya, dan yang sudah
bekerja kepada Ki Sudibyo sejak berusia sepuluh tahun. Oelh karena itu Jinten,
demikian nama gadis itu, telah dipercaya. Ialah yang dahulu selalu melayani Ki
Sudibyo, akan tetapi semenjak Niken Sasi menjadi murid orang tua itu dan Niken
Sasi berkeras melayani sendiri gurunya, Jinten hanya membantunya kalau
dikehendakinya saja. Sejak ada Niken Sasi, Jinten lebih banyak bekerja di dapur,
masak dan mencuci pakaian. Ia seorang gadis yang manis yang lincah dan agak
genit. Sudah lebih dari tiga tahun Jintenditarik oleh Klabangkoro menjadi mata-mata
untuk selalu mengikuti gerak-gerik Ki Sudibyo. Apa lagi akhir-akhir ini, Jinten
dipesan oleh majikannya itu agar selalu mengintai atau mendengarkan kalau Ki
Sudibyo bercakap-cakap dengan Niken Sasi. Maka, pada malam hari itu, ketika
melihat Ki Sudibyo bercaklap-cakap dengan Niken Sasi, ia cepat menyelinap dekat
jendela dan dengan hati-hati mendengarkan percakapan itu.
Sebelum Niken Sasi yang menerima keris itu bangkit meninggalkan ruangan, Jinten
mendahuluinya, pergi dengan berjingkat-jingkat. Kemudian wanita ini berlari ke
pondok Klabangkoro. Ketika tiba di sana Klabangkoro sedang bercakap-cakap dengan
Gajahpuro, puteranya. Biarpun di situ tidak ada orang lain lagi, Jinten nampak
meragu ketiak melihat pemuda itu.Memang ia merasa takut kepada Gajahpuro. Pernah
ia bersikap genit dan berusaha merayu Gajahpuro, akan tetapi perjaka ini
bukannya tertarik, bahkan menghardik dan memakinya! Sejak saat itu, ia tidak
berani lagi mendekati putera tokoh Gagak Seto itu. Melihat Jinten datang
berlarian, kemudian meragu sambil memandang kepada puteranya, Klabangkoro
berkata kepada Gajahpuro, "Anakku, Gajahpuro, engkau tinggalkanlah dulu ruangan
ini. Aku perlu bicara berdua dengan Jinten."
Gajahpuro bangkit berdiri lalu pergi meninggalkan ruangan itu dengan alis
berkerut. Dia tahu bahwa Jinten adalah orang kepercayaan ayahnya, akan tetapi dia tidak
tahu apa tugas Jinten. Dia tidak suka dan muak kepada gadis pelayan yang genit
itu. Setelah Gajahpuro pergi, Jinten lalu berkata, "Bendoro, saya membawa berita yang
teramat penting sekali ini! " kata Jinten dengan wajah gembira dan sepasang
matanya bersinar-sinar. "Akan tetapi bagaimana dengan janji paduka" Telah banyak jasa saya, akan tetapi
belum juga paduka memenuhi janji paduka kepada saya." kata Jinten dengan sikap
jual mahal dan manja. "Setan! Kurang banyakkah hadiah yang kuberiakan kepadamu berupa uang dan
pakaian" " bentak Ki Klabangkoro dengan mata melotot.
Jinten memainkan matanya dengan sikap menarik. "Eh, bukan itu yang saya
maksudkan. Soal hadiah memang sudah cukup, akan tetapi paduka pernah berjanji
akan mengembil saya sebagai selir."
Ki Klabangkoro tertawa, tangannya yang besar itu terulur dan di lain saat Jinten
sudah didekapnya dan diberiakan ciuman yang kuat, lalu dilepaskannya kembali.
Wanita itu sampai terengah-engah karena dipeluk kuat sekali.
