Pencarian

Banjir Darah Di Borobudur 5

Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo Bagian 5


lapangan sayembara, maka ia lalu memberi isyarat kepada penjaga di bawah
pinggang. Penjaga itu segera maju dan menghampiri pertapa itu, lalu bertanya, " Hai, sang
panembahan, engkau seorang pertapa tua mempunyai keperluan apakah memasuki
lapangan ini " "
Pertapa itu tertawa begelak, suara ketawanya tinggi dan nyaring sekali sehingga
menyeramkan semua pendengarnya. Lalu ia mendorong penjaga itu dengan tangan
kiranya. Aneh sekali, biarpun tangannya tidak menyentuh Koleksi Kang Zusi
dada penjaga yang berdiri sekira satu tombak jauhnya, penjaga itu terlempar ke
belakang an bergulingan beberapa kali di atas tanah !
Kemudian pertapa itu lalu menjura ke arah panggung dan berkata Sang Prabu
Samaratungga, perkenankanlah saya memperkenalkan diri sebagai calon mantu
Kerajaan Syailendra ! Saya adalah seorang raja pula, seorang calon raja besar
yang akan dapat mengangkat tinggi derajat Kerajaan Syailendra. Saya adalah Sang
Maha Raja Siddha Kalagana, raja besar dari Kerajaan Durgaloka ! Saya mendengar
tentang sayembara pemilihan mantu, maka saya satang untuk memasuki sayembara.
Mana gendewa itu, hendak saya tarik sampai patah. Ha, ha, ha ! "
Akan tetapi, ketika ia menegok, ia melihat Indrayana sedang menghampiri gendewa
itu, maka ia berdiri saja menonton sambil tersenyum mengejek.
Seperti Rakai Pikatan tadi, Indrayana dengan mudahnya dapat menarik gendewa itu
sampai bulat, lalu menaruh kembali gendewa itu di atas meja, mengundurkan diri
dan duduk di belakang kedua orang utusan dari Sriwijaya.
Ketika semua orang bersorak gemuruh memuji Indarayana. Sang Rakai memandang ke
arah Inrayana denagn muka pucat dan kening berkerut.
Apakah maksud Indrayana dengan mengikuti sayembara ini, pikirnya tak senang.
Bukankah Indrayana sudah melarikan diri dengan Candra Dewi dan sudah mengawini
gadis itu " Akan tetapi alagkah heran dan terkejutnya ketika kebetulan Indrayana juga
memandangnya dengan sinar mata yang amat mengejutkan, karena sinar mata
Indrayana mengandung kebencian besar ! Ia tahu bahwa Indrayana mempunyai
perasaan yang sama, bahkan merasa marah dan penasaran. Sebagaimana telah
diceritakan di bagian depan, setelah Indrayana menyerahkan surat pinangan Sang
Rakai Pikatan kepada Panembahan Bayumurti, pemuda yang patah hati ini lalu
pulang ke Koleksi Kang Zusi
Syalendra, selanjutnya tinggal bersama ayahnya dan hidup sebagai seorang
pertapa. Penghidupannya sudah aman dan luka hatinya sudah mulai sembuh.
Akan tetapi ketika ia ikut menonton sayembara yang diadakan Sang Prabu
Samaratungga, hendak melihat siap arangnya yang keluar sebagai pemenang dan
menjadi calon suami Pramodawardani, tiba-tiba ia melihat Sang Rakai Pikatan
memasuki sayembara ! Bukan main marahnya Raden Pancapana ini ikut pula memasuki sayembara.
" Keparat ! " makainya di dalam hati. " Baru saja mengambil Candra Dewi merampas
kekasihku dari tanganku, sekarang ia sudah meninggalkannya untuk mencoba
mendapatkan Pramodawardani ! aku harus menghalang-halangi kesesatannya ini untuk
menolong Candra Dewi ! "
Demikianlah, tanpa banyak pikir lagi, ia lalu masuk ke dalam kalangan sayembara
dan ikut menarik gendewa itu hingga berhasil baik.
Melihat betapa Indrayana musuh besarnya dahulu berhasil menarik gendewa, Siddha
Kalagana lalu melangkah lebar menuju ke meja gendewa itu, tanpa banyak peradatan
lagi ia menyambar gendewa dengan tangan kiri, tangan kanan menyahut talinya dan
ditariknya gendewa ini sekuat tenaga. Akan tetapi ia merasa terkejut sekali
karena gendewa itu benar-benar ampuh dan kuat sekali, sehingga jangankan untuk
melengkungkannya, menggerakkannya saja ia tak mampu ! Memang sesungguhnya Siddha
Kalagana tidak memiliki kedigdayaan yang timbul dari latihan-latihan oleh raga,
akan tetapi ia hanay memiliki aji kesaktian yang timbul dari mantera dan segala
ilmu hitam yang aneh-aneh. Ia lalu berkemak-kemik membaca mantera, dari kedua
tangannay mengepul uap hitam dan ketika ia menarik aya mukjizat yang melawan dan
menolak tenaga hitam yang keluar dari tangan Siddha Kalagana. Terjadilah
pergulatan antara tenaga hitam dan daya mujizat, dan akhirnya terpaksa gendewa
pusaka itu harus mengakui keunggulan tenaga luar biasa yang keluar dari kedua
tangan pendeta itu. "Krak ! " maka patahlah gendewa itu pada tengahnya, karena biarpun Koleksi Kang
Zusi gendewa itu telah melengkung dan membulat, Siddha Kalagana masih saja
membekuknya terus denagn tenaga yang makin lama makin ganas !
Ramanda prabu, hamba juga hendak menerangkan syarat hamba sendiri. "
Kemudian Sang Puteri membisikkan sesuatu kepada ayahnay dan wajah Sang Maha Raja
Samaratungga berseri-seri. Ia memandang kepada puterinya dengan kagum sekali,
kemudian sambil tersenyum girang ia berdiri lagi dan mengangkat tanagn memberi
tanda agar semua orang berdiam. Kemudian terdengarlah kata-katanya yang lantang
dan berpengaruh. "Dengarlah, hai rakyatku di Syailendra ! Dan terutama sekali kalian yang
mengikuti sayembara ini ! Selain syarat-syarat yang kuajukan tadi, puteriku
sendiripun mempunyai prasetia dan hanya mau menerima peminang yang dapat
membangun sebuah candi Buddha yang besarnay segunung anakan ! Untuk bangunan itu
telah tersedia tanah suci milik puteri mahkota sendiri yaitu Desa Teru di
Tepusan. Nah, sekian adanya syarat-syarat sayembara dan rakyat menjadi saksi
utama siapa yang akan sanggup mengerjakan semua syarat dan mengadakan bukti-
bukti yang diminta, berhak menjadi suami dari pada anakku. Puteri
Pramodawarani ! " Bukan main hebatnya sambutan rakyat atas syarat baru dari sang puteri ini.
Berarti bahwa agama baru dari sang puteri ini. Berarti bahwa agama mereka akan
tetap terjunjung tinggi, siapapun yang akan memenangkan sayembara itu akan
memperisteri Sang Puteri Mahkota !
Sang Rakai Pikatan tertegun sebentar, kemudian ia mengangguk-angguk, di dalam
hati ia memuji kebijaksanaan gurunya, yaitu Sang Panembahan Bayumurti yang
pernah menyatakan bahwa tanah Jawa akan makmur dan persatuan dapat tercapai
kalau Mataram sudah bangkit kembali dan jalannya hanya bersatu engan Kerajaan
Syailendra. Koleksi Kang Zusi Setelah itu, pertemuan di alun-alunpun dibubarkan. Para pengikut sayembara yang
lulus dalam ujian pertama itu dipersilakan untuk melakukan tugas dan pelaksanaan
syarat-syarat selajutnya, sedangkan Sang Prabu beserta keluarga lalu kembali ke
dalam keraton. Sepasang senapati dari Sriwijaya, yaitu Kalinggajaya dan Kalinggapati,
menjelajah seluruh Bukit Papak, mengelilinginya, masuk keluar hutan dan
mendekati puncaknay sampai sehari, mereka berdua tidak menemukan sesuatu.
Menjaelang senjakala, kedua senopati itu mengaso dan duduk di bawah sebatang
pohon randu alas yang amat besar.
"Dimas Kalinggapati, " kata Kalinggajaya kepada adiknya, " telah sehari penuh
kita berputar di gunung ini, akan tetapi iblis yang kita singkirkan itu tak juga
muncul. Aku merasa ragu-ragu apakah benar-benar ada iblis yang menganggu manusia
tinggal di bukit ini " "
"Sesungguhnya, kangmas Kalinggajaya, " jawab Kalinggapati, " sungguhpun alas dan
ggunung ini cukup angker adan liar, akan tetapi akupun tidak melihat sesuatu.
Menurut cerita pendduduk di dekat gunung yang kutanyai sebelum kita berangkat,
memang dahulu sering sekali terjadi penculikan atas diri gadis-gadis kampung
yang dilakukan oleh seorang liar yang amat sakti. Boleh ajadi dahulu memang ada
seorang sakti yang jahat tinggal di sini, akan tetapi siapa tahu kalau-kalau dia
sudah mati. " Baru saja Kalinggajaya mendorong tubuh adiknya dan bersama-sama mengelundung
dari tempat dudduknya sampai beberapa tombak jauhnya.
Kalinggapati hendak menegur karena heran, akan tetapi alagkah terkejutnya ketika
ia melihat kepala seekor ular amat besar dan panjang Koleksi Kang Zusi
bergantung dari cabang pohon randu alas itu ! Kalau saja Kalinggajaya tidak
berlaku cepat, tentu tubuh Kalinggapati telah kena disambar oleh ular itu !
"Binatang keparat ! " seru Kalinggapati dengan amat marah dan senapati ini
mencabut pedangnya, siap menyergap maju menyerang ular besar itu.
Nanti dulu, dimas. Kaulihat, bukankah ular ini aneh sekali " Seperti bukan ular
biasa " " seru kalinggajaya kepada adiknya yang segera memandang dengan penuh
perhatian. Memang ilar itu amat mengerikan. Besar tubuhnay seperti gelugu ( batang pohon
kelapa ). Kulitnya mengkilap berwarna kelabu ( abu-abu ) kehitam-hitaman.
Kepalanya lebar dan gepeng, akan tetapi mulutnya dapat terbuka lebar. Di antara
kedua matanya yang kecil bergerak-gerak itu terdapat daging jadi yang bentuknya
meruncing seperti tanduk. Dari mulutnya mendesis-desis itu nampak mengempul uap
kehitaman. Inilah yang membuat Kalinggajaya menjadi heran dan sangsi, timbul
kekhawatirannya dan mencegah adiknya berlaku gegabah.
"Awas, dimas, agaknya ia berbisa. Lebih baik menggunakan anak panah!"
Sambil berkata demikian Kalinggajaya mengambil busur dan anak panah, sedemikian
Kalinggapati. Kedua orang senapati setengah tua itu mementang busur dan ketika
tali gendewa dilepas, melesatlah dua batang anak panah bagaikan kiliat
menyambar, tepat menuju kea rah kedua mata binatang itu. Akan tetapi ular itu
benar-benar hebat. Agaknya ua maklum bahwa kedua matanya takkan dapat menahan
dua batang anak panah itu, maka cepat sekali kepalanya ditundukkan dan ia
menerima datangnya kedua batang anak panah itu dengan kepalanya yang berbentuk
daging! Dan ..... alangkah kaget dan herannya kedua orang senapati Sriwijaya itu ketika melihat
anak panah mereka mengenai kepala ular dan meleset tanpa melukainya sedikitpun
juga. Koleksi Kang Zusi "Dia kebal!!" seru Kalinggapati dengan kedua mata heran.
Ular itu menggerak-gerakkan kepalanya ke kanan kiri, kemudian meluncur makin
panjang dan agaknya hendak mengayun tubuhnya kea rah kedua orang penyerangnya.
"Lekas pergunakan panah putih!" kata Kalinggajaya kepada adiknya. Kedua orang
senapati ini memang memiliki anak-anak panah yang ujungnya terbuat daripada
logam putih yang amat keras dan jangankan tubuh orang atau binatang kebal,
bahkan besi dan bajapun akan dapat tertembus oleh anak panah ini.
Kedua orang senapati Sriwijaya ini telah memasang anak panah putih mereka pada
busur masing-masing dan ular itu ketika melihat cahaya yang keluar dari ujung
anak-anak panah itu agaknya tahu akan keampuhan senjata ini, karena kepalanya
bergerak-gerak ke kanan kiri seolah-olah merasa gelisah.
Gendewa dipentang dan agaknya sebentar lagi tubuh ular itu akan termakan oleh
dua batang anak panah itu, akan tetapi tiba-tiba kedua orang senapati itu
memekik keras lalu roboh terguling. Busur dan anak panah terlepas dari pegangan dan di punggung mereka menancap
lembing-lembing yang dilepas dari arah belakang! Mereka roboh mandi darah dan
tak bernyawa lagi, dengan kulit berubah hitam karena lembing-lembing itu
ternyata mengandung bias ular yang amat jahat!
Masih terdengar gema suara jeritan kedua orang senapati yang tewas itu ketika
dari balik semak-semak melompat keluar dua orang laki-laki yang berkapa gundul
dan bertubuh jangkung kurus. Usia mereka ini kurang lebih Koleksi Kang Zusi
empat puluh tahun dan keadaan mereka memang amat luar biasa sehungga siapapun
juga yang bertemu dengan mereka, terutama di waktu malam hari tentu akan mengira
bahwa mereka adalah iblis-iblis dan bukan manusia.
Selain kepala mereka yang gundul dan klimis, juga mereka tidak ebrkumis atau
berjenggot sehingga muka mereka seperti muka bayi yang baru dicukur rambutnya.
Wajah mereka hamper sama, seperti pinang dibelah dua, hanya kulit muka mereka
saja yang berbeda, seorang agak putih karena kulit mukanya penuh panu dan orang
kedua agak kehitam-hitaman.
