Banjir Darah Di Borobudur 2
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 2
seorang dara biasa yang mudah jatuh cinta dan mudah terluka oleh panah asmara
Betapapun juga, terharu juga hatinya menyaksikan sepak terjang Indrayana yang
jelas sekali menyatakan betapa besar cinta kasih dan kekaguman pemuda itu
terhadap dia. Patung yang menyerupai wajahnya itu sampai dicuri dengan nekad
oleh oemuda itu ! Merah wajah Pramodawardani apabila ia terkenang akan hal ini.
Kemudian ia mendengar betapa ayah pemuda itu, Sang Wiku Dutaprayoga, ditangkap,
dan betapa ayahnya mengeluarkan perintah penangkapan atas diri Indrayana !
Betapa duak dan kecewanya. Ia maklum bahwa gara-gara ini pada hakekatnya
berdasar ats kelemahan hati pemuda itu yang jatuh cinta kepadanya ! Dan kalau
sampai terjadi malapetaka dan hukuman menimpa diri pemuda itu dan Wiku
Dutaprayoga, maka karena dialah itu ! dia merasa berdosa, seakan-akan dialah
yang menyebabkan kemalangan menimpa keluarga itu.
Kemudian ia mendengar pual tentang kembalinya rombongan Mah Wiku yang tidak
berhasil menangkap Indrayana akan tetapi bahkan membwa pendeta yang membuat
patung itu ! Ia mendengar betapa pendeta Mataram yang aneh itu telah
mengorbankan diri sendiri dan menyanggupi untuk memikul semua hukuman yang
hendak dijatuhkan atas diri Indrayana dan Wiku Dutaprayoga, dan bahwa kemudian
pendeta yang bernama Panembahan Bayumurti itu hendak dikukum kubur hidup-hidup
oleh maha Wiku Dharmamulya !
" Alangkah kejamnya ! alangkah ngerinya ! " berkali-kali Sang Puteri mengeluh
seorang diri. Terbayanglah pada wajahnya pendeta yang aneh Koleksi Kang Zusi
itu, yang dengan usapan tangan pada patung Dewi Tara telah dapat membuat muka
patung itu menjadi seperti mukanya sendiri ! Terbayanglah ia betapa pendeta itu
selalu tersenyum ramah, sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri gembira.
" Alangkah ngerinya ! Mengapa Rama Prabu membiarkan saja hukuman yang keji ini
berlaku atas diri pertapa itu " " Hati Pramodawardani menjerit-jerit ketika ia
duduk melamun dengan bunga teratai merah dan putih itu. " Biarpun pertapa itu
orang mataram, akan tetapi iapun seorang manusia. Mengapa Rama Prabu tidak
melarang dilangsungkannya hukuman yang melanggar perikemanusiaan ini " " Dengan
hati sedih dan penuh kasian kepada sang pertapa, Pramodawardani tak terasa lagi
turun dari batu tempat duduknya, berlutut dan berdoa ke arah empang. Disitu
terdapat bunga-bunag teratai dan daun-daun teratai yang lebar dan indah
mengambang di atas air. Siapa tahu, kalau pada saat itu, terdapat Dewata yang
sedang duduk bertapa di atas daun-daun teratai itu, karena daun-daun teratai
memang tempat bertapa para Dewata yang berhati mulya.
Bibir pramodawardani yang merah dan indah bentuknya itu berbisik-bisik,
" Semoga Sang Buddha dan Para Dewata melindungi Panembahan Bayumurti daripada
hukuman yang keji ini ! "
Pada saat itu, terdengar tindakan kakiperlahan di belakang Sang Puteri, kemudian
terdengar suara riang. " Ayunda yang baik, engkau sedang berbuat apakah di situ " "
Pramodawardani sadar daripada sama diaya kemudian ia berpaling. Wajah yang
tadinya muram itu menjadi terang bagaikan wajah bulan purnama terbebas daripada
selimutan mendung, bibirnya tersenyum kembali dan seakan-akan mekarlah semua
bunga di dalam taman pada saat Sang Puteri Koleksi Kang Zusi
tersenyum amat manisnya itu.
" Adikku yang manis, kau mengejutkan hatiku, akan tetapi berbareng juga
menggembirakan perasaanku. "
" Ayunda Wardani, " kata anak laki-laki yang masih kecil itu, " tadi kulihat kau
bermuram durja dan bersamadi seakan-akan ada yang menggangu hatimu. Apakah
gerangan yang mengesalkahatimu, ayunda " "
Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan penuh kasih sayang.
Adindanya ini, yang bernama Balaputeradewa atau biasa disebut Balaputera saja,
memang seorang nak yang amat cerdik.
Kepada adiknya ini sukarlah untuk membohong dan sukar sekali untuk
menyembunyikan sesuatu dari pandangan matanya yang tajam.
Pramodawardani tidak ingin menceritakan hal-hal yang memusingkan pikirannya itu
kepada Balaputera, karena dianggapnya bahwa balaputera masih terlampau kecil
untuk mengetahui akan hal-hal itu, maka ia lalu memeluk adiknya dan membelai-
belai rambutnya sambil berkata denagn penuh kasih sayang,
" Balaputera, adinda sayang. Aku tidak menyusahkan sesuatu, hanya sebelum kau
datang, aku merasa kesunyian seorang diri di dalam taman. "
" Mengapa tidak kaulihat seorangpun emban dan pelayan " Ke manakah mereka,
ayunda " " tanya Balaputera sambil memandang ke kanan-kiri.
Koleksi Kang Zusi " Aku sudah bosan mendengar kelakar mereka yang tiada henti-hentinya, adikku,
maka kusuruh mereka mengundurkan diri dan mengaso. Kasian juag mereka telah
bekerja sepanjang hari, bukankah mereka itu manusia juga seperti kita yang dapat
lelah dan capai " "
" Kau memang berbudi dan berhati mulia, ayunda. "
" jangan memuji, adikku. Ayundamu hanya seorang manusia biasa saja, dan sebagai
manusia, kita harus menanam budi sebanyak-banyaknya di hati sanubari kita,
karena jangankan kita yang disebut manusia, mahluk terkasih dari para Dewata,
sedangkan binatangpun tahu akan budi kemuliaan. Kau belum mendegar cerita
tentang Burung Platuk dan Singa " "
Balapuetera berseri wajahnya. Kakaknya ini memang pandai sekali bercerita, maka
melihat kesempatan ini, ia tidak mau menyia-nyiakannya.
Sambil memegang tangan ayundanya yang halus dan lebih besar daripada tangannya
sendiri itu, ia berkata mendesak manja, " Belum, ayunda. Kau berceritalah, aku
senang sekali mendengar ceritamu yang indah-indah ! "
Pramodawardani tersenyum dan setelah mencium kening adiknya dengan mesra, ia
berkata, " Dalam sebuah hutan yang amat besar hidup seekor singa yang amat liar
dan buas. Hampair setiap hari terdengar singa itu mengaum dan menggereng keras
menggetarkan seluruh hutan. Itulah tanda bahwa singa itu sedang menagkap seekor
binatang lain menjadi kurban dan mangsanya, yaitu kelinci, kancil, rusa, dan
binatang-binatang lemah sebangsa itu. Gerengan singa buas itu selalu didiringi
pekik ketakutan dan kesakitan dari kuraban yang diterkamnya."
" Alangkah kejamnya singa itu ! " Balaputera mencela, " Memang, adikku, singa
memang seekor binatang yang amat kejam dna ganas. Oleh karenanya Koleksi Kang
Zusi ia disebut raja hutan, sungguhpun bukan merupakan raja yang bijaksana, melainkan
seekor raja hutan yang amat kejam dan ganas. Akan tetapi, telah beebrapa hari
tidak terdengar geraman dan auman kemenagan dari singa itu, yang terdeganr
hanyalah gerengan-gerengan perlahan tanda kesakitan dan kelaparan dari raja
hutan itu, diselingi sorak sorai yang gembira ria dari para binatang kecil.
Hal ini memang mengherankan dan tidak sewajarnya. Maka seekor burung platuk yang
berbulu indah dan berpatuk kuat terbang berpitar-putar di atas pohon-pohon untuk
mencari tahu apakah gerangan yang terjadi dengan di raja hutan. Akhirnya dapat
juga ia menemukan singa itu Kiranya singa itu tengah bergulingan di bawah pohon
dalam keadaan hampir mati.
Perutnya kempis tanda kelaparan, rahangnya terbuka lebar-lebar tak dapat
ditutupkan kembali, ternganga bagaikan sebuah gau merah yang mengerikan. "
" Mengapakah gerangan dia " " tanya Balaputera dengan penuh perhatian.
Ayundanya demikian pandai bercerita, suaranya halus lembut dan merdu sedangkan
wajahnya bergerak membayangkan keadaan ceritanya sehingga pangeran kecil itu
seakan-akan melihat di depan matanya sendiri peristiwa yang sedang terjadi di
dalam cerita ayundanya. " Demikian pula pertanyaan yang diajukan oleh di burung pelatuk. " jawab
Pramodawardani kepada adiknya, " Ia bertanya kepada singa itu setelah terbang
turun dan berdiri di atas cabang pohon di dekat si raja hutan.
Singa merasa malu untuk menerangkan, akan tetapi akhirnya ia menjawab bahwa
ketika ia sedang makan tubuh seekor kancil yang menjadi mangsanya tiga hari
lalu, tulang punggung kancil yang nakal itu telah melintang dan terselit di
tenggorokannya, sehingga tulang itu berhenti di tengah-tengah, tak dapat ditelan
tak dapat pula dimuntahkan keluar, membuat mulutnya terbuka dan terganjal tak
dapat ditutupkannya kembali. "
Koleksi Kang Zusi " Nah, itulah upah si rakus ! " kata Balaputera.
Kakaknya tersenyum memandangnya. " Demikian pula yang dikatakan oelh burung
platuk itu, adikku. Ia juga menegur singa dan mencelanya terlalu rakus. Orang
makan tak boleh terburu-buru, tak boleh terlalu lahap dan rakus, harus memilih
dengan hati-hati benda yang hendak dimasukkan ke mulut dan perut, demikian
burung pelatuk yang bijaksana itu memberi nasihat. Singa merasa menyesal sekali
dan baru insyaf akan segala kesalhannya, akan segala kekejamannya, kemudian
sambil menangis sedih dia mohon pertolongan burung pelatuk itu untuk
mengambilkan tulang yang mengganjal kerongkaongannya. Tulang itu melintang di
dalam tenggorokan, sedangkan mulut singa itu terbuka lebar-lebar mengerikan,
terlihat giginya yang runcing dan tajam manakutkan, sedangkan tulang itu berada
jauh dui belakang gigi-gigi itu. Untuk dapat mengeluarkan tulang itu, burung
platuk harus memasukkan kepalanya di dalam mulut itu sampai dalam, dan apabila
tulang itu telah dilepaskan, maka sekali saja singa itu menutupkan mulut, akan
putuslah leher burung platuk. "
Jangan biarkan ia memasukkan kepalanya di dalam mulut singa, ayunda ! "
seru Balaputera gelisah. Ayunda tersenyum, " Adikku, burung pelatuk itu penjelmaan Sang Bodisattwa yang
bersifat suci dan mulia. Untuk memberi pertolongan kepada sesama hidup, dia
takkan pernah merasa ragu-ragu, jangankan baru menghadapi bahaya, sungguhpun dia
harus berkorban apa saja nyawanya sekalipun, dia takkan mundur ! Demikianlan,
burung pelatuk yang bijaksana itu tanpa ragu-ragu lagi lalu memasukkan kepalanya
ke dalam gua merah yang mengerikan itu, menggunakan paruh yang kuat untuk
mematuk tulang kacil yang melintang di tenggorokan singa dan berusaha
mengeluarkannya. Akhirnya berhasillah dia menolong nyawa singa itu dari bahaya maut ! "
" Alangkah mulia hati burung platuk itu ! " Balaputera memuji, " Akan tetapi,
kalau aku menjadi burung pelatuk, aku tak sudi menolong singa Koleksi Kang Zusi
jahat itu. Hanya burung pelatuk yang demikian bodohnya, menolong si jahat dengan
bahaya maut mengancam nyawa sendiri. Seorang bijaksana tak dapat berlaku sebodoh
itu ! " Pramodawardani mengerutkan keningnya yang berkulit halus kemerahan itu. Kemudian
menggelengkan kepalanya dan berkata halus,
" kau keliru Balaputera. Budi luhur lebih berharga daripada keselamatan tubuh
sendiri, karena budi itu ada hubungannya dengan jiwa. Budi tak dapat sirna,
sedangkan tubuh pasti akan musnah. Budi dan jiwa selalu ada dan takkan sirna
slamanya, adikku, karena itulah maka Sang Bijaksana Buddha telah memebri banyak
sekali contoh-contoh pelajaran. Jangan kau kira bahwa hanya binatang seperti
burung platuk saja yang mau mengorbankan nyawa untuk menolong sesama hidup.
Pernahkan kau mendengar cerita tentang Raja kaum Syibi " "
Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraannya karena ayunda
akan bercerita lagi. " Pada suatu ahari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oleh seekor
burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum
Syibi. Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraan karena ayundanya
akan bercerita lagi. " Pada suatu hari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oelh seekor
burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum
Syibi. Dara putih itu dengan suara pilu dan ketakutan Koleksi Kang Zusi
minta pertolongan Raja dari pengejaran burung rajawali yang sedang kelaparan dan
hendak menjadikan burung dara itu sebagai mangsanya.
Maka datanglah burung burung rajawali itu terbang dengan gagah dan dasyatnya,
turun di depan Raja dan menurut dikembalikannya burung dara yang mendekam dengan
tubuh gemetar di atas pangkuan raja. "
Mengapa Raja itu tidak mengambil gendewa dan menahan saja burung Rajawali yang
jahat itu " " Balaputera mencela.
" Tidak, adikku, Raja itu maat bijaksana da ia tahu memang burung rajawali itu
hanya makan daging dari burung-burung lainnya yang kecil-kecil seperti halnya
singa tadi. Raja hendak mengganti ketagihan rajawali dengan daging yang lebih
banyak dan lebih besar, akan tetapi rajawali tetap menolak. Bahkan ia lalu
menuduh, kepada Raja itu berlaku tidak adil dan berat sebelah. Katanya bahwa
raja hendak menolong burung dara dari bahaya maut akan tetapi sebaliknya hendak
membuat si rajawali mati kelaparan dan hendak mengingkari apa yang telah menjadi
dari hak si rajawali itu. Raja menyatakan bahwa ia telah berjanji hendak
menolong burunh dara itu dari bahaya maut dan bahwa sebagai seorang yang
menjunjung tinggi janji sendiri, Raja itu akan suka berkorban apa saja untuk
menepati janjinya. Burung rajawali lalu minta agar supaya Raja mengganti burung
dara itu dengan daging Raja itu sendiri, sebanyak dan seberat burung dara itu. "
" Permintaan yang bukan-bukan dan gila ! " seru Balaputera.
" Tidak, adikku. Burung Rajawali itu adalah penjelmaan Dewata yang hendak
menguji kesucian hati Raja kaum Syibi itu. Ketika Raja mendengar permintaan ini,
tanpa ragu-ragu sedikitpun ia lalu mencabut pedangnya dan mengiris dagingnya
sendiri pada betisnya sebanyak dan seberat burung dara itu dan memberikannya
kepada burung Rajawali ! "
Koleksi Kang Zusi Mendengar ini, Balaputera sampai melongo saking kagumnya terhadap kemuliaan hari
Raja kaum Syibi itu, " Demikianlah, Balaputera. Agama kita telah memberi contoh-
contoh dan pelajaran yang jelas tentang sifat welas asih. Kalau engkau melihat
seorang berada dalam bahaya maut dan terancam keselamatannya, apakah yang harus
kau lakukan sesuai dengan ajaran kita " "
Karena semangatnya telah dibakar oleh dua buah cerita tadi, anak kecil itu
menjawab dengan gagah, " Aku akan menolongnya ! "
" Betulkah " Sungguhpun engkau sendiri akan terancam bahaya usahamu menolong itu
" " " Tentu saja aku berani menghadapi segala macam bahaya, seperti burung pelatuk
itu dan aku berani berkorban sampai Raja Kaum Syibi itu ! " kata pula Balaputera
dengan gagahnya. Pramodawardani memeluk adiknya dan menciuminya. " Adikku sayang, tidak perlu
engkau mengorbankan sesuatu dan tak perlu engkau menghadapi bahaya. Akan tetapi
kalau engkau memang mau dan sanggup, sekarang juga engkau akan dapat menolong
nyawa dan keselamatan seorang yang terancam hebat. "
Balaputera memandang kepada kakaknya dengan matanya yang bening dan lebar, mata
seorang anak-anak yang masih bersih batinnya.
" Apakah maksudmu ayunda " "
Koleksi Kang Zusi " Balaputera, engkau tentu sudah mendengar bahwa seorang pendeta Mataram hendak
diberi hukuman kubur hidup-hidup " Alangkah ngerinya !
Apakah engkau tidak kasian mengenangkan nasibnya " Sungguh lebih menyedihkan
dari pada nasib singa buas dan burung dara itu. Engkau akan menjadi seorang anak
yang baik kalau dapat dan mau menolongnya. "
" Akan tetapi, ayunda. Bukankah dia itu musuh kita " Dia seorang pendeta
Mataram, seorang kapir....... "
" sst, jangan berkata demikian, Balaputera, adikku. Betapapun juga, dia seorang
manusia seperti kita. Apa lagi dia seorang pendeta dan ahli pembuat patung, kita
harus menolongnya. "
" Akan tetapi, dia sudah dijatuhi hukuman. "
" Bukan ayah yang menghukumnya, akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya !
Bayangkan, adikku yang budiman, pendeta tua yang lemah dan ramah tamah itu,
pendeta pandai yang bertangan halus, yang dapat membuat patung yang indah-indah,
ia akan dikubur hidup-hidup. Bayangkan betapa sengsaranya, dimasukkan lobang di
dalam tanah, lalu ditimbuni tanah, tak dapat bernapas, gelap, pengap...... ah,
alagkah ngeri dan sengsaranya...... "
" Aku mau menolong dia ! " tiba-tiba Balaputera berkata gagah dan cepat.
" Akan tetapi, bagaimana caranya, ayunda " "
Pramodawardani memeluk hatinya dengan hati girang. " Ah, kau memang seorang yang
berhati mulia, kau calon manusia besar ! Dengarlah, adikku Koleksi Kang Zusi
sayang, kalau aku bukan seorang wanita, tentu aku akan bertindak sendiri, takkan
menyusahkan engkau yang kecil. Aku takkan dapat leluasa bergerak diluar keraton.
Akan tetapi kau bisa, kau mudah saja bermain-main di luar keraton. Dan mempunyai
banyak kawan-kawan, anak-anak lelaki kecil yang suka kauajak bermain-main di
lapangan. Kau lebih bebas. Dengarlah baik-baik. Malam nanti tepat pada tengah
malam, di kala bulan purnama telah berada di atas kepala kita. Panembahan
Bayumurti akan dikubur hidup-hidup di sebelah barat alun-alun. Kau dan kawan-
kawanmu setelah semua orang yang melakukan hukuman keji itu pergi, perglah
ketempat pendeta itu dikubur, kau suruhlah kawan-kawanmu menggali kuburan itu
dan kau bebaskan pertapa yang malang itu ! Dengan demikian kau akan menolong
nyawa seorang suci, adikku ! "
" Bagaimana kalau ayah mengetahui hal ini " "
Jangan takut ayah takkan marah. Kalau seandainya ayah marah akulah yang akan
bertanggungjawab. Aku akan mengakui bahwa kau hanya bertindak atas suruhan dan
bujukanku. Biarlah ayah marah kepadaku. "
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ayah tak peranh marah kepadamu, ayunda. Ayah amat sayang kepadamu.
" " Karena itu, jangan kau takut kalau seandainya ayah mengetahui perbuatanmu ini.
Betapapun juga usaha kita ini adalah usaha baik yang keluar dari hati nurani
kita. Usaha menolong nyawa seseorang . "
" Kalau sampai Maha Wiku Dharmamulya mengetahuinya " "
" Biarkan saja ! Ia akan berani ebrbuat apakah terhadap kita " "
Koleksi Kang Zusi " Baiklah, ayunda Pramodawardani. Akan tetapi....... Bagaimanakah dengan Indrayna
itu " " Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak lebar. " Apa
maksudmu " " Balaputera tersenyum mengoda. " Ayunda, aku telah mendengar bahwa pemuda elok
itu...... bahwa ia mencintaimu dan mencuri patungmu, bukan " "
" Bedebah benar orang yang menceritakan hal itu kepadamu ! " Sang Puteri mamaki
marah, " Ssst, ayunda. Tak baik memaki dan menyumpah orang ! "
merahlah wajah Pramodawardani. " Orang itu...... Indrayana itu, Orang kurang ajar
yang tidak ada hubungannya dengan persoalan ini. "
" Sayang, aku selalu suka kepaad Indrayana. Semua kawanku menyatakan bahwa
Indrayana amat gagah perkasa. Pernah dengan tangan kosong ia menangkap dan
merobohkan seekor kerbau yang gila dan mengamuk !
Sayang sekali, ayunda, aku suka kepadanya. Sayang engkau tidak suka kepada orang
gagah perkasa itu. "
" Siapa bilang tidak suka ....... ! "
Koleksi Kang Zusi " Jadi engkau suka kepadanya " " Balaputera berseri.
" Kalau aku berkata bahwa aku bukannya ridak suka kepadanya, ini bukan berarti
pula bahwa aku suka ! "
" bukan tidak suka, dan juga bukan suka ! Aneh sekali, habis apakah perasaanmu
terhadapnya, ayunda yang manis " Apa engkau tidak senang melihat Indrayana yang
tampan dan gagah itu " "
" Memang ia tampan dan gagah, " kata Pramodawardani terus terang Apakah engkau
tidak kagum melihat keberanian dan ketangkaannya " "
" Mungkin ia berani dan tangkas. "
" Nah, mengapa tidak suka dan juga bukan membenci " "
" Sudahlah, cukup engkau ketahi bahwa dia adalah seorang yang kuang ajar ! Aku
tidak senang melihat orang berlaku kurang ajar ! Cukuplah tentang Indrayana,
sekarang baik engkau bersiap dan mengumpulkan kawan-kawanmu. Hari telah mulai
gelap ! " Demikian, pada malam hari itu, menjelang tengah malam, di waktu bulan sedang
bulat-bulatnya, terjadilah pelaksanaan hukuman yang amat kejam Koleksi Kang Zusi
itu Panembahan Bayumurti dikubur hidup-hidup di sebuah lobang yang dalam,
kemudian ditimbuni tanah. Yang melaksanakan hukuman ini adalah algojo-algojo
yang memang bertugas melaksanakan hukuman-hukuman mati.
Upacara hukuman dikepalai oleh Maha Wiku Dharmamulya sendiri, bersama beberapa
orang wiku pembantunya. Sesunggunya, hal ini tidak disetujui oleh pendeta Hindu
Wisananda, pembantu Maha Wiku Dharmamulya, akan tetapi Maha Wiku itu tidak
perduli, hanya berkata, " Sahabat Wisananda, mungkin hal ini agak ganjil bagimu. Akan tetapi ingat,
kebiasaan di negerimu tidak sama dengan kebiasaaan di negeriku !
Hukuman ini penting sekali, untuk menyatakan kepada semua orang Mataram bahwa
kita tak boleh dipermainkan begitu saja. "
Maka dikuburlah Panembahan Bayumurti dan anehnya, selama dilakukan upacara,
pendeta itu hanya atersenyumsenyum dan wajhnya berseri-seri, sama sekali tidak
kelihatan seperti orang yang sedang menjalankan hukuman mati, bahkan seakan-akan
seorang mempelai laki-laki yang sedang bersiap untuk menyambut mempelai wanita
tak lama lagi ! Pemandangan pada malam hari itu amat menyeramkan. Bayangan Maha Wiku Dharmamulya
yang berkepala gundul itu bagaikan bayangan seorang iblis sendiri tengah
tersenyum-senyum menikmati kemenangannya. Hati para wiku lain merasa tidak enak
dan di dalam lubuk hatinya,setiap orang wiku tidak menyetujui hukuman ini.
Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani membantah pendeta kepala
itu. Tentu saja Maha Wiku Dharmamulya yang sedang kemasukan bisikan setan-setan
nafsu angkara mrka dan dendam itu tidak merasai kesalahan sendiri. Jangankan
seorang manusia, seorang dewapun agaknya sukar untuk dapat menginsyafi kesalahan
diri sendiri ! Diam-diam ia bahkan merasa bahwa sebagai pendeta kepala ia telah
bertindak benar, telah dapat meninggikan agamnya, dapat membasmi sorang musuh
agamannya, seorang kapir yang menghina Agama Buddha Didalam dirinya.
Koleksi Kang Zusi Maha Wiku Dharmamulya merasa bahwa ia telah berjasa besar !
Bulan purnama agaknya merasa segan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu,
menyaksikan seorang dikubur hidup-hidup, maka tiba-tiba bulan bersembunyi di
balik segumpal awan, membuat permukaan dunia yang tadinya terang benderang
menjadi gelap. Hal ini mendatangkan perasaan lebih tak enak lalu mendesak kepada
Maha Wiku Daharmamulya untuk meninggalkan tempat hukuman itu.
Karena menganggap bahwa upacara itu telah beres, Maha Wiku Dharmamulya lalu
memesan kepada tiga orang algojo untuk menjaga di tempat itu sampai fajar,
sedangkan ia sendiri bersama semua wiku pergi meninggalkan tempat itu.
Ketika orang petugas algojo itu adalah orang-orang kasar yang bodoh dan masih
tebal kepercayaan mereka akan segala hal tahyul.
" Kakang Dentalaya, " kata seorang diantara mereka kepada pemimpin mereka, "
Untuk apakah kita menjaga di sini " Dingin dan tidak enak, lagi gelap "
" Benar, pekerjaan kita kali ini sungguh tidak menyedapkan hati. Lebih senang
kalau disuruh memenggal leher seorang hukuman. Sekali penggal dengan klewang
beres ! " berkata orang ke dua.
Pada saat itu, karena merasa kecewa melihat bulan menyembunyikan diri, seekor
burung hantu memekik nyaring sehingga ketika orang algojo yang dapat melihat
darah menyembur dari leher korban dengan senyum di bibir tiba-tiba menggigil
dengan hati berdebar-debar tak tenang.
Koleksi Kang Zusi " Kalian benar. " kata Dentalaya. " akupun merasa tidak enak kalau teringat akan
wajah pendeta Bayumurti yang ramah tamah dan tersenyumsenyum menghadapi
kematiannya itu. Biasanya orang yang akan menjalani hukuman mati tidak
sedemikian itu mukanya. Aku lebih suka kalau melihat dia melolong-lolong minta
ampun. Mari kita pergi saja dari sini, siapa tahu kalau-kalau pendeta ini adalah
murid seorang iblis yang akan datang mengamuk dan membalas dendam kepada kita !
" Ucapan kepala mereka ini mendatangkan dorongan yang membuat ketiganya lalu pergi
dari situ dengan langkah ringan dan cepat seakan-akan di belakang mereka telah
mengejar seorang iblis yang menakutkan !
Kalau saja algojo-algojo yang berhati kejam akan tetapi penakut itu berani
menengok lagi, tentu lari mereka akan lebih cepat lagi oleh karena seperti
dugaan mereka, benar-benar telah muncul banyangan-bayangan pendek kecil dari
belakang pohon-pohon. Bayangan-bayangan kecil initanpa banyak cakap lalu
mengerjakan pacul yang mereka bawa untuk mengali kembali kuburan yang memendam
tubuh Panembahan Bayumurti. Tentu para algojo itu akan menyangka bahwa bayangan-
bayanganini adalah setan-setan cebol atau bujang-bujang keplek yang menakutkan.
Padahal sesungguhnya, mereka ini adalah anak-anak kecil yang dipimpim oleh
Pangeran Balaputera dewa yang mentaati permintaan ayundanya !
Tak lama kemudian, terbongkarlah tanah kuburan yang mudah dipaculi itu dan
alangkah herannya anak-anak itu ketika melihat bahwa tubuh yang dipendam itu
sama sekali tidak mati, bahkan ketika kuburan telah terbongkar, mereka melihat
tubuh Panembahan Bayumurti sedang enak duduk bersila dan kini memandang kepada
mereka dengan mulut tersenyum. Kalau saja anak-anak itu tidak membongkar
kuburan, agaknya pendeta inipun dapat keluar sendiri
Memang Panembahan bayumurti adalah seorang sidik dan sakti mandraguna, yang
mempunyai aji dan kepandaian luar biasa sehingga ia takkan mati kalau hanya
menghentikan jalan pernapasan untuk beberapa Koleksi Kang Zusi
lama saja. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk dapat mati dikubur hidup-hidup.
Oleh karena itu maka ia sengaja memilih hukuman itu.
" Anak-anak yang baik ! " kata pendeta itu setelah anak-anak itu hilang rasa
kagetnya. " Kalianlah yang akan menjadi pendeta-pendeta utama dari Agama Buddha.
Di bawah pimpinan Pangeran Balaputera Dewa, kalianakan memkin jaya kerajaan yang
beragama Buddha ! " Setelah berkata demikian, kali tubuh itu bergerak lenyaplah
pendeta itu dari pandangan Balaputera dan kawan-kawannya. Tentu saja anak-anak
itu menjadi ketakutan dan segera melarikan diri cerai-berai.
Balaputera segera mendapatkan ayunda dan menceritakan pengalamannya.
Pramodawardani menghela napas panjang dan berkata perlahan, " Sudah kuduga,
adikku. Pendeta itu bukanlah orang sembarangan dan perbuatan Maha Wiku
Dharmamulya sungguh memalukan kita ! Jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada
orang lain, adikku yang baik ! " Sang Puteri Pramodawardani tidak tahu bahwa
adiknya tidak menceritakan semuanya.
Bahkan kepadanya sendiri, Balaputera tidak menceritakan tentang kata-kata
Pendeta Bayumurti tadi tentang kerajaan beragama Buddha yang kelak berada di
bawah pimpinanya. Balaputera masih kanak-kanak. Usianya masih sebelas tahun,
namun anak ini memang memiliki kecerdikan luar biasa. Ia maklum bahwa sebagai
puteri sulung, kakaknya lebih berhak atas mahkota ayahndanya, maka tidak pada
tempatnya dan kurang enaklah kalau ia menceritakan tetang ramalan Panembahan
Bayumurti bahwa kelak ia yang akan membikin jaya kerajaan beragama Buddha. Tentu
saja anak ini tidak sekali-kali menyangka bahwa ramalan pendeta sakti itu memang
cocok, akan tetapi kerajaan beragama Buddha bukanlah Kerajaan Syailendra di
Pulau Jawa, akan tetapi Kerajaan Sriwijaya di seberang.