"Ha-ha-ha, bodoh! Kalau engkau menjadi selirku, bagaimana engkau dapat
membantuku lagi" Soal menjadi selir itu mudah. Kalau sudah selesai tugasmu dan
tercapai cita-citaku menjadi ketua Gagak Seto, tentu engkau akan menjadi selirku
yang pertama. Yang pertama, kaudengar" Akan tetapi sekarang belum, tugasmu masih
banyak dan tugas itu baru dapat kau laksanakan kalau engkau menjadi pelayan
seperti sekarang. Mengerti" "
Jinten mengangguk-angguk, padahakekatnya, ia memang takut sekali kepada
Klabangkoro. Tadinya ia sendiri tergila-gila kepada Gajahpuro akan tetapi karena
semua usahanya merayu pemuda itu gagal, ia lalu hendak mengait ayahnya.Apalagi
setelah ia membantu Ki Klabangkoro dan mengetahui bahwa orang itu ingin menjadi
ketua Gagak Seto, ia membayangkan betapa akan terhormat dan senangnya kalau ia
menjadi selir ketua! Saya......saya mengerti......"
"Bagus! Nah, sekarang ceritakan apa berita penting itu! " Jinten bicara
perlahan, setengah berbisik dan mendekati Klabangkoro. "Saya mendengar
percakapan Ketua dan Niken Sasi. Yang pertama adalah supaya gadis itu pergi
mencari keris pusaka Tilam Upih milik kerajaan Daha yang hilang dan ketua telah
memberikan keris pusakanya Kyai Megantoro kepada Niken Sasi."
"Hemmm, apa yang kedua" "
"Yang kedua penting sekali. Ketua hendak mengangkat Niken Sasi menjadi
penggantinya kelak, menjadi ketua Gagak Seto."
"Keparat! Sudah kuduga! Hemmmm, setan cilik itu......! "Ki Klabangkoro mengepal
tangannya dan berjalan hilir mudik. "Kita harus cepat bertindak! Jinten, cepat
kau pergi mengundang adi Mayangmurko ke sini! "
Perintah itu cepat dilaksanakan. Sebagai seorang pelayan ketua, tentu saja
Jinten bebas berkeliaran di perkampungan Gagak Seto itu tanpa ada yang
mencurigainya sama sekali. Dan beberapa menit kemudian Klabangkoro dan
Mayangmurko sudah berhadapan di dalam bilik tertutp berdua saja.
"Celaka! Kalau begitu, kita harus cepat turun tangan, kakang Klabangkoro sebelum
terlambat! " kata Mayangmurko ketika mendengar bahwa Niken Sasi akan diangkat
menjadi ketua menggantikan Ki Sudibyo.
"Tenang dan sabarlah, adai. Kita harus mengatur rencana serapi mungkin agar
siasat kita jangan sampai gagal. Kebetulan sekali bocah itu mendapat tugas
mencari Keris Pusaka Tilam Upih. Bapa Guru tentu mempunyai alasan kuat mengapa
dia mempercaya bocah itu untuk mencari pusaka yang diperebutkan semua orang
gagah itu. Dan karena itu amat amapuh, sungguh menguntungkan sekali kita bisa
mendapatkannya, maka kita pergunakan kesempatan ini untuk keuntungan kita."
"Wah, memiliki pusaka Tilam Upih sungguh berbahaya, kakang. Pusaka itu milik
kerajaan Daha dan kalau kita mendapatkannya, tentu kita akan berhadapan dengan
kerajaan Daha. Berbahaya sekali! "
"Ha-ha-ha, kalaupusaka itu sudah berada di tangan kita, mudah saja nanti mencari
jalan terbaik. Klau mungkin kita miliki, kalau tidak mungkin, kita dapat
mengembalikan kepada kerajaan dan memperoleh imbalan jasa besar. Dan semua itu
akan kita dapatkan tanpa susah payah. Biarlah Niken Sasi mencarikan dan
mendapatkan untuk kita. Ha-ha-ha! "
"Wah, kakang Klabangkoro. Itu siasat yang bagus sekali! Jadi kita tidak langsung
turun tangan, akan tetapi menanti sampai bocah itu mendapatkan pusaka Tilam
Upih" " Untuk itu kita mesti minta bantuan gerombolan Jambuka Sakti. Karena tanpa
bantuan mereka, bagaimana mungkin kita dapat membayangi perjalanan Niken Sasi" "
"Dan bagaimana dengan Bapa Guru" "
"Kebetulan sekali Niken Sasi akan pergi. Siapa tahu ia memiliki kepandaian
tangguh dan ia tentu akan membela gurunya. Nah, kita tunggu sampai ia pergi,
lalu kita paksa Bapa Guru untuk menuliskan ilmu Hasta Bajra."
