Ching Ching 6
Ching Ching Karya ??? Bagian 6
"Kami akan turut nasihat Paman," kata Siauw Kui.
Ching-ching melambaikan tangan sebelum kemudian pergi mencari rumah makan. Siauw
Kui mengikuti. Mereka menuju rumah makan yang terdekat dan masuk ke dalam.
"Hei, he! Mau apa kalian?" seorang pelayan menghadang di pintu.
"Mau makan," jawab Siauw Kui polos.
"Di sini tak ada makanan buat pengemis macam kalian," kata pelayan itu.
"Siapa pengemis?" tukas Ching-ching sengit. "Kamu bukan pengemis."
"Eh, tidak mengaku lagi. Lihat saja tampang kalian yang belepotan, baju
compang-camping tak keruan, bau lagi. Huh!" pelayan itu menutup hidung seolah
dua anak di depannya menyebarkan bau busuk. "Sana pergi!"
Ching-ching tersinggung diperlakukan demikian. Darahnya naik sampai ke
Ching Ching 167 ubun-ubun. Didorongnya pelayan sombong itu sampai terjengkang. Beberapa orang
yang sedang makan menoleh melihat keributan itu.
"Dengar!" bentak Ching-ching marah. "Kami bukan pengemis. Dan seandainya
pengemis pun, apa hakmu melarang makan di dalam, asal sanggup bayar. Kamu jangan
besar kepala, ya. Batu jadi pelayan lagaknya ...."
Siauw Kui meringis mendengar Ching-ching membentak-bentak pelayan itu. Nyalinya
ciut. Bukan karena takut pada bentakan Ching-ching, tapi ia lihat pengunjung
rumah makan mengerutkan kening karena merasa terganggu. Apalagi kebanyakan
adalah orang-orang yang kelihatan cukup berilmu. Cepat-cepat ditariknya lengan
Ching-ching dan diseretnya dari tempat itu. Ching-ching tidak sadar. Ia masil
mengomel sambil mengacung-acungkan tinju.
"Kau mau apa"!" bentaknya pada Siauw Kui ketika sudah agak jauh.
"Sudahlah," kata Siauw Kui menenangkan, "kita cari tempat lain saja."
"Memangnya kenapa" Kau takut sama pelayan jelek itu?"
"Bukan, tapi ... ah, jangan cari gara-garalah."
"Pelayan itu mesti dikasih pelajaran," desis Ching-ching tanpa menggubris
omongan Siauw Kui. "Ayoh, balik ke sana."
"Jangan," Siauw Kui melarang. "Nanti diusir lagi."
"Hmm, dia mengusir kita karena pakaian kita. Baik, akan kutunjukkan padanya.
Ayo!" "Ke mana?" "Cari baju," kata Ching-ching sambil menarik Siauw Kui ke sebuah toko pakaian."
Keluar dari toko itu, dandanan mereka sudah lain sama sekali. Ching-ching
berdandan cantik sampai Siauw Kui melotot ketika pertama kali melihatnya. Siauw
Kui sendiri diberi pakaian indah dan rapi seperti seorang kong-coe. Mereka
saling memandang kemudian tertawa-tawa.
"Ching-ching, lain sekali kau kalau sudah dandan."
"Kau juga lain," balas Ching-ching. "Tidak terlalu jelek. Sayangnya ceking.
Biarlah, paling-paling dikira anak orang kaya yang penyakitan."
Siauw Kui cuma tertawa saja digoda begitu.
Ching-ching membuka kantung uangnya. Isinya dibagi dua dengan Siauw Kui. "Ini,
bawalah. Orang akan mengira kau kakakku. Jadi kau harus traktir aku di
mana-mana. Pakai uang ini. Dan hati-hati sama copet."
"Beres!" kata Siauw Kui senang. Seumur hidup baru kali ini dia pegang uang dan
berpakaian bagus. Rasanya aneh sakali. Saking senangnya Siauw Kui menjadi sangat
hati-hati. Ia belum terbiasa, gerakannya jadi terganggu.
"Sst, jangan kaku begitu," bisik Ching-ching sambil cekikikan. "Jangan sampai
orang lain tahu bahwa kau tuan muda yang kaya mendadak. Santai saja."
Mereka kembali ke rumah makan yang tadi. Pelayan yang sombong tadi tampaknya
tidak mengenali. Siauw Kui dan Ching-ching disambut dengan baik. Dalam hati,
keduanya merasa geli. Keduanya memesan macam-macam makanan. Ching-ching belum melakukan apa-apa sampai
pesanan datang. Ia masih menunggu saat yang baik untuk bertindak.
Siauw Kui makan dengan cepat dan agak terburu-buru. Ching-ching meringis
melihatnya. Ia menendang kaki Siauw Kui di kolong meja. "Tak usah buru-buru,
santai saja." "Masa bodoh, aku sudah kelaparan!"
Selesai makan, Ching-ching teringat niatnya semula, tapi pelayan yang diincarnya
tidak terlihat. Ia merasa iseng karena Siauw Kui kelihatan belum selesai makan.
"Rakus amat," goda Ching-ching. "Kau makan tiga kali lebih banyak dari aku."
Ching Ching 168 "Aku memang tiga kali lebih lapar darimu," jawab Siauw Kui.
Ching-ching ingin menggoda lagi, tapi saat itu incarannya sedang menuju ke arah
mereka. Ia membawa makanan untuk orang yang duduk di belakang Ching-ching. Ini
saatnya, pikir Ching-ching girang.
Ditunggunya sampai pelayan itu lewat di sammpingnya, kemudian tanpa terlihat
siapa pun, dijulurkannya kaku untuk menjegal.
Berhasil! Pelayan itu tersandung, makanan yang dibawanya tumpah dan mengotori
pakaian salah seorang pelanggan yang langsung berdiri sambil marah-marah.
Ching-ching pura-pura tidak tahu. Dengan asyik ia menonton pelayan yang masih
terkapar itu dimaki-maki sebagai si dungu, tolol, otak kerbau, dan sebagainya.
Pelayan itu minta maaf berkali-kali. Ketika hendak membersihkan makanan yang
tumpah, ia terpeleset dan justru menubruk orang yang marah-marah tadi.
Ching-ching mendengus-dengus menahan tawa. Siauw Kui yang selesai menghabiskan
semua hidangan, memandangnya dengan bingung. Ching-ching semakin geli. Saat itu
pelayan yang kini dimarahi majikannya, menoleh. Beberapa lama mereka bertatapan.
Betapa terkejut si pelayan mengenali mata bening yang jenaka.
"Mau apa lihat-lihat"!" Ching-ching menggebrak meja. Pelayan itu kaget
dibuatnya. Begitu pun Siauw Kui yang sedang minum. Air teh membasahi mukanya.
Pelayan itu buru-buru menunduk. Ia bahkan tak berani melirik ketika Ching-ching
melangkah keluar sementara Siauw Kui membayar.
Di luar, Ching-ching melepaskan tawanya. Ia terbahak sampai perutnya sakit.
Tawanya menular, Siauw Kui ikut tertawa padahal ia tak tahu apa yang
ditertawakan. "Kau lihat betapa pucat mukanya waktu dimarahi?" tersengal-sengal Ching-ching
berkata. "Aduuh, sampai sesak napasku menahan tawa."
"Oh, jadi itu sebabnya kau mengeluarkan suara-suara aneh tadi?"
Yang ditanya tak sanggup menjawab. Ia cuma mengangguk kemudian cekikikan lagi
sampai terbungkuk-bungkuk.
Tawa mereka berhenti ketika serombongan orang lewat membawa tandu. Rombongan itu
berseragam kecuali yang memimpin di depan. Orang-orang menepi ketika rombongan
itu lewat. Mereka berbisik-bisik,
"Itu pasti Un Khoa-jin yang di dalam tandu itu."
"Yang di depan itu siapa?"
"Un Kong-coe, putranya."
"Mau ke mana mereka?"
"Ke alun-alun. Ada pie-boe di sana."
Orang-orang berjalan ke satu arah, mengikuti rombongan tersebut. Siauw Kui dan
Ching-ching terbawa arus. Di samping itu mereka juga ingin tahu ada apa.
Mereka sampai di alun-alun. Di sana sudah didirikan semacam panggung yang
ditopang tonggak yang kokoh. Saat itu Un Kong-coe sedang memberikan kata
sambutan. "... diadakan untuk meramaikan suasana. Pemenangnya akan diberi hadiah sebanyak
seratus tael emas!" Un Kong-coe berhenti sejenak. Setelah yang datang berhenti
berbisik-bisik, ia melanjutkan, "Karena pie-boe ini hanya untuk meramaikan
suasana saja, maka penggunaan senjata dalam bentuk apa pun dilarang.
Pertandingan hanya dengan tangan kosong. Siapa yang meninggalkan pie-boe atau
jatuh dari panggung lebih dulu adalah yang kalah. Tetapi, apabila ada korban
nyawa yang jatuh, tak seorang pun akan menanggung. Baiklah, untuk lebih
singkatnya kita mulai saja sekarang."
Seorang berbadan kekar naik ke panggung. Di atas, ia melempar goloknya. Sambil
Ching Ching 169 berdiri berkacak pinggang, ia menantang, "Ada yang berani melawan?"
Seorang lain tak kalah gagah menyusul naik. Ia menjura seraya memperkenalkan
diri. "Aku Teng Chow Hui, ingin bermain-main denganmu."
"Baik, mari kita main-main sebentar."
Kedua orang itu bersiaga kemudian saling melancarkan serangan. Sebentar saja
terlihat bahwa orang yang pertama hanya mengandalkan tenaga saja sementara yang
bermarga Teng itu memiliki sedikit dasar ilmu silat. Banyak orang yang memang
berniat merebut hadiah mengetahui hal ini. Tetapi para penonton awam yang tidak
mengerti ramai bersorak-sorak saling menjagokan. Ching-ching dan Siauw Kui
berada di tengah-tengah penonton ini. Sayangnya mereka tak dapat melihat apa-apa
karena terhalang tubuh penonton lain.
"Kita maju ke depan, yuk," ajak Siauw Kui. Ditariknya Ching-ching menyusup di
antara orang-orang itu. Setelah berkali-kali mendesak kiri-kanan, menginjak kaki
orang, dan dimaki-maki, dapat juga mereka sampai ke deretan depan. Paling depan
malah. Dengan demikian kini mereka dapat melihat dengan jelas sekalipun mesti
mendongak karena panggung itu cukup tinggi juga.
Melihat sebentar saja Ching-ching sudah bosan. "Payah," celanya. "Ilmu jelek
begitu, apanya yang patut dilihat."
"Seru, kok!" bela Siauw Kui. Ia ikut ribut bersorak-sorak.
Beberapa kali pertempuran terjadi. Setelah menang, Teng Chow Hui mundur
digantikan dua jago lain yang bertempur. Yang menang memberi kesempatan pada
yang lain. Belakangan mereka akan saling diadu untuk menentukan yang terbaik.
Cara semacam ini makan cukup banyak waktu. Barangkali sampai tiga hari. Jadinya
suasana di kota itu meriah selama hari-hari tersebut.
Hari pertama Ching-ching betul-betul kecewa. "Tidak seru!" omelnya ketika di
penginapan. Ia sibuk mencela. Siauw Kui diam saja. Ia tidak mengerti ilmu silat.
Lebih baik mengiyakan saja daripada ikut kena damprat.
Keesokan harinya Ching-ching ikut juga ke alun-alun sekalipun di jalan ia
mengancam, "Kalau hari ini tidak seru lagi, aku pulang ke penginapan."
Tetapi kali ini pie-boe tak membosankan. Banyak orang lihay unjuk kepandaian.
Gadis itu tertarik sekali. Terutama kepada dua jago dari utara dan selatan yang
mengalahkan lawan-lawan mereka dengan cepat.
Jago dari utara adalah seorang pemuda she Yo yang berpakaian siu-cai. Wajahnya
tampan membayangkan kehalusan budi. Ilmunya cukup tinggi. Gerakannya lambat
namun mantap dan enak dilihat. Seperti orang menari saja layaknya. Dalam setiap
jurus terkandung syair-syair masyhur yang dalam maknanya.
Ching-ching yang pernah mempelajari sastra tingkat tinggi jadi terkagum-kagum.
Memang mata yang kurang celi menganggap goresan tangan di udara itu hanyalah
perubahan-perubahan biasa saja. Lain dengan beberapa orang pejabat yang datang.
Seperti juga Ching-ching, mereka mengagumi pemuda tersebut.
Penghargaan mereka semakin bertambah pula setelah melihat pemuda itu menjatuhkan
lawan-lawannya tanpa menyakiti. Ia hanya membuat lawannya terjatuh dari panggung
dan mengakui kekalahannya.
Jago yang satu lagi ialah seorang berusia 30-an. Badannya kurus dan jangkung.
Tulang pipinya menonjol sedangkan kulitnya kuning. Ilmunya lumayan. Gerakannya
cepat dan lincah sekali. Sayangnya, berbeda dengan si pemuda she Yo, jagoan ini mengalahkan lawannya
dengan licik dan kejam. Sehari ini sudah tiga kali ia robohkan orang. Yang
seorang patah kaki, seorang bocor hidungnya, yang terakhir rompal giginya.
Besok adalah hari terakhir. Tinggal empat orang pendekar yang tersisa - si pemuda
Ching Ching 170 she Yo, si jangkung, dan dua orang lagi yang tingkatan ilmunya tidaklah tinggi.
Jadi bisa dipastikan si pemuda dan si jangkung akan bertanding. Inilah yang
ditunggu orang banyak. Sepintas kelihatan keduanya setanding. Pasti bakal jadi
adu kepandaian yang seru.
Malamnya secara kebetulan Ching-ching bertemu dengan pemuda yang bernama Yo
Chong itu di rumah makan. rumah makan itu penuh sekali. Kabarnya paling enak di
kota itu. Yo Chong yang datang belakangan nyaris tak jadi masih melihat tak ada meja yang
tersisa. Pada saat itu Ching-ching yang sudah pesan tempat menyapa, "Yo Toako,
kebetulan bertemu di sini. Ayo, sekalian saja kuundang minum."
Yo Chong jadi tak enak hati melihat orang yang undang dia hanyalah bocah cilik.
Ia pun menampik. "Ayolah, Yo Toako," Ching-ching memaksa. "Sudah kepalang basah datang ke sini."
"Tapi aku - " "Ayolah! Atau kau takut gengsimu turun ditraktir anak kecil" Baik, kau yang
bayar." Yo Chong mengangguk. Kemudian ia diseret Ching-ching ke meja tempat Siauw Kui
sudah menunggu. Sambil menunggu pesanan datang, Ching-ching berbincang-bincang
dengan Yo Chong. "Yo Toako, tadi kulihat permainan silatmu bagus sekali," puji Ching-ching.
"Ah, biasa-biasa saja," kata Yo Ching merendah. Anak kecil tahu apa, sambungnya
dalam hati. "Aku juga melihat banyak syair masyur yang terdapat dalam jurusmu."
"Oh ya?" mata Yo Chong melebar. Kali ini ia perhatikan lawan bicaranya
betul-betul. Dandanan Ching-ching seperti seorang sio-cia. Wajahnya bercahaya.
Barangkali anak seorang wan-gwe. Kelihatannya terpelajar juga. Yo Chong jadi
tertarik. "Syair apa saja yang kau kenali?"
"Ada beberapa," jawab Ching-ching. "Jurus yang pertama terdapat syair 'Bulan di
atas Danau Ho'. Lalu jurus kedua mengandung syair 'Pohon Ciong di kaki bukit'.
Yang ketiga ...." Ching-ching nyerocos terus. Ia senang melihat Yo Chong terbengong-bengong.
Pemuda itu keheranan betapa Ching-ching dapat menyebutkan syair-syair itu dengan
tepat. Pandangannya berubah. Ia tidak lagi meremehkan Ching-ching.
Laim lagi dengan Siauw Kui yang malah mengeluh. Pamer lagi, pamer lagi, pikirnya
bosan. Ia lebih bersemangat menanti makanan yang dipesan. Celakanya, pesanan
mereka tak kunjung datang, padahal sudah sedari tadi perutnya berkeriuk minta
diisi. Akhirnya pesanan datang. Siauw Kui yang paling senang. Tanpa sungkan-sungkan
lagi ia segera mulai makan. Ching-ching dan Yo Chong, sambil makan masih juga
bicara dan tukar pikiran tentang bun dan bu.
Selesai makan, Yo Ching ngotot mengantar sampai ke penginapan. Ching-ching
menerima tawaran dengan senang hati. Ia belum puas bercakap-cakap dengan pemuda
perlente yang bail pendidikannya itu. "Yo Toako, kau memang baik dalam bun dan
bu. Aku belum bosan menggali pengetahuan darimu," puji Ching-ching ketika mereka
kembali ke penginapan."
"Ching-moay, kau pun baik dalam kedua soal itu."
"Tetapi belum sebaik engkau. Oh ya, aku juga lihat ilmu silatmu sangat bagus."
Yo Ching tersenyum bangga.
"Yo Toako, besok kau harus hadapi jagoan ceking yang bakalan jadi lawanmu. Dia
itu licik nampaknya. Kau hati-hatilah."
Ching Ching 171 "Ching-moay, kau jangan kuatir. Aku masih bisa kalahkan dia," kata Yo Chong
meremehkan. "Ya, tapi dia itu dapat saja jatuhkan kau dengan cara tidak baik atau malah
membahayakan dirimu."
Yo Chong tersenyum lagi. Anak kecil tahu apa, pikirnya, tapi mulutnya berucap,
"Ching-moay, terima kasih atas perhatianmu."
Ching-ching tidak menjawab. Ia sempat melihat senyuman sinis Yo Chong barusan.
"Eh, Yo Toako, sebenarnya kenapakah kau ikutan pie-boe di sini" Apakah tidak
punya uang" Kelihatannya kau bukan orang yang butuh uang. Apa artinya seratus
tael emas bagimu?" tanya Siauw Kui yang sedari tadi baru sekarang ia buka suara.
"Uang itu bukan untukku," kata Yo Chong, "tapi buat orang-orang yang kena
musibah di daerah utara. Panen mereka tahun ini gagal. Banyak yang kelaparan.
Cara yang paling gampang untuk tolongi mereka adalah memberi uang. Dan bagiku
cara cari uang yang paling cepat adalah ikut pie-boe."
"Begitu!" Siauw Kui mengangguk-angguk. Saat itu mereka sampai di tempat
penginapan. "Yo Toako, terima kasih mau mengantar kami," kata Siauw Kui. "Kami
sudah repotkan kau."
"Ah, sudah kewajibanku. Kalian istirahatlah. Aku pun akan segera pergi."
"Selamat malam," kata Ching-ching dan Siauw Kui bebareng. Yo Chong melangkah
pergi. Kedua remaja tanggung di belakangnya memandangi sampai pemuda itu
membelok di sudut jalan. "Ching-ching," kata Siauw Kui, "tapi kulihat dia seolah meremehkan
peringatanmu." "Tak usah kau omong pun, aku sudah tahu!" kata Ching-ching. "Sayang pemuda
setampan dan sepandai dia itu suka meremehkan orang lain. Satu kali ia akan
termakan kesombongannya itu."
"Eh, kau bilang tampan" Tampan mana sama aku?" tanya Siauw Kui menggoda.
Ching-ching pura-pura memperhatikan. Siauw Kui pasang lagak. "Kau?" Ching-ching
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyengir. "Kau dibandingkan si ceking dari selatan pun masih lebih bagus ...."
Ching-ching sengaja tidak selesaikan ucapannya. Siauw Kui cemberut. Ia tahu apa
yang bakal dikatakan Ching-ching. Makanya ia berjalan pergi meninggalkan dengan
muka ditekuk. "Hei, hei. Kenapa marah" Ucapanku belum selesai."
"Aku tahu!" kata Siauw Kui ketus. "Kau mau bilang aku lebih jelek dari si
ceking, ka?" "Siapa bilang" Aku tidak omong begitu. Kau sendiri yang anggap dirimu lebih
jelek dari si ceking."
"Maksudmu, aku lebih mendingan?"
"Tidak juga. Aku mau bilang dibandingkan si ceking denganmu lebih bagus Yo
Chong." Siauw Kui meringis. Ching-ching tertawa. "Tapi kau tak perlu sirik,"
kata Ching-ching kemudian. "Ditawari sepuluh Yo Ching, aku akan pilih si tolol
Siauw Kui seorang." Siauw Kui meringis lagi. Tetapi kali ini karena senang sekaligus terharu atas
ucapan sahabatnya. Keesokan harinya, alun-alun sudah penud sedari pagi. Jalan-jalan sepi. Kota
seolah mati. Seluruh penduduk berkumpul untuk menyaksikan pie-boe. Bandar judi
ikut sibuk membuka usaha di sana. Penduduk banyak mencoba peruntungan.
Siauw Kui tertarik sejak tadi. Matanya bolak-balik melirik ingin ikut, tapi
Ching-ching sudah buru-buru menariknya menyusup di antara orang-orang supaya
dapat tempat paling depan.
Ching Ching 172 Pertandingan sudah mulai. Pertama-tama adalah jago selatan yang ceking melawan
seorang pendekar berumur 30-an. Seperti yang sudah diramalkan, si ceking
memnangkan pertandingan dengan cepat dan ganas. Hasilnya pendekar malang yang
melawannya dipecundangi hingga matanya bonyok, hidungnya bocor, kaki dan
tangannya patah. Orang itu semaput di atas panggung luitay dan terpaksa digotong
orang. Berikutnya Yo Chong melawan pendekar tua umur 40-an. Sekali lihat saja orang
parobaya itu sudah tahu kepandaian Yo Chong ada jauh di atasnya. Walaupun
demikian, orang itu tak mau lekas-lekas menyerah. Ia tetap menghadapi lawannya
dengan gigih. Yo Chong yang tahu adat pun tidak buru-buru. Ia tak mau bikin malu
orang tua itu sekali gebrak. Jadinya mereka bertanding tidak dengan
sungguh-sungguh, hanya saling memamerkan kepandaian saja.
Penonton berorak-sorak riuh. Mereka tak tahu permainan di antara dua orang itu.
Mereka kelihatan begitu bersungguh dalam serangan maupun pertahanan. Akibatnya
pertempuran berjalan lebih lama.
Ching-ching mulai kuatir. Sudah pasti pertempuran ini dapat dimenangkan oleh Yo
Chong. Cepat atau lambat pemuda itu akan menang. Namun semakin lama pertempuran
berarti semakin kurangnya tenaga. Sungguh gawat bagi Yo Chong pada saat ia harus
betul-betul melawab si ceking kelak.
Yo Chong menyadari hal ini. Sebelum tengah hari ia harus cepat memenangkan
pertandingan. Kalau tidak, waktu istirahat akan sangat sempit. Belum tentu ia
akan dapat kumpulkan tenaga dan konsentrasi yang terbuyar.
Memikir demikian, Yo Ching mempergencar serangannya. Walaupun tidak mengarah ke
tempat-tempat berbahaya, lawannya cukup terdesak dan sambil menangkis terpaksa
melangkah mundur sampai mepet ke tepi panggung.
Pada suatu kesempatan bagus, Yo Chong memukul ke arah dada. Lawannya menangkis.
Perhatiannya terarah untuk melindungi tubuh bagian atas.
Sayangnya pukulan ini hanyalah pancingan. Pada saat bersamaan, Yo Chong menyapu
ke bawah. Yo Chong sengaja pelankan gerakan supaya lawannya sempat menghindar.
Si pendekar parobaya itu memang menghindar dengan berpoksai di udara ke arah
belakang dan ia mendarat dengan mantap di sebelah bawah panggung.
Penonton bersorak. Ching-ching bertepuk paling keras. Ia sungguh salut pada Yo
Chong. Sesuai dengan aturan permainan, dengan turun dari panggung saja, orang
sudah kalah. Tapi kali ini tanpa serasa malu, soalnya sekali pun pukulan Yo
Ching tidak ada yang mendarat telak.
Setelah berbasa-basi, kedua pendekar itu menyingkir. Yo Chong sempat
beristirahat sejenak. Ia menggunakannya untuk siulian sejenak, mengumpulkan
tenaga dan konsentrasi. Ching-ching dan Siauw Kui menjagai di sampingnya.
Lewat tengah hari, pertandingan antara Yo Chong dan si ceking akan segera
dimulai. Ching-ching sempat wanti-wanti sekali lagi. "Yo Toako, hati-hatilah
terhadap senjata rahasia."
"Apa maksudmu?" Yo Chong malah bertanya.
"Si ceking bukan orang yang mau mengalah begitu saja. Ia akan gunakan segala
cara untuk menjatuhkanmu. Kalau perlu, membunuhmu dengan cara tidak jujur. Oleh
sebab itu, kau waspadalah."
"Siauw-moay, kau janganlah cemas. Kau sendiri katakan ilmuku ada setingkat lebih
tinggi dari si ceking itu, kan?" Yo Chong menyahuti.
"Tapi - " Ching-ching tak sempat bicara. Tanda sudah dibunyikan Yo Chong harus
segera naik panggung. Pemuda itu berjalan dengan mantap dan gagah. Begitu pun si ceking lawannya,
Ching Ching 173 berjalan dengan kegagahan yang dibuat-buat. Malah lucu jadinya. Kelihatannya
seperti jerangkong yang berjalan, ketamplingan.
Kedua jago itu saling memberi hormat. Mereka juga memperkenalkan diri
masing-masing. Ternyata si ceking dari selatan itu bergelar Lam-tay-kim-tiau.
Bersama dengan adiknya Lam-tay-hek-tiau, mereka dikenal sebagai
Lam-tay-siang-tiau. Ketika keduanya memulai pie-boe, penonton tenang sama sekali. Setelah beberapa
saat, barulah mereka hiruk-pikuk saling menjagokan jago masing-masing. Tidak
sedikit pula yang langsung pasang taruhan untuk kedua jagoan itu. Siauw Kui yang
sedari tadi sudah tertarik jadi tergoda. Ia melirik ke arah Ching-ching yang
asyik memperhatikan jalannya pie-boe.
Kalau aku minta ijin, Ching-ching mana membolehkan. Ah, kubohongi sajalah,
pikirnya. "Ching-ching!" panggilnya agak keras.
"Hmmm," sahut Ching-ching tanpa menoleh.
"Aku ke sana dulu."
"Mau apa?" "Mau buang air."
"Ya, baiklah. Jangan lama-lama!"
"Tidak." Siauw Kui menyusup ke bagian sebelah belakang tempat orang yang sedang bertaruh
bergerombol. Ching-ching tidak kelihatan di antara orang banyak. Siauw Kui
merasa aman. Ia mendekati kerumunan orang yang sedang sibuk pasang taruhan.
"Ini, aku tiga tael untuk Kim-tiau."
"Aku juga tiga tael untuk si pemuda."
"Aku ikut untuk Kim-tiau."
"Aku juga. Ini uangnya."
"Tunggu, tunggu, aku juga ikut!" teriak Siauw Kui.
Orang-orang itu menoleh kepadanya. "Eh, anak kecil mana boleh ikutan?"
"Boleh saja. Kalau aku punya uang, kau mau apa?" tantang Siauw Kui.
"Biarkan dia ikut," kata bandar. "Coba, bocah, mana uangmu?"
"Nih, sepuluh tael. Aku pasang Yo Chong, siucai itu."
"Eh, kecil-kecil sudah royal," seorang terkekeh-kekeh. "Nih, aku juga tiga tael
untuk si ceking." Selesai memasangkan uangnya, Siauw Kui kembali ke samping Ching-ching. Ia
tinggal menunggu hasil. Ia hampir yakin Yo Chong bakal menang. Makanya, hampir
semua uang dipertaruhkan. Sisanya tinggal beberapa tael saja di dalam kantung
uang. "Dari mana saja" Lama betul," omel Ching-ching.
"Maklum, penuh orang sih. Aku kan harus cari tempat yang aman."
"Sst, lihat tuh, si ceking mulai terdesak."
Benar, di panggung, Yo Chong memang mulai berada di atas angin. Serangannya yang
lambat tidak membuatnya keteter. Justru bikin lawan bingung - kelihatannya
pertahanan pemuda itu terbuka, tetapi bila diserang selalu lolos.
Wajah Kim-tiau yang kuning pucat jadi kemerahan karena marah dan malu. Tadi ia
sudah sesumbar mengalahkan pamusa itu dalam beberapa jurus saja. Sekarang, sudah
hampir 200 jurus, bukan saja ia belum memanangkan pertandingan, malah berada di
bawah angin pula. Kim-tiau juga mendengar beberapa orang berteriak melecehkan. Hal ini mengobarkan
amarahnya. Namun juga bikin perhatiannya terbagi dan gerakannya jadi kacau. Satu
pukulan telak dari Yo Chong bikin dadanya sakit sekali. Ia undur beberapa Ching
Ching 174 langkah. Matanya menyipit. Memang ia tak sampai muntah darah, tapi kepalanya
sempat pusing beberapa saat.
Penonton bersorak menjagoi Yo Chong. Pemuda itu tersenyum penuh kemenangan, Kim-
tiau kesal bukan main. Dalam pandangannya ia sudah dipermalukan di depan banyak
orang. Ia harus balas. Ia harus kalahkan Yo Chong segera, Dengan cara apa pun.
Tetapi ia harus hati-hati, jangan sampai orang tahu akan kecurangannya.
Otak Kim-tiau berputar. Melihat keadaan sekarang, tampaknya tak banyak orang
berkepandaian tinggi yang menonton. Apabila ia berbuat curang, paling-paling
cuma adik seperguruannya yang melihat. Adiknya itu apsti membela tan tak tega
melapor atau mempermalukannya. Memang adiknya itu terlalu jujur, tapi tidaklah
goblok untuk permalukan nama perguruan di depan banyak orang.
Kim-tiau mengambil keputusan. Setelah memperbaiki kuda-kuda, ia mulai menyerang
dengan cepat. Hampir tanpa pertahanan sama sekali.
Yo Chong yang hati-hati mengira ada jebakan dan tidak gunakan kesempatan untuk
balas menyerang. Ia hanya bertahan dan bertahan.
Kim-tiau senang. Rencananya akan berjalan lancar. Sambil melompat berputar, ia
lancarkan serangan ke dada atas Yo Ching. Bersamaan dengan itu, ia luncurkan
jarum emas dari mulutnya ke arah leher. Yo Chong yang melindungi dada sempat
melihat senjata rahasia yang dilontarkan musuh.
"Hei!" serunya kaget.
"Curang!" teriak seorang tapi suaranya tenggelam oleh sorak penonton.
Yo Chong merasakan lehernya ditembus barang yang tipis halus. Tangannya bergerak
memegangi leher. Kim-tiau tidak sia-siakan waktu. Ia segera lancarkan pukulan
berantai ke arah dada kemudian dengan kedua telapak tangan memukul kepala Yo
Chong kiri-kanan. Kemudian sekali lagi lancarkan tendangan berputar ke kepala
lawan. Yo Chong jatuh tak bergerak dengan kepala retak.
Sejenak penonton hening. Namun saat berikutnya sorak mereka membahana memekakkan
telinga. Kim-tiau kebutkan debu dari bajunya lantas menjura kepada penonton yang
masih juga sorak-sorai. "Curang!" teriakan seseorang disertai khikang mengatasi suara lainnya. Lagi-lagi
penonton sepi. Kim-tiau mencari-cari asal suara itu. Matanya terpaku ke sosok
tubuh mungil yang melotot menantang.
"Eh, bocah kecil, atas dasar apa kau tuduh aku?" tanya Kim-tiau. Hatinya yang
sempat gentar kembali tenang melihat hanya bocah kecil yang berani
teriak-teriak. "Kau gunakan senjata rahasia untuk kalahkan Yo Toa-ko. Dasar manusia licik!"
Ching-ching berteriak. "Eh, eh, punya hubungan apa kau dengan pemuda ini sampai begitu sewot. Lagipula
semua orang melihat, dia mati gara-gara kepalanya bocor oleh tendanganku,"
sanggak Kim-tiau. "Aku tidak ada hubungan. Hanya sebatas kawan. Tapi aku menuduh dengan bukti.
Suruh saja orang periksa. Pasti di lehernya ada titik bekas ditembus jarum emas.
Jarumnya pun masih di situ."
Orang-orang berkasak-kusuk bikin suasana agak gaduh. Saat itu Siauw Kui
menerobos ke belakang. Wajah Kim-tiau pucat pasi. Tapi otaknya masih berputar. Ia tersenyum sinis dan
berkata, "Eh, bocah, kau salah duga. Kalau tak percaya, periksalah sendiri
olehmu." "Huh, manusia tak berbudi, kau pikir aku tak tahu akal-akalanmu yang busuk.
Ching Ching 175 Begitu aku periksa dan tunjukkan bukti, kau akan tuduh aku mengada-ada dan
memfitnahmu." "Baik, kalau kau tak mau, aku akan tunjukkan sendiri padamu."
"Manusia busuk, kau jangan bergerak. Biar saja pihak luar yang periksa," tukas
Ching-ching. "Biarkah aku mencoba bertindak adil antara kalian," seorang pemuda maju. Dialah
Un Kong-coe. Pemuda itu membungkuk di depan mayat Yo Chong. Ia memeriksa agak lama. Kemudian
ia perlahan berdiri. Orang-orang yang berbisik-bisik diam dan menungguk
keputusan. Un Kong-coe menarik napas dulu sebelum berkata, "Aku melihat jarum emas
menyembul dari luka Yo Chong, namun aku tak dapat mencabutnya."
"Biat aku yang lakukan," seorang tinggi-besar dengan kulit cokelat terbakar
matahari melompat ke panggung.
"Soe-tee!" Kim-tiau berbisik, nyaris tak terdengar, tapi Ching-ching sempat
melihat gerak bibirnya. Dengan pandang curiga ia memperhatikan orang yang baru
muncul tersebut. Orang itu membungkuk dan menepuk leher Yo Ching. Kim-tiau sudah senyum-senyum.
Adiknya pasti membela dan membuat kepala jarum yang menyembul makin melesak.
Berarti tak ada bukti menuduhnya.
Tahu-tahu si tinggi-besar berbalik. Tangannya mengacung memperlihatkan sebatang
jarum yang berlumur darah. Orang berseru-seru kaget. Tetapi yang paling terkejut
adalah Ching-ching dan Kim-tiau sendiri.
"Soe-tee, kau ... kau ....," Kim-tiau terbata.
"Soe-heng, kita adalah golongan putih. Kenapa kau sampai hati turunkan tangan
jahat pada orang yang tak bersalah. Apalagi pemuda ini kelihatan orang baik-baik
pula. Aku sungguh kecewa padamu." Si tinggi-besar yang bergelar Lam-hay-hek-tiau
turun dari panggung meninggalkan si ceking yang terpana.
"Aku minta ganti rugi," terdengar suara dari belakang. Siauw Kui berlari maju
dengan muka merah. Ia naik ke atas panggung dengan memanjat tiang penyangga. Itu
pun dengan susah payah. Kelakuannya bikin beberapa orang tersenyum geli. Siauw
Kui berdiri di hadapan Kim-tiau dengan napas ngos-ngosan.
"Mau apa!" bentak Kim-tiau garang.
"Pokoknya ganti. Semestinya aku menang taruhan. Gara-gara kau yang berlaku
curang, uangku hilang. Bandarnya minggat lagi." Kini orang-orang tertawa.
"Siauw Kui, turun!" perintah Ching-ching.
"Ha, rupanya kau ada hubungan dengan bocah kurang ajar ini. Kau pun perlu diajar
adat." Kim-tiau menendang. Refleks Siauw Kui menghindar ke samping. Gayanya
lincah dan cepat. Beberapa orang menyangka bocah itu setidaknya punya dasar ilmu
silat. Apalagi pakaiannya seperti seorang anak hartawan. Kim-tiau bergerak lagi.
Tangannya menampar. Kali ini Siauw Kui menunduk sambil lindungi kepala.
Orang-orang bersorak. Wajah Kim-tiau memerah, merasa dipermainkan. Darahnya
bergolak. Ching-ching memandang kuatir. Ia takut kalau-kalau Kim-tiau mata gelap. Tapi ia
heran juga betapa Siauw Kui bisa menghindar. Kecurigaannya timbul. Jangan-jangan
Siauw Kui bisa silat juga. Karenanya, ia diamkan saja sementara.
"Bocah kecil, kau minta dihajar"!" bentak Kim-tiau.
"Bocah besar, kau gantikan dulu kerugianku!" Siauw Kui balas berteriak.
"Ini, rasakan!" Kim-tiau memukul.
"Aww!" Siauw Kui berteriak seraya berlari menghindar.
Ching Ching 176 "Setan cilik!" maki Kim-tiau.
"Eh, dari mana kau tahu namaku?" Siauw Kui malah bertanya lugu.
Mengira Siauw Kui sengaja putar balikkan kata Kim-tiau, penonton malah bersorak
dan tertawa-tawa. Ketegangan akibat matinya Yo Chong mencair akibat tingkah
Siauw Kui yang ketolol-tololan.
Sebaliknya, Kim-tiau saking marah, memukul serabutan. Penonton tambah terbahak
melihatnya. Siauw Kui yang kelabakan menghindar. Ia kena ditempeleng dan
ditendang beberapa kali. "Anjing kecil, kau rasakanlah!" Kim-tiau menempeleng lagi. Tapi Siauw Kui keburu
jatuhkan diri hingga tangannya cuma kena angin.
"Kau bilang anjing kecil, ya anjing kecil." Siauw Kui menrangkak-rangkak sambil
meniru-niru salak seekor anak anjing.
"Gila!" Kim-tiau berteriak saking bingung. Saat itu Siauw Kui mengincar betisnya
dan berhasil mencabik kain celana Kim-tiau dengan giginya. Tanpa sadar Kim-tiau
menghindar. Siauw Kui mengejar. Jadilah mereka uber-uberan di atas panggung.
Yang menonton terbahak sampai terguling. Seluruh tempat itu bergetar karena
mereka. Ching-ching pun iktu cekikikan.
"Kunyuk bau, mampuslah kau!" teriak Kim-tiau teraya menendang.
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siauw Kui meringis. Ia berdiri. "Kau bilang kunyuk, ya kunyuk." Sekarang anak
itu berjingkrakan mengitari Kim-tiau.
Saking marahnya, Kim-tiau melupakan ilmu silatnya. Ia mengejar hendak menangkap
Siauw Kui tetapi gerakannya tanpa didasari ilmu silat sedikit pun. Kim-tiau
menubruk-nubruk berkali-kali, tetapi Siauw Kui berhasil menghindar walaupun
beberapa kali bajunya tercabik.
Sekali Kim-tiau menubruk. Lagi-lagi Siauw Kui menghindar. Kim-tiau menubruk
angin. Keseimbangannya hilang. Ia jatuh pada kedua tangan dan lutunya. Tanpa
sia-siakan kesempatan, Siauw Kui naik ke punggung Kim-tiau. Berpegangan pada
baju orang yang ditungganginya, Siauw Kui melonjak-lonjak.
Tentu saja Kim-tiau gondok bukan main. Ia berusaha menjatuhkan Siauw Kui dengan
mengebas-ngebaskan badan sambil merangkak-rangkak, tapi Siauw Kui tenang-tenang
saja. Walau badannya oleng ke kiri ke kanan, tetapi pegangannya cukup kuat.
Kim-tiau berdiri. Siauw Kui buru-buru memeluk leher orang sehingga tidak
terjatuh. Dengan satu tangan memeluk leher Kim-tiau, tangannya sebelah lagi
mengacak-acak rambut orang itu. Kini penampilan keduanya berantakan tak ketahuan
rupanya. Hal ini semakin menambah gelak penonton.
Kim-tiau berusaha menjatuhkan Siauw Kui. Tetapi semakin didorong, pegangan Siauw
Kui makin kuat. Jadinya Kim-tiau tercekik sendiri.
Bosan berada di punggung Kim-tiau, Siauw Kui merosot turun seperti turun dari
pohon. Ia langsung berlari dikejar. Sayangnya Siauw Kui sudah kecapean. Dengan
mudah ia ditangkap dan dihajar Kim-tiau habis-habisan.
Orang berteriak-teriak supaya Siauw Kui dilepaskan. Siauw Kui sendiri, walaupun
sudah setengah mati, masih berontak, mencakar, dan menggigit. Kim-tiau seolah
tidak merasakan. "Hentikan!" Tanpa seorang pun menyadari, tahu-tahu Ching-ching sudah perada di
panggung. "Oh, kau juga minta dihajar"! Baik, kau tenanglah di situ!" dengan gemas
Kim-tiau membanting Siauw Kui ke lantai.
"Manusia jahat! Percuma kau belajar silat dan mengaku-aku sebagai golongan
putih. Anak kecil pun tak kau ampuni" Barangkali gurumu tak mengajar adat
padamu." Ching Ching 177 Lam-hay-hek-tiau melompat naik. Panggung terasa bergetar ketika ia mendarat.
"Bocah, kalau kau marah karena soe-hengku berbuat curang, aku tak ikut campur.
Tapi kalau kau bawa-bawa nama guruku dalam urusan ini, aku tak bakalan tinggal
berpangku tangan," katanya.
Ching-ching tak menjawab. Ia membantu Siauw Kui berdiri dan menyuruhnya turun.
Siauw Kui menurut dengan mulut berdesis-desis menahan sakit. Di bawah panggung,
orang-orang menyambutnya sebagai pahlawan menang perang. Ada yang mengipasi,
memberinya minum, memijiti, memeriksa lukanya, dan bermacam lagi. Siauw Kui diam
saja. Ia tak menolak dimanjakan seperti itu.
Ching-ching kembali menghadapi Hek-tiau dan soe-hengnya. Matanya yang membelalak
bersinar marah. Bibir mungilnya menipis. Bentaknya, "Oh, rupanya kau mau bela
soe-hengmu, ya. Huh, tak kusangka Lam-tay-siang-tiau tak lebih dari sepasang
siauw-jin tak tahu adat!"
"Bocah, kuharap kau tarik kembali kata-katamu."
"Kalau tak mau, bagaimana?" Ching-ching menantang.
"Aku terpaksa ajar adat padamu."
"Huh, justru kalian yang perlu diajar adat."
"Baik, jangan salahkan aku kalau nanti menghajarmu," kata Hek-tiau.
"Jangan salahkan aku juga kalau kau babak belur!" balas Ching-ching.
Seluruh penonton berbisik-bisik. Nama Lam-tay-siang-tiau memang belum begitu
dikenal, tetapi setidak-tidaknya mereka sudah dapat gelar dan tak dapat
dipandang enteng, sedangkan dua anak ingusan ini sungguh nekad, berani melawan
mereka. "Eh, bocah kecil, nyalimu sungguh besar. Aku salut padamu," puji Hek-tiau.
"Bocah besar, aku pun sempat salut padamu karena tak segan berlaku jujur," balas
Ching-ching. "Bocah kecil, aku tak suka turunkan tangan jahat. Begini saja. Sesuai aturan,
siapa turun duluan, dia yang kalah."
"Baik!" sambut Ching-ching.
"Bukan itu saja. Kalau kau kalah, kau harus tarik kembali penghinaan pada guruku
dan harus kui dan memanggilku thia-thia. He-he-he, aku tak keberatan punya anak
pemberani macam kau, bocah."
Ching-ching dan mereka yang menonton terperangah. Hek-tiau ini sungguh orang
yang berbelas kasihan. Sudah dimaki orang, malah balas memuji. Nyatalah tuduhan
pukul rata disamakan dengan soe-hengnya salah sama sekali.
Penghargaan Ching-ching terhadap Hek-tiau bertambah saja. Hatinya yang membara
dingin seketika. Ia tahu, mudah saja untuk mengalahkan Hek-tiau, tapi ia tak
berminat lagi. Namun untuk segera mundur dan mengaku kalah, tentunya merupakan
pantangan bagi gadis angkuh itu. Karenanya, ia mengangguk setuju.
"Tunggu dulu!" tahu-tahu Siauw Kui berteriak. "Bagaimana kalau kau yang kalah?"
serunya pada Hek-tiau. "Terserah!" jawab Hek-tiau singkat.
"Kalau begitu, jika kau kalah, kau harus panggil popo padanya!" usul Siauw Kui.
"Enak saja!" Ching-ching menukas. "Kau pikir aku suka jadi nenek-nenek?"
"Ya sudah, panggil ie-ie sajalah," kata Siauw Kui lagi.
Ching-ching hendak membantah, tetapi Hek-tiau keburu menyetujui. "Ha-ha,
baiklah, itu cukup adil."
"Tapi - " Ching-ching keberatan.
"Yang kukatakan pantang kutarik lagi," potong Hek-tiau.
"Baik! Siauw Kui, tunggulah, nanti kau akan dapat bagian juga!" omel
Ching Ching 178 Ching-ching. "Bocah cilik, kau lebih muda. Mulailah duluan."
Hek-tiau memasang kuda-kuda yang kokoh. Ia menunggu serangan. Ching-ching tidak
buru-buru. Ia malah berdiri santai berpeluk tangan, memandangi lawannya.
Hek-tiau masih menunggu. Untuk menyerang duluan ia merasa sungkan. Untuk
bergerak pun akan turunkan gengsi. Badannya tegang dan pegal dikarenakan
kuda-kuda yang seolah memakunya ke lantai.
Lama mereka berdiri saling tatap. Penonton di situ mulai tak sabar. Ada yang
ribut membakar supaya Ching-ching segera mulai, ada yang mengejek mengira gadis
itu jeri menghadapoi Hek-tiau, ada lagi yang pasang taruhan.
"Ha, ayo taruhan. Lima tael, Hek-tiau pasti bikin anak itu babak belur!" kata
seorang yang berdiri dekat Siauw Kui.
"Aku pegang bocah nekad itu dua tael."
"Mana bisa bocah itu menang. Nih, aku pasang tiga tael untuk Hek-tiau."
"Aku juga tiga tael," seorang kate menyeruak.
"He, aku enam tael pada si hitam itu," kata seorang bermuka bopeng.
Siauw Kui mendengar pertaruhan itu. Mendapati lebih banyak yang menjagoi
Hek-tiau daripada Ching-ching, ia jadi gusar sendiri.
"Huh, kalian bakal hilang banyak. Nih, aku punya lima tael, kupasangkan semua
untuk istriku," katanya.
"Istrimu" He, bocah, kecil-kecil kau sudah punya istri?" kata seorang petaruh.
"Iya, dia itu istriku," kata Siauw Kui sambil menunjuk Ching-ching di panggung.
Orang-orang di sekitarnya tertawa. "Pantas dia begitu galak waktu membelamu."
"Jelas! Istriku itu bukan orang sembarangan."
"Baiklah, kau taruhkan untuk istrimu itu. Siap-siap saja kelaparan beberapa
hari." "Kujamin, istriku menang," Siauw Kui menyombong.
Saat itu Ching-ching belum juga bergerak. Para petaruh lain melecehkan Siauw
Kui. "Tuh, lihat istrimu. Barangkali jeri melawan Hek-tiauw itu."
"Eh, itu istriku sedang tunjukkan kesabaran, tahu," bela Siauw Kui. Padahal
dalam hatinya ia sendiri keheranan dan mulai ragu.
Beberapa orang mulai menguap karena bosan menunggu. Siauw Kui mulai kuatir.
Jangan-jangan Ching-ching ....
Gubrak! Suara keras terdengar dari atas panggung. Semua terkejut. Hek-tiau telah rubuh
di atas panggung dalam keadaan kuda-kuda. Badannya kaku, matanya melotot,
tangannya mengepal teracung, tetapi ia diam tak bergerak. Kim-tiau soe-hengnya
terkejut dan segera melompat untuk memeriksa.
Ching-ching menggeliat. Badannya berkeretekan. "Aduh, badanku pegal," keluhnya.
Di bawah, Siauw Kui melompat-lompat girang. Ia mengumpulkan uang hasil
taruhannya, penuh sekantung.
"Sayang, aku cuma bertaruh dua tael," gerutu satu-satunya orang yang bertaruh
untuk Ching-ching selain Siauw Kui.
"Nih, kubagi," kata Siauw Kui. "Kalian lihat sendiri, tanpa bergerak saja
istriku dapat robohkan orang itu, apalagi kalau kepandaiannya dikeluarkan semua,
bisa gempa bumi." Sambil nyengir senang, Siauw Kui lantas hampiri Ching-ching yang duduk selonjor
di panggung dan memegang bahu gadis itu.
"Mau apa kau!" Ching-ching kaget dan menghindar.
"Kau mestinya pegal. Biar kupijit."
Ching Ching 179 Orang-orang tersenyum melihat kelakuan dua bocah itu. Mereka tak percaya omongan
Siauw Kui dan anggap keduanya kakak-adik. Paling tidak saudara seperguruan.
Kim-tiau yang tak berhasil menyadarkan adkinya menjadi panik dan kalap. "Bocah
iblis, anak setan, ilmu siluman apa yang kau gunakan untuk rubuhkan Soe-teeku!"
"Tanya sendiri sama Soe-teemu," Siauw Kui menyahut.
"Siluman iblis!" maki Kim-tiau. Lantas saja ia menyerang untuk membikin hancur
kepala Ching-ching. Seruan-seruan terkejut terdengar. Beberapa orang menjerit ngeri. Tamatlah
riwayat kedua anak itu, pikir mereka.
Tapi mereka bengong melihat Ching-ching hanya mengebaskan tangan menangkis
bagaikan orang mengusir lalat saja. Lebih terpana lagi mereka melihat Kim-tiau
berjingkrak-jingkrak kesakitan. Orang ceking itu memegangi lengannya yang
barusan seolah beradu dengan besi sehingga kesemutan dan nyaris patah
tulang-tulangnya. Namun Kim-tiau belum juga kapok dan menyerang lagi. Kali ini Siauw Kui yang jadi
sasaran. Anak laki-laki itu menjerit lalu berjongkek, melindungi kepalanya
dengan kedua tangan. Ching-ching tidak membiarkan perbuatan Kim-tiau. Ia juga
berjongkok. Tangannya cepat mendorong ke depan dan telak mengenai lutut si
jangkung-ceking itu. Kim-tiau jatuh berlutut. Kakinya mati rasa. Ia tak dapat berdiri.
Ching-ching menepuk-nepuk pundaknya. "Nah, memang begitu seharusnya meminta
maaf, sambil berlutut. Sekarang kau lebih tahu adat, bukan" Berterimakasihlah
atas pengajaranku," ejek gadis itu.
"He, Siauw Kui, jangan bengong saja. Antar dia turun panggung."
"Buat apa susah-susah. Dorong saja begini," Siauw Kui melaksanakan ucapannya.
Tubuh Kim-tiau tumbang ke bawah. Orang-orang bersorak. Mereka senang Kim-tiau
bisa dipecundangi dua bocah yang belum punya nama.
Ching-ching mendekati Hek-tiau. Bersama Siauw Kui diberdirikannya orang itu.
"Nah, kau boleh bergerak sekarang!" kata gadis itu seraya menepuk pundak
Hek-tiau. Hek-tiau pun dapat bergerak. Terasa darahnya mengalir lagi dengan lancar. Ia
bergerak hendak berlutut tapi Ching-ching mencegah.
Hek-tiau menjura dan berkata, "Ie-ie, aku takluk padamu."
"He, kau juga harus hormati Ie-thiomu," kata Siauw Kui.
Ching-ching menjitak kepala anak itu. "Kau banyak omong, sekarang diamlah." Lalu
katanya pada Hek-tiau, "Menurut aturan, siapa duluan meninggalkan pie-boe dialah
yang kalah. Nah, di antara kita, tak seorang pun turun dari panggung. Seri! Tak
ada yang kalah dan tak ada yang menang. Kau tak perlu panggil Ie-ie padaku."
Hek-tiau mengangguk-angguk. "Lalu soe-hengku?"
"Jangan kuatir. Ia akan baik dalam waktu 2 jam. Ini kali dia beruntung tak
sampai mati. Lain kali kalu ia curang lagi, tak tahu apa akan terjadi. Sebab
itu, kau jagalah dia baik-baik."
"He!" bentak Siauw Kui. "Istriku sudah berlaku baik, kalian belum juga pergi"
Sana, angkat kakakmu pergi dari sini sebelum aku putuskan untuk turun tangan
membunuhnya." Hek-tiau buru-buru bopong soe-hengnya. Ia memberi hormat sebelum pergi dari
tempat itu. Un Kong-coe mendekati Ching-ching. Ia menyuruh orang-orangnya bawakan obat untuk
Siauw Kui. "Kouw-nio, kau berlaku sangat adil, aku salut padamu," puji pemuda
itu. "Sekarang Lam-tay-kim-tiau sudah kau kalahkan. Dengan demikian, hadiah
Ching Ching 180 harus kuserahkan padamu."
"Un Kong-coe, bukan aku tak menerima kebaikanmu," tolak Ching-ching, "Tapi
rasanya kurang enak kalau aku kalahkan seorang lantas dapatkan hadiah. Begini
saja. Yo Toako bermaksud menyerahkan uang itu ke penduduk daerah utara kalau dia
menang. Semestinya dia berhak terima uang itu kalau saja Kim-tiau tidak berlaku
curang. Sebab itu, Un Kong-coe, kalau kau sudi kurepotkan, aku mohon antarlah
uang itu untuk penduduk daerah utara. Dengan demikian, jiwa Yo Toako tidak
terbuang sia-sia." Un Kong-coe tersenyum seraya anggukkan kepala. "Kouwnio, budimu sungguh luhur.
Begitu pun kawanmu ini," katanya sambil menoleh pada Siauw Kui. "Kalau boleh
kutahu, siapakah nama jie-wie?"
"Sebut saja kami Siang-kui-hai-ji. Sejak tadi si Kim-tiau sudah sebut kami
demikian," Siauw Kui berseru.
"Begitu pun bagus," kata Ching-ching. "He, Siauw Kui, kita sudah banyak
main-main hari ini. Ayo pergi."
"Ayo," ajak Siauw Kui, Ia menyambar sebotol obat gosok. "Un Kong-coe, boleh
kubawa sebotol ini untuk oleh-oleh?"
"Tentu, tentu," sahut Un Kong-coe dengan bingung. Ditawari uang ratusan tael
tidak mau, kok obat gosok disambar juga.
"Terima kasih." Sambil nyengir Siauw Kui menyusul Ching-ching yang sudah agak
jauh berjalan. Sejak saat itu Siang-kui-hai-ji menjadi buah bibir di kota
tersebut. Malamnya, di penginapan, Ching-ching mengobati luka-luka Siauw Kui dengan obat
gosok dari Un Kong-coe. Gadis itu berkerja dengan telaten dan hati-hati, tapi
Siauw Kui masih juga mendesis-desis kesakitan.
"Aduh, duh, pelan-pelan, kan sakit."
"Kolokan!" gerutu Ching-ching sambil mendorong pundak Siauw Kui. Anak lelaki itu
menjerit. "Rasakan. Ini akibat ulahmu sendiri, sok jago melawan Kim-tiau.
Sekarang babak-belur, kau repotkan juga aku."
"Lho, masih untung kau cuma repot mengobati lukaku. Kalau sampai repot mengurusi
penguburanku, bagaimana?"
"Buat apa repot-repot," tukas Ching-ching ketus. "Kalau kau mampus, kubuang saja
mayatmu di kali!" Siauw Kui melotot. "Kau tega?"
"Kenapa tidak?"
"Sadis!" "Masa bodo." Tahu-tahu Siauw Kui berlutut membelakangi Ching-ching dan bersoja tiga kali.
"Mengapa kau?" tanya Ching-ching heran.
"Aku bersyukur masih diizinkan hidup sehingga tak usah jadi makanan ikan."
Ching-ching meringis. Kalau Siauw Kui betul-betul mati, mana tega ia berbuat
demikian. Paling tidak, sobatnya itu akan dia kuburkan baik-baik. Lalu ia akan
cari pembunuhnya untuk membalas dendam. "Sudahlah!" katanya kemudian. "Baiknya
kau cepat tidur. Besok pagi-pagi sekali kita lanjutkan perjalanan."
"Kenapa buru-buru" Kita kan baru saja menjadi pahlawan di sini."
"Justru itu, aku risih dengan sikap mereka."
Ching-ching lantas keluar kamar. Ia mau mencari pakaian baru buat Siauw Kui.
Besok pagi-pagi sekali keduanya harus segera pergi dari sana. Tak seorang pun
boleh tahu. Biarlah mereka menduga-duga siapa kedua anak yang bikin gempar kota
mereka. Ching Ching 181 Siauw Kui tersaruk-saruk mengikuti Ching-ching. Mulutnya tak henti-henti
mengomel. Ia menyesal kenapa mau meninggalkan kota di mana ia dapat tinggal
dengan nyaman. Setidak-tidaknya ia dapat berteduh dari matahari yang bersinar
terik tepat di atas kepala.
"Ching-ching, kita sudah setengah hari berjalan. Aku lelah, lapar, haus. Ayo
kita istirahat dulu."
"Sedari tadi istirahat melulu," gerutu Ching-ching. "Tahu begini, aku tak mau
membawamu. Kerjaanmu hanya mengomel melulu, istirahat melulu. Menghambat
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjalananku saja." Namun sambil mengomel-omel, gadis cilik itu menuruti juga
beristirahat. "Huh, aku heran, kayaknya kau tak pernah lelah. Mana sedari tadi kau diaaam
terus. Kenapa sih?" "Aku sedang berpikir. Siauw Kui, kau mau tidak kuat seperti aku" Maksudku, tidak
mudah lelah begitu."
"Mau saja. Kau makan obat kuat, ya" Bagi aku!"
"Seenaknya!" Ching-ching tersinggung. "Aku belajar silat, makanya tahan
banting." "Oh, begitu." "Kau mau tidak belajar silat?"
"Buat apa?" Siauw Kui balik bertanya.
"Untuk melindungi dirimu supaya kali lain tak lagi dibikin babak-belur orang
lain." "Kan ada kau yang selalu lindungi aku," Siauw Kui malah bercanda. Ia tertawa
melihat wajah Ching-ching memerah.
"Kau pikir aku tukang pukulmu!" bentak anak gadis itu.
"Yah, semacam itulah. Lagipula aku tidak tertarik. Sudah kubuktikan, orang yang
punya kepandaian kerjanya cuma mengadu-adu dengan orang lain sampai babak-belur.
Belum lagi yang suka menindas orang macam si Kim-tiau itu. Bah! Aku tak sudi
jadi seperti dia. "Tolol!" maki Ching-ching. "Tidak semua orang berkepandaian menjadi seperti
mereka." "Contohnya?" Ching-ching termenung sebentar. "Contohnya aku. Aku dapat melindungimu sehingga
tak terbunuh kemarin itu karena aku punya kepandaian lumayan."
"Nah, itulah. Aku sudah punya tukang pukul, buat apa lagi aku repot-repot
belajar silat." "Goblok!" desis Ching-ching gemas. "Dengar, seandainya kau punya keluarga kelak,
lalu keluargamu diancam orang mau dibasmi, bagaimana kau lindungi keluargamu?"
"Gampang! Suruh saja istriku maju. Dia seorang pendekar kok."
"Eh"!" Ching-ching terbelalak heran. "Masa?"
"Betul. Kan kau bilang sendiri kalau kepandaianmu lumayan."
Muka Ching-ching memerah lagi menyadari diledek orang. "Huh, mana mau aku dengan
lelaki yang tak berguna."
"Buktinya kemarin dulu kau bilang sama Fei Yung kalau aku ini calon suamimu."
Ching-ching berdiri. "Kalau begitu, biar kucari Fei Yung dan menyatakan kau
batal jadi calonku."
"Eh, jangan! Jangan! Aku masih betah jalan-jalan denganmu. Baiklah, baiklah, aku
mau belajar silat." "Bagus!" Ching-ching tertawa senang. "Aku akan mengajarimu."
"Kau" Jadi guruku?" Siauw Kui terbelalak lalu mengeluh panjang. "Bisa-bisa,
Ching Ching 182 belum apa-apa aku sudah benjol duluan."
"Aku juga akan mengajari sastra."
"Sastra" Astaga! Aku paling bosan kalau dengar yang begituan."
"Pokoknya aku akan memaksamu belajar, mau atau tidak mau. Ayo, berangkat lagi.
Kalau menuruti kemauanmu, sampai besok pagi kita akan diam di sini terus."
Dengan sangat terpaksa, Siauw Kui kembali mengikuti Ching-ching menyusur jalan
yang seolah tiada berujung.
Menjelang sore, cuaca sudah mulai berubah. Hari yang semula cerah berganti.
Mentari yang bersinar terik ditutupi awan bergumpal yang membuat bayangan di
bumi. Pada mulanya, Siauw Kui mensyukuri hal ini. Sekarang ia tak usah kepanasan lagi.
Setidak-tidaknya lumayan setelah sekian lama dipanggang cuaca. Celakanya, saat
malam tiba, awan-awan itu tidak juga menyingkir. Bulan tertutup sehingga jalan
diliputi kegelapan. Guruh mulai terdengar di kejauhan. Lebih celaka lagi, mulai
turun hujan yang rintik-rintik membasahi bumi.
"Ching-ching, hujan akan segera turun. Kita harus cepat cari tempat berteduh."
"Aku tahu," jawab Ching-ching.
Titik-titik air semakin besar. Kilat susul-menyusul membelah langit. Ching-ching
dan Siauw Kui mempercepat langkah. Mereka segan berbasah-basah di jalan. Hujan
semakin deras. Serempak Siauw Kui dan Ching-ching menghampiri sebuah pohon
besar. "Celaka kita!" kata Siauw Kui. "Sudah perut lapar, badan cape, eh, harus
kedinginan dan kebasahan gara-gara hujan. Padahal banyak orang bisa berlindung
di rumah bagus, makanan berlimpah, selimut tebal, dilayani gadis-gadis cantik
lagi! Langit memang tak adil!"
"Eh, beraninya memaki langit. Kalau para dewa marah dan kau disambar geledek,
baru rasa!" Tepat Ching-ching selesai berkata, kilat menyambar memberikan secercah cahaya
diiringi suara guntur memecah. Siauw Kui melompat terkejut.
"Aku takkan memaki lagi, jangan sambar akuuu!" jeritnya panik."
"Hus, diam!" tukas Ching-ching. "Aku belum izinkan, mana boleh langir
menyambarmu?" Langit terbelah lagi. "Ching-ching, kau jangan ngomong sembarangan," desis Siauw Kui.
"Tadi rasa-rasanya aku melihat bayangan gedung di sebelah sana!" gumam
Ching-ching. "Siauw Kui, kau lihatlah ke arah yang kutunjuk. Lihat ada bangunan,
tidak?" "Tidak!" kata Siauw Kui sambil menajamkan mata. "Semuanya gelap."
"Tunggu sampai ada cahaya. Nah, sekarang!"
Benar saja. Siauw Kui melihat bayangan hitam berbentuk rumah tak jauh dari sana.
"Barangkali di sana ada desa. Ke sana, yuk!"
Keduanya berlari menembus tirai air. Dengan demikian tubuh mereka basah kuyup
jadinya. Namun bayangan sebuah penginapan tempat berteduh dan numpang makan
membikin segala leraguan hilang.
Sebentar saja kedua remaja tersebut dapat melihat bangunan yang dituju.
Rupa-rupanya adalah sebuah bio yang sudah lama ditinggalkan. Namun setidaknya di
dalam lebih mending daripada basah di luar.
"Ternyata bio rusak," kata Siauw Kui ketika sampai di dalam. "Tapi lumayan
daripada tidak." Ching-ching mengelilingi ruangan itu. Dilihatnya debu bertumpuk di mana-mana.
Ching Ching 183 Sebagian tersapu titik air yang memercik lewat jendela yang rusak. Di dalam
dingin. Tetapi mereka dapat membuat api.
Ruangan itu tak terlalu besar. Tak ada pula yang menarik. Ciri-ciri bio yang
rampak hanyalah lewat patung Budha di altar yang berdebu.
Ching-ching merasa ada sesuatu yang aneh di dalam bio itu. Tidak tahu apa, tapi
ia merasa tidak enak. "Siauw Kui, kau merasakan keanehan dalam kuil ini, tidak?"
"Ya, aku merasakannya," kata Siauw Kui yang saat itu sudah menyalakan lilin
merah yang tinggal separuh di altar. "Rasanya dingin. Aku merinding. Eh,
Ching-ching, jangan-jangan kuil ini ada setannya."
"Eh, Siauw Kui, apa kau pernah lihat setan?"
"Belum, tapi katanya setan itu suka menjahati manusia. Suka mencekik, suka
menggigit. Katanya, setan itu bentuknya seperti manusia, tapi mukanya seram.
Matanya melotot dan lidahnya panjang menjulur keluar. Kadang-kadang setan
menyamar sebagai manusia. Ngomong-ngomong, kau sendiri apakah pernah melihat
setan?" "Selama hidup aku baru sekali melihat setan."
"Oh ya?" Siauw Kui jadi tertarik. Ia duduk di tanah. "Seperti apakah rupanya"
Seperti kata orangkah?"
"Justru sama sekali berbeda," jawab Ching-ching. "Satu-satunya setan yang
kutemui ini lain. Tampangnya tidak menyeramkan, lucu malah. Ia tidak mencekik
atau menggigit ...."
"Barangkali jenis setan baik."
"Mungkin. Pokoknya ia tidak jahat. Cuma kadang-kadang bikin kesal. Dan tololnya
bukan main. Kurang ajarnya, setan ini suka mengaku-aku sebagai suamiku dan
selalu ikut ke mana aku pergi."
Siauw Kui bengong mendengar penuturan Ching-ching. Kok lain sama sekali dengan
yang suka dikatakan orang. Lama-lama muka Siauw Kui memerah. Sial! Rupanya
Ching-ching justru sedang menyindir dirinya.
Tawa Ching-ching meledak tidak tertahankan lagi. Suaranya menggema di dalam bio
itu sehingga terdengar menyeramkan. Tetapi Siauw Kui tidak takut. Ia malah
dongkol bukan main. "Seenaknya saja menyamakan aku dengan setan," kata Siauw Kui sambil cemberut.
"Lho, kau memang setan, kan?" kata Ching-ching di sela tawanya. "Dasar setan,
setan kecil!" Ching-ching tertawa sampai terguling. Ia masih cekikikan beberapa
saat. Tahu-tahu tawanya berhenti. Ia menekuri lantai.
"Eh, aneh," gumamnya.
"Apanya?" tanya Siauw Kui tak tahan ngambek berlama-lama.
"Lantai ini kok tidak terlalu kotor, padahal lihat! Altar itu penuh debu, tapi
di lantai ini tidak."
"Lalu?" Siauw Kui bertanya tak mengerti.
"Artinya ada yang membersihkan. Atau setidak-tidaknya sering masuk ke mari."
"Alaaa, pusing amat. Mendingan tidur daripada pikir-pikir." Siauw Kui berbaring
di lantai dan langsung pejamkan mata. Ching-ching yang juga merasa cape
menyandar ke pilar dan tidur.
Tak tahu sudah berapa lama tertidur, Ching-ching terbangun dan langsung waspada.
Ia mendengar suara orang berjalan mendekati bio. Ching-ching berlari ke jendela,
tapi ia tidak dapat melihat apa-apa. Sampai kilat menyambar, barulah dilihatnya
enam sosok tubuh yang berjalan menuju bio.
Ching-ching buru-buru memadamkan lilin di altar. Dibangunkannya Siauw Kui, tapi
Ching Ching 184 pemuda itu tak mau bangun juga. Jadi diseretnya saja ke balik meja altar. Ia
sendiri melompat bersembunyi di tiang-tiang penyangga atap. Ketika sedang
bersembunyi, dia baru sadar. Apa sih yang ditakutinya" Paling-paling enam orang
yang mau ikut berteduh di dalam bio.
Tapi melihat orang-orang yang datang itu, Ching-ching bersyukur telah waspada.
Tampang sangar orang-orang itu membuatnya bergidik. Diam-diam Ching-ching
mengintai dari tempatnya sembunyi.
"Hasil malam ini lumayan juga," kata seorang yang paling besar badannya.
"Ya, sekali timpuk dapat dua ekor burung," kata satu-satunya wanita di antara
kelompok itu. "Ketika kulihat Wan Hoe-jin yang cantik, baru aku ngerti kenapa Sun Wan-gwe
menyuruh kita membunuh Wan Wan-gwe."
"Aku sih lebih tertarik pada emas berlian milik si gendut Wan itu," kata yang
lain sambil nyalakan lilin.
"Ngoceh saja. Aku lapar! Makan apa kita malam ini?"
"Nah, kan ada gunanya juga ayam yang kubawa dari Wan-gwe malang itu," kata orang
yang gendut. Si gendut itu cepat membului tiga ekor ayam yang dibawa sementara
yang lain menyalakan api. Ayam-ayam itu segera diberi bumbu dan dibakar.
Harumnya memenuhi bio. "Aduh, ada yang panggang daging. Bagi dong!" Siauw Kui keluar dari belakang
altar. Ia terkejut melihat enam orang itu. Sama terkejutnya dengan mereka yang
melihat dia. "Heh, rupanya ada orang yang dengar pembicaraan kita," kata yang berbadan besar
sambil maju membekuk Siauw Kui. Anak itu meronta tapi tak dapat lepas. "Enakan
kita apakan anak ini?"
"Direbus!" kata si gendut bersemangat.
"Potong kupingnya!" seru yang perempuan.
"Sekalian tangannya!"
"Kakinya juga."
Siauw Kui gemetar. Orang ini tampaknya sadis semua. Bagaimana kalau mereka
benar-benar melaksanakan niatan. Celakalah dia! Aduh, Ching-ching ke mana sih,
bukannya menolong .... "Ayo, cepat kita hajar rame-rame!"
"Aku mau hidungnya."
"Kelihatannya kupingnya cukup bagus."
Orang-orang itu semakin mendekat. Siauw Kui ketakutan. "Jangan, tolooong! Jangan
potong kupingkuuuu!"
Keenam rampok itu tertawa melihat Siauw Kui yang ketakutan. Mereka semakin
senang menakuti anak itu.
"Jangan kau sakiti aku! Nanti istriku akan menghajarmu dua kali lipat!" ancam
Siauw Kui. Matanya jelalatan mencari Ching-ching. Ke mana gadis itu"
"Eh, berani ngibul, ya"!" Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Siauw
Kui. "Ngancam lagi!" Bunyi tamparan lain terdengar.
Tahu-tahu orang yang menampar itu menjerit. Langsung roboh tak bergerak, sebilah
pisau menancap di punggungnya. Bersamaan dengan robohnya orang itu, sesosok
bayangan turun dari atap.
"Yang berani menyakiti suamiku harus mati." Ching-ching mencabut pisaunya.
Mengelap darah yang menempel ke baju orang yang mati dan menyarungkannya kembali
ke tempat yang disembunyikan di sepatu.
"Kau ... kau bocah jahanam! Kau bunuh adik kami A-heng!" jerit perampok perempuan.
Ching Ching 185 "Oh, jadi yang mati ini A-heng namanya. Maaf, aku tidak tanya dulu namanya
sebelum kubunuh." "Sit Yi, jangan banyak omong. Kita bunuh saja bocah ini untuk balaskan sakit
hati A-heng," kata yang badannya paling besar sambil lantas menerjang.
Serangannya dengan mudah dielakkan oleh Ching-ching.
Lima orang perampok yang tersisa mengurung gadis ini. Mereka sudah melupakan
Siauw Kui yang lari meringkuk di sudut bio.
"Eh, mau main keroyokan, ya" Baik, hayo maju kalian bebareng supaya matinya juga
sama-sama." "Bocah busuk, kurobek nanti mulutmu!"
Kelima perampok itu menyerang serentak. Sambil ketawa-ketawa Ching-ching
meladeni mereka. Sebentar saja lima perampok itu sudah kena ditotok semua.
"Kepandaian kalian cuma segitu mau coba-coca merobek mulutku" Huh, belajar dulu
sepuluh tahun lagi," ejek Ching-ching. "He, Siauw Kui, kemarilah. Kita kerjai
bandit-bandit ini." Siauw Kui mendekat dengan takut-takut. Apalagi melihat mayat yang terkapar di
lantai. Ia percaya orang yang mati tidak wajar rohnya akan jadi setan. Lalu
bagaimana kalau setan ini menggentayangi ia dan Ching-ching"
"Siauw Kui, lihat bandit yang satu ini. Kumisnya hebat betul."
"Jelas saja hebat," jawab orang yang ditunjuk. "Kumisku ini kupelihara
baik-baik." "Jadi kau bangga akan kumismu. Ha, biar kubikin lebih bagus kumismu," kata
Ching-ching mencabut lagi belatinya.
"Hei, kau mau apa" Jangan sentuh kumisku."
"Cerewet, jangan goyang-goyang, nanti kau luka." Gadis itu menotok urat gagu
pecundangnya. "Nah, kau tenanglah. Itu lebih baik. Aku cuma mau cukur kumismu
separo yang sebelah kanan saja."
Ching-ching dan Siauw Kui tertawa terpingkal-pingkal waktu lihat hasilnya.
"Siauw Kui, nih, pisau satu lagi. Kau kerjai yang ujung sebelah sana."
Siauw Kui mengambil pisau yang diberikan Ching-ching dan meniru perbuatan gadis
itu. Tapi karena orang yang dihadapinya tak punya kumis, ia mencukur habis alis
mata orang itu. Begitu pun dengan kawan sebelahnya, kali ini kepalanya gundul
sebelah. Sementara itu Ching-ching mengerjai satu-satunya wanita di antara
perampok itu. "Hmm, wajahmu lumayan," pujinya. "Aku berani jamin kau pasti punya banyak pacar.
Ya, tidak?" "Jelas!" jawan wanita itu bangga.
"Ada tidak pacarmu yang sudah jadi suami orang?"
"Kenapa?" "Jawab saja, ada tidak?" Melihat wanita itu mengangguk, Ching-ching mendadak
berang. "Perempuan serakah, kalau semua jadi pacarmu, bagaimana gadis-gadis yang
belum menikah" Akan kubuat semua laki-laki yang melihatmu kabur. Nih!"
Ching-ching mencukur rambut panjang wanita itu dengan gesit. Semua dihabisi,
cuma disisakan sedikit membentuk jalur hitam dari ubun-ubun kepala sampai ke
belakang. "Nah, begitu lebih bagus, bukan?"
Perampok-perampok yang sudah ditotok otot gagunya itu tak bisa bilang apa-apa.
Mata mereka saja yang membelalak marah.
"Siauw Kui, sudah waktunya tidur. Besok pagi kita sudah mesti berangkat."
Ching-ching meniup lilin, tapi keburu dicegah oleh Siauw Kui.
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ching Ching 186 "Jangan dimatikan." Takut-takut pemuda ini melirik ke mayat yang tidak
dipindahkan. "Kenapa" Takut" Mayat ini sudah tak bisa apa-apa." Ching-ching menendang tubuh
tanpa jiwa itu untuk buktikan ucapkannya. "Tapi kalau kau ketakutan juga ...."
Malam itu mereka tidur dengan pelita menyala.
Esoknya Ching-ching dan Siauw Kui bersiap pergi. Sebelum itu otot gagu para
penjahat sudah dilepas lebih dulu.
"Kulepas otot gagu kalaian supaya bisa saling bercakap-cakap melewatkan waktu.
Oh ya, lewat tengah hari semua totokan kalian akan lepas. Saat itu aku akan suah
jauh dari sini. Ingat, sebelum pergi, jangan lupa kuburkan si A-heng ini."
"Kau bocah iblis. Katakan namamu supaya kami bisa balas dendam!"
"Sebenarnya itu rahasia pribadi. Tapi supaya kalian tidak penasaran, baiklah.
Dia ini, Ching-ching menunjuk hidung Siauw Kui, "suamiku Siauw Kui, sedangkan
aku Siauw-mo-lie. Kutunggu kalian sepuluh tahun lagi. Belajar baik-baik, ya."
Kedua bocah itu meninggalkan bio rusak tempat mereka berteduh semalam, menyusur
jalan setapak, mencari ayah angkat Ching-ching.
Menjelang sore mereka sampai di tepi sebuah sungai deras. Ching-ching menanyakan
arah tujuannya kemarin. Untuk cepatnya mereka harus lewat sungai menuju ke
hilir. Kalau lewat jalan darat mereka harus lewat bukit dan lembah yang
berhutan. Tentunya lebih repot. Kebetulan di sana ada perahu sewa yang bisa
mengantar. "Permisi, Coan-kee, Kalau mau ke kota Chun-an, makan waktu berapa lama?" tanya
Ching-ching. "Kemarin hujan deras, air sungai mengalir lebih cepat. Hitung-hitung ... besok
siang kita tiba di sana."
"Bagus!" Ching-ching menarik Siauw Kui lompat ke dalam perahu. "Kami sewa
perahumu. Ini dua tael emas, kita berangkat sekarang!"
Hari itu mereka lewatkan di perahu yang meluncur tenang di air. Siauw Kui senang
sekali, ia belum pernah naik perahu sebelumnya. Mereka juga sempat memancing
ikan untuk dimakan bertiga. Malam harinya ketiga orang itu tidur lelap.
Esoknya Ching-ching yang bangun pertama kali. Ia merasakan suatu keanehan.
Perahu mereka sepertinya berjalan sangat cepat. Ia bangkit dan melihat lewat
jendela. Benar saja. Bayangan tepi sungai kelihatan cepat sekali terlewati.
Tahu-tahu saja gadis itu merasa kuatir, cepat ia keluar mencari si tukang perahu
yang ternyata masih tidur.
"Coan-kee, coan-kee, bangun. Kau lihatlah, apakah kita sudah lewat jalan yang
benar" Kenapa perahu ini jalannya cepat sekali?" tanyanya.
Tukang perahu itu bangun dengan malas-malasan. Tapi melihat ke mana mereka
menuju, mukanya langsung pucat. "Celaka, rupanya aliran sungai lebih cepat dari
perkiraanku hingga kita tak sempat memilih persimpangan di belakang tadi."
"Persimpangan apa?" Ching-ching tak mengerti.
"Simpangan aliran sungai. Yang kanan menuju ke Chun-an, yang kiri ke - "
Perkataan tukang perrahu itu terpotong waktu tahu-tahu perahu berputar keras
sebelum kemudian kembali ke arah semua.
"Ada apa?" tanya Siauw Kui yang rupanya baru terbangun merasakan perahu
bergoyang-goyang. "Perahu ini terseret arus!" seru Ching-ching yang berpegangan erat-erat ke
pinggiran perahu. Ia ketakutan. Air sungai yang kini berombak-ombak membuat
perahu seperti daun kering yang terombang-ambing.
Siauw Kui yang melihat betapa pucatnya wajah Ching-ching segera menghampiri dan
Ching Ching 187 memeluk gadis itu. "Tenanglah. Apa salahnya terbawa arus. Nanti juga bakal
berhenti. Malah lebih cepat lebih baik."
Tahu-tahu terdengar suara bergemuruh di kejauhan.
"Apa itu?" tanya Ching-ching.
"Itu suara air terjun besar. Kita bisa terjungkir. Kalau itu terjadi, hancurlah
perahuku." "Peduli apa pada perahumu!" jerit Ching-ching. Jiwa kami lebih berharga dari
perahumu." "Coan-kee, tidak bisakan perahu ini diarahkan ke tepi" Barangkali kita sempat
lompat sebelum sampai di air terjun," kata Siauw Kui yang mendadak pintar.
Tukang perahu itu mencoba arahkan perahu ke tepi, tapi tidak bisa. Sungai itu
terlalu dalam. Dayungnya tak bisa dipakai melawan arus. Malah ia sendiri nyaris
terjun ke dalam sungai! Melihat itu, Siauw Kui tidak berlagak sok pahlawan lagi di depan Ching-ching. Ia
juga ketakutan setengah mati, apalagi suara gemuruh itu semakin dekat!
Tahu-tahu Ching-ching melompat berdiri sambil menggenggam tangan Siauw Kui.
"Siauw Kui, kau mati bersamaku, menyesal tidak?"
"Tidak!" jawab Siauw Kui berteriak untuk mengatasi deru air.
"Tapi kau masih ingin hidup, bukan?"
"Kalau bisa ...."
"Aku akan coba gunakan gin-kang untuk menyeberang. Kau naiklah ke punggungku!"
Ching-ching berjalan ke tepi, tapi susah sekali. Berdiri saja pun sulit di
perahu oleng itu. Padahal air semakin deras! Nekad dan untung-untungan,
Ching-ching melompat ke air. Bersamaan dengan itu, perahu terjungkir!
Sebisa-bisanya gadis itu gunakan ilmu entengkan tubuh andalannya untuk bertahan
berjalan di air. Tapi selama ini ia berlatih di air tenang. Jadinya susah
sekali, belum lagi ia membawa Siauw Kui.
Ia melihat ke depan. Tepian air terjun tidak seberapa jauh lagi. Tapi justru
saat itu Ching-ching terpeleset. Tanpa ampun lagi keduanya terseret ke bawah!
Ching-ching membuka mata. Tapi ia tak bisa lihat apa-apa. Semuanya gelap! Ia
duduk dan meraba-raba. Di mana ia sekarang" Apakah di akhirat" Seperti inikah
yang namanya akhirat" Kok gelap sekali.
"Ching-ching!" terdengar suara yang dikenalnya memanggil. Suara Siauw Kui, tak
jauh di sisinya. Ia beringsut mendekat. "Siauw Kui?"
Keduanya sama meraba-raba ketika kedua tangan mereka bertemu. Keduanya saling
menggenggam seolah tak mau dipisahkan lagi.
"Ching-ching, apakah kita ada di akhirat" Kok seperti ini. Kata orang, di
akhirat kita bisa bertemu orang-orang yang mati mendahului kita. Aku ingin
ketemu pamanku, ayah dan ibukuu. Aku ingin tahu rupa orang tuaku."
"Mana aku tahu ini akhirat atau bukan. Aku belum pernah jalan-jalan ke akhirat
sebelumnya. Mengirim orang sih sering."
"Barangkali waktu ke akhirat, kita kesasar ...."
"Ssst, lihat, ada cahaya mendekat. Barangkali ada orang, eh, dewa menjemput
kita." Dengan tegang keduanya menunggu. Terdengar suara langkah mendekat dan sosok
tubuh hitam yang tinggi-besar terlihat. Genggaman tangan kedua remaja itu makin
erat. Cahaya lilin menerangi wajah sosok yang baru datang.
"Waaa!" keduanya menjerit dan tak sadar saling berangkulan. Rupa sosok yang baru
datang itu sungguh-sungguh mengerikan dengan mata yang amat besar, mulut
Ching Ching 188 menyeringai dan rambut acak-acakan. Hiii!
"K-k-k ... kau ... k-kau ini Giam-lo-ong atau apa?" tanya Siauw Kui setelah beberapa
lama. "Giam-lo-ong apa" Aku ini manusia, sama seperti kalian."
"Manusia?" Rasa takut Ching-ching lenyap seketika. Ia langsung berdiri dan
dengan gerakan kilat mencubit pipi orang itu.
"He, kau mau apa?" tanya orang itu sambil menghindar, tapi pipinya keburu
dicubit dan tercakar juga sedikit.
"Kau terdiri dari darah dan daging. Berarti benar kau manusia."
"Dari dulu aku manusia. Dasar bocah gila!"
"Manusia juga" Kau juga mati seperti kami?" tanya Siauw Kui polos.
"Siapa yang mati" Anak edan, orang hidup sehat begini, disumpahi cepat mati,"
orang itu menggerutu. "Lalu bagaimana kami sampai di sini" Bukankah kamu terseret air terjun tadi?"
Siauw Kui masih bingung. "Kalian untung, rupanya Thian masih ingin kalian hidup. Waktu jatuh tempo hari,
bocah gila ini," ia menuding Ching-ching, "berhasil ke pinggir dan
bergelantungan di batu yang menonjol dan kau menempel di punggungnya seperti
lintah. Aku ingin tahu binatang apa yang menempel di situ, lalu kukait kalian.
Ternyata sepasang manusia yang kepingin hidup bersama, mati berdua."
"Tempo hari" Sudah berapa lama kami di sini?"
"Dua hari." "Dan selama itu kami tidak bangun" Wah!" Siauw Kui membelalak heran. "Pantas
sekarang ini aku lapar sekali."
"Kau mau makan" Carilah sendiri," kata orang itu. "Aku tak mau mencarikan kau
makanan." "Cari sendiri juga bisa." Ching-ching melompat berdiri. "Ayo, Siauw Kui!" Ia
menuntun kawannya. Tapi tempat di sana gelap sekali. Untuk berjalan, Ching-ching
mesti meraba-raba. Ia juga mengandalkan telinga kalau-kalau ada orang menghadang
mereka. Untungnya tidak ada. Tapi di sana banyak terdapat lorong yang
berputar-putar. Berjalan sedari tadi Ching-ching merasa mereka masih di
situ-situ saja. "Barangkali kau salah ambil jalan. Coba sini, aku yang cari," kata Siauw Kui.
Gantian ia yang berjalan dii depan sambil memegangi tangan Ching-ching. Baru
beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Ching-ching merasa tangannya ditarik,
disusul suara ceburan keras. Siauw Kui lepas dari tangannya.
"Siauw Kui!" Ching-ching berseru panik.
"Di sini," terdengat suara Siauw Kui dari arah bawah. "Hati-hati, rupanya di
sini ada kolam." "Kubantu kau naik!" Ching-ching mengulurkan tangan, tapi Siauw Kui rupanya tak
melihat. Ia sudah berada di sebelah Ching-ching duluan.
"Wah, basah bajuku," keluh Siauw Kui.
"Ssst, aku dengar sesuatu!" bisik Ching-ching.
Mereka terdiam sementara Ching-ching menajamkan pendengaran. Ia mendengar suara
kecipak air yang halus sekali, hampir tak terdengar.
"Ha, aku tahu itu apa!" serunya. "Rupanya ini adalah kolam ikan. Berarti kita
bisa makan, Siauw Kui."
"Kita tangkap, Ching-ching."
"Aku saja. Kau carilah sebuah batu yang cekung. Dengan itu kita dapat membuat
pelita. Ching Ching 189 Siauw Kui berhasil menemukan apa yang dicari. Waktu ia kembali, Ching-ching
sudah menangkap dua ekor ikan mengandalakan pendengaran dan kecepatan tangannya.
Ia membersihkan isi perut ikan itu. Ia sudah terbiasa melakukannya. Dengan mata
tertutup sekalipun. Karenanya gelap tak menghalangi pekerjaannya.
Cepat sekali ia bekerja. Sebentar saja ikan itu sudah bersih. Minyaknya
dipisahkan supaya nanti dapat dipakai jadi bahan bakaran pelita. Sehabis semua
itu, Ching-ching mengambil sepasang batu apinya yang debentikkan satu sama lain
peranti membuat unggun. Habisnya makan, Ching-ching mengajak Siauw Kui mencari kamar untuk mereka
berdua. Ia tak mau hidup bersama si orang aneh. Beruntung di dalam sana banyak
lorong dan gua. Mereka menemukan sebuah yang cukup luas ke dalam celah yang
sempit. Taruhan, si orang aneh yang tinggi-besar itu tak bakal bisa lewat.
Gua yang mereka temukan memang cukup besar untuk ditinggali berdua saja, tapi
tak cukup luas buat bergerak, terutama bagi Ching-ching dan Siauw Kui.
Karenanya, jika ingin bermain, keduanya keluar dari tempat sembunyi mereka dan
pergi ke gua di mana terdapat kolam ikan atau ke tempat yang lebih luas dan
terang di balik curahan air terjun.
Setelah beberapa hari berrmain, Ching-ching merasa bosan juga. Ia mengusulkan
sesuatu yang lain pada Siauw Kui.
"Aku bosan main kucing-kucingan terus!" katanya sambil duduk merajuk.
"Lalu kita mau main apa?"
"Aku ada satu cara bagus, tapi tidak tahu kau setuju atau tidak."
"Apa itu?" "Aku akan mengajarimu silat!"
"Sudah kubilang, aku tidak butuh. Kalau kau mau, kau belajar saja sendiri."
"Kau mau pergi dari sini, tidak" Kalau mau, kau harus belajar, baru bisa
keluar!" "Bersamamu di sini, tak keluar lagi pun tak apa-apa."
"Kau .... Kalau kau tak mau, baiklah. Aku juga tak mau bicara lagi padamu!"
Ching-ching mengancam. "Baiklah, baiklah, aku menurut. Ayohlah, jangan marah lagi. Kalau kau suka, aku
akan berlatih sekarang juga. Lihat!" Siauw Kui memukul dan menendang-nendang
udara. Gerakannya serabutan sehingga pada akhirnya ia tersandung kaki sendiri.
"Ngaco!" Ching-ching tak tahan untuk tidak menertawai. "Sini, kuajari dulu cara
membikin bhesi yang kokoh." Ia memberi contoh.
Siauw Kui mengikuti. Mulanya ia sanggup mengikuti, akan tetapi setelah beberapa
lama, ia tak sanggup menahan kuda-kudanya dan jatuh terduduk. "Aduh, pegal!"
keluhnya. "Kau terlalu cepat menyerah!" Ching-ching cemberut. "Kalau kuda-kuda saja tak
sanggup, apa lagi yang lainnya."
"Nanti aku latihan lagi. Sekarang istirahat dulu, apakah tidak boleh?"
"Jangan lama-lama."
Selagi mereka melepas lelah bersama, datanglah si orang aneh ke tempat itu.
"Hih, rupanya kalian masih ada di sini. Beberapa hari menghilang, kupikir kalian
sudah mati kelaparan!"
"Kami belum mau mati di sini. Jadi jangan harap kami tak bisa makan," kata
Ching-ching ketus. "Siauw Kui, ayoh, latihan lagi!"
"Siauw Kui" Hah, bocah bodoh, jangan mau dipanggil begitu. Kau mestinya terhina,
tahu!" "Kenapa harus terhina" Memang namanya begitu!"
Ching Ching 190 "Bohong! Mana ada nama orang begitu."
"Oh" Bagaimana namamu sendiri?"
"Apa hubungannya?"
"Aku mau tahu namamu!"
"Aku ... aku Bu-beng-lo-jin."
"Hah, namamu pasti begitu jeleknya sampai kau tak berani sebut!"
"Itu namaku, tak ada lain!"
"Bohong! Atau namamu Loo-wan barangkali" Atau Toa-koay" Atau Toa-loo-wan-koay?"
"Dasar perempuan. Cerewet! Bawel!" Bu-beng-lo-jin kehabisan kata. Ia minggat
meninggalkan Ching-ching.
"Hah, awas, kalau datang lagi. Ayoh, Siauw Kui, jangan malas-malasan. Lekas
latihan!" Sudah dua hari Ching-ching mengajari Siauw Kui cara memperkokoh bhesi. Tapi
karena pemuda itu belajar karena terpaksa saja, sulitlah untuk mendapat
kemajuan. Ini hari ketiga ia diajari. Bahkan Ching-ching nyaris habis sabar.
Sedang ia memberi petunjuk, datanglah Bu-beng-lo-jin menertawai.
"Percuma kalau gurunya cuma bisa bawel tapi tak becus mengajari. Pantas saja
muridnya tak pandai-pandai."
Ching-ching mengerutkan alis. Ia tak senang diolok-olok orang. Karenanya ia
lekas berbisik pada 'suaminya'.
"Lihat kelakuanmu! Karena engkau, aku dipermalukan. Hayo, latihan yang betul!"
Baru kali ini Siauw Kui bersungguh-sungguh. Ia juga tak senang diperhinakan
orang. Akan tetapi, lagi-lagi Bu-beng-lo-jin mengolok-olok.
"Ha-ha, bhesi macam apa begitu. Itu sih monyet jongkok namanya."
Ching-ching cepat mendekati Siauw Kui dan menepuk pundak pemuda itu. "Ikuti aku.
Jangan main-main. Kalau kau bersungguh-sungguh, aku yakin kau mampu!" Gadis itu
lantas memberi contoh sambil mengasih petunjuk. "Tarik napas, pentangkan kakimu
ke samping. Tekuk lutut sampai pahamu lurus, angkat sikumu, kepalkan tangan di
pinggang. Ya, begitu. Tahan!"
Ching-ching lantas menghadapi Bu-beng-lo-jin. "Apa mau kau kata sekarang?"
"Barangkali muridnya yang berbakat. Belum pasti gurunya yang pintar. Hm,
tulangnya bagus, ada bakat, ada kemauan. Boleh aku jadikan muridku."
"Tidak bisa! Aku sudah jadi gurunya!"
"Lihat saja. Kamu perempuan kecil, mana becus jadi guru," Sehabis berkata
demikian, Bu-beng-lo-jin lantas pergi.
Ching-ching adalah seorang yang angkuh. Dibilang tidak becus, ia malah
bersemangat membuktikan itu tidaklah benar. Yang jadi korban malah Siauw Kui. Ia
digembleng habis-habisan. Sebelum ia kuasai satu jurus, Ching-ching tak mau
layani ia bicara. Biarpun bersemangat mengajari silat, Ching-ching tak lupa mengajari bun. Tiap
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali Siauw Kui beristirahat, Ching-ching mengajarinya baca-tulis dan sajak-sajak
mashur. Ia benar maui Siauw Kui menjadi seorang yang bun-bu-coan-cay seperti dia
sendiri. Sebulan kemudian, Bu-beng-lo-jin datang lagi. Saat itu Ching-ching sedang
mengajari jurus baru. "Lihat, inilah jurus ketiga .... Tarik napas, kepala tegak. Buang napas, kaki
melangkah ke belakang. Tarik lagi, rendahkan lutut. Buang napas sembari
memukul." "Ilmu sesat!" Bu-beng-lo-jin berkata.
"Kau bilang apa?" Ching-ching mendelik.
Ching Ching 191 "Kau mengajarinya ilmu sesat! Lihat, dia itu laki-laki, diajari ilmu gemulai
seperti orang menari. Di mana pantas" Laki-laki semestinya diajari ilmu yang
keras dan gagah supaya tidak diketawakan orang."
"Ilmu yang keras dan gagah juga bisa diketawakan. Apalagi kalau ada di
tanganmu." "Paling tidak lebih baik dari ilmumu!"
"Betulkan" Coba buktikan!"
"Aku paling tidak suka menghajar perempuan. Apalagi yang masih kecil."
"Kalau begitu, begini saja. Kau boleh tiga kali memukulku. Kalau aku roboh, aku
mengaku kalah." "Tidak adil!" kata Siauw Kui. "Masa dia boleh memukul dan kau sendiri tidak?"
"Baiklah, kita masing-masing memukul tiga jurus," kata Bu-beng-lo-jin. "Kau
lebih muda, boleh memukul duluan. Ingat, yang kena dipukul paling banyak, yang
kalah." "Jadi. Awas serangan!" Ching-ching segera bertindak. Sambil menyerang, mulutnya
masih mengoceh, :Siauw Kui, inilah jurus ... yang kemarin kuajarkan padamu. Lihat
baik-baik." Gadis itu menyerang dengan kepalannya yang mungil yang bergerak cepat.
"Jurusmu tak ada artinya." Bu-beng-lo-jin tergelak sewaktu ia sempat
menghindari. "Jurus kedua ...!" seru Ching-ching.
Bu-beng-lo-jin tertawa sambil menghindar ka samping. Tapi kaki Ching-ching
bersiap menyambut di situ.
"Perjanjiannya dengan pukulan!" kata orang tua itu. Ching-ching membatalkan
tendangannya ke muka orang.
"Dua jurus lewat!" kata Bu-beng-lo-jin mengejek. "Gunakan ketikamu yang tinggal
sekali." "Jangan keburu senang, aku masih ada satu ketika!" kata Ching-ching geram. "Ini
jurus andalanku ..., lihat baik-baik!"
Mulanya Bu-beng-lo-jin meremehkan peringatan orang. Ia tidak tahu pukulan Lian-
hoa-ban-hoan-ciang (Pukulan berantai selaksa teratai) lebih dahsyat dari
namanya. Jurus ini harus dilakukan dengan amat cepat, tapi tidak semua pukulan
bertenaga. Beberapa cuma jebakan saja supaya orang menghindar, dan justru karena
berkelit, orang itu akan kena pukulan lain yang betul-betul berbahaya.
Inilah yang terjadi pada Bu-beng-lo-jin. Berkali-kali ia terkena pukulan
Ching-ching hanya dalam satu jurus. Untung baginya, Ching-ching tidak kepingin
membunuh orang, akan tetapi tak urung gadis itu mengagumi di orang tua yang
dapat menghindari beberapa pukulan berbahaya.
Puas memukul orang, Ching-ching berhenti. Ia tersenyum manis dan mengejek,
"Habis tiga jurus, aku sudah memukulmu belasan kali. Ingin tahu apakah kau dapat
melebihi aku?" "Iblis betina, lihat jurusku!" Bu-beng-lo-jin berseru sambil merangsek maju.
Pukulan yang dikirimnya betul-betul dahsyat seolah ia hendak membinasakan Ching-
ching. Sayangnya Bu-beng-lo-jin tak tahu kalau gadis itu lincah dan gesit bukan
main. Enteng ia berkelit dan melompat kemudian sampai di belakang
penyerangnya. "Monyet tua, kau memukul apa" Aku ada di sini!"
Bu-beng-lo-jin membalik dan menyerang lagi. Kembali Ching-ching menghindar
sambil tertawa-tawa. "Sudah dua jurus. Satu lagi dan kau mesti menyerah," poyok Ching-ching.
Ching Ching 192 Bu-beng-lo-jin tidak menjawab. Ia berdiri tegak mengumpulkan tenaga. Ketika ia
bergerak lagi, berulah Ching-ching merasakan tenaganya yang dahsyat menimbulkan
angin berkesiuran. Menghadapi jurus terakhir Bu-beng-lo-jin, Ching-ching rada kerepotan juga.
Apalagi ia tak boleh membalas. Kalau menangkis, ia takut kalah tenaga. Celakalah
kalau tangannya remuk nanti. Oleh karena itu, Ching-ching cuma mengandalkan
ginkang sebisa-bisanya. Untunglah gadis itu memiliki ginkang yang jempol. Meski Bu-beng-lo-jin menyerang
dengan sebat, akan tetapi Ching-ching terlebih gesit. Dari semua pukulan yang
dikirim, cuma dua yang mampir di badannya. Itu pun agak meleset sehingga cuma
menimbulkan memar tanpa membahayakan jiwa.
Jurus ketiga habis dimainkan. Bu-beng-lo-jin belum puas menghajar, akan tetapi
ia ada punya harga diti, tak berani melanggar janji antara mereka. Orang tua itu
cuma bisa mengatur napas sembari memendam dendam selagi Ching-ching tergelak.
"Bu-beng-lo-jin, sudah kubilang, ilmu bagus pun kalau sampai di tanganmu,
pastilah merosot kehebatannya. Sekarang pergilah, aku masih banyak kerjaan."
Orang tua itu tak dapat berkata-kata. Ia pergi dengan tindakan lebar dan hidung
mendengus-dengus lantaran kesal. Di belakangnya, Siauw Kui dan Ching-ching sama
mengolok-olok. "Siauw Kui, dia sudah pergi. Hayo, belajar lagi."
Setelah melihat kehebatan ilmu yang Ching-ching ajarkan, Siauw Kui terlebih
bersemangat. Ia latihan dengan bersungguk, menyenangkan 'suhu kecilnya'.
Tak terasa sudah empat bulan mereka tinggal di dalam gua itu. Siauw Kui dan
Ching-ching semakin akrab. Belakangan Ching-ching tak terlalu memaksa sobatnya
belajar, ia lebih suka mengajak bercanda. Begitu pun Siauw Kui yang enggan
digembleng habis-habisan dalam waktu amat singkat.
"Ching-ching, jangan lupa aku ini suamimu. Kalau kau siksa terus-terusan, nanti
aku mati, bagaimana?"
"Coba kalau kau berani mati mendului aku," Ching-ching menjewer kuping orang.
"Aku tak kasih permisi, mana boleh kau mati?"
"Aduh, sakit," Siauw Kui pura-pura mengeluh. "Ya, ya, aku tak berani. Lagipula
tak tega aku tinggalkan kau sendirian."
"Mm, baiklah kau belajar dulu, aku mau cari makanan." Ching-ching meninggalkan
Siauw Kui yang lantas menurut dan segera berlatih.
Siauw Kui mengingat-ingat pelajaran istri kecilnya. Ia menggerakkan kaki dan
tangannya. Hem, lumayan. Ching-ching boleh bangga punya murid seperti dia.
Selagi berlatih, mendadak pemuda itu mendengar kesiuran angin di belakangnya.
Lekas ia menunduk. Lewatlah pukulan orang di atas kepala. Tapi belum sempat ia
menarik napas, sebuah tendangan mendarat di kakinya membuat ia jatuh berlutut.
Siauw Kui tak mau gampang-gampang menyerah. Ia bungkukkan badan ke belakang
dengan gaya Ang-pan-kio seperti yang diajarkan Ching-ching sembari menyerang
sekalian. Mana tahu penyerangnya cukup lihay dapat berkelit dari serangan
mendadak. "Hah, cuma sebegitu yang diajarkan si iblis betina" Mana kau mampu melindungi
diri?" Bu-beng-lo-jin yang menyerang melecehkan. Selagi mulutnya berucap, tangan
dan kakinya tak henti memukul.
Siauw Kui kerepotan. Ia memang sudah kuasai beberapa jurus, tapi itu semua
belumlah cukup buat menghadapi orang tua ini. Meski demikian, Siauw Kui masih
melawan sebisa-bisanya. Ia tak peduli nanti mukanya bengap atau badannya lebam.
Yang ada di pikirannya hanyalah supaya jangan membikin malu kepada Ching-ching.
Ching Ching 193 "Heh-heh-heh, setan kecil, rupanya engkau bernyali besar juga. Tidak takut nanti
kupukul begini?" Bu-beng-lo-jin melancarkan pukulan, telak menggampar pipi Siauw
Kui hingga pemuda itu terputaran dan terjengkang dengan bibir pecah mencucurkan
darah. "Siauw Kui!" Ching-ching yang baru datang menjerit menghampiri. Melihat Siauw
Kuinya terluka, ia menggereng marah. "Bu-beng-lo-jin, kau hendak mencari
mampus?" "Hah, kebetulan kau datang. Aku mau menantangmu."
"Kemarin dulu sudah kukalahkan, apakah belum cukup?"
"Tempo hari cuma sekedar main-main, kali ini aku mau yang bersungguh. Aku mau
berebut murid denganmu. Kalau aku kalah, biarlah aku tak mau ketemu kalian lagi.
Tapi kalau aku menang, setan cilik itu mesti jadi muridku."
"Siapa sudi jadi muridmu!" Siauw Kui berseru.
"Kau dengar sendiri, tak seorang mau mengangkat guru kepadamu!"
"Itu cuma alasan saja. Setan kecil itu takut kau nanti mati di tanganku!"
Bu-beng-lo-jin mengipasi.
Ching-ching termakan omongannya. Ia berdiri melotot dengan mata mencorong marah.
"Siapa bilang aku nanti mati di tanganmu" Kau sendiri yang nanti melayang
jiwanya, monyet tua!"
"Coba, hayo buktikan perkataanmu. Aku menunggu!" tantang Bu-beng-lo-jin.
"Siauw Kui, kau lihatlah aku nanti mencincang monyet tua ini!" Ching-ching
berseru geram. "Iblis betina, nanti kau akan kukirimkan ke neraka!" Bu-beng-lo-jin tak mau
kalah. Ching-ching tak menyahut. Ia bersiap diri dan lantas menyerang orang tua yang
berdiri di hadapannya Boe-beng-lo-jin sudah menjajal kemampuan gadis ini sekali. Ia sudah tahu sampai
di mana kelihayan Ching-ching, maka dari itu ia tak berani bertindak sembrono.
Sebaliknya dengan Ching-ching yang sedang marah, ia menyerang habis-habisan
dengan seluruh kepandaian. Ia berniat membalaskan perlakuan orang tua itu
terhadap Siauw Kui. Lewat serangannya yang bertubi-tubi, Ching-ching yakin akan
dapat membuat lawannya kelabakan. Bagus kalau nanti dapat dirobohkan.
Tapi, Boe-beng-lo-jin bukan orang bodoh. Ia jug athu kalau tenaganya ada lebih
besar daripada Ching-ching. Ia berkali-kali hendak mengadu tenaga, tapi
Ching-ching selalu menghindar. Boe-beng-lo-jin juga tau bahwa ilmu milik gadis
kecil ini takd apat dilawan dari jarak dekat. Ia menjaga jarak antara mereka.
Karena marah, Ching-ching tidak sadar bahwa Boe-beng-lo-jin lebih sering
bertahan dan mundur daripada menyerang balik. Ia baru sadar telah dipancing
orang ketika Boe-beng-lo-jin membawanya ke sebelah dalam, ke bagian gua yang
sangat gelap. "Awas, kalau-kalau ada jebakan di dalam!" Siauw Kui yang terus mengikuti
jalannya pertempuran mengingatkan.
"Hah, kau takut kujebak dan mati di dalam?" Boe-beng-lo-jin berolok-olok kepada
Ching-ching. Biarpun kau pakai segala macam jebakan, siapa takut kepadamu!" kata gadis itu
sembari menyusul masuk ke dalam gua.
Mulutnya brkata tidak takut, tapi Ching-ching tak urung lebih berhati-hati
setelah tiba di gua yang gelap itu. Ia tak dapat melihat, tapi ia masih dapat
mengandalkan kupingnya yang terlatih baik. Ia juga merasakan di tanah empuk di
bawah kakinya. Tanah kering, tidak, itu adalah pasir.
Ching Ching 194 "Boe-beng-lo-jin, jangan sungkan, aku siap menghadapimu!" Ching-ching sengaja
berteriak menantang. Ketika suaranya memantul dengan cepat, tahulah gadis itu,
gua yang dimasukinya tidak seberapa jauh.
Pada saat bersamaan ia mendengar suara kesiuran angin di belakangnya. Dengan
sigap gadis itu menunduk. Sebuah pukulan lewat di atas kepala, tapi ia juga jadi
tahu di mana adanya Boe-beng-lo-jin. Tanpa membuang waktu ia menghantam ke
depan. Boe-beng-lo-jin merasakan pukulan keras pada perutnya membuat ia sesak napas
barang sejenak. Orang tua itu merasa heran. Ia yakin Ching-ching belum terbiasa
dalam gelap seperti dia sendiri yang sudah bertahun-tahun tinggal di perut bumi,
akan tetapi bagaimana mungkin gadis itu dapat menghindar dan memukul dengan
telak tanpa melihat"
Cuma kebetulan! pikir Boe-beng-lo-jin. Ia melihat bayangan Ching-ching bergerak
dan kemudian membalas serangan orang. Kali ini tak akan ada kebetulan lagi!
Bukan main kaget Boe-beng-lo-jin sewaktu pukulannya luput! Pula pada saat
bersamaan dengan itu, Ching-ching telah membalas kembali. Si Orang Tua jadi
berpikir, kebetulan tak mungkin datang dua kai berturutan. Mungkinkah
Ching-ching memang sedemikian hebat" Tidak, ia tak mau mengakui ada seorang yang
lebih muda umurnya memiliki kepandaian jauh di atas dia sendiri. Apalagi bocah
itu perempuan! Ching-ching sendiri sebetulnya agak tergetar juga hatinya diajak bertempur di
gua gelap di mana ia tak bisa melihat, layaknya seorang buta. Tapi, gadis itu
pernah digembleng mati-matian sebelmnya, membuat ia percaya tak akan kalah
dengan mudah. Pula, meskipun ia tak dapat melihat, ia masih dapat menggunakan
telinganya buat mendengari tindakan orang. Setiap kali Boe-beng-lo-jin
bertindak, ia dapat mendengar bunyi kesiuran angin yang ditimbulkan biar sehalus
apa pun. Inilah yang menjadi kelebihannya. Dengan demikian ia dapat menghindar
ataupun balas menyerang bila mendengar tarikan napas orang.
Boe-beng-lo-jin bukan orang bodoh. Setelah beberapa lama, ia mengetahui juga
sampai di mana kelihayan Ching-ching. Diam-diam si orang tua itu mencari akal
mengalahkan orang. Mendadak ia mendapat akal yang bagus. Orang tua itu
membungkuk, mengambil segenggam pasir dan lantas melemparkannya ke belakang si
gadis. Mendengar kesiuran mendatangi kepadanya, Ching-ching lantas merunduk dan sekali
lagi menghantam di mana ia menyangka Boe-beng-lo-jin berdiri. Sayang, pukulannya
cuma mengenai tempat kosong. Gadis itu mendengar kesiuran dari samping, ia
memukul pula. Lagi-lagi luput!
Boe-beng-lo-jin mengetahui akalnya berhasil lantas menjadi kegirangan. Ia lantas
tidak hanya melempar pasir, tapi juga batu-batu kecil ke arah dinding gua.
Batu-batu itu membuat suara berisik. Si Orang Tua tambah girang melihat
Ching-ching putar-putaran macamnya orang bingung. Dia lantas tidak buang waktu
dan terus menyerang sembari melempar segenggam batu ke lain-lain arah.
Ching-ching tak tahu lagi mana serangan yang betul. Ia cuma mengandalkan
pendengarannya. Satu-dua suara yang berlainan masih bisa ia bedakan, akan tetapi
suara batu menumbuk batu yang terus-terusan membuatnya bingung. Karenanya, gadis
itu tak menyadari serangan orang dari belakangnya. Sudah terlambat ketika ia
menyadari, badannya sudah kena terpukul tenaga besar yang membuat dia terlempar
dari gua gelap itu. "Ching-ching!" Siauw Kui berseru kuatir ketika menghampiri gadis itu.
"Hahahahah, apakah kau masih tak mau mengaku kalah, iblis cilik!" kata
Ching Ching 195 Boe-beng-lo-jin mengejek sambil menyusul keluar.
"Bocah tua curang!" jerit Ching-ching sambil meringis kesakitan.
"Hah, pendekar macam apa tak mau akui kekalahan sendiri." Boe-beng-lo-jin yang
takut Ching-ching akan membongkar kecurangannya di hadapan Siauw Kui buru-buru
menyelak, "Kalau kau benar berjiwa besar, tak usah banyak omong. Biarlah setan
kecil itu jadi muridku. Kalau tidak, kau tak usah jadi orang lagi.
Ching-ching tidak menyahut. Ia tak menghalangi Siauw Kui yang disuruh memberi
hormat pada gurunya. Ia juga tak mau menjawab ketika pemuda itu menanyakan apa
yang terjadi di dalam gua. Gadis itu memang tidak menjelekkan Boe-beng-lo-jin,
bukan karena ia berjiwa pendekar, tapi ia telah mempunyai cara untuk membalaskan
dendam! Karena Siauw Kui sudah menjadi murid, Boe-beng-lo-jin menyuruhnya tinggal
bersama. Tapi, bocah itu tidak tega meninggalkan Ching-ching sendirian, ia
takmau pindah. Untunglah, Boe-beng-lo-jin ingin menyenangkan muridnya. Ia
membolehkan Ching-ching pindah ke tempat yang tak jauh dari gua tempatnya
tinggal. Hari ini pertama kali Siauw Kui latihan di bawah pengawasan si orang tua tak
punya nama. Ching-ching menemaninya, gadis itu ingin tahu bagaimana Siauw Kui
berlatih. "Hei kau, mau apa ikut-ikut?" kata Boe-beng-lo-jin yang memang tak senang pada
Ching-ching. "Suamiku mau berlatih, bukankah istrinya harus menemani?" Ching-ching balas
bertanya. "Tidak boleh!" "Kalau tidak boleh, aku tak mau latihan!" Siauw Kui mengancam.
"Tapi kau sudah jadi muridku."
"Aku masih mengakui soe-hoe, tapi tak usah menerima pelajaran juga tak apa-apa
asal tak usah berpisah dari istri kecilku."
"Istri, istri, masih bocah sudah beristri. Kau belum tahu saja perempuan adalah
makhluk paling jahat di kolong langit," Boe-beng-lo-jin menggerutu. Tapi, ia tak
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata apa-apa sewaktu Ching-ching duduk di sebuah batu.
Melihat orang tidak berkeberatan, gadis itu menggunakan ketikanya. "Ada satu
lagi. Aku mau Siauw Kui tetap belajar boen denganku."
"Puih, buat apa belajar boen. Banyak orang belajar sastra tetap saja susah kaya.
Akan tetapi, kalau hebat dalam boe, boleh menjadi jendral dan hidup jadi
terjamin." "Peduli, pokoknya Siauw Kui harus belajar boen, dan kau tak boleh ikut campur
kalau aku sedang mengajar!"
"Tidak ...." "Siauw Kui, kau tak boleh belajar apa pun pada monyet besar ini!" seru
Ching-ching. Siauw Kui lantas mengangguk-angguk menurut.
"Hehhh, baiklah, baiklah, semau kalian saja. A-kui, kemari! Dengar, ilmu silat
yang akan kaupelajari adalah ilmu silat murni dari soe-hoeku sendiri, karena itu
di badanmu tak boleh ada aliran lain." Sebelum melanjutkan, Boe-beng-lo-jin
melirik benci kepada Ching-ching, "Karena itu, aku mesti musnahkan dulu ilmu
siluman dalam tubuhmu!"
Sembari bicara, Boe-beng-lo-jin menotok beberapa jalan darah si pemuda di ubun-
ubun, pundak, dada, dan perut. Siauw Kui merasa badannya lemas sekali. Ia lantas
jatuh terduduk di tanah. Ching-ching yang mengetahui apa yang diperbuat orang tua itu tidak terima dan
Ching Ching 196 lantas melompat berdiri. "Hei, kenapa kaumusnahkan semua ilmu dan tenaganya?"
"Sebagai istri, kau tak usah banyak campur urusan suamimu dan gurunya," sahut si
Orang Tua yang lantas duduk di belakang Siauw Kui menghadapi punggungnya.
Boe-beng-lo-jin menempelkan tangan di punggung Siauw Kui dan memberi petunjuk
kepada muridnya. "Nanti kalau ada hawa panas memasuki tubuhmu, kau jangan
melawan. Biarkan saja hawa itu bergerak sekehendaknya. Yang perlu kaulakukan
cuma mengosongkan pikiran dan bernapas sesuai petunjukku. Dengarkan. Tarik napas
... pusatkan pikiran ... buang napas. Tarik lagi ..."
Tahu Boe-beng-lo-jin berniat baik kepada Siauw Kui, maka Ching-ching tak mau
mengganggu. Ia duduk diam-diam memperhatikan. Tapi, sebentar kemudian perutnya
berkeriukan lantaran lapar. Ching-ching bangkit berdiri, meninggalkan dua orang
yang sedang berlatih. Ia akan pergi mencari makanan buat dirinya dan Siauw Kui,
tentu saja. Mungkin juga Boe-beng-lo-jin akan diberi sedikit karena ia telah
berbaik hati memberikan sebagian tenaganya buat Siauw Kui. Tapi, si Tua itu
seringkali terlalu mencela. Kalau begitu, lebih baik tak usah dibagi saja.
Urusan dia mengoper tenaga, bukan Ching-ching yang berhutang budi.
Tak berapa lama kemudian, di seluruh gua tercium aroma yang sedap. Baik
Boe-beng-lo-jin maupun muridnya sama tergerak oleh wangi makanan. Mereka
tersadar, ini sudah waktunya mengisi perut. Kalaupun latihan dilanjutkan dengan
perut yang kosong, hasilnya tak akan sebaik latihan dengan pikiran dan perut
yang tenang. Oleh sebab itu, Boe-beng-lo-jin menyuruh muridnya berhenti
berlatih. "Siauw Kui, makan!" seru Ching-ching yang datang membawa ikan yang dibakarnya.
"Kebetulan aku memang sudah lapar," Siauw Kui bersorak. "Wah, apakah ini hari
kau ulang tahun" Kenapa memasak banyak sekali?"
"Kau berlatih hampir seharian, tentulah merasa lapar. Maka itu, aku masak yang
banyak." "Oh iya, aku hampir lupa. Soe-hoe, marilah bersantap bersama."
"Aku tidak lapar," ujar Boe-beng-lo-jin ketus. Sayangnya, perut sang guru justru
berbunyi tepat sehabis berkata.
"Soe-hoe, jangan terlalu sungkan. Marilah."
"Aku masih kuat cari makanan sendiri."
"Ayolah. Anggap saja Tee-coe bermohon kepadamu," kata Siauw Kui yang tahu
kesombongan soe-hoenya. Ching-ching tidak melarang. Meski tidak berniat mengajak Boe-beng-lo-jin, entah
kenapa ia memasak terlalu banyak buat dua orang. Ia diam saja membiarkan Siauw
Kui melayani gurunya. Diam-diam ia ingin tahu juga apa kata orang tua itu.
"Soe-hoe, bagaimana masakan istriku?" tanya Siauw Kui ketika Boe-beng-lo-jin
mengambil ikan untuk keempat kali.
"Masih kalah jauh dengan ikan bakar yang pernah aku makan sewaktu kecil dulu.
Dibandingkan itu, boleh dikata masakan istrimu tidak ada apa-apanya. Tidak lebih
baik dari ikan hangus di kota - "
"Oh, jadi kau tak suka masakanku, ya. Baiklah kau tak usah makan!" Ching-ching
merebut ikan yang dipegang Boe-beng-lo-jin, juga yang ada di tangan Siauw Kui.
Ia berlari ke tirai air terjun dan melemparkan semuanya ke bawah. "Nah, semua
sudah kubuang. Kau tak usah makan lagi."
"Kalau tidak dipaksa-paksa, aku juga tidak mau?"
"Apakah ada yang menodongkan pedang ke lehermu" Apakah ada yang mau membunuhmu
kalau kau tidak makan masakanku" Tidak ada seorang yang mengancammu. Dan,
sungguh tak tahu diri orang yang tak sudi makan masakanku, tapi hampir
Ching Ching 197 menghabiskan empat ekor ikanku!"
"Kalau kau suka, biar kukembalikan padamu." Boe-beng-lo-jin memasukkan jarinya
ke mulut supaya memuntahkan apa yang sudah dimakan.
"Soe-hoe, jangan! Ching-ching, kau jangan berkata demkian. Tadi bukankah aku
yang bermohon kepada Soe-hoe. Beliau tentu tak tega menolak."
"Baru jadi murid belum tiga hari saja sudah mati-matian membela. Apalagi
setahun," gerutu Ching-ching. Ia lantas melengos masuk ke dalam.
"Kebetulan iblis itu pergi. Kita bisa berlatih dengan tenang. Marilah!"
Boe-beng-lo-jin mengajak muridnya.
Dalam beberapa hari itu memang Ching-ching tidak mengganggu, tetapi
Boe-beng-lo-jin bergirang terlalu cepat. Hari kelima gadis itu mulai lagi. Ia
datang di tengah-tengah Siauw Kui berlatih.
"Siauw Kui, ingat tidak apa yang kuajarkan kemarin. Hayo, kau hafalkan
sekarang." "Tapi aku sedang - "
"Tidak peduli, kau sudah berjanji, bukan?"
"Bocah iblis, tidak kau lihat ia sedang berlatih" Kenapa kau tidak tinggal di
sarangmu menunggu semuanya beres?"
"E-e-e, Monyet Tua, bukankah kau sendiri yang membolehkan aku meneruskan
pengajaranku dalam boen" Sekarang kenapa engkau melarang-larang?"
"Kau ...." "Hayo, Siauw Kui, hafalkan sajak yang semalam itu."
Siauw Kui tidak membantah. Ia menghafalkan buru-buru supaya Ching-ching merasa
puas dan meninggalkan dia dengan gurunya. Pemuda itu tak mau nanti keduanya
bertengkar lagi, apa pun jika sampai berkelahi. Sayang, lantaran menghafal
terburu-buru ia malah lupa semuanya.
"Pokoknya sebelum hafal, kau tak boleh berlatih boe," ancam Ching-ching.
Siauw Kui mengingat-ingat. Kini giliran Boe-beng-lo-jin tidak sabaran. Ia
mendengus-dengus lantaran sebal. "A-kui, kau latihan dulu sendiri. Nanti begitu
aku balik, apa yang kuajarkan kau mesti dapat melakukan dengan baik. Kalau
tidak, jangan salahkan aku nanti terpaksa mengusir setan betina itu dengan
kakiku." "He, kau mau menantang" Kenapa tidak secara berterang saja?" Ching-ching siaga
berkelahi. "Hah, kalau begitu, jangan bilang aku berlaku kejam padamu. Kau akan kuhajar
pontang-panting!" "Kau sendiri yang nanti terbirit-birit!" balas Ching-ching.
"Kalian bolehkan diam" Aku kini malah jadi pusing sekali," kata Siauw Kui.
"Aku diam kalau monyet tua itu tidak mengoceh," Ching-ching mengajukan syarat.
"Aku tak akan ngomong kalau iblis betina jelek itu tak banyak bertingkah."
"Bagus. Kamu orang tak boleh diajak damai. Biar aku saja yang pergi." Dengan
roman menyatakan kesal hatinya, Siauw Kui meninggalkan dua orang yang berebut
dia. Tinggallah dua-duanya saling menyalahkan.
"Lihat hasil perbuatanmua!" tuduh Ching-ching.
"Kalau bukan lantaran kau, mana dia bisa marah sedemikian," Boe-beng-lo-jin
balas menyalahkan. "Oh" Lihat saja, kalau bukan lantaran aku, mana dia mau berbaik padamu."
"Kata siapa?" "Kataku, tentu saja."
"Kau berkata bohong."
Ching Ching 198 "Coba saja kau pikir dengan otak pikunmu. Dia kenal aku lebih lama daripada kau.
Sudah terang ia akan lebih mendengar kataku ketimbang kau punya nasihat."
Boe-beng-lo-jin menjebi. "Aku tak percaya. Tapi, sekarang ini ia tak butuh
nasihat. Kau pasang omonglah dengannya supaya ia tak marahan lagi pada kita."
"Kita" Kau sendirian, maksudmu itu?"
"Apa maumulah." Boe-beng-lo-jin tak sudi lama-lama bersama Ching-ching. Ia
segera menghilang di kegelapan gua.
Ching-ching segera mencari Siauw Kui. Ia sendiri sebenarnya kuatir pemuda itu
marahan dan tak suka lagi bertemu dengannya. Ia mencari ke semua tempat, namun
pemuda itu belum ditemukan juga. Mendadak Ching-ching teringat satu tempat yang
diketahui cuma oleh berdua. Ia segera menuju ke gua sempit yang pernah mereka
temukan. Benar saja. Siauw Kui ada di situ, cemberut pada sebuah batu.
"Siauw Kui," Ching-ching mengambil, namun yang memanggil tidak menyahut. Gadis
itu lantas mendekati sahabatnya yang sedang ngambek. "Apakah kau marah betulan"
Kau tak mau bicara padaku" Kalau kau tak mau, aku bicara sendiri saja."
Siauw Kui pura-pura tak mendengar.
"Kau tak mau bilang, kenapa kau ngambek" Apa lantaran aku berebut mengajari
kamu" Kau tak suka diajari olehku?" Lalu dengan lagak meniru Siauw Kui, gadis
cilik itu melanjutkan. "Bukan begitu, aku cuma kesal kau dan Soe-hoe tak pernah
akur." Ia menyambung dengan suaranya sendiri. "Salah gurumu. Ia selalu meledek."
"Sebenarnya bukan semua kesalahan Soe-hoe. Kau juga tak jarang duluan mencari
gara-gara," kata Siauw Kui.
"Kau menyalahkan aku?"
"Bukan begitu. Tapi, tolonglah sementara waktu, kau jangan ganggu terus-terusan.
Nanti kalau Soe-hoe marah - "
"Siapa takut soe-hoemu!"
"Aku. Kalau dia marah dan aku yang kena akibat, bagaimana?"
"Tak usah takut, ada aku!"
"Lagipula kalau seumur hidup kita tinggal di sini tak dapat keluar, mau tak mau
harus hidup dengan dia. Kalau kamu berdua terus bermusuhan, bagaimana bisa
senanghidup di sini" Paling tidak aku terjepit di antara kalian," Siauw Kui
mengeluh. "Lagian, Ching-ching, aku benar-benar kepingin belajar silat, biar
mahir. Nanti kalau kita sudah bisa keluar dari sini, kau tak usah malu lagi
berjalan denganku." "Kau anggap aku selama ini merendahkanmu?"
"Bukan kau, tapi aku merasa begitu."
"Baiklah. Demi kamu, aku janji tak dekat-dekat si Tua Jelek. Tapi, kalau dia
duluan yang cari gara-gara, kau jangan salahkan aku."
"Kau memang paling mau mengerti." Siauw Kui tersenyum senang. "Marilah kau ajari
aku menulis sekarang. Selain boe, aku juga kepingin pandai dalam boen."
Ching-ching memenuhi janji. Sebisa mungkin ia menghindari bertemu dengan
Boe-beng-lo-jin. Ia tak mau Siauw Kui marah. Kalau pemuda itu sampai
memusuhinya, ia bakal tak punya teman di gua yang sempit dan pengap itu. Tapi,
sampai beberapa waktu ia masih senang mengganggu apabila sobatnya sedang
berlatih. Sengaja dengan khi-kang ia membacakan sajak terkenal, atau menyanyi
atau membuat segala macam keributan yang membuat Boe-beng-lo-jin tak dapat
mengajari Siauw Kui. Pemuda itu sendiri sudah tak ambil peduli lagi. Semenjak
peristiwa tempo hari, sudah jauh-jauh hari ia berlatih tidak mendengar bilang
Ching-ching merecoki. Mana tahu, justru Boe-beng-lo-jin yang tak dapat.
Kali itu giliran Ching-ching yang mengajari Siauw Kui, tetapi si pemuda sedang
Ching Ching 199 terlalu bersemangat dan tidak betah duduk saja menghafalkan segala macam sajak.
"Ching-ching, ini hari aku tak ingin belajar sastra. Bolehkah berlatih silat
saja?" "Dengan monyet tua itu" Tidak boleh!"
"Di sini saja dengamu. Kau bisa lihat sampai di mana pelajaranku. Kalau ada yang
salah, kau juga dapat memperbaiki."
"Baiklah. Coba kaulakukan!"
Siauw Kui memamerkan apa yang dipelajari dari Boe-beng-lo-jin. Ia bergerak
dengan cepat dan bersemangat. Tak disadarinya, selain Ching-ching ada sepasang
mata lain mengintai. Gurunya tersenyum bangga melihat betapa mantap Siauw Kui
melakukan semua. Kuda-kudanya, pukulannya, sempurna. Guru mana tak akan bangga
melihat anak muridnya berhasil"
"Bagaimana?" tanya pemuda itu ketika selesai satu jurus. "Apakah sudah bagus?"
"Bagusnya sih bagus, tapi masih belum sempurna."
"Ah, masa?" Siauw Kui nampak tak percaya. Di tempatnya sembunyi, Boe-beng-lo-jin
juga menjebi. Paling juga lantaran Ching-ching sentimen, begitu sangkanya.
"Eh, tak percaya. Kau salah melakukan pernapasan. Tempo hari sewaktu aku
bertempur dengan si Setan Tua itu, ia gunakan jurus yang barusan kau mainkan.
Dari situ aku sempat perhatikan sewaktu dia menarik pukulan yang ketiga,
napasnya belum dibuang. Setelah selesai melakukan tendangan, nah baru napas
boleh dilepas. Dan waktu kau memukul, kuda-kudamu kurang kuat. Kalau ada orang
tak takut kena pukul dan malah menyerang menyapu kaki, kau akan jungkir-balik di
tanah," kata Ching-ching menunjukkan kesalahan.
"Ehm, barangkali benar. Coba sekali lagi." Siauw Kui bersiap mengulangi.
"Tidak boleh!" mendadak Boe-beng-lo-jin keluar dari tempatnya sembunyi. "Siapa
kasih permisi kau mengajari ilmuku kepada orang lain?"
"Siapa yang - " Ching-ching hendak membantah.
"Dan kau, setan betina! Diam-diam kau mencuri ilmuku yah?"
"Siapa kesudian!" tukas Ching-ching. "Ilmu kampungan seperti itu, mana aku sudi
belajar." "Mau mungkir" Lantas tadi itu apa hayo":
"Aku cuma memberi petunjuk!"
"Sebelum memberi petunjuk, apa bukan mencuri ilmu?"
Ching-ching cemberut terdiam. Kalau dipikir, ada benarnya juga apa yang
dikatakan Boe-beng-lo-jin.
"Hehehe. Dia mengaku punya ilmu kelas atas, tak tahunya masih juga mencuri ilmu
orang lain. Tak tahu malu."
"Tak sudi aku!"
"Kalau betul tak sudi, coba buktikan. Selama A-kui belajar silat, kau tak boleh
dekat-dekat." "Baik!" sambung Ching-ching.
"Ingat saja janjimu!" kekeh Boe-beng-lo-jin, membuat Ching-ching kesal setengah
mati. Sesudah itu, memang Ching-ching tak mau dekat-dekat Siauw Kui bila sedang
berlatih, tapi bukan berarti dia membolehkan pemuda itu belajar dengan tenang.
Si gadis bandel masih saja mengganggu dengan bermacam-macam keributan yang bikin
kepala Boe-beng-lo-jin serasa mau pecah. Sampai suatu ketika, Pendekar Tua itu
tak tahan lagi. Suatu siang sementara Siauw Kui berlatih, ia mendekati
Ching-ching. "Mau apa kau"!" tanya Ching-ching bercuriga.
Ching Ching 200 "Eh, kau jangan melotot. Kali ini maksudku baik!"
"Uh, setan tua macam kau mana ada maksud baik kepadaku. Aku tak percaya."
"Baiklah, aku bukannya mau baik padamu, tapi demi muridku."
"Apa lagi" Bukankah maumu sudah banyak kuturut?"
"Kau memang tak bisa diajak berdamai. Terus terang saja, aku mau mengusirmu!"
"Tak usah diusir juga, kalau dapat, aku dan Siauw Kui sudah minggat sejak
setahun lalu." "Kalau kau mau keluar, aku akan tunjukkan jalan."
"Lewat air terjun itu" Kau mau membunuhku?"
"Bodoh! Aku masuk kemari bukannya lewat air terjun. Ada jalan lain."
"Kausangka aku percaya" Kalau benar begitu, kenapa kau tak keluar dari
dulu-dulu?" "Aku sengaja kemari hendak berlatih ilmu dan menjauhi dunia luar. Terutama
Kitab Ajian Dewa 3 Dewi Ular 71 Kupu Kupu Iblis Pendekar Baja 5
"Kami akan turut nasihat Paman," kata Siauw Kui.
Ching-ching melambaikan tangan sebelum kemudian pergi mencari rumah makan. Siauw
Kui mengikuti. Mereka menuju rumah makan yang terdekat dan masuk ke dalam.
"Hei, he! Mau apa kalian?" seorang pelayan menghadang di pintu.
"Mau makan," jawab Siauw Kui polos.
"Di sini tak ada makanan buat pengemis macam kalian," kata pelayan itu.
"Siapa pengemis?" tukas Ching-ching sengit. "Kamu bukan pengemis."
"Eh, tidak mengaku lagi. Lihat saja tampang kalian yang belepotan, baju
compang-camping tak keruan, bau lagi. Huh!" pelayan itu menutup hidung seolah
dua anak di depannya menyebarkan bau busuk. "Sana pergi!"
Ching-ching tersinggung diperlakukan demikian. Darahnya naik sampai ke
Ching Ching 167 ubun-ubun. Didorongnya pelayan sombong itu sampai terjengkang. Beberapa orang
yang sedang makan menoleh melihat keributan itu.
"Dengar!" bentak Ching-ching marah. "Kami bukan pengemis. Dan seandainya
pengemis pun, apa hakmu melarang makan di dalam, asal sanggup bayar. Kamu jangan
besar kepala, ya. Batu jadi pelayan lagaknya ...."
Siauw Kui meringis mendengar Ching-ching membentak-bentak pelayan itu. Nyalinya
ciut. Bukan karena takut pada bentakan Ching-ching, tapi ia lihat pengunjung
rumah makan mengerutkan kening karena merasa terganggu. Apalagi kebanyakan
adalah orang-orang yang kelihatan cukup berilmu. Cepat-cepat ditariknya lengan
Ching-ching dan diseretnya dari tempat itu. Ching-ching tidak sadar. Ia masil
mengomel sambil mengacung-acungkan tinju.
"Kau mau apa"!" bentaknya pada Siauw Kui ketika sudah agak jauh.
"Sudahlah," kata Siauw Kui menenangkan, "kita cari tempat lain saja."
"Memangnya kenapa" Kau takut sama pelayan jelek itu?"
"Bukan, tapi ... ah, jangan cari gara-garalah."
"Pelayan itu mesti dikasih pelajaran," desis Ching-ching tanpa menggubris
omongan Siauw Kui. "Ayoh, balik ke sana."
"Jangan," Siauw Kui melarang. "Nanti diusir lagi."
"Hmm, dia mengusir kita karena pakaian kita. Baik, akan kutunjukkan padanya.
Ayo!" "Ke mana?" "Cari baju," kata Ching-ching sambil menarik Siauw Kui ke sebuah toko pakaian."
Keluar dari toko itu, dandanan mereka sudah lain sama sekali. Ching-ching
berdandan cantik sampai Siauw Kui melotot ketika pertama kali melihatnya. Siauw
Kui sendiri diberi pakaian indah dan rapi seperti seorang kong-coe. Mereka
saling memandang kemudian tertawa-tawa.
"Ching-ching, lain sekali kau kalau sudah dandan."
"Kau juga lain," balas Ching-ching. "Tidak terlalu jelek. Sayangnya ceking.
Biarlah, paling-paling dikira anak orang kaya yang penyakitan."
Siauw Kui cuma tertawa saja digoda begitu.
Ching-ching membuka kantung uangnya. Isinya dibagi dua dengan Siauw Kui. "Ini,
bawalah. Orang akan mengira kau kakakku. Jadi kau harus traktir aku di
mana-mana. Pakai uang ini. Dan hati-hati sama copet."
"Beres!" kata Siauw Kui senang. Seumur hidup baru kali ini dia pegang uang dan
berpakaian bagus. Rasanya aneh sakali. Saking senangnya Siauw Kui menjadi sangat
hati-hati. Ia belum terbiasa, gerakannya jadi terganggu.
"Sst, jangan kaku begitu," bisik Ching-ching sambil cekikikan. "Jangan sampai
orang lain tahu bahwa kau tuan muda yang kaya mendadak. Santai saja."
Mereka kembali ke rumah makan yang tadi. Pelayan yang sombong tadi tampaknya
tidak mengenali. Siauw Kui dan Ching-ching disambut dengan baik. Dalam hati,
keduanya merasa geli. Keduanya memesan macam-macam makanan. Ching-ching belum melakukan apa-apa sampai
pesanan datang. Ia masih menunggu saat yang baik untuk bertindak.
Siauw Kui makan dengan cepat dan agak terburu-buru. Ching-ching meringis
melihatnya. Ia menendang kaki Siauw Kui di kolong meja. "Tak usah buru-buru,
santai saja." "Masa bodoh, aku sudah kelaparan!"
Selesai makan, Ching-ching teringat niatnya semula, tapi pelayan yang diincarnya
tidak terlihat. Ia merasa iseng karena Siauw Kui kelihatan belum selesai makan.
"Rakus amat," goda Ching-ching. "Kau makan tiga kali lebih banyak dari aku."
Ching Ching 168 "Aku memang tiga kali lebih lapar darimu," jawab Siauw Kui.
Ching-ching ingin menggoda lagi, tapi saat itu incarannya sedang menuju ke arah
mereka. Ia membawa makanan untuk orang yang duduk di belakang Ching-ching. Ini
saatnya, pikir Ching-ching girang.
Ditunggunya sampai pelayan itu lewat di sammpingnya, kemudian tanpa terlihat
siapa pun, dijulurkannya kaku untuk menjegal.
Berhasil! Pelayan itu tersandung, makanan yang dibawanya tumpah dan mengotori
pakaian salah seorang pelanggan yang langsung berdiri sambil marah-marah.
Ching-ching pura-pura tidak tahu. Dengan asyik ia menonton pelayan yang masih
terkapar itu dimaki-maki sebagai si dungu, tolol, otak kerbau, dan sebagainya.
Pelayan itu minta maaf berkali-kali. Ketika hendak membersihkan makanan yang
tumpah, ia terpeleset dan justru menubruk orang yang marah-marah tadi.
Ching-ching mendengus-dengus menahan tawa. Siauw Kui yang selesai menghabiskan
semua hidangan, memandangnya dengan bingung. Ching-ching semakin geli. Saat itu
pelayan yang kini dimarahi majikannya, menoleh. Beberapa lama mereka bertatapan.
Betapa terkejut si pelayan mengenali mata bening yang jenaka.
"Mau apa lihat-lihat"!" Ching-ching menggebrak meja. Pelayan itu kaget
dibuatnya. Begitu pun Siauw Kui yang sedang minum. Air teh membasahi mukanya.
Pelayan itu buru-buru menunduk. Ia bahkan tak berani melirik ketika Ching-ching
melangkah keluar sementara Siauw Kui membayar.
Di luar, Ching-ching melepaskan tawanya. Ia terbahak sampai perutnya sakit.
Tawanya menular, Siauw Kui ikut tertawa padahal ia tak tahu apa yang
ditertawakan. "Kau lihat betapa pucat mukanya waktu dimarahi?" tersengal-sengal Ching-ching
berkata. "Aduuh, sampai sesak napasku menahan tawa."
"Oh, jadi itu sebabnya kau mengeluarkan suara-suara aneh tadi?"
Yang ditanya tak sanggup menjawab. Ia cuma mengangguk kemudian cekikikan lagi
sampai terbungkuk-bungkuk.
Tawa mereka berhenti ketika serombongan orang lewat membawa tandu. Rombongan itu
berseragam kecuali yang memimpin di depan. Orang-orang menepi ketika rombongan
itu lewat. Mereka berbisik-bisik,
"Itu pasti Un Khoa-jin yang di dalam tandu itu."
"Yang di depan itu siapa?"
"Un Kong-coe, putranya."
"Mau ke mana mereka?"
"Ke alun-alun. Ada pie-boe di sana."
Orang-orang berjalan ke satu arah, mengikuti rombongan tersebut. Siauw Kui dan
Ching-ching terbawa arus. Di samping itu mereka juga ingin tahu ada apa.
Mereka sampai di alun-alun. Di sana sudah didirikan semacam panggung yang
ditopang tonggak yang kokoh. Saat itu Un Kong-coe sedang memberikan kata
sambutan. "... diadakan untuk meramaikan suasana. Pemenangnya akan diberi hadiah sebanyak
seratus tael emas!" Un Kong-coe berhenti sejenak. Setelah yang datang berhenti
berbisik-bisik, ia melanjutkan, "Karena pie-boe ini hanya untuk meramaikan
suasana saja, maka penggunaan senjata dalam bentuk apa pun dilarang.
Pertandingan hanya dengan tangan kosong. Siapa yang meninggalkan pie-boe atau
jatuh dari panggung lebih dulu adalah yang kalah. Tetapi, apabila ada korban
nyawa yang jatuh, tak seorang pun akan menanggung. Baiklah, untuk lebih
singkatnya kita mulai saja sekarang."
Seorang berbadan kekar naik ke panggung. Di atas, ia melempar goloknya. Sambil
Ching Ching 169 berdiri berkacak pinggang, ia menantang, "Ada yang berani melawan?"
Seorang lain tak kalah gagah menyusul naik. Ia menjura seraya memperkenalkan
diri. "Aku Teng Chow Hui, ingin bermain-main denganmu."
"Baik, mari kita main-main sebentar."
Kedua orang itu bersiaga kemudian saling melancarkan serangan. Sebentar saja
terlihat bahwa orang yang pertama hanya mengandalkan tenaga saja sementara yang
bermarga Teng itu memiliki sedikit dasar ilmu silat. Banyak orang yang memang
berniat merebut hadiah mengetahui hal ini. Tetapi para penonton awam yang tidak
mengerti ramai bersorak-sorak saling menjagokan. Ching-ching dan Siauw Kui
berada di tengah-tengah penonton ini. Sayangnya mereka tak dapat melihat apa-apa
karena terhalang tubuh penonton lain.
"Kita maju ke depan, yuk," ajak Siauw Kui. Ditariknya Ching-ching menyusup di
antara orang-orang itu. Setelah berkali-kali mendesak kiri-kanan, menginjak kaki
orang, dan dimaki-maki, dapat juga mereka sampai ke deretan depan. Paling depan
malah. Dengan demikian kini mereka dapat melihat dengan jelas sekalipun mesti
mendongak karena panggung itu cukup tinggi juga.
Melihat sebentar saja Ching-ching sudah bosan. "Payah," celanya. "Ilmu jelek
begitu, apanya yang patut dilihat."
"Seru, kok!" bela Siauw Kui. Ia ikut ribut bersorak-sorak.
Beberapa kali pertempuran terjadi. Setelah menang, Teng Chow Hui mundur
digantikan dua jago lain yang bertempur. Yang menang memberi kesempatan pada
yang lain. Belakangan mereka akan saling diadu untuk menentukan yang terbaik.
Cara semacam ini makan cukup banyak waktu. Barangkali sampai tiga hari. Jadinya
suasana di kota itu meriah selama hari-hari tersebut.
Hari pertama Ching-ching betul-betul kecewa. "Tidak seru!" omelnya ketika di
penginapan. Ia sibuk mencela. Siauw Kui diam saja. Ia tidak mengerti ilmu silat.
Lebih baik mengiyakan saja daripada ikut kena damprat.
Keesokan harinya Ching-ching ikut juga ke alun-alun sekalipun di jalan ia
mengancam, "Kalau hari ini tidak seru lagi, aku pulang ke penginapan."
Tetapi kali ini pie-boe tak membosankan. Banyak orang lihay unjuk kepandaian.
Gadis itu tertarik sekali. Terutama kepada dua jago dari utara dan selatan yang
mengalahkan lawan-lawan mereka dengan cepat.
Jago dari utara adalah seorang pemuda she Yo yang berpakaian siu-cai. Wajahnya
tampan membayangkan kehalusan budi. Ilmunya cukup tinggi. Gerakannya lambat
namun mantap dan enak dilihat. Seperti orang menari saja layaknya. Dalam setiap
jurus terkandung syair-syair masyhur yang dalam maknanya.
Ching-ching yang pernah mempelajari sastra tingkat tinggi jadi terkagum-kagum.
Memang mata yang kurang celi menganggap goresan tangan di udara itu hanyalah
perubahan-perubahan biasa saja. Lain dengan beberapa orang pejabat yang datang.
Seperti juga Ching-ching, mereka mengagumi pemuda tersebut.
Penghargaan mereka semakin bertambah pula setelah melihat pemuda itu menjatuhkan
lawan-lawannya tanpa menyakiti. Ia hanya membuat lawannya terjatuh dari panggung
dan mengakui kekalahannya.
Jago yang satu lagi ialah seorang berusia 30-an. Badannya kurus dan jangkung.
Tulang pipinya menonjol sedangkan kulitnya kuning. Ilmunya lumayan. Gerakannya
cepat dan lincah sekali. Sayangnya, berbeda dengan si pemuda she Yo, jagoan ini mengalahkan lawannya
dengan licik dan kejam. Sehari ini sudah tiga kali ia robohkan orang. Yang
seorang patah kaki, seorang bocor hidungnya, yang terakhir rompal giginya.
Besok adalah hari terakhir. Tinggal empat orang pendekar yang tersisa - si pemuda
Ching Ching 170 she Yo, si jangkung, dan dua orang lagi yang tingkatan ilmunya tidaklah tinggi.
Jadi bisa dipastikan si pemuda dan si jangkung akan bertanding. Inilah yang
ditunggu orang banyak. Sepintas kelihatan keduanya setanding. Pasti bakal jadi
adu kepandaian yang seru.
Malamnya secara kebetulan Ching-ching bertemu dengan pemuda yang bernama Yo
Chong itu di rumah makan. rumah makan itu penuh sekali. Kabarnya paling enak di
kota itu. Yo Chong yang datang belakangan nyaris tak jadi masih melihat tak ada meja yang
tersisa. Pada saat itu Ching-ching yang sudah pesan tempat menyapa, "Yo Toako,
kebetulan bertemu di sini. Ayo, sekalian saja kuundang minum."
Yo Chong jadi tak enak hati melihat orang yang undang dia hanyalah bocah cilik.
Ia pun menampik. "Ayolah, Yo Toako," Ching-ching memaksa. "Sudah kepalang basah datang ke sini."
"Tapi aku - " "Ayolah! Atau kau takut gengsimu turun ditraktir anak kecil" Baik, kau yang
bayar." Yo Chong mengangguk. Kemudian ia diseret Ching-ching ke meja tempat Siauw Kui
sudah menunggu. Sambil menunggu pesanan datang, Ching-ching berbincang-bincang
dengan Yo Chong. "Yo Toako, tadi kulihat permainan silatmu bagus sekali," puji Ching-ching.
"Ah, biasa-biasa saja," kata Yo Ching merendah. Anak kecil tahu apa, sambungnya
dalam hati. "Aku juga melihat banyak syair masyur yang terdapat dalam jurusmu."
"Oh ya?" mata Yo Chong melebar. Kali ini ia perhatikan lawan bicaranya
betul-betul. Dandanan Ching-ching seperti seorang sio-cia. Wajahnya bercahaya.
Barangkali anak seorang wan-gwe. Kelihatannya terpelajar juga. Yo Chong jadi
tertarik. "Syair apa saja yang kau kenali?"
"Ada beberapa," jawab Ching-ching. "Jurus yang pertama terdapat syair 'Bulan di
atas Danau Ho'. Lalu jurus kedua mengandung syair 'Pohon Ciong di kaki bukit'.
Yang ketiga ...." Ching-ching nyerocos terus. Ia senang melihat Yo Chong terbengong-bengong.
Pemuda itu keheranan betapa Ching-ching dapat menyebutkan syair-syair itu dengan
tepat. Pandangannya berubah. Ia tidak lagi meremehkan Ching-ching.
Laim lagi dengan Siauw Kui yang malah mengeluh. Pamer lagi, pamer lagi, pikirnya
bosan. Ia lebih bersemangat menanti makanan yang dipesan. Celakanya, pesanan
mereka tak kunjung datang, padahal sudah sedari tadi perutnya berkeriuk minta
diisi. Akhirnya pesanan datang. Siauw Kui yang paling senang. Tanpa sungkan-sungkan
lagi ia segera mulai makan. Ching-ching dan Yo Chong, sambil makan masih juga
bicara dan tukar pikiran tentang bun dan bu.
Selesai makan, Yo Ching ngotot mengantar sampai ke penginapan. Ching-ching
menerima tawaran dengan senang hati. Ia belum puas bercakap-cakap dengan pemuda
perlente yang bail pendidikannya itu. "Yo Toako, kau memang baik dalam bun dan
bu. Aku belum bosan menggali pengetahuan darimu," puji Ching-ching ketika mereka
kembali ke penginapan."
"Ching-moay, kau pun baik dalam kedua soal itu."
"Tetapi belum sebaik engkau. Oh ya, aku juga lihat ilmu silatmu sangat bagus."
Yo Ching tersenyum bangga.
"Yo Toako, besok kau harus hadapi jagoan ceking yang bakalan jadi lawanmu. Dia
itu licik nampaknya. Kau hati-hatilah."
Ching Ching 171 "Ching-moay, kau jangan kuatir. Aku masih bisa kalahkan dia," kata Yo Chong
meremehkan. "Ya, tapi dia itu dapat saja jatuhkan kau dengan cara tidak baik atau malah
membahayakan dirimu."
Yo Chong tersenyum lagi. Anak kecil tahu apa, pikirnya, tapi mulutnya berucap,
"Ching-moay, terima kasih atas perhatianmu."
Ching-ching tidak menjawab. Ia sempat melihat senyuman sinis Yo Chong barusan.
"Eh, Yo Toako, sebenarnya kenapakah kau ikutan pie-boe di sini" Apakah tidak
punya uang" Kelihatannya kau bukan orang yang butuh uang. Apa artinya seratus
tael emas bagimu?" tanya Siauw Kui yang sedari tadi baru sekarang ia buka suara.
"Uang itu bukan untukku," kata Yo Chong, "tapi buat orang-orang yang kena
musibah di daerah utara. Panen mereka tahun ini gagal. Banyak yang kelaparan.
Cara yang paling gampang untuk tolongi mereka adalah memberi uang. Dan bagiku
cara cari uang yang paling cepat adalah ikut pie-boe."
"Begitu!" Siauw Kui mengangguk-angguk. Saat itu mereka sampai di tempat
penginapan. "Yo Toako, terima kasih mau mengantar kami," kata Siauw Kui. "Kami
sudah repotkan kau."
"Ah, sudah kewajibanku. Kalian istirahatlah. Aku pun akan segera pergi."
"Selamat malam," kata Ching-ching dan Siauw Kui bebareng. Yo Chong melangkah
pergi. Kedua remaja tanggung di belakangnya memandangi sampai pemuda itu
membelok di sudut jalan. "Ching-ching," kata Siauw Kui, "tapi kulihat dia seolah meremehkan
peringatanmu." "Tak usah kau omong pun, aku sudah tahu!" kata Ching-ching. "Sayang pemuda
setampan dan sepandai dia itu suka meremehkan orang lain. Satu kali ia akan
termakan kesombongannya itu."
"Eh, kau bilang tampan" Tampan mana sama aku?" tanya Siauw Kui menggoda.
Ching-ching pura-pura memperhatikan. Siauw Kui pasang lagak. "Kau?" Ching-ching
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nyengir. "Kau dibandingkan si ceking dari selatan pun masih lebih bagus ...."
Ching-ching sengaja tidak selesaikan ucapannya. Siauw Kui cemberut. Ia tahu apa
yang bakal dikatakan Ching-ching. Makanya ia berjalan pergi meninggalkan dengan
muka ditekuk. "Hei, hei. Kenapa marah" Ucapanku belum selesai."
"Aku tahu!" kata Siauw Kui ketus. "Kau mau bilang aku lebih jelek dari si
ceking, ka?" "Siapa bilang" Aku tidak omong begitu. Kau sendiri yang anggap dirimu lebih
jelek dari si ceking."
"Maksudmu, aku lebih mendingan?"
"Tidak juga. Aku mau bilang dibandingkan si ceking denganmu lebih bagus Yo
Chong." Siauw Kui meringis. Ching-ching tertawa. "Tapi kau tak perlu sirik,"
kata Ching-ching kemudian. "Ditawari sepuluh Yo Ching, aku akan pilih si tolol
Siauw Kui seorang." Siauw Kui meringis lagi. Tetapi kali ini karena senang sekaligus terharu atas
ucapan sahabatnya. Keesokan harinya, alun-alun sudah penud sedari pagi. Jalan-jalan sepi. Kota
seolah mati. Seluruh penduduk berkumpul untuk menyaksikan pie-boe. Bandar judi
ikut sibuk membuka usaha di sana. Penduduk banyak mencoba peruntungan.
Siauw Kui tertarik sejak tadi. Matanya bolak-balik melirik ingin ikut, tapi
Ching-ching sudah buru-buru menariknya menyusup di antara orang-orang supaya
dapat tempat paling depan.
Ching Ching 172 Pertandingan sudah mulai. Pertama-tama adalah jago selatan yang ceking melawan
seorang pendekar berumur 30-an. Seperti yang sudah diramalkan, si ceking
memnangkan pertandingan dengan cepat dan ganas. Hasilnya pendekar malang yang
melawannya dipecundangi hingga matanya bonyok, hidungnya bocor, kaki dan
tangannya patah. Orang itu semaput di atas panggung luitay dan terpaksa digotong
orang. Berikutnya Yo Chong melawan pendekar tua umur 40-an. Sekali lihat saja orang
parobaya itu sudah tahu kepandaian Yo Chong ada jauh di atasnya. Walaupun
demikian, orang itu tak mau lekas-lekas menyerah. Ia tetap menghadapi lawannya
dengan gigih. Yo Chong yang tahu adat pun tidak buru-buru. Ia tak mau bikin malu
orang tua itu sekali gebrak. Jadinya mereka bertanding tidak dengan
sungguh-sungguh, hanya saling memamerkan kepandaian saja.
Penonton berorak-sorak riuh. Mereka tak tahu permainan di antara dua orang itu.
Mereka kelihatan begitu bersungguh dalam serangan maupun pertahanan. Akibatnya
pertempuran berjalan lebih lama.
Ching-ching mulai kuatir. Sudah pasti pertempuran ini dapat dimenangkan oleh Yo
Chong. Cepat atau lambat pemuda itu akan menang. Namun semakin lama pertempuran
berarti semakin kurangnya tenaga. Sungguh gawat bagi Yo Chong pada saat ia harus
betul-betul melawab si ceking kelak.
Yo Chong menyadari hal ini. Sebelum tengah hari ia harus cepat memenangkan
pertandingan. Kalau tidak, waktu istirahat akan sangat sempit. Belum tentu ia
akan dapat kumpulkan tenaga dan konsentrasi yang terbuyar.
Memikir demikian, Yo Ching mempergencar serangannya. Walaupun tidak mengarah ke
tempat-tempat berbahaya, lawannya cukup terdesak dan sambil menangkis terpaksa
melangkah mundur sampai mepet ke tepi panggung.
Pada suatu kesempatan bagus, Yo Chong memukul ke arah dada. Lawannya menangkis.
Perhatiannya terarah untuk melindungi tubuh bagian atas.
Sayangnya pukulan ini hanyalah pancingan. Pada saat bersamaan, Yo Chong menyapu
ke bawah. Yo Chong sengaja pelankan gerakan supaya lawannya sempat menghindar.
Si pendekar parobaya itu memang menghindar dengan berpoksai di udara ke arah
belakang dan ia mendarat dengan mantap di sebelah bawah panggung.
Penonton bersorak. Ching-ching bertepuk paling keras. Ia sungguh salut pada Yo
Chong. Sesuai dengan aturan permainan, dengan turun dari panggung saja, orang
sudah kalah. Tapi kali ini tanpa serasa malu, soalnya sekali pun pukulan Yo
Ching tidak ada yang mendarat telak.
Setelah berbasa-basi, kedua pendekar itu menyingkir. Yo Chong sempat
beristirahat sejenak. Ia menggunakannya untuk siulian sejenak, mengumpulkan
tenaga dan konsentrasi. Ching-ching dan Siauw Kui menjagai di sampingnya.
Lewat tengah hari, pertandingan antara Yo Chong dan si ceking akan segera
dimulai. Ching-ching sempat wanti-wanti sekali lagi. "Yo Toako, hati-hatilah
terhadap senjata rahasia."
"Apa maksudmu?" Yo Chong malah bertanya.
"Si ceking bukan orang yang mau mengalah begitu saja. Ia akan gunakan segala
cara untuk menjatuhkanmu. Kalau perlu, membunuhmu dengan cara tidak jujur. Oleh
sebab itu, kau waspadalah."
"Siauw-moay, kau janganlah cemas. Kau sendiri katakan ilmuku ada setingkat lebih
tinggi dari si ceking itu, kan?" Yo Chong menyahuti.
"Tapi - " Ching-ching tak sempat bicara. Tanda sudah dibunyikan Yo Chong harus
segera naik panggung. Pemuda itu berjalan dengan mantap dan gagah. Begitu pun si ceking lawannya,
Ching Ching 173 berjalan dengan kegagahan yang dibuat-buat. Malah lucu jadinya. Kelihatannya
seperti jerangkong yang berjalan, ketamplingan.
Kedua jago itu saling memberi hormat. Mereka juga memperkenalkan diri
masing-masing. Ternyata si ceking dari selatan itu bergelar Lam-tay-kim-tiau.
Bersama dengan adiknya Lam-tay-hek-tiau, mereka dikenal sebagai
Lam-tay-siang-tiau. Ketika keduanya memulai pie-boe, penonton tenang sama sekali. Setelah beberapa
saat, barulah mereka hiruk-pikuk saling menjagokan jago masing-masing. Tidak
sedikit pula yang langsung pasang taruhan untuk kedua jagoan itu. Siauw Kui yang
sedari tadi sudah tertarik jadi tergoda. Ia melirik ke arah Ching-ching yang
asyik memperhatikan jalannya pie-boe.
Kalau aku minta ijin, Ching-ching mana membolehkan. Ah, kubohongi sajalah,
pikirnya. "Ching-ching!" panggilnya agak keras.
"Hmmm," sahut Ching-ching tanpa menoleh.
"Aku ke sana dulu."
"Mau apa?" "Mau buang air."
"Ya, baiklah. Jangan lama-lama!"
"Tidak." Siauw Kui menyusup ke bagian sebelah belakang tempat orang yang sedang bertaruh
bergerombol. Ching-ching tidak kelihatan di antara orang banyak. Siauw Kui
merasa aman. Ia mendekati kerumunan orang yang sedang sibuk pasang taruhan.
"Ini, aku tiga tael untuk Kim-tiau."
"Aku juga tiga tael untuk si pemuda."
"Aku ikut untuk Kim-tiau."
"Aku juga. Ini uangnya."
"Tunggu, tunggu, aku juga ikut!" teriak Siauw Kui.
Orang-orang itu menoleh kepadanya. "Eh, anak kecil mana boleh ikutan?"
"Boleh saja. Kalau aku punya uang, kau mau apa?" tantang Siauw Kui.
"Biarkan dia ikut," kata bandar. "Coba, bocah, mana uangmu?"
"Nih, sepuluh tael. Aku pasang Yo Chong, siucai itu."
"Eh, kecil-kecil sudah royal," seorang terkekeh-kekeh. "Nih, aku juga tiga tael
untuk si ceking." Selesai memasangkan uangnya, Siauw Kui kembali ke samping Ching-ching. Ia
tinggal menunggu hasil. Ia hampir yakin Yo Chong bakal menang. Makanya, hampir
semua uang dipertaruhkan. Sisanya tinggal beberapa tael saja di dalam kantung
uang. "Dari mana saja" Lama betul," omel Ching-ching.
"Maklum, penuh orang sih. Aku kan harus cari tempat yang aman."
"Sst, lihat tuh, si ceking mulai terdesak."
Benar, di panggung, Yo Chong memang mulai berada di atas angin. Serangannya yang
lambat tidak membuatnya keteter. Justru bikin lawan bingung - kelihatannya
pertahanan pemuda itu terbuka, tetapi bila diserang selalu lolos.
Wajah Kim-tiau yang kuning pucat jadi kemerahan karena marah dan malu. Tadi ia
sudah sesumbar mengalahkan pamusa itu dalam beberapa jurus saja. Sekarang, sudah
hampir 200 jurus, bukan saja ia belum memanangkan pertandingan, malah berada di
bawah angin pula. Kim-tiau juga mendengar beberapa orang berteriak melecehkan. Hal ini mengobarkan
amarahnya. Namun juga bikin perhatiannya terbagi dan gerakannya jadi kacau. Satu
pukulan telak dari Yo Chong bikin dadanya sakit sekali. Ia undur beberapa Ching
Ching 174 langkah. Matanya menyipit. Memang ia tak sampai muntah darah, tapi kepalanya
sempat pusing beberapa saat.
Penonton bersorak menjagoi Yo Chong. Pemuda itu tersenyum penuh kemenangan, Kim-
tiau kesal bukan main. Dalam pandangannya ia sudah dipermalukan di depan banyak
orang. Ia harus balas. Ia harus kalahkan Yo Chong segera, Dengan cara apa pun.
Tetapi ia harus hati-hati, jangan sampai orang tahu akan kecurangannya.
Otak Kim-tiau berputar. Melihat keadaan sekarang, tampaknya tak banyak orang
berkepandaian tinggi yang menonton. Apabila ia berbuat curang, paling-paling
cuma adik seperguruannya yang melihat. Adiknya itu apsti membela tan tak tega
melapor atau mempermalukannya. Memang adiknya itu terlalu jujur, tapi tidaklah
goblok untuk permalukan nama perguruan di depan banyak orang.
Kim-tiau mengambil keputusan. Setelah memperbaiki kuda-kuda, ia mulai menyerang
dengan cepat. Hampir tanpa pertahanan sama sekali.
Yo Chong yang hati-hati mengira ada jebakan dan tidak gunakan kesempatan untuk
balas menyerang. Ia hanya bertahan dan bertahan.
Kim-tiau senang. Rencananya akan berjalan lancar. Sambil melompat berputar, ia
lancarkan serangan ke dada atas Yo Ching. Bersamaan dengan itu, ia luncurkan
jarum emas dari mulutnya ke arah leher. Yo Chong yang melindungi dada sempat
melihat senjata rahasia yang dilontarkan musuh.
"Hei!" serunya kaget.
"Curang!" teriak seorang tapi suaranya tenggelam oleh sorak penonton.
Yo Chong merasakan lehernya ditembus barang yang tipis halus. Tangannya bergerak
memegangi leher. Kim-tiau tidak sia-siakan waktu. Ia segera lancarkan pukulan
berantai ke arah dada kemudian dengan kedua telapak tangan memukul kepala Yo
Chong kiri-kanan. Kemudian sekali lagi lancarkan tendangan berputar ke kepala
lawan. Yo Chong jatuh tak bergerak dengan kepala retak.
Sejenak penonton hening. Namun saat berikutnya sorak mereka membahana memekakkan
telinga. Kim-tiau kebutkan debu dari bajunya lantas menjura kepada penonton yang
masih juga sorak-sorai. "Curang!" teriakan seseorang disertai khikang mengatasi suara lainnya. Lagi-lagi
penonton sepi. Kim-tiau mencari-cari asal suara itu. Matanya terpaku ke sosok
tubuh mungil yang melotot menantang.
"Eh, bocah kecil, atas dasar apa kau tuduh aku?" tanya Kim-tiau. Hatinya yang
sempat gentar kembali tenang melihat hanya bocah kecil yang berani
teriak-teriak. "Kau gunakan senjata rahasia untuk kalahkan Yo Toa-ko. Dasar manusia licik!"
Ching-ching berteriak. "Eh, eh, punya hubungan apa kau dengan pemuda ini sampai begitu sewot. Lagipula
semua orang melihat, dia mati gara-gara kepalanya bocor oleh tendanganku,"
sanggak Kim-tiau. "Aku tidak ada hubungan. Hanya sebatas kawan. Tapi aku menuduh dengan bukti.
Suruh saja orang periksa. Pasti di lehernya ada titik bekas ditembus jarum emas.
Jarumnya pun masih di situ."
Orang-orang berkasak-kusuk bikin suasana agak gaduh. Saat itu Siauw Kui
menerobos ke belakang. Wajah Kim-tiau pucat pasi. Tapi otaknya masih berputar. Ia tersenyum sinis dan
berkata, "Eh, bocah, kau salah duga. Kalau tak percaya, periksalah sendiri
olehmu." "Huh, manusia tak berbudi, kau pikir aku tak tahu akal-akalanmu yang busuk.
Ching Ching 175 Begitu aku periksa dan tunjukkan bukti, kau akan tuduh aku mengada-ada dan
memfitnahmu." "Baik, kalau kau tak mau, aku akan tunjukkan sendiri padamu."
