Pencarian

Badik Buntung 8

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 8


ini." Ma Gwat-sian tersenyum lebar.
Thian-hi menghela napas, katanya, "Kita hanya bertiga disini, selanjutnya akupun
tidak perlu menyembunyikan diri lagi. tapi aku sudah berjanji kepada orang supaya orang lain
tidak tahu bahwa aku pandai main silat. Harap kalian suka merahasiakan."
"Soal yang kuhadapi ini betapapun harus Sianseng bantu membereskan," demikian
mohon Ma Bong-hwi sekali lagi, "Mengandal iimu silat Sianseng, tanggung segampang
membalikkan tangan saja. Sudah tentu kita tidak akan membuka rahasia Sianseng pandai main silat.
Persoalan itu sendiri pun juga tetap dapat dirahasiakan."
Ma Gwat-sian pandang Thian-hi dengan rasa menyesal dan minta maaf, Thian-hi
maklum dan manggut-manggut. Ma Bong-hwi menjadi kegirangan, segera ia menceritakan sebuah
peristiwa besar yang sangat mengejutkan.
Kata Ma Bong-hwi, "Belakangan ini gudang istana sering kebobolan. setiap
kehilangan benda pusaka, tentu terlebih dulu mendapat pemberitahuan, namun siapakah pencurinya
selama ini sulit dapat meringkusnya. Tan-siangkok memberi lapor kepada sang Baginda bahwa aku
dapat membongkar perkara pencurian ini. Tapi kemaren telah hilang pula sebuah pusaka,
kali ini yang dicuri adalah cap kerajaan."
"Oo," Thian-hi mengiakan lalu bertanya, "Biasanya bagaimana hubungan Ma-ciangkun
dengan Tan-siangkok" Entah bagaimana pula karakternya?"
"Bicara terus terang," ujar Ma Bong-hui sembari menghela napas, "kesanku terlalu
jelek kepadanya, dia terlalu mengumbar putra dan para centengnya. dia sangat benci
kepadaku katanya aku terlalu suka banyak urusan, mencampuri sepak terjang keluarganya."
Hun Thian-hi merenung sesaat kemudian lalu bertanya lagi, "Bagaimana karakter
Tansiangkok?" Ma Bong-hui pandang Thian-hi dengan perasaan heran, mengapa dia tidak mengetahui, setelah
beragu akhirnya ia berkata, "Umumnya masyarakat berkesan terlalu buruk terhadap
dia. Dia memegang tampuk pimpinan dan kekuasaan negara, kecuali Ing-ciang-kun Thian-seng
dan aku, seluruh kerabat diistana raja boleh dikata hampir seluruhnya menjadi
penyanjungnya." "Toako," tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela, "Apa kau melupakan Toh-ciatsu?"
"Benar, benar," ujar Ma Bong-hwi tersenyum, "Kenapa aku melupakan dia, Toh-ciat-
su justru menjadi lawan Tan-siangkok yang sembabat, setiap kali Tan-siangkok menjalani
kesalahan pasti dialah pertama kali yang tampil ke depan mencercahnya."
Thian-hi manggut-manggut, samar-samar ia dapat meraba bahwa urusan ini tentu
punya sangkut paut dengan Tan-siangkok, kenapa pula Tan-siangkok menunjuk kepada Ma
Bong-hwi" Segera ia bertanya, "Siapakah sebetulnya yang berkuasa digudang istana?"
"Seluruh istana dalam kekuasaan komandan Gi-lim-kun. yang menjabat komandan Gi-
lim-kun adalah adik kandung Ing-ciangkun, sekarang sudah dipecat dari jabatannya,
sebagai gantinya akulah yang diangkat sebagai komandan Gi-lim-kun sementara."
"Menurut maksud Toakoku hendak mohon kau suka menjabat sebagai wakil komandan
Gi-limkun membantu dia menyelidiki peristiwa ini." demikian Ma Gwat-sian menimbrung.
Berubah air muka Thian-hi, katanya, "Masa aku mampu. kukuatir...."
"Kau boleh gunakan nama palsu," sela Ma Gwat-sian tersenyum penuh arti. "Apalagi
dandananmu sekarang sebagai pelajar kutu buku, bila berganti mengenakan pakaian
seragam, tanggung takkan ada seorang pun yang mengenal kau lagi."
Hun Thian-hi hendak menolak, segera Ma Gwat-sian maju dua langkah, dengan suara
lirih dan kalem ia berbisik di pinggir telinga Thian-hi, "Kau baru datang dari Tionggoan,
ya bukan?" Waktu Ma Gwat-sian maju mendekat, kontan Thian-hi mencium bau harum semerbak,
namun serta mendengar bisikannya, suara yang lirih itu bagi pendengarannya bagai suara
guntur menggelegar dipinggir telinganya, keruan kagetnya bukan kepalang.
Kontan Thian-hi merasa kepalanya seperti dikemplang dengan godam, pandangannya
gelap dan pusing, secara reflek mulutnya bertanya, "Apa?"
"Siaumoay!" seru Ma Bong-hwi sambil mengerut kening. "Apa yang kau katakan?"
Ma Gwat-sian mundur selangkah seraya menjawab, "Tidak apa-apa."
Otak Hun Thian-hi masih terasa butek, sungguh ia heran cara bagaimana Ma Gwat-
sian dapat mengetahui rahasianya, kelihatannya dia tidak bisa main silat, soalnya dirinya
pernah menelan buah ajaib serta melatih ilmu sakti macam Pan-yok-sin-kang sehingga tanpa
disadari telah membongkar kepandaian sendiri sebagai ahli Lwekang yang tangguh, apakah ilmu
silat Ma Gwatsian jauh lebih tinggi dari kemampuan sendiri serta telah mencapai puncak
kesempurnaannya sehingga dapat menyembunyikan kepandaiannya itu"
Karena terkaannya ini serta merta ia awasi Ma Gwat-sian, dengan seksama ia
pandang dan amati muka dan badan orang dengan cermat. Melihat sikap Thian-hi ini. sudah
tentu Ma Gwat-sian menjadi malu jengah dan lekas-lekas menunduk.
Dengan bergelak tawa keras Ma Bong-hwi menepuk pundak Hun Thian-hi. Keruan
Thian-hi tersentak kaget, kontan ia sadar akan kelakuannya yang kurang pantas, cepat ia
tenangkan hati serta jantungnya yang berdebur keras. Dalam sekilas itu, ia gagal dalam
selidikannya. "Lote," ujar Ma Bong-hwi, "Betapa pun kau harus membantu aku mengatasi persoalan
ini." "Ma-ciangkun!" seru Thian-hi sambil menyengir.
"Selanjutnya harap kau tidak panggil aku Ma-ciangkun lagi," demikian pinta Ma
Bong-hwi, "Bila kau suka pandang mukaku, silakan kau panggil Ma-toako saja kepada aku."
"Ah. rasanya kurang enak, bukankah kau adalah...."
"Kalau begitu kau pandang rendah pribadiku?" kaata Ma Bong-hwi mengerut kening.
Apa boleh buat terpaksa Thian-hi berkata, "Matoako, apaan ucapanmu ini, mana
bisa jadi?" Ma Bong-hwi tertawa girang. Sementara itu Ma Gwat-sian angkat kepala serta
berkata, "Kalau begitu untuk selanjutnya aku pun harus panggil kau Hun-toako. Apa boleh?"
"Kenapa tidak boleh" Aku merasa beruntuhg malah."
Ma Gwat-sian Tertawa lebar, katanya, "Kata-kataku tadi tiada seorang lainpun
yang tahu, legakan saja hatimu!"
Hun Thian-hi tidak enak untuk menjawab. Seolah-olah Ma Gwat-sian tidak memberi
kesempatan pada Thiani-hi untuk membual, namun entah bagaimana ia bisa tahu.
Namun urusan sudah sedemikian lanjut, terpaksa mengikuti perkembangan selanjutnya.
Kata Ma Bong-hwi, "Untuk mengejar kembali cap kerajaan itu, terpaksa harus minta
bantuan kau Lote!" Apa boleh buat Thian-hi hanya menyengir saja, urusan sudah demikian lanjut,
terpaksa harus terjun dalam persoalan rumit ini. Kalau hanya urusan pencurian ini melulu,
kiranya aku dapat mengatasi. Demikian pikirnya.
"Pencuri itu teiah meninggalkan sepucuk surat, katanya hari ini dia hendak
mengambil Ce-kimcu (mutiara merah mas), asal Lote mau tampilkan diri, tentu pencuri itu dapat
dibekuk." demikian Ma Bong-hwi memberi keterangan.
Hun Thian-hi tertawa pahit, katanya, "Kalau begitu, terpaksa aku membantu sekuat
tenagaku." Setelah makan malam, Thian-hi mengenakan seperangkat pakaian dinas kemiliteran,
dalam kamarnya ia menanti kedatangan Ma Bong-hwi, terasa olehnya gerak-geriknya
menjadi kurang bebas dan badan sangat gerah, maklum pakaian perang jaman itu terbuat dari bahan
tebal yang tidak mempan senjata, saking kepanasan Thian-hi melangkah keluar ke taman bunga.
Waktu sampai di rumpun bunga, tampak olehnya Ma Gwat-sian sedang berdiri disana,
sesaat ia menjadi melengak. dalam hali ia membatin; 'selamanya Ma Gwat-sian jarang keluar
kamar dan belum pernah selama ini melihat dia jalan-jalan di taman bunga, entah kenapa
hari ini toh berada disini.' Waktu Thian-hi mendekat Ma Gwat-sian berpaling sembari tertawa manis, katanya,
"Aku tahu kau pasti akan kemari, sejak tadi sudah kutunggu kau disini!"
Diam-diam Thian-hi sangsi dan curiga, entah ada omongan apa yang hendak
disampaikan Ma Gwat-sian kepadanya, tidak bicara di dalam rumah sebaliknya menunggu di kebon,
setelah melengak ia baru bertanya, "Adakah urusan luar biasa yang perlu dirundingkan?"
"Banyak perkataan yang tidak bisa kuucapkan di hadapan engkohku, umpama
kukatakan dia pun takkan mau percaya. Terus terang aku merasa curiga kepada Ing-ciangkun!"
Hun Thian-hi merasa diluar dugaan, mulutnya mengiakan, lalu katanya dengan
pandangan kejut dan heran, "Menurut dugaanmu...."
Ma Gwat-sian geleng-geleng kepala sambil tertawa, katanya, "Pencurian ini bukan
perbuatan Ing-ciangkun. Dia bertempat tinggal di Thian-seng, biasanya ia sangat benci dan
mencercah Tansiangkok lebih hebat dari engkohku, untuk urusan rumit ini secara logis seharusnya dialah
yang diserahi tugas untuk membongkar perkara besar ini! Tapi diluar dugaan justru
engkohkulah yang dia tunjuk." "Jadi menurut anggapanmu bahwa Ing-ciangkun hakikatnya adalah sekomplotan dengan
Tansiangkok?" "Belum pasti, tapi ada kemungkinan. Menurut anggapanku Tan-siangkok sangat
ambisius, sedemikian jauh dia sedang berusaha hendak menjodohkan tuan putri dengan putra
kesayangannya, tujuannya supaya kelak dapat mewarisi kedudukan sang raja.
Jikalau usahanya ini gagal, aku kuatir dia bakal mata gelap dan melakukan perbuatan terkutuk, jikalau
hanya kehilangan satu dua barang berharga rasanya tidak perlu kau sendiri mesti ikut
tampil ke depan." "Sebetulnya kepandaian silatku juga cuma cakar kucing melulu, tak perlu
diagulkan." "Mengenal ilmu silat, aku bukan bidangnya, tapi bagi seseorang yang mampu
bertahan dari Tay-seng-ci-lau, ilmu silatnya tentu sudah mencapai tingkatan yang cukup
sempurna. Meskipun aku tidak mengerti ilmu silat, tapi semua ini aku mendapat tahu dari cerita
guruku." Diam-diam heran hati Thian-hi, orang macam apakah guru Ma Gwat-sian itu, tak
perlu disangsikan lagi pasti seorang tokoh kosen yang lihay.
Tengah ia terpekur, terdengarlah derap langkah kaki berat tengah mendatangi.
Cepat Ma Gwatsian berkata, "Itulah engkohku datang, selamat jumpa nanti!" habis berkata ia terus
menyelinap diantara rumpun bunga dan menghilang.
Dengan termenung Thian-hi terpekur, sementara itu Ma Bong-hwi sudah mendatangi,
segera Thian-hi membalik tubuh, kelihatan Ma Bong-hwi tercengang, katanya tertawa,
"Hampir saja aku tidak mengenalmu lagi, dandananmu ini sungguh cukup ganteng dan perwira, tampan
sekali sebagai panglima muda!"
Hun Thian-hi mandah tertawa saja tanpa membuka suara.
"Mari sekarang juga kita masuk ke istana!" demikian ajak Ma Bong-hwi.
Thian-hi manggut-manggut, dengan langkah lebar mereka taerderap keluar dari
gedung panglima besar. Diluar pintu sudah siap dua ekor kuda, cepat mereka naik kuda
terus dicongklang pelan-pelan menuju ke pintu selatan, setelah berada di luar pintu selepas
pandang ke depan nan jauh sana, kira-kira lima li jauhnya tampak sebentuk kota besar pula, bentuk
kota di depan itu lebih besar, lebih megah, diantara kedua belah pintu gerbangnya yang menjulang
tinggi adalah sejalur jalan batu mengkilap yang lebar dan bersih,
Thian-hi berpikir pasti itulah Thian-seng adanya.
Letak Thian-seng membelakangi pegunungan yang menghijau dan diselubungi mega nan
mengembang, pemandangannya sungguh menakjupkan.
Kata Ma Bong-hwi kepada Thian-hi, "Adikku itu sangat mengagulkan kau, selamanya
belum pernah ia merasa kagum dan memuji seseorang."
Hun Thian-hi tersenyum simpul, katanya, "Sebetulnya tiada suatu keistimewaan
atas diriku, kalau dia betul-betul memuji aku, sungguh lebih disesalkan."
"Setiap ucapannya selamanya tidak pernah meleset, sejak kecil ia diangkat murid
oleh seorang tokoh aneh yang menyembunyikan diri. Berturut-turut aku mengalami berbagai
kesukaran semua adalah dia yang bantu aku mengatasi dan membereskannya! Siapakah gurunya tiada
seorangpun yang tahu kecuali dia sendiri."
Tengah mengobrol tanpa terasa mereka sudah tiba di Thian-seng, mereka langsung
keprak kuda mencongklang ke dalam kota. Belum jauh mereka berjalan dari depan sana
mendatangi seorang panglima pertengahan umur yang memimpin serombongan orang berkuda, masih
rada jauh lantas Ma Bong-hwi memberitahu kepada Thian-hi, "Pendatang ini adalah Ing
Si-kiat Ingciangkun...."


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah dekat dengan berseri tawa Ing Si-kiat maju menyapa, "Ma-ciangkun baru
datang, dosa adikku itu, melulu mengandal tenaga Ma-ciangkun untuk menolongnya!"
"Ah, Ing-ciangkun terlalu sungkan," ujar Ma Bong-hwi. Betapapun masih mohon
bantuan Ingciangkun juga.!" Ing Si-kiat tertawa-tawa, katanya, "Aku akan memberi perintah kepada mereka
supaya menutup pintu empat gerbang rapat2. tiada seorang pun diperbolehkan keluar
masuk!" - Lalu ia berpaling memandang Hun Thian-hi serta katanya, "Yang ini adalah...."
"Benar-benar, aku masih belum memperkenalkan kalian. Inilah adik angkatku! Dia
bernama...." sampai disini ia merandek sebentar lalu meneruskan "Tio Kun-Kah ini aku hanya
bawa dia untuk berdinas, dia kuangkat sebagai wakilku."
