Pencarian

Badik Buntung 18

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 18


Terdengar Bian-hok Lojin berseru heran, pikirnya, "bocah ini terlalu takabur,
badan masih terapung di tengah udara berani beradu kekuatan dengan Lohu.
Soalnya ia tidak tahu bahwa Thian-hi adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek,
cara adu kekuatan macam ini benar-benar si orang tua minta gebuk dan harus diberi hajaran,
seumpama Bu-bing Loni disini dia pun tidak akan berani mengadu kekuatan secara kekerasan begini,
apalagi Bian-hok Lojin, meski Lwekangnya tidak lemah, namun mana dia kuasa bertahan diri
menghadapi kedahsyatan tenaga Wi-thian-cit-ciat-sek yang tiada taranya ini.
Bab 34 Begitu Bian-hok Lojin menyendal pedangnya, sementara Hun Thian-hi masih belum
kerahkan tenaga pendamnya, sehingga seluruh tubuhnya ikut terangkat naik. Agaknya Bian-
hok Lojin sangat bangga, ia sudah kerahkan seluruh tenaganya untuk menjungkir balikkan
tubuh Thian-hi berbareng kirim sebuah tusukan dengan getaran pedangnya yang dahsyat untuk
mencelakai jiwa Hun Thian-hi. Thian-hi sudah meraba jalan pikiran Bian-hok Lojin, tapi ia pun segan
mengerahkan kekuatan Wi-thian-cit-ciat-sek untuk menggetar balikkan kekuatan lawan supaya
membinasakan jiwanya, seluruh batang pedangnya sudah gemetar dan melengkung, seluruh batang Cu-hong-
kiam memancarkan cahaya merah dadu, itulah pertanda bahwa kekuatan Wi-thian-cit-ciat-
sek sudah dikembangkan menggempur lang-sung ke arah Bian-hok Lojin.
Sekonyong-konyong Bian-hok Lojin merasa segulung tenaga besar laksana gugur
gunung meluruk ke arah dirinya dari berbagai jurusan yang berlawanan, keruan kejutnya
bukan kepalang, baru sekarang ia menyadari kejadian apa yang bakal terjadi akan keselamatan
jiwanya. Hawa pedang segera bergolak ditengah udara, tanpa kuasa pedang panjang kena
tersedot dan terpental terbang ke tengah udara, terdengarlah suara gemeratak batang pedang
itu tergempur putus berantakan ditengah udara menjadi beberapa potong, sementara tubuhnya juga
terdorong pontang-panting oleh terjangan tenaga besar yang melandai.
Belum lagi Bian-hok Lojin sempat berdiri dan bernapas Cu-hong-kiam di tangan
Thian-hi sudah membabat tiba mengarah tenggorokannya. Tampak mata Bian-hok Lojin memancarkan
rasa kejut dan ketakutan, tapi dalam kejap lain mendadak ujung mulutnya mengulum senyum
kegirangan pula. Thian-hi jadi melengak, bersama itu terasa angin dingin menyampok tiba dari
belakangnya, sigap sekali ia menggeser kaki seraya memutar tubuh, ternyata Ce-hun Totiang
tengah meluncur datang, keruan ia jadi kaget, ia sadar dirinya telah tertipu lagi, waktu ia
membalik lagi sementara Bian-hok Lojin sudah terbang keluar rumah seraya tertawa gelak-gelak. Thian-hi
menghardik keras, badannya mencelat mengejar.
Disaat badan Bian-hok Lojin melayang turun kebetulan Bun Cu-giok sedang memburu
datang, ditengah gelak tawanya Bian-hok Lojin mengebutkan lengan bajunya, jaraknya
dengan Bun Cugiok kira-kira setombak lebih, kontan Bun Cu-giok tergetar sempoyongan oleh tenaga
kebutan lengan baju orang, dalam kejap lain si orang tua sudah menghilang pula di dalam
rumah. Bagai terbang Hun Thian-hi mengejar dengan ketat, tapi ia tidak berhasil
menyandak musuhnya, begitu mengejar masuk ke dalam rumah, keadaan gelap gulita, jejak
Bian-hok Lojin sudah menghilang. Mau tak mau ia memuji dalam hati, mimpi juga tak terduga
olehnya dikala Cehun Totiang mengejar datang malah dia mengunjuk senyum dikulum, daya pikiran dan
ketenangan hatinya yang besar ini sungguh harus dipuji, serta merta ia menghela
napas gegetun. Kejap lain Ce-hun Totiang juga telah tiba, dengan geregetan ia berkata, "Saking
gugup Pinto sampai berbuat ceroboh, usaha Siauhiap yang mendekati hasil gemilang menjadi
berantakan oleh kecerobohanku!" -saking sesal ia banting kaki.
"Totiang tidak perlu salahkan diri sendiri, aku sendiripun belum tentu dapat
berhasil mengalahkan dia, cuma ia salah perhitungan mau jajal adu kekuatan sehingga kena
kecundang, kecerdikan otaknya betapa pun sangat mengagumkan, meski ia berhasil lolos pun
tidak perlu dibuat getun, yang terang dia masih berada di dalam gedung ini! Cepat atau
lambat kita akan menemukan dia pula!"
Hari sudah terang tanah, Hun Thian-hi bertiga semalam suntuk ubek2an menjelajahi
segala pelosok gedung besar itu tanpa menemukan jelak Bian-hok Lojin, mereka jadi gemes
dongkol, kalau Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri tidak mau keluar, mereka tidak
mampu berbuat apa-apa. Sinar matahari menerangi semua pelosok gedung itu, kata Hun Thian-hi kepada Ce-
hun Totiang, "Cuaca terang benderang, kita bisa melihat dan memeriksa.lebih teliti,
aku akan periksa sekali lagi, aku tidak percaya masa dia menyembunyikan diri tanpa bisa
diketemukan." Ce-hun Totiang insaf dirinya sudah terluka, ilmu silat Bun Cu-giok terpaut jauh
sekali dibanding Thian-hi, mereka cuma bakal merupakan beban saja, maka ia mengangguk setuju,
katanya, "Kalau begitu menyulitkan Siauhiap saja, Siauhiap harus hati-hati jangan sampai
dijebak!" Thian-hi manggut-manggut, di lain saat ia sudah mulai pencariannya dengan
teliti. Di bawah penerangan sinar matahari, keadaan dalam gedung bobrok jelas sekali,
kelihatannya seperti sudah
ratusan tahun tidak pernah dihuni atau diperbaiki lagi, banyak tempat yang sudah
keropos dan mulai gugur. Thian-hi memasuki sebuah serambi panjang dari serentetan kamar2 yang terdiri
dari papan, sekian lama Thian-hi ubek2an dalam rumah papan ini tanpa menemukan sesuatu yang
mencurigakan, lambat laun hatinya menjadi kecewa dan putus asa. Baru saja ia
bergerak hendak kembali keluar, tiba-tiba didengarnya suara keresekan yang lirih sekali. Thian-
hi terkejut, cepat ia membalikkan tubuh, dilihatnya si tua Kelelawar sedang berdiri di belakangnya.
Mengawasi orang tua di hadapannya Hun Thian-hi melongo dibuatnya, ia heran
kenapa selama ini dirinya ubek2an Bian-hok Lojin sengaja menyembunyikan diri, sebaliknya kini
muncul secara mendadak membuat kaget orang saja.
Sekian lama mereka beradu pandang tanpa bergerak dan tidak bersuara, akhirnya
Thian-hi jadi rikuh sendiri, katanya sambil menatap tajam si orang tua di depannya, "Kau harus
segera membebaskan Nona Ciok Yan!"
Pandangan Bian-hok Lojin dingin tanpa perasaan, sahutnya, "Kaukah Hun Thian-hi
yang mulai menanjak namanya di Kangouw akhir2 ini?"
"Ya, aku yang rendah memang Hun Thian-hi."
"Bagus, memang tidak bernama kosong. semalam hampir saja aku terjungkal dalam
tanganmu karena kurang hati-hati. Ternyata kau adalah ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek!"
"Kalau kau tahu itulah baik," sahut Thian-hi dengan nada mengancam, suaranya
berat, "Kau bukan kaum keroco yang tidak bernama, kenapa tanpa sebab menculik bini orang!"
"Tiga puluh tahun lamanya belum pernah aku melakukan perbuatan yang mengotori
nama dan mendurhakai sanubariku. Meski sudah ratusan manusia yang binasa di tanganku,
tapi mereka mati bukan tanpa sebab atau alasan yang cukup setimpal."
"Kalau begitu mohon keteranganmu, apa alasan dan tujuanmu kau menculik nona Ciok
Yan?" "Ciok Yan" Hahaha, siapa yang bernama Ciok Yan hakikatnya aku tidak tahu, tiga
puluh tahun lamanya aku belum pernah meninggalkan gedung ini setapakpun, orang yang
kukerjain tiada seorang pun yang masih ketinggalan hidup dari mana aku menculik orang" Kau
sedang kelakar agaknya!" "Apa benar-benar?" tanya Thian-hi terkejut.
"Memangnya aku orang yang suka ngobrol?" jengek Bian-hok Lojin kurang senang.
Waktu Thian-hi kebingungan, tiba-tiba didengarnya derap langkah mendatangi dari
sebelah belakang, tahu ia bahwa Ce-hun Totiang dan Bun Cu-giok sudah menyusul tiba.
Setelah mendengar percakapan mereka.
Timbul pertanyaan dalam benak Thian-hi, ia berpaling hendak bertanya, tapi
dilihatnya Ce-hun Totiang sudah menerjang masuk langsung menubruk ke arah Bian-hok Lojin.
"Totiang nanti dulu!" teriak Thian-hi.
Baru saja suaranya lenyap lantas dilihatnya air muka Ce-hun Totiang rada ganjil,
kontan ia mendapat firasat jelek, seolah-olah sesuatu peristiwa bakal terjadi, cepat ia
memutar tubuh lagi, tapi dalam sekejap itu bayangan Bian-hok Lojin sudah lenyap tak keruan parah.
Ce-hun Totiang melesat kesamping menghindari rintangan sebelah tangan Thian-hi
terus menggempur dinding papan disebelah depan sana. "Blum!" seluruh rumah menjadi
hureg hampir ambruk, debu beterbangan memenuhi seluruh rumah. Tapi dinding papan yang kena
pukulan itu sedikitpun tidak bergeming ambrol.
Bercekat hati Thian-hi, ia tahu dikala Ce-hun Totiang menerjang masuk ke dalam
rumah ini kebetulan melihat Bian-hok Lojin melarikan diri kebalik dinding papan ini, maka
ia mengejar datang sambil mengirim pukulan, tak terduga gerak gerik Bian-hok Lojin jauh
lebih cekatan. Tidak heran sekian lama tadi ia mencari ubek2kan tanpa menemukan jejak Bian-hok
Lojin, kiranya rumah ini ada dipasang alat rahasia. Tapi yang peniting sekarang bukan
cepat-cepat menyusul atau menemukan jejak musuh, ia harus mencari tahu dulu duduk perkara
yang sebenarbenarnya. Maka tanyanya kepada Ce-hun Totiang, "Cian-pwe, tadi Bian-hok Lojin sudah bicara
dengan Wanpwe, ada berbagai persoalan aku mohon penjelasan secara terperinci!"
Bian-hok Lojin berhasil lari, hati Ce-hun jadi gegetun dan kecewa, kini
mendengar pertanyaan Thian-hi lagi, ia jadi terkejut dan tegang, entah untuk persoalan apa. Dengan
penuh tanda tanya ia pandang Thian-hi, katanya, "Ada urusan apa silakan Siau-hiap bicara saja?"
"Totiang, aku ingin ketegasan, apakah benar-benar nona Ciok diculik oleh Bian-
hok Lojin?" Agaknya Ce-hun tidak menduga Thian-hi bakal mengajukan pertanyaan ini, dengan
kurang mengerti ia balas bertanya, "Benar-benar! Adakah sesuatu yang kurang beres?"
"Dari mana Totiang bisa tahu bahwa penculik itu adalah Bian-hok Lojin?"
Ce-hun Totiang merasa urusan kurang beres, nada pertanyaan Thian-hi sudah
mempertegas dugaannya bahwa peristiwa ini jauh menyimpang dari dugaan semula, sejenak ia
berpikir lalu sahutnya, "Kami mendapat tahu dari penuturan Hoan-hu popo sebelum pingsan!"
"Tadi Bian-hok Lojin berkata padaku, hakikatnya ia tidak tahu siapakah nona Ciok
itu, ia tidak pernah menculik orang. Tiga puluh tahun lamanya belum pernah ia meninggalkan
gedung ini setapak pun." Ce-hun Totiang melengak, sekian lama terlongong tak bicara.
Sebaliknya Bun Cu-giok menjadi gusar dan uring-uringan, teriaknya, "Dia bohong!"
"Cu-giok!" cegah Ce-hun, matanya menatap tajam pada Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok menjadi lemas dan tertunduk, air mata mengalir membasahi pipinya.
"Wanpwe sendiri masih kabur akan duduk persoalan ini yang sebenar-benarnya, tapi
dari raut mukanya waktu bicara aku yakin dia tidak membual, tapi bagaimana juga kupikir
pasti urusan ini ada sangkut pautnya dengan dia. Jejak nona Ciok tentu dapat kita temukan dari
keterangannya, untuk ini kalian tidak usah kuatir!"
"Sungguh aku tidak menduga urusan bisa berlarut dan ruwet, aku cuma mengharap
dapat menemukan Ciok Yan saja!"
"Lebih baik Totiang dan saudara Cu-giok tetap diluar saja, biar aku sendiri
mencari Bian-hok Lojin. "Tidak" sahut Ce-hun tegas, "ini adalah lurusan perguruan kami, membikin
Siauhiap ikut bercapai lelah kami sudah rikuh dan tak enak hati, kalau Siauhiap boleh meski
ilmu silat kami terlalu rendah. kami ingin ikut menerjang ke dalam lebih lanjut!"
"Kenapa Totiang bicara begitu sungkan, aku cuma kuatir luka-luka Totiang yang
perlu perawatan, gerak-gerik kurang leluasa lagi, kalau Totiang memang ingin meluruk
ke dalam itulah memang amat baik!" Thian-hi melolos Cu-hong-kiam, tenaga dikerahkan terus menusuk ke dalam dinding
papan, begitu ditekan pada ujung pedang pelan-pelan lalu menggores telak, pedangnya
menusuk masuk

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seketika Thian-hi dibuat terkejut heran, rumah papan ini kelihatannya sudah
keropos dan hampir roboh kenyataan masih sedemikian kokoh dan kuat serta keras sekali dindingnya,
mengandal ketajaman Cu-hong-kiam sudah mengerahkan setaker tenaganya lagi, hampir saja
pedangnya tidak berhasil menusuk masuk.
Dimana ia gerakkan tangannya, Cu-hong-kiam menggores sebuah lingkaran bundar
sebesar mulut sumur akhirnya dengan sedikit tenaga sendalaan seketika papan yang
tergores bundar itu jatuh di tanah mengeluarkan suara kerontangan yang nyaring, kiranya itulah papan
hitam yang terbuat dari logam keras. Thian-hi melengak heran, waktu diraba tangannya
menyentuh dinding keras yang dingin, kiranya terbuat dari papan besi, tak heran pukulan Ce-hun
Totiang yang dahsyat tadi tidak membuatnya cebol berantakkan.
Dilain kejap satu persatu mereka sudah masuk melewati lobang bundar itu, Thian-
hi berada paling depan sambil jalan ia celingukan ke kanan kiri, kiranya dalam lobang ini
ada ruangan lain, terdapat tiga terowongan bersilang yang menembus ke tempat lain entah kemana!
Thian-hi meneliti sekitarnya lalu memilih jalan tengah, didapati oleh Ce-hun dan
Cu-giok bahwa sepanjang jalan lorong ini dibuat dari dinding besi semua, hati mereka jadi
gundah dan was-was, selama mereka masuk ke dalam rumah gedung ini, Ban-hok Lojin selalu main bokong
dan bertahan, belum pernah melancarkan serangan yang sesungguhnya kepada mereka,
entah si orang tua apa benar-benar mempunyai kepandaian sejati.
