Banjir Darah Di Borobudur 1
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 1
Koleksi Kang Zusi Banjir Darah di Borobudur
Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Jilid 1 Kisah ini terjadi pada waktu agama
Hindu dan Agama Budha berkembang
luas, dan berpengaruh serta berkuasa
di pulau jawa. Seribu tahun lebih yang
lalu kedua agama ini yang datangnya
dari India, membawa kebudayaan yang
tinggi kepada rakyat di Pulau Jawa.
Betapapun besar dan hebat pengaruh
agama-agama dan kebudayaan dari luar
ini, namun tak dapat menghilangkan ciri-
ciri yang khas pada bangsa pribumi, tak dapat melebur sama sekali kepribadian
asli daripada penduduk pulau jawa.
Kepribadian asli ini ada pada tiap bangsa dimanapun juga, kepribadaian yang
bertumbuh di tanah air sendiri, yang terbentuk sesuai dengan keadaan alam, watak
dan selera bangsa itu sendiri. Oleh karena inilah, maka agama dan kebudayaan
luar yang masuk ke pulau jawa ini, setelah berkembang biak dan dapat di terima
oleh seluruh rakyat, menjadi berubah sifatnya daripada aslinya. Hal ini terjadi
karena agama dan kebudayaan itu tak dapat di terima bulat - bulat begitu saja
oleh penduduk pribadi, akan tetapi disesuaikan dengan kepribadian sendiri.
Yang tidak sesuai dirubah sedemikian rupa sehingga cocok dan enak bagi selera
sendiri. Koleksi Kang Zusi Maka bukanlah hal yang mengherankan apabila kedua agama besar yang berkuasa di
Pulau Jawa, yaitu Agama Hindu dan Agama Budhha, dapat hidup bersama dengan rukun
di Pulau Jawa padahal di tempat asalnya kedua agama ini dijadikan sebab dan
dasar pertikaian dan peperangan.
Kenyataan ini menjadi betapa mulia, bijaksana, dan penuh cinta damai adanya
watak daripada kepribadian rakyat yan menjadi penduduk pribumi du Pulau jawa.
Agama apa saja, kebudayaan yang bagaimanapun juga, memasuki tanah air, diterima
dengan ramah, akan tetapi tidak secara membuta. Pengaruh- pengaruh dari luar itu
takkan dapat memaksa ataupun membujuk bangsa pribumi, akan tetapi diterima
dengan penuh kebijaksanaa dan kesadaran, dipakai mana yang dirasa baik, dibuang
mana yang dirasa kurang. Kebijaksanaan ini tidak hanya nampak pada sikap rakyat jelata, bahkan di
pelopori oleh Raja sendiri yang berkuasa di masa itu. Raja tidak melarang
rakyatnya memeluk agama yang mana saja, baik Agama Hindu, maupun Agama Buddha,
di pandang tinggi dan hal ini terbukti sampai sekarang dengan adanya candi-
candi tempat pujaan penganut Agama Hindu maupun Agama Buddha.
Kisah ini terjadi antara tahun 700 sampai 850 pada waktu maan di jawa tengah
berkuasa dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Mataram dan Kerajaan Syailendra.
Raja di Mataram adalah sang Prabu Sanjaya, yang selain pandai memegang kendali
pemerintaan, juag amat sakti mandraguna sehingga dengan balatentaranya yang kuat
, Sang Prabu Sanjaya menaklukan banyak raja-raja kecil di Pulau jaawa bahkan
sampai di tanah seberang lautan. Kerajaan Mataram beragama Hindu dan menyembah
dewa-dewa, di antaranya yang mendapat tempat tinggi adalah batara Aviwa yang
juga disebut batara Guru dan kadang-kadang menjadi dewa pembinasan yang disebut
Batara Kala Koleksi Kang Zusi Kerajaan Syailendra yang tadinya menjadi negara taklukan dari Kerajaan Mataram
dirajai oleh Sang Prabu Samaratungga, atau Maha Raja Samaragrawira. Raja inipun
terkenal sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana sehingga rakyat yang
berada di bawah pemerintahannnya hidup makmur.
Raja ini, berbeda dengan Kerajaan Mataram yang memeluk Agama Hindu, beragama
Buddha dan sedemikianpun seluruh keluarganya.
Betapapun bijaksananya kedua raja ini dan betapapun taatnya rakyat kedua
kerajaan, namun perbedaan kepercayaan ini tetap saja merupakan perbedaan faham
yang sering kali menimbulkan bentrokan antara orang-orang yang berdarah panas
dari kedua belah fihak. Memang sedemikianlah keadaan para pemeluk agama semenjak dahulu sehingga kini.
Para pemeluk agama yang pengetahuannya tentang pelajaran agamannya itu baru
setengah-setengah dan msih amat dangkal, selalu menyombogkan agamannya sendiri
dan merendahkan agama kepercayaan lain orang. Berbeda dengan para pendeta atau
pemeluk agama yang benar-benar sudah mendalam pengetahuannya dan yang telah
menjalankan ibadat yang suci dengan penuh kesetiaan dan kesadaran, mereka telah
menjadi orang yang bijaksana dan tahu menghargai serta menghormati kepercayaan
orang lain. Sering kali terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara orang-orang dari dua
golongan ini, terutama sekali apabila golongan yang satu mendirikan sebuah candi
tempat pemujaan, selalu diejek dan diganggu oleh golongan lain sehingga
menimbulkan pertengakaran dan perang kecil-kecilan.
Permusuhan mempunyai sifat panas bagaikan api, kalu tak segera di padamkan dan
menjala, dapat berubah menjadi lautan api di mana Dewi Koleksi Kang Zusi
Agoi berpestapora dan mengamuk. Demikianpun dengan perselisihan-perselisihan
kecil itu, lambat laun menjalar sampai kedalam keraton kedua kerajaan! Kedua
raja tentu saja menjaga kedaulatan dan kekuasaan masing-masing dan mulailah
terjadi permusuhan dan persaingan antara kedua raja yang berlainan agama ini.
Tidak saja berebut dalam hal memperbesar pengaruh dan memperluas wilayah
kekuasaan, akan tetapi juga bersaing dalam hal pendirian candi-candi. Kerajaan
Mataram membangun banyak sekali candi-candi pemujaan pada Dewata menurut
kepercayaan Agama Hindu, sedangkan Maha Raja samaratungga membangun candi-candi
Agama Buddha untuk menyaingi lawannya itu.
Di dalam keadaan yang kacau dan penuh permusuhan inilah, kisah ini terjadi dan
dimulai! *** Musim kemarau mengeringkan air-air sawah dan sungai-sungai kecil.
Bahkan Kali Praga yang biasannya mengalirkan air bening melimpah-limpah itu,
kini nampak hampir kehausan dan megap-megap tertimpa cahaya matahari yang amat
teriknya. Batu-batu besar menonyol mengantikan kedudukan air yang telah habis
ditelan dan diminum oleh hambasahaya Ratu Segara Kidul, sekitar Kali Praga
nampak senyi senyap. Sunyi dan mati karena tidak ada angin sedikitpun, seakan-
akan Sang Batara Bayu. Dewa Angin itu juga menderita kepanasankarena teriknya
matahari dan sedang beristirahat. Pohon-pohon dengan daun-daunnya yang mengering
itu diam tak bergerak sediam batu-batu yang menonjol di dalam kali yang kering.
Hanya sedikit air keruh di tengah-tengah kali yang menonjol di dalam kali yang
nampak hidup, bergerak perlahan bagaikan ular yang sudah sekarat, mencari jalan
menurun di anatara batu-batu kali itu. Seakan-akan mencari tempat teduh untuk
berlindung dari kemurkaan Sang Batara Surya.
Sesungguhnya, keadaan tidak semati itu, karena dipinggir sungai, duduklah
seorang pemuda diatas rumput kering. Memang, nampaknay pemuda ini juga sudah
berubah menjadi patung batu, karena ia duduk diam tak bergerak Koleksi Kang Zusi
sedikitpun. Hanya dadanya yang telanjang itu masih menyatakan bahwasannya ia
masih hidup, karena masih bergerak naik turun dalam pernapasan.
Pemuda ini masih remaja, usianya takkan lebih dari tujuh belas tahun. Dia
seorang pemuda yang elok sekali, raut mukanya tajam dan sempurna, tak ubahnya
seperti wajah Sang Arjuna tengah bertapa di tepi sungai. Kulit tubuhnya, dari
mukanya yang tampan, sampai kepada dadanya yang bertelanjang dan kakinya yang
nampak dari betis ke bawah, amat bersih dan halus, akan tetapi matang dalam
panggangan sinar surya. Lengan tangannya yang bulat berisi, dadanya yang bidang, pinggang yang kecil dan
betisnya yang penuh dan kuat itu menujukkan bahwa di dalam tubuh pemuda ini
tersimpan tenaga yang kuat dan kesehatan yang sempirna. Wajahnya yang tampan itu
mempunyai cahaya yang berbeda dengan pemuda-pemuda biasa di dusun-dusun.
Sepasang matanya bening dan terang, mempunyai sinar tajam yang menembus apa yang
dilihatnya. Keningnya lebar dan mulutnya, ditarik angkuh, membuat mukanya tampak agung.
Rang yang melihat pemuda ini tentu akan menduga bahwa ia adalah seorang berdarah
keraton atau setidaknay keturunan bagsawan dan kesatria. Dugaan ini memang tidak
terlalu keliru, karena sungguhpun pemuda ini memang bukan putera bangsawan,
namun ia adalah putera seorang Pendeta Agama Buddha yang bernama Sabg Wiku
Dutaprayoga, yang selain menjadi pendeta juga bekerja sebagai ahli pembuat
senjata keris, pedang dan lain-lain dari Maha Raja Samaratungga dari Kerajaan
Syailendra. Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Mataram dan belum lama ia memeluk Agama
Buddha. Maha raja Samaratungga tertarik akan kepandaiannya membuat senjata dan
mengangkatnya sebagai ahli pembuat keris di kerajaannya, kemudian memberinya
banyak hadiah dan kedudukan tinggi.
Koleksi Kang Zusi Pada waktu itu , ia masih beragama Hindu dan memuja Trimurti, yaitu Tiga Suci ,
Dewa Brahma, Syiwa, dan Wisnu. Setelah bekerja di Kerajaan Syailendra dan
mempelajari filsafah Agama Buddha, hati sang panembahan Dutaprayoga tertarik dan
kemudian ia dianugrahi gelar Wiku oleh Maha Raja Samaratungga.
Istrinya yang amat keras hati dan menjadi pemuda Trimurti yang amat tekun dan
setia, ketika melihat suaminya mengikuti aliran Agama Buddha, menjadi patah hati
dan bersedih sehingga ia membuang diri sampai tewas di kali Paraga pada saat
kali itu banjir. Semenjak itu, Sang Wiku Dutaprayoga hidup berdua dengan seorang
puteranya yang telah di tinggalkan oleh ibunya pada waktu itu ia berusia sepuluh
tahun. Pemuda yang kini duduk termenung di pinggir Kali Praga itulah putera tunggal
Sang Wiku Dutaprayoga. Ia bernama Indrayana dan semenjak kecil ia telah mendapat
gemblengan ilmu kepandaian oleh kedigdayaan dari ayahnya yang juga terkenal amat
sakti dan digdaya, kalau melihat orangnya yang demikian halus dan lemah lembut ,
tampan dan sopan seperti orang bambang ahli tapa brata, oarang takkan mengira
bahwa pemuda yang lemah lembut ini memiliki tenaga yang dapat mengalahkan seekor
banteng liar, memiliki kesigapan bagaikan seekor burung srikatan, kecekatan dan
ketrampilan seperti seekor monyet putih. Sukarlah membayangkanbetapa jari-jari
tangan yang kecil dan berkulit halus itu dapat menempa sepotong baja yang sedang
membara, memijit-mijit dan membentuk baja menjadi sebilah keris ampuh bagaikan
orang bermain-main engan tanah lempung saja. Memang, Indrayana telah mewarisi
ilmu kesaktian ayahnya. Menurut pantasnya, pemuda ini tentu merasa puas dan bahagia. Kedudukan ayahnya
cukup tinggi , terhormat dan disegani oleh rakyat jelata dan pembesar, dicintai
oleh Sang Parabu Samaratungga sendiri. Dia sendiri telah mewarisi kepandaian
tinggi, berwajah elok dan menjadi impian para dara jelitadi kerajaan itu, makan
cukup pakaiaan tak kurang. Akan tetapi mengapa ia sering kali duduk termenung di
tepi Sungai Praga" Koleksi Kang Zusi Sesungguhnya , banyak sekali hal berkecambuk dalam hati dan pikiran pemuda ini.
Hal-hal yang membuatnya seringkali melamun, bermuram durja, gelisah, duka, dan
kecewa. Pertama-tama ia selalu teringat akan budayanya yang telah membuang diri
sampai tewas di Sungai Praga. Kedua, hatinya berduka menyaksikan pertikaian-
pertikaian yang tiada habisnya antara orang-orang Mataram dan orang-orang
Syailendra, antara pemuja Agama rimrti dan Agama Buddha. Dalam hal ini, ia
sependapat dengan ayahnya.
Juga Sang Wiku Dutaprayoga selalu berduka kalau mendengar akan pertikaian itu.
Betapapun juga, Sang Wiku maklum bahwa kedua agama ini semua baik dan murni,
mengandung pelajaran kebatinan yang tinggi dan yang dapat menuntun manusia ke
arah jalan yang benar, membuka mata manusia untuk mengenal diri pribadi, dan
mengingatkan mereka akan asalnya.
Adapun hal ketiga, yang membuat hati Indrayana selalu rusuh dan binggung, adalah
persaingan pembuatan candi. Ia telah emnjadi seorang penduduk dan rakyat
Kerajaan Syailendra, maka tentu saja terkadang harapan di dalam hatinya untuk
melihat bahwa candi-candi yang didirikan oleh Kerajaan Syailendra lebih agug,
lebih besar, lebih mewah dan indah.
Akan tetapi, ahli-ahli ukir di Mataram selalu membuktikan bahwa dalam hal
kesenian, merekalah yang lebih uanggul dan lebih ahli.
Indrayana, di samping kepandaian-kepandaian yang diwarisinya dari ayahnya, juga
suka sekali akan kepandaian seni ukir. Ia mempelajari seni ukir. Ia mempelajari
seni ukir dari ahli-ahli pahat dan ukir yang tersohor di Syailendra, akan tetapi
hatinya masih belum puas. Ia selalu terbentur kepada kenyataan bahwa keahlian
dalam hal seni ukir sudah tak dapat menyamai kepandaian ahli di Mataram
sebagaimana terbukti daripada hasil-hasil ukiran yang halus dan indah di candi-
candi yang didirikan oleh orang Mataram. Sering kali ia berdiri termenung di
depan candi-candi Syiwa dan lain-lain untuk mengagumi keindahan patung-patung
yang diukir di situ. Patung-patung itu dalam pandangannya seakan-akan hidup,
seakan-akan di bawah kulit patung itu betul-betul terdapat urat-urat yang
mengalirkan darah. Sepasang mata patung-patung itu seperti hidup dan berkedip-
kedip kepadanay untuk memamerkan keindahannya. Buah dada Koleksi Kang Zusi
yang membusung dan indah bentuknya dari patung-patungwanita naik turun berombak,
seakan-akan menahan gelora napasnya yang menjadi berahi karena ditatap oleh mata
seorang pemuda tampan dan elok seperti Indrayana. Dan kalau sudah mengagumiini
semua, ia pulang dan mengadu kepada ayahnya mengeluh panjang pendek.
Indrayana, anakku. " ayahnya berkata sambil menghela napas. " Tak perlu engakau
merasa iri hatimelihat hasil ukiran orang-orang Mataram. Disana memang terdapat
banyak sekali ahli-ahli ukir yang pandai dan sakti ."
" Akan tetapi, ayah, Mustahil sesuatu kepandaian itu hanya dimiliki oleh seorang
atau segolongan orang-orang saja. Kalau kita benar-benar mengusahakannya untuk
mempelajari dengan rajin dan tekun, mengapa tidak bisa " Apa yang dapat
dilakukan oleh orang lain, pasti akan dapat kita lakukan pula asal saja mendapat
petunjuk dan bimbingan orang yang pandai.
Aku ingin sekali mempelajari ilmu itu samapi dapat, ayah. Hanya soalnya,
dimanakah aku dapat mencari seorang guru yang pandai " "
Ayahnda tersenyum. " Indrayana, memang sudah seharusnya demikian semangat dan
pendirian seorang pemuda. Pantang mundur dalam menghadapi cita-cita, takkan
berhenti sejenakpunsebelum tercapai kandungan hati! Namun, kau harus mengerti
bahwa dalam segala sepak terjang kita, kita harus mempergunakan pertimbangan dan
kedewasaan. Betapapun tekun, rajin dan bersemangat adanya seseorang dalam mengerjakan
sesuatu, apabila tindakannya hanya serampangan dan sembrono tanpa perhitungan
masak-masak, maka hasil kerjanya kiraku takkan sempurna sebagaimana yang
diharapkan semula ! Engkau tentu bukan termasuk golongan yang bertindak secara serudukan seperti
kerbau gila itu, bukan " "
Koleksi Kang Zusi Indrayana menundukkan kepalanya. " Ayah, anak-anakmu mendengarkan dengan penuh
perhatian. Teruskanlah wejanganmu yang amat berharga, ayah. "
" Anakku, segala macam karya seni yang ada di dunia ini membutuhkan bakat dan
watak dalam bidang masing-masing. Bakat atau watak ini telah ada dalam diri tiap
manusia semenjak mereka terlahir. Disebut bakat setelah anak menjadi besar dan
ternyata dari perbuatan-perbuatannya atau hasil-hasil karyanya. Akan tetapi pada
hakekatnya adalah pengalaman-pengalaman yang terbawa dari kehidupan yang lampau.
Oleh karena itu, bakat ini tak dapat dipaksakan pada diri seseorang.
Mengertikah kau, anakku " "
" masih belum jelas benar, ayah "
" Indrayana, engkau memang berbakat untuk menjadi ahli pembuat keris.
Tahukah engkau, apa akan jadinya kalau seorang pembuat keris yang pandai dan
sakti, memaksakan diri membuat sebatang keris dari bahan logam yang tidak baik
seperti misalnya tembaga " "
" Keris itu akan jadi, akan tetapi tak mungkin dapat merupakan keris yang baik
dan ampuh, " jawab bapaknya.
Nah demikianlah pula dengan bakat seseorang. Tembaga tidak berbakat untuk di
jadikan keris, maka, biarpun telah diusahakan oleh seorang ahli yang amat
pandai, namun tetap saja bahan yang tidak berbakat baik itu takkan dapat menjadi
sebatang keris yang sempurna. Biarpun dia belajar penuh ketekunan dan kerajinan,
sungguhpun ia digembleng oleh seorang guru yang maha sakti, tak mungkin ia akan
menjadi ahli ukir yang baik dan hasil ukirannya takkan sempurna pula. "
Koleksi Kang Zusi Indrayana tertegun dan mengangkat muka memandang ayahnya.
" Jadi...menurut pandangan ayah, aku tidak berbakat untuk menjadi seorang ahli
ukir" Akan tetapi, aku suka sekali akan ukiran-ukiran yang indah, ayah ! "
Ayahnya tersenyum sabar dan tenang sepertibiasanya. " Kau memang seorang pemuda
yang penuh semangat dan ingin memahami segala macam hal. Ini memang baik sekali,
anakku, dan ayahmu merasa bangga melihat api semangatmu yang bernyala-nyala itu.
Akan tetapi kau harus ingat bahwa di dalam dunia ini, ilmu kepandaian tidak ada
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batasnya bagaikan Segara Kidul.
Tak mungkin kau akan dapat mencakupnya semua. Bakat dan wadah untuk menampung
kepandaian pada seseorang diumpamakan hanya sebesar payung batok kelapa,
bagaimana mungkin untuk menampung semua air dari segara kidul " Kalau engkau
tidak puas dengan yang segayung itu saja dan menghendaki lebih, banyak bahayanya
kau akan keluar dari sana dengan gayungmu tinggal kosong ! dari pada terjadi hal
demikian, jauh lebih baik mengisi gayungmu dengan air yang sebersih-bersihnya
sampai penuh betul ! " Demikianlah wejangan ayahnya yang masih saja bergema dalam telinga Indrayana
ketika ia duduk melamun di pinggir kali Praga. Kemudian pikirannya melayang jauh
dan ia teringat kepada ibunya yang telah meninggalkannya semenjak ia masih
kecil. Sungguhpun ibunya telah pergi lebih dari tujuh tahun yang lalu, akan
tetapi Indrayana masih dapat membayangkan wajah ibunya yang cantik manis,
senyumnya yang ramah dan sabar, pandangan matanya yang halus penuh kasih sayang.
" Ibu......" Indrayana mengeluh dengan bisikan perlahan. Hatinya terserang rasa
rindu yang memerihkan hatinya, rindu kepada ibunya yang telah meninggal dunia.
Koleksi Kang Zusi Dalam rindu dendamnya yang hebat, batu-batu besar di tengah sungai itu kelihatan
seperti ibunya dalam berbagai-bagai keadaan. Ada yang seperti ibunya tengah
duduk, ada yang berjogkok, berlutut bahkan ada yang seperti ibunya berbaring.
" Ibu......" Kembali ia mengeluh dan tak terasa pula ia bangkit berdiri diatas
rumput kering dan melompat turun ke dalam sungai yang kering dan melompat turun
kedalam sungai yang kering itu.
Kemudian ia menghampiri sebuah batu besar sambil matanya memandang tanpa
berkedip, batu besar yang kelihatan seperti ibunya tengah duduk bersimpuh itu.
" Ibu, aku akan menghidupkamu kembali, ibu, " katanya dengan tak sadar.
Indrayana lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya, mengerahkan aji
kesaktiannya, kemudian ia mulai bekerja.
Dengan sepuluh jari tangannya yang berubah menjadi seperti pahat dan pisau baja,
ia mulai mencongkel, mengukir dan membentuk batu karang besar itu, mencontoh
gambar yang timbul dalam angan-angannya ketika ia merasa rindu kepada bundanya
tadi. Dari pagi sampai matahari naik tinggi, Indrayana bekerja tak kenal lelah.
Batu karang menghitam itu telah mulai berbentuk seperti tubuh seorang wanitayang
duduk bersimpuh. Akan tetapi makin dekat bentuk batu itu menyerupai manusia,
makin kecewa dan berdukalah hati Indrayana.
Seperti yang sudah-sudah ! Selalu kedua tangannya tak kuasa mencontoh gambar
dalam angan-angannya. Sama sekali tak sesuai, sama sekali tidak Koleksi Kang
Zusi menyerupai bentuk tubuh dan potongan wajah ibunya. Beberapa kali ia mengosok-
gosok batu bagian muka itu bagaikan dipahat saja, akan tetapi makin lama makin
jauhlah bedanya wajah patung itu denagn wajah ibunya.
Perasaan kecewa membuat Indrayana menjadi marah. Tiba-tiba tangan kanannya
menebas kearah leher patung itu dan patahlah batu karang itu dengan mudahnya.
" Setan ! " Indrayana memaki perlahan. " Setan dan iblis air sungai yang
mengganggu ! " Akan tetapi yang menjawab makiannya hanya suara air yang mencari
jalan-jalan diantara batu-batu iblis dan setan air menertawakan kemarahannya.
Indrayana makin marah dan kecewa. Ia menusuk-nusukkan jari tangannya kepada batu
yang tadi hendak dijadikan patung ibunya itu dan dimana saja jari tangannya
menusuk, tentu batu itu berlobang. Memang dahsyat dan hebat sekali aji kesaktian
Indrayana ini. Jangankan kulit seorang manusia yang menjadi lawannya, bahkan
batu karang yang sedemiikian kerasanya dengan mudah ditusuk oleh jari-jari
tangannya. Tiba-tiba terdengar suara yang halus berkata dari tepi sungai.
" ya Jagat Dewa Batara ! Alangkah lucunya anak ini. Mengapa menyakiti diri
sendiri " Batu karang yang demikian kerasnya ditusuk-tusuk, tentu saja jari
tangannya yang sakit. ".
Baru saja ucapan ini habis diucapkan, Indrayana menjerit dan memegangi tangan
kanannya yang berdarah. Ternyata ketika ia mendengar ucapan itu, tiba-tiba batu
karang itu menjadi keras sekali dan jari tangan kanannya Koleksi Kang Zusi
yang ditusukkan terbentur pada batu yang tiba-tiba kerasnya melebihi baja
sehingga jarinya menjadi luka berdarah dan terasa sakit sekali.
Indrayana marah sekali dan cepat menegok. Ia melihat seorang kakek tua yang
rambutnya panjang dan rambut serta kumisnya putih semua, berpakaian sebagai
seorang pendeta Agama Hindu, sedang berdiri memegangi tongkatnya yang panjang di
tepi sungai dan berhadapan dengan pendeta itu.
hmm, anak muda yang tangkas ! " kakek itu memuji. Akan tetapi Indrayana
menyangka bahwa ia tentu berhadapan dengan iblis penjaga sungai yang
menganggunya, segera maju selagkah dan menyerang dengan pukulan tangan kirinya
yang ampuh dan kuat. Pukulan kedua tangan Indrayana tak boleh dipandangringan,
karena pemuda ini telah diisi aji kesaktian yang disebut Astadenta atau Tangan
gading. Pukulan tangannya sama kuatnya dengan tenaga seekor gajah yang menyerang
dengan gadingnya ! Akan tetapi kakek itu tidak mengelak maupun menangkis sedikit juga, hanya
memandang dengan mata berseri seakan-akan merasa geli hati melihat tingkah laku
seorang bocah nakal. Ketika tangan kiri Indrayana tepat mengenai dada kakek itu,
kelihatannya dari luar seakan-akan tangan itu hanya menempel saja seperti seekor
lalat hendak memukul pohon waringin, sedangkan Indrayana merasa seperti memukul
pakaian yang tidak ada tubuhnya di sebelah dalamnya ! baju pendeta yang
dipukulnya itu seakan-akan kosong, seperti juga kakek itu tidak bertubuh. Ia
menjadi penasaran dan berkali-kali ia memukul, akan tetapi tetap saja, sama
halnya dengan memukul air Kali Praga dikala sedang banjir.
Makin kuatlah dugaan Indrayana bahwa kakek ini tentulah bukan seorang manusia,
melainkan iblis penjaga sungai. Ia membungkuk dan tiba-tiba menyergap kedua kaki
kakek itu. Giranglah hatinya ketika kedua tangannya merasa bahwa kakek ini
sesungguhnya mempunyai sepasang kaki yang kurus. Ia mengerahlan tenaga, hendak
diangkatnya tubuh kakek itu hendak Koleksi Kang Zusi
dibantingkannya kedalam Sungai Praga yang kosong ! Akan tetapi, bukan main
kagetnya ketika ia tidak mampu mengangkat tubuh kakek yang kecil kurus itu !
Indrayana mengerahkan tenaga dan aji kesaktiannya, akan tetapi kedua tangannya
seakan-akan lumpuh dan semua tenaga telah meninggalkan raganya. Jangankan
mengangkat tubuh kakek itu mengerakkan sedikitpun ia tak mampu !
Terkejutlah sekarang Indrayana. Ia melangkah mundur tiga tindak dan mulutnya
berkemak-kemik membaca mantera mengusir setan. Namun tetap saja kakek itu tidak
lenyap seperti halnya seorang mahluk halus atau setan kalau mendengar mantera
itu, bahkan tersenyum-senyum dan matanya tetap berpengaruh itu, " Indrayana,
bukankah kau putera Wiku Dataprayoga " Kau benar-benar bersemangat seperti
ayahmu diwaktu masih muda. " Pendeta itu lalu tertawa terkekeh dengan girangnya.
" Tentu saja kau tidak mengenalku, karena pertama kali engkau melihatku adalah
ketika kau masih kecil sekali, baru berusia bebrapa bulan. Ha, ha, masih jabang
bayi dalam gendongan mendiang ibumu ! Indrayana, aku adalah Begawan Ekalaya,
pernahkah ayahmu menyebut nama ini " "
Untuk sejenak Indrayana berdiri bagaikan patung dan memandang kepada kakek itu
dengan mata terbelalak. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki
kakek itu. " Eyang bengawan....mohon ampun sebesarnya atas kelancaran cucumu tadi
! " Begawan Ekalaya hanya tertawa dan mengelus-elus kepala Indrayana, Memang
sesungguhnya begawan Ekalaya ini adalah eyang dari Indrayana sendiri, karena
begawan ini adalah ayah dari Sang Wiku Dutaprayoga.
Koleksi Kang Zusi Pendeta tua yang sakti ini bertapa di puncak Gunung Muria, sebuah gunung di atas
pulau kecil di seberang pantai Pulau Jawa bagian Utara. Memang sebelum menjadi
orang Mataram dan kemudian berpindah ke syailendra.
Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Muria.
Indrayana sering kali mendengar cerita ayahnya tentang kakeknya ini, dan menurut
ayahnya, eyangnya ini adalah seorang pertapa yang amat sakti mandraguna.
" Kalau saja kau dapat menerima bimbingan eyangmu di Muria, " ayahnya pernah
berkata, " tentu kau akan mendapat banyak sekali kemajuan, Indrayana. Akan
tetapi sayang sekali eyangmu Begawan Ekalaya adalah seorang begawan yang memuja
Para Dewata di Kahyangan, sedangkan kita telah menjadi murid-murid Sang Buddha.
Tentu eyangmu tidak akan senag melihat keadaan kita. "
Maka setelah kini tiba-tiba berhadapan dengan eyangnya itu dan yang tadi telah
dibuktikan sendiri kesaktiannya yang luar biasa, Indrayana memeluk kaki eyangnya
dan merasa girang sekali, juga khawatir kalau-kalau eyangnya ini akan memarahi
ayahnya, ia teringat betapa tadi eyangnya telah mengganggunya ketika ia mencoba
untuk melampiaskan marahnya dengan menusuk batu karang dengan jarinya, maka
setelah menyembah dengan khidmat, ia lalu bertanya,
" eyang, apabila eyang merasa hamba bersalah dengan menusuk-nusuk batu karang
tadi, mohon petunjuk dari eyang. "
Terdengar kakek sakti itu berkata dengan suara bersungguh-sungguh, "
Tentu saja engkau bersalah, Indrayana Engkau telah menghina Dewa Koleksi Kang
Zusi Brahma, melanggar larangan Dewa Wisnu, dan merendahkan tugas Dewa Syiwa ! "
Bukan main terkejutnya hati Indrayana mendengar bahwa perbuatannya tadi telah
menyinggung kehormatan dewata-dewata besar ! Karena pemuda ini menundukkan
mukanya, ia tidak melihat betapa eyangnya memandangnya dengan bibir tersenyum,
akan tetapi suaranay tetap bersungguh-sungguh ketika ia melanjutkan kata-
katanya, " Betara Brahma adalah Pencipta seluruh alam dan segala macam isinya, termasuk
batu-batu karang di tengah Kali Praga ini Engkau telah merusaknya tanpa alasan
sama sekali, bukankah itu berarti bahwa engkau tidak menghargai keindahan
ciptaan Batara Brahma " Ini penghinaan namanya dan jangan sekali-kali engkau
melakukan hal seperti itu, cucuku ! "
Indrayana menyembah. " Akan hamba perhatikan, Eyang Begawan. "
Kemudian Begawan Ekalaya berkata lagi, " engkau tentu tahu pula bahwa Betara
Wisnu Pemelihara alam dan sekalian isinya. Sang Hyang Wisnu selalu melarang
siapa saja yang berlancang tangan merusak keindahan alam begitu saja tanpa
sebab. Maka perbuatanmu merusak batu mempergunakan kesaktianmu itu merupakan
pelanggaran pada larangan Sang Hyang Wisnu, seakan-akan engkau menantangnya
dengan memperhatikan kedigdayaanmu !
" Indrayana terkejut sekali, akan tetapi ia hanya menyembah, dan tak berani
membantah. " Engkaupun merendahkan tugas Sang Hyang Syiwa, karena Betara Syiwa Koleksi Kang
Zusi sajalah yang berhak untuk membinasakan atau merusak sesuatu, karena pebinasaan
atau pengrusakan yang dilakukan oleh Sang Hyang Syiwa adalah pembinasaan yang
sudah semestinya, sudah sewajarnya, menurut hukm alam bahwa segala apa di dunia
ini tidak kekal adanya dan sewaktu-waktu akan mengalami kehancuran dan
pengleburan. Maka, jangan sekali-kali engkau berani mendahului kehendak Hyang
Syiwa. Manusi hanya boleh melakukan pelanggaran apabila perbuatannya itu
didasarkan pada alasan yang baik dan kuat. Apakah alasanmu menusuk-nusuk batu
karang dan menghancurkannya, cucuku " "
Dengan malu-malu sambil menundukkan kepala, Indrayana menjawab,
" Eyang Begawan, sesungguhnya tadi hati hamba sedang amat kalut dan kecewa.
Untuk memperingati mendiang ibunda yang telah meninggalkan hamba, hamba ingin
sekali membuat patung dari batukarang itu. Akan tetapi, ternyata hamba tidak
sanggup mengukir patung ibunda. "
" Segala pekerjaan yang dilakukan dengan tak semestinya, tentu akan mengalami
kegagalan. Untuk melakukan pekerjaan mengukir patung telah diadakan alat-alat
tertentu, bukan hanya dengan jari-jari tangamu yang kasar itu ! "
" Hamba mohon petunjuk, Eyang Begawan. Hamba ingin sekali menjadi seorang ahli
ukir yang pandai, sepandai ahli-ahli yang membuat patung di candi-candi Syiwa
itu ! " Kakeknya tertawa perlahan. " Mudah saja engkau bicara, Indrayana !
Belajar menjadi ahli pembuat patung bukanlah semudah yang kau kira.
Engkau harus tahan tapa, harus belajar dengan rajin dan di samping itu harus
membersihkan dan menyucikan hatimu agar engkau menjadi cukup bersih untuk
menerima wahyu Dewata. Karena tanpa wahyu Dewata, tak Koleksi Kang Zusi
mungkin dapat menciptakan patung-patung dewata yang Agung ! Pekerjaan membentuk
manusia adalah karya Betara Brahma, bukan pekerjaan tangan manusia biasa. Hanya
dengan wahyu betara Brahma di dalam kedua tangan dan kesepuluh jarimu, barulah
engkau akan dapat membuat patung yang benar-benar menyerupai manusia hidup ! "
" bertapapun sukarnya, hamba hendak mempelajarinnya, Eyang. "
" Baik, kalau engkau ingin menjadi seorang eprtapa, kauikutlah dengan aku ke
Muria. Ahli seni adalah seorang ahli tapa pula. Mari kita menemui ayahmu,
Indrayana. " Indrayana lalu mengiringkan eyangnya menuju kerumah ayahnya. Dari jauh telah
terdengar dering besi beradu, tanda bahwa ayahnyasedang menempa besi panas untuk
dibentuk menjadi senjata tajam.
" Dutaprayoga selalu tekun dan rajin. " Begawan Ekalaya berkata perlahan dan
Indrayana dapat menagkap keharuan yang tersembunyi di dalam suara itu.
Sang Wiku telah dihadiahi sebuah rumah gedung di dalam kotaraja oleh Maha Raja
Samaratungga, akan tetapi untuk tempat kerjanya, Wiku Dutaprayoga memilih tempat
yang sunyi, di dalam sebuah hutan di lembah Kali Praga itu, dimana ia dapat
bekerja bersama puteranya tanpa mendapat gangguan dari siapapun juga.
Tempat kerjanya itu sederhana saja, terbuat dari kayu-kayu hutan, merupakan
sebuah pondok kecil segi empat yang beratap papn. Ketika mendengar pintu dibuka
dari depan, Sang Wiku menegok dan menunda Koleksi Kang Zusi
pekerjaanya. Ia tertegun ketika melihat siapa orangnay yang datang bersama
puteranya. Untuk beberapa lama ia tak dapat mengeluarkan kata-kata, sehingga
Begawan Ekalaya yang lebih dahulu menegurnya.
" Dutaprayoga, kau baik-baik sajakah " "
Sang Wiku segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
itu. " Rama Begawan...." Suaranya terdengar amat terharu karena ia sama sekali tak
pernah menyangka bahwa ayahnya suka mengunjunginya setelah ia menjadi seorang
pendeta Buddha. " Hamba tidak tahu bahwa Rama begawan datang berkunjung sehingga
tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Mohon ampun, rama...."
Begawan Ekalaya mengangkat bagun putranya itu dan memandang dengan mata pebuh
perhatian kepada muka puteranya, lalu ia mengangguk-angguk dan berkata puas, "
Bagus, bagus ! hanya kulitnya saja yang bertukar warna, akan tetapi isinya masih
sama ! " Wiku Dutaprayoga tentu saja mengerti kata-kata ramandanya ini, maka ia lalu
menyembah dan berkata, " Setiap sungai mempunyai aliran masing-masing, Rama
Begawan. Namaun tak dapat disangkalpula bahwa semua aliran itu menjurus ke satu
tempat, yaitu samudra luas ! "
Begawan Ekalaya tertawa terkekeh dengan senangnya. " Indah sekali perumpamaanmu
itu, Dutaprayoga. Ketahuilah bahwa kedatanganku ini bermaksud hendak membawa
cucuku si Indrayana ke Muria. Sudah tiba waktunya bagi dia untuk mempelajari
ilmu kebatinan dan mengetahui Koleksi Kang Zusi
rahasia hidup, karena ia telah cukup dewasa. "
" Hamba hanya mengatakan syukur dan terima kasih bahwa Rama Begawan yang sudah
sepuh masih berkenan mencapikan diri memberi bimbingan kepada Indrayana. Hanya
hamba minta waktu hari tiga, karena Indrayana hendak hamba bawa menghadiri
upacara pendirian candi yang baru dibangun agar dapat menambah pengalamannya dan
dapat pula bertemu dengan Sang Prabu Samaratungga. "
Mendengar ucapan Wiku Dutaprayoga ini Sang Panembahan Ekalaya menghela napas dan
berkata perlahan, " garis-garis karma memang tak dapat dibelokkan oleh usaha manusia.
Engkaulah yang menentukan, anakku. Aku akan kembali dulu ke Muria, tinggal
terserah kepadamu dan kepada Bagus Indrayana. Aku akan menanti di puncak Muria
sambil memuja kepada Dewata untuk keselamatan kalian berdua. "
Setelah berkata demkian, pertapa tua ini lalu berjalan tersaruk-saruk keluar
dari pondok itu. Bunyi tongkatnya terdengar satu-satu, akan tetapi ketika
Indrayana mengejar keluar, kakek sakti itu tak kelihatan pula bayangannya !
Makin kagumlah Indrayana terhadap eyangnya yang benar-benar memiliki kesaktian
yang luar biasa tingginya. Ia lalu berlari masuk kembali dan menceritakan kepada
ayahnya akan semua pengalamannyaditepi Kali Praga tadi. Ayahnya hanya tersenyum
mendengar penuturannya ini dan akhirnya berkata,
" Engkau bahagia bisa dapat bimbingan dari eyangmu, Indrayana.
Sekarang bersiaplah engkau, karena besok pagi-pagi kita harus berada di kaki
Candi Lokesywara yang baru dibangun. Sang Prabu dan para pamong praja akan hadir
disana meresmikan pembukaan candi itu, maka inilah Koleksi Kang Zusi
kesempatan terbaikmu untuk bertemu muka dengan Sang Prabu dan para pembesar dan
pendeta-pendeta lain. "
" Ayah...... selain Sang Prabu dan para pembesar, apakah..apakah puteri kedaton,
Sang Dyah Ayu Pramodawardani juga akan hadir " "
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiku Dutaprayoga tersenyum. " Untuk penghormatan kepada Sang Lokesywara,
biasanya para puteri juga datang menghadiri upacara itu. "
Berdebarlah jantung Indrayana. Semenjak masih kecil ia telah mendengar nama
Pramodawardani disohorkan sebagai seorang puteri yang cantik jelita dan ayu,
mengalahkan kecantikan Dewi Ratih. Baginya nama ini sudah sangat terkenal,
semenjak kecil sudah menjadi buah bibir, akan tetapi setelahia menjadi dewasa,
nama ini mulai menyentuh hatinya dan membuat ia ingin sekali melihat dan
menyaksikan sendiri puteri yang kini telah menjadi dewasa pula itu. Tak mudah
untuk dapat bertemu muka dengan Pramodawardani, karena Sang Puteri yang indah
ayu ini adalah Puteri Mahkota yang amat terkasih dari Sang Maha Raja
Samaratungga, seorang puteri yang paling tinggi dan mulia di seluruh wilayah
Kerajaan Syailendra ! *** Pagi-pagi hari sekali sang Wiku Dutaprayoga beserta Indrayana telah tiba di
Candi Lokesywara yang baru selesai dibangun. Para Wiku, pendeta-pendeta Buddha
dan ponggawa kerajaan telah berkumpul disitu, mengatur persiapan untuk menerima
kedatangan dan kunjungan Sang maha Raja Samaratungga bersama seluruh keluarga
kerajaan dan para bayangkari keraton. Semua pekerjaan dan persiapan ini diatur
dan dipimpin oleh Sang maha Dharmamulya, yaitu kepala sekalian pendeta Agama
Buddha, seorang pendeta tua yang berkepala gundul dan yang menjadi orang paling
berkuasa di daerah Kerajaan Syailendra.
Sesungguhnya, pada pendapat para pendeta, Maha Wiku Dharmamulya Koleksi Kang
Zusi kurang cakap dan tidak tepat untuk menjadi Maha Wiku, karena pendeta itu terlalu
kukuh dan keras dalam peraturan agama, bahkan terlampu keras sehingga kadang-
kadang kekerasan hatinya itu tidak tepat terdapat dalam watak seorang pendeta
linuwih. Ia di angkat menjadi Maha Wiku berkat jasa-jasa ayahnya, yakni
mendingan Maha Wiku Dharmamurti yang benar-benar telah berjasa dalam menegakkan
dan memperluas Agama Buddha.
Karena mengingat jasa-jasa Maha Wiku Dharmamurni, maka Sang Prabu Samaratungga
mengangkat putera tunggal pendeta itu, yakni Maha Wiku Dharmamulya, untuk
menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dan diberi gelar Maha Wiku
Selain keras hati, juga pendeta kepala ini amat membenci penganut-penganut Agama
Hindu terutama sekali membenci pemuja Batara Syiwa.
Oleh karena itu di dalam hatinya ia merasa tak senang ketika Wiku Dutaprayoga
diangkat menjadi Wiku oleh Sang Prabu karena pada pendapatnya, seorang bekas
pendeta pemuja Trimurti tidak patut menjadi pendeta Buddha ! Akan tetapi,
pendeta kepala ini tentu saja tidak berani membantah keputusan yang keluar dari
mulut raja yang berkuasa.
Pada jaman itu orang masih memegang teguh apa yang disebut " sabda ratu ", yaitu
ucapan seorang raja sekali keluar dari mulut merupakan hukum yang tak dapat
dirubah lagi. Selain dari pada itu, Wiku Dutaprayoga berwatak halus dan selalu mengalah dan
sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa pendeta baru ini akan membahayakan
kedudukannya, serta melihat pula kenyataan bahwa pendeta ini adalah seorang yang
sakti mandraguna dan amat berjasa kepada raja dalam pembuatan keris-keris pusaka
ageman ( yang dipergunakan oleh ) Sang Prabu dan para senopati di Kerajaan
Sailendra. Maka selama ini, karena tidak ada alasan. Maha Wiku itu tak pernah menggangu
Sang Wiku Dutaprayoga, sungguhpun pendeta ini cukup maklum akan dendam dan iri
hati yang mengotori batin pendeta kepala itu.
Setelah matahari telah melakukan tugasnya dengan baik, mengusir sisa-sisa
kegelapan sang malam, terdegarlah suara gamelan yang merdu dan Koleksi Kang Zusi
tampaklah rombongan Sang Prabu yang diiringkan oleh para pengawal barisan
tamtama dan yang paling belakang mengiringi gamelan yang ditabuh di sepanjang
jalan. Para rakyat yang berbaris dikanan kiri jalan segera berlutut menyembah
untuk memberi penghormatan kepada junjungan mereka itu.
Sang Prabu Samaratungga duduk di atas kuda putihnya dengan sikap yang agung dan
gagah. Wajahnya berseri gembira dan bibirnya selalu tersenyum. Permaisuri dan sekar
kedaton duduk didalam tandu yang tertutup oleh tirai sutera halus sehingga dari
dalam mereka dapat melihat ke luar akan tetapi panangan mata dari luar hanya
dapat melihat bayangan mereka saja. Para ponggawa, pengawal dan barisan tamtama
yang menjaga keselamatan keluarga raja ini semua tampak gagah-gagah dan mewah
belaka, mengagumkan semua mata yang memandangnya.
Degup jantung Indrayana makin mengencang dan semenjak tadi sepasang matanya
ditujukan kepada tandu dipikul oleh enam orang wanita cantik.
Tandu inilah yang diduduki oleh Sang Dyah Ayu Pramodawardani. Memang puteri ini
mempunyai tata susila yang amat tinggi dan terkenal sekali. Ia tidak
memperkenalkan tandunya dipanggul oleh orang-orang lelaki. Oleh karena itu maka
pemikul tandunya semua perawan-perawan belaka yang cantik-cantik pula. Ada
belasan orang dara jelitayang bertugas memikul tandunya ganti-berganti. Tandu
dari permaisuri dan puteri-puteri lainnya dipikul oleh pemikul-pemikul laki-laki
yang bertubuh kuat dan berwajah sopan dan keren.
Kalau semua tandu diturunkan di depan bangunan tarup yang sengaja didirikan
untuk tempat berteduh keluarga raja dan para penumpangnya turun dari tandu dan
berjalan kaki memasuki bangunan itu sehingga para penumpang dapat menyaksikan
keindahan rupa dan pakaian Sang Permaisuri Koleksi Kang Zusi
dan puteri-puteri lain, adalah Sang Puteri Pramodawardani sendiri yang
memerintahkan kepada para pemikulnya untuk memikul tandu itu terus memasuki
bangunan. Setelah tiba di sebelah dalam, barulah ia turun dari tandunya dan
duduk ditempat yang telah disedikan oleh para pendeta.
Tempat untuk para puteri inipun tertutup oleh tirai sutera hijau pupus yang
menghalangi pandangan mata para rakyat yang berlutut di luar bangunan panggung
itu. Bukan main kecewa dan mendongkolnya hati Indrayana. Saat yang telah lama
dinanti-nantikanitu setelah tiba, ternyata hanya mendatangkan rasa kecewa di
dalam hatinya. Ia telah membayangkan betapa akan senangnya dapat mencuri pandang
kepada wajah puteri jelita itu, dan entah telah berapa kali ia telah bermimpi
melihat wajah puteri yang cantik jelita itu.
Akan tetapi, ternyata setelah puteri itu berada ditempat yang sedemikian
dekatnya, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melihatnya.
Jangankan memandang wajahnya, melihat jari kakinyapun tak dapat.
" Alangkah angkuh dan sombongnya ! " Indrayana berpikir dengan hati yang
mendongkol. " Sampai bagaimana hebatkah kecantikannya maka ia sedemikian sombong
" Apakah ia menganggap bahwa pandangan mata orang lain terlalu kotor untuk dapat
melihat kecantikannya " Sang Candra yang sedemikian elok dan cantiknyapun masih
tidak sesombong dia dan sedikitnya sebulan sekali pasti akan memperlihatkan
wajah sepenuhnay kepada seua orang yang ingin mengagumnya ! Apakah wajahnya
lebih elok daripada bulan purnama " "
Demikianlah, setelah para pendeta mulai menjalankan upacara dan telah terdengar
mereka membaca doa dan mantera, Indrayana sama sekali tidak memperhatikan
upacara itu dan pikirannya penuh dengan lamunan tentang puteri yang membuatnya
menjadi gemas itu. Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba terdengar suara ribu-ribut di depan candi dan Sang Prabu sendiri
sampai turun dari tempat duduknya dan turun pula dari anak tangga panggung itu
untuk menyaksikan peristiwa yang terjadi dari dekat.
Indrayana juga tersadar dari lamunannya dan ia melihat seorang petapa yang
berjenggot panjang, berpakaian putih dan bermata tajam sedang melangkah lebar ke
arah candi. Sungguhpun tubuhnya hanya kurus kering, namun pada pundak kirinya ia
memanggul ebuah patung batu yang amat indah ukirannya. Di kanan kiri pintu masuk
di kaki candi itu terdapat patung Dewi kembar yang menjadi pelayan dan pengikut
Dewi Tara, yaitu syakti atau isteri dari Sang Lokesywara . Dewi kembar ini duduk
di atas bunga teratai yang terdukung oleh Naga dan Nagi, sepasang ular sakti
itu. Petapa yang memanggul patung itu lalu mengunakan tangan kanan untuk menggeser
patung Dewi kembar kekanan kiri sehingga di atas pintu itu terdapat tempat yang
kosong, lalau ia meletakkan patung yang dipanggulnya tadi di atas pintu itu. !
Terdengar seruan-seruan kagum ketika semua mata memandang kearah patung itu.
Inilah patung Dewi Tara yang indah bukan main, tiada bandinganya ! Di dalam
Candi Lokesywara itu memang ada juga sebuah arca dari Dewi Tara, akan tetapi
apabila dibanding dengan arca ini, maka arca yang berada di sebelah dalam itu
tampak buruk, bagaikan tembaga bersanding batu pualam ! ukiran-ukirannya
sedemikian halus, indah dan hidup sehingga seakan-akan semua orang melihat Dewi
Tara sendiri melayang turun dari Sorgaloka dan berdiri di atas pintu candi itu !
Tak mungkin ada seorangpun ahli ukir di seluruh Syailendra yang dapat membuat
patung sehebat itu, pembuatnya tentu adalah seorang Mataram, seorang pemuja
Trimurti, pemuja Betara Brahma, Wisnu, dan Syiwa !
Pada saat semua orang menahan nafas karena selain kagum akan keindahan patung
itu, juga kagum dan heran melihat keberanian petapa Koleksi Kang Zusi
asing itu sehingga keadaan menjadi sunyi, terdengar bentakan keras dan Maha Wiku
Dharmamulya melompat ke arah pertapa yang masih berdiri tersenyum-senyum
memandangi patungnya dengan puas.
" Keparat jahanam ! Engkau berani menghina kami " " Sambil berkata demikian,
Maha Wiku Dharmamulya mencabut keris pusakanya dan menyerang lambung pertapa
itu. Akan tetapi, tiba-tiba ada tangan yang menyekap pergelangan tangan kanannya
dan tangan ini ternyata kuat sekali. Ketika Dharmamulya menegok, dengan marah ia
melihat bahwa penahannya itu bukan lain adalah Sang Wiku Dutaprayoga.
" Wiku Dutaprayoga, mengapa engkau menahan niatku " " Maha Wiku Dharmamulya
membentak marah. " Maha Wiku yang mulia, ingatlah bahwa keris ini adalah buatanku.
Perasaan hatiku tidak dapat membiarkan orang lain mempergunakannya untuk
membunuh orang tak berdosa. "
" Seorang bedebah yang sengaja datang mangacau dan menghina candi suci kita,
tidak berdosa " "
" Setidaknya dengarlah dulu keterangannya, dan sang Prabu sendirilah yang berhak
memutuskan apakah dia berdosa atau tidak ! " jawab Wiku Dutaprayoga.
Sementara itu, petapa yang membawa patung Dewi Tara itu tersenyum sambil
memandang kepada Dutaprayoga, " Ba, sungguhpun engkau berganti jubah, ternyata
kebijaksanaanmu ternyata masih tak berubah.
Koleksi Kang Zusi Dutaprayoga. ! " Kemudian pertapa itu lalu melangkah maju dan memberi hormat
kepada Sang Prabu samaratungga kemudian berkata,
" Maafkan aku, Sang Prabu, apabila tindakanku ini dianggap lancang dan mengacau
keadaan. Sesungguhnay tiada maksud buruk dalam niatku, tak lain hanya hendak
mempersembahkan sebuah patung Dewi Tara ini kepadamu. Candi Lokesyawara ini
dibangun di tempat yang baik dan mempunyai tugas yang baik pula, maka sayang
kalau tidak ada arcanya yang baik. Biarlah Sang Betari Tara akan memberi berkah
kepada candi ini ! "
Orang-orang yang berada disitu, terutama sekali Maha Wik Dharmamulya, menjadi
marah sekali mendengar ucapan dan melihat sikap yang sama sekali tidak
menghormati Maha Raja Samaratungga itu. Pertapa itu seakan-akan sedang bicara
kepada seorang kawannya sendiri !
Akan tetapi, Sang Prabu Samaratungga adalah seorang yang berpemandangan luas dan
memiliki kebijaksanaaan yang tinggi. Sungguhpun ia beragama Buddha, namaun ia
tak pernah membenci pemeluk agama lain.
Permusuhannya dengan Kerajaan mataram sesungguhnya bukan timbul dari hatinya
yang memendam atau membenci, akan tetapi hanya ditimbulkan oleh keagungan
seorang raja yang harus membela agama dan kepentingan rakyat. Kini menghadapi
pertapa itu, Sang Prabu tersenyum dan berkata dengan senang dan halus.
" Paman begawan, terima kasih atas sumbanganmu yang amat indah untuk candi ini.
Akan tetapi, harap engkau suka menaruhkan patung itu di atas pintu belakang
candi, jangan di pintu depan. "
Ucapan sang Prabu Samaratungga ini sebenarnya mengandung dua maksud.
Pertama-tama ia menerima pemberian patung itu agar jangan mendatangkan sakit
hati kepada si pemberi, dan kedua ia minta agar patung itu ditaruh di pintu
belakang sehingga dengan demikian ia takkan menyinggung perasaan para wikunya
sendiri. Sang Prabu mengharapkan Koleksi Kang Zusi
bahwa penerimaan yang bersarat ini akan memuaskan hati kedua fihak yang sedang
panas itu. Akan tetapi, pertapa itu menjadi merah wajahnya mendengar ucapan ini dan ia
berkata sambil menahan kemarahannya,
" Sang Prabu, keaslian tembaga takkan lenyap biar oleh sepuhan emas sekalipun !
Pada luarnya kau menerima persembahanku dan bersikap manis, akan tetapi itu
hanya sepuhan belaka. Di sebelah dalam kau menghinaku !
Bagaimana patung Dewi Tara yang mulia ditaruh di pintu belakang " itu penghinaan
namanya. " " Adi Panembahan Bayumurti ! " tiba-tiba Wiku Dutaprayoga berseru, "
mengapa engkau tak melihat kebijaksanaan Sang Prabu " Mengapa engkau tak
mengerti kebijaksanaa besar ini " Di manakah kewasapadaanmu " "
" Ha. Dutaprayoga, sekarang nampaklah juga bahwa kaupun membela agama barumu
bagus ! " Akan tetapi Sang Prabu Samaratungga memberi isyarat kepada Wiku Dutaprayoga yang
hendak membantah lagi. Sang Prabu mengangkat tangan kanannya dan berkata pertapa
yang bernama Panembahan Bayumurti ini dengan suara masih halus dan tenang,
" Paman begawan, jangan salah terima ! Menaruhkan seorang wanita di pintu
belakangsekali-kali bukanlah penghinaan. Bukankah memang menjadi bagian para
wanita berada di pintu belakang " Adakah dapur yang ebrada di depan rumah " "
Koleksi Kang Zusi Panembahan Banyumurti tersenyum, " Sang Prabu, kau cerdik ! Memang benar tempat
wabita di bagian belakang rumah, akan tetapi Dewi tara bukanlah wanita
sembarangan wanita ! "
" Betapapun juga, dia adalah seorang syakti atau isteri dan tetap saja tempatnya
adalah di sebelah dalam dan belakang "
Tiba-tiba Panembahan Bayumurti tertawa bergelak, ia melompat ke arah kaki candi
dan berdiri di depan patungya yang indah tadi. Ia lalu mengeluarkan kesaktiannya
dan kedua tangannya setelah menyembah lalu meraba muka patungya yang cantik dan
indahnya itu. " Sang Prabu, lihatlah baik-baik. Apakah patung ini masih tetap harus ditaruh di
belakang " " Sang Prabu Samaratungga memandang dan berdebar jantungnya. Juga seua orang yang
memandang kepada patung itu mengeluarkan serua tertahan. Patung itu kini telah
berubah raut mukanya, dan persis sekali menyerupai wajah Sang Kusumaning Ayu
Pramodawardani ! Memandang arca itu seakan-akan melihat Sang Puteri Mahkota
sendiri ! Akan tetapi maha Raja Samaratungga tetap berlaku tenang dan sekali lagi
menegaskan, " Diapun harus berada di belakang, itulah kewajiban seorang wanita
sejati ! " Setelah berkata demikian, Sang Prabu memeramkan matanay sejenak ia
telah mengeluarkan putusan bagi patung itu, bagi puterinya sendiri, dan ia tetap
pada pendiriannya. Memang puterinya adalah puteri mahkota yang akan mengantikan
kedudukannya, akan tetapi tetapi saja puterinya harus menikah dan setelah
menjadi seorang isteri, adalah kewajiban yang terutama untuk melayani suami,
untuk membereskan keadaan di dalam dan di belakang rumah. !
Koleksi Kang Zusi Panembahan Bayumurti tertawa bergelak, " Bagus, Sang Prabu, bagus !
Cipta pendeta Sabda ratu, dua hal yang tak dapat diingkari lagi kenyataannya !
Nah, selamat tinggal ! "
Maha Wiku Dharmamulya semenjak tadi telah menahan amarahnya, kini melihat
Panembahan Bayumurti hendak pergi, ia cepat menghadang dan membentak,
" Dukun lepus tukang tenung ! Setelah kau melakukan kegaiban sulap dan menipu
kami, jangan harap dapat pergi begitu saja ! "
Sambil berkata demikian, Maha Wiku Dharmamulya lalu mengulur tongkatnya
dipukulkan kearah kepala panembahan itu. Bayumurti maklum akan kehebatan dan
keampuhan tongkat tongkat ini. Biarpun ia memiliki kesaktian yang tinggi, namun
berbahayalah apabila tongkat itu sampai mengenai tubuhnya. Ia cepat melompat
jauh ke belakang dan sambil tersenyum-senyum ia melarikan diri.
Kejar....! Tangkap....!! " seru Maha Wiku Dharmamulya dengan geramnya.
Para pengawal dan para wiku segera bangun dan mengejar panembahan Bayumurti.
Akan tetapi gerapan panembahan Bayumurti luar biasa cepatnya bagaikan tiupan
Sang Bayu, aka sebentar saja para pengejarnay telah tertinggal jauh sekali.
Kalau semua orang memperhatikan dan menunjukkan pandangan matanya kepada
panembahan yang aneh itu, adalah Indrayana seorang hanya mengerling sebentar
saja, karena ia tidak pernah melepaskan pandang matanya dri tirai sutera hijau
pupus yang menyembunyikan para puteri, terutama Puteri Mahkota.
Koleksi Kang Zusi Pada saat keributan terjadi, tiba-tiba tirai itu tersikap sedikit dan
tersembullah sebuah lengan tangan. Terbelalak mata Indrayana melihat lengan itu.
Alangkah indahnya lengan itu, sempurna lekuk-lekuknya, kulitnya halus putih
kekuningan bagaikan gading gajah yang tiada cacat.
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari lengan yang indah itu seakan-akan keluar cahaya yang indah dan keharuman
semerbak. Tak salah lagi, pikirnya, inilah tangan lengannya ! Lengan Kusuma Jelita
Pramodawardani! Siapa lagi orangnya yang mempunyai lengan seindah itu "
Puteri biasa saja, bahkan bidadari sekalipun, tak mungkin mempunyai lengan
seindah itu. Ia memandang ke kanan kiri dan melihat semua orang tengah
memperhatikan kepada pertapa itu. Cepat Indrayana melompat bagaikan seekor
burung srikatan memasuki pintu besar panggung itu dan sebelum para puteri yang
berada di dalam sempat menghalanginya, ia memegang tirai sutera hijau pupus itu
dan membukanya! Wajah cantik jelita, elok ayu, dan agung yang menyambutnya dari balik tirai,
wajah orang pemilik lengan itu, benar-benar membuat Indrayana bagaikan terkena
hikmah. Ia berdiri setengah berlutut, tangan kanan memegang ujung tirai, tangan
kiri menekan dada karena dadabya serasa akan pecah tak kuat menahan degup
jantungnya yang mengelora. Maqta itu bagaikan bintang pagi, indah cemerlang
bersinar lembut penuh kemesraan.
Dan bibir itu ! Belahan kulit tipis halusmembayangkan daging dan darah yang
merah segar membasah dengan bentuk yang indah sempurna.
Indrayana terpesona dan hanya memandang dengan mata terbelalak dan mulut
menganga. Pramodawardani juga terkejut dan tercengang melihat tirai itu dibukakan orang
sedemikian tiba-tiba dan ia memandang kepada pemuda yang sedang berlutut di
depannya itu tanpa berkata-kata. Hatinay kagum melihat ketampanan dan keberanian
pemuda ini, akan tetapi pikirannya marah menyaksikan kukurangajarannya ini.
Koleksi Kang Zusi " Dia adalah Raden Bagus Indrayana, puetera dari Sang Wiku Dutaprayoga. " kata
seoarang dara pelayan sambil memandang kagum.
Memang Indrayana amat terkenal di antara dara pelayan dan hampir semua perawan
di kotaraja, kecuali puteri-puteri kedaton dan bangsawan tinggi, telah tahu pula
siapa adanya Sang Bagus Indrayana yang namanya saja apabila disebut orang dapat
mempercepat jalannya darah dalam tubuh mereka.
Pramodawardani pernah mendengar nama pemuda ini desebut-sebut oleh para
pelayannya yang memuji-muji pemuda itu. Kini mendengar nama ini ia sekali lagi
memandang kepada Indrayana dan berkata sambil mencibirnya yang merah, membuat
wajanay tampak lebih manis lagi.
Hm, begini sajakah macamnya Indrayana" Pemuda kurang ajar, untuk kelancanganini
kau akan dihukum penggal kepala ! "
Dalam keadaan masih terpesona, Indrayana tersenyum dan menjawab, "
Jangankan hanay kuhum penggal kepala, biarpun akan hancur lebur seluruh tubuh,
hamba rela dan puas. Nikmat dan bahagia yang tercurah kepada hamba dalam
pertemuan ini, jauh lebih besar daripada segala macam hukuman ! "
Pada saat itu, karena tirai dibuka, barulah Pramodawarnadi dapat memandang
patung Dewi Tara yang berada di atas pintu epan candi itu, sedemikian pula para
pelayannya dan juga puteri lain.
Terdengar jerit tertahan ketika puteri itu memandang wajah patung itu dan juga
para pelayan berseru kaget dan heran.
Koleksi Kang Zusi " Itu adalah patung Kusumaning Ayu Pramodawardani sendri ! " bisik seorang
pelayan dengan mata terbelalak. Memang, persamaan muka patung itu dengan
Pramodawardani amat mengherankan.
Baru sekarang pula Indrayana memalingkan muka dan memandang ke arah patung itu
dan diapun tertegun. Pada saat itu, para perwira dan juga Maha Wiku Dharmamulya melihat bahwa
Indrayana berada di depan tirai penutup ruang tempat para puteri, maka bukan
main marah para wiku. Juga Sang Prabu Samaratungga sendiri melihat hal ini
menjadi marah. " Pemuda dari manakah berani berlaku kurang patut dan melanggar kesusilaan " "
serunya marah dan beberapa orang prajurit telah melompat ke atas untuk menangkap
pemuda itu. Pramodawardani sendiri cepat menarik tirai yang masih terpegang oleh
Indrayana sehingga tirai itu tertutup kembali.
Indrayana maklum akan pelanggaran yang dilakukannya, maka sambil tersenyum-
senyum bahagia dan kedua matanya bersinar-sinar penuh seri gembira, ia melompat
keluar panggung. Dengan hormat dan khidmat ia menyembah di hadapan Sang Prabu Samaratungga,
kemudian ia melompat lagi keluar candi. Para wiku dan tamtama mengejar hendak
menangkapnya, sungguhpun Sang Prabu sendiri belum memberi perintah untuk
menangkap pemuda itu. Indrayana mengulurkan tangan, mengambil patung Dewi Tara
yang diletkkan oleh Panembahan Bayumurti tadi di atas pinyu, lalu memondongnya
dan melompat pergi dari tempat itu.
Koleksi Kang Zusi " Indrayana ! " terdengar suara ayahnya berseru menegur. Indrayana berpaling dan
tersenyum kepada ayahnya.
" Ayah, aku hendak menyusul Eyang Begawan ! "dan pemuda itu terus melanjutkan
larinya yang amat cepat sehingga percuma saja para perwira dan tamtama
mengejarnya. Maka Wiku Dharmamulya dan para wiku lainnya lalu menyerbu dan menangkap Wiku
Dutaprayoga, lalu diseretnya ayah Indrayana itu di depan Maha Raja Samaratungga.
" Gusti Prabu, Wiku Dutaprayoga harus di beri hukuman yang layak ! "
Seru Wiku dengan amat marahnya, " Sudah terang dia mempunyai hubungan dengan
pertapa yang datang mengacau tadi, dan mungkin dia yang merencanakanbersama
untuk menghina Candi Sang Lokesywara yang suci. Kedua kalinya, dia sengaja
menghalangi hamba ketika hamba hendak memberi hukuman kepada pertapa keparat
tadi, tanda bahwa memang dia benar-benar mempunyai hubungan, karena dahulu ia
adalah kawan sekepercayaan dan seilmu. Ketiga, putera tunggalnya telah
menjalankan pula melanggar adat berani menghina dan membuka tirai tempat
peristirahatan para puteri, dan bahkan berani pula mencuri dan membawa lari
patung ! " kali ini, Maha Raja Samaratungga tak dapat menahan sabar lebih lama lagi.
Kekurangajaran Indrayana yang ebrani menggangu puterinya sudah amat keterlaluan,
akan tetapi keberaniannya mengambil patung itu, melewati batas.
" Masukkan dia dalam kurungan dan carilah pemuda itu ! " katanya singkat,
kemudian dengan wajah muram raja ini lalu memberi tanda untuk kembali ke dalam
istana. Koleksi Kang Zusi Indrayana yang membawa patung berlari cepat bagaikan seekor rusa muda,
meninggalkan Ibu Kota Syailendra. Pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka
bahwa perbuatannya yang amat berani itu menyebabkan ayahnay ditangkap dan
dikurung. Indrayana berlari menuju ke utara, sepanjang Kalai Praga, lalu
menyusur pantai Kali Elo.
Hati pemuda ini girang dan bahagia sekali. Di depan matanya terbayang wajah dan
bentuk tubuh Sang Dyah Ayu Pramodawardani, puteri mahkota yang cantik jelita
melebihi segala Bidadari Khayangan itu. Entah berapa kali sudah Indrayana
memandangi wajah patung yang dipondongnya berhenti berlari, membelai-belai
patung itu, dipeluk dan diciuminya dengan penuh kasih sayang sampai membisikkan
dengan nama mesra. " Pramodawardani...... adinda sayang...... ! Alangkah cantik manis wajahmu, algkah halus
kulitmu....... Sinar matamu menembus jantungku, senyum bibirmu meruntuhkan imanku !
Aduh, adinda...... Wardani....... Kekasihku....... !
" Ia lalu memeluk leher dan pinggang patung itu dan mendekap dada patung yang
montok itu erat-erat pada dadanya sendiri, lupa sama sekali akan keadaan di
sekelilingnya dan merasa seakan-akan patung itu adalah Sang Puteri sendiri.
Akan tetapi, kalau kemudian ia merasa betapa dada patung itu tidak membalas
getaran gelora dadanya, betapa tangan patung itu tidak membalas belaian dan
bibir serta hidung patung itu tidak membalas ciumannya, sadarlah ia bahwa yang
sedang dibelai, dicumbu dan digandrungi itu tak lain hanyalah sebuah arca batu
yang mati. Setelah demikian, baru pemuda itu duduk di dekat patungnya sambil
melamun dengan pandangan sayu dan wajah muram. Bagaimana ia dapat tergila-gila
kepada seorang Puteri Mahkota, calon pengganti Sang Prabu Koleksi Kang Zusi
Samaratungga, calon ratu. Sedangkan ia hanya putera seorang pembuat keris,
putera seorang wiku sederhana. Tak terasa lagi Indrayana menutup mukanya dengan
kedua tangan dan betapapun ia telah menguatkan hatinya, tetap saja dari celah-
celah jari tangannya nampak air mata menitik keluar.
Betapapun juga, arca batu itu merupakan hiburan baginya, merupakan penawar
rindu. Kepada patung ini ia bicara, membuka segala rahasia hatinya, berlaku
seakan-akan patung itu adalah Pramodawardani sendiri.
Seakan-akan ia sedang melakukan perjalanan yang amat menyenaangkan dengan puteri
kekasihnya itu. Pada suatu hari, di dalam perjalanannya menuju ke Gunung Muria menyusul eyangnya
itu, Indrayana tiba di lereng Bukit Ungaran. Ia tidak mau menunda perjalnannya,
masuk keluar hutan dan melompati jurang-jurang yang menghadang di depannya.
Ketika ia masuk pula ke dalam sebuah hutan yang amat liar dan penuh dengan
pohon-pohon jambe berlompatan ke luar belasan orang tinggi besar. Melihat
pakaian mereka yang serba hitam itu, teringatlah Indrayana akan cerita orang
bahwa di dalam hutan-hutan yang liar terdapat segerombolan perampok yang amat
besar pengaruhnya dan amat banyak pengikutnya, yaitu yang menamakan dirinya
Gerombolan Serigala Hitam ( Jambuka Ireng ). Menurut khabar yang didengarnya,
gerombolan ini dikepalai oleh seorang Pendeta hindu yang meyembah Betari Durga
dan yang berkawan dengan sekalian iblis dan setan yang menjadi hambanya sahaya
betari Durga, Ratu sekalian iblis itu. Banyak sekali berita yang aneh-aneh dan
menakutkan diceritakan orang tentang pendeta Hindu itu, sehingga Indrayana yang
menghadapi serombongan orang-orang tinggi besar berpakaian hitam itu berlaku
amat hati-hati. " Saudara-saudara ini siapa dan ada keperluan apakah maka menghadang
perjalananku " " tanya pemuda itu dengan suara tenang.
Seorang di antara tiga belas orang berpakaian hitam itu, orang yang tertua dan
berkumis tebal dan melintang bagaikan kumis Sang Gatutkaca, Koleksi Kang Zusi
melangkah maju dan tertawa bergelak,
" Bocah bagus dan halus seperti arjuna ! Engkau hendak mengetahui siapa kami "
Dengarlah baik-baik, engkau sedang behadapan dengan sepasukan perajurit jambuka
Ireng ( Serigala Hitam ) !
Namaku Reksasura dan aku adalah pemimpin dari pasukan kecil ini. Eh, jejaka yang
bagus dan elok, engkau siapakah dan hendak pergi ke manakah
" " " Aku adalah seorang kelana yang hendak menikmati keindahan alam mayapada di
mana saja kedua kakiku membawa aku tiba. Namaku dan tujuanku tidak ada artinya
dan tidak ada hubungannya dengan kalian semua, " jawab Indrayana.
" Ha, ha, ha ! Tinggi hati dan angkuh, tanda darah bangsawan ! ocah bagus, nama
dan tujuanmu memang tidak perlu bagi kami, akan tetapi memang tidak demikian
dengan patung yang enkau pondong itu ! Patung itu indah sekali dan cantik
jelita, kami amat perlu dengan patung-patung macam itu.
Engkau harus meninggalkan patung itu kepada kami, baru engkau boleh melanjutkan
perjalananmu melalui hutan ini ! "
Indrayana merasa marah sekali mendengar patungnya diminta. Orang boleh minat apa
saja dari padanya, segala harta benda yang ia miliki dapat ia berikan kepada
orang dengan rela dan senang hati, akan tetapi patung itu " Seakan-akan orang
minta kekasihnya ! Aku pernah mendengar bahwa Srigala Hitam hanya memuja seorang Dewi, yaitu Betari
Durga. Patung ini bukan patung Sang Betari Durga, untuk apa Koleksi Kang Zusi
kalian minta " "
Reksasura tertawa terbahak-bahak dan berkata, " memang, Betari Durga adalah
sembahan kami, pemberi kesaktian dan kekuatan, pembasmi musuh-musuh kami. Akan
tetapi, Sang Betari sebagai Ratu tertinggi dan terbesar, mempunyai banyak
pelayan dan pengiring yang terdiri dari dara-dara jelita.
Patung ini cukup cantik jelita dan menarik hati, pantas menjadi pelayan barudari
Sang Betari. Sayangnya tubuhnya tertutup pakaian, akan tetapi mudah saja, kami
akan dapat mengilangkan pakaian yang menutupi tubuhnya yang indah itu ! "
Kembali Reksasura tertawa bergelak.
" Engkau menghina agama para Syailendra ! " Indrayana ! " Indrayana membentak, "
berani benar engkau mengucapkan kata-kata kotor di hadapan arca Sang Dewi Tara,
syakti dari Sang Lokesywara ! "
Kembali Reksasura tertawa bergelak, kini kawan-kawanya juga ikut menertawakan
Indrayana. " Anak muda, jangan kau mencoba untuk menipu atau menakut-nakuti
kami. Di tempat kami banyak terdapat arca Dewi Tara yang indah-indah, dan kami
sudah kenal baik kepadanya. Seperti juga lain dewi-dewi dan bidadaro-bidadari
serta dara-dara jelita, kesemuanya tidak ada kecualinya, menjadi abdi pelayan
dari Sang Maha Batari Durga !
Dan patung yang kau pondong itu sungguhpun bentuk tubuhnya semontok bentuk tubuh
Dewi Tara, akan tetapi wajahnya bukan wajah Dewi itu. Ha ha jangan kau hendak
mencoba menipu kami, bocah bagus ! "
Indrayana teringat akan cerita orang bahwa kaum Serigala Hitam ini memang sudah
terkenal sebagai pengumpul patung-patung wanita yang indah-indah dan cantik.
Sudah sering kali merampoki candi-candi hanya untuk membawa lari patung-patung
bidadari dan wanita cantik. Maka bukan hal yang mengherankan apabila eksasura
itu faham betul akan bentuk dan wajah patung Dewi Tara.
Koleksi Kang Zusi " Memang patung ini telah dirubah. " Indrayana mengaku terus terang, "
akan tetapi perubahan ini bahkan menjadi pantangan besar bagi kalian untuk
menjamah dan menghina patung ini. Ketahuilah, hal orang-orang sesat, bahwa
patung ini adalah arca orang-orang sesat, bahwa patung itu adalah arca
Kusumaning Ayu Pramodawardani. Sang puteri mahkota dari kerajaan Syailendra !
Oleh karena itu, janganlah mengangguku dan biarkan aku lewat. Kalau kalian
menghina patung ini berarti kalian berhianat kepada Sang Prabu dan puterinya ! "
Reksasura dan kawan-kawan saling pandang dan timbul sinar gembira pada mata
mereka. " Bagus ! Kebetulan sekali, anak muda, telah lama kmi mendengar
kecantikan Puteri Pramodawardani. Sayang sekali tidak pernah ada patungnya yang
dapat kami bawa untuk mengias candi kami. Sekarang kau membawa patung yang kami
inginkan itu dan benar saja.
Pramodawardani ternyata cantik jelita, tak kalah oleh dewi-dewi Khayangan
lainnya. Serahkanlah patung itu kepada kami ! "
Kau berani menghina junjunganmu " " bentak Indrayana.
" Tidak ada lain junjungan bagi kami kecuali Sang Maha Betari Durga !
jawab Reksasura, " Keparat ! " Indrayana tak dapat menahan marahnya lagi. " Kalian berani
menghadang perjalanan Raden Indrayana sama dengan sekawanan tikus berani
menggangu seekor harimau ! "
" Babo-babo ! Sumbarmu seperti seorang jagoan, anak muda ! Benar-benar tidak
kauserahkan patung itu kepadaku " "
Koleksi Kang Zusi " Kalau belum pecah dada Indrayana tak mungkin kau akan menjamah patung yang
suci ini " ! jawab pemuda itu dengan gagah.
" Bocah sombong ! Kalu begitu, akulah yang akan membikin pecah dadamu !
" Orang ini bermuka hitam, berkepala gundul dan sepasang matanya bundar bagaikan
jengkol. Setelah berseru keras, ia lalu menubruk maju dan menggunakan tangan
kanannya menembak ( memukul dengan telapak tangan
) dada Indrayana yang telanjang. Tangan ini lebarnya hampir menyamai lebar dad
Indrayana, kulit telapak tangan tebal dan keras, jari-jarinya sebesar pisang
emas dan ketika tangan itu memukul, sambaran anginnya terasa meniup tanda bahwa
tenagan pukulan itu hebat sekali. Dengan pukulannya ini, si gundul bermuka hitam
ini dapat merobohkan sebatang pohon yang sepelukan orang besarnya.
Kalau yang ditebaknya itu dad orang lain, agaknya di muka tebal ini akan dapat
membuktikan ancamannya tadi, akan tetapi kini ia menghadapi Raden Indrayana
pemuda gemblengan yang semenjak kecil mempelajari ilmu kepandaian tinggi dan aji
kesaktian dari ayahnya, seorang pertapa yang sakti. Selain mempelajari ilmu
kedigdayaan, juga Indrayana adalah seorang ahli tapa yang kuat dan tekun
sehingga ia memperoleh kekuatan batin dan tenaga dalam yang tak kelihatan, akan
tetapi yang jauh lebih besar kekuatannay daripada tenaga luar atau besar yang
timbul dari otot-otot yang terlatih.
Ketika telapak tangan yang tebal dan lebar itu menghantam dada Indrayana
terdegar suara, " Blek !! " dan menurut pantasnya, dada Indrayana tentu akan
remuk dan setidaknya tubuhnay akan terpental jauh karena tenaga dorongan yang
luar biasa itu. Akan tetapi, sungguh aneh, karena bukan saja tubuh Indrayana
tidak bergeming seakan-akan tadi yang menyambar dadanya hanyalah seekor lalat
belaka, bahkan lawannya segera menjerit kesakitan danmemegangi tangan kanan
dengan tangan kirinya, Indrayana tentu saja tidak ma membiarkan dirinya dipikul
tanpa membalas. Cepat bagai kilat menyambar, kakainya bergerak maju dan membuat gerakan dua
kali, sekali dengan tangan kanan dari sekali dengan kaki kiri.
Koleksi Kang Zusi Tangan kanannya itu dengan jari-jari terbuka menyodok lambung si muka hitam,
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang kakinya menyepak ke arah tulang kering lawan.
Aduh...... aduh...... tobat, tobat...... ! " Si gundul bermuka hitam itu mengeluh, sebentar
memegang tangan kanan, sebentar menekan perut yang tiba-tiba menjadi mulas dan
kedua kakinya berjingkrak karena tulang kering kakinya yang dimakan oleh
tendangan Indrayana terasa sakit sekali menusuk jantung.
Dua orang anggota gerombolan itu menjadi marah dan cepat menerjang dari kanan
kiri sambil memukul kepala dan tubuh Indrayana. Pemuda yang hanya melawan dengan
satu tangan itu, karena tangan kirinya memondong patungnya, cepat mengelak dan
mendoyongkan tubuh ke belakang, akan tetapi cepat pula menyusul ke kanan dan
mengulur tangan kanan menjambak rambut penyerang dari kanan, kemudian pada saat
penyerang dari kiri menyerbunya, ia menyentak keras dan menarik rambut lawan
sebelah kiri yang mau menyerang.
" Bruk...... ! Aduh..... aduh..... ! " Dua tubuh yang tinggi besar itu bertubrukan dan
dengan cepat sekali kepala mereka saling membentur seperti dua kepala mereka
saling membentur seperti dua buah kepala besar dibenturkan. Seketika itu juga,
benjol besar membengkak keluar dari bagian kepala yang diadu tadi membuat mata
mereka gelap melihat bintang-bintang menari, kepala menjadi pening dan untuk
kiri seperti orang mabuk berpitaran bertubrukan sekali lagi tanpa disengaja dan
keduanya roboh terlentang tak dapat bangun lagi.
Bukan main marahnya hati Reksasura melihat kekalahan tiga anak buah pasukan
Serigala Hitam yang rata-rata memiliki tenaga dan kepandian bertempur yang
lumayan, karena semuanya mendapat latihan. Bagaimana Koleksi Kang Zusi
mungkin tiga orang kawannya itu roboh dalam segebrakan saja menghadapi anak muda
yang masih pantas disebut anak-anak ini " Reksasura tentu saja memiliki
kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada anak-anak ini "
Reksasura tentu saja memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada anak-
anak buahnya, maka dengan hati penuh geram dan marah, ia lalu mencabut
senjatanya yang mengerikan. Senjatanya ini adalah sebatang klewang yang amat
lebar dan tajam, akan tetapi pada panggung klewang itu bukan rata seperti
klewang biasa, melainkan bergigi tajam seperti gigi gerqji !
" Indrayana, cabutlah senjatamu kalau kau memang benar laki-laki ! "
Ucapan yang sebetulnay keluar karena kesombongan Reksasura ini, telah menolong
nyawanya dari bahaya maut, karena kalau saja ia tidak berkata demikian, tentu
Indrayana akan marah sekali dan akan membinasakannya.
Pemuda ini menganggap betapapun juga Reksasura masih berwatak gagah dan tidak
mau menyerang orang yang bertangan kosong dengan senjata tajam. Ia tersenyum dan
sambil memeluk erat-erat patung yang dianggapnya Pramodawardani sendiri yang
sedang dilindunginya, ia berkata,
" Reksasura, jangankan baru kau sendiri dengan senjatamu itu yang maju
menyerangku. Birpun kau maju berbareng dengan semua anak buahmu dan mengeroyokku
dengan seribu senjata, aku Raden Indrayana takkan mundur setapakpun dan tak usah
mempergunakan senjataku ! Kau majulah ! "
Reksasura tak dapat menahan marahnya lagi. " Kau orang Syailendra memang sombong
! Rasakan ketajaman senjataku ! " Klewangnya menyambar ke arah leher Indrayana
dalam serangan yang amat cepat hebat. Melihat kehebatan serangan ini, Indrayana
mklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia berlaku hati-hati sekali.
Dengan lincah ia melompat dan mengelak dari sambaran klewang itu, lalu membalas
dengan pukulan tangan kanannya ke arah siku lawan yang sebelah kanan dan
mengirim serangan selanjutnya bertubi-tubi dan cepat sekali Koleksi Kang Zusi
sehingga klewangnya berkelebatan dan berkilauan.
Melihat gerakan lawannya, diam-diam Indrayana memuji juga sesungguhnya permainan
klewang itu bukanlah ilmu sembarangan akan tetapi mempunyai gaya dan gerakan
yang amat baik dan tangguh. Patung yang dipondongnya menghalangi pergerakannya
untuk melepaskannya ia merasa enggan maka ia lalu mengambil keputusan untuk
mempercepat jalannya pertempuran. Tiba-tiba Indrayana berseru dan tubuhnya
berkelebat cepat sekali, melebihi cepatnya gerakan klewang lawannya.
Tentu saja Reksasura menjadi terkejut dan heran ketika tiba-tiba tubuh lawannya
yang masih muda itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja berlompatan di
sekelilingnya, sukar sekali untuk diserang bagaikan seekor burung srikatan yang
gesit sekali. Tiba-tiba Reksasura merasa siku lengan kanannya sakit sekali dan tangan itu
seakan-akan menjadi lumpuh, maka terpaksa ia melepaskan klewangnya yang telah
berpindah ke tangan Indrayana ! Reksasura hendak menyerang dengan kepalan tangannya, akan tetapi tiba-tiba tangannya terasa bukan main sakitnya sehingga
terpaksa ia membatalkan niatnya dan hanya memegangi siku kanannya dengan muka
meringis. Anak buahnya yang melihat betapa senjata pemimpin mereka dengan cepat dan aneh
telah terampas oleh pemuda itu, serentak maju mengeroyok dengan senjata mereka.
Akan tetapi, sekali saja Indrayana memutar klewang rampasannya, terdengar suara
nyaring dan empat batang golok lawan dan berterbangan dan patah menjadi dua !
Para pengeroyok alin melihat kehebantan ini menjadi gentar dan mereka menjadi
mundur tanpa dikomando lagi. Indrayana tersenyum dan melemparkan klewang itu ke
atas, lalu menggerakkan tangannya dan ketika klewang itu melayang turun, ia
mengetok tiba-tiba pada tengah-tengah klewang itu dan " krek ! "
patahlah klewang mengerikan itu tepat pada tengahnya !
" Senjata buruk ! hanay pantas untuk menakut-nakuti anak kecil saja ! "
Koleksi Kang Zusi kata Indarayana. " Reksasura, biarlah pengalamn ini kaujadikan pelajaran dan peringatan agar lain
kali jangan engkau sekali-kali berani menyebut nama Kusumaning Ayu Puteri
Mahkota Pramodawardani "
Setelah berkata demikian, Indrayana membawa patungnya dan melanjutkan
perjalanannya. " He, Indrayana ! Engkau telah menghina kami pasukan Srigala Hitam, kauingat-
ingatlah bahwa akan tiba saatnya kami membalas dendam ! "
Jilid 2 Akan tetapi Indrayana taidak mau mendengar ancaman ini dan melanjutkan
perjalanannya. Ia mengusap pipi patung itu dan berkata perlahan, " Manisku
Pramodawardani, jangankan baru orang-orang kasar itu saja hendak merampasmu,
biar Dewa sekalipun takkan dapat mengambil engkau dariku semudah itu ! "
Dalam pandangannya, bibir patung itu seakan-akan tersenyum manis, maka dengan
mesra Indrayana lalu menciumnya. Baru sadarlah ia ketika hidung dan bibirnya
bertemu dengan batu yang dingin dan kasar ! Ia menarik napas panjang lalu
berlari cepat menuju ke Gunung Muria.
Ia telah memasuki wilayah Mataram ketika seorang petapa tua menghadang di tengah
perjalanannya. Tadinya Indrayana tidak memperhatikan, akan tetapi ketika kakek
yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanannya, ia memandang dan
alangkah herannya bahwa kakek itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti pertapa
yang mengganggu pembukaan Candi Lokesywara dengan persembahannya patung Koleksi
Kang Zusi Dewi Tara yang kini dipondong oleh Indrayana, lalu berkata tersenyum,
" Ha, hendak kau bawa kemanakah patung Dewi Tara itu " "
Merahlah muka Indrayana Kalau pertapa yang sakti ini tahu akan semua
pengalamannya, tentu ia tahu pula bahwa ia telah gandrung-gandrung dan tergila-
gila kepada patung yang dianggapnya Sang Ayu Pramodawardani itu.
" Ini bukan patung Dewi Tara...... patung...... patung...... " dengan ucapan gagap ini
Indrayana lalu mengangkat patung itu dan memandangnya. Tiba-tiba matanya
terbelalak dan tak terasa patung itu terhempas dari tangannya, jatuh ke atas
tanah dan patah lehernya ! ternyata muka patung itu tidak menyerupai wajah
Pramodadawardani lagi, akan tetapi meyerupai wajah Dewi Tara sebagaimana yang
sering dibuatkan patungnya oleh para ahli seni pahat.
" Ha, ha ! " Pane,bahan Bayumurti tertawa. " Pandangan mata memang hanya tipuan
dan palsu belaka, Indrayana. Engkau hendak pergi ke tempat pertapaan enyangmu,
Begawan Ekalaya, bukan " Cepat, mari engkau ikut aku ke pondokku. Lekas,
betulkan di sana. Tidak ada waktu lagi anak muda, cepat ! "
Ajakan ini sedemikian berpengaruh sehingga Indraana tak kuat menahan kehendak
sendiri. Ia membungkuk, mengambil patung yang telah patah lehernya itu, lalu
berjalan mengiringkan pendeta yang sakti itu menuju ke sebuah hutan kecil.
Kedatangan mereka disambut oleh sepasang anak muda elok sekali. Yang seorang
adalah seorang pemuda sebaya dengan Indrayana, cakap, tampan, Koleksi Kang Zusi
dan gagah sekali. Sepasang matanya amat berpengaruh dan tajam dan dari bentuk
mukanya dapat diduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan., melainkan
keturunan bagsawan tinggi. Pakaiannya berbeda dengan pakaian pemuda biasa,
bahkan pada tangannya tampak gelang ukiran dari pada emas. Begitu bertemu
pandang, Indrayana menjadi kagum dan juga timbul rasa hormat dan sukanya kepada
pemuda itu, dan diam-diam ada juga sedikit perasaan iri, karena dalam hal
kecakapan dan kegagahan, pemuda ini benar-benar merupakan saingan berat !
Ketika ia melirik kepada orang kedua, kembali ia tertegun. Orang kedua adalah
seorang adra yang usianya paling banyak enam belas tahun. Berneda dengan pemuda
itu, dara ini pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi justruh kesederhanaan
pakaiannya ini makin menonjolkan kecantikannya yang asli dan murni. Seorang
juita yang jarang ada duanya, terutama mulut yang selalu tersenyum manis dan
sepasang mata yg bening kocak itu.
Bagaimana di dalam hutan kecil, di pondok reyot dari panembahan ini terdapat dua
orang manusia yang cakap seperti Dewa Komajaya dan cantik seperti Dewi Komaratih
ini " Panembahan Bayumurti memperkenalkan kedua orang muda itu kepada Indrayana dengan
amat terburu-buru dan sederhana. " Ini adalah muridku bernama Raden Pancapana,
dan ini adalah anak tunggalku bernama Candra Dewi. Duduklah, Indrayana,
duduklah. Dan kalian juga, Raden dan Dewi.
Kalian bertiga dengarlah pesanku terakhir. "
Sungguhpun Indrayana dapat melihat kekejutanyang tiba-tiba menyerang dara itu
dan juga Raden Pancapana, namun keduanya dapat menenangkan perasaan dan duduk
dengan tenang. Hal ini amat mengagumkan hatinya, karena ternyata bahwa kedua
orang muda itu telah mempunyai cukup tenaga batin untuk menekan segala perasaan
hatinya. " Indrayana, dengarlah. Ayahmu dan aku adalah sahabat karib ketika Koleksi Kang
Zusi ayhmu belum menyebrang ke Syailendra dulu. Kami berdua sefaham, senasib
sependeritaan, bahkan betapapun didalam satu gua. Akhirnya ayahmu mendapat
kurnia dari Hyang Agung sehingga pandai membuat senajata, sedangkan aku hanya
mendapat kurnia sebagai seorang pembuat patung saja. Seperti kau lihat sendiri,
maksud baikku untuk mempersembahkan sebuah patung ternyata diterima dengan salah
pengertian oleh Maha Raja Samaratungga. Hal itu tidak apa, karena Sang Prabu itu
masih mempunyai alasan yang mengandung kebijaksanaan. Akan tetapi Maha Wiku
Dharmamulya telah mempergunakan kesempatan itu untuk memperlihatkan dendam dan
bencinya kepada kami orang-orang Mataram dan kepada kepercayaan dan agama kami.
Ayahmu telah membuktikan kebijaksanaannya dan berusaha menolongku, maka
sekarang, akupun harus membalas budinya itu. Ia berada dalam bahaya. "
" Indrayana terkejut sekali, " Dalam bahaya " Siapakah yang mengganggu ayah "
tanyanya kurang percaya. " Siapa lagi kalau bukan Maha Wiku Dharmamulya yang meminjam kekuasaan Maha Raja
Samaratungga. Bahkan kau sendiripun dan aku juga takkan mudah melepaskan diri
dari jangkauan tangan Maha Wiku yang panjang dan penuh dendam, Indrayana. "
Pada saat Indrayana hendak bertanya, tiba-tiba terdengar suara orang dan derap
kaki banyak sekali kuda menuju ke dalam hutan itu dan Panembahan Bayumurti
berkata, " Indrayana, kalau kau mau belajar seni pahat dan ukir murid dan
puteriku, kau akan dapat membuat patung orang yang kau kasihi, akan tetapi kau
harus berjanji mau mengajak murid dan puteriku menuju ke Gunung Muria dan
menghadapkan mereka kepada eyangmu agar mendapatkan bimbingan. Yang datang itu
adalah orang-orang syailendra, biarlah aku yang menghadapi mereka Kalian bertiga
berangkatlah sekarang juga ke Muria ! "
" Rama panembahan...... " dara jelita itu berseru sambil memandang kepada Koleksi
Kang Zusi ayahnya. Jidatnya yang bagus itu berkerut dan matanya memandang ragu.
Panembahan Bayumurti menghampiri putrinya dan mengelus-elus rambut anaknya yang
hitam, halus dan panjang itu.
" Dewi, bocah ayu jangan gelisah. Kau pergilah dan ikut kedua orang pemuda ini.
Pasti akan selamat "
" Rama panembahan, aku lebih suka mati disampingmu daripada hidup jauh ari
padamu, rama..... " Derap kaki kuda telah tiba di luar pondok dan di antara suara pikuk itu
terdengar suara ketawa Panembahan Bayumurti yang nyaring ketika ia mendengar
ucapan puterinya itu. " Anakku yang manis, anakku yang denaok ! Siapa mau kau mati di ampingku " Kita
takkan mati nak, sebelum Hyang Yamadipati mengulurkan tangannya. Jangan rewel,
engkau pergilah ! Raden Pancapana, tolonglah kau jaga adikmu Si Dewi yang nakal.
Nah, kalian bertiga, berangkatlah dari pintu belakang. Tidak ada waktu lagi ! "
Setengah ditarik lengannya oleh raden Pancapana, Candra Dewi berjalan ke luar
dari pintu belakang, sebentar-sebentar menengok memandang ayahnya, didikuti
Indrayana dari belakang. Patung yang patah lehernya itu ditinggalkan di dalam
pondok. Setelah sekarang tidak menyerupai Pramodawardani, tak perlu ia bawa-bawa
sepanjang jalan. Koleksi Kang Zusi " Bayumurti dan Indrayana, menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan ! "
terdengar Maha Wiku Dharmamulya di luar pondok. Ternyata bahwa Maha Wiku itu
datang sendiri memimpin pengejaran dan bersama dia ikut pula seorang pertapa
berjubah kuning yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi besar bagaikan seorang
raksasa. Memang dia ini bukanlah seorang Jawa, akan tetapi adalah seorang
pendeta Buddha yang datang dari tanah Hindu dan bernama Wisananda. Pendeta
Wisananda ini baru beberapa bulan berada di Kerajaan Syailendra dan ternyata
bahwa selain dia pandai sekali dalam hal pelajaran Agama Buddha, juga memiliki
kesaktian yang tinggi dan memiliki pula ilnmu sihir dan gaib yang mengagumkan
orang. Maha Wiku Dharmamulya segera menghubungi dan mendekatinya, sehingga
sebelum pendeta dari tanah hindu itu kenal dengan orang lain, telah menjadi
sahabat dan pembantunya yang amat setia.
Mendengar serua Maha Wiku Dharmamulya, Panembahan Bayumurti lalu keluar dari
pondoknya sambil membawa arca Dewi Tara yang patah lehernyanya itu. Ia tersenyum
menghadapi Maha Wiku Dharmamulya lalu berkata,
" Dharmamulya, engkau datang mau apakah" Apakah engkau hendak mengambil patung
ini" Akan tetapi harus kubikin betul dulu, karena lehernya patah ! " Sambil
betkata demikian, kedua tanagn pendeta ini bergerak memasang kepala patung yang
patah itu pada lehernya, memencet-mencet dan mengelus-elus sebentar dan...... patung
itu telah menjadi lebih baik kembali. Panembahan Bayumurti lalu meletakkan
patung itu di atas tanah dan berkata, " Nah, sekarang sudah baik kembali, kalau
hendak kau bawa, bawalah ! "
Terdengar serua kagum, " Ahli patung yang luar biasa ! " Biarpun seruan itu di
ucapkan dalam Bahasa Hindu, namun Panembahan Bayumurti yang sudah kenyang
mempelajari kitab-kitab Weda, tentu saja dapat mengerti, maka ia tersenyum
sambil memandang kepada orang yang mengeluarkan seruan memuji itu. Ternyata
bahwa yang memuji itu adalah Wisananda, pendeta Buddha dari Hindu itu yang
merangkap kedua tangan memberi penghormatan kepada Bayumurti. Di negerinya, ahli
pembuat patung amat Koleksi Kang Zusi
dihormati, baik oleh pendeta pemeluk Agama Hindu kuno maupun oleh pendeta-
pendeta Budha dan dianggap sebagai seorang ayang amat tinggi kedudukannya,
sejajar dengan para pendeta tinggi dan amat dihormati.
Akan tetapi pada saat itu, Maha Wiku Dharmamulya melihat berkelebatnya tiga
bayangan orang-orang muda melarikan diri dari pintu pondok sebelah belakang.
" Nah, itu dia si pemberontak Indarayana ! tangkap ! "
Beberapa orang perwira segera menyerbu dan berusaha menangkap indrayana, akan
tetapi belum sempat mereka menjatuhkan tangan, Indrayana telah mendahului mereka
dengan gerakan kaki tangannya sehingga tiga orang perwira yang menyerang di muka
bergulingan mengaduh-aduh. Para perwira dan tamtama segera mengepung dan
menyerang bagaikan semut, akan tetapi kini bukan hanya Indrayana yang menyambut
mereka, juga Raden Pancapana membantu Indrayana menghadapi para pengeroyok itu.
Melihat sepak terjang Raden Pancapana yang sekali bergerak saja sudah
menjatuhkan lima orang pengeroyok, terkejut dan kagumlah Indrayana. Tidak saja
dalam ketampanan dan kegagahan, juga dalam ilmu kepandaian dan kedigdayaan.
Ksatriya ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkahnya. Ia makin gembira
dan bersama Raden Pancapana lalu mengamuk. Para pengeroyok dianggap tumpukan
rumput kering saja. Sekali dorong roboh bergulingan, sekali tendang cerai berai
dan simpang siur. Candra Dewi hanya berdiri menonton dan sepasang matanya yang
indah itu bersinar gembira memandang kagumkepada Indrayana tanpa diketahui oleh
yang dipandangnya. Melihat sepak terjang kedua orang yang dahsyat itu, Maha Wiku Dharmamulya maklum
bahwa orang-orangnya takkan dapat berhasil untuk menangkap Indrayana, maka ia
lalu berkata kepada Pendeta Wisananda.
Koleksi Kang Zusi " Saudara Wisananda, harap kau suka mengulurkan tangan membantu kami dan
menagkap pemuda itu ! " Ia menuding ke arah Indrayana. " Dia adalah seorang
pemuda yang telah mengina Sang Prabu dan berani menghina Candi Lokesywara yang
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita bangun. " Panembahan Bayumurti memandang tajam dan alagkah terkejutnya ketika ia melihat
tubuh pendeta Hindu itu berkelebat dan tahu-tahu Pendeta Wisananda telah berdiri
menghadang perjalanan Indrayana, Raden Pancapana, dan Candra dewi. Di tangannya
terdapat sebatang tongkat panjang yang entah dari mana diambilnya.
Melihat gerakan pendeta asing ini, Indrayana dan raden Pancapana terkejut dan
maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendeta berilmu tinggi, maka kedua
orang muda itu lalu mencabut keris pusaka masing-masing dan menyerbu ke depan.
Akan tetapi, sambil tertawa Wisananda mengerakkan tongkatnya menangkis dan
sekaligus kedua keris pemuda-pemuda itu beradu dengan tongkatnya yang ampuh.
Indrayana dan kawannya terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan
mereka perih dan panas sekali. Sebelum mereka hilang kagetnya, tiba-tiba tangan
kiri Wisananda menyambar dan sehelai tambang berwarna biru meluncur dari tangan
kiri itu ke arah Indrayana. Pemuda ini mencoba untuk menangkis, akan tetapi
begitu lengan kanannya bertemu dengan tambang, tahu-tahu tambang itu terus
melibat bagaikan ekor ular dan sebentar luar biasa itu ! Indrayana mengerahkan
tenaga dan kesaktiannya, akan tetapi ia tak berdaya. Tambang itu terlalu kuat
dan mempunyai daya yang mujizat sehingga makin keras ia memberontak. Makin erat
pula ikatan pada tubuhnya !
Raden Pancapana hendak menolongnya, akan tetapi tongkat Wisananda terputar cepat
dan mencegahnya mendekati tubuh Indrayana yang telah terikat erat dan tidak
berdaya itu sehingga Pancapana terpaksa mundur lagi sambil menangkis dan
mengelak dari serangan tongkat yang amat cepat dan berbahaya itu.
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba nampak bayangan yang amat cepat berkelebat dan terdengar bentakan. "
Wisananda ! Jangan engkau menghina anak muda. Kalau engkau mempunyai kepandaian,
lawanlah, aku, sama tua ! "
Ternyata bahwa Panembahan Bayumurti telah melompat dan kini dengan sekali
renggut saja ia telah melepaskan tambang yang mengikat tubuh Indrayana !
" Pergilah ! " katanya kepada Indrayana. " Pergi dan bawalah murid dan anakku
serta ! Biarlah aku menghadapi orang-orang mabok angkara ini ! "
Indrayana tidak berani membantah dan ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama
Raden Pancapana dan dara jelita Candra Dewi. Tak ada seorangpun rombongan dari
Syailendra ini yang berani mencegah mereka, karena di situ terdapat panembahan
Bayumurti yang berdiri dengan tenang dan tersenyum. Melihat cara penembahan
Bayumurti melepaskan ikatan Indrayana, maklumlah ia bahwa pendeta ini memiliki
kesaktian yang tak boleh dipandang ringan.
" Wisananda ! " Bayumurti menantang lagi. " Mengapa engkau tidak bergerak "
Apakah engkau hanya berani menjatuhkan tangan kepada orang-orang muda saja " "
Pendeta Bangsa Hindu itu menggelengkan kepala, " Aku segan untuk bertempur
melawan seorang ahli seni yang kukagumi. "
Maha Wiku Dharmamulya sudah sampai di situ pula. Dengan marah ia Koleksi Kang
Zusi menuding kepada Bayumurti dan berkata, " Bayumurti ! Engkau seorang Mataram
mengapa tidak tahu malu dan mencampuri urusan orang-orang Syailendra " Indrayana
adalah orang Syailendra dan sudah menjadi hak kami untuk menangkapnya atas
perintah Maha Raja kami, mengapa engkau berani mencampurinya " "
" Mataram dan Syailendra hanyalah sebutan orang belaka, " jawab panembahan
Bayumurti dengan tenang, " akan tetapi Indrayana, enagkau atau aku juag manusia
biasa yang sama-sama berkulit dagimg. Melihat seorang manusia dikejar-kejar dan
hendak dikuasai oleh orang-orang lain yang terdorong oleh nafsu angkara murka,
tentu saja sudah menjadi kewajibanku untuk menolongnya. "
" Bayumurti, engkau ternyata sombong dan mengandalkan kepandaianmu.
Penangkapan atas diri Indrayana adalah perintah Maha Raja Samaratunggakarena
Indrayana telah melakukan pelanggaran dan kekurangajaran di hadapan raja.
Sekarang engkau menghalangi kami menangkapnya, itu berarti engkau telah menghina
titah raja. Apakah engkau berani mempertanggungjawabkannya dan meghadap kepada
Sang Prabu " " " mengapa tidak berani " Aku memang hendak pergi ke sana, hendak membebaskan
Wiku Dutaprayoga yang telah kena fitnah oleh ketajaman lidahmu ! Akulah yang
bertanggunjawab untuk semua perkara ini, baik urusan mengenai diri Wiku
Dutaprayoga maupun mengenai urusan puteranya, Indrayana ! "
Demikianlah, rombongan pasukan Syailendra yang dikepalai oleh Maha Wiku
Dharmamulya itu kembali ke Kerajaan Syailandra sambil membawa Panembahan
Bayumurti di tengah-tengah mereka.
Koleksi Kang Zusi Rakyat yang telah mendengar tentang ditangkapnya Wiku Dutaprayoga dan dikejarnya
Indrayana putera Wiku itu, menyambut kedatangan rombongan itu dengan heran,
karena mereka tidak melihat Indrayana tertangkap, sebaliknya rombongan itu
membawa seorang pendeta Mataram yang nampak tenang dan tersenyum-senyum saja.
Akan tetapi banyak orang, terutama para dara, merasa lega karena Indrayana yang
mereka sayang itu tidak tertangkap. Ketika mereka mendengar bahwa pendeta ini
adalah pendeta yang telah mengacaukan pembukaan Candi Lokesywara dan telah
menyumbangkan sebuah patung Dewi Tara yang kemudian dirobahnya menjadi patung
Puteri mahkota, orang-orang lalu berduyun-duyun datang untuk menyaksikan pendeta
yang aneh san pandai itu.
Maha Wiku Dharmamulya lalu membawa sendiri pendeta Mataram itu menghadap kepada
Sang Prabu Samaratungga. Maha Raja inipun agak tercenggang ketika melihat bahwa
yang dihadapkannya bukan Indrayana pemuda yang berani dan kurang ajar itu,
melainkan pendeta yang telah menggegerkan pembukaan candi. Hati Sang Prabu
kurang enak melihat wajah Panembahan Bayumurti yang memandangnya dengan tajam,
karena Sang Prabu maklum bahwa pendeta ini adalah seorang yang sakti dan tidak
enaklah untuk berurusan atau lebih-lebih bermusuhan dengan orang yang berwajah
tenang, bermata tajam dan bibir selalu tersenyum itu.
Dengan sabar Maha Raja Samaratungga mendengarkan laporan Maha Wiku Dharmamulya
tentang penangkapan atas diri Indrayana yang di gagalkan oleh Bayumurti yang
kini datang mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.
" Panembahan Bayumurti. " berkata Sang Prabu dengan muka muram. " Kau adalah
seorang panembahan, seorang ahli kebatinan yang seharusnya mengutamakan
perbuatan baik dan ketentraman. Akan tetapi mengapa engaku sengaja mendatangkan
kekacauan dan sengaja menghalangi kehendakku menangkap Indrayana, seorang
hambaku sendiri " Panembahan Bayumurti, bukankah ini berarti bahwa kau telah
berlaku keterlaluan dan Koleksi Kang Zusi
kau terlalu mengunggulkan kesaktianmu " " Maha Raja Samaratungga menahan napas
untuk menekan gelora kemarahannya. " Atau kau sengaja melakukan hal ini untuk
menghinaku " Ketahuilah, hai panembahan sesat, raja junjunganmu sendiri di
Mataram tridak berani berlaku kurang hormat seperti ini terhadapku ! "
Panembahan Bayumurti yang tadinya tersenyum-senyum, kini menahan senyumannya dan
memandang dengan sungguh-sungguh, lalu memberi hormat kepada raja besar itu.
" Sang Parabu yang bijaksana dan budiman, " katanya tenang, " hamba cukup
menghargai paduka, bahkan persembahan patung itupun hamba maksudkan sebagai
tanda penghargaan hamba. Paduka adalah seorang raja besar, berbeda dengan raja
di Mataram yang makin kehilangan pamornya, karena kurang bijaksana dan tidak
dapat mengatur pemerintahan seperti paduka. Hamba sekali-kali tidak berniat
hendak mengacaukan Negara Syailendra. "
" Kalau memang demikian pendirianmu, mengapa kau selalu menghalangi tugas Maha
Wiku yang bertidak atas perintahku " Mengapa pula kau menolong Indrayana dan
sesungguhnya, apakah maksudmu datang di Syailendra " Apakah karena kau terbawa
oleh arus pertikaian antara agamamu dan Agama Buddha " Ketahuilah, bahwa kami
sendiri menganggap segala pertikaian itu sebagai kebodohan anak-anak kurang
mengerti akan keadaan yang sebenarnya. Aku sendiri tidak suka menyaksikan segala
macam permusuhan itu terjadi. Apakah kau sengaja datang menghina para penganut
Buddha di kerajaanku ini " "
" Dijauhkan oleh dewata pikiran macam itu dari kepala hamba ! " jawab Panembahan
Bayumurti. " Sesungguhnya, Sang Prabu yang mulia, tak hendak mendahului kehendak
Dewata, akan tetapi waktunya akan segera tiba di mana Tanah Jawa akan tentram
bahagia, tidak ada pertikaian dan perbedaan faham antara Syailendra dan Mataram.
Kedua agama akan hidup Koleksi Kang Zusi
rukun dan penuh pengertian, saling mengalah. Bahkan bukan tidak mungkin kedua
agama akan di junjung tinggi bersama oleh kerajaan di Jawa ! hamba datang hanya
sebagai pelopor, hendak memperlebar jalan terlaksananya hal yang amat baik dan
sempurna itu, Sri Baginda ! Hendaknya diingat bahwa segala macam kebahagiaan itu
tidak dapat datang begitu saja, tanpa mengalami kepaitan dan kesukaran terlebih
dahulu. Banyak rintangan nampak di depan, banyak...... ah, banyak sekali, Sang
Prabu, akan tetapi, dewi kemurahan semua Dewata, juga kemurahan Sang Buddha yang
paduka puja, akan tibalah saat yang baik itu ! "
Tutup mulutmu yang mengoceh tidak karuan ! Tiba-tiba Maha Wiku Dharmamulya yang
duduk di dekatnya membentak.
Akan tetapi sebelum Maha Wiku ini melanjutkan bentakannya, Maha Raja
Samaratungga memberi tanda dengan tangannya agar pendeta kepala itu berdiam
diri, kemudian ia tersenyum dan berkata kepada Panembahan Bayumurti,
" Segala harapanmu itu baik-baik saja, Bayumurti. Akan tetapi engkau telah
menyimpang daripada percakapan semula. Yang hendak kuketahui hanya mengapa
engkau menghalangi kehendakku menangkap Indrayana ! "
" Gusti Prabu yang bijaksana ! Paduka tentu tidak khilaf lagi tentang hukum
sebab dan akibat. Segala tindakan Wiku Dutaprayoga yang kini ditangkap, dan juga
tindakan Indrayana yang melarikan patung, itu semua hanyalah akibat. Mengerjar
dan menyalahkan akibat tanpa menengok lagi sebab-sebabnya adalah perbuatan yang
sesat dan bodoh, sama halnya dengan menyiramkan minyak wangi pada sebuah kamar
yang berbau busuk karena ada bangkai tikus di bawah balai-balai, tanpa mencari
bangkai itu dan membuangkannya ! Dalam hal ini, yang menjadi sebab adalah hamba
sendiri dan perbuatan hamba ! Kalau hamba tidak datang mempersembahan patung
kepada paduka, tentu Maha Wiku Dhamamulya tidak marah dan hendak menikam hamba
dan Wiku Dutaprayoga tidak membela hamba serta menghalangi maksud dan kehendak
Sang Maha Wiku. Kalau hamba tidak merobah patng itu seperti Puteri Paduka, tidak
nanti Indrayana akan Koleksi Kang Zusi
mencuri patung itu dan menjadi orang buruan ! Dengan demikian, pokok pangkalnya
semua peristiwa ini adalah perbuatan hamba dan hambalah yang harus menerima
amarah paduka ! Hamba yang kan mempertanggungjawabkan perbuatan Wiku Dutaprayoga
dan puteranya itu dan kalau paduka hendak menjatuhkan hukuman, jatuhkanlah
kepada hamba ! Hamba menuntut kebebasan Wiku Dutaprayoga dan Indrayana ! "
Maha Raja Samaratungga tertegun mendengar ucapan ini. Ia merasa terheran mengapa
Kerajaan Mataram makin mengecil dan menyuram, pada hal negara itu mempunyai
banyak orang-orang pandai dan waspada seperti pendeta ini ! Semenjak Sang Prabu
Sanjaya meninggal dunia dan singgasana Mataram diduduki oleh Raja Panamkaran,
mulai nampaklah kemunduran besar pada kerajaan itu.
" Panembahan Bayumurti, engkau benar-benar aneh. "
" Gusti Prabu, memang manusia ini makhluk yang paling aneh di atas dunia !
" Belum pernah Maha Raja Samaratungga melihat seorang pendeta yang pandai, ramah-
tamah dan berani seperti pendeta ini, maka timbullah rasa suka dalam hatinya.
" Biarlah, kubebaskan Wiku Dutaprayoga dan kuampunkan kekurangajaran Indrayana.
Juga engkau boleh pergi dengan bebas, asal saja jangan kauulangi perbuatanmu
yang dapat menimbulkan salah faham kepada hamba sahaya di kerajaanku.
Tentang harapan dan cita-cita yang baik iti, " sampai disini Maha Raja Koleksi
Kang Zusi Samaratungga tersenyum dan matanya berseri, " biarlah kauserahlan kepada
kebijaksanaan para Dewata, karena itu bukanlah tugas kita manusia
! " " Sang Prabu ! " tiba-tiba Maha Wiku Djarmamulya menyembah, " hamba tidak setuju
kalau pendeta ini di lepaskan begitu saja ! Ini berarti merendahkan derajat
Kerajaan syailendra sendiri, Gusti ! "
Maha Raja Samaratungga berkata dengan sabar, " Maha Wiku, aku tidak bisa
mengangkat dan mengagulkan derajat sendiri."
" Akan tetapi, selain itu, pendeta inipun telah menghina Agama Biddha !
Sepak terjangnya jelas meremehkan agama kita dan hal ini kalau didiamkan saja
amat berbahaya, Sang Prabu ! Kalau pendeta yang menghina agama kita ini
dibebaskan begitu saja, hamba khawatir kalau-kalau sebentar lagi pendeta
Trimurti dan semua penganutnya akan berlaku kurang ajar dan sewenang-wenang
terhadap kita ! " " Akan tetapi, aku telah memberi kebebasan kepadanya, Maha Wiku, dan sabda
seorang Ratu tak dapat disangkal pula. "
" Memang demikianlah hendaknya, Sang Prabu, akan tetapi, pendeta ini masih harus
berurusan dengan hamba. Sebagai pendeta kepala, hamba berhal pula mengadilinya,
berdasarkan kesalahan kedosaannya terhadap agama kita. Perkenankanlah hamba
bicara dengan pendeta sesat ini, Gusti.
" Terpaksa Maha Raja Samaratungga memberi perkenan, karena iapun tidak merasa enak
hati kalau sampai mengecewakan hati Maha Wiku yang Koleksi Kang Zusi
berpengaruh itu. " Bayumurti ! " kata Dharmamulya dengan muka keren. " Sebagai seorang pendeta,
apakah kau begitu tak tahu malu untuk menarik kembali kesanggupanmu yang telah
keluar dari mulutmu yang palsu " Kau telah mengatakan bahwa kau akan
mempertanggungjawabkan kesalahan Dutaprayoga dan Indrayana. Kau sanggup untuk
menerima hukuman yang dijatuhkan kepada mereka bukan " "
" Aku mengerti maksudmu, Maha Wiku Dharmamulya, teruskanlah ! "
" Sesungguhpun Sang Prabu telah mengampuni kedua orang ayah dan anak itu, namun
sebagai pendeta kepala, akupun berhak mengadilinya. Menurut hukum, orang yang
berani menghina pendeta kepala, dapat dihukum kubur hidup-hidup, orang yang
berani mencuri patung dari candi, dapat dihukum penggal kepala. Apakah kau masih
berani menerima hukuman yang hendak kujatuhkan kepada mereka " "
" Tentu saja berani, Dharmamulya. Teruskanlah ! "
" Ucapan dan kesanggupan seorang pendeta takkan diingkari lagi ! "
Dharmamulya memperingatkan
" Tentu, tentu, hukuman apakah yang henak dijatuhkan " "
Penggal kepala atau kubur hidup-hidup ! Nah, engkau pilihlah ! "
Koleksi Kang Zusi " Maha Wiku, mengapa sekeras itu " " tiba-tiba Sang Prabu Samaratungga berkata
mencela. Akan tetapi dengan masih tersenyum, Panembahan Bayumurti berkata lantang, "
Dharmamulya, aku tahu bahwa hatimu penuh nafsu dan dendam.
Aku tidak mengakuio bahwa Indrayana mencuri patung, akan tetapi aku akui bahwa
Dutaprayoga telah berani melawanmu untuk tak membelaku.
Maka biarlah kupilih kubur hidup-hidup untuk menebus dosa Dutaprayoga !
" Maha Raja Samaratungga terkejut sekali dan hendak mencegah hal ini, akan tetapi
baru saja ia hendak bicara, ia melihat betapa Panembahan Bayumurti memandangnya
dengan mata bersinar dan bibir tersenyum seakan-akan memberi tanda agar Sang
Prabu jangan merasa gelisah dan khawatir.
" Maha Wiku Dharmamulya, sebelum aku menjalani hukuman yang hendak kaujatuhkan,
aku minat agar supaya Dutaprayoga dibebaskan dulu dan dapat bertemu muka dengan
aku. " Setelah Maha Wiku Dharmamulya minta perkenan Maha Raja Samaratungga, maka
pendeta Maratam yang berani dan aneh itu digiring ke luar. Panembahan Bayumurti
benar-benar kelihatan tenang dan gembira dan ketika Wiku Dutaprayoga dikeluarkan
dari tahanan dan memandangnya dengan heran, ia lalu menghampiri bekas sahabatnya
itu, dan setelah mereka berada berdua saja, ia berbisik.
" Dutaprayoga, engkau tentu maklum pula bahwa yang kulakukan ini semata-mata
untuk kebaikanmu. Puteramu selamat, dan engkau Koleksi Kang Zusi
menghendaki agar kesemuanya ini berjalan lancar dan beres, engkau perglah ke
tempat pertapaan kita di Gunung Kidul dan kelak aku akan menyusulmu ke sana. "
Dutaprayoga maklum akan kesaktian bekas sahabatnya ini dan maklum pula bahwa
biarpun Bayumurti usianya masih lebih muda daripadanya, namun dalam segala hal,
Bayumurti memperlihatkan kelebihannya. Bahkan ayahnya sendiri, Sang Panembahan
Ekalaya, selalu memuji keberaniannya, kesaktiannya, dan kegagahan pertapa
Bayumurti. Setelah Dutaprayoga pergi meninggalkan Kerajaan Syailendra, Panembahan Bayumurti
lalu dimasukkan ke dalam tahanan, menanti upacara perjalanan hukuman baginya
yang akan dilakukan pada malam bulan purnama, dua hari kemudian.
Hukuman yang amat mengerikan, yaitu dikubur hidup-hidup hukuman yang merupakan
hukuman adat dan yang sesungguhnya sudah lama tak pernah dilakukan oleh maha
Raja Syailendra, akan tetapi kini akan dilakukan oleh Maha Wiku Dharmamulya,
seorang pendeta kepala yang diracuni batinnya oleh dengki, iri, dan angkara
murka ! *** Taman Listyaloka yang berada di belakang istana Maha Raja Simaratungga adalah
sebuah taman yang luar biasa indahnya. Ratusan macam bunga yang indah-indah
mekar berseri di dalam taman. Harum semerbak bunga mawar yang bermacam-macam
bentuk dan warnanya itu, ditambah pula dengan sedapnya bunga-bunga melati dan
menur, bunga cempaka, kenanga, kaca piring, dan kantil. Segala keindahan dan
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keharuman yang dikumpulkan menjadi satu di dalam Taman Listyaloka yang
menakjubkan itu selain menarik perhatian kumbang-kumbang dan kupu-kupu serta
burung-burung kecil yang berterbangan dari pohon ke pohon.
Koleksi Kang Zusi Memang indah sekali Taman Listyaloka, bahkan tamansari yang terkenal sekali di
Kerajaan Mataram, takkan dapat melebihi keindahan Taman Listyaloka dari istana
Syailendra ini. Apalagi kalau pemilik taman itu berada di dalam taman, maka akan
bertambahlah kecantikan dan keindahan taman itu. Apabila Sang Putera
Pramodawardani berada di dalamnya, maka taman itu akan berubah seperti Taman
Indraloka di Khayangan Batara Indra, karena puteri jelita itu tidak kalah elok
dan cantiknya oelh putei atau bidadari Khayangan yang manapun juga !
Akan tetapi, pada senja hari itu, keadaan di Taman Listyaloka tidak seperti
biasa. Tidak gembira dan tidak brsinar, seakan-akan muram dan sunyi. Ke manakah
perginya burung-burung, kumbang dan kupu-kupu yang biasanya meramaikan taman
bunag itu " mereka masih ada, akan tetapi burung-burung itu bersembunyi di dalam
pohon, mendekan di atas cabang tak bergerak bagaikan sedang tidur, kumbang-
kumbang bersembunyi di dalam kelompok bunga sedangkan kupu-kupu yang biasanya
menari-nari itu kini menempel pada daun-daun bunag tanpa bergerak sedikitpun.
Semua tampak berduka seakan-akan berkabung. Mengapa demiian " Kalau kita
menengok ketengah taman, di dekat empang bunga teratai di dekat pancuran air,
maka akan melihat sebab kesunyian dan kemuraman itu. Di atas bangku terbuat dari
batu hitam yang terbentuk indah dan mengkilat, duduklah Kusumaning Ayu
Pramodawardani sambil menyangga dagu dengan tangannya. Keningnya yang indah itu
berkerut, wajahnya muram dan berkali-kali terdengar tarikan napas halus. Banyak
orang berkata bahwa kalau sang puteri ini tersenyum, maka dunia kan ikut
tersenyum dengan dia, akan tetapi kalau dia bermuram durja, maka dunia akan
menjadi gelap dan suram pula. Memang, siapakah orangnya dan mahluk manakah yang
takkan menjadi kecil hati dan ikut berduka melihat keadaan sang jelita yang
bermuram durja itu "
Semenjak peristiwa di depan Candi Lokesywara itu, sang puteri merasa tersinggung
hatinya. Ia merasa amat kagum melihat keberanian dan kegagahan Indrayana, akan
tetapi juag mearsa kecewa menagap pemuda yang menjadi kembang bibir para dara
itu sedemikian kurang ajar kepadanya. Pramodawardani adalah seorang puteri yang
tinggi hati dan ia sekali-kali tidka merasa puas bahwa ada seorang putera wiku
berani berlaku sedemikian lancang terhadapnya. Pramodawardani selalu di manja
Koleksi Kang Zusi dan merasa dirinya putera mahkota, ia menghendaki penghormatan sebesarnya dari
siapapun juga. Diam-diam ia merasa bangga kepada diri sendiri bahwa ternyata pemuda yang sudah
terkenal menggocangkan iman di dada para jelita itu, tidak berhasil
menggoncangkan imannya yang teguh kuat. Ia memang amat tertarik dan kagum
melihat wajah elok dan tampan itu, akan tetapi sama sekali keliru kalau orang
mengira bahwa dia " jatuh hati " ! Kusumaning Ayu Pramodawardani bukanlah
Tiga Maha Besar 14 Pendekar Gila 16 Istana Berdarah Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5
Koleksi Kang Zusi Banjir Darah di Borobudur
Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Jilid 1 Kisah ini terjadi pada waktu agama
Hindu dan Agama Budha berkembang
luas, dan berpengaruh serta berkuasa
di pulau jawa. Seribu tahun lebih yang
lalu kedua agama ini yang datangnya
dari India, membawa kebudayaan yang
tinggi kepada rakyat di Pulau Jawa.
Betapapun besar dan hebat pengaruh
agama-agama dan kebudayaan dari luar
ini, namun tak dapat menghilangkan ciri-
ciri yang khas pada bangsa pribumi, tak dapat melebur sama sekali kepribadian
asli daripada penduduk pulau jawa.
Kepribadian asli ini ada pada tiap bangsa dimanapun juga, kepribadaian yang
bertumbuh di tanah air sendiri, yang terbentuk sesuai dengan keadaan alam, watak
dan selera bangsa itu sendiri. Oleh karena inilah, maka agama dan kebudayaan
luar yang masuk ke pulau jawa ini, setelah berkembang biak dan dapat di terima
oleh seluruh rakyat, menjadi berubah sifatnya daripada aslinya. Hal ini terjadi
karena agama dan kebudayaan itu tak dapat di terima bulat - bulat begitu saja
oleh penduduk pribadi, akan tetapi disesuaikan dengan kepribadian sendiri.
Yang tidak sesuai dirubah sedemikian rupa sehingga cocok dan enak bagi selera
sendiri. Koleksi Kang Zusi Maka bukanlah hal yang mengherankan apabila kedua agama besar yang berkuasa di
Pulau Jawa, yaitu Agama Hindu dan Agama Budhha, dapat hidup bersama dengan rukun
di Pulau Jawa padahal di tempat asalnya kedua agama ini dijadikan sebab dan
dasar pertikaian dan peperangan.
Kenyataan ini menjadi betapa mulia, bijaksana, dan penuh cinta damai adanya
watak daripada kepribadian rakyat yan menjadi penduduk pribumi du Pulau jawa.
Agama apa saja, kebudayaan yang bagaimanapun juga, memasuki tanah air, diterima
dengan ramah, akan tetapi tidak secara membuta. Pengaruh- pengaruh dari luar itu
takkan dapat memaksa ataupun membujuk bangsa pribumi, akan tetapi diterima
dengan penuh kebijaksanaa dan kesadaran, dipakai mana yang dirasa baik, dibuang
mana yang dirasa kurang. Kebijaksanaan ini tidak hanya nampak pada sikap rakyat jelata, bahkan di
pelopori oleh Raja sendiri yang berkuasa di masa itu. Raja tidak melarang
rakyatnya memeluk agama yang mana saja, baik Agama Hindu, maupun Agama Buddha,
di pandang tinggi dan hal ini terbukti sampai sekarang dengan adanya candi-
candi tempat pujaan penganut Agama Hindu maupun Agama Buddha.
Kisah ini terjadi antara tahun 700 sampai 850 pada waktu maan di jawa tengah
berkuasa dua kerajaan besar, yaitu Kerajaan Mataram dan Kerajaan Syailendra.
Raja di Mataram adalah sang Prabu Sanjaya, yang selain pandai memegang kendali
pemerintaan, juag amat sakti mandraguna sehingga dengan balatentaranya yang kuat
, Sang Prabu Sanjaya menaklukan banyak raja-raja kecil di Pulau jaawa bahkan
sampai di tanah seberang lautan. Kerajaan Mataram beragama Hindu dan menyembah
dewa-dewa, di antaranya yang mendapat tempat tinggi adalah batara Aviwa yang
juga disebut batara Guru dan kadang-kadang menjadi dewa pembinasan yang disebut
Batara Kala Koleksi Kang Zusi Kerajaan Syailendra yang tadinya menjadi negara taklukan dari Kerajaan Mataram
dirajai oleh Sang Prabu Samaratungga, atau Maha Raja Samaragrawira. Raja inipun
terkenal sebagai seorang raja yang adil dan bijaksana sehingga rakyat yang
berada di bawah pemerintahannnya hidup makmur.
Raja ini, berbeda dengan Kerajaan Mataram yang memeluk Agama Hindu, beragama
Buddha dan sedemikianpun seluruh keluarganya.
Betapapun bijaksananya kedua raja ini dan betapapun taatnya rakyat kedua
kerajaan, namun perbedaan kepercayaan ini tetap saja merupakan perbedaan faham
yang sering kali menimbulkan bentrokan antara orang-orang yang berdarah panas
dari kedua belah fihak. Memang sedemikianlah keadaan para pemeluk agama semenjak dahulu sehingga kini.
Para pemeluk agama yang pengetahuannya tentang pelajaran agamannya itu baru
setengah-setengah dan msih amat dangkal, selalu menyombogkan agamannya sendiri
dan merendahkan agama kepercayaan lain orang. Berbeda dengan para pendeta atau
pemeluk agama yang benar-benar sudah mendalam pengetahuannya dan yang telah
menjalankan ibadat yang suci dengan penuh kesetiaan dan kesadaran, mereka telah
menjadi orang yang bijaksana dan tahu menghargai serta menghormati kepercayaan
orang lain. Sering kali terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara orang-orang dari dua
golongan ini, terutama sekali apabila golongan yang satu mendirikan sebuah candi
tempat pemujaan, selalu diejek dan diganggu oleh golongan lain sehingga
menimbulkan pertengakaran dan perang kecil-kecilan.
Permusuhan mempunyai sifat panas bagaikan api, kalu tak segera di padamkan dan
menjala, dapat berubah menjadi lautan api di mana Dewi Koleksi Kang Zusi
Agoi berpestapora dan mengamuk. Demikianpun dengan perselisihan-perselisihan
kecil itu, lambat laun menjalar sampai kedalam keraton kedua kerajaan! Kedua
raja tentu saja menjaga kedaulatan dan kekuasaan masing-masing dan mulailah
terjadi permusuhan dan persaingan antara kedua raja yang berlainan agama ini.
Tidak saja berebut dalam hal memperbesar pengaruh dan memperluas wilayah
kekuasaan, akan tetapi juga bersaing dalam hal pendirian candi-candi. Kerajaan
Mataram membangun banyak sekali candi-candi pemujaan pada Dewata menurut
kepercayaan Agama Hindu, sedangkan Maha Raja samaratungga membangun candi-candi
Agama Buddha untuk menyaingi lawannya itu.
Di dalam keadaan yang kacau dan penuh permusuhan inilah, kisah ini terjadi dan
dimulai! *** Musim kemarau mengeringkan air-air sawah dan sungai-sungai kecil.
Bahkan Kali Praga yang biasannya mengalirkan air bening melimpah-limpah itu,
kini nampak hampir kehausan dan megap-megap tertimpa cahaya matahari yang amat
teriknya. Batu-batu besar menonyol mengantikan kedudukan air yang telah habis
ditelan dan diminum oleh hambasahaya Ratu Segara Kidul, sekitar Kali Praga
nampak senyi senyap. Sunyi dan mati karena tidak ada angin sedikitpun, seakan-
akan Sang Batara Bayu. Dewa Angin itu juga menderita kepanasankarena teriknya
matahari dan sedang beristirahat. Pohon-pohon dengan daun-daunnya yang mengering
itu diam tak bergerak sediam batu-batu yang menonjol di dalam kali yang kering.
Hanya sedikit air keruh di tengah-tengah kali yang menonjol di dalam kali yang
nampak hidup, bergerak perlahan bagaikan ular yang sudah sekarat, mencari jalan
menurun di anatara batu-batu kali itu. Seakan-akan mencari tempat teduh untuk
berlindung dari kemurkaan Sang Batara Surya.
Sesungguhnya, keadaan tidak semati itu, karena dipinggir sungai, duduklah
seorang pemuda diatas rumput kering. Memang, nampaknay pemuda ini juga sudah
berubah menjadi patung batu, karena ia duduk diam tak bergerak Koleksi Kang Zusi
sedikitpun. Hanya dadanya yang telanjang itu masih menyatakan bahwasannya ia
masih hidup, karena masih bergerak naik turun dalam pernapasan.
Pemuda ini masih remaja, usianya takkan lebih dari tujuh belas tahun. Dia
seorang pemuda yang elok sekali, raut mukanya tajam dan sempurna, tak ubahnya
seperti wajah Sang Arjuna tengah bertapa di tepi sungai. Kulit tubuhnya, dari
mukanya yang tampan, sampai kepada dadanya yang bertelanjang dan kakinya yang
nampak dari betis ke bawah, amat bersih dan halus, akan tetapi matang dalam
panggangan sinar surya. Lengan tangannya yang bulat berisi, dadanya yang bidang, pinggang yang kecil dan
betisnya yang penuh dan kuat itu menujukkan bahwa di dalam tubuh pemuda ini
tersimpan tenaga yang kuat dan kesehatan yang sempirna. Wajahnya yang tampan itu
mempunyai cahaya yang berbeda dengan pemuda-pemuda biasa di dusun-dusun.
Sepasang matanya bening dan terang, mempunyai sinar tajam yang menembus apa yang
dilihatnya. Keningnya lebar dan mulutnya, ditarik angkuh, membuat mukanya tampak agung.
Rang yang melihat pemuda ini tentu akan menduga bahwa ia adalah seorang berdarah
keraton atau setidaknay keturunan bagsawan dan kesatria. Dugaan ini memang tidak
terlalu keliru, karena sungguhpun pemuda ini memang bukan putera bangsawan,
namun ia adalah putera seorang Pendeta Agama Buddha yang bernama Sabg Wiku
Dutaprayoga, yang selain menjadi pendeta juga bekerja sebagai ahli pembuat
senjata keris, pedang dan lain-lain dari Maha Raja Samaratungga dari Kerajaan
Syailendra. Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Mataram dan belum lama ia memeluk Agama
Buddha. Maha raja Samaratungga tertarik akan kepandaiannya membuat senjata dan
mengangkatnya sebagai ahli pembuat keris di kerajaannya, kemudian memberinya
banyak hadiah dan kedudukan tinggi.
Koleksi Kang Zusi Pada waktu itu , ia masih beragama Hindu dan memuja Trimurti, yaitu Tiga Suci ,
Dewa Brahma, Syiwa, dan Wisnu. Setelah bekerja di Kerajaan Syailendra dan
mempelajari filsafah Agama Buddha, hati sang panembahan Dutaprayoga tertarik dan
kemudian ia dianugrahi gelar Wiku oleh Maha Raja Samaratungga.
Istrinya yang amat keras hati dan menjadi pemuda Trimurti yang amat tekun dan
setia, ketika melihat suaminya mengikuti aliran Agama Buddha, menjadi patah hati
dan bersedih sehingga ia membuang diri sampai tewas di kali Paraga pada saat
kali itu banjir. Semenjak itu, Sang Wiku Dutaprayoga hidup berdua dengan seorang
puteranya yang telah di tinggalkan oleh ibunya pada waktu itu ia berusia sepuluh
tahun. Pemuda yang kini duduk termenung di pinggir Kali Praga itulah putera tunggal
Sang Wiku Dutaprayoga. Ia bernama Indrayana dan semenjak kecil ia telah mendapat
gemblengan ilmu kepandaian oleh kedigdayaan dari ayahnya yang juga terkenal amat
sakti dan digdaya, kalau melihat orangnya yang demikian halus dan lemah lembut ,
tampan dan sopan seperti orang bambang ahli tapa brata, oarang takkan mengira
bahwa pemuda yang lemah lembut ini memiliki tenaga yang dapat mengalahkan seekor
banteng liar, memiliki kesigapan bagaikan seekor burung srikatan, kecekatan dan
ketrampilan seperti seekor monyet putih. Sukarlah membayangkanbetapa jari-jari
tangan yang kecil dan berkulit halus itu dapat menempa sepotong baja yang sedang
membara, memijit-mijit dan membentuk baja menjadi sebilah keris ampuh bagaikan
orang bermain-main engan tanah lempung saja. Memang, Indrayana telah mewarisi
ilmu kesaktian ayahnya. Menurut pantasnya, pemuda ini tentu merasa puas dan bahagia. Kedudukan ayahnya
cukup tinggi , terhormat dan disegani oleh rakyat jelata dan pembesar, dicintai
oleh Sang Parabu Samaratungga sendiri. Dia sendiri telah mewarisi kepandaian
tinggi, berwajah elok dan menjadi impian para dara jelitadi kerajaan itu, makan
cukup pakaiaan tak kurang. Akan tetapi mengapa ia sering kali duduk termenung di
tepi Sungai Praga" Koleksi Kang Zusi Sesungguhnya , banyak sekali hal berkecambuk dalam hati dan pikiran pemuda ini.
Hal-hal yang membuatnya seringkali melamun, bermuram durja, gelisah, duka, dan
kecewa. Pertama-tama ia selalu teringat akan budayanya yang telah membuang diri
sampai tewas di Sungai Praga. Kedua, hatinya berduka menyaksikan pertikaian-
pertikaian yang tiada habisnya antara orang-orang Mataram dan orang-orang
Syailendra, antara pemuja Agama rimrti dan Agama Buddha. Dalam hal ini, ia
sependapat dengan ayahnya.
Juga Sang Wiku Dutaprayoga selalu berduka kalau mendengar akan pertikaian itu.
Betapapun juga, Sang Wiku maklum bahwa kedua agama ini semua baik dan murni,
mengandung pelajaran kebatinan yang tinggi dan yang dapat menuntun manusia ke
arah jalan yang benar, membuka mata manusia untuk mengenal diri pribadi, dan
mengingatkan mereka akan asalnya.
Adapun hal ketiga, yang membuat hati Indrayana selalu rusuh dan binggung, adalah
persaingan pembuatan candi. Ia telah emnjadi seorang penduduk dan rakyat
Kerajaan Syailendra, maka tentu saja terkadang harapan di dalam hatinya untuk
melihat bahwa candi-candi yang didirikan oleh Kerajaan Syailendra lebih agug,
lebih besar, lebih mewah dan indah.
Akan tetapi, ahli-ahli ukir di Mataram selalu membuktikan bahwa dalam hal
kesenian, merekalah yang lebih uanggul dan lebih ahli.
Indrayana, di samping kepandaian-kepandaian yang diwarisinya dari ayahnya, juga
suka sekali akan kepandaian seni ukir. Ia mempelajari seni ukir. Ia mempelajari
seni ukir dari ahli-ahli pahat dan ukir yang tersohor di Syailendra, akan tetapi
hatinya masih belum puas. Ia selalu terbentur kepada kenyataan bahwa keahlian
dalam hal seni ukir sudah tak dapat menyamai kepandaian ahli di Mataram
sebagaimana terbukti daripada hasil-hasil ukiran yang halus dan indah di candi-
candi yang didirikan oleh orang Mataram. Sering kali ia berdiri termenung di
depan candi-candi Syiwa dan lain-lain untuk mengagumi keindahan patung-patung
yang diukir di situ. Patung-patung itu dalam pandangannya seakan-akan hidup,
seakan-akan di bawah kulit patung itu betul-betul terdapat urat-urat yang
mengalirkan darah. Sepasang mata patung-patung itu seperti hidup dan berkedip-
kedip kepadanay untuk memamerkan keindahannya. Buah dada Koleksi Kang Zusi
yang membusung dan indah bentuknya dari patung-patungwanita naik turun berombak,
seakan-akan menahan gelora napasnya yang menjadi berahi karena ditatap oleh mata
seorang pemuda tampan dan elok seperti Indrayana. Dan kalau sudah mengagumiini
semua, ia pulang dan mengadu kepada ayahnya mengeluh panjang pendek.
Indrayana, anakku. " ayahnya berkata sambil menghela napas. " Tak perlu engakau
merasa iri hatimelihat hasil ukiran orang-orang Mataram. Disana memang terdapat
banyak sekali ahli-ahli ukir yang pandai dan sakti ."
" Akan tetapi, ayah, Mustahil sesuatu kepandaian itu hanya dimiliki oleh seorang
atau segolongan orang-orang saja. Kalau kita benar-benar mengusahakannya untuk
mempelajari dengan rajin dan tekun, mengapa tidak bisa " Apa yang dapat
dilakukan oleh orang lain, pasti akan dapat kita lakukan pula asal saja mendapat
petunjuk dan bimbingan orang yang pandai.
Aku ingin sekali mempelajari ilmu itu samapi dapat, ayah. Hanya soalnya,
dimanakah aku dapat mencari seorang guru yang pandai " "
Ayahnda tersenyum. " Indrayana, memang sudah seharusnya demikian semangat dan
pendirian seorang pemuda. Pantang mundur dalam menghadapi cita-cita, takkan
berhenti sejenakpunsebelum tercapai kandungan hati! Namun, kau harus mengerti
bahwa dalam segala sepak terjang kita, kita harus mempergunakan pertimbangan dan
kedewasaan. Betapapun tekun, rajin dan bersemangat adanya seseorang dalam mengerjakan
sesuatu, apabila tindakannya hanya serampangan dan sembrono tanpa perhitungan
masak-masak, maka hasil kerjanya kiraku takkan sempurna sebagaimana yang
diharapkan semula ! Engkau tentu bukan termasuk golongan yang bertindak secara serudukan seperti
kerbau gila itu, bukan " "
Koleksi Kang Zusi Indrayana menundukkan kepalanya. " Ayah, anak-anakmu mendengarkan dengan penuh
perhatian. Teruskanlah wejanganmu yang amat berharga, ayah. "
" Anakku, segala macam karya seni yang ada di dunia ini membutuhkan bakat dan
watak dalam bidang masing-masing. Bakat atau watak ini telah ada dalam diri tiap
manusia semenjak mereka terlahir. Disebut bakat setelah anak menjadi besar dan
ternyata dari perbuatan-perbuatannya atau hasil-hasil karyanya. Akan tetapi pada
hakekatnya adalah pengalaman-pengalaman yang terbawa dari kehidupan yang lampau.
Oleh karena itu, bakat ini tak dapat dipaksakan pada diri seseorang.
Mengertikah kau, anakku " "
" masih belum jelas benar, ayah "
" Indrayana, engkau memang berbakat untuk menjadi ahli pembuat keris.
Tahukah engkau, apa akan jadinya kalau seorang pembuat keris yang pandai dan
sakti, memaksakan diri membuat sebatang keris dari bahan logam yang tidak baik
seperti misalnya tembaga " "
" Keris itu akan jadi, akan tetapi tak mungkin dapat merupakan keris yang baik
dan ampuh, " jawab bapaknya.
Nah demikianlah pula dengan bakat seseorang. Tembaga tidak berbakat untuk di
jadikan keris, maka, biarpun telah diusahakan oleh seorang ahli yang amat
pandai, namun tetap saja bahan yang tidak berbakat baik itu takkan dapat menjadi
sebatang keris yang sempurna. Biarpun dia belajar penuh ketekunan dan kerajinan,
sungguhpun ia digembleng oleh seorang guru yang maha sakti, tak mungkin ia akan
menjadi ahli ukir yang baik dan hasil ukirannya takkan sempurna pula. "
Koleksi Kang Zusi Indrayana tertegun dan mengangkat muka memandang ayahnya.
" Jadi...menurut pandangan ayah, aku tidak berbakat untuk menjadi seorang ahli
ukir" Akan tetapi, aku suka sekali akan ukiran-ukiran yang indah, ayah ! "
Ayahnya tersenyum sabar dan tenang sepertibiasanya. " Kau memang seorang pemuda
yang penuh semangat dan ingin memahami segala macam hal. Ini memang baik sekali,
anakku, dan ayahmu merasa bangga melihat api semangatmu yang bernyala-nyala itu.
Akan tetapi kau harus ingat bahwa di dalam dunia ini, ilmu kepandaian tidak ada
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
batasnya bagaikan Segara Kidul.
Tak mungkin kau akan dapat mencakupnya semua. Bakat dan wadah untuk menampung
kepandaian pada seseorang diumpamakan hanya sebesar payung batok kelapa,
bagaimana mungkin untuk menampung semua air dari segara kidul " Kalau engkau
tidak puas dengan yang segayung itu saja dan menghendaki lebih, banyak bahayanya
kau akan keluar dari sana dengan gayungmu tinggal kosong ! dari pada terjadi hal
demikian, jauh lebih baik mengisi gayungmu dengan air yang sebersih-bersihnya
sampai penuh betul ! " Demikianlah wejangan ayahnya yang masih saja bergema dalam telinga Indrayana
ketika ia duduk melamun di pinggir kali Praga. Kemudian pikirannya melayang jauh
dan ia teringat kepada ibunya yang telah meninggalkannya semenjak ia masih
kecil. Sungguhpun ibunya telah pergi lebih dari tujuh tahun yang lalu, akan
tetapi Indrayana masih dapat membayangkan wajah ibunya yang cantik manis,
senyumnya yang ramah dan sabar, pandangan matanya yang halus penuh kasih sayang.
" Ibu......" Indrayana mengeluh dengan bisikan perlahan. Hatinya terserang rasa
rindu yang memerihkan hatinya, rindu kepada ibunya yang telah meninggal dunia.
Koleksi Kang Zusi Dalam rindu dendamnya yang hebat, batu-batu besar di tengah sungai itu kelihatan
seperti ibunya dalam berbagai-bagai keadaan. Ada yang seperti ibunya tengah
duduk, ada yang berjogkok, berlutut bahkan ada yang seperti ibunya berbaring.
" Ibu......" Kembali ia mengeluh dan tak terasa pula ia bangkit berdiri diatas
rumput kering dan melompat turun ke dalam sungai yang kering dan melompat turun
kedalam sungai yang kering itu.
Kemudian ia menghampiri sebuah batu besar sambil matanya memandang tanpa
berkedip, batu besar yang kelihatan seperti ibunya tengah duduk bersimpuh itu.
" Ibu, aku akan menghidupkamu kembali, ibu, " katanya dengan tak sadar.
Indrayana lalu menggosok-gosok kedua telapak tangannya, mengerahkan aji
kesaktiannya, kemudian ia mulai bekerja.
Dengan sepuluh jari tangannya yang berubah menjadi seperti pahat dan pisau baja,
ia mulai mencongkel, mengukir dan membentuk batu karang besar itu, mencontoh
gambar yang timbul dalam angan-angannya ketika ia merasa rindu kepada bundanya
tadi. Dari pagi sampai matahari naik tinggi, Indrayana bekerja tak kenal lelah.
Batu karang menghitam itu telah mulai berbentuk seperti tubuh seorang wanitayang
duduk bersimpuh. Akan tetapi makin dekat bentuk batu itu menyerupai manusia,
makin kecewa dan berdukalah hati Indrayana.
Seperti yang sudah-sudah ! Selalu kedua tangannya tak kuasa mencontoh gambar
dalam angan-angannya. Sama sekali tak sesuai, sama sekali tidak Koleksi Kang
Zusi menyerupai bentuk tubuh dan potongan wajah ibunya. Beberapa kali ia mengosok-
gosok batu bagian muka itu bagaikan dipahat saja, akan tetapi makin lama makin
jauhlah bedanya wajah patung itu denagn wajah ibunya.
Perasaan kecewa membuat Indrayana menjadi marah. Tiba-tiba tangan kanannya
menebas kearah leher patung itu dan patahlah batu karang itu dengan mudahnya.
" Setan ! " Indrayana memaki perlahan. " Setan dan iblis air sungai yang
mengganggu ! " Akan tetapi yang menjawab makiannya hanya suara air yang mencari
jalan-jalan diantara batu-batu iblis dan setan air menertawakan kemarahannya.
Indrayana makin marah dan kecewa. Ia menusuk-nusukkan jari tangannya kepada batu
yang tadi hendak dijadikan patung ibunya itu dan dimana saja jari tangannya
menusuk, tentu batu itu berlobang. Memang dahsyat dan hebat sekali aji kesaktian
Indrayana ini. Jangankan kulit seorang manusia yang menjadi lawannya, bahkan
batu karang yang sedemiikian kerasanya dengan mudah ditusuk oleh jari-jari
tangannya. Tiba-tiba terdengar suara yang halus berkata dari tepi sungai.
" ya Jagat Dewa Batara ! Alangkah lucunya anak ini. Mengapa menyakiti diri
sendiri " Batu karang yang demikian kerasnya ditusuk-tusuk, tentu saja jari
tangannya yang sakit. ".
Baru saja ucapan ini habis diucapkan, Indrayana menjerit dan memegangi tangan
kanannya yang berdarah. Ternyata ketika ia mendengar ucapan itu, tiba-tiba batu
karang itu menjadi keras sekali dan jari tangan kanannya Koleksi Kang Zusi
yang ditusukkan terbentur pada batu yang tiba-tiba kerasnya melebihi baja
sehingga jarinya menjadi luka berdarah dan terasa sakit sekali.
Indrayana marah sekali dan cepat menegok. Ia melihat seorang kakek tua yang
rambutnya panjang dan rambut serta kumisnya putih semua, berpakaian sebagai
seorang pendeta Agama Hindu, sedang berdiri memegangi tongkatnya yang panjang di
tepi sungai dan berhadapan dengan pendeta itu.
hmm, anak muda yang tangkas ! " kakek itu memuji. Akan tetapi Indrayana
menyangka bahwa ia tentu berhadapan dengan iblis penjaga sungai yang
menganggunya, segera maju selagkah dan menyerang dengan pukulan tangan kirinya
yang ampuh dan kuat. Pukulan kedua tangan Indrayana tak boleh dipandangringan,
karena pemuda ini telah diisi aji kesaktian yang disebut Astadenta atau Tangan
gading. Pukulan tangannya sama kuatnya dengan tenaga seekor gajah yang menyerang
dengan gadingnya ! Akan tetapi kakek itu tidak mengelak maupun menangkis sedikit juga, hanya
memandang dengan mata berseri seakan-akan merasa geli hati melihat tingkah laku
seorang bocah nakal. Ketika tangan kiri Indrayana tepat mengenai dada kakek itu,
kelihatannya dari luar seakan-akan tangan itu hanya menempel saja seperti seekor
lalat hendak memukul pohon waringin, sedangkan Indrayana merasa seperti memukul
pakaian yang tidak ada tubuhnya di sebelah dalamnya ! baju pendeta yang
dipukulnya itu seakan-akan kosong, seperti juga kakek itu tidak bertubuh. Ia
menjadi penasaran dan berkali-kali ia memukul, akan tetapi tetap saja, sama
halnya dengan memukul air Kali Praga dikala sedang banjir.
Makin kuatlah dugaan Indrayana bahwa kakek ini tentulah bukan seorang manusia,
melainkan iblis penjaga sungai. Ia membungkuk dan tiba-tiba menyergap kedua kaki
kakek itu. Giranglah hatinya ketika kedua tangannya merasa bahwa kakek ini
sesungguhnya mempunyai sepasang kaki yang kurus. Ia mengerahlan tenaga, hendak
diangkatnya tubuh kakek itu hendak Koleksi Kang Zusi
dibantingkannya kedalam Sungai Praga yang kosong ! Akan tetapi, bukan main
kagetnya ketika ia tidak mampu mengangkat tubuh kakek yang kecil kurus itu !
Indrayana mengerahkan tenaga dan aji kesaktiannya, akan tetapi kedua tangannya
seakan-akan lumpuh dan semua tenaga telah meninggalkan raganya. Jangankan
mengangkat tubuh kakek itu mengerakkan sedikitpun ia tak mampu !
Terkejutlah sekarang Indrayana. Ia melangkah mundur tiga tindak dan mulutnya
berkemak-kemik membaca mantera mengusir setan. Namun tetap saja kakek itu tidak
lenyap seperti halnya seorang mahluk halus atau setan kalau mendengar mantera
itu, bahkan tersenyum-senyum dan matanya tetap berpengaruh itu, " Indrayana,
bukankah kau putera Wiku Dataprayoga " Kau benar-benar bersemangat seperti
ayahmu diwaktu masih muda. " Pendeta itu lalu tertawa terkekeh dengan girangnya.
" Tentu saja kau tidak mengenalku, karena pertama kali engkau melihatku adalah
ketika kau masih kecil sekali, baru berusia bebrapa bulan. Ha, ha, masih jabang
bayi dalam gendongan mendiang ibumu ! Indrayana, aku adalah Begawan Ekalaya,
pernahkah ayahmu menyebut nama ini " "
Untuk sejenak Indrayana berdiri bagaikan patung dan memandang kepada kakek itu
dengan mata terbelalak. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut dan menciumi kaki
kakek itu. " Eyang bengawan....mohon ampun sebesarnya atas kelancaran cucumu tadi
! " Begawan Ekalaya hanya tertawa dan mengelus-elus kepala Indrayana, Memang
sesungguhnya begawan Ekalaya ini adalah eyang dari Indrayana sendiri, karena
begawan ini adalah ayah dari Sang Wiku Dutaprayoga.
Koleksi Kang Zusi Pendeta tua yang sakti ini bertapa di puncak Gunung Muria, sebuah gunung di atas
pulau kecil di seberang pantai Pulau Jawa bagian Utara. Memang sebelum menjadi
orang Mataram dan kemudian berpindah ke syailendra.
Sang Wiku Dutaprayoga berasal dari Muria.
Indrayana sering kali mendengar cerita ayahnya tentang kakeknya ini, dan menurut
ayahnya, eyangnya ini adalah seorang pertapa yang amat sakti mandraguna.
" Kalau saja kau dapat menerima bimbingan eyangmu di Muria, " ayahnya pernah
berkata, " tentu kau akan mendapat banyak sekali kemajuan, Indrayana. Akan
tetapi sayang sekali eyangmu Begawan Ekalaya adalah seorang begawan yang memuja
Para Dewata di Kahyangan, sedangkan kita telah menjadi murid-murid Sang Buddha.
Tentu eyangmu tidak akan senag melihat keadaan kita. "
Maka setelah kini tiba-tiba berhadapan dengan eyangnya itu dan yang tadi telah
dibuktikan sendiri kesaktiannya yang luar biasa, Indrayana memeluk kaki eyangnya
dan merasa girang sekali, juga khawatir kalau-kalau eyangnya ini akan memarahi
ayahnya, ia teringat betapa tadi eyangnya telah mengganggunya ketika ia mencoba
untuk melampiaskan marahnya dengan menusuk batu karang dengan jarinya, maka
setelah menyembah dengan khidmat, ia lalu bertanya,
" eyang, apabila eyang merasa hamba bersalah dengan menusuk-nusuk batu karang
tadi, mohon petunjuk dari eyang. "
Terdengar kakek sakti itu berkata dengan suara bersungguh-sungguh, "
Tentu saja engkau bersalah, Indrayana Engkau telah menghina Dewa Koleksi Kang
Zusi Brahma, melanggar larangan Dewa Wisnu, dan merendahkan tugas Dewa Syiwa ! "
Bukan main terkejutnya hati Indrayana mendengar bahwa perbuatannya tadi telah
menyinggung kehormatan dewata-dewata besar ! Karena pemuda ini menundukkan
mukanya, ia tidak melihat betapa eyangnya memandangnya dengan bibir tersenyum,
akan tetapi suaranay tetap bersungguh-sungguh ketika ia melanjutkan kata-
katanya, " Betara Brahma adalah Pencipta seluruh alam dan segala macam isinya, termasuk
batu-batu karang di tengah Kali Praga ini Engkau telah merusaknya tanpa alasan
sama sekali, bukankah itu berarti bahwa engkau tidak menghargai keindahan
ciptaan Batara Brahma " Ini penghinaan namanya dan jangan sekali-kali engkau
melakukan hal seperti itu, cucuku ! "
Indrayana menyembah. " Akan hamba perhatikan, Eyang Begawan. "
Kemudian Begawan Ekalaya berkata lagi, " engkau tentu tahu pula bahwa Betara
Wisnu Pemelihara alam dan sekalian isinya. Sang Hyang Wisnu selalu melarang
siapa saja yang berlancang tangan merusak keindahan alam begitu saja tanpa
sebab. Maka perbuatanmu merusak batu mempergunakan kesaktianmu itu merupakan
pelanggaran pada larangan Sang Hyang Wisnu, seakan-akan engkau menantangnya
dengan memperhatikan kedigdayaanmu !
" Indrayana terkejut sekali, akan tetapi ia hanya menyembah, dan tak berani
membantah. " Engkaupun merendahkan tugas Sang Hyang Syiwa, karena Betara Syiwa Koleksi Kang
Zusi sajalah yang berhak untuk membinasakan atau merusak sesuatu, karena pebinasaan
atau pengrusakan yang dilakukan oleh Sang Hyang Syiwa adalah pembinasaan yang
sudah semestinya, sudah sewajarnya, menurut hukm alam bahwa segala apa di dunia
ini tidak kekal adanya dan sewaktu-waktu akan mengalami kehancuran dan
pengleburan. Maka, jangan sekali-kali engkau berani mendahului kehendak Hyang
Syiwa. Manusi hanya boleh melakukan pelanggaran apabila perbuatannya itu
didasarkan pada alasan yang baik dan kuat. Apakah alasanmu menusuk-nusuk batu
karang dan menghancurkannya, cucuku " "
Dengan malu-malu sambil menundukkan kepala, Indrayana menjawab,
" Eyang Begawan, sesungguhnya tadi hati hamba sedang amat kalut dan kecewa.
Untuk memperingati mendiang ibunda yang telah meninggalkan hamba, hamba ingin
sekali membuat patung dari batukarang itu. Akan tetapi, ternyata hamba tidak
sanggup mengukir patung ibunda. "
" Segala pekerjaan yang dilakukan dengan tak semestinya, tentu akan mengalami
kegagalan. Untuk melakukan pekerjaan mengukir patung telah diadakan alat-alat
tertentu, bukan hanya dengan jari-jari tangamu yang kasar itu ! "
" Hamba mohon petunjuk, Eyang Begawan. Hamba ingin sekali menjadi seorang ahli
ukir yang pandai, sepandai ahli-ahli yang membuat patung di candi-candi Syiwa
itu ! " Kakeknya tertawa perlahan. " Mudah saja engkau bicara, Indrayana !
Belajar menjadi ahli pembuat patung bukanlah semudah yang kau kira.
Engkau harus tahan tapa, harus belajar dengan rajin dan di samping itu harus
membersihkan dan menyucikan hatimu agar engkau menjadi cukup bersih untuk
menerima wahyu Dewata. Karena tanpa wahyu Dewata, tak Koleksi Kang Zusi
mungkin dapat menciptakan patung-patung dewata yang Agung ! Pekerjaan membentuk
manusia adalah karya Betara Brahma, bukan pekerjaan tangan manusia biasa. Hanya
dengan wahyu betara Brahma di dalam kedua tangan dan kesepuluh jarimu, barulah
engkau akan dapat membuat patung yang benar-benar menyerupai manusia hidup ! "
" bertapapun sukarnya, hamba hendak mempelajarinnya, Eyang. "
" Baik, kalau engkau ingin menjadi seorang eprtapa, kauikutlah dengan aku ke
Muria. Ahli seni adalah seorang ahli tapa pula. Mari kita menemui ayahmu,
Indrayana. " Indrayana lalu mengiringkan eyangnya menuju kerumah ayahnya. Dari jauh telah
terdengar dering besi beradu, tanda bahwa ayahnyasedang menempa besi panas untuk
dibentuk menjadi senjata tajam.
" Dutaprayoga selalu tekun dan rajin. " Begawan Ekalaya berkata perlahan dan
Indrayana dapat menagkap keharuan yang tersembunyi di dalam suara itu.
Sang Wiku telah dihadiahi sebuah rumah gedung di dalam kotaraja oleh Maha Raja
Samaratungga, akan tetapi untuk tempat kerjanya, Wiku Dutaprayoga memilih tempat
yang sunyi, di dalam sebuah hutan di lembah Kali Praga itu, dimana ia dapat
bekerja bersama puteranya tanpa mendapat gangguan dari siapapun juga.
Tempat kerjanya itu sederhana saja, terbuat dari kayu-kayu hutan, merupakan
sebuah pondok kecil segi empat yang beratap papn. Ketika mendengar pintu dibuka
dari depan, Sang Wiku menegok dan menunda Koleksi Kang Zusi
pekerjaanya. Ia tertegun ketika melihat siapa orangnay yang datang bersama
puteranya. Untuk beberapa lama ia tak dapat mengeluarkan kata-kata, sehingga
Begawan Ekalaya yang lebih dahulu menegurnya.
" Dutaprayoga, kau baik-baik sajakah " "
Sang Wiku segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan kakek
itu. " Rama Begawan...." Suaranya terdengar amat terharu karena ia sama sekali tak
pernah menyangka bahwa ayahnya suka mengunjunginya setelah ia menjadi seorang
pendeta Buddha. " Hamba tidak tahu bahwa Rama begawan datang berkunjung sehingga
tidak mengadakan penyambutan sebagaimana mestinya. Mohon ampun, rama...."
Begawan Ekalaya mengangkat bagun putranya itu dan memandang dengan mata pebuh
perhatian kepada muka puteranya, lalu ia mengangguk-angguk dan berkata puas, "
Bagus, bagus ! hanya kulitnya saja yang bertukar warna, akan tetapi isinya masih
sama ! " Wiku Dutaprayoga tentu saja mengerti kata-kata ramandanya ini, maka ia lalu
menyembah dan berkata, " Setiap sungai mempunyai aliran masing-masing, Rama
Begawan. Namaun tak dapat disangkalpula bahwa semua aliran itu menjurus ke satu
tempat, yaitu samudra luas ! "
Begawan Ekalaya tertawa terkekeh dengan senangnya. " Indah sekali perumpamaanmu
itu, Dutaprayoga. Ketahuilah bahwa kedatanganku ini bermaksud hendak membawa
cucuku si Indrayana ke Muria. Sudah tiba waktunya bagi dia untuk mempelajari
ilmu kebatinan dan mengetahui Koleksi Kang Zusi
rahasia hidup, karena ia telah cukup dewasa. "
" Hamba hanya mengatakan syukur dan terima kasih bahwa Rama Begawan yang sudah
sepuh masih berkenan mencapikan diri memberi bimbingan kepada Indrayana. Hanya
hamba minta waktu hari tiga, karena Indrayana hendak hamba bawa menghadiri
upacara pendirian candi yang baru dibangun agar dapat menambah pengalamannya dan
dapat pula bertemu dengan Sang Prabu Samaratungga. "
Mendengar ucapan Wiku Dutaprayoga ini Sang Panembahan Ekalaya menghela napas dan
berkata perlahan, " garis-garis karma memang tak dapat dibelokkan oleh usaha manusia.
Engkaulah yang menentukan, anakku. Aku akan kembali dulu ke Muria, tinggal
terserah kepadamu dan kepada Bagus Indrayana. Aku akan menanti di puncak Muria
sambil memuja kepada Dewata untuk keselamatan kalian berdua. "
Setelah berkata demkian, pertapa tua ini lalu berjalan tersaruk-saruk keluar
dari pondok itu. Bunyi tongkatnya terdengar satu-satu, akan tetapi ketika
Indrayana mengejar keluar, kakek sakti itu tak kelihatan pula bayangannya !
Makin kagumlah Indrayana terhadap eyangnya yang benar-benar memiliki kesaktian
yang luar biasa tingginya. Ia lalu berlari masuk kembali dan menceritakan kepada
ayahnya akan semua pengalamannyaditepi Kali Praga tadi. Ayahnya hanya tersenyum
mendengar penuturannya ini dan akhirnya berkata,
" Engkau bahagia bisa dapat bimbingan dari eyangmu, Indrayana.
Sekarang bersiaplah engkau, karena besok pagi-pagi kita harus berada di kaki
Candi Lokesywara yang baru dibangun. Sang Prabu dan para pamong praja akan hadir
disana meresmikan pembukaan candi itu, maka inilah Koleksi Kang Zusi
kesempatan terbaikmu untuk bertemu muka dengan Sang Prabu dan para pembesar dan
pendeta-pendeta lain. "
" Ayah...... selain Sang Prabu dan para pembesar, apakah..apakah puteri kedaton,
Sang Dyah Ayu Pramodawardani juga akan hadir " "
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Wiku Dutaprayoga tersenyum. " Untuk penghormatan kepada Sang Lokesywara,
biasanya para puteri juga datang menghadiri upacara itu. "
Berdebarlah jantung Indrayana. Semenjak masih kecil ia telah mendengar nama
Pramodawardani disohorkan sebagai seorang puteri yang cantik jelita dan ayu,
mengalahkan kecantikan Dewi Ratih. Baginya nama ini sudah sangat terkenal,
semenjak kecil sudah menjadi buah bibir, akan tetapi setelahia menjadi dewasa,
nama ini mulai menyentuh hatinya dan membuat ia ingin sekali melihat dan
menyaksikan sendiri puteri yang kini telah menjadi dewasa pula itu. Tak mudah
untuk dapat bertemu muka dengan Pramodawardani, karena Sang Puteri yang indah
ayu ini adalah Puteri Mahkota yang amat terkasih dari Sang Maha Raja
Samaratungga, seorang puteri yang paling tinggi dan mulia di seluruh wilayah
Kerajaan Syailendra ! *** Pagi-pagi hari sekali sang Wiku Dutaprayoga beserta Indrayana telah tiba di
Candi Lokesywara yang baru selesai dibangun. Para Wiku, pendeta-pendeta Buddha
dan ponggawa kerajaan telah berkumpul disitu, mengatur persiapan untuk menerima
kedatangan dan kunjungan Sang maha Raja Samaratungga bersama seluruh keluarga
kerajaan dan para bayangkari keraton. Semua pekerjaan dan persiapan ini diatur
dan dipimpin oleh Sang maha Dharmamulya, yaitu kepala sekalian pendeta Agama
Buddha, seorang pendeta tua yang berkepala gundul dan yang menjadi orang paling
berkuasa di daerah Kerajaan Syailendra.
Sesungguhnya, pada pendapat para pendeta, Maha Wiku Dharmamulya Koleksi Kang
Zusi kurang cakap dan tidak tepat untuk menjadi Maha Wiku, karena pendeta itu terlalu
kukuh dan keras dalam peraturan agama, bahkan terlampu keras sehingga kadang-
kadang kekerasan hatinya itu tidak tepat terdapat dalam watak seorang pendeta
linuwih. Ia di angkat menjadi Maha Wiku berkat jasa-jasa ayahnya, yakni
mendingan Maha Wiku Dharmamurti yang benar-benar telah berjasa dalam menegakkan
dan memperluas Agama Buddha.
Karena mengingat jasa-jasa Maha Wiku Dharmamurni, maka Sang Prabu Samaratungga
mengangkat putera tunggal pendeta itu, yakni Maha Wiku Dharmamulya, untuk
menggantikan kedudukan ayahnya yang telah meninggal dan diberi gelar Maha Wiku
Selain keras hati, juga pendeta kepala ini amat membenci penganut-penganut Agama
Hindu terutama sekali membenci pemuja Batara Syiwa.
Oleh karena itu di dalam hatinya ia merasa tak senang ketika Wiku Dutaprayoga
diangkat menjadi Wiku oleh Sang Prabu karena pada pendapatnya, seorang bekas
pendeta pemuja Trimurti tidak patut menjadi pendeta Buddha ! Akan tetapi,
pendeta kepala ini tentu saja tidak berani membantah keputusan yang keluar dari
mulut raja yang berkuasa.
Pada jaman itu orang masih memegang teguh apa yang disebut " sabda ratu ", yaitu
ucapan seorang raja sekali keluar dari mulut merupakan hukum yang tak dapat
dirubah lagi. Selain dari pada itu, Wiku Dutaprayoga berwatak halus dan selalu mengalah dan
sama sekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa pendeta baru ini akan membahayakan
kedudukannya, serta melihat pula kenyataan bahwa pendeta ini adalah seorang yang
sakti mandraguna dan amat berjasa kepada raja dalam pembuatan keris-keris pusaka
ageman ( yang dipergunakan oleh ) Sang Prabu dan para senopati di Kerajaan
Sailendra. Maka selama ini, karena tidak ada alasan. Maha Wiku itu tak pernah menggangu
Sang Wiku Dutaprayoga, sungguhpun pendeta ini cukup maklum akan dendam dan iri
hati yang mengotori batin pendeta kepala itu.
Setelah matahari telah melakukan tugasnya dengan baik, mengusir sisa-sisa
kegelapan sang malam, terdegarlah suara gamelan yang merdu dan Koleksi Kang Zusi
tampaklah rombongan Sang Prabu yang diiringkan oleh para pengawal barisan
tamtama dan yang paling belakang mengiringi gamelan yang ditabuh di sepanjang
jalan. Para rakyat yang berbaris dikanan kiri jalan segera berlutut menyembah
untuk memberi penghormatan kepada junjungan mereka itu.
Sang Prabu Samaratungga duduk di atas kuda putihnya dengan sikap yang agung dan
gagah. Wajahnya berseri gembira dan bibirnya selalu tersenyum. Permaisuri dan sekar
kedaton duduk didalam tandu yang tertutup oleh tirai sutera halus sehingga dari
dalam mereka dapat melihat ke luar akan tetapi panangan mata dari luar hanya
dapat melihat bayangan mereka saja. Para ponggawa, pengawal dan barisan tamtama
yang menjaga keselamatan keluarga raja ini semua tampak gagah-gagah dan mewah
belaka, mengagumkan semua mata yang memandangnya.
Degup jantung Indrayana makin mengencang dan semenjak tadi sepasang matanya
ditujukan kepada tandu dipikul oleh enam orang wanita cantik.
Tandu inilah yang diduduki oleh Sang Dyah Ayu Pramodawardani. Memang puteri ini
mempunyai tata susila yang amat tinggi dan terkenal sekali. Ia tidak
memperkenalkan tandunya dipanggul oleh orang-orang lelaki. Oleh karena itu maka
pemikul tandunya semua perawan-perawan belaka yang cantik-cantik pula. Ada
belasan orang dara jelitayang bertugas memikul tandunya ganti-berganti. Tandu
dari permaisuri dan puteri-puteri lainnya dipikul oleh pemikul-pemikul laki-laki
yang bertubuh kuat dan berwajah sopan dan keren.
Kalau semua tandu diturunkan di depan bangunan tarup yang sengaja didirikan
untuk tempat berteduh keluarga raja dan para penumpangnya turun dari tandu dan
berjalan kaki memasuki bangunan itu sehingga para penumpang dapat menyaksikan
keindahan rupa dan pakaian Sang Permaisuri Koleksi Kang Zusi
dan puteri-puteri lain, adalah Sang Puteri Pramodawardani sendiri yang
memerintahkan kepada para pemikulnya untuk memikul tandu itu terus memasuki
bangunan. Setelah tiba di sebelah dalam, barulah ia turun dari tandunya dan
duduk ditempat yang telah disedikan oleh para pendeta.
Tempat untuk para puteri inipun tertutup oleh tirai sutera hijau pupus yang
menghalangi pandangan mata para rakyat yang berlutut di luar bangunan panggung
itu. Bukan main kecewa dan mendongkolnya hati Indrayana. Saat yang telah lama
dinanti-nantikanitu setelah tiba, ternyata hanya mendatangkan rasa kecewa di
dalam hatinya. Ia telah membayangkan betapa akan senangnya dapat mencuri pandang
kepada wajah puteri jelita itu, dan entah telah berapa kali ia telah bermimpi
melihat wajah puteri yang cantik jelita itu.
Akan tetapi, ternyata setelah puteri itu berada ditempat yang sedemikian
dekatnya, ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk melihatnya.
Jangankan memandang wajahnya, melihat jari kakinyapun tak dapat.
" Alangkah angkuh dan sombongnya ! " Indrayana berpikir dengan hati yang
mendongkol. " Sampai bagaimana hebatkah kecantikannya maka ia sedemikian sombong
" Apakah ia menganggap bahwa pandangan mata orang lain terlalu kotor untuk dapat
melihat kecantikannya " Sang Candra yang sedemikian elok dan cantiknyapun masih
tidak sesombong dia dan sedikitnya sebulan sekali pasti akan memperlihatkan
wajah sepenuhnay kepada seua orang yang ingin mengagumnya ! Apakah wajahnya
lebih elok daripada bulan purnama " "
Demikianlah, setelah para pendeta mulai menjalankan upacara dan telah terdengar
mereka membaca doa dan mantera, Indrayana sama sekali tidak memperhatikan
upacara itu dan pikirannya penuh dengan lamunan tentang puteri yang membuatnya
menjadi gemas itu. Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba terdengar suara ribu-ribut di depan candi dan Sang Prabu sendiri
sampai turun dari tempat duduknya dan turun pula dari anak tangga panggung itu
untuk menyaksikan peristiwa yang terjadi dari dekat.
Indrayana juga tersadar dari lamunannya dan ia melihat seorang petapa yang
berjenggot panjang, berpakaian putih dan bermata tajam sedang melangkah lebar ke
arah candi. Sungguhpun tubuhnya hanya kurus kering, namun pada pundak kirinya ia
memanggul ebuah patung batu yang amat indah ukirannya. Di kanan kiri pintu masuk
di kaki candi itu terdapat patung Dewi kembar yang menjadi pelayan dan pengikut
Dewi Tara, yaitu syakti atau isteri dari Sang Lokesywara . Dewi kembar ini duduk
di atas bunga teratai yang terdukung oleh Naga dan Nagi, sepasang ular sakti
itu. Petapa yang memanggul patung itu lalu mengunakan tangan kanan untuk menggeser
patung Dewi kembar kekanan kiri sehingga di atas pintu itu terdapat tempat yang
kosong, lalau ia meletakkan patung yang dipanggulnya tadi di atas pintu itu. !
Terdengar seruan-seruan kagum ketika semua mata memandang kearah patung itu.
Inilah patung Dewi Tara yang indah bukan main, tiada bandinganya ! Di dalam
Candi Lokesywara itu memang ada juga sebuah arca dari Dewi Tara, akan tetapi
apabila dibanding dengan arca ini, maka arca yang berada di sebelah dalam itu
tampak buruk, bagaikan tembaga bersanding batu pualam ! ukiran-ukirannya
sedemikian halus, indah dan hidup sehingga seakan-akan semua orang melihat Dewi
Tara sendiri melayang turun dari Sorgaloka dan berdiri di atas pintu candi itu !
Tak mungkin ada seorangpun ahli ukir di seluruh Syailendra yang dapat membuat
patung sehebat itu, pembuatnya tentu adalah seorang Mataram, seorang pemuja
Trimurti, pemuja Betara Brahma, Wisnu, dan Syiwa !
Pada saat semua orang menahan nafas karena selain kagum akan keindahan patung
itu, juga kagum dan heran melihat keberanian petapa Koleksi Kang Zusi
asing itu sehingga keadaan menjadi sunyi, terdengar bentakan keras dan Maha Wiku
Dharmamulya melompat ke arah pertapa yang masih berdiri tersenyum-senyum
memandangi patungnya dengan puas.
" Keparat jahanam ! Engkau berani menghina kami " " Sambil berkata demikian,
Maha Wiku Dharmamulya mencabut keris pusakanya dan menyerang lambung pertapa
itu. Akan tetapi, tiba-tiba ada tangan yang menyekap pergelangan tangan kanannya
dan tangan ini ternyata kuat sekali. Ketika Dharmamulya menegok, dengan marah ia
melihat bahwa penahannya itu bukan lain adalah Sang Wiku Dutaprayoga.
" Wiku Dutaprayoga, mengapa engkau menahan niatku " " Maha Wiku Dharmamulya
membentak marah. " Maha Wiku yang mulia, ingatlah bahwa keris ini adalah buatanku.
Perasaan hatiku tidak dapat membiarkan orang lain mempergunakannya untuk
membunuh orang tak berdosa. "
" Seorang bedebah yang sengaja datang mangacau dan menghina candi suci kita,
tidak berdosa " "
" Setidaknya dengarlah dulu keterangannya, dan sang Prabu sendirilah yang berhak
memutuskan apakah dia berdosa atau tidak ! " jawab Wiku Dutaprayoga.
Sementara itu, petapa yang membawa patung Dewi Tara itu tersenyum sambil
memandang kepada Dutaprayoga, " Ba, sungguhpun engkau berganti jubah, ternyata
kebijaksanaanmu ternyata masih tak berubah.
Koleksi Kang Zusi Dutaprayoga. ! " Kemudian pertapa itu lalu melangkah maju dan memberi hormat
kepada Sang Prabu samaratungga kemudian berkata,
" Maafkan aku, Sang Prabu, apabila tindakanku ini dianggap lancang dan mengacau
keadaan. Sesungguhnay tiada maksud buruk dalam niatku, tak lain hanya hendak
mempersembahkan sebuah patung Dewi Tara ini kepadamu. Candi Lokesyawara ini
dibangun di tempat yang baik dan mempunyai tugas yang baik pula, maka sayang
kalau tidak ada arcanya yang baik. Biarlah Sang Betari Tara akan memberi berkah
kepada candi ini ! "
Orang-orang yang berada disitu, terutama sekali Maha Wik Dharmamulya, menjadi
marah sekali mendengar ucapan dan melihat sikap yang sama sekali tidak
menghormati Maha Raja Samaratungga itu. Pertapa itu seakan-akan sedang bicara
kepada seorang kawannya sendiri !
Akan tetapi, Sang Prabu Samaratungga adalah seorang yang berpemandangan luas dan
memiliki kebijaksanaaan yang tinggi. Sungguhpun ia beragama Buddha, namaun ia
tak pernah membenci pemeluk agama lain.
Permusuhannya dengan Kerajaan mataram sesungguhnya bukan timbul dari hatinya
yang memendam atau membenci, akan tetapi hanya ditimbulkan oleh keagungan
seorang raja yang harus membela agama dan kepentingan rakyat. Kini menghadapi
pertapa itu, Sang Prabu tersenyum dan berkata dengan senang dan halus.
" Paman begawan, terima kasih atas sumbanganmu yang amat indah untuk candi ini.
Akan tetapi, harap engkau suka menaruhkan patung itu di atas pintu belakang
candi, jangan di pintu depan. "
Ucapan sang Prabu Samaratungga ini sebenarnya mengandung dua maksud.
Pertama-tama ia menerima pemberian patung itu agar jangan mendatangkan sakit
hati kepada si pemberi, dan kedua ia minta agar patung itu ditaruh di pintu
belakang sehingga dengan demikian ia takkan menyinggung perasaan para wikunya
sendiri. Sang Prabu mengharapkan Koleksi Kang Zusi
bahwa penerimaan yang bersarat ini akan memuaskan hati kedua fihak yang sedang
panas itu. Akan tetapi, pertapa itu menjadi merah wajahnya mendengar ucapan ini dan ia
berkata sambil menahan kemarahannya,
" Sang Prabu, keaslian tembaga takkan lenyap biar oleh sepuhan emas sekalipun !
Pada luarnya kau menerima persembahanku dan bersikap manis, akan tetapi itu
hanya sepuhan belaka. Di sebelah dalam kau menghinaku !
Bagaimana patung Dewi Tara yang mulia ditaruh di pintu belakang " itu penghinaan
namanya. " " Adi Panembahan Bayumurti ! " tiba-tiba Wiku Dutaprayoga berseru, "
mengapa engkau tak melihat kebijaksanaan Sang Prabu " Mengapa engkau tak
mengerti kebijaksanaa besar ini " Di manakah kewasapadaanmu " "
" Ha. Dutaprayoga, sekarang nampaklah juga bahwa kaupun membela agama barumu
bagus ! " Akan tetapi Sang Prabu Samaratungga memberi isyarat kepada Wiku Dutaprayoga yang
hendak membantah lagi. Sang Prabu mengangkat tangan kanannya dan berkata pertapa
yang bernama Panembahan Bayumurti ini dengan suara masih halus dan tenang,
" Paman begawan, jangan salah terima ! Menaruhkan seorang wanita di pintu
belakangsekali-kali bukanlah penghinaan. Bukankah memang menjadi bagian para
wanita berada di pintu belakang " Adakah dapur yang ebrada di depan rumah " "
Koleksi Kang Zusi Panembahan Banyumurti tersenyum, " Sang Prabu, kau cerdik ! Memang benar tempat
wabita di bagian belakang rumah, akan tetapi Dewi tara bukanlah wanita
sembarangan wanita ! "
" Betapapun juga, dia adalah seorang syakti atau isteri dan tetap saja tempatnya
adalah di sebelah dalam dan belakang "
Tiba-tiba Panembahan Bayumurti tertawa bergelak, ia melompat ke arah kaki candi
dan berdiri di depan patungya yang indah tadi. Ia lalu mengeluarkan kesaktiannya
dan kedua tangannya setelah menyembah lalu meraba muka patungya yang cantik dan
indahnya itu. " Sang Prabu, lihatlah baik-baik. Apakah patung ini masih tetap harus ditaruh di
belakang " " Sang Prabu Samaratungga memandang dan berdebar jantungnya. Juga seua orang yang
memandang kepada patung itu mengeluarkan serua tertahan. Patung itu kini telah
berubah raut mukanya, dan persis sekali menyerupai wajah Sang Kusumaning Ayu
Pramodawardani ! Memandang arca itu seakan-akan melihat Sang Puteri Mahkota
sendiri ! Akan tetapi maha Raja Samaratungga tetap berlaku tenang dan sekali lagi
menegaskan, " Diapun harus berada di belakang, itulah kewajiban seorang wanita
sejati ! " Setelah berkata demikian, Sang Prabu memeramkan matanay sejenak ia
telah mengeluarkan putusan bagi patung itu, bagi puterinya sendiri, dan ia tetap
pada pendiriannya. Memang puterinya adalah puteri mahkota yang akan mengantikan
kedudukannya, akan tetapi tetapi saja puterinya harus menikah dan setelah
menjadi seorang isteri, adalah kewajiban yang terutama untuk melayani suami,
untuk membereskan keadaan di dalam dan di belakang rumah. !
Koleksi Kang Zusi Panembahan Bayumurti tertawa bergelak, " Bagus, Sang Prabu, bagus !
Cipta pendeta Sabda ratu, dua hal yang tak dapat diingkari lagi kenyataannya !
Nah, selamat tinggal ! "
Maha Wiku Dharmamulya semenjak tadi telah menahan amarahnya, kini melihat
Panembahan Bayumurti hendak pergi, ia cepat menghadang dan membentak,
" Dukun lepus tukang tenung ! Setelah kau melakukan kegaiban sulap dan menipu
kami, jangan harap dapat pergi begitu saja ! "
Sambil berkata demikian, Maha Wiku Dharmamulya lalu mengulur tongkatnya
dipukulkan kearah kepala panembahan itu. Bayumurti maklum akan kehebatan dan
keampuhan tongkat tongkat ini. Biarpun ia memiliki kesaktian yang tinggi, namun
berbahayalah apabila tongkat itu sampai mengenai tubuhnya. Ia cepat melompat
jauh ke belakang dan sambil tersenyum-senyum ia melarikan diri.
Kejar....! Tangkap....!! " seru Maha Wiku Dharmamulya dengan geramnya.
Para pengawal dan para wiku segera bangun dan mengejar panembahan Bayumurti.
Akan tetapi gerapan panembahan Bayumurti luar biasa cepatnya bagaikan tiupan
Sang Bayu, aka sebentar saja para pengejarnay telah tertinggal jauh sekali.
Kalau semua orang memperhatikan dan menunjukkan pandangan matanya kepada
panembahan yang aneh itu, adalah Indrayana seorang hanya mengerling sebentar
saja, karena ia tidak pernah melepaskan pandang matanya dri tirai sutera hijau
pupus yang menyembunyikan para puteri, terutama Puteri Mahkota.
Koleksi Kang Zusi Pada saat keributan terjadi, tiba-tiba tirai itu tersikap sedikit dan
tersembullah sebuah lengan tangan. Terbelalak mata Indrayana melihat lengan itu.
Alangkah indahnya lengan itu, sempurna lekuk-lekuknya, kulitnya halus putih
kekuningan bagaikan gading gajah yang tiada cacat.
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dari lengan yang indah itu seakan-akan keluar cahaya yang indah dan keharuman
semerbak. Tak salah lagi, pikirnya, inilah tangan lengannya ! Lengan Kusuma Jelita
Pramodawardani! Siapa lagi orangnya yang mempunyai lengan seindah itu "
Puteri biasa saja, bahkan bidadari sekalipun, tak mungkin mempunyai lengan
seindah itu. Ia memandang ke kanan kiri dan melihat semua orang tengah
memperhatikan kepada pertapa itu. Cepat Indrayana melompat bagaikan seekor
burung srikatan memasuki pintu besar panggung itu dan sebelum para puteri yang
berada di dalam sempat menghalanginya, ia memegang tirai sutera hijau pupus itu
dan membukanya! Wajah cantik jelita, elok ayu, dan agung yang menyambutnya dari balik tirai,
wajah orang pemilik lengan itu, benar-benar membuat Indrayana bagaikan terkena
hikmah. Ia berdiri setengah berlutut, tangan kanan memegang ujung tirai, tangan
kiri menekan dada karena dadabya serasa akan pecah tak kuat menahan degup
jantungnya yang mengelora. Maqta itu bagaikan bintang pagi, indah cemerlang
bersinar lembut penuh kemesraan.
Dan bibir itu ! Belahan kulit tipis halusmembayangkan daging dan darah yang
merah segar membasah dengan bentuk yang indah sempurna.
Indrayana terpesona dan hanya memandang dengan mata terbelalak dan mulut
menganga. Pramodawardani juga terkejut dan tercengang melihat tirai itu dibukakan orang
sedemikian tiba-tiba dan ia memandang kepada pemuda yang sedang berlutut di
depannya itu tanpa berkata-kata. Hatinay kagum melihat ketampanan dan keberanian
pemuda ini, akan tetapi pikirannya marah menyaksikan kukurangajarannya ini.
Koleksi Kang Zusi " Dia adalah Raden Bagus Indrayana, puetera dari Sang Wiku Dutaprayoga. " kata
seoarang dara pelayan sambil memandang kagum.
Memang Indrayana amat terkenal di antara dara pelayan dan hampir semua perawan
di kotaraja, kecuali puteri-puteri kedaton dan bangsawan tinggi, telah tahu pula
siapa adanya Sang Bagus Indrayana yang namanya saja apabila disebut orang dapat
mempercepat jalannya darah dalam tubuh mereka.
Pramodawardani pernah mendengar nama pemuda ini desebut-sebut oleh para
pelayannya yang memuji-muji pemuda itu. Kini mendengar nama ini ia sekali lagi
memandang kepada Indrayana dan berkata sambil mencibirnya yang merah, membuat
wajanay tampak lebih manis lagi.
Hm, begini sajakah macamnya Indrayana" Pemuda kurang ajar, untuk kelancanganini
kau akan dihukum penggal kepala ! "
Dalam keadaan masih terpesona, Indrayana tersenyum dan menjawab, "
Jangankan hanay kuhum penggal kepala, biarpun akan hancur lebur seluruh tubuh,
hamba rela dan puas. Nikmat dan bahagia yang tercurah kepada hamba dalam
pertemuan ini, jauh lebih besar daripada segala macam hukuman ! "
Pada saat itu, karena tirai dibuka, barulah Pramodawarnadi dapat memandang
patung Dewi Tara yang berada di atas pintu epan candi itu, sedemikian pula para
pelayannya dan juga puteri lain.
Terdengar jerit tertahan ketika puteri itu memandang wajah patung itu dan juga
para pelayan berseru kaget dan heran.
Koleksi Kang Zusi " Itu adalah patung Kusumaning Ayu Pramodawardani sendri ! " bisik seorang
pelayan dengan mata terbelalak. Memang, persamaan muka patung itu dengan
Pramodawardani amat mengherankan.
Baru sekarang pula Indrayana memalingkan muka dan memandang ke arah patung itu
dan diapun tertegun. Pada saat itu, para perwira dan juga Maha Wiku Dharmamulya melihat bahwa
Indrayana berada di depan tirai penutup ruang tempat para puteri, maka bukan
main marah para wiku. Juga Sang Prabu Samaratungga sendiri melihat hal ini
menjadi marah. " Pemuda dari manakah berani berlaku kurang patut dan melanggar kesusilaan " "
serunya marah dan beberapa orang prajurit telah melompat ke atas untuk menangkap
pemuda itu. Pramodawardani sendiri cepat menarik tirai yang masih terpegang oleh
Indrayana sehingga tirai itu tertutup kembali.
Indrayana maklum akan pelanggaran yang dilakukannya, maka sambil tersenyum-
senyum bahagia dan kedua matanya bersinar-sinar penuh seri gembira, ia melompat
keluar panggung. Dengan hormat dan khidmat ia menyembah di hadapan Sang Prabu Samaratungga,
kemudian ia melompat lagi keluar candi. Para wiku dan tamtama mengejar hendak
menangkapnya, sungguhpun Sang Prabu sendiri belum memberi perintah untuk
menangkap pemuda itu. Indrayana mengulurkan tangan, mengambil patung Dewi Tara
yang diletkkan oleh Panembahan Bayumurti tadi di atas pinyu, lalu memondongnya
dan melompat pergi dari tempat itu.
Koleksi Kang Zusi " Indrayana ! " terdengar suara ayahnya berseru menegur. Indrayana berpaling dan
tersenyum kepada ayahnya.
" Ayah, aku hendak menyusul Eyang Begawan ! "dan pemuda itu terus melanjutkan
larinya yang amat cepat sehingga percuma saja para perwira dan tamtama
mengejarnya. Maka Wiku Dharmamulya dan para wiku lainnya lalu menyerbu dan menangkap Wiku
Dutaprayoga, lalu diseretnya ayah Indrayana itu di depan Maha Raja Samaratungga.
" Gusti Prabu, Wiku Dutaprayoga harus di beri hukuman yang layak ! "
Seru Wiku dengan amat marahnya, " Sudah terang dia mempunyai hubungan dengan
pertapa yang datang mengacau tadi, dan mungkin dia yang merencanakanbersama
untuk menghina Candi Sang Lokesywara yang suci. Kedua kalinya, dia sengaja
menghalangi hamba ketika hamba hendak memberi hukuman kepada pertapa keparat
tadi, tanda bahwa memang dia benar-benar mempunyai hubungan, karena dahulu ia
adalah kawan sekepercayaan dan seilmu. Ketiga, putera tunggalnya telah
menjalankan pula melanggar adat berani menghina dan membuka tirai tempat
peristirahatan para puteri, dan bahkan berani pula mencuri dan membawa lari
patung ! " kali ini, Maha Raja Samaratungga tak dapat menahan sabar lebih lama lagi.
Kekurangajaran Indrayana yang ebrani menggangu puterinya sudah amat keterlaluan,
akan tetapi keberaniannya mengambil patung itu, melewati batas.
" Masukkan dia dalam kurungan dan carilah pemuda itu ! " katanya singkat,
kemudian dengan wajah muram raja ini lalu memberi tanda untuk kembali ke dalam
istana. Koleksi Kang Zusi Indrayana yang membawa patung berlari cepat bagaikan seekor rusa muda,
meninggalkan Ibu Kota Syailendra. Pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka
bahwa perbuatannya yang amat berani itu menyebabkan ayahnay ditangkap dan
dikurung. Indrayana berlari menuju ke utara, sepanjang Kalai Praga, lalu
menyusur pantai Kali Elo.
Hati pemuda ini girang dan bahagia sekali. Di depan matanya terbayang wajah dan
bentuk tubuh Sang Dyah Ayu Pramodawardani, puteri mahkota yang cantik jelita
melebihi segala Bidadari Khayangan itu. Entah berapa kali sudah Indrayana
memandangi wajah patung yang dipondongnya berhenti berlari, membelai-belai
patung itu, dipeluk dan diciuminya dengan penuh kasih sayang sampai membisikkan
dengan nama mesra. " Pramodawardani...... adinda sayang...... ! Alangkah cantik manis wajahmu, algkah halus
kulitmu....... Sinar matamu menembus jantungku, senyum bibirmu meruntuhkan imanku !
Aduh, adinda...... Wardani....... Kekasihku....... !
" Ia lalu memeluk leher dan pinggang patung itu dan mendekap dada patung yang
montok itu erat-erat pada dadanya sendiri, lupa sama sekali akan keadaan di
sekelilingnya dan merasa seakan-akan patung itu adalah Sang Puteri sendiri.
Akan tetapi, kalau kemudian ia merasa betapa dada patung itu tidak membalas
getaran gelora dadanya, betapa tangan patung itu tidak membalas belaian dan
bibir serta hidung patung itu tidak membalas ciumannya, sadarlah ia bahwa yang
sedang dibelai, dicumbu dan digandrungi itu tak lain hanyalah sebuah arca batu
yang mati. Setelah demikian, baru pemuda itu duduk di dekat patungnya sambil
melamun dengan pandangan sayu dan wajah muram. Bagaimana ia dapat tergila-gila
kepada seorang Puteri Mahkota, calon pengganti Sang Prabu Koleksi Kang Zusi
Samaratungga, calon ratu. Sedangkan ia hanya putera seorang pembuat keris,
putera seorang wiku sederhana. Tak terasa lagi Indrayana menutup mukanya dengan
kedua tangan dan betapapun ia telah menguatkan hatinya, tetap saja dari celah-
celah jari tangannya nampak air mata menitik keluar.
Betapapun juga, arca batu itu merupakan hiburan baginya, merupakan penawar
rindu. Kepada patung ini ia bicara, membuka segala rahasia hatinya, berlaku
seakan-akan patung itu adalah Pramodawardani sendiri.
Seakan-akan ia sedang melakukan perjalanan yang amat menyenaangkan dengan puteri
kekasihnya itu. Pada suatu hari, di dalam perjalanannya menuju ke Gunung Muria menyusul eyangnya
itu, Indrayana tiba di lereng Bukit Ungaran. Ia tidak mau menunda perjalnannya,
masuk keluar hutan dan melompati jurang-jurang yang menghadang di depannya.
Ketika ia masuk pula ke dalam sebuah hutan yang amat liar dan penuh dengan
pohon-pohon jambe berlompatan ke luar belasan orang tinggi besar. Melihat
pakaian mereka yang serba hitam itu, teringatlah Indrayana akan cerita orang
bahwa di dalam hutan-hutan yang liar terdapat segerombolan perampok yang amat
besar pengaruhnya dan amat banyak pengikutnya, yaitu yang menamakan dirinya
Gerombolan Serigala Hitam ( Jambuka Ireng ). Menurut khabar yang didengarnya,
gerombolan ini dikepalai oleh seorang Pendeta hindu yang meyembah Betari Durga
dan yang berkawan dengan sekalian iblis dan setan yang menjadi hambanya sahaya
betari Durga, Ratu sekalian iblis itu. Banyak sekali berita yang aneh-aneh dan
menakutkan diceritakan orang tentang pendeta Hindu itu, sehingga Indrayana yang
menghadapi serombongan orang-orang tinggi besar berpakaian hitam itu berlaku
amat hati-hati. " Saudara-saudara ini siapa dan ada keperluan apakah maka menghadang
perjalananku " " tanya pemuda itu dengan suara tenang.
Seorang di antara tiga belas orang berpakaian hitam itu, orang yang tertua dan
berkumis tebal dan melintang bagaikan kumis Sang Gatutkaca, Koleksi Kang Zusi
melangkah maju dan tertawa bergelak,
" Bocah bagus dan halus seperti arjuna ! Engkau hendak mengetahui siapa kami "
Dengarlah baik-baik, engkau sedang behadapan dengan sepasukan perajurit jambuka
Ireng ( Serigala Hitam ) !
Namaku Reksasura dan aku adalah pemimpin dari pasukan kecil ini. Eh, jejaka yang
bagus dan elok, engkau siapakah dan hendak pergi ke manakah
" " " Aku adalah seorang kelana yang hendak menikmati keindahan alam mayapada di
mana saja kedua kakiku membawa aku tiba. Namaku dan tujuanku tidak ada artinya
dan tidak ada hubungannya dengan kalian semua, " jawab Indrayana.
" Ha, ha, ha ! Tinggi hati dan angkuh, tanda darah bangsawan ! ocah bagus, nama
dan tujuanmu memang tidak perlu bagi kami, akan tetapi memang tidak demikian
dengan patung yang enkau pondong itu ! Patung itu indah sekali dan cantik
jelita, kami amat perlu dengan patung-patung macam itu.
Engkau harus meninggalkan patung itu kepada kami, baru engkau boleh melanjutkan
perjalananmu melalui hutan ini ! "
Indrayana merasa marah sekali mendengar patungnya diminta. Orang boleh minat apa
saja dari padanya, segala harta benda yang ia miliki dapat ia berikan kepada
orang dengan rela dan senang hati, akan tetapi patung itu " Seakan-akan orang
minta kekasihnya ! Aku pernah mendengar bahwa Srigala Hitam hanya memuja seorang Dewi, yaitu Betari
Durga. Patung ini bukan patung Sang Betari Durga, untuk apa Koleksi Kang Zusi
kalian minta " "
Reksasura tertawa terbahak-bahak dan berkata, " memang, Betari Durga adalah
sembahan kami, pemberi kesaktian dan kekuatan, pembasmi musuh-musuh kami. Akan
tetapi, Sang Betari sebagai Ratu tertinggi dan terbesar, mempunyai banyak
pelayan dan pengiring yang terdiri dari dara-dara jelita.
Patung ini cukup cantik jelita dan menarik hati, pantas menjadi pelayan barudari
Sang Betari. Sayangnya tubuhnya tertutup pakaian, akan tetapi mudah saja, kami
akan dapat mengilangkan pakaian yang menutupi tubuhnya yang indah itu ! "
Kembali Reksasura tertawa bergelak.
" Engkau menghina agama para Syailendra ! " Indrayana ! " Indrayana membentak, "
berani benar engkau mengucapkan kata-kata kotor di hadapan arca Sang Dewi Tara,
syakti dari Sang Lokesywara ! "
Kembali Reksasura tertawa bergelak, kini kawan-kawanya juga ikut menertawakan
Indrayana. " Anak muda, jangan kau mencoba untuk menipu atau menakut-nakuti
kami. Di tempat kami banyak terdapat arca Dewi Tara yang indah-indah, dan kami
sudah kenal baik kepadanya. Seperti juga lain dewi-dewi dan bidadaro-bidadari
serta dara-dara jelita, kesemuanya tidak ada kecualinya, menjadi abdi pelayan
dari Sang Maha Batari Durga !
Dan patung yang kau pondong itu sungguhpun bentuk tubuhnya semontok bentuk tubuh
Dewi Tara, akan tetapi wajahnya bukan wajah Dewi itu. Ha ha jangan kau hendak
mencoba menipu kami, bocah bagus ! "
Indrayana teringat akan cerita orang bahwa kaum Serigala Hitam ini memang sudah
terkenal sebagai pengumpul patung-patung wanita yang indah-indah dan cantik.
Sudah sering kali merampoki candi-candi hanya untuk membawa lari patung-patung
bidadari dan wanita cantik. Maka bukan hal yang mengherankan apabila eksasura
itu faham betul akan bentuk dan wajah patung Dewi Tara.
Koleksi Kang Zusi " Memang patung ini telah dirubah. " Indrayana mengaku terus terang, "
akan tetapi perubahan ini bahkan menjadi pantangan besar bagi kalian untuk
menjamah dan menghina patung ini. Ketahuilah, hal orang-orang sesat, bahwa
patung ini adalah arca orang-orang sesat, bahwa patung itu adalah arca
Kusumaning Ayu Pramodawardani. Sang puteri mahkota dari kerajaan Syailendra !
Oleh karena itu, janganlah mengangguku dan biarkan aku lewat. Kalau kalian
menghina patung ini berarti kalian berhianat kepada Sang Prabu dan puterinya ! "
Reksasura dan kawan-kawan saling pandang dan timbul sinar gembira pada mata
mereka. " Bagus ! Kebetulan sekali, anak muda, telah lama kmi mendengar
kecantikan Puteri Pramodawardani. Sayang sekali tidak pernah ada patungnya yang
dapat kami bawa untuk mengias candi kami. Sekarang kau membawa patung yang kami
inginkan itu dan benar saja.
Pramodawardani ternyata cantik jelita, tak kalah oleh dewi-dewi Khayangan
lainnya. Serahkanlah patung itu kepada kami ! "
Kau berani menghina junjunganmu " " bentak Indrayana.
" Tidak ada lain junjungan bagi kami kecuali Sang Maha Betari Durga !
jawab Reksasura, " Keparat ! " Indrayana tak dapat menahan marahnya lagi. " Kalian berani
menghadang perjalanan Raden Indrayana sama dengan sekawanan tikus berani
menggangu seekor harimau ! "
" Babo-babo ! Sumbarmu seperti seorang jagoan, anak muda ! Benar-benar tidak
kauserahkan patung itu kepadaku " "
Koleksi Kang Zusi " Kalau belum pecah dada Indrayana tak mungkin kau akan menjamah patung yang
suci ini " ! jawab pemuda itu dengan gagah.
" Bocah sombong ! Kalu begitu, akulah yang akan membikin pecah dadamu !
" Orang ini bermuka hitam, berkepala gundul dan sepasang matanya bundar bagaikan
jengkol. Setelah berseru keras, ia lalu menubruk maju dan menggunakan tangan
kanannya menembak ( memukul dengan telapak tangan
) dada Indrayana yang telanjang. Tangan ini lebarnya hampir menyamai lebar dad
Indrayana, kulit telapak tangan tebal dan keras, jari-jarinya sebesar pisang
emas dan ketika tangan itu memukul, sambaran anginnya terasa meniup tanda bahwa
tenagan pukulan itu hebat sekali. Dengan pukulannya ini, si gundul bermuka hitam
ini dapat merobohkan sebatang pohon yang sepelukan orang besarnya.
Kalau yang ditebaknya itu dad orang lain, agaknya di muka tebal ini akan dapat
membuktikan ancamannya tadi, akan tetapi kini ia menghadapi Raden Indrayana
pemuda gemblengan yang semenjak kecil mempelajari ilmu kepandaian tinggi dan aji
kesaktian dari ayahnya, seorang pertapa yang sakti. Selain mempelajari ilmu
kedigdayaan, juga Indrayana adalah seorang ahli tapa yang kuat dan tekun
sehingga ia memperoleh kekuatan batin dan tenaga dalam yang tak kelihatan, akan
tetapi yang jauh lebih besar kekuatannay daripada tenaga luar atau besar yang
timbul dari otot-otot yang terlatih.
Ketika telapak tangan yang tebal dan lebar itu menghantam dada Indrayana
terdegar suara, " Blek !! " dan menurut pantasnya, dada Indrayana tentu akan
remuk dan setidaknya tubuhnay akan terpental jauh karena tenaga dorongan yang
luar biasa itu. Akan tetapi, sungguh aneh, karena bukan saja tubuh Indrayana
tidak bergeming seakan-akan tadi yang menyambar dadanya hanyalah seekor lalat
belaka, bahkan lawannya segera menjerit kesakitan danmemegangi tangan kanan
dengan tangan kirinya, Indrayana tentu saja tidak ma membiarkan dirinya dipikul
tanpa membalas. Cepat bagai kilat menyambar, kakainya bergerak maju dan membuat gerakan dua
kali, sekali dengan tangan kanan dari sekali dengan kaki kiri.
Koleksi Kang Zusi Tangan kanannya itu dengan jari-jari terbuka menyodok lambung si muka hitam,
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sedang kakinya menyepak ke arah tulang kering lawan.
Aduh...... aduh...... tobat, tobat...... ! " Si gundul bermuka hitam itu mengeluh, sebentar
memegang tangan kanan, sebentar menekan perut yang tiba-tiba menjadi mulas dan
kedua kakinya berjingkrak karena tulang kering kakinya yang dimakan oleh
tendangan Indrayana terasa sakit sekali menusuk jantung.
Dua orang anggota gerombolan itu menjadi marah dan cepat menerjang dari kanan
kiri sambil memukul kepala dan tubuh Indrayana. Pemuda yang hanya melawan dengan
satu tangan itu, karena tangan kirinya memondong patungnya, cepat mengelak dan
mendoyongkan tubuh ke belakang, akan tetapi cepat pula menyusul ke kanan dan
mengulur tangan kanan menjambak rambut penyerang dari kanan, kemudian pada saat
penyerang dari kiri menyerbunya, ia menyentak keras dan menarik rambut lawan
sebelah kiri yang mau menyerang.
" Bruk...... ! Aduh..... aduh..... ! " Dua tubuh yang tinggi besar itu bertubrukan dan
dengan cepat sekali kepala mereka saling membentur seperti dua kepala mereka
saling membentur seperti dua buah kepala besar dibenturkan. Seketika itu juga,
benjol besar membengkak keluar dari bagian kepala yang diadu tadi membuat mata
mereka gelap melihat bintang-bintang menari, kepala menjadi pening dan untuk
kiri seperti orang mabuk berpitaran bertubrukan sekali lagi tanpa disengaja dan
keduanya roboh terlentang tak dapat bangun lagi.
Bukan main marahnya hati Reksasura melihat kekalahan tiga anak buah pasukan
Serigala Hitam yang rata-rata memiliki tenaga dan kepandian bertempur yang
lumayan, karena semuanya mendapat latihan. Bagaimana Koleksi Kang Zusi
mungkin tiga orang kawannya itu roboh dalam segebrakan saja menghadapi anak muda
yang masih pantas disebut anak-anak ini " Reksasura tentu saja memiliki
kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada anak-anak ini "
Reksasura tentu saja memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi daripada anak-
anak buahnya, maka dengan hati penuh geram dan marah, ia lalu mencabut
senjatanya yang mengerikan. Senjatanya ini adalah sebatang klewang yang amat
lebar dan tajam, akan tetapi pada panggung klewang itu bukan rata seperti
klewang biasa, melainkan bergigi tajam seperti gigi gerqji !
" Indrayana, cabutlah senjatamu kalau kau memang benar laki-laki ! "
Ucapan yang sebetulnay keluar karena kesombongan Reksasura ini, telah menolong
nyawanya dari bahaya maut, karena kalau saja ia tidak berkata demikian, tentu
Indrayana akan marah sekali dan akan membinasakannya.
Pemuda ini menganggap betapapun juga Reksasura masih berwatak gagah dan tidak
mau menyerang orang yang bertangan kosong dengan senjata tajam. Ia tersenyum dan
sambil memeluk erat-erat patung yang dianggapnya Pramodawardani sendiri yang
sedang dilindunginya, ia berkata,
" Reksasura, jangankan baru kau sendiri dengan senjatamu itu yang maju
menyerangku. Birpun kau maju berbareng dengan semua anak buahmu dan mengeroyokku
dengan seribu senjata, aku Raden Indrayana takkan mundur setapakpun dan tak usah
mempergunakan senjataku ! Kau majulah ! "
Reksasura tak dapat menahan marahnya lagi. " Kau orang Syailendra memang sombong
! Rasakan ketajaman senjataku ! " Klewangnya menyambar ke arah leher Indrayana
dalam serangan yang amat cepat hebat. Melihat kehebatan serangan ini, Indrayana
mklum bahwa lawannya bukan orang lemah, maka ia berlaku hati-hati sekali.
Dengan lincah ia melompat dan mengelak dari sambaran klewang itu, lalu membalas
dengan pukulan tangan kanannya ke arah siku lawan yang sebelah kanan dan
mengirim serangan selanjutnya bertubi-tubi dan cepat sekali Koleksi Kang Zusi
sehingga klewangnya berkelebatan dan berkilauan.
Melihat gerakan lawannya, diam-diam Indrayana memuji juga sesungguhnya permainan
klewang itu bukanlah ilmu sembarangan akan tetapi mempunyai gaya dan gerakan
yang amat baik dan tangguh. Patung yang dipondongnya menghalangi pergerakannya
untuk melepaskannya ia merasa enggan maka ia lalu mengambil keputusan untuk
mempercepat jalannya pertempuran. Tiba-tiba Indrayana berseru dan tubuhnya
berkelebat cepat sekali, melebihi cepatnya gerakan klewang lawannya.
Tentu saja Reksasura menjadi terkejut dan heran ketika tiba-tiba tubuh lawannya
yang masih muda itu lenyap dan hanya nampak bayangannya saja berlompatan di
sekelilingnya, sukar sekali untuk diserang bagaikan seekor burung srikatan yang
gesit sekali. Tiba-tiba Reksasura merasa siku lengan kanannya sakit sekali dan tangan itu
seakan-akan menjadi lumpuh, maka terpaksa ia melepaskan klewangnya yang telah
berpindah ke tangan Indrayana ! Reksasura hendak menyerang dengan kepalan tangannya, akan tetapi tiba-tiba tangannya terasa bukan main sakitnya sehingga
terpaksa ia membatalkan niatnya dan hanya memegangi siku kanannya dengan muka
meringis. Anak buahnya yang melihat betapa senjata pemimpin mereka dengan cepat dan aneh
telah terampas oleh pemuda itu, serentak maju mengeroyok dengan senjata mereka.
Akan tetapi, sekali saja Indrayana memutar klewang rampasannya, terdengar suara
nyaring dan empat batang golok lawan dan berterbangan dan patah menjadi dua !
Para pengeroyok alin melihat kehebantan ini menjadi gentar dan mereka menjadi
mundur tanpa dikomando lagi. Indrayana tersenyum dan melemparkan klewang itu ke
atas, lalu menggerakkan tangannya dan ketika klewang itu melayang turun, ia
mengetok tiba-tiba pada tengah-tengah klewang itu dan " krek ! "
patahlah klewang mengerikan itu tepat pada tengahnya !
" Senjata buruk ! hanay pantas untuk menakut-nakuti anak kecil saja ! "
Koleksi Kang Zusi kata Indarayana. " Reksasura, biarlah pengalamn ini kaujadikan pelajaran dan peringatan agar lain
kali jangan engkau sekali-kali berani menyebut nama Kusumaning Ayu Puteri
Mahkota Pramodawardani "
Setelah berkata demikian, Indrayana membawa patungnya dan melanjutkan
perjalanannya. " He, Indrayana ! Engkau telah menghina kami pasukan Srigala Hitam, kauingat-
ingatlah bahwa akan tiba saatnya kami membalas dendam ! "
Jilid 2 Akan tetapi Indrayana taidak mau mendengar ancaman ini dan melanjutkan
perjalanannya. Ia mengusap pipi patung itu dan berkata perlahan, " Manisku
Pramodawardani, jangankan baru orang-orang kasar itu saja hendak merampasmu,
biar Dewa sekalipun takkan dapat mengambil engkau dariku semudah itu ! "
Dalam pandangannya, bibir patung itu seakan-akan tersenyum manis, maka dengan
mesra Indrayana lalu menciumnya. Baru sadarlah ia ketika hidung dan bibirnya
bertemu dengan batu yang dingin dan kasar ! Ia menarik napas panjang lalu
berlari cepat menuju ke Gunung Muria.
Ia telah memasuki wilayah Mataram ketika seorang petapa tua menghadang di tengah
perjalanannya. Tadinya Indrayana tidak memperhatikan, akan tetapi ketika kakek
yang berdiri di tengah jalan itu mengangkat tangan kanannya, ia memandang dan
alangkah herannya bahwa kakek itu bukan lain adalah Panembahan Bayumurti pertapa
yang mengganggu pembukaan Candi Lokesywara dengan persembahannya patung Koleksi
Kang Zusi Dewi Tara yang kini dipondong oleh Indrayana, lalu berkata tersenyum,
" Ha, hendak kau bawa kemanakah patung Dewi Tara itu " "
Merahlah muka Indrayana Kalau pertapa yang sakti ini tahu akan semua
pengalamannya, tentu ia tahu pula bahwa ia telah gandrung-gandrung dan tergila-
gila kepada patung yang dianggapnya Sang Ayu Pramodawardani itu.
" Ini bukan patung Dewi Tara...... patung...... patung...... " dengan ucapan gagap ini
Indrayana lalu mengangkat patung itu dan memandangnya. Tiba-tiba matanya
terbelalak dan tak terasa patung itu terhempas dari tangannya, jatuh ke atas
tanah dan patah lehernya ! ternyata muka patung itu tidak menyerupai wajah
Pramodadawardani lagi, akan tetapi meyerupai wajah Dewi Tara sebagaimana yang
sering dibuatkan patungnya oleh para ahli seni pahat.
" Ha, ha ! " Pane,bahan Bayumurti tertawa. " Pandangan mata memang hanya tipuan
dan palsu belaka, Indrayana. Engkau hendak pergi ke tempat pertapaan enyangmu,
Begawan Ekalaya, bukan " Cepat, mari engkau ikut aku ke pondokku. Lekas,
betulkan di sana. Tidak ada waktu lagi anak muda, cepat ! "
Ajakan ini sedemikian berpengaruh sehingga Indraana tak kuat menahan kehendak
sendiri. Ia membungkuk, mengambil patung yang telah patah lehernya itu, lalu
berjalan mengiringkan pendeta yang sakti itu menuju ke sebuah hutan kecil.
Kedatangan mereka disambut oleh sepasang anak muda elok sekali. Yang seorang
adalah seorang pemuda sebaya dengan Indrayana, cakap, tampan, Koleksi Kang Zusi
dan gagah sekali. Sepasang matanya amat berpengaruh dan tajam dan dari bentuk
mukanya dapat diduga bahwa pemuda ini bukanlah orang sembarangan., melainkan
keturunan bagsawan tinggi. Pakaiannya berbeda dengan pakaian pemuda biasa,
bahkan pada tangannya tampak gelang ukiran dari pada emas. Begitu bertemu
pandang, Indrayana menjadi kagum dan juga timbul rasa hormat dan sukanya kepada
pemuda itu, dan diam-diam ada juga sedikit perasaan iri, karena dalam hal
kecakapan dan kegagahan, pemuda ini benar-benar merupakan saingan berat !
Ketika ia melirik kepada orang kedua, kembali ia tertegun. Orang kedua adalah
seorang adra yang usianya paling banyak enam belas tahun. Berneda dengan pemuda
itu, dara ini pakaiannya sederhana sekali, akan tetapi justruh kesederhanaan
pakaiannya ini makin menonjolkan kecantikannya yang asli dan murni. Seorang
juita yang jarang ada duanya, terutama mulut yang selalu tersenyum manis dan
sepasang mata yg bening kocak itu.
Bagaimana di dalam hutan kecil, di pondok reyot dari panembahan ini terdapat dua
orang manusia yang cakap seperti Dewa Komajaya dan cantik seperti Dewi Komaratih
ini " Panembahan Bayumurti memperkenalkan kedua orang muda itu kepada Indrayana dengan
amat terburu-buru dan sederhana. " Ini adalah muridku bernama Raden Pancapana,
dan ini adalah anak tunggalku bernama Candra Dewi. Duduklah, Indrayana,
duduklah. Dan kalian juga, Raden dan Dewi.
Kalian bertiga dengarlah pesanku terakhir. "
Sungguhpun Indrayana dapat melihat kekejutanyang tiba-tiba menyerang dara itu
dan juga Raden Pancapana, namun keduanya dapat menenangkan perasaan dan duduk
dengan tenang. Hal ini amat mengagumkan hatinya, karena ternyata bahwa kedua
orang muda itu telah mempunyai cukup tenaga batin untuk menekan segala perasaan
hatinya. " Indrayana, dengarlah. Ayahmu dan aku adalah sahabat karib ketika Koleksi Kang
Zusi ayhmu belum menyebrang ke Syailendra dulu. Kami berdua sefaham, senasib
sependeritaan, bahkan betapapun didalam satu gua. Akhirnya ayahmu mendapat
kurnia dari Hyang Agung sehingga pandai membuat senajata, sedangkan aku hanya
mendapat kurnia sebagai seorang pembuat patung saja. Seperti kau lihat sendiri,
maksud baikku untuk mempersembahkan sebuah patung ternyata diterima dengan salah
pengertian oleh Maha Raja Samaratungga. Hal itu tidak apa, karena Sang Prabu itu
masih mempunyai alasan yang mengandung kebijaksanaan. Akan tetapi Maha Wiku
Dharmamulya telah mempergunakan kesempatan itu untuk memperlihatkan dendam dan
bencinya kepada kami orang-orang Mataram dan kepada kepercayaan dan agama kami.
Ayahmu telah membuktikan kebijaksanaannya dan berusaha menolongku, maka
sekarang, akupun harus membalas budinya itu. Ia berada dalam bahaya. "
" Indrayana terkejut sekali, " Dalam bahaya " Siapakah yang mengganggu ayah "
tanyanya kurang percaya. " Siapa lagi kalau bukan Maha Wiku Dharmamulya yang meminjam kekuasaan Maha Raja
Samaratungga. Bahkan kau sendiripun dan aku juga takkan mudah melepaskan diri
dari jangkauan tangan Maha Wiku yang panjang dan penuh dendam, Indrayana. "
Pada saat Indrayana hendak bertanya, tiba-tiba terdengar suara orang dan derap
kaki banyak sekali kuda menuju ke dalam hutan itu dan Panembahan Bayumurti
berkata, " Indrayana, kalau kau mau belajar seni pahat dan ukir murid dan
puteriku, kau akan dapat membuat patung orang yang kau kasihi, akan tetapi kau
harus berjanji mau mengajak murid dan puteriku menuju ke Gunung Muria dan
menghadapkan mereka kepada eyangmu agar mendapatkan bimbingan. Yang datang itu
adalah orang-orang syailendra, biarlah aku yang menghadapi mereka Kalian bertiga
berangkatlah sekarang juga ke Muria ! "
" Rama panembahan...... " dara jelita itu berseru sambil memandang kepada Koleksi
Kang Zusi ayahnya. Jidatnya yang bagus itu berkerut dan matanya memandang ragu.
Panembahan Bayumurti menghampiri putrinya dan mengelus-elus rambut anaknya yang
hitam, halus dan panjang itu.
" Dewi, bocah ayu jangan gelisah. Kau pergilah dan ikut kedua orang pemuda ini.
Pasti akan selamat "
" Rama panembahan, aku lebih suka mati disampingmu daripada hidup jauh ari
padamu, rama..... " Derap kaki kuda telah tiba di luar pondok dan di antara suara pikuk itu
terdengar suara ketawa Panembahan Bayumurti yang nyaring ketika ia mendengar
ucapan puterinya itu. " Anakku yang manis, anakku yang denaok ! Siapa mau kau mati di ampingku " Kita
takkan mati nak, sebelum Hyang Yamadipati mengulurkan tangannya. Jangan rewel,
engkau pergilah ! Raden Pancapana, tolonglah kau jaga adikmu Si Dewi yang nakal.
Nah, kalian bertiga, berangkatlah dari pintu belakang. Tidak ada waktu lagi ! "
Setengah ditarik lengannya oleh raden Pancapana, Candra Dewi berjalan ke luar
dari pintu belakang, sebentar-sebentar menengok memandang ayahnya, didikuti
Indrayana dari belakang. Patung yang patah lehernya itu ditinggalkan di dalam
pondok. Setelah sekarang tidak menyerupai Pramodawardani, tak perlu ia bawa-bawa
sepanjang jalan. Koleksi Kang Zusi " Bayumurti dan Indrayana, menyerahlah sebelum kami menggunakan kekerasan ! "
terdengar Maha Wiku Dharmamulya di luar pondok. Ternyata bahwa Maha Wiku itu
datang sendiri memimpin pengejaran dan bersama dia ikut pula seorang pertapa
berjubah kuning yang berkepala gundul dan bertubuh tinggi besar bagaikan seorang
raksasa. Memang dia ini bukanlah seorang Jawa, akan tetapi adalah seorang
pendeta Buddha yang datang dari tanah Hindu dan bernama Wisananda. Pendeta
Wisananda ini baru beberapa bulan berada di Kerajaan Syailendra dan ternyata
bahwa selain dia pandai sekali dalam hal pelajaran Agama Buddha, juga memiliki
kesaktian yang tinggi dan memiliki pula ilnmu sihir dan gaib yang mengagumkan
orang. Maha Wiku Dharmamulya segera menghubungi dan mendekatinya, sehingga
sebelum pendeta dari tanah hindu itu kenal dengan orang lain, telah menjadi
sahabat dan pembantunya yang amat setia.
Mendengar serua Maha Wiku Dharmamulya, Panembahan Bayumurti lalu keluar dari
pondoknya sambil membawa arca Dewi Tara yang patah lehernyanya itu. Ia tersenyum
menghadapi Maha Wiku Dharmamulya lalu berkata,
" Dharmamulya, engkau datang mau apakah" Apakah engkau hendak mengambil patung
ini" Akan tetapi harus kubikin betul dulu, karena lehernya patah ! " Sambil
betkata demikian, kedua tanagn pendeta ini bergerak memasang kepala patung yang
patah itu pada lehernya, memencet-mencet dan mengelus-elus sebentar dan...... patung
itu telah menjadi lebih baik kembali. Panembahan Bayumurti lalu meletakkan
patung itu di atas tanah dan berkata, " Nah, sekarang sudah baik kembali, kalau
hendak kau bawa, bawalah ! "
Terdengar serua kagum, " Ahli patung yang luar biasa ! " Biarpun seruan itu di
ucapkan dalam Bahasa Hindu, namun Panembahan Bayumurti yang sudah kenyang
mempelajari kitab-kitab Weda, tentu saja dapat mengerti, maka ia tersenyum
sambil memandang kepada orang yang mengeluarkan seruan memuji itu. Ternyata
bahwa yang memuji itu adalah Wisananda, pendeta Buddha dari Hindu itu yang
merangkap kedua tangan memberi penghormatan kepada Bayumurti. Di negerinya, ahli
pembuat patung amat Koleksi Kang Zusi
dihormati, baik oleh pendeta pemeluk Agama Hindu kuno maupun oleh pendeta-
pendeta Budha dan dianggap sebagai seorang ayang amat tinggi kedudukannya,
sejajar dengan para pendeta tinggi dan amat dihormati.
Akan tetapi pada saat itu, Maha Wiku Dharmamulya melihat berkelebatnya tiga
bayangan orang-orang muda melarikan diri dari pintu pondok sebelah belakang.
" Nah, itu dia si pemberontak Indarayana ! tangkap ! "
Beberapa orang perwira segera menyerbu dan berusaha menangkap indrayana, akan
tetapi belum sempat mereka menjatuhkan tangan, Indrayana telah mendahului mereka
dengan gerakan kaki tangannya sehingga tiga orang perwira yang menyerang di muka
bergulingan mengaduh-aduh. Para perwira dan tamtama segera mengepung dan
menyerang bagaikan semut, akan tetapi kini bukan hanya Indrayana yang menyambut
mereka, juga Raden Pancapana membantu Indrayana menghadapi para pengeroyok itu.
Melihat sepak terjang Raden Pancapana yang sekali bergerak saja sudah
menjatuhkan lima orang pengeroyok, terkejut dan kagumlah Indrayana. Tidak saja
dalam ketampanan dan kegagahan, juga dalam ilmu kepandaian dan kedigdayaan.
Ksatriya ini ternyata tidak berada di sebelah bawah tingkahnya. Ia makin gembira
dan bersama Raden Pancapana lalu mengamuk. Para pengeroyok dianggap tumpukan
rumput kering saja. Sekali dorong roboh bergulingan, sekali tendang cerai berai
dan simpang siur. Candra Dewi hanya berdiri menonton dan sepasang matanya yang
indah itu bersinar gembira memandang kagumkepada Indrayana tanpa diketahui oleh
yang dipandangnya. Melihat sepak terjang kedua orang yang dahsyat itu, Maha Wiku Dharmamulya maklum
bahwa orang-orangnya takkan dapat berhasil untuk menangkap Indrayana, maka ia
lalu berkata kepada Pendeta Wisananda.
Koleksi Kang Zusi " Saudara Wisananda, harap kau suka mengulurkan tangan membantu kami dan
menagkap pemuda itu ! " Ia menuding ke arah Indrayana. " Dia adalah seorang
pemuda yang telah mengina Sang Prabu dan berani menghina Candi Lokesywara yang
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kita bangun. " Panembahan Bayumurti memandang tajam dan alagkah terkejutnya ketika ia melihat
tubuh pendeta Hindu itu berkelebat dan tahu-tahu Pendeta Wisananda telah berdiri
menghadang perjalanan Indrayana, Raden Pancapana, dan Candra dewi. Di tangannya
terdapat sebatang tongkat panjang yang entah dari mana diambilnya.
Melihat gerakan pendeta asing ini, Indrayana dan raden Pancapana terkejut dan
maklum bahwa mereka berhadapan dengan seorang pendeta berilmu tinggi, maka kedua
orang muda itu lalu mencabut keris pusaka masing-masing dan menyerbu ke depan.
Akan tetapi, sambil tertawa Wisananda mengerakkan tongkatnya menangkis dan
sekaligus kedua keris pemuda-pemuda itu beradu dengan tongkatnya yang ampuh.
Indrayana dan kawannya terkejut sekali ketika merasa betapa telapak tangan
mereka perih dan panas sekali. Sebelum mereka hilang kagetnya, tiba-tiba tangan
kiri Wisananda menyambar dan sehelai tambang berwarna biru meluncur dari tangan
kiri itu ke arah Indrayana. Pemuda ini mencoba untuk menangkis, akan tetapi
begitu lengan kanannya bertemu dengan tambang, tahu-tahu tambang itu terus
melibat bagaikan ekor ular dan sebentar luar biasa itu ! Indrayana mengerahkan
tenaga dan kesaktiannya, akan tetapi ia tak berdaya. Tambang itu terlalu kuat
dan mempunyai daya yang mujizat sehingga makin keras ia memberontak. Makin erat
pula ikatan pada tubuhnya !
Raden Pancapana hendak menolongnya, akan tetapi tongkat Wisananda terputar cepat
dan mencegahnya mendekati tubuh Indrayana yang telah terikat erat dan tidak
berdaya itu sehingga Pancapana terpaksa mundur lagi sambil menangkis dan
mengelak dari serangan tongkat yang amat cepat dan berbahaya itu.
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba nampak bayangan yang amat cepat berkelebat dan terdengar bentakan. "
Wisananda ! Jangan engkau menghina anak muda. Kalau engkau mempunyai kepandaian,
lawanlah, aku, sama tua ! "
Ternyata bahwa Panembahan Bayumurti telah melompat dan kini dengan sekali
renggut saja ia telah melepaskan tambang yang mengikat tubuh Indrayana !
" Pergilah ! " katanya kepada Indrayana. " Pergi dan bawalah murid dan anakku
serta ! Biarlah aku menghadapi orang-orang mabok angkara ini ! "
Indrayana tidak berani membantah dan ia lalu melanjutkan perjalanannya bersama
Raden Pancapana dan dara jelita Candra Dewi. Tak ada seorangpun rombongan dari
Syailendra ini yang berani mencegah mereka, karena di situ terdapat panembahan
Bayumurti yang berdiri dengan tenang dan tersenyum. Melihat cara penembahan
Bayumurti melepaskan ikatan Indrayana, maklumlah ia bahwa pendeta ini memiliki
kesaktian yang tak boleh dipandang ringan.
" Wisananda ! " Bayumurti menantang lagi. " Mengapa engkau tidak bergerak "
Apakah engkau hanya berani menjatuhkan tangan kepada orang-orang muda saja " "
Pendeta Bangsa Hindu itu menggelengkan kepala, " Aku segan untuk bertempur
melawan seorang ahli seni yang kukagumi. "
Maha Wiku Dharmamulya sudah sampai di situ pula. Dengan marah ia Koleksi Kang
Zusi menuding kepada Bayumurti dan berkata, " Bayumurti ! Engkau seorang Mataram
mengapa tidak tahu malu dan mencampuri urusan orang-orang Syailendra " Indrayana
adalah orang Syailendra dan sudah menjadi hak kami untuk menangkapnya atas
perintah Maha Raja kami, mengapa engkau berani mencampurinya " "
" Mataram dan Syailendra hanyalah sebutan orang belaka, " jawab panembahan
Bayumurti dengan tenang, " akan tetapi Indrayana, enagkau atau aku juag manusia
biasa yang sama-sama berkulit dagimg. Melihat seorang manusia dikejar-kejar dan
hendak dikuasai oleh orang-orang lain yang terdorong oleh nafsu angkara murka,
tentu saja sudah menjadi kewajibanku untuk menolongnya. "
" Bayumurti, engkau ternyata sombong dan mengandalkan kepandaianmu.
Penangkapan atas diri Indrayana adalah perintah Maha Raja Samaratunggakarena
Indrayana telah melakukan pelanggaran dan kekurangajaran di hadapan raja.
Sekarang engkau menghalangi kami menangkapnya, itu berarti engkau telah menghina
titah raja. Apakah engkau berani mempertanggungjawabkannya dan meghadap kepada
Sang Prabu " " " mengapa tidak berani " Aku memang hendak pergi ke sana, hendak membebaskan
Wiku Dutaprayoga yang telah kena fitnah oleh ketajaman lidahmu ! Akulah yang
bertanggunjawab untuk semua perkara ini, baik urusan mengenai diri Wiku
Dutaprayoga maupun mengenai urusan puteranya, Indrayana ! "
Demikianlah, rombongan pasukan Syailendra yang dikepalai oleh Maha Wiku
Dharmamulya itu kembali ke Kerajaan Syailandra sambil membawa Panembahan
Bayumurti di tengah-tengah mereka.
Koleksi Kang Zusi Rakyat yang telah mendengar tentang ditangkapnya Wiku Dutaprayoga dan dikejarnya
Indrayana putera Wiku itu, menyambut kedatangan rombongan itu dengan heran,
karena mereka tidak melihat Indrayana tertangkap, sebaliknya rombongan itu
membawa seorang pendeta Mataram yang nampak tenang dan tersenyum-senyum saja.
Akan tetapi banyak orang, terutama para dara, merasa lega karena Indrayana yang
mereka sayang itu tidak tertangkap. Ketika mereka mendengar bahwa pendeta ini
adalah pendeta yang telah mengacaukan pembukaan Candi Lokesywara dan telah
menyumbangkan sebuah patung Dewi Tara yang kemudian dirobahnya menjadi patung
Puteri mahkota, orang-orang lalu berduyun-duyun datang untuk menyaksikan pendeta
yang aneh san pandai itu.
Maha Wiku Dharmamulya lalu membawa sendiri pendeta Mataram itu menghadap kepada
Sang Prabu Samaratungga. Maha Raja inipun agak tercenggang ketika melihat bahwa
yang dihadapkannya bukan Indrayana pemuda yang berani dan kurang ajar itu,
melainkan pendeta yang telah menggegerkan pembukaan candi. Hati Sang Prabu
kurang enak melihat wajah Panembahan Bayumurti yang memandangnya dengan tajam,
karena Sang Prabu maklum bahwa pendeta ini adalah seorang yang sakti dan tidak
enaklah untuk berurusan atau lebih-lebih bermusuhan dengan orang yang berwajah
tenang, bermata tajam dan bibir selalu tersenyum itu.
Dengan sabar Maha Raja Samaratungga mendengarkan laporan Maha Wiku Dharmamulya
tentang penangkapan atas diri Indrayana yang di gagalkan oleh Bayumurti yang
kini datang mempertanggung jawabkan perbuatannya itu.
" Panembahan Bayumurti. " berkata Sang Prabu dengan muka muram. " Kau adalah
seorang panembahan, seorang ahli kebatinan yang seharusnya mengutamakan
perbuatan baik dan ketentraman. Akan tetapi mengapa engaku sengaja mendatangkan
kekacauan dan sengaja menghalangi kehendakku menangkap Indrayana, seorang
hambaku sendiri " Panembahan Bayumurti, bukankah ini berarti bahwa kau telah
berlaku keterlaluan dan Koleksi Kang Zusi
kau terlalu mengunggulkan kesaktianmu " " Maha Raja Samaratungga menahan napas
untuk menekan gelora kemarahannya. " Atau kau sengaja melakukan hal ini untuk
menghinaku " Ketahuilah, hai panembahan sesat, raja junjunganmu sendiri di
Mataram tridak berani berlaku kurang hormat seperti ini terhadapku ! "
Panembahan Bayumurti yang tadinya tersenyum-senyum, kini menahan senyumannya dan
memandang dengan sungguh-sungguh, lalu memberi hormat kepada raja besar itu.
" Sang Parabu yang bijaksana dan budiman, " katanya tenang, " hamba cukup
menghargai paduka, bahkan persembahan patung itupun hamba maksudkan sebagai
tanda penghargaan hamba. Paduka adalah seorang raja besar, berbeda dengan raja
di Mataram yang makin kehilangan pamornya, karena kurang bijaksana dan tidak
dapat mengatur pemerintahan seperti paduka. Hamba sekali-kali tidak berniat
hendak mengacaukan Negara Syailendra. "
" Kalau memang demikian pendirianmu, mengapa kau selalu menghalangi tugas Maha
Wiku yang bertidak atas perintahku " Mengapa pula kau menolong Indrayana dan
sesungguhnya, apakah maksudmu datang di Syailendra " Apakah karena kau terbawa
oleh arus pertikaian antara agamamu dan Agama Buddha " Ketahuilah, bahwa kami
sendiri menganggap segala pertikaian itu sebagai kebodohan anak-anak kurang
mengerti akan keadaan yang sebenarnya. Aku sendiri tidak suka menyaksikan segala
macam permusuhan itu terjadi. Apakah kau sengaja datang menghina para penganut
Buddha di kerajaanku ini " "
" Dijauhkan oleh dewata pikiran macam itu dari kepala hamba ! " jawab Panembahan
Bayumurti. " Sesungguhnya, Sang Prabu yang mulia, tak hendak mendahului kehendak
Dewata, akan tetapi waktunya akan segera tiba di mana Tanah Jawa akan tentram
bahagia, tidak ada pertikaian dan perbedaan faham antara Syailendra dan Mataram.
Kedua agama akan hidup Koleksi Kang Zusi
rukun dan penuh pengertian, saling mengalah. Bahkan bukan tidak mungkin kedua
agama akan di junjung tinggi bersama oleh kerajaan di Jawa ! hamba datang hanya
sebagai pelopor, hendak memperlebar jalan terlaksananya hal yang amat baik dan
sempurna itu, Sri Baginda ! Hendaknya diingat bahwa segala macam kebahagiaan itu
tidak dapat datang begitu saja, tanpa mengalami kepaitan dan kesukaran terlebih
dahulu. Banyak rintangan nampak di depan, banyak...... ah, banyak sekali, Sang
Prabu, akan tetapi, dewi kemurahan semua Dewata, juga kemurahan Sang Buddha yang
paduka puja, akan tibalah saat yang baik itu ! "
Tutup mulutmu yang mengoceh tidak karuan ! Tiba-tiba Maha Wiku Dharmamulya yang
duduk di dekatnya membentak.
Akan tetapi sebelum Maha Wiku ini melanjutkan bentakannya, Maha Raja
Samaratungga memberi tanda dengan tangannya agar pendeta kepala itu berdiam
diri, kemudian ia tersenyum dan berkata kepada Panembahan Bayumurti,
" Segala harapanmu itu baik-baik saja, Bayumurti. Akan tetapi engkau telah
menyimpang daripada percakapan semula. Yang hendak kuketahui hanya mengapa
engkau menghalangi kehendakku menangkap Indrayana ! "
" Gusti Prabu yang bijaksana ! Paduka tentu tidak khilaf lagi tentang hukum
sebab dan akibat. Segala tindakan Wiku Dutaprayoga yang kini ditangkap, dan juga
tindakan Indrayana yang melarikan patung, itu semua hanyalah akibat. Mengerjar
dan menyalahkan akibat tanpa menengok lagi sebab-sebabnya adalah perbuatan yang
sesat dan bodoh, sama halnya dengan menyiramkan minyak wangi pada sebuah kamar
yang berbau busuk karena ada bangkai tikus di bawah balai-balai, tanpa mencari
bangkai itu dan membuangkannya ! Dalam hal ini, yang menjadi sebab adalah hamba
sendiri dan perbuatan hamba ! Kalau hamba tidak datang mempersembahan patung
kepada paduka, tentu Maha Wiku Dhamamulya tidak marah dan hendak menikam hamba
dan Wiku Dutaprayoga tidak membela hamba serta menghalangi maksud dan kehendak
Sang Maha Wiku. Kalau hamba tidak merobah patng itu seperti Puteri Paduka, tidak
nanti Indrayana akan Koleksi Kang Zusi
mencuri patung itu dan menjadi orang buruan ! Dengan demikian, pokok pangkalnya
semua peristiwa ini adalah perbuatan hamba dan hambalah yang harus menerima
amarah paduka ! Hamba yang kan mempertanggungjawabkan perbuatan Wiku Dutaprayoga
dan puteranya itu dan kalau paduka hendak menjatuhkan hukuman, jatuhkanlah
kepada hamba ! Hamba menuntut kebebasan Wiku Dutaprayoga dan Indrayana ! "
Maha Raja Samaratungga tertegun mendengar ucapan ini. Ia merasa terheran mengapa
Kerajaan Mataram makin mengecil dan menyuram, pada hal negara itu mempunyai
banyak orang-orang pandai dan waspada seperti pendeta ini ! Semenjak Sang Prabu
Sanjaya meninggal dunia dan singgasana Mataram diduduki oleh Raja Panamkaran,
mulai nampaklah kemunduran besar pada kerajaan itu.
" Panembahan Bayumurti, engkau benar-benar aneh. "
" Gusti Prabu, memang manusia ini makhluk yang paling aneh di atas dunia !
" Belum pernah Maha Raja Samaratungga melihat seorang pendeta yang pandai, ramah-
tamah dan berani seperti pendeta ini, maka timbullah rasa suka dalam hatinya.
" Biarlah, kubebaskan Wiku Dutaprayoga dan kuampunkan kekurangajaran Indrayana.
Juga engkau boleh pergi dengan bebas, asal saja jangan kauulangi perbuatanmu
yang dapat menimbulkan salah faham kepada hamba sahaya di kerajaanku.
Tentang harapan dan cita-cita yang baik iti, " sampai disini Maha Raja Koleksi
Kang Zusi Samaratungga tersenyum dan matanya berseri, " biarlah kauserahlan kepada
kebijaksanaan para Dewata, karena itu bukanlah tugas kita manusia
! " " Sang Prabu ! " tiba-tiba Maha Wiku Djarmamulya menyembah, " hamba tidak setuju
kalau pendeta ini di lepaskan begitu saja ! Ini berarti merendahkan derajat
Kerajaan syailendra sendiri, Gusti ! "
Maha Raja Samaratungga berkata dengan sabar, " Maha Wiku, aku tidak bisa
mengangkat dan mengagulkan derajat sendiri."
" Akan tetapi, selain itu, pendeta inipun telah menghina Agama Biddha !
Sepak terjangnya jelas meremehkan agama kita dan hal ini kalau didiamkan saja
amat berbahaya, Sang Prabu ! Kalau pendeta yang menghina agama kita ini
dibebaskan begitu saja, hamba khawatir kalau-kalau sebentar lagi pendeta
Trimurti dan semua penganutnya akan berlaku kurang ajar dan sewenang-wenang
terhadap kita ! " " Akan tetapi, aku telah memberi kebebasan kepadanya, Maha Wiku, dan sabda
seorang Ratu tak dapat disangkal pula. "
" Memang demikianlah hendaknya, Sang Prabu, akan tetapi, pendeta ini masih harus
berurusan dengan hamba. Sebagai pendeta kepala, hamba berhal pula mengadilinya,
berdasarkan kesalahan kedosaannya terhadap agama kita. Perkenankanlah hamba
bicara dengan pendeta sesat ini, Gusti.
" Terpaksa Maha Raja Samaratungga memberi perkenan, karena iapun tidak merasa enak
hati kalau sampai mengecewakan hati Maha Wiku yang Koleksi Kang Zusi
berpengaruh itu. " Bayumurti ! " kata Dharmamulya dengan muka keren. " Sebagai seorang pendeta,
apakah kau begitu tak tahu malu untuk menarik kembali kesanggupanmu yang telah
keluar dari mulutmu yang palsu " Kau telah mengatakan bahwa kau akan
mempertanggungjawabkan kesalahan Dutaprayoga dan Indrayana. Kau sanggup untuk
menerima hukuman yang dijatuhkan kepada mereka bukan " "
" Aku mengerti maksudmu, Maha Wiku Dharmamulya, teruskanlah ! "
" Sesungguhpun Sang Prabu telah mengampuni kedua orang ayah dan anak itu, namun
sebagai pendeta kepala, akupun berhak mengadilinya. Menurut hukum, orang yang
berani menghina pendeta kepala, dapat dihukum kubur hidup-hidup, orang yang
berani mencuri patung dari candi, dapat dihukum penggal kepala. Apakah kau masih
berani menerima hukuman yang hendak kujatuhkan kepada mereka " "
" Tentu saja berani, Dharmamulya. Teruskanlah ! "
" Ucapan dan kesanggupan seorang pendeta takkan diingkari lagi ! "
Dharmamulya memperingatkan
" Tentu, tentu, hukuman apakah yang henak dijatuhkan " "
Penggal kepala atau kubur hidup-hidup ! Nah, engkau pilihlah ! "
Koleksi Kang Zusi " Maha Wiku, mengapa sekeras itu " " tiba-tiba Sang Prabu Samaratungga berkata
mencela. Akan tetapi dengan masih tersenyum, Panembahan Bayumurti berkata lantang, "
Dharmamulya, aku tahu bahwa hatimu penuh nafsu dan dendam.
Aku tidak mengakuio bahwa Indrayana mencuri patung, akan tetapi aku akui bahwa
Dutaprayoga telah berani melawanmu untuk tak membelaku.
Maka biarlah kupilih kubur hidup-hidup untuk menebus dosa Dutaprayoga !
" Maha Raja Samaratungga terkejut sekali dan hendak mencegah hal ini, akan tetapi
baru saja ia hendak bicara, ia melihat betapa Panembahan Bayumurti memandangnya
dengan mata bersinar dan bibir tersenyum seakan-akan memberi tanda agar Sang
Prabu jangan merasa gelisah dan khawatir.
" Maha Wiku Dharmamulya, sebelum aku menjalani hukuman yang hendak kaujatuhkan,
aku minat agar supaya Dutaprayoga dibebaskan dulu dan dapat bertemu muka dengan
aku. " Setelah Maha Wiku Dharmamulya minta perkenan Maha Raja Samaratungga, maka
pendeta Maratam yang berani dan aneh itu digiring ke luar. Panembahan Bayumurti
benar-benar kelihatan tenang dan gembira dan ketika Wiku Dutaprayoga dikeluarkan
dari tahanan dan memandangnya dengan heran, ia lalu menghampiri bekas sahabatnya
itu, dan setelah mereka berada berdua saja, ia berbisik.
" Dutaprayoga, engkau tentu maklum pula bahwa yang kulakukan ini semata-mata
untuk kebaikanmu. Puteramu selamat, dan engkau Koleksi Kang Zusi
menghendaki agar kesemuanya ini berjalan lancar dan beres, engkau perglah ke
tempat pertapaan kita di Gunung Kidul dan kelak aku akan menyusulmu ke sana. "
Dutaprayoga maklum akan kesaktian bekas sahabatnya ini dan maklum pula bahwa
biarpun Bayumurti usianya masih lebih muda daripadanya, namun dalam segala hal,
Bayumurti memperlihatkan kelebihannya. Bahkan ayahnya sendiri, Sang Panembahan
Ekalaya, selalu memuji keberaniannya, kesaktiannya, dan kegagahan pertapa
Bayumurti. Setelah Dutaprayoga pergi meninggalkan Kerajaan Syailendra, Panembahan Bayumurti
lalu dimasukkan ke dalam tahanan, menanti upacara perjalanan hukuman baginya
yang akan dilakukan pada malam bulan purnama, dua hari kemudian.
Hukuman yang amat mengerikan, yaitu dikubur hidup-hidup hukuman yang merupakan
hukuman adat dan yang sesungguhnya sudah lama tak pernah dilakukan oleh maha
Raja Syailendra, akan tetapi kini akan dilakukan oleh Maha Wiku Dharmamulya,
seorang pendeta kepala yang diracuni batinnya oleh dengki, iri, dan angkara
murka ! *** Taman Listyaloka yang berada di belakang istana Maha Raja Simaratungga adalah
sebuah taman yang luar biasa indahnya. Ratusan macam bunga yang indah-indah
mekar berseri di dalam taman. Harum semerbak bunga mawar yang bermacam-macam
bentuk dan warnanya itu, ditambah pula dengan sedapnya bunga-bunga melati dan
menur, bunga cempaka, kenanga, kaca piring, dan kantil. Segala keindahan dan
Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keharuman yang dikumpulkan menjadi satu di dalam Taman Listyaloka yang
menakjubkan itu selain menarik perhatian kumbang-kumbang dan kupu-kupu serta
burung-burung kecil yang berterbangan dari pohon ke pohon.
Koleksi Kang Zusi Memang indah sekali Taman Listyaloka, bahkan tamansari yang terkenal sekali di
Kerajaan Mataram, takkan dapat melebihi keindahan Taman Listyaloka dari istana
Syailendra ini. Apalagi kalau pemilik taman itu berada di dalam taman, maka akan
bertambahlah kecantikan dan keindahan taman itu. Apabila Sang Putera
Pramodawardani berada di dalamnya, maka taman itu akan berubah seperti Taman
Indraloka di Khayangan Batara Indra, karena puteri jelita itu tidak kalah elok
dan cantiknya oelh putei atau bidadari Khayangan yang manapun juga !
Akan tetapi, pada senja hari itu, keadaan di Taman Listyaloka tidak seperti
biasa. Tidak gembira dan tidak brsinar, seakan-akan muram dan sunyi. Ke manakah
perginya burung-burung, kumbang dan kupu-kupu yang biasanya meramaikan taman
bunag itu " mereka masih ada, akan tetapi burung-burung itu bersembunyi di dalam
pohon, mendekan di atas cabang tak bergerak bagaikan sedang tidur, kumbang-
kumbang bersembunyi di dalam kelompok bunga sedangkan kupu-kupu yang biasanya
menari-nari itu kini menempel pada daun-daun bunag tanpa bergerak sedikitpun.
Semua tampak berduka seakan-akan berkabung. Mengapa demiian " Kalau kita
menengok ketengah taman, di dekat empang bunga teratai di dekat pancuran air,
maka akan melihat sebab kesunyian dan kemuraman itu. Di atas bangku terbuat dari
batu hitam yang terbentuk indah dan mengkilat, duduklah Kusumaning Ayu
Pramodawardani sambil menyangga dagu dengan tangannya. Keningnya yang indah itu
berkerut, wajahnya muram dan berkali-kali terdengar tarikan napas halus. Banyak
orang berkata bahwa kalau sang puteri ini tersenyum, maka dunia kan ikut
tersenyum dengan dia, akan tetapi kalau dia bermuram durja, maka dunia akan
menjadi gelap dan suram pula. Memang, siapakah orangnya dan mahluk manakah yang
takkan menjadi kecil hati dan ikut berduka melihat keadaan sang jelita yang
bermuram durja itu "
Semenjak peristiwa di depan Candi Lokesywara itu, sang puteri merasa tersinggung
hatinya. Ia merasa amat kagum melihat keberanian dan kegagahan Indrayana, akan
tetapi juag mearsa kecewa menagap pemuda yang menjadi kembang bibir para dara
itu sedemikian kurang ajar kepadanya. Pramodawardani adalah seorang puteri yang
tinggi hati dan ia sekali-kali tidka merasa puas bahwa ada seorang putera wiku
berani berlaku sedemikian lancang terhadapnya. Pramodawardani selalu di manja
Koleksi Kang Zusi dan merasa dirinya putera mahkota, ia menghendaki penghormatan sebesarnya dari
siapapun juga. Diam-diam ia merasa bangga kepada diri sendiri bahwa ternyata pemuda yang sudah
terkenal menggocangkan iman di dada para jelita itu, tidak berhasil
menggoncangkan imannya yang teguh kuat. Ia memang amat tertarik dan kagum
melihat wajah elok dan tampan itu, akan tetapi sama sekali keliru kalau orang
mengira bahwa dia " jatuh hati " ! Kusumaning Ayu Pramodawardani bukanlah
Tiga Maha Besar 14 Pendekar Gila 16 Istana Berdarah Harimau Mendekam Naga Sembunyi 5