"Kalau dia menolak" "
"Hemm, untuk melawanpun dia tidak mampu."
"Tapi, kakang. Baru siang tadi dia berlatih Hasta Bajra dengan hebatnya di
ruangan itu! " kata Mayangmurko gentar.
"Jangan percaya! Mungkin dia dan Niken Sasi berlatih. Kalu Bapa Guru sudah
menyuruh bocah itu mencari pusaka, hal itu dapat dipastiakn berarti bahwa Niken
Sasi telah memiliki kepandaian yang tinggi. Bpa Guru sendiri masih lemah, apakah
yang dapat dia lakukan terhadap tekanan kita" "
"Akan tetapi pekerjaan ini berat dan berbahaya. Sebaiknya kalu kita pergi
menemui Ki Brotokeling dan membicarakannya dengan dia. Tanpa bantuan Jambuka
Sakti, aku khawatir kita gagal."kata Mayangmurko.
"Baik, marilah malam ini juga kita berkunjung ke sana." kata Ki Klabangkoro dan
kedua orang itu lalu menyusup dalam kegelapan malam. Mereka tidak perlu pergi ke
lereng Gunung Bromo tempat asal Jambuka Sakti, karena pada waktu itu, ketuanya,
Brotokeling sedang berada di sebuah hutan di kaki gunung Anjasmoro. Ki
Brotokeling mempunyai cita-cita yang besar, yaitu dia ingin menjadi datuk atau
penguasa dari Panca-Giri ( lima Gunung ). Kalau cita-citanya berhasil, dengan
menundukkan gerombolan-gerombolan yang berkuasa di lima gunung itu, maka dia
akan menjadi kepala dari para gerombolan di Gunung Semeru, Bromo, Kelud, Arjuna,
dan Anjasmoro! Dan kini dia sedang melakukan penjajagan, maka dia turun dari
Bromo dan sementara berada di kakai gunung Anjasmoro. Di sini dia mengadakan
sekutu dengan Ki Klabangkoro dan Mayangmurko yang berkeinginan menguasai Gagak
Seto. Demikianlah, Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko hanya memerlukan waktu setengah
malam saja untuk sampai di tempat kediaman sementara Ki Brotokeling, di kaki
gunung Anjasmoro, dalam sebuah hutan lebat.
Hutan di kaki gunung Anjasmoro yang dijadikan tempat tinggal sementara
gerombolan Jembuka Sakti itu kelihatan sepi saja, seolah tidak ada penghuninya.
Akan tetapi sesungguhnya di jantung hutan itu terdapat bangunan-bangunan pondok
darurat yang merupakan perkampungan kecil. Gerombolan itu terdiri kurang lebih
seratus orang, dipimpin sendiri oleh Jambuka Sakti setelah selama beberapa tahun
dia menyebar para pembantunya untuk menyelidiki keadaan lima buah gunung yang
akan ditaklukannya itu. Andaikata Ki Sudibyo masih kuat dan sehat seperti dahulu dan masih memegang
sendiri kendali perkumpulannya, jangan harap bagi Jembuka Sakti untuk bermukim
di hutan itu. Seluruh daerah pegunungan Anjasmoro sudah berda di bawah
pengawasan dan kekuasaan perkumpualan Gagak Seto. Akan tetapi, kini yang
berkuasa adalah Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko, dan mereka inilah yang
memperkenankan gerombolan Jembuka Sakti tinggal di situ karena memeng mereka
bersekutu dengan perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat itu. Ki
Brotokeling, ketua Jembuka Sakti, menjanjikan kepada Ki Klabangkoro untuk
membantu sehingga Klabangkoro dapat merebut kedudukan ketua Gagak Seto sedangkan
sebaliknya Klabangkoro menyatakan dukungannya kepada Jambuka Sakti untuk
menjagoi Panca-giri. Setelah tiba di dalam hutan, kedua orang pimpinan Gagak Seto itu, tidak berani
lancang melanjutkan perjalanan karena mereka tahu bahwa mereka telah tiba di
wilayah tempat persembunyian perkumpulan Jambuka Sakti. Ki Klabangkoro lalu
membuka mulutnya dan dari kerongkongannya terdengarlah suara parau seperti suara
seekor burung gagak. "Kraaaaakkk.........kraaaaakkkk......kraaakkk......! "
Hening sekali mengikuti bunyi suara burung gagak itu.Bahkan kicau burungpun
berhenti, seolah semua binatang merasa takut mendengar bunyi parau yang aneh
itu. Akan tetapi tidak lama kemudian terdengar suara gonggongan anjing atau srigala.
"Haunggg.....haunnnnggg..........! "
Asmara Dibalik Dendam Membara Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hemm, kita telah disambut." kata Ki Klabangkoro dan Ki Mayangmurko juga
mengangguk. Mereka sudah mengenal pula bunyi srigala itu yang merupakan tanda
rahasia para anggota Jambuka Sakti.
Tak lama kemudian dari balik semak-semak bermunculan empat orang pria tinggi
besar berusia kurang lebih empatpuluh tahun dan mereka berempat memegang
sebatang golok yang gagangnya berbentuk kepala srigala dengan ronce merah.
Agaknya empat orang ini mengenal Ki Klabangkoro dengan baik karena begitu
melihat dua orang pimpinan Gagak-seto itu, mereka berempat lalu menyimpan golok
mereka di sarung golok yang tergantung di pinggang kiri.
"Kiranya sampeyan berdua yang datang berkunjung, Ki Klabangkoro! " mereka
berkata sambil tertawa. "Benar, kawan. Kami ingin bertemu dengan Kakang Brotokeling." jawab Klabangkoro
sambil tertawa. "Kalian berdua memang sedang dinanti-nanti. Mari, silakan! Empat orang itu
menjuadi petunjuk jalan dan dua orang pimpinan Gagak Seto itu lalu mengikuti
mereka dari belakang, melalui semak-semak belukar dan pohon-pohon besar.
Akhirnya tibalah mereka diperkampungan Jambuka- sakti yang berada di tengah-
tengah hutan, di antara pohon-pohon raksasa. Di situ dibangun pondok-pondok
darurat. Karena ketua Jambuka-sakti memang sedang menanti-nanti kunjungan kedua orang
pimpinan Gagak-seto ini, maka mereka berdua segera disambut dan dipersilakan
memasuki pondok induk di mana sang ketua telah menanti mereka.
Tak lama kemudian. Ki Klabangkoro dan Ki Myangmurko sudah duduk bersila di atas
tiakr tebal, berhadapan dengan Ki Brotokeling. ketua Jambuka Sakti ini seorang
yang bertubuh jangkung kurus, berusia limapuluh delapan tahun. Biarpun tubuhnya
jangkungkurus akan tetapi penampilannya penuh wibawa. Kumis dan jenggot tebal
dan membuat dia kelihatan gagah dan menyeramkan. Sebagian mukanya yang kemerahan
itu tertutup kumis, jenggot dan cambang sehingga yang nampak hanya hidungnya
yang besar dan matanya yang tajam seperti mata burung elang.
"Bagus kalian datang! " kata Brotokeling. "Bagaimana perkembangan di Gagak-seto"
Dan bagaimana keadaan Ki Sudibyo sekarang" " tanya ketua Jambuka-sakti itu.
"Kabar penting yang kami bawa, kakang Brotokeling. Kami telah melaksanakan semua
pesan andika. Perkumpulan Gagak-seto praktis sudah berada di tangan kami.
Seluruh anak buah juga sudah tunduk kepada kami. Mereka semua telah ikut makan
hasil sepak-terjang dan ikut terlibat sehingga mau tidak mau mereka semua akan
setia kepada kami." "Bagus! Dan Ki Sudibyo tidak mengetahui semua itu" " tanya Brotokeling, "Apakah
dia sudah tidak lagi merasa penasaran dengan penyerangan yang dilakukan anak
buah kami sepuluh tahun yang lalu " "
"Ah, urusan itu sudah dia lupakan Brotokeling. Kami sudah melaporkan kepadanya
bahwa andika tidak tahu-menahu dengan serangan itu, bahwa penyerangan itu
mungkin dilakukan oleh anak buah Jambuka-sakti yang sudah keluar dari
perkumpulan dan bertindak liar. Diapun menghabiskan saja urusan sampai di situ.
Dan selama ini, dia hanya mengurung diri dalam sanggar pamujan."
