Badik Buntung 19
Badik Buntung Karya Gkh Bagian 19
darah, dari berjaga kini ia balas menyerang dengan gencar, seketika Ham Gwat
terdesak kerepotan di bawah angin.
Tapi Haa Gwat sudah tidak merasa takut lagi terhadan Bu-bing, bahwasanya
Lwekangnya sekarang terpaut tidak terlalu jauh dibanding Bu-bing, apalagi permainan pedang
Bu-bing pun dipahami pula, dalam seratus jurus betapa pun ia tidak akan terkalahkan, asal
Bu-bing tidak melancarkan Lian-hoan-sam sek, jurus berantai terakhir yang paling hebat.
Dari bertahan sekarang Bu-bing berinisiatif menyerang, hawa pedangnya berkembang
melebar melingkupi gelanggang pertempuran, tapi Ham Gwat tumplek seluruh perhatian dan
semangatnya melayani setiap rangsakan lawan, sedemikian rapat dan hati-hati ia menghadapi
lawan sehingga musuh tak berikesempatan menyelinap membokong atau mencari lobang kelemahannya.
Jurup demi jurus terus berlalu, lama kelamaan Bu-bing jadi uring-uringan dan
dongkol, masa murid didiknya sendiri ia tidak mampu membereskan, ini merupakan pukulan batin
dan kejadian yang sangat memalukan.... Soalnya Ham Gwat bermain semakin mantap sehingga ia
tidak kuasa berbuat apa-apa lagi. Semakin lama serangan Bu-bing semakin gencar, nafsunya membunuh semakin berkobar
pula, tidak melabrak dengan kesengitan tiba-tiba ia menarik mundur pedangnya malah dan
terus menyurut mundur. Ham Gwat juga melintangkan pedang mundur beberapa tindak, ia tidak mengejar
lebih lanjut. Permainan ilmu pedang Bu-bing sedemikian sampurna, Lwekangnya pun tinggi
setingkat di atas kemampuannya, cuma berjaga membela diri saja ia sudah kepayahan, mana ia berani
maju mengejar. Setelah mundur sampai jarak yang tertentu Bu-bing berhenti dan mengawasi Ham
Gwat dengan rasa kebencian yang meluap-luap, hawa membunuhnya sudah menghantui
sanubarinya, sorot matanya berubah beringas buas seperti mata serigala kelaparan. Dia sudah
berkeputusan untuk menggunakan ilmu pedang Lian-hoan-sam-sek yang menjadi permainan pedang
rahasia pribadinya, besar tekadnya melenyapkan jiwa Ham Gwat seketika itu juga.
Pedang panjang sudah terangkat pelan-pelan, sekonyong-konyong tergerak hatinya,
dengan menuruti kemauan hati melulu ia merasa betapa goblok dirinya ini, bukankah masih
ada musuh besar yang paling tangguh macam Hun Thian-hi belum lagi sempat kulenyapkan.
Bukankah Ham Gwat merupakan bahan sandera yang paling bermanfaat" Kenapa aku tidak meringkus
Ham Gwat untuk kujadikan kaki tangan dan alat melawan musuh. Dengan berbagai akal
akhirnya berhasil menawan ayah bunda Ham Gwat kesini, dan sekarang tibalah saatnya mereka
dimanfaatkan.... Karena pikirannya ini. Bu-bing mengurungkan niatnya, pedang ditarik kembali,
tiba-tiba ujung mulutnya mengulum senyum licik, tanpa bersuara tiba-tiba ia membalik dan lari ke
dalam Jianhud- tong. Heran dan tak habis mengerti Ham Gwat dibuatnya. Tadi ia lihat Bu-bing sudah
mengkonsentrasikan diri untuk melancarkan Lian-hoan-sam-sek dengan setaker
tenaganya, pertarungan yang bisa bikin dirinya kalah dan konyol daripada menang ternyata
batal dan terhenti. Keruan bukan kepalang rasa lega dan syukurnya. Pelan-pelan iapun simpan kembali
pedangnya, pandangannya menjadi kosong mengawasi mulut gua di mana tadi Bu-bing menghilang,
hatinya tengah menerawang tindakan Bu-bing untuk selanjutnya.
Sudah lentu segala sepak terjang dan tindak tanduk Bu-bing tidak lepas dari
pengawasannya karena sekian tahun ia hidup berduaan dengan Bu-bing, maka watak dan perangai
orang sedikit banyak sudah diselami olehnya. Setelah menyadari tindakan apa yang akan
dilakukan oleh Bu-bing Loni, ia jadi termenung dan menekan perasaannya, terpikir olehnya, "apa yang
harus kulakukan sekarang" Masuk ke Jian-hud-tong" Apa yang bakal terjadi di dalam nanti
sebelumnya sudah dapat ia bayangkan, sampai ia. menjadi ragu-ragu terhadap diri sendiri apakah
aku punya keberanian itu" Tapi bisakah aku tidak usah masuk"'
"Marilah kita masuk!" dari samping Sutouw Ci-ko mengajak.
Setelah direnungkan akhirnya Ham Gwat berkepastian, ia manggut-manggut, dengan
kalem mereka melangkah masuk ke dalam Jian-hud-tong.
Tak berapa jauh mereka masuk, tahu-tahu mereka dihadapi sebuah jalan bercabang,
mereka jadi bingung jalan mana harus mereka tempuh. Disaat Ham Gwat berdua sangsi
itulah mendadak Ham Gwat memutar tubuh dengan sebat. sesosok bayangan tahu-tahu sudah mengindap
dekat di belakang mereka, begitu Ham Gwat bergerak orang itu lantas menubruk dengan
kecepatan kilat seraya menghantamkan kedua telapak tangannya.
Ham Gwat mendengus berat, serta merta pedang panjangnya berkelebat menyontek
miring terus ditegakkan ke atas menusuk dada lawan. Nyata gerak gerik sipembokong ini
sebat luar biasa. ditengah jalan mendadak ia jumpalitan mencelat mundur, disaat yang sama
berbareng bayangan hitam yang lain sudah menyergap datang pula dari sebelah samping.
Dikala mendesak mundur penyergap pertama tadi sekilas pandang Ham Gwat sudah
dapat melihat orang itu adadah Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko, hatinya bercekat, dalam
hati ia membatin bukankah dia sudah berjanji kepada Thian-hi untuk menyembunyikan diri tidak
terjun kedunia Kangouw pula" Kenapa sekarang kembali ke Jian-hud-tong"
Waktu ia membalik tubuh dan menangkis sergapan musuh kedua dari samping lagi-
lagi bertambah besar kejutnya, mereka adalah gembong-gembong iblis yang pernah
berjanji pada Thian-hi untuk mengasingkan diri.
Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi, begitu
terdesak mundur tangkas sekali mereka sudah merangsak maju pula. Terpaksa Ham Gwat tidak
pandang bulu, sambil menghardik nyaring sebelah tangan kiri menarik Sutouw Ci-ko
berbareng pedang ditangan kanan berkelebat laksana lembayung memancarkan cahaya merah dadu,
dengan sejurus Wi-thian-tong-te (menjungkir langjt menggetar bumi), ia lancarkan serangan
pedang yang dahsyat untuk membela diri. sekaligus ia berhasil mendesak kedua musuhnya mundur pula,
selintas kesempatan mereka berhasil membelakangi dinding, dengan cermat mereka siap
menghadapi situasi di depan mata. Bing-tiong-mo-tho membawa dua kawan, mereka mengepung dan merangsak dari tiga
jurusan, sementara itu mereka tengah berhenti menghimpun tenaga dan mengatur napas untuk
melancarkan serangan gelombang kedua.
Saking uring-uringan cepat Ham Gwat menghardik, "Tahan! Bukankah kalian dulu
pernah berjanji tidak akan terjun kedunia persilatan lagi?"
Tapi ketiga orang itu tidak hiraukan segala ocehan Ham Gwat, pelan-pelan mereka
sudah angkat tangan, berbareng melancarkan gempuran ke arah Ham Gwat dan Sutouw Ci-ko.
Mencelos hati Ham Gwat, tak sempat banyak pikir, gelombang dahsyat laksana gugur
gunung dari gempuran gabungan ketiga musuh sudah melandai tiba, menghadapi rangsakan
tenaga raksasa ini Ham Gwat tidak berani menyambut secara keras, sambil menggeret
Sutouw Ci-ko, laksana seenteng asap terbawa angin. tahu-tahu mereka melayang menyingkir
sebelum gempuran dahsyat musuh tiba, begitu badan melejit terbang mereka mencari tempat berpijak
di dalam lorong gua sebelah lain. Gerak-gerik ketiga musuh juga tak kalah gesitnya, serempak mereka memutar dan
memburu maju, enam pasang mata mendelik ke arah Ham Gwat berdua.
Begitu melihat sinar mata ketiga orang ini baru bercekat hati Ham Gwat, sorot
mata mereka guram dan kaku seperti orang mati, lapat-lapat sanubarinya menyadari sesuatu
keganjilan yang sudah menjadi kenyataan, tak heran mereka tidak mau hiraukan seruannya, kiranya
mereka sudah sama dikerjain oleh Tok-sim-sin-mo.
Sementara itu ketiga musuh sudan menghampiri dekat, pikiran Ham Gwat bekerja
cepat, kedua matanya yang jeli dan tajam menerawang keadaan sekelilingnya. sambil menarik
Sutouw Ci-ko ia berkata, "Cici! Mari cari tempat lain untuk memghadapi mereka." - sembari
bersuara badan mereka pun sudah melambung tinggi melesat masuk ke dalam sebuah mulut gua
disebelah atas dipojok Sana. Cepat Sutouw Ci-ko ditarik ke belakangnya, dengan sebilah pedang ia rintangi
ketiga musuh yang mengejar datang. Di tempat yang sangat sempit ini Bing-tiong-mo-tho bertiga
menjaj mati kutu, apalagi mulut gua itu cukup tiba untuk lewat satu orang saja, tak mungkin
mereka bisa merangsak bersama pula. Meskipun Bing-tiong-mo-tho bertiga sama tokoh-tokoh kosen, tapi kepandaian Ham
Gwat rasanya tidak lebih asor dari mereka, apalagi dengan bersenjatakan pedang, dalam
sekejap saja ia mampu mentaburkan batang pedangnya laksana kitiran membentuk gugusan sinar
pedang laksana gunung kokohnya, maka dengan tenang dan mantap tanpa takut sedikitpun
selalu ia berhasil menghalau setiap gempuran mereka bertiga.
Sekejap saja saking cepat pertarungan mereka, seratus jurus sudah berlalu. Ham
Gwat lantas berkata kepada Sutouw Ci-ko, "Cici! Kau mundur dulu, segera kususul kau!"
Sutouw Ci-ko insaf kehadirannya di tempat itu menjadi penghalang dan mengganggu
konsentrasi permainan Ham Gwat melulu, cepat ia manggut mengiakan terus mundur
ke belakang. Setelan berjaga sekian lamanya dan dirasa temponya sudah mencukupi, pedangnya
mendadak menggelegak getar, hawa pedang lantas luber kesekelilingnya, sekaligus ia gempur
ketiga musuhnya tersurut mundur berulang-ulang, mendapat kesempatan ini gesit sekali ia
memutar tubuh dan berlari ke sebelah dalam.
Sudah tentu Bing,tiong-mo-tho bertiga tidak rela melepaskan Ham Gwat berdua.
mereka mengejar dengan ketat. Sekian saat Ham Gwat berlari-lari akhirnya ia tiba
dimulut gua sebelah sana, tapi seketika ia tersentak menjublek ditempatnya. Kiranya Bu-bing Loni
sudah menunggu disebelah depan sambil menyeringai iblis. Sutouw Ci-ko meringkuk dibawan
kakinya. Tanpa dipikir Ham Gwat lantas maklum apa yang telah terjadi, sudah tentu
parasnya berubah merah padam, dengan sengit segera ia labrak dengan seluruh tenaganya, pedangnya
memancarkan kuntum sinar pedang yang berkelompok2 sama menggempur ke arah Bu-
bing. Bu-bing kelihatan beringas, ujung kaki kanannya tiba-tiba diangkat serta
mengancam dijalan darah kematian dikepala Sutouw Ci-ko, serunya dengan gusar, "Jangan bergerak!" -
lalu ia tertawa dingin beberapa kali. Relung hati Ham Gwat laksana kena dipukui godam,
kalau ia turun tangan paling banyak cuma berhasil mendesak mundur Bu-bing, tapi jiwa Sutouw Ci-
ko bakal melayang dengan mengenaskan di bawah injakan kakinya....
Serta merta ia menghentikan gerak tubuhnya, serta mundur dua langkah, pedang
semampai turun dengan lemas, dengan putus asa. ia menghela napas. Dalam pada itu Bing-
tiong-mo-tho bertiga sudah mengejar tiba pula dibelakangnya, serentak mereka menghentikan
kaki karena bentakan Bu-bing Loni. Tanpa berpaling Ham Gwat sudah tahu bahwa tiga pengejarnya sudah menyandak tiba.
dalam keadaan ke depan tiada jalan dan belakang ada pengejar datang, Ham Gwat menjadi
tenang malah. Otaknya diperas untuk mencari jalan meloloskan diri, ia sudah dapat
meraba perbuatan Bu-bing ini pasti ada latar belakang yang tertentu. tujuannya bukan hendak
membunuh dirinya. Sambil tersenyum sinis Bu-bing Loni berkata, "Sekarang apa pula yang dapat aku
katakan?" Dalam waktu dekat Ham Gwat menjadi serba sulit. di belakang ada tiga musuh
tangguh, tempatnya pun sempit. di depan ia cuma menghadapi Bu-bing yang tidak membekal
senjata untuk menerjang keluar mungkin bisa berhasil cuma Sutouw Ci-ko yang meringkuk di bawah
Bu-bing itulah yang menjadi kekuatirannya.
Tujuan Bu-bing hendak memperalat Ham Gwat. sudah tentu ia tidak menghendaki
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang mampus saat ini juga. jikalau mau dengan sergapan dari dua jurusan, tambah
seorang Ham Gwat lagipun jangan harap dapat lari keluar. Cuma ia sudah mengenal karakter Ham
Gwat, orang tidak akan begitu mudah dikekang, bukan mustahil dalam keadaan yang kepepet ia terima
bunuh diri saja. "Ham Gwat!" Bu-bing menyeringai pula, "Sekarang masih dapat kuampuni jiwamu,
dimana Hun Thian-hi sekarang?" Mendengar ucapan Bu-bing Loni, tekanan perasaan Ham Gwat menjadi kendor, asal
Hun Thianhi keburu datang situasi bakal berubah dengan cepat. Akal yang menguntungkan satu-
satunya bagi dirinya yaitu mengulur waktu, setelah melihat tulisan yang ditinggalkan di
atas pohon sekejap saja Hun Thian-hi pasti dapat menyusul tiba.
Tapi dilahirnya sengaja ia mengunjuk rasa keheranan, tanyanya kepada Bu-bing,
"Kau dapat mengampuni aku?" Kini ganti Bu-bing merasa diluar dugaan, ia tahu perangai Ham Gwat maka bukan
kepalang herannya setelah mendengar pertanyaan Ham Gwat ini. Kalau menurut biasanya,
tentu dengan sikap dingin dan menantang ia balas mengejek dirinya.
Sambil mendengus ia berpikir, "Mungkin setelah bertemu dengan sanak kadangnya,
perangainya sudah berubah. Masa ada manusia yang benar-benar tidak takut
menghadapi kematian?" demikian pikir Bu-bing, maka cemoohnya. "Jadi kau sudah takut mati?"
Pertanyaan Bu-bing ini justru menepati tujuan Ham Gwat. ia jadi berkesempatan
melantur lebih jauh, "Apakah begitu anggapanmu?" - ia pun balas menyeringai.
"Ya, orang yang ikut bersama aku tiada yang takut mati, namun sekali dia
berpisah dengan aku, selalu kalian akan dikejar2 rasa ketakutan itu." demjkian jengeknya.
Memang siapa saja yang pernah hidup bersama Bu-bing apalagi sejak kecil ia sudah
biasa melihat adegan2 seram yang lebih menakutkan dari kematian, dalam ini Ham Gwat
memaklumi kata-katanya, karena dia sendiri pernah menyaksikan betapa kejam Bu-bing
menyiksa korbannya, tidak begitu gampang mereka mencari kematian.
Terbayang senyum manis diparas Ham Gwat, katanya tawar. "Orang yang hidup
bersamamu tidak akan merasa bahwa hidup di dunia banyak kejadian yang bisa meninggalkan
kesan mendalam dalam sanubarinya, lain pula bagi mereka yang hidup bebas, justru
mereka terbenam dalam kenangan indah yang selalu akan menghayati lubuk hati mereka."
"Jadi menurut katamu, kau ini merasa berkesan dan berat pula bagi kehidupan
manusia di dunia fana ini" Tapi kau harus ingat bahwa aku mampu membuatmu melenyapkan
segala kenangan dan kesan yang mendalam itu."
Berubah air muka Ham Gwat, entah tindakan apa yang akan dilakukan Bu-bing atas
dirinya. Bubing terkenal berhati culas dan kejam, perbuatan2 kejinya itu sudah menjadi kebiasaan
bagi tontonan. Dasar cerdik Ham Gwat tidak mau kalah adu mulut, ejeknya, "Aku kuatir justru kau
sendirilah yang tidak akan sempat lagi mengenang masa silammu. Ketahuilah Wi-thian-cit-
ciat-sek latihan Hun Thian-hi sudah sempurna. dan kau tidak akan lama tinggal hidup dalam dunia
ini." "Betulkah begitu" Tadi sudah kutanyakan jejaknya bukan" Dimana dia sekarang?"
"Dimana masa kau belum tahu" Sejak tadi dia sudah masuk! Tuh dibelakangmu!"
Tanpa sadar Bu-bing melengak dibuatnya, mengandal kepandiaian Thian-hi sekarang
kemungkinan dia sudah berada dibelakangnya tanpa diketahui, seketika dingin
perasaan hatinya. Tanpa bersuara Ham Gwat gunakan kesempatan yang balk ini, mendadak laksana anak
panah melesat ia berkelebat ke arah samping Bu-bing Loni.
Dikala Bu-bing sadar telah kena tipu, ia menghardik dengan amarah yang berapi-
api, kedua telapak tangannya menepuk melintang menempiling kepala dan membabat kepinggang.
Ham Gwat juga menggembor keras, pedang panjangnya tergetar mendengung ujung
pedangnya menusuk telak kedua biji mata Bu-bing Loni. Apa boleh buat terpaksa Bu-bing
urungkan serangan tangannya, ia membela diri lebih dulu untuk menyelamatkan kedua matanya,
sementara tubuh Ham Gwat sudah berkelebat pergi menyingkir jauh.
Tapi baru saja kakinya menginjak tanah. Bu-bing sudah membentak keras, "Ham
Gwat, apakah kau tidak hiraukan ayah bundamu lagi?"
Ham Gwat jadi tertegun. niatnya hendak menyingkir dulu baru mencari daya
menolong Sutouw Ci-ko. Namun ayah bundanya memang berada dicengkeraman musuh, mendengar ancaman
itu mau tidak mau ia harus berhenti dan lekas berpaling. Tampak Ong Ging-sia dan
Kiang Tiong-bing sedang berdiri disebelah sana, mereka sama mengawasi dirinya.
Tiba-tiba tergerak hati Ham Gwat, ia insaf bila ia tetap tinggal disitu
keadaannya pasti semakun runyam, cepat ia bergerak hendak tinggal pergi pula. Tak duga tiba-tiba
didengarnya suara Ong Ging-sia membentak, "Gwat-ji, Jangan pergi!"
Lagi-lagi Ham Gwat tertegun, karena kesangsiannya ini, sementara itu Bu-bing
sudah berkesempatan mencegat jalan larinya pula, sedang Bing-tiong-mo-tho bertiga pun
sudah mengepung dirinya juga. Sekilas Ham Gwat melirik ke arah ayah bundanya. ia tahu bahwa mereka tentu sudah
dicekoki obat beracun dan mendengar perintah Bu-bing, maka ia menyurut mundur terus,
akhirnya membelakangi dinding, keempat musuhnya pun mendesak maju dari berbagai penjuru.
Sekonyong-konyong ia merasa seluruh tenaganya seperti terkuras habis, tak
tertahan lagi air mata mengalir keluar. Kata Bu-bing dengan sikap dingin, "Ajah bundamu berada disini, akan kulihat
bagaimana kau bersikap!" Ong Ging-sia maju beberapa langkah, ujarnya, "Mana boleh kau begitu kasar
terhadap bibimu, semakin besar kau menjadi tidak genah, kenapa kau tidak mau dengar nasehatnya."
Didapati oleh Ham Gawt sinar mata Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing sama pudar
tak bercahaya, mimik wajahnya pun kaku tanpa ada perubahan apa-apa.
Mata Bu-bing menyorotkan perasaan senang dan seperti puas akan kemenangan, tapi
merasa dengki pula akan hubungan cinta kasih dan kasih sayang Ong Ging-sia terhadap Ham
Gwat, tampak matanya mendelik dan alis terangkat. Ong Ging-sia segera maju sambil
mengulurkan sebuah bungkusan kepada Ham Gwat, katanya, "Telanlah sebungkus obat ini!"
Tanpa disadari Ham Gwat menyamputi bungkus obat itu dan lantas hendak
ditelannya. Mendadak terlintas diujung matanya sorot mata Bu-bing yang memancarkan cahaya
terang, seketika ia menjadi sadar, batinnya, "Mana boleh aku menelan obat macam ini,
kalau aku menelan obat ini bagaimana nanti kalau Hun Thian-hi juga datang" - Tatkala itu mereka
pasti memperalat diriku untuk menekan atau memancing Hun Thian-hi, atau mungkin pula sebelum Hun
Thian-hi bersua dengan Bu-bing sudah keburu mampus ditangan mereka." Karena terpikir
sampai disitu segera ia angkat kepala, dengan tajam ia menyapu pandang kesekelilingnya.
Melihat sikap kesangsian Ham Gwat ini, cepat Bu-bing mendesaknya, "Perintah
ibumu berani juga kau bangkang?" Begitu meneliti keadaan sekelilingnya, Ham Gwat sudah menyadari keadaannya yang
serba terjepit ini, mana ia mau menelan obat itu, mendadak ia ayun tangan kiri
menghamburkan obat Kiu-li-san itu ke arah Bu-bing.
Mimpi juga Bu-bing tidak menyangka Ham Gwat berani berlaku senekad itu, sebat
sekali ia melejit menyingkir sembari membentak gusar, "Ham Gwat! Jangan kau salahkan aku
bertindak tidak sungkan-sungkan lagi terhadap kau!"
Dengan tenang Ham Gwat berdiri ditempatnya tanpa bersuara.
Sambil menggeram Bu-bing mengeluarkan sebungkus obat lagi diangsurkan kepada Ham
Gwat, katanya, "Kau kan paham, jiwa beberapa orang ini tergenggam ditanganku, kalau
kau tidak menelan obat ini.... Hm! Apa akibatnya kukira kau tentu paham."
"Jadi kau memang sengaja mau menekan dan mengancam aku?"
"Benar-benar! Memang aku mengancam kau, berani kau tidak dengar perintahku."
"Tujuanmu setelah aku menelan obat itu untuk menghadapi Hun Thian-hi bukan?"
"Begitulah, sekarang tergantung kau mau menelan tidak. Jangan kau lupa, jiwa
ayah bundamu tergenggam ditanganku." - sambil menyeringai penuh arti ia angsurkan pula
bungkus obat itu. Bertaut alis Ham Gwat. Menghadapi persoalan antara mati dan hidup, maka ia harus
cepat ambil keputusan, karena kalau dia menolak jiwa Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing
bakal tamat. Sebaliknya kalau dia menelan obat itu belum tentu Hun Thian-hi bisa terjebak dan
melayang jiwanya, pikir punya pikir akhirnya ia memilih yang ringan dari pada akibat yang
berat, pelan-pelan akhirnya ia angsurkan tangan menyambuti Kiu-li-san itu.
Bu-bing menyeringai lebar penuh kemenangan, bagaimana juga toh akhirnya Ham Gwat
tunduk pada dirinya. Tepat pada saat itulah dinding sebelah kiri mendadak mengeluarkan suara gemuruh
dan terbukalah sebuah pintu besar, sesosok bayangan manusia sambil membawa suitan
panjang melayang keluar, selarik cahaya merah terbang menyerang ke arah Bu-bing Loni.
Kejut Bu-bing seperti disengat kala, tanpa sempat mengendalikan yang lain, sebat
sekali ia berusaha berkelebat menyingkir. Kedatangan Hun Thian-hi ini membawa kesiur angin
berbau harum wangi yang cepat sekali memenuhi seluruh ruang gua itu.
Begitu melihat Hun Thian-hi benar-benar keburu tiba, saking girang dan diluar
dugaan Ham Gwat sampai berjingkrak kegirangan dan berteriak, "Thian-hi!" ia berteriak
secara reflek diluar kesadarannya, saking senang air mata sampai meleleh keluar.
Begitu Hun Thian-hi menginjak tanah, Bu-bing lantas menyeringai dingin,
kedatangan Thian-hi ini bukankah masuk perangkap sendiri" Cepat tangan kanannya melolos pedang
sementara matanya menoleh ke arah Bing-tiong-mo-tho maksudnya hendak memberi aba-aba, tapi
seketika itu berubah air mukanya, terlihat olehnya Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain
kelihatannya sudah sadar dan sedang termangu keheranan ditempatnya.
Cepat Hun Thian-hi berkata kepada Ham Gwat, "Cepat kau antar dulu paman dan bibi
keluar gua. Mereka baru saja siuman tentu masih letih dan lemas."
Bertambah girang hati Ham Gwat, sungguh tidak terkirakan olehnya, begitu Thian-
hi muncul sekaligus telah memunahkan obat beracun yang menyesatkan pikiran mereka, segera
ia mengiakan. Sementara itu Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing memang sudah siuman, begitu
melihat Ham Gwat, berbareng mereka berseru, "Nak....!"
Ham Gwat menubruk maju, bertiga mereka saling berpelukan.
Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho bertiga juga tengah termangu, agaknya mereka
sedang berpikir cara bagaimana mereka bisa berada di tempat itu.
Sudah tentu Bu-bing berjingkrak gusar, mendadak ia membanting kaki, secepat
kilat badannya melejit terbang menuju ke arah Sutouw Ci-ko yang meringkuk di tanah.
Hun Thian-hi menggertak panjang, semula ia tidak perhatikan Sutouw Ci-ko, saking
gugup sekali raup ia lantas timpukan serulingnya, berbareng ia tutul kakinya melejit
ke arah Sutouw Ci-ko pula. Serulingnya bersuit nyaring terbang mengarah punggung Bu-bing. Terpaksa
Bu-bing harus menyelamatkan diri lebih dulu dengan memiringkan tubuh dan menggeser ke kiri
sembari menyampokkan pedangnya ke belakang memukul jatuh seruling itu.
Tapi karena sedikit ayal ini Hun Thian-hi sudah keburu hinggap disamping Sutouw
Ci-ko, sekaligus ia mengulur tangan membebaskan tutukan jalan darah Sutouw Ci-ko terus
ditariknya mundur ke arah Ham Gwat beramai.
Dengan pandangan beringas yang meluap-luap gusarnya Bu-bing mendelik ke arah
mereka. Tanpa membuang waktu lagi. tiba-tiba ia melompat maju pedang diputar sekaligus
ia lancarkan tiga gelombang serangan pedang kepada Hun Thian-hi.
