Pencarian

Banyuwangi Trilogi 1

Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana Bagian 1


Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Trilogi Blambangan Buku Ketiga
Karya : Putu Praba Drana Ebook ini dibuat berdasarkan file DJVU BBSC di
http://rapidshare.com/files/268932746/TB03-Banyuwangi.7z.html
Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1990
Sinopsis : Roman sejarah Blambangan - berdirinya kota Banyuwangi!
Perjuangan dan cinta yang menyatu.
"Aku tidak menginginkan tahta Blambangan," tegas Ayu
Tunjung, "sebab aku tidak sudi bekerjasama dengan bangsa
1 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
asing yang menginjak-injak pertiwiku." Mas Ayu Tunjung
memang memilih hidup sebagai rakyat biasa. Padahal, sebagai
putri almarhum Prabu Mangkuningrat, dia lebih berhak atas
tahta Blambangan dibanding Mas Ngalit, yang oleh VOC
ditunjuk sebagai penguasa baru Blambangan. Bersama Rsi
Ropo, satu-satunya putra Wong Agung Wilis yang masih
hidup, Mas Ayu Tunjung memimpin kawula Blambangan yang
tinggal tiga ribu jiwa itu untuk tetap menjaga hati mereka,
agar tidak ikut terampas oleh kekuatan asing yang menjarah-
rayah Bumi Semenanjung. Nampaknya prahara masih akan
datang. Di saat Ayu Tunjung dan Rsi Ropo baru mengecap
kebahagiaan sebagai suami-istri, Mas Ngalit datang, dan dia
sangat tergila-gila pada wanita cantik itu. Mas Ngalit bertekad
untuk menjadikan Ayu Tunjung sebagai permaisurinya.
Bahkan, sebuah istana indah pun telah didirikannya bagi Ayu
Tunjung di Banyuwangi - ibukota baru Blambangan yang
berhasil dibangunnya dengan jalan berutang pada VOC.
2 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Banyuwangi adalah buku ketiga trilogi:
Tanah Semenanjung Gema di Ufuk Timur Banyuwangi
Penerbit PT Gramedia Jl. Palmerah Selatan 22 Lt. IV
Jakarta 10270 Sanksi Pelanggaran Pasal 44: Undang-undang Nomor 7
Tahun 1987 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
6 Tahun 1982 Tentang Hak Cipta
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak
mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau
memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000, - (seratus juta rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau
barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 50.000.000, -
(lima puluh juta rupiah).
Putu Praba Darana BANYUWANGI Buku Ketiga Trilogi Penerbit PT Gramedia Jakarta, 1990
BANYUWANGI oleh Putu Praba Darana GM 401 90.861
? Penerbit PT Gramedia, Jl. Palmerah Selatan 22, Jakarta
10270 ' Sampul dikerjakan oleh NBC Sukma Diterbitkan
pertama kali oleh Penerbit PT Gramedia, anggota IKAPI,
Jakarta, April 1990 Perpustakaan Nasional : katalog dalam terbitan (KDT)
3 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
DARANA, Putu Praba Banyuwangi / Putu Praba Darana. - Jakarta : Gramedia,
1990. 296 hal. ; 18 cm. ISBN 979-403-578-5 (No. jil. lengkap). ISBN 979-403-861-
X. 1. Fiksi. I. Judul. 8X0.3 Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta
Om Mamla Wiraga (Semoga dijauhkan dari segala hawa nafsu.)
Setiap penyiaran lisan maupun tertulis harus seizin penulis.
Putu Praba Darana Tebing ini memang terjal. Tapi aku terus mendaki.
Mendaki! Kau tanya mengapa aku menyisir lorong gelap,
merayap di batu-batu padas" Ah, nanti kau akan tahu. Kan
kutembangkan sebuah kidung yang menyapu kabut,
membangunkan kau dari mimpi.
Putu Praba Darana 4 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
1. HATI ANAK MANUSIA Musim penghujan belum juga berhenti kala Juru Kunci berkeliling menyusur tiap
lorong, tiap lembah, tiap bukit, setiap sudut bumi semenanjung Blambangan.
Bosah-baseh sisa pertempuran belum juga dibersihkan. Rumah banyak yang kosong.
Huma merana tanpa palawija. Sawah-sawah menjelma menjadi semacam rawa-rawa tanpa
padi. Ikan dan kodok berlomba jumlah. Sepercik rasa sesal memuncrat dari sudut
hatinya. Matanya sayu menatap semua dan segala, dalam tanya mengapa semua ini
mesti terjadi. Salahkah Wong Agung Wilis" Atau bapanya" Angannya jauh berlari
menuju masa lalu. Tidak! Wong Agung Wilis dan Jagapati dan anak-anak Wong Agung
Wilis tidak pernah bersalah, katanya menilai. Itu sebabnya ia membenci
Jaksanegara. Diam-diam ia bersyukur Jaksanegara dibuang ke Gombong. Tapi
sepeninggal orang itu ia merasa dihadapkan pada satu ujian.
Batu yang terpasang di lereng bukit. Dan ia harus menginjaknya. Ah, setiap saat
batu itu siap menggelinding ke dalam jurang. Kenapa aku yang harus menginjaknya"
Sambil terus menuruti langkah kudanya, ia kembali merenungkan perjumpaannya
dengan residen Blambangan, Schophoff. Satu minggu lalu, memang. Tapi saat ini ia
belum memberikan jawabnya. Berkali kudanya terpaksa melompati pohon-pohon yang
malang-melintang. Pohon-pohon yang ditumbangkan dengan sengaja untuk menghambat
gerak' laju musuh. Tentu yang menumbangkan itu laskar Wilis. Ah, pemuda itu kini
telah punah! Punah bersama cita dan cintanya! Juru Kunci
menjadi malu pada diri sendiri. Kini jabatan adipati ditawarkan
padanya. Ia akan bergelar tumenggung seperti halnya para
bupati di Jawa lainnya. Ia baru sadar kini bahwa Blambangan
telah berubah. Menjadi seperti kerajaan Jawa lainnya.
Kekuasaan yang cuma segenggam di atas bumi yang juga
cuma sekepal. Apakah ia harus menerima jabatan ini " Sutanegara,
Wangsengsari, Suratruna, dan Jaksanegara adalah sederetan
5 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
contoh yang patut dijadikan pelajaran tentang nasib orang
yang bekerja bagi kepentingan VOC. Semua disingkirkan.
Bukan saja dari jabatannya. Tapi juga dari negeri yang
melahirkan mereka. Juru Kunci tak pernah tahu mengapa
Belanda begitu berang pada setiap orang yang dengan jujur
menyatakan sikapnya. Kendati mereka tidak ikut punya negeri
ini. Yang diketahui oleh Juru Kunci ialah bahwa jika seorang
tidak sependapat dengan penguasa, ia harus disingkirkan.
Tidak peduli apakah ia pernah berjasa. Pernah mengabdi.
Sementara itu kudanya terus menapaki desa demi desa.
Terus! Bau badeg (bau busuk yang disebabkan bangkai) masih
juga menyeruak tajam ke hidungnya. Kala sampai di tepi Kali
Setail, Juru Kunci dan para pengawalnya terpaksa berhenti. Air
coklat kekuning-kuningan mengalir deras. Membungkal-
bungkal dan memperdengarkan suara gemuruh kala. aliran itu
membentur batu-batu. Hati Juru Kunci berdesir. Bukankah
bulan ini masih bulan Manggasari" (bulan November -
Desember) Air sudah meluap di bibir tebing. Bagaimana jika
bulan Pusa atau Manggakala" (bulan Desember-Januari dan
Januari-Februari) Yang hujannya terjadi setiap hari" Mungkin
saja banjir melanda sebahagian dari Blambangan.
"Tak mungkin menyeberang...," Juru Kunci berkata seperti pada diri sendiri.
Tidak terjawabkan. Para pengawalnya juga
tahu bahwa biasanya permukaan air kali ini kira-kira sepuluh
depa di bawah bibir tebing ini. Air yang biasanya jernih dan
menyuarakan gemercik lirih mendayu kalbu, kini menjelma
coklat bercampur kuning. Mengalir deras dan memamerkan
kekuatan dahsyat dengan mendorong batang-batang pohon
yang tumbang, rumpun bambu yang tercabut dari tempatnya
berpijak, belum sampah dan bangkai. Baik bangkai binatang
atau manusia yang punah dalam perang baru lalu. Perang
yang merupakan mimpi buruk, bahkan terburuk, bagi seluruh
orang Blambangan yang tersisa. Itu pasti sukar dikebaskan
dengan cuma sekali gebah saja. Sekalipun sekarang tidak
tercium lagi bau anyir, karena perang tidak berkecamuk dan
6 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pencegatan oleh rombongan-rombongan kecil sisa-sisa laskar
Wilis dan Jagapati juga sudah tidak ada. Tapi ia tahu bahwa
kesetiaan orang pada Wong Agung Wilis tak pernah luntur.
Tak satu pun orang Blamba-ngan percaya bahwa Wong Agung
Wilis mati. Mereka berkeyakinan orang itu masih akan datang
lagi dan memerintah Blambangan. Kelak! Entah kapan, tapi
pasti datang. Datang- bhatara wasesa sang amurwa bhumi!
Makin lama tercenung di tepi kali itu, makin banyak ia lihat
mayat dan bangkai lewat. Semakin takut ia menyeberang. Ia
tahu kudanya bisa berenang. Tapi ia tidak percaya apakah
kuda itu mampu menyeberangkannya. Mendung menggantung
tebal di langit. Seolah tak ingin memberikan celah sedikit pun
pada mentari untuk meneroboskan sinarnya. Semua
mendorong Juru Kunci untuk menyentuhkan tumit ke perut
kudanya. Kemudian mengarahkannya ke kota. Pangpang.
Tidak! Aku tidak sudi menjadi adipati. Masih ada keturunan
Tawang Alun yang lebih berhak untuk menjadi penguasa di
Blambangan. Ya! Jika tidak Mas Arinten tentunya ia bisa
mengajukan usul pada tuan residen, adik dari Mas Ayu
Arinten, Mas Alit, yang saat ini tinggal di Madura bersama
kakaknya Nawangsurya, tentu lebih cocok. Ya! putusnya tiba-
tiba. Para pengawal mengejar di belakangnya. Seolak
perlombaan balap kuda, yang berebut dulu. Mereka memacu
dengan cepatnya. Mendung ikut mendera kuda yang
membawa mereka itu. Tak mereka perhatikan lagi lumpur
yang mengotori pakaian. Bahkan seluruh tubuh mereka penuh
bercak lumpur. Gerumbul, semak, dan belukar mereka
terobos. Kuda terus didera. Ya! terus didera, untuk bisa
sampai di Lo Pangpang secepatnya.
Di Pangpang juga tidak berbeda dengan lain tempat.
Beberapa loji menjadi reruntuhan belum dibangun kembali.
Hati Juru Kunci kembali berdesir. Ia ingat bahwa dalam tiap
pembangunan loji berarti mengerahkan kembali kawula
7 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan untuk bekerja tanpa gaji bahkan kadang juga
tanpa makan. Dan jika terjadi lagi, maka pertempuran pun
akan timbul kembali. Aku harus berusaha menghindarkan
Blambangan dari petaka yang berkepanjangan macam itu. Ia
harus menghindarkan perang yang selalu memayungi bumi
Blambangan itu. Kala ia memasuki rumahnya yang baru, bekas milik
Jaksanegara, hari sudah sore. Istrinya menyambut dengan
ceria. Sudah lebih sepekan Juru Kunci tidak pulang. Para
pengawal iri dan bertanya dalam hati, bagaimana bisa
perempuan keturunan Cina itu jatuh ke dalam pelukan Juru
Kunci yang bermuka bopeng karena cacar itu" Apalagi jika
melihat potongan tubuh. Perutnya agak buncit. Kumisnya
jarang-jarang di bawah hidung yang tidak begitu mancung.
Mungkin saja ikut dimakan rayap. Barangkali kesukaannya
pada sate kambing membuatnya agak buncit. Arak merupakan
teman dari sate yang selalu masuk ke perutnya hampir setiap
hari. "Bukan cuma itu," bisik salah seorang pada temannya
ketika membersihkan tubuh mereka di kali kecil yang mengalir
di belakang rumah Juru Kunci. "Coba ingat-ingat! Selama
perjalanan ia selalu panik jika sehari saja tidak makan
cindil.(anak tikus yang masih merah dan buta; artinya, belum
berbulu serambut pun) "Ke mana pun beliau tak pernah berpisah dengan madu,"
yang lain menimpali. "Biar badan selalu segar dengan jamu-
jamu macam itu. Maka-nya bartyak wanita yang... ha... ha...
ha..."Mereka berbagi suka. Yang lain pun menyahut dengan
gelak. Suara rombongan katak yang menabuh gamelannya
menghiasi malam istirahat mereka. Kepadatan udara karena
hujan menghalangi bau badeg menjalar ke kota Pangpang
malam itu. Dan Juru Kunci melepas lelah bersama istrinya.
Demikian pula para anak buahnya. Mereka mendapat acara
8 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
santai pada malam itu. Mungkin sampai besoknya pun ia akan
mendapat kesempatan istirahat. Karena acara selanjutnya
cuma di Pangpang. Biasanya pejabat ini tidak suka dikawal
jika cuma di Pangpang. Juru Kunci memang tidak merasa
perlu dikawal. Karena ia tahu persis, Bayu sudah tumpas-tapis.
Hanya saja jika harus melampaui
hutan ia masih curiga, kalau-kalau ada sisa-sisa laskar Bayu
yang belum terbunuh. Mereka tentu akan menjadi penyamun
untuk menyambung hidup. Keesokan harinya Juru Kunci bangun agak terlambat dari
biasanya. Para dayang berbisik satu dengan lainnya.
"Tidak sembahyang subuh____"
"Ssstt... siapa tahu mereka bersembahyang di kamar,"
satunya menyela. "Tidak wudhu." "Ala... biar saja kenapa to" Sudah lebih sepekan beliau
tidak pulang. Melepas rindu pada istri kan wajar," kata yang seorang lagi sambil
menyelinap ke balik tirai. Sambil masih
cekikikan mereka kembali mengerjakan tugas masing-masing.
Sesudah menyegarkan tubuh dengan mandi pagi, Juru
Kunci duduk di tengah taman yang dikelilingi kolam bekas
milik Jaksanegara dulu. Tak ada duanya di Blambangan.
Hampir seperti milik Ni Ayu Chandra, paramesywari
Blambangan zaman Mangkuningrat dulu. Dari mana uang


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebanyak ini" Jaksanegara sempat punya hubungan gelap
dengan para pedagang candu zaman Wong Agung Wilis
berkuasa. Memang lolos dari pengamatan Wong Agung. Sebab
ia mulai melakukannya sejak Wong Agung menerima tekanan
dari pelbagai pihak. Dan dengan uangnya, Jaksanegara mulai
mengangkat diri dan menciptakan kekuatan baru. Apalagi
kemudian ia menjadi sangat baik dengan ayahnya, Bapa Anti.
9 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Juru Kunci terus mengingat. Bagaimana dengan dirinya
sendiri" Sekarang memperistri bekas istri ayahnya yang
sebenarnya wanita Cina ini" Bagaimanapun ia harus
mengakui, dengan adanya Rani, maka banyak para pedagang
Cina yang sering berkunjung ke rumahnya. Biasa mereka
datang dengan membawa oleh-oleh. Istri yang membawa
berkat, pikirnya. Karena itu, kendati bekas istri ayahnya, ia
tidak peduli. Dengan warisan rumah yang indah dan cukup
besar maka lengkaplah sudah kekayaannya. Makin hari makin
banyak saja pedagang Cina yang datang untuk pelbagai
urusan niaga. Tapi ia merasa aneh kendati sudah hampir
enam bulan hidup bersama Rani, wanita itu belum
menampakkan tanda-tanda hamil.
"Kapan kita punya anak, Rani?" tiba-tiba ia mengejutkan istrinya.
Rani terkejut. Tak pernah terduga olehnya bahwa suaminya
juga memikirkan anak. Ia sendiri tak tahu mengapa belum
juga hamil. "Ah, kita kan belum lama," jawabnya sambil tersenyum.
"Ya. Kita memang belum lama. Tapi betapa inginnya daku
melihat kau menggendong bayi. Tidakkah kau ingin?"
"Mana ada perempuan tidak ingin menggendong bayi."
Rani mencubit paha suaminya. Senyum lagi dengan manja.
Juru Kunci mendadak ingat pada ayahnya. Mengapa pula Rani
tidak hamil saat dibuahi ayahnya" Tentu karena Ayah sudah
terlalu tua, dan mungkin memang alasan lain juga Rani belum
lama jadi istri Bapa Anti. Lamunan Juru Kunci tidak berlanjut
karena Rani segera duduk di pangkuannya sambil
mengalungkan tangannya. Bau harum tubuh wanita itu
menusuk hidungnya. Para selir atau istri lainnya mengintip di
balik tirai kamar mereka dengan iri.
"Apa sih hebatnya perempuan Cina itu" Huh, tidak tahu
malu! Bermanja di tengah taman," umpat salah seorang.
10 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kurang barangkali semalam!" kutuk yang lain pula.
"Barangkali karena dia suka berendam di air sirih
bercampur gambir itulah yang membuat Juru Kunci tak lepas
dari pelukannya. Dan lagi kulitnya mulus begitu," yang lain lagi menilai. Ia
tidak iri. Tapi cenderung mendekati Rani untuk
berbagi pengalaman. Siapa tahu pengalaman Rani akan
berguna. Juru Kunci tidak terlalu menuntut memang. Karena wanita-
wanita lain yang pernah tidur dengannya belum satu pun yang
mempersembahkan anak. "Kanda kecewa?" Rani memandang suaminya tajam-tajam.
"Tidak." Juru Kunci tersenyum. Ia belai rambut wanita itu.
Hitam lebat. "Kanda boleh mengambil istri lagi, yang mungkin lebih
cepat mempersembahkan anak. Asal jangan tinggalkan
hamba." Wanita itu kembali menjatuhkan kepalanya ke dada
Juru Kunci. Kembali birahi Juru Kunci bangkit. Tapi Rani
memperingatkan bahwa suaminya ditunggu oleh Schophoff.
"Ah, betul, Adinda.... Tapi apakah kau kecewa jika aku
menolak menjadi adipati di Blambangan ini?"
"Apa alasan Kanda menolak?"
"Aku tidak akan bisa langgeng di sampingmu jika menerima
jabatan itu. Aku takut Wong Agung Wilis muncul kembali dan
menang. Maka aku akan digantung. Atau jika Wong Agung
Wilis benar-benar telah mati, aku akan mengalami nasib
seperti Yang Mulia Jaksanegara."
Sambil menyiapkan pakaian suaminya, Rani mencoba
menggapai apa yang dipikirkan suaminya. Jabatan tertinggi
bagi pribumi masa kini ditolak. Takut dengan Wong Agung
Wilis, yang memang kadang-kadang bisa saja muncul seperti
hantu di bumi Blambangan. Dan mengapa takut seperti
Jaksanegara" Nyatanya Belanda memang tidak pernah setia
11 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terhadap persahabatan. Sebab bagi VOC, yang adalah
kekuatan modal raksasa itu, nilai suatu persahabatan hanya
dipandang dari menguntungkan atau tidaknya sahabat
tersebut. Mungkin saja semua kekuatan modal berpikir seperti
itu. Dengan kata lain ia gagal menjadi Ban Ing yang kedua di
bumi Nusantara ini. Perubahan zaman dan waktu, berarti perubahan nilai-nilai
kehidupan juga. Ban Ing beruntung saat itu menjadi istri
muda Bhre Kertabhumi dan akhirnya ia menurunkan raja-raja
Demak, melalui anaknya yang bernama Pangeran Jin Bun.
Rani tidak akan pernah mengalami seperti itu. Tapi mengalami
seperti sekarang ini pun seharusnya ia bersyukur. Ban Ing
memang keluarga baik-baik. Wajar jika menurunkan para
satria. Rani tidak ingat siapakah orangtuanya yang
sesungguhnya. Sejak masa kecilnya ia menjadi budak dan
diperjualbelikan dari satu majikan pada majikan lainnya. Kala
itu pun ia dipersembahkan pada Bapa Anti sebagai suap,
untuk memperlancar perniagaan orang-orang Cina di
Blambangan. Kini ia merasa damai. Berdamai dengan nasib.
Apalagi kini di pangkuan Juru Kunci. Karenanya pula ia tidak
pernah mengajukan tuntutan apa-apa. Cukup bahagia dengan
tidak diperbudak. Juru Kunci berangkat "tanpa pengawal. Di atas kuda ia
kembali bertimbang. Mempertimbangkan suatu keputusan. Ia
tahu keputusannya harini sangat menentukan masa depannya.
Perlahan-lahan saja kuda itu melangkah. Seolah malas
melaksanakan tugasnya. Tapi sebenarnya itu memang
kehendak tuannya. Kuda itu jarang kehilangan semangat.
Karena ia salah satu kuda di Blambangan yang terawat baik.
Tiap tujuh hari sekali kuda ini juga diberi minum jamu beras
kencur seperti juga majikannya.
Tumbuhan perdu tidak nampak di kiri-kanan jalan. Residen
menghendaki agar jalan-jalan di Pangpang tampak bersih.
Dan di kiri-kanannya dipasang lampu-lampu minyak dalam
12 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jarak yang teratur. Pelebaran jalan diadakan di mana-mana di
seluruh kota. Sekilas memang Pangpang nampak jauh lebih
cantik dari zaman Wong Agung Wilis memerintah. Loji-loji
makin hari makin banyak. Megah. Melampaui rumah-rumah
milik para satria Blambangan sendiri. Belum lagi yang berdiri
di kota Lateng. Rasanya ladang dan sawah kawula
Blambangan makin habis. Sebagian besar ternyata telah
menjelma jadi loji dan benteng. Sebagian lagi harus di relakan
untuk jalan-jalan baru. Mungkin itulah salah satu sebab, mengapa setelah Bayu
kalah, kawula yang tersisa lebih banyak yang lari ke hutan-
hutan dari pada kembali ke huma dan rumahnya. Ah... tiba-
tiba muncul bayangan seorang gadis berkulit langsat,
berambut hitam sampai di lutut, dengan lesung pipit di pipi.
Bibir tipisnya merekah sambil memamerkan sebarisan mutiara
yang berjajar rapi. "Puas kau, Juru Kunci" Sawah yang dibuka dengan
keringat, air mata dan bahkan darah manusia sebangsamu kini
punah" Sekalipun di atasnya berdiri loji-loji, tapi siapa yang
memilikinya" Adakah bangsamu bisa menjadi tuan di negeri
sendiri" Cuma kau! Kau seorang yang merasakan! Selebihnya
budak!" Juru Kunci mengusap mukanya dengan telapak tangan.
Seolah mengusap noda di wajahnya. Mendung masih saja
memayungi perjalanannya. Wajah Mas Ayu Prabu yang semula
ia kenal sebagai Sayu Wiwit itu lenyap. Meninggalkan seberkas
senyum. Bukankah ia sudah mati" Tiba-tiba keringat dingin
mengucur dari setiap lubang halus di kulitnya. Bulu
tengkuknya serasa berdiri. Angin yang mengandung air
menyapu tubuhnya. Membuat hatinya kian berdesir. Ya!
Tepat. Aku sudah mati. Kalian membakar aku! Dan itu berarti
membakar dendam kawula Blambangan! Kembali gadis itu
muncul. Juru Kunci kembali menggeragap sambil
mengebaskan bayangan itu dengan tangannya. Perasaan
13 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdosa menyelinap masuk ke dadanya. Aku barangkali yang
menyebabkannya dibakar____
Residen Blambangan, Schophoff, tidak mengalami apa yang
dirasakan Juru Kunci. Tapi hampir setiap malam ia diburu
mimpi-mimpi yang mengerikan. Dan hampir tiap malam ia
terbangun dari tidurnya. Bayangan pertempuran dengan
bangkai-bangkai yang berbau badeg itu belum mau pergi dari
ingatannya. Apabila kegelapan mulai turun, udara dingin
menusuk tulang, gerimis datang samar, burung-burung malam
serta binatang malam lainnya memamerkan suara yang
mencekam, baKkan kadang anjing-anjing yang kelaparan
karena ditinggal mati tuannya itu menggonggong, melolong-
lolong, ah... Ingin rasanya ia mengajukan permohonan pindah
saja. Tapi hatinya sudah terpaut pada Blambangan. Bukan
cuma karena negeri ini elok. Tapi hatinya juga telah tertambat
di Pakis. Ia takut dikirim ke daerah baru yang mungkin saja
lebih ganas dari Blambangan. Biarlah, jika ia harus mati seperti para
pendahulunya, ia ingin mati di pangkuan Arinten atau Mas Ayu
Rahminten, si wanita pribumi yang menyimpan seribu teka-
teki itu. Seorang pengawal mengetuk pintu kamar kerjanya dan
melapor bahwa Juru Kunci, patih Blambangan itu menghadap.
Ia senang Juru Kunci menghadap. Tentunya segera akan
menerima tawarannya. Biarlah tak terlalu lama Blambangan
komplang tanpa pemerintahan pribumi. Sukar jika Belanda
sendiri memerintah pribumi Blambangan yang liar dan keras
kepala itu. Kendati jumlah mereka tinggal sangat sedikit
dibanding sebelum perang.
"Selamai: datang, Yang Mulia. Mudah-mudahan perjalanan
keliling Yang Mulia memberikan gambaran buat langkah kita
selanjutnya." 14 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Selamat, selamat pagi, Tuan. Tapi maaf, hamba tidak melihat Tuan Pieter Luzac
dan Kapten Heinrich." Orang itu memberi hormat.
"Heinrich pulang ke Surabaya. Ia jatuh sakit. Panasnya seperti bara. Setiap
malam mengigau. Sedang Luzac sendiri mulai..."
"Kita memang terlalu letih berperang, Tuan."
"Barangkali Tuan benar." Schophoff terbahak-bahak.
.Seorang pelayan wanita membawakan minumam "Aku berpikir juga akan mengambil
waktu istirahat, sambil melaporkan kesanggupan Yang Mulia menjadi adipati
Blambangan." "Ampuni hamba, Tuan. Hamba tidak akan pernah menjadi adipati..."
"Yang Mulia menolak kepercayaan VOC?" Schophoff tersentak.
"Ampuni hamba, Tuan." Juru Kunci lebih berhati-hati.
"Bukankah ada yang lebih berhak?"
"Ada yang lebih berhak" Masalahnya bukan berhak atau tidak. Yang penting adalah
kesanggupan untuk bekerjasama dengan VOC. Sebab VOC-lah yang mengamankan
Blambangan dari pengacauan Wilis."
"Hamba tetap bersedia bekerja pada VOC. Tapi yang kita hadapi adalah kawula
Blambangan. Mereka tidak pernah tunduk pada orang asing. Juga tidak pada orang
yang bukan satria dan brahmana. Kita tidak bisa mengubah watak mereka dengan
paksa dan cepat. Sekalipun mereka telah menerima aniaya hebat karena perang.
Apakah kita akan memungkiri kenyataan ini" Semakin keras aniaya mereka terima,
semakin kuat pintu hati mereka tertutup."
Schophoff tidak menjawab. Ia mengangguk-angguk.
Ucapan Juru Kunci sepenuhnya benar. Sesaat ia berdiri dan
15 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berdiri di dekat jendela. Ia pandangi kebun-kebun, sawah-
sawah. Tiada petani pribumi Blambangan yang mengerjakan
sawah-sawah itu. Ke mana mereka" Benarkah mereka semua
punah" "Hampir semua huma telah menjadi belukar kembali. Juga
sawah-sawah di daerah-daerah, menjelma jadi rawa-rawa
penuh ikan dan katak."
Masih saja memandang ke luar jendela. Kompeni tidak
akan mendapatkan gaji jika tanah di Blambangan tidak
mengeluarkan buah. Dan semua pegawai VOC digaji dari hasil
perampokan milik orang lain. Tapi apa jadinya jika tanah yang
mereka rampas dari Blambangan ini tidak mengeluarkan
buah" Padahal buminya begitu hijau. Menyiratkan kesuburan
yang tiada tara. Tiba-tiba ia berbalik dan memandang tajam
pada Juru Kunci. "Lalu?"
"Kemungkinan besar kawula Blambangan akan mau dengar
pada orang yang masih berdarah Tawang Alun...."
"Siapa orang itu" Setahu kami darah Tawang Alun semua
pemberontak." "Apakah Yang Mulia Arinten juga pemberontak" Tidak!
Tidak! Tentu tidak semua, Tuan." Juru Kunci ikut berdiri
sambil menggoyang-goyangkan tangannya untuk meyakinkan
kata-katanya. Dan orang itu pun mengangguk-angguk! Arinten
begitu baik. Pernah menyelamatkan nyawanya yang diancam
penyakit. "Betul, Yang Mulia. Aku khilaf. Tapi, apakah Yang Mulia
Arinten sanggup melaksanakan tugas berat ini?"
