Pencarian

Badik Buntung 9

Badik Buntung Karya Gkh Bagian 9


menuang arak, tanpa banyak cincong lagi Tan-siangkok segera menyamber cawan arak di
hadapan Thian-hi dan Ma Bong-hwi terus ditenggak habis. Para pembesar militer atau sipil lainnya
beramai ikut angkat cawan dan tenggak habis arak masing-masing.
Tan-siangkok suruh kedua gadis pelayan yang lain menuang lagi dua cawan arak
dipersembahkan kepada Thian-hi dan Ma Bong-hwi. Melihat tingkah laku Tan-
siangkok ini semakin besar curiga Ma Bong-hwi, timbul kewaspadaannya, namun dalam hati ia berpikir:
'mungkin Thianhi dan adikku yang banyak curiga, belum lagi mereka jelas duduk perkaranya, mana
mereka tahu bahwa arak ini mengandung racun! Sebaliknya bagi pandangan Thian-hi kelakuan
Tan-siangkok itu malah mempertegas akan keyakinannya atas kelicikan orang. Untuk dirinya
tiada halangan ia minum arak itu, karena Lwekangnya jauh mencukupi untuk menolak segala racun,
tapi bagaimana dangan Ma Bong-hwi, bila dia ikut minum bukan berarti aku pun menyelakai
jiwanya"' Tan-siangkok tertawa lebar katanya sambil angkat cawan, "Para hadirin sekalian,
marilah kita minum menyampaikan selamat kepada Tio-ciangkun." - lalu ia angsurkan cawannya ke
depan Hun Thian-hi. Thian-hi pun angkat sebelah tangan, katanya, "Terima kasih akan kebaikan Tan-
siangkok, baiklah dengan tangan kosong ini kuterima pemberian arak ini." seperti orang
menenggak arak tangannya terangkat ke depan mulutnya lalu mendongak.
Melihat Thian-hi dan Ma Bong-hwi mengukuh tidak mau minum arak, Tan-siangkok dan
Ing Sikiat saling pandang sebentar. Dengan sebuah lirikan beringas Tan-siangkok memberi
isyarat, kedua gadis pelayan itu segera digusur ke belakang.
Bertaut alis Thian-hi, tak tahu ia apa yang akan diperbuat atas kedua gadis
pelayan itu. Tapi dalam hati ia berkata; 'akan kulihat bagaimana kau akan bertingkah, betapapun
hari ini aku pantang minum setitik arak pun.'
Tak lama kemudian dua laki-laki menyanggah dua nampan perak maju menghadap ke
hadapan Tan-siangkok, di atas nampan perak itu jelas terletak dua kepala kedua gadis
pelayan tadi. Saking terperanjat Thian-hi sampai berjingkrak bangun.
Tan-siangkok berkata, "Kedua pelayan tidak becus tadi sudah kubunuh dan sekarang
kupersembahkan kepada kalian!"
Ma Bong-hwi juga berubah pucat air mukanya.
Dari samping suara Ing-ciangkun berkata lantang, "Tan-siangkok terlalu banyak
minum!" Dengan mengunjuk senyum lebar, Tan-siangkok menggapai dua pelayan lain yang
membawa poci dan cawan pula. Bab 17 Terkejut hati Thian-hi, kelihatan tangan kedua gadis pelayan itu gemetar dan
ketakutan, begitu dekat salah seorang menuang arak di depan Thian-hi serta berkata bergidik, "Tio-
cjangkun! Silakan minum arak!"
Karena takut dan gemetar arak banyak tumpah di atas meja. Tan-siangkok mandah
tersenyum manis, matanya melirik congkak menyapu pandang ke sekelilingnya. Dua laki-laki
berseragam hijau segera maju menyeret gadis itu, cepat gadis itu berlutut di hadapan Thian-
hi serta meratap, "Tio-ciangkun, tolonglah jiwaku!"
"Nanti dulu!" Thian-hi berjingkrak bangun. matanya menyapu ke seluruh hadirin.
Sikap Tan-siangkok acuh tak acuh, duduk dengan angkernya. Keruan bukan kepalang
gusar Thian-hi. Serunya, "Siangkok Tayjin, apakah boleh pandang mukaku, ampuni
jiwanya?" Tan-siangkok tertawa, katanya, "Apakah Tio-ciangkun benar-benar tidak mau
memberi muka?" Pandangan Hun Thian-hi menyapu keadaan sekelilingnya.
Ing Si-kiat segera bangkit seraya berkata, "Sungguh Tio-ciangkun membuat Tan-
siangkok serta runyam dan kena malu!"
Dilihat oleh Thian-hi air muka Ma Bong-hwi yang geram, seperti tidak tahan sabar
lagi, dengan lirikan matanya ia mencegah orang berbuat gegabah, lalu katanya tersenyum kepada
Tansiangkok, "Kalau Siangkok memaksa terpaksa tak dapat kutolak lagi, namun Ma-ciangkun
terang tak bisa minum, biarlah aku yang mewakili saja, bagaimana menurut pendapat
Siangkok?" Baru saja Tan-siangkok hendak bicara, Ing Si-kiat keburu mendahului, katanya,
"Begitupun baik, ucapan adik perempuan Ma-ciangkun seolah-olah lebih tinggi dari perintah
raja bagi dia, maka Tan-siangko kpun tak perlu memaksanya lagi."
Sekaligus Thian-hi tenggak habis dua cawan arak, begitu masuk perut terasa
perutnya seperti dibakar, terang itulah arak beracun yang sangat jahat, heran dia kenapa tadi
Tan-siangkok bisa minum, mungkinkah mereka sudah minum obat pemunah sebelumnya.
Melihat sikap Thian-hi yang masih berdiri tegak tanpa bergeming dengan gagah,
diam-diam terkejut hati Ing Si-kiat dan Tan-siangkok, serta merta mereka saling
berpandangan. Menurut perhitungan Ing Si-kiat dia terlalu tinggi menilai ilmu silat Hun Thian-
hi, melihat orang rela mewakili Ma Bong-hwi minum arak, dalam hati ia membatin; hanya meringkus
Thian-hi seorangpun bolehlah, soal Ma Bong-hwi gampang saja dihadapi dengan pasukan
pendam yang sudah dipersiapkan diluar. Siapa kira setelah Hun Thian-hi minum arak itu
sedikitpun ia tidak kurang suatu apa. Keruan kejut dan gentar hatinya, mungkinkan arak beracun itu tidak mujarab lagi
khasiatnya" Bergegas Tan-siangkok berdiri minta diri ke belakang untuk tukar pakaian, karena
gemetar Ing Si-kiat berlaku kurang hati-hati tangannya menyenggol jatuh sebuah cawan arak.
Ma Bong-hwi melonjak bangun sambil meraba pedangnya, dia siap menghadapi segala kemungkinan.
Tapi kenyataan keadaan tetap tenang tiada terjadi apa-apa. Dengan tajam matanya
menyelidik ke empat penjuru, akhirnya berhenti di muka Ing Si-kiat, katanya tertawa tawar,
"Ing-ciangkun menjatuhkan cawan membuat aku kaget!"
Sudah tentu Ing Si-kiat yang paling kaget dan pucat mukanya, bagaimana mungkin
pasukan sebanyak lima ratus orang yang telah dipersiapkan diluar itu satupun tiada yang
muncul, apakah telah terjadi sesuatu di luar dugaan?"
Dasar licik, sebentar saja dia dapat mengendalikan perasaannya, dengan tersenyum
simpul ia berkata, "Minumku juga terlalu banyak, sebuah cawan saja sampai tak kuasa
kupegang." Ma Bong-hwi mandah tertawa ejek, hatinyapun heran dan bertanya-tanya, kenapa
suasana masih demikian tenang, sampai dimana tingkat kepandaian ilmu silat Ing Si-kiat
ia tahu jelas, takkan mungkin sebuah cawan saja tak kuasa memegangnya, apalagi arak yang
diminumnya tidak banyak, tak mungkin kena mabuk, tapi kenyataan pasukan terpendam itupun tidak
muncul. Begitulah hatinya bertanya-tanya, dia pun heran apakah arak yang diminum itu
beracun" Tansiangkok
sendiri tidak kurang suatu apa, demikian juga Hun Than-hi tetap segar bugar,
sungguh hatinya bingung dan tak mengerti.
Demikian juga hati Thian-hi dirundung rasa heran yang sama, kenapa pasukan
pendam yang dipersiapkan itu tidak muncul menyerbu. Tengah ia bertanya-tanya dalam hati,
tampak seseorang pengawal yang mengenakan seragam Busu serba merah muncul langsung menghadap ke
depan Thian-hi, "Lapor komandan, sekarang juga Baginda raja ingin bertemu dengan
Komandan dan Maciangkun, diperintahkan untuk segera menghadap!"
Thian-hi bersama Ma Bong-hwi lantas berdiri, katanya kepada Ing Si-kiat,
"Perintah Baginda memanggil, terpaksa kami tak bisa tinggal lebih lanjut, harap Ing-ciangkun
mewakili kami mohon diri kepada Tan-siangkok."
Habis berkata angkat tangan menjura lalu melangkah lebar keluar, dengan hambar
dan terlongong Ing Si-kiat berdiri di tempatnya, sesaat lamanya mulutnya terbungkam
tak kuasa bicara.... Bagaimana ia harus bertindak selanjutnya, mau menahan orang terang
dirinya tidak mampu, kalau membiarkan mereka berdua pulang, bak umpama membiarkan harimau
kembali kesarangnya. Kejadian hari ini betapa pun harus dirahasiakan. Bila besok pagi
waktu piket dihadapan Baginda Ma Bong-hwi membeber intrik kejahatan ini, Tan-siangkok
sendiripun takkan terhindar dari bencana....
Begitulah waktu ia mendongak lagi, Thian-hi berdua sudah pergi jauh, tersipu-
sipu ia memburu keluar dan memeriksa ke empat penjuru, tampak olehnya kelima ratus tentara
pendamnya yang bersenjata lengkap itu semua rebah di tanah, sebagai seorang ahli silat sekali
pandang saja lantas dia tahu duduk perkaranya, ternyata seluruh pasukan pendamnya telah tertutuk
jalan darah penidurnya, keruan kejut dan murka pula hatinya, darimana datangnya tokoh kosen
yang telah menggagalkan rencananya, merobohkan lima ratus pasukan pendamnya tanpa
mengeluarkan sedikit suarapun, sungguh lihay dan tinggi kepandaian tokoh silat itu.
Sekonyong-konyong tersentak sanubarinya, pikirnya mungkinkah semua ini hasil
berpuatan Buwi Ciangkun Tio Gun itu" Sekujur badannya menjadi basah oleh keringat dingin, arak
beracun dipandangnya minuman nikmat yang menyegarkan badan, betapa tinggi lwekangnya
sungguh tak berani dibayangkan. Semakin pikir Ing Si-kiat menjadi semakin takut, mengandal
ilmu silat Hun Thian-hi yang begitu menakjupkan itu, bila mau memenggal kepala mereka rasanya
segampang mengambil barang di dalam kantong bajunya sendiri.
Sementara itu, begitu keluar dari gedung Tan-siangkok langsung Thian-hi berdua
naik kuda terus dibedal ke depan cepat-cepat, setelah di perjalanan, Thian-hi ulapkan
tangan, lari kuda diperlambat, segera ia kerahkan tenaga mendesak arak beracun itu keluar dari
perutnya. Begitu arak itu menyemprot di tanah, rumput sekitarnya yang kecipratan arak itu kontan
menjadi kuning terbakar. Diam-diam bercekat hati Ma Bong-hwi, begitu jahat arak beracun ini, namun lebih
kagum lagi akan kekuatan Thian-hi yang bisa bertahan lama mengendom arak beracun dalam
perutnya. Setelah mengeluarkan arak beracun, badan Thian-hi terasa lemas dan kesal,
batinnya; jahat benar-benar arak beracun ini.
Melihat keadaan temannya itu Ma Bong-hwi segera berkata, "Lote, lebih baik malam
ini kau menginap dirumahku saja!"
Thian-hi tertawa-tawa, katanya, "Badanku masih cukup kuat, mungkin Baginda ada
urusan dengan aku, aku harus berada di tempat tugasku."
Begitulah akhirnya mereka berpisah ditengah jalan, Thian-hi langsung pulang
keistana. Dalam hati selalu ia heran dan bertanya-tanya kenapa pasukan pendam Ing Si-kiat tidak
muncul. Begitu memasuki kamarnya, tampak di atas mejanya terletak secarik kertas. dimana
tertulis, "Besok tengah malam, bertemu dipuncak Thian-ting datanglah dan jangan membangkang!" -
surat ini tidak dibubuhi tanda tangan, hanya tergambar sepasang pedang.
Berkerut alis Thian-hi. pikirnya, aku belum ada kenalan di tempat ini, darimana
orang ini bisa mengundang aku untuk bertemu muka, tanda sepasang pedang ini entah apa pula
maksudnya, mungkin merupakan julukan seseorang.
Begitulan hati Thian-hi menjadi gundah, mau pergi atau tidak. kalau orang itu
bisa keluar masuk dalam istana dan meninggalkan secarik kertas ini di atas meja, ilmu
silatnya tentu tidak lemah, tapi apa tujuannya dia mengundang aku"
Tengah Thian-hi terpekur, seorang Gi-lim-kun beranjak masuk, lapornya, "Baginda
minta Tiociangkun segera menghadap diistana!"
Thian-hi rada melengak, sembari menyimpan kertas itu ia mengiakan terus
melangkah tersipusipu menuju keistana raja. Setelah Thian-hi melakukan sembah sujudnya segera Baginda berkata kepadanya,
"Apa kau tahu cara bagaimana sehingga kau dapat memangku jabatan Komandan Gi-lim-kun
ini." Berdetak jantung Thian-hi, sahutnya, "Sebetulnya hamba masih banyak kekurangan,
semua itu berkat budi dan anugrah Baginda raja."


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baginda menggeleng pelan-pelan, ujarnya, "Tidak! Menurut maksudku semula hendak
kuangkat kau sebagai wakil Ma Bong-hwi, namun tuan putri sangat simpatik terhadap kau,
katanya jabatan komandan Gi-lim-kun masih kosong, kaulah yang paling cocok mendudukinya!"
Thian-hi bungkam, Ma Gwat-sian ternyata menebak betul. Kiranya memang maksud
hati tuan putri yang mencalonkan dirinya pada kedudukan sekarang ini.
Dengan lesu Baginda menghela napas, katanya, "Apa kau tahu kenapa aku tidak
mengusut lebih lanjut perkara hilangnya benda-benda mestika itu?"
"Hamba tidak tahu!"
"Begitu melihat situasi dan keadaan selama ini lantas aku maklum, tujuan orang
itu bukan melulu mencuri barang-barang mestika itu, para pembesar dalam lingkungan istana
saling berebutan pegang kuasa, aku menjadi pusing dan tak mau urus mereka lagi!" -
Selesai bicara, ia menunduk dengan lemas lunglai. hatinya tampak sangat sedih dan murung.
Sungguh haru dan tergugah perasaan Thian-hi, Baginda raja ini kiranya bukanlah
raja lalim yang begitu ceroboh seperti dugaan mereka semula. Bagi seorang raja, ternyata
setiap hari setiap saat dirundung kerisauan hati yang memuncak. Memang kalau dia mengusut perkara
ini labjh lanjut, pasti selurah negara bakal terjadi keonaran besar.
Terdengar Baginda berkata lagi, "Tuan putri adalah anakku satu-satunya, aku
mengharap dia baik, tanpa dia mau bilang akupun tahu perasaannya. Selamanya dia pasti dapat
memperoleh barang apa saja yang diinginkan, ternyata sekarang dia tidak sudi mendesak dan
memaksa pada kau, aku sendiri aku pun tidak akan paksa kau. kalau mungkin saja, kuharap kau
tidak menyianyiakan harapannya yang suci."
Thian-hi tunduk semakin dalam tanpa buka suara.
Setelah menghela napas. Baginda berkata pula, "Cara bicaraku ini tiada perbedaan
antara raja atau pembesar lagi, aku bicara sebagai orang tuanya!"
"Baginda," kata Thian-hi sambil angkat kepala, "Apakah kau tahu asal usulku?"
Dengan seksama Baginda pandang mata Thian-hi. katanya, "Aku sendiri kurang
jelas, tapi aku tahu bahwa kau adik angkat Ma Bong-hwi, dan yang terpenting aku percaya penuh
kepada kau!" "Nama asliku bukan Tio Gun, yang benar-benar aku bernama Hun Thian-hi, aku juga
bukan rakjat dari Thian-bi-kok ini, aku menyelundup datang dari Tionggoan."
Terkejut Baginda, "Apa?" serunya berjingkrak bangun.
Thian-hi menunduk lagi, sahutnya, "Aku tahu akibat apa setelah aku menjelaskan
asal usulku, tapi sekarang aku terpaksa harus bicara terus terang. tak lama lagi aku harus
kembali ke Tionggoan." Baginda pandang Thian-hi lekat-lekat, sesaat lamanya bungkam dan duduk kembali,
katanya, "Kau cukup jujur. Bagi orang yang menyelundup ke Thian-bi-kok ini hukumannya
adalah penggal kepala, betapa pun tinggi kepandaian silatmu, puncak Thian-ting sana tidak
kurang tokoh-tokoh kosen yang mampu meringkus kau. Rahasia ini hanya aku saja yang tahu, jangan kau
katakan kepada orang lain!" "Terima kasih akan budi dan keluhuran Baginda!"
"Dikala kita bersemajam bersama, aku tidak mau kau bicara begitu rupa, aku
simpatik akan sikapmu yang perwira dan pambekmu yang tinggi. Kuduga tuan putri pasti ketarik
juga akan sifat2mu ini!" Thian-hi tidak bicara, dalam hati ia sangat bersyukur akan kemurahan hati
Baginda. Sejenak merandek, Baginda meneruskan, "Sebelum kau pulang meninggalkan kami, apakah kau
sudi tetap tinggal di istana saja?"
"Dengan senang hati hamba akan tetap tinggal dan menunaikan tugas sekuat
tenaga." "Apa kau mau bertemu dengan tuan putri?"
Thian-hi sangsi sebentar, akhirnya manggut-manggut.
Baginda segera bangkit membawa Thian-hi masuk ke istana keputrian. waktu mereka
memasuki sebuah kamar tidur yang besar, para dayang segera menyingkir minggir
serta memberi sembah hormat. Di tengah sebelah pojok dinding sana terletak sebuah ranjang,
disanalah tuan putri rebah, wajahnya kelihatan pucat dan rada kurus, kedua biji matanya
terpejam, kelihatannya sedang tidur nyenyak. Baginda menghela napas ringan, ujarnya, "Dia tidur nyenyak, mari kembali keluar
saja!" Mendadak tuan putri membuka biji matanya, sekilas pandang dilihatnya Thian-hi
berada di situ dengan kaget tersipu-sipu ia berusaha bangun duduk dengan sikut menahan
badannya, kedua matanya terbelalak besar, serunya, "Kau...."
Cepat Thian-hi membungkuk memberi hormat, sapanya, "Tio Gun memberi hormat pada
tuan putri, semoga tuan putri lekas sembuh dan sehat walafiat!"
Baginda bergegas maju mendekat, sekian lama tuan putri terlongong memandangi
Thian-hi, akhirnya dengan rasa hambar ia lepaskan topangan tangannya, badannya rebah lagi
dengan lesu. Thian-hi menunduk, diam-diam dalam hatinya ia mencercah diri sendiri, "Apakah
harus aku kemari menemui dia" Tetapi tinggal di istana belum tentu lantas benar-benar,
pengalaman yang kuhadapi di Thian-bi-kok ini sungguh belum pernah terbayangkan sebelumnya."
Sementara itu Baginda sudah dipinggir ranjang, tuan putri masih terlongong
bungkam, Baginda menjadi rawan dan menghela napas, ujarnya, "Ih-ji....jangan kau membuat aku
bersedih hati!" Kelopak mata tuan putri mengembeng air mata, sesaat kemudian baru bersuara
dengan sesenggukkan, "Hanya hatiku saja yang rasanya kurang enak, sebentar saja tentu
sudah baik, aku tidak apa-apa, ayah tidak perlu bersedih!"
"Dia memang benar-benar, tak lama lagi dia akan segera kembali ke Tionggoan,
untuk kau dia kurang cocok!" Tuan putri termangu-mangu, sesaat lamanya baru tersenyum dan berkata, "Aku tidak
akan salahkan dia!" Dengan mengembeng air mata Baginda manggut-manggut, katanya, "Aku hanya punya
seorang putri, kau tahu aku tidak bisa kehilangan kau!"
Thian-hi tahu dirinya tidak enak tinggal terlalu lama di tempat itu, secara
diam-diam ia mundur keluar terus kembali ke tempatnya sendiri. Dalam hati ia berpikir Wi-thian-cit-
ciat-sek belum lagi sempurna, bagaimana juga aku jangan menyia-nyiakan waktu untuk berlatih, maka
malam itu semalam suntuk ia tekun dan lebih giat mempelajari Wi-thian-cit-cit-sek.
Hari kedua setelah selesai piket Ma Bong-hwi datang, Thian-hi lantas bertanya
soal tanda sepasang pedang itu merupakan julukan siapa"
Dengan heran Ma Bong-hwi berkata, "Apa Thian-bi-siang-kiam juga tidak kau
kenal?" Melihat sikap Ma Bong-hwi ini bercekat hati Thian-hi, mungkin Thian-bi-siang-
kiam itu merupakan tokoh aneh yang berkepandaian sangat tinggi, namun sediki tpun aku
tidak tahu, jangan sampai aku memperlihatkan kebodohanku ini. Maka segera ia menjawab tak
acuh, "Selamanya aku tidak tahu akan seluk beluk hal ini!"
Ma Bong-hwi mengawasinya dengan pandangan tidak percaya, serunya, "Apa! Jadi
mereka mencari dirimu?" Thian-hi mandah tertawa-tawa tanpa bersuara lagi. "Ini bukan soal main-main,
mereka berdua mengasingkan diri di Thian-ting, kecuali urusan yang sangat besar selamanya
mereka segan turut campur menguruS segala tetek bengek, bila benar-benar mereka mencari kau, jelas
kau bakal menemui kesulitan, bila urusan baik itulah tak menjadi soal, kalau urusan buruk,
kukuatir...." "Tiada apa-apa, aku hanya bertanya sambil lalu saja," tukas Thian-hi.
Ma Bong-hwi tidak percaya, katanya, "Dalam istana tiada tugas yang penting, mari
kau ikut pulang ke rumahku, hanya adikku saja yang rasanya dapat mengorek keteranganmu,
terhadap aku agaknya kau tidak sudi bicara blak2-an!"
Thian-hi menampik dengan alasan, namun Ma Bong-hwi memaksa dan menariknya
keluar, apa boleh buat terpaksa Thian-hi ikut pergi.
Setelah sampai di rumahnya Ma Bong-hwi suruh Thian-hi duduk menunggu di ruang
tamu, tersipu-sipu ia masuk memanggil Ma Gwat-sian, tak lama kemudian tampak mereka
keluar sambil bicara. Melihat Ma Gwat-sian keluar Thian-hi lantas bangkit dan menyapa, "Toa-moaycu,
kau baik?" Ma Gwat-sian tersenyum, katanya sambil duduk, "Apakah Thian-bi-siang-kiam
mencari kau?" Dengan kikuk Thian-hi manggut-manggut, seolah-olah dihadapan Ma Gwat-sian
sedikit pun ia tidak berani membual, daya pikir dan analisa Ma Gwat-sian membuat dia sulit
untuk bohong di hadapannya. Ma Gwat-sian tertawa geli, Ma Bong-hwi segera menyeletuk, "Nah apa aku bilang"
Setiap kali kau bertemu dia seperti tikus melihat kucing!"
Benak Thian-hi dan Ma Gwat-sian bergetar bersama, sekilas mereka saling beradu
pandang, otaknya lantas membayangkan pikiran sendiri, tanpa bersuara.
Akhirnya Ma Gwat-sian tertawa, katanya, "Menurut dugaanku mungkin karena kedua
biruang itulah sebabnya!" "Biruang?" "Apakah yang sedang kalian perbincangkan, apa boleh dijelaskan kepada aku?" Ma
Bong-hwi menukas. "Soal ini tak ada sangkut paut dengan kau, maka kaupun tidak perlu banyak
tanya!" sahut Ma Gwat-sian. Ma Bong-hwi menghela napas, ujarnya, "Begitulah aku yang menjadi engkoh ini,
setiap urusan selalu harus dengar ucapan adik! Baiklah aku menyingkir saja supaya tidak
mengganggu keasjikan kalian bicara!" ia bangkit terus tinggal pergi sambil tertawa lebar.
Merah jengah selebar muka Ma Gwat-sian, katanya tersenyum manis, "Sebagai
seorang pejabat tinggi engkohku bicara terlalu bebas!"
Thian-hi juga tertawa, katanya, "Mungkin sekedar kelakarnya saja untuk
menyenangkan hati belaka!" Sejenak mereka berdiam diri, lalu Ma Gwat-sian berkata, "Apakah benar-benar kau
gunakan tenaga dalam untuk memukul mati kedua biruang itu!"
Thian-hi manggut-manggut. Tatkala itu dia sudah punya pikiran bila hal ini
diketahui orang lain pasti bakal menimbulkan buntut perkara yang menyulitkan dirinya, sayang waktu
itu dia tidak memendam saja kedua ekor biruang itu, sekarang menyesalpun sudah kasep.
Kata Ma Gwat-sian, "Thian-bi-siang-kiam pasti sudah tahu bahwa orang yang
membunuh kedua ekor biruang itu tentu kau adanya. Lwekang mereka sangat tinggi, mungkin kau
bukan tandingan mereka. Tapi sebagai Bu-wi Ciangkun tentu mereka tidak berani berlaku kasar
terhadapmu, yang penting hanya mencari tahu asal usul perguruanmu saja."
Thian-hi tenggelam dalam pikirannya, tanyanya, "Orang macam apakah sebenar-
benarnya Thian-bi-siang-kiam itu?"
"Kalau kau tidak tahu bila ketemu mereka mungkin lantas dapat diketahui asal
usulmu, bahwa kau bukan warga Thian-bi-kok asli, dalam wilajah Thian-bi-kok ini tua muda laki
perempuan tiada seorang pun yang tidak kenal akan kebesaran nama Thian-bi-siang-kiam!"
Bercekat hati Thian-hi; 'untung hari ini aku kemari, kalau tidak kesulitan bakal
lebih besar kuhadapi!' Setelah merandek Ma Gwat-sian melanjutkan, "Mereka bernama Giok-hou-sian dan
Pek-bi-siu. Sepuluh tahun yang lalu, dari Tionggoan ada serombongan gembong-gembong iblis
yang menyelundup kemari segera mereka yang tampil ke depan membunuh seluruh gembong-
gembong iblis itu. Maka seluruh rakjak Thian-bi-kok tiada yang tidak kenal ketenaran
mereka." Thian-hi lantas membatin, "Thian-bi-siang-kiam ini pasti bertangan gapah dan
kejam, yang jelas ilmu silat mereka pasti sangat lihay!"
Sekian lamanya mereka tenggelam lagi ke alam pikiran masing-masing, akhirnya Ma
Gwat-sian menunduk serta bicara kalem, "Hun-toako, apakah benar-benar kau rada takut
terhadapku seperti yang dikatakan oleh engkohku itu" Terhadap urusan orang lain aku dapat meraba
dan memberikan pandanganku, namun serta menghadapi urusan yang melibatkan diriku
sendiri, hatiku menjadi bingung dan kehilangan akal sehatku!"
Thian-hi tertawa, katanya, "Sebetulnya aku sangat kagum pada kau, kau benar-
benar seorang

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cerdik pandai!" "Kata Ma Gwat-sian, "Guruku sudah pergi lagi, entah kapan beliau baru akan
pulang. Bila beliau ada disini, mungkin aku bisa minta pertolongannya. Bolek dikatakan guruku
merupakan tokoh paling aneh di seluruh negeri kecil ini, ada beliau yang tampil ke depan, urusan
sebesar gunungpun akan dibikin beres segampang membalikkan tangan."
Thian-hi tertawa seraya menyatakan terima kasih, katanya, "Ini menyangkut
urusanku sendiri tak enak kalau gurumu ikut campur, apalagi gurumu sedang pergi, mungkin sedang
menyelidiki persoalanku di Tionggoan!"
Ma Gwat-sian mengawasi Thian-hi lekat-lekat, katanya, "Guruku menyuruh aku
jangan terlalu dekat dengan kau, katanya waktu berada di Tionggoan kau dijuluki Leng-bin-mo-
sin, sedang kau sendiri kau memang berwatak tinggi hati ya bukan?"
"Benar-benar," Thian-hi mengakui, "Dikala gurumu pulang, saat itulah bencana
bakal menimpa diriku. Sebelum kemari guruku pemah berpesan supaya aku tidak menunjukkan ilmu
silatku, atau sebaliknya aku bakal ketimpa bahaya besar!"
"Kalau begitu jadi gurumu juga seorang tokoh aneh yang tinggi kepandaiannya,
apalagi cara bagaimana beliau bisa mengetahui adanya tempat terasing ini?"
Thian-hi geleng-geleng kepala sembari tertawa tanpa buka suara.
"Ketahuilah guruku seorang yang cukup bijaksana dan mengenal aturan, bila kau
tidak melakukan perbuatan yang tercela kau tidak perlu takut terhaday beliau, dia
tidak akan sembarangan turun tangan tanpa alasan, apalagi....apalagi aku bisa mohon
pengampunan pada beliau." "Aku sendiri tidak merasa takut, sudah sering aku kebentur urusan yang
menyulitkan diriku, aku sendiri juga bisa mengakui akan julukan Leng-bin-mo-sin itu, julukan ini
memang cukup menakutkan bukan?" Ma Gwat-sian termangu-mangu, agak lama kemudian mendadak bertanya, "Hun-toako,
apa kau sudi beritahu lebih banyak tentang dirimu kepada aku?"
Thian-hi beragu sesaat lamanya, ujarnya, "Sekarang aku belum bisa bicara, bila
kukatakan seakan-akan memberi bahan kepada kau untuk minta pengampunan terhadap gurumu,
lebih baik setelah gurumu memberitahu kepada kau baru akan kujelaskan, begitu lebih jelas
lebih baik!" "Selalu aku merasa sikapmu terlalu congkak, apa kau merasa akan hal ini?"
"Selamanya aku pantang meminta2 kepada orang lain, pernah aku mengalami pahit
getir yang mengenaskan, toh aku tidak pernah mendapat simpatik dan belas kasihan orang
lain!" - teringat olehnya peristiwa di Giok-bun-koan dimana dia berhadapan secara langsung dengan
Situa Pelita, yang dia minta dan pengampunan bukan untuk dirinya, tapi demi hidup Sutouw Ci-
ko, saudari angkatnya itu! "Aku tahu akan watakmu ini! Cara bagaimana kau akan menghadapi Thian-bi-siang-
kiam nanti malam?" "Aku sendiri belum tahu apa tujuan mereka mencari aku, mana bisa aku ambil
kepastian?" "Watak mereka juga sangat takabur dan tinggi hati, kecuali guruku selamanya
tidak mau tunduk pada orang lain, mereka tentu akan menanyakan perguruanmu, dan kau tentu
sulit untuk menerangkan. Urusan ini tentu sulit diselesaikan secara damai."
"Kalau begitu aku menjadi tak berminat untuk kesana!"
"Kau harus pergi, kalau tidak mereka tentu akan mencari kau. Dengan kehadiranmu
disana malah mempelihatkan jiwa ksatriamu, kau bisa membawa sikapmu yang sombong tapi
jangan keterlaluan, atau mereka tidak akan memberi angin kepada kau, jiwa mereka rada
sempit!" "Terima Kasih akan nasehatmu ini, tiba pada waktunya tentu akan berbuat seperti
apa yang kau katakan!" "Aku pernah dengar kau mengajar meniup seruling kepada Siau-hou, tiupan seruling
yang merdu itupun pernah kudengar juga, namun kau belum pernah mempelajari intisari
keindahan seninya. Bila kau mempelajari Tay-seng-ci-lau segala persoalan tentu bisa
dibereskan." Thian-hi tertawa-tawa tanpa bersuara.
Ma Gwat-sian melanjutkan, "Guruku pantang pandangan subjektif, kesan beliau akan
sepak terjangmu selama berada di Thian-bi-kok ini sangat baik, namun soal urusanmu di
Tionggoan rada kurang dapat menerimanya, bila kesannya terhadapmu baik mungkin beliau bisa
menurunkan ilmu Tay-seng-ci-lau kepada kau, pada waktu itu kau akan menjadi seorang tokoh tanpa
tandingan di seluruh jagad!" "Beliau belum lagi pulang, dari mana kau bisa tahu" Jangan kecewa dan berputus
asa!" "Bahwasanya kau sendiri juga paham akan persoalan inj, kenapa kau ngapusi
dirimu?" Kecut perasaan Ma Gwat-sian, dengan mendelu ia menundukkan kepala. Sebetulnya
dia sendiri tahu akibat apa yang bakal terjadi, namun sungguh aneh dan heran kenapa selalu
ia berpikiranke arah yang baik, menurut anggapannya Hun Thian-hi pasti bisa merubah haluan dari
sesat menuju kejalan benar-benar, sehingga dia mau sembunyi di tempat ini. Bila
gurunya pulang dan mengetahui liku2 hidupnya tentu Hun Thian-hi bakal mendapat hukuman yang
setimpal apakah adil sikap dan keputusan demikian ini"
Lama dan lama sekali Ma Gwat-sian menepekur. tiada memperoleh jawaban cara
bagaimana ia harus membantu Hun Thian-hi, kecuali ia turunkan ilmu Tay-seng-ci-lau kepadanya,
tapi dia tidak berani, karena bila dia mengajarkan ilmu hebat itu akan membuat gurunya lebih
murka lagi, mungkin Hun Thian-hi akan menerima akibat yang lebih berat.
Entah berapa lama mereka berdiam diri, tenggelam dalam alam pikiran masing-
masing. Tahutahu Ma Bong-hwi berjalan mendatangi. serunya, "Kalian sudah selesai bicara belum?"
Hun Thian-hi tersipu-sipu bangun, Ma Siau-hou memburu kehadapannya, serunya,
"Guru! Jangan kau pulang keistana lagi, lebih baik tinggal dirumahku saja, ajarkan aku
meniup seruling!" "Siau-hou sendiri bisa belajar! Aku tiada tempo lagi, kelak bila ada waktu
pelan-pelan kuajarkan kepada kau!" "Siau-hou selalu terkenang pada kau, tahu bahwa kau pun pandai main silat,
diapun ingin berguru kepadamu!" demikian ujar Ma Bong-hwi.
"Guru," seru Ma Siau-hou mendongak. "Kapan kau tinggal lagi dirumah kami?"
Hun Thian-hi tertawa, sulit untuk memberi jawaban.
"Siau-hou," kata Ma Bong-hwi. "Gurumu sangat repot. lekas kau masuk membantu
ibumu!" Siau-hou menarik tangan Thian-hi dan tak mau pergi, sesaat ia celingukan
memandang Ma Gwat-sian, lalu katanya nakal, "Aku tahu!"
"Bocah kecil Kau tahu apa?" tanya Ma Bong-hwi.
Ma Siau-hou berlari masuk, serunya, "Ajah berkata pada ibu katanya pak guru
sedang berkencan dengan Bibi. mungkin pak guru hendak menikah dengan bibi. setelah
menikah tentu pindah tinggal disini!"
Keruan merah malu muka Ma Gwat-sian, demikian juga Thjan-hi menjadi kikuk dan
geli. Ma Bong-hwi segera membentak dan suruh anaknya pergi.
Ma Gwat-sian lantas minta diri kembali ke kamarnya. Thian-hi juga minta diri
kepada Ma Bonghwi. Setiap kali ia selalu mendapatkan Thian-hi bicara dengan Gwat-sian di belakang
orang lain, diam-diam ia girang hatinya, pikirnya: 'kelak Thian-hi pasti bakal menjadi
iparku.' Cuaca sudah gelap, dengan tetap mengenakan pakaian seragam kebesaran Thian-hi
naik kuda terus dicongklang menuju ke Thian-ting. Sepanjang jalan hatinya menerawang cara
untuk menghadapi mereka, supaya urusan ini tidak berlarut dan membawa akibat yang
buruk, terpikir pula olehnya bahwa sebelum guru Ma Gwat-sian pulang ia harus sudah menyelesaikan
pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek, seumpama terjadi sesuatu diluar dugaan, dengan mudah ia
bisa tinggal pergi dengan cepat. Tak lama kemudian ia sudah tiba dipegunungan Thian-ting. langsung ia bedal
kudanya manjat ke atas, alam pegunungan gelap gulita, pekik burung malam sebangsa kokok-beluk
saling bersahutan membuat suasana sunyi di pegunungan bertambah seram.
Jalan pegunungan semakin lelak lekuk, akhirnya kudanya tak kuasa lagi berjalan,
terpaksa Thian-hi tinggalkan kudanya, meski pun latihan Lwekang Thian-hi belum mencapai
puncak kesempurnaan, namun boleh dikata sudah cukup ampuh dan hebat.
Segera ia empos semangat dan menarik napas, cukup mengerahkan lima bagian
tenaganya. tubuhnya lantas meluncur naik laksana roket menembus angkasa, ringan sekali
setiap kakinya menutul tanah badannya lantas mumbul pesat kepuncak gunung. Setiba dipuncak
tertinggi keadaan hening lelap, tiada kelihatan bayangan seorang pun, angin malam di atas
pegunungan mengbembus kencang menderu dipinggir telinga, namun sebagai seorang ahli silat
yang berkepandaian tinggi sedikitpun Thian-hi tidak terganggu oleh keadaan alam yang
ribut ini. Tak lama ia menanti sambil celingak-celinguk tampak di bawah sana dua titik
putih kecii sedang meluncur mendatangi dengan pesat. Tahu dia itulah Thian-bi-siang-kiam. Sejap
lain Thian-bisiang- kiam sudah hinggap di pucak gunung. Sambil tersenyum lebar Thian-hi awasi mereka
satu persatu. Kelihatan kedua pendatang ini orang-orang yang berpakaian aneh dan sudah lanjut
usia, yang satu rambut dan jenggotnya sudah ubanan namun seorang yang lain rada lucu,
rambut dan jenggotnya ternyata tetap menghitam, punggung mereka memanggul pedang panjang,
sekali pandang saja lantas dapat diketahui yang berambut ubanan itulah Pek-bi-siu dan
seorang lain sudah tentu Giok-hou-sian adanya.
Sementara itu dengan seksama mereka berdua juga tengah mengamati Thian-hi,
segera Thianhi maju selangkah serta menjura, sapanya, "Wanpwe Tio Gun, sesuai dengan Undangan
kedua Cianpwe kemari, entah ada petunjuk apakah para Cianpwe?"
Pek-bi-siu tertawa, katanya, "Hanya ketarik dan heran saja kita mengundang Tio-
ciangkun kemari, ada beberapa omongan ingin kami tanyakan kepada Tio-ciangkun."
Giok-hou-sian menimbrung bicara, "Dalam Thian-bi-kok mendadak muncul seorang
tokoh kosen yang lihay, kami merasa sangat heran dan kejut, maka kami merasa ketarik!"
"Sebetulnyalah Wanpwe bukan seorang kosen apa segala, ilmu silat aku hanya
belajar secara sambil lalu dan cakar kucing belaka, bila Cianpwe berdua begitu memuji, sungguh
Wanpwe merasa sangat malu!" demikian Thian-hi merendah.
Pek-bi-siu tertawa lebar, kelihatannya ia simpatik akan sikap Thian-hi yang
merendah diri dan tahu tata kehormatan, katanya, "Tio-ciangkun, setelah melihat biruang yang kau
bunuh dengan pukulanmu itu, meskipun harus kau tambahi dengan sebuah tusukan pedang lagi,
namun Lwekangmu yang hebat itu sungguh jarang kami lihat selama ini. Entahlah apakah
Tio-ciangkun sudi beritahu kepada kami siapakah gurumu yang mulia?"
Thian-hi tersenyum, sahutnya, "Sebetulnya tusukan pedangku itulah yang tepat
mengenai sasarannya, tiada yang perlu dibanggakan."'
Melihat Thian-hi bicara menyimpang tidak mau menyinggung gurunya, Giok-hou-sian
tidak sabar dan mendesak, "Siapakah sebenar-benarnya guru Tio-ciangkun...."
"0," Thian-hi seperti tersentak sadar, sahutnya, "Pelajaranku ini kuperoleh dari
sebuah buku saja!" "Jadi Tio-ciangkun belajar sendiri?" tanya Pek bi-siu menegas.
Sudah tentu Thian-hi tak leluasa menyebut nama gurunya Lam-siau atau menyinggung
kebesaran Ka-yap Cuncia terpaksa ia manggut-manggut membenar-benarkan.
Terangkat alis Giok-hou-sian, tampak mukanya merengut berang, katanya, "Dinilai
dari usiamu mungkinkah kau belajar sendiri dapat memperoleh tingkat kepandaian yang begitu
tinggi?" "Secara kebetulan aku memperoleh rejeki, aku pernah memakan Kiu-thian-cu-ko!"
Thian-bi-siang-kiam saling pandang, tanya Pek-bi-siu, "Di tempat mana kau
dapat?" Thian-hi beragu sesaat lamanya, tahu dia bahwa jawaban kali ini tidak boleh
ngelantur. sambil tertawa ia berkata, "Apakah Cianpwe berdua harus mengetahui?"
Pek-bi-siu mendengus, jengeknya, "Di dalam wilajah Thian-bi-kok ini, bila di
tempat mana ada tumbuh buah ajaib seperti yang kau katakan itu, masa ada keserapatan giliranmu?"


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bercekat hati Thian-hi, namun lahirnya tetap tenang dan tersenyum simpul,
katanya, "Dengan alasan apa Cianpwe berdua berani begitu yakin" Rejeki yang berjodoh tiada punya
sangkut paut dengan tinggi rendah kepandaian seseorang!"
Diam-diam curiga dan sangsi pula hati Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian, namun dalam
batin mereka mengakui akan kebenar-benaran kata-kata Thian-hi ini.
Kata Giok-hou-sian, "Soalnya kau main sembunyi2, tak berani bicara terang-
terangan supaya diketahui oleh kami berdua?"
"Soalnya kenapa pula aku harus beritahu kepada kalian?" demikian Thian-hi tak
mau kalah debat, "Selamanya aku belum saling kenal dengan kalian, kalian pun baru saja
tahu adanya seseorang macam aku ini, apakah seseorang yang punya sekedar kepandaian silat
harus kalian periksa dan diselidiki asal usulnya?"
Giok-hou-sian menjadi murka oleh debat Thian-hi yang beralasan itu. dengan
menggeram ia melangkah setindak, jengeknya, "Tajam benar-benar mulutmu, kami mengajukan
pertanyaan, selamanya tiada seorang pun yang berani tidak menjawab!"
Thian-hi pura-pura melengak dan angkat pundak keheranan, serunya, "Kalian adalah
tokoh kosen dari aliran lurus bukan" Kenapa berkata demikian, aku tiada punya
permusuhan atau sakit hati dengan kalian, kenapa pula aku harus menjawab setiap pertanyaan kalian?"
"Sahabat kecil," Pek-bi-siu cukup licin, ia mengubah sikap dan merubah suasana
yang semakin tegang ini. "Maksudmu bila ada permusuhan atau ada hutang budi baru boleh
mengajukan tanya jawab?" Thian-hi melenggong, tak tahu ia apakah Pek-bi-siu ada permusuhan atau pernah
menanam budi terhadap dirinya, dalam hati bertanya-tanya, namun lahirnya tetap
bersenyum, jawabnya, "Boleh dikata begitulah!"
"Kami Thian-bi-siang-kiam tiada sebab takkan mengajukan pertanyaan kepada kau,
sebelum ini kamipun pernah sekedar membantu kau mengerjakan urusan kecil saja. Ketahuilah
lima ratus pasukan pendam digedung Siangkok yang bersenjata lengkap itu, semua berhasjl
kami tutuk jalan darah penidurnya. Anggaplah perbuatan kami ini sebagai budi kecil belaka!" -
habis berkata PekTiraikasih
Website http://kangzusi.com/
bi-siu tertawa lantang. seolah-olah ia sangat bangga akan buah karyanya itu,
bahwa sebenarbenarnyalah Thian-hi harus mengetahiii bahwa Thian-bi-siang-kiam bukan golongan tingkat
rendah yang boleh diajak main-main.
Baru sekarang Thian-hi sadar, "Kiranya adalah perbuatan kalian"
"Bagi kami kejadian itu tidak perlu dibanggakan. tapi sekarang kau boleh
menjawab pertanyaan kami bukan?" demikian desak Pek-bi-siu.
"Kiranya Cianpwe berdualah yang turun tangan, "Kemaren aku heran kenapa pasukan
pendam itu seperti mati kutu, kalau begitu aku harus ucapkan banyak terima kasih pada
kalian!" "Kami sudah menerimanya dan tidak perlu disinggung lagi," kata Pek-bi-siu, "yang
penting kau harus menjawab pertanyaan yang kuajukan tadi."
Thian-hi tahu kalau dirinya menjelaskan urusan bakal semakin runyam, Thian-bi-
siang-kiam sudah puluhan tahun menetap di Thian-bi-kok, tempat mana saja yang tidak
diketahui oleh mereka, maka katanya, "Seharusnya aku menjelaskan. Soalnya aku pernah berjanji
kepada seseorang supaya tidak membocorkan rahasia tempat itu, harap Cianpwe berdua
maklum dan memberi maaf!" Giok-hou-sian mendengus, jengeknya, "Jelas kau hanya membual belaka! Menurut aku
asalusulmu kurang jelas, mungkin kau datang dari Tionggoan, betul tidak?"
Bercekat hati Thian-hi, sahutnya tertawa, "Cianpwe main menuduh karena aku tidak
sudi menjelaskan dimana aku menemukan buah ajaib itu?"
Giok-hou-sian semakin berang, sebaliknya Pek-bi-siu tertawa, katanya, "Kalau
begitu cobalah kau sebutkan nama orang yang melarang padamu itu!"
"Aku tidak tahu siapa namanya, diapun tak mau menerangkan padaku!"
"Usiamu masih muda, tapi berani membual hendak menipu kami berdua," demikian
jengek Giok-hou-sian, "masa ada urusan begitu gampang, dia yang kasihkan kau atau kau
sendiri yang memperoleh buah ajaib itu?" .
Jelas kelihatan oleh Thian-hi bahwa Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian ini masing-
masing berwajah warna merah dan putih, karena diberondong oleh pertanyaan terus ia menjadi
jengkel, sahutnya dingin, "Apakah Cianpwe berdua anggap pernah menanam budi lantas mendesakku
sedemikian rupa" Kenapa sikap kalian begitu kasar dan kurang terhormat" "
Pek-bi-siu merengut membesi, katanya kereng, "Soalnya karena asal usulmu yang
tidak jelas jangan kau sangka ilmu silatmu sudah lihay, usiamu masih begitu muda berani
memandang rendah orang lain!" "Jika kalian tiada urusan lain lagi, maaf, aku mohon diri saja, tugas di istana
menjadi bebanku, tidak bisa aku meninggalkan dinas terlalu lama!"