Sepasang mata bundar menonjol hamper keluar dari rongga mata, hidung pesek
hampir rata dengan tulang pipi sedangkan mulut mereka berbibir tipis dan lebar
sekali. Mereka hanya mengenakan sebuah celana panjang hitam, adapun tubuh bagian
atas telanjang sama sekali.
Inilah kedua saudara kembar yang menjadi iblis dari Gunung Papak.
Mereka ini dahulunya adalah periwa-perwira gagah perkasa dari Mataram du zaman
pemerintahan Prabu Sanjaya, dan telah diusir dari kerajaan oleh karena mereka
seringkali melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kejahatan-kejahatan. Mereka
melarikan diri dan akhirnya bertapa di atas Gunung Papak sambil memperdalam
ilmu-ilmu dan kesaktian. Gunung itu memang terkenal angker dan seram, mungkin
agaknya mereka telah dimasuki oleh roh-roh yang sesat jalan karena belum lama
mereka berada di atas gunung itu, mereka telah berobah seperti orang-orang yang
miring otaknya. Akan tetapi, mereka ini sungguh-sungguh amat sakti dan semua
binatang ular yang berada du gunung itu seakan-akan menjadi balatentara mereka!
Ketika Kerajaan Syailendra makin luas daerahnya sehingga Gunung Papan inipun
termasuk wilayah Syailendra, Sang Raja Samaratungga telah beberapa kali berusaha
mengusir atau membasmi kedua saudara kembar yang bernama Sarpajati dan
Sarpawuyung. Akan tetapi ternyata kedua orang ini amat sakti dan pandai sekali
menyembunyikan diri sehingga selama itu usaha Sang Prabu Samaratungga tak
berhasil. Oleh karena kedua orang manusia iblis ini sering kali mengganggu
keamanan, merampok bahan makanan dan menculik orang, maka Sang Prabu memasukkan
kedua orang penjahat ini ke dalam sayembara pemilihan mantu itu.
Koleksi Kang Zusi Demikianlah sedikit keteangan tentang Sarpanjati dan Sarpawuyung yang berhasil
menewaskan kedua senapati Sriwijaya yang bertugas mengalahkan mereka itu. Dengan
cara yang amat curang kedua orang manusia iblis ini menyerang Kalinggapati dan
Kalinggajaya dengan lembing berbisa dari belakang pada saat kedua orang senapati
itu tengah membidikkan panah putih kea rah ular besar itu.
"Ha, ha, ha! Hi, hi, hi!" Sarpawuyung tertawa-tawa sambil menari-nari memutari
dua tubuh yang menggeletak di atas tanah, kemudian mencabut lembingnya yang
menancap pada punggung Kalinggajaya. "Hanya sebegini saja macamnya orang-orang
yang menjadi utusan Samaratungga untuk menumpas kita! Ha, ha, ha!"
Sarpajati juga mencabut lembingnya yang menancap di punggung Kalinggapati, lalu
berkata dengan suara bersungguh-sungguh. "Adi Wuyung, jangan engkau gegabah! Aku
telah mendengar bahwa yang memenangkan sayembara di Syailendra adalah seorang
ksatria Syailendra dan Raja Mataram sendiri, akan tetapi aku tidak takut
menghadapi kedua orang yang masih muda-muda itu. Yang membikin hatiku gentar
adalah orang kelima, yaitu Sang Begawan Siddha Kalagana! Ah, aku merasa bulu
kudukku meremang kalau mengingat kepada penyembah Batari Durga itu!"
"Ah, kakang Jati," menyela Sarpawuyung, "apa sih yang harus ditakutkan"
Sampai dimana kedigdayaan penyembah Batari Durga" Biarlah dia dating, akan
kuhancurkan tubuhnya dengan lembingku ini. Ha, ha, ha!" Sarpawuyung mengangkat
lembingnya yang berlepotan darah itu sambil tertawa lagi.
"Jangan sembrono adi Wuyung. Siddha Kalagana benar-beanr sakti dan ia telah
menghabiskan jantung segar banyak anak-anak kecil. Ilmunya tinggi dan ia kebal
terhadap segala macam racun. Daripada kita mendapat bencana, lebih baik
bersembunyi dan mengerahkan barisan ular untuk menjaga keselamatan kita. Siapa
saja yang memasuki hutan ini akan Koleksi Kang Zusi
berhadapan dengan barisan ular kita lebih dahulu sebelum bertemu dengan kita!"
Kembali Sarpawuyung tertawa bergelak. "Sesukamulah, kakang Jati, akan tetapi aku
tidak takut sama sekali!"
Tiba-tiba Sarpajati menundukkan kepalanya yang gundul seakan-akan mendengar
sesauatu. "Sst, ada orang dating! Adi Wuyung, lekas kita bersembunyi dan kita
kerahkan barisan ular!" Kemudian ia menengok kearah ular besar yang masih
bergantungan di cabang pohon randu alas itu dan berkata, "Hai Nagaluwuk,
waspadalah kau berjaga disini!" Bagaikan dua bayangan setan, sekali melompat ke
dalam semak belukar lenyaplah kedua orang itu.
Pendengaran Sarpajati memang tajam. Benar saja, tak lama setelah mereka
menghilang, nampaklah bayangan orang berjalan dalam kesuraman senja. Bayangan
ini bukan lain adalah Raden Pancapana atau Sang Rakai Pikatan sendiri, yang
menjalankan tugasnya mencari pengganggu keamanan yang berada di puncak Gunung
Papak dan menewaskan mereka.
Sang Rakai Pikatan berjalan perlahan dan sungguhpun ia sedang berjalan mencari
blis pengganggu di gunung itu, akan tetapi pikirannya melayang jauh dari situ,
dan di depan matanya terbayang wajah Raden Indrayana yang dijumpainya di alun-
alun tempat diadakannya sayembara menarik gendewa tadi pagi. Ia masih merasa
amat penasaran. Bagaimana Indrayana dapat melakukan hal itu! Apakah benar-benar
Indrayana yang dikenalnya sebagai pemuda gagah dan berbudi ini telah
meninggalkan Candra Dewi untuk mencoba menenangkan sayembara agar menjadi suami
sang puteri mahkota" Tadi ketika hendak meninggalkan alun-alun, ia sengaja
mendekat dan memanggil Indrayana untuk ditanya, akan tetapi Indrayana tidak
menjawab sama sekali, bahkan setelah melontarkan pandang mata yang marah lalu
meninggalkannya! Ia tidak tahu bahwa pada saat itu ia menaiki Gunung Papak dari
selatan, Indrayana juga naik ke atas Gunung itu dari sebelah timur!
Koleksi Kang Zusi Senjakala telah membuat keadaan di dalam hutan itu agak gelap, namun sepasang
mata Pancapana yang tajam penglihatannya itu masih dapat melihat bahwa yang
menggeletak di bawah pohon randu hutan itu adalah tubuh dua orang yang telah
tewas. Ia cepat berlari menghampiri dan alangkah kagetnya ketika ia melihat
bahwa yang menggeletak dan tewas di situ adalah sepasang senapati Sriwijaya yang


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengikuti sayembara! Sang Rakai Pikatan cepat menghampiri dan berjongkok untuk memeriksa keadaan
kedua orang itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar angina serangan dari atas
mengarah kepalanya. Pemuda perkasa ini cepat melompat ke samping dan meluncurlah
kepala ular Nagaluwuk di dekat tubuhnya!
Nagaluwuk ini adalah seekor ular besar yang tadinya menjagoi dan merupakan raja
hutan di atas puncak Gunung Papak. Bahkan macan dan badak sendiri mengakui
keunggulanya dan tidak berani jalan di dekatnya, akan tetapi ia telah
ditaklukkan oleh saudara kembar Sarpajati dan Sarpawuyung sehingga menjadi
pembantunya. Melihat bahwa yang menyerangnya adalah seekor ular yang besar sekali, Sang Rakai
Pikatan menjadi marah dan cepat ia mencabut pedangnya.
Nagaluwuk melihat serangannya tidak berhasil cepat mengubah ayunan kepalanya dan
kini ia menyambar lagi ke arah pemuda itu. Sang Rakai Pikatan cepat miringkan
tubuhnya mengelak, dan ketika kepala ular itu menyambar lewat, ia tidak mau
menyia-nyiakan kesempatan itu. Secepat kilat pedangnya bergerak membacok dan
"taK!!" pedangnya seakan-akan membentur batu dan membal kembali.
"Keparat!" seru Rakai Pikatan yang tidak menjadi gentar, sebaliknya malah merasa
marah dan penasaran sekali. Ia memandang penuh oerhatian dan maklum bahwa
kekebalan ular itu terletak pada sisik ular itu. Sisik itu tebal, kuat dan
licin. Lagi pula bertumpuk-tumpuk sehingga amat kuatnya.
Kembali kepala ular itu menyambar dengan mulut terbuka lebar.
Terdengar desis keras dan dari mulutnya tersemburlah uap hitam yang Koleksi Kang
Zusi berbau amat amis. Rakai Pikatan mengumpulkan hawa di dalam dada, menahan napas
lalu meniup ke arah uap hitam yang menyerangnya itu sambil mengelak dari
terkaman kepala ular. Uap hitam itu menjadi buyar dan kembali terdorong oleh
tiupan Rakai Pikatan yang kuat. Kemudian, sebelum kepala ular itu berbalik
kembali, sesigap rusa melompat, Rakai Pikatan menubruk maju dan masuk di bawah
sisik, terus mengarah kulit dan melukai bagian leher ular itu.
Ketika pedang dicabut, tersemburlah darah ular itu. Kepala ular mendesis-desis
makin hebat sehingga tempat itu penuh dengan uap hitam.
Terpaksa Rakai Pikatan menahan napasnya dan tidak berani menyedot napas karena
hawa di sekitar tempat itu telah mengandung raun. Saking sakitnya karena luka di
lehernya, Nagaluwuk melepaskan libatan ekornya pada cabang pohon sebelah atas
dan dilibatkannya kembali ekor itu pada cabang yang rendah. Kini kepalanya
sampai menyentuh tanah dan ia menggeliat-geliatkan lehernya yang kesakitan.
Gerakannya demikian buas dan cepat sehingga sukarlah Rakai Pikatan untuk
menyerang lagi. Dalam penderitaanya karena luka itu, Nagaluwuk masih saja dapat
menyerang bertubi-tubi yang dielakkan oleh Rakai Pikatan yang mengandalkan
kegesitan tubuhnya. Pemuda perkasa itu maklum bahwa kalau dilanjutkan pertempuran ini, ia akan
menderita rugi, karena selain tidak mendapat kesempatan membalas serangan
lawannya juga tak mungkin ia menahan terus pernapasannya.
Tiba-tiba ia mendapat akal. Ketika ular itu menyerangnya lagi, ia bukan mengelak
ke samping, melainkan menggenjot tubuhnya ke atas dan sekali saja pedangnya
terayun, cabang pohon dimana ekor ular itu melilit, terbabat putus dan runtuhlah
cabang itu berikut tubuh Nagaluwuk.
Kini ular itu telah berada di atas tanah dan tentu saja daya serangannya tak
sehebat kalau ia menggantungkan diri dari pohon. Rakai Pikatan tidak mau menyia-
nyiakan waktu lagi dan beberapa kali ia melompat-lompat ke kanan kiri dan
belakang ular sambil mengirim tusukan-tusukan maut.
Beberapa tusukan lagi kea rah perut hingga binatang itu dan ular yang besar itu
berhenti menyerang, menggelepar di atas tanah, menggeliat-Koleksi Kang Zusi
geliat menanti datangnya ajal.
Rakai Pikatan meninggalkan tempat itu dan duduk mengaso di bawah pohon, agak
jauh dari situ agar jangan sampai kena mengisap hawa beracun. Ia menyeka
pelupuhnya dan membersihkan pedangnya dengan rumput alang-alang, kemudian
memasukkan pedang pusaka itu di dalam sarun pedang kembali.
Baru saja pedangnya disarungkan, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam di depan
mukanya dan kalau saja ia tidak cepat mengelak, tentu pukulan yang dilakukan
oleh bayangan itu akan mengenai dadanya! Rakai Pikatan bangun dan memandang.
"Dimas Indrayana!!" serunya terkejut, heran, dan marah.
Memang penyerang itu adalah Indrayana sendiri. Pada saat Rakai Pikatan mendaki
Bukit Papak dari selatan, pemuda inipun mendaki bukit dari sebelah timur. Ia
hendak mencari pula pengganggu yang tinggal di Gunung Papak dan melenyapkannya
sebagai yang diisyaratkan oleh sayembara itu.
Sesungguhnya, Indrayana mengikuti sayembara hanya dengans atu maksud dan tujuan
yaitu menghalang-halangi Rakai Pikatan! Ia tidak ingin memperisteri Sang Puteri
Pramodawardani, ia tidak mungkin dapat mencintai seorang wanita lain lagi
setelah hatinya terpatah oleh Candra Dewi yang dijadikan permaisuri oleh Rakai
Pikatan karena Raja Mataram ini merampas Candra Dewi dari tangannya, akan tetapi
karena mengira bahwa Rakai Pikatan telah meninggalkan atau menyia-nyiakan Candra
Dewi, kemarahannya memuncak. Celakalah orang yang mendatangkan sengsara kepada
gadis yang dicintainya itu!
Ketika INdrayana mendaki bukit itu, sebelum tiba di puncak, tiba-tiba ia
mendengar suara berkerosokan seperti daun-daun kering diinjak banyak Koleksi
Kang Zusi kaki. Ia cepat bersiap dan alangkah kagetnya ketika ternyata bahwa suara itu
ditimbulkan oleh banyak sekali ular-ular kecil yang meluncur berlenggak-lenggok
di atas tanah menuju ke arahnya seakan-akan barisan yang bersiap menyerang
musuh! Indrayana yang gagah dan tidak mengenal takut itu menjadi ngeri juga melihat
betapa banyaknya ular-ular welang, dumung, sawah dan ular air berlenggak-lenggok
menjijikkan. Ia tidak mau melayani ular-ular ini dan hendak mengambil jalan
memutar. Akan tetapi, baru saja ia membalikkan tubuh ternyata dari belakang,
kanan dan kiri telah penuh dengan ular.
