Pencarian

Badik Buntung 10

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 10


Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, "Benar-benar, Taysu memberi pesan supaya aku
tidak menonjolkan ilmu silat sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek kulatih sempurna dilarang
meninggalkan tempat ini." "Kalau begitu akulah yang salah. Seharusnya aku tidak membocorkan rahasiamu
kepada Gwatsian. Apakah Wi-thian-cit-ciat-sek sudah kau latih sempurna seluruhnya?"
Thian-hi geleng kepala, sahutnya, "Belum seluruhnya, soalnya terjadi huru-hara
dalam negara tadi sehingga latihanku tertunda beberapa bagian!"
"Aku bernama Po-ci," si Nikoh memperkenalkan dirinya. "Bila jumpa dengan gurumu,
tolong sampaikan salamku pada beliau. Apakah kau tidak mau tinggal lagi beberapa lama?"
"Tidak perlu lagi, sekarang juga aku sudah siap untuk berangkat!"
"Terpaksa aku tidak menahanmu lagi, kelak bila kau memerlukan tenagaku akan
kubantu sekuat tenaga!" demikian ujar si Nikoh, lalu sambungnya, "Sekarang bolehlah
kalian berangkat bersama!" habis berkata bersama Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian mereka tinggal
pergi. Dengan suara lirih Siau Hong bertanya pada Thiani-hi, "Benar-benarkah kau murid
Ka-yap Cuncia?" Thian-hi tertawa kikuk, katanya, "Belum terhitung muridnya, yang benar-benar
memang dia serahkan ilmu Wi-thiat-cit-ciat-sek kepada aku, dianggapnya aku sebagai murid
angkat belaka." Siau Hong meleletkan lidahnya, katanya, "Tak heran ilmu psdangmu begitu lihay,
hampir lebih tinggi dari kepandaian Suthay!"
Thian-hi tertawa tawar. Katanya, "Sunggun menyesal pesan beliau tiada satupun
bisa kulaksanakan dengan baik."
"Kau hendak tinggalkan tempat ini. maksudmu hendak pulang ke Tionggoan?"
"Aku sendiri masih bingung apa yang harus kulakukan, yang jelas aku memang harus
meninggalkan tempat ini!"
"Belum pernah kulihat orang setolol kau. kemana dirinya hendak pergi kok tidak
tahu, menurut perasaanku sikap dan watakmu sudah jauh lebih baik daripada waktu pertama kali
aku jumpa dengan kau dulu!' Thian-hi mandah tersenyum saja. ia berpaling memandang ke arah Ham Gwat, saat
mana Ham Gwat sedang bangkit berdiri, katanya, "Jikalau aku adalah kau, sebelum Wi-thian-
cit-ciat-sek sempurna kulatih aku tidak akan tinggal" pergi!"
Wajah Ham Gwat memang tetap kaku dan dingin. namun sinar matanya memancarkan
cahaya jernih dan kalem yang melimpah dari kemurnian hatinya. Hati Thian-hi menjadi
hangat, katanya, "Terimakasih, pasti akan kusempurnakan!"
Ham Gwat menunduk ujarnya, "Sekarang Tionggoan sudah di bawah cengkeraman Tok-
simsin- mo. Sejak ia lolos dari Jian-hud-tong mengandal kepandaiannya yang hebat ia
berhasil menundukkan Partai Merah dan mengusir Partai Putih keluar perbatasan, Jian-hud-
tong dibangun sebagai sarang pangkalannya. Guruku tidak mau saling bentrok padanya maka
mengumbar saja perbuatannya. yang bersimaharaja itu."
Thian-hi rada kaget akan perkembangan situasi yang tidak diduga ini. tanyanya
cepat, "Lalu bagaimana dengan Kiu-yu-mo-lo dan Pek-kut-sin-mo?"
"Soal mereka aku tidak tahu! Mengandal ilmu kepandaianmu sekarang. seorang diri
menghadapi gerombolan Tok-sim-sin-mo itu masih jauh dari cukup Ketahuilah anak
buahnya semua adalah gembong-gembong iblis yang sudah lama mengasingkan diri dan
kenamaan, berkepandaian tinggi lagi." *
"Terimakasih akan penjelasanmu ini!"
"Kedatanganku hari ini sebenar-benarnya mencari kau, untuk menyeretmu kehadapan
guruku. tapi tadi kau menolong jiwaku, sekarang aku harus pulang, biarlah lain
kesempatan saja kubalas kebaikan badimu ini!"
"Nanti dulu!" seru Thian-hi tergesa-gesa.
"Aku tahu, maksud baikmu, mungkin tidak berguna lagi, tapi aku terima maksud
baikmu ini!" lalu bersama Siau Hong ia naik ke atas panggung burung dewata dan terbang tinggi
menghilang. Thian-hi terlongong dipinggir tebing, baru pertama kali ini sejak kenal dulu ia
langsung berhadapan dan bicara dengan Ham Gwat, apa yang terasa sekarang olehnya bahwa
Ham Gwat ternyata begitu lemah lembut, berperasaan halus dan simpatik, jauh berlainan
dengan kesannya dulu yang kaku dingin dan congkak itu. Waktu bicara tadi kelihatan rasa
simpatiknya terhadap dirinya. ia prihatin akan keselamatan dirinya.
Pikir punya pikir, akhirnya hatinya menjadi mencelos, bukankah Ham Gwat masih
anggap dirinya sebagai musuh besarnya. Begitulah Thian-hi menjublek dipinggir tebing,
perasaannya panas dingin bergantian, akhirnya pelan-pelan ia memutar tubuh hendak tinggal
pergi. Mendadak ia merasa segulung angin keras menerpa datang dari belakang, keruan kejut Thian-
hi begitu mendengar kesiur angin ini lantas ia tahu bahwa yang datang ini pasti seorang
tokoh silat yang berkepandaian tinggi, bukan saja tokoh malah seorang kosen lagi.
Lincah sekali kakinya bergerak pindah kedudukan seraya memutar balik. sekali
pandang tanpa terasa ia menjadi berjingkrak kegirangan, kiranya pendatang ini bukan lain
adalah Pek-kut-sin-mo Pek Si-kiat adanya. "Paman Pek!" teriak Thian-hi kegirangan.
Pek Si-kiat tertawa lebar, katanya, "Ka-yap Taysu berpesan supaya aku kemari
menjemput kau pulang, apa kau tahu kenapa beliau antar kau ke tempat ini?"
"Disini aku tidak akan direcoki orang lain."
"Bukan begitu, Ka-yap Taysu tahu betapapun kau akan menggunakan ilmu silatmu,
karena kau manusia, manusia punya hati dan dapat berpikir, betapapun kau tidak akan dapat
menyembunyikan kepandaian silatmu."
Thian-hi terlongong, katanya, "Jadi buat apa Ka-yap Taysu menyuruh aku kemari?"
"Tiada maksudnya yang tertentu, yang utama dia hendak melatih kesabaranmu,
beliau menjelaskan kepadaku supaya aku menerangkan pula kepada kau, ilmu silatmu baik
sekali, kau punya keberanian dan ketekunan melakukan segala sesuatu yang harus kau kerjakan,
yang kurang ialah bahWa kau jarang menggunakan otakmu untuk beipikir!"
Terlihat oleh Thian-hi dibalik senyum Pek Si-kiat itu samar-samar terbayang
kekuatiran yang mencekam hatinya. ia menjadi heran dan bertanya-tanya, namun bila Pek Si-kiat
tidak menjelaskan iapun tidak enak menanyakan. Dalam hati ia membatin, "Orang lain
selalu memuji aku pintar kenapa Ka-yap Cuncia mengatakan aku masih kurang cerdik?"
"Beliau berkata selamanya kau bertindak tanpa memikirkan akibatnya, sepak
terjangmu membabi buta dan serampangan. Dan sekarang kau sudah rela tunduk kepada orang
lain, setiap tindak tandukmu tidak akan gegabah dan ceroboh lagi. itulah kesabaran yang
melandasi sanubarimu dan itulah kecerdikan hanya sabar dan bijaksana baru akan timbul akal
cerdikmu!" "Paman Pek. kenapa guru tidak langsung menjelaskan saja kepada aku?"
Pek Si-kiat menghela napas rawan, ujarnya, "Beliau sudah lama mangkat!"
Thian-hi terlongong-longong sedih, dia menunduk berdoa.
Selanjutnya Pek Si-kiat memberi gambaran situasi kalangan Kangouw di Tionggoan,
selama ini ia menjelajahi jejak Kiu-yu-mo-lo tanpa berhasil. Tok-sim-sin-mo sudah lama
lolos, untuk kesekian kalinya ia main bersimaharaja di Kangouw. Karena menghilangnya Thian-hi sekian
lamanya berbagai aliran dan golongan yang meng-uber-uber dirinya itu sekarang menjadi
putus asa dan tawar. Apalagi Tok-sim-sin-mo malang melintang membuat huru hara dimana-mana.
Memang berbagai aliran dan golongan dari kaum lurus beberapa kali niat bergabung
menghantam Tok-sim-sin-mo, dasar licik dan banyak kaki tangannya, pihak Tok-sim-
sin-mo selalu dapat bertindak lebih cepat menumpas para aliran lurus itu, lambat laun kekuatan
aliran besar kecil dari Bulim menjadi lemah dan tidak berdaya lagi. Melulu Siau-lim-pay saja
yang masih tetap jaya, berdiri tegak tanpa tergoyahkan. Soalnya mereka jarang turut campur urusan
dunia persilatan, pihak Tok-sim-sin-mo sendiri juga segan mencari gara-gara terhadap
mereka, yang jelas karena Thian-cwan dan Te-coat kedua Taysu yang teragung dari pihak Siau-
lim masih sehat kuat, betapapun Tok-sim-sin-mo harus berpikir dua belas kali untuk memancing
kerusuhan terhadap pihak yang paling kuat ini.
Bab 19 Begitulah sambil bercakap-cakap Thian-hi berdua menempuh perjalanan, terlihat
oleh Thian-hi wajah Pek Si-kiat dirundung hawa kekuatiran yang melesukan hati, beberapa kali
ia niat bertanya namun selalu urung. Diam-diam heran Thian-hi, akhirnya tak tertahan ia bertanya, "Paman Pek, apa
pula yang perlu kau katakan?" Pek Si-kiat beragu sebentar, katanya, "Hun-hiantit, ingin kutanya kau, Wi-thian-
cit-ciat-sek sudah sempurna kau latih belum?"
Mendengar orang menanyakan soal itu, berdetak jantung Thian-hi, tahu dia bahwa
urusan pasti rada janggal, atau pasti terjadi sesuatu yang menyulitkan, soalnya Pek Si-kiat
masih kuatir bila Withian-
cit-ciat-seknya belum sempurna sulit untuk mengatasi soal ini, maka dia tidak
berani membuka mulut. Dari sikap dan raut muka Pek Si-kiat dapat diraba bahwa persoalan ini tentu
sangat penting dan genting, katanya, "Yang lain tidak berani kukatakan, melulu menghadapi Tok-sim-
sin-mo kiranya cukup berlebihan!" "Apa benar-benar?" Pek Si-kiat menegas dengan muka kegirangan. "Hian-tit, ada
sesuatu hal yang harus kau sesalkan terhadapku, harap kau suka memaafkan!"
"Soal apakah sebenar-benarnya, harap paman suka menjelaskan?"
"Kalau dibicarkan sungguh memalukan, aku kehilangan taci angkatmu Sutouw Ciko!"
"Apa?" tanya Thian-hi berjingkrak.
"Ka-yap Taysu menyuruh aku menunggu sampai burung dewata muncul, bila kau turun
segera kami harus langsung pulang ke Tionggoan, bila kau tidak turun, sepuluh hari
kemudian aku harus naik ke atas tebing menyambut kau. Tapi aku kehilangan Sutouw Ci-ko terpaksa aku
memburu ke atas." Thian-hi menenangkan hati, katanya, "Paman tahu cara bagaimana menghilangnya?"
"Diculik oleh Tok-sim-sin-mo!"
"Bukanlah Ci-ko tidak punya permusuhan apa dengan mereka."
"Benar-benar, tapi Ci-ko bersama aku. kubawa dia mengembara di Kangouw, entah
bagaimana akhirnya Tok-sim tahu bahwa aku juga sudah lolos, berulang kali ia mengutus anak
buahnya mencari aku minta aku masuk menjadi anggota gerombolan mereka, namun dengan
tegas kutolak, siapa kira dia malah menculik Ci-ko sebagai sandera."
Thian-hi menjadi gugup, katanya, "Entah bagaimana pula keadaan Ci-ko?"
"Dia minta aku menjadi anggota dan diangkat sebagai Wakil Pangcu, sudah tentu
dia tidak berani siksa atau mempersulit Ci-ko, namun bila terlalu lama kurasa kurang
leluasa juga. Aku tahu tenagaku bukan lawan Tok-sim, jalan yang terbaik hanya mencari kau. Bila Wi-
thian-cit-ciat-sek sudah sempurna kau latih, apa pula yang perlu ditakuti?"
Thian-hi sudah melulusi permintaan Ham Gwat untuk menyempurnakan dulu latihan
Wi-thiancit- ciat-sek di Thia-bi-kok ini baru pulang ke Tionggoan. Tapi kejadian ini terpaksa
harus merubah pula keputusannya, bgaimana juga ia harus segera menyusul kesana untuk menolong
Sutow Ci-ko meski ilmu pedangnya belum sempurna. Karena itu terpaksa Thian-hi harus
menyelusuri pula jejak2 berdarah di kalangan Kangouw, dan seluruh dunia persilatan bakal gempar
pula karena Thian-hi muncul pula di Kangouw, yang jelas dia harus langsung berhadapan dengan
para gmbong2 iblis yang lihay dan jahat itu.
Dunia persilatan bakal bergelombang dan tiada ketenteraman hidup lagi.
Justru karena Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna latihannya, Thian-hi
sendiripun harus menempuh mara bahaya yang selalu mengancam jiwanya.
Begitulah bersama Pek Si-kiat mereka melakukan perjalanan cepat siang malam
untuk menolong Sutouw Ci-ko dari cengkeraman sarang iblis.
Hari menjelang magrib. sang surja sudah hampir terbenam diutuk barat, cahayanya
nan kuning keemasan terang benderang menerangi jagat raja, di atas tanah tandus yang
berdebu ke arah timur tampak bayangan dua ekor kuda yang memanjang ke depan. di atas kuda ini
masing-masing bercokol Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat.
Hun Thian-hi sekarang mengenakan jubah panjang seperti pakaian sastrawan


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

umumnya. Sudah beberapa hari ini mereka menempuh perjalanan jauh dengan tidak mengenal lelah.
tujuan utama adalah Jian-hud-tong. Menurut perhitungan Pek Si-kiat, ia mengharap sebelum Sutouw Ci-ko berhasil
digondol pulang masuk ke Jian-hud-tong mereka harus mencegatnya dulu ditengah jalan, menurut
situasi dan keadaan menolong Sutouw Ci-ko dari cengkeraman musuh.
Lambat laun cuaca menjadi gelap, seluruh jagat raja ini dicekam kesunyian dan
kegelapan tabir malam. Mendadak Hun Thian-hi menarik tali kendali serta berkata kepada Pek Si-
kiat, "Paman Pek, ada orang mendatangi dari depan!"
Pek Si-kiat kaget, tahu ia orang yang dimaksud oleh Thian-hi ini tentu seorang
tokoh luar biasa, maka cepat iapun menghentikan lari kudanya, dengan cermat ia pandang ke depan.
Benar-benar juga tak lama kemudian dilihatnya seorang mendatangi. kiranya pendatang ini
adalah Bing-tiongmo- tho (siiblis bungkuk dari Bing-tiong) Sukong Ko.