Jalan punya jalan mendadak Bian-hok Lojin muncul lagi disebuah tikungan tak jauh
di depan sana, matanya berapi-api memandang ke arah mereka. desisnya geram, "Berani
kalian meluruk sedemikian jauh kesini!"
Bun Cu-giok menghardik keras terus menerjang ke arah musuh.
Thian-hi tidak menduga Bun Cu-giok berlaku begitu gegabah, raihan tangannya
luput, sementara Ce-hun Totiang juga berseru, "Cu-giok!"
Tapi Bun Cu-giok sudah seperti serigala kelaparan terus menubruk dengan kalap,
Thian-hi mengeluh celaka, sebat sekali ia melompat maju mengejar, Bian-hok Lojin mandah
tersenyum dingin, kedua telapak tangannya dikembangkan lalu ditepukkan pula bersama,
segulung tenaga kontan menyongsong kedada Bun Cu-giok.
Keruan bukan kepalang kaget Bun Cu-giok, dengan menggembor sekeras-kerasnya ia
dorong kedua telapak tangan balas menyerang. Thian-hi jadi keripukan lekas-lekas
sebelah tangannya mengebas berbareng tangan kanan bergerak miring memotong ke depan, sekaligus ia
punahkan terjangan dua tenaga yang bakal saling bentur, sementara tubuhnya ikut menubruk
maju pula, tapi dalam kejap itu pula setelah ia berdiri tegak bayangan Bian-hok Lojin sudah
lenyap entah kemana. Bun Cu-giok menjublek kesima, Ce-hun mengejar tiba, katanya menghela napas
ringan, "Hunsiauhiap
untung kau keburu menolong! Bikin susah kau pula!"-lalu ia geleng-geleng kepala.
"Tak menjadi soal, mari kita kejar ke depan!" sahut Thian-hi sambil mendahului
lari ke depan. Sesal dan haru pula Bun Cu-giok dibuatnya, sanubarinya terketuk dan hampa,
sesaat ia terlongong tak bersuara. Urusan mengenai keselamatan istrinya, bukan saja ia
main gagah2an, celakanya bukan saja tidak berhasil malah lebih malu lagi, Bian-hok Lojin
berkesempatan melarikan diri pula. Entah berapa panjang mereka menyelusuri lorong gelap tiba-tiba di depan sana
tampak cahaya terang, sebuah gedung besar yang lain bentuknya tiba-tiba menjulang tinggi
dihadapan. mereka, Hun Thian-hi menghentikan langkah, hati-hati ia maju beberapa langkah, seraya
melongok ke dalam. gedung yang terbuka lebar, seketika ia berjingkrak kaget dibuatnya.
Seorang orang tua berambut uban tengah duduk samadi ditengah pendopo dalam
gedung itu, tangan kanannya menyekal sebilah pedang panjang, dimana tangan kanannya bergerak
ke atas, beruntun ia obat-abitkan pedangnya ditengah udara sebanyak puluhan jurus dengan
tipu-tipu yang aneh dan menakjupkan, setiap kilasan sinar pedangnya mengeluarkan deru
angin yang santer tanda betapa besar tenaga tabasan pedang itu, begitu cepat puluhan jurus
itu dilancarkan, tahu-tahu dalam kejap lain sudah ditarik kembali, terlihat mukanya berseri-seri
tawa, lalu menghela napas pula. Terkejut dan bertanya-tanya benak Thian-hi, di tempat yang tersembunyi ini
sungguh tidak kira ia menjumpai seorang ahli pedang yang begitu lihay, entah siapakah si orang tua
berambut uban ini, kepandaian Lwekangnya yang hebat itu kiranya tidak di bawah kemampuan Bian-
hok Lojin! Terutama permainan ilmu pedangnya yang aneh dan sulit diraba alirannya itu
sungguh menakjupkan. Berulang kali si orang tua mengulangi latihannya, akhirnya ia letakkan pedangnya
di pangkuannya lalu memejamkan mata.
Tiba-tiba Bian-hok Lojin muncul dari pintu sebelah samping sana, katanya sambil
memandang ke arah mereka, "Kalian sudah berani kemari, kenapa tidak keluar unjukan diri?"
Thian-hi rada ragu-ragu, akhirnya melangkah keluar dan masuk ke dalam gedung
itu. Si orang tua beruban membuka mata mengamati Thian-hi, katanya kalem, "Apa maksud
kalian datang kemari?" - mendadak sorot matanya berubah setajam ujung pisau.
Dari samping segera Bian-hok Lojin menanggapi dengan tersenyum ejek, "Untuk apa"
Pasti untuk barang-barang itulah. Bocah itu mengagulkan diri sebagai ahli waris Wi-
thian-cit-ciat-sek, anggapnya ia tanpa tandingan dikolong langit, berani main terjang di tempat
terlarang ini, masih pura-pura gunakan alasan menuduh aku menculik orangnya!"
"Bohong!" tak tahan lagi Bun Cu-giok membentak gusar. semprotnya, "Terang kau
yang menculik isteriku. masih pura-pura mungkir. Kami menyusul dari tempat jauh di
gurun utara kemari, masa kami kau anggap kelakar belaka?"
"Kalian menyusul dari gurun utara?" si orang tua beruban menegas dengan penuh
perhatian. "Silakan kau tanya dia saja!" sahut Bun Cu-giok sambil menuding Bian-hok Lojin.
"Begitu?" seringai Bian-hok Lojin, "Baik, tak peduli kalian sengaja meluruk
kemari atau cuma kebetulan tidak menjadi soal, yang terang kalian sudah sampai disini, demi
Suhengku ini, jangan harap kahan bertiga bisa keluar dengan nyawa masih hidup!"
"Sute!" ujar si orang tua beruban, "kali ini tidak perlu kau bersitegang leher,
kalau rekaanku tidak meleset, tuduhan mereka memang cukup beralasan!"
"Apa!" teriak Bian-hok Lojin, "Suheng jadi kau anggap akulah yang menculik gadis
itu?" "Bukan begitu," sahut si orang tua beruban sambil geleng kepala, "Gadis itu
memang diculik orang kalau rabaanku benar-benar, tamu agung dari gurun besar tentu sudah
menyelundup ke dalam gedung kita ini!"
Mendengar uraian si orang tua beruban bercekat hati Ce-hun, teringat olehnya;
'mungkinkah si orang tua beruban ini adalah Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar yang
kenamaan itu" Menurut berita yang pernah didengarnya dulu Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari
gurun besar merupakan jago silat nomor satu dari luar perbatasan pada jamannia dulu, tapi
karena ia memiliki sebilah senjata pusaka yang menjadi incaran dari berbagai golongan sesat
akhirnya ia dikepung dan dikeroyok puluhan musuhnya, sejak itu jejaknya menghilang peristiwa ini
sudah terjadi puluhan tahun yang lalu, tak kira, hari ini ia bersua di tempat ini.'
Baru saja suara si orang tua beruban lenyap, orang laki-laki pertengahan umur
yang mengenakan pakaian sastrawan tiba-tiba muncul dari balik gedung sebelah lain,
tangan kirinya mengempit Ciok Yan yang sedang dicari ubek2an itu.
Seketika Bian-hok Lojin menggeram gusar, serentak ia melolos pedang.
Bun Cu-giok juga sudah bergerak hendak melabrak kepada laki-laki pertengahan
umur itu. Keburu sastrawan itu berkata, "Bocah gendeng, istrimu berada ditanganku, terima
kasih kuucapkan kau telah bantu aku mendatangkan seorang pembantu yang berkepandaian
tinggi!" "Cay Siu!" ujar si orang tua beruban dengan nada rendah, "Akhirnya kau datang
juga!" Ce-hun Totiang sendiri sudah lama bersemajam di daerah gurun utara, bagitu
mendengar nama 'Cay Siu' disebut seketika berubah air mukanya. Cay Siu, Leng-bin-siu-su
Cay Siu. Dulu Cay Siu dan Pek Kong-liang merupakan dua tokoh tandingan yang paling lihay dari
kalangan putih dan hitam, masing-masing tidak mencocoki satu sama lain, mereka sudah bentrok
berulang kali, kaum persilatan umumnya mengira mereka sudah sama-sama mati, tak kira ke-dua2nya
muncul bersama di tempat ini. Terdengar Leng-bin-siu-su Cay Siu tertawa sinis, sahutnya, "Benar-benar! Dulu
aku ikut keroyok kau, untung kau dapat melarikan diri dan belum modar sampai sekarang.... Hari ini
kebetulan hadir pula ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek disini, maka Kiam~hoan-kiam-boh
milikmu itu harus kau serahkan kepadaku!" Mencelos hati Thian-hi, sungguh licik dan ganas pula hati sastrawan bermuka
dingin ini. cara kerjanya cukup keji pula, dengan meringkus Ciok Yan, sebagai sandera ia
mengancam kami bertiga untuk beKerja bagi kepentingannya.
Dengan penuh kebanggaan Leng-bin-siu-su angkit alis.... katanya kepada Hun Thian-
hi, "Bagaimana" kalian bertiga bantu aku, setelah Kiam-hoan-kiam-boh itu dapat
kurebut, gadis ini segera kubebaskan!" "Cay Siu, sungguh picik dan rendah amat perbuatanmu ini!" demikian maki si orang
tua. "Picik dan rendah?" Leng-bin-siu-su menyeringai sadis, "Saudara Pek yang mulia
apakah tidak keterlaluan kau maki aku! Ini kan cuma suatu usaha demi mencapai tujuan belaka."
"Kau bicara begitu pengecut dan hina." demikian timbrung Thian-hi. jengeknya
lebih lanjut, "Kau bukan tandingannya bukan?"
"Siapa tahu mana yang lebih unggul?" demikian sahut Cay Siu dengan seringainya,
"Mungkin kau belum pernah dengar nama besarku, lihatlah sepasang kaki Sin-heng-siu Pek
Kong-liang sudah buntung, mengandal apa dia berani turun tangan dengan aku. sayang seorang
diri aku tidak bisa membagi tubuh untuk melawan dua musuh!"
"Sedemikian sombong kau mengandal lidahmu, seolah-olah mereka berdua sudah
menjadi mangsa makan perutmu. Apakah kau tahu sudikah kami bantu kau?"
Cay Siu pandang Hun Thian-hi lekat-lekat, katanya tawar, "Kau berani tidak
tunduk pada perintahku." "Pikiranmu terlalu jenaka, kalau kejadian bisa terjadi menurut jalan pikiranmu,
jangan karena kau menawan orang kami sebagai sandera lantas mau main perintah dan dapat
menguasai Bulim, kalau begitu anggapanimu kenapa pula kau harus merebut Kim-hoan-kiam-boh itu?"
Berubah paras putih Cay Siu. tapi sekilas saja wajahnya berubah wajar pula,
serunya, "Apapun yang kau katakan tidak berguna lagi, kalau hari ini kau tidak bisa merebut Kim-
hoa-kiam-boh itu, gadis ini bakal mampus dihadapan kalian!"
Amarah Bun Cu-giok kelihatannya sudah sukar berunding lagi, berulang kali ia
sudah bergerak hendak melabrak musuh, tapi selalu dapat ditekan oleh Ce-hun Totiang, sebenar-
benarnyalah jantung Ce-hun Totiang juga kebat-kebit, bila Hum Thian-hi tidak mampu
menghadapi persoalan yang gawat ini, jiwa Ciok Yan pasti celaka, bagaimana juga mereka tidak mungkin
bantu Cay Siu. tapi juga serba sulit untuk menggunakan kekerasan.
"Jangan kau main gertak! Kami tidak perlu gentar!" sahut Thian-hi dengan suara
tawar, diamdiam ia sudah menerawang situasi yang terjepit ini, terpikir olehnya suatu cara yang
cukup sempurna, ia harus berusaha untuk mengendalikan situasi menjadi lebih tenang.
Dalam berkata-kata diam-diam ia sudah kerahkan Pan-yok-hian-kang, tiba-tiba
sebelah tangannya mencomot kedinding yang keras itu, dimana jari jemarinya mencengkeram
dinding besi yang keras itu seketika menjadi remuk berhamburan, seperti meremas lempung saja,
disusul ia gosokkan kedua telapak tangannya, secomiot besi ditangannya itu hancur lebur
menjadi bubuk besi.

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cay Siu dan lain-lain berubah pucat melihat demontrasi kekuatan yang hebat
sekali, tiada seorang pun yang hadir menyangka bahwa Thian-hi membekali ilmu sakti yang tiada
taranya ini. Thian-hi menenangkan hati dan mengatur pernapasan sebentar lalu berkata kepada
Leng-binsiu- su Cay Siu, "Jangan kau lupa, akulah ahli waris dari Wi-thian-cit-ciat-sek."
Tambah terkejut Cay Siu dibuatnya, nada Thian-hi secara tidak langsung balas
mengancam padannya, betapapun ia tidak mandah diancam semena-mena, mengandal Lwekang
Thian-hi yang mengejutkan itu, ditambah permainan pedang Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti
pula, para hadirin tiada seorangpun yang menjadi tandingannya, menang atau kalah jelas tergenggam
ditangannya. Cay Siu berusaha mengendalikan rasa Kejut dan takutnya, dengan tertawa dibuat-
buat ia berkata, "Pembantu yang kuperlukan justru orang macam kau yang punya kepandaian
tinggi, kalau kau yang menghadapi orang tua she Pek itu, persoalan pasti tidak akan
berbuntut panjang." "Jadi ada persoalan kalau menghadapi kau?"
"Kau berani!" bentak Cay Siu dengan muka pucat.
"Darimana kau tahu aku tidak berani. Hari ini terhitung kau masuk ke dalam jala
dan menempuh jalan buntu, seluruh hadirin kalau bekerja sama, meski ditambah lagi
seorang Lengbin- siu-su juga bakal mampus dibuatnya!"
Semakin pucat muka Cay Siu, ancamnya, "Sedikit kau berani bergerak, jiwa Ciok
Yan segera kutamatkan!" "Eh, kenapa sih kau Leng-bin-siu-su! Sudah ketakutan ya?" demikian sindir Bian-
hok Lojin, "Sayang sampai hari ini luka-lukamu dulu baru sembuh, tapi begitu muncul lantas
ketemu batunya." "Urusan masa begitu gampang sesuai dengan bacotmu," demikian balas jengek Cay
Siu, "Persoalan Kim-hoan-kiam-boh itu hari ini harus dibikin penyelesaian." -lalu ia
berpaling ke arah Thian-hi dan sambungnya, "Sekarang juga kau harus turun tangan atau jiwa Ciok
Yan segera kubikin tamat!" Meski terkejut Thian-hi masih bisa berlaku tenang, sahutnya tertawa wajar,
"Cukup sedetik saja jiwanya melayang, maka jiwamu juga segera akan menyusul ke akhirat. Cobalah kau
pikir sekali lagi lebih masak, terserah bagaimana keputusanmu nanti!"
Selamanya belum pernah Leng-bin-siu-su Cay Siu dibikin terdesak serba runyam
begini, hatinya menjadi gundah pikirnya, "Apakah bantuan yang kupancing kemari dengan daya upaya
yang memeras keringat ini menjadi hampa sama sekali?" - lalu terpikir pula, "Dengan
jerih payah kuculik gadis ini, apakah harus kuserahkan kembali begitu saja" Tidak mungkin
terjadi!" - pikir punya pikir gengsinya merasa terpukul, ia tidak percaya Hun Thian-hi punya nyali
begitu besar, cepat ia angkat sebelah tangannya serta mengancam kepada Hun Thian-hi, "Apapun
yang kau ucapkan tiada gunanya lagi, orang ini berada di tanganku, hidup atau mati akulah
yang menentukan, sebelum aku menghitung sampai sepuluh kalau kau tidak turun tangan
menggasak bangsat she Pek itu, akan kuhabisi jiwanya!" lalu ia mulai menghitung, "Satu....
dua.... tiga...." Thian-hi tidak menduga Cay Siu berani memilih jalan keras, kalau ancamannya ini
berani dilaksanakan, pihak sendiri menjadi terdesak malah, biji matanya dipicingkan ia
mencari akal, jalan satu-satunya yang harus ditempuh adalah menolong dulu Ciok Yan dari belenggu Cay
Siu, urusan lain gampang diselesaikan.