Bahkan ketika ia mendengar suara dari atas pohon-pohon juga dating ular-ular
yang merayap turun. Ia telah terkurung oleh ratusan ekor ular!
"Hm, ini tentu perbuatan siluman gunung ini!" bisik Indrayana. "Baiklah, kalau
kau menghendakibalamu menjadi bangkai, aku takkan mundur setapak!" Pemuda yang
gagah berani ini lalu mencabut keris dengan tangan kanan, sedangkan tangan
kirinya melepaskan ikatan kepala yang dipegang ujungnya. Setelah ular-ular itu
merayap dekat dan mulai menyerangnya dengan mendesis-desis dan membuka mulut
mereka yang lebar, Indrayana mulai bergerak. Ikat kepala di tangannya diputar
sedemikian rupa dan ternyata kain pengikat kepala yang lembek ini setelah berada
di tangannya, merupakan sebuah senjata yang amat dahsyat. Ujung kain itu ketika
dipukul-pukulkan mengelaurkan bunyi bagaikan pecut dan setiap kali kepala ekor
terkena ujung kain itu, pecahlah kepala ekor ular itu dengan otak berserakan!
Namun ujung kian itu sendiri tetap bersih dan tidak terkena darah ular. Ular-
ular yang agak besar dirobohkannya dengan keris pusakanya yang ampuh. Tak usah
sampai tembus, baru tergurat sedikit saja oleh ujung keris di tangan Indrayana,
ular-ular itu bergelimpangan dan tidak berkelojotan lagi!
Betapapun hebatnya amukan Indrayana sehingga sebentar saja puluhan bangkai ular
bertumpang tindih, namun ular itu merupakan lawan yang tidak mengenal arti
mundur atau takut. Matia satu dating dua, roboh dua dating empat sehingga lama-
kelamaan Indrayana merasa ngeri dan jijik. Tempat itu telah berbau amis karena
arah ular-ular yang dibunuhnya. Untuk pergi Koleksi Kang Zusi
dari situ juga tak mungkin, karena kemana saja ia melompat, ia selalu terkurung
dan sama sekali tak ada jalan keluar.
Dengan gemas Indrayana lalu mencari akal. Ketika melihat batu hitam yang besar
di dekat tempat itu, ia lalu melompat ke atas batu itu sambil membawa daun-daun
kering. Ular-ular yang masih mengurung lalu berlenggak-lenggok mengurung batu
besar itu dan sudah ada beberapa belas ekor ular yang merambat menaiki batu
untuk menyerangnya. Indrayana terpaksa mempergunakan kain ikat kepalanya disabetkan ke kanan kiri
dan ular-ular itu terbanting ke bawah kembali. Indrayana menggunakan kerisnya
digurat-guratkan kepada batu hitam. Berpijarlah bunga api ketika keris yang
ampuh itu ujungnya diguratkan pada batu hitam yang keras. Sebentar saja
terbakarlah daun-daun kering yang dibawanya tadi. Dengan daun-daun terbakar ini,
Indrayana lalu menyebarkan api pada daun-daun kering yang banyak terdapat di
bawah batu, maka sebentar saja menjalarlah api membakar daun-daun kering dibawah
pohon. Akal Indrayana ini baik sekali, karena begitu menghadapi api, ular-ular itu
menjadi ketakutan dan larilah binatang-binatang itu berserabutan!
Indrayana mentertawakan binatang-binatang itu dan melanjutkan perjalanannya,
karena ia aingin "mendahului" Rakai Pikatan membasmi penggangggu di gunung itu
agar sang puteri mahkota jangan sampai terjatuh ke dalam tangan Rakai Pikatan
sehingga merusak kebahagiaan Candra Dewi.
Tiba-tiba ia mendengar suara keras dan ketika ia berlari menghampiri, ia melihat
Raja Mataram itu tengah berjuang mati-matian melawan seekor ular yang luar biasa
besarnya! Sungguh baik sekali bahwa kedua orang muad itu mendaki bukit dari dua
jurusan, karena kalau saja tidak demikian halnya, maka mereka yang naik ke bukit
itu tentu akan menghadapi ular besar itu dan dikeroyok pula oleh ratusan ular
kecil! Kalau terjadi demikian, maka hal itu akan berbahaya sekali. Agaknya tak
mungkin menghadapi Nagaluwuk jika masih dikeroyok pula oleh ratusan ular itu.
Tanpa disengaja, Indrayana dan Pancapana telah ebkerja sama, Koleksi Kang Zusi
menghilangkan perintang yang berupa anak buah Sarpajati dan Sarpawuyung,
sepasang manusia iblis di Gunung Papak itu!
Akan tetapi, ketika Indrayana menyaksikan betapa Rakai Pikatan telah berhasil
menewaskan ular besar dan kini duduk mengaso di bawah pohon, ia tak dapat
menahan kesabarannya lagi dan kebencianmeluap. Terbayanglah wajah Candra Dewi
yang menangis sedih karena ditinggalkan oleh suami yang mengikuti sayembara
hendak memperebutkan puteri Syailendra.
Tanpa banyak cakap pula, ia lalu melompat dan menerjang Rakai Pikatan yang
sedang duduk. Sungguhpun ia tidak memberi tahu lebih dulu namun sebagai seorang
ksatria ia menyerang dari depan dengan terang-terangan, memukul dada Raja
Mataram yang masih muda itu.
Demikianlah setelah melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah Indrayana, Rakai
Pikatan lalu menegur pemuda itu dan kini mereka berdiri berhadapan, saling
menatap muka masing-masing dengan pandangan bernyala.
"Indrayana, apakah artinya ini" Mengapa kau menyerangku dengan tiba-tiba tanpa
alas an?" Indayana tersenyum sindir. "Sang Prabu Pikatan, sungguhpun aku menyerangmu, akan
tetapi aku menyerang dari depan! Majulah kau dan mari kita sama lihat, siapa
lebih unggul dan lebih digdaya!"
"Indrayana, apakah kau sudah gila!" bentak Sang Rakai Pikatan marah.
Merahlah muka Indrayana mendengar makian ini. Ia membusungkan dadanya dan
menjawab. "Sang Prabu Pikatan! Baru sekarang terbukti Koleksi Kang Zusi
kebenaran kata-kata orang bijaksana bahwa kedudukan tinggi itu bercahaya
gemilang sehingga dapat membutakan mata hati orang! Kau yang dahulu kuanggap
orang semulia-mulianya dan sebaik-baiknya, setelah mendapat kedudukan tinggi dan
mulia, ternyata juga menjadi buta dan bukan aku yang gila, melainkan kau
sendiri, gila perempuan!"
Bukan main marahnya Sang Rakai Pikatan mendengar ini. "Indrayana! Tak patut kau
mengeluarkan kata-kata sekeji ini! Agaknya kau marah kepadaku karena Candra
Dewi." "Jangan sebut-sebut namanya dalam persoalan ini! Sudahlah, kalau benar-benar kau
laki-laki dan gagah, mari kita tentukan di tempat ini. Kita berdiri sebagai
saingan dalam memperebutkan Sang Puteri Mahkota Syailendra.
Kalau kau sanggup menyempal bahu Indrayana, barulah kau akan dapat memboyong
puteri itu. Kalau tidak, kau harus mati dan puteri mahkota adalah hak
Indrayana!" "Keparat!" seru Sang Rakai Pikatan dengan mata bernyala. "Sebelum pecah dadaku,
jangan harap kau akan dapat menjadi suami Pramodawardani dan merusak kebahagiaan
isterimu sendiri!" Kata-kata terakhir ini tidak terdengar lagi oleh Indrayana yang sudah merasa
marah sekali. Ia melompat maju memukul dengan tangan kanannya, akan tetapi Rakai
Pikatan dengan sigapnya menangkis dan balas menyerang.
Bukan main hebatnya pertandingan ini. Keduanya sama tampan, sama gagah, sama
sakti mandraguna dan pernah mendapat gemblengan yang sama pula dari guru mereka,
yakni Sang Begawan Ekalaya di Gunung Muria. Pukul-memukul, tendang-menendang,
hempas-menghempas, membuat bumi yang terpijak oleh mereka seakan-akan tergetar
karena hebatnya perjuangan kedua orang ksatria itu. Tangan mereka sama ampuh,
gerakan mereka sama gesit dan tubuh mereka sama kebal pula. Pada suatu saat
ketika Indrayana lengah, sebuah pukulan hebat dari Sang Rakai Pikatan dengan
jitu mengenai dadanya, membuat ia terlempar sampai dua tombak lebih dan Koleksi
Kang Zusi duduk dengan kepala pening beberapa saat lamanya. Akan tetapi, ia segera bangkit
kembali, membuat serangan balasan dengan hebatnya sehingga berhasil mengirimkan
pukulan yang mengenai leher Sang Rakai Pikatan sehingga Raja Mataram ini
terhuyung-huyung ke belakang dengan pandangan mata nanar untuk seketika.
Hm, tanganmu keras sekali Indrayana!" Sang Rakai Pikatan memuji bekas sahabatnya
ini dengan kagum. "Babo, babo!" sumbar Indrayana. "Kerahkan seluruh kekuatanmu Sang PRabu! Kalau
kau masih penasaran, cabutlah pedangmu dan mari kau hadapi ksatria Syailendra
ini!" "Aduh, sumbarmu seakan-akan kau telah menggulingkan Gunung Mahameru! Jangan kau
kira aku gentar menghadapimu. Akan tetapi, bukan watak ksatria untuk bertempur
dalam gelap gulita, mempergunakan keadaan yang gelap untuk mencari kemenangan.
Orang yang bertempur secara liar di dalam gelap hanya orang buas yang tidak
mengenal tata kesusilaan. Kalau kau tidak mau kuanggap orang liar, kita tunda
dahulu pertempuran ini dan kita lanjutkan besok pagi."
Memang pada saat itu malam telah tiba dan keadaan mulai menjadi gelap.
Sebentar lagi tentu di dalam hutan itu gelap pekat tak kelihatan sesuatu.
Indrayana menghela napas menjawab.
"Sesukamulah! Diteruskan sekarang atau besok pagi bagiku sama saja.
Pendeknya, kali ini kita harus mengadu tenaga sampai salah seorang di antara
kita roboh tak bernyawa pula. Nah sampai besok pagi Sang Prabu!"
Koleksi Kang Zusi "Indrauana..." Rakai PIkatan memanggil dengan suara halus, akan tetapi pemuda ini
telah melompat dan menghilang di balik semak-semak. Sang Prabu Pikatan menarik
napas panjang karena ia memang amat lelah, ia lalu duduk menyandarkan tubuh di
bawah pohon. Tak lama kemudian iapun tertidu nyenyak.
Sementara itu, Indrayana yang tidak pergi jauh dari situ juga telah tertidur di
atas pohon waringin. Pemuda inipun merasa lelah sekali. Belum pernah ia menemui
tandingan sekuat Sang Rakai Pikatan dan dalam perkelahian tadi ia telah
mengerahkan tenaganya sehingga merasa penat dan sakit-sakit tulang dan urat
tubuhnya. Menjelang tengah malam, dua pasang mata yang seperti mata harimau, yang dapat
menembus kegelapan, mengintai Rakai Pikatan yang sedang tidur pulas di bawah
pohon. Mereka adalah sepasa manusia iblis di Gunung Papak, yaitu Sarpajati dan
Sarpawuyung. Ketika mereka sampai di tempat itu, mereka terkejut sekali melihat
Nagaluwuk telah tewas. Mereka tidak mengetahui tentang pertempuran antara ular
besar itu dan Rakai Pikatan, karena mereka menyembuyikan diri di dalam gua dan
tidak berani keluar sebelum tengah malam tiba. Kini mereka mengintai Sang Rakai
Pikatan yang sedang tidur.
"Kakang Jati, agaknya raja sinatria inilah yang telah membunuh Nagaluwuk.
Keparat benar! Mari kita bunuh dia, membalas sakit hati Nagaluwuk!"
"Sst, nanti dulu, Wuyung. Jangan kita bertindak sembrono. Ketahuilah bahwa
ksatria yang sedang tidur itu bukan sembarang orang yang mudah dilawan begitu
saja. Aku sekarang ingat bahwa dia adalah Sang Prabu Pikatan, raja muda dari
Mataram yang terkenal. Tadinya kukira ia seorang biasa saja, akan tetapi setelah
ia berhasil menewaskan Nagaluwuk, dan melihat teja yang bercahaya dari
kepalanya, ternyata ia tidak boleh dibuat gegabah. Lebih baik kita menguasainya
dengan aji panyirepan lebih dulu Koleksi Kang Zusi
agar ia tak berdaya."
Kedua kakak beradik ini lalu duduk bersila di atas tanah, menyilangkan kedua
lengan di depan dada dan mengheningkan cipta lalu mengerahkan aji japa mantera
mereka melakukan panyirepan. Bukan main hebatnya aji ini karena semua binatang
di hutan itu yang tidur di atas tanah, semua lalu jatuh pulas! Tetapi, alangkah
heran dan terkejut hati mereka ketika mendapat kenyataan bahwa Sang Rakai
Pikatan belum juga terpengaruh oleh aji mereka. Seorang manusia yang terkena aji
panyirepan ini, dapat ditentukan dari suara mendengkur dalam tidurnya. Biarpun
tadinya orang itu tidak mendengkur dan tidak biasa mendengkur dalam tidurnya,
akan tetapi apabila telah terkena pengaruh aji panyirepan ini, pasti akan
terdengar dengkurnya, tanda bahwa tidurnya nyenyak sekali dan juga tidak
sewajarnya! Akan tetapi, ditunggu-tunggu sampai lama, ternyata Sang Rakai
Pikatan masih saja tidur dengan napas perlahan dan halus, sama sekali tidak
terdengar dengkurnya.

Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hal ini tak usah diherankan apabila diingat bahwa Rakai Pikatan adalah seorang
pemuda yang telah bertahun-tahun mendapat gemblengan dari Sang Panembahan
Bayumurti yang sakti, bahkan kemudian ia mendapat bimbingan dari Sang Begawan
Ekalaya yang suci dan berilmu tinggi. Tidak sembarang ilmu hitam akan dapat
mempengaruhi pemuda yang telah menjadi raja di Mataram ini.