Sejak Si-gwa-sam-mo kena dibelenggu dan disekam di dalam Jian-hud-tong oleh Ka-
yap Cuncia, Sukong Ko tahu diri, ia mengundurkan diri dari percaturan dunia
persilatan. Kini setelah Sigwa-
sam-mo lolos dari hukuman, tujuan yang utama adalah menggabung seluruh kekuatan
golongan hitam untuk menyelidik dan mencari tahu soal mati hidup Ka-yap Cuncia
yang ditakuti itu. Disamping itu keadaan yang cukup menguntungkan bagi golongan mereka pula
sehingga mereka dapat melebarkan sayap dan kekuasaannya ke-mana-mana, karena pihak aliran
lurus sedang merosot semangat dan tercerai berai. Oleh karena itulah Bing-tiong-mo-tho
Sukong Ko berani menampilkan diri pula dalam gelanggang adu kekuatan antar golongan sesat
melawan aliran lurus ini. Sudah tentu Pek Si-kiat tahu dan mengenal pribadi Sukong Ko ini melihat
munculnya orang ini, ia insaf bahwa Tok-sim-sin-mo pasti sudah bertindak lebih cepat dari dugaan
mereka, tentu kedatangan Sukong Ko ini tanpa sebab dan tujuan.
Bagaikan angin lesus Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko mendatangi kehadapan mereka,
setelah menyapu pandang sebentar ia berkata tertawa kepada Pek Si-kiat, "Pek-heng! Pho-
toako mengutusku kemari untuk menyilahkan kau kesana!"
Thian-hi tidak tahu siapakah Bing-tiong-mo-tho ini. ia heran dan terkejut akan
kehebatan kepandaian orang yang tinggi, dengan cermat ia amati orang, lalu tanyanya kepada
Pek Si-kiat, "Paman Pek! Siapakah orang ini?"
Pek Si-kiat mendengus lirih, sahutnya, "Mo-tho-cu! (iblis bungkuk)."
Selama hidup Sukong Ko paling benci dan sirik bila ada orang memanggilnya si
Bungkuk, mendengar kata-kata Pek Si-kiat, kontan berubah airmukanya, katanya, "Pek-heng!
Ketahuilah kedatangan Sukong Ko hari ini bertujuan baik dan menguntungkan bagi kau, jangan
kau sangka aku gentar menghadapi kau, sekarang aku menjalankan tugas engkohmu untuk
mengundangmu kesana, kau sangka Sukong Ko sudi meminta2 sesuatu terhadap kau!"
Thian-hi belum pernah dengar nama Sukong Ko, namun dari ilmu silat orang dari
sikapnya yang kaku serta punya hubungan erat dengan Pek Si-kiat lagi, ia kira orang sebagai
salah satu gembong-gembong iblis yang telah mengundurkan diri dan sekarang muncul pula di
Kangouw. Pek Si-kiat menyeringai dingin, jengeknya, "Dimana Sutouw Ci-ko sekarang" Lekas
kau bebaskan dia!" Sukong Ko pun tidak kalah dingin, dengusnya, "Bila kau masuk anggota, jabatan
wakil Pangcu jelas dapat kau duduki, kenapa pula kau terburu nafsu, bukan aku tidak tahu
perangaimu, kenapa kau tidak mau bekerja sama dengan kita" Apakah kau tidak lagi ingin menuntut
balas pada Ka-yap Cuncia yang telah mengurung kalian sekian lamanya?"
"Tutup mulutmu!" hardik Pek Si-kiat. hatinya marah sekali.
Bercekat hati Sukong Ko, betapapun hatinya masih gentar menghadapi Pek Si-kiat,
meskipun. sebagai salah seorang gembong iblis yang jahat dan berkepandaian tinggi, namun
bila dibanjng dengan Si-gwa-sam-mo rasanya masih kalah jauh beberapa tingkat. Membayangkan
sepak terjang Pek Si-kiat dulu, sungguh hatinya jadi mengkirik dan beku darahnya. Tak tahu dia
kenapa Pek Sikiat melepaskan diri dari hubunngan eratnya dengan Tok-sim-sin-mo. Pek Si-kiat dapat
mengendalikan diri, ia tahu tak boleh membawa sikapnya yang keras dan ketus,
soalnya Sutouw Ci-ko masih berada ditangan mereka, yang dikuatirkan justru adalah keselamatan
Sutouw Ci-ko. Dengan memincingkan mata ia pandang muka Sukong Ko lalu katanya pelan-pelan,
"Kau pulang dan suruh Pho Cu-gi kemari bicara langsung dengan aku!"
Dengan heran dan bertanya-tanya Sukong Ko pandang Pek Si-kiat, ia menjadi
melengak akan perubahan sikap Pek Si-kiat yang mendadak dapat mengendalikan hawa marahnya ini. Sebentar
kemudian ia menyeringai dingin, katanya, "Pek-heng! Apapun yang kau inginkan bakal
dikabulkan. Jangan kau lupa bahwa Sutouw Ci-ko sudah dibawa masuk ke Jian-hud-tong. Lima puluh
tahun sudah menjelang, apakah kau masih takut dan gentar menghadapi Ka-yap si Hwesio tua
itu?" Memang Sukong Ko pernah dengar bahwa Ka-yap Cuncia belum wafat, namun dia tidak
tahu bahwa Pek Si-kiat sekarang sudah berubah haluan, dari tersesat sudah kembali
kejalan lurus. Malah mendapat kebebasan langsung dari Ka-yap Cuncia sendiri. Sekarang Ka-yap
Cuncia sudah ajal, namun sikap Pek Si-kiat ini dianggapnya masih takut menghadapi Ka-yap
seperti dulu. Pek Si-kiat angkat alis, katanya mendengus lirih, "Aku tak sudi banyak mulut
pada kau, aku ingin bicara berhadapan dengan Pho Cu-gi. Dimana dia sekarang?"
"Pek-heng!" sindir Sukong Ko. "Kau tak perlu takut pada Ka-yap lagi, meskipun
Pan-yok-hiankangnya itu merupakan kepandaian tunggal yang tiada taranya, namun kita sudah punya cara
yang paling sempurna untuk mengatasi ilmunya ini!"
Pek Si-kiat semakin murka, semprotnya, "Dimana Pho Cu-gi sekarang?"
Sukong Ko sengaja menghindari pertanyaan ini, matanya melirik ke arah Thian-hi
lalu bertanya pula kepada Pek Si-kiat, "Konon kabarnya Pek-heng menempuh perjalanan bersama
seorang yang bernama Hun Thian-hi, apakah benar-benar bocah ini adanya?"
Pek Si-kiat menyeringai, ejeknya, "Apakah Pho Cu-gi tidak sudi menemui aku" Atau
takut melihat aku?" Sukong Ko tertawa sinis, sahutnya, "Kau bersaudara dengan dia sekian lamanya.
masa tidak tahu tabiatnya" Emangnya dia pernah takut pada siapa" Bila tidak mendapat
persetujuannya aku sendirilah yang tidak sudi kemari menemui kau, sekarang kaulah yang perlu
menemui beliau, terpaksa akulah yang menunjukkan jalan, tapi jangan kau lupakan tabiatnya!"
Pek Si-kiat mendengus hidung, jengeknya, "Dia pun bukan tidak tahu akan watakku,
masa perlu kau orang luar ikut campur dalam urusan ini. Cukup asal kau bawa aku
kepadanya saja!" "Kalau begitu, akupun tidak akan merintangi perjalananmu sekarang dia berada di
Jian-huttong, mari ku antar kesana!" - habis berkata sebelah tangannya diayun ke belakang,
seekor burung dara segera dilepaskan terbang cepat ke arah barat-laut. Pek Si-kiat
cukup melirik saja, dengan kaku ia awasi Sukong Ko.
"Sekarang aku sudah memberi lapor, tidak bisa tidak kau harus datang ke sana!"
"Kau kira aku takut berhadapan dengan dia?"
Sukong Ko mandah menyeringai dingin, segera ia putar kudanya terus dilarikan
dengan cepat. Sepanjang jalan ini diam-diam Thian-hi pasang mata dan kuping, memang kenyataan
kekuatan gerombolan Tok-sim-sin-mo sudah sedemikian luas dan kokoh kuat di daerah utara
dan selatan sungai besar. Banyak aliran lurus di daerah Tionggoan yang digencet dan diancam
sehingga mereka tutup pintu dan menyarungkan pedang. Daerah kekuasaan dan tempat rebutan
antara Partai Merah dan Partai putih sekarang sudah menjadi sarang pusat Tok-sim-sin-mo
dengan ganti nama menjadi Hek-liong-pang.
Singkatnya sepuluh hari kemudian rombongan Thian-hi bertiga tibalah dalam
wilajah yang berdekatan dengan Jian-hud-tong. Dari kejauhan Hun Thian-hi memandang ke arah
Jian-hud-tong yang ditinggalkan beberapa bulan yang lalu, kini sudah ganti rupa, mulut Jian-
hud-tong sekarang sudah diperlebar menjadi semacam pintu gerbang yang megah.
Baru saja mereka tiba diambang pintu gua, Tok-sim-sin-mo sudah menyongsong
keluar, tampak oleh Thian-hi Tok-sim-sin-mo mengenakan pakaian serba hitam, wajahnya
berseri tawa lebar, jenggot dan kumisnya sudah dicukur kelimis, hanya sepasang matanya itu
yang tetap mencorong dingin berkilau seperti mata kucing, hampir Thian-hi tidak kenal bahwa
yang dihadapi ini kiranya adalah Tok-sim-sin-mo.
Berkatalah Tok-sim-sin-mo lemah lembut kepada Pek Si-kiat, "Samte! Watakmu
seperti dulu, antara saudara sendiri kenapa main sungkan-sungkan apa segala. Sekarang kita
sudah sama bebas seharusnyalah kita gabung dan kerja sama lagi untuk menghadapi Ka-yap.
kenapa kau suka menyendiri dan tidak sudi bekerja sama!"
Pek Si-kiat menarik muka dan tidak bersuara.
Kata Tok-sim-sin-mo kepada Hun Thian-hi, "Kau pun ikut datang. Sejak kapan kau
bergaul dengan Samteku, sekarang kami tidak perlu mempersoalkan perhitungan lama, kau
sudah gaul bersama Samte berarti menjadi keluarga kami pula, mari silakan masuk!" - lalu ia
mendahului memberi jalan ke dalam. Dengan waspada Thian-hi amat-amati beberapa orang di belakang Tok-sim-sin-mo,
diam-diam bercekat sanubarinya, para pengikutnya itu semua adalah tokoh-tokoh lihay atau
gembonggembong silat yang menakutkan, hampir seluruhnya dapat setingkat dijajarkan melawan
Situa Pelita. Entah darimana Tok-sim-sin-mo dapat menggaruk begini banyak botoh2 silat
ini! Dengan lirikan matanya Pek Si-kiat mengajak Hun Thian-hi masuk. Begitu berada di
dalam didapati oleh Thian-hi, keadaan disini tidak banyak berbeda dengan keadaan dulu,
hanya sekarang keadaan di dalam terang benderang ditimpah cahaya sinar mutiara yang diporotkan
di atas dinding di berbagai tempat.
Tampaknya Pek Si-kiat tidak pedulikan keadaan sekelilingnya, dengan langkah
lebar ia beranjak masuk terus ke dalam gua. Akhirnya mereka dibawa masuk ke dalam sebuah kamar
batu yang cukup luas dan besar. Setelah seluruh hadirin mengambil tempat duduk, belum lagi
Pek Si-kiat sempat membuka mulut menuntut kebebasan Sutouw Ci-ko, Tok-sim-sin-mo sudah
membuka suara lebih dulu, katanya, "Samte! Aku punya sebuah barang ingin kuperlihatkan
kepada kau!" Tangannya bertepuk dua kali.
Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi sama heran, entah Tok-sim-sin-mo sedang main
sandiwara apa! Segera mereka mendapat jawaban, tampak sebuah dinding di depan sana pelan-pelan
terbuka, seorang berpakaian hijau segera keluar menyanggah sebuah kotak besi panjang
dipersembahkan ke hadapan Tok-sim-sin-mo,
Dengan berseri tawa Tok-sim-sin-mo meraih kotak besi itu terus dibuka, dari
dalamnya ia menjemput keluar sebilah pedang panjang, pedang dan sarungnya lantas ia
angsurkan kepada Pek Si-kiat serta katanya, "Samte! Coba kau periksa, inilah pedang pusaka yang
baru saja kusuruh orang membuatnya, bagaimana menurut penilaianmu?"
Berdetak jantung Pek Si-kiat, kiranya Tok-sim-sin-mo mampu cari seorang ahli
untuk membuatkan pedang pusaka, sekarang diperlihatkan pada dirinya pula, entah kemana
maksud juntrungannya. Dengan kedua belah tangannya pelan-pelan Pek Si-kiat melolos pedang itu keluar,
baru saja separo diantaranya tercabut selarik sinar kemilau yang menyilaukan mata memancar
keluar dari batang pedang itu. Begitu melihat cahaya berkilau yang menyilaukan mata ini
kontan Pek Si-kiat berjingkrak kaget, otaknya lantas teringat akan seseorang, tanpa merasa mulutnya
lantas berseru, "Ling-lam-kiam-ciang!" hatinya menjadi was-was bila pandai pedang dari Ling-lam
ini kena dipelet

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

oleh Tok-sim-sin-mo, sungguh akibatnya sukar dibayangkan.
Terdengar Tok-sim-sin-mo terkekeh-kekeh dingin, ujarnya, "Benar-benar. Ling-lam-
kiam-ciang Coh Jian-jo memang berada disini, oleh karena itu kau tidak perlu takut lagi
bukan!" Hun Thian-hi juga ikut kaget. Tiada seorang pun kaum persilatan yang tidak tahu
dan kenal akan seorang pandai pedang yang kenamaan macam Coh Jian-jo dari Ling-lam ini.
Bukan saja ia pandai membuat pedang, iapun pandai membuat bermacam2 senjata tajam lainnya yang
hebat, beliau merupakan seorang jenius dari kaum Bulim. Tapi konon sudah ratusan tahun
lamanya menghilang dan tidak pernah membuat lagi senjata tajam, bila sekarang dia masih
hidup usianya paling tidak sudah mencapai seratus lima puluh tahun, siapa nyana sekarang ahli
pedang itu kena dipelet oleh Tok-sian-sin-mo.
Pek Si-kiat bungkam tak bersuara, hatinya semakin mencelos. seperti yang
dikatakan Bingtiong- mo-tho tak perlu takut lagi menghadapi Pan-yok-hian-kang kiranya beginilah
kenyataannya Kalau begitu pasti Tok-sim-sin-mo sudah memperoleh sebuah alat senjata yang
jahat dan ganas dapat memecahkan ilmu Pan-yok-hian-kang itu. Kalau ini benar-benar maka Hun
Thian-hi tidak akan mampu bertahan mengandal Pan-yok-hian-kang latihannya itu menang atau kalah
menjadi sulit diperkirakan lagi. Terdengar Tok-sim-sin-mo mendesak, "Samte! Sampai detik ini apa pula yang perlu
kau pertimbangkan?" Pek Si-kiat menunduk berpikir sebentar, mendadak ia angkat kepala serta katanya:
Dimana Sutouw Ciko sekarang"'
"Samte!" ujar Tok-sim-sin-mo, "Kulihat sikapmu sekarang tidak sewajar dulu lagi.
Apa kau belum tahu tabiatku" Dari sikapmu ini jelas kau masih tidak rela bekerja sama
dengan aku. sebetulnya apakah sebabnya?"
Pek Si-kiat tertawa tawar, sahutnya, "Kau tak perlu tanya soal ini. Coh Jian-jo
sudah berada disini, apa pula yang perlu kau takuti" Kaupun tidak perlu menarik diriku supaya
bantu kau lagi!" "Kukira soal apa, kiranya soal sepele ini." ujar Tok-sim-sin-mo tertawa,
"Watakmu seperti dulu,
diantara kita bertiga hanya kaulah yang paling kupercayai, soal ini tiada
halangannya kujelaskan kepada kau. Siapapun tiada yang kutakuti, tapi aku dapat membatasi diri tidak
melebarkan sayapku keluar perbatasan dan juga tidak mencari perkara pada pihak Siau-lim,
apa kau tahu apa sebabnya?" Pek Si-kiat juga tahu tabiat Tok-sim-sin-mo, maka ia mandah diam saja, terdengar
orang melanjutkan kata-katanya, "Ang-hwat dia tidak akan mau dengar kata-kataku. Kau
tahu tabiatku. lebih baik aku tidak mencari perkara pada pihak Siau-lim dan Ce-hun sitojin
kerdil itu, tapi aku tidak akan membiarkan Ang-hwat bersimaharaja, sekarang diapun tengah
mengumpulkan banyak kaki tangannya, tujuannya hendak mendirikan sebuah aliran yang bertentangan
dengan pihak kami." Pek Si-kiat tertawa, katanya, "Ya, tapi bagi kau dia tidak lebih seperti seekor
lalat belaka yang dapat ditimpuk mati."