Thian-hi tidak berani gegabah, ia insaf Lwekang sendiri setingkat lebih rendah
dibanding lawan, betapa pun ia harus melawan sekuat tenaga. Tanpa ayal ia pun gerakkan pedangnya
dengan permainan Gin-ho-sam-sek setabir cahaya merah bergulung-gulung melingkupi
seluruh tubuhnya, ia pusatkan seluruh perhatian dan semangat menghadapi musuh tangguh ini.
Bu-bing Loni terkial-kial panjang, dimana pedangnya diputar laksana naga terbang
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selulup timbul mempermainkan bola ditengah mega, seiring dengan berkelebatnya badan,
yang selalu naik turun itu. ia gempur Hun Thian-hi dari berbagai penjuru.
"Lekas mundur!" teriak Hun Thian-hi. Ia menyadari keadaan yang gawat ini maka ia
balas melancarkan tiga serangan pedang yang dilandasi kekuatan tenaga dalamnya.
Ham Gwat juga menyadari situasi yang krisis ini, dengan penuh perhatian segera
ia berteriak, "Thian-hi kau sendiripun harus hati-hati!" lalu bersama Sutouw Ci-ko mereka
melindungi Ong Ging-sia berdua mundur keluar gua.
Begitu mendengar seruan yang penuh rasa kasih sayang dan prihatin itu, hangat
dan sjur hati Thian-hi, seketika terbangkit berlipat ganda semangat dan tenaganya, dimana
pedangnya berkelebat cahaya yang terpancar dari batang pedang semakin menyala, Bu-bing
menjadi kewalahan juga menghadapi tekadnya yang besar ini.
Kini gelanggang adu kepandaian tinggal Bu-bing dan Thian-hi berdua, betapapun
Bu-bing tidak akan melepas Hun Thian-hi lagi, ia sudah berkeputusan melancarkan Lian-hoan-sam-
sek, ilmu pedang yang dibanggakan dan paling diandalkan.
Tiba-tiba bayangan mereka terpental mundur berpencar.... Saat itu juga tiba-tiba
dari sebelah kiri yang dekat sekali berkumandang suara gelak tawa yang memekak kuping, di
lain saat Pek Sikiat sudah meluncur tiba di gelanggang pertempuran.
Keruan Bulbing kaget bukan main, pihak lawan kedatangan bala bantuan, sedang
Tok-sim-sinmo dan kaki tangannya berada di gua belakang menyelidiki keadaan istana sesat,
dengan seorang diri meski ia tidak takut tapi untuk mengalahkan kedua tokoh tangguh ini terang
tidak mungkin, maka tak berguna ia tinggal terlalu lama di tempat itu, Cepat ia putar tubuh
terus lari sipat kuping ke dalam sana. Sementara itu Pek Si-kiat sudah meluncur tiba disamping Thian-hi, cepat ia
berseru, "Lekas kejar, dalam jarak sepemanahan kita harus menyandaknya."
Semula Thian-hi tiada niat mengejar, tapi mendengar seruan Pek Si-kiat ini ia
menjadi berkeputusan untuk menyelesaikan persoalan ini secepat mungkin. Laksana luncuran
meteor di bawah petunjuk Pek Si-kiat mereka mengejar melalui jalan-jalan lain yang lebih
pendek, setelah berputar dan keluar masuk beberapa tikungan di dalam lorong gelap benar-benar
juga Bu-bing terlihat tidak jauh disebelah depan.
"Berhenti!" Hun Thian-hi membentak terus melompat tinggi menubruk disebelah
belakang seraya tabaskan pedangnya. Tiba-tiba Bu-bing pun berhenti seraya membalik dan
menusukan pedangnya juga, cukup sejurus serangan balasan ia patahkan serangan lawan dan
desak mundur Hun Thian-hi, jengeknya, "Kau kira aku takut terhadap kalian...."
Tanpa banyak bacot Thian-hi menerjang maju pula dengan sejurus Hun-liong-pian-
yu, Bu-bing mandah tersenyum ejek, pedangnya melintang kesamping terus memutar balik
beruntun ia balas menyerang dengan tiga tabasan berantai, ketiga serangan pedang ini sama mengarah
tempat mematikan ditubuh Thian-hi. Thian-hi didesak untuk menyelamatkan diri lebih
dulu. Dalam pada itu Pek Si-kiat juga sudah menerjang tiba, sambil menggembor seperti
auman singa kedua kepelannya menggenjot bergantian, dengan sepuluh bagian tenaganya ia
lancarkan pukulan Pek-kut-sin-ciang.
Bu-bing mandah menyeringai seram, pedangnya dipuntir dan disampokkan kesamping,
sekaligus dengan gerakan sambungan ia berhasil memunahkan rangsakan gelombang
pukulan Pek Si-kiat. Di saat Pek Si-kiat kesima keheranan itulah, Bu-bing sudah menyambung gerakan
pedangnya, Beruntun ia lancarkan Lian-hoan-sam-sek, tampak bibirnya menjebir bersuit
panjang menambah perbawa gerakan pedangnya, dimana badannya terapung selarik sinar pedang laksana
sabuk putih yang panjang sambung-menyambung berputar-putar mengandung tenaga dahsyat yang
bisa menggempur hancur gunung menerjang ke arah Thian-hi berdua.
Terkesiap darah Thian-hi, ia tak sempat melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek,
sebisa gerakan tangan Cu-hong-kiam ditangan kanan menggunakan jurus Gin-ho-sam-sek jurus kedua
dan ketiga yang punya daya pertahanan kuat dan rapat itu berkembang luas melingkupi seluruh
ruang gua itu. Larikan cahaya putih laksana bianglala yang menyolok mata sementara itu sudah
menukik turun langsung menembus ke dalam hawa pedang yang bercahaya merah itu. Dimana
ketajaman pedang yang kemilau itu menyelonong maju, hawa pedang Cu-hong-kiam kena terpecah
kedua arah dan akhirnya tak kuasa lagi bertahan.
Hun Thian-hi sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tapi toh tak kuasa melawan
serangan dahsyat musuh. Begitu cahaya kemilau membacok turun ujung pedang Bu-bing Loni
sudah tiba di atas kepalanya. Disaat ia pejamkan matanya menunggu ajal tiba-tiba Pek Si-kiat
menggembor keras, dengan Pek-kut-sin-kang ia menghantam sekuatnya ke arah lambung musuh.
Pukulan ini merupakan serangan yang mematikan, terpaksa Bu-bing harus berkelit
dan tenaga pukulan itu menjadi mengenai batang pedangnya, oleh benturan tenaga dahsyat ini
pedangnya kena tersampuk miring kesamping. Keruan bukan kepalang senang Thian-hi, pedang
panjangnya terayun naik menangkis rangsakan pedang Bu-bing yang hampir saja menembus
kepundaknya. Begitu saling bentur, lelatu api cuma meletik sedikit, ini membuktikan bahwa dua
belah pihak sudah sama kehabisan tenaga, mereka tidak kuasa lagi menggunakan keampuhan
Lwekang masing-masing untuk adu kekuatan.
Dilain saat tiga pihak sama mencelat mundur pula. Jidat Hun Thian-hi sudah
berkeringat, keadaannya sudah sangat payah. Demikian juga Bu-bing merasa dada mual cuma ia
pura-pura menenangkan hati. Keadaan Pek Si-kiat jauh lebih mending. Tapi masih berdiri
mematung tak berani bergerak. Setengah jam kemudian, tenaga masing-masing sudah dihimpun pulih sebagian besar,
Thian-hi berkeputusan menggunakan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menempur Bu-bing. Bu-bing
Loni juga menginsyafi bila Wi-thian-cit-ciat-sek Thian-hi sudah dilatih sempurna belum
tentu ia bisa mengambil kemenangan, apalagi dipihak lawan masih ada Pek Si-kiat seorang, te-
paksa ia menantang, "Hun Thian-hi! Berani kau bertempur satu lawan satu menentukan
kemenangan." Mendengar tantangan Bu-bing Loni, Thian-hi menghentikan gaya permulaan dari
permainan pedangnya yang sudah dipersiapkan hendak dilancarkan.
Sebaliknya Pek Si-kiat yang cukup berpengalaman terpaksa tertawa gelak-gelak,
cemoohnya, "Sekarang pihak kami dua melawan kau seorang. Sebaliknya berapa banyak pihakmu
tadi kau mengeroyok Ham Gwat seorang?"
"Ham Gwat maksudmu?" seringai Bu-bing, "Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk
membekuknya, buat apa harus orang lain, mereka cuma merintangi dia melarikan
diri saja...." "Kau mengancam dan menekan dia menelan obat beracun, apakah ini yang dikuatirkan
dia melarikan diri?" demikian jengek Hun Thian-hi.
Mendelik mata Bu-bing, serunya, "Kalian maju bersama pun aku tidak gentar, hayo
kenapa bermuka2 saja. silakan turun tangan."
Hun Thian-hl menjadi sengit, ucapan Bu-bing telah membakar sifat congkaknya,
segera ia berpaling katanya kepada Pek Si-kiat, "Paman Pek! Kau jaga disamping biar
kutempur Bu-bing seorang diri" "Jangan!" dengan tegas Pek Si-kiat menggeleng kepala, ia tahu bahwa satu lawan
satu Hun Thian-hi masih belum tandingan Bu-bing Loni, "Sekarang belum bisa! Kau harus
waspada akan tipunya mengulur waktu menanti bala bantuan. Bagaimana kalau Tok-sim-sin-mo
keburu tiba?" Bu-bing terkekeh-kekeh panjang sembari menabaskan pedangnya memutus pembicaraan
mereka. sekali turun tangan pedangnya bergerak terpencar kedua jurusan sekaligus
dalam segebrak ia menyerang kedua jurusan, seketika mereka berkutet lagi, serang
menyerang dengan sengit dan gegap gempita.
Sekejap saja seratus jurus telah berlalu, selama itu Bu-bing belum melihat Tok-
sim-sin-mo muncul, akhirnya ia tidak sabaran lagi, batang pedangnya menjungkit naik terus
membabat miring dari atas kebawah, Thian-hi berdua kena terdesak mundur, Bu-bing membalik tubuh
terus lari pula kegua sebelah belakang. Sudah tentu Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi juga maklum kemana jalan pikiran Bu-
bing, kalau dua belah pihak benar-benar bentrok, pihak sendiri dengan kekuatan dua orang ini
saja tentu sulit mengambil kemenangan. Tak berapa jauh, tiba-tiba Bu-bing berhenti dan
menyeringai tawa menunggu mereka dikala Hun Thian-hi berdua mengejar tiba ke sebelah dalam sana,
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam dtsertai gelak tawanya yang nyaring. Tahu-tahu
Tok-sim-sinmo sudah muncul dihadapan mereka.
Keruan Thian-hi berdua terkejut, tapi soal ini sudah mereka duga sebelumnya,
setelah tertegun sebentar, segera menerjang maju tanpa gentar.
Tok-sim-sin-mo mengeluarkan sebatang pedang, berendeng sama Bu-bing dua bilah
pedang dari kiri kanan menyongsong rangsakan Thian-hi dan Pek Si-kiat. Kontan Thian-hi
berdua terdesak mundur setindak. "Samte!" tiba-tiba Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, "Baik saja selama
berpisah?" Berubah air muka Pek Si-kiat, ia mandah menjengek dingin. Tiba-tiba Tok-sim-sin-
mo meraih ke belakang lalu melemparkan sebatang pedang kepada Pek Si-kiat, serunya, "Kau
tidak hiraukan hubungan persaudaraan kita dulu. tapi aku masih punya rasa kesetiaan akan
persaudaraan dulu. Hari ini meski pun kalian sendiri yang masuk perangkap, tapi sebelum ajal
kuhadiahkan sebatang pedang kepadamu, jangan nanti kau gunakan istilah "kesetiaan" itu untuk menista
aku." Pek Si-kiat menyambuti pedang itu tanpa bersuara, ia menginsafi situasi sangat
mendesak, maka tanpa sungkan-sungkan ia terima pemberian pedang itu.
"Jangan harap kalian bisa lolos dari kematian." demikian ejek Tok-sim-sin-mo,
tangan diulapkan enam laki-laki tua yang menenteng pedang segera melangkah keluar. Bukan saja
Lam-bing-itthiong ada diantara mereka, Bing-tiong-mo-tho pun ada bersama.
Sudah tentu kejadian yang tak terduga-duga ini membuat Pek Si-kiat dan Hun
Thian-hi sama kesirap, Bu-bing sendiri pun ikut terlongong, sungguh tak kira Tok-sim-sin-mo
punya akal yang sedemikian lihay dan licik.
Hun Thian-hi menjadi was-was, entah bagaimana keadaan Ham Gwat berempat.
"Kau merasa diluar dugaan bukan" Sebetulnya kan soal gampang saja, siang-siang
sudah kutunggu di sebelah depan, mereka bertiga baru saja sembuh berani angkat senjata
melawan aku memberi kesempatan empat yang lain kabur lebih dulu," sampai disini ia
memicingkan mata sambil mengulum senyum sadis, lalu sambungnya, "Seluk belukmu aku jelas sekali,
kau dapat menolong mereka sekali tidak mungkin menolong yang kedua kalinya, benar-benar
tidak" Hehehe, obat pemunah itu sayang cuma ada satu bungkus!"
Ia tertawa terpingkal-pingkal, seolah-olah sangat bangga dan puas akan sepak
terjangnya ini. Bahwa segala tindak tanduk Hun Thian-hi tidak lepas dari pengawasannya, ini
berarti ia sudah setingkat menang diatasnya.
Tapi justru perasaan Hun Thian-hi menjadi longgar setelah mendengar
penjelasannya ini, bahwa Ham Gwat berempat tidak mengalami bahaya lagi, sekarang tinggal menunggu
keenam orang ini maju lebih dekat.
Tok-sim-sin-mo tidak memberi kesempatan bagi Thian-hi menimang-nimang, ia
melirik memberi aba-aba kepada Bu-bing Loni, bersama mereka gerakan pedang menyerbu.
Lam-bing-ithiong berenam serempak juga lancarkan serangan pedang, dari delapan panjuru angin,
delapan batang pedang sekaligus menuruk ke arah mereka.
