Pencarian

Badik Buntung 11

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 11


dengan Withian- cit-ciat-sek, tapi sejak lama pernah dengar namanya. Kini Wi-thian-cit-ciat-sek
ternyata muncul atas bocah keras kepala yang menjadi musuhnya ini, bila sekarang tidak
diberantas dan ditumpas, bila dia sampai melatihnya sampai sempurna kelak pasti bakal merupakan
lawan tangguh yang paling berbahaya bagi dirinya.
Dasar culas dengan dingin mulutnya menggeram seperti binatang kelaparan. Thian-
hi insaf tibalah kini saatnya bagi dirinya untuk berjuang bagi hidup dalam menghadapi
mara bahaya yang mengancam ini. Sedikit berpikir segera mulutnya bersuit panjang, tiba-tiba
tubuhnya meluncur terbang lempang dan lurus ke depan, ditengah jalan tubuhnya menjulang ke atas
lalu menukik pula meluncur dengan kecepatan kilat, dimana tubuhnya bergerak memutar seruling
ditangan melancarkan pula tipu-tipu Wi-thian-cit-ciat-sek, yang diarah adalah batok
kepala Bu-bing Loni. Tidak malu Bu-bing Loni diagungkan sebagai jago pedang nomor satu di seluruh
dunia ini, tanpa gugup ia sambut serangan hebat Thian-hi ini dengan tipu-tipu Hui-sim-kiam-
hoat yang sakti itu, dimana kekuatan tenaganya terpancar dari ujung pedangnya serangan seruling
Thian-hi kena tergetar miring. Tapi Wi-Thian-cit-ciat-sek memang bukan olah-olah hebatnya,
ditengah udara Thian-hi terbang berputar, sedikit serulingnya bergerak saja, setabur kekuatan
hawa yang berkisar besar menerjang ke arah Bu-bing Loni.
Dengan tenang Bu-bing Loni pandang permainan Thian-ni, cukup ia gerakkan
pedangnya pula setiap jurus serangan Thian-hi kena dibendung diluar lingkaran. Tapi tak urung
hatinya kaget juga. dia heran bahwa kepandaian Hun Thian-hi bisa maju pesat sedemikian tingginya,
Wi-thian-cit-ciat-selk yang digjaya dan hebat ini memang bukan ilmu sembarang
ilmu yang dapat dihadapi secara serampangan, untung latihan Hun Thian-hi belum matang.
Kalau tidak mungkin hari ini dirinya sendiri yang bakal terjungkal ditangan musuh mudanya
ini. Melihat rangsakannya berulang kali selalu gagal Hun Thian-hi semakin gugup dan
kaget. Memang tidaklah malu Bu-bing Loni disebut tokoh kosen nomor satu di seluruh
dunia ini. dibanding Tiang-pek-lokoay boleh dikata terlalu jauh bedanya, tidaklah heran
bahwa Ang-hwat-lomo juga gentar terhadapnya. malah begitu takut dan takutnya ini tidaklah bukan
beralasan. Sekarang Thian-hi baru insaf jangan kata untuk menang, supaya tidak kalah saja
juga rasanya tidak mungkin lagi, aku tidak bisa mati demikian saja dan tidak bisa mati secara
konyol. Sembari tempur Hun Thian-hi memutar otak, akhirnya ia berkeputusan. seketika tubuhnya
melambung tinggi pula, disaat Bu-bing Loni hanya bertahan menyelami serangan Wi-thian-cit-
ciat-sek, tiba-tiba ia meluncur jauh dan lari sipat kuping ke depan sana.
Bu-bing menggerung gusar, sebagai tokoh yang banyak pengalaman perbuatan Hun
Thian-hi masa dapat mengelabui kejelian matanya, begitu tubuh Hun Thian-hi melambung ke
depan, ia lantas dapat meraba maksud tujuan Hun Thian-hi, tahu-tahu tubuhnya pun sudah
berkelebat mengejar. "Mau lari kemana kau?" jengeknya sambil menghadang jalan lari Thian-hi.
Thian-hi tidak bicara, serulingnya menggempur dengan seluruh kekuatannya. Bu-
bing menyeringai dingin ringan sekaii ujung pedangnya menutul ke depan, ia balas
serang dada Hun Thian-hi sebelum serangannya tiba.
Sementara itu. tenaga Hun Thian-hi sudah terkuras tidak sedikit, apalagi
serangannya selalu gagal. tenaganya sudah habis lagi, ia insaf bahwa dirinya tidak akan mampu
menempur Bu-bing lebih lanjut terpaksa ia puter tubuh dan lari lagi.
"Mau lari pula kau" Cobalah rasakan Lian-hoan-sam-kiamku ini!" - Pedang panjang
ditangan Kanannya teracung, hawa pedang segera merembes keluar dari batang pedang,
seiring dengan gerak pedang tubuhnya ikut menggeser kedudukan, hawa pedang yang semakin padat
laksana lembayung segera menyapu dan merangsak ke arah Hun Thian-hi.
Thian-hi menyedot napas panjang, ia insaf bahwa dirinya hari ini sulit
menyelamatkan diri pula, terpaksa harus mengadu jiwa. cepat seruling disapukan miring ke depan, ia sambut
rangsekan hebat musuh ini dengan Wi-thian-cit-ciat-sek pula.
Bu-bing sudah tidak perlu gentar menghadapi serangan Wi-thian-cit-ciat-sek,
namun ia sendiri belum mendapatkan cara untuk memecahkan perlawanan Thian-hi ini, kecuali dengan
kekuatan Lwekangnya yang ampuh untuk menekan seret gerak serangan musuh tiada jalan lain
untuk mengatasinya. Begitulah sekilas ia berpikir tiba-tiba tajam pedangnya meluncur
laksana bintang jatuh melesat ke ulu hati Hun Thian-hi.
Thian-hi menekuk dengkul mendakan tubuh untuk menghindar, bersamaan tangannya
menggentak senjata dengan tipu-tipu Wi-thian-cit-ciat-sek menghalau rangsekan
Bu-bing selanjutnya. Bu-bing sudah berkeputusan hari ini betapapun ia harus bunuh Thian-
hi dengan pedangnya, memang dengan perhitungan yang cukup masak, serangan kali ini hanya
gertak sambel belaka, tiba-tiba badannya menerjang maju ke depan, berbareng pedang
panjang dibalikkan berputar terus disambitkan lempang ke depan, ia sudah kerahkan
seluruh Lwekangnya utk melontarkan pedang, tujuannya sekaii gebrak harus berhasil melumpuhkan
perlawanan Hun Thian-hi. Tapi kepandaian Hun Thian-hi sekarang sudah bukan olah-olah tingginya, begitu
melihat serangan balasan serulingnya mengenai tempat kosong mulutnya lantas membentak
mengguntur, berbareng kaki kiri menggeser setengah langkah badan ikut berputar setengah
lingkaran. serulingnya lantas menjungkit dari bawah ke atas, ia sendal ke arah pedang
panjang lawan yang meluncur tiba dengan kekuatan dahsyat itu.
Usaha Thian-hi memang berhasil, ujung serulingnya telah dapat menyungsang pedang
lawan tapi diluar perhitungannya bahwa lontaran pedang Bu-bing kali ini menggunakan
seluruh Lwekangnya yang ada, apalagi ia hanya sempat menggerakkan tenaga dengan kuda-
kuda sedikit jongkok dan tubuh miring, maka tenaga sendalannya bukan saja tidak berhasil
menyampok jatuh pedang musuh, malah luncuran pedangnya menusuk ke atas sedikit dan tahu-tahu
amblas ke dalam pundak kirinya, begitu deras daya luncuran pedang ini sehingga pundaknya
tertembus lewat sampai ke punggung, keruan sakitnya bukan kepalang, sesaat seperti seluruh
badan menjadi kejang. Tujuan serangan Bu-bing adalah Jian-kin-hiat, jalan darah di atas pundak, namun
hanya terpaut beberapa mili saja yang kena cuma tulang pundak Thian-hi saja. Tapi
hasil tusukan pedang cukup menghabiskan tenaga perlawanan Hun Thian-hi, mandah saja dicincang
atau disiksa oleh musuh. Dengan terpaku oleh selaras pedang yang menembus pundak kirinya, Thian-hi
mengeraskan hati berdiri tegak, separo tubuhnya sudah basah kuyup oleh darah, tangan kanan
masih kencangkencang menggenggam seruling, dengan pandangan berapi-api ia deliki Bu-bing Loni.
"Kau masih ingin melawan?" ejek Bu-bing Loni.
Terasa oleh Thian-hi kesakitan yang luar biasa di pundaknya kiri, darah
menyembur semakin deras. seluruh tubuhnya semakin lemah dan seperti hampir lumpuh, diam-diam ia
tutup jalan darah sendiri berusaha membendung darah yang bocor keluar. Tapi luka yang begitu
berat, mana mungkin dapat ia atasi begitu saja di saat ia harus menghadapi musuh yang masih
mengancam jiwanya ini. Pelan-pelan selangkah demi selangkah Bu-bing mendesak maju. Thian-hi gentakkan
serulingnya menyerang, namun tenaganya sudah lemah, sekali raih saja Bu-bing
berhasil merampas serulingnya, sebat sekali ia merabu beruntun ia tutuk tiga jalan besar
di atas tubuh Thian-hi. Setelah Thian-hi tidak berdaya, ia menyeringai dingin, otaknya menerawang, cara
bagaimana ia harus memberi hukuman pada Hun Thian-hi. Sekonyong-konyong kupingnya mendengar
pekik burung dewata yang penuh kekuatiran dan takut, berubah air mukanya, cepat ia
menengadah ke belakang sana, hatinya menjadi terkejut, belum pernah terjadi hal seperti
sekarang, kecuali ketemu lawan berat, atau ketemu orang yang sudah dikenal, burung dewata tidak
sembarangan berpekik demikian. Dengan sebelah tangan mengempit Hun Thian-hi ia berlari-lari menuju ke selatan,
setelah keluar dari hutan, ia mendongak, tampak burung dewata sedang bertempur hebat
dengan seekor burung rajawali yang cukup besar pula.
Beringas muka Bu-bing. Begitu melihat kedatangan Bu-bing burung dewata berusaha
menukik turun, tapi selalu kena dihalangi dan terdesak naik pula ke tengah udara. Bu-
bing menjadi gusar mulutnya menjebir hina, kelihatannya burung rajawali ini peliharaan orang,
setelah mengukur jarak ketinggiannya, hidungnya mendengus, batinnya, "Kau kira jarak begini
tinggi aku tidak mampu naik?" segera ia letakkan tubuh Thian-hi di tanah, tubuhnya mendadak
mencelat tinggi ke tengah udara, laksana burung besar kedua tangannya berkembang terus meluncur
tinggi tepat sekali hinggap di atas punggung burung dewata, berbareng ia ayun pedang di
tangannya membacok ke arah burung rajawali.
Rajawali itu berpekik kejut dan ketakutan, agaknya ia tahu akan kelihayan Bu-
bing Loni. cepat ia melambung tinggi terus terbang meninggi hendak lari. Tapi Bu-bing sudah
keburu gusar, pedang panjang disambitkan seperti anak panah melesat ke arah burung rajawali
itu. Burung rajawali itu memang cukup cerdik ia jumpalitan sekali terus menukik turun, tapi
sudah terlambat tak urung sayapnya sudah tertusuk pedang, terdengar mulutnya berpekik kesakitan,
membawa pedang yang menancap di badannya ia terbang rendah terus menghilang di balik
lembah sebelah sana. Bu-bing menyeringai sinis dengan kemenangan, waktu ia menunduk melongok ke
bawah, Hun Thian-hi yang diletakkan di tanah tadi sudah tidak kelihatan pula bayangannya,
sejenak ia terlongong, lantas meluncur turun memeriksa dan mencari ubek2an, namun tidak
berhasil menemukan jejaknya. Sungguh terbakar rongga dadanya, gusarnya bukan kepalang, siapakah yang telah
memancing dirinya dengan burung rajawali tadi lalu menolong pergi Hun Thian-hi. Terpaksa
ia naik ke punggung burung dewata, ia periksa dan obrak-abrik seluruh pelosok gunung ini
namun hasilnya nihil. Akhirnya dengan rasa gusar dan penasaran ia tinggal pergi.
Bu-bing tak habis herannya, ia bertanya-tanya dalam hati siapakah yang tahu
jelas akan tabiatnya dapat mengatur tipu daya sebegitu rapi dan cermat sekali, bukan saja
dirinya dapat dikibuli jejak musuhpun tak berhasil dicarinya."
Dalam pada itu, Thian-hi sejak ditutuk tiga jalan darah besar di atas tubuhnya
lantas jatuh pingsan, tutukan hebat itu melumpuhkan seluruh sendi2 badannya, apalagi
pundaknya terluka parah, keadaannya sangat lemah dan payah. Entah berapa lama kemudian, waktu
pelan-pelan ia rasakan pulih kesadarannya, pelan-pelan ia membuka mata, terasa ia rebah di atas
ranjang batu, lambat laun pandangan matanya menjadi terang, terlihat bentuk sesosok tubuh
orang yang sangat dikenalnya berdiri di hadapannya, keruan kagetnya bukan main, hampir saja ia
melonjak bangun. Orang yang berdiri di hadapannya ini bukan lain adalah Ham Gwat.
Melihat Thian-hi sadar dan membuka mata. Ham Gwat berkata lirih dan lemah
lembut, "Hunsiauhiap!
Bagaimana perasaanmu?"
Dengan terlongong Thian-hi pandang sepasang mata Ham Gwat yang bening cerah, ia
heran bagaimana mungkin dia mendadak muncul di hadapannya, bukankah dia sudah minggat
dan melepaskan diri dari ikatan sama Bu-bing Loni. Sebenar-benarnya apakah yang
telah terjadi"

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Adakah terjadi sesuatu atas dirinya" Serta merta mulutnya menggumam tanya,
"Kenapa kau berada disini?" Dengan seksama Ham Gwat juga awasi wajah orang, sahutnya lirih, "Kau jangan
kesusu tanya. Jelasnya sekarang kau sudah aman, Bu-bing Suthay sekarang sudah pergi!"
Sekian lama Thian-hi terlongong, pelan-pelan ia berkata pula, "Kiranya kaulah
yang menolongku!" Ham Gwat manggut-manggut, pandangannya mendelong ke arah jauh sana, ujarnya,
"Bukan begitu sebetulnya. Luka-lukamu belum lagi sembuh, kelak kau akan tahu duduk
perkara sebenarbenarnya."
Melihat Ham Gwat tak mau banyak bicara, Thian-hi pejamkan matanya, Sungguh tak
nyana bahwa di tempat ini ia bakal bersua kembali dengan Ham Gwat, banyak kata yang
sebenarbenarnya ingin diutarakan, namun tak kuasa diucapkan.
Tiba-tiba Ham Gwat bersuara, "Sudah jangan terlalu banyak pikiran, istirahat
saja supaya lukamu lekas sembuh!"
"Berapa lama lagi baru luka-lukaku bisa sembuh?"
"Tiga lima hari tentu bisa sembuh!"
Mencelos hati Thian-hi, tiga lima hari lagi, bagaimana mungkin dirinya bisa
menyusul ke Siongsan Siau-lim-si dalam jangka waktu sepuluh hari yang ditentukan itu"
Bukankah menyianyiakan perkara besar. Ham Gwat mengawasinya dengan tajam, katanya, "Tiada gunanya kau menyusul ke
Siong-san, ketahuilah bahwa Tok-sim-sin-mo sudah menyebar jaringan kaki tangannya ke-mana-
mana menanti kau masuk ke dalam perangkapnya. Sekarang dia tidak berani mendesakmu
menjadi anggota, tujuan yang utama adalah melenyapkan jiwamu yang dipandang saingan
terberat bagi kehidupan gerombolannya!"
"Bagaimana juga situasi yang akan kuhadapi nanti, betapapun aku harus menyusul
kesana," kata Hun Thian-hi tegas. "Memang kau harus pergi ke sana. Baiklah akan kubantu kau tepat pada waktunya
dapat menyusul ke sana!" - sekian lama ia termangu memandangi Thian-hi lalu katanya
pula, "Aku keluar sebentar, kau istirahatlah baik-baik" ia memutar tubuh terus keluar dari
kamar batu itu. Mengantar punggung Ham Gwat pikiran Thian-hi melayang tak menentu arahnya. Ia
merasa bahwa diri Ham Gwat ini penuh diliputi kemisteriusan, jejaknya tidak menentu dan
sulit diraba juntrungannya. Entah cara bagaimana ia bisa menolong dirinya dari cengkeraman Bu-bing Loni.
Entah berapa lama ia termangu dan berpikir, selama itu tak memperoleh kesimpulan yang
diharapkan, akhirnya ia menghela napas panjang.
Mendadak didengarnya derap langkah lirih yang mendatangi dengan cepat, waktu ia
berpaling, dilihatnya yang muncul adalah Siau Hong. Sembari berseri tawa Siau Hong maju
menghampiri, serunya lincah, "Sungguh berbahaya keadaanmu kemarin, syukur Siocia menggunakan
akal memancing Suthay dan berhasil menolong kau, kalau tidak mungkin saat ini kau
sudah menderita oleh siksaannya yang kejam itu!"
"Cara bagaimana kau bisa sampai di tempat ini?" tanya Thian-hi.
Siau Hong meleletkan lidahnya, sahutnya, "Aku sendiri juga tidak tahu, siocia
yang membawa aku kemari, kebetulan mendengar pekik burung dewata, siocia lantas suruh aku
sembunyi, belum lama setelah dia pergi, ia perintahkan Kim-ji memancing pergi Suthay, lalu ia
berkesempatan menolong kau kemari. Tapi Kim-ji sendiri sekarang juga terluka parah."
Bab 21 Hun Thian-hi terlongong heran, tanyanya, "Siapakah Kim-ji itu?"
"Kim-ji adalah seekor burung rajawali yang besar. Pemberian dari seorang kakek
tua ubanan kepada siocia!" Baru sekarang Thian-hi menjadi sadar, mungkin Ham Gwat memperoleh suatu
pengalaman aneh di tempat ini bersua dengan seorang tokoh kosen aneh, entah siapakah
beliau" "Keadaanmu sungguh sangat berbahaya, banyak orang ingin membekuk kau, sedang kau
berkeras kepala ingin ke Siau-Iim-si, aku menjadi kuatir dan takut bagi
keselamatanmu!" "Kenapa kau kuatir dan takut bagi diriku?"
Siau Hong mengejapkan matanya, sahutnya tertawa jenaka, "Kenapa tidak" Bukankah
kau seorang baik! Sayang nasibmu terlalu jelek, jikalau aku punya kepandaian silat
yang tinggi tentu aku bantu kau!" "Aduh sungguh bahagia dan terima kasih pada kau!"
"Kau harus terima kasih kepada siocia baru betul!" demikian goda Siau Hong
sembari tertawa penuh arti. "Sudah tentu, bukankah kali ini dia yang menolong jiwaku."
"Bukan itu yang kumaksudkan. sungguh bodoh kau, aku tak mau bicara lagi padamu."
- Lalu ia berlari keluar dan menghilang.
Thian-hi tercengang, ia menjadi bingung, tak tahu dia kemana juntrungan maksud
kata-kata Siau Hong, pikir puhja pikir ia menjadi keletihan, akhirnya ia himpun semangat
dan mengatur napas mulai samadi. Kecuali luka dipundaknya kiri masih terasa sakit. mungkin karena terlalu banyak
mengeluarkan darah sehingga kepalanya terasa pusing dan mata berkunang-kunang. Serta merta
terpikir dan terbayang lagi wajah Ham Gwat, entah kemana dia selama ini"
Sedang ia termangu, derap langkah lirih mendatangi pelan-pelan, yang muncul
memang Ham Gwat adanya. Setelah tiba disamping Thian-hi, Ham Gwat berkata, "Bagaimana kau
ini. dari keadaanmu ini jelas bahwa tadi kau tidak istirahat secara baik-baik!"
Thian-hi tertawa kikuk, sahutnya, "Banyak urusan yang tidak bisa tidak harus
kupikirkan." - Tak tertahan ia tertawa geli.
"Kau punya janggalan hati, tiada halangannya turun berjalan-jalan. cuma badanmu
rada lemah karena terlalu banyak keluar darah, jalan-jalan melemaskan otot dan melapangkan
pikiran juga ada faedahnya bukan!"
Thian-hi termangu tak bicara.
"Aku masih ada urusan," demikian ujar Ham Gwat. "Kau jalan-jalan sendiri atau
nanti aku panggil Siau Hong untuk temani kau?"
Pelan-pelan Thian-hi merangkak bangun, katanya tertawa dibuat-buat, "Tak
usahlah! Aku jalanjalan sendiri saja." Ham Gwat termenung sebentar, mulutnya terbuka namun urung bicara, setelah Thian-
hi berdiri ia berkata, "Kalau begitu aku pergi dulu!" - Ia tinggal pergi.
Hun Thian-hi menjadi merasa hambar melihat sikap Ham Gwat yang tidak menentu
itu, kadangkadang hangat simpatik, dilain saat dingin, wajahnya tak pernah mengulum senyum manis,
akhirnya Thian-hi tertawa geli sendiri. Batinnya, "Bagaimana aku ini, seorang
laki-laki sejati kenapa tak punya pendirian tetap, seumpama aku punya rasa cinta terhadap Ham
Gwat, tak seharusnya aku berpikiran tidak genah, apalagi aku belum begitu mengenal pribadi
dan keadaannya, mana bisa bicara soal cinta terhadap dia!" Pelan-pelan ia
menggeremet maju dan keluar dari kamar. Begitu berada diluar didapatinya dirinya berada di dalam sebuah hutan bambu,
hawa disini rada sejuk dingin, sebuah jalan berliku memanjang tepat di depan pintu. Pelan-pelan
Thian-hi menyelusuri jalan kecil ini keluar dari hutan bambu. Tanah luas dan subur
terbentang dihadapannya, kembang liar tumbuh dimana-mana. Pikiran Hun Thian-hi lantas
melayang, sekarang sudah musim semi, selama kelana setahun ini bukan saja tidak membawa
hasil yang diharapkan malah dirinya memikul dosa berlimpah dan berkepanjangan tiada
penyelesaian, sehingga gurunya sendiri berpendapat bahwa aku sudah tersesat semakin dalam dan
mengusir dari perguruan. Ia menghela napas dengan murung, kepalanya mendongak celingukan
kesekelilingnya. Terpikir oleh Thian-hi bahwa segala sesuatu dalam lingkungan yang melibatkan
dirinya adalah begitu aneh begitu misterius. Sekarang ini betul-betul ia belum mengetahui
keadaan sekeliling Ham Gwat, sebetulnya siapakah yang telah ditemui oleh Ham Gwat" Ibu Ham Gwat Ong
Ging-sia sangat terkenang dan ingin jumpa dengannya. entah apakah dia tahu bahwa ibu
kandungnya masih hidup dan sehat walafiat di dunia ini, haruskah aku memberitahu hal ini
padanya" Thian-hi sendiri tak kuasa memberi jawaban. Kini pikiranmja melayang pada
persoalan dirinya sendiri, Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna. Bu-bing Loni begitu lihay
pula, bila tidak ditolong oleh Haim Gwat, mungkin dirinya sudah ajal ditangannya. Begitulah duduk
di atas tanah berumput ia menengadah mengawasi mega yang mengembang dilangit, terpikir olehnya
apa yang harus kulakukan selanjutnya"
Tengah pikirannya melayang mendadak terasa olehnya dibelakangnya ada seseorang,
gesit sekali tiba-tiba ia membalikkan tubuh, pendatang ini kiranya adalah Ham Gwat, ia
menghela napas lega, ujarnya, "Kiranya kau!"
Sorot mata Ham Gwat memancarkan senyum manis, tiba-tiba ia menunduk malu-malu,
katanya, "Tak tahu aku apa yang sedang kau lakukan disini, aku datang menengok
kau!" "Wah banyak terima kasih akan perhatianmu!"
"Tadi kau termangu dan asjik berpikir, kedatanganku malah mengejutkan kau, maaf
ya!" "Aii, berkelebihan ucapanmu. Kau harus salahkan aku berlaku kurang waspada!"
"Tentu kau merasa sangat heran terhadapku bukan?" tiba-tiba tanya Ham Gwat.
"Tidak! Aku hanya merasa kau rada misterius sepak terjangmu Sulit diraba, aku
merasa ada sesuatu yang kurang kupahami atas dirjmu!"
"Kelak pasti kau akan paham!" desis Ham Gwat lirih.
Sampai disini mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing. Thian-hi merasa
kehabisan kata-kata, setiap kali berhadapan ia menjadi mati kutu dan tak kuasa membuka isi
hatinya. "Mengandal ketekunan dan keyakinanmu pasti kelak kau berhasil. Wi-thian-cit-
ciat-sek sudah berhasil kau pelajari kelak tentu kau akan menjagoi dan memimpin rimba
persilatan. Sayang kau sekarang belum dapal menyelami intisarinya, perlahan-lahan aku yakin akan dapat
membantu kesukaranmu ini." Thian-hi lantas bangkit, katanya, "Kalau begitu kuharap nona sudi memberi
petunjuk!" "Bukan diriku yang kumaksud. Aku kenal seorang kosen yang aneh, tentu beliau
dapat bantu kau, bila Kau sudi, aku dapat membawamu kepada beliau."
"Apakah beliau sudi menerima aku?"
"Mungkin, tapi coba kutanyakan dulu, kau tunggu sebentar disini!" lalu ia
membalik tubuh dan menghilang di rumpun bambu.
Setelah Ham Gwat tidak kelihatan, Thian-hi bertanya-tanya dalam hati, entah
siapakah tokoh kosen yang dimaksudkan" Tengah pikirannya bekerja, sekonyong-konyong dilihatnya
sesosok bayangan hitam berkelebat lewat, sekilas pandang saja ia dapat mengukur betapa
tinggi kepandaian orang itu, keruan terkejut hatinya.
Memang luncuran tubuh orang itu juga mendadak berhenti, agaknya iapun sudah
melihat kehadiran Thian-hi di tempat itu, kiranya itulah seorang nenek tua renta yang
ubanan. Dengan cermat Thian-hi awasi nenek tua ini tanpa bicara, hatinya kejut dan
heran, ilmu silat nenek tua ini begitu lihay, sekarang berhenti dan mengawasi dirinya,
kelihatannya sudah kenal pada dirinya. Nenek tua itu menyeringai iblis, katanya, "Kau tidak kenal aku, tapi aku kenal
kau, kau adalah Hun Thian-hi, ya bukan?"
"Siapa kau?" tanya Thian-hi melongo.
"Tiada halangannya kuberitahu pada kau, aku bernama Kiu-yu-mo-lo, kukira kau
sudah kenal nama besarku itu bukan?"
Thian-hi benar-benar terperanjat, batinnya, "Kiu-yu-mo-lo sudah muncul kembali,
dia memperoleh Hian-thian-mo-kip, kepandaian silatnya sekarang tentu sudah teramat
lihay, entah apa tujuannya dengan menampakkan dirinya ini?"
Kiu-yu-mo-lo menyeringai tawa dua kali, ujarnya, "Kiranya kau tidak mampus,
dimana Tok-simsin- mo" Aku ingin mencarinya untuk membuat perhitungan padanya!" - sebelum Thian-hi
sempat menjawab, mendadak Kiu-yu-mo-lo menubruk maju serta berkata, "Mari kau ikut aku
saja!"

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hun Thian-hi menjejakkan kakinya mundur dengan cepat, namun kedua telapak tangan
Kiu-yomo- lo bergerak mencomot dan meraih dari kanan kiri, dua gelombang tenaga lunak
menerpa keluar dari telapak tangannya mencengkeram ke arah Hun Thian-hi.
Thian-hi mengeluh dalam hati, sungguh celaka pengalamannya hari ini, baru saja
dirinya keluar jalan-jalan menyegarkan badan tak nyana kepergok oleh Kiu-yu-mo-lo yang
kebetulan lewat, dia punya pertikaian dengan Sutouw Ci-ko yang belum terselesaikan, tentu diapun tak
mau melepaskan dirinya. Thian-hi berdaya berkelit sekuat tenaganya, sayang darahnya keluar terlalu
banyak sehingga kelincahan gerak-gerik tubuhnya banyak berkurang, namun Lwekangnya memang jauh
lebih hebat dibanding dulu, meski gerak-geriknya rada lamban, sekuatnya ia masih berhasil
lolos dari sergapan Kiu-yu-mo-lo yang pertama. Keruan Kiu-yu-mo-lo sendiripun bukan kepalang
kejutnya, jikalau hari ini ia tidak berhasil membekuk Hun Thian-hi, cara bagaimana ia harus mencari
Pek-kut-sin-mo dan Tok-sim-sin-mo kelak"
Terdengar ia menggeram murka, tubuhnya bergerak begitu lincah dan sebat sekali,
sekali berkelebat, kelima jarinya secepat kilat mencengkeram kejalan darah di pundak
Thian-hi. Insaf bahwa dirinya tidak akan mampu membebaskan diri lagi, saking gugup Thian-
hi berteriak, "Tahan!" Tapi serangan Kiu-yu-mo-lo tidak berhenti karena bentakannya ini, tahu-tahu
Thian-hi rasakan kepalanya berat, mata berkunang-kunang, pundak kirinya sudah dicengkeram keras
oleh jari-jari Kiu-yu-mo-lo yang kurus dan berkuku runcing itu, jengeknya, "Apa yang hendak kau
katakan?" Memandang muka orang Hun Thian-hi menjadi kecewa dan putus asa, Kiu-yu-mo-lo
bicara setelah berhasil meringkus dirinya, untuk mengulur waktu sudah tak mungkin lagi,
tawar2 saja ia menyahut, "Sekarang tak ada apa-apa lagi!"
"Kau kira aku tidak tahu apa yang sedang kau pikirkan?" jengek Kiu-yu-mo-lo,
"Sangkamu aku hanya ingin tahu jejak Tok-sim-sin-mo belaka" Apa yang ingin kudapat belum tentu
bisa kuperoleh dari atas tubuhmu!" Mendengar nada perkataan orang, tahu Thian-hi bahwa Kiu-yu-mo-lo ini tentu
sangat congkak dan takabur akan kepandaian dan kemampuannya sendiri, maka ia bersuara, "Tidak!"
"Kau masih punya teman bukan?" Kiu-yu-mo-lo menyeringai sadis, "Kau main ulur
waktu supaya kawanmu menolong kau bukan?"
"Pikiranmu ini sungguh sangat menggelikan."
Terpancang hawa membunuh dalam sorot mata Kiu-yu-mo-lo, namun sekilas lantas
lenyap. Ejeknya, "Lalu kau tadi menyuruh aku 'tahan' apa maksudmu" Berani kau
mentertawakan aku?" Thian-hi mandah tersenyum ewa, batinnya, "Kiu-yu-mo-lo tentu sudah sekian lama
mengasingkan diri, sembari mengobati luka-lukanya sembari mempelajari ilmu yang
diperolehnya dari Hiari-thian-mo-kip itu. Sekarang sudah berhasil jadi ia berani muncul di
Bu-lim untuk mencari perhitungan sama Tok-sim-sia-mo dan Pek-kut-sin-mo, secara kebetulan di tempat
ini melihat diriku, tahulah dia bahwa Tok-sim-sin-mo tentu juga sudah lolos, dia menyangka
bahwa aku tentu dapat mengetahui dimana jejak Tok-sim-sin-mo, tentu dia minta aku membawanya
mencari musuh besarnya itu...."
