Pencarian

Banyuwangi Trilogi 2

Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana Bagian 2


sekadar perampasan kasar demi perut kalian sendiri."
Singa Manjuruh hampir tidak sabar. Ingin ia melompat
menerkam pemuda yang duduk di atas kuda itu. Namun ia
sadar, itu akan mengundang bala tentara Kompeni waktu
berikutnya. Ia mengerutkan giginya. Beberapa bentar
kemudian ia mengembuskan napas panjang. Ia memutuskan
untuk menghadapi dengan kepala dingin.
"Mengapa jika kami yang melakukannya selalu saja salah?"
Singa Manjuruh merendah. "Mengapa pedagang-pedagang
Cina yang saat ini juga melakukan pembabatan di dekat
Sumberwangi tidak terkena tuduhan" Apakah karena mereka
akan menggunakannya sebagai kebun tebu itu" Demikian
halnya orang-orang Belanda di hampir seluruh bagian
59 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Blambangan. Melakukannya untuk mendirikan loji-loji. Tapi
Yang Mulia tidak mengusir mereka."
"Aku juga tidak mengusir kalian seperti aku tidak akan
mengusir mereka semua. Tidak! Aku datang justru ingin
bekerjasama dengan kalian. Dan menjadikan kalian bagian
dari Blambangan. Jangan tinggal di sini sebagai orang asing."
"Tidak salahkah pendengaranku ini?" Singa Manjuruh tak
percaya. Ia tajamkan pandangannya pada Mas Ngalit. Juga
semua pengikutnya. Saling pandang satu dengan lainnya.
"Demi Al ah aku akan perlakukan kalian sama dengan
mereka asal kalian mengakui kekuasaan dan pemerintahanku
atas negeri ini. Aku percaya bukan waktunya lagi kita saling
berperang. Dan seharusnya kita yang tinggal di Blambangan
ini, pribumi atau bukan, tapi hidup di sini, bersatu untuk
membangun negeri ini dari reruntuhan karena perang."
"Alhamdulil ah... kami menerima tawaran ini dengan
senang hati." "Inilah yang kami kehendaki. Dan, apa nama desa ini?"
"Belum kami beri nama, Yang Mulia."
"Baiklah... Jika demikian aku yang akan memberi nama.
Setuju?" "Setuju, Yang Mulia."
"Karena yang memimpin pembangunan desa ini adalah
Singa Manjuruh, maka desa ini aku beri nama Singa Juruh."
Semua pengikut Singa Manjuruh berteriak girang
mendengar itu. Mereka kini telah mendapatkan tempat tinggal
baru. Daerah yang subur melebihi daerah yang mereka
tinggalkan di Mataram atau Madura. Sudah jenuh rasanya
mereka diburu oleh kekerasan dan kesulitan hidup. Kini Mas
Ngalit menjanjikan perlindungan. Menawarkan kerjasama. Apa
beratnya mengakui kekuasaannya" Memang sejak dulu
60 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka bukan penguasa. Singa Manjuruh tidak pernah
berkeinginan menjadi seorang penguasa. Ia mengerti benar,
seluruh pengikutnya memang mengharap-harap agar mereka
mendapatkan kedamaian. Dibuktikan oleh sorak-sorai mereka
begitu mendengar pernyataan Mas Ngalit.
Namun senyum mereka itu tidak lama bertengger di bibir
mereka. Karena sebentar kemudian Mas Ngalit berkata lagi.
"Semua kalian adalah bahagian dari Blambangan.
Karenanya tidak pantas jika kalian tinggal diam saat
Blambangan sedang membangun ibukotanya. Sanggupkah
kalian membantu pemerintah?"
"Sanggup," Singa Manjuruh menjawab dengan suara berat.
"Pembangunan membutuhkan pengorbanan. Pengorbanan
tenaga dan uang. Dan itu dituntut dari kalian. Juga dari semua
orang Blambangan. Itu sebabnya kami menuntut sepertiga hasil panen kalian
diserahkan pada pemerintah dan sedikitnya dua puluh orang
tiap harinya dikirim ke Sumberwangi untuk pembangunan
ibukota Blambangan."
Semua orang ternganga. Juga Singa Manjuruh. Inikah
imbalan yang harus mereka berikan atas desa yang kini
bernama Singa Juruh ini" Dua puluh orang tiap hari" Kerja
paksa" Kerja tanpa gaji" Tapi mereka tidak bisa menolak lagi.
Sampai Mas Ngalit meninggalkan tempat itu, mereka-masih
belum beranjak dari tempat mereka berdiri." Perjuangan
begitu panjang untuk menghindarkan diri dari perbudakan
oleh bangsa asing ternyata cuma menghasilkan...
Namun Singa Manjuruh merasa bahwa" jika menolak cuma
melahirkan perlawanan yang sia-sia. Sedang tampaknya anak
buahnya telah kehilangan semangat untuk itu. Maka dalam
keputus-asaan ia menunduk. Pandangan matanya
menghunjam tanah. Seolah ingin mewawancarai bumi,
61 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengapa kau memberiku nasib yang sedemikian buruk"
Langit, mengapa kau tak menjatuhkan, berkat"...
Sementara itu gelegar demi gelegar sayup terdengar dari
jarak yang amat jauh. Hutan seputar Sumberwangi telah
dibabat oleh kuli-kuli yang bekerja untuk para saudagar, baik
bangsa kulit putih maupun kuning. Namun yang lebih banyak
adalah kulit kuning. Juru Kunci, melalui istrinya, telah
memasarkan tanah Sumberwangi pada mereka.
Mendatangkan banyak uang bagi Mas Ngalit dan Juru Kunci
sendiri. Walau sebagian dibayarkan pada VOC sebagai cicilan
utang Blambangan. Tampaknya saja para saudagar itu memang bersusah-
susah. Tapi Mas Ngalit tidak melihat bahwa mereka cukup
membayar harga tanah itu dengan penjualan kayu-kayu
raksasa ke galangan kapal Gresik, gedang yang lebih kecil
mereka kirim gelombang demi gelombang ke Jepara seoagai
bahan untuk membuat ukir-ukiran. Sebenarnyalah Mas Ngalit
tidak pernah memikirkan bahwa ia telah mengambil langkah
yang jauh bertolak belakang dari pemerintah para
pendahulunya di Blambangan. Yang ia pentingkan ialah
bagaimana mendatangkan uang untuk menunjukkan pada
kawula Blambangan dan seluruh dunia bahwa dialah
pembangun. Ia adalah Arok-nya Blambangan. Apa itu
pemerintahan Wong Agung Wilis" Cuma mengundang
pertentangan dan perang! Sekarang ini yang diperlukan
adalah kerjasa-ma antar bangsa. Bukan melawan, atau
menentang bangsa-bangsa lain yang ingin berniaga dan ingin
mengambil peruntungan di Blambangan. Jika itu akan
mendesak dan mengalahkan kawula, ya... salah sendiri,
kenapa kawula malas bekerja keras. Malas bersaing dengan
mereka. Malas membantu atau terlibat dalam pembangunan
negeri. Lihat itu Baba Song dengan teman-temannya! Lihat!
Mereka begitu giat membabat hutan. Mereka begitu murah
62 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengeluarkan uangnya demi Blambangan. Juga bagiku
sendiri. Mereka begitu baik. Dan memang para pedagang Cina
itu sangat baik pada Mas Ngalit. Hampir setiap hari mereka
berkunjung ke istana. Demi kepentingan pembangunan istana
mereka mempersembahkan bahan-bahan bangunan, baik
yang berupa kayu, batu merah, gamping, dan lain sebagainya.
Ada juga yang mengirim bahan makanan, baik untuk para
pekerja maupun persediaan makanan bagi istana sendiri.
Semua datang sebagai ucapan terima kasih atas izin tinggal
dan pengelolaan tanah serta kekayaannya.
Mas Ngalit tidak peduli atas semua kerusakan hutan bumi
semenanjung Blambangan. Tidak peduli kayu-kayu yang
bergaris tengah dua depa itu,.yang tidak pernah tumbuh di
Negeri Belanda ataupun Cina, dan sepanjang lebih dari seratus
depa, tumbang satu per satu, dan dilayarkan ke negeri-negeri
utara. Apalagi jika yang melakukannya Baba Song. Bukan
cuma kayu yang mereka rampok. Tapi juga harimau, kijang
yang bertanduk aneh itu, bahkan buaya serta biawak, sampai-
sampai ular dan kera putih. Belum lagi burung merak, burung
bayan, dan ayam hutan. Pendek kata semua yang dapat
mempertebal kantong para saudagar, mereka keruk baik
secara sah maupun tidak, tahap demi tahap. Mas Ngalit
tambah lama semakin tidak sempat memperhatikan
semuanya. Pekerjaannya menjadi bupati kian banyak. Untuk
itu ia membutuhkan banyak pembantu. Mana yang harus
mengurus keamanan, keuangan, pertanian, perniagaan, pajak
dari bandar, urusan dengan manca negara, juga urusan
dengan VOC. Dalam waktu yang tidak terlalu lama Tan Eng Gwan telah
juga mempersembahkan para gadis cantik, dan ada beberapa
di antaranya yang berkulit kuning dan bermata sipit. Mereka
bertugas sebagai; penunggu taman, gadis pengipas,
pembersihan, atau apa saja. Pendek kata jika seorang
berkunjung ke istana, maka mereka akan melihat di mana-
mana ada wanita muda cantik. Kecuali pengawal, semua
63 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pekerjaan di istana itu dikerjakan oleh wanita. Dan hampir
semua itu dikirim oleh Juru Kunci dan Tan Eng Gwan. Dengan
demikian Mas Ngalit tidak lagi sempat pulang ke Pakis,
Tentu saja itu menyenangkan Schophoff. Tiap kali ia bersua
adipati muda itu ia memuji,
"Aha, ternyata Yang Mulia pintar. Sekalipun masih muda,
tapi Yang Mulia tidak kalah dari pada adipati yang lebih tua.
Sepatutnya Gubernur Jenderal di Batavia menganugerahkan
bintang jasa bagi kemampuan Yang Mulia membangun negeri
ini. Seharusnya Yang Mulia menjadi adipati teladan. Karena
kami menilai masa depan Blambangan akan menjadi yang
termakmur di seluruh negeri yang bergabung dengan
pemerintahan agung Batavia."
"Tuan terlalu mengada-ada," Mas Ngalit menjawab sambil
tersenyum kala ia mengantar tamunya memeriksa
pembangunan ibukota baru itu.
"Tidak, Yang Mulia. Gubernur sendiri puas menerima
laporan kami. Ia katakan seluruh adipati hendaknya
mencontoh Yang Mulia dalam mengatur kadipatennya."
"Ah..." Jauh dalam lubuk hatinya melambung. Juru Kunci
ikut bangga mendengar pujian itu. Ia merasa telah berjasa
memilihkan seorang yang cakap buat VOC.
"Namun masih ada sedikit ganjalan. Yang Mulia masih
teringat pada Rsi Ropo dari Songgon itu?"
"Rsi Ropo?" Mas Ngalit dan Juru Kunci sama-sama terkejut.
"Apakah dia tidak mampus bersama Jagapati?" Mas Ngalit
menyambung dengan penuh keheranan.
"Baik. Kita percaya bahwa dia mati. Tapi kenapa Songgon
sampai sekarang tidak tunduk pada kita. Bahkan kita lihat
seluruh kawula Blambangan tidak bersedia membayar pajak.
Semua ini tidak mungkin berjalan dengan sendirinya."
64 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jadi menurut Tuan ada yang mengatur" Atau dengan kata
lain diatur oleh Songgon."
"Pieter Luzac mencurigai Songgon. Tapi VOC tidak mungkin
bertindak tanpa perkenan Yang Mulia," Schophoff memancing.
"Hamba akan mencoba melihat ke sana. Peperangan tak
cuma menimbulkan korban atau kerusakan. Tapi yang lebih
penting adalah penghamburan pembiayaan yang cukup besar.
Karenanya jika bisa ditempuh jalan damai, sebaiknyalah kita
melakukannya." "Ha... ha... ha... ha..." Schophoff bergelak. Cukup cerdas adipati yang satu
ini. Bangunan mesjid di depan alun-alun
masih belum selesai. Dermaga juga diperlebar. Rumah-rumah
besar juga didirikan sebagai tempat menimbun barang-barang
yang belum sempat dikirim ke tempat tujuan. Atau barang
yang menunggu kapal-kapal dagang. Ada empat rumah besar.
Salah satu di antaranya adalah milik Han Tian Boo. Dengan
kata lain orang itu tak pernah menyewa milik kadipaten bagi
kepentingan perniagaannya. Ia bahkan menempatkan pekerja
untuk menjaganya. Meski begitu sang Adipati tidak merasa
dirugikan. Sebenarnyalah Mas Ngalit tidak pernah rugi dengan
segala tingkah semua orang asing di negerinya. Karena yang
rugi adalah negara dan kawula Blambangan. Malah secara
pribadi Mas Ngalit mendapatkan banyak keuntungan.
Dan Mas Ngalit membuktikan kata-katanya pada Schophoff.
Ia segera bertandang ke Songgon yang memang luput dari
pengamatannya selama ini. Apa yang harus aku lakukan
terhadap pribumi sebangsaku ini" Mengapa mereka tak mau
beker-jasama dengan bangsa asing yang baik hati
menyediakan modal bagi kemajuan negara" Sekali lagi aku
harus menyadarkan mereka! Harus! Atau Kompeni kembali
menumpahkan darah mereka" Pergumulan terus terjadi di
dadanya yang bidang d dan berbulu itu. Kendati masih muda
kumis tebal telah menghiasi wajahnya. Rapi tertata di bawah
hidung mancung. Cambangnya juga tumbuh dengan manis
65 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sampai ke pangkal rahangnya. Semua itu membuat iri kaum
lelaki. Dan memang harus mereka akui, tentulah banyak
wanita akan bersimpuh di kaki Mas Ngalit.
Perjalanan amat sukar. Mas Ngalit tidak sanggup
menempuhnya dalam waktu satu hari. Musim penghujan
membuat belukar menutup jalan-jalan setapak dalam hutan.
Penjalin yang menjalar panjang-panjang itu menyodorkan
duri-duri tajam. Kuda Mas Ngalit tidak terbiasa mengatasi
kesulitan semacam itu. Seperti itu pula halnya Mas Ngalit.
Tidak terlatih melintasi daerah sulit. Kendati ia adalah saudara
seayah dengan Jagapati yang gagah perkasa itu. Karena itu ia
mengajak para pengawal bermalam di Lo Pangpang,
kemudian besoknya bermalam di Pakis. Baru hari ketiga ia dan
pengawalnya sampai di Songgon. Buat sesaat Mas Ngalit
menghentikan langkah kudanya. Demikian pula para
pengawal. Sebelum mereka memasuki batas desa Songgon,
mereka sudah melihat hamparan sawah hijau yang begitu
luas. Pematang-pematang tertata rapi dan bersih. Kendati
mereka tak melihat seorang pun yang dapat dimintai
keterangan. Namun Mas Ngalit menduga, tentunya daerah ini
tak terusik oleh perang. Beberapa ekor anjing tampak
mondar-mandir di pematang seolah mencari sesuatu.
Mencium-cium tanah. Tentunya mencari tikus.
Namun kalau kuda Mas Ngalit dan rombongan mulai
melangkah, mendadak anjing-anjing menggonggong. Bahkan


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melolong seperti serigala yang kelaparan. Kuda Mas Ngalit
seperti ketakutan. Apalagi setelah kelompok demi kelompok
anjing-anjing mendekati. Mas Ngalit penasaran. Ia sentuhkan
tumit ke perut kuda sebagai perintah agar si kuda
mempercepat larinya. Namun rombongan anjing itu terus
mengejar seperti hantu. Para pengawal hampir kehabisan akal. Mereka
mempersiapkan bedil untuk mengusir gerombolan anjing. Tapi
Mas Ngalit segera mencegah. Ia tahu itu akan semakin
66 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyakitkan hati kawula. Mau tak mau mereka harus
berteriak-teriak saja memaki dan mengusir hewan peliharaan
orang Songgon itu. Masuk batas desa mereka berhenti lagi.
Para pengawal memberanikan diri melompat turun dan
mengambil batu serta kerikil yang berhamburan di tepi jalan.
Kemudian melempari gerombolan anjing yang menyambut dan
mengantar mereka ke tapal batas itu. Kini terpaksa mereka
menjauh dan menghindar sambil mengumpat tanpa makna.
Mas Ngalit bernapas lega. Anjing-anjing itu menjauh. Tapi
kini keheranan merambati hatinya. Deretan rumah di kiri-
kanan jalan sepi tanpa penghuni. Ke mana mereka" Di sawah
sunyi, di pedesaan pun senyap. Padahal jika melihat bunga-
bunga, pohon-pohon semua terawat rapi. Tanpa bersaing
dengan rumput dan ilalang. Pelan-pelan kuda mereka
melangkah lagi. Hampir tak ada serumpun pun rumput
tumbuh di jalan yang dipadatkan oleh pasir dan batu itu. Dua
kali kecil mengapit jalan itu. Gemercik suara air membawa
kedamaian di hati. Rumah-rumah pun berjajar rapi
memberikan sapaan tersendiri. Demikian pun nyiur, kenari,
atau kenanga yang meneduhi sepanjang jalan. Terus saja
mereka masuk. Semakin tercengang. Di tengah-tengah desa
itu ada sebuah rumah besar. Bangunan kuno. Berpagar batu-
batu kali. Pelatarannya amat luas. Pendapa juga lebar. Tentu
ini rumah Rsi itu, pikir Mas Ngalit. Maka ia membelokkan
kudanya ke halaman. Tiba-tiba langkah kuda Mas Ngalit terhenti.
Karena Mas Ngalit terkejut melihat pemandangan di
hadapannya. Seorang perempuan muda dengan telanjang
dada berdiri di titian pendapa. Ia gosok matanya. Perempuan
muda itu tersenyum sambil menelangkupkan kedua telapak
tangannya di antara kedua susu yang montok dan berkulit
mulus. Lepas tanpa kutang dan apa pun sebagai penutup.
Sebagai penutupvkaki wanita itu mengenakan kain putih yang
melingkar sampai ke bawah pusarnya. Pending emas berkilau
67 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditimpa mentari yang menerobos di sela mendung. Gelang dan
binggal menghias dua pergelangan kaki dan tangan
menandakan bahwa wanita muda itu bukan sudra. Untaian
mutiara melingkar di leher jenjang yang menyangga wajah
bulat telur dengan hidung mancung. Mata berbentuk
sebungkul bawang dihias oleh bulu lentik dan diteduhi oleh
alis seolah garis seperempat lingkaran. Gigi berwarna hitam
mengkilat seperti bulu kumbang berbaris rapi di sela bibir tipis
berwarna merah bercampur ungu seolah warna kulit manggis
yang sedang merekah, menandakan bahwa seharusnya wanita
muda ini tinggal di puri istana Blambangan, zaman Wong
Agung Wilis. Tapi usianya masih sangat muda. Tentu bukan
salah seorang selir atau istri Mangkuningrat. Lalu siapa dia"
Hati Mas Ngalit berdebar. Darah mudanya bergelora. Tapi
wanita itu tidak sendiri. Di belakangnya berdiri lima orang
wanita yang berbusana seperti halnya yang terdepan. Semua
wanita. Tak seorang pun lelaki. "Dirgahayu, Yang Mulia.
Silakan naik ke pendapa dan duduk." Kembali suara merdu
seperti suara burung cucakrawa membangunkan lamunan Mas
Ngalit. ."Eh... hamba ingin bersua de..." Mas Ngalit migup. Kulit wanita ini tidak
kuning sepefti biasa wanita yang
dipersembahkan oleh Han Tian Boo. Sawo matang. Bahkan
agak sedikit hitam. Tapi manis. Rambutnya ikal tersanggul di
atas kepala, dihiasi tusuk konde emas.
"Ingin bersua dengan Rsi Ropo?" Wanita itu memotong.
"Ya, betul...."
"Beliau sedang tak ada. Silakan naik. Barangkali hamba
dapat menolong kepentingan Yang Mulia, atau...
"Tidak. Hamba cuma memerlukan dia." Mas Ngalit masih
saja duduk di pelana. 68 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sayang." Mas Ayu Tunjung mendengus. "Bukan kebiasaan satria Blambangan tidak
berlaku ramah seperti itu. Apalagi
seorang adipati." Merah wajah Mas Ngalit mendengar itu. Perempuan muda
itu sudah tahu namaku" Kedudukanku"
"Bukankah Mas Ngalit seorang yang berdarah Tawang
Alun" Ah, siapa yang tak pernah dengar nama Tawang Alun di
bumi Semenanjung ini" Seorang satria sekaligus brahmana.
Mengapa keturunannya tidak lagi menghormati kekudusan
pertapaan leluhurnya sendiri?"
"Laa ilaaha il al laahu Muhammadur Rasuulul aah," Mas
Ngalit menyebut sambil mengembuskan napas panjang. Para
pengawal memandangnya heran. Songgon bekas pertapaan
leluhurku" Tawang Alun" Dan... kembali ia menghela napas
panjang. Ingin membuat dadanya lega. Kemudian ia berdoa
lagi dalam hati agar terbebas dari godaan syaithan. Namun ia
belum juga turun. "Siapa yang sedang berhadapan dengan aku ini" Dan
bagaimana aku harus memanggil?"
"Tentu Yang Mulia tidak pernah rhengenal hamba. Memang
bukan wanita ternama seperti halnya Mas Ayu Arinten. Tapi
tidaklah salah jika hamba menjelaskan bahwa hamba adalah
adik dari Pangeran Mas Sutajiwa, putra Ramanda Mangku-
ningrat anumerta, putri bungsu yang lahir dari Paramesywari
Mas Ayu Chandra anumerta.
Dan kemudian Ibunda bergelar Mas Ayu Na-wangsasi.
Hamba adalah Mas Ayu Tunjung."
"Ya Al ah, Ya Rabbi..." Mas Ngalit terkejut. Dengan mulut ternganga ia pelan-
pelan turun dari kudanya. "Ampunkan
hamba..." Mas Ngalit kehilangan pegangan. Para pengawal
makin tertegun. Namun mereka ikut turun dari kuda. "Waktu
berlalu cepat sekali, zaman pun telah berubah, membuat
hamba tidak ingat pada Yang Mulia. Zaman telah maju dengan
69 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pesatnya..." Mas Ngalit berusaha memulihkan wibawanya.
Namun Ayu Tunjung segera memotong.
"Zaman boleh berubah, bahkan boleh saja sepesat anak
panah, tapi peradaban tidak boleh dihancurkan," tegasnya.
"Justru kedatangan kami kemari untuk tujuan itu." Ngalit menemukan dirinya
kembali. "Kami perlu membicarakan
dengan Rsi Ropo yang selama ini dinilai oleh pihak Belanda
sebagai penghambat berkembangnya peradaban di
Blambangan." "Jagat Dewa Pramudita! Ya, Hyang Dewa Ratu." Ayu
Tunjung pura-pura terkejut. "Belanda memberi penilaian
semacam itu" Sang Rsi penghambat berkembangnya
peradaban" Sungguh hamba tidak mengerti."
"Baiklah. Hamba akan jelaskan. Tapi hamba mohon Yang
Mulia menjawab kami dengan sejujurnya."
"Di Blambangan satria pantang berkata dusta."
"Baik. Siapakah yang menculik Yang Mulia dan membawa
kemari" Bukankah Rsi Ropo yang keparat itu?"
"Yang biasa menculik bukan seorang Rsi. Brahmana tidak
pernah bicara dengan paksaan seperti itu. Hamba datang
sendiri dengan sukarela. Justru saat Rsi tidak ada di tempat.
Sampai sekarang pun beliau belum pulang."
"Hai. Benarkah" Apakah hamba bisa percaya" Jika benar
demikian, mengapa tak seorang pun di sawah maupun di
rumah?" "Jangan samakan brahmana dengan para kawula.
Lenyapnya kawula dikarenakan mereka takut."
"Takut?" "Ya! Yang Mulia datang bersama para pembunuh!
Kompeni!" 70 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mereka pengawal hamba dan penjaga keamanan di Blambangan dan seluruh
Nusantara." "Penjaga keamanan" Pada siapa mereka memberikan keamanan" Kawula tak pernah
merasa aman dengan adanya mereka di negeri ini."
"Siapa bilang begitu?"
"Salahkah telinga hamba yang mendengar jerit tangis wanita-wanita dan anak-anak
yang kehilangan suami atau ayah-ayah mereka" Ke mana mereka semua yang tidak
merelakan tanahnya dirampas untuk dijual pada pemilik modal besar itu" Siapa
yang harus bertanggung-jawab jika bukan Kompeni" Atau barangkali... barangsiapa
tunduk dan taat pada penjahat, telah menjadi penjahat dengan tanpa sesadarnya."
"Astaga! Jika demikian semua orang harus melawan" Yang Mulia menganjurkan mereka
melawan?" "Merelakan diri dipaksa, merupakan kejahatan bagi dirinya sendiri. Melawan jauh
lebih mulia dari pada bersekutu dengan penjahat."
Mas Ngalit terdiam lagi. Kehabisan akal. Berkali menoleh pada para pengawal yang
mulai tidak-sabar. Tapi mereka tidak dapat menangkap makna pembicaraan kedua
orang itu. Meski demikian dalam hati mereka timbul berbagai tanya. Mas Ngalit yang biasa
menjadi pujaan para selir itu kini kuncup meriup. Seolah semua wibawanya punah
ditelan keanggunan Ayu Tunjung. -
"Jika demikian, tolonglah hamba, Yang Mulia,
beritahukanlah pada mereka agar mereka sudi
mempersembahkan upeti demi kejayaan Blambangan. Dan kirimkan mereka bergotong-
royong membangun ibukota baru bagi Blambangan yang kita cintai ini," Mas Ngalit
mengiba. 71 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Luar biasa manis kata-kata Yang Mulia ini. Tapi sayang!
Sungguh menyesal hamba tak dapat membantu. Karena orang
Songgon cuma mau mendengar kata Rsi Ropo. Bukan hamba
dan bukan Mas Ngalit. Lihat saja, tak seorang pun di Songgon
menjatuhkan diri menyembah Yang Mulia. Semua berlari."
"Padahal hamba ingin membangunkan kembali kejayaan
Blambangan. Cakrawarti..."
"Ampun, Yang Mulia. Jangan bicara itu di depan kawula.
Sebab mereka akan menjadi muak.
Kejayaan Blambangan tidak bisa dicapai dengan menjual
anak-anaknya menjadi budak bangsa asing yang menguasai
modal. Juga tak bisa dengan membiarkan bumi kita dijarah-
rayah seperti sekarang ini. Ya, dijarah-rayah oleh pribumi yang
ingin memperkaya dan merajakan diri sendiri. Di samping
perampok-perampok asing yang datang rgelombang demi
gelombang." "Yang Mulia..."
"Bagaimana tidak harus kukatakan perampok" Mereka pasti
tahu, seperti semua orang tahu, bahwa kekayaan yang
terkandung dalam bumi ini jauh lebih mahal dari harga tanah
yang mereka beli dari Yang Mulia."
"Tapi..." "Lebih dari semua itu, kawula Blambangan tahu persis,
bahwa sebenarnya masih ada yang lebih berhak memerintah
negeri ini, dari Yang Mulia. Kendati ia seorang wanita."
"Tapi..." "Hamba tak dapat melayani____"
"Tunggu, Yang Mulia! Masih ada lagi yang wajib kita
persoalkan. Songgon berhubungan dengan para pedagang
asing secara langsung. Mereka meluputkan diri dari cukai.
Juga selalu mengusir pedagang atau saudagar yang telah
72 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kami izinkan masuk untuk membeli dan menjual di seluruh
wilayah Blambangan! "Sekali lagi! Songgon tidak sudi terikat oleh peraturan yang dibuat oleh bandit-
bandit! Mereka semua telah membayar
pada Yang Mulia dan patih Blambangan untuk mengeluarkan
peraturan-peraturan yang memaksa semua orang harus
berjual-beli dengan mereka. Apakah Yang Mulia tidak tahu
bahwa mereka membeli barang kami dengan harga murah,
sedang mereka menjual dagangan mereka dengan harga
kelewat tinggi?" "Itu..." "Hamba tak dapat melayani Yang Mulia lebih banyak lagi."
Ayu Tunjung kembali mengernyitkan dahinya. Pangkal alisnya
terangkat. Suatu pemandangan yang mengundang pesona
tersendiri. "Camkanlah ini," kata wanita berbibir mungil itu.
"Pikirkanlah! Kebiasaan memaksa adalah kebiasaan bandit!"
Mas Ayu Tunjung segera memunggunginya. Kemudian meniti
naik pendapa. Sementara Mas Ngalit tak mampu bergerak.
Mulutnya ternganga. Matanya tak berkedip.
Aduhai, mulusnya punggung yang telanjang itu. Dan, ah, ia
perhatikan lenggangnya seperti blarak (daun pisang serta
pelepahnya sudah kering, yang dengan sendirinya patah
karena ketuaan namun tetap menempel pada dahannya) yang
terkulai karena patah. Tangannya seolah busur yang terayun
perlahan. Suara gemerincing binggal di kedua belah
pergelangan kaki disertai suara kain ketat pembungkus kaki
itu bergeser seolah undangan bagi Mas Ngalit untuk
mengikutinya ke peraduan. Tapi Mas Ngalit tidak berani
melakukannya. Sebab Ayu Tunjung tentulah akan
mengusirnya seperti mengusir anjing kurap....
73 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
3. RINDU Hati Sratdadi dan Harya Lindu Segara sama-sama berdebar.
Pantai sudah nampak jelas. Sebentar lagi mereka akan mendarat. Tekad mereka
bulat. Mereka akan mendarat di Sumberwangiv Sayup-sayup mereka telah mendengar
bahwa Sumberwangi sedang dirombak untuk menjadi ibukota baru.
Mereka juga sudah mendengar bahwa Mas Ngalit, dari Pakis, diangkat menjadi
penguasa tertinggi Blambangan.
Kedua orang muda yang telah saling berjanji sebaya mukti sebaya pati itu
kemudian menukar pakaian mereka dengan pakaian saudagar. Dan memang keduanya
akan mendarat dengan membawa kain mori buatan India, sutera Cina, tembikar,


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

cengkeh, pala, dan lada. Sebelum itu mereka telah merapat di Buleleng untuk
mendaratkan senjata-senjata yang seharusnya diperuntukkan laskar Bayu. Tapi
karena keduanya mendengar bahwa Bayu sudah tumpas-tapis, maka mereka mendaratkan
senjata-senjata itu di Bali. Di samping itu mereka memerlukan diri menghadap
Wong Agung Wilis, untuk memohon petunjuk dan berita tentang keadaan di
Blambangan. Sepercik harapan memuncrat di sudut hati Mas Sratdadi ketika ayahnya, Wong Agung
Wilis, berkata dengan suara berat,
"Bayu memang punah, Nak. Tapi kawula Blambangan tak pernah kalah. Mereka
sekarang meninggalkan huma dan rumah untuk menyatakan sikapnya. Tidak mudah
mencari penampilan semacam itu, Nak. Mereka sudah diremukkan tapi masih berani
menyatakan sikap. Lebih baik makan batu daripada harus menjadi budak! Bukankah
itu sikap yang baik?"
"Hamba, Yang Mulia," ia menyembah pada ayahnya.
"Ada lagi yang masih membesarkan hatiku. Mas Ayu Tunjung, anak Kanda
Mangkuningrat, ternyata mampu mengambil sikap perwira. Ia sekarang tinggal di
Songgon. Dan 74 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
memimpin pembangkangan. Mereka tidak membayar pajak.
Mereka tidak mau kerja paksa."
"Jagat Bathara!"
"Aku dengar ia setia menantimu, Nak?"
Pertanyaan yang membuat Sratdadi tersipu. Memerah. Ia
menunduk di bawah sorot mata ayah serta ibu tirinya. Namun
mata cekung dan bersinar tajam itu seolah mengikutinya. Ah,
Wong Agung Wilis yang perkasa dulu itu, kini telah menjadi
tua dan kurus. Cuma kumisnya saja yang gemuk. Untung ibu
tiriku begitu baik. Dia pula barangkali yang menyambung
umur ayahku, gumam Sratdadi kala meninggalkan puri
ayahnya. Kembali suara ayahnya bergema,
"Cuma kalian berdua yang tersisa. Blambangan telah
kehilangan semua satria sejatinya. Karena itu cuma pada
pundak kalian berdua aku menitipkan cita dan cintaku. Citra
darah Agung Wilis, yang tidak pernah menyerah pada siapa
dan apa pun." "Hamba, Yang Mulia," kedua orang itu menjawab.
Bagaimanapun kekaguman mereka kian bertambah pada
Agung Wilis. Walau berbaring di pangkuan istrinya, ia mampu
melihat negerinya dengan mata batin. Juga mampu
mendengar semua kejadian bahkan keluhan kawula
Blambangan. Padahal Mas Ngalit, yang duduk di singgasana
Blambangan tidak pernah mendengar rintih kawulanya sendiri.
"Bagaimana bisa mendengar, karena memang telinganya
telah disumpal harta dan keenakan pribadi," Sratdadi
menjawab kata-kata Lindu Segara.
"Hamba akan membuat perhitungan kelak. Jika mungkin
dengan tangan sendiri ini hamba akan membunuh tiap penjual
bangsa. Penjual negeri!" Serapah keluar dari mulut sambil
menunjukkan kedua lengannya.
75 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mari kita menundukkan kepala untuk mohon kekuatan
Hyang Maha Durga, juga tuntunannya, sebelum menginjakkan
kaki kembali ke tanah kelahiran yang tercinta ini."
"Hamba, Yang Mulia." Seluruh awak kapal diperintahkan
ikut berdoa. Keduanya akan turun terlebih dahulu. Semua
anak buah kapal diperintahkan melakukan penyamaran.
Dermaga jauh lebih luas dari semula. Bakau-bakau
pelindung pantai telah sama sekali punah. Dibabat dan dijual
sebagai kayu bakar. Atau dijadikan arang. Ini adalah gejala
yang buruk dari pembangunan. Apalagi tenaga pembangunan
itu umumnya bukan tenaga pribumi. Rupanya perpisahan yang
lama dengan anak-istri telah membuat mereka jadi liar.
Hampir di tiap sudut jalan sekarang ada kedai makanan dan
minuman. Bahkan semalam-malaman mereka tidak tutup. Di
bagian belakang kedai itu biasanya terdapat sebuah rumah
besar. Dalam rumah besar itu ada bilik-bilik kecil. Antara satu
bilik dengan bilik lain dipisahkan oleh dinding yang terbuat
kulit bambu. Ternyata kedai-kedai itu merangkap jadi rumah
penginapan bagi para pelaut asing yang singgah. Dalam kedai
besar itu banyak pelayan wanita muda yang juga bertugas
sebagai penghibur bagi para pelaut.
"Jagat Bathara!" Sratdadi menyebut dalam hati. "Sejak kapan Blambangan mengenal
kebudayaan macam begini?" ia
mencoba berbisik pada Harya Lindu Segara.
Yang ditanya cuma mengangkat bahu. Mereka perhatikan
kuli-kuli pelabuhan yang hilir-mudik. Umumnya orang Madura
dan Jawa. Betul Wong Agung Wilis, jika demikian. Mereka
tidak sudi jadi kuli. Karenanya menyingkir ke pedalaman.
Mereka berjalan terus sambil mencari penginapan yang
lebih besar dan agak bersih. Bangunan mesjid hampir selesai.
Tidak satu pun pura atau candi. Kedua orang itu mengerti apa
artinya. * Perang paregreg(perang perontokan) kedua telah
usai. Maka nilai-nilai peradaban Blambangan asli pun di
punahkan. Mau tak mau Blambangan harus menerima
76 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
peradaban baru. Suka atau tidak. Arti dari suatu kekalahan
menelan apa saja yang dijejalkan oleh pemenang.
Mereka masuk ke sebuah penginapan yang ternyata milik
orang Arab. Mengenakan topi putih, baju putih lengan
panjang, terbuat dari mori India. Bersarung tenun buatan
Gresik. "Ahai, Tuan orang baru" Dari Melayu?" Orang Arab yang
menyebut dirinya Makdun itu menanya. Orang ini juga
mengangkat diri sebagai raja kecil. Para wanita di
sekelilingnya. Ada yang memijit, ada yang mengipas. Orang-
orang dari mana mereka ini" Yang jelas tentulah bukan orang
Blambangan. Ah, banyak sekali pendatang baru. Rupanya
untuk mengisi rumah dan huma yang ditinggal pergi oleh
penghuninya. "Ya. Ya. Kami dari Melayu," Lindu Segara menjawab cepat.
Ia memang mahir berbahasa Melayu.
Makdun melambaikan tangan pada seorang wanita. Dan
orang itu mendapat tugas mengantar keduanya ke kamar.
Muda dan ramah. "Tuan-tuan membutuhkan teman tidur malam ini?" tanya
wanita itu tanpa malu-malu. Bahasa Melayunya kurang baik.
Menunjukkan bahwa ia baru belajar. "Jika iya, hamba akan
panggilkan seorang teman hamba yang baru datang dari
Jawa." "Dari Jawa" Jawa mana" Bukankah Blambangan juga
Jawa?" Harya Lindu Segara masih terus mengajukan
pertanyaan. Sratdadi mendapatkan kamar lebih dahulu. Dan ia
mengatakan bahwa tidak perlu dicarikan teman tidur.
"Musim dingin begini?"
"Nantilah aku pikirkan. Hari masih siang."
77 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik, Tuan." Wanita itu kemudian menunjukkan satu
kamar lagi untuk Harya. Dan melanjutkan keterangannya,
bahwa orang Blambangan tidak suka dipanggil Jawa. Bahkan
mereka menjuluki para pendatang Jawa ini sebagai kaum ora
(dari bahasa Jawa, artinya 'tidak'). Sebaliknya orang Jawa
menjuluki mereka sebagai kaum osing (dari bahasa
Blambangan, artinya 'tidak').
"Sangat menarik ceritamu. Aku senang kau menemaniku
malam ini. Tapi di mana kami dapat membeli kuda yang
bagus" Kami akan berkeliling Blambangan untuk menawarkan
dagangan kami. Itu sebabnya diperlukan kuda yang kuat dan
bagus." "Di sudut jalan sebelah timur ada pasar hewan. Tuan bisa
mencari di sana-." "Terima kasih." Harya memberikan sekeping perak.
"Sungguh Tuan ingin ditemani nanti malam?"
"Tentu. Tapi tunggu apakah temanku tidak ingin
menjelajah dulu wilayah Blambangan yang elok ini. Dia pelaut
baru." Harya tersenyum. Wanita itu berkikik.
"Hati-hati, Tuan, jika berkeliling Blambangan jangan sampai
melukai hati orang osing. Mereka suka membunuh. Mereka
orang-orang keras. Karena itu kami dikirim ke sini, yang mula-
mula adalah orang-orang terhukum. Dan kami adalah yah,
yang di Mataram pun nasib kami adalah..* seperti ini. Hidup
dari belas kasian lelaki yang kesepian. Dan membutuhkan
hiburan." "Jadi... umumnya kalian sudah berpengalaman di tempat
asal kalian?" "Ah, tidak... cuma terpaksa. Baru kok, Tuan. Baru tiga..."
"Tiga apa?" ' "Tiga tahun. Ya, terpaksa." Wanita itu menunduk.
78 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Harya Lindu Segara menyebut dalam hati. Baru tiga tahun"
Dengan kata lain sebelum di Blambangan pun ia sudah
melakukan penjualan diri demi makannya.
"Apakah semua temanmu juga demikian?"
"Ya, Tuan. Semua wanita yang didatangkan dari daerah
Mataram bernasib sama dengan hamba, Tuan "
"Baiklah, kautemani aku nanti malam, ya."
"Baik, Tuan. Yang satu lagi?"
"Dia lebih suka mencari sendiri. Pergilah dulu. Aku akan
mencari kuda." Wanita muda itu menghormat sambil mengerling lalu pergi.
Sementara itu Lindu Segara sendiri segera keluar diikuti Mas
Sratdadi. Mereka menuju tempat penjualan kuda. Agak mahal
memang. Itu, kebiasaan pedagang. Begitu melihat orang asing
dan tampaknya beruang, maka harga langsung dinaikkan.
Siapa yang tak ingin untung banyak" Tapi Mas Sratdadi dan
Lindu Segara tidak menggubris soal harga. Berapapun asal
kudanya baik. "Kuda ini benar-benar dari Sumba, Tuan."
"Kami butuh dua."
"Ah, dua" apakah Tuan juga ingin naik kuda Sumba?"
Penjual kuda itu memandang Mas Sratdadi agak heran.
Karena tubuh Mas Sratdadi yang lebih ramping dibanding
Lindu Segara. Tertawa juga Mas Sratdadi melihat perlakuan
orang itu. Tapi ia senang. Dengan kata lain penyamarannya
berhasil. "Kami sungguh-sungguh." Ia menegaskan tanpa
mempedulikan lecehan penjual kuda. Dan makin terlonggok-
longgoklah blantik (makelar (penjual) hewan) kuda itu ketika
Sratdadi memilih kuda tinggi besar yang berwarna hitam-
pekat. Sedang Lindu Segara mendapatkan yang berwarna
79 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
coklat, dengan belang putih dekat kukunya serta ada segitiga
putih dikepalanya. Setelah memasang pelana dengan terlebih
dahulu mengelus kepala kuda itu. Rupanya itu memang bekas
milik pejalan jauh yang agak lama tidak ditunggangi setelah
dijual. Maka tidak heran mereka amat senang begitu
menerima belaian kedua orang itu. Tanda persahabatan dari
manusia. Sebagai balasannya kedua kuda itu menyapa mereka
dengan ringkikan panjang, mirip tertawa karena gembira.
Kegelapan pun turun. Lampu-lampu dipasang di pinggir-
pinggir jalan. Terutama sekali sepanjang jalan raya utama.
Beberapa bentar kemudian kedua orang itu telah menyusuri
jalan-jalan kota Sumberwangi dan menuju ke barat. Gardu-
gardu penjagaan tidak pernah mencurigai orang asing.
Demikian halnya kedua orang itu. Dengan amat mudah lolos
dari pemeriksaan penjaga kota karena mereka tidak
berbahasa Blambangan. Menggunakan Melayu dengan amat
baiknya. Di atas punggung kuda Sratdadi merasa segar kembali.
Seolah keperkasaannya masa lampau muncul kembali. Apalagi
kudanya seolah rindu melintas padang luas. Berlari seperti
anak panah lepas dari busurnya.
"Betapa lama kita tidak merasakan kehahagiaan seperti ini,
Harya. Sayang saat ini malam. Dan tidak ada tempat aman
untuk kita." "Kita akan mencoba di Lateng, Yang Mulia. Kita coba
mencari penginapan. Kuda ini sudah lama tidak dilarikan
dalam jarak yang jauh. Ia harus kita beri makan dan jika perlu
dibelikan jamu terlebih dahulu.",
Betul juga, pikir Sratdadi. Ia menurut. Untuk mencapai
Lateng mereka perlu istirahat dua kali di tengah hutan.
Mentari pagi menyambut kehadiran mereka di kota Lateng.
Kabut enggan berlalu. Rapat menutup jalan-jalan. Rumput dan
ilalang saling berlomba. Demikian juga tumbuhan perdu
lainnya, berusaha menutup semua jalan. Sratdadi geleng
80 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepala. Lateng, yang dulu menjadi pusat kerajaan, kini telah
menjadi kota mati. Tidak ada lagi kesibukan di pagi hari. Di
mana bekas pasar dulu" Mas Sratdadi memperlambat lari
kudanya. Celananya basah oleh embun yang menempel di
rerumputan. Demikian pula bunga-bunga rum-put-pahitan tak
ubahnya serbuk halus putih kekuning-kuningan. Tapi kedua
orang itu tetap tidak menghentikan langkah kaki kudanya.