Sepasang manusia iblis kembar itu menjadi penasaran sealo dan dengan sekuat
tenaga mereka mengerahkan aji kesaktiannya dan pengaruh aji tenung mereka itu
menyebarkan hikmat yang membuat daun-daun pohon seakan-akan ikut tertidur juga!
Biarpun demikian mereka masih harus menggunakan waktu hampir setengah malam
sebelum mereka mendengar suara dengkur perlahan dan halus keluar dari dada Sang
Rakai Pikatan. Menjelang fajar, barulah Raja Mataram itu tunduk dan terkena hikmat aji
kesaktian Sarpajati dan Sarpawuyung.
Koleksi Kang Zusi "Kurang ajar, hampir habis tenagaku!" kata Sarpawuyung sambil mengatur napasnya
yang terengah-engah. Pengerahan tenaga batin yang dipaksakan aitu benar-benar
melelahkan kedua orang itu sehingga mereka tidak berdiri dari tempat duduk
mereka dan mengaso sampai fajar menyingsing.
Setelah tenaga mereka terkumpul dan hari mulai terang, barulah mereka berdiri
dan memandang ke arah Sang Rakai Pikatan yang duduk bersandar di batang pohon
dan masih tidur mendengkur perlahan.
Keadaan di dalam hutan ini aneh sekali, karena biarpun matahari telah mulai
mengusir halimun pagi, namun tidak terdengar suara ayam hutan atau binatang
lain. Semua penghuni hutan masih tertidur lelap karena pengaruh sirep dan sihir
kedua orang itu. "Kakang Jati, biarkan aku yang membunuh Raja Mataram ini!" kata Sarpawuyung
smbil melangkah maju dan mencabut lembingnya. Juga Sarpajati mencabut lembing
dan kedua orang itu telah siap untuk menancapkan lembing mereka di dada Sang
Rakai Pikatan. Akan tetapi, tiba-tiba pada saat Sarpawuyung telah mengangkat
lembingnya, dari atas pohon melayang turun sebatang anak panah tahu-tahu
menancap di depan kedua orang yang hendak membunuh Raja Mataram itu!
Sarpajati dan Sarpawuyung terkejut sekali. Mereka mendongak dan pada saat itu
juga melayanglah turun sesosok tubuh yang gerakannya egsit sekali dan tahu-tahu
Indrayana telah berdiri di depan Sang Rakai Pikatan, menghadapi raja itu dan
sekali ia mengebutkan ikat kepalanya kea rah muka raja muda itu, terbangunlah
Sang Raja Pikatan dari tidurnya!
"Jahanam!" seru Sarpawuyung dengan amat marah. "Kami berurusan dengan Raja
Mataram, kau siapakah berani mengganggu kami?"
"Iblis jahat dengarlah baik-baik! Aku adalah Raden Indrayana, ksatria Koleksi
Kang Zusi Syailendra yang tidak membiarkan iblis-iblis seperti kalian berlaku curang!"
"Hm, dia inilah yang menjadi pengikut sayembara pula!" seru Sarpajati.
"Adi Wuyung, hayo kita sirnakan manusia sombong ini!"
Sarpajati dan Sarpawuyung lalu menggeram dan kedua orang ini menyerang dengan
hebat sekali, lembing mereka yang ujungnya hitam dan berbisa itu menyambar-
nyambar kea rah tubuh Indrayana. Indrayana harus menggunakan kegesitannya untuk
menghindarkan diri daripada bahaya maut itu. Ia maklum akan keampuhan lembing
itu dan ternyata bahwa gerakan kedua orang itu amat gesit. Diam-diam Indrayana
yang tidak tahu bahwa lawannya adalah bekas perwira-perwira Mataram, merasa
heran sekali bagaimana orang-orang liar ini memiliki gerakan ilmu berkelahi yang
cukup tinggi dan indah. Ia mengerahkan kelincahan dan tenaga, menghadapi dua
lembing yang berbahaya itu dengan kerisnya.
Berkali-kali ia mencoba untuk mematahkan senjata lembing lawan dengan kerisnya
yang ampuh, akan tetapi ternyata bahwa lembing kedua orang kembar itupun terbuat
daripada logam hitam yang kuat sekali.
Oleh karena kedua orang lawannya itu memiliki kepandaian tinggi, maka Indrayana
yang dikeroyok dua lambat laun mulai terdesak. Hanya berkat kegesitannya yang
luar biasa saja pemuda ini masih dapat meluputkan diri mempergunakan
kekebalannya untuk menahan serangan lembing, akan tetapi bisa yang amat kuat dan
berbahaya di ujung lembing itu akan dapat menimbulkan bencana juga. Indrayana
maklum sepenuhnya akan bahaya ini, maka ia selalu menghindarkan diri dari
tusukan senjata lawan sehingga tubuhnya berkelebatan di antara sinar senjata
lawan. Sementara itu, setelah tadi dikebut oleh ikat kepala Indrayana, Rakai Pikatan
menjadi sadar dari pengaruh aji panyirepan dia ia mulai membuka mata dan
menggerakkan tubuhnya yang terasa kaku dan lemah karena pengaruh aji ilmu hitam
itu. Sang Pikatan maklum bahwa ia tentu terkena Koleksi Kang Zusi
hikmat ilmu hitam, maka cepat-cepat ia bangun duduk dan bersila, mengumpulkan
napas dan bersamadhi sebentar, mengatur jalannya pernapasan untuk membersihkan
hawa yang menghikmatinya selama ia tertidur tadi. Kemudian, ia membuka matanya
dan melihat betapa Indrayana terdesak hebat oleh kedua orang gundul yang amat
sakti itu, ia cepat melompat berdiri. Rakai Pikatan dapat menduga bahwa ia tentu
telah kena pengaruh ilmu hitam kedua orang itu dan bahwa Indrayanalah yang telah
menolongnya. "Dimas Indrayana, jangan khawatir, aku datang membantumu!" Setelah berkata
demikian, Raja Mataram ini mencabut pedangnya dan melompat ke dalam gelanggang
pertempuran. Kini pertempuran menjadi makin seru.
Rakai Pikatan dilawan oleh Sarpajati sedangkan Indrayana menghadapi Sarpawuyung.
Tiba-tiba saja Sarpajati menahan pedang Rakai Pikatan dengan lembingnya, lalu
bertanya sambil memandang tajam. "Kau Raja Mataram yang berjuluk Rakai Pikatan.
Melihat wajahmu, kau serupa benar dengan mendiang Sang Prabu Sanjaya. Ada
hubungan apakah kau dengan raja tua itu?"
"Sang Prabu Sanjaya adalah ramandaku. Apa perlumu menyebut nama mendiang ramanda
prabu?" Mendengar jawaban ini, Sarpajati tertawa tergelak dan mukanya nampak makin buas.
"Ha, ha, ha! Kebetulan sekali! Kalau begitu, kau tentulah Pangeranpati
Pancapana! Ha, akan tercapailah hasrat hatiku membalas dendam. Ketahuilah, Sang
Prabu Pikatan! Aku dan adikku ini dahulu adalah perwira-perwira Kerajaan Mataram
yang telah banyak membuat jasa terhadap kerajaan. Akan tetapi, ayahmu yang tidak
mengenal budi itu telah mengusir kami. Sekarang, karena ayahmu telah meninggal
dunia, kaulah yang menjadi penggantinya dan harus membayar hutang orang tuamu!"
Koleksi Kang Zusi "Sudah sepantasnya mendiang ramanda prabu mengusir kalian kaerna kalian adalah
orang-orang yang jahat."
"Keparat, rasakan pembalasanku!" Setelah membentak demikian, Sarpajati lalu
menyerang dengan murka dan nekat. Akan tetapi, Sang Rakai Pikatan dapat menahan
dengan pedangnya dan mereka segera bertempur dengan seru sekali.
Kini, setelah menghadapi Sarpawuyung seorang saja, Indrayana tidak merasa berat,
bahkan gerakan kerisnya sellau mengancam jiwa lawannya.
Sarpawuyung selalu mundur dan amat terdesak oleh keris Indrayana yang bagaikan
telah berubah menjadi puluhan buah itu. Sarpawuyung maklum bahwa ia takkan dapat
menang, maka diam-diam ia membaca manteranya dan ketika ia menyemburkan hawa
dari mulutnya, maka segumpal uap hijau menyerang kea rah muka Indrayana! Pemuda
ini maklum akan bahaya dan dapat menduga bahwa uap hijau itu bukanlah sembarang
uap, akan tetapi uap yang terjadi karena ilmu hitam dan yang mengandung bisa
berbahaya atau pengaruh yang kuat, maka ia lalu menahan napas untuk menjaga
diri, kemudian ia mengebutkan ikat kepalanya yang selain ampuh juga digerakkan
dengan tenaga luar biasa.
Sarpawuyung hendak mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri, akan
tetapi Indrayana cepat melompat mengejarnya.
Keparat keji, jangan lari!" teriaknya sambil menyerang dengan kerisnya.
Ketika Sarpawuyung menangkis dengan lembingnya, Indrayana cepat menarik kembali
kerinsya dan mengirim sebuah tendangan dengan kaki kirinya ke arah lawannya.
Sarpawuyung terkejut sekali karena ia tidak menyangka akan serangan yang cepat
sekali datangnya ini. Ia lalu menyabetkan lembingnya ke arah kaki Indrayana yang
menendang dengan Koleksi Kang Zusi
maksud melukai kaki itu, karena sekali saja ujung lembingnya dapat melukai kulit
tubuh lawan, berarti ia akan memperoleh kemenangan.
Namun, Indrayana tidak dapat di jatuhkan begitu saja. Pemuda ini semenjak
kecilnya memang telah mempelajari berbagai ilmu pukulan yang tinggi dan memiliki
gerakan yang melebihi seekor raja kera gesitnya. Ia sengaja memperlambat
gerakannya dan ketika ujung lembing lawan sudah dekat sekali dengan kakinya,
secepat kilat ia menarik kembali kaki itu dan berbareng pada saat itu juga
kerisnya bekerja. Keris itu di ditusukkan kedepan dan ...... " cap ! " uluhati
Sarwapayung ternyata tidak dapat menahan serangan keris Indrayana sehingga keris
itu menancap sambil ke gagangnya, Indrayana mencabut kembali kerisnya sambil
melompat ke belakang, sebelum roboh Sarwapayung telah melontarkan lembingnya ke
depan dan kalau saja Indrayana berada di depannya, maka agaknya akan sukar bagi
pemuda itu untuk mengelak. Sarwapayung roboh mandi darah dan tak dapat berkutik
lagi. Ketika Indrayana memandang ke arah Rakai Pikatan ternyata Raja Mataram itu masih
bertempur ramai melawan Sarjapati yang ternyata juga hebat ekali kepandaiannya.
Semenjak tadi, memang ilmu pedang Rakai Pikatan lebih unggul dan dapat menekan
lembing lawannya, akan tetapi seperti juga Indrayana, Rakai Pikatan, maklum akan
kejamnya lembing berbisa itu, maka selalu bertempur dengan hati-hati jangan
sampai terluka sedikitpun juga.
Sarjapati merasa kewalahan menghadapi Sang Prabu Pikatan, dan telah beberapa
kali ia mencari jalan untuk melarikan diri. Lebih-lebih setelah ia melihat
betapa adiknya telah tewas dalam tangan Indrayana, semangatnya telah terbang dan
keberaniannay lenyap sama sekali. Ia lalu membaca mantera an ketika ia memekik
nyaring, dalam pandang mata Rakai Pikatan lawannya itu lenyap berobah menjadi
asap ! Akan tetapi Raja Mataram itu cepat mempergunakan aji kesaktian yang ia
pelajari dari Bagawan Ekalaya untuk melawan ilmu hitam. Tiga kali ia menggosok
matanya sambil membaca mantera dan nampaklah lagi olehnya Sarjapati yang sedang
melarikan diri. Koleksi Kang Zusi "Jahanam, jangan kau lari ! " serunya sambil mengejar.
Bukan main terkejutnya Sarjapati ketika melihat lawannya dapat mengejarnya, maka
terpaksa ia melawan lagi dengan nekad dan mati-matian. Seperti juga adiknya ia
mengeluarkan uap hijau dari mulutnya, namun tetap saja lawannya yang gagah itu
apat menghindar diri. Gerakan pedang Rakai Pikatan diperce[at sehingga
mendatangkan angin dan sinar pedangnya berkilat-kilat menyambar. Uap hijau
ketika terkena sambaran cahaya pedangnya, menjadi buyar pula.
Akhirnya, engan sebuah bacokan hebat, leher Sarjapati hampir putus oleh pedang
Rakai Pikatan ! Tewaslah dua orang manusia iblis yang telah lama merupakan
gangguan bagi rakyat Syailendra itu, binasa di dalam tangan Indrayana an Rakai
Pikatan. Kini kedua orang muda itu berdiri lagi berhdapan, saling pandang engan senjata
di tangan ! Matahari telah naik tinggi dan wajah mereka berkilat karena peluh
mereka membasahi jidat dan leher. Pertempuran melawan dua orang kembar tadi
benar-benar membutuhkan pengarahan tenaga yang tidak sedikit. Apakah dua orang
jago muda ini hendak melajutkan pertempuran mereka malam tadi "
"Bagaimana Indrayana " Masih hendak kaulanjutkan jugakah kekurangajaranmu
terhadap aku. Kalau kau memang membenciku, mengapa pula kau tadi menolongku dari
ancaman kedua siluman ini " Sungguh kau orang aneh, Indrayana ! "
Mengapa tidak kuteruskan " Kaukira aku takut kepadamu " " jawab Indrayana dengan
keris menggigil di tangannya. " Menolongmu tidak ada Koleksi Kang Zusi
hubungannya dengan pertempuran kita. Sudah menjadi watak seorang ksatria untuk
menolong siapa saja yang terancam bahaya karena kecurangan orang jahat. "
Sang Prabu Pikatan tersenyum menyindir. " Pandai kau berbicara, Indrayana.
Apakah kau sendiri juga tidak berlaku curang " Ketika kau membawa suratku dan
menjadi utusanku, kau masih menjadi seorang kawula yang bertugas. Akan tetapi
kau telah berlaku curang dan khianat.
Kau telah melarikan Candra Dewi yang kupinang. Dan sekarang kau hendak
menghalangi aku memboyong Pramodawardani " Apakah semua puteri hendak
kauborong " Apakah kau tega untuk menyakiti hati Candra Dewi yang telah menjadi
isterimu " " "Kakangmas Pancapana ...... demi Dewi Yang Maha Agung, katakanlah sekali lagi.
Benarkah Candra Dewi tidak menjadi permaisurimu " Apakah artinya semua ini ...... ?"
" Sang Prabu Pikatan juga memandang dengan penuh keheranan. Raja Mataram ini
menyimpan kembali pedangnya.
"Dimas Indrayana ! Bukankah Candra Dewi telah lari dengan kau " telah menjadi
isterimu " " "Tidak, tidak ! Setelah memberikan surat pinanganmu kepada Paman Panembahan
Bayumurti, aku lalu pergi kembali ke rumah rama wiku di syailendra. Di manakah
adanya Jeng Dewi " "
Maka berceritalah Sang Prabu Pikatan akan berita dari Panembahan Bayumurti bahwa
Candra Dewi menolak pinagan itu dan bahkan dara itu lalu Koleksi Kang Zusi
melarikan diri. "Tentu saja aku mengira bahwa Candra Dewi melarikan diri bersamamu karena kalian
berdua saling mencintai. Itu pulalah yang membuat aku diam saja, bahkan aku
telah merasa menyesal mengapa aku hendak memisahkan ikatan asmara yang denga
amat teguhnya mengikat hatimu berdua.
Sungguh sama sekali tidak kuduga bahwa Candra Dewi melarikan diri tanpa kau ! "
Mendengar ini, lemaslah tubuh Indrayana, " mengapa aku sebodoh ini "
Sang Prabu, cabutlah pedangmu dan penggallah leherku. Hamba telah berlaku bodoh
dan sesat. Ah, diajeng Dewi ...... " Tak terasa pula air matanya menitik.
Sang Rakai Pikatan merasa terharu sekali. Ia memegang kedua bahu Indrayana. "
Jangan kau bersikap demikian. Kau hanya memperberat penderitaanku yang timbul
karena penyesalanku. Sesungguhnya akulah yang menjadi gara-gara semua ini.
Marilah kita pergi mencari Candra Dewi, dimas. Aku akan mendapatkannya untumu.
Aku takkan merasa bahagia memboyong Pramodawardani sebelum melihat engkau
berkumpul kembali dengan Candra Dewi ! "
Dengan hati terharu kedua orang muda yang dahulu menjadi sahabat karib itu
bersama-sama pergi menuju tempat pertapaan Panembahan Bayumurti untuk mencari
Candra Dewi. Akan tetapi mereka kecele, karena setelah tiba di tempat itu,
ternyata bahwa Sang Panembahan Bayumurti dan puterinya tidak berada di situ
pula. Prabu Pikatan tidka putus harapan, dan ia lalu mengajak Imdrayana untuk
mencari jejal ayah dan anak itu yang menuju ke timur. Raja Mataram ini tidak
memperdulikan lagi akan sayembara meminang puteri mahkota Syailendra karena
telah bertekad untuk mencari Candra Dewi sampai dapat. Dia merasa berdosa
terhadap Candra Dewi dan Indrayana.
Koleksi Kang Zusi *** Kita tinggalkan dulu Sang Rakai Pikatan dan Raen Indrayana yang berkelana
mencari Candra Dewi sampai berbulan lamanya danmarilah kita menengok keadaan
Kerajaan Syailendra yang mengalami keributan besar.
Pada hari Indrayana dan Sang Prabu Pikatan datanglah Siddha Kalaga memasuki
hutan itu untuk memenuhi tugas sayembara, yaitu mencari kedua manusia iblis
Sarpajati dan Sarpawuyung yang menjadi syarat sayembara.
Alagkah herannya ketika ia melihat mayat kedua sonopati Sriwijaya, bangkai ular
Nagawuluk, dan mayat kedua orang manusi aiblis yang di carinya itu. Ia dapat
menduga bahwa semua ini tentulah hasil karya Indrayana dan Raja Mataram. Akan
tetapi oleh karena di situ tidak terlihat kedua orang muda itu, Siddha Kalagana
lalu mendatangkan kawan-kawannya untuk mengangkat semua mayat itu ke ibu kota
sebagai bukti bahwa dialah yang berjasa dalam menewaskan Sarjapati dan
Sarpawuyung ! Sang Maha Raja Samaratungga terkejut sekali melihat tewasnya kedua senopati
sriwijaya yang di harapkan akan menang. Lebih gelisah lagi hatinay ketika bahwa
yang berhasil membinasakan Sarjapati dan Sarpawuyung adalah Pendeta Siddha
Kalagana yang dibencinya ! Hatinya curiga, karena ke manakah perginya Indrayana
dan Sang Rakai Pikatan "
"Sang Prabu, " kata Siddha Kalagana dengan sikap sombong, " karena aku yang
dapat membuktikan mayat kedua orang iblis ini, akulah yang ebrhasil memenuhi
syarat dari sayembara. Aku yang berhak memboyong Sang Diyah Ayu Pramodawardani
sebagai permaisuriku. Ha, ha, ha, ! "
Sang Maha Raja Samaratungga menekan kegemasan hatinya melihat sikap yang kurang
ajar dan sombong ini, lalu berkata denagn suara tenang.
Koleksi Kang Zusi "Nanti dulu, Siddha Kalagana ! Sebagaimana kau tahu, pengikut sayembara ada lima
orang jumlahnya. Yang dua, senopati-senopati dari sriwijaya, telah tewas dalam
melakukan tugasnya, maka masih ada dua oran lagi, kau sendiri, Raja Mataram, dan
Indrayana. Oleh karena dua orang muda itu belum kembali, maka kita belum
menetapkan siapa yang berhal disebut pemenang ! Lagi pula, masih ada syarat yang
terpenting, yaitu membangun sebuah candi sebesar gunung anakan yang selain
besar, juga harus indah ukiran-ukirannya danmenjadi lambang dari Agama Buddha !
" "Ha, ha, ha. Sang Prabu, jangan khawatir tentang candi itu ! Di seluruh
Syailendra dan Mataram tidak ada ahli-ahli seni ukir dan pahat sepandai orang-


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orangku ! Anak buahku adalah ahli-ahli patung belaka yang dapat mengukir !
Serahkanlah saja kepada Maha Raja Siddha Kalagana dan di atas dataran tinggi
desa Tepusan tak lama lagi tentu akan berdiri sebuah candi indah sebesar gunung
anakan. Akan kubuat yang seindah-indahnya sebagai hadian kepaa calon isteriku,
Pramodawardani yang denok ayu ! Ha, ha, ha ! "
Bukan main sebalnya hati Sang Maha raja Samaratungga mendengar ini.
Maka ia lalu memberi isarat dengan tangannya agar supaya pendeta tua yang tidak
dikehendaki ini segera pergi meninggalkan ruang pertemuan.
Sambil tertawa-tawa Siddha Kalagana keluar dari keraton dan ia segera menyuruh
pengikutnya untuk memanggil ahli patung di Kerajaan Durgaloka yang jumlahnya
ribuan orang itu. Maka dimulailah pembangunan candi besar di desa Tepusan itu oleh anak buah
Siddha Kalagana. Desa itu menjadi ramai sekali karena penuh dengan para
pembangun candi yang di kepalai sendiri oleh Siddha Kalagana. Berkat pengaruhnya
yang besar sekali dan jumlah pengikutnya yang puluhan ribu orang itu, Siddha
Kalagana dapat mengumpulkan batu-batui besar yang hitam dan kuat. Setiap hari,
ribuan orang mengangkat batu-batu besar ke desa Tepusan. Ahli-ahli pakar yang
pandai dan cekatan lalu membentuk batu-batu itu menjadi halus dengan segi-segi
yang lurus untuk kemudian di atur dan di pasang sebagai dasar candi yang hendak
di bangun. Koleksi Kang Zusi Siddha Kalagana telah mulai dengan pembagunan candi besar, dimulai denagn batu-
batu besar dan kuat sebagai alas atau dasar, kemudian membauat kaki candi yang
terbuat daripada batu-batu kasar dan kuat ditumpuk-tumpuk. Takjublah semua orang
ketika menyaksikan ukuran kaki candi ini. Benar-benar besar sekali dan luar
biasa. Sebesar kaki bukit anakan betul sesuai dengan tuntutan sayembara. Alas
dan candi itu bentuknya segi empat, ukurannya tidak kurang dari tujuh puluh lima
depa ( satu depa ukuran kedua tangan dibentangkan ke kanan kiri ) !
Pekerjaan ini benar-benar merupakan pekerjaan raksasa yang hebat dan berat
sekali. Baru pengangkatan batu ke desa Tepusan saja sudah merupakan pekerjaan
yang luar biasa. Akan tetapi Siddha Kalagana benar-benar amat berpengaruh dan
berkuasa besar. Ia mempunyai banyak tenaga ahli yang bersetia kepadanya, baik
dibawah pengaruh sihir atau yang memang bersetia karena percaya dan tunduk
kepadanya. Siddha Kalagana juga cerdik sekali, karena untuk pekerjaan besar ini,
ia tidak segan-segan menghibur diri para pekerja. Maka terjadilah hal yang amat
mengherankan rakyat di sekeliling tempat itu. Biasanya, dalam pembuatan candi,
orang-orang yang mengerjakannya selalu berada dalam keadaan tekun dan penuh
khidmat, karena candi adalah tempat pemujaan yang suci. Akan tetapi, kali ini
orang-orang yang bekerja tidak berada dalam keadaan khidmat, bahkan sebaliknya.
Mereka bernyanyi-nyanyi dan tertawa-tawa, apalagi kalau malam tiba. Siddha
Kalagana sengaja mendatangkan pelayan-pelayan wanita yang cantik jelita, yang
juga menjadi penghiburnya dan juga penari yang pandai. Setiap malam di atas kaki
candi yang rata dan lebar itu tentu diadakan malam gembira dengan tari-tarian
yang seperti biasa bersifat kecabulan yang luar biasa. Kalau malam tiba,
pekerja-pekerja laki-laki dan wanita seperti kemasikan iblis dan menari-nari di
sekitar bangunan itu bagaikan gila. Bahkan Kalagana secara terang-terangan
mengangkut patung Batari Durga yang telanjang itu ke tempat pembangunan dan
setiap malam diadakan upacara pemujaan patung Batari Durga seperti biasa
dilakukan mereka. Tentu saja hal ini merupakan penghinaan besar bagi Kerajaan Syailendra.
Sang Maha Raja Samaratungga ketika mendengar ini menjadi amat marah, Koleksi
Kang Zusi disuruhnya seroang utusan untuk menegur Siddha Kalagana, menuntut agar supaya
taria-tarian serupa itu dihapuskan dan patung Batari Durga disingkirkan.
Akan tetapi apakah jawab Siddha Kalagana" Sambil tertawa-tawa ia berkata,
"Sampaikan kepada Sang Prabu bahwa akulah yang sanggup membangun candi besar
sebukit anakan, dan bagaimana bentuk candi ini adalah menjadi hak
tanggungjawabku. Pendeknya, Sang Prabu hanya tahu bahwa tak lama lagi di sini
akan berdiri sebuan candi yang tiada keduanya di Tanah Jawa."
Memang demikian kehendak Siddha Kalagana. Ia hendak mendesak Agama Buddha dan
hendak memasukkan agamanya sendiri ke dalam Kerajaan Syailendra. Ia hendak
membuat sebuah candi besar untuk Batari Durga.
Makin marah dan gelisahlah hati Sang Prabu Samaratungga mendengar hal ini.
Apalagi ketika ia diberitahu bahwa kini kaki candi itu mulai diukir dengan
ukiran-ukiran yang amat tidak tahu malu. Ukiran-ukiran itu menggambarkan keadaan
hidup manusia yang penuh kekotoran dak kecabulan, gambaran manusia dalam daerah
Kamadhatu atau Kemawa cara.
Ukiran-ukiran orang yang sedang menari-nari, saling membunuh, perkelahian,
penangkapan dan pembunuhan terhadap binatang-binatang yang dimakan, bahkan
digambarkan kecabulan dan perjinaan yang amat tidak patut.
Sang Maha Raja Samaratungga lalu mengadakan persidangan dengan para senapati,
perwira dan juga para penasihat, di antaranya para wiku dan pendeta Buddha.
Hadir pula dalam persidangan itu Maha Wiku Darmamulya dan pendeta Buddha dari
Hindu yang bernama Wisnanda.
"Gusti," Wiku Dharmamulya berkata mengajukan usulnya, "perbuatan Koleksi Kang
Zusi Siddha Kalagana benar-benar menghina kita dan juga amat berbahaya.
Kalau sampai pengaruh ilmu hitamnya itu menjalar dan mempengaruhi jiwa para
rakyat jelata, maka akan banyaklah kawula yang terpikat dan tersesat. Oleh
karena itu, menurut pendapat hamba, lebih baik Siddha Kalagana disirnakan
sebelum ia mendatangkan malapetaka yang lebih hebat lagi."
"Akan tetapi, ia adalah seorang peserta sayembara yang berhak melakukan tugasnya
untuk menempuh syarat sayembara. Bukankah akan merendahkan nama Kerajaan
Syailendra apabila kita menyerang dan membinasakannya dalam tugasnya menempuh
sayembara" Lagi pula, Siddha Kalagana terkenal amat digdaya dan sakti
mandraguna, siapakah kiranya yang akan dapat menandinginya?"
"Tidak demikian kiranya, Gusti Sinuhun. Memang seroang peserta tidak boleh
diganggu, akan tetapi kita mempunyai alasan kuat untuk menyerangnya, yaitu oleh
karena Siddha Kalagana sebagai seorang peserta sayembara ternyata tidak memenuhi
syarat dan tidak menurut perintah.
Bukankah sayembara itu menuntut agar supaya ia membuat sebuah candi besar
lambing Agama Buddha" Akan tetapi bukan saja ia tidak membuat candi seperti yang
telah ditetapkan, sebaliknya ia malah menghina agama kita dan melakkan hal-hal
yang melanggar kesusilaan yang kita junjung tinggi. Halitu saja sudah cukup
menjadi alas an kuat untuk membinasakan pendeta siluman itu." Sembah Maha Wiku
Dharmamulya Memang benar apa yang dikatakan oleh saudara Maha Wiku Dharmamulya,
Sang Maha Raja," tiba-tiba Wisananda berkata. "Adapun untuk menandingi Siddha
Kalagana, hamba sanggup untuk mencoba kepandaian hamba."
Wajah Sang Prabu Samaratungga menjadi terang, bahwa hatinya girang mendengar
ini. "Wisananda, engkau adalah seorang tamu yang terhormat di Kerajaan
Syailendra dan menjadi pembantu Maha Wiku Dharmamulya.
Kalau kau sanggup menolong kami menghadapi Siddha Kalagana, maka kami akan
berterima kasih sekali kepadamu."
Koleksi Kang Zusi "Sudah menjadi kewajiban hamba untuk mencoba menyirnakan segala perbuatan yang
tidak benar, Sang Maha Raja!"
Maka diaturlah rencana untuk menghadapi Siddha Kalagana. Maha Wiku Dharmamulya
sendiri bersama pendeta Wisananda dengan membawa pasukan dan para pendeta Buddha
akan mendatangi Siddha Kalagana dan memberi peringatan keras.
Malam itu bulan purnama menerangi permukaan alam jagad raya. Keadaan di kaki
candi yang sedang dibangun serta di pesanggrahan-pesanggrahan yang dibangun di
sekitar candi itu, amat ramainya. Dari jauh sudah terdengar suara gamelan dan
teriakan-teriakan orang yang sedang mengadakan tari-tarian. Empat puluh orang
gadis-gadis berpakaian tipis tengah menari-nari di depan patung Batari Durga di
atas kaki candi, diiringi gamelan yang aneh iramanya. Patung Batari Durga yang
besar dan telanjang itu nampak seakan-akan hidup terkena cahaya Sang Candra.
Siddha Kalagana seperti biasa duduk di kursi dekat patung itu, menerima
penghormatan para penyembahnya dan menikmati keindahan gerak tubuh para penari
yang cantik dan denok itu.
Ketika pesta itu sedang memuncak dan ramai-ramainya, tiba-tiba datanglah
rombongan Maha Wiku Dharmamulya ke tempat itu. Sang Maha Wiku Dharmamulya
mengangkat tongkatnya ke atas, berdiri dibawah candi sambil berseru.
"Siddha Kalagana! Kami datang membawa perintah sang maha raja!"
Siddha Kalagana menengok ke bawah dan ketika ia melihat Wiku Dharmamulya beserta
pasukannya, ia tertawa bergelak, memandang Koleksi Kang Zusi
rendah sekali. Akan tetapi ia merasa jengkel juga karena pestanya diganggu
orang. Dengan tangan kiri ia memberi isyarat kepada semua orang, dan semura
orang yang sedang menari-nari itu lalu meninggalkan lapangan di atas kaki candi
itu, menuruni anak tangga dan berlari ke tempat masing-masing.
Dengan muka merah Maha Wiku Dharmamulya meramkan kedua matanya ketika ia melihat
empat puluh orang gadis itu setengah telanjang di tempat itu. Pakaian merak yang
tipi situ sebagian besar telah terbuka, muka mereka kemerah-merahan penuh nafsu
dan gairah, sedangkan mata mereka memancarkan caha berahi dan mulut mereka
tersenyum-senyum! Siddha Kalagana memberi aba-aba kepada mereka itu yang segera
kembali ke pesanggerahan yang telah disediakan oleh Siddha Kalagana sebagai
tempat tinggalnya bersama empat puluh orang "bidadari" itu.
Kini di atas kaki candi itu tinggallah Siddha Kalagana sendiri dan patung Batari
Durga itu. Sungguhpun patung itu jauh lebih besar daripada tubuh pendeta itu,
namun setelah Siddha Kalagana berdiri dan bersedekap pendeta ini nampak bagaikan
seorang iblis yang dahsyat berdiri di atas alas dan kaki candi yang maha besar
itu. "Dharmamulya!" suaranya menggema di sekeliling kaki candi. "Apakah maksudmu
malam-malam dating mengganggu pesta yang sedang kulangsungkan?"
Siddha Kalagana!" kata Dharmamulya marah. "Kami datang atas nama Sang Maha Raja
Samaratungga. Berkali-kali kau telah diberi peringatan akan perbuatanmu yang
melanggar tata susila di tempat ini, akan tetapi kau tetap tidak mau
menghentikan kegilaanmu. Oleh karena itu, kami datang untuk memberi peringatan
yang penghadbisan, yaitu bahwa kau harus menghentikan pes-pesta dan penyembahan
Batari Durga, mengusir semua penari telanjang dan merobohkan patung-patung yang
tidak sesuai dengan Agama Buddha. Ingat bahwa candi yang dibangun harus
merupakan lambing Koleksi Kang Zusi
kebesaran Agama Buddha, maka ukiran-ukiran di kaki candi itupun harus dirubah
pula, sesuai dengan kehidupan Sang Buddha yang maha agung!"
Terdengar suara Siddha Kalagana tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini.
"Ha, ha, ha! Dharmamulya, kau seperti seorang bayi hendak memberi wejangan
kepada seorang kakek! Taukah kau siapa adanya Buddha Gautama itu" Siapakah
adanya Pangeran Sidharta itu" Ha, ha, ha! Mana kau tahu" Kau seorang Jawa,
sedangkan Buddha Gautama yang kaupuja-puja itu lahir di negeriku. Aku yang lebih
tahu bagaimana penghiudpan Pangeran Siddharta di masa mudanya! Ha, ha, ha! Apa
kaukira begitu terlahir orang dapat menjadi sempurna pengetahuannya" Apkah
Pangeran Siddharta juga tidak mengalami masa kesenangan hidup sebelum menjadi
Buddha" Kau jangan banyak rebut. Candi ini akulah yang membangun dan aku pula
yang menentukan bagaimana nanti jadinya. Candi ini akan menjadi candi indah dan
hendak kujadikan hadiah bagi calon pengantinku, si cantik ayu Pramodawardani
yang molek dan denok!"
Tiba-tiba Wisananda melangkah maju dengan muka merah. Ia mengeluarkan ucapan
dalam Bahasa Hindu terhadap Siddha Kalagana, akan tetapi setelah memandang
tajam, Siddha Kalagana berkata dalam bahasa daerah.
"Wisananda, kita bukan berada di Hindu, dan biarpun kita datang dari satu
negeri, akan tetapi kau datang dari Hindu Utara, sedangkan aku datang dari
selatan! Di tanah Hindu kita bermusuhan, apakah disini kau hendak memberi
nasehat kepadaku" Tidak ada gunanya, dan lebih baik kau segera pergi dari sini.
Aku tidak membutuhkan seorang pengemis seperti kau!"
"Siddha Kalagana!" Maha Wiku Dharmamulya berseru marah. "Jangan kau menghina
orang!" Koleksi Kang Zusi "Ha, ha, ha, Dharmamulya. Siapa yang menghina" Bukankah para Wiku adalah
pendeta-pendeta yang hidup sebagai pengemis" Hanya kau saja yang aneh dan hendak
menjadi enak sendiri. Kau mengaku menjadi mahawiku, akan tetapi coba lihat
bagaimana keadaan hidupmu" Mewah dan enak! Kenalkah kau akan hidup merantau
sebagai pengemis" Sudah dapatkah engkau melenyapkan nafsu-nafsu duniawi"
Lihatlah, pakaianmu masih bagus dan aku melihat minyak yang keluar dari daging
ayam membasahi bibirmu. Ha, ha, ha! Pergilah, pergilah! Aku sedang sibuk, jangan
engkau berani mengganggu pestaku!"
"Siddha Kalagana!" teriak Dharmamulya dengan marah sekali. "Sudah kukatakan
bahwa ini adalah peringatan terakhir, kalau engkau tetap membangkang, terpaksa
kami akan menggunakan kekerasan!"
"Menggunkan kekerasan " " Kening Siddha Kalagana berkerut dan sepasang matanya
yang dalam megeluarkan cahaya berapi. " Apa maksudmu
" " "Kami akan merobohkan patung-patungmu, merusak bangunan candi, dan mengusir
engkau kaki tangamu dari Syailendra ! "
Bedebah ! Kau berani berkata begitu " " Sambil berkata demikian, Siddha Kalagana
mengambil sebuah batu besar yang ditumpuk di dasar bangunan itu lalau
melontarkan batu besar dan berat itu ke arah kepala Dharmamulya. Akan remuklah
kepala pendeta itu kalau sampai tertimpa batu yang dilontarkan ini,akan tetapi
tiba-tiba terdengar seruan keras dan tongkat di tangan Wisananda bergerak
menagkis batu itu yang meleak dan hancur !
"Hmm, engkau berani memperlihatkan kepandaian di sini, Wisananda " "
Koleksi Kang Zusi membentak Siddha Kalagana.
"Untuk membela kebenaran aku bersedia mengorbankan nyawa, Siddha Kalagana ! "
menjawab Wisananda yang segera melompat ke atas kaki candi itu. Kedatangannya di
sambut oleh Siddha Kalagana dan bertempurlah kedua orang Pendeta Hindu itu
dengan ddahsyatnya di atas kaki candi.
Para prajurit pasaukan yang di bawa oleh Dharmamulya segera mengepung dan hendak
naik ke atas kaki candi, akan tetapi tiba-tiba terdegar sorakan riuh dan
keluarlah pasukan Srigala Hitam anak buah Siddha Kalagana menyerbu ! Perang
hebat terjadi di atas kaki candi dan di bawah, perang campuh yang hebat sekali,
disaksikan oleh bulan purnama raya. Pesta kegilaan tadi kini terganti oleh
perang tanding yang hebat sekali. Teriak kesakitan dan sorak kemenagan terdengar
saling susul, dibarengi dengan mengalir darah yang keluar dari tubuh manusia.
Mayat bertumpuk, bergelimpangan di kaki candi.
Pertandingan yang terjadi antara Siddha Kalagana dan Wisananda amat hebat dan
seru. Keduanya sama kuat dan sama digdaya, keduanay memiliki tenaga batin yang
cukup dahsyat. Ilmu sihir berlawanan denagn ilmu hitam, akan tetapi keduanay
memiliki daya yang mendatangkan pengaruh yang mengerikan, yaitu ular Cobra yang
telah kering dan kaku seperti tongkat, sedangkan Wisananda mainkan tongkatnya
yang berat dan panjang. Dari cepatnya gerakan mereka, tubuh kedua orang pendeta
itu elnyap ditelan sinar senjata mereka sendidi. Tak seorangpun prajurit berani
membantu pertempuran ini, karena sukarlah bagi mereka untuk melihat mana yang
kawan dan mana lawan. Para prajurit pasukan Dharmamulya sibuk menghadapi pasukan
Srigala Hitam yang amat liar dan buas serta digdaya itu.
Akhirnya, terdengarlah keluhan dan Wisananda nampak terhuyung ke belakang lalu
ia roboh terlentang di atas batu-batu yang emnjadi alas candi itu. Kulit mukanya
yang sudah hitam menjadi lebih hitam lagi dan dari jidatnya megalir sedikit
darah. Ternyata jidatnya telah kena tertusuk lidah ular Cobra itu dan bisa yang
amat hebat telah meracuni darahnya dan merenggut nyawa seketika itu juga dari
badannya. Koleksi Kang Zusi Siddha Kalagana tertawa bergelak dan menyeramkan. Kemudian ia menggerak-gerakkan
senjatanya dan kocar-kacirlah para prajurit Syailendra. Pasukan Srigala Hitam
sudah merukan lawan yang amat kuat dan banyaklah sudah korban yang jatuh, kini
ditambah amukan Siddha Kalagana yang dahsyat, membuat mereka tak dapat menahan
lagi dan larilah pasukan Syailendra itu.
Maha Wiku dharmamulya dengan terpincang-pincang juga lalu melaporkan kekalahan
dan tewasnya Wisananda itu kepada Sang Maha Raja Samaratungga. Tentu saja Sang
Prabu menjadi terkejut sekali mendengar berita buruk itu. Cepat Sang Orabu
Samaratungga mengumpulkan para senopati untuk mengatur barisan menjaga
keselamatan keraton dan mengadakan perundingan untuk menyerbu dan mengusir
Siddha Kalagana dari Syailendra.
Pada keesokan harinya dari jurusan utara datanglah Sang Prabu Pikatan, Raja
Mataram bersama Indrayana, membawa pasukan yang kuat dan terdiri dari para
prajurit pilihan. Bagaimana Rakai Pikatan dan Indrayana dapat tiba di ibukota
Syailendra pada saat yang tepat itu "
Sebagaimana diketahui di bagian depan, Sang Rakai Pikatan dan Indrayana pergi
berkelana mencari jejak Candra Dewi yang melarikan diri. Sampai berbulan-bulan
lamanya mereka merantau dan akhirnya mereka bertemu dengan Panembahan Bayumurti
yang bertapa di Gunung Kidul. Sambil menumpahkan air mata, Rakai Pikatan


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Indrayana memohon ampun karena mereka berdua merasa bahwa merekalah yang menjadi
sebab penderitaan batin Candra Dewi dan yang membuat gadis itu melarikan diri.
"Sudahlah, hal itu tak perlu dipersoalkan lagi, Anakku Candra Dewi telah pergi
dan kalau memang berjodoh, tentu akan bertemu dengan Raden Koleksi Kang Zusi
Indrayana. Adapun paduka, ananda Prabu Pikatan, paduka tentu masih ingat akan
pesanku bahwa Mataram akan bangkit dan menjadi jaya kembali.
Oleh karena itu, sekarang kembalilah ke Mataram, pimpinlah pasukan yang kuat dan
pergilah kembali ke Syailendra untuk membangun candi Buddha yang diminta oleh
sang puteri mahkota itu. "
Demikianlah, dengan bergegas Rakai Pikatan kembali ke Mataram, diikuti oleh
Indrayana yang setia. Di Mataram mereka mendengar kabar tentang Sidda Kalagana
yang mengakuii telah terbunuh kedua manusia iblis di Gunung Papak, bahkan kini
pendeta itu telah mulai membangun candi di dusun Tepusan. Mendengar ini Rakai
Pikatan menjadi marah sekali dan ia segera memimpin pasukan prajurit pilihan,
lalu bersama Indrayana menuju ke Syailendra dengan cepat.
Sang Rakai Pikatan langsung pergi menghadap Maha Raja Samaratungga yang menjadi
girang sekali melihat kedatangan Rakai Pikatan dan Indrayana. Di bawah ancaman
Siddha Kalagana, ia melihat kedatangan kedua orang muda ini seakan-akan cahaya
penerangan yang mengusir kegelapan hatinya.
Rakai Pikatan lalu menceritakan bahwa dia an Indrayana yang berhasil membunuh
siluman kembar di puncak Gunung Papak.
"Bagus sekali, Anak Prabu Pikatan, " Maha Raja Samaratungga memuji, "
dan secara kebetulan sekali syarat ketiga terletak di hadapanmu. Siddha Kalagana
yang tadinya menjadi peserta sayembara, kini ternyata telah berobah menjadi
musuh dan mengancam keselamatan Syailendra. Sudah menjadi tugasmu pula untuk
mengusirnya dari kerajaan ini. "
"Jangan khawatir, paman prabu. Hamba sanggup untuk melenyapkan si angkara murka
itu dari muka bumi ini, " jawab Rakai Pikatan dengan gagah.
Koleksi Kang Zusi "Hanya satu hal yang masih membinggungkan hatiku. Bagaimana Indrayana dapat
datang menghadap bersamamu " Apakah kau juga masih hendak melanjutkan sayembara
ini, Indrayana " kudengar tadi bahwa siluman itu terbunuh oleh Anak Prabu
Pikatan dan kau sendiri, maka bagaimana kehendakmu sekarang. "
Indrayana tersenyum lalu menyembah dengan hormatnya. " Berkat pangestu paduka
hamba dapat pula membunuh seorang di antara kedua siluman penggangu keamanan di
Gunung Papak itu, gusti. Dan sudah tentu hamba lanjutkan pla sayembara ini
dengan menempuh syarat ketiga, mengusir musuh negara yang datang mengganggu
Kerajaan Syailendra. Akan tetapi ada sedikit perobahan dalam usaha hamba ini. Kini hamba melakukan
semua perjuangan ini, bukan lain hamba melakukannya untuk sahabat dan junjungan
hamba ini. Sang Pikatan, raja dari Mataram ! "
Biarpun hatinya merasa agak heran, namun Maha Raja Samaratungga menjadi girang
juga mendengar ini. "Anak-anak muda, berangkatlah dan usahakanlah agar supaya Siddha Kalagana dapat
terusir dan terbasmi sebelum menimbulkan kerusakan lebih banyak lagi. Doa
restuku mengiringi usaha kalian, semoga kalian berhasil dan kembali dengan
selamat ! " Kedua orang muda itu mengundurkan diri dan segera mempersiapakan pasukan-
pasukannya, dibantu pula oleh bebrapa orang senopati syailendra yang mengerahkan
para prajurit pula. Bangunan candi besar yag baru selesai alas dan kakinya itu
lalu dikurung, termasuk pesanggerahan-pesanggerahan yang dialami oleh Siddha
Kalagana beserta para bidadarinya dan bangunan-bangunan tempat tinggal pasukan-
pasukan Serigala Hitam. Koleksi Kang Zusi Marahlah Siddha Kalagana melihat pengepungan ini. Ia segera mengumpulkan
pasukannya dan dengan senjata ular di tangan ia berseru keras.
"Orang-orang Syailendra ! Apakah pengalaman semalam itu masih belum membuat
kalian menjadi kapok " Dengarlah, bahwa akulah yang akan menjadi raja baru di
Syailendra, yang akan menggantikan Sang Prabu Samaratungga dan yang akan
mendatangkan kebahagiaan di negeri ini !
Apakah kalian buta tidak melihat bahwa aku adalah titisan Hyang Syiwa "
Apakah kalian ingin aku menghancurkan dulu Syailendra sebelum kalian menyerah
dan menerimaku sebagai suami Pramodawardani yang akan menggantikan kedudukan
Samaratungga " "
Akan tetapi, Siddha Kalagana terkejut ketika tiba-tiba muncul dua orang pemuda
yang bukan lain adalah Raden Pancapana dan Raden Indrayana, musuh-musuh besarnya
dahulu ! Betapapun juga, ia tidak merasa takut, karena bukankah ia pernah
membuat dua orang ini tidak berdaya "
"Siddha Kalagana, pendeta siluman ! Jangan membuka mulut besar karena kami yang
akan melebur kejahatanmu ! " kata Rakai Pikatan,
"Ha, ha, ha, ! Raja Mataram, kau seorang kanak-kanak hendak meruntuhkan langit.
Lihat senjataku yang hendak menghancurkan kepalamu
! " Siddha Kalagana melompat dan menyerang dengan hebatnya. Akan tetapi, Rakai
Pikatan dan Indrayana telah siap sedia dan kedua org pemuda perkasa ini lalu
mengeroyok pendeta yang sakti itu. Pertempuran terjadi dengan hebatnya, disusul
oleh perang tanding antara pasukan Serigala Hitam pasukan-pasukan Mataram dan
Syailendra yang bersatu. Koleksi Kang Zusi Kembali darah mengalir di sekitar candi yang sedang dibangun itu.
Sebelum pertempuran terjadi, para pekerja telah mulai mengukir dan memahat,
bahkan mulai hendak membangun candi tingkat pertama. Akan tetapi kini mereka
lari ketakuutan dan bersembunyi di tempat aman agar jangan sampai terlibat dalam
perang dahsyat itu. Pertempuran berjalan lebih sengit dari kemarin, perang
campuh berkecambuk sangat hebatnya.
Siddha Kalagana mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan telah mempergunakan ilmu
hitamnya, akan tetapi kedua orang muda yang telah mendapat gemblengan dari
Bagawan Ekalaya, dapat menolak semua pengaruh ilmu hitam itu, bahkan lalu
membalas dengan serangan-serangan maut yang membuat Siddha Kalagana sibuk
sekali. Betapapun pandainya ia bersilat dengan tongkat ularnya, namun ia telah
tua dan tenaganya telah banyak berkurang, maka perlahan-lahan ia mulai terdesak
hebat. Sungguh mengagumkan Siddha Kalagana pendeta tua itu. Biarpun ia selalu terdesak,
namun ia masih dapat mempertahankan diri dan pertempuran itu berlagsung sampai
sehari penuh ! Pasukan-pasukan Serigala Hitam bertempur laksana serigala-
serigala kelaparan. Mereka menyerang dengan nekad, liar dan mati-matian sehingga
korban yang jatuh di kedua fihak bertumpuk-tumpuk.
Akan tetapi, akhirnya tidak saja Siddha Kalagana harus mengakui keunggulan ketua
pemuda perkasa itu, juga pasukan-pasukan Serigala Hitam harus mengakui pula
kekuatan lawan yang ajuh lebih besar jumlahnya. Setelah melihat bahwa ia tidak
mempunyai harapan lagi untuk menang maka Siddha Kalagana memberi isarat pada
sisa pengikutnya untuk mundur, dan melihat tidak berguna lagi melanjutkan
peprangan Siddha Kalagana lalu melarikan diri, diikuti oleh sisa pasukan
Serigala Hitam dan dikejar oleh Rakai Pikatan dan Indrayana beserta pasukan-
pasukan mereka. Koleksi Kang Zusi Babo-babo, sang prabu ! Apa kaukira tidak ada orang yang berani menentangmu "
Pergunakan senjatamu kalau engkau memang jantan ! "
Pemuda itu menantang kembali sambil menyerang, dan Rakai Pikatan segera melompat
ke belakang dan melarikan diri.
Hampir saja ia bertubrukan dengan rombongan Prabu Samaratungga dan Indrayana
memasuki tamansari. Semua orang terkejut dan heran melihat raja muda itu berlari
ketakutan denagn muka pucat.
"Indrayana, adikku sayang ...... kautolonglah aku ...... " Rakai Pikatan merangkul
Indrayana dengan napas terengah-engah. Indrayana heran sekali dan memeluk raja
muda itu. "Apakah yang terjadi " Apakah paduka kalah menghadapi durjana itu " "
"Ah, aku tak kuat menghadapinya. Ia sakti mendraguna. Haya engkaulah orangnya
yang akan dapat mengalahkannya ! Tolonglah aku dan tangkaplah maling itu, dimas
Indrayana ! " Indrayana lalu mencabut kerisnya Bajradenta ( keris pusaka Kilat Putih ) dan
secepat rusa melompat ia masuk ke dalam taman dengan hati panas.
Siapa yang dapat mengganggu Pramodawardani dan menghina Sang Rakai Pikatan "
Ketika ia masuk ke dalam pintu keputren, ia melihat seorang pemuda berdiri
dengan keris di tangan. Koleksi Kang Zusi "Maling hina dina, jangan kau lari ! " teriak Indrayana sambil melompat ke
hadapan pemuda itu. Pemuda itu terkejut dan mengangkat muka memandang.
"Begitu lemahkah hatimu sehingga engkau masih mau membela raja yang tidak
mengenal budi " " pemuda itu menegur sambil memandang tajam.
Indrayana tertegun dan matanya terbelalak. " Candra Dewi ...... ! " bisiknya dan
kerisnya terlepas dari pegangan. " Aduh, diajeng Dewi ...... kesuma hatiku ...... , ke
mana saja gerangan engkau pergi selama ini " Tega benar engkau melihat aku
merana ...... mencari-carimu dengan hati luka karena duka nestapa dan bimbang ...... "
"Pemuda " itu menjadi lemas dan kerisnyapun terlepas dari pegangan, jatuh
berdering di atas lantai. Ia menunduk dan dari kedua matanya menitik air mata !
Indrayana maju menghampirinya dan memeluk kedua bahunya.
"Diajeng ...... diajeng Dewi ...... tak tahukah engkau bahwa aku dan kangmas Pancapana
mencari-carimu sampai jauh " Siapa tahu engkau berada di sini
...... ah, jeng Dewi, bisa saja engkau mendatangkan gara-gara ! "
"Aku ...... aku hendak membalas dendam kepada Pancapana ...... "
Pada saat itu, rombongan Maha Raja Samaratungga datang diikuti oleh Rakai
Pikatan yang masih nampak gelisah ! Melihat betapa " maling " itu berada dalam
pelukan Indrayana, semua orang menjadi terheran-heran, kecuali Rakai Pikatan
sendiri yang kini dapat tersenyum lega dan puas.
Puteri Mahkota Pramodawardani juga keluar dari biliknya dan tersenyum Koleksi
Kang Zusi menggoda Candra Dewi yang cepat melepaskan diri dari pelukan Indrayana dan kini
menggandeng tangan puteri mahkota itu.
"Eh, eh, apakah yang telah terjadi " Siapakah pemuda ini " " Maha raja
Samaratungga bertanya kepada puterinya sambil mengerutkan kening.
"Dia bukan pemuda, rama. Dia ada;ah seorang puteri pula, seorang puteri jelita
yang bernama Candra Dewi, puteri dari Panembahan Bayumurti ! "
Maka berceritalah Candra Dewi kepada kedua pemuda itu, didengarkan pula oleh
Maha Raja Samaratungga dan para senopati. Ternyata bahwa setelah melarikan diri
dari tempat tinggal ayahnya, Candra Dewi yang merasa sakit hati kepada Rakai
Pikatan karena pinangan yang membuat ia terpisah dari kekasihnya itu, Candra ewi
pergi merantau dan akhirnya bertapa di Puncak Gunung Suralaya di Pegunungan
Kedeng. Akhirnya ia lalu turun gunung dan menghadap Sang Puteri Pramodawardani, dan ia
diterima oleh Puteri mahkota yang ramah tamah itu, dijadikan pelayan dan kawan
yang terkasih. Ketika diadakan sayembara, Candra Dewi mengaku kepada puteri
Pramodawardani tentang keadaan dirinya, maka Pramodawardani yang juga merasa
tidak senang mendengar perbuatan Rakai Pikatan yang pernah melamar Candra Dewi,
lalu merencanakan akal untuk menggoda dan membalas. Rakai Pikatan terkena tipu
ini dan mendapat malu di depan puteri calon permaisurinya !
Maha Raja Samaratungga menggeleng-geleng kepalanya. " Aah, kalian orang-orang
muda memang benar-benar aneh dan suka menimbulkan gara-gara ! Sudahlah sekarang
kalian telah bertemu dengan jodoh masing-masing. Hanya satu hal yang masih harus
dilaksanakan, yaitu pembangaunan sebuah candi Buddha dan lambang persatuan
antara Mataram dan Syailendra ! "
Koleksi Kang Zusi Tiba-tiba, udara malam hari yang tadinya terang oleh bulan purnama itu, mejadi
gelap seakan-akan mendung tebal menutup seluruh angkasa di atas Kerajaan
Syailendra ! Bahkan api-api penerangan dari lampu-lampu yang terpasang di situ
padam semua, membuat keadaan menjadi gelap sama sekali, sehingga melihat tanagn
sendiri tidak akan nampak.
Orang-orang menjadi kaget dan binggung, bahkan lalu terdengar jerit dan tangis
di sana-sini seakan-akan iblis-iblis keluar mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara
ketawa bergelak disusul oleh suara yang parau.
"Ha, ha, ha ! Orang-orang Mataram dan syailendra ! Jangan kira bahwa Siddha
Kalagana mudah dikalhkan begitu saja ! "
"Jahanam ! " berseru Rakai Pikatan dan Indrayana yang lalu mengambil senjata
pusaka masing-masing. Akan tetapi, apakah daya mereka dalam keadaan yang gelap
gulita itu " Ternyata bahwa ilmu hitam yang dikeluarkan oleh Siddha Kalagana ini
hebat sekali, membuat semua penerangan menjadi tertutup oleh kabut hitam tebal.
Dan lebih hebat lagi, di dalam kegelapan luar biasa itu, Siddha Kalagana membawa
tentara Serigala Hitam menyerbu. Para aprajurit yang menjaga di luar tamansari
dan keraton menjadi binggung dan panik. Mereka tidak dapat melihat musuh dan
tahu-tahu banyak prajurit jatuh bergelimpangan ditusuk lembing. Ada pula yang
bertempur melawan kawan-kawan sendiri yang disangka musuh.
Terdengar pekik Pramodawardani dan Candra Dewi ketika dua buah lengan yang kuat
menyambar tubuh mereka dan mereka diseret keluar dari Koleksi Kang Zusi
tamansari. Indrayana dan Rakai Pikatan segera mengejar, akan tetapi mereka
tersandung dan jatuh terguling di dalam gelap."Kakangmas Pancapana, leks menyebut nama Eyang Ekalaya ......
Kedua orang muda itu lalu duduk bersila dan mengheningkan cipta, minta
pertolongan guru mereka, Sang Panembahan Ekalaya.
Tiba-tiba terdengar suara guntur menyambar dibarengi kilat bercahaya dan
seketika itu juga lenyaplah kabut hitam tebal yang menggelapi udara.
Bulan purnama bercahaya kembali sepenuhnya, tidka lagi terhalang oleh mendung
hitam. Indrayana dan Rakai Pikatan melompat bangun dan melihat tiga orang kakek
berdiri di hadapan mereka. Ternyata bahwa mereka ini adalah Wiku Dutaprayoga
ayah Indrayana, Panembahan Bayumurti ayah Candra Dewi dan seorang tua tinggi dan
berwajah agung yang mereka kenal. Agaknya tiga orang tua sakti inilah yang
membuyarkan pengaruh ilmu hitam Siddha Kalagana.
Indrayana dan Rakai Pikatan hendak memberi hormat, akan tetapi panembahan
Bayumurti menunjuk ke luar pintu tamansari dan berkata, "
Kesanalah larinya Siddha Kalagana yang menculik Sang Pueteri dan Candra Dewi ! "
Bagai anak panah melesat dari busurnya, kedua orang muda itu lalu melompat
keluar dari tamansari dan mengejar. Benar saja, di sana kelihatan Siddha
Kalagana sedang menyeret-nyeret kedua orang dara yang meronta-ronta itu.
Koleksi Kang Zusi Ketika Siddha Kalagana melihat Indrayana dan Rakai Pikatan datang memburu,
terpaksa itu melepaskan kedua orang dara itu dan dengan muka buas ia menerjang.
Pertempuran terjadi hebat sekali. Kali ini Indrayana dan Rakai Pikatan mrnyerang
dengan penuh amarah. Gerakan tangan mereka yang memegang senjata bagaikan tangan
maut sendiri yang menjangkau dan hendak merengut nyawa pendeta busuk itu, Siddha
Kalagana menjadi gentar karena ilmu hitamnya dapat dibuyarkan, maka ia melawan
denagn setengah hati dan mencari jalan keluar untuk menyelamatkan diri.
Sementara itu, setelah keadaan menjadi terang kembali, para prajurit Syailendra,
dibantu oleh para prajurit Mataram yang sudah menyerbu pula ke siru, membiki
pembalasan hebat. Mereka menyerang pasukan Serigala Hitam, menghantam sepuasnya
sehingga dalam waktu singkat emua anggota Serigala Hitam dapat dibunuh atau
dilukai. Pertempuran antara Siddha Kalagana melawan Indrayana dan Rakai Pikatan makin
hebat. Pendeta itu beberapa kali mencoba untuk melarikan diri, akan tetapi ia
selalu dikejar sehingga akhirnya, keris pusaka Bajradenta dengan tepat sekali
telah terbenam ke dalam dadanya dan pedang Rakai Pikatan membacok lehernya
sehingga hampir putus. Siddha Kalagana memekik ngeri, akan tetapi sungguh luar biasa, pendeta ini masih
dapat melompat jauh dan melarikan diri, sungguhpun luka-lukanya ini bagi orang
lain tentu akan mendatangkan maut ! Indrayana dan Rakai Pikatan saling pandang
dengan heran, dan hendak mengejar. Akan tetapi, tiba-tiba tubuh Siddha Kalagana
yang lari itu terhuyung-huyung, menabrak pohon waringin lalu jatuh terguling
dalam keadaan tertelungkap.
Indrayana menghampiri tubuh ini dan dengan kakinya ia membalikkan tubuh pendeta
itu. Ternyata bahwa Siddha Kalagana telah tewas.
Koleksi Kang Zusi *** Kakek tua yang bernama Wiku Dutaprayoga dan Panembahan Bayumurti itu adalah
seorang pertapa bernama GUNADARMA, seorang yang selain suci juga memiliki
kepandaian luar biasa tentang pembuatan candi-candi dan seni pahat san ukir. Ia
adalah murid dari Sang Bagawan Ekalaya yang lama bertapa seorang diri, menanti
datangnya saat baik, yaitu masa persatuan Syailendra dan Mataram.
Setelah masa itu tiba, ia datang dan bersama Wiku Dutaprayoga dan Panembahan
Bayumurti, ia menolong kerajaan dari pengaruh ilmu hitam yang dilepas oleh
Siddha Kalagana. Setelah Siddha Kalagana tewas dan anak buahnya telah ditumpas, maka pembangunan
candi sebesar bukit anakan itu dilanjutkan oleh Rakai Pikatan dan kini
pembangunan itu dilakukan bersama-sama. Ahli-ahli di Syailendra pahat yang
tadinya menjadi kawula Siddha Kalagana, kini telah insyaf dan dipekerjakan pula


Banjir Darah Di Borobudur Serial Silat Jawa Karya Kho Ping Hoo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dalam pembuatan candi, disamping ahli-ahli di Syailendra sendiri dan ahli-ahli
yang didatangkan dari Mataram Pembangunan meha besar ini dipimpin oleh Sang
Pertapa GUNADARMA yang bijaksana.
Tadinya pembagunan kaki candi yang dilakukan oleh Siddha Kalagana itu hendak
dibongkar, bahkan tempat itu dianggap sudah kotor karena telah banyak darah
mengalir di situ, akan tetapi Sang Pertapa GUNADARMA berkata.
"Tidak apa, kaki candi ini cukup baik dan kuat sekali untuk dijadikan alas
candi. Memang, kaki candi ini telah diukir dan menggambarkan daerah Kamadhatu,
penuh nafsu-nafsu keduniawian. Akan tetapi, biarlah ini menjadikan cermin dan
peringatan bagi setiap orang yang menyaksikan bahwa segala kesenangan lahir dan
kenikmatan nafsu keduniawian hanya Koleksi Kang Zusi
akan mendatangkan malapetaka belaka. Biarlah candi besar ini berdiri di atas
segala kotoran, menjadi lambang bahwa Agama Buddha akan tumbuh dan membawa
manusia yang tadinya tenggelam di dalam lautan Kamadhatu yang penuh nafsu jahat,
ke alam bersih, ke alam Rupadhatu dan seterusnya, untuk selanjutnya mencapai
tujuan terakhir, yaitu Nirwana. "
Betapapun juga, untuk mengusir segala pengaruh jahat yang timbul dari
pertumpahan darah dan pembunuhan yang terjadi di daerah suci ini, diasakanlah
tapa brata dan samadhi di atas permukaan kaki candi. Di sini Sang GUNADARMA,
Penembahan Bayumurti, Wiku Dutaprayoga dan pendeta-pendeta lain, bersamadhi
selama empat puluh hari. Betapapun juga, untuk mengusir segala pengaruh jahat yg timbul dari pertumpahan
darah dan pembunuhan yang terjadi di daerah suci ini, diadakan tapa brata dan
samadhi di atas permukaan kaki candi. Di sini Sang GUNADARMA, diikuti oleh Rakai
Pikatan sendiri, Indrayana, Penambahan Bayumurti, Wiku Dutaprayoga dan pendeta-
pendeta lain, bersamadhi selama empat puluh hari untuk mengusir pengaruh-
pengaruh kotor. Setelah itu, barulah pembangunan candi yang amat indah, besar,
dan suci dimulai, dibangun di atas kaki candi buatan Siddha Kalagana itu.
Pembangunan candi besar itu benar-benar merupakan hasil karya yang luar biasa
sekali, lambang dari keagungan Agama Buddha dan juga merupakan lambang dari
persatuan Syailendra dan Mataram. Candi ini diberi nama Bhumisambharabhudhara,
juga disebut Dasyhabodhisatwabhumi atau sepuluh tingkat Bodhistwa, dibuat
menjadi sebuah candi terdiri dari sepuluh tingkat yang maha hebat.
Patung-patung Buddha, ukiran-ukiran di seputar dinding candi, dilakukan oleh
ahli-ahli pahat yang amat pandai sehingga ukiran-ukiran itu seakan-akan hidup,
patung-patung itu seakan-akan bernapas dan mata patung seakan-akan bercahaya dan
dapat bergerak manik matanya.
Koleksi Kang Zusi Demikianlah, dengan pesta dan perayaan besar, Sang Rakai Pikatan, raja dari
Mataram itu menikah dengan Sang Puteri Pramodawardani yang kemudian setelah
menjadi permaisuri Sang Rakai Pikatan lalu disebut juga Sri Kahuluan. Dengan
adanya pernikahan ini, Kerajaan Syailendra seakan-akan di persatukan dengan
Kerajaan Mataram sehingga Kerajaan Mataram menjadi makin besar dan jaya. Tidak
ada rakyat, baik yang memeluk Agama Buddha, maupun pemeluk Agama Hindu, merasa
tersinggung lagi, karena bukankah tampk pemerintahan berada di tangan Rakai
Pikatan yang beragama Hindu, akan tetapi bukanlah candi yang terbesar adalah
candi Buddha " Tidak ada perselisihan lagi anatara Agama Buddha dan Agama Hindu
yang sesungguhnya bertujuan satu, yaitu kemuliaan lahir batin bagi seluruh
manusia. Setelah Sang Maha Raja Samaratngga dengan puas melihat pernikahan puteranay
berlagsung, beliau lalu mengirim puterinya, Pangeran Balaputeradewa, ke
Sriwijaya. Pertama-tama untuk menyatakan bela sungkawa atas tewasnya kedua
senopati Sriwijaya dalam tangan kedua orang iblis kembar, dan kedua untuk
memberi kesempatan kepada Pangeran Balaputeradewa yang masih belum dewasa itu
mempelajari dan memperdalam pengetahuan dalam Agama Buddha. Keberangkatan sang
pangeran ini diantar oleh para pendeta dan wiku, di antaranya Sang Maha Wiku
Dharmamulya sendiri. Kelak Sang Pangeran Balaputera ini akan menjadi raja di
Sriwijaya dan berhasil pula membuat Kerajaan Sriwijaya menjadi besar dan makmur.
Adapun Indrayana dan Candra Dewi juga melangsungkan pernikahannay dengan penuh
kebahagiaan dan selajutnya menjadi pembantu dan sahabat terkasih dari Sang Rakai
Pikatan dan permaisurinya.
Betapapun tepat ucapan dari Sang Pertapa GUNADARMA tentang keadaan lukisan di
kaki candi buatan Siddha Kalagana itu, semua perasaan rakyat Tanah Jawa yang
halus dan menjunjung tinggi kesusilaan itu, amat tersinggung oleh lukisan-
lukisan yang terdapat pada kaki candi itu lalu Koleksi Kang Zusi
ditutup dengan batu-batu sehingga bentuk kakinya berubah dan tidak tampak lagi
lukisan-lukisan yang menggambarkan keadaan hawa bafsu atau yang disebut daerah
Kamadhatu itu, yang nampak hanyalah bangunan candi yang didirikan di atas kaki
candi. Adapun nama candi itu, Bumisambharabhudara. Akhirnya dipermudah oleh rakyat
dengan sebutan Candi Borobudur yang sekarang, seribu tahun lebih semenjak
dibangun, masih berdiri dengan megah dan agung, menjadi kebanggaan rakyat
Indonesia, dikagumi oleh semua orang diseluruh dunia sebagai sebuah bangunan
yang besar dan luar biasa.
Memang Borobudur merupakan bangunan yang patut mendatangkan rasa bangga di dalam
hati setiap manusia Indonesia yang mencintai tanah airnya karena bangunan
manakah yang demikian kuat, besar, dah megahnya "
Bangunan manakah yang dapat menahan goncangan-goncangan dan gempa bumi akibat
letusan Gunung Merapi yang telah terjadi beberapa kali selama seribu tahun lebih
itu, sungguhpun bangunan itu hanya didirikan daripada batu-batu ditumpuk-
tumpuk " Kalau kita berdiri di bagian atas Candi Borobudur, atau melihat candi besar itu
dari jauh, datanglah kebanggan dan keyakinan dalam hati yang berbisik bahwa
hanya bangsa yang besar sajalah yang sanggup menciptaan bangunan sehebat itu
pada zaman tingkat hidup manusia masih amat senderhana, dan mesin-mesin
pembangunan dan pengangkutan masih belum pernah termimpikan oleh otak manusia !
Demikianlah, cerita ini ditutup dengan seruan " Nama Buddhaya " untuk
penghormatan kepada Borobudur yang besar, kepada Agama Buddha yang mendatangkan
kebudayaan dan kesenian luhur, dan terutama sekali kepada neenk moyang kita yang
agung ! Koleksi Kang Zusi --T A M A T-- Pusaka Negeri Tayli 4 Wiro Sableng 020 Hidung Belang Berkipas Sakti Hantu Bara Kaliatus 3
^