Kalau Hun Thian-hi kebat-kebit, adalah Bian-hok Lojin lebih gelisah, mendadak ia
bersuit panjang, "sreng!" pedangnya terlolos keluar badannya lantas mencelat naik ke
tengah udara, dimana sinar pedangnya terayun ia membacok dan menusuk, sekaligus ia lancarkan
tiga serangan pedang yang hebat kepada Leng-bin-siu-su.
Leng-bin-siu-su tertawa gelak-gelak, dimana tangannya membalik sebat sekali
iapun sudah melolos pedangnya terus mencelat terbang pula memapak ditengah udara.
Bian-hok Lojin berada di sebelah atas menyerang dengan musuh. Hun Thian-hi
merasa takjup juga melihat permainan pedang kedua musuh yang sallng seiang itu, begitu lincah
dan cukup ganas pula, selayang pandang sukar dinilai siapa lebih unggul dan asor.
Tapi posisi Bian-hok Lojin lebih menguntungkan karena menyerang dari sebeiah
atas, sehingga gebrak pertama ini sama kuat, jadi kalau dinilai secara wajar, dengan posisi
yang lebih menguntungkan tapi ia tidak berhasil berada di atas angin, ini berarti ia sudah
kalah seurat. Kejap lain mereka sudah melompat mundur dan hinggap di tanah pula. Tanpa menanti
Bianhok Lojin menyerang lebih lanjut Leng-bin-siu-su membentak ke arah Hun Thian-hi,
"Lekas turun tangan, kau dengar tidak?"
"Begitu saja kau menghendaki aku turun tangan?" Thian-hi balas bertanya dengan
suara datar, "Gampang saja bagi aku, cuma setelah mendapatkah Kim-hoan-kiam-boh itu lalu
bagaimanaa penyelesaiannya" Kau inginkan Kiam-boh Wi-thian-cit-ciat-sek sekalian?"
Sementara itu Bian-hok Lojin sudah melabrak pula kepada Leng-bin-siu-su, ia tahu
persoalan ini tidak gampang diselesaikan, dalam waktu singkat ini tak mungkin tersimpul cara
penyelesaian yang sempurna oleh Thian-hi.
Melihat Bian-hok Lojin menerjang pula, Leng-bin-siu-su menjadi gusar, bentaknya,
"Orang tua keparat, ingin modar kau!" - pedang panjangnya mendadak berputar memuntir
laksana lembayung yang melingkar2 dengan cahaya yang menyala, "trang!" cukup sekali
gentak ia berhasil menggetar lepas pedang panjang Bian-hok Lojin dan menancap di atas belandar.
Si orang tua berubah tertawa dingin, selanya, "Selama tiga puluh tahun ini
kiranya kau tidak buang-buang waktu, jurus Hwi-hong-kian-jit (lembayung terbang menggulung
matahari) yang merupakan kebanggaanmu ini kiranya berhasil kau latih dengan sempurna!"
Leng-bin-siu-su menyeringai bangga, sindirnya dengan sinis kepada Bian-hok
Lojin, "Bagaimana, masih ingin coba-coba?"
Diam-diam terkejut juga Hun Thian-hi melihat permainan pedang dengan jurus Hwi-
hong-kianjit yang hebat itu. Kali ini Leng-bin-siu-su menghadapi Hun Thian-hi pula, katanya, "Jangan kau kira
Wi-thiancit~ ciat-sekmu itu cukup berharga dan menjadi rebutan semua insan persilatan,
ketahuilah meski ilmu pedangmu itu tinggi dan hebat, Kim-hoan-kiam-boh ini pun bukan kepalang
lihaynya. Kimhoan itu sendiri dapat mengobati segala racun. kau kira aku sudi mengincar Wi-thian-
cit-ciatsekmu itu?" Thian-hi tertawa besar, ujamja, "Siapa tahu obrolanmu ini benar-benar atau
tidak, Wi-thian-citciat- sek merupakan pelajaran pedang tingkat tinggi yang tiada bandingannya, masa kau
rela kehilangan kesempatan yang baik ini?"
"Sudah diangan cerewet." sentak Leng-bin-siu-su, "Apa yang kuperintahkan harus
kau lakukan, kalau tidak diangan kau salahkan aku tidak sungkan-sungkan lagi!"
Thian-hi menjadi naik darah, ancamnya, "Berani kau menyentuh seujung rambutnya
akan segera kubuat badanmu dedel dowel." - Gagah dan penuh wibawa pula kata-katanya
yang tandas itu, pelan-pelan ia pun sudah melolos Cu-hong-kiam.
Mimpi pun Lengbin-siu-su tidak mengira reaksi Hun Thian-hi begitu ketus, melihat
sikap Thianhi yang berapi-api, sesaat ia jadi kesima. dan mematung sekian saat, mau tidak mau
ia harus berpikir kembali dua belas kali menghadapi sikap keras Hun Thian-hi ini, bila ia
sembarangan bergerak bukan mustahil jiwanya bakal segera melayang di bawah ujung pedang Hun
Thian-hi! Sin-heng-siu Pek Kong-liang memperdengarkan gelak tawa yang terkial-kial,
serunya kepada Hun Thian-hi, "Hun-siauhiap harap kendalikan dulu amarahmu!"
Leng-bin-siu-su berkesempatan mengendalikan ketenangannya.... dengan kebencian
yang meluap-luap dia main ancam lagi, "Aku tidak percaya kau tidak akan tunduk
padaku, jikalau Ciok Yan mampus, cara bagaimana kau ada muka bertemu dengan orang-orang gagah di
seluruh kolong langit?" Thian-hi pun tidak mau kalah gertak, dengan lantang ia balas menyindir, "Aku
cuma, merasa kalau aku bantu kau merebut Kim-hoan-kiam-boh itu, cara bagaimana aku harus
memberi keadilan terhadap seluruh manusia dikolong langit ini!"
Sin-heng-siu Pek Kong-liang menghela napas panjang, katanya kepada Hun Thian-hi,
"Siauhiap sambutlah ini!" - Berbareng ia sambitkan tangan kanannya, dua butir bola emas
sebesar telur angsa melesat terbang dari telapak tangannya langsung terbang ke arah Thian-hi.
Semula Thian-hi tercengang, namun dalam sekilas itu lantas ia paham tentu bola
emas yang ingin direbut Leng-bin-siu-su itulah, cepat ia ulur tangan kirinya meraih
ketangah udara. Terdengar Leng-bin-siu-su menggertak gusar, tiba-tiba tubuhnya mencelat secepat
kilat menubruk ke arah Thian-hi, berbareng pedang panjangnya menusuk dan menyontek
kebawah ketiak kiri Hun Thian-hi.
Begitu memgulurkan tangan kiri Thian-hi berhasil menyambut kedua bola emas itu,
berbareng ia rasakan angin tajam sudah menerpa tiba, keruan bercekat hatinya secara reflek
kedua kakinya menggeser kedudukan melesat kesamping, tepat ia meluputkan diri dari tusukan
pedang musuh yang sangat ganas. Sudah tentu Leng-bin-siu-su tidak menyia-nyiakan kesempatan yang bagus dalam
inisiatif penyerangan ini, lagi-lagi pedang panjangnya bergerak lebih lanjut, begitu
membalik sinar pedangnya memetakan kuntum demi kuntum titik sinar kemilau yang merabu keseluruh
badan Hun Thian-hi tujuannya hendak merebut bola emas yang digenggam ditangan kiri
Thian-hi. Terdengar Bian-hok Lojin menggertak nyaring, sebat sekali ia meluruk pula ke
dalam gelanggang pertempuran, kedua telapak tangannya menggablok dan menghantam dari
dua jurusan. Baru saja Thian-hi berhasil menghindari tabasan pedang Leng-bin-siu-su, jurus
kedua serangan lawan tahu-tahu sudah menggasak tiba pula, serangan jurus kedua ini jauh lebih
keji ganas dan mematikan. Amarah Hun Thian-hi sudah berkobar, terdengar ia menggeram murka, laksana kilat
mendadak badannya melambung tinggi ke tengah angkasa, disaat tubuhnya melesat keataa kaki
kanannya menendang ke arah pergelangan tangan Leng-bin-siu-su. jurus ini dia lancarkan
kepada musuh sehingga pihak lawan berbalik terdesak harus membela diri lebih dulu. Sementara
kaki kirinya pun tidak tinggal diam mendepak kemuka orang.
Cukup dengan menekuk dengkul dan menundukkan kepala Leng-bin-siu-su menghindari
mukanya dari tendangan kaki lawan, berbareng pedangnya diputar untuk membabat
kedua kaki Thian-hi. Hun Thian-hi sudah memperhitungkan jurus balasan Leng-bin-siu-su ini, sejak tadi
ia sudah siaga. sementara pedang ditangannya pun tidak tinggal diam, laksana seutas sabuk
panjang tibatiba pedangnya menukik turun menyapu kemuka Leng-bin-siu-su pula, maka terdengarlah
lengking panjang laksana pekik naga, kontan pedang panjang Leng-bin-siu-su kena
dipapas kutung menjadi dua potong, dimana lembayung merah melandai tiba pula, tersipu-
sipu Leng-binsiu- su jejakkan kedua kakinya mencelat mundur sejauh mungkin. meski selamat tak
urung mukanya pucat pias, terang ia sudah jeri.
Dalam pada itu serangan Bian-hok Lojin kebetulan sudah menghantam tiba pula dari
sebelah belakang. menghadapi serangan bokongan yang dahsyat dari arah belakang ini Leng-
bin-Siu-su memutar badan secepat gangsingan terus menerobos miring Ke arah kiri, untung ia
berhasil menerobos lewat dari gencetan kilasan ujung pedang dan samberan pukulan telapak
tangan. Meski jiwanya selamat, ujung pedang Thian-hi toh berhasil memapas kutung lengan
bajunya. Dalam pada itu. menyusul Leng-bin-siu-su menjejakkan kedua kakinya menjulang
tinggi kebetulan mencapai pedang Bian-hok Lojin yang menancap di atas belandar, waktu
ia meluncur

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

turun lagi sambil menenteng pedang kebetulan ia hinggap pula ditempatnya
semula.... Dengan beringas ia awasi Thian-hi.
Serangan, jotos dan samberan pedang ketiga lawan ini terjadi dalam waktu yang
teramat singkat Bun Cu-giok dan Ce-hun Totiang yang menonton disamping sampai
berkeringat dingin dan berdebur jantungnya, baru pertama kali seumur hidup mereka menyaksikan
pertempuran yang begitu dahsyat begitu mempesonakan dan tegang.
Si-heng-siu Pek Kong-liang sijago kawakan dari gurun utara pun sulit menekan
perasaan hatinya yang tegang dan takjup, alisnya yang putih bertaut dalam. Adalah Bian-
hok Lojin mau tidak mau harus mengakui kelihayan dan takjup pada Leng-bin-siu-Su yang berhasil
meluputkan diri dari gencetan dua pukulan tingan dan sejurus serangan pedang yang hebat
itu, setelah berputar-putar menjauh dan berdiri tegak lagi dengan waspada ia awasi Leng-bin-
siu-su, berjagajaga menghadapi sergapan balasan musuh yang jahat ini.
Sementara Hun Thian-hi juga sudah meluncur turun, tak urung hatinya heran dan
terperanjat juga, jurus pedangnya tadi meski lanjutan dari permainannya yang berhasil
memapas kutung pedang lawan, tapi perbawanya bukan olah-olah hebatnya. Dari hasil adu
kepandaian segebrak ini Thian-hi dapat menilai bahwa kepandaian Lengbin-siu-su agaknya tidak di bawah
Tok-sim-sin-mo, Bahwa sergapannya tidak membawa hasil malah jiwa yang hampir saja dikorbankan,
sunggun membuat Leng-bin-siu-su giusar tak terperikan. Saking marah mukanya sampai pucat
bersemu hijau dan berdiri mematung. Ia harus memeras otak cara, bagaimana menghadapi Hun
Thian-hi lebih lanjut. Sin-heng-siu Pek Kong-liang berkata kalem kepada Leng-bin-siu-su Cay Siu, "Kau
tidak perlu menyebul jenggot mendelikkan mata, diantara kita tiada seorang pun yang menjadi
tandingannya, menurut pendapatku kau terima takluk saja!"
Leng-bin-isau-su Cay Siu menyeringai ejek, belum sempat ia membuka suara Pek
Kong-liang sudah berkata pula, "Aku punya cara penyelesaian yang lebih menguntungkan bagi
kau, bukankah kau pandang rendah diriku" Sekarang tibalah giliran kita untuk menyelesaikan
urusan ini sendiri, kita tentukan satu babak pertempuran, pihak yang menang boleh mengambil Kim-
hoankiam-boh itu bagaimana pendapatmu?"
Leng-bin-siu-su menyeringai iblis, katanya sambil menetap tadiam ke arah Pek
Kong-liang, "Kau bukan berkelakar bukan!" - Agaknya ia belum yakin akan kebenar-benaran kata-kata
Pek Kongliang. Pek Kong-liang tertawa besar, ujarnya, "Kapan kau pernah melihat aku guyon-
guyon, bicara terus terang mengandal kepandaian permainan pedangmu yang tidak berarti itu,
tidak kupandang sebelah mataku, hayolah maju, kau tak usah kuatir!"
"Jangan kau menyesal dan pungkir janji ya?" Leng-bin-siu-su menegas.
"Pelajaran ilmu dari bola emas itu sudah tercetak dalam otakku, kenapa aku harus
takut pada kau. Besarkan nyalimu, cuma aku kuatir kaulah nanti yang bakal terjungkal!"
Mau tak mau termakan juga kata-kata Pek Kong-liang oleh Cay Siu. pikirnya, "Bola
emas itu sudah tiga puluh tahun digembol olehnya, bukan mustahil dia sudah apal diluar
kepala seluruh pelajaran silat itu. Aku harus waspada!"
Menganalisa situasi yang dihadapi sekarang, pihak Hun Thian-hi jelas tidak kena
digertak, kedua kaki Pek Kong-liang sudah cacat, seumpama ilmu silatnya maju berlipat
ganda, perbawanya juga pasti banyak berkurang. Apalagi dirinya pun tidak pernah berhenti berlatih
selama tiga puluh tahun terakhir ini, meskipun karena luka-lukanya dulu sehingga latihannya belum
mencapai titik kesempurnaannya, tapi ia yakin bahwa hasil yang dicapainya pun cukup hebat,
menghadapi seorang lawan yang cacat sepasang kakinya kiranya cukup berkelebihan bekal ilmu
silatnya, dengan keyakinan yang teguh ini berlipat ganda pula keberaniannya!.
Sambil menengadah Leng-bin-siu-su bergelak tawa. serunya, "Begitupun baik,
urusan kami biar kami berdua yang menyelesaikan sendiri, tak perlu orang lain ikut campur dalam
penyelesaian urusan ini. Kau sudah mempelajari ilmu dalam bola emas itu, begitupun tiada
jeleknya, supaya orang tidak menyebar kabar angin mengatakan aku menghina seorang yang sudah
buntung kakinya." - Lalu ia, tertawa lebih keras lagi.
Mendengar Leng-bin-siu-su bernada menghina, tak tahan bergelora amarah Pek Kong-
liang, sambil mengeluarkan pedangnya ia menantang, "Jangan cerewet! Silakan mulai!"
Leng-bin-siu-su terkial-kial, tawanya semakin menggila bernada dingin mengandung
pada menghina, Ciok Yan yang dikempit ditangan kirinya tidak mau dilepaskan, begitu
pedang panjangnya bergerak langsung ia menyerang kepada Pek Kong-liang.
Diam-diam Hun Thian-hi kuatir bagi keselamatan Pek Kong-liang. tadi ia sudah
mengukur sampai dimana tingkat kepandaian Leng-bin-siu-su, Sin-heng-su Pek Kong-liang
sudah buntung kedua kakinya. untuk menghadapi rangsakan pedang lawan yang begitu hebat rasanya
tidaklah mudah. Gebrak yang menentukan menang dan kalah, pertaruhan jiwa antara hidup dan
mati ini. sulitlah dibayangkan bagaimana kesudahannya nanti.
Dengan segala kekuatan dan kemampuannya Leng-bin-siu-su mulai lancarkan serangan
pedangnya. tapi Sin-heng-su Pek Kong-liang mandah tertawa ejek, "Cay Siu, jangan
kau takabur!" Sikap Leng-bin-siu-su tidak berubah hakikatnya ia anggap tidak dengar cemoohan
lawan, pedang panjangnya malah bergerak semakin kencang dengan serbuan yang mematikan,
menusuk menabas dan menggores dengan berbagai kembangan yang rumit, terakhir ujung
pedangnya menyelonong keluar menusuk diantara kedua mata, Pek Kong-liang.
Sin-heng-siu Pek Kong-liang cukup menegakkan pedangnya terus digentak kesamping,
tapi pedang Cay Siu tidak berhenti sampai disitu, beruntun ia ganti pula dengan empat
lima jurus tipu pedang yang lihay dan licik, namun semua serangannya menjadi kandas ditengah
jalan dipatahkan oleh perlawanan Pek Kong-liang yang mainkan pedangnya tidak kalah lihay dan
hebatnya, akhirnya ia jadi gugup dan kaget juga. Sungguh ia tidak nyana setelah kedua
kakinya cacat Sinheng- siu masih membekal Lwekang yang begitu tinggi, perbawa ilmu pedangnya jauh lebih
hebat dibanding masa mudanya dulu, rasanya malah setingkat lebih tinggi.
Giris hati Leng-bin-siu-su, pedang panjangnya tidak bergerak selincah tadi,
sekarang ia amat hati-hati pada setiap gerak pedangnya, setiap kali ia mengganti posisi dan
kedudukan pedang panjang baru pelan-pelan ditusukkan, setiap tusukan dan tabasan pedangnya selalu
mengarah tempat penting yang mematikan ditubuh Sin-heng-siu Pek Kong-liang.
Hun Thian-hi menonton dengan cermat. Beberapa gebrak kemudian baru hatinya jadi
tentram, didapatinya bahwa kepandaian silat Sin-heng-siu Pek Kong-liang dari gurun besar
itu tidak kalah hebatnya dari Leng-sin-siu-su Cay Siu. Dalam hal ilmu pedang dan Lwekang malah
setingkat lebih tinggi, terutama permainan ilmu pedangnya yang begitu ketat, rapat dan hebat itu
terang Lengbin- siu-su tidak mungkin dapat menyamai.
Tanpa bergerak dari tempat duduknya Sin-heng-siu Pek Kong-liang menggerakkan
pedangnya melawan musuh, sekejap mata ratusan jurus sudah lewat, tiba-tiba tergerak
hatinya, sambil bersuit nyaring panjang sebeiah telapak tangan kirinya menepuk tanah, kontan
badannya melejit mumbul ke tengah udara, laksana bintang meteor langsung menubruk ke arah Leng-
bin-siu-su, pedang panjang ditangannya tergetar memetakan berlapis2 sinar pedang yang
berkembang melebar laksana sapu jagat. Kiranya ia sudah kembangkan jurus Pat-hong-hong-hi
(hujan angin didelapan penjuru angin) dari pelajaran Kim-hoan-kiam-boh itu.
Lapisan sinar pedangnya semakin melebar besar laksana jala berkilauan
menyilaukan mata, lalu merangsak bersama dari delapan penjuru angin ke arah Leng-bin-siu-su.
Tercekat hati Leng-bin-siu-su, untung pengalaman tempurnya sudah matang, dalam
keadaan yang kurang waspada dan tidak bersiap ini, seluruh tubuhnya sudah terkenang oleh
jurus Pathong- hong-hi. Apa boleh buat demi keselamatan jiwa sendiri secara licik ia lemparkan
tubuh Ciok Yan ke tengah udara. Dengan seksama Hun Thian-hi menonton dipinggir gelanggang, begitu tubuh Ciok Yan
terlempar ke tengah udara, laksana naga meluncur tangkas sekali ia melesat
terbang mengejar sekali raih tepat ia dapat mengempit tubuh orang.
Dengan akal liciknya ini memang Leng-bin-siu-su berhasil menyelamatkan jiwanya.
Sementara Thian-hi langsung menyerahkan Ciok Yan yang ditolongnya kepada Bun Cu-
giok, cepat Cu-giok membuka jalan darahnya serta mengurut urat2nya, melancarkan darah
yang tersumbat sekian lamanya....
Kuatir melukai orang lain waktu lawan dengan akal licik melemparkan tubuh orang
bagi umpan pedangnya, syukur Sin-heng-siu cukup cekatan dan waspada pula, luar biasa
cepatnya ia tarik balik dan batalkan seluruh kembangan serangannya lalu melayang balik kembali ke
tempat duduknya semula. Diam-diam girang hatinya, baru pertama kali ini ia
mengembangkan pelajaran baru yang dipelajari dari Kim-hoan-kiam-boh, nyata hasilnya luar biasa sekali,
cukup sejurus dengan mudah ia sudah memaksa Leng-bin-siu-su melemparkan Ciok-Yan.
Setelah berdiri tegak dengan nanar Leng-bin-siu-su mengawasi Sin-heng-siu,
sungguh ia tidak habis berpikir ternyata begitu gampang ia terjungkal di bawah tekanan pedang
lawannya yang buntung ini, semakin dipikir semakin berkobar amarahnya, geram sekali ia
membentak, "Pek-lothau,
tak nyana selama tiga puluh tahun ini kiranya kau sudah menggembleng diri,
pelajaran Kimhoan- kiam-boh itu terhitung sudah dapat kau curi belajar sebagian."
Sin-heng-siu tertawa besar, ujarnya, "Jangan sungkan! Ilmu kebanggaanmu sendiri
belum lagi kau kembangkan, kenapa begitu cepat mengaku asor?"
"Jangan kau takabur", semprot Leng-bin-siu-su, "lihat saja nanti, aku masih
berkelebihan dapat membereskan kau!" - ia insaf bahwa posisinya sudah mulai terdesak di bawah
angin, Ciok Yan yang tadi dijadikan sandera kini sudah tertolong oleh Hun Thian-hi, harapan
satu-satunya sekarang ia harus berhasil mengalahkan Pek Kong-liang, kalau tidak tiada jalan
hidup bagi dirinya. Dalam pada itu Ciok Yan sudah pelan-pelan siuman, betapa girang ia melihat
dirinya di dalam pelukan suaminya, BUn Cu-giok.
Dipihak lain, Leng-bin-siu-su sudah tak sabar lagi, dengan memekik seperti
kesetanan pedangnya dibolang balingkan mengeluarkan deru angin yang ribut, dengan
kepandaian permainan pedangnya yang hebat ia menyerbu pula kepada Sin-heng-siu Pek Kong-
liang, Gebrak kedua ini ia betul-betul sudah kerahkan segala tenaga dan kemampuannya, bertekad
untuk mengadu jiwa sampai titik darah penghabisan.
Cukup sejurus ilmunya yang hebat tadi Sin-heng-siu memperoleh kemenangan,
keyakinan hatinya semakin teguh, menghadapi rabuan pedang lawan ia mencelat naik keudara
lagi, tak ketinggalan pedangnya pun berkelebat menyongsohg kemuka Leng-bin-siu-su.
Leng-bin-siu-su sudah bertekad untuk gugur bersama, begitu Sin-heng-siu maju
memapak justru sesuai dengan keinginannya, terdengar ia terkekeh dingin, seluruh tenaga
dikerahkan di atas pedangnya, tanpa mau kalah wibawa iapun songsongkan pedangnya ke depan.
Dua batang pedang saling bentrok ditengah udara, terdengarlah suara nyaring yang
menusuk telinga bergema sekian lamanya, dua belah pihak mengerahkan setaker tenaga,
kesudahannya tetap sama kuat. Sekonyong-konyong sebelum tubuh meluncur turun Sin-heng-Kiu
percepat gerak pedangnya memberondong dengan serangan pedang yang cukup dahsyat, yang terlihay
justru tiga jurus tabasan pedang terakhir yang mengarah muka tenggorokan dan dada Leng-
bin-siu-su. Semula Leng-bin-siu-su tidak mengira begitu dua pedang saling bentrok, Sin-heng-
siu purapura menarik pedang dan meluncur turun, disaat ia tercengang itulah mendadak Pek
Kong-liang sudah lancarkan tiga serangan pedangnya. Tiada tempo bagi Leng-bin-siu-su untuk
memeras otak, sambil kertak gigi sebisa mungkin ia ayunkan pedangnya dengan jurus Hwi-hong-
kian-jit, inilah

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jurus pedang kebanggaannya yang dilancarkan dengan tenaga besar dilandasi
terbakarnya rongga dadanya, cuma satu harapannya berusaha menangkis atau menyelamatkan jiwa dari
tabasan pedang Pek-Kong-liang yang hebat itu.
Sebetulnya posisinya jauh lebih menguntungkan bagi Sin-heng-siu, sayang ditengah
jalan ia ragu-ragu, kalau tidak tentu pedangnya sudah berhasil mencopot kepala Leng-bin-
siu-su dari badannya. Cuma sedikit merandek itulah kedua pedang paling bentrok lagi, tapi suaranya
tidak senyaring tadi, sebaliknya malah terdengar suara "cras, cras!" lalu didengarnya pula
gerungan mereka seperti babi disembelih. Kiranya jurus Hwi-hong-kian-jit Leng-bin-siu-su betapa pun tidak kuasa
menandingi ilmu pedang lawan, keruan kejut hatinya bukan main, Lwenkang Sin-heng-siu bahwasanya
sudah jauh melompat lebih tinggi dibanding beberapa tahun yang lalu, keruan bercekat
sanubarinya. Tapi dasar licik sekilas dilihatnya kedua kaki Sin-heng-siu yang buntung itu. kontan
ia mengulum senyum dingin diujung mulutnya. Bentrokan kedua pedang lawan sama-sama tidak mau
mengalah, agaknya Sin-heng-siu juga sudah terhanyut dalam mengejar kemenangan,
semangat diempos hawa murni dikerahkan tenaga dalam pun kontan melandai keluar. Sekali
tekan kebawah ia bikin badan Leng-bin-siu-su terdesak turun kebawah.
Tapi Leng-bin-siu-su sendiri sudah nekad dan melawan sekuat tenaga, ia insaf
bila gebrak ini kalah, untuk meloloskan diri dengan selamat tidaklah mudah, mau tidak mau ia
harus berusaha mati-matian. Karena sama-sama mau menang, kedua belah pihak sudah mempertaruhkan jiwa
masingmasing, Hun Thian-hi yang menonton diluar gelanggang jadi kebat kebit dan kuatir,
jikalau lintasan selanjutnya Sin-heng-siu Pek Kong-liang tidak berhasil memperbaiki
posisinya yang lebih unggul, alhasil ia sendiri yang bakal terjungkal kalah, apalagi kedua kakinya
sudah buntung, bagaimana juga ia tidak akan kuasa bertahan lama.
Sudah tentu Pek Kong-liang sendiri juga sudah menginsafi kelemahannya ini,
hatinya pun semakin gelisah, menurut perhitungannya saat itu ia pasti sudah berhasil
mengalahkan Leng-binsiu- su, kenyataan sukar sekali diluar perhitungan.
Dia sudah tidak mampu bertahan lebih lama lagi, pedang panjang ditangan kanannya
ditekankan sekuat tenaga, lalu ia mengirup hawa mengganti napas, baru ia
berusaha menarik pulang pedangnya, lalu disusul dengan melancarkan tipu Kim-in-ho-tong (bayangan
emas berkelebatan) menggasak musuhnya. Tak nyana Leng-bin-siu-su sudah dapat meraba
jalan pikirannya sekuat tenaga ia pun kerahkan tenaganya mendempel pedang lawan dan
tidak dilepaskan sehingga lawan tak berkesempatan membebaskan diri merubah posisinya.
Dalam perang batin dan pikiran ini Leng-bin-siu-su terang berada di atas angin,
serta merta ia mengumbar rasa hatinya dengan tertawa panjang, pedang panjangnya masih bertahan
sekuat2nya, sedikitpun ia tidak beri kesempatan Sin-heng-siu- Pek Kong-liang
menghirup napas. Semakin gundah hati Pek Kong-liang, sekali kurang hati-hati atau lena jikalau
sampai kena dikalahkan lawan, bagaimana baiknya nanti" Apakah secara rela menyerahkan Kim-
hoan-kiam-boh kepada Leng-bin-siu-su yang jahat ini" Tidak mungkin terjadi! Dalam keadaan
bertahan adu kekuatan tenaga dalam ini, meski ia membekali tipu pedang yang beraneka ragam
dan lihay juga tidak berguna lagi. Leng-bin-siu-su juga maklum dirinya tidak akan mampu balas menyerang, tapi ia
pun tidak akan membiarkan Pek Hong-liang melepasKan diri, begitulah kedua musuh ini saling
berkutat, kalau posisi begini berlangsung terus jelas pihak sendiri yang bakal menang.
Beberapa saat sudah berselang, Pek Kong-liang jelas tidak kuasa lagi mempertahankan diri, otaknya
diperas akhirnya tersimpul suatu cara, kecuali cara yang nekad ini ia tidak bakal memperoleh
kemenangan. Setelah mantap tiba-tiba ia dorongkan pedangnya ke depan dengan sisa tenaganya,
Leng-binsiu- su mandah menyeringai dingin, tanpa menanti Leng-bin-siu-su Cay Siu menduga-duga
atau menyimpulkan pikiran lain, Sin-heng-siu Pek Kong-liang melanjutkan usahanya
supaya orang menyangka bahwa dirinya berusaha meloloskan diri, secara tiba-tiba telapak
tangan kirinya secepat kilat menggablok kebawah ketiak Leng-bin-siu-su, serangan kali ini ia
lancarkan dengan seluruh sisa tenaganya. Mimpi juga Leng-bin-siu-su tidak menyangka bahwa Pek Kong-liang bakal berani
menyerang dirinya dengan menempuh resiko besar. Keruan ia terkejut, tapi bagaimana juga ia
pantang mundur, sekali ia tersurut mundur jelas dirinya pasti terjungkal, tapi bagaimana
kalau tidak menyurut mundur meluputkan diri" Tiada tempo berkelebihan memberi kesempatan
otaknya berpikir, dalam kejap yang hampir sama telapak tangan kirinya juga balas
menggempur kelambung Pek Kong-liang, terpaksa ia harus menempuh cara adu jiwa. Kalau Pek
Kong-liang masih sayang pada jiwanya sendiri pasti ia lekas-lekas batalkan serangannya.
Terdengar Pek Kong-liang menggerung pendek, ia insaf bila ia batalkan
serangannya pasti ia kalah, jelas Kim-hoan-kiam-boh harus terjatuh ketangan Leng-bin-siu-su, akibat
apa yang bakal terjadi sungguh ia tidak berani bayangkan.
Ia cukup bijaksana untuk memilih akibat yang berat dari pada yang ringan, demi
kepentingan ribuan jiwa manusia ia rela mengorbankan jiwa sendiri, cepat ia kerahkan hawa
pelindung badan menjaga tubuhnya, sementara telapak tangan kiri bukan saja tidak ditarik balik
tidak kendor malah dipercepat dan kekuatan pun dilipat gandakan.