Rumah-rumah yang dulu berjajar di kiri-kanan jalan masuk
kota itu, kini sebagian besar porak-poranda. Halaman-
halamannya tak terawat. Merana tanpa tangan yang
menyentuhnya. Kedua orang itu menyebut dalam hati. Daun
pisang dan kelapa bergoyang ditiup angin pagi. Seolah
memberikan penghormatan pada keduanya.
"Otak macam apa yang tinggal di kepala manusia perusak
hidup dan kehidupan seperti ini?" Sratdadi berdesis. Teman
seperjalanannya diam. "Atau barangkali hati mereka tidak terbuat dari darah dan
kumparan otot-otot halus dan lembut!
Sehingga tak sepercik pun rasa kemanusiaan dalam
kepalanya. Hemh..." Sratdadi mengerutkan giginya. Tinjunya
mengepal. Perasaan menyesal menelusuri tiap relung hatinya.
Namun sebagai satria sekaligus brahmana ia segera
menyadari bahwa penyesalan itu tidak berarti. Sekilas ia
teringat wajah ayahnya yang menasihatinya. "Keadaan yang
akan kaulihat di negerimu itu, jangan kauanggap sebagai
kepahitan. Tapi justru harus diterima dengan ucapan syukur.
Karena sebenarnyalah keadaan itu memberimu kesempatan


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk menjadi orang besar di antara wangsa Tawang Alun.
Jika kau mampu membangun kembali negerimu dari
kehancurannya, maka kau adalah orang besar. Bangunlah
negeri itu dengan tanganmu sendiri! Dengan kepalamu
sendiri! Bukan seperti Mas Ngalit sekarang. Ia membangun
ibukota dengan utang pada kekuatan asing. Utang yang
sebenarnya adalah penjualan kedaulatan negeri! Ingat, Nak!
81 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bukan kebenaran yang membuat kemenangan! Tapi
kemenangan yang akan membuat kebenaran!
Sratdadi menggeragap seperti terbangun dari mimpi. Harya
Lindu Segara jadi terkejut.
"Ada apa, Yang Mulia?" Harya Lindu Segara bertanya
sambil terus memperhatikan wajah Sratdadi yang berkeringat.
Keringat dingin. Ah, kini . ia mengusap mukanya dengan
telapak tangan. Kemudian menggeleng-gelengkan kepala.
Berulang-ulang. Entah sampai pada kali yang kebera-pa ia
baru berhenti. "Tidak apa-apa, Lindu. Aku jadi terbakar melihat kenyataan
ini. Kita terlambat. Andai saja kita dapat mengusahakan bahan
makanan jian senjata yang cukup dan baik, tentunya keadaan
akan berbeda sekarang."
"Bukan salah kita, Yang Mulia. Pelayaran kita sangat
ditentukan oleh angin. Apa boleh buat?"
Sratdadi kembali menghela'napas panjang. Juga Lindu
Segara. Kemudian keduanya sama-sama menghentikan kuda
mereka. Tercenung buat sesaat.
"Kita menuju tempat penjual rumput dan makanan kuda!"
Sratdadi le_bih dulu tersadar. "Setelah itu kita mencari tempat istirahat."
Keduanya meneruskan perjalanan. Melingkar untuk
menghindari loji-loji milik Kompeni ataupun para saudagar
Cina, Arab, dan India. Tentu di kawasan itu tak ada penjual
rumput dan katul. Sebab bau tai kuda akan mengganggu
mereka. "Kekalahan ini sudah kita ketahui kala di Surabaya dulu.
Tidakkah Yang Mulia ingat kala di pinggir Kali Mas para
tawanan dari Blambangan digiring untuk kerja paksa
mengeruk kali?" 82 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, laki-perempuan dengan tangan diborgol. Kau ingat
berapa jumlah mereka waktu itu?"
"Hamba tidak ingat secara tepat, Yang Mulia. Hamba rasa
ada seribu tujuh ratus dua puluh tiga orang. Sebagian kecil
saja lelaki dalam rombongan tawanan itu. Yang lebih banyak
adalah wanita dan anak-anak."
"Bukankah waktu itu tanggal dua puluh dua, Kartika?"
(tanggal 7 November 1772)
"Ah, ternyata ingatan Yang Mulia tidak pernah dapat
dihapus sekalipun oleh tingginya gelombang." Lindu Segara
berusaha menghibur pemimpinnya.
"Peristiwa sepenting itu seharusnya tidak boleh kita
lupakan. Kaulihat nasib mereka" Cobalah -ingat! Jika tidak ada
pedagang budak belian datang, tentulah nasib mengeruk Kali
Mas dengan tangan dan kaki dirantai begitu tidak akan
berhenti. Celakanya lagi, kita tidak bisa menolong. Karena
yang boleh membeli budak belian hanya kulit putih dan
kuning. Juga yang memperdagangkannya."
"Semuanya telah berlalu, Yang Mulia. Mari kita memikirkan
yang akan datang. Kita bisa berunding dengan Mas Ayu
Tunjung sebagai calon pendamping Yang Mulia."
Keduanya sampai di tempat yang mereka cari. Setelah
menitipkan kuda sambil berpesan agar diberi makanan serta
jamu, mereka bergesa mencari penginapan. Mereka ingin
melihat-lihat tiap kota besar Blambangan terlebih dahulu
sebelum masuk Songgon. Walau untuk itu Mas Sratdadi harus
menahan rindu yang telah menggunung.
*** Udara dingin merambat ke setiap penjuru. Namun pilar-
pilar pendapa kadipaten di Sumberwangi tidak nampak
terpengaruh. Malam juga merangkak kian larut. Semua orang
sudah mene-lusup di bawah selimut masing-masing. Terlena
83 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
oleh buaian mimpi. Mas Ngalit masih saja duduk , sendiri di
ruang tengah kadipaten yang baru saja selesai dipugar. Bukan
karena menikmati indahnya ukir-ukiran yang mengelilingi
ruangan itu. Bukan juga memandangi pilar-pilar kayu jati
coklat yang juga bagus itu. Bukan! Pandangannya menatap
tempat kosong. Berkali ia bangkit dari tempat duduknya dan berjalan
mondar-mandir. Gadis-gadis pelayan tidak diperkenankannya
mendekat. Kendati biasanya malam-malam begitu ia suka
mendekap mereka. Pertemuannya dengan Mas Ayu Tunjung
benar-benar mengguncangkan jiwanya. Rambutnya, alisnya,
matanya, hidungnya, bibir dan janggutnya... aduh, belum
pernah ia melihat perawan semanis itu. Alangkah bahagia jika
ia bisa memandang wanita itu sepanjang hari. Melihat
gontainya, dan... aduhai lenggangnya...
Ah, mengapa semua jadi tak terlupakan. Aduh-susunya,
hemh, pusarmu... Tangan Mas Ngalit bergerak-gerak seolah
meraba-raba perut Ayu Tunjung. Dan entah bagaimana seolah
Mas Ayu Tunjung sudah ada di depannya.
"Ya, Tuhan... Al ah kauberikan ia padaku?"
Dan gadis itu tersenyum. Bibir tipis seperti kulit buah
manggis yang merekah. "Mas Ayu" Kau datang" Kau mau jadi istriku?"
Cuma senyuman yang menjawab.
Mas Ngalit seolah tak percaya. Untuk sesaat ia terdiam.
Namun kemudian berkata, "Jika kau mau jadi istriku, minta apa saja aku turuti asal
tidak minta turunnya bintang dan rembulan... ha... ha... ha."
Wajah Mas Ayu masih menyungging senyum.
"Kau nanti juga jadi orang Islam seperti aku. Jangan pakai
nama Mas Ayu Tunjung. Aku akan panggil kau Sri Tanjung...
84 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sri artinya Nur Ilahi. Sebab istri Bathara Wisnu juga bernama
Dewi Sri. Aku akan sama dengan Bathara Wisnu. Sri
Tanjung... Mari..." Mas Ngalit berdiri. Mas Ayu Tunjung tidak menjawab. Tampak
mundur sedikit. Mas Ngalit berjalan
mendekat. Perlahan-lahan. Mas Ayu Tunjung melambaikan
tangan. Menjauh setapak. Mas Ngalit berusaha
menangkapnya. "Mari, Bathara Wisnu..." Tampak Tunjung tersenyum
menggemaskan. Tapi tiap kali ditangkap, menghindar.
Hilanglah sabar Mas Ngalit. Keinginannya membopong
gadis itu ke pembaringan sudah tak tertahan. Maka secepat
kilat dia bergerak, menubruk si gadis. Tapi apa yang terjadi
kemudian tidaklah dia sadari. Tubuh si gadis ternyata keras.
Muka dan kepalanya seolah dipukul martil berat. Berkati-kati.
Dan Mas Ngalit baru sadar menjelang pagi kala seorang
pelayan akan menyapu ruangan itu. Bahwa semalam ia cuma
menubruk pilar. Kepalanya berat. Ternyata bengkak.
"Ampun, Yang Mulia. Apa yang terjadi?"
"Ah, entah ya" Barangkali aku terlalu lelah, semalam aku
menubruk tiang. Ah, kalian memasang lampu kurang terang.
Besok tambah penerangan di sini!" Mas Ngalit berbohong
kemudian berjalan masuk kamarnya.
"Eh, jangan beritahu siapa-siapa!" katanya sebelum
menutup pintu. Betapa terkejut Mas Ngalit kala melihat wajahnya di cermin.
Bengkak. Ah, malu... Mengapa kaupermalukan aku semacam
ini, Sri Tanjung" Ya, kau Sri Tanjung. Darah Tawang Alun
berjodoh dengan darah Tawang Alun. Tentu aku akan jadi raja
besar dan jaya. Ah, aku jadi sultan!
Ah, sebaiknya aku suruh Kanda Arinten untuk melamarnya.
Ya, siapa orang yang tepat" Tapi ah, bagaimana caranya.
85 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mudah saja, ia suruh seorang pengawal pergi ke Pakis untuk
memanggil Mas Ayu Arinten.
"Beritahu kakakku itu bahwa aku sedang sakit, jadi tidak
dapat datang sendiri."
"Hamba, Yang Mulia."
Perjalanan dari Pakis ke Sumberwangi bukanlah menempuh
jarak yang dekat. Apalagi bagi wanita yang tidak terlatih.
Melewati rimba raya yang lebat. Jurang-jurang. Maka
memakan waktu yang cukup lama. Dan dalam penantian akan
kedatangan kakaknya, Mas Ngalit tidak mampu mengebas
bayang-bayang Mas Ayu Tunjung. Mengapa kau masih
menyebut dirimu sebagai Mas Ayu Tunjung" Bukankah aku telah memberimu nama
Sri Tanjung" tanyanya suatu malam. Tentu para wanita muda
yang biasa menghiburnya jadi heran karena Mas Ngalit tidak
memperhatikan mereka lagi. Bahkan tampaknya sang adipati
itu lebih senang duduk sendiri.
Demikian juga halnya malam itu. Untuk kese-kian kali Mas
Ngalit melambaikan tangan, memberi isyarat agar mereka
menjauh. "Tentu terkena guna-guna perawan Blambangan," bisik
salah seorang selir itu. "Jangan curiga! Barangkali terlalu lelah. Bayangkan,
membangun kota semacam ini."
"Tapi dulu-dulu tidak seperti itu!"
Kusak-kusuk berjalan terus. Tapi Mas Ngalit malam itu
benar-benar tak ingin ditemani. Ia masuk kamar sendirian.
Kala ia membuka pintu hampir saja ia berteriak. Ia melihat
Ayu Tunjung tidur miring dengan kepala disangga oleh telapak
tangan dan tersenyum menyambut kehadirannya. Ngalit
terpatri. Terdengar olehnya Mas Ayu Tunjung menyapa
dengan suara merdu, 86 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mari, Suaminda, aku sejak tadi menunggu...."
Mas Ngalit berdebar. Kini tampak wanita itu terlentang.
Kaki selonjor sebelah, sedang sebelah kaki ditekyk ke atas. Ah,
paha yang begitu mulus. "Kenapa ragu, Suaminda" Mari..."
Mas Ngalit melangkah maju. Tangannya gemetar. Pelan-
pelan ia buka bajunya. Demikian pula kainnya. Pelan-pelan ia
naik ke pembaringan. Tangannya terulur meraba paha Mas
Ayu Tunjung. Tak bergeming. Jengkel. Ia tangkap pinggang
Tunjung dan ditariknya untuk duduk di pangkuannya. Tapi...
cuma sebuah guling... Mas Ngalit penasaran.
*** Sebagaimana biasa, pada hari Radite Mas Ayu Tunjung
meneruskan kebiasaan Rsi Ropo saat sebelum perang, ia
mengajar murid-muridnya. Tidak sebanyak murid Rsi Ropo
tentunya. Karena memang jumlah pribumi Blambangan saat
itu cuma tinggal sekitar tiga ribu orang saja. Semua punah
dilanda perang. Siapa yang berani menentang VOC akan
dipunahkan. Inilah modal. Kekuasaan dari kaum bermodal.
Siapa saja! Ya, siapa pun yang berani coba-coba mengusik
kekuasaan modal, pasti akan dibinasakan! Baik secara kejam
dipunahkan sama sekali seperti pribumi Banda oleh Yan Pieter
Zoen Coen, yang menyewa kaum samurai Jepang, atau
dengan cara yang santun. Seperti yang dilakukan oleh Bong
Swi Hoo yang kelak bergelar Sunan Ngampel. Orang ini telah
berhasil memudarkan kekuatan Majapahit secara damai.
Mas Ayu Tunjung sama sekali tak menduga bahwa akhirnya
orang-orang Songgon bersedia mendengar semua tuturnya.
Mereka dengan patuh duduk ngelesot diTantai pendapa balai
pracabaan. Pilar-pilar masih sekokoh saat Rsi Ropo mengajar.
Pengunjung tidak meluber sampai ke halaman. Umumnya
orang-orang Songgon sendiri. Cuma sedikit saja pendatang
dari luar Songgon yang ikut dalam perhimpunan itu. Petang
87 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu pun demikian halnya. Tapi semua yang duduk mendengar
dengan penuh khidmat. Kadang mereka tertawa. Bersama-
sama. Kadang mereka bertepuk tangan. Juga bersama-sama.
Kadang mereka berdecak kagum. Hampir semua terayun-ayun
dalam perasaannya, sesuai dengan yang sedang dibicarakan
oleh Mas Ayu Tunjung. "Jatidiri yang kokoh akan memberikan pada kita makna
diri," kata Mas Ayu dalam mengajar sambil duduk bersila di
potongan kayu besar dan bulat. Tak ubahnya patung Ken
Dedes. Ia pandang semua yang hadir. "Orang yang saat ini
akan menenggelamkan kita, berusaha menenggelamkan
jatidiri kita terlebih dahulu." Diam lagi sebentar. Menarik
napas. Susunya tampak naik-turun. Seirama dengan tarikan
napasnya. "Karena itu berhati-hatilah! Dalam merampas
jatidiri kita, mereka tidak lagi dengan paksa! Tidak juga
dengan perang. Mereka menggunakan cara yang amat sukar
untuk dapat kita lihat. Begitu sukarnya, seolah kita sedang
mencari jarum yang berjalan dalam air. Mereka menggunakan
wanita, minuman, harta benda, dan banyak lagi. Sekali lagi
berhati-hatilah terhadap masiya, manuya, madya, dan mutral
(ikan, daging, arak, dan wanita)
"Bagaimana dengan Mas Ngalit yang sekarang sedang
membangun ibukota baru bagi Blambangan itu" Apakah
mungkin dia akan menjadi Ken-Arok bagi Blambangan?" (Arok
= pembangun. Ken Arok = ksatria pembangunan)
'"Inilah yang setiap orang seharusnya tahu. Apa yang
sedang dikerjakan Mas Ngalit sekarang?" , Kembali ia diam
beberapa bentar. Setelah tidak-seorang pun yang menjawab
ia berkata lagi, "Mas Ngalit adalah seorang yang dendam pada kekuasaan Agung
Wilis karena tidak mendapat kesempatan
ikut berkuasa. Lebih lagi karena ada beberapa kerabat
dekatnya yang digantung. Sekarang setelah ia mendapat
kesempatan, sekali lagi setelah mendapat kesempatan, segera
menjelma menjadi manusia rakus. Ia telah menjual tanah kita,
88 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pohon kita, hewan kita. Pendek kata apa saja yang bisa
dikeruk dan dijual untuk kekayaan pribadinya. Demikian
halnya dengan para pung.-gawa lainnya. Sepeninggal Wong


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Agung Wilis Blambangan telah jatuh miskin akibat perampok
Bali, yang tiada henti menggerayang kekayaan kita.
Sekarang... yah, begitu berkesempatan muncul menjadi sang
penguasa, besar atau kecil, segera menjelma menjadi bandit!"
"Tapi mereka berjasa membangun kota-kota...."
'"Tampaknya memang begitu. Loji-loji yang dulu tidak
pernah ada kini berbaris sepanjang jalan-jalan raya utama.
Mesjid-mesjid yang dulu tidak ada kini tampak menghiasi kota.
Nah, kita bisa melihat sekarang, sebagian besar bukan
kebutuhan kawula Blambangan. Tapi lihat! biaya
pembangunan itu siapa yang harus menanggung" Kita! Kita!
Memang biaya itu datang dari VOC sekarang ini. Tapi marilah
kita menghitung, Mas Ngalit harus membayar upeti sebanyak
enam puluh ribu ringgit. Enam puluh... Yah, coba kalikan
dengan uangmu sendiri. Satu ringgit sama dengan dua
setengah gulden uang Belanda. Sedangkan satu gulden uang
mereka dihargai tiga-ribu picis uang kita. Nah, kalian bisa
menghitung sendiri berapa" Dari mana Mas Ngalit akan
membayar pada VOC sebegitu besar" Bukankah dari hasil
keringat kita" Keringat kita! Sedang saat ini seluruh pribumi
Blambangan jumlahnya tinggal tiga ribu orang. Dari jumlah
delapan puluh lima ribu sebelum perang kini tinggal tiga ribu!
Sisanya dibantai! Jadi tiap orang harus menanggung dua
puluh ringgit per tahun. Bayangkan! Tak pernah mimpi, bahwa
kita sekarang harus punya utang dua puluh ringgit. Bukankah
itu sama dengan seratus lima puluh ribu uang kalian?" Mas
Ayu diam sebentar. Mengambil sirih di sampingnya dan mulai
berkinang. Giginya yang berbaris rapi seperti deretan bulu
kumbang itu menggerus dedaunan yang kemudian
menampakkan warna merah. "Anak-anak pun punya utang.
Yang dalam kandungan pun punya utang. Jika tidak mau
punya utang maka ia harus tidak menjadi warga Blambangan.
89 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Minggat ke Bali misalnya. Karena jika tidak punya utang ia
bukan warga Blambangan." Ayu Tunjung memperdengarkan
suara tawanya. Ramah. Semua pendengar ikut tertawa. "Mas
Ngalit yang membuatnya begitu. Si Arok Blambangan!" Makin
riuh. Beberapa lama setelah itu Mas Ayu menutup ajarannya
dengan, "Jangan melawan dengan kekuatan senjatamu!
Karena Mas Ngalit tidak pernah segan menumpahkan
bangsanya sendiri!" Semua orang kagum. Enggan rasanya mereka berdiri. Ingin
lebih lama lagi mendengar suara merdu itu.
"Jumlah kita makin sedikit. Mempertahankan hidup saat ini
sudah merupakan perjuangan tersendiri bagi suatu bangsa
yang dengan sengaja hendak ditumpas! Apalagi
mempertahankan keberadaan peradabannya."
Setelah berulang Mas Ayu meminta mereka semua
istirahat, barulah mereka beranjak. Satu demi satu
menyembah dan bangkit. Berat hati mereka. Semalam suntuk
pun mereka akan betah berbincang dengan sang gadis. Hati
Mas Ayu terharu melihatnya. Mereka rindu mendengar kata-
kata surga. Hiburan yang dapat menjelaskan arti kebenaran
yang sesungguhnya. Selama ini Mas Ngalit selalu menekankan
pada kawula Blambangan, supaya tidak usah belajar
berpendapat, ridak usah mengerti siasat kekuasaan! Yang
perlu kerja! Kerja tidak banyak" omong! Membangun
Blambangan! Suara jangkrik di malam hari mengiringkan langkah mereka
meninggalkan pertapaan. Juga sorot pandang Mas Ayu serta
lima orang penga-^ walnya. Para cantrik pun belum beranjak.
Namun Mas Ayu segera menjadi terkejut kala akan turun dari
tempatnya. Dua orang muda masih saja terpatri di tempat
duduknya. Sekalipun semua orang sudah pergi. Keduanya
tertunduk dalam-dalam di bawah temaram samar sinar pelita.
Mukanya tertutup bayang-bayang sehingga menyulitkan Ayu
Tunjung mengenalinya. Di ringi pandang semua cantrik dan
90 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pengawalnya, ia turun dan mendekati. Perlahan-lahan seolah
berjalan di tepian jurang. Sampai beberapa jarak kemudian ia
bertanya, "Mengapa kalian tidak segera pulang" Ada sesuatu yang
ingin kalian utarakan?"
Keduanya diam untuk sesaat. Saling melirik. Lalu sama-
sama menyembah. Dan Harya Lindu Segara membuka
percakapan sambil menunduk.
"Ampunkan kami berdua, Yang Mulia, kami datang dari
jauh. Dan kami ingin bermalam di sini. Adakah tempat?"
"Hyang Dewa Ratu!" Mas Ayu menajamkan mata. Tapi
masih saja belum mampu melihat wajah mereka yang
tertunduk dan tertutup oleh bayang-bayang. "Tentu semua
orang bisa berma.-lam di sini. Asal tidak membuat keonaran."
Kemudian ia berbalik menghadap Janaluka. Cantrik Janaluka.
"Siapkan kamar untuk mereka."
Cantrik Janaluka segera pergi setelah menyembah.
"Kami mengagumi pengetahuan Yang Mulia.
Sungguh, kami tidak bisa mengerti bagaimana Yang Mulia
bisa menghitung dengan pasti angka-angka tadi."
Mas Ayu Tunjung tersenyum. Tapi curiga. Sejak tadi
mereka tetap tertunduk. Jangan-jangan telik dari
Sumberwangi. "Kita memang sejak lama dijauhkan dari angka-angka.
Kebanyakan kita malas menghitung. Itu sebabnya sebagian
bangsa Nusantara menjadi miskin. Barangsiapa tidak tahu
menghitung, sebenarnya telah menjadi bingung. Karena ia
tidak pernah tahu untung dan rugi. Kaum pemilik modal
senang kawula tidak tahu angka-angka. Demikian pun
Belanda. Karena demikian untuk selamanya kawula tidak akan
dapat menghitung, berapa jumlah kekayaan yang seharusnya
menjadi hak mereka." Senyumnya makin lebar. "Bayangkan, 91
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menghitung haknya sendiri saja tidak bisa! Adakah makhluk
yang lebih mengibakan dari mereka" Karena ketidaktahuan
akan hak sendiri itulah maka apa yang seharusnya milik
mereka, menjadi milik orang lain. Hak mereka menjadi
semacam titipan yang bernama utang! Utang yang tak pernah
mereka sadari. Karena memang mereka tak pernah
melakukannya." "Jagat Dewa!" kedua tamu itu menyebut kagum. Sratdadi
tak mampu lagi menahan hatinya. Suaranya telah membuat
Ayu Tunjung terkejut. Dengan mendadak jantungnya berdebar
keras. Kembali ia menajamkan matanya. Berganti-ganti ia
pandangi kedua pemuda di hadapannya itu. Sratdadi yang
merasa salah itu bertanya lagi. Kepalang basah, pikirnya.
"Kenapa Yang Mulia tidak memimpin mereka untuk
berperang saja" Supaya dapat dihancurkan semua kelaliman?"
"Hyang Dewa Ratu!" Ayu Tunjung makin gemetar. Senang
dan kaget menyatu. "Mengapa aku harus menghadapi penguji
secara..." Ia maju lagi. Selangkah. Dan lagi, selangkah. Makin jelas
dan makin jelas. Terkuaklah ingatannya. Maka segera ia
menjatuhkan diri... "Hyang Dewa Ratu! Kanda...!"
92 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
4. PAGAR BETIS Kedatangan Sratdadi alias Rsi Ropo memberikan angin baru bagi seluruh orang
Songgon. Mereka begitu kagum dan menganggap bahwa Rsi Ropo memiliki seribu nyawa
yang tak mungkin dapat mati. Maka kehidupan di Songgon dengan amat tiba-tiba
menjelma menjadi lebih semarak dari semula.
Semangat mereka yang hampir padam, kembali membara.
Sebab dengan hadirnya Rsi Ropo, kawula berharap bahwa Wong Agung Wilis akan
kembali hadir di tengah mereka.
Penjagaan di malam hari juga mulai diadakan. Karena Ropo mulai mengajar bahwa
mereka perlu menjaga hak mereka.
Songgon, kata Ropo, adalah tanah suci, yang harus tidak terjamah oleh tangan si
bule. Maka penjagaan sandi kembali dilakukan seperti dulu kala sebelum perang.
Bunga-bunga kembali ditanam orang. Kenanga, kantil, mawar dan melati, kembali
bermunculan. Seolah mereka ikut berbahagia menyambut hadirnya sang Rsi. Apalagi
terdengar berita bahwa satu minggu lagi Rsi akan melangsungkan upacara
pernikahan. Semua orang bersukacita. Songgon yang kecil segera menjelma jadi
bintang di tengah hutan belantara.
Anak-anak gadis dan orang-orang tua yang dulu berharap bahwa anak-anak mereka
akan diperistri sang Rsi, tidak perlu menjadi kecewa. Sebab tidak mungkin mereka
membandingi wanita itu. Bukan cuma manis tanpa tandingan, tapi juga
memiliki pengetahuan yang tinggi. Semua orang menilai
bahwa keduanya adalah pasangan yang serasi.
Kuntum bunga telah mekar di sana-sini. Seolah ikut
mempersiapkan diri bagi upacara pernikahan kedua orang itu.
Demikian pula halnya desa Songgon. Semua jalan-jalan
dibersihkan. Tidak sehelai rumput pun boleh tumbuh di jalan-
jalan. Tak ada yang memerintah. Tapi tiap orang
membersihkan jalan-jalan yang melintas di depan rumahnya.
Mereka kerjakan dengan kesadaran mereka sendiri. Mas Ayu
Tunjung terharu melihat itu.
93 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Mas Ayu Tunjung jadi tidak bebas keluar rumah. Ia selalu
dikerumuni wanita-wanita tua, yang sudah berpengalaman.
Tiap pagi dan sore ia dilulur dengan mangir. Tanpa ada yang
meminta mereka bertandang ke dalam puri pertapaan itu. Mas
Ayu jadi rikuh. Apalagi pagi dan sore mereka juga yang
memandikannya dengan air bunga setelah dilulur. (diborehi,
diolesi dengan mangir) Geli rasanya.
Ia memang belum pernah mendapat perlakuan seperti itu.
Rasanya semua orang mengasihinya. Hatinya menjadi
berbunga-bunga. Betapa tidak".
Wanita-wanita yang sudah peot itu, ternyata mempunyai
banyak cerita. Sambil melulur tubuh-nya, mereka memijit dan
bercerita. Macam-macam cerita mereka itu. Ada dongeng
"Timun Mas dengan Raksasa Hijau", ada dongeng mengenai
"Kelana Gandrung", "Panji Asmara Bangun" dan macam-macam lagi. Rasanya ia
kembali meriup jadi bayi. Semua
orang memperhatikan. Semua menumpahkan kasih sayang.
Harya Lindu Segara pun ikut sibuk. Ia mengirim berita ke
Mengwi, melalui para nelayan. Maka Wong Agung Wilis segera
menulis surat pada anaknya itu. Dikirimkannya lewat caraka
sandi (utusan rahasia) yang menjadi kepercayaannya.
Demikian pula, secara diam-diam ia mengirimkan hadiah
berupa emas dan pakaian, baik untuk menantunya maupun
untuk anaknya sendiri. Mas Ayu Tunjung menerima kiriman itu
dengan air mata yang berlinang. Bertiga mereka membaca
surat Agung Wilis. "Sratdadi, Anakku Dirgahayu! Jayalah kau, jayalah negerimu! Sungguh
gembira hati ini, kau akan menikahi anak kakakku sendiri,
Prabu Mangkuningrat anumerta Setidaknya kau telah
menyambung kembali pertalian darah yang hampir putus
karena perbedaan pandangan dan kepentingan. Aku dapat
membayangkan betapa Tunjung telah tumbuh menjadi
seorang gadis manis dan cerdas. Mungkin saja lebih dari
94 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ibunya. Aku berharap kalian bisa hidup serasi. Terlebih dalam menanggungkan
tugas berat di masa kini dan mendatang.
Lebih dari itu tugas mulia.
Sewajarnyalah jika aku memberikan sesuatu pada
menantuku. Tentu ini tidak sepadan dengan milik
paramesywari Blambangan. Tapi barangkali saat ini, itulah
yang terbaik, yang dapat aku berikan buat menantuku.