"Tentu hamba tidak mengusulkan beliau. Jika kita bertolak
dari rencana Tuan Pieter Luzac, yang akan menjadikan negeri
ini seperti Jawa lainnya, maka tidak boleh ada wanita
memimpin ,suatu negeri. Bukankah begitu lazimnya negeri-
negeri Islam?" 16 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jadi?" "Jadi hamba mengusulkan agar Mas Ngalit, adik Yang Mulia
Arinten, yang sekarang ikut Panembahan Rasamala di
Madura." "Ya, Tuhan... Yang Mulia ternyata amat bijak," Schophoff memuji.
"Sekalipun ia masih muda, tapi hamba sanggup
membantunya dalam menjalankan pemerintahan di


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Blambangan. Cuma hamba tidak berani berbicara langsung
dengan kawula. Itu pekerjaan sia-sia. Mereka tidak dengar
hamba. Lagi pula, Mas Ngalit tentunya sudah belajar agama
Islam selama di Madura. Itu jauh lebih baik daripada hamba
yang menjadi adipati."
Schophoff menyetujui usul Juru Kunci. Ia berjanji akan
mengusulkan hal itu pada gubernur di Surabaya. Bersamaan
dengan itu seorang pengawal kembali mengetuk pintu kamar
kerjanya. "Tuan Pieter Luzac tiba dari Surabaya."
"Suruh langsung menghadap!" Schophoff ingin segera
menerima berita. Memang berita bagi seorang pemimpin amat
penting. Setelah menghormat pengawal itu segera me-
munggunginya untuk kemudian lenyap di balik pintu.
Beberapa bentar kemudian Pieter Luzac mengetuk pintu.
Gerimis di luar mulai turun. Pencuci pakaian milik Kompeni
mengeluh karena jemuran sukar kering. Ayam-ayam yang
berkeliaran di luar sedih berteduh di samping-samping rumah.
Schophoff memerintahkan pelayan agar menyediakan
minuman keras sebagai penghangat tubuh. Bertiga kemudian
mereka minum bersama. Juga untuk menghormat kedatangan
anak buahnya itu. 17 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tuan tampak sehat dari Surabaya. Bagaimana dengan
Heinrich?" Schophoff bicara dalam bahasa Belanda.
"Kesehatan Tuan Heinrich belum menampakkan kemajuan.
Tapi hamba sendiri menjadi sehat. Salam dari Tuan Gubernur
untuk Tuan," balas Pieter sambil minum. Juru Kunci hanya
mengikuti pembicaraan mereka dengan pandangan matanya.
Ia terkejut ketika tiba-tiba saja Schophoff terbahak-bahak.
Juga Luzac. Ia tersenyum kecut tanpa makna.
"Selain itu jika Tuan sudah punya usulan tentang calon
adipati, Tuan diperintahkan segera menghadap. Jika perlu
harini melalui Prabalingga," Pieter sedikit melirik Juru Kunci.
Dalam angannya tentu orang ini calon adipati Blambangan.
"Yang Mulia Juru Kunci menolak." Schophoff kini bicara
dalam Melayu karena menyinggung nama Juru Kunci agar
tidak menimbulkan kecurigaan. Ia melihat Pieter sedikit
terperangah, karena salah duga. "Tapi Yang Mulia Juru Kunci
sangat baik. Karena beliau ingin tetap bekerja dengan kita
sebagai patih. Untuk jabatan adipati ia mengusulkan Mas
Ngalit. Demi kebaikan VOC Beliau menolak."
"Patut diteladani. Ternyata Yang Mulia begitu tulus
membantu kami. Sepatutnyalah VOC memberikan bintang
jasa," Pieter memuji.
"Bukan bintang jasa yang hamba harapkan. Tapi kejayaan
VOC dan kesejahteraan bagi Blambangan sendiri," Juru Kunci
merendahkan diri dan bersikap hati-hati.
"Jika demikian Tuan harus segera berangkat ke Surabaya
seperti perintah Tuan Gubernur untuk menyampaikan apa
yang telah kita rundingkan ini. Sebab rencana Tuan Gubernur
sang adipati akan dilantik di Surabaya sambil akan menerima
petunjuk." "Sekarang juga?"
18 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kapal akan bertolak esok lusa dari Prabaling-ga. Jika
berangkat esok berarti Tuan harus meneruskan perjalanan
melalui darat. Dan tentu akan amat melelahkan. Kapal sengaja
menunggu, karena hamba melaporkemungkinan Yang Mulia
Juru Kunci yang menjadi adipati. Dan Yang Mulia adipati akan
menerima petunjuk untuk mengatasi kekosongan daerah yang
ditinggal oleh pemiliknya itu. Ingat, sekarang sudah bulan
Januari tahun seribu tujuh ratus tujuh puluh tiga. Perang usai
tanggal sebelas Oktober tahun lalu. Berapa bulan Blambangan
komplang?" "Baik aku akan berkemas. Tuan bisa beristirahat. Esok Tuan
kembali bekerja mewakili kami." Schophoff kemudian
mendekat pada Jufu Kunci.
"Yang Mulia bisa memberitahu hal ini pada Yang Mulia
Arinten" Ah, betapa akan gembiranya perempuan itu."
"Hamba akan kerjakan."
"Terima kasih, Yang Mulia...."
Juru Kunci segera memerintahkan beberapa orang
pengawalnya di rumah untuk bersiap mengantar Residen ke
Prabalingga. Istrinya kaget.
"Akan ke Prabalingga, Kanda" Sekarang juga?"
"Ya. Sebab Tuan Residen harus berangkat harini. Panggilan
penting. Amat penting sehingga tidak ada waktu...."
Tidak tergambar kekecewaan. Wanita itu tetap dengan
setia mengantarnya ke gerbang rumah. Juru Kunci memang
mengantar sampai ke gerbang kota Pangpang. Tapi ia tidak
terus ke Prabalingga. Cuma para pengawal yang terus ke
Prabalingga. Sebab Schophoff memerintahkannya untuk
memberitahu semua apa yang ia dengar itu pada Arinten. Juru
Kunci memberi perintah agar para pengawal menunggu Tuan
Residen di Prabalingga sampai kembali dari Surabaya. Setelah
itu ia memutar kudanya ke Pakis dengan diiringi gerimis yang
19 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tipis. Namun itu cukup untuk membuat banyak orang menjadi
malas keluar dari rumahnya. Bahkan tidak sedikit yang cuma
menghabiskan persediaan makanan kering.
Entah siapa yang mula-mula mengajarkan mereka makan
ketela goreng. Juga yang mengajar mereka memasak santan
kental jadi minyak kelapa yang bermutu bagus. Tapi
kenyataannya wanita Blambangan mampu mengerjakannya
dengan baik. Demikian halnya Arinten, saat itu ia telah
memerintahkan dayang menyiapkan pisang goreng, ubi jalar
goreng, dan air aren panas untuk di suguhkan saat kehadiran
kekasihnya, residen Blambangan nanti. Sudah agak lama
orang itu tidak datang. Ia ingin berterus terang bahwa ia
sudah hamil. Perutnya mengandungkan benih Schophoff.
Berkali ia berjalan mondar-mandir di beranda atau kadang ke
pendapa. Lengang. Penjaga di gerbang tak lebih dari dua
orang. Keadaan Pakis memang telah menjadi lengang sepeninggal
Ayu Nawangsurya. Sebagian besar ikut bertempur di Derwana
untuk belapati atas gugurnya Mas Rempek. Kini jumlah
penduduk di seluruh Pakis tidak lebih dari sepersepuluh
jumlah dahulu. Menyedihkan. Seperti daerah Blambangan
lainnya, di Pakis pun banyak tanah dan sawah merana. Arinten
melihat kenyataan ini. Tapi tidak mampu berbuat sesuatu.
Yang dapat dikerjakannya ialah mengiakan semua kata-kata
Schophoff. Siang telah berlalu. Udara makin dingin. Gerimis
tidak lagi tipis. Mendung kelabu memayungi pandangan yang
ingin menembus langit. Harapan akan kehadiran Schophoff
makin pupus. Walau malam belum turun, bahkan senja masih
jauh, tapi ia sudah memerintahkan para dayang memasang
semua pelita, setelah itu memperkenankan mereka pergi
istirahat. Ia ingin sendiri. Ingin memanjakan angan meniti
kembali masa lalunya. Ia tidak bisa menghitung lagi, berapa lama ia mendapat
anugerah memandang cakrawala biru pada tiap harinya, juga
20 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berapa lama sudah mentari membakar kulitnya, atau
rembulan membelai keheningan malamnya. Namun demikian
ia tahu dan merasakan, bahwa di perjalanan hidupnya ada
pahit dan manis yang harus dikunyahnya bersama-sama.
Termasuk apa yang pernah dialaminya dengan Jaksanegara,
bekas suaminya, yang ternyata hanya memburu kepuasan
pribadi semata. Tidak mempedulikan lagi cita-citanya untuk
menegakkan wangsa Tawang Alun. Dan kini dengan
diboyongnya Nawangsurya oleh Panembahan Rasamala ke
Bangkalan, kemungkinan untuk menguasai kembali
Blambangan kian tertutup. Kompeni kian mencengkeramkan
kukunya. Blambangan telah punah. Maka ia kini mencoba
mempertahankan keenakan sebagai pewaris kera-jaan dengan
mengikat Residen di tempat tidurnya. Sebab cita-cita untuk
menguasai Blambangan pupus. Tentu yang akan menjadi
penguasa Blambangan adalah Juru Kunci.
Lamunannya tiba-tiba saja ambruk. Derap kuda yang
berhenti di depan pendapa menyentak-kannya. Ia menoleh ke
kiri-kanan. Para dayang sudah istirahat di gandok belakang.
Atau mungkin pergi ke kamar untuk berkencan dengan para
pengawal. Bergesa ia melangkah ke pendapa. Siapa tahu
Schophoff. Ia sempatkan ke kamar untuk bercermin dan
membetulkan kain serta kemben. Juga rambut mendapat
sentuhan kembali. Melewati lorong yang kiri-kanannya ada empat buah kamar,
ia setengah berlari ke pendapa. Di bawah keremangan ia
tampak terhenyak dan berhenti untuk beberapa bentar.
Berulang menggosok matanya, untuk meyakinkan siapa yang
berdiri di antara pilar-pilar besar pendapa itu.
"Inilah, hamba, Yang Mulia," suara lelaki itu menghapus tanya dalam kalbunya.
Namun begitu ia cukup terkejut atas
kehadiran penguasa tertinggi Blambangan itu. Tanpa
pengawal dan basah kuyup. Tampaknya kedinginan. Ah, orang
21 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
yang pernah berjasa membebaskannya dari cengkeraman
Jaksanegara. "Mari, Yang Mulia... silakan masuk. Tentu ada yang sangat
penting sehingga Yang Mulia berkenan datang ke Pakis. Dalam
hujan begini." "Hamba mendapat perintah dari Tuan Schophoff. Beliau
sekarang pergi ke Surabaya. Dan hamba membawa kabar
gembira." Juru Kunci mengekor di belakang Arinten. Udara makin
dingin. Besar istana Pakis ini. Arinten mengajaknya ke ruang
makan di mana telah tersedia minuman dan makanan yang
sedianya diperuntukkan bagi Schophoff. Sambil
mempersilakan duduk Arinten menyodorkan air aren dan arak.
Ia sendiri sudah terbiasa minum arak. Jaksanegara yang
membiasakannya. Sebuah meja besar dikelilingi enam buah
kursi ukir persis di tengah ruangan.
"Yang Mulia tentu kedinginan. Hamba masih menyimpan
sarung Yang Mulia Jaksanegara, dan sebuah baju beludrunya.
Ah, mungkin cukup untuk menolong sementara agar Yang
Mulia tidak..." Arinten segera masuk ke kamar untuk
mengambilkan. Di kamar kosong Juru Kunci dipersilakan
mengganti pakaiannya. Setelah itu mereka duduk kembali di
kamar makan. Dinding papan berukir mengelilingi ruangan
yang diterangi oleh pelita itu.
"Boleh hamba mendengar kabar gembira itu sekarang?"
Arinten tidak sabar. Juru Kunci memperhatikannya minum
arak. Senyum wanita itu masih seperti dahulu. Sungguh
menawan. Yang lebih mengagumkan adalah alis matanya.
Arinten mengerti Juru Kunci sedang memperhatikannya.
Hatinya berdesir. Pandangan mata Juru Kunci penuh birahi.
Padahal sejak dulu ia sebenarnya tidak senang melihat wajah
itu. Karenanya ia cepat-cepat lari pada pelukan Residen.
Sekalipun ia pernah dengar dari bekas selir Jaksanegara
22 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentang kehebatan Juru Kunci di tempat tidur. Mereka
mengibaratkannya bagai Arjuna.
"Hamba menolak menjadi adipati Blambangan."
"Menolak anugerah itu" Aneh, Yang Mulia."
"Hamba bukan Yang Mulia Jaksanegara. Hamba tahu itu
bukan hak hamba." Arinten kaget mendengar itu. Ia pandang wajah bopeng di
hadapannya. Wajah itu tersenyum. Pandangan Arinten
menelusur ke bawah. Perut Juru Kunci nampak terbuka. Baju
Jaksanegara kekecilan untuk perut Juru Kunci yang setengah
buncit itu. Perut itu pun berkulit bopeng. Rupanya seluruh
tubuh bopeng. "Yang Mulia tidak percaya" Bisa lihat buktinya nanti."
"Lalu" Siapa yang akan memimpin Blambangan nanti?"
"Tentu orang yang berhak. Darah Tawang Alun."
Makin kaget. Bara dalam dada Arinten meletup seketika. Ia
bangkit sambil mengguncang tangan Juru Kunci, sesudah
terlebih dulu minum satu gelas arak lagi.
"Tuan Schophoff semula memang menunjuk hamba. Tapi
hamba mengusulkan agar darah Tawang Alun yang
memerintah demi cakrawarti Blambangan sendiri." Dalam
jarak dekat Juru Kunci tidak bisa tidak makin mengagumi
wajah janda kembang itu. Janda bekas atasannya yang kini
sedang dalam pembuangan. Belum dicerai menurut hukum
agama memang. Tapi harapan untuk bersua kembali tidak
ada. Sebaliknya, kegembiraan yang meledak di hati Arinten
memunahkan kejijikan yang selama ini memenuhi hatinya
setiap kali bersua Juru Kunci. Padahal mereka pernah
bekerjasama menjatuhkan Jaksanegara.
"Yang Mulia..."
23 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sungguh, Tuan Residen sekarang pergi menjemput Mas
Ngalit atas usul hamba itu. Dan upacara pelantikan akan
diadakan di Surabaya oleh Tuan Gubernur. Sebab hanya
beliau yang hamba pandang. Tapi sekalipun kurang
berpengalaman, hamba akan sanggup menjadi patih beliau."
Kegembiraan Arinten benar-benar tak tertahan. "Kita wajib
merayakan ini. Kita makan bersama....
"Sepatutnya kita merayakan. Hamba lihat Yang Mulia suka
minum arak juga. Hamba punya minuman arak Belanda.
Hadiah Tuan Schophoff waktu berangkat tadi. Hamba akan
senang jika hamba mendapat kesempatan minum bersama
Yang Mulia." "Hamba akan menemani, Yang Mulia."
Juru Kunci segera pergi ke kudanya di depan pendapa.
Rupanya ia membawa dua botol minuman keras sebagai
bekal. Sementara itu Arinten menyediakan daging kambing
bakar yang sudah ada di tempat penyimpanan. Dua gelas ia
sediakan untuk minuman. Arak wangi juga tersedia. Untuk
merayakan impian yang hampir pudar karena ulah
Jaksanegara itu. Impian itu kini terbit kembali. Juru Kunci


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang membangkitkannya. Arinten tidak tahu apa nama minuman Belanda yang masuk
ke dalam tenggorokannya itu. Satu gelas memang terasa
enak. Bercampur daging kambing, arak wangi, diselingi cerita
tentang masa depan Wangsa Tawang Alun atau sedikit humor,
Arinten makin lupa diri. Tubuhnya serasa makin melayang di
awang-awang. Kegelapan telah turun menggantikan
keremangan. Hujan turun lebih lebat dari tadi. Arinten antara
sadar dan tidak telah berpindah tempat duduk. Dari kursi ke
pangkuan Juru Kunci yang tinggi besar itu. Juru Kunci makin
berani. Ia tidak mabuk. Maka ia sadar ketika dengan sengaja
melepas kemben ungu dari dada Arinten. Udara dingin
menyentakkan Arinten. Ia lihat susunya telah terbuka. Tapi
entah mengapa ia tidak marah. Berdiri sebentar. Meletakkan
24 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
gelas. Juru Kunci ikut berdiri. Seperti bayang-bayang. Bahkan
kini lekat. Tangannya melingkar di tubuh Arinten. Suara napas
kuda terengah-engah. Gemercik suara hujan. Kegelapan dan
kedinginan berjalan bersama. Pelangi membayang dalam
angan. Lampu pijar, bintang gemintang, muncul-muncul tiada
seperti gabus pelampung dari pancing yang mulai disentuh
ikan. Ringkik kuda dan rintih manusia tak bisa dibedakan.
Mengantar pagi yang menjelma.
* * * Berbeda dengan daerah Blambangan lainnya, Songgon
tidak terlantar. Sawah dan huma kian subur. Sepanjang mata
memandang padi seolah merupakan garis-garis hijau yang
ditarik lurus dari ujung ke ujung. Teratur dan rapi. Kebiasaan
ternyata memudahkan wanita-wanita Songgon bekerja begitu
rapi walau tidak dibantu penggaris atau alat bantu lainnya
ketika mereka menanam secara beramai-ramai di sawah-
sawah. Sama seperti kerbau-kerbau mereka yang tidak pernah
meninggalkan alur bengkok di tanah kala membajak.
Kebiasaan telah menciptakan naluri dalam tubuh manusia.
Demikian pula di ladang. Jagung sudah mulai ditanam dua
bulan lalu. Kini berjajar lurus-lurus, baris demi baris. Jika
dipandang dari angkasa maka tampaknya akan seperti
puluhan ribu garis lurus yang sejajar. Lombok, terong, dan
sayur-mayur lainnya memadati halaman samping tiap rumah.
Pohon-pohon perdu Luntas atau Waribang (kembang sepatu)
menjadi pagar tiap halaman depan. Lamtoro berbaris di
pinggir-pinggir jalan. Memang tidak ada sebuah pun loji di sini. Satu-satunya
rumah batu adalah milik Rsi Ropo yang saat ini ditinggali
murid-muridnya dan Mas Ayu Tunjung, serta para
pengawalnya. Mas Ayu Tunjung sendiri-lah yang berani
memasuki kamar Rsi untuk membersihkannya. Hari-hari
pertamanya di Songgon memang merupakan aniaya bagi
hidupnya. Hari-hari yang dikungkung mendung. Betapa tidak!
25 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Memang saat itu adalah awal musim hujan. Penantian atas
kehadiran kembali Mas Sratdadi mengganggu angannya dalam
tanya, mengapa kau tidak datang" Atau semua orang harus
berpisah denganku" Hari-hari yang penuh dengan kerinduan.
Semua orang yang pernah mengasihi dan dikasihinya telah
punah. Ayu Prabu yang pernah tidak disukainya tapi
dikaguminya itu pun punah tanpa jejak. Laporan mengatakan
bahwa ia mati dibakar di sebuah gubuk sebelum Wilis
kekasihnya juga mati dengan tanpa bentuk lagi. Beruntung
Mas Ayu Tunjung kala memutuskan menanti Mas Sratdadi
sambil membersihkan dan menunggui padepokannya. Semula
ia khawatir jika Sratdadi datang kemudian menerima laporan
tentang gugurnya Mas Ayu Prabu serta Wilis dan semua
pemuka Bayu akan menjadi kalap dan marah, sehingga
kehilangan penguasaan diri.
Kesepian dibunuhnya dengan membaca gulungan lontar
milik Rsi Ropo. Dari semua lontar itu, ia tahu bahwa pemuda
yang dulu pernah jatuh hati padanya itu memang pantas
menyandang gelar Rsi. Kendati pun ia bukan seorang
keturunan brahmana. Yang membuat ia lebih kagum lagi
adalah catatan Rsi tentang Ayu Prabu. Ah, Ayu Prabu lagi!
pikirnya. Tapi setelah membaca, hatinya mengakui kehebatan
wanita itu. Betapa tidak" Ia telah menjadikan Sayu Wiwit,
seorang biarawati, menjadi momok bagi Kompeni.
Bahkan Ayu Prabu pula yang mengatur sehingga Jagapati
merasa pernah menikmati tubuh sayu (wanita yang telah
disucikan oleh brahmana ciwa) itu. Padahal ia berusaha
menjodohkan Sayu Wiwit dengan kakaknya, Mas Puger atau
Ramad Surawijaya. Ah, menyesal mengapa tidak dekat
dengan Ayu Prabu sejak dulu" Apalagi setelah membaca
catatan Ayu Prabu sendiri. Ah, ini bagian dia bersua dengan
pemuda Cina. Siapa ini" Tha..." Oh, Khong Ming" Luar biasa
Ayu Prabu. Sering menerima hadiah permata dan mutiara"
Oh, juga Khong Ming memberikan banyak uang" Mengapa ia
26 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menolak menjadi istri Khong Ming" Dia telah jatuh cinta pada
Wilis" Di bagian lain lontar Mas Ayu Prabu mengatakan:
"Jika aku harus menjadi istri Wilis, tentunya bukan karena
aku jatuh cinta padanya. Dulu itu mungkin. Tapi sekarang aku
tahu seperti ibuku tahu jauh di lubuk hatinya, bahwa Wilis
adalah putra ayahku sendiri, Wong Agung Wilis. Tapi baik
ibunya, Yang Mulia Yistyani maupun ayahku yang saat ini di
Mengwi, tidak mau menjelaskannya. Aku tahu mereka tidak
ingin Wilis, junjungan Blambangan itu terguncang jiwanya.
Aku pun tidak ingin ia terguncang. Karena itu demi Hyang
Maha Dewa, aku akan mendampinginya sampai musuh punah
dari bumi kelahiran yang menyusui aku ini. Aku lebih
mencintai negeri ini daripada Wilis. Demi Blambangan aku
harus mendorongnya. Aku sadar jika putra-putra Blambangan
sendiri seperti halnya diriku tidak melakukan sesuatu
untuknya, maka kelak akan terjadi Blambangan pulas tertidur
di bawah telapak kaki bangsa-bangsa asing dan satria pribumi
yang merajakan diri sendiri!"
Seperti tanaman layu yang kembali mendapat air segar,
tiba-tiba semangat Mas Ayu Tunjung bangkit kembali. Ya, jika
putra-putranya tidak berbuat sesuatu, Bla/nbangan kelak
tertidur! Tertidur di bawah'injakan kaki, di bawah aniaya. Ah,
betapa hebat orang yang menginjak itu sehingga yang diinjak
tidak terasa bahkan tertidur!
Sejak saat itu ia mendekati kawula di Songgon. Berbincang
dan membantu mereka di sawah. Menolong mereka jika
sedang sakit. Tunjek dan seluruh pengawalnya membantu. Ia
memberikan ajaran-ajaran seperti saat dulu Rsi Ropo belum
meninggalkan mereka. Bahkan memimpin pembukaan sawah
dan ladang baru bagi mereka yang baru saja tiba dari kota.
Dan benar, kawula Songgon dapat kembali tersenyum. Apalagi
setelah setiap beberapa hari ini Mas Ayu Tunjung memberikan
27 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tuntunan bagaimana cara menghadapi ponggawa Blambangan
jika sewaktu-waktu mereka mencium kedudukan mereka.
"Jangan takut!" ujar wanita manis itu di saat mereka
berkumpul. "Kalian jangan menjawab apa pun yang mereka
tanyakan!! Biar aku sendiri yang akan memberikan
jawabannya. Mengerti?"
"Mengerti!!!" teriak mereka, laki-perempuan, berbareng.
"Rsi Ropo akan kembali di tengah-tengah kita. Karena itu
bertekunlah pada ajaran yang pernah diberikannya."
"Dirgahayu! Dirgahayu!" mereka berteriak senang.
Meluap hatinya menyaksikan betapa kawula masih
mengharapkan kehadiran Rsi Ropo yang sebenarnya adalah
Mas Sratdadi. Ia tahu persis mengapa demikian. Tentu karena
mereka melihat Wong Agung Wilis dalam Rsi Ropo.
"Kita tidak akan berperang lagi. Karena kita tidak punya
daya dan sarana untuk memenangkan suatu peperangan. Tapi
kali ini kita akan melawan mereka dengan jalan damai. Seperti
dulu kala Rsi ada, kita tidak mengakui pemerintahan
Pangpang. Maka sekarang pun kita tidak mengakuinya. Kita
tidak sudi hidup di bawah perbudakan. Pengalaman mengajar
pada kita bahwa setiap kehadiran kekuasaan asing adalah
bencana. Sanggup kalian menolak mereka?"
"Sanggup!! Sanggup, Yang Mulia!!" kembali mereka
berteriak berbareng. "Dengan demikian kita tidak perlu mempersembahkan upeti
pada siapa pun. Kita untuk kita sendiri."
Kawula senang mendengar pernyataan itu. Mereka
bertekad menata kembali kehidupan di Songgon di bawah
pimpinan Mas Ayu Tunjung. Seorang wanita yang datang
dengan membawa beberapa bagian tubuh Wilis yang dapat
ditemukannya dan dibakar di desa Songgon. Maka kembali
Songgon berjalan tanpa kendali dari pemerintah Pangpang:
28 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walau beberapa bulan kemudian mereka mendengar berita
bahwa Blambangan sekarang diperintah oleh seorang
keturunan Tawang Alun yang bernama Mas Ngalit. Tunjung
berusaha mengingat siapa dia" Ketajaman ingatannya
membawa pada masa kanak-kanak. Pernah ia dikenalkan
dengan seorang pemuda cilik bernama Mas Ngalit. Keturunan
dari Pakis. "Bukankah Yang Mulia lebih berhak?" bertanya Partini,
pengawalnya. "Betul, bukankah Yang Mulia lebih berhak?" Tunjek ikut
bertanya. "Kekuasaan Blambangan telah ambruk. Wang-sa Tawang
Alun telah kehilangan kembangnya. Maka sekarang, siapa pun
yang telah memunggungi leluhur dan Hyang Maha Dewa, dia
merasa berhak atas tahta di Blambangan. Dan aku tidak akan
mengincar tahta itu. Sebab aku tidak sudi bekerjasama
dengan kekuatan asing untuk menginjak kepala kawula yang
memberiku makan setiap hari."
"Tapi kita tidak bisa membiarkan mereka terus begitu...."
"Dari delapan puluh ribu lebih kawula dan laskar
Blambangan yang bertempur tahun lalu kini tinggal lima ratus
orang di Songgon dan mungkin dua ribu lebih tersebar di
berbagai hutan, masih kurangkah usaha kita membendung
masuknya bule itu" Tidak bisa begitu, Tunjek. Yang dapat kita
lakukan sekarang, menjaga hati kita agar tidak ikut terampas
bersama bumi beserta seluruh kekayaannya. Memang kita
berdosa karena tidak berdaya mempertahankannya. Tapi
bukan berarti tidak melakukannya sama sekali. Kita sudah
bermandi keringat dan darah."
Laporan berikut yang datang pada Mas Ayu Tunjung adalah
datangnya rombongan lelaki dan perempuan yang
diperkirakan dari daerah-daerah Mataram. Mereka datang
dengan berjalan kaki gelombang demi gelombang di bawah
29 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengawalan pasukan bersenjata Kompeni. Kemudian mereka
ditempatkan di rumah-rumah kosong yang ditinggalkan oleh
yang empunya. Mas Ayu Tunjung menjadi terperangah
karenanya. Karena itu ia memerintahkan pada kelima
pengawalnya untuk mencari tahu siapa sebenarnya mereka.
"Ini perampokan benar-benar!" ia mengumpat. Marah dan
kesal menyatu dengan ketidakberdayaan.
30 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
2. SARANG CAMAR PUN PUNAH
Arinten tidak bisa menyambut kehadiran adiknya di Pangpang saat pemuda itu tiba
dari Surabaya sesudah dilantik menjadi adipati Blambangan. Sebuah kerajaan yang
telah diturunkan derajatnya menjadi kadipaten. Tentu ia tidak berkuasa lagi atas
Probolinggo, atau daerah sekitarnya.
Bahkan Lumajang yang pernah menjadi ibukota Blambangan pun tidak. Hujan sehari-
hari menandai awal pemerintahan Mas Ngalit pada tahun seribu tujuh ratus tujuh
puluh tiga itu. Ingin ia pergi ke Lo Pangpang. Tapi bukan cuma hujan yang
menghalanginya. Sebab yang pokok ialah sakitnya.
Kenikmatan dan kepuasan yang ia terima dalam pelukan
Juru Kunci semalam kala orang itu menyampaikan berita
pengangkatan Mas Ngalit dulu, harus dibayarnya dengan
perdarahan. Ia sadar bahwa benih Schophoff punah karena
kehebatan Juru Kunci di tempat tidurnya. Ia mengakui bahwa
selama ia kenal dengan lelaki, tidak ada yang sehebat Juru
Kunci. Benar-benar kuda jantan di malam hari. Sudah lebih
lima belas hari, belum juga pulih kekuatannya. Jamu kunyit
campur lempuyang serta telur ayam tidak pernah terlambat
tiap hari. "Salah sendiri," bisik seorang dayang pada lainnya. "Apa belum pernah dengar
bahwa- Yang Mulia Juru Kunci itu tidak
bisa punya anak. Habis nafsunya besar.:.."
"Kau..." Yang lain tersenyum mendengar itu.
"Benar! Ah, Mas Ayu seperti tidak ada puasnya. Sudah
punya Tuan Besar kan lumayan. Sekarang mana ada orang
lebih berkuasa dari Tuan Besar Residen itu."
"Janda yang kesepian. Maklum saja," yang lebih tua ikut berceloteh. "Dingin-
dingin lagi...." Suara kikik mereka tertahan-tahan. Takut kedengaran Mas Ayu
Arinten. Bisa kehilangan pekerjaan. Lumayan menjadi dayang daripada
petani yang terus terbakar terik mentari. Jika ada untung
31 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menjadi dayang bisa berkenalan dengan para pengawal.
Lebih-lebih jika ada bangsawan yang menginginkannya. Bisa-
bisa menjadi selir bangsawan tersebut.
Beruntung bagi Arinten, jamu-jamu itu ternyata
menolongnya. Berangsur-angsur membaik kendati masih
belum mampu berjalan jauh. Itu sebabnya ia cuma mengirim
surat pada adiknya melalui Juru Kunci.
"Kenapa Kanda Dewi tidak bisa hadir" Apa sakitnya?" Mas Ngalit heran.
"Hamba sama sekali tidak tahu, Yang Mulia. Surat ini
hamba terima dari seorang dayang," Juru Kunci gugup. Ia
sendiri tidak tahu persis. Memang ia tidak mengerti bahwa
sepeninggalnya Arinten keguguran.
"Jika demikian aku sendiri akan menghadap Kanda,"
katanya sambil menghadap Residen.
Schophoff menerima penghadapan mereka dengan senang.
Kali ini ia akan menjelaskan perintah Gubernur untuk


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dilaksanakan di Blambangan. Mas Ngalit belum terbiasa
memasuki gedung itu. Maka ia perhatikan dengan sungguh-
sungguh semua pilar, dinding, dan semua hiasan. Di samping
kanan agak ke belakang meja Schophoff berdiri bendera
merah-putih-biru. Tepat di dinding atas di belakang kepala
Residen terdapat gambar yang tidak ia mengerti maknanya.
Lambang kerajaan Belanda. Di samping kiri terdapat beberapa
bendera yang juga tak diketahuinya bendera mana. Tapi jauh
dalam lubuk hatinya timbul dugaan bahwa itu adalah bendera
Kompeni dan VOC. Tidak ada lambang Sonangkara (lambang
negara Blambangan; gambar kepala anjing hitam) atau
umbul-umbul Jingga milik kerajaan Blambangan. Ia tahu
Belanda sedang menghapus kerajaan Blambangan. Sama
dengan kerajaan Nusantara lainnya. Semua harus bersimpuh
di bawah telapak kaki si bule.
32 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi Mas Ngalit tidak merasa perlu memikirkan itu.
Kegagalan Mas Rempek cukup membuatnya ketakutan. Untuk
berpikir seperti Rempek itu pun takut.
"Ah, selamat pagi, Yang Mulia," Schophoff memulai.
"Selamat pagi, Tuan," kedua orang itu membalas sambil
menghormat. Sekilas Mas Ngalit melirik dua gadis yang berdiri
di samping kiri-kanan Schophoff sambil mengipasinya. Kendati
musim penghujan, Schophoff memerlukan pengipas. Tentu
bukan untuk mengusir kegerahan. Tapi untuk memamerkan
kebesarannya* "Tentu Yang Mulia kaget melihat keadaan Blambangan saat
ini. Tapi ini dilakukan demi kita semua. Dan ini sudah menjadi
perintah Gubernur untuk mengisi kekosongan Blambangan
dengan penghuni baru. Supaya mereka dapat memanfaatkan
ladang-ladang dan sawah-sawah yang ditinggal oleh
pemiliknya. Kewajiban Yang Mulia adalah menjaga agar tidak
ada pembangkangan lagi. Sebab pembangkangan akan
menyebabkan berkurangnya pendapatan negara. Pendapatan
kita semua." "Jadi mereka diterima menjadi kawula Blambangan?"
"Ya! Dengan syarat mereka tidak boleh melakukan apa
yang pernah mereka kerjakan di daerah asal mereka. Dan
mereka sanggup dipekerjakan sesuai mau kita."
"Jadi siapakah mereka itu" Dari mana?" Juru Kunci terkejut.
Schophoff tertawa. Tubuhnya berguncang-guncang.
"Orang-orang dari wilayah Mataram yang sudah diserahkan
pada VOC. Jangan resah, Yang Mulia. Di daerah asal mereka
binal, tapi di Blambangan itu tidak boleh terjadi. Kita harus
menjinakkan mereka."
"Ya Al ah, Hamba belum mengerti, Tuan." Mas Ngalit masih bingung. Apakah lelaki
dan perempuan yang datang itu sama-sama binal" Celakalah mereka jika harus
memimpin kawanan 33 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
binal. Satu orang binal mampu meributkan orang satu
pedesaan. Apalagi satu kawanan" Ah, bukan cuma
sekawanan. Tapi pada kenyataannya mereka telah datang
gelombang demi gelombang dengan tanpa persetujuan
kawula sebagai pemilik tanah Blambangan. VOC memang
tidak pernah memerlukan persetujuan. Tapi semua-mua harus
tunduk pada kemauan VOC. Siapa yang mampu
membendung" VOC bermodalkan segala. Uang, pasukan, dan
kepandaian. Pribumi"
"Yang Mulia akan mengerti nanti. Tapi yang penting
sekarang adalah pengaturan mereka. Yang Mulia berdua harus
mengatur mereka. Percayalah, kesibukan kerja yang kita
berikan akan membuat mereka tidak sempat berpikir tentang
kebinalan. Apalagi jika kita mampu menciptakan suasana
sedemikian rupa sehingga jika di antara mereka meluangkan
waktu untuk melakukan kebinalannya kembali, mereka akan
lapar. Karena itu Yang Mulia harus memberi keterangan pada
mereka." "Baik hamba akan beranjangkarya untuk bersua dengan
mereka, kelompok demi kelompok. Dan berbicara dengan
mereka, pedesaan demi pedesaan," Mas Ngalit berjanji.
"Akan kami siapkan pengawalan, Yang Mulia." Schophoff
girang. "Lalu apa rencana Yang Mulia selanjutnya" Ada usul-
usul?" "Ada. Hamba tidak ingin menempati rumah bekas milik
Yang Mulia Jaksanegara. Hamba akan pulang ke Pakis terlebih
dahulu. Dan sesegera mungkin hamba ingin membangunkan
ibukota baru bagi Blambangan. Bukan lagi di Lateng atau
Pangpang. Tapi hamba memilih Bandar Sumber-wangi sebagai
ibukota." "Ya Tuhan!" Schophoff terkejut mendengar usul itu. "Apa alasan Yang Mulia tidak
suka tinggal di Pangpang?"
34 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Setelah perang yang amat menyedihkan itu hamba ingin
memerintah Blambangan dengan suasana baru. Kota yang
baru. Tentu akan lebih baik dari dahulu. Nah, di Sumberwangi
kita akan mendirikan istana baru. yang berhadapan dengan
Mesjid Agung. Hamba ingin ada Mesjid Agung di ibukota
seperti halnya di Bangkalan, atau layaknya ibukota daerah-
daerah lain." "Apakah tidak bisa itu kita bangun di Lateng dan Pangpang
atau Wijenan?" "Di Sumberwangi yang bandar itu kawula lebih banyak
bergaul dengan segala bangsa. Pikiran mereka akan lebih
terbuka. Karena persinggungan antara darat dan laut
membawa arti tersendiri dalam kehidupan. Tiap
persinggungan akan mampu mengubah nilai dalam kehidupan.
Sebaliknya mereka yang tinggal di pedalaman dengan tanpa
persinggungan, maka mereka lebih cenderung berkokoh
dalam ajaran moyangnya."
Sekali lagi Schophoff tertawa. Juru Kunci kagum. Dari mana
Mas Ngalit yang dulu terkenal sebagai seorang pendiam dan
penakut itu belajar berpendapat" Bahkan mengeluarkan
pendapatnya seperti itu" Ah, ia tidak salah pilih. Beberapa
bulan di Madura rupanya membawa berkah untuk anak muda
ini. "Itu pendapat yang amat bagus. Hamba akan
memerintahkan Tuan Pieter Luzac ke Surabaya untuk
melaporkan rencana ini pada Gubernur. Sementara itu
pembangunan segera akan kita mulai. Yang Mulia harus
memerintahkan pada para bekel supaya mengerahkan
sebagian penduduk laki-lakinya ke Sumberwangi."
"Besok hamba mulai bergerak. Harini hamba akan pulang
ke Pakis. Hamba mohon besok Yang Mulia Juru Kunci bergerak
ke utara, sedang hamba ke selatan sambil seterusnya
mengawasi pembangunan di Sumberwangi."
35 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Untuk sementara Yang Mulia bisa tinggal di rumah bekas
kediaman Yang Mulia Suratru-na. Rumah itu sudah jadi milik
VOC dan jika tidak dipergunakan akan kami lelang pada para
saudagar. Banyak yang mau. Terutama saudagar Cina."
"Jika demikian, kita tak perlu membangun istana baru.
Sebaiknya itu saja diperbaiki. Diperluas dan disempurnakan
sesuai dengan kebutuhan seorang adipati."
"Usul yang amat bagus karena dapat mengurangi biaya."
Juru Kunci segera menceritakan pada istrinya kala sampai
di rumah. Dan mereka amat gembira karena ternyata Mas
Ngalit tidak menghendaki rumah Jaksanegara yang mereka
tempati itu. Tidak salah Juru Kunci memilih Mas Ngalit.
Sewajarnya Mas Ngalit berbuat seperti itu, untuk membalas
budi Juru Kunci sehingga ia bisa kembali ke Blambangan.
Sementara kakaknya; Nawangsurya tidak mendapat perkenan
dari Panembahan Rasamala. Orang tua itu takut kehilangan
wanita cantik dari Blambangan yang menjadi lambang bahwa
ia pernah mengalahkan Blambangan. Sedih hati Nawangsurya
tidak bisa mengikuti perjalanan pulang adiknya.
Sementara itu Mas Ngalit serta beberapa orang
pengawalnya memacu kudanya ke Pakis. Ia benar-benar
kaget. Orang-orang tidak lagi menjatuhkan diri untuk
menyembah pada pembesar negeri yang lewat. Tidak seperti
di Madura. Atau daerah lain yang pernah dilihatnya. Perasaan
tidak senang membelit hatinya melihat ini. Ia ingin agar
semua orang di Blambangan menghormatinya. Perubahan
watak yang tak pernah disadarinya. Dulu ia tak berani
menuntut itu. Namun kini hatinya menuntut. Siapakah aku
maka orang bersikap tidak ramah padaku"
Mas Ngalit tidak pernah menyadari bahwa kawula tidak
mengenalnya lagi sekarang. Dahulu ia tak pernah
mengenakan pakaian seperti itu.
36 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tidak pernah mengenakan blangkon seperti laiknya
pembesar Mataram. Tidak pernah mengenakan baju hitam
berenda-renda emas di dadanya. Ia dulu telanjang dada dan
berdestar di kepalanya. Kini ia tidak lagi mengenakan pending
emas di pinggangnya sebagai tanda bahwa ia adalah seorang
pangeran Blambangan. Cuma orang-orang yang baru datang
dari daerah Jawa lainnya yang menyembahnya di batas kota
Pangpang. Keheranannya makin dalam kala masuk ke wilayah Pakis.
Bukan cuma huma yang tampak merana serta rumah yang
kosong. Tapi juga tidak berkeliarannya kawula di sawah
tempat mereka mendapatkan makanan. Ke mana mereka itu"
Juga tidak nampak si Tole atau si Enduk berlarian di halaman-
halaman rumah. Mengapa pasar juga sepi" Tidak lagi nampak
berjubel seperti kala Mas Rempek masih hidup. Apakah
mereka punah bersama Mas Rempek" Dan kala matanya
mencoba menembus ke dalam kedai-kedai itu, kebanyakan
pemiliknya kini berkulit kuning dan bermata sipit. Ke mana
para pedagang pribumi yang dulu itu"
Apakah seluruh Blambangan menjadi demikian adanya"
Jika demikian berapa jumlah kawula Blambangan yang punah"
Sungguh di Pakis ini Mas Ngalit mencoba menghitung berapa
yang masih tinggal. Tidak ada sepersepuluh dari jumlah
sebelum perang. Sungguh mengagumkan kekuatan pasukan
Kompeni yang bergabung dengan Madura, Surabaya* Sidayu,
dan Pasuruan. Betapa konyolnya melawan pengaruh asing
yang sedang naik daun ini, pikir Mas Ngalit sambil berjanji
pada diri sendiri tidak akan mengulangi kesalahan Rempek
ataupun Sutanega-ra dan Wangsengsari.
Istana Pakis tampak lengang. Pasukan pengawal juga
Kompeni. Apakah kakaknya dikenakan penahanan rumah
maka tidak menyambutnya di Pangpang" Apa arti pengawalan
oleh Kompeni ini di seputar istana" Pasukan pengawal itu
berdiri dalam jajar yang rapi untuk memberi penghormatan.
37 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hatinya agak lega. Apalagi setelah Arinten nampak berjalan
lambat-lambat di pendapa untuk menyambutnya. Perlahan
sekali seolah takut bumi yang dipijaknya itu akan amblas.
Ngalit sama sekali tidak mengerti bahwa perasaan nyeri masih
mengganggu di perut bagian bawah kakaknya.
"Assalamual aikum...." Arinten sedikit terkejut mendengar adiknya memberikan
kata pembukaan seperti itu. Namun ia
segera sadar, bahwa Madura telah mengubah adiknya. Maka
ia pun memberi salam seperti yang pernah diajarkan guru
ngaji Jaksanegara dulu. "Masuklah, Adikku...." Ia tidak berani mendekat untuk
memeluk atau mencium adiknya itu. Tatanan baru yang mulai
diberlakukan sejak zaman Jaksanegara dan Wangsengsari
melarangnya untuk melepas rasa rindu dengan cara itu
dengan orang berlainan jenis kecuali suaminya sendiri.
Mas Ngalit menyembah sambil tetap berdiri dari beberapa
jarak. Sekalipun rasa rindu mengentak dalam dadanya. Ia
gembira melihat kakaknya mengenakan kemben. Juga tidak
lagi menyelipkan cundrik di depan perutnya.
"Ke mana semua binti perwara?"
"Jangan lagi mengingat mereka! Cuma ditemani lima orang
dayang. Semua orang telah meninggalkan kita. Semua ingin
menempuh jalannya sendiri-sendiri."
"Ah, Kanda, mereka tidak mengerti bahwa apa yang kita
alami adalah takdir. Itulah celakanya jika tidak mengenal
Tuhan. Sekalipun berusaha setengah mati, jika sudah takdir
mana mungkin bisa mengalahkan Belanda" Apalagi jika semua
adipati di Jawa ini membantu mereka, maka kita tidak
ubahnya ketimun!! Ya! Ketimun melawan durian. Ah, kita
harus tinggalkan jalan pikiran lama. Hidup dalam tatanan baru
dalam jalan pikiran baru pula. Hamba akan mencoba
menyadarkan kawula Blambangan. Dan hamba akan
membangunkan ibukota baru bagi Blambangan."
38 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Adinda adalah tumpuan harapan Tawang Alun saat ini.
Karenanya aku akan membantu sepenuh daya untuk tiap
langkahmu." "Alhamdulil ah! Syukur-syukur."
Keduanya masuk ke ruang tengah. Para pengawal telah
diperintahkan istirahat. Arinten melihat ada banyak perubahan
dalam diri adiknya. Bukan cuma cara berpakaian. Cara
bicara dan cara berjalan pun tampak berubah. Tampaknya
semua sudah diatur seperti meniru cara Gubernur Van de
Burgh berjalan dan bicara. Juga mendengarkan -pembicaraan
orang lain yang disertai mengangguk-angguk. Arinten sedikit
berdesir. Jangan-jangan hati adiknya itu juga berangsur-
angsur berubah seperti Belanda. Ah, jika demikian maka orang
Blambangan akan semakin menjauhkan diri. Apakah mungkin
mereka menjadi satria Blambangan yang tidak dihormati oleh
kawulanya sendiri" Beberapa bentar kemudian keduanya terlibat dalam
pembicaraan yang panjang dan melingkar-lingkar. Saling
menceritakan pengalaman. Tapi tentu saja Arinten tidak
menceritakan pengalamannya dengan Schophoff yang
membuatnya mengandung dan kemudian keguguran karena
ulah Juru Kunci. . "Kasihan Kanda Nawangsurya." Arinten mengingat kakaknya yang
jelita itu. "Mengapa ia bersusah
menjadi seorang istri adipati yang begitu perkasa dan punya
nama adiluhung (terhormat dan terkenal)


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Beliau selalu ingat Rempek. Nampaknya beliau sangat
dendam pada suaminya sendiri. Kini Panembahan Rasamala
sedang sakit. Ketuaan menggerogoti keperkasaannya. Kanda
Nawangsurya tidak pernah menghadap jika tidak dipanggil.
Padahal sang Panembahan benar-benar mencintainya." Mas
Ngalit diam sebentar sambil menebarkan pandangnya ke
sekeliling ruangan. Tiba-tiba hatinya berdebar. Ia melihat pet
merah berlapis emas pada tepinya. Tentu milik pembesar
Kompeni. Arinten tahu adiknya merenungi pet itu.
39 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Milik Tuan Residen." Arinten tersenyum menutup malu.
Memang singkat jawabannya. Namun cukup membuat Mas
Ngalit membawa nalarnya untuk menelusuri suatu kisah yang
panjang. Tentu ia dapat meraba sambungan kata-kata
kakaknya. Kendati tidak diucapkan oleh Arinten. Janda
kembang dengan wajah menawan. Ah... barangkali sudah
takdir bahwa ia harus mengatasi hidupnya dengan jalan
begitu. Lagi ia kembali pada ajaran guru mengajinya kala di
Madura. Maka ia tidak melanjutkan penyelidikannya dengan
pertanyaan. Cuma dalam hati saja. Betulkah orang
Blambangan tidak ada yang suka mengawini kakaknya. Atau
memang semua satria sudah punah" Sehingga yang tersisa ini
cuma sudra saja" "Mengapa termenung?" Muka Arinten jadi merah kala
adiknya itu diam saja. "Ah, tidak apa-apa, Kanda," Ngalit gugup. "Cuma berpikir tentang rencana esok.
Dari mana hamba harus memulai
perjalanan. Apa terus ke Lateng" Atau melingkar dulu. Tentu
harus ke Pangpang lagi untuk bertemu muka dengan
pendatang dari daerah Mataram."
"Pendatang" Dari Mataram?"
"Ya. Untuk mengisi sawah dan rumah yang kosong."
"Mereka akan menempati tanah dan rumah yang bukan
haknya" Apakah tidak menimbulkan kemarahan kawula kita,
Adinda?" "Kawula kita selalu membantah mempersembahkan upeti.
Karena merasa hidup di atas tanah sendiri. Itu sebabnya kami
mendatangkan mereka agar mengelola tanah milik kita dan
memper- " sembahkan upetinya. Barangkali mereka bisa
ditekan bahwa upeti itu cuma sebagai sewa tanah."
"Berhati-hatilah, Adikku! Siapa tahu masih i banyak satria
yang setia pada Wilis bersembunyi di antara para kawula."
40 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hamba akan perhatikan nasihat ini, Kanda. Dan hamba
sadar bahwa kebahagiaan yang kita cita-citakan tak mungkin
dapat digapai dengan mudah. Tapi percayalah pada takdir.
Jika memang Tuhan menghendaki maka manusia tidak pernah
menyangka apa bakal terjadi atas dirinya." Kemudian Mas Alit memberi contoh
pengangkatannya jadi adipati Blambangan
itu. Dia sama sekali tak tahu bahwa untuk pengangkatannya
itu ada orang lain yang memperjuangkan. Ada orang lain yang
mengatur. Bahkan ada orang lain yang berkorban. Ia sama
sekali tidak tahu bahwa kakaknya sendiri harus mengorbankan
kehormatannya di atas tempat tidur dengan banyak orang.
Tapi Arinten tidak ingin mengecewakannya. Justru ia ingin
mendorong adiknya agar tidak kalah dengan Wilis 9 atau
Rempek. "Membangun ibukota baru membutuhkan tenaga dan
biaya banyak. Dari mana kau akan mendapatkannya, Adinda?"
"Gubernur akan menyediakan biayanya. Bahkan akan
membantu mengirimkan tenaga dari Jawa dan Madura.
Sebagai imbalannya hamba harus menyerahkan pajak tahunan
enam puluh ribu ringgit (1 ringgit = f 2,50) dalam mata uang
Belanda. Karena itu sejak sekarang di Blambangan hanya
berlaku mata uang Belanda."
"Begitu besar?" Arinten terkejut. Ia sudah tahu nilai uang Belanda karena sering
menerima dari Schophoff. "Kita harus membayar banyak untuk membangun negeri
ini, Kanda. Padahal kita tidak punya modal. Sebaliknya VOC
bermodal. Kita perlu menjadikan diri kita bermodal lebih dulu,
kaya dulu, baru bisa membawa kawula ke arah kebahagiaan.
Bagaimana bisa menjadikan negeri ini makmur jika diri sendiri
belum makmur" Jika hamba mampu memasukkan enam puluh
ribu ringgit tiap tahun maka hamba akan mendapat upah
seperlimanya. Belum gaji yang hamba akan terima sebagai
punggawa yang mengakui kedaulatan VOC," Mas Ngalit
menyatakan kegembiraannya.
41 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jika Blambangan dapat mendirikan ibukota baru seperti itu
tentu kau jadi amat kaya, Adikku. Luar biasa kau ini," Arinten pun memuji.
"Buat apa kita bersusah-susah melawan VOC yang mampu
membayar Kompeni begitu banyak. Bahkan membayar bupati-
bupati di hampir seluruh Nusantara ini. Hamba melihat sendiri
ketika ikut Panembahan Rasamala ke Surabaya, para tawanan
perang, yang pernah bertempur disini. Orang-orang Bali. Ah,
lelaki dan perempuan digiring untuk dihitung jumlahnya
sebelum dijual ke Batavia sebagai budak. Jika hamba tidak
salah ingat jumlah mereka sekitar dua ribu lima ratus lima
orang. Sebagian besar perempuan.(Kejadian yang dilihat Mas
Ngalit itu tertanggal 7 November 1772 sesudah Bayu kalah
tanggal 11 Oktober 1772) Nah, apakah bukan cari penyakit
seperti itu" Mana tanggung-jawab Wilis" Mana itu para
pemimpinnya yang membakar-bakar semangat mereka agar
melawan Belanda" Mana?" Mas Ngalit kini berjalan mondar-
mandir. Sementara kakaknya cuma memandang semua
tingkahnya. "Mulai besok hamba mengerahkan orang ke Sumberwangi.
Bandar kecil itu akan hamba jadikan ramai. Lebih ramai dari
zaman Wong Agung Wilis."
"Jika kawula Blambangan tidak mendengarmu?"
"Harus diciptakan suatu cara agar mereka mau mendengar.
Atau akan hamba suruh orang lain yang membangunnya.
Besok hamba akan mengeluarkan maklumat ke seluruh negeri
bahwa ibukota dipindahkan ke Sumberwangi. Dan semua
"orang harus ikut membangun kota itu agar layak menjadi
sebuah ibukota." "Apakah para bekel mau mendengar perintahmu?"
"Kenapa tidak" Kita akan angkat bekel-bekel baru.
Punggawa baru. Mulai dari hamba sendiri sebagai adipati,
dibantu oleh Yang Mulia Juru Kunci sebagai patih, kemudian
42 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
akan diangkat wedana-wedana yang akan berkuasa di luar
ibukota. Misalnya di Lateng, Panarukan, Wije-nan, Pakis, dan
lain-lain kota yang ditunjuk VOC. Nah, untuk membantu para
wedana itu akan diangkat para kliwon dan mantri dalam. Bekel
sekarang tidak boleh berkuasa seperti dahulu. Kini mereka
akan dibantu oleh beberapa petinggi. Setiap desa akan ada
modin sebagai pembina dalam urusan kita dengan Tuhan dan
perkawinan. Kemudian dibantu oleh para kuwu, sebagai
kepala-kepala dari para pengayak yang menyampaikan
perintah dari atasan."
"Lalu apa jaminan yang kauberikan agar mereka mau
menjadi pembantumu."
"Mereka akan mendapat bengkok. Misalnya para bekel akan
mendapat bagian tujuh setengah bau (satu bau = 500'Ru. 1
Ru = ? 4x3 meter) sebagai ganjaran. Juga para petinggi,
mendapat bagian yang sama dengan bekel. Sedang para
modin mendapat satu tiga perempat bau. Sedang kuwu atau
pengayah satu setengah bau
lebih sedikit. Lalu mengapa mereka menolak ganjaran
sebanyak itu?" "Aku senang kau punya pendapat seperti itu. Aku dukung."
Arinten gembira. Adiknya begitu menguasai ketatanegaraan.
"Aku berdoa agar kau berhasil memulihkan cakrawarti wangsa
Tawang Alun." * * * Mas Ngalit tidak pernah menduga bahwa menjadi seorang
adipati berarti juga harus menghadapi berbagai macam
masalah. Bukan sekadar duduk di singgasana yang empuk.
Karena di beberapa tempat banyak ganjalan-ganjalan. Walau
ia sudah menempatkan paman-pamannya, yaitu Pangeran
Wirodo, adik ayahnya untuk menjadi . wedana di Lateng dan
Pangeran Wiroyudo sebagai wedana di Wijenan. Dan gelar
43 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pangeran Blambangan tidak diperkenankan, atau tidak
dipergunakan lagi. Sebagai syahbandar ia mengangkat Tan Eng Gwan, karena
orang ini berani mempersembahkan dua ratus ringgit setiap
tahun. Bukankah ,dengan begitu mampu menyumbang banyak
bagi pembayaran utang Blambangan terhadap VOC. Dia
memang mendengar desas-desus yang berkembang di antara
para bupati utara, bahwa Gubernur Jenderal di Batavia telah
memutuskan agar Blambangan untuk sementara tidak
diwajibkan mempersembahkan pajak. Tapi mereka diharuskan
mengganti rugi biaya peperangan melawan Bayu, serta
membayar utang tepat pada waktunya. Dari mana Mas Ngalit
mendapatkan dana jika tidak dari perpajakan" Padahal
sekarang ini masih banyak sawah kosong. Karena itu daerah-
daerah yang kosong itu perlu diisi. Bukankah jumlah sawah di
daerah Sumberwangi yang ada sekarang ini seluas delapan
ribu enam belas bau" Baru dua ratus dua puluh dua bau yang
dihadiahkan sebagai bumi ganjaran bagi para pejabat.
Termasuk Tan Eng Gwan mendapat bumi ganjaran, karena ia
sudah dianggap pejabat. Walau ia kerja di bawah perjanjian
kontrak. Seratus sembilan puluh satu bau dibagikan pada
orang-orang yang bekerja pada punggawa-punggawa. Jadi
mereka tidak berhak untuk menuntut upah. Sisa tanah seluas
itu sebagian besar masih kosong, walau sebagian kecil digarap
oleh pribumi Blambangan. Namun mereka tidak bersedia di kat
oleh peraturan yang diberlakukan oleh patih Blambangan.
Itu merupakan salah satu kendala dalam menghambat
masuknya dana bagi pembangunan Blambangan. Tapi Mas
Ngalit masih menyabarkan diri. Ia menyadari bahwa ia harus
mengambil hati kawula Blambangan yang terus-menerus
masih memimpikan hadirnya Wong Agung Wilis. Mereka
semua berharap bahwa sang raja adil, yaitu Wong Agung
Wilis, akan memerintah kembali di Blambangan.
44 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Demikian pula halnya sore hari itu. Juru Kunci menghadap
bersama Tan Eng Gwan, Han Tian Boo, dan Baba Song.
Tamu-tamu yang biasanya selalu datang dengan membawa
persembahan. Termasuk salah satu dari persembahan
istimewa, seorang gadis yang masih sangat muda dan cantik,
Su Lie Hwa. Maka ia menyambut mereka dengan amat
ramahnya. Pada pelayan ia memerintahkan agar dikeluarkan
arak wangi untuk tamu-tamu tersebut. Dan mereka
diperkenankan masuk ke beranda di samping halaman tengah.
Sehingga a akan bicara dengan santai di taman yang tersedia.
Udara segar merupakan suguhan tersendiri, selain kembang-
kembang yang berhamburan di seputar tempat duduk mereka.
Pohon mahoni meneduhi tempat itu bersama dengan
sepasang pohon naga-sari. Tempolong-tempolong besar yang
terbuat dari kuningan sengaja disediakan di dekat tiap tempat
duduk. Barangkali untuk meludahkan dubang jika para tamu
itu menginang. Tapi kecuali Juru Kunci, para tamu itu tidak
menginang. Meskipun demikian tempolong-tempolong itu
tetap ada gunanya. Sebab mereka sering berdahak.
"Tentu ada masalah yang perlu kubantu maka Tuan-tuan
datang sore-sore begini." Mas Ngalit tersenyum ramah. Setiap kali ia berhadapan
dengan mereka, setiap kali ingatannya
melambai pada Su Lie Hwa.
"Ya. Di beberapa tempat, pembabatan kayu ulin tidak dapat
terlaksana. Terutama di daerah yang telah kita sewakan pada
Tuan Han Tian Boo," Juru Kunci lebih dulu menjelaskan.
"Apa sebab?" "Wilayah yang kita sewakan pada Tuan Tian Boo
melingkupi daerah Songgon. Ini yang jadi persoalan."
"Kenapa dengan daerah Songgon?" Mas Ngalit menoleh
pada Han Tian Boo. Yang bersangkutan buru-buru menunduk
dan tangannya segera menyatu. Kemudian diletakkannya di
antara kedua pahanya. Di hadapan seorang pejabat pribumi
seperti itu ia mengharuskan dirinya sendiri bersopan-sopan.
45 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun, Yang Mulia, kami mendapat tantangan dari orang-
orang Songgon. Mereka menghalang-halangi orang-orang
kami. Bahkan jika kami melanjutkan pembabatan hutan di
seputar Songgon, mereka akan membunuh kami satu per
satu. Dan... yang amat menggelisahkan adalah begitu
banyaknya jebakan di sana."
"Jebakan?" "Ya, Yang Mulia. Sudah empat puluh delapan pekerja kami
yang tewas masuk ke dalam jebakan. Tidak nampak memang.
Seperti tanah biasa. Tapi waktu diinjak oleh beberapa orang,
ternyata tanahnya amblas ke bawah, dan di dalam lubang itu
sudah tersedia puluhan bambu runcing yang siap menyate
tubuh setiap orang yang jatuh ke dalamnya."
"Ya, Al ah!" "Sungguh gawat, Yang Mulia. Maka kami mohon kebijakan
Yang Mulia, agar kita tidak rugi. Belum lagi yang terluka oleh
tombak bambu yang terpasang dalam semak belukar.
Sungguh mengerikan. Karena pengalaman menunjukkan
bahwa mereka tidak bisa diobati. Mereka semua akan mati
pelan-pelan dengan tubuh membiru."
"Racun?" Mas Ngalit tersenyum.
"Hutan seluruh Blambangan penuh racun. Baik yang
terpasang dalam songga maupun dalam bambu runcing di
jebakan-jebakan itu," Juru Kunci yang menerangkan kini.
"Terutama hutan-hutan yang dulu dikuasai laskar Bayu."
"Iblis!" Mas Ngalit mengutuk.
"Orang Songgon bukan cuma berani menghentikan budak-
budak pembabat hutan, tapi juga mereka tidak menjual hasil
buminya pada Baba Song. Juga tidak ada yang mau membeli
dagangan kami," lapor Han Tian Boo lebih lanjut.


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita tak dapat memaksa," Juru Kunci menu-Kas.
46 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Persoalan bukan karena kita paksa atau tidak. Masalahnya
mereka punya hubungan langsung dengan pedagang-
pedagang Portugis dan Bali. Mereka menembus langsung ke
Bandar Sumberwangi."
"Astaghfirul aahal'azhi m!" Mas Ngalit kembali menyebut.
"Mereka bebas naik ke geladak jung-jung Portugis maupun
Bali. Ini sangat memprihatinkan.",
"Apakah Tuan tidak bisa mencegah orang-orang Portugis
atau orang-orang Bali agar tak membeli langsung dari orang
Songgon itu?" "Kami takut mengurangi hasil cukai bandar, Yang Mulia.
Sebab andaikata kita lakukan pengetatan pengawasan,
bandar, mereka menjadikan Grajagan, atau mengadakan
penyelundupan lewat pantai lainnya."
"Siapa yang memimpin Songgon sekarang?" Mas Ngalit
tidak sabar. Ia pandang semua-mua sambil mengernyitkan
dahi. "Seorang gadis. Mas Ayu Tunjung."
"Tidak mungkin seorang wanita mampu berbuat seperti
itu." Mas Ngalit tidak percaya. "Tidak boleh seorang wanita memimpin suatu
daerah. Harus ada penertiban. Songgon
harus tunduk pada kita. Tak boleh mengambil kebijakan
sendiri." "Apakah kita akan melindas mereka dengan perang baru?"
Juru Kunci bertanya. Kini semua orang memandang Mas
Ngalit. Kini Mas Ngalit terdiam. Sambil menarik napas panjang
ia menyandarkan diri pada sandaran kursinya. Sementara
suasana menjadi hening. "Tidak!" tegas Mas Ngalit. "Kita harus hindarkan
Blambangan dari perang baru. Sebab pembiayaan perang
akan kita pikul, kendati kita akan menang. Dan masih banyak
lagi kerusakan yang harus kita tanggung."
47 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu?" "Kita akan mencoba mendekati mereka. Jika perlu aku
sendiri akan turun ke tempat-tempat mereka. Baiklah,
sementara kita tarik orang-orang yang membabat hutan di
seputar Songgon." "Lalu?" "Kita alihkan ke hutan lain. Atau daerah lain. Masih luas
daerah kita yang belum terbuka."
"Masalahnya bukan cuma itu. Tapi macam kayu yarrg dapat
kita jual untuk galangan-galangan kapal lebih mudah didapat
di seputar Songgon."
"Tidak! Di Purwa, Sentolo, dan lain-lainnya masih banyak."
"Masalah penjualan madu, sarang burung, kayu manis,
serta beras orang-orang Songgon itu bagaimana?"
"Kita akan cegah. Aku sendiri akan ke sana. Jika tak bisa
dicegah, maka mereka harus membayar cukai tinggi."
*** Bulan-bulan pertama pembabatan hutan di seputar
Sumberwangi berjalan amat lamban. Kenyataan ini membuat
gusar Mas Ngalit yang sudah menempati rumah bekas milik
Suratruna. Padahal ia ingin segera selesai. Maka ia segera
mengambil langkah yang tak pernah diduga oleh semua orang
sebelumnya. Ia tidak peduli apakah langkahnya itu disetujui
oleh para pembantunya atau tidak. Yang penting baginya
adalah menjadikan Blambangan negeri yang indah dan tertib.
Untuk itu ia panggil Juru Kunci.
"Kita harus meminta tambahan tenaga dari Jawa pada
Tuan Residen. Kita tidak akan bisa memenuhi ketentuan
besarnya pajak jika tahun ini pembangunan ibukota belum
selesai. Kita akan membayar utang kita dari pungutan atau
pajak bandar. Karenanya pembangunan harus segera selesai."
48 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana dengan orang Blambangan sendiri" Apakah
mereka tidak bisa kita gerakkan?" Juru Kunci mencoba
bertanya. "Hamba akan bertemu langsung dengan para bekel dan
kepala daerah. Di samping itu hamba juga mendengar adanya
desa baru di selatan kota Lateng. Adakah kaudengar itu, Yang
Mulia?" "Ampun, Yang Mulia. Tidak pernah."
"Aku akan datang ke sana. Seorang pemimpin laskar
pemberontak dari Mataram yang telah menyusup kemari kini
membangun sebuah desa menjadi kota yang agak luas. Demi
pengikutnya. Tidak "apa. Kita akan tampung mereka dengan
syarat mau bekerjasama dengan kita. Artinya mau membayar
pajak dan mengirimkan orang-orangnya demi pembangunan
ibukota Blambangan yang baru."
"Yang Mulia akan pergi sendiri?"
"Sementara Yang Mulia menghadap Tuan Schophoff atau
Pieter Luzac, hamba akan menemui mereka. Barangkali
laporan ini benar dan... siapa tahu bisa menguntungkan kita?"
"Hamba akan kerjakan!"
"Tapi sebelum berangkat, hem... tolong umumkan pada
para saudagar Cina atau bangsa apa saja yang mau membeli
tanah dan rumah- .rumah kosong di Sumberwangi ini," Mas Ngalit mengelus-
elus jenggotnya sambil memandang Juru Kunci.
"Yang Mulia akan menjual tanah dan rumah-rumah itu?"
"Daripada oleh VOC diberikan pada orang-orang Mataram
dengan tanpa imbalan apa-apa" Apa salahnya jika kita dapat
menjualnya dengan harga mahal. Bukankah memperingan
beban pembayaran utang pada VOC?"
49 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu, Yang Mulia. Hamba sangat setuju." Juru Kunci
tampak bersemangat. Sekilas ia ingat tamu-tamu istrinya yang
sering memberinya hadiah. Tentunya mereka adalah orang-
orang kaya. Istrinya akan senang mendengar itu. Maka ia
akan segera menyampaikan berita itu pada istrinya.
"Jika Yang Mulia setuju, maka sebaiknya segera kita
umumkan." "Tidak perlu pengumuman itu, Yang Mulia."
"Tidak perlu?" "Ya! Tidak perlu. Karena jika hal ini di dengar Tuan
Residen, maka ia akan mencegahnya."
"Mengapa?" "Seperti halnya Probolinggo dan Pasuruan, VOC menjual
tanah-tanah itu pada Cina dan uangnya masuk ke VOC tanpa
memberi bagian pada kita. Nah, apa yang dapat kita perbuat"
Jangan risau soal pembeli. Hamba akan membawa kemari
sepekan mendatang." Juru Kunci mempe-rendah suaranya
sambil mendekatkan mulutnya ke telinga Mas Ngalit, Sebentar
kemudian menoleh ke belakang serta kiri-kanan. Seolah takut
sesuatu. Mas Ngalit tertawa mendengar usul Juru Kunci itu.
Ah, cerdik orang ini. Pantas menjadi pembantunya sebagai
patih Blambangan. Setelah Juru Kunci pergi ia segera memanggil kepala
pengawal dan memerintahkan agar bersiap untuk melakukan
perjalanan keliling kembali. Di depan pasukan berkuda yang
mengiringi Mas Ngalit itu terdapat seorang berkuda yang
bertugas membawa bendera merah-putih-biru. Dan seorang
lagi membawa umbul-umbul kuning, dan seorang lagi putih.
Mendung masih mengiringi perjalanan mereka. Namun tiada
hujan. Pohon-pohon nampak hijau menyedapkan mata. Nyiur
melambai-lambai, seolah mengundang siapa pun saja agar
memungut buahnya yang telah berjatuhan karena tiada lagi
pemiliknya. Hamparan sawah luas terbengkalai menumbuhkan
50 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ilalang dan rumput pahitan. Kijang berdatangan dari hutan
dengan tanpa susah sedikit pun menemani rumput muda di
sawah yang tanpa padi itu lagi. Burung manyar, kutilang,
cucakrawa atau gelatik, dan burung-burung pipit, beria-ria.
Ayam hutan dan maleo juga tidak kalah ramai mengisi hutan
baru di bekas huma yang merana. Monyet-monyet berebut
pisang, duku, durian atau rambutan, dan buah-buahan lain.
Jalan-jalan mulai ditumbuhi rumput. Tentu tidak lagi berdebu.
Tapi jika dibiarkan, orang tidak akan melihat jika sedang ada
ular yang bercengkerama di tengah-tengahnya. Ah, mengapa
mereka meninggalkan semua ini" Mereka belum pernah pergi
ke Madura yang kerontang dengan bukit-bukit kapurnya" Ah,
andai saja mereka tahu, mereka akan sayang meninggalkan
tanah garapan yang demikian hijau.
Masih ada beberapa perkampungan yang berpenghuni.
Tapi orang-orang tidak menyambut- I nya. Tidak memasang
umbul-umbul seperti dulu kala mereka menyambut
kedatangan Agung Wilis. Sekalipun ia berusaha meramahi
mereka dengan senyumnya. Bahkan lambaian tangannya?
cuma dibalas dengan tatapan mata yang hampa tanpa kesan.
Memandang pasukan Kompeni yang mengawalnya itu, mereka
nampak jijik. Sungguh orang Blambangan telah menjadi
sekelompok orang yang tidak ramah dan tertutup pada
siapapun. Atau karena aku berpakaian semacam pembesar
Jawa mereka bersikap seperti itu" Karena aku telah menjadi
Islam" Ah, bukankah waktu zaman Wong Agung Wilis juga
sudah ada orang Islam bermukim di Blambangan" Mereka tak
bersikap seperti itu" Bahkan kalau ia tidak salah dengar dulu
Blambangan pernah membantu Adipati Sawunggaling yang
Islam itu" Yang lebih membuatnya heran adalah sikap para bekel.
Hampir semua menyambutnya dengan dagu yang tertarik
kaku. Tanpa senyum. Padahal bukankah beberapa bulan lalu
mereka telah menerima perintah dari Pieter Luzac bahwa
mereka harus meninggalkan Igama lama mereka yang kafir itu
51 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dan memilih Islam sebagai gantinya" Dan jika melihat cara
mereka berpakaian sekarang tentunya mereka telah menjadi
Islam. Lalu mengapa mereka bersikap seperti itu padaku"
Mereka memandangku dengan mata ketakutan. Seperti
laiknya anjing melihat harimau. Mengapa" Mas Ngalit sibuk
menebak-nebak. Tapi ia tetap tak peduli. Setiap memasuki
pedesaan yang masih berpenghuni dan bertemu dengan para
bekel, ia menekankan agar mereka mengirim tenaga untuk
pembangunan ibukota Sumberwangi.
Tentu itu merupakan kesedihan baru bagi para bekel. Tiap
kerja paksa yang demikian selalu menciptakan bencana baru.
Mengapa orang mengatakan itu kerja paksa" Bukankah itu
gotong-royong demi pengabdian pada negara" Mengapa harus
dirasakan sebagai kerja paksa" Mas Ngalit bertanya waktu
memberikan perintah. Semua yang dikerjakan demi
kepentingan umum dan negara jangan dianggap kerja paksa.
Bukankah setiap kemajuan memerlukan pengorbanan" Para
bekel tidak bertanya dan membantah. Mereka tahu di
belakang Mas Ngalit berdiri pasukan Kompeni yang telah
membunuh lebih dari dua pertiga penduduk Blambangan. .
Namun sepeninggal Mas Ngalit barulah mereka,
mengumpat dalam hati. Sambar geledek! Dia tidak kehilangan
apa-apa. Tapi kami" Tanah kami, anak kami, semua tumpas
karena pemimpin macam kamu! Pembangunan kota" Tentu
bukan untuk kami! Bukan! Ah, kami tidak menikmati apa-apa
dari pembangunan ibukota itu! Kamu dan orang-orang
dekatmu! Juga orang-orang yang mampu membayar harga
tanah yang dirampas dari tangan saudara-saudara kami. Kini
kau jual atas nama negara dan kemajuan, kemakmuran, masa
depan, tapi demi dirimu sendiri! Nah, sekarang telah kau
rampas tanah dan rumah Yang Mulia Suratruna demi
keenakan diri sendiri. Lain kali rumah dan tanah yang lain
demi kekayaan pribadi atas nama negara. Sekarang semua
kepentingan pasti diatasnamakan kepentingan negara.
52 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah memakan empat hari perjalanan, melewati
berbagai perkampungan dan hutan maka sampailah ia pada
tujuan yang sesungguhnya. Sebuah perkampungan baru.
Jalan-jalan juga baru. Sawah dan ladang juga baru. Namun
padi sudah mulai nampak berjajar rapi dan lurus-lurus seperti
laiknya sawah orang-orang Blambangan. Tapi mereka bukan
orang Blambangan. Yang bekerja di sawah nampak gelisah
melihat kehadiran Mas Ngalit. Sungguh tidak satu orang pun
menduga sebelumnya. Apalagi setelah Mas Ngalit berhenti dan
memanggil seorang pemuda tanggung yang sedang mencari
belut di pinggir sawah. "Siapa namamu, anak muda?" Mas Ngalit bertanya dalam
Jawa. Karena ia tahu persis bahwa pemuda itu bukan orang
Blambangan. Anak muda itu menyembah.
"Sidin." "Hemh... Sidin sudah lama tentunya kau pindah ke sini?"
Mas Ngalit menyelidik sambil melirik ke semua arah. Dan
pemuda itu tiba-tiba tampak resah. Orang-orang
meninggalkan sawah satu per satu. Ada yang tampak tergesa-
gesa. Sampai-sampai cangkulnya ketinggalan. Mas Ngalit
melihat gelagat yang kurang bersahabat itu segera
memerintahkan kepala pengawal agar menghentikan langkah
orang yang tersisa. Tentu tidak susah buat kepala pengawal
itu. Dengan sekali gertak, orang-orang yang tersisa itu meng-
keret seperti siput. Dan terpatri di tempatnya.
"Aku memerlukan keteranganmu. Sidin. Jawablah dengan
baik dan jujur. Jika tidak, kau akan mendapat celaka. Juga
ayah-ibu serta semua saudara-saudaramu."
"Ba... baik... hamba memang sudah agak lama." Anak
muda itu mulai takut. "Berapa lama?" "Lupa..." 53 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lupa" Atau memang tidak mau mengaku?"
"Ampun, Yang Mulia," anak itu menyembah. "Hamba memang tidak ingat."
"Lupa. Tidak ingat! Rupanya kau sudah dilatih menjawab seperti itu. Baik!
Kaulihat para pengawal yang menghentikan langkah orang-orang itu" Mereka juga
sanggup menghentikan mulutmu berkata tidak ingat dan lupa. Ingin kau, aku
memerintahkan mereka berbuat seperti itu" Aku bertanya baik-baik. Ketahuilah aku


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang hanya untuk berkenalan dengan kalian. Ingin menolong kesulitan kalian.
Ingin berdamai." Pemuda cilik itu nampak ragu. Namun pandangan matanya masih menunjukkan
kecurigaan. Ah, masih lebih baik dari pribumi yang tidak menjawab sepatah pun jika ditanya,
pikir Mas Ngalit. "Jika demikian..." Kembali anak itu berhenti oleh keraguan.
Mas Ngalit membujuk terus dengan ramah dan memberi harapan-harapan.
"Ya. Jika demikian sebaiknya Yang Mulia menjumpai pemimpin kami."
"Pemimpin kamu" Siapa itu, Sidin?"
"Raden Singa Manjuruh."
"Raden Singa Manjuruh?" Mas Ngalit mengulang. Sejenak ia tercenung. Orang itu
memasang gelar "Raden" di depan namanya. Tentu orang Mataram. Dan pasti bukan
orang sembarangan. Semua orang Mataram yang dikirim ke sini umumnya dari
golongan sudra dan orang terpidana karena tindak kejahatan. Sedang yang
perempuan umumnya adalah orang-orang yang dijauhi oleh orang sejenisnya karena
digolongkan binal. Kini seorang raden ada di Blambangan dan membangun sebuah
perdesaan yang cukup besar. Berapa pengir kutnya" Melihat caranya mengatur
kehidupan desa itu, 54 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tentu orang ini mengerti ketatanegaraan. Ah, jika aku tidak
salah, Singa Manjuruh tentu seorang pemberontak yang
menyembunyikan diri. "Di mana dia tinggal?"
"Di tengah desa ini. Di sebuah rumah besar yang
halamannya berpagar batu merah."
Mas Ngalit menyebut dalam hati. Mereka mampu membuat
batu merah" Dengan kata lain mereka ingin menetap untuk
selamanya. "Pergilah ke sana, Sidin! Katakan pada Raden Singa
Manjuruh, bahwa aku, penguasa Blambangan, ingin berjumpa
dengannya." Sidin segera berbalik memunggungi Mas Ngalit, untuk
kemudian berlari sambil membawa serenteng belut di tangan
kanannya. Betapa senangnya anak itu, seperti terlepas dari
sarang macan. Sementara itu kuda Mas Ngalit mengikutinya
dari belakang. Mas Ngalit memang" enggan turun. Karena
tanah becek. Kaki kuda puri terbungkus lumpur. Belum ada
kelapa tumbuh tinggi di desa ini. Tapi banyak buah-buahan
lain. Durian, nangka, sisa pohon-pohon hutan yang sengaja
tidak ditebang. . Dan kala Mas Ngalit sampai di dekat rumah yang
dimaksud, menjadi amat terkejut. Beratus-ratus orang
berkumpul di halaman rumah dan jalanan. Pada umumnya
mereka adalah petani. Seolah mereka berbaris membentengi
rumah sang pemimpin. "Berilah kami jalan, agar kami dapat bersua dengan Raden
Singa Manjuruh!" Mas Ngalit berkata dengan suara agak
keras. Namun mereka tidak sudi menyibak apalagi
menyimpang. Beratus-ratus orang itu telah bertekad
melindungi pemimpin yang telah membawa mereka
menemukan daerah subur itu. Mereka telah berikrar mati
55 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersama demi mempertahankan tanah yang menjanjikan
harapan baru dan cerah bagi masa mendatang.
"Tak kalian lihat kami datang bersama Kompeni" Sungguh,
aku ingin bicara baik-baik dengan pemimpin kalian," Mas
Ngalit berteriak kembali. Namun tetap saja tak membuat
mereka bergeming. Malah mereka membuat barisan dengan
bergandengan tangan satu dan lainnya. Makin lama makin
banyak orang yang merelakan diri menjadi benteng hidup
mengitari rumah Raden Singa Manjuruh. Baik di jalan, maupun
di halaman rumah. Ngalit terkejut melihat kenyataan ini. Singa
Manjuruh begitu dicinta oleh pengikutnya. Mengapa kawula
Blambangan tidak mencintaiku seperti ini"
Kepala pengawal mulai tidak sabar. Ia mulai
memerintahkan anak buahnya mengokang dan mengocok
bedilnya. Sebentar lagi pembunuhan akan terjadi.
Pembunuhan" Mas Ngalit tersentak. Bau bangkai belum lagi
habis. Kini pengawalnya akan menambah jumlah bangkai yang
belum bersih di hutan-hutan Blambangan itu" Tidak!
Barangkali hal ini yang akan makin menjauhkan aku dari
kawula Blambangan. Tapi orang-orang ini memang
menjengkelkan. Tanah ini adalah wilayah Blambangan. Mereka
membabat dengan tanpa izin dari penguasanya. Ah, aku harus
bicara baik-baik dengan Singa Manjuruh, kata Mas Ngalit
dalam hati. Jika aku mengambil jalan kekerasan, mungkin
mereka melawan. Dan aku serta para pengawal ini akan
punah sekalipun mereka juga akan membayar dengan nyawa
beberapa yang tertembak. Maka kini Mas Ngalit
Tersenyum. "Sungguh! Aku akan bicara baik-baik. Atau sebaliknya" Aku
mengalah sekarang dan akan kembali dengan membawa
pasukan" Pikirkanlah itu!"
Beberapa jenak suasana menjadi hening. Burung-burung
pipit dan gelatik mengisi kesunyian dengan nyanyian mereka.
Angin dingin berembus perlahan. Seolah embusan napas
56 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bidadari yang menyejukkan. Pandang mata beratus-ratus
orang menajam. Para pengawal gelisah menunggu perintah.
Keringat dingin membasahi tangan. Demikian juga kaki yang
terbungkus sepatu itu. Namun tiba-tiba semua orang
dikejutkan oleh suara dari rumah Singa Manjuruh. Seorang
mengenakan baju lurik dan blangkon di kepalanya muncul.
Tepat di tengah beranda. Masih muda.
"Mengapa Kompeni kemari" Apa salahku?"
Semua yang sedang berbaris dan bergandengan tangan
menoleh padanya. Mas Ngalit tercengang. Untuk beberapa
bentar ia tidak berkata-kata. Sampai Singa Manjuruh
mengulangi pertanyaannya.
"Bukan Kompeni. Aku adalah penguasa bumi Blambangan.
Mas Ngalit. Aku ingin bertemu dengan Raden Singa Manjuruh.
Ingin bicara dengan baik-baik. Mengapa justru disambut
dengan permusuhan?" "Sebab Yang Mulia datang bersama rombongan
pembunuh." Hawa panas menampar muka Mas Ngalit seketika. Orang
Jawa pun banyak yang tidak suka pada Kompeni" Jadi mereka
membabat hutan di Blambangan ini untuk menyingkir dari
kekuasaan VOC" "Bukan. Mereka adalah orang-orang yang bekerja untuk
keselamatanku. Juga untuk menyelamatkan Blambangan."
"Sepanjang pengalaman yang hamba lihat mereka bukan
penyelamat! Tapi pembunuh dan perampok. Mereka
merampasi tanah kami, jengkal demi jengkal. Baik dengan
cara membunuh ataupun menipu."
Mas Ngalit masih duduk di punggung kudanya. Hatinya
berdesir mendengar perkataan yang berapi-api itu.
"Hamba Singa Manjuruh itu. Yang membabat hutan ini atas
perkenan putra terbaik Blambangan, Mas Ramad Surawijaya."
57 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapa yang memberinya kuasa" Sehingga ia berani
memberi perkenan?" Mas Ngalit teringat akan nama itu. Nama
yang pernah ditakuti di seluruh bumi Blambangan. Pemuda
putra patih Blambangan, Wong Agung Wilis, yang pernah
bergelar Mas Puger. "Siapa" Mengapa Yang Mulia bertanya demikian"
Pertanyaan yang seharusnya terpulang pada Yang Mulia
sendiri." Kini Singa Manjuruh turun dari beranda. Ia maju dan menguak barisan
demi barisan yang melindunginya.
Sementara itu seorang perempuan muda, berkulit hitam
manis, bertubuh semampai menggantikannya di beranda. Tapi
di tangannya terdapat sebuah bedil yang teracung ke dada
Mas Ngalit. Terkesiap darah Mas Ngalit. Nyawanya dalam
ancaman. Jika ia tidak hati-hati, akan musnah di tangan
seorang perempuan. Orang asing di bumi Blambangan tapi
berani menghinanya semacam itu. Dan setelah Singa
Manjuruh berdiri di hadapannya dengan membelakangi
barisan pelindungnya, ia baru mampu mengucapkan kata-
kata. "Apa arti semua ini?"
"Bukankah itu pertanyaan hamba yang tadi" Apa arti
kedatangan Yang Mulia ini?"
"Astaga! Sangat membingungkan. Bukankah sudah aku
jelaskan" Aku datang untuk bicara baik-baik. Sebab aku
merasa sebagai keturunan Tawang Alun yang sah. Dan aku
berhak memerintah atas bumi Blambangan ini."
"Apa yang akan dibicarakan" Hamba sudah di sini."
"Tak dapatkah kita duduk dengan baik-baik dan tanpa laras
senjata yang teracung?"
"Yang Mulia telah mulai dengan senjata teracung ke dada
kami. Salahkah jika kami melakukannya untuk membela diri?"
"Ya Al ah," Mas Ngalit menyebut.
58 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lagi pula kita bicara di sini lebih baik agar teman-temanku ini mengerti dan
mendengar langsung hasil pembicaraan kita."
"Baiklah jika demikian," Mas Ngalit menyerah. "Seperti telah kukatakan, aku
datang sebagai seorang penguasa di
bumi Blambangan. Dan aku perlu menanyakan, siapa yang
bertanggung jawab atas pembabatan hutan kami ini?"
"Semua yang berdiri di hadapan Yang Mulia penanggung
jawabnya." "Bagus, jika demikian apakah kalian akan menggunakan
tempat ini untuk tinggal tanpa seizin kami" Artinya akan
mengambilnya dengan paksa?"
"Sudahlah adil jika pertanyaan itu juga dilontarkan pada
Belanda atau para pedagang asing...."
"Mereka membayar harga tanah yang mereka tempati itu.
Pedagang Cina yang kini banyak membeli tanah di
Sumberwangi itu sebagai salah satu misal...."
"Kami juga membayar, sekalipun dengan tanpa uang. Kami
telah menumpahkan darah dan keringat. Apakah itu kurang?"
"Pembabatan ini tidak berguna bagi Blambangan. Tapi
Pertarungan Dua Naga 2 Pendekar Naga Putih 103 Pembunuh Berdarah Dingin Pendekar Pengejar Nyawa 15
^