Pencarian

Memanah Burung Rajawali 3

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 3


melainkan kita menghendaki dia sabar mendengarkan penjelasan Ciauw Bok Taysu."
"Apakah nama kita tidak bercacat seumpama tersiar diluaran Ciauw Bok Taysu
bersama Kanglam Cit Koay mengepung satu orang?" Han Siauw Eng pun bersangsi.
Belum putus pembicaraan mereka, mereka telah dikagetkan suara keras yang
datangnya dari toan-thian, pendopo besar. Suara itu seperti suaranya dua genta
beradu keras, suara itu lalu mengaung, mengalun.
"Nah, si imam datang!" seru Kwa Tin Ok, sambil ia melompat.
Berdelapan mereka memburu ke depan. Lagi sekali mereka dengar suara nyaring
seperti tadi, hanya kali ini disusul sama campuran suara rengatnya barang logam.
Seperti terlihat Khu Cie Kee, dengan jambangan arak di tangannya, sedang
menggempur genta di toa-thian itu. Dia menyerang beberapa kali, sampai jambangan
perunggu itu retak. "Citmoay, mari kita maju lebih dahulu!" Ho Po Kie teiaki adiknya. Ia dan adiknya
itu memang yang paling aseran diantara Cit Koay. Ia pun lantas tarik Kim-liong-
pian- cambuk Naga Emas, dari pinggangnya, dengan sabetan "Naga hitam menggoyang
ekor", dia mencoba melilit lengan si imam yang memegang jambangan.
Di pihak lain Han Siauw Eng sudah hunus pedangnya, yang tajam mengkilap, dengan
itu ia lompat menikam bebokong imam itu.
Diserang dari depan dan belakang, Khu Cie Kee tidak menjadi gugup. dengan satu
gerakan tangan kanannya, ia membuat terbitnya suatu suara nyaring. Cambuk Naga
Emas bukannya melilit tangan, hanya menghajar jambangan perunggu itu. Berbareng
dengan itu, dengan satu egosan tubuh, si imam juga bebaskan diri dari ujung
pedangnya si nona. Lincah sekali caranya ia berkelit.
Siauw Eng menjadi penasaran, ia ulangi serangannya, beruntun beberapa kali. Ia
kembali gagal. Cepat sekali Khu Cie Kee ketahui ilmu silat pedang si nona.
Di jaman dahulu, negeri Gouw bermusuh dengan negeri Wat. Untuk dapat menelan
negeri Gouw itu, Raja Wat, yang bernama Kouw Cian, melatih keuletan diri dengan
tidur sambil mencicipi nyali yang pahit. Sayang untuknya, ia mesti menghadapi
Ngow Cu Sih, panglima sangat tangguh dari negeri Gouw itu, yang pandai sekali
mengatur tentera. Ia menjadi sangat tidak puas dan berduka. Pada suatu hari ia
kedatangan satu gadis yang cantik, yang pandai ilmu silat pedang. Ia menjadi
sangat girang, ia minta si gadis ajari ia ilmu silat itu. Kali ini ia berhasil,
negeri Gouw dapat dimusnahkan. Kota Kee-hin adalah tapal batas kedua negeri Gouw
dan Wat itu, di situ kedua negara biasa berperang. Oleh karena disitulah tersiar
luas perihal ilmu pedangnya si gadis Wat itu, yang sekarang dipunyai Han Siauw
Eng. Ilmu silat itu asalnya tigapuluh enam jurus, di tangan nona Han, ia
perbaiki, ditambah hingga menjadi empatpuluh sembilan jurus. Penambahan ini
penting untuk si nona, karena ia berkecimpung di dunia kang-ouw -Sungai Telaga -
sedang raja Wat pakai ilmu itu dalam peperangan, untuk membinasakan panglima dan
merubuhkan kuda perang. Oleh karenanya, orang kang-ouw juluki si nona Wat Lie
Kiam - Akhli pednag Gadis Wat -
Begitu lekas mengenali ilmu silatnya si nona, sambil di lain pihak melayani Han
Po Kie, Tiang Cun Cu mendesak Siauw Eng, hendak ia merampas pedang si nona.
Karena ini ia membuat si nona Han menjadi repot, beberapa kali Han Siauw Eng
menghindari nacaman bahaya, sampai ia terdsak mundur ke tepinya patung Buddha.
Mendapatkan adik angkatnya terancam bahaya, Lam Han Jin dan Thio A Seng maju
dengan berbareng, yang satu geraki pikulannya yang istimewa, yang lain mainkan
"golok jagalnya" yang ujungnya lancip. Sikap kedua saudara ini sangat berbeda
satu sama lain. Kalau Lam San Ciauw-cu si Tukang Kayu dari Gunung Selatan
bungkam mulutnya, Siauw Mie To si Buddha tertawa terus-terusan mengoceh tidak
karuan juntrungannya, hingga Khu Cie Kee tak ketahui apa yang diucapkannya.
Segera si imam serang tukang pentang bacot itu. tangan kirinya yang menyambar. A
Seng berkelit seraya melengak, ia tidak menyangka orang akali padanya. Justru ia
melengak itu, kakinya Cie Kee melayang, tepat mengenai lengannya. Tidak ampun
lagi, goloknya terlepas dan melayang. Tendangan itu mendatangkan rasa sakit dan
akget. Walaupun begitu, sebagai jago ia tidak menghiraukan pedangnya yang
terbang malah membarengi itu, ia membalas menyerang dengan tangan kirinya,
setelah ia menganca, dengan tangan kanan! Sebab sebat sekali, ia sudah lantas
pernahkan diri. "Bagus!" Tiang Cun Cu puji lawannya ini. Ia berkelit untuk serangan membalas
sambil berkelit, ia mengatakannya: "Sayang! Sayang!"
"Eh, sayang! Sayang apanya"!" tegaskan Siauw Mie To
"Sayang ilmu silatmu yang sempurna ini!" sahut Cie Kee sambil ia layani terus
musuh-musuhnya. "Kau begini lihay tetapi kau rendahkan dirimu dengan jalan
menakluk kepada musuh negara!"
"Hai, imam bangsat, kau ngaco belo!" mendamprat A Seng sangking murkanya. Mana
ia mau mengerti dikatakan menakluk pada musuh, dalam hal ini, musuh bangsa Kim.
Beruntun tiga kali, ia menyerang lawannya.
Cie Kee melawan sambil berkelit, akan tetapi untuk dua serangan yang belakangan,
ia menangkis dengan jambangannya. Atau lebih benar, ia pasang jambangan itu
sebagai sasaran, maka dua kali kepalannya A seng membuatanya jambangan itu
bersuara nyaring. Biauw Ciu Sie-seng merasa tidak enak karena berempat mereka mengepung, nyatanya
mereka berada di bawah angin. Menampak demikian Coan Kim Hoat tapinya menjadi
penasaran, dengan memberi tanda kepada kakaknya yang kedua, ia lompat menerjang,
diturut oleh kakak angkatnya itu. Keduanya maju dari samping.
Genggamannya Lauw-sie In Hiap adalah sebatang bacin, yaitu alat peranti
menimbangan barang, maka itu senjata bisa dipakai berbareng sebagai toya, gaetan
dan gembolan, sedang Biauw Ciu Sie-seng si Mahasiswa Tangan Lihay, yang pandai
ilmu menotok, dengan kipasnya senantiasa mencari jalan darah lawannya.
Khu Cie Kee tidak peduli ia dikepung berenam, ia tetap mainkan jambangannya
sebagai senjata, sebagai tameng, karena dengan itu ia lebih banyak membela
dirinya. Untuk membalas menyerang, ia pakai tangan kirinya yang bebas yang tidak
bersenjatakan apa juga. Ciauw Bok Taysu menjadi bergelisah menyaksikan jalannya pertempuran itu yang
makin lama jadi makin hebat. Dia akhirnya tidak dapat bersabar lagi.
"Tahan! Tahan!" ia berseru-seru. "Tuan-tuan tahan! Dengar, hendak aku bicara!"
Dalam waktu pertempuran yang hebat itu, tidak ada orang yang sudi dengar cegahannya itu. Malah Khu
Cie Kee perdengarkan seruannya: "Kawanan pengkhianat tidak tahu malu, lihat!"
Dan lantas ia mendesak dengan serangan tangan kirinya, dengan jari-jari tangan
terbuka, juga dengan kepalan. Satu serangannya yang mengancam Thio A Seng hebat
sekali, sebab Siauw Mie To tengan terdesak.
"Totiang, jangan turunkan tangan kejam!" Ciauw Bok Taysu berseru dalam
kegelisahannya yang hebat. Ia merasa A Seng tidak akan luput dari bahaya.
Cie Kee memang menyerang dengan hebat sekali. Ia lihat ia dikepung berenam, ia
merasa bahwa ia telah mesti menggunai tenaga banyak. Disana masih ada dua musuh
segar Kwa Tin OK dan Ciauw Bok Taysu - inilah berbahaya untuknya. Jikalau mereka
ini meluruk juga" Dari itu, ingin ia lekas-lekas menyudahi pertempuran itu. Ia
khwatir juga, lama-lama nanti ia kalah ulet.
Thio A Seng ada punya ilmu kedot, ialah tubuhnya tidak mempan senjata tajam.
Kekebalannya itu ditambah sama tenaganya yang besar, karena ia biasa berlatih
mengadu tenaga dengan kerbau - sudah dagingnya keras dan kulitnya pun tebal.
Maka itu, menampak ancaman bahaya, ia manjadi nekat.
"Biarlah!" dia berseru, dan ia sambuti serangannya si imam untuk keras lawan
keras. Tapi ia salah menaksir ketangguhannya sendiri. Di antara satu suara
keras, lengannya itu terhajar patah tangannya Khu Cie Kee.
Cu Cong kaget bukan kepalang, ia berlompat menotok jalan darah soan-kie-hiat
dari Tiang Cu Cu. Totokan ini bukan untuk menolongi Thio A Seng, yang telah
menjadi korban, hanya guna mencegah si imam ulangi serangannya yang lihay itu.
Khu Cie Kee memang tidak berhenti sampai disitu. Rupanya ia anggap belum cukup
dengan korban Thio A Seng itu. Dengan tidak kurang bengisnya, ia ulangi
serangan-serangannya yang dikhawatirkan Biauw Ciu Sie-seng.
Segera juga terdengar jeritannya Coan Kim Hoat. Batu dacinnya Lauw-sie In Hiap
telah kena disambar oleh si imam, dacin itu terus ditarik dengan keras. Tidak
dapat Kim Hoat pertahankan diri, kuda-kudanya gempur, tubuhnya terbetot.
Menyusul tarikannya itu, Khu Cie Kee ayun terus tangan kirinya, guna menhajar
batok kepala lawannya itu. Untuk cegah Lam Hie Jin dan Cu Cong, yang berada
paling dekat, ia tolak jambangannya ke arah mereka itu.
Han Po Kie dan Han Siauw Eng kaget tidak terkira. Kim Hoat itu adalah saudara
angkat mereka. Yang mereka sayangi sebagai saudara betul. Keduanya apungi tubuh
mereka, untuk hampiri si imam, yang mereka terjang dengan berbareng. Cuma ini
jalan untuk tolongi saudara angkat mereka itu.
Mau tidak mau, Khu Cie Kee mesti berkelit. Atas itu, Coan Kim Hoat lompat
melejit. Ia lolos dari gempuran kepada batok kepalanya, ia mandi keringat. Mesti
begitu, ia tidak lolos seluruhnya. Selagi melejit, kakinya si imam kena sambar
pinggangnya, hingga ia lantas saja rubuh terguling, tidak dapat lantas bangun.
Ciauw Bok Taysu lihat keadaan hebat, ia tidak dapat tinggal peluk tanagn
terlebih lama pula, meskipun sebenarnya ia tidak menghendaki pertempuran, ia
sungkan turun tangan. Begitulah ia maju denagn sepotong kayunya yang mirip
ruyung, yang ujungnya hitam hangus. Ia menotok ke bawah ketiak.
"Dia ahli menotok, dia lihay," pikir Khu Cie Kee, yang berkelit, setelah mana,
ia juga layani paderi itu.
Setelah turun tangannya paderi itu, Kwa Tin Ok tidak dapat berdiam terlebih lama
lagi. Ia buta tetapi ia tahu dua saudaranya telah rubuh, adiknya yang kelima dan
yang keenam. Ia perhatikan suara anginnya, suara beradunya setiap senjata. Di
saat ia hendak gerakkan tongkat besinya, Coan Kim Hoat teriaki dia: "Toako, kau
gunai thie-leng! Hajar dulu kedudukan cin, lalu kedudukan siauw-ko!"
Menyusul anjuran itu, dua rupa senjata rahasia menyambar sar! ser! kearah si
imam. Yang satu menuju ke alis dan yang lain ke paha kanan sebelah dalam.
Cie Kee terkejut. "Dia hebat sekali!" pikirnya. "Dia buta tetapi dia bisa
mengincar dengan tepat. Sebenarnya ada sulit walaupun ada orang luar yang
memberi petunjuk menurut garis-garus patkwa..."
Ia lihat datangnya dua serangan itu, ia menangkis dengan jambangannya, maka
setelah suara ting-tong, kedua senjata rahasia itu - thie-leng, atau lengkak
besi - jatuh ke lantai. Thie-leng adalah senkata rahasianya Hui Thian Pian-hok, mirip lengkak tetapi
ujung tajamnya ada empat.
Coan Kim Hoat sudah berseru-seru pula: "Hajar tionghu, hajar lie! Bagus, bagus!
Sekarang serang beng-ie!" Setiap kali ia berseru, setiap kali juga lengkak besi
dari Kwa Tin Ok menyambar. Maka sebentar saja belasan lengkak telah membuatnya
Cie Kee terpaksa main mundur saja. Imam ini lihay, biar ia tidak terluka, dia
toh tidak kalah, ia melainkan tidak sempat membalas menyerang. Sebagai seorang
yang cerdik dan gesit, ia dapat bersedia setiap kali Kom Hoat perdengarkan
petunjuknya. Lauw-sie In Hiap sendiri terancam lukanya, ia dapat menunjuki sasaran kepada
toakonya, tetapi semakin lama, suaranya makin lemah, makin perlahan, pada itu
tercampur rintihan juga, dan beda dengan dia adalah Thio A Seng, tidak terdengar
suaranya sama sekali, hingga orang tidak tahu dia masih hidup atau sudah mati...
"Serang! Serang!" Coan Kim Hoat masih bersuara lagi. "Hajar tongjin...!"
Yang terakhir ini Kwa Tin Ok tidak turuti tetap sasarannya Kim Hoat itu. Ia juga
tidak gunai satu-satu biji lengkak sebagaimana bermula tadi. Sekarang ia
menimpuk berbareng dengan empat buah senjata rahasianya itu. Bukan anggota
tongjin yang ia incar, hanya kedua bagian kiri dan kanan dari tongjin itu. Di
kanan ialah bagian ciat dan sun, dan di kiri, bagian hong dan lie.
Berbareng dengan itu, Ciauw Bok Taysu dan Han Siauw Eng menyerang dari kanan.
Kalut kedudukan mereka, semua sebab hampir berbareng, Cie Kee pun berkelit dari
anggota tongjin sebagaimana diteriaki Kim Hoat. Karena itu dengan berbareng dua
orang perdengaran jeritan kaget. Jeritan itu menandakan adanya dua korban!
Jitu serangan Tin Ok kali ini, Cie Kee terlalu perhatikan tongjin, ia kena
tertipu si buta, yang menyerang ke lain jurusan. Ia tidak lolos dari semua empat
lengkak, yang satu mengenai pundak kanannya, hingga ia menjadi kaget dan
menjerit karenanya. Jeritan yang lain dikeluarkan oleh Han Siauw Eng. Selagi nona ini maju
menyerang, lengkak yang mengarah bagian sun tepat mengenai pundaknya tanpa ia
ketahui atau dapat berdaya mengelakkannya.
Kwa Tin Ok kaget berbareng girang. "Citmoay, lekas kemari!" ia memanggil. Ia
tahu, lengkaknya sudah nyasar di tubuh adik bungsunya itu. Inilah yang membikin
ia kaget. Ia girang sebab ia dengar suaranya si imam.
Han Siauw Eng tahu senjata rahasia kakaknya ada racunnya, benar sementara itu ia
cuma merasai sakit sedikit, lama-lama sang racun akan bekerja mencelakai ia,
justru ia lagi ketakutan, ia dengar teriakannya kakak itu, tanpa sangsi lagi, ia
lari kepada itu kakak. "Toako!" ia memanggil.
Tin Ok lantas rogoh sakunya, ia keluarkan sebutir pil kuning, dengan lantas ia
jejalkan itu ke mulut adiknya. "Lekas kau rebahkan diri di taman belakang, di
tanah!" kakak ini beri petunjuk. "Kau tidak boleh bergerak sedikit juga. Kau
mesti tunggu sampai aku datang untuk mengobati!"
Sebenarnya Siauw Eng keras kepala, tetapi ia dengar kata, ia terus lari ke
belakang. "Jangan lari, jangan lari!" Tin Ok teriaki, "Tenangi hati, jalan perlahan-lahan
saja!" Siauw Eng mendusin, ia lantas damprat dirinya sendiri. Siapa terkena senjata
rahasia yang beracun itu, dia tidak boleh keluarkan tenaga, racun bisa mengikuti
jalan darah segera menyerang ke ulu hati, kalau sampai itu terjadi, maka tidak
ada obat lagi untuk menolong. Maka ia lantas berjalan dengan berpalahn tetapi
tetap. Cie Kee terkena senjata rahasia, ia tidak perhatikan itu, ia baru sadar kapan ia
dengar teriakannya Tin Ok kepada Siauw Eng, yang dilarang lari. Justru itu, ia
merasakan pundaknya sedikit kebas. Lantas ia menduga bahwa senajata rahasia itu
ada racunnya. Niscaya sekali ia menginsyafi bahaya yang mengancam dirinya.
Karena ini ia lantas tak berani melanjuti pertempuran itu. Dengan tiba-tiba ia
rangsak Lam Hie Jin, muka siapa ia hajar.
Lam San Ciauw-cu lihat bahaya datang, ia tidak mau singkirkan diri, sambil
pasang kuda-kudanya, ia lintangi pikulannya di depan mukanya. Itulah gerak "Tiat
so heng kang" atau " Rantai besi dilintagi di sungai". Dengan senjatanya itu
hendak ia sambut pukulan musuh.
Khu Cie Kee tahu maksudnya lawan itu, ia tidak batalkan serangannya, ia
melangsungkannya. Maka pikulannya Hie Jin kena terhajar, begitu jeras, hingga
tubuhnya si Tukang Kayu dari Gunung Selatan menjadi tergetar dan kedua tangannya
dirasakan sangat sakit. Sebab telapakan tangannya pecah dan mengeluarkan darah,
hingga genggamannya terlepas dan jatuh ke lantai. Tidak begitu saja, akibat
lainnya menyusul. Hie Jin lantas merasa tubuhnya enteng, kedua matanya kabur,
mulutnya manis, terus ia muntahkan darah hidup!
Cie Kee telah dapat melukakan lawan yang menghalangi ia, ia sendiri pun rasai
pundaknya semakin kebas dan kaku. Sekarang ia merasakan bahwa jambangan di
tangannya itu menjadi berat. Ia jadi berkhawatir. Maka sambil membentak keras,
ia menyapu kepada Han Po Kie yang maju untuk serang padanya.
Si cebol lari berkelit. "Ke mana kau hendak lari"!" bentak Tiang Cun Cu yang terus tolak tangan
kanannya, sekalian diputar, dikasih turun. Dengan begitu, jambangannya jadi
menungkrap dari atas, menyambar si cebol itu, selagi dia ini belum tiba di
lantai, sehingga ia tidak bisa berkelit. Untuk tolong diri, ia pengkeratkan
tubuhnya. Ketika mulut jambangan tiba di lantai, si cebol kena ketutup!
Setelah itu Cie Kee lepaskan tangannya dari jambangan itu, sebaliknya, ia hunus
pedangnya. Ia lantas lompat mencelat ke arah genta, untuk membabat rantai
gantungannya, berbareng tangan kirinya menolak tubuh genta itu yang beratnya
mungkin ratusan seribu kati. begitu rantai putus, genta jatuh menimpa jambangan,
kerena mana meski ia bertenaga besar, Han Po Kie tidak sempat berdaya untuk
membalikkan jambangan itu, untuk keluar dari kurungan.
Sementara itu pucat mukanya Khu Cie Kee, peluhnya lantas turun menetes.
"Lekas lemparkan pedangmu, menyerah!" Kwa Tin Ok teriaki lawan itu. Berayal
sedikit saja, jiwamu bakal tidak tertolong!"
Si buta ini merasa pasti mengenai lawannya itu.
Cie Kee tidak mau serahkan diri. Ia percaya, menyerah berarti celaka. Maka ia
putar pedangnya, ia mau membuka jalan. Tapi Tin Ok dan Cu Cong merintangi
padanya. Bab 6. Pengejaran Tidak ada jalan lain, Cie Kee terjang musuhnya, si buta itu, ujung pedangnya
menikam ke arah muka. Tin Ok dengar anginnya senjata, ia menangkis. Keras kedua
senjata beradu, lalu Cie Kee menjadi kaget sekali. Dia hampir membikin terlepas
pedangnya. "Lihay tenaga dalam si buta ini! Mungkinkah ia melebihi aku?" pikirnya. Ia
penasaran, maka lagi sekali, ia menikam. Kali ini, ia insyaf kenapa ia kalah
kuat. Nyatanya luka di pundaknya itu menyebabkan tenaganya jadi berkurang hingga
separuhnya. Oleh karena ini, ia lantas pindahkan pedangnya ke tangan kiri.
Dengan tangan kiri ini, ia bersilat dengan ilmu silatnya "Kie Siang Kim-hoat"
atau "Melukai Semua". Inilah ilmu silat yang sejak ia yakinkan belum pernah ia
pakai untuk melawan musuh. Dengan menggunai ini ia telah menjadi nekat. Dengan


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, di sebelah musuh ia sendiri pun bisa celaka. dengan "melukai semua" hendak
diartikan "mati bersama".
Segera juga Kwa Tin Ok, Cu Cong dan Ciauw Bok terarah semua bagian tubuhnya yang
berbahaya. Maka repotlah mereka membuat perlawanan. Sejak turun gunung, Cie Kee
belum pernah menemui lawan setimpal, inilah pertama kalinya. Tidak peduli
tenaganya kurang, dengan berlaku nekat ia tetap berbahaya..
Baharu belasan jurus paha Tin Ok telah tertikam pedang.
"Kwa Toako, Cu Jieko, biarkan si imam berlalu!" berseru Ciauw Bok Taysu.
Paderi ini lihat ancaman bahaya, ia memikir untuk mengalah tetapi justru ia
serukan kawannya, ujung pedang Cie Kee mengenai iga kanannya hingga ia kaget dan
menjerit, tubuhnya rubuh seketika!
"Imam anjing!" Cu Cong mencaci. "Imam bangsat! Racun ditubuhmu telah menyerang
hatimu! Kau tikamlah pula tiga kali!"
Bangkit kumisnya si imam, mendelik sepasang matanya, tanpa bilang suatu apa, ia
melompat kepada Manusia Aneh yang kedua itu. Cu Cong tidak melayani, ia hanya
berlari-lari berputaran di pendopo kuil.
Sembari berlari, Cie Kee insyaf bahwa tak dapat ia menyandak lawan itu. Ia pun
mulai terhuyung. Maka sambil menghela napas, ia berhenti mengejar. Tiba-tiba ia
rasai matanya kabur, lekas-lekas ia pusatkan semangatnya. Sekarang ia baru ingat
untuk angkat kaki saja. tetapi terlambat. Mendadak bebokongnya mengasi dengar
suara keras! Ia merasa sakit sekali, tubuhnya pun terhuyung!
Cu Cong yang cerdik itu telah timpuk imam itu dengan sepatunya, cukup keras
timpukannya itu. Cie Kee merasai pikirannya kacau tetapi kembali ia
memusatkannya. Justru itu, batok kepalanya telah terpukul keras. Kali ini Cu
Cong menimpuk dengan bok-hie, itu tambur teroktok peranti mambaca doa.
"Sudah, sudah, hari ini Tiang Cun Cu mesti terbinasa di tangannya bangsat-
bangsat licik..." ia mengeluh. Ia menahan sakit, ia melompat ke depan, akan tetapi
ketika kakinya menyentuh tanah, kedua kakinya itu lemas, tubuhnya terus
terguling! "Bekuk dia dulu, baru kita bicara!" berseru Cu Cong. Ia dekati imam itu, yang
rebah diam saja. Ia geraki kipasnya untuk menotok jalan darah di dada si imam.
Tiba-tiba ia lihat tangan kiri Cie Kee bergerak, ia kaget. Ia menginsyafi
bahaya, dengan cepat ia menangkis dengan tangan kanannya. Tidak urung, ia
merasakan dorongan suatu tenaga keras sekali, tubuhnya terpental ke belakang,
belum lagi tubuh itu tiba di tanah, ia sudah muntahkan darah hidup!
Cie Kee telah gunai tenaganya yang terakhir untuk serang lawannya itu.
Paderi-paderi dari Hoat Hoa Sian Sie tidak mengerti ilmu silat, mereka juga
tidak tahu bahwa guru mereka mengerti ilmu itu, dari itu selama pertempuran
mengambil tempat, mereka semua pada sembunyikan diri. Sampai keadaan sunyi, baru
mereka keluar dari tempat persembunyian mereka, akan saksikan segala apa kacau
dan orang rebah di sana sini, darah pun berhamburan. Mereka jadi ketakutan,
mereka lantas pergi mencari Toan Thian Tek.
Orang she Toan itu terus sembunyi di dalam ruang dalam tanah, takutnya bukan
main. Tempo ia diberitahu orang telah pada rubuh semua, ia masih khawatirkan
tidak ada Khu Cie Kee di antara korban-korban itu. Ia suruh dulu sat kacung
paderi untuk melihatnya, kemudian barulah ia keluar, hatinya lega. Ia telah
diberitahu si imam lagi rebah diam dengan kedua mata tertutup.
Dengan tarik tangan Lie Peng, Thian Tek pergi cepat-cepat ke pendopo. Ia lantas
hampirkan Cie Kee, tubuh siapa dia dupak.
Imam itu masih belum putus jiwanya, ia bernapas berlahan sekali.
Thian Tek cabut goloknya. "Imam bangsat, kau kejar aku hingga aku bersengsara,
sekarang hendak aku kirim kau pulang ke Langit Barat!" ia kata, lalu ia ayunkan
goloknya. "Jangan....jangan bunuh dia...!" berseru Ciauw Bok Taysu, tapi suaranya sangat
lemah. Ia rebah dengan terluka parah tapi ia dapat lihat perbuatan si keponakan
murid. "Kenapa?" Thian Tek tanya.
"Dia adalah satu imam yang baik..." sahut Ciauw Bok. "Dia Cuma berhati keras... Di
sini telah terbit salah mengerti..."
"Orang baik apa!" kata Thian Tek. "Dia perlu dibunuh dulu...!"
Ciauw Bok menjadi gusar. "Kau tidak mau dengar perkataanku"!" dia membentak.
"Letaki golokmu...!"
Thian Tek tertawa tergelak. "Kau ingin aku meletaki golokku" Hahaha!" ia tertawa
mengejek. Ia ayunkan pula goloknya, ia arahkan ke kepalanya si imam.
Dengan mendadak Lie Peng berteriak. "Kau...kau hendak lagi membunuh orang!"
tanyanya. Ciauw Bok Taysu juga gusar bukan main, dengan sisa tenaganya ia timpuk Thian Tek
dengan sepotong kayu di tangannya.
Thian Tek berkelit tetapi ia terlambat, mukanya kena terhajar hingga rontok ziga
buah giginya. Ia merasakan sangat sakit, ia jadi kalap, tanpa ingat budinya
Ciauw Bok, ia lantas menyerang.
Di situ ada beberapa kacung paderi, mereka ini kaget. Satu kacung langsung
tubruk Thian Tek untuk tarik lengannya, yang lainnya mengigit. Thian Tek gusar
bukan kepalang, dengan kejam, dengan dua bacokan ia bikin kedua kacung itu
rubuh. Tiang Cun Cun, Ciauw Bok dan Kanglam Cit Koay adalah orang-orang yang lihay,
akan tetapi di saat seperti ini, justru jiwa mereka sendiri terancam bahaya,
mereka Cuma bisa membuka mata menyaksikan kejadian hebat itu.
Lie Peng berteriak-teriak pula: "Hai, manusia jahat, tahan!"
Tidak ada orang yang kenali Lie Peng, walaupun suaranya nyaring. Ini nyonya
tetap mengenakan seragam, orang sangka ia adalah serdadu sebawahannya Thian Tek.
Cuma Tin Ok, walaupun ia buta, mendengar suara orang, dia tahu pasti orang
adalah seorang wanita. Maka itu sembari menghela napas, dia berkata: " Ciauw Bok
Hweshio, kami semua telah kau aniaya! Benar saja di dalam kuilmu ini kau ada
sembunyikan orang perempuan....!"
Ciauw Bok terkejut, hatinya mencekat. Ia bukannya seorang tolol, segera ia pun
sadar. Maka itu bukan main menyesalnya ia untuk kealpaannya itu.
"Binatang ini telah jual aku, dia membikin aku mencelakai sahabat-sahabatku,"
katanya dalam hati. Hampir ia pingsan saking kerasnya ia melawan
kemendongkolannya. Ia kerahkan tenaganya dengan kedua tangannya menekan lantai,
ia lompat kepada Thian Tek.
Orang she Toan itu tidak menangkis, dia hanya menyingkir sambil egos tubuhnya.
Tubuh paderi itu lewat terus, dengan cepat, tepat mengenai tiang pendopo, maka
tubuhnya rubuh dengan kepala pecah, tubuh itu tidak berkutik lagi.
Toan Thian Tek kaget, hatinya menjadi ciut, dari itu dengan sambar tangannya Lie
Peng, ia lari keluar kuil.
"Tolong! Tolong!" Lie Peng berteriak-teriak. "Tidak, aku tidak mau pergi....!"
Tapi ia ditarik terus, hingga suaranya tidak terdengar lagi.
Kuil itu menjadi berisik, semua paderi menangis karena kebinasaan guru mereka.
Mereka pun menjadi repot, akan tolongi orang-orang yang terluka, guna pindahkan
mayat. Selagi mereka bekerja, tiba-tiba mereka dengar suara apa-apa dari arah
genta, hingga mereka kaget. Kemudian belasan paderi itu menggunai dadung, akan
tarik genta itu untuk dibikin terbalik, setelah mana mereka dapatkan satu tubuh
tergelumuk menggelinding keluar. Mereka kaget, mereka lari serabutan.
Tubuh bergelumbuk itu sudah lantas lompat bangun, ia mengeluarkan napas lega. Ia
bukan lain daripada Ma Ong Sin Han Po Kie yang tadi kena ditungkrap Khu Cie Kee,
hingga ia tak mampu keluar dari jambangan dan genta itu. Ia heran dan kaget
saksikan pendopo itu, hingga ia berkoak-koak.
Kwa Tin Ok masih sadar walaupun ia terluka, ia panggil Po Kie, untuk sabarkan
padanya. Ia pun keluarkan obatnya untuk suruh satu paderi pergi obat Khu Cie Kee
dan Han Siauw Eng, ia sendiri memberi keterangan pada Po Kie perihal jalannya
pertempuran, tentang Toan Thian Tek dan si wanita yang menyamar sebagai serdadu.
"Nanti aku susul dia!" teriak Po Kie sangkin gusarnya.
"Jangan!" Tin Ok mencegah. "Nanti ada ketikanya untuk menghukum dia, sekarang
kau perlu rawat dulu saudara-saudaramu yang terluka."
Po Kie dapat dibikin sadar.
Cu Cong dan Lam Hie Jin adalah yang terluka paling parah. Thio A Seng patah
lengannya, setelah pingsan, ia sadar, ia tidak terancam bahaya.
Po Kie lantaa rawat semua saudaranya itu.
Paderi pengurus dari Hoat Hoa Sian Sie telah bekerja, disatu pihak ia ajukan
pengaduan kepada pembesar negeri, di lain pihak ia kirim kabar pada Kouw Bok
Taysu di Kong Hauw Sie, Hangciu. Jenazahnya Ciauw Bok Taysu pun lantas diurus.
Selang beberapa hari, Cie Kee dan Siauw Eng telah dapat ditolong dari racun. Cie
Kee mengerti ilmu obat-obatan, ia lantas obati Tin Ok semua, ia pun uruti
mereka, hingga selang beberapa hari, semuanya telah dapat bangun dari
pembaringan. Pada suatu hari, semua orang duduk berkumpul dengan dirundung kemasgulan hingga
mereka pada berdiam saja. Mereka menyesal sekali sudah jadi korbannya Toan Thian
Tek, hingga Ciauw Bok Taysu menjadi korban.
"Totiang, bagaimana sekarang?" Siauw Eng tanya Khu Cie Kee. Ia memangnya polos.
"Totiang berkenamaan dan kami pun bukannya orang-orang yang masih hijau, kita
sekarang rubuh di tangannya satu kurcaci, apa kata kaum kang-ouw bila peristiwa
disini sampai tersiar" Tidakkah itu sangat memalukan" Tolong Totiang tunjuki
kami bagaimana kami harus berbuat."
"Kwa Toako, kau saja yang bicara," kata Cie Kee menyahuti si nona. Ia sendiri
pun bukan main masgul, menyesal dan mendongkolnya. Ia merasakan kesembronoannya.
Coba ia tidak turuti hawa amarahnya dan berbicara dengan tenang sama Ciauw Bok,
peristiwa celaka itu pasti dapat dicegah.
Tin Ok tertawa dingin. Ia memang aneh tabiatnya. Ia malu sekali yang ia bertujuh
saudara kena dikalahi Cie Kee, terutama dirinya sendiri, yang kena ditikam
kakinya hingga tak dapat dia berjalan dengan leluasa.
"Totiang biasa malang melintang, mana kau melihat mata kepada kami!" katanya
tawar, " Tentang ini untuk apa kau menanya pula kami..."
Cie Kee tahu orang masih mendongkol, ia lantas bangkit berbnagkit untuk menjura
kepada tujuh saudara itu. "Pinto sangat menyesal, aku mohon maaf," dia bilang.
Cu Cong semua membalas hormat, Cuma Tin Ok yang diam saja, ia berpura-pura tidak
tahu. "Segala urusan kaum kang-ouw, kami tidak ada muka untuk mencampuri tahu lagi,"
kata ini ketua Kanglam Cit Koay. "Selanjutnya kami akan berdiam di sini, untuk
menangkap ikan atau mencari kayu. Asal Totiang tidak mengganggu kami, kami akan
melewati sisa hidup kami..."
Mukanya Cie Kee menjadi merah, ia jengah hingga tak dapat ia membuka mulutnya.
Selang sesaat baru ia dapat bicara.
"Aku telah menerbitkan malapetaka, lain kali tak nanti aku datang kemari untuk
membuat onar pula," katanya seraya berbangkit. "Tentang sakit hatinya Ciauw Bok
Taysu serahkan itu padaku, dengan tanganku sendiri, akan aku bunuh jahanaman
itu! Sekarang aku mohon diri..."
Ia menjura pula, lantas ia ngeloyor keluar.
"Tahan!" Tin Ok berseru.
Imam itu memutar tubuhnya. "Kwa Toako hendak menitah apa?" ia tanya. Tetap ia
sadar. "Kau telah lukakan parah saudara-saudaraku ini, apakah itu cukup dengan hanya
kata-katamu barusan?" tanya Tin Ok.
"Habis Kwa Toako memikir bagaimana?" menegaskan Cie Kee. "Apa saja yang tenagaku
dapat kerjakan, suka aku menuruti titahmu."
"Tak sanggup aku menelan peristiwa ini," Tin Ok bilang. "Aku masih ingin
menerima pengajaran dari Totiang!"
Kanglam Cit Koay gemar melakukan amal akan tetapi mereka berkepala besar, sepak
terjang mereka biasanya luar biasa, kalau tidak, tidak nanti mereka disebut "Cit
Koay" - tujuh Manusia Aneh. Mereka semua lihay, jumlah mereka pun banyak -
bertujuh - dari itu, orang malui mereka. Mereka sendiri belum pernah nampak
kegagalan, malah dengan pernah mengalahkan seratus lebih jago Hoay Yang Pang,
nama mereka jadi menggemparkan dunia Kang-ouw. Sekarang mereka kalah di tangan
Khu Cie Kee satu orang, bagaimana mereka tidak menjadi penasaran"
Cie Kee terkejut. "Pinto telah terkena senjata rahasiamu, Kwa Toako," kata ia,
tetap tenang. "Tanpa pertolonganmu, pasti sekarang aku telah berada di Negara
Setan. Di dalam urusan kita ini, walaupun benar pinto telah lukai kamu,
kenyataannya adalah pinto telah rubuh, maka itu pinto menyerah kalah..."
"Kalau begitu, letaki pedang di bebokongmu itu!" bentak Tin Ok. "Dengan
meninggalkan pedangmu, suka aku melepas kau pergi!"
Bukan main mendongkolnya Cie Kee, di dalam hati ia berkata: "Aku telah beri muka
kepada kamu, aku telah menghanturkan maaf dan mengaku kalah, kenapa kamu masih
merasa belum cukup?" Ia lantas menjawab: "Pedang ini adalah alat pembela diriku,
sama saja dengan tongkat Kwa Toako..."
Tin Ok tapi tetap murka. "Kau pandang entang kakiku pengkor"!" ia membentak.
"Pinto tidak berani," sahut si imam itu.
Dalam murkanya, Tin Ok bilang: "sekarang kita sama-sama terluka, sulit untuk
kita bertempur lagi, maka itu baiklah lain tahun pada hari ini, aku minta
totiang membuat pertemuan pula di Cui Siang Lauw!"
Cie Kee mengerutkan keningnya. Ia sangat masgul. Ia tahu Cit Koay bukan orang
busuk, tak dapat ia layani mereka. Bagaimana ia bisa loloskan diri dari mereka
itu" Pula ada sulit untuk melayani mereka bertempur pada lain tahun. Ia
bersendirian dan mereka bertujuh. Mungkin sekali, selama tempo satu tahun,
mereka itu akan tambah kepandaiannya. Ia pun bisa berlatih diri tapi barangkali
sukar untuk beroleh kemajuan. Ia terus berpikir, sampai ia dapat satu pikiran.
"Tuan-tuan, kamu hendak adu kepandaian yang memutuskan denganku, tidak ada
halangannya," ia berkata. "Hanya untuk itu, syaratnya haruslah pinto yang
menetapkannya. Kalau tidak, pinto suka menyerah kalah saja."
Han Po Kie bersama Siauw Aeng dan A Seng bnagkit berdiri, dan CU Cong dan
lainnya yang terluka mengangkat kepalanya dari pembaringan. Hampir berbareng
mereka itu kata: "Kalau Kanglam Cit Koay bertaruh selamanya adalah pihak sana
yang memilih tempat dan waktunya!"
Cie Kee tersenyum dapatkan orang demikian gemar menang sendiri.
"Apakah kamu suka terima syarat apapun?" dia tanya.
Cu Cong dan Coan Kim Hoat adalah yang tercerdik di antara saudara-saudaranya,
mereka tidak jeri. "Kau sebutkan saja syaratmu!" kata mereka. Di dalam hatinya mereka berkata:
"Tidak peduli kau pakai akal licin apa juga, mustahil kami nanti kalah..."
"Kata-katanya satu kuncu?" berkata imam itu.
"Sama cepatnya dengan satu cambukan kuda!" sahut Siauw Eng lantas.
Kwa Tin Ok masih sedang memikir ketika Khu Cie Kee berkata pula: "Mengenai
syaratku ini, masih tetap berlaku kata-kataku tadi. Ialah umpama kata tuan-tuan
anggap tidak sempurna, pinto tetap suka menyerah kalah!"
Dengan ini, imam itu memancing hawa amarah ke tujuh Manusia Aneh itu. Ia tahu
benar Cit Koay adalah sangat besar kepala.
"Jangan kau coba pancing hawa amarah kami!" Tin Ok memotong. "Lekas kau bicara!"
Cie Kee lantas berduduk. "Syaratku ini ada meminta tempo yang lama," ia menyahut dengan sabar. "Tapi apa
yang kita akan adu adalah kepandaian sejati. Aku sendiri tidak menghendaki cara
mengandali kekosenan saja, dengan menggunai alat senjata atau kepalan dan
tendangan. Kepandaian semacam itu, siapa menyakinkan ilmu silat tentunya semua
mengerti. Bukankah kita, kaum Rimba Persilatan yang kenamaan tak dapat berlaku
demikian cupat sebagai anak-anak muda yang terlahir belakangan?"
Kanglam Cit Koay saling mengawasi, hati mereka masing-masing menduga: "Kau tidak
hendak menggunai senjata, tangan dan kaki, habis apakah syaratmu itu?" Maka
mereka menanti penjelasan.
Cie Kee berkata pula, dengan sikapnya yang agung. "Biar bagaimana, kita mesti
melakukan suatu pertempuran yang memutuskan. Aku akan menghadapi kalian
bertujuh, tuan-tuan! Kita bukan Cuma mengadu kepandaian, juga mengadu kesabaran,
kita memakai akal budi. Marilah kita lihat, siapakah yang paling gagah - satu
enghiong sajati!" Kata-kata ini membuat darahnya Kanglam Cit Koay mengalir deras.
"Lekas bilang, lekas!" Han Siauw Eng. "Semakin sulit adanya syarat, semakin
baik!" Cu Cong tapinya tertawa. Ia berkata: "Kalau syaratmu itu adalah untuk mengadu
bertapa atau membikin obat mujarab atau membikin surat jimat guna menangkap roh-
roh jahat, maka kami bukanlah tandingan kamu bangsa imam!"
Khu Cie Kee pun tertawa. "Pinto juga tidak berpikir untuk adu kepandaian sama Cu Jieko dalam hal mencuri
ayam atau meraba-raba anjing atau mengulur tangan menuntun kambing!" Ia
maksudkan ilmu mencopet. Mendengar itu Siauw Eng pun tertawa. "Lekas bicara, lekas!" ia mendesak pula.
"Jikalau kita mencari pokok sebabnya," kata Tiang Cun Cu dengan tenang,
"Biangnya gara-gara hingga kita bertempur dan saling melukai adalah urusan
menolongi turunannya orang-orang gagah, oleh karena itu, baiklah kita kembali
kepada sebab musabab itu."
Dengan "orang gagah" imam itu maksudkan "ho-kiat" atau "enghiong". Lalu ia
menjelaskan tentang persahabatannya sama Kwee Siauw Thian dan Yo Tiat Sim - yang
ia maksudkan si orang-orang gagah itu - yang mengalami nasib celaka, karena itu
ia telah ubar-ubar Toan Thian Tek. Ia juga tuturkan bagaimana caranya ia kejar


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Thian Tek itu, tetapi sangkin licinnya, Thian Tek saban-saban dapat meloloskan
diri. Selagi memasang kuping, beberapa kali Kanglam Cit Koay mengutuk bangsa Kim serta
pemerintah Song yang sewenang-wenang dan kejam.
Habis menutur, Cie Kee tambahkan: "Orang yang Toan Thian Tek bawa lari itu
adalah Lie-sie, istrinya Kwee Siauw Thian. Kecuali Kwa Toako bersama saudara
Han, empat saudara lainnya telah pernah lihat mereka itu"
"Aku ingat suaranya Lie-sie itu," kata Kwa Tin Ok. "Umpama berselang lagi tiga
puluh tahun, tidak nanti aku dapat melupakannya."
"Tentang istri Yo Tiat Sim, yaitu Pauw-sie," Cie Kee menambahkan, "Aku masih
belum tahu dia ada dimana. Pernah pinto melihat romanya Pauw-sie, tidak dengan
demikian tuan-tuan. Inilah yang pinto hendak gunai sebagai syarat pertaruhan
kita..." Siauw Eng segera menyela: "Kami pergi tolongi Lie-sie, kau pergi tolong Pauw-
sie! Siapa yang lebih dulu berhasil, dia yang menang, bukankah?"
Khu Cie Kee tersenyum. "Cuma menolongi saja?" ia ulangi. "Untuk pergi mencari dan menolongi, itu memang
benar bukannya kerjaan terlalu gampang, akan tetapi selain itu, masih ada hal
yang terlebih sukar lagi, yang meminta banyak waktu, tenaga dan pikiran.."
"Apakah adanya itu?" Kwa Tin Ok bertanya.
"Akan aku jelaskan," jawab si imam. "Dua-duanya Pauw-sie dan Lie-sie itu sama-
sama lagi mengandung. Pinto ingin setelah dapat cari dan tolong mereka, kita
mesti pernahkan mereka itu. Kita tunggu sampai mereka telah melahirkan anak,
lalu anak-anak mereka itu kita rawat dan didik dalam ilmu silat. Pinto akan
didik anak Yo Tiat Sim dan tuan-tuan bertujuh merawat anaknya Kwee Siauw Thian..."
Tujuh bersaudara itu membuka mulut mereka. Heran untuk kata-kata si imam.
"Bagaimana sebenarnya?" Han Po Kie tanya
"Kita menanti sampai lagi delapan belas tahun," menerangkan Tiang Cun Cu. "Itu
waktu, anak-naka itu telah berumur delapan belas tahun, lalu kita ajak mereka ke
Kee-hin, untuk membuat pertemuan di Cui Sian Lauw. Berbareng dengan itu, kita
undang sejumlah orang gagah lainnya untuk menjadi saksi. Kita membuatnya pesta,
sesudah puas makan minum, baru kita suruh kedua anak itu adu kepandaian. Di situ
nanti kita lihat, murid pinto yang berhasil atau muridnya tuan-tuan bertujuh!"
Tjuh bersaudara itu saling memandang, tidak ada satu jua yang segara menjawab
imam itu. Bukankah syarat itu ada sangat luar biasa"
"Jikalau tuan-tuan bertujuh yang bertempur sama aku, umpama kata kamu yang
menang, itu tidak ada artinya," Cie Kee berkata pula. "Bukankah tuan-tuan menang
karena jumlah yang banyak lawan jumlah yang sedikit" Kemenangan itu bukan
kemenangan yang mentereng! Dengan syarat kita ini aku nanti turunkan
kepandaianku kepada satu orang, tuan-tuan pun mewariskan kepandaian kamu kepada
satu orang juga, setelah itu mereka bertanding satu lawan satu, sampai itu
waktu, andaikata muridku yang menang, bukankah tuan-tuan akan merasa puas?"
Akhirnya Tin Ok ketruki tongkat besinya ke lantai. "Baiklah, secara demikian
kita bertaruh! katanya. Tapi Coan Kim Hoat campur bicara. Ia tanya: "Bagaimana kalau pertolongan kami
terlambat, dan Lie-sie keburu dibikin binasa oleh Toan Thian Tek?"
"Biarlah kita sekalian adu keberuntungan juga!" sahut Cie Kee. "Jikalau Thian
menghendaki aku yang menang, apa hendak dibilang?"
"Baik!" Han Po Kie juga turut bicara. "Memang menolong anak piatu dan janda juga
adalah perbuatan yang mulia, umpama kami tak dapat lawan kamu, kami toh telah
lakukan juga satu perbuatan yang baik."
Cie Kee tonjolkan jempolnya. "Han Samya benar!" pujinya. "Tuan-tuan berkenan
menolongi abak yatim piatu dari keluarga Kwee itu, untuk ini sekarang pinto
wakilkan saudara Kwee menghanturkan terima kasih terlebih dahulu!" Dan ia lantas
menjura dalam. "Cara pertaruhan ini adalah terlalu licin," berkata Cu Cong kemudian. "Cuma
dengan beberapa kata-katamu ini, kau hendak membikin kamu bercapek lelah selama
delapan belas tahun!"
Wajahnya Khu Cie Kee berubah, akan tetapi ia berdongak dan tertawa besar.
"Apakah yang lucu?" tanya Han Siauw Eng.
"Selama dalam dunia kang-ouw telah aku dengar nama besar dari Kanglam Cit Koay,"
sahut si imam yang ditanya, "Orang umumnya bilang mereka itu gemar sekali
menolong sesamanya, mereka gagah perkasa dan mulia, tetapi hari ini bertemu
dengan kamu - hahaha!"
Kanglam Cit Koay menjadi panas hatinya. Han Po Kie segera menghajar bangku
dengan tangannya. Ia hendak bicara tetapi si imam dului dia.
"Sejak zaman dahulu hingga sekarang ini," kata Cie Kee. "Kalau satu orang gagah
sejati bersahabt, dia bersahabat untuk menjual jiwanya, ialah denagn segala
urusan ia bersedia untuk mengorbankan dirinya. Pengorbanan itu tidak ada
artinya! Bukankah kita belum pernah dengar bahwa di jaman dahulu ada Keng Ko dan
Liap Ceng berhitungan?"
Wajahnya Cu Cong menjadi pucat, tak ada sinarnya. "Tidak salah apa yang totiang
bilang!" katanya sambil goyang kipasnya. "Aku mengaku keliru! Baiklah, kita
bertujuh akan terima tanggung jawab kita ini!"
Khu Cie Kee lantas berbangkit.
"Hari ini adalah tanggal dua puluh empat bulan tiga," ia berkata pula, "Maka itu
lagi delapan belas tahun, kita akan bertemun pula di rumah makan Cui Siang Lauw,
untuk orang-orang gagah di kolong langit ini menyaksikan siapa sebenarnya laki-
laki sejati!" Habis berkata, seraya kibaskan tangannya, ia bertindak pergi.
"Nanti aku susul Toan Thian Tek!" kata Han Po Kie. "Dia tak dapat dibiarkan
menghilang, hingga pastilah sulit kita mencari padanya!"
Di antara Cit Koay, dialah yang tidak terluka. Setelah berkata begitu, ia lantas
lari keluar, untuk terus menaiki kudanya, guna susul Thian Tek.
"Sha-tee! Sha-tee! Cu Cong memanggil-manggil. "Kau tidak kenal mereka itu!".
Dengan mereka, orang she Cu ini menyebutkannya Thian Tek dan Lie Peng.
Tetapi Po Kie si tak sabaran telah pergi jauh.
Thian Tek telah angkat kaki dengan naik perahu. Ketika ia tarik Lie Peng keluar
dari tempat berbahaya itu, lega hatinya apabila ia menoleh ke belakang, ia tak
tampak ada orang yang kejar atau susul padanya. Ia cerdik, maka itu segera ia
menuju ke sungai, malah tanpa memilih kenderaan air lagi, ia lompat naik ke
sebuah perahu, ia ajak Lie Peng bersama.
"Lekas berangkat!" ia membentak tukang perahu sambil ia cabut goloknya.
Kanglam adalah daerah air, disana ada banyak sungai atau kali, dari itu,
kendaraan air adalah alat penghubung atau pengangkut yang paling umum, sama saja
dengan kuda atau keledai di Utara. begitu muncul kata-kata: "Orang Utara naik
kuda, orang Selatan naik perahu."
Tukang perahu itu ketakutan lihat orang demikian galak., ia buka tambatan
perahunya, ia lantas mengayuh. Dengan lekas ia keluar dari daerah kota.
Thian Tek lantas asah otaknya: "Aku telah terbitkan onar besar, tak dapat aku
pulang untuk pangku pula jabatanku. Baiklah aku pergi ke Utara untuk menyingkir
dulu dari ancaman bahaya. Semoga itu imam bangsat dan tujuh siluman dari Kanglam
itu bertempur hingga mampus semuanya, supaya aku dapat kembali ke Lim-an."
Kudanya Po Kie lari pesat, tetapi ia hanya mondar-mandir di darat, tentu sekali
ia tak dapat cari Thian Tek, apapula ia kenali roman orang itu. Ia tanya-tanya
orang akan tetapi pertanyaannya tidak jelas.
Thian Tek tunjuki terus kelicinannya. ia menukar perahu beberapa kali. Berselang
belasan hari, tibalah ia di Yangciu. Paling dulu ia mencari rumah penginapan. Ia
telah memikir untuk cari suatu tempat untuk bertinggal buat sementara waktu.
Sebab bukanlah soal yang sempurna untuk terus-terusan berkelana dengan hati
tidak tentram. Itu hari selagi berada di dalam kamar, ia dengar suara Han Po Kie tengah
berbicara sama pemilik penginapan, menanyakan tentang dia dan Lie Peng. Ia kaget
tetapi ia berlaku tenang. Dari dalam kamarnya ia mengintai, memasang mata. Ia
lihat tegas seorang kate dampak yang romannya jelek sekali yang berbicara dengan
lidah Kee-hin. Setelah merasa pasti bahwa orang adalah salah satu Cit Koay, ia
tarik tangannya Lie Peng untuk diajak segera menyingkir dari pintu belakang.
Kembali ia menyewa sebuah perahu. tak sudi ia berjalan sedikit juga. Ia berlayar
terus ke Utara, hingga mereka sampai di perhentian Lie-kok-ek, di tepi telaga
Bie San Ouw di wilayah propinsi Shoatang. Belum sampai setengah bulan ia berdiam
di tepi telaga itu, Han Po Kie dapat susul ia. Malah Po Kie ada bersama denagn
satu nona. Adalah pikirannya Thian Tek, untuk keram diri di dalam kamarnya , akan tetapi
Lie Peng, yang merasa ada bintang penolongnya, sudah lantas menjerit-jerit. Akan
tetapi ia adalah satu wanita lemah, ia diringkus Thian Tek, dibekap mulutnya
dengan selimut. Ia pun telah dipukuli. Setiap kali ia berlepas tangan atau
mulutnya, ia terus berontak dan berteriak-teriak. Syukur untuk Thian Tek, Po Kie
bersama kawannya yaitu Siuaw Eng, adiknya, tidak mendengar apa-apa.
Dalam sengitnya, saking khawatirnya, Thian Tek berniat membunuh Nyonya Kwee itu.
Ia telah hunus pedangnya, ia dekati Lie-sie.
Nyonya Kwee telah tawar hatinya sejak kebinasaan suaminya, ia sebenarnya sudah
memikir untuk bunuh diri, lebih baik bia ia bisa binasa bersama musuhnya itu,
maka itu, menampak sikapnya Thian Tek itu, ia tidak takut, ia justru diam-diam
memuji kepada roh suaminya: "Engko Siauw, engko Siauw, aku mohon kepadamu, ingin
aku supaya sebelum datang saatnya, aku bertemu pula denