Pencarian

Memanah Burung Rajawali 2

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 2


dialah sanaknya kaisar," dia berpikir. "Atau setidaknya dia pembesar berpangkat
sangat tinggi.... Kenapa dia sekarang berani terang-terangan menyebut nama kaisar"
Kalau hal ini di dengar orang, apa ini didengar orang, apa itu bukan artinya
sangat kurang ajar..?" Maka lekas-lekas ia berkata " Bicara hati-hati! Nama raja
mana boleh sembarangan disebut-sebut?"
Senang Yen Lieh akan mengetahui nyonya ini menyayangi dia. "Tidak ada
halangannya untuk aku menyebeutkan namanya," ia menyahut sambil tertawa.
"Setibanya kita di utara, jikalau kita tidak panggil dia Tio Kong, habis kita
mesti memanggil apa?"
Lagi sek Yok terkejut. "Ke Utara?" dia bertanya.
Yen Lieh mengangguk. Ia baharu mau menyahuti, tapi di luar hotel terdengar
tindakan dari beberapa puluh kuda yang terhenti tepat di muka hotel. Ia lantas
saja mengerutka kening, nampaknya ia sangat tidak puas. Sek Yok sebaliknya
terkejut. Segera terdengar tindakan banyak kaki yang bersepatu kulit memasuki ruang hotel,
terus ke muka kamarnya si anak muda. Itulah beberapa puluh serdadu denag
pakaiannya yang tersulam. Begitu mereka melihat Yen Lieh, semua menunjuki wajah
sangat girang, hampir berbareng mereka menyerukan: "Ongya!" Dan lantas semuanya
memberi hormat sambil berlutut.
"Akhir-akhirnya kamu dapat cari aku!" kata Yen Lieh sambil tertawa
Sek Yok dengar orang dipanggil "ong-ya" - "sri paduka", ia tidak terlalu heran.
Ia hanya heran menyaksikan rombongan serdadu itu, yang terus berbangkit untuk
berdiri dengan tegak. Mereka semua bertubuh besar dan kekar. Peragamannya rapi.
Mereka beda daripada tentera Tionggoan.
"Semua keluar!" kemudian Yen Lieh berkata, tangannya diulapkan.
Dengan berbareng menyahuti semua serdadu itu mundur teratur.
"Bagaimana kau lihat semua orangku dibandingkan dengan tentara Song?" ia tanya.
"Apakah mereka bukannya tentara Song?" si nyonya membaliki.
Yen Lieh tertawa. "Sekarang baiklah aku omong terang padamu!" katanya, riang
gembira. "Semua serdadu itu adalah tentara pilihan dari negara Kim yang besar!"
Dan dia tertawa pula, panjang dan puas sekali.
"Kalau begitu kau jadinya, kau..." katanya Sek Yok dengan suara yang gemetar.
Yen Lieh kembali tertawa. "Bicara terus terang nyonya, namaku mesti ditambah
satu huruf "Wan" di atasnya," dia menyahuti. "Sebenarnya aku yang rendah ini
adalah Wanyen Lieh, putra keenam dari Raja Kim, Pangeran Tio Ong adalah aku yang
rendah...." Mau atau tidak Sek Yok terperanjat, ia tercengang. Pernah dahulu ia dengar
ayahnya bercerita bagaimana bangsa Kim telah menggilas-gilas wilayah Tionggoan,
bagimana dua kaisar Tionggoan telah ditawan, dibawa pulang ke negeri Kim itu,
bahwa rakyat di utara telah diperlakukan dengan kejam oleh bangsa Kim itu.
Kemudian, setelah ia menikah dengan Yo Tiat Sim, ia juga ketahui bagimana hebat
suaminya itu membenci bangsa Kim itu. Sekarang diluar tahunya, orang dengan
siapa siang dan malam ia berada bersama selama beberapa hari, adalah putranya
raja Kim itu, yang menjadi musuh Tionggoan. Tentu saja oleh karena ini ia
menjadi tidak dapat membuka mulutnya.
Wanyen Lieh lihat air muka orang berubah, lenyap senyumnya si nyonya. Ia lantas
berkata, " Telah lama aku kagumi keindahan wilayah selatan, karenanya pada tahun
baru yang baru lalu telah aku mohon Ayahanda raja mengirim aku ke Lim-an sebagai
utusan yang datang untuk memberi selamat tahun Baru kepada kaisar Song. Di
samping itu kebetulan kaisar Song belum membayar upeti tahunannya yang berjumlah
beberapa puluh laksa tail perak, dari itu Ayahanda raja menitah aku menagihnya
sekalian." "Upeti tahunan?" Sek Yok heran.
"Ya," sahut putra raja Kim itu. "Kerajaan Song mohon negaraku tidak menyerang
dia, dia janji saban tahu mengirim upeti uang dan cita, tetapi dengan alasan
penghasilan negaranya tidak mencukupi, sering-sering kaisar Song tidak menepati
janjinya, maka kali ini aku tidak sungkan-sungkan lagi menghadapi Perdana
Menteri Han To Cu, aku tandaskan kepadanya, apabila dalam tempo satu bulan upeti
tidak dibayar penuh, aku sendiri bakal mengepalai angkatan perang untuk
mengambilnya dan dia tak usah capekkan hati lagi mengurusnya!"
"Apa katanya Han Sinsiang?" Sek Yok tanya.
"Apa lagi dia bisa bilang" Belum lagi aku meninggalkan Lim-an, uang dan cita
sudah diseberangkan sungai. Hahaha!!"
Sek Yok berdiam. Alisnya kuncup.
"Menagih upeti ada urusan yang remeh, cukup dengan utus satu menteri," berkata
pula Wanyen Lieh. "Aku tetapi datang sendiri, karena ingin aku menyaksikan
kepermaian wilayah selatan ini, maka adalah diluar dugaanku, aku bertemu dengan
Nyonya, sungguh aku sangat beruntung."
Pauw Sek Yok tetap bungkam.
"Nah, sekarang hendak aku pergi beli pakaian," kata Wanyen Lieh kemudian.
"Tidak usah," kata Sek Yok tunduk.
Putra raja Kim itu tertawa ketika ia berkata pula, "Uang pribadi Han Sinsiang
sendiri yang dibekali padaku, jikalau aku pakai itu untuk membeli pakaian, tak
habis kau pakai itu selama seribu tahun, Nyonya! Kau jangan takut, di empat
penjuru sini telah berjaga-jaga pasukan pribadiku, tidak nanti orang jahat yang
berani ganggu padamu!"
Mendengar itu Sek Yok mau menduga bahwa ia telah diancam dengan samar-samar
bahwa tak dapat ia melarikan diri apabila ia memikir demikian, karena hotel itu
telah dijaga rapat, ia hanya heran sekali, apa maksudnya putra raja Kim itu yang
ia seorang wanita dari rakyat jelata, diperhatikan demikian macam. Itulah
perlakuan istimewa. Kapan ia ingat suaminya, yang sangat mencintainya, ia lantas
mendekam di pembaringannya dan menangis sedih sekali.
Dengan membekal uang, Wanyen Lieh pergi ke kota di bagaian yang ramai. Ia lihat
penduduk kota ada halus gerak-geriknya, walaupun kuli, nampak beda juga, maka
itu diam-diam ia mengaguminya. Ia lantas memikir untuk nanti, kapan ia
mengepalai angkatan perang mendatangi wilayah ini, ia akan mohon ayahnya angkat
ia menjadi Gouw Ong, pangeran wilayah selatan ini, supaya dapat ia tinggal tetap
di Kanglam.... Dengan perasaan puas, orang bangsawan ini bertindak dengan perlahan-lahan,
matanya memandangi sekitarnya hingga mendadak ia dengar larinya kuda derap.
Jalan besar di situ tidak lebar, orang-orang yang berlalu lintas kebetulan
banyak, dan pinggiran jalanan pun ditempati pedagang-pedagang gelar dan pikulan,
kenapa ada orang yang larikan kudanya di situ. Ia lantas menyingkir ke
pinggiran. Sebentar saja kuda itu telah tiba. Itulah seekor kuda kuning yang
tinggi dan besar, tegap tubuhnya dan pesat gerakkannya. terang itu adalah kuda
asal luar tapal batas. Menampak kuda itu, Wanyen Lieh memuji akan tetapi, kapan
ia saksikan penunggangnya, ia jadi tertawa sendirinya.
Penunggang kuda itu adalah seorang yang tubuhnya kate dan terokmok dan romannya
jelek, dengan bercokol di atas kuda yang tinggi besar, ia mirip setumpuk daging
belaka. Sudah ia pendek tangan dan pendek kaki, lehernya pun seperti tidak ada,
yang kelihatan cuma kepalanya yang gede, yangmuncul mengkeret di atasan
pundaknya. Di sebelah keanehan si penunggang kuda, aneh juga cara kudanya berlari-lari.
Kuda itu tidak pernah menerjang barang atau menyentil orang, ia dapat bergerak
merdeka, seperti kelit sana dan kelit sini, atau melompati pukulan pedagang-
pedagang. Wanyen Lieh merasa ia adalah satu ahli penunggang kuda, tetapi
sekarang tanpa merasa ia berseru; "Bagus!"
Si kate terokmok dengar orang memuji dia, dia berpaling, maka dengan itu Wanyen
Lieh dapat lihat tegas muka orang. Itulah satu muka yang merah seperti ampas
arak, dengan hitung besar dan bulat seperti buah prim merah ditempel di muka.
"Kuda itu jempol, baik aku beli denagn harga istimewa," pikirnya.
Hampir di itu waktu, di jalan itu muncul dua bocah berlari-lari main kejar-
kejaran melintas di depan kuda. Kuda itu kaget, kakinya bergerak. Tepat di itu
saat, kate terokmok angkat lesnya, tubuhnya pun terangkat dari bebokong kuda,
kuda mana terus lompat melewati atas kepalanya dua bocah itu, sesudah itu, tubuh
si kate turun pula, bercokol lagi di bebokong kuda seperti tadi, numprah dengan
aman! Wanyen Lieh kagum hingga ia menjublak. Lihay luar biasa si cebol itu, di
negaranya sendiri - negera Kim tidak ada penunggang kuda sepandai dia walaupun
ia ada punya banyak ahli penunggang kuda. Sekarang ia insyaf bahwa manusai tidak
dapat di lihat dari romannya saja.
"Jikalau dia bisa diundang ke kota rajaku, untuk jadi guru, bukankah pasukan
kudaku bakal menjagoi di kolong langit ini?" dia berpikir. Dia pun melamun,
berapa besar faedahnya apabila ia berhasil membeli kuda istimewa itu.
Memang putra raja Kim ini adalah seorang denagn cita-cita luhur, dan teliti
sepak terjangnya. Dengan mendatangi Kanglam, ia berberang sudah perhatikan
keletakan daerah, hingga ia tahu baik sekali tempat-tempat dimana ia dapat
pernahkan tentaranya atau dimana dia dapat seberangi sungai. Malah ia ingat juga
nama-namanya setiap pembesar setiap tempat serta kepandaiannya setiap pembesar
itu. "Pemerintah di selatan ini justru buruk, sayang kalau orang pandai ini tak dapat
digunai olehku," dia negelamun terlebih jauh. Karenanya ia lantas ambil
ketetapan untuk undang kate terokmok itu. Malah ia lantas lari untuk menyusul
penunggang kuda itu. Selagi ia khawatir nanti tak dapat menyandak, sedangnya ia
berniat mengoaki si kate itu, mendadak kuda orang itu berhenti berlari. Kembali
ia menjadi heran. Tak biasanya kuda larat dapat berhenti secara demikian tiba-
tiba, biasanya kuda itu mesti berlari-kari perlahan dahulu.
Selagi Wanyen Lieh terheran-heran, si kate terokmok sudah lompat turun dari
kudanya dengan cepat luar biasa, ia telah memasuki sebuah restoran di pinggiran
mana kudanya dihentikan secara istimewa itu, maka dilain saat sudah terdengar
tindakannya yang cepat di undakan tangga loteng.
Putra raja Kim itu angkat kepalanya, untuk berdongak, maka matanya lantas
melihat sepotong papan merek dengan bunyi empat huruf "Tay Pek Ie Hong". Jadi
itu sebuah ciulauw, atau sebuah restoran. Di atas loteng ada lagi sebuah papan
merek dengan tiga huruf "Cui Sian Lauw", yang hurufnya kekar dan bagus, di
samping aman ada pula empat huruf kecil bunyinya: "Tong Po Kie-su". Jadi itu ada
ciulauw yang pakai nama Souw Tong Po, itu penyair yang terkenal, yang aliasnya
Thay-pek dan julukannya Cui Sian, Dewa Mabuk. Riasannya ciulauw pun ada
istimewa. Tadinya Wanyen Lieh ingin memasuki ciulauw itu atau segera ia tampak
si kate sudah keluar pula sambil tangannya membawa satu guci arak yang terus
dibawa ke depan kudanya. Putra raja Kim ini ingin menontoni kelakuan, ia pun lantas berdiri di pinggiran.
Berdiri di tanah si kate nampaknya semakin tak mengasih. Tingginya tak ada tiga
kaki, sebaliknya lebar tubuhnya ada tiga kaki penuh. Di depan ia adalah kudanya,
yang istimewa tinggidan besarnya. Dengan berdiri berdekatan, si kate tidak cukup
tinggi untuk kepalanya menyundul sanggurdi. Maka inginWanyen Lieh menyaksikan
orang punya sepak terjang lebih jauh.
Si kate tidak lompat naik ke atas kudanya, hanya ia berdiri di depan binatang
tunggangannya itu, di situ ia letak guci araknya, habis mana dengan sebelah
tangannya, ia babat guci sebatas pundaknya guci itu hingga tempat arak itu
menjadi terbuka bagaikan jambangan.
"Ah, ia mengenal ilmu tenaga dalam yang lihay," pikir Wanyen Lieh, Tanpa
Iweekang, atau tenaga dalam yang sempurna, tidak nanti guci arak dapat ditebas
kutung dengan tangan, dengan tidak pecah seluruhnya. Ia percaya ia dapat
melakukan itu hanya tidak sedemikian sempurna.
Begitu lekas guci telah terbuka, kuda kuning itu angkat naik kaki depannya,
mulutnya dibuka untuk perdengarkan ringkikkan, setelah turunkan kedua kakinya ia
terus tunduki kepalanya, mulutnya dikasih masuk ke dalam guci, untuk sedot arak
itu berulang-ulang! Dalam keheranan, Wanyen Lieh segera dapat mencium baunya arak yang melulahkan
terbawa angin. Ia kenali arak itu adalah arak Siauwhin yang kesohor, arak
simpanan tiga atau empat puluh tahun. Pernah selama di Yan-khia, ibukotanya,
ayahnya dikirimkan arak serupa oleh utusan kaisar Song dan oleh ayahnya ia
dibagi beberapa guci. Ia sangat menyayangi arak jempolan itu, tak hendak ia
sering-sering meminumnya, akan tetapi di sini, ia saksikan seekor kuda
tunggangan diberikan arak itu!
Si kate tinggalkan kudanya minum, ia kembali ke restoran, sambil kasih dengar
bentakan, ia lemparkan sepotong uang ke atas meja kuasa restoran itu. Nyata itu
adalah sepotong emas yang berkilau kuning.
"Lekas kamu sajikan sembilan meja barang hidangan kelas satu!" kata si kate.
"Yang delapan meja makanan dengan daging, yang satu sayuran saja."
"Baik, Han Samya!" berkata si kuasa ciulauw sambil tertawa. "Kebetulan hari ini
kami dapat empat ekor ikan saylouw, yang tak ada lawannya yang lainnya untuk
teman arak! Tentang emas ini, aku minta sudi apakah kiranya samya simpan dahulu.
Mengenai nperhitungannya nanti perlahan-lahan kita mengurusnya..."