Karena rekaannya ini segera ia buka bicara, "Tok-sim-sin-mo sekarang menjadi
Pangcu Hekliong- pang, kekuatannya sudah menjangkau selatan dan utara sungai besar, dia punya
persenjataan Pek-tok-hek-liong-ting yang amat ampuh lagi, kau berani mencari
dia, bakal konyol belaka." Kiu-yu-mo-lo menjengek mulut, matanya bersinar beringas, mulutnya terbungkam.
Melihat sikap orang senang hati Thian-hi, ujarnya, "Banyak kejadian di Kangouw
belakangan ini yang tidak kau ketahui. Semua kejadian itu banyak yang punya sangkut paut
terhadap dirimu!" Kiu-yu-mo-lo termangu, entah, apa yang sedang dipikir, sesaat kemudian ia
bersuara, "Kau sudah angkat Tok-sim sebagai gurumu bukan?"
$ "Kau kira aku sudi?" jawab Thian-hi tawar. "Meski ilmu silatku tidak becus masa
aku sudi angkat guru padanya" Ketahuilah dia sedang menarik Pek-cianpwe yaitu saudara
kecilmu yang ketiga untuk membantu pergerakkannya, tapi beliau pun tidak sudi!"
Melihat orang tidak mengunjukan reaksi apa-apa, Thian-hi lantas meneruskan,
"Belum lama aku berpisah dengan beliau, sekarang dia bersama Sutouw Ci-ko!"
"Sangkamu aku mencari kau karena segala urusan tetek bengek itu?" demikian tukas
Kiu-yumo- lo dengan keras, "Ketahuilah aku masih punya urusan lain yang lebih penting."
"Hwe-tok-kun sekarang bersama Ang-hwat-lo-mo, mereka sama mendirikan sebuah
partai lain sebagai tandingan yang kuat dari Hek-liong-pang pimpinan Tok-sim-sin-mo!"
"Aku tidak peduli segala peristiwa itu, bukan itu tujuanku ...." - tiba-tiba
tangannya mencengkeram lebih keras serta membalik tubuh secara mendadak, sehingga mereka
sama berputar. Ham Gwat berdiri tegak tiga tombak di belakang sana. Biji matanya memancarkan
sorot aneh mengawasi Kiu-yu-mo-lo. "Siapa kau?" tanya Kiu-yu-mo-lo.
Ham Gwat berdiri tegap tak bersuara, lambat laun sinar matanya tenang kembali,
seakan-akan selamanya perasaannya begitu tenang tapi dingin dan kaku.
Secara langsung terasa oleh Kiu-yu-mo-lo bahwa Ham Gwat bukanlah orang yang
gampang dapat digertak dan gebah pergi begitu saja, sebelah tangannya membalik beruntun
ia menutuk beberapa jalan darah ditubuh Hun Thian-hi, lalu dengan waspada ia awasi Ham
Gwat. "Kenapa kau harus menutuk jalan darahnya?" tanya Ham Gwat pelan-pelan.
"Persetan dengan kau" Siapa kau?" teriak Kiu-yu-mo-lo, suaranya melengking
tinggi. Kelihatannya Ham Gwat memeras otak, entah apa yang sedang dipikirkan, sekian
lama ia berdiam diri. Kiu-yu-mo-lo sendiri menjadi risi dan bingung, serunya geram,
"Kutanya kau apakah kau tidak dengar?" Tawar2 saja Ham Gwat pandang orang, ia sedang menggunakan kecerdikan otaknya
mencari akal cara untuk menolong Thian-hi. Tanpa bicara tiba-tiba ia membalik tubuh
terus jalan kembali dari arah datangnya semula.
Dada Kiu-yu-mo-lo menjadi terbakar, dengan wataknya yang begitu berangasan dan
congkak itu, masa dia terima dipandang hina dan tidak direwes oleh Ham Gwat, dengan
murka ia menghardik, "Berhenti!"
Seperti tidak mendengar Ham Gwat terus berjalan ke depan pelan-pelan. sedikitpun
ia tidak peduli apakah orang akan marah atau mencak-mencak. yang terang ia kerahkan
Lwekang tingkat tinggi mengembangkan Ginkang Ling-khong-pou-si, tubuhnya bergerak laksana awan
mengembang dan air mengalir melesat terbang cepat sekali.
Karuan Kiu-yu-mo-lo semakin murka. sambil mengempit Thian-hi segera ia
kembangkan ilmu ringan tubuhnya mengejar ke arah Ham Gwat. Ham Gwat berjalan beberapa langkah
lebih dulu, Kiu-yu-mo-lo sendiri juga mengempit Hun Thian-hi, sudah tentu kecepatan gerak
tubuhnya tidak dapat mengungguli Ham Gwat.
Sementara itu Ham Gwat sudah berkelebat memasuki hutan bambu, semakin murka Kiu-
yu-molo dibuatnya, diam-diam iapun merasa kejut akan Lwekang Ham Gwat yang tinggi dan
Gingkangnya yang lihay, masa gadis kecil yang masih remaja tidak kuasa dikejar
olehnya, apa pula yang telah berhasil dilatih selama beberapa bulan mengasingkan diri belakangan
ini. Tok-sim-sinmo sudah lolos dari belenggu kurungan, dilihat keadaan sekarang, apakah dirinya
dapat menghadapi Tok-sim-sin-mo kelak menjadi suatu pertanyaan besar, tengah
pikirannya melayang, dilihatnya Ham Gwat sudah tiba di belakang sebuah gunung dan membelok kesana
terus memasuki hutan pohon jati dan menghilang.
Kiu-yu-mo-lo menjerit enteng, cepat ia menyedot napas tubuhnya lantas menerjang
ke depan laksana anak panah. Tanpa sangsi dan banyak pikir ia terus menerobos masuk ke
dalam hutan jati itu, namun jejak Ham Gwat sudah menghilang, sambil mengempit Hun Thian-hi ia
melangkah terus ke depan, pikirnya, setelah menembus hutan pohon jati ini hendak kulihat
kemana pula kau lari. Begitulah Kiu-yu-mo-lo berlari-lari kencang mengejar terus ke depan, kira-kira
setengah jam sudah berlangsung pengejaran itu, selama itu tidak kelihatan bayangan Ham Gwat
tapi hutan jati ini tidak kunjung habis dari kaget lambat laun hati Kiu-yu-mo-lo menjadi ciut
dan takut, waktu ia angkat kepala, pohon nan subur itu sedang berkembang mengluarkan baunya yang
wangi, waktu ia celingukan kian kemari jalan menjadi buntu, sekelilingnya dilingkungi oleh
pohon-pohon besar kecil yang tumbuh subur. Sekian lama ia berdiri terlongong, semakin pikir hatinya semakin ciut dan kejut,
tak tahu dia cara bagaimana dirinya nanti keluar dari hutan jati yang lebat dan membingungkan
ini. Pikir punya pikir Kiu-yu-mo-lo menggeram dengan aseran, tiba-tiba ia berlari lagi menerobos
hutan, tapi loncatan tubuhnya hanya tiga empat kaki tingginya, seolah-olah daun-daun pohon
di atas kepalanya tak mampu dicapainya.
Bukan kepalang kejut hatinya, seketika ia menjadi sadar dan terpikir olehnya
suatu kabar berita yang pernah didengarnya dulu, seketika mukanya berubah pucat, tangannya menjadi
lemas, Hun Thian-hi yang dikempit di bawah ketiaknya melorot jatuh di tanah. Ia berdiri
terlongong dengan putus asa. Menurut kedaan yang dihadapinya sekarang, apakah dirinya sudah masuk ke dalam
barisan Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin" Sejak dulu pernah kudengar nama barisan yang
hebat itu, apakah hari ini aku mengalami sendiri jatuh ke dalam barisan penggugah iblis itu"
Karena dipengaruhi oleh pikirannya ia berdiri tegak terkesima dengan muka pucat,
bila sudah terjebak masuk ke dalam barisan menggugah iblis itu seumpama kepandaian maha
lihay setinggi langi tpun jangan harap dapat keluar dari kurungan, demikianlah keadaan dirinya
sekarang harus pasrah nasib jiwa sendiri tergenggaan ditangan orang.
Waktu ia angkat kepala celingukan sekelilingnya hening lelap. Mendadak teringat
olehnya akan Hun Thian-hi segera ia menyeringai dingin, teriaknya, "Apakah jiwa Hun Thian-hi
tidak kalian hiraukan lagi" Awas kubunuh dia!" sembari mengancam ia angkat tangannya
mengincar batok kepala Hun Thian-hi, sedang kuping dipasang serta mata memeriksa keadaan
sekelilingnya. Sekonyong-konyong sebuah suara yang lirih seperti bunyi nyamuk terkiang
dipinggir kupingnya, "Setelah masuk ke dalam Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin masih berani timbul
angan2 jahatmu?" Berubah air muka Kiu-yu-mo-lo, kiranya benar-benar dirinya sudah terjebak ke
dalam Thay-siciang- soat-lian-mo-tin konon kabarnya barisan ini setiap seabad muncul sekali di
Kangouw, tujuannya adalah menggugah kesadaran jiwa setiap gembong iblis yang sudah
terlalu banyak membuat kejahatan, tapi selama itu tiada seorangpun yang tahu alamat dan keadaan
sebenarbenarnya dari barisan yang lihay itu. tapi itu kenyataan bukan khayal belaka, dan
buktinya sekarang dirnya telah berada di dalam barisan yang sangat ditakuti oleh kaum
sesat itu. Ilmu silat yang dipelajari dari Hian-thian-mo-kip belum lagi mendapat hasil yang
memuaskan, sungguh penasaran kalau dirinya harus berkorban secara konyol disini. setelah
terlongong, akhirnya ia berseru, "Hun Thian-hi berada ditanganku, dia menggembol rahasia Ni-
hay-ki-tin, dengan segala rahasia yang berharga itu untuk menebus jiwaku, apakah belum
setimpal" Ingatanku sekarang masih segar bugar, bila kudapati rahasia Ni-hay-ki-tin itu
pasti akan kuhancurkan lebih dulu, kuharap kau tidak menyesal setelah terlambat!"
Sesaat kemudian suara lirih seperti nyamuk itu berkata lagi, "Kejahatan yang kau
pernah lakukan terlalu banyak. dosamu tak berampun, masih kan berani menggunakan Hun
Thian-hi untuk mengancam padaku. dosamu lebih tak bisa diampuni lagi. kau kira kau masih
segar dan

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum hilang ingatan" Bila ingatanmu masih segar, sejak tadi kau sudah keluar
dari barisan itu!" - Lenyap suaranya suasana sekelilingnya kembali menjadi lelap.
Dengan rasa kebencian yang berlimpah Kiu-yu-mo-lo mengumpat caci. pelan-pelan
tangan yang terangkat tinggi diturunkan, rasanya kurang tepat bila membunuh Hun Thian-
hi sekarang. pikirnya bila Hun Thian-hi berada ditanganku. dengan adanya sandera yang kuat
ini akan kulihat sampai kapan kau kuat bertahan mengurung aku.
Begitulah ia lantas duduk bersimpuh, tangan kanannya masih mencengkeram
pergelangan tangan Hun Thian-hi, ia pejamkan mata dan pelan-pelan mulai melatih ilmu yang
dipelajari dari Hian-thian-pit-kip. Angin menghembus sepoi-sepoi, dedaunan pohon disekitarnya terdengar berkeresekan
seperti bergerak. Kiu-yu-mo-lo duduk tenang tanpa bergerak. tahu dia bahwa Thay-si-
ciang-soat-lian-motin sudah mulai bergerak. tapi terpikir olehnya bahwa semua itu tak lebih sebagai
pandangan khayal yang mengaburkan ingatan manusia belaka, asal aku kuat mengendalikan hati
dan pikiran, apa yang harus kutakuti! Hawa nan sejuk di dalam hutan semakin terasa panas, pohon-pohon disekelilingnya
kelihatannya berubah menjadi serba merah, seluruh hutan jati ini seperti
terbakar jago merah yang membara lambat laun kobaran api semakin besar, seluruh hutan jati ini
menjadi lautan api. Kian lama Kiu-yu-mo-lo merasa seluruh badan makin panas seperti dipanggang,
sungguh tidak tartahan lagi suhu panasnya.
Ia menengadah celingukan ke arah sekitarnya, tampak dimana-mana api sudah
menjilat semakin besar, berulangkali ia ingin bangkit dan lari keluar dari lingkungan
kobaran api ini, tapi selalu gagal dan urung, akhirnya ia duduk bersimpuh kembali.
Akhirnya Kiu-yu-mo-lo berpikir; bila aku benar-benar ingin lari juga tidak
mungkin lolos dari Kepungan kobaran api yang begini besar. Seumpama mati juga ikhlas karena Hun
Thian-hi akan menyertainya ke jalan alam baka, bila kalian memang tidak ingin menyelamatkan
jiwa Hun Thianhi, apa boleh buat, biar aku gugur bersama dia.
Demikian ia berpikiran secara nekat Karena tujuan orang mengurung dirinya di
dalam barisan ini terang bertujuan untuk menolong Hun Thian-hi. Dengan adanya Hun Thian-hi
sebagai sandera apa lagi yang perlu dilakuti.
Sementara itu bara api disekitarnya lambat laun mulai mengecil dan akhirnya
padam. Empat penjuru menjadi gelap gulita, pulih seperti sediakala. hutan jati yang lebat dan
sejuk, sunyi dan lelap. Kiu-yu-mo-lo menjadi terlongong, baru sekarang ia sadar, kiranya tadi matahari
sedang terbenam, sebaliknya dirinya mengira dirinya terkurung di dalam lautan api.
Begitulah ia termangu-mangu, tiba-tiba terasa hawa mulai dingin dan angin menghembus keras.
Kiu-yu-mo-lo mandah mendengus hidung, waktu ia melirik ke arah Hun Thian-hi yang rebah
disampingnya. tampak orang seperti tertidur pulas tak kurang suatu apa, ia kertak gigi
pikirnya pasti aku terombang-ambing di dunia khayalan belaka, kenapa aku urus segala gejala yang
menyesatkan ini" Batinnya memang merasa akan gejala yang tidak wajar itu dan tak mau peduli lagi,
tapi hembusan angin kenyataan semakin dingin seperti hampir membekukan seluruh sendi
tulangnya. Ia kertak gigi dan berpikir, "Hembusan angin dingin betapapun tidak akan
mempersukar dan meruntuhkan kekuatan batinku!" - begitulah ia duduk tenang tanpa bergeming.
Berselang tak berapa lama, hawa semakin dingin tiba-tiba ia membuka mata
mengawasi Hun Thian-hi, tiba-tiba timbul pikirannya, "Bila dia siuman bagaimana perasaannya?"
- Segera ia kebutkan lengan, bajunya membebaskan seluruh jalan darah Thian-hi yang tertutuk.
Pelan-pelan Hun Thian-hi siuman dan membuka mata, kuatir orang melarikan diri
cepat-cepat Kiu-yu-mo-lo menggencet urat nadi pergelangannya. Pelan-pelan Hun Thian-hi
merangkak bangun duduk bersila, sekilas ia pandang Kiu-yu-mo-lo tanpa bersuara, ia tidak tahu
cara bagaimana dirinya bisa sampai di tempat itu, yang terang dirinya masih tertawan oleh Kiu-
yu-mo-lo jadi Ham Gwat tak berhasil menolong dirinya.
Sikap Hun Thian-hi tenang dan acuh tak acuh akan keadaan sekelilingnya, Kiu-yu-
mo-lo jadi heran. tanyanya, "Tahukah kau dimana sekarang kita berada?"
Thian-hi memandangnya tawar, ia rada curiga akan sikap pertanyaan Kiu-yu-mo-lo
ini, mimpipun ia tidak mengira bahwa dirinya ternyata ikut terjeblos di dalam barisan
menggugah iblis yang lihay itu. Tanpa bersuara ia menundukkan kepala.
Kata Kiu-yu-mo-lo menjelaskan, "Ketahuilah kita berdua sudah terperangkap ke
dalam Thay-siciang- soat-lian-mo-tin oleh kawan baikmu itu!"
