Pencarian

Banjir Darah Di Borobudur 3

Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 3


tubuh ke kiri dan kepalan tangan kanannya menyambar lambung serigala itu.
Koleksi Kang Zusi " blek ! " tubuh serigala itu bagaikan dilemparkan oleh tenaga yang dahsyat dan
kuat sekali sehingga terbanting ke dinding batu. Akan tetapi, alagkah herannya
hati Pancapanaketika melihat bahwa tubuh binatang itu tidak remuk sebagai mana
yang ia kira, bahkan batu-batu dinding itu yangberhamburan karena benturan itu,
sedangkan serigala itu sendiri hanya menguik keras satu kali, kemudian bangun
kembali dan menyeranglah lebih hebat lagi ! Bukan main kagetnya hati Pancapana.
Pukulannya tadi amat keras, jangankan baru lambung anjing serigala, biarpun
lambung seekor banteng akan terluka hebat di bagian dalam apabila terkena
pukulan tadi. Ia tak sempat memikirkan hal itu karena kini serigala itu telah menyerang lagi
dengan mulut terbuka lebar-lebar, menerkam dan hendak menggigit lehernya !
Pancapana berlaku gesik sekali. Ia mengulur tangan kiri menangkap kaki depan
serigala itu, menyentakkan ke bawah sehingga kepala serigala itu menunduk sambil
mengerahkan tenaga dan kesaktiannya, ia mengirim pukulan tangan kanan ke arah
kepala binatang itu dengan ajinya Hasta Dibya ( Tangan Sakti ).
" Dak !! " terdengar suara keras ketika tangannya itu beradu dengan kepala
serigala, akan tetapi kembali pancapana di bikin benggong ketika melihat betapa
serigala itu hanya terguling-guling tiga kali saja, akan tetapi sama sekali
tidak menderita luka ! dengan pukulan Hasta Dibya ini, Pancapana pernah memukul
pecah kepala seekor babi hutanyang mengamuk, akan tetapi kali ini, dipukul
kepalanya dengan demikian tepat dan jitu oleh ajinya Hasta dibya, serigala hitam
itu seakan-akan hanya menertawakan belaka !
Serigala siluman ! " serunya marah dan cepat mencabut pedangnya dan dengan
gerakan yang luar biasa cepatnya, pangeran ini mendahului serigala itu menusuk
perutnya ! Akan tetapi, kali ini ia sampai menjadi pucat ketika merasa betapa
ujung pedangnya mental kembali setelah beradu dengan kulit perut serigala itu !
Koleksi Kang Zusi " Ah, dia kebal !! " serunya dengan heran.
Sementara itu, Indrayana yang juga merasa penasaran sekali, mencabut kerisnya.
Ketika serigala hitam itu menubruk lagi ka arah Pancapana, Indrayana menyambar
ekornya dan dibantingnya dengan kuat tubuh serigala itu sehingga kepala serigala
menghantam lantai batu. Seperti juga tadi, kepala serigala yang amat kebal dan
keras itu malah menghancurkan batu yang bertumbuk dengan kepalanya. Indrayana
menambahkan beberapa tkali tikaman keris pusakanya, akan tetapi, benar saja
seperti dugaan Pancapana, serigala itu memang kebal dan sakti ! Kalau seorang
manusia, biarpun ia sakti dan kebal, tak mungkin kuat menerima pusaka di tangan
Indrayana. Akan tetapi oelh karena yang dihadapinya adalah seekor binatang yang
telah mendapat " isi " oleh ilmu hitam Bagawan Siddha Kalagana, maka kerisnya
ini tidak berdaya. " Ada jalan untuk membuatnya tak berdaya ! " tiba-tiba Pangeran Pancapana
berseru keras dan ia menubruk maju, merangkul leher serigala hitam itu dari
punggung dan memitingnya. Serigala itu meronta-ronta hendak melepaskan diri,
akan tetapi pitingan Pancapana ini luar biasa sekali. Lengan kanan pemuda ini
memiting leher sehingga leher serigala itu terpuntir ke atas, sedangkan tangan
kiri pemuda itu memegang ekornya dengan erat sekali. Maka tak berdayalah
serigala itu, hanya matanya saja yang makin liar dan mulutnya berbuih, akan
tetapi sama sekali tak dapat bergerak lagi. Mengeluarkan suarapun ia tak mampu !
" Biarpun aku yang menolong kangmas ! " kata Indrayana setelah melihat serigala
hitam itu tak dapat dibikin tak berdaya oleh kawannya. Ia lalu menolak daun
pintu dan melompat ke dalam kamar, ia menjadi marah sekali ketika melihat betapa
Candra Dewi berada di dalam kamar itu, berdiri menyandar sebuah tiang naga dan
diikatkan di situ ! Dara ini menangis terisak-isak dan menggeleng-gelengkan
kepala ketika seorang di anatara tiga penari itu hendak memberinya minum madu
merah dari sebuah cawan, sedangkan dua orang penari lain hendak melucuti
pakaiannya. Koleksi Kang Zusi " Keparat ! " seru Indrayana dan sekali tubuhnya berkelebat, ia telah emndorong
tiga orang penari itu sehingga jauh tunggang langgang dan saling tindih, saking
gemasnya. Indrayana hendak menendang tubuh mereka. Akan tetapi tiba-tiba
terdengar suara yang lemah dan halus dari Candra dewi,
" jangan dibunuh mereka itu ...... "
Ucapan ini seakan-akan mempunyai tenaga raksasa yang menahan kaki Indrayana dan
pemuda itu dengan hati penuh perasaan kasian dan terharu, lalu merenggut putus
tali-tali yang mengikat kaki dan tangan Candra Dewi.
Gadis ini menggosok-gosok kedua pergelangan tangannya terasa sakit sambil
menerkam matanya. Ketika ia membuka kebali matanya, maka kedua mata itu menjadi
basah dan air mata mengalir turun kembali dengan derasnya. Ia memandang kepada
Indrayana bagaikan ke dalam mimpi, tidak merasa betapa pakaiannya telah hampir
membuat ia telanjang sama sekali.
Tiba-tiba ia berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan Indrayana.
" Kau ...... kau telah menyelamatkan diriku dari bahaya yang lebih hebat dari maut
...... Terima kasih, Raden, terima kasih ...... semoga Dewata memberi berkah kepadamu ......
! " Jilid 4 Terharulah hari Indrayana melihat kelakuan gadis ini. Ia maklum akan perasaan
gadis ini, yang telah berada di tepi jurang kehancuran dan kehinaan yang akan
memusnakan kesucian dan kehidupannya. Ia menyentuh rambut yang halus itu dan
berkata, Koleksi Kang Zusi "Diajeng Dewi, sudahlah jangan menangis, betulkan letak pakaianmu dulu
......" Sambil berkata demikian, Indrayana menutup kedua matanya. Tak tahan ia
melihat keindahan ini terbentang di depan matanya. Melihat para penari yang
bertelanjang bulat tadi, ia merasa jijik dan muak, akan tetapi kini melihat
Candra dewi berlutut di depannya dengan pakaian hampir telepas dari tubuh ia
merasa betapa lututnya menjadi lemas dan dadanya berdebar keras.
Sementara itu, ketka mendengar ucapan Indrayana ini, barulah Candra Dewi sadar
akan keadaannya. Mukanya menjadi merah sekali dan cepat-cepat ia mengkerling
kepada wajah pemuda itu ia menarik napas dan makin merahlan mukanya ketika
melihat betapa pemuda itu berdiri sambil memejamkan matanya. Ia cepat-cepat
membetulkan dan memakainya pakaiannya kembali, diikat erat-erat dengan kembennya
kemudian ia berkata, " Di mana Raden Pancapana " "
Candra Dewi mengangguk, tak kuasa menjawab karena jengah dan malunya, sama
sekali tidak ingat bahwa Indrayana sedang memejamkan matanya,.
" Eh, bagaimana, diajeng " Sudah ..... sudah selesaikan berpakaian " "
baru dara itu teringat bahwa anggukan kepalanya tadi tentu saja tidak terlihat
oleh Indrayana ! Koleksi Kang Zusi " Su ...... sudah, " jawabnya sambil menundukkan muka.
Indrayana membuka matanay dan cepat memegang tangannya.
" hayo kita lekas keluar dari sini ! Selama belum keluar dari bangunan ini,
bahaya masih tetap mengancam kita ! Kakangmas Pancapana menunggu diluar ! "
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di luar kamar itu. Indrayana cepat menarik
tangan Candra Dewi dan diajknnya ke luar. Ternyata ketika Pancapana sedang
meringkus serigala hitam yang tak dapat berkutik dalam pitingannya tadi, tiba-
tiba datang lima orang pendeta yang duduk di dekat patung Batari Durga di ruang
tarian itu. Mereka ini datang karena selain terlalu lama menanti datangnya
Candra Dewi yang di jemput oleh ketiga orang penari itu, juga mereka mendengar
suara serigala hitam yang mencurigakan.
Orang nekad dari mana berani mengotorkan tempat kami yang suci " "
bentak seorang antara lima pendeta itu yang segera maju menyerang Pancapana.
Pemuda ini melihat datangnya serangan kelima orang pendeta itu cukup hebat dan
berbahaya, segera mengangkat tubuh serigala hitam dan melontarkan binatang yang
kebal itu ke arah para penyerangnya.
Kelima orang pendeta itu yang merasa dirinya telah bersih dan suci, tentu saja
tidak mau bertubrukan dengan tubuh serigala hitam dan sebagai murid-murid
Bagawan Siddha Kalagana yang telah di percaya dan memiliki kepandaian yang
lumayan, mereka cepat mengelak, bahkan seorang di antara mereka memukul ke arah
leher serigala hitam itu dengan tangan dimiringkan.
Koleksi Kang Zusi " ngek ! " sekali pukul saja binatang itu terlempar dan rebah tak berkutik lagi
karena pingsan ! Pancapana terkejut sekali melihat hal ini. Dua kali pukulannya yang amat ampuh,
bahkan bacokan pedangnya dan tusukan keris Indrayana , tak berhasil merobohkan
binatang itu, akan tetapi ddengan sekali tampar saja pendeta ini dapat membuat
binatang itu pingsan, sungguh dapat di bayangkan betapa saktinya pendeta ini. Ia
tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan demikianlah halnya. Anjing hutan itu bukan
roboh karena saktinya pukulan si pendeta, akan tetapi, sebagai murid Begawan
Siddha Kalagana, pendeta ini telah tau letak rahasia kekebalan serigala hitam
tadi, maka bagi dia dan kawan-kawannya, serigala hitam itu tidak memiliki
kekebalan lagi. Dengan teriakan-teriakan marah, kelima orang pendeta itu menyerbu Raden
Pancapana dan pada saat itulah Indrayana dan Candra Dewi keluar dari kamar itu.
Melihat betapa Pancapana dikeriyok oleh lima orang pendeta, Indrayana berseru
marah dan menerjang ke depan. Kelima orang pendeta itu sama sekali bukan lawan
Indraana dan Pancapana memiliki pukulan keras dan telapak tangan panas. Dalam
beberapa gebrakan saja, tubuh kelima orang pendeta itu bergulinga dan bertumpuk
menjadi satu dengan kepala benjol, mata biru dan tulang rusuk patah !
" Hayo kita keluar dari neraka ini ! " kata Indrayana sambil menarik tanagn
Candra Dewi. Ketika melihat betapa dara itu pucat sekali mukanya karena banyak
menderita kegelisahan dan ketakutan sehingga kedua kakinya gemetar dan tak dapat
lari cepat, tanpa ragu-ragu lagi Indrayana lelu memondong tubuhnya. Untuk sesaat
tubuh Candra Dewi menegang dalam pelukan kedua tangannya, akan tetapi melihat
tarikan muka Indrayana yang sungguh-sungguh dan sama sekali tidak mengandung
nafsu tidak senonoh, tubuh dara itu menjadi lemas dan ia bahkan meletakkan
kepalanya di atas pundak pemuda itu. Pancapana tidak berkata sesuatu melihat hal
ini, karena saat yang amat berbahaya itu tidak memberi kesempatan bagi mereka
untuk meributkan hal-hal kecil dan tidak memberi Koleksi Kang Zusi
saat untuk berjenaka pula.
Karena telah mengetahui rahasia pintu yang di sebelah dalamnya juag ada patung-
patung serigala hitam seperti di bagaian luar, mereka dapat keluar dengan mudah.
Akan tetpi sebelum mereka tiba di luar bangunan, sepasukan penjaga telah
menghadang di depan dengan senjata tajam di tangan ! Pancapana yang bertahan di
depan, membuka jalan dengan pedangnya. Ke mana saja pedangnya berkelebat,
menjeritlah seorang pengeroyok dan robohlah tubuh seorang penjaga sehingga
mereka menjadi gentar sekali dan membiarkan Pancapana dan Indrayana yang
memondong tubuh Candra Dewi lewat dan keluar dari bangunan itu !
Kini kedua orang muda itu telah tiba pekarangan belakang yang juag cukup luas.
Mereka berlari menuju sebelah pintu gerbang kecil yang akan membawa mereka ke
tepi Sungai Serang. Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan yang keras sekali dan
dengan luar biasa sekali cahaya bulan yang tadinya terang-benderang menjadi
gelap sama sekali ! "Kakangmas Pancapana ! " bisik Indrayana yang terpaksa berhenti berlari.
" Apakah yang terjadi " "
" Sst, dimas, tenang dan waspadalah ! Agaknya bagawan siluman itu sendiri telah
keluar dan ini tentu perbuatan sihirnya ! "
Mereka berdua berdiri berdekatan, saling berpegangan tangan, urat-urant di tubuh
menegang, siap menghadapi kemungkinan. Candra Dewi yang berada di dalam pelukan
Indrayana segera berbisik, Koleksi Kang Zusi
"Raden, turunkan aku, agar dapat siap menghadapi lawan. " Suara dara itu gemetar
karena merasa ketakutan melihat kehebatan musuh uang mempunyai kesaktian
demikian mengerikan. Indrayana menurunkan tubuh Candra Dewi, akan tetapi tangan kanannya memegang
tangan dara itu, sedang tanagn kirinya memegang tangan Pancapana. Keadaan makin
gelap dan awan yang tadinya bergulung di atas agaknya kini turun ke bawah dan
menyelimuti mereka sehingga mereka tiak dapat melihat kawan-kawan sendiri !
Tiba-tiba terdengar suara yang menyeramkan, bagaikan iblis dari neraka.
"Ha-ha-ha ! Indrayana , dan Candra Dewi ! Kalian hendak melarikan diri "
Ha-ha-ha ! " Selenyapnya suara ini terdengar suara anjing atau serigala
melolong-lolong dengan hiruk-pikuk, seakan-akan ada puluhan ekor serigala buasa
yang mengurus dan hendak menyerang tia oranga nak muda itu !
Tiba-tiba Indrayana merasa betapa tangan Candra Dewi meremas jari tangannya
dengan etar-erat dan gadis itu berbisik.
" Aku ...... aku takut ...... ! "
Indarayana merasa betapa tubuh gadis yang merapat padanya itu menggigil. Siapa
orangnya yang takkan merasa ngeri dan takut dalam keadaan yang menyeramkan itu "
Koleksi Kang Zusi Diajeng, " bisiknya menghibur, " Jangan takut selama aku masih berada di dekatmu
! " " Siddha Kalagana ! " teriak Indrayana kemudian dengan suara keras. " Kau
pendeta siluman yang tak tau malu ! Seorang yang mengaku sakti titisan Sang
Hyang Syiwa, mengapa baru menghadapi kami dua orang muda saja sudah merasa takut
" Sungguh memalukan sekali ! " hening sejenak. Lenyap suara anjing melolong.
Kemudian, dari dalam gelap terdengar suara Bagawan Siddha Kalagana menjawab.
" Bocah sombong, siapa takut pada kalian " Jangankan baru dua orang muda seperti
kalian, di tambah dua puluh orang lagi, aku Bagawan Siddha Kalagana, titisan
Sang Hyang Syiwa, tidak akan takut atau mundur ! "
Diam-diam Indrayana yang cerdik itu tersenyum girang. Akalnay telah berhasil
baik dan kata-katanya tadi telah menyinggung perasaan dan kehormatan si begaawan
itu. Pemuda ini lalu tertawa bergelak dan berkata lagi.
" Siddha Kalagana, hatimu tak sama dengan lidahmu dan lidahmu tidak cocok dengan
perbuatanmu ! Kalau kau tidka takut terhadap kami, mengapa kau mempergunakan
ilmu iblis dan bersembunyi di dalam gelap " Ha-ha-ha !
Aku tau akan akal siasat burukmu ini. Tentu saja kau tidak berani melawan kami
berdepan secara orang-orang gagah, karena kau bukan orang gagah, melainkan orang
berhati curang dan pengecut ! "
" Keparat jahanam mau mampus !! " Tiba-tiba terdengar Bagawan Siddha Kalagana
memaki marah dan kegelapan yang menyelimuti tempat itu seketika itu juga menjadi
terang. Bulan nampak bersinar lagi dengan indahnya. Kini kelihatanlah bagawan
itu yang berdiri di depan ketika orang muda itu dengan sikap mengancam dan
mengerikan sekali. Bagawan itu Koleksi Kang Zusi
telah menggenakan pakaiannya yang terdiri dari celana panjang warna hitam, dan
jubah hitam berkembang merah dan kuning dan sorbannya yang berwarna kuning
pucat. Di tangan kanannya nampak senjatanya yang amat dahsyatnya, yakni seekor
ular kobra yang kering. Di belakang pendeta siluman ini berdiri anak buah
pasukan Srigala Hitam. Adapun suara gamelan yang masih di tabuh ramai itu
menyatakan bahwa pesta tari-tarian yang makin menggila itu masih berlangsung,
dan bahwa para penduduk yang kini telah mabuk tak sanggup menguasai batin dan
pikiran sendiri itu, tidak mengetahui sama sekali peristiwa ini dan mereka itu
masih menari-nari dengan empat puluh orang bidadari yang menggiurkan itu !
Indrayana dan Pancapana maklum bahwa keadaan mereka berbahaya sekali.
Menghadapai bagawan itu saja sudah merupakan hal yang amat berat dan berbahaya,
apa lagi berada di sarang mereka dan kini bagawan itu masih dibantu oleh
sebagian anak buahnya ! Akan tetapi, semangan ksatria pantng mundur dalam
perjuangan menghadapi musuh angkara murka. Kedua orang muda itu tidak menjadi
gentar dan mereka mengambil keputusan untuk melawan dengan nekad, membela dan
melindungi Candra dewi dengan nyawa mereka dan kalau pesta perlu tewas bersama
di tempat itu ! " Indrayana ! " seru Bagawan Siddha Kalagana sambil tersenyum mengejek. " Lebih
baik engkau meyerah, menjadi muridku mempelajari ilmu kepandaian yang tinggi dan
aji kesaktian yang luar biasa. Percayalah, engkau akan mejadi murid terkasih
dariku, dan akan merupakan anak angkatku. Engkau akan dapat mempelajari seni
ukir dan seni tari. Si Candra juga akan menjadi seorang yang paling dihormati,
menjadi pelayang yang paling tinggi kedudukannya, paling dekat dengan Sang Hyang
batari dan aku ! Untuk apa engkau menyia-nyiakan nyawa dalam usia muda " "
Bagawan Siddha Kalagana kini memandang kepada pancapana dan ucapannya terhadap
Pancapana benar-benar mengagetkan ketiga orang muda itu. " He, Pancapana,
pangeran yang terlantar ! Apakah engkau tidak ingin menjadi Raja Mataram,
menggantikan kedudukan ayahmu dulu " ha-ha-ha ! Engkau menjadi pucat mendengar
ini ! Ya, tidak ada perkara di duni aini yang tidak diketahui oleh Bagawan Sddha
Kalagana yang sidik paningal dan sakti mendraguna ! Kalau engkau suka menjadi
muridku, jangan Koleksi Kang Zusi
khawatir. Merebut kembali Mataram dari tangan Panamkaran akan sama mudahnya
seperti membalikkan telapak tangan saja. Engkau menyehkan dan aku yang akan
merampaskan Mataram untukmu ! "
Tadinya Pancapana memang menjadi pucat mendengar ucapan yang mengagetkan itu,
karena sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa pendeta iblis itu mengetahui


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rahasianya. Akan tetapi ketika mendengar bujukan-bujukan pendeta itu, ia mejadi
marah sekali. Dengan muka kembali merah, Pancapana mengangkat pedangnya dan
berseru, " Pendeta keparat ! Kalau engkau sudah tahu bahwa ku adalah seorang pangeran
Mataram, masihkah engkau mengharapkan seorang ksatriya berlutut menyembah seekor
anjing " " Bukan main marahnya Bagawan Siddha Kalagana mendengar kata-kata ini,
" Bocah-bocah sombong, engkau mengandalkan apakah, berani kurang ajar terhadap
Bagawan Siddha Kalagana " "
Akan tetapi Pancapana dan Indrayana tidak mau melayani pendeta itu mengobrol
lebih jauh, dan keduanya lalu menerjang dengan senjata di tangan. Bagawan Siddha
Kalagana telah merasai sepak terjang kedua orang muda ini, dah harus ia akui
bahwa dalam hal kepandaian memainkan senjata, kedua orang muda ini lebih tangkas
dan pandai. Akan tetapi pendeta ini tidak takut, karena sekarang ia berada di
tempat sendiri, dan untuk keperluan pesta itu ia telah memasang mantera dan
tenung sehingga tubuhnya diliputi oleh hawa gaib dan selaksa iblis menjadi
sahabat dan hambanya. Keris di tangan Indrayana bukanlah sebilah keris baisa, melainkan sebatang keris
pusaka yang amat ampuh. Keris Bajradenta ( Kilat Putih ) ini mempuanyai daya dan
pengaruh untuk menolak pengaruh-pengauh hitam, Koleksi Kang Zusi
dan kini setelah di mainkan oleh tangan Indrayana yang terlatih dan kuat, maka
keris itu berkelebatan dan menyambar-nyambar bagaikan halilintar.
Hawa yang timbul dari cahaya berkelebatannya keris itu saja sudah mendatangkan
rasa panas bagi yang di serangnya. Indrayana memiliki ketankasan dan kegesitan
seperti burung walet, maka tentu saja permainan kerisnya juga hebat dan sukar
sekali di hadapi. Demikian juga Pacapana tidak kurang hebat dan kuatnya. Pemuda ini telah mendapat
gemblengan dari seorang pertapa yang sakti. Di bawah pimpinan Panembahan
Bayumurti, pemuda ini telah melakukan tapabrata dan telah mempelajari berbagai
ilmu keperwiraan dengan amat tekunnya, maka ia merupakan seorang pemuda yang
selain gagah perkasa, juga sakti mandraguna. Pedangnya bernama Candrasa Wilis
( Pedang Hijau ) karena terbuat daripada baja yang bersinar kehijauan. Tajamnya
bukan alang kepalang dan baja atau besi biasa saja yang terbacok oleh Candrasa
Wilis ini pasti akan putus bagaikan mentimun ! juga ilmu pedang pemuda ini amat
cepat dan ganas gerakannya, pedang di putar-putar merupakan segulung awan hijau
yang bergerak-gerak menyambar bagian lemah tubuh Bagawan Siddha Kalagana.
Sesungguhnya, dua orang pemuda itu merupakan lawan yang amat tangguh.
Biarpun Bagawan Siddha Kalagana juga memiliki kepandaian pencak silat yang cukup
tinggi, kepandaian yang di pelajarinya di tanah airnya ketika ia masih muda,
namun menghadapi sepak-terjang Pancapana dan Indrayana , diam-diam ia harus
mengakui keunggulan kedua pemuda itu ! Jangankan di keroyok dua, andaikata ia
menghadapi seorang saja di antara mereka, belum tentu ia mendapat kemenangan !
Maka perlahan-lahan Pancapana dan Indrayana mendesak dan mengurung pendeta itu
yang sibuk sekali memutar-mutar senjata ularnya dan mengelak ke sana ke mari
melepaskan diri dari bahaya maut. Biarpun pedeta itu amat terdesak, namun para
anak buahnay tidak berani sembarangan bergerak membantu. Tanpa perintah dari
pendeta yang berkuasa itu, mereka tidak berani berlaku lancang.
Mereka menaruh kepercayaan penuh kepada Bagawan Siddha kalagana, karena mereka
percaya bahwa sesembahan mereka itu bukan lain adalah Sang Batara Syiwa sendiri
yang menjelma menjadi manusia ! Tidak ada Koleksi Kang Zusi
seorag manusia, biar yang gagah-gagah seperti dua orang pemuda itu berada di
tempat tinggal Sang Maha Batari Durga yang suci dan maha kuasa, yang tentu akan
membantu suaminya dalam pertempuran melawan siapapun juga !
Bagawan Siddha Kalagana maklum bahwa kalau ia terus melawan mengandalkan
kepandaian dan kekuatan jasmani, ia akan kalah ! Tidak boleh ia menderita
kekalahan dihadapan semua pengikutnya, karena hal ini akan menhancurkan
kedudukannya, akan menghilangkan kepercayaan para pengikutnya. Maka diam-diam ia
meulau berkemak-kemik membaca mantera dan sepasang matanya mulai mengeluarkan
cahaya yang ganjil dan menyeramkan ! Candra Dewi yang berdiri memandang
pertempuran itu dengan gelisah, tiba-tiba melihat betapa sepasang mata bagawan
itu mencorong bagaikan mata harimau di malam hari. Saking ngeri dan takutnya.
Candra Dewi mengeluarkan jerit tertahan dan menggeluarkan kedua tangan untuk
menutupi matanya ! Indrayana dan Pancapana juga melihat perobahan pada mata lawannya itu, maka
merekapun menjadi terkejut sekali. Akan tetapi kedua orang pemuda gagah ini
masih dapat menenteramkan hati mereka. Tiba-tiba pendeta itu berseru keras, "
Lihat ! " Dan tangan kirinya memegang sesuatu yang diambilnya dari dalam
jubahnya. Benda yang dipegangnya itu mencorong dan memantulkan sinar bulan
kepada muka Indrayana dan Pancapana. Kedua orang muda itu hendak miringkan
kepala, akan tetapi terlambat. Sinar yang keluar dari benda yang dipegang oleh
Siddha Kalagana telah menyambar pandang mata mereka sehingga bagaikan kena
pesona mereka berdua tak dapat melepaskan pandangan mata dari benda yang
bersinar-sinar di tangan lawannya itu. Dengan mata memandang ke arah benda itu,
kedua orang muda ini telah masuk ke dalam perangkap pendeta itu ! Kini pendeta
itu telah menguasai kemauan mereka dengan ilmu hitamnya. Betapapun kedua orang
muda itu mengerahkan tenaga batin untuk membebaskan diri dari pengaruh yang
membuat hati dan pikiran mereka serasa beku, namun tetap mereka tak berdaya.
Pengaruh yang melumpuhkan mereka itu luar biasa kuatnya.
Koleksi Kang Zusi Berlututlah kalian berdua, hai kawula ( hamba ) baru dari Sang Maha Batari ! "
terdengar suara Bagawan Siddha Kalagana memerintah. Bagaikan ada tenaga gaib
yang melemahkan seluruh semangat mereka, Indrayana dan pancapana lalu
menjatuhkan diri berlutut di hadapan pendeta itu !
Bagawan Sidda Kalagana tertawa terbahak-bahak dan ia lalu melangkah maju
menghampiri Candra Dewi yang berdiri menggigil ketakutan.
" Ha-ha-ha ! Candra Dewi, anak manis, denok dan ayu ! kau sudah ditakdirkan
menjadi pelayan Sang Maha Batari, sudah ditakdirkan menjadi pelayan selir Sang
Batara Syiwa ! Ha-ha-ha, marilah manis, mari ikut junjuganmu merayakan pesta dan
menari gembira ! " Candra Dewi tak dapat mengeluarkan suara saking takutnya. Ia melangkah mundur
perlahan-lahan, matanya menatap pendeta itu tanpa berkedip.
" Ha-ha, kekasihku ayang, mengapa takut-takut " Mengapa malu-malu " "
Sang pendeta melangkah maju mendekat, hatinya makin gairah dan nafsunya
memuncak. Sementara itu, para pengikutnya ketika melihat betapa pendeta itu
mengalahkan dua orang pemuda yang gagah perkasa makin tunduk dan percaya penuh.
Siapakah yang akan dapat mengalahkan kesaktian Sang Hyang Syiwa "
Akan tetapi, tiba-tiba pendeta itu dan juga semua anak buahnya terkejut sekali
ketika melihat sinar terang dibarengi suara keras menyambar dari udara. Saat itu
udara tidak mendung, dari manakah datangnya kilat yang menyambar hebat itu "
Suara kilat yang keras itu memecahkan pengauh ilmu hitam yang dilepas oleh
Bagawan Siddha Kalagana kepada Indrayana dan Pancapana sehingga merekapun
terkejut karena suara keras itu dan melompat bangun !
Koleksi Kang Zusi Bagawan Siddha Kalagana berdiri dengan kedua mata terbelalak heran.
Candra Dewi segera berlari kepada kedua pemuda itu dan dalam ketakutan hebat, ia
lalu menubruk ...... Indrayana yang segera memeluk dan mengusap kepalanya.
" Tenanglah, diajeng ...... " bisik pemuda itu.
Bagawan Siddha Kalagana masih terbelalak memandang ke atas dengan pikiran heran
karena ia tak dapat mengerti dari mana datangnya halilintar yang menyambar dan
yang menghancurkan hikmat sihirnya tadi. Kemudian, entah dari mana datangnya,
terdengarlah suara halus akan tetapi amat berpengaruh.
" Indrayana , kau tidak lekas mengajak kedua kawanmu melanjutkan perjalanan, mau
tunggu kapan lagi " "
Indrayana terkejut mendengar suara ini. " Eyang Panembahan, " bisiknya perlahan
dengan girang dan juga heran, lalu denagn cepat ia memegang tangan Candra Dewi
dan berkata kepada Pancapana.
" Kakangmas Pancapana, hayo kita lari ! "
Indrayana menarik tangan Canra Dewi dan berlari, diikuti oleh Pancapana.
Mereka keluar dari pintu belakang dan ketika sampai di tepi Kali Serang, mereka
lalu berlari menyusur sepanjang tepi sungai.
Koleksi Kang Zusi Bagawan Siddha Kalagana amat marah melihat korban-korbannay melarikan diri. Ia
lebih marah lagi kepada suara yang telah menolong para korbannya itu. Ia
berkemak kemik membaca mantera lalu berseru keras.
" Tidak ada titah Dewata yang tak dapat terlihat olehku ! "
Bagawan Siddha Kalagana memiliki kesaktian yang tinggi dan apabila ia telah
mengucapkan mantera disusul bentakannya yang amat berpengaruh ini, biasanya
segala aji yang dipergunakan orang untuk menghilang akan buyar dayanya. Akan
tetap saja ia tidak melihat orang yang berkata-kata kepada Indrayana tadi ! Ia
terkejut dan mklum bahwa ia menghadapi seorang berilmu tinggi yang memiliki
kesaktian luar biasa, maka dengan suara halus ia berkata.
" Saudara dari manakah yang datang menggangu kami " harap sudi memperlihatkan
diri agar kami dapat melihat siapa yang telah memberi kehormatan besar
mengunjungi tempat kami yang buruk ini ! "
Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus dan kedua mata Bagawan Siddha Kalagana
serta mata semua pengikutnya kini dapat melihat seorang kakek yang berusia
tinggi berdiri di bawah pohon sambil bersedakap.
" Bagawan Siddha Kalagana, " kakek itu berkata dengan suaranya yang halus dan
tenang, " tiada yang kekal di dunia ini kecuali kebenaran ! Cepat atau lambat,
segala keadaan akan sirna kembali lenyap kembali ke tempat asl. Kesesatan dan
kejahatan akan lebih cepat lagi runtuhnya, kembali ke alam gelap dan siksa dari
mana ia berasal. Makin besar nikmat duniawi yang didatangkan oleh kesesatan,
makin besar pula siksa yang akan menjadi buahnya. Masihkah kau tidak insaf dan
hendak melanjutkan langkahmu yang menyeleweng daripada jalan kebenaran " "
melihat kakek itu, Koleksi Kang Zusi
lenyaplah kesombongan Bagawan Siddha Kalagana. Ia merangkapkan kedua tangan di
depan dada dengan hormatnya lalu berkata.
" Ah, tidak tahunya Sang Bagawan Ekalaya yang telah membersihkan batin daripada
segala urusan dunia itu, kali ini sengaja turun gunung untuk bertanding ilmu
dengan aku " Apakah kau berani mempergunakan tanganmu yang telah tercuci bersih
untuk menghancurkan aku " "
Sang Bagawan Ekalaya tersenyum. " Tidak, Siddha Kalagana, aku tidak akan
mencampuri urusanmu. Bukan menjadi tugasku untuk mengakhiri pengumbaran hawa
nafsu. Aku hanya datang menghalangimu dari bencana yang hendak kau timpahkan
kepada calon-calon muridku. Nah, selamat tinggal, Siddha Kalagana ! " Sehabis
berkata demikian, lenyaplah tubuh pertapa sakti itu dari hadapan Siddha Kalagana
dan para pengikutnya. Merahlah pendeta itu, akan tetapi ia maklum bahwa sesungguhnya pertapa itu tidak
mau mengganggunya, namun ia sendiri tidak berdaya terhadap kakek yang suci dan
tinggi ilmunya itu. " Hayo ! Kita melanjutkan pesta kita ! Jangan perdulikan segala pertapa pemakan
rumput ! " Ia lalu memimpin anak buahnya kembali ke ruang pesta di mana masih
berlagsung pesta yang makin menggila itu. Kini semua orang sudah mabok betul-
betul sehingga mereka melakukan perbuatan-perbuatan yang hanya patut dilakukan
oleh segala setan dan iblis di neraka.
*** Setahun lebih Indrayana , Pancapana, dan Candra dewi berdiam di puncak Gunung
Muria yang terletak di atas sebuah pulau kecil di seberang tepi Pulau Jawa.
Mereka bertiga mendapat gemblengan dari Sang Panembahan Ekalaya, mendapat ilmu
kebatinan yang tinggi. Kalau Candra Dewi hanya mendapat ilmu-ilmu kebatinan dan
pengetahuan tentang filsafat, adalah Indrayana dan Pancapana mendapat latihan
ilmu kesaktian pula. Oleh Koleksi Kang Zusi
karena itu, kedua orang pemuda itu kini makin kuat dan digdaya. Keduanya diberi
wejangan dan aji kesaktian melawan ilmu-ilmu hitam.
Pada waktu-waktu terluang, Indrayana mempelajari ilmu seni pahat dan seni ukir
dari Pancapana dan Candra Dewi. Kedua orang muda ini sebagai puteri dan murid
Panembahan Bayumurti memang pandai sekali membuat patung dan gambaran terukir,
terutama sekali Candra dewi. Kalau jari-jari tangan yang kecil, runcing dan
halus itu memegang alat pengukir patung, jari-jari itu dapat bergerak dengan
amat cekatan dan cepat. Senang benar Indrayana melihat dara ini bekerja memahat
patung untuk memberi contoh kepadanya. Kalau sedang bekerja dengan asyiknya itu,
sepasang mata dara itu menyipit dan memancarkan cahaya kalau ia memandang dan
megamat-amati patung yang sedang dibentuknya. Cahaya mata seorang seniman.
Kadang-kadang, saking asyiknya Candra Dewi mengeluarkan ujung lidahnya yang
kecil merah itu di antara sepasang bibirnya dan seikal rambutnya yang hitam dan
halus itu beruntai ke depan keningnya. "
Hubungan antara Indrayana dan Candra Dewi bertambah erat dan kini gadis itu
tidak canggung dan malu-malu lagi kepada Indrayana yang selalu sopan santun dan
ramah tamah. Sungguhpun mulut mereka tak pernah menyatakan apa yang terkandung
di dalam hati masing-masing, namun pandangan mata mereka telah membocorkan
rahasia hati. Pertemuan pandang mata mereka selain mendatangkan kesan mendalam
yang mendebarkan hati, juga saling bicara dalam seribu bahasa yang hanya dapat
terdengar oleh telinga hati masing-masing.
Indrayana adalah seorang pemuda yang belum pernah tergoda oleh rayuan asmara.
Perasaan cinta yang pertama-tama dirasainya, berikut rindu dendam di dalam hati
mudanya, adalah ketika ia bertemu dan melihat Sang Puteri Mahkota
Pramodawardani, puteri dari Kerajaan Syailendra itu memang selama ini ia mengaku
di dalam hatinya, bahwa ia mencintai puteri itu, dan mengganggap bahwa puteri
itulah wanita tercantik di seluruh permukaan bumi ini. Ia pernah tergila-gila
kepada patung puteri itu, pernah gandrung di dalam hutan bagaikan seorang gila,
mencumbu rayu patung itu.
Koleksi Kang Zusi Akan tetapi, semenjak patung itu lenyap, berubah menjadi patung Dewi Tara
kembali, dan semenjak ia bertemu dan berkenalan dengan Candra Dewi, bayangan
wajah Pramodawardani makin menipis dan suram.
Betapapun juga, sebagai seorang ksatria yang memiliki kesetiaan, di dalam
hatinya sendiri Indrayana menyalahkan hatinya yang tertarik pada wajah Candra
Dewi, dan memperkuat keyakinannya bahwa sesungguhnya yang ia cintai adalah
Pramodawardani dan sudah seharusnay demikian, karena sebelum bertemu dengan
Candra Dewi, ia telah menjatuhkan hatinya kepada Sang Puteri Mahkota
Pramodawardani itu. Sebagai seorang ksatria tidak seharusnya demikian mudah
perasaan hatinya, demikian pikir Indrayana .
Pada hari itu, menyelesaikan sebuah patung yang hanya bagian mukanya saja belum
sempurna. Patung itu dibuatnya semenjak tiba di puncak Muria, di bawah petunjuk
Pancapana dan Candra Dewi. Dibuatnya dengan amat hati-hati dan cermat. Melihat
hasil pahatannya dan ukirannya yang telah menciptakan bentuk tubuh yang cukup
baik, ia merasa amat girang. Banyak rahasia dalam cara pengukiran petung ia
pelajari dari kedua orang sahabatnya itu, dan diam-diam ia mengaku memang cara
mengukir dan memahat patung dari Mataram sebagaimana yang dipelajarinya dari
murid-murid Panembahan Bayumurti itu jauh lebih sempurna daripada pelajaran yang
pernah ia tuntut di Kerajaan Syilendra.
Akan tetapi, telah beberapa pekan lamanya Indrayana merasa jengkel dan
penasaran. Patung yang dibuatnya itu adalah patung wanita. Dari kaki sampai
leher sudah baik sekali, akan tetapi ia melihat kesulitan dalam hal membentuk
muka patung itu. " Kakangmas Indrayana , " berkata Candra Dewi dengan suaranay yang merdu dan
halus. " Dalam mengukir dan membentuk bagian muka, memang lebih sukar daripada
bagian-bagian lain, bahkan boleh di bilang yang paling sukar. Selain harus
cermat, juga perlu bekerja denagn hati-hati sekali, Koleksi Kang Zusi
karena sekali saja pahatmu meleset dan mendatangkan cacat pada muka patung, itu
berarti bahwa seluruh pekerjaanmu terbuang sia-sia ! "
" Inilah kelemahanku semenjak dahulu dalam membuat patung, diajeng Dewi, " jawab
Indrayana sambil menarik napas panjang. " Aah, memang aku yang bodoh ! Betul
seperti kata ayahku dahulu, membuat patung yang indah memerlukan bakat, dan aku
...... aku agaknya tidak berbakat ! " Dengan muka sedih Indrayana menunda
pekerjaannya, duduk di atas sebatang akar pohon waringin, kemudian memandang
kepada telapak kedua tangannya yang ditelentangkan di atas pegkuannya. "
Tanganku terlampau kasar, tak patut bagi pekerjaan yang halus-halus ! "
Candra Dewi memandang kepada Indrayana dengan sinar mata seperti seorang ibu
memandang kepada seorang anaknya, lalu ia tertawa geli sehingga pemuda itu
memandangnya dengan merenggut karena merasa penasaran mengapa orang sedang kesal
malah ditertawakan "
Melihat mulut Indrayana yang cemberut itu, makin gelilah hati candra Dewi
sehingga ia menggunakan tangan untuk menutup dan menahan ketawanya.
" Engkau seperti anak kecil yang sedang rewel ! " kata gadis itu. " Seperti anak
kecil minta sesuatu dan tidak diperbolehkan oleh ibunya ! "
" Alangkah baiknya kalau aku masih menjadi anak kecil dan masih mempunyai
seorang ibu yang mencintaiku dan menghibur hatiku, " kata Indrayana mengerutkan
keningnya. " Eh-eh, jangan merajuk, kakangmas Indrayana . Aku khawatir jangan-Koleksi Kang


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Zusi jangan engkau akan menangis ! Apakah sekarang engkau merasa demikian sengsara "
" Indrayana menghela napas, " sekarang " Tak seorangpun peduli pada nasibku.
Bahkan dalam kekesalan dan kekecewaan seperti sekarang ini, tidak ada yang
menghiburku bahkan ada orang yang mengejek dan mentertawakan aku ! "
Tiba-tiba berobahlan wajah Candra Dewi, pandang matanya sayu ketika ia menatap
wajah Indrayana . Ia mendekati pemuda itu dan menyentuh lengannya dengan ujung
jari tangan. " Kakangmas ...... tak dapatkah engkau menerima kelakarku " Benar-benarkah engkau
demikian berduka dan menderita ...... "
Melihat pandang mata gadis itu dan mendengar suaranya yang agak gemetar itu,
Indrayana sadar kembali bahwa ia memang bersikap keterlaluan. Dipegangnya
pergelangan tangan gadis itu dan berkata sambil tersenyum lebar.
" Jeng Dewi, maafkan aku ! Aku tadipun hanya bergurau dan mengodamu saja. "
" Candra Dewi tiba-tiba membentot tangannya yang terpegang itu dengan wajah
kemerah-merahan. " Kakangmas Indrayana , janagn engkau cemberut lagi seperti tadi.
Koleksi Kang Zusi Sungguh tak sedap hati rasanya memandang mukamu yang cemberut.
Sekarang dengarlah baik-baik, orang muda pemarah. Tadi engkau menyatakan bahwa
menurut ramandamu, pembuatan patung yang indah membutuhkan bakat. Ini memang
benar, akan tetapi hanya sebagian saja, dan pernyataan itu masih belum lengkap.
Kalau kau berkata bahwa tidak berbakat, itu sama kelirunya dengan pernyataan
bahwa kau tidak berkepala. "
Indrayana memandang kepada gadis itu dengan heran dan tertegun.
Memang, gadis ini amat pandai mengingat filsafat yang pernah ia dengar dari
ayahnya, dan memiliki pandangan yang amat luas dalam hal perikehidupan sehingga
kadang-kadang Indrayana sendiri menjadi terheran-heran.
Melihat betapa mata Indrayana memandangnya dengan penuh keheranan, gadis itu
tersenyum dan berkata, " Aku hanya mengulang kata-kata ayahku belaka. Menurut
ayah, segala macam kepandaian di dunia ini, telah ada pada diri setiap orang
manusia. Kepandaian ini masuk ke dalam tubuh bersama-sama denagn jiwa dan
kepandaian asli yang berasal dari Hyang Agung inilah yang dinamakan bakat. Bakat
ini pula yang membuat setiap orang bayi dapat mempergunakan seluruh anggota
tubuhnya yang sudah kuat tanpa diberitahu lagi. Hanya terserah kepada manusia
sendiri untuk menggali dan mencari bakat sendiri di dalam dirinya. Berhasil atau
tidaknya seseorang mendapatkan bakat sendiri di dalam dirinya, tergantung
sepenuhnya kepada orang itu sendiri. Ia harus rajin, tekun, tahan uji, ulet ,
sabar, dan segala sifat-sifat baik harus dikerhkan sebagai obor penerangan untuk
mencari bakatnya sendiri yang tersembunyi itu. "
Indrayana memandang kepada Candara Dewi dengan mata dipentang lebar dan bibirnya
tersenyum. " Eh, eh, mengapa kau tersenyum-senyum " Apakah kau tad mendengarkan kata-kataku
" Jangan membikin aku capai berkata-kata dengan sia-sia ! "
Koleksi Kang Zusi Indrayana cepat mengangguk-anggukkan kepalanya. " Tentu saja aku mendengarkan
dengan penuh perhatian . Memang amat janggal dan aneh. "
" Apanya yang janggal dan aneh " " tanya gadis itu curiga.
" Janggal dan aneh kedengarannya ucapan yang mengandung arti dalam sekali itu
keluar dari bibir seorang dara semuda dan secantik engkau ! "
" Hus, jangan kau menggoda, kakangmas Indrayana . Akan kulanjutkan petunjuk
untuk membuat patung ini, atau tidak " " ia emngancam.
" Eh, tentu saja, tentu saja ! Baik, aku takkan main-main lagi dan akan
mendengarkan sebagai seorang murid yang baik. "
" Oleh karena bakat telah ada di dalam diri setiap orang, maka aku katakan tidak
benar kalau kau menganggap bahwa kau tidak berbakat.
Setiap orang tentu dapat mengerjakan apa saja, asalkan ia usahakan dengan hati
mantap, penuh kepercayaan kepada diri sendiri, penuh rasa sayang dan cinta
kepada apa yang dikerjakan, dan tanpa ada penyelewengan kehendak. Buktinya, kau
telah dapat membuat patung ini dengan cukup baik, hanya bagian mukanya saja
belum juga dapat kauselesaikan sempurna. Menurut petunjuk rama panembahan dulu,
membentuk muka patung harus menurut contoh yang dilukis dalam angan-angan
sendiri. Pelukisan wajah seseorang dalam angan-anagn ini akan lebih jelas dan
mudah muncul apabila kita memilih orang yang lebih dekat di hati, orang yang
paling kau kasihi. Dulu, ketika akan membuat patung untuk pertama kalinya, baru
aku berhasil setelah gambar dalam angan-anganku itu timbul dari cinta kasihku
kepada ayah dan ibu. Aku dapat membuat Koleksi Kang Zusi
patung ayah ibu dan dengan baik sekali. " Indrayana mengangguk-angguk.
Ia mendengarkan dengan penuh perhatian. " Hm, jadi begitukah caranya "
" Ya, dan sekarang kau bentuklah muka patung itu menurut wajah orang yang terdekat
dengan hatimu. " Tiba-tiba muka Indrayana berseri. " Ibuku ! Benar ...... sejak dulu aku ingin sekali
membuat patung ibuku ! Tahukah kau, jeng Dewi, dulu aku pernah mencoba membuat
patung dari batu-batu di tengah Kali Serang, untuk membuat patung mendiang
ibuku, akan tetapi selalu taidak berhasil "
Sekarang aku telah tahu bagaimana cara mengukir bagian yang halus-halus dan
agaknya wajah ibuku yang paling mudah timbul dalam angan-anganku. "
Akan tetapi Candra Dewi menggelengkan kepalanya. " Kau lihatlah tubuh patung
itu, pantaskah kiranya kalau menjadi tubuh mendiang ibumu " "
Indrayana tertegun. Memang tubuh patung itu merupakan tubuh seorang wanita muda
remaja, sedangkan wajah ibunya merupakan wajah seorang wanita yang sudah
setengah tua. " Kau benar diajeng, takkan sesuai. "
" Pilihlah wajah seorang yang lebih muda. Dapatkah kau mengingat wajah ibumu
ketika masih muda " "
" Indrayana menggelengkan kepala, kemudian ia berkata, " Oya aku akan Koleksi
Kang Zusi membayangkan wajah Sang Puteri Mahkota Kerajaan Syailendra "
Candra dewi memandang dengan mata bersinar. " Ah, Sang Puteri Pramodawardani
yang tersohor cantik jelita seperti bidadari itu " "
Indrayana mengangguk dan wajahnya berseri-seri. Pembicaraan ini mengingatkannya
lagi kepada Sang Puteri yang jelita itu dan ketika ia menyipitkan kedua matanya,
terbayanglah wajah puteri jelita itu dengan jelasnya di depan matanya. Benar !
mengapa ia begitu bodoh " Bayangan wajah Pramodawardani yang pernah dirindukan
itu demikian jelas, seakan-akan ia dapat merabanya. Tentu mudah sekali membentuk
wajah patungnya menurut contoh ini !
" Engkau benar ...... engkau benar ...... " Bagaikan dalam mimpi. Indrayana lalu
berjalan perlahan kepada patungnya yang berdiri tak jauh dari situ, lalu
mengambil alat-alat pengukirnya, meraba-raba bagian muka patung itu sambil
metanya masih setengah dikatupkan. Ia tidak melihat betapa Candra dewi
memandangnya dengan mata sayu dan wajah pucat, tidak mendengar betapa berkali-
kali gadis itu berbisik " Pramodawardani ...... ?" "
kemudian pemuda itu hanya mendengar suara Candra Dewi berkata, " Nah, selamat
bekerja, kakanda Indrayana . Aku akan membantu Raden Pancapana di ladang ! "
Indrayana tidak melihat betapa gadis itu berlari ke ladang menahan runtuhnya air
matanya. Memang sesungguhnya hati Candra Dewi terasa hancur dan perih. Dari
pandangan mata pemuda itu, gadis ini dapat menduga bahwa pemuda itu memilik
perasaan hati yang sama denagn dia sendiri, menduga bahwa pemuda itu tentu
menaruh hati cinta kasih kepadanya. Bagaikan ciuman sinar matahari atau pelukan
halimun pada bunga puspita, demikianlah dugaan akan cinta kasih pemuda ini
mendatangkan kehangatan dan kesegaran kepadanya. Ia maklum bahwa pemuda itu
belum berani menyatakan perasan hatinya dan belum ada kesempatan bagi mereka
untuk saling menyatakan perasaan ini sungguhpun Koleksi Kang Zusi
dari pandangan mata, mereka telah merasa yakin bahwa mereka mempunyai perasaan
hati yang sama. Semenjak Indrayana belajar membuat patung dengan hati berdebar, Candra Dewi
melihat betapa pemuda itu membentuk kaki tangan dan bentuk tubuh patung itu
seperti dia ! bahkan Pancapana sendiri pernah berkata sambil tertawa,
" Ah, dimas Indrayana , melihat patungmu ini dari kanan, kiri, atau belakang,
aku seperti melihat adikku Candra Dewi ! Serupa benar. "
Indrayana hanya tersenyum saja mendengar ini, dan Candra Dewi sambil melerok ke
arah Pancapana lalu berkata,
" Ada-ada saja Raden Pancapana, semua orang dapat melihat bahwa patung ini
terbuat daripada batu sedangkan aku dari pada kulit dan daging, mana bisa sama "
Tentu saja bentuk tubuh kaki dan tangan semua hampir sama ! "
Akan tetapi, diam-diam ie mengaku di dalam hati bahwa tak dapat tidak, dalam
pembuatan tubuh patung itu, Indrayana telah mencontoh dirinya.
Diam-diam Candra Dewi merasa girang sekali. Dan ketika merasa tadi mengadakan
percakapan tentang pembuatan patung itu, terbukalah kesempatan bagi mereka
berdua. Kesempatan mencari keyakinan bagi Candra Dei dan kesempatan mengutarakan
isi hatinya bagi Indrayana .
Candra Dewi telah merasa yakin dan pasti bahwa setelah ia memberi petunjuk
kepada pemuda itu, tentu pemuda itu akan mempergunakan dia sebagai contoh
pengukiran muka patung itu. Tentu pemuda itu akan membuka rahasia hatinya bahwa
Candra Dewi adalah wanita yang selalu dekat di hatinya, yang selalu terbayang-
bayang. Koleksi Kang Zusi Namun, apakah yang didengarkan" Bukan lain ialah nama Puteri Mahkota
Pramodawardani. Naiklah sedu sedan dari dadanya ketika Candra Dewi meninggalkan
Indrayana . Dengan hati perih ia lalu berlari ke lereng gunung, di mana terdapat
sebuah ladang yang luas. Ladang ini adalah hasil pekerjaan mereka bertiga, di
mana mereka bercocok tanam untuk di makan sendiri hasilnya. Pada waktu itu,
Raden Pancapana tengah mencangkul dengan rajinnya. Ketika melihat Candra Dewi
berlari-lari, ia menghentikan pekerjaannya.
" Eh, Candra, kenapakah " " tanyanya setelah gadis itu tiba di dekatnya.
Biarpun Candra Dewi tidak menangis dan sudah berusaha menekan perasaannya, namun
pandang mata Pancapana yang tajam itu masih dapat juga melihat kemuraman
wajahnya. Candra Dewi semenjak kecil telah kehilangan ibunya dan hanya hidup berdua dengan
ayahnya yang tentu saja amat menyayangi puteri tunggal itu. Kemudian datang
Pancapana yang menjadi murid ayahnya dan yang dianggap sebagai kakak sendiri.
Kini, berada di puncak gunung Muria bersama dengan Sang Panembahan Ekalaya dan
kedua orang muda itu, Candra Dewi makin merasa betapa Pancapana merupakan
pengganti ayahnya dan hanya kepada pangeran inilah ia mengharapkan bimbingan dan
perlindungan. Hatinya sedang perih dan hancur, kini mendengar pertanyaan yang
mengandung penuh perhatian itu tak terasa lagi Candra Dewi menjatuhkan diri di
atas tanah dan menangis sedih.
Terkejutlah hati Pancapana melihat keadaan gadis ini, ia tadi tahu bahwa Candra
Dewi sedang memberi petunjuk kepada Indrayana tentang pembuatan patung, mengapa
kini gadis ini datang dan menangis sedih "
Untuk beberapa lama ia mendiamkan saja Candra Dewi menangis, kemudian setelah
tangis adik angkatnya itu menjadi reda, ia bertanya, Koleksi Kang Zusi
" Candra Dewi, kau kenapakah " tak enakkah badanmu " Sakitkah kau "
Atau, adakah terjadi sesuatu yang menyusahkan hati " "
Pertanayaan-pertanayaan ini tidak dijawab oleh Candra Dewi yang hanya
menggelengkan kepala sambil menunduk.
" Kalau begitu, mengapa engkau menagis " " Kembali Candra dewi tidak menjawab,
karena bagaimanakah ia harus menjawab " Bagimanakah ia dapat menerangkan kepada
Pancapana apa yang menjadikan hatinya perih "
Pancapana dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu yang menyusahkan hati
gadis itu, akan tetapi tidak dapat di ceritakan kepadanya. Ia lalu duduk di
dekat Candra Dewi, minum air dari sebuah kendi air yang tersedia di situ, lalu
berkata dengan suara yang amat halus.
" Adikku, telah setahun lebih kita berada di sini dan banyaklah ilmu yang telah
kita pelajari dari Eyang Panembahan Ekalaya. Dan menurut perhitungan dan pesan
Panembahan Bayumurti, ayahmu, paling lama beberapa bulan lagi kita tentu akan
bertemu kembali dengan paman Panembahan. "
Kata-kata ini diucapkan oleh Pancapana denagn maksud memacing dan ingin
mengetahui apakah kesedihan gadis itu dikarenakan rindu kepada ramandanya. Akan
tetapi, Candra Dewi tidak manjawab dan masih saja menundukkan mukanya dengan
muram. Pancapana mengerutkan keningnya dan berpikir-pikir. Kemudian ia tersenyum dengan
suara masih biasa. Koleksi Kang Zusi " Adikku yang manis, di manakah adanya dimas Indrayana " Mengapa ia tak ikut
datang ke sini " "
Karena suara Pancapana terengar biasa saja, maka Candra Dewi dapat dapat
menetapkan hatinya dan menjawab sambil lalu saja.
" Dia sedang sibuk membuat patung. "
" Belum jadi jugakah patung itu " Alangkah lamanya ! Bukankah hanya tinggal
mukanya saja yang belum sempurna " "
" Sekarang ia sedang mengukir bagian mukanya, " jawab Candra Dewi dan hatinya
mulai terasa perih lagi karena teringat betapa jari-jari tanagn Indrayana yang
kuat itu sekarang tentu sedang membentuk muka Pramodawardani, meraba-raba muka
patung puteri itu dengan belaian penuh kasing sayang !
" Sudah tahukah ia akan rahasia mengukir muka patungnya " "
Candra Dewi mengangguk dan berkata perlahan, " Sudah kuberitahu agar dia
menggunakan seorang yang dikasihinya sebagai contoh. "
" Bagus ! Sekarang tentu akan sempurna patung itu. Eh, aku jadi ingin sekali
tahu siapakah gerangan wanita yang dijadikan contoh bagi pengukiran muka
patungnya " mendiang ibunya "
Koleksi Kang Zusi Candra dewi menggeleng cepat karena khawatir kalau-kalau pangeran itu menyangka
dialah orangnya, maka ia cepat pula menerangkan dengan suara acuh tak acuh,
" Yang dijadikan contoh adalah Sang Puteri Pramodawardani ! "
" Apa ?" " Hal ini benar-benar mengejutkan hati Pancapana dan sama sekali tak
pernah disangka-sangkanya. Gurunya, yaitu ayah Candra Dewi atau Panembahan
Bayumurti, pernah menyatakan kepadanya bahwa Tanah Jawa baru akan aman dan
segala pertikaian dan permusuhan dapat dilenyapkan apabila keturunan Sanjaya dan
keturunan Syailendra dapat berjodoh, sehingga Agama kedua turunan itu, yaitu
Agama Hindu dan Agama Buddha yang bersumber satu, dapat pula dijodohkan !
Biarpun gurunya bicara dengan tidak langsung dan merupakan harapan belaka, namun
amat berkenan di dalam hati pangeran ini dan telah lama ia mengandung keinginan
hati yang besar untuk dapat melihat wajah Pramodawardani Puteri Syailendra itu.
Kini mendengar bahwa Indrayana hendak membuat wajah patung itu seperti wajah
Pramodawardani, tentu saja ia merasa terkejut dan juga heran serta kecewa. Ia
menduga bahwa pemuda gagah itu mencintai adik angkatnya dan ia tahu pula betapa
besar rasa cinta kasih Canda Dewi terhadap Indrayana ! Mendengar keterangan itu,
pemuda yang cerdik dan waspada ini dapat menduga bahwa tentu hal inilah yang
membuat hati gadis itu bersedih.
Candra Dewi, adikku yang ayu. " katanya dengan suara menghibur, " tadiny aku
merasa terkejut juga mendengar kata-katamu bahwa Indrayana membuat patung itu
seperti wajah Pramodawardani dan timbul sangkaan yang bukan-bukan dalam hatiku
bahwa ia mencintai puteri mahkota itu ! "
" Tentu saja ia mencintainya. " jawab Candra Dewi masih tunduk, kemudian ia
mengangkat mukanya dan tersenyum ketika berkata. " Akan tetapi, apakah
hubungannya itu dengan kita " Biarlah dia mencintainya, apa peduli Koleksi Kang
Zusi hal itu bagi kita " "
" Akan tetpi belum tentu demikian halnya, adikku. Belum tentu Indrayana
mencintai Puteri Pramodawardani. "
Tadi Candra Dewi memperlihatkan sikap acuh tak acuh terhadap urusan Indrayana ,
akan tetapi ketika mendengar ucapan Pancapana ini, tiba-tiba saja ia menaruh
banyak perhatian ! " Kalau tidak mencintainya, mengapa wajah Puteri Pramodawardani sebagai contoh "
" Pancapana menahan senyumnya melihat sikap Candra Dewi ini, dan menjawab dengan
sikap seakan-akan ia tidak tahu akan perobahan ini, "
Pramodawardani adalah seorang Puteri Mahkota Kerajaan Syailendra yang amat
dicintai dan dihormati oleh semua rakyat kerajaan itu. Sudah sepatutnya kalau
sebagai seorang ksatria dari Syailendra, Indrayana menghormatinya pula dan
memujanya, sehingga sebagai pengormatan terhadap puteri junjungannya itu, ia
membuat patung itu seperti Puteri Pramodawardani ! "
Bagai awan gelap tertiup angin, kemuraman wajah Candra ewi lenyap terganti
cahaya harapan baru yang membuat sepasang pipinya berwarna merah kembali.
" Biar, aku intai dia Candra. Akupun ingin sekali melihat bagaimana rupa Puteri
Pramodawardani yang tersohor cantik jelita itu. "
Koleksi Kang Zusi

Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Setelah berkata demikian, Pancapana meninggalkan ladang itu, meninggalkan Candra
Dewi yang duduk melamun seorang diri, tidak gelisah dan berduka lagi seperti
tadi, sungguhpun ia mesih meragukan kebenaran dugaan Pancapana tadi.
Sementara itu, Indrayana mengerahkan seluruh ingatannya untuk membayangkan wajah
Pramodawardani yang pernah membuatnya tak sedap makan tak nyenyak tidur,
gandrung-gandrung di sepanjang jalan. Mula-mula memang wajah itu nampak nyata
sekali, sehingga dapat ia gambarkan bentuk bibir yang indah itu, hidung yang
mancung dan mata yang bersinar bagaikan bintang itu. Kedua tangannya lalu
bergerak mengerjakan alat pengukirnya pada muka patung itu yang hendak dibentuk
seperti contoh bayangan wajah Pramodawardani. Akan tetapi aneh sekali ketika ia
mulai memahat bagian rambut yang panjang terurai itu, tiba-tiba pikirannya
melayang ke arah rambut di kepala Candra Dewi ! Rabut kepala Candra Dewi tidak
kalah hitam, panjang, dan halusnya daripada rambut Pramodawardani, sungguhpun
rambut Candra Dewi tidak serapi dan seberes rambut puteri mahkota itu, melainkan
lebih kasut dan tidak dipelihara baik-baik. Akan tetapi, justruh rambut yang
kasut itu, apalagi yang segumpal yang selal berjuntai di depan kening, kadang-
kadang menggangu mata dan kepalanya lalu digerakkan tiba-tiba untuk menghalau
segumpal rambut itu dari depan matanya, membuat gadis itu makin menarik dan
manis ! Indrayana mengerahkan tenaga pikirannya untuk mengusir bayangan rambut Candra
Dewi. Hal ini bukan hanya terjadi karena cinta kasihnya kepada gadis itu, akan
tetapi terutama sekali karena ia hanya sekali saja san sebentar melihat bentuk
kepala Pramodawardani, sedangkan Candra Dewi dijumpai setiap hari, bahkan sering
kali ia duduk mengagumi rambut gadis itu dengan diam-diam !
" Ah, biarlah, biarlah ! " katanya dalam hati dengan perasaan mangkal. "
Tidak apa kegunakan contoh rambut kepala Candra Dewi untuk patung ini.
Tidak ada buruknya rambut ramodawardani disamakan dengan rambut Koleksi Kang
Zusi Candra Dewi. Untuk bagian-bagian lain pada mukanya akan kugunakan muka Sang
Puteri sebagai contoh. "
Akan tetapi pikiran ini lebih mudah direnungkan daripada dilakukan.
Setelah kepalanya mulai terbentuk dan ia hendak mulai dengan bagian kening dan
telinga, kembali ia terbentur pada hal yang sama. Tadinya memang kelihatan jelas
kening yang halus dan telinga yang terhias mutumanikam dari Puteri
Pramodawardani akan tetapi aneh sekali, kening itu yang tadinya berwarna putih
kening berobah menjadi bentuk kening Candra Dewi yang segar kemerah-merahan dan
agak nonong sedikit sedangkan daun telinga yang indah terhias mutumanikam itupun
berobah pula menjadi daun telinga Candra Dewi yang terhias oleh sinom yang
melingkar ke belakang dengan amat indahnya !
Karena telah capai mengerahkan tenaga batin dan pikiran untuk mengusir banyangan
Candra Dewi tanpa hasil yang memuaskan, maka kembali ia menghibur hatinya dengan
keputusan seperti tadi. Tidak apa kening dan daun telinganya menyerupai kening
dan daun telinga Candra Dewi, karena yang terpenting pada perasaan muka adalah
mata dan hidung serta mulut, maka ia melanjutkan ukirannya dan membuat patung
seperti contoh bayangan Candra Dewi, yaitu pada bagian kening dan daun
telinganya. Dan ketika ia hendak memulai mengukir bagian matanya dan diam-diam mengenakan
sepasang mata bintang dari Puteri Pramodawardani yang indah itu, sehingga
sepasang mata itu nampak jelas sekali seperti ketika sang puteri memandangnya
dengan marah pada waktu secara lancang ia membukakan sutera penutup tempat
keputren dahulu, tiba-tiba berubah menjadi sepasang mata yang jenaka, yang indah
bening, yang manik-maniknya dapat hidup dan memancarkan cahaya yang mengandung
seribu macam bahasa indah, mata dari Candra Dewi, pemuda itu melemparkan alat-
alat ke atas tanah dan menjatuhkan dirinya duduk di atas tanah !
" Celaka ...... " keluhnya, " Mengapa Candra Dewi telah menguasai seluruh hati dan
pikiranku " Koleksi Kang Zusi Untuk beberapa lama pemuda itu duduk bersandar di batang pohon dan termenung.
Tak salah lagi, ia bukan mencinta Pramodawardani, hanya kagum akan kecantikan
puteri itu. Bukan Pramodawardani yang menguasai hatinya, melainkan Candra dewi !
Hal ini tidak aneh, karena pemuda inipun maklum akan kebenaran kata orang zaman
dahulu bahwa cinta kasih murni akan berakar dan mendalam setelah kedua fihak
sering kali bertemu dan ada penyesuaian watak dan sifat mereka. Dengan
Pramodawardani ia hanya bertemu muka satu kali, itupun amat sebentar sehingga
rasa cinta kasihnya dahulu itu paad hakekatnya hanyalah rasa silau dan kagum
karena kecantikan puteri yang sukar dicari bandingannya itu. Hubungannya dengan
Candra Dewi lain lagi. Mereka telah bergaul sebagai murid-murid Panembahan
Ekalaya bahkan sebelum itu mereka telah menghadapi bahaya bersama, senasib
sependeritaan dan mereka telah mengenal baik sifatnya dan tabiat masing-masing.
" Aku cinta kepada diajeng Dewi ...... " Indrayana menarik napas panjang dan mengaku
kepada diri sendiri. " Dia lebih cocok bagiku, juga sama-sama keturunan pertapa.
Mengapa aku harus malu menyatakan kasihku " "
Setelah mengambil ketetapan dalam hatinya, pemuda ini lalu bangkit lagi,
mengambil alat-alatnya dan melanjutkan ukirannya pada muka patung itu.
Kali ini ia membayangkan wajah Candra Dewi yang muncul bagaikan bulan purnama,
bersih tidak terlarang oelh bayangan apapun juga. Seyum dan kerling mata Candra
Dewi paling menarik hati Indrayana , maka bayang-bayang wajah gadis itu
tersenyum-senyum dan melirik-lirik, sehingga ukiran pada patungnya menurut pula
bayang-bayang itu ! Dengan amat asiknya Indrayana mengukir muka patungnya , makin lama makin
tertarik dan gembira sekali karena melihat betapa ukirannya benar-benar baik dan
serupa benar dengan wajah gadis yang dikasihinya itu.
Benar sekali petunjuk Candra Dewi, dengan mencontoh bayangan yang terlukis jelas
di dalam kenangannya, dengan mudah ia dapat menyelesaikan patung itu.
Koleksi Kang Zusi Saking asyiknya Indrayana sampai tidak tahu bahwa semenjak tadi ada sepasang
mata yang mengintai dari balik daun pohon Pengintai ini bukan lain adalah
Pancapana yang ingin sekali melihat bagaimana wajah Puteri Syailendra yang
tersohor itu. Akan tetapi, ketika melihat wajah patung itu, hampir saja ia tak
dapat menahan ketawanya. Ia mendekap mulutnya sendiri untuk menahan ketawanya,
lalu pergi diam-diam dari tempat itu.
Pancapana berlari-lari ke ladang kembali di mana ia mendapatkan Candra Dewi yang
masih saja duduk termenung dengan hati binggung.
Melihat Pancapana datang dengan muka gembira dan tertawa-tawa, Candra dewi
bertanya heran. " kau kelihatan gembira sekali, pangeran. "
" Hush, jangan menyebut Pangeran kepadaku, Candra. Sejak dulu aku minta kau
menyebutku kakangmas seperti menyebut seorang kakak sendiri, akan tetapi kau
selalu tidak mau menurut. Apakah kau tidak suka menjadi adikku " "
Bukan demikian, Raden Pancapana. Sungguhpun di dalam hati aku telah merasa
seperti adikmu sendiri, namun betapa juga kau adalah seorang pangeran pati yang
harus dihormati. Itulah sebabnya, maka aku tidak dapat menyebutmu lebih
sederhana dari sebutan Raden. Eh, ya, kenapakah kau tertawa-tawa gembira "
Agaknya cantik jelita sekali patung yang di buat oleh kakangmas Indrayana itu
sehingga hatimu terpikat oleh kecantikan Puteri Pramodawardani " "
Makin keraslah kini Pancapana tertawa. " Itulah yang menggelikan hatiku, Koleksi
Kang Zusi Candra ! Memang benar. Indrayana mencontoh wajah Pramodawardani untuk patungnya.
Akan tetapi, ha-ha-ha ! "
" Eh, kenapa Raden " "
" Muka itu ...... seperti muka wewe ( setan perempuan ) buruk dan menyeramkan !
Kalau demikian buruk menakutkan wajah Pramodawardani mengapa Indrayana begitu
bodoh untuk menjadikannya sebagai contoh patungnya " "
" Buruk " Tak mungkin, Raden Pancapana. Sepanjang pendengaranku, Puteri
Pramodawardani amat cantik jelita, tiada taranya di permukaan bumi ini.
Kabarnya, segala sifat baik wanita ada padanya. Ia agung dan ayu seperti
Sumbadra, gandes luwes seperti Larasati, kewat merak hati seperti Srikandi ! "
" Entah berita itu yang salah, atau Indrayana yang tidak dapat membayangkan
wajah, puteri itu, akan tetapi nyatanya, muka patung itu tidak karuan macamnya!
" Pancapana pandai sekali membuat gadis itu merasa penasaran dan ingin tahu.
" Tidak percaya " Lihatlah sendiri, Candra. Akan tetapi jangan engkau mengejek
Indrayana , itu akan menyinggung perasaannya, karena yang dipahat adalah puteri
sesembahannya ! " Koleksi Kang Zusi Candra Dewi lalu pergi dari situ, menuju ke tempat mana Indrayana bekerja.
Hatinya riang, karena kalau memang benar bahwa Pramodawardani berwajah buruk,
tidak mungkin Inrayana mencintai puteri itu. Akan tetapi, ia masih merasa
penasaran dan marah kepada Indrayana .
Betapapun hormatnya terhadap Puteri Mahkota Kerajaan Syailendra, mengapa pemuda
itu lebih menghargai dan lebih mengasihi puteri itu dari padanya " Salahkah
pandangan matanya, mungkinkah sinar mata pemuda itu di waktu memandangnya
merupakan kepalsuan belaka "
" Kali ini harus kucari kepastian. Tak mau aku dipermainkan, tak mau aku bimbang
ragu, menderita seorang diri ! " Dipercepatnya langkah kakinya, karena hari
telah mulai menjadi gelap, tanda senjakala telah mendatang.
Ketika ia tiba di tempat itu, ia memperlambat jalannya karena melihat bahwa
Indrayana berdiri menghadapi patung dengan kedua tangan masih asyik mengerjakan
muka petung itu yang berdiri membelakanginya. Candra Dewi tidak mau dilihat
tergesa-gesa dan tidak mau memperlihatkan bahwa ia ingin sekali melihat hasil
kerja pemuda itu. Akan tetapi Indrayana tidak melihat dia datang. Pemuda ini sedang asyik
menyelesaikan baian terakhir daripada pekerjaanya. Kedua matanya bersinar-sinar
menatap muka patung itu. Senyum di bibir patung itu benar-benar hidup dan ia
seakan-akan melihat Candra dewi yang hidup berdiri dan tersenyum manis
kepadanya. Tiba-tiba ia tak dapat menahan gairah hatinya lagi. Dirangkulnya
leher patung itu dan dibelai-belainya muka yang ayu itu.Pada saat itu, tiba-tiba
pandang matanya bertemu dengan pandang mata Candra Dewi yang berdiri tak jauh di
belakang patung itu. Alangkah kaget, jengah dan malunya hati Indrayana tak dapat dibayangkan.
" Ah ...... eh ...... jeng Dewi ...... kaukah itu " Kau datang seperti angin saja
...... ! Aku tidak mendengarnya sama sekali ! "
Koleksi Kang Zusi Sementara itu, ketika tadi melihat betapa Indrayana memeluk dan membelai patung
itu, seakan-akan hendak meledak rasa dada Candra Dewi karena cemburu ! Akan
tetapi ia menekan perasaannya dan memperlihatkan muka biasa. Untung bahwa udara
mulai menyuram, sehingga Indrayana tidak melihat betapa mukanya sebentar merah
sebentar pucat. Ia melangkah makin dekat, akan tetapi sebelum ia dapat melihat
muka patung itu. Indrayana tiba-tiba mencegahnya dan menghadang di depannya.
" Diajeng, jangan kau melihat muka patung itu ! " Suara pemuda itu bersungguh-
sungguh sehingga Candra Dewi merasa heran sekali.
" Mengapa ...... " "
" Jangan, diajeng, aku ...... malu ! "
" Aku ...... aku malu, karena ....... Patung itu ...... ah, aku tidak berhasil patung itu
buruk sekali ! " Candra Dewi tersenyum mengejek, bukan karena percaya bahwa patung itu buruk,
akan tetapi karena keterangan ini sama sekali tidak cocok dengan kelakuan pemuda
tadi yang memeluk dan membelai-belai patung itu.
" Hm, kalau buruk tidak nanti kau dapat membelai dan memeluknya dengan pandang
mata demikian mesra, kakangmas Indrayana ! "
Koleksi Kang Zusi Indrayana memandang dengan mata terbelalak lebar.
" Kau ...... kau tadi melihatnya ...... " "
" Tentu saja aku melihatnya, aku melihat betapa engkau gandrung-gandrung kepada
patung itu Hm, karena itulah maka aku harus menyaksikan dengan mata sendiri
sampai dimana hebatnya dan jelitanya Puteri Pramodawardani yang tersohor itu ! "
Kembali ia hendak melangkah maju, akan tetapi Indrayana minta dengan suara
gugup, " Jeng Dewi......
jangan ...... ! " Candra Dewi mundur dua langkah, lalu memperhatikan kepala dan leher patung itu
dari belakang. Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang aneh baginya dan tak terasa
lagi tangan kirinya meraba-raba rambutnya sendiri.
Mengapa rambut kepala patung itu sama benar letaknya dengan rambutnya sendiri "
" Kakangmas Indrayana ...... " katanya perlahan, " rambut Sang Puteri Mahkota
Syailendra ...... seperti itu benarkah ...... " " Tak terasa lagi Candra Dewi meraba-
raba seluruh rambut di kepalanya.
" Be ...... be ...... benar ! " jawab Indrayana sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
" Seperti rambutku ! "
" Memang sama ! "
Koleksi Kang Zusi " Apa ...... " ! " "
" Eh, ah ...... maksudku, memang hampir serupa, yaitu ...... letak dan modelnya ...... lebih
bagus ...... " " Bagaimana pula ini " Tentu saja rambutnya lebih bagus ! "
" Tidak, tidak ! Rambutnya memang lebih bagus, akan tetapi ...... rambutmu lebih
indah ...... ya, lebih indah ...... " Indrayana binggung sekali, karena ia merasa
gelisah kalau-kalau gadis itu melihat muka patung yang sesungguhnya bukan lain
adalah wajah gadis itu sendiri. Ini masih belum hebat, yang mengerikan adalah
karena gadis tadi tahu dan melihat betapa ia memeluk, membelai, dan menciumi
patung itu ! ! Sementara itu, Candra Dewi merasa makin curiga dan tidak mengerti melihat sikap
Indrayana ini. Mengapa patung itu begitu gugup dan gelisah "
Mengapa patung itu tidak boleh ia lihat "
" Kakangmas Indrayana , engkau kenapakah " Apa salahnya kalau aku ikut mengagumi
keindahan patung ini " " Ia melangkah lagi hendak mendekati patung itu, akan
tetapi Indrayana buru-buru memutar tubuh patungnya sehingga tetap saja
membelakangi Candra Dewi.
" Jangan ...... diajeng ....... Kalau kau kasihan kepadaku ...... jangan sekarang.
Besok saja engkau boleh melihatnya, kalau sudah kuperbaiki. Aku malu sekali
kalau engkau melihatnya dalam keadaannya seperti sekarang. Amat buruk ! "
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba Candra Dewi menjadi marah ! " Kakangmas Indrayana , kau benar-benar
keterlaluan ! Sudah demikian hinakah aku sehingga untuk memandang wajah puterimu
yang ayu itupun masih kurang berharga "
Setidaknya, mengingat bahwa aku ikut pula memberi petunjuk dalam pembuatan
patung ini, sudah sepatutnya kalau aku melihat kalau-kalau ada sesuatu yang
kurang sempurna sehingga aku dapat memberi petunjuk lebih jauh. Atau, kalau
tidak mengingat akan perhubungan kita yang sudah lama sehingga seakan-akan aku
menjadi adikmu sendiri, sudah sepatutnya kalau aku ...... sebagai adikmu ......
mengagumi kecantikan ...... calon isterimu ! "
Makin binggunglah Indrayana ketika melihat bahwa gadis itu benar-benar marah. Ia
menghela napas berkali-kali, kemudia sambil menundukkan muka dan melepaskan
kedua tangannya di kanan dan kiri tubuhnya, ia berkata lemah,
" Kau yang memaksa, diajeng ...... apa boleh buat, nah ...... kaulihatlah, kemudia
terserah kepadamu apa yang akan kau perbuat atas diriku yan bodoh ini ...... "
Sambil berkata demikian, Indrayana memutar patungnya, dihadapkan kepada Candra
Dewi. Gadis itu cepat memandang dan ...... sukarlah memilih mana mana orang mana
patung pada saat itu karena Candra Dewi berdiri dian tak bergerak, tak berkedip,
bahkan napasnya seakan-akan terhenti, serupa benar dengan patung di depan itu !
Di depan Indrayana , seakan-akan kini berdiri dua buah patung kembar indah !
Lambat laun, sebuah dari pada patung itu bergerak, dadanya naik turun dan
bibirnya bergerak, Candra Dewi berkata tanpa memalingkan mukanya dari patung
itu. Koleksi Kang Zusi " Mengapa ...... bukan ...... Puteri Pramodawardani ...... " "
tadinya Indrayana merasa takut kalau-kalau gadis itu akan marah, akan tetapi
mendengar suaranya yang lemah lembut dan sama sekali tidak marah itu, hatinya
menjadi lega dan tabah kembali, sungguhpun rasa jengah masih membuat ia
menundukkan maka tanpa berani memandang gadis itu.
" Jeng Dewi, kau sendiri yang memberi petunjuk agar aku mengukir patung ini
menurut contoh wajah seorang yang paling mudah kuingat, seorang yang paling
mudah di hatiku ...... yang ku kasihi dengan sepenuh jiwaku. Telah kucoba membuat
patung Pramodawardani, namun gagal, karena ......
sesungguhnya ...... bukan dialah yang selama ini memenuhi hati dan pikiranku. Aku
hanya melakukan cara-cara yang telah kauajarkan kepadaku dan ...... inilah hasilnya,
diajeng. Aku membuat patung orang yang kukasihi, kusayangi, orang yang paling
kucinta ...... " Tidak menanti sampai habisnya ucapan Indrayana itu, tiba-tiba Candra Dewi
menengok menatap wajahnya dan ketika dua pasang mata itu bertemu, terdengar isak
tertahan dan Candra Dewi lalu berlari pergi dari situ sambil terisak-isak


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangis ! Indrayana mengangkat muka terkejut, lalu dengan lompatan jauh ia mengejar,
memegang lengan kanan Candra Dewi dan berkata dengan suara penuh perasaan duka
dan pernyataan maaf. " Aduh, diajeng ....... Maafkanlah aku tidak bermaksud menyinggung hatimu, aku tidak
bermaksud menghinamu, diajeng. Sungguh, demi kehormatanku sebagai seorang
ksatriya, demi semua Dewata Yang Maha Agung, aku bersumpah bahwa semua kelakuan
dan ucapanku keluar dari Koleksi Kang Zusi
hati yang suci murni, sama sekali tidak maksud hati untuk merendahkanmu.
Aku tahu bahwa amat lancang, jeng Dewi, Orang seperti aku tidak patut dan tidak
berharga untuk menyatakan perasaan hatiku terhadap kau yang agung dan mulia ......
akan tetapi, apa dayaku, diajeng ...... Kau sudi memaafkan aku, bukan " Kalau kau
kehendaki, aku bersumpah takkan berani berlaku seperti tadi lagi ! "
Candra Dewi memandang muka pemuda itu dengan air mata masih membasahi pipinya,
akan tetapi amat heranlah hati Indrayana ketika melihat bahwa biarpun mata gadis
itu menangis, namun bibirnya senyum.
Tersenyum manis seperti patung itu.
" Bodoh ...... " bisik dara itu, " aku menangis karena bahagia, masih belum
terbukakah matamu ...... " "
Kini Indrayana yang melenggong dan berdiri bagaikan patung batu, menatap wajah
Candra Dewi seakan-akan berada di dalam mimpi. Melihat pandang mata seperti itu,
Candra Dewi melengoskan mukanya dan menarik tangannya. " Lepaskan aku ...... ! "
bisikinya dan hendak lari. Akan tetapi kedua lengan tangan Indrayana lebih cepat
lagi, pinggangnya yang ramping itu tertangkap dan sesaat kemudian ia telah
berada dalam pelukan Indrayana . Sambil memejamkan kedua matanya, Candra Dewi
menyandarkan kepalanya di atas dada kekasihnya, mendengarkan bisikan cumburayu
dari bibir Indrayana . *** bagi sepasang kekasih yang sedang berbisik-bisik memadu kasih. Waktu berlalu
amat cepatnya tanpa terasa sedikitpun juga. Demikian pula dengan Indrayana dan
Candra Dewi. Serasa baru beberapa patah kata saja keluar dari bibir masing-
masing dan seakan-akan baru saja mereka duduk bersanding di atas akar pohon,
akan tetapi tahu-tahu malam telah tiba dan bulan mulai muncul. Namun belum juga
mereka sadar dan masih tenggelam dalam buaian ombak samodera asmara yang
memabokkan. Memang aneh kalau orang sedang dimabok asmara. Bulan purnama serasa
suram dan tidka Koleksi Kang Zusi
bercahaya apabila segala bunyi-bunyian dan gamelan, seakan-akan lagu dari surga.
Memang luar biasa sakti Dewa Asmara, dan bukan main ampuhnya anak panah dan
gendewanya. Tidak ada seorangpun manusia di dunia ini, bahkan tiada dewata
sekalipun manusia di dunia ini, bahkan tiada dewa sekalipun, yang kebal
menghadapi senjatanya. Akan tiba saatnya setiap orang manusia atau dewata
terkena hikmatnya dan terpaksa mengakui kekuasaan dan keunggulan Sang Dewa
Asmara. Indrayana dan Candra Dewi baru sadar ketika tiba-tiba mereka mendengar suara
ombak bertembang. " Kakangmas Pancapana ...... " bisik Indrayana sambil melepaskan tangan Candra Dewi
yang dari dipegangnya. " Ah, lebih baik aku pergi dlu, tentu kita akan di ejek habis-habisan dan
diperoloknya kalau ia melihat kita disini. " Setelah berkata demikian, Canda
Dewi bangkit dan segera melarikan diri dari situ denagn lagkah ringan. Indrayana
memandang bayangan kekasihnya dengan hati bungah. Ia tadi telah mendengar dari
Candra Dewi bahwa Pancapana yang menjadi biang keladi dari semua ini. Pageran
itu telah melihat ia membuat patung Candra Dewi dan sengaja membohongi gadis itu
agar gadis itu melihat sendiri betapa Indrayana membuat patungnya. Nakal, akan
tetapi juga amat baik hati. Indrayana tidka tahu apakah ia harus menegur ataukah
menyatakan terima kasih, atas perbuatan Pancapana tadi.
Ketika Indrayana keluar dari balik pohon dan menjumpai Pancapana yang sedang
berjalan seorang diri sambil itu, Pancapana mengentikan tindakan kaki dan
tembangnya. " Eh, eh, dimas Indrayana ! " katanya sambil senyum dan membelalakkan matanya. "
Teja bersinar indah melingkungi tubuhmu, tanda bahwa engkau Koleksi Kang Zusi
telah bertemu dengan kebahagiaan dan mendapat berkah Dewata Yang Agung !
Kebahagiaan apakah gerangan, dimas " Bagilah sedikit kepadaku. "
" Kakangmas Pancapana, kau memang pandai menggoda orang, " jawab Indrayana .
" Tetapi tidak berbahaya, dimas godaanku tidak berbahaya, tidak seperti godaanmu
! Hampir saja membuat Candra Dewi adikku itu patah hati !
Jangan menggodanya sampai keterlaluan, dimas,ingat, dia adikku. Kalau sampai
patah hati dan berduka, aku bisa marah kepadamu ! "
Merahlah muka Indrayana dan sambil tersenyum malu ia berkata.
" Terima kasih, kangmas. Berkat campur tanganmu, sekarang semua telah menjadi
baik. " Pancapana mengangguk-angguk sambil tersenyum " Bagus, bagus !! Hatiku sudah
gelisah melihat Candra Dewi menagis di ladang tadi, menangis dengan hati penuh
cemburu kepada Puteri Mahkota dari Syailendra. EH, dimas, sesungguhnya
bagaimanakah rupanya Puteri Pramodawardani "
Benar-benar cantik jelita seperti yang disohorkan orangkah " "
" Cantik jelita ! " kata Indrayana dengan bangga. " Sungguhpun bagiku diajeng
Candra Dewi lebih cantik, akan tetapi mencari seorang puteri di kolong langit
ini yang cantiknya dapat menandingi Puteri Pramodawardani, agaknya tak mungkin
dapat ! " Koleksi Kang Zusi Pancapana lalu duduk di atas sebuah batu, memberi isarat kepada Indrayana untuk
duduk pula. Dimas, kau tadi mengucapakan terima kasih kepadaku adakah ucapan itu tulus iklas
dan keluar dari hati sanubarimu " "
" Tentu saja, kangmas. Tanpa reka dayamu itu, agaknya diajeng Candra Dewi akan
selalu marah dan benci kepadaku. "
" Kalau kau benar-benar berterima kasih, sekarang kau harus membalas jasaku itu
dengan cerita tentang diri Puteri Pramodawardani ! Ceritakanlah tetang keadaan
kerajaannya, tentang keluarganya, tetang puteri itu sendiri, bagaimana
cantiknya, betapa manisnya kalau tersenyum, bagaimana lagaknya kalau berkata-
kata. " Demikian, kedua orang pemuda itu bercakap-cakap di bawah sinar bulan.
Indrayana menceritakankeadaan Syailendra, dan terutama sekali ketika
menceritakan dan memuji-muji kecantikan Pramodawardani diceritakannya dengan
cara yang menarik, dengan sejelasnya sehingga Pancapana yang mendengar merasa
seakan-akan Puteri Pramodawardani itu telah berdiri di hadapannya ! Sudah tentu
saja Indrayana banyak membohong dan hanay mengira-mgira saja dalam hal ini, oleh
karena iapun baru satu kali saja bertemu muka dengan puteri itu !
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali di kala ayam hutan masih belum berhenti
berkokok saling sahut-sahutan, seperti biasa Sang Panembahan Ekalaya telah duduk
bersila di atas batu hitam yang bentuknya bulat dan ketiga orang muridnya duduk
pula bersila di atas tanah di hadapannya.
Kebiasaannya ini telah dilakukan semenjak mereka naik ke Muria. Pada waktu fajar
itulah mereka menerima pelajaran-pelajaran ilmu-ilmu kebatinan yang tinggi dari
pertapa sakti itu. Ada kalanya Sang Panembahan Koleksi Kang Zusi
memanggil seorang di antara mereka pada siang atau senja hari untuk memberi
pelajran khusus. Akan tetapi, setiap pagi mereka bertiga tentu menghadap dan
mendengar wejangan-wejangan dari guru mereka ini.
Hampir setiap pagi, Sang Panembahan Ekalaya menutup wejangan-wejagannya dengan
kata-kata, " Sekarang pergilah bekerja, anak-anak !
Bekerjalah dengan hati riang dan laksanakanlah segala pitutur yang kaudengar dan
pelajari di dalam perbuatan, karena pokok pangkal yang segala ilmu di dunia ini
terletak pada perbuatan yang nyata. Pengetahuan memerlukan pengertian,
pengertian membutuhkan kesadaran, dan kesemuannya itu masih membutuhkan pula
kenyataan. Apakah artinya tahu kalau tidak mengerti, mengerti tidak sadar " Dan
apa pula artinya kesemuannya itu apabila ilmu yang dipelajarinya itu hanya
merupakan pengetahuan kosong tanpa dilaksanakan dalam perbuatan " Ingatlah
selalu bahwa ilmu barulah sapat disebut sempurna apabila di alam pelaksanaannya
dapat mendatangkan manfaat bagi kemanusiaan. "
Akan tetapi, pada pagi hari itu, ucapan yang selalu ditekankan ke dalam hati
murid-muridnya setiap pagi ini masih ditambah lagi dengan ucapan yang
mendatangkan debar pada jantung ketiga orang muda itu.
" Indrayana , Candra Dewi, dan kau juga Pangeran Pancapana ! " Sang Panembahan
selalu menyebut Pancapana dengan Pangeran, " hari ini adalah hari terakhir dari
kediamanmu sekalian di atas puncak gunung ini. Oleh karena itu, tak usah kalian
melakukan pekerjaan seperti biasa dan duduklah saja di sini bersamaku. Masih ada
beberapa pelajaran yang perlu kalian ketahui dan pelajari dengan baik. "
Sudah menjadi kebiasaan bagi orang-orang muda itu untuk mendengar ucapan-ucapan-
ucapan yang penuh rahasia dari guru mereka dan mereka maklum bahwa tak boleh
mereka menanyakan sesuatu yang tidak dibuka atau diberi tahu oleh gurunya. Oleh karena itu, sungguhpun hati mereka ingin sekali bertanya tentang hari terakhir
dari kediaman mereka di situ, Koleksi Kang Zusi
namun mereka tak berani membuka mulut sebelum Sang Panembahan menerangkan
sendiri. Jilid 5 Pernah satu kali Candra Dewi bertanya tentang sesuatu hal yang belum dijelaskan,
dan dara itu mendapat teguran dari Panembahan Ekalaya.
"Berlakulah tenang dan sabar serta terimalah segala peristiwa yang terjadi
dengan waspada, jangan sekali-kali kau ingin mengetahui lebih dalam tentang
peristiwa yang belum terjadi. Memandang peristiwa yang terjadi kemarin sebagai
sebuah pelajaran, menghadapi peristiwa hari ini denganpenuh kewaspadaan,dan
menanti datangnya peristiwa esok hari dengan penuh ketenangan dan kesabaran.
Itulah sifat seorang ksatria utama! Menjenguk peristiwa yang belum terjadi,
selain dapat melemahkan iman, juga merupakan perbuatan yang curang dan pengecut.
Curang terhadap kekuasaan nasib dan karenanya kesiku (melanggar pantangan)
Dewata Agung, dan pengecut terhadap diri pribadi, tanda bahwa dia takut,
khawatir akan datangnya kepahitan dalam kehidupannya."
Semenjak pertapa itu menyatakan demikian, maka ketiga orang muridnya tak pernah
lagi berani bertanya tentang epristiwa yang akan datang.
Mereka maklum akan kesaktian gurunya, bahwa pertapa yang menjadi gurunya itu
waspada dan tahu akan hal-hal yang belum terjadi. Maka, mereka juga tidak
bertanya tentang pernyataan bahwa hari itu adalah hari terakhir bagi mereka
berada di tempat itu. Dengan tenang dan sabar mereka hanya mendengarkan
wejangan-wejangan gurunya dan menanti sampai pertapa itu memberi penjelasan.
Dan penjelasan itu datang ketika matahari telah mulai muncul di balik puncak,
bersama dengan datangnya dua orang laki-laki tua yang mendaki gunung itu dengan
gerakan cepat. Setelah tiba di situ, keduanya lalu menjatuhkan diri brlutut dan
menyembah kepada Panembahan Ekalaya.
Koleksi Kang Zusi "Hm, sukurlah kalian telah datang. Sudah lama kutunggu-tunggu kedatangan
kalian," kata pendeta itu dengan suaranya yang halus.
Bukan main heran, terkejut dan juga girang hati ketiga orang muda itu, karena
yang datang itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga!