Seketika Hun Thian-hi rasakan tekanan besar bagai gugur gunung melandai dari
berbagai arah,
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
napas menjadi sesak, tapi mati-matian mereka mainkan pedangnya, kedua batang
pedang mereka bergerak mentaburkan jala sinar pedang yang silang menyilang sangat rapat
membendung serbuan kedelapan musuhnya.
Betapapun mereka bersuara, dengan kekuatan dua tenaga mana mampu melawan delapan
orang. Beruntun Thian-hi berdua sudah terdesak mundur enam langkah dengan
sempoyongan. Tok-sim-sin-mo bergelak menggila, tanyanya mengejek kepada Bu-bing Loni, "Suthay
menghendaki mereka segera mampus" Atau akan disiksa dulu biar mati lambat-
lambat?" "Kalau Ham Gwat dan lain-lain menyusul tiba, tentu keadaan sulit diselesaikan,
lebih baik bunuh saja mereka." demikian sahut Bu-bing.
"Agaknya Suthay terlalu lemah hati," demikian ujar Tok-sim-sin-mo sambil
bergelak tawa pula, sekali ayun serempak delapan pedang mulai bergerak pula. Sementara itu Hun
Thian-hi berdua sudah terdesak mundur berulang-ulang, terpaut tiga kaki lagi mereka sudah
terdesak mepet dinding. Sejak tadi Hun Thian-hi sudah waspada menerawang situasi gelanggang, sebelum
kedelapan pedang musuh melancarkan gelombang serangan yang ketiga kali, mendadak ia
bersuit nyaring, seiring dengan itu tubuhnya melejit menerjang ke arah satu jurusan. Tepat pada
saat itu pula kedelapan pedang musuh, susul menyusul sudah merangsak tiba merintangi jalan
larinya. Hun Thian-hi menghardik laksana geledek, dengan dilandasi seluruh kekuatannya
pedangnya melancarkan jurus terakhir dari Gin-ho-sam-sek yang hebat penjagaannya itu,
jurus ini memang peranti untuk membela diri tapi juga berguna balas menyerang, ujung pedangnya
sampai menyala seperti besi terbakar balas menyerang ke arah musuh.
Untungnya gerakan kedelapan pedang musuh kurang serasi dan saling atas-mengatasi
sendiri, justru serangan balasan Hun Thian-hi tepat pada waktunya dan persis pula
menyusup ke lobang kelemahan mereka, ujung pedangnya sekaligus berhasil menyampok miring senjata
musuh malah ada yang sampai terpental terbang. Dengan kesempatan ini ia berhasil menjebol
kepungan dan melesat keluar. Di saat itu juga bau wangi segera berkembang luas di tengah
udara. Keruan Toksim- sin-mo dan Bu-bing Loni sama berjingkrak kaget. Cepat mereka lihat Bing-tiong-
mo-tho dan Lam-bing-it-hiong berenam sedang tongol2 goyang2 kepala mulai siuman dan
mendeprok lemas duduk di tanah. Dikala Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing sama melongo tertegun inilah, Hun Thian-hi dan
Pek Si-kiat sudah melabrak tiba pula lebih sengit dan gemas. Kontan kedua gembong jahat ini
menjadi gelagapan, ciut nyalinya, sekarang mereka yang balik terdesak mundur, tapi ini
cuma sementara waktu karena tadi belum bersiaga, setelah pikiran tenang kini mereka mampu balas
menyerang pula mengatasi situasi. Dalam pada itu Lam-bing-it-hiong berenam sudah duduk samadi mengempos semangat
memulihkan tenaga. Keruan Hun Thian-hi berdua sangat girang, gabungan permainan
pedang mereka berkembang laksana layar perahu berkembang tertiup angin kencang,
sedemikian rapat mereka menjaga diri tanpa balas menyerang. Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing menjadi
kewalahan dan tak mampu berbuat banyak menghadapi kedua musuhnya ini. Mereka insaf kalau
terlalu lama bila keenam orang itu sudah pulih tenaganya, tentu mereka bakal bantu pihak Hun
Thian-hi melabrak diri sendiri, betapapun tinggi ilmu silat mereka mana mampu melawan keroyokan
delapan musuh. Cuma tak habis heran Tok-sim-sin-mo bahwa Hun Thian-hi ternyata masih punya
bungkusan obat pemunah yang lain. Tahu bila dilanjutkan situasi tidak menguntungkan
pihaknya akhirnya Tok-sim-sin-mo berkeputusan, serunya, "Kalian jangan keburu senang, ketahuilah
rahasia Badik buntung itu sudah dapat kupecahkan, aku sudah berhasil menemukan peta yang
berada di kerangka Badik buntung itu!"
Tepat pada saat itu juga dilihatnya Lam-bing-it-hiong berenam sudah membuka mata
dan serempak berdiri sambil menenteng pedang.
Tok-sim-sin-mo bergelak menggila, serunya, "Sementara kami mohon diri, selamat
bertemu di dalam istena sesat!" - bersama Bu-bing, mereka lari ke dalam.
Terpaksa Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi pimpin pengejaran. Pada saat itu pula Ham
Gwat dan lain-lain juga tengah mengejar tiba di belakang mereka.
Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni iangsung lari ke arah istana sesat. Teringat
akan peringatan IIwe- tok-kun, Hun Thian-hi menjadi gugup, bentaknya, "Jangan masuk kesana!"
Tapi dengan dipimpin Tok-sim-sin-mo diikuti Bu-bing Loni mereka terus menerjang
masuk ke dalam sebuah lorong panjang.
Begitu mendengar derap langkah Hun Thian-hi dibelakang, diam-diam bercekat
hatinya, "Bagaimana membebaskan diri dari kejaran Hun Thian-hi, Ni-hay-ki-tin terletak
didasar istana sesat ini, sekali2 jangan sampai Hun Thian-hi ikut sampai di tempat itu" - serta
merta langkah kakinya dipercepat melesat ke arah depan. Bu-bing mengintil tak jauh
dibelakangnya. Melihat orang menuju kejalan kematian, teriakannya tidak dihiraukan, Thian-hi
menjadi kehabisan akal. Kalau Tok-sim-sin-mo mempercepat langkah, sebaliknya ia harus
memperhatikan berapa kali tikungan kekanan atau kekiri, sehingga langkahhnya tidak bisa cepat,
tak lama kemudian bayangan kedua orang di depan sudah lenyap tak kelihatan.
Thian-hi menjadi gugup, baru saja ia mempercepat langkahnya, mendadak
didengarnya suara jeritan orang yang menusuk kuping, cepat ia melesat ke depan. Tampak disebelah
depan sana ditaburi kabut yang bergulung-gulung, Bu-bing Loni sedang berdiri terpaku
ketakutan. Sementara itu Tok-sim-sin-mo sudah menerjang ke dalam kabut itu. tampak
pedangnya terjatuh di tanah, kedua tangannya saling cengkeram dengan kencang, pelan-pelan
badannya mulai roboh terkapar, tak lama kemudian seluruh tubuhnya mencair menjadi
genangan air kuning. Terbelalak Hun Thian-hi menyaksikan adegan yang seram ini, hatinya mencelos.
Ucapan I-lwetok- kun. memang tidak salah, racun sedemikian jahatnya siapa yang pernah
menyaksikan. Tiba-tiba Bu-bing Loni membalik tubuh, serta dilihatnya Hun Thian-hi mengadang
disana, matanya memencarkan dendam dan gusar yang meluap-luap. Selama ini belum pernah
Thian-hi melihat mimik wajah Bu-bing sedemikian seram, tanpa sadar ia tergetar mundur.
Bu-bing melangkah setindak, pedangnya bergerak ia berkeputusan melancarkan Lian-
hoansam- sek menggempur Hun Thian-hi.
Dalam detik-detik antara mati dan hidup ini, entah darimana kekuatan Hun Thian-
hi, mulutnya menggembor keras, tubuhnya melambung ke tengah udara, Cu-hong-kiam bergetar
melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, disaat batang pedangnya cuma bergeser beberapa senti itu,
tenaga bergelombang laksana damparan ombak dahsyat melandai ke depan dari tujuh arah
sasaran yang berbeda menyongsong rangsakan Lian-hoan-sam-sek Bu-bing Loni.
Dua macam ilmu pedang tingkat tinggi yang tiada taranya saling mengadu kekuatan,
seketika hawa pedang membuat udara bergolak, cahaya merah dan putih saling berkutat
berkembang menjadi jalur2 laksaan banyaknya. "Tring" maka terlihat Hun Thian-hi terpental
mundur melayang jatuh dengan enteng dan tenang. Sebaliknya, Bu-bing Loni terpental mundur
sempoyongan ke belakang dimana kabut jahat itu menanti kedatangannya.
Mimpi pun Hun Thian-hi tidak menyangka bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya
sekarang sudah berada di atas tingkatan Lian-hoan-sam-sek, karena kegirangan sesaat dia
tertegun melongo, serta dilihatnya Bu-bing hampir roboh ke dalam kabut, kejutnya bukan
kepalang, rasa kemanusiaannya secara reflek menghendaki ia bertindak cepat.
Laksana kilat sembari menghardik ia melesat ke depan sambil meraih baju Bu-bing
terus ditarik balik mentah-mentah. Bu-bing angkat kepala dengan pandangan heran dan kejut ia
awasi Hun Thian-hi, tapi rasa heran dan kejut ini cuma sekilas saja, tiba-tiba pedang
panjangnya menabas miring menyapu pinggang Thian-hi....
Thian-hi tidak kira setelah jiwanya tertolong Bu-bing malah membalas budi dengan
dendam. tak sempat berkelit tahu-tahu bawah ketiak sebelah kanan sudah tergores panjang
terluka oleh pedang panjang Bu-bing. Sambil menahan sakit ia menyurut mundur dua tindak, dengan pandangan kaget dan
tak mengerti ia awasi Bu-bing. Bu-bing jadi melongo, tabasan pedangnya gerakan
secara reflek saja karena ia menyangka Hun Thian-hi hendak menawan dirinya. Tapi dari sorot mata
Hun Thian-hi ini baru dia menyadari tindakkannya yang salah, tujuan Hun Thian-hi tak lain cuma
hendak menolong jiwanya. Kematian Tok-sim-sin-mo yang mengerikan itu segera terbayang dalam benaknya,
selama hidup ini baru pertama ini timbul rasa penyesalan dalam sanubarinya.
Sekonyong-konyong seorang Nikoh pertengahan umur berjubah hijau mulus hinggap
dihadapan mereka. Seketika Hun Thian-hi menjerit heran, Nikoh ini bukan lain yang tempo hari
menolong Ma Gwat-sian dan gurunya. Sebaliknya begitu melihat Nikoh ini seketika pucat muka
Bu-bing, badan gemetar dan lemas, pedang tak kuasa dipegang lagi jatuh berkerontangan di tanah.
Lagi-lagi terdengar seruan kejut, Ham Gwat berlari datang ke depan Thian-hi.
serunya sambil menahan air mata, "Thian-hi bagaimana kau! Kenapa terluka begini berat?"
Hati Thian-hi menjadi sjurr dan hangat, sambil tersenyum manis pelan-pelan ia
tarik Ham Gwat ke dalam pelukannya, sahutnya tertawa, "Adik Ham Gwat, luka ringan saja. tidak
menjadi soal!" Merah jengah selebar muka Ham Gwat, katanya gugup, "Ajah dan ibu juga datang!"
Hun Thjan-hi melengak sebentar. ia pun rada jengah dar terhibur malah, katanya
tanpa berpaling, "Tidak menjadi soal!"
Karena dipeluk Ham Gwat tak enak meronta, terpaksa ia sesapkan kepalanya ke dada
Thian-hi. ia tak berani bersuara saking malu.
Sementara itu Nikoh pertengahan umur sudah berpaling ke arah mereka, katanya,
"Ma Gwatsian dan gurunya berada di tempatku, mereka minta aku menyampaikan salam bahagia
terhadap kalian, keadaan mereka baik-baik saja supaya kalian tak usah kuatir."
Terangkat kepala Ham Gwat, ia pandang Nikoh pertengahan umur dengan rasa girang
dan bersyukur pula. Nikoh itu berpaling muka lalu ujarnya pula, "Aku bernama julukan Ceng-i sian-cu!
Sekarang aku harus cepat pulang. Bu-bing kubawa sekalian!" - tanpa menanti penyahutan Thian-
hi berdua, ia tarik Bu-bing terus melayang pergi, sekejap saja menghilang dari pandangan mata.
Ham Gwat dan Hun Thian-hi sesaat melongo. Ceng-i sian-cu, bukankah beliau
kekasih Ah-lam Cuncia yang akhirnya menikah dengan Jing-bau-khek, bibi dari Goan Cong dan Goan
Liang, murid tunggal Hui-sim Sini" Ternyata dia masih hidup.
Tiba-tiba mereka mendengar suara tawa orang banyak, waktu mereka berpaling,
dimana berdiri sebaris orang, Sutouw Ci-ko dan ayah bunda Ham Gwat sama tersenyum girang penuh
bahagia. Saking malu jantung Ham Gwat hampir melonjak keluar, cepat ia sesapkan kepalanya
di pelukan Thian-hi pula. Sekian lama mereka saling berpelukan tanpa bersuara tanpa
hiraukan godaan orang lain lagi. Entah berapa lama berselang akhirnya Ham Gwat angkat kepala, tampak oleh Thian-
hi kedua pipinya bersemu merah seperti delima matang, paras kulit yang putih halus ini
tidak terlihat pucat seperti dulu lagi, pancaran matanya malah begitu mesra dan penuh cinta kasih.
TAMAT Kampung Setan 4 Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Istana Kumala Putih 16
darah, dari berjaga kini ia balas menyerang dengan gencar, seketika Ham Gwat
terdesak kerepotan di bawah angin.
Tapi Haa Gwat sudah tidak merasa takut lagi terhadan Bu-bing, bahwasanya
Lwekangnya sekarang terpaut tidak terlalu jauh dibanding Bu-bing, apalagi permainan pedang
Bu-bing pun dipahami pula, dalam seratus jurus betapa pun ia tidak akan terkalahkan, asal
Bu-bing tidak melancarkan Lian-hoan-sam sek, jurus berantai terakhir yang paling hebat.
Dari bertahan sekarang Bu-bing berinisiatif menyerang, hawa pedangnya berkembang
melebar melingkupi gelanggang pertempuran, tapi Ham Gwat tumplek seluruh perhatian dan
semangatnya melayani setiap rangsakan lawan, sedemikian rapat dan hati-hati ia menghadapi
lawan sehingga musuh tak berikesempatan menyelinap membokong atau mencari lobang kelemahannya.
Jurup demi jurus terus berlalu, lama kelamaan Bu-bing jadi uring-uringan dan
dongkol, masa murid didiknya sendiri ia tidak mampu membereskan, ini merupakan pukulan batin
dan kejadian yang sangat memalukan.... Soalnya Ham Gwat bermain semakin mantap sehingga ia
tidak kuasa berbuat apa-apa lagi. Semakin lama serangan Bu-bing semakin gencar, nafsunya membunuh semakin berkobar
pula, tidak melabrak dengan kesengitan tiba-tiba ia menarik mundur pedangnya malah dan
terus menyurut mundur. Ham Gwat juga melintangkan pedang mundur beberapa tindak, ia tidak mengejar
lebih lanjut. Permainan ilmu pedang Bu-bing sedemikian sampurna, Lwekangnya pun tinggi
setingkat di atas kemampuannya, cuma berjaga membela diri saja ia sudah kepayahan, mana ia berani
maju mengejar. Setelah mundur sampai jarak yang tertentu Bu-bing berhenti dan mengawasi Ham
Gwat dengan rasa kebencian yang meluap-luap, hawa membunuhnya sudah menghantui
sanubarinya, sorot matanya berubah beringas buas seperti mata serigala kelaparan. Dia sudah
berkeputusan untuk menggunakan ilmu pedang Lian-hoan-sam-sek yang menjadi permainan pedang
rahasia pribadinya, besar tekadnya melenyapkan jiwa Ham Gwat seketika itu juga.
Pedang panjang sudah terangkat pelan-pelan, sekonyong-konyong tergerak hatinya,
dengan menuruti kemauan hati melulu ia merasa betapa goblok dirinya ini, bukankah masih
ada musuh besar yang paling tangguh macam Hun Thian-hi belum lagi sempat kulenyapkan.
Bukankah Ham Gwat merupakan bahan sandera yang paling bermanfaat" Kenapa aku tidak meringkus
Ham Gwat untuk kujadikan kaki tangan dan alat melawan musuh. Dengan berbagai akal
akhirnya berhasil menawan ayah bunda Ham Gwat kesini, dan sekarang tibalah saatnya mereka
dimanfaatkan.... Karena pikirannya ini. Bu-bing mengurungkan niatnya, pedang ditarik kembali,
tiba-tiba ujung mulutnya mengulum senyum licik, tanpa bersuara tiba-tiba ia membalik dan lari ke
dalam Jianhud- tong. Heran dan tak habis mengerti Ham Gwat dibuatnya. Tadi ia lihat Bu-bing sudah
mengkonsentrasikan diri untuk melancarkan Lian-hoan-sam-sek dengan setaker
tenaganya, pertarungan yang bisa bikin dirinya kalah dan konyol daripada menang ternyata
batal dan terhenti. Keruan bukan kepalang rasa lega dan syukurnya. Pelan-pelan iapun simpan kembali
pedangnya, pandangannya menjadi kosong mengawasi mulut gua di mana tadi Bu-bing menghilang,
hatinya tengah menerawang tindakan Bu-bing untuk selanjutnya.
Sudah lentu segala sepak terjang dan tindak tanduk Bu-bing tidak lepas dari
pengawasannya karena sekian tahun ia hidup berduaan dengan Bu-bing, maka watak dan perangai
orang sedikit banyak sudah diselami olehnya. Setelah menyadari tindakan apa yang akan
dilakukan oleh Bu-bing Loni, ia jadi termenung dan menekan perasaannya, terpikir olehnya, "apa yang
harus kulakukan sekarang" Masuk ke Jian-hud-tong" Apa yang bakal terjadi di dalam nanti
sebelumnya sudah dapat ia bayangkan, sampai ia. menjadi ragu-ragu terhadap diri sendiri apakah
aku punya keberanian itu" Tapi bisakah aku tidak usah masuk"'
"Marilah kita masuk!" dari samping Sutouw Ci-ko mengajak.
Setelah direnungkan akhirnya Ham Gwat berkepastian, ia manggut-manggut, dengan
kalem mereka melangkah masuk ke dalam Jian-hud-tong.
Tak berapa jauh mereka masuk, tahu-tahu mereka dihadapi sebuah jalan bercabang,
mereka jadi bingung jalan mana harus mereka tempuh. Disaat Ham Gwat berdua sangsi
itulah mendadak Ham Gwat memutar tubuh dengan sebat. sesosok bayangan tahu-tahu sudah mengindap
dekat di belakang mereka, begitu Ham Gwat bergerak orang itu lantas menubruk dengan
kecepatan kilat seraya menghantamkan kedua telapak tangannya.
Ham Gwat mendengus berat, serta merta pedang panjangnya berkelebat menyontek
miring terus ditegakkan ke atas menusuk dada lawan. Nyata gerak gerik sipembokong ini
sebat luar biasa. ditengah jalan mendadak ia jumpalitan mencelat mundur, disaat yang sama
berbareng bayangan hitam yang lain sudah menyergap datang pula dari sebelah samping.
Dikala mendesak mundur penyergap pertama tadi sekilas pandang Ham Gwat sudah
dapat melihat orang itu adadah Bing-tiong-mo-tho Sukong Ko, hatinya bercekat, dalam
hati ia membatin bukankah dia sudah berjanji kepada Thian-hi untuk menyembunyikan diri tidak
terjun kedunia Kangouw pula" Kenapa sekarang kembali ke Jian-hud-tong"
Waktu ia membalik tubuh dan menangkis sergapan musuh kedua dari samping lagi-
lagi bertambah besar kejutnya, mereka adalah gembong-gembong iblis yang pernah
berjanji pada Thian-hi untuk mengasingkan diri.
Bing-tiong-mo-tho dan kawan2nya merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi, begitu
terdesak mundur tangkas sekali mereka sudah merangsak maju pula. Terpaksa Ham Gwat tidak
pandang bulu, sambil menghardik nyaring sebelah tangan kiri menarik Sutouw Ci-ko
berbareng pedang ditangan kanan berkelebat laksana lembayung memancarkan cahaya merah dadu,
dengan sejurus Wi-thian-tong-te (menjungkir langjt menggetar bumi), ia lancarkan serangan
pedang yang dahsyat untuk membela diri. sekaligus ia berhasil mendesak kedua musuhnya mundur pula,
selintas kesempatan mereka berhasil membelakangi dinding, dengan cermat mereka siap
menghadapi situasi di depan mata. Bing-tiong-mo-tho membawa dua kawan, mereka mengepung dan merangsak dari tiga
jurusan, sementara itu mereka tengah berhenti menghimpun tenaga dan mengatur napas untuk
melancarkan serangan gelombang kedua.
Saking uring-uringan cepat Ham Gwat menghardik, "Tahan! Bukankah kalian dulu
pernah berjanji tidak akan terjun kedunia persilatan lagi?"
Tapi ketiga orang itu tidak hiraukan segala ocehan Ham Gwat, pelan-pelan mereka
sudah angkat tangan, berbareng melancarkan gempuran ke arah Ham Gwat dan Sutouw Ci-ko.
Mencelos hati Ham Gwat, tak sempat banyak pikir, gelombang dahsyat laksana gugur
gunung dari gempuran gabungan ketiga musuh sudah melandai tiba, menghadapi rangsakan
tenaga raksasa ini Ham Gwat tidak berani menyambut secara keras, sambil menggeret
Sutouw Ci-ko, laksana seenteng asap terbawa angin. tahu-tahu mereka melayang menyingkir
sebelum gempuran dahsyat musuh tiba, begitu badan melejit terbang mereka mencari tempat berpijak
di dalam lorong gua sebelah lain. Gerak-gerik ketiga musuh juga tak kalah gesitnya, serempak mereka memutar dan
memburu maju, enam pasang mata mendelik ke arah Ham Gwat berdua.
Begitu melihat sinar mata ketiga orang ini baru bercekat hati Ham Gwat, sorot
mata mereka guram dan kaku seperti orang mati, lapat-lapat sanubarinya menyadari sesuatu
keganjilan yang sudah menjadi kenyataan, tak heran mereka tidak mau hiraukan seruannya, kiranya
mereka sudah sama dikerjain oleh Tok-sim-sin-mo.
Sementara itu ketiga musuh sudan menghampiri dekat, pikiran Ham Gwat bekerja
cepat, kedua matanya yang jeli dan tajam menerawang keadaan sekelilingnya. sambil menarik
Sutouw Ci-ko ia berkata, "Cici! Mari cari tempat lain untuk memghadapi mereka." - sembari
bersuara badan mereka pun sudah melambung tinggi melesat masuk ke dalam sebuah mulut gua
disebelah atas dipojok Sana. Cepat Sutouw Ci-ko ditarik ke belakangnya, dengan sebilah pedang ia rintangi
ketiga musuh yang mengejar datang. Di tempat yang sangat sempit ini Bing-tiong-mo-tho bertiga
menjaj mati kutu, apalagi mulut gua itu cukup tiba untuk lewat satu orang saja, tak mungkin
mereka bisa merangsak bersama pula. Meskipun Bing-tiong-mo-tho bertiga sama tokoh-tokoh kosen, tapi kepandaian Ham
Gwat rasanya tidak lebih asor dari mereka, apalagi dengan bersenjatakan pedang, dalam
sekejap saja ia mampu mentaburkan batang pedangnya laksana kitiran membentuk gugusan sinar
pedang laksana gunung kokohnya, maka dengan tenang dan mantap tanpa takut sedikitpun
selalu ia berhasil menghalau setiap gempuran mereka bertiga.
Sekejap saja saking cepat pertarungan mereka, seratus jurus sudah berlalu. Ham
Gwat lantas berkata kepada Sutouw Ci-ko, "Cici! Kau mundur dulu, segera kususul kau!"
Sutouw Ci-ko insaf kehadirannya di tempat itu menjadi penghalang dan mengganggu
konsentrasi permainan Ham Gwat melulu, cepat ia manggut mengiakan terus mundur
ke belakang. Setelan berjaga sekian lamanya dan dirasa temponya sudah mencukupi, pedangnya
mendadak menggelegak getar, hawa pedang lantas luber kesekelilingnya, sekaligus ia gempur
ketiga musuhnya tersurut mundur berulang-ulang, mendapat kesempatan ini gesit sekali ia
memutar tubuh dan berlari ke sebelah dalam.
Sudah tentu Bing,tiong-mo-tho bertiga tidak rela melepaskan Ham Gwat berdua.
mereka mengejar dengan ketat. Sekian saat Ham Gwat berlari-lari akhirnya ia tiba
dimulut gua sebelah sana, tapi seketika ia tersentak menjublek ditempatnya. Kiranya Bu-bing Loni
sudah menunggu disebelah depan sambil menyeringai iblis. Sutouw Ci-ko meringkuk dibawan
kakinya. Tanpa dipikir Ham Gwat lantas maklum apa yang telah terjadi, sudah tentu
parasnya berubah merah padam, dengan sengit segera ia labrak dengan seluruh tenaganya, pedangnya
memancarkan kuntum sinar pedang yang berkelompok2 sama menggempur ke arah Bu-
bing. Bu-bing kelihatan beringas, ujung kaki kanannya tiba-tiba diangkat serta
mengancam dijalan darah kematian dikepala Sutouw Ci-ko, serunya dengan gusar, "Jangan bergerak!" -
lalu ia tertawa dingin beberapa kali. Relung hati Ham Gwat laksana kena dipukui godam,
kalau ia turun tangan paling banyak cuma berhasil mendesak mundur Bu-bing, tapi jiwa Sutouw Ci-
ko bakal melayang dengan mengenaskan di bawah injakan kakinya....
Serta merta ia menghentikan gerak tubuhnya, serta mundur dua langkah, pedang
semampai turun dengan lemas, dengan putus asa. ia menghela napas. Dalam pada itu Bing-
tiong-mo-tho bertiga sudah mengejar tiba pula dibelakangnya, serentak mereka menghentikan
kaki karena bentakan Bu-bing Loni. Tanpa berpaling Ham Gwat sudah tahu bahwa tiga pengejarnya sudah menyandak tiba.
dalam keadaan ke depan tiada jalan dan belakang ada pengejar datang, Ham Gwat menjadi
tenang malah. Otaknya diperas untuk mencari jalan meloloskan diri, ia sudah dapat
meraba perbuatan Bu-bing ini pasti ada latar belakang yang tertentu. tujuannya bukan hendak
membunuh dirinya. Sambil tersenyum sinis Bu-bing Loni berkata, "Sekarang apa pula yang dapat aku
katakan?" Dalam waktu dekat Ham Gwat menjadi serba sulit. di belakang ada tiga musuh
tangguh, tempatnya pun sempit. di depan ia cuma menghadapi Bu-bing yang tidak membekal
senjata untuk menerjang keluar mungkin bisa berhasil cuma Sutouw Ci-ko yang meringkuk di bawah
Bu-bing itulah yang menjadi kekuatirannya.