Bergegas Hun Thian-hi menjura serta menyapa, "Ing-ciangkun! Selamat bertemu!"
Sekilas Ing-ciangkun melirik ke arah Hun Thian-hi; seolah-olah ia tidak pandang
orang sebelah matanya, katanya tertawa, "Selama ini aku masih belum tahu bahwa Ma-ciangkun
ternyata punya seorang adik angkat, Saudara Tio Kun masih muda belia serta gagah lagi, kelak
tentu punya harapan besar yang tak terukur!"
Dengan tertawa-tawa Hun Thian-hi menjura serta merendahkan diri dan main
sungkan, diamdiam ia perhatikan wajah serta tingkah laku Ing Si-kiat. Terasa olehnya bahwa sikap
Ing Si-kiat kelihatan merasa curiga terhadap dirinya.
"Tak heran Ing-ciangkun tidak mengetahui," demikian jawab Ma Bong-hwi memberi
keterangan, "baru hari ini aku angkat saudara dengan dia, adik angkatku ini jauh
lebih kuat dan pintar dari aku, untuk mengatasi peristiwa ini aku sangat mengandalkan
tenaganya." Sekali lagi Ing Si-kiat perhatian Hun Thian-hi. lalu berkata, "Kalau begitu
urusan adikku itu juga mohon bantuan pada. Tio-huciangkun untuk membantu."
Cepat Hun Thian-hi menyahut, "Ing-ciangkun menggoda saja. saudaraku ini memang
suka omong, sebenar-benarnya kemampuanku mana dapat membantu, selanjutnya masih harap
Ingciangkun suka memberi petunjuk...."
"Kalian masih punya urusan penting, aku Ing Si-kiat minta diri dulu, semoga
kalian sukses dalam tugas." Berbareng Thian-hi berdua angkat tangan memberi hormat terus melanjutkan menuju
ke istana raja. Tak lama kemudian mereka sudah tiba dibelakang. setelah turun dari atas
kuda, waktu Thian-hi angkat kepala, tampak istana raja ini sedemikian tinggi megah dan mewah
sekali, hanya undakan batu pualamnya saja begitu lebar dan panjang tak kurang dari delapan
puluh tingkat, sambil berjajar dan menyoreng pedang Thian-hi berdua beranjak ke atas.
Gerbang istana terjaga ketat oleh pasukan Gi-lim-kun, begitu melihat kedatangan
Ma Bong-hwi berdua, bergegas mereka maju memberi hormat, menunjuk Thian-hi Ma Bong-hwi
berkata pada mereka, "Inilah Tio-ciangkun, selanjutnya kalian juga harus dengar petunjuknya!"
Serempak para Gi-Lim-kun itu mengiakan sambil menjura, selanjutnya mereka maju
lebih jauh ke dalam istana, setiap pelosok istana terjaga ketat, beberapa grup pasukan
berlalu lalang meronda, bersama Thian-hi Ma Bong-hwi mengadakan pemeriksaan dan meronda
keberbagai pelosok lalu kembali ke tempat semula.
Ce-kim-cu yang diincar pencuri itu terporotkan di atas belandar besar beberapa
meter dari bawah, dibawahnya terjaga kuat oleh pasukan Gi-lim-kun. Begitulah Thian-hi
berdua ikut berjaga dengan waspada sambil mengobrol sekadarnya menunggu waktu. hingga tanpa terasa
tahu-tahu sudah tengah malam keadaan tetap sunyi hening tiada kejadian apa-apa.
Kira-kira dua jam kemudian, keadaan masih tenang dan aman tentram, Ce-kim-cu
jelas masih terpancang, disana dengan memancarkan sinarnya yang cemerlang kelap kelip.
Tatkala itu cuaca sudah hampir terang tanah, Ma Bong-hwi mendengus hidung;
segera ia melolos pedang dan bersiap waspada. Para pasukan Gi-lim-kun juga segera
mempersiapkan diri masing-masing, sementara, pasukan panah pun sudah memancang anak panah di atas
busur tinggal menunggu perintah.
Sementara Hun Thian-hi juga merasa was-was dan kebat kebit, dengan penjagaan
begitu ketat bagaimanapun si pencuri itu takkan dapat membawa lari Ce-kim-cu. Sebentar lagi
ufuk timur sudah mulai bersemu kuning, keadaan masih tetap tenang dan aman. Sekelilingnya
hening senyap, mereka tinggal menugggu saat gelap berganti terang tanah saja.
Sekonyong-konyong seorang anggota Gi-lim-kun tergopoh2 lari keluar dari dalam
istana terus maju kehadapan Ma Bong-hwi serta melapor, "Lapor Ma-ciangkun! Sang Baginda minta
Ciangkun segera menghadap!" Ma Bong-hwi pandang kanan kirinya, lalu bertanya pada anggota Gi-lim-kun itu,
"Baginda ada bilang apa tidak?" "Tidak!" sahut orang itu sambil membungkuk.
Timbul rasa curiga Ma Bong-hwi. namun disini masih ada Hun Thian-hi dan tak
perlu kuatir segera ia masukkan pedang ke dalam kerangkanya serta berseru, "Baik, segera aku
menghadap!" - Lalu dengan langkah lebar ia beranjak masuk.
Namun baru dua tiga langkah Ma Bong-hwi berjalan orang itu berkata pula,
"Baginda juga minta Tio-ciangkun menghadap bersama."
Semakin tebal curiga Ma Bong-hwi segera ia membalik serta berseru, "Tio-
ciangkun, junjungan belum tahu akan dia!" mendadak ia menggeram serta menghardik, "Siapa kau?"
Cepat orang itu menjura, serta berkata, "Tadi baru saja sang Baginda bangun,
mendengar bahwa Ce-kim-cu tidak hilang lantas menanyakan Ciangkun, tahu bahwa Ciangkun
bersama Tiociangkun menjaga bersama, beliau perintahkan hamba kemari mengundang Ciangkun berdua!"
Ma Bong-hwi menjengek, hatinya dirundung kecurigaan, saat ini hari belum lagi
terang tanah, pencuri itu masih punya cukup waktu untuk bekerja, bagaimana mungkin dirinya
tinggal pergi. Tapi benar-benar atau palsu sulit diketahui, mana bisa memberi keputusah begitu
cepat, dengan seksama ia awasi orang itu lalu bertanya, "Siapa namamu?"
Badan orang itu kelihatan bergetar namun segera menjawab lantang, "Hamba Li
Gun!" Ma Bong-hwi mendehem, lalu berkata kepada Thian-hi, "Lebih baik kau tetap
tinggal disini, biar aku masuk dulu!" - Selesai berkata dengan langkak lebar ia menuju keistana.
Melihat keputusan Ma Bong-hwi yang tegas itu, Li Gun menjadi gugup, dengan
mendelong ia awasi punggung Ma Bong-hwi yang hampir menghilang disebelah dalam.... segera ia
berdiri dan membalik tubuh serta melolos pedang, tiba ia berteriak kejut, "Hai, dimana Ce-
kim-cu?" Semua hadirin menjadi berjingkrak kaget, serentak mereka angkat kepala memandang
ke atas belandar, Hun Thian-hi sendiri juga angkat kepala, hatinya rada bercekat,
batinnya, "Jika dalam
sekejap ini Ce-kim-cu benar-benar hilang, memang harus diakui bahwa kepandaian
pencuri itu entah betapa tingginya?"
Waktu ia angkat kepala benar-benar juga Ce-kim-cu sudah hilang tanpa juntrungan,
keruan bukan kepalang kagetnya, dikolong langit ini mana mungkin ada tokoh kosen begitu
lihay ilmu silatnya, ia percaya pada diri sendiri seumpama pencuri itu seorang tokoh lihay
pun, kesiur angin lambaian bajunya tentu dapat ditangkap oleh ketajaman kupingnya, namun kenyataan
Ce-kim-cu sudah lenyap dalam waktu sesingkat itu.
Para pasukan Gi-lim-kun menjadi gempar serempak mereka mengacungkan pedang dan
mempersiapkan panah. Hun Thian-hi segera berseru dengan suara kereng, "Semua
jangan ribut!" Dengan tajam ia menyapu pandang kesekitarnya. hatinya dirundung curiga yang
tebal, tanpa disadari timbullah perasaan congkak dan tinggi hati, sungguh ia merasa penasaran
telah dipermaiankan begitu rupa, dengan keras ia membuka suara, "Dimana Li Gun?"
Orang-orang sekelilingnya saling pandang dan celingkukan, tiada seorang pun yang
menjawab. Semakin memuncak rasa gusar Thian-hi, serunya, "Siapa diantara kalian yang kenal
Li Gun?" Dengan seksama ia sapu pandang setiap raut muka orang disekitarnya, tiada
seorang pun yang memberi jawaban. Keruan semakin gugup dan gelisah hati Thian-hi, baru sekarang dia betul-betul
kebentur pada seorang tokoh kosen yang benar-benar lihay, baru saja ia bernat melompat naik
untuk memeriksa, kelihatan Ma Bong-hwi sudah memburu keluar. Begitu melihat keadaan yang kalut
ini kontan ia merasa firasat yang jelek.
Sungguh menyesal dan malu lagi, cepat Thian-hi maju menjura serta berkata,
"Sungguh aku tidak becus, Ce-kim-cu telah hilang dalam sekejap ini. Li Gun pun melarikan diri
disaat terjadi keributan." Sesaat Ma Bong-hwi menjublek ditempatnya, akhirnya, ia menggoyangkan tangan
sambil berkata, "Tak dapat salahkan kau, seharusnya aku tahu bahwa Baginda tidak
mungkin mengundang aku tapi aku terburu nafsu hendak membongkar permaian licik ini,
sehingga tanpa sadar terjebak ke dalam tipu muslihatnya"
Sungguh pedih perasaan Thian-hi, katanya, "Aku ingin memeriksa ke atas sana,
akan kulihat cara bagaimana Ce-kim-cu itu telah lenyap!"
Ma Bong-hwi manggut-manggut, ujarnya, "Kali ini Ce-kim-cu hilang secara
misterius, bolehlah kau naik kesana memeriksanya!"
Thian-hi membungkuk tubuh sambil mundur dua langkah, ia berlaku hati-hati supaya
tidak mempertunjukkan kepandaian aslinya, sedikit menekuk dengkul kakinya segera
menjejak tanah terus merambat naik melalui tiang belandar yang besar itu. Begitu tiba di atas
belandar dengan seksama. ia memeriksa kekanan kiri. tiba-tiba hidungnya mengendus bau amis yang
aneh, selain itu tiada sesuatu yang dapat diketemukan sebagai sumber penyelidikan.
Dengan cermat ia periksa terus sekitar belandar besar yang dapat untuk
bersembunyi manusia namun jejak atau telapak kaki orang pun tidak diketemukan. Kecuali orang itu
bisa terbang dan lari pergi, kalau tidak tentu dapat kepergok.
Disebuah sudut belandar sebelah sana ia menemukan secarik kertas yang
bertuliskan beberapa huruf yang menyolok, tulisan itu berbunyi, "Besok malam, kuambil Giok-hud!"
Dengan ringan Thian-hi melompat turun" langsung ia angsurkan secarik kertas itu
kepada Ma Bong-hwi. lalu berdiri menunduk tanpa buka suara.
Setelah membaca tulisan itu, dengan menghela napas Ma Bong-hwi berkata,
"Ternyata ada orang berani menyelundup masuk ke dalam pasukan Gi-lim-kun, sungguh besar nyali
orang itu." Selamanya Thian-hi belum pernah mendapat malu dihadapan umum, orang lain
biasanya menyanjung puji dirinya, dengan berbagai daya upaya mohon dirinya membantu dan
mengundang dirinya kemari ikut menanggulangi peristiwa pencurian misterius ini, tapi
kenyataan barang yang dilindungi itu tetap hilang juga. malah sebuah sumber penyelidikan macam Li Gun
juga sampai berhasil lolos, betapa malu dirinya. Seharusnya begitu Ce-kim-cu lenyap aku
segera harus meringkus Li Gun, tapi orang itu toh berhasil merat juga.
Sekian lama mereka berdiri berhadapan tanpa bersuara, tak lama kemudian cuaca
sudah terang benderang. Ma Bong-hwi berkata, "Thian-hi, kau bukan pembesar dinas secara
resmi, boleh silakan kau menyingkir dulu ke kamar sebelah, bila Baginda mengundang kau baru
kau menghadap." Tak lama kemudian terdengar derap langkah ribut, disusul lonceng istana
berdentang keras suaranya menggema diangkasa, seketika seluruh istana menjadi hening lelap.
Setelah para pembesar menghadap dan melakukan upacara kehormatan terdengarlah Ma
Bong-hwi tampil ke depan dan memberi laporan, "Hamba tidak becus bekerja. Ce-
kim-cu telah hilang lagi, harap Baginda suka memberi hukuman setimpal!"
Kedengarannya sang raja sangat murka, dengan menggeram ia berseru, "Apa pula
yang diincarnya nanti malam" sia-sia belaka aku memberi makan kalian para pembesar
tinggi, entah mengapa seorang maling kecil saja tidak becus menangkapnya."
Setelah berludah dengan sebal ia melanjutkan, "Istana raja buat lalu lalang
maling sesuka hatinya, barang berharga satu persatu telah dicurinya, apakah tiada seorang pun
diantara kalian yang mampu berbakti kepada kerajaan?"
Sebuah suara serak dan bernada rendah segera menyahut, "Harap junjungan tidak
marah,

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

urusan ini tidak bisa semua menyalahkan Ma-ciangkun, paling tidak Lojen (hamba)
juga ikut bersalah." Dalam hati Thian-hi membatin pembicara ini tentu Tan-siangkok adanya, bila dia
mau menghasut atau mencelakai jiwa Ma Bong-hwi adalah sekarang kesempatan yang
paling baik, entah apa sebetulnya maksud hatinya, ternyata dia tampil ke depan melindungi Ma
Bong-hwi. Dengan gusar sang raja mendengus, lalu katanya, "Tan-siangkok, kaulah yang
menjadi sandaran Ma Bong-hwi, sudah tentu kau pun bersalah."
Terdengar Ing Si-kiat juga ikut menimbrung, "Harap Baginda suka mempertimbangkan
kembali, Ma-ciangkun seorang cerdik pandai, hanya karena sedikit kecerobohannya sehingga
Ce-kim-cu telah hilang, kalau malam ini orang itu berani datang lagi pasti dapat
dibekuknya." Sebuah suara tua dan rendah yang lain ikut bicara, "Hamba juga berani menjadi
sandaran Maciangkun!"
"Toh-ciatsu, kau pun mau melindungi dia!" demikian tanya sang raja.
Akhirnya Tan-siangkok bicara lagi, "Lojen berani tanggung sekali lagi, Ma-
ciangkun seorang pembesar yang mengetahui kepentingan tugasnya, aku percaya malam ini tidak bakal
kehilangan barang lagi. Seumpama benar-benar hilang lagi, Lojen rela meletakkan jabatan,
dan seluruh keluarga Ma-ciangkun boleh dipenggal kepalanya sebagai penebus dosa!"
Bercekat hati Thian-hi, diam-diam ia kertak gigi, batinnya, "Tipu daya yang keji
dan culas sekali. Kiranya kau mengatur tipu daya secara begitu licik, semula kusangka kau
bertujuan baik ingin membantu meringankan bebas orang, kiranya bertujuan menumpas habis seluruh
keluarga Ma-ciangkun." Kedengarannya sang raja juga merasa diluar dugaan, katanya lantang, "Apa" Begitu
besar kepercayaan Tan-siangkok kepada Ma-ciangkun?"
"Menurut hemat Lojen, Ma-ciangkun pasti dapat menunaikan tugasnya dengan
sempurna." "Baiklah, kegagalan hari ini tidak perlu kutarik panjang lagi."
Bersama para pembesar yang lain Ma Bong-hwi berlutut. serta nyatakan terima
kasih akan pengampunan lalu mengundurkan diri. Dengan lesu dan putus semangat Ma Bong-hwi
memasuki kamar dimana Hun Thian-hi tengah menunggu.
Thian-hi bangkit berdiri serta berkata penuh menyesal, "Ma-ciangkun, akulah yang
salah sehingga kau yang ketimpa akibatnya."
Ma Bong-hwi goyang2 tangan dengan lesu, sebelumnya ia sangat percaya akan
kemampuan Hun Thian-hi, namun kenyataan Ce-kim-cu telah hilang, sumber penyelidikan yang
utama pun sampai lolos, ini yang menjadikan kekecewaan hatinya.
Sungguh rawan dan pedih perasaan Thian-hi melihat sikap orang, betapa pun malam
ini Giokhud (patung Budha) tidak boleh hilang pula. Demikian Thian-hi bertekad.
Kata Ma Bong-hwi, "Hari ini kita tak usah pulang, nanti akan kuutus seorang
memberi tahu rumah. Sementara menunggu waktu kau holeh jalan-jalan sambil memeriksa keadaan
sekitarnya supaya apal akan situasi nanti malam, tapi jangan sekali2 kau menuju ke istana
dalam." Thian-hi manggut mengiakan, Ma Bong-hwi lantas tinggal pergi ke arah lain. Duduk
di atas kursi Thianhi merasa kesepian akhirnya ia bangkit dan jalan-jalan, pikirannya
masih diliputi keheranan, sungguh tidak masuk diakal, cara bagaimana pencuri itu dapat bekerja
begitu rapi dan cepat membawa kabur Ce-kim-cu tanpa diketahui, begitulah sambil berjalan otaknya
terus bekerja, tanpa merasa kakinya melangkah ke dalam sebuah taman bunga.
Pada jaman ini orang yang dapat mengambil Ce-kim-cu dan tanpa diketahui olehnya
jumlahnya dapat dihitung dengan jari, apakah mungkin pencuri itu seorang tokoh kosen aneh
yang berkepandaian tiada taranya" Kalau benar-benar, masakah dia sudi melakukan
perbuatan tercela begini. Bagi seorang berkepandaian tinggi tak mungkin mau melakukan perbuatan
bangsa kurcaci. Begitulah pikirannya terus bergelombang tak tentram, mendadak kupingnya
mendengar suara seruan kaget yang perlahan, Thian-hi berjingkrak kaget, waktu angkat kepala
tampak Tuan putri tahu-tahu sudah berdiri tak jauh di depannya.
Keruan gugup dan gelisah hatinya, tahu dia tanpa disadari dirinya sudah
melanggar larangan memasuki istana dalam, cepat ia membungkuk tubuh memberi hormat, serunya, "Tuan
putri! Kau baik, karena pikiran kalut hamba sampai melanggar larangan masuk kemari, harap
tuan putri tidak marah." Tuan putri mendengus katanya, "Apakah kau wakil komandan Gi-lim-kun?"
Tersipu-sipu Thian-hi mengiakan sambil menjura.
"Kenapa kau berani memasuki daerah terlarang?" semprot tuan putri dengan
merengut. Thian-hi menjadi tergagap, "Baru kemaren hamba ikut Ma-ciangkun kemari, apalagi
benakku sedang gundah memikirkan tugas yang berat ini, sehingga tanpa sadar masuk
kemari!" "Kemaren?" tanya tuan putri menegas sambil mengerut kening, "Baru kemaren kau
masuk istana?" Thian-hi manggut-manggut.
"Tapi kulihat mukamu seperti sudah kukenal, seperti pernah kulihat kau dimana,
apa kau tidak bohongi aku?" Saat itu dua petugas ronda dalam lewat, begitu melihat Hun Thian-hi, mereka
saling pandang terus maju menyembah kepada tuan putri, "Harap tuan putri memberi ampun, karena
kelalaian kami sehingga orang ini masuk kemari, biarlah kami yang mengusirnya keluar!-'
"Tidak perlu, akulah yang memanggilnya kemari waktu dia lewat disana, tiada
urusan kamu disini, hayo pergi!"
Kedua peronda itu saling pandang, sahutnya, "Tapi...."
"Tapi apa lagi! Ajo lekas enyah jangan cerewet!"
Kedua peronda itu menjadi gemetar dan apa boleh buat terpaksa mereka
mengundurkan diri. Tuan putri menepekur sekian saat, lalu berkata lagi, "Sungguh sebal kenapa tidak
bisa kuingat, eh, kenapa kau tunduk saja, coba angkat kepalamu supaya kulihat lebih tegas."
Thian-hi angkat kepala, tampak tuan putri mengenakan pakaian serba putih, yang
dikenakan ini adalah pakaian kebesaran dalam istana, jauh berlainan dengan sikapnya tempo hari
di atas kereta. Dibelakangnya mengintil dua dayang, dengan pakaian yang panjang melambai ini
tuan putri terasa lebih agung dan cantik, sehingga Thian-hi tak berani metmandang ke depan.
Setelah mengamati sekian lamanya, mendadak tuan putri bertepuk dan berseru
tertawa, "Benar-benar! Kini kuingat, bukankah kau tinggal digedung Ma-ciang-kun?"
Terperanjat hati Thian-hi, tak duga ingatan tuan putri ternyata begitu tajam,
kejadian tempo hari sudah sekian lamanya, malah sekarang dirinya sudah ganti pakaian. kiranya
masih tak berhasil mengelabui sepasang biji matanya yang bening dan jeli itu.
Apa boleh buat Thian-hi menjura, "Tempo hari hamba terlalu kurang hormat, sampai
lupa nyatakan terima kasih akan pertolongan tuan putri."
Kelihatannya tuan putri sangat senang, katanya tertawa lebar, "Sungguh hampir
tak kukenal, tempo hari dandananmu sebagai pelajar kutu buku, sekarang sebagai wakil komandan
Gi-lim-kun, ai, sungguh aneh!" Thian-hi menjadi geli oleh banyolan tuan putri.
Kata tuan putri lagi, "Tempo hari putra Tan-siangkok menghajar kau dengan pecut,
kenapa kau tidak mau melawan" O. ja, dimana serulingmu itu" Apa kau bawa kemari?"
Thian-hi tertawa-tawa, keadaan dirinya lebih jelas lagi dibelejeti, sungguh
tajam dan lihay benar-benar tuan putri ini, ia geleng kepala untuk jawaban.
"Ada omongan hendak kukatakan kepada kau, mari kau ikut aku! Kesana, ke gardu
itu!" Lalu ia mendahului menuju kesebuah gardu yang terdekat.
Thian-hi mengekor di belakang tuan putri memasuki gardu itu, tuan putri ulapkan
tangan suruh Thian-hi duduk, Thian-hi geleng kepala, tuan putri berkata dengan tersenyum,
"Kusuruh kau duduk. takut apa kau" Duduklah!"
Terpaksa Thian-hi menduduki sebuah kursi, dengan seksama tuan putri meng-amat-
amatinya, Thian-hi menjadi risi dan kikuk, tuan putri terkikih geli, katanya, "Kiranya kau
begitu pemalu, orang lain takkan menduga kau sebagai wakii komandan Gi-lim-kun, apakah kau
pandai main silat?" Bergejolak hati Thian-hi, mendengar suara tawa tuan putri pikirannya lantas
melayang mengenangkan keadaan di Tionggoan, seolah-olah ia merasa orang yang berada di
depannya ini adalah Sutouw Ci-ko, wataknya memang periang seperti watak Sutouw Ci-ko, entah
bagaimana dan dimanakah Sutouw Ci-ko sekarang.
Tuan putri mendesiskan mulut, ujarnya, "Sedang kutanya kau! Apa yang sedang kau
pikirkan?" Thian-hi tersentak kaget, sahutnya dengan rikuh, "Apa yang tuan putri tanyakan"
Aku tidak jelas mendengar!" Tuan putri menjadi kurang senang, katanya, "Bagaimana kau ini, aku bicara dengan
kau kenapa menjadi linglug, kukatakan cabutlah pedangmu, aku ingin bertanding pedang
dengan kau." Thian-hi tersentak kaget sampai bangkit dari tempat duduknya, serunya: .Tuan
putri, mana boleh jadi!" Tuan putri dan kedua dayang dibelakangnya menjadi terkekeh geli, Thian-hi
sendiri semakin tersipu-sipu tak tahu apa lagi yang harus dilakukannya. Tuan putri segera
berkata. "Jangan bersitegang leher, aku hanya menggertakmu saja, sebetulnya. umpama Ma-ciangkun
sendiri kemari dia pun bukan menjadi tandinganku!"
Baru saja Thian-hi dapat menghela napas lega, serta merta ia lantas mengerut
kening mendengar bualan tuan putri, dengan cermat diam-diam ia amat-amati tuan putri,
kelihatan raut mukanya bundar telor, pipinya bersemu merah laksana buah tho, biji matanya
bening sejernih air, dengan tajam orangpun senang menatap dirinya, cepat-cepat ia alihkan pandangan
matanya. sekilas ini terasa olehnya bahwa tuan putri ternyata begitu elok dan rupawan,
sampai ia tidak berani memandang lebih lama lagi.
"Belakangan ini aku pun suka meniup seruling, apakah kau sudi mengajarkan aku?"
demikian ujar tuan putri. "Mana aku berani mengajarkan kepada tuan putri!" tersipu-sipu Thian-hi
mengiakan. Tuan putri tak hiraukan ucapan Thian-hi dari dalam lengan bajunya ia
mengeluarkan seruling terus diangsurkan kepada Thian-hi sembari berkata, "Coba kau periksa bagaimana
seruling ini?" Terpaksa Thian-hi menerima seruling itu, tampak seruling ini begitu mulus dan
bening laksana terbuat dari kaca, waktu dipegang terasa hangat, seluruh batangnya terukir
sembilan naga bergulat seperti sedang bermain di tengah angkasa, kelihatannya jauh lebih bagus
dari seruling miliknya itu. Tuan putri tertawa bangga, ujarnya, "Bagaimana" Tidak kalah bukan dibanding
serulingmu?" Thian-hi tersenyum, katanya, "Seruling tuan putri ini jauh lebih bagus dari
serulingku!" Tuan putri berkata, "Coba kau tiup sebuah lagu untuk kudengar!"
Thian-hi melengak, tanyanya, "Sekarang juga?"'
Tuan putri manggut-manggut. "Ya, sekarang juga!"
Thian-hi menjadi bimbang, katanya, "Tiupan serulingku tidak begitu mahir, semoga
tidak menjadi buah tertawaan tuan putri."
Tuan putri manggut-manggut, dengan mendelong ia perhatikan Thian-hi serta
menanti. Pelan-pelan Thian-hi angkat seruling kedekat mulutnya, sejenak ia berpikir lalu
mulai memup seruling melagukan sebuah irama yang halus mengalun pelan, itulah lagu 'indahnya
alam', nada lagunya rendah dan datar mengembang laksana mega berlalu seumpama air mengalir
terus mengalun tak putus2. Sedemikian merdu dan mempesonakan irama seruling lagu Indahnya alam ini sehingga
Tuan putri dan kedua dayangnya terlongong kesima, sekian lama setelah lagu selesai
ditiup baru Tuan putri menghirup hawa segar, katanya, "Selamanya belum pernah kudengar irama
seruling sedemikian bagus, sungguh enak dan menyegarkan badan, seharusnya kau menjadi
guru musik saja."

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-hi tertawa-tawa, ujarnya, "Tiupan serulingku masih kurang sempurna, tak
perlu dibanggakan. Sebetulnya Ma-ciangkun...." sebetulnya ia hendak menyinggung soal Ma Gwat-sian,
tapi serta dipikir menjadi kurang enak rasanya, maka segera ia urungkan.
"Kau cukup pintar dalam ilmu silat dan sastra, aku menjadi kurang paham dari
mana Maciangkun dapat mencari orang sepandai kau ini."
"Tuan putri terlalu memuji, sebenar-benarnya bisaku juga sangat terbatas!"
"Apakah kau mau sering kemari menemani aku?"
"Apa?" tanya Thian-hi melongo.
"Maksudku, tiupan serulingmu begitu bagus, selanjutnya seringlah datang
mengajarkan kepada aku!" Hun Thian-hi tersenyum getir, sahutnya, "Aku kuatir tidak mungkin!"
"Apa kau tidak sudi?"
Thian-hi serba sulit tak tahu cara bagaimana harus menjawab, terpaksa ia meng-
ada2 saja katanya, "Tuan putri juga tahu, tadi aku sudah gagal dalam tugas pertama,
kehilangan Ce-kim-cu merupakan kelalaianku, sehingga Ma-ciangkunlah yang ketimpa akibatnya, hatiku...."
"Tak perlu kau takut menghadapi urusan itu, biar aku yang mintakan ampun kepada
ayah baginda bagi kau dan Ma-ciangkun, ayah baginda tentu melulusi!"
"Sekali2 tuan putri tidak boleh berbuat demikian. Hatiku akan lebih menyesal
lagi, kebaikan tuan putri sungguh Huh Thian-hi menyatakan banyak terima kasih."
Dengan tajam tuan putri pandang Hun Thian-hi, katanya, "Kau ini sungguh sombong,
kebaikan lain orang sedikit pun kau tidak mau terima, untung aku ini seorang tuan putri,
kalau tidak betapa kau akan lebih sombong lagi."
Thian-hi menjadi tergagap dan tak kuasa menjawab lagi, diam-diam ia membatin
dalam hati, apakah begitu watakku, demikian ia bertanya pada dirinya sendiri, apakah sikapku
ini betul" Tuan putri tertawa, ujarnya, "Bila Giok-hud sampai hilang pula nanti malam,
apakah kau hendak berpeluk tangan saja melihat seluruh keluarga Ma-ciangkun dipenggal
kepalanya?" Thian-hi terlongong diam, sesaat kemudian baru menjawab, "Terima kasih tuan
putri!" "Hari ini cukup sekian saja, mungkin ayah baginda mencari aku, aku harus segera
pulang, kau sendiri juga lekas keluar dari tempat ini!" - habis berkata lalu balik masuk ke
dalam sebentar saja bayangan punggungnya menghilang dibalik rumpun kembang.
Diam-diam bergejolak perasaan Thian-hi, sungguh ia merasa sangat terima kasih
dan haru, tuan putri ternyata seorang budiman yang baik hati, tapi sayangnya ia dilahirkan
dalam kalangan bangsawan, mungkin dia tidak menyadari betapa culas hati manusia yang sedang
saling berebutan kekuasaan harta dan kedudukan.
Tanpa merasa ia menghela napas rawan, sekonyong-konyong ia merasa tangannya
masih memegang sebuah benda apa, waktu menunduk kiranya seruling itu masih belum
sempat ia kembalikan kepada tuan putri. Keruan ia menjadi bingung dan menjublek sekian
lama, tak mungkin ia mengejar ke dalam terpaksa dalam kesempatan lain saja baru bisa
dikembalikan. Thian-hi tak berani tinggal terlalu lama di tempat terlarang ini, sambil
menyimpan seruling ke dalam bajunya bergegas ia lari keluar dari taman bunga, Waktu sampai di bilangan
istana luar tampak Ma Bong-hwi tengah ubek2an mencari dirinya, melihat kedatangannya cepat
ia bertanya, "Thian-hi, kemana kau, sukar mencari kau!"
"Maaf toako, secara tidak sadar aku melanggar masuk kebun, tadi bicara sebentar
dengan tuan putri!" "Kau ketemu dengan tuan putri?" Ma Bong-hwi menegas dengan terbelalak.
Thian-hi manggut-manggut. Ma Bong-hwi menghela napas panjang, ujarnya, "Untung
kau masih bisa keluar lagi. Selanjutnya jangan sembarang terobosan!"
Thian-hi mengiakan. Selanjutnya mereka berdua pergi istirahat untuk menghimpun semangat supaya nanti
malam lebih segar menjaga Giok-hud (patung Budha). Thian-hi duduk samadi di atas dipan
dalam sebuah kamar khusus yang disediakan untuk dirinya, dalam kesunyian ini ia dapat melatih
Pan-yok-hianTiraikasih Website http://kangzusi.com/
kang. Tanpa merasa waktu ia selesai dalam latihannya cuaca sudah gelap, pelita
juga suaah dinyalakan, bergegas ia keluar menemui Ma Bong-hwi, tampak muka orang kejut dan
semangatnya lojo, terang ia tidak bisa tidur.
Ma Bong-hwi masuk ke dalam istana mengeluarkan Giok-hud, tampak Patung Budha ini
tinggi tiga inci seluruh patung ini mengkilap bening terbuat dari pualam pilihan,
betul-betul merupakan barang antik yang tak ternilai harganya.
Ma Bong-hwi segera suruh anak buahnya memasang tangga dan perintahkan supaya
patung Budha ini ditaruh di atas belandar.... Mendadak Thian-hi tersentak oleh sebuah
pemikiran lain, cepat ia berkata, "Ma-ciangkun! Siapa yang mengusulkan supaya patung ini
diletakkan di atas belandar?" "Ing-ciangkun yang mengusulkan, menurut hematku memang tepat diletakkan disana,
apakah kurang tepat tempat itu?"
Tergerak hati Thian-hi, teringat olehnya akan kecurigaan Ma Gwat-sian yang
mengatakan kalau Ing-ciangkun ini kurang dapat dipercaya, segera ia buka suara, "Hari ini lebih
baik kita tidak meletakkan patung ini di atas belandar, coba sekali ini diletakkan di lantai
saja!" Semula Ma Bong-hwi beragu, akhirnya setuju juga meletakkan patung Budha itu di
atas lantai, ternyata malam itu berlalu dengan tenang dan aman tanpa terjadi suatu apa.
Hari kedua semua tercengang dan kejut2 heran. Ma Bong-hwi sendiri juga merasa
heran dan takjup. Memang Ce-kim-cu itu hilangnya secara misterius. Apakah belandar besar
itu yang kurang beres" Bagaimana mungkin pencuri itu datang pergi begitu cepat tanpa suara lagi
seakan-akan bisa menyulap Ce-kim-cu itu masuk ke dalam kantongnya sendiri Sungguh aneh!
Thian-hi sendiri sudah curiga sejak mula bahwa di atas belandar itu tentu ada
rahasianya. Mengandal taraf kepandaian Lwekangnya, betapapun pencuri itu takkan dapat lolos
dari pengawasan begitu saja, kecuali pencuri itu sebelumnya memang sudah sembunyi di
atas belandar, bila sembunyi di atas memang orang di bawah tak dapat melihat, waktu
perhatian semua orang di bawah sedang terpencar gampang saja ia mengambilnya, namun
orangnya masih sembunyi di sana, tanpa dapat meninggalkan tempat sembunyinya itu, kalau tidak,
tiada alasan tanpa perbuatannya itu bisa konangan oleh begitu banyak orang.
Tapi analisa ini pun tidak mungkin terjadi, bila orang itu tetap sembunyi di
atas, siang hari lebih tak mungkin bisa lari, masa dalam sehari semalam dia bisa tahan lapar dan dahaga
sembunyi terus di atas belandar" Hal ini terang tidak mungkin.
Hari kedua pagi2 benar-benar, serta mendengar patung Budha tidak hilang sungguh
girang sang Baginda bukan main, tapi segera iapun keluarkan perintahnya, memberi jangka
waktu sepuluh hari untuk mengejar kembali barang-barang mestika yang hilang itu.
Apa boleh buat Ma Bong-hwi terpaksa mengiakan saja. Betapapun karena patung
Budha tidak sampai hilang perasaannya yang tertekan rada kendor dan berlega hati. Setelah
mengundurkan diri cepat bersama Thian-hi ia pulang ke gedungnya di Bi-seng.
Belum lagi sampai di rumah, seluruh anggota keluarganya sudah mendengar berita
gembira ini semua berbondong keluar menyambut. Mereka dielu2kan memasuki rumah, setelah basa
basi sekadarnya, Ma Bong-hwi lantas masuk istirahat, Thian-hi tahu beruntun beberapa
malam dia tidak tidur maka iapun cepat kembali ke kamar bukunya.
Seorang- diri ia termenung dalam kamarnya memikirkan cara bagaimana sebenar-
benarnya pencuri itu mengambil Ce-kim-cu, sekian lama ia tidak berhasil memecahkan
persoalan ini. Kecuali belandar besar itu ada rahasianya yang tersembunyi.
Tengah ia terpekur, Ma Gwat-sian datang bertandang. cepat Thian-hi menyilahkan
duduk, sekadarnya mereka bicara urusan biasa, akhirnya pembicaraan mereka beralih ke
persoalan pencurian barang-barang mestika itu. Thian-hi menceritakan pengalamannya cara
bagaimana Cekim- cu itu hilang dalam sekejap mata kepada Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian berpikir sekian lamanya, akhirnya ia bertanya, "Menurut sangkamu di
atas belandar itu dapat bersembunyi si pencuri itu bukan?"
"Itu hanya suatu kemungkinan saja!"
"Apa pula kemungkinan yang lain?"
"Kemungkinan lain perbuatan ini bukan dilakukan oleh manusia!"
"Hun-toako, jika aku harus memilih satu diantara kedua kemungkinan itu, aku
memilih kemungkinan kedua. Istana raja bukan kediaman pribadi seseorang, betapapun
takkan ada kesempatan bagi seseorang membuat tempat-tempat rahasia di belandar istana,
kemungkinan kedua hanyalah kesimpulan dalam perkataan saja,"
Setelah mendengar ucapan Ma Gwat-sian seketika ia berjingkrak bangun, teringat
olehnya akan bau amis yang aneh itu, ja, benar-benar, itu bukan perbuatan manusia, tapi
adalah.... Semula ia tidak perhatikan bau amis yang aneh itu, sekarang setelah diingat,
terasa olehnya bau semacam itu dulu ia pernah menciumnya sekali, itulah pada saat ia
mempelajari jurus pencacat langit pelenyap bumi di dalam gua ular yang dlajarkan oleh Ang-hwat-lo-
mo itu. Ja, bau amis itu adalah bau yang keluar dari badan ular.
Sambil menepuk kepalanya Thian-hi berseru kegirangan, "Sekarang aku tahu sebab
musabab menghilangnya barang mestika itu!"
Ma Gwat-sian tersenyum manis, ujarnya, "Perbuatan ular, ya bukan!"
Terkeaima Thian-hi memandangi muka Ma Gwat-sian, orang begitu yakin akan
kesimpulannya, sudah tentu Thian-hi terkejut akan kecerdikan gadis rupawan yang lemah ini, atau
sebetulnya memang dia membekal kepandaian silat yang tiada taranya"
Sedikitpun ia tidak berani menyangkal dugaan Ma Gwat-sian. Ma Gwat-sian sendiri
pernah mengatakan bahwa dia tidak pandai main silat, namun kecerdikan yang luar biasa
ini serta keyakinannya yang teguh ini benar-benar sangat mengagumkan.
"Jikalau bukan perbuatan orang, sudah pasti perbuatan binatang, binatang lain
yang bisa merambat ke atas belandar dan tanpa diketahui oleh orang, apalagi punya gerak
gerik yang gesit dan cekatan kecuali ular tiada binatang lainnya lagi. Orang itu dapat
mengendalikan ular untuk mencuri mestika itu tanpa mengeluarkan suara sedikitpun, jelas bahwa orang ini
pasti seorang kosen juga, jangan kau pandang remeh dia."
Thian-hi manggut-manggut, sungguh ia takjup akan kecerdikan Ma Gwat-sian, setiap
perkataannya seolah-olah dikatakan seperti dia sendiri yang menghadapi perkara
itu, atau lebih jelas lagi seperti ia sendiri yang melakoni. Dihadapan Ma Gwat-sian ia merasa
betapa bodoh dirinya ini. Ma Gwat-sian menunduk menghindari pandangan Thian-hi, sambungnya, "Untuk
mengendalikan ular gampang, tapi mengendalikan secara diam-diam tanpa bersuara
justru sangat sukar. Aku harus istirahat, kudoakan semoga kau sukses malam nanti." -habis
berkata terus dia keluar mengundurkan diri.
Thian-hi bangkit mengantar orang sampai diambang pintu. sekian lama ia
termenung2 lagi, lalu mulai pula dengan latihan Pan-yok-hian-kangnya, tak lupa iapun menyelami
pelajaran Wi-thian-citciat-
sek. Sang waktu berjalan sangat cepat, tahu-tahu hari sudah menjelang magrib
setelah makan malam bersama Ma Bong-hwi mereka berangkat lagi menunaikan tugas diistana.
Malam ini Thian-hi mengusulkan lagi kepada Ma Bong-hwi supaya patung Budha
pualam itu diletakan di atas belandar saja.
"Bukankah di bawah lebih gampang dijaga dan diawasi?"
"Tapi tujuan kita adalah hendak menancing pencuri itu datang baru bisa
menangkapnya, kalau di bawah dia tak mau datang bagaimana kita bisa meringkusnya!"
Ma Bong-hwi rada kuatir patung Budha itu bisa menghilang secara misterius lagi,
namun Baginda memerintahkan dirinya dalam jangka sepuluh hari harus mengejar pulang
mestika yang tercuri, cara menunggu lobang untuk menangkap kelinci bukanlah cara yang baik
untuk menyelesaikan perkara pencurian ini, adalah lebih baik memancing pencuri itu
datang sendiri lebih tepat, karena pikiran ini segera ia manggut-manggut dan menyuruh anak bUahnya
meletakkan

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

patung Budha itu ke atas belandar.
Hakikatnya Thian-hi tidak memberi tahu jalan pikirannya kepada Ma Bong-hwi,
namun dia sudah punya pegangan, hanya dia meraba-raba, entah ular macam apakah yang begitu
lihay dapat bekerja secerdik manusia sampai sekarang dia belum mendapat akal cara
bagaimana ia harus mengatasi ular lihay ini.
Akhirnya ia berkata pada Ma Bong-hwi, "Ma-ciangkun menjaga bagian bawah, biar
aku mengawasi bagian atas!"
Ma Bong-hwi manggut-manggut. Malam ini Thian-hi menghimpun seluruh semangat dan
mencurahkan seluruh perhatiannya dengan waspada menanti kedatangan simaling,
diam-diam dalam hati ia sudah bertekad harus dapat meringkusnya, seperti kegagalan semula
pihak lawan tentu menggunakan cara licik untuk memencar perhatian seluruh penjaga itu lalu
melepas ularnya untuk bekerja dengan cepat, akan kulihat cara apa yang dia gunakan malam ini.
Tengah ia bepikir, suasana hening dan sunyi tiba-tiba terdengar seseorang
berseru, "Baginda datang!" Baginda benar-benar muncul dihadapan mereka keruan semua orang tersentak kaget
dan tersipu-sipu menyembah memberi hormat, Baginda menyapu pandang kepada mereka
lalu berkata, "Ma-ciangkun mengundang aku kemari ada urusan apa?"
Ma Bong-hwi melongo. Sementara Thian-hi mengeluh dalam hati, cepat ia mendongak,
dalam waktu sekejap itu benar-benar juga patung Budha sudan lenyap, hanya tampak
selarik cahaya bergerak lantas lenyap. Sebat luar biasa ia jejakkan kaki mencelat naik ke atas.
Perbuatan Thian-hi ini sungguh sangat mengejutkan sang Baginda, ia tersurut dua
langkah, sementara itu Ma Bong-hwi sedang menjawab, "Hamba sekalian tiada pernah
mengundang Baginda. Terang kita telah kena tipu lagi!"
Begitu tiba di atas belandar Thian-hi melihat seekor ular hitam panjang empat
kaki tengah melata cepat sekali ke depan sana sambil menggigit patung Buddha itu, gerak
geriknya begitu gesit secepat angin, sekejap saja sudah tiba di ambang sebuah lobang dan hampir
menghilang. Tanpa ayal segera Thian-hi sambitkan pedang ditangannya, tepat sekali menancap
di depan lobang itu sehingga jalan lari siular kebuntu, cepat sekali ia ulur tangan
mencengkeram keleher ular terpaut tujuh senti dari bawah kepala ular, dimana terletak kelemahannya.
Melihat jalan lari sudah putus, ular itu agaknya tahu bahaya tengah mengancam
cepat buntutnya melingkar terus melecut naik menyerang jalan darah pergelangan Thian-
hi. Disebelah bawah Ma Bong-hwi sudah perintahkan seluruh pintu ditutup rapat dan
dijaga ketat mulai mengadakan penggeledahan.
Sudah tentu Thian-hi tidak gampang kena diserang oleh siular, tangannya membalik
berbareng jarinya menyelentik tepat sekali menjentik ujung ekor siular, ular itu berteriak
kesakitan, tapi mulutnya tetap menggondol patung Buddha itu tak mau meletakkan, gesit sekali
mendadak hendak menerobos keluar. Ketiga jari tangan Thian-hi lantas mencengkeram ke
tempat kelemahan siular di bawah kepalanya, cara kerjanya cepat dan telak, apalagi dia sudah
bertekad hendak menangkap ular lihay ini.
Tapi disaat ia berhasil, mendadak dari belangkangnya terasa menyerang datang
sejalur angin kencang menerjang ke arah jalan darah Ling-tai-hiat dipunggungnya, keruan kejut
hati Thian-hi, tangkas sekali ia membalikkan telapak tangannya yang lain menyampok ke belakang,
seekor ular putih telak sekali kena ditamparnya sampai jatuh di atas belandar tak bergerak
lagi. Ular hitam itu lari lagi ke depan, namun mana bisa lolos dari kesigapan tangan
Thian-hi, sekali berkelebat ia mengejar maju dan tepat sekali berhasil menggencet kelemahannya di
bawah kepalanya, ular itu dipaksa mengeluarkan patung Budha, lalu sambil menjinjing
patung Buddha itu Thian-hi melompat turun ke-bawah.
Cepat Thian-hi maju menghadap kepada Baginda memberi lapor, "Pencurinya adalah
seekor ular, sudah berhasil hamba ringkus, di atas belandar masih terdapat seekor ular
putih yang lain juga berhasil kupukul mampus!"
Baginda berseri tawa, ujarnya, "Jasa Hun-ciangkun sungguh tidak kecil, ilmu
silatnya juga hebat sekali, Yim (aku) berkeputusan untuk memberi anugerah dan pahala kepada kau."
Tuan putri mengikik tawa dan melangkah maju, katanya, "Ilmu silatmu ternyata
begitu lihay. Sungguh aku tidak mengira kaulah orangnya yang naik ke atas belandar!"
Hun Thian-hi merangkak bangun.
Dengan heran sang Baginda bertanya kepada tuan putri, "Jadi kalian sudah kenal?"
"Ya," sahut tuan putri, "Belum lama berselang aku udah pernah melihat dia,
kemarin pagi akupun baru teromong2 dengan dia!"
Sang Baginda melenggong. Thian-hi berkata, "Pemelihara ular ini pasti berada di
dalam istana juga, ular ini belum mati, harap sang Baginda menyingkir, aku mau melepasnya
untuk mencari pemiliknya." Sang Baginda rada sangsi, akhirnya berkata, "Aku sudah berada disini tak perlu
menyingkir lagi. Aku ingin ikut menyaksikan!"
Apa boleh buat Thian-hi lantas melepas ular hitam tu. Ular itu merambat cepat
sekali berputarputar di dalam istana lalu melata keluar, begitu cepat dan gesit sekali gerak
geriknya, namun selama itu Thian-li membuntuti di belakangnya dengan ketat.
Setelah melewati sebuah serambi panjang mereka memasuki sebuah taman, kesanalah
ular hitam itu menuju terus menuju ke sebuah gunung2an palsu, untung Thian-hi
bergerak sangat cepat sebelum si ular menyusup masuk ke dalam sebuah lubang di bawah gunung2an
palsu itu ia berhasil menawannya pula. Sementara itu sang Baginda, tuan putri dan banyak
orang lagi pun telah tiba. Segera sang Baginda memberi perintah, "Panggil orang untuk mengeduk
gunung2an palsu ini, apakah barang-barang yang hilang tu berada di sana."
Tak lama kemudian beberapa orang telah datang lalu mencangkul dan menggali
lobang itu, setelah gunung2an itu roboh tampak di bawahnya situ memang terpendam barang-
barang mestika yang hilang itu. Baginda jadi berpikir, katanya tertawa, "Siapakah pemelihara ular ini sulit
diketahui dalam waktu singkat ini, bunuh saja ular itu habis perkara!"
Apa boleh buat, terpaksa Thian-hi melaksanakan perintah raja. Tapi dia tahu
bahwa belakangan hari kejadian ini pasti bakal menimbulkan bibit bencana yang lebih besar.
Bab 16 Tatkala itu cuaca sudah gelap gulita. Baginda suruh Thian-hi besok pagi harus
masuk piket dan memberi lapor selengkapnya. Setelah itu ia lantas tinggal pergi bersama tuan
putri. Ma Bong-hwi tertawa puas, katanya kepada Thian-hi, "Kalau Lote ingin mencapai
kedudukan yang lebih tinggi besok pagilah saatnya. Kejadian hari ini sungguh diluar
dugaanku, kiranya hanya seekor ularlah yang membuat gara-gara. Kalau bukan atas tindakanmu yang cepat
sungguh aku tidak berani membayangkan akibatnya."
Hun Thian-hi tertawa tawar. katanya., "Inipun berkat adikmu yang beritahu kepada
aku!" Ma Bong-hwi melengak, katanya tertawa, "Dia lagi, Dia tidak beritahu kepada aku,
kini memberitahu kepada kau malah." dengan cengar-cengir pandang Thian-hi.
Thian-hi kehabisan kata-kata untuk menjawab. Begitulah segera mereka keluar dan
pulang bersama. Sepanjang jalan diam-diam Thian-hi ambil keputusan, ia sudah penujui
gunung gemunung yang tinggi dan luas di belakang Thian-seng itu. Ingin dia mencari
suatu tempat disana untuk mengasingkan diri sementara.
Begitu tiba di gedung Ciangkun, sudah tentu terjadi keramaian dengan sambutan
yang meriah sekali. Tengah malam itu juga diam-diam Thian-hi sudah mempersiapkan diri,
setelah ganti pakaian ia menulis sepucuk surat diletakkan di atas meja, diamat-amati kedua
batang seruling itu lalu disimpan ke dalam butalannya, gesit sekali ia melompat keluar dari jendela
terus tinggal pergi. Begitu tiba di luar ia terus memasuki taman bunga belum berapa langkah ia
berjalan tiba-tiba ia menjublek di tempatnya, kelihatan Ma Gwat-sian tengah berdiri disana menantikan
dirinya. Kata Ma Gwat-sian tertawa, "Hun-toako! Aku tahu kau pasti akan tinggal pergi,
maka sejak tadi ku-tunggu kau disini. Thian-hi menunduk tanpa buka suara, segala gerak geriknya ternyata sudah di
dalam perhitungan Ma Gwat-sian.
"Mari kau ikut aku," ajak Ma Gwat-sian, "Ada beberapa patah kata hendak
kuucapkan kepada kau." Hun Thian-hi menguntit di belakangnya, Ma Gwat-sian mencari sebuah batu hijau
besar lalu duduk di sana. Diapun suruh Thian-hi duduk di sebelahnya, setelah rada sangsi
Thian-hi duduk juga di sampingnya. Kata Ma Gwat-sian, "Guruku beritahu kepada aku, katanya jika
kau mau menyembunyikan jejak dan asal usulmu, ada lebih baik kau sembunyi di dalam kota
besar saja. Kau punya harapan untuk menjabat sebagai komandan Gi-lim-kun. Tapi bila kau
berkukuh hendak pergi, cara menghilangmu yang mendadak ini malah akan menimbulkan prasangka."
Thian-hi menjublek tanpa bicara, otaknya tengah berpikir.
Kata Ma Gwat-sian pula, "Watakmu rada congkak, tapi bila kau sudi menjabat
pangkat, orang lain tidak akan mengira ada seorang tokoh kosen menyembunyikan diri sebagai
pejabat tinggi pemerintahan. Sebaliknya kalau kau tinggalkan pangkat dan kedudukan ini, justru
bakal membongkar rahasiamu sendiri."
Thian-hi juga menginsyafi hal itu, katanya, "Jadi maksudmu supaya aku tetap
tinggal saja?" Ma Gwat-sian tertawa. ujarnya, "Itupun menurut omongan guruku, aku hanya
menyampaikan saja kepada kau!" Heran dan ketarik hati Thian-hi, tanyanya, "Sebenar-benarnya siapakah gurumu
itu" apa boleh beri tahu padaku?" "Kau tak usah kuatir akan hal itu! Guruku tidak akan mencelakai kau!"
Hun Thian-hi tak enak untuk bertanya lebih lanjut, terpikir olehnya ucapan Ma
Gwat-sian tadi memang cukup masuk di akal, tiada halangannya ia menurutkan nasehat itu,
tanyanya, "Apakah kau tahu asal usulku sejelasnya?"
"Juga tidak! Tempo hari guruku pernah berjalan-jalan sampai dipinggir tebing
curam itu, dilihatnya sebarisan lobang2 kecil, tahu ia bahwa pasti ada seseorang Tionggoan
yang telah menyelundup masuk kenegeri ini, dan akupun menemukan kau pula, dan kaupun
menggunakan seruling, maka tahulah aku bahwa pasti kau datang dari Tionggoan, tidak salah
bukan rekaanku"."
Dengan cermat Thian-hi pandang sepasang biji mata Ma Gwat-sian yang jeli bening
berkilat, wajahnya begitu halus elok bak umpama sang dewi dari rembulan, serta merta
kepalanya manggut-manggut. diam-diam bercekat hatinya, kiranya tanpa disadari aku telah
meninggalkan jejak waktu menyelundup masuk ke Thian-bi-kok ini.
Kata Ma Gwat-sian lagi, "Orang yang mengetahui nama Tay-seng-ci-lau sedikit
sekali jumlahnya, yang bisa menyelami intisarinya jarang pula terdapat. Sebaliknya
begitu kau melihat Tay-seng-ci-lau dengan gugup lantas suruh Siau-hou mengembalikan, dapatlah
diselami bahwa kau pasti sudah paham akan Tay-seng-ci-lau itu, malah hatimu juga baik dan
lurus!" Diam-diam mengeluh hati Thian-hi, setiap tujuan gerak-geriknya seolah-olah telah
dipaparkan secara jelas dihadapan Ma Gwat-sian.
"Pada malam itu, ada seseorang datang menyatroni engkohku, setelah orang itu
pergi salah seorang pengawal telah dibunuh oleh engkohku. Tapi pengawal itu mengeluarkan
suara lebih dulu, sebetulnya tiada alasannya dia berteriak kecuali ada seseorang yang
memaksanya begitu. Dan lagi dalam gedung kita ini tiada orang lain kecuali kau!"
Thian-hi bungkam seribu busa, tak kuasa ia mendebat. menunduk saja tanpa
bersuara. Ma Gwat-sian tersenyum. ujarnya, "Itu melulu analisaku yang cukup cermat belaka.
untung benar-benar semuanya. Guruku sudah menghapus jejak yang kau tinggalkan itu, kau
tak usah kuatir."

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gurumu itu pasti seorang aneh yang kosen, aku tiada jodoh untuk menghadap
menyatakan terima kasih kepada beliau, harap kau suka mewakili aku menyatakan hormat dan
sembah sujudku." "Kenapa begitu sungkan, sekarang apa kau pasti hendak pergi" Atau tetap tinggal
disini?" Thian-hi beragu dan tak bersuara.
"Menurut aku, aku harap kau tetap tinggal disini. urusan disini belum selesai,
masih banyak hal yang harus kuminta bantuanmu.
Akhirnya tanpa bersuara Thian-hi manggut-manggut setuju.
Benar-benar juga besok paginya Thian-hi diangkat menjadi Bu-wi Ciangkun,
kedudukannya sebagai komandan Gi-lim-kun.
Setelah lewat lohor, tuan putri minta Thian-hi menyiapkan kereta, dia ingin
mengendalikan kereta pergi pesiar. minta Thian-hi sebagai pengiringnya. Terpaksa Thian-hi
turuti permintaannya, tak lupa iapun menyiapkan tunggangannya.
Tak lama kemudian tuan putri sudah berdandan mengenakan seperangkat pakaian
ketat serba merah langsung naik ke atas kereta, katanya kepada Hun Thian-hi, "Kau harus
hati-hati menguntit dibelakangku jangan sampai ketinggalan!" Selesai berkata kudanya segera dibedal
dengan kencang. Thian-hi membawa empat orang pengikut. Begitu enam ekor penarik kereta tuan
putri membedal kencang bersama pengikutnya Thian-hi segera menyusul. Setelah keluar
dari pintu selatan mereka berputar-putar mengelilingi kota tiga putaran lalu luruS menuju
ke selatan. Menginsafi tugasnya yang berat Thian-hi tidak berani lena dengan kencang iapun
mengikuti dibelakang. keenam ekor kuda penarik kereta, adalah kuda pilihan, keruan keempat
pengikutnya itu jauh ketinggalan dibelakang. Hun Thian-hi sendiri juga ketinggalan beberapa
tombak dibelakang. Entah berapa jauh dan berapa lama mereka seolah-olah berlomba, akhirnya tuan
putri memperlambat lari keretanya. Lambat laun Hun Thian-hi dapat mengejar dekat,
sambil memandang ke arahnya tuan putri tersenyum geli. sambil membetulkan letak
rambutnya ia berkata, "Selamanya belum pernah ada orang mampu mengejar aku sedemikian dekat!"
Setelah dekat Thian-hi merogoh keluar seruling batu Giok putih itu dikembalikan
kepada tuan putri. katanya, "Tempo hari tuan putri lupa membawa kembali seruling ini, harap
tuan putri suka terima kembali." "Tidak usah. kuberikan kepadamu!" Thian-hi melengak, tuan putri berkata lagi,
"Sebetulnya aku tidak bisa meniup seruling kau ambil saja!"
"Aku sendiri sudah punya, harap tuan putri suka terima kembali."
"Kenapa?" tanya tuan putri kurang senang. "Apa kau tidak sudi menerima
pemberianku" Serulingmu sendiri itu justru sangat baik, kalau kau ingin kembalikan, boleh
ditukar dengan milikmu itu saja!" Thian-hi menjadi serba sulit. katanya, "Sebetulnya serulingku itu harus
dipersembahkan kepada tuan putri, soalnya seruling Itu pemberian seorang Cianpwe sebagai kenang2an tak
boleh hilang!" Tuan putri mendengus hidung, waktu berpaling dilihatnya keempat pengikut itu
sudah kelihatan bayangannya, pecutnya segera terayun "tar!" keenam kuda penarik kereta itu
segera mencongklang lagi seperti kesetanan. Terpaksa Thian-hi menyimpan seruling dan
mengejar lagi. Kali ini tuan putri membelokkan keretanya memasuki hutan pegunungan, keretanya
menjadi bergoyang2 seperti menari2 di atas pegunungan yang belukar dan tidak rata itu.
Thian-hi menjadi kuatir, betapa pun baiknya tuan putri dapat mengendalikan kereta. namun
dijalanan yang tidak rata ini bukanlah mustahil nanti bisa terjadi sesuatu diluar diluar dugaan.
Dengan sekuat tenaga dan segala daya upaya Thian-hi berusaha mengejar, namun
tunggangan sendiri kalah kalau dibanding keenam kuda pilihan penarik kereta itu, jarak
mereka tetap beberapa tombak. Mendadak didengarnya Tuan putri menjerit2 ketakutan, Thian-hi terkejut
dan membedal maju. tampak keenam kuda itu berdiri berbareng dan menjadi beringas liar
ketakutan, Kiranya tak jauh disebelah depan sana tampak dua ekor beruang besar tengah
mendatangi pelan-pelan, tuan putri menjadi pucat ketakutan. Thian-hi sangat kalut, cepat ia
lonmpat turun seraya melolos pedangnya. lalu memburu ke depan mencegat di depan kedua biruang
besar itu. "Tio Gun" teriak tuan putri. "Lekas kembali, seorang diri mana kau mampu
melawan!" Terlihat oleh Thian-hi kedua biruang ini jauh lebih besar dan tinggi dari
tubuhnya sendiri, tinggi kepalanya hanya sebatas pinggang kedua ekor biruang itu. Diam-diam ia heran dan
kejut akan kebesaran kedua ekor biruang ini, namun mana Thian-hi gentar menghadapi kedua
binatang ini. Katanya tertawa, "Tuan putri tak perlu takut, hari ini anggap saja kita berburu
biruang." Melihat Thian-hi berani maju sambil menenteng pedang, kedua ekor biruang itu
seperti merasa heran dan saling pandang, sambil mengaum keras serempak menubruk ke arah Thiani-
hi. Thian-hi juga membentak keras, badannya berkelit menyingkir ke samping, seluruh
tenaga dikerahkan ditangan kanan begitu sebat gerak geriknya, begitu berada disamping
kiri salah seekor biruang itu. kontan pedangnya lantas bekerja menusuk ambles seluruh batang
pedangnya ke dalam lambungnya. Biruang itu menggerung kesakitan dan murka. seekor yang lain segera mengulur
sebelah tangannya mengemplang kekepala Thian-hi. Thian-hi berusaha menutupi kepandaian
sendiri, sambil menarik pedangnya ia melompat berkelit lagi rada jauh, dari kejauhan ini
segera ia ayun pedangnya, laksana anak panah selarik sinar pedangnya meluncur ke depan dan
ambles seluruhnya kedada biruang yang lain itu.
Meski terluka berat kedua biruang itu masih belum mati, namun sebelum ajal
mereka pantang menyerah, berbareng menggerung keras terus menubruk maju lagi dengan cakar
terpentang! Tatkala itu jarak mereka semakin dekat, keruan tuan putri menjerjt ketakutan.
dilihat pula oleh Thian-hi keenam ekor kuda itu tak jauh disebelah sana, sedikit beragu kedua ekor
biruang itu sudah menyerbu datang. tanpa banyak pikir lagi mulut Thian-hi bersuit nyaring,
Pan-yok-hiankang yang dilatihnya selama beberapa lama ini segera digunakan. seenaknya saja ia
menepuk ke depan. kontan kedua ekor biruang yang tinggi besar itu diterpa gelombang tenaga
pukulan yang dahsyat sehingga terpental tiga tombak jauhnya, rebah tak berkutik lagi.
Sekian lama Thian-hi berdiri menjublek. hatinya sungguh sangat menyesal, tidak
seharusnya ia melancarkan Pan-yok-hian-kang, bagi seseorang yang punya landasan pelajaran
silat, begitu melihat seluruh isi perut kedua biruang ini hancur luluh pasti mereka bakal tahu
bahwa keduanya terpukul mati oleh sebuah pukulan tenaga dalam yang sangat hebat.