"Ha-ha-ha, tidak kusangka Ki Sudibyo mempunyai hati selemah itu. Kalau dia
demikian cinta kepada isterinya, kenapa dia mengutus engkau untuk membunuhnya
bersama pacar isterinya itu" "
"Kami juga merasa heran sekali kakang. Dia sendiri yang menyuruh membunuh
isterinya yang menyeleweng, sekarang dia membenamkan dirinya dalam duka. Akan
tetapi hal itu malah kebetulan karena melemahkan semangatnya."
"Kalau begitu, kenapa kalian belum turun tangan" Sebaiknya menguasai Gagak-seto
secara sah, dengan membunuh Ki Sudibyo dan mengangkat diri sendiri menjadi
ketua. Kalau terjadi keributan kami akan membantu kalian menumpas semua
penghalang." "Itulah kesulitannya, kakang Brotokeling. Selama sepuluh tahun ini, Bapa Guru
hanya sibuk dengan muridnya yang baru, yaitu Niken Sasi. Dan baru kemarin kami
mendapat kenyataan yang amat mengejutkan. Di dalam ruangan tertutup yang hanya
ditempati Ki Sudibyo dan Niken Sasi, Bapa Guru telah berlatih aji Hasta-bajra
dengan hebat sekali! "
"Ahh! Dan kaukatakan dia telah menjadi lemah, baik badan maupun semangatnya" "
teriak Brotokeling penasaran.
"Memang sesungguhnya demikian, kakang. Bapa Guru makin hari makin lemah dan
setiap hari dia minum jamu. Akan tetapi di ruangan tertutup itu ada yang latihan
ilmu pukulan ampuh itu sampai terdengar suara gaduh dan dinding-dinding
tergetar." "Hemm, benarkah itu, adi Mayangmurko" "
Benar, kakang Brotokeling. Aku juga mendengarnya sendiri dan menurut keterangan
Niken Sasi, yang menimbulkan suara gaduh itu adalah Bapa Guru yang berlatih
Hasta Bajra." "Eh, Ladahlah! Jangan-jangan murid barunya, gadis bernama Niken Sasi itu yang
berlatih Hasta Bajra ! " kata Brotokeling dengan alis berkerut.
Klabangkoro dan Mayangmurko tertawa. "Ha-ha-ha, harap jangan khawatir, kakang
Brotokeling. Tadinya kami juga mempunyai dugaan seperti itu. Akan tetapi mana
mungkin bocah perempuan berusia delapanbelas tahun itu dapat menguasai Hasta
Bajra yang membutuhkan tenaga sakti yang besar" " kata Klabangkoro.
"Pula, andaikata benar demikian, kami sudah merencanakan siasat untuk
menaklukannya. Akan tetapi semua rencana kami membutuhkan bantuan kakang
Brotokeling." kata Mayangmurko.
"Tentu saja, kami akan membantu. Bukankah selama ini kita sudah saling membantu"
Nah, sekarang ceritakan, apa rencana siasat kalian itu agar aku dapat
melaporkannya kepada Kanjeng Gusti! "
Ki Klabangkoro mengamati wajah tuan rumah dengan penuh selidik.
"Kakang Brotokeling, sebelum kami menceritakan rencana kami, lebih dahulu kami
mohon sukalah kiranya andika memberitahukan kepada kami, siapa sesungguhnya
Kanjeng Gusti itu. Kami sepantasnya mengetahui untuk siapa kami bekerja dan
menghambakan diri." "Benar sekali, kakang Brotokeling kami harus tahu kepada siapa kami mengabdi."
sambung Mayangmurko. Ki Brotokeling membelalakkan matanya dengan marah. "Andika berdua sungguh
lancang mulut! Apakah kalian sudah tidak sayang lagi kepada nyawa kalian"
Merupakan pantangan besar untuk mencoba mengetahui siapa Kanjeng Gusti. Aku
sendiripun belum pernah melihat wajahnya yang sesungguhnya. Sudah kukatakan
dahulu bahwa kalau dikehendaki Kanjeng Gusti, beliau akan memperkenalkan diri
sendiri kepada kita. Sekarang yang penting, kita tahu bahwa kita menghambakan diri kepada Kanjeng
Gusti, menerima upah yang besar, bahkan kelak akan diberi kedudukan tinggi. Akan
tetapi siapa mengkhianatinya, biarlah akan lari ke neraka sekalipun tentu akan
dapat ditangkap dan dihukum. Cukup kukatakan bahwa kekuasaan Kanjeng Gusti tidak
terbatas. Jangan ulangi lagi pertanyaan goblok itu."