Thian-hi tersentak kaget sambil menengadah mengawasi Kiu-yu-mo-lo, sungguh kejut
dan girang pula hatinya, sungguh tidak nyana bahwa dirinya sekarang berada di dalam
Thay-si-ciangsoat- lian-mo-tin. Entah dengan cara apa Ham Gwat bisa berhasil mengurung Kiu-yu-mo-lo
ke dalam barisan ini. "Kelihatannya kau sangat girang ya?"
Thian-hi tertunduk diam. Kiu-yu-mo-lo menjadi berang, jengeknya, "Jangan kau
merasa senang lebih dulu. Ketahuilah bila, aku tidak bisa keluar kau pun takkan bisa hidup.
Dengan ada kau disini, betapa pun mereka takkan berani berbuat apa-apa terhadap diriku."
Thian-hi manggut-manggut, ujarnya, "Benar-benar, aku sendiri menjadi tidak tega
bila kau terkurung sendirian disini, Apalagi bila kau dapat keluar paling tidak dapat
memberi tekanan berat terhadap Tok-sim-sin-mo!"
Mendengar nada perkataan Hun Thian-hi berubah cegitu cepat, sesaat Kiu-yu-mo-lo
menjadi melongo dibuatnya. Tanpa hiraukan Kiu-yu-mo-lo. Thian-hi bersimpuh dan mejamkan
mata, pelanpelan ia kerahkan Pan-yok-hian-kang untuk memulihkan kesegaian badannya.
Sementara itu Kiu-yu-mo-lo sudah merasa hawa semakin dingin sehingga badannya
yang tua renta itu gemetar. Dilihatnya Thian-hi duduk tenang-tenang seperti tidak kurang
suatu apa, hatinya merasa aneh tak habis herannya, akhirnya iapun menghimpun semangat dan
memusatkan pikiran mulai samadi. Hari kedua, waktu terang tanah badan Hun Thian-hi sudah pulih kesegarannya,
sebaliknya keadaan Kiu-yu-mo-lo semakin lesu dan jompo. Hun Thian-hi menjadi heran dan
bertanya-tanya. Tapi terpikir olehnya mungkin Kiu-yu-mo-lo sudah terseret ke dalam alam khayal
yang mulai menyedot sukmanya yang sesat kalau keadaah begitu terus berlarut dalam jangka
dua hari lagi mungkin dia sendiri takkan kuasa mengendalikan dirinya lagi.
Sebetulnya Kiu-yu-mo-lo juga menyadari akan hal ini. Waktu ia melihat cara
latihan Thian-hi yang begitu wajar dan tenang, Lwekangnya yang tinggi dan ampuh itu sebetulnyalah
bahwa dirinya takkan mampu lagi mengendalikannya, diam-diam terpikir cara lain untuk
mengatasinya. Hun Thian-hi menyedot hawa segar, Kiu-yu-mo-lo segera melepaskan cengkeraman
tangannya katanya, "Jangan mimpi kau dapat lari dari hadapanku!"
Hun Thian-hi mandah tertawa ewa, jalan darah pergelangannya dicengkeram musuh
sehingga ia tak kuasa menyempurnakan latihannya menurut kesukaan hatinya, tapi dari
persentukan tangan ini diam-diam ia dapat mengukur sampai dimana sebenar-benarnya kepandaian sejati
Kiu-yu-molo. sebenar-benarnyalah bahwa Lwekang Kiu-yu-mo-lo jauh di bawah perkiraannya
semula, juga terlalu jauh dibanding dengan Tok-sim-sin-mo. Tak tahu kenapa ia harus kelana
pula di Kangouw sebelum ilmu yang dipelajari dari Hian-thian-mo-kip sempurna, malah katanya
hendak membuat perhitungan dengan Tok-sim-sin-mo apa segala. Atau mungkim dia punya tujuan
lain, justru yang ketemu adalah dirinya. "Lekas kau suruh perempuan baju hitam itu melepas kita keluar!" demikian desak
Kiu-yu-mo-lo dengan aseran. Hun Thian-hi tersenyum, sahutnya, "Aku sendiri pun ingin keluar, tapi bila kau
ikut keluar pasti dia tidak akan melepaskan kau. Ka-yap Cuncia sudah membelenggu kau selama lima
puluh tahun, hukuman selama itu masih belum bisa membuat kau bertobat dan mencuci hati
membina diri, kembali menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, sebaliknya kau berbuat
kejahatan pula di Bulim, aku sebagai manusia biasa tak kukenal parbedaan antara berat dan
ringan. Coba bila kau sendiri yang menjadi dia, bagaimana sikap dan apa yang akan kau lakukan?"
Kiu-yu-mo-lo menyeringai sinis. katanya, "Kau menggembol rahasia Ni-hay-ki-tin,
bekal yang kau bawa itu jauh cukup dapat menjadikan kau bersimaharaja di Bulim, masa kau
sendiri tidak tahu atau pura-pura tidak tahu!"
Hun Thian-hi tartawa tawar, ujarnya, "Maksudmu Badik buntung itu bukan"
Ketahuilah bahwa Badik buntung sudah terjatuh ketangan Bu-bing Loni, kau belum tahu."
Kiu-yu-mo-lo rada tercengang, tanyanya, "Serangkanya juga maksudmu?"
Melonjak keras jantung Hun Thian-hi, pikirnya, "Apakah rahasia Ni-hay-ki-tin itu
berada di atas serangka Badik buntung itu?" - ia manggut-manggut membenar-benarkan.
Kiu-yu-mo,lo menghela napas lesu, dengan putus asa ia menunduk, katanya sesaat
kemudian, "Kalau begitu, tiada halangannya kuberitahu soal ini kepada kau. Ketahuilah
rahasia Ni-hay-ki-tin di seluruh kolong langit ini hanya aku dan Tok-sim-sin-mo serta I-lwe-tok-kun
bertiga yang tahu, Samte atau Pek Si-kiat kita kelabui, sengaja kami tidak mau memberitahu
padanya." Bercekat hati Hun Thian-hi, kiranya mereka bertiga sama dalam satu gerombolan.
"Bicara terus terang, yang benar-benar tahu jelas segala rahasia ini bukan
melulu kami bertiga saja." demikian sambung Kiu-yu-mo-lo. "Itulah Ling-lam-kiam-ciang Coh Jian-jo,
dia paling tahu dan jelas sekali mengenai rahasia ini, ketahuilah bahwa Ni-hay-ki-tin adalah
warisan dari leluhurnya. turun temurun sampai jaman ini, tapi Badik buntung selalu berpindah
tangan. Kami bertiga pun tiada yang mau mengalah satu sama lain, kami masing-masing insyaf
diri sendiri tidak akan kuat menghadapi dua orang yang lain maka tiada berani sembarangan turun
tangan merebut Badik buntung itu." Sampai disini ia menepekur sekian saat baru melanjutkan, "Coh Jian-jo pernah
tertawan oleh kami bertiga, sayang ia berhasil melarikan diri. Dan tidak lama setelah kejadian
itu Si-gwa-sam-mo sama dikurung oleh Ka-yap Cuncia di dalam Jian-hud-tong!"
"Jadi maksudmu rahasia Ni-hay-ki-tin itu sebetulnya berada di atas serangka
Badik buntung itu?" tanya Hun Thian-hi.
Kiu-yu-mo-lo manggut-manggut, sahutnya, "Mungkin begitu. tapi kebenar-benarannya
harus tanyakan langsung kepada Coh Jian-jo!"
Diam-diam Thian-hi mengutuk kejahatan Mo-bin Su-seng, meski dia sudah dibikin
cacat dan dipunahkan ilmu silatnya oleh Ka-yap Cuncia, namun masih tidak mau menyerah,
begitu tamak dengan segala kelicikan dan kekejamannya berusaha mendapatkan Badik buntung
sehingga dunia persilatan menjadi geger dari kemelut karena perebutan Badik buntung itu, secara
licik ia hendak menunggangi keuntungan dalam perebutan ini, yang diincar melulu serangkanya
saja, untung dalam dua kali peristiwa perebutan itu tidak tercapai harapannya.
Teringat oleh Thian-hi akan serangka Badik buntung yang sekarang masih tersimpan
di dalam kantong bajunya, ingin rasanya dikeluarkan untuk diperiksa, sebetulnya macam
apakah rahasia menemukan Ni-hay-ki-tin itu, sehingga menimbulkan perebutan manusia-manusia
tamak dan mengambil banyak korban. "Mungkin kau heran, kenapa kami ingin memiliki Ni-hay-ki-tin itu bukan?"
demikian tanya Kiuyu- mo-lo, "Bahwasanya jarang kaum persilatan yang tahu, mereka menyangka disana
terpendam harta benda yang tak ternilai harganya, sebetulnyalah disana tiada sepeserpun
barang-barang berharga, yang ada hanyalah pelajaran ilmu silat yang maha lihay."
"Tapi sekarang kau telambat untuk dapat memilikinya!"
"Tidak, kukira aku masih punya harapan untuk keluar, setelah keluar aku akan
langsung mencari Bu-bing Loni!"


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Anggapmu Bu-bing Loni kamu keroco" Janganlah kau lupa beliau adalah keturunan
dari ilmu Hui-sim-kian-hoat dari Ngo-bi-pay!"
Kiu-yu-mo-lo menjadi tertegun, katanya, "Kalau keturunan murid Ngo-bi-pay
emangnya mau apa. Anggapmu aku tidak kuasa menempur dia?"
"Kukira kau bukan tandingannya, semestinya kau sendiri juga jelas akan hal ini.
Tentu kau menghadapi kesukaran dalam berlatih Hian-thian-mo-kip bukan?"
Mendelik gusar biji mata Kiu-yu-mo-lo, desisnya, "Darimana kau bisa tahu" Kau
...." mendadak ia sadar mana boleh dia membocorkan rahasia ini begitu saja sehingga Hun Thian-
hi ikut mengetahui, meskipun batinnya sangat berang, tapi segera ia tutup mulutnya.
"Pelajaran Hian-thian-mo-kip tidak bakal berhasil dilatih dalam waktu singkat,
jelas kau pasti menemui kesukaran, tapi sudah mendapat hasil yang lumajan, kuatir bila Tok-sim-
sin-mo lolos dari belenggu dan sukar diatasi, kau ingin pula mengangkangi Ni-hay-ki-tin itu, maka
terpaksa kau muncul pula di Kangouw, benar-benar tidak?"
Kiu-yu-mo-lo menyeringai dingin, katanya, "Analisamu memang benar-benar, yang
penting aku hanya ingin mencari seseorang, orang ini dapat membantu aku menyempurnakan
latihan pelajaran yang termuat di dalam Hian-thian-mo-kip itu!"
Berkilat mata Hun Thian-hi, mulutnya bungkam.
Kiu-yu-mo-lo menengadah memandangi pohon-pohon jati nan jauh di depan sana,
suaranya lirih, "Kau belum tahu akan kelicikan dan keganasan Tok-sim-sin-mo, dia
merupakan satu pasangan dengan I-lwe-tok-kun itu, tapi daya pikirnya masih rada ketinggalan
oleh kecerdikan Ilwe- tok-kun Kalau aku bisa keluar dari barisan ini tujuan yang pertama aku harus
bunuh dia!" Hun Thian-hi tersenyum geli, katanya, "Duduk saja tenang-tenang, selama hidup
ini takkan ada harapan dapat keluar!"
Kiu-yu-mo-lo menghela napas rawan, ujarnya, "Kau kira Thay-si-ciang-soat-lian-
mo-tin ini begitu gampang" Kecuali yang pasang perangkap sengaja melepas kita, kalau tidak
selama hidup ini kau dan aku memang harus tetap disini, jangan harap bisa keluar!"
Melihat orang menghela napas Hun Thian-hi rada heran, Kiu-yu-mo-lo sudah mulai
lemah, agaknya batinnya mulai sadar. Terpikir olehnya bila setiap hari berada di tempat
ini apalagi pikiran dan pandangan selalu tenggelam dalam khayalan, betapapun sebagai manusia biasa
kita takkan kuat bertahan, justru Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin merupakan alat penyadar dan
penggugah kesesatan yang tidaklah gampang dihadapi begitu saja!
Sambil terengah-engah Kiu-yu-mo-lo bangkit sembari menyeret Hun Thian-hi,
katanya, "Kau ikut aku, jangan mimpi untuk lari. jika kau lari, segera kubunuh kau!" lalu
mereka beranjak ke depan, entah kemana tujuannya.
Begitulah pelan-pelan ia seret Thian-hi maju terus ke depan, entah berapa lama
dan berapa jauhnya, mendadak dilihatnya di depan Sana terbentang daun-daun pohon nan subur
menghijau, itulah rumpun pohon-pohon bambu yang kelihatan sangat menyolok dan menyegarkan.
Dengan kejut ia kucek2 kedua matanya, ia ragu-ragu dengan apa yang dia lihat,
tapi kenyataan apa yang dia lihat ini bukan khayalan belaka, keruan bukan kepalang girang
hatinya, syukurlah akhirnya toh aku bisa keluar dari kurungan pohon jati ini.
Tengah Kiu-yu-mo-lo kegirangan, mendadak terasa tangannya kesendal oleh saluran
tenaga dalam yang kuat, kontan pegangan kelima jarinya terlepas, sembari menggerung
gusar ia membalik tubuh, kedua telapak tangannya bersama menepuk ke arah Hun Thian-hi.
Gesit sekali Hun Thian-hi sudah menyurut mundur terus menggelinding dan
menghilang di dalam rumpun daun-daun semak belukar.
Kiu-yu-mo-lo tidak berani mengejar, ia takut kehilangan kesempatan untuk keluar
dari barisan, terpaksa ia mengumpat caci dan melampiaskan gusarnya dengan menghantamkan
tangannya ke arah semak-semak, keadaan yang rapi dari semak pohon-pohon itu seketika menjadi
porak peronda, daun berguguran.
Waktu Kiu-yu-mo-lo membalik tubuh, tampak daun-daun menghijau di depan Sana
masih kelihatan, pelan-pelan ia lantas beranjak menghampiri, setelah dekat itulah
serumpun hutan bambu, keluar dari hutan bambu ini dihadapannya berdiri tegak sebuah bangunan
gedung berloteng, sejenak ia berdiri menjublek, pikirnya, setelah sampai disini kenapa
harus takut-takut masuk kesana. Begitulah ia maju lagi setiba diambang pintu ia mendongak tempak
di atas pintu bertuliskan empat huruf besar "Thay-si-yu-king" (Alam khayalan), mencelos
hatinya, setitik harapan yang bersemi dalam sanubarinya tadi seketika amblas, kabut berbondong-
bondong mengepul dari tanah disekitar kakinya, lambat laun dirinya seperti dibungkus
oleh kabut putih yang bergulung-gulung itu, selayang pandang melulu warna putih yang tidak
berujung pangkal lagi. Pikirannya Kiu-yu-mo-lo juga menjadi kosong dan seperti memutih sama
sekali, Sekian lama ia menjublek, akhirnya meloso duduk kelelahan. otaknya sudah
berhenti bekerja. yang terasa bahwa sang waktu selalu berhenti di dalam kejap yang sama, dunia ini
terasa sepi dan hening seolah-olah tiada kehidupan lagi dimajapada ini, hatinya semakin dikili2
seperti ingin meronta, rela sudah bila aku mati saja daripada tersiksa macam ini!
Entah berapa lama, keadaan masih seperti itu, sungguh sedih dan rawan sekali
batin Kiu-yumo- lo, akhirnya ia berteriak-teriak seperti orang gila sesambatan, namun yang
didengar hanyalah gema suaranya sendiri dari empat penjuru. Akhirnya ia berhenti berteriak. dengan
putus asa ia celingukan ke sekitarnya, 'aku sudah kejeblos ke dalam alam khayal yang
menyesatkan pikiran. mungkin selama hidup ini tidak akan bisa keluar lagi.'
