Pencarian

Kitab Ajian Dewa 3

Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa Bagian 3


Hih...!" Wanara mengangkat tangannya, hendak memukul Ambar Sari. Namun....
"Ayah! Hentikan...!"
Dari luar muncul gadis cantik berwajah sinis yang tak lain Seruni. Gadis itu
langsung memeluk Ambar Sari. Kemudian dengan berani matanya menatap tajam wajah
sang Ayah. Napas gadis itu memburu, karena tengah dilanda perasaan marah.
"Kalau Ayah mau menyakiti ibu, bunuhlah aku!
Bunuhlah.... Ayah!" tantang Seruni dengan tangan
masih memeluk tubuh ibunya.
"Seruni, kau tak boleh berkata begitu, Nak!" sahut Ambar Sari menasihati
anaknya. "Dia ayahmu."
"Aku tahu, Bu. Ibu pun ibuku. Tak rela hatiku jika Ibu menderita. Lebih baik aku
yang mati, kalau harus Ibu yang mati. Ibu telah lama menderita," sergah Seruni
sambil terus memeluk tubuh ibunya.
Kemudian matanya yang tajam menatap lekat Wanara sang Ayah yang berwajah kera.
Gadis itu seakan-akan hendak menentang perbuatan ayahnya yang selalu menyakiti
sang Ibu. "Ayah! Sekali lagi kulihat Ayah menyakiti ibu, aku tak akan tinggal
diam," ujarnya seraya menatap tajam.
Wanara menghela napas. Entah mengapa jika gadis cantik itu telah mengancamnya,
tiba-tiba hatinya melemah. Dirinya memang sangat
menyayangi Seruni. Bahkan bila anak itu meminta bulan dan bintang, mungkin akan
diusahakan mendapatkannya agar sang Anak senang.
"Kau tak tahu, Anakku! Ibumu telah mengkhianati Partai Kera Hitam," desah Wanara
berusaha memberi pengertian pada anak kesayanganya itu.
"Bohong! Aku tahu, setiap hari ibu berada di dalam kamar. Ibu tak pernah pergi
ke mana-mana!" bantah Seruni tak percaya. "Mungkin anak buah Ayah yang telah
melakukan pengkhianatan!"
Wanara kembali menghela napas dalam-dalam.
Dirinya tak dapat berbuat apa-apa, jika Seruni telah ikut campur dengan urusan
ini. "Ayah jangan menuduh sembarangan. Itu sebabnya aku selalu mengingatkan, agar
hati-hati terhadap anggota baru. Tetapi Ayah selalu meremehkan urusan sepele
seperti itu. Ayah menganggap hal itu tak berarti bagi Ayah," ujar Seruni seakan
memojokkan Wanara.
Wanara terdiam, dirinya tak mampu mengelak dari tuduhan-tuduhan yang dilontarkan
anaknya. Bagaimanapun juga, apa yang dikatakan Seruni ada benarnya. Selama ini,
dirinya terlalu mempercayakan semua anak buahnya. Sehingga seenaknya saja
menerima anggota baru, tanpa diteliti dengan seksama terlebih dahulu.
"Cobalah Ayah pikir! Apakah tak mungkin, seorang, dua orang, atau bahkan lebih
dari separuh anggota kita menjadi mata-mata," tukas Seruni berusaha menyadarkan
sang Ayah. "Janganlah Ayah menuduh ibu yang tak tahu apa-apa."
"Hm!" Wanara menggumam tak jelas. Ditariknya napas dalam-dalam, seakan berusaha
menenangkan perasaannya yang diliputi kemarahan. Pikirannya mulai terbuka untuk
mencoba menuruti apa yang dikatakan Seruni.
"Benar juga," gumam Wanara dalam hati. "Apa yang dikatakan anakku, benar.
Keparat! Siapa yang telah berani menyusup ke dalam markasku?"
"Bagaimana, Ayah?" tanya Seruni.
Wanara tak menjawab. Dirinya hanya mampu
mengangguk-anggukkan kepala. Wanara sepertinya membenarkan kata-kata Seruni.
Kemudian setelah menghela napas panjang, lelaki tua itu melangkah keluar
meninggalkan kamar Ambar Sari. Pikirannya masih diliputi kejengkelan dan
kemarahan. Terlebih-lebih jika ingat akan tiga anak muda yang sepak terjangnya
sangat membahayakan kedudukan
Pimpinan Partai Kera Hitam itu.
Wanara melangkah menuju bangunan utama, yang menjadi markas Partai Kera Hitam.
Dengan lesu dirinya kembali duduk di singgasananya. Matanya
memperhatikan sekitar ruangan yang cukup luas dan sepi, tak ada seorang pun
berada dalam ruangan itu selain dirinya.
"Hhh! Mengapa aku harus takut terhadap mereka"
Wanara tak akan dapat terkalahkan! Hua ha ha...!"
bagaikan orang gila, Wanara tertawa terbahak-bahak.
Setelah puas tertawa-tawa. Lelaki berwajah kera itu bangkit dari duduknya.
Kakinya melangkah ke ruangan khusus. Tempat yang hanya dirinya boleh memasuki.
Tak seorang pun dari para anggota maupun ketiga tangan kanannya boleh masuk
tanpa seizin darinya. Di dalam ruangan khusus itulah. Kitab Ajian Dewa yang
berhasil direbut dari Ki Rupaksi tersimpan.
Wanara melangkah dengan mantap. Dirinya ingin sekali mempelajari isi kitab sakti
itu. Jika telah mampu memecahkan semua isi Kitab Ajian Dewa.
Wanara akan menjadi orang yang paling sakti di dunia persilatan. Tak seorang pun
akan mampu mengalah-kannya, karena dirinya akan dapat disejajarkan dengan dewa.
Krekkk! Wanara membuka pintu. Matanya mengawasi ke dalam ruangan khusus tempat menyimpan
segala macam senjata pusaka dan kitab-kitab sakti. Namun, tiba-tiba hatinya
tersentak kaget dengan mata terbelalak ketika melihat kotak penyimpanan Kitab
Ajian Dewa telah terbuka.
"Heh"!"
Wanara segera berlari untuk melihat isi kotak.
Betapa marah dan gusarnya lelaki berwajah kera itu, ketika melihat isi kotak
telah hilang. "Kurang ajar! Siapa yang telah berani mencuri Kitab Ajian Dewa!" geram Wanara
dengan napas memburu. Dadanya naik turun karena marah.
Sementara kedua telapak tangan terkepal, gigi-giginya bergemeretukan menahan
geram. Brakkk! Dibantingnya pintu kamar khusus itu dengan keras, kemudian berlari keluar menuju
singgasana. Matanya yang merah, semakin membara. Dirinya benar-benar murka. Karena Kitab
Ajian Dewa yang telah didapat dengan perjuangan selama dua puluh tahun lebih itu
kembali dicuri.
"Bedebah! Benar apa yang dikatakan Seruni. Ada pengkhianatan di dalam Partai
Kera Hitam. Hm, kuremukkan kepalanya!" dengus Wanara bertambah marah dan geram,
merasa telah dikhianati. Tangan kanan terkepal, lalu memukul-mukul telapak
tangan kirinya.
Plok! Plok! Wanara bertepuk dua kali. Sesaat kemudian berdatangan beberapa anak buahnya yang
masih berada di lingkungan markas. Mereka langsung menyembah, kemudian duduk di
lantai dengan kepala menunduk. Hanya Ambar Sari dan Seruni yang berdiri tanpa
rasa takut, meski keduanya mengetahui Wanara tengah murka.
"Katakan, siapa di antara kalian yang tahu pencuri Kitab Ajian Dewa" Jawab...!"
bentak Wanara dengan keras. Matanya yang membara, mengawasi satu persatu orang-
orang yang berkumpul di ruangan itu.
"Ampun Ketua, kami tak tahu," sahut mereka serempak.
"Bodoh...! Percuma kalian hidup! Heaaa...!"
dengan geram Wanara mengeluarkan ajian 'Sabut Beracun'nya. Lalu tanpa diduga
sang Pimpinan menghantamkan ajian itu.
Wrt! "Ayah! Hentikan...!" teriak Seruni berusaha menyadarkan ayahnya. Namun bagaikan
kesetanan Wanara menghantam semua orang yang ada di hadapannya, Seruni dan Ambar
Sari. Bluk! Bluk! "Wuaaa...!"
"Akh...!'.'
Lolongan kematian terdengar susul-menyusul.
Dada mereka, tergurat goresan-goresan hitam legam.
Tampak dari mulut orang-orang itu menyemburkan darah segar. Dalam sekejap saja
semua telah ambruk bergelimpangan dengan mata membelalak seperti menahan rasa
sakit yang mendera.
"Ayah! Mengapa Ayah melakukan ini" Belum tentu mereka bersalah!" bentak Seruni
menentang tindakan sang Ayah yang dianggapnya terlalu biadab dan kejam.
Wanara tak menjawab. Dirinya hanya diam sambil menundukkan kepala, karena benar-
benar tak mampu menahan amarahnya.
"Tinggalkan aku, Seruni! Tinggalkan Ayah di sini...!"
desah Wanara dengan suara bergetar. Kemudian dihelanya napas dalam-dalam seakan
berusaha membuang perasaan amarah yang terus-menerus membakar jiwa.
Seruni dan ibunya tak membantah. Keduanya segera meninggalkan Wanara yang masih
terduduk di singgasananya. Sedangkan di hadapannya, terkapar kaku puluhan
manusia mati. Mereka adalah para prajurit dan gadis-gadis yang selama ini
dijadikan pemuas nafsunya.
*** Senja yang cerah membiaskan cahaya merah di langit sebelah barat. Dari arah
timur nampak dua orang lelaki berusia sekitar tiga puluh tahun berlari-lari
cepat menuju Desa Kendal. Wajah kedua lelaki yang ternyata Ketawang dan Sungo
Karu menyiratkan ketegangan. Di punggung Ketawang, terpondong bungkusan yang tak
lain Kitab Ajian Dewa. Mereka baru saja mengambil dari kamar khusus di markas
Partai Kera Hitam.
"Kita harus segera sampai di Desa Kendal dan bertemu dengan Ki Jambe Biru," ujar
Ketawang dengan napas terengah-engah. Sementara Sungo Karu yang berlari di
sampingnya seperti tak menghiraukan ucapan itu, karena napasnya juga terus
memburu. "Guru kita kabarnya telah mati, Adi Ketawang,"
Sungo Karu menyela.
"Ya! Wanara benar-benar iblis! Ingin rasanya aku meremukkan batok kepalanya,"
sahut Ketawang dengan sengitnya. Sekali-sekali wajahnya menoleh ke belakang,
takut kalau ada yang mengikuti mereka.
Kalau saja Wanara dan ketiga tangan kanannya tidak turut serta dalam penyerangan
ke Padepokan Sawo Jajar, tentunya guru mereka, Ki Rupaksi tak akan mengalami
kematian. Keduanya mungkin juga bisa menolong guru mereka dan membasmi
gerombolan Partai Kera Hitam. Namun, waktu itu penyerbuan langsung dipimpin
Wanara dan ketiga tangan kanannya.
Keduanya merasa sedih dan menyesal kerena tak dapat menyaksikan kematian sang
Guru. Selama ini mereka diutus Ki Rupaksi untuk menyusup ke markas Partai Kera
Hitam. Sehingga ketika gerombolan itu menyerang guru mereka Ketawang dan Sungo
Karu tak dapat membantu.
"Wanara keparat! Tunggulah pembalasanku!"
dengus Ketawang geram, ketika kembali teringat bagaimana dengan kekejian Wanara
membokong gurunya dengan pukulan 'Sabut Beracun'nya yang dahsyat. Mungkin jika
tidak dibokong, Ki Rupaksi akan mampu mengelakkan serangan itu.
"Kita harus menitipkan kitab ini terlebih dahulu, Ketawang. Nanti malam, kita
harus melakukan perhitungan dengan Wanara," saran Sungo Karu.
"Tapi, bagaimana dengan Nyi Ambar Sari"
Bukankah kita juga diperintahkan untuk menjaga-nya?" tanya Ketawang bimbang.
"Kalau kita harus bentrok dengan mereka, aku khawatir terhadap keselamatan Nyi
Ambar Sari..., Kakang Sungo."
"Itu tak menjadi masalah, Ketawang. Bukankah Nyi Ambar Sari belum dicurigai"
Kalau sampai kita kalah, semoga saja ada pendekar sakti yang akan meng-hancurkan
Partai Kera Hitam biadab itu!" ujar Sungo Karu berusaha membesarkan hati saudara
seperguruannya itu.
Tidak lama kemudian, Ketawang dan Sungo Karu sampai di perbatasan Desa Kendal.
Namun, baru saja keduanya berlari memasuki Desa Kendal, tiba-tiba mereka
dikejutkan bentakan keras.
"Berhenti...!"
Kedua kakak beradik seperguruan itu tersentak.
Mata mereka terbelalak mengawasi sekelilingnya.
Saat itu, dari balik pepohonan dan semak belukar muncul anak buah Partai Kera
Hitam, diikuti pimpinannya yang tiada lain Watu Gulung.
"Kalian..."!" seru Ketawang tersentak kaget.
"He he he...! Rupanya kalian berdua pengkhianat busuk itu. Tak kusangka," gumam
Watu Gunung dengan tertawa terkekeh-kekeh sambil menggeleng-geleng, "Sayang, kini kalian
harus mampus!"
"Cuih!" Ketawang meludah, "Jangan kira semudah itu, Watu Gunung! Kaulah yang
harus mampus, sebagai penebus nyawa guru kami!"
"Hm, rupanya kalian murid Ki Rupaksi!"
"Benar! Kami rela bersabung nyawa guna membasmi manusia-manusia keji macam
kalian!" dengus Sungo Karu sengit. Matanya menatap tajam dua puluh anak buah
Partai Kera Hitam yang telah mengepung mereka.
"Huah! Hebat sekali sesumbarmu, Kura-kura Jelek!" bentak Watu Gunung. "Habisi
mereka...!"
serunya kepada para anak buah.
Mendengar perintah dari sang Pimpinan, kedua puluh anak buahnya langsung
mencabut senjata.
Kemudian dengan cepat mereka langsung menyerang Ketawang dan Sungo Karu.
"Hea!"
"Yea!"
"Tak ada jalan lain, Kang Sungo," desah Ketawang.
"Ya! Terpaksa, sekarang pun boleh!"
Srt! Srt! Kedua kakak beradik seperguruan itu langsung mencabut senjata masing-masing.
Sungo Karu dengan cepat melemparkan capingnya yang lebar menyerang mereka yang
menyerbu. "Heaaa...!"
Wrrr...! Caping besar itu berputar cepat, bergerak menyerang kedua puluh orang lawannya.
Dari putaran caping itu, keluar angin besar yang mampu menyentakkan lawan.
"Heaaa!"
Melihat caping itu berputar cepat hendak
menyerang, anak buah Partai Kera Hitam secepat kilat membabatkan pedang.
Namun.... Wrt! Crakkk! Crakkk!
"Aaakh...!" empat orang anak buah Partai Kera Hitam terpekik keras, ketika
caping besar itu menerjang tangan mereka yang memegang pedang.
Empat tangan mereka putus, berjatuhan ke tanah dengan, darah menyembur. Tubuh
mereka ambruk lalu bergulingan kesakitan sambil memegangi tangan yang terpotong.
"Kurang ajar! Kubunuh kalian! Heaaa...!" dengan penuh amarah, Watu Gunung
melesat melakukan serangan. Pedang di tangannya, berkelebat cepat dalam jurus
'Seribu Tangan Iblis'. Seketika pedang itu bagaikan digerakkan seribu tangan.
Begitu pula dengan serangan-serangan tangan kirinya, sangat cepat dan beruntun.
Sungo Karu dan Ketawang tersentak kaget,
menyaksikan jurus yang begitu cepat. Keduanya segera bergerak mengelak sambil
balas menyerang dengan senjata masing-masing.
Ketawang memutar toyanya dengan cepat, hingga menimbulkan angin yang keras.
Sedangkan Sungo Karu terus memutar capingnya di depan tubuh, sebagai tameng.
"Hea!"
"Yea!"
Jlegar!" "Akh...!" tubuh Ketawang dan Sungo Karu
terpental ke belakang, melayang bagaikan diterbang-kan angin. Hampir saja tubuh
keduanya membentur pohon. Namun tiba-tiba sosok bayangan berkelebat
cepat menangkap tubuh mereka. Bersamaan dengan kejadian itu muncul pula sosok
bayangan lain di belakang mereka.
Trep! Trep! "Kakang Sena...!"
"Aha, kita bersua lagi, Purbaya," sahut Sena ketika melihat orang yang menolong
lelaki gemuk seperti kura-kura ternyata Purbaya.
"Nini Mei Lie, selamat bertemu lagi!" sapa Purbaya seraya tersenyum.
"Terima kasih," sahut Mei Lie sambil menghentikan langkahnya. Kini mereka
bertiga berdiri tiga tombak di hadapan anak buah Partai Kera Hitam.
Watu Gunung dan para anak buahnya terbelalak melihat siapa yang datang menolong
kedua pengkhianat itu.
"Sepasang pendekar dan pemuda berambut
keperakan!" gumam mereka dengan mata mem-
belalak. *** 8 Pendekar Gila, Mei Lie, dan Purbaya masih berdiri, tenang. Pendekar Gila
menurunkan tubuh Ketawang yang dipondongnya. Begitu pula dengan Purbaya.
"Mengapa, Kisanak berurusan dengan kera-kera iblis itu...?" tanya Purbaya kepada


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketawang. Matanya kemudian menatap para anak buah Partai Kera Hitam. Ketika
matanya beradu pandang dengan mata Watu Gunung, Purbaya menarik napas dalam-
dalam. Ingatannya tiba-tiba melayang pada peristiwa dua puluh tahun silam. Dirinya dan
sang Ibu dikejar-kejar tiga orang rekan Wanara. Purbaya masih ingat, salah
satunya Watu Gunung.
"Mereka orang jahat, Kisanak. Guru kami telah mereka bunuh dengan keji," sahut
Sungo Karu dengan mata berapi-api, menatap tajam wajah Watu Gunung serta anak
buahnya. "Aha, siapakah guru kalian?" tanya Sena menyela.
"Ki Rupaksi," jawab Ketawang seraya menoleh wajah Pendekar Gila.
"Aha, kalau begitu, bukankah kalian Ketawang dan Sungo Karu?" tanya Sena
berusaha memastikan.
Ketawang dan Sungo Karu mengerutkan kening.
Keduanya heran, karena pemuda itu telah mengenal mereka.
"Dari mana Tuan tahu" Siapakah Tuan sebenarnya?" tanya Ketawang menatap Pendekar
Gila lalu beralih ke wajah Mei Lie di sampingnya.
"Namaku Mei Lie, sedangkan temanku Sena
Manggala. Kami telah bertemu dengan guru kalian,
ketika dalam keadaan sekarat. Kemudian Ki Rupaksi menceritakan tentang kalian,"
tutur Mei Lie. Kemudian, dengan singkat Mei Lie menceritakan tentang Ki Rupaksi, yang
menyangkut juga masalah Purbaya.
"Jadi, pamanku telah meninggal?" sela Purbaya dengan wajah sedih, setelah tahu
kalau Ki Rupaksi ternyata pamannya. Kemudian wajahnya menoleh ke Ketawang dan
Sungo Karu. "Kalian berdua saudara seperguruan," ujarnya.
Ketawang dan Sungo Karu merasa terharu dapat bertemu dengan anak Ki Kerto Pati,
saudara guru mereka. Begitu pula Purbaya tak akan mampu menahan rasa harunya.
Namun... "Hea...!"
Tiba-tiba gerombolan itu merangsek maju
menyerang dengan ganas. Pendekar Gila dan Mei Lie yang ingin membiarkan kawan-
kawan mereka melepas kerinduan, segera melesat. Keduanya bergerak cepat memapaki serangan
beringas itu. Tak tanggung-tanggung lagi Pendekar Gila dan Mei Lie langsung
mencabut senjata masing-masing.
"Hea!"
"Hea!"Yea!"
Wrt! Wrt! Trang! Trang! Mei Lie yang dikenal dengan julukan Bidadari Pencabut Nyawa Iblis, dengan Pedang
Bidadarinya membabat pedang lawan yang menyerangnya.
Kemudian dengan cepat, melakukan serangan balasan.
"Hea!"
Wrt! Cras! "Akh...!" jeritan kematian terdengar, ketika Pedang Bidadari yang digerakkan
dengan jurus 'Bidadari Menebas Gunung' membabat tubuh lawan.
Sementara itu Pendekar Gila tampak menghadapi keroyokan itu. Tingkah lakunya
yang konyol, membuat lawan-lawannya bertambah penasaran. Sepuluh orang serentak
menyerbu dengan senjata bergerak menebas dan menusuk tubuh Pendekar Gila.
"Pecah kepalamu...!"
"Hancur tubuhmu, Bocah Edan! Hih...!"
Wrt! Wrt! "Hi hi hi...! Aha, masih belum, Kisanak!" ejek Sena sambil mengelak dengan
membungkukkan badan.
Sementara tangannya memegangi kepala, seakan ketakutan. "Wadau...! Galak sekali
kalian...!"
Pendekar Gila bergerak seperti orang mabuk.
Kemudian tampak tubuhnya memutar mengelakkan serangan lawan. Itulah jurus 'Dewa
Mabuk Menjerat Sukma' yang dipadu dengan jurus 'Si Gila Melepas Lilitan Benang'.
"Hi hi hi...! Weee...!" Pendekar Gila mengejek sambil bergerak sempoyongan mirip
orang mabuk. Gerakan itu membuat kesepuluh lawannya semakin nafsu untuk segera dapat
mengalahkan Pendekar Gila. Secara serentak mereka langsung menyerang dengan
babatan pedang.
"Hea...!"
Wrt! Wrt! Dengan cepat Pendekar Gila, menjatuhkan tubuhnya ke tanah. Kedua kakinya
direntangkan, kemudian bergerak menyapu kaki-kaki lawan. Hal itu membuat
kesepuluh lawannya yang hendak menyerang, tersentak kaget. Mereka tak sempat
mengelakkan sapuan kaki Pendekar Gila yang menggunakan jurus
'Dewa Mabuk Menjerat Sukma'.
Wuttt! "Wadauw...!"
Kesepuluh orang lawannya yang hendak
menyerang, seketika terjengkang ke belakang. Kaki mereka diterjang sapuan kaki
Pendekar Gila. "Hi hi hi...! Lucu sekali kalian! Mengapa kalian tak melihat ke bawah?" ejek
Sena tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Sementara tangan kanannya
yang masih memegang Suling Naga Sakti memukul-mukulkan perlahan suling itu ke
pahanya. Betapa marahnya kesepuluh orang lawannya, diejek Pendekar Gila. Segera mereka
bangkit, kemudian serentak kembali melakukan serangan.
"Hea!"
"Hi hi hi...! Belum kapok juga kalian"!" seru Sena sambil melompat ke atas
dengan jurus 'Si Gila Terbang Mencengkeram Mangsa'. Setelah bersalto dengan
cepat menotokkan kepala Suling Naga Sakti ke kepala lawan-lawannya. "Ini untuk
kalian! Hi hi hi!"
Pletak! "Wadauw...!"
"Hi hi hi...! Ini untukmu!" Pendekar Gila semakin cepat bergerak, sambil
memukulkan Suling Naga Sakti ke kepala lawan-lawannya.
Pletak! Pletak!
Suara benturan Suling Naga Sakti yang memukul kepala terdengar beberapa kali.
Jeritan-jeritan kesakitan keluar dari mulut mereka yang terpukul.
Tangan lawan tampak saling memegangi kepala masing-masing seakan membuang rasa
sakit. "Aduh...!"
"Tobat!"
Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak sambil
menggaruk-garuk kepala. Telunjuknya menuding sepuluh orang yang kini meraung-
raung kesakitan.
Purbaya, Ketawang, dan Sungo Karu yang melihat tingkah laku Pendekar Gila dan
kesepuluh lawannya yang kini sedang kesakitan, tak dapat menahan tawa.
Mereka tertawa terpingkal-pingkal, melihat kelucuan dan kekonyolan Pendekar
Gila. Watu Gunung yang menyaksikan kesepuluh anak buahnya dibuat konyol, tampak
menggeram marah.
"Kubunuh kau, Gila! Hea...!"
Wrt! Lelaki tua itu melesat melakukan serangan cepat.
"Aha, rupanya biang kecoanya turun. Hi hi hi...!"
ejek Sena sambil berkelit dengan melebarkan kaki kiri ke samping. Sedangkan yang
kanan ditekuk. Namun kemudian dengan cepat tubuhnya berputar ke samping.
Wesss! Serangan Watu Gunung meleset beberapa jengkal dari rusuk kiri Pendekar Gila.
Pendekar Gila cepat balas menyerang dengan mengangkat lutut kanannya ke atas.
Tak ampun tubuh Watu Gunung yang tengah melesat tak sempat mengelak.
Degkh! "Ukh...!" Watu Gunung terpekik lirih, ketika perutnya terhantam lutut Pendekar
Gila. Tubuh lelaki tua itu terpental dan jatuh ke tanah. Matanya tampak semakin
beringas. "Kurang ajar! Kubunuh kau, Gila!
Heaaa...!"
"Hi hi hi...!" sambil tertawa cekikikan Pendekar Gila menggerakkan tubuhnya
meliuk laksana menari, kemudian disertai sebuah tepukan ke dada Watu Gunung.
"Hah"!" Watu Gunung tersentak kaget, merasakan
ada hawa tepukan dari tangan Pendekar Gila yang begitu kuat. Hampir saja dirinya
terkena hantaman tepukan itu, kalau saja dia tak segera mengelak.
"Jurus siluman...!"
"He he he... Lucu sekali kau, Ki!" sahut Sena meledak sambil turun bergerak
dengan jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'. Watu Gunung semakin tersentak kaget.
Tubuhnya bersalto ke belakang mengelak. Namun belum sampai kakinya menginjak
tanah, tiba-tiba tepukan telah memburunya.