Mata Leng-bin-siu-su memancarkan rasa takut dan jeri, sungguh ia tidak nyana
bahwa akibatnya bakal begini fatal, apa boleh buat terpaksa ia harus menyambut dengan
kekerasannya. Maka terdengar pula dua suara menguak yang keras seperti hampir muntah2,
seketika bayangan dua orang terpental jauh lepas kedua jurusan, seluruh hadirin sama terkejut,
tiada seorang pun menyangka pertempuran adu jiwa ini bakal berakibat begitu parah, sesaat saking
kesima mereka jadi lupa memburu maju memberi pertolongan.
Luka yang diderita Leng-bin-siu-su jauh lebih parah, terbanting lagi dengan
keras di atas tanah, kontan ia semaput tak sadarkan diri.
Pek Kong-liang sendiri juga muntah darah, setelah mengatur pernapasannya ia
berkata tertawa, "Untung aku tidak sampai kalah!" habis berkata ia menyemburkan darah
lagi, selanjutnya ia pejamkan mata istirahat.
Dengan menggeram Bian-hok Lojin memburu maju ke arah Leng-bin-siu-su, kaki sudah
terangkat hendak menginjak hancur batok kepala Cay Siu.
Bab 35 Keburu Pek-kong-liang membuka mata, cepat ia berseru mencegah, "Sute, jangan
lakukan." "Suheng!" seru Bian-hok Lojin, "Apakah perbuatan jahatnya masih kurang, kalau
tidak dibunuh kelak bakal menimbulkan bencana lagi, mana boleh dia tetap hidup!"
Sementara itu, Leng-bin-siu-su sudah siuman dari pingsannya, sekian saat ia
menggape2 berusaha hendak merajap bangun, tapi ia sudah tidak kuasa bergerak lagi.
Hun Thian-hi tidak tega, katanya kepada Bian-hok Lojin, "Lukanya sangat parah,
tinggalkan saja jiwanya!" Sementara itu, Leng-bin-siu-su sudah berhasil merajap duduk, dengan gusar ia
mendelik teriaknya serak, "Berani kalian melepas aku, kelak tunggulah pembalasanku!"
"Kau ingin menuntut balas" Besar benar-benar tekadmu, mengandal kau sekarang
masa kau mampu!" demikian cemooh Bian-hok Lojin.
"Jangan kau takabur, jangan cuma kau ditambah sepuluh orang pun aku tidak gentar
terhadap kau, soalnya aku kurang hati-hati sehingga terluka!" demikian maki Leng-bin-siu-
su dengan amarah yang meluap-luap. Mendengar ucapan orang Thian-hi tahu bahwa Leng-bin-siu-su tengah menggunakan
akal pancingan supaya Bian-hok Lojin melepas dirinya. Tapi kelihatannya Bian-hok
Lojin bukan kaum kroco, dengan tertawa panjang ia berkata, "Tiada gunanya kau membakar hatiku,
ketahuilah aku punya caraku untuk menyelesaikan jiwamu!" habis berkata tubuhnya melejit maju
kedua jari tengahnya terangkap telak sekali menutuk jalan darah Sam-kiau-hiat, Leng-bin-
siu-su berusaha menghindar tapi apa daya tenaga sudah lemas kontan ia mengeluarkan suara menguak
mulut terpentang menyemburkan darah segar.
Thian-hi terkejut, perbuatan Bian-hok Lojin cukup keji, tutukannya itu sekaligus
memunahkan ilmu silat dan memecahkan tenaga dalamnya, selanjutnya Leng-bin-siu-su menjadi
orang cacat dan tidak akan bisa mengganas pula. Sekuat tenaga ia berusaha merangkak bangun
terus mengelojor pergi tanpa berani banyak cingcong lagi.
Sampai tahap sekarang urusan menjadi beres, hati Hun Thian-hi menjadi lega ia
kembalikan pula bola mas itu serta katanya, "Urusan sudah selesai. Karena terpaksa kami
menerobos ke tempat terlarang ini, harap Lo-cianpwe suka memberi maaf. Sekarang kami mohon
diri." Bian-hok Lojin menyambuti bola mas itu serta ujarnya, "Sudah, urusan tak perlu
diungkat kembali. Selama tiga puluh tahun tiada seorang pun yang tinggal hidup bila
berani masuk ke dalam gedung ini. Dan kalian pun tidak punya maksud jahat terhadap bola mas ini,
bolehkah kalian silakan saja."
Tiba-tiba Pek Kong-liang membuka mata, teriaknya, "Saudara-saudara, tunggu
sebentar!" "Cianpwe ada petunjuk apa?" tanya Hun Thian-hi membalik.
"Terhitung aku sudah ketemu dengan ahli waris Wi-thian-cit-ciat-sek, kelak pasti
kau dapat mengembangkan ilmu pedang tiada taranya ini dan menjagoi seluruh Kangouw, untuk
itu kau harus menandingi Hui-sim-kiam-hoat Bu-bing Loni, kuharap kau tidat sampai
kalah." "Terima kasih akan petuah Cianpwe!" segera Thian-hi menjura hormat.
Pek Kong-liang manggut-manggut lalu pejamkan mata pula.
Setelah pamitan Thian-hi berempat segera keluar dari gedung kayu itu langsung
melanjutkan perjalanan ke arah timur. Belum jauh mereka menempuh perjalanan, terdengar pekik
suara burung kumandang di angkasa, tampak seekor burung dewata terbang menukik ke arah
mereka. Thian-hi jadi kebat-kebit dan girang pula, entah Ham Gwat atau Bu-bing Loni yang
datang. Kejap lain burung dewata sudah meluncur turun, sekilas pandang dilihat oleh
Thian-hi, Bu-bing Lonilah yang bercokol di punggung burung dewata itu, suatu perasaan aneh yang
menghantui sanubarinya timbul dalam benaknya. Wibawa Bu-bing Loni betapa pun masih
berpengaruh dalam hatinya. Sambil menyeringai dingin Bu-bing Loni menatap Hun Thian-hi tanpa bersuara.
Dengan berani Thian-hi pun balas menatap dengan tajam. "Akhirnya kita ketemu pula." akhirnya
Bu-bing membuka kesunyian. Lalu ia menyapu pandang Ce-hun bertiga.
"Benar, benar," sahut Thian-hi sinis, "Sayang tempo hari kau tidak berhasil
mendapatkan Jianlian- hok-ling itu, sungguh sangat disesalkan."
Sebetulnya Bu-bing sendiri juga rada gentar menghadapi Hun Thian-hi yang
merupakan musuh paling tangguh satu-satunya pada masa itu. Ia insaf bahwa tingkat kepandaian silatnya tidak
terpaut jauh dibanding kepandaian Hun Thian-hi sekarang. Dia harus bekerja cepat
melenyapkan musuh besar ini sebelum orang tumbuh sayap dan unjuk gigi, dengan segala cara
yang dapat ia gunakan. Maka Bu-bing Loni tertawa dingin, katanya, "Tidak menjadi soal. Sekarang tibalah
saatnya untuk menentukan siapa menang dan siapa asor."
"Tepat, kiranya hampir tiba saatnya untuk penentuan itu," demikian tantang
Thian-hi sambil mengerut kening, "Aku harus membalas sakit hati para Cianpwe dari Soat-san, dan
kau sudah cukup malang-melintang selama empat puluh tahun dengan ilmu pedangmu, hari ini
aku harus jajal sampai dimana kehebatan ilmu pedangmu itu." lalu dilolos pedang di
punggungnya. Begitu melihat pedang yang dipegang tangan Thian-hi, berkilat pandangan Bu-bing,
seringainya, "Ternyata kau sudah ganti senjata menggunakan pedang, malah sebilah


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pedang pusaka." "Jangan cerewet!" sentak Thian-hi gusar, "keluarkan pedangmu!"
Diluar dugaan Bu-bing tidak keluarkan pedangnya, mulutnya malah menjengek
dingin, "Kenapa ke-susu, aku sendiri tidak tergesa-gesa, apa pula yang kau ributkan?"
"Aku tidak biasa membunuh orang yang tidak bersenjata."
Berkobar amarah Bu-bing Loni mendengar cemooh orang, selamanya belum pernah ada
manusia berani begitu kurang ajar terhadap dirinya, pelan-pelan ia sudah lolos
pedangnya, tapi baru separo ia urungkan niatnya, katanya, "Dalam sepuluh hari ini kunanti
kedatanganmu di Jianhud- tong!" - tanpa bicara lagi ia naik ke punggung burung dewata terus terbang
pergi. Thian-hi tertegun, mulutnya menggumam, "Sepuluh hari kemudian di Jian-hud-tong!"
tak perlu disangsikan lagi bahwa Bu-bing sudah sekongkol dengan Tok-sim-sin-mo untuk
menghadapi dirinya, mau tak mau bergejolak pikirannya.
Tengah ia menjublek di tempatnya, mendadak dari dalam hutan di depan sana muncul
seorang gadis, pandangan Thian-hi menjadi terang, ia tersentak kaget dan berteriak
girang, yang muncul ini bukan lain adalah Ham Gwat yang selalu dikenangnya itu. Sungguh tidak habis
heran hatinya, bahwa Ham Gwat tiba-tiba muncul di tempat itu. Cepat ia berlari maju memapak.
Sekian lama mereka berpandangan, akhirnya Ham Gwat membuka suara, "Bukankah kau
sudah menemukan mereka" Dimana mereka sekarang?"
Thian-hi tahu maksud pertanyaan orang, cepat ia menjawab, "Mereka telah ditolong
seorang Cianpwe aneh yang berkepandaian tinggi."
"Siapa dia?" "Beliau tidak mau menjelaskan...."
Ham Gwat terbungkam sekian lamanya, akhirnya berkata, "Ucapan Bu-bing tadi
kudengar semua, sepuluh hari kemudian, kau harus menghadapi bahaya yang paling besar
selama hidupmu ini." Hun Thian-hi manggut-manggut. Tanyanya, "Apakah paman dan bibi baik?"
Muka Ham Gwat jadi masam, lekas ia berpaling muka, sesaat baru terdengar
jawabannya, "Mereka ditawan oleh Tok-sim-sin-mo dan Bu-bing Loni."
Mencelos hati Thian-hi, perkembangan ini sungguh diluar dugaannya. Sekian lama
mereka sama menjublek tak bersuara.
Ce-hun Totiang bertiga juga mendengar kabar jelek ini, mereka sama ikut
merasakan tekanan batin yang berat ini. Siapa akan menduga Bu-bing Loni yang congkak dan tinggi
hati itu ternyata sudi merendahkan derajatnya bersekongkol dengan orang orang lain.
"Marilah sekarang juga kita susul ke Jian-hud-tong." demikian ajak Thian-hi
nekad. Ham Gwat menggeleng kepala, sahutnya, "Meluruk secara serampangan takkan ada
gunanya." Thian-hi angkat pundak. Urusan berlarut semakin ruwet sulit ditanggulangi, ia
jadi termenung memikirkan daya upaya. Sekonyong-konyong didengarnya langkah kaki yang lirih, Thian-hi terkejut cepat
ia putar tubuh terlihat dari dalam hutan berjalan keluar dua Hwesio tua.
Begitu melihat kedua Hwesio ini tiba-tiba Ciok Yan memburu ke depan seraya
berteriak kegirangan, "Ajah! Kemana saja kau selama ini."
Kedua Hwesio ini bukan lain adalah Go-cu Taysu dan Ciok Hou-bu, melihat Ciok Yan
memburu tiba tersipu-sipu Ciok Hou-bu berkelit kesamping sambil bersabda buddha dan
merangkap tangan. Ciok Yan lantas menubruk dan memeluk kedua kaki Ciok Hou-bu serta menangis
sejadi2nya. Sementara Ciok Hou-bu sedang bicara dengan putri dan menantunya Bun Ciu-giok.
Segera Thian-hi berdua unjuk hormat kepada Go-cu Taysu.
"Jangan sungkan," cegah Go-cu, "Bisa jumpa dengan tunas muda yang gagah perwira
sungguh Lolap sangat senang."
Sudah lama Hun Thian-hi kenal nama Go-cu Taysu, baru sekarang ia sempat bertemu,
tampak orang berperawakan kurus kecil, tapi sepasang matanya bersinar terang, jidatnya
sudah berkeriut, selintas pandang orang akan menaruh hormat dan segan pada padri. yang kenamaan
ini. Berkatalah Go-cu taysu, "Agaknya kalian punya jdoh dengan kalangan agama kami,
baru pertama kali ini aku berkesempatan ketemu, sebetulnyalah sejak lama sudah
kenal." Thian-hi merendah, katanya, "Wanpwe pun sudah lama mendengar kebesaran nama
Taysu dan ingin bertemu, sayang tidak berjodoh, beruntung hari ini bisa ketemu disini,
harap Cianpwe Sudi memberi petunjuk!" Go-cu menghela napas, ujarnya, "Bu-bing Loni dan Tok-sim-sin-mo ada intrik dan
melakukan perbuatan kotor yang terkutuk, mereka bertekad mendapatkan Ni-hay-ki-tin, ayah
bunda Ham-sicu ini juga ditawan dijadikan sandera dikurung di dalam istana sesat, mereka perlu
segera diberi pertolongan...." Berubah pucat paras Ham Gwat, tubuhnya terhujung hampir roboh. Cepat Hun Thian-
hi memapah tubuhnya. Ham Gwat menenangkan pikiran dan membesarkan hati, ia berdiri
tegak pula. Go-cu Taysu berkata lebih lanjut, "Tak berguna sekarang kalian meluruk kesana,
yang penting kalian harus lekas-lekas melaksanakan urusan lain yang lebih penting. Sebab Bu-
bing dan Toksim- sin-mo sudah mendapatkan gambar peta dari rahasia Ni-hay-ki-tin itu, cuma belum
dapat memecahkan inti rahasianya, kalau tidak tentu Ni-hay-ki-tin sejak lama sudah
berada di tangan mereka, keadaan pasti lebih runyam dan tak tertolong lagi."
"Apakah Cianpwe punya cara untuk mengatasi?" tanya Hun Thian-hi.
"Sekarang kalian harus memohon bantuan pada seseorang, bila beliau suka memberi
petunjuk, urusan betapa sulit pun akan dapat dipecahkan."
Hati Ham Gwat sedang gundah dan gelisah, ia hampir tidak percaya ada seseorang
bisa mengatasi persoalan rumit ini sedemikian gampang.
Agaknya Go-cu merasakan kesangsian Ham Gwat ini, ia tertawa, ujarnya, "Kusebut
seseorang, mungkin kalian tidak akan mau percaya."
"Siapa dia?" tanya Thian-hi.
"I-lwe-tok-kun!"
"Dia?" teriak Hun Thian-hi tercengang.
Memang ia tidak menyangka bila Go-cu bisa menyebut I-lwe-tok-kun, itu gembong
sesat nomor satu pada jamannya dulu. Go-cu manggut-manggut, katanya tersenyum, "Sedikit orang yang tahu bahwa dia
sudah lama lolos keluar, malah sekarang sedang mawas diri dan mengasingkan diri di suatu
tempat tersembunyi." "Betulkah dia?" Thian-hi menegas.
"Kau tahu siapa dia sebenar-benarnya?" Go-cu melanjutkan, "Dia adalah majikan
dari Jian-hudtong pada empat puluh tahun yang lampau, setelah dia terkalahkan oleh Ka-yap Cuncia
dia masih menetap di dalam Jian-hud-tong itu. Banyak tempat gang orang lain belum pernah
mencapainya ia sudah pernah pergi kesana, kuduga kepandaian ilmu silatnya yang tinggi itupun
ia peroleh di tempat itu. Sebab dia tidak punya perguruan, menurut hemadku, mungkin dia pun
pernah menjelajahi istana sesat itu.... Tempat pengasingannya tidak jauh dari tempat
ini," demikian Go-cu
menambahkan, "Aku bisa ajak kalian kesana, tapi dia menderita luka dalam yang
tak mungkin disembuhkan lagi, belum tentu beliau suka membantu kesukaran kalian ini."
Hun Thian-hi menepekur, I-lwe-tok-kun adalah guru Mo-bin Suseng, muridnya
terbunuh olehnya entah bagaimana sikapnya nanti terhadap aku. Tapi dalam keadaan kepepet
ini cuma akulah yang harus mohon bantuan padanya, terpaksa ku-coba-coba saja."
Go-cu Taysu membawa Thian-hi berdua menyelinap ke dalam hutan yang semakin
lebat, setelah melampaui sebidang tanah lapang di pengkolan sebelah hutan terdapat
sebuah mulut gua yang teramat besar. Kata Go-cu Taysu pada Thian-hi berdua, "I-lwe-tok-kun
menetap di dalam gua besar itu, bekerjalah menurut gelagat, semoga kalian berhasil, Lolap mohon
diri" - lalu ia putar balik mengajak Ciok Hong-hu, Ce-hun Totiang, Bun Cu-giok dan Ciok Yan
pergi. Thian-hi berdua terus maju sampai diambang gua, kata Thian-hi, "Nona Ham Gwat,
silakan kau tunggu disini, biar aku saja yang masuk?"
"Apakah tidak lebih baik kita masuk bersama?" usul Ham Gwat dengan suara lembut.
Thian-hi tidak berani menyatakan apa-apa, terpaksa manggut-manggut.
Pelan-pelan mereka langsung masuk, setelah berjalan beberapa kejap terasa bahwa
gua ini sangat panjang, mengandal ketajaman mata mereka tidak kelihatan sampai dimana
ujung pangkal dari gua besar ini. Semakin ke dalam gua semakin gelap, jantung Thian-hi jadi
kebat-kebit dan tegang. Beberapa kejap kemudian terasa dari langit2 gua ada air menetes jatuh, jalan
yang diinjak pun berlumut sangat licin. Keadaan gelap dan hening membuat hati mereka rada heran.
Gua ini begini panjang lalu dimana I-lwe-tok-kun bersemajam, untungnya jalan gua ini cuma satu,
kalau bercabang dua atau tiga entah kemana mereka harus mencari.
Sekonyong-konyong dilihatnya dari sebelah dalam sana berkelebat dua sosok
bayangan hitam menubruk datang ke arah mereka. Hun Thian-hi terperanjat, secara reflek ia tarik
Ham Gwat ke belakangnya, sebelah tangannya cepat mengeluarkan pedang.
Begitu menubruk dekat tanpa bersuara kedua bayangan itu lantas menyerang dengan
kedua telapak tangan masing-masing. Hun Thian-hi menegakkan badan, kakinya memasang
kuda-kuda yang kokoh, pedangnya teracung miring ke depan atas, sekali putar dan babat
beruntun ia punahkan serangan kedua musuhnya yang hebat.
Tapi kedua musuh beruntun lancarkan puluhan pukulan, agaknya mereka hendak
mendesak Thian-hi berdua mundur keluar gua, maka serangan mereka tidak mengarah tempat-
tempat penting yang mamatikan. Pedang Thian-hi beterbangan, setiap kali gerakan pedangnya selalu berhasil
memunahkan daya pukulan musuh. Diam-diam hatinya menjadi heran dan girang pula, batinnya, "Entah
siapa kedua orang ini, sedemikian ampuh dan tinggi Lwekang mereka."
Melihat Thian-hi berdiri tak tergoyahkan, kedua penyerangnya itu semakin gugup,
salah seorang sembari menyerang tiba-tiba bersuara. rendah tertahan, "Keluar!"
Begitu mendengar suara itu Hun Thian-hi tertegun, pikirnya, "Suara yang amat
kukenal!" - serta merta gerak pedangnya diperlambat kontan ia terdesak mundur satu tindak.
Tanpa memberi kesempatan banyak pikir terdengar seorang yang lain juga membentak
rendah tertahan, "Tidak mau mendengar kita ya?"
Tergetar hati Thian-hi, sekarang baru ia sadar, "Ternyata kedua orang ini adalah
Hwesio jenaka dan Siau-bin-mo-in, mengapa nada ucapan mereka begitu ketus dan begitu serius.
Apakah terjadi sesuatu peristiwa yang luar biasa" Kalau tidak masa begitu tegang."
Karena pikirannya ini tanpa ayal cepat ia tarik Hum Gwat, laksana meteor jatuh
ia berlari terbang mundur kemulut gua.
Hwesio jenaka seorang saja yang mengejar sampai diluar gua, mukanya sudah
kehilangan senyum tawanya yang selalu berseri lucu itu, dengan nada sedih ia bertanya,
"Untuk apa kau datang kemari?" Melihat sikap Hwesio jenaka ini heran Thian-hi dibuatnya, katanya tertawa,
"Siausuhu, apakah I-lwe-tok-kun benar-benar ada di dalam gua!"
Hwesio jenaka tersentak, matanya menatap tajam, sahutnya, "Benar-benar, darimana
kau bisa tahu!" "Wanpwe ada urusan yang mendesak mohon petunjuknya."
"Kau ada urusan apa?" tanya Hwesio jenaka penuh tanda tanya.
Terpaksa Hun Thian-hi menceritakan kejadian belakangan ini, ia jelaskan pula
maksud kedatangannya, iapun jelaskan sudah bertemu dan mendapat petunjuk dari Go cu
Taysu. "Sudah tidak mungkin!" sahut Hwesio jenaka sesaat kemudian. "Kalian terlambat
tiba." Thian-hi terkejut, teriaknya, "Apa! Datang terlambat" Maksudmu beliau sudah
meninggal?" Hwesio jenaka menepekur, ia geleng-geleng kepala tanpa bicara.
Thian-hi girang timbul setitik harapan, "Asal orang belum ajal saja." demikian
batinnya. Setelah menghela napas Hwesio jenaka berkata, "Keadaannya seperti orang sudah
mati, sekarang dia sudah gila, betapapun panjang usianya, takkan kuasa hidup beberapa
hari lagi." Hun Thian-hi tertegun, katanya, "Siau suhu...."


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku tahu maksudmu," demikian tukas Hwesio jenaka, "Kau masih ingin bertemu
dengan beliau?" Thian-hi manggut-manggut, tambahnya, "Urusian ini sangat penting, betapa pun aku
harus bertemu dengan beliau."
"Bukan aku tidak mengijinkan, yang benar-benar dia sudah tidak bisa membedakan
orang, kami bersaudara pun dilarang mendekat, apalagi kalian."
"Bagaimana juga aku mengharap bisa menemui beliau sebentar saja."
"Baiklah. Tapi harapannya terlalu kecil, mengandal kalian tentu, tidak mudah
terluka ditangannya, tapi harus berhati-hati," kembali ia bawa Hun Thian-hi berdua masuk
ke dalam gua. Tak berapa lama mereka sudah tiba diujung gua. Dimana Siau-bin-mo-in sedang
berjaga diambang pintu sebuah kamar batu, melihat Hwesio jenaka membawa Hun Thian-hi dan
Ham Gwat ia mengerutkan alis, tapi tidak bicara.
Hwesio jenaka berbisik-bisik dengan Siau-bin-mo-in, lalu Hwesio jenaka berbisik
pula dipinggir telinga Thian-hi, "Tok-kun sedang tidur, mari kuajak masuk, kalian harus hati-
hati." Hum Thian-hi berdua dibawa masuk ke dalam kamar batu itu, lalu ia mengundurkan
diri keluar. Begitu berada di dalam kamar batu Hun Thian-hi merasa hawanya sangat lembab,
dinding sekelilingnya ada mengalir air, dari celah-celah sebelah depan sana ada lobang
kecil selarik sinar menyorot masuk sehingga keadaan kamar batu rada terang.
Ditengah membelakangi dinding sana terdapat sebuah dipan batu, dimana duduk
bersila seorang tua kurus kering, kedua matanya terpejam, suara napasnya terlalu berat.
Hun Thian-hi membatin orang inikah I-lwe-tok-kun, sekian saat ia amat-amati
orang tua di hadapannya ini. Kedua biji matanya sudah cekung, mukanya pucat berpenyakitan,
tak serupa sabagai seorang gembong iblis yang sangat ditakuti, yang terang tak lain sebagai
kakek tua renta yang sudah loyo, berpenyakitan lagi, serta merta ia menghela napas. Bersama Ham
Gwat, Thian-hi berdiri diam ditengah-tengah kamar.
Suasana hening lelap cuma tetesan air yang tak-tik saja yang terdengar, tak lama
kemudian cahaya matahari yang remakin dojong menyinari muka I-lwe-tok-kun, tiba-tiba
terdengar tenggorokannya bersuara lirih, pelan-pelan ia mulai membuka mata.
Hati Thian-hi dan Ham Gwat menjadi tegang, entah bagaimana sikap 1-lwe-tok-kun
serta melihat kehadiran mereka di dalam kamar ini" Menyerang atau mencaci maki mereka"
Sungguh mereka tidak berani membayangkan akibatnya, dengan rasa tegang mereka awasi
gerak-gerik Ilwe- tok-kun. Begitu membuka mata, I-lwe-tok-kun seperti tidak melihat mereka, dengan
pandangan redup ia menyapu keadaan sekelilingnya baru akhirnya pandangannya jatuh pada wajah
mereka. Semula matanya mengunjuk rasa heran dan tak mengerti, mendadak sorot matanya berubah
beringas dan mendelik tajam laksana ujung senjata menghunjam ke ulu hati mereka.
Akhirnya tercetus pertanyaannya, "Kalian untuk apa datang kemari?"
Hun Thian-hi jadi melenggong, bukankah tadi Hwesio jenaka mengatakan I-lwe-tok-
kun sudah gila" Kenapa bisa mengajukan pertanyaan yang genah ini.
Desak I-lwe-tok-kun pula, "Siapa kalian adanya?"
Melihat sikap orang yang kalem dan sadar, Hun Thian-hi tidak beragu lagi, cepat
ia menyahut, "Wanpwe Hun Thian-hi bersama Ham Gwat, ada sesuatu urusan mohon petunjuk
Cianpwe." I-lwe-tok-kun termangu sekian lama, pelan-pelan berkata, "Kau bernama Hun Thian-
hi" Kaukah murid Ka-yap Cuncia itu?"
"Memang Wanpwe adanya."
I-lwe-tok-kun menghela napas lalu menunduk, tak lama kemudian ia bersuara pula,
"Jadi kau benar-benar adalah murid Ka-yap Cuncia, kalau begitu ada urusan apa silakan
katakan saja." Hun Thian-hi semakin mendapat hati dan tabah, katanya, "Konon kabarnya Cianpwe
dulu pernah menetap di dalam Jian-hud-tong, apakah kabar ini benar-benar?"
Perlahan-lahan I-lwe-tok-kun manggut-manggut.
"Ada sebuah urusan mohon Cianpwe suka bantu memecahkan. Sekarang Tok-sim-sin-mo
dan Bu-bing Loni ada sekongkol dan menjadikan Jian-hud-tong sebagai markas mereka.
Kami mohon petunjuk mengenai rahasia dari istana sesat itu. Cianpwe lama berdiam disana
tentu sudah apal mengenai segala seluk beluk disana, harap suka memberi penjelasan."
Terbayang senyum lebar dimuka I-lwe-tok-kun, katanya kalem, "Aku tahu aku bakal
segera mati, aku kuatir tak mampu lagi bantu kalian."
Hun Thian-hi terbungkam dan termangu tak bicara.
"Tentu kau tidak mau percaya, ya bukan?" ujar I-lwe-tok-kun tertawa ringan,
"Tapi aku sendiri punya perhitunganku, dalam sepuluh hari ini, baru sekarang aku sadar dan pulih
ingatanku!" ia mendehem dan manggut-manggut lalu sambungnya, "Aku tahu ini cuma pertanda bahwa
ajalku sudah semakin dekat."
Thian-hi berdua masih bungkam tak bergerak. "Kau tidak perlu kubantu lagi,"
demikian I-lwetok- kun melanjutkan, "Dalam kolong langit sekarang kecuali aku mungkin tiada orang
kedua yang pernah menjelajah istana sesat."
"Dapatkah Cianpwe memberi petunjuk tentang cara keluar masuknya istana sesat
itu." "Tidak! Apakah Tok-sim-sin-mo punya cara keluar masuk." ia tertawa-tawa, lalu
sambungnya, "Siapa tahu jalan masuk ke dalam istana sesat, dia bakal mampus seketika...."
Thian-hi tercengang tanpa bicara, tak terpikir olehnya kenapa I-lwe-tok-kun
mengatakan begitu. "Mungkin kau tidak percaya," I-lwe-tok-kun melanjutkan, "Sebelum ajal biarlah
kuberi tahu pada kau. Dulu aku sudah berdaya upaya menghabiskan tenaga dan memeras otak
untuk masuk ke dalam istana sesat, Kupikir di dalam istana sesat itu pasti ada dipendam
harta benda yang tak ternilai dan tak terhitung banyaknya, kalau tidak masa orang sudi membangun
Istana sesat di tempat itu. Tapi setelah aku berada di dalam istana sesat kudapati tempat itu merupakan
daerah mati, mungkin memang ada harta terpendam, tapi dibagian lebih dalam ada tersebar luas
hawa beracun yang teramat jahat. Aku dijuluki Tok-kun, aku berani membanggakan diri segala
racun pernah kuperoleh, tapi kalau dibanding hawa beracun disana bedanya antara langit dan
bumi, sedikit kulitmu tersentuh hawa beracun itu, seketika kau akan mampus dan cara kematianmu
adalah sedemikian mengerikan!"
Sampai disini I-lwe-tok-kun tertawa-tawa lagi, katanya lebih lanjut, "Maka tadi
kukatakan tak usah kau urus dan bercapek lelah mengenai istana sesat itu, tak usah kuatir Tok-
sim-sin-mo berbuat apa-apa, sekali dia berani menerjang masuk kesana, kematian akan
menunggunya." "Banyak terima kasih akan petunjuk Cianpwe!" tersipu-sipu Thian-hi menjura.
"Sampai tahap sekarang ini baiklah kuberitahu kepada kau," demikian I-lwe-tok-
kun menambahkan, "Sebelum melakukan sesuatu sebelumnya harus dipikir biar masak,
jangan kau menyesal sesudah kasep, itu tidak berguna!"
Bercekat hati Thian-hi, ia tunduk diam mendengar petuah ini, banyak akibat dari
perbuatannya yang harus disesalkan. "Dulu," demikian, ujar I-lwe-tok-kun sambil mengawasi muka mereka, "Aku malang
melintang bersimaharaja anggapku akulah yang paling berkuasa melebihi raja. tapi kenyataan
toh aku dikalah-kan oleh Ka-yap Cuncia. Sampai sekarang meski aku ingjn berjuang dan
mencapai puncak kedigjayaan itu akhirnya toh mampus juga."
"Cianpwe sekarang sudah insaf dan menyesal, bukankah ini suatu hal baik?" tanya
Thian-hi. "Orang purba mengatakan, tahu salah dapat memperbaiki, betapa bahagia dan
bijaksananya ini memang tidak salah, tapi jauh lebih baik kalau kau tidak berbuat kesalahan itu
bukan" Cuma orang purba itu pun tidak menyadari bahwa nyawa, atau hidup manusia itu ada
batasnya, adanya batas nyawa itu tidak mungkin ada batas penyesalan...."
Thian-hi merenungkan petuah I-lwe-tok-kun yang mengandung arti yang dalam ini,
ini merupakan suatu kritik yang mendalam pula bagi dirinya, jiwa mannsia memang
cukup pendek dan terbatas, nyawa itu serdiri tidak akan membiarkan manusia berbuat penyesalan
yang tiada batasnya, disadari olehnya apa pula yang harus segera dikerjakan sekarang, dia
tidak boleh main lambat-lambat dan ragu-ragu lagi.
Selama itu Ham Gwat diam saja, iapun tenggelam dalam pikirannya, banyak yang
dapat ia simpulkan dari percakapan ini, dan pendapatannya justru yang paling banyak.
"Aku sudah letih," tiba-tiba I-lwe-tok-kun mengeluh, "kalian boleh segera
keluar!" - pelanpelan
ia pejamkan mata. Waktu Hun Thian-hi dan Ham Gwat keluar Hwesio jenaka sudah menyongsongnya
diambang pintu, katanya tertawa, "Sungguh beruntung nasib kalian." lalu, ia menghela
napas serta ujarnya pula, "Dengan memejamkan mata, tentu Tok-kun tidak akan membuka mata lagi
selamanya." Hun Thian-hi manggut-manggut, ia maklum kemana juntrungan ucapan orang.
"Tujuan kalian sudah tercapai, mungkin kalian masih ada urusan lain, maaf, kami
tidak mengantar kalian." Segera Hun Thian-hi nyatakan terima kasih terus keluar bersama Ham Gwat. Tanpa
membuang waktu Hun Thian-hi dan Ham Gwat langsung menempuh perjalanan menuju ke Jian-hud-
tong. Sepandiang jalan itu mereka jarang bicara.
Suatu ketika mereka kepergok dengan sebuah bayangan orang, tiba-tiba Hun Thian-
hi berjingkrak kegirangan dan memapak maju. Ternyata dilihatnya Sutouw Ci-ko muncul
di tempat itu. "Sutouw cici bagaimana kau datang!" teriaknya.
"Ya, aku datang bersama Gihu (ajah angkat), tapi beliau ada urusan nanti akan
menyusul, kemari," lalu ia berpaling mengamati Ham Gwat, katanya berseri tawa. "Bukankah
ini nona Ham Gwat! Sungguh cantik sekali, tak heran adik Hun terpincut kepada kau," demikian
godanya. Ham Gwat tertunduk ke-malu-maluan, katanya lirih, "Cici tentu nona Sutouw
adanya!" Melihat muka dan sikap Ham Gwat yang murung itu Sutouw Ci-ko hertanya kepada
Thian-hi, "Eh. kenapakah kalian, kok tidak bicara."
Setelah bersua dengan Sutouw Ci-ko perasaan Hun Thian-hi rada ringan, sahutnya
tortawa, "Tidak apa-apa, cuma ayah bunda nona Ham Gwat kena tertawan oleh Tok-sim-sin-mo
dan Bubing Loni." "O, Sungguh maaf," Sutouw Ci-ko tersipu-sipu minta maaf, "Aku tidak tahu ada
kejadian ini." "Ci-ko cici!" Ham Gwat berkata sambil memandang ke arah Thian-hi.
Sutouw Ci-ko maklum maka segera ia berkata,, "Adik Thian-hi, coba kau
menyingkir, kami hendak bicara" Apa boleh buat terpaksa Hum Thian-hi menyingkir rada jauh.
"Ci-ko cici." ujar Ham Gwat setelah Thian,-hi menyingkir, "Boleh aku panggil
begitu?" "Sungguh aku senang mendapat adik secantik kau, entah siapa yang bakal beruntung
dapat mempersunting putri secantik bidadari ini!"
Ham Gwat tertunduk malu, ujarnya pula, "Ci-ko cici, apakah kau merasa seolah-
olah aku tidak punya perasaan?" Bercekat hati Sutouw Ci-ko, tapi ia tertawa dibuat-buat, sahutnya, "Adik Ham
Gwat, kenapa kau berpikiran begitu" Sedikit pun aku tidak punya perasaan begitu."
Dengan nanar Ham Gwat pandang rona wajah Sutouw Ci-ko, sesaat ujung mulutnya
maengulum senyum manis, katanya pelan-pelan, "Perjalanan ke Jian-hud-tong ini,
sungguh aku sangat kuatir bagi keselamatan Thian-hi. Dia harus bertempur untuk menentukan
mati atau hidup melawan Bu-bing Loni, sedang ayah bundaku tertawan pula oleh mereka, menurut
pendapatmu bagaimana aku harus bertindak!"
Haru dan tersentuh sanubari Sutouw Ci-ko serta. mendengar curahan hati Ham Gwat
yang penuh membawa perasaan hatinya. Terdengar Ham Gwat melanjutkan, "Kau tahu, dia
terlalu ceroboh. gugup dan lalai lagi, bila sampai tertipu tak berani aku membayangkan
akibatnya." "Kau tak usah kuatir." Sutouw Ci-ko coba menghibur, "Bukankah kau selalu
mendampinginya"

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku dan Gihu juga akan kesana, kau tidak perlu kuatir!"
"Tapi dia akan berpencar dengan kita, bagaimana baiknya."
"Itu tergantung pada kau, asal kau dapat mengendalikan dia, kutanggung tidak
akan ada persoalan" demikian ujar Sutouw Ci-ko sambil tertawa penuh arti. "Aku tahu
sanubarimu penuh mengandung perasaan, tapi tak pernah kau tunjukkan dilahirmu. Hubunganmu dengan
Thian-hi terasa sangat asing bagi dia, kalau kau bisa mengumbar sedikit perasaanmu aku
percaya Thian-hi akan menyetujui segala perintahmu. Aku dapat menyelami isi hatinya, kalau
huhungan kalian sudah erat dan terbuka hati kalian bisa saling mengisi, dia akan tanya padamu
apa yang harus dia lakukan, yakinlah akan hal ini!"
"Memang Thian-hi rada jerih terhadap kau," demikian Sutouw Ci-ko melanjutkan.
"Tapi cuma kaulah yang kuasa mengendalikan dia, hal ini tak perlu disangsikan."
"Aku kuatir aku tidak punya wibawa begitu besar," timbrung Ham Gwat tertawa.
"Dihadapan orang lain biasanya Thian-hi terlalu bebas dan berani, tapi
dihadapanmu seperti bicara pun tak berani keras. Kukira sejak mula kalian sudah sama-sama canggung
dan risi sehingga sikap kalian sama-sama kurang wajar."
Ham Gwat menjadi geli. Dalam hati ia mengakui akan kebenar-benaran ini, kini
setelah ganjalan hati ini terbuka ia menjadi paham dan lapanglah dadanya, katanya,
"Untuk selanjutnya kukira tidak akan terjadi pula!"
"Itulah baik. Aku salut pada kalian!" demikian ujar Sutouw Ci-ko, lalu ia
berpaling ke arah hutan serta berteriak, "Thian-hi, keluarlah!"
Tapi berulang kali ia berkaok2 tanpa mendapat penyahutan, hati mereka menjadi
tegang dan bertanya-tanya. Lekas mereka memburu ke dalam hutan, keadaan disitu sunyi dan
melompong, agaknya Thian-hi sudah tinggal pergi lebih dulu.
Sekilas pandangan Ham Gwat menjelajah sekitarnya dilihatnya sebaris tulisan
didahan pohon yang berbunyi, "Paman Pek menghadapi bahaya, aku pergi menolong."
Mereka maklum setalah berhasil menolong Pek Si-kiat tentu Thian-hi langsung
menyusul ke Jian-hud-tong, maka mereka pun tidak banyak kata lagi, buru-buru mereka
melanjutkan perjalanan. Ooo)*(ooO Melihat Ham Gwat berdua mau bicara segera Thian-hi menyingkir ke dalam hutan,
tengah ia keisengan tiba-tiba dilihatnya tiga sosok bayangan orang berlari kencang saling
kejar di kejauhan, jelas terlihat olehnya orang yang dikejar itu adalah Pek Si-kiat, sedang dua
orang pengejarnya adalah Ciang-ho-it-koay dan Ce-han-it-ki.
Cepat ia menulis beberapa patah kata di atas pohon terus lari mengejar dengan
kencang, Kirakira sepul"uh li kemudian baru ia melihat tiga bayangan di depan, segera ia kerahkan
tenaganya mengejar lebih pesat. Untung tiba-tiba dilihatnya ketiga orang yang saling kejar
itu mendadak sama berhenti, sementara laksana terbang Hun Thian-hi sudah menyandak dekat,
cuma sebelum tahu duduk persoalannya ia tak mau muncul unjukkan diri, lekas ia melesat naik
kepuncak sebuah pohon lebat dan sembunyi disitu.
Diam-diam heran dan bertanya-tanya benak Thian-hi, entah karena urusan apa
ketiga tokoh kelas tinggi ini saling kejar. Tampak Pek Si-kiat membelakangi sebuah pohon
besar menghadapi kedua pengejarnya, katanya, "Aku sudah bersabar, tapi kalian mendesak begini
rupa, apa maksud kalian?" "Pek Si-kiat jangan banyak bacot lagi, persoalan empat puluh tahun yang lalu
masa pura-pura kau lupakan?" demikian jengek Ce-han-it-ki'
"Benar-benar, memang dulu tidak sedikit aku membunuh orang. tapi sekarang aku
sudah sadar dan insaf, apa kalian masih mendesak sedemikian rupa?"'
"Menyesal dan sadar apa?" demikian jengek Ciang-ho-it-koay, "Dengan menyesal dan
sadar lantas cukup kau tebus jiwa orang-orang yang kau bunuh itu?"
"Jadi maksud kalian aku Pek Si-kiat harus menembus dengan jiwaku?"
"Dulu Pek-kut-sin-kangmu menggetarkan Bulim biar hari ini aku mencoba pukulan
saktimu itu," demikian Ciang-ho-it-koay tampil ke depan terus menyerahg dengan kedua telapak
tangannya. Pek Si-kiat. melejit mundur menghindar. Kalau dua lawan satu terang ia bukan
tandingan, maka ia harus berusaha mencari kesempatan melarikan diri, segera ia kerahkan delapan
kekuatan Pek-kutsin- kang balas menggempur. Begitu dua pukulan saling bentur, hawa bergolak debu dan pasir beterbangan
memenuhi angkasa, kedua belah pihak sama tergetar mundur lima kaki.
Begitu tersentak mundur Ciang-ho-it-koay segesit kera sudah melompat maju pula
seraya kirim lagi tamparan maut. Sementara itu Pek Si-kiat berdiri tegak, ia sudah siap
menghadapi rangsakan musuh lebih lanjut, tapi ia cukup cerdik untuk memancing kelengahan musuh, tiba-
tiba ia melejit mundur lagi, Ciang-ho-it-koay menjadi gemas. tanpa. menghiraukan seruan Ce-han-
it-ki ia mengejar maju seraya menjengek, "Iblis tulang putih hayo jangan lari!"'
Kini persiapan Pek Si-kiat sudah sempurna, tanpa berkelit lagi ia songsongkan
pukulan telapak tangan dengan dilandasi kekuatan Pek-kut-sin-kang. Waktu mendengar peringatan
Ce-han-it-ki, paling tidak Ciang-ho-it-koay sudah waspada, begitu melihat lawan menyongsong
pukulannya ia berusaha mengijak. hakikatnya sikap Pek Si-kiat ini tidak pandang sebelah mata
dirinya, berani dia menyongsong gempuran pukulannya cuma dengan sebelah tangannya saja. Seketika
berkobar amarahnya sambil kerahkan seluruh tenaganya, kedua telapak tangan menggempur ke
arah Pek Si-kiat. Diluar tahunya siang-siang Pek Si-kiat sudah memperhitungkan dengan masak,
begitu melihat lawan menggempur dengan kekerasan, cepat ia tarik pukulannya seraya berkelit
kesamping. Memang Ciang-ho-it-koay menduga Pek Si-kiat tidak akan berani melawan secara
kekerasan, begitu melihat lawan berkelit, tiba-tiba ia memutar setengah lingkaran berbareng
kedua tangannya menyapu miring terus menggempur pula kehadapan Pek Si-kiat.
Mimpi pun Pek Si-kiat tidak menduga bahwa lawan bisa tergerak begitu cepat dan
tangkas, tak sempat berkelit atau merubah permainan, terpaksa ia angkat tangan menangkis
dengan sisa tenaga yang masih terkerahkan.
Suara gemuruh seketika menyentak mundur kedua pihak dua tindak ke belakang.
Secara langsung dapatlah dinilai dalam adu kekuatan pukulan ini, bahwa Pek Ki-kiat
setingkat lebih tinggi dari kepandaian Ciang-ho-it-koay, karena hasilnya seri, pada hal Pek Si-kiat
cuma menggunakan sisa tenaga yang masih terkerahkan.
"Lwekang yang hebat," derdengar Ce-han-it-ki memuji, "Cukat Lote! biar kucoba-
coba kepandaian sejati Iblis tulang putih ini!"
Ciang-ho-it-koay maklum bahwa diri sendiri bukan tandingan orang, segera ia
mengundurkan diri. Melihat Ce-han-it-ki tampil ke depan, bercekat hati Pek Si-kiat, ia maklum
kepandaian orang jauh lebih tinggi dari Ciang-ho-it-koay, mau tak mau ia harus mengempos semangat
dan meningkatkan kewaspadaan.
Dalam pada itu Ce-han-it-ki sudah saling berhadapan, seperti dua jago aduan
mereka saling pandang tak berani sembarangan bergerak, mereka menanti kesempatan yang paling
baik untuk turun tangan. Sekonyong-konyong Ce-han-it-ki bergerak dulu, kakinya melangkah
miring ke depan menduduki posisi yang menguntungkan terus menggempur berhadapan ke arah Pek Si-
kiat Mencelot hati Pek Si-kiat. Cara Ce-han-it-ki menyerang ini entah mengunakan tipu
silat apa. Karena itu dia tidak berani gegabah sedikit angkat kedua tangannya cukup
mebendung gempuran tenaga lawan, sementara sebelah kakinya menyurut selangkah.
Tak duga gerakan Ce-han-it-ki ini merupakan pancingan belaka, melihat Pek Si-
kiat tidak berani balas menyerang, ia tertawa panjang, cepat sekali permainan pukulannya berubah,
ia kembangkan Nu-hun-ciang-hoat (pukulan comot awan), gambaran telapak tangan
berkelebatan menerbitkan gelombang angin yang menderu keras, jari-jari kedua telapak
tangannya bagai cakar burung mencomot ketubuh Pek Si-kiat.
Karena inisiatif penyerangan didahului lawan, kontan Pek Si-kat terdesak di
bawah angin dan mati kutu, Pek-kut-ciang sulit dikembangkan lagi, paling-paling cukup untuk
membela diri saja. Namun demikian ia kuat bertahan sampai ratusan jurus, sementara kedudukan Ce-
han-it-ki semakin unggul, permainan pukulan telapak tangannya semakin ganas dan deras.
Dalam pengalaman bertempur untung Pek Si-kiat jauh lebih matang dari Ce-han-it-
ki, detikdetik permulaan tadi lantas ia menginsafi kedudukannya yang kejepit ini, tanpa balas
menyerang ia menjaga diri dengan rapat. Tapi setiap kali lawan mengunjuk setitik lobang
kelemahan pasti ia menyergap dengan rangsakan yang cukup membuat lawan kelabakan.
Kira-kira dua ratusan jurus mereka saling hantam, Pek Si-kiat jadi mengerutkan
kening, sebaliknya Ce-han-it-ki semakin bernafsu. Mendadak Pek Si-kiat mengendorkan
pukulan tangannya, Ce-han-it-ki segera menerjang dengan sebelah pukulan tangan, gesit
sekali Pek Si-kiat miringkan tubuh sambil balas menggempur.
Sudah tentu Ce-han-it-ki tidak sudi gugur bersama, terpaksa ia sampokan sebelah
tangan menangkis, "blang!" dua musuh sama-sama tersurut mundur, sekarang mereka berdiri
berhadapan lagi. Sekonyong-konyong eesosok bayangan orang meluncur turun dan hinggap ditengah
gelanggang. Kedua belah pihak sama kaget
Melihat Hun Thian-hi, Ce-han-it-ki semakin beringas, desisnya, "Apa kau ingin
membela Pek Sikiat?"
Hun Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, "Aku cuma menuntut keadilan saja, harap
Cianpwe tidak terbawa oleh perasaan hati."