Candra Dewi segera menghampiri dan memeluk ayahnya dengan sikap manja. dua titik
air mata membasahi pipi dara itu.
"Aku girang sekali melihat kau sehat dan segar, Candra!" kata Bayumurti sambil
mengelus-elus rambut putrinya.
Sementara itu, Indrayana lalu maju dan berlutut di depan ayahnya.
"Ramanda, anakmu yang bodoh menerima segala hukuman yang hendak ayah jatuhkan
kepadaku." Tidak ada yang dipersalahkan, Indrayana. Yang sudah terjadi merupakan pengalaman
dan pelajaran bagi kita. Aku girang kau telah dapat menerima ajaran-ajaran dari
eyangmu." Seperti telah dituturkan di bagian depan, Panembahan Bayumurti dengan cara yang
amat mengagumkan dan gagah, menggantikan Sang Wiku Dutaprayoga untuk menjalani
hukuman mati, kemudian dengan
"pertolongan" Pangeran Balaputra Dewa sendiri beserta kawan-kawannya atas
suruhan Pramodawardani, Panembahan Bayumurti keluar dari dalam lobang kuburan di
mana ia dipendam hidup hidup.
Ketika Panembahan Bayumurti keluar dari ibukota Kerajaan Syailendra, di luar
pintu gerbang telah menanti Wiku Dutaprayoga dan mereka lalu Koleksi Kang Zusi
melakukan perjalanan merantau bersama. Kedua orang pertapa ini sesungguhnya
memang merupakan dua orang sahabat karib di masa dahulu, yaitu sebelum Wiku
Dutaprayoga menjadi Wiku di Syailendra. Keduanya pernah melakukan tapa brata di
atas puncak gunung-gunung dan melakukan lelanabrata bersama-sama di waktu mereka
masih muda. Keduanya memiliki kesaktian yang tinggi, dan kalau Wiku Dutaprayoga
memilki keahlian dalam pembuatan senjata tajam, adalah Panembahan Bayumurti
menjadi ahli dalam pembuatan patung.
Kedua orang tua ini melakukan perjalanan bukan untuk berpesiar atau menghibur
hati, melainkan untuk meredakan ketegangan antara penganut Agama Hindu dan
pemeluk Agama Buddha yang ditimbulkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab
atau oleh mereka yang sengaja mengadakan kerusuhan dengan maksud mengeduk
keuntungan bagi diri sendiri dari keadaan yang kacau itu.
Di mana terjadi keributan, datanglah Wiku utaprayoga bersama Panembahan
Bayumurti. Keduanya amat terkenal di antara penganut agama dan tentu saja
nasehat-nasehat kedua orang pendeta itu mendatangkan hasil baik sekali. Kedua
orang pertapa itu memberi nasehat bahwa tidak seharusnya Agama Hindu dan Agama
Buddha dijadikan dasar pertentangan dan pertempuran.
"Agama diturunkan kemuka bumi oleh Hyang Agung agar manusia dapat mempelajari
kebaikan, mempertebal perikemanusiaan dan menjauhi iblis yang mendatangkan
kekacauan dan permusuhan di dunia. Kalau kalian ini penganut-penganut Agama
Hindu dan Agama Buddha, saling bermusuhan dan saling bunuh, maka berarti bahwa
kalian kedua-duanya telah mnyeleweng dari pada ajaran agamamu masing-masing!
Kamu yang memeluk Agama Buddha akan dikutuk oleh Yang Mulia Buddha sedangkan
yang memeluk Agama Hindu akan mendapat murak para dewata!" demikian Bayumurti
memberi nasehat. Koleksi Kang Zusi Lihatlah kami berdua ini," kata Wiku Dtaprayoga, "Aku adalah seroang wiku,
seorang pendeta Agama Buddha. Sahabatku ini adalah seorang panembahan yang dalam
ilmu pengetahuannya tentang Agama Hindu. Akan tetapi kami merasa bersaudara dan
bersahabat, merasa bahwa kami adalah sama-sama manusia yang harus saling tolong-
menolong. Sebaik-baiknya agama yang dianut, sesuci-sucinya orang itu menjalankan
ibadah, ia tetap seorang manusia dan bukan dewa. Sebaliknya, betapapun jahat dan
buruknya, orang lain itupun seorang manusia pula dan bukan setan. Orang yang
merasa diri sendiri paling bersih dan menganggap orang-orang lain kotor
sesungguhnya adalah orang yang sekotor-kotornya! Orang yang mengangkat tinju
lebih dahulu dalam sebuah perkelahian, sesungguhnya adalah orang yang bersalah
dalam keributan itu!"
Banyak sekali orang-orang yang menjadi insaf karena datangnya dua orang pertapa
ini menghadapi tentangan-tentangan dari mereka yang sengaja mendatangkan
keributan, akan tetapi berkat kesaktian Bayumurti dan Wiku Dutaprayoga, anasir-
anasir itu dapat ditundukkan dan dikalahkan.
Setahun lebih kedua orang pendeta ini merantau, jauh sampai di dusun-dusun, baik
yang termasuk wilayah Kerajaan Syailendra maupun yang termasuk wilayah Kerajaan
Mataram. Sesungguhnya kedua agama itu telah bercampur aduk memasuki seluruh
dusun dan kampung dari kedua kerajaan itu.
Sementara itu dalam setahun ini telah terjadi banyak sekali perobahan dalam
kedua kerajaan itu, terutama sekali Kerajaan Mataram. Selama setahun lebih ini,
Kerajaan Mataran mengalami kemunduran hebat sekali.
Sang Prabu Panamkaran kurang pandai memegang kendali kerajaan, lebih
mementingkan kesenangan untuk diri pribadi. Tanda-tanda akan keruntuhan Kerajaan
Mataran yang tadinya jaya itu, nampak nyata.
Seperti biasa dan telah lazim terjadi, apabila rajanya tenggelam dalam
kesenangan dan tidak memperhatikan keadaan kerajaannya, dan pembesar-pembesar
tidak menjalankan tugasnya dengan baik bahkan mencari segala macam daya upaya
dan jalan yang tidak halal untuk mengeduk keuntungan sebesar mungkin, kalau para
cerdik pandai dan pendeta-pendeta bijaksana Koleksi Kang Zusi
mengundurkan diri meninggalkan raja dan menteri-menterinya yang korup, maka
kitulah tanda bahwa kerajaan itu menuju kepada keruntuhannya. Raja merupakan
payon rumah tangga negara, sedangkan para menteri dan petugas lain merupakan
tiang-tiang, usuk-usuk balok-balok sesuai dengan besar kecil dan payon itu tidak
sehat, bocor di sana-sini air hujan akan membuat kayu-kayu penahan payon menjadi
lapuk dan membusuk, dan kalau sudah begitu, alamat akan celakalah seisi rumah
negara. Wilayah Mataram makin lama makin mengecil, dicaplok oleh kerajaan-kerajaan lain
tanpa berhenti menentang sama sekali, karena maklum akan kelemahan sendiri. Juga
Sang Prabu Panamkaran tidak memperdulikan hal ini, baginya asalkan ia dapat
hidup makmur dan mewah, cukuplah! Tidak heran apabila Kerajaan Mataran makin
terdesak dan terhimpit antara kerajaan-kerajaan lain, bahkan sebagian besar
wilayahnya secara terang-terangan dan kurang ajar sekali telah dikangkangi oleh


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pasukan-pasukan Serigala Hitam di bawah pimpinan Pendeta Siddha Kalagana.
Akhirnya Mataran terjepit dan hanya tinggal menjadi sebuah kerajaan kecil tak
berarti di Gunung Dieng dan sekitarnya.
Sebaliknya, berkat kebijaksanaan Sang Maha Raja Samaratungga dan kesetiaan para
pamong praja. Kerajaan Syailendra makin kuat dan makmur.
Agama Buddha amat maju, pertanian subur, perdagangan ramai dan perahu-perahu
layar dari Pulau Jawa datang dan pergi, membawa barang-barang kebutuhan rakyat
dan mengangkut hasil bumi sebagai gantinya.
Hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain amat baik terutama dengan Kerajaan
Sriwijaya di seberang lautan.
Raja-raja kecil menyatakan hormatnya dengan pengiriman barang-barang berharaga.
Semua hal ini diceritakan oleh Panembahan Bayumurti dan Wiku Koleksi Kang Zusi
Dutaprayoga kepada Sang Bagawan Ekalaya, didengarkan juga oleh Indrayana,
Pancapana dan Candra Dewi dengan penuh perhatian.
"Mataran perlu sekali ditolong daripada keruntuhannya, perlu sekali dibangun
kembali. Dan hanya satu oranglah yang patut dan wajib melakukan hal itu dan
menggantikan kedudukan Sang Prabu Panamkaran. Orang itu bukan lain adalah
keturunan Sang Prabu Sanjaya, paman Bagawan dan oleh karena itu, hamba mohon
perkenan paman Bagawan untuk memberi tugas kepada Pangeran Pancapana."
Sang Begawan ekalaya mengangguk-angguk perlahan dan tersenyum.
"Lakukanlah kehendak kalian, anak-anak. Memang kalian bertiga ini sudah waktunya
turun gunung. Lakukanlah apa yang kalian rasa baik,"
"Ketika kedua orang pertapa itu dan tiga orang muda itu menyembah dan meminta
restu untuk mengundurkan diri, Sang Bagawan Ekalaya hanya berkata singkat dan
perlahan. "Pergilah...tugas-tugas suci telah menanti kalian. Di bawah bimbingan
Bayunurti dan Dutaprayoga, kalian takkan menyeleweng daripada kebenaran. Aku
sebagai orang tua hanya memberi bekal doa restu."
Setelah memberi hormat kepada kakek sakti itu, mereka meninggalkan tempat itu,
meninggalkan Bagawan ekalaya yang masih duduk bersila tak bergerak bagaikan
patung, karena kakek ini telah tenggelam kembali ke dalam alam samadhi.
Setelah berada di kaki gunung dan tiba di tepi laut yang memisahkan gunung itu
dengan pantai Pulau Jawa, mereka berhenti dan Panembahan Koleksi Kang Zusi
Bayumurti memberi tahu kepada Pancapana apa yang harus dikerjakan oleh pangeran
itu. Raden Pancapana, ketahuilah bahwa keadaan pamanmu, Sang Prabu Panamkara kini
sedang terancam bahaya besar. Bupati Yudasena dari pesisir telah berkali-kali
berusaha menggulingkan kedudukan pamanmu itu dan karena para panglima sepuh dari
Mataran enggan membantu pamanmu, maka keadaan Mataran benar-benar amat
berbahaya. Aku telah menghubungi para panglima tua dan cerdik pandai di Mataram
yang kini mengasingkan diri dan ketika beritahukan tentang keadaanmu, mereka
menyambut dengan gembira sekali. Kau sekarang pergilah ke ibu kota Mataram, dan
usahakanlah agar serangan Yudasena dapat dipecahkan. Kali ini pamanmu tentu
takkan ragu-ragu lagi untuk menyerahkan kedudukannya kepadamu."
"Baik, paman Panembahan," jawab Pancapana sambil menyembah.
Tiba-tiba Indrayana berkata kepada ayahnya, "Rama, izinkanlah hamba ikut dan
membantu uasha kakangmas Pancapana."
Wiku Dutaprayoga tersenyum. "Seandainya kau tidak minta aku tentu akan menyuruh
kau pergi juga mengawani Pangeran Pancapana, puteraku.
Sudah menjadi tugasmu untuk membantu perjuangan Pangeran Pancapana, menegakkan
kembali Mataram dan menolong keadaan rakyat Mataran daripada bencana besar."
"Bagus," kata panembahan Bayumurti, 'dengan adanya Indrayana mengawanimu, hatiku
lebih tentram dan yakin lagi akan berhasilnya usahamu, Raden Pancapana."
Koleksi Kang Zusi Pancapana juga merasa girang sekali. Ia memeluk pundak Indrayana dengan wajah
berseri dan mata bersinar-sinar.
"Rama Panembahan, akupun ingin ikut membantu Raden Pancapana," tiba-tiba Candra
Dewa berkata kepada ayahnya.
"Kau hendak membantuku atau membantu dimas Indrayana, diajeng Candra?" Pancapana
menggoda sambil tersenyum.
Candra Dewi cemberut lalu berkata, "Tentu saja membantu keduanya, bukannya
kalian berdua adalah saudara-saudara seperguruan dan sudah menjadi kewajibanku
untuk membantu pula?"
Bayumurti dan Dutaprayoga saling pandang dan diam-diam mereka tersenyum girang.
"Candra, anakku," kata Panembahan Bayumurti kepadanya, "kali ini kau tak boleh
ikut kerena pekerjaan yang mereka hadapi adalah pekerjaan laki-laki. Sebagai
seorang wanita, tugasmu hanya menunggu dan berdoa agar supaya usaha mereka
berhasil baik." Muramlah wajah Candra Dewi mendengar kata-kata ayahnya ini, akan tetapi ia tidak
berani membantah. Indrayana memandang kepada kekasihnya ini dan berkata
perlahan. Jeng Dewi, kalau tugas kami sudah selesai, kita pasti akan bertemu kembali."
Senyumnya yang ramah dan menghibur dapat juga mengusir kemuraman yang membayang
di wajah gadis itu. Koleksi Kang Zusi "Berangkatlah kalian dan jangan membuang banyak waktu lagi." Kata Panembahan
Bayumurti kepada kedua pemuda itu yang segera melanjutkan perjalanannya.
Candra Dewi berdiri memandang bayangan kedua orang muda itu sampai lenyap pada
sebuah tikungan. Hatinya terasa sunyi dan tak sedap ditinggalkan oleh mereka,
terutama sekali oleh Indrayana.
"Sudahlah, Candra, sekarang belum tiba waktunya kau ikut menunjukkan baktimu
terhadap Kerajaan Mataram. Kita telah terlampau lama meninggalkan tempat tinggal
kita, marilah kita pulang dan menanti perkembangan yang akan terjadi
selanjutnya." Kemudian Panembahan Bayumurti berpaling kepada Wiku Dutaprayoga
dan berkata. "Kakang wiku, baiklah kita berpisah di sini dan sampai bertemu kembali pada saat
yang tepat." "Baiklah, adi Panembahan, kalau sudah rampung tugas kita, kita lanjutkan
perjalan yang kita setujui kemarin dulu itu."
"Baik, kakang Wiku, selamat berpisah!"
*** Pancapana dan Indarayana melakukan perjalanan dengan cepat sekali. Dari pulau
Gunung Muria, mereka menggunakan sampan untuk menyebrang ke pantai Pulau Jawa,
kemudian mereka menggunakan kepandaian berlari cepat menuju ke Mataram.
Perjalanan mereka menuju ke selatan melalui hutan-hutan dan bukit-bukit.
Koleksi Kang Zusi Setelah tiba di Pegunungan Ungaran mereka lalu membelok ke barat untuk menuju ke
Pegunungan Dieng yang pada waktu itu menjadi pusat Kerajaan Mataram yang telah
hampir runtuh dan lenyap itu.
Akan tetapi, ketika mereka masuk dalam sebuah hutan liar di Pegunungan ungaran,
tiba-tiba terdengar sorakan riuh dan dari belakang pohon-pohon dan alang-alang,
berlompatan keluar perampok-perampok yang jumlahnya tidak kurang dari empat
puluh orang! Seorang yang tinggi besar dengan brengos sekepal sebuah, mata lebar bundar yang
seperti mau melompat ke luar dari ruang mata, melangkah maju dengan klewang di
tangan. Baik melihat sikapnya maupun keadaan pakaiannya yang lebih lengkap
daripada yang lain, mudah diduga bahwa si brengos tebal ini tentulah kepalanya.