"Manusia busuk, kau jangan bergerak. Biar saja pihak luar yang periksa," tukas
Ching-ching. "Biarkah aku mencoba bertindak adil antara kalian," seorang pemuda maju. Dialah
Un Kong-coe. Pemuda itu membungkuk di depan mayat Yo Chong. Ia memeriksa agak lama. Kemudian
ia perlahan berdiri. Orang-orang yang berbisik-bisik diam dan menungguk
keputusan. Un Kong-coe menarik napas dulu sebelum berkata, "Aku melihat jarum emas
menyembul dari luka Yo Chong, namun aku tak dapat mencabutnya."
"Biat aku yang lakukan," seorang tinggi-besar dengan kulit cokelat terbakar
matahari melompat ke panggung.
"Soe-tee!" Kim-tiau berbisik, nyaris tak terdengar, tapi Ching-ching sempat
melihat gerak bibirnya. Dengan pandang curiga ia memperhatikan orang yang baru
muncul tersebut. Orang itu membungkuk dan menepuk leher Yo Ching. Kim-tiau sudah senyum-senyum.
Adiknya pasti membela dan membuat kepala jarum yang menyembul makin melesak.
Berarti tak ada bukti menuduhnya.
Tahu-tahu si tinggi-besar berbalik. Tangannya mengacung memperlihatkan sebatang
jarum yang berlumur darah. Orang berseru-seru kaget. Tetapi yang paling terkejut
adalah Ching-ching dan Kim-tiau sendiri.
"Soe-tee, kau ... kau ....," Kim-tiau terbata.
"Soe-heng, kita adalah golongan putih. Kenapa kau sampai hati turunkan tangan
jahat pada orang yang tak bersalah. Apalagi pemuda ini kelihatan orang baik-baik
pula. Aku sungguh kecewa padamu." Si tinggi-besar yang bergelar Lam-hay-hek-tiau
turun dari panggung meninggalkan si ceking yang terpana.
"Aku minta ganti rugi," terdengar suara dari belakang. Siauw Kui berlari maju
dengan muka merah. Ia naik ke atas panggung dengan memanjat tiang penyangga. Itu
pun dengan susah payah. Kelakuannya bikin beberapa orang tersenyum geli. Siauw
Kui berdiri di hadapan Kim-tiau dengan napas ngos-ngosan.
"Mau apa!" bentak Kim-tiau garang.
"Pokoknya ganti. Semestinya aku menang taruhan. Gara-gara kau yang berlaku
curang, uangku hilang. Bandarnya minggat lagi." Kini orang-orang tertawa.
"Siauw Kui, turun!" perintah Ching-ching.
"Ha, rupanya kau ada hubungan dengan bocah kurang ajar ini. Kau pun perlu diajar
adat." Kim-tiau menendang. Refleks Siauw Kui menghindar ke samping. Gayanya
lincah dan cepat. Beberapa orang menyangka bocah itu setidaknya punya dasar ilmu
silat. Apalagi pakaiannya seperti seorang anak hartawan. Kim-tiau bergerak lagi.
Tangannya menampar. Kali ini Siauw Kui menunduk sambil lindungi kepala.
Orang-orang bersorak. Wajah Kim-tiau memerah, merasa dipermainkan. Darahnya
bergolak. Ching-ching memandang kuatir. Ia takut kalau-kalau Kim-tiau mata gelap. Tapi ia
heran juga betapa Siauw Kui bisa menghindar. Kecurigaannya timbul. Jangan-jangan
Siauw Kui bisa silat juga. Karenanya, ia diamkan saja sementara.
"Bocah kecil, kau minta dihajar"!" bentak Kim-tiau.
"Bocah besar, kau gantikan dulu kerugianku!" Siauw Kui balas berteriak.
"Ini, rasakan!" Kim-tiau memukul.
"Aww!" Siauw Kui berteriak seraya berlari menghindar.
Ching Ching 176 "Setan cilik!" maki Kim-tiau.
"Eh, dari mana kau tahu namaku?" Siauw Kui malah bertanya lugu.
Mengira Siauw Kui sengaja putar balikkan kata Kim-tiau, penonton malah bersorak
dan tertawa-tawa. Ketegangan akibat matinya Yo Chong mencair akibat tingkah
Siauw Kui yang ketolol-tololan.
Sebaliknya, Kim-tiau saking marah, memukul serabutan. Penonton tambah terbahak
melihatnya. Siauw Kui yang kelabakan menghindar. Ia kena ditempeleng dan
ditendang beberapa kali. "Anjing kecil, kau rasakanlah!" Kim-tiau menempeleng lagi. Tapi Siauw Kui keburu
jatuhkan diri hingga tangannya cuma kena angin.
"Kau bilang anjing kecil, ya anjing kecil." Siauw Kui menrangkak-rangkak sambil
meniru-niru salak seekor anak anjing.
"Gila!" Kim-tiau berteriak saking bingung. Saat itu Siauw Kui mengincar betisnya
dan berhasil mencabik kain celana Kim-tiau dengan giginya. Tanpa sadar Kim-tiau
menghindar. Siauw Kui mengejar. Jadilah mereka uber-uberan di atas panggung.
Yang menonton terbahak sampai terguling. Seluruh tempat itu bergetar karena
mereka. Ching-ching pun iktu cekikikan.
"Kunyuk bau, mampuslah kau!" teriak Kim-tiau teraya menendang.
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Siauw Kui meringis. Ia berdiri. "Kau bilang kunyuk, ya kunyuk." Sekarang anak
itu berjingkrakan mengitari Kim-tiau.
Saking marahnya, Kim-tiau melupakan ilmu silatnya. Ia mengejar hendak menangkap
Siauw Kui tetapi gerakannya tanpa didasari ilmu silat sedikit pun. Kim-tiau
menubruk-nubruk berkali-kali, tetapi Siauw Kui berhasil menghindar walaupun
beberapa kali bajunya tercabik.
Sekali Kim-tiau menubruk. Lagi-lagi Siauw Kui menghindar. Kim-tiau menubruk
angin. Keseimbangannya hilang. Ia jatuh pada kedua tangan dan lutunya. Tanpa
sia-siakan kesempatan, Siauw Kui naik ke punggung Kim-tiau. Berpegangan pada
baju orang yang ditungganginya, Siauw Kui melonjak-lonjak.
Tentu saja Kim-tiau gondok bukan main. Ia berusaha menjatuhkan Siauw Kui dengan
mengebas-ngebaskan badan sambil merangkak-rangkak, tapi Siauw Kui tenang-tenang
saja. Walau badannya oleng ke kiri ke kanan, tetapi pegangannya cukup kuat.
Kim-tiau berdiri. Siauw Kui buru-buru memeluk leher orang sehingga tidak
terjatuh. Dengan satu tangan memeluk leher Kim-tiau, tangannya sebelah lagi
mengacak-acak rambut orang itu. Kini penampilan keduanya berantakan tak ketahuan
rupanya. Hal ini semakin menambah gelak penonton.
Kim-tiau berusaha menjatuhkan Siauw Kui. Tetapi semakin didorong, pegangan Siauw
Kui makin kuat. Jadinya Kim-tiau tercekik sendiri.
Bosan berada di punggung Kim-tiau, Siauw Kui merosot turun seperti turun dari
pohon. Ia langsung berlari dikejar. Sayangnya Siauw Kui sudah kecapean. Dengan
mudah ia ditangkap dan dihajar Kim-tiau habis-habisan.
Orang berteriak-teriak supaya Siauw Kui dilepaskan. Siauw Kui sendiri, walaupun
sudah setengah mati, masih berontak, mencakar, dan menggigit. Kim-tiau seolah
tidak merasakan. "Hentikan!" Tanpa seorang pun menyadari, tahu-tahu Ching-ching sudah perada di
panggung. "Oh, kau juga minta dihajar"! Baik, kau tenanglah di situ!" dengan gemas
Kim-tiau membanting Siauw Kui ke lantai.
"Manusia jahat! Percuma kau belajar silat dan mengaku-aku sebagai golongan
putih. Anak kecil pun tak kau ampuni" Barangkali gurumu tak mengajar adat
padamu." Ching Ching 177 Lam-hay-hek-tiau melompat naik. Panggung terasa bergetar ketika ia mendarat.
"Bocah, kalau kau marah karena soe-hengku berbuat curang, aku tak ikut campur.
Tapi kalau kau bawa-bawa nama guruku dalam urusan ini, aku tak bakalan tinggal
berpangku tangan," katanya.
Ching-ching tak menjawab. Ia membantu Siauw Kui berdiri dan menyuruhnya turun.
Siauw Kui menurut dengan mulut berdesis-desis menahan sakit. Di bawah panggung,
orang-orang menyambutnya sebagai pahlawan menang perang. Ada yang mengipasi,
memberinya minum, memijiti, memeriksa lukanya, dan bermacam lagi. Siauw Kui diam
saja. Ia tak menolak dimanjakan seperti itu.
Ching-ching kembali menghadapi Hek-tiau dan soe-hengnya. Matanya yang membelalak
bersinar marah. Bibir mungilnya menipis. Bentaknya, "Oh, rupanya kau mau bela
soe-hengmu, ya. Huh, tak kusangka Lam-tay-siang-tiau tak lebih dari sepasang
siauw-jin tak tahu adat!"
"Bocah, kuharap kau tarik kembali kata-katamu."
"Kalau tak mau, bagaimana?" Ching-ching menantang.
"Aku terpaksa ajar adat padamu."
"Huh, justru kalian yang perlu diajar adat."
"Baik, jangan salahkan aku kalau nanti menghajarmu," kata Hek-tiau.
"Jangan salahkan aku juga kalau kau babak belur!" balas Ching-ching.
Seluruh penonton berbisik-bisik. Nama Lam-tay-siang-tiau memang belum begitu
dikenal, tetapi setidak-tidaknya mereka sudah dapat gelar dan tak dapat
dipandang enteng, sedangkan dua anak ingusan ini sungguh nekad, berani melawan
mereka. "Eh, bocah kecil, nyalimu sungguh besar. Aku salut padamu," puji Hek-tiau.
"Bocah besar, aku pun sempat salut padamu karena tak segan berlaku jujur," balas
Ching-ching. "Bocah kecil, aku tak suka turunkan tangan jahat. Begini saja. Sesuai aturan,
siapa turun duluan, dia yang kalah."
"Baik!" sambut Ching-ching.
"Bukan itu saja. Kalau kau kalah, kau harus tarik kembali penghinaan pada guruku
dan harus kui dan memanggilku thia-thia. He-he-he, aku tak keberatan punya anak
pemberani macam kau, bocah."
Ching-ching dan mereka yang menonton terperangah. Hek-tiau ini sungguh orang
yang berbelas kasihan. Sudah dimaki orang, malah balas memuji. Nyatalah tuduhan
pukul rata disamakan dengan soe-hengnya salah sama sekali.
Penghargaan Ching-ching terhadap Hek-tiau bertambah saja. Hatinya yang membara
dingin seketika. Ia tahu, mudah saja untuk mengalahkan Hek-tiau, tapi ia tak
berminat lagi. Namun untuk segera mundur dan mengaku kalah, tentunya merupakan
pantangan bagi gadis angkuh itu. Karenanya, ia mengangguk setuju.
"Tunggu dulu!" tahu-tahu Siauw Kui berteriak. "Bagaimana kalau kau yang kalah?"
serunya pada Hek-tiau. "Terserah!" jawab Hek-tiau singkat.
"Kalau begitu, jika kau kalah, kau harus panggil popo padanya!" usul Siauw Kui.
"Enak saja!" Ching-ching menukas. "Kau pikir aku suka jadi nenek-nenek?"
"Ya sudah, panggil ie-ie sajalah," kata Siauw Kui lagi.
Ching-ching hendak membantah, tetapi Hek-tiau keburu menyetujui. "Ha-ha,
baiklah, itu cukup adil."
"Tapi - " Ching-ching keberatan.
"Yang kukatakan pantang kutarik lagi," potong Hek-tiau.
"Baik! Siauw Kui, tunggulah, nanti kau akan dapat bagian juga!" omel
Ching Ching 178 Ching-ching. "Bocah cilik, kau lebih muda. Mulailah duluan."
Hek-tiau memasang kuda-kuda yang kokoh. Ia menunggu serangan. Ching-ching tidak
buru-buru. Ia malah berdiri santai berpeluk tangan, memandangi lawannya.
Hek-tiau masih menunggu. Untuk menyerang duluan ia merasa sungkan. Untuk
bergerak pun akan turunkan gengsi. Badannya tegang dan pegal dikarenakan
kuda-kuda yang seolah memakunya ke lantai.
Lama mereka berdiri saling tatap. Penonton di situ mulai tak sabar. Ada yang
ribut membakar supaya Ching-ching segera mulai, ada yang mengejek mengira gadis
itu jeri menghadapoi Hek-tiau, ada lagi yang pasang taruhan.
"Ha, ayo taruhan. Lima tael, Hek-tiau pasti bikin anak itu babak belur!" kata
seorang yang berdiri dekat Siauw Kui.
"Aku pegang bocah nekad itu dua tael."
"Mana bisa bocah itu menang. Nih, aku pasang tiga tael untuk Hek-tiau."
"Aku juga tiga tael," seorang kate menyeruak.
"He, aku enam tael pada si hitam itu," kata seorang bermuka bopeng.
Siauw Kui mendengar pertaruhan itu. Mendapati lebih banyak yang menjagoi
Hek-tiau daripada Ching-ching, ia jadi gusar sendiri.
"Huh, kalian bakal hilang banyak. Nih, aku punya lima tael, kupasangkan semua
untuk istriku," katanya.
"Istrimu" He, bocah, kecil-kecil kau sudah punya istri?" kata seorang petaruh.
"Iya, dia itu istriku," kata Siauw Kui sambil menunjuk Ching-ching di panggung.
Orang-orang di sekitarnya tertawa. "Pantas dia begitu galak waktu membelamu."
"Jelas! Istriku itu bukan orang sembarangan."
"Baiklah, kau taruhkan untuk istrimu itu. Siap-siap saja kelaparan beberapa
hari." "Kujamin, istriku menang," Siauw Kui menyombong.
Saat itu Ching-ching belum juga bergerak. Para petaruh lain melecehkan Siauw
Kui. "Tuh, lihat istrimu. Barangkali jeri melawan Hek-tiauw itu."
"Eh, itu istriku sedang tunjukkan kesabaran, tahu," bela Siauw Kui. Padahal
dalam hatinya ia sendiri keheranan dan mulai ragu.
Beberapa orang mulai menguap karena bosan menunggu. Siauw Kui mulai kuatir.
Jangan-jangan Ching-ching ....
Gubrak! Suara keras terdengar dari atas panggung. Semua terkejut. Hek-tiau telah rubuh
di atas panggung dalam keadaan kuda-kuda. Badannya kaku, matanya melotot,
tangannya mengepal teracung, tetapi ia diam tak bergerak. Kim-tiau soe-hengnya
terkejut dan segera melompat untuk memeriksa.
Ching-ching menggeliat. Badannya berkeretekan. "Aduh, badanku pegal," keluhnya.
Di bawah, Siauw Kui melompat-lompat girang. Ia mengumpulkan uang hasil
taruhannya, penuh sekantung.
"Sayang, aku cuma bertaruh dua tael," gerutu satu-satunya orang yang bertaruh
untuk Ching-ching selain Siauw Kui.
"Nih, kubagi," kata Siauw Kui. "Kalian lihat sendiri, tanpa bergerak saja
istriku dapat robohkan orang itu, apalagi kalau kepandaiannya dikeluarkan semua,
bisa gempa bumi." Sambil nyengir senang, Siauw Kui lantas hampiri Ching-ching yang duduk selonjor
di panggung dan memegang bahu gadis itu.
"Mau apa kau!" Ching-ching kaget dan menghindar.
"Kau mestinya pegal. Biar kupijit."
Ching Ching 179 Orang-orang tersenyum melihat kelakuan dua bocah itu. Mereka tak percaya omongan
Siauw Kui dan anggap keduanya kakak-adik. Paling tidak saudara seperguruan.
Kim-tiau yang tak berhasil menyadarkan adkinya menjadi panik dan kalap. "Bocah
iblis, anak setan, ilmu siluman apa yang kau gunakan untuk rubuhkan Soe-teeku!"
"Tanya sendiri sama Soe-teemu," Siauw Kui menyahut.
"Siluman iblis!" maki Kim-tiau. Lantas saja ia menyerang untuk membikin hancur
kepala Ching-ching. Seruan-seruan terkejut terdengar. Beberapa orang menjerit ngeri. Tamatlah
riwayat kedua anak itu, pikir mereka.
Tapi mereka bengong melihat Ching-ching hanya mengebaskan tangan menangkis
bagaikan orang mengusir lalat saja. Lebih terpana lagi mereka melihat Kim-tiau
berjingkrak-jingkrak kesakitan. Orang ceking itu memegangi lengannya yang
barusan seolah beradu dengan besi sehingga kesemutan dan nyaris patah
tulang-tulangnya. Namun Kim-tiau belum juga kapok dan menyerang lagi. Kali ini Siauw Kui yang jadi
sasaran. Anak laki-laki itu menjerit lalu berjongkek, melindungi kepalanya
dengan kedua tangan. Ching-ching tidak membiarkan perbuatan Kim-tiau. Ia juga
berjongkok. Tangannya cepat mendorong ke depan dan telak mengenai lutut si
jangkung-ceking itu. Kim-tiau jatuh berlutut. Kakinya mati rasa. Ia tak dapat berdiri.
Ching-ching menepuk-nepuk pundaknya. "Nah, memang begitu seharusnya meminta
maaf, sambil berlutut. Sekarang kau lebih tahu adat, bukan" Berterimakasihlah
atas pengajaranku," ejek gadis itu.
"He, Siauw Kui, jangan bengong saja. Antar dia turun panggung."
"Buat apa susah-susah. Dorong saja begini," Siauw Kui melaksanakan ucapannya.
Tubuh Kim-tiau tumbang ke bawah. Orang-orang bersorak. Mereka senang Kim-tiau
bisa dipecundangi dua bocah yang belum punya nama.
Ching-ching mendekati Hek-tiau. Bersama Siauw Kui diberdirikannya orang itu.
"Nah, kau boleh bergerak sekarang!" kata gadis itu seraya menepuk pundak
Hek-tiau. Hek-tiau pun dapat bergerak. Terasa darahnya mengalir lagi dengan lancar. Ia
bergerak hendak berlutut tapi Ching-ching mencegah.
Hek-tiau menjura dan berkata, "Ie-ie, aku takluk padamu."
"He, kau juga harus hormati Ie-thiomu," kata Siauw Kui.
Ching-ching menjitak kepala anak itu. "Kau banyak omong, sekarang diamlah." Lalu
katanya pada Hek-tiau, "Menurut aturan, siapa duluan meninggalkan pie-boe dialah
yang kalah. Nah, di antara kita, tak seorang pun turun dari panggung. Seri! Tak
ada yang kalah dan tak ada yang menang. Kau tak perlu panggil Ie-ie padaku."
Hek-tiau mengangguk-angguk. "Lalu soe-hengku?"
"Jangan kuatir. Ia akan baik dalam waktu 2 jam. Ini kali dia beruntung tak
sampai mati. Lain kali kalu ia curang lagi, tak tahu apa akan terjadi. Sebab
itu, kau jagalah dia baik-baik."
"He!" bentak Siauw Kui. "Istriku sudah berlaku baik, kalian belum juga pergi"
Sana, angkat kakakmu pergi dari sini sebelum aku putuskan untuk turun tangan
membunuhnya." Hek-tiau buru-buru bopong soe-hengnya. Ia memberi hormat sebelum pergi dari
tempat itu. Un Kong-coe mendekati Ching-ching. Ia menyuruh orang-orangnya bawakan obat untuk
Siauw Kui. "Kouw-nio, kau berlaku sangat adil, aku salut padamu," puji pemuda
itu. "Sekarang Lam-tay-kim-tiau sudah kau kalahkan. Dengan demikian, hadiah
Ching Ching 180 harus kuserahkan padamu."
"Un Kong-coe, bukan aku tak menerima kebaikanmu," tolak Ching-ching, "Tapi
rasanya kurang enak kalau aku kalahkan seorang lantas dapatkan hadiah. Begini
saja. Yo Toako bermaksud menyerahkan uang itu ke penduduk daerah utara kalau dia
menang. Semestinya dia berhak terima uang itu kalau saja Kim-tiau tidak berlaku
curang. Sebab itu, Un Kong-coe, kalau kau sudi kurepotkan, aku mohon antarlah
uang itu untuk penduduk daerah utara. Dengan demikian, jiwa Yo Toako tidak
terbuang sia-sia." Un Kong-coe tersenyum seraya anggukkan kepala. "Kouwnio, budimu sungguh luhur.
Begitu pun kawanmu ini," katanya sambil menoleh pada Siauw Kui. "Kalau boleh
kutahu, siapakah nama jie-wie?"
"Sebut saja kami Siang-kui-hai-ji. Sejak tadi si Kim-tiau sudah sebut kami
demikian," Siauw Kui berseru.
"Begitu pun bagus," kata Ching-ching. "He, Siauw Kui, kita sudah banyak
main-main hari ini. Ayo pergi."
"Ayo," ajak Siauw Kui, Ia menyambar sebotol obat gosok. "Un Kong-coe, boleh
kubawa sebotol ini untuk oleh-oleh?"
"Tentu, tentu," sahut Un Kong-coe dengan bingung. Ditawari uang ratusan tael
tidak mau, kok obat gosok disambar juga.
"Terima kasih." Sambil nyengir Siauw Kui menyusul Ching-ching yang sudah agak
jauh berjalan. Sejak saat itu Siang-kui-hai-ji menjadi buah bibir di kota
tersebut. Malamnya, di penginapan, Ching-ching mengobati luka-luka Siauw Kui dengan obat
gosok dari Un Kong-coe. Gadis itu berkerja dengan telaten dan hati-hati, tapi
Siauw Kui masih juga mendesis-desis kesakitan.
"Aduh, duh, pelan-pelan, kan sakit."
"Kolokan!" gerutu Ching-ching sambil mendorong pundak Siauw Kui. Anak lelaki itu
menjerit. "Rasakan. Ini akibat ulahmu sendiri, sok jago melawan Kim-tiau.
Sekarang babak-belur, kau repotkan juga aku."
"Lho, masih untung kau cuma repot mengobati lukaku. Kalau sampai repot mengurusi
penguburanku, bagaimana?"
"Buat apa repot-repot," tukas Ching-ching ketus. "Kalau kau mampus, kubuang saja
mayatmu di kali!" Siauw Kui melotot. "Kau tega?"
"Kenapa tidak?"
"Sadis!" "Masa bodo." Tahu-tahu Siauw Kui berlutut membelakangi Ching-ching dan bersoja tiga kali.
"Mengapa kau?" tanya Ching-ching heran.
"Aku bersyukur masih diizinkan hidup sehingga tak usah jadi makanan ikan."
Ching-ching meringis. Kalau Siauw Kui betul-betul mati, mana tega ia berbuat
demikian. Paling tidak, sobatnya itu akan dia kuburkan baik-baik. Lalu ia akan
cari pembunuhnya untuk membalas dendam. "Sudahlah!" katanya kemudian. "Baiknya
kau cepat tidur. Besok pagi-pagi sekali kita lanjutkan perjalanan."
"Kenapa buru-buru" Kita kan baru saja menjadi pahlawan di sini."
"Justru itu, aku risih dengan sikap mereka."
Ching-ching lantas keluar kamar. Ia mau mencari pakaian baru buat Siauw Kui.
Besok pagi-pagi sekali keduanya harus segera pergi dari sana. Tak seorang pun
boleh tahu. Biarlah mereka menduga-duga siapa kedua anak yang bikin gempar kota
mereka. Ching Ching 181 Siauw Kui tersaruk-saruk mengikuti Ching-ching. Mulutnya tak henti-henti
mengomel. Ia menyesal kenapa mau meninggalkan kota di mana ia dapat tinggal
dengan nyaman. Setidak-tidaknya ia dapat berteduh dari matahari yang bersinar
terik tepat di atas kepala.
"Ching-ching, kita sudah setengah hari berjalan. Aku lelah, lapar, haus. Ayo
kita istirahat dulu."
"Sedari tadi istirahat melulu," gerutu Ching-ching. "Tahu begini, aku tak mau
membawamu. Kerjaanmu hanya mengomel melulu, istirahat melulu. Menghambat
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
perjalananku saja." Namun sambil mengomel-omel, gadis cilik itu menuruti juga
beristirahat. "Huh, aku heran, kayaknya kau tak pernah lelah. Mana sedari tadi kau diaaam
terus. Kenapa sih?" "Aku sedang berpikir. Siauw Kui, kau mau tidak kuat seperti aku" Maksudku, tidak
mudah lelah begitu."
"Mau saja. Kau makan obat kuat, ya" Bagi aku!"
"Seenaknya!" Ching-ching tersinggung. "Aku belajar silat, makanya tahan
banting." "Oh, begitu." "Kau mau tidak belajar silat?"
"Buat apa?" Siauw Kui balik bertanya.
"Untuk melindungi dirimu supaya kali lain tak lagi dibikin babak-belur orang
lain." "Kan ada kau yang selalu lindungi aku," Siauw Kui malah bercanda. Ia tertawa
melihat wajah Ching-ching memerah.
"Kau pikir aku tukang pukulmu!" bentak anak gadis itu.
"Yah, semacam itulah. Lagipula aku tidak tertarik. Sudah kubuktikan, orang yang
punya kepandaian kerjanya cuma mengadu-adu dengan orang lain sampai babak-belur.
Belum lagi yang suka menindas orang macam si Kim-tiau itu. Bah! Aku tak sudi
jadi seperti dia. "Tolol!" maki Ching-ching. "Tidak semua orang berkepandaian menjadi seperti
mereka." "Contohnya?" Ching-ching termenung sebentar. "Contohnya aku. Aku dapat melindungimu sehingga
tak terbunuh kemarin itu karena aku punya kepandaian lumayan."
"Nah, itulah. Aku sudah punya tukang pukul, buat apa lagi aku repot-repot
belajar silat." "Goblok!" desis Ching-ching gemas. "Dengar, seandainya kau punya keluarga kelak,
lalu keluargamu diancam orang mau dibasmi, bagaimana kau lindungi keluargamu?"
"Gampang! Suruh saja istriku maju. Dia seorang pendekar kok."
"Eh"!" Ching-ching terbelalak heran. "Masa?"
"Betul. Kan kau bilang sendiri kalau kepandaianmu lumayan."
Muka Ching-ching memerah lagi menyadari diledek orang. "Huh, mana mau aku dengan
lelaki yang tak berguna."
"Buktinya kemarin dulu kau bilang sama Fei Yung kalau aku ini calon suamimu."
Ching-ching berdiri. "Kalau begitu, biar kucari Fei Yung dan menyatakan kau
batal jadi calonku."
"Eh, jangan! Jangan! Aku masih betah jalan-jalan denganmu. Baiklah, baiklah, aku
mau belajar silat." "Bagus!" Ching-ching tertawa senang. "Aku akan mengajarimu."
"Kau" Jadi guruku?" Siauw Kui terbelalak lalu mengeluh panjang. "Bisa-bisa,
Ching Ching 182 belum apa-apa aku sudah benjol duluan."
"Aku juga akan mengajari sastra."
"Sastra" Astaga! Aku paling bosan kalau dengar yang begituan."
"Pokoknya aku akan memaksamu belajar, mau atau tidak mau. Ayo, berangkat lagi.
Kalau menuruti kemauanmu, sampai besok pagi kita akan diam di sini terus."
Dengan sangat terpaksa, Siauw Kui kembali mengikuti Ching-ching menyusur jalan
yang seolah tiada berujung.
Menjelang sore, cuaca sudah mulai berubah. Hari yang semula cerah berganti.
Mentari yang bersinar terik ditutupi awan bergumpal yang membuat bayangan di
bumi. Pada mulanya, Siauw Kui mensyukuri hal ini. Sekarang ia tak usah kepanasan lagi.
Setidak-tidaknya lumayan setelah sekian lama dipanggang cuaca. Celakanya, saat
malam tiba, awan-awan itu tidak juga menyingkir. Bulan tertutup sehingga jalan
diliputi kegelapan. Guruh mulai terdengar di kejauhan. Lebih celaka lagi, mulai
turun hujan yang rintik-rintik membasahi bumi.
"Ching-ching, hujan akan segera turun. Kita harus cepat cari tempat berteduh."
"Aku tahu," jawab Ching-ching.
Titik-titik air semakin besar. Kilat susul-menyusul membelah langit. Ching-ching
dan Siauw Kui mempercepat langkah. Mereka segan berbasah-basah di jalan. Hujan
semakin deras. Serempak Siauw Kui dan Ching-ching menghampiri sebuah pohon
besar. "Celaka kita!" kata Siauw Kui. "Sudah perut lapar, badan cape, eh, harus
kedinginan dan kebasahan gara-gara hujan. Padahal banyak orang bisa berlindung
di rumah bagus, makanan berlimpah, selimut tebal, dilayani gadis-gadis cantik
lagi! Langit memang tak adil!"
"Eh, beraninya memaki langit. Kalau para dewa marah dan kau disambar geledek,
baru rasa!" Tepat Ching-ching selesai berkata, kilat menyambar memberikan secercah cahaya
diiringi suara guntur memecah. Siauw Kui melompat terkejut.
"Aku takkan memaki lagi, jangan sambar akuuu!" jeritnya panik."
"Hus, diam!" tukas Ching-ching. "Aku belum izinkan, mana boleh langir
menyambarmu?" Langit terbelah lagi. "Ching-ching, kau jangan ngomong sembarangan," desis Siauw Kui.
"Tadi rasa-rasanya aku melihat bayangan gedung di sebelah sana!" gumam
Ching-ching. "Siauw Kui, kau lihatlah ke arah yang kutunjuk. Lihat ada bangunan,
tidak?" "Tidak!" kata Siauw Kui sambil menajamkan mata. "Semuanya gelap."
"Tunggu sampai ada cahaya. Nah, sekarang!"
Benar saja. Siauw Kui melihat bayangan hitam berbentuk rumah tak jauh dari sana.
"Barangkali di sana ada desa. Ke sana, yuk!"
Keduanya berlari menembus tirai air. Dengan demikian tubuh mereka basah kuyup
jadinya. Namun bayangan sebuah penginapan tempat berteduh dan numpang makan
membikin segala leraguan hilang.
Sebentar saja kedua remaja tersebut dapat melihat bangunan yang dituju.
Rupa-rupanya adalah sebuah bio yang sudah lama ditinggalkan. Namun setidaknya di
dalam lebih mending daripada basah di luar.
"Ternyata bio rusak," kata Siauw Kui ketika sampai di dalam. "Tapi lumayan
daripada tidak." Ching-ching mengelilingi ruangan itu. Dilihatnya debu bertumpuk di mana-mana.
Ching Ching 183 Sebagian tersapu titik air yang memercik lewat jendela yang rusak. Di dalam
dingin. Tetapi mereka dapat membuat api.
Ruangan itu tak terlalu besar. Tak ada pula yang menarik. Ciri-ciri bio yang
rampak hanyalah lewat patung Budha di altar yang berdebu.
Ching-ching merasa ada sesuatu yang aneh di dalam bio itu. Tidak tahu apa, tapi
ia merasa tidak enak. "Siauw Kui, kau merasakan keanehan dalam kuil ini, tidak?"
"Ya, aku merasakannya," kata Siauw Kui yang saat itu sudah menyalakan lilin
merah yang tinggal separuh di altar. "Rasanya dingin. Aku merinding. Eh,
Ching-ching, jangan-jangan kuil ini ada setannya."
"Eh, Siauw Kui, apa kau pernah lihat setan?"
"Belum, tapi katanya setan itu suka menjahati manusia. Suka mencekik, suka
menggigit. Katanya, setan itu bentuknya seperti manusia, tapi mukanya seram.
Matanya melotot dan lidahnya panjang menjulur keluar. Kadang-kadang setan
menyamar sebagai manusia. Ngomong-ngomong, kau sendiri apakah pernah melihat
setan?" "Selama hidup aku baru sekali melihat setan."
"Oh ya?" Siauw Kui jadi tertarik. Ia duduk di tanah. "Seperti apakah rupanya"
Seperti kata orangkah?"
"Justru sama sekali berbeda," jawab Ching-ching. "Satu-satunya setan yang
kutemui ini lain. Tampangnya tidak menyeramkan, lucu malah. Ia tidak mencekik
atau menggigit ...."
"Barangkali jenis setan baik."
"Mungkin. Pokoknya ia tidak jahat. Cuma kadang-kadang bikin kesal. Dan tololnya
bukan main. Kurang ajarnya, setan ini suka mengaku-aku sebagai suamiku dan
selalu ikut ke mana aku pergi."