Plok! "Heh"!" Watu Gunung tersentak, dia kembali melentingkan tubuhnya mengelakkan
serangan yang dilancarkan Pendekar Gila. "Seraaang...!" teriak Watu Gunung
kepada para anak buahnya.
Serentak kesepuluh anak buah yang sudah tak merasa sakit lagi, bergerak
menyerang. Namun dengan cepat Pendekar Gila melejit ke atas, kemudian Suling
Naga Sakti kembali mematuki kepala lawan satu persatu.
Pletak! "Akh...!"
Pletak! "Waduh!"
Kesepuluh pengeroyoknya kembali dibuat kalang kabut seraya menjerit-jerit
kesakitan. Tubuh mereka berputaran sambil memegangi kepalanya yang sakit dan
berdenyut-denyut.
"Hua ha ha..! Pendekar Gila tertawa terbahak-bahak. Begitu pula Purbaya,
Ketawang, dan Sungo Karu, yang tak kuat menahan tawanya melihat kejadian lucu
itu. Sementara itu, di sisi lain Mei Lei masih terus bertarung dengan sengitnya. Dua
orang kini meng-
gebrak Mei Lei dengan sabetan dan tusukan pedangnya. Dengan cepat Mei Lie
merundukkan kepala, lalu..., menggeser kaki kiri ke samping. Tubuhnya bergerak
bagaikan menari dengan cepat. Sedangkan pedang diarahkan ke dada lawan yang ada
di depan. Sementara telapak tangan kirinya menghantam ke arah selangkangan lawan yang ada
di samping. "Heaaa!"
Pekikan keras mengiringi serangan cepat Mei Lie.
Crab! Jrot! "Akh!"
"Wua!" dua orang terpekik keras, yang satu dadanya bolong terkena tusukan
pedang. Sedangkan satunya lagi kini memegangi kemaluannya yang terkena hantaman
telapak tangan Mei Lie. Keduanya langsung sekarat dan mati.
Melihat rekannya mati, tidak membuat anggota Partai Kera Hitam lainnya gentar.
Bahkan kini empat orang dengan ganas menggebrak Mei Lie, secara bersamaan.
Mereka menyerang dari empat arah, dengan tebasan dan tusukan pedang. Namun,
dengan cepat Mei Lie mengelak, lalu dengan cepat dikeluarkan jurus 'Tebasan
Sukma'. Sebuah jurus pamungkas yang selama ini belum ada tandingannya dalam
jurus pedang. "Hea!"
Wut! Wut! Pedang Bidadari di tangan Mei Lie bergerak memutar. Kelihatan gerakan pedang itu
lambat. Namun ternyata begitu cepat menggores leher keempat lawannya.
Cras! Cras! "Akh"!"
"Ukh"!" empat lawannya memekik tertahan.
Mereka pun terbelalak kaget melihat leher masing-masing tetap utuh bagai tak
terluka. Bahkan Watu Gunung pun tercengang dengan
mulut ternganga menyaksikan kejadian yang sangat aneh itu. Padahal matanya
melihat persis kalau ujung pedang di tangan gadis Cina itu membabat leher
keempat anak buahnya.
Rasa kaget Watu Gunung belum habis, ketika tiba-tiba terjadi sesuatu yang lebih
mengejutkan lagi.
Tubuh keempat anak buahnya yang semula berdiri tegak dan utuh seketika lebur
menjadi debu ketika angin bertiup.
"Hah"! O, ilmu apa yang digunakannya"!" gumam Watu Gunung dengan mata membelalak
kaget, menyaksikan hal aneh yang baru saat ini dilihatnya.
Dirinya juga jago memainkan pedangnya. Namun, baru kali ini dia melihat sebuah
jurus pedang yang aneh dan sangat hebat. "Celaka...! Jelas gadis ini bukan gadis
sembarangan! Anak-anak, mundur...!"
Mendengar perintah dari pimpinan, anak buah Partai Kera Hitam segera ambil
langkah seribu.
"Hoi, mau lari ke mana kalian!" bentak Purbaya geram. Kemudian digerakkan
rambutnya. Seketika itu juga melesat sinar putih keperakan dari rambutnya yang
panjang. Slats! Slats! Sinar keperakan itu melesat cepat memburu sisa gerombolan dari Partai Kera Hitam
yang hendak melarikan diri. Dalam sekejap dua larik sinar itu menerjang orang
yang paling belakang.
Jrat! "Akh...!" kesepuluh anak buah Watu Gunung mengerang-erang kesakitan. Sinar
keperakan yang menerjang tadi ternyata begitu dahsyat. Tubuh mereka meleleh bagaikan lilin yang
terbakar. Melihat kejadian itu Ketawang dan Sungo Karu terbelalak karena
perasaan heran, kaget, dan ngeri
menyaksikan kejadian menggiriskan itu.
Melihat Watu Gunung dapat lolos dari hantaman
'Rambut Api'nya Purbaya hendak mengejar. Namun dengan cepat Pendekar Gila
mencegah. "Biarkan dia hidup. Karena dialah yang akan memberitahukan pada Wanara," cegah
Sena sambil memegang bahu Purbaya. Pemuda berambut
keperakan ini menurut.
''Tapi dia salah seorang pembunuh ayahku, Sena,"
kata Purbaya. "Aha, itu suatu kebetulan. Bukankah dengan begitu, tentunya kera-kera jelek yang
membunuh ayahmu akan keluar. Ah ah ah! Kita tak perlu susah-susah mencari
mereka!" gumam Sena sambil
cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
Kemudian diselipkan Suling Naga Sakti ke ikat pinggangnya.
''Kakang Purbaya, siapakah kedua Tuan Pendekar ini?" tanya Ketawang.
"Ini Sena Manggala yang lebih dikenal dengan julukan Pendekar Gila. Sedangkan
yang ini, Mei Lie yang juga berjuluk Bidadari Pencabut Nyawa Iblis,"
kata Purbaya memperkenalkan nama dan julukan keduanya.
"O, ampunilah kami, Pendekar Gila! Sungguh dari tadi kami tak menyangka kalau di
hadapan kami, ternyata dua pendekar yang namanya menjadi buah bibir semua tokoh
rimba persilatan," desah Ketawang sambil menjura hormat, diikuti Sungo Karu.
"Aha, janganlah Kisanak berdua berlaku begitu
terhadap kami. Kami juga manusia seperti kalian,"
sahut Sena sambil cengengesan dan menggaruk-garuk kepala.
"Benar, Kisanak. Jangan kalian terlalu memuji kami dengan gelar itu. Gelar belum
tentu menggambarkan sifat manusia yang menyandangnya.
Kebaikan budi pekerti, itu yang paling utama,"
sambung Mei Lie. Ketawang dan Sungo Karu semakin bertambah kagum terhadap kedua
sejoli pendekar itu.
"Pendekar, kebetulan sekali kita bertemu. Guru berpesan, jika bertemu Pendekar
Gila kami harus menyerahkan Kitab Ajian Dewa ini," Ketawang segera melepas kain
yang digendong di punggungnya.
Kemudian diberikannya Kitab Ajian Dewa pada Sena.
"Ini Kitab Ajian Dewa milik gurumu."
Pendekar Gila menerimanya, kemudian sambil menggaruk-garuk kepala matanya
mengamati dengan teliti kitab itu.
"Sungguh bukan kitab sembarangan. Hm, pantas kalau kitab ini menjadi rebutan,"


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gumam Sena dalam hati, merasa kagum melihat kitab yang berisikan ajian-ajian
sakti. "Aha, terima kasih! Betapa telah banyak sekali jasa kalian. Sekian lama menjaga
kitab ini dengan mempertaruhkan jiwa dan nyawa kalian. Aha, dengan apa aku harus
membalas kebaikan kalian?" tanya Pendekar Gila sambil mendesah pelan, lalu
memperhatikan kembali Kitab Ajian Dewa yang masih dalam genggamannya.
"Oh, tidak mengapa, Pendekar. Bagaimanapun antara guru kita telah terjalin
persahabatan. Sebagai sahabat, sewajarnya kita harus bantu-membantu,"
sahut Ketawang sambil mengurai senyum, "Oh ya,
Kakang Purbaya. Bibi Ambar berada di markas Partai Kera Hitam."
"Heh..."!"
Purbaya tersentak hatinya mendengar sang Ibu masih ada. Perasaan rindu yang
selama dua puluh tahun dipendam, kembali menyeruak keluar
mengusik hatinya. Namun sementara itu pula jantungnya berdegub keras. Darah di
kepala bagaikan mendidih karena dendam kesumatnya yang tiba-tiba pula
terbangkit, ketika teringat peristiwa yang mengakibatkan keluarganya berantakan.
"Apakah ibu dalam keadaan sehat?" tanya
Purbaya dengan suara bergetar.
"Bibi dalam keadaan sehat. Bibi pernah bercerita pada kami, kalau bibi selalu
teringat pada Kakang.
Bibi menyangka Kakang telah meninggal," tutur Sungo Karu.
Purbaya menghela napas dalam-dalam. Ingatannya kembali melayang ke masa dua
puluh tahun yang silam.
"Sudah kuduga, kalau ibu akan menyangka aku telah mati!" gumam Purbaya dengan
wajah sedih. Ingin sekali dirinya menemui sang Ibu untuk mencurahkan rasa rindunya.
"Aha, kurasa kita harus segera mengatur recana.
Partai Kera Hitam bukan partai kecil. Kita harus hati-hati dan menghimpun
pendukung untuk melakukan penyerbuan...!" kata Sena menjelaskan.
"Benar!" sambut Mei Lie, "Kita harus mengumpulkan warga desa yang selama ini
menderita, tertindas keangkaramurkaan. Kita harus segera membasmi kebiadan ini!"
seru Mei Lie. Tengah mereka berbincang-bincang, dari empat penjuru muncul para lurah diikuti
warga desanya. Kepala Desa Kranggan, Kepala Desa Sangitan, dan Kepala Desa Kendal melangkah
mendekati Pendekar Gila dan kawan-kawannya. Sesaat kemudian muncul pula dari
utara dan timur beberapa lurah yang juga disertai para warga desanya. Ada yang
mengherankan, entah siapa yang memberitahu mereka kalau Pendekar Gila dan
Purbaya hendak menyerbu markas Partai Kera Hitam.
"Kami ikut...!"
"Kami siap membantu kalian!"
"Kami telah bosan ditindas Partai Kera Hitam!"
"Tumpas Partai Kera Hitam...!"
Pendekar Gila, Mei Lie, Purbaya, Sungo Karu, dan Ketawang tercengang mendengar
ucapan serta kesungguhan di wajah orang-orang desa itu. Mereka tak tahu, siapa
yang telah mengerahkan para kepala desa dan warganya untuk memberontak terhadap
Partai Kera Hitam.
"Hi hi hi...! Lucu sekali! Baru saja kami hendak mengumpulkan kalian. Tetapi
kalian telah datang sendiri," gumam Sena sambil menggaruk-garuk kepala.
"Kami telah dihubungi Lima Jelanga dari Sawo Jajar!" seru Ki Jambe Biru, Kepala
Desa Kendal. "Aha, rupanya murid-murid Ki Rupaksi! Di mana mereka?" tanya Sena.
"Kami di sini, Pendekar!" jawab Lima Jelanga dari Sawo Jajar yang baru datang
dari arah selatan.
"Adik Jelanga...!" seru Ketawang dan Sungo Karu hampir bersamaan, melihat kelima
adik seperguruan mereka telah datang.
"Semua telah berkumpul. Kurasa cukup untuk melakukan penyerbuan, Kakang," kata
Mei Lie. "Aha, kau benar! Kita tinggal memimpin mereka
dan membagi menjadi kelompok-kelompk," usul Pendekar Gila dengan cengengesan
sambil menggaruk-garuk kepala. "Bagaimana, Adi Purbaya?"
"Aku setuju, Tuan Pendekar. Kita memang harus secepatnya menumpas Partai Kera
Hitam," sahut Purbaya.
"Setuju...!" sahut para warga desa serentak.
"Hidup Malaikat Berambut Perak...!" seru warga Desa Kranggan yang dipimpin
seorang lurah baru.
"Hidup Penegak Keadilan...!" sambut warga desa lainnya.
"Hi hi hi...! Baiklah, kita bagi menjadi lima. Masing-masing bergerak dari arah
selatan, barat, dan timur.
Dan satu kelompok lagi bersiap di depan markas,"
ujar Sena mengatur kelompok-kelompok penyerangan.
"Kakang, apakah tidak sebaiknya kita ke sana lebih dahulu?" tanya Mei Lie
mengusulkan. "Aha, benar. Kami berlima akan berangkat lebih dahulu ke sana. Kalian
menyusul...!" kata Sena.
"Setuju...!" sahut semua warga desa.
"Aha, kita akan memburu kera. Hi hi hi...!"
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala. Kemudian mereka
berlima segera meninggalkan Desa Kendal. Tidak lama para warga desa yang
dipimpin Lima Jelanga dari Sawo Jajar pun melangkah menyusul.
*** Sementara di Markas Partai Kera Hitam, Wanara sedang memimpin anak buahnya yang
telah kembali setelah melakukan tugas mereka. Dua orang tangan kanannya, Sodra
dan Lombang, juga ada di situ.
Hanya Watu Gunung yang belum datang.
"Ke mana Watu Gunung?" tanya Wanara.
"Bukankah dia sedang menjalankan tugasnya di Kendal, Ketua?" sahut Sodra balik
bertanya. "Hm, mengapa sampai saat ini belum datang juga?" gumam Wanara dengan wajah
cemas, "Barangkali dia mengalami kesulitan?"
"Entahlah. Kalau memang benar, tentu ketiga anak muda itu berada di Desa
Kendal," sahut Lombang.
"Kalau begitu, kita akan melakukan sapu bersih terhadap kelima desa di sekitar
Hutan Palapiring. Biar mereka tahu siapa kita!" dengus Wanara masih menduga
ketiga pendekar muda itu kembali membuat rencananya berantakan. Belum lagi
memikirkan pengkhianatan yang telah masuk ke dalam
markasnya. Ketika mereka memikirkan Watu Gunung yang mencemaskannya, tiba-tiba dari luar
terdengar suara penjaga berseru, memberitahukan kalau Watu Gunung telah datang.
"Watu Gunung datang...!"
"Hm, dia akhirnya datang juga!" gumam Wanara.
Dari luar, nampak Watu Gunung tergesa-gesa melangkah masuk. Wajahnya pucat pasi
dilanda rasa takut. Hal itu membuat semua yang ada di dalam ruangan markas
memperhatikan Watu Gunung.
"Watu Gunung, ke mana anak buahmu?" tanya Wanara dengan kening mengerut menatap
wajah Watu Gunung nampak begitu tegang dan pucat, seperti diburu hantu.
"Ampun Ketua, tiga pendekar muda itu ada di Desa Kendal. Kami bentrok dengan
mereka. Tetapi pemuda berambut keperakan itu sangat hebat.
Rambut peraknya mampu mengeluarkan sinar yang panas laksana petir!" tutur Watu
Gunung. Semua mata terbelalak, mendengar penuturan Watu Gunung. Mereka memang akhir-
akhir ini mendengar sepak terjang ketiga pendekar muda yang di antaranya pemuda
berambut keperakan. Namun mereka tak menduga, kalau pemuda berambut keperakan
itu mampu mengeluarkan sinar panas membara.
"Bodoh! Menghadapi anak-anak muda saja kau tak becus!" bentak Wanara marah,
"Percuma dua puluh tahun kau bersamaku, Watu Gunung."
"Ampun, Ketua! Mereka memang bukan anak
muda sembarangan," ujar Watu Gunung.
"Bodoh!" bentak Wanara dengan penuh amarah.
Napasnya mendengus keras. Tangannya mengepal, menandakan kalau hatinya sangat
merah. "Kau tak ada gunanya, Watu Gunung!"
"'Tapi, Ketua..."
"Tapi apa"!" sentak Wanara geram, "Kau akan mengelak dengan mengatakan mereka
itu manusia-manusia sakti. Hua ha ha...! Tak ada yang lebih sakti dari Wanara!"
Semua terdiam, tak ada yang berani menyahuti.
Para anak buahnya benar-benar takut, kalau Wanara akan semakin bertambah marah.
Mereka tahu, kalau sang Pimpinan sudah marah, tak ada ampunan lagi.
Hukuman mati pasti tak terelakan.
"Sodra, Lombang, kuperintahkan kalian agar mempersiapkan pasukan. Kita gempur
Desa Kendal! Tangkap ketiga pendekar muda itu! Seruni...!"
"Saya, Ayah," sahut Seruni. "Kutugaskan kau membunuh dua orang pengkhianat itu!"
perintah Wanara.
"Siapa yang Ayah maksudkan?" tanya Seruni ingin tahu.
"Ketawang dan Sungo Karu!" sahut Wanara,
"Dialah yang telah mencuri Kitab Ajian Dewa."
"Hm, semula memang sudah kuduga, Ayah. Aku sudah tak percaya semenjak mereka
hendak menjadi anak buah Partai Kera Hitam," dengus Seruni dengan mata menatap
tajam. Semua anak buah Partai Kera Hitam kembali terdiam, tak seorang pun yang berani
membuka suara. Suasana di tempat itu seketika hening dan tegang. Semua dicekam
ketakutan kalau Wanara sampai murka. Mereka tahu siapa lelaki berwajah mirip
kera itu. Wanara bangkit dari duduknya, lalu melangkah hilir mudik dengan tangan mengepal.