Duduk bersimpuh pikiran Kiu-yu-mo-lo sekarang mulai bekerja, tapi kalut dan
berpikir secara abnormal. Terpikir olehnya bila dia berhasil keluar pekerjaan apa yang harus dia
lakukan, aku akan bunuh seluruh manusia yang tidak kusenangi, aku harus mendapatkan Ni-hay-ki-tin,
menjadi jago silat nomor satu di seluruh kolong langit yang tiada tandingan, barisan macam
setan yang menyesatkan ini akan kuhancur leburkan, tidak ketinggalan pencipta dari barisan
gaib inipun akan kusiksa sampai mampus....
Begitulah alam pikirannya melayang-layang. entah berapa lama ia memutar otak,
kadangkadang mulutnya menggeram, tangan menepuk tanah, matanya berkilat menyapu
sekelilingnya, tapi yang dilihatnya sama adalah alam keputihan yang menyilaukan pandangan
matanya, akhirnya ia menghela napas. Sekarang otaknya terasa kosong pula, yang terpikir tadi
melulu hanyalah khayalan hatinya belaka. pikiran yang tidak mungkin dicapai dan dilakukan
olehnya. Kini teringat olehnya akan waktu mudanya. sejak ia masih bocah mengangkat guru
belajar silat sampai dia kelana di Kangouw, ganti berganti pengalaman dulu terbayang dikelopak
matanya, heran dia kenapa aku bisa mengenangkan masa lalu, belum pernah aku terkenang
akan masa yang telah silam itu tapi masa silam yang penuh kenangan itu sekarang terbayang
dalam alam pikirannya. Hatinya mulai mengeluh dan merasa derita. Terbayang betapa takut hatinya waktu
pertama kali ia membunuh orang, dari kelakuan lurus aku semakin terperosok kejalan sesat dan
menyeleweng dari ajaran guru, akhirnya malang melintang sebagai salah seorang dari Si-gwa-
sam-mo yang ditakuti, perbandingan dari awal mula dan babak terakhir ini, perubahan yang
begitu cepat betulbetul membuat sanubarinya merasa heran dan kejut.
Dalam Jian-hud-tong tanpa disadarjnya ia menetap lima puluh tahun lamanya, meski
dalam waktu yang begitu lama selalu aku berpikir mencari akal untuk meloloskan diri
untuk menuntut balas kepada Ka-yap Cuncia. terutama waktu secara tak terduga memperoleh Hian-
thian-mo-kip, angan2 untuk menuntut balas semakin membakar sanubarinya. Tatkala itu aku
bertahan untuk hidup dan hidup ini memang untuk menuntut balas, tapi bagaimana sekarang"
Entahlah aku tidak tahu lagi. di dalam dunia kehidupan yang serba memutih ini,
apa pula yang harus kutuntut untuk kubalas" Lambat laun ia menyesal dan putus asa, "Thay-si-
ciang-soat-lianmo- tin tidaklah begitu gampang dibobol atau dipecahkan seperti dugaannya semula,
keadaan yang abstrak tidak berbentuk ini, betapapun jauh lebih hebat lebih sukar dihadapi daripada
belenggu rantai dari Ka-yap Cuncia. Untuk meloloskan diri harapannya sangat
nihil. Kiu-yu-mo-lo menepekur lagi, pikirannya melayang kembali mengenang pengalamannya
dahulu, ia duduk dengan hampa dan perasaan kosong. entah apa yang harus
dilakukan, ia mandah terima nasib saja. Lambat laun ia merasa menyesal dan bertobat.
perbuatannya dululah yang justru membuat dirinya sekarang menerima akibatnya ini. Dengan mendelohg ia
pandang ke sekelilingnya tak berani ia kenang masa silam pula, ia menjadi sebal dan gegetun
karena keadaan sekelilingnya" tetap sama tak pernah berubah seakan-akan sang waktu berhenti
berjalan tak bergerak lagi. Dibanding di dalam Jian-hud-tong jauh lebih sunyi dan lelap.
Tak tahan lagi ia bergegas melompat bangun, kedua telapak tangannya terayun
menepuk dan menghantam serabutan ke segala penjuru, kemana angin pukulannya yang dahsyat itu
menyamber keluar, sedikitpun tidak dengar desir angin atau gelombang pergerakan
akibat dari pukulannya, akhirnya ia berteriak melengking putus asa, tapi gema teriakannya
pun tak terdengar lagi, ia meloso duduk lemas, airmata meleleh keluar. suaranya sendiri pun tak
kuasa dikendalikan lagi. Dengan lemas ia bersimpuh memejamkan mata, lambat laun timbul rasa sesal dalam
benaknya dan rasa menyesal ini semakin besar sampai mengetuk sanubarinya, ja, sepak
terjang dulu waktu masih muda harus disesalkan, batinnya mulai bertobat.
Hati kecilnya berteriak dengan kekosongan jiwa yang menggersang, sungguh ia
sendiri pun tidak nyana bahwa akhirnya ia harus menyesal, terasa betapa kerdil jiwanya ini
begitu bejat dan kejam serta telengas hidup jiwanya ini, suka membunuh dan selalu ingin membunuh
seolah-olah jiwa manusia tidak berharga sepeserpun, membunuh manusia seperti membabat rumput
layaknya. Sebenar-benarnyalah setiap manusia sangat menghargai jiwa masing-masing. tapi
kenapa aku tidak menghargai jiwa mereka"
Karena rasa sesalnya ini sekian lama ia terlongong. Baru sekarang ya sadar dan
insaf bagaimana mungkin dirinya terjeblos ke dalam barisan penggugah iblis ini,
seharusnya ia tidak punya rasa benci dan dendam, apa pula salahnya jiwaku tergugah dari kesesatan
disini! Detik demi menit berlalu, lambat laun keadaan sekitarnya terasa mulai berubah, keadaan
menjadi terang benderang dan bercahaya menyegarkan hati, namun ia masih duduk tenang tak
bergerak. Dalam pada itu. setelah luput dari pengejaran Kiu-yu-mo-lo Hun Thian-hi berhasil
lari sembunyi ke dalam gerombolan semak-semak rumput tinggi, waktu ia merangkak bangun dan
celingtikan tiba-tiba dari semak-semak rumput di depannya sana muncul sebuah wajah nan
jelita, itulah Ham Gwat yang muncul dari balik semak-semak sana, berdiri tegak dihadapannya, dengan
cermat ia pandang dirinya. Thian-hi menjadi haru dan sangat berterima kasih, katanya melangkah mendekat,
"Kali ini nona pula yang menolong jiwaku!"
"Bukan aku melulu yang menolong kau," ujar Ham Gwat pelan-pelan, "Lo-cianpwe
yang kukatakan itu ingin menemui kau, mari kau ikut aku menemui beliau!"
Tanpa bicara Hun Thian-hi ikut di belakang Ham Gwat, hatinya dirundung berbagai
pikiran hatinya rada malu dan menyesal, biasanya aku selalu membanggakan dan mengagulkan
kepandaian sendiri, beberapa kali kena diringkus atau tertawan oleh musuh selalu
Ham Gwat yang menolong diriku. Tak lama kemudian mereka sudah keluar dari hutan jati, Hun Thian-hi berpaling ke
belakang sungguh ia hampir tidak percaya bahwa hutan jati ini adalah Thay-si-ciang-soat-
lian-mo-tin yang tenar dan ditakuti di Bulim, jadi orang aneh yang ingin ditemui atas prasaran
Ham Gwat ini pasti

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah Thay-si Lojin yang kenamaan di seluruh kolong langit tapi belum ada orang
pernah melihat akan ujudnya. Kalau begitu sungguh beruntung nasib Ham Gwat.
Ham Gwat membawa Thian-hi memasuki sebuah kamar batu, kata Ham Gwat, "Silakan
kau masuk sendiri menemui beliau, kutunggu kau disini!"
"Terima kasih!" kata Thian-hi, sejenak ia pandang Ham Gwat lalu pelan-pelan
berjalan-jalan masuk. Dalam kamar batu yang remang-remang tampak duduk bersila seorang tua. setelah
dekat baru jelas bahwa kedua kaki orang tua ini sudah buntung, kelihatannya terpotong oleh
senjata tajam. Raut wajah orang tua ini sudah penuh keriput. namun selebar mukanya mengulum
senyum manis, dia mengangguk kepada Thian-hi, segera Thian-hi berlutut dan menyembah,
sapanya, "Wanpwe Hun Thian-hi menghadap Cianpwe!"
"Lekas bangun," ujar si orang tua lemah lembut, menurut kata Gwat-ji kau adalah
keturunan atau ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek?"
Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, "Terima kasih pada Cianpwe yang telah
menolong jiwaku." Si orang tua menggoyang tangan, ujarnya, "Kau tak usah sungkan, sebagai ahli
waris "Withian- cit-ciat-sek seharusnyalah aku menolong kau, apalagi kau harus segera menyusul
ke Siaulim- si bukan!" Lalu ia melanjutkan, "Menurut Gwat-ji kau hanya memperoleh Kiam-boh
dari Withian- cit-ciat-sek itu, tapi belum mempelajarinya secara sempurna, intisari yang dalam
itu?" Hun Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, "Memang begitu, harap Cianpwe suka
memberi petunjuk," dari lubuk hatinya yang dalam timbul suara perasaan bahwa si orang
tua dihadapannya ini agaknya bersikap sangat baik terhadap Ham Gwat. kalau tidak salah mungkin
punya hubungan dalam yang sangat erat. sehingga iapun bersikap ramah dan baik terhadap aku.
tapi dari sorot matanya itu kelihatan bahwa hatinya pasti dirundung janggalan hati yang belum
terlampias. Kata pula si orang tua sembari tertawa, "Ham Gwat bersikap baik terhadap kau,
kaupun bagus, aku.... kuharap kau ingat kata-kataku ini, berlakulah baik terhadapnya, dia...."
sampai disini ia menghela napas, lalu melanjutkar dengan suara lebih lirih, "Bila kau tahu
riwayat hidupnya. pasti kau akan merasa dan tahu bahwa hidupnya sungguh harus dikasihani!"
Hun Thian-hi terbungkam menunduk, akhirnya tak tertahan ia bertanya, "Cianpwe
tahu akan riwayat hidupnya?" Pelan-pelan orang tua manggut-manggut, ujarnya, "Ya, tapi dia sendiri justru
tidak tahu." Heran dan terperanjat hati Thian-hi, heran dia kenapa orang tua ini bisa tahu
jelas akan riwayat hidup Ham Gwat, tapi kenapa tidak memberitahu kepadanya, entah apakah sebabnya.
Dengan seksama orang tua awasi Thian-hi, sesaat baru buka suara, "Kaupun sudah
tahu riwayat hidupnya bukan?"
Thian-hi rada sangsi, dia tidak tahu apa hubungan orang tua ini dengan Ham Gwat,
namun tentu tiada maksud jahat terhadapnya, akhirnya ia manggut-manggut, sahutnya,
"Tahu sedikit."'
Terpancar cahaya tegang dan rasa heran dari sinar mata si orang tua, tanyanya,
"Darimana kau ketahui" "Kudengar langsung dari penuturan ibundanya!"
Tergetar badan si orang tua, matanya semakin berkilat dan memancarkan sinar
aneh, bibirnya gemetar, agaknya banyak kata-kata yang ingin diucapkan tapi urung, akhirnya ia
tertunduk. Heran Thian-hi dibuatnya, hatinya bertanya-tanya, tapi ia tutup mulut.
Berselang lama si orang tua menepekur, akhirnya ia angkat kepala dan berkata,
"Kalau begitu, banyak omongan yang perlu kuberitahu pada kau. Tapi kau harus berjanji sementara
tidak memberitahu hal ini kepada Ham Gwat!"
Thian-hi menjadi ragu-ragu malah, tanyanya, "Apakah aku perlu mengetahui hal-hal
itu?" Orang tua itupun berpikir, katanya, "Tahukah engkau siapakah aku" Aku adalah
Suheng ibundanya, juga menjadi Suheng dari Bu-bing Loni. Tapi aku banyak berbuat
kesalahan terhadap ayah bundanya, agaknya Ham Gwat sudah mendapat firasat ini, dia selalu tidak mau
menerima segala bantuanku, tapi kali ini demi kau dua kali ia memohon kepada aku!"
Kejut dan girang pula hati Thian-hi, sungguh tak diketahuinya akan terjadinya
hal-hal itu. Orang tua ini pasti sedang menyesali perbuatannya dulu, entahlah kesalahan besar apa
yang dulu sudah dia perbuat atas diri ayah bunda Ham Gwat.
"Selama hidupku ini aku hanya sesalkan perbuatanku itu," demikian tutur si orang
tua, "Tapi kesalahanku itu selama hidup ini mungkin takkan mungkin dapat kutebus lagi." ia
menghela napas rawan. "Tahu bersalah dapat mengubahnya itulah perbuatan seorang susilawan, kenapa pula
harus berkeluh kesah, cobalah kau lakukan segala sesuatunya yang kau pandang baik demi
perikemanusiaan, mungkin Segala perbuatan dharma bhaktimu itu akan menebus
segala dosa2 yang lalu. Kau belum lagi pernah melaksanakan darimana kau bisa tahu bahwa
kesalahanmu takkan dapat ditebus"
Orang tua itu manggut-manggut, ujarnya, "Kau sudah pernah ketemu ibunya, kau
harus tahu yang mencelakai ibunya adalah Bu-bing Loni, tapi algojonya adalah aku. Aku
pernah sirik dan menjelusi ayahnya, sehingga aku melakukan segala perbuatan tercela yang tidak
mungkin dapat kusesali pula selama hidup ini, aku ingin menyesal dan sesalanku itu harus
kutebus pada diri Ham Gwat, namun dia selalu menampik secara halus segala bantuanku!"
"Tapi yang jelas akhirnya kau sudah menyesal bukan?" tanya Hun Thian-hi
prihatin. Orang tua tertawa tawar, kepalanya menengadah matanya mengawasi jauh ke depan,
sesaat baru bersuara, "Akhirnya! Akhirnya Bu-bing membacok buntung kedua kakiku ini,
mempunahkan seluruh ilmu silatku lagi, tatkala itu baru aku sadar, baru aku merasa menyesal
setelah kasep. Untung Thay-si Locin sudi menerima aku sebagai muridnya, setelah beliau wafat
aku lantas berdiam disini mengurus dam menjaga Thay-si-ciang-soat-lian-mo-tin ini!"
"Tidak terlambat, belum terlambat, kau sudah pernah menyesal, maka sesalanmu itu
belum lagi terlambat, ketahuilah bahwa kesadaran dari sesal itu selamanya tidak mengenal
terlambat." Tanya si orang tua ragu-ragu, "Dimanakah ibunda Ham Gwat sekarang" Bagaimana
keadaannya?" "Beliau sekarang baik-baik, dia tidak akan menyalahkan kau!" jawab Thian-hi
tersenyum. Si orang tua terduduk, akhirnya dia berkata tertawa, "Seumpama dia tidak mau
memberi ampun padaku, akupun harus bertobat kepadanya, aku harus menerima segala hukuman
karena dosa2ku itu!" Kembali mereka tenggelam dalam alam pikiran masing-masing, sesaat lamanya tak
bicara. "Tak lama lagi kau harus segera menyusul ke Siau-lim-si," demikian ujar si orang
tua membuka kesunyian. "Sudah tentu, disana kau memerlukan tenagamu sendiri untuk
menyelesaikan segala pertikaian. Wi-thian-cit-ciat-sek belum kau sempurnakan, aku sendiri tiada mampu
membantu kau, cobalah kau gembleng dan kau latih sendiri menurut praktek. Tapi perlu
kuberitahu pada kau, sudah ratusan tahun lamanya Wi-thian-cit-ciat-sek malang melintang di dunia
persilatan, dia melulu hanya sejurus saja, kau harus ingat, sejurus, hanya sejurus saja!"
