Pencarian

Munculnya Pendekar Bayangan 2

Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan Bagian 2


kan. "Justru aku merasa berhutang budi kepada
Bapak. Dengan begitu aku telah mengetahui sampai di mana kekuatanku sebenarnya."
"Yah, sampai di mana kekuatan tubuhmu yang
baru saja sembuh tadi, aku mengetahui semua. Te-
rangnya kau masih harus berlatih kembali lebih giat,"
ujar Pendekar Bayangan.
"Terima kasih, Bapak," sahut Mahesa Wulung.
Sekonyong-konyong saja terdengar suara berdesing
sangat keras mengiringi sebuah sinar. Dalam saat-saat yang begitu, Pendekar
Bayangan meleset ke depan
dengan pesatnya menyongsong sinar tadi.
Tap! Jari-jari Pendekar Bayangan tahu-tahu telah
menjepit sebatang anak panah yang bergerigi.
"Penyerangan gelap!" bisik Mahesa Wulung. "Mereka
telah mengincar kita, Bapak!"
"Tenang saja, Angger!" ujar Pendekar Bayangan
lirih. "Bersiaplah engkau! Aku yakin musuh kita lebih dari satu orang. Baiknya
aku membawa tongkat
kayuku!" "Aku siap bertempur, Bapak!" bisik Mahesa Wulung.
"Baik! Nah, sekarang kita akan bertindak. Aku akan merayap ke arah selatan untuk
menyerang mereka
secara tiba-tiba, sedang Angger Mahesa Wulung tetap bersiaga disini."
"Baik, Bapak," sekali lagi Mahesa Wulung berbisik.
Pendekar Bayangan kemudian merayap ke sebelah
selatan dengan tangkas dan cepat. Tubuhnya bergerak persis bayangan mengendap-
endap, menyelusup dari
semak yang satu ke belukar yang lain. Ia makin menjauh, menjauh dan akhirnya
tubuh Pendekar Baya-
ngan seolah-olah lenyap ditelan kegelapan malam.
Hati Mahesa Wulung semakin berdebar-debar ke-
ras, menanti apa yang bakal terjadi selanjutnya. Sekejap demi sekejap Mahesa
Wulung terus menunggu, dan sesaat kemudian benarlah apa yang dinantikannya.
Dari arah selatan terdengarlah bunyi senjata beradu diseling oleh teriakan-
teriakan berlaga.
Mahesa Wulung cepat bertindak. Ia meloncat segera
ke arah selatan untuk membantu Pendekar Bayangan
yang pasti telah terlibat dalam sebuah pertempuran.
Namun belum lagi jauh ia beranjak, sesosok tubuh
tahu-tahu menerkam ke arahnya dari sebuah rumpun
ilalang. Ia tak sempat meneliti lawannya yang secara tiba-tiba telah menyerang
itu. Mahesa Wulung merasakan sambaran-sambaran senjata lawan yang berben-
tuk pedang lebar dengan ujungnya yang papak mirip
ujung sebuah parang.
Pedang lebar tadi mendesau dengan dahsyat seperti
topan siap melanda tubuh Mahesa Wulung dari sege-
nap arah. Untuk ini Mahesa Wulung terpaksa meme-
ras tenaganya untuk menghadapi serangan-serangan
lawannya. Tubuhnya berjumpalitan di udara persis
gerak-gerak burung layang-layang yang menyambar
kupu-kupu. Dengan begitu ia lolos dari tebasan-tebasan pedang lawannya yang datangnya
bertubi-tubi laksana ombak Laut Kidul yang ganas dan dahsyat.
Sementara itu Pendekar Bayangan mengendap-
endap dengan lambat menyelundup di antara sela-sela kerimbunan pohon pakis.
Sebentar-sebentar ia berhenti sambil mempertajam pendengarannya dengan
teliti, sebab ia merasa bahwa di sekitar tempat itu pasti bersembunyi penyerang-
penyerang gelap.
Inilah yang betul-betul berbahaya baginya. Para
penyerang tadi setidak-tidaknya telah siap dan hafal dengan tempat itu. Sedang
ia sendiri belum pernah
datang kemari, dengan begitu tempat itu menjadi
sangat asing baginya.
Tiba-tiba di balik sebuah semak ilalang didengarnya suara nafas yang mengalir
dengan perlahan dan halus.
Namun telinganya yang tajam itu dapat menangkapnya dengan jelas.
Maka si Pendekar Bayangan kemudian mendekati
semak ilalang itu dari arah samping dan betullah apa yang didengarnya. Begitu ia
menguakkan daun-daun
ilalang, terlihatlah dua orang bersenjata panah siap dengan tembakannya.
Pendekar Bayangan setengah menggeram melihat
kedua orang penyerang gelap ini. Dengan satu lon-
catan yang panjang tak bersuara, ia menyerang keduanya. Tongkat kayunya berputar
seperti baling-baling menyambar ke arah lawan-lawannya.
"Heei, apa kerja kalian disini cecunguk-cecunguk?"
seru Pendekar Bayangan keras-keras. Karuan saja
kedua orang itu terkejut bukan main digertak begitu macam, sampai keduanya
berjingkrakan hampir jatuh.
Cepat mereka berpaling mengarahkan senjata panah-
nya ke arah Pendekar Bayangan. Dalam saat yang
sama Pendekar Bayangan lebih cepat bertindak. Senja-ta tongkat kayunya telah
menghantam senjata-senjata mereka berbareng dengan satu kecepatan yang
mengagumkan. Bet! Kraak! Kedua busur yang ada di tangan mereka
tahu-tahu patah menjadi dua, bagaikan dipotong oleh sebuah pisau tajam.
"Hantui"!" desis mereka berbareng, demi dilihatnya sesosok tubuh yang berdiri
tegap di depan mereka.
Pakaiannya yang serba berwarna putih berkedok pula.
Orang itu menggenggam sebuah tongkat kayu.
Yang seorang secepat kilat mencabut sebuah rantai
dari ikat pinggangnya yang berujung besi runcing. Sementara yang seorang lagi
menghunus goloknya sam-
bil menggeram. Dan selanjutnya mereka tanpa berpikir panjang telah menyerang
Pendekar Bayangan yang
nampaknya seperti belum siap sedia.
Agaknya mereka yakin bahwa serangan mereka ber-
bareng itu, dapat merobohkan lawannya dalam waktu
satu gebrakan. Tetapi alangkah kagetnya bila putaran senjata mereka tahu-tahu
beradu dengan tongkat Pendekar Bayangan yang diputar setengah lingkaran.
Kedua senjata mereka tergetar hebat ketika beradu
dengan sambaran tongkat kayu lawannya.
"Keparat!" desis yang bersenjata rantai. "Kau ter-
nyata berilmu pula. Tapi menghadapi Dadungrante,
jangan lekas merasa bangga, kalau hanya mampu
membentur rantai baja ini. Ayo Adi Saron, kita cincang saja orang ini cepat-
cepat. Setelah itu kita baru menangkap si Mahesa Wulung."
"Baik!" gumam yang bersenjata golok serta meri-
ngiskan bibirnya yang tebal. Setelah itu ia meloncat dibarengi oleh kawannya
menyerang Pendekar Bayangan.
Maka terjadilah pertempuran yang cukup hebat.
Pendekar Bayangan yang mampu bergerak seperti
bayangan itu sungguh-sungguh membikin kedua
lawannya kerepotan. Kalau saja kedua orang itu telah menghantamkan senjatanya
dan tampaknya si
Pendekar Bayangan pasti terhajar hancur, tahu-tahu lawannya ini telah melesat
menghindar dan tiba-tiba telah ada di belakang mereka.
"Heh, heh, heh, lebih baik kalian menyerah sebelum aku menunjukkan permainan
tongkatku ini!" seru
Pendekar Bayangan sambil tertawa dalam.
"Kelewat sombong kau setan!" seru Dadungrante
beringas sekaligus memutar senjata rantainya seperti pusaran angin yang berdesau
hebat. Juga kawannya yang menggenggam golok itupun
tak mau kalah rupanya. Senjatanya itu ditebaskan ke beberapa arah dengan
sabetan-sabetan yang penuh
berhawa maut. "Hyaat!" Kedua orang itu menyerbu berbareng ke
arah Pendekar Bayangan yang tampaknya belum siap
sama sekali. Namun berbareng kedua lawannya me-
nyerbu, iapun memutar tongkat kayunya dengan cepat merupakan pagar yang kokoh
melindungi dirinya dari ujung senjata-senjata lawan yang menyambar-nyambar amat
sengitnya. Ketiganya bertempur dengan dahsyat, tak ubahnya
tiga ekor harimau yang bertempur berebut mangsa.
Saling berloncatan kesana-kemari dengan putaran dan tebasan senjatanya masing-
masing. Tetapi setelah berjalan beberapa jurus, tampaklah
bahwa Pendekar Bayangan sedikit demi sedikit berhasil mendesak kedua lawannya.
Tongkat kayunya mem-
berikan tekanan-tekanan terhadap Dadungrante dan
Saron sangat hebat, menyebabkan mereka bermandi
keringat dingin dan tersengal-sengal.
Mereka melihat tongkat kayu itu seperti berubah
menjadi ratusan jumlahnya menyambar dan mematuk-
matuk ke arah mereka. Dadungrante merasa penasa-
ran melihat Pendekar Bayangan yang memberikan
tekanan-tekanan hebat. Maka sambil mengerahkan
segenap kekuatannya, ia menyabetkan senjata rantainya ke arah kepala Pendekar
Bayangan. Traak! Senjata rantai Dadungrante tanpa diduga
telah melibat tongkat kayu Pendekar Bayangan yang
telah dilintangkan di depan kepalanya. Sebelum ia
sempat berbuat sesuatu, tiba-tiba saja Pendekar Bayangan telah menghentakkan
tongkat kayunya dan tanpa ampun lagi Dadungrante terseret tubuhnya untuk
kemudian terlambung ke udara sambil menjerit. Da-
dungrante jatuh terpental di tanah dengan mengaduh.
Melihat kawannya telah roboh, Saron cepat-cepat
menyabetkan pedangnya, namun Pendekar Bayangan
melenting ke udara hingga tebasan pedang Saron tidak
mengenai sasarannya, kecuali angin kosong belaka.
Oleh sebab itu Saron memaki-maki saking jengkelnya.
Sambil bertempur tadi Pendekar Bayangan sempat
pula melirik ke arah Mahesa Wulung yang bertempur
di sebelah timur melawan seorang yang bersenjata
parang. Rupanya lawan Mahesa Wulungpun berilmu tinggi
pula. Gerakannya saja cukup hebat. Parangnya ber-
kali-kali membacok dengan garangnya, disertai oleh desingan nyaring yang berhawa
maut. "Mahesa Wulung, tunggu apa lagi kau hah"! Lekas
menyerah, agar kami dapat mengampunimu!" teriak
lawan Mahesa Wulung yang berambut pendek tanpa
ikat kepala. "Hmmm, jangan terlalu menyombong sobat," sahut
Mahesa Wulung sambil memutar cambuknya. "Kalau
kau berminat menangkapku, cobalah sendiri dengan
kesaktianmu!"
"Keparat! Kau terlalu menghina Pelang Telu, murid
kinasih Ki Topeng Reges dari Watu Semplok!" seru
lawan Mahesa Wulung keras-keras sambil mengayun-
ayunkan senjata.
"Ooo, jadi terangnya kamu adalah para cecunguk
dari Topeng Reges! Kalau begitu kebetulan sekali ini adalah satu hal yang telah
aku tunggu-tunggu."
"Apa yang kau tunggu-tunggu, keparat"!" seru
Pelang Telu dengan beringas serta membelalakkan
mata. "Apa kau menunggu ini!" Pelang Telu segera
membacokkan parangnya ke arah lambung lawannya.
Dan berbareng itu pula Mahesa Wulung telah memutar cambuknya untuk menyambut
serangan Pelang Telu.
Weesss! Taar! Kedua ujung senjata beradu, tapi
dengan cekatan Pelang Telu mengegoskan tubuhnya ke kiri untuk menghindari
serangan berikutnya dari cam-
buk Mahesa Wulung. Ternyata Mahesa Wulung tak
kalah lincahnya. Begitu Pelang Telu berkelit ke kiri, iapun melayangkan pukulan
sisi telapak tangan kirinya ke arah punggung Pelang Telu yang seketika
terjungkal dengan meringis megap-megap, sedang dari
mulutnya meleleh darah merah di sudut bibir.
Ternyata ia telah menderita luka dalam akibat gem-
puran tangan Mahesa Wulung yang sekeras gumpalan
baja. Dengan terhuyung-huyung dan terbatuk-batuk,
Pelang Telu menjauhi Mahesa Wulung yang masih
tegak bersiaga menunggu serangan berikutnya.
Di lain pihak, Saron telah melihat kedua orang
temannya cedera, maka sambil menggeram hebat ia
mengayunkan goloknya dengan melesatkan tubuhnya
ke arah Pendekar Bayangan. Di samping itu kaki ka-
nannya siap melancarkan tendangan maut.
Sekali ini Pendekar Bayangan betul-betul bermak-
sud menyudahi pertempurannya, maka di saat Saron
melanjutkan serangannya, Pendekar Bayangan me-
nyongsongnya dengan satu pukulan Angin Bisu yang
terkenal hebat. Akibatnya sangat hebat. Tubuh Saron yang melesat ke arah
Pendekar Bayangan seolah-olah menabrak satu hempasan tenaga hebat yang
selanjutnya mementalkan tubuhnya ke belakang dengan
derasnya. "Eaaah!" Saron menjerit hebat berbareng tubuhnya
terhempas ke dinding batu terjal, kemudian jatuh
menggeliat-geliat lalu tak berkutik lagi. Wajahnya menyeringai mengerikan dengan
sebuah luka me-nganga di kepalanya.
Mahesa Wulungpun ikut terkejut dengan kejadian
itu. Dalam hati ia sangat mengagumi ilmu pukulan
Angin Bisu milik Pendekar Bayangan.
Kalau kejadian ini sudah mengagetkan dan mence-
kam suara, tiba-tiba satu suitan nyaring menguman-
dang di udara lalu disusul oleh melesatnya Pelang Telu ke dalam gerumbul.
Demikian pula dengan Dadungrante. Meskipun tubuhnya telah babak belur ia masih
cukup kuat untuk meloncat meninggalkan tempat itu.
"Biarkan mereka lari, Angger!" ujar Pendekar Baya-
ngan ketika dilihatnya Mahesa Wulung bersiap me-
ngejar mereka. "Mereka sepatutnya tidak diberi ampun, Bapak,"
desis Mahesa Wulung menahan hati.
"Kalau kita ingin menangkap pemimpinnya, ada ba-
iknya kita sementara membiarkan begundal-begundal
rendahan itu masih hidup. Mungkin kita akan men-
dapat petunjuk-petunjuk secara tidak langsung dari mereka, tentang kedudukan Ki
Topeng Reges yang
sesungguhnya."
"Baik, Bapak," ujar Mahesa Wulung membenarkan.
"Nah, Angger Mahesa Wulung, ayolah kita kembali
ke tempat itu untuk beristirahat!" Pendekar Bayangan berkata seraya menunjuk ke
lobang dinding baru yang diterangi oleh cahaya api unggun. Keduanya berjalan
beriring menuju ke 'pondok' mereka dan sejurus kemudian keduanya telah duduk
bersama. "Angger, aku telah menyaksikan ketangkasanmu
tadi dengan puas. Namun aku masih belum bisa meng-
andalkan kemampuan ilmumu yang telah punah itu!"
"Yah, aku pun masih sangsi, Bapak," gumam Ma-


Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hesa Wulung pelan. "Mudah-mudahan tidak selama-
nya begitu."
"Ada baiknya kau coba saja di atas batu hitam ini,"
berkata Pendekar Bayangan seraya mengelus-elus batu di sampingnya. "Percayalah
terhadap kekuatanmu sendiri, Angger."
"Terima kasih, Bapak. Aku akan mencobanya,"
berkata Mahesa Wulung sekaligus memasang sikapnya
dalam jurus pukulan maut Lebur Waja. Tangan yang
kanan dilipatnya ke belakang sejajar telinga dan sesaat lagi Mahesa Wulung
melesat menghantam batu hitam.