Kalbangkoro dan Mayangmurko beruabh agak pucat wajah mereka mendengar ini.
"Maafkan kami.Sebetulnya kami bertanya bukan karena curiga ataun tidak percaya,
melainkan agar yakin dan menambah besarnya kesetiaan kami. Akan tetapi kalau itu
merupakan pantangan besar, biarlah kami mencabut kembali pertanyaan itu. Sekali
lagi harap maafkan kami, kakang Brotokeling."
"Sudahlah, adi Klabangkoro, jangan singgung lagi persoalan itu. Sekarang lebih
baik ceritakan segala yang terjadi dan apa yang kalian rencanakan.
Klabangkoro dan Mayangmurko lalu menceritakan semua yang mereka ketahui tentang
Ki Sudibyo dan Niken Sasi. Betapa gadis itu diberi tugas oleh Ki Sudibyo untuk
mencari pusaka Tilam Upih untuk dihaturkan kepada Sang Prabu Jayabaya.
Kemudian menceritakan pula betapa Niken Sasi akan diangkat menjadi ketua Gagak
Seto menggantikan Ki Sudibyo.
"Walah-walah........! Itu gawat sekali! " kata Ki Brotokeling sambil mengepal
tinju. "Soal mencari pusaka Tolam Upih, kami sudah mendengar karena Kanjeng Gusti juga
memberi perintah kepada kami untuk embantu dan memperebutkannya. Akan tetapi,
kalau gadis itu hendak diangkat menjadi ketua Gagak Seto, hal ini berbahaya
sekali. Kalian tentu akan kehilangan kekuasaan atas anak buah Gagak Seto. Lalu
apa rencana kalian untuk menghadapi semua itu" Memang mencurigakan sekali. Kalu
gadis itu hendak dijadikan ketua, bukan mustahil ia sudah menguasai Hasta-
bajra." Harap jangan khawatir, kakang Brotokeling. "Kami sudah mengatur rencana siasat
begitu. Kalau gadis itu sudah menguasai Hasta Bajra, kami akan berusaha agar ia
dapat menjadi jodoh puteraku sehingga aji itu akan dengan mudah kita kuasai
kalau ia sudah menjadi mantuku. Kami akan menggunakan siasat agar puteraku
berjasa dan ia berhutang budi kepada Gajahpuro, anakku. Andaikata siasat ini
gagal, kami masih dapat menggunakan saisat lain, yaitu menodainya agar ia
terpaksa mau menjadi isteri Gajahpuro untuk mencuci aib. Langkah kami yang
kedua, kami akan membayangi Niken Sasi membiarkan ia mendapatkan Tilam Upih.
Baru setelah itu kami merampasnya dari tangannya, Akan tetapi untuk menjamin
keberhasilan rencana ini, tentu saja kami mengharapkan bantuan kakang
Brotokeling, karena untuk membayangi gadis itu, apalagi kalu benar-benar ia
menguasai aji Hasta Bajra, tidaklah mudah dan membutuhkan anak buah yang kuat."
"Hemm, jangan khawatir. Untuk mengatasi gadis itu, serahkan kepada kami. Akan
tetapi, bagimana rencana kalian terhadap Ki Sudibyo" Kenapa sampai sekarang dia
dibiarkan hidup dan belum juga kalian usahakan agar aji itu jatuh ke tangan
kalian" "Untuk menghadapi Ki Sudibyo kamipun sudah mempunyai rencana siasat yang matang,
kakang. Kalau benar seperti yang kami lihat dan duga bahwa Ki Sudibyo itu sudah
menjadi seorang kakek yang lemah, tentu saja hal itu amat mudah. Kami akan
memaksanya untuk mengajarkan Hasta Bajra kepada kami dengan membuatkan
kitabnya." "Hemm, aku sudah lama mengenal Ki Sudibyo dan dia adalah seorang laki-laki yang
berhati sekeras baja. Bagaimana mungkin kalian akan dapat memaksanya" Orang
macam dia tidak takut mati, dan kalau tidak mau menyerahkan, biar dia sudah
menjadi lemah dan kalian ancam, akan sukarlah untuk dapat memaksanya manyerah."