Tengah ia tenggelam dalam pikirannya. tiba-tiba terasa sebuah tangan meraba
pundaknya, kontan ia tersadar dari lamunannya. tampak tuan putri berdiri di depannya,
kelihatannya ia sangat takut sehingga seluruh tubuhnya lemas lunglai hampir roboh.
Serta merta Thian-hi harus memajangnya katanya: Tuan putri tak perlu takut
lagi!" Saking lemas tubuh tuan putri lantas menggelencut ke dalam pelukan Thian-hi.
katanya, "Disini tiada orang lain, tak usah kau panggil aku tuan putri, aku bernama Ih-gi!"
Tergetar hati Thian-hi, cepat ia memajangnya berdiri. katanya, "Tuan putri!
Biruang itu sudah mampus, silakan tuan putri berdiri, tak usah takut!"
Setelah berdiri tegak dengan berang tuan putri pandang Thian-hi, katanya, "Apa
kau tidak suka kepada aku?" Merah jengah dan panas muka Thian-hi, jawabnya tergagap, "Tuan putri berbadan
agung berkedudukan tinggi. mana bisa aku...."
"Bukankah kau sendiri sekarang sebagai panglima tinggi yang pegang kekuasaan.
masa kau tidak berani menyukai aku?"
Thian-hi menghela napas, katanya, "Tuan putri kau dan aku baru bertemu beberapa
kali, mana bisa membicarakan soal ini."
Tuan putri cemberut dan kurang senang, tanyanya. "Kudengar Ma-ciangkun punya
seorang adik perempuan, apa benar-benar?"
"Benar-benar, tapi apa sangkut pautnya dengan kau?"
Tuan putri menjengek tanyanya, "Apakah kau pernah bertemu dengan dia"
Thian-hi manggut-manggut.
"Sejak lama sudah kudengar bahwa dia punya seorang adik perempuan yang sangat
cantik, tapi selamanya belum pernah keluar pintu, tiada seorang pun yang pernah melihat
dia, banyak orang mengajukan lamaran semuanya gagal, dia cantik bukan?"
Bicara sampai disini tuan putri menjadi rawan, pelan-pelan ia menunduk. dilain
saat ia angkat kepala dan bertanya tegas, "Jangan kau bohongi aku. Sebetulnya kau suka aku atau
suka dia." Thian-hi terlongong sekian lamanya, dilihatnya sikap tuan putri begitu murung
dan sedih sungguh sangat kasihan, setelah menarik napas, ia berkata, "Kejadian di dunia
ini siapa yang berani mengira sebelumnya!"
Sungguh dia tidak mengira setelah berada di Thian-bi-kok ini dia harus
menghadapi berbagai kesulitan ini. Angkat kapala dilihatnya tuan putri masih menantikan jawabannya, terpaksa ia
berkata, "Tuan putri! Menurut hemadku, tidak lebih kita sebagai sahabat yang baru berkenalan
saja!" Tuan putri membalikkan tubuh dengan jengkel langsung ia naik ke atas kereta.
Thian-hi memburu datang serunya berteriak, "Tuan putri tak boleh menuju ke dalam sana."
Tak usah kau urus aku!" semprot tuan putri gusar Keretanya dilarikan lagi ke
depan dengan cepat, Thian-hi menjadi gugup dan berteriak-teriak, terpaksa ia memburu dengan kencang.
untung jalanan disebelah depan sangat jelek lari kereta menjadi lambat, Thian-hi bisa
mengejar semakin dekat. Akhirnya kereta berhenti juga karena jalan terlalu sempit. Thian-hi
lantas tampil ke depan serta berkata, "Tuan putri. mari putar haluan saja!"
"Tidak mau. Kau temani aku disini, orang lain takkan mampu mencari kemari."
Begitulah tuan putri merengek2. Thian-hi angkat pundak tanpa bersuara.
Begitulah mereka berdiri tanpa bersuara, sejenak kemudian tuan putri membuka
suara, "Hatiku kesal, coba kau tiup serulingmu untuk menghibur hatiku."
Apa boleh buat Thian-hi keluarkan serulingnya. di lain saat irama yang merdu
mengasjikkan mengalun merdu di alam pegunungan yang sunyi, dengan asjik dan menjublek tuan
putri mendengarkan tanpa merasa air mata mengalir membasahi pipinya yang putih molek,
setelah lagunya habis, ia lantas berkata sesenggukkan, "Kenapa kau bersikap dingin
terhadap aku?" Thian-hi tidak tahu cara bagaimana harus menjawab. sesaat kemudian baru ia
bersuara, "Citacita dan tujuan hidup kita berlainan, kau dan aku bukan manusia dalam satu
tingkatan." Tuan putri terlongong memandang Thian-hi katanya, "Yang kuinginkan hanyalah kau.
Apabila kau megejar kedudukan pangkat dan harta, semuanya dapat kuberikan kepada kau,
apakah kau menyangsikan kemampuanku?"
Thian-hi tersenyum, ujarnya, "Banyak kejadian di alam fana ini yang belum
diketabui oleh tuan putri, tak pernah terpikir olehku untuk mengejar pangkat dan harta, yang terang
memang tuan putri bersikap sangat baik terhadap aku. sungguh aku harus nyatakan banyak
terima kasih, menurut pendapatku tuan putri tak lain karena terburu oleh perasaan belaka, dulu
aku juga pernah mengalami hal demikian.'
"Bukan begitu jalan pikiranku, kau pandai silat dan pintar sastra lagi, apalagi
watakmu cukup baik dan lurus, tidak seperti putra Tan-siangkok itu, sikapnya takabur dan
licik. Kau punya bakat sebagai pemimpin, calon suamiku kelak pasti dapat mewarisi kedudukan raja.
menurut pilihanku kaulah yang paling tepat!"
Thian-hi tertawa getir, katanya, "Kelak kau akan tahu sendiri bahwa justru aku


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang yang paling tidak tepat."
Tuan putri menunduk menepekur, beberapa lamanya tak bersuara lagi.
"Tuan putri," panggil Thian-hi pelan-pelan, "aku bicara menurut kenyataan." -
suaranya begitu lirih hampir kupingnya sendiri juga tak dapat mendengar.
Mereka menjadi menjublek di tempat masing-masing tanpa bersuara sampai sekian
lamanya. Akhirnya Thian-hi yang membuka kesunyian lagi, "Cuaca hampir gelap, kita harus
lekas pulang!" Dengan menunduk tuan putri memutar keretanya kembali, dia biarkan saja keenam
kuda putih itu berjalan pelan-pelan, kedua biji matanya lempang mengawasi depan tanpa
berkesip, seolaholah tenggelam dalam pemikiran yang tiada berujung pangkal.
Dengan menunggang kuda Thian-hi berjalan disisi kereta, dari samping terlihat
olehnya rambut tuan putri yang terurai dihembus angin memanjang, ujung matanya basah oleh air
mata. Sambil menghela napas ia menunduk tak berani melihat lagi.
Begitulah dengan legak-legok kereta itu akhirnya sampai juga di jalan raja, jauh
di ufuk barat sana sang surja sudah hampir tenggelam. Keempat anggota Gi-lim-kun itu dengan
gelisah masih menanti diluar hutan. Setelah tiba di istana, Thian-hi rasakan seluruh badannya capai, setelah makan
malam ia terus masuk kamar berlatih. Pan-yok-hian-kang. Tapi sekian lama ia menjadi gundah
karena pikirannya tak bisa tenteram. Akhirnya dengan kesal ia berjalan keluar dan mondar-mandir di
serambi panjang lalu meronda ke berbagai pos penjagaan, tampak rombongan demi rombongan
pasukan Gi-lim-kun mondar mandir meronda, tanpa tujuan kakinya melenggong sampai ufuk
timur mulai terang. Hari kedua dari istana dalam didapat kabar bahwa tuan putri rebah di tempat
tidur tak bisa bangun, jatuh sakit. Diam-diam Thian-hi menghela napas.
Setelah piket, Ma Bong-hwi mengundangnya Thian-hi kerumahnya, tapi Thian-hi
takut bertemu dengan Ma Gwat-sian, menggunakan alasan kerena repot di istana, ia menolak
ajakan itu. Tak lupa ia menanyai alamat tempat tinggal Tan-siangkok, Ma Bong-hwi rada sangsi,
namun akhirnya memberi tahu juga. Diam-diam Thian-hi sudah berkeputusan untuk menyatroni gedung kediaman Tan-
siangkok untuk membuat penyelidikan, orang macam apakah sebenar-benarnya Tan-siangkok
itu, setelah segala urusan disini dapat dibereskan lebih baik akupun harus segera membebaskan
diri dari segala kerepotan. Baru saja cuaca menjadi gelap Thian-hi lantas salin pakaian hitam yang ketat.
Gedung kediaman Tan-siangkok juga berada di Thian-seng ini, segera ia beranjak menuju
ke gedung Tansiangkok. Tak lama kemudian ia sudah tiba diambang pintu gedung Tan-siangkok, setelah
celingukan tak melihat bayangan orang, sekali berkelebat enteng sekali ia lompat
naik ke atas tembok lalu melejit lebih tinggi ke atas wuwungan. Pelan-pelan ia menggeremet
maju terus loncat turun ke sebuah taman bunga. Baru saja kakinya menyentuh tanah, di dalam
keremangan malam terdengar seseorang bicara, "Tan Su! Hari sudah gelap! Lekas lepaskan anjing!"
Terkejut Thian-hi, sebat sekali tubuhnya melejit tinggi hinggap di atap rumah.
Dengan seksama ia awasi keadaan sekelilingnya, didapatinya gedung Tan-siangkok ini jauh lebih
besar dan megah dibanding gedung Ma-ciangkun, empat penjuru dikelilingi tembok tinggi dan pohon-
pohon rindang dan tanam2an kembang. Di lain saat terlihat oleh Thian-hi bayangan hitam besar2
berlari-lari kian kemari, Thian-hi dapat melihat tegas itulah anjing2 besar sebangsa serigala yang
buas. Baru saja ia berniat maju lebih lanjut ke dalam, tiba-tiba pintu besar terbuka,
dari luar masuk seseorang. Diam-diam bercekat hati Thian-hi, karena dilihatnya orang yang baru
datang ini tak lain tak bukan adalah Ing-ciangkun Ing Si-kiat.
Thian-hi berpikir, ternyata benar-benar orang ini tidak bisa dipercaya, malam2
dia kemari tentu punya intrik dengan Tan-siangkok. Tidak salah kecurigaan Ma Gwat-sian
terhadapnya. Tampak Ing Si-kiat menggunakan pakaian preman, Tan-siangkok sendiri menyongsong
keluar menyambut tamunya ini, setelah sekedar sapa sapi mereka masuk bersama. Diam-diam
Thian-hi menguntit mereka dari atas genting.
Mereka memasuki sebuah ruang besar, empat penjuru ruang besar itu terjaga ketat,
dengan hati-hati Than-hi berkelebat keluar terus sembunyi di bawah pajon untuk mencuri
dengar. Terdengar Tan-siangkok bertanya kepada Ing Sikiat, "Apakah Ing-ciangkun tahu
asal usul Tio Gun itu?" Ing Si-kiat menjawab, "Ma Bong-hwi cukup percaya kepada aku, namun soal ini dia
tidak pernah beritahu kepada aku, aku sendiri juga tidak enak menanyakan!"
Diam-diam hati Thian-hi, pikirnya; Ing Si-kiat ternyata sedang menyelidiki asal
usulku terang memang sekongkol dengan Tan-siangkok. Tapi entah apa yang sedang hendak mereka
lakukan. Tan-siangkok mengerutkan alis, katanya, "Tio Gun itu memang cukup menyebalkan,
ilmu silatnya benar-benar hebat, Baginda kelihatannya sangat sayang dan bangga
kepadanya. Sebetulnya Komandan Gi-lim-kun dijabat oleh adikmu, kini berada di tangannya,
kukira urusan akan lebih menyulitkan kita!"
Bercekat hati Thian-hi, batinnya, "Ternyata mereka hendak berontak, tak heran Ma
Gwat-sian bilang kecuali peristiwa kehilangan barang-barang mestika itu, Thian-bi-kok ini
masih punya bencana lain yang bakal terjadi."
"Entah bagaimana dengan putramu itu" terdengar Ing Si-kiat bertanya....
Tan-siangkok mendengus, sahutnya, "Dia kurang becus, tuan putri melirik pun
tidak mau melihat dia!" "Menurut berita yang kuperoleh dari Gi-lim-kun, katanya tuan putri sangat
simpatik terhadap Tio Gun, apalagi sebelum ini mereka sudah pernah berjumpa."
"Apa benar-benar?" Tan-siangkok menegas.
Ing Si-kiat manggut-manggut.
Thian-hi menjadi was-was, ternyata diantara anggota pasukan Gi-lim-kun itu ada
mata2 pihak musuh, tak heran orang itu tempo hari begitu leluasa melenyapkan dirinya. Memang
pejabat komandan Gi-lim-kun yang terdahulu adalah adik kandung Ing Si-kiat, maka tak
perlu dibuat heran bahwa diantara mereka masih ada terdapat bawahan kepercayaannya. Setelah
kembali nanti aku harus mengadakan razia dan pembaharuan di dalam tubuh Gi-lim-kun.
Tan-siangkok berjalan mondar-mandir, katanya, "Tio Gun ini lebih menakutkan dari
Ma Bonghwi, bagaimana juga orang ini harus dilenyapkan."
"Kelihatannya Baginda juga semakin ceroboh, mengangkat orang tanpa tahu asal
usul orang itu, hanya mengandal kesenangan hati belaka."
Tan-siangkok mendengus dua kali, katanya, "Apakah dia tidak mencari tahu
siapakah dalang pencurian barang-barang mestika itu?" - pada perkataannya penuh rasa cemooh dan
membanggakan diri sendiri. Merandek sejenak lalu melanjutkan, "Tuan putri justru
sangat teliti dan cermat, Goan-mo anakku itu kiranya tidak memenuhi seleranya! Jah, apa boleh
buat!" "Kalau Tio Gun disingkirkan kukira putramu masih punya harapan. Angkat dia
sebagai komandan Gi-lim-kun, tanggung kelak ia bakal menonjol diantara rekan2nya."
Tan-siangkok berhenti lalu mendongak memandang atap rumah, di lain saat ia
mondar-mandir lagi, katanya: .,Toh-ciatsu situa renta itu tak perlu ditakuti, dulu hanya Ma
Bong-hwi seorang, dia pegang kekuasaan militer, sekarang tambah lagi seorang Tio Gun."
"Sepak terjang Tio Gun selama ini rada mencurigakan, entah darimana Ma Bong-hwi
menemukan bocah keparat itu."
Tan-siangkok berhenti lagi memandang Ing Si-kiat. katanya, "Jika tiada Ma Bong-
hwi dan tak ada Tio Gun pula, apa pula yang hendak kau lakukan?"
Ing Si-kiat tertawa, sahutnya, "Meskipun Ma-ciangkun berdinas luar, tapi
kekuatan tentaranya jauh lebih kuat dari aku, apalagi bala tentaranya juga jauh lebih terlatih,
melulu Tio Gun dan ratusan pasukan Gi-lim-kun tak perlu dibuat takut."
"Jikalau tiada mereka berdua, pasti Toh-ciatsu takkan berani banyak bacot.
Tatkala itu putraku bakal dapat menumpas huru-hara dan mendirikan jasa dan memperoleh pahala,
jikalau kita melamar putrinya, Baginda tak bisa tidak mesti menerima pinangan ini."
Thian-hi semakin jelas akan duduk perkara sebenar-benarnya. Kiranya Tan-siangkok
sedang berusaha supaya putranya menikah dengan tuan putranya menikah dengan tuan putri,
supaya kelak dapat mewarisi kedudukan raja, dengan jalan yang licik tapi cukup nyata
ini tentu tiada seorangpun yang tidak akan tunduk.