Kraak! Batu tersebut telah retak sampai ke dasar-
nya, merekah mengerikan. Mahesa Wulung melihat
hasil pukulannya ternganga keheranan. Ternyata lebih buruk! Kalau dahulu ia bisa memukul hancur sebuah
batu hitam sebesar anak gajah, tetapi sekarang ini ia hanya mampu meretakkan
saja, maka tak heranlah
bila wajahnya tampak menjadi murung seketika.
Pendekar Bayangan yang cukup bijaksana itu rupa-
nya dapat menangkap akan perasaan Mahesa Wulung.
Oleh sebab itu ia cepat-cepat mempersilakan Mahesa Wulung duduk di sampingnya.
"Jangan berputus asa, Angger!" kata Pendekar Ba-
yangan. "Biarpun pukulan Lebur Wajamu telah susut, namun aku akan mencoba
menolongmu. Mungkin
pukulan itu dapat diperbaiki kembali."
Mereka duduk kembali di relung dinding batu itu.
Beberapa petunjuk diberikan oleh Pendekar Bayangan dengan seksama kepada Mahesa
Wulung. Di samping
itu pula, Mahesa Wulung pun sekali lagi menekuni
kitab hijau Landean Tunggal. Hawa Panas dari api
unggun yang menyala terang itu membuat tubuh
mereka hangat, hingga udara yang sesungguhnya
dingin menusuk tulang tak terasa sama sekali. Malam semakin larut dan keheningan
malam merajai tempat
itu. *** 3 MAHESA WULUNG terbangun ketika angin subuh
terasa mengusap wajahnya. Di sekeliling masih cukup gelap, sedang api unggun
sudah tidak lagi besar
nyalanya, meskipun masih cukup membuat hangat di
badan. Semula Mahesa Wulung melihat sekelilingnya.
"Hmmm, Bapak Pendekar Bayangan tidak nampak.
Ke mana dia pergi" Mungkin ia berjalan-jalan menghirup udara segar," Mahesa
Wulung berkata-kata sendiri di dalam hati. "Ah, memang orang yang sangat sakti,
kadang-kadang berkelakuan sangat aneh."
Tetapi bila ia selesai memeriksa tempat sekelilingnya, Mahesa Wulung tiba-tiba
terhenyak kaget. Tempat itu! Ya, tempat itu bukan tempat yang semula. Ternyata
Mahesa Wulung kini berada di tepi sebuah jalan
besar. "Hah, ini jalan yang menuju ke Demak!" desis
Mahesa Wulung. "Di sekitar inilah kira-kira anak buah Topeng Reges telah
menyerang pengiriman emas beberapa waktu yang lalu. Jadi Bapak Pendekar Bayangan
telah memindahkan kemari ketika aku tertidur. Oh,
apa pula maksudnya"!"
Ia menjadi bingung dengan hal itu. Namun ketika ia menatap ke api unggun yang
masih menyala itu, tampaklah kitab hijau Landean Tunggal tergeletak di atas
rumput bersama secarik kain yang berisi tulisan, merupakan sebuah surat.
Perhatian Mahesa Wulung
tertarik oleh surat itu. Segera diambilnya kain tersebut serta diamat-amatinya
dengan penerangan api unggun.
Tampaklah tulisan yang dibuat dengan getah pohon
yang berwarna coklat kehijauan dengan garis-garis
tegas dan mantap. "Tulisan ini memang coretan tangan dari seorang yang berjiwa
ksatria dan gagah berani.
Hmm, apa ini isinya?"
Mahesa Wulung mulai membaca surat itu.
"Angger Mahesa Wulung, aku terpaksa meninggal-
kanmu di tempat ini, sebab aku masih mempunyai tugas lain. Percayalah Angger,
aku akan tetap men-jagamu. Dan lain kali kita akan bertemu lagi untuk menambah
ilmu. " Selesai membaca surat itu Mahesa Wulung mere-
nung sejenak. Pikirannya melayang kepada saat perte-muan dengan Pendekar
Bayangan yang muncul secara
tiba-tiba dan kini meninggalkannya secara tiba-tiba pula. Betul-betul mirip
sebuah bayangan!
Tapi ia tak merasa berkecil hati sekarang. Tubuh-
nya yang semula lumpuh kini telah sembuh berkat
pertolongan Pendekar Bayangan, hingga ia dapat pergi ke manapun juga. Dan ia
telah bertekad untuk meneruskan tugasnya, yaitu mencari Ki Topeng Reges dan
Rikma Rembyak serta merebut kembali catatan rahasia panah Braja Kencar.
Berpikir demikian, Mahesa Wulung cepat berkemas-
kemas. Setelah kitab Landean Tunggal disimpan serta pedangnya diselipkan ke ikat
pinggang, api unggun
segera dipadamkannya pula. Namun tiba-tiba member-
sitlah satu pikiran ke dalam benaknya. Mengapakah ia tidak mencari lebih dulu
Pandan Arum dan kawan-kawannya, si Gajah Sela dan Aldaka" Apakah yang
terjadi pada mereka setelah ia meninggalkan rumah itu bersama Ki Camar Seta"
Akhirnya Mahesa Wulung mengambil keputusan
untuk mencari mereka. Pikirannya yang tajam masih
dapat mengenal letak rumah yang mereka tempati
dahulu. Bukankah dengan begitu ia dapat memastikan apakah anak buah Topeng Reges
tidak mengganggu
mereka lagi"
Demikianlah Mahesa Wulung segera melangkahkan
kakinya ke arah barat untuk mencari rumah itu. Ia
berjalan dengan enaknya, namun telinganya yang
tajam dipasangnya baik-baik untuk menjaga kewaspa-
daan dirinya. Beberapa bulak tanah telah dilewati. Warna-warna
semburat merah yang dipancarkan oleh sinar fajar,
jatuh di atas daun-daun pohon yang tumbuh di sepanjang jalan, membuat segarnya
suasana pagi mulai
menjelang. Tak lama kemudian, iapun tiba di rumah itu yang
letaknya tidak jauh dari tepi jalan. Dengan agak hati-hati Mahesa Wulung
mengetuk pintu itu.
Sesaat kemudian, sesudah ia mengetuk beberapa
kali, terbukalah pintu kayu yang cukup tebal, kemudian melongok keluar sebuah
kepala dengan wajah
ketakutan. "Pak Suta, agaknya Bapak mendapat kesulitan?"
ujar Mahesa Wulung setengah heran. Sementara orang tua itu membuka pintu lebar-
lebar serta mempersilakan tamunya masuk.
"Oh, Tuan Mahesa Wulung. Masuklah cepat ke
dalam. Maaf, memang bapak tadi menjadi ketakutan
ketika pintu ini diketuk!"
"Mengapa, Bapak?" bertanya Mahesa Wulung.
"Heh, itu. Anak buah Ki Topeng Reges sedang meng-
ganas. Lebih-lebih setelah mereka gagal merampas
emas yang dikirim ke Demak beberapa waktu yang
lalu. Mereka menumpahkan kemarahan hatinya kepa-
da penduduk yang tidak berdosa, dengan membakar
rumah dan menghancurkan isinya. Mereka keranji-
ngan membunuh orang-orang itu dan kadang-kadang
menculik gadis untuk dipaksanya menjadi isteri-isteri mereka."
"Hmm, sungguh kejam mereka," desis Mahesa Wu-
lung dengan geram. "Tapi Bapak, di manakah kawan-
kawanku yang dulu singgah beristirahat disini?"
"Oh, ya, ya. Prajurit-prajurit yang terluka itu,
bukan" Mereka telah kembali ke Demak bersama-sama
Pandan Arum. Pastilah sekarang mereka telah tiba di Demak dan aku ikut merasa
bangga, karena mereka
telah berhasil menyelamatkan emas itu. Sebagai bekas prajurit, aku ikut gembira
dengan keberanian mereka menghadapi anak buah Ki Topeng Reges."
"Apakah mereka mengganggu kawan-kawanku?"
"Pasti tidak, Tuan. Mereka hanya terutama meng-
ganggu orang-orang desa saja. Terhadap prajurit-prajurit Demak mereka selalu
menghindarinya. Hal ini
membuat orang-orang desa menjadi ketakutan sete-
ngah mati. Tidak jarang mereka bersedia menyerahkan uang dan perhiasannya asal
orang-orang Ki Topeng
Reges itu tidak mengganggu desanya. Dan kemarin
seorang penduduk Desa Mijen memberitahuku keada-
an desanya yang genting."
