Pencarian

Banyuwangi Trilogi 4

Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana Bagian 4


kelelahan hampir membuat Nyi Singa Manjuruh putus
harapan. Apakah ia mampu sampai di hadapan Ayu Tunjung"
Jika tidak tentu suaminya tercinta itu akan dipancung. Lebih
baik aku sendiri mati daripada suamiku. Maka aku harus
sampai di hadapan Mas Ayu Tunjung.
Tapi apakah aku bisa mendapat kasihnya" Sehingga ia
merelakan suaminya diserahkan pada penguasa" Ia sendiri tak
rela Singa Manjuruh dipancung. Haruskah aku kehilangan
cintaku" Cinta telah membuat Nyi Singa Manjuruh menempuh
perjalanan jauh. Berkali ia pegangi perutnya. Rasa sakit dan
rasa-rasa lain menyatu tak menentu. Kadang sakit itu hilang.
Mantrolot ikut panik. Bagaimana jika bayi ini lahir di
perjalanan. Di hutan tanpa dukun bayi" Ah, jangan-jangan aku
jadi dukun bayi" Mantrolot bergidik. Demikian pula pengawal
lainnya. Makin dekat dengan perbatasan Songgon, makin semangat
mereka melangkah. Namun makin sering pula Nyi Singa
Manjuruh berhenti. Terik mentari memberikan aniaya
tersendiri. Kepalanya sering pening dan pandangan matanya
menjadi gelap dengan tiba-tiba. Ah, apakah tiap perempuan
174 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hamil mengalami seperti aku" Ya, Tuhan beri aku kekuatan, ia
menyebut dalam hati. Tentu para pengawalnya itu tak tahu
apa yang ia rasakan. Ia malu menceritakan pada mereka.
Apalagi pada Mantrolot. Sebab orang itu sering-sering bicara
kotor. Rupanya pergaulan telah membiasakan orang itu bicara
seenak perutnya. Diam-diam ia kembali mengumpulkan
tenaga untuk berangkat. Tinggal selangkah lagi, katanya pada
diri sendiri. Ah, cinta telah melahirkan kesetiaan. Dan
kesetiaan itu tetap digenggam oleh Nyi Singa Manjuruh.
Hingga ia rela mengerjakan semua ini, karena ia terikat oleh
kesetiaan itu. Kesetiaan bagi perempuan Madura harus dibawa
mati. Penyelewengan berarti hukuman mati. Kesetiaan itu pula
menyulut semangatnya untuk bertahan dan berjalan. Kepada
janin dalam perut ia berkata, jangan lahir di sini, Nak. Ini
masih di tengah hutan. Nanti, di depan Ayu Tunjung____
Orang-orang Songgon tidak mencegah. Bahkan mereka
segera memberi pertolongan waktu melihat rombongan yang
memapah wanita hamil itu. Barangkali saja sudah tiba
waktunya melahirkan., Namun Nyi Singa Manjuruh menolak
untuk berhenti di sebuah rumah di ujung desa. Ia harus
menghadap Ayu Tunjung sekarang juga. Maka kawula
Songgon segera menyiapkan pedati kecil dengan dua ekor
kerbau penariknya. "Tidak perlu...."
"Tidak apa-apa, Nyi. Keharusan kami menolong tiap orang
yang membutuhkan," kata mereka ramai-ramai. Laki-
perempuan. Mantrolot melihat itu dengan terharu. Demikian pula Nyi
Singa Manjuruh. Betapa jauh bedanya dengan berita yang
didengarnya di luar Songgon. Di luar tertiup berita bahwa
pribumi Blambangan adalah orang-orang jahat. Pembunuh
dengan tenung atau teluh. Juga pandai memikat hati wanita
atau lelaki dengan menggunakan ilmu pelet. Semua tak
terlihat di sini. Semua baik dan ramah. Melihat kenyataan itu,
175 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
air mata Nyi Singa Manjuruh runtuh kala itu sudah duduk
dalam pedati, berlampin jerami. Pengawalnya berjalan cepat
di samping kiri-kanan pedati bersama beberapa orang
Songgon yang ramai menanyakan dari mana asal mereka dan
berbagai pertanyaan lagi. Menyodorkan minuman air gula
kelapa dan kinang, merupakan selingan dalam perjalanan ke
pertapaan. Pohon kelapa yang begitu banyak berjajar di kebun-kebun,
diselingi pisang atau tanaman palawija lainnya, menunjukkan
kesuburan tanah Songgon ini. Bekas panen sudah mulai
dibersihkan karena mereka mulai membajak sawah kembali.
Persemaian tampak menghijau di sudut-sudut petak sawah.
Anak-anak kecil berlarian pulang sambil membawa rentengan
belut di tangan kanan mereka, menggambarkan betapa
damainya desa terpencil ini. Dalam kalbu Nyi Singa Manjuruh
iri, mengapa ini bisa terjadi di sini" Tidak di desanya Singa
Juruh" Apakah di sini tak terusik pajak" Bukankah saat ini tak
seorang pun bisa menghindarkan diri dari upeti" Barangkali
zaman Wong Agung Wilis kawula Blambangan dapat diam
dengan tenteram tanpa terusik membayar upeti. Tapi
sekarang" Zaman Wiraguna ini" Kiranya tak ada lagi tempat
damai. Pembayaran upeti telah mengusik siapa saja yang
diam di bumi Semenanjung Blambangan. Apakah ia petani,
penjual makanan, pemilik kedai atau warung-warung. Bahkan
anak-anak kecil pun dijatah untuk membayar upeti. Jangankan
manusia. Hewan pun harus membayar upeti. Pemilikan
kerbau, sapi, kambing, itik dan ayam sekalipun mengharuskan
orang siap bayar upeti. Tapi tampaknya Songgon adalah desa
perkecualian. Jalan yang bersih dan rata menunjukkan betapa rajinnya
orang Songgon merawat sarana yang mereka gunakan bagi
lancarnya pengangkutan hasil panen di sawah ke lumbung-
lumbung, Rupanya orang Songgon tidak membiarkan ternak a
melewati jalan ini setiap kali akan berangkat ke sawah. Ada
jalan tersendiri bagi mereka. Bahkan rombongan itik pun tak
176 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diperbolehkan lewat di sini. Namun pengamatannya pada alam
seputarnya itu cuma sekilas. Sebab Nyi Singa Manjuruh segera
teringat kembali pada suaminya yang sedang berhadapan
dengan algojo yang haus darah. Kembali ia menutup
wajahnya. Jangan! teriaknya dalam hati. Jangan bunuh dia!
Dan algojo terbahak-bahak. Ia tersentak oleh derak gerobak.
Ah, pedati itu berhenti. Beberapa orang perempuan buru-buru
keluar gerbang, dan menolongnya turun dari pedati.
Hati Nyi Singa Manjuruh terkejut luar biasa. Tentu Mas Ayu
Tunjung sudah tahu bahwa ada seorang datang
menghadapnya. Lebih dari itu tentu sudah mendengar bahwa
yang datang seorang perempuan hamil. Luar biasa, dari mana
mereka tahu" Benarkah Rsi Ropo seorang yang mampu
melihat sesuatu yang belum terjadi atau yang akan terjadi"
Perlahan sekali ia melangkah. Rasa sakit hampir tiada
tertahankan. Kembali si janin mendepak-depak. Memaksanya
berhenti sejenak sambil memegangi perutnya. ,
"Hyang Dewa Ratu... Jagat Pramudita!" Ayu Tunjung
segera turun dari titian pendapa. Nyi Singa Manjuruh
mendongak mendengar suara itu. Merdu. Dan betapa terkejut
demi ia memandang wajah yang gilang-gemilang itu. Lebih
mulia dari waktu perawan dulu. Atau barangkali karena
perhiasan yang dikenakannya, atau karena kainnya yang
sutera kuning itu. Atau kutang emas dengan gambar bunga
mawar sebagai penutup putik susunya itu" Sungguh tidak
mengherankan jika iman lelaki mana pun akan runtuh
berhadapan dengannya. Kakinya yang mulus itu kini
menginjak hamparan kerikil untuk mendekati Nyi Singa
Manjuruh. Matanya. Aduh, betapa agungnya wanita ini.
Apakah ia juga tahu maksud kedatanganku" Debar jantung
Nyi Singa mengencang. Ayu Tunjung tersenyum tulus.
"Selamat, selamat datang, Kawan. Apa kabar"
Dirgahayu...," kembali suara merdu penuh kasih itu
menyentuh hatinya. "Tentu ada yang amat penting maka
177 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang hamil tua begini tertatih-tatih naik ke Songgon. Mari,
barangkali ada yang dapat aku bantu."
Ah, wanita ini barangkali tak sadar bahwa aku datang
untuk merusak kebahagiaannya" Aku tak bisa! Ia tidak
sanggup berkata-kata. Matanya sembab memandang Ayu
Tunjung yang begitu ramah. Memang wanita itu berkata
dalam Blambangan. Tapi ia mengerti semua makna kata-kata
Ayu Tunjung. Tidak ada tersirat kecurigaan yang memancar.
Semua orang, baik pengawalnya maupun pengawal Ayu
Tunjung, memandangnya. Kepalanya kian pening. Ayu
Tunjung kian mendekat. Dan ketika ia hendak melangkah,
kekuatannya punah. Maka ia terhuyung ke depan. Untung Ayu
Tunjung segera melompat menangkapnya. Demikian pula
orang lain. Namun ia tidak pingsan. Ia masih sadar. Dan
kemudian Nyi Singa Manjuruh merangkul sambil mencium kaki
Ayu Tunjung. Bahkan sedu-sedannya meledak. Tak ayal lagi
kaki Mas Ayu Tunjung tercuci oleh air mata Nyi Singa
Manjuruh. Inilah pengalaman pertama bagi Mas Ayu Tunjung. Hatinya
menjadi berdesir. Teringat pada berita yang baru saja
disampaikan oleh suaminya semalam. Singa Manjuruh akan
dibunuh jika Ayu Tunjung dan Rsi Ropo tidak menyerahkan
diri ke Banyuwangi. Semalam suaminya dalam pergumulan.
Membuat ia juga tidak bisa tidur. Keduanya tahu demi Singa
Manjuruh, nyawa mereka harus diserahkan. Kini suaminya
sedang menjumpai Harya Lindu Segara di Bandar Banyuwangi.
Tentu orang itu sedang memperun-dingkan cara yang terbaik
untuk menolong Singa Manjuruh. Sejak pagi orang itu
berangkat. Melintas rimba dengan kuda hitam yang perkasa.
"Berdirilah, Nyi Singa Manjuruh. Tak pantas wanita yang
pernah mengangkat senjata melawan VOC menangis
semacam ini." Ayu Tunjung meraba punggung wanita hamil
itu. Kemudian memberi isyarat pada Parti, pengawalnya, untuk
mengangkat wanita itu masuk pendapa. Namun Nyi Singa
178 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Manjuruh memeluk kaki Ayu Tunjung makin erat. Tak mau
dipisahkan lagi. Rasa bersalah dan berdosa tak
tertanggungkan, sekalipun ia belum menyatakan
permohonannya. "Ampunkan hamba, Yang Mulia," rintihnya dalam
Blambangan yang berlogat Madura. "Ampuni hamba...."
Kini semua pengawal Nyi Singa Manjuruh memandang Ayu
Tunjung. Mereka ingin tahu jawaban yang keluar dari bibir itu.
"Sudah kukatakan. Berdirilah. Katakan dengan tenang. Apa
yang harus kukerjakan untuk membantumu?" Ayu Tunjung
tegar. "Cuma Yang Mulia bisa menolong hamba...."
"Luar biasa kau. Barangkali belum pernah aku melihat kisah
cinta yang seperti kaumiliki ini, Nyi. Kesetiaanmu telah
melahirkan pembelaan atas nyawa suamimu. Sungguh, siapa
yang tak menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, tak
akan pernah percaya, seorang wanita hamil tua, tertatih-tatih
membela cintanya. Cinta telah membuatmu enggan tinggal di
puri bangkalan. Mengagumkan." Mas Ayu tersenyum.
Kemudian menatap tempat yang kosong. Senyum Rsi Ropo
suaminya seolah tampak di kejauhan. Tapi sedan Nyi Singa
Manjuruh telah menyentakkannya.
"Kuatkanlah hatimu! Janganlah patah semangatmu, Nyi
Singa Manjuruh. Janganlah khawatir. Sebab akan ada upah
untuk usahamu ini." "Yang Mulia..." Pelan-pelan Nyi Singa Manjuruh
mendongak. Air matanya masih mengalir deras. Seperti dua
sungai kembar menelusuri sebuah bukit di tengahnya.
"Benarkah yang hamba dengar ini" Atau karena Yang
Mulia..." Ia tak berani melanjutkan. Menangis makin keras.
Meraung. 179 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan membicarakan kepulangan suamimu! Jangan sedih," Ayu Tunjung
menegaskan. "Mari, naiklah ke pendapa!"
Ayu Tunjung kemudian dibantu <5leh para pengawalnya memapah Nyi Singa Manjuruh
naik ke. pendapa. Rasa haru menyesaki dadanya. Kaki berselimut debu itu
dicucinya dengan air kendi yang memang tersedia di depan titian pendapa.
Setelahnya dengan sangat susah mereka naik.
Rupanya itu tenaga penghabisan bagi Nyi Singa Manjuruh.
Dan betul. Begitu masuk pendapa ia terjatuh lagi. Bukan cuma karena tenaganya
yang habis. Tapi ia tak tahan melihat wanita yang tergolong pasangan baru ini
direnggut kebahagiaannya demi kepentingan pribadinya. Betapa kejam diriku ini.