Ing Si-kiat tertawa, katanya, "Baginda raja tentu akan setuju!"
Tan-siangkok juga tertawa senang, ujarnya, "Kali ini tidak mungkin menggunakan
ular lagi. Tak kukira Tio Gun itu pandai menangkap ular!"
Ing Si-kiat berpikir sekian lama, katanya, "Bagaimana menurut pendapat Tan-
siangkok?" Tan-siangkok menyeringai sinis, dari atas rak buku diambilnya alat2 tulis terus
menulis apa-apa di atas telapak tangannya. Melihat huruf2 itu Ing Si-kiat tertawa, katanya,
"Akupun punya maksud
demikian." - terdengar gelak tawa mereka yang keras kumandang.
Thian-hi tidak tahu apa yang tengah mereka lakukan, tapi samar-samar ia dapat
meraba tentu mereka merencanakan sesuatu yang bertujuan jahat, entah tipu daya jahat apa lagi
yang sedang mereka rancang. Terdengar Ing Si-kiat berkata, "Cara ini dapat membabat rumput sampai ke-
akar2nya, cukup kita hadapi Tio Gun itu dengan cara yang lebih hati-hati saja!"
Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya, "Untuk pelaksanaannya kuharap Ing-ciangkun
membantu sekedarnya." "Ah, kenapa Tan-siangkok begitu sungkan" Untuk pelaksanaan rencana ini harap
Tan-siangkok memikirkan lebih matang."
"Urusan jangan terlambat, pukul besi mumpung masih panas, Tio Gun baru saja
diangkat menjadi panglima, kesempatan inilah yang paling baik untuk melaksanakan rencana
itu." "Menurut maksud Tan-siangkok...."
"Besok saja!" "Besokpun baik, tapi kalau rencana kali ini gagal belakang hari tentu bakal
menimbulkan bibit bencana." "Besoklah saatnya pembukaan dasar. masa kita tidak berlaku hati-hati. Bagaimana
menurut pendapat Ing-ciangkun mengenai pasukan yang berada di Bi-seng itu?"
"Yang aku kuatirkan hanyalah Ma Bong-hwi seorang, orang lain sedikit pun tidak
kupandang sebelah mataku." Lalu mereka bergelak tawa sambil berjabatan tangan. Ing Si-kiat lalu bangkit dan
minta diri, katanya, "Sekarang aku minta diri, rencana kerja di dalam seluruhnya tanggung
jawab Tansiangkok, mengenai penjagaan diluar akulah yang akan mengatur."
Tan-siangkok bangkit mengantar tamu, sahutnya, "Aku tak menahanmu lebih lama
lagi, waktu terlalu mendesak, harap Ing-ciangkun banyak membantu...."
Ing Si-kiat tertawa sambil manggut-manggut, mereka berjajar keluar pintu. Thian-
hi berkelebat di atas wuwungan, dilihatnya Tan-siangkok mengantar Ing Si-kiat sampai di pintu
luar. Thian-hi menghirup napas panjang, setelah meneliti keadaan sekelilingnya, sebat
sekali tubuhnya melesat terbang keluar dari lingkungan Gedung Tan-siangkok ini,
terdengar anjing di bawah meng-gonggong2 bersahutan Terpaksa Thian-hi mendekam di atas pojokan atap
tanpa berani bergerak, seluruh gedung menjadi ribut dan ramai, tak lama kemudian baru
kembali menjadi sunyi. Sementara itu hati Thian-hi masih menerawang, entah tipu daya apa yang sedang
direncanakan oleh kedua orang itu, dalam pada itu ringan sekali kakinya
melangkah bagai terbang berlari menuju keistana raja.
Dari kejauhan tampak istana yang megah menjulang tinggi, tanpa terasa terbayang
olehnya muka tuan putri yang sedih menangis, pelan-pelan ia menghela napas.
Begitu sampai diistana Thian-hi langsung kembali ke kamarnya. Ternyata Ma Bong-
hwi sedang menunggu disana. Begitu melihat Thian-hi pulang segera Ma Bong-hwi memapak maju serta tanyanya,
"Lote, kau menyelidik ke gedung Siangkok bukan?"


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian-hi tidak menduga hari sudah begitu malam namun Ma Bong-hwi masih berada di
tempatnya, sebagai jawaban ia manggut-manggut saja
"Lote," kata Ma Bong-hwi, "Bukan aku suka cerewet sebetulnya tindakanmu ini
terlalu bahaya, di dalam gedung Tan-siangkok ada memelihara ratusan anjing2 galak, sekali
jejakmu konangan. pasti kau bakal menghadapi banyak rintangan."
"Ucapan Toako memang benar-benar, malam2 Toako kemari entah ada urusan apa?"
"Bukan keperluanku adikku yang mengundang kau kesana, ada omongan yang perlu
dikatakan kepada kau." Berdetak jantung Thian-hi, Ma Gwat-sian mencari aku" Malah ada urusan lagi.
kelihatannya urusan yang cukup genting!
Thian-hi terlongong. Ma Bong-hwi mendesak, "Marilah sekarang juga berangkat,
dalam istana tiada pekerjaan penting, malam ini kau menginap dirumahku saja,"
Apa boleh buat Thian-hi segera ganti pakaian, setelah memberi pesan kepada anak
buahnya bersama Ma Bong-hwi naik kuda terus berangkat.
Tiba dipintu gerbang kota, kebetulan bersua dengan Ing-ciangkun. Begitu melihat
mereka berdua Ing Si-kiat segera maju menyapa, "Kiranya saudara Ma dan Tio-lote! Hendak
kemana kalian?" "Ternyata Ing-ciangkun, Ing-ciangkun selalu berdinas ronda sungguh tidak
mengenal lelah, kami hendak pulang kerumah Ma-ciangkun."
"Tentu kalian punya urusan penting! Silakan!" segera ia perintahkan membuka
pintu. Cepat Thian-hi berdua mencohgklang kuda keluar. Langsung mereKa menuju ke Bi-seng.
ditengah jalan Ma Bong-hwi menutur bahwa Siau-hou sangat kangen bertemu dengan Thian-hi. Thian-
hi tertawa senang, setelah sampai langsung mereka masuk keruang belakang.
Thian-hi segera menyampaikan salam kepada Ma-hujin serta, menjumpai Siau-hou.
Tak lama kemudian tampak Ma Gwat-sian juga keluar. Setelah bercakap-cakap sekadarnya Ma
Bong-hwi dan istrinya minta diri sambil menyeret Siau-hou masuk ke dalam.
Ma Gwat-sian unjuk senyuman manis, Thian-hi membalas dengan senyuman pula.
Kata Thian-hi, "Kudengar katanya kau punya urusan dengan aku, apa benar-benar?"
"Benar-benar. mungkin bagi kau cukup penting, sebab guruku sudah tahu sebab
musabab kau sembunyi dinegara kecil ini, tak lain untuk menghindari bencana bukan?"
Terkejut Thian-hi, berubah air mukanya, katanya tersekat, "Gurumu...."
"Beberapa hari yang lalu guruku baru pulang dari perjalanannya ke Tionggoan,
beliau rada kurang percaya akan sepak terjangmu dulu, beliau berkata kau bukan orang macam
itu. Tetapi kenyataan kau sembunyi di tempat ini!'
"Adakah orang lain pula yang mengetahui?"
"Kau tak usah gelisah." ujar Ma Gwat-sian, "Hanya guruku dan aku saja yang tahu.
Menurut guruku hanya ingin mencari tahu dulu, apakah berita itu dapat dipercaya."
Thian-hi mandah tertawa ewa, seolah-olah ia mendapat firasat apa-apa sampai pada
tahap sekarang agaknya aku tidak usah pedulikan segala tetek bengek lagi. katanya,
"Adakah gurumu membicarakan keadaan di Tionggoan?"
Sekian lama Ma Gwat-sian pandang Thian-hi lalu katanya tertawa, "Situasi di
Tionggoan sangat kalut, katanya banyak gembong-gembong iblis bermunculan membuat huru hara....
Tiada seorang toKoh kosen dari aliran lurus yang mampu mengatasi gelombang huru hara ini."
Thian-hi manggut dengan maklum, tahu ia bahwa Kiu-yu-mo-lo sudah lolos, tentu
dia bakal menimbulkan keonaran, entah apakah Tok-sim-sin-mo juga sudah berhasil lolos,
kalau dihiturg waktunya, perjanjian Soat-san-su-gou dengan Bu-bing Loni bakal habis waktunya,
entah apakah beliau bisa mencari dirinya di tempat ini.
"Apakah kau masih punya sanak kadang di Tionggoan?" demikian Ma Gwat-sian main
selidik. "Guruku masih hidup, aku punya seorang taci angkat, entah bagaimana keadaan
mereka." Ma Gwat-sian menunduk, sesaat kemudian bertanya, "Orang lain adakah yang membuat
hatimu rindu padanya?"
"Memang banyak orang di Tionggoan menyangka aku ini sesuai dengan berita yang
tersebar luas itu, namun banyak pula orang-orang yang menanam budi kepada aku, selamanya
hatiku terkenang dan berterima kasih kepada mereka." demikian Thian-hi berdiplomasi.
Ma Gwat-sian tertawa, katanya, "Thian-bi-kok ini selamanya melarang orang asing
menyelundup kemari, memang orang luar tidak akan mampu datang kemari. Kalau kau
diketahui datang dari Tionggoan pasti kau akan mengalami kesulitan."
"Terima kasih akan peringatanmu ini, aku pun terpaksa datang kemari...."
"Asal guruku tidak membuka rahasia ini. selamanya tidak akan ada orang tahu."
"Kukira tidak lama lagi aku harus meninggalkan tempat ini, kedatanganku ini
tidak punya perhitungan untuk menetap selamanya disini."
Ma Gwat-sian rada melengak, katanya, "Benar-benar kau hendak pergi?"
"Ya, aku tidak bisa menetap terlalu lama disini. Banyak urusan yang harus
kukerjakan di Tionggoan, tak bisa aku menyembunyikan diri saja disini."
"Apa kau tidak takut" Apakah kau unggulan melawan mereka?"
"Seumpama tidak unggulan aku juga harus pulang ke sana."
"Kau tak usah kuatir," ujar Ma Gwat-sian lirih, "Aku bisa minta guruku bantu
kau, asal beliau mau, kau tentu tak perlu kuatir lagi. Ketahuilah gunung gemunung di belakang
Thian-seng yang bernama Thian-ting itu, banyak bersemajam orang-orang aneh, guruku adalah orang
aneh diantara orang-orang aneh itu."
"Ada kalanya suatu urusan yang tidak bisa diselesaikan dengan bantuan orang
luar, apalagi gurumu sekarang sedang menyelidiki keadaanku, betapapun tak mungkin membantu,
untuk kebaikan ini, aku terima setulus hati."
"Sekarang kau tak usah gelisah, segalanya akulah yang mengatur, guruku tidak
akan bertindak terhadap kau." "Terima kasih akan kebaikanmu ini." ujar Thian-hi tertawa dibuat-buat.
"Tak perlu sungkan, bagaimana keadaanmu di istana?"
"Cukup baik!" "Tadi pagi engkohku mengundang kau kemari, kenapa kau tak mau datang?"
"Aku baru saja terima jabatan, disana ada urusan pula maka tiada senggang
kemari." "Hun-toako," ujar Ma Gwat-sian menunduk, suaranya lirih, "Aku merasa....seolah-
olah kau segan bertemu dengan aku!."
"Tak ada kejadian itu!" cepat Thian-hi menyahut gugup.
"Kau tak usah kelabui aku," ujar Ma Gwat-sian lirih, "aku sudah tahu! Tapi aku
tidak tahu kenapa kau tak sudi bertemu dengan aku!"
"Mana ada kejadian begitu, hubungan kami seperti saudara sekandung, mana bisa
aku tak sudi bertemu dengan kau!"
Ma Gwat-sian angkat kepaja mengawasi Thian-hi dengan seksama, katanya, "Coba
beritahu aku apakah karena urusan tuan putri, kemarin siang kau keluar pesiar bersama
tuan putri, pulangnya air muka tuan putri rada berbeda dengan keadaan biasanya, hari ini
kudengar kabar dia jatuh sakit lagi! Kenapa?"
Sungguh gugup dan gelisah hati Thian-hi, kata-kata Ma Gwat-sian memang tepat dan
sulit untuk dielakkan, terpaksa ia menjawab, "Tiada kenapa, di atas gunung kami
berjumpa dengan dua ekor biruang yang tinggi besar, dia ketakutan tapi biruang itu berhasil
kubunuh." "Kukira bukan itu sebabnya, aku tahu watak tuan putri, tak mungkin karena
gangguan kedua ekor biruang itu lantas menjadi murung, kedua ekor biruang itu tak perlu dibuat
heran, semestinya dia perintahkan orang untuk mengangkutnya pulang serta memberikan pujian muluk2
kepada kau, tapi semua ini tak pernah terjadi."
"Tapi kami memang benar-benar disergap oleh kedua ekor biruang itu." Thian-hi
meng-ada2 membela diri. "Jadi kau sudah mengakui bukan karena kedua ekor biruang itu sehingga tuan putri
bersikap dingin dan murung. Pasti ada kejadian lain yang lebih penting lagi, kalau tidak
tak mungkin dia begitu sedih sampai jatuh sakit!"
"Tuan putri adalah putri tunggal Baginda, kelak dialah yang bakal mewarisi
kedudukan ayahnya, ada omongan yang tidak bisa ku utarakan."
"Beritahu kepadaku," tiba-tiba Ma Gwat-sian menyela, "Apakah dia. jatuh hati
kepada kau?" Bergetar tubuh Thian-hi, kepalanya terangkat ia mengamati Ma Gwat-sian, katanya,
"Kenapa kau bisa memikirkan ke arah itu?"
"Betul bukan?" ujar Ma Gwat-sian bangkit berdiri sambil tertawa-tawa, "Kudengar
dari engkohku katanya kau pernah bertemu dengan dia dalam istana, tentu sikapnya
sangat simpatik terhadap kau. Kau jauh lebih kuat dan baik dibanding putra Tan-siangkok. Kau
dapat menduduki jabatanmu sekarang sebagai Komandan Gi-lim-kun kukira dia punya andil yang cukup
besar." Thian-hi menjadi sebal, segera ia mengalihkan pembicaraan, katanya, "Tadi baru
saja aku menyelidiki ke gedung Tan-siangkok. Disana kulihat Ing-ciangkun sedang
mengadakan perundingan rahasia."
"0," Ma Gwat-sian mengiakan, katanya, "Mereka sedang berunding cara bagaimana
untuk menghadapi kalian bukan?"
"Akhirnya Tan-siangkok menulis entah apa di atas telapak tangannya, dia tidak
membacakan, jadi akupun tidak tahu apa sebenar-benarnya rencana mereka." - lalu secara
singkat jelas ia menceritakan pengalamannya kepada Ma Gwat-sian.
Ma Gwat-sian berpikir, katanya, "Kelihatannya mereka sudah mempersiapkan
segalanya, menggunakan kekuatan tentara lagi untuk menghadapi kau dan engkohku. Tentu besok
mereka akan mengadakan Hong-bun-yam (perjamuan) mengundang kalian berdua."
Thian-hi juga berpikir demikian, namun ia bertanya, "Tapi kenapa menggunakan
cara halus dan mempersiapkan kekuatan lagi?"
"Untuk perjamuan itu kukira mereka sudah mempersiapkan arak beracun, sepihak
menggunakan tipu daya yang licik. dipihak lain sudah mempersiapkan bala tentara,
bila rencana licik terbongkar mereka menggunaKan kekuatan pasukannya untuk menumpas kamu."