"Pek Si-kiat dulu terlalu banyak membunuh orang, berani kau menghadapi kemarahan
kaum Bu-lim?" "Lain dulu lain sekarang, kenyataan sekarang ia tidak pernah membunuh orang."
"Hun Thian-hi," sela Ciang-ho-it-koay, "Persoalan Giok-yan Cinjin belum beres,
berani kau bertingkah disini?" "Kukira Cianpwe masih belum pikun. seseorang yang berlatih ilmu Lwekang dari
aliran murni macam tokoh Giok-yap Cinjin apakah mungkin bisa tersesat latihannya?"
Ciang-ho-it-koay jadi melengak, ia cuma percaya obrolan orang dan belum pernah
memikirkan secara cermat. Kini baru ia jelas duduk persoalannya, jadi kematian Giok-yap
memang bukan perbuatan Hun Thian-hi. Seketika ia bungkam seribu basa.
"Sekarang kita tidak mempersoalkan kematian Giok-yap. Kami menagih hutang jiwa
Pek Si-kiat pada empat puluh tahun yang lalu." Ce-han-it-ki mengembalikan persoalan semula.
"Bagaimana kejadian empat puluh tahun yang lalu aku tidak tahu. Memang kudengar
sepak terjang Si-gwa-sam-mo dulu terlalu ganas dan telengas. Tapi paman Pek sekarang
sudah sadar dan bertobat, malah Ka-yap Cuncia sendiri yang membebaskan beliau. Masakah empat
puluh tahun kemudian, hari ini kalian masih mengungkat2 urusan lama dan mendesak
sedemikian rupa." Demikian debat Hun Thian-hi.
"Baiklah, kami tidak usah menuntut balas pula padanya," demikian ujar Ce-han-it-
ki menjadi sabar kembali, "Tapi seperti katamu tadi kau harus memberi keadilan bagi
keluarga kami yang dibunuh olehnya, bagaimana penyeleaaiannya?"
"Bagaimana menurut pendapat Cianpwe?" dasar cerdik Hun Thian-hi kembalikan
persoalan ini supaya orang jawab sendiri.
Ce-han-it-ki tidak menduga bahwa Hun Thian-hi mengembalikan peraoalan ini pada
dirinya diam-diam ia mengumpat dalam hati, sekian lama ia berpikir dan tak kuasa
mengambil kepastian. Tiba-tiba Ciang-ho-it-koay menimbrung dari samping, "Dalam jangka tiga bulan
suruh dia datang kegunung Tiang-pek langsung minta maaf kepada kami."
Hun Thi-hi tertegun. Pek Si-kiat pun menjadi marah, sungguh ia tidak ingat lagi
siapa yang ia bunuh sehingga kedua orang ini menuntut balas pada dirinya, sekarang suruh aku
datang ke Tiang-pek-san minta ampun pada mereka. Mana bisa jadi, hampir saja ia mengumbar
amarahnya pula, tapi sekilas pikir, ia mengakui kesalahan terletak dipihak sendiri, mana


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

boleh bekerja menurut adat sendiri. Bahwasanya kaum persilatan yang terjungkal jatuh pamor sudah umum dan biasa
terjadi, tapi kalau minta orang minta ampun kerumah orang belum pernah terjadi. Kedengarannya
pembicaraan mereka cukup ramah dan tanpa syarat apa-apa lagi, tapi
pelaksanaannya bagi Pek Si-kiat justru sangat berat.
Thian-hi maklum akan hal ini, ia, jadi bingung dan sulit ambil kepastian,
seumpama dia sendiri pun belum pasti mau, tapi soalnya sekarang kalau ditolak mentah-mentah
pertempuran sengit tentu berulang kembali, dan ini tidak ia kehendaki.
Pek Si-kiat sendiri menjublek ditempatnya, terbayang penghidupan empat puluh
tahun di dalam gua yang sunyi, kumandang nasehat dan petuah Ka-yap Cuncia dipinggir kupingnya,
ia pun sudah berjanji tidak akan membunuh orang lagi. Sekilas dilihatnya sikap kebingungan
Hun Thian-hi, tibatiba ia merasa persoalan adalah kesalahanku asal aku mengangguk kepala, segalanya
menjadi beres, kalau dulu aku membunuh keluarga mereka, tuntutannya cuma mohon ampun
belaka, imbalan ini terlalu ringan bagi dirinya. Mendadak ia bersuara, "Baik! Kululusi
syarat kalian ini."'
Keruan Hun Thian-hi bertiga menjadi terkejut. Ce-han-it-ki dan Ciang-ho-it-koay
sama heran dan tak mengerti, mimpi juga mereka tidak menduga Pek Si-kiat begitu polos
menerima syarat yang mereka ajukan. Kenyataan sudah mereka hadapi, sesaat menjadi bungkam.
Mengandal kedudukan Pek Si-kiat di Bulim, kata-kata yang sudah diucapkan tidak bakal
dijilat kembali, apalagi ada Hun Thian-hi menjadi saksi, untuk menyesalpun sudah kasep.
"Kalau begitu, baiklah kami mohon diri, Kutunggu kedatanganmu." demikian ujar
Ce-han-it-ki lalu mendahului berlari pergi.
Setelah bayangan kedua orang ini menghilang tak tertahan lagi, Hun Thian-hi
berseru haru, "Paman Pek!" Pek Si-kiat tersenyum, ujarnya, "Untung kaulah yang datang, kalau tidak entah
bagaimana akibatnya tadi Kau sudah ketemu Sutouw Ci-ko belum?"
"Tadi memang aku bersama mereka, tapi melihat paman Sedang dikejar mereka maka
kususul kemari lebih dulu." "Mereka" Siapa saja yang kau maksudkan?"
"Sekarang Ci-ko bersama nona Ham Gwat Kemungkinan mereka langsung menuju ke
Jian-hudtong!" "Agaknya hubunganmu dengan Ham Gwat sudah lebih akrab. marilah kita pun menyusul
kesana." Demikian ajak Pek Si-kiat. sambil berjalan ia menambahkan, "Kulihat
kalian memang jodoh yang setimpal. ini soal besar yang menentukan hari depanmu. Nona Ham Gwat
adalah gadis yang baik, berkobar perasaan di dalam sanuharinya, soalnya sejak kecil ia,
dibimbing Bu-bing dalam suasana dingin dan mengikuti watak gurunya, sebetulnyalah riwayat
hidupnya. harus dikasihani, maka perasaan hatinya sulit ia limpahkan dengan kata-kata."
Hun Thian-hi tertunduk, ia renungkan setiap kata Pek Si-kiat yang banyak membawa
manfaat besar bagi diranya. "Kau dapat memahami maksudnya tidak?" tanya Pek Si-kiat
"Kurang begitu paham!" sahut Thian-hi terus terang.
"Sedikitnya." Pek Si-kiat memberi petunjuk, "Setiap kali berhadapan dengan dia
kau tidak boleh terlalu canggung dan kikuk, bawalah kewajaran dalam hubungan kalian. Kalau tidak
perasaan dingin di dalam sanubarinya itu tidak akan luber, perasaan hatinya pun sulit
dilimpahkan." Sementara Hun Thian-hi merenungkan kata-katanya, Pek Si-kiat menamhahkan, "Yang
terpenting belum kututurkan kukira kau masih teringat akan Sin-jiu-mo-ih Lam In
bukan?" Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia tertegun, ia sendiri pernah saksikan sepak
terjang tabib iblis bertangan sakti itu, adakah terjadi sesuatu diluar dugaan" Demikian ia bertanya-
tanya dalam hati. "Persoalan tidak terletak pada Lam In itu sendiri, sekarang dia berada di tempat
Kim-eng Lojin, orang tua pemelihara burung rajawali mas besar itu."
"Jadi maksudmu tentang obat2an ciptaannya yang menjadi persoalan?"
Pek Si-kiat manggut-manggut, katanya, "Dulu Sin-jiu-mo-in pernah berjanji akan
memberi bubuk obat Kiu-li-san, orang yang dicekoki obat ini akan kehilangan akal
sehatnya, dia patuh segala perintah orang yang memberi obat beracun ini. Waktu dia pulang kerumah
ternyata bahwa bubuk obat itu sudah jcuri oleh Tok-sim-sin-mo"
"Dengan hasil obat curiannya ini, Tok-sim-sin-mo yang berhasil lolos itu meracun
Bing-tiongmo, tho. Lam-bing-it-hiong dan lain-lain kaki tangannya dulu. Apalagi sekarang dia
telah berintrik dengan Bu-bing Loni maka kekuatannya berlipat lebih besar."
Bab 36 Thian-hi semakin terkejut, melawan Bu-bing saja sudah berat ditambah orang-orang
yang dicekoki racun kena dipengaruhi itu, semakin sulit lagi dilawan
"Kini dia lebih apal lagi keadaan dalam Jian-hud-tong, aku kuatir sulit untuk
membekuk dan mengatasi mereka. Cuma untung dari Lam In sendiri atas prasaran Kim-eng Lojin
aku mendapat obat pemunah racun Kiu-li-san itu."
Thian-hi jadi berjingkrak girang, "Obat pemunah macam apakah?" tanyanya.
"Berupa bubuk juga. Cukup ditebarkan saja, sekali mereka mengendus bau obat yang
harum itu seketika mereka akan sadar, dan tidak terkendali lagi oleh Tok-sim-sin-mo."
"Kalau begitu kita tidak perlu gentar menghadapi bangsat laknat itu."
"Tapi obat itu cuma sebungkus, sebungkus ini harus sekaligus dapat mengobati
sekian banyak orang. Untuk meramunya lagi waktunya terang tidak keburu lagi."
Thian-hi terbungkam kuatir, ia terlongong sekian saat.
"Kau simpanlah obat ini,' ujar Pek Si-kiat menyerahkan sebungkus obat, "jelas
dia akan menghadapimu sekuat tenaganya."
Thian-hi sambuti bungkusan obat itu, ujarnya, "Sebungkus ini lebih baik kubagi
menjadi dua saja." - lalu ia membuka bungkusan itu dan dibagi menjadi dua lalu dibungkus
lagi, sebungkus yang lain ia berikan kepada. Pek Si-kiat.
"Nak, marilah percepat, mungkin Ci-ko dan Han Gwat sudah tiba disana." demikian
ajak Pek Sikiat. Thian-hi mengiakan, mereka langsung menuju ke Jian-hud-tong.
Waktu terang tanah Sotouw Ci-ko dan Ham Gwat sudah tiba diambang mulut gua
seribu buddha. Sekian lama mereka berdiri menjublek susah ambil ketetapan. Akhirnya
Sutouw Ci-ko berkata, "Adik Ham Gwat, kita terjang ke dalam atau menunggu kedatangan Hun
Thian-hi." "Entah Thian-hi sudah tiba atau belum, mungkin sudah tiba dan langsung menerjang
masuk maka kita pun tak perlu beragu lagi. Cuma untuk menjaga segala kemungkinan,
lebih baik kita tinggalkan beberapa patah kata disini, umpama mereka terlambat segera bisa
menerjang masuk." Sutouw Ci-ko manggut-manggut, dengan ujung pedang ia menggores beberapa huruf
dibatang pohon. Tiba-tiba di belakang mereka terdengar suara dingin.
Waktu berpaling seketika berubah air muka mereka, yang datang ini kiranya bukan
lain Bu-bing Loni adanya, dengan dingin ia menatap muka Ham Gwat.
Dengan dingin dan takabur Ham Gwat balas tatap Bu-bing Loni, saat mana
sedikitpun ia tidak lagi merasa gentar menghadapi Bu-bing. Setelah dia jelas mengetahui riwayat
hidupnya sendiri, lebih besar pula rasa bencinya terhadap Bu-bing musuh ayah bundanya.
Hawa amarah bergejolak dirongga dadanya menggantikan perasaan takutnya. Semula
Bu-bing tidak percaya bahwa Ham Gwat berani bersikap begitu garang dan kurang ajar
terhadap dirinya. 'Ham Gwat,' jengeknya dingin, "Setelah berhadapan, kau masih berani melawan
aku?" "Jangan toh melawan melihat kau, melihat musuh besarku, aku benci kau ketulang
sungsummu, ingin rasanya kusayat dagingmu kubeset kulitmu." sembari berkata ia
melolos pedang. Bu-bing menyeringai sadis, ia tahu Ham Gwat sudah terlalu benci padanya, Ham
Gwat harus dilenyapkan dulu dari depan hidungnya, maka iapun melolos pedang, ejeknya,
"Permainan pedangmu hasil ajaranku, kau berani melawan gurumu, agaknya kau sedang mimpi!"
Ham Gwat mandah menyeringai dingin, setindak demi setindak ia menghampiri
kehadapan Bubing Loni.... Sutouw Ci-ko menjadi Kuatir, murid mana bisa menang melawan guru, situasi
membuat hatinya menjadi tabah, rasa takutnya terhadap Bu-bing sudah lenyap,
pelan-pelan iapun keluarkan pedangnya ikut mendesak maju.
Ham Gwat tahu juga akan tindakan Sutouw Ci-ko ini, cepat ia mencegah tanpa
menoleh, "Ci-ko cici kau mundur saja, aku punya cara menghadapi dia!"
Sutouw Ci-ko tertegun, sambil menyoreng pedang ia berdiri disamping.
"Apa kemampuanmu kau berani melawan aku." demikian cemooh Bu-bing. Sementara
pedangnya sudah terangkat lempang pelan-pelan menuding ke arah Ham Gwat
Langkah Ham Gwat tak berhenti, kedua biji matanya sedingin es menatap Bu-bing,
dalam hati ia sedang menerawang cara menghadapi musuh besar ini. Rasa gusar sudah
menghayati keberaniannya. Adalah Bu-bing sendiri sebaliknya menjadi bersitegang leher, pandangan Ham Gwat
yang dingin setajam sembilu menusuk sanubarinya, bertambah besar rasa jerinya.
Tiba-tiba Ham Gwat tersenyum sinis, badannya pun melejit ke depan, pedangnya
panjang menyampok miring terus menutul bergantian. sekaligus ia menutuk jalan darah
Thay-yang-hiat dikedua pelipis Bu-bing Loni.
Mencelos hati Bu-bing, tipu serangan ini bukan dia yang mengajarkan, bukan pula
pelajaran dari ibu kandung Ham Gwat. Ong Ging-sia, belum pernah ia melihat jurus serangan
aneh ini, begitu ganas dan cepat sekali, keruan bertambah kebat-kebit hatinya, serta merta
meningkatkan perhatiannya. Mungkinkah Ham Gwat mendapatkan hasil kemujijadan" Kalau tidak
dari mana ia peroleh jurus aneh ini. Tidak berani balas menyerang ia cuma gerakan pedangnya memunahkan serangan Ham
Gwat ini ditengah jalan Benar-benar diluar tahunya, bahwa serangan pedang aneh yang
dilancarkan seenaknya ini justru membawa pukulan batin yang teramat besar bagi Bu-bing Loni,
hampir saja karena rasa curiganya itu Bu-bing sudah hendak berlari masuk ke dalam gua.
Sebelum kedua batang pedang saling bentur, Ham Gwat memuntir pedangnya, seketika
bianglala berkelebat melambung, dengan jurus permainan Hui-sim-kian-hoat ia
menyerang secara ganas kepada Bu-bing. Melihat Ham Gwat tidak melancarkan jurus aneh lagi, rada
lega hati Bubing, tapi hatinya sudah tertekan dan dihantui oleh kekuatiran sendiri, ia jadi was-
was bila Ham Gwat melancarkan jurus pedang aneh, maka ia tidak berani balas menyerang setaker
tenaganya. Dengan permainan pedang yang sama, mereka serang menyerang tak berkeputusan,
tahu-tahu seratus jurus sudah lewat. Baru sekarang ia sadar bahwa jurus permulaan dari
permainan pedang Ham Gwat tadi melulu cuma gertakan belaka, terang dirinya kena tipu belaka.
Keruan ia naik Dewi Ular 3 Dewi Ular 67 Rahasia Anak Neraka Samurai Pengembara 5 1
^