Tujuan Bu-bing hendak memperalat Ham Gwat. sudah tentu ia tidak menghendaki
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang mampus saat ini juga. jikalau mau dengan sergapan dari dua jurusan, tambah
seorang Ham Gwat lagipun jangan harap dapat lari keluar. Cuma ia sudah mengenal karakter Ham
Gwat, orang tidak akan begitu mudah dikekang, bukan mustahil dalam keadaan yang kepepet ia terima
bunuh diri saja. "Ham Gwat!" Bu-bing menyeringai pula, "Sekarang masih dapat kuampuni jiwamu,
dimana Hun Thian-hi sekarang?" Mendengar ucapan Bu-bing Loni, tekanan perasaan Ham Gwat menjadi kendor, asal
Hun Thianhi keburu datang situasi bakal berubah dengan cepat. Akal yang menguntungkan satu-
satunya bagi dirinya yaitu mengulur waktu, setelah melihat tulisan yang ditinggalkan di
atas pohon sekejap saja Hun Thian-hi pasti dapat menyusul tiba.
Tapi dilahirnya sengaja ia mengunjuk rasa keheranan, tanyanya kepada Bu-bing,
"Kau dapat mengampuni aku?" Kini ganti Bu-bing merasa diluar dugaan, ia tahu perangai Ham Gwat maka bukan
kepalang herannya setelah mendengar pertanyaan Ham Gwat ini. Kalau menurut biasanya,
tentu dengan sikap dingin dan menantang ia balas mengejek dirinya.
Sambil mendengus ia berpikir, "Mungkin setelah bertemu dengan sanak kadangnya,
perangainya sudah berubah. Masa ada manusia yang benar-benar tidak takut
menghadapi kematian?" demikian pikir Bu-bing, maka cemoohnya. "Jadi kau sudah takut mati?"
Pertanyaan Bu-bing ini justru menepati tujuan Ham Gwat. ia jadi berkesempatan
melantur lebih jauh, "Apakah begitu anggapanmu?" - ia pun balas menyeringai.
"Ya, orang yang ikut bersama aku tiada yang takut mati, namun sekali dia
berpisah dengan aku, selalu kalian akan dikejar2 rasa ketakutan itu." demjkian jengeknya.
Memang siapa saja yang pernah hidup bersama Bu-bing apalagi sejak kecil ia sudah
biasa melihat adegan2 seram yang lebih menakutkan dari kematian, dalam ini Ham Gwat
memaklumi kata-katanya, karena dia sendiri pernah menyaksikan betapa kejam Bu-bing
menyiksa korbannya, tidak begitu gampang mereka mencari kematian.
Terbayang senyum manis diparas Ham Gwat, katanya tawar. "Orang yang hidup
bersamamu tidak akan merasa bahwa hidup di dunia banyak kejadian yang bisa meninggalkan
kesan mendalam dalam sanubarinya, lain pula bagi mereka yang hidup bebas, justru
mereka terbenam dalam kenangan indah yang selalu akan menghayati lubuk hati mereka."
"Jadi menurut katamu, kau ini merasa berkesan dan berat pula bagi kehidupan
manusia di dunia fana ini" Tapi kau harus ingat bahwa aku mampu membuatmu melenyapkan
segala kenangan dan kesan yang mendalam itu."
Berubah air muka Ham Gwat, entah tindakan apa yang akan dilakukan Bu-bing atas
dirinya. Bubing terkenal berhati culas dan kejam, perbuatan2 kejinya itu sudah menjadi kebiasaan
bagi tontonan. Dasar cerdik Ham Gwat tidak mau kalah adu mulut, ejeknya, "Aku kuatir justru kau
sendirilah yang tidak akan sempat lagi mengenang masa silammu. Ketahuilah Wi-thian-cit-
ciat-sek latihan Hun Thian-hi sudah sempurna. dan kau tidak akan lama tinggal hidup dalam dunia
ini." "Betulkah begitu" Tadi sudah kutanyakan jejaknya bukan" Dimana dia sekarang?"
"Dimana masa kau belum tahu" Sejak tadi dia sudah masuk! Tuh dibelakangmu!"
Tanpa sadar Bu-bing melengak dibuatnya, mengandal kepandiaian Thian-hi sekarang
kemungkinan dia sudah berada dibelakangnya tanpa diketahui, seketika dingin
perasaan hatinya. Tanpa bersuara Ham Gwat gunakan kesempatan yang balk ini, mendadak laksana anak
panah melesat ia berkelebat ke arah samping Bu-bing Loni.
Dikala Bu-bing sadar telah kena tipu, ia menghardik dengan amarah yang berapi-
api, kedua telapak tangannya menepuk melintang menempiling kepala dan membabat kepinggang.
Ham Gwat juga menggembor keras, pedang panjangnya tergetar mendengung ujung
pedangnya menusuk telak kedua biji mata Bu-bing Loni. Apa boleh buat terpaksa Bu-bing
urungkan serangan tangannya, ia membela diri lebih dulu untuk menyelamatkan kedua matanya,
sementara tubuh Ham Gwat sudah berkelebat pergi menyingkir jauh.
Tapi baru saja kakinya menginjak tanah. Bu-bing sudah membentak keras, "Ham
Gwat, apakah kau tidak hiraukan ayah bundamu lagi?"
Ham Gwat jadi tertegun. niatnya hendak menyingkir dulu baru mencari daya
menolong Sutouw Ci-ko. Namun ayah bundanya memang berada dicengkeraman musuh, mendengar ancaman
itu mau tidak mau ia harus berhenti dan lekas berpaling. Tampak Ong Ging-sia dan
Kiang Tiong-bing sedang berdiri disebelah sana, mereka sama mengawasi dirinya.
Tiba-tiba tergerak hati Ham Gwat, ia insaf bila ia tetap tinggal disitu
keadaannya pasti semakun runyam, cepat ia bergerak hendak tinggal pergi pula. Tak duga tiba-tiba
didengarnya suara Ong Ging-sia membentak, "Gwat-ji, Jangan pergi!"
Lagi-lagi Ham Gwat tertegun, karena kesangsiannya ini, sementara itu Bu-bing
sudah berkesempatan mencegat jalan larinya pula, sedang Bing-tiong-mo-tho bertiga pun
sudah mengepung dirinya juga. Sekilas Ham Gwat melirik ke arah ayah bundanya. ia tahu bahwa mereka tentu sudah
dicekoki obat beracun dan mendengar perintah Bu-bing, maka ia menyurut mundur terus,
akhirnya membelakangi dinding, keempat musuhnya pun mendesak maju dari berbagai penjuru.
Sekonyong-konyong ia merasa seluruh tenaganya seperti terkuras habis, tak
tertahan lagi air mata mengalir keluar. Kata Bu-bing dengan sikap dingin, "Ajah bundamu berada disini, akan kulihat
bagaimana kau bersikap!" Ong Ging-sia maju beberapa langkah, ujarnya, "Mana boleh kau begitu kasar
terhadap bibimu, semakin besar kau menjadi tidak genah, kenapa kau tidak mau dengar nasehatnya."
Didapati oleh Ham Gawt sinar mata Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing sama pudar
tak bercahaya, mimik wajahnya pun kaku tanpa ada perubahan apa-apa.
Mata Bu-bing menyorotkan perasaan senang dan seperti puas akan kemenangan, tapi
merasa dengki pula akan hubungan cinta kasih dan kasih sayang Ong Ging-sia terhadap Ham
Gwat, tampak matanya mendelik dan alis terangkat. Ong Ging-sia segera maju sambil
mengulurkan sebuah bungkusan kepada Ham Gwat, katanya, "Telanlah sebungkus obat ini!"
Tanpa disadari Ham Gwat menyamputi bungkus obat itu dan lantas hendak
ditelannya. Mendadak terlintas diujung matanya sorot mata Bu-bing yang memancarkan cahaya
terang, seketika ia menjadi sadar, batinnya, "Mana boleh aku menelan obat macam ini,
kalau aku menelan obat ini bagaimana nanti kalau Hun Thian-hi juga datang" - Tatkala itu mereka
pasti memperalat diriku untuk menekan atau memancing Hun Thian-hi, atau mungkin pula sebelum Hun
Thian-hi bersua dengan Bu-bing sudah keburu mampus ditangan mereka." Karena terpikir
sampai disitu segera ia angkat kepala, dengan tajam ia menyapu pandang kesekelilingnya.
Melihat sikap kesangsian Ham Gwat ini, cepat Bu-bing mendesaknya, "Perintah
ibumu berani juga kau bangkang?" Begitu meneliti keadaan sekelilingnya, Ham Gwat sudah menyadari keadaannya yang
serba terjepit ini, mana ia mau menelan obat itu, mendadak ia ayun tangan kiri
menghamburkan obat Kiu-li-san itu ke arah Bu-bing.
Mimpi juga Bu-bing tidak menyangka Ham Gwat berani berlaku senekad itu, sebat
sekali ia melejit menyingkir sembari membentak gusar, "Ham Gwat! Jangan kau salahkan aku
bertindak tidak sungkan-sungkan lagi terhadap kau!"
Dengan tenang Ham Gwat berdiri ditempatnya tanpa bersuara.
Sambil menggeram Bu-bing mengeluarkan sebungkus obat lagi diangsurkan kepada Ham
Gwat, katanya, "Kau kan paham, jiwa beberapa orang ini tergenggam ditanganku, kalau
kau tidak menelan obat ini.... Hm! Apa akibatnya kukira kau tentu paham."
"Jadi kau memang sengaja mau menekan dan mengancam aku?"
"Benar-benar! Memang aku mengancam kau, berani kau tidak dengar perintahku."
"Tujuanmu setelah aku menelan obat itu untuk menghadapi Hun Thian-hi bukan?"
"Begitulah, sekarang tergantung kau mau menelan tidak. Jangan kau lupa, jiwa
ayah bundamu tergenggam ditanganku." - sambil menyeringai penuh arti ia angsurkan pula
bungkus obat itu. Bertaut alis Ham Gwat. Menghadapi persoalan antara mati dan hidup, maka ia harus
cepat ambil keputusan, karena kalau dia menolak jiwa Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing
bakal tamat. Sebaliknya kalau dia menelan obat itu belum tentu Hun Thian-hi bisa terjebak dan
melayang jiwanya, pikir punya pikir akhirnya ia memilih yang ringan dari pada akibat yang
berat, pelan-pelan akhirnya ia angsurkan tangan menyambuti Kiu-li-san itu.
Bu-bing menyeringai lebar penuh kemenangan, bagaimana juga toh akhirnya Ham Gwat
tunduk pada dirinya. Tepat pada saat itulah dinding sebelah kiri mendadak mengeluarkan suara gemuruh
dan terbukalah sebuah pintu besar, sesosok bayangan manusia sambil membawa suitan
panjang melayang keluar, selarik cahaya merah terbang menyerang ke arah Bu-bing Loni.
Kejut Bu-bing seperti disengat kala, tanpa sempat mengendalikan yang lain, sebat
sekali ia berusaha berkelebat menyingkir. Kedatangan Hun Thian-hi ini membawa kesiur angin
berbau harum wangi yang cepat sekali memenuhi seluruh ruang gua itu.
Begitu melihat Hun Thian-hi benar-benar keburu tiba, saking girang dan diluar
dugaan Ham Gwat sampai berjingkrak kegirangan dan berteriak, "Thian-hi!" ia berteriak
secara reflek diluar kesadarannya, saking senang air mata sampai meleleh keluar.
Begitu Hun Thian-hi menginjak tanah, Bu-bing lantas menyeringai dingin,
kedatangan Thian-hi ini bukankah masuk perangkap sendiri" Cepat tangan kanannya melolos pedang
sementara matanya menoleh ke arah Bing-tiong-mo-tho maksudnya hendak memberi aba-aba, tapi
seketika itu berubah air mukanya, terlihat olehnya Bing-tiong-mo-tho dan lain-lain
kelihatannya sudah sadar dan sedang termangu keheranan ditempatnya.
Cepat Hun Thian-hi berkata kepada Ham Gwat, "Cepat kau antar dulu paman dan bibi
keluar gua. Mereka baru saja siuman tentu masih letih dan lemas."
Bertambah girang hati Ham Gwat, sungguh tidak terkirakan olehnya, begitu Thian-
hi muncul sekaligus telah memunahkan obat beracun yang menyesatkan pikiran mereka, segera
ia mengiakan. Sementara itu Ong Ging-sia dan Kiang Tiong-bing memang sudah siuman, begitu
melihat Ham Gwat, berbareng mereka berseru, "Nak....!"
Ham Gwat menubruk maju, bertiga mereka saling berpelukan.
Dalam pada itu Bing-tiong-mo-tho bertiga juga tengah termangu, agaknya mereka
sedang berpikir cara bagaimana mereka bisa berada di tempat itu.
Sudah tentu Bu-bing berjingkrak gusar, mendadak ia membanting kaki, secepat
kilat badannya melejit terbang menuju ke arah Sutouw Ci-ko yang meringkuk di tanah.
Hun Thian-hi menggertak panjang, semula ia tidak perhatikan Sutouw Ci-ko, saking
gugup sekali raup ia lantas timpukan serulingnya, berbareng ia tutul kakinya melejit
ke arah Sutouw Ci-ko pula. Serulingnya bersuit nyaring terbang mengarah punggung Bu-bing. Terpaksa
Bu-bing harus menyelamatkan diri lebih dulu dengan memiringkan tubuh dan menggeser ke kiri
sembari menyampokkan pedangnya ke belakang memukul jatuh seruling itu.
Tapi karena sedikit ayal ini Hun Thian-hi sudah keburu hinggap disamping Sutouw
Ci-ko, sekaligus ia mengulur tangan membebaskan tutukan jalan darah Sutouw Ci-ko terus
ditariknya mundur ke arah Ham Gwat beramai.
Dengan pandangan beringas yang meluap-luap gusarnya Bu-bing mendelik ke arah
mereka. Tanpa membuang waktu lagi. tiba-tiba ia melompat maju pedang diputar sekaligus
ia lancarkan tiga gelombang serangan pedang kepada Hun Thian-hi.
Thian-hi tidak berani gegabah, ia insaf Lwekang sendiri setingkat lebih rendah
dibanding lawan, betapa pun ia harus melawan sekuat tenaga. Tanpa ayal ia pun gerakkan pedangnya
dengan permainan Gin-ho-sam-sek setabir cahaya merah bergulung-gulung melingkupi
seluruh tubuhnya, ia pusatkan seluruh perhatian dan semangat menghadapi musuh tangguh ini.
Bu-bing Loni terkial-kial panjang, dimana pedangnya diputar laksana naga terbang
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
selulup timbul mempermainkan bola ditengah mega, seiring dengan berkelebatnya badan,
yang selalu naik turun itu. ia gempur Hun Thian-hi dari berbagai penjuru.
"Lekas mundur!" teriak Hun Thian-hi. Ia menyadari keadaan yang gawat ini maka ia
balas melancarkan tiga serangan pedang yang dilandasi kekuatan tenaga dalamnya.
Ham Gwat juga menyadari situasi yang krisis ini, dengan penuh perhatian segera
ia berteriak, "Thian-hi kau sendiripun harus hati-hati!" lalu bersama Sutouw Ci-ko mereka
melindungi Ong Ging-sia berdua mundur keluar gua.
Begitu mendengar seruan yang penuh rasa kasih sayang dan prihatin itu, hangat
dan sjur hati Thian-hi, seketika terbangkit berlipat ganda semangat dan tenaganya, dimana
pedangnya berkelebat cahaya yang terpancar dari batang pedang semakin menyala, Bu-bing
menjadi kewalahan juga menghadapi tekadnya yang besar ini.
Kini gelanggang adu kepandaian tinggal Bu-bing dan Thian-hi berdua, betapapun
Bu-bing tidak akan melepas Hun Thian-hi lagi, ia sudah berkeputusan melancarkan Lian-hoan-sam-
sek, ilmu pedang yang dibanggakan dan paling diandalkan.
Tiba-tiba bayangan mereka terpental mundur berpencar.... Saat itu juga tiba-tiba
dari sebelah kiri yang dekat sekali berkumandang suara gelak tawa yang memekak kuping, di
lain saat Pek Sikiat sudah meluncur tiba di gelanggang pertempuran.
Keruan Bulbing kaget bukan main, pihak lawan kedatangan bala bantuan, sedang
Tok-sim-sinmo dan kaki tangannya berada di gua belakang menyelidiki keadaan istana sesat,
dengan seorang diri meski ia tidak takut tapi untuk mengalahkan kedua tokoh tangguh ini terang
tidak mungkin, maka tak berguna ia tinggal terlalu lama di tempat itu, Cepat ia putar tubuh
terus lari sipat kuping ke dalam sana. Sementara itu Pek Si-kiat sudah meluncur tiba disamping Thian-hi, cepat ia
berseru, "Lekas kejar, dalam jarak sepemanahan kita harus menyandaknya."
Semula Thian-hi tiada niat mengejar, tapi mendengar seruan Pek Si-kiat ini ia
menjadi berkeputusan untuk menyelesaikan persoalan ini secepat mungkin. Laksana luncuran
meteor di bawah petunjuk Pek Si-kiat mereka mengejar melalui jalan-jalan lain yang lebih
pendek, setelah berputar dan keluar masuk beberapa tikungan di dalam lorong gelap benar-benar
juga Bu-bing terlihat tidak jauh disebelah depan.
"Berhenti!" Hun Thian-hi membentak terus melompat tinggi menubruk disebelah
belakang seraya tabaskan pedangnya. Tiba-tiba Bu-bing pun berhenti seraya membalik dan
menusukan pedangnya juga, cukup sejurus serangan balasan ia patahkan serangan lawan dan
desak mundur Hun Thian-hi, jengeknya, "Kau kira aku takut terhadap kalian...."
Tanpa banyak bacot Thian-hi menerjang maju pula dengan sejurus Hun-liong-pian-
yu, Bu-bing mandah tersenyum ejek, pedangnya melintang kesamping terus memutar balik
beruntun ia balas menyerang dengan tiga tabasan berantai, ketiga serangan pedang ini sama mengarah
tempat mematikan ditubuh Thian-hi. Thian-hi didesak untuk menyelamatkan diri lebih
dulu. Dalam pada itu Pek Si-kiat juga sudah menerjang tiba, sambil menggembor seperti
auman singa kedua kepelannya menggenjot bergantian, dengan sepuluh bagian tenaganya ia
lancarkan pukulan Pek-kut-sin-ciang.
Bu-bing mandah menyeringai seram, pedangnya dipuntir dan disampokkan kesamping,
sekaligus dengan gerakan sambungan ia berhasil memunahkan rangsakan gelombang
pukulan Pek Si-kiat. Di saat Pek Si-kiat kesima keheranan itulah, Bu-bing sudah menyambung gerakan
pedangnya, Beruntun ia lancarkan Lian-hoan-sam-sek, tampak bibirnya menjebir bersuit
panjang menambah perbawa gerakan pedangnya, dimana badannya terapung selarik sinar pedang laksana
sabuk putih yang panjang sambung-menyambung berputar-putar mengandung tenaga dahsyat yang
bisa menggempur hancur gunung menerjang ke arah Thian-hi berdua.
Terkesiap darah Thian-hi, ia tak sempat melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek,
sebisa gerakan tangan Cu-hong-kiam ditangan kanan menggunakan jurus Gin-ho-sam-sek jurus kedua
dan ketiga yang punya daya pertahanan kuat dan rapat itu berkembang luas melingkupi seluruh
ruang gua itu. Larikan cahaya putih laksana bianglala yang menyolok mata sementara itu sudah
menukik turun langsung menembus ke dalam hawa pedang yang bercahaya merah itu. Dimana
ketajaman pedang yang kemilau itu menyelonong maju, hawa pedang Cu-hong-kiam kena terpecah
kedua arah dan akhirnya tak kuasa lagi bertahan.
Hun Thian-hi sudah mengerahkan seluruh tenaganya, tapi toh tak kuasa melawan
serangan dahsyat musuh. Begitu cahaya kemilau membacok turun ujung pedang Bu-bing Loni
sudah tiba di atas kepalanya. Disaat ia pejamkan matanya menunggu ajal tiba-tiba Pek Si-kiat
menggembor keras, dengan Pek-kut-sin-kang ia menghantam sekuatnya ke arah lambung musuh.
Pukulan ini merupakan serangan yang mematikan, terpaksa Bu-bing harus berkelit
dan tenaga pukulan itu menjadi mengenai batang pedangnya, oleh benturan tenaga dahsyat ini
pedangnya kena tersampuk miring kesamping. Keruan bukan kepalang senang Thian-hi, pedang
panjangnya terayun naik menangkis rangsakan pedang Bu-bing yang hampir saja menembus
kepundaknya. Begitu saling bentur, lelatu api cuma meletik sedikit, ini membuktikan bahwa dua
belah pihak sudah sama kehabisan tenaga, mereka tidak kuasa lagi menggunakan keampuhan
Lwekang masing-masing untuk adu kekuatan.
Dilain saat tiga pihak sama mencelat mundur pula. Jidat Hun Thian-hi sudah
berkeringat, keadaannya sudah sangat payah. Demikian juga Bu-bing merasa dada mual cuma ia
pura-pura menenangkan hati. Keadaan Pek Si-kiat jauh lebih mending. Tapi masih berdiri
mematung tak berani bergerak. Setengah jam kemudian, tenaga masing-masing sudah dihimpun pulih sebagian besar,
Thian-hi berkeputusan menggunakan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menempur Bu-bing. Bu-bing
Loni juga menginsyafi bila Wi-thian-cit-ciat-sek Thian-hi sudah dilatih sempurna belum
tentu ia bisa mengambil kemenangan, apalagi dipihak lawan masih ada Pek Si-kiat seorang, te-
paksa ia menantang, "Hun Thian-hi! Berani kau bertempur satu lawan satu menentukan
kemenangan." Mendengar tantangan Bu-bing Loni, Thian-hi menghentikan gaya permulaan dari
permainan pedangnya yang sudah dipersiapkan hendak dilancarkan.
Sebaliknya Pek Si-kiat yang cukup berpengalaman terpaksa tertawa gelak-gelak,
cemoohnya, "Sekarang pihak kami dua melawan kau seorang. Sebaliknya berapa banyak pihakmu
tadi kau mengeroyok Ham Gwat seorang?"
"Ham Gwat maksudmu?" seringai Bu-bing, "Aku sendiri sudah lebih dari cukup untuk
membekuknya, buat apa harus orang lain, mereka cuma merintangi dia melarikan
diri saja...." "Kau mengancam dan menekan dia menelan obat beracun, apakah ini yang dikuatirkan
dia melarikan diri?" demikian jengek Hun Thian-hi.
Mendelik mata Bu-bing, serunya, "Kalian maju bersama pun aku tidak gentar, hayo
kenapa bermuka2 saja. silakan turun tangan."
Hun Thian-hl menjadi sengit, ucapan Bu-bing telah membakar sifat congkaknya,
segera ia berpaling katanya kepada Pek Si-kiat, "Paman Pek! Kau jaga disamping biar
kutempur Bu-bing seorang diri" "Jangan!" dengan tegas Pek Si-kiat menggeleng kepala, ia tahu bahwa satu lawan
satu Hun Thian-hi masih belum tandingan Bu-bing Loni, "Sekarang belum bisa! Kau harus
waspada akan tipunya mengulur waktu menanti bala bantuan. Bagaimana kalau Tok-sim-sin-mo
keburu tiba?" Bu-bing terkekeh-kekeh panjang sembari menabaskan pedangnya memutus pembicaraan
mereka. sekali turun tangan pedangnya bergerak terpencar kedua jurusan sekaligus
dalam segebrak ia menyerang kedua jurusan, seketika mereka berkutet lagi, serang
menyerang dengan sengit dan gegap gempita.
Sekejap saja seratus jurus telah berlalu, selama itu Bu-bing belum melihat Tok-
sim-sin-mo muncul, akhirnya ia tidak sabaran lagi, batang pedangnya menjungkit naik terus
membabat miring dari atas kebawah, Thian-hi berdua kena terdesak mundur, Bu-bing membalik tubuh
terus lari pula kegua sebelah belakang. Sudah tentu Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi juga maklum kemana jalan pikiran Bu-
bing, kalau dua belah pihak benar-benar bentrok, pihak sendiri dengan kekuatan dua orang ini
saja tentu sulit mengambil kemenangan. Tak berapa jauh, tiba-tiba Bu-bing berhenti dan
menyeringai tawa menunggu mereka dikala Hun Thian-hi berdua mengejar tiba ke sebelah dalam sana,
tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan hitam dtsertai gelak tawanya yang nyaring. Tahu-tahu
Tok-sim-sinmo sudah muncul dihadapan mereka.
Keruan Thian-hi berdua terkejut, tapi soal ini sudah mereka duga sebelumnya,
setelah tertegun sebentar, segera menerjang maju tanpa gentar.
Tok-sim-sin-mo mengeluarkan sebatang pedang, berendeng sama Bu-bing dua bilah
pedang dari kiri kanan menyongsong rangsakan Thian-hi dan Pek Si-kiat. Kontan Thian-hi
berdua terdesak mundur setindak. "Samte!" tiba-tiba Tok-sim-sin-mo menyeringai sadis, "Baik saja selama
berpisah?" Berubah air muka Pek Si-kiat, ia mandah menjengek dingin. Tiba-tiba Tok-sim-sin-
mo meraih ke belakang lalu melemparkan sebatang pedang kepada Pek Si-kiat, serunya, "Kau
tidak hiraukan hubungan persaudaraan kita dulu. tapi aku masih punya rasa kesetiaan akan
persaudaraan dulu. Hari ini meski pun kalian sendiri yang masuk perangkap, tapi sebelum ajal
kuhadiahkan sebatang pedang kepadamu, jangan nanti kau gunakan istilah "kesetiaan" itu untuk menista
aku." Pek Si-kiat menyambuti pedang itu tanpa bersuara, ia menginsafi situasi sangat
mendesak, maka tanpa sungkan-sungkan ia terima pemberian pedang itu.
"Jangan harap kalian bisa lolos dari kematian." demikian ejek Tok-sim-sin-mo,
tangan diulapkan enam laki-laki tua yang menenteng pedang segera melangkah keluar. Bukan saja
Lam-bing-itthiong ada diantara mereka, Bing-tiong-mo-tho pun ada bersama.
Sudah tentu kejadian yang tak terduga-duga ini membuat Pek Si-kiat dan Hun
Thian-hi sama kesirap, Bu-bing sendiri pun ikut terlongong, sungguh tak kira Tok-sim-sin-mo
punya akal yang sedemikian lihay dan licik.
Hun Thian-hi menjadi was-was, entah bagaimana keadaan Ham Gwat berempat.
"Kau merasa diluar dugaan bukan" Sebetulnya kan soal gampang saja, siang-siang
sudah kutunggu di sebelah depan, mereka bertiga baru saja sembuh berani angkat senjata
melawan aku memberi kesempatan empat yang lain kabur lebih dulu," sampai disini ia
memicingkan mata sambil mengulum senyum sadis, lalu sambungnya, "Seluk belukmu aku jelas sekali,
kau dapat menolong mereka sekali tidak mungkin menolong yang kedua kalinya, benar-benar
tidak" Hehehe, obat pemunah itu sayang cuma ada satu bungkus!"
Ia tertawa terpingkal-pingkal, seolah-olah sangat bangga dan puas akan sepak
terjangnya ini. Bahwa segala tindak tanduk Hun Thian-hi tidak lepas dari pengawasannya, ini
berarti ia sudah setingkat menang diatasnya.
Tapi justru perasaan Hun Thian-hi menjadi longgar setelah mendengar
penjelasannya ini, bahwa Ham Gwat berempat tidak mengalami bahaya lagi, sekarang tinggal menunggu
keenam orang ini maju lebih dekat.
Tok-sim-sin-mo tidak memberi kesempatan bagi Thian-hi menimang-nimang, ia
melirik memberi aba-aba kepada Bu-bing Loni, bersama mereka gerakan pedang menyerbu.