Maafkan aku, karena aku bukan bandit yang mampu-
menggunakan uang orang lain demi kepentingan sendiri."
.... Sampai di sini Mas Ayu berhenti sebentar. Air matanya
berlinang. Bahagia bersatu dengan haru. Buru-buru ia
menghapusnya karena malu. Seorang yang telah menua itu
masih memperhatikannya. Masih ingin menyumbangkan
sesuatu demi kebahagiaan anaknya. Atau memang itulah
naluri seorang bapa" Ingin melihat anaknya bahagia" Ah, tidak
semua! Bukankah Amangku-rat dari Mataram pernah
bertengkar dengan anaknya demi memperebutkan wanita"
Sama-sama orang tua. Sama-sama lelaki. Tapi berbeda
jatidirinya. Yang seorang penuh pengabdian buat
kemanusiaan, yang seorang penuh dengan persundalan.
Beberapa bentar kemudian ia melanjutkan pembacaannya,
sementara Sratdadi dan Lindu Segara mendengar sambil
memperhatikan. Tiap kali Mas Ayu Tunjung memberikan
bubukan kapur pada lontar yang dibacanya.
"Lepas dari semua kegembiraan dan kebahagiaan yang
kaualami itu, aku berharap bahwa kau tidak akan pernah lupa
pada kewajiban yang dibebankan oleh zaman kepadamu!
Beban yang gunung-gemunung, memang. Tapi mulia. Tiada
manusia yang lebih mulia dari pada orang yang
mempersembahkan karya dan darmanya bagi kemanusiaan.
Bagi kehidupan! Bagi kebebasan umat manusia! Apa sebab"
Sebab meniadakan kebebasan adalah perampasan hak yang
paling hakiki. Memang kebebasan adalah hak yang paling
95 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hakiki. Meniadakan kebebasan berarti kejahatan yang tak
bertara! Karena itu berjuanglah, Anakku!"
Lagi. Ketiga orang itu saling pandang. Hati mereka serasa
dijamah oleh jari-jari Wong Agung Wilis. Kemudian diremas-
remas agar tidak terbuai oleh mimpi di bulan madu. Beberapa
bentar kemudian mereka sampai pada bagian akhir dari surat
Wong Agung Wilis: "Kawula Blambangan sengaja dipunahkan. Seperti orang-
orang Banda yang dipunahkan oleh Yan Pieter Zoen Coen.
Itulah sebabnya aku berkata beban yang tersampir di pundak
kalian, amat berat. Bagaimanapun juga kawula harus
diselamatkan. Jangan dibiarkan mereka dibantai! Jika kita
hendak memerangi VOC, maka kita tidak boleh berperang
sendiri. Kemenangan hanya akan tercapai jika seluruh
Nusantara bangkit bersama-sama! Ingat-ingat ini, Anakku!
Kebijakan jauh lebih penting demi keselamatan kawula yang
tinggal sendikit itu. Mempertahankan hidup serta kehidupan
mereka adalah juga semulia-mulianya pekerjaan "
Ketiga orang itu menyebut. Rupanya Wong Agung amat
sedih mendengar berita kerusakan kawula Blahnbangan.


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa akal kita sekarang?" Lindu Segara bertanya setelah beberapa saat mereka
terdiam. Masing-masing merenung.
Berbincang dengan pendapatnya sendiri.
"Yah, kita harus berpikir. Memang benar pendapat
Ayahanda itu. Rupanya beliau belajar dari kekalahan demi
kekalahan semua kerajaan di Nusantara ini," Sratdadi
menjawab sambil menarik napas dalam-dalam. Setelah itu
menopangkan siku di atas pahanya yang sedang bersila itu,
sementara telapak tangannya menyangga dagunya. Sedang
Mas Ayu Tunjung memandang ke halaman. Ayam-ayam
sedang bercengkerama dengan sesamanya. Bebek-bebek juga
sibuk mencari makanan di parit yang menuju ke sawah.
96 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mungkin saja kita harus berbagi tugas. Kita tidak boleh
memancing peperangan di Blambangan," Lindu Segara
mengutarakan pendapatnya.
"Kita menempuh cara seperti Singa Manjuruh" Karena jera
kita berlaku seperti dia?" Sratdadi bangkit dari duduknya. Lalu mendekati
jendela sambil bersedekap ia pandang gunung-gunung biru yang jauh. Pikirannya
mencoba menerawang jauh. Jauh sekali ke masa depan.
Mas Ayu Tunjung menarik napas panjang. Susunya naik-
turun seirama tarikan napasnya. Kemudian pelan-pelan ia
berkata, "Tidak! Kita bukan Singa Manjuruh. Kita tidak pernah akan
jera. Tapi sebelum menentukan, marilah kita menengok masa
lalu bangsa kita. Pengalaman leluhur kita. Sebagai cermin
untuk menentukan sikap dan langkah." Berhenti sebentar. Ia
bersirih. Memerah bibirnya yang tipis itu. Warna kulit manggis
yang merekah. Sratdadi dan Lindu Segara menoleh padanya.
"Kita dulu bangsa besar," Ayu Tunjung memulai lagi. "Tapi sekarang menjadi
bangsa kerdil. Apa sebabnya" Dulunya kita
adalah bangsa laut. Bangsa yang menguasai laut. Dengan
kata lain menguasai perniagaan. Kemudian dikalahkan oleh
bangsa lain, dan kita digiring ke pantai. Tidak lama kemudian
dikalahkan lagi dan digiring ke pedalaman. Pegunungan dan
hutan-hutan. Akibatnya kita makin jauh dari kemajuan. Sebab
semua kemajuan dikuasai oleh bangsa yang memiliki alat
perhubungan. Nah, kita dikecohkan sedemikian rupa, sehingga
lautan yang dulunya adalah alat perhubungan bagi kita, telah
menjadi semacam pembatas yang amat sulit dilintasi. Kanda,
mari kita menyadari hal ini."
"Jagat Pramudita! Jagat Bathara!" Sratdadi menyebut.
"Di mana-mana, di bumi Nusantara ini tidak akan ada
kebebasan. Barangkali di samudra luas sana kita akan
97 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menemukannya. Salahkah pendapat hamba ini, Kanda?" Ayu
Tunjung mendekati calon suaminya.
"Tidak, Adinda!" Sratdadi menghela napas dalam-dalam. Ia pandang tajam-tajam Ayu
Tunjung. "Aku baru mendengarnya
sekarang. Andaikata itu sudah kita ketahui sejak Ayahanda
masih menjadi patih amangkubhumi Blambangan dulu, maka
pendapat itu akan sangat banyak gunanya. Kita masih
memiliki armada untuk menjadikan Blambangan bangsa
pelaut. Mas Ayu mengelus dada Sratdadi. Kemudian dengan ekor
matanya ia memandang Lindu Segara dengan sekilas. Sambil
tersenyum ia melanjutkan,
"Tak ada gunanya berandai-andai dengan masa lalu. Apa
saja yang kita punya harini itulah modal kita. Jika harini kita
cuma punya Harya Lindu Segara, maka dengannyalah kita
akan membangun jiwa pelaut dalam bangsa kita. Sekali lagi,
Kanda jangan mengandai-andai. Kita harus pandai-pandai
mengukur kemampuan. Barangsiapa yang tak mampu
mengukur kemampuannya sendiri, ia sedang melangkah pada
kehancuran." "Hyang Bathara!" kedua pemuda itu menyebut berbareng.
Sesaat, dua saat, lima saat, sepuluh saat, mereka membisu.
Tercekam lamunan masing-masing.
"Baiklah. Jika demikian hamba akan segera turun kelaut
begitu selesai upacara pernikahan suci. Itu sesuai dengan
rencana. Tapi kali ini dengan tujuan membangun kembali
armada Blambangan. Bukan sekadar membuat kerepotan kecil
bagi VOC," Lindu Segara berjanji.
"Barangkali ada gunanya jika daku pun turun ke laut.
Pekerjaanku sebagai seorang Rsi sebaiknya diambil alih oleh
Mas Ayu..." "Kehadiran Rsi Ropo masih diperlukan bagi kawula
Blambangan. Lihat! Dengan tiadanya Kanda di tengah-tengah
98 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka, mereka tak ubahnya anak-anak ayam yang
kehilangan induknya." Mas Ayu Tunjung keberatan. "Hamba cuma mampu memberikan
pengetahuan sedikit buat mereka.
Tapi yang mereka butuhkan sekarang bukan cuma
pengetahuan. Mereka butuh keterampilan, sikap hati, dan
setelah itu baru pengetahuan."
"Betul, Yang Mulia," Lindu Segara mendukung.
Kembali ruangan dilanda keheningan. Sampai beberapa
jenak. Tiba-tiba saja, Sratdadi melihat Tunjek berlari menuju
pendapa. Mencari-cari. Kemudian cepat ke bale pracabaan.
Kosong. Masuk ruangan di mana ketiganya sedang
berbincang. Napas pemuda itu terengah-engah.
"Ada apa, Tunjek" Tampaknya tergopoh-gopoh."
"Oh, Ampunkan hamba, Yang Tersuci, menghadap tanpa
dipanggil." "Tak apa, Tunjek. Apa ada sesuatu yang penting?"
"Barangkali amat penting. Serombongan besar Kompeni
mengepung Songgon...."
"Jagat Dewa Pramudita!" Rsi Ropo tersenyum. dengan
sabar ia berkata pada Tunjek, "Baiklah. Mereka mencari aku
terus-menerus. Suruh teman-temanmu menyingkir. Aku akan
hadapi mereka." "Hutan-hutan juga sudah dikepung."
"Mereka tidak akan usik kalian. Mereka ingin bersua
denganku! Jika demikian bersiaplah! Panggil Cantrik Anggada!
Aku mau bicara padanya."
Tunjek segera memunggunginya. Setelah Tunjek pergi,
Tunjung segera mengutarakan pendapatnya,
"Biarkan mereka masuk, Kanda. Hamba akan hadapi
mereka." 99 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Lalu aku" Sembunyi?"
"Kanda bersama Lindu Segara bersiap-siap. Bukan bersembunyi. Satria Blambangan
pantang bersembunyi. Apalagi seorang..." Mas Ayu Tunjung tidak melanjutkan tapi mengerling.
Beberapa bentar kemudian Anggada naik. Tapi kemudian pergi lagi bersama Rsi Ropo
dan Harya Lindu Segara. Sementara Ayu Tunjung menyiapkan diri. Memang tak ada waktu untuk menyiapkan
diri dengan baik bagi Sratdadi.
Namun dia adalah bekas menteri mukha pada pemerintah pengasingan Blambangan.
Nalurinya terbiasa me-| nyiapkan suatu gelar peperangan. Apalagi sebenarnya
kawula Songgon adalah orang-orang terlatih. Dengan cepat mereka menyelinap ke
dalam gerumbul penyimpanan senjata.
Laporan Tunjek bahwa Kompeni telah mengepung Songgon tentu tidak masuk akal bagi
Sratdadi. Sebelum pergi ke Bengkulu, Sratdadi telah memasang berbagai jebakan di
seputar hutan desa itu. Maka ia tak terlalu gelisah. Malah Tunjek yang
ternganga, waktu masuk ke semak-semak yang dipimpin oleh Anggada, mereka
menerima pembagian senjata api laras panjang. Tak ada yang karatan. Berarti
senjata-senjata itu setiap waktu dirawat dengan baik.
"Jangan ada yang menembak sebelum ada perintahku!"
setiap kali memberikan senjata Anggada memperingatkan.
Laporan Tunjek tidak sepenuhnya salah. Karena memang saat itu telah datang
pasukan berkuda menuju ke Songgon.
Semua jadi tegang dalam persembunyian masing-masing.
Semut merah merupakan barisan pengganggu yang menjengkelkan di persembunyian
seperti itu. Tapi mereka adalah orang-orang terlatih. Baik menyembunyikan
senjata maupun diri. Jadi semut dan nyamuk hutan, seolah telah menjadi sahabat
mereka. Walau sebenarnyalah merupakan aniaya bagi lainnya. DaR persembunyian
semacam itu mereka akan leluasa melihat siapa saja yang datang.
100 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wanita yang tua serta mereka yang telah renta tidak ikut
sembunyi. Akibatnya waktu barisan Kompeni masuk mereka
cuma mendapatkan wanita-wanita renta dan lelaki yang sudah
gemetar waktu bicara. Itu sebabnya rombongan kedua segera
diberi isyarat untuk masuk. Rombongan pertama terdiri dari
tiga puluh orang. Semua mengenakan topi yang terbuat dari
anyaman mendong (sebangsa rumput yang bisa dipakai bahan
pembuat tikar) Barangkali buatan Sidayu atau Gresik, para
pengintip tidak tahu. Yang mereka tahu tak seorang pun kulit
putih di antara mereka. Tapi Sratdadi memerintahkan agar
mereka tetap waspada di persembunyian masing-masing.
Justru yang berkulit sawo matang macam itu, lebih galak dari
yang kulit putih. Semua pengintip menjadi amat terkejut. Ternyata
rombongan kedua memikul sebuah tandu. Tentu seorang
pembesar, pikir Mas Sratdadi dan Lindu Segara. Siapa ya"
Mata tajam Sratdadi serta Lindu Segara segera tahu bahwa
yang di dalam tandu itu ternyata seorang wanita. Masih muda.
Memang lebih tua jika dibanding Ayu Tunjung. Mengenakan
kemben. Pertanda bahwa ia bukan wanita Ciwa. Berkali wanita
dalam tandu itu melongok ke kiri dan kanan. Seperti agak
gelisah. Tak ada penyambutan. Padahal saat ini ia adalah
wanita tertinggi di Blambangan. Sratdadi kenal benar. Arinten
dari Pakis. Di belakang tandu itu ada sebuah jodang (Sebuah
tempat bentuknya seperti pandosa (alat pemikul mayat), tapi
ini biasanya dipakai memikul makanan. 0,5x2 m panjangnya)
yang juga dipikul oleh empat orang seperti halnya tandu di
depannya. Di belakangnya lagi baru sepuluh orang berkuda
dan bersenjata lengkap. Kompeni. Tentu semua pengintai
bertanya-tanya. Apa maksud mereka kemari"
Ternyata mereka terus berjalan menuju ke pertapaan. Apa
mereka sudah mendengar rencana perkawinan Rsi Ropo
dengan Mas Ayu Tunjung sehingga datang membawa
berbagai macam hadiah" Apalagi waktu Arinten benar-benar
turun di depan pendapa, dan masuk diiringi para pemikul
101 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
jodang, rasanya dugaan itu makin kuat. Pasukan pun berhenti
dengan aba-aba dari pemimpinnya. Cepat membentuk jajar
mengepung pertapaan. Mas Ayu Tunjung menjemput dengan mengenakan kain
sutera putih. Juga selendang sutra melilit lehernya, sedang
kedua ujung selendang itu berkibar di belakang tubuhnya
karena angin. Gelang emas serta kalung permata pemberian
Wong Agung Wilis menjadi pelengkap keanggunannya siang
itu. Binggalnya jelas gaya Bali terbaru, membuat Mas Ayu
Arinten tersentak. Ia hitung-hitung, berapa harga permata dan
perhiasan lain yang menempel di tubuh montok Mas Ayu
Tunjung ini. Belum kutang emas yang menghias putik susu
serta pending yang terlilit di bawah pusar.
Sekalipun pernah bersua ketika gadis itu masih dalam
istana Lateng (ibukota Blambangan zaman Wong Agung Wilis,
(baca: Tanah Semenanjung)) dulu, mau tak mau Arinten iri
melihat wajah Mas Ayu Tunjung. Tidak heran jika adiknya
tergila-gila. Barangkali tidak berlebihan jika di seluruh bumi
Blambangan saat ini, tak ada wajah sesempurna wajahnya.
Senyum nya... Aduh! Bagaimana iman adikku tidak rontok"
Bibir tipis diwarnai merah samar oleh tak ada wajah
sesempurna wajahnya. Senyumnya... Aduh! Bagaimana iman
adikku tidak rontok" Bibir tipis diwarnai merah samar oleh
kinang. Caranya berdiri di atas titian pendapa itu, oh,
anggunnya... "Dirgahayu, Yang Mulia," Ayu Tunjung menyapa sebelum
tamunya mengucapkan salam. "Jika tidak salah, maka yang
datang saat ini adalah tamu agung dari Pakis. Yang Mulia
Arinten?" "Betul, Yang Mulia. Eh... Dirgahayu," terpaksa membalas dengan terbata-bata.
Aduh, sorot mata gadis ini, seperti
bintang fajar____ Pelan-pelan ia mendekati titian. Sungguh
makin jelas. Kulitnya benar-benar halus tanpa cela, kendati
sawo matang. Malah cenderung hitam manis. Kemudian ia
102 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengikuti langkah sang gadis menuju tengah pendapa. Cukup
besar pendapa ini jika dibanding pendapa Pakis. Pilar-pilarnya
terbuat dari kayu hitam. Diukir-ukir. Kendati atapnya terbuat
dari ijuk. Di tengah pendapa itu terdapat sebuah amben besar.
"Kita duduk di sini, Yang Mulia."
Mas Ayu Arinten sekali lagi memandang sekelilingnya. Tak
ada kisi-kisi yang menutup tempat mereka duduk. Sungguh
Tunjung tak menerima pengaruh dari kebudayaan baru yang
sedang berkembang di kota-kota Blambangan lainnya.
"Tentu, Yang Mulia. Yang Hamba kerjakan ini seperti janur
di puncak gunung. Karena memang tak pernah dilakukan oleh
siapa pun sebelum ini. Karena didorong oleh keinginan hati
mengumpulkan semua tulang yang terpisah. Tulang darah
Tawang Alun!" "Luar biasa kebudayaan baru di Blambangan sekarang!"
Ayu Tunjung tertawa ramah. Sementara itu para pengawalnya
datang mempersembahkan kinangan. Kemudian menjauh ke
sudut pendapa. Ada lima orang dara yang berjaga di seputar
mereka. Pengawal Ayu Arinten tak diperkenankan masuk.
Kendati mereka adalah kompeni. "Yang Mulia sudah pandai
memperhalus kata-kata." Tertawa lagi. Arinten menjadi salah
tingkah. Pandangannya berlarian ke segala arah untuk
mencari pegangan. "Tapi Yang Mulia sendiri berkias-kias," (menggunakan
kiasan) ia membalas. Kembali terdengar suara tawa Ayu Tunjung. Arinten pun
ikut tertawa. "Menyesuaikan diri
dengan adat keraton baru____" Ayu makin ramah saja.
"Hamba pikir memang ini tak pernah dikerjakan oleh Wong
Agung Wilis sekalipun," Arinten mencoba menjajagi. Ayu
103

Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tunjung diam sejenak. Terdengar lagi suara Arinten, "Juga
tidak oleh Mas Rempek anumerta.
"Barangkali saja Wong Agung Wilis tidak melihat
keuntungan yang bisa diambil dari berkerumunnya keluarga
dalam satu atap. Sebagai seorang yang bijak tentu beliau
melihat banyak kesulitan yang akan kita temui dalam
mengumpulkan tulang yang..." "Banyak kesulitan?"
"Ya. Banyak kesulitan," tegas Ayu Tunjung.
"Apa sebabnya?"
"Tiap orang punya kepentingan dan pandangan hidup yang
tidak sama. Dan karena itu sukar dipersatukan."
"Ya, Tuhan... Ya, Al ah...!" Arinten menyebut. Namun Ayu Tunjung segera
menyodorkan sirih. Kemudian Arinten
menuturkan bahwa ia membawa oleh-oleh dari Mas Ngalit.
Kemudian Arinten memerintahkan agar jodang-nya dibawa
masuk. Setelannya dibuka dihadapan Tunjung. Ternyata
bukan makanan. Tapi bermacam-macam perhiasan, kemban,
kain batik dari Madura juga barang pecah-belah.
"Jagat Bathara! Apakah manfaatnya benda semacam ini"
Dan bukankah hamba tak memerlukannya" Kain cita, kemban,
dan pakaian macam begini, tidak seharusnya dianugerahkan
pada hamba." Arinten tersenyum. Kini ia merasa menang. Walau ia tahu
harga perhiasan di tubuh Ayu juga amat mahal. Dengan rasa
lebih unggul ia kembali duduk. Tapi ia segera mencari jalan
untuk menerobos hati Ayu Tunjung.
"Itu adalah sekadar persembahan. Karena kami amat
mengagumi Yang Mulia. Betapa tidak" Di tengah desa yang
dikelilingi bukit dan gunung, tinggal bersama kawula miskin
seperti ini, Yang Mulia masih dapat menyambut kami dengan
hati gembira. Senyum Yang Mulia membuat wajah manis Yang
Mulia kian berseri. Ah, barangkali benar kata orang, bahwa
104 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kepedihan hati akan mematahkan semangat. Dan jika
semangat telah musnah maka ketuaan menyerbu dengan
cepatnya." "Ada-ada saja Yang Mulia ini." Ayu Tunjung tersenyum lagi sambil berjalan ke
amben. Suara binggalnya berdetingan
memenuhi ruangan. Sementara burung-burung bercanda
dengan teman-temannya di halaman. Nyiur tampak melambai,
bergantian dengan daun pisang, karena ditiup angin
pegunungan. Tidak ada kegerahan di sini. Beberapa bentar
Ayu Tunjung menyambung lagi,
"Tentu bukan tanpa kepedihan. Namun hamba senang
berdamai dengan alam seputar hamba. Selebihnya adalah
pengertian yang menyebabkannya. Sebab hati orang yang
berpengertian tidak pernah memburu kebodohan."
"Apa yang bisa diburu di lingkungan yang jauh dari istana
begini" Jauh dari tatakrama pergaulan seperti laiknya satria"
Sebenarnyalah kedatangan hamba untuk mencabut Yang
Mulia dari kepapaan di tengah rimba seperti ini."
Mas Ayu Tunjung tertawa ramah untuk keseki-an kalinya.
Lalu menjawab, "Suatu pertanyaan sekaligus pernyataan yang amat bagus."
Berhenti sebentar. "Cuma sayang, tidak sepatutnya itu
ditujukan pada hamba. Tentu Yang Mulia belum lupa bahwa
hamba berasal dari istana. Istana yang berdaulat! Yang tidak
dipengaruhi oleh bangsa asing. Maka kalau boleh hamba
bertanya, apa yang dapat diburu dalam istana" Tak lebih dari
pemanjaan nafsu yang tanpa batas."
"Ya Al ah..." "Hamba melihat sekarang istana adalah tempat berkumpul
para pemalas yang menyebarkan jalan berduri. Lebih dari itu,
pagar maut." 105 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya, ampun! Ya, Aliahku... dengan kata lain Yang Mulia tidak berniat lagi
tinggal di istana?" Mas Ayu Tunjung diam sebentar. Kembali meracik Tdnang.
"Padahal... niat kami mengumpulkan kembali keluarga Tawang Alun sudah bulat.
Niat mulia kami itu ditandai dengan kedatangan kami ke sini dengan harapan agar
Yang Mulia berkenan menerima sekapur sirih yang kami persembahkan ini dan sudi
meninggalkan Songgon. Sepatutnyalah Yang Mulia berada di istana Blambangan,
karena Yang Mulia-lah yang lebih berhak. Sebenarnya apa yang telah kami lakukan
semua selama ini, tak lain untuk membangunkan kembali cakrawarti (kejayaan,
kewibawaan) wangsa Tawang Alun."
"Yang Mulia memaksudkan agar kami bersatu, seatap dengan Mas Ngalit" Menjadi
istrinya?" Ayu Tunjung masih saja tersenyum.
"Bukankah itu lebih baik" Demi cakrawarti..."
"Bagaimana mungkin cakrawarti bisa dibangun di atas persundalan?"
"Ya, Al ah..." Arinten tersentak. Kini hatinya seperti digores sembilu. Mendadak
lemas. Seolah tulang-tulangnya copot dari persendiannya. Satu pertanyaan yang
tak pernah diduganya. Namun ia berusaha menahan hati.
"Memperoleh kesenangan atau harta dengan lidah dusta adalah kesia-siaan. Karena
ia telah mewarnai hidup dengan kekejian. Kedurhakaan!" Ayu Tunjung bergumam
seperti pada diri sendiri. Lagi Arinten mengernyitkan keningnya.
"Apakah ini berarti Yang Mulia menuduh kami sundal?"
"Yang memburu kesenangan pribadi dengan
mempersembahkan kepuasan bagi orang lain, dan tidak memperhatikan jatidirinya,
atau lebih jika hamba sebut kehilangan jatidirinya, sebenarnya ia telah
bersundal. Para Yang Mulia dapat menilai diri sendiri. Bukan hamba."
106 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Masya Al ah... apa yang kami kerjakan selama ini demi
tanah semenanjung Blambangan yang suci, demi bumi
kelahiran tercinta. Ya, demi Al ah."
Untuk kesekian kalinya Mas Ayu Tunjung
memperdengarkan suara tawanya yang lirih. Semua
pengawalnya pun nampak tersenyum melihat Arinten seolah
meriup kecil. Apalagi setelah Mas Ayu Tunjung menjawab,
"Barangsiapa tak berpengalaman akan percaya pada tiap
perkataan. Tapi orang bijak akan mempertimbangkan
langkahnya." Diam sebentar. Bangkit dan dengan perlahan ia
menunjuk pada jodang yang tergeletak di lantai seraya
katanya, "Sebaiknyalah benda ini dikembalikan pada pemiliknya.
Hamba tidak memerlukannya lagi."
"Tak memerlukan?"
"Wanita memerlukan perhiasan untuk memperindah diri.
Sebab keindahan itu menawan. Tapi seperti yang Yang Mulia
lihat, apakah hamba kurang perhiasan" Permata" Tapi hamba
tidak pernah mendapatkannya dengan jalan merampas milik
orang lain." "Ya, Tuhan. Kami tak pernah melakukan seperti itu...."
"Yang Mulia memang tak melakukannya sendiri. Tapi yang
dijual oleh Mas Ngalit untuk mencukupkan membayar pajak
tahunan itu tanah siapa" Hutan siapa" Moyangnya" Bukan! Itu
milik negara. Tapi bukankah ia menjualnya dengan semena-
mena" Belum lagi ladang dan sawah kawula" Berapa banyak
yang harus direlakan" Satria seharusnya menjadi pelindung.
Tapi Mas Ngalit tak lebih dari momok. Balikan sampar bagi
kawula Blambangan sendiri. Ya, sampar!"
"Yang Mulia menuduh" Itu akan segera berubah jika Yang
Mulia tinggal bersama kami. Yang Mulia akan melihat bahwa
tuduhan Yang Mulia itu salah."
107 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampunkan hamba. Biarlah hamba tetap tinggal di tempat
ini bersama seluruh kawula. Kiranya lebih tenteram makan
sepiring sayur dengan kasih, dari pada segumpal daging
dengan kebencian dari seluruh kawula."
"Kawula membenci kami" Lihat, Belanda saja menghargai
kami." "Jika Yang Mulia mengerti, maka Yang Mulia akan memiliki
hikmat untuk melihat semua ini. Sebab hikmat tinggal di
dalam hati orang berpengertian. Tapi tak dikenal oleh orang
bebal. Bukankah cuma bandit yang dapat memuji bandit
lainnya?" "Astaghfirul aah!" kembali Arinten tersentak. "Yang Mulia tidak menyadari bahwa
zaman telah berubah. Mercu suar
Wong Agung Wilis telah ambruk!" Kini Arinten berdiri.
Suaranya bergetar menahan getaran jiwa. "Pada zaman baru
kita harus membentuk tatanan baru, yang lebih baik, yang
lebih beradab. Kendati itu datangnya dari orang asing! Hamba
ingin menasihatkan, berhati-hatilah dengan ucapan Yang Mulia
itu. Siapa memelihara mulut dan lidahnya, memelihara diri dari
kesukaran." "Terima kasih, Yang Mulia!" Tunjung tetap memamerkan
senyum "Berbahagialah tiap orang yang mengerti jalannya
sendiri. Karena disebut berkhidmat dan cerdik. Tapi orang
bebal ditipu oleh kesemuan. Sebab ada jalan yang disangka
lurus, tapi ujungnya menuju maut. Dalam tertawa hati bisa
merana. Kesukaan dapat berakhir dengan kedukaan. Karena
demikianlah kehidupan."
"Yang Mulia menolak lamaran kami?"
"Sepatutnyalah bandit berkumpul dengan sundal! Bukan
dengan hamba!" Mas Ayu Tunjung mengucapkan selamat
jalan sekalipun Arinten belum berpamitan. Dan mau tak mau,
di bawah pandang Ayu Tunjung yang ..berwibawa itu,
pengawalnya mengangkut kembali jodang itu. Ia mengerti
108 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
betul, setiap paksaan akan dijawab dengan perlawanan oleh
Tunjung. Kecut hatinya. Meriup. Ah, tak berani ia pandang
wajah gadis itu lagi. *** Kegembiraan kawula Songgon kala menyambut dan
merayakan perkawinan Rsi Ropo dan Mas Ayu Tunjung tiba-
tiba saja agak terganggu. Laporan peronda kampung
menyebutkan bahwa Songgon dikepung oleh Kompeni. Semua
orang yang masuk desa itu ditahan, demikian pula orang
songgon dilarang keluar. Para pedagang juga dilarang
memasuki wilayah Songgon.
Sementara itu Lindu Segara meloloskan diri melewati jalur
rahasia, Songgon ke Sempu, yang dulu sering digunakan oleh
Mas Ayu Prabu atau Sratdadi.*) Ia harus siap kembali ke
kapal. Supaya anak buahnya tidak terlalu risau menunggu.
Tapi cita-citanya sudah mantap. Ia ingin membangun armada
yang kuat. Seperti yang dianjurkan oleh Ayu Tunjung. Diam-
diam ia mengagumi kecerdasan wanita itu. Ah, betapa
bahagianya punya istri semacam itu. Baik wajahnya, otaknya,
dan hatinya. Bukan main bahagia Sratdadi.
Tapi tahan berapa lamakah kebahagiaan pemuda itu" Saat
ini Songgon mulai dikepung. Ia harus menolongnya.
Menyelamatkan dua orang muda 2 yang amat serasi itu. Ah,
jika orang pernah mendengar cerita tentang Dewa Kamajaya
dan Kamaratih, tentulah itu gambaran tentang dua muda-mudi
yang saat ini sedang memadu kasih di Songgon itu. Apa
upayaku" Tapi harus! 'Harus!
Perjalanannya kian jauh meninggalkan desa yang dikepung
dengan pagar betis itu. Tentu maksudnya agar desa itu
kelaparan dan kemudian menyerah terhadap kemauan Mas
Ngalit. Mas Ngalit! Awas, kau. Ingat-ingat ini. Di daratan kau
berkuasa. Tapi jika saja kau turun ke laut, maka nyawamu
akan punah di dasar laut! ancam Lindu Segara dalam hati.
Orang Songgon akan dibunuh secara pelan-pelan dan satu-
109 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
satu. Atau mereka mau membayar upeti dan mengirimkan
tenaga buat bergotong-royong di Sumberwangi. Lebih dari itu
yang dituntut Mas Ngalit supaya Tunjung...
Namun setelah Lindu Segara sampai di Sumberwangi,
berita yang diterima jauh lebih banyak dari apa yang ia lihat
sendiri di Songgon. Ternyata bukan cuma Songgon yang
sedang dikepung. Tapi juga beberapa hutan yang dicurigai
ada sisa-sisa 4 laskar Bayu. Bahkan ada juga yang dibakar.
Nasib buruk juga diterima oleh Sentolo bersama seratus
delapan puluh dua orang pengikutnya, terdiri dari lelaki,
wanita, dan anak-anak. Semua terkepung dalam Hutan Sentul,
sebelah selatan kota Sumberwangi. Sentolo dan kawan-
kawannya menolak dirumahkan kembali. Menolak bersemu-ka
dengan para punggawa. Itu sebabnya Mas Ngalit kehabisan
sabar dan memerintahkan supaya Hutan Sentul dikepung. Tak
seorang pun diperbolehkan masuk atau keluar dari hutan itu.
Kompeni memasang pagar betis atas permintaan Mas Ngalit.
Persoalan bermula dari dijualnya Hutan Sentul pada Babah
Koh A Jie, teman Baba Song. Ngalit berusaha agar
pembangunan kota yang direncanakan menjadi ibukota
Blambangan itu cepat selesai. Untuk itu tentu saja ia ingin
melibatkan semua pihak. Termasuk para. pedagang yang
biasanya mempunyai banyak budak. Setiap penghambatan
akan ditindak. Kendati ia tidak akan menggunakan sebutir
peluru pun. Karena itu berarti biaya yang harus dipikul.
Sentolo yang memang sejak Bayu kalah meninggalkan
rumah dan sawah-ladangnya berusaha menghalangi
pembabatan hutan yang selama ini menjadi tempat tinggal
mereka. Para budak pembabat takut melihat munculnya
mereka. Kurus-kurus. Telanjang dada.
Laki-perempuan, besar-kecil, tua-muda, semua tinggal
tulang terbungkus kulit. Wajah mereka pucat. Berjalan seolah
terhuyung, mereka bersama-sama mendekati para pembabat
hutan. Kesan yang mereka lihat saat itu seolah ratusan hantu
110 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
datang menyerang. Tentu saja itu membuat semua budak
pembabat terbirit-birit sambil berteriak-teriak.
Mas Ngalit marah luar biasa kala Juru Kunci melaporkan
apa yang terjadi. "Cobalah, Yang Mulia... bicara pada Sentolo. Daripada
berkelana di hutan begitu, kan lebih baik mereka kembali ke
Lateng atau Sumberwangi. Begitu banyak rumah dan ladang
serta sawah yang merana."
"Mereka menolak bersemuka dengan kita. Hamba sudah
mencoba. Bahkan hamba sendiri masuk ke tengah
perkemahan mereka." "Perkemahan?"

Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya-, dalam hutan mereka membuat semacam rumah-
rumah kecil berdindingkan dedaunan. Ada juga yang terbuat
dari ilalang seperti atapnya. Tapi umumnya lebih pendek dari
jika kita berdiri. Jadi mereka merunduk jika memasuki tempat
perlindungan atau perkemahan mereka itu."
"Ya, Al ah! Hidup macam begitu lebih suka?"
"Seorang anak kecil berkata pada kami, lebih baik makan
batu daripada harus bersujud pada kita!"
"Astaghfirul aah aPazhi m! Siapa yang mengajar mereka
semacam itu" Masih kecil?" "Anak-anak."
"Itu meracuni jiwa anak! Seharusnya mereka disadarkan
agar mendapatkan masa yang cemerlang. Mengapa mereka
tidak sadar akan pentingnya pembangunan" Jika demikian,
tutup jalan keluar ataupun masuk hutan itu! Aku ingin tahu,
bagaimana mereka makan cuma dengan semboyan! Mereka
bertahan karena mendapat bantuan dari Songgon."
Terjadilah perintah Mas Ngalit. Hari pertama, kedua,
keenam, Sentolo dan kawan-kawannya, masih makan sisa
perbekalan. Hari ketujuh, sampai hari kelima belas mereka
111 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mengisi perut dengan mencari uwi (tumbuhan menjalar,
daunnya hampir seperti sirih, akarnya seperti ubi jalar tapi
sebesar kepala manusia) hutan, gembili, dan minum dari air
yang menetes dari mata air. Satu bulan tidak menggoyahkan
Sentolo. Bulan kedua Sentolo masih bertahan dengan makan ontong
(kuncup dari kumpulan bunga pisang) pisang hutan. Tapi
kemudian semua habis. Musim kering pun tiba. Jerit tangis
anak-anak yang kelaparan mulai terdengar oleh para
pengepungnya. Satu demi satu anak-anak berguguran. Bau
badeg mulai menyebar ke luar hutan. Pertanda bahwa anak-
anak tidak lagi bisa dikuburkan. Tak ada lagi kekuatan untuk
menggali tanah. Sentolo juga tidak bisa berbuat apa-apa.
Sedih hatinya. Demikiankah nasib junjungannya Wong Agung
Wilis waktu dikepung di kota Lateng dulu" (baca: Tanah
Semenanjung) Ayam hutan, malio, musang, ular, kadal, dan semua
binatang yang dulu memenuhi Hutan Sentul semua punah
dimakan oleh anak buah Sentolo. Sekali lagi ada suara
berseru-seru, agar Sentolo dan kawan-kawannya menyerah.
Akan diberi pengampunan dan rumah serta makanan yang
layak. Mereka akan diperlakukan baik-baik. Kebimbangan
menggoda hati Sentolo. Maka ia berkata pada sisa anak
buahnya. Kepalanya mulai pening. Pandangannya pun mulai
kabur. Kendati matanya tampak kian lebar.
"Jika kalian ingin menyerah, menyerahlah!" suaranya
parau. Semua diam. Ia ulangi berkata. Tapi tetap tiada berjawab.
"Wong Agung tidak pernah kalah, Sentolo. Mengapa kita
kalah oleh karena kelaparan. Mati lebih suka daripada jadi
budak si bule!" seorang yang telah amat tua berkata.
Suaranya dalam. Hampir tiada terdengar.
112 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukankah itu suara Mas Ngalit?" Sentolo mencoba.
"Ah, penipu! Mengapa kita mau dengar suara penipu.
Orang yang menerima pujian dari musuh, tidak pernah baik
bagi kita." Umur Sentolo serasa disambung lagi mendengar kata-kata
itu. Walau kemudian sore harinya orang tua itu
menghembuskan napas terakhir. Istrinya tetap setia di
sampingnya. Kurus wanita itu sekarang. Matanya tampak
cekung dan pucat. "Kau menyerah, istriku?" Wanita itu merangkul suaminya.
Ia cium pipi yang kempong itu. Belum tua sebenarnya usia
Sentolo. Seperti halnya dia sendiri. Kelaparan membuat ia
nampak amat tua. Dingin pipi itu.
"Kakang...," bisik wanita itu, "kau rela aku dipersundalkan?"
Suatu pertanyaan yang amat menggores hati. Diam-diam air
mata Sentolo meleleh. Terharu. Begitu setia wanita ini. "Walau lapar seperti
ini?" "Walau maut menjemput, aku pantang bersundal!"
Bau badeg makin merajalela. Lalat berdatangan tanpa
diundang. Merubung semua-mua! Yang hidup maupun yang
mati. Mas Ngalit tetap pada pendiriannya. Sentolo sudah tidak
mampu lagi menengok siapa yang mati harini. Istrinya kaku
dalam pelukannya. Ia tak kuasa melepas pelukan itu. Ia tak
punya tenaga. Ah, istrinya telah mati entah kapan. Barangkali
tadi malam waktu ia tertidur setelah ia menjawab pertanyaan
istrinya. Kakang, apakah kau mencintai aku" Dan ia menjawab
di kegelapan malam... "Istriku, bukankah aku tak pernah memperduakan cinta?"
"Ah...," desah bahagia keluar dari bibir istrinya. Kembali wanita itu mempererat
rangkulan-nya. Sampai sekarang.
Sampai ia mati. Kini ia sendiri juga akan mati. Pelan-pelan ia
membaringkan diri. Pikirannya melayang pada masa lalu.
113 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Indah. Tapi musnah. Kini bibirnya berkomat-kamit. Pelukan
istrinya tidak juga bisa lepas. Sentolo berserah dalam doa.
Doa! Beberapa bentar kemudian Sentolo terkejut. Matanya
mengerjap. Telinganya menajam. Ia dengar suara gemertak.
Jagat Dewa! Hutan ini dibakar!
114 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
5. RADEN TUMENGGUNG WIRAGUNA Hujan sudah tidak lagi mengguyur bumi Jawa bagian
timur kala Gubernur Van de Burgh menurunkan perintah pada tiap adipati agar
membantu Mas Ngalit dengan mengirimkan orang-orangnya untuk mau pindah ke
Blambangan guna mengisi kekosongan wilayah Blambangan itu. Tentu saja para
adipati tidak keberatan. Karena memang ada beberapa orang
dari anggota masyarakat yang sepatutnya dibuang dari
lingkungannya. Kata yang lebih halus dari itu adalah orang-
orang nakal. Mereka yang di desanya dianggap suka mengambil milik
orang lain. Atau membuat ketidaksenangan bagi orang lain.
Atau tidak suka membayar pajak sawah. Pokoknya, jika perlu
semua orang yang disisihkan dari lingkungannya. Termasuk
para wanita yang datang, baris demi baris, kelompok demi
kelompok, gelombang demi gelombang ke Blambangan itu. Di
desanya dianggap suka mengambil suami orang, mengganggu
suami orang, atau dianggap suka menjerat anak-anak muda
yang dianggap baik-baik dan sopan. Benarkah demikian"
Setidaknya demikian penilaian para adipati saat itu. Mereka
sama sekali tidak pernah melihat kebenarannya. Atau sebab
suatu kejadian. Mereka hanya mau apabila ada wanita cantik
yang dijadikan selir atau istri simpanan, baik olehnya sendiri
atau anak-anaknya, atau barangkali punggawanya, tidak
mengumumkan diri. Dan berbuat seolah tidak ada apa-apa.
Sehingga nama sang Adipati tidak tercemar. Jika sampai ada
orang tahu, maka ia harus diasingkan dari masyarakat.
Blambangan jadi tempatnya yang baru!
Penilaian memang bisa bolak-balik. Penyebab kenakalan itu
tidak pernah dihukum. Jangankan dihukum. Disalahkan pun
tidak! Sedang sang korban menjadi sasaran dakwaan.
Nakalkah!" Binalkah"! Atau lontekah"! Macam-macam lagi!
Korban! Korban kebijakan dari suatu tatanan dalam
kehidupan. Dan mereka adalah manusia yang tak mampu
115 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menolak. Apalagi membela diri. Dan musnahlah suatu jatidiri.
Itu mereka hidup terombang-ambing dalam kebijakan orang
lain yang disebut penguasa.
Keputusan lain adalah perintah yang ditujukan pada Pieter
Luzac, asisten residen Blambangan agar menghentikan
kebijakan yang menyakitkan kawula Blambangan dengan
mengharuskan semua punggawa menjadi Islam. Juga istri-istri
mereka. Karena dianggap bahwa kebijakan yang tidak
bersahabat itu melahirkan perang yang terus merugikan
keuangan VOC. Demikian pula pada Mas Ngalit agar benar-
benar bisa menahan diri, untuk tidak menekan kawula
Blambangap meninggalkan agamanya yang lama, Hindu.
Kepada Schophoff diperintahkan mengawasi pelaksanaan
perintah itu. Kebijaksanaan yang lebih lunak harus diterapkan
di Blambangan agar orang-orang kafir (Orang-orang
Blambangan dijuluki kafir karena tidak mau memeluk agama
Islam) itu tidak berontak.
Lain dari itu, surat penghargaan kepada Mas Ngalit juga
sudah diturunkan. Gubernur Jenderal di Batavia sangat
menghargai jasa Mas Ngalit itu. Terutama dalam membangun
ibukota baru yang lebih sehat dari yang terdahulu. Walau
pembangunan itu masih belum selesai sepenuhnya, namun
para penghuni baru telah berdatangan. Loji-loji bagi orang-
orang Belanda sudah hampir semua rampung. Bangsa-bangsa
asing, Arab, India, dan Cina juga senang bermukim di kota
baru itu. Karenanya Mas Ngalit dianugerahi gelar Raden
Tumenggung Wiraguna. Sedang nama kota Sumberwangi
akan diganti sesuai dengan usul Mas Ngalit, menjadi
Banyuwangi. Karena menurut Juru Kunci dan Mas Ngalit kota
itu amat subur, dan daerah itu pasti akan membawa
Naga Jawa Negeri Di Atap Langit 1 Pendekar Super Sakti Serial Bu Kek Siansu 7 Karya Kho Ping Hoo Kisah Pendekar Bongkok 8
^