*** Berkat pertolongan Panembahan Bayumurti Indrayana dapat meloloskan diri dari
cengkraman Maha Wiku Dharmamulya dan rombongannya. Raden Pancapana yang ternyata
gagah perkasa itu bersama dara jelita Candra Dewi mentaati pesan Sang
Panembahan, ikut pergi dengan Indrayana untuk bersama-sama menghadap Sang
Pertapa Begawan Ekalaya di Muria.
Koleksi Kang Zusi Kalau saja di antara mereka tidak terdapat seorang dara seperti Candra dewi,
tentu Indrayana dan Raden Pancapana telah mengerahkan kepandaian mereka. Akan
tetapi sungguhpun Candra Dewi adalah keturunan seorang ahli tapa yang sakti,
tetap saja ia merupakan seorang wanita yang halus dan lemah lembut. Kulit
telapak kakinyademikian tipis dan halus sehingga dara ini berjalan dengan mua
tunduk, memilih tempat yang rata dan halus untuk kakinya berpijak, berjalan
dengan langkah tenang dan halus tidak tergesa-gesa. Kedua taruna itu terpaksa
berlaku sabar, mengiringkannya dengan perlahan dan perjalanan itu seakan-akan
merupakan perjalanan tamasya belaka, sekali-kali bukan perjalanan orang-orang
yang diburu musuh. Oleh karena itu, perjalnan yang amat sukar itu makan waktu lama sekali.
Namun, betapapun sukar dan jauhnya perjalanan, candra Dewi memperlihatkan bahwa
darah pertapa yang tahan menderita mengalir di dalam tubuhnya. Tak pernah
terdengar keluhan dari bibirnya berbentuk indah, tak pernah keningnya yang halus
itu berkerut, bahkan jarang sekali ia mengeluarkan kata-kata kalau tidak untuk
menjawab sesuatu pertanyaan.
Juga Raden Pancapana orangnya pendiam, betul-betul bersifat seorang ksatria
utama, matanya bersinar-sinar tajam, bibirnya tersenyum ramah, akan tetapi
jarang sekali bicara. Melihat keadaan kedua orang kawan seperjalanannya ini,
Indrayana merasa kurang enak. Telah setengah hari mereka berjalan tanpa
mengeluarkan sepatah katapun. Ia menjadi petunjuk jalan dan kedua orang itu
hanya mengikutinya saja ke mana ia pergi ! Akhirnya dia tidak dapat menahan
sabar lagi, dan mengambil keputusan harus memperkenalkan diri, harus mengetahui
keadaan mereka dan menceritakan keadaannya sendiri lebih dulu agar hubungan
mereka tidak sedemikian tawar.
Tiba-tiba ia menunda perjalanannya dan berpaling kepada kedua orang kawan
seperjalanan itu sambil tersenyum dan berkata Koleksi Kang Zusi
" Maafkan aku, Raden Pancapana dan engkau juga, diajeng Candra Dewi.
Kalau tidak berkeberatan, marilah kita beristirahat sebentar, karena diajeng
Candra Dewi tentu lelah dan lapar. "
Dengan sepasang matanya yang bening memancar dari balik bulu matanya yang
lentik, Candra Dewi memandang kepada Indrayana dan berkata menahan senyum, : Aku
tidak lelah dan juag tidak lapar. "
Indrayana tertegun dan merasa serba canggung. Benar-benar gadis yang kuat dan
tahan uji, pikirnya. Namun ia tak mau kalah dan bahkan duduk di atas rumput di
pinggir jalan, di bawah pohon yang teduh.
" Sesungguhnya, akulah akulah yang lelah dan lapar. Dan...... menurut pendapatku
yang bodoh, agaknya sudah sepatutnya kalau kita bertiga berkenalan lebih erat,
karena bukankah kita telah menjadi kawan-kawan senasib sependeritaan, sahabat-
sahabat seperjalanan dan kelak akanmenjadi saudara seperguruan pula " " Ia
membalas pandang mata Raden Pacapana yang tajam menatapnya, lalu berkata lagi, "
Harap maafkan aku yang kasar dan bodoh. Sesungguhnya, berdiam-diam seperti ini
tak enak bagiku, aku sudah biasa bergembira. Biarlah kuceritakan keadaan diriku
agar kalian dapat mengenalku lebih baik. "
" Kami sudah tahu siapa adanya dirimu, kawan, " kata Raden Pancapana. "
Engkau adalah Raden Indrayana, putera dari Wiku Dutaprayoga yang menjadi ahli
keris dari Kerajaan Syailendra !
Indrayana tertawa girang, lalu berkata jenaka, " Ah ! Ini namanya tidak adil !
Kalian sudah mengetahui keadaanku sedangkan aku sama sekali belum Koleksi Kang
Zusi tahu siapakah sebenarnya kalian ini ! "
Raden Pancapana lalu duduk pula di atas sebuah batu tak jauh dari Indrayana dan
dengan matanya memberi isyarat kepada Candra Dewi untuk duduk pula di atas
rumput, lalu berkata, " Indrayana, engkau adalah putera seorang wiku Agama Buddha dan menjadi hamba
dari Kerajaan Syailendra yang besar dan berpengaruh !
Untuk apakah engkau hendak mengenal orang-orang Mataram yang kecil seperti
kami " Bukanlah engkau sudah tahu bahwa aku adalah murid dari panembahan
Bayumurti dan diajeng Candra Dewi ini adalah puterinya " "
Dengan amat heran Indrayana menatap wajah Pancapana dan ia menjadi terheran
sekali melihat betapa pemuda itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya tadi. Tak
terasa lagi Indrayana melompat bangun dan berkata dengan penasaran,
" Eh, eh, bagaimanakah ini " Mengapa orang macam aku disebut besar karena hanya
menjadi hamba dari Kerajaan Syailendra dan orang-orang seperti kalian menganggap
diri kecil karena menjadi hamba Kerajaan Mataram " Janganlah bersikap demikian,
kawan, kita sama-sama manusia yang hanya berbeda agama, akan tetapi sampai di
manakah perbedaan itu "
Anggapan kita sendiri juga yang membedakan, kawan. Hanya faham yang berbeda,
akan tetapi tujuannya hanya satu ! Adakah agama yang mengajarkan keburukan "
Adalah agama atau filsafat yang mendorong penganutnya melakukan kejahatan "
Tidak ada ! Semua memberi pelajaran baik, dorongan ke arah perbuatan baik,
menjunjung tinggi kegagahan, kebajikan kejujuran, dan kemanusiaan. Semua
tergantung kepada manusia sendiri, kawan, tergantung kepada perbuatan si
penganut agama. Betapapun tinggi dan pelajaran suci sesuatu agama, kalau yang mempelajarinya itu
seorang yang beriman nejat, takkan ada gunanya sama sekali !! "
Koleksi Kang Zusi Indrayana bicara dengan penuh nnafsu menggelora. Ia berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar, dengan dada terangkat, kepala dikedikkan dan sepasang matanya
memandang tajam, bukan kepada kedua orang itu, akan tetapi ke atas, seakan-akan
kepada langit ! Memang, adalam mengucapkan kata-katanya tadi, Indrayana merasa
menyesal. Semenjak peristiwa yang dialami di Candi Lokesywara, ia merasa kecewa
sekali. Kecewa melihat betapa pendeta kepala, yakni Maha Wiku Dharmamulya, yang dianggap
paling tinggi, paling suci dan ahli dalam Agama Buddha, melakukan perbuatan yang
mengecewakan hatinya. Sebaliknya ia merasa kagum melihat sepak terjang Panembahan Bayumurti ia menjadi
binggung mengapa pendeta kepala dari agamanya demikian jahat sedangkan Pendeta
Mataram demikian bijaksana. Maka terbukalah matanya dan teringatlah ia akan
petuah ayahnya yang tiba-tiba meluncur keluar dari mulutnya ketika ia merasa
penasaran melihat sikap Pancapana dan Candra Dewi.
Pancapana dan Candra Dewi melihat sikap Indrayana seperti itu, memandang kagum
dan seketika itu berubahlah sikap mereka. Pandangan mata Candra Dewi mengandung
kekaguman yang amat mesra, sedangkan Pancapana lalu melangkah maju dan merangkul
pundak Indrayna. Indrayana, betul seperti kata paman Panembahan Bayumurti. Kau adalah seorang
ksatria yang gagah perwira, keturunan seorang pertapa yang bijaksana. Aku girang
sekali dapat berkenalan dengan kau yang gagah ini.
Indrayana. Mendengar ucapanmu tadi, lenyaplah segala keraguanku, Indrayana dan
biarlah aku mengaku bahwa sesungguhnya aku adalah...... "
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Raden Pancapana...... ! " Tiba-tiba Candra Dewi menegur pemuda itu sambil
memandang heran. Koleksi Kang Zusi Pancapana tersenyum dan setelah pemuda ini tersenyum, lenyaplah yang tadinya
nampak pendiam dan bersungguh-sungguh itu. Wajahnya berubah terang dan berseri,
cakap sekali. " Tidak apa, Candra, Indrayana, bagaimana kalau kau dan aku mengangkat saudara "
Aku lebih tua dari padamu, maka kalau kau setuju, mulai sekarang, kau adalah
adikku, dimas Indrayana ! "
Bukan main besar dan girang hati Indrayana. Ia memegang tangan Pancapana erat-
erat, lalu berkata sambil tersenyum, " Baiklah kakangmas Pancapana, aku
bersumpah akan tetap setia dan membelamu seperti seorang adik kandungmu
sendiri ! " Kini wajah Candra Dewi memerah dan matanya berseri-seri girang.
" Kalau begitu, tentu menjadi lain persoalannya, dan tentu saja tak perlu ada
rahasia lagi yang harus disembunyikan, " katanya dengan senyumnya yang manis
bagaikan madu. " Dengarlah baik-baik. Dimas Indrayana, " kata Pancapana sambil menarik tanagn
Indrayana sehingga mereka duduk kembali di atas rumput, "
Sesungguhnya aku adalah putera dari Rama Prabu Sanjaya di Mataram yang telah
almarhum. " Terbelalak mata Indrayana memandang kepada pemuda itu. " Kau......
pangeran Pati dari Mataram " " ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan hendak
menyembah kepada Pangeran Pancapana, akan tetapi Pangeran Koleksi Kang Zusi
Pancapana memegang kedua pundaknya dan mencegah Indrayana melakukan penghormatan
ini. " Dengar Indrayana. Tak perlu engkau melakukan banyak upacara seperti ini.
Bukankah engkau sedah menjadi adikku sendiri " bersikaplah biasa, karena
sesungguhnya, selain Paman Panembahan Bayumurti, diajeng Candra Dewi, dan engkau
sendiri, tidak ada orang lain di seluruh Mataram yang mengetahui hal ini ! "
Pangeran Pancapana lalu menceritakan pengalamannya dengan suara mengharukan.
Sesungguhnya, ketika Kerajaan Mataram masih berada di bawah asuhan Sang Prabu
Sanjaya, kerajaan itu menjadi kuat, makmur, dan mempunyai wilayah yang amat
luas. Bahkan Kerajaan Syailendra tadinya mengakui kedaulatan Sang Prabu Sanjaya
sehingga Kerajaan Syailendra boleh dibilang berada dibawah kekuasaan Mataram.
Akan tetapi, kebesaran Mataram itu agknya hanya tergantung kepada kepribadian
Sang Prabu Sanjaya, karena setelah Sang Prabu Sanjaya meninggal dunia, kejayaan
Mataram mengalami kemunduran hebat.
Tahta Kerajaan dipegang oleh Sang Prabu Panamkaran seorang pangeran yang menjadi
adik misan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Hal ini terjadi oleh karena putera Sang
Prabu Sanjaya, yaitu Pangeran Pancapana, ketika ramandanya meninggal dunia,
masih muda sekali. Bahkan ada usaha gelap dari para pengikut Sang Prabu
Pabamkaran untuk melenyapkan dan membunuh Pangeran Pati Pancapana ini. Baiknya
masih banyak hamba yang setia kepada mendiang Prabu Sanjaya, di antaranya adalah
Panembahan bayumurti yang segera membawa pergi Pangeran Pancapana dan
mendidiknya sebagai putera sendiri, bersama seorang puterinya, yaitu Candra
Dewi. Semenjak baginda Panamkaran duduk di tahta Kerajaan Mataram, makin lemahlah
kedudukan kerajaan ini. Banyak raja-raja kecil melepaskan diri dari kekuasaan
mataram, sehingga Kerajaan Mataram yang tadinya besar Koleksi Kang Zusi
dan luas sekali wilayahnya itu, makin lama makin kecil dan tak berarti.
Raja-raja lain berani menentangnya, di antaranya adalah Kerajaan Syailendra
berdekatan, maka kerajaan inilah yang akhirnya mempengaruhi Mataram dan banyak
daerah yang tadinya menjadi daerah Mataram, perlahan-lahan menjadi daerah
Syailendra terutama sekali karena berkembangnya Agama Buddha yang berpusat di
Kerajaan Syailendra. Pancapana yang semenjak kecil dibawa oleh Panembahan Bayumurti, mempelajari
banyak ilmu kepadaian, aji kesaktian, bahkan mempelajari seni pahat dan setelah
dewasa, pageran ini pandai sekali membuat patung-patung yang indah. Terhadap
Panembahan Bayumurti ia menggangap seperti seorang ayah sendiri, dan terhadap
Candra Dewi, ia menganggap sebagai adik kandung sendiri.
Baik Panembahan Bayumurti, maupun Candra Dewi dan Pancapana sendiri, menutup
rapat-rapat rahasia ini sehingga pemuda yang tampan itu dianggap oleh orang lain
sebagai seorang pemuda murid Panembahan Bayumurti belaka, dan nama Pangeran Pati
Pancapana telah dilupakan orang dan disangkanya telah terbunuh pengikut-pengikut
Baginda Panamkaran. Setelah bertemu dengan Indrayana, barulah Pancapana membuka rahasia, karena ia
merasa suka dan percaya penuh kepada Indrayana. Tentu saja Indrayana merasa
terharu sekali mendengar riwayat pangeran itu, dan untuk bebrapa lama ia hanya memandang dengan terharu. Kemudian ia berkata,
" Kakangmas Pancapana, sudah terang bahwa kaulah putera mahkota dan menjadi
Pangeran Pati dari Kerajaan Mataram. Mengapa kau tidak menuntut hakmu " Kaulah
yang seharusnya menjadi raja mataram, bukan raja yang sekarang ini. "
Jilid 3 Koleksi Kang Zusi Pangeran Pancana tersenyum. " Memang sudah menjadi cita-cita setiap orang gagah
untuk mendapatkan haknya, terutama sekali kalau kulihat betapa Kerajaan Mataram
makin lama makin lemah dan mengecil, menjadi kerajaan boneka yang mudah
dipermainkan oleh kerajaan-kerajaan lain.
Aku maklum bahwa Kerajaan Mataram yang dulu menjadi sebuah kerajaan yang
terbesar, terpandang tinggi, kaya raya dan mempunyai rakyat yang hidup makmur,
setelah Rama Prabu meninggal, sekarang menjadi sebuah kerajaan yang amat lemah,
dipandang rendah, miskin dan rakyatnya papa sengsara. Hatiku perih kalau melihat
keadaan ini dan di dalam lubuk hatiku, aku tentu akan bertindak untuk memulihkan
kembali kejayaan Mataram.
Namun, menurut petunjuk dari Paman Panembahan Bayumurti, aku harus bersabar dan
sekarang belum tiba waktunya. Aku amat patuh atas nasihat ini, karena Paman
Panembahan, selain menjadi guruku yang amat mulia, juga kuanggap sebagai
pengganti orang tuaku yang harus kutaati. "
Indrayana makin kagum mendengar ucapan pangeran itu. Baginya seperti juga watak
ayahnya, agama adalah soal kedua, yang penting adalah sikap dan watak orangnya.
Maka melihat kegagahan dan kebaikan serta kesetiaan yang sedemikian besarnya, ia
merasa terharu sekali. Ia memegang lengan Pangeran Pancapana dan berkata dengan
suara menggetar, " Kakangmas Pancapana, aku merasa berbahagia sekali dapat menjadi saudara
angkatmu Kau adalah seorang ksatria utama yang patut dijadikan kawan dan
saudara. Kau adalah seorang Pangeran Pati calon raja yang berjiwa besar,
terutama sekali mendengar bahwa keinginanmu menduduki tahta Kerajaan Mataram
adalah dorongan oleh keharuanmu melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan
papa. Engkau patut sekali dibela dan dihormati. Maka kakangmas Pancapana, aku
akan selalu berada di sampingmu, dan akulah yang akan membuatmu dalam usahamu
menduduki kembali singgasana Kerajaan Mataram ! "
Koleksi Kang Zusi Pangeran Pancapana tidak menjawab dan tidak dapat berkata-kata, hanya memeluk
Indrayana dengan kedua mata basah. Ketika Indrayana menengok ke arah Candra
Dewi, ia heran melihat gadis itu memandangnya dengan mata basah pula, dan betapa
mesra pandang mata itu kepadanya !
Setengah dikatupkan, dengan bulu mata gemetar, manik mata berkaca-kaca dan
menatapnay dari balik bulu mata itu, ujung hidungnya yang bangir itu mengembang
dan bibirnya terbuka sedikit hingga terdengar perlahan napasnya yang memburu.
Akan tetapi hanya sebentar saja, karena dara jelita itu segera membuang pandang
matanya ke bawah ke atas tanah dan sambil menundukkan muka, kini kedua ibu jari
kakinya bergerak-gerak mengores-gores tanah ! Indrayana berdiri terkesima, kagum
dan takjub menyaksikan saat yang luar biasa sekali ketika gadis itu memandang
dadanya berdebar tak menentu, dan matanya terbelalak bagaikan terkena pesona.
Tiba-tiba suara ketawa Pangeran Pancapana memecahkan suasana hikmat itu, " Eh,
dimas Indrayana Engkau tadi bicara tentang perut lapar, bukan "
Baru sekarang akupun merasa betapa laparnya perutku ! "
" O ya ! Sejak tadi akupun telah mendengar bunyi cacing menggeliat-geliat, di
perut siapakah gerangan " " katanya sambil tersenyum girang.
" Cacing di perutku adalah cacing sopan, " kata Pancapana sambil tertawa dan
mengerling ke arah Candra Dewi, " tadi kudengar berkeruyuknya datang dari
jurusan diajeng Candra ! "
Candra Dewi yang tadinya duduk sambil menundukkan mukanya, kini tiba-tiba
mengangkat muka dan memandang kepada Pancapana dengan mata melerok dan cemberut.
" Sesopan-sopannya cacing, kalau tak diberi makan Koleksi Kang Zusi
tentu akan mengeliat-geliat juga ! Di dalam perutku sih tidak ada cacingnya !
Perutku bersih dan sehat, mana cacing dapat menjadi penghuninya " "
Indrayana tertawa terbahak-bahak. Ia merasa gembira sekali karena sekarang
ternyata olehnya bahwa Pancapana dan Candra Dewi keduanya adalah orang-orang
muda yang gembira dan suka pula berkelakar.
" Ha, kalau begitu, tentu cacingkulah tadi yang berkeruyuk !" katanya. "
Akan tetapi, jeng Dewi, tak mungkin kalau perutmu tidak bercacing !
Menurut pendapat ayahku, di dalam tubuh tiap manusia terdapat mahluk hidup yang
lain, seperti cacing dan lain-lain. Tanpa ada mahluk hidup yang lain, manusia
tak dapat hidup ! " " Akupun pernah mendengar tentang hal itu, " kata Pancapana, " bahkan Candra
sendiri juga sudah mengetahuinya, bukan " "
" Tidak. Tidak ! Di dalam perutku tidak ada cacingnya ! " Candra Dewi berseru
dan berkeras. " Mungkin ada mahluk hidup lain, akan tetapi bukan cacing ! Aku
tidak sudi dijadikan tempat tinggal binatang menjijikan itu ! "
Kembali Indrayana tertawa gembira. Melihat dara itu mau bicara dan berkelakar,
bahkan keliatan seperti marah-marah, baru ia mendapat kenyataan betapa manis dan
cantiknya Candra Dewi. Betapa sehat kulitnya yang halus dan masak oleh sunar
matahari itu. Pipinya yang segar kemerah-merahan mengingatkan ia akan kulit
mangga golek yang telah masak.
Kerling matanya tajam menyambar hati, senyumnya manis menyinggung jantung. Madu
akan terasa pahit bila dibandingkan dengan kemanisan bibir dara ini. Ia tahu
bahwa Candra Dewi masih malu-malu dan jarang sekali mau bertemu pandang dengan
dia. Semua kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu ditunjukkan kepada Pancapana,
yang telah bertahun-tahun Koleksi Kang Zusi
semenjak mereka masih kecil, telah menjadi kawan bermain dan telah dianggap
sebagai kakak kandung sendiri. Akan tetapi, justruh kerling yang hanya sekali-
sekali menyambar ke arahnya secara " sambil lalu " itulah yang membuat Indrayana
merasa dadanya berdebar-debar. Ia sama sekali tidak ingat bahwa bayangan wajah
Puteri Mahkota Pramodawardani yang tadinya tak pernah meninggalkan pelupuk
matanya, kini tidak kelihatan lagi bahkan ia telah lupa sama sekali akan puteri
Syailendra itu ! Dan ketika Indrayana mencari buah-buah ia memilih yang paling masak dan paling
baik untuk Candra Dewi. Melihat hal ini, Candra Dewi yang masih hijau dan bodoh
serta belum dapat menyelami hati pria, bertanya dengan sungguh-sungguh,
" Raden Indrayana, mengapa buah yang terbesar dan terbaik diberikan kepadaku
seorang " Marilah kita bagi rata, untuk engkau dan jaga untuk Raden dan
Pancapana...... " Dara itu menghentikan ucapannya ketia ia melihat betapa wajah
Indrayana menjadi merah dan pemuda ini menundukakan mukanya ia mendengar suara
tawa tertahan, ia segera menengok dan melihat betapa Pancapana menahan-nahan
ketawanya sambil memandang kepada Indrayana dengan mata menggoda.
" Makanlah, jeng Dewi. Indrayana sengaja memetik yang terbaik untukmu, mengapa
engkau tidak dapat menghargai kasih sayang orang " " berkata Pancapana dengan
suara menggoda. Kini perasaan wanita di dalam hati Candra Dewi membisikkan
susuatu kepadanya yang membuat pipinya yang sudah merah makin menjadi merah
lagi. " Sudahlah, jeng Dewi, jangan hiraukan orang yang suka menggoda, anggaplah saja
ucapannya seperti suara...... " Indrayana tidak melanjutkannya.
Koleksi Kang Zusi " ....... Seperti suara cacing perut tidak berteriak-teriak lagi, mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke Muria. Akan tetapi baru saja mereka keluar daru hutan itu,
tiba-tiba dari sebelah kanan nampak debu mengebul tinggi dan terdengarlah derap
kaku kuda yang menuju ke arah mereka.
Pancapana dan Indrayana bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mereka berdiri berjejer di tepi jalan, sedangkan Candra Dewi berdiri di belakang
mereka. Tak lama kemudian, nampaklah tiga belas ekor kuda yang ditunggangi oleh
orang-orang tinggi besar dan buas pandang matanya.
Melihat orang-orang yang berpakaian serba hitam itu, Pancapana merasa heran dan
tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika melihat seorang di antara dua orang
pemimpin pasukan berkuda itu, terkejutlah Indrayana.
Orang itu adalah Reksasura, kepala pasukan Srigala Hitam yang dulu pernah
mencoba hendak merampas patungnya !
" Kakangmas Pancapana, " bisiknya perlahan, " awas, mereka itu adalah pasukan
Serigala Hitam, penyembah Batari Durga yang terkenal buas ! "
Pancapana juga terkejut. Ia pernah mendengar nama pasukan ini, maka ia merasa
khawatir karena ia maklum bahwa pasukan ini terkenal amat buasa dan cabul,
terkenal akan perbuatan mereka yang suka merampas dan mencuri wanita-wanita
cantik ! " Ha-ha-ha ! Dicari di seluruh lorong langit tidak bertemu, tidak tahunya
sekarang berjumpa di sini bersama seorang perawan denok ! Ha-ha, Indrayana.
Bagus sekali, dengan tebusan perawan itu kuserahkan kepada kami, barulah kami
dapat mengampuni dosa-dosamu ! "
Indrayana adalah seorang pemuda yang cerdik. Melihat sikap Reksasura yang pernah
dipukulnya kocar kacir itu kini nampak garang dan tabah, tentu orang kasar ini
mempunyai andalan yang kuat. Ia lalu melirik dan Koleksi Kang Zusi
memperhatikan orang yang berkuda di sebelah kanan Reksasura. Orang ini terang
sekali bukan seorang Jawa, karena kulit mukanya berwarna hitam gelap. Keningnya
tinggi, membuat sepasang matanya yang sudah dalam itu makin mendelong ke dalam
kepalanya, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal. Hidungnya
seperti hidung burung betet, melengkung dan melingkar ke bawah, agaknya amat
berat sehingga kulit di bawah sedikit. Misalnya kecil panjang, berjuntai kebawah
di kanan kiri mulutnya yang tipis merupakan garis melintang panjang. Karena
bentuk mulut inilah maka ia nampak selalu seperti orang bersedihan seperti orang
mau mewek. Telinganya yang panjang dan lebar itu masih nampak bagian bawahnya, karena
bagian atasnya tertutup oleh kain pengikat kepala berwarna putih yang menutupi
seluruh kepalanya sampai beebrapa kali libatan. Jenggotnya pendek dan kasar.
Biarpun wajah orang hindu ini tidak aneh akan tetapi dari sinar matanya yang
amat berpengaruh dan tajam, dapatlah Indrayana menduga bahwa orang ini tentu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan orang inipulalah agaknya yang
diandalkan oleh Reksasura sehingga si kasar itu berani berlaku garang dan
berlagak di hadapannya. " Reksasura, " kata Indrayana sambil tersenyum, " dulu ketika engkau berlaku
lancang dan mengganggu perjalananku, aku masih berlaku murah dan tidak mencabut
nyawamu yang kotor karena perbuatanmi yang penuh dosa. Sekarang kembali kau
mengulangi perbuatanmu, apakah benar-benar kau sudah rindu akan panasnya api
neraka " Apakah kau sudah membuat kelewang baru " Nah, cabutlah, akan tetapi
kali ini jangan kau berkata bahwa aku Indrayana berlaku keterlaluan kalau aku
bukanhanya akan mematahkan kelewangmu, akan tetapi juga mematahkan lehermu ! "
" Indrayana, kau selalu berwatak sombong dan kau terlalu mengandalkan
kepandaianmu sendiri ! Sekarang kau berhadapan dengan guruku, Bagawan Siddha
Kalagana, pemimpin kami yang sakti mandraguna ! Kau tidak lekas berlutut minta
ampun " " Koleksi Kang Zusi Diam-diam Indrayana terkejut dan ia memandang dengan penuh perhatian kepada
Pendeta Hindu yang tinggi kurus itu. Juga Pangeran Pancapana terkejut sekali
ketika mendengar bahwa orang Hindu itu adalah Begawan Siddha Kalagana yang telah
didengar namanya sebagai seorang pertapa dan pendeta yang benar-benar sakti
sekali. Indrayana adalah sorang putera pendeta, dan telah menjadi wataknya tidak mau
menghina kepercayaan dan agama lain orang. Maka mendengar bahwa ia berhadapan
dengan Begawan Siddha Kalagana, ia lalu merangkapkan telapak tangannya menyembah
memberi hormat, lalu berkata.
" Ah, tidak tahunya kami berhadapan dengan Sang Begawan Siddha Kalagana yang
terkenal. Harap suka menerima pemberian hotmat kami orang-orang muda. Aku,
Indrayana dari Syailendra, selalu menghormat para ahli tapa yang suci dan yang
bijaksana, tahu akan rahasia hidup, maka aku tidak merasa takut berhadapan
dengan Sang Begawan. Seperti biasa, kedatangan seorang ahli tapa tentu akan
membawa bahagia dan penambahan pengetahuan. Sesungguhnya, ada keperluan apakah
Sang Begawan datang menghadang perjalanan kami orang-orang muda " "
Diam-diam Pangeran Pancapana tertegun dan kagum melihat sikap Indrayana yang
amat tabah dan tenang itu. Juga Begawan Siddha Kalagana sendiri merasa tertarik
dan kagum melihat Indrayana. Begawan ini sesungguhnya adalah seorang Hindu yang
sudah amat tinggi usianya, akan tetapi, berkat ilmu kepandaiannya yang tinggi,
ia masih nampak muda dan rambutnya masih hitam. Pendeta ini datang dari Hindu,
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa agamanya sendiri, yaitu pemuja Batari Durga. Ia telah merasa tidak aman
di negerinya sendiri, oleh karena di dalam kepercayaannya, pertapa ini
menjalankan perbuatan-perbuatan yanga mat terkutuk dan keji.
Pertapa ini memiliki ilmu-ilmu hitam atau ilmu sihir yang hibat dan aneh,
Koleksi Kang Zusi juga memiliki kebiasaan yang amat menyeramkan. Untuk mencapai hasil dalam ilmu-
ilmu hitamnya yang dikuasai setan dan iblis, ia tidak segan-segan untuk menculik
perawan dan anak-anak kecil untuk dijasikan kurban.
Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat nafsu cabul yang hanya dikemudikan oelh
iblis jahat, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, ia dapat menipu para
pengikutnya yang sebaliknya menggangapnya sebagai seorang pertapa yang sakti,
suci dan mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Kini, melihat Indrayana dan Pancapana yang elok dan cukap bagaikan Sang Palguna
da Sang Palgunadi, dua tokoh pewayangan yang terkenal tampan, juga melihat
Candra Dewi yang cantik jelita bagaikan Dewi Shinta, bukan main senang hatinya.
Ia telah merasa bosan dan muak melihat para murid dan anak buah serta pengikut-
pengikutnya yang kesemuanya merupakan orang-orang lelaki kasar dan buruk rupa,
sehingga timbul keinginannya untuk mengambil dua orang pemuda ini menjadi murid
dan pengikutnya. Sedangkan kemolekan wajah dan bentuk tubuh Candra dewi semenjak tadi telah
membangkitkan nafsunya yang kotor.
" Anak muda yang elok ! " katanya kepada Indrayana dengan suaranya yang
mengandung kejanggalan suara orang asing. " Sungguh jarang terdapat orang-orang
muda seperti engkau dan kawan-kawanmu ini ! Alangkah akan senang hatiku apabila
kalian bertiga mau ikut aku ke tempat tinggalku untuk menjadi murid-muridku ! "
" Terima kasih banyak atas kemurahan hati dan penawaran Sang Begawan,
" jawab Indrayana " Akan tetapi ketahuilah, kami bertiga adalah murid-murid dari
Eyang Begawan Ekalaya di Muria ! "
Kalau orang-orang lain tidak dapat melihat perobahan pada air muka pertapa Hindu
itu, adalah Indrayana dan Pancapana dapat melihat getaran pada manik mata yang
tajam dan berpengaruh itu, Begawan Siddha Kalagana mengangguk-anggukkan
kepalanya. " Pantas, pantas ! Pantas saja kalian begini elok, gagah perkasa, dan
menarik. Diseluruh tanah Jawa ini Koleksi Kang Zusi
hanya Begawan Ekalaya saja satu-satunya petapa yang kedudukannya setingkat
dengan kedudukanku ! "
" Alangkah sombognya ! " tiba-tiba terdengar suara halus dan dengan heran dan
terkejut Indrayana dan Pancapana melihat bahwa yang mencela ini bukan lain
adalah Candra Dewi ! dara ini adalah puteri Panembahan Bayumurti yang amat
bangga akan kesaktian ayahnya, maka kini mendengar kesombongan pendeta asing
ini, ia diam-diam merasa mendongkol sekali dan tak terasa pula mengeluarkan
perasaan mendongkolnya itu dengan ucapan tadi !
Kini sepasang mata Begawan Siddha Kalagana tertuju kepada dara itu dan mulutnya
makin menipis, " Ah, engkau patut sekali menjadi pengiring utama dari Sang
Batari Mulia ! " katanya dan sambil memandang Indrayana, ia berkata, " Anak
muda, sebagai murid-murid Ekalaya, kalian boleh dibilang masih menjadi murid-
murid keponakanku sendiri ! Dan sebagai murid-murid keponakan, sudah sepatutnya
kalau kalian berbuat sesuatu yang sifatnya berbakti kepadaku ! Aku melihat dara
jelita ini berjodoh untuk menjadi muridku dan untuk menjadi pengiring Sang
Batari Yang Maha Mulia, maka relakanlah puteri ini kubawa serta. Jangan
khawatir, kalau gurumu bertanya, katakan saja bahwa akulah yang membawanya,
tentu ia tak akan marah ! "
Sebelum Indrayana dan Pancapana dapat melampiaskan amarah mereka ketika
mendengar ucapan ini, tiba-tiba pertapa Hindu itu mengulurkan tangannya dan
entah bagaimana, tubuh Candra Dewi seakan-akan terpegang oleh tangan yang kuat
dan dilontarkan ke atas ke arah pendeta itu ! Candra Dewi bagaikan seorang yang
sedang tidur, matanya meram dan tubuhnya lemas ketika tahu-tahu ia telah berada
di dalam pelukan tanagn Begawan Siddha Kalagana di atas kuda !
" Pendeta keparat ! Lepaskan adikku ! " Pancapana berseru dan menubruk maju
dengan tangan kanan diulur. Akan tetapi, terdengar seruan keras dan Koleksi Kang
Zusi ketika pendeta Hindu itu mengebutkan ujung lengan jubahnya yang panjang, maka
ujung lengan baju itu memukul ke arah dada Pancapana yang tiba-tiba terlempar ke
belakang dan jatuh di atas tanah. Ia merasa kepalanya pening, akan pemuda ini
telah mendapat gemblengan yang hebat dari penambahan Bayumurti, sehingga kebutan
yang mengandung tenaga mujijat itu hanya membuatnya pening sesaat saja. Ia telah
berdiri lagi, akan tetapi ia telah di dahului oelh Indrayana yang tak dapat
menahan kemarahannya lagi. Ia mencabut keris pusakanya yang dibuat sendiri oleh
ayahnya, yaitu keris baja putih yang bernama Brajadenta ( Kilat Putih ).
Dengan gerakan trengginas bagaikan seekor burung elang menyambar, tubuhnya
berkelebat ke depan menyerang begawan Siddha Kalagana sambil berseru,
" Pertapa iblis ! Kau lepaskan jeng Dewi ! "
Serangan yang dilakukan Indrayana ini hebat sekali dan kalau saja yang
diserangnya bukan seorang pendeta yang amat sakti tentu serangannya ini takkan
meleset dan takkan dapat dielakkan pula. Akan tetapi, pendeta Hindu itu benar-
benar sakti dan hebat kepandaiannya. Begitu melihat sinar senjata itu dan
melihat gerakan yang sedemikian cepatnya, ia maklum bahwa pemuda ini memiliki
pula ilmu kepandaian dan kedigdayaan yang tak boleh dipandang ringan, maka cepat
sekali tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah melompat turun dari atas kudanya
! " Keparat, jangan lari ! " teriak Indrayana yang menyerang lagi dengan nekad dan
marah. " Eh, eh, anak muda, engkau benar-benar berani melawan aku " " kata pendeta itu
yang memeluk tubuh Candra Dewi dengan tangan kiri, dan sekali tangan kanannya
bergerak, maka ia telah mencabut keluar sebatang tongkat yang ternyata adalah
seekor ular Cobra yang telah kering. Ular itu besar sekali, lebih besar dari
lengan tangannya dan panjangnya kurang lebih sedepa. Tubuh ular yang telah
kering itu bengkak-bengkok dan Koleksi Kang Zusi
kepalanya amat mengerikan, karena mulutnya terbuka lebar. Pendeta Siddha
Kalagana memegang senjata aneh akan tetapi cepat sekali ia memutar-mutar senjata
itu yang menyambar-nyamar ke arah Indrayana.
Emuda yang gagah perkasa ini sama sekali tidak merasa gentar atau jerih
menghadapi senjata lawannya ini, akan tetapi ketika dari senjata aneh itu keluar
bau yang amat amis menimbulkan muak, ia terkejut sekali. Ia maklum bahwa ular
kering di tangan Bagaman Siddha Kalagana itu mengandung racun yang amat hebat
dan berbahaya. Tak perlu terluka parah oleh senjata itu, baru kena digores
sedikit saja oleh senjata itu, Indrayana lalu mengerahkan kepandaian dan
kegesitannya, menggerakkan keris pusakanya untuk menjaga diri dan membalas
dengan serangan-serangan hebat
Dimas Indrayana, jangan takut, aku membantu ! " tiba-tiba Pangeran Pancapana
berseru dan pedangnya di putar cepat menyarbu Bagawan Siddha Kalagana. Tadi,
dalam keadaan marah, Pancapana telah berlaku kurang hati-hati sehingga ia
terkena kebutan ujung lengan jubah pendeta itu. Untung pemuda ini memiliki
kesaktian tinggi, kalau tidak, tentu kepalanya akan pecah terkena pukulan yang
ampuh itu. Setelah kepalanya tidak pening lagi. Pancapana melompat berdiri.
Melihat betapa Indrayana didesak oleh senjata ular yang hebat itu, ia cepat
mencabut sebatang pedangnya lalu menyerbu.
Serangan pedang di tangan kanan Pancapana ini kembali mengejutkan Begawan Siddha
Kalagana. Ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Pancapana tidak lebih rendah
daripada kepandaian Indrayana ! gerakan kedua orang muda itu gesit, cepat dan
kuat sekali. Permainan mereka dalam gerakan senjata amat sempurna sehingga
mereka merupakan lawan yang tangguh dan sukar dilawan. Diam-diam Bagawan Siddha
Kalagana mengeluh di dalam hatinya. Kalau dia tidak sedang memondong tubuh
Candra Dewi, belum tentu ia akan kalah menghadapi dua orang ksatria ini, akan
tetapi kini gerakannya amat terbatas dan terhalang oelh tubuh dara itu. Ia tidak
dapat mempergunakan ilmu sihir atau kesaktian yang timbul dari pada ilmu hitam,
karena segala ilmu ini hanya bisa dilakukan apabaila telah dipersiapkan semula.
Ilmu hitam hanya hanya memiliki daya sementara saja, dan untuk ini ia belum
mangadakanpersiapan sebelumnya.
Ia maklum bahwa untuk menjatuhkan kedua orang muda ini, tak mungkin dipergunakan
ilmu-ilmu sihir yang rendah saja, karena dari cahaya muka dan sinar mata
keduanya, ia maklum bahwa mereka memiliki tenaga yang Koleksi Kang Zusi
cukup kuat. Akan tetapi, Begawan Siddha Kalagana adalah seorang yang amat cerdik dan
memiliki banyak sekali akal-akal dan tipu muslihat yang curang. Melihat desakan
kedua orang ia berseru, " Tahan senjata ! "
Suara ini berpengaruh dan mengandung ancaman hebat, maka Indrayana dan Pancapana
cepat melompat mundur dan memandang tajam.
" Mundur kalian ! " negawan Siddha Kalagana berseru. " Kalau kalian masih
berlaku nekad, terpaksa aku harus membunuh gadis ini lebih dulu, baru akan
kutewaskan kalian ! " Sambil berkata demikian, pendeta itu menggangkat senjata
ularnya dan mendekatkan kepala ular itu ke dekat leher Candra dewi yang masih
pingsan. ! " Jangan....... ! " Tiba-tiba Indrayana berseru dengan suara gemetar. "
Jangan bunuh dia ! "
Bagawan Siddha Kalagana tertawa terbahak-bahak. " Ha-ha-ha ! Siapa mau membunuh
dara jelita ini " Sayang kalau dibunuh ! Tidak, aku akanmembawanya ke Candi Sang
Batari Yang Maha Mulia dan ia akan dipuja-puja di tempat itu ! " Bagawan Siddha
Kalagana lalu memberi tanda kepada anak buahnya yang tadi pada turun dari kuda
akan tetapi tak berani membantu pemimpin mereka karena mereka mklum bahwa
kepandaian mereka masih jauh untuk dapat melawan kedua orang muda yang gagah
itu. Kini semua pasukan Serigala hitam melompat ke atas kuda, juag Bagawan
Siddha Kalagana melompat sengan sigapnya ke atas kuda putih yang telah
disediakan oleh anak buahnya, kemudian ia berpaling kepada Indrayana dan
Pancapana. " Sekali lagi, jangan kau halangi aku pergi membawa si denok ini, karena Koleksi
Kang Zusi sekali saja engkau bergerak, si denok ini akan kulemparkan kepada kalian sebagai
mayat ! " Ia tersenyum dan sepasang matanya bergerak liar. "
Akan tetapi, aku tidak melarang kalau kalian memang memiliki kepandaian dan
kegagalan, cobalah, kami siap menanti untuk menyambutmu ! "
Setelah berkata demikian, Bagawan Siddha Kalegana menendang perut kuda dengan
tumit kakinya dan binatang itu meringkik keras lalu melompat ke depan, terus
berlari cepat menyusul pasukan Serigala Hitam yang telah berangkat lebih dulu !
Pancapana menggerakkan tangannya dan ia telah menurunkan gendewa dan anak
panahnya, akan tetapi Indrayana cepat memegang lengannya.
" Jangan, kakangmas Pancapana ! Apakah engkau ingin melihat jeng dewi dibunuh "
Orang macam pendeta iti berhati kejam dan keji, ia tak akan ragu-ragu untuk
membuktikan ancamannya. "
" Habis bagaimana, dimas Indrayana " " tanya Pancapana dengan cemas dan
binggung. " Apakah engkau akan membiarkan saja Candra Dewi diculik dan diganggu
olehnya " " Indrayana mengertakkan giginya dan mengepal tinjunya. " Tidak ! Aku tak akan
membiarkan dia diganggu oleh siapapun juga ! Biar kupertaruhkan jiwaku untuk
menolongnya ! Akan tetapi, kita harus dapat melihat gelagat dan berlaku hati-
hati, kangmas. Bukankah tadi pendeta jahanam itu menantang kita untuk datang ke
tempat tinggalnya " Nah, mari kita mengejar mereka dan berusaha menolong jeng
Dewi. Kalau pendeta durhaka ini mengetahui bahwa kita mengejarnya, tentu ia tak
akan sempat menggangu jeng Dewi ! "
Karena tidak berdaya dan dikalahkan oelh tipu daya licin dan curang dari Begawan
Siddha Kalagana, maka Pancapana terpaksa membenarkan Koleksi Kang Zusi
pendapat Indrayana. Tidak ada jalan untuk menolong Candra Dewi dari bahaya.
Kedua pemuda yang gagah perkasa itu lalu mengerahkan kesaktian mereka dan
mempergunakan Ilmu Lari Cepat Maruta marga ( Jalan Angin ). Ubuh mereka
merupakan bayangan yang cepat sekali bergerak maju, seakan-akan kedua kaki
mereka tidak menginjak bumi !
*** Pedukuhan yang terjadi sarang oleh gerombolan Srigala Hitam terletak di sebelah
barat pantai kali Serang. Serang itu merupakan sebuah perkampungan yang cukup
besar dan ramai. Seluruh penduduk di situ telah menjadi pemeluk agama baru yang
dibawa oleh Bagawan Siddha Kalagana, yaitu Agama Batari Durga. Kehidupan Bagawan
itu beserta semua anak buahnya, yaitu yang merupakan pasukan Srigala Hitam,
semuanya dijamin oleh para penduduk yang hidup sebagai petani dan nelayan.
Penganut agama baru ini telah berkembang biak dan kini kampung itu menjadi makin
besar karena orang-orang dari lain pedukuhan banyak pula yang datang menjadi
pengikut Bagawan Siddha Kalagana. Karena pengaruh sihir dan tenung yang
disebarkan oelh pendeta itu kepada penduduk yang bodoh dan tahyul, maka mereka
itu tidak merasa betapa miskin keadaan mereka. Hampir sebagian besar penghasilan
mereka diberikan kepada pendeta itu belaka. Mereka menganggap Bagawan Siddha
Kalagana sebagai seorang Dewa kalon yaitu seorang dewata yang menjelma menjadi
manusia. Mereka percaya penuh ketika pendeta itu menyatakan bahwa Begawan Siddha Kalagana
sesungguhnya adalah Sang Hyang Syiwa sendiri. Dan sebagaimana telah diketahui
oleh umum pada waktu itu, batari Durga adalah syakti ( isteri ) daripada Sag
Hyang Syiwa ! Di tengah-tengah perkampungan itu, dekat sekali dengan pantai Kali serang di
bagian menikung, oleh Begawan Siddha Kalagana dibangun sebuah candi yang amat
luas. Sebetulnya bukan merupakan bangunan candi yang utuh, akan tetapi tepat
disebut kelompok tempat pemujaan yang dijadikan Koleksi Kang Zusi
pula tempat tinggalnya. Tempat ini dikelilingi oleh pagar bata yang tinggi,
merupakan tempat tertutup. Tidak saja pagar batu itu tinggi, akan tetapi juga
pada tiap sudut dipasangi tempat penjagaan, sehingga hampir merupakan sebuah
benteng. Hanya ada dua buah pintu pada pagar batu itu, yaitu pintu gerbang besar yang
berada di depan, dan sebuah pintu kecil di bagian belakang, yaitu yang menghaapi
sungai. Tidak sembarang orang dapat memasuki pintu gerbang itu, kecuali pada
waktu-waktu tertentu, yaitu pada waktu diadakan pemujaan di dalam candi yang
terletak di tengah-tengah kelompok bangunan yang dikurung pagar bata itu. Pada
waktu diumumkan saat pemujaan, maka pintu gerbang itu dibuka, dan orang-orang
kampung diperkenankan masuk ke dalam untuk melakukan pemujaan secara berbareng
di tenpat yang telah disediakan.
Keadaan di dalam lingkungan pagar bata sungguh amat luar biasa.
Pertama-tama di sebelah dalam pagar, terdapat rumah-rumah petak kecil yang
berjajar, dan di sinilah para anak buah Serigala Hitam tinggal.
Mereka ini tidak saja bertugas sebagai pasukan yang melindungi Agama Sang Batari
Yang Agung, akan tetapi juga sebagai penjaga benteng dan sebagai murid-murid
Bagawan Siddha Kalagana. Anak buah pasukan Serigala Hitam yang kesemuanya
berjumlah tiga puluh sembilan orang ini, hidup membujang dan tidak beristri,
karena " beristri " merupakan pantangan besar bagi seorang murid Sang Begawan.
Ditengah-tengah lingkungan rumah-rumah para muridnya itu, terdapatlah apa yang
disebut candi yang sebenarnya merupakan istana tempat tinggal Bagawan Siddha
Kalagana itu. Sebuah bangaunan yang amat besar dan megah, yang dihias dengan
patung-patung wanita telanjang yang amat indah buatannya. Bangunan ini mempunyai
bagian-bagian terpisah. Ada bagian yang disebut ruang pemujaan, di mana terdapat
sebuah patung Sang Batari Durga yang disembah-sembah. Ada pula bagian kesenian,
di mana seringkali diadakan tari-tarian yang katanya untuk menghibur hati Sang
Batari dan suaminya ( yaitu Pendeta itu ). Ada ruangan tempat pembuatan patung-
patung di mana bekerja ahli-ahli pahat yang amat pandai. Ahli-ahli Koleksi Kang
Zusi sebagian besar adalah hasil penculikan dari daerah Mataram dan Syailendra. Yang
paling hebat adalah kamar tempat Sang Bagawan Siddha Kalagana, sebuah kamar
besar dan penuh dengan patung-patung indah sekali. Kecuali pada waktu-waktu
tertentu, semua bagian di dalam bangunan besar ini, terutama sekali kamar dari
sang Batari dan Suaminya, amat dirahasiakan dan tak seorangpun, termasuk para
anggota Srigala Hitam, diperbolehkan memasukinya.
Kalau ada orang luar masuk ke dalam perkampungan di pinggir Kali Serang itu, ia
akan merasa amat terheran-heran karena tidak melihat adanya gadis-gadis muda
yang cantik. Yang ada hanya beberapa orang gadis saja, akan tetapi mereka ini
bermuka buruk atau bercacad ! Akan tetapi, kalau sudah diberi tahu, mengertilah
dia bahwa semua perawan yang berwajah lumayan dan bersih, diharuskan menjadi
pelayan dari Sang Maha Batari !
Akan terheranlah orang apabila ia masuk ke dalam bangunan besar itu, karena di
situlah semua perawan itu berada. Tidak kurang dari empat puluh orang gadis-
gadis muda mendiami bangunan itu, melakukan pekerjaan sebagai pelayan dan tempat
itu merupakan sebuah penampungan anak-anak dara atau semacam harem dari seorang
Pangeran atau Raja. Orang luar, termasuk juga para anggota Serigala Hitam, tidak
boleh mengadakan hubungan dengan para " pelayan " Sang Batari ini. Hanya pada
saat sang Batari mengadakan pesta, di mana diadakan tari-tarian diiringi oleh
gamelan, barulah orang luar dapat melihat dan berhubungan dengan mereka itu.
Dengan demikian, maka penghuni bangunan besar yang penuh dengan patung-patung
indah itu, hanyalah Bagawan Siddha Kalagana sendiri bersama empat puluh orang
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dara jelita itu. Ketika Bagawan Siddha Kalagana dan rombongannya memasuki kampung halamannya,
membawa Candra dewi yang cantik jelita, mereka di sambut dengan girang oleh
penduduk. Tentu saja mereka tidak mengira bahwa Candra Dewi dibawa dengan paksa
atau diculik, dan mengira bahwa Sang Maha Batari telah memilih seorang pelayan
baru, dan ini berarti bahwa malam nanti akan diadakan pesta keramaian. Pesta
inilah yang merupakan Koleksi Kang Zusi
daya penarik bagi para pemeluk agama baru ini, karena di dalam pesta ini,
Begawan Siddha Kalagana sengaja membuka kesempatan kepada semua orang untuk
mengumbar hawa napsu, membiarkan iblis merajalela dan menguasai perasaan dan
iman, sehingga di dalam pesta pora ini terjadilah hal-hal yang amat mengerikan.
Hal-hal yang amat cabul dan yang kesemuanya dilakukan oelh orang-orang itu tanpa
disadarinya, karena mereka berada dalam pengaruh mujizat, pengaruh setan dan
iblis yang di " dalangi " oleh Begawan Siddha Kalagana.
Malam itu Sang Purnama menyinari permukaan bumi sepenuhnya. Kalau di lain tempat
bulan mendatangkan cahaya indah dan mengusir semua kengerian malam gelap, adalah
di tepi Sungai Serang itu bahkan mendatangkan hawa dingin yang menyeramkan.
Cahaya bulan yang keemasan itu seakan-akan menambah daya hidup dari para demit,
setan, dan iblis di daerah itu, menimbulkan suara-suara yang aneh dan
menyeramkan, dan tiap bayangan disinari bulan merupakan bentuk raksasa yang
dahsyat. Keadaan sunyi sepi, kecuali dari arah benteng di pedusunan itu, di mana Sang
Begawan Siddha Kalagana sedang mengadakan pesta dan dari sanalah datangnya
bunyi-bunyian gamelan yang ganjil pula. Memang Bagawan Siddha Kalagana, selain
membawa agamanya dan tari-tarian dan gamelan dari negerinya, gamelan dan tari-
tarian yang biasanya di Tanah Hindu diadakan untuk memuja dewa Ular. Gamelan itu
terdiri daripada bunyi-bunyian yang melengking, ke luar dari tiga batang suling
berbentuk ular, diiringi oleh suara gendang yang dari jauh terdengar seperti
suara air dipukul. Dusun itu nampak sunyi, karena semua penghuninya tidak
melewatkan kesempatan itu untuk datang mengunjungi pesta Sang Batari Durga yang
diadakan semeriah-meriahnya di ruang seni sebelah kiri bangunan besar itu.
Air kali Serang mengalir perlahan, tidak memperdulikan semua peristiwa itu,
mengalir terus menuju ke utara dengan tenangnya. Sebuah getek, yakni perahu
terbuat daripada bambu yang diikat berjajar, bergerak perlahan terbawa oleh
aliran air sungai, menuju ke dusun itu. Dua orang Koleksi Kang Zusi
muda berdiri di atas getek sambil menggerakkan dayung dari bambu pula.
Mereka ini bukan lain adalah Indrayana dan Pancapana yang mengikuti perjalanan
rombongan Bagawan Siddha Kalagana yang membawa lari Candra Dewi. Setelah dekat
dengan pedusunan itu mereka lalu mempergunakan jalan air karena lebih aman dan
mudah memasuki dusun dari sungai daripada mengambil jalan darat. Mereka
bermaksud memasuki dusun itu secara diam-diam agar dapat menyergap dan menolong
kawan mereka dengan tiba-tiba dari dalam dusun.
Ketika mereka telah tiba di dekat dusun, Indrayana melihat banda-benda terapung
di atas air yang amat menarik hatinya. Sinar bulan tidak begitu terang, akan
tetapi cukup manyinari banda-banda itu nampak seperti bertangan dan berkaki.
" Kakangmas Pancapana, lihat ! Apakah yang terapung-apung itu " "
Pancapana memandang dengan penuh perhatian. " Seperti tubuh manusia !
" serunya. " Mari kita dayung getek ke sana ! "
Kedua orang itu meluncur cepat ke tempat benda-benda terapung-apung.
Setelah dekat mereka memandang penuh perhatian.
" Ya Jagad Dewa Batara ! " tiba-tiba Pancapana menyebut nama dewata dan mukanya
berubah pucat. Juga Indrayana berdiri kesima bagaikan berubah menjadi patung.
Ternyata bahwa benda-benda terapung itu benar-benar adalah tubuh tiga orang anak
kecil yang telah menjadi mayat.
Indrayana dapat menguasai perasaannya lebih dulu dan ia lalu mengulur tangan
menjangkau sebuah daripada tiga mayat itu dan mengangkatnya ke Koleksi Kang Zusi
atas getek. Meremang bulu tengkuk mereka ketika menyaksikan keadaan mayat anak
kecil itu. Ternyata bahwa mayat itu terluka pada bagian dadanya. Bulukan luka
sembarangan, akan tetapi agaknya dada itu memang dibuka dengan sebuah pisau
tajam dan ternyata bahwa isi dada anak itu telah dikosongkan orang ! Agaknya
jantung anak itu telah dicabut dari dalam !
" Gusti Yang Maha Agung ! " seru Indrayana. " Iblis manakah yang sanggup
melakukan kekejaman seperti ini ! "
Pancapana dan Indrayana saling pandang dan menduga-duga, akan tetapi tidak dapat
menemukan jawabannya. " Mari kita angkat dan mengubur ketiganya dengan baik-baik, " kata Pancapana.
Indrayana setuju dan mereka lalu berusaha mengambil dua mayat lain yang masih
mengambang di atas air. Akan tetapi pada saat itu, air kali tergoncang hebat dan
busa air memercik keras. Kepala seekor buaya besar tersembul di permukaan air
dan menyambar ke arah mayat kecil itu !
" Kurang ajar ! " seru Pancapana marah dan secepat kilat pemuda perkasa ini
telah mengambil gendewanya menjebret, dua batang anak panah meluncur cepat dan
dengan tepat sekali menancap pada kedua mata buaya itu !
" Bagus sekali. Kakangmas Pancapana ! " Indrayana memuji sambil tersenyum
memandang binatang yang kini berenang dengan liar di dalam air, memukul-mukulkan
ekornya dan menggeliat-geliat. Air sungai menjadi hitam di bawah sinar bulan,
tanda bahwa air itu telah bercampur dengan darah yang keluar dari sepasang mata
buaya itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuh buaya yang besar itu mengambang
dengan perutnya ke Koleksi Kang Zusi
atas. Perut itu keputihputihan berbeda dengan punggungnya yang hitam dan kasar.
Indrayana dan Pancapana lalu mengangkat dua mayat anak kecil tadi ke atas getek.
Tiba-tiba air bergelombang makin besar dan kini tersembullah kepala belasan ekor
buaya yang besar-besar ! Bukan main kagetnya Indrayana melihat hal ini.
Menghadapi seekor dua ekor saja masih terkawan oleh mereka, akan tetapi belasan
ekor binatang buas ini benar-benar merupakan bahaya maut. Sekali saja ekor
mereka yang kuat itu memukul getek, mereka akan terguling di dalam air dan akan
tewas ! " Dimas Indrayana, cepat dayung getek ke tepi ! " deru Pancapana. Mereka lalu
mengerahkan tenaga dan mendayung getek itu ke pinggir, dikejar oleh barisan
buaya itu. Setelah berada dekat tepi, Indrayana dan Pancapana melompat ke darat
sambil memondong tiga mayat anak-anak itu. Mereka berdiri memandang ke air
sambil mengeleng-gelengkan kepala.
" Berbahaya sekali ! " kata Indrayana, melihat betapa dengan buasnya buaya-buaya
itu menyambar getek. Terjadi pergulatan sebentar ketika binatang-binatang itu
memperebutkan getek yang sudah kosong dan tak lama kemudian getek itu menjadi
hancur lebur.! Pecahan-pecahan bambu terapung dan terbawa oleh air. Setelah
melampiaskan amarah mereka kepada getek kosong itu, buaya-buaya itu lalu
menyelam kembali dan lenyap dari pandangan mata. Juga buaya yang telah tewas
karena dua batang anak panah Pancapana tadi tak nampak lagi, agaknya diseret ke
dasar sungai oleh kawan-kawannya.
Sungguh ajaib ! " kata Pancapana. " Selama kita naik getek, tak pernah kelihatan
seekorpun buaya. Akan tetapi, mengapa di tempat ini terdapat begitu banyak buaya
" " Koleksi Kang Zusi Indrayana menengok ke belakang, ke arah suara gamelan terdengar. "
tidak aneh, kangmas, karena disini termasuk daerah yang dikuasai oleh pengaruh
Bagawan Siddha Kalagana. Siapa tahu kalau-kalau buaya-buaya tadi adalah anak
buahnya pula " "
Mereka lalu menggali tanah di tepai sengai dan mengubur tiga mayat naka kecil
tadi. Ternyata bahwa ketiganya telah lenyap isi dadanya dan melihat betapa kulit
dada yang dibelek itu masih ada tanda-tanda darah, maka mereka dapat menduga
bahwa peristiwa keji itu terjadi belum lama.
Setelah mengubur ketiga mayat anak kecil itu baik-baik, kedua pemuda gagah
perkasa itu lalu berjalan mengendap-endap menuju ke dalam dusun itu. Ternyata
semua rumah di dalam dusun telah kosong dan tak seorangpun nampak berada di
situ. Indrayana mengeleng-geleng kepala melihat keadaan rumah-rumah yang lebih
patut disebut gubuk-gubuk miskin sekali itu, tak lebih baik dari pada gubuk-
gubuk yang berada di tengah sawah dalam dusun-dusun di Kerajaan Syailendra !
Kemudian mereka menuju ke bangunan besar di tengah kampung itu.
Begitu tiba di dekat pagar bata. Indrayana dan Pancapana merasa heran, karena
sesungguhnya bangunan yang dikelilingi pagar kuat ini merupakan sebuah keraton
kerajaan kecil. Apapula ketika melihat adanya penjaga-penjaga di sudut tembok. !
Mari kita serbu penjaga-penjaga itu ! " bisik Indrayana.
" Jangan, " jawab Pancapana, " sebelum mengetahui bagaimana keadaan Candra Dewi,
lebih baik kita menghindarkan setiap pertempuran. Mari kita masuk dari lain
bagian yang tak terjaga ! "
Koleksi Kang Zusi Mereka lalu mengambil jalan memutar dan tiba di sebelah kanan bangunan.
Pancapana lalu mengunakan pedangnya untuk memotong sebatang cabang pohon yang
panjang yang ada cawangnya, lalu mengaitkan cabang itu pada tembok di atas.
Dengan mudah saja lalu ia lalu naik melalui cabang itu itu ke atas tembok dan
memberi isyarat kepada Indrayana untuk naik pula.
Demikianlah, tanpa diketahui oleh penjaga yang kurang memperhatikan karena
mereka mencurahkan perhatian mereka kepada pesta yang sedang berlangsung di
dalam dan menyesali nasib karena kebetulan sedang bertugas menjaga sehingga
tidak dapat segera ikut menikmati pesta itu, kedua teruna itu dapat masuk dengan
mudah. Sambil bersembunyi di bawah bayangan gedung itu, mereka mendekati bangunan dan
diam-diam mereka amat kagum melihat ukiran-ukiran indah dan patung-patung yang
dipasang di sekitar bangunan. Patung-patung itu kesemuanya telanjang dan amat
indah buatannya. Terutama bentuk patung-patung itu, benar-benar dikerjakan oleh
seorang ahli yang pandai.
Akan tetapi perasaan kagum karena keindahan ukiran itu tercampur oleh perasaan
segan, sungkan dan mual karena jelas sekali tampak bahwa si pembuat patung ingin
menonjolkan sifat ketelanjagan patung itu sehingga mengarah kepada kecabulan.
Agaknya pembuat patung itu sengaja mencurahkan keahliannya untuk membuat bagian-
bagian tubuh yang biasanya tertutup menjadi bagian yang paling menarik.
Tiba-tiba terdengar Pancapana mengantuk perlahan. Indrayana menegok dan melihat
kawannya itu sedang berdiri di depan sebuah patung yang juga bertelanjang bulat.
Dan patung itu adalah patung Dewi Sri isteri daripada Sang Hyang Wisnu !
Setelah menyembah patung Dewi Sri itu, Pancapana lalu manrik tangan Indrayana
untuk meninggalkan tempat itu dan ia menyumpah-nyumpah, "
Ini penghinaan besar kepada para dewata ! Bagawan Siddha Kalagana itu agaknya
gila ! " Koleksi Kang Zusi " Sssst..... " kata Indrayana sambil mendekatkan telunjuk pada bibirnya. "
Dengar, kangmas, ada suara...... "
Ketika mereka mendengarkan engan teliti benar saja, di antara suara gamelan yang
dipukul di ruang sebelah kiri bangunan besar itu, terdengar suara lain, suara "
tok, tok, tok, ! " seperti orang memukul-mukulkan sesuatu di atas batu.
" Pemahat patung ! " bisik Pancapana. Dia sendiri adalah seorang yang telah
mempelajari ilmu kesenian ini, maka suara itu cukup jelas baginya.
" Semua orang berpestapora, mengapa pemahat patung itu bekerja seorang diri "
Mari kita lihat ! " ajak Pancapana.
" Akan tetapi, kita perlu mencari diajeng Dewi ...... "
" Lebih baik mencari dari sebelah sini, kurasa Candra Dewi dikurung dalam
bangunan ini. Marilah ! " Mereka lalu memasuki pintu bangunan itu dari sebelah
kanan dan menuju ke arah suara orang memahat patung tadi.
Lorong-lorong di dalam bangunan itu semua diukir indah dan diterangi dengan
lampu-lampu minyak yang cukup terang. Pada dinding di kanan-kiri terdapat ukiran
yang menggambarkan pada Dewa di Khayangan, akan tetapi semua dewata itu bersujud
dan menyembah seorang dewi yang cantik jelita dan telanjang bulat yaitu Dewi
Durga ! Alangkah ganjilnya gambar-gambar ini bagi Indrayana dan terutama bagi
Pancapana yang memuliakan Dewa-dewa itu. Suara orang memahat batu itu makin
keras dan akhirnya kedua pemuda itu mengintai ke dalam sebuah rungan yang
terang-benderang dan luas. Mereka menahan napas ketika menyaksikan rungan yang
luar biasa itu. Di situ penuh dengan patung-patung yang amat indah.
Koleksi Kang Zusi Patung-patung wanita telanjang dalam berbagai kedudukan, dan mereka tidak kenal
siapakah patung-patung itu, karena nampaknya seperti muka orang biasa, seperti
wajah perawan-perawan kampung yang cukup manis.
Sebagian besar daripada patung-patung itu masih belum selesai dan dapat diduga
bahwa di situ biasanya bekerja banyak sekali ahli patung, karena masih nampak
bekas-bekas tempat mereka bekerja. Akan tetapi, pada saat itu, yang bekerja di
dalam ruangan besar itu hanya seorang saja, seorang laki-laki tua yang kurus
kering dan berambut panjang. Dengan asiknya, pemahat tua itu sedang
menyelesaikan sebuah patung yang lain daripada yang lain, karena patung ini
bukan patung seorang wanita telanjang, melainkan patung Bagawan Siddha Kalagana
sendiri. Kepala dan bagian tubuh atas telah selesai dan pemahat itu sedang berlutut,
mengerjakan bagian bawah, Indrayana dan Pancapana saling pandang, karena takjub
melihat keindahan patung itu. Mereka merasa seakan-akan berhadapan dengan
Begawan itu sendiri. Demikian hidupnya patung itu sehingga mata patung itu
seolah-olah bergerak dan hidup. Akan tetapi tiba-tiba Pancapana memegang lengan
Indrayana dan berbisik dengan suara gemetar.
" Dia adalah Panjipurna ahli patung Mataram ! "
Sebelum Indrayana dapat bertanya, pangeran itu lalu manrik tangannya dan
menyerbu ke dalam rungan itu. Akan tetapi, aneh sekali, ahli patung itu seakan-
akan tidak memperdulikan mereka, dan tetap bekerja dengan tekunnya.
" Paman Panjipurna ! " seru Pancapana sambil mendekati orang itu.
Barulah kakek itu menegok dan melihat Pancapana, ia memandang dengan benggong
dan pucat. Kemudian tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan Koleksi Kang Zusi
menangis ! " gusti Prabu, ampunkan hamba...... Sudah tibakah saatnya paduka datang menjemput
nyawa hamba " "
Pancapana tertegun. Orang itu tentu telah berubah ingatannya, dan menganggap
bahwa dia adalah mendiang Sang Prabu Sanjaya, ayahnya ! Ia maju mendekat dan
kembali ia tertegun ketika ia menyaksikan betapa kedua kaki kakek itu terikat
oleh belenggu besi yang panjang sehingga tak mungkin kakek itu dapat melarikan
diri ! " Aduh, paman Panjipurna, bagaimana kau sampai menjadi begini " "
Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi, Pancapana dan Indrayana
lalu membuka rantai belenggu kaki orang tua itu.
Baru saja pekerjaan ini selesai dan kaki orang tua itu telah bebas, tiba-tiba
dua orang penjaga masuk ke dalam ruang itu. Mereka ini adalah anggota-anggota
Serigala Hitam yang bertugas meronda tempat-tempat yang kosong itu, dan mereka
memegang sebatang tembok yang runcing.
" Eh, siapakah kalian ini " " bentak mereka ketika melihat Pancapana dan
Indrayana berada di tempat itu. Akan tetapi, sebagai jawaban, kedua pemuda
digdaya itu menyerbu. Dengan dua kali tonjokan saja kedua orang peronda itu
roboh pingsan dan tak berdaya sama sekali ketika Indrayana dan Pancapana
menggunakan rantai pengikat kaki Panjipurna tadi untuk membelenggu mereka berdua
dan melempar tubuh mereka berdua di sudut ruang itu.
" Raden, engkau siapakah " " Panjipurna yang seakan-akan baru sadar dari Koleksi
Kang Zusi mimpi itu bertanya sambil memandang kepada Pancapana dengan takjub.
Pancapana tersenyum. " Tentu engkau tidak mengenal lagi kepadaku, paman
Panjipurna. Dahulu ketika engkau masih bekerja di istana Rama Prabu, aku masih
kecil. Aku adalah Pangeran Pancapana ! "
Aduh, Gusti Pangeran ...... ! " kakek itu lalu menjatuhkan dari menyembah sambil
menangis karena terharu. Kemudian atas pertanyaan Pancapana, ia menceritakan
pengalamannya yang mengerikan. Ia diculik oleh Bagawan Siddha Kalagana dan
dibawa ke tempat itu. Telah banyak ahli-ahli ukir dan pahat berada di situ, akan
tetapi mereka ini semua berada di bawah pengaruh dan tenung dari Bagawan yang
sakti itu, bahkan telah memeluk agama yang disiarkan oleh Bagawan Siddha
Kalagana. Hanya Panjipurna seoranglah yang masih kuat dan teguh imannya sehingga
ia tidak sampai terbujuk. Hal ini hanya mungkin karena kakek seniman ini juga
seorang ahli tapa yang telah memiliki batin sekali sehingga tak dapat terkena
guna-guna dan tenung Sang Bagawan Siddha Kalagana.
" Inilah sebabnya, maka bertahun-tahun hamba dibelenggu dan dipaksa bekerja di
sini. Hamba tidak sudi mengerjakan patung-patung cabul itu, maka bangain hamba
hanya membuat patung-patung lelaki, dan yang terakhir ini hamba dipaksa membuat
patung Sang Begawan. "
" Di manakah adanya lain-lain ahli patung yang bekerja " " tanya Pancapana.
" Seperti biasa, Gusti Pangeran. Mereka itu ikut pula bersukaria dalam pesta
gila itu. Karena hanya dalam pesta gila itulah mereka berkesempatan untuk
bersukaria dan melampiaskan segala nafsu iblis ! "
Koleksi Kang Zusi " Paman, kami berdua datang untuk mancari dan menolong seorang puteri yang
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diculik oleh pendeta iblis itu. Di manakah kiranya disembunyikan kawan kami
itu " " Panjipurna menarik napas panjang. " Memang bagawan itu jahat sekali.
Hamba sendiri tidak pernah keluar dari ruang ini, gusti. Akan tetapi hamba tahu
bahwa bagawan itu memiliki sebuah bilik istimewa di sebelah bangunan ini. Adapun
ruang pesta gila-gilan itu berada di sebelah kiri.
Kalian hati-hatilah, Bagawan Siddha Kalagana amat sakti, dan kaki tangannya
banyak sekali. " " Jangan khawatir, paman. Kalau kami berhasil menyelamatkan kawan itu, kami akan
berusaha menolongmu keluar dari sini pula. " Setelah berkata demikian, Pancapana
dan Indrayana lalu keluar dari ruangan itu dan dengan hati-hati sekali mereka
menuju ke dalam. Akhirnya karena tidak berhasil mendapatkan kamar rahasia dari
pendeta iblis itu, mereka lalu menuju ke sebelah kiri untuk mengintai ruang
pesta yang makin ramai itu. Ketika meteka telah tiba di tempat itu dan
mengintai, hampir saja keduanya berseru saking heran, terkejut, marah, dan juga
seram. Ruang yang disebut ruang senitari itu ternyata amat luas, empat kali lebih lebar
daripada ruang tempat pembuatan patung tadi yang sudah cukup lebar. Berbeda
denagn ruang-ruang lain, di sini tidak dipasangi penerangan lampu, akan tetapi
gentengnya terbuka sama sekali sehingga penerangan yang masuk di dalam ruang itu
sepenuhnya didapat dari sinar bulan purnama. Oleh karena itu, maka pemandangan
di situ suram-suram, menyeramkan, akan tetapi juga romantis sekali. Oleh karena
sinar bulan cukup terang, Indrayana dan Pancapana dapat melihat hiasan arca-arca
dan ukiran-ukiran pada dinding ruang itu dan kedua pemuda itu menahan nafas
saking kagum, heran , dan juga jengah. Mereka kagum, oleh karena seni pahat yang
menghasilkan hiasan-hiasan itu sungguh-sungguh amat mengagumkan karena indahnya.
Apalagi Indrayana yang berada di Kerajaan Syailendra, bahkan Pancapana sendiri
yang berada di Mataram di mana banyak terdapat ahli-ahli patung yang pandai,
juga takjub sekali Koleksi Kang Zusi
menyaksikan patung-patung dan ukiran-ukiran yang sedemikian indahnya.
Akan tetapi, yang membuat mereka terheran-heran, jengah, dan juga seram adalah
keadaan segala macam ukiran dan arca itu. Semua arca yang berada di situ
telanjang bulat, bahkan cabul sekali, lebih-lebih lagi ukiran-ukiran dan gambar-
gambar pada dinding rungan itu. Bukan main kotor dan cabulnya. Ukiran-ukiran dan
gambar-gambar itu menggambarkan dunia Kamawacara, yakni daerah keinginan nafsu
dan duniawi yang membuat manusia sama dengan binatag. Dengan cara menyolok
dilukis atau diukirkan pelanggaran-pelanggaran, perzinaan-perzinaan dan
pencabulan yang tiada taranya, lukisan-lukisan manusia-manusia telanjang yang
malakukan kehidupan seperti binatang, dan lain lukisan lagi yang kesemuanya
menggambarkan hidup yang tenggelam dalam kenikmatan nafsu-nafsu buruk.
Di tengah-tengah ruang yang amat lebar itu, berdirilah patung yang besarnya dua
kali ukuran manusia biasa, dan inilah patung Batari Durga, shakti ( isteri )
dari Sang Hyang Syiwa. Akan tetapi bukan seperti patung Batari Durga yang
dikenal oleh Pancapana dan Indrayana, melainkan patung Batari Durga yang
bertelanjang bulat dan tidak mengenal malu sekali !
Di suatu sudut duduklah sekelompok orang yang manaruh gamelan. Kurang lebih
seratus orang laki-laki dan wanita berjubah menjadi satu, duduk bersimpuh di
ruangan itu dan semua orang menghadap kepada patung Batari Durga dengan penuh
khidmat. Tujuh orang laki-laki tua yang berpakaian seperti pendeta, duduk pula
bersimpuh di kaki patung itu dan kadang-kadang mereka menyanyikan lagu menurut
irama gamelan itu, lalu diikuti oleh para pengunjung yang terdiri daripada
orang-orang kampung di tepi Kali Serang.
Di tempat sudut rungan itu mengembul asap kayu garu dan cendana dibakar, membuat
rungan ini berbau harum dan sedap, bahkan semua patung yang berada di situ,
terutama sekali patung Batari Durga yang di Koleksi Kang Zusi
tengah-tengah, penuh dengan kembang melati dan mawar serta kenangan, sehingga
keadaan di situ penuh dengan bau kembang yang harum pula.
Hawanyapun sejuk dan segar, karena di atas terbuka sama sekali.
Ketika kedua orang muda yang mengintai dengan hati berdebar-debar itu mencari-
cari dengan pandang mata mereka kalau-kalau terlihat Candra Dewi atau Bagawan
Siddha Kalagana di situ, tiba-tiba semua orang yang menghadap patung Batari
Durga itu meniarapkan tubuh mereka di atas lantai seakan-akan menyambut
munculnya seorang Dewa atau Raja Besar.
Dan yang disujudi itu muncullah dari sebuah pintu yang tertutup kain sutera
kuning, diiringi oleh nyanyian-nyanyian para pendeta yang tujuh orang jumlahnya
itu. Gamelan dibunyikan perlahan sehingga keadaan benar-benar menyeramkan.
Akan tetapi Indrayana dan Pancapana hampir saja tak dapat menahan ketawa mereka
karena geli dan jijik melihat keadaan Bagawan Siddha Kalagana yang muncul dari
pintu. Pendeta itu sama sekali tidak berpakaian !
hanya sorban penutup kepala dan sehelai cewat sempit saja yang masih menempel
pada tubuhnya. Tubuhnya kelihatan makin kurus dan makin tinggi, penuh dengan
batu hitam terutama di dada, kaki dan lengan.
Seperti seekor monyet ! Ia lebih pantas disebut monyet bersorban, bercawat
daripada disebut manusia bertelanjang ! Akan tetapi, di samping kelucuan ini,
memang benar ada sesuatu yang amat mengerikan keluar dari keadaan pendeta ini.
Sepasang matanya seperti bukan mata manusia lagi, mencorong bagikan mata seekor
ular, jalannya juga perlahan dan lemas bagaikan ular kobra merayap maju
berlenggak-lenggok. Di samping kegelian hatinya. Indrayana dan Pancapana diam-
diam mereasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Bukan manusia bagawan ini
pikir mereka, melainkan seekor iblis jahat menjelma menjadi manusia Bagawan
Siddha Kalagana lalu menghampiri patung Batari Durga itu, menjura di hadapannya
kemudian ia memeluk pinggang patung itu dengan mesra seakan-akan seorang suami
memeluk isterinya yang terkasih !
Teringatlah Indrayana dan Pancapana bahwa Bagawan Siddha Kalagana menganggap
diri sendiri sebagai titisan Sang Hyang Syiwa, suami dari Koleksi Kang Zusi
Batari Durga ! Menggigilah pundak Pangeran Pancapana ! Benar-benar suatu
pelanggaran terhadap dewata, suatu penghinaan yang hebat sekali. Hanya orang
berotak miring jualah yang berani melakukan penghinaan seperti ini !
Bagawan siddha Kalagan lalu duduk di atas sebuah kursi berukir gambar sepasang
naga. Kursi itu tinggi dan terletak di sebelah kanan patung Batari Durga yang
telanjang bulat itu. Alangkah lucunya pasangan itu dalam pandangan mata
Pancapana dan Indrayana. Selain patung Batari Durga itu jauh lebih tinggi dan
besar, juga keduanya merupakan lambang dari keindahan dan keburukan. Kalau
patung Batari Durga itu merupakan tubuh seorang manusia wanita yang serba elok
dan sempurna lekuk lengkungnya, adalah tubuh bagawan yang duduk di atas kursi
itu merupakan potongan tubuh manusia yang gagal, setengah manusia setengah
monyet ! Akan tetapi, alangkah ganjilnya, semua orang yang berada di situ
bertiarap menghormat kepada manusia monyet yang menjijikan itu dengan penuh
khidmat ! Pendeta Hindu itu lalu menggerakkan kedua tangannya, dilonjotkan
kedepan seakan-akan hendak memberi berkah kepada semua orang, akan tetapi
suaranya mengandung perintah ketika ia berkata,
" Kawula ( hamba sahaya ) Sang Batari yang terberkah ! Sang Batari telah memilih
seorang pelayan baru, oleh karena itu pada malam hari ini kami berkenan
mangadakan pesta untuk merayakan peristiwa yang bahagia ini !
Akan tetapi ketahuilah bahwa pelayan baru kali ini bukanlah sembarangan pelayan,
karena masih terhitung keluarga sendiri. Dia adalah puteri Batara Candra,
namanya Candra Dewi. Batara Candra sendiri telah memberi ijin persetujuannya
untuk memberikan puterinya kepadaku, untuk menjadi pelayan dan selir dari aku,
Sang Hyang Syiwa. Semua ini telah dikehendaki oleh Sang Batari Yang Maha mulia !
" Setelah berkata demikian, ia menengok kepada tujuh orang pendeta menjadi
pembantunya. " Panggil keempat puluh bidadari untuk mengadakan tari-tarian di sini dan
Koleksi Kang Zusi menghibur setiap hati yang rindu dan sunyi, menyerahkan semua kepandaian dan
kecantikan mereka. Jangan lupa, bawa ke sini pula tiga buah jantung murni yang
akan menambah masa penjelmaanku dengan tiga windu lagi. "
Tujuh orang pendeta itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian, dari dalam
keluarlah empat puluh orang gadis yang daang berlari-lari kecil bagaikan terbang
melayang, diiringi suara gamelan yang menyambut kedatangan mereka. Indrayana dan
Pancapana merasa kagum sekali.
Keempat puluh orang gadis itu masih amat muda dan rata-rata memiliki kecantikan
muka yang cukup menarik. Mereka mengenakan pakaian yang amat tipis berwarna
putih bening sehingga ketika mereka datang berlari kecil itu, tubuh mereka
nampak membayang di balik pakaian yang amat tipis itu. Gerakan mereka lincah dan
lemas, dan dalam keadaan yang suram-suram itu, dalam pakaian yang amat tipis,
diiringi pula oleh gamelan yang ganjil bunyinya, mereka itu tiada ubahnya
seperti keempat puluh Bidadari turun dari Khayangan. Dengan gerakan yang lemah
gemulai mereka lalu menjatuhkan siri berlutut di depan Bagawan Siddha Kalagana.
19 Indrayana dan Pancapana melihat betapa semua mata memandang kepada empat puluh
orang gadis cantik itu, dan mata orang-orang lelaki yang hadir di situ
memancarkan cahaya penuh nafsu. Sementara itu gamelan berbunyi terus, akan
tetapi keempat puluh penari itu tidak bergerak dan masih berlutut menyembah
seakan-akan telah berobah menjadi patung. Seorang di antara ketujuh orang
pendeta tadi maju menyerahkan sebuah cawan terukir berisi tiga potong benda
kecil berwarna kehitaman.
Bagawan Siddha Kalagana menerima cawan ini dengan muka berseri, kemudian
sepotong demi sepotong ia mengambil dan menelan benda merah terserbut sambil
memejamkan matanya. Tak terasa lagi Indrayana dan Pancapana saling pandang
denagn mata terbelalak membayangkan Koleksi Kang Zusi
kengerian hebat. Dengan mudah mereka dapat menduga bahwa benda-benda kecil merah
yang ditelan oleh pendeta aneh itu tentulah jantung anakanak kecil yang mayatnya
terapung di sungai tadi. Bagawan Siddha Kalagana mengambil dan menelan jantung
anak-anak kecil untuk digunakan sebagai obat panjang umur.
" Bawa anggur Sang Batari ke sini ! " seru Bagawan Siddha Kalagana setelah
menelan habis tiga buah jantung anak-anak itu. Pendeta yang duduk di atas lantai
lalu mengambil sebuah gemntong terisi penuh anggur merah. Untuk mengangkat
gentong ini, diperlukan tenaga empat orang pendeta yang bertubuh kuat, akan
tetapi setelah gentong diberikan kepada pendeta itu, dengan tangan kiri Bagawan
Siddha Kalagana mengangkat gentong dan menungkan isinya ke dalam mulutnya begitu
saja ! Tentu saja pertunjukan ini mendatangkan rasa kagum, takjub dan percaya akan
kesaktian dalam hati para penonton, sungguhpun hak ini bukan merupakan hal aneh
bagi Indrayana maupun Pancapana. Setelah puasa minum anggur itu, Bagawan Siddha
Kalagana lalu menurunkan gentong anggurnya dan berkata sambil tertawa,
" Sekarang, sebelum pesta dimulai, semua orang supaya minum anggur pemberian
Sang Batari lebih dulu seperti biasa ! "
Seakan-akan orang yang sudah ketagihan sekali, orang-orang itu berebut
merangkak-rangkak maju mendekati pendeta-pendeta yang membagi-bagi minuman itu.
Seorang mendapat anggur secawan kecil dan akhirnya, setelah para penari yang
empat puluh orang jumlahnya itu diberi kesempatan minum terlebih dahulu, semua
orang mendapat bagian dan gentong itu menjadi kosong dan dibawa keluar.
" Bunyikan gamelan, menarilah untuk menghormati Sang batari, " kini Koleksi Kang
Zusi Bagawan Siddha Kalagana berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya. Maka
berbunyilah kembali segala gamelan tadi dan kini terdengar irama yang amat ganas
dan gembira, seakan-akan para penabuh telah menjadi panas darahnya karena
minuman anggur merah tadi.
Empat puluh orang pelayan atau pengiring Sang Betari, yang pada hakekatnya
adalah selir-selir Sang Begawan Siddha Kalagana itu, kini bangkit berdiri dan
menarilah mereka dengan gerakan-gerakan yang indah dan menggairahkan. Pada
permulaannya, tarian mereka itu lemas dan halus dan benar-benar mengandung seni
tari yang amat indah, akan tetapi makin lama, gerakan mereka menjadi makin cepat
dan bunyi gamelan makin dahsyat. Penari-penari itu seperti mabok dan tak peduli
lagi betapa karena gerakan mereka yang cepat, pakaian mereka kadang-kadanag
terbuka sehingga memperlihatkan pemandangan yang tidak sopan. Para penonton juga
kehilangan keseimbangan lagi. Kalau tadinya mereka bersikap sopan dan hormat,
kini mereka mulai tertawa-tawa, bersorak-sorak, bahkan tubuh mereka tidak mau
diam, berlenggang lenggok mengikuti irama gamelan.
Indrayana dan Pancapana tertegun. Belum pernah selama hidup mereka melihat atau
bermimpi melihat pemandangan seperti itu. Sudah gilakah semua orang itu,
demikian pikir mereka. Lebih hebat ketika gamelan ditabuh makin hebat sehingga
tak lama kemudian, pakaian-pakaian tipis yang yang hanya dilibatkan pada tubuh-
tubuh dara-dara ayu itu, berterbangan terlepas dari pundak dan memenuhi lantai,
membuat mereka sama seperti patung-patung wanita yang berada di situ. Makin
menggila pulalah sikap para penonton, terutama para mudanya. Dengan pandangan
mata mereka, seakan-akan mereka hendak menelan bulat-bulat para penari yang
bergerak-gerak di depan mereka itu.
Tiba-tiba Bagawan Siddha Kalagana berseru sambil bertepuk tangan,
" Bagus, sekarang semua menari ! Semua menari untuk menghibur Sang Maha Batari !
" Koleksi Kang Zusi Karena mereka semua itu sudah maklum bahwa hal ini akan terjadi, maka tadi para
penonton sudah merupakan air bah yang tertahan oleh bendungan. Isyarat dan
perkenan dari Begawan Siddha Kalagana ini bagaikan memecahkan bendungan itu
sehingga air bah yang kuat itu membanjir keluar ! Bagaikan kemasukan iblis,
orang-orang itu melompat berdiri, menari-nari, tertawa-tawa berteriak-teriak
mengelilingi empat puluh orang penari yang membangkitkan gairah itu. Penonton-
penonton perempuan tidak ketinggalan, merekapun lalu menari-nari dan di dalam
keributan itu, laki-laki dan perempuan bertukar pasangan, suami menari dengan
perempuan lain dan isteri menari dengan laki-laki lain !
Indrayana dan Pancapana saling pandang dengan penuh pengertian. Inilah yang
menjadi sebuah daripada alat-alat pemikat dan penarik dari Begawan Siddha
Kalagana. Dengan amat pandainya pendeta itu menggunakan kekuatan sihirnya,
membuat orang-orang itu menjadi lemah imannya dan kehilangan semangat, kemudian
memabokkan mereka dengan minuman merah itu dan yang terakhir sekali, memberi
kebebasan kepada mereka menari serta bersentuhan dengan empat puluh orang dara
ayu, selir-selirnya itu !
Beberapa orang penari yang sudah mabok betul-betul dengan mata sayu dan penuh
nafsu menghampiri Bagawan Siddha Kalagana, menari-nari dengan pinggang
berlenggang-lenggok seperti ular di depan dan mnegitarinya, bahkan mulai
menarik-narik tangannya diajak menari bersama. Akan tetapi, dengan pandang mata
bosan, Bagawan Siddha Kalagana mengebaskan tangannya, bahkan lalu berkata kepada
mereka. " Bawa Sang Candra Dewi ke sini ! Malam ini kita merayakannya, maka hanya dengan
dialah aku mau menari ! Sebelum melepaskan ikatannya, lebih dulu beri dia minum
secawan madu merah ! "
Koleksi Kang Zusi ketiga orang dara ayu itu nampak kecewa, akan tetapi mereka lalu tertawa
cekikikan dan berlari-lari masuk untuk menjalankan perintah itu !
Pancapana dan Indrayana saling memberi isyarat dan bagaikan sudah berjanji
terlebih dulu, mereka lalu meninggalkan tempat persembunyian mereka dan cepat
mengikuti tiga orang dara yang masih telanjang bulat dan berlari-lari itu.
Inilah kesempatan sebaik-baiknya bagi mereka. Ketiga orang penari akan membawa
mereka ke tempat kurungan Candra Dewi.
Kalau Indrayana dan Pancapana tidak mengikuti perjalanan tiga orang penari yang
semangatnya telah dipengaruhi oleh tenung dan sihir Bagawan, agaknya takkan
mungkin mereka dapat mencari kamar di mana Candra Dewi terkurung. Kamar itu
adalah kamar Bagawan Siddha Kalagana sendiri, sebuah kamar yang besar dan indah,
penuh pola ukir-ukiran cabul. Untuk dapat memasuki kamar itu ketiga penari tadi
melalui tiga lapir pintu rahasia yang hanya dapat dilihat dan dibuka setelah
menggeser patung-patung yang berada di luar kamar.
Dengan hati-hati dan sembunyi-sembunyi kedua orang muda itu mengintai dan
mengikuti tiga orang penari tadi, berjalan melalui sebuah lorong sempit. Tiba-
tiba ketiga orang penari tadi menghentikan tindakan kaki mereka karena jalan itu
buntu dan mereka menghadapi sebuah dinding batu yang tebal. Di sebelah kiri
terdapat sebuah patung serigala batu itu, memutarnya ke kanan dan terdengarlah
suara bergeret dengan terbukanya dinding batu itu ! Ketiga orang penari itu
melangkah masuk dan tertutuplah kembali jalan tadi. Dilihat begitu saja agknya
tak mungkin di situ akan terdapat sebuah pintu tembusan ! Indrayana dan
Pancapana menjadi girang sekali dan setelah menanti beberapa saat, mereka lalu
memutar leher serigala batu itu dan terbukalah pintu. Mereka cepat melangkah
masuk dan melanjutkan pengejaran mereka.
Kembali mereka sampai di jalan buntu dan terdapat pula sebuah patung serigala
hitam yang lebih besar dan lebih dahsyat. Kedua orang pemuda itu Koleksi Kang
Zusi mengira bahwa rahasianya terletak pula pada leher serigala batu itu yang harsu
diputar, akan tetapi ternyata tidak sedemikian. Seorang penari lalu memasukkan
tangan ke dalam mulut serigala batu yang lebar itu dan menarikknya maka
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbukalah sebuah pintu pula pada dinding yang tadinya rapat itu !
Seperti juta tadi, Indrayana dan Pancapana berhasil masuk ke dalam pintu rahasia
ini setelah merogoh mulut patung serigala dan menarik lidah patung anjing
serigala itu. Dengan penuh perhatian mereka melanjutkan pengintaian. Kini mereka
tiba di depan sebuah pintu, yakni pintu teakhir, akan tetapi syarat untuk
membuka pintu ini bukan merupakan suatu rahasia, melainkan lebih hebat dan
berbahaya lagi. Kini yang menjaga di depan pintu bukanlah seekor patung serigala
yang mengandung rahasia, melainkan seekor serigala hitam tulen ! Serigala ini
besar sekali dan bulunya hitam bagaikan arang. Sepasang matanya liar dan
mengkilat, sedangkan moncongnya yang merah itu terbuka, lidahnya terjulur keluar
di antara dua baris gigi yang runcing dan tajam melebihi pisau belati !
Setelah mengelus-elus leher dan menepuk-nepuk kepala serigala hitam yang
besarnya seperti anak sapi itu. Ketiga wanita tadi lalu membuka daun pintu dan
berjalan masuk dengan lenggang mereka yang amat menggiurkan.
Pancapana dan Indrayana saling pandang. Tak ada lain jalan bagi mereka selain
mencoba untuk menerobos jalan yang terjaga ini. Akan tetapi baru saja mereka
muncul, serigala hitam itu tiba-tiba menggeram dan menyalak dengan hebatnya,
lalu menerkam ke arah dua orang pemuda yang berani mendekatinya.
" Kakangmas, awas ! " seru Indrayana yang berjalan di belakang Pancapana.
Akan tetapi Pangeran itu adalah seorang pemuda yang cukup gagah. Di terkam
sedemikian rupa oleh serigala yang menggerikan itu, ia berlaku tenang, miringkan
Pasangan Naga Dan Burung Hong 4 Pengelana Rimba Persilatan Jiang Hu Lie Ren Karya Huang Yi Pedang Kiri Pedang Kanan 12
seorang dara biasa yang mudah jatuh cinta dan mudah terluka oleh panah asmara
Betapapun juga, terharu juga hatinya menyaksikan sepak terjang Indrayana yang
jelas sekali menyatakan betapa besar cinta kasih dan kekaguman pemuda itu
terhadap dia. Patung yang menyerupai wajahnya itu sampai dicuri dengan nekad
oleh oemuda itu ! Merah wajah Pramodawardani apabila ia terkenang akan hal ini.
Kemudian ia mendengar betapa ayah pemuda itu, Sang Wiku Dutaprayoga, ditangkap,
dan betapa ayahnya mengeluarkan perintah penangkapan atas diri Indrayana !
Betapa duak dan kecewanya. Ia maklum bahwa gara-gara ini pada hakekatnya
berdasar ats kelemahan hati pemuda itu yang jatuh cinta kepadanya ! Dan kalau
sampai terjadi malapetaka dan hukuman menimpa diri pemuda itu dan Wiku
Dutaprayoga, maka karena dialah itu ! dia merasa berdosa, seakan-akan dialah
yang menyebabkan kemalangan menimpa keluarga itu.
Kemudian ia mendengar pual tentang kembalinya rombongan Mah Wiku yang tidak
berhasil menangkap Indrayana akan tetapi bahkan membwa pendeta yang membuat
patung itu ! Ia mendengar betapa pendeta Mataram yang aneh itu telah
mengorbankan diri sendiri dan menyanggupi untuk memikul semua hukuman yang
hendak dijatuhkan atas diri Indrayana dan Wiku Dutaprayoga, dan bahwa kemudian
pendeta yang bernama Panembahan Bayumurti itu hendak dikukum kubur hidup-hidup
oleh maha Wiku Dharmamulya !
" Alangkah kejamnya ! alangkah ngerinya ! " berkali-kali Sang Puteri mengeluh
seorang diri. Terbayanglah pada wajahnya pendeta yang aneh Koleksi Kang Zusi
itu, yang dengan usapan tangan pada patung Dewi Tara telah dapat membuat muka
patung itu menjadi seperti mukanya sendiri ! Terbayanglah ia betapa pendeta itu
selalu tersenyum ramah, sepasang matanya bersinar-sinar penuh seri gembira.
" Alangkah ngerinya ! Mengapa Rama Prabu membiarkan saja hukuman yang keji ini
berlaku atas diri pertapa itu " " Hati Pramodawardani menjerit-jerit ketika ia
duduk melamun dengan bunga teratai merah dan putih itu. " Biarpun pertapa itu
orang mataram, akan tetapi iapun seorang manusia. Mengapa Rama Prabu tidak
melarang dilangsungkannya hukuman yang melanggar perikemanusiaan ini " " Dengan
hati sedih dan penuh kasian kepada sang pertapa, Pramodawardani tak terasa lagi
turun dari batu tempat duduknya, berlutut dan berdoa ke arah empang. Disitu
terdapat bunga-bunag teratai dan daun-daun teratai yang lebar dan indah
mengambang di atas air. Siapa tahu, kalau pada saat itu, terdapat Dewata yang
sedang duduk bertapa di atas daun-daun teratai itu, karena daun-daun teratai
memang tempat bertapa para Dewata yang berhati mulya.
Bibir pramodawardani yang merah dan indah bentuknya itu berbisik-bisik,
" Semoga Sang Buddha dan Para Dewata melindungi Panembahan Bayumurti daripada
hukuman yang keji ini ! "
Pada saat itu, terdengar tindakan kakiperlahan di belakang Sang Puteri, kemudian
terdengar suara riang. " Ayunda yang baik, engkau sedang berbuat apakah di situ " "
Pramodawardani sadar daripada sama diaya kemudian ia berpaling. Wajah yang
tadinya muram itu menjadi terang bagaikan wajah bulan purnama terbebas daripada
selimutan mendung, bibirnya tersenyum kembali dan seakan-akan mekarlah semua
bunga di dalam taman pada saat Sang Puteri Koleksi Kang Zusi
tersenyum amat manisnya itu.
" Adikku yang manis, kau mengejutkan hatiku, akan tetapi berbareng juga
menggembirakan perasaanku. "
" Ayunda Wardani, " kata anak laki-laki yang masih kecil itu, " tadi kulihat kau
bermuram durja dan bersamadi seakan-akan ada yang menggangu hatimu. Apakah
gerangan yang mengesalkahatimu, ayunda " "
Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan penuh kasih sayang.
Adindanya ini, yang bernama Balaputeradewa atau biasa disebut Balaputera saja,
memang seorang nak yang amat cerdik.
Kepada adiknya ini sukarlah untuk membohong dan sukar sekali untuk
menyembunyikan sesuatu dari pandangan matanya yang tajam.
Pramodawardani tidak ingin menceritakan hal-hal yang memusingkan pikirannya itu
kepada Balaputera, karena dianggapnya bahwa balaputera masih terlampau kecil
untuk mengetahui akan hal-hal itu, maka ia lalu memeluk adiknya dan membelai-
belai rambutnya sambil berkata denagn penuh kasih sayang,
" Balaputera, adinda sayang. Aku tidak menyusahkan sesuatu, hanya sebelum kau
datang, aku merasa kesunyian seorang diri di dalam taman. "
" Mengapa tidak kaulihat seorangpun emban dan pelayan " Ke manakah mereka,
ayunda " " tanya Balaputera sambil memandang ke kanan-kiri.
Koleksi Kang Zusi " Aku sudah bosan mendengar kelakar mereka yang tiada henti-hentinya, adikku,
maka kusuruh mereka mengundurkan diri dan mengaso. Kasian juag mereka telah
bekerja sepanjang hari, bukankah mereka itu manusia juga seperti kita yang dapat
lelah dan capai " "
" Kau memang berbudi dan berhati mulia, ayunda. "
" jangan memuji, adikku. Ayundamu hanya seorang manusia biasa saja, dan sebagai
manusia, kita harus menanam budi sebanyak-banyaknya di hati sanubari kita,
karena jangankan kita yang disebut manusia, mahluk terkasih dari para Dewata,
sedangkan binatangpun tahu akan budi kemuliaan. Kau belum mendegar cerita
tentang Burung Platuk dan Singa " "
Balapuetera berseri wajahnya. Kakaknya ini memang pandai sekali bercerita, maka
melihat kesempatan ini, ia tidak mau menyia-nyiakannya.
Sambil memegang tangan ayundanya yang halus dan lebih besar daripada tangannya
sendiri itu, ia berkata mendesak manja, " Belum, ayunda. Kau berceritalah, aku
senang sekali mendengar ceritamu yang indah-indah ! "
Pramodawardani tersenyum dan setelah mencium kening adiknya dengan mesra, ia
berkata, " Dalam sebuah hutan yang amat besar hidup seekor singa yang amat liar
dan buas. Hampair setiap hari terdengar singa itu mengaum dan menggereng keras
menggetarkan seluruh hutan. Itulah tanda bahwa singa itu sedang menagkap seekor
binatang lain menjadi kurban dan mangsanya, yaitu kelinci, kancil, rusa, dan
binatang-binatang lemah sebangsa itu. Gerengan singa buas itu selalu didiringi
pekik ketakutan dan kesakitan dari kuraban yang diterkamnya."
" Alangkah kejamnya singa itu ! " Balaputera mencela, " Memang, adikku, singa
memang seekor binatang yang amat kejam dna ganas. Oleh karenanya Koleksi Kang
Zusi ia disebut raja hutan, sungguhpun bukan merupakan raja yang bijaksana, melainkan
seekor raja hutan yang amat kejam dan ganas. Akan tetapi, telah beebrapa hari
tidak terdengar geraman dan auman kemenagan dari singa itu, yang terdeganr
hanyalah gerengan-gerengan perlahan tanda kesakitan dan kelaparan dari raja
hutan itu, diselingi sorak sorai yang gembira ria dari para binatang kecil.
Hal ini memang mengherankan dan tidak sewajarnya. Maka seekor burung platuk yang
berbulu indah dan berpatuk kuat terbang berpitar-putar di atas pohon-pohon untuk
mencari tahu apakah gerangan yang terjadi dengan di raja hutan. Akhirnya dapat
juga ia menemukan singa itu Kiranya singa itu tengah bergulingan di bawah pohon
dalam keadaan hampir mati.
Perutnya kempis tanda kelaparan, rahangnya terbuka lebar-lebar tak dapat
ditutupkan kembali, ternganga bagaikan sebuah gau merah yang mengerikan. "
" Mengapakah gerangan dia " " tanya Balaputera dengan penuh perhatian.
Ayundanya demikian pandai bercerita, suaranya halus lembut dan merdu sedangkan
wajahnya bergerak membayangkan keadaan ceritanya sehingga pangeran kecil itu
seakan-akan melihat di depan matanya sendiri peristiwa yang sedang terjadi di
dalam cerita ayundanya. " Demikian pula pertanyaan yang diajukan oleh di burung pelatuk. " jawab
Pramodawardani kepada adiknya, " Ia bertanya kepada singa itu setelah terbang
turun dan berdiri di atas cabang pohon di dekat si raja hutan.
Singa merasa malu untuk menerangkan, akan tetapi akhirnya ia menjawab bahwa
ketika ia sedang makan tubuh seekor kancil yang menjadi mangsanya tiga hari
lalu, tulang punggung kancil yang nakal itu telah melintang dan terselit di
tenggorokannya, sehingga tulang itu berhenti di tengah-tengah, tak dapat ditelan
tak dapat pula dimuntahkan keluar, membuat mulutnya terbuka dan terganjal tak
dapat ditutupkannya kembali. "
Koleksi Kang Zusi " Nah, itulah upah si rakus ! " kata Balaputera.
Kakaknya tersenyum memandangnya. " Demikian pula yang dikatakan oelh burung
platuk itu, adikku. Ia juga menegur singa dan mencelanya terlalu rakus. Orang
makan tak boleh terburu-buru, tak boleh terlalu lahap dan rakus, harus memilih
dengan hati-hati benda yang hendak dimasukkan ke mulut dan perut, demikian
burung pelatuk yang bijaksana itu memberi nasihat. Singa merasa menyesal sekali
dan baru insyaf akan segala kesalhannya, akan segala kekejamannya, kemudian
sambil menangis sedih dia mohon pertolongan burung pelatuk itu untuk
mengambilkan tulang yang mengganjal kerongkaongannya. Tulang itu melintang di
dalam tenggorokan, sedangkan mulut singa itu terbuka lebar-lebar mengerikan,
terlihat giginya yang runcing dan tajam manakutkan, sedangkan tulang itu berada
jauh dui belakang gigi-gigi itu. Untuk dapat mengeluarkan tulang itu, burung
platuk harus memasukkan kepalanya di dalam mulut itu sampai dalam, dan apabila
tulang itu telah dilepaskan, maka sekali saja singa itu menutupkan mulut, akan
putuslah leher burung platuk. "
Jangan biarkan ia memasukkan kepalanya di dalam mulut singa, ayunda ! "
seru Balaputera gelisah. Ayunda tersenyum, " Adikku, burung pelatuk itu penjelmaan Sang Bodisattwa yang
bersifat suci dan mulia. Untuk memberi pertolongan kepada sesama hidup, dia
takkan pernah merasa ragu-ragu, jangankan baru menghadapi bahaya, sungguhpun dia
harus berkorban apa saja nyawanya sekalipun, dia takkan mundur ! Demikianlan,
burung pelatuk yang bijaksana itu tanpa ragu-ragu lagi lalu memasukkan kepalanya
ke dalam gua merah yang mengerikan itu, menggunakan paruh yang kuat untuk
mematuk tulang kacil yang melintang di tenggorokan singa dan berusaha
mengeluarkannya. Akhirnya berhasillah dia menolong nyawa singa itu dari bahaya maut ! "
" Alangkah mulia hati burung platuk itu ! " Balaputera memuji, " Akan tetapi,
kalau aku menjadi burung pelatuk, aku tak sudi menolong singa Koleksi Kang Zusi
jahat itu. Hanya burung pelatuk yang demikian bodohnya, menolong si jahat dengan
bahaya maut mengancam nyawa sendiri. Seorang bijaksana tak dapat berlaku sebodoh
itu ! " Pramodawardani mengerutkan keningnya yang berkulit halus kemerahan itu. Kemudian
menggelengkan kepalanya dan berkata halus,
" kau keliru Balaputera. Budi luhur lebih berharga daripada keselamatan tubuh
sendiri, karena budi itu ada hubungannya dengan jiwa. Budi tak dapat sirna,
sedangkan tubuh pasti akan musnah. Budi dan jiwa selalu ada dan takkan sirna
slamanya, adikku, karena itulah maka Sang Bijaksana Buddha telah memebri banyak
sekali contoh-contoh pelajaran. Jangan kau kira bahwa hanya binatang seperti
burung platuk saja yang mau mengorbankan nyawa untuk menolong sesama hidup.
Pernahkan kau mendengar cerita tentang Raja kaum Syibi " "
Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraannya karena ayunda
akan bercerita lagi. " Pada suatu ahari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oleh seekor
burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum
Syibi. Balaputera menggelengkan kepala dan kembali timbul kegembiraan karena ayundanya
akan bercerita lagi. " Pada suatu hari, seekor burung dara putih yang dikejar-kejar oelh seekor
burung rajawali, terbang dan mencari perlindungan di atas pangkuan Raja Kaum
Syibi. Dara putih itu dengan suara pilu dan ketakutan Koleksi Kang Zusi
minta pertolongan Raja dari pengejaran burung rajawali yang sedang kelaparan dan
hendak menjadikan burung dara itu sebagai mangsanya.
Maka datanglah burung burung rajawali itu terbang dengan gagah dan dasyatnya,
turun di depan Raja dan menurut dikembalikannya burung dara yang mendekam dengan
tubuh gemetar di atas pangkuan raja. "
Mengapa Raja itu tidak mengambil gendewa dan menahan saja burung Rajawali yang
jahat itu " " Balaputera mencela.
" Tidak, adikku, Raja itu maat bijaksana da ia tahu memang burung rajawali itu
hanya makan daging dari burung-burung lainnya yang kecil-kecil seperti halnya
singa tadi. Raja hendak mengganti ketagihan rajawali dengan daging yang lebih
banyak dan lebih besar, akan tetapi rajawali tetap menolak. Bahkan ia lalu
menuduh, kepada Raja itu berlaku tidak adil dan berat sebelah. Katanya bahwa
raja hendak menolong burung dara dari bahaya maut akan tetapi sebaliknya hendak
membuat si rajawali mati kelaparan dan hendak mengingkari apa yang telah menjadi
dari hak si rajawali itu. Raja menyatakan bahwa ia telah berjanji hendak
menolong burunh dara itu dari bahaya maut dan bahwa sebagai seorang yang
menjunjung tinggi janji sendiri, Raja itu akan suka berkorban apa saja untuk
menepati janjinya. Burung rajawali lalu minta agar supaya Raja mengganti burung
dara itu dengan daging Raja itu sendiri, sebanyak dan seberat burung dara itu. "
" Permintaan yang bukan-bukan dan gila ! " seru Balaputera.
" Tidak, adikku. Burung Rajawali itu adalah penjelmaan Dewata yang hendak
menguji kesucian hati Raja kaum Syibi itu. Ketika Raja mendengar permintaan ini,
tanpa ragu-ragu sedikitpun ia lalu mencabut pedangnya dan mengiris dagingnya
sendiri pada betisnya sebanyak dan seberat burung dara itu dan memberikannya
kepada burung Rajawali ! "
Koleksi Kang Zusi Mendengar ini, Balaputera sampai melongo saking kagumnya terhadap kemuliaan hari
Raja kaum Syibi itu, " Demikianlah, Balaputera. Agama kita telah memberi contoh-
contoh dan pelajaran yang jelas tentang sifat welas asih. Kalau engkau melihat
seorang berada dalam bahaya maut dan terancam keselamatannya, apakah yang harus
kau lakukan sesuai dengan ajaran kita " "
Karena semangatnya telah dibakar oleh dua buah cerita tadi, anak kecil itu
menjawab dengan gagah, " Aku akan menolongnya ! "
" Betulkah " Sungguhpun engkau sendiri akan terancam bahaya usahamu menolong itu
" " " Tentu saja aku berani menghadapi segala macam bahaya, seperti burung pelatuk
itu dan aku berani berkorban sampai Raja Kaum Syibi itu ! " kata pula Balaputera
dengan gagahnya. Pramodawardani memeluk adiknya dan menciuminya. " Adikku sayang, tidak perlu
engkau mengorbankan sesuatu dan tak perlu engkau menghadapi bahaya. Akan tetapi
kalau engkau memang mau dan sanggup, sekarang juga engkau akan dapat menolong
nyawa dan keselamatan seorang yang terancam hebat. "
Balaputera memandang kepada kakaknya dengan matanya yang bening dan lebar, mata
seorang anak-anak yang masih bersih batinnya.
" Apakah maksudmu ayunda " "
Koleksi Kang Zusi " Balaputera, engkau tentu sudah mendengar bahwa seorang pendeta Mataram hendak
diberi hukuman kubur hidup-hidup " Alangkah ngerinya !
Apakah engkau tidak kasian mengenangkan nasibnya " Sungguh lebih menyedihkan
dari pada nasib singa buas dan burung dara itu. Engkau akan menjadi seorang anak
yang baik kalau dapat dan mau menolongnya. "
" Akan tetapi, ayunda. Bukankah dia itu musuh kita " Dia seorang pendeta
Mataram, seorang kapir....... "
" sst, jangan berkata demikian, Balaputera, adikku. Betapapun juga, dia seorang
manusia seperti kita. Apa lagi dia seorang pendeta dan ahli pembuat patung, kita
harus menolongnya. "
" Akan tetapi, dia sudah dijatuhi hukuman. "
" Bukan ayah yang menghukumnya, akan tetapi Maha Wiku Dharmamulya !
Bayangkan, adikku yang budiman, pendeta tua yang lemah dan ramah tamah itu,
pendeta pandai yang bertangan halus, yang dapat membuat patung yang indah-indah,
ia akan dikubur hidup-hidup. Bayangkan betapa sengsaranya, dimasukkan lobang di
dalam tanah, lalu ditimbuni tanah, tak dapat bernapas, gelap, pengap...... ah,
alagkah ngeri dan sengsaranya...... "
" Aku mau menolong dia ! " tiba-tiba Balaputera berkata gagah dan cepat.
" Akan tetapi, bagaimana caranya, ayunda " "
Pramodawardani memeluk hatinya dengan hati girang. " Ah, kau memang seorang yang
berhati mulia, kau calon manusia besar ! Dengarlah, adikku Koleksi Kang Zusi
sayang, kalau aku bukan seorang wanita, tentu aku akan bertindak sendiri, takkan
menyusahkan engkau yang kecil. Aku takkan dapat leluasa bergerak diluar keraton.
Akan tetapi kau bisa, kau mudah saja bermain-main di luar keraton. Dan mempunyai
banyak kawan-kawan, anak-anak lelaki kecil yang suka kauajak bermain-main di
lapangan. Kau lebih bebas. Dengarlah baik-baik. Malam nanti tepat pada tengah
malam, di kala bulan purnama telah berada di atas kepala kita. Panembahan
Bayumurti akan dikubur hidup-hidup di sebelah barat alun-alun. Kau dan kawan-
kawanmu setelah semua orang yang melakukan hukuman keji itu pergi, perglah
ketempat pendeta itu dikubur, kau suruhlah kawan-kawanmu menggali kuburan itu
dan kau bebaskan pertapa yang malang itu ! Dengan demikian kau akan menolong
nyawa seorang suci, adikku ! "
" Bagaimana kalau ayah mengetahui hal ini " "
Jangan takut ayah takkan marah. Kalau seandainya ayah marah akulah yang akan
bertanggungjawab. Aku akan mengakui bahwa kau hanya bertindak atas suruhan dan
bujukanku. Biarlah ayah marah kepadaku. "
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Ayah tak peranh marah kepadamu, ayunda. Ayah amat sayang kepadamu.
" " Karena itu, jangan kau takut kalau seandainya ayah mengetahui perbuatanmu ini.
Betapapun juga usaha kita ini adalah usaha baik yang keluar dari hati nurani
kita. Usaha menolong nyawa seseorang . "
" Kalau sampai Maha Wiku Dharmamulya mengetahuinya " "
" Biarkan saja ! Ia akan berani ebrbuat apakah terhadap kita " "
Koleksi Kang Zusi " Baiklah, ayunda Pramodawardani. Akan tetapi....... Bagaimanakah dengan Indrayna
itu " " Pramodawardani memandang kepada adiknya dengan mata terbelalak lebar. " Apa
maksudmu " " Balaputera tersenyum mengoda. " Ayunda, aku telah mendengar bahwa pemuda elok
itu...... bahwa ia mencintaimu dan mencuri patungmu, bukan " "
" Bedebah benar orang yang menceritakan hal itu kepadamu ! " Sang Puteri mamaki
marah, " Ssst, ayunda. Tak baik memaki dan menyumpah orang ! "
merahlah wajah Pramodawardani. " Orang itu...... Indrayana itu, Orang kurang ajar
yang tidak ada hubungannya dengan persoalan ini. "
" Sayang, aku selalu suka kepaad Indrayana. Semua kawanku menyatakan bahwa
Indrayana amat gagah perkasa. Pernah dengan tangan kosong ia menangkap dan
merobohkan seekor kerbau yang gila dan mengamuk !
Sayang sekali, ayunda, aku suka kepadanya. Sayang engkau tidak suka kepada orang
gagah perkasa itu. "
" Siapa bilang tidak suka ....... ! "
Koleksi Kang Zusi " Jadi engkau suka kepadanya " " Balaputera berseri.
" Kalau aku berkata bahwa aku bukannya ridak suka kepadanya, ini bukan berarti
pula bahwa aku suka ! "
" bukan tidak suka, dan juga bukan suka ! Aneh sekali, habis apakah perasaanmu
terhadapnya, ayunda yang manis " Apa engkau tidak senang melihat Indrayana yang
tampan dan gagah itu " "
" Memang ia tampan dan gagah, " kata Pramodawardani terus terang Apakah engkau
tidak kagum melihat keberanian dan ketangkaannya " "
" Mungkin ia berani dan tangkas. "
" Nah, mengapa tidak suka dan juga bukan membenci " "
" Sudahlah, cukup engkau ketahi bahwa dia adalah seorang yang kuang ajar ! Aku
tidak senang melihat orang berlaku kurang ajar ! Cukuplah tentang Indrayana,
sekarang baik engkau bersiap dan mengumpulkan kawan-kawanmu. Hari telah mulai
gelap ! " Demikian, pada malam hari itu, menjelang tengah malam, di waktu bulan sedang
bulat-bulatnya, terjadilah pelaksanaan hukuman yang amat kejam Koleksi Kang Zusi
itu Panembahan Bayumurti dikubur hidup-hidup di sebuah lobang yang dalam,
kemudian ditimbuni tanah. Yang melaksanakan hukuman ini adalah algojo-algojo
yang memang bertugas melaksanakan hukuman-hukuman mati.
Upacara hukuman dikepalai oleh Maha Wiku Dharmamulya sendiri, bersama beberapa
orang wiku pembantunya. Sesunggunya, hal ini tidak disetujui oleh pendeta Hindu
Wisananda, pembantu Maha Wiku Dharmamulya, akan tetapi Maha Wiku itu tidak
perduli, hanya berkata, " Sahabat Wisananda, mungkin hal ini agak ganjil bagimu. Akan tetapi ingat,
kebiasaan di negerimu tidak sama dengan kebiasaaan di negeriku !
Hukuman ini penting sekali, untuk menyatakan kepada semua orang Mataram bahwa
kita tak boleh dipermainkan begitu saja. "
Maka dikuburlah Panembahan Bayumurti dan anehnya, selama dilakukan upacara,
pendeta itu hanya atersenyumsenyum dan wajhnya berseri-seri, sama sekali tidak
kelihatan seperti orang yang sedang menjalankan hukuman mati, bahkan seakan-akan
seorang mempelai laki-laki yang sedang bersiap untuk menyambut mempelai wanita
tak lama lagi ! Pemandangan pada malam hari itu amat menyeramkan. Bayangan Maha Wiku Dharmamulya
yang berkepala gundul itu bagaikan bayangan seorang iblis sendiri tengah
tersenyum-senyum menikmati kemenangannya. Hati para wiku lain merasa tidak enak
dan di dalam lubuk hatinya,setiap orang wiku tidak menyetujui hukuman ini.
Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka yang berani membantah pendeta kepala
itu. Tentu saja Maha Wiku Dharmamulya yang sedang kemasukan bisikan setan-setan
nafsu angkara mrka dan dendam itu tidak merasai kesalahan sendiri. Jangankan
seorang manusia, seorang dewapun agaknya sukar untuk dapat menginsyafi kesalahan
diri sendiri ! Diam-diam ia bahkan merasa bahwa sebagai pendeta kepala ia telah
bertindak benar, telah dapat meninggikan agamnya, dapat membasmi sorang musuh
agamannya, seorang kapir yang menghina Agama Buddha Didalam dirinya.
Koleksi Kang Zusi Maha Wiku Dharmamulya merasa bahwa ia telah berjasa besar !
Bulan purnama agaknya merasa segan menyaksikan pemandangan yang mengerikan itu,
menyaksikan seorang dikubur hidup-hidup, maka tiba-tiba bulan bersembunyi di
balik segumpal awan, membuat permukaan dunia yang tadinya terang benderang
menjadi gelap. Hal ini mendatangkan perasaan lebih tak enak lalu mendesak kepada
Maha Wiku Daharmamulya untuk meninggalkan tempat hukuman itu.
Karena menganggap bahwa upacara itu telah beres, Maha Wiku Dharmamulya lalu
memesan kepada tiga orang algojo untuk menjaga di tempat itu sampai fajar,
sedangkan ia sendiri bersama semua wiku pergi meninggalkan tempat itu.
Ketika orang petugas algojo itu adalah orang-orang kasar yang bodoh dan masih
tebal kepercayaan mereka akan segala hal tahyul.
" Kakang Dentalaya, " kata seorang diantara mereka kepada pemimpin mereka, "
Untuk apakah kita menjaga di sini " Dingin dan tidak enak, lagi gelap "
" Benar, pekerjaan kita kali ini sungguh tidak menyedapkan hati. Lebih senang
kalau disuruh memenggal leher seorang hukuman. Sekali penggal dengan klewang
beres ! " berkata orang ke dua.
Pada saat itu, karena merasa kecewa melihat bulan menyembunyikan diri, seekor
burung hantu memekik nyaring sehingga ketika orang algojo yang dapat melihat
darah menyembur dari leher korban dengan senyum di bibir tiba-tiba menggigil
dengan hati berdebar-debar tak tenang.
Koleksi Kang Zusi " Kalian benar. " kata Dentalaya. " akupun merasa tidak enak kalau teringat akan
wajah pendeta Bayumurti yang ramah tamah dan tersenyumsenyum menghadapi
kematiannya itu. Biasanya orang yang akan menjalani hukuman mati tidak
sedemikian itu mukanya. Aku lebih suka kalau melihat dia melolong-lolong minta
ampun. Mari kita pergi saja dari sini, siapa tahu kalau-kalau pendeta ini adalah
murid seorang iblis yang akan datang mengamuk dan membalas dendam kepada kita !
" Ucapan kepala mereka ini mendatangkan dorongan yang membuat ketiganya lalu pergi
dari situ dengan langkah ringan dan cepat seakan-akan di belakang mereka telah
mengejar seorang iblis yang menakutkan !
Kalau saja algojo-algojo yang berhati kejam akan tetapi penakut itu berani
menengok lagi, tentu lari mereka akan lebih cepat lagi oleh karena seperti
dugaan mereka, benar-benar telah muncul banyangan-bayangan pendek kecil dari
belakang pohon-pohon. Bayangan-bayangan kecil initanpa banyak cakap lalu
mengerjakan pacul yang mereka bawa untuk mengali kembali kuburan yang memendam
tubuh Panembahan Bayumurti. Tentu para algojo itu akan menyangka bahwa bayangan-
bayanganini adalah setan-setan cebol atau bujang-bujang keplek yang menakutkan.
Padahal sesungguhnya, mereka ini adalah anak-anak kecil yang dipimpim oleh
Pangeran Balaputera dewa yang mentaati permintaan ayundanya !
Tak lama kemudian, terbongkarlah tanah kuburan yang mudah dipaculi itu dan
alangkah herannya anak-anak itu ketika melihat bahwa tubuh yang dipendam itu
sama sekali tidak mati, bahkan ketika kuburan telah terbongkar, mereka melihat
tubuh Panembahan Bayumurti sedang enak duduk bersila dan kini memandang kepada
mereka dengan mulut tersenyum. Kalau saja anak-anak itu tidak membongkar
kuburan, agaknya pendeta inipun dapat keluar sendiri
Memang Panembahan bayumurti adalah seorang sidik dan sakti mandraguna, yang
mempunyai aji dan kepandaian luar biasa sehingga ia takkan mati kalau hanya
menghentikan jalan pernapasan untuk beberapa Koleksi Kang Zusi
lama saja. Kepandaiannya terlalu tinggi untuk dapat mati dikubur hidup-hidup.
Oleh karena itu maka ia sengaja memilih hukuman itu.
" Anak-anak yang baik ! " kata pendeta itu setelah anak-anak itu hilang rasa
kagetnya. " Kalianlah yang akan menjadi pendeta-pendeta utama dari Agama Buddha.
Di bawah pimpinan Pangeran Balaputera Dewa, kalianakan memkin jaya kerajaan yang
beragama Buddha ! " Setelah berkata demikian, kali tubuh itu bergerak lenyaplah
pendeta itu dari pandangan Balaputera dan kawan-kawannya. Tentu saja anak-anak
itu menjadi ketakutan dan segera melarikan diri cerai-berai.
Balaputera segera mendapatkan ayunda dan menceritakan pengalamannya.
Pramodawardani menghela napas panjang dan berkata perlahan, " Sudah kuduga,
adikku. Pendeta itu bukanlah orang sembarangan dan perbuatan Maha Wiku
Dharmamulya sungguh memalukan kita ! Jangan kau ceritakan peristiwa itu kepada
orang lain, adikku yang baik ! " Sang Puteri Pramodawardani tidak tahu bahwa
adiknya tidak menceritakan semuanya.
Bahkan kepadanya sendiri, Balaputera tidak menceritakan tentang kata-kata
Pendeta Bayumurti tadi tentang kerajaan beragama Buddha yang kelak berada di
bawah pimpinanya. Balaputera masih kanak-kanak. Usianya masih sebelas tahun,
namun anak ini memang memiliki kecerdikan luar biasa. Ia maklum bahwa sebagai
puteri sulung, kakaknya lebih berhak atas mahkota ayahndanya, maka tidak pada
tempatnya dan kurang enaklah kalau ia menceritakan tetang ramalan Panembahan
Bayumurti bahwa kelak ia yang akan membikin jaya kerajaan beragama Buddha. Tentu
saja anak ini tidak sekali-kali menyangka bahwa ramalan pendeta sakti itu memang
cocok, akan tetapi kerajaan beragama Buddha bukanlah Kerajaan Syailendra di
Pulau Jawa, akan tetapi Kerajaan Sriwijaya di seberang.
*** Berkat pertolongan Panembahan Bayumurti Indrayana dapat meloloskan diri dari
cengkraman Maha Wiku Dharmamulya dan rombongannya. Raden Pancapana yang ternyata
gagah perkasa itu bersama dara jelita Candra Dewi mentaati pesan Sang
Panembahan, ikut pergi dengan Indrayana untuk bersama-sama menghadap Sang
Pertapa Begawan Ekalaya di Muria.
Koleksi Kang Zusi Kalau saja di antara mereka tidak terdapat seorang dara seperti Candra dewi,
tentu Indrayana dan Raden Pancapana telah mengerahkan kepandaian mereka. Akan
tetapi sungguhpun Candra Dewi adalah keturunan seorang ahli tapa yang sakti,
tetap saja ia merupakan seorang wanita yang halus dan lemah lembut. Kulit
telapak kakinyademikian tipis dan halus sehingga dara ini berjalan dengan mua
tunduk, memilih tempat yang rata dan halus untuk kakinya berpijak, berjalan
dengan langkah tenang dan halus tidak tergesa-gesa. Kedua taruna itu terpaksa
berlaku sabar, mengiringkannya dengan perlahan dan perjalanan itu seakan-akan
merupakan perjalanan tamasya belaka, sekali-kali bukan perjalanan orang-orang
yang diburu musuh. Oleh karena itu, perjalnan yang amat sukar itu makan waktu lama sekali.
Namun, betapapun sukar dan jauhnya perjalanan, candra Dewi memperlihatkan bahwa
darah pertapa yang tahan menderita mengalir di dalam tubuhnya. Tak pernah
terdengar keluhan dari bibirnya berbentuk indah, tak pernah keningnya yang halus
itu berkerut, bahkan jarang sekali ia mengeluarkan kata-kata kalau tidak untuk
menjawab sesuatu pertanyaan.
Juga Raden Pancapana orangnya pendiam, betul-betul bersifat seorang ksatria
utama, matanya bersinar-sinar tajam, bibirnya tersenyum ramah, akan tetapi
jarang sekali bicara. Melihat keadaan kedua orang kawan seperjalanannya ini,
Indrayana merasa kurang enak. Telah setengah hari mereka berjalan tanpa
mengeluarkan sepatah katapun. Ia menjadi petunjuk jalan dan kedua orang itu
hanya mengikutinya saja ke mana ia pergi ! Akhirnya dia tidak dapat menahan
sabar lagi, dan mengambil keputusan harus memperkenalkan diri, harus mengetahui
keadaan mereka dan menceritakan keadaannya sendiri lebih dulu agar hubungan
mereka tidak sedemikian tawar.
Tiba-tiba ia menunda perjalanannya dan berpaling kepada kedua orang kawan
seperjalanan itu sambil tersenyum dan berkata Koleksi Kang Zusi
" Maafkan aku, Raden Pancapana dan engkau juga, diajeng Candra Dewi.
Kalau tidak berkeberatan, marilah kita beristirahat sebentar, karena diajeng
Candra Dewi tentu lelah dan lapar. "
Dengan sepasang matanya yang bening memancar dari balik bulu matanya yang
lentik, Candra Dewi memandang kepada Indrayana dan berkata menahan senyum, : Aku
tidak lelah dan juag tidak lapar. "
Indrayana tertegun dan merasa serba canggung. Benar-benar gadis yang kuat dan
tahan uji, pikirnya. Namun ia tak mau kalah dan bahkan duduk di atas rumput di
pinggir jalan, di bawah pohon yang teduh.
" Sesungguhnya, akulah akulah yang lelah dan lapar. Dan...... menurut pendapatku
yang bodoh, agaknya sudah sepatutnya kalau kita bertiga berkenalan lebih erat,
karena bukankah kita telah menjadi kawan-kawan senasib sependeritaan, sahabat-
sahabat seperjalanan dan kelak akanmenjadi saudara seperguruan pula " " Ia
membalas pandang mata Raden Pacapana yang tajam menatapnya, lalu berkata lagi, "
Harap maafkan aku yang kasar dan bodoh. Sesungguhnya, berdiam-diam seperti ini
tak enak bagiku, aku sudah biasa bergembira. Biarlah kuceritakan keadaan diriku
agar kalian dapat mengenalku lebih baik. "
" Kami sudah tahu siapa adanya dirimu, kawan, " kata Raden Pancapana. "
Engkau adalah Raden Indrayana, putera dari Wiku Dutaprayoga yang menjadi ahli
keris dari Kerajaan Syailendra !
Indrayana tertawa girang, lalu berkata jenaka, " Ah ! Ini namanya tidak adil !
Kalian sudah mengetahui keadaanku sedangkan aku sama sekali belum Koleksi Kang
Zusi tahu siapakah sebenarnya kalian ini ! "
Raden Pancapana lalu duduk pula di atas sebuah batu tak jauh dari Indrayana dan
dengan matanya memberi isyarat kepada Candra Dewi untuk duduk pula di atas
rumput, lalu berkata, " Indrayana, engkau adalah putera seorang wiku Agama Buddha dan menjadi hamba
dari Kerajaan Syailendra yang besar dan berpengaruh !
Untuk apakah engkau hendak mengenal orang-orang Mataram yang kecil seperti
kami " Bukanlah engkau sudah tahu bahwa aku adalah murid dari panembahan
Bayumurti dan diajeng Candra Dewi ini adalah puterinya " "
Dengan amat heran Indrayana menatap wajah Pancapana dan ia menjadi terheran
sekali melihat betapa pemuda itu bersungguh-sungguh dengan ucapannya tadi. Tak
terasa lagi Indrayana melompat bangun dan berkata dengan penasaran,
" Eh, eh, bagaimanakah ini " Mengapa orang macam aku disebut besar karena hanya
menjadi hamba dari Kerajaan Syailendra dan orang-orang seperti kalian menganggap
diri kecil karena menjadi hamba Kerajaan Mataram " Janganlah bersikap demikian,
kawan, kita sama-sama manusia yang hanya berbeda agama, akan tetapi sampai di
manakah perbedaan itu "
Anggapan kita sendiri juga yang membedakan, kawan. Hanya faham yang berbeda,
akan tetapi tujuannya hanya satu ! Adakah agama yang mengajarkan keburukan "
Adalah agama atau filsafat yang mendorong penganutnya melakukan kejahatan "
Tidak ada ! Semua memberi pelajaran baik, dorongan ke arah perbuatan baik,
menjunjung tinggi kegagahan, kebajikan kejujuran, dan kemanusiaan. Semua
tergantung kepada manusia sendiri, kawan, tergantung kepada perbuatan si
penganut agama. Betapapun tinggi dan pelajaran suci sesuatu agama, kalau yang mempelajarinya itu
seorang yang beriman nejat, takkan ada gunanya sama sekali !! "
Koleksi Kang Zusi Indrayana bicara dengan penuh nnafsu menggelora. Ia berdiri dengan kedua kaki
terpentang lebar, dengan dada terangkat, kepala dikedikkan dan sepasang matanya
memandang tajam, bukan kepada kedua orang itu, akan tetapi ke atas, seakan-akan
kepada langit ! Memang, adalam mengucapkan kata-katanya tadi, Indrayana merasa
menyesal. Semenjak peristiwa yang dialami di Candi Lokesywara, ia merasa kecewa
sekali. Kecewa melihat betapa pendeta kepala, yakni Maha Wiku Dharmamulya, yang dianggap
paling tinggi, paling suci dan ahli dalam Agama Buddha, melakukan perbuatan yang
mengecewakan hatinya. Sebaliknya ia merasa kagum melihat sepak terjang Panembahan Bayumurti ia menjadi
binggung mengapa pendeta kepala dari agamanya demikian jahat sedangkan Pendeta
Mataram demikian bijaksana. Maka terbukalah matanya dan teringatlah ia akan
petuah ayahnya yang tiba-tiba meluncur keluar dari mulutnya ketika ia merasa
penasaran melihat sikap Pancapana dan Candra Dewi.
Pancapana dan Candra Dewi melihat sikap Indrayana seperti itu, memandang kagum
dan seketika itu berubahlah sikap mereka. Pandangan mata Candra Dewi mengandung
kekaguman yang amat mesra, sedangkan Pancapana lalu melangkah maju dan merangkul
pundak Indrayna. Indrayana, betul seperti kata paman Panembahan Bayumurti. Kau adalah seorang
ksatria yang gagah perwira, keturunan seorang pertapa yang bijaksana. Aku girang
sekali dapat berkenalan dengan kau yang gagah ini.
Indrayana. Mendengar ucapanmu tadi, lenyaplah segala keraguanku, Indrayana dan
biarlah aku mengaku bahwa sesungguhnya aku adalah...... "
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
" Raden Pancapana...... ! " Tiba-tiba Candra Dewi menegur pemuda itu sambil
memandang heran. Koleksi Kang Zusi Pancapana tersenyum dan setelah pemuda ini tersenyum, lenyaplah yang tadinya
nampak pendiam dan bersungguh-sungguh itu. Wajahnya berubah terang dan berseri,
cakap sekali. " Tidak apa, Candra, Indrayana, bagaimana kalau kau dan aku mengangkat saudara "
Aku lebih tua dari padamu, maka kalau kau setuju, mulai sekarang, kau adalah
adikku, dimas Indrayana ! "
Bukan main besar dan girang hati Indrayana. Ia memegang tangan Pancapana erat-
erat, lalu berkata sambil tersenyum, " Baiklah kakangmas Pancapana, aku
bersumpah akan tetap setia dan membelamu seperti seorang adik kandungmu
sendiri ! " Kini wajah Candra Dewi memerah dan matanya berseri-seri girang.
" Kalau begitu, tentu menjadi lain persoalannya, dan tentu saja tak perlu ada
rahasia lagi yang harus disembunyikan, " katanya dengan senyumnya yang manis
bagaikan madu. " Dengarlah baik-baik. Dimas Indrayana, " kata Pancapana sambil menarik tanagn
Indrayana sehingga mereka duduk kembali di atas rumput, "
Sesungguhnya aku adalah putera dari Rama Prabu Sanjaya di Mataram yang telah
almarhum. " Terbelalak mata Indrayana memandang kepada pemuda itu. " Kau......
pangeran Pati dari Mataram " " ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan hendak
menyembah kepada Pangeran Pancapana, akan tetapi Pangeran Koleksi Kang Zusi
Pancapana memegang kedua pundaknya dan mencegah Indrayana melakukan penghormatan
ini. " Dengar Indrayana. Tak perlu engkau melakukan banyak upacara seperti ini.
Bukankah engkau sedah menjadi adikku sendiri " bersikaplah biasa, karena
sesungguhnya, selain Paman Panembahan Bayumurti, diajeng Candra Dewi, dan engkau
sendiri, tidak ada orang lain di seluruh Mataram yang mengetahui hal ini ! "
Pangeran Pancapana lalu menceritakan pengalamannya dengan suara mengharukan.
Sesungguhnya, ketika Kerajaan Mataram masih berada di bawah asuhan Sang Prabu
Sanjaya, kerajaan itu menjadi kuat, makmur, dan mempunyai wilayah yang amat
luas. Bahkan Kerajaan Syailendra tadinya mengakui kedaulatan Sang Prabu Sanjaya
sehingga Kerajaan Syailendra boleh dibilang berada dibawah kekuasaan Mataram.
Akan tetapi, kebesaran Mataram itu agknya hanya tergantung kepada kepribadian
Sang Prabu Sanjaya, karena setelah Sang Prabu Sanjaya meninggal dunia, kejayaan
Mataram mengalami kemunduran hebat.
Tahta Kerajaan dipegang oleh Sang Prabu Panamkaran seorang pangeran yang menjadi
adik misan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Hal ini terjadi oleh karena putera Sang
Prabu Sanjaya, yaitu Pangeran Pancapana, ketika ramandanya meninggal dunia,
masih muda sekali. Bahkan ada usaha gelap dari para pengikut Sang Prabu
Pabamkaran untuk melenyapkan dan membunuh Pangeran Pati Pancapana ini. Baiknya
masih banyak hamba yang setia kepada mendiang Prabu Sanjaya, di antaranya adalah
Panembahan bayumurti yang segera membawa pergi Pangeran Pancapana dan
mendidiknya sebagai putera sendiri, bersama seorang puterinya, yaitu Candra
Dewi. Semenjak baginda Panamkaran duduk di tahta Kerajaan Mataram, makin lemahlah
kedudukan kerajaan ini. Banyak raja-raja kecil melepaskan diri dari kekuasaan
mataram, sehingga Kerajaan Mataram yang tadinya besar Koleksi Kang Zusi
dan luas sekali wilayahnya itu, makin lama makin kecil dan tak berarti.
Raja-raja lain berani menentangnya, di antaranya adalah Kerajaan Syailendra
berdekatan, maka kerajaan inilah yang akhirnya mempengaruhi Mataram dan banyak
daerah yang tadinya menjadi daerah Mataram, perlahan-lahan menjadi daerah
Syailendra terutama sekali karena berkembangnya Agama Buddha yang berpusat di
Kerajaan Syailendra. Pancapana yang semenjak kecil dibawa oleh Panembahan Bayumurti, mempelajari
banyak ilmu kepadaian, aji kesaktian, bahkan mempelajari seni pahat dan setelah
dewasa, pageran ini pandai sekali membuat patung-patung yang indah. Terhadap
Panembahan Bayumurti ia menggangap seperti seorang ayah sendiri, dan terhadap
Candra Dewi, ia menganggap sebagai adik kandung sendiri.
Baik Panembahan Bayumurti, maupun Candra Dewi dan Pancapana sendiri, menutup
rapat-rapat rahasia ini sehingga pemuda yang tampan itu dianggap oleh orang lain
sebagai seorang pemuda murid Panembahan Bayumurti belaka, dan nama Pangeran Pati
Pancapana telah dilupakan orang dan disangkanya telah terbunuh pengikut-pengikut
Baginda Panamkaran. Setelah bertemu dengan Indrayana, barulah Pancapana membuka rahasia, karena ia
merasa suka dan percaya penuh kepada Indrayana. Tentu saja Indrayana merasa
terharu sekali mendengar riwayat pangeran itu, dan untuk bebrapa lama ia hanya memandang dengan terharu. Kemudian ia berkata,
" Kakangmas Pancapana, sudah terang bahwa kaulah putera mahkota dan menjadi
Pangeran Pati dari Kerajaan Mataram. Mengapa kau tidak menuntut hakmu " Kaulah
yang seharusnya menjadi raja mataram, bukan raja yang sekarang ini. "
Jilid 3 Koleksi Kang Zusi Pangeran Pancana tersenyum. " Memang sudah menjadi cita-cita setiap orang gagah
untuk mendapatkan haknya, terutama sekali kalau kulihat betapa Kerajaan Mataram
makin lama makin lemah dan mengecil, menjadi kerajaan boneka yang mudah
dipermainkan oleh kerajaan-kerajaan lain.
Aku maklum bahwa Kerajaan Mataram yang dulu menjadi sebuah kerajaan yang
terbesar, terpandang tinggi, kaya raya dan mempunyai rakyat yang hidup makmur,
setelah Rama Prabu meninggal, sekarang menjadi sebuah kerajaan yang amat lemah,
dipandang rendah, miskin dan rakyatnya papa sengsara. Hatiku perih kalau melihat
keadaan ini dan di dalam lubuk hatiku, aku tentu akan bertindak untuk memulihkan
kembali kejayaan Mataram.
Namun, menurut petunjuk dari Paman Panembahan Bayumurti, aku harus bersabar dan
sekarang belum tiba waktunya. Aku amat patuh atas nasihat ini, karena Paman
Panembahan, selain menjadi guruku yang amat mulia, juga kuanggap sebagai
pengganti orang tuaku yang harus kutaati. "
Indrayana makin kagum mendengar ucapan pangeran itu. Baginya seperti juga watak
ayahnya, agama adalah soal kedua, yang penting adalah sikap dan watak orangnya.
Maka melihat kegagahan dan kebaikan serta kesetiaan yang sedemikian besarnya, ia
merasa terharu sekali. Ia memegang lengan Pangeran Pancapana dan berkata dengan
suara menggetar, " Kakangmas Pancapana, aku merasa berbahagia sekali dapat menjadi saudara
angkatmu Kau adalah seorang ksatria utama yang patut dijadikan kawan dan
saudara. Kau adalah seorang Pangeran Pati calon raja yang berjiwa besar,
terutama sekali mendengar bahwa keinginanmu menduduki tahta Kerajaan Mataram
adalah dorongan oleh keharuanmu melihat keadaan rakyat jelata yang miskin dan
papa. Engkau patut sekali dibela dan dihormati. Maka kakangmas Pancapana, aku
akan selalu berada di sampingmu, dan akulah yang akan membuatmu dalam usahamu
menduduki kembali singgasana Kerajaan Mataram ! "
Koleksi Kang Zusi Pangeran Pancapana tidak menjawab dan tidak dapat berkata-kata, hanya memeluk
Indrayana dengan kedua mata basah. Ketika Indrayana menengok ke arah Candra
Dewi, ia heran melihat gadis itu memandangnya dengan mata basah pula, dan betapa
mesra pandang mata itu kepadanya !
Setengah dikatupkan, dengan bulu mata gemetar, manik mata berkaca-kaca dan
menatapnay dari balik bulu mata itu, ujung hidungnya yang bangir itu mengembang
dan bibirnya terbuka sedikit hingga terdengar perlahan napasnya yang memburu.
Akan tetapi hanya sebentar saja, karena dara jelita itu segera membuang pandang
matanya ke bawah ke atas tanah dan sambil menundukkan muka, kini kedua ibu jari
kakinya bergerak-gerak mengores-gores tanah ! Indrayana berdiri terkesima, kagum
dan takjub menyaksikan saat yang luar biasa sekali ketika gadis itu memandang
dadanya berdebar tak menentu, dan matanya terbelalak bagaikan terkena pesona.
Tiba-tiba suara ketawa Pangeran Pancapana memecahkan suasana hikmat itu, " Eh,
dimas Indrayana Engkau tadi bicara tentang perut lapar, bukan "
Baru sekarang akupun merasa betapa laparnya perutku ! "
" O ya ! Sejak tadi akupun telah mendengar bunyi cacing menggeliat-geliat, di
perut siapakah gerangan " " katanya sambil tersenyum girang.
" Cacing di perutku adalah cacing sopan, " kata Pancapana sambil tertawa dan
mengerling ke arah Candra Dewi, " tadi kudengar berkeruyuknya datang dari
jurusan diajeng Candra ! "
Candra Dewi yang tadinya duduk sambil menundukkan mukanya, kini tiba-tiba
mengangkat muka dan memandang kepada Pancapana dengan mata melerok dan cemberut.
" Sesopan-sopannya cacing, kalau tak diberi makan Koleksi Kang Zusi
tentu akan mengeliat-geliat juga ! Di dalam perutku sih tidak ada cacingnya !
Perutku bersih dan sehat, mana cacing dapat menjadi penghuninya " "
Indrayana tertawa terbahak-bahak. Ia merasa gembira sekali karena sekarang
ternyata olehnya bahwa Pancapana dan Candra Dewi keduanya adalah orang-orang
muda yang gembira dan suka pula berkelakar.
" Ha, kalau begitu, tentu cacingkulah tadi yang berkeruyuk !" katanya. "
Akan tetapi, jeng Dewi, tak mungkin kalau perutmu tidak bercacing !
Menurut pendapat ayahku, di dalam tubuh tiap manusia terdapat mahluk hidup yang
lain, seperti cacing dan lain-lain. Tanpa ada mahluk hidup yang lain, manusia
tak dapat hidup ! " " Akupun pernah mendengar tentang hal itu, " kata Pancapana, " bahkan Candra
sendiri juga sudah mengetahuinya, bukan " "
" Tidak. Tidak ! Di dalam perutku tidak ada cacingnya ! " Candra Dewi berseru
dan berkeras. " Mungkin ada mahluk hidup lain, akan tetapi bukan cacing ! Aku
tidak sudi dijadikan tempat tinggal binatang menjijikan itu ! "
Kembali Indrayana tertawa gembira. Melihat dara itu mau bicara dan berkelakar,
bahkan keliatan seperti marah-marah, baru ia mendapat kenyataan betapa manis dan
cantiknya Candra Dewi. Betapa sehat kulitnya yang halus dan masak oleh sunar
matahari itu. Pipinya yang segar kemerah-merahan mengingatkan ia akan kulit
mangga golek yang telah masak.
Kerling matanya tajam menyambar hati, senyumnya manis menyinggung jantung. Madu
akan terasa pahit bila dibandingkan dengan kemanisan bibir dara ini. Ia tahu
bahwa Candra Dewi masih malu-malu dan jarang sekali mau bertemu pandang dengan
dia. Semua kata-kata yang diucapkan oleh gadis itu ditunjukkan kepada Pancapana,
yang telah bertahun-tahun Koleksi Kang Zusi
semenjak mereka masih kecil, telah menjadi kawan bermain dan telah dianggap
sebagai kakak kandung sendiri. Akan tetapi, justruh kerling yang hanya sekali-
sekali menyambar ke arahnya secara " sambil lalu " itulah yang membuat Indrayana
merasa dadanya berdebar-debar. Ia sama sekali tidak ingat bahwa bayangan wajah
Puteri Mahkota Pramodawardani yang tadinya tak pernah meninggalkan pelupuk
matanya, kini tidak kelihatan lagi bahkan ia telah lupa sama sekali akan puteri
Syailendra itu ! Dan ketika Indrayana mencari buah-buah ia memilih yang paling masak dan paling
baik untuk Candra Dewi. Melihat hal ini, Candra Dewi yang masih hijau dan bodoh
serta belum dapat menyelami hati pria, bertanya dengan sungguh-sungguh,
" Raden Indrayana, mengapa buah yang terbesar dan terbaik diberikan kepadaku
seorang " Marilah kita bagi rata, untuk engkau dan jaga untuk Raden dan
Pancapana...... " Dara itu menghentikan ucapannya ketia ia melihat betapa wajah
Indrayana menjadi merah dan pemuda ini menundukakan mukanya ia mendengar suara
tawa tertahan, ia segera menengok dan melihat betapa Pancapana menahan-nahan
ketawanya sambil memandang kepada Indrayana dengan mata menggoda.
" Makanlah, jeng Dewi. Indrayana sengaja memetik yang terbaik untukmu, mengapa
engkau tidak dapat menghargai kasih sayang orang " " berkata Pancapana dengan
suara menggoda. Kini perasaan wanita di dalam hati Candra Dewi membisikkan
susuatu kepadanya yang membuat pipinya yang sudah merah makin menjadi merah
lagi. " Sudahlah, jeng Dewi, jangan hiraukan orang yang suka menggoda, anggaplah saja
ucapannya seperti suara...... " Indrayana tidak melanjutkannya.
Koleksi Kang Zusi " ....... Seperti suara cacing perut tidak berteriak-teriak lagi, mereka melanjutkan
perjalanan menuju ke Muria. Akan tetapi baru saja mereka keluar daru hutan itu,
tiba-tiba dari sebelah kanan nampak debu mengebul tinggi dan terdengarlah derap
kaku kuda yang menuju ke arah mereka.
Pancapana dan Indrayana bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.
Mereka berdiri berjejer di tepi jalan, sedangkan Candra Dewi berdiri di belakang
mereka. Tak lama kemudian, nampaklah tiga belas ekor kuda yang ditunggangi oleh
orang-orang tinggi besar dan buas pandang matanya.
Melihat orang-orang yang berpakaian serba hitam itu, Pancapana merasa heran dan
tidak mengenal mereka, akan tetapi ketika melihat seorang di antara dua orang
pemimpin pasukan berkuda itu, terkejutlah Indrayana.
Orang itu adalah Reksasura, kepala pasukan Srigala Hitam yang dulu pernah
mencoba hendak merampas patungnya !
" Kakangmas Pancapana, " bisiknya perlahan, " awas, mereka itu adalah pasukan
Serigala Hitam, penyembah Batari Durga yang terkenal buas ! "
Pancapana juga terkejut. Ia pernah mendengar nama pasukan ini, maka ia merasa
khawatir karena ia maklum bahwa pasukan ini terkenal amat buasa dan cabul,
terkenal akan perbuatan mereka yang suka merampas dan mencuri wanita-wanita
cantik ! " Ha-ha-ha ! Dicari di seluruh lorong langit tidak bertemu, tidak tahunya
sekarang berjumpa di sini bersama seorang perawan denok ! Ha-ha, Indrayana.
Bagus sekali, dengan tebusan perawan itu kuserahkan kepada kami, barulah kami
dapat mengampuni dosa-dosamu ! "
Indrayana adalah seorang pemuda yang cerdik. Melihat sikap Reksasura yang pernah
dipukulnya kocar kacir itu kini nampak garang dan tabah, tentu orang kasar ini
mempunyai andalan yang kuat. Ia lalu melirik dan Koleksi Kang Zusi
memperhatikan orang yang berkuda di sebelah kanan Reksasura. Orang ini terang
sekali bukan seorang Jawa, karena kulit mukanya berwarna hitam gelap. Keningnya
tinggi, membuat sepasang matanya yang sudah dalam itu makin mendelong ke dalam
kepalanya, dipayungi oleh sepasang alis yang panjang dan tebal. Hidungnya
seperti hidung burung betet, melengkung dan melingkar ke bawah, agaknya amat
berat sehingga kulit di bawah sedikit. Misalnya kecil panjang, berjuntai kebawah
di kanan kiri mulutnya yang tipis merupakan garis melintang panjang. Karena
bentuk mulut inilah maka ia nampak selalu seperti orang bersedihan seperti orang
mau mewek. Telinganya yang panjang dan lebar itu masih nampak bagian bawahnya, karena
bagian atasnya tertutup oleh kain pengikat kepala berwarna putih yang menutupi
seluruh kepalanya sampai beebrapa kali libatan. Jenggotnya pendek dan kasar.
Biarpun wajah orang hindu ini tidak aneh akan tetapi dari sinar matanya yang
amat berpengaruh dan tajam, dapatlah Indrayana menduga bahwa orang ini tentu
memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, dan orang inipulalah agaknya yang
diandalkan oleh Reksasura sehingga si kasar itu berani berlaku garang dan
berlagak di hadapannya. " Reksasura, " kata Indrayana sambil tersenyum, " dulu ketika engkau berlaku
lancang dan mengganggu perjalananku, aku masih berlaku murah dan tidak mencabut
nyawamu yang kotor karena perbuatanmi yang penuh dosa. Sekarang kembali kau
mengulangi perbuatanmu, apakah benar-benar kau sudah rindu akan panasnya api
neraka " Apakah kau sudah membuat kelewang baru " Nah, cabutlah, akan tetapi
kali ini jangan kau berkata bahwa aku Indrayana berlaku keterlaluan kalau aku
bukanhanya akan mematahkan kelewangmu, akan tetapi juga mematahkan lehermu ! "
" Indrayana, kau selalu berwatak sombong dan kau terlalu mengandalkan
kepandaianmu sendiri ! Sekarang kau berhadapan dengan guruku, Bagawan Siddha
Kalagana, pemimpin kami yang sakti mandraguna ! Kau tidak lekas berlutut minta
ampun " " Koleksi Kang Zusi Diam-diam Indrayana terkejut dan ia memandang dengan penuh perhatian kepada
Pendeta Hindu yang tinggi kurus itu. Juga Pangeran Pancapana terkejut sekali
ketika mendengar bahwa orang Hindu itu adalah Begawan Siddha Kalagana yang telah
didengar namanya sebagai seorang pertapa dan pendeta yang benar-benar sakti
sekali. Indrayana adalah sorang putera pendeta, dan telah menjadi wataknya tidak mau
menghina kepercayaan dan agama lain orang. Maka mendengar bahwa ia berhadapan
dengan Begawan Siddha Kalagana, ia lalu merangkapkan telapak tangannya menyembah
memberi hormat, lalu berkata.
" Ah, tidak tahunya kami berhadapan dengan Sang Begawan Siddha Kalagana yang
terkenal. Harap suka menerima pemberian hotmat kami orang-orang muda. Aku,
Indrayana dari Syailendra, selalu menghormat para ahli tapa yang suci dan yang
bijaksana, tahu akan rahasia hidup, maka aku tidak merasa takut berhadapan
dengan Sang Begawan. Seperti biasa, kedatangan seorang ahli tapa tentu akan
membawa bahagia dan penambahan pengetahuan. Sesungguhnya, ada keperluan apakah
Sang Begawan datang menghadang perjalanan kami orang-orang muda " "
Diam-diam Pangeran Pancapana tertegun dan kagum melihat sikap Indrayana yang
amat tabah dan tenang itu. Juga Begawan Siddha Kalagana sendiri merasa tertarik
dan kagum melihat Indrayana. Begawan ini sesungguhnya adalah seorang Hindu yang
sudah amat tinggi usianya, akan tetapi, berkat ilmu kepandaiannya yang tinggi,
ia masih nampak muda dan rambutnya masih hitam. Pendeta ini datang dari Hindu,
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membawa agamanya sendiri, yaitu pemuja Batari Durga. Ia telah merasa tidak aman
di negerinya sendiri, oleh karena di dalam kepercayaannya, pertapa ini
menjalankan perbuatan-perbuatan yanga mat terkutuk dan keji.
Pertapa ini memiliki ilmu-ilmu hitam atau ilmu sihir yang hibat dan aneh,
Koleksi Kang Zusi juga memiliki kebiasaan yang amat menyeramkan. Untuk mencapai hasil dalam ilmu-
ilmu hitamnya yang dikuasai setan dan iblis, ia tidak segan-segan untuk menculik
perawan dan anak-anak kecil untuk dijasikan kurban.
Sesungguhnya, di lubuk hatinya terdapat nafsu cabul yang hanya dikemudikan oelh
iblis jahat, akan tetapi berkat ilmunya yang tinggi, ia dapat menipu para
pengikutnya yang sebaliknya menggangapnya sebagai seorang pertapa yang sakti,
suci dan mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Kini, melihat Indrayana dan Pancapana yang elok dan cukap bagaikan Sang Palguna
da Sang Palgunadi, dua tokoh pewayangan yang terkenal tampan, juga melihat
Candra Dewi yang cantik jelita bagaikan Dewi Shinta, bukan main senang hatinya.
Ia telah merasa bosan dan muak melihat para murid dan anak buah serta pengikut-
pengikutnya yang kesemuanya merupakan orang-orang lelaki kasar dan buruk rupa,
sehingga timbul keinginannya untuk mengambil dua orang pemuda ini menjadi murid
dan pengikutnya. Sedangkan kemolekan wajah dan bentuk tubuh Candra dewi semenjak tadi telah
membangkitkan nafsunya yang kotor.
" Anak muda yang elok ! " katanya kepada Indrayana dengan suaranya yang
mengandung kejanggalan suara orang asing. " Sungguh jarang terdapat orang-orang
muda seperti engkau dan kawan-kawanmu ini ! Alangkah akan senang hatiku apabila
kalian bertiga mau ikut aku ke tempat tinggalku untuk menjadi murid-muridku ! "
" Terima kasih banyak atas kemurahan hati dan penawaran Sang Begawan,
" jawab Indrayana " Akan tetapi ketahuilah, kami bertiga adalah murid-murid dari
Eyang Begawan Ekalaya di Muria ! "
Kalau orang-orang lain tidak dapat melihat perobahan pada air muka pertapa Hindu
itu, adalah Indrayana dan Pancapana dapat melihat getaran pada manik mata yang
tajam dan berpengaruh itu, Begawan Siddha Kalagana mengangguk-anggukkan
kepalanya. " Pantas, pantas ! Pantas saja kalian begini elok, gagah perkasa, dan
menarik. Diseluruh tanah Jawa ini Koleksi Kang Zusi
hanya Begawan Ekalaya saja satu-satunya petapa yang kedudukannya setingkat
dengan kedudukanku ! "
" Alangkah sombognya ! " tiba-tiba terdengar suara halus dan dengan heran dan
terkejut Indrayana dan Pancapana melihat bahwa yang mencela ini bukan lain
adalah Candra Dewi ! dara ini adalah puteri Panembahan Bayumurti yang amat
bangga akan kesaktian ayahnya, maka kini mendengar kesombongan pendeta asing
ini, ia diam-diam merasa mendongkol sekali dan tak terasa pula mengeluarkan
perasaan mendongkolnya itu dengan ucapan tadi !
Kini sepasang mata Begawan Siddha Kalagana tertuju kepada dara itu dan mulutnya
makin menipis, " Ah, engkau patut sekali menjadi pengiring utama dari Sang
Batari Mulia ! " katanya dan sambil memandang Indrayana, ia berkata, " Anak
muda, sebagai murid-murid Ekalaya, kalian boleh dibilang masih menjadi murid-
murid keponakanku sendiri ! Dan sebagai murid-murid keponakan, sudah sepatutnya
kalau kalian berbuat sesuatu yang sifatnya berbakti kepadaku ! Aku melihat dara
jelita ini berjodoh untuk menjadi muridku dan untuk menjadi pengiring Sang
Batari Yang Maha Mulia, maka relakanlah puteri ini kubawa serta. Jangan
khawatir, kalau gurumu bertanya, katakan saja bahwa akulah yang membawanya,
tentu ia tak akan marah ! "
Sebelum Indrayana dan Pancapana dapat melampiaskan amarah mereka ketika
mendengar ucapan ini, tiba-tiba pertapa Hindu itu mengulurkan tangannya dan
entah bagaimana, tubuh Candra Dewi seakan-akan terpegang oleh tangan yang kuat
dan dilontarkan ke atas ke arah pendeta itu ! Candra Dewi bagaikan seorang yang
sedang tidur, matanya meram dan tubuhnya lemas ketika tahu-tahu ia telah berada
di dalam pelukan tanagn Begawan Siddha Kalagana di atas kuda !
" Pendeta keparat ! Lepaskan adikku ! " Pancapana berseru dan menubruk maju
dengan tangan kanan diulur. Akan tetapi, terdengar seruan keras dan Koleksi Kang
Zusi ketika pendeta Hindu itu mengebutkan ujung lengan jubahnya yang panjang, maka
ujung lengan baju itu memukul ke arah dada Pancapana yang tiba-tiba terlempar ke
belakang dan jatuh di atas tanah. Ia merasa kepalanya pening, akan pemuda ini
telah mendapat gemblengan yang hebat dari penambahan Bayumurti, sehingga kebutan
yang mengandung tenaga mujijat itu hanya membuatnya pening sesaat saja. Ia telah
berdiri lagi, akan tetapi ia telah di dahului oelh Indrayana yang tak dapat
menahan kemarahannya lagi. Ia mencabut keris pusakanya yang dibuat sendiri oleh
ayahnya, yaitu keris baja putih yang bernama Brajadenta ( Kilat Putih ).
Dengan gerakan trengginas bagaikan seekor burung elang menyambar, tubuhnya
berkelebat ke depan menyerang begawan Siddha Kalagana sambil berseru,
" Pertapa iblis ! Kau lepaskan jeng Dewi ! "
Serangan yang dilakukan Indrayana ini hebat sekali dan kalau saja yang
diserangnya bukan seorang pendeta yang amat sakti tentu serangannya ini takkan
meleset dan takkan dapat dielakkan pula. Akan tetapi, pendeta Hindu itu benar-
benar sakti dan hebat kepandaiannya. Begitu melihat sinar senjata itu dan
melihat gerakan yang sedemikian cepatnya, ia maklum bahwa pemuda ini memiliki
pula ilmu kepandaian dan kedigdayaan yang tak boleh dipandang ringan, maka cepat
sekali tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah melompat turun dari atas kudanya
! " Keparat, jangan lari ! " teriak Indrayana yang menyerang lagi dengan nekad dan
marah. " Eh, eh, anak muda, engkau benar-benar berani melawan aku " " kata pendeta itu
yang memeluk tubuh Candra Dewi dengan tangan kiri, dan sekali tangan kanannya
bergerak, maka ia telah mencabut keluar sebatang tongkat yang ternyata adalah
seekor ular Cobra yang telah kering. Ular itu besar sekali, lebih besar dari
lengan tangannya dan panjangnya kurang lebih sedepa. Tubuh ular yang telah
kering itu bengkak-bengkok dan Koleksi Kang Zusi
kepalanya amat mengerikan, karena mulutnya terbuka lebar. Pendeta Siddha
Kalagana memegang senjata aneh akan tetapi cepat sekali ia memutar-mutar senjata
itu yang menyambar-nyamar ke arah Indrayana.
Emuda yang gagah perkasa ini sama sekali tidak merasa gentar atau jerih
menghadapi senjata lawannya ini, akan tetapi ketika dari senjata aneh itu keluar
bau yang amat amis menimbulkan muak, ia terkejut sekali. Ia maklum bahwa ular
kering di tangan Bagaman Siddha Kalagana itu mengandung racun yang amat hebat
dan berbahaya. Tak perlu terluka parah oleh senjata itu, baru kena digores
sedikit saja oleh senjata itu, Indrayana lalu mengerahkan kepandaian dan
kegesitannya, menggerakkan keris pusakanya untuk menjaga diri dan membalas
dengan serangan-serangan hebat
Dimas Indrayana, jangan takut, aku membantu ! " tiba-tiba Pangeran Pancapana
berseru dan pedangnya di putar cepat menyarbu Bagawan Siddha Kalagana. Tadi,
dalam keadaan marah, Pancapana telah berlaku kurang hati-hati sehingga ia
terkena kebutan ujung lengan jubah pendeta itu. Untung pemuda ini memiliki
kesaktian tinggi, kalau tidak, tentu kepalanya akan pecah terkena pukulan yang
ampuh itu. Setelah kepalanya tidak pening lagi. Pancapana melompat berdiri.
Melihat betapa Indrayana didesak oleh senjata ular yang hebat itu, ia cepat
mencabut sebatang pedangnya lalu menyerbu.
Serangan pedang di tangan kanan Pancapana ini kembali mengejutkan Begawan Siddha
Kalagana. Ia mendapat kenyataan bahwa kepandaian Pancapana tidak lebih rendah
daripada kepandaian Indrayana ! gerakan kedua orang muda itu gesit, cepat dan
kuat sekali. Permainan mereka dalam gerakan senjata amat sempurna sehingga
mereka merupakan lawan yang tangguh dan sukar dilawan. Diam-diam Bagawan Siddha
Kalagana mengeluh di dalam hatinya. Kalau dia tidak sedang memondong tubuh
Candra Dewi, belum tentu ia akan kalah menghadapi dua orang ksatria ini, akan
tetapi kini gerakannya amat terbatas dan terhalang oelh tubuh dara itu. Ia tidak
dapat mempergunakan ilmu sihir atau kesaktian yang timbul dari pada ilmu hitam,
karena segala ilmu ini hanya bisa dilakukan apabaila telah dipersiapkan semula.
Ilmu hitam hanya hanya memiliki daya sementara saja, dan untuk ini ia belum
mangadakanpersiapan sebelumnya.
Ia maklum bahwa untuk menjatuhkan kedua orang muda ini, tak mungkin dipergunakan
ilmu-ilmu sihir yang rendah saja, karena dari cahaya muka dan sinar mata
keduanya, ia maklum bahwa mereka memiliki tenaga yang Koleksi Kang Zusi
cukup kuat. Akan tetapi, Begawan Siddha Kalagana adalah seorang yang amat cerdik dan
memiliki banyak sekali akal-akal dan tipu muslihat yang curang. Melihat desakan
kedua orang ia berseru, " Tahan senjata ! "
Suara ini berpengaruh dan mengandung ancaman hebat, maka Indrayana dan Pancapana
cepat melompat mundur dan memandang tajam.
" Mundur kalian ! " negawan Siddha Kalagana berseru. " Kalau kalian masih
berlaku nekad, terpaksa aku harus membunuh gadis ini lebih dulu, baru akan
kutewaskan kalian ! " Sambil berkata demikian, pendeta itu menggangkat senjata
ularnya dan mendekatkan kepala ular itu ke dekat leher Candra dewi yang masih
pingsan. ! " Jangan....... ! " Tiba-tiba Indrayana berseru dengan suara gemetar. "
Jangan bunuh dia ! "
Bagawan Siddha Kalagana tertawa terbahak-bahak. " Ha-ha-ha ! Siapa mau membunuh
dara jelita ini " Sayang kalau dibunuh ! Tidak, aku akanmembawanya ke Candi Sang
Batari Yang Maha Mulia dan ia akan dipuja-puja di tempat itu ! " Bagawan Siddha
Kalagana lalu memberi tanda kepada anak buahnya yang tadi pada turun dari kuda
akan tetapi tak berani membantu pemimpin mereka karena mereka mklum bahwa
kepandaian mereka masih jauh untuk dapat melawan kedua orang muda yang gagah
itu. Kini semua pasukan Serigala hitam melompat ke atas kuda, juag Bagawan
Siddha Kalagana melompat sengan sigapnya ke atas kuda putih yang telah
disediakan oleh anak buahnya, kemudian ia berpaling kepada Indrayana dan
Pancapana. " Sekali lagi, jangan kau halangi aku pergi membawa si denok ini, karena Koleksi
Kang Zusi sekali saja engkau bergerak, si denok ini akan kulemparkan kepada kalian sebagai
mayat ! " Ia tersenyum dan sepasang matanya bergerak liar. "
Akan tetapi, aku tidak melarang kalau kalian memang memiliki kepandaian dan
kegagalan, cobalah, kami siap menanti untuk menyambutmu ! "
Setelah berkata demikian, Bagawan Siddha Kalegana menendang perut kuda dengan
tumit kakinya dan binatang itu meringkik keras lalu melompat ke depan, terus
berlari cepat menyusul pasukan Serigala Hitam yang telah berangkat lebih dulu !
Pancapana menggerakkan tangannya dan ia telah menurunkan gendewa dan anak
panahnya, akan tetapi Indrayana cepat memegang lengannya.
" Jangan, kakangmas Pancapana ! Apakah engkau ingin melihat jeng dewi dibunuh "
Orang macam pendeta iti berhati kejam dan keji, ia tak akan ragu-ragu untuk
membuktikan ancamannya. "
" Habis bagaimana, dimas Indrayana " " tanya Pancapana dengan cemas dan
binggung. " Apakah engkau akan membiarkan saja Candra Dewi diculik dan diganggu
olehnya " " Indrayana mengertakkan giginya dan mengepal tinjunya. " Tidak ! Aku tak akan
membiarkan dia diganggu oleh siapapun juga ! Biar kupertaruhkan jiwaku untuk
menolongnya ! Akan tetapi, kita harus dapat melihat gelagat dan berlaku hati-
hati, kangmas. Bukankah tadi pendeta jahanam itu menantang kita untuk datang ke
tempat tinggalnya " Nah, mari kita mengejar mereka dan berusaha menolong jeng
Dewi. Kalau pendeta durhaka ini mengetahui bahwa kita mengejarnya, tentu ia tak
akan sempat menggangu jeng Dewi ! "
Karena tidak berdaya dan dikalahkan oelh tipu daya licin dan curang dari Begawan
Siddha Kalagana, maka Pancapana terpaksa membenarkan Koleksi Kang Zusi
pendapat Indrayana. Tidak ada jalan untuk menolong Candra Dewi dari bahaya.
Kedua pemuda yang gagah perkasa itu lalu mengerahkan kesaktian mereka dan
mempergunakan Ilmu Lari Cepat Maruta marga ( Jalan Angin ). Ubuh mereka
merupakan bayangan yang cepat sekali bergerak maju, seakan-akan kedua kaki
mereka tidak menginjak bumi !
*** Pedukuhan yang terjadi sarang oleh gerombolan Srigala Hitam terletak di sebelah
barat pantai kali Serang. Serang itu merupakan sebuah perkampungan yang cukup
besar dan ramai. Seluruh penduduk di situ telah menjadi pemeluk agama baru yang
dibawa oleh Bagawan Siddha Kalagana, yaitu Agama Batari Durga. Kehidupan Bagawan
itu beserta semua anak buahnya, yaitu yang merupakan pasukan Srigala Hitam,
semuanya dijamin oleh para penduduk yang hidup sebagai petani dan nelayan.
Penganut agama baru ini telah berkembang biak dan kini kampung itu menjadi makin
besar karena orang-orang dari lain pedukuhan banyak pula yang datang menjadi
pengikut Bagawan Siddha Kalagana. Karena pengaruh sihir dan tenung yang
disebarkan oelh pendeta itu kepada penduduk yang bodoh dan tahyul, maka mereka
itu tidak merasa betapa miskin keadaan mereka. Hampir sebagian besar penghasilan
mereka diberikan kepada pendeta itu belaka. Mereka menganggap Bagawan Siddha
Kalagana sebagai seorang Dewa kalon yaitu seorang dewata yang menjelma menjadi
manusia. Mereka percaya penuh ketika pendeta itu menyatakan bahwa Begawan Siddha Kalagana
sesungguhnya adalah Sang Hyang Syiwa sendiri. Dan sebagaimana telah diketahui
oleh umum pada waktu itu, batari Durga adalah syakti ( isteri ) daripada Sag
Hyang Syiwa ! Di tengah-tengah perkampungan itu, dekat sekali dengan pantai Kali serang di
bagian menikung, oleh Begawan Siddha Kalagana dibangun sebuah candi yang amat
luas. Sebetulnya bukan merupakan bangunan candi yang utuh, akan tetapi tepat
disebut kelompok tempat pemujaan yang dijadikan Koleksi Kang Zusi
pula tempat tinggalnya. Tempat ini dikelilingi oleh pagar bata yang tinggi,
merupakan tempat tertutup. Tidak saja pagar batu itu tinggi, akan tetapi juga
pada tiap sudut dipasangi tempat penjagaan, sehingga hampir merupakan sebuah
benteng. Hanya ada dua buah pintu pada pagar batu itu, yaitu pintu gerbang besar yang
berada di depan, dan sebuah pintu kecil di bagian belakang, yaitu yang menghaapi
sungai. Tidak sembarang orang dapat memasuki pintu gerbang itu, kecuali pada
waktu-waktu tertentu, yaitu pada waktu diadakan pemujaan di dalam candi yang
terletak di tengah-tengah kelompok bangunan yang dikurung pagar bata itu. Pada
waktu diumumkan saat pemujaan, maka pintu gerbang itu dibuka, dan orang-orang
kampung diperkenankan masuk ke dalam untuk melakukan pemujaan secara berbareng
di tenpat yang telah disediakan.
Keadaan di dalam lingkungan pagar bata sungguh amat luar biasa.
Pertama-tama di sebelah dalam pagar, terdapat rumah-rumah petak kecil yang
berjajar, dan di sinilah para anak buah Serigala Hitam tinggal.
Mereka ini tidak saja bertugas sebagai pasukan yang melindungi Agama Sang Batari
Yang Agung, akan tetapi juga sebagai penjaga benteng dan sebagai murid-murid
Bagawan Siddha Kalagana. Anak buah pasukan Serigala Hitam yang kesemuanya
berjumlah tiga puluh sembilan orang ini, hidup membujang dan tidak beristri,
karena " beristri " merupakan pantangan besar bagi seorang murid Sang Begawan.
Ditengah-tengah lingkungan rumah-rumah para muridnya itu, terdapatlah apa yang
disebut candi yang sebenarnya merupakan istana tempat tinggal Bagawan Siddha
Kalagana itu. Sebuah bangaunan yang amat besar dan megah, yang dihias dengan
patung-patung wanita telanjang yang amat indah buatannya. Bangunan ini mempunyai
bagian-bagian terpisah. Ada bagian yang disebut ruang pemujaan, di mana terdapat
sebuah patung Sang Batari Durga yang disembah-sembah. Ada pula bagian kesenian,
di mana seringkali diadakan tari-tarian yang katanya untuk menghibur hati Sang
Batari dan suaminya ( yaitu Pendeta itu ). Ada ruangan tempat pembuatan patung-
patung di mana bekerja ahli-ahli pahat yang amat pandai. Ahli-ahli Koleksi Kang
Zusi sebagian besar adalah hasil penculikan dari daerah Mataram dan Syailendra. Yang
paling hebat adalah kamar tempat Sang Bagawan Siddha Kalagana, sebuah kamar
besar dan penuh dengan patung-patung indah sekali. Kecuali pada waktu-waktu
tertentu, semua bagian di dalam bangunan besar ini, terutama sekali kamar dari
sang Batari dan Suaminya, amat dirahasiakan dan tak seorangpun, termasuk para
anggota Srigala Hitam, diperbolehkan memasukinya.
Kalau ada orang luar masuk ke dalam perkampungan di pinggir Kali Serang itu, ia
akan merasa amat terheran-heran karena tidak melihat adanya gadis-gadis muda
yang cantik. Yang ada hanya beberapa orang gadis saja, akan tetapi mereka ini
bermuka buruk atau bercacad ! Akan tetapi, kalau sudah diberi tahu, mengertilah
dia bahwa semua perawan yang berwajah lumayan dan bersih, diharuskan menjadi
pelayan dari Sang Maha Batari !
Akan terheranlah orang apabila ia masuk ke dalam bangunan besar itu, karena di
situlah semua perawan itu berada. Tidak kurang dari empat puluh orang gadis-
gadis muda mendiami bangunan itu, melakukan pekerjaan sebagai pelayan dan tempat
itu merupakan sebuah penampungan anak-anak dara atau semacam harem dari seorang
Pangeran atau Raja. Orang luar, termasuk juga para anggota Serigala Hitam, tidak
boleh mengadakan hubungan dengan para " pelayan " Sang Batari ini. Hanya pada
saat sang Batari mengadakan pesta, di mana diadakan tari-tarian diiringi oleh
gamelan, barulah orang luar dapat melihat dan berhubungan dengan mereka itu.
Dengan demikian, maka penghuni bangunan besar yang penuh dengan patung-patung
indah itu, hanyalah Bagawan Siddha Kalagana sendiri bersama empat puluh orang
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dara jelita itu. Ketika Bagawan Siddha Kalagana dan rombongannya memasuki kampung halamannya,
membawa Candra dewi yang cantik jelita, mereka di sambut dengan girang oleh
penduduk. Tentu saja mereka tidak mengira bahwa Candra Dewi dibawa dengan paksa
atau diculik, dan mengira bahwa Sang Maha Batari telah memilih seorang pelayan
baru, dan ini berarti bahwa malam nanti akan diadakan pesta keramaian. Pesta
inilah yang merupakan Koleksi Kang Zusi
daya penarik bagi para pemeluk agama baru ini, karena di dalam pesta ini,
Begawan Siddha Kalagana sengaja membuka kesempatan kepada semua orang untuk
mengumbar hawa napsu, membiarkan iblis merajalela dan menguasai perasaan dan
iman, sehingga di dalam pesta pora ini terjadilah hal-hal yang amat mengerikan.
Hal-hal yang amat cabul dan yang kesemuanya dilakukan oelh orang-orang itu tanpa
disadarinya, karena mereka berada dalam pengaruh mujizat, pengaruh setan dan
iblis yang di " dalangi " oleh Begawan Siddha Kalagana.
Malam itu Sang Purnama menyinari permukaan bumi sepenuhnya. Kalau di lain tempat
bulan mendatangkan cahaya indah dan mengusir semua kengerian malam gelap, adalah
di tepi Sungai Serang itu bahkan mendatangkan hawa dingin yang menyeramkan.
Cahaya bulan yang keemasan itu seakan-akan menambah daya hidup dari para demit,
setan, dan iblis di daerah itu, menimbulkan suara-suara yang aneh dan
menyeramkan, dan tiap bayangan disinari bulan merupakan bentuk raksasa yang
dahsyat. Keadaan sunyi sepi, kecuali dari arah benteng di pedusunan itu, di mana Sang
Begawan Siddha Kalagana sedang mengadakan pesta dan dari sanalah datangnya
bunyi-bunyian gamelan yang ganjil pula. Memang Bagawan Siddha Kalagana, selain
membawa agamanya dan tari-tarian dan gamelan dari negerinya, gamelan dan tari-
tarian yang biasanya di Tanah Hindu diadakan untuk memuja dewa Ular. Gamelan itu
terdiri daripada bunyi-bunyian yang melengking, ke luar dari tiga batang suling
berbentuk ular, diiringi oleh suara gendang yang dari jauh terdengar seperti
suara air dipukul. Dusun itu nampak sunyi, karena semua penghuninya tidak
melewatkan kesempatan itu untuk datang mengunjungi pesta Sang Batari Durga yang
diadakan semeriah-meriahnya di ruang seni sebelah kiri bangunan besar itu.
Air kali Serang mengalir perlahan, tidak memperdulikan semua peristiwa itu,
mengalir terus menuju ke utara dengan tenangnya. Sebuah getek, yakni perahu
terbuat daripada bambu yang diikat berjajar, bergerak perlahan terbawa oleh
aliran air sungai, menuju ke dusun itu. Dua orang Koleksi Kang Zusi
muda berdiri di atas getek sambil menggerakkan dayung dari bambu pula.
Mereka ini bukan lain adalah Indrayana dan Pancapana yang mengikuti perjalanan
rombongan Bagawan Siddha Kalagana yang membawa lari Candra Dewi. Setelah dekat
dengan pedusunan itu mereka lalu mempergunakan jalan air karena lebih aman dan
mudah memasuki dusun dari sungai daripada mengambil jalan darat. Mereka
bermaksud memasuki dusun itu secara diam-diam agar dapat menyergap dan menolong
kawan mereka dengan tiba-tiba dari dalam dusun.
Ketika mereka telah tiba di dekat dusun, Indrayana melihat banda-benda terapung
di atas air yang amat menarik hatinya. Sinar bulan tidak begitu terang, akan
tetapi cukup manyinari banda-banda itu nampak seperti bertangan dan berkaki.
" Kakangmas Pancapana, lihat ! Apakah yang terapung-apung itu " "
Pancapana memandang dengan penuh perhatian. " Seperti tubuh manusia !
" serunya. " Mari kita dayung getek ke sana ! "
Kedua orang itu meluncur cepat ke tempat benda-benda terapung-apung.
Setelah dekat mereka memandang penuh perhatian.
" Ya Jagad Dewa Batara ! " tiba-tiba Pancapana menyebut nama dewata dan mukanya
berubah pucat. Juga Indrayana berdiri kesima bagaikan berubah menjadi patung.
Ternyata bahwa benda-benda terapung itu benar-benar adalah tubuh tiga orang anak
kecil yang telah menjadi mayat.
Indrayana dapat menguasai perasaannya lebih dulu dan ia lalu mengulur tangan
menjangkau sebuah daripada tiga mayat itu dan mengangkatnya ke Koleksi Kang Zusi
atas getek. Meremang bulu tengkuk mereka ketika menyaksikan keadaan mayat anak
kecil itu. Ternyata bahwa mayat itu terluka pada bagian dadanya. Bulukan luka
sembarangan, akan tetapi agaknya dada itu memang dibuka dengan sebuah pisau
tajam dan ternyata bahwa isi dada anak itu telah dikosongkan orang ! Agaknya
jantung anak itu telah dicabut dari dalam !
" Gusti Yang Maha Agung ! " seru Indrayana. " Iblis manakah yang sanggup
melakukan kekejaman seperti ini ! "
Pancapana dan Indrayana saling pandang dan menduga-duga, akan tetapi tidak dapat
menemukan jawabannya. " Mari kita angkat dan mengubur ketiganya dengan baik-baik, " kata Pancapana.
Indrayana setuju dan mereka lalu berusaha mengambil dua mayat lain yang masih
mengambang di atas air. Akan tetapi pada saat itu, air kali tergoncang hebat dan
busa air memercik keras. Kepala seekor buaya besar tersembul di permukaan air
dan menyambar ke arah mayat kecil itu !
" Kurang ajar ! " seru Pancapana marah dan secepat kilat pemuda perkasa ini
telah mengambil gendewanya menjebret, dua batang anak panah meluncur cepat dan
dengan tepat sekali menancap pada kedua mata buaya itu !
" Bagus sekali. Kakangmas Pancapana ! " Indrayana memuji sambil tersenyum
memandang binatang yang kini berenang dengan liar di dalam air, memukul-mukulkan
ekornya dan menggeliat-geliat. Air sungai menjadi hitam di bawah sinar bulan,
tanda bahwa air itu telah bercampur dengan darah yang keluar dari sepasang mata
buaya itu. Tak lama kemudian, tampaklah tubuh buaya yang besar itu mengambang
dengan perutnya ke Koleksi Kang Zusi
atas. Perut itu keputihputihan berbeda dengan punggungnya yang hitam dan kasar.
Indrayana dan Pancapana lalu mengangkat dua mayat anak kecil tadi ke atas getek.
Tiba-tiba air bergelombang makin besar dan kini tersembullah kepala belasan ekor
buaya yang besar-besar ! Bukan main kagetnya Indrayana melihat hal ini.
Menghadapi seekor dua ekor saja masih terkawan oleh mereka, akan tetapi belasan
ekor binatang buas ini benar-benar merupakan bahaya maut. Sekali saja ekor
mereka yang kuat itu memukul getek, mereka akan terguling di dalam air dan akan
tewas ! " Dimas Indrayana, cepat dayung getek ke tepi ! " deru Pancapana. Mereka lalu
mengerahkan tenaga dan mendayung getek itu ke pinggir, dikejar oleh barisan
buaya itu. Setelah berada dekat tepi, Indrayana dan Pancapana melompat ke darat
sambil memondong tiga mayat anak-anak itu. Mereka berdiri memandang ke air
sambil mengeleng-gelengkan kepala.
" Berbahaya sekali ! " kata Indrayana, melihat betapa dengan buasnya buaya-buaya
itu menyambar getek. Terjadi pergulatan sebentar ketika binatang-binatang itu
memperebutkan getek yang sudah kosong dan tak lama kemudian getek itu menjadi
hancur lebur.! Pecahan-pecahan bambu terapung dan terbawa oleh air. Setelah
melampiaskan amarah mereka kepada getek kosong itu, buaya-buaya itu lalu
menyelam kembali dan lenyap dari pandangan mata. Juga buaya yang telah tewas
karena dua batang anak panah Pancapana tadi tak nampak lagi, agaknya diseret ke
dasar sungai oleh kawan-kawannya.
Sungguh ajaib ! " kata Pancapana. " Selama kita naik getek, tak pernah kelihatan
seekorpun buaya. Akan tetapi, mengapa di tempat ini terdapat begitu banyak buaya
" " Koleksi Kang Zusi Indrayana menengok ke belakang, ke arah suara gamelan terdengar. "
tidak aneh, kangmas, karena disini termasuk daerah yang dikuasai oleh pengaruh
Bagawan Siddha Kalagana. Siapa tahu kalau-kalau buaya-buaya tadi adalah anak
buahnya pula " "
Mereka lalu menggali tanah di tepai sengai dan mengubur tiga mayat naka kecil
tadi. Ternyata bahwa ketiganya telah lenyap isi dadanya dan melihat betapa kulit
dada yang dibelek itu masih ada tanda-tanda darah, maka mereka dapat menduga
bahwa peristiwa keji itu terjadi belum lama.
Setelah mengubur ketiga mayat anak kecil itu baik-baik, kedua pemuda gagah
perkasa itu lalu berjalan mengendap-endap menuju ke dalam dusun itu. Ternyata
semua rumah di dalam dusun telah kosong dan tak seorangpun nampak berada di
situ. Indrayana mengeleng-geleng kepala melihat keadaan rumah-rumah yang lebih
patut disebut gubuk-gubuk miskin sekali itu, tak lebih baik dari pada gubuk-
gubuk yang berada di tengah sawah dalam dusun-dusun di Kerajaan Syailendra !
Kemudian mereka menuju ke bangunan besar di tengah kampung itu.
Begitu tiba di dekat pagar bata. Indrayana dan Pancapana merasa heran, karena
sesungguhnya bangunan yang dikelilingi pagar kuat ini merupakan sebuah keraton
kerajaan kecil. Apapula ketika melihat adanya penjaga-penjaga di sudut tembok. !
Mari kita serbu penjaga-penjaga itu ! " bisik Indrayana.
" Jangan, " jawab Pancapana, " sebelum mengetahui bagaimana keadaan Candra Dewi,
lebih baik kita menghindarkan setiap pertempuran. Mari kita masuk dari lain
bagian yang tak terjaga ! "
Koleksi Kang Zusi Mereka lalu mengambil jalan memutar dan tiba di sebelah kanan bangunan.
Pancapana lalu mengunakan pedangnya untuk memotong sebatang cabang pohon yang
panjang yang ada cawangnya, lalu mengaitkan cabang itu pada tembok di atas.
Dengan mudah saja lalu ia lalu naik melalui cabang itu itu ke atas tembok dan
memberi isyarat kepada Indrayana untuk naik pula.
Demikianlah, tanpa diketahui oleh penjaga yang kurang memperhatikan karena
mereka mencurahkan perhatian mereka kepada pesta yang sedang berlangsung di
dalam dan menyesali nasib karena kebetulan sedang bertugas menjaga sehingga
tidak dapat segera ikut menikmati pesta itu, kedua teruna itu dapat masuk dengan
mudah. Sambil bersembunyi di bawah bayangan gedung itu, mereka mendekati bangunan dan
diam-diam mereka amat kagum melihat ukiran-ukiran indah dan patung-patung yang
dipasang di sekitar bangunan. Patung-patung itu kesemuanya telanjang dan amat
indah buatannya. Terutama bentuk patung-patung itu, benar-benar dikerjakan oleh
seorang ahli yang pandai.
Akan tetapi perasaan kagum karena keindahan ukiran itu tercampur oleh perasaan
segan, sungkan dan mual karena jelas sekali tampak bahwa si pembuat patung ingin
menonjolkan sifat ketelanjagan patung itu sehingga mengarah kepada kecabulan.
Agaknya pembuat patung itu sengaja mencurahkan keahliannya untuk membuat bagian-
bagian tubuh yang biasanya tertutup menjadi bagian yang paling menarik.
Tiba-tiba terdengar Pancapana mengantuk perlahan. Indrayana menegok dan melihat
kawannya itu sedang berdiri di depan sebuah patung yang juga bertelanjang bulat.
Dan patung itu adalah patung Dewi Sri isteri daripada Sang Hyang Wisnu !
Setelah menyembah patung Dewi Sri itu, Pancapana lalu manrik tangan Indrayana
untuk meninggalkan tempat itu dan ia menyumpah-nyumpah, "
Ini penghinaan besar kepada para dewata ! Bagawan Siddha Kalagana itu agaknya
gila ! " Koleksi Kang Zusi " Sssst..... " kata Indrayana sambil mendekatkan telunjuk pada bibirnya. "
Dengar, kangmas, ada suara...... "
Ketika mereka mendengarkan engan teliti benar saja, di antara suara gamelan yang
dipukul di ruang sebelah kiri bangunan besar itu, terdengar suara lain, suara "
tok, tok, tok, ! " seperti orang memukul-mukulkan sesuatu di atas batu.
" Pemahat patung ! " bisik Pancapana. Dia sendiri adalah seorang yang telah
mempelajari ilmu kesenian ini, maka suara itu cukup jelas baginya.
" Semua orang berpestapora, mengapa pemahat patung itu bekerja seorang diri "
Mari kita lihat ! " ajak Pancapana.
" Akan tetapi, kita perlu mencari diajeng Dewi ...... "
" Lebih baik mencari dari sebelah sini, kurasa Candra Dewi dikurung dalam
bangunan ini. Marilah ! " Mereka lalu memasuki pintu bangunan itu dari sebelah
kanan dan menuju ke arah suara orang memahat patung tadi.
Lorong-lorong di dalam bangunan itu semua diukir indah dan diterangi dengan
lampu-lampu minyak yang cukup terang. Pada dinding di kanan-kiri terdapat ukiran
yang menggambarkan pada Dewa di Khayangan, akan tetapi semua dewata itu bersujud
dan menyembah seorang dewi yang cantik jelita dan telanjang bulat yaitu Dewi
Durga ! Alangkah ganjilnya gambar-gambar ini bagi Indrayana dan terutama bagi
Pancapana yang memuliakan Dewa-dewa itu. Suara orang memahat batu itu makin
keras dan akhirnya kedua pemuda itu mengintai ke dalam sebuah rungan yang
terang-benderang dan luas. Mereka menahan napas ketika menyaksikan rungan yang
luar biasa itu. Di situ penuh dengan patung-patung yang amat indah.
Koleksi Kang Zusi Patung-patung wanita telanjang dalam berbagai kedudukan, dan mereka tidak kenal
siapakah patung-patung itu, karena nampaknya seperti muka orang biasa, seperti
wajah perawan-perawan kampung yang cukup manis.
Sebagian besar daripada patung-patung itu masih belum selesai dan dapat diduga
bahwa di situ biasanya bekerja banyak sekali ahli patung, karena masih nampak
bekas-bekas tempat mereka bekerja. Akan tetapi, pada saat itu, yang bekerja di
dalam ruangan besar itu hanya seorang saja, seorang laki-laki tua yang kurus
kering dan berambut panjang. Dengan asiknya, pemahat tua itu sedang
menyelesaikan sebuah patung yang lain daripada yang lain, karena patung ini
bukan patung seorang wanita telanjang, melainkan patung Bagawan Siddha Kalagana
sendiri. Kepala dan bagian tubuh atas telah selesai dan pemahat itu sedang berlutut,
mengerjakan bagian bawah, Indrayana dan Pancapana saling pandang, karena takjub
melihat keindahan patung itu. Mereka merasa seakan-akan berhadapan dengan
Begawan itu sendiri. Demikian hidupnya patung itu sehingga mata patung itu
seolah-olah bergerak dan hidup. Akan tetapi tiba-tiba Pancapana memegang lengan
Indrayana dan berbisik dengan suara gemetar.
" Dia adalah Panjipurna ahli patung Mataram ! "
Sebelum Indrayana dapat bertanya, pangeran itu lalu manrik tangannya dan
menyerbu ke dalam rungan itu. Akan tetapi, aneh sekali, ahli patung itu seakan-
akan tidak memperdulikan mereka, dan tetap bekerja dengan tekunnya.
" Paman Panjipurna ! " seru Pancapana sambil mendekati orang itu.
Barulah kakek itu menegok dan melihat Pancapana, ia memandang dengan benggong
dan pucat. Kemudian tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan Koleksi Kang Zusi
menangis ! " gusti Prabu, ampunkan hamba...... Sudah tibakah saatnya paduka datang menjemput
nyawa hamba " "
Pancapana tertegun. Orang itu tentu telah berubah ingatannya, dan menganggap
bahwa dia adalah mendiang Sang Prabu Sanjaya, ayahnya ! Ia maju mendekat dan
kembali ia tertegun ketika ia menyaksikan betapa kedua kaki kakek itu terikat
oleh belenggu besi yang panjang sehingga tak mungkin kakek itu dapat melarikan
diri ! " Aduh, paman Panjipurna, bagaimana kau sampai menjadi begini " "
Setelah berkata demikian, tanpa membuang waktu lagi, Pancapana dan Indrayana
lalu membuka rantai belenggu kaki orang tua itu.
Baru saja pekerjaan ini selesai dan kaki orang tua itu telah bebas, tiba-tiba
dua orang penjaga masuk ke dalam ruang itu. Mereka ini adalah anggota-anggota
Serigala Hitam yang bertugas meronda tempat-tempat yang kosong itu, dan mereka
memegang sebatang tembok yang runcing.
" Eh, siapakah kalian ini " " bentak mereka ketika melihat Pancapana dan
Indrayana berada di tempat itu. Akan tetapi, sebagai jawaban, kedua pemuda
digdaya itu menyerbu. Dengan dua kali tonjokan saja kedua orang peronda itu
roboh pingsan dan tak berdaya sama sekali ketika Indrayana dan Pancapana
menggunakan rantai pengikat kaki Panjipurna tadi untuk membelenggu mereka berdua
dan melempar tubuh mereka berdua di sudut ruang itu.
" Raden, engkau siapakah " " Panjipurna yang seakan-akan baru sadar dari Koleksi
Kang Zusi mimpi itu bertanya sambil memandang kepada Pancapana dengan takjub.
Pancapana tersenyum. " Tentu engkau tidak mengenal lagi kepadaku, paman
Panjipurna. Dahulu ketika engkau masih bekerja di istana Rama Prabu, aku masih
kecil. Aku adalah Pangeran Pancapana ! "
Aduh, Gusti Pangeran ...... ! " kakek itu lalu menjatuhkan dari menyembah sambil
menangis karena terharu. Kemudian atas pertanyaan Pancapana, ia menceritakan
pengalamannya yang mengerikan. Ia diculik oleh Bagawan Siddha Kalagana dan
dibawa ke tempat itu. Telah banyak ahli-ahli ukir dan pahat berada di situ, akan
tetapi mereka ini semua berada di bawah pengaruh dan tenung dari Bagawan yang
sakti itu, bahkan telah memeluk agama yang disiarkan oleh Bagawan Siddha
Kalagana. Hanya Panjipurna seoranglah yang masih kuat dan teguh imannya sehingga
ia tidak sampai terbujuk. Hal ini hanya mungkin karena kakek seniman ini juga
seorang ahli tapa yang telah memiliki batin sekali sehingga tak dapat terkena
guna-guna dan tenung Sang Bagawan Siddha Kalagana.
" Inilah sebabnya, maka bertahun-tahun hamba dibelenggu dan dipaksa bekerja di
sini. Hamba tidak sudi mengerjakan patung-patung cabul itu, maka bangain hamba
hanya membuat patung-patung lelaki, dan yang terakhir ini hamba dipaksa membuat
patung Sang Begawan. "
" Di manakah adanya lain-lain ahli patung yang bekerja " " tanya Pancapana.
" Seperti biasa, Gusti Pangeran. Mereka itu ikut pula bersukaria dalam pesta
gila itu. Karena hanya dalam pesta gila itulah mereka berkesempatan untuk
bersukaria dan melampiaskan segala nafsu iblis ! "
Koleksi Kang Zusi " Paman, kami berdua datang untuk mancari dan menolong seorang puteri yang
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
diculik oleh pendeta iblis itu. Di manakah kiranya disembunyikan kawan kami
itu " " Panjipurna menarik napas panjang. " Memang bagawan itu jahat sekali.
Hamba sendiri tidak pernah keluar dari ruang ini, gusti. Akan tetapi hamba tahu
bahwa bagawan itu memiliki sebuah bilik istimewa di sebelah bangunan ini. Adapun
ruang pesta gila-gilan itu berada di sebelah kiri.
Kalian hati-hatilah, Bagawan Siddha Kalagana amat sakti, dan kaki tangannya
banyak sekali. " " Jangan khawatir, paman. Kalau kami berhasil menyelamatkan kawan itu, kami akan
berusaha menolongmu keluar dari sini pula. " Setelah berkata demikian, Pancapana
dan Indrayana lalu keluar dari ruangan itu dan dengan hati-hati sekali mereka
menuju ke dalam. Akhirnya karena tidak berhasil mendapatkan kamar rahasia dari
pendeta iblis itu, mereka lalu menuju ke sebelah kiri untuk mengintai ruang
pesta yang makin ramai itu. Ketika meteka telah tiba di tempat itu dan
mengintai, hampir saja keduanya berseru saking heran, terkejut, marah, dan juga
seram. Ruang yang disebut ruang senitari itu ternyata amat luas, empat kali lebih lebar
daripada ruang tempat pembuatan patung tadi yang sudah cukup lebar. Berbeda
denagn ruang-ruang lain, di sini tidak dipasangi penerangan lampu, akan tetapi
gentengnya terbuka sama sekali sehingga penerangan yang masuk di dalam ruang itu
sepenuhnya didapat dari sinar bulan purnama. Oleh karena itu, maka pemandangan
di situ suram-suram, menyeramkan, akan tetapi juga romantis sekali. Oleh karena
sinar bulan cukup terang, Indrayana dan Pancapana dapat melihat hiasan arca-arca
dan ukiran-ukiran pada dinding ruang itu dan kedua pemuda itu menahan nafas
saking kagum, heran , dan juga jengah. Mereka kagum, oleh karena seni pahat yang
menghasilkan hiasan-hiasan itu sungguh-sungguh amat mengagumkan karena indahnya.
Apalagi Indrayana yang berada di Kerajaan Syailendra, bahkan Pancapana sendiri
yang berada di Mataram di mana banyak terdapat ahli-ahli patung yang pandai,
juga takjub sekali Koleksi Kang Zusi
menyaksikan patung-patung dan ukiran-ukiran yang sedemikian indahnya.
Akan tetapi, yang membuat mereka terheran-heran, jengah, dan juga seram adalah
keadaan segala macam ukiran dan arca itu. Semua arca yang berada di situ
telanjang bulat, bahkan cabul sekali, lebih-lebih lagi ukiran-ukiran dan gambar-
gambar pada dinding rungan itu. Bukan main kotor dan cabulnya. Ukiran-ukiran dan
gambar-gambar itu menggambarkan dunia Kamawacara, yakni daerah keinginan nafsu
dan duniawi yang membuat manusia sama dengan binatag. Dengan cara menyolok
dilukis atau diukirkan pelanggaran-pelanggaran, perzinaan-perzinaan dan
pencabulan yang tiada taranya, lukisan-lukisan manusia-manusia telanjang yang
malakukan kehidupan seperti binatang, dan lain lukisan lagi yang kesemuanya
menggambarkan hidup yang tenggelam dalam kenikmatan nafsu-nafsu buruk.
Di tengah-tengah ruang yang amat lebar itu, berdirilah patung yang besarnya dua
kali ukuran manusia biasa, dan inilah patung Batari Durga, shakti ( isteri )
dari Sang Hyang Syiwa. Akan tetapi bukan seperti patung Batari Durga yang
dikenal oleh Pancapana dan Indrayana, melainkan patung Batari Durga yang
bertelanjang bulat dan tidak mengenal malu sekali !
Di suatu sudut duduklah sekelompok orang yang manaruh gamelan. Kurang lebih
seratus orang laki-laki dan wanita berjubah menjadi satu, duduk bersimpuh di
ruangan itu dan semua orang menghadap kepada patung Batari Durga dengan penuh
khidmat. Tujuh orang laki-laki tua yang berpakaian seperti pendeta, duduk pula
bersimpuh di kaki patung itu dan kadang-kadang mereka menyanyikan lagu menurut
irama gamelan itu, lalu diikuti oleh para pengunjung yang terdiri daripada
orang-orang kampung di tepi Kali Serang.
Di tempat sudut rungan itu mengembul asap kayu garu dan cendana dibakar, membuat
rungan ini berbau harum dan sedap, bahkan semua patung yang berada di situ,
terutama sekali patung Batari Durga yang di Koleksi Kang Zusi
tengah-tengah, penuh dengan kembang melati dan mawar serta kenangan, sehingga
keadaan di situ penuh dengan bau kembang yang harum pula.
Hawanyapun sejuk dan segar, karena di atas terbuka sama sekali.
Ketika kedua orang muda yang mengintai dengan hati berdebar-debar itu mencari-
cari dengan pandang mata mereka kalau-kalau terlihat Candra Dewi atau Bagawan
Siddha Kalagana di situ, tiba-tiba semua orang yang menghadap patung Batari
Durga itu meniarapkan tubuh mereka di atas lantai seakan-akan menyambut
munculnya seorang Dewa atau Raja Besar.
Dan yang disujudi itu muncullah dari sebuah pintu yang tertutup kain sutera
kuning, diiringi oleh nyanyian-nyanyian para pendeta yang tujuh orang jumlahnya
itu. Gamelan dibunyikan perlahan sehingga keadaan benar-benar menyeramkan.
Akan tetapi Indrayana dan Pancapana hampir saja tak dapat menahan ketawa mereka
karena geli dan jijik melihat keadaan Bagawan Siddha Kalagana yang muncul dari
pintu. Pendeta itu sama sekali tidak berpakaian !
hanya sorban penutup kepala dan sehelai cewat sempit saja yang masih menempel
pada tubuhnya. Tubuhnya kelihatan makin kurus dan makin tinggi, penuh dengan
batu hitam terutama di dada, kaki dan lengan.
Seperti seekor monyet ! Ia lebih pantas disebut monyet bersorban, bercawat
daripada disebut manusia bertelanjang ! Akan tetapi, di samping kelucuan ini,
memang benar ada sesuatu yang amat mengerikan keluar dari keadaan pendeta ini.
Sepasang matanya seperti bukan mata manusia lagi, mencorong bagikan mata seekor
ular, jalannya juga perlahan dan lemas bagaikan ular kobra merayap maju
berlenggak-lenggok. Di samping kegelian hatinya. Indrayana dan Pancapana diam-
diam mereasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Bukan manusia bagawan ini
pikir mereka, melainkan seekor iblis jahat menjelma menjadi manusia Bagawan
Siddha Kalagana lalu menghampiri patung Batari Durga itu, menjura di hadapannya
kemudian ia memeluk pinggang patung itu dengan mesra seakan-akan seorang suami
memeluk isterinya yang terkasih !
Teringatlah Indrayana dan Pancapana bahwa Bagawan Siddha Kalagana menganggap
diri sendiri sebagai titisan Sang Hyang Syiwa, suami dari Koleksi Kang Zusi
Batari Durga ! Menggigilah pundak Pangeran Pancapana ! Benar-benar suatu
pelanggaran terhadap dewata, suatu penghinaan yang hebat sekali. Hanya orang
berotak miring jualah yang berani melakukan penghinaan seperti ini !
Bagawan siddha Kalagan lalu duduk di atas sebuah kursi berukir gambar sepasang
naga. Kursi itu tinggi dan terletak di sebelah kanan patung Batari Durga yang
telanjang bulat itu. Alangkah lucunya pasangan itu dalam pandangan mata
Pancapana dan Indrayana. Selain patung Batari Durga itu jauh lebih tinggi dan
besar, juga keduanya merupakan lambang dari keindahan dan keburukan. Kalau
patung Batari Durga itu merupakan tubuh seorang manusia wanita yang serba elok
dan sempurna lekuk lengkungnya, adalah tubuh bagawan yang duduk di atas kursi
itu merupakan potongan tubuh manusia yang gagal, setengah manusia setengah
monyet ! Akan tetapi, alangkah ganjilnya, semua orang yang berada di situ
bertiarap menghormat kepada manusia monyet yang menjijikan itu dengan penuh
khidmat ! Pendeta Hindu itu lalu menggerakkan kedua tangannya, dilonjotkan
kedepan seakan-akan hendak memberi berkah kepada semua orang, akan tetapi
suaranya mengandung perintah ketika ia berkata,
" Kawula ( hamba sahaya ) Sang Batari yang terberkah ! Sang Batari telah memilih
seorang pelayan baru, oleh karena itu pada malam hari ini kami berkenan
mangadakan pesta untuk merayakan peristiwa yang bahagia ini !
Akan tetapi ketahuilah bahwa pelayan baru kali ini bukanlah sembarangan pelayan,
karena masih terhitung keluarga sendiri. Dia adalah puteri Batara Candra,
namanya Candra Dewi. Batara Candra sendiri telah memberi ijin persetujuannya
untuk memberikan puterinya kepadaku, untuk menjadi pelayan dan selir dari aku,
Sang Hyang Syiwa. Semua ini telah dikehendaki oleh Sang Batari Yang Maha mulia !
" Setelah berkata demikian, ia menengok kepada tujuh orang pendeta menjadi
pembantunya. " Panggil keempat puluh bidadari untuk mengadakan tari-tarian di sini dan
Koleksi Kang Zusi menghibur setiap hati yang rindu dan sunyi, menyerahkan semua kepandaian dan
kecantikan mereka. Jangan lupa, bawa ke sini pula tiga buah jantung murni yang
akan menambah masa penjelmaanku dengan tiga windu lagi. "
Tujuh orang pendeta itu lalu mengundurkan diri dan tak lama kemudian, dari dalam
keluarlah empat puluh orang gadis yang daang berlari-lari kecil bagaikan terbang
melayang, diiringi suara gamelan yang menyambut kedatangan mereka. Indrayana dan
Pancapana merasa kagum sekali.
Keempat puluh orang gadis itu masih amat muda dan rata-rata memiliki kecantikan
muka yang cukup menarik. Mereka mengenakan pakaian yang amat tipis berwarna
putih bening sehingga ketika mereka datang berlari kecil itu, tubuh mereka
nampak membayang di balik pakaian yang amat tipis itu. Gerakan mereka lincah dan
lemas, dan dalam keadaan yang suram-suram itu, dalam pakaian yang amat tipis,
diiringi pula oleh gamelan yang ganjil bunyinya, mereka itu tiada ubahnya
seperti keempat puluh Bidadari turun dari Khayangan. Dengan gerakan yang lemah
gemulai mereka lalu menjatuhkan siri berlutut di depan Bagawan Siddha Kalagana.
19 Indrayana dan Pancapana melihat betapa semua mata memandang kepada empat puluh
orang gadis cantik itu, dan mata orang-orang lelaki yang hadir di situ
memancarkan cahaya penuh nafsu. Sementara itu gamelan berbunyi terus, akan
tetapi keempat puluh penari itu tidak bergerak dan masih berlutut menyembah
seakan-akan telah berobah menjadi patung. Seorang di antara ketujuh orang
pendeta tadi maju menyerahkan sebuah cawan terukir berisi tiga potong benda
kecil berwarna kehitaman.
Bagawan Siddha Kalagana menerima cawan ini dengan muka berseri, kemudian
sepotong demi sepotong ia mengambil dan menelan benda merah terserbut sambil
memejamkan matanya. Tak terasa lagi Indrayana dan Pancapana saling pandang
denagn mata terbelalak membayangkan Koleksi Kang Zusi
kengerian hebat. Dengan mudah mereka dapat menduga bahwa benda-benda kecil merah
yang ditelan oleh pendeta aneh itu tentulah jantung anakanak kecil yang mayatnya
terapung di sungai tadi. Bagawan Siddha Kalagana mengambil dan menelan jantung
anak-anak kecil untuk digunakan sebagai obat panjang umur.
" Bawa anggur Sang Batari ke sini ! " seru Bagawan Siddha Kalagana setelah
menelan habis tiga buah jantung anak-anak itu. Pendeta yang duduk di atas lantai
lalu mengambil sebuah gemntong terisi penuh anggur merah. Untuk mengangkat
gentong ini, diperlukan tenaga empat orang pendeta yang bertubuh kuat, akan
tetapi setelah gentong diberikan kepada pendeta itu, dengan tangan kiri Bagawan
Siddha Kalagana mengangkat gentong dan menungkan isinya ke dalam mulutnya begitu
saja ! Tentu saja pertunjukan ini mendatangkan rasa kagum, takjub dan percaya akan
kesaktian dalam hati para penonton, sungguhpun hak ini bukan merupakan hal aneh
bagi Indrayana maupun Pancapana. Setelah puasa minum anggur itu, Bagawan Siddha
Kalagana lalu menurunkan gentong anggurnya dan berkata sambil tertawa,
" Sekarang, sebelum pesta dimulai, semua orang supaya minum anggur pemberian
Sang Batari lebih dulu seperti biasa ! "
Seakan-akan orang yang sudah ketagihan sekali, orang-orang itu berebut
merangkak-rangkak maju mendekati pendeta-pendeta yang membagi-bagi minuman itu.
Seorang mendapat anggur secawan kecil dan akhirnya, setelah para penari yang
empat puluh orang jumlahnya itu diberi kesempatan minum terlebih dahulu, semua
orang mendapat bagian dan gentong itu menjadi kosong dan dibawa keluar.
" Bunyikan gamelan, menarilah untuk menghormati Sang batari, " kini Koleksi Kang
Zusi Bagawan Siddha Kalagana berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya. Maka
berbunyilah kembali segala gamelan tadi dan kini terdengar irama yang amat ganas
dan gembira, seakan-akan para penabuh telah menjadi panas darahnya karena
minuman anggur merah tadi.
Empat puluh orang pelayan atau pengiring Sang Betari, yang pada hakekatnya
adalah selir-selir Sang Begawan Siddha Kalagana itu, kini bangkit berdiri dan
menarilah mereka dengan gerakan-gerakan yang indah dan menggairahkan. Pada
permulaannya, tarian mereka itu lemas dan halus dan benar-benar mengandung seni
tari yang amat indah, akan tetapi makin lama, gerakan mereka menjadi makin cepat
dan bunyi gamelan makin dahsyat. Penari-penari itu seperti mabok dan tak peduli
lagi betapa karena gerakan mereka yang cepat, pakaian mereka kadang-kadanag
terbuka sehingga memperlihatkan pemandangan yang tidak sopan. Para penonton juga
kehilangan keseimbangan lagi. Kalau tadinya mereka bersikap sopan dan hormat,
kini mereka mulai tertawa-tawa, bersorak-sorak, bahkan tubuh mereka tidak mau
diam, berlenggang lenggok mengikuti irama gamelan.
Indrayana dan Pancapana tertegun. Belum pernah selama hidup mereka melihat atau
bermimpi melihat pemandangan seperti itu. Sudah gilakah semua orang itu,
demikian pikir mereka. Lebih hebat ketika gamelan ditabuh makin hebat sehingga
tak lama kemudian, pakaian-pakaian tipis yang yang hanya dilibatkan pada tubuh-
tubuh dara-dara ayu itu, berterbangan terlepas dari pundak dan memenuhi lantai,
membuat mereka sama seperti patung-patung wanita yang berada di situ. Makin
menggila pulalah sikap para penonton, terutama para mudanya. Dengan pandangan
mata mereka, seakan-akan mereka hendak menelan bulat-bulat para penari yang
bergerak-gerak di depan mereka itu.
Tiba-tiba Bagawan Siddha Kalagana berseru sambil bertepuk tangan,
" Bagus, sekarang semua menari ! Semua menari untuk menghibur Sang Maha Batari !
" Koleksi Kang Zusi Karena mereka semua itu sudah maklum bahwa hal ini akan terjadi, maka tadi para
penonton sudah merupakan air bah yang tertahan oleh bendungan. Isyarat dan
perkenan dari Begawan Siddha Kalagana ini bagaikan memecahkan bendungan itu
sehingga air bah yang kuat itu membanjir keluar ! Bagaikan kemasukan iblis,
orang-orang itu melompat berdiri, menari-nari, tertawa-tawa berteriak-teriak
mengelilingi empat puluh orang penari yang membangkitkan gairah itu. Penonton-
penonton perempuan tidak ketinggalan, merekapun lalu menari-nari dan di dalam
keributan itu, laki-laki dan perempuan bertukar pasangan, suami menari dengan
perempuan lain dan isteri menari dengan laki-laki lain !
Indrayana dan Pancapana saling pandang dengan penuh pengertian. Inilah yang
menjadi sebuah daripada alat-alat pemikat dan penarik dari Begawan Siddha
Kalagana. Dengan amat pandainya pendeta itu menggunakan kekuatan sihirnya,
membuat orang-orang itu menjadi lemah imannya dan kehilangan semangat, kemudian
memabokkan mereka dengan minuman merah itu dan yang terakhir sekali, memberi
kebebasan kepada mereka menari serta bersentuhan dengan empat puluh orang dara
ayu, selir-selirnya itu !
Beberapa orang penari yang sudah mabok betul-betul dengan mata sayu dan penuh
nafsu menghampiri Bagawan Siddha Kalagana, menari-nari dengan pinggang
berlenggang-lenggok seperti ular di depan dan mnegitarinya, bahkan mulai
menarik-narik tangannya diajak menari bersama. Akan tetapi, dengan pandang mata
bosan, Bagawan Siddha Kalagana mengebaskan tangannya, bahkan lalu berkata kepada
mereka. " Bawa Sang Candra Dewi ke sini ! Malam ini kita merayakannya, maka hanya dengan
dialah aku mau menari ! Sebelum melepaskan ikatannya, lebih dulu beri dia minum
secawan madu merah ! "
Koleksi Kang Zusi ketiga orang dara ayu itu nampak kecewa, akan tetapi mereka lalu tertawa
cekikikan dan berlari-lari masuk untuk menjalankan perintah itu !
Pancapana dan Indrayana saling memberi isyarat dan bagaikan sudah berjanji
terlebih dulu, mereka lalu meninggalkan tempat persembunyian mereka dan cepat
mengikuti tiga orang dara yang masih telanjang bulat dan berlari-lari itu.
Inilah kesempatan sebaik-baiknya bagi mereka. Ketiga orang penari akan membawa
mereka ke tempat kurungan Candra Dewi.
Kalau Indrayana dan Pancapana tidak mengikuti perjalanan tiga orang penari yang
semangatnya telah dipengaruhi oleh tenung dan sihir Bagawan, agaknya takkan
mungkin mereka dapat mencari kamar di mana Candra Dewi terkurung. Kamar itu
adalah kamar Bagawan Siddha Kalagana sendiri, sebuah kamar yang besar dan indah,
penuh pola ukir-ukiran cabul. Untuk dapat memasuki kamar itu ketiga penari tadi
melalui tiga lapir pintu rahasia yang hanya dapat dilihat dan dibuka setelah
menggeser patung-patung yang berada di luar kamar.
Dengan hati-hati dan sembunyi-sembunyi kedua orang muda itu mengintai dan
mengikuti tiga orang penari tadi, berjalan melalui sebuah lorong sempit. Tiba-
tiba ketiga orang penari tadi menghentikan tindakan kaki mereka karena jalan itu
buntu dan mereka menghadapi sebuah dinding batu yang tebal. Di sebelah kiri
terdapat sebuah patung serigala batu itu, memutarnya ke kanan dan terdengarlah
suara bergeret dengan terbukanya dinding batu itu ! Ketiga orang penari itu
melangkah masuk dan tertutuplah kembali jalan tadi. Dilihat begitu saja agknya
tak mungkin di situ akan terdapat sebuah pintu tembusan ! Indrayana dan
Pancapana menjadi girang sekali dan setelah menanti beberapa saat, mereka lalu
memutar leher serigala batu itu dan terbukalah pintu. Mereka cepat melangkah
masuk dan melanjutkan pengejaran mereka.
Kembali mereka sampai di jalan buntu dan terdapat pula sebuah patung serigala
hitam yang lebih besar dan lebih dahsyat. Kedua orang pemuda itu Koleksi Kang
Zusi mengira bahwa rahasianya terletak pula pada leher serigala batu itu yang harsu
diputar, akan tetapi ternyata tidak sedemikian. Seorang penari lalu memasukkan
tangan ke dalam mulut serigala batu yang lebar itu dan menarikknya maka
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terbukalah sebuah pintu pula pada dinding yang tadinya rapat itu !
Seperti juta tadi, Indrayana dan Pancapana berhasil masuk ke dalam pintu rahasia
ini setelah merogoh mulut patung serigala dan menarik lidah patung anjing
serigala itu. Dengan penuh perhatian mereka melanjutkan pengintaian. Kini mereka
tiba di depan sebuah pintu, yakni pintu teakhir, akan tetapi syarat untuk
membuka pintu ini bukan merupakan suatu rahasia, melainkan lebih hebat dan
berbahaya lagi. Kini yang menjaga di depan pintu bukanlah seekor patung serigala
yang mengandung rahasia, melainkan seekor serigala hitam tulen ! Serigala ini
besar sekali dan bulunya hitam bagaikan arang. Sepasang matanya liar dan
mengkilat, sedangkan moncongnya yang merah itu terbuka, lidahnya terjulur keluar
di antara dua baris gigi yang runcing dan tajam melebihi pisau belati !
Setelah mengelus-elus leher dan menepuk-nepuk kepala serigala hitam yang
besarnya seperti anak sapi itu. Ketiga wanita tadi lalu membuka daun pintu dan
berjalan masuk dengan lenggang mereka yang amat menggiurkan.
Pancapana dan Indrayana saling pandang. Tak ada lain jalan bagi mereka selain
mencoba untuk menerobos jalan yang terjaga ini. Akan tetapi baru saja mereka
muncul, serigala hitam itu tiba-tiba menggeram dan menyalak dengan hebatnya,
lalu menerkam ke arah dua orang pemuda yang berani mendekatinya.
" Kakangmas, awas ! " seru Indrayana yang berjalan di belakang Pancapana.
Akan tetapi Pangeran itu adalah seorang pemuda yang cukup gagah. Di terkam
sedemikian rupa oleh serigala yang menggerikan itu, ia berlaku tenang, miringkan
Pasangan Naga Dan Burung Hong 4 Pengelana Rimba Persilatan Jiang Hu Lie Ren Karya Huang Yi Pedang Kiri Pedang Kanan 12