Tiba-tiba Giok-hou-sian terloroh-loroh dingin panjang, serunya, "Baru hari ini
aku melihat ada seseorang berani bersikap begitu kurang ajar terhadap kami, ingin aku melihat
betapa lihay bocah macammu yang belajar sendiri tanpa bimbingan guru ini!"
"Cianpwe tidak berhasil memeras dan mengorek keterangan, lantas hendak
menggunakan kekerasan adu kepandaian?"
"Sungguh besar nyalimu, tapi dengan sikapmu yang jumawa terhadap angkatan tua,
sudah seharusnya kami berdua mengajar adat terhadapmu, tapi kau tak perlu takut. kami
tidak akan mengeroyok kau seorang!"
Mendengar orang hendak menghajar adat pada dirinya, Thian-hi insaf bahwa hari
ini sulit terhindar bentrok, betapapun sanubari Thian-hi tidak mau turun tangan, terutama
ia tidak suka memperlihatkan ilmu silat aslinya. Dengan tertawa tawar ia berkata, "Satu lawan
satu boleh! Satu lawan dua pun tidak menjadi halangan."
"Bocah sombong!" teriak Giok-hou-sian menyeringai dingin, "bila kami tidak
menghajar adat padamu, kau tidak akan tahu betapa tingginya langit dan tebalnya bumi, mari aku
saja yang menjajal kepandaianmu, dalam dua puluh jurus bila kau tidak terkalahkan. pasti
kami berdua tidak akan mempersulit lagi kepada kau!"
Girang hati Thian-hi, memang kata-kata inilah yang hendak dipancingnya dari
mereka, serunya tertawa besar, "Sikap dan pembawaan yang gagah ini sungguh tidak malu kalian
diangkat menjadi Thian-bi-siang-kiam!" lalu pelan-pelan ia melolos pedang serta katanya lagi,
"Mari silakan Cianpwe
mulai dulu!" Walaupun Giok-hou-sian tahu bahwa dirinya sudah tertipu oleh pancingan Thian-hi,
serta melihat tantangan Thian-hi yang mengumpak itu, hatinya menjadi girang juga.
Pelan-pelan iapun mengeluarkan pedangnya, katanya, "Mari kau saja yang mulai serang!"
Thian-hi angkat kedua tangannya sedikit menjura lalu dari kejauhan menyodokkan
pedangnya ke depan lalu ditariknya kembali dan berdiri tegak tak bergerak lagi.
Melihat Hun Thian-hi tidak sudi diberi hati dan tidak mau mengalah jengkel hati
Giok-hou-sian, tanpa banyak cingcong lagi, tahu-tahu pedangnya melesat miring, segulung angin
pedang yang menderu tajam kontan menerpa ke arah Thian-hi.
Diam-diam Thian-hi sudah ambil keputusan, ia tidak mau banyak urusan lagi, asal
dirinya sudah menyambut dua puluh jurus serangan musuh berarti urusan dapat selesai begitu
saja. Maka pedang panjangnya terangkat naik sedikit dengan jurus Tam-lian-hun-in-hap ujung
pedangnya memapak maju, begitu permainan pedangnya dikembangkan, segulung bayangan pedang
yang kelabu memutih berkembang melebar di sekitar tubuhnya, membendung serangan
pedang Giokhou- sian. Tujuan serangan Giok-hou-sian . ini adalah hendak menjajaki sampai dimana
Lwekang Hun Thian-hi, serta serangan pedangnya dilancarkan, tahu-tahu kekuatan tusukan
pedangnya ternyata sirna dan amblas di tengah jalan, hakikatnya dia gagal menjajaki betapa tinggi
atau rendah Lwekang Thian-hi, sekali lagi pedang terputar membuat sebuah bundaran
melancarkan tipu Hohgsa- liu-co (pasir angin mengalir), kontan berkembanglah gugusan bayangan pedang yang
kemilau merangsak dari berbagai penjuru menyerang kepada Thian-hi.
Melihat jurus serangan Giok-hou-sian yang aneh dan lihay ini, terkejut hati
Thian-hi, serta merta hatinya sedikit gentar, demikian juga permainan jurus pedangnya menjadi
merandek dan sedikit lamban, bahwasanya sejak mulai ia tidak kerahkan seluruh Lwekangnya,
begitu kedua pedang masing-masing saling bentrok, kontan ia tergetar mundur dua langkah.
Mendapat hasil Giok-hou-sian tidak memberi hati, kaki melangkah maju pedang
bergerak pula melancarkan serangannya yang lebih gencar. Kali ini Thian-hi lancarkan jurus
lain dari Gin-ho-samsek yaitu Gelombang perak mengalun berderai, bayangan sinar pedangnya sekokoh gunung
tegak memunahkan seluruh rangsekan Giok-hou-sian yang hebat itu.
Penjagaan Thian-hi begitu rapat begitu kokoh kuat, sedikitpun Giok-hou-sian tidak bisa lihat
atau menyelami jurus permainan apa yang digunakan oleh Thian-hi, demikian juga
ia merasa jurus permainan pedang Thian hi sangat aneh, tanpa terasa ia berseru memuji,
"Kepandaian yang hebat!" Pedangnya bergerak dan menyerang lagi lebih sengit.
Menurut perkiraannya semula, sejurus ia dapat menjebol bendungan lawan jurus-
jurus selanjutnya pasti gampang mengocar-kacirkan pertahanan lawan, tak nyana
perubaban permainan Thian-hi ternyata begitu cepat dan cekatan. meskipun rangsekannya cukup cepat,
namun sekarang tidak mampu lagi mendesak mundur Thian-hi meski hanya setengah tindak
saja. Sekejap saja sepuluh jurus telah lewat. Sungguh kejut dan gusar pula hati Giok-
hou-sian, selama ini Thian-hi melulu gunakan kedua jurus permainannya itu saja. sehingga
serangannya yang lihay dan hebat itu selalu kandas ditengah jalan. Semula ia beranggapan
betapa tinggi kedudukan Thian-bi-siang-kiam dan betapa tenar namanya di Thian-bi-kok,
menghadapi bocah macam Hun Thian-hi ini meskipun dengan perjanjian dua puluh jurus, rasanya sudah
berkelebihan dan sudah menurunkan derajatnya sendiri, maka selama puluhan jurus ini ia tidak
mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya.
Separo dari perjanjian sudah dilewati, serangannya selalu kandas pula ditengah
jalan, bila tidak kerahkan segala kemampuan lagi, mungkin dirinya bakal terjungal ditangan seorang
bocah muda yang dianggap masih berbau pupuk ini.
Karena kekuatiran hatinya inilah serta merta kerahkan Lwekang di atas batang
pedangnya. Diiringi dengan kegesitan gerak tubuhnya yang lincah, pedang panjangnya
berkelebat melayang seperti bianglala kelap-kelip, kemilau sinar pedangnya berputar terbang
mengelilingi Thian-hi dengan rangsekan membadai.
Kontan Thian-hi rasakan empat penjuru sekelilingnya bertamhah gencetan tenaga
yang besar sekali, karena kuatir dapat dilihat dan diketahui seluk beluknya Thian-hi tidak
berani kerahkan kekuatannya, namun ia insaf bila dirinya tidak menyambut serangan musuh, mau
tidak mau, akhirnya dirinya mesti terdesak untuk mengerahkan Lwekangnya. Sebat sekali ia
mengegos miring, kakinya menjejak tanah tubuhnya lantas melayang naik keudara, dengan
menukik turun inilah ujung pedangnya menutul kebawah dengan jurus Hun-liong-pian-yu salah satu
jurus terlihay dari Thian-liong-cit-sek, yang diarah adalah ubun-ubunnya kepala Giok-hou-sian.
Melihat Thian-hi mulai lancarkan serangan balasan Giok-hou-sian lebih waspada
dan bersikap hati-hati, tanpa berani ayal sedikitpun ia kerahkan seluruh kekuatannya untuk
melawan serangan musuh. Ujung pedangnya teracung tinggi lalu berputar membabat dan membacok
serabutan, Sejak mula pertempuran Thian-hi tidak mau kerahkan Lwekangnya, sudah tentu dia
punya perhitungan permainan pedangnya. melihat rangsekan balasan lawan pedangnya
diputar turun naik merabu dengan berbagai tipu serangan gertak sambel saja, sedikit mengancam
musuh terus ditarik pulang kembali tanpa benar-benar hendak melukai lawan.
Giok-hou-sian gusar mencak-mencak, lima enam belas jurus sudah berlalu,


Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedemikian jauh ia masih belum berhasil menjajaki sampai dimana tinggi atau rendah Lwekang Hun
Thian-hi. Tibatiba ia bersuit nyaring panjang, pedangnya berubah memainkan jurus Hou-tiong-jit-
gwat, Serangan pedang ini dilancarkan dengan penuh variasi yang menakjubkan, dikata
satu jurus sebetulnya mengandung perubahan yang tidak terhitung banyaknya, bayangan pedang
seperti sebuah poci pendek bundar saja menungkup ke atas kepala Thian-hi.
Melihat itu bukan kepalang kaget Giok-hou-sian, serentak secara reflek ia
lancarkan tiga jurus kembangan berantai untuk merintangi luncuran serangan balasan Thian-hi itu.
Namun ia tidak berhasil menahan terjangan musuh. Dua puluh jurus pun tepat telah berakhir.
Dilain saat Hun Thian-hi sudah jumpalitan hinggap di tanah, segera ia rangkap tangan serta
menjura, katanya, "Atas kemurahan hati Cianpwe. Wanpwe sudah menandingi dua puluh jurus!"
Betapa pedih dan pilu hati Giok-hou-sian, anggapannya semula sepuluh jurus saja
Thian-hi tidak akan mampu bertahan, tapi sekarang dua puluh jurus mampu ditandingi, malah
dirinya sendiri yang terdesak dipihak yang runyam. tanpa merasa ia goyang2 tangan dengan
rawan. Kun Thian-hi menjadi girang, sangkanya urusan sudah selesai sampai disitu saja,
baru saja ia niat tinggal pergi, tiba-tiba Pek-bi-siu membentak, "Nanti dulu!" - dengan kejut
dan heran Thianhi berpaling memandang Pek-bi-siu.
Kata Pek-bi-siu tertawa sinis, "Dimulut kau berkata sungkan, namun sepak terjang
dan tingkah lakumu sangat takabur, kau memakai seragam militer, mengenakan mantel panjang
lagi, dan yang lebih menjengkelkan kau tidak mau terima kebaikan orang lain!"
"Jadi maksudmu hendak menahan aku lagi?" demikian batin Thian-hi, namun lahirnya
ia berkata, "Cianpwe! Sebetulnya Wanpwe terpaksa, kalau tidak mengenakan seragam
ini, mana aku bisa pulang masuk kota!"
Pek-bi-siu menyeringai, ujarnya, "Itu bukan soal, yang jelas kulihat aliran
silatmu dari Tionggoan, untuk hal ini kau harus memberi keterangan sejelasnya, ketahuilah
selamanya Thianbi- kok tidak akan membiarkan orang Tionggoan menyelundup kemari!"
Bercekat hati Thian-hi, namun lahirnya tetap tenang, sahutnya, "Kalau Cianpwe
menuduh demikian aku pun tidak bisa main debat, tapi ingin aku tanya, uraiannya ilmu
silat tiada perbedaan dengan garis yang tegas, entah apa yang disebut aliran Tionggoan atau golongan
Thian-bi" "Permainanmu ada beberapa jurus yang aneh, ada beberapa jurus pula seperti
pernah kulihat entah dimana, tapi yang pasti bahwa dalam wilajah Thian-bi-kok tidak ada jurus
permainan silat seperti itu." demikian jengek Pek-bi-siu dingin.
Dalam pada itu Giok-hou-sian tengah menjublek, kelihatannya iapun dibuat
keheranan, meskipun mereka melarang orang-orang Tionggoan kemari, tapi dulu sering mereka
ke Tionggoan. Diapun merasa walau pun permainan silat Thian-hi rada aneh, samar-
samar seperti pernah dilihatnya. "Bagaimana! Kau datang dari Tionggoan bukan?" desak Pek-bi-siu.
Belum lagi Thian-hi menjawab, mendadak Giok-hou-sian berseru keras, "Tadi waktu
kau balas menyerang aku apa namanya jurus itu?"
Berdetak jantung Thian-hi, jurus itu adalah Han-liong-pian-yu, Ilmu Thian-liong-
cit-sek memang hebat, tidak sedikit kaum Kangouw yang pernah melihat dan tahu akan
kehebatannya. Dari nada seruan Giok-hou-sian ini kelihatan memang dia pernah menyaksikan ilmu ini.
Sejenak ia merandek lalu jawabnya, "Jurus kesebelasankah yang kau maksudkan?"
Mendadak Giok-hou-sian berkata lagi, "Dulu pernah aku melihat ada orang
menggunakan jurus permainanmu ini!" Thian-hi tertawa geli, ujarnya, "Permainan silat yang sama di seluruh dunia ini
tidak terhitung banyaknya, jurus permainanku itu belum rampung seluruhnya, masa kau tahu apa
betul jurus yang kau maksudkan tadi?"
"Siapapun yang datang dari Tionggoan harus diberantas lenyap!" seru Pek-bi-siu,
"Sebelum kami jelas duduknya perkara, bila kau mengaku terus terang, kami akan beri jalan
hidup padamu, paling-paling hanya larang kau pamerkan ilmu silatmu selamanya menetap di Thian-
bi-kok. Tapi setelah dapat kami selidiki jelas, kematianlah jalan yang harus kau tempuh."
Sudah tentu Thian-hi tidak sudi pilih satu diantara kedua cara yang ditunjuk
ini, ia gelenggeleng kepala katanya, "Aku tidak mau main debat dan bertengkar dengan Cianpwe berdua.
Kenyataan aku sudah bertahan sebanyak dua puluh jurus sesuai dengan janji kalian
sendiri aku harus pulang, apakah Cianpwe berdua hendak menjilat ludah sendiri?"
Melihat sikap Thian-hi begitu tenang, namun kata-katanya selalu menghindari
pertanyaan langsung Pek-bi-siu menjadi dongkol, katanya mendengus, "Kuanjurkan bicaralah
terus terang!" Selama ini memang Thian-hi sengaja men-cari2 alasan, tapipun tidak berani
membual secara langsung. katanya tertawa, "Silakan kalian menyelidiki saja, sekarang mungkin
Baginda sedang mencari aku, aku harus cepat pulang."
"Pek-bi!" tiba-tiba Giok-hou-sian berteriak. "Pernahkah kau dengar Thian-liong-
cit-sek dari Tionggoan?" - dengan seringai sinis ia tatap tajam muka Thian-hi.
Bercekat hati Thian-hi, bila orang tahu akan nama Thian-liong-cit-sek, terang
mereka bisa tahu akan nama-nama jurus permainannya tadi.
Pek-bi-siu manggut-manggut, sahutnya, "Ya, sekarang aku ingat lagi!"
Dengan lekat Giok-hou-sian awasi Thian-hi, katanya pelan, "Kiranya kau sealiran
dengan Lamsiau, apakah kau tidak mau mengaku?" - seringainya lebih seram.
Thian-hi tersenyum, sahutnya, "Kapan Cianpwe pernah dengar nama Lam-siau?"