Mendengar itu, matanya si kate terbelalak. "Apa"!" serunya aneh. "Menenggak arak
tanpa uangnya " Apakah kau sangka Han Samya kamu ini tukang anglap?"
Kuasa ciulauw itu tertawa haha-hihi, tanpa layani si cebol itu, ia berpaling ke
dalam dan berseru: "kawan-kawan, lekas sajikan arak dan makanan untuk Han
Samya!" Seruan itu sudah lantas sapat sambutan berulang-ulang.
Wanyen Lieh menjadi heran sekali. "Si kate ini berpakaian tidak karuan tetapi ia
sangat royal," pikirnya. "Dan di sini orang sangat menghormatinya. Mungkinkah ia
ada okpa di kota Kee-hin ini" Kalau benar, tentu sulit rasanya untuk undang ia
menjadi guru...Baiklah, aku tunggu dulu, hendak aku saksikan orang-orang macam
bagaimana yang ia undang berjamu."
Karena ini ia hampiri ciulauw itu untuk naik ke loteng dimana ia pilih satu meja
di pinggir jendela. Ia minta satu poci arak serta barang makanan sekedarnya.
Restoran Cui Sian Lauw ini letaknya di pinggir Lam Ouw, Telaga Selatan. Itu
waktu tengah telaga nampak kabut tipis, di muka air ada beberapa buah perahu
kecil lagi mundar-mandir. Di situ pun kedapatan banyak pohon lengkak yang
daunnya hijau-hijau. Lega hati untuk memandang permukaan telaga itu.
Di jaman dahulu, Kee-hin adalah sebuah kota negara Wat, buah lie keluaran sini
kesohor manis, sama kesohornya dengan araknya. Di jaman Cun Ciu, Kee-hin
dipanggil Cui Lie atau Lie Mabuk. Disini dahulu Raja Wat, Kouw Cian telah labrak
Raja Gouw, Hap Lu. Telaga itu pun ada mengeluarkan hasil yang kesohor yaitu bu-
kak-leng, atau lengkak yang tidak ada "tanduknya" yang rasanya empuk dan manis,
tak ada bandingannya untuk Kanglam. Itu pun sebabnya di dalam telaga tumbuh
banyak pohon lengkak itu.
Sambil hirup araknya perlahan-lahan, Wanyen Liaeh memandangi keindahan telaga.
Dengan begitu ia pun menantikan tetamu-tetamunya si cebol. Tiba-tiba ia dengar
suara beradunya sumpit da cawan-cawan arak, apabila ia menoleh, ia dapatkan
beberapa jongos mulai mengatur sembilan buah meja. Hanya herannya untuk setiap
meja ditaruhkan Cuma sepasang sumpit dan satu cawan arak.
"Kalau yang datang cuma sembilan orang, untuk apa meja sembilan ini?" ia
menerka-nerka. "Jikalau jumlahnya banyak, mengapa Cuma disediakan sembilan cawan
saja" Apa mungkin ini ada adat kebiasaan di selatan ini...." Ia memikir tetapi
tidak dapat jawabannya. Si cebol sudah lantas duduk minum arak di sebuah meja, minumnya ayal-ayalan.
Kembali Wanyen Lieh memandang ke telaga. Kali ini ia tampak sebuah perahu
nelayan yang kecil, yang laju pesat sekali. Perahu itu kecil tatapi panjang,
kepalanya terangkat naik. Di pinggiran perahu berdiri dua baris burung-burung
air peranti menangkap ikan. Mulanya ia tidak menaruh perhatian, sampai sejenak
saja perahu itu dapat melewati sebuah perahu kecil yang terpisah jauh darinya.
Setelah perahu kecil itu datang semakin mendekat, Wanyen Lieh lihat di tengah
perahu ada berduduk satu orang, sedang yang mengayuh yang berbareng menjadi
pengemudi, yang duduk di belakang ada seseoarng yang memakai baju rumput. Segera
ternyata ia adalah seorang wanita. Dia masuki pengayuh ke dalam air, nampaknya
ia mengayuh denagn perlahan, akan tetapi perahu itu lahu melesat, tubuh perahu
seperti melompat di atasan air. Tenaga mengayuh itu mungkin ada tenaga dari dua
ratus kati. Seorang wanita bertenaga demikian besar inilah aneh: maka aneh juga
pengayuhnya itu yang dapat dipakai mengower air demikian kuat.
Lagi beberapa gayuan, kenderaan air itu segera mendekati restoran. Di sini ada
sinar matahari yang menyoroti pengayuh itu, lalu tertampak suatu cahaya berkilau
mengkeredep. Nyata pengayuh itu terbuat dari kuningan.
Si wanita tampak perahunya dipelatok di samping tangga batu di bawah loteng
restiran, habis itu ia lompat ke darat. Orang yang menumpang perahu itu satu
pria, lompat mendarat juga setelah ia samber sepotong kayu pikulan yang kasar.
Keduanya terus mendaki tangga loteng.
"Shako!" memanggil si nona tukang perahu setibanya di atas loteng, kepada si
kate terokmok. Dia pun lantas sambil sebuah meja, sebagaimana kawannya juga
duduk dikursi lainnya. "Sietee, citmoay, kamu datang siang-siang?" kata si cebol.
Wanyen Lieh diam-diam perhatikan dua pendatang baru ini. Si wanita berusia tujuh
atau delapanbelas tahun, tengah remajanya. Dia beramta besar, panjang bulu
matanya, kulitnya putih bagaikan salju. Itulah kulitnya orang Kanglam sejati. Ia
mencekal pengayuh kuningannya dengan tangan kanan dan menenteng baju rumputnya
dengan tangan kiri. Dia pun mempunyai rambut yang hitam mengkilap.
"Walaupun dia tidak dapat melawan kecantikannya Pauw-sieku, dia toh


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menggairahkan dengan sifatnya sendiri," berpikir putra raja Kim itu. Sekarang ia
lirik si pria yang membawa-bawa kayu pikulan, yang dari romannya dari kepala
sampai di kaki, mirip orang desa tulen, usianya kurang lebih tiga puluh tahun,
baju dan celananya berbahan kain kasar, pinggangnya dilibat tali rumput, sedang
sepatunya ada cauw-ee, sepatu rumput. Ia bertangan kasar dan kaki gede, romannya
jujur polos. Ketika dia sanderkan pikulannya di samping meja, bentrok sama meja
itu, terdengarlah suara beberapa kali. Meja itu menggeser sedikit.
Sendirinya Wanyen Lieh terperanjat, hingga ia awasi pikulan itu, yang warnanya
hitam mengkilap, kedua ujungnya muncul sedikit, rupanya peranti menjaga pikulan
tidak merosot terlepas. Karena beratnya itu, pasti pikulan itu bukan terbuat
dari besi entah dari bahan apa. Di pinggangnya orang itupun ada terselip sebuah
kampak pendek, sama denagn kampak biasa, yang sudah sedikit gompal.
Baharu dua orang itu duduk, di tangga loteng sudah terdengar lagi tindakan kaki
berisik dua orang lagi. "Bagus, ngoko, liokko, kamu datang berbareng!" menyambut si nona nelayan.
Dari dua orang ini, yang jalan di depan berdedakan tinggi dan kekar, tubuhnya
terlibat semacam kain, tubuh itu meminyak, karena bajunya tidak dikancing,
tertampak pula dadanya berbulu gompiok. Karena ia menggulung tangan bajunya
tinggi-tinggi, pun terlihat lengannya berbulu hitam seperti dadanya itu. Melihat
potongannya, ia mirip satu pembantai atau penyembelih hewan, Cuma ditangannya
kurang sebatang golok lancip. Orang yang berjalan di belakangnya berpotongan
sedang, kepalanya ditutup kopiah kecil, kulit mukanya putih, tangannya mencekal
dacin, ialah pesawat timbangan, serta sebuah keranjang bambu, hingga ia mirip
seorang pedagang kecil. Mereka ini ambil masing-masing sebuah meja.
"Heran!" kata Wanyen Lieh dalam hati kecilnya. "Tiga orang yang pertama adalah
orang-orang yang mungkin berkepandaian tinggi, kenapa kedua orang ini yang mirip
orang-orang kalangan rendah, dibahasakan saudara?"
Tengah si putra raja Kim berpikir demikian, di bawah loteng terdengar ringkikan
kuda yang disusul sama jeritan kesakitan hebat dari dua orang.
Si pedagang kecil lantas saja tertawa. "Shako, kembali ada orang hendak curi
kuda twie-hong-ma'mu!" katanya.
Si cebol tertawa. "Itu namanya berbuat sendiri, makan sendiri hasilnya!" dia
bilang. Wanyen Lieh segera melongok ke bawah loteng, tampak dua orang tengah mengoser
sambil merintih. Pengurus dari Cui Sian lauw tertawa, kata dia pada dua orang yang bercelaka itu:
"Kamu bangsat-bangsat luar kota, kenapa kamu tidak dengar-dengar dulu namanya
Han Samya" Bagus, ini namanya benturkan kepala dato...! Hayo lekas naik ke loteng
untuk minta ampun!" Di bawah loteng itu ada lagi orang-orang yang berbicara, satu antaranya
mengatakan: "Kuda Han Samya lihay melebihkan manusia, dua jentilan kakinya cukup
untuk dua pencuri ini..! Sedang seorang yang lain bilang, "Mereka datang ke Kee-
hin untuk mencuri, sungguh mereka sudah bosan hidup!"
"Rupanya mereka hendak mencuri kuda lalu kena kuda jentil" pikir Wanyen Lieh.
Kedua pencuri kuda itu mencoba merayap bangun,mulut mereka masih berkoak-koak
beraduh-aduh. Segare suara mereka itu bercampuran sama satu suara baru, ialah
tingtong-tingtong seperti besi mengadu dengan batu hinga orang pada memandang ke
jurusan dari mana suara itu datang.
Di tikungan jalan besar terlihat munculnya satu orang pengkor yang pakaiannya
rombeng dan tangan kirinya memegang sepotong tongkat besi dengan apa dia saban-
saban memukul batu-batu yang menggelari jalan besar itu. Maka teranglah ia
seorang buta. Sungguh celaka, selagi bercacat di bawah, dia pun bercacat di
atas, hingga ia mesti gunai tongkat besinya untuk mencari jalanan untuk sekalian
menunjang diri. Sudah begitu, dipundak kanannya ia ada menggendol semacam
senjata peranti memburu, yang ujungnya dibanduli seekor macan tutul. Ia
mendatangi dengan tindakan dangklak-dingkluk.
Wanyen Lieh menjadi bertambah-tambah heran. "Belum pernah aku dengar orang picak
lagi pengkor pandai berburu binatang hutan, malah ia dapat membinasakan seekor
harimau..." pikirnya.
Si pengkor merangkap buta ini rupanya telah dengar pembicaraan orang banyak itu.
"Bagian anggotanya yang mana yang kena didupak kuda?" dia tanya, suaranya parau.
"Tekukan dengkul kiri," sahut salah satu pencuri kuda itu.
"Hm!" si buta pendengarkan suaranya, berbareng dengan mana dengan tiba-tiba ia
totok pinggangnya si pencuri, hingga dia ini berteriak kesakitan, mana dia
berkelit tetapi sudah kasep. Karena kesakitan, dia menjadi pentang mulutnya
lebar-lebar, "Hei pengemis bangsat, kau juga hendak main gila sama aku!" Dan ia
memburu sambil ulur tangannya untuk meninju.
Kalau tadi ini pencuri sakit kakinya sampai tak dapat digeraki, sekarang denagn
tiba-tiba sakitnya itu lenyap, maka setelah datang dekat si buta ia jadi berdiri
menjublak. tapi ia pandai berpikir, maka tangannya yang telah diangkat tinggi
segera dikasih turun pula, lalu lantas ia memberi hormat samil menjura.
"Terima kasih, Tuan orang pandai," katanya. "Aku bodoh, untuk kekasaranku
barusan, aku mohon diberi maaf." Segera ia berpaling kepada kawannya dan
berkata: "Saudara mari lekas, kau mohon toaya ini tolong obati padamu..."
Dengan meringis-ringis, pencuri itu bertindak denagn susah payah mendekati si
buta dan pengkor itu. "Toaya binatang itu dupak dadaku..." katanya, dengan suara susah.
Si buta pindahkan tongkatnya ke tangan kanan, dengan tangan kirinya ia usapi
dadanya pencuri itu, lalu mendadak ia kitik ketiak orang.
Pencuri itu kegelian, ia mencoba menahan karena mana ia jadi tertawa cekikikan.
Tiba-tiba ia merasa enak perutnya, lantas ia muntah beberapa kali, mengeluarkan
ludah lender. Hampir berbareng denagn itu, lenyap rasa sakit di dadanya itu.
Maka lekas-lekas ia jatuhkan diri untuk berkutut untuk manggut-manggut hingga
jidatnya berbunyi mengenai batu, mulutnya pun mengecoh: "Oh yaya yang sakti,
sungguh...." Si buta tidak menggubris pencuri itu, ia hanya bertindak memasuki restoran itu,
terus mendaki tangga loteng.
"Sungguh hari ini aku sangat beruntung!" kata Wanyen Lieh dalam hatinya. "Diluar
dugaanku, aku dapat menemui orang-orang berilmu..."
Sampai di atas loteng, si buta lemparkan macan tutulnya ke lantai. "Jongos,
cepat kau urus macan ini!" ia perintahkan. "Tulang-tulangnya kau godok menjadi
kuwah yang kental! Hati-hati supaya kulitnya tidak sampai kena terpotong rusak!"
Satu jongos menyahuti, lalu bersama dua kawannya, ia gotong pergi macan tutul
itu. Tapi si buta menunjuk kepada Wanyen Lieh seraya ia berkata pada si jongos:
"Kau mesti potongi dagingnya barang dua kati, kau suguhkan itu tuan untuk dia
mencicipi rasanya..."
"Ya...ya..." sahut si jongos itu.
Wanyen Lieh sendiri menjadi sangat terkejut. "Kenapa ia dapat melihat aku"
Apakah dia bukan buta benar-benar?" dia berakta di dalam hatinya.
Ketika itu semua orang yang telah datang terlebih dahulu, yang tengah duduk
lantas bangkit bangun. "Toako!" mereka berseru. Lalu si nelayan wanita bertindak ke meja nomor satu di
sebelah timur, berdiri di samping kursi, ia tepuk-tepuk kursi itu seraya
berkata: "Toako, di sini kursimu!"
"Baik!" menyahuti si buta itu. "Apakah jietee masih belum sampai?"
"Jieko sudah tiba di Kee-hin, sekarang sudah waktunya ia sampai disini" sahut
orang yang potongannya seperti pembantai itu.
Sembari berbicara, si buta bertindak ke mejanya. di mana ia duduk di kursi yang
ditepuk-tepuk oleh si nona nelayan.
Menyaksikan perbuatan si nona, mengertilah Wanyen Lieh bahwa si buta benar-benar
tak dapat melihat. Rupanya ia membutuhkan suara apa-apa untuk ketahui ke mana ia
mesti pergi. Segera putra raja Kim itu ambil keputusannya untuk ikat perkenalan dan
persahabatan dengan orang-orang kangkouw yang aneh ini. Ia pun segera berbangkit
dari kursinya. Hanya tepat ia hendak bertindak, guna hampiri si buta, guna
hanturkan terima kasihnya, untuk daging yang dibagikan kepadanya - yang mana ada
alasan bagus sekali untuk berkenalan - tiba-tiba ia dengar tindakan kaki yang
bersepatu kulit di undakan tangga loteng. Tindakan itu ada seperti separuh
diseret. Ia menjadi heran pula, maka ia lantas berbalik dan memandang.