Wajahnya diselimuti amarah yang meluap-luap. Dirinya merasa semua sepak terjang
Partai Kera Hitam akhir-akhir ini banyak gagal akibat ketiga pendekar muda itu.
"Kuperintahkan pada semuanya, cari dan bunuh ketiga pendekar muda itu!" perintah
Wanara dengan penuh amarah. Seakan tak sabar ingin segera melihat ketiga
pendekar muda itu mati.
"Hua ha ha...! Kau tak usah susah-susah mencari kami, Wanara! Kami telah
datang...!" terdengar suara seorang anak muda berseru dari luar.
"Mereka datang...!" seru Watu Gunung.
Wanara dan anak buahnya langsung berhamburan keluar, untuk melihat siapa yang
telah berani berteriak lantang itu.
*** 9 Di halaman markas Partai Kera Hitam telah berdiri tenang lima orang muda. Dua di
antara mereka yang telah dikenal di kalangan perkumpulan itu, Ketawang dan Sungo
Karu. Sedang tiga orang lagi bagi Wanara masih asing, karena baru kali ini
dilihatnya. Satu pemuda berpakaian rompi kulit ular bertingkah laku seperti
orang gila. Di sampingnya seorang gadis Cina yang cantik dengan pedang
tersandang di punggungnya. Dan di sebelah kanan gadis cantik itu berdiri tegap
seorang pemuda bertubuh gagah mengenakan jubah putih. Rambutnya yang panjang
tergerai, berwarna keperakan.
"Hi hi hi...! Aneh sekali. Sekarang ada monyet memimpin manusia," ujar Sena
sambil cengengesan dengan tangan menggaruk-garuk kepala.
"Cuih! Bocah edan! Kalian berani datang ke markas Partai Kera Hitam! Berarti
kalian mencari mampus!" dengus Wanara geram. Matanya yang merah menatap tajam
wajah Pendekar Gila yang cengengesan sambil menggaruk-garuk kepala.
"Hi hi hi...! Lucu sekali kau, Monyet! Kurasa kedatangan kami, justru mau
berburu monyet sepertimu!" seru Sena sambil tertawa terbahak-bahak. Melihat
sikap pemuda gila di depannya.
Wanara semakin geram dan marah.
"Bocah edan! Tutup mulutmu...!" bentak Wanara dengan suara keras.
"Aha, lucu sekali! Ada kera bisa berbicara seperti
manusia. He he he...!"
"Nguiiik...! Grrr...!"
Suara lengkingan keras memekakkan telinga, tiba-tiba keluar dari mulut Wanara,
disusul dengan suara geraman menggelegar. Pepohonan di sekitar tempat markas itu
bergetar hebat. Dedaunan berguguran.
Bumi dan bangunan-bangunan markas terguncang seperti terjadi gempa. Sementara
itu para anak buah Partai Kera Hitam saling menutupi telinga masing-masing
sambil memutar-mutar kepala. Tampaknya mereka tak mampu menahan getaran akibat
suara yang dikeluarkan dengan tenaga dalam sangat kuat itu. Beberapa orang di
antara mereka terdengar merintih dan menjerit kesakitan.
Mei Lie dan Purbaya tampak mengerahkan tenaga dalam untuk menahan getaran suara
Wanara. Begitu juga yang lainnya. Bahkan yang tak kuat langsung jatuh berlutut.
Namun, Pendekar Gila justru tertawa terbahak-bahak sambil menggaruk-garuk
kepala. Dengan cepat dicabutnya Suling Naga Sakti lalu ditiupnya.
Suara Suling Naga Sakti mengalun. Mulanya lembut, tetapi semakin lama semakin
keras, menyentak dan melengking melambung tinggi.
"Nguiiing...!"
Glarrr...! Ledakan dahsyat menggelegar terdengar, ketika suara Suling Naga Sakti beradu
dengan suara jeritan Wanara. Tubuh Wanara tampak terhuyung beberapa langkah ke
belakang dengan mata membelalak kaget. Hatinya tak percaya kalau ajian 'Teriakan
Kera Mengguncang Buana'nya dapat ditandingi suara suling pemuda gila itu.
"Kurang ajar! Bunuh mereka...!" teriak Wanara
memerintah anak buahnya. Serentak semua anak buahnya bergerak maju menyerbu
Pendekar Gila dan keempat kawannya.
Melihat lawan mulai menyerang, Mei Lie segera mencabut Pedang Bidadari dari
punggungnya. Begitu juga dengan Ketawang dan Sungo Karu keduanya segera melepas
senjata mereka lalu memapaki serangan lawan.
"Hea!"
"Yea!"
Bagaikan Bidadari Pencabut Nyawa, Mei Lie dengan Pedang Bidadari-nya langsung
menggempur sepuluh orang anak buah Partai Kera Hitam yang menyerang dirinya.
Pedang di tangannya bergerak cepat, membabat ke arah lawan-lawannya.
Wrt! Bret! "Akh!" pekikan kematian terdengar, bersamaan ambruknya serang anak buah Partai
Kera Hitam yang menyerang Mei Lie. Lehernya terpenggal.
Sementara Pendekar Gila yang menghadapi
keroyokan empat orang tokoh utama Partai Kera Hitam, tampak dengan cepat
bergerak lincah ke sana ke-mari. Serangan-serangan yang dilancarkan Watu Gunung,
Sodra, Lombang, dan Wanara bukanlah serangan enteng. Keempatnya yang telah
mendengar sepak terjang pendekar muda itu, tak mau bertindak ceroboh. Mereka
langsung menggebrak dengan serangan-serangan dahsyat dan memarikan.
"Hi hi hi..! Kalian tidak ubahnya kera-kera kelaparan!" ejek Pendekar Gila.
Mendengar ejekan lawan, keempat orang itu semakin sengit dan marah.
Apalagi Wanara, yang merasa kalau manusia kera itu langsung meledak
kemarahannya. "Grrr! Kurang ajar! Kusobek mulutmu, Bocah Edan!
Hea...!" Dengan jurus 'Cengkeraman Cakar Kera' Wanara melesat menyerang Pendekar Gila.
Tangannya membentuk cakar, bergerak mencakar ke tubuh lawan.
Pendekar Gila segera bergerak mundur serta bergerak ke kanan dan kiri
mengelakkan serangan itu.
Kemudian dengan mulut cengengesan Pendekar Gila segera membalas serangan lewat
jurus 'Gila Menari Menepuk Lalat'.
"Hea!"
Wrt! Wanara tersentak kaget sambil melompat mundur untuk mengelakkan tepukan tangan
lawan. Matanya terbelalak seakan tak percaya kalau tepukan yang kelihatannya
pelan, ternyata menimbulkan angin keras dan menyentakkan.
"Haits...! Bedebah! Gila! Jurus gila..!" gumam Wanara sambil melompat mundur.
Matanya semakin membelalak, kaget melihat serangan yang dilancarkan lawan.
Jurus-jurus yang dilakukan Pendekar Gila kelihatan lambat dan pelan, tetapi
ternyata mampu memburu gerakannya yang cepat.
Pendekar Gila tertawa cekikikan sambil menggaruk-garuk kepala, melihat lawannya
terkejut. Tingkahnya yang konyol, membuat Wanara bertambah marah.
"Serang dia...!" teriak Wanara pada ketiga tangan kanannya. Sodra, Lombang dan
Watu Gunung serentak langsung merangsek Pendekar Gila.
"Hea!"
"Yea!"
Watu Gunung dengan jurus 'Gempa Gunung'nya bergerak menyerang. Kedua tangannya


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengepal, lalu secara bersamaan menghantam dada lawan.
Namun dengan cepat dan masih cengengesan, Pendekar Gila merentangkan kaki kiri.
Kemudian dalam keadaan tubuhnya miring bertumpu pada kaki kanan yang di tekuk,
Pendekar Gila bergerak cepat menepuk. Telapak tangannya yang terbuka
memapaki pukulan Watu Gunung.
"Hea!"
Glarrr...! "Ukh...!" pekikan tertahan terdengar diringi terpentalnya tubuh Watu Gunung.
Dari mulutnya muncrat darah merah. Kedua tangannya tampak gosong bagaikan
terbakar. Tubuh lelaki tua berkepala botak itu terus melesat ke belakang. Dan...
Brak...! Seketika kepala Watu Gunung pecah, setelah menghantam tembok gapura. Tanpa suara
erangan tubuh berlumuran darah itu tewas. Kepalanya pecah berantakan di atas
gapura. Wanara, Sodra dan Lombang tersentak kaget dengan mata terbelalak. Mereka hampir
tak percaya, kalau 'Pukulan Gempa Gunung' yang memiliki kekuatan penghancur
gunung ternyata mampu ditahan pukulan pemuda gila itu. Ketiganya menggeleng-
geleng kepala kagum bercampur heran melihat pukulan yang tampaknya begitu lemah
dan lamban ternyata mengandung kekuatan dahsyat sekali.
"Kurang ajar! Kau telah membunuh anak buahku!
Kau harus mati! Seraaang...!" teriak Wanara memerintah Sodra dan Lombang agar
segera membunuh Pendekar Gila.
"Hea!"
"Yea!"
Melihat ketiganya melancarkan serangan
Pendekar Gila dengan cepat bergerak untuk menghindari. Kemudian dengan jurus
'Dewa Mabuk Menjerat Sukma' dirinya balas menyerang ketiga lawannya. Gerakan
yang seperti seorang mabuk, membuat ketiga lawan tertarik untuk melancarkan
serangan. Mereka menyangka gerakan Pendekar Gila tak memiliki kekuatan untuk
bertahan. "'Jalaraga'! Heaaa...!" dengan pukulan andalan bernama 'Jalaraga' Sodra melesat
menyerang. Tangannya kini terbalut gulungan sinar biru berkabut Kehebatan pukulan itu mampu
membunuh lawan dalam sekejap. Karena pukulan itu sebenarnya mengandung 'Racun
Biru' yang sangat ganas.
"'Palagendana'...! Heaaa...!" Lombang pun tak tinggal diam, segera mengerahkan
pukulan saktinya dengan membuka telapak tangan. Tiba-tiba cahaya seperti warna
pelangi bergulung-gulung keluar dari telapak tangan Lombang. Sinar berwarna-
warni dan membentuk tali tambang itu melingkar-lingkar di seputar tubuh Pendekar
Gila. Melihat kedua orang lawan telah mengeluarkan pukulan sakti, Pendekar Gila justru
malah tertawa terbahak-bahak. Namun kemudian disatukan kedua telapak tangannya
di depan dada. Lalu direntangkan ke atas, disusul dengan tarikan napas dalam-
dalam sambil menarik kedua tangan sampai ke pinggang.
Itulah pembuka jurus sakti 'Si Gila Melebur Gunung Karang'.
"Hea!"
"Yea!"
"Heaaa...!" Sodra dan Lombang melesat bersamaan melakukan serangan dengan
pukulan sakti mereka. Pendekar Gila dengan cepat memiringkan
tubuh untuk mengelak, lalu dengan menyalurkan tenaga dalam penuh, dihantamkan
telapak tangannya.
"Hea...!"
Wrt! Glar! Suara ledakan terdengar ketika pukulan Pendekar Gila mengenai sasaran.
"Akh...!"
"Wua...!"
Sodra dan Lombang menjerit keras diiringi tubuh mereka bergetar hebat. Dan tiba-
tiba kedua lelaki tua itu berubah retak-retak bagaikan patung batu yang hampir
pecah. Kemudian dengan diikuti jeritan menyayat, tubuh mereka hancur menjadi
debu dan berhamburan di tanah.
Semua mata yang menyaksikan kejadian itu
terbelalak ngeri. Kehebatan pukulan 'Si Gila Melebur Gunung Karang' memang tak
dapat dianggap remeh.
Jangankan manusia atau hewan, gunung karang saja dapat hancur menjadi debu
terkena pukulan itu.
Wanara bertambah murka menyaksikan kedua
anak buahnya telah mati secara mengerikan. Dengan menggeram, tubuhnya melompat
melancarkan serangan terhadap lawannya. Namun tampaknya Pendekar Gila mengetahui gerakan
cepat Wanara. Dengan cepat tubuhnya bergerak untuk mengelak.
Serangan-serangan dahsyat saling dilancarkan.
Keduanya merasa lawan bukan orang sembarangan.
Sehingga baik Pendekar Gila maupun Wanara tak ingin bertindak gegabah. Pukulan
demi pukulan yang dahsyat dan menggetarkan terus berlangsung seru.
Orang-orang yang menyaksikan pertarungan itu menggeleng-geleng kepala kagum.
Baru kali ini mereka menyaksikan sebuah pertarungan yang hebat. Bumi bagaikan terlanda gempa.
Bergetar dan terguncang.
*** Di sisi lain, pertarungan pun masih berjalan dengan seru. Mei Lie terus mengamuk
dengan jurus-jurus 'Bidadari'nya yang sangat ampuh dan dahsyat.
Pedangnya setiap bergerak, pasti diikuti jeritan-jeritan kematian.
Wrt! Wrt! Cras!
"Akh...!" dua orang ambruk dengan nyawa
melayang, tertebas Pedang Bidadari di tangan Mei Lei.
Sementara itu Ketawang dan Sungo Karu pun tak kalah hebat, tak mau menyia-
nyiakan kesempatan ini untuk menggempur para anak buah Partai Kera Hitam.
Dengan senjata andalan berupa caping Sungo Karu terus menggebrak pertahanan
lawan. Ketawang pun dengan toyanya tampak merajalela membabat dan memukul setiap
lawan yang menyerang.
Wuttt! Wuttt...!
Pletak! Wrrrs...! Crak! "Akh...!" lengkingan kematian terdengar susul-menyusul, ketika senjata toya dan
tudung caping menghantam anak buah Partai Kera Hitam.
Melihat kejadian itu Wanara semakin bertambah marah. Dengan menggeram, lelaki
berwajah mirip kera itu melesat melakukan serangan.
"Hea! Kubunuh kalian!" dengus Wanara geram
sambil melompat dengan jurus 'Kera Menerkam Mangsa'. Tubuhnya laksana seekor
kera, menerkam tubuh Pendekar Gila.
Sementara itu, Seruni dengan pedang terhunus telah menyerang Purbaya.
"Hea!"
Teriakan keras membubung tinggi mengiringi serangan yang dilakukan Seruni.
"Seruni, jangan! Dia kakakmu...!"
Tiba-tiba terdengar seruan seorang wanita setengah baya, yang tiada lain Ambar
Sari. Wanita tua itu merasa yakin, kalau pemuda berambut keperakan itu Purbaya,
anaknya. Hal itu karena Ambar Sari tiba-tiba melihat kalung di leher Purbaya
berjubah putih.
Kalung inilah yang mendadak membangkitkan ingatannya terhadap sang Anak yang
hilang dua puluh tahun silam.
Seruni yang hendak melakukan serangan, tersentak kaget ketika mendengar seruan
ibunya. Begitu pula dengan Purbaya, hatinya terkejut bukan kepalang. Sehingga
segera menghentikan serangan.
Matanya menoleh ke tempat asal suara. Dilihatnya seorang wanita setengah baya
berlari-lari meng-hampiri mereka.
"Hentikan! Dia kakakmu, Seruni! Purbaya,
Anakku...! Seruni ini adikmu," ujar Ambar Sari dengan suara bergetar. Hal itu
karena baru kali ini matanya dapat melihat sang Anak. Sementara hatinya masih
diliputi rasa takut kalau kedua anak itu akan saling membunuh.
"Ibu...!" Seruni dan Purbaya berteriak keras.
Keduanya langsung memburu Ambar Sari yang jatuh lemas. Keduanya segera memeluk
tubuh ibu mereka.
"Ibu, ini Purbaya, Bu!" desah Purbaya berusaha
meyakinkan kalau wanita setengah baya itu ibunya.
"Anakku," dengan tangis berderai, Nyi Ambar Sari langsung memeluk Purbaya.
Seruni hanya mampu menundukkan kepala, tak tahu harus berbuat apa, setelah tahu
kalau Purbaya ternyata kakak kandungnya. Seorang pemuda yang selama beberapa
hari ini begitu dimusuhi sang Ayah.
Sementara itu, Mei Lie masih nampak mengamuk.
Pedang di tangannya bergerak cepat, membabat lawan-lawannya dengan jurus 'Tarian
Badadari Menyapu Gelombang'.
"Hea!"
Wrt! Wrt! Cras! Cras! "Akh...!"
Sekali Pedang Bidadari di tangan Mei Lie
berkelebat, seketika tiga orang lawan harus terjatuh.
Mei Lie benar-benar seperti Bidadari Pencabut Nyawa. Pedangnya bergerak cepat
hingga tak nampak bentuk aslinya.
Pertarungan masih berjalan dengan seru, ketika dari luar tembok markas terdengar
suara teriakan keras.
"Seraaang...!"
"Serbuuu...!"
"Hancurkan Partai Kera Hitaaam...!"
"Hancurkan keangkaramurkaan...!"
Bersamaan dengan seruan itu, pintu gapura terjebol. Tidak hanya dari pintu
gapura, melainkan dari samping dan belakang tembok berlompatan para warga desa.
Dengan bermacam-macam senjata mereka langsung menyerbu ke halaman markas Partai
Kera Hitam yang menjadi ajang pertarungan.
Trang! Trang! Jleb! "Akh!" jeritan kematian terdengar susul-menyusul, semakin membuat suasana malam
di markas Partai Kera Hitam bertambah riuh. Tembok-tembok
bangunan markas dirobohkan. Markas itu hancur berantakan.
Semakin larut, pertarungan semakin bertambah seru. Namun, di pihak Partai Kera
Hitam tampaknya semakin terdesak.
Melihat keadaan itu Wanara tampak begitu murka.
Diiringi suara menggeram keras perlahan-lahan tubuhnya membesar. Semakin lama
semakin membesar, hingga berubah menjadi sesosok makhluk menyeramkan. Rambutnya yang
panjang tampak kumal dan gembel. Wajahnya yang seram dihiasi mata merah membara
dan sepasang gigi taring panjang di mulut
"Grrr! Kuhancurkan kalian!" seru Wanara dengan penuh amarah. Kemudian tangannya
bergerak menyambar ke tempat pertarungan. Sepuluh warga desa seketika
tercengang, lalu diremasnya sampai remuk.
Pendekar Gila tersentak kaget, menyaksikan kejadian itu. Kakinya segera
melangkah mundur.
"Mundur semua...!" seru Pendekar Gila.
Mendengar perintah itu, Mei Lie, dan semua warga desa langsung bergerak mundur
ketakutan. "Grrr! Kubunuh kalian semua! Kuhancurkan...!"
Wrt! Wrt! Tangan Wanara yang besar dan berbulu lebat hitam kembali menyerang Pendekar
Gila. Namun dengan cepat, Pendekar Gila melancarkan pukulan 'Si Gila Melebur
Gunung Karang'.
"Hea!"
Wrt! Jras! Pukulan sakti itu menghantam telapak wajah Wanara. Sesaat tubuh besar dan
berbulu itu terhuyung ke belakang. Namun dengan cepat sosok tubuh aneh itu
kembali tegak berdiri. Bahkan kemudian langsung melancarkan serangan lebih
cepat. Kedua tangannya yang besar dan kekar serta berbulu menyambar cepat.
Wrt! "Setan! Ini untukmu! 'Inti Api'. Heaaa...!" Pendekar Gila langsung mengirimkan
pukulan sakti 'Inti Api' ke wajah Wanara. Dari telapak tangannya keluar
serangkum api yang langsung memburu Wanara.
Zrot! Byar! Api itu seketika membakar wajah Wanara. Sambil menggeram, lelaki bertubuh
raksasa itu memukul-mukulkan telapak tangan mematikan apa yang menyala di
wajahnya. Setelah api padam, dengan geram Wanara kembali mengamuk. Tangannya
semakin cepat menyambar dan mencengkeram tubuh para warga desa yang tampak
ketakutan. Seketika puluhan orang terpelanting dan bergelimpangan di tanah.
Purbaya yang melihat kejadian itu, segera melesat melakukan serangan.
"Wanara, aku lawanmu! Heaaa...!"
Wrt! Rambut Purbaya yang panjang dan keperakan dikibaskan dengan kuat. Seketika dari
rambut itu keluar selarik sinar keperakan, yang langsung menerjang tubuh Wanara
yang besar dan berbulu.
Srrrts...! Glarrr...!
Tubuh Wanara seketika terbakar. Namun, tidak meleleh seperti lawan-lawan tubuh
Purbaya terdahulu. Bahkan dengan cepat Wanara
memadamkan api yang membakar tubuhnya. Sesaat kemudian matanya yang besar dan
melotot mengeluarkan api yang langsung melesat memburu Purbaya.
Srattt...! "Haits! Celaka...!" pekik Purbaya kaget sambil melompat mengelakkan serangan
ganas itu. "Aha, kita harus bersatu, Adi Purbaya. Mari kita tumpas iblis ini!" seru
Pendekar Gila yang telah melesat sambil membawa suling Naga Saktinya.
"Hea...!"
Wrt! Suling Naga Sakti itu bagaikan hidup, meliuk-liuk menghadap ke tubuh Wanara yang
besar. Lalu tiba-tiba menghantam ke dada Wanara.
Desss! "Wua! Kuremukkan tubuhmu, Pendekar Gila!
Grrr...!'' bentak Wanara sambil menggerakkan tangan menyambar tubuh Pendekar
Gila yang tengah melesat. Namun dari arah kiri Purbaya melancarkan serangan
dengan 'Rambut Api'nya.
"Hea!"
Srat! Srat..! Byarrr...! "Grrr...! Kurang ajar! Kalian akan kuremukan!"
Dengan membabi buta, Wanara menggerakkan
kedua tangan berusaha menangkap kedua lawannya.
Namun dengan cepat Pendekar Gila dan Purbaya saling bergerak ke samping.
Sehingga sambaran tangan manusia itu tak mengenai sasaran. Hal itu menjadikan
Wanara semakin geram karena murka.
"Mundur semua...! Kalian mundur...!" seru Pendekar Gila. Dirinya tak ingin
teman-temannya dan para warga desa menjadi korban keganasan manusia kera raksasa
itu. "Mundur...!" seru Mei Lie turut berteriak.
Mendengar perintah dari kedua pendekar itu, para warga desa berlarian keluar
dari lingkungan markas Partai Kera Hitam.
Pertarungan antara Pendekar Gila dan Purbaya melawan Wanara semakin bertambah
seru. Kedua pendekar itu terus melancarkan pukulan-pukulan sakti mereka untuk
menumpas Wanara yang semakin merajalela mengamuk. Namun, semua pukulan sakti,
bagaikan tiada artinya sama sekali bagi Pimpinan Partai Kera Hitam.
Mei Lie yang melihat hal itu, merasa tak sabar.
Sambil mengayunkan Pedang Bidadari gadis itu segera melompat turut menyerang
dengan jurus 'Tebasan Batin'. Pedangnya berkelebat cepat menebas tangan kiri Wanara yang
hendak menyambar Pendekar Gila.
"Kakang, kubantu! Heaaa...!"


Pendekar Gila 21 Kitab Ajian Dewa di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wrt! Jrabs...! Tebasan Pedang Bidadari mendarat telak di tangan kiri Wanara. Penggalan lengan
besar dan berbulu lebat itu terpental ke tanah. Sesaat kemudian, ketika angin
bertiup cukup kencang lengan itu hancur menjadi debu dan berhamburan.
"Aha, kau hebat juga, Mei Lie! Hi hi hi...!" seru Pendekar Gila sambil tertawa
cekikikan dan menggaruk-garuk kepala, "Purbaya, tangan kanannya bagianku atau
baginmu...?"
"Biar aku, Tuan Pendekar!" jawab Purbaya.
Kemudian dengan cepat dikibaskan rambutnya.
Seketika rambut panjang keperakan itu bergerak cepat menyabet tangan kanan
Wanara. Srats! Crakkks! "Wua! Grrr...!"
Tangan kanan Wanara putus tersabet rambut Purbaya. Dengan hilangnya kedua
tangan, tubuh Wanara yang besar itu tampak lucu.
"Aha, kini giliranku!" Pendekar Gila yang telah memegang Suling Naga Sakti
segera meniup dengan suara melengking. Tiba-tiba dari kedua mata Naga Sakti
keluar selarik sinar merah yang langsung melesat memburu tubuh Wanara.
Srt! Brets! "Akh...!"
Pekikan keras menggelegar seketika terdengar ketika sinar merah dari mata Naga
Sakti menerjang tubuh Wanara. Asap putih seketika mengepul diikuti lengan
melelehnya kulit serta tulang-belulang tubuh raksasa Wanara.
Melihat manusia kera itu binasa, seketika semua warga desa kembali menyerbu ke
dalam. Mereka yang dendam, bagaikan tak menghiraukan pada Pendekar Gila, Mei
Lie, dan Purbaya. Mereka langsung membantai sisa-sisa anggota Partai Kera Hitam.
Hanya Seruni dan Ambar Sari yang dibiarkan hidup. Keduanya kini saling
bertangisan dan berpelukan dengan Purbaya.
Saat itu pula, Purbaya diangkat sebagai pimpinan di markas bekas Pertai Kera
Hitam yang diganti dengan sebutan Perguruan Rambut Perak.
Pagi datang menghembuskan hawa yang dingin,
ketika Pendekar Gila dan Mei Lie meneruskan pengembaraan.
"Mengapa tidak tinggal beberapa hari di sini, Tuan Pendekar?" tanya Purbaya
seraya menatap wajah Pendekar Gila dan Mei Lie.
"Aha, masih banyak tugas yang harus kami emban, Adi Purbaya. Semoga kita dapat
bertemu lagi!" ujar Pendekar Gila menggandeng tangan Mei Lie
melangkah meninggalkan martars Perguruan Rambut Perak.
SELESAI Created ebook by
Sean & Convert to pdf (syauqy_arr)
Edit Teks (fujidenkikagawa)
Weblog, http://hana-oki.blogspot.com
Thread Kaskus: http://www.kaskus.us/showthread.php"t=1397228
Rahasia Hiolo Kumala 2 Kemelut Kerajaan Mancu Seri Huang Ho Sianli 2 Karya Kho Ping Hoo Rahasia Kunci Wasiat 11
^