"Untuk itupun kami sudah merencanakan siasat yang pasti akan berhasil." Kata
Klabangkoro gembira. "Pendeknya, serahkan urusan meminta Ki Sudibyo membuatkan
kitab pelajaran aji Hasta Braja itu kepada kami. Adapun mengenai pekerjaan
membayangi Niken Sasi, kemudian kelak menguasainya kalau kami gagal dengan
pengerahan tenaga, kami harap kakang Brotokeling membantu kami."
"Baik, sekarang membagi tugas. Ingat, kalau aji Hasta Braja sudah berhasil
dibuatkan kitabnya, kalian harus memberi kesempatan kepadaku untuk
mempelajarinya." "Wah, kakang Brotokeling sudah sakti mandraguna, untuk apa lagi mempelajari
Hasta Bajra" " Klabangkoro mencela.
Ki Brotokeling mengelus jenggotnya. "Pernah akau mengadu ilmu dengan Ki Sudibyo.
Kami setanding dan aku pasti tidak akan kalah olehnya kalau saja dia tidak
mempergunakan Hata-bajra. Karena itu, setelah kalian berhasil memperoleh kitab
pelajaran aji itu, aku harus ikut mempelajarinya. Dan kalian tidak boelh
menolaknya, atau mungkin andika berdua tidak suka bekerja di bawah kekuasaan
Kanjeng Gusti. Dan tidak suka bekerja sama itu berarti menetang! "
Demikianlah, setelah berbincang-bincang dan mengatur siasat, dua orang pimpinan
Gagak Seto itu meninggalkan hutan dan kembali ke lereng Anjasmoro.
Perbuatan jahat yang bagaimanapun juga tidak akan tersa jahat bagi pelakunya.
Seperti yang dilakukan oleh Klabangkoro dan Mayangmurko, juga Brotokeling itu,
yang mengadakan persekutuan untuk mencelakakan Ki Sudibyo. Bagi mereka,
perbuatan mereka itu sama sekali tidak jahat! Demikian pula bagi semua manusia
di dunia ini. Mereka semua menganggap bahwa apapun yang mereka lakukan itu adalah benar dan
tidak jahat. Mengapa demikian" Karena semua perbuatan itu mereka lakukan dengan
pamrih demi kebaikan dan kesenangan diri pribadi! Dan melakukan perbuatan untuk
menyenangkan diri ini mereka anggap tidak jahat! Mereka anggap sebagai "
perbaikan nasib"! Nafsu daya rendah yang sudah bergelimang dalam hati akal
pikiran siap untuk menjadi pokral membela semua perbuatan kita. Ada saja alasan
yang mereka kemukakan untuk menutupi kesalahan perbuatan kita, atau setidaknya
untuk mengurangai kadar kejahatanya. Seorang maliang dibela hati pikirannya
sendiri bahwa dia melakukan pencurian demi membela perut keluarga, demi
membiayai hidup mereka, dan sebagainya.
Seorang pembunuh dibela hati akal pikirannya bahwa dia membunuh karena yang
dibunuh itu jahat sekali sehingga pembunuhan yang dilakukannya itu malah baik!
Seorang koruptor dibela hati pikirannya sendiri bahwa korupsi yang dilakukan itu
adalah hal yang wajar dan umum, bahwa semua karyawan juga melakukannya, demi
mencukupi kebutuhan hidup keluarganya, membayar uang sekolah anak-anak mereka
yang mahal dan sebagainya. Pendeknya, semua perbuatan akan dibela oleh hati
pikirannya sendiri, karena hati akal pikan itu, seperti juga perbuatan, telah
dicengkeram oleh nafsu daya rendah yang merebut tahta kerajaan dalam diri dan
menyebut diri sendiri sebagai aku yang penting! Nafsu daya rendah sedemikian
kuatnya mencengkeram diri lahir batin, dan nafsu itu amatlah julingnya, amat
pandai dan bersalin rupa. Tidak ada kekuatan atau kekuasaan lain yang akan mampu
mengalahkannya dan menaklukannya kecuali kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa!
Hanya dengan menyerah kepada kekuasan tuhan sajalah yang akan dapat membersihkan
Dewi Penyebar Maut I X 1 Pendekar Naga Putih 82 Tujuh Satria Perkasa Raja Lihai Langit Bumi 2