Bercekat sanubari Thian-hi, maka permainan Wi-thian-cit-ciat-sek secepat kilat
lantas terbayang dalam kelopak matanya, memang melulu hanya sejurus dengan tujuh kembangan yang
penuh variasi yang sulit diraba, menggunakan dasar Lwekang tinggi, serta gerak ilmu
pedang yang lihay tiada taranya, dalam sekejap kilasan mata beruntun melancarkan tujuh gerak
kembangan jurus pedangnya. Otaknya timbul tenggelam membayangkan serentetan ilmu yang sudah
menghayati batinnya. Betapa girang hatinya, jika bisa terlaksana seperti yang terbayang dalam
angan2nya ini mungkin gerak pedang yang digdaya, ini takkan ada lawannya dikolong langit ini.
Tersipu-sipu ia menyembah serta berseru kegirangau, "Terima kasih akan petunjuk
Cianpwe!" "Tak perlu sungkan-sungkan," ujar si orang tua tertawa, "apa yang kujelaskan
tadi kudapat baca dari catatan peninggalan Thay-si Locin, sayang ilmu silatku sendiri sudah
punah!" Mulut Thian-hi mengiakan lirih, ia rada kejut, sangkanya sebagai murid Thay-si
Lojin tentu ilmu silatnya lihay luar biasa, siapa nyana beliau ternyata. tak bisa main silat.
"Sekarang kau boleh keluar, Ham Gwat tentu sedang tunggu kau diluar pintu."
Thian-hi maklum segera ia bangkit dan mohon diri lalu keluar dari kamar batu.
Benar-benar juga Ham Gwat sedang menunggu dirinya diluar, begitu melihat Thian-hi keluar
segera ia bertanya, "Kau kembali dulu mengobati luka-lukamu, setelah sembuh segera
menyusul ke Siongsan!"
Thian-hi mengiakan sambil menyatakan terima kasih.
Ham Gwat berdiri menanti sambil mengawasinya tajam, entah mengapa Thian-hi tak
berani adu pandang, cepat ia menunduk menghindari pandangan orang. Terpancar sinar aneh
dari biji mata Ham Gwat, kelihatan sorot matanya itu rada mengandung kekecewaan, akhirnya
mulutnya berkata lirih, "Tak perlu sungkan, kau pun pernah menolong aku!"
Terketuk sanubari Thian-hi, iapun merasakan kemana juntrungan pandangan Ham Gwat
tadi, ia dapat membayangkan apa yang sedang berpikir dalam benak Ham Gwat, tapi bisakah
aku memberitahu kepadanya"
Tak lama kemudian ia sudah berada di kamar batunya, Ham Gwat berdiri sebentar
lalu pamit dan meninggalkannya. Perasaan Thian-hi menjadi hambar, duduk bersimpuh pelan-pelan ia kerahkan Pan-
yok-hiankang untuk mengobati luka-luka dalamnya.
Sekejap saja tiga hari telah berlalu, kesehatan Hun Thian-hi sudah pulih
sebagian besar, selama tiga hari ini Ham Gwat entah kemana tidak pernah muncul menemui dirinya, mungkin
ada keperluan menempuh perjalanan ke tempat yang jauh.
Thian-hi tanya pada Siau Hong, kelihatannya Siau Hong rada berat menerangkan,
katanya Ham Gwat sudah berpesan supaya dia tidak banyak bicara soal dirinya.
Fajar telah menyingsing, sang surya menyinarkan semarak merah bercahaya. Waktu
Hun Thian-hi bangun tidur, datanglah Siau Hong ke dalam kamarnya, kiranya ia sudah
mempersiapkan hidangan, Setelah makan sekadarnya Thian-hi berkata, "Siau Hong, aku ingin hari ini juga
berangkat. ingin aku ketemu Siociamu untuk nyatakan terima kasihku padanya!"
Siau Hong tertawa, ujarnya, "Siocia sudah tahu, beliau suruh aku memberitahu
pada kau tak usah banyak sungkan lagi, Kim-ji (burung rajawali) sudah menunggu di depan
pintu. kau naik burung menuju ke Siong-san, kelak masih ada kesempatan bertemu!"
Hun Thian-hi terlongong, mulutnya sudah terbuka tapi tak kuasa berbicara.
Kata Siau Hong pula, "Sudah jangan melamun, kata-kata Siocio tidak akan salah."
Mendelu rasa hati Thian-hi, pikirnya; kenapa Ham Gwat berlaku demikian terhadap
diriku, si orang tua itu mengatakan bahwa dia sangat baik terhadapku. memang sikap dan
lakunya sangat baik terhadap aku, namun kenapa ia menghindari pertemuan dengan aku, sebelum aku
berangkat untuk meninggalkan dia kenapa tidak mau datang, mungkinkah ada suatu persoalan
yang tidak disenangi akan diriku" Demikian hatinya mereka-reka, akhirnya ia tertunduk.
Melihat keadaan Thian-hi berkilat biji mata Siau Hong, matanya melirik keluar
lalu pelan-pelan maju mendekat dan katanya lirih, "Bodoh. Kelakuan Siocia ini adalah demi
kebaikanmu, hayo berangkat, jangan melamun lagi!"
Tergetar sanubari Thian-hi, dengan kaget ia angkat kepala mengawasi Siau Hong.
Siau Hong kegelian menutup mulut terus berlari keluar.
Thian-hi menjublek lagi ditempatnya, dia masih belum paham kemana maksud
juntrungan katakata Siau Hong tadi, tapi ia percaya bahwa Siau Hong tidak akan ngapusi dirinya,
akhirnya bergegas ia memburu keluar, terpikir olehnya Kim-ji pernah memancing Bu-bing
Loni sehingga terluka parah oleh pedangnya, sekarang aku harus meniliknya dan melihat
bagaimana keadaan sebenar-benarnya. Diambang pintu kamar batu. Benar-benar juga berdiri seekor burung rajawali


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

besar. Tingginya melebihi badan manusia, matanya merah berkilat, lehernya berkilau mas membundar,
sekilas pandang perawakannya memang sangat angker dan gagah.
Melihat Thian-hi sudah keluar segera Siau Hong berlari datang, serunya, "Coba
kau lihat, bagaimana Kim-ji ini?"
"Sangat gagah dan kereng, seperti seorang jendral saja layaknya!"
Siau Hong senang dan tertawa geli, dengan tangannya ia peluk leher burung
rajawali serta katanya, "inilah orang yang tempo hari kau tolong itu, dia adalah sahabat karib
Siocia kami, bawalah dia pergi ke Siong-san!"
Rajawali itu berpaling dan memandang tajam kepada Hun Thian-hi, mulutnya
bersuara rendah. Siau Hong menggerakkan tangan minta Hun Thian-hi maju mendekat, dengan tertawa
ia berkata sambil mengelus-elus bulu leher sang burung, "Terima kasih akan pertolonganmu
kepadaku tempo hari!" Burung itu berpekik keras sekali lalu manggut-manggut. kedua sayapnya dipentang
lebar. Terlihat oleh Thian-hi sepasang sayap burung itu terbentang ada dua tombak
lebih, diam-diam ia kejut dan girang. Kata Siau Hong, "Dia minta kau lekas naik, cepatlah kau berangkat saja."
Setelah berada dipunggung burung rajawaJi, Thian-hi mengapai tangan kepada Siau
Hong serunya, "Selamat bertemu!"
Bab 22 Siau Hong membalas lambaian tangan. serunya, "Berangkatlah, mungkin bersama
Siocia kami juga akan menyusul kesana, hati-hatilah kau, Tok-sim-sin-mo sangat jahat."
Thian-hi manggut-manggut, sementara itu burung rajawali sudah mengembangkan
sayapnya terus melambung ke tengah udara, sebentar saja mereka sudah berada ditengah
angkasa menuju ke Siong-san. Ooo)*(ooO Senjakala tiba, Thian-hi pun tiba di Siong-san, burung rajawali segera menukik
turun dan hinggap di atas puncak yang berdekatan. Setelah turun dan menginjak tanah Thian-
hi menepuk leher Kim-ji serta berkata, "Kim-ji! Silakan kau pulang, sampaikan salam hormat
dan terima kasih pada majikanmu!" Kim-ji berbunyi sekali sambii manggut-manggut terus terbang kembali dan
menghilang. Setelah Kim-ji tidak kelihatan lagi, Thian-hi celingukan memandang sekitarnya,
lalu pelan-pelan ia menuju ke Siau-lim-si. Tempo hari ia pernah ikut Hwesio jenaka kemari tapi
diwaktu malam. keadaan disini tidak diingat terlalu jelas, maka sekarang dia harus main selidik
dan celingukan mencari jalan lalu pelan-pelan menuju ke Siau-lim-si.
*** Setelah melompati pagar tembok Hun Thian-hi melesat naik sembunyi di atas puncak
pohon, dengan ke jelian matanya ia mengawasi keempat penjuru, rada jauh di depan sana
terdapat sebidang hutan bambu, tergerak hati Thian-hi, pikirnya, "Bukankah disana tempat
tinggal Thiancwan Taysu" Thian-hi berlaku sangat hati-hati, setelah melihat sekelilingnya sunyi sepi
tanpa ayal segera ia melesat ke arah hutan bambu sana, karena sekelilingnya tidak terjaga, maka
tubuhnya seenteng burung langsung meluncur tiba dan hinggap di atas pucuk sebatang bambu. Waktu ia
menunduk memandang kebawah, tampak olehnya seorang Hwesio tengah duduk bersimpuh
berhadapan dengan seorang tua bermata putih kemilau, itulah Thian-cwan Taysu dan Tok-sim-
sin-mo dua orang. Terdengar Tok-sim-sin-mo sedang berkata pada Than-cwan Taysu, "Hun Thian-hi
segera bakal tiba. Sangat kebetulan kedatangannya, sekaligus aku bisa menumpasnya bersama
Siau-lim kalian." lalu ia terkekeh-kekeh dingin.
Thian-cwan Taysu pejamkan mata, sesaat baru bicara, "Mungkin tidak begitu
gampang, kunasehati pada kau supaya cepat merubah haluan dan lakukan perhitungan lain,
ketahuilah Ilwe- tok-kun dia tidak akan membiarkan cita-citamu ini terlaksana seenak udelmu
sendiri." Tok-sim-sin-mo menjengek hidung, ancamnya, "Bila dia berani masuk ke Tionggoan,
mungkin datangnya hidup tapi takkan dapat pulang dengan jiwa masih hidup ke Thian-lam."
Thian-cwan duduk tenang tak menghiraukan dia lagi.
Dengan pandangan dingin berkilat Tok-sim-sin-mo pandang Thian-cwan Taysu lekat-
lekat, sekonyong-konyong ia menengadah menyapu pandang ke pucuk bambu.
Berdetak jantung Thian-hi, pikirnya, "Hati-hati jangan sampai konangan olehnya!"
ia menahan napas, otaknya harus bekerja cepat mencari cara untuk bertindak nanti.
Tok-sim-sin-mo menunduk lagi. Hun Thian-hi celingukan ke sekelilingnya, tak
terlihat sebuah bayangan orangpun, sebuah pikiran mendadak berkelebat dalam benaknya, "Dalam
keadaan sekarang ini, Tok-sim-sin-mo hanya. seorang diri, kenapa aku tidak turun saja berhadapan
secara langsung" Dengan kekuatan dua orang untuk membekuk Tok-sim-sin-mo rasanya segampang
membalikkan telapak tangan!" Karena dilandasi pikirannya ini, segera tubuhnya melejit maju lalu melayang
turun dengan ringan ke bawah. Begitu mendengar kesiur angin lambaian baju Hun Thian-hi, sebat sekali kelihatan
Tok-sim-sinmo melejit mundur dua tombak, sepasang matanya berkilat mengawasi Hun Thian-hi.
Terpancar rasa heran yang aneh dari sorot matanya itu.
Begitu hinggap di tanah Hun Thian-hi tersenyum simpul, ia celingukan ke kanan
kiri lalu maju dua langkah di hadapan Thian-cwan serta memberi hormat membungkuk badan, "Wanpwe
Hun Thian-hi menghadap pada Taysu!"
Thian-cwan Taysu juga membuka mata mengawasi dirinya dengan heran, katanya,
"Hun-sicu apakah baik selama berpisah ini?"
"Terima kasih akan perhatian Taysu. Kudengar katanya Tok-sim-sin-mo berada
disini maka Wanpwe juga menyusulnya kemari!"
Dengan sikap dingin mulut Tok-sim-sin-mo mengulum seringai sadis, katanya,
"Ternyata kau berani datang seorang diri. Besar benar-benar nyalimu!"
Hun Thian-hi berpaling memandang ke arah Tok-sim-sin-mo sekejap lalu berkata
pula kepada Thian-cwan Taysu, "Taysu! Tok-sim-sin-mo si durjana ini jangan diberi
pengampunan lagi.... kenapa tidak dilenyapkan saja!"
Thian-cwan Taysu menghela napas panjang, tak bicara.
Tok-sim-sin-mo tertawa panjang, serunya, "Kau ingin mengeroyok aku bersama dia
bukan" Kalau begitu salah besar perhitunganmu, ketahuilah ilmu silatnya sudah punah
sejak lama!" Tersentak jantung Hun Thian-hi.
Terdengar Tok-sim-sin-mo menjengek pula, "Kedatanganmu hari ini justru menempuh
jalan kematian!" baru habis ucapannya seekor burung dara melayang turun dari angkasa
terus hinggap di tangan Tok-sim-sin-mo.
Berubah air muka Tok-sim-sin-mo, dari kaki burung ia mengambil selarik surat
terus dibaca, tampak berubah hebat air mukanya, desisnya dengan mata mendelik, "Kiranya
begitu, jadi kau sudah berserikat bersama I-lwe-tok-kun."
Timbul rasa heran dalam benak Thian-hi, kenapa Tok-sim-sin-mo mengajukan
pertanyaannya ini, sepintas lalu pikirannya bekerja, lantas ia menjadi paham, "Mungkin Ang-
hwat-lo-mo dan Ilwe- tok-kun sudah meluruk bersama ke Tionggoan, dan mungkin juga sedang menempuh
perjalanan kesini sehingga dia menuduh diriku punya intrik dengan mereka."
Tengah mereka bersitegang leher berdiri diam berhadapan, sekonyong-konyong
sesosok bayangan merah melambung datang memasuki gerombol hutam bambu, begitu hinggap di
tanah baru kelihatan jelas, itulah Ang-hwat-lo-mo adanya. Di belakangnya menguntit
seorang tua bertubuh kecil kurus. Begitu hinggap di tanah mereka berpaling ke kanan kiri,
akhirnya pandangan Ang-hwat-lo-mo berhenti pada tubuh Hun Thian-hi.
Dari belakang dibalik rumpun bambu sana terdengar derap lirih orang banyak.
tampak Bingtiong- mo-tho Su-kong Ko dan Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong dan lain-lain beranjak
masuk. Ada dua diantaranya tidak dikenal oleh Thian-hi. Mereka berdiri siap siaga.
Terdengar Ang-hwat-lo-mo berkakakan dua kali sikapnya sangat congkak, setelah
berpaling ke arah Thian-cwan Taysu ia bicara pada Hun Thian-hi, "Berani kau tidak menyusul ke
Thian-lam. Ketahuilah gurumu Lam-siau Kongsun Hong sudah berada di tempat kediamanku,
kenapa kau tidak mau datang?" Tok-sim-sin-mo tertawa lebar, jengeknya dingin kepada Ang-hwat-lo-mo, "Tak
kunyana kau bisa datang begitu cepat!"
"Benar-benar aku telah datang, dan hanya membawa Seorang sahabat belaka."
sambung Anghwa- lo-mo dengan sombong sambil menunjuk orang kate di belakangnya, serunya pula,
"Mari kuperkenalKan, inilah Ting-hou-it-koay Lenghou Khek!"
