Pencarian

Badik Buntung 3

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 3


Kata-Thian-hi lagi, "Meskipun tiada perlunya bagi Sin-ceng, namun kau sudah
susah payah menunggunya selama enam puluh tahun. Kukira tentu sangat memerlukannya bukan?"
"Walaupun Lo-ceng tidak bisa main silat." demikian ujar Hwesio tua sembari
tertawa-tawa, "namun hidup sampai setua ini perihal seluk beluk Bulim kuketahui juga. menurut
jalan pernapasan tuan ini, bakat dan tulang tuan sungguh merupakan rahmat yang
terbaik, apalagi dalam usia menanjak dewasa. Murid Lo-ceng sendiri tidak becus, maka dengan
sukarela dan senang hati kuberikan pucuk pohon buah ajaib itu kepada tuan, harap tuan tidak
menolak lagi." Melihat orang bicara begitu tulus dan sungguh hati Thian-hi menjadi tidak enak
dan risi. Toh disana masih ada orang lain yang ingin merebutnya juga, belum tentu dirinya bisa
berhasil memetiknya, terpaksa sekarang disetujui dulu saja. maka segera ia menjawab,
"Terpaksa kunyatakan banyak terima kasih akan karunia Sin-ceng."
Hwesio tua tersenyum ujarnya, "Suatu hal perlu kutegaskan, kalau tuan sudah
setuju maka betapa juga, jangan sampai buah2 ajaib itu terjatuh ketangan orang lain."
Thian-hi menjadi terhenyak melongo, sungguh ia tak habis heran kenapa jalan
pikirannya dapat diketahui oleh Hwesio tua ini, terpaksa ia menyahut, "Wanpwe akan berbuat sekuat
tenaga." "Tuan tentu sangat lelah," begitu ujar Hwesio tua, "silakan istirahat sebentar!"
habis berkata. dengan telapak tangannya ia meng-usap2 di depan muka Thian-hi, kontan Thian-hi
lantas tercatuh mendengkur dan tertidur nyenyak.
Waktu Thian-hi siuman dari tidurnya hari sudah terang benderang pada hari kedua.
Tersipusipu Thian-hi meloncat angun, ia heran mengapa sekali tertidur dirinya sampai pulas
sehari semalam, waktu ia mengerling Hwesio tua itu sudah tak berada ditempatnya, sesaat
ia terlongong, baru sekarang ia sadar bahwa, Hwesio tua ini pasti seorang sakti waktu ia lari
keluat tampak kuda hitamnya masih tertambat di bawah pohon sana.
Thian-hi masih teringat pesan Hwesio tua kemaren, maka segera ia menyesuri
jalanan kecil menuju ke belakang kelenteng. Dengan ilmu ringan tubuhnya ia memanjat naik
kebukit yang tidak begitu tinggi, tiba dipuncak bukit hidungnya lantas dirangsang bau harum
semerbak. Sebenfar berdiri menerawang keadaan sekitarnya, tampak olehnya diseberang bukit sebelah
depan sana terdapat sebuah gua esar, di depan gua ini melingkar seekor ular sanca besar
warna putih tengah berhadapan dengan seorang tua yang mengenakan jubah kuning. Ular dan orang itu
diam tak bergerak seperti ajam adonan, masing-masing tiada yang berani bergerak dulu,
namun besar hasrat masing-masing untuk mendahului mendapatkan buah ajaib yang berbau wangi.
Agaknya orang tua jubah kuning itu tidak sabaran lagi, gesit sekali ia
berkelebat hendak menerjang masuk ke dalam gua, namun secepat anak panah ular sanca putih itu
mematuk mengarah tenggorokannya. Orang tua jubah kuning menjadi gusar, dengan menghardik
keras ia melolos sebilah pedang terus membabat kemonciong ular yang ternganga lebar itu.
Ternyata siular besar inipun pandai berkelahi, dengan menekuk badannya ia sampok pedang
musuh kesamping tubuhnya terus meluncur hendak menerjang ke dalam gua.
Sijubah kuning menggertak keras, pedangnya berputar mempetakan setabir kabut
sinar putih mendesak mundur ular putih itu keluar gua pula, begitulah mereka saling
berhadapan lagi diluar gua dengan siap siaga. Meski hanya melibat beberapa gebrak pertarungan antara ular dan manusia ini
namun diamdiam bercekat hati Thian-hi, batinnya, 'kalau kepandaianku dibanding dengan ular dan
sijubah kuning terang terpaut teramat jauh sekali. Kiu-thian-cu-ko itu jangan harap
dapat kuperoleh, tapi aku sudah berjanji kepada Hwesio sakti itu, masa lantas mundur begini saja.
Bau harum yang teruar keluar dari dalam gua semakin tebal, jelas sijubah kuning
dan ular besar Itu semakin bersitegang leher, pelan-pelan Hun Thian-hi menggeser maju ke
arah gua besar itu. Waktu ia menggeremet tiba di atas samping gua, untung saking tegang dan
tumplek perhatian musuh dihadapannya ular dan sijubah kuning tidak mengetahui kehadirannya.
Kelihatan kedua musuh bertengger ini sudah tak sabar lagi, mendadak sijubah
kuning mengayun pedangnya menyerang ke arah ular sanca sebat sekali ular putih berkelit
tanpa hiraukan sijubah kuning lagi ia mendahului melesat masuk ke dalam gua Tapi
gerak-gerik sijubah kuning cukup hebat. lincah sekali tangan kirinya bergerak dengan telak telapak
tangannya memukul ketubuh siular, terdengar ular putih mendesis keras, tubuhnya melenting
balik mematuk kedua biji mata sijubah kuning. Terpaksa sijubah kuning mundur selangkah, pedang
ditangan kanan lagi-lagi membabat ke kepala musuh.
Siular putih terdesak dan mundur berkelit, kontan jubah kuning timpukan
pedangnya mengarah kedua biji mata sang ular, tanpa melihat apakah serangannya bakal berhasil
segera ia menerobos masuk ke dalam gua. Keruan ular putih menjadi gugup, tubuhnya masih cukup gesit
bergerak namun tak urung badannya sudah kena luka tergores, namun ia berhasil melenting
maju merintangi si jubah kuning masuk ke dalam gua, maka dengan geram sijubah kuning
ayun jotosannya menghantam sekuatnya menggetar mundur sang ular, sementara waktu
mereka berhadapan lagi tanpa bergerak.
Diam-diam Thian-hi menghela napas lega, katanya dalam hati "Untung! Masih belum
ada ketentuan pihak mana yang menang dan asor, kalau tidak sedikitpun ak takkan
punya harapan." Tengah ia termenung sekonyong-konyong ia merasa telinganya seperti dikili2
dengan hembusan angin silir, keruan kejutnya bukan kepalang, lekas-lekas ia berpaling
dilihatnya seorang Hwesio kecil yang bertubuh tambun buntak tengah berseri tawa kepadanya.
Mengkirik kuduk Thian-hi, untung orang tiada niat mencelakai jiwanya, kalau
tidak sejak tadi jiwanya tentu sudah melayang.
Sekian lama Hwesio cilik itu tertawa-tawa lucu lalu berseru lirih, "Kau ingin
mendapatkan Kiuthian- cu-ko itu bukan?" Thian-hi manggut, baru saja ia hendak bicara, Hwesio cilik sudah mencegahnya
dengan mendesis mulut dan menegakkan jari tangannya di depan mulutnya, begitu menarik
tangan Thianhi terus diajak lari kebawah bukit.
Thiar-hi mandah saja diseret kebawah bukit tanpa mampu mengeluarkan tenaga untuk
meronta. Setiba di bawah Hwesio cilik itu memandang Thian-hi dan berkata, "Kalau
kau ingin benar-benar, aku bisa membantu kau!"
Thian-hi rada sangsi, namun akhirnya ia berkata, "Harap tanya Siausuhu ini
bergelar nama siapa?" "Siausuhu apa?" dengus Hwesio cebol itu rada tak senang, "usiaku jauh lebih tua
dari kau, orang lain sering panggil aku Siau-hosiang (Hwesio jenaka), kau panggil aku
Siau-hosiang saja!" Hati Thian-hi menjadi geli dan ingin tertawa, namun tak enak dikatakan, terpaksa
ia manggutmanggut saja, katanya, "Siau-hosiang! Kau ada cara baik apa?"
Hwesio cilik bernama Siau-hosiang terkekeh-kekeh melebarkan mulutnya tanpa
membuka kata. Thian-hi tahu bahwa ilmu silat Hwesio jenaka ini jauh lebih tinggi dari
kemampuannya, kalau sudi membantu betul-betul merupakan pembantu yang boleh diandalkan, maka ia
menambahi, "Kalau sudah dapat nanti kita bagi rata hasilnya bagaimana?"
Hwesio jenaka menarik muka, jengeknya, "Bagi rata" Kataku tadi aku hanya
membantu kepadamu, kalau aku mau gampang saja aku turun kesana mengambilnya, buat apa
harus bagi rata dengan kau apa segala!"
Terpaksa Thian-hi minta maaf, sambungnya, "Tapi kau hanya tertawa-tawa saja
tidak beritahu cara bagaimana harus bekerja, kalau....,"
"Ah, ada aku disini masa perlu kuatir apa lagi?" kata Hwesio jenaka sambil
menepuk dada. Melihat sikap Hwesio cilik yang takabur ini, Thian-hi menjadi uring-uringan,
katanya, "Jangan kau bicara begitu takabur!"
Hwesio jenaka tertegun sebentar lantas melebarkan mulutnya lagi terkekeh-kekeh,
serunya, "Memang benar-benar, tapi aku ada pegangan dan pasti berhasil. Hari ini kau ada
kerja maka kubantu kau kelak kalau aku punya urusan dan minta bantuanmu apakah kau sudi
membantu?" Thian-hi tercengang, tanyanya, "Kau ada urusan apa?"
"Sekarang tiada," sahut Hwesio jenaka dengan riang, "maksudku kelak kemudian
hari kalau aku kena perkara apakah kau sudi membantu aku?"
"Tidak kau jelaskan urusan apakah itu, mana aku tahu dapatkah aku membantu?"
Hwesio jenaka menunduk berpikir sebentar lalu angkat kepala serunya, "Mari kita
naik ke atas!" Begitulah dilain saat mereka sudah tiba dipuncak bukit, waktu memandang ke depan
sana kelihatan sijubah kuning dan ular putih masih bersitegang leher berhadapan.
Kata Hwesio jenaka, "Biar aku turun kesana, kau bekerja menurut isyaratku!"
Thian-hi manggut-manggut, Hwesio jenaka tertawa lebar kepadanya terus berjalan
bergoyang - gontai seperti gentong! menggelinding ke bawah lembah sana. Sekilas sijubah
kuning dan ular putih berpaling ke arah Hwesio jenaka lain berpaling lagi bersiaga.
Hwesio jenaka terloroh-loroh menghampiri ke arah sijubah kuning serunya, "Sicu
tua ini, apakah yang kau tengkarkan dengan ular putih ini?"
Sijubah kuning mendengus hidung tanpa hiraukan dirinya.
Sembari tertawa-tawa Hwesio jenaka melangkah lebar masuk gua. Tersipu-sipu si
jubah kuning dan ular putih itu menghadang di depannya, dengan pura-pura kaget Hwesio jenaka
melompat mundur teriaknya, "Waduh! Hebat benar-benar!"
Teriak sijubah kuning, "Hwesio cilik, tiada urusanmu disini, lekas minggir!"
"Sicu tua," ujar Hwesio jenaka, "salah ucapanmu, aku Hwesio cilik ini ingin
masuk kesana untuk istirahat, kenapa kau menghadang merintangi aku?"
Sijubah kuning tahu bahwa kepandaian Hwiesio jenaka tidak lemah, maka katanya
lagi, "Hwesio cilik, kau usir ular-ular ini, Kiu-thian-cu-ko yang berada di dalam gua
nanti boleh kita bagi dua, bagaimana?" "Kiu-thian-cu-iko apa?" Hwesio jenaka pura-pura membodoh, "aku belum pernah
dengar!" S ijubah kuning menggeram jengkel, katanya gegetun, "Mari kau bantu aku mengusir
ular ini saja." "Itu boleh," -sahut Hwesio jenaka manggut-manggut, "selamanya, aku Hwesio cilik
paling suka membantu kesulitan orang, tapi kalau aku bantu kau mengusir ular ini, kau jangan
mengganggu tidur nyenyakku lho!"
"Baik!' sahut sijubah kuning aseran.
Hwesio jenaka putar tubuh menghadapi siular putih, dengan gentar ular putih
surut ke belakang terus melingkar bundar, kepalanya menegak tinggi dengan lidah melelet2
mengawasi Hwesio jenaka. Hwesio jenaka sendiri kelihatan rada takut-takut, selangkah demi selangkah maju
mendekat, tangan diulur ke depan lalu ditarik kembali cepat, mulutnya berkaok, "Sicu tua,
marilah kau maju membantu." Biji mata sijubah kuning berputar-putar, ia jemput pedang panjang di tanah terus
berlari kencang menerobos masuk ke dalam gua. Ular putih ternyata sudah siaga, tidak
kalah cepatnya iapun melesat mengejar ke arah sijubah kuning, tangkas sekali sijubah kuning
memutar badan seraya melontarkan pedangnya. mengarah siular putih, gesit sekali ular putih
nenekuk badan menukik kebawah seraya pentang mulutnya mematuk pundak sijubah kuning.
Terdengar sijubah kuning menggerung keras, tangan kanannya membalik mencengkeram
leher ular dengan kencang tidak dilepas!agi. Kesempatan ini digunakan oleh Hwesio jenaka lari ke dalam
gua, tak lama kemudian kelihatan ia berlari keluar lagi sambil menggembol
seonggok dedaunan terus berlari kencang ke atas bukit.
Sijubah kuning berteriak panjang, dengan gusar ia mengumpat caci terus bergerak
mengejar dengan kencang. Sekejap saja suara teriakannya semakin jauh dan tak terdengar
lagi. Thian-hi menghela napas lega, dari atas bukit ia melihat tegas, dedaonan yang dibawa lari
oleh si Hwesio

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cilik bukan lain hanya dahan pohon yang lebat dengan daun-daunnya yang
menghijau. Tapi bagi penglihatan sijubah kuning Kesekelebatan warna hijau pupus, sungguh tak
terpikirkan olehnya bahwa ini merupakan jebakan memancing harimau meninggalkan sarangnya, tanpa
pikir panjang segera ia lari mengejar sembari membawa ular putih itu.
Cepat-cepat Thian-hi turun ke dalam lembah terus masuk ke dalam gua, setelah
membelok sebuah tikungan tampak sebelah depan sana terdapat sebuah jembangan dengan
airnya yang jernih kelihatan dasarnya. Ditengah jembangan ini kelihatan tumbuh sepucuk pohon
kecil berdaon sembilan berbuah sembilan biji warna merah darah, warna daonnya hijau pupus
berkilau menjadi sangat kontras sekali dengan warna buahnya....
Dalam-dalam Thian-hi menyedot hawa, terasa bau harum merangsang hidung
menyegarkan badan dan membangkitkan semangat. Sungguh mimpi juga tak terduga sebelumnya
bahwa buah ajaib yang tak ternilai itu betul-betul berada di depan matanya.
Sesaat ia menjadi kememek dan tidak tahu cara bagaimana ia harus bekerja, tanpa
mengeluarkan sedikit tenagapun ia bakal memperoleh buah dewata yang sukar
didapat, kalau dikata memang sukar dipercaya, tapi kalau rejeki ini ditolak tak lama kemudian
buah dan daon ajaib ini segera bakal menjadi kuju dan laju.
Tengah Thian-hi terpekur tiba-tiba sebuah bayangan orang meluncur hinggap di
depannya, Thian-hi terperanjat dan menyurut mundur, waktu ia menegasi kiranya si Hwesio
jenaka. Tetap dengan sikapnya yang tertawa-tawa Hwesio jenaka berkata, "Bagaimana" Eh
tidak lekas kau ambil dan menemuinya, sebentai lagi bakal laju kering lho!"
"Siausuhu kenapa kau sendiri tidak mau menelannya?" tanya Thian-hi.
"Segala sesuatu di dunia ini pasti ada sebab dan akibatnya. Jika sudah
ditakdirkan bahwa buah ajaib ini bakal menjadi milikmu, lekaslah Sicu menelannya!"
Thian-hi masih rada sangsi, tiba-tiba Hwesio jenaka melompat maju menutuk jalan
darahnya, cepat-cepat kesembilan buah merah itu dipetik terus dijejalkan semua kemulut Hun
Thian-hi. Terasa oleh Thian-hi rasa manis dan harum tertelan melalui tenggorokannya terus
melebar keseluruh tubbhnya, tak terasa lagi kepalanya menjadi berat dan ia jatuh pingan.
Entah berapa lama berselang waktu ia pelan-pelan siuman dilihatrrja. Hwesio
jenaka tengah berdiri disamping sambil tertawa riang, ditangannya masih menyekal pucuK daun
warna hijau berjumlah sembilan tangkai. Sedikit bergerak lantas Thian-hi rasakan badannya
sangat enteng. "Kusampaikan selamat. tuan kecil!'" ujar Hwesio jenaka menggoda.
"Akupun banyak terima kasih akan bantuan Siausuhu!" jawab Thian-hi sungguh-
sungguh. Hwesio jenaka memalingkan kepalanya, mulut bergerak hendak bicara namun
diurungkan. Teringat oleh Thian-hi akan permintaan Hwesio jenaka di atas bukit tadi, maka
katanya, "Siausuhu. kalau kau betul-betul memerlukan bantuanku, dimana dan kapan saja
pasti aku membantumu sekuat tenagaku!"
Hwesio jenaka berseri tawa, "Sembilan tangkai daun ini merupakan benda yang
sangat berharga, silakan kau simpan Saja!"
Melihat orang tidak menyinggung persoalan tadi, Thian-hi rada kikuk dan jadi
menyesal, dengan menunduk ia sambuti kesembilan tangkai daun hijau lalu hati-hati disimpan
ke dalam baju. "Kau sudah tidur sehari lamanya," kata Hwesio jenaka, "hari ini tepat hari
ketiga boleh kau pergi menemui Situa Pelita itu!"
Thian-hi melengak, tak habis herannya dari mana Hwesio jenaka ini mengetahui
perihal pertemuannya dengan situa Pelita itu. Hwesio jenaka mandah tertawa lucu, semoga
Selamat berjumpa kelak!" - hilang suaranya badannya pun melenting keluar gua.
Thian-hi menjublek ditempatnya sekian lamanya baru pelan-pelan beranjak keluar
dari gua, sedikit menyedot hawa dan mengempos semangat badannya lantas bergerak ringan
seenteng asap seperti menunggang awan, keruan ia melengak dan keheranan, sungguh diluar
tahunya bahwa khasiat buah ajaib itu ternyata begitu aneh dan mustajab.
Begitu ia ganti napas badannya lantas meluncur turun, segera ia empos
semangatnya terus berlari kencang kepuncak bukit betapa cepat luncuran tubuhnya sungguh sangat
mengejutkan dan diluar perhitungannya, sekejap mata ia sudah tiba di depan gunung lagi.
Waktu ia melangkah memasuki keleteng brobrok itu keadaan sunyi senyap tiada
seorang pun yang tinggal hanya kasur bundar buat semadi itu. Thian-hi berlutut serta
menyembah empat kali ke arah kasur bundar itu lalu keluar dari pintu samping, setelah mengambil
kudanya ia berjalan balik ke arah datang semula.
Pengalaman tiga hari ini seolah-olah dalam mimpi saja, suatu kejadian yang
agaknya tak mungkin terjadi, namun kenyataan telah dialami olehnya. Hwesio tua itu sudah
menunggu selama enam puluh tahun akhirnya buah itu diberikan kepada dirinya secara mentah-
mentah, demikian juga Hwesio jenaka suka rela membantu dirinya tanpa pamrih.
Waktu ia membedal kudanya sampai di tempat semula, tampak Situa Pelita sudah
menunggunya duduk di bawah pohon besar yang rindang.
Tersipu-sipu Thian-hi turun dari tunggangannya terus menjura dalam. Dengan
cermat situa Pelita mengawasi Thianhi sambil tersenyum simpul, katanya, "Apakah kau sudah
bertemu dengan Go-cu Taysu?" "Go-cu Taysu?" ulang Thian-hi dengan tak mengerti.
Situa Pelita melengak, tanyanya, "Apa kau tidak jumpa dengan beliau?"
"Apakah beliau seorang Hwesio tua yang buta sepasang matanya serta beralis dan
berjenggot putih?" "Bukan!" sahut situa Pelita, "Kedua biji mata Go-cu Taysu tidak buta. Apa kau
benar-benar tidak berjumpa dengan Go-cu Taysu?"
Hun Thian-hi termenung beberapa saat tanpa buka suara lagi.
"Apakah kau sudah sampai di kelenteng bobrok itu?" desak situa Pelita.
Thian-hi manggut, sahutnya, "Tapi yang kutemukan hanya seorang padri tua yang
buta!" "Begitulah 'jodoh', beliau tentu Go-cu Taysu adanya. Seluruh kaum persilatan di
kolong-langit ini yang paling ditakuti oleh Bu Bing Loni hanya beliau seorang. Dan hanya Bu
Bing Loni dan aku saja dari seluruh jagat ini yang mengetahui adanya tokoh yang lihay ini!"
Thian-hi kesima sekian lama, katanya, "Kiu-thian-cu-ko yang beliau tunggu 5elama
enam puluh tahun telah diberikan kepadaku!"
"Apa?" situa Pelita tersentak kaget.
Thian-hi lantas tuturkan pengalamannya selama tiga hari ini. Situa Pelita
manggut-manggut serta katanya tersenyum, "Begitupun baik, sayang kalau Go-cu Taysu sendiri mau
memberi petunjuk langsung kepadamu tentu lebih besar manfaatnya!"
Diam-diam Thian-hi bertanya-tanya dalam hati, tokoh macam apakah sebenar-
benarnya Go-cu Taysu itu, betapa tinggi ilmu kepandaiannya.
Situa Pelita tertawa-tawa, ujarnya, "Namun rejeki yang kau peroleh pun merupakan
karunia yang sukar didapat oleh orang lain. Tapi kau harus tahu ini baru permulaan dari
'Sebab' itu, kelak tentu banyak pekerjaan dari 'akibat' itu untuk kau selesaikan."
"Kemanakah kiranya Go-cu Taysu sekarang, apakah Cianpwe tahu jejaknya?"'
"Orang muda jangan terlalu serakah. Jejak Go-cu Taysu selamanya. sukar diketahui
orang, buat apa kau tanya kepadaku?"
"Bukan begitu maksudku, tujuanku hanya ingin tanya berbagai persoalan kepada
beliau!" Situa Pelita geleng-geleng kepala, ujarnya, "Mungkin kalau ada jodoh atau secara
kebetulan saja baru kau ada kesempatan bertemu dengan beliau!"
Sesaat mereka berdiam membungkam, Situa Pelita membuka suara, "Sijubah kuning
itu kuduga adalah Mo-lam-it-koay, sedang Hwesio jenaka itu aku kurang terang. Karena
kejadian ini ia menanam permusuhan dengan Mo-lam-it-koay, kelak tentu banyak perhitungan yang
harus kau pikul!" Diam-diam Thian-hi mencatat nama Mo-lam-it-koay dalam sanubarinya.
"Aku masih punya urusan yang harus segera kuselesaikan. Rejekimu begitu nomplok
maka kau harus hati-hati dan bisa menjaga diri baik-baik karena ilmu silatmu sekarang
belum mencukupi Gin-ho-sam-sek pemberian Soat-san-su-gou boleh kau pelajari dulu, belakang hari
kalau ada jodoh kita bisa berjumpa kembali!" - habis berkata terus tinggal pergi.
Setelah situa Pelita hilang dari pandangan matanya Thian-hi merasa hatinya hampa
dan cemas, lama dan lama kemudian baru ia cemplak kudanya melanjutkan perjalanan ke depan.
Sejak menelan Kiau-thian-cu-ko Lwekangnya maju pesat, sepanjang perjalanan ini
tak mengenal kesal ia pelajari ilmu Gin-ho-sam-sek. Tak terasa tahu-tahu tiga hari
sudah lewat, selama ini ia tidak menemui rintangan apa di tengah jalan. Tapi ia tahu bahwa
seratusan li di sekitarnya banyak orang tengah memata2i dirinya.
Hari itu pagi2 benar-benar Thian-hi sudah congklang tunggangannya melanjutkan
perjalanan. Kira-kira puluhan li kemudian, tiba-tiba puluhan kuda tunggangan membedal datang
dari belakang. Thian-hi hentikan kudanya menunggu, puluhan ekor kuda itu melesat
lewat di kedua sampingnya, terus secepat kilat dihentikan dan putar balik berdiri jajar
mencagat di depan Thianhi.
Terlihat oleh Thian-hi puluhan orang itu mengenakan seragam pendek warna hijau,
punggung mereka mengenakan mantel besar, hanya seorang yang ditengah adalah seorang gadis
remaja yang mengenakan pakaian serba merah, mantel yang dikenakan pun warna merah
menyolok. Orang yang paling pinggir memajukan kudanya serta bertanya kepada Thian-hi,
"Apakah kau ini murid Lam-siau Hun Thian-hi?"
Hun Thian-hi manggut-manggut tanpa buka suara.
Terdengar orang itu berseru lantang, "Atas perintah dari Hwi-cwan Pocu,
persilahkan Hunsiauhiap mampir sebentar di Hwi-cwan-po!"
Thian-hi menyapu pandang dulu ke puluhan orang itu baru balas tanya, "Untuk
urusan apa?" "Siauhiap akan tahu setelah sampai disana!"
Thian-hi tertawa tawar, katanya, "Terima kasih akan maksud baik Pocu kalian.
Harap beri lapor kembali pada Pocu kalian katakan bahwa aku Hun Thian-hi punya urasan penting,
belakang hari kalau ada waktu tentu aku mampir kesana!"
Orang itu tertegun sebentar lalu berpaling ke arah gadis baju merah.
"Sekarang juga. harus kesana!" akhirnya gadis baju merah ikut bicara.
"Karena urusan Leng Bu bukan?" seru Thian-hi sembari gelak tertawa, "Siapapun
boleh dan harus membunuh Leng Bu, betapa tercela sepak terjangnya masa Hwi-cwan-po ada
maksud menuntut balas baginya?"
Gadis baju merah menarik muka, bentaknya, "Kau tidak mau pergi terpaksa kita
gunakan kekerasan!" Thian-hi menjengek dingin, "Ya, biar aku belajar betapa hebat tiga belas jurus
Hwi-cwan-kinsoat dari Hwi-cwan-po kalian!"
Gadis baju merah tertawa dingin, para kerabatnya segera maju merubung
kesekeliling Thian-hi. Thian-hi pentang lebar matanya manyapu pandang para pengepungnya, tahu dia bahwa
hari ini terpaksa ia harus gunakan kekerasan lagi. Maka segera kudanya dikeprak maju
terus menerjang lebih dulu. Serentak puluhan mantel bertebaran menari2 menggulung berbareng ke arah Thian-
hi. Thian-hi menggertak keras tubuhnya mencelat tinggi ke tengah udara sedang
kudanya masih membedal ke depan terus, ditengah udara Thian-hi mainkan gaja tubuhnya yang
indah berkelit kian kemari dari samberan mantel2 musuh dan membelesot lewat dari tengah celah
kepungan musuh terus meluncur duduk kembali dipunggung kudanya.
Baru saja belum sempat ia membetulkan tempat duduknya, terdengar teriakan
nyaring merdu sekuntum awan merah disertai angin menderu keras menerpa ke arah dirinya. Tahu
Thian-hi bahwa gadis baju merah telah menunjukkan aksinya. Tanpa ayal ia dorong ke depan
kedua telapak tangannya memapak menyambut serangan mantel merah lawan
Begitu serangan pertama gagal, jurus kedua yang lebih hebat dari sigadis baju
merah telah melandai tiba pula. Thian-hi tidak perlu gentar mengingat Lwekangnya baru saja
maju berlipat ganda, enteng sekali tangan kanan dijulurkan keluar mencengkerana mantel gadis
baju merah terus dibetotnya mentah-mentah, dan usahanya ternyata berhasil. Tapi seiring
dengan lari

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kudanya yang membedal lewat cepat-cepat ia timpukkan pula mantel rampasannya
kemuka gadis baju merah, maka dilain kejap ia sudah menyongklang kudanya ke depan.
Gadis baju merah kelabakan sebentar, namun dilain saat ia sudah larikan kudanya
pula mengejar dengan kencang. Dari kejauhan terdengar gadis baju merah berteriak,
"Berani kau lari! Ketahuilah gurumu tertawan di Hwi-cwanj-po, malah Pak-kiam suami isteri juga
disana." Terkejut Thian-hi, segera ia tarik kendali kudanya sehingga lari pelan-pelan.
Waktu ia berpaling tampak gadis baju merah memutar balik kudanya seraya berseru, "Kau mampir tidak
terserah kepadamu!"' Thian-hi menghentikan kudanya terus memutarnya balik. Melihat Thian-hi putar
balik gadis baju merah tertawa senang, kakinya menendang perut tunggangannya terus dibedal ke
depan. Sungguh berat perasaan Thian-hi. Sungguh daluar tahunya, bahwa gurunya bisa
tertawan oleh Hwi-cwan-po di Kanglam, tak bisa tidak ia harus percaya akan berita ini karena
hari itu ia tinggal lari begitu saja Lam-siau dan Pak-kiam berdua masih bertempur seru, setelah ia
lolos kemungkinan besar Thi-kiam Lojin dan Im-hong-ciang Lim Bing kembali dan
mengeroyok mereka, dapatlah dibayangkan pihak mana bakal menang.
Melihat Thian-hi kena terpancing akan kata-katanya dan tunduk berpikir, gadis
baju merah berpaling dan berteriak lagi, "Lekas! Apa lagi yang kau pikirkan?"
Thian-hi angkat kepala, pikirnya urusan sudah ketelanjur sedemikian jauh
terpaksa aku harus ikut mereka ke Hwi-cwan-po, Karena pikirannya ini segera ia tendang perut
kudanya terus dibedal ke depan. Gadis baju merah tertawa lebar, tangannya diulapkan memberi aba-aba, puluhan
anak buahnya segera bergerak mengelilingi sekitar Thia-hi berlari kencang. Sekilas Thian-hi
menyapu pandang mereka, namun tak bicara apa-apa kudanya dilarikan terus mengintil di belakang
gadis baju merah. Entah berapa lama dan betapa jauh perjalanan yang sudah ditempuh ini, tiba-tiba
jauh di depan sana kelihatan puluhan kuda mendatangi dengan cepat. Begitu dekat puluhan
kuda itu lantas berjajar rapi menghadang di tengah jalan.
Dengan muka dingin membeku Gadis baju merah mengajukan kudanya lebih dekat,
matanya yang jeli berputar menyorotkan sinar tajam menatap satu persatu para pendatang
ini. Melihat cara dandanan para pendatang ini diam-diam Thian-hi terkejut, pikirnya,
kenapa anak buah Tong-ting-kun juga meluruk kemari"
Pada jauh di belakang sana berlari kencang seekor kuda putih tengah mendatangi....
seorang pemuda yang membekal pedarg panjang menerobos lewat dari puluhan pencegat itu
terus menghampiri ke depan gadis baju merah.
"Nyo Seng!" teriak gadis baju merah gusar, "Kenapa kau menghadang perjalanan
kita?" Pemuda itu bergelak tawa serunya, "Nona Ciok, pihak Hwi-cwan-po kalian tiada
punya permusuhan dengan Hun Thian-hi. Urusan Kim-i-kongcu Leng Bu biarlah diselesaikan
oleh ayahnya Sing-hu Lojin tak perlu kalian ikut campur.
"Tapi engkohku menjadi korban ditangan Hun Thian-hi, ayah menitahkan kepadaku
kemari untuk meringkusnya, bagaimana menurut pendapatanmu?"
"Hwi-cwan-kian-soat-cap-sa-sek yang dimainkan Leng Bu itu milik siapa masa kau
tidak tahu?" jengek gadis baju merah dengan uring-uringan.
"Benar-benar!" Seru Nyo Seng tertawa-tawa, "Tapi kau harus tahu Hun Thian-hi
membunuh engkohku, sedang Leng Bu bagi Hwi-cwan-po kalian tidak lebih hanya murid murtad
melulu!" Gadis baju merah mendengus hidung, belum sempat ia bicara Nyo Seng sudah berkata
lagi, "Apakah Hwi-cwaw-po di Kanglam tidak mengenal tata tertib dunia persilatan?"
Seru gadis baju merah, "Nyo Seng! Jangan kau pura-pura, kau sangka aku tidak
tahu apa yang kau pikirkan" Kalau kau benar-benar ingin minta orang, mari silakan datang ke
Hwi-cwan-po saja!" sembari berkata ia jepit perut kudanya seraya mengayun tangan terus menerjang ke
depan. Nyo Seng menjengek dingin, sebelah tangannya membalik melolos pedang, para
pengikutnya serempak juga melolos keiuar senjata masing-masing untuk merintangi jalan si
gadis baju merah. Terdengar gadis baju merah menghardik nyaring tangan yang lain menanggalkan
mantel merah di punggungnya terus diobat-abitkan sembari menerobos maju dengan kencang.
Nyo Seng melintangkan pedangnya, dengan kekerasan ia berusaha merintangi orang,
teriaknya, "Nona Ciok, kalau kau tidak mematuhi peraturan dunia persilatan
jangan salahkan aku Nyo Seng tidak mengenal kasihan lagi."
Dalam pada itu gadis baju merah sudah menerjang tiba, mantel merahnya segera
dikebutkan ke arah Nyo Seng tanpa pedulikan peringatannya. Terpaksa Nyo Seng angkat
pedangnya menyontek dan membabat ke arah mantel merah yang menggulung tiba. Tapi permainan
mantel si gadis merah ternyata cukup lihay, terdengar ia menghardik keras, kelihatan
mantel merahnya berkembang lebar seperti sekuntum awan merah berterbangan menari2 laksana kupu2
merah besar. Dengan deras si gadis baju merah lancarkan ilmu Hwi-cwan-kian-soat-cap-
sa-sek mendesak kepada Nyo Seng. Tapi Nyo Seng tidak gentar, sambil tertawa dingin ia berkelit
ke samping sembari memberi aba-aba kepada para pengikutnya untuk menyerbu bersama.
Para kerabat dari Hwi-cwan-po juga tidak mau unjuk kelemahan serentak mereka pun
menanggalkan mantel masing terus menyerbu ke depan. Seketika terjadilah
pertempuran kalangkabut di atas kuda, suasana menjadi riuh meriah. senjata berdenting diselingi teriakan
menggeledek serta pekik kesakitan yang jatuh menjadi korban terutama bebenger
kuda-kuda yang luka dan sekarat. Suasana pertempuran menjadi semakin kalut karena
pemandangan menjadi gelap oleh mengepulnya debu yang menabirkan kabut ke-kuning2an.
Diam-diam Hun Thian-hi menerawang" pertempuran di hadapannya dengan berbagai
pertimbangan yang menggejolak dalam sanubarinya. Pertempuran kedua golongan ini
pasti bukan melulu karena sakit hati atau balas dendam saja, tentu ada latar belakang yang
tersembunyi mungkinkah...., terpikir sampai disini tanpa merasa ia mendengus hidung dengan
gemes. Begitulah pertempuran ini berjalan secara keras lawan keras, sorak-sorai terus
terdengar untuk menambah semangat tempur mereka. Namun tak disadari oleh mereka saking nafsu
untuk merobohkan lawan masing-masing bahwa kedua belah pihak sudah jatuh korban
sedemikian banyak, boleh dikata separo dari jumlah mereka sudah berjatuhan menggeletak di
tanah dengan berlumuran darah, namun semangat tempur kedua belah pihak tetap tinggi dan terus
berkutet. Sementara itu, kepandaian Nyo Seng memang setingkat lebih rendah dari lawannya,
setelah bergebrak puluhan jurus akhirnya ia terdesak di bawah angin oleh gadis baju
merah. Apalagi dilihatnya korban anak buahnya juga semakin banyak, akhirnya sembari menghardik
keras: "Berhenti!" ia meloncat mundur. Pertempuran segera berhenti dan anak buah
masing-masing mundur ke tempat masing-masing.
Mengawasi para korban yang malang melintang di atas tanah, Nyo Seng menggeram
dengan mengertak gigi, "Ciok Yan! Nyo Seng hari ini mengakui keunggulanmu. Tapi dalam
sepuluh hari ini pasti kita berkunjung ke Hwi-cwan-po."
Dengan sombong gadis baju merah yang bernama Ciok Yan menyahut, "Terserah kapan
kau mau datang. Hwi-cwan-po selalu menanti kedatangan kalian!"
Dengan mengerling Nyo Seng memandang ke arah Hun Thian-hi, lalu mendelik ke arah
Ciok Yan terus memutar kudanya dibedal lari sekencang-kencangnya....
Bab 5 Liong Lui sendiri sudah maklum kalau bertempur secara kekerasan tentu Ciat-jit-
chiu takkan mampu mengambil keuntungan, tapi apakah lawan begitu goblok" Begitulah waktu Oh
Lun lancarkan pukulannya yang ganas itu cepat-cepat ia berloncatan menghindar,
setiap kesempatan tentu tidak disia-siakan untuk menyergap dan balas menyerang.
Tiba-tiba badan Oh Lun melejit ke atas, badannya berputar dan tiba-tiba
tangannya membalik terus menekan kebawah dari atas menggencet kepala Liong Lui, Liong Lui
mengerahkan tenaga pada kedua kakinya untuk bergerak semakin cepat, tubuhnya berloncatan seperti
kupu2 menari di atas sekuntum bunga, terdesak oleh keadaan terpaksa ia angkat tangan untuk
menangkis tindihan berat serangan Ciat-jit-chiu Oh Lun.
Ditengah udara Oh Lun bisa bergerak begitu lincah seperti burung camar, mendadak
badannya menggeliat sehingga, ia meluncur turun disamping Thian-mo-kiam, kedua jari
tangan kirinya terangkat terus menutuk keketiak kiri Liong Lui.
Terkejut Liong Lui dibuatnya, cepat-cepat ia melangkah mundur mengegos. Tapi
serangan Oh Lun ini sungguh punya gaja tersendiri, dari menutuk ia rubah menjadi pukulan
telapak tangan, dengan jurus tipu Tiang-song-tiam-soat (Pohon Siong menutul salju). telapak
tangannya berubah laksana kabut putih yang berlapis2 mendesak kemuka Thian-mo-kiam Liong Lui.
Terpaksa Liong Lui angkat kedua tangannya untuk menangkis dengan kekerasan.
terasa kekuatan dahsyat bagai gugur gunung menerpa dan menindih bergelombang tak putus2
sehingga kakinya sempoyongan mundur tiga langkah, akhirnya ia berdiri menjublek dengan
muka pucat pasi. Ciat-jit-chiu Oh Lun lantas membalik tubuh menghadapi ke arah pemuda jubah putih
sambil menjura dalam, dengan tangannya sipemuda jubah putih memberi isyarat, cepat-
cepat oh Lun duduk kembali ke tempatnya.
Dengan muka pucat Thian-mo-kiam Liong Lui memutar tubuh memandang ke orang tua
jubah merah, dengan kedipan mata ia menyuruh Liong Lui, mundur, dengan malu dan tunduk
Liong Lui mundur ketermpat duduknya sendiri.
Tampak mata sipemuda jubah putih berkilat dengan puas dan bangga.
Dengan lirikan tajam Ko-bok-it-koay Tio Hong-ho mengawasi pemuda jubah putih
bergegas ia berdiri serta menantangnya, "Aku yang rendah Tio Hong-ho, tidak tahu diri ingin
belajar kenal dengan kepandaian Pangcu Partai putih yang luar biasa"
Kiong-sa-khek Ki Kang terloroh-loroh berdiri, serunya, "Tio Hong-ho, jangan kau
bersikap purapura gede, kenapa tidak secara langsung saja kau tunjuk aku, mengandal kau rasanya
tiada berharga untuk bermain-main dengan Pangcu kita."
Sikap Tio Hong-ho juga tidak kalah dingin, jengeknya, "Pangcu Partai putih,
sudah lama aku Tio Hong-ho mendengar ketenaran namamu, hari kita berjumpa disini, kenapa tidak
berani unjuk muka aslinya?" Ki Kang melangkah ke tengah gelanggang, serunya, "Tio Hong-ho kau tak usah putar
bacot, marilah aku saja yang akan melayani kau."
Saking gusar Tio Hong-ho bergelak tawa, akhirnya dengan sikap kaku ia mendesis,
"Ki Kang, betapa besar jagat ini bukan hanya seorang kau yang berkepandaian tinggi,
Marilah hari ini kau saksikan dan rasakan betapa aku Tio Hong-ho tidak mudah dihina."
Sementara itu Ki Kang sudah menyoreng pedang dan berdiri menanti. Begitu maju
Tio Hong-ho lantas ayun tongkat kayunya menyerang kepada Ki Kang. Begitulah merekai mulai
saling serang menyerang dengan segala tipu daya untuk merobohkan lawannya, sekejap saja saking
cepat gerakan mereka seratus jurus sudah dicapai. Keadaan dua belah pihak masih sama
kuat sulit dibedakan siapa lebih unggul atau asor.
Mendadak pintu besar ruangan diterjang dari luar, tampak sebarisan anak buah
Partai putih menerobos masuk, pemuda jubah putih berkedok bergegas berdiri, dalam hatii ia
sudah menduga pasti terjadi sesuatu diluar dugaan yang sangat gawat.
Ciok Hou-bu mengerutkan kening, siang-siang sudah perintahkan kepada seluruh
penghuni perkampungannya supaya tidak merintangi anak buah Partai merah dan putih,
biarlah mereka saling bentrok dan bertempur mati-matian. Sekarang dilihat gelagatnya seperti
Partai putih kena perkara gawat, entah apa, jika Partai putih sampai mengundurkan diri, situasi
yang menguntungkan pihak dirinya bakal berantakan, mengandal tenaga sendiri mungkin


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hwi-cwan-po bakal runtuh total dan tak mungkin kuasa berdiri di kalangan Kang-ouw.
Seluruh anak buah Partai Putih meluruk ke hadapan Pangcu mereka, sementara itu
terpaksa Ki Kang menghentikan pertarungannya dengan Tio Hong-ho. Salah seorang anak buah
Partai Putih melapor dengan gugup, "Lapor Pangcu, Thian-san-siang-long...."
Pemuda jubah putih menggertak sekali memutus laporan anak buahnya, dengan
berpaling ia mendelik awasi orang tua jubah merah.
Kontan orang tua jubah merah terbahak-bahak, serunya, "Sungguh aku ikut menyesal
bahwa Partai Bun-pangcu tengah terjadi suatu tragedi, kalau Bun-pangcu memerlukan
bantuan dan tenaga kita beramai, setelah urusan disini selesai segera kami akan membantu
sekuat tenaga." Biji mata pemuda jubah putih memancarkan sinar cemerlang yang aneh, sungguh tak
habis herannya darimana mungkin orang tua jubah merah ini tahu bahwa dirinya she Bun"
Tapi dalam situasi yang genting ini tiada tempo untuk banyak pikir, cepat ia memberi
perintah kepada Kiongsa- khek Ki Kang dan Ciat-jit-chiu Oh Lun, "Jiwi Tongcu harap segera kembali. Urusan
disini biar kuselesaikan sendiri!"
Ki Kang menjadi gugup, serunya, "Pangcu seorang diri...."
"Aku punya rencanaku sendiri!" desak pemuda jubah putih.
Ki Kang dan Oh Lun tak berani banyak debat lagi, tersipu-sipu mereka
mengundurkan diri. Dengan tajam orang tua jubah merah menatap pemuda jubah putih,. sorot matanya
menampilkan rasa dendam yang berkobar, sangkanya tentu musuh utamanya ini akan tinggal
pergi, kenyataan adalah diluar perhitungannya semula.
Dengan mendelong pandangan pemuda jubah putih terarah ke pintu besar, setelah
bayangan Ki Kang beramai tak tampak lagi baru perlahan-lahan ia membalik tubuh, setajam
ujung pedang pandangannya berkilat mendelik ke arah orang tua jubah merah.
Selintas pandang ia menyapu ke seluruh hadirin, pandangannya berhenti dimuka
orang tua jubah merah lagi, pelan-pelan mulutnya mendesis, "Sekarang sudah tiba saatnya
untuk kita menyelesaikan sendiri urusan ini."
Orang tua jubah merah terkekeh-kekeh bangkit, ujarnya, "Benar-benar memang harus
kita berdua yang menyelesaikan sendiri!" sambil berkata matanya melirik ke kanan kiri
pada Liong Lui dan Oh Lun. Liong Lui dan Tio Hong-ho segera bangkit bersama, katanya berbareng, "Untuk
menyelesaikan urusan ini masa Pangcu harus turun tangan sendiri, biar kita berdua yang
menghadapi saja." Orang tua jubah merah terloroh-loroh lagi, dengan congkak ia pandang pemuda
jubah putih. Sudah tentu Pemuda jubah putih tahu apa yang tengah dipikir oleh lawan, diapun
tak man kalah wibawa, dengan tertawa lebar ia berkata, "Boleh juga kalau kalian ingin belajar
kenal dengan aku, Jiwi Tongcu merupakan tokoh kosen dari Partai kalian dan merupakan jago silat
kelas wahid dikalangan Kang-ouw, andai kata bertekuk lutut di hadapanku seorang bocah
ingusan yang tak ternama apakah tidak menjatuhkan gengsi dan nama baik kalian?"
Tio Hong-ho tertawa kering dua kali, katanya, "Pangcu Partai putih sudah tenar
dan kenamaan di kolong langit, seumpama terkalahkan oleh kita berdua kaum keroco...." sampai
disini ia merandek serta menyapu pandang kekiri kanan.
Pemuda jubah putih tertawa geli, ujarnya, "Begitupun baik, marilah kalian maju
bersama." Tio Hong-ho dan Liong Lui melangkah maju bersama ke tengah arena. Mereka insaf
hari ini menghadapi musuh tangguh, maka pedang dan tongkat yang menjadi senjata andalan
mereka sudah disiapkan, mengkonsentrasikan diri mereka bersiap waspada.
Ujung kaki pemuda jubah putih sedikit menutul dilantai, tiba-tiba tubuhnya
melejit enteng ke tengah udara seringan burung seriti, di tengah udara badannya berputar setengah
lingkaran baru meluncur turun miring, berbareng kedua telapak tangannya menepuk ke arah dua
musuhnya. Tio Hong-ho dan Liong Lui bukan kaum lemah, kepandaian mereka cukup tinggi,
serentak mereka menyilangkan pedang dan tongkat, berbareng balas menyerang memapak
luncuran tubuh lawan. Kelihatannya pemuda jubah putih acuh tak acuh menghadapi serangan balasan ini,
tiba-tiba tubuhnya meluncur turun, begitu kaki menyentuh tanah dengan gesit kedua kakinya
menggeser kedudukan tahu-tahu kedua telapak tangannya sudah menepuk maju kemuka kedua
lawan. Tio Hong-ho dan Liong Lui melompat mundur menghindar, sekarang mereka berdiri
beradu punggung, setiap jurus pedang dan tongkatnya bergerak untuk melindungi badan
saja tak mencari kesempatan untuk mengejar kemenangan.
Terlihat oleh Ciok Hou-bu yang menonton pertempuran ini dengan seksama, gerak-
gerik pemuda jubah putih semakin tempur semakin tangkas dan cepat. Gaja permainan
silatnya hampir tidak dapat diikuti oleh pandangan mata, diam-diam bercekat hatinya, bukan
mustahil sebagai pejabat Pangcu suatu partai mempunyai kepandaian tunggal yang diandalkan, tapi
siapakah pemuda jubah putih ini, murid siapa lagi" Ternyata begitu tinggi dan mengagumkan
ilmu silatnya. Dilain pihak orang tua jubah merah juga tengah meneliti dengan seksama setiap
permainan silat pemuda jubah putih, semakin lama alisnya bertaut semakin dalan. Hatinya
pun tak habis heran dan kagetnya, bukankah permainan pukulan yang diunjukan ini adalah Eng-
jiong-ciang dari gurun besar diluar perbatasan itu" Apakah pemuda jubah putih she Bun ini adalah
murid beliau" Tengah ia terpekur, tiba-tiba terdengar gertakan cukup keras ditengah
gelanggang. Ternyata pemuda jubah putih itu sudah tidak sabar lagi, beruntun ia bergerak melancarkan
tiga pukulan berantai, tiba-tiba ia melolos keluar cambuk peraknya, tampak selarik sinar
putih kemilau herkelebat kontan pedang dan tongkat lawan kena digubat dan disendak terlepas
terbang dari cekalannya. Thian-mo-kiam Liong Lui dan Ko-bok-it-koay Tio Hong-ho berdiri terlongong-
longong ditempatnya, dengan seringai dingin pemuda jubah putih berputar tubuh menghadap
ke arah orang tua jubah merah dengan pandangan yang mengejek.
Sekonyong-konyong cahaya matanya mengunjuk rasa kaget dan kesima, dengan melirik
sekilas ia menyaksikan sebuah wajah yang penuh rasa kegirangan dan kekagumam tengah
mengawasi kepadanya wajah nan aju molek itu bukan lain adalah Ciok Yan, putri tunggal dari
Hwi-cwan-po. Terdengar orang tua jubah merah menjengek dingin, ejeknya, "Murid tunggal Cek-
hun Totiang ternyata benar-benar hebat."
Kontan seluruh hadirin mengunjuk rasa heran dan kaget. Cek-hun Totiang adalah
Sute dari Ciangbunjin Bu-tong-pay Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin, beberapa puluh tahun
yang lalu pernah diusir dari perguruan karena melanggar undang2 perguruan, maka sejak itu entah
kemana jejaknya, sungguh tidak nyana, bahwa pemuda jubah putih ini kiranya adalah
muridnya. Sedikitpun pemuda jubah putih tidak menunjukkan reaksi akan cemooh orang, dengan
sikap dingin ia pandang orang tua jubah merah, sindirnya, "Kedua jagomu sudah keok,
sekarang kau bagaimana?" Orang tua jubah merah menggeram gusar, pelan-pelan ia melangkah maju. Melihat
musuhnya tiada niat menggunakan senjata, segera pemuda jubah putih membelitkan lagi
cambuknya dipinggang. Sembari menyeringai orang tua jubah merah menyerang dengan sebelah tangannya
kepada musuh yang masih muda belia ini. Sebat sekali pemuda jubah putih mencelat
mundur, namun orang tua jubah merah mendesak maju mengejar.
Sedikit menutulkan kakinya badan pemuda jubah putih lantas melejit tinggi ke
atas, beruntun kedua kakinya menendang berantai memgarah kedua biji mata orang tua jubah merah.
Orang tua jubah merah menggerung murka, terpaksa dari menyerang ia main
bertahan. Mendapat angin pemuda jubah putih semakin merangsek dengan gagah berani, begitu
kakinya hinggap di tanah di belakang lawan segera ia kembangkan ilmu Eng-jiong-ciang
yang mempunyai delapan belas jalan pukulan, gerak-gerik badannya selulup timbul naik turun
persis laksana seekor elang besar yang beterbangan ditengah udara.
Tapi gerak-gerik orang tua jubah merah pun tidak kalah licinnya, dengan kedua
tangan melintang melindungi dada, kedua matanya menatap tajam setiap gerak gerik pemuda
jubah putih, sedikit ada lowongan baru menyerang tanpa membuang tenaga dan kesempatan,
cara tempurnya adalah main sergap dan tak main kekerasan.
Delapan belas jurus Eng-jiong-ciang sudah hampir dimainkan habis, namun
sedikitpun pemuda jubah putih tak mampu mendesak lawannya, diam-diam gugup dan gelisah hati pemuda
jubah putih, inilah pengalaman pertama yang dialaminya sejak berkelana di dunia
persilatan. Mendadak sebuah pikiran terkilas dalam benaknya, apakah bukan dia" Terpikir akan
ini diamdiam ia mengumpat dalam hati. Segera badannya melejit lagi dengan sejurus Giok-jian-
hun-kayloh, kedua jari-jari tangannya laksana cakar burung elang mencengkeram kemuka
musuhnya. Melihat serangan ganas sipemuda, orang tua jubah merah mandah tertawa sinis,
diam-diam girang hatinya, batinnya kau mimpi kalau berani mengadu kekerasan dengan aku.
Kedua telapak tangannya segera menepuk keluar dengan jurus Ciang-tok-mo-thian melawan serangan
pemuda jubah putih dengan kekuatan penuh.
Tak nyana gerak gerik pemuda jubah putih cukup tangkas, beluam lagi tangannya
mengenai sasarannya cepat-cepat ia meluncur turun dan menghindar, setelah mendengus ejek
ia menyeringai "Kukira siapa, ternyata adalah keturunan dari Thay-i-bun!"
Muka orang tua jubah merah menjadi beringas, dengan menghardik keras ia melolos
sebilah pedang yang berkilauan memancarkan cahaya menyilaukan mata terus membacok
serabutan kepada pemuda jubah putih.
Terpaksa pemuda jubah putih keluarkan kedua senjata, sesuai dengan nama
julukannya yaitu pedang mas dan cambuk perak untuk melawan sebisanya, begitulah pertempuran babak
kedua dengan menggunakan senjata ini tak kalah sengit dan serunya.
Ciok Hou-bu, Nyo Kwong dan To Hwi saling pandang, sungguh mereka tidak nyana
bahwa Thay-i-bun yang dulu sudah ditumpas ternyata muncul lagi disini. kalangan
Kangouw mengandal ilmu pedang yang dinamakan Thay-i-kiam-hoat dari jaya akhirnya berubah menjadi
runtuh. Dulu Thay-i-bun malang melintang dan simaharaja dijadi congkak dan takabur
akhirnya karena merasa terlalu kuat dan sombong, aliran ini menjadi semakin buruk kelakuannya
dari golongan lurus menjadi nyeleweng ke arah yang sesat. Terpaksa berbagai golongan dan
aliran bergabung menumpasnya bersama. Sejak itu golongan Thay-i-bun lantas kelelap dari lembaran
sejarah dunia persilatan, namun sebilah pedang Thay-i-kiam sejak saat itu pula menghilang
tanpa diketahui jejaknya. Orang tua jubah merah sendiri tahu bahwa golongan Thay-i-bun pihaknya memang
sudah tersingkirkan dari percaturan dunia persilatan. Maka dengan sengit ia kembangkan
permainan ilmu Thay-i-kiam-hoat. Tanpa gentar sedikitpun pemuda jubah putih mainkan pedang mas dikombinasikan
dengan cambuk perak. Tahu dia bahwa Thay-i-kiam merupakan pedang pusaka yang tajam luar
biasa, walau pedang dan cambuknya cukup lihay bagaimana juga takan kuat melawan pedang
pusaka, Begitu Thay-i-kiam-hoat dikembangkan berkuntum cahaya putih kemilau bertaburan
ditengah gelanggang menari2, begitu ketat dan rapi sekali mengurung pemuda jubah putih,
sehingga terdesak mundur berulang-ulang.
Dilain pihak Ciok Hou-bu beramai juga terperanjat, merekapun insaf bila pemuda
jubah putih

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak kuasa melawan dan bertahan, pihak sendiripun bakal kerembet dan celaka.
Setelah celingukan kekanan kekiri ia tanggalkan mantel dipunggungnya, sebat sekali ia bergerak maju
sambil tarikan senjata mantelnya mengembangkan kepandaian andalannya yaitu tiga belas jurus
Hwi-cwan-kiansoat. Sejak tadi Ciok Yan sudah terpesona dan kagum kepada pemuda jubah putih, diam-
diam ia kepincut akan ketangkasan anak muda ini, melihat ayahnya turun tangan ia pun
tanggalkan mantelnya ikut menyerbu ke tengah gelanggang.
Tio Hong-ho dan Liong Lui menggertak bersama, segera mereka menggerakan tongkat
dan pedang masing-masing maju merintangi, maka terjadilah pertempuran dalam tiga
kelompok. Tiga belas jurus ilmu kepandaian mantel yang dimainkan Ciok Hou-bu memang cukup
lihay, cukup dengan putaran senjata lunaknya ini yang bisa berkembang melebar ia desak Tio
Hong-ho dan Liong Lui berdua, dalam waktu singkat mereka rada terdesak di bawah angin.
Nyo Kwong dan To Hwi saling pandang sebentar, To Hwi mendeugus hidung, ringan
sekali tangan kirinya menjentik, sebentuk Toh-bing-ci-hoan (cincin penyabut sukma)
melesat keluar mengeluarkan suara mendengung, terbang berputar melesat ke arah jalan darah
mematikan ditubuh orang tua jubah merah.
Orang tua jubah merah menggertak dengan gusar, cepat sekali ia mengayun Thay-i-
kiam, tapi cara sambitan cincin penyabut nyawa ini memang luar biasa, ditengah jalan
mendadak putar haluan terus terbang berputar satu lingkaran, pedang pusaka membabatnya
disebelah samping, tapi tahu-tahu cincin penyabut sukma ini sudah melesat dari tengah mengarah ke
tengah kedua mata orang tua jubah merah.
Keruan girang bukan main pemuda jubah putih mendapat bantuan yang menguntungkan
ini, pedang cambuknya dimainkan semakin gencar, dengan seluruh kekuatan dan
kemampuannya ia serang orang tua jubah merah habis2an.
Orang tua jubah merah menggerung panjang, kepandaian silatnya sungguh luar biasa
dalam kepungan ketat dari musuh2nya sigap sekali ia masih dapat bergerak cepat,
tubuhnya miring meluputkan diri, berbareng pedangnya menyontek ke atas melancarkan jurus It-
goak-hok-su, tring, tring, terdengar suara nyaring cincin penyabut nyawa yang menyamber itu
kena ditangkis pecah berhamburan, sedang pedang mas pemuda putih pun telah kutung menjadi dua.
Pemuda jubah putih kaget luar biasa, cepat ia melompat mundur, namun sambil
menyeringai seram orang tua jubah merah maju mengejar sambil menusukan pedangnya.
Sekonyong-konyong sesosok bayangan orang meluncur turun dari tengah udara
memasuki gelanggang. Ternyata Hun Thian-hilah yang muncul, tampak tangan kanannya
menyoreng sebilah pedang, sejurus saja cukup ia mendesak mundur orang tua jubah merah.
Seluruh hadirin menjadi kaget dan berseru heran. Terutama Ciok Yan berteriak
kejut, "Hun Thian-hi." Sesaat seluruh hadirin menjadi sunyi senyap. Sebetulnya sejak tadi Hun Thian-hi
sudah menyelundup masuk keruang besar, tapi selama itu ia tidak mendengar pembicaraan
mengenai gurunya. Kini setelah melihat pemuda jurus Gelonmbang perak berderai ia pukul
mundur si orang baju putih terdesak dan menghadapi bahaya dengan sejurus situa jubah merah.
Sebetulnya tusukan orang tua jubah merah dapat tepat mengenai sasarannya, tentu
saat ini pemuda jubah putih sudah menemui ajalnya di bawah tusukan pedang pusakanya. Tapi
begitu Hun Thian-hi muncul lantas lancarkan serangan ganas dan aneh sehingga terpaksa
ia harus menyelamatkan diri terlebih dulu, keruan gusar bukan kepalang hatinya.
Dasar berhati culas dan banyak akal muslihatnya lahirnya ia tetap tenang-tenang
saja, namun dalam hati ia mengakui, jurus serangan Hun Thian-hi tadi meski dilancarkan
secara tak terduga, namun cukup dapat mendesak dirinya, maka dapatlah diukur betapa tinggi
kepandaian bocah ini. Apalagi Badik buntung masih berada ditangannya, betapa pun aku tak bisa berlaku
ceroboh sehingga kehilangan rejeki.
Tenang-tenang ia menyapu pandang kewajah para hadirin dalam ruang besar ini.
Hun Thian-hi melangkah kesamping serta berkata kepada Ciok Hou-bu, "Ciok-pocu,
guruku Lam-siau dimanakah beliau sekarang, harap suka menerangkan?"
Ciok Hou-bu menghirup hawa, sesaat ya menjadi kememek tak tahu cara bagaimana
harus menjawab. Malah Toh-bing-cui-hun To Hwi yang menjengek dingin, "Hun Thian-hi,
jiwamu sendiri belum tentu selamat, kau masih urus gurumu."
Biji mata Hun Thian-hi berkilat tajam bagai aliran listrik menatap muka To Hwi,
katanya dengan nada berat, "Hun Thian-hi berani meluruk kemari, sudah tentu tak peduli mati
atau hidup. Hun Thian-hi seorang laki-laki apa yang telah kuperbuat biar aku sendiri yang
bertanggung jawab, kenapa merembet pada guruku?"
Orang tua jubah merah menggerung gusar, teriaknya, "Urusan gurumu aku tidak
peduli, yang terang kau sendiri sekarang disini, dengan sepak terjangmu tadi serta Badik
buntung yang kau miliki itu, apakah kau harap bisa tinggal pergi dari sini?"
Pelan-pelan Hun Thian-hi berputar menerawang seklilingnya, dihhatnya pandangan
semua orang mengandung rasa kepanikan dan dendam yang membara terhadap dirinya.
Tiba-tiba pemuda jubah putih dibelakangnya buka bicara, "Hari ini dia merupakan
tamu teragung dari aku Bun Cu-giok, kalian berani menggangu usik dia harus tanya dulu
kepadaku!" - sembari berkata ia melangkah serindak ke depan.
Kalem2 saja Hun Thian-hi berpaling, sekilas ia pandang pemuda jubah putih dengan
perasaan penuh haru dan terima kasih.
Terdengar ia mendengus serta menyapu pandang keempat penjuru, jengeknya sinis,
"Jikalau tadi dia tidak muncul, seluruh hadirin dalam ruang ini siapa yang masih kuasa
hidup sampai sekarang ini?" "Itukan persoalan pribadi," tukas orang tua jubah merah, "Yang terang Hun Thian-
hi telah mengobarkan kemarahan umum, sudah jamak kita bekerja mengutamakan kepentingan
orang banyak, bukankah kau sendiri termasuk aliran dari Bu-tong-pay" Murid Bu-tong pun
ada yang mati ditangannya, apa kau tidak tahu?"
To Hwi juga menggeram dan ikut bicara, "Aku To Hwi tidak peduli apa yang kalian
persoalkan, betapapun hari ini aku harus meringkus bocah Hun Thian-hi ini."
"Mengandal kau" Apa kau becus?" ejek pemuda jubah putih.
Toh-bing-cui-hun To Hwi bergelak tawa, dengan gerak lamban tangannya sekaligus
ia semtilkan tiga buah cincin penyabut nyawa langsung melesat mengarah Hun Thian-
hi. Kim-kiam-gin-pian menggertak murka, cambuk peraknya yang sudah kulung separo
disambitkan membuat sambitan cincin penyabut nyawa porak peronda ditengah jalan.
Berubah air muka To Hwi, beruntun jari tangan kanannya menjenyik bergantian
menyambitkan tiga batang Cui-hun-chit-sa-cian (panah tujuh iblis mengejar sukma) yang sudah
lama tak pernah dipakai lagi, ketiga batang panah kecil warna hitam kemilau meluncur ke arah Hun
Thian-hi. Hun Thiari-hi bersuit ringan, badannya mendadak. mencelat mumbul ke depan menubruk
ke arah datangnya tiga panah maut sambitan musuh, dimana pedang panjang ditangan
kanannya bergerak dengan jurus Gelombang perak mengalun berderai sekaligus ia tangkis dan
hancur leburlah ketiga Cui-hun-cian musuh.
Berubah hebat rona wajah To Hwi sungguh tidak terduga olehnya bahwa Cui-hun-
chit-sa-cian yang lihay dan kenamaan itu begitu gampang telah dipatahkan. Tadi ia melihat
dengan mata kepala sendiri sekali gebrak Hun Thian-hi berhasi] memukul mundur orang tua
jubah merah, sangkanya merupakan serangan bokongan diwaktu orang tengah melancarkan serangan
khusus pada musuhnya, sekarang kalau dilihat gelagatnya, kepandaian silat Hun Thian-hi
betul-betul sangat mengejutkan sekali.
Badan Hun Thian-hi melunjjur turun dihadapan Ciok Hou-bun, katanya, "Ciok-pocu,
harap tanya dimanakah jejak guruku sekarang?"
Belum sempat Tiiok Hou-bu menjjawab, tahu-tahu orang tua jubah merah sudah putar
pedang pusakanya merabu ke arah Hun Thian-hi. Sejak menelan buah ajaib, Hun Thian-hi
mulai melatih Gin-ho-sam-sek dengan seksama, kecuali jurus ketiga yang masih rada sulit
dipahami, jurus pertama dan kedua dapat dilatihnya dengan gampang. Selama dua hari di Soat-san
ia melihat Soat-san-su-gou mereka menggunakan kedua jurus itu untuk menghalau musuh
tangguh, ini berarti intisari kedua jurus ilmu ini telah diturunkan langsung kepada Hun
Thian-hi, sayang Lwekang Hun Thian-hi sendiri belum mencapai taraf yang diperlukan.
Sekarang waktu Hun Thian-hi lancarkan Gelombang perak mengalun berderai dari
bertahan berbalik balas menyerang malah, orang tua jubah merah terdesak keripuhan. Terasa
oleh orang tua jubah merah sinar perak berkemilau diempat penjurunya menyilaukan mata dan
mengganggu pemusatan pikiran, hawa dingin dan tajam seperti mengiris kulit yang tak
kelihatan seiring dengan kilalatan sinar pedang merangsang dan menyampok ketubuhnya, keruan ia semakin
terdesak di bawah angin, terpaksa ia menjaga diri saja dengan rapat.
Melihat babak pertempuran adu pedang ini diam-diam bercekat hati Ciok Hou-bu, ia
membatin kalau sampai Hun Thian-hi mengambil kemenangan tentu. situasi selanjutnya
tidak menguntungkan bagi dirinya, beruntung kalau ia mau percaya dengan
keterangannya, kalau tidak.... Karena pikirannya ini segera ia berteriak, "Tahan, dengarkan kata-kataku!"
Hun Thian-hi menghentikan serangannya terus mundur dan berdiri sambil masih
menenteng pedangnya, kepalanya berpaling memandang ke arah Ciok Hou-bu.
Tanpa merasa Ciok Hou-bu merasa tekanan bertamba hbesar terhadap dirinya, maka
katanya menyelidik kepda pemuda jubah putih, "Bun-pangcu, apakah tujuanmu yang utama
kemari?" Bun Cu-giok bergelak tawa dijawabnya, "Memang, semula aku mengincar juga Badik
buntung itu, tapi sekarang kunyatakan aku tidak memerlukannya lagi."
Tergetar perasaan Ciak Hou-bu, ia berpaling dan memandang kekanan diri, diam-
diam ia tengah menerawang situasi sekelilingnya, memperhitungkan untung ruginya, kalau
seumpama dirinya bergabung, ditambah orang tua jubah merah dan seluruh kerabat dari Hwi-
cwan-po kemenangan terang bakal dapat dicapai dengan mudah. namun....
Agaknya orang tua jubah merah dapat meraba jalan pikirannya, sembari tertawa
lantang ia berseru, "Kenapa Bun-pangcu tersinggung oleh peristiwa tadi, urusan sudah lewat
anggap saja sudah himpas. yang paling utama sekarang adalah demi Hun Thian-hi, seumpama bisa
merebut Badik buntung dari tangannya, kita masing-masing apa kuat mengangkanginya
sendiri, maka jalan satu2nya adalah berserikat." ~secara gamblang ia ajak Bun Cu-giok untuk
bergabung, hakikatnya tujuan kata-katanya adalah kepada Ciok Hou-bu, secara diam-diam ia memberi
kisikan supaya orang tak perlu kuatir kalau kelak ia bakal memonopoli sendiri hasil jerih payah
bersama. Bun Cu-giok menjengek gusar, "Bun Cu-giok tadi sudah menjelaskan, sekarang aku
tidak sudi lagi dengan Badik buntung apa segala."
Sudah tentu Ciok Hou-bu juga maklum akan arti kata orang tua jubah merah yang
dalam, sambil tertawa ewa ia berkata kepada Hun Thian-hi, "Sebenar-benarnya gurumu tak
berada disini." Hun Thian-hi tersentak kaget, tanyanya, "Apa?"
Ciok Hou-bu menyeringai, katanya lagi, "Hun-siauhiap, gurumu tak berada disini.
Memang aku sudah menahannya, namun akhirnla gurumu pergi juga. Supaya dapat memancingmu
kemari terpaksa aku menyebar kabar bohong itu."
Gemes dan dongkol pula perasaan Hun Thian-hi, katanya dingin, "Jadi tujuan Ciok-
pocu yang sebenar-benarnya adalah Badik buntung" Ketahuilah bahwa Badik buntung sekarang
tak berada di tanganku." Ciok Hou-bu tertegun. Dasar licik adalah orang tua jubah merah yang buka bicara
lagi, "Tak menjadi soal, asal kau disini, tak perlu kuatir Badik buntung takkan datang


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sendiri?" Terlihat oleh Thian-hi, Ciok Hou-bu tengah memberi tanda lirikan kepada anak
buahnya, tak lama kemudian sebarisan anak buahnya yang mengenakan seragam hijau berdujun2
memenuhi seluruh ruangan. Tiba-tiba Hun Thian hi tertawa lebar, tanyanya, "Apakah Ciok-pocu betul-betul
hendak menahan aku?" "Sudah tentu!" seru Ciok Hou-bu.
Orang tua Jubah merah tahu saatnya sudah tiba, maka sembari bergelak tawa ia
bolang balingkan pedang pusakanya terus menyerbu lebih dulu. Kim-kiam-gin-pian Bun Cu-
giok melihat situasi sudah berkembang begitu gawat, terpaksa iapun mulai bergerak, dengan
menenteng pedang ia menubruk ke arah Ciok Hou-bu.
Mata Ciok Hou-bu jelilatan melirik ke kanan kiri, segera Nyo Kwong dan To Hwi
juga melolos pedang masing-masing, sedang ia sendiri menggentakkan mantel besarnya terus
kembangkan tiga belas jurus Hwi-cwan-kian-soat menyerbu kepada Bun Cu-giok.
Bun Cu-giok membuang pedangnya yang sudah kutung, dengan ilmu Eng-hong-ciang ia
hadapi ketiga pengerojoknya. Sudah sekian lama Ciok Hou-bu angkat nama dikalangan Kangouw dengan ilmunya Hwi-
cwankian- soat-cap-sa-sek, sudah tentu kepandaiannya bukan olah-olah lihaynya, tiga tokoh
silat kelas wahid sekaligus mengeroyok Bun Cu-giok, pedang dan cambuknya sudah kutung dan
dibuang dengan bertangan kosong sudah tentu ia terdesak di bawah angin.
Terdengar Ciok Hou-bu membujuk, "Bun-pangcu seorang gagah harus dapat melihat
gelagat dan mengambil keuntungan, Bun-pangcu masih muda dan punya masa depan yang
gemilang, kenapa berpandangan cupat dan mengukuhi adat sendiri?"
Bun Cu-giok menjengek sinis tanpa buka suara.
Sementara itu Ciok Yan berdiri menjublek di tempatnya, tak tahu apa yang harus
dilakukan. Di lain pihak dengan permainan Gin-ho-sam-sek seorang diri Thian-hi melawan
orang tua jubah merah. Gin-ho-sam-sek merupakan ilmu tunggal yang tiada keduanya dari ilmu
pedang tingkat tinggi. Bu-bing Loni yang dipandang sebagai jago nomor satu di seluruh kolong
langit pun kena dikepung selama sehari semalam, maka dapatlah dibayangkan betapa hebat dan
digdaya ilmu ini. Tapi kepandaian orang tua jubah merah dengan ilmu pedang Thay-i-kiam yang tajam
luar biasa itu berusaha bertahan sekuat tenaga, sayang Hun Thian-hi menguatirkan
keselamatan Bun Cugiok yang terkepung dalam bahaya. diam-diam hatinya menjadi gugup dan kuatir.
Pertempuran tokoh silat tinggi melulu mengutamakan pengkonsentrasian pikiran dan
badan sedikit perhatian terpencar orang tua jubah merah lantas balas menyerang,
keadaan menjadi sama kuat. Hun Thian-hi menjadi tak sabar lagi, Gin-ho-sam-sek jurus kedua
segera dilancarkan setabir cahaya putih berterbangan mengurung orang tua jubah merah. Kontan orang
tua jubah merah terkurung ketat, sekuat tenaga ia bertahan dan berusaha menerobos dan
bergulat dengan segala daya upaya. Hun Thian-hi semakin mengerutkan kurungannya, sayang ia kuatir dan gentar
menghadapi ketajaman Thay-i-kiam-lawan sehingga mengurangi kebebasan gerak geriknya.
Di belakang sana terdengar gelak tawa Ciok Hou-bu, kiranya kedok Bun Cu-giok
ditanggalkan. Kata Ciok Hou-bu lagi, "Bun-pangcu, sekarang kesempatan terakhir aku
mengundangmu ikut dalam perserikatan kita."
Biji mata Bun Cu-giok berkilat beringas, dengan murka ia mencemooh, "Seumpama
aku Bun Cu-giok hari ini harus terkubur disini jangan harap keinginan kalian bisa
terkabul." Melihat Bun Cu-giok sudah terdesak ke dalam bahaya. Hun Thian-hi membentak
keras, tiba-tiba ia melesat berkelebat, pedang panjangnya serentak merabu kepada Ciok Hou-bu
bertiga. Gentar akan kekuatan dan kehebatan kepandaian orang Ciok Hou-bu bertiga menyurut
mundur. Sementara orang tua jubah merah menghardik terus mengejar tiba, pedang
panjangnya menusuk ke punggung Hun Thian-hi dari belakang.
Terpaksa Hun Thian-hi membalikkan pedang, tusukannya balas menyerang ke tengah
mata orang tua jubah merah. Orang tua jubah merah tertawa riang, sedikit angkat
pedang dan menyontek "tring", kontan pedang Hun Thian-hi kutung menjadi dua dan
berkerontangan jatuh di lantai. Girang Ciok Hou-bu bukan main, berempat mereka mengepung Bun Cu-giok dan Hun
Thian-hi. Sementara Ciok Yan berdiri dengan pucat dan ketakutan diluar gelanggang. Bun Cu-
giok berdiri menjublek kehilangan semangat.
Berkilat pandangan Hun Thian-hi satu per satu ia tatap keempat musuhnya, hatinya
menyesal sekali bahwa seseorang menyertai kematiannya, ini adalah tidak diinginkan
olehnya, otaknya tengah menerawang dan beragu apakah ia harus melancarkan jurus ganas pencacat
langit pelenyap bumi untuk mengakhiri pertempuran ini. Tempo hari ia sudah pernah berjanji
kepada Situa pelita untuk tidak melancarkan jurus ganas ini, tapi Sementara itu, Ciok Hou-bu
sudah unjuk muka berseri, otaknya sudah melayang membayangkan Badik buntung bakal tergenggam
dalam tangannya, maka Ni-hay-ki-tin jelas sudah diambang mata.
Mendadak pintu besar diterjang dari luar, serombongan orang berkuda menerjang
masuk, terus meluruk ke arah Ciok Hou-bu beramai. Keruan kaget Ciok Hou-bu bukan main, cepat
ia memberi aba-aba kepada anak buahnya, pihak Partai merah juga lantas bergerak memapak
maju merintangi. Pemimpin penyerbuan tak terduga ini adalah seorang tua berambut
uban, tampak ia mencelat tinggi dari tunggangannya ditengah udara melolos pedang terus meluncur
ke tengah diantara empat musuh Hun Thian-hi.
Begitu melihat orang tua beruban ini Ciok Hau-bu lantas berteriak, "Kim Poan-
long!" Ki-thian Lojin Kim Poan-long begitu mendaratkan kakinya lantas bertanya lantang,
"Siapa Hun Thian-hi?" Ciok Hou-bu mengulap tangan menghentikan anak buahnya, serta serunya menunjuk
Hun Thian-hi, "Dia inilah, saudara Kim ada urusan apa?"
Kim Poan-long celingukan menerawang situasi sekelilingnya. Sedang orang tua
jubah merah menjadi marah melihat tambah seorang lagi yang turut campur dalam pertikaian
ini, dengan menggerung ia menusuk dengan pedangnya kepada Kim Poan-long.
Hakikatnya tiada ketulusan hati untuk bekerja sama dengan Ciok Hou-bu beramai
kini dilihatnya tambah kedatangan seorang lagi, tadi mereka sudah berada di atas angin, seumpama
Kim Poanlong bergabung dalam pihak Hun Thian - hi iapun tak perlu takut.
Melihat tusukan orang tua jubah merah, Kim Poan-long mengegos ke samping,
berbareng tangannya terayun serta berteriak kepada Hun Thian-hi, "Hun-siauhiap, sambut
ini, mari kita menerobos keluar!" Terlihat secarik cahaya hijau berkelebat, tangkas sekali Hun Thian-hi sudah
meraih Badik buntung di tangannya, sungguh kejut dan girang bukan main, sungguh tak terkira
olehnya Ki-thian Lojin Kim Poan-long bakal meluruk datang tepat pada waktunya.
Begitu membekal Badik buntung Hun Thian-hi seperti harimau tumbuh sayap, dimana
sinar hijau menyamber sekaligus ia serang keempat pengepungnya, bersama itu ia
berteriak kepada Bun Cu-giok, "Saudara Bun, lekas ikut kami menerjang keluar!"
Kedatangan Kim Poan-long betul-betul merubah situasi menjadi tegang, sekaligus
Badik buntung juga muncul diarena pertempuran, sudah tentu Ciok Hou-bu berempat
menjadi kalang kabut, kepungan mereka menjadi bobol dan dengan mudah ketiga orang musuhnya
dapat menerobos keluar. Ciok Hou-bu berkaok2 memberi aba-aba para kerabatnya untuk merintangi, demikian
juga orang tua jubah merah memerintahkan anak buahnya menghadang, namun mana mereka
kuat menghadapi ketajaman Badik buntung, sebentar saja Hun Thian-hi bertiga sudah
mencemplak di atas kuda terus dilarikan pesat menerjang keluar pintu gerbang perkampungan....
Sesaat Ciok Hou-bu berempat menjadi melongo dan kesima di tempat masing-masing,
hanya Ciok Yan merasa hampa nan kecut.
Setelah lolos dari Hwi-cwan-po Hun Thian-hi terus membedal kudanya sekencang-
kencangnya, kira-kira lima li kemudian baru berhenti.
Segera Bun Cu-giok angkat tangan menjura kepada Hun Thian-hi, ujarnya, "Bantuan
saudara Hun hari ini sampai ajalpun takkan kulupakan. Dalam partai masih banyak urusan,
terpaksa Bun Cu-giok mohon diri dulu!"
"Hun-pangcu terlalu sungkan," demikian jawab Thian-hi dengan sikap jantan dan
setia kawan, "Bun-pangcu, sungguh Hun Thian-hi merasa sangat kagum dan banyak terima kasih
pula." Bun Cu-giok juga menjura kepada Ki-thian Lojin Kim Poan-long, ujarnya, "Kalau
Kim-ke-cheng memerlukan bantuan kami dari Partai putih pasti akan suka membantu dengan
seluruh kemampuan. Sekarang Bun Cu-giok mohon diri!" - kudanya diputar terus dibedal
kencang. Kim Poan-long tertegun sebentar, katanya, "Diakah Pangcu Partai putih!"
Hun Thian-hi tersenyum, sahutnya manggut-manggut, "Kim-chengcu datang tergesa-
gesa, apakah ada urusan?" Pelan-pelan Kim Poan-long menundukkan kepala, ujarnya sambil menghela napas
rawan, "Adikku dibokong orang, saat ini sudah wafat karena luka-lukanya yang berat."
Berubah air muka Thian-hi, serunya kejut, "Ji-chengcu sudah mati?"
Kim Poan-long manggut-manggut tanpa bersuara, katanya, "Dengan sekuat tenaga ia
bertahan kembali kerumah, setelah menceritakan pengalamannya lantas menghembuskan
napasnya." Sungguh mimpi juga Hun Thian-hi tidak nyana bahwa Kim Ci-ling sudah meninggal
dibokong orang, sekian lama ia terlongong-longong, terbayang olehnya wajah orang di depan
matanya, suaranya pun seperti masih terkiang di pinggirl telinganya, pelan-pelan ia
bertanya, "Apakah Jichengcu
tahu siapakah pembokongnya?"
Kim Poan-long menghela napas, katanya, "Musuh di tempat gelap, diapun tak jelas
siapakah yang membokong." Hun Thian-hi terpekur, mendadak ia berteriak, "Akulah yang mencelakai dia, biar
sekarang juga aku pergi ke Bu-tong-san."
"Hun-siauhiap, siapakah yang kau sangka?" tanya Ki-thian Lojin Kim Poan-long.
"Aku belum tahu," sahut Thian-hi sambil menunduk. "tapi pasti ada sangkut paut
dengan pihak Bu-tong-pay." "Dugaankupun begitu," kata Kim Poan-long, "peristwa ini terjadi begitu mendadak,
setiap kejadian hampir membuat orang susah percaya!"
"Kim-chengcu. sekarang juga aku mohon diri."
"Perjalanan ini cukup berbahaya, tidakkah lebih baik kita pergi bersama "
Thian-hi manggut-manggut. sahutnya, "Begitupun baik."
Kim Poan-long memberi pesan dan perintah pada anak buahnya lalu bersama Thian-hi
beriring membedal kudanya langsung menuju ke Bu-tong-san.
Sepanjang jalan ini Hun Thian-hi mengerutkan alisnya hatinya tengah gundah dan
menerawang, kejadian yang dihadapi betul-betul cukup mengherankan, betapapun aku
meluruk ke Bu-tong-san menanyakan secara langsung pada Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinjin.
Entah berapa lama dan berapa jauh sudah perjalanan ini yang mereka tempuh, yang
terang cuaca sudah berganti mulai magrib.
Secara kebetulan Hun Thian-hi sedang berpaling ke belakang, dilihatnya rada jauh
di belakang sana terlihat dua sosok bayangan hitam tengah mengejar datang dengan kecepatan
seperti kilat. Saking kaget Thian-hi berteriak kepada Kim Poan-long, "Lihat!"
Kim Poan-long berpaling, ia pun tersentak kaget.
Sekejap saja kedua sosok bayangan hitam itu sudah menyusul tiba terus menerobos
lewat tunggangan mereka terus berhenti menghadang di depan.
Lekas-lekas Thian-hi berdua menarik kekang kuda masing-masing.
Dengan seksama seksama Thian-hi mengamati kedua orang penghadang ini, mereka
adalah dua orang berseragam hitam dan berkedok hitam pula, hanya kedua biji mata
masing-masing yang kelihatan berkilat tajam, mereka mencegat ditengah jalan tanpa bersuara.


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bercekat hati Thian-hi, terpikir olehnya bahwa kedua orang ini tentu meluruk
dirinya karena mengincar Badik Buntungnya.
Terdengar Ki-thian Lojin buka suara, "Saudara berdua menyusul kita, entah ada
urusan apakah?" Dua orang itu tetap bungkam tanpa bersuara atau bergerak.
Dengan cermat Thian-hi pandang mereka, ujarnya, "Apakah kalian mengincar Badik
buntung milikku itu?" Kedua orang itu masih bungkam.
Hun Thian-hi menjengek dingin, kudanya dibedal menerjang ke depan. Cepat-cepat
orang sebelah kiri angkat sebelah tangannya menepuk kepala tunggangan Thian-hi.
Thian-hi mengayun Badik buntung memapas kepergelangan tangan orang berkedok,
terdengar ia mendengus hidung, tubuhnya mencelat naik ke udara, sebelah kakinya geledek
menendang ke tangan Thian-hi yang me-Badik buntung.
Cepat Thian-hi menarik tangannya, namun kesempatan tidak disia-siakan oleh
lawannya gesit sekali sebelah tangan yang lain sudah meluncur tiba menepuk ke dadanya.
Hun Thian-hi menggertak dengan gusar, sejak menelan buah ajaib Lwekangnya sudah
maju berlipat ganda selama ini belum pernah beradu pukulan dengan lawan secara
kekerasan, sekarang tibalah saatnya ia menjajal kemampuannya, maka sebelah tangan kiri diayunkan
memampak serangan telapak tangan lawan.
Begitu kedua pukulan saling bentrok, seketika berubah rona wajah Hun Thian-hi,
terasa telapak tangannya panas sekali seperti dibakar dalam bara, begitu saling sentuh lantas
seluruh lengannya pati rasa. Orang berkedok itu menjengek dingin, tangan kanannya terulur cepat sekali
menyengkeram ketangan kanan Thian-hi yang memegang Badik buntung.
Thian-hi mengertak gigi, dengan nekad ia ayun tangannya melancarkan jurus
Gelombang perak mengalun berderai mendesak mundur lawannya.
Melihat muka Thian-hi yang tidak wajar, Kim Poan-long menjadi gelisah, tanyanya
gugup, "Hun-siauhiap, kenapa kau?"
"Tidak apa-apa," sahut Thian-hi sambil menarik lengan kirinya yang sudah kejang.
Kedua orang berkedok saling berkedip memberi isyarat lalu mulai bergerak lagi
menyerang dengan tekanan lebih besar kepada Hun Thian-hi dan Kim Poan-long.
Luka-luka Thian-hi cukup berat, namun ia bertahan sekuat tenaga, melihat musuh
menyerbu lagi, dia tahu Kim Poan-long tentu tak kuat bertahan, dengan menghardik keras ia
menjepit perut kudanya, tubuhnya mencelat tinggi ia atas terbang lempang ke depan sembari
lancarkan Tam-lianhun- in-hap, inilah jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek yang hebat itu, seketika terlihat
cahaya hijau pupus berkembang melebar terus menungkrup ke arah kedua musuh berkedok.
Agaknya kedua orang berkedok cukup tahu betapa hebat serangan ini, cepat-cepat
mereka melompat mundur jumpalitan.
Lengan kiri Thian-hi terasa panas dan tak tertahan lagi ia insaf semakin lama
bertempur tentu dirinya takkan kuat bertahan, maka setelah dengan aksinya ini, ia obat-abitkan
Badik buntungnya lalu jumpalitan turun di atas pelana kudanya kembali, begitu menggertak kudanya
lantas dicongklang kencang menerjang maju.
Melihat musuh hendak lari, kedua orang berkedok menjadi gugup, cepat-cepat
mereka berdiri kembali sambil pasang kuda-kuda sembari berteriak panjang empat telapak tangan
mereka bekerja bersama memukul ke depan, kontan kedua kuda tunggangan Thian-hi
tersentak naik ke atas dan berbenger panjang terus roboh terkapar tak bergerak lagi.
Begitu melihat gaja serangan kedua musuh Ki-hian Lojin lantas berteriak kaget,
"Siau...." salah
seorang berkedok tampak menerjang secepat kilat, sebelah tangannya telak sekali
menepuk kedada Kim Poan-long, terdengar Ki-thian Lojin menjerit ngeri terus robah
terjengkang. Saat mana Thian-hi sudah berhasil menerjang lewat dari samping serta mendengar
jerit Kim Poan-long yang menggiriskan itu, kejutnya bukan kepalang, cepat-cepat ia putar
balik hendak menolong tapi sudah terlambat.
Keruan Hun Thian-hi menjadi berang, seperti banteng ketaton segera ia obat-
abitkan Badik buntung sekencang-kencangnya, maksudnya hendak mendesak dan merobohkan kedua
musuhnya berkedok, tapi kepandaian kedua orang berkedok ternyata juga tidak lemah, enteng
sekali mereka melesat mundur terus putar tubuh melarikan diri.
Hun Thian-hi melompat mengejar, kira-kira puluhan tombak kemudian seluruh
mukanya sudah basah kujup oleh keringat sendiri. Bukan lari terus sebaliknya kedua musuh
berkedok itu malah putar balik, Thian-hi harus kertak gigi sambil menerjang musuhnya, dimana Badik
buntung berkelebat ia kembangkan Gelombang perak mengalun berderai menyerang dengan
kalap. Kedua musuh berkedok melomprt berpencar meluputkan diri, dari dua jurusan ini
mereka angkat tangan balas menyerang kepada Hun Thian-hi.
Begitu melancarkan serangan pertama lantas Thian-hi merasa tenaga dalamnya rada
macet tak kuat bersambung lagi, sudah tentu kejutnya sepeti disengat kala, keringat dingin
mengalir keluar, pikiran otaknya menjadi rada terang. Cepat ia dapat menyadari situasi yang tidak
menguntungkan dirinya ini, diam-diam ia berpikir, "Cara mengadu jiwa begini, mungkin aku
sendiri bakal konyol sebelum dapat menuntut balas."
Sementara itu kedua musuh berkedok itu telah merangsek maju lagi, sambil
menggeram Thianhi ayun Badik buntung menyerampang musuh. Begitu kedua musuhnya menyurut mundur
menghindar, cepat-cepat ia melompat mundur ke belakang, diam-diam ia mencari
jalan untuk meloloskan diri Sedikit melompat menghindar kedua musuh berkedok gesit sekali sudah melejit maju
pula tiba di belakang Hun Thian-hi. Saking gugup dan tiada jalan lain, terpaksa tanpa
banyak pikir lagi Thian-hi sambitkan Badik buntung diantara kedua musuhnya. Sudah tentu kedua
musuhnya tidak menyangka bahwa Thian-hi rela melemparkan Badik buntungnya, tanpa berjanji
keduanya melejit terbang mengejar ke arah Badik buntung yang meluncur jauh kesana.
Sebat sekali Hun Thian-hi berkelebat terus melompat naik ke atas sepucuk pohon
rindang. Sesaat kemudian tampak kedua orang berkedok lari balik, sekian lama mereka
ubek2an di dalam hutan mencari jejaknya, akhirnya mereka kewalahan. setelah bercakap-cakap
sebentar mereka lantas berlari pergi.
Melihat kedua musuhnya pergi, Thian-hi sendiri sudah payah dan tak kuat bertahan
lagi, begitu ketegangan hatinya mengendor tubuhnya lantas terjungkal roboh dari atas pohon.
Begitu terbanting di tanah pikiran Thian-hi menjadi rada terang, pelan-pelan dengan
segala sisa tenaganya ia merogoh keluar daon buah ajaib terus dijejalkan ke dalam mulut,
seketika hawa harum mengalir dalam tenggorokannya.
Bergegas Thian-hi duduk bersila. pelan-pelan mengatur pernapasan dan mengerahkan
tenaga dalam kira-kira setengah jam kemudian baru ia merasa kesehatannya pulih seperti
sedia kala. Waktu ia kembali ke tempat semula, tampak kedua ekor kuda mereka dan Kim Poan-
long menggeletak di tanah. Hun Thian-hi menghela napas rawan. Segera ia gali liang
lahat, jenazah Kim Poan-long lantas dikabur sekadarnya.
Setelah mengubur jasad Kim Poan-long, Thian-hi duduk di bawah pohon, pikirannya
bekerja, "Siapakah kedua orang berkedok itu?"
Dipikir punya pikir mendadak ia tersentak kaget, gumamnya, "Siau! Siau-yang-sin-
kang" - kedua biji matanya mendelik lebar, hidungnya mendengus, selain mereka berdua
siapa lagi, demikian dalam hati ia membatin.
Tiba-tiba melonjak berdiri. seperti bakal ketiban rejeki tersipu-sipu ia berlari
kencang menuju ke Bu-tong-san. Waktu sinar surja menongol keluar di ufuk timur, memancarkan cahayanya yang
cerlang cemerlang Hun Thian-hi sudah beranjak dijalanan yang menuju kepusat Bu-tong-pay,
dua pucuk pohon Siong yang besar dan tinggi berdiri diam laksana raksasa menembus awan.
Dalam hati Han Thian-hi berani memastikan bahwa kedua orang berkedok itu tentu
adalan Gwat Long dan Sing Poh adanya, Kira-kira baru setengah perjalanan, dari ataas
gunung berjalan turun seseorang, begitu melihat Hun Thian-hj orang itu lantas mengumpat caci
dengan murka. Waktu Thian-hi angkat kepala, orang itu bukan lain adalah murid preman pihak Bu-
tong-pay, tak lain tak bukan adalah Thi-kiam Lojin yang pernah mencari perkara pada
dirinya. Begitu melihat tegas pada Hun Thian-hi, kontan Thi-kiam Lojin lantas melolos
pedang yang disandang dipunggungnya, bentaknya kepada Thian-hi, "Orang she Hun! Ke-mana-mana
kucari kau, tak kukira hari ini kau batang sendiri."
Hun Thian-hi tak sabar main debat dengan Thi-kiam Lojin, tanpa membuka suara
cepat ia menerjang ke atas, melihat sikap acuh tak acuh Thian-hi, Thi-kiam Lojin semakin
murka sembari bergelak tawa ujung pedangnya. menjojoh ke depan menusuk perut Thian-hi.
Enteng sekali badan Thian-hi mencelat tinggi, mulutnya berteriak, "Hari ini aku
mencari Giokyap Cinjin, bukan mencari kau!"
Kepandaian silat Thi-kiam Lojin cukup tinggi, sebab sekali ia pun mencelat
terbang menyusul, beruntun pedangnya berkelebat menyamber, sekaligus ia sudah lancarkan tiga jurus
serangan pedang kepada Hun Thian-hi.
Hun Thian-hi menghardik keras. dengan sebelah tangannya ia menyampok kebatang
pedang Thi-kiam yang menyamber tiba. Thi-kiam Lojin rada keder, kuatir Hun Thian-hi
mengeluarkan Badik buntung memotong kutung pedang panjangnya seperti tempo hari, maka cepat-
cepat ia tarik balik pedangnya, merubah gaja dan jurus tipu pedangnya ia merabu semakin
kencang. Tak terkira olehnya bahwa kepandaian Hun Thian-hi sekarang sudah jauh beda
dengan Thianhi tempo hari, beegitu ia menarik dan merubah jurus ilmu pedangnya, berbalik Thian-
hi mendapat kesempatan melancarkan tiga pukulan berantai, sehingga Thi-kiam Lojin terpaksa
hanya mampu bertahan dan mundur selamatkan diri dari pada balas menyerang.
Hun Thian-hi melompat tinggi ke depan berlari laksana terbang ke atas gunung.
Sepanjang jalan penuh rintangan, untung mereka bukan terdiri tokoh-tokoh lihay dari Bu-
tong-pay, maka dalam sekejap saja ia sudah sampai diambang Tin-yang-kiong.
Sampai disini baru Hun Thian-hi berhati lega, dia tahu Tio-yang-kiong merupakan
tempat berkumpul para tokoh-tokoh kosen Bu-tong-pay, Put-lo-sin-sian Giok-yap Cinji
sendiri pun bersemajam di Tio-yang-kiong ini. Thian-hi sendiri insaf bahwa menghadapi Gwat
Long dan Sing Poh saja dirinya bukan tandingan mereka, apalagi Giok-yap Cinji sendiri. Tapi
urusan ini sudah terjadi gara-gara dirinya betapa pun harus jumpa dan menanyakan langsung kepada
Giok-yap Cinjin. Kenyataan sudah terjadi Gwat Long dan Sing Poh membunuh Kim Poan-long untuk
menutup mulutnya, sudah tentu dengan gampang mereka pun dapat membunuh keempat orang
lainnya. Seumpama tidak meluruk datang juga sama saja. Harapan utama sekarang adalah
bahwa Gwat Long dan Sing Poh membangkang atau bekerja membelakangi Giok-yap Cinjin, kalau
tidak begitu dirinya beranjak ke dalam Tio-yang-kiong bakal takkan mudah keluar kembali.
Dengan teliti dan waspada Thian-hi putar kayun mengelilingi Tio-yang-kiong
seputaran, hatinya tak habis mengerti kenapa selama ini tak terdengar sedikitpun suara. Dengan
enteng Thian-hi meloncat naik ke atas rumah, memandang ke dalam terlihat suasana Tio-yang-kiong
sunyi senyap, seorang pendeta pun tak terlihat bayangannya.
Hati Thian-hi menjadi curiga, pikirnya, "Mungkinkah Tio-yang-kiong tidak
kenyataan seperti yang dikabarkan di luaran?" ~dilain kejap ia melompat turun di sebelah dalam,
dengan langkah tetap ia berjalan masuk. Tampak di ruang sembahjang batang2 hio masih tersemat menyala, asap mengepul
tinggi, tapi tak kelihatan bayangan seorangpun. Thian-hi melangkah terus ke dalam, memang


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rumah berhala yang sedemikian besar ini tidak dihuni seorang manusiapun. Dalam hati Thian-hi
membatin, jikalau Giok-yap Cinjin, bersemajam di Tio-yang-kiong, seumpama orang lain
sedang keluar karena banyak urusan, tentu beliau seorang masih ada didalam.
Jalan punya jalan dari kejauhan dilihatnya di sebelah dalam sana sebuah ruang
samadi pelanpelan ia maju ke arah sana, waktu ia melongok ke dalam terlihat seorang Tosu tengah
duduk samadi tanpa bergerak. Thian-hi terperanjat, terlihat olehnya sinar mata orang itupun memancarkan
cahaya aneh dan heran, namun ia tidak bergerak dan tidak bersuara.
Setelah menenangkan gejolak hatinya Thian-hi mengamati Tosu itu, jelas Tosu ini
berambut hitam dan berjenggot hitam pula, namun wajahnya pucat pasi seperti kertas, sinar
matanya guram tak bersemangat, duduk mematung tanpa bergerak, jikalau biji matanya tidak
terpentang dan bergerak Thian-hi pasti anggap orang telah mati.
Thian-hi maju mendekat serta menjura katanya, "Aku yang rendah Hun Thian-hi,
harap tanya kepada Totiang, dimana kediaman Giok-yap Cinjin?"
Tosu itu tetap tak bergerak dan tak bersuara, namun matanya mengunjuk rasa heran
dan tak mengerti. Melihat orang tidak bicara, Thian-hi merenung sebentar, lalu katanya lagi,
"Kalau Totiang tidak
bisa bicara, apakah bisa mengantarku kepada beliau?"
Biji mata si Tosu berjelilatan, seolah-olah punya banyak pertanyaan yang hendak
disampaikan, namun sedikitpun ia tidak mampu bergerak.
Thian-hi menjadi putus asa, pelan-pelan ia putar tubuh hendak tinggal pergi,
tiba-tiba tergerak sanubarinya, sebuah pikiran berkelebat dalam benaknya, pikirnya siapa lagi orang
yang boleh duduk samadi di dalam ruang Tio-yang-kiong" Tiba-tiba ia putar balik serta maju
bertanya, "Apakah Totiang adalah Giok-yap Cinjin Cianpwe?"
Lagi-lagi mata Tosu tua ini memancarkan cahaya yang sukar diraba juntrungannya.
Terkilas dalam pikiran Thian-hi akan cerita Kim Ci-ling tempo hari, mungkin Giok-yap
Cinjin mempunyai kesukaran yang sulit disampaikan?"
Thian-hi terlongong sebentar, akhirnya ia berketetapan untuk coba-coba, dari
kantong bajunya ia mengeluarkan sepucuk daun buah ajaib terus diangsurkan kepada Tosu itu serta
katanya, "Mungkin Totiang terkena racun jahat, inilah daun Kiu-thian-cu-ko, setelah
Totiang menelan daun ini tentu penyakitmu dapat sembuh."
Tampak Tosu itu rada beragu sebentar, namun akhirnya ia menerima juga, dengan
kedua tangannya Thian-hi menyongkel gigi si Tosu yang terkatup kencang terus
menjejalkan daun buah ajaib ke dalam mulutnya. Rada lama kemudian, baru tampak si Tosu dapat menghela napas lega dengan lemah,
katanya serak, "Pinto memang Giok-yap adanya. Entnh Siauhiap mencari aku ada urusan
apa?" Mendengar ucapan orang sungguh girang Thian-hi bukan main, tersipu-sipu ia
berlutut dan menyembah sapanya, "Wan-pwe Hun Thian-hi menghadap pada Lo-cianpwe."
Kata Giok-yap Cinjin perlahan, "Sekarang aku tahu untuk apa kau kemari. Aku dibokong orang
sehingga tak dapat bicara, badanpun menjadi kaku tak bisa bergerak sejak sebulan
yang lalu. Tadi meski kau sudah memberi daun buah ajaib, paling tidak harus memakan waktu dua
belas jam baru bisa pulih seluruhnya! Eh, kau bangunlah!"
Kata Thian-hi sambil bangkit, "Wanpwe semula mengira mungkin Cianpwe dikelabui
dalam peristiwa ini maka dengan lancang menghadap kemari."
Ujar Giok-yap Cinjin memejamkan mata, "Aku dapat menduga kejadian apakah itu,
tapi belum jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya, coba Hun-siauhiap menjelaskan."
Maka Hun Thian-hi menceritakan pengalamannya sejak ia bertemu dengan Kim Ci-
ling. Setelah mendengar cerita Thian-hi Giok-yap Cinjin membuka mata, katanya serius,
"Hun siauhiap! Dosa. Gwat Long dan Sing Poh dalam peristiwa ini tak terampun lagi.
Tapi apakah Hun siauhiap tahu siapakah orangnya yang berdiri di belakang lajar?"
Thian-hi berpikir sebentar, jawabnya, "Tentang hal ini Wanpwe pernah
memikirkannya, memang pasti ada orang yang memegang rol di belakang peristiwa ini, dan orang
itu pasti Mo-bin Suseng adanya." Giok-yap Cinjin manggut-manggut, tiba-tiba ia bertanya, "Apakah Siauhiap ada
bermusuhan dengan Mo~bin Suseng?" Hun Thian-hi manggut-manggut mengiakan.
Kata Giok-yap Cinjin, "Beberapa tahun belakangan ini aku gemar main catur,
beberapa waktu yang lalu pernah datang seorang yang mengaku bernama Hou Gwan, diapun pandai
bermain catur, sungguh aku tidak menduga bahwa dia inilah Mo-bin Suseng yang kenamaan di
seluruh jagad itu, diam-diam ia telah meracun kepadaku, racun yang digunakan adalah
Soat-san-cu, bisa paling jahat di seluruh dunia. Karena kurang hati-hati aku terjebak oleh tipu
muslihatnya. Dia ngapusi murid2ku katanya aku tersesat latihan Lwekang, tanpa Badik buntung tak
mungkin dapat disembuhkan." -setelah bercerita ia menghela napas dengan rawan.
Thian-hi sendiri juga bungkam dan menunduk. Sambung Giok-yap, "Mo-bin Suseng
berhati culas dan banyak muslihatnya, jika dia tahu sekarang aku sudah sembuh tentu
menggunakan akal liciknya untuk mencelakai jiwaku. Baru saja aku menelan daun buah ajaib, betapa
pun jangan sampai dia mengetahui."
Thian-hi manggut-manggut, dalam hati ia mengakui kenyataan ini, kalau Mo-bin
Suseng betulbetul tahu di bawah gosokan mulut manisnya tentu Gwat Long dan Sing Poh takkan
membiarkan dirinya berada di tempat ini dengan tetap bernapas. Sedang Giok-yap harus
menunggu dua belas jam lagi baru bisa pulih kesehatannya. Kalau Mo-bin Suseng hendak berbuat jahat
rasanya semudah ia membalikkan telapak tangan.
Karena pikirannya ini segera ia bertanya kepada Giok-yap Cinjin, "Kenapa Tio-
yang-kiong kosong melompong selain Cianpwe seorang."
"Setelah seluruh penghuni Tio-yang-kiong tahu aku keracunan mereka lantas pindah
ke Sianggoan- kiong, tinggal Gwat Long dan Sing Poh saja bersama aku, tapi sewaktu2 mereka
pergi, legakan saja hatimu, saat ini selain mereka berdua tiada seorangpun yang bisa
kemari. Meski sepak terjang mereka sangat tercela, tapi mereka masih dengar kata-kataku!" -
habis berkata ia menghela napas panjang. Thian-hi memaklumi kesukaran dan pikiran Giok-yap Cinjin, sepak terjang Gwat
Long dan Sing Poh memang patut dihukum mati, tapi betapapun perbuatan mereka itu melulu demi
keselamatan Giok-yap Cinjin, maka tidaklah heran kalau Giok-yap Cinjin merasa sedih dan
serba sulit. Hun Thian-hi tunduk dan terpekur.
Begitulah selanjutnya mereka bicara panjang lebar, dalam kesempatan itu Giok-yap
Cinjin menanyakan riwayat hidup Thian-hi, dengan setulus hati Thian-hi menutur apa
adanya. Akhirnya Giok-yap Cinjin tenggelam dalam pikirannya, agak lama kemudian baru buka bicara
lagi, "Urusan ini setelah aku sembuh tentu akan kubereskan. Tentang urusanmu tentu aku akan
berusaha sekuat tenaga, meski aku ada janji dengan Bu-bing Loni untuk tidak mencampuri
urusan dunia tapi kau telah menolong jiwaku, tidak bisa tidak aku harus membalas budi ini,
sampai pada waktunya tentu dapat dibereskan dengan sempurna."
Girang hati Thian-hi, lekas-lekas ia nyatakan banyak terima kasih kepada Giok-
yap Cinjin, pikirnya dengan keagungan Giok-yap Cinjin bila ia mau sedikit membela dan bicara
demi kebersihannya maka segala urusan tentu dapat dibikin terang.
Tengah ia kegirangan, mendadak terdengar langkah kaki yang sangat lirih di luar
pintu, bercekat hati Thian-hi, waktu ia pandang wajah Giok-yap agaknya ia tidak
mendengar, maklum karena kesehatan Giok-yap belum sembuh seluruhnya, mana mungkin dengar suara
yang begitu lirih. Cepat ia berkata kepada Giok-yap Cinjin, "Apakah Cianpwe mendengar suara langkah
di luar" Ada orang tengah mencuri dengar pembicaraan kita!"
Berubah air muka Giok-yap, katanya, "Tentu Mo-bin Suseng adanya!"
Mendengar akan Mo-bin Suseng Thian-hi juga terkejut, sebat sekali ia bergerak
melesat keluar, maksudnya hendak meringkus Mo-bin Suseng. Terdengar olehnya lapat-lapat suara
derap langkah yang ringan dan lirih berlari ke depan sana. Begitu mendengar jelas suara
langkah itu bergolak darah dalam rongga dadanya, sambil menghardik keras, "Lari kemana!" tubuhnya
melesat seperti anak panah mengejar ke depan.
Setelah membelok tiga tikungan pandangan di depan menjadi jelas kiranya itulah
seekor kucing hitam mulus. Thian-hi tertegun sebentar, hatinya lantas mengeluh, "Celaka! Giok-
yap masih belum mampu bergerak, terang aku terpancing meninggalkan sarang," karena pikirannya
ini cepat-cepat ia berlari balik. Begitu ia melangkah di ambang pintu seketika ia berdiri kesima di depan pintu.
Giok-yap Cinjin tetap duduk di tempatnya tak bergerak, namun dadanya bertambah sebilah badik
dengan digenangi darah segar, jelas itulah Badik buntung yang menghunjam di dadanya.
Kepala Thian-hi laksana dipukul godam, pikirannya menjadi kosong, segala harapan
semula sekarang menjadi lenyap seperti gelembung air, tak perlu disangsikan lagi tentu
inilah buah karya Mo-bin Suseng yang culas dan banyak muslihatnya itu.
Entah berapa lama ia menjublek di tempatnya, mendadak didengarnya derap langkah
orang banyak. Walaupun Giok-yap Cinjin bukan mati oleh tangan Hun Thian-hi, namun
sanubarinya dirundung suatu perasaan yang susah diraba takutnya, siapapun bila melihat ia
hadir disini tentu akan curiga bahwa dialah yang telah membunuh Giok-yap Cinjin.
Dengan gelisah Thian-hi celingukan ke kanan kirinya, baru saja ia hendak lari ke
kamar lain mendadak teringat akan Badik buntung, kalau Badik buntung tertublas di dada
Giok-yap sedang umum tahu bahwa Badik buntung adalah miliknya, orang lain takkan mau percaya
bahwa Badik buntung pernah direbut oleh Gwat Long dan Sing Poh karena tiada bukti,
sekarang.... Lekas-lekas ia berlari masuk ke dalam ruang samadi, baru saja ia menarik Badik
buntung dari dada Giok-yap Cinjin dan berputar, pintu kamar sudah penuh dihadang oleh anak
murid Bu-tongpay, terang Thian-hi tak punya jalan untuk meloloskan diri....
Bab 7 Sungguh Thian-hi tak berani membayangkan, sambil menggerung seperti singa
mengaum ia kiblatkan Badik buntung terus menerjang ke arah pintu.
Tapi para penghadang itu adalah Sam-lo-chit-cu, merupakan tokoh-tokoh yang
paling diandalkan oleh pihak Bu-tong-pay, mana mungkin mereka mau membiarkan dirinya
melarikau diri" Serempak Sam-lo-chit-cu melolos pedang, terus bergerak saling melintang
melancarkan serangan gabungan yang dahsyat perbawanya, Thian-hi terdesak mundur ke dalam
kamar semadi lagi. Thian-hi menggertak, yang terpikir dalam otaknya hanya melarikan diri,
sedikitpun tidak terpikir
olehnya akibat dari peristiwa hebat ini. Dimana Badik buntung berkelebat dengan
jurus Gelombang perak mengalun berderai ia merabu para musuhnya sehingga Sam-lo-chit-cu terdesak
mundur oleh tabiran cahaya hijau pupus yang dingin dan tajam sekali.
Sam-lo-chit-cu merupakan tokoh-tokoh kosen yang berkepandaian tinggi, mereka
insaf setiap jurus serangan Thian-hi pasti adalah jurus-jurus ganas yang membahayakan, maka
sebat sekali mereka bergerak bersama, sepuluh orang sepuluh batang pedang berbareng
melancarkan jurus gabungan Coan-liu-gak-lik, memang dahsyat sekali perbawa tenaga gabungan ilmu
pedang ini, betapapun lihay dan hebat serangan Thian-hi tak urung ia terdesak balik oleh
daya perlawanan yang kuat dari tenaga musuh.
Sekali gebrak saja lantas terdesak mundur, namun segala akibat dan sesuatunya
sudah tak terpikirkan lagi oleh Thian-hi, begitu mundur ia menyerbu maju lagi, kini ia
lancarkan jurus Tamlian-

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hun-in-hap dari Gin-ho-sam-sek kedua.
Jurus kedua ini berlipat ganda lebih dahsyat dan hebat perbawanya, Sam-lo-chit-
cu terpaksa harus menyurut mundur, Thian-hi berkesempatan menerobos lewat keluar pintu,
begitu sampai diluar Sam-lo-chit-cu sudah berbaris membentuk sebuah barisan mengepung dan
menghadang jalan lari Thian-hi. Thian-hi insaf jalan satu-satunya baginya hanyalah menggunakan kekerasan, maka
begitu bergerak langsung ia mengerahkan sekuat tenaga merangsak musuh. Tampak Sam-lo-
chit-cu berpencar dan secepat kilat bergabung maju pula, tetap mereka mengepung Thian-hi
di tengah. Thian-hi sudah berusaha mengerahkan tenaga dan mengembangkan ilmu pedangnya
mengandal ketajaman Badik buntung, namun setiap serangannya selalu kandas, ia
terpaksa harus membela diri melulu. Untung kedua jurus Gin-ho-sam-sek yang dilatihnya itu merupakan ilmu pedang
tingkat tinggi yang sudah diapalkan diluar kepala, untuk membela diri jauh masih berkelebihan.
Sekejap saja lima puluh jurus sudah berlalu, dari atas gunung tampak berlari-
lari mendatangi dua sosok bayangan. Dilain kejap begitu kedua orang ini tiba Sam-lo-chit-cu
segera menarik serangan, pedang melintang di depan dada. Berpikirpun tidak, begitu melihat Sam-
lo-chit-cu menghentikan aksinya sebat sekali Thian-hi melejit tinggi terus terbang ke depan
menuju bawah gunung. Sambil menarik muka kedua pendatang itu terus mengejar ke depan, masing-masing
mengulur telapak tangan memukul ke arah Thian-hi.
Begitu melihat gaya serangan kedua orang ini, Thian-hi lantas berteriak kejut,
"Gwat Long Sing Poh!" - setelah berteriak ia angkat kepala mengawasi kedua orang ini dengan
seksama. Kiranya Gwat Long dan Sing Poh adalah pemuda remaja yang berusia 20-an, mengenakan jubah
Tosu warna hijau, punggung masing-masing menyandang pedang panjang, biji matanya
tanpa expresi mengawasi Hun Thian-hi tanpa berkedip.
Walau usia Gwat Long dan Sing Poh masih muda, namun mereka adalah murid langsung
dari Giok-yap Cinjin, mereka berdua saja yang menjadi keturunan dari ilmu Siau-yang-
sin-kang, maka begitu mereka unjuk diri, Sam-lo-chit-cu harus memberi muka dan mengalah kepada
mereka. Memandang Gwat Long Sing Poh, Hun Thian-hi menjengek dingin, "Cara bagaimana
kematian Suhu kalian, kukira kalian berdua sudah tahu, kiranya tak perlu aku Hun Thian-hi
banyak mulut. Sekarang kalian mencari perkara kepada aku, sungguh aku ikut penasaran akan
kematian beliau." Gwat Long dan Sing Poh bungkam seribu basa, Sam-lo-chit-cu mendengus ejek, Gwat
Long dan Sing Poh angkat kepala, pelan-pelan menggapai tangan, serempak Sam-lo-chit-cu
menyerbu lagi. Thian-hi bergelak tawa saking murka, Badik buntungnya berkelebat menyerang
kepada Sam-lo. Gwat Long dan Sing Poh saling pandang sekilas, mereka mencabut pedang masing-
masing terus berkelebat memasuki gelanggang memapas dan menusuk kepada Thian-hi.
Sambil kertak gigi Hun Thian-hi ayun Badik buntungnya untuk melawan keroyokan
musuh, tapi Gwat Long dan Sing Poh adalah murid didik langsung dari Giok-yap Cinjin sejak
masih kecil, Bu-tong-pay merupakan aliran murni dari golongan Lwekeh, sejak kecil mereka
sudah diberi kepandaian dasar yang kokoh kuat sudah tentu hasilnya sangat mengagumkan.
Melihat cara tempur Hun Thian-hi yang nekad dan tanpa gentar sedikitpun
berbareng mereka memutar pedang dan menyampok kesamping, dengan rangsekan berbareng dari dua
jurusan ini Badik Hun Thian-hi kena dituntun miring kesamping, kesempatan ini digunakan Sam-
lo-chit-cu mengacungkan pedang menusuk dan membacok bersama dari berbagai penjuru.
Jidat Thian-hi sudah basah oleh air keringat, terdengar ia menggembor keras,
tanpa disadari ia mengembangkan ilmu ringan tubuh yang pernah dilihatnya dari si tua Pelita dalam
rimba tempo hari, keadaan waktu itu sangat berkesan dalam benaknya, sekarang dalam keadaan
genting dia kembangkan, laksana ikan berenang selicin belut ia bergoyang gontai bergerak
lolos dari rangsekan pedang Sam-lo-chit-cu.
Thian-hi sendiri menjadi tercengang melihat hasil perkembangan ilmu ringan
tubuhnya yang dapat ditirunya dari kepandaian Situa Pelita, bahkan girang melihat dirinya
bakal lolos dari kepungan Sam-lo-chit-cu gerak-geriknya menjadi sedikit lamban, tampak selarik
sinar pedang berkelebat tahu2 lengan kirinya sudah tergores luka panjang dan mengeluarkan
darah deras. Saking kesakitan Thian-hi sampai mengeluh panjang, cepat2 ia kiblatkan Badik
buntung melancarkan jurus kedua dari Gin-ho-sam-sek untuk membendung serangan susulan
pihak musuh. Dari menyelang ia sekarang menjadi pihak yang bertahan, meski terasa tekanan
tenaga dari berbagai penjuru sangat berat, tapi dalam waktu dekat ia masih kuat bertahan.
Melihat serbuan gabungan ilmu pedang mereka tak berhasil membobol pertahanan
Thian-hi, Gwat Long dan Sing Poh menjadi sengit. Mendadak mereka membalikkan pedang,
serempak melancarkan ilmu simpanan pihak Bu-tong-pay yang dinamakan Cian-si-bi-ciu, dua
batang pedang mereka berputar memetakan cahaya terang benderang menerangi gelanggang, seluruh
kekuatan telah dikerahkan untuk melancarkan serangan ini.
Se-konyong2 Thian-hi merasa tekanan dari empat penjuru bertambah berat, luka
lengan kirinya mengalirkan darah lagi, insaf ia kalau pertempuran berlangsung terus tentu
dirinya susah buat bertahan, paling lama juga hanya kuat bertahan setengah jam.
Lama kelamaan kepalanya terasa berat, matanya ber-kunang2 dan kabur, sekuatnya
ia masih lancar-kan jurus2 ilmu Gin-ho-sam-sek untuk berlindung dan membela diri.
Mendadak samar2 terdengar olehnya teriakan kaget dan takut, Gwat Long dan Sing
Poh, berbareng terasa tekanan serangan mereka mengendor. Kuat2 Thian-hi menggelengkan
kepala, sebuah keajaiban tiba2 membuat semangatnya tersentak bangun dari kepalanya.
Namun dilain saat Thian-hi sendiri juga menjadi melongo, karena terlihat olehnya Giok-yap
Cinjin tengah berdiri tegak dikaki tembok sebelah dalam sana. Sekilas Thian-hi menjadi sadar bahwa
entah tokoh siapa yang telah berusaha menolong dirinya. untuk menerjang keluar dari kepungan,
sebat sekali ia melambung tinggi terbang kebawah gunung.
Sambil menggertak Sam-lo-chit-cu menggerakkan pedang menusuk dan membabat. gesit
sekali Thian-hi menggeliat ditengah udara tubuhnya terus meluncur kedepan, serangan
bersama Sam-lochit- cu mengenai tempat kosong. Terdengar Gwat Long dan Sing Poh menghardik keras.
berbareng mereka melejit mengejar sambil menyerang dari jarak jauh.
Thian-hi berusaha untuk mengegos, namun gerak geriknya sudah rada lamban, kontan
pundak kirinya kena dijotos lagi oleh musuh, seketika ia rasakan seluruh lengan kirinya
seperti dipanggang diatas bara, begitu kakinya menyentuh tanah segera ia kembangkan ilmu ringan
tubuh dan berlari sipat kuping kebawah gunung.
Entah sudah berapa lama dan berapa jauh ia berlari, cara bagaimana pula ia
berhasil menghindarkan diri dari kejaran Gwat Long dan Sing Poh, tak diketahui pula
olehnya kapan ia telah jatuh pingsan dan tak sadarkan diri lagi.
Waktu Thian-hi membuka mata terasa mukanya dingin, terlihat Hwesio jenaka tengah
berdiri dihadapannya sembari cengar-cengir kepadanya.
Thian-hi merasa badannya sedikit segar, ter-sipu2 ia berusaha bangkit berduduk,
segera Hwesio jenaka mencegahnya katanya tertawa, "Kesehatanmu belum pulih, jangan
kesusu bangun!" Memang Thian-hi merasa kaki tangannya lemas tak bertenaga, dengan lirih ia
menyapa, "Siausuhu, hari ini aku tertolong pula oleh kau, sungguh tak ahu cara bagaimana
aku harus membalas kebaikanmu ini."
Hwesio jenaka masih cengar-cengir tanpa bicara, rada lama kemudian baru ia buka
bicara, "Urusan yang kau kerjakan kali ini sungguh sangat menggemparkan. Kau tertuduh
membunuh Giok-yap Cinjin, apakah kau kuat memikul dosa berat ini" Jangan kata orang luar,
mungkin gurumu sendiri pun takkan berani buka bicara untuk membela kau lagi."
Thian-hi maklum apa yang dikatakan itu memang kenyataan, ia menghela napas an
bungkam seribu bahasa. Sesaat kemudian tiba2 ia bertanya, "Kenapa Siau-suhu bisa disini"
Bagaimana pula kau tahu bahwa Giok-yap Cinjin bukan aku yang membunuhnya?"
Wajah Hwesio jenaka lantas mengunjuk rasa sedih dan rawan, ia berputar menghadap
kejurusan lain, sejenak kemudian ia berpaling serta berkata dengan tersenyum,
"Jangan kau berpikir terlalu jauh, aku mendengar kabar bahwa Mo-bin Suseng hendak mencelakai
kau, waktu aku menyusul tiba tapi sudah terlambat!"
Bergegas Thian-hi bangun berduduk, tanyanya cepat, "Dimana Siau-suhu mendengar
kabar ini?" Hwesio jenaka menyengir, jawabnya, "Bukan aku tidak mau memberitahu, sebetulnya
tak guna mengetahui hal itu."
Thian-hi dirundung rasa cemas dan curiga, pelan2 ia merajap bangun menggelendot
dibatang pohon, dengan seksama ia menatap Hwesio jenaka, pikirnya, "Darimana ia tahu"
Mungkinkah.........."
Tampak Hwesio jenaka tetap berseri tawa tanpa menunjukkan sesuatu keganjilan.
Akhirnya Thian-hi menghela napas, ujarnya, "Siau-suhu! Aku memikul dendam
kesumat sedalam lautan, kalau Siausuhu suka memberi petunjuk sehingga aku dapat menuntut
balas, Siausuhu minta apapun terhadap aku tentu dapat kulaksanakan."
Hwesio jenaka tertawa lebar, katanya:, "Apa yang kutahu saat ini bila kuberitahu
kepada kau hanya akan mengagetkan pihak musuh saja, malah mungkin membawa bencana bagi
kau." Thian-hi menerawang sebentar, lalu katanya, "Apakah Siau-suhu anggap sepak
terjangku terlalu gegabah?" Kata Hwesio jenaka tertawa lebar, "Sekarang kau lebih baik pergi ke Siau-lim-si,
berusaha mendapat bantuan dari Thian-cwan Taysu, kalau beliau yang tampil kedepan mungkin
dapat menghapus penasaranmu, Sampai saatnya nanti boleh kau bicara perihal yang lain,
karena saat ini kau terancam bahaja dan sulit berdiri dikalangan Kangouw."
Terkancing mulut Thian-hi, memang kenyataan apa yang dikatakan itu. Mungkin
Thian-cwan Taysu belum tentu mau membantu, beliau tidak tahu duduk perkara sebenarnya,
bagaimana mungkin beliau mau membantu secara semberono"
Melihat kesangsian Thian-hi, Hwesio jenaka berkata lagi, "Selain jalan ini tidak
ada cara lain untuk mengatasi kesukaranmu ini".
Thian-hi merenung sekian lama, hatinya gundah dan bingung, memang selain jalan
itu tiada cara penyelesaian lain yang lebih sempurna.
Kata Hwesio jenaka, "Kalau kau sudi aku bisa menunjukkan jalan, sepanjang jalan
ini kutanggung tidak akan ada orang yang mencegat, dan tanpa rintangan kau dapat
menghadap kepada Thian-cwan Taysu. Tapi persoalan lain aku tak berdaja lagi."
Ter-sipu2 Thian-hi menyatakan banyak terima kasih. Saat itu juga segera mereka
berangkat menuju ke Siau-lim-si. Mereka menempuh perjalanan dengan gerak cepat, tak terasa lima hari sudah
berlalu, luka Thian-hi sudah mulai sembuh, hari itu mereka sudah tiba dibawah kaki Siong-san.
Misteri Lukisan Tengkorak 5 Pendekar Naga Putih 44 Badai Rimba Persilatan Munculnya Pendekar Bayangan 2
^