Lam-bing-ithiong berenam serempak juga lancarkan serangan pedang, dari delapan panjuru angin,
delapan batang pedang sekaligus menuruk ke arah mereka.
Seketika Hun Thian-hi rasakan tekanan besar bagai gugur gunung melandai dari
berbagai arah,
Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
napas menjadi sesak, tapi mati-matian mereka mainkan pedangnya, kedua batang
pedang mereka bergerak mentaburkan jala sinar pedang yang silang menyilang sangat rapat
membendung serbuan kedelapan musuhnya.
Betapapun mereka bersuara, dengan kekuatan dua tenaga mana mampu melawan delapan
orang. Beruntun Thian-hi berdua sudah terdesak mundur enam langkah dengan
sempoyongan. Tok-sim-sin-mo bergelak menggila, tanyanya mengejek kepada Bu-bing Loni, "Suthay
menghendaki mereka segera mampus" Atau akan disiksa dulu biar mati lambat-
lambat?" "Kalau Ham Gwat dan lain-lain menyusul tiba, tentu keadaan sulit diselesaikan,
lebih baik bunuh saja mereka." demikian sahut Bu-bing.
"Agaknya Suthay terlalu lemah hati," demikian ujar Tok-sim-sin-mo sambil
bergelak tawa pula, sekali ayun serempak delapan pedang mulai bergerak pula. Sementara itu Hun
Thian-hi berdua sudah terdesak mundur berulang-ulang, terpaut tiga kaki lagi mereka sudah
terdesak mepet dinding. Sejak tadi Hun Thian-hi sudah waspada menerawang situasi gelanggang, sebelum
kedelapan pedang musuh melancarkan gelombang serangan yang ketiga kali, mendadak ia
bersuit nyaring, seiring dengan itu tubuhnya melejit menerjang ke arah satu jurusan. Tepat pada
saat itu pula kedelapan pedang musuh, susul menyusul sudah merangsak tiba merintangi jalan
larinya. Hun Thian-hi menghardik laksana geledek, dengan dilandasi seluruh kekuatannya
pedangnya melancarkan jurus terakhir dari Gin-ho-sam-sek yang hebat penjagaannya itu,
jurus ini memang peranti untuk membela diri tapi juga berguna balas menyerang, ujung pedangnya
sampai menyala seperti besi terbakar balas menyerang ke arah musuh.
Untungnya gerakan kedelapan pedang musuh kurang serasi dan saling atas-mengatasi
sendiri, justru serangan balasan Hun Thian-hi tepat pada waktunya dan persis pula
menyusup ke lobang kelemahan mereka, ujung pedangnya sekaligus berhasil menyampok miring senjata
musuh malah ada yang sampai terpental terbang. Dengan kesempatan ini ia berhasil menjebol
kepungan dan melesat keluar. Di saat itu juga bau wangi segera berkembang luas di tengah
udara. Keruan Toksim- sin-mo dan Bu-bing Loni sama berjingkrak kaget. Cepat mereka lihat Bing-tiong-
mo-tho dan Lam-bing-it-hiong berenam sedang tongol2 goyang2 kepala mulai siuman dan
mendeprok lemas duduk di tanah. Dikala Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing sama melongo tertegun inilah, Hun Thian-hi dan
Pek Si-kiat sudah melabrak tiba pula lebih sengit dan gemas. Kontan kedua gembong jahat ini
menjadi gelagapan, ciut nyalinya, sekarang mereka yang balik terdesak mundur, tapi ini
cuma sementara waktu karena tadi belum bersiaga, setelah pikiran tenang kini mereka mampu balas
menyerang pula mengatasi situasi. Dalam pada itu Lam-bing-it-hiong berenam sudah duduk samadi mengempos semangat
memulihkan tenaga. Keruan Hun Thian-hi berdua sangat girang, gabungan permainan
pedang mereka berkembang laksana layar perahu berkembang tertiup angin kencang,
sedemikian rapat mereka menjaga diri tanpa balas menyerang. Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing menjadi
kewalahan dan tak mampu berbuat banyak menghadapi kedua musuhnya ini. Mereka insaf kalau
terlalu lama bila keenam orang itu sudah pulih tenaganya, tentu mereka bakal bantu pihak Hun
Thian-hi melabrak diri sendiri, betapapun tinggi ilmu silat mereka mana mampu melawan keroyokan
delapan musuh. Cuma tak habis heran Tok-sim-sin-mo bahwa Hun Thian-hi ternyata masih punya
bungkusan obat pemunah yang lain. Tahu bila dilanjutkan situasi tidak menguntungkan
pihaknya akhirnya Tok-sim-sin-mo berkeputusan, serunya, "Kalian jangan keburu senang, ketahuilah
rahasia Badik buntung itu sudah dapat kupecahkan, aku sudah berhasil menemukan peta yang
berada di kerangka Badik buntung itu!"
Tepat pada saat itu juga dilihatnya Lam-bing-it-hiong berenam sudah membuka mata
dan serempak berdiri sambil menenteng pedang.
Tok-sim-sin-mo bergelak menggila, serunya, "Sementara kami mohon diri, selamat
bertemu di dalam istena sesat!" - bersama Bu-bing, mereka lari ke dalam.
Terpaksa Pek Si-kiat dan Hun Thian-hi pimpin pengejaran. Pada saat itu pula Ham
Gwat dan lain-lain juga tengah mengejar tiba di belakang mereka.
Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni iangsung lari ke arah istana sesat. Teringat
akan peringatan IIwe- tok-kun, Hun Thian-hi menjadi gugup, bentaknya, "Jangan masuk kesana!"
Tapi dengan dipimpin Tok-sim-sin-mo diikuti Bu-bing Loni mereka terus menerjang
masuk ke dalam sebuah lorong panjang.
Begitu mendengar derap langkah Hun Thian-hi dibelakang, diam-diam bercekat
hatinya, "Bagaimana membebaskan diri dari kejaran Hun Thian-hi, Ni-hay-ki-tin terletak
didasar istana sesat ini, sekali2 jangan sampai Hun Thian-hi ikut sampai di tempat itu" - serta
merta langkah kakinya dipercepat melesat ke arah depan. Bu-bing mengintil tak jauh
dibelakangnya. Melihat orang menuju kejalan kematian, teriakannya tidak dihiraukan, Thian-hi
menjadi kehabisan akal. Kalau Tok-sim-sin-mo mempercepat langkah, sebaliknya ia harus
memperhatikan berapa kali tikungan kekanan atau kekiri, sehingga langkahhnya tidak bisa cepat,
tak lama kemudian bayangan kedua orang di depan sudah lenyap tak kelihatan.
Thian-hi menjadi gugup, baru saja ia mempercepat langkahnya, mendadak
didengarnya suara jeritan orang yang menusuk kuping, cepat ia melesat ke depan. Tampak disebelah
depan sana ditaburi kabut yang bergulung-gulung, Bu-bing Loni sedang berdiri terpaku
ketakutan. Sementara itu Tok-sim-sin-mo sudah menerjang ke dalam kabut itu. tampak
pedangnya terjatuh di tanah, kedua tangannya saling cengkeram dengan kencang, pelan-pelan
badannya mulai roboh terkapar, tak lama kemudian seluruh tubuhnya mencair menjadi
genangan air kuning. Terbelalak Hun Thian-hi menyaksikan adegan yang seram ini, hatinya mencelos.
Ucapan I-lwetok- kun. memang tidak salah, racun sedemikian jahatnya siapa yang pernah
menyaksikan. Tiba-tiba Bu-bing Loni membalik tubuh, serta dilihatnya Hun Thian-hi mengadang
disana, matanya memencarkan dendam dan gusar yang meluap-luap. Selama ini belum pernah
Thian-hi melihat mimik wajah Bu-bing sedemikian seram, tanpa sadar ia tergetar mundur.
Bu-bing melangkah setindak, pedangnya bergerak ia berkeputusan melancarkan Lian-
hoansam- sek menggempur Hun Thian-hi.
Dalam detik-detik antara mati dan hidup ini, entah darimana kekuatan Hun Thian-
hi, mulutnya menggembor keras, tubuhnya melambung ke tengah udara, Cu-hong-kiam bergetar
melancarkan Wi-thian-cit-ciat-sek, disaat batang pedangnya cuma bergeser beberapa senti itu,
tenaga bergelombang laksana damparan ombak dahsyat melandai ke depan dari tujuh arah
sasaran yang berbeda menyongsong rangsakan Lian-hoan-sam-sek Bu-bing Loni.
Dua macam ilmu pedang tingkat tinggi yang tiada taranya saling mengadu kekuatan,
seketika hawa pedang membuat udara bergolak, cahaya merah dan putih saling berkutat
berkembang menjadi jalur2 laksaan banyaknya. "Tring" maka terlihat Hun Thian-hi terpental
mundur melayang jatuh dengan enteng dan tenang. Sebaliknya, Bu-bing Loni terpental mundur
sempoyongan ke belakang dimana kabut jahat itu menanti kedatangannya.
Mimpi pun Hun Thian-hi tidak menyangka bahwa latihan Wi-thian-cit-ciat-seknya
sekarang sudah berada di atas tingkatan Lian-hoan-sam-sek, karena kegirangan sesaat dia
tertegun melongo, serta dilihatnya Bu-bing hampir roboh ke dalam kabut, kejutnya bukan
kepalang, rasa kemanusiaannya secara reflek menghendaki ia bertindak cepat.
Laksana kilat sembari menghardik ia melesat ke depan sambil meraih baju Bu-bing
terus ditarik balik mentah-mentah. Bu-bing angkat kepala dengan pandangan heran dan kejut ia
awasi Hun Thian-hi, tapi rasa heran dan kejut ini cuma sekilas saja, tiba-tiba pedang
panjangnya menabas miring menyapu pinggang Thian-hi....
Thian-hi tidak kira setelah jiwanya tertolong Bu-bing malah membalas budi dengan
dendam. tak sempat berkelit tahu-tahu bawah ketiak sebelah kanan sudah tergores panjang
terluka oleh pedang panjang Bu-bing. Sambil menahan sakit ia menyurut mundur dua tindak, dengan pandangan kaget dan
tak mengerti ia awasi Bu-bing. Bu-bing jadi melongo, tabasan pedangnya gerakan
secara reflek saja karena ia menyangka Hun Thian-hi hendak menawan dirinya. Tapi dari sorot mata
Hun Thian-hi ini baru dia menyadari tindakkannya yang salah, tujuan Hun Thian-hi tak lain cuma
hendak menolong jiwanya. Kematian Tok-sim-sin-mo yang mengerikan itu segera terbayang dalam benaknya,
selama hidup ini baru pertama ini timbul rasa penyesalan dalam sanubarinya.
Sekonyong-konyong seorang Nikoh pertengahan umur berjubah hijau mulus hinggap
dihadapan mereka. Seketika Hun Thian-hi menjerit heran, Nikoh ini bukan lain yang tempo hari
menolong Ma Gwat-sian dan gurunya. Sebaliknya begitu melihat Nikoh ini seketika pucat muka
Bu-bing, badan gemetar dan lemas, pedang tak kuasa dipegang lagi jatuh berkerontangan di tanah.
Lagi-lagi terdengar seruan kejut, Ham Gwat berlari datang ke depan Thian-hi.
serunya sambil menahan air mata, "Thian-hi bagaimana kau! Kenapa terluka begini berat?"
Hati Thian-hi menjadi sjurr dan hangat, sambil tersenyum manis pelan-pelan ia
tarik Ham Gwat ke dalam pelukannya, sahutnya tertawa, "Adik Ham Gwat, luka ringan saja. tidak
menjadi soal!" Merah jengah selebar muka Ham Gwat, katanya gugup, "Ajah dan ibu juga datang!"
Hun Thjan-hi melengak sebentar. ia pun rada jengah dar terhibur malah, katanya
tanpa berpaling, "Tidak menjadi soal!"
Karena dipeluk Ham Gwat tak enak meronta, terpaksa ia sesapkan kepalanya ke dada
Thian-hi. ia tak berani bersuara saking malu.
Sementara itu Nikoh pertengahan umur sudah berpaling ke arah mereka, katanya,
"Ma Gwatsian dan gurunya berada di tempatku, mereka minta aku menyampaikan salam bahagia
terhadap kalian, keadaan mereka baik-baik saja supaya kalian tak usah kuatir."
Terangkat kepala Ham Gwat, ia pandang Nikoh pertengahan umur dengan rasa girang
dan bersyukur pula. Nikoh itu berpaling muka lalu ujarnya pula, "Aku bernama julukan Ceng-i sian-cu!
Sekarang aku harus cepat pulang. Bu-bing kubawa sekalian!" - tanpa menanti penyahutan Thian-
hi berdua, ia tarik Bu-bing terus melayang pergi, sekejap saja menghilang dari pandangan mata.
Ham Gwat dan Hun Thian-hi sesaat melongo. Ceng-i sian-cu, bukankah beliau
kekasih Ah-lam Cuncia yang akhirnya menikah dengan Jing-bau-khek, bibi dari Goan Cong dan Goan
Liang, murid tunggal Hui-sim Sini" Ternyata dia masih hidup.
Tiba-tiba mereka mendengar suara tawa orang banyak, waktu mereka berpaling,
dimana berdiri sebaris orang, Sutouw Ci-ko dan ayah bunda Ham Gwat sama tersenyum girang penuh
bahagia. Saking malu jantung Ham Gwat hampir melonjak keluar, cepat ia sesapkan kepalanya
di pelukan Thian-hi pula. Sekian lama mereka saling berpelukan tanpa bersuara tanpa
hiraukan godaan orang lain lagi. Entah berapa lama berselang akhirnya Ham Gwat angkat kepala, tampak oleh Thian-
hi kedua pipinya bersemu merah seperti delima matang, paras kulit yang putih halus ini
tidak terlihat pucat seperti dulu lagi, pancaran matanya malah begitu mesra dan penuh cinta kasih.
TAMAT Kampung Setan 4 Pendekar Pulau Neraka 03 Lambang Kematian Istana Kumala Putih 16