"Kiranya begitu!" ujar Thian-hi bingung.
"Tidak bisa tidak kalian harus hadir dalam perjamuan itu, kalau tidak pergi
berarti kalian sudah secara terang-terangan berdiri dipihak yang berlawanan. Apa-lagi Ing-ciangkun
juga pasti hadir, mungkin pula Toh-ciatsu juga diundang, kalau kalian pergi jangan sekali2 minum
arak. Thian-hi manggut-manggut. katanya, "Mereka menyiapkan tentara, cara bagaimana
mengatasinya?" "Urusan itu aku tidak tahu dan bukan bidangku, silakan kau tanya engkohku saja.
Perjamuan besok malum itu sangat penting. merupakan titik tolak dari segala keselamatan
negara, jangan sekali2 dihadapi secara serampangan. Selamanya engkohku anggap Ing Si-kiat
sebagai sahabat lama, Ing Si-kiat tidak akan mencelakai jiwanya, tepat pada waktunya harap kau
suka menjaga dan melindungi dia!"
"Sudah tentu aku akan berusaha sekuat tenaga dan kemampuanku betapapun aku pasti
melindungi engkohmu,"
"Tuan putri jatuh sakit, bagaimana menurut maksudmu?"
Melihat Ma Gwat-sian menyinggung persoalan itu pula. Thian-hi tertawa, sahutnya,
"Mati atau hidup besok malam susah diketahui, kenapa membicarakan urusan itu!"
Ma Gwat-sian tersenyum, ujarnya, "Sekarang sudah larut malam, pergilah tidur,
besok kau harus menghadiri Hong-bun-yam itu!" - habis berkata segera ia mengundurkan diri.
Thian-hi berdiri mengantar Ma Gwat-sian, setelah menyendiri terasa hatinya
hambar entah berapa lama ia menjublek ditempatnya. mendadak terbayang raut wajah Ham Gwat,
lalu terbayang pula akan Su Giok-lan, tak lama lagi teringatlah kepada Sutouw Ci-ko,
demikian juga bentuk wajah Ka-yap Cuncia yang welas asih itu terbayang dalam benaknya. Kemana
pula jejak Lam-siau Kongsun Hong sang guru berbudi berkelebat juga dalam otaknya.
Tak lama kemudian didengarnya. langkah kaki mendekat, tampak Ma Bong-hwi
mendatangi, Thian-hi tersentak dari lamunannya, kata Ma Bong-hwi tertawa, "Tadi Gwat-sian
sudah menjelaskan seluruhnya kepada aku sungguh aku hampir tak mau percaya!"
"Tiada jeleknya Toako percaya untuk kali ini. Jikalau Tan-siangkok benar-benar
mengadakan Hong-bun-yam itu, bagaimana Toako hendak menghadapinya?"
"Mengandal Ing Si-kiat, aku tidak perlu takut, kekuatan pasukannya jauh lebih
lemah dari aku. jikalau tidak pulang pada waktu yang ditentukan. diapun takkan bisa hidup lebih
lama lagi!" "Toako hendak menggunakan kekerasan atau cara halus?"
"Gwat-sian minta aku tidak membocorkan rahasia ini. selamanya aku patuh akan
nasehatnya. Demikian juga untuk hal ini, kau sendiri bagaimana pendapatmu?"


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jika berada dalam gedung Tan-siangkok, bila musuh kuat dan pihak kita lemah,
tindakan yang utama adalah kita harus berdaya untuk meloloskan diri, setelah lolos baru kita
pikirkan cara menghadapinya!" Ma Bong-hwi tenggelam dalam pikirannya, katanya, "Sedianya aku sudah siap
menghantamnya untuk hancur bersama, sekarang aku menjadi beragu malah, rasanya tiada harganya
hancur bersama mereka, apakah kau punya cara untuk meloloskan diri itu!"
"BUat kita tidak minum arak beracun mereka tidak akan mampu berbuat apa-apa atas
diri kita. Kalau tepat pada waktunya kita belum keluar dari gedung Tan-siangkok, akan
kuutus seseorang menggunakan perintah raja untuk menarik mundur kita berdua secara kilat. Bila
mereka sedikit lena tentu akan terjebak ke dalam tipu daya ini."
"Ini merupakan salah satu cara. Lebih baik kita bekerja menurut gelagat!"
Begitulah setelah bercakap-cakap sekadarnya. mereka masuk istirahat. Thian-hi
mulai berlatih dan samadi di dalam kamarnya. Ka-yap Cuncia menyuruh aku kemari untuk terlatih
Wi-thian-citciat- sek, sekarang tiga bulan sudah berselang, sedikit pun aku belum memperoleh
hasil, Tionggoan sudah semakin kemelut, bagaimana aku bisa hidup tentram disini.
Lalu dikeluarkan buku pelajaran Wi-thian-citciat-sek, dengan seksama ia
memeriksa dan meneliti meski pun dalam kamarnya. petang gelap, namun gambar2 Wi-thian-cit-
ciat-sek itu dapat dilihat dan dibacanya secara jelas, otaknya bekerja. Tahu-tahu cuaca sudah mulai
terang. Pagi2 benar-benar Ma Bong-hwi sudah bangun, Thian-hi pun menyimpan Wi-thian-cit-cia-
sek lalu berangkat ke Thian-seng. Sebagai komandan Gi-lim-kun yang berkuasa di istana Thian-hi tidak perlu piket
setiap pagi, setelah upacara berakhir. Tan-siangkok melangkah masuk ke dalam kamar kerja
Thian-hi sembari berseri tawa, katanya, "Tio-ciangkun. Tio-ciangkun seorang panglima yang gagah
perwira, merupakan panglima tinggi yang paling muda dan berani dalam sejarah Thian bi-kok
kita, hari ini aku mengadakan perjamuan untuk merajakan pengangkatan Bu-wi Ciangkun, kuundang
pula para pembesar istana. harap kau sendiri tidak menampik untuk hadir dalam perjamuan
nanti malam." Cepat Thian-hi menjawab, "Siauciang baru saja berkedudukan di istana, Tan-
siangkok begitu tinggi menghargai kami, sungguh kami tidak berani terima."
Sementara itu Ing Si-kiat juga ikut melangkah maju, katanya, "Tio-lote merupakan
tunas harapan bangsa kita, Tan-siangkok dan aku sering berdebat seru sampai kepala
panas, namun betapapun kita merupakan satu rumpun, satu keluarga dalam satu negara. Malam
nanti aku pun bersedia hadir, demikian juga Ma-ciangkun. sedang Toh-ciatsu menolak. maklum dia
sudah tua dan berpenyakitan lagi. Banyak pula pembesar lain yang akan hadir semua. Harap
Tio-ciangkun tidak menolak." Thian-hi tahu, katanya, "Para pembesar semua adalah angkatan yang lebih tua,
kalau aku tidak hadir berarti aku tidak tahu penghargaan, baiklah nanti aku hadir, sebelumnya
kunyatakan banyak terima kasih terlebih dulu kepada Tan-siangkok."
Tan-siangkok tertawa lebar, katanya, "Tio-ciangkun merupakan tunas harapan kita
semua, masih begitu muda sudah menjabat kedudukan begitu tinggi, kelak pasti punya
harapan lebih tinggi dari kita semua. Tak usah sungkan-sungkan!" lalu dengan berseri tawa
bersama Ing Si-kiat mengundurkan diri. Ma Bong-hwi lantas melangkah masuk, Thian-hi tersenyum penuh arti, kata Ma Bong-
hwi, "Sungguh tak nyana, ternyata seperti dugaan semula. Baik aku pulang dulu
menyiapkan segala sesuatunya!" Thian-hi mengantar Ma Bong-hwi sampai di ambang pintu, tak lama kemudian datang
seorang Thaykam memberi lapor bahwa Baginda raja mengundangnya untuk bicara.
Diam-diam bergejolak hati Thian-hi, entah ada urusan apa Baginda mengundang
dirinya, tersama Thaykam itu ia ikut masuk ke dalam istana.
Setelah menyembah kepada Baginda raja, tampak olehnya sang raja sedang murung
dan bersedih. katanya, "Setelah pergi bersama kau tuan putri lantas jatuh sakit
tanpa mau bicara, sebetulnya apa ang telah kalian alami?"
Bercekat hati Thian-hi, sesaat ia menjadi bingung, akhirrja menjawab, "Mungkin
hamba yang kurang becus menjaga tuan putri sehingga beliau ketakutan, kami disergap dua
ekor biruang besar di atas gunung, mungkin saking takut itulah sehingga beliau jatuh sakit."
Baginda goyang2 tangan, ujarnya, "Tidak mungkin, nyali tuan putri tidak sekecil
seperti apa yang kau katakan, tak mungkin hanya karena urusan sekecil ini menjadi ketakutan
dan sakit. Sejak kecil dia jarang sakit, menurut tabib katanya punya janggalan hati, itulah
sakit rindu, sebetulnya apa yang telah kalian alami lagi?"
"Hamba tidak tahu sebetulnya tiada kejadian lain yang luar biasa."
Baginda menarik muka, katanya rada gusar, "Apa! Kau tak mau bicara?"
"Apakah tuan putri sekarang sudah siuman?"
"Dia baik-baik saja, hanya tidak mau berkata atau bersuara, selalu terlongong-
longong ngelamun, coba kau bicara terus terang, aku tidak akan salahkan kau."
"Apakah Baginda dapat mengijjnkan hamba bertemu dengan tuan putri?"
"Kau...." Baginda melengak. Mendadak ia seperti tersadar, dengan seksama ia amat-
amati Thian-hi, sesaat kemudian berkata, "Berapa umurmu sekarang?"
"Hamba berusia dua puluh satu!"
"Apakah kau sudah punya calon jodoh?"
Tergetar jantung Thian-hi, setelah terlongong ia menjawab, "Belum!"
Baginda manggut-manggut tak bicara lagi. Thian-hi pun tidak bersuara lagi,
hatinya menjadi gelisah, pertanyaan Baginda ini merupakan suatu pernyataan yang paling
dikuatirkan untuk diterima. Diam-diam ia berdoa semoga tuan putri dapat menyelami perasaannya.
"Sekarang aku tahu, kau boleh keluar. Urusan ini aku tidak salahkan kau."
Thian-hi menyembah lalu mundur, sungguh ia tidak bisa melukiskan bagaimana
perasaan hatinya saat itu. Baru saja cuaca menjadi gelap Tan-siangkok sudah mengirim utusan mengundangnya,
sejak siang Thian-hi sudah berpesan seperlunya kepada anak buahnya, segera ia naik
kuda terus berangkat bersama utusan itu. Gedung Tan-siangkok dihias begitu indah dan megah,
ramai luar biasa, ratusan pembesar2 militer dan sipil sudah hadir, ruang yang besar itu
menjadi penuh sesak. Tak lama kemudian Ma Bong-hwi juga sudah datang, banyak pembesar mengelilingi
Thian-hi, Thian-hi menjadi keripuhan berbagai pertanyaan dan sanjung puji yang
berkelebihan, kepala menjadi pusing, namun dengan tersenyum sedapat mungkin ia layani mereka.
Tan-siangkok menyeruak orang-orang yang merubung itu terus mendekati Thian-hi,
katanya, "Kedatangan Tio-ciangkun sungguh merupakan suatu kehormatan bagi aku orang tua
ini." "Demi permintaan Siangkok Tayjin, mana Siau-ciang berani tidak hadir. Siangkok
Tayjin mengadakan perjamuan bagi diriku, sungguh membuat aku malu dan terima kasih,
budi kebaikan Siangkok ini sungguh sulit aku membalasnya."
Tan-siangkok bergelak tawa, ujarnya, "Tio-ciang-kun masih muda ganteng lagi,
setiap orang akan kagum dan memujimu, kalau punya gadis perawan sungguh ingin rasanya kau
kuambil mantu." Seluruh hadirin ikut bergelak tawa akan kelakar ini, Thian-hi sendiri menjadi
kikuk, diam-diam hatinya rada dongkol. Tak lupa Tan-siangkok pun sekedar basa basi dengan Ma
Bong-hwi, akhirnya mereka dipersilahkan duduk di kursi teratas. Tan-siangkok sendiri duduk
di sebelah kanan Thian-hi, di sebelah yang lain duduk Ma Bong-hwi.
Setelah seluruh hadirin menempati tempat duduknya masing-masing, tampak
serombongan gadis2 aju membawa poci arak dan cawan berbondong-bondong tersebar ke seluruh
ruangan menyuguhkan hidangan pertama.
Segera Thian-hi berdiri dan berkata kepada Tan-siangkok, "Siangkok, maaf aku
tidak bisa minum arak!" Tan-siangkok lekas bangun berdiri pula, katanya, "Kenapa Tio-tiiangkun begitu
sungkan, apakah sengaja hendak membuat aku serba runyam!"
"Sebetulnyalah aku pernah berjanji di hadapan ibunda sebelum beliau ajal,
selamanya tidak akan minum arak." begitulah Thian-hi kemukakan alasannya.
Tan-siangkok menjadi kewalahan, matanya melirik ke arah Ing Si-kiat, segera Ing
Si-kiat bangun serta bertanya kepada Thian-hi, "Waktu ibundamu wafat entah berapa umur
Tiociangkun?" Thian-hi merandek, jawabnya, "Kira-kira empat belas tahun!"
"Nah tatkala itu Tio-ciangkun masih bocah kecil, sudah tentu ibunda Tiong-
ciangkun melarang minum arak, sekarang Tio-ciangkun naik pangkat mendirikan pahala, usia sudah
dewasa!" "Tapi ibundaku...."
"Bagaimana kalau Baginda yang menganugrahi secawan arak?" tanya Ing Si-kiat
mendesak. Thian-hi menjadi bungkam, sebetulnya sengaja ia mengada2 menggunakan pesan
ibunya untuk menolak, tapi pertanyaan Ing Si-kia+ ini membuatnya serba sulit, tidak bisa
tidak ia harus minum, sesaat ia bingung dan berdiri terlongong.
Lekas Ma Bong-hwi bangkit serta menalangi. ujarnya, "Tan-siangkok, Ing-ciangkun
sudahlah kenapa begitu bersitegang leher. Apalagi aku dan Tio-lote sudah melulusi
permintaan adikku untuk tidak minum arak." Sesaat Ing Si-kiat tampak melongo, katanya, "Kenapa" Apa Ma-ciangkun juga tidak
sudi minum arak?" "Pesan adikku tidak bisa tidak harus kupatuhi. Bukankah Ing-ciangkun juga tahu
hal ini." Apa boleh buat Ing Si-kiat menyeringai sinis. Selamanya Ma Bong-hwi sangat
mematuhi setiap patah kata adiknya memang sudah diketahuinya dengan jelas. Sekarang Ma Bong-hwi
bicara secara gamblang, diapun menjadi kewalahan.
Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, segera Tan-siangkok berkata,
"Kenapa Maciangkun tidak sudi minum arakku, apakah curiga dan merasa sirik terhadapku?"
"Ah, Siangkok berkelakar saja!"
"Biasanya aku tak senang mengurus segala urusan tetek bengek dalam keluarga,
sehingga putra anjingku itu suka bersimaharaja di luaran. Tapi hari ini secara langsung
biarlah aku mohon maaf sebesar2nya kepada Ma ciangkun di hadapan sekian orang-orang gagah, apakah
Maciangkun masih tidak sudi mencicipi arakku?"
Melihat orang sudah naik pitam Ma Bong-hwi mandah tersenyum saja, ujarnya, "Mana
aku membenci dan sirik terhadap Siangkok, soalnya aku terpaksa."
Tan-siangkok memberi isyarat dengan kedipan mata, seorang gadis pelayan segera
Pendekar Panji Sakti 20 Kisah Para Penggetar Langit Karya Normie Bagus Sajiwo 3
^