Thian-hi mengamati si orang tua kate, dalam hati ia berkata, "Kiranya orang ini
adalah ayah Kim-i Kongcu yang kubunuh Sing-hou-it-koay, entah mengapa selama ini dia tidak
meluruk mencari diriku." Tok-sim-sin-mo mandah tersenyum ejek, tanpa bicara ia maju menghampiri kehadapan
Thiancwan Taysu terus duduk. Ang-hwat-lo-mo juga tertawa-tawa, dengan ulapan tangan ia mempersilakan Sing-
hou-it-koay duduk, sedang dia sendiri juga lantas duduk. Melihat Tok-sim-sin-mo tetap
berdiam diri akhirnya Ang-hwat-lo-mo bergelak tawa. serunya, "Bagaimana! Apakah si tua dari Si-gwa-
sam-mo menjadi gentar dan ketakutan terhadap diriku?" - ia bergelak tawa pula!"
Tok-sim-sin-mo masih menyeringai iblis saja tanpa memberi reaksi. Sungguh
hatinya murka sekali akan sikap takabur Ang-hwat-lo-mo, namun ia punya perhitungan dalam
situasi seperti sekarang ia harus bertindak hati-hati. terpaksa bersabar ulur waktu dan mencari
jalan yang lebih mantap dan matang. Menghadapi sikap tenang Tok-sim-sin-mo rada kejut perasaan Ang-hwat-lo-mo, bila
Tok-simsin- mo mengumbar nafsu amarahnya, dia akan merasa terhibur dan senang malah, karena
itu menandakan bahwa pihak lawan tiada persiapan. tapi sekarang Tok-sim-sin-mo
bersikap diam menanti dan tidak banyak bicara. terang kalau punya persiapan yang sudah matang,
jangan karena urusan kecil melalaikan tugas besar" Demikian pedoman kerja pihak lawan.
Maka dengan cermat ia menyelidik keadaan empat penjuru, tapi tiada persiapan apa-apa.
Sekonyong-konyong tampak pula berkelebat dua sosok bayangan hitam yang melesat
masuk ke dalam hutan bambu ini. waktu Thian-hi angkat kepala yang datang ini kiranya
adalah salah seorang dari Tiang-pek-siang-ki yaitu Ciang-ho-it-koay Cukat Tam, seorang yang
lain laki-laki tua beruban yang mengenakan juhah kuning.
Ang-hwat-lo-mo terbahak-bahak. serunya, "Sungguh hari ini sangat beruntung.
Tiang-peksiang- ki sudi berkunjung datang bersama, hari ini Siau-lim-si bakal menjadi tempat
kumpulan tokoh-tokoh kosen yang cukup ramai dan menyenangkan!" - kelihatan betapa rasa
girang hatinya melihat kedatangan kedua orang tokoh dari Tiang-pek-san ini, entah apa tujuan
kedatangan kedua orang ini" Menghadapi dirinya atau mencari perkara kepada Tok-sim-sin-mo"
Tanpa merasa Hun Thian-hi melirik lebih tajam ke arah orang tua berjubah kuning,
kiranya orang tua ini bukan lain adalah Ce-han-it-ki, It-ki dan It-koay sama muncul di
tempat ini, entah apa tujuannya. Melayangkan pandangan matanya Ce-han-it-ki membuka suara, "Kedatangan kami hanya
ingin ikut menyelesaikan perkara di Siau-lim-si sini, tentu Tok-sim-sin-mo sudah
berada disini bukan?"
Sementara itu Ciang-ho-it-koay juga sudah melihat kehadiran Hun Thian-hi.
mulutnya menggerung gusar, matanya mendelik besar ke arah Thian-hi. mukanya diliputi hawa
membunuh. dengan lirikan tajam iapun melerok ke arah Ang-hwat-lo-mo.
Tok-sim-sin-mo masih tetap bersikap tenang tanpa peduli percakapan dan
kedatangan lain orang. Adalah Ang-hwat-lo-mo yang bersorak dalam hati begitu mendengar Ce-han-
it-ki hendak

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari Tok-sim-sin-mo, musuh yang utama justru adalah ToK-sim-sin-mo, maka
segera ia bersuara menuding kepada Tok-Sim-sin-mo, "Tuan inilah tertua dari Si-gwa-sam-mo
itu." Dengan cermat Ce-han-it-ki mengawasi Tok-sim-sin-mo. mulutnya terkancing tak
bersuara. "Bocah keparat!" seru Ciang-ho-it-koay kepada Hun Thian-hi, "Panjang benar-benar
nyawamu, belum mampus kau ya! Hari ini aku tidak akan memberi ampun lagi pada kau.
setelah urusan disini selesai, kuharap kau jangan lari" - Lalu ia berpaling ke arah Ang-hwat-
lo-mo dan sambungnya, "Demikian juga kau!"
Melihat sikap Tok-sim-sin-mo yang jumawa itu mendengus berang Ce-han-it-ki,
kakinya beranjak menghampiri ke belakang Tok-sim-sin-mo.
Dengan gaya tetap duduk bersila mendadak tubuh Tok-sim-sin-mo mencelat naik ke
tengah udara, berhenti sebentar seperti mengembang lalu terbang berputar setengah
lingkaran, menghindar diri bila Ce-han-it-ki menyergap dari belakang.
Keruan seluruh hadirin melengak dibuatnya, betapa mereka takkan terkejut melihat
pertunjukan Cin-kang Leng-kong-pau-si maha lihay dan menakjubkan itu, seluruh
hadirin adalah tokoh-tokoh kosen yang bisa juga mempertunjukan Ginkang macam begitu, sulitnya
untuk berhenti mengembang sebentar ditengah udara itulah yang tiada seorangpun mampu
melaksanakan, bukanlah tidak beralasan bila mereka sama terkejut.
Dari luar lantas berkelebat masuk pula sebuah bayangan orang, yang datang ini
adalah Pek Sikiat. Begitu tiba sepasang matanya segera menyapu selidik keseluruh gelanggang,
melihat Hun Thian-hi juga sudah hadir, kelihatan ia rada terkejut. Melihat Pek Si-kiat juga
datang sungguh girang Thian-hi bukar main, pihak sendiri terhitung tambah seorang tenaga yang
sangat dapat diandalkan. segera ia memburu maju serta menyapa, "Paman Pek, kau baik!"
Pek Si-kiat manggut-manggut. sahutnya, "Sungguh tidak nyana kaupun sudah tiba,
aku bergegas menyusul kemari dari barat daya. sangkaku bisa datang lebih cepat dari
kedatanganmu, siapa duga aku terlambat satu tindak!"
Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay rada asing terhadap masing-masing Pek Si-kiat
dan Tok-simsin- mo, dengan penuh rasa curiga dan tanda tanya mereka awasi dua orang tokoh dari
Si-gwa-jimo bergaantian. mereka tidak tahu akan hubungan dua orang ini.
Melihat kehadiran Pek Si-kiat, Tok-sim-sin-mo bangkit berdiri, serunya kalem,
"Memang kedatanganmu sedang kutunggu!"
"Masih ada aku seorang lagi!" terdengar orang berkata dingin dari luar hutan
dalam kejap lain ia sudah meluncur turun dan hinggap di tanah. Pendatang baru ini bukan lain
adalah Situa Pelita. Thian-hi kaget dibuatnya, kenapa hari ini seluruh tokoh-tokoh lihay sama meluruk
datang. Situa Pelita mendelik dan berludah ke arah Ang-hwat-lo-mo, pelan-pelan ia
memutar tubuh lalu berkata kepada Tok-sim-sin-mo, "Kau memaksa dan menindas seluruh golongan dan
aliran persilatan di Tionggoan menutup pintu dan menyimpan pedang, sekarang kau pun
main kekerasan pula terhadap Siau-lim, selama kaum gagah masih hidup jangan harap kau dapat
melaksanakan angan2 gilamu, seluruh kaum persilatan akan bangkit dan menumpas kau. Sebentar
lagi Ce-hun dan Hoan-hu juga akan meluruk kemari untuk membuat perhitungan pada kau, jangan
kau takabur dan bersimaharaja disini!"
Tok-sim-sim-mo memicingkan mata, dengan mengejek dingin ia pandang Situa Pelita,
bentaknya, "Besar benar-benar bualanmu, siapa kau?"
Malu dan murka pula hati Situa Pelita, di hadapan sekian banyak tokoh-tokoh
kosen Tok-simsin- mo bersikap begitu merendahkan terhadap dirinya, sambil membanting kaki ia
menggerung gusar. serunya, "Kau dibekap lima puluh tahun oleh Ka-yap Cuncia, sudah tentu
kau tidak kenal aku." Pelan-pelan Tok-sim-sin-mo duduk kembali, katanya kalem, "Kalau begitu, kunanti
setelah bantuan kalian datang semua baru bicara lagi!"
Situa Pelita mengalihkan pandangan matanya yang berapi-api ke arah Ang-hwat-lo-
mo. Ce-han-it-ki berpaling ke arah Cukat Tam, ujarnya, "Begitupun baik!" bersama
Cukat Tam mereka duduk berendeng. Baru sekarang Thian-cwan Taysu membuka mata, dengan pandangan kalem ia awasi
seluruh hadirin satu persatu, akhirnya ia menghela napas panjang.
"Kenapa Taysu menghela napas!" tanya Situa Pelita.
Thian-cwan Taysu menunduk, sesaat kemudian baru bicara, "Jalan suci cukup
panjang, akal iblis harus dijaga, para sicu harus hati-hati, janganlah sampai diperalat oleh
musuh." Thian-hi pun merasakan akan situasi yang terpecah belah diantara sekian banyak
hadirin ini, hati masing-masing punya rasa permusuhan terhadap yang lain, terutama Ciang-ho-
it-koay dan si Tua Pelita punya pertikaian sama dirinya, entah apa yang bakal mereka lakukan
terhadap dirinya sebelum Ce-hun dan Hoan-hu keburu datang, demikian juga rasa permusuhan mereka
terhadap Ang-hwat-lo-mo. Terdengar Ang-hwat-lo-mo tertawa besar, serunya, "Harap kutanya pada kalian, apa
tujuan kita kemari?" Bagi golongan putih semua sama pasang kuping dan meningkatkan kewaspadaan
mendengar pertanyaannya itu, mereka gentar dan rada jeri menghadapi iblis ini, semua orang
tahu bahwa orang ini adalah iblis laknat yang harus ditumpas dari percaturan hidup manusia,
entah mengapa hari ini mendadak mengajukan pertanyaan ini" Entah apa tujuannya!
Thian-cwan Taysu menanggapi dengan helaan napas panjang lagi, matanya
dipejamkan. Kata Ang-hwat-lo-mo pula, "Kita jangan mengulur waktu lagi, dosa2 Tok-sim-sin-mo
tidak terampun lagi, demikian juga aku punya pertikaian terhadap kalian, tapi kenapa
sekarang harus persoalkan pertikaian kecil ini, yang penting kita harus bersatu lebih dulu
menumpas kelaknatan sepak terjang Tok-sim-sin-mo, soal urusan kita marilah kesampingkan dulu!"
Mendengar propokasi ini Tok-sim-sin-mo tidak bisa tinggal diam, segera iapun
menimbrung, "Kau sangka aku gentar terhadap kalian semua!" lalu ia mendengus, pelan-pelan
bangkit sambil mendelik ke arah seluruh hadirin.
Hati Ciang-ho-it-koay menjadi jeri, serunya, "Kalau begitu mari kita sama-sama
menumpas Toksim- sin-mo lebih dulu!" Situasi menjadi tegang, semua orang saling pandang. Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat
mundur ke samping, mereka insaf bahwa Tok-sim-sin-mo bukanlah kaum keroco yang mudah
ditundukkan. Terutama senjata Pek-tok-hek-liong-tingnya itu sulitlah dihadapi, mana boleh
bertindak begitu ceroboh. Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, sambil tertawa sinis ia pandang Thian-hi
berdua lalu melambaikan tangau. serunya, "Kalian sudahkah pernah dengar nama Pek-tok-hek-
liong-ting?" seiring dengan ucapannya ini dari empat penjuru segera terpancang puluhan laras
Pek-tok-hekliong- ting ke arah seluruh hadirin.
Keruan berubah pucat muka seluruh hadirin, mereka adalah tokoh-tokoh tingkat
tinggi adalah mustahil bila tidak mengenal asal usul kehebatan Pek-tok-hek-liong-ting.
Tok-sim-sin-mo menyeringai lagi. ujarnya, "Kalian sendiri agaknya sudah bosan
hidup, janganlah salahkan aku bila aku turun tangan kejam pada kalian. Tapi aku tidak
akan turun tangan sekarang, tadi kudengar Ce-hun dan Hoan-hu juga akan datang, baiklah aku tunggu
kedatangan mereka baru bekerja!"
Meski Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat sudah mundur disamping, namun merekapun masuk
dalam kepungan. Diam-diam ia menerawang situasi dalam gelanggang, ia maklum untuk
melarikan diri sendiri adalah tidak sulit bagi dirinya, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek sekarang
sudah dapat diselami dalam sanubarinya, petunjuk si orang tua itu sungguh sangat berharga sehingga ia
dapat menembus kesukaran yang dialami dalam latihannya. Hanya latihan prakteknya saja
memang belum sempurna dan matang.
Para hadirin terdiri dari golongan sesat dan aliran lurus, kedua belah pihak
sama punya rasa permusuhan yang menghayati sanubari masing-masing, mana mungkin dia turun tangan
menolong mereka" Sedang Ang-hwat-lo-mo adalah tokoh kosen dari golongan sesat. Meski dalam nada
perkataan Tok-sim-sin-mo tadi tidak menaruh sebelah mata pada dirinya, tapi Thian-hi jelas
mengetahui bahwa Ang-hwat-lo-mo bukan tokoh sembarang tokoh yang boleh dipandang ringan,
entah mengapa Tok-sim-sin-mo begitu menghina dan memandangnya rendah.
Tapi dapatkah dia tidak menolongnya" Bukan saja dia sendiri yang harus lolos,
bahwa seluruhnya hadirin jelas bersikap memusuhi Tok-sim-sin-mo, bila mereka semua
roboh Siau-lim-si pun bakal runtuh secara total dapatkah aku menguasai situasi"
Hatinya sedang bimbang, seluruh hadirin tiada satu pun yang buka suara, seolah-
olah mereka sedang dicekam tekanan batin akan ancaman kematian yang sedang dihadapi ini,
begitu Ce-hun dan Hoan-hu datang, semua orang tidak akan bisa hidup lebih lama lagi.
Sang waktu berjalan terus, hati masing-masing tengah memikirkan urusan sendiri,
sudah tentu apa yang mereka pikirkan satu sama lain berlainan. Tok-sim-sin-mo mengulum
senyum sinis, biji matanya yang memutih berkilat dengan dingin memandangi seluruh hadirin, begitu
Ce-hun berdua tiba. segera ia akan bikin mampus semua orang yang hadir disini.
Mata Hun Thian-hi berkilat, akhirnya sambil kertak gigi ia membuka suara kepada
Tok-sim-sinmo, "Kuharap sementara ini jangan kau terlalu takabur, tempo hari aku tidak berbuat
kelebihan terhadap kau karena Wi-thian-cit-ciat-sek memang belum sempurna kulatih,
sekarang, apakah kau ingin coba perbawa Wi-thian-cit-ciat-sek yang tulen?"
Thian-hi maklum untuk meloloskan diri dari Kepungan adalah mudah. Tujuan Tok-
sim-sin-mo adalah menumpas seluruh hddirin lalu menghadapi dirinya seorang, bagi dirinya
untuk mengatasi situasi gelanggang supaya semua orang dapat menyelamatkan diri adalah terlalu
sulit dan berat, tapi aku sudah hadir dan ikut terjun dalam gelanggang yang genting ini, masa aku
harus mundur dan ragu-ragu, terpaksa harus kucoba lebih dulu.
"Anggapmu dengan kekuatanmu seorang dapat menandingi kakuatan Pek-tok-hek-liong-
ting?" demikian jengek Tok-sim-sin-mo, tiba-tiba tangannya bertepuk lagi, dari empat
penjuru muncul pula puluhan laras Pek-tok-Hek-liong-ting.