Yang pertama muncul di mulut tangga loteng adalah sehelai kipas kertas minyak
yang gagangnya dekil, kipas itu dikipaskan beberapa kali, habis itu menyusul
munculnnya satu kepala orang yang digoyang-goyang, ialah kepalanya satu
mahasiswa melarat. dan Wanyen Lieh segera kenali orang yang tadi ia ketemui di
waktu lenyap uangnya. "Mungkin dia inilah yang curi uangku..." ia menerka-nerka. Hatinya lantas menjadi
panas. Justru begitu, si mahasiswa itu mengawasi ke arahnya, bibirnya
tersungging senyum, mukanya bertekukan menggoda, setelah mana ia menegur semua
orang yang telah hadir di situ. Dia benar-benar yang dimaksudkan si jietee atau
jieko, saudara yang kedua.
"Semua mereka lihay, bentrok dengan mereka tiada untungnya," Wanyen Lieh
berpikir. "Baiklah aku lihat gelagat dulu..." Maka ia berdiam terus.
Si mahasiswa sudah lantas tenggak araknya, lalu menggoyang-goyang pula
kepalanya, dari mulutnya keluar suara yang bersenandung: "Uang tidak halal.....
lepaskan dia....Thian yang maha kuasa...umbar adatnya!"
Bab 4. Mengadu Kepandaian
Sembari bernyanyi si mahasiswa melarat ini meragoh sakunya, berulang-ulang, dan
setiap kali ia menarik keluar tangannya, jeriji-jeriji tangannya tentu ada
menjepit potongan-potongan uang perak sampai jumlahnya semua belasan potong,
baharu berhentilah ia merogoh sakunya.
Meluap hawa amarahnya Wanyen Lieh akan melihat uang perak itu yang ia kenali
adalah kepunyaannya yang hilang lenyap itu, akan tetapi ia mencoba sebisa-
bisanya untuk mengatasi dirinya, sebab berbareng dengan itu, ia heran tidak
kepalang. "Dia Cuma tepuk pundakku dengan kipasnya, mengapa ia bisa curi uangku?" demikian
ia berpikir tak habis herannya. "Sungguh kepandaian yang lihay........"
Si nona nelayan tertawa bergelak melihat uang sebanyak itu. "Jiko, hari ini kau
beruntung!" serunya. "Tidak tahu siapa yang apes malang...."
Si mahasiswa melarat itu pun tertawa. "Citmoay, aku ada punya semacam tabiat
buruk yang kau telah ketahui!" katanya.
"Oh, aku tahu!" sahut si nona. "Kembali mengenai negeri Kim, bukankah?"
Mahasiswa itu mengipasi uang di depannya dengan tak hentinya. "Uang orang bangsa
asing ada sedikit berbau tetapi uang itu masih dapat digunai!" katanya.
Mendengar itu semua kawannya itu tertawa terbahak-bahak.
Wanyen Lieh heran bukan kepalang. "Aku menyamar sebagai orang Han, mirip sekali,
cara bagaimana ia masih mengenali aku?" dia tanya dirinya sendiri. Lantas dia
gapekan pelayan untuk bisiki padanya: "Semua tuan-tuan ini akulah yang undang
berjamu..." Dia pun lantas keluarkan dua potong emas, yang ia letaki di atas meja.
"Dan kau bawa dulu kepada kuasamu, untuk dititipkan!" katanya pula.
Si buta tidak awas matanya akan tetapi kupingnya jeli luar biasa, tidak peduli
orang berbisik, dan jarak mereka jauh pula, ia dapat mendengarnya, maka dengan
itu lantas ia serukan kepada sudara-saudaranya. "Saudara-saudara ada orang yang
mentraktir kita, maka kamu dahar dan minumlah dengan puas!"
Si mahasiswa menoleh kepada Wanyen Lieh, matanya menyapu, lalu ia mengangguk-
angguk, akan tetapi sembari tertawa, ia bertanya pula: "Mana si wanita baik-baik
yang kau perdayakan?"
Wanyen Lieh sudah putuskan untuk tidak menimbulkan kerewelan, ia lantas
berpaling ke lain jurusan, ia berpura-pura tidak mendengar pertanyaan itu.
Walaupun demikian hatinya tetapi berkerja. Di situ ada sembilan buah meja,
sekarang baharu datang tujuh orang, dari itu masih lebih dua meja yang masih
kosong. Siapa lagi dua tetamu itu" Bukankah tujuh orang yang bakal jadi tuan
rumah" Sampai itu waktu, barang hidangan masih belum disajikan, baharu arak saja yang
dikeluarkan, maka tujuh orang itu Cuma tenggak air kata-kata.
Tengah putra raja ini berpikir, ia dengar datangnya suara memuji dari bawah
loteng: "Amitabha Buddha!" Suara itu sangat jernih dan tedas, nyata terdengar
hingga ke atas loteng. "Nah, Ciauw Bok Taysu tiba!" seru si buta yang terus berbangkit, perbuatan mana
diikuti oleh enam kawannya: Dengan sikap menghormati mereka berdiri untuk
menyambut orang yang baharu tiba itu, yang baharu suaranya terdengar.
"Ambithaba Buddha!" kembali terdengar pujian, dan sekarang itu disusul sama
munculnya satu tubuh kurus kering bagaikan pohon mampus, tetapi yang tindakannya
cepat pesat seperti ia tidak menginjak lantai.
Wanyen Lieh melihat satu pendeta usia empat puluh lebih, yang berkerebong jubah
kasee merah dengan lapis dalamnya jubah kuning, sedang tangannya memegang
sepotong kayu, yang ujungnya telah hitam bekas terbakar. Tak tahu ia apa
faedahnya puntung kayu itu.
Pendeta itu dan tujuh saudara tersebut saling memberi hormat dan saling menegur,
habis itu si mahasiswa melarat pun pimpin tetamunya ke sebuah meja yang kosong
untuk silahkan ia duduk. Si hweshio menjura, dia berkata: " Orang itu telah datang menyatroni, siauwceng
merasa bahwa siauwceng bukanlah tandingannya, maka itu siauwceng bersyukur yang
liat-wie telah sudi membantu. Budi yang besar ini, walaupun tubuhku hancur
lebur, tak dapat siauwceng membalasnya."
Pendeta itu ialah Ciauw Bok Taysu, merendahkan diri. Ia menyebutkan dirinya
"siauwceng" si pendeta yang kecil rendah.
"Harap kau tidak sungkan, Ciauw Bok Taysu," berkata si buta. "Kami tujuh
bersaudara pun berterima kasih kepadamu yang biasa melimpahkan kebaikan terhadap
kami. Tentang orang itu, dia memang sangat aguli kepandaiannya, tanpa sebab
tanpa alasan, dia mencari gara-gara terhadap taysu. Dengan perbuatannya itu,
mana dia pandang mata lagi kaum Rimba Persilatan di Kanglam ini" Karena
kejumawaannya itu, meskipun dia tidak musuhkan kau, taysu, kita bersaudara pasti
tak mau sudah saja..."
Belum lagi habis suaranya si buta ini, di tangga loteng telah terdengar suara
yang sangat berat dan nyaring, seperti ada sesuatu yang mendaki, mungkin itu
bukan suara gajah tetapi sedikitnya kerbau.... Menyusul itu pun lantas terdengar
suara kaget dari kuasa ciulauw serta jongosnya: "Benda begitu berat mana dapat
dibawa naik ke atas...! Eh, lantai loteng nanti kena bikin dobol...! Lekas, lekas
cegah dia, jangan kasih dia naik!"
Suara berat itu tapinya terdengar terus, disusul mana patahnya sehelai papan
undakan tangga, akan kemudian disusul sama mengerekeknya dua helai papan undakan
lainnya. Bagaikan orang yang matanya kabur, Wanyen Lieh segera melihat munculnya satu
tojin, satu imam yang tangannya menyangga sebuah jambangan perunggu yang besar
sekali, yang mana dibawa naik ke loteng sambil imam itu berlompat, hingga dengan
begitu - rupanya - tak usah dia bertindak lagi di undakan tangga. Dan untuk
kagetnya putra raja Kim ini, ia kenali si imam adalah Tiang Cun Chu Khu Cie Kee
atau Tiang Cun Cinjin! Wanyen Lieh ini mendapat tugas dari ayahnya menjadi utusan bangsa Kim ke
Tionggoan, kepada kerajaan Song. Dia pun bercita-cita besar sekali, maka itu dia
sudah lantas berhubungan sama menterinya kerajaan Song untuk dijadikan si
menteri serta konco-konconya sebagai alat untuk menyambut dari dalam bila sudah
waktunya ia turun tangan. Utusan Song yang datang dari Yankhia menemani dia
sepanjangn jalan, Ong To Kian, karena keserakahannya sudah terima sogokan besar
dan berjanji suka bekerja sama, utusannya ini telah rela akan menakluk dan
menjadi hambanya kerajaan Kim. Dan menteri yang bekerjasama dengan Wanyen Lieh
adalah Perdana Menteri Han To Cu. Girang sekali ini putra raja Kim menampak
ikhtiarnya telah berjalan baik sekali. Hanya kemudian ia menjadi sangat kaget
akan mendapatkan Ong To Kian mati terbunuh secara gelap, kepalanya hilang
berikut hati dan jantungnya. Han To Cu juga kaget dan ketakutan karenanya, dia
khawatir sekali rahasianya nanti bocor. Oleh karena ini, untuk menjaga diri
turun tangan terlebih dahulu, ingin ia merubuhkan menteri atau panglima yang
paling keras kepala hendak melawan negara Kim. Yang pertama ia ingin singkirkan
adalah Sien Kee Ci, Kepala dari Cip-eng-thian dan pengurus Ciong-yu-koan.
Sebenarnya menteri ini tidak berkuasa atas pemerintahan, ia hanya pandai silat
dan surat berbareng dan kesetiaannya terhadap negara adalah luar biasa, dia
sangat mengharap dapat membangun pula kerjaan Song hingga menjadi jaya seperti
semula, sedang rakyat umumnya mengandal padanya. Kalau Han To Cu anggap paling
baik mengirim orang untuk membunuh menteri itu, adalah Wanyen Lieh menghendaki
menawan terlebih dulu pembunuhnya Ong To Kian, guna mengompes dia, kalau
mendapat tahu siapa yang menitahkan dia melakukan pembunuhan yang hebat itu.
Wanyen Lieh tahu, tidak dapat ia mengandal saja kepada pihak Song, dari itu ia
tugaskan enam atau tujuh pengawal pribadinya dari Lim-an. Rombongan ini dapat
menyandak Khu Cie Kee di Gu-kee-cun, hanya apa lacur mereka menghadapi musuh
yang terlalu tangguh untuk mereka. Wanyen Lieh sendiri belum sampai turun tangan
atau pundaknya telah terkena panah, hampir ia tak dapat lolos seperti orang-
orangnya, syukur ia ditolong oleh Pauw Sek Yok. Ia lari ke istananya Han To Cu,
untuk sembunyikan diri sambil berobat. Sementara itu, ia lantas tak dapat
melupai Pauw-sie, yang ia anggap cantik dan manis, meskipun sebagai putra raja,
ia telah melihat banyak wanita elok. Setelah sembuh dari lukanya, ia perintahkan
orang untuk selidiki tentang Pauw-sie itu, sesudah itu, ia minta Han To Cu


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengirim orang untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, sedang ia sendiri
menyamar sebagi orang baik-baik sebagai penolong nyonya yang ia gilai itu. Pauw-
sie tidak tahu akal muslihat orang, ia menyangka pemuda itu bermaksud baik, suka
ia mengikuti, maka di luar tahunya sendiri, dia telah jatuh ke dalam genggaman
putra raja Kim itu. Demikian Wanyen Lieh, bukan main kagetnya ia akan tengok Khu Cie Kee, sampai ia
tak dapat menguasai dirinya lagi, tanpa merasa ia membuatnya terlepas dan jatuh
sepasang sumpit yang ia lagi pegang. Syukur untuknya Khu Cie Kee tidak kenali
padanya, sebab tempo ia diserang dengan panah, ia belum terlihat nyata, dia
sudah lantas jatuh terguling, dan sekarang, imam itu lagi menghadapi Ciauw Bok
Taysu serta tujuh orang luar biasa itu, ia tidak perhatikan putra raja itu.
Lega juga hatinya Wanyen Lieh apabila selang sekian lama ia dapatkan itu imam
tidak perhatikan padanya, pikirnya orang itu telah tidak kenali dia. Hanya
dilain pihak, ia terkejut bukan main apabila ia sudah kenali jambangan perunggu
yang dibawa-bawa si imam itu. Itu bukan jambangan biasa hanya tempat pembakaran
kertas emas dalam kuil, yang beratnya tiga atau empat ratus kati, yang sekarang
diisikan penuh dengan arak, hingga beratnya bertambah, melainkan di tangan si
imam, nampaknya enteng sekali, imam ini seperti tidak menggunai tenaga. Akan
tetapi, setiap kali si imam bertindak, tentu lantai loteng perdengarkan suara
meletek nyaring, suatu bukti dari beratnya jambangan itu, sedang dibawah loteng,
orang ribut ketakutan dan pada lari keluar, ke jalan besar, tak terkecuali si
kuasa restoran, jongos-jongos dan koki-koki. Semua mereka itu khawatir loteng
ambruk dan mereka nanti ketimpa.
"Benar-benar toheng telah dapat mencari siauwceng hingga ke mari!" terdengar
suaranya Ciauw Bok Taysu keras tetapi dingin. "Sekarang mari siauwceng
perkenalkan dahulu kau dengan Kanglam Cit Koay!"
Khu Cie Kee menjura membungkuk tubuh. "Barusan pinto berkunjung ke kuil taysu,"
ia berkata , "Disana ada pesan untukku, katanya taysu undang pinto datang ke Cui
Sian Lauw ini untuk membuat pertemuan. Dengan lantas pinto meikir-mikir, mungkin
taysu mengundang sahabat-sahabat, buktinya benarlah dugaan pinto itu. Sudah lama
pinto dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay, sekarang kita dapat bertemu,
sungguh pinto merasa sangat beruntung! Nayatalah pengharapanku seumur hidup
telah kesampaian." Ciauw Bok Taysu tidak menjawab si imam, hanya berpaling kepada tujuh kawannya
yang ia sebutkan Kanglam Cit Koay itu - Tujuh Manusia aneh dari kanglam - dan
menunjuk kepada si imam, ia memperkenalkan: " Ini dia Totiang Tiang Cun Cu Khu
Cie Kee yang tuan-tuang telah lama kagumi nama besarnya!" Kemudian tanpa tunggu
sesuatu dari Kanglam Cit Koay itu seraya menunjuki si buta melanjuti: "Inilah
tertua dari Cit Koay, yaitu Hui Thian Pian-hok Kwa Tin Ok. Dan ini ialah...."
Lalu dengan terus-terusan ia perkenalkan enam orang lainnya, selama mana, selama
ia menyebutkan setiap nama Khu Cie Kee menjura kepada orang-orang yang
diperkenalkan itu. Selagi orang diajar kenal, Wanyen Lieh memasang kuping dan matanya, ia kerjakan
otaknya akan mengingat baik-baik nama Kanglam Cit Koay itu. Selain Kwa Tin Ok
yang berjuluk Hui Thian Pian-hok, si Kelelawar Terbangkan Langit, yang kedua ialah si mahasiswa melarat yang mencuri atau mencopet uangnya adalah Biauw Ciu
Sie-seng Cu Cong, Mahasiswa Tangan Lihay. Orang yang datang paling dulu ke
restoran yaitu si kate terokmok yang menunggang kuda jempolan, adalah Ma Ong Sin
Han Po Kie atau si Malaikat Raja Kuda. Dia inilah yang tiga. Si orang tani yang
membawa-bawa pikulan adalah orang yang keempat, ialah Lam San Ciauw-cu Lam Hie
Jin atau si Tukang Kayu dari Lam San (Gunung Selatan). Yang kelima yang tubuhnya
kekar tegap mirip sebagai pembantai adalah Siauw Mie To Thio A Seng atau si
Buddha Tertawa. Yang keenam adalah orang yang mirip pedagang, namanya Coan Kim
Hoat, gelarannya Lauw-sie In Hiap atau Pendekar Sembunyi di Kota. Si nona
nelayan adalah Wat Lie Kiam Han Siauw Eng, atau si Ahli Pedang Gadis Wat, ialah
yang termuda dari Kanglam Cit Koay.
Selama Ciauw Bok Taysu memperkenalkan, Khu Cie Kee tetap pegangi tempat araknya
yang istimewa itu, sama sekali ia ia tak nampak lelah, sedang beberapa orang
yang melihat tak terjadi kecelakaan sesuatu, dia-diam mendaki loteng untuk
bicara. Katanya: "Kami menonton"
Habis perkenalan itu, Kwa Tin Ok mendahulukan bertujuh saudaranya untuk
berbicara, "Sudah lama kami mendengar Totiang lihay ilmu silatnya, baik ilmu
silat tangan kosong maupun bersenjatakan pedang, tidak ada tandingannya, hingga
kami sangat mengaguminya. Sementara itu, ini Ciauw Bok Taysu juga adalah satu
sahabat sejati, maka walaupun totiang berdua ada dari dua golongan yang
berbedaan, satu Hud-kauw yang lain To-kauw, tetap kedua-duanya adalah orang-
orang Rimba Persilatan. Oleh karena itu, kami tidak tahu, dalam hal apakah Taysu
telah berbuat salah terhadap Totiang" Umpama kata Totiang sudi memandang muda
kami bertujuh saudara, ingin sekali kami menjadi juru pendamai, supaya
perselisihan dapat disingkirkan, untuk kita minum arak bersama. Sudikah kau
Totiang?" "Sebenarnya pinto dengan Ciauw Bok Taysu tidak kenal satu dengan lain dan kita
juga tidak punya dendaman dan tidak punya permusuhan," menyahut Khu Cie Kee,
"Oleh karena itu asal Taysu sudi menyerahkan dua orang kepada pinto, pastilah
lain hari akan pinto pergi berkunjung ke Hoat Sian Sie untuk menghanturkan
maaf." "Siapakah orang yang harus diserahkan?" tanya Kwa Tin OK.
"Dua sahabatku," sahut Tiang Cun Cu, menerangkan. "Mereka telah difitnah dan
dicelakai oleh pembesar negeri yang bekerjasama dengan tentera bangsa Kim, tidak
beruntung untuk mereka, mereka telah mendapatkan kebinasaannya hingga mereka
mesti meninggalkan janda mereka yang tidak ada lagi sanderannya, hingga mereka
mesti hidup sengsara sebatang kara. Lihat, Kwa Tayhiap, pantas atau tidak
permintaan pinto ini?"
"Jangan kata mereka adalah jandanya sahabat-sahabat totiang," sahut si buta,
"Walaupun mereka adalah orang-orang yang tidak dikenal, asal kami ketahui
perkaranya itu, pasti kami akan bekerja sekuat tenaga untuk menolongi mereka,
Untuk itu kami tak bakal menampik lagi."
"Jelas!" seru si imam. "Sekarang ini pinto menghendaki Ciauw Bok taysu
menyerahkan itu dua orang wanita yang bersengsara dan harus dikasihani itu!"
Mendengar itu bukan hanya Kanglam Cit Koay yang heran melainkan juga Wanyen Lieh
si putra raja Kim itu. "Mustahilkah dia bukannya menyebutkan istri-istrinya Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw
Thian atau wanita yang lain?" berpikir putra raja asing ini.
Mukanya Ciauw Bok taysu menjadi kuning pucat, tak dapat ia membuka mulut. "Kau...
kau...ngaco belo!" serunya kemudian.
Khu Cie Kee menjadi gusar. "Kau juga orang Rimba Persilatan yang kenamaan,
bagaimana kau berani melakukan kejahatan semacam ini?" ia menegur dengan bengis.
Lantas ia ayun tangan kanannya, hingga tempat pembakaran kertas perunggu itu
yang beratnya ratusan kati terbang menyambar ke kepalanya si pendeta.
Semua orang menjadi kaget, mereka yang tadinya datang menonton dengan diam-diam
pada lari mundur hingga mereka saling tabrak dan terguling jatuh ke tangga
loteng. Di antara Kanglam Cit Koay adalah Tio A Seng yang tenaganya paling besar,
percaya ia sanggup menanggapi jambangan itu, ia lantas lompat ke depannya Ciauw
Bok Taysu, untuk mendahului jambangan itu yang terus ia sambuti dengan kedua
tangannya sambil berbuat mana ia berseru: "Bagus!" Akan tetapi dia mesti pasang
kuda-kuda teguh sekali, sedang lantai loteng tak demikian kuat, maka dengan
menerbitkan suara kaki kirinya melesak mendam, hingga orang-orang di bawah
loteng menjadi kaget dan semuanya menjerit.
Di dalam saat yang berbahaya itu karena kakinya bisa kejeblos terus, lekas-lekas
Thio A Seng kerahkan tenaganya, untuk ayun balik jambangan itu ke arah Tiang Cun
Cu. Itulah gerakan "Twie chong bong goat" - "Menolak daun jendela untuk
memandangi si putri malam".
Khu Cie Kee ulur tangan kanannya, dengan tenang ia menyambuti. "Kanglam Cit Koay
bukan bernama kosong saja!" ia memuji sambil tertawa. Ia tapinya tertawa
sebentar, segera wajahnya menjadi bermuram pula. Kembali ia pandang si pendeta
dan membentak dengan pertanyaan: "Bagaimana denagn dua wanita yang bercelaka
itu" Hai, pendeta jahanam, jikalau kau ganggu selembar saja rambut mereka itu,
akan aku patah-patahkan hingga menjadi abu semua tulang-tulangmu dan akan bakar
musnah hingga menjadi tanah putih kau punya kuil Hoat Hoa Sian Sien itu!"
Cu Cong tidak lantas dapat mempercayai kata-kata imam itu. "Ciauw Bok Taysu
adalah satu pendeta beribadat," katanya sambil tangannya mengipas-ngipas dan
kepalanya di geleng-geleng. "Cara bagaimana dia dapat melakukan perbuatan sekeji
itu" Totiang, mestinya kau telah keliru dengar omongannya segala manusia rendah!
Itu ngaco belo, pasti tak dapat dipercaya!"
Khu Cie Kee menjadi mendongkol. "Pinto menyaksikan itu dengan mataku sendiri,
bagaimana bisa jadi dusta"!" dia berkata.
Kanglam Cit Koay melengak semuanya.
"Taruh kata benar kau sengaja datang ke Kanglam ini buat untuk angkat namamu,"
akhirnya Ciauw Bok Taysu dapat buka mulutnya, "Kenapa untuk itu kau mesti
menodai nama baikku" Kau...kau...kau pergilah ke seluruh kota Kee-hin untuk
menyelidiki! Mana bisa aku, Ciauw Bok Taysu, melakukan perbuatan semacam itu"!"
Cie Kee tertawa mengejek. "Bagus betul yah!" katanya dingin, "Kau telah undang
banyak kawan, kau memikir menggunai jumlah yang banyak untuk mendapatkan
kemenangan! Tidak, hari ini tidak nanti aku beri kau lolos!"
"Sabar Totiang!" Kwa Tin Ok memotong. "Totiang menuduh Taysu menyembunyikan
kedua nyonya itu, Taysu sebaliknya menyangkal, inilah sulit. Mari kita bersama
pergi ke Hoat Hoa Sian Sie, untuk melihat sendiri guna buktikan siapa sebenarnya
yang benar, siapa yang salah! Mataku menang tidak dapat melihat akan tetapi
orang-orang di sini tidak buta semuanya"
Cu Cong berenam memberikan persetujuan mereka.
"Apa" Menggeledah kuil?" kata Khu Cie Kee dengan tawar. "Pinto sudah
menggeledahnya di luar dan di dalam, sampai beberapa kali, tetapi walaupun pinto
melihatnya dengan mataku sendiri kedua nyonya itu masuk ke situ, buktinya mereka
tidak kedapatan, hingga pinto habis daya! Tidak ada jalan lain daripada si
pendeta serahkan mereka itu!"
"Jadinya dua wanita itu bukannya manusia!" berkata Cu Cong.
Khu Cie Kee melengak. "Apa" katanya.
Dengan sikapnya yang wajar, Cu Cong menyahuti: "Mereka itu ada bangsa dewi,
jikalau mereka bukannya menghilang tentunya mereka sudah menyingkir dengan ilmu
pinjam tanah!" Mendengar ini mau tidak mau, semua orang tersenyum.
Imam itu menjadi gusur. "Bagus! Kamu permainkan aku!" dia berseru. "Kanglam Cit
Koay pasti membantu pihak si pendeta, bukankah?"
Kwa Tin Ok jawab imam itu; "Kami tidak punya kepandaian sesuatu apa juga akan
tetapi untuk Kanglam ini nama kami terkenal juga sedikit. Mereka ynag kenal kami
semua dapat mengatakan sepatah kata: 'Walaupun Kanglam Cit Koay sedan-edanan
lagak lagunya, mereka bukannya manusia-manusia yang takut mampus.' Kamu tidak
berani menghina orang lain tetapi kami juga tak dapat mengijinkan orang lain
perhina kami!" Khu Cie Kee tidak ingin layani tujuh orang aneh dari Kanglam itu. "Perkaraku
dengan si pendeta, biarlah aku yang bereskan sendiri!" katanya kemudian.
"Maafkan pinto, tidak dapat pinto temani kau lebih lama! Eh, pendeta, mari
pergi!" Ia pun ulur sebelah tangannya, dengan niatan menarik si pengikut Buddha itu.
Ciauw Bok Taysu paham ilmu dalam Hoat Hoa Lam Cong, begitu ia kasih turun
lengannya, ia lolos dari cekalan si pendeta.
Ma Ong Sin Ho Po Kie bertabiat aseran, tak senang ia menampak orang mulai gunai
kekerasan. "Sebenarnya kau hendak gunai aturan atau tidak?" dia tegur si imam.
"Habis bagaimana, Han Samya?" imam itu membalik bertanya.
"Kami percaya habis Ciauw Bok Taysu, satu kali dia bilang tidak, pasti tidak!"
kata Cit Koay yang ketiga itu. "Seorang laki-laki sejati kangouw, mana ia dapat
bicara dusta"!"
Cie Kee nampaknya habis sabarnya. "Pinto cari pendeta ini, itulah sudah pasti!"
dia berkata. "Tuan-tuan bertujuh hendak campur tangan urusan ini, telah pastikah
itu?" "Tidak salah!" sahut Cit Koay serempak.
"Baik!" seru si imam. "Sekarang aku hendak memberi selamat kepada Tuan bertujuh
dengan seorang satu cawan arak, habis minum barulah Tuan-tuan geraki tanganmu!"
Habis berkata, imam ini kasih turun tangannya yang memegang jambangan arak itu,
dengan mulutnya sendiri, ia hirup arak satu ceglukan.
"Silahkan!" katanya habis menengak. Sembari berbuat begitu, ia ayun tangannya
kepada Siauw Mie To Thio A Seng.
Si Buddha tertawa sudah lantas berpikir.
"Jikalau aku sambuti jambangan seperti tadi, dengan dipegang dan diangkat di
atasan kepalaku, cara bagaimanaaku dapat meminumnya?" demikian katanya dalam
hati kecilnya. Meski begitu ia sudah lantas mundur dua tindak, kedua
tangannyaditaruh di depan dadanya. Tepat ketika jambangan menyambar ke dadanya,
ia pentang kedua tangannya itu. Ia bertubuh terokmok, dadanya itu penuh dengan
daging yang lembek, tetapi tempo jambangan itu sampai, ia kerahkan tenata
dalamnya, untuk sambut jambangan dengan kedua dadanya itu, berbareng dengan mana
kedua tangannya bergerak untuk memeluk jambangan. Adalah disaat ini dengan sebat
ia tunduk, mulutnya dikasih masuk ke dalam jambangan, menghirup arak di
dalamnya! "Oh, arak yang harum!" dia memuji. Dengan cepat ia lepaskan pelukannya, ia
pindahkan kedua tangannya ke bawah jambangan untuk dipakai menampa, sesudah mana
berbareng dia menolak dengan dadanya, kedua tangannya menolak juga dengan
gerakannya, "Sia ciang ie san" atau "Sepasang tangan memindahkan bukit". Maka
melesatlah jambangan itu ke arah Khu Cie Kee. Tenaga yang dikerahkan itu bukan
kepalang besarnya. Wanyen Lieh menyaksikam itu dengan kekaguman dan terkejut juga. Ia telah
menyaksikan suatu gerakan tenaga dalam dari Gwa-kee, ahli luar yang lihay
sekali. Khu Cie Kee dengan tenang sambuti pulang jambangannya itu dan ia menghirup pula.
"Sekarang aku hormati Kwa Toako dengan satu jambangan!" ia berkata pula,
berbareng dengan mana jambanganarak itu dilemparkan ke arah si buta.
Wanyen Lieh heran dan berkhawatir pula, tapi juga keras keinginan tahunya. "Cara
bagaimana dia dapat menyambutnya?" ia berpikir. "Sudah buta ia pun pincang...."
Kwa Tin Ok ada tertua Kanglam Cit Koay, pasti ada punya kepandaian yang
istimewa. Sekalipun senjata rahasia, ia dapat dengar suara sambarannya dan tahu
tepat arahnya, apapula sebuah jambangan yang besar yang anginnya seperti
menderu-deru. Diwaktu jambangan dilemparkan kepadanya, ia tetap duduk tetap dan
tenang seperti juga ia tidak mengetahuinya.
Wanyen Lieh berkhawatir sehingga hampir ia berseru sendirinya.
Tepat ketika jambangan sampai, Kwa Tin Ok sambut itu dengan tongkat besinya,
yang ia pakai menanggapi dasarnya jambangan itu, hingga jambangan jadi duduk di
ujung tongkat, duduk sambil berputaran seperti tukang dangsu tengah mengasi
pertunjukan. Satu kali tongkat itu miring, jambangannya turut miring juga. Hebat
kalau jembangan jatuh dan menimpah batok kepalanya si buta ini. Tapi jambangan
tetap tinggal miring, adalah araknya yang lantas meluncur keluar seperti
pancuran, atas mana Kwa Tin Ok buka mulutnya akan menanggapi. Maka dengangitulah
ia menengak arak, sampai belasan cegluk. Sesudah ini ia geraki pula tongkatnya,
membuat jambangan itu berdiri tetap lagi, hanya sekarang ia tidak lagi menunda
seperti tadi, tiba-tiba ia angkat naik tongkatnya dengan kaget, sampai jambangan
seperti mumbul, menyusul mana tongkat itu diputar, dipakai menolak tubuh
jambangan, sampai terdengar satu suara nyaring, berbareng dengan mana jambangan
itu bertolak balik kepada Khu Cie Kee. Selagi melayang jambangan itu masih
mengasi dengar suara menguwang.
Tiang Cun Cu tunjuki jempolnya, ia tertawa. "Diwaktu mudanya pasti Kwa Toako
gemar main putaran nenempan!" kata ia. Sembari bicara, ia sambut jambangan
araknya itu. "Diwaktu kecil, Siauwtee melarat, maka kepandaian ini dipakai modal mengemis
nasi," sahut Tin Ok dingin.
"Tentang seorang gagah tidak ditanya asal usulnya," berkata si imam. "Sekarang
hendak aku menyuguhkan Lam Sieko sejambangan arak!" Ia lantas menghirup pula
satu segluk, setelah mana jambangan itu ia lemparkan ke arah Lam Hie Jin.
Lam San Ciauw-cu si Tukang kayu dari Gunung Selatang ada pendiam tak doyan
berbicara, pada wajahnya tak tertera rasa girang atau murka, semikian juga kali
nini, sikapnya tenang dan wajar, kapan jambangan itu tiba kepadanya, ia angkat
kayu pikulannya untuk menahan itu sebelum jambangan turun. Kapan kayu pikulan
dan jambangan beradu, keduanya menerbitkan suara yang keras dan nyaring. Kayu
pikulan itu ternyata bukannya kayu melainkan sebangsa logam, yang terbuat dari
campuran hancuran tungsten, emas hitam dan baja pilihan, karenanya mejadi berat
dan kuat luar biasa. Begitu terbentur pikulan logam itu, jambangan berhenti
menyambar, lalu turun ke bawah akan tetapi belum lagi tempat arak istimewa itu
jatuh ke lantai, Hie Jin sudah sambar araknya dengan tangannya untuk disendok
dan dihirup. Jambangan itu tertahan pikulan dan terduduk di dengkulnya orang
aneh yang keempat ini, yang sudah lantas tekuk sebelah lututnya yang kiri. Habis
itu, dengan dibantu tangan kanan, jambangan itu diangkat, siap untuk dilemparkan
pulang!

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Belum lagi jambangan dikasih melayang pergi, terdengarlah tertawanya Lauw-sie In
Hiap Coan Kim Hoat, yang terus berkata: "Aku si pedagang kecil suka sekali
mendapat keuntungan oleh karenanya ingin aku tanpa menggunai banyak tenaga untuk
turut minum arak!" Ia segera menghampiri Lam Hie Jin, yang telah kasih turun
jambangan di tangannya, maka itu dengan sekali sendok saja, si Pendekar
Sembunyai di kota sudah turut mencicipi arak itu. Tapi ia tidak berlaku ayal.
Dengan cepat ia pasang kuda-kudanya, ia kerahkan tenaganya, maka dilain saat
jambangan itu sudah terangkat naik dan terlempar terapung kearah Khu Cie Kee.
"Bagus! Bagus!" Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong memuji seraja ia goyang-goyang
kipasnya. Tiang Cun Cu sambuti jambangannya itu, kembali ia mencegluk araknya. "Bagus!
Bagus!" ia pun turut memuji. "Sekarang pinto hendak menyuguhkan kepada Cu
Jieko!" Belum lagi jambangan itu dilemparkan, Cu Cong sudah berjingkrak bangun. "Ayo!
Tak dapat!" dia berseru. "Jangan! Aku si mahasiswa cilik tak punya tenaga
kekuatan untuk kata meringkus ayam, perutku tak dapat memuat segantang arak,
maka jikalau aku disuguhkan, umpama kata aku tidak mampus ketindihan, mungkin
aku bakal mati karena mabuk..."
Akan tetapi sia-sia saja ia unjuk roman ketakutan seperti kalap itu, jambangan
sudah lantas terbang melayang kearahnya.
"Tolong! Tolong!" dia berteriak-teriak selagi jambangan itu mengancam padanya.
"Orang bakal mampus ketindihan! Tolong!" Di mulut ia mengoceh tidak karuan,
kipasnya tapinya ia pakai untuk mencelup ke dalam jambangan, untuk sendok
araknya untuk bawa itu arak ke dalam mulutnya, kemudian dengan gagang kipas, dia
segera menahan turunnya jambangan itu, yang dia barengi tolak pergi.
"Brak!" demikian satu suara nyaring, dan lantai papan pecah bolong, membuatnya
satu lobang besar ke dalam mana tubuh si mahasiswa terjeblos masuk di waktu mana
terdengar jeritannya berulang-ulang: "Tolong! Tolong!"
Selagi jambangan mental balik, hampir tiba dimulut jendela, Wan Lie Kiam Han
Siauw Eng telah lompat menyusul. Nona ini dengan tiba-tiba menjejak dengan kaki
kanannya, tubuhnya lantas mencelat ke arah jendela, gerakkannya bagaikan burung
walet menyambar air; ketika ia berada di atas jambangan, kepalanya ditunduki ke
dalam jambangan itu, mulutnya lantas menyedot arak. Berbareng dengan itu kakinya
sudah lantas menginjak palang jendela. Lincah gerakannya itu, manis
dipandangnya. Ahli pedang Gadis Wat lihay ilmu pedangnya, enteng tubuhnya tetapi ia kurang
tenaga, maka itu, cacat itu ditambal dengan kelincahan dan kecerdikannya. Ia
insaf, kalau jambangan berat itu ditimpuki kepadanya - gilirannya memang bakal
tiba - tidak nanti ia sanggup menganggapnya, maka itu ia gunai ketika yang baik
ini untuk menengak arak tanpa tunggu Khu Cie Kee menyuguhkan kepadanya. Akal
cerdik semacam ini tadi pun telah digunai oleh Coan Kim Hoat, Cuma Lauw-sie In
Hiap menambahkan itu dengan memulangkan jambangan kepada Khu Cie Kee.
Jambangan itu tidak ada yang tahan, maka ia melintasi jendela, terus melayang
turun ke luar, ke bawah loteng. Semua orang terkejut, si imam sendiri tak
terkecuali. Kalau jambangan itu jatuh ke bawah loteng, pasti ada orang yang
bakal tertimpa dan menjadi korban.
Berbareng kaget, Tiang Cun Cu berniat lompat, akan mendahului jambangan itu,
guna mundurkan semua orang untuk mencegah kecelakaan yang tak dikehendaki
itu.Justru ia baru memikir, tapi kupingnya sudah dengar seruan keras tapi halus
nadanya: "Sian-cay!" Itu adalah suatu pujinya seorang penganut Buddha.
Berbareng dengan puji itu tubuhnya Ciauw Bok Taysu lompat melecat menyusuli
jambangan itu. Pendeta ini sangat beribadat dan murah hatinya, sekarang ia gunai
hasil latihannya beberapa puluh tahun, untuk korbankan diri, guna menolong siapa
yang dapat ditolong dari bencana ketimpa jambangan itu. Untuk itu ia perlu
mendahului jambangan, karena untuk mencegahnya dengan menahan, tak sanggup ia
melakukannya. Baru pendeta itu melewati jendela, lain orang telah dalui ia. Itulah seorang
dengan baju kuning yang sembari melompat, telah perdengarkan satu suara bersiul.
Mendengar siulan itu, kuda kuning di bawah loteng lantas saja lari ke jalan
besar di betulan mulut jendela loteng itu.
Semua mata segera diarahkan ke mulut loteng. Maka itu mereka dapat lihat benda
bagai segumpal daging yang seperti bentrok dengan jambangan, lalu keduanya jatuh
miring dengan berbareng, hingga tenaga turunnya menjadi berkurang. Tepat sekali
keduanya jatuh di bebokong kuda yang lalu lari beberapa tindak, lalu kembali
untuk terus lari masuk ke dalam ciaulauw dan mendaki loteng!
Selagi kuda itu beraksi, Ma Ong Sin Han Po Kie, ialah segumpal daging yang tadi
telah melayang menyambar jambangan sudah pernahkan dirinya dibawah perut kuda
itu, kaki kirinya menyantel pada sanggurdi, kedua tangannya dibantu kaki
kanannya menahan jambangan, hingga jambangan itu dapat duduk tetap di atas kuda.
Kemudian, sedangnya binatang itu mendaki loteng, Han Po Kie geraki tubuhnya
untuk naik sedikit, guna ulur kepalanya ke mulut jambangan, dengan begitu ia
jadi bisa berbareng mencicipi juga arak itu. Habis itu, dengan sekali sebat dan
cerdik, ia pondong jambangan untuk dikasih turun dari bebokong kuda, guna
diletaki di lantai loteng. Ia lakukan itu sembari tertawa, tangannya yang
sebelah mengedut les kudanya, atas mana binatang itu sudah lantas lompat lewati
jendela untuk turun ke bawah. Ia sendiri masih bercokol terus di bebokong kuda.
Maka selang sesaat, dengan bergandengan tangan bersama Cu Cong, sang kakak yang
kedua dengan keduanya sambil tertawa, mereka sudah mendaki loteng untuk kembali
ke atas loteng! Wanyen Lieh menyaksikan semua semua itu, ia ulur keluar lidahnya.
Ciauw Bok Taysu juga sudah lantas menyusul naik kembali ke loteng.
Khu Cie Kee tertawa, ia berkata: "Benar-benar Kanglam Cit tersohor bukan nama
belaka. Sesuatunya lihay sekali, pinto takluk! Sekarang, dengan memandang Tuan-
tuan bertujuh, pinto tidak hendak mempersulit pula kepada si pendeta, cukup asal
dia suka menyerahkan itu dua orang perempuan yang malang, yang harus
dikasihani..." "Tiang Cun Cu Totiang, inilah bagianmu yang tidak benar!" Kwa Tin Ok memotong.
"Ciauw Bok Taysu ini adalah seorang yang beribadat dari beberpa puluh tahun, dan
kuil Hoat Hoa Sin Sie juga adalah berhala kenamaan dalam kota Kee-hin ini, maka
itu bagaimana bisa jadi taysu dapat menyembunyikan wanita baik-baik dalam kuil
itu?" "Di kolong langit yang luas itu mesti ada manusia palsu yang menipu duni!"
berkata si imam dengan nyaring.
Han Po Kie menjadi gusar. "Dengan kata-katamu ini, Totiang, kau jadinya tidak
percaya pada kami"!" tanyanya.
"Aku hanya lebih mempercayai mataku sendiri!" sahut sang imam.
"Habis itu apakah yang totiang kehendaki?" Po Kie tanya pula.
"Urusan sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Tuan-tuan bertujuh," sahut
Cie Kee, "Akan tetapi Tuan-tuan tampaknya memaksa hendak mencampuri tahu, dengan
begitu teranglah Tuan-tuan terlalu andali kepandaiannya orang-orang lain! Tuan-
tuan pinto tolol, tetapi karena tidak ada jalan lain, terpaksa pinto mesti
mencoba denganmu untuk menetapkan siapa yang tinggi dan siapa yang rendah.
Umpama kata pinto tak dapat melawan, terserah saja kepadaTuan-tuan, apa saja
yang kamu hendak perbuat!"
"Jikalau sudah pasti totiang menghendaki demikian, silakan totiang tunjuki
caramu!" bilang Kwa Tin Ok.
Cie Kee berdiam sebentar, ia perdengarkan suara perlahan. "Kita berdua
sebenarnya tak saling dendam," dia bilang kemudian. "Pinto juga telah dengar
lama yang Tuan-tuan adalah orang-orang yang gagah mulia untuk wilayah Kanglam,
oleh karenanya jikalau kita gunai senjata, itu pasti bakal merusak kerukunan.
Pinto pikir baik diatur demikian saja..." Lantas ia teriaki si jongos untuk
siapkan empatbelas cawan arak yang besar.
Sejak tadi jongos-jongos umpatkan diri di bawah loteng, begitu dipanggil, lantas
satu diantaranya muncul dengan belasan cangkir yang diminta itu.
Cie Kee letaki jambangan arak di lantai, lalu satu persatu cawan dia keroboki ke
dalam arak itu, untuk isikan penuh semuanya, sesudah itu, empatbelas cawan
terisi arak itu diatur dalam dua baris di lantai itu.
"Pinto hendak adu kekuatan minum arak dengan tuan-tuanbertujuh," katanya
kemudian. "Tuan-tuan bertujuh minum satu cawan, pinto sendiri akan minum tujuh
cawan. Perjanjian kita ialah sampai habisnya isi jambangan ini, siapa yang tidak
sinting, ialah yang menang. Tidakkah cara ini bagus?"
Han Po Kie dan Thi A Seng adalah tukang tenggak susu macan, mereka mendahului
menyatakan akur. Akan tetapi Kwa Tin Ok berkata: " Kami bertujuh melawan satu,
umpama kami menang, itu tidaklah cara laki-laki! Totiang, baiklah kau sebutkan
lain cara!" "Cara bagaimana tuan dapat merasa demikian pasti akan memperoleh kemenangan?"
Tiang Cun Cu tegaskan. Wanyen Lieh pun heran sekali. Banyak cara untuk adu pibu, - adu kepandaian -
belum pernah ia dengar cara seperti itu. Taruh kata si imam kuat minum tetapi
berapakah besar perutnya" Dapatkah satu perutnya melawan perut tujuh orang"
Han Siauw Eng adalah yang termuda diantara Kanglam Cit Koay, ia pun polos dan
bersikap jantan, atas perjanjiannya si imam, ia tidak menawar lagi.
"Baiklah!" demikian katanya, "Mari kita adu minum arak dulu! Belum pernah aku
mendapati orang yang begitu memandang enteng kepada kami bertujuh, dan inilah
yang pertama kali!" Dan tanpa bersangsi lagi, ia jemput satu cawan dan jegluk
isinya. "Nona Han adalah jantannya wanita!" Khu Cie Kee puji nona itu. "Nah, Tuan,
Silakan!" Hampir berbareng enam manusia aneh lainnya dari Kanglam itu angkat cawannya
masing-masing dan mengiringnya seperti saudara angkat mereka yang bungsu, sedang
si imam pun tanpa banyak omong lagi, tenggak kering satu demi satu tujuh cawan
bagiannya. Lalu semua cawan diisi pula, lantas semua itu di cegluk habis!
Setelah cawan yang ketiga, Nona Han Siauw Eng segera merasakan bahwa ia bakal
tak sanggup minum terlebih jauh. Ia memang bukan tukang minum.
"Citmoay, mari kau wakilkan kau!" berkata Thio A Seng kepada adik angkatnya yang
ketujuh itu, yang ia lihat sudah lelah.
"Khu Totiang, boleh tidak aku diwakilkan?" tanya si nona kepada si imam. Sebagai
satu jantan, ia menanyakan dulu pikirannya si imam itu.
"Akur!" jawab Khu Cie Kee. "Siapa juga yang meminumnya sama aja!"
Maka itu, A Seng lantas wakilkan adiknya.
Si imam juga tenggak habis tujuh cawannya.
Kapan hendak dilanjuti giliran yang lain, Coan Kim Hoat tampaknya sudah
kewalahan. Khu Cie Kee sebaliknya. Duapuluh cawan telah ditenggak kering, ia
masih segar seperti biasa, air mukanya takberubah. Maka heranlah Kim Hoat yang
cerdik itu. "Dengan jebolnya aku dan citmoay, kita tinggalberlima," ia berpikir.
"Kelihatannya untuk mereka minum lagi tiga atau empat cawan, mereka tentu masih
sanggup. Dengan si imam, apakah ia masih bisa menghabisi lagi duapuluh cawan?"
Oleh karena ia pikir begini, Kim Hoat percaya pihaknya bakal menang. Tetapi
tiba-tiba saja ia terperanjat. Kebetulan ia melihat ke lantai, ia tampak lantai
dimana si imam berdiri menjadi basah. Ia lantas ingat sesuatu, ia segera bisiki
Cu Cong, "Jieko, coba lihat kakinya si imam!"
Cu Cong memandang ke tempat yang ditunjuki. "Hebat!" ia inipun berbisik. "Ia
gunai tenaga dalamnya memaksa arak turun ke kakinya..."
"Benar," Kim Hoat berbisik pula. "Begini lihay tenaga dalamnya, habis
bagaimana?" Cu Cong jadi berpikir. "Dengan dibantu tenaga dalamnya, lagi seratus cawan dia
minum, dia tidak bakal rubuh...." katanya.
Mereka itu sudah keringi pula cawan mereka yang lainnya. Sekarang lantai di
kakinya Khu Cie Kee tertampak barang cair mengembang dan mengalir. Lam Hie Jin
dan kawan-kawannya dapat lihat itu. Mereka tahu sebabnya itu, mereka kagumi si
imam untuk tenaga dalamnya yang sempurna itu.
Han Po Kie letaki cawannya di meja, hendak ia menyerah kalah.
Cu Cong lihat perbuatan adiknya itu, ia lantas mengedipi mata, tangannya sendiri
menyambar satu cawan yang besar, untuk di pakai itu menyendok arak.
"Khu Totiang," ia berkata, "Hebat tenaga dalammu, kami semua sangat
mengaguminya, akan tetapi dengan kami berlima melayani kamu, itu rasanya tidak
terlalu adil..." Cie Kee melengak. "Habis Cu Jieko memikir bagaimana?" dia tanya.
Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay tertawa. "Baiklah aku sendiri yang layani kau,
satu lawan satu!" sahutnya.
Cie Kee heran, begitu juga dengan pihak Kanglam Cit Koay. Lima orang sudahke
teter, bagaimana dia ini hendak melawan sendirian" Keenam Manusia aneh menjadi
heran, meskipun mereka tahu ini saudara yang kedua sangat cerdik dan licin.
Mereka berdiam, tetapi mereka duga saudara ini tentu ada akal muslihatnya.
"Kanglam Cit Koay sungguh hebat," kata Cie Kee kemudian. "Sekarang begini saja.
Cu Jieko, kau temani aku minum terus, setelah kandasnya ini jambangan , akan
pinto menyerah kalah. Tidakkah ini bagus?"
Arak di dalam jambangan perunggu itu tinggal separuh, meski begitu, isi itu
masih banyak, akan tetapi Cu Cong seperti tidak pedulikan itu. Begitulah ia
menantang. Ia tertawa ketika ia berkata: "Sebenarnya aku tidak kuat minum akan
tetapi tempo tahun lalu aku pesiar ke daerah Selatan, di sana aku pernah
menangkan beberapa makhluk yang lihay. Mari keringkan!"
Ia goyang-goyang kipasnya di tangan kanan, ujung bajunya yang kiri pun
dikibaskan, dengan sikap wajar itu, ia minum araknya, cawan demi cawan.
Cie Kee turut minum juga. "Apakah itu mahkluk yang lihay?" ia tanya.
"Satu kali aku telah pergi ke India," sahut Cu Cong. "Di sana putra raja India
seret keluar seekor lembu, dia menghendaki aku lawan kerbau itu minum arak yang
keras. Kesudahannya akulah yang menang!"
"Cis!" Cie Kee kasih dengar suaranya. Ia tahu orang bicara ngaco, dengan itu dia
dicaci sebagai kerbau. Dimana orang berpura-pura edan-edanan, tak dapat ia
bergusur. Ia heran juga menyaksikan orang kuat minum dan sikapnya tenang. Ia
telah perhatikan, orang bukannya mengerahkan tenaga dalam, tidak ada arak yang
merembas keluar.Hanya rada aneh, perut si Manusia aneh rada melendung.
"Mustahilkah perutnya bisa kempas dan bisa kembang, bisa dibuat main?" ia
berpikir. Selagi ia tetap belum mengerti, ia dengar orang berkata-kata pula.
"Pada tahun dulu aku telah pergi ke negeri Siam," kata Cu Cong itu. "Ah, di sini
lebih hebat lagi! Raja Siam telah suruh keluarkan seekor gajah putih yang besar,
aku disuruh lawan gajah itu minum arak! Binatang dogol itu telah sedot habis
tujuh jambangan! Totiang tahu, berapa jambangan aku tenggak habis?"
Tiang Cun Cutahu orang bergurau, hanya orang bicara secara wajar sekali,
sikapnya menarik hati. "Berapa jambangan?" dia tanya sekenanya.
Dengan tiba-tiba saja wajah Cu Cong menjadi sungguh-sungguh. "Sembilan
jambangan!" katanya, perlahan tetapi mengesankan. Ia tidak tunggu sampai orang
membilang atau menunjukkan sesuatu apa, terus ia sambungi dengan nyaring: "Mari
minum! Lekas, lekas!"
Lantas setelah itu, ia ngoceh pula, kaki dan tangannya digerak-geraki, saban-
saban ia tenggak araknya. Dikatakan mabuk, ia tidak sinting, dikatak gila, ia
tidak angot. Tentu saja, selama itu Khu Cie Kee mesti layani orang minum, hingga akhirnya
jambangan arak itu nampak dasarnya!
Imam itu segera tunjuki jempolnya. "Saudara Cu, kau benar satu manusia aneh!"
serunya. "Aku menyerah!"
Cu Cong awasi imam itu, ia tertawa. "Totiang minum dengan andalkan tenaga
dalam," katanya. "Aku" Lihatlah!"
Ia tertawa pula, bergelak-gelak lalu dengan sekonyong-konyongia lompat
jumpalitan ketika ia telah berdiri pula,tangannya mencekal sebuah tahang air,
kapan tahang air itu ia balingkan, bau arak tersiar menyampok hidung!
Orang kedua dari Kanglam Cit Koay sudah perlihatkan kelihayannya. Disitu ia
berhadapan dengan orang lihay akan tetapi tidak ada seorang juga yang lihat
darimana ia sembatnya tahang air itu! perutnya tinggal kempes, sebab semua arak
pindah ke dalam tahang air ini, yang sekian lama disembunyikan di bawah jubahnya
yang gerombongan. Wajahnya Khu Cie Kee menjadi berubah.
Cu Cong pandai mencuri dan mencopet, maka itu ia digelar sebagai Biauw Ciu Sie-
seng, si Mahasiswa Tangan Lihay. Dengan"Tangan Lihay" itu diartikan lihay
mencopetnya. Kepandaiannya itu menyembunyikan tahang air adalah kepandaian umum
di kalangan tukang sulap Tiongkok, suatu ilmu kepandaian turun temurun yang
hingga kini telah membuat kagum orang di Eropa dan kepulauan selatan. Mungkin
pembaca pernah menyaksikan pertunjukkan sulap semacam itu. Satu kali ia jungkir
balik, ditangannya ada sepelas ikan emas, dua kali ia jungkir balik di atas
pentes tambah semangkok air tawar, air mana dapat ditambah menjadi banyak. Dan
Cu Cong sekarang mengacau matanya Tiang Cun Cu dengan ilmu kepandaiannya itu.
Tentu saja si imam tidak menyangka orang bergurau secara demikian, ia jadi kena
dipermainkan. "Ah!" seru si imam kemudian. "Kepandaianmu ini toh tak dapatdibilang orang minum
arak"!" "Kau sendiri, Totiang, apakah kau juga minum arak?"si Manusia aneh membaliki.
"Arakku kumpul di dalam tahang, arakmu kumpul dilantai! Ada apakah


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

perbedaannya?" ia lantas jalan mundar-mandir sampai ia kena injak lantai yang
basah dengan araknya Khu Cie Kee, di situ ia terpeleset, tubuhnya rubuh
membentur tubuhnya si imam.
Khu Cie Kee segera menyambaruntuk pegangi tubuhnya orang itu.
Setelah dapat berdiri pula, CuCong lompat mundur, terus ia putar tubuhnya,
sembari berputaran, mulutnya perdengarkan suara: "Syair yang bagus, syair yang
bagus! Sejak jaman purbakala di pertengahan musim rontok.....rembulan gilang
gemilang.....Di Waktu tibanya angin yang sejuk...malam yang jernih terang........Suatu
hari.......udara membuatnya. Jalan susu bagaikan tenggelam....Ikan dan naga diempat
penjuru lautan.......mentereng seperti siluman air........."
Panjang nada syairnya. Khu Cie Kee heran hingga ia melengak.
"Itulah syairku yang kutulis di harian Tiong Ciu tahun yang lalu, yang masih
belum selesai," katanya di dalam hatinya. "Syair itu aku simpan, niatku adalah
untuk nanti meyambunginya, belum pernah aku perlihatkan orang syairku itu,
mengapa sekarang ia dapat mengetahuinya....?"
Lantas ia merogoh ke sakunya, untuk cari syairnya itu, tapi ia melengak pula.
Tak ada syair itu didalam sakunya itu!
Cu Cong seperti tidak ambil mumat orang terheran-heran, ia membeber kertas di
atas meja. Itulah kertas bermuatkan syair yang baru ia bacakan.
"Totiang lihay ilmu silatnya, tidak kusangka, kau juga pandai ilmu surat!"
katanya memuji, "Sungguh aku kagum....!"
"Bagus!" seru Cie Kee yang mengerti bahwa benar-benar ia telah dipermainkan
orang. Tentu saja ia sangat penasaran yang orang telah copet syairnya itu tanpa
ia merasa, "Kau benar-benar lihay! Sekarang pinto ingin mohon pengajaran...!"
Rupanya barusan selagi ia pura-pura terpeleset, selagi si imam pegangi dia,
Biauw Ciu Sie-seng gunai ketikanya untuk rogoh kantung si imam.
Tidak tempo lagi, sebelah tangan si imam melayang.
Cu Cong berkelit ke samping. "Totiang, benarkahkau berniat mencari keputusan
dengan kepalan dan kaki?" ia menegasi.
"Benar!" sahut si imam memberikan kepastian. Dan menyerang pula, kali ini tiga
kali beruntun serangannya itu,anginnya mendesir.
Thio A Seng lihat saudaranya sangat terdesak, sampai saudara itu sulit membela
dirinya, ia lompat untuk menghalang, sambil berlompat., ia menyerang ke dadanya
si imam. Khu Cie Kee dapat lihat serangan itu, ia lantas menangkis.
Bukan main kagetnya Siauw Mie To si Buddha tertawa. Tangkisan si imam itu
membuat tangannya sakit dan gemetaran, rasanya baal. Inilah lawan tangguh yang
pertama kali iapernah ketemukan.
Coan Kim Hoat bisa duga perasaan saudaranya itu. "Totiang, harap kau tak katakan
kami tak tahu aturan!" ia berkata sambil ia menggapekan kepada Lam Hie Jin dan
Han Siauw Eng, seraya ia melompat maju untuk menyerang.
Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan dan Wan Lie Kiam si Gadis
Watsudah lantas taati ajakannya saudaranya itu, Manusia Aneh yang keempat.
"Kamu majulah berdelapan!" menentang Tiang Cun Cu menyaksikan orang pada turun
tangan. "Jangan mengepul!" Kwa Tin Ok kata dengan dingin.
Khu Cie Kee tidak gubris sindiran itu, ia menyerang Lam Hie Jin dengan sebelah
tangan kirinya, atas mana Lam San Ciauw-cu menangkis dengan kedua tangannya,
yang dibawa ke depan dadanya. Hebat tangkisannya ini.
"Lam Sieya sungguh lihay!" si imam memuji mendapatkan tangkisan itu. Tapi justru
itu sekonyong-konyong wajahnya berubah. Ia pun segera berseru dengan ejekan:
"Bagus betul, kamu masih menjanjikan bantuan! Biar di sana ada ribuan tentera
dan tidak pandang itu di matanya!"
Thio A Seng merasa pihaknya diejek. "Kita ada tujuh bersaudara!" ia bilang.
"Untuk apa menjanjikan bantuan lagi"!"
Kwa Tin Ok tidak berpikir seperti saudaranya yang kelima itu. Ia cacat mata akan
tetapi kupingnya awas bukan main. Ia telah mendengar puluhan orang berlari-lari
mendatangi ke restoran itu, suara mana tercampur suara bentrokkannya senjata-
senjata tajam. Maka ia lompat berdiri.
"Semua mundur!" ia berseru. "Siapakan senjata!"
Thio A Seng semua segera lari balik ke tempat duduknya masing-masing, untuk
ambil senjata mereka masing-masing.
Hampir di waktu itu, di tangga loteng terdengarriuh tindakan kaki yang keras,
lalu beberapa puluh orang tertampak merubul naik.
Bab 5. Pertarungan Mati Hidup
Segera terlihat orang banyak yang naik ke loteng itu adalah serdadu-serdadu
bangsa Kim, sebagaimana mereka gampang dikenali dengan seragam mereka. Melihat
mereka itu, naik darahnya Khu Cie Kee. Ia hargakan Kanglam Cit Koay, ia
menyangka mereka itu diperdayakan oleh Ciauw Bok Hweshio, maka itu sampai
sebegitu jauh, ia layani mereka separuh main-main, akan tetapi sekarang tak
dapat ia atasi diri lagi. Sangking murkanya,ia tertawa terbahak-bahak.
"Ciauw Bok Hweshio! Kanglam Cit Koay!" ia berseru, "Walaupun kasih datang
tambahan tigaribu lagi serdadu berandal Kim, toya kamu masih tidak jerih!"
Han Po Kie gusar mendengar ejekan itu. "Siapakah yang kasih datang tentera
Kim"!" ia menegur.
Tentera Kim itu adalah tentera pengiringnya Wanyen Lieh. Mereka menanti sekian
lama putra raja mereka masih belum kembali, timbuk kekhawatiran mereka itu,
mereka lantas pergi mencari, kebetulan mereka dengar di Cui SianLauw ada orang
berkelahi, mereka datangi rumah makan itu. Lega hati mereka akan saksikan putra
rajamereka tidak kurang suatu apa pun, putra itu lagi duduk tenang di mejanya.
Mereka lantas menghampiri untuk memberi hormat.
Ketika itu pihak rumah makan baru siap dengan hidangan mereka yang terdiri dari
daging macam tutul, tidak peduli orang baru saja berhenti bertempur dan disitu
ada banyak serdadu bangsa Kim, mereka bawa naik barang hidangan itu untuk
disajikan disembilan meja dikecualikan mejanya Ciauw Bok Taysu, si hweshio,
pendeta yang pantang makan daging.
Hidangan untuk Wanyen Lieh pun disiapkan sekalian. Atas itu putra raja Kim itu
lantas berbangkit dari kursinya, guna menghampiriKwa Tin Ok, di depan siapa ia
memberi hormat, walaupun orang tak dapat melihat kepadanya.
"Terima kasih Kwa Toako!" ia mengucap. Dengan berani ia lantas memanggil "toako"
atau kakak. "Hm!" Khu Cie Kee perdengarkan suara di hidung selagi Hui Thian Pian-hok belum
sahuti orang asing itu. "Bagus! Bagus!" ia menambahkan. "Cukup sudah, maaf,
pinto tak dapat menemani lebih lama pula!"
Lantas ia angkat jambangan araknya, sambil membawa itu, iabertindak ke tangga.
Kwa Tin Ok lantas sudah bangkit berdiri. "Khu Totiang, jangan kau keliru
mengerti!" kata tertua darikanglam Cit Koay ini.
"Adakah aku keliru mengerti?" jawab si imam sambil jalan terus. "Kamu adalah
bangsa Enghiong, bangsa hohan, habis perlu apa kamu undang tentera bangsa Kim
untuk bantu kamu?" Dengan sengit si imam menjengeki orang adalahEnghiong dan hohan - orang-orang
gagah. "Kami tidak undang atau janjikan mereka itu," Kwa Tin Ok menyangkal.
"Aku juga bukanya si picak!" sahutKhu Cie Kee mengejek.
Tin Ok buta,ia paling benci orang mengatakan ia picak, maka itu sambil gerakin
tongkat besinya, ia lompat maju. "Kalau picak bagimana"!" tanyanya.
Tiang Cun Cu tidak ladeni si buta itu, sebaliknya ia layangkan tangannya yang
kiri, tepat mengenai batok kepalanya satu serdadu Kim, hingga tanpa suara
apapun, suara itu rubuh dengan kepalanya remuk, jiwanya terbang pergi.
"Inilah contohnya!" kata si imam kemudian. Lalu tanpa tunggu jawaban lagi, ia
ngeloyor ke tangga. Serdadu-serdadu Kim lainnya menjadi gaduh karena kebinasaan tidak karuan dari
rekannya mereka itu, mereka kaget dan gusar, beberapa diantaranya segera menikam
bebokongnya si imam dengan tombak mereka yang panjang.
Seperti bebokongnya ada matanya, Khu Cie Kee tangkis serang itu tanpa membalik
tubuhnya. Sambil manangkis tangannya menyambar, maka itu beberapa batang tombak
kena tercekal dan terampas.
Beberapa serdadu lagi hendak maju untuk mengulangi penyerangan.
"Jangan!" Wanyen Lieh segera mencegah. Dengan lantas ia berpaling kepada Kwa Tin
Ok beramai, untuk mengatakan: "Imam jahat itu tidak kenal undang-undang, tidak
kenal Tuhan, dia tidak usah dilayani! Tuan-tuan mari kita minum dulu, sembari
minum kita bicarakan daya untuk menghadapi dia!"
Kwa Tin Ok tidak tahu orang adalah orang bangsa Kim, maka tadi ia berlaku manis
budi dengan suruh jongos membagi daging macamnya, sekarang setelah mengetahui
orang bangsa apa, ia tak sudi melayani bicara. "Minggir!" ia membentak.
WanyenLieh heran. "Apa!" tanyanya.
"Toako kami menitah kau pergi!" Han Po Kie wakilkan kakaknya menyahuti, sembari
berkata ia gerakan pundak kanannya, mengenai kempolansi putra raja Kim itu,
hingga Wanyen Lieh lantas saja mundur beberapa tindak.
Kwa Tin OK semua lantas berlalu, turun di tangga loteng. Ciauw Bok Hweshio turut
mereka, Biauw Ciu Sie-seng jalan paling belakang, selagi lewat di samping Wanyen
Lieh, ia tepuk pundaknya putra raja Kim itu dengan kipasnya seraya bilang:
"Apakah kau telah jual itu orang perempuan yang kau tipu" Bagaimana kalau kau
jual dia padaku" Hahaha!" Dan terus ia ngeloyor turun.
Wanyen Lieh terkejut. Ia ingat pada pengalamannya yang pertama. Maka sebelum
layani godaan orang itu, paling dulu ia ragoh sakunya. Untuk kagetnya ia
dapatkan beberapa potong emas dalam sakunya terbang pula! Ia mendongkol, akan
tetapi ia jerih pula. "Beberapa orang ini lihay sekali, aku serta semua serdaduku bukan tandingan
mereka," ia berpikir. "Pauw-sie ada padaku, jikalau mereka dapat tahu, inlah
berbahaya.........."
Oleh karena kekhawatirannya ini, ia tidak lagi berpikir untuk beli pakaian buat
si nyonya, dengan tinggalkan restoran itu, ia lekas-lekas balik ke hotel, terus
ia ajak si nyonya untuk berangkat ke Utara, pulang ke Yankhia, ibukotanya
kerajaan Kim. Bersama dia turut juga semua pengiringnya. (Yankhia = Peking
sekarang). Sementara itu Kwa Tin Ok beramai telah ikuti Ciauw Bok Hweshio pergi ke kuil
Hoat Hoa Sian Sie yang letaknya di bagian barat dari luar kota Kee-hin, di dalam
kuil itu mereka berkumpul di kamar bersemedhi. Kacung hweshio lantas menyuguhkan
air the, habis mana ia lantas mengundurkan diri.
"Keliru mengerti ini jadi makin hebat..." Ciauw Bok Taysu mulai berkata smabil ia
menghela napas. "Taysu," tanya Han Siauw Eng. "Dia menyebutkan dua orang wanita, siapakah mereka
itu" Bagaimana sebenarnya duduk perkaranya?"
"Nanti aku beri keterangan," sahut hweshio itu. "Aku ada punya Suheng yang
menjadi pendeta di kepala di kuil Kong Hauw Sie di Hangciu..."
"Itulah Kouw Bok Siansu, bukan?" Tin Ok memotong.
"Benar," sahut Ciauw Bok. "Kemarin dulu ia menulis surat padaku, ia menitahkan
dua orang yang menyampaikan surat itu, dalam mana ia bilang ada orang jahat
hendak mengganggu mereka itu dan karenanya dia minta supaya aku beri tempat
berlindung kepada merek itu. Kami orang beribadat mesti berlaku murah hati,
apapula ia adalah kakak seperguruanku, tentu saja aku mesti terima permintaannya
itu. Diluar dugaanku, baru satu dua har I orang itu tiba, lantas Tiang Cun Cu
datang menyatroni sambil dia menuduh ada dua orang wanita dari Hangciu, dari
kuil Kong Hauw Sie, datang menyembunyikan diri di kuilku. Tentu saja aku menjadi
tidak mengerti." "Melihat dari sikapnya tadi, mesti dia bakal datang lagi menerbitkan onar,"
menyatakan Coan Kim Hoat. "Maka aku pikir, kita tak dapat tidak bersiaga."
"Itu benar," Tin Ok juga menyatakan.
Sampai disitu mereka berunding, merundingkan daya penjagaan. Mereka tidak dapat
mengerti sikapnya Khu Cie Kee. Ciauw Bok Taysu bingung, lebih bingung pula
Kanglam Cit Koay. Itu hari sehabisnya membinasakan Ong Tian Kian si pengkhianat, Khu CieKee pergi
ke Gu-kee-cun kepada Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw Thian, untuk membuat perkenalan
dengan caranya yang luar biasa itu, hingga kesudahannya ia labrak rombongan
serdadu bangsa Kim serta orang-orang polisi yang mencari padanya. Kejadian itu
membuat ia sangat gembira. Dari Gu-kee-cun, ia lantas pergi ke Hangciu, untuk
pesiar ke telaga See Ouw dan tempat sekitarnya yang indah, akan menghirup
permainannya sang salju. Tempo ia lewat di muka Ceng ho-hong, ia tampak lewatnya
beberapa puluh serdadu dalam keadaan rudin, seragamnya tidak karuan, tombak dan
gendewanya pada patah, seperti bekas kalah perang. Ia heran. ia tahu tidak ada
peperangan dengan bangsa Kim, tidak ada huru-hara penjahat di dekat-dekat
Hangciu. Habis kenapakah barisan serdadu itu" Ia tanyakan keterangan beberapa
penduduk, juga mereka itu tidak tahu suatu apa. Saking penasaran, ia ikuti
rombongan serdadu sampai di tangsinya tentera itu. Ia tunggu sampai malam, lalu
dengan diam-diam ia menyatroni. Ia bekuk satu serdadu yang sedang tidur pulas,
yang ia bawa ke ujung jalan besar, untuk korek keterangan dari mulutnya. Kapan
ia sudah dengar jawabannya, ia menjadi mengeluh. Nyatalah barisan itu adalah
barisan yang telah pergi ke Gu-kee-cun untuk menawan Yo Tiat Sim dan Kwee Siauw
Thian. Ia berduka berbareng murka akan dengar Siauw Thian terbinasa dalam
pertempuran itu dan Tiat Sim terluka parah, entah kemana lolosnya tetapi ada
kemungkinan dia pun tak kan hidup lama.
Imam ini sangat menyesal. Ia tahu, itulah akibatnya ia sudah mengikat
persahabatan sama dua orang she Yo dan Kwee itu. Pasti tak dapat ia umbar hawa
amarahnya terhadap serdadu itu.
"Siapakah itu perwira atasanmu?" ia tanya.
"Ciehui tayjin kami," sahut serdadu itu yang menyebutkan komandonnya, "Dia she
Toan, namanya Thian Tek."
Cukup segitu, Cie Kee bebaskan serdadu itu, terus ia pergi cari Thian Tek di
tangsi, tetapi ia tidak peroleh hasil, tidak tahu dimana tidurnya ciehui itu
malam itu. Besok paginya, Tiang Cun Cu menampak hal yang membuat darahnya mendidih. Di muka
tangsi, di atas tiang bendera yang tinggi, ada di gantung kepalanya Kwee Siauw
Thian untuk dipertontonkan kepada khalayak ramai. Hampir dadanya meledak.
"Khu Cie Kee, oh, Khu Cie Kee!" katanya seorang diri. "Dengar baik-baik, kedua
sahabat itu jamu padamu, kau sebaliknya rembet-rembet mereka hingga mereka
bercelaka, rumah tangga mereka tercerai berai dan musnah! Jikalau kau tidak
menuntut balas untuk mereka, masih dapatkah kau disebut satu laki-laki"!"
Saking mendongkol, ia hajar dengan tangannya tembok dimana tiang itu dipasang,
hingga batu dan pasir kapurnya hancur. Kemudian malamnya, dia panjat tiang itu
untuk turunkan kepalanya Siauw Thian, yang ia bawa ke tepinya telaga See ouw,
untuk dikubur. Dia paykui di depan kuburan, airmatanya turun mengucur, diam-diam
ia memuji dan berjanji: "Itu hari pinto sudah berjanji akan ajarkan ilmu silat
kepada anak-anakmu, supaya kelak mereka menjadi orang-orang kosen, kalau tidak,
tidak ada muka pinto menemui kalian di dunia baka."
Segera Khu Cie Kee atur rencananya. Pertama-tama Toan Thian Tek mesti dicari,
ciehui itu mesti dibinasakan guna membalaskan sakit hatinya Tiat Sim dan Siauw
Thian. Habis itu dia hendak mencari istrinya dua sahabat itu guna menempatkan
mereka ke tenpat yang aman. Kemudian ia akan mohon belas kasihannya Thian,
supaya mereka dapat turunan, agar supaya anak-anak mereka dapat ia didik menjadi
orang-orang sempurna seperti yang ia janjikan.
Beruntun dua malam Cie Kee telah satroni tangsi Wielok nomor enam, tidak
berhasil ia mencari Toan Thian Tek, hingga ia mau menduga, mungkin Thian Tek
adalah satu komandan yang tak berdisiplin dan doyan pelesiran, mungkin Thian tek
tidur di luar tangsi, untuk mencari kesenangan. Oleh karena sudah habis sabar di
hari yang ketiga setelah dua malam itu, dia ambil cara singkat saja. Dia pergi
ke muka tangsi, untuk menegur: "Mana dia Toan Thian Tek"! Suruh dia keluar!"
Justru itu hari, Thian Tek ada di dalam tangsinya, ia lagi periksa Lie Peng,
istrinya Siauw Thian. Pemeriksaan dilakukan sebab lenyapnya kepala Siauw Thian
itu. Ia ingin Lie Peng sebutkan sahabat atau sahabat-sahabatnya Siauw Thian yang
dirasa bernyali besar berani mencuri kepalanya Siauw Thien itu. Ia kaget akan
dengar laporan ada orang cari padanya, lalu laporan itu disusul dengan laporan
lainnya, tentung sudah terjadi pertempuran dengan orang yang mencari dia. Segera
ia melongok di jendela. Satu imam, yang nampaknya gagah sekali, lagi bertarung dengan robongan serdadu.
Atau lebih benar, rombongan serdadu lagi dilabrak oleh imam itu yang
bersenjatakan dua serdadu yang ia cekal kakinya dengan masing-masing mereka
mengeluh. Sejumlah serdadu lain menyerang dengan anak panah tetapi serangan itu
tak ada hasilnya, si imam membela diri dengan dua serdadu korbannya itu.
Thian Tek gusur menyaksikan perkelahian semacam itu, dengan membawa goloknya, ia
lompat keluar dari tangsi. "Kau hendak memberontak"!" ia menegur sambil ia
lantas menerjang. Imam itu, ialah khu Cie Kee, telah sambut serangan sesudah ia lemparkan satu
serdadu. Ia gunai tangannya yang kiri. Lengannya Thian tek lantas saja kena
dicekal. "Mana itu bajingan jahanam Toan Thian Tek"!" Cie menegur. Dia belum kenal
perwira ini. Thian Tek kesakitan, tubuhnya hampir tak dapat bergerak. tapi ia licik sekali.
Ia dapat terka maksudnya si imam.
"Toya mencari Toan Tayjin?" dia balik menanya. "Dia.....dia sekarang ada di telaga
See Ouw, lagi pelesiran minum arak di atas perahu. Sebentar lohor ia baru


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pulang." Cie Kee kena diakali, ia lepas cekalannya.
Thian Tek segera berkata kepada dua serdadu yang ia kedipi mata: "Pergi kamu
antar toya ini ke telaga untuk cari Toan Tayjin!"
Dua serdadu itu belum mengerti, mereka bingung.
"Lekas! lekas pergi!" Thian Tek membentak. "Jangan kamu bikin toya gusar!"
Baharu sekarang dua serdadu itu mendusin, mereka lantas ngeloyor pergi.
Cie Kee ikuti kedua serdadu itu.
Thian Tek tidak berani berayal pula. Seberlalunya si imam, dia ajak barisannya
meninggalkan tangsi Wie-ko itu. Dia bawa Lie Peng bersama dia. Dia pergi ke
tangsi Hiong-ciat nomor delapan yang komandannya adalah sahabat eratnya, yang
sama martabatnya. Kepada sahabat itu ia tuturkan halnya si imam jahat.
"Mari kita bekuk dia!" berkata si si komandan, yang terus hendak kumpulkan
tenteranya. tapi mendadak terdengar suara ribut-ribut di luar tangsi, disusul
sama masuknya laporan halnya satu imam datang mengacau.
Terang Khu Cie Kee balik kembali setelah ia tidak berhasil mencari Thian Tek,
rupanya ia telah kompes kedua serdadu pengantarnya, sehingga mereka terpaksa
mesti mebuka rahasia, hingga ia lantas menyusul ke tangsi Hiong-ciat nomor
delapan itu. Thian Tek takut bukan main, tanpa pamitan dari rekannya, dia ajak Lie Peng dan
barisannya kabur dari belakang tangsi. Kali ini ia lari keluar kota, ke tangsi
Coan-ciat nomor dua. Tangsi ini terpernah di tempat sepi. Di sini ia selamat, si
imam tidak berhasil menavri dia terlebih jauh. Baharu sekarang ia bisa bernapas
sedikit lega. Tapi ia mesti menderita pada tangannya, yang bekas di cekal si
imam. Lengan itu bengkak, rasanya sakit sekali. Dia cari tabib tentera untuk
obati tangannya itu. Nyata tulang lengannya patah, hingga tulang itu mesti
disambung. Malam itu dia bermalam di tangsi itu, dia takut pulang.
Tepat tengah malam, Thian Tek mendusin dengan kaget. Di luar tangsi, serdadu-
serdadu membikin banyak berisik. Sebabnya ialah satu serdadu jaga ketahuan
lenyap tidak keruan paran. Tentu saja ia menjadi sangat ketakutan. Kemana ia
mesti menyingkir, supaya selamat" Akhirnya dia ingat pendeta dari Kong Hauw Sie,
yang adalah pamannya. "Baik aku pergi ke paman," dia ambil keputusan. Malah segera ia bekerja. Untuk
memastikan keselamatannya terus ia bawa-bawa Lie-sie. Kalau perlu nyonya Kwee
itu dapat di pakai sebagai tanggungan untuk jiwanya. Dan untuk mencegah
kecurigaan orang luar, dia paksa Lie Peng dandan sebagai serdadu. Mereka keluar
secara diam-diam dari belakang tangsi, tanpa pedulikan malam buta rata, mereka
terbirit-birit menuju ke Kong Hauw Sie.
Pamannya Thian Tek ini sudah lama sucikan diri, nama sucinya ialah Kouw Bok. Ia
menjadi kepala di kuil Kong Hauw Sie itu. Sebenarnya sudah lama dia tidak
berhubungan dengan keponakannya itu, sebab ialah dia tidak setujui kelakukan
sang keponakan, tak suka ia bergaul dengannya. Maka kaget ia akan dapatkan
tengah malam itu sang keponakan muncul dengan tiba-tiba.
Dalam ilmu silat, Thian Tek berkepandaian tidak seberapa, dalam hal kecerdikan,
dia melebihi kebanyakan orang. Dia tahu sebabnya kenapa pamannya itu masuk
menjadi paderi, ialah si paman sangat benci bangsa Kim dan sangat sesali
pemerintah Song. Bukan saja pemerintah tidak membuat perlawanan, sebaliknya
menteri dan panglima setia dibikin celaka. Umpama kata dia bercerita terus
terang bahwa ia telah bekerja sama dengan bangsa Kim untuk menawan Kwee Siau
Thian dan Yo Tiat Sim, dia pasti dapat susah di tangan pamannya itu. Dari itu,
siang-siang dia telah karang sebuah alasan.
Kouw Bok Hwehio pandai ilmu silat. Dia malah menjadi ciang-bun-jin, ahli waris
dari partai Hoat Hoa Cong golongan Selatan. Ia pernah memangku pangkat dalam
ketenteraan. Sejak sucikan, ia tidak abaikan ilmu silatnya itu, dengan rajin ia
berlatih terus. Karena ini, jeri Thian Tek terhadap pamannya.
"Mau apa kau datang kemari?" sang paman tegur keponakannya. Sikapnya dingin.
Thian Tek segera tekuk lutut di depan pamannya itu, ia manggut-manggut.
"Keponakanmu telah orang perhina," katanya dengan suara susah dan mesgul.
"Peehu, aku mohon pertolonganmu..."
"Kau tinggal di tangsi tentera, kau memangku pankat, siapa berani perhina
padamu?" paman itu tanya pula.
Terus Thian Tek kasih lihat roman sangat berduka. "Aku diperhina satu imam," dia
menyahut dengan cerita karangannya, "Imam itu kepung-kepung aku hingga tak tahu
kemana aku mesti singkirkan diri. Peehu, dengan memandang kepada muka ayah, aku
minta kau suka tolongi keponakanmu ini...."
Melihat roman orang, Kouw Bok merasa berkasihan juga.
"Kenapa itu imam kepung-kepung padamu?" ia tanya.
Thian Tek sudah bangun berdiri, lekas-lekas dia berlutut pula.
"Celaka, keponakanmu celaka," dia menjawab. "Kemarin dulu aku pergi ke barat
jembatan Ceng Leng Kio. Aku turur beberapa kawan. Disana kami bermain-main di
Lam-wa-cu di bawah rangon Hie Cun Lauw...."
"Hm...!" sang paman perdengarkan suara di hidung.
Lam-wa-cu itu diambil dari kata-kata wa-sia, dan wa-sia berarti "rumah genting".
Lebih jauh, wa-sie itu diambil sebagai arti ringkas dari sebutan, "Diwaktu
datang, genting utuh; diwajtu pergi genting pecah". Lebih tegas lagi bermaksud,
"gampang berkumpul, gampang bubar". Tapi maksudnya nag paling jelas ialah: Di
jaman Song itu, setelah pemerintahan dipindah ke selatang, untuk mengikat hati
tentera, pemerintah mengadakan apa yang dinamakan wa-sia itu di dalam dan di
luar kota Hangciu. Itulah tempat pelesiran serdadu. Penghuni wan-sia adalah
wanita-wanita melarat yang tidak punya sanak kandung. Mulanya itu mereka jadi
barang permainan tentera, belakangan orang berpangkat atau sembarang hartawan
pun dapat permainkan mereka.
Thian Tek pura-pura tuli untuk ejekan pamannya itu. Ia omong terus: "Aku ada
punya satu nona kenalan, hari itu aku minum arak bersamanya. Tiba-tiba muncul
imam itu, dia memaksa si nona melayani padanya..."
"Mustahil seorang suci pergi ke tempat semacam itu!" Kouw Bok menyela.
"Tapi kejadiannya benar demikian. Maka itu aku telah singkirkan dia, aku suruh
dia pergi. Nyata dia sangat galak. Dia damprat aku, dia katakan aku bakal
terpisah kepala dari badanku, hingga tak perlu aku main gila."
"Apa maksudnya dengan kata-katanya kepala terpisah dari badan?" tanya Kouw Bok
lagi. "Dia menjelaskan, tak lama lagi tentera bangsa Kim akan datang menyeberang ke
sini, tentera itu bakal membunuh habis semua pembesar dan tentera kita..."
Kouw Bok lantas saja menjadi gusar. "Dia berani mengatakan demikian"!"
"Benar, dasar tabiatku jelek, aku tegur dia dan jadi berkelahi karenanya. Sayang
aku bukan tandingan dia itu. Aku lari, dia mengejar, mengejar terus-terusan,
karena habis jalan, terpaksa aku lari ke mari. Aku minta peehu suka tolongi
aku...." Thian Tek pura-pura merengek.
"Aku adalah seorang suci, tak dapat aku urus perkara main perempuan kamu ini,"
berkata paderi itu. "Tolong, peehu," Thian Tek merintih. "Tolong untuk kali ini saja. Aku tak berani
main gila lagi...." Dasar orang suci dan mengingat juga kepada almarhum saudaranya, hati Kouw Bok
tergerak. "baik," kata dia akhirnya, "Untuk beberapa hari kau boleh berdiam di sini. Aku
larang kau main gila pula!"
Thian Tek menghanturkan terima kasih berulang-ulang.
"Satu pembesar tentera begini tidak punya guna, ah...." Kouw Bok mengeluh. Ia
menghela napas panjang. Lie Peng sudah diancam oleh Thian Tek, walaupun ia tahu orang sudah mendusta, ia
tutup mulut. Lewat lhor itu hari, tie-kek-cung, yaitu paderi tukang layani tetamu, lari masuk
dengan tegesa-gesa, ia menemui Kouw Bok dan melaporkannya dengan gugup: "Di luar
ada satu imam, galak dia, dan dia minta Toan Tiang-khoa keluar menemui
padanya...." Thian Tek adalah satu perwira, maka itu dia dipanggil tiang-khoa.
"Panggil Thian Tek," Kouw Bok menitah.
"Dia, benar dia..." kata Thian Tek, semunculnya dia.
"Imam itu sangat galak, dia adalah paderi dari partai mana?" tanya sang paman.
"Entahlah dia imam dari desa mana," Thian Tek mendusta tak kepalang tanggung.
"Sebenarnya tak seberapa ilmu silatnya, dia Cuma bertenaga besar, dasar aku yang
tidak punya guna, aku tak sangggup lawan dia..."
"Baiklah, nanti aku temui dia."
Kouw Bok pakai jubahnya, terus ia pergi keluar. Ia lantas bertemu sama si imam,
ialah Khu Cie Kee, selagi imam itu hendak memaksa memasuki pendopo walaupun
paderi penjaga pendopo mencegah padanya. Ia maju mendekati, ia terus tolak bahu
si imam itu. Ia nampaknya menggeraki tangan dengan perlahan tetapi ia menggunai
tenaga dalam. Ia ingin mendorong imam itu keluar pendopo. tapi begitu ia kena
langgar bahu si imam, ia kaget sekali. Ia kena langgar daging yang empuk
bagaikan kapas. Celakanya, waktu ia hendak tarik pulang tangannya, ia telah
terlambat, diluar kendalinya, tubuhnya tertolak mundur keras sekali, tidak ampun
lagi ia terlempar membentur patung Wie Hok di pendopo itu, sudah tentu benturan
itu menimbulkan suara yang keras, separuh patung pun gempur!
Dalam kagetnya yang tak terkira, Kouw Bok berpikir, "Dia lihay sekali, ia bukan
Cuma besar tenaganya..." Lekas-lekas ia rangkap kedua tangannya untuk memberi
hormat seraya menanya: "Ada pengajaran apakah maka totiang datang berkunjung ke
kuil kami ini?" "Aku datang mencari satu bangsat busuk she Toan!" Cie Kee menjawab ringkas.
Kouw Bok insyaf bahwa ia bukan tandingan ini imam, ia berlaku sabar.
"Seorang pertapa perpokok kepada belas kasihan dan murah hati, kenapa totiang
berpandangan sama dengan seorang biasa saja?" ia tanya.
Cie Kee tidak menjawab pertanyaan itu, ia hanya bertimdak masuk. Lebar
tindakannya itu. Ketika itu, dengan seret Lie Peng, Thian Tek sudah umpatkan diri ke dalam sebuah
kamar, karenanya tentu saja ia tak dapat dicari. Cie Kee juga tidak berani
menggeledah, sebab ia dapatkan kenyataan, di hari-hari dari musim semi itu Kong
Hauw Sie kedatangan banyak penduduk yang bersujud, penduduk pria dan wanita.
Sebagai seorang yang beribadat, ia tak mau mengganggu kesujudan banyak orang
itu. Dengan tertawa dingin, terpaksa ia berlalu.
Kouw Bok lirik tie-kek-ceng untuk suruh muridnya itu antar tetamu tak diundang
itu. Setelah mengetahui orang sudah pergi, Thian Tek keluar dari persembunyiannya.
"Mana dia hanya satu imam dusun!" kata Kouw Bok dengan mendongkol. "coba kalau
dia tidak berlaku murah, jiwaku pasti sudah melayang!"
Thian Tek membungkam, ia tak berani membuka mulut.
"Dia sudah pergi jauh," kata tie-kek-ceng, yang muncul di depan gurunya.
"Apakah dia mengucapkan sesuatu?" tanya Kouw Bok setelah berdiam sesaat.
"Dia tak bilang suatu apa," jawab muridnya itu.
"Inilah aneh," mengatakan Kouw Bok. "Apakah ada sikapnya yang aneh selagi dia
hendak berlalu?" tanya lagi.
"Tidak, kecuali setibanya ia di mulut pintu pekarangan, dia sendarkan diri di
dua singa-singaan batu, agaknya ia sangat letih," sahut tie-kek-ceng. "Dia
membuang napas, habis itu dia angkat kaki sambil tertawa haha-hihi." lanjut
muridnya lagi. "Ah, celaka, celaka...." Kouw Bok lantas mengeluh. "Celakalah singa-singaan kita
itu, yang usianya tetelah beberapa ratus tahun..." Dan tangannya melayang ke muka
Thian Tek. "Singa-singaan itu musnah di tanganmu!" katanya, habis mana ia lari
keluar. Thian Tek dan tie-kek-ceng menjadi heran, lebih-lebih Thian Tek yang mukanya
menjadi bengap dan merah, hingga ia mesti bekapi mukanya itu. Keduanya turut
lari keluar, akan susul Kouw Bok.
Di pintu pekarangan, Kouw Bok Hweshio berdiri bengong mengawasi sepasang cio-
say, singa-singaan batu, yang disebutkan tadi. Nampak romannya yang sangat
berduka dan menyayangi singa-singaan itu.
"Kenapa peehu?" sang keponakan tanya.
"Inilah takdir..." sahut si paderi dengan masgul. "Aku keliru sudah menyalahkan
kau.... Kau tahu, sepasang cio-say ini adalah barang peninggalan jaman Lam Pak
Tiauw, ketika itu Kaisar Liang Bu Tee telah memanggil tukang yang pandai untuk
membuatnya. Sampai sebegitu jauh, aku pandang Cio-sang itu sebagai mustikanya
Kong Hauw Sie. Sekarang....ah!" Ia menghela napas panjang.
Thian Tek masih tidak mengerti. Ia awasi cio-say itu, yang tidak kurang suatu
apa. Oleh karena penasaran, ia dekati singa-singaan batu itu, ia raba kepalanya.
Tiba-tiba saja ia menjadi kaget. Seperti tanpa merasa, begitu kena diraba,
kuping dan hidungnya cio-say itu runtuh jatuh. Ia segera tarik pulang tangannya
itu, matanya mengawasi pamannya.
Kouw Bok menghela napas pula. "Cio-say ini telah dirusak si imam dengan
menggunai tenaga dalamnya..." katanya.
Tie-kek-ceng heran, ia pergi tolak tubuh cio-say yang satunya lagi. Tiba-tiba
saja, singa batu itu gempur dan rubuh, bertumpuk bagaikan puing. Tentu saja ia
kaget hingga mukanya pucat. "Eh...kenapa jadi beini..." katanya.
"Luar biasa sempurnya tenaga dalam dari imam itu," kata Kouw Bok, suaranya
perlahan dan penuh rasa sangat menyesal. "Cio-say, cio-say, untuk beberapa ratus
tahun kamu bercape lelah menjaga pintu kuil ini, maka sekarang, pergilah kamu
dengan baik-baik..." Kemudian dia berpaling kepada Toan Thian Tek. Ia berkata
pula: "Dia demikian lihay, apa mungkin ia sudi layani kau yang begini hina
memperebuti segala bunga berjiwa?"
Thian Tek kaget, tidak berani dia membuka mulutnya.
"Adikku seperguruan, Ciauw Bok Taysu, lebih pandai sepuluh lipat daripada aku,
mungkin dia sanggup melayani imam itu," kata Kouw Bok kemudian. "Pergilah kau
kesana, kepada suteeku itu."
Meyaksikan lihaynya Khu Cie Kee, Thian Tek tahu tidak selamat ia berdiam terus
di Kong Hauw Sie ini, dari itu ia tidak bantah pamannya itu, ia cuma minta surat
perantara, lalu dengan menyewa perahu, malam itu ia ajak Lie Peng berlayar ke
Kee-hin, untuk pergi menumpang pada Ciauw Bok Taysu.
Paderi dari Hoat Hoa Sian Sie tidak menduga apa-apa, ia tidak sangka yang
kawannya Thian Tek adalah satu wanita dalam penyamaran, ia terima mereka itu
menumpang. Keras adalah hatinya Khu Cie Kee, ia berhasil menyusul Thian Tek. Kebetulan ia
lihat Lie Peng di dalam tamannya kuil. Ia mengawasi, kecurigaannya timbul.
Sayang ia terlambat. Ketika kemudian ia lompat masuk ke dalam pekarangan, Lie
Peng sudah disembunyikan Thian Tek dalam ruang bawah tanah.
Ingat Lie Peng, Khu Cie Kee ingat Pauw-sie. Ia mau percaya, Pauw-sie pun
disembunyikan di dalam kuil Hoat Hoa Sian Sie itu. Maka itu ia ketemukan Ciauw
Bok Taysu, ia minta supaya Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia
telah lihat Lie-sie dan Pauw-sie diserahkan kepadanya. Karena ia telah lihat
Lie-sie dengan matanya sendiri, ia tidak mau percaya sangkalannya paderi itu, ia
berkeras. Ciauw Bok Taysu merasa tidak ungkulan melawan imam itu, begitu ia ingat pada
Kanglam Cit Koay, ia pergi minta bantuannya tujuh Manusia Aneh dari kanglam itu.
Demikianlah mereka berkumpul di restoran Cui Sian Lauw, sampai setiba Tiang Cun
Cu dengan jambangan araknya yang istimewa itu.
Habis menutur Ciauw Bok Taysu menambahkan: "Telah lama aku dengar Tiang Cun Cu
lihay, sekarang kita dapat buktikan itu. Turut penglihatanku, dia seperzi bukan
hendak mengacau, maka aku mau percaya, pada ini mesti terselip salah mengerti."
"Aku pikir baiklah minta datang dua orang yang kakakmu itu perkenalkan," Kim
Hoat menyarankan. "Coba kita tanyakan keterangannya."
"Benar," Ciauw Bok Taysu menyatakan akur. "Aku memang bekum pernah tanyakan
sesuatu kepada mereka."
Paderi ini hendak suruh panggil Thian Tek tempo Tin Ok peringatkan: "Ciauw Bok
Suheng, mungkin imam itu menyusul kita, maka kalau kita bertempur pula, mestinya
jalannya tak sama dengan yang di rumah makan, dia tidak bakal berlaku murah hati
lagi. Pastilah dia menyangka kita telah bekerja sama dengan pihak Kim."
"Kwa Toako betul, maka itu mesti kita cari jalan untuk mengerti satu pada lain,"
berkata si pederi. "Yang dikhawatirkan justru salah mengerti ini sukar dijelaskan..." kata Tin Ok
pula. "Kalau terpaksa kita maju berdelapan..." Cu Cong turut berbicara.
"Delapan orang lawan satu orang, itulah tidak benar..." menyangsikan Han Po Kie.
"Aku pikir tak apa," kata Coan Kim Hoat. "Kita tidak berniat binasakan dia,
Pendekar Lembah Naga 20 Wiro Sableng 001 Empat Berewok Dari Goa Sanggreng Kisah Sepasang Rajawali 11
^