"Desa Mijen yang terletak di tepi Kali Serang itu?"
potong Mahesa Wulung.
"Benar, Tuan. Mereka telah menculik puteri lurah
Desa Mijen dan bersedia melepaskannya asal orang-
orang Desa Mijen bersedia menebusnya dengan uang
dan emas perhiasan!"
"Terlalu!" desis Mahesa Wulung sekali lagi. "Bapak, kalau demikian biarlah aku
pergi ke desa itu. Memang aku tengah mencari si Topeng Reges. Mungkin ia
bersama-sama anak buahnya."
"Hari masih terlalu pagi, Tuan. Apakah Tuan tidak
beristirahat sejenak disini?"
"Tidak, Bapak. Terima kasih."
"Nah, jika Tuan amat tergesa-gesa, bawalah kudaku
yang di belakang, agar Tuan tidak terlalu lelah. Tung-gulah sebentar, aku
ambilkan ke kandang!" Pak Suta cepat bergegas ke belakang dan membawa kudanya ke
halaman muka. "Bawalah dia, Tuan, mudah-mudahan tidak
mengecewakan," ujar Pak Suta menyerahkan kudanya
kepada Mahesa Wulung.
"Terima kasih, Bapak," kata Mahesa Wulung mene-
rima kuda itu, sekaligus melompat ke punggungnya.
"Permisi, Bapak, aku berangkat sekarang!"
"Selamat jalan, Tuan!"
Kuda itu menderapkan kakinya dan sebentar saja ia
telah berpacu ke arah utara menerobos kelebatan
hutan. Mahesa Wulung tak mengira kalau kudanya itu sangat lincah dan boleh
dikatakan ganas, sebab kalau ada sungai-sungai kecil ataupun lobang-lobang yang
cukup lebar, ia terus saja melompatinya. Untunglah Mahesa Wulung telah biasa
melayani kuda-kuda yang
liar. Kalau tidak, jangan harap masih tahan melekat di punggungnya, dalam sekali
lompatan saja pasti ia
akan terbanting dari pelana kudanya.
Dalam berpacu itu Mahesa Wulung tiba-tiba meng-
angkat keningnya, bila angin yang bertiup singgah di telinganya membawa suara
orang yang bercakap-cakap diseling oleh ketawa yang tergelak-gelak. Agaknya
lebih dari dua orang. Mahesa Wulung cepat-cepat memperlambat kudanya, kemudian
ia meloncat turun.
Sesudah mengikatkan kudanya di batang pohon, ia
mengendap-endap mendekati arah sumber suara tadi.
Ketika Mahesa Wulung berhasil mendekati tempat itu,
ia segera mengintip dari jarak yang agak jauh. Dilihatnya Jaramala dan tiga
orang tengah duduk-duduk
minum tuak. Mahesa Wulung ingin mendekati mereka agar me-
ngetahuinya lebih jelas, maka iapun merangkak-
rangkak menerobos semak-semak liar serta sulur-
suluran yang merambat di sana-sini. Perhatian
Mahesa Wulung tiba-tiba tertumbuk pada sebuah
gubuk ilalang tak berdinding. Di dalamnya terlihat seseorang yang terikat
tangannya. Wajahnya kurang
jelas karena tertutup oleh bayangan atap ilalang.
Mahesa Wulung menjadi berdesir melihat orang
yang terikat di dalam ilalang itu. Siapakah gerangan dia" Maka iapun merangkak
lebih dekat lagi, tetapi tiba-tiba sebuah dahan kering terinjak oleh lututnya
hingga patah dengan suara berderak.
Keempat orang itu serentak kaget mendengar suara
tadi. "Hai, Bedama! Kau dengar suara itu"!" seru Jara-
mala kepada seorang yang bertubuh jangkung, ber-
kumis lebat. "Dengar, Kakang!" jawab Bedama sambil matanya
nyalang menatap semak-semak sekeliling. "Boleh aku periksa, Kakang?"
"Ya, periksalah dengan teliti! Jangan-jangan ada
yang menguping percakapan kita," ujar Jaramala.
Bedama segera berdiri dan melangkah ke arah
semak-semak di mana Mahesa Wulung tengah bersem-
bunyi, sambil melolos pedangnya. Dengan berjingkatan ia melangkah pelan-pelan
serta menguakkan semak-semak itu sedang ketiga orang lainnya mengawasinya dengan
hati yang berdebar-debar.
Mendadak mereka melihat sebuah tangan yang
muncul dari balik dedaunan langsung memukul dada
Bedama hingga orang ini menjerit hebat serta terpental ke belakang dengan
memuntahkan darah segar. Sejenak ia menggeliat-geliat kemudian diam tak berkutik
lagi! Serentak ketiga orang itu berloncatan berdiri seraya mencabut senjatanya masing-
masing. Mereka menge-pung semak-semak itu.
"Hayo, lekas keluar kau, setan! Jangan mendekam
di dalam saja!" seru Jaramala garang.
Kemudian dedaunan semak itu terkuak dan
muncullah Mahesa Wulung dengan wajah yang tenang.
"Hee, kau, setan!" desis Jaramala.
"Ya, kita bertemu lagi sobat!" kata Mahesa Wulung.
"Siapa yang kau simpan di pondok itu"!"
"Apa perlunya kau tanyakan?" seru Jaramala,
sementara itu kedua orang temannya bersiaga dengan pedang terhunus mengawasi
Mahesa Wulung. "Karena aku akan membebaskannya!" jawab Mahe-
sa Wulung dengan tenangnya.
"Haaaa"! Kau ingin mengambilnya dari tanganku"
Itu tidak semudah katamu, setan! Sebelum kau me-
nyentuh tubuhnya, terlebih dulu senjata-senjata kami akan mencacah tubuhmu! Nah,
lekaslah minggat dari
tempat ini, sebelum kesabaran kami hilang!"
"Kalian tak perlu menakut-nakuti Mahesa Wulung,
sobat!" berkata pula Mahesa Wulung dengan lantang.
"Kau lihat nasib temanmu itu?"
Ketiga pasang mata yang menatap tubuh Bedama
tergeletak mati di tanah, berdesir pula hatinya ngeri.
Sekali pukul saja ia telah roboh. Kalau seandainya mereka hanya seorang diri
berhadapan dengan Mahesa Wulung, boleh dipastikan mereka akan lari ketakutan.
Namun, kini masih bertiga mereka. Sehingga ketiganya tetap berdiri teguh di
tempatnya. Tambahan pula me-
reka telah mendengar dari mulut Ki Topeng Reges
sendiri, bahwa Mahesa Wulung telah berhasil dihajarnya setengah mati.
"Jangan kau keburu membusungkan dada dulu,
setan!" teriak Jaramala garang. "Justru atas kematian Bedama inilah, kami


Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bertiga akan merencakmu lumat-lumat!"
"Aku peringatkan sekali lagi, sobat! Aku akan lebih senang bila darah tidak akan
tertumpah lagi," ujar Mahesa Wulung. "Aku minta kau bebaskan orang itu
segera." "Keparat! Kau terlalu bertingkah di hadapan
mataku. Ayo, lekas cabut pedangmu! Hei pengecut!"
Syraat! Mahesa Wulung melolos pedangnya dengan
kecepatan luar biasa. "Kalian terlalu mendesakku,
sobat! Baiklah, aku telah siap meladenimu sekarang!"
"Hayaaaa!" Jaramala berteriak nyaring serta me-
nyerbu ke arah Mahesa Wulung diikuti oleh kedua
orang temannya.
Sinar kemilau dari ketiga pedang mereka berkereda-
pan menyambar ke arah Mahesa Wulung dengan
hebatnya. Mahesa Wulung tidak kalah waspada. Sebelum u-
jung ketiga pedang itu merobek dagingnya, ia merun-dukkan tubuhnya ke bawah,
sambil menyapukan
pedangnya mendatar ke bawah, membuat ketiga la-
wannya cekakaran kaget. Namun merekapun cukup
cekatan. Apalagi mereka tidak ingin kehilangan kaki-kaki mereka terbabat oleh
pedang Mahesa Wulung,
maka ketiganya serentak berloncatan ke udara.
Setengah tombak mereka mengambang di udara
untuk kemudian melayang ke bawah menerkam Mahe-
sa Wulung. Namun Mahesa Wulung dengan tiba-tiba
tanpa diduga oleh ketiga orang itu, meloncat ke
samping dengan cepatnya!
Pedangnya terjulur lurus ke arah lambung Jara-
mala yang berada di sebelah pinggir. Ternyata disini, Jaramala bukanlah lawan
yang bisa disepelekan.
Dengan sebuah putaran pedangnya ia menangkis se-
rangan Mahesa Wulung, hingga terjadilah dua bentu-
ran senjata yang nyaring. Dalam waktu yang bersama-an itu pula, kaki kiri Mahesa
Wulung mengait kaki
Jaramala yang seketika jatuh terjerembab di atas
tanah. Tahu kalau pemimpinnya terjatuh, kedua orang
anak buah Jaramala itu menerjang Mahesa Wulung.
Pedang-pedang mereka berputar ganas mengurung
tubuh lawannya, sementara Jaramala berdiri kembali dengan peringisan menahan
sakit. Tiba-tiba di saat kedua ujung pedang lawannya
terjulur, Mahesa Wulung cuma mengegoskan badan-
nya sedikit ke samping, sedang pedangnya berkelebat secepat bayangan bergerak.
Croos! Terdengar satu benturan tajam dan kedua
lawan Mahesa Wulung berloncatan ke samping. Tetapi mendadak seorang di antaranya
terhuyung ke depan
dengan menempelkan tangan kirinya ke dada yang
ditandai oleh sebuah goresan panjang berlumur darah.
Sejurus kemudian ia rebah ke tanah tak bernyawa lagi.
Lawannya yang seorang lagi masih berdiri terma-
ngu-mangu menyaksikan temannya yang seorang
roboh. Kemudian dengan gerakan yang tanpa terduga
ia meraup tanah dengan tangan kirinya serta diham-
burkannya ke depan ke arah mata Mahesa Wulung.
Sungguh kaget Mahesa Wulung akan hal ini. Cepat
ia memejamkan matanya untuk menghindari butiran-
butiran pasir yang bertaburan itu. Namun beberapa
butiran pasir tak urung sempat menyasar ke matanya
menimbulkan rasa pedih dan nyeri.
Kesempatan ini dipergunakan oleh lawannya de-
ngan baik. Demikian pula Jaramala tak tinggal diam.
Berdua mereka menerjang ke depan disertai putaran
pedangnya secepat baling-baling bergerak.
Dalam keadaan yang demikian itu, Mahesa Wulung
masih sempat menangkis kedua pedang lawan, selan-
jutnya ia menjatuhkan dirinya ke belakang beberapa langkah. Keadaan itu sungguh
menguntungkan bagi
kedua lawan Mahesa Wulung. Orang yang berhasil
melempar pasir ke mata Mahesa Wulung segera pula
memburu ke arah tubuh Mahesa Wulung yang tengah
tertelentang di tanah.
Pedang di tangan orang itu segera dihunjamkan ke
arah perut Mahesa Wulung, namun mulut orang tadi
menjadi melompong bila tubuh Mahesa Wulung bergu-
ling cepat ke samping sehingga ujung pedang anak
buah Jaramala tersebut menghunjam ke tanah.
Dengan demikian orang ini seakan-akan terpancang
di tanah, dan sebelum ia sempat mencabut pedangnya kembali, dilihatnya pedang di
tangan Mahesa Wulung bergerak cepat! Apa yang dirasanya kemudian sebuah tebasan
merobek pinggangnya, dan seketika ia menjerit hebat untuk kemudian terguling ke
samping, ke atas rumput dengan darah berhamburan dari pinggangnya.
Jaramala sungguh kaget melihat kawannya yang
ketika itu roboh pula. Sejurus kemudian orang itupun tak berkutik lagi. Dengan
menggeram hebat Jaramala menerjang ke arah Mahesa Wulung dengan perasaan
dendam yang membara.
Keduanya sebentar saja telah terlibat dalam satu
lingkaran pertempuran yang hebat, tak ubahnya dua
ekor naga yang tengah mengadu tenaga. Saling mem-
belit, melibat lawan ataupun menerkamnya.
Dalam beberapa jurus, Jaramala masih cukup
hebat menyerang Mahesa Wulung yang tangguh itu.
Pedangnya berkelebatan mengurung tubuh lawannya,
tepat seperti taring seekor naga. Tetapi setelah menginjak jurus-jurus
berikutnya, Jaramalapun benar-
benar merasa betapa serangan-serangan Mahesa Wu-
lung semakin gencar melanda dirinya. Pedang di
tangannya setiap kali tergetar oleh benturan pedang Mahesa Wulung yang datangnya
seperti ombak bergulung-gulung. Betapapun Jaramala menguras tenaga-
nya untuk mempertahankan dirinya, namun Mahesa
Wulung makin mendesaknya.
Akhirnya Jaramalapun menganggap untuk tidak
meneruskan pertempuran itu, apalagi nafasnya sudah tidak teratur seperti semula.
Maka iapun mengerahkan tenaganya untuk membuat satu loncatan ke samping,
melarikan diri. Dengan sebat ia menjejak tanah, sementara itupun Mahesa Wulung
lebih cepat mene-
baskan pedangnya ke arah Jaramala, tetapi sayang ia terlambat. Tubuh Jaramala
kelewat cepat sehingga
pedang Mahesa Wulung hanya sempat membuat go-
resan kecil pada lengannya. Biarpun begitu, luka kecil tadi cukup membuat rasa
pedih di kulitnya. Lompa-tannya tidak berubah karenanya. Tubuh Jaramala
sekejap saja telah lenyap di sela-sela semak belukar yang rimbun.
Tempat itu kembali menjadi sepi, seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu yang
penting, kecuali tiga tubuh tak bernyawa terhampar di rerumputan berlepo-
tan darah. Sesudah ia menyarungkan pedangnya kembali,
Mahesa Wulung melangkah ke arah gubuk ilalang di
sebelah kanannya. Makin dekat ke gubuk tak ber-
dinding itu, makin jelaslah apa yang terikat di dalamnya. Sesosok tubuh ramping
bermuka bulat telur terbaring tak berdaya oleh ikatan tali-tali yang melilit
tubuhnya. Begitu pula mulutnya diikat dengan selembar kain ikat kepala.
"Seorang gadis!" desis Mahesa Wulung terperanjat.
Maka iapun cepat-cepat mendekatinya serta membuka
tali-temali yang mengikat tubuhnya. Setelah itu barulah ia membuka kain pengikat
mulutnya. Gadis tadi begitu merasa tertolong nyawanya seren-
tak meledak tangis pilunya yang menyayat hati, membikin Mahesa Wulung
kebingungan setengah mati.
"Tenanglah, Nona, tenanglah. Kau telah terlepas
dari tangan orang-orang jahat itu," kata Mahesa Wulung membujuk gadis itu.
"Orang-orang itu telah menculikku dari Desa Mijen, Tuan. Mereka bersedia
membebaskan asal orang-orang desa menebusnya dengan uang dan emas!"
"Kau berasal dari Desa Mijen?" tanya Mahesa Wu-
lung. "Benar, Tuan. Dan bila orang-orang desa tidak mau
menebusku, si Jaramala akan memaksaku menjadi
isterinya!" ujar gadis itu disertai isakan-isakan tangis.
"Perkenankan aku mengucapkan terima kasih yang tak terhingga, Tuan. Kalau Tuan
tidak datang menolongku, entah apa jadinya dengan diriku."
"Di mana Jaramala menculik Nona?" tanya Mahesa
Wulung. "Di mata air di sebelah selatan desa, Tuan. Mereka melarikan diriku selagi aku
tengah mengambil air minum. Kemudian aku lihat Jaramala menyuruh seorang
anak buahnya untuk mengirim surat ke desa kami,
agar mereka menebusku dengan uang dan emas. Kami
orang-orang tani kecil, Tuan, hingga mustahil kiranya
menyediakan syarat-syarat itu."
"Hmmm," gumam Mahesa Wulung sangat geram-
nya. "Tapi Nona tak perlu kuatir lagi. Aku akan meng-antarmu pulang ke Desa
Mijen." "Terima kasih, Tuan," gadis itu berkata lembut.
"Maaf, sedari tadi aku belum menyebutkan namaku.
Perkenalkanlah aku bernama Endang Seruni... dan
siapakah nama Tuan?"
"Eh, panggil saja aku Mahesa Wulung dari Demak,"
kata Mahesa Wulung sambil menganggukkan kepala,
sebagai tanda perkenalan. Demikian pula gadis itu.
"Nah, bersiaplah Nona, sebentar lagi kita berang-
kat." "Baik, Tuan," berkata gadis itu dengan senyum yang manis.
Demikianlah, setelah keduanya berkemas-kemas,
merobohkan gubuk ilalang serta membersihkan tempat itu, segera Endang Seruni
didudukkan Mahesa Wulung ke atas punggung kudanya, sedang ia sendiri
duduk di belakangnya. Dengan sedikit sentakan tali kekangnya, kuda itu menderap
ke depan serta berpacu kecil-kecil.
Mereka berpacu ke utara menuruti lembah sungai
yang penuh ditumbuhi oleh semak pohon gelagah
berseling-seling pohon tebu. Endang Seruni yang
duduk di depan itu berdiam diri. Pikirannya disibuki oleh pertanyaan-pertanyaan
tentang si penolongnya
yang berwajah tampan itu. Rupanya Mahesa Wulung
pun begitu pula. Dalam hati iapun bertanya-tanya,
mungkinkah gadis ini putri dari Ki Lurah Mijen seperti yang pernah didengarnya"
Memang gadis yang duduk di depannya ini, berkulit
sawo matang, sangat manis. Alisnya yang lengkung
dengan bulu matanya yang hitam berkilat ditambah
dengan bola matanya yang bulat bersinar, benar-benar membuat wajah Endang Seruni
semakin manis. Sekali-kali Endang Seruni sambil melihat peman-
dangan di kiri-kanan, sempat pula mencuri pandang
ke wajah Mahesa Wulung. Dan bila begitu, tentu saja hatinya berdetak keras,
seakan-akan darahnya menjadi penasaran mengalir cepat.
Mahesa Wulung yang duduk di belakangnya dapat
merasakan pula kehangatan tubuh Endang Seruni.
Namun bila mereka menatap barisan petak-petak sa-
wah jauh di utara, Mahesa Wulung menambah kecepa-
tan lari kudanya. Mereka seolah-olah dibawa terbang oleh kuda Mahesa Wulung yang
berlari kencang menempuh angin. Itulah daerah persawahan Desa Mijen.
"Adi Endang Seruni, eh, maaf, Nona. Bolehkah aku
memanggilmu dengan tadi?" kata Mahesa Wulung
memecahkan kebisuan antara mereka.
"Oh, begitulah aku lebih senang, Tuan. Tentunya
aku akan memanggilmu dengan Kakang Mahesa Wu-
lung. Begitu, bukan?" ujar Endang Seruni sambil
melirik dan Mahesa Wulung tersenyum karenanya.
"Adik Endang Seruni, apakah orang di desamu
tidak seorang pun berani menghadapi Jaramala dan
anak buahnya?"
"Cuma beberapa orang saja yang berani, tetapi
lainnya tak mampu berbuat apa-apa. Mereka orang-
orang tani, hingga mereka lebih cekatan memainkan
pacul, garu dan alat pertanian lainnya daripada meme-gang senjata. Tambahan lagi
Jaramala dan anak buahnya jauh lebih kuat daripada mereka. Pernah pula
seorang dari desa kami menyerang orang-orang jahat itu. Tetapi akibatnya
mengerikan! Orang tadi dengan mudah dikalahkan oleh mereka dan kemudian mereka
menggantungnya di pohon durian di pintu gerbang
desa! Dan sejak itu orang-orang desa kami menjadi
jera menghadapi mereka."
"Yah, memang mereka bukan tandingan orang-
orang Ki Topeng Reges, Adik! Tak bisa disalahkan,
kalau mereka menjadi takut menghadapinya."
"Nah, Kakang Mahesa Wulung, engkau lihat petak-
petak sawah di depan sana itu" Dan gerumbul pepohonan di dekat kelokan sungai"
Itulah Desa Mijen, tempat aku tinggal bersama ayah, ibu dan para sanak
desa lainnya," ujar Endang Seruni dengan mata berka-ca-kaca saking girangnya. Ia
dapat membayangkan
betapa ayah ibunya akan gembira menerima kedata-
ngannya. Desa itu makin lama makin bertambah dekat.
Mereka berdua mulai mencapai daerah persawahan
yang luas. Bunga-bunga padi tengah berkembang me-
nyebarkan bau sedap ke udara, membayangkan hasil
jerih payah serta keringat para petani yang telah
menanamnya dengan hati-hati. Setelah melewati tanah persawahan, keduanya telah
tiba di sebuah jalan yang membelok ke sebuah gerombolan pohon-pohonan raksasa.
Di pintu gerbang masuk, mereka melihat seba-
tang pohon durian yang tumbuh dengan megahnya.
Ketika tiba di desa itu, Mahesa Wulung segera me-
narik-narik tali kekang kudanya agar ia memperlambat derap kakinya. Begitulah
maka keduanya melewati
jalan desa itu, yang di kiri kanannya dipagari oleh rumah-rumah. Beberapa orang
melihat kedatangan
mereka, segera memanggil teman-teman lainnya dan
sebentar saja tampaklah beberapa gerombol penduduk desa berdiri di sepanjang
tepi jalan itu sambil tersenyum-senyum ramah. Laki-laki, wanita, anak-anak,
tua dan muda pada berjajar di tepi jalan desa. Satu dua orang kelihatan
berbisik-bisik kepada teman di
sebelahnya dan sejurus kemudian mereka tersenyum
atau mengangguk-anggukkan kepala. Hal ini membuat
Mahesa Wulung bertanya-tanya di dalam hati. "Hmm,
apakah yang mereka bisikkan tadi" Agaknya ada sesuatu yang menarik perhatian
mereka." Wajah-wajah penduduk desa yang menyambut
kedatangan mereka, tampaklah memancarkan kerama-
han serta kegembiraan. Beberapa dari mereka bergu-
mam. "Oh, itu Endang Seruni telah kembali."
"Siapakah pemuda yang mengantarnya ini?"
"Cakap dan tampan bukan?" gumam yang lain.
"Ah, sungguh beruntung pemuda itu, dan keduanya


Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memang amat serasi."
"Pasti dia seorang pendekar gemblengan."
"Mengapa kau berkata begitu?"
"Nah, lihatlah tubuhnya yang perkasa itu dan juga
pedangnya yang tergantung di pinggang. Agaknya ia
seorang ahli bermain pedang."
Demikianlah, telinga Mahesa Wulung yang setajam
pisau dapat menangkap gumam serta bisikan dari mu-
lut orang-orang yang berdiri di tepi jalan. Beberapa anak kecil segera mengikuti
mereka di belakang kuda sambil berjingkrakan. Kemudian beberapa orang ikut pula
mengiringkan mereka hingga sebentar saja telah merupakan rombongan kecil, bahkan
mirip sebuah arak-arakan, apabila satu dua orang bergabung pada rombongan itu. Di antara
mereka tampak pula orang-orang wanita.
"Kakang Mahesa Wulung, teruslah kita menuju ke
rumah itu," ujar Endang Seruni sambil menunjuk ke
sebuah rumah yang agak lebih besar daripada rumah-
rumah lainnya, berpagar anyaman bambu cukup ting-
gi. Rumah ini menghadap ke arah selatan, berhalaman luas dan berhiaskan tanaman
bunga-bunga. Di kiri-
kanan rumah terpancanglah dua tonggak bambu yang
digantungi oleh sangkar-sangkar burung perkutut
yang sekali-sekali bersuara dengan merdunya.
"Adi Endang Seruni, mengapakah orang-orang itu
mengikuti kita?" bertanya Mahesa Wulung.
"Entah, Kakang. Aku pun tak mengerti. Bisa juga
mereka ingin mendengar kisahku dan juga tentang si Jaramala dengan anak
buahnya." Mahesa Wulung lalu menghentikan kudanya tepat
di depan gerbang masuk halaman itu, yang dijaga oleh dua orang bersenjata
tombak. Dengan sigap Mahesa Wulung meloncat turun dari
punggung kudanya dan kemudian ia menurunkan
Endang Seruni ke tanah. Mereka memasuki gerbang
itu dan tibalah di halaman luas tadi.