Tercekat hati Thian-hi, tanpa ayal segera tubuhnya mencelat terbang lempang ke
depan, sembari melesat terbang ini, tangannya meraih keluar serulingnya terus menerjang
keluar. Tok-sim-sin-mo berjingkrak gusar. tangan kanan segera diangkat tinggi, seketika
puluhan laras Pek-tok-hek-liong-ting terpancang ke arah Hun Thian-hi, dimana terdengar pegas2
berbunyi, udara seketika diliputi hujan Hek-liong-ting yang menerjang bersama ke arah
Thian-hi. Pek-tok-hek-liong-ting merupakan senjata rahasia yang paling ganas dan jahat
dikalangan persilatan bukan saja perbawanya sangat besar, di bawah ciptaan seorang ahli
sehingga dia dapat meluncur dengan kekuatan deras yang hebat sekali, apalagi setiap pakunya sudah
direndam racun berbisa yang sangat jahat, begitu kena kulit lantas melepuh, meresap ke dalam
darah jiwa segera bakal melayang. Seluruh hadirin sama merasa kuatir bagi Hun Thian-hi, meskipun diantara mereka
ada yang berasa benci dan ingin membunuhnya, tapi serta melihat sepak terjangnya sekarang
tiada yang tidak merasa kagum dan memuji dalam hati. Sungguh mereka akan merasa sayang dan
gegetun bila seumpama dia berkorban demi keselamatan lain orang, bila diantara mereka
ada yang memiliki kepandaian setinggi dan setingkat dengan Hun Thian-hi belum tentu
mereka rela untuk berkorban diri demi keselamatan orang lain menghadapi keganasan Pek-tok-hek-
liong-ting seorang diri. Demikianlah sambil mengeluarkan suara desisan yang ramai seluruh paku2 naga
hitam yang tak terhitung banyaknya itu serabutan saling samber ditengah udara. Tampak tubuh
Hun Thian-hi

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jumpalitan setengah lingkaran ditengah udara, mulutnya bersuit panjang bagai
pekik naga yang marah mengalun tinggi menembus angkasa. Bersama dengan itu Wi-thian-cit-ciat-sek
telah dikembangkan. Dimana seruling pualamnya bergerak seketika terbit gelambung kabut
memutih mengepul kesekitar gelanggang, kelihatan batang seruling itu rada tergetar,
diantara pergerakan yang beberapa mili itu saja ia sudah melancarkan tenaga hebat yang tak
terbendung. tujuh jalur gelombang tenaga dengan kekuatan berkisar yang dahsyat memberondong keluar dari
tujuh jurusan yang berlainan, berbareng menyambut maju ke arah Hei-liong-ting yang
beterbangan diudara. Para tokoh-tokoh kosen yang hadir semua menjadi melongo dan menahan napas,
mereka manjadi kesima dan seperti lupa diri menyaksikan pertempuran hebat yang tiada
bandingannya di seluruh dunia persilatan.
Seperti telah diketahui bahwa Wi-thian-cit-ciat-sek adalah ilmu pedang tingkat
tinggi yang tiada taranya yang diagungkan dalam dunia persilatan, bersama Hui-sim-kiam-hoat
mempunyai perbawa dan menjunjung keangkerannya masing-masing, tapi dia menpunyai bidang
yang lain dari Hui-sim-kiam-hoat itu yaitu cara Kui-sim-kiam-hoat melancarkan tenaganya
memerlukan gerakan besar, justru berlainan dengan Wi-thian-cit-ciat-sek. cukup dengan
gerakan yang beberapa mili meter belaka sudah dapat mengembangkan tenaga atau melancarkan
kekuatan dahsyat yang tiada bekas dan tidak kelihatan.
Begitu kekuatan dua rangsakan yang berlawanan saling bentrok, Pek-tok-hek-liong-
ting kepergok oleh perbawa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek, daya luncurannya yang
cepat dan hebat itu seketika menjadi merandek dan lembek tenaganya.
Begitu Hun Thian-hi kerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya, seluruh Pek-tok-hek-
liong-ting seperti berhenti ditengah udara, akhirnya bergerak berpular menurut tuntunan
tenaga gerakan seruling Hun Thian-hi terus meluncur keluar dan berjatuhan tercerai berai diluar
hutan. Diam-diam Hun Thian-hi bersyukur, ia sendiri menjadi sangsi bahwa dirinya
sekarang telah membekal Lwekang yang begitu dahsyat. Sebaliknya mata Tok-sim-sin-mo memancarkan
sinar aneh yang menakutkan dengan dada berkembang kempis ia menatap Hun Thian-hi
lekat-lekat. Dari iuar hutan tampak melangkah masuk Ce-hun Totiang dan Hoan-hu Popo.
dibelakangnya mengintil pula Bun Cu-giok dan Ciok Yan, melihat keadaan situasi gelanggang,
seketika mereka pun melengak dan mencelos
Setelah menyapu pandang seluruh hadirin berserulah Tok-sim-sin-mo, "Penyelesaian
urusan hari ini baiklah aku tunda sementara waktu, biar kita selesaikan lain kesempatan
saja, sekarang aku permisi lebih dahulu!" lalu ia pimpin Lam-bing-it-hiong dan lain-lain
meninggalkan hutan bambu itu. "Nanti dulu!" tiba-tiba terdengar Situa Pelita dan Ciang-ho-it-koay membentak
bersama sebelum Tok-sim-sin-mo dan lain-lain tinggal pergi.
Tok-sim-sin-mo membalikkan tubuh, ganti berganti ia pandang kedua orang ini
sambil memicingkan matanya. Seru Ci-ing-ho-it-koay Cukat Tam, "Anggapmu hari ini dapat tinggal pergi sesuka
hatimu?" Tok-sim-sin-mo terkekeh dingin, katanya memandang ke arah Hun Thian-hi,
"Kekuatan Pektok- hek-liong-ting tadi kalian sudah menyaksikan, diantara Kalian siapa lagi yang
mampu bertahan dari serangannya?" - Lalu ia menambahkan kepada Hun Thian-hi, "Jangan lupa,
Sutouw Ci-ko sudah minum obat racunku!" lenyap suaranya tubuhnya pun berkelebat keluar
menghilang. Mendengar ucapan Tok-sim-sin-mo sebelum berlalu itu Pek Si-kiat menjadi
tertegun. serunya kepada Thian-hi, "Apa benar-benar ucapannya?"
Pelan-pelan Hun Thian-hi manggut-manggut, ia tidak bersuara lagi.
Seluruh pandangan hadirin tertuju ke arah Hun Thian-hi, semua adalah tokob2
kosen tapi dalam hati mereka maklum, bahwa tiada diantara mereka yang kuat melawan Hun
Thian-hi lagi. Pek Si-kiat menjadi gugup serunya pula, "Kalau begitu mari lekas kita kejar!"
Hun Thian-hi hanya tersenyum tawar, matanya memandang pada para hadirin.
Situa Pelita segera menjengek dingin, "Ingin lari segampang itu kau?"
Pek Si-kiat menggeram gusar, matanya mendelik, semprotnya kepada Situa Pelita,
"Sombong benar-benar kau. mengandal kau seorang berani menahan kami?"
Saking murka Situa Pelita tergellak tawa. serunya, "Hun Thian-hi berbuat dosa
dan durhaka, dosa2nya tak berampun lagi, kau sendiri jiwamu belum tentu dapat kau selamatkan
berani kau hendak melindungi orang lain?"
Bertaut alis Pek Si-kiat, bentaknya, "Jikalau Hun Thjan-hi tadi tidak mengunjuk
kepandaiannya, sejak tadi kalian sudah mampus di bawah serangan Pek-tok-hek-liong-ting sekarang
berani kau mengumbar mulut!" Seketika Situa Pelita terbungkam seribu basa, memang kenyataan ucapan Pek Si-
kiat dan tidak dapat dibantah lagi, betapapun lincah lidahnya pandai bermain sekarang dia
terbungkam mulutnya. Thian-cwan Taysu pelan-pelan bangit berdiri, katanya, "Kalian harus tahu bahwa
kematian Butong Ciangbunjin Giok-yap Cinjin bukan terbunuh oleh Hun Thian-hi, untuk hal ini aku
berani mengatas nama seluruh keagungan nama Siau-lim-pay sebagai jaminan, bila urusan
ini masih berkepanjangan biar akulah yang bertanggung jawab."
Ucapan Thian-cwan Taysu ini seketika membuat seluruh hadirin tertegun kaget.
Demikian juga Hun Thian-hi tidak kepalang kejutnya, sungguh haru dan terima kasih yang tak
terhingga kepada padri agung ini. Sungguh tidak habis herannya mengapa Thian-cwan Taysu mau
menjamin akan kesucian dirinya, sebagai bekas Ciangbunjin dari Siau-lim-pay yang terdahulu,
ucapannya dapatlah mewakili nama seluruh partai Siau-lim. Ucapannya ini tak perlu disangsikan lagi
sekaligus akan mencuci bersih segala dosa2 berlimpah yang dituduhkan atas dirinya.
Tapi Ang-hwat-lo-mo memang licik segera ia coba mendebat, "Tapi ada orang
melihat dengan mata kepalanya sendiri bahwa Hun Thian-hilah yang membunuh Gjok-yap. Coba kau
jelaskan?" Dasar licin ia mempunyai perhituagan demi keuntungannya sendiri. Bahwa Hun Than-
hi rela mengabaikan dendam pribadi dan mengunjuk kepandaian yang tiada taranya demi
menolong jiwa seluruh hadirin tadi, meski pun Lam-siau Kongsun Hong berada dicengkeraman
tangannya. Thian-hi pun takkan mau diperas dan diancam oleh dirinya.
Apalagi kepandaian silat Hun Thian-hi sudah begitu hebat, beberapa waktu lagi
tentu ilmu silatnya bakal lebih maju, bila sekarang tidak mencari kesempatan untuk
melenyapkan jiwanya, kelak mungkin merupakan lawan terberat yang bakal merugikan kepentingannya.
Sekarang perhatian seluruh hadirin terpusatkaa pada Thian-cwan Taysu. terdengar
sipadri agung inj menjawab pelan-pelan, "Itu hanya sekedar permainan Mo-bin Suseng
belaka, kalian semua harus percaya akan ucapanku!"
"Ucapan Thian-cwan Taysu selamanya memang benar-benar," demikian jengek Ang-
hwat-lomo, "Sebagai tokoh yang diagungkan kaum persilatan sudah pantas kalau kami percaya
setiap nasehatnya. Tapi kami pun harus sadar, bahwa ilmu silatnya sudah dipunahkan oleh
Tok-sim-sinmo, kami sendiri pun sudah kenal akan permainan Tok-sim yang keji dan licin itu,
apakah Thiancwan Taysu melulu hanya dipunahkan ilmu silatnya?" - Sampai disini ia bergelak tawa,
lalu sambungnya lagi mempertegas tuduhannya tadi, "Ingat ada orang yang melihat
sendiri bahwa Hun Thian-hilah yang membunuh Giok-yap Cinjin!"
Nada perkataannya jelas menerangkan akan kesangsian hatinya bahwa kemungkinan
besar Thian-cwan Taysu sudah diperalat oleh Tok-sim-sin-mo, entah itu dengan cara obat
beracun atau dengan jalan keji yang lain.
Thian-cwan angkat kepala, pancaran matanya main selidik dimuka semua hadirin.
melihat sikap mereka ia tahu bahwa situasi tidak menguntungkan bagi Hun Thian-hi, terpaksa ia
berkata pula, "Aku hanya dapat menerangkan seringKas tadi, terserah kalian mau percaya" Aku
tiada punya hak untuk tanya pada kalian. Tapi kalian juga harus ingat dan sadar bahwa Ang-hwat
adalah gembong iblis yang durjana pula!"
Lalu ia berpaling ke arah Hun Thian-hi serta katanya pula, "Hun-sicu, karena
sedikit kecerobohan. Lolap sehingga aku perintahkan Suteku pimpin anak muridnya mengejar
dan mengepung Sicu. sekarang aku sudah berusaha sekuat tenagaku untuk menebus
kesalahan itu, harap Hun-sicu suka maklum dan memaafkan dosa2 ini!"
"Terima kasih Lo-cianpwe." ujar Hun Thian-hi menjura, "Begitu besar kepercayaan
Cianpwe terhadap diriku, betapa besar rasa terima kasih Hun Thian-hi!"
Thian-cwan Taysiu manggut-manggut sembari menghela napas, ia berpaling kekanan
diri. dalam hati ia membatin, "Dengki dan dendam kesumat, membuat semua orang ini
luntur hatinya" - Lalu katanya pula kepada Thian-hi, "Siau-sicu harap berlaku hati-hati. Lolap
segera minta diri terlebih dulu. Siau-sicu kali ini telah menolong bencana yang bakal menimpa dan
menimbulkan kemusnahan bagi Siau-lim kita, Lolap beserta, seluruh anak murid Siau-lim akan
selalu mengingat kebaikan ini sepanjang masa." - Selesai berkata pelan-pelan ia tinggal keluar
hutan bambu. Ia insaf sebentar lagi tempat ini tentu bakal timbul pertempuran besar.
Melihat Thian-cwan Taysu sudah pergi, tertawalah Ang-hwat-lo-mo, serunya,
"Kalian tentu heran kemanakah juntrunganku bukan" Kenapa aku bicara seperti tadi, kelihatannya
sedang mengadu domba kalian. Bicara terus terang, meskipun karena kalian tapi juga
karena aku sendiri. Dulu aku pernah menolongnya karena dia bejat, tapi ilmu silatnya tidak becus.
Dan sekarang dia tidak berubah baik, malah bergaul keluntang keluntung dengan salah seorang Si-
gwa-sam-mo yaitu Pek-kut-sin-mo itu. tapi ilmu silatnya sudah tinggi tiada tandingan, bila
hari ini kita tidak memberantasnya, kelak siapa yang kuasa mengendalikan dirinya?"
Seluruh hadirin menjadi saling pandang, hampir tiada seorang yang hadir merasa
simpatik dan bersahabat terhadap Hun Thian-hi, pertunjukan kehebatan ilmu pedangnya justru
menimbulkan rasa sirik dan dengki hati mereka, kalau bisa melenyapkan jiwa Hun Thian-hi
memang merupakan keentengan suatu beban yang sekarang terasa memberati sanubari masing-masing.
Pek Si-kiat terkial-kial dingin, suara tawanya panjang bergelombang, dengan
tajam ia menyapu pandang keseluruh hadirin, jengeknya dingin, "Hun Thian-hi adalah ahli waris
dari Wi-thian-citciat- sek. murid angkat dari Ka-yap Cuncia. diantara kalian siapa yang berani bicara
bahwa pandangan kalian jauh lebih cermat dari Ka-yap Cuncia" Demi kepentingan pribadi
kalian sendiri sehingga kalian rela melakukan perbuatan tercela yang memalukan!"
Ce-hun Totiang yang baru datang segera tampil ke depan, katanya dingin, "Siapa
yang bisa memberi bukti bahwa bukan dialah yang membunuh Suhengku Giok-yap Cinjin"
Ketahuiliah banyak orang menyaksikan bahwa dialah yang membunuh Giok-yap Cinjin!"
Terbakar rongga dada Pek Si-kiat, amarahnya tidak terkendali lagi, dengan
delikan mata berapiapi ia pandang Ce-hun Tocang. dengusnya, "Pertanyaanmu memang tepat. Apakah benar-
benar ada seseorang yang telah melihat Hun Thian-hi menghunjamkan Badik buntung kedada
Giok-yap Cinjin" Hayo jawab!"
Ce-hun Totiang tertegun, mulutnya kememek tak mampu menjawab, sesaat kemudian ia
berkata tersekat, "Sudah cukup bila ada orang melihat dia sedang mencabut Badik
buntung dari dada Suhengku. Apalagi Badik buntung memang miliknya dan berada ditangannya,
Badai Rimba Persilatan 1 Pendekar Slebor 25 Sengketa Di Gunung Merbabu Lencana Pembunuh Naga 8
^