Siauw Kui bengong mendengar penuturan Ching-ching. Kok lain sama sekali dengan
yang suka dikatakan orang. Lama-lama muka Siauw Kui memerah. Sial! Rupanya
Ching-ching justru sedang menyindir dirinya.
Tawa Ching-ching meledak tidak tertahankan lagi. Suaranya menggema di dalam bio
itu sehingga terdengar menyeramkan. Tetapi Siauw Kui tidak takut. Ia malah
dongkol bukan main. "Seenaknya saja menyamakan aku dengan setan," kata Siauw Kui sambil cemberut.
"Lho, kau memang setan, kan?" kata Ching-ching di sela tawanya. "Dasar setan,
setan kecil!" Ching-ching tertawa sampai terguling. Ia masih cekikikan beberapa
saat. Tahu-tahu tawanya berhenti. Ia menekuri lantai.
"Eh, aneh," gumamnya.
"Apanya?" tanya Siauw Kui tak tahan ngambek berlama-lama.
"Lantai ini kok tidak terlalu kotor, padahal lihat! Altar itu penuh debu, tapi
di lantai ini tidak."
"Lalu?" Siauw Kui bertanya tak mengerti.
"Artinya ada yang membersihkan. Atau setidak-tidaknya sering masuk ke mari."
"Alaaa, pusing amat. Mendingan tidur daripada pikir-pikir." Siauw Kui berbaring
di lantai dan langsung pejamkan mata. Ching-ching yang juga merasa cape
menyandar ke pilar dan tidur.
Tak tahu sudah berapa lama tertidur, Ching-ching terbangun dan langsung waspada.
Ia mendengar suara orang berjalan mendekati bio. Ching-ching berlari ke jendela,
tapi ia tidak dapat melihat apa-apa. Sampai kilat menyambar, barulah dilihatnya
enam sosok tubuh yang berjalan menuju bio.
Ching-ching buru-buru memadamkan lilin di altar. Dibangunkannya Siauw Kui, tapi
Ching Ching 184 pemuda itu tak mau bangun juga. Jadi diseretnya saja ke balik meja altar. Ia
sendiri melompat bersembunyi di tiang-tiang penyangga atap. Ketika sedang
bersembunyi, dia baru sadar. Apa sih yang ditakutinya" Paling-paling enam orang
yang mau ikut berteduh di dalam bio.
Tapi melihat orang-orang yang datang itu, Ching-ching bersyukur telah waspada.
Tampang sangar orang-orang itu membuatnya bergidik. Diam-diam Ching-ching
mengintai dari tempatnya sembunyi.
"Hasil malam ini lumayan juga," kata seorang yang paling besar badannya.
"Ya, sekali timpuk dapat dua ekor burung," kata satu-satunya wanita di antara
kelompok itu. "Ketika kulihat Wan Hoe-jin yang cantik, baru aku ngerti kenapa Sun Wan-gwe
menyuruh kita membunuh Wan Wan-gwe."
"Aku sih lebih tertarik pada emas berlian milik si gendut Wan itu," kata yang
lain sambil nyalakan lilin.
"Ngoceh saja. Aku lapar! Makan apa kita malam ini?"
"Nah, kan ada gunanya juga ayam yang kubawa dari Wan-gwe malang itu," kata orang
yang gendut. Si gendut itu cepat membului tiga ekor ayam yang dibawa sementara
yang lain menyalakan api. Ayam-ayam itu segera diberi bumbu dan dibakar.
Harumnya memenuhi bio. "Aduh, ada yang panggang daging. Bagi dong!" Siauw Kui keluar dari belakang
altar. Ia terkejut melihat enam orang itu. Sama terkejutnya dengan mereka yang
melihat dia. "Heh, rupanya ada orang yang dengar pembicaraan kita," kata yang berbadan besar
sambil maju membekuk Siauw Kui. Anak itu meronta tapi tak dapat lepas. "Enakan
kita apakan anak ini?"
"Direbus!" kata si gendut bersemangat.
"Potong kupingnya!" seru yang perempuan.
"Sekalian tangannya!"
"Kakinya juga."
Siauw Kui gemetar. Orang ini tampaknya sadis semua. Bagaimana kalau mereka
benar-benar melaksanakan niatan. Celakalah dia! Aduh, Ching-ching ke mana sih,
bukannya menolong .... "Ayo, cepat kita hajar rame-rame!"
"Aku mau hidungnya."
"Kelihatannya kupingnya cukup bagus."
Orang-orang itu semakin mendekat. Siauw Kui ketakutan. "Jangan, tolooong! Jangan
potong kupingkuuuu!"
Keenam rampok itu tertawa melihat Siauw Kui yang ketakutan. Mereka semakin
senang menakuti anak itu.
"Jangan kau sakiti aku! Nanti istriku akan menghajarmu dua kali lipat!" ancam
Siauw Kui. Matanya jelalatan mencari Ching-ching. Ke mana gadis itu"
"Eh, berani ngibul, ya"!" Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Siauw
Kui. "Ngancam lagi!" Bunyi tamparan lain terdengar.
Tahu-tahu orang yang menampar itu menjerit. Langsung roboh tak bergerak, sebilah
pisau menancap di punggungnya. Bersamaan dengan robohnya orang itu, sesosok
bayangan turun dari atap.
"Yang berani menyakiti suamiku harus mati." Ching-ching mencabut pisaunya.
Mengelap darah yang menempel ke baju orang yang mati dan menyarungkannya kembali
ke tempat yang disembunyikan di sepatu.
"Kau ... kau bocah jahanam! Kau bunuh adik kami A-heng!" jerit perampok perempuan.
Ching Ching 185 "Oh, jadi yang mati ini A-heng namanya. Maaf, aku tidak tanya dulu namanya
sebelum kubunuh." "Sit Yi, jangan banyak omong. Kita bunuh saja bocah ini untuk balaskan sakit
hati A-heng," kata yang badannya paling besar sambil lantas menerjang.
Serangannya dengan mudah dielakkan oleh Ching-ching.
Lima orang perampok yang tersisa mengurung gadis ini. Mereka sudah melupakan
Siauw Kui yang lari meringkuk di sudut bio.
"Eh, mau main keroyokan, ya" Baik, hayo maju kalian bebareng supaya matinya juga
sama-sama." "Bocah busuk, kurobek nanti mulutmu!"
Kelima perampok itu menyerang serentak. Sambil ketawa-ketawa Ching-ching
meladeni mereka. Sebentar saja lima perampok itu sudah kena ditotok semua.
"Kepandaian kalian cuma segitu mau coba-coca merobek mulutku" Huh, belajar dulu
sepuluh tahun lagi," ejek Ching-ching. "He, Siauw Kui, kemarilah. Kita kerjai
bandit-bandit ini." Siauw Kui mendekat dengan takut-takut. Apalagi melihat mayat yang terkapar di
lantai. Ia percaya orang yang mati tidak wajar rohnya akan jadi setan. Lalu
bagaimana kalau setan ini menggentayangi ia dan Ching-ching"
"Siauw Kui, lihat bandit yang satu ini. Kumisnya hebat betul."
"Jelas saja hebat," jawab orang yang ditunjuk. "Kumisku ini kupelihara
baik-baik." "Jadi kau bangga akan kumismu. Ha, biar kubikin lebih bagus kumismu," kata
Ching-ching mencabut lagi belatinya.
"Hei, kau mau apa" Jangan sentuh kumisku."
"Cerewet, jangan goyang-goyang, nanti kau luka." Gadis itu menotok urat gagu
pecundangnya. "Nah, kau tenanglah. Itu lebih baik. Aku cuma mau cukur kumismu
separo yang sebelah kanan saja."
Ching-ching dan Siauw Kui tertawa terpingkal-pingkal waktu lihat hasilnya.
"Siauw Kui, nih, pisau satu lagi. Kau kerjai yang ujung sebelah sana."
Siauw Kui mengambil pisau yang diberikan Ching-ching dan meniru perbuatan gadis
itu. Tapi karena orang yang dihadapinya tak punya kumis, ia mencukur habis alis
mata orang itu. Begitu pun dengan kawan sebelahnya, kali ini kepalanya gundul
sebelah. Sementara itu Ching-ching mengerjai satu-satunya wanita di antara
perampok itu. "Hmm, wajahmu lumayan," pujinya. "Aku berani jamin kau pasti punya banyak pacar.
Ya, tidak?" "Jelas!" jawan wanita itu bangga.
"Ada tidak pacarmu yang sudah jadi suami orang?"
"Kenapa?" "Jawab saja, ada tidak?" Melihat wanita itu mengangguk, Ching-ching mendadak
berang. "Perempuan serakah, kalau semua jadi pacarmu, bagaimana gadis-gadis yang
belum menikah" Akan kubuat semua laki-laki yang melihatmu kabur. Nih!"
Ching-ching mencukur rambut panjang wanita itu dengan gesit. Semua dihabisi,
cuma disisakan sedikit membentuk jalur hitam dari ubun-ubun kepala sampai ke
belakang. "Nah, begitu lebih bagus, bukan?"
Perampok-perampok yang sudah ditotok otot gagunya itu tak bisa bilang apa-apa.
Mata mereka saja yang membelalak marah.
"Siauw Kui, sudah waktunya tidur. Besok pagi kita sudah mesti berangkat."
Ching-ching meniup lilin, tapi keburu dicegah oleh Siauw Kui.
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ching Ching 186 "Jangan dimatikan." Takut-takut pemuda ini melirik ke mayat yang tidak
dipindahkan. "Kenapa" Takut" Mayat ini sudah tak bisa apa-apa." Ching-ching menendang tubuh
tanpa jiwa itu untuk buktikan ucapkannya. "Tapi kalau kau ketakutan juga ...."
Malam itu mereka tidur dengan pelita menyala.
Esoknya Ching-ching dan Siauw Kui bersiap pergi. Sebelum itu otot gagu para
penjahat sudah dilepas lebih dulu.
"Kulepas otot gagu kalaian supaya bisa saling bercakap-cakap melewatkan waktu.
Oh ya, lewat tengah hari semua totokan kalian akan lepas. Saat itu aku akan suah
jauh dari sini. Ingat, sebelum pergi, jangan lupa kuburkan si A-heng ini."
"Kau bocah iblis. Katakan namamu supaya kami bisa balas dendam!"
"Sebenarnya itu rahasia pribadi. Tapi supaya kalian tidak penasaran, baiklah.
Dia ini, Ching-ching menunjuk hidung Siauw Kui, "suamiku Siauw Kui, sedangkan
aku Siauw-mo-lie. Kutunggu kalian sepuluh tahun lagi. Belajar baik-baik, ya."
Kedua bocah itu meninggalkan bio rusak tempat mereka berteduh semalam, menyusur
jalan setapak, mencari ayah angkat Ching-ching.
Menjelang sore mereka sampai di tepi sebuah sungai deras. Ching-ching menanyakan
arah tujuannya kemarin. Untuk cepatnya mereka harus lewat sungai menuju ke
hilir. Kalau lewat jalan darat mereka harus lewat bukit dan lembah yang
berhutan. Tentunya lebih repot. Kebetulan di sana ada perahu sewa yang bisa
mengantar. "Permisi, Coan-kee, Kalau mau ke kota Chun-an, makan waktu berapa lama?" tanya
Ching-ching. "Kemarin hujan deras, air sungai mengalir lebih cepat. Hitung-hitung ... besok
siang kita tiba di sana."
"Bagus!" Ching-ching menarik Siauw Kui lompat ke dalam perahu. "Kami sewa
perahumu. Ini dua tael emas, kita berangkat sekarang!"
Hari itu mereka lewatkan di perahu yang meluncur tenang di air. Siauw Kui senang
sekali, ia belum pernah naik perahu sebelumnya. Mereka juga sempat memancing
ikan untuk dimakan bertiga. Malam harinya ketiga orang itu tidur lelap.
Esoknya Ching-ching yang bangun pertama kali. Ia merasakan suatu keanehan.
Perahu mereka sepertinya berjalan sangat cepat. Ia bangkit dan melihat lewat
jendela. Benar saja. Bayangan tepi sungai kelihatan cepat sekali terlewati.
Tahu-tahu saja gadis itu merasa kuatir, cepat ia keluar mencari si tukang perahu
yang ternyata masih tidur.
"Coan-kee, coan-kee, bangun. Kau lihatlah, apakah kita sudah lewat jalan yang
benar" Kenapa perahu ini jalannya cepat sekali?" tanyanya.
Tukang perahu itu bangun dengan malas-malasan. Tapi melihat ke mana mereka
menuju, mukanya langsung pucat. "Celaka, rupanya aliran sungai lebih cepat dari
perkiraanku hingga kita tak sempat memilih persimpangan di belakang tadi."
"Persimpangan apa?" Ching-ching tak mengerti.
"Simpangan aliran sungai. Yang kanan menuju ke Chun-an, yang kiri ke - "
Perkataan tukang perrahu itu terpotong waktu tahu-tahu perahu berputar keras
sebelum kemudian kembali ke arah semua.
"Ada apa?" tanya Siauw Kui yang rupanya baru terbangun merasakan perahu
bergoyang-goyang. "Perahu ini terseret arus!" seru Ching-ching yang berpegangan erat-erat ke
pinggiran perahu. Ia ketakutan. Air sungai yang kini berombak-ombak membuat
perahu seperti daun kering yang terombang-ambing.
Siauw Kui yang melihat betapa pucatnya wajah Ching-ching segera menghampiri dan
Ching Ching 187 memeluk gadis itu. "Tenanglah. Apa salahnya terbawa arus. Nanti juga bakal
berhenti. Malah lebih cepat lebih baik."
Tahu-tahu terdengar suara bergemuruh di kejauhan.
"Apa itu?" tanya Ching-ching.
"Itu suara air terjun besar. Kita bisa terjungkir. Kalau itu terjadi, hancurlah
perahuku." "Peduli apa pada perahumu!" jerit Ching-ching. Jiwa kami lebih berharga dari
perahumu." "Coan-kee, tidak bisakan perahu ini diarahkan ke tepi" Barangkali kita sempat
lompat sebelum sampai di air terjun," kata Siauw Kui yang mendadak pintar.
Tukang perahu itu mencoba arahkan perahu ke tepi, tapi tidak bisa. Sungai itu
terlalu dalam. Dayungnya tak bisa dipakai melawan arus. Malah ia sendiri nyaris
terjun ke dalam sungai! Melihat itu, Siauw Kui tidak berlagak sok pahlawan lagi di depan Ching-ching. Ia
juga ketakutan setengah mati, apalagi suara gemuruh itu semakin dekat!
Tahu-tahu Ching-ching melompat berdiri sambil menggenggam tangan Siauw Kui.
"Siauw Kui, kau mati bersamaku, menyesal tidak?"
"Tidak!" jawab Siauw Kui berteriak untuk mengatasi deru air.
"Tapi kau masih ingin hidup, bukan?"
"Kalau bisa ...."
"Aku akan coba gunakan gin-kang untuk menyeberang. Kau naiklah ke punggungku!"
Ching-ching berjalan ke tepi, tapi susah sekali. Berdiri saja pun sulit di
perahu oleng itu. Padahal air semakin deras! Nekad dan untung-untungan,
Ching-ching melompat ke air. Bersamaan dengan itu, perahu terjungkir!
Sebisa-bisanya gadis itu gunakan ilmu entengkan tubuh andalannya untuk bertahan
berjalan di air. Tapi selama ini ia berlatih di air tenang. Jadinya susah
sekali, belum lagi ia membawa Siauw Kui.
Ia melihat ke depan. Tepian air terjun tidak seberapa jauh lagi. Tapi justru
saat itu Ching-ching terpeleset. Tanpa ampun lagi keduanya terseret ke bawah!
Ching-ching membuka mata. Tapi ia tak bisa lihat apa-apa. Semuanya gelap! Ia
duduk dan meraba-raba. Di mana ia sekarang" Apakah di akhirat" Seperti inikah
yang namanya akhirat" Kok gelap sekali.
"Ching-ching!" terdengar suara yang dikenalnya memanggil. Suara Siauw Kui, tak
jauh di sisinya. Ia beringsut mendekat. "Siauw Kui?"
Keduanya sama meraba-raba ketika kedua tangan mereka bertemu. Keduanya saling
menggenggam seolah tak mau dipisahkan lagi.
"Ching-ching, apakah kita ada di akhirat" Kok seperti ini. Kata orang, di
akhirat kita bisa bertemu orang-orang yang mati mendahului kita. Aku ingin
ketemu pamanku, ayah dan ibukuu. Aku ingin tahu rupa orang tuaku."
"Mana aku tahu ini akhirat atau bukan. Aku belum pernah jalan-jalan ke akhirat
sebelumnya. Mengirim orang sih sering."
"Barangkali waktu ke akhirat, kita kesasar ...."
"Ssst, lihat, ada cahaya mendekat. Barangkali ada orang, eh, dewa menjemput
kita." Dengan tegang keduanya menunggu. Terdengar suara langkah mendekat dan sosok
tubuh hitam yang tinggi-besar terlihat. Genggaman tangan kedua remaja itu makin
erat. Cahaya lilin menerangi wajah sosok yang baru datang.
"Waaa!" keduanya menjerit dan tak sadar saling berangkulan. Rupa sosok yang baru
datang itu sungguh-sungguh mengerikan dengan mata yang amat besar, mulut
Ching Ching 188 menyeringai dan rambut acak-acakan. Hiii!
"K-k-k ... kau ... k-kau ini Giam-lo-ong atau apa?" tanya Siauw Kui setelah beberapa
lama. "Giam-lo-ong apa" Aku ini manusia, sama seperti kalian."
"Manusia?" Rasa takut Ching-ching lenyap seketika. Ia langsung berdiri dan
dengan gerakan kilat mencubit pipi orang itu.
"He, kau mau apa?" tanya orang itu sambil menghindar, tapi pipinya keburu
dicubit dan tercakar juga sedikit.
"Kau terdiri dari darah dan daging. Berarti benar kau manusia."
"Dari dulu aku manusia. Dasar bocah gila!"
"Manusia juga" Kau juga mati seperti kami?" tanya Siauw Kui polos.
"Siapa yang mati" Anak edan, orang hidup sehat begini, disumpahi cepat mati,"
orang itu menggerutu. "Lalu bagaimana kami sampai di sini" Bukankah kamu terseret air terjun tadi?"
Siauw Kui masih bingung. "Kalian untung, rupanya Thian masih ingin kalian hidup. Waktu jatuh tempo hari,
bocah gila ini," ia menuding Ching-ching, "berhasil ke pinggir dan
bergelantungan di batu yang menonjol dan kau menempel di punggungnya seperti
lintah. Aku ingin tahu binatang apa yang menempel di situ, lalu kukait kalian.
Ternyata sepasang manusia yang kepingin hidup bersama, mati berdua."
"Tempo hari" Sudah berapa lama kami di sini?"
"Dua hari." "Dan selama itu kami tidak bangun" Wah!" Siauw Kui membelalak heran. "Pantas
sekarang ini aku lapar sekali."
"Kau mau makan" Carilah sendiri," kata orang itu. "Aku tak mau mencarikan kau
makanan." "Cari sendiri juga bisa." Ching-ching melompat berdiri. "Ayo, Siauw Kui!" Ia
menuntun kawannya. Tapi tempat di sana gelap sekali. Untuk berjalan, Ching-ching
mesti meraba-raba. Ia juga mengandalkan telinga kalau-kalau ada orang menghadang
mereka. Untungnya tidak ada. Tapi di sana banyak terdapat lorong yang
berputar-putar. Berjalan sedari tadi Ching-ching merasa mereka masih di
situ-situ saja. "Barangkali kau salah ambil jalan. Coba sini, aku yang cari," kata Siauw Kui.
Gantian ia yang berjalan dii depan sambil memegangi tangan Ching-ching. Baru
beberapa langkah berjalan, tiba-tiba Ching-ching merasa tangannya ditarik,
disusul suara ceburan keras. Siauw Kui lepas dari tangannya.
"Siauw Kui!" Ching-ching berseru panik.
"Di sini," terdengat suara Siauw Kui dari arah bawah. "Hati-hati, rupanya di
sini ada kolam." "Kubantu kau naik!" Ching-ching mengulurkan tangan, tapi Siauw Kui rupanya tak
melihat. Ia sudah berada di sebelah Ching-ching duluan.
"Wah, basah bajuku," keluh Siauw Kui.
"Ssst, aku dengar sesuatu!" bisik Ching-ching.
Mereka terdiam sementara Ching-ching menajamkan pendengaran. Ia mendengar suara
kecipak air yang halus sekali, hampir tak terdengar.
"Ha, aku tahu itu apa!" serunya. "Rupanya ini adalah kolam ikan. Berarti kita
bisa makan, Siauw Kui."
"Kita tangkap, Ching-ching."
"Aku saja. Kau carilah sebuah batu yang cekung. Dengan itu kita dapat membuat
pelita. Ching Ching 189 Siauw Kui berhasil menemukan apa yang dicari. Waktu ia kembali, Ching-ching
sudah menangkap dua ekor ikan mengandalakan pendengaran dan kecepatan tangannya.
Ia membersihkan isi perut ikan itu. Ia sudah terbiasa melakukannya. Dengan mata
tertutup sekalipun. Karenanya gelap tak menghalangi pekerjaannya.
Cepat sekali ia bekerja. Sebentar saja ikan itu sudah bersih. Minyaknya
dipisahkan supaya nanti dapat dipakai jadi bahan bakaran pelita. Sehabis semua
itu, Ching-ching mengambil sepasang batu apinya yang debentikkan satu sama lain
peranti membuat unggun. Habisnya makan, Ching-ching mengajak Siauw Kui mencari kamar untuk mereka
berdua. Ia tak mau hidup bersama si orang aneh. Beruntung di dalam sana banyak
lorong dan gua. Mereka menemukan sebuah yang cukup luas ke dalam celah yang
sempit. Taruhan, si orang aneh yang tinggi-besar itu tak bakal bisa lewat.
Gua yang mereka temukan memang cukup besar untuk ditinggali berdua saja, tapi
tak cukup luas buat bergerak, terutama bagi Ching-ching dan Siauw Kui.
Karenanya, jika ingin bermain, keduanya keluar dari tempat sembunyi mereka dan
pergi ke gua di mana terdapat kolam ikan atau ke tempat yang lebih luas dan
terang di balik curahan air terjun.
Setelah beberapa hari berrmain, Ching-ching merasa bosan juga. Ia mengusulkan
sesuatu yang lain pada Siauw Kui.
"Aku bosan main kucing-kucingan terus!" katanya sambil duduk merajuk.
"Lalu kita mau main apa?"
"Aku ada satu cara bagus, tapi tidak tahu kau setuju atau tidak."
"Apa itu?" "Aku akan mengajarimu silat!"
"Sudah kubilang, aku tidak butuh. Kalau kau mau, kau belajar saja sendiri."
"Kau mau pergi dari sini, tidak" Kalau mau, kau harus belajar, baru bisa
keluar!" "Bersamamu di sini, tak keluar lagi pun tak apa-apa."
"Kau .... Kalau kau tak mau, baiklah. Aku juga tak mau bicara lagi padamu!"
Ching-ching mengancam. "Baiklah, baiklah, aku menurut. Ayohlah, jangan marah lagi. Kalau kau suka, aku
akan berlatih sekarang juga. Lihat!" Siauw Kui memukul dan menendang-nendang
udara. Gerakannya serabutan sehingga pada akhirnya ia tersandung kaki sendiri.
"Ngaco!" Ching-ching tak tahan untuk tidak menertawai. "Sini, kuajari dulu cara
membikin bhesi yang kokoh." Ia memberi contoh.
Siauw Kui mengikuti. Mulanya ia sanggup mengikuti, akan tetapi setelah beberapa
lama, ia tak sanggup menahan kuda-kudanya dan jatuh terduduk. "Aduh, pegal!"
keluhnya. "Kau terlalu cepat menyerah!" Ching-ching cemberut. "Kalau kuda-kuda saja tak
sanggup, apa lagi yang lainnya."
"Nanti aku latihan lagi. Sekarang istirahat dulu, apakah tidak boleh?"
"Jangan lama-lama."
Selagi mereka melepas lelah bersama, datanglah si orang aneh ke tempat itu.
"Hih, rupanya kalian masih ada di sini. Beberapa hari menghilang, kupikir kalian
sudah mati kelaparan!"
"Kami belum mau mati di sini. Jadi jangan harap kami tak bisa makan," kata
Ching-ching ketus. "Siauw Kui, ayoh, latihan lagi!"
"Siauw Kui" Hah, bocah bodoh, jangan mau dipanggil begitu. Kau mestinya terhina,
tahu!" "Kenapa harus terhina" Memang namanya begitu!"
Ching Ching 190 "Bohong! Mana ada nama orang begitu."
"Oh" Bagaimana namamu sendiri?"
"Apa hubungannya?"
"Aku mau tahu namamu!"
"Aku ... aku Bu-beng-lo-jin."
"Hah, namamu pasti begitu jeleknya sampai kau tak berani sebut!"
"Itu namaku, tak ada lain!"
"Bohong! Atau namamu Loo-wan barangkali" Atau Toa-koay" Atau Toa-loo-wan-koay?"
"Dasar perempuan. Cerewet! Bawel!" Bu-beng-lo-jin kehabisan kata. Ia minggat
meninggalkan Ching-ching.
"Hah, awas, kalau datang lagi. Ayoh, Siauw Kui, jangan malas-malasan. Lekas
latihan!" Sudah dua hari Ching-ching mengajari Siauw Kui cara memperkokoh bhesi. Tapi
karena pemuda itu belajar karena terpaksa saja, sulitlah untuk mendapat
kemajuan. Ini hari ketiga ia diajari. Bahkan Ching-ching nyaris habis sabar.
Sedang ia memberi petunjuk, datanglah Bu-beng-lo-jin menertawai.
"Percuma kalau gurunya cuma bisa bawel tapi tak becus mengajari. Pantas saja
muridnya tak pandai-pandai."
Ching-ching mengerutkan alis. Ia tak senang diolok-olok orang. Karenanya ia
lekas berbisik pada 'suaminya'.
"Lihat kelakuanmu! Karena engkau, aku dipermalukan. Hayo, latihan yang betul!"
Baru kali ini Siauw Kui bersungguh-sungguh. Ia juga tak senang diperhinakan
orang. Akan tetapi, lagi-lagi Bu-beng-lo-jin mengolok-olok.
"Ha-ha, bhesi macam apa begitu. Itu sih monyet jongkok namanya."
Ching-ching cepat mendekati Siauw Kui dan menepuk pundak pemuda itu. "Ikuti aku.
Jangan main-main. Kalau kau bersungguh-sungguh, aku yakin kau mampu!" Gadis itu
lantas memberi contoh sambil mengasih petunjuk. "Tarik napas, pentangkan kakimu
ke samping. Tekuk lutut sampai pahamu lurus, angkat sikumu, kepalkan tangan di
pinggang. Ya, begitu. Tahan!"
Ching-ching lantas menghadapi Bu-beng-lo-jin. "Apa mau kau kata sekarang?"
"Barangkali muridnya yang berbakat. Belum pasti gurunya yang pintar. Hm,
tulangnya bagus, ada bakat, ada kemauan. Boleh aku jadikan muridku."
"Tidak bisa! Aku sudah jadi gurunya!"
"Lihat saja. Kamu perempuan kecil, mana becus jadi guru," Sehabis berkata
demikian, Bu-beng-lo-jin lantas pergi.
Ching-ching adalah seorang yang angkuh. Dibilang tidak becus, ia malah
bersemangat membuktikan itu tidaklah benar. Yang jadi korban malah Siauw Kui. Ia
digembleng habis-habisan. Sebelum ia kuasai satu jurus, Ching-ching tak mau
layani ia bicara. Biarpun bersemangat mengajari silat, Ching-ching tak lupa mengajari bun. Tiap
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kali Siauw Kui beristirahat, Ching-ching mengajarinya baca-tulis dan sajak-sajak
mashur. Ia benar maui Siauw Kui menjadi seorang yang bun-bu-coan-cay seperti dia
sendiri. Sebulan kemudian, Bu-beng-lo-jin datang lagi. Saat itu Ching-ching sedang
mengajari jurus baru. "Lihat, inilah jurus ketiga .... Tarik napas, kepala tegak. Buang napas, kaki
melangkah ke belakang. Tarik lagi, rendahkan lutut. Buang napas sembari
memukul." "Ilmu sesat!" Bu-beng-lo-jin berkata.
"Kau bilang apa?" Ching-ching mendelik.
Ching Ching 191 "Kau mengajarinya ilmu sesat! Lihat, dia itu laki-laki, diajari ilmu gemulai
seperti orang menari. Di mana pantas" Laki-laki semestinya diajari ilmu yang
keras dan gagah supaya tidak diketawakan orang."
"Ilmu yang keras dan gagah juga bisa diketawakan. Apalagi kalau ada di
tanganmu." "Paling tidak lebih baik dari ilmumu!"
"Betulkan" Coba buktikan!"
"Aku paling tidak suka menghajar perempuan. Apalagi yang masih kecil."
"Kalau begitu, begini saja. Kau boleh tiga kali memukulku. Kalau aku roboh, aku
mengaku kalah." "Tidak adil!" kata Siauw Kui. "Masa dia boleh memukul dan kau sendiri tidak?"
"Baiklah, kita masing-masing memukul tiga jurus," kata Bu-beng-lo-jin. "Kau
lebih muda, boleh memukul duluan. Ingat, yang kena dipukul paling banyak, yang
kalah." "Jadi. Awas serangan!" Ching-ching segera bertindak. Sambil menyerang, mulutnya
masih mengoceh, :Siauw Kui, inilah jurus ... yang kemarin kuajarkan padamu. Lihat
baik-baik." Gadis itu menyerang dengan kepalannya yang mungil yang bergerak cepat.
"Jurusmu tak ada artinya." Bu-beng-lo-jin tergelak sewaktu ia sempat
menghindari. "Jurus kedua ...!" seru Ching-ching.
Bu-beng-lo-jin tertawa sambil menghindar ka samping. Tapi kaki Ching-ching
bersiap menyambut di situ.
"Perjanjiannya dengan pukulan!" kata orang tua itu. Ching-ching membatalkan
tendangannya ke muka orang.
"Dua jurus lewat!" kata Bu-beng-lo-jin mengejek. "Gunakan ketikamu yang tinggal
sekali." "Jangan keburu senang, aku masih ada satu ketika!" kata Ching-ching geram. "Ini
jurus andalanku ..., lihat baik-baik!"
Mulanya Bu-beng-lo-jin meremehkan peringatan orang. Ia tidak tahu pukulan Lian-
hoa-ban-hoan-ciang (Pukulan berantai selaksa teratai) lebih dahsyat dari
namanya. Jurus ini harus dilakukan dengan amat cepat, tapi tidak semua pukulan
bertenaga. Beberapa cuma jebakan saja supaya orang menghindar, dan justru karena
berkelit, orang itu akan kena pukulan lain yang betul-betul berbahaya.
Inilah yang terjadi pada Bu-beng-lo-jin. Berkali-kali ia terkena pukulan
Ching-ching hanya dalam satu jurus. Untung baginya, Ching-ching tidak kepingin
membunuh orang, akan tetapi tak urung gadis itu mengagumi di orang tua yang
dapat menghindari beberapa pukulan berbahaya.
Puas memukul orang, Ching-ching berhenti. Ia tersenyum manis dan mengejek,
"Habis tiga jurus, aku sudah memukulmu belasan kali. Ingin tahu apakah kau dapat
melebihi aku?" "Iblis betina, lihat jurusku!" Bu-beng-lo-jin berseru sambil merangsek maju.
Pukulan yang dikirimnya betul-betul dahsyat seolah ia hendak membinasakan Ching-
ching. Sayangnya Bu-beng-lo-jin tak tahu kalau gadis itu lincah dan gesit bukan
main. Enteng ia berkelit dan melompat kemudian sampai di belakang
penyerangnya. "Monyet tua, kau memukul apa" Aku ada di sini!"
Bu-beng-lo-jin membalik dan menyerang lagi. Kembali Ching-ching menghindar
sambil tertawa-tawa. "Sudah dua jurus. Satu lagi dan kau mesti menyerah," poyok Ching-ching.
Ching Ching 192 Bu-beng-lo-jin tidak menjawab. Ia berdiri tegak mengumpulkan tenaga. Ketika ia
bergerak lagi, berulah Ching-ching merasakan tenaganya yang dahsyat menimbulkan
angin berkesiuran. Menghadapi jurus terakhir Bu-beng-lo-jin, Ching-ching rada kerepotan juga.
Apalagi ia tak boleh membalas. Kalau menangkis, ia takut kalah tenaga. Celakalah
kalau tangannya remuk nanti. Oleh karena itu, Ching-ching cuma mengandalkan
ginkang sebisa-bisanya. Untunglah gadis itu memiliki ginkang yang jempol. Meski Bu-beng-lo-jin menyerang
dengan sebat, akan tetapi Ching-ching terlebih gesit. Dari semua pukulan yang
dikirim, cuma dua yang mampir di badannya. Itu pun agak meleset sehingga cuma
menimbulkan memar tanpa membahayakan jiwa.
Jurus ketiga habis dimainkan. Bu-beng-lo-jin belum puas menghajar, akan tetapi
ia ada punya harga diti, tak berani melanggar janji antara mereka. Orang tua itu
cuma bisa mengatur napas sembari memendam dendam selagi Ching-ching tergelak.
"Bu-beng-lo-jin, sudah kubilang, ilmu bagus pun kalau sampai di tanganmu,
pastilah merosot kehebatannya. Sekarang pergilah, aku masih banyak kerjaan."
Orang tua itu tak dapat berkata-kata. Ia pergi dengan tindakan lebar dan hidung
mendengus-dengus lantaran kesal. Di belakangnya, Siauw Kui dan Ching-ching sama
mengolok-olok. "Siauw Kui, dia sudah pergi. Hayo, belajar lagi."
Setelah melihat kehebatan ilmu yang Ching-ching ajarkan, Siauw Kui terlebih
bersemangat. Ia latihan dengan bersungguk, menyenangkan 'suhu kecilnya'.
Tak terasa sudah empat bulan mereka tinggal di dalam gua itu. Siauw Kui dan
Ching-ching semakin akrab. Belakangan Ching-ching tak terlalu memaksa sobatnya
belajar, ia lebih suka mengajak bercanda. Begitu pun Siauw Kui yang enggan
digembleng habis-habisan dalam waktu amat singkat.
"Ching-ching, jangan lupa aku ini suamimu. Kalau kau siksa terus-terusan, nanti
aku mati, bagaimana?"
"Coba kalau kau berani mati mendului aku," Ching-ching menjewer kuping orang.
"Aku tak kasih permisi, mana boleh kau mati?"
"Aduh, sakit," Siauw Kui pura-pura mengeluh. "Ya, ya, aku tak berani. Lagipula
tak tega aku tinggalkan kau sendirian."
"Mm, baiklah kau belajar dulu, aku mau cari makanan." Ching-ching meninggalkan
Siauw Kui yang lantas menurut dan segera berlatih.
Siauw Kui mengingat-ingat pelajaran istri kecilnya. Ia menggerakkan kaki dan
tangannya. Hem, lumayan. Ching-ching boleh bangga punya murid seperti dia.
Selagi berlatih, mendadak pemuda itu mendengar kesiuran angin di belakangnya.
Lekas ia menunduk. Lewatlah pukulan orang di atas kepala. Tapi belum sempat ia
menarik napas, sebuah tendangan mendarat di kakinya membuat ia jatuh berlutut.
Siauw Kui tak mau gampang-gampang menyerah. Ia bungkukkan badan ke belakang
dengan gaya Ang-pan-kio seperti yang diajarkan Ching-ching sembari menyerang
sekalian. Mana tahu penyerangnya cukup lihay dapat berkelit dari serangan
mendadak. "Hah, cuma sebegitu yang diajarkan si iblis betina" Mana kau mampu melindungi
diri?" Bu-beng-lo-jin yang menyerang melecehkan. Selagi mulutnya berucap, tangan
dan kakinya tak henti memukul.
Siauw Kui kerepotan. Ia memang sudah kuasai beberapa jurus, tapi itu semua
belumlah cukup buat menghadapi orang tua ini. Meski demikian, Siauw Kui masih
melawan sebisa-bisanya. Ia tak peduli nanti mukanya bengap atau badannya lebam.
Yang ada di pikirannya hanyalah supaya jangan membikin malu kepada Ching-ching.
Ching Ching 193 "Heh-heh-heh, setan kecil, rupanya engkau bernyali besar juga. Tidak takut nanti
kupukul begini?" Bu-beng-lo-jin melancarkan pukulan, telak menggampar pipi Siauw
Kui hingga pemuda itu terputaran dan terjengkang dengan bibir pecah mencucurkan
darah. "Siauw Kui!" Ching-ching yang baru datang menjerit menghampiri. Melihat Siauw
Kuinya terluka, ia menggereng marah. "Bu-beng-lo-jin, kau hendak mencari
mampus?" "Hah, kebetulan kau datang. Aku mau menantangmu."
"Kemarin dulu sudah kukalahkan, apakah belum cukup?"
"Tempo hari cuma sekedar main-main, kali ini aku mau yang bersungguh. Aku mau
berebut murid denganmu. Kalau aku kalah, biarlah aku tak mau ketemu kalian lagi.
Tapi kalau aku menang, setan cilik itu mesti jadi muridku."
"Siapa sudi jadi muridmu!" Siauw Kui berseru.
"Kau dengar sendiri, tak seorang mau mengangkat guru kepadamu!"
"Itu cuma alasan saja. Setan kecil itu takut kau nanti mati di tanganku!"
Bu-beng-lo-jin mengipasi.
Ching-ching termakan omongannya. Ia berdiri melotot dengan mata mencorong marah.
"Siapa bilang aku nanti mati di tanganmu" Kau sendiri yang nanti melayang
jiwanya, monyet tua!"
"Coba, hayo buktikan perkataanmu. Aku menunggu!" tantang Bu-beng-lo-jin.
"Siauw Kui, kau lihatlah aku nanti mencincang monyet tua ini!" Ching-ching
berseru geram. "Iblis betina, nanti kau akan kukirimkan ke neraka!" Bu-beng-lo-jin tak mau
kalah. Ching-ching tak menyahut. Ia bersiap diri dan lantas menyerang orang tua yang
berdiri di hadapannya Boe-beng-lo-jin sudah menjajal kemampuan gadis ini sekali. Ia sudah tahu sampai
di mana kelihayan Ching-ching, maka dari itu ia tak berani bertindak sembrono.
Sebaliknya dengan Ching-ching yang sedang marah, ia menyerang habis-habisan
dengan seluruh kepandaian. Ia berniat membalaskan perlakuan orang tua itu
terhadap Siauw Kui. Lewat serangannya yang bertubi-tubi, Ching-ching yakin akan
dapat membuat lawannya kelabakan. Bagus kalau nanti dapat dirobohkan.
Tapi, Boe-beng-lo-jin bukan orang bodoh. Ia jug athu kalau tenaganya ada lebih
besar daripada Ching-ching. Ia berkali-kali hendak mengadu tenaga, tapi
Ching-ching selalu menghindar. Boe-beng-lo-jin juga tau bahwa ilmu milik gadis
kecil ini takd apat dilawan dari jarak dekat. Ia menjaga jarak antara mereka.
Karena marah, Ching-ching tidak sadar bahwa Boe-beng-lo-jin lebih sering
bertahan dan mundur daripada menyerang balik. Ia baru sadar telah dipancing
orang ketika Boe-beng-lo-jin membawanya ke sebelah dalam, ke bagian gua yang
sangat gelap. "Awas, kalau-kalau ada jebakan di dalam!" Siauw Kui yang terus mengikuti
jalannya pertempuran mengingatkan.
"Hah, kau takut kujebak dan mati di dalam?" Boe-beng-lo-jin berolok-olok kepada
Ching-ching. Biarpun kau pakai segala macam jebakan, siapa takut kepadamu!" kata gadis itu
sembari menyusul masuk ke dalam gua.
Mulutnya brkata tidak takut, tapi Ching-ching tak urung lebih berhati-hati
setelah tiba di gua yang gelap itu. Ia tak dapat melihat, tapi ia masih dapat
mengandalkan kupingnya yang terlatih baik. Ia juga merasakan di tanah empuk di
bawah kakinya. Tanah kering, tidak, itu adalah pasir.
Ching Ching 194 "Boe-beng-lo-jin, jangan sungkan, aku siap menghadapimu!" Ching-ching sengaja
berteriak menantang. Ketika suaranya memantul dengan cepat, tahulah gadis itu,
gua yang dimasukinya tidak seberapa jauh.
Pada saat bersamaan ia mendengar suara kesiuran angin di belakangnya. Dengan
sigap gadis itu menunduk. Sebuah pukulan lewat di atas kepala, tapi ia juga jadi
tahu di mana adanya Boe-beng-lo-jin. Tanpa membuang waktu ia menghantam ke
depan. Boe-beng-lo-jin merasakan pukulan keras pada perutnya membuat ia sesak napas
barang sejenak. Orang tua itu merasa heran. Ia yakin Ching-ching belum terbiasa
dalam gelap seperti dia sendiri yang sudah bertahun-tahun tinggal di perut bumi,
akan tetapi bagaimana mungkin gadis itu dapat menghindar dan memukul dengan
telak tanpa melihat"
Cuma kebetulan! pikir Boe-beng-lo-jin. Ia melihat bayangan Ching-ching bergerak
dan kemudian membalas serangan orang. Kali ini tak akan ada kebetulan lagi!
Bukan main kaget Boe-beng-lo-jin sewaktu pukulannya luput! Pula pada saat
bersamaan dengan itu, Ching-ching telah membalas kembali. Si Orang Tua jadi
berpikir, kebetulan tak mungkin datang dua kai berturutan. Mungkinkah
Ching-ching memang sedemikian hebat" Tidak, ia tak mau mengakui ada seorang yang
lebih muda umurnya memiliki kepandaian jauh di atas dia sendiri. Apalagi bocah
itu perempuan! Ching-ching sendiri sebetulnya agak tergetar juga hatinya diajak bertempur di
gua gelap di mana ia tak bisa melihat, layaknya seorang buta. Tapi, gadis itu
pernah digembleng mati-matian sebelmnya, membuat ia percaya tak akan kalah
dengan mudah. Pula, meskipun ia tak dapat melihat, ia masih dapat menggunakan
telinganya buat mendengari tindakan orang. Setiap kali Boe-beng-lo-jin
bertindak, ia dapat mendengar bunyi kesiuran angin yang ditimbulkan biar sehalus
apa pun. Inilah yang menjadi kelebihannya. Dengan demikian ia dapat menghindar
ataupun balas menyerang bila mendengar tarikan napas orang.
Boe-beng-lo-jin bukan orang bodoh. Setelah beberapa lama, ia mengetahui juga
sampai di mana kelihayan Ching-ching. Diam-diam si orang tua itu mencari akal
mengalahkan orang. Mendadak ia mendapat akal yang bagus. Orang tua itu
membungkuk, mengambil segenggam pasir dan lantas melemparkannya ke belakang si
gadis. Mendengar kesiuran mendatangi kepadanya, Ching-ching lantas merunduk dan sekali
lagi menghantam di mana ia menyangka Boe-beng-lo-jin berdiri. Sayang, pukulannya
cuma mengenai tempat kosong. Gadis itu mendengar kesiuran dari samping, ia
memukul pula. Lagi-lagi luput!
Boe-beng-lo-jin mengetahui akalnya berhasil lantas menjadi kegirangan. Ia lantas
tidak hanya melempar pasir, tapi juga batu-batu kecil ke arah dinding gua.
Batu-batu itu membuat suara berisik. Si Orang Tua tambah girang melihat
Ching-ching putar-putaran macamnya orang bingung. Dia lantas tidak buang waktu
dan terus menyerang sembari melempar segenggam batu ke lain-lain arah.
Ching-ching tak tahu lagi mana serangan yang betul. Ia cuma mengandalkan
pendengarannya. Satu-dua suara yang berlainan masih bisa ia bedakan, akan tetapi
suara batu menumbuk batu yang terus-terusan membuatnya bingung. Karenanya, gadis
itu tak menyadari serangan orang dari belakangnya. Sudah terlambat ketika ia
menyadari, badannya sudah kena terpukul tenaga besar yang membuat dia terlempar
dari gua gelap itu. "Ching-ching!" Siauw Kui berseru kuatir ketika menghampiri gadis itu.
"Hahahahah, apakah kau masih tak mau mengaku kalah, iblis cilik!" kata
Ching Ching 195 Boe-beng-lo-jin mengejek sambil menyusul keluar.
"Bocah tua curang!" jerit Ching-ching sambil meringis kesakitan.
"Hah, pendekar macam apa tak mau akui kekalahan sendiri." Boe-beng-lo-jin yang
takut Ching-ching akan membongkar kecurangannya di hadapan Siauw Kui buru-buru
menyelak, "Kalau kau benar berjiwa besar, tak usah banyak omong. Biarlah setan
kecil itu jadi muridku. Kalau tidak, kau tak usah jadi orang lagi.
Ching-ching tidak menyahut. Ia tak menghalangi Siauw Kui yang disuruh memberi
hormat pada gurunya. Ia juga tak mau menjawab ketika pemuda itu menanyakan apa
yang terjadi di dalam gua. Gadis itu memang tidak menjelekkan Boe-beng-lo-jin,
bukan karena ia berjiwa pendekar, tapi ia telah mempunyai cara untuk membalaskan
dendam! Karena Siauw Kui sudah menjadi murid, Boe-beng-lo-jin menyuruhnya tinggal
bersama. Tapi, bocah itu tidak tega meninggalkan Ching-ching sendirian, ia
takmau pindah. Untunglah, Boe-beng-lo-jin ingin menyenangkan muridnya. Ia
membolehkan Ching-ching pindah ke tempat yang tak jauh dari gua tempatnya
tinggal. Hari ini pertama kali Siauw Kui latihan di bawah pengawasan si orang tua tak
punya nama. Ching-ching menemaninya, gadis itu ingin tahu bagaimana Siauw Kui
berlatih. "Hei kau, mau apa ikut-ikut?" kata Boe-beng-lo-jin yang memang tak senang pada
Ching-ching. "Suamiku mau berlatih, bukankah istrinya harus menemani?" Ching-ching balas
bertanya. "Tidak boleh!" "Kalau tidak boleh, aku tak mau latihan!" Siauw Kui mengancam.
"Tapi kau sudah jadi muridku."
"Aku masih mengakui soe-hoe, tapi tak usah menerima pelajaran juga tak apa-apa
asal tak usah berpisah dari istri kecilku."
"Istri, istri, masih bocah sudah beristri. Kau belum tahu saja perempuan adalah
makhluk paling jahat di kolong langit," Boe-beng-lo-jin menggerutu. Tapi, ia tak
Ching Ching Karya ??? di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berkata apa-apa sewaktu Ching-ching duduk di sebuah batu.
Melihat orang tidak berkeberatan, gadis itu menggunakan ketikanya. "Ada satu
lagi. Aku mau Siauw Kui tetap belajar boen denganku."
"Puih, buat apa belajar boen. Banyak orang belajar sastra tetap saja susah kaya.
Akan tetapi, kalau hebat dalam boe, boleh menjadi jendral dan hidup jadi
terjamin." "Peduli, pokoknya Siauw Kui harus belajar boen, dan kau tak boleh ikut campur
kalau aku sedang mengajar!"
"Tidak ...." "Siauw Kui, kau tak boleh belajar apa pun pada monyet besar ini!" seru
Ching-ching. Siauw Kui lantas mengangguk-angguk menurut.
"Hehhh, baiklah, baiklah, semau kalian saja. A-kui, kemari! Dengar, ilmu silat
yang akan kaupelajari adalah ilmu silat murni dari soe-hoeku sendiri, karena itu
di badanmu tak boleh ada aliran lain." Sebelum melanjutkan, Boe-beng-lo-jin
melirik benci kepada Ching-ching, "Karena itu, aku mesti musnahkan dulu ilmu
siluman dalam tubuhmu!"
Sembari bicara, Boe-beng-lo-jin menotok beberapa jalan darah si pemuda di ubun-
ubun, pundak, dada, dan perut. Siauw Kui merasa badannya lemas sekali. Ia lantas
jatuh terduduk di tanah. Ching-ching yang mengetahui apa yang diperbuat orang tua itu tidak terima dan
Ching Ching 196 lantas melompat berdiri. "Hei, kenapa kaumusnahkan semua ilmu dan tenaganya?"
"Sebagai istri, kau tak usah banyak campur urusan suamimu dan gurunya," sahut si
Orang Tua yang lantas duduk di belakang Siauw Kui menghadapi punggungnya.
Boe-beng-lo-jin menempelkan tangan di punggung Siauw Kui dan memberi petunjuk
kepada muridnya. "Nanti kalau ada hawa panas memasuki tubuhmu, kau jangan
melawan. Biarkan saja hawa itu bergerak sekehendaknya. Yang perlu kaulakukan
cuma mengosongkan pikiran dan bernapas sesuai petunjukku. Dengarkan. Tarik napas
... pusatkan pikiran ... buang napas. Tarik lagi ..."
Tahu Boe-beng-lo-jin berniat baik kepada Siauw Kui, maka Ching-ching tak mau
mengganggu. Ia duduk diam-diam memperhatikan. Tapi, sebentar kemudian perutnya
berkeriukan lantaran lapar. Ching-ching bangkit berdiri, meninggalkan dua orang
yang sedang berlatih. Ia akan pergi mencari makanan buat dirinya dan Siauw Kui,
tentu saja. Mungkin juga Boe-beng-lo-jin akan diberi sedikit karena ia telah
berbaik hati memberikan sebagian tenaganya buat Siauw Kui. Tapi, si Tua itu
seringkali terlalu mencela. Kalau begitu, lebih baik tak usah dibagi saja.
Urusan dia mengoper tenaga, bukan Ching-ching yang berhutang budi.
Tak berapa lama kemudian, di seluruh gua tercium aroma yang sedap. Baik
Boe-beng-lo-jin maupun muridnya sama tergerak oleh wangi makanan. Mereka
tersadar, ini sudah waktunya mengisi perut. Kalaupun latihan dilanjutkan dengan
perut yang kosong, hasilnya tak akan sebaik latihan dengan pikiran dan perut
yang tenang. Oleh sebab itu, Boe-beng-lo-jin menyuruh muridnya berhenti
berlatih. "Siauw Kui, makan!" seru Ching-ching yang datang membawa ikan yang dibakarnya.
"Kebetulan aku memang sudah lapar," Siauw Kui bersorak. "Wah, apakah ini hari
kau ulang tahun" Kenapa memasak banyak sekali?"
"Kau berlatih hampir seharian, tentulah merasa lapar. Maka itu, aku masak yang
banyak." "Oh iya, aku hampir lupa. Soe-hoe, marilah bersantap bersama."
"Aku tidak lapar," ujar Boe-beng-lo-jin ketus. Sayangnya, perut sang guru justru
berbunyi tepat sehabis berkata.
"Soe-hoe, jangan terlalu sungkan. Marilah."
"Aku masih kuat cari makanan sendiri."
"Ayolah. Anggap saja Tee-coe bermohon kepadamu," kata Siauw Kui yang tahu
kesombongan soe-hoenya. Ching-ching tidak melarang. Meski tidak berniat mengajak Boe-beng-lo-jin, entah
kenapa ia memasak terlalu banyak buat dua orang. Ia diam saja membiarkan Siauw
Kui melayani gurunya. Diam-diam ia ingin tahu juga apa kata orang tua itu.
"Soe-hoe, bagaimana masakan istriku?" tanya Siauw Kui ketika Boe-beng-lo-jin
mengambil ikan untuk keempat kali.
"Masih kalah jauh dengan ikan bakar yang pernah aku makan sewaktu kecil dulu.
Dibandingkan itu, boleh dikata masakan istrimu tidak ada apa-apanya. Tidak lebih
baik dari ikan hangus di kota - "
"Oh, jadi kau tak suka masakanku, ya. Baiklah kau tak usah makan!" Ching-ching
merebut ikan yang dipegang Boe-beng-lo-jin, juga yang ada di tangan Siauw Kui.
Ia berlari ke tirai air terjun dan melemparkan semuanya ke bawah. "Nah, semua
sudah kubuang. Kau tak usah makan lagi."
"Kalau tidak dipaksa-paksa, aku juga tidak mau?"
"Apakah ada yang menodongkan pedang ke lehermu" Apakah ada yang mau membunuhmu
kalau kau tidak makan masakanku" Tidak ada seorang yang mengancammu. Dan,
sungguh tak tahu diri orang yang tak sudi makan masakanku, tapi hampir
Ching Ching 197 menghabiskan empat ekor ikanku!"
"Kalau kau suka, biar kukembalikan padamu." Boe-beng-lo-jin memasukkan jarinya
ke mulut supaya memuntahkan apa yang sudah dimakan.
"Soe-hoe, jangan! Ching-ching, kau jangan berkata demkian. Tadi bukankah aku
yang bermohon kepada Soe-hoe. Beliau tentu tak tega menolak."
"Baru jadi murid belum tiga hari saja sudah mati-matian membela. Apalagi
setahun," gerutu Ching-ching. Ia lantas melengos masuk ke dalam.
"Kebetulan iblis itu pergi. Kita bisa berlatih dengan tenang. Marilah!"
Boe-beng-lo-jin mengajak muridnya.
Dalam beberapa hari itu memang Ching-ching tidak mengganggu, tetapi
Boe-beng-lo-jin bergirang terlalu cepat. Hari kelima gadis itu mulai lagi. Ia
datang di tengah-tengah Siauw Kui berlatih.
"Siauw Kui, ingat tidak apa yang kuajarkan kemarin. Hayo, kau hafalkan
sekarang." "Tapi aku sedang - "
"Tidak peduli, kau sudah berjanji, bukan?"
"Bocah iblis, tidak kau lihat ia sedang berlatih" Kenapa kau tidak tinggal di
sarangmu menunggu semuanya beres?"
"E-e-e, Monyet Tua, bukankah kau sendiri yang membolehkan aku meneruskan
pengajaranku dalam boen" Sekarang kenapa engkau melarang-larang?"
"Kau ...." "Hayo, Siauw Kui, hafalkan sajak yang semalam itu."
Siauw Kui tidak membantah. Ia menghafalkan buru-buru supaya Ching-ching merasa
puas dan meninggalkan dia dengan gurunya. Pemuda itu tak mau nanti keduanya
bertengkar lagi, apa pun jika sampai berkelahi. Sayang, lantaran menghafal
terburu-buru ia malah lupa semuanya.
"Pokoknya sebelum hafal, kau tak boleh berlatih boe," ancam Ching-ching.
Siauw Kui mengingat-ingat. Kini giliran Boe-beng-lo-jin tidak sabaran. Ia
mendengus-dengus lantaran sebal. "A-kui, kau latihan dulu sendiri. Nanti begitu
aku balik, apa yang kuajarkan kau mesti dapat melakukan dengan baik. Kalau
tidak, jangan salahkan aku nanti terpaksa mengusir setan betina itu dengan
kakiku." "He, kau mau menantang" Kenapa tidak secara berterang saja?" Ching-ching siaga
berkelahi. "Hah, kalau begitu, jangan bilang aku berlaku kejam padamu. Kau akan kuhajar
pontang-panting!" "Kau sendiri yang nanti terbirit-birit!" balas Ching-ching.
"Kalian bolehkan diam" Aku kini malah jadi pusing sekali," kata Siauw Kui.
"Aku diam kalau monyet tua itu tidak mengoceh," Ching-ching mengajukan syarat.
"Aku tak akan ngomong kalau iblis betina jelek itu tak banyak bertingkah."
"Bagus. Kamu orang tak boleh diajak damai. Biar aku saja yang pergi." Dengan
roman menyatakan kesal hatinya, Siauw Kui meninggalkan dua orang yang berebut
dia. Tinggallah dua-duanya saling menyalahkan.
"Lihat hasil perbuatanmua!" tuduh Ching-ching.
"Kalau bukan lantaran kau, mana dia bisa marah sedemikian," Boe-beng-lo-jin
balas menyalahkan. "Oh" Lihat saja, kalau bukan lantaran aku, mana dia mau berbaik padamu."
"Kata siapa?" "Kataku, tentu saja."
"Kau berkata bohong."
Ching Ching 198 "Coba saja kau pikir dengan otak pikunmu. Dia kenal aku lebih lama daripada kau.
Sudah terang ia akan lebih mendengar kataku ketimbang kau punya nasihat."
Boe-beng-lo-jin menjebi. "Aku tak percaya. Tapi, sekarang ini ia tak butuh
nasihat. Kau pasang omonglah dengannya supaya ia tak marahan lagi pada kita."
"Kita" Kau sendirian, maksudmu itu?"
"Apa maumulah." Boe-beng-lo-jin tak sudi lama-lama bersama Ching-ching. Ia
segera menghilang di kegelapan gua.
Ching-ching segera mencari Siauw Kui. Ia sendiri sebenarnya kuatir pemuda itu
marahan dan tak suka lagi bertemu dengannya. Ia mencari ke semua tempat, namun
pemuda itu belum ditemukan juga. Mendadak Ching-ching teringat satu tempat yang
diketahui cuma oleh berdua. Ia segera menuju ke gua sempit yang pernah mereka
temukan. Benar saja. Siauw Kui ada di situ, cemberut pada sebuah batu.
"Siauw Kui," Ching-ching mengambil, namun yang memanggil tidak menyahut. Gadis
itu lantas mendekati sahabatnya yang sedang ngambek. "Apakah kau marah betulan"
Kau tak mau bicara padaku" Kalau kau tak mau, aku bicara sendiri saja."
Siauw Kui pura-pura tak mendengar.
"Kau tak mau bilang, kenapa kau ngambek" Apa lantaran aku berebut mengajari
kamu" Kau tak suka diajari olehku?" Lalu dengan lagak meniru Siauw Kui, gadis
cilik itu melanjutkan. "Bukan begitu, aku cuma kesal kau dan Soe-hoe tak pernah
akur." Ia menyambung dengan suaranya sendiri. "Salah gurumu. Ia selalu meledek."
"Sebenarnya bukan semua kesalahan Soe-hoe. Kau juga tak jarang duluan mencari
gara-gara," kata Siauw Kui.
"Kau menyalahkan aku?"
"Bukan begitu. Tapi, tolonglah sementara waktu, kau jangan ganggu terus-terusan.
Nanti kalau Soe-hoe marah - "
"Siapa takut soe-hoemu!"
"Aku. Kalau dia marah dan aku yang kena akibat, bagaimana?"
"Tak usah takut, ada aku!"
"Lagipula kalau seumur hidup kita tinggal di sini tak dapat keluar, mau tak mau
harus hidup dengan dia. Kalau kamu berdua terus bermusuhan, bagaimana bisa
senanghidup di sini" Paling tidak aku terjepit di antara kalian," Siauw Kui
mengeluh. "Lagian, Ching-ching, aku benar-benar kepingin belajar silat, biar
mahir. Nanti kalau kita sudah bisa keluar dari sini, kau tak usah malu lagi
berjalan denganku." "Kau anggap aku selama ini merendahkanmu?"
"Bukan kau, tapi aku merasa begitu."
"Baiklah. Demi kamu, aku janji tak dekat-dekat si Tua Jelek. Tapi, kalau dia
duluan yang cari gara-gara, kau jangan salahkan aku."
"Kau memang paling mau mengerti." Siauw Kui tersenyum senang. "Marilah kau ajari
aku menulis sekarang. Selain boe, aku juga kepingin pandai dalam boen."
Ching-ching memenuhi janji. Sebisa mungkin ia menghindari bertemu dengan
Boe-beng-lo-jin. Ia tak mau Siauw Kui marah. Kalau pemuda itu sampai
memusuhinya, ia bakal tak punya teman di gua yang sempit dan pengap itu. Tapi,
sampai beberapa waktu ia masih senang mengganggu apabila sobatnya sedang
berlatih. Sengaja dengan khi-kang ia membacakan sajak terkenal, atau menyanyi
atau membuat segala macam keributan yang membuat Boe-beng-lo-jin tak dapat
mengajari Siauw Kui. Pemuda itu sendiri sudah tak ambil peduli lagi. Semenjak
peristiwa tempo hari, sudah jauh-jauh hari ia berlatih tidak mendengar bilang
Ching-ching merecoki. Mana tahu, justru Boe-beng-lo-jin yang tak dapat.
Kali itu giliran Ching-ching yang mengajari Siauw Kui, tetapi si pemuda sedang
Ching Ching 199 terlalu bersemangat dan tidak betah duduk saja menghafalkan segala macam sajak.
"Ching-ching, ini hari aku tak ingin belajar sastra. Bolehkah berlatih silat
saja?" "Dengan monyet tua itu" Tidak boleh!"
"Di sini saja dengamu. Kau bisa lihat sampai di mana pelajaranku. Kalau ada yang
salah, kau juga dapat memperbaiki."
"Baiklah. Coba kaulakukan!"
Siauw Kui memamerkan apa yang dipelajari dari Boe-beng-lo-jin. Ia bergerak
dengan cepat dan bersemangat. Tak disadarinya, selain Ching-ching ada sepasang
mata lain mengintai. Gurunya tersenyum bangga melihat betapa mantap Siauw Kui
melakukan semua. Kuda-kudanya, pukulannya, sempurna. Guru mana tak akan bangga
melihat anak muridnya berhasil"
"Bagaimana?" tanya pemuda itu ketika selesai satu jurus. "Apakah sudah bagus?"
"Bagusnya sih bagus, tapi masih belum sempurna."
"Ah, masa?" Siauw Kui nampak tak percaya. Di tempatnya sembunyi, Boe-beng-lo-jin
juga menjebi. Paling juga lantaran Ching-ching sentimen, begitu sangkanya.
"Eh, tak percaya. Kau salah melakukan pernapasan. Tempo hari sewaktu aku
bertempur dengan si Setan Tua itu, ia gunakan jurus yang barusan kau mainkan.
Dari situ aku sempat perhatikan sewaktu dia menarik pukulan yang ketiga,
napasnya belum dibuang. Setelah selesai melakukan tendangan, nah baru napas
boleh dilepas. Dan waktu kau memukul, kuda-kudamu kurang kuat. Kalau ada orang
tak takut kena pukul dan malah menyerang menyapu kaki, kau akan jungkir-balik di
tanah," kata Ching-ching menunjukkan kesalahan.
"Ehm, barangkali benar. Coba sekali lagi." Siauw Kui bersiap mengulangi.
"Tidak boleh!" mendadak Boe-beng-lo-jin keluar dari tempatnya sembunyi. "Siapa
kasih permisi kau mengajari ilmuku kepada orang lain?"
"Siapa yang - " Ching-ching hendak membantah.
"Dan kau, setan betina! Diam-diam kau mencuri ilmuku yah?"
"Siapa kesudian!" tukas Ching-ching. "Ilmu kampungan seperti itu, mana aku sudi
belajar." "Mau mungkir" Lantas tadi itu apa hayo":
"Aku cuma memberi petunjuk!"
"Sebelum memberi petunjuk, apa bukan mencuri ilmu?"
Ching-ching cemberut terdiam. Kalau dipikir, ada benarnya juga apa yang
dikatakan Boe-beng-lo-jin.
"Hehehe. Dia mengaku punya ilmu kelas atas, tak tahunya masih juga mencuri ilmu
orang lain. Tak tahu malu."
"Tak sudi aku!"
"Kalau betul tak sudi, coba buktikan. Selama A-kui belajar silat, kau tak boleh
dekat-dekat." "Baik!" sambung Ching-ching.
"Ingat saja janjimu!" kekeh Boe-beng-lo-jin, membuat Ching-ching kesal setengah
mati. Sesudah itu, memang Ching-ching tak mau dekat-dekat Siauw Kui bila sedang
berlatih, tapi bukan berarti dia membolehkan pemuda itu belajar dengan tenang.
Si gadis bandel masih saja mengganggu dengan bermacam-macam keributan yang bikin
kepala Boe-beng-lo-jin serasa mau pecah. Sampai suatu ketika, Pendekar Tua itu
tak tahan lagi. Suatu siang sementara Siauw Kui berlatih, ia mendekati
Ching-ching. "Mau apa kau"!" tanya Ching-ching bercuriga.
Ching Ching 200 "Eh, kau jangan melotot. Kali ini maksudku baik!"
"Uh, setan tua macam kau mana ada maksud baik kepadaku. Aku tak percaya."
"Baiklah, aku bukannya mau baik padamu, tapi demi muridku."
"Apa lagi" Bukankah maumu sudah banyak kuturut?"
"Kau memang tak bisa diajak berdamai. Terus terang saja, aku mau mengusirmu!"
"Tak usah diusir juga, kalau dapat, aku dan Siauw Kui sudah minggat sejak
setahun lalu." "Kalau kau mau keluar, aku akan tunjukkan jalan."
"Lewat air terjun itu" Kau mau membunuhku?"
"Bodoh! Aku masuk kemari bukannya lewat air terjun. Ada jalan lain."
"Kausangka aku percaya" Kalau benar begitu, kenapa kau tak keluar dari
dulu-dulu?" "Aku sengaja kemari hendak berlatih ilmu dan menjauhi dunia luar. Terutama
Kitab Ajian Dewa 3 Dewi Ular 71 Kupu Kupu Iblis Pendekar Baja 5