Giok-hou-sian menggerung gusar, serunya, "Lam-siau Kongsun Thoan! Apakah dia
ayahmu?" Mendengar nama Kongsun Thoan, itulah nama Sucou Thian-hi, atau ayah Kongsun
Hong, Thian-hi tertawa, sahutnya, "Selamanya Thian-liong-cit-sek tidak diturunkan
kepada orang luar!" "Apakah nama Tio Gun itu bukan nama aslimu?" desak Giok-hou-sian.
Belum lagi Thian-hi membuka mulut, Pek-bi-siu bergelak tawa panjang, katanya,
"Darimana bisa kau tahu sedemikian banyak, urusan Bulim di Tionggoan ada berapa banyak
orang di Thianbi- kok ini yang mengetahui" Thian-liong-cit-sek tidak diturunkan orang luar, baru
sekarang aku tahu dari mulutmu, dari mana kau bisa tahu begitu jelas" Apakah kau masih tidak
berani mengaku bahwa kau datang dari Tionggoan?" sampai disini mendadak mereka mencelat
berpencar kekanan kiri mengepung Thian-hi dari depan dan belakang.
Thian-hi insaf tidak mungkin mengelabuhi lagi, terpaksa katanya tertawa, "Buat
apa kalian begitu bersitegang leher, apakah kalian takut menghadapi aku seorang?"
"Sepuluh tahun yang lalu dari Tionggoan ada meluruk kemari delapan orang, mereka
dapat merambat naik ke Thian-bi-kok sudah tentu bukan tokoh silat kelas kambing, namun
mereka berhasil kami bunuh seluruhnya, masa sekarang kami takut menghadapi kau seorang!
Tapi kau bisa menetap disini begitu lama tanpa konangan kedok aslimu, sekarang malah
menjabat kedudukan Komandan Gi-lim-kun lagi, kau betul cukup licin!"
Sesaat Thian-hi menjadi mati kutu tidak tahu harus menjawab apa. ujarnya,
"Banyak orang yang sudah tahu, melulu kalian saja yang ketinggalan!"
Pek-bi-siu menggerung murka, semprotnya, "Tapi kamilah yang tidak akan beri
ampun padamu." Sembari berkata telapak tangannya menyelonong maju menepuk kepunggung Thian-hi.
Caranya turun tangan cepat dan ganas, kekuatannyapun bukan olah-olah katanya.
Melihat Pek-bi-siu turun tangan, terpaksa Thian-hi harus mengadu jiwa, namun
pertarungan ini menang atau kalah untuk selanjutnya terang dirinya tidak akan bisa menetap lama
lagi diwilajah ini. Kecuali ia bunuh kedua orang ini supaya tutup mulut dan rahasia tidak
diketahui umum! Seiring dengan jalan pikirannya ini, ia membalik sebuah tangannya menyambut
pukulan orang, menggunakan daya pental kekuatan benturan pukulan itu tubuhnya mencelat terbang
kesamping terus berkelebat menyingkir, maksudnya mau tinggal merat saja.
Dilain pihak Giok-hou-sian sudah bersiaga diluar gelanggang sudah tentu ia tidak
mandah membiarkan Thian-hi melarikan diri begitu saja, segera tubuhnya mencelat
terbang, sebelah tangannya menindih ke atas kepala Thian-hi dengan pukulan berat.
Cepat-cepat Thian-hi menyedot hawa, sekonyong-konyong badannya terbang
jumpalitan ditengah udara, badannya mumbul lebih tinggi. lolos dari serangan lawan.
Pek-bi-siu menjadi murka serunya, "Jangan harap hari ini kau dapat lolos?"
Sembari mengancam tubuhnya ikut melesat tinggi mengejar, kedua telapak tangannya
didorong keluar memukul dari jarak jauh dengan setaker tenaganya.
Begitu mendengar kesiur angin pukulan musuh yang dahsyat ini terkejut Thian-hi.
Kepandaian Pek-bi-siu memang tidak rendah, kecuali Si-gwa-sam-mo, mungkin tokoh-tokoh macam
Situa Pelita pun tidak akan lebih ungkulan dibanding mereka berdua ini.
Untung Thian-hi membekal latihan Pan-yok-hian-kang, Lwekangnya maju pesat
berlipat ganda Untuk menang dari keroyokan kedua orang ini memang tidak mudah, kalau untuk
meloloskan diri saja cukup berkelebihan segampang membalikkan telapak tangan.
Begitu melihat serangan dahsyat yang menerpa tiba ini, Thian-hi memutar balik
kedua telapak tangannya terjulur maju, kekuatan Pan-jok-hian-kang terkerahkan penuh, memukul
balik ke arah serangan musuh. Pek-bi-siu menjadi geram, pikirnya, "Bukankah kau cari mati ini?" Kontan ia
kerahkan seluruh kekuatannya terus memapak maju secara kekerasan.
"Blang!" kekuatan pukulan sama bentur ditengah udara, menimbulkan gelombang
angin yang menderu laksana angin topan, batu pasir beterbangan. Tampak tubuh Thian-hi
terpental terbang ke belakang, sementara Pek-bi-siu melorot jatuh mentah-mentah terus sempoyongan
beberapa langkah, setelah berdiri tegak mulut terpentang terus menyemprotkan darah segar.
Masih untung baginya karena Thian-hi rada memberi kelonggaran padanya, kalau
tidak mungkin luka-luka yang dideritanya bakal lebih berat. Melihat Pek-bi-siu kalah
dan terluka, sungguh kejut dan heran pula Giok-hou-sian, cukup sekali pukul pemuda yang masih
bau pupuk bawang ini berhasil melukai Pek-bi-siu, lwekang sendiri setingkat lebih rendah
dari saudaranya jelas diri sendiri jauh bukan lawannya.
Namun betapapun ia tidak rela membiarkan Thian-hi tinggal pergi begitu saja.
dengan menghardik keras ia terbang mengejar, namun jaraknya sudah setengah li
ketinggalan oleh Thianhi,
tampak tubuh Thian-hi melesat turun seperti meteor jatuh secepat kilat. Sungguh
murka bukan kepalang hatinya, namun apa yang dapat dilakukan"
Sungguh Thian-hi merasa girang bukan kepalang. siapa nyana sekali pukul ia
berhasil membuat Pek-bi-siu terluka parah, kini dapat membebaskan diri lagi dari kecokan mereka,
namun demikian hatinya rada was-was pula, mungkin musuh terlalu pandang ringan dirinya,
selanjutnya bagaimana untuk menghadapi kericuhan ini"
Thian-bi-siang-kiam jelas sudah mengetahui bahwa dirinya datang dari Tionggoan,
soal ini bakal menimbulkan keonaran di seluruh negeri kecil ini, mungkin tiada tempat
berpijak lagi dalam wilajah Thian-bi-kok bagi dirinya.
Tengah pikirannya melayang, sementara kakinya masih berlari kencang secepat anak
panah. sekonyong-konyong dari kejauhan terdengar petikan irama kecapi. Kontan berubah
air muka Thian-hi, itulah irama kekal abadi, tempo hari ia pernah dengar lagu ini, namun
orang yang memetik harpa kali ini jauh lebih pandai iramanya juga lebih mantap, jelas bukan
petikan Ma Gwat-sian, jika bukan Ma Gwat-sian tentu gurunyalah yang sudah kembali. Dan yang
lebih menguatirkan justru Wi-thian-cit-ciat-sek belum lagi sempurna dilatih olehnya.
Bab 18 Irama harpa semakin tegas dan kumandang dialam pegunungan nan sunyi ini, tenaga
Thian-hi masih belum bujar, ia masih cukup bertahan. sambil kertak gigi dan menyedot
napas, tubuhnya meluncur turun semakin pesat. Hampir tiba pada tunggangannya, dia sudah tidak
kuat bertahan lagi.... Dia insaf bila menerjang terus kebawah pasti seluruh isi perutnya bakal
hancur lebur oleh tekanan dahsyat irama harpa itu.
Pemetik harpa itu menggunakan irama getar yang paling dahsyat seolah-olah dia
tahu bahwa

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dirinya masih berusaha lari, kedengaran suara harpa semakin tegang dan membawa
hawa membunuh yang tebal. Akhirnya Thian-hi tidak kuat lagi, pelan-pelan ia duduk bersila menentramkan
pikiran memusatkan semangat, Pan-yok-hian-kang dikerahkan untuk membendung serangan dari
luar pelan-pelan ia berhasil menghimpun seluruh hawa murni dipusarnya. lambat laun
tenanglah hati dan pikirannya. Tapi dia tidak berani sembarangan bergerak.
Sementara itu Giok-hou-sian tidak berputus asa. meski ketinggalan ia nekad
mengejar terus, sekonyong-konyong didengarnya suara harpa keruan girang bukan main, tahu dia
bahwa tokoh aneh yang tertinggi di Thian-bi-kok sudah muncul dan turun tangan, seumpama
kepandaian Thian-hi setinggi langit juga jangan harap dapat lolos lagi. Begitulah dengan
kencang ia mengejar kebawah, tampak Thian-hi masih berlari seperti sipat kuping. diam-diam tengetar
hatinya, betapa tinggi Lwekang Hun Thian-hi ini, bila aku sendiri jelas tidak kuat bertahan
lagi. Akhirnya dilihatnya
Hun Thian-hi berhenti dan duduk bersila. Giok-hou-sian menjadi girang cepat ia
memburu datang, waktu tiba. disamping Thian-hi, dilihatnya Thian-hi samadi dengan tenangnya.
Kagum dan memuji dalam hati, usianya masih begini muda sudah membekai Lwekang sehebat itu, ada
berapa banyak tokoh di dunia ini yang dapat memadainya! Sesaat lamanya ia berdiri menjublek di
tempat itu, tak tahu apa yang harus dilakukan.
Begitu Thian-hi mengerahkan Pan-yok-hian-kang, irama harpa menjadi kalem,
tekanan sedikit ringan perasaannya juga rada enteng. Hatinya senang. diam-diam ia membacn; Pan-
yok-hiankang latihanku ini ternyata begini sakti mandra guna, kiranya irama kekal abadi yang
hebat itu juga tidak mampu menyerang masuk melukai diriku lagi.
Sementara itu, lagu kekal abadi masih terus berkembang mengalun tinggi laksana
awan berlalu seperti gelombang berderai, bak umpama air sungai mengalir terjun kebawah.
Begitulah lagu nan merdu ini meresap pelan-pelan ke bawah, sekonyong-konyong Thian-hi merasakan
sesuatu keganjilan, kiranya irama harpa di dalam keadaan yang tidak terasa olehnya telah
meresap masuk mengeram dalam badannya, baru saja ia hendak laksanakan rontaan terakhir, tiba-
tiba irama harpa berhenti putus, kontan seluruh jalan darah tubuhnya seperti tertutuk oleh
Jiong-jiu-hoat tanpa dapat berkutik lagi. Kesadaran Thian-hi masih segar bugar, tahu dia bahwa
dirinya sudah tamat, tanpa kusadari ternyata aku telah teringkus begitu gampang.
Tak lama kemudian badan Thian-hi tergetar, lantas ia rasakan tekanan badannya
menjadi enteng, seluruh jalan darah yang tertutuk bebas seluruhnya, waktu ia buka mata
dan celingukan, tampak dirinya masih berada di tengah hutan, di sebelah kiri sana terdapat
sebuah pohon besar di bawah pohon terdapat pula sebuah batu besar, di atas batu besar ini duduk tenang
seorang Nikoh pertengahan umur, Thian-bi-siang-kiam tampak berdiri tegak menjulurkan tangan
dikedua sampingnya. Pelan-pelan Thian-hi bangkit berdiri, dengan cermat ia awasi Nikoh itu, tampak
wajahnya bersih dan welas asih, mengenakan jubah hijau mulus, dipangkuannya terletak sebuah
harpa kuno sikapnya serius dan sungguh-sungguh.
Tahu Thian-hi bahwa Nikoh ini pasti guru Ma Gwat-sian adanya, lekas-lekas ia
menjura serta menyapa, "Wanpwe Hun Thian-hi, menghadap pada Cianpwe."
Thian-bi-siang-kiam saling berpandangan. Nikoh pertengahan itu mengamati Thian-
hi lekatlekat, ujarnya, "Urusanmu aku tahu jelas sekali."
Thian-hi mandah tertawa-tawar saja, dalam hati ia membatin, "Apa benar-benar kau
tahu seluruhnya?" Terdengar Nikoh itu menyambung lagi, "Mungkin kau pun tahu, bahwa aku adalah
guru Gwatsian." Thian-hi manggut-manggut, sahutnya, "Aku sudah tahu!"
Kata Nikoh itu lagi, "Sejak kau menetap di Thian-bi-kok, selama ini belum pernah
melakukan perbuatan tercela, jika boleh dikata malah melakukan pekerjaan baik. Aku tidak
peduli sepak terjangmu waktu kau berada di Tionggoan dulu, berdiri pihak Thian-bi-kok sini,
bolehlah aku melanggar larangan biasanya, kau harus segera meninggalkan Thian-bi-kok."
Thian-hi tercengang, ia berdiri bingung tak bersuara. Pek-bi-siu menjadi gugup,
selanya, "Mana boleh begitu, setiap orang luar yang menginjak kakinya di Thian-bi-kok tidak
boleh dilepas pulang." Nikoh itu tidak hiraukan protes Pek-bi-siu, kata-katanya tetap tertuju kepada
Hun Thian-hi, "Sekarang juga kuperintahkan kau meninggalkan Thian-bi-kok!"
Thian-hi serba bingung dan gundah, ia tenggelam dalam pikirannya, akhirnya ia
mendongak kata-kata Ka-yap Cuncia seperti terkiang di pinggir telinganya, "Sebelum Wi-
thian-cit-ciat-sek sempurna kau latih, kularang kau meninggalkan Thian-bi-kok." - sejak mula datang
ia sudah melanggar salah satu pantangan Ka-yap Cuncia, memperlihatkan kepandaian
silatnya, sekarang mana boleh mengingkari pula pesan beliau"
Dengan tajam Nikoh itu pandang muka Thian-hi, dia tidak bisa meraba kemana jalan
pikiran Thian-hi yang kebingungan itu.
Akhirnya Thian-hi menunduk sambil tertawa, katanya, "Wanpwe ada sebuah
permintaan, entah apakah Cianpwe bisa memberi persetujuan!"
Hati si Nikoh menjadi rada berang, selamanya tiada seorang pun yang berani
melanggar setiap patah katanya, sekarang apa pula yang diatur Hun Thian-hi ini. ingin aku
mendengar apa yang akan dikatakan olehnya, maka tanyanya, "Coba kau katakan!"
Kata Hun Thian-hi, "Waktu Wanpwe hendak kemari, aku pernah berjanji pada
seseorang untuk mematuhi dua buah pesannya. Pesannya yang pertama tidak mungkin tertolong lagi,
urusan yang kedua ya itu bahwa aku harus tinggal lagi selama sepuluh hari baru bisa
menyelesaikan pesannya yang kedua. Apakah Cianpwe suka memberi ijin supaya aku menetap sepuluh hari
lagi disini?" Timbul amarah si Nikoh, alisnya terangkat tinggi, sahutnya tegas, "Tidak bisa!"
Diam-diam Giok-hou-sian dan Pek-bi-siu mengumpat dalam hati, begitu besar nyali
Thian-hi main tawar menawar untuk tinggal lagi sepuluh hari disini.
Thian-hi menunduk lagi menepekur, akhirnya ia berkata pula, "Lima haripun
bolehlah, dapatkah Cianpwe melulusi?" Nikoh itu duduk tak bergerak dengan angkernya, dingin-dingin ia awasi Thian-hi,
katanya, "Kau sangka aku tidak berani bunuh kau?"
Thian-hi tersenyum kecut, katanya, "Tiga hari juga bolehlah!"
Nikoh itu bergegas bangun, matanya mendelik dan membara gusar mengandung hawa
membunuh, dengan tajam ia pandang Hun Thian-hi. Tapi tanpa mengenal takut Thian-
hi pun balas pandang dia. Terketuk sanubari si Nikoh, begitu tinggi kepandaian silat
Hun Thian-hi, belum pernah ia ketemukan lawan yang begitu lihay, kelihatannya juga begitu tawar hati
dan perasaannya, kelihatannya sedikit pun ia tidak gentar bila aku membunuhnya.
Lama dan lama sekali ia pandang orang lekat-lekat, akhirnya dia tak kuasa turun
tangan Waktu pertama datang dulu Thian-hi tidak mau unjuk kepandaian silatnya, sampai mandah
dihajar orang dengan pecut dan dihina, namun justru karena hubungannya dengan Ma Gwat-sian,
akhirnya ia terdesak dan memperlihatkan kepandaiannya yang sejati. Hari ini dia kena
tertawan dan terjadi peristiwa yang tidak enak ini, betapapun dirinya harus ikut mempertanggung
jawabkan akibatnya. Akhirnya ia duduk lagi pelan-pelan, katanya, "Urusan apakah itu, coba kau
tuturkan pada aku, biar aku yang bantu kau menyelesaikan."
"Terima kasih Cianpwe," ujar Thian-hi tersenyum, "urusan ini harus kukerjakan
sendiri orang lain tidak akan bisa membantu!"
"Apa yang hendak kau kerjakan, beritahu aku, biar kupertimbangkan."
"Maaf Wanpwe tidak bisa memberitahu!"
Melihat kekukuhan Thian-hi, Thian-bi-siang-kiam menjadi gegetun, pikirnya, "Bila
aku, sejak tadi sudah kubunuh kau!"
Nikoh itu merenung sesaat lamanya, akhirnya berkata, "Kali ini aku baru pulang
dari Tionggoan, banyak kudengar persoalanmu, sebetulnya aku harus bunuh kau, namun ada sebuah
urusan menurut aku latar belakangnya masih belum jelas dan tidak bisa kupercaya
demikian saja, maka kuputuskan hanya mengusirmu keluar dari Thian-bi-kok. Sebab lain karena kulihat
selama disini kau tidak punya maksud-maksud jelek, malah pernah melakukan tugas dengan baik!"
Sampai disini ia pandang Thian-hi lagi lalu sambungnya, "Kudengar katanya kau
kejam dan telengas, seluruh golongan dan aliran Kangouw di Tionggoan semua ingin meringkus
dan membekuk kau, tapi hanya pihak Siau-lim-pay saja yang tidak ikut campur,
akhirnya karena sepak terjangmu terlalu mengumbar nafsu dan kelewatan, terpaksa Siau-lim-pay baru ikut
bergabung, tapi soal itu jauh lebih kecil dibanding kau membunuh Ciangbunjin Bu-tong-pay.
Kalau semula Siau-lim-pay tidak turut campur, maka persoalan belakangan seharusnya juga tidak
usah turun tangan, kenyataan toh mereka ikut meng-uber-uber kau. Akhirnya seluruh kaum
persilatan disana mulai menguber jejakmu, kemanapun kau pergi selalu dikuntit, terpaksa kau
menyelundup ke Thian-bi-kok dan sembunyi disini."
Berhenti Sebentar, ia pandang Thian-hi lagi, lalu sambungnya, "Tapi setengah
bulan kemudian, pihak Siau-lim mengundurkan diri pula."
Thian-hi menjadi heran dan bertanya-tanya, Siau-lim Ciangbun Te-coat Taysu
sendiri memimpin pengejaran itu dan mengurung dirinya dengan Sutouw Ci-ko di Jian-hud-tong,
bagaimana mungkin bisa mengundurkan diri! Mungkinkah Ka-jap Cuncia sendiri sudah mengunjukkan
diri" Tidak mungkin, bila Ka-yap Cun-cia mau bicara sekejap saja bukan saja pihak Siau-lim.
Seluruh kaum Kangouw tiada yang tidak akan mendengar nasehatnya. Ini betul-betul hal yang
sangat ganjil. pikir punya pikir tanpa merasa mulutnya lantas menggumam, "Ini tidak mungkin!"
Dengan heran si Nikoh pandang Thian-hi, katanya, "Konon kabarnya Te-coat Taysu
terluka parah, baru pihak Siau-lim mundur, tapi tidak mungkin, karena Te-coat sudah lama
terluka, hampir luka-luka parahnya sembuh baru pihak mereka mengundurkan diri."
Thian-hi tertunduk menepekur tanpa buka suara.
Kata si Nikoh itu lagi, "Maka aku bertindak tidak berdasarkan sepak terjangmu di
Tionggoan, yang jelas tingkah lakumu disini tidak jelek pernah mendharma-baktikan
kemampuanmu demi keselamatan, negara ini lagi, maka keputusanku cukup mengusirmu keluar! Ini
cukup bijaksana." Thian-hi tertawa geli, seperti mentertawakan kelakuannya selama ini.
"Aku sudah bicara panjang lebar, apakah kau maklum maksud juntrunganku?" tanya
si Nikoh. Thian-hi tahu, maksud si Nikoh adalah supaya dirinya lekas meninggalkan tempat
ini, katanya tawar, "Tidak! Paling sedikit aku harus tinggal tiga hari lagi!"
Kau hendak mohon Gwat-sian mintakan ampun bagi kau?" jengek si Nikoh.
Hun Thian-hi tertawa-tawa, sahutnya, "Bila begitu, buat apa melulu tiga hari
saja?" Si Nikoh menghela napas, sedemikian kukuh dan teguh pendirian Thian-hi, membuat
ia merasa kewalahan, akhirnya dia manggut-manggut, katanya, "Baiklah! Kuijinkan kau
menetap lagi tiga hari saja!" Tersipu-sipu Thian-hi menjura dengan senang. serunya, "Terima kasih Cianpwe!"
Si Nikon mengulapkan tangannya ujarnya, "Kau pergilah!"
Cepat Thian-hi lari ke kudanya terus dicemplak cepat kebawah gunung langsung
pulang ke istana. Si NikOh terlongong memandangi punggung Thian-hi yang semakin menjauh, mantel
merah yang melambai-lambai terhembus angin di belakang punggungnya membuat pikirannya
membayangkan adegan yang baru saja terjadi. setiap gerak gerik Hun Thian-hi
sedemikian tegas dan punya wibawa yang besar. Sikapnya angkuh dalam keadaan yang gawat tadi
sedikit pun tidak kelihatan menjadi gugup atau gentar. sungguh sukar didapat orang macam ini!
Dari lahirnya yang bersikap sopan dan halus, tiada seorang pun yang bakal
menduga bahwa dia diberi julukan sebagai Leng-bin-mo-sin (hati iblis muka dingin).
Dalam pada itu setelah tiba di dalam kota, langsung Thian-hi mengadakan
perondaan kesekeliling kota. setelah memberi petunjuk-petunjuk seperlunya kepada
bawahannya, langsung ia

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang ke kamarnya terus mengunci pintu, mulailah ia memperdalaan pelajaran Wi-
thian-cit-ciatsek. Seluruh pikiran dan semangatnya dipusatkan untuk menyelami pelajaran Wi-thian-
cit-ciat-sek, dalam jangka tiga hari ia harus berhasil mencangkok seluruh pelajaran Wi-thian-
cit-ciat-sek ini. supaya dapat meninggalkan Thian-bi-kok dengan bekal ilmu yang mencukupi untuk
membela dan menjaga diri. Sebelumnya dia sudah memberi pesan kepada anak buahnya. siapapun dan ada perlu
apa juga dilarang mengganggu dirinya, seumpama sang Baginda ingin bertemu juga harus
ditolak. Tanpa tidur dan tidak mengenal istirahat seluruh perhatian Thian-hi ditumplekkan
pada pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek itu, dia sendiri tidak tahu berapa hari dan
berapa lama ia sudah menyekap diri dalam kamarnya ini. yang jelas bahwa lambat laun ia sudah berhasil
menyelami Withian- cit-ciat-sek lebih dalam lebih sempurna, terasa olehnya semakin hebat dan ampuh
intisari pelajaran Wi-thian-cit-ciat-sek yang sakti dan digdaya
Pada saat itu ia tengah tenggelam dalam memecahhkan sejurus permainan. sebatang
pedang terpegang ditangnnya sedang mempraktekkan pelajaran menurut apa yang tercatat di atas
buku. Mendadak diluar ada orang menggedor pintu, "blang" tahu-tahu pintu kamarnya
diterjang terbuka. Begitu cahaya matahari menyorot masuk menerangi kamarnya baru Thian-hi tersentak
sadar. Tampak seseeorang anggota Gi-lim-kun menerjang masuk. teriaknya, "Ing-ciangkun
memberontak!" habis berkata lalu menjerit ngeri dan roboh tak berkutik lagi.
Terkesiap hati Thian-hi, tampak ditubuh Gi-lim-kun itu tergubat seekor ular
panjang tiga kaki. Seluruh istana ribut kalang kabut. Lekas Thian-hi menerjang keluar sambil
menenteng pedangnya, begitu tiba di luar dilihatnya dimana-mana dalam istana ini ular besar kecil
melata, para anggota Gi-lim-kun menjadi panik dan lari serabutan dengan ketakutan, pintu gerbang
Utama sudah tertutup, namun dari luar pintu digedor dan diterjang dengan keras, mungkin tak
lama lagi bakal dijebol rusak. Sungguh Thian-hi tidak mengira situasi berubah begitu gawat, mulutnya bersuit
panjang, serentak dengan kegesitan gerak tubuhnya pedang ditangannya bekerja lincah
laksana bianglala beterbangan ke-mana-mana, setiap kali sinar pedangnya melesat ular di badan para
Gi-lim-kun itu dibabatnya kutung semua. Sekaligus ia memutar tubuh seraya mengayun pedangnya,
ular-ular yang memenuhi lantai menjadi ketakutan dan lari serabutan, sekejap saja ia
berhasil membunuh separoh diantaranya. Seluruh anggota Gi-lim-kun berjingkrak kegirangan begitu melihat Thian-hi muncul
dengan memperlihatkan perbawa ilmu silatnya, bangkitlah semangat dan keberanian mereka,
serentak mereka angkat senjata serta menyerbu ke pintu gerbang untuk berjaga-jaga dan
menahan serbuan dari luar bila pintu gerbang benar-benar kena dijebol.
"Dimana baginda?" tiba-tiba Thian-hi berseru keras.
"Baginda masih berada di istana!" sahut salah orang Gi-lim-kun yang terdekat.
Selayang pandang Thian-hi menyapu keadaan sekelilingnya, situasi gawat tadi
sudah dapat diatasi, kekacauan sendiri diantara para anggota Gi-lim-kun karena serangan
ular-ular tadi sudah mereda. Beban yang paling dikuatirkan melulu keselamatan Baginda raja dan tuan
putri, lekaslekas ia memburu masuk ke-istana dalam, tampak Baginda raja tengah mengalangi di depan
tuan putri menghadapi seekor ular besar yang melata mendekat, ular ini cukup besar
dan panjang setombak lebih. Muka Baginda tampak pucat kehijauan, seluruh mukanya penuh keringat dingin.
Cepat Thian-hi memburu maju seraya membentak, sekali ayun tangan kanan, pedangnya panjang
segera melesat ke depan secepat kilat, telak sekali menancap amblas di bawah leher, siular
kontan roboh dan binasa.... Bergegas Thian-hi maju memberi hormat serta serunya, "Hun Thian-hi terlambat
datang menolong membuat Baginda kena kejut!"
Baginda raja terlongong ditempatnya, sesaat kemudian baru bisa bicara, "Darimana
kau datang?" Karena apa Ing-ciangkun angkat senjata memberontak?" tanya Hun Thian-hi cepat.
Baginda menghela napas, katanya, "Karena Tan-siangkok gagal melamar tuan putri
untuk putranya, segera Ing-ciangkun kerahkan bala tentaranya menawan Ma-ciangkun,
sekarang sedang pimpin anak buahnya untuk menggedor pintu gerbang istana."
Kejut dan gugup pula hati Thian-hi, Ma Bong-hwi telah ditawan berarti bala
bantuan dari luar sudah tak mungkin diharapkan lagi karena memikirkan keadaan yang lebih gawat
diluar istana segera ia berkata, "Harap Baginda ikut hamba keluar supaya dapat melindungi dari
segala kemungkinan" Habis berkata bergegas ia melangkah keluar.
Tanpa bicara lagi Baginda dan Titan putri mengintil dibelakangnya. Setiba diluar
tampak masih banyak ular dimana-mana, seluruh kekuatan Gi-lim-kun dikerahkan untuk menahan
gedoran pintu gerbang Istana, sebagian diantarania dikerahkan untuk menyapu ular-ular yang
menjijikkan itu. Sungguh geram hati Thian-hi bukan main. Tan-siangkok berani menggunakan ular
untuk menyerbu dan mengacau, kontan ia putar pedangnya, sebentar saja seluruhnya dapat
dibinasakan oleh pedang Hun Thian-hi.
Lalu ia kumpulkan seluruh pasukan Gi-lim-kun, jumlah seluruhnya cuma seratus dua
puluh orang, perusuh di luar semakin gencar menggedor pintu.
Segera Hun Thian-hi mengertak gigi, katanya kepada Baginda, "Keadaan semakin
gawat. kita tidak bisa bertahan melulu disini dengan kekuatan yang kecil ini. Harap Baginda
beramai ikut menyerbu keluar kepungan, kalau bisa terjang sampai ke Bi-seng tentu keadaan
jauh lebih baik." Sesaat Baginda terlongong dan sangsi katanya, "Mana boleh begitu. tentu mereka
sudah menutup seluruh pintu kota!"
"Tidak usah takut, hamba punya kemampuan untuk menerjang keluar." Segera ia
perintahkan anak buahnya mempersiapkan kuda. tak lama kemudian seluruh keperluan telah
dipersiapkan. Sementara itu pintu gerbang istana yang kokoh tebal itu pun telah retak. Thian-
hi suruh seluruh anggota Gi-lim-kun naik kuda, mempersiapkan anak panah, sedang tuan putri
mengendalikan kereta membawa Baginda didalamnya. Dalam pada itu Thian-hi pun sudah membawa
seluruh keperluannya dan siap di atas kudanya pula. Kebetulan saat itu juga pintu
gerbang telah bobol dan terbuka lebar, pasukan pemberontak segera berbondong-bondong menyerbu masuk
sambil berteriak-teriak. Thian-hi memberi aba-aba untuk lepas anak panah. seketika hujan panah menyambut
serbuan para pemberontak, kontan sebagian besar diantaranya roboh mati, sisanya yang
masih hidup menjadi ketakutan dan mundur keluar.
Hun Thian-hi memberi aba-aba pula, semua lemparkan anak panah dan menjinjing
tombak, di bawah pimpinan Thian-hi sambil melindungi kereta tuan putri terus menerjang
keluar. Pasukan pemberontak tidak menduga akan serbuan Thian-hi beramai, dimana pedangnya
terputar. kontan sinar pedangnya merobohkan banyak perintangnya. Tiada seorangpun yang mampu
bertahan. "Tio Gun!" lapat-lapat terdengar oleh Thian-hi seruan kaget seseorang
dikejauhan. Sekali dengar lantas Thian-hi dapat mengenali suara Ing Si-kiat, namun keadaan cukup
genting tiada kesempatan membuat perhitungan dengannya, kudanya dicongklang ke depan terus
menuju pintu utara.... "Lekas perintahkan tutup seluruh pintu kota!" Ing Si-kiat berteriak memberi
perintah. Namun keburu pasukan Gi-lim-kun sudah menerjang keluar, melihat kegagahan Hun
Thian-hi pasukan pemberontak menjadi gentar mana kuat menahan serbuan mereka. Tak lama
kemudian mereka berhasil menerjang tiba di pintu utara, pasukan yang menjaga di atas
pintu gerbang segera lepaskan anak panah menyambut kedatangan mereka. Sungguh gusar Thian-hi
bukan kepalang, tubuhnya melambung maju ke tengah udara, kedua telapak tangannya
mengerahkan Pan-yok-hian-kang. Seluruh anak panah kena disampoknya runtuh, para Gi-lim-kun
di belakangnya serempak melontarkan tombak2, sebagian besar pasukan pemberontak di atas gerbang
pada terjungkal roboh binasa tertembus tombak.
Di lain kejap Hun Thian-hi telah mencelat mumbul lagi ke tengah udara, seluruh
kekuatannya dikerahkan lagi di kedua tangannya, "blang!" pintu kota yang tebal dan kuat itu
kena dipukulnya roboh berantakan, pasukan mereka segera berbondong-bondong menerjang keluar,
sebentar saja mereka berhasil menempuh ke Bi-seng.
Setiba di Bi-seng, tampak oleh Thian-hi jauh di belakang sana debu mengepul
tinggi, tahu dia bahwa Ing Si-kiat membawa pasukan pemberontak mengejar kemari. Tanpa ayal Thian-
hi bawa pasukannya memasuki Bi-seng serta perintahkan tutup pintu rapat. Thian-hi
memeriksa kekuatan pasukannya, ternyata hanya delapan tunggangan saja yang roboh binasa kena panah
musuh. Panglima tentara yang menjaga di kota Bi-seng segera memburu turun memberi
sembah hormat kepada Baginda raja Thian-hi tahu sebentar lagi pasti Ing Si-kiat memburu tiba.... segera ia memberi
petunjuk pada pasukannya serta menyuruh bawahannya mengantar Baginda dan tuan putri ke rumah
gedung Ma-ciangkun. Seluruh pasukan Gi-lim-kun dikerahkan di atas pintu kota. Tak lama
kemudian Ing Si-kiat sudah tiba dengan pasukannya, teriak Ing Si-kiat kepada Hun Thian-hi,
"Tio Gun, lekas buka pintu, saudara angkatmu Ma Bong-hwi berada di tanganku, berani kau tidak
buka pintu kubunuh dia!" "Ing Si-kiat," seru Hun Thian-hi tertawa, "Awas kau! Saudara angkatku di
tanganmu mungkin aku rada kuatir akan keselamatannya, bila kau bunuh dia, aku bisa bikin kau mati
tidak ingin hidup pun sukar, kau tahu akan kemampuanku ini!"
Ing Si-kiat menjublek di atas kuda, secara langsung tadi ia melihat sendiri
betapa tinggi dan lihay ilmu silat Hun Thian-hi, hatinya memang rada gentar dan was-was, biasanya
ia rada takut menghadapi Ma Bong-hwi, namun sekarang justru Hun Thian-hi yang paling ditakuti.
Dua hari mendatang ini tidak kelihatan bayangan Hun Thian-hi, inilah kesempatan baik
sesuai dengan intriknya dengan Tan-siangkok, mengancam Baginda raja dengan pasukan pemberontak
untuk meminang tuan putri atas putranya. Pikirnya sekali gebrak pasti berhasil, tak
nyana sebelum rencananya berhasil tahu-tahu Hun Thian-hi menerjang keluar sambil melindungi
Baginda dari istana, semakin besar takut hatinya menghadapi Hun Thian-hi.
Mendengar ancaman Hun Thian-hi semakin ciut nyalinya, bila dia bunuh Ma Bong-hwi
jelas jiwanya sendiri juga tidak akan hidup lama. Ia insaf untuk menyerbu dan
menggempur Bi-seng bak umpama mimpi di siang hari bolong, bila Hun Thian-hi betul membuka pintu
lebar-lebarpun belum tentu dia berani menerjang masuk.
Terpaksa dia harus berpikir, lebih baik kembali saja untuk berunding dengan Tan-
siangkok, akhirnya tanpa banyak omong lagi ia tarik pasukannya kembali.
Thian-hi mendongak melihat cuaca, matahari sudah tinggi di tengah cakrawala,
sudah lewat lohor, ini berarti bahwa dirinya sudah dua hari dua malam mengunci diri di dalam
kamarnya mempelajari ilmu pedangnya. Malam nanti ia harus meninggalkan negeri ini, namun
urusan disini belum lagi dapat diatasi, cara bagaimanakah baiknya" Badannya terasa letih,
dilihatnya panglima wakil Ma Bong-hwi sudah tiba, segera ia serah terimakan penjagaan pada mereka
terus mengundurkan diri pulang ke gedung Ma-ciangkun.
Begitu masuk ke dalam tampak Baginda raja, tuan putri semua hadir disitu
ditemani istri Ma Bong-hwi, Ma Siau-hou dan Ma Gwat-sian. Muka mereka semua mengunjuk rasa kuatir
dan lesu.

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu Hun Thian-hi melangkah masuk, pandangan semua orang terhadapnya rada
berlainan. Setelah memberi hormat ala kadarnya, segera Baginda bertanya, padanya, "Apakah
Ing-ciangkun sudah menarik tentaranya?"
"Untuk sementara waktu dia mengundurkan diri, tapi Ma-ciangkun berada
ditangannya, kitapun tidak bisa terlalu mendesaknya!"
Baginda manggut-manggut, tanyanya, "Bagaimana menurut pendapat Tio-ciangkun?"
Thian-hi menunduk, sahutnya, "Kejadian ini timbul karena hamba melalaikan tugas,
hamba rela seorang diri menyerbu ke Thian-seng untuk menolong Ma-ciangkun, soal yang lain
kukira cukup gampang untuk diatasi."
"Mana boleh begitu," teriak tuan putri, "kau sediri sudah sangat letih, mana
boleh seorang diri ke sana!" Sekilas Ma Gwat-sian pandang tuan putri lalu menundukkan kepala.
Hun Thian-hi menunduk tanpa bicara, memang dia sudah merasa cukup letih dan
lesu, dua hari ini ia terlalu tekun mempelajari Wi-thian-cit-ciat-sek, teringat olehnya Thian-
bi-siang-kiam, terbayang akan guru Ma Gwat-sian, ia heran kenapa mereka begitu acuh tak acuh
terhadap kemelut di negeri sendiri ini.
Terdengar Baginda berkata, "Untuk sementara kuduga Ing Si-kiat tidak berani
bertindak terhadap Ma-ciangkun, kau memang sudah letih, pergilah istirahat dulu. Soal ini
tak kesusu diselesaikan!" Hun Thian-hi tertawa getir, sampai pada detik ini temponya tinggal beberapa jam
lagi, bagaimana dirinya tidak akan gugup, sambil mendongak ia berkata, "Bagi hamba
soal ini sangat penting dan genting. sekarang juga hamba harus berangkat."
Baginda menghela napas tanpa bersuara lagi. Dengan langkah lebar Hun Thian-hi
segera beranjak keluar. "Tio-ciangkun!" tiba-tiba Ma Gwat-sian berseri.
Langkah Hun Thian-hi merandek dan berputar mengawasi Ma Gwat-sian.
Kata Ma Gwat-sian: ....Kemaren Suhu kemari, tanpa diberitahu aku pun sudah tahu
Permintaanmu! Kau tidak perlu kesusu pergilah istirahat!"
Terbayang oleh Thian-hi akan kata-kata si Nikoh itu, "Kau ingin Gwat-sian minta
ampuh bagi kau?" Ia menjadi geli dan berkata, "Tidak apa-apa, aku tidak seletih seperti yang
kalian bayangkan!" segera ia memutar tubuh terus berlari pergi.
Setelah melihat bayangan Hun Thian-hi menghilang diluar Ma Gwat-sian menunduk,
Dengan lekat tuan putri mengawasi dirinya.
Setelah keluar dari gedung Ma-ciangkun, seorang diri Hun Thian-hi menuju ke arah
Thian-seng. Sekonyong-konyong didengarnya sebuah suara yang sangat dikenalnya dari ufuk
sebelah utara nan jauh sana, sejenak ia terlongong, dilihatnya di sebelah utara sana seekor
burung dewasa tengah menukik turun ke arah utara kota Bi-seng, itulah letak dimana tebing
curam itu berada, hatinya semakin tegang, kiranya Bu-bing Loni telah mengejar tiba sampai disini,
dihitung2 waktunya, memang jangka perjanjian setahun sudah tiba diambang mata.
Baru sekarang Thian-hi sadar, kenapa Thian-bi-siang-kiam dan guru Ma Gwat-sian
tidak muncul selama ini, terasa olehnya sang waktu semakin mendesak segera ia keprak kudanya
dilarikan sekencang mengejar angin, sekejap saja tibalah dia di Thian-seng, pintu
gerbangnya yang diterjang jebol masih belum sempat diperbaiki maka dengan gampang saja Thian-hi
terus menerjang masuk, para tentara yang berjaga menjadi takut dan lari cerai berai
berkaok2. Thian-hi tahu dimana Ing Si-kiat berada maka langsung ia keprak kudanya membelok
ke arah kiri, dari depan ia dipapaki sebarisan tentara yang membawa tameng dan tombak
terus menerjang dan mencegat dihadapannya, namun tanpa gentar sedikit pun Thian-hi menerjang
dengan kudanya. Belum lagi dekat mendadak dari depan sana Thian-hi dihujani anak panah
yang tidak terhitung banyaknya. Cukup dengan sepasang tangan sambil mengerahkan Pan-yok-
thian-kang seluruh anak panah itu kena disampoknya jatuh, sementara kudanya masih
mencongklang pesat ke depan langsung menuju ke gedung Siangkok.
Sepanjang jalan ini dirinya disongsong oleh ke-lompok2 tentara yang bersenjata
lengkap berusaha merintangi dan mencegat Thian-hi. namun dengan kehebatan tenaga dan
ilmu saktinya, Thian-hi dapat membikin seluruh perintangnya bercerai berai, pontang panting tak
bangun lagi. Waktu hampir sampai digedung Siangkok. tiba-tiba didengarnya lengking suara
seruling bambu yang mengalun halus, bertepatan dengan itu, dari pintu besar Siangkok
berbondong-bondong menyerbu keluar banyak sekali ular besar kecil dari berbagai jenis.
Thian-hi menggeram gusar, ia berpaling dan mengawasi dangan tajam. tampak di
atas sebuah pohon tinggi di dalam halaman gedung Siangkok ada seorang berpakaian baju putih
sembunyi disana sambil meniup seruling bambu itu.
Dengan membekal ilmu sakti mana Thian-hi takut menghadapi ular-ular ini, tapi
terhadap si orang yang meniup seruling bambu mengendalikan ular-ular itulah ia benci sekali,
sekali menyedot napas, tiba-tiba tubuhnya mencelat mumbul ke tengah udara secepat kilat terbang
menerjang ke arah si orang baju putih di atas pohon itu.
Orang baju patih itu terkejut dan menjadi ketakutan. cepat ia diumpalitan turun
dan hinggap di atas tanah, maksudnya hendak melarikan diri. Tapi sementara itu Thian-hi sudah
melampaui tembok tinggi pagar gedung Siangkok, dari ketinggian ia menukik seraya menepuk
sebelah tangannya kebawah, kontan si orang baju putih menjerit ngeri dan muntah darah.
tubuhnya terguling dan tidak bergerak lagi.
Luncuran tubuh Thian-hi terus menerjang ke dalam, langsung menuju keruang besar
belakang, baru saja kakinya melangkah masuk lantas dirinya dihujani anak panah pula, cepat
Thian-hi tarikan sepasang telapak tangannya, untuk melindungi. tubuh, karena rintangan
ini serta merta dirinya menjadi terhalang sebentar.
Sebuah suara lantas berkaok dari dalam, "Tio Gun! Kularang kau masuk, kalau
tidak jiwa saudara angkatmu she Ma ini akan lenyap!" suara ancaman ini terdengar gemetar.
Waktu Thian-hi melihat ke dalam. tampak dua baris tentara berpanah siap dibusur
menghadap kepintu, sedang Tan-siangkok dan Ing Si-kiat kelihatan berdiri sebelah samping,
Ing Si-kiat sendiri juga menentang busur menjujuhkan ujung panahnya kepunggung Ma Bong-hwi, asal ia
lepaskan panahnya itu. kontan jiwa Ma Bong-hwi pasti melayang.
Thian-hi menjadi bingung, sesaat ia merandek sambil melolos keluar pedangnya,
hatinya bekerja cepat menerawang tindakan selanjutnya.
Dengan mendelik Ing Si-kiat berseru, "Lekas keluar, kalau tidak jiwa Ma Bong-hwi
menjadi jaminan!" "Thian-hi!" teriak Ma Bong-hwi "Jangan kau hiraukan aku, bila dia bunuh aku,
kaupun bunuh dia menuntutkan balas sakit hatiku."
Ing Si-kiat menjengek, seringainya, "Ma Bong-hwi, apakah kau rela mati konyol"
Keluargamu sedang menanti kedatanganmu!"
"Ing Si-kiat!" teriak Hun Thian-hi lantang, "Berani kau mencabut seujung
rambutnya saja, akan kubuat kau mati konyol lebih seram dan lebih mengenaskan!"
Bercekat hati Ing Si-kiat, nyalinya menjadi ciut saking gentar kakinya rada
lemas dan mundur selangkah, kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Thian-hi, kontan ia ayun
pedangnya, selarik sinar terang segera melesat ke depan. Tepat pada waktu itu anak panah dibusur
Ing Si-kiat juga menjepret ke punggung Ma Bong-hwi, tujuan Ing Si-kiat menamatkan jiwa Ma Bong-
hwi namun pedang Thian-hi secara tepat berhasil mengutungi anak panahnya di tengah jalan.
Seiring dengan ayunan tangan melemparkan pedangnya Thian-hi melesat seperti
burung elang menubruk maju, barisan pemanah segera menyongsong dirinya dengan puluhan anak
panah yang diberondongkan kepada dirinya, namun secara mudah Thian-hi berhasil meruntuhkan
semua anak panah dengan pukulan saktinya, melihat kesaktian Thian-hi para pemanah itu
menjadi ketakutan dan lari sipat kuping. Terlihat oleh Thian-hi Ing Si-kiat juga terbirit2 lari ke dalam, namun
didapatinya Ma Bong-hwi rebah di lantai, tiada tempo ia mengejar Ing Si-kiat, cepat atau lambat pasti
durjana itu bakal dihukum setimpal, maka cepat ia membuka melenggu Ma Bong-hwi serta menolongnya
bangun, dijemputnya sebatang pedang diserahkan kepadanya.
Dengan malu dan penuh sesal Ma Bong-hwi berkata, "Lote! Untung kaulah adanya,
bila aku sendiri tidak tahu apa yang harus kulakukan!"
"Toako tidak usah main sungkan lagi, yang penting kita harus cepat menerjang
Keluar!" Begitulah sambil menenteng pedang mereka menerjang keluar, melihat Thian-hi
begitu gagah, keluar masuk begitu gampang seolah-olah rintangan yang dihadapi dianggap rumput
yang gampang diinjak2 para tentara yang berjaga di luar menjadi kuncup nyalinya,
apalagi Ma Bong-hwi sudah lolos maka mereka tidak berani maju merintangi. Setelah berhasil merebut
dua ekor kuda mereka langsung mencongklang keluar kota langsung menuju ke Bi-seng.
Begitu memasuki Bi-seng, seluruh rakjat dan pasukan di sana menyambut mereka
dengan sorak sorai yang gegap gumpita. Ma Bong-hwi sedikit kikuk, langsung mereka
menuju ke gedung kediamannya. Begitu masuk di dalam, Baginda segera menyongsong keluar, betapa girang hatinya
sungguh sukar dilukiskan, sampai tidak bisa berkata-kata.
Segera Ma Bong-hwi sembah hormat, serunya, "Hamba terlalu tidak becus sampai
terjatuh di tangan Ing Si-kiat, hampir saja membuat malapetaka bagi seluruh negeri, harap
Baginda suka memberi hukuman yang setimpal."
Baginda tertawa, ujarnya, "Soal ini sulit diduga sebelumnya, kau bisa selamat
dan situasi sudah dapat diatasi, tidak perlu kau salahkan diri sendiri lagi!" - lalu ia berpaling
dan berkata pada Hun Thian-hi, "Tio-ciangkun sungguh gagah perwira, tentu kau sudah banyak capai."
Hun Thian-hi tertawa, sahutnya, "Sekarang Ma-ciangkun sudah pulang dengan
selamat, segala sesuatunya pasti dapat dibereskan. Hamba masih ada sedikit urusan, mohon ijin
untuk keluar sebentar!" Tuan putri menjadi gugup, serunya, "Kau sudah begitu letih, ada urusan apa lagi,
apakah tidak bisa besok saja?" "Urusan ini sangat penting, aku sendiri merasa sudah terlambat, bila segera
tidak kususul kesana, entah apa akibatnya nanti!"
"Jadi maksud Tio-ciangkun sekarang juga hendak berangkat?" sela Ma Gwat-sian
gelisah. "Belum tahu," sahut Thian-hi, ia tahu orang salah paham, maka sambungnya, "Tapi
gurumu pasti juga disana, bila itu benar-benar selanjutnya aku tidak akan kembali
lagi." "Apa!" teriak Tuan putri gugup, "Kau hendak pulang ke Tionggoan?"
Ma Bong-hwi berjingkrak kaget, teriaknya, "Apa! Thian-hi! Kau...."
Hun Thian-hi tersenyum lebar, katanya, "Terdesak oleh keadaan, sekarang juga aku
harus pergi!" lalu ia menjura memberi hormat kepada seluruh hadirin, cepat-cepat terus
berlari keluar. Baginda sendiri merasa diluar dugaan, namun tiada alasan ia mencegah
pemberangkatan orang, terpaksa ia berteriak, "Tio-ciangkun, bila kau sudi, Thian-bi-kok
selamanya menyambut kedatanganmu dengan tangan terbuka!"
Thian-si melambaikan tangan serta nyatakan terima kasih, setelah segala barang-
barangnya diamhil langsung ia melayang cepat keluar. Seluruh penghuni kota Bi-seng
berbondong-bondong keluar mengantar pemberangkatan Thian-hi.
Thian-hi sudah siap untuk meningalkan tempat ini, namun selama empat bulan ia
menetap di Thian-bi-kok kesannya terlalu mendalam, ia menjadi berat untuk meninggalkan
negeri kecil ini. Tapi serta teringat kejadian yang bakal terjadi di tebing tinggi sana, kakinya
menjadi semakin cepat melangkah. langsung ia menuju ke utara keluar lewat pintu utara. Para
penjaga di atas benteng kota menjadi heran, tak tahu mereka kemana Hun Thian-hi hendak pergi.
Waktu Thian-hi mendongak tampak burung dewata itu masih terbang berputar-putar
di atas

Badik Buntung Karya Gkh di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tebing curam itu, berdebuk jantung Thian-hi, gebrak perkelahian kali ini pasti
sangat seru dan sengit, sampai lama ternyata masih belum ada kepastian siapa lebih unggul atau
asor. Tengah ia berpikir2 dan melangkah lebih cepat, tiba-tiba burung dewata itu terbang di atas
kepalanya, berputar dua kali. Waktu Thian-hi mendongak, tampak Siau Hong tengah bercokol di
atas punggung burung dewata itu, baru saja ia hendak berteriak memanggil, burung
dewata itu sudah menukik turun hinggap di tanah. Di lain saat Siau Hong sudah muncul di depan
matanya, kedua biji matanya yang bundar besar terkesima mengawasi dirinya.
"Siau Hong!" panggil Thian-hi tertawa.
Siau Hong berkata kaget, "Tak nyana kau berada disini. kenapa kau berdandan
demikian?" ."Mencari aku bukan?" tanya Thian-hi tertawa
Siau Hong tertawa, katanya, "Bersama Siocia kami mencarimu ke-mana-mana,
kelihatannya puncak tebing ini rada aneh, baru saja kami turun lantas kepergok dengan seorang
Nikoh dan dua orang kakek. Kontan mereka lantas bertempur begitu sengit."
Tersentak jantung Thian-hi, batinnya, "Kiranya Ham Gwat juga telah datang."
sembari tertawa ia berkata pula, "Akupun tengah menuju ke sana!"
"Apa!" teriak Siau Hong kejut, "Kau mau mengantar kematianmu?"
Thian-hi mandah tersenyum tanpa buka bicara lagi, secepat terbang mereka
melayang menuju ke arah tebing itu. Melihat Thian-hi lari begitu cepat seperti tidak menggunakan
tenaga sedikitpun, batin Siau Hong menjadi heran dan bertanya-tanya, segera ia kerahkan tenaganya
untuk adu kekuatan lari cepat. Lwekang Thian-hi saat itu boleh dikata sudah mencapai tingkat kaki melangkah
berjalan di udara, langkah kakinya itu sudah bergerak paling lamban. Tapi bagi Siau Hong
masih terlalu cepat, keruan bercekat hatinya, sungguh ia heran akan ilmu silat Hun Thian-hi
yang maju begitu pesat. Waktu mereka tiba di pinggir tebing, sementara itu dengan pedang tunggalnya Ham
Gwat tengah menghadapi keroyokan Pek-bi-siu dan Giok-hou-sian, pedang Ham Gwat
bergerak begitu lincah dan gesit sekali mendesak kedua musuhnya, Pek-bi-siu sudah kerahkan
seluruh tenaga dan bojong keluar seluruh kemampuan, namun kepandaian mereka memang kalah setingkat,
betapapun mereka berusaha tetap terdesak di bawah angin. Sebaliknya seperti
menari mendemonstrasikan gaya permainan pedangnya yang indah gemulai, Ham Gwat bergerak
lamban dan seenaknya saja. Diam-diam Thian-hi menjadi kagum akan Lwekang Ham Gwat yang tinggi dan hebat
ini, selama ini belum pernah lihat Ham Gwat bertempur lawan orang, kini sekali dia turun
tangan. melihat permainan pedangnya itu, hatinya menjadi mencelos dan mengeluh dalam hati.
Dalam pada itu, dengan lirikan matanya Ham Gwat pun sudah melihat kehadiran
Thian-hi, dilihatnya pakaian Thian-hi yang aneh itu, pandangan sinar matanya mengunjuk
rasa heran dan tak mengerti, namun hanya sekejap saja lantas pulih seperti sediakala, kaku
dingin tak berperasaan. Dilihat oleh Thian-hi si Nikoh menggembol kecapinya menonton di pinggiran....
Diam-diam ia turut kuatir akan keselamatan Ham Gwat, begitu lagu irama abadi dikembangkan,
mungkin dia tidak akan kuat bertahan.
Sementara itu, kedudukan Ham Gwat jelas dipihak yang menang, setiap jurus gerak
pedangnya pasti membawa kesiur angin yang menderu keras merangsak kepada kedua musuhnya.
Meski bergabung namun Thian-bi-siang-kiam dibikin pontang panting menjaga diri
keadaannya begitu runyam, sungguh mereka tidak akan menduga bahwa hari ini mereka bakal terjungkal
di bawah tekanan sebatang pedang seorang gadis muda belia.
"Kau sudah datang!" terdengar si Nikoh menyapa kepada Hun Thian-hi.
Segera Thian-hi menjura, sahutnya, "Gadis ini datang mencari aku, harap Cianpwe
melepasnya pulang, kami akan segera berangkat bersama!"
"Tidak boleh!" sahut si Niko;i dingin, "Jangan asal sebagai murid Bu-bing Loni
lantas dia berani main terobosan di Thian-bi-kok, seumpama Bu-bing Loni sendiri pun tidak
kuijinkan." Sudah tentu Ham Gwat juga dengar percakapan mereka, namun sinar matanya seperti
tidak menunjukkan perubahan perasaan hatinya, sikapnya masih tetap dingin dan kaku.
"Cianpwe perhitungan ini biarlah aku saja yang menyelesaikan bagaimana?" tanya
Thian-hi. "Kau?" dengus si Nikoh geram, "Keselamatanmu sendiri belum kau urus mau mohonkan
ampun bagi orang lain?" Dari samping Siau Hong segera menimbrung bicara, "Buat apa kau bicara padanya,
yang jelas Siocia berada di atas angin, suruh mereka berlutut kepada Siocia belum tentu
Siocia sudi memberi ampun!" Kelihatan amarah si Nikoh mulai memuncak, dengan tajam ia menyapu pandang ke
tengah gelanggang, memang Thian-bi-siang-kiam sudah semakin payah dan tidak kuat
bertahan lagi. Segera ia gerakkan tangan kanannya ke arah Thian-hi sedang mulutnya berkata,
"Kau sendiri urus dirimu, jangan cerewet dan turut campur urusan orang lain!"
Begitu mendengar suara kecapi kelihatan Ham Gwat juga tahu akan kelihayan musuh,
cepat pedangnya menyabet balik menyongsong ke arah datangnya suara kecapi.
Thian-bi-siang-kiam berdua menjadi terkejut, cepat mereka jumpalitan mundur ke
belakang. Melihat permainan pedang Ham Gwat begitu lihay, dengan sebatang pedangnya ia
mampu menangkis dan membendung serangan irama kecapinya, diam-diam si Nikoh bercekat,
ia percaya bahwa lagu kekal abadi merupakan ilmu yang tiada taranya di alam maja pada ini,
segera kesepuluh jarinya bergerak lincah memetik snar bergantian, melagukan Tay-seng-
ci-lau. Thian-hi sendiri menjadi kejut dan was-was, cara pertempuran macam ini baru
pertama kali ini dilihatnya, Hui-sim-kiam-hoat memang belum pernah mendapat tandingan yang
setimpal, namun Tay-seng-ci-lau pun sama hebatnya tiada yang kedua di seluruh kolong langit ini.
Setiap petikan irama kecapi si Nikoh tentu dapat disampok atau ditangkis oleh
pedang Ham Gwat, pedang yang bergerak lincah dan hebat di tangannya itu setiap saat selalu
memancarkan cahaya pedang yang putih'kemilau dari desakan tenaga dalamnya yang hebat untuk
membendung rangsakan irama Tay-seng-ci-lau.
Lambat laun lagu Tay-seng-ci-lau semakin keras dan cepat, lapat-lapat terasa
adanya nafsu membunuh yang mulai menghayati serangan irama lagunya. Akhirnya Ham-Gwat
meletakkan pedangnya di tanah dan dia sendiri duduk bersila seperti orang semadi.
Kedua belah pihak bertahan sekian lamanya, saling serang menyerang, sekonyong-
konyong irama harpa si Nikoh berubah. jari jemarinya sekarang memetik lagu Le-liong-jut-
cui seluruh lwekangnya dikerahkan melalui irama lagu ini untuk menyerang kepada Ham Gwat.
Raut muka Ham Gwat semakin pucat dan berkeringat, kelihaiannya sudah tidak kuat
lagi. Tahu bahwa Ham Gwat sudah terdesak segera Siau Hong berseru kepada Hun Thian-hi,
"Lekas kau tolong Siocia kami!"
Hun Thian-hi insaf bila Ham Gwat tetap bertahan dan melawan mati-matian akhirnya
pasti bakal terluka dalam yang teramat parah, atau mungkin seluruh perutnya hancur dan
sungsang sumbel sampai menemui ajalnya dengan mengenaskan.
Thian-hi tidak berayal lagi, sembari berkelebat ia meloloskan pedang. kontan ia
lancarkan jurus pertama dari ilmu Wi-thian-cit-ciat-sek yang bernama Thian-wi-te-tong (bumi
bergerak langit berputar), pedangnya terangkat tinggi ke depan seperti tidak bergerak. namun
dalam gerak terpaut beberapa mili saja itu sudah kerahkan seluruh Lwekangnya di atas ujung
pedang. Setabir sinar perak kemilau dari batang pedang melesat keluar menggetar balikkan tenaga
serangan si Nikoh melalui irama lagunya yang hebat itu.
Biji mata Ham Gwat rada terbuka mengawasi Thian-hi, sedikitpun ia tidak merasa
heran atau aneh. seolah-olah ia sudah tahu bahwa Thian-hi membekali ilmu yang teramat sakti
ini. Sebaliknya Siau Honglah yang kegirangan seperti putus lotre beberapa juta,
teriaknya, "Siocia! Lihatlah Hun-siangkong, ilmu pedangnya ternyata begitu lihay. ilmu pedang Suthay
kiranya juga hanya begitu saja!" Adalah si Nikoh itu yang bercekat, dua hari saja Thian-hi menyekap diri, namun
ilmu pedangnya ternyata sudah maju melompat beberapa kali lipat hebatnya. Ternyata ia mampu
menggunakan hawa pedang untuk menyerang musuh, sejak dulu ia pernah dengar mengenai
penggunaan hawa pedang untuk menyerang musuh dan belum pernah menyaksikan sendiri. Sekarang
dengan mata kepalanya sendiri ia saksikan seorang pemuda berusia likuran dapat menggunakan
ilmu sakti yang tiada taranya itu justru untuk melawan dirinya, keruan kejutnya bukan main.
"Hun-siangkong!" teriak Siau Hong pula dari samping, "Ilmu pedang apakah yang
kau mainkan ini! Kenapa batang pedangmu sedikitpun tidak bergerak!"
Mendengar seruan Siau Hong ini, bertambah besar kejut si Nikoh, kenapa aku
begitu gegabah. segera ia hentikan petikan harpanya serta berkata kepada Thian-hi, "Adakah yang
kau gunakan ini Wi-thian-cit-ciat-sek?"
Thian-hi rada tercengang. Wi-thian-cit-ciat-sek merupakan ilmu sakti yang sudah
putus turunan sel ma beberapa ratus tahun lamanya. Latihan dirinya pun belum sempuma paling-
paling baru mencapai 80%, namun sekali dirinya menggunakan ilmu ini lantas dapat dikenali
asal usulnya. Mendengar akan nama Wi-thian-cit-ciat-sek, meski raut wajah Ham Gwat selalu kaku
dingin ini tak urung sinar matanya memancarkan cahaya terang yang sangat aneh, kelihatannya
heran. kaget dan aneh namun juga mengandung rasa kurang percaya. tapi juga sangat
kegirangan, akhirnya seperti rada kecewa pula. Perubahan pancaran sinar matanya ini terjadi
dalam kilasan waktu saja, tiada seorangpun yang tahu.
Thian-hi merenung sebentar, dia ragu-ragu untuk menerangkan dihadapan Siau Hong
dan Ham Gwat karena mereka adalah murid dan pembantu Bu-bing Loni, apalagi Wi-thian-cit-
ciat-sek belum lagi sempurna dilatih olehnya, bila mereka memberitahu rahasia ini kepada Bu-
bing Loni, mungkin jiwanya bakal terancam bahaya, Namun sesaat ia bersangsi akhirnya ia manggut-
manggut sambil mengiakan. "Darimana kau pelajari ilmu ini?" tanya si Nikoh.
Hun Thian-hi awasi si Nikoh, dia guru Ma Gwat-sian, tidak seharusnya aku bohong
padanya, katanya, "Ka-yap Cuncia yang menganugerahkan kepada aku!"
"Beliau!" teriak si Nikoh dengan kejut.
Diam-diam Thian-hi curiga, dari nada teriaknya kelihatannya ia cukup kenal siapa
itu Ka-yap Cuncia. Akhirnya si Nikoh menghela napas panjang, tanyanya, "Siapa kau sebenar-
benarnya?" "Aku sebagai murid angkatnya!"
"Beliaukah yang suruh kau kemari?"
Bloon Cari Jodoh 9 Lentera Maut ( Ang Teng Hek Mo) Karya Khu Lung Kitab Pusaka 15
^