Tok-sim-sin-mo menyeringai iblis, ujarnya, "Seluk beluk soal ini belum kau
ketahui, meskipun aku tidak gentar menghadapi dia, tapi Hwe-tok-kun sekarang sedang membantu dia."
Thian-hi tersentak kaget. Hwe,tok-kun bukankah nama lain dari Mo-bin-suseng"
Hampir dia berjingkrak bangun, setiap kali mendengar nama Mo-bin-suseng, darahnya lantas
bergolak dirongga dadanya. Dengan kalem Pek Si-kiat manggut-manggut. setelah berpikir sebentar ia berkata,
"Darimana kau toako tahu bahwa Hwe-tok-kun sedang membantu usaha Ang-hwat?"
Tok-sim-sin-mo terkekeh kering. ujarnya, "Kalau bukan dia yang bergerak di
belakang layar pasti Ang-hwat sudah tergenggam dalam telapak tanganku," lalu ia awasi Pek Si-
kiat, sambungnya, "Samte! Kau tahu maksudku bukan?"
Pek Si-kiat maklum bahwa Tok-sim-sin-mo mengharap dirinya suka bergabung dalam
komplotannya untuk menghadapi Hwe-tok-kun. maka dengan tertawa ewa ia menyahut,
"Aku takkan mampu bantu kau menyelesaikan persoalan ini."
"Apa betul?" dengus Tok-sim-sui-mo sembari bergegas bangun. kedua biji matanya
memancarkan cahaya berkilat mengandung hawa membunuh.
"Aku punya kepentinganku sendiri yang harus segera kuselesaikan. Sekarang aku
sedang menjelajahi jejak Ji-ci. masa kau sendiri kau tidak pikirkan dia?"
Lekat-lekat Tok-sim-sin-mo awasi Pek Si-kiat, sesaat kemudian, baru berkata,
"Kiranya kaupun tahu soal itu, akupun tidak perlu menjelaskan lagi. Ketahuilah kupanggil kau
tujuanku justru supaya menghadapi dia. Sekarang tentu dia sedang giat memperdalam ilmu Hian-
thian-mo-kip untuk menghadapi aku. Kalau kau tinggal disini pasti dapat mencarinya, bukankah
malah meringankan bebanmu!"
"Tidak, aku tidak sudi melakukan kejahatan lagi. Malah aku sudah menyesal akan
perbuatanku yang penuh noda dulu!"
Terpancang pandangan heran dari biji mata Tok-sim-sin-mo, sesaat kemudian ia
bergelak tawa serunya, "Kau sudah menyesal" Kenapa kau harus menyesal" Apa tidak terlambat kau
menyesal sekarang?" Kata Pek Si-kiat menghela napas, "Bila kau anggap antara kau dan aku masih punya
hubungan persaudaraan, aku harap kau suka menyerahkan Sutouw Ci-ko kepadaku sekarang
juga!" Tok-sim sin-mo rada melengak, dengan pandangannya berkilat ia menyapu seluruh
hadirin lalu berkata, "Kau minta aku menyerahkan sekarang juga dihadapan sekian banyak
orang?" terdengar hidungnya mendengus lalu melanjutkan, "Memang hubungan kami seperti saudara
sekandung layaknya, bila hanya kepentinganku seorang tentu segera kuserahkan Sutouw Ci-ko
kepadamu, tapi soalnya sekarang berlainan, urusan umum harus diselesaikan secara umum,
kecuali kau masuk menjadi anggota kumpulan kita, kalau tidak aku tidak bisa mementingkan
urusan pribadi mengingkari kepentingan umum."
Pek Si-kiat tertawa sinis, ia pandang Hun Thian-hi sebentar lalu menyapu pandang
semua orang yang hadir, katanya pula, "Apakah urusan ini tiada kompromi lagi?"
Tiba-tiba Tok-sim-sin-mo terbahak-bahak, ujarnya, "Begitupun baik, berpisah
selama lima puluh tahun, ingin aku melihat sampai dimana kemajuan ilmu silat Samte selama ini?"
Habis berkata dengan lirikan matanya ia pandang Bing-tiong-mo-tho. Bing-tiong-
mo-tho segera bangkit dan berseru kepada Pek Si-kiat, "Sukong Ko ingin mewakili Pangcu mohon
pengajaran kepada Pek-heng!" Pek Si-kiat bersikap tenang, sembari menyeringai pelan-pelan ia bangkit, tapi
Thian-hi yang berada disampingnya juga melonjak bangun. katanya, "Paman Pek, untuk gebrak ini
biarlah aku saja yang turun gelanggang!"
Sebentar Pek Si-kiat pandang Hun Thian-hi, ia tahu kepandaian dan kemampuan Hun
Thian-hi jauh mencukupi untuk menghadapi musuh, maka dia manggut-manggut lalu mundur dan
duduk kembali. Sementara Tok-sim-sin-mo malah pandang Hun Thian-hi dan Pek Si-kiat bergantian
dengan perasaan aneh dan heran. Adalah Bing,tiong-mo-tho yang berjingkrak gusar,
serunya, "Selamanya Sukong Ko belum pernah lihat ada orang berani kurang ajar memandang rendah
diriku!" Hun Thian-hi mandah tersenyum manis, ujarnya, "Aku bernama Hun Thian-hi, tidak
lebih sebagai Wanpwe, angkatan muda!" Lalu ia memutar menghahadapi Tok-sim-sin-mo.
katanya pula, "Bila Sukong Ko dapat kukalahkan, apakah Pho-pangcu rela menyerahkan Sutouw Ci-
ko kepada kami?" Hati Tok-sim-sin-mo rada was-was, biji matanya berjelilatan, katanya, "Jadi
maksudmu kau ingin main taruhan dalam pertandingan babak pertama. ini?"
Hun Thian-hi mandah tersenyum saja tanpa bersuara.
Kata Tok-sim-sin-mo lagi, "Apa yang kau taruhkan dalam pertandingari ini?"
Baru saja Thian-hi mau buka mulut. dari belakang Pek Si-kiat sudah keburu
bicara, "Bila dia kalah, kami berdua suka masuk menjadi anggota. Kau dengar, kami akan bekerja
demi kepentinganmu!" "Bagus!" teriak Tok-sim-sin-mo menepuk paha. "Aku terima syarat pertandingan
ini, bila kau yang menang, Sutouw Ci-ko segera kuserahkan. tapi bila kalah kalian harus
menepati janji dan harus tunduk pada perintahku!"
Bing-tiong-mo,tho Sukong Ko beranggapan kepandaiannya cukup lihay dan
berkedudukan tinggi pula, kecuali beberapa tokoh silat kosen jaman ini yang ditakuti hanya
beberapa orang saja. ia tidak pernah tunduk pada siapapun juga, sekarang justru harus berhadapan
dengan Hun Thianhi yang dianggap masih pupuk bawang, keruan hatinya murka sekali.
Dengan pandangan berapi-api ia pandang Pek Si-kiat sembari menggerung geram, ia
sangka Pek Si-kiat sengaja memajukan Hun Thian-hi untuk mempermainkan dan menghina
dirinya. Bahwasanya ia tidak pandang Hun Thian-hi sebelah matanya....
Sambil menyungging senyum lebar pelan-pelan Hun Thian-hi beranjak masuk
gelanggang, sikapnya tenang tanpa gentar. Diam-diam Tok-sim-sin-mo terkejut dan tak habis
herannya, melihat kewajaran sikap Thian-hi. seolah-olah ia punya pegangan untuk
memenangkan gebrak pertama ini. Sebaliknya tampak sikap congkak Bing-tiong-mo-tho yang
berkelebihan, tanpa merasa
sanubarinya mendapat firasat jelek, seakan-akan Bing-tiong-mo-tho jelas bakal
kalah. Ia heran kenapa dia bisa punya pikiran demikian, memang kepandaian antara Hun Thian-hi
dan Bing-tiongmo- tho dalam pandangannya terpaut antara bumi dan langit. Hun Thian-hi tidak akan
kuat bertahan, sekali pukul. Begitu Hun Thian-hi memasuki gelanggang Bing Cong-mo-tho lantas menggeram keras
seperti harimau kelaparan, mendadak tubuhnya berkelebat menubruk maju seraya
mencengkeram dengan cakar tangan kanannya. Gebrak pertama ini ia sudah lancarkan kepandaian
khususnya yang sangat dibanggakan yaitu Jian-yu-mo-jiu (cakar iblis beribu bayangan),
maksudnya sekali cengkeram ia hendak membuat Thian-hi sebagai kelinci, makanan empuk yang dapat
dibuat permainan, tindakannya ini bukan saja supaya Pek Si-kiat tahu bahwa dirinya
tidak gampang dihina dan dipermainkan, tujuan yang utama adalah hendak memperlihatkan
kepandaian silatnya sejati. Gerakannya ini memang cepat luar biasa, telak sekali cengkeramannya ini mengenai
pundak Hun Thian-hi. Tampak biji mata Hun Thian-hi memancarkan sinar aneh, diam-diam ia
menerawang situasi yang tidak menguntungkan ini, maka harus menyelesaikan pertandingan
babak pertama ini secara kilat, maka Pan-yok-hian-kang segera dikerahkan tanpa berkelit lagi.
Begitu tangannya kena mencengkeram pundak orang, kontan berubah airmuka Bin-
tiong~motho Sukong Ko, terpancang rasa heran dalam sorot matanya, begitu kelima jarinya
mencengkeram seketika terasa tangannya kesemutan tak mampu mengerahkan tenaga. Keruan bukan
kepalang kejutnya. Kiranya pemuda yang dihadapi ini membekal ilmu sakti yang hebat
sekali, sungguh aku terlalu memandang ringan padanya!
Dasar ingin menangnya sendiri sedikitpun ia tidak gentar atau mumdur teratur,
sambil mendengus ia kerahkan seluruh kekuatannya dikelima jarinya untuk mencengkeram
lebih keras, pikirnya kecuali Ka-yap Cuncia. tiada seorang pun yang akan mampu bertahan dari
cengkeraman jarinya yang lihay seperti jepitan tanggem besi ini.
Dalam pada itu Thian-hi kerahkan seluruh Lwekangnya untuk bertahan, memangnya
iapun rada memandang ringan pada Bing-tiong-mo-tho, apalagi Cian-kin-hiat dipundak kena
dicengkeram, seolah-olah sipenunggang harimau yang sulit turun. terpaksa ia harus melawan
dengan segala kemampuannya. sebab ia harus menang dalam pertandingan babak pertama ini.
Tampak Tok-sim-sin-mo mengunjuk rasa kaget dan tak habis herannya, kehebatan
Lwekang Thian-hi benar-benar diluar perhitungannya semula. yang lebih mengejutkan


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hatinya lagi justru dari tubuh Hun Thian-hi yang berdiri sekokoh gunung itu seolah-olah terbayang
duplikat Ka-yap Cuncia yang sangat ditakuti itu. Bukankah Lwekang yang dikerahkan itu adalah
Pan-yok-hian-kang yang diandalkan Ka-yap Cuncia untuk malang melintang dan menjagoi dunia
persilatan dulu" Sekian lamanya kedua belah pihak bertahan berdiri seperti tonggak kayu, kedua
musuh ini sama tokoh kosen ahli Lwekeh yang lihay, adanya adu kekuatan tenaga dalam ini
membuat seluruh hadirin menonton dengan jantung berdebar dan menahan napas, keadaan
ruang batu itu menjadi sunyi senyap. Entah berapa lama berselang, mendadak Hun Thian-hi menjebir bibir bersuit lirih
pendek. dimana kelihatan pundaknya sedikit bergerak terdengarlah suara "Duk!" yang keras
kontan badan Bing-tiong-mo-tho yang tinggi besar itu terpental jauh tiga empat tombak terus
terbancng roboh dan berkelejetan, Banyak orang segera merubung maju memajang Bing-tiong-mo-tho
ke dalam untuk diobati. Pundak kiri Thian-hi sendiri juga terasa sakit dan kesemutan lekas-lekas ia
menyedot napas lalu mengerahkan hawa murninya untuk memulihkan kesegaran badannya. Pek Si-kiat
mengunjuk seri tawa lebar, ia sangat bangga akan hasil kemenangan Hun Thian-hi.... dengan
tersenyum sinis ia pandang Tok-sim-sin-mo. Tok-sim-sin-mo menggeram gusar, tanyanya kepada Hun Thian-hi, "Apa hubunganmu
dengan Ka-yap" Dimana dia sekarang?"
Lihay benar-benar Tok-sim-sin-mo ini, demikian pikir Thian-hi dengan kaget.
Namun lahirnya ia tetap tenang, sahutnya tawar, "Soal ini dibicarakan nanti. yang terang aku sudah
menang lekas kau serahkan dulu Toaciku!"
Tok-sim,sin-mo menyeringai iblis, jengeknya, "Hari ini bila kalian tidak masuk
menjadi anggota, untuk meninggalkan tempat ini. sesulit memanjat langit!"
Pek Si-kiat berjingkrak bangun, pedang pusaka ditangannya diangsurkan kepada
Thian-hi, serunya, "Jadi kau mau ingkar janji?"
"Samte!" teriak Tok-sim-sin-mo mendongak sambil terbahak-bahak, "Kau sangka aku
gentar oleh sebatang pedang pusaka itu" Aku berani memperlihatkan pedang pusaka itu
kepada kau sebelum kalian menentukan haluan, sudah tentu aku punya cara untuk mengatasi dan
menundukkan Kamu berdua!"
Pek Si-kiat berdua bungkam.
"Kau harus tahu!" sambung Tok-sim-sin-mo, "kenapa aku angkat nama dengan Hek-
liong-pang! - Lalu ia terkekeh-kekeh dingin sambil menyapu pandang keseluruh hadirin.
"Seumpama kau punya tipu daya yang keji kamipun tidak perlu gentar." demikian
ujar Pek Sikiat, "Kau tahu watakku, apa yang hendak kulakukan kecuali aku lepas tangan, kalau
tidak aku tidak merubah haluan sebelum tujuanku tercapai!"
Tok-sim-sin-mo tertawa kering dua kali, katanya kepada Hun Thian-hi, "Aku tahu
tentu kau pernah bertemu dengan Ka-yap. malah mendapat pelajaran. ilmu saktinya, namun
semua pengalaman itu akupun tidak perlu main selidik lagi. Bila kau mau masuk anggota,
kami tidak akan menyia-nyiakan bakat dan segala kemampuanmu. Apalagi Sutouw Ci-ko masih berada
ditanganku, mau atau tidak, kau harus pilih satu diantaranya. Kalau kau benar-benar keras
kepala dan tidak mau, aku kuatir kelak kau akan menyesal!"
Hun Thian-hi tersenyum manis. katanya, "Setelah kau tahu aku sebagai ahli waris
Pan-yokhian- kang, maka tiada halangannya kita bicara secara blak2an saja. Kau sebagai
Pangcu, aku menuntut supaya Sutouw Ci-ko segera kau lepaskan, soal masuk jadi anggota, saat
ini aku tidak suka membicarakannya, karena kurasa pembicaraan ini tidak akan menguntungkan."
Lalu bagaimana menurut maksudmu?" semprot Tok-sim-sin-mo dengan mata berapi-api.
"Pak-yok-hian-kang cukup berkelebihan untuk menggetarkan Bulim," ujar Thian-hi
sinis, "Hekliong- pang kalian mengundang aku masuk menjadi anggota, dengan apa kalian hendak
melemaskan hatiku?" "Samteku menjabat wakil Pangcu, sedang kau bagaimana kalau kuangkat menjadi
kepala dari empat pelindung kumpulan?"
Hun Thian-hi menggeleng dengan menjebir bibir. jengeknya, "Bila demikian
tawaranmu ini terlalu merendahkan derajatku, tidak sukar kau undang aku menjadi anggota, asal
kau mau serahkan kedudukan Pangcu kepada aku!"
Tok-sim-sin-mo mendongak tertawa menggila, serunya, "Sombong benar-benar, kau
belum pernah lihat dan menjajal kekuatan Hek-liong-pang kami, bukankah kau
mengandalkan Pan-yokhian-
kang yang tiada tandingannya di Bulim" Akan kupertunjukkan kepada kalian betapa
hebat dan lihaynya, Pek-tok-kek-liong-ting! (paku naga hitam beratus racun)" - lalu ia
ulapkan sebelah tangannya empat orang berpakaian seragam hitam segera muncul, tangan masing-
masing membawa selaras besi hitam, langsung diarahkan kepada mereka berdua.
Pek Si-kiat kaget bukan main, dengan tajam ia pandang keempat orang itu.
Ia tahu Pek-tok-hek-liong ting khusus untuk memecahkan Lwekang aliran Lwekeh
yang terhebat, cara pemhuatannya sangat sukar, ratusan tahun yang lalu senjata macam
ini sudah lenyap dari percaturan dunia persilatan. Sekarang mendadak muncul disini.
jikalau Ling-lam-kiamciang
Coh Jian-jo berada disini, tentu Tok-sim mampu membuat senjata jahat ini, tapi
untuk membuat laras senjata ini diperlukan Besi murni laksaan tahun, entah dari mana
Tok-sim-sin-mo mampu memperoleh bahan bakunya yang sulit didapat ini.
"Dalam dunia ini tokoh mana yang mampu melawan Pek-tok-hek-liong-ting" Pan-yok-
hian-kang memang ilmu sakti yang tiada taranya, namun mana bisa melawan kehebatan Pek-tok-
hek-liongting. Pek Si-kiat menggeram gusar, serunya, "Jangan kau kira setelah memiliki Pek-tok-
hek-liong-ting lantas kau dapat malang-melintang bersimaharaja. Apakah senjatamu itu tulen atau
tiruan belum diketahui, bila benar-benar, kaupun akan kena ditumpas oleh seluruh kekuatan
kaum persilatan!" Tok-sim-sin-mo tertawa besar, ujarnya, "Kau sangka senjataku itu tiruan" Kiu-
thian-ham-giok merupakan bahan terpilih yang paling cocok untuk membuat Pek-tok-hek-liong-ting.
Apalagi kekuatanku sedemikian besar ini masa takut ditumpas kaum persilatan apa segala?"
Hun Thian-hi berpikir sebentar lalu menyela bicara, "Dalam kehidupan di dunia
ini terdapat dua unsur positip dan negatif yang saling berlawanan. Kau sangka Hek-liong-tingmu
ini tiada benda lain yang dapat mengatasinya?"
"Kau hendak mencari tahu" Sayang tiada suatu benda apapUn yang dapat
mengatasinya. Dalam tempo sesulutan batang hio kuberikan kesempatan pada kalian untuk berpikir
memberikan keputusan kalian." dari samping sana seorang menyulut hio lalu ditancapkan di
atas meja. Thian-hi harus berpikir secara cermat, mencari jalan untuk mengatasi situasi
yang gawat ini, namun sesaat lamanya ia tidak memperoleh jalan keluar untuk menghadapi Tok-sim-
sin-mo. Sementara Pek Si-kiat sendiri pejamkan mata tanpa berkata-kata, ia mengandal
kecerdikan otak Thian-hi, entah punya cara apa yang sempurna, buat dia sendiri tiada punya
pegangan. Tak lama kemudian batang hio itu sudah terbakar separo, Thian-hi lantas buka
suara kepada Tok-sim-sin-mo, "Apakah benar-benar Hek-liong-ting kalian bisa memecahkan segala
Lwekang aku belum tahu, dengan cara ancamanmu ini kau hendak menarik kami menjadi anggota,
kukira kalian bertindak kurang bijaksana."
"Jadi maksudmu kau ingin tahu kekuatan Hek-liong-ting ini lebih dulu?"
"Begitulah maksudku!"
Pek Si-kiat membuka mata, dia heran kenapa Thian-hi begitu gegabah, masa Hek-
hong-ting dianggap barang mainan yang boleh dicoba apa segala, seumpama pedang pusaka atau
senjata tajam lainnya juga tiada kemungkinan mematahkannya.
"Begitupun baik," seru Tok-sim-sin-mo terloroh-loroh, "Aku sendiri juga belum
tahu apakah Hek-liong-ting dapat memecahkan Pan-yok-hian-kang, melalui percobaan ini ingin
aku saksikan ilmu saktimu yang hebat itu, terlebih penting akan kuketahui betapa lihay Hek-
liong-ting milik kita ini!" "Tapi cara bagaimana mencobanya?"
"Gampang saja. Hek-liong-ting seluruhnya ada tujuh batang, kusuruh keempat orang
itu bergantian menyerang kepadamu, kau boleh melawan dengan Pan-yok-hian-kangmu."
"Cara ini tidak bisa dilaksanakan!" dengus Pek Si-kiat. Dia tahu akan kelicikan
pihak lawan, bila Thian-hi benar-benar tak kuasa bertahan, bukankah bakal menjadi korban secara
konyol. "Kenapa" Kalau tidak begitu cara bagaimana pula?"
Hun Thian-hi tertawa tawar, ujarnya, "Paman Pek, cara ini memang cukup baik, kau
tidak perlu kuatir padaku!" Dengan sorot heran dan tak mengerti Tok-sim-sin-mo pandang wajah Thian-hi, Hun
Thian-hi berani mempertaruhkan jiwanya untuk percobaan yang berbahaya ini. Bagi
perhitungan Hun Thian-hi bila dia berhasil memunahkan serangan Kek-liong-ting lawan, nyali Tok-
sim-sin-mo tentu ciut dan gentar menghadapi dirinya, serta menyerahkan Sutouw Ci-ko. Seumpama
dirinya yang kalah, dirinya tidak akan hidup lama lagi, maka sasaran utama bagi musuh adalah
dirinya, meski harus ajal di bawah paku naga hitam yang jahat ini, betapapun Pek Si-kiat harus
berkesempatan meloloskan diri dari sarang iblis ini.
Tok-sim-sin-mo menggeram, dalam hati ia mencemooh, "Anak muda, kau terlalu
congkak!" Bahwasanya ia tahu bahwa Hun Thian-hi tidak akan mampu melawan Hek-liong-ting,
namun betapapun ia tidak mau kehilangan kesempatan paling baik yang sukar dicari ini.
Pelan-pelan Hun Thian-hi maju ke tengah gelanggang, pedang disarungkan di dalam
serangkanya, terkilas olehnya akan Wi-thian-cit-ciat-sek, tergeraklah hatinya,
bila Hek-liong-ting benar-benar khusus untuk memecahkan ilmu Lwekang, kenapa aku tidak gunakan saja
Wi-thiancit- ciat-sek untuk memenangkan percobaan ini" Seumpama gagal juga tidak menjadi
soal, apalagi Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu pedang dari aliran Lwekeh yang tiada
taranya, apakah benarbenar
tidak mampu bertahan dari serangan Pek-tok-hek-liong-ting"
Melihat Thian-hi menunduk memandangi pedang di tangannya, seperti sedang
memikirkan apaapa, Tok-sim-sin-mo mengejek dingin, "Kau menggunakan pedang juga boleh, tapi
kukuatir Hekliong- ting tidak semudah itu dapat ditangkis atau dilawan!"
Dengan tangannya Thian-hi obat-abitkan pedangnya sambil tertawa tawar tanpa
bersuara. "Kau sudah siap belum?" tanya Tok-sim-sin-mo.
Hun Thian-hi angkat kepala, dengan pandangannya yang tajam ia awasi seluruh
hadirin, lalu manggut pelan-pelan. Tok-sim-sin-mo menyeringai iblis seperti serigala yang kelaparan bakal menggares
mangsanya, biji matanya berkilat mengandung hawa membunuh. Dalam angan2nya, Hun Thian-hi
segera bakal mati konyol di hadapannya....
Pelan-pelan ia sedikit angkat tangannya, salah seorang seragam hitam yang
berdiri paling kanan segera angkat longsong besinya serta memijatnya, "cret" setabur sinar
hitam kontan melesat keluar, seluruhnya menerjang ke depan dada Hun Thian-hi.
Sejak menelan buah ajaib jasmani Hun Thian-hi luar biasa melebihi orang bjasa.
maka ia menjadi terkejut waktu melihat Pek-tok-hek-liong-ting melesat mengarah dirinya.
Dalam sekilas pandang saja ia melihat jelas formasi ketujuh Hek-liong-ting yang menerjang
datang ini begitu sempurna dan lihay benar-benar, yang membuatnya terkejut adalah formasinya yang
mengincai berbagai tempat, mungkin tiada seorang tokoh kosen dari Bulim yang mampu
terhindar dari incaran Hek-liong-ting yang ganas ini. Seumpama SitUa Pelita yang mengagulkan
ilmu Gin-kang yang tiada keduanya dijagat ini juga takkan mampu menyelamatkan diri.
Sementara itu laksana kilat ketujuh paku naga hitam itu, sudah meluncur tiba,
tiada tempo lagi bagi Hun Thian-hi untuk berpikir. lekas-lekas ia angkat tangan kiri menepuk ke
depan, ia kerahkan Pan-yok-hian-kang menyongsohg kedatangan ketujuh Hek-liong-ting itu dengan
pukulannya. Baru saja Thian-hi melancarkan pukulannya lantas dia merasa firasat jelek,
tampak olehnya

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketujuh Hek-liong.ting itu masih menerjang tiba dengan kecepatan yang ada,
sedikitpun tidak menjadi terhalang atau menyimpang dan merandek oleh tenaga pukulan Thian-hi
tadi. Sebat sekali Thian-hi menggeser mundur seraya mengayun tangan, tahu-tahu pedang pusaka
sudah berada ditangannya terus membalik ke depan, dengan jurus gelombang perak
mengalun berderai salah satu jurus dari Gin-ho-sam-sek ia tangkis ke depan, cahaya pedangnya yang
gemerdep segera mengurung luncuran senjata rahasia musuh.
Ketujuh paku naga hitam itu seperti terhenti sekilas ditengah udara, namun
lantas meluncur maju lagi dengan kekuatan yang sama. Apa boleh buat terpaksa Thian-hi lancarkan
Wi-thian-citciat- sek dengan tujuan men-coba-coba. Dengkul ditekuk tubuhnya rada mendak kebawah
pedang panjangnya lantas teracung miring ke depan, dimana pedangnya sedikit bergerak
beberapa mili saja, (gerak pedang yang hanya beberapa mili ini sulit diikuti oleh pandangan
mata) ia sudah kerahkan seluruh Lwekangnya. seketika hawa pedang mengembang memenuhi udara
sekitar gelanggang, benar-benar juga usahanya ternyata berhasil, ketujuh paku naga hitam
beracun itu kena terhalang. Keruan girang hati Thian-hi, dengan kekuatan hawa pedangnya ia bermaksud
menghancur leburkan semua paku2 beracun itu, namun begitu pedangnya berputar terdengarlah
suara Trangtring yang ramai, terasa olehnya bahwa ketujuh paku itu adalah sedemikian keras
pedangnya tak berhasil mematahkannya. Sudah tentu kejut sekali hatinya, sembari bersuit
nyaring cepat ia putar pedangnya pula menyapu jatuh ketujuh Hek-liong-ting itu tercerai berai di atas
lantai.... Tok-sim-sin-mo kaget bukan main, tanpa kuasa ia melonjak bangun seraya
berteriak, "Itulah Wi-thian-cit-ciat-sek!"
Waktu pertama melihat Hun Thian-hi tidak berhasil melumpuhkan luncuran paku naga
hitam musuh, berubah airmuka Pek Si-kiat. Kini dilihatnya Thian-hi berhasil menyapu
rontok seluruh paku berbisa dan ganas itu, keruan bukan kepalang senang hatinya, dengan suara
lantang iapun berteriak, "Benar-benar, itulah Wi-thian-cit-ciat-sek. Dalam kotong langjt ini
siapapun yang mampu melawan Wi-thian-cit-ciat-sek?"
Tok-sim-sin-mo menggeram gusar, matanya berapi-api. Dilihatnya Thian-hi berdiri
tegak lurus dengan gagahnya pelan-pelan menyarungkan kembali pedangnya. tanpa merasa hatinya
menjadi gentar dan kuncup nyalinya. Sekali sapu Thian-hi dapat menyampok runtuh senjata
rahasia yang paling dibanggakan ini. mungkin Wi-thian-cit-ciat-sek benar-benar sudah sempurna
dilatihnya, betapapun dirinya bukan tandingannya, bagaimana tindakan selanjutnya" Ia menjadi
bingung. Tapi tidak terpikir olehnya bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-sek Thian-hi justru
belum sempurna, sebelumnya tadi ia sudah lancarkan Pan-yok-hian-kang dan sejurus Gin-ho-sam-sek.
sehingga daya luncuran Hek-liong-ting yang keras dan cepat itu kena dipunahkan seoagian
besar, begitu ia lancarkan sejurus Wi-thian-cit-ciat-sek dengan sendirinya mudah sekali ia
rontokkan seluruh Hekliong-
ting itu. Bila Tok-tim-sin-mo tadi memberi perintah pada anak buahnya supaya
menyerang bergantian, betapapun tinggi kepandai Hun Thian-hi tidak akan lolos dari
renggutan elmaut, dan kelak ia akan benar-benar dapat menjagoi dan bersimaharaja di seluruh dunia
persilatan. Justru karena kagetnya ini sehingga otak Tok-sim-sin-mo tidak dapat berpikir
secara jernih, sesaat lamanya ia tak kuasa buka suara, entah berapa lama kemudian baru ia
berkata, "Kalau begitu, akupun tidak akan memaksa kalian masuk anggota lagi, Sutouw Ci-ko akan
kuserahkan kepada kalian!" Thian,hi dan Pek Si-kiat menjadi girang.
"Tapi ada syaratnya!" demikian tambah Tok-sim-sin-mo.
Pek Si-kiat mendengus, jengeknya, "Syarat apa" Apa kau mampu melawan Wi-thian-
cit-ciatsek" Ketahuilah Pek-tok-hek-liong-ting tidak lebih sebagai barang rongsokan belaka!"
"Benar-benar. memang aku tidak kuasa melawan Wi-thian-cit-ciat-sek." Tok-sim-
sin-mo mengakui terus terang. "Tapi ingat Sutouw Ci-ko masih berada ditanganku, masa
kalian berani mengusik-usik kepada aku?"
Pek Si-kiat terbungkam. Dia tahu tabiat Tok-sim-sin-mo, bila ia sudah nekad
segala apapun berani dilakukan, seumpama gugur bersamapun akan dia lakukan, dalam keadaan yang
mendesak dan genting ini terpaksa ia harus berlaku sabar dan mengalah, maka katanya,
"Coba kau katakan dulu syarat apa yang kau ajukan?"
"Paling tidak sampai pada detik ini, setelah aku menyerahkan Sutouw Ci-ko,
diantara kita tiada ikatan permusuhan dan dendam sakit hati lagi. Kelak peduli apapun yang kami
lakukan, kalian berdua dilarang turut campur dan menghalangi, inilah syaratnya. gampang dan
sepele saja apakah kalian mau setuju dan mematuhi syarat yang kuajukan ini?"
Hun Thian-hi berpikir sebentar, ia insaf bahwa situasi tetap gawat dan belum
menguntungkan pihaknya, bila ia tidak setuju akan syarat yang diajukan ini, bila Tok sim-sin-
mo murka dan nekad, paling-paling kepandaian sendiri setingkat sama Tok-sim belum lagi anak buahnya
yang banyak jumlah dan tinggi kepandainnya, akan merupakan tekanan berat juga bagi pihaknya,
maka ia berkata, "Tapi bila tindakan kalian merugikan sanak kadang dan para sahabat kita
bagaimana?" "Tidak mungkin! Kalian harus cepat membawa Sutouw Ci-ko meninggalkan Tionggoan,
sanak kadang atau teman2 kalian tidak akan kami recoki, bagaimana pendapat kalian?"
Thian-hi berpikir, bila aku mengajukan imbalan yang terlalu rumjt juga belum
tentu mereka mau setuju, pula tidak mungkin hanya karena urusan kecil lantas aku mengingkari
urusan besar ini, akhirnya ia tertawa mauggut2, ujarnya, "Begitupun baiklah!?"
Melihat Hun Thian-hi begitu wajar dan tanpa curiga sedikitpun menyetujui syarat2
yang diajukan Tok-sim-sin-mo menyeringai tawa lebar, katanya, "Kau harus pegang teguh
janji ini, kau tahu aku pernah kau tipu sekali, tempo hari kau tinggal merat sendiri tanpa
hiraukan aku lagi, apakah kau masih ingat?"
Berdeguk jantung Thian-hi, sahutnya tertawa, "Kau harus percaya kepada ucapanku
sekarang!" Tok-sim-sin-mo tertawa aneh, katanya, "Segera kuantar Sutouw Ci-ko keluar gua,
sekarang kalian boleh keluar dan tunggu diluar." - habis berkata ia melangkah ke ruang
sebelah dan menghilang. Thian-hi berdua keluar diantar anak buah Tok-sim-sin-mo.
Tak lama kemudian tampak Tok-sim-sin-mo beranjak keluar sambil menggusur Sutouw
Ci-ko. Begitu melihat Hun Thian-hi Sutouw Ci-ko berteriak kegirangan, "Thian-hi, kau
sudah pulang!" - Begitu senang hatinya sampai matanya mengalirkan air mata.
"Mari lekas kita tinggalkan tempat ini!" demikian ujar Thian-hi sambil
menggandengnya. Tok-sim-sin-mo mengunjuk tawa sinis yang aneh, tangannya segera diulapkan, anak
buahnya segera menuntun tiga ekor kuda putih, katanya, "Aku tiada punya tanda mata yang
harus kuberikan, ketiga ekor kuda ini anggap saja sebagai tanda kenangan."
Pek Si-kiat rada heran dan bertanya-tanya kenapa Tok-sim-sin-mo hari ini begitu
sungkan dan bersikap begitu baik. malah begitu gampang kena diapusi lagi. Siapa pun tahu Hun
Thian-hi tidak mungkin mau pegang janjinya yang merugikan itu, tapi orang mau percaya begitu
gampang, tentu ada udang dibalik batu. Demikian ia menerawang dan berpikir.
Tok-sim-sin-mo mengangsurkan selempit kertas kepada Hun Thian-hi, katanya,
"Setelah meninggalkan tempat ini boleh kau baca surat ini seorang diri!"
Bercekat hati Pek Si-kiat, katanya cepat, "Hun-hiantit, lekas kau lihat, apa
yang dia tulis di atas kertas itu?" Tanpa bersuara Thian-hi awasi Tok-sim-sin-mo dengan pandangan berkilat. pelan-
pelan ia membuka lempitan kertas itu. Terdengar Tok-sim-sin-mo tertawa dingin, mendadak
tubuhnya berkelebat menghilang kedalaan gua.
Begitu melihat apa yang tertulis di atas kertas itu, sejenak Hun Thian-hi
melengak dan terlongong, lalu ia meremas hancur kertas itu dengan tangan kanannya, katanya
kepada Pek Sikiat dan Sutouw Ci-ko, "Mari lekas berangkat!"
Melihat perobahan sikap Hun Thian-hi yang mendadak ini, Pek Si-kiat dan Sutouw
Ci-ko berbareng mengajukan pertanyaan, "Apa yang tertulis dalam kertas tadi?"
Thian-hi menunduk sambil tertawa tawar, sahutnya, "Tiada persoalan bagi kalian!"
mulutnya bicara begitu, namun jelas ia mengetahui bahwa urusan bakal berlarut-larut
berkepanjangan, karena surat itu berbunyi;
"Sutouw Ci-ko sudah menelan Pek-tok-hoan (pil seratu5 bisa) setiap tahun pada
pertengahan musim rontok, datanglah mengambil obat penawarnya...."
Hun Thian-hi punya perhitungan, bila sekarang dia bersikap keras dan bermusuhan
menghadapi Tok-sim-sin-mo, pihak sendiri terang tidak unggulan, dan pada pihak
sendiri yang bakal konyol lebih baik bersabar dan main ulur waktu sembari menyempurnakan Wi-
thian-cit-ciatsek sebelum Tok-sim-sin-mo menyadari bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya belum
sempurna ia harus cepat-cepat meninggalkan daerah yang penuh ancaman mam bahaya ini. Maka
segera ia keprak kudanya serta berseru kepada mereka berdua, "Kita keluar dulu dari Giok-
bun-koan baru bicara lagi lebih lanjut!" - dalam bicara ini kudanya sudah dibedal sekencang
angin. Terpaksa Sutouw Ci-ko dan Pek Si-kiat mengikuti jejak Thian-hi, merekapun
mencongklang tunggangannya secepat angin pula, debu mengepul tinggi memenuhi angkasa. Sekejap
saja mereka sudah pergi jauh dan tidak kelihatan lagi.
Sementara itu Tok-sim-sin-mo sedang termenung memikirkan keadaan Hun Thian-hi,
lambat laun timbul rasa kecurigaannya. masa Hun Thian-hi mandah saja mau tinggal pergi
begitu saja" Rasanya tidak mungkin, atau mungkinkah dia punya urusan penting lainnya.
sehingga harus cepat menyusul kesana. Begitulah ia menepekur dan menerawang adegan yang terjadi tadi, semakin dipikir
terasa kejanggalan yang semakin menyolok, dia mendengus lirih, tingkah laku itu Hun
Thian-hi terakhir ini sudah membuatnya curiga, maka terbayang pula. gerak-gerik Hun Thian-hi sejak
ia memasuki Jian-hud-tong tadi. Mendadak terbayang olehnya waktu Hun Thian-hi melolos
pedang, sikapnya rada ragu-ragu dan sangsi. Kontan terpancar sorot "tajam berkilat dari biji
matanya, ia berpaling dilihatnya seluruh anak buahnya berdiri tegak meluruskan tangan. Gerak gerik Hun
Thian-hi selanjutnya lantas terbayang pula di dalam ingatannya. Akhirnya ia menggerung
dengan murkanya, baru sekarang ia paham kenapa Hun Thian-hi bersikap demikian. Adegan
Hun Thian-hi menangkis dan menghadapi Pek-tok-hek-liong-ting tadi lantas terhenti dalam
bayangannya. jelas kelihatan cara Hun Thian-hi menghadapi serangan itu begitu runyam dan terpaksa.
Sungguh sesal dan dongkol dibuatnya kenapa waktu itu dirinya tidak perhatikan jurus permainan
Wi-thian-citciat- sek itu sendiri hakikatnya belum begitu sempurna dilancarkan oleh Hun Thian-hi.
Baru sekarang ia sadar justru dirinyalah yang kena tipu malah. Cepat ia
berteriak, "Lekas siapkan kuda. Kita kejar Hun Thian-hi bertiga!"
Sebagai salah satu Huhoat (pelindungl Hek-liong-pang Bing-tiong-mo-tho merasa
berkewajiban dalam tugas2 berat ini, sejenak ia tertegun lantas berkata, "Mereka sudah
berangkat satu jam yang lalu, apakah sekarang masih dapat kecandak?"
Tok-sim-sin-mo melongo, dengan kertak gigi ia berkata, "Lekas kau lepas burung
dara! perintahkan Siang-tongcu mencegat dan merintangi mereka, kita segera menyusul
tiba. Bagaimana juga aku harus bunuh bocah keparat itu sebelum ia berhasil
menyempurnakan Wician- cit-ciat-sek!" Bing-tiong-mo-tho rada terkejut cepat ia mengundurkan diri melaksanakan
perintah, tak lama kemudian merexa sudah mencongklang kuda be-ramai-ramai dibedal menuju ke Giok-
bun-koan. Dalam pada itu Hun Thian-hi bertiga tengah membedal kuda masing-masing cepat-
cepat,

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditengah jalan ia memperingatkan kepada Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko, "Tok-sim-
sin-mo pasti mengejar datang. Kita harus cepat keluar dari daerah kekuasaannya."
"Apa yang dia tulis dalam kertas tadi?" tanya Pek Si-kiat.
"Tidak apa-apa. Tok-sim-sin-mo mampu membunuh kami bertiga, kenapa dia tidak
akan mengejar" Coba pikir apakah dia bisa menepati janjinya?"
Sebagai seorang kawakan Kangouw, serta mengetahui tabiat Tok-sim-sin-mo, sedikit
berpikir lantas Pek Si-kiat maklum akan keadaan yang berbahaya ini. tahu dia kemana
juntrungan katakata Hun Thian-hi. Begitulah tanpa berhenti dan tidak mengenal lelah mereka bertiga membedal
tunggangan mereka, selama sehari semalam tanpa berhenti istirahat. Untung tujuan Tok-sim-
sin-mo semula supaya mereka lekas pergi dan meninggalkan wilajah kekuasaannya, maka kuda yang
diberikan pada mereka rata2 adalah kuda pilihan yang dapat lari ribuan li sehari. dalam
waktu sehari semalam itu mereka sudah hampir tiba di Giok-bun-koan.
Mereka larikan kudanya berjajar. sebelum memasuki Giok-bun-koan jauh di depan
sana tampak jejak musuh telah menanti dan mencegat ditengah jalan. Pek Si-kiat bertiga tidak
tahu siapa dan apa tujuan mereka mencegat mereka" Apalagi sudah tiba diambang pintu Giok-bun-
koan tidak perlu merasa kuatir yang berkelebihan, segera bersama menghentikan kuda dan
menanti kedatangan rombongan musuh.
Setelah dekat baru Pek Si-kiat melihat tegas, diam-diam hatinya bercekat melihat
siapa yang menjadi pemimpin rombongan pencegat ini, dia bukan lain Lam-bing-it-hiong Siang
Bu-wong. Nama julukan Lam-bing-it-hiong memang tidak begitu tenar di daerah Tionggoan.
Tapi Pek Si-kiat dulu pernah menjajal ilmu silatnya, kepandaian Lam-bing-it-hiong (si durjana dan
selatan) tak terpaut jauh dibawahnya. Sekarang Tok-sim-sin-mo sudah melebarkan sayapnya dan
menggaruk sedemikian banyak gembong-gembong iblis, Siang Bu-wong adalah satu diantara
gembonggembong iblis itu, betapapun kita harus hati-hati menghadapi mereka, demikian Pek Si-
kiat. Sambil memincingkan mata Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong menyapu pandang mereka
bertiga lalu berkata sembari tertawa aneh, "Kiranya Pek-heng masih gemar tamasya
naik kuda untuk melemaskan tulang-ulang tua. Aku mendapat perintah dari Pangcu untuk
menahan kalian bertiga." Pek Si-kiat tahu Tok-sim-sin-mo sangat mengandalkan tenaga dan kemampuan Siang
Bu-wong ini, dia merupakan salah seorang tangan kanannya yang paling diandalkan. Dia
diutus bercokol di tempat ini tujuannya adalah untuk menghadapi Kiu-yu-mo-lo yang telah menghilang
diluar perbatatan. Sambil menjengek dingin segera Pek Si-kiat balas mengolok, "Siang Bu-wong
kiranya kau. Kau hendak menahan aku, haha, mampukah kau?"
Ternyata Lam-bing-it-hiong seorang yang licik dan licin, sedikitpun ia tidak
terpengaruh oleh olok2 ini, dengan sikap dingin mendadak ia angkat sebelah tangannya
memperlihatkan sebuah benda. teriaknya, "Aku sendiri memang tidak mampu, namun kupercaya senjata ini
akan mampu menahan kalian disini."
Berjingkrak kaget Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi, benda yang diacungkan Lam-bing-
it-hiong itu bukan lain adalah laras Pek-tok-hek-liong-ting.
Dengan lirikan matanya Hun Thian-hi memberi aba-aba kepada Pek Si-kiat dan
Sutouw Ci-ko, 'Sreng!' cba2 tangan kanannya mencabut keluar pedang pusaka itu.
Lam-bing-it-hiong Siang Bu-wong mandah tersenyum sinis, begitu tangan kirinya
menepuk ke atas laras besi panjang itu kontan setabur bayangan hitam kontan menungkrup ke
arah Hun Thian-hi. Sambil menghardik keras tubuh Thian-hi tiba-tiba mencelat mumbul dari
tunggangannya. pedang pusaka ditangannya lantas melancarkan jurus pedang dari ilmu Wi-thian-
cit-ciat-sek, itulah tipu Thian-wi-te-liu (langit berputar bumi mengalir), hawa pedang yang
menyerupai kabut putih kehijauan pupus menguap keluar dari batang pedang terus memberondong maju
menerjang ke arah samberan Pek-tok-hek-liong-ting.
Dalam pada itu. Pek Si-kiat juga sedang berteriak, "Ci-ko. lekas terjang!"
Secepat kitiran kedua telapak tangannya bergerak. dia kerahkan Pek-kut-sin-kang terus menerjang ke
depan dilindungi kekuatan angin pukulannya terus menyerbu ke arah rombongan Lam-bing-it-hiong.
Lam-bing-it-hiong tahu begitu ia turun tangan. pasti Pek Si-kiat juga tidak akan
tinggal diam dan menerjang pada dirinya. Cepat ia ayun laras Pek-tok-hek-liong-ting, terus
menutuk kejalan darah Siau-hou-hiat ditenggorokan Pek Si-kiat. hebat benar-benar serangan ini,
kekuatannya pun ia kerahkan seluruhnya. Pek Si-kiat rada kaget menghadapi rangsekan musuh yang lihay, tapi sebagai
seorang ahli silat yang waktu mudanya merupakan seorang Gembong iblis juga kepandaian Pek Si-kiat
sudah tentu tak terukur tingginya, mana ia gentar menghadapi serangan jurus yang lihay ini,
tiba-tiba ia menggentakkan kaki, seketika tubuhnya mencelat tinggi meninggalkan tempat
duduknya, berbareng kedua telapak tangannya terpentang ke kanan kiri terus melancarkan
ilmu pukulan Pekkut- mo-ou-ciang yang pernah menggetarkan kalangan Kangouw dulu, dimana kedua
tangannya bergerak, dengan setaker tenaganya ia balas merangsak kepada Lam-bing-it-hiong.
Dalam pada itu, waktu Hun Thian-hi melancarkan Thian-wi-te-tong dengan seluruh
kekuatan Lwekangnya untuk menghalau senjata rahasia musuh, namun Pek-tok-hek-liong-ting
musuh masih menerjang maju terus sampai ke depan dadanya kira-kira setengah kaki baru kena
dihalau dan tertangkis jatuh tercerai berai. Betapa kejut hatinya bahwa Pek-tok-hek-liong-
ting ternyata benarbenar begitu hebat, bila musuh melancarkan dua laras senjata rahasia yang lihay ini,
jelas dirinya tidak akan mampu melawan. Bila musuh sampai berhasil memproduksi laras2 senjata
rahasia yang hebat ini, mungkin seluruh Kangouw ini tiada seorangpun yang bakal mampu
melawan. Bab20 Pikiran ini hanya berkelebat dalam alam pikirannya, waktu ia berpaling
dilihatnya Pek Si-kiat dan Sutouw Ci-ko memang sudah berhasil mengacau balaukan perlawanan musuh dan
berada di atas angin, namun selama itu belum berhasil menerjang lolos dari kepungan musuh.
Laksana seekor burung garuda tiba-tiba Thian-hi melompat jauh mencemplak ke atas
kudanya terus dikeprak maju, berbareng pedang di tangannya menyerang dengan jurus Gin-
go-sam-sek yang ketiga. Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu pedang yang maha sakti tiada taranya. jurus
ketiganya justru merupakan tipu yang paling hebat dan tepat untuk menggempur kepungan, dimana
pedang panjangnya berkelebat, hawa pedangnya ikut berkembang melebar, kontan Siang Bu-
wong kena terdesak mundur, tanpa ayal mereka bertiga segera menerjang lewat dan terus
dibedal menuju ke Giok-bun-koan. Melihat Thian-hi bertiga berhasil meloloskan diri dengan menghela napas rawan
Siang Bu-wong mendelong mengawasi bayangan mereka yang semakin kecil dan hilang dikejauhan.
Waktu ia membalik tubuh jauh di arah yang barlawanan sana dilihatnya rombongan Tok-sim-
sin-mo tengah mendatangi dengan cepat, sayang kedatangan mereka setindak telah terlambat, Hun
Thian-hi bertiga sudah tidak kelihatan lagi bayangannya....
Dari jauh Tok-sim-sin-mo sudah melibat bayangan Siang Bu-wong dan anak buahnya,
kontan dingin perasaannya, tahu dia bahwa Hun Thian-hi pasti sudah berhasil meloloskan
diri, bila mereka sudah keluar dari Giok-bun-koan jelas dirinya tidak mungkin dapat membekuknya
Kembali. Setelah dekat mereka memperlambat lari kuda, cepat Siang Bu-wong beramai maju
memapak serunya memberi lapqr, "Aku sendiri tidak becus, mereka bertiga sudah lolos
pergi." Tok-sim-sin-mo ternyata mandah tertawa besar, ujarnya, "Siang-lote, bukan
salahmu, kami sudah tahu mereka pasti berhasil lolos, cuma coba-coba saja merintangi, bila
tidak berhasil tak perlu diambil dalam hati, kelak tentu aku punya cara untuk mengatasinya,
Betapapun Hun Thianhi pasti akan kembali ke Tionggoan, tatkala itu akan kami beri sebuah jalan
kematian kepadanya!"
habis berkata ia bergelak tawa pula.
"Maksud Pangcu adalah...." Siang Bu-wong bicara ragu-ragu.
Dengan pandangan dingin Tok-sim-sin-mo menyapu pandang seluruh anak buahnya,
ujarnya, "Hun Thian-hi tidak lebih seorang bocah angkatan muda, dimana wibawa dan
kegagahan kita pada waktu dulu" Masa takut terhadap bocah keroco itu" Aku bersumpah harus
membunuhnya lebih dulu sebelum Wi-thian-cit-ciat-sek berhasil ia latih sempurna. Aku harus
bunuh dia." Habis berkata ia menggeram dengan gegetun, lalu katanya pula kepada Siang Bu-
wong, "Kau tetap bertugas disini, bila Hun Thian-hi masuk perbatasan jangan kau ganggu usik
dia, cukup asal kau memberi kabar dengan burung pos." lalu ia putar kudanya dan kembali ke arah
timur diikuti anak buahnya. Setelah keluar dari Giok-bun-koan, terbentang padang rumput nan luas di hadapan
Hun Thianhi bertiga. Entah berapa lama kemudian, akhirnya mereka turun dan beristirahat.
Sutouw Ci-kolah yang paling merasa lelah, dengan suara lesu ia berkata tertawa, "Setelah sampai
disini, kita tidak perlu takut lagi terhadap Tok-sim-sin-mo. Dia tidak akan berani mengejar keluar
dari Giok-bunkoan." Begitulah sambil istirahat mereka menutur pengalaman masing-masing sejak
berpisah, kira-kira satu jam kemudian, setelah badan terasa segar dan perut sudah kenyang, mereka
berangkat lagi menuju ke Hwi-king-ouw (telaga kaca terbang) di Thian-san.
Entah berapa lama sudah mereka, menempuh perjalanan, tiba-tiba di hadapan mereka
muncul seseorang, begitu melihat orang itu Hun Thian-hi lantas berteriak kegirangan,
"Siau-suhu! Bagaimana bisa kau berada disini?" cepat ia turun dan memburu maju.
Hwesio jenaka tertawa lebar, serunya, "Aku sedang tunggu kau disini.... Eh, kenapa
kau tidak panggil Siau-suhu lagi?"
Hun Thian-hi tersipu-sipu malu. Hwesio jenaka berpaling dan merangkap tangan ke
arah Pek Si-kiat, ujarnya, "Tuan ini bukankah Pek Si-kiat Pek-sicu. Apakah Pek-sicu baik
selama ini?" Begitu melihat tegas Hwesio jenaka kontan berubah air muka Pek Si-kiat, serunya
kaget, "Kau kiranya?" Sambil cengar-cengir Hwesio jenaka manggut-manggut, tangannya sedikit
digoyangkan, ia memberi tanda kepada Pek Si-kiat supaya tidak membocorkan rahasia dirinya. Pek
Si-kiat mandah tersenyum penuh arti tak bicara lagi. Sungguh dia tidak nyana orang ini bisa
berubah menjadi berbentuk seperti sekarang.
Sutouw Ci-ko pernah dengar mengenai Hwesio jenaka ini dari penuturan Thian-hi....
cepat ia loncat turun dan memberi hormat pada Hwesio jenaka.
Dengan cengar cengir Hwesio jenaka amat-amati Sutouw Ci-ko, lalu katanya
berpaling pada Thian-hi, "Ci-ko sudah berhasil kau tolong. Sekarang kau tidak punya urusan yang
lebih penting bisakah sekarang kau ikut aku ke Bu-la-si?"
Thian-hi bertiga kaget. "Sekarang?" tanya mereka bersama, "Adakah keperluan penting disana?" tanya Pek
Si-kiat lebih lanjut. Hwesio jenaka tertawa lebar, katanya pada Pek Si-kiat, "Dalam hal ini kau jangan
turut campur saja." - Lalu katanya pula pada Hun Thian-hi, "Pergilah nanti kau akan tahu.
Kukira kau akan lebih berprihatin dari aku."
Thian-hi terlongong sejenak, katanya, "Baiklah sekarang juga aku berangkat, Tapi
sebetulnya ada kejadian apakah, bolehkah kau beritahu aku dulu?"
Hwesio jenaka tertawa, sesaat kemudian baru bicara, "Soal mengenai Ham Gwat."
Thian-hi melengak, hatinya menjadi gugup, bukankah Ham Gwat diutus Bu-bing Loni
untuk meringkus dirinya pulang" Dengan pulang bertangan kosong tentu Bu-bing Loni akan
memberi

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hukuman berat padanya. Cepat ia berkata pada Pek Si-kiat, "Paman Pek, terpaksa
aku harus pergi ke Bu-la-si dulu!" Pek Si-kiat mengerut alis, akhirnya manggut-manggut. Ia tidak bicara karena
dalam anggapannya semula ia mengira hubungan kental Thian-hi dan Sutouw Ci-ko
merupakan pasangan yang setimpal. Tapi dari keadaan sekarang dapatlah da meraba bahwa
sebetulnya hati Thian-hi sudah tertambat pada gadis lain. memang nasib SutOuw Ciko harus menjadi
kakak angkatnya saja. Kata Thian-hi kepada Sutouw Ci-ko, "Ciko-ci, ada urusan lain yang harus
kuselesaikan. Setelah urusan beres biar kudatang mendenguk kau, tunggulah aku di Hwi-king-ouw.!"
Sutouw Ci-ko sendiri tidak bisa mengatakan bagaimana perasaan hatinya pada saat
itu, seakanakan ia merasa hatinya sangat pedih. namun terasa juga rada girang. Matanya
berkejap2, dengan berseri tawa ia manggut-manggut, katanya, "Pergilah, kutunggu di Hwi-king-ouw,
tapi kau harus hati-hati menghadapi Bu-bing Loni."
"Terima kasih Ciko-ci, aku akan cepat pulang." - Lalu ia serahkan kudanya pada
Sutouw Ci-ko, setelah ambil berpisah bersama Hwesio jenaka menuju ke selatan.
Ditengah jalan ia bertanya pada Hwesio jenaka, "Siau-suhu, apa kau tahu
bagaimana keadaan Ham Gwat sekarang?" Hwesio jenaka berpaling mengawasinya, katanya tertawa, "Kau tak perlu gugup. dia
tidak kurang suatu apa. Bu-bing Loni tidak akan berani menyakiti dia. Tapi Bu-bing
Loni sekarang berada di Bu-la-si, petentengan dengan Ngo-hong Locu, kau sendiri sudah mendapat
berkah dari Ka-yap Cuncia, Wi-thian-cit-ciat-sek sudah kau pelajari meski belum sempurna,
perlu juga kau memburu kesana selekasnya."
Thian-hi menjadi kaget. kenapa Hwesio jenaka ini begitu jelas segala gerak
geriknya, bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-sek dirinya belum sempurna juga sudah diketahui.
Karena pikirannya ini, dengan heran dan melenggong ia. pandang Hwesio jenaka.
"Kau tak perlu heran, soal ini ada orang yang beritahu kepadaku, baru saja aku
menyusul datang dari Bu-la-si."
Sambil berlari-lari kencang otak Thian-hi bekerja, tak lama Kemudian ia bertanya
lagi, "Bagaimana keadaan Bun Cu-giok sekarang" Apakah baik-baik saja?"
"Dia kena diusir dari Tionggoan oleh Tok-sim-sin-mo, untung dia didukung oleh
gurunya Ce-hun dan Hoan-hi dua orang. Sam-kong Lama juga mau membantu dia, kalau tidak sejak
lama dia sudah runtuh total, tapi keadaannya sekarang pun sudah payah, jikalau Tok-sim-
sin-mo sedang tekun menghadapi perlawanan Hwe-tok-kun, mungkin dia sudah habis berantakan."
Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia merasa bahwa Bun Cu-giok hakikatnya
bukan seorang jahat. Hanya jiwanya rada sempit, dalam suatu ketika juntrungannya
kurang lapang dan kurang dapat dihargai. tapi untunglah bila dia tidak sampai dicelakai oleh Tok-
sim-sin-mo. "Sekarang dia sudah menikah dengan putri Ciok Hou-bu!" demikian tutur Hwesio
jenaka. Dingin perasaan hati Thian-hi, entah betapa perasaan sanubarinya sekarang,
sebelum ia tahu hubungan antar Bun Cu-giok dan Sutouw Ci-ko, dia pernah merasa adalah jamak dan
lumrah hubungan eratnya dengan istrinya sekarang. Tapi lain pula keadaan sekarang,
terasa olehnya bahwa Bun Cu-gioklah yang salah dalam hal ini, diam-diam ia sesalkan tindakan
Bun Cu-giok yang tidak punya pribadi seorang laki-laki sejati.
Sesaat lamanya ia berdiam diri, lalu tanyanya lagi, "Untuk apa Bu-bing Loni
mencari urusan dengan Ngo-hong Locu?"
"Mengandal ilmu silatmu sekarang, kau boleh mengetahui." demikian ujar Hwesio
jenaka sambil tertawa lebar. Sesaat kemudian baru melanjutkan, "Sebab beliau adalah ibunda Ham
Gwat." Melonjak jantung Thian-hi, saking kaget kakinya sampai berhenti berlari, sekian
lama menjublek ditempat. Ong Gin-sia adalah ibu Ham Gwat" Kalau begitu.... Sungguh hal
ini diluar dugaannya. Waktu ia angkat kepala, Hwesio jenaka sudah jauh setengah li lebih di depan
sana, cepat ia angkat kaki mengejar dengan kencang, sambil lari pesat hatinya merasa heran,
setelah direnungkan sekian lama baru ia sadar. Tapi hatinya masih dirundung keheranan.
Lalu bagaimana pula bisa terjadi ayah Ham Gwat bisa dibunuh oleh Ang-hwat-lo-mo"
Setelah dekat mengejar Hwesio jenaka ia bertanya, "Siau-suhu, apakah benar-benar
ayahnya mati terbunuh oleh Ang-hwat-lo-mo?"
Hwesio jenaka tidaK hiraukan pertanyaannya, setelah rada jauh mereka berlari
baru tiba-tiba ia berpaling dan jawabnya, "Siapa yang bilang" ayahnya masih sehat baik-baik,
bagaimana bisa mati dibunuh Ang-hwat?" Thian-hi menjadi bingung. ia heran kenapa segala kejadian itu begitu ganjil,
tidak diketahui olehnya cara bagaimana peristiwa macam itu bisa terjadi. Lebih heran lagi kenapa
Bu-bing Loni bilang kepada Ham Gwat bahwa ayahnya terbunuh oleh Ang-hwat-lo-mo, sehinggga
hampir saja dirinya mati secara konyol oleh Ham Gwat.
Ujar Hvosio jenaka, "Jangan kau percaya obrolan Bu-bing Loni. Semua itu hanyalah
bualannya terhadap Ham Gwat waktu masih kecil, namun sekarang dia sudah dewasa. Bu-bing
Loni masih mengelabui padanya!"
Thian-hi menjadi paham sekarang. Tapi entahlah sekarang Ham Gwat sudah tahu
rahaSia ini belum" Terdengar Hwesio jenaka berkata pula, "Tapi jangan kau bocorkan rahasia ini
kepada siapapun juga. Kelakuan Bu-bing Loni selamanya sangat kejam dan telengas, tapi terhadap
Ham Gwat ia sangat sayang dan baik. Tapi Ham Gwat cukup cerdik betapa pun Bu-bing tidak
kuasa menutupi bualannya, karena itu entahlah bagaimana kelak akibat dari penyelesaiannya."
Hun Thian-hi menjadi prihatin akan persoalan ini, sesaat lama kemudian ia
bertanya, "Apakah Ham Gwat sendiri tahu akan hal ini" Apakah dia tahu siapa ayah bundanya?"
Hwesio jenaka tertawa lebar, ujarnya, "Soal ini hanya dia sendiri yang tahu,
tiada seorang pun yang tahu seluk beluknya, tapi nanti bila kau ketemu dia jangan sekali2 kau
bocorkan rahasia ini!"
Thian-hi manggut melulusi. Hatinya jadi bertanya-tanya kenapa Hwesio jenaka
berpesan wantiwanti kepadanya mengenai hal ini" Hatinya rada menyesal, waktu Hwesio jenaka membantu
dirinya dulu, kenapa ia tidak melulusi syarat yang diajukan itu. Sekarang untuk
bicara rasanya tidak gampang. Hatinya mendelu dan menyesal.
Begitulah mereka berlari-lari kencang tanpa berhenti, lama kelamaan Hun Thian-hi
menjadi heran. Betapa tinggi Lwekang Hwesio jenaka ini kiranya tidak lebih rendah dari
Situa Pelita, namun kenapa selama ini dirinya beluim pernah. dengar ketenaran namanya dikalangan
Kangouw. Sekejap saja tiga hari sudah berlalu, Thian-hi berdua melanjutkan menuju ke Bu-
la-si. Setelah semakin dekat pada tujuan Hwesio jenaka berkata pada Thian-hi, "Aku tak enak
bertemu dengan Bu-bing Loni, silakan kau masuk sendiri, mungkin beliau masih belum pergi!"
Thian-hi sangsi sebentar, akhirnya ia manggut-manggut, pelan-pelan ia masuk ke
dalam biara besar itu. Baru saja kakinya melangkah masuk tampak Sam-kong Lama sudah menunggu
diruang pendopo, tersipu-sipu ia maju memberi hormat kepada Sam-kong Lama.
Sambil berseri tawa Sam-kong mengawasinya, katanya, "Kata Hwesio jenaka dia
pergi mencari kau, ternyata benar-benar dapat ketemukan kau."
"Cianpwe, apakah Bu-bing Loni masih berada didalam?"
"Mari ikut aku. Dia masih disini. Baik sekali kau datang, kukira takkan ada
persoalan lagi." Thian-hi cuma tertawa, dia tahu untuk mengalahkan Bu-bing Loni, saat ini jelas
tidak mungkin, apalagi Su Giok-lan pasti juga mengintil kemari. Entah bagaimana keadaannya
sekarang, sebelum ajal Su Cin kakaknya pernah berpesan supaya aku perhatikan dan mengasuhnya, tapi
sekarang dirinya malah saling bermusuhan.
Begitulah dia ikut di belakang Sam-kong Lama masuk ke dalam, melewati serambi
panjang dan sebuah pekarangan besar, dimana terlihat dua ekor burung dewata bertengger
disana, itulah burung piaraan Bu-bing Loni.
Setelah melewati pekarangan, mereka memasuki sebuah kamar batu. Di dalam kamar
batu ini tampak Ong Ging-sia sedang duduk berhadapan dengan Bu-bing Loni, mereka sama
pejamkan mata dan tidak bergerak. SU Giok-lan berdiri di belakang Bu-bing Loni
membelakangi pintu. Begitu Hun Thian-hi memasuki kamar, tanpa berpaling tiba-tiba Bu-bing Loni
mendengus serta bersuara, "Siapa itu yang datang?"
Hun Thian-hi diam saja. Sepasang biji mata Ong Ging-sia sedikit dibuka, seketika
matanya mengunjuk rasa girang dan aneh.
Su Giok-lan berpaling ke belakang, begitu melihat kehadiran Hun Thian-hi, ia
terkejut sampai mundur setindak. Segera Bu-bing Loni bersuara pula tanya pada Su Giok-lan, "Lan-
ji, siapakah yang datang." "Hun Thian-hi!" sahut Su Giok-lah pelan-pelan.
Bu-bing Loni tersentak kaget, kedua biji matanya terbelalak ke depan, hampir dia
tidak mau percaya, begitu mendengar langkah orang lantas dia dapat mengukur betapa tinggi
kepandaian pedatang ini. Meski betapapun besar rejeki Hun Thian-hi, lwekangnya tidak
mungkin maju begitu pesat dan mencapai tingkat teratas, pelan-pelan ia berpaling, dilihatnya yang
baru datang ini memang Hun Thian-hi. Dengan sinis Hun Thian-hi pandang Bu-bing Loni dan Su Giok-lan, mulutnya
bungkam. Hidung Bu-bing Loni mendengus lirih, sekarang dia harus percaya, sekilas ia
pandang Hun Thian-hi lalu menoleh pula, seolah-olah ia tidak pedulikan kehadiran Thian-hi,
namun mulutnya berkata pada Su Giok-lan, "Lan ji, aku sedang ada urusan disini, coba kau usir
dia keluar!"' Su Giok-giok mengiakan, segera ia melolos pedang.
"Nanti dulu!" seru Thian-hi.
"Toaci!" seru Ong Ging-sia tertawa, "kau tak usah repot2, akulah yang
mengundangnya kemari, bukankah kau hendak mencari dia" Kenapa pula kau usir dia?"
Bibir Bu-bing mengejek, dengusnya, "Itu urusanku kau tak usah ikut campur. Bila
Ham Goat sampai mencari kemari, itulah tanda saat kematiannya!"
Berdetak jantung Thian-hi, ia melangkah maju menjura kepada Ong Ging-sia,
"Wanpwe Hun Thian hi, menghadap pada Cianpwe!"
"Tak usah banyak beradatan, apa kau baik selama ini?" sapa Ong Ging-sia lemah
lemhut. "Berkat doa Cianpwe segalanya baik, terima kasih akan perhatian ini. Cuma tempo
hari bikin repot Cianpwe saja." - Waktu bicara ia angkat kepala mengawasi Ong Ging-sia.
Perasaannya kali ini jauh berbeda dengan tempo yang lalu, Ong Ging-sia adalah ibunda Ham Gwat,
dia menjadi risi dan kikuk malah entahlah apa yang harus diperbuat selanjutnya."
BU-bing melirik hina, semprotnya kepada Thian-hi, "Apa saja yang telah kau
ucapkan kepada Ham Gwat" Kemana dia sekarang?"
Sesaat Hun Thian-hi menjublek, "Apa dia sudah pergi?" tanyanya berseri girang.
Bu-bing menggeram marah, jengeknya, "Bila kau mendengar apa dan berani mengadu
domba diantara kami, aku tidak akan gampang memberi ampun pada kau. Selama ini kemana
pula kau berada?" Hun Thian-hi mandah tertawa tawar, ujarnya, "Apa yang kau tanyakan aku tidak
tahu!" Bu-bing Loni menyeringai sinis, katanya, "Baik. mungkin kau temukan rejeki aneh,
ilmu silatmu sekarang sudah tinggi, aku harus membuat perhitungan selama setahun ini padamu.
Lalu ia berpaling ke arah Su Giok-lan dan berkata pula, "Lan.ji, belakangan ini
bagaimana latihan Hui-simkiam-
hoat mu?" Su Giok-lan bersangsi sejenak, sahutnya, "Murid sendiri kurang jelas, paling
tidak dapat mencapai taraf yang ditentukan oleh Suhu!"
"Itupun sudan cukup," ujar Bu-bing mendengus, "Gunakanlah Hun Thian-hi untuk
mencoba latihan ilmu pedangmu!"
Su Giok-lan mengiakan dan patuh. Memang kesannya terhadap Hun Thian-hi rada
jelek, meski tempo hari Hun Thian-hi pernah menolong dirinya, namun sekarang dia merasa tidak


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

puas dan sirik terhadap Thian-hi, orang telah menjerumuskan Ham Gwat, sejak mula Su Giok-
lan sangat simpatik dan patuh sekali terhadap Ham Gwat, terutama beberapa bulan belakangan
ini, sikap Ham Gwat terlalu baik terhadapnya. Sekarang Ham Gwat telah lari mengkhianati
gurunya, sebab musababnya adalah karena Hun Thian-hi yaitu karena Ham Gwat telah melepasnya
pula itu berarti dia membangkang terhadap perintah gurunya.
Su Giok-lan melangkah maju sambil menenteng pedang.
"Nona Su," kata Hun Thian-hi tertawa, "Apakah harus bergebrak dengan aku?"
"Jangun cerewet."
Pelan-pelan Hun Thian-hi melolos Hwi-hong-siau dari pinggangnya, ujarnya, "Kalau
begjtu harap nona Su memberi petunjuk!"
Tanpa ayal pedang Su Giok-lan lantas terangkat dan mulai menyerang, beberapa
bulan terakhir ini ia rajin dan tekun melatih Hui-sim-kiam-hoat, Hui-sim-kiam-hoat merupakan
ilmu pedang dari aliran Lwekeh yang tertinggi dan sangat menakjupkan. Begitu Su Giok-lan
menggerakkan pedang sejurus permainannya saja lantas terlihat sinar pedangnya berkelebat memutih
laksana lembayung menggulung ke arah Hun Thian-hi.
Biji mata Hun Thian-hi berputar mengikuti samberan sinar pedang, mulutnya
menyungging senyum manis, sebat sekali ia angkat serulingnya, dengan mengembangkan Gim-ho-
sam-sek ia melawan serangan musuh, pancaran cahaya merah dadu dari seruling ditangannya
berkembang melebar seperti kabut merah, melindungi badannya, sinar pedang Su Giok-lan
berubah berkuntum2, mengembang keempat penjuru merangsak dari berbagai jurusan,
sedemikian gencar serangan pedangnya, namun sedemikian jauh ia tidak mampu mendesak maju setengah
Undakpun. Begitulah setengah jam sudah lewat, yang satu menyerang dengan bernafsu yang
lain bertahan dengan rapat dan kuat, Hun Thjan-hi cukup menggunakan jurus Gelombang perak
mengalun berderai dari Gin-ho-sam-sek ajaran Soat-san-su-gou, seluruh rangsakan pedang Su
Giok-lan berhasil dihalau ditengah jalan.
Menyaksjkan pertempuran ini, lama kelamaan bercekat hati Bu-bing Loni, mengandal
kepandaian Thian-hi yang tinggi sekarang, jangan kata Su Giok-lan bukan
tandingannya, seumpama dirinya sendiri yang maju juga belum tentu pasti bisa menang dalam
waktu singkat secara gampang. Beberapa jurus lagi, segera ia berseru, "Lan-ji, kau mundurlah!"
Su Giok-lan menarik pedang mundur beberapa langkah, hatinya pun dirundung
keheranan, kepandaian silat Hun Thian-hi kiranya sudah maju begitu cepat berlipat ganda,
sungguh sukar dipercaya kalau tidak menyaksikan dan membuktikan sendiri.
Disamping heran hatinya pun menjadi dengki, betapapun ilmu silat Hun Thian-hi
selalu lebjh maju lebih tinggi dari kemampuannya, sanubarinya yang paling dalam diam-diam
merasa sirik karena akhir2 ini ia beranggapan setelah pelajaran ilmu pedangnya maju pesat,
kecuali Bu-bing Loni dan Ham Gwat dua orang, seluruh kolong langit ini tiada orang ketiga yang
dapat mengalahkan dirinya. Sambil tersenyum Hun Thian-hi pun mundur sambil menyimpan serulingnya, sekilas
tampak olehnya rasa kurang puas dari pancaran mata Su Giok-lan, terlihat pula rasa
penasaran dan hawa pembunuh dari sorot mata Bu-bing Loni.
Kata Bu-bing Loni kepada Hun Thian-hi, "Selama ini kemana saja kau pergi?"
Ong Ging-sia malah yang menjawab pertanyaannya ini, "Ketahuilah dia adalah murid
angkat Ka-yap Cuncia." Kontan berubah hebat air muka Bu-bing Loni. selama hidupnya ini, otaknya terlalu
berangan2 bahwa dirinya tiada tandingannya di seluruh kdlong langjt. konon bahwa Ka-yap
jauh lebih kuat dari dirinya, namun sudah sekian lamanya menghilang dari percaturan dunia persilatan. Siapa
nyana sekarang Hun Thjan-hi diangkat menjadi murid angkat Ka-yap Cuncia. Dari
kepandaian Thian-hi yang begitu hebat dan tinggi ini dapatlah diukur sampai dimana tingkat
kepandaian Kayap Cuncia. Bu-bing terlongong sesaat lamanya, akhirnya sambil bangkit ia tertawa dingin,
"Kalau begitu, kutantang kau tiga hari lagi bertemu di Yan-bun-koan, kau tidak datang, aku pun
bisa temukan kau dimana saja kau berada." - Selesai bicara sekilas ia pandang Ong Ging-sia,
tampak mulut orang sudah bergerak, namun urung bicara.
Bu-bing mendengus hidung berjalan di depan ia bawa Su Giok-lan keluar dari kamar
batu terus naik burung dewata, dikejap lain mereka sudah terbang tinggi dan menghilang.
Hun Thian-hi menganiar dengan pandangan matanya, setelah tidak kelihatan lagi
baru dia menoleh kembali. Seketika jantimgnya berdetak keras, tampak sapasang biji mata
Ong Ging-sia mengembang air mata, seolah-olah ada banyak ucapan sedih yang ingin dilimpahkan,
namun tak kuasa diucapkan. Pelan-pelan Hun Thian-hi menunduk. ia berdiri bungkam.
Sebentar kemudian. Ong Ging-sia menghasut air matanya, serta berkata, "Hun-
siauhiap, belum lama, ini kau pernah ketemu Ham Gwat bukan?"
Thian-hi manggut-manggut. sahutnya, "Jangan Cianpwe panggil aku demikian,
panggil aku Hun Thian-hi saja!" Pancaran mata Ong Ging-sia mengunjuk rasa senang, katanya, "Baiklah aku pun
tidak perlu sungkan-sungkan, Bu-bing Loni mengurungnya, namun ia berKesempatan melarikan
diri dengan pelayannya. Bu-bing menyangka aku telah membocorkan perkara ini kepada kau,
sehingga Ham Gwat datang kemari menemui aku, ingin dia tahu apakah betul Ham Gwat pernah
kemari!" Thian-hi manggut-manggut lagi tanpa bersuara, diapun tengah heran, sebetulnya
kemanakah Ham Gwat telah pergi?"
Kata Ong Ging-sia pula setelah menghela napas, "Kukira Hwesio jenaka sudah
memberitahu pada kau bahwa Ham Gwat sebetulnya adalah putriku. Waktu kau ketemu dia tempo
hari bagaimana keadaannya?"
Thian-hi tersenyum, sahutnya, "Dia baik sekali, dia...." ia menjadi kememek tak
tahu apa yang harus dia ucapkan.... "Bagaimana kesanmu terhadapnya?" tanya Ong Ging-sia tersenyum.
Merah dan panas muka Thian-hi, ia menunduk malu. sesaat baru menjawab, "Dia
seorang baik, pintar dan tidak congkak. malah...." sampai disini ia merandek dan tertawa geli sendiri,
tak melanjutkan kata-katanya.
"Benar-benarkah begitu?" seru Ong Ging-sia kegirangan,
"Meski ini menurut ucapanku saja. namun aku bicara setulus hati, aku percaya
siapapun bila kenal dan bergaul dengan dia lantas akan merasakar hal-hal itu."
Ong Ging-sia menunduk, otaknya tepmenung mengenang kembali masa dua puluh tahun
yang lalu. sampai sekarang berarti dua puluh tahun sudah ia tidak pernah bertemu
dengan Ham Gwat putri tunggalnya sendiri yang sudah dewasa dan tumbuh menjadi seorang gadis
remaja yang cantik rupawan. Sungguh ingin sekali ia bertemu, tapi aku.... mukaku seburuk ini, seumpama ketemu
Ham Gwat, hanya membuat hatinya seram belaka, terpikir sampai disini ia menghela
napas dengan rawan dan murung. Suasana menjadi sepi sekian lama, akhirnya Thian-hi membuka suara pula, "Dia
cantik sekali, Cianpwe ingin bertemu dengan dia?"
Ong Ging-sia angkat kepala, tanyanya, "Dia tahu bahwa aku berada disini?"
"Mungkin dia tidak tahu, kita tahu pasti dia sudah memburu kemari."
"Jangan kau beritahu dia, kuharap dia tidak menemui aku...." berhenti sebentar
lalu menambahkan, "Bila kau bisa, setelah bertemu dengan dia, beritahu padaku dimana
dia berada, biar aku pergi melihat dia." - Ia menunduk sambil menitikkan air mata kesedihan.
Thian-hi menjublek tak Bersuara. Ong Ging-sia menggeleng, katanya, "Perjanjian
tiga hari itu. jangan kau layani tantangan Bu-bing. kau kerjakan urusanmu yang lain saja,
aku....aku tak mampu bantu kau untuk menghadapj dia, hatinya kejam dan telengas. yang penting
kau harus sempurnakan dulu Wi-thian-cit-ciat-sek lebih dulu. Sementara ini boleh kau
menetap disini saja, bila Bu-bing meluruk kemari biar aku yang hadapi dia!"
Thian-hi berpikir, akhirnya ia manggut-manggut sahutnya: .Begitu pun baiklah!"
Ong Ging-sia menunduk, diam-diam hatinya senang, Hun Thian-hi terang menaruh
cinta terhadap Ham Gwat. ia berpikir lagi lalu berkata angkat kepala, "Thian-hi
pernahkah terpikir olehmu, kemanakah sebenar-benarnya Ham Gwat telah pergi?"
"Aku juga tidak tahu, tapi pasti ada sasaran tempat bagi tujuannya sehingga dia
berani merat. Kupikir waktu masih ada dua hari, selama ini dapat kusempurnakan pelajaran Wi-
thian-cit-ciat-sek, beberapa hari lagi biar kumencari jejaknya!"
Rasa senang Ong Ging-sia terunjuk pada air muka dan sinar matanya, tentu Hun
Thian-hi sudah sangat rindu dan kangen betul terhadap Ham Gwat, mendapat calon suami
seperti Hun Thian-hi, Ham Gwat pasti bahagia dan akupun harus lega dan terhitung sudah
menyempurnakan tuntutan hidup putrinya. Melihat reaksi perkataannya mengubah sikap dan air muka Ong Ging-sia, tanpa
merasa Thianhi menjadi tegang sendiri, Ong Ging-sia adalah ibunda Ham Gwat, hubungan dirinya
dengan Ham Gwat belum lagi intim, mana bisa menampilkan rasa hatinya sedemikian rupa,
apakah tidak terburu nafsu" Entah bagaimana pendapat dan penerimaan Ong Ging-sia"
"Kalau begitu bikin susah padamu saja," ujar Ong Ging-sia tertawa. "Sementara
ini kau tinggal saja di Bu-la-si ini...."
Baru saja ia selesai bicara, mendadak Hwesio jenaka melangkah masuk dari luar,
katanya Kepada Thian-hi, "Aku baru saja tiba. Apa benar-benar kau mau menetap sementara
di Bu-la-si?" Thian-hi manggut-manggut. Ia tidak tahu kemana Hwesio jenaka telah pergi, namun
melihat kedatangannya ini, diam-diam Thian-hi berpikir pasti ada sesuatu peristiwa besar
telah terjadi, terasa olehnya hati seperti dibebani ribuan kati batu besar.