"Hai, pemuda-pemuda bagus! Tinggalkanlah dulu semua barang dan pakaianmu sebelum
kalian melanjutkan perjalanan melalui hutan ini!" seru si brengos itu dengan
suaranya yang parau. Pancapana melirik kepada para pengurungnya dan melihat bahwa puluhan orang
perampok itu kesemuanya bertubuh tegap dan gagah hanya pakaian mereka saja yang
tidak karuan dan compang-camping.
"Hm, manusia-manusia macam inilah agaknya yang mendatangkan kekacauan melemahkan
keadaan Mataram!" katanya marah, kemudian sambil memandang kepada di brengos
dengan mata tajam Pancapana Koleksi Kang Zusi
membentak, "Kalian ini orang-orang tak tahu malu, tidak patut menjadi kawula
Mataram! Pantas saja Mataram menjadi semakin lemah tidak tahunya terdapat telur-
telur busuknya macam kau dan anak buahmu ini!"
Bukan main marahnya di brengos mendengar ucapan ini. Sepasang matanya yang besar
itu terputar-putar dengan dasyatnya, brengosnya yang sekepal sebelah itu
bergerak-gerak dan berdiri mengerikan.
"Bocah gunung, alangkah sombongmu! Kau tidak tahu dengan siapa kau berhadapan.
Aku adalah Surarudira dan seluruh daerah Ungaran tahu siapa aku! Berani kau
mengakat dada terhadap Surarudira" Hayo kau berlutut dan menyerahkan semua
barang dan pakaian, baru aku memberi ampun!"
"Surarudira, nama yang terlampau gagah untuk seorang pengecut dan jahat seperti
kau!" kata Pancapana mengejek. "Jangankan kau seorang diri maju menghadapiku,
keroyoklah dengan semua kawan-kawanmu, aku takkan mundur setapak!"
"Babo, babo! Sumbarmu seperti berkepala tiga berlengan enam saja!
Agaknya kau sudah bosan hidup!" teriak Surarudira sambil membacok dengan
klewangnya ke arah leher Pancapana. Akan tetapi pemuda ini dengan mudah mengelak
ke kiri sehingga klewang itu mendesing di pinggir kepalanya. Begitu klewang itu
lewat menyambar, tiba-tiba senjata itu telah menyambar kembali dari kanan dan
sekarang membabat kedua kaki Pancapana. Kaget juga pemuda ini melihat kecepatan
gerakan lawan dan diam-diam ia memuji bahwa si brengos ini tentu telah
mempelajari ilmu permainan golok yang cukup baik. Cepat Pancapana melompat ke
atas membiarkan klewang itu menyambar lewat dan sebelum kedua kakinya ia
turunkan, ia telah melakukan gerakan menendang di udara dan dengan jitu sekali
tungkak kaki kanannya mencium dada Surarudira yang bidang.
Koleksi Kang Zusi Blek!" Surarudira merasa seakan-akan dadanya remuk dan diseruduk oleh seekor
banteng. Tubuhnya terlempar ke belakang dan berguling bagaikan sebuah kelapa
dilempar dari atas. Akan tetapi si brengos ini benar-benar kuat tubuhnya dan
besar pula semangatnya! Cepat dan beringas ia melompat bangun lagi, menggoyang-
goyang kepalanya dan memberi tanda kepada kawan-kawannya, "Serbu.....!"
Komandonya ini seakan-akan komando seorang panglima perang kepada pasukannya!
Sedangkan ia sendiri dengan klewang diputar-putar di atas kepalanya lalu
menyerang Pancapana lagi.
"Dimas Indrayana, mari kita hajar rombongan tikus sawah ini!" seru Pancapana.
Indrayana tadinya hanya berdiri diam saja menikmati kegembiraan hatinya melihat
pangeran itu memberi hajaran kepada rakyatnya sendiri yang menyeleweng daripada
jalan kebenaran. Kini melihat empat puluh lebih orang itu maju menerjang
bagaikan ombak Segara Kidul, tentu saja ia tidak tinggal diam. Cepat dan
trengginas seperti seekor bajing melompat, tubuhnya berkelebat menerjang maju.
Kedua kaki dan tangannya bekerja cepat merupakan empat baling-baling kitiran
besar yang membagi-bagi pukulan dan tendangan. Sekali tangannya bergerak,
terdengar teriakan mengaduh dan seroang lawan jatuh terjengkang dengan kepala
benjol, dan sekali kakinya terayun, terlemparlah tubuh lain pengeroyok sehingga
jatuh berdebuk sambil peringisan karena pantatnya menimpa batu.
Surarudira mengamuk hebat dan menyerang Pancapana dengan gerakan klewang yang
cukup dasyat, Pancapana dengan tenaga menyambut serangan si brewos ini dengan
tangan kosong. Pangeran ini memperlihatkan kegesitannya, bagaikan seekor burung
serikatan ia bergerak mengikuti sinar klewang yang menyambar-nyambar sehingga
Surarudira merasa terheran-heran. Beberapa kali klewangnya seakan-akan sudah
pasti Koleksi Kang Zusi mengenai tubuh lawan akan tetapi tubuh lawan itu melesat dan dapat mengelak
dengan cepatnya. Berdirilah bulu tengkuknya, karena ia seperti melawan dan
berkelahi dengan sebuah bayangan setan! Akan tetapi Surarudira adalah seorang
kasar dan gagah yang belum pernah mengenal arti kata takut. Ia mengamuk semakin
hebat. Sengaja ia berdiri sejenak untuk memandang kepada lawannya dengan tajam.
Ketika ia melihat pemuda itu juga berhenti berdiri di depannya sambil senyum
mengejek, seperti kilat klewangnya menusuk dada Pancapana.
Mampus kau!" serunya.
"Heeiit!" Pancapana tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan membuka
lengan kananya sehingga klewang itu masuk di bawah lengan kanannya. Pancapana
menggunakan kesempatan itu untuk majukan tubuhnya dan ketika lengan kanannya
diturunkan dan mengepit, maka tangan Surarudira yang memegang klewang itu telah
terjepit di bawah pangkal lengan kanannya! Surarudira berusaha membelot
tangannya akan tetapi sama sekali tak berhasil. Kempitan itu luar biasa erat dan
kuatnya. "Lepaskan!" teriaknya sambil meronta, akan tetapi Pancapana hanya menggeleng
kepala sambil tersenyum. Surarudira marah sekali dan kini tangan kirinya yang
dikepal sebesar buah kelapa itu menyambar hidung Pancapana. Pemuda itu
menggerakkan kepalanya ke belakangan dan dari belakang menangkap tangan kiri itu
sehingga kini Surarudira tertangkap dengan kedua tangan di belakang tubuh.
Tangan kanan masih dikempit, sedangkan tangan kiri diuntir ke belakang.
"Menyerahkah kau?" kata Pancapana sambil menarik tangan kiri si brewok itu ke
atas. Peluh berkumpul di kening Surarudira karena ia menahan sakit, akan tetapi
dengan bandel ia menggeleng kepala dan membentak.
Koleksi Kang Zusi "Siapa sudi menyerah" Aku masih belum kalah!"
Gemas juga hati Pancapana melihat kebandelan ini. Ia merasa suka kepada orang
kasar ini karena ternyata gagah berani dan juga ilmunya berkelahi tidak lemah,
akan tetapi kalau orang ini tidak diberi hajaran keras, sukarlah menundukkannya.
Ia lalu melepaskan pegangannya, mendorong tubuh lawan itu ke depan dan memberi
sebuah tendangan pada pantat Surarudira dengan keras.
"Aduh...!" baru kali ini semenjak perkelahian tadi, Surarudira terdengar
mengaduh, karena sesungguhnya tendangan itu amat keras dan mendatangkan rasa
nyeri yang luar biasa. Tubuhnya terhuyung-huyung dan betapapun ia mengerahkan
tenaga untuk menahan agar jangan sampai roboh namun akhirnya ia terjungkal juga.
Surarudira benar-benar harus dikagumi karena keberanian dan kebandelannya. Ia
merasa amat sakit pada tulang belakangnya akan tetapi ia masih juga bangun
kembali dengan sinar mata bernyala-nyala, tanda belum mau takluk. Ketika ia
berjalan menghampiri lawannya lagi, ia merasa pantat dan punggungnya demikian
sakit sehingga jalannya jadi egang.
Namun, biarpun jalannya sudah egang dan mekeh-mekeh, masih tetap ia menyerang
lagi dengan klewangnya dan serangannya masih berbahaya.
Kalau bukan Pancapana yang diserang, tentu serangan ini masih akan dapat
mengorbankan nyawa lawannya.
Pancapana sendiri merasa heran dan kagum. Tendangannya tadi bukanlah tendangan
biasa, akan tetapi ia mengarah urat lawan yang penting sehingga tendangannya
telah membuat tulang dan urat lawannya bagian belakang menjadi terkelecoh.
Bagaimana si brengos ini masih sanggup menyerang lagi" Melihat kekerasan hati
ini, Pancapana lalu menerjang dan sebuah Koleksi Kang Zusi
tempilingan tangan kirinya yang disertai aji kesaktian mampir di kepara
Surarudira sehingga tanpa dapat berteriak lagi tubuh yang tinggi besar itu
berputar beberapa kali dan jatuh menjerembab di atas tanah.
Pancapana memandang tubuh lawannya dengan senyum di bibir, akan tetapi tiba-tiba
senyumnya menghilang, ketika ia melihat Surarudira bergerak, dan merayap lalu
bangun kembali. Bukan main! Pukulannya tadi disertai Aji Wesi Kuning, bagaimana
si brengos ini masih sanggup bangkit kembali"
Ajinya itu kalau dipukulkan, biar lawannya memiliki ilmu kekebalan, masih takkan
mampu menahannya. Dengan mata terbelalak kagum Pancapana melihat tubuh tinggi
besar itu bangkit kembali.
Surarudira memang kuat tubuhnya. Ketika pukulan tadi mampir dikepalanya, ia
merasa seakan-akan tujuh petir menyambar kepalanya dan untuk sesaat dunia
menjadi gelap gulita di depan matanya. Akan tetapi, ia masih dapat mengeraskan
hatinya dan bangkit kembali. Namun, ketika ia sudah dapat berdiri, tiba-tiba
bumi yang dipijaknya terasa berputar-putar, di depan matanya nampak seribu satu
bintang besar kecil berjoget dan telinganya mendengar bunyi lengking dan hiruk
pikuk. Karena ini, kepalanya terasa pening sekali dan berat, seakan-akan
kepalanya telah berobah menjadi besi yang amat berat dan akan jatuh saja. Kedua
kakinya masih mencoba untuk menahan akan tetapi tetap saja tidak kuat. Ia
berputaran beberapa kali dengan kedua manik mata mendekati hidung, kemudian
jatuh lagi terlentang tanpa dapat berkutik kembali!
Ketika beberapa lama kemudian Surarudira siuman kembali dari pingsannya dan
membuka mata, ia terkejut melihat betapa kedua orang pemuda yang tampan itu
mengamuk bagaikan dua ekor garuda sakti menyambar-nyambar dikeroyok oleh puluhan
burung pipit yang sama sekali tidak berdaya. Jangan kata terkena patukan atau
cengkeraman burung-burung garuda itu, baru terdorong oleh sambaran angin kibasan
sayapnya saja, burung-burung pipit itu telah terpental jauh! Di sana-sini tubuh
para anggota perampok itu malang melintang, tumpang tindih dan mengaduh-aduh.
Ada yang benjol kepalanya terkena tempiling, patah tulang lengan Koleksi Kang
Zusi ketika mencoba menangkis pukulan kedua anak muda itu, mulas perutnya karena
sambaran ujung kaki, ada pula yang sesak nafasnya terkena sodokan jari tangan!
Melihat keadaan ini dan betapa sisa anak buahnya yang juga nekad-nekad dan
berani-berani seperti pemimpinnya, Surarudira lalu berseru keras.
"Anak-anak...! Tahan...! Menyerahlah kepada ksatria gagah perkasa ini!"


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mendengar komando ini semua anggota perampok yang tadi masih melakukan
perlawanan dengan nekad, tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut dan menyatakan
takluk. Surarudira!" berkata Pancapana dengan suara keren. "Melihat kau dan anak buahmu,
agaknya kalian bukan perampok-perampok biasa dan pernah pula menerima pendidikan
dalam ilmu perang. Mengapakah kalian tidak mempergunakan kepandaian itu membela
Kerajaan Mataram, bahkan menimbulkan kekacauan dan menjadi pengganggu serta
pengrusak keamanan?"
Surarudira yang kini telah berdiri kembali dengan tubuh masih terasa sakit-sakit
menjawab dengan angkuh. "Untuk apa aku harus membela Kerajaan Mataram yang dipegang oleh raja lalim"
Biarlah, biar Mataram runtuh daripada dikuasai oleh seorang raja yang tidak tahu
kewajiban! Dahulu, ketika Sang Prabu Sanjaya masih memegang pemerintahan, kami
adalah sepasukan pegawai yang setia. Kami berani mengorbankan nyawa kami untuk
membela Mataram yang jaya.
Ah...kalau saja Mataram dipegang oleh keturunan Sang Prabu Sanjaya..."
Koleksi Kang Zusi Berdebarlah jantung Pancapana mendengar ini akan tetapi tiba-tiba Indrayana
mendahului dan bertanya kepada Surarudira.
"Benar-benarkah kau dulu mengabdi kepada Sang Prabu Sanjaya?"
"Mengapa aku harus membohong?"
"Tahukah kau bahwa Sang Prabu Sanjaya mempunyai seorang putera?"
"Tentu saja, namanya adalah Pangeran Pancapana, akan tetapi semenjak kecil telah
lenyap mungkin terbunuh oleh Sang Prabu Panamkaran..."
"Bodoh! bentak Indrayana, "Surarudira, dan kalian semua! Bukalah matamu lebar-
lebar dan lihat baik-baik. Siapa yang berdiri di hadapanmu ini?" Ia menunjuk
dengan ibu jarinya ke arah Pancapana. "Perhatikanlah baik-baik, tidak adakah
persamaan antara wajahnya dan wajah mendiang Sang rabu Sanjaya?"
Semua mata memandang kepada Pancapana dan terdengarlah seruan-seruan heran
kaget. "Serupa benar dengan mendiang Sang Prabu Sanjaya!"
Koleksi Kang Zusi "Dia Sang Prabu sendiri ketika masih muda!"
Demikian terdengar seruan-seruan, sedangkan Surarudira sendiripun memandang
dengan wajah pucat. "Ya jagat Dewa Batara...!" serunya. "Raden katakan terus terang, siapakah
sebenarnya kau ini?"
Pancapana tersenyum, "Adindaku Indrayana telah mengatakan tadi.
Mendiang Sang Prabu Sanjaya adalah ramandaku."
Untuk sekejap suasana menjadi hening dan semua orang menahan nafas ketika
Surarudira bertanya gagap, "Jadi... jadi paduka... ini....Gusti Pangeran...."
"Aduh, Gusti Pangeran....!" Surarudira lalu menjatuhkan diri berlutut dan
menyembah, diturut oleh semua anak buahnya. Dari kedua mata kepala perampok yang
kasar dan gagah itu keluarlah dua titik air mata karena sangat terharunya.
Terharu pula hati Pancapana melihat hal ini. Ternyata ucapan gurunya, Panembahan
Bayumurti benar. Masih banyak orang-orang yang tetap setia kepada Mataram,
terutama kepada mendiang ayahnya yang berarti juga kepadanya. Bahkan perampok-
Misteri Penculik Asmara 3 Putri Bong Mini 02 Hilangnya Seorang Pendekar Neraka Gunung Dieng 3
^