Kini Ayu memerintahkan orang untuk membaringkan Nyi Singa Manjuruh di amben yang
biasa dipakainya duduk bersama suaminya. Setelahnya ia membasuh wajah Nyi Singa
yang berdebu itu dengan air.
"Panggil dukun bayi, Mbok Mukti, kernari," katanya pada pengawalnya. Dan tanpa
banyak cakap perempuan muda itu berangkat.
"Belum tentu melahirkan sekarang. Tapi lebih baik jika di tangan seorang dukun
daripada di tanganku yang belum pernah melahirkan seorang pun anak." Ia
tersenyum pada Mantrolot. Juga pada seluruh pengawal Nyi Singa Manjuruh.
Mantrolot tertunduk oleh sorot matanya. Hati semua orang itu jadi berdebar.
Nyatalah bahwa perempuan ini bukan cuma seorang cantik. Namun juga
berpengetahuan tinggi. Mendengar nada bicaranya pasti ia sudah tahu tujuan kedatangan mereka. Dari mana
wanita ini bisa tahu" Padahal ia dan suaminya tentu tidak banyak keluar rumah.
Bukankah mereka lebih banyak menggunakan waktu di dalam pura"
Berdoa dan membaca lontar saja"
"Memang bukan pekerjaanku menolong seorang yang melahirkan. Karena memang aku
bukan dukun bayi." Ayu
Tunjung tersenyum lagi. Seolah tak habis-habisnya senyum
180 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
itu. Senyum yang menyejukkan hati semua orang. Mantrolot
bersama teman-temannya tetap membisu. Tak tahu apa yang
harus dikatakan. Kemudian Ayu Tunjung mendekati Nyi Singa
Manjuruh yang terlentang di amben itu dan mengelus
perutnya. "Akan lahir di sini dengan damai, Anak manis. Bapakmu
akan menjemputmu di tempat ini setelah aku dan suamiku
diserahkan." "Yang mulia..." Nyi Singa terisak lagi. Hatinya benar-benar lumat.
"Kalian adalah sahabat Mas Dalem Puger yang dicintai oleh
kawula Blambangan. Sama seperti Wong Agung Wilis. Maka
kalian juga sahabat kami...."
"Yang Mulia, doakan kami, ampunkan kami...." Nyi Singa
Manjuruh terbata-bata di antara sedu-sedan. Ayu Tunjung
mengelus rambutnya dengan kasih. Ia sendiri ingin
meneteskan air mata. Tapi ia tahan sekuat tenaga. Meski ia
tahu air mata adalah senjata bagi wanita untuk melepas
kesesakan yang menghimpit dada. Tapi ia tidak akan
melakukan itu. Ia sadar bahwa ia adalah satria Blambangan.


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia bukan wanita semata wayang. Maka katanya,
"Kau memerlukan suamimu. Kebebasan suamimu! Dan tak
akan ada kebebasan itu turun cuma karena doa. Kebebasan
perlu diperjuangkan. Dan tiap perjuangan membutuhkan
pengorbanan. Dan aku adalah manusia yang dikehendaki
untuk dikorbankan____"
"Ja..." "Tenanglah, Nyi Singa! Sahabat yang baik adalah sahabat
di dalam suka dan duka. Dan sahabat sejati adalah seorang
yang rela menyerahkan nyawa bagi sahabatnya itu."
Tak tertahan lagi suara tangis Nyi Singa Manjuruh. Makin
meraung-raung. Tidak hanya itu. Mantrolot dan para
181 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sahabatnya pun ikut menangis. Belum pernah mereka
menjumpai orang yang semacam ini. Apakah itu cuma kata-
kata" Atau barangkali saja Ayu Tunjung sengaja mau
menyerahkan diri pada Mas Ngalit karena ingin kehidupan
yang lebih baik" Kaya dan enak" Di istana" Tak dikejar oleh
nyamuk karena tidak tahan lagi di tengah hutan" Ia belum
dapat dipercaya. Tapi paling tidak kata-katanya amat merogoh
hati semua yang mendengarnya saat ini.
Beberapa bentar kemudian Mbok Mukti, si dukun bayi,
datang dan menyembah. Pada seorang pengawal ia
memerintahkan agar disediakan kamar. Kemudian pada
seorang lagi diperintahkan mempersiapkan tempat istirahat
bagi Mantrolot dan sahabatnya. Lalu seorang lagi
diperintahkan memukul kentongan sebagai isyarat agar para
cantrik atau siswa terkemuka berkumpul di balai pracabaan.
Namun sebelum mereka bubar, Rsi Ropo bersama Lindu
Segara memasuki pendapa. Ayu Tunjung tergopoh-gopoh
berlari menjemput suaminya. Mencuci kaki lelaki itu dengan air
bunga di titian pendapa lalu menciumnya. Setelah itu
keduanya bergandengan menuju ke tengah pendapa. Semua
orang melihatnya jadi iri. Sepasang muda-mudi dalam pakaian
kebrahmanaan. Seperti sepasang dewa-dewi yang turun dari
kahyangan. Semua menyembah. Mantrolot dan teman-temannya juga
terkena wibawa keduanya dan ikut menyembah.
"Dirgahayu semuanya!" sapa Rsi Ropo.
"Dirgahayu!" jawab semua orang. Nyi Singa Manjuruh
berusaha bangkit. Tapi dicegah oleh Ayu Tunjung.
"Kami sudah berkeputusan untuk menolong suamimu," Rsi
Ropo menjelaskan. Setelah itu ia memandang sekelilingnya.
"Adinda... sudahkah kau siap?"
182 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kanda..." Ayu Tunjung memeluk suaminya. Direbahkannya
kepalanya ke atas dada suaminya. Mengundang keharuan
semua orang. "Tiada seorang pun suka keberakhiran____"
"Ha... ha... ha..." Suara tawa Rsi memotong kata-kata
istrinya. Ia tak ingin mendengar kelemahan semacam itu.
"Seorang bijak tentu telah menimbang semua langkahnya.
Mati pun dipertimbangkan. Bukankah kita telah memilih
kemati-an yang paling mulia" Nah, Mantrolot, kau akan
menyertai Lindu Segara menyerahkan lontar pada Wiraguna.
Katakan aku dan istriku akan berangkat ke Banyuwangi, jika
Singa Manjuruh sudah dikirim ke Songgon. Sebab aku tak mau
kita ditipu. Kami rela berkorban. Tapi bukan untuk ditipu."
"Yang Tersuci...," Mantrolot kaget.
"Tak apa. Berangkatlah. Kuda telah disiapkan untukmu.
Tapi jangan kembali tanpa Singa Manjuruh. Sebab mereka
adalah drubiksa keji. Penipu dan pembinasa. Dan tidak pernah
mendengar jerit tangis kawulanya."
Kemudian kedua orang brahmana itu masuk. Semua tetap
menanti. Tanpa bisik. Cuma angin yang bebas berdesir.
Semua bersila tanpa gerak. Tertunduk tanpa melirik. Debar
jantung mereka yang seperti berpacu. Sejenak. Dua jenak.
Sampai ratusan... Ya, ratusan jenak. Mereka tetap menanti.
Tanpa tahu apa yang sedang dikerjakan Rsi dan istrinya di
balik dinding batu itu. Burung gagak memamerkan suaranya di
halaman. Mengalahkan suara burung-burung lainnya.
Kala suara langkah kaki Rsi terdengar, semua makin
tertunduk. Perlahan langkah itu. Tapi mantap.
"Mantrolot. Ini lontar yang kami tulis sendiri untuk
Wiraguna. Katakan aku akan menunggu di sini. Jika mereka
akan menjemput kami, jangan boleh masuk ke desa Songgon.
Tapi dipersilakan menunggu di luar tapal batas desa. Jika ini
dilanggar, maka semua janji yang aku tulis dalam lontar itu
aku nyatakan batal. Dan kau bertugas memeriksa
183 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pesanggrahan Sri Tanjung. Itu harus kaukerjakan bersama
Lindu Segara. Ingat-ingat. Jangan mau ditipu. Perlu sekali
pemeriksaan tempat Sri Tanjung itu. Jika dia menolak,
katakan Sri Tanjung tidak akan berangkat ke Banyuwangi."
"Hamba, Yang Tersuci," Mantrolot menirukan orang
Blambangan menyebut sang Rsi.
"Jangan lupakan. Bukan kau yang seharusnya memeriksa
pasanggrahan itu, tapi Lindu Segara. Kau tak perlu tahu apa
maksudnya. Setelah itu kau boleh berpisah dengan Lindu
Segara. Ingat! Kau harus menyertai Singa Manjuruh kemari."
"Yang Tersuci..." Nyi Singa Manjuruh tak dapat melanjutkan kata-katanya.
Tertahan oleh rasa haru. "Pikirkanlah kebebasan suamimu. Jangan pikirkan kami!"
Selesai memberikan perintah Rsi masuk lagi. Dan semua
melaksanakan apa yang diperintahkannya. Lindu Segara
mengawal orang yang Belum pernah dikenalnya secara dekat.
Tapi Mantrplot nampaknya segan melihat otot-otot kekar di
hampir seluruh tubuh Lindu Segara. Dalam hati bertanya siapa
orang ini. Kumis tebal serasi dengan alisnya yang teduh
membuat matanya seolah bercahaya. Pendiam orang ini, pikir
Mantrolot. Karena memang Lindu Segara bicara cuma
seperlunya saja. Pikirannya sedang sibuk mengatur siasat
selanjutnya. Kendati ia sudah memerintahkan anak buahnya
untuk menghubungi semua bajak laut yang tunduk padanya
untuk bergerak ke Banyuwangi.
184 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
7. TUMBAL . Senyum kemenangan menghias bibir Juru Kunci maupun
Schophoff. Juga Pieter Luzac. Karena saat semacam itulah
yang ditunggu-tunggu. Rsi Ropo menyerah dan mereka akan
menggantung sampai orang itu mati. Supaya dengan demikian
kawula Blambangan tahu bahwa Rsi Ropo bukanlah orang
yang tidak bisa mati. Bukan orang sakti yang kebal. Tapi
sekadar manusia biasa yang bisa disakiti. Terdiri dari kulit dan
daging yang bisa punah. "Yang Mulia tahu siapa Sri Tanjung yang digilai Raden
Tumenggung Wiraguna itu?" tanya Schophoff pada Juru Kunci
suatu hari. "Tahu, Tuan. Dia amat manis. Wanita sempurna."
"Ah, maksud hamba bukan itu, Yang Mulia. Siapa dia
sebenarnya?" Schophoff tertawa terbahak-bahak.
"Oh, dia anak Prabu Mangkuningrat. Anak bungsu."
"Nah, itu!" Schophoff diam sebentar. Seperti hendak
mengatur kata-kata. Kemudian perlahan-lahan ia berkata lagi,
"Bapaknya pernah minta bantuan Kompeni ke Batavia,
bukan?" "Benar sekali, Tuan."
"Melihat sikap bapaknya dia boleh jadi istri Raden
Tumenggung Wiraguna. Tapi..."
"Kenapa tetapi, Tuan?" Juru Kunci mengernyitkan dahinya.
"Apakah ia mau jadi istri Wiraguna" Hamba dengar kabar ia
sekarang tinggal di Songgon."
Juru Kunci diam sebentar. VOC menyelidik sampai ke calon
istri para adipatinya. Mungkin juga para selirnya.
"Katakan dengan jujur, Yang Mulia. Ini penting untuk
keselamatan Raden Tumenggung Wiraguna. Siapa tahu,
185 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
istrinya itu ternyata seorang pemberontak. Wanita
Blambangan suka angkat senjata. Jangan-jangan suaminya
sendiri dibunuh." Hati Juru Kunci menjadi berdebar. Tapi ia ingat pada Mas
Ayu Arinten. "Bagaimana dengan Mas Ayu Arinten?" Ia memberanikan
diri. "Wanita macam itu boleh dipercaya. Apakah mungkin Sri
Tanjung seperti dia?"
"Sebenarnya sudah tiga kali Sri Tanjung diundang ke
istana. Tapi selalu menolak. Terakhir malah sudah kawin
dengan Rsi Ropo. Seorang brahmana yang masih muda...."
"Rsi Ropo?" "Ya." "Setan! Iblis! Masih hidup orang itu?" tiba-tiba Schophoff terkejut. Wajahnya
berubah. Menjadi agak pucat. Ia masih
ingat kala Rsi Ropo menuding wajah Biesheuvel dengan amat
berani. "Masih, Tuan." "Gila! Harus mati! Harus!" Schophoff berjalan mondar-
mandir. Mendadak saja tampak tidak tenang. Orang itu
mampu melarikan diri dari tahanan Kompeni. Tentu bukan
orang dungu. Dikira sudah mati bersama Rempek. Karena di
Songgon tidak pernah ada perlawanan.
"Kami sudah mengatur____"
"Bagaimana caranya" Orang itu begitu pintar."
"Jangan khawatir, hamba akan memancing dia agar
menyerah." "Gampang benar?"
186 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tuan akan lihat. Dia menyerah dan menyerahkan istrinya."
Schophoff terbahak-bahak mendengar itu. Mustahil orang
seperti dia dapat dipermainkan oleh Juru Kunci. Tapi ia
berharap agar rsi itu kalah cerdik. Dan ia akan menilai
bagaimana si Sri Tanjung yang sudah termasyhur di seluruh
Blambangan itu. Ia ingin tahu wajahnya. Ingin tahu sikap dan
pendirian wanita itu. Ia ingat, Mas Ayu Prabu tidak mau
menyerah kendati sudah berhadapan dengan maut. Jangan-
jangan Sri Tanjung ini wanita semacam itu. Itu tidak boleh
jadi. VOC tidak menghendaki wanita yang mungkin mampu
menguasai suami dan dapat mendorongnya berontak. Ia
pernah memperundingkan kekhawatirannya ini pada Pieter
Luzac, pembantunya. Melihat cara Wiraguna menyanjung
dalam menceritakan Sri Tanjung yang terlalu itu, maka ia
mengambil kesimpulan, bahwa Wiraguna bisa berada dalam
genggaman Sri Tanjung. Mungkin bisa jadi Sri Tanjung, yang
memegang kendali di seluruh Blambangan. Dan itu bahaya,
Selama ia memimpin Songgon belum pernah ada laporan
bahwa Songgon menyerahkan pajak pada pemerintah. Apalagi
bekerjasama dengan VOC. Kompeni lewat saja orang Songgon
segera mengosongkan rumah-rumahnya.
Tapi kini Juru Kunci menunjukkan surat Rsi Ropo yang
ditulis di lontar. . "Apakah ini bukan muslihat?"
"Di Blambangan tak ada rsi apalagi pandita menipu," tegas Juru Kunci.
"Baik! Tapi ia harus mati. Sekali pun ia sudah menyerah. Ia
pernah melarikan diri dari tahanan Kompeni. Jadi ia harus
dihukum. Dihukum mati!" Schophoff memperdengarkan suara
tawanya kembali. Dan betapa inginnya melihat rsi itu
menggeliat-geliat menghadapi sekarat dengan tali di lehernya.
Atau ia ingin sekali melihat Rsi Ropo menyembah telapak
kakinya, mengiba-iba mohon ampun. Ia akan tertawa
187 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melecehkan. Seperti saat ini ia terbahak-bahak. Ia
memang"suka terbahak-bahak seperti itu.
"Hamba mohon disiapkan satu regu pelaksana hukuman
mati," Juru Kunci lebih meyakinkan lagi. Dan tentu saja
permohonannya itu segera dikabulkan.
"Aku rasa Sri Tanjung pun harus mati. Berbahaya bagi
semua orang jika ia dibiarkan menjadi istri Wiraguna.
Kedudukan Yang Mulia sebagai patih di Blambangan bisa
terancam. Hamba dengar wanita itu tidak mau meninggalkan
agamanya yang lama. Ia tidak suka menjadi Islam?"
"Barangkali karena belum ada orang yang mengajarnya."
"Barangkali saja begitu. Tapi ingat, wanita macam dia akan
mampu menghancurkan semangat dan wibawa Raden
Tumenggung Wiraguna."
"Lalu apa jalan keluarnya" Padahal kita tidak boleh
menyingkirkannya seperti menyingkirkan suaminya. Bukankah
akan lebih membuat Yang Mulia Raden Tumenggung putus
asa?" "Tentu sayang jika kita membunuh wanita secantik itu.
Ha... ha... ha..." Schophoff tak mampu menahan keinginannya
untuk tertawa. "Hamba memang belum pernah melihat
wajahnya. Tapi kira-kira amat cantik. Karena itu sebaiknya
yang kita lakukan adalah menjinakkan hatinya yang binal itu."
"Tidak mungkin, Tuan. Tidak mungkin."
"Kenapa?" "Ia tidak suka makan dan minum persembahan kita.
Karenanya kita tak akan mampu memasukkan apa-apa ke
dalam makanannya." "Baik, hamb| akan menghadiahkan sebuah keris pada
Raden Tumenggung Wiraguna, sebagai hadiah perkawinan.
Keris ini adalah pusaka Raden Pangeran Singasari yang tewas
188 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dalam pertempuran di Malang Selatan. Dan keris ini pula yang
pernah menyudahi Tumenggung Jangrana di gerbang Karta.
Namun begitu, menurut cerita yang hamba dengar, keris ini
memang bertuah. Cerita orang, keris itu milik raden Harjuna,
tokoh wayang purwa itu."
"Sudah amat tua umur keris itu?"
"Sangat tua. Dan karena keris itu pulalah setiap wanita
yang berhadapan dengan Raden Harjuna pasti jatuh hati dan
bersedia menjadi istrinya."
Juru Kunci berdecak mendengar itu. Dalam hati timbul iri.
Andaikan aku yang menerima hadiah keris itu, maka akulah


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang mempersun-ting wanita tercantik masa kini itu. Tapi ia
tak berani mengutarakan. Schophoff menyambung lagi.
"Perkawinan mereka punya arti yang amat penting bagi
kita. Hamba berharap dengan perkawinan itu ketegangan di
Blambangan segera berakhir. Apalagi dengan musnahnya Rsi
Ropo." "Ba... baik, Tuan," Juru Kunci gugup tanpa sesadarnya.
Gila, aku ikut-ikut melamun wanita itu. Suara tawa Schophoff
mengikuti langkahnya keluar ruangan setelah ia berpamitan.
Sepanjang perjalanan ia ingat keris Raden Harjuna. Hemh,
Sri Tanjung, kau akan jadi istri Wiraguna. Biarlah kali ini
Adipati yang beruntung. Tapi lain kali pastilah ia juga dapat
memper-daya Sri Tanjung seperti memperdaya Mas Ayu
Arinten. Ingin tahu aku, bagaimana jika ia sudah
sepembaringan dengan aku.
Tapi ada satu pelajaran yang baik lagi untuk diserapnya.
Ternyata VOC 'ikut campur dalam merestui perjodohan
pembesar-pembesar pribumi. Bahkan ikut mengaturnya. Tentu
pada perkembangan selanjutnya pribumi akan lebih
kehilangan kedaulatannya. Sampai-sampai memilih jodoh pun
harus di bawah persetujuan VOC. ? Diam-diam Juru. Kunci
memuji betapa pintarnya orang asing itu. SemUaJ^hendak
189 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
VOC masa kini selalu diselubungi dengan *kata-kata:
pengabdian dan pengorbanan demi negara! Sedang ekor "dari
kata-kata itu adalah upeti yang mengalir ke gudang VOC.
Tanah harus direlakan demi pembangunan loji-loji, benteng-
benteng. Inikah yang harus kulihat untuk masa-masa
mendatang bagi negeriku" Keharusan dan keharusan"
Di rumah beberapa tamu ternyata sudah menunggu. Ia
terkejut. Han Tian Boo, Baba Song, dan Su Lie Hwa. Apa
tujuan mereka ini" Dia jadi amat curiga, belakangan ini
istrinya makin sering terima tamu sebangsanya. Tidak seperti
dulu kala ia belum menjadi patih. Mereka jarang menerima
tamu. Tidak begitu banyak urusan. Sekarang acaranya begitu
padat. Setelah berbasa-basi sebentar, mereka menuju taman.
Taman warisan dari Jaksanegara yang sekarang dibuang ke
Gombong, barangkali tak ada duanya di Blambangan saat ini.
Lengkap dengan kolam ikan emas dan tombro serta lele putih.
Tempat peristirahatan yang beratap ijuk, berdiri di tengah
taman, dengan dikelilingi kolam. Pohon trembesi, kenanga,
kenari yang berebut tinggi di seputar kolam itu menghapus
segala kegerahan kemarau yang dimulai sejak di kamar kerja
Schophoff tadi. Belum beraneka warna kembang serta kupu-
kupu yang terbang kian kemari itu.
"Ada sesuatu jkang penting rupanya, Tuan-Tuan berkumpul
di sini. Memerlukan bantuan?" Juru Kunci langsung pada
persoalan. Mereka tersenyum-senyum. Mengangguk-angguk sampai
beberapa kali. Menimbulkan kesan betapa rendah hatinya
mereka itu. Walau ada yang kurang disukai Juru Kunci, yaitu
seringnya mereka berdiri dan pergi ke pinggir kolam untuk
berdahak. Tapi rupanya Baba Song, ataupun Han Tian Boo
cepat menunduk dalam-dalam setelah melakukannya. Tidak
berani memandang mata Juru Kunci. Hanya melirak-lirik. Tidak
190 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tahu apa sebabnya begitu. Apakah mereka benar-benar
menghormati Juru Kunci atau sekadar berpura-pura.
"Ya. Soal ini... Yang Mulia Su Lie Hwa."
"Kenapa?" Juru Kunci merapatkan alisnya. Bahkan nyaris
menegangkan rahang. Selalu ada saja persoalan baru jika
mereka menghadap. "Ingin keluar dari istana?" tukasnya
kemudian. "Tidak, Yang Mulia..." Han Tian Boo mengeluarkan hocoe-
nya untuk madat. (candu) "Justru saat ini, apakah tidak
terancam kedudukannya?"
"Sehubungan dengan datangnya garwa padmi?"
"Iya... iya, benar, Yang Mulia."
Juru Kunci tertawa. Orang-orang kaya semacam ini masih
juga khawatir. Kemudian dia geleng kepala.
"Bukankah sudah seharusnya garwa padmi itu hadir dalam
kehidupan seorang adipati" Mengapa mesti dipersoalkan?"
Juru Kunci melirik Su Lie Hwa. Ternyata memiliki rasa
cemburu. Padahal sebelum ia dipersembahkan tidak pernah
menanyakan apakah adipati masih muda atau sudah tua:
Belum beristri ataupun sudah. Yang penting ia
dipersembahkan oleh Baba Song maupun Han Tian Boo. '
"Kami tahu itu, Yang Mulia."
"Lalu apa lagi?" Kadang Juru Kunci menjadi jengkel karena kawan-kawan istrinya
itu sering-sering serakah. Semua hal
diperhitungkan dengan uang dan harta.
"Kami dengar tentang Yang Mulia Sri Tanjung itu... eh...
seorang pengikut Wong Agung Wilis____ Jadi dengan
masuknya Yang Mulia Sri Tanjung itu, apakah tidak
mengguncangkan perniagaan" Seperti halnya Wong Agung
Wilis dulu, semua ditertibkan."
"Aku yang berkuasa untuk semua itu. Bukankah aku patih?"
191 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tapi...." "Apa jaminan kalian jika aku dapat memupuskan semua
yang kalian duga itu?"
"Ah..." mereka tertawa bersama. Namun makin jelas,
bahwa Sri Tanjung memang akan membahayakan. Kaum
pedagang tentu lebih peka. Karena kebiasaan mereka berpikir
masak-masak dalam melangkah. Bukankah jika mereka tidak
gegabah mereka akan mendapat untung" Bukankah wanita itu
pernah menghalangi pembabatan hutan di seputar Songgon"
Juga selalu mengadakan hubungan dagang secara gelap
dengan saudagar-saudagar Portugis, atau Inggris dan Bali"
Bukankah orang desa Songgon tak punya tambang emas
untuk mencetak uang" Tapi mereka tidak susah membeli
barang-barang dari luar. Tentu semuanya di bawah
pengaturan Sri Tanjung. Jadi benarlah dugaan semua
pengamat bahwa Wiraguna bukan orang yang seimbang untuk
diperjodohkan dengan Sri Tanjung.
Bahkan berita terakhir menyebutkan orang-orang Songgon
merampasi candu milik Han Tian Boo dan Tan Eng Gwan yang
dijajakan oleh anak buahnya.
"Jadi" Apakah Yang Mulia akan memusnahkannya?" Su Lie
Hwa bertanya. Dan Juru Kunci tergelak mendengarnya. Dan
semua memandangnya heran. Termasuk istrinya.
"Mengapa harus dimusnahkan?" Ia balik bertanya.
Semua orang terdiam. Tapi Juru Kunci tahu mengapa.
"Tidak harus dimusnahkan. Tidak. Sekarang dia galak
karena lingkungannya adalah orang-orang keras. Tapi jika ia
sudah masuk istana, aku percaya, pasti berubah. Ia sekarang
merasa diimpit. Apalagi jika melihat lingkungannya, para
kawula Blambangan yang tidak mau menerima pemerintahan
Raden Tumenggung, tentu yang ada dalam dada mereka
semata-mata kebencian. Namun jika kita pandai mendekati
hatinya, dan ia sudah menjadi salah seorang di antara kita,
192 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semua akan beres. Persoalannya adalah kita. Bagaimana kita
menerima dia. Jika dengan hati bermusuhan maka ia akan
memusuhi kita dengan segala dayanya."
"Yang Mulia yakin" Sehingga pada saatnya nanti kita bisa
merebut pasaran di Songgon?"
"Setidaknya keadaan akan berubah setelah dia naik ke
pelaminan bersama Raden Tumenggung Wiraguna nanti. Lihat
saja." Juru Kunci ingat bagaimana Arinten dulu sebelum naik
ke pelaminan bersamanyn. Sebaliknya apabila Tunjung tak
menuruti kehendak Wiraguna, bisa celaka. Sungguh akan
malang nasib wanita cantik itu. Ternyata tidak selamanya
wajah cantik itu membawa keberuntungan. Bahkan kadang-
kadang sebaliknya, membawa maut bagi hidupnya sendiri. Ah,
apakah wanita itu juga sadar akan keadaan" Sadar bahwa
dirinya diancam maut"
Tentu berbeda dengan kebanyakan wanita bahkan juga
lelaki yang tidak pernah mengadakan pengamatan atas
kehidupan, Ayu Tunjung dan suaminya menyadari, bahwa
hari-hari bahagia sudah di ambang senja. Maka mereka
menghabiskan waktu mereka di pura untuk berdoa, atau di
kamar berdua. Para pengawal dan murid sudah diberitahu,
bahwa keduanya tidak perlu diganggu. Semua heran. Ke
mana-mana berdua. Bergandeng tangan. Tak peduli banyak
orang atau tidak. Lebih mengherankan lagi sang Rsi dan
istrinya selalu mengenakan pakaian putih, seperti laiknya
orang menghadapi puputan (penghabisan/keberakhiran) Ada
hari yang pernah mereka gunakan untuk berkeliling Songgon.
Bergandengan, bahkan berpelukan keduanya mengelilingi
desa itu. Seolah hendak pergi jauh dan tidak akan melihatnya
lagi. Kawula Songgon terkejut melihat keduanya berpelukan
sambil memperhatikan keindahan Songgon. Pakaian mori
putih mengundang keresahan semua orang. Burung gagak
193 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seperti tidak biasanya. Terbang bolak-balik sambil berkoak-
koak. "Lihat, Kanda. Burung-burung itu! Kita belum jadi bangkai
sudah pada datang." "Siapa yang akan jadi bangkai?" Rsi Ropo merapatkan
pelukannya. "Barangkali kau lupa, Rsi Ropo pernah
mengalahkan kematian satu tahun lalu." Ia tersenyum.
"Simpan saja firasat itu, Adinda," bisiknya lagi.
Keduanya kemudian berhenti di batas sebelah barat desa.
Dataran yang lebih tinggi dari deretan perbukitan wilayah desa
Songgon. Di tempat tertinggi mereka kemudian berteduh di
bawah pohon sonokembang dan laban. Keduanya duduk
berjajar sambil tidak melepas rangkulan masingmasing.
Kawula Songgon melihat dari kejauhan. Mengapa keduanya
berlaku ganjil" Tapi tak seorang pun berani mendekat.
Silir angin mendayu, membelai rambut mereka. Masih
membisu. Tak mereka perhatikan suara kidung anak-anak
gembala di sawah yang tiba-tiba saja lenyap. Langit biru tiba-
tiba saja disapu mendung kelabu tipis. Ayu Tunjung tampak
menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya. Kepala itu
seolah lelah menyangga beban. Kejadian datang silih berganti,
sukar diduga sebelumnya. Tangan Rsi Ropo membelai
rambutnya. Ingin rasanya mengusir kelelahan yang
menghinggapi istrinya. "Hyang Dewa Ratu... cuma sekiankah kauberi-kan
kebahagiaan ini" Mengapa mentari cepat saja berlalu. Dan
senja terlalu cepat menjelang?" keluh Mas Ayu Tunjung lirih.
Air matanya melaju malas dari sudut-sudut matanya, turun
membasahi jubah di bahu suaminya. Membuat dada Rsi Ropo
gemuruh. "Mengapa ini mesti terjadi" Justru di tengah kebahagiaan
kita" Oh, ingin lebih lama lagi hidup bersama dengan Kanda.
Ya kita, ingin mengulur impian lebih lama lagi," katanya kala 194
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tangan Rsi Ropo menghapus air mata di pipinya. Dan Rsi Ropo
masih membisu. Kenangannya mengembara pada masa lalu,
seirama hadirnya awan lembayung di perbukitan sebelah
barat. Ia ingat betapa susahnya menaklukkan hati Mas Ayu
Tunjung saat itu. Kini sang primadona sudah di tangan.
Namun sayang, prahara datang menerpa.
"Ya, lihatlah, betapa indah awan lembayung di atas
pegunungan Raung, Sungkep, dan Pendil itu. Merah
bercampur kuning semburat di sela warna kelabu. Kehijauan
telah meredup, sebentar lagi kehitaman menguasai jagat." Rsi Ropo menghela
napas. Seolah menghela keraguan yang
mengimpit dada. "Tidak!" tiba-tiba ia berkata. "Apa yang tidak, Kanda?" Ayu Tunjung terkejut.
"Tidak! Kita tidak akan mati! Aku tidak akan pernah mati.
Aku akan mengabdi terus, selamanya, untuk negeri tercinta
ini." "Ya. Kanda memang selalu mengalahkan mati," Tunjung
membesarkan hati suaminya. "Pernah mengalahkan penjara
dan gelombang. Hamba, percaya itu. Tapi apakah sekarang
kita akan menjawab semua ini dengan peperangan?"
Rsi Ropo tertunduk. Diam lagi. Menunduk dalam-dalam.
Beberapa bentar. Istrinya mempermainkan medali bunga
teratai di dadanya. "Hamba lebih suka mati di medan laga
daripada harus menyerah.... Seperti Sayu Wiwit, seperti Mas
Ayu Prabu...." "Jagat Dewa, Jagat Pramudita!" Kembali Rsi Ropo
menghempaskan napas panjang. Ingin memang ia bertempur
seperti usul istrinya itu. Tapi...
"Suatu peperangan membutuhkan persiapan yang panjang.
Peperangan tidak cuma bermodalkan keberanian. Tapi juga
kemauan, dan kesehatan. Kita memang punya keberanian dan
kemauan. 195 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tapi kita sedang tidak sehat. Lihatlah! Kompeni punya segala-gala." Kita tidak.
Orang-orang kita sebahagian sedang kelaparan. Apakah yang bisa kita harapkan
dari orang-orang yang lapar" Jangankan mengangkat senjata, berjalan menuju
benteng musuh saja susah. Bisa-bisa mati ditengah jalan.
Adinda, kita tak mungkin menang dengan kekuatan yang ada di Songgon semata-mata.
Ingatkah kau satu tahun lalu" Kala Wilis sedang memimpin peperangan" Apa
kurangnya kita saat itu" Pikiran kita kalah sehat oleh mereka. Dan akhibatnya
kita kalah. Sekarang jumlah orang-orang Songgon tinggal dua ribu dua ratus enam
puluh tiga orang. Dan di seluruh Blambangan tidak lebih dari tiga ribu orang.
Apakah kita akan merelakan mereka dipunahkan" Wiraguna tidak ingin menghancurkan
mereka. Tapi aku. Setelah-nya ingin berbahagia bersama istriku. Karena itu,
Adinda, aku sendiri harus menyerahkan diriku. Setelah itu, aku akan berjuang
untuk mempertahankan hidupku. Sebab hidup adalah anugerah terindah dari Maha
Dewa Ciwa, Hyang Maha Pencipta itu."
"Yakinkah Kanda akan selamat?"
"Keyakinan adalah separuh dari kemenangan!"
"Hyang Dewa Ratu!" Ayu Tunjung memeluk suaminya lebih erat. Seolah tak ingin
lagi berpisah. Kesejukan menjamah keduanya. Namun bagi Ayu Tunjung serasa Hyang
Yama Dipati si dewa pencabut nyawa itu telah menjamahkan tangannya. Tanpa
sesadarnya ia cium pipi suaminya.


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kegelapan telah turun, Kanda. Tiada bintang gemerlap di langit. Baiklah kita
berjalan pulang. Kita merangkai bunga."
"Merangkai bunga" Untuk apa?"
"Kita sudah mengenakan busana serba putih. Apa maksudnya" Tidakkah sepatutnya
kita merangkai bunga. Hamba untuk Kanda, sebaliknya Kanda untuk hamba."
Enggan rasanya Rsi Ropo berdiri. Namun istrinya menarik tangannya. Lalu kembali
keduanya berangkulan sambil 196
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
melangkah lamban. Lamban sekali. Tanpa bisik. Seolah
menikmati betul kehangatan tubuh masing-masing. Tatkala
memasuki pertapaan semua cantrik dan sayu berdebar melihat
tingkah keduanya. Semua sedang duduk di pendapa. Sengaja
mereka menunggu. Parti. menyambut mereka kemudian
mencuci kaki kedua junjungannya itu dengan air kembang.
Bau dupa dan kayu cendana merajai malam. Ditambah
dengan bunga sedap malam yang tumbuh di' halaman serta
kembang kantil serta kenanga yang juga tumbuh mengitari
pertapaan itu. Setelah itu Janaluka maju menyembah dengan muka
sampai ke tanah. "Dirgahayu!" jawab Rsi Ropo tenang sekali. Tidak
menunjukkan kegundahan hatinya. "Ada apa, Janaluka"
Tampaknya ada sesuatu yang amat penting?"
"Busana Rsi meresahkan kami, Yang Tersuci." Rsi Ropo
tertawa. Tubuhnya bergoyang. Namun ia belum melepaskan
tangannya yang tersampir di pundak istrinya. Demikian
sebaliknya, Mas Ayu Tunjung masih memeluk pinggang Rsi.
Tidak biasa mereka lakukan semacam itu di depan para murid.
Pelita-pelita juga ikut bergoyang. Bukan oleh suara tawa Rsi
Ropo. Tapi oleh angin yang bertiup semilir.
"Apa salahnya seorang pandita mensucikan diri?" ia balik bertanya.
"Apakah ini ada hubungannya dengan perjalanan tiga puluh
orang Kompeni yang mengawal Singa Manjuruh naik ke
Songgon?" Tunjek kini yang bertanya.
Dalam hati Sang Rsi tersentak. Besok pagi mereka sudah
akan tiba di halaman pertapaan ini. Dan ia akan diseret seperti
menyeret pelepah daun kelapa kering, kemudian dihajar
seperti kerbau yang sedang salah dalam menarik bajak. Ah,
kerbau tidak pernah salah membuat alur bajakan. Mereka
197 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
selalu rapi. Kebiasaan telah membuat mereka seperti itu.
Namun Rsi Ropo segera menutup keresahannya.
"Yah, kalian sudah tahu. Apa yang harus kukatakan lagi?"
"Bukankah lebih baik melawan daripada Yang Tersuci harus
menjadi korban?" Ramud ikut bicara.
"Semua pendapat kalian baik. Tapi pernahkan kalian belajar
menjadi seorang panglima" Aku seorang brahmana. Aku tidak
pernah angkat senjata. Senjataku bukan bedil, tapi kata-kata."
"Yang Tersuci..." Mereka tersentak. Sebentar kemudian
semua menangis. Hampir bersama-sama mereka maju
menubruk kaki Rsi Ropo. Demikian pula para sayu menabrak
kaki Ayu Tunjung. Sedu-sedan menguak kesunyian malam.
Beberapa bentar. "Kenapa kalian menangis?" Rsi Ropo terharu. Berkali
dikuatkannya hatinya. "Adakah kalian lupa bahwa orang yang
berdiri di tengah kalian ini, adalah seorang yang pernah lepas
dari maut" Mengapa kalian sekarang begitu gelisah"
Kuatkanlah hatimu! Jangan bimbang dan ragu. Sebab mereka
tidak ingin membinasakan kalian. Tapi aku. Dan mereka perlu
bersemuka denganku. Karena itu, hentikanlah tangismu ini!"
"Apakah tidak bisa diwakilkan?"
"Jika bukan aku yang datang maka semua pribumi
Blambangan akan dipunahkan. Janaluka^ ada saatnya bersua,
berkumpul, dan akhirnya berpisah. Semua yang ada di bumi
ini akan berakhir." "Yang Tersuci!"
"Tak ada yang perlu diingkari. Karena itu besok pagi_-pagi
kumpulkan semua orang Songgon. Aku akan memberikan
nasihatku," "Baik, Yang Tersuci!"
198 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Brahmana bukan penakut. Sebab dia adalah seorang yang
dapat melihat apa yang bakal terjadi. Dan ia sudah
memperhitungkan setiap langkahnya. Dan kalian adalah
brahmana. Jangan seperti orang dungu yang cuma mampu
menyesali keada- Satu-satu mereka melepaskan pelukan mereka. Satu-satu
menyeka air mata mereka. Dan kala Rsi bersama istrinya
kembali berangkulan untuk kemudian melangkah ke biliknya,
semua orang cuma mampu memandang saja. Cuma Parti
yang terperangah, karena Ayu Tunjung memberikan perintah
padanya untuk menyiapkan air bunga satu jamban penuh.
Kedua pasangan itu akan mandi jamas.(mandi kramas tengah
malam untuk menyucikan diri) Lima orang pengawal Ayu
Tunjung tak henti-hentinya menangis.
Suara burung gagak dan burung kolik pada tengah malam
itu memberikan isyarat yang diterjemahkan dalam arti
tersendiri oleh orang-orang Songgon. Malam itu para cantrik
tidak tidur. Mereka mengerahkan semua orang tua di Songgon
untuk memasuki pura-pura dan membacakan lokananta
(mantra pelebur dosa) agar Rsi Ropo beserta istrinya
diselamatkan oleh Hyang Maha Durga. Maka asap orang
membakar kemeyan membubung tinggi ke langit kelam.
Bintang-bintang mengintip dari balik mega. Sang ratu malam
juga malu menampakkan diri. Malu. Karena mereka merasa
tak mampu mempertahankan bunga yang saat ini tumbuh dan
sedang mekar di Songgon, yang akan dihancurkan oleh
kerakusan seorang penguasa. Ternyata semua di bumi ini tak
ada yang mampu membendung kehendak yang berkuasa.
Dalam bilik Rsi Ropo dan Ayu Tunjung seperti sudah
melupakan semua persoalan yang mereka hadapi. Keduanya
merangkai bunga bersama. Bunga berwarna merah dan putih
serta kantil kuning, mereka jadikan kalung. Keduanya akan
saling mengalungkan kembang itu pada leher masing-masing.
Istri pada suami, demikian sebaliknya. Mereka benar-benar
199 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ingin menikmati kemesraan terakhir mereka dengan sebaik-
baiknya. Setelah tengah malam mereka melakukan jamas.
Warna kembang yang dipilih oleh Parti juga merah, putih,
dan kuning. Warna yang punya makna berani, suci, dan luhur.