Kata Hwesio jenaka kepada Ong Ging-sia, "Kurasa saat ini tidak mungkin.
Ketahuilah Tok-simsin- mo sudah bersumbar dalam waktu sepuluh hari dia sendiri hendak meluruk ke Siau-
lim-si dan menumpasnya habis2an bila kau tidak menyusul kesana dalam jangka waktu yang
ditetapkan ini!" Berubah air muka Thian-hi, cara kerja Tok-sim-sin-mo sungguh cukup ganas dan
jahat, belum lagi racun di badan Sutouw Ci-ko dipunahkan, sekarang sudah menekannya dengan
urusan lain pula, apakah aku harus kesana masuk perangkapnya?"
Kata Hwesio jenaka pula tertawa, "Ang-hwat-lo-co juga ingin supaya kau pergi ke
Thian-lam, katanya gurumu Kongsun Hong sudah terjatuh di tangannya bila kau meluruk pada
tantangan Tok-sim-sin-mo berarti jiwa Kongsun Hong tak bisa diselamatkan lagi!"
Lebih kejut dan gugup lagi hati Thian-hi, tak tahu apa yang harus dilakukan
sekarang. Akhirnya Ong Ging-sia bersuara sambil menghela napas, "Terpaksa kau harus
memburu ke Tionggoan saja!" "Benar-benar," timbrung Hwesio jenaka, "kau pergi ke Siongsan dulu, bekerja
menurut situasi dan keadaan.... Soal Thian-lam biar aku kesana lebih dulu, Ang-hwat tidak akan
berani turun tangan seceroboh itu. Jelasnya kau harus hati-hati melawan kelecikan Tok-sim-
sin-mo." Thian-hi berpikir mantep, akhirnya ia ambil berpisah dengan Ong Ging-sia,
langsung menuju ke Tionggoan. Siau-lim-si selama berdirinya tetap digdaya dan diagungkan, banyak anak muridnya
yang pandai dan berbakat tinggi. Bila benar-benar Siau-lim-si runtuh, maka kaum
persilatan di daerah Tionggoan sini pasti akan tenggelam dalam hidup kegelapan, betapapun tinggi
kemampuan seseorang takkan mampu mengembangkan kembali kejayaan semula. seperti sepandai
Thiancwan Taysu yang teragung dan terpandang di mata dunia.
Sekarang terpaksa Thian-hi harus kembali pula ke Tionggoan. mengandal ilmu silat
dan kecerdikan otaknya, mungkin dapatlah menggagalkan atau menolong bencana yang
bakal melanda ke seluruh kepentingan kaum persilatan disini. Tapi betapapun ia tidak


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tega dan sangat menguatirkan keselamatan guru pembimbingnya Kongsun Hong yang telah mengasuhnya
sejak kecil. Selama menempuh perjalanan dari Bu-la-si ke Siau-lim-si, belum pernah pikiran
Thian-hi menjadi tentram. hatinya selalu dirundung kekusutan dan kegugupan. Perjanjian
tiga hari dengan Bu-bing sudah terlupakan olehnya.... Juga tidak terpikir olehnya apakah kelak Bu-
bing mandah mau membiarkan dirinya yang ingkar janji ini?"
Cuaca sudah gelap. Sebuah bayangan hitam melesat terbang diantara semak-semak
pegunungan. orang itu bukan lain adalah Hun Thian-hi adanya. Sekonyong-konyong
pekik burung dewata berkumandang di tengah udara. Thian-hi menjadi tersentak kaget dan sadar,
hari ini tepat tiba perjanjiannya tiga hari itu. Kenapa aku melupakan perjanjian beradu pedang
dengan Bu-bing Loni. Sesaat ia terlongong dan menghentikan langkahnya, dari tengah udara meluncur
turun sesosok bayangan, sekejap saja sudah berdiri tegak dihadapannya, siapa lagi kalau bukan
Bu-bing Loni. Dengan memicingkan mata Bu-bing pandang Thian-hi dengan sikap kaku, "Kemana kau
hendak lari?" demikian jengeknya.
Mulut Thian-hi terbungkam, ia pandang Bu-bing lekat-lekat. Dia tahu sepak
terjang Bu-bing selalu dilandasi kemauan hati melulu, dia tidak pernah kenal apa itu keadilan,
maka dengan tawar ia menyahut, "Apakah sekarang saja dimulai bertanding pedang,"
Melihat sikap Hun Thian-hi yang demikian congkak, Bu-bing Loni menjadi murka,
alisnya terangkat tinggi, serunya, "Jangan kau kira Pan-yok-hian-kang dan Gin-ho-sam-
sekmu dapat menjagoi di seluruh Kang-ouw. Hari ini akan kuperkenalkan padamu kepandaian ilmu
pedang yang sejati!" Thian-hi mundur setengah tindak seraya melolos pedang di punggungnya, kedua biji
matanya lekat-lekat mehgawasi gerak gerik Bu-bing Loni.
Pelan dan acuh tak acuh Bu-bing menanggalkan pedang dari serangkanya, pelan-
pelan ia melolosnya keluar, seenaknya saja ia buang serangka pedangnya ke samping, dengan
mengawasi batang pedang mulutnya bicara, "Seluruh kaum persilatan di dunia ini belum ada
seorang pun yang benar-benar pernah melihat Hui-sim-kiam-hoatku seluruhnya. Terutama tiga
gerak serangkai dari jurus yang terakhir, sekarang sebelum kau ajal akan kupertunjukkan kepada
kau!" Melihat Bu-bing Loni bicara begitu enak dan enteng saja, seolah-olah tidak
pandang sebelah mata dirinya, dingin perasaan Thian-hi. Wi-thian-cit-ciat-sek latihan dirinya
belum lagi sempurna, bila sekarang dia kembangkan untuk melawan Hui-sim-kiam-hoat, bukan saja tidak
mampu menandingi tiga rangkai serangan pedang musuh, malah mungkin akan menambah
gelora angkara murka hati Bu-bing Loni untuk melenyapkan dirinya.
Karena pikirannya ini tanpa merasa hatinya menjadi lemas. Tapi dendam ayah belum
terbalas, merabahaya sedang mengancam keselamatan hidup kaum persilatan di seluruh
Tionggoan, mana boleh aku ayal begitu gampang saja.
Pandangan mata Bu-bing dari batang pedang pelan-pelan beralih kemuka Thian-hi.
Terasa oleh Thian-hi dalam pandangan mata Bu-bing Loni ini terkandung rasa penghinaan dan
merendahkan dirinya yang berkelebihan, agaknya hatinya akan menjadi senang setelah melihat
orang lain menjadi mayat. Sontak terbangkit rasa kejantanannya, alisnya tegak berdiri, darah menggelora,
dengan pandangan berkilat gusar ia balas pandang ke arah Bu-bing Loni.
Melihat Hun Thian-hi tidak mengunjuk rasa gentar atau takut berjengkit alis Bu-
bing Loni, katanya sambil menjengek bjbir, "Mungkin kau belum tahu cara kerjaku. Kau tidak
akan bisa segera mati, akan kusayat dan kukuliti kulit dan dagingmu sedikit2 sampai kau
mampus. Aku akan bekerja pelan-pelan, mungkin tiga hari atau mungkin sampai setengah bulan baru
badanmu habis kusayati!" Hun Thian-hi mandah menyeringai tawa, ujarnya, "Kedengarannya memang enak dan
nikmat sekali. tapi apakah kau mampu"'"
Bu-bing Loni menggeram gusar sambil membanting kaki, tiba-tiba wajahnya
mengunjuk senyum-tawa yang sangat aneh, katanya, "Mungkin aku tidak mampu, tapi mungkin
pula bisa bukan! Nanti akan kamu buktikan dan kau akan tahu akibatnya!"
Melihat senyum aneh diwajah Bu-bing Loni, sontak terbit suatu rasa ketakutan
dalam sanubari Hun Thian-hi, selamanya belum pernah ia melihat tertawa aneh Bu-bing Loni
semacam itu. Bukan saja tawanya itu tidak bersahabat, malah sebaliknya terasa adanya hawa kesadisan
sedang mengancam setiap waktu di sekelilingnya.
Sekilas saja ai rmuka Bu-bing Loni pulih seperti sedia kala, tanpa expresi ia
berkata, "Kau sudah siap belum" Aku akan segera turun tangan awaslah kau."
Kaki kanan Hun Thian-hi mundur setengah langkah. pedang siap melintang di depan
dada, ia berdiri tegak siap siaga.
Laksana awan mega nan enteng tubuh Bu-bing Loni melejit maju. ringan tanpa
menimbulkan kesiur angin pedangnya terayun, menjojoh ke depan tengah alis Hun Thian-hi.
Sigap sekali dalam waktu yang bersamaan Hun Thian-hi juga menggerakkan pedangnya dengan jurus
Gelombang perak mengalun berderai dari ilmu Gin-ho-sam-sek untuk memapaki serangan musuh,
begitu jurus permainan kedua belah pihak sedikit kebentur, lantas Hun Thian-hi rasakan gaya
gerak pedang Bu-bing Loni yang kelihatan bergerak enteng itu mengandung tekanan tenaga yang
luar biasa besarnya menggetar mundurkan tubuhnya, keruan kejutnya bukan kepalang, tak
berani menyambut secara kekerasan ia melejit mundur.
Terdengar Bu-bing Loni menjengek dingin. pedangnya terbang membalik lagi. jurus
kedua ini lebih hebat, berbareng dengan samberan batang pedang hawa sekelilingnya seperti
menjadi dingin ikut menerpa ke arah Hun Thian-hi. Thian-hi harus beruntun menggerakkan
dua tipu pedangnya baru berhasil memunahkan daya kekuatan serangan jurus pedang Bu-bing
Loni yang kedua ini. Serta merta timbul keheranan dalam hatinya, karena cara permainan
jurus-jurus ilmu pedang yang dimainkan Bu-bing Loni ini jauh berlainan dengan permainan Su Giok-
lan tempo hari. Terbit pancaran heran dari sorot pandangan Bu-bing Loni melihat Thian-hi mampu
memunahkan gelombang tekanan serangan kekuatan pedangnya, namun rasa heran itu hanya
sakilas saja. Dilain saat tubuhnya sudah melejit mumbul terbang ke tengah udara, berbareng ia
lancarkan ilmu Hui-sim-kiam-hoat yang tulen, seketika Hun Thian-hi terkurung dalam kilatan
sinar pedangnya. Hun Thian-hi menyedot napas dalam-dalam, Pan-yok-hian-kang dikerahkan
selurufhnya ke arah batang pedang, dengan Gin-ho-sam-sek yang kuat dan rapat serta kokoh
penjagaannya itu ia layani rangsak membadai dari serangan pedang BU-bing Loni.
Saking cepat permainan mereka, sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu
Sambil mengunjuk rasa hina dan mengejek Bu-bing Loni mengurung Hun Thian-hi dalam kurungan kilat
sinar pedangnya. Pertempuran mereka berdua kali ini, rasanya jauh lebih hebat dan seru
dibanding Bubing Loni melawan Swat-san-su-gou dipuncak Soat-san setahun yang lalu itu. Begitu
menakjupkan seolah-olah dapat menyedot sukma bagi setiap orang yang menonton. Hanya bedanya
kalau dulu Soat-san-su-gou satu melawan empat, sebaliknya sekarang Thian-hi satu lawan
satu, dan keadaan selama ini masih tetap seimbang.
Selama tempur terasa oleh Thian-hi tekanan dari empat penjuru semakin besar,
begitu besar gencetan ini sampai dada terasa sakit dan susah bernapas. Tapi kelihatannya Bu-
bing bergerak begitu bebas dan seenaknya saja, seperc belum mengerahkan setaker tenaganya.
tujuannya tak lain tak bukan adalah hendak mengurung Thian-hi sampai mati lemas.
Lama kelamaan Thian-hi naik pitam, bahwa dirinya dipermainkan seperii kucing
mempermainkan tikus merupakan suatu penghinaan terhadap dirinya, dengan
menghardik keras, mendadak pedangnya mencorong terang, ia kerahkan seluruh kekuatannya melancarkan
jurus ketiga dari Gin-ho-sam-sek yang terhebat yaitu jurus Ho-jong-boh-hun-siau
(bangau terbang menembus awan mega), dengan kekerasan ia terjang dan merangsak ke arah tembok
pertahanan sinar pedang Bu-bing Loni yang mengepung dirinya
Melihat Hun Thian-hi mendadak melancarkan jurus permainan pedangnya. yang aneh
rada bercekat hati Bu-bing, cepat pedangnya berkelebat membandir dengan jurus Lian-
so-kim-liong (merantai naga mas) pedangnya menekan dan menggubat seluruh badan Hun Thian-hi.
Sudah tentu Thian-hi tidak mau mandah terima binasa begitu saja, mau tak mau ia
harus kerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk menjebol segala rintangan, kedua
belah pihak menjadi sama kerahkan setaker tenaga masing-masing. Begitu pedang kedua belah
pihak saling bentur "Creng", kontan tubuh Hun Thian-hi mencelat tinggi ke tengah udara.
tubuhnya terbang keluar dari lingkaran sinar pedang Bu-bing Loni yang mengurung dirinya.
Tapi setelah ia berhasil hinggap di tanah kembali seketika berubah pucat air
mukanya, karena pedang pusaka ditangannya sudah patah menjadi dua tergetar oleh benturan dahsyat
tadi. Dilain pihak Bu-bing Loni juga menarik mukanya yang membeku dingin. Sungguh tak nyana
olehnya kurungan sinar pedangnya yang begitu ampuh dan hebat itu berhasil dijebol oleh
Hun Thian-hi. Dengan kaku dan dingin ia pandang Hun Thian-hi, lama sekali mereka berdiri
saling pandang tanpa buka suara. Sekonyong-konyong tubuh Bu-bing Loni melambung tinggi lagi, pedang panjang
bergerak cepat menyerang pula kepada Hun Thian-hi. Tak sempat Thian-hi banyak pertimbangan
lagi, dimana tangan kanannya terayun ia sambitkan kutungan pedang buntung itu ke arah Bu-bing
sekuat tenaganya. Tanpa susah Ba-bing Loni menggerakkan pedangnya menyampok jatuh
sambitan kutungan pedang Hun Thian-hi, mulutnya menyungging seringaj sadis. dimana
pedangnya terayun ia menusuk kejalan darah Jian-kin-hiat dipundak Hun Thian-hi.
Gesit sekali Hun Thian-hi meloncat berkelit berbareng tangannya meraih
kepinggang merogoh keluar seruling pemberian Ong Ging-sia. Tanpa, banyak berpikir lagi Hwi-hong-
siau menuding miring ke depan, ia kembangkan jurus Wi-thian-cit-ciat-sek jurus pertama yang
dinamakan Thianwi- te-liu (langit berputar bumi mengalir).
Dengan permainan pedangnya yang hebat tiada taranya itu Bu-bing menyangka jurus
serangan kali ini pasti berhasil melumpuhkan perlawanan Hun Thian-hi, tak lebih tiga
jurus belaka. selanjutnya Hun Thian-hi harus tunduk dan patuh mendengar perintahnya.
Tak nyana begitu tusukan pedangnya dilancarkan, mendadak dilihatnya Hun Thian-hi
mengacungkan senjata seruling, sedikitpun ia tidak ambil perhatian, tapi tiba-
tiba tusukan pedangnya belum lagi mengenai sasarannya mendadak terasa tangan kanannya
kesemutan, segulung angin berkekuatan dahsyat melanda tiba dengan daya kisaran yang hebat
sekali. Hampir saja ia terdesak melepaskan pedang sendiri.
Keruan bukan main rasa kejutnya, lekas-lekas ia menyurut mundur beberapa
langkah. dengan dingin ia tatap muka Hun Thian-hi. Selamanya memang ia belum pemah kebentur
Racun Kecantikan 3 Pendekar Sakti Im Yang Karya Rajakelana Tiga Naga Sakti 7
^