Di situ telah pula menanti beberapa orang. Di an-
tara mereka berdirilah seorang laki-laki yang setengah tua dengan garis-garis
wajah yang segar dan kuat. Di sampingnya, berdiri seorang wanita yang agak lebih
muda dari laki-laki tadi.
Begitu Endang Seruni yang berdiri di halaman meli-
hat wanita tadi, segera ia menghambur lari ke arahnya.
Demikianlah pula dengan wanita itu. Ia menyambut
Endang Seruni dengan pelukan mesra serta jerit
tertahan. "Ooh anakku Ngger, Endang Seruni."
Wanita itu mengelus-elus rambut Endang Seruni
sambil bercucuran air matanya. "Kau selamat Ngger, kau telah kembali kepada
kami. Oh Tuhan Yang Maha
Pengasih telah mempertemukan kita kembali Ngger."
Laki-laki tua di samping mereka yang tidak lain
adalah Ki Lurah Mijen itupun ikut pula mencucurkan air mata girang bercampur
keharuan. Betapa rasanya, kalau ia sudah tak mempunyai harapan serta berputus
asa mendapatkan putrinya kembali, kini tiba-tiba telah
bertemu kembali dengan gadisnya itu.
Setelah sejenak mereka saling melepaskan serta
mencurahkan kerinduan dan keharuannya, Endang
Seruni secara singkat telah menceriterakan lelakonnya. Maka sesaat kemudian Ki
Lurah Mijen mendekati Mahesa Wulung dengan tersenyum ramah.
"Marilah, Kisanak, kita duduk-duduk di dalam pen-
dapa agar kami dapat lebih puas mendengar kisah tentang perjuangan Kisanak dalam
membebaskan Endang
Seruni dari penjahat-penjahat itu."
"Terima kasih, Bapak," kata Mahesa Wulung dengan
mengangguk hormat. Dalam hati sebetulnya ia merasa segan untuk menceriterakan
pertempurannya melawan
Jaramala dengan anak buahnya. Dasar ia memang
bukan orang yang suka menonjol-nonjolkan diri atau pun menceriterakan kelebihan
serta kedudukannya.
Namun sebuah suara yang bernada angker telah
memecah suasana.
"Nanti dulu, Ki Lurah! Apakah Ki Lurah tidak
memeriksa lebih dulu orang ini!"
Tampaklah seorang yang sedari tadi berdiri di
belakang Ki Lurah Mijen telah melangkah ke depan
dan berdiri di samping Mahesa Wulung. Kata-kata itu sungguh berpengaruh sekali
sehingga membuat Ki
Lurah Mijen tampak mengerutkan keningnya dengan
menatap orang itu.
"Apakah maksudmu, Sela Ganden?" tanya Ki Lurah
Mijen sambil mengawasi orang yang dipanggil Sela
Ganden, berperawakan kekar dengan otot-otot yang
bertonjolan pada lengan, dada dan kakinya. Ia mengenakan baju biru tua berlengan
pendek di atas siku, sedang celananya dari kain lurik lengkap dengan kain
batiknya. Dari ikat kepalanya yang berwarna merah
saga dan ikat pinggangnya yang lebar, Mahesa Wulung
sibuk menduga-duga kedudukan si Sela Ganden.
Agaknya ia adalah seorang pejabat keamanan desa ini, sebagai seorang jagabaya
yang bertanggung jawab
terhadap segi keamanan desanya.
"Aku kurang pasti terhadap orang ini, Ki Lurah,"
Sela Ganden berkata sambil melirik ke arah Mahesa
Wulung dengan tajam. "Apakah dia betul-betul orang yang menolong putri Ki Lurah
dari gerombolan Jaramala itu?"
"Sudah aku katakan," sela Endang Seruni. "Apakah
Kakang Sela Ganden masih kurang percaya dengan
omonganku?"
"Beribu maaf, Nona!," jawab Sela Ganden. "Bukan-
nya aku tak percaya ceriteramu itu. Tetapi orang itulah yang kurang aku percaya.
Maksudku apakah ia orang
yang baik-baik?"
Kata-kata Sela Ganden itu terasa bagai sambaran
geledek di siang bolong oleh telinga Mahesa Wulung, menyebabkan pendekar muda
ini darahnya bergejolak.
"Mengapa Kakang Sela Ganden berkata demikian"!"
sekali lagi Endang Seruni bertanya. "Bukankah dia
telah menolongku dari penjahat-penjahat itu?"
"Nah, itulah yang aku ragukan tentang dirinya.
Apakah tidak mungkin dia sendiri adalah kaki tangan dari Ki Topeng Reges?" ujar
Sela Ganden. Mahesa Wulung makin mendidih darahnya. Un-
tunglah ia seorang perwira yang cukup terlatih, sehingga meskipun darahnya
seolah-olah telah merunyam-
kan kepala, ia tetap menunjukkan sikap yang biasa
saja. Wajahnya tetap cerah. Tak ubahnya sebuah
sungai yang dalam, meskipun permukaannya tenang
tapi dasarnya penuh pergolakan dan aliran-aliran yang siap menenggelamkan apa
saja. "Kaki tangan Topeng Reges?" sela Ki Lurah Mijen
keheranan. "Kan tadi Endang Seruni telah berceritera bahwa Kisanak Mahesa Wulung
ini telah menewaskan
tiga orang anak buah Jaramala. Dan kalian tahu, Jaramala adalah murid Ki Topeng
Reges sendiri. Kalau kau berkata Kisanak ini juga anak buah Ki Topeng Reges,
mana mungkin" Apakah sesama gerombolan mereka
telah saling membunuh?"
Sela Ganden tak dapat berkata-kata setelah mende-
ngar tutur Ki Lurahnya. Namun agaknya ia kurang
puas juga dan mulutnya yang dihiasi kumis meleng-
kung ke atas serta lebat itu berkata kembali, "Mungkin juga, Ki Lurah. Sebab
dengan mengorbankan beberapa orang anak buahnya yang tak berarti, ia telah
berpura-pura membebaskan Endang Seruni agar dia dapat
menyelundup ke tengah-tengah kita!"
"Terlalu berprasangka kau, Sela Ganden! Apa yang
telah kau katakan tadi, semua serba mungkin, tanpa bukti kenyataan. Biar begitu,
aku tetap menghargai-mu. Semua itu menunjukkan ketelitian serta hati-
hatimu. Namun aku pun berharap, agar sekali ini kau biarkan Kisanak ini sebagai
tamuku. Aku yang akan
bertanggung jawab kepadamu, kepada segenap pen-
duduk desa ini. Kalau nantinya ternyata Kisanak ini anak buah Topeng Reges,
akulah yang akan pertama-tama menusuk dadanya dengan kerisku ini."
Sela Ganden terkejut pula melihat Ki Lurah meloloskan kerisnya, lalu diacungkan
ke atas udara. Bagai-manapun juga ia merasakan pula kewibawaan orang
tua ini, hingga kepalanya tertunduk ke tanah tak
berani membantahnya lagi.
"Terserah atas kehendak Ki Lurah," ujar Sela Gan-
den pendek. "Kalau itu sudah menjadi keyakinan Ki
Lurah, aku tak akan menyangkalnya."
"Nah, itulah harapanku, Sela Ganden," berkata Ki
Lurah Mijen sambil menarik nafas dalam-dalam.
Kemudian ia sekali lagi mempersilakan naik ke dalam pendapa kepada tamunya,
Mahesa Wulung. Sebetulnya dalam hati Ki Lurah Mijen merasa
kecewa dengan sikap Sela Ganden yang sok main
menangan dan keras kepala. Sikapnya sebagai seorang Jagabaya, penjaga keamanan
desa, kadang-kadang
sering berlebih-lebihan dari yang semestinya.
Tak lama kemudian duduklah mereka di atas balai-
balai besar di tengah pendapa kelurahan Desa Mijen.
Tampak Ki Lurah Mijen dengan isterinya, Endang
Seruni, Mahesa Wulung, Sela Ganden serta dua orang pembantunya.