Betapa terkejutnya kedua orang itu, ternyata Songgon begitu
ramai. Nyanyian lokananta ditembangkan oleh setiap bibir
kawula. Besar-kecil, tua-muda, kecuali bayi-bayi, laki-
perempuan, duduk di depan mezbah dupa. Keduanya saling
pandang dalam haru. Lagi mereka berangkulan. Sementara
itu, Nyi Singa Manjuruh yang sudah melahirkan dengan
pertolongan seorang dukun bayi, juga menangkap suara
tembang dan bau dupa serta kembang yang memenuhi udara
Songgon itu. Meski dilarang turun dari tempat tidur, dia
berusaha mengumpulkan kekuatan yang ada, dan tertatih-
tatih mengintip dari celah daun pintu yang terbuat dari kayu
mahoni. Secara kebetulan ia melihat Rsi Ropo berangkulan dengan
istrinya. Di bawah sinar pelita yang tertiup angin itu, mereka
saling berciuman, kemudian pelan-pelan melangkah menuju
kamar mandi. Mereka akan melakukan jamas tiga kali. Pada
jamas ketiga mereka benar-benar memasuki alam suci sebagai
brahmana Ciwa. Jamas kedua akan mereka kerjakan esok saat
mentari terbit di ufuk timur. Jamas ketiga memberikan makna
bahwa setiap orang yang melakukannya sudah siap
meninggalkan semua dan segala. Itu akan mereka lakukan
saat mereka akan meninggalkan Songgon.
"Hamba adalah wanita Ciwa, Kanda, maka jika suaminya
mati hamba juga akan mati, Kita memang dua, tapi
sebenarnyalah kita telah menjadi satu. Biarlah apa yang telah
dipersatukan oleh Hyang Maha Dewa, tak boleh dipisahkan
oleh siapa pun. Kendati oleh penguasa negeri ini sekalipun."
"Jagat Dewa! Percayalah, aku tidak akan mati! Kita akan
tetap hidup. Cinta kita akan abadi."
200 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Keabadian hanya akan tercapai di alam leluhur. Juga cinta
kita. Bukankah Kanda sendiri yang mengajarkan itu?"
"Jagat Dewa!" Masih dalam keadaan basah kuyup mereka naik kembali.
Suara langkah mereka menarik Nyi Singa Manjuruh untuk
menguping dan mengintip. Hatinya berdebar kala pasangan
itu berhenti di depan pintu kamarnya.
"Biar, Kanda. Dia sedang istirahat. Ia telah melahirkan bayi lelaki yang sehat.
Biarlah Singa Manjuruh besok berbahagia
melihat ini semua," bisik Ayu Tunjung.
"Ternyata memberikan kebahagiaan pada orang lain itu tak
semudah yang kita bayangkan. Harus melewati sebuah
pergumulan. Pergumulan yang panjang. Antara takut dan
berani." "Dan kita sudah mengatasi ketakutan itu?"
"Ah..." Rsi mencium istrinya kemudian mengajaknya
berlalu. Percakapan singkat. Walau dalam bisik, Nyi Singa
mendengar dengan amat jelas. Telinganya cukup terlatih kala
tinggal dalam persembunyian bersama suaminya satu tahun
lalu. Dan semua yang didengar itu telah meruntuhkan air
matanya untuk kesekian kalinya. Ia harus mengakui, setiap
orang memiliki rasa takut itu. Persoalannya sekarang
tergantung bagaimana cara mengatasinya. Dan Nyi Singa
merasa berdosa memaksa orang lain mengempaskan
ketakutan demi kepentingan pribadinya. Ah, ternyata aku
seorang lemah, keluhnya dalam hati. Tak mampu mengatasi
kesulitan sendiri. Dan orang lain harus mengorbankan
kebahagiaan yang baru saja mereka raih beberapa bulan lalu.
Bahkan mungkin nyawa mereka.
Sementara itu Ayu Tunjung tenang dalam dekapan
suaminya. Tanpa sadar mereka terlena. Ayu Tunjung merasa
201 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
berjalan di padang yang amat luas. Berdua, bergandengan
tangan dengan suaminya. Tiba-tiba saja udara menjadi
mendung. Dan hujan lebat pun turun. Tak ada tempat
berteduh. Keduanya berlari. Hujan makin lebat saja. Entah
bagaimana caranya, tahu-tahu di hadapan mereka ada banjir
yang menyongsong. Airnya berwarna merah. Darah! Banjir
darah! Suara-suara tanpa manusia berteriak-teriak. Keduanya
membalikkan badan. Tapi di belakang mereka juga ada banjir.
Sama. Banjir darah. Mereka terkepung air yang berwarna
merah. Dan hujan yang membasahi tubuh mereka juga
berwarna merah. Hujan berubah menjadi hujan darah. Banjir
bandang dengan air merah tiba-tiba saja merenggut
suaminya. Dan terus terbawa arus. Ia berusaha mengejar.
Menggapai. Berteriak memanggil. "Kanda!" Makin lama makin jauh. Ia juga
memanggil makin keras. "Suaminda!"
"Ya, Adinda..." Suara itu berbisik kini. Sebuah tangan
mengguncang bahunya perlahan. Setelah itu dengan
mesranya menyeka keringat yang keluar dari pori-pori
dahinya. "Kau mengigau, Istrinda...."
"Oh, Kanda... ampunkan hamba."
"Mimpi apa lagi harini" Kemarin mimpi tangan raksasa
merenggutmu dari pelukanku. Nah, sekarang?"
Mas Ayu mencium dan merangkul suaminya. Kokok ayam
sudah bersaut-sautan di kandang. Pertanda sebentar lagi
fajar. Ayu menceritakan semua mimpinya. Tidak tahu, apa
sebabnya dua malam ini ia terganggu oleh mimpi.
"Kita bersiap untuk jamas kedua. Lalu masuk pura. Biarlah
Hyang Maha Durga memberikan ketenangan bagi jiwa kita
berdua." "Hyang Dewa Ratu!" Ayu menyebut. Dengan mesra pula
suaminya mencium. "Inilah batu ujian untuk kita, Kanda."
202 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ya. Apakah kita benar-benar bisa gineng pratidina
(berguna setiap hari bagi kepentingan orang banyak)"
Kembali keduanya meronce bunga, setelah sebelumnya
bunga itu dicelup dalam air asam bercampur air kelapa serta
ramu-ramuan lainnya agar tidak cepat layu. Ufuk timur cepat
menjadi merah keemasan kala keduanya melakukan jamas
kedua. Setelah itu kembali mengenakan busana mori putih
buatan India, mereka naik ke pura dengan diikuti oleh para
cantrik, sayu, dan murid-murid lainnya. Mereka masuk ke alam
lain. Alam leluhur. Membuat dunia seolah jauh mengabur.
Di halaman pura seluruh kawula Songgon telah berkumpul.
Ikut berdoa. Tapi yang lebih penting dari itu, mereka ingin
bersemuka dengan sang Rsi dan istrinya. Lama. Lama sekali
mereka menanti. Tapi mereka tak jemu. Tak bergeser. Tak
bergeming. Setia. Duduk di pelataran tanpa peduli" tempatnya
berdebu, atau terkena kotoran ayam, anjing, kucing, atau
hewan lainnya. Ternyata harapan dan pengorbanan mereka
itu tidak sia-sia. Rsi Ropo keluar didampingi istrinya serta para cantrik dan
sayu. Ayu Tunjung dan suaminya sama-sama
terkejut. Jantungnya berdebar.
"Dirgahayu!" tiba-tiba suaminya berteriak pada ribuan
orang yang berkerumun di pelataran itu. Bahkan ada yang
memanjat pohon. Atau ada yang membawa lincah (amben)
atau bahkan ada sebagian yang memanjat bubungan rumah di
dekat pura itu. "Dirgahayu!!!" sahut mereka serentak.
"Belum diberi aba-aba untuk berkumpul, tapi kalian sudah
berkumpul di sini. Ada apa?"
"Kami perlu amanat! Kami perlu keterangan, yang jelas!"
mereka bersaut-sautan. Membuat Rsi tersenyum sambil
menghela napas. "Apa yang harus aku jelaskan?"
203 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Yang Tersuci mengenakan busana puputan. Juga
mengenakan sumping kembang kemboja. Apa artinya?"
semua, orang berteriak.

Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rsi Ropo diam sebentar sambil memandang istrinya. Ayu
Tunjung tersenyum. Seolah memberi dorongan. Sirna sudah
keraguan yang dicipta-kan oleh mimpi-mimpi. *
"Baiklah! Tenanglah! Dan dengar baik-baik!"
"Hamba, Yang Tersuci!" jawab mereka serempak.
"Apa pun yang bakal terjadi, kali ini tidak akan
mempengaruhi hidup kalian. Tapi justru jika ini tidak terjadi,
kalian akan menderita. Kalian akan kehilangan lebih banyak
lagi. Karena itu, kami berkeputusan sebaiknya kalian
kehilangan kami. Kehilangan aku dan Mas Ayu Tunjung." Ia
berhenti sebentar untuk menelan ludah. Semua orang diam.
Saling pandang satu dengan lainnya. Kemudian berbisik-bisik.
Dan suara-suara seperti suara lebah di sarangnya mulai berkembang. Rsi Ropo tahu
mereka tidak puas. Karenanya ia berkata lagi, "Tanpa kami
kehidupan di Songgon akan berlangsung terus. Nah, besok
aku akan berangkat ke Banyuwangi____"
"Jangan! Kita angkat senjata saja!" teriak mereka berapi-api.
"Tidak ada gunanya!" jawab Ropo. "Kita tidak akan
menang. Kematian demi kematian akan segera disusul
kepunahan seluruh pribumi Blambangan. Akibatnya
Blambangan akan menjadi milik orang lain kelak. Tapi jika
kalian sekarang tidak punah, suatu ketika akan tiba masanya,
anak-anak-cucu kalian bangkit kembali dan merebut negerinya
yang sekarang dirampok bangsa lain."
Semua orang terdiam mendengar itu. Perkataan Rsi Ropo
adalah ucapan dewa. Harus diiakan oleh setiap orang. Masih
banyak lagi yang diuraikan oleh Rsi Ropo yang membuat
204 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mereka makin jelas pada duduk persoalannya. Baru zaman ini
terjadi, di Blambangan, pengarahan pasukan yang
dikarenakan wanita. Memperebutkan wanita. Walau mereka
tahu cerita macam itu sudah ada dari zaman ke zaman. Tapi
bukankah Tunggul Ametung dibunuh bukan karena perebutan
wanita walau dia sendiri menculik Dedes dari orang-tuanya"
Ametung dibunuh karena perebutan kekuasaan.
Mereka bubar setelah Rsi menuju ke pendapa, di mana
Singa Manjuruh bersama tiga puluh orang Kompeni sudah
menunggu. Terkesiap darah Rsi Ropo dan Ayu Tunjung. Tapi
inilah kenyataan. Kenyataan harus dikunyah, pahit ataupun
manis. "Dirgahayu, Singa," Rsi menyapa. "Sudahkah kau bersua istri dan anakmu?"
Singa Manjuruh menjatuhkan diri. Ia menyembah pada
kedua orang itu. Tidak berkata-kata. Tidak berani memandang
wajah mereka. Seolah berhadapan dengan dua malaikat
penyambung nyawa. Badannya gemetar. Karena itu Ayu
Tunjung berkata lagi, "Istrimu sangat rindu. Lebih sepekan ia berusaha
membebaskanmu. Kini ia di sini. Dan belum kuat
berjalan menjemputmu. Ia masih sangat lemah.
Seharusnyalah kau menengok dia di biliknya."
Singa Manjuruh melirik pada Kompeni yang mengepung
pertapaan itu. Rsi Ropo mengerti apa maknanya. Maka,
"Katakan pada mereka! Aku akan berangkat bersama
mereka! Tapi aku minta izin mandi lebih dahulu. Jangan
khawatir! Tidak ada pandita yang menipu. Setelah itu pergilah
ke bilik istrimu." "Hamba, Yang Tersuci," Singa Manjuruh menyembah.
Kemudian merangkak meninggalkan Rsi Ropo.
"Bukan kebiasaan kami begitu, Singa Manjuruh. Jangan
merangkak seperti budak!" Ayu Tunjung mencegah. Kemudian
keduanya bersiap mandi. 205 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kehadiran Kompeni menarik perhatian anak-anak kecil.
Segera saja mereka berkerumun menonton. Makin lama makin
banyak. Akhirnya berjubel. Hal itu tentu saja menarik
perhatian para orangtua mereka. Ikut melongokkan kepala.
Kemudian dari satu bibir bersambung pada mulut lainnya.
Segera tersiarlah kabar. Semua orang Songgon keluar. Mereka
ingin tahu wajah para penjemput guru mereka. Orangnya
tegap-tegap. Wajahnya mereka tegang. Berjalan mondar-
mandir dengan senjata di tangan.
"Mereka akan menculik guru kita. Mas Ayu Tunjung," bisik seorang gadis pada
temannya. "Menculik" Guru kita?"
"Ya. Akan dibawa ke Banyuwangi!"
"Tidak!" tiba-tiba gadis yang diberitahu tadi berteriak.
"Jangan bawa Mas Ayu Tunjung!" teriaknya menarik perhatian semua orang.
"Ada apa?" tanya lainnya.
"Mereka penculik! Mereka akan bawa guruku!" gadis itu
menangis. Bahkan meraung-raung sambil bergulung-gulung di
tanah. "Mereka penculik?" anak-anak kecil lainnya juga bertanya.
Dan kata-kata itu bersambung-sambung. Membuahkan tangis
melolong-lolong di kalangan anak kecil. Seorang anak laki-laki
memberanikan diri memungut batu. Kemudian
melemparkannya ke rombongan Kompeni yang sedang
berjaga-jaga. Satu batu disusul oleh batu lainnya. Satu anak
disusul oleh beberapa orang anak. Teman-temannya ikut
melakukan hal yang sama. Berteriak-teriak.
"Jangan bawa Mas Ayu! Jangan culik Mas Ayu!" bersaut-
sautan suara mereka. Memancing orang-orang tua juga ikut
melakukannya. Semakin banyak lemparan batu dan teriakan-
206 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
teriakan menuduh, membuat mereka harus berlindung di balik
tembok pagar pertapaan. "Bandit! Pembunuh! Jangan jamah Mas Ayu." Beramai-
ramai mengepung Kompeni yang makin ketakutan. Pemimpin
rombongan melarang mereka menembak. Sebab mereka tahu
hal itu akan membuat nyawa mereka melayang. Penduduk
bisa melakukan perlawanan yang lebih menakutkan. Bukan
menggunakan batu lagi tapi senjata yang mereka miliki.
Untunglah saat begitu Rsi Ropo dan Mas Ayu Tunjung segera
keluar. Batu-batu segera berhenti demi mereka melihat Rsi
berdiri di ambang gerbang pertapaan.
"Berhenti!" teriak Rsi. Dan semua menjadi tenang seketika.
Pandangan Rsi tajam mengarah pada semua orang. Lalu Ayu
Tunjung tampil dan berkata dengan keras,
"Dirgahayu!" "Dirgahayu!!!" jawab semua orang, besar dan kecil
serempak. "Kami hendak pergi meninggalkan kalian. Bukan berarti
kami berkhianat atas sumpah yang telah kami ucapkan pada
kalian. Tapi kami tidak ingin melihat kalian menderita lebih
lama lagi." Ayu Tunjung mempesona semua orang.
"Kekalahan laskar Bayu telah dibayar dengan penangkapan
semua anak-anak kita laki-laki dan perempuan, dan mereka
bawa ke negeri asing untuk dijual dan dijadikan budak. Orang-
orang dewasa yang tidak sempat melarikan diri, laki dan
perempuan, ditangkap dan kepala mereka dipenggal serta
mereka gantung di pohon-pohon, di tepi jalan-jalan raya.
Karena itu, relakanlah kami. Nah, selamat tinggal dan
dirgahayulah kalian di Songgon! Hyang Maha Qiwa menyertai
kalian!" Wanita itu kemudian menuntun suaminya menuruni
gerbang. Bagai laron kawula Songgon menyerbu. Semua
menjatuhkan diri. Menangis dan menyembah. Anak-anak lari
207 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
meratap di kaki Mas Ayu Tunjung. Sehingga wanita yang
sudah mengenakan kain mori putih sebagai pembungkus
tubuh bagian bawahnya itu sulit melangkah. Terpaksa Ayu
Tunjung mengelus kepala mereka dan memberikan semangat,
penghiburan, dan beberapa patah kata-kata. Pelan-pelan
mereka dapat berjalan. Pelan sekali seperti rombongan semut.
Ada beberapa anggota Kompeni yang melihat itu, dengan
tidak sadar matanya menjadi basah. Di kiri-kanan jalan kawula
Songgon berjajar menaburkan bunga. Mawar, melati, kantil,
dan kenanga. Mereka lemparkan agar mengenai tubuh dua
pemimpin mereka. Dan kala keduanya sudah lewat, bunga itu
menjadi rebutan. Terutama yang terinjak oleh kaki kedua
pemimpin itu. Mereka akan simpan kembang itu dan akan
dijadikan pusaka atau jimat. Ratap tangis terdengar sepanjang
jalan. Bahkan ada yang kurang puas dengan cuma menabur
bunga. Tapi banyak yang kemudian melemparkan kain-kain,
daun-daun kelapa, dan pisang, atau apa saja untuk melambari
tanah yang akan dilewati oleh sang Rsi. Dan setelah sang Rsi
dan istrinya lewat semua diambilnya. Mereka ciumi dan
mereka ratapi. Sepanjang jalan menuju perbatasan desa
penuh dengan kain-kain. Sutera dan mori. Bahkan ada juga
permadani. Juga penuh . dengan orang, berjejal sambil
berteriak-teriak, menangis. Tapi Rsi dan istrinya cuma
tersenyum dan melambaikan tangan. Barisan sayu di belakang
mereka. Kemudian para cantrik. Setelahnya Kompeni yang
menuntun kuda-kuda mereka. Muka mereka banyak yang
mengeluarkan darah karena terkena lemparan batu.
Di gerbang batas desa, Janaluka telah menyiapkan sebuah
pedati dengan ditarik oleh dua ekor kerbau. Pedati yang juga
dialasi oleh kain mori putih. Dinding sampingnya juga dihias
oleh Janaluka dengan janur dan kembang. Di sini pun berjubel
kawula Songgon yang ingin mengantar pemimpin mereka ke
Banyuwangi. "Jangan kalian ikut! Jangan kalian tangisi kami. Tapi
pikirkanlah masa depan kalian. Pikirkanlah anak-anak, cucu
208 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kalian. Karena di tangan merekalah masa depan Blambangan!
Meskipun aku tiada, aku akan tetap ada! Aku akan menyertai
kalian." Rsi Ropo mengangkat tubuh istrinya ke atas pedati.
Dan kemudian ia sendiri naik. Namun sebelum pedati itu
bergerak, seseorang berteriak-teriak keras sambil menyeruak
dari gerumbul manusia yang berjubel itu.
"Yang Tersuci! Tunggu!" Singa Manjuruh berdiri di samping kanan pedati. Sebelah
tangannya memegang bibir pedati.
"Ampunkan hamba, Yang Tersuci, Yang Mulia. Janganlah
kiranya Yang Tersuci melanjutkan perjalanan ini. Biarlah leher
hamba tergantung di Banyuwangi." Lelaki kurus itu menangis.
"Tak layak seorang brahmana ingkar janji, Singa Manjuruh.
Jangan seperti anak kecil! Aku rela bekerja apa saja demi
keabadian. Bukan untuk keenakan pribadi. Jangan gundah! ku
titip Songgon padamu. Ingat-ingat! Aku tak pernah mati. Dan
tak akan pernah mati. Karena aku sudah mempersembahkan
semua dan segala bagi tanah kelahiranku yang tercinta
ini____" "Yang Tersuci..."
"Juga bagi manusia dan kemanusiaan! Bagi hidup dan
kehidupan! Nah, selamat tinggal! Dirgahayu bagi semua!"
Pedati segera bergerak lamban. Lamban sekali. Lalu agak
cepat, dalam iringan derai air mata dan ratap serta lolong.
Jangankan manusia, anjing-anjing pun melolong-lolong. Makin
jauh, dalam iringan pasukan berkuda. Para sayu dan cantrik
masih saja berdiri dengan kedua tangan yang tertelakup di
depan dada mereka. Menyembah. Dan tangisan yang tak
terbendung. Laki-perempuan, besar-kecil, tua-muda, kanak-
kanak dan kakek-nenek, semua meruntuhkan air matanya.
Bahkan seolah dalam mimpi, mereka tidak mampu bergeming
dan beranjak. Bukan cuma beberapa bentar. Tapi beberapa
lamanya. 209 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sampai debu yang mengiringkan rombongan itu sudah lenyap pun mereka masih
mematung di sana. Gelegar suara pohon tumbang membuat mereka terperangah. Apa
yang mereka lihat ternyata bukan hanya mimpi. Kendati hati terkungkung dalam
tanya, mengapa semua ini mesti terjadi"
*** Kenyataan yang dilihat oleh Schophoff dan Pieter Luzac, atau Juru Kunci serta
Wiraguna sungguh amat mengejutkan.
Dermaga sepi dari pengangkut barang kendati Singa Manjuruh sudah dikirimkan ke
Songgon. Bahkan Rsi Ropo sekarang sudah berada di Banyuwangi. Demikian pula
pekerja yang membangun loji. Padahal para tamu sudah mulai berdatangan. Para
wedana atau demang dan seluruh bekel sudah harus berkumpul untuk menghadiri
upacara peresmian Banyuwangi sebagai ibukota baru Blambangan. Dan secara resmi
kini seluruh Blambangan cuma diperintah oleh seorang adipati. Adipati Wiraguna!
Jalan-jalan belum sepenuhnya rapi. Para pembersih tak menampakkan batang
hidungnya. Kalau saja ada yang muncul, mereka tidak melakukan kegiatan apa-apa
kecuali duduk-duduk. Wiraguna bertanya langsung pada para bekel, mengapa anak
buah mereka tak muncul justru pada saat wisuda sudah kurang lima hari lagi. Tapi
mereka juga tak tahu mengapa. Namun Wiraguna berusaha menahan diri. Ia sibuk
menerima para pembesar dari manca negara.
Sementara itu Rsi Ropo di pesanggrahan bersama istrinya, sama sekali tidak
menduga diperlakukan dengan amat ramah oleh Juru Kunci yang menyambutnya di
batas kota. Namun pada sore harinya Rsi dimohon menghadap ke kadipaten sendiri.
Mas Ayu Tunjung tidak diperkenankan ikut karena tatanan baru yang berlaku di
Blambangan sekarang tidak memperkenankan wanita tampil di depan umum.
"Jagat Bathara! Bukankah aku beserta suamiku?" Ayu
Tunjung tidak terima. 210 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ampun, Yang Mulia... Jika Yang Mulia ingin menyertai
maka kami akan menyediakan kereta tertutup untuk Yang
Mulia. Karena di Banyuwangi tidak boleh ada seorang putri
berdandan seperti Yang Mulia ini. Lagi pula kami ingin
membicarakan keadaan Blambangan yang makin tegang ini
dengan Rsi. Cuma sebentar, Yang Mulia."
Tidak bisa tidak. Ayu melepas suaminya dengan ciuman. Ia
tinggal di pesanggrahan itu dengan ditemani oleh para
dayang. Di samping penjagaan Kompeni yang ketat. Tiap
orang yang keluar atau masuk diperiksa dengan cermat. Dan
ia berdoa, agar suaminya yang pergi bersama Juru Kunci itu
tidak menemui suatu apa pun, yang mencelakakannya.
Tapi Rsi Ropo sudah menduga apa yang bakal terjadi.
Langkahnya tetap. Tatapan matanya tidak pudar, kala ia
melangkah memasuki pendapa kadipaten. Tidak seperti biasa,
sekarang duduk di sana Schophoff yang sengaja datang dari
Pangpang bersama Pieter Luzac, menemani Wiraguna. Satu
kursi lagi disediakan buat Juru Kunci. Mereka berharap Rsi
ngelesot di lantai. Namun itu tidak pernah dilakukan Rsi Ropo,
kecuali di hadapan ayahnya, Wong Agung Wilis.


Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dirgahayu!" sapa Rsi Ropo sambil menatap tajam pada
Wiraguna. Adipati itu berdebar. Apa yang ada di kepala Rsi
Ropo, maka ia telah mengenakan pakaian puputan seperti ini"
Busana serba putih dengan sumping kembang kamboja di
telinga kanannya. Hampir ia tak mampu berkata-kata kalau
Juru Kunci tidak menyembah, "Inilah Rsi Ropo dari Songgon,
Yang Mulia." "Oh, silakan duduk Rsi," katanya gugup.
Tapi Rsi Ropo tidak duduk.. Karena memang tidak
disediakan tempat duduk. Sebagai jawabannya cuma
senyuman. Sambil menajamkan mata. Dan Wiraguna makin
gugup. Matanya mencari-cari pegangan.
211 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maafkan, eh, ampunkan kami, Yang Tersuci, tidak tersedia
banyak tempat duduk di sini____"
"Aku bukan Singa Manjuruh. Aku seorang rsi. Tak ada
aturan seorang brahmana menyembah pada para satria."
"Itu dulu, Yang Tersuci. Tapi sekarang zaman sudah
berubah. Demikian pula semua tatanan," Juru Kunci yang
memulai. Dendamnya mulai membara lagi. Bukankah orang ini
yang membuat ayahnya harus mati ketakutan"
"Zaman boleh berubah. Tapi jatidiri tidak boleh beranjak.
Dan kalau itu dipaksakan, maka aku akan pergi sekarang.
Kalian mengundang aku untuk berunding. Bukan untuk
menyembah." Orang muda yang berpakaian jubah putih
dengan kalung emas dengan medali bergambar bunga teratai
sebesar telapak tangan itu membalikkan tubuhnya. Tidak
menghormat pada siapa pun. Kendati ada seorang residen di
samping Adipati. "Keras kepala!" Schophoff membentak. "Jangan teruskan melangkah! Supaya para
pengawal istana ini tidak
membunuhmu seperti membunuh anjing kurap!"
"Tunggu kau, penculik istriku!" Wiraguna pun
memberanikan diri. Dan kata-katanya itulah yang
memberhentikan langkah Rsi Ropo. Orang itu berbalik. Dan
dengan berdiri tegak, kaku, serta mata seperti mata rajawali ia
menuding muka Wiraguna. "Kau yang berkata tadi?" Rahang Rsi Ropo menegang.
"Mengapa berani kauucapkan pertanyaan yang seharusnya
diperuntukkan bagimu itu" Aha... barangkali kau sudah mulai
kehilangan rasa malu sehingga kau sudah sama seperti para
perampok bule yang ada di sampingmu itu!" Rsi tertawa.
Kumisnya yang kecil melintang itu tertarik ke atas sesuai
o!engan gerakan bibirnya.
"Diam!" Pieter Luzac berdiri. Badannya menggigil. "Kami yang menyelamatkan
Blambangan dari keruntuhan. Kami
212 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
membangun Blambangan! Bukan kamu! Kamu cuma pintar
omong!" Mata Rsi Ropo tidak berpindah. Cuma lirikan kecil saja yang
memperhatikan gerakan Pieter. Wiraguna makin tak berani
memandangnya. "Jika dunia percaya pada kalian, tentulah karena yang kini
berkuasa di seluruh muka bumi adalah kaum drubiksa laknat!"
"Kurang ajar!" Pieter hampir kehabisan sabar. Matanya
menyala. "Kawula Blambangan belum sedungu yang kaukira
sehingga dapat percaya begitu saja terhadap keteranganmu!
Apa yang mereka lakukan semua ini karena terpaksa. Bukan
karena percaya, an, bagaimana mereka bisa percaya pada
kalian" Untuk menaikkan Mas Ngalit ke atas tahta, kalian telah
memancung hampir tiga puluh lima ribu sisa orang
Blambangan yang telah meletakkan senjata. Bahkan
sebahagian besar wanita dan orang-orang tua, yang tidak
berdaya. Kemudian kepala mereka kalian gantung di mana-
mana" Ha... ha... ha... itukah yang beradab" Manusia
terhormat dari negeri mulia" Ha... ha... ha..." Rsi Ropo
melecehkan. "Bangsat! Jangan salahkan anak-anak yang membalas
kejahatan pasukan Wilis yang lebih dahulu membunuh teman-
teman kami! Perwira-perwira kami. Bukankah kami penjaga
keamanan Blambangan?"
"Sebenarnyalah, apa yang aku lihat sebelumnya, kawula
lebih tenang dengan tanpa kalian hadir di Blambangan."
"Baik. Kau boleh berkata apa saja. Tapi tidakkah kaulihat
sekarang, dermaga telah kami bangun menjadi lebih luas, juga
kota ini menjadi lebih indah" Rumah dan jalan-jalan menjadi
lebih teratur?" Juru Kunci ikut nimbrung. Walau hatinya diam-diam kagum terhadap
keberanian sang Rsi yang masih muda
itu. 213 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Zaman Yang Mulia Wong Agung Wilis memang tak ada loji-loji yang berderet rapi
seperti saat ini. Tapi bolehkah aku sedikit memperbandingkan" Atau aku mau
bertanya pada kau!" Telunjuknya menuding hidung Wiraguna. "Berapa utang
Blambangan" Enam puluh ribu ringgit" Berapa lagi ribanya"
Nah, itukah yang menyebabkan semua tatanan harus berubah" Sehingga dulu tak
pernah ada pemungutan cukai jalan untuk pedati kawula yang mengangkut hasil bumi
ke lumbungnya, sekarang menjadi ada. Bahkan semua ternak, semua pohon yang
mengeluarkan buah ditarik pajak. Nah, aku bersyukur sekarang, dapat bersemuka
dengan perampas." Kembali Rsi Ropo tersenyum. Menyakitkan. "Ambil ah! Ini memang makna kekuasaan
yang sebenarnya. Memaksa dan merampas!"
"Keterlaluan!" Schophoff mendidih.
"Siapa yang keterlaluan" Orang yang membuat bayi-bayi dalam kandungan pun
berutang, atau 'yang mengajarkan kebenaran." Kini Rsi memandang residen itu. Dan
melangkah pelan-pelan. Tak urung hati Schophoff jadi berdesir.
Ingatannya melayang pada kejadian satu tahun silam.
"Kau tidak menghargai jasa seorang pembangun," Pieter masih berkata. Namun
dipotong oleh Rsi Ropo, "Membangun jalan-jalan untuk memperlancar pengangkutan kekayaan negeri kami ke
negara asing" Untuk memperlancar pedati-pedati kalian yang merampok itu"
Kereta-kereta berkuda yang juga milik kalian" Ha... ha... ha...
semua pembangunan di sini tidak pernah diperuntukkan bagi kawula. Tapi untuk
kalian!" "Untuk bersama!" bentak Pieter. Dan kini Rsi menajamkan mata padanya.
"Tidak! Untuk kepentingan kalian semata!" Rsi dingin.
"Penghasut! Pemecah-belah! Kau wajib disingkirkan dari..."
214 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Itu memang jalan keluar terbaik! Tiap putra terbaik negeri
ini akan disembelih! Sebab jika tidak ia akan berseru-seru
membangunkan kawula yang sedang tertindas ini!" Rsi Ropo
tetap tersenyum. Sampai Pieter Luzac memberi aba-aba pada
para pengawal menyeret Rsi keluar. Tapi Rsi tidak berlutut.
Juga tidak taku,t. "Kami akan mengampunimu, jika kau mau memohon
ampun," Wiraguna ragu.
"Aku seorang brahmana. Aku belum pernah takut pada
kematian! Dan ingat-ingat. Kau akan menyesal! Kau akan
menyesal!" "Tiang gantungan menunggumu!" Schophoff menakut-
nakuti. Ropo tersenyum. Tapi matanya menyala tajam.
Juru Kunci menjadi takut. Belum pernah ia melihat orang
setegar itu. "Jayalah Blambangan! Dirgahayu Wong Agung Wilis!!" Rsi
Ropo berteriak, sebelum keluar dari ruangan. Beberapa orang
telah membelenggunya.; Kemudian menutup mukanya dengan
kain. Mendengar nama Wong Agung Wilis disebut lagi, Wiraguna
menggeragap. Keringat dingin mengucur dari seluruh
tubuhnya. Sebuah nama yang mampu menjadi sumber
kekuatan bagi setiap lelaki dan wanita Blambangan. Semua
pembesar itu menjadi pucat. Maka Pieter Luzac
memerintahkan pada seorang pengawal supaya memberitahu
komandan benteng, agar penggantungan Rsi Ropo dilakukan
di pantai nanti malam. Dan agar hal itu sangat dirahasiakan.
Sepeninggalan pengawal itu, pendapa menjadi hening.
Senja pun mulai turun. Pesta sudah dimulai. Para tamu sudah
berdatangan. Tapi Wiraguna masih termenung.
215 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Jangan pikirkan lagi pengkhianat itu, Yang Mulia," Pieter Luzac menenangkan
hati Wiraguna. "Ia akan menerima
ganjaran atas semua ulahnya. Pikirkanlah sekarang bagaimana
caranya memberi kebahagiaan pada Garwa Padmi." Bibir
Pieter tersenyum di sela kumis dan jenggot yang mulai
tumbuh. Tidak seperti Schophoff yang suka * mencukur
jenggot dan kumis sesudah perang usai. Kini Schophoff pun
terbangun dari lamunannya. Terbahak-bahak. Juru Kunci ingat
sesumbar Ayu Tunjung. Bahwa Wiraguna lelaki yang cuma
berani berlindung di balik pinggul kakaknya. Maka ia mencoba
menjajagi hati pimpinannya.
"Tidakkah Yang Mulia ingin menjumpai garwa padmi malam
ini?" pancingnya. "Ingin, tapi kenangan ini amat mengerikan. Hamba takut,"
bisik Wiraguna. "Apa yang ditakutkan" Malam ini para penari akan mulai
menari di alun-alun. Lampu-lampu akan segera dinyalakan
orang." "Aku takut Rsi Ropo tidak bisa mati. Dan datang ke sini"
"Itu tidak mungkin, Yang Mulia. Sebaiknya sekarang kita
lupakan orang itu." Memang malam itu adalah awal pesta bagi peresmian
ibukota baru. Semua kesenian sudah didatangkan. Di alun-
alun juga sudah dipersiapkan tempat tayup. Walau belum
semua undangan tiba. Baru dari Sidayu dan Madura serta
Probolinggo. Sedang Surabaya dan Pasuruan serta para
pembesar termasuk Gubernur belum memasuki pendapa.
Meskipun begitu, kala malam mulai turun orang-orang
sudah mulai memadati tempat-tempat hiburan. Terutama di
alun-alun. Kesempatan begitu juga dipergunakan oleh para
penjudi untuk membuka arena dadu, atau main kartu Cina.
Dan memang penduduk Banyuwangi yang selama ini bekerja
membabat hutan, kuli dermaga, pekatik, petani, dan lain-lain
216 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah sangat haus hiburan. Maka tak mengherankan jika
semua tempat hiburan makin padat.
Justru di saat seperti itu, kedai minuman makin ramai.
Pasukan pengawal yang iri melihat para pemimpin mereka
mendapat kesempatan minum di kadipaten, melampiaskan
perasaannya di kedai-kedai. Bermabuk-mabukan. Dan semakin
malam semakin panas. Lebih dari itu, semakin banyak
pasukan pendudukan, dengan tanpa disadari oleh semua
orang, jumlah wanita penghibur semakin bertambah terus.
Dan bila ditanya apa penyebab makin banyaknya sundal di
Blambangan atau di seluruh muka bumi ini, pastilah tidak ada
yang berani mengatakan dengan tepat penyebabnya. Tapi
yang jelas sebagian besar dikarenakan pengaturan tata
kehidupan yang memberikan warna kemajemukan, dan
melahirkan perbedaan kaya dan miskin yang amat menyolok.
Kelobaan si kaya yang memaksakan ketergantungan makhluk-
makhluk miskin. Dalam ketergantungan tercipta persundalan.
Dalam hiruk-pikuknya pesta-pora, Pieter Luzac
memerintahkan sepuluh orang terpilih untuk menggiring Rsi
Ropo ke tempat yang telah dipersiapkan. Di sebelah utara
dermaga. Ia sama sekali tidak percaya Rsi Ropo mampu
meluputkan diri dari tali gantungan. Schophoff sendiri ingin
menyaksikan penggantungan itu, kendati hatinya keder.
Namun karena Mas Ayu Arinten telah hadir, maka ia memilih
untuk menemani wanita itu, malam ini.
Pieter Luzac benar-benar tidak habis mengerti. Kendati
kematian sudah di ambang pintu, Rsi Ropo tetap berjalan
tegar. Ia tidak mau ditutup matanya. Senyum tetap
tersungging di bibirnya. Mungkin saja orang ini menghibur
atau membera-ni-beranikan diri. Mana ada orang tidak takut
mati" Yang membuat Pieter ingin segera membungkam mulut
Rsi Ropo, ialah sepanjang jalan orang itu selalu meneriakkan
semboyan, "Jayalah Blambangan! Dirgahayu Wong Agung
Wilis!" Dan itu tidak berhenti sampai di pantai. Walau berulang 217
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kali disuruh berhenti dan dibentak. Dan teriakan itu pula yang
membuat bayangan hitam berkelebat, menyelinap dari satu
persembunyian ke persembunyian lainnya, bagai rombongan
hantu mengikuti ke mana rombongan itu pergi. Pieter Luzac
tidak mengetahui hal itu. Ia pikir semua orang terseret arus
hiruk-pikuknya orang berpesta-pora.
Sampai di tempat ia langsung memerintahkan agar Rsi
dinaikkan ke atas sebuah kereta berkuda. Tali sudah tersedia
di antara dua tiang yang rupanya didirikan buru-buru sore tadi
dan atasnya dihubungkan dengan sebuah kayu kokoh sebesar
paha melintang. Tanpa banyak cingcong kepala Rsi
dimasukkan ke dalam lingkaran tali.
"Tidak kau ikat tanganku?" tanya Rsi pada algojo
disampingnya. Algojo itu bertugas mencambuk kuda jika aba-
aba sudah diucapkan oleh Pieter Luzac. Dan untuk kesekian
kali algojo menjadi gugup. Selama ia menjalankan tugas
penggantungan belum pernah menjumpai yang seperti ini.
Namun sebelum ia menjawab terdengar Pieter Luzac bertanya
pada Rsi Ropo, "Masih ada kesempatan bagimu, Ropo. Mintalah
pengampunan." "Persetan dengan ocehanmu! Jayalah Blambangan!
Dirgahayu, Wong Agung Wilis! Demi Hyang Maha Ciwa, aku
tidak akan pernah minta ampun!" teriak Rsi Ropo.
"Baik!" Suara Pieter agak bergetar. "Satu!" Diam beberapa bentar. "Dua..."
Pieter menunggu lagi beberapa bentar.
Kemudian dia mengokang bedilnya, dan... dor! Pieter Luzac
tak sadar bagaimana mulainya, tahu-tahu ia terjerembap.
Dada kirinya seperti dihantam benda keras. Laras bedilnya tak
terarah ke dada Rsi Ropo. Dan di bawah remang sinar
rembulan ia melihat kereta bergerak. Dan kuda berlari cepat
tapi Rsi Ropo tetap berdiri di atasnya. Rentetan tembakan
terdengar lagi. Tapi bukan Ropo yang rubuh. Justru para
pengawalnya berjatuhan. Ia berusaha bangkit. Tapi tenaganya
218

Banyuwangi Trilogi Blambangan Buku Ketiga Karya Putu Praba Drana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hilang. Bahu kirinya nyeri dan basah. Sebagai perwira ia
segera sadar. Maka ia merapatkan diri ke tanah.
Ternyata Harya Lindu Segara bertindak cepat. Beberapa
anak buahnya menyusup ke kota bagai serigala mencari
mangsa. Merunduk dalam kegelapan. Mengintai. Kemudian
bertindak. Sebelum aba-aba ketiga berbunyi, sebutir peluru
menghantam Pieter dan sebuah pisau tertancap di punggung
salah seorang algojo yang berdiri terdekat dengan Rsi Ropo.
Dan sebilah pedang berkelebat memotong tali di atas kepala
Rsi, sehingga putus, bertepatan dengan gerak terkejut dari
kuda penarik kereta. Tentu Ropo tak sempat membuang tali di
lehernya. Ia biarkan melingkar. Sebab ia ingin memburu waktu
untuk mengambil istrinya.
Bersamaan dengan itu suasana perjamuan makin riuh.
Wiraguna memang mampu melupakan kejadian tadi sore.
Entah berapa cawan yang ia teguk. Juru Kunci memang
pintar. Tanpa sesadarnya telah minum ramuan obat yang
biasa diminum oleh Juru Kunci. Tak ayal, bayang-bayang Sri
Tanjung menggodanya. Maka ia berbisik pada Juru Kunci agar
melanjutkan pertemuannya dengan para tamu. "Hamba ingin
menengok Garwa Padmi, Yang Mulia."
"Ingat-ingat pesan Tuan Schophoff. Jangan lupa, bawa
keris Raden Harjuna itu, agar Yang Mulia Garwa Padmi
hemh..." "Ya, ya, terima kasih." Wiraguna membetulkan letak keris pemberian Schophoff.
Ternyata semua orang memperhatikanku, pikirnya. Beberapa bentar kemudian
menyelinap ke tempat keretanya mangkal. Kereta itu
disiapkan untuk mengantar tamu-tamu ke pesanggrahan yang
disiapkan. Tanpa banyak omong, kusir segera menggerakkan kereta
berkuda itu ke arah pantai. Tidak terlalu jauh. Kemudian
berhenti di depan sebuah gedung besar yang dilingkari
pekarangan luas. Dan ia langsung menuju taman. Karena ia
219 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
merasa pasti, Sri Tanjung ada di situ. Beberapa pengawal
segera menyingkir ke gerbang. Mereka takut mengganggu.
Namun oleh Juru Kunci mereka dilarang meninggalkan tempat
kecuali waktu gilir jaga.
Dugaan Wiraguna memang tepat. Mas Ayu Tunjung yang
dia juluki Sri Tanjung itu memang sedang resah berjalan-jalan
di seputar kolam. Sebentar-sebentar ia perhatikan bunga
teratai putih yang terayun-ayun karena silir angin. Sejak siang,
dia menanti kehadiran suaminya yang diundang ke istana.
Begitu banyak dayang yang disediakan untuk melayaninya.
Namun tak sepatah pun ia menjawab setiap perkataan,
apalagi permintaan mereka. Pakaian dan kemben yang
dipersembahkan padanya dilempar ke tanah. Padahal kemben
berenda emas. Mahal. Semua wanita pasti mengingini. Kain
parang sidamukti, batik dari Mataram juga dilempar jauh-jauh.
Batik termahal di Mataram. Semua dayang berbisik satu
dengan lain, ternyata wanita paling cantik dalam abad ini di
Blambangan itu seorang pemberang.
Setiap kali Ayu Tunjung melempar pandang ke pintu taman
itu. Kalau-kalau suaminya sudah kembali. Tapi setiap kali ia
melakukannya, setiap kali debar jantungnya mengencang. Ada
apa dengan suaminda" Lolong anjing berulang terdengar di
luar pagar. Bersaut-sautan. Namun membaur dengan gelak
tawa para pemabuk di pesta peresmian kota itu. Para dayang
menghentikan penuturan mereka. Karena Ayu tidak suka
memandang mereka. Tiba-tiba ia memekik perlahan. Dari kejauhan telinganya
menangkap suara letusan. Tentu bukan sekadar petasan. Dan
beberapa bentar kemudian disusul oleh beberapa letusan lagi.
Tanpa sadar ia mengucapkan doa. Para dayang yang bukan
orang Blambangan itu tak mengerti makna kata-katanya.
Seribu tanya bermunculan dalam tiap sudut hatinya.
Selamatkah dia" Perhatiannya tercurah pada suami yang tidak
ia ketahui nasibnya itu, membuat pengamatannya jadi kurang
220 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
peka. Terbukti dengan ketidaktahuannya akan kehadiran
Wiraguna di belakangnya. Cukup lama lelaki itu mengamati
tiap lekuk punggungnya. Sementara para dayang bergeser
menjauh pelan-pelan, sambil berbisik-bisik satu dengan
lainnya. "Makanya, tak mau mengenakan kemben. Memang sengaja
disediakan pada Raden Tumenggung. Biar mudah...."
"Sstts, jangan begitu. Kau tak lihat mukanya yang
bermendung itu" Kau juga tidak lihat suaminya yang ganteng
tadi sore barangkali."
"Buat apa tampan kalau miskin" Raden Tumenggung itu"
Hemh, kurang apa" Tampan, kaya, berkuasa. Siapa yang tak
ingin diperistri-kannya" Dia bermuram kan karena ada kita.
Coba kita intip. Ia pasti akan meringkik-ringkik seperti kuda
betina." "Hus..." Kemudian mereka bersama-sama bersepakat
mengintip di tempat tersembunyi.
Wiraguna sendiri sukar memulai pembicaraan. Tapi aneh.
Birahinya begitu tinggi. Mengentak-entak tanpa dapat ditahan.
Maka entah keberanian dari mana yang membuatnya
melangkah maju dan mencoba meraba pundak mulus di
bawah sinar rembulan itu. Namun sebelum langkahnya dekat*
benar, ia menginjak sebuah ranting kering. Gemertak
suaranya mengejutkan Ayu Tunjung. Dilihatnya ada lelaki
berbusana tidak seperti suaminya. Matanya-yang terlatih
dalam gelap segera mengenal lelaki yang berdiri di
hadapannya. "Wiraguna?" ia terpekik perlahan. .
"Sri Tanjung... mari ..." Napas Wiraguna memburu
menahan nafsu. Ia mendekat. Dan berusaha memeluk sang
putri. Namun tiba-tiba wajahnya terasa panas. Telapak tangan
Ayu Tunjung bergerak cepat: plakk!
221 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Sri Tanjung!" Wiraguna terkejut. Ia pegangi pipinya.
"Tidak ada istri yang segalak kau, Manis."
"Sejak kapan kau belajar berani seperti ini. Atau memang
demikian pendidikan adiluhung dari tatanan baru di
Blambangan" Berpura-pura ramah, santun, namun kurang ajar
pada istri orang" Sungguh hebat nilai adiluhung yang
kauciptakan itu!" Gugup juga Wiraguna mendengar itu. Apalagi Tunjung
lebih mundur lagi. Tapi keinginannya menyunting perempuan
ini sudah tak tercegah lagi. .
"Tak pantas seorang istri berkata seperti itu pada
suaminya." "Hyang Dewa Ratu! Sejak kapan kau menjadi suamiku?".
Tunjung gemetar menahan marah. "Tidakkah kau sadar
bahwa seorang satria Blambangan tidak akan pernah bersatu
dengan penjual negara dan bangsa, seperti dirimu. Kau
pengkhianat yang bertopeng santun, dan murah hati. Tapi kau
tak pernah menyesal apalagi bertindak untuk melindungi
putra-putra Blambangan yang diperbudak, dan
dipersundalkan! Tidak, karena kau sendiri suka
mempersundalkan orang lain! Jika suamiku memang telah
kalian bunuh, maka sekarang kau harus membiarkan aku
pergi." Ayu Tunjung melangkah. Tapi Wiraguna nekat.
Mencegat dan berusaha memeluk Ayu Tunjung.
"Sri Tanjung! Semua permintaanmu akan kukabulkan. Asal
mau jadi istriku. Sungguh! Sung..." Kepalan Ayu Tunjung
menghentikan kata-katanya. Keras sekali. Mulutnya
mengeluarkan darah. Kini Ayu Tunjung berkacak-pinggang.
Diterpa sinar purnama wajahnya kian gilang-gemilang.
Sekalipun tanpa senyum. Matanya memantulkan cahaya
rembulan. Ia membetulkan letak sumping kembang kemboja
di kupingnya, kemudian kembali berkacak-pinggang.
Sementara Wiraguna memandangnya dengan napas yang kian
memburu. Matanya nanar. Kain mori putih bikinan India
222 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menutup ketat bagian bawah tubuh Mas Ayu dan naik ke atas
menutup sebelah dari susunya. Sebuah susunya tetap terbuka
dengan putik tertutup kembang emas bertatahkan bebatuan.
Tentu amat mahal. Pending di bawah pusar juga bertatahkan
manikam. Gila. Namun pusar itu yang membuat air liur
Wiraguna naik-turun. "Sri Tanjung..." Wiraguna setengah sadar. Bergerak maju.
Walau bibirnya menebal. Namun pengaruh arak dan obat-
obatan dari Juru Kunci telah membuatnya seolah tak merasa
sakit. Keringat membasahi tubuhnya. Itu sebabnya ia melepas
baju kebesaran yang tebal itu dan melemparkannya ke atas
batu. Sementara itu para pengintip saling berbisik lagi,
"Sudah... mulai. Coba ingin lihat aku, menyerah tidak," bisik salah seorang
sambil senyum-senyum. Namun belum lagi
habis kata-katanya, mereka melihat Wiraguna berteriak
kesakitan sambil memegang perut. Tinju Ayu Tunjung yang
membuatnya. "Kauizinkan aku keluar, atau aku akan memaksa." Wanita
muda itu melangkah tenang ke pintu taman. Tapi Wiraguna
cepat-cepat bangun dan mengejar.
"Sri Tanjung, Sri Tanjung, jangan..." Sebuah lompatan
membuat ia merangkul tubuh wanita itu dari belakang.
Keduanya bergulingan ke tanah. Ayu Tunjung kaget
bercampur marah. Ia berusaha melepaskan diri. Namun tubuh
Wiraguna seakan melekat erat.
"Jangan jamah aku! Biadab!" Namun pelukan kian erat.
Bahkan kini Wiraguna sudah menciumi punggungnya.
Tengkuknya. Ayu Tunjung teringat sumpah kala ia merelakan
diri dinikahi oleh Rsi Ropo, bahwa ia akan melakukan Gawala
Brahmacarya.(melakukan perkawinan Cuma sekali dalam
hidup, sekalipun suaminya mati, itu dianggap suatu godaan
dan cobaan hidup yang patut diatasi lahir batin. Meniadakan
kepentingan pribadi dengan mengabdi pada Ketuhanan dan
Kemasyarakatan)) Karena itu ia meronta. Lebih kuat.
223 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bergulingan lagi. Mendekati kolam dan makin dekat. Ayu
Tunjung putus asa. Dia merasa harus mempertahankan
kesucian. Dan tiba-tiba ia ingat. Di bawah kainnya ia
menyimpan sebuah cundrik. Dan ia berusaha mengambil. Dan
berhasil. Tapi kini tanpa terkendali, tubuhnya terjerembap ke
kolam. Wiraguna sempat mengangkat rerumputan dan
melepaskan pelukannya. Justru saat Ayu Tunjung berusaha
menusuk tangannya dengan sekuat tenaga. Maka tanpa
terkendali tangan itu tak dapat diberhentikan dan cundrik
menusuk lambungnya sendiri seirama dengan dorongan
kejatuhannya ke kolam. "Sri Tanjung!" Wiraguna berteriak. Ia tahu kolam itu cukup dalam. Sebab kolam
itu juga merupakan semacam kedung
dari kali kecil yang mengalir di tengah kota. Sampai beberapa
lama ia memanggil-manggil. Tapi Sri Tanjung tidak kunjung
muncul. Panik. Takut. Birahi. Semua rasa menyatu. Pandangannya
gelap. Kembali ia memanggil-manggil. Cuma rangkaian bunga
yang tadi terkalung di leher Ayu Tunjung nampak terapung-
apung. Dan sebelum lenyap terbawa arus Wiraguna sempat
memungutnya. Diciumnya kembang-kembang yang terangkai
itu. Wangi. "Sri Tanjung! Sri Tanjung!" ia berteriak. Berulang.
Dan tiba-tiba saja para dayang melihat ia terhuyung.
Kemudian jatuh. Bersama mereka menyerbu dan menolong.
Dengan berat mereka membawa Wiraguna ke kereta. Berlari.
Sementara itu secara tiba-tiba bunyi tembakan membuat
beberapa pengawal bergulingan, bersama datangnya sebuah
kereta. Ropo melompat turun. Kain putihnya berkibar-kibar.
Lindu Segara mengikutinya dari belakang. Masuk taman.
"Istriku?" ia memanggil sambil bergesa. Tanpa jawab.
Seorang dayang gemetar sambil menunjuk kolam. Kembang
berhamburan terapung-apung. "Tunjung! Tunjung!" Ropo
yang telah kembali jadi Sratdadi itu melompat ke dalam
kolam. Menyelam. Lindu Segara juga. Beberapa bentar.
224 Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Muncul kembali. Mas Ayu Tunjung dalam gendongan. Cundrik
tertancap di perutnya. Darah masih mengalir. "Tunjung!"
Sratdadi, pangeran Blambangan itu, dibantu Lindu Segara
naik. Beberapa bentar pandangannya nanar. Dengan mulut
terkatup ia angkat tubuh istrinya. Perlahan ia berjalan menuju
pintu. Di bawah pandangan mata para dayang. Dan iringan
Harya Lindu Segara. Di gerbang ia berhenti. Menoleh ke rumah besar itu. Dan
beberapa bentar kemudian ia berkata perlahan,
"Aku seorang pangeran kini! Lindu Segara, aku juga
seorang bajak laut. Karena itu perintahkan anak buahmu,
bakar rumah ini!" Dan tak lama kemudian api menjalar ke bubungan rumah
itu. Tak seorang mampu menolong. Para bajak laut berjalan
meninggalkan tempat itu. Sratdadi dengan tali gantungan
yang terkalung di lehernya, terus berjalan dengan langkah
mantap ke pantai. Ia bersumpah, "Dengan cundrik ini pula
akan kubunuh Wiraguna!" Terus ia gendong mayat istrinya.
Bersama Lindu Segara ia menuju perahunya. Tak ia perhatikan
hiruk-pikuk. Lindu Segara memerintahkan anak buahnya
membongkar sauh, dan mendorong jungnya ke tengah.
Menjauhi kota Banyuwangi...
(Sembilan tahun kemudian, Wiraguna terbunuh ketika naik
kapal layar menuju Batavia didaerah Rembang. Karena
kapalnya dibajak di antara Tuban dan Rembang. Siapa pelaku
pembunuhannya" Tidak jelas, tapi itulah, yang tercatat dalam
babad Blambangan.) 0ooDewioKZoo0 TAMAT 225 Rajawali Murka 1 Joko Sableng 23 Istana Sekar Jagat Darah Dan Cinta Di Kota Medang 11
^