Dan kemudian mereka mulai berbicara tentang diri-
nya masing-masing dengan ramahnya. Sedikit kesalah-pahaman yang tadi timbul,
kini hilang larut bersama mengalirnya hidangan-hidangan serta minuman yang
membasahi kerongkongan mereka.
Demikian pula Mahesa Wulung berusaha menekan
perasaannya yang tadi telah tergores oleh kata-kata serta sikap Sela Ganden yang
kelewat batas, sehingga bila pandangan mata mereka bertemu, tergoncanglah
dada-dada mereka kembali, seperti tergetar oleh dua benturan dahsyat.
Di lain pihak, Endang Seruni berkali-kali mencuri
pandangan ke arah wajah Mahesa Wulung. Kalau tadi
waktu berkuda ia tak sempat menatap wajah yang
tampan itu, kini terbuka luaslah kesempatan ini.
Sampai sejauh itu, Mahesa Wulung belum menceri-
terakan siapakah dia sebenarnya. Mereka hanya
mengenalnya dengan nama Mahesa Wulung dari
Demak. "Bapak Ki Lurah Mijen, apakah gerombolan Jara-
mala itu sering mengacau desa ini?" tanya Mahesa
Wulung. "Yah, begitulah, Kisanak," jawab Ki Lurah kepada
Mahesa Wulung. "Mereka sering muncul serta menga-
cau desa ini. Untunglah sedikit-sedikit kami mempunyai orang-orang pemberani
yang sanggup mencegah
pengacauan mereka. Di antaranya adalah Jagabaya
Sela Ganden ini."
Mendengar namanya disebut, Sela Ganden merasa
berbangga diri. Maka diangkatlah wajahnya sambil
mengelus-elus kumisnya.
Mahesa Wulung yang melihat tingkah Sela Ganden
merasa kurang senang jadinya. Tetapi agaknya orang ini sangat berpengaruh karena
jabatannya sebagai
jagabaya, sehingga ia menganggap dirinya paling tahu dan berkepentingan terhadap
keamanan desanya. Apalagi setelah Endang Seruni terculik oleh orang-orang
Jaramala dan ia tanpa dapat berbuat apa-apa, ia menjadi seakan-akan kurang
bertanggung jawab dan
pengecut. Kalau sebenarnya ia ingin pula membebas-
kan Endang Seruni dari tangan-tangan gerombolan
Jaramala, ternyata hal ini tidak disetujui oleh Ki Lurah, sebab orang tua ini
kuatir kalau-kalau Sela Ganden dan teman-temannya akan menjadi korban
pula dari keganasan gerombolan Jaramala. Dengan begitu maka desa ini akan
kehilangan orang-orang berani dan akibatnya akan jauh lebih parah dan berbahaya
bagi segi keamanan. Maka setelah Endang Seruni
terculik, namanya seakan-akan jatuh karenanya. Na-
manya yang semula sangat angker dan selalu disegani oleh segenap sanak pedesaan,
menjadi seakan-akan
tercoreng oleh arang hitam. Dan karenanya, bila ia telah melihat bahwa seseorang
telah berhasil membebaskan Endang Seruni, maka hatinya menjadi sete-
ngah iri hati, terhina, atau pun dirinya merasa diren-
dahkan oleh si Mahesa Wulung, seorang asing yang
kini duduk di pendapa kelurahan. Perasaan tadi bercampur aduk di dalam otaknya
membuat pening di
kepala. Sebagai seorang jagabaya yang bertanggung
jawab dalam bidang keamanan yang seharusnya mem-
bebaskan Endang Seruni, kini melihat bahwa orang
lainlah yang telah berhasil membebaskannya dari
cengkeraman penjahat-penjahat itu, tanpa menebus-
nya dengan emas ataupun uang.
Apalagi Sela Ganden masih mengingat dengan baik
akan kata-kata sayembara Ki Lurahnya, bahwa siapa saja yang berhasil membebaskan
Endang Seruni dari
tangan gerombolan orang-orang Jaramala, maka ia
akan mendapat hadiah yang tak ternilai harganya.
Orang itu kalau seorang laki-laki akan dikawinkan
dengan Endang Seruni, dan bila ia seorang wanita,
akan diangkatnya sebagai saudara kandungnya.
Oleh sebab itulah maka berkali-kali Sela Ganden
melirik ke arah Mahesa Wulung dengan tajam. Ia dapat membayangkan betapa
bahagianya pemuda itu nanti
akan dapat mempersunting bunga tercantik dari desanya ini. Pemuda itu akan duduk
bersanding dengan
Endang Seruni sebagai pengantin laki-laki dan akan disahkan sebagai suaminya.
Sebaliknya dengan diri Mahesa Wulung. Ia tak
habis herannya melihat sikap kurang senang dan
kecurigaan Sela Ganden terhadap dirinya. Apakah
gerangan yang menyebabkannya" Mahesa Wulung tak
mengetahui, bahwa dengan membebaskan Endang
Seruni dari tangan penjahat-penjahat itu, ia secara langsung telah menjadi calon
suami Endang Seruni.
Justru hal inilah yang telah diimpi-impikan oleh Sela Ganden.
Sementara itu Ki Lurah Mijen sendiri tak puas-
puasnya menatap wajah pemuda penolong anaknya.
Memang keduanya sangat serasi untuk pasangan
mempelai, sebagai suami istri. Kedua wajah mereka
tampak kemiripannya dan orang tua ini lalu jadi teringat akan tutur kata nenek
moyangnya, bahwa sese-
orang akan menjadi jodohnya sebagai suami isteri bila keduanya mempunyai wajah
yang mirip. Ia sudah
dapat membayangkan bahwa pemuda inilah kelak
yang bakal mengganti kedudukannya sebagai Lurah
Desa Mijen, serta membimbing segenap sanak desanya menuju kepada kemakmuran dan
kesejahteraan. Maka sejurus kemudian, setelah suasana agak


Pendekar Naga Geni 6 Munculnya Pendekar Bayangan di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hening, berkatalah Ki Lurah itu dengan terbatuk-batuk kecil sebelumnya. Ia
tengah memilih kata-kata yang bakal diutarakan di hadapan Mahesa Wulung, calon
menantunya. "Eh, Kisanak Mahesa Wulung, disamping bapak
mengucapkan terima kasih yang segunung anakan
besarnya, ada pula sesuatu hal yang akan kuutarakan kepada Kisanak."
"Silakan, Bapak. Silakan Bapak mengutarakan apa
yang Bapak maksudkan. Jika masih ada kesulitan,
saya akan dengan senang hati membantu menyelesai-
kannya," berkata Mahesa Wulung.
Mendengar perkataan itu, Sela Ganden bertambah
panas hatinya. Perkataan tadi dirasanya bagai sengatan kala berbisa, bahkan
dianggapnya sebagai satu
sindiran pedas bagi dirinya yang tak mampu berbuat apa-apa terhadap gerombolan
Jaramala. "Beginilah Kisanak Mahesa Wulung. Sejak diculik-
nya anakku Endang Seruni ini, aku telah mengadakan satu sayembara."
"Sayembara?" Mahesa Wulung bergumam kaget.
"Benar, Kisanak. Aku telah bersayembara, bahwa
barang siapa dapat membebaskan Endang Seruni dari
tangan-tangan jahat gerombolan Jaramala, maka ia
akan kutetapkan sebagai calon suami anakku dan
kemudian akan kukawinkan dengan dia."
"Oooh, jadi... jadi Bapak telah...." Mahesa Wulung tak kuasa meneruskan kata-
katanya. Rasa bahagia
dan juga rasa kebingungan bercampur-baur dalam
benaknya. Betapa tidak bahagia, kalau tiba-tiba saja ia harus menyunting gadis
yang begitu manis dengan
wajah keibuan yang lembut dan sejuk serta berambut panjang beralun sampai ke
pinggangnya. Tetapi di saat itu pula ia teringat kepada Pandan Arum yang telah
mencintainya. "Yah, bapak telah menetapkan satu perkawinan
Angger Mahesa Wulung dengan anakku Endang
Seruni," sambung Ki Lurah Mijen melanjutkan kata-
kata Mahesa Wulung yang putus tak terselesaikan.
"Maaf Bapak, beribu-ribu maaf bila aku pun akan
Rahasia Kunci Wasiat 12 Kemelut Di Ujung Ruyung Emas Karya Khu Lung Pedang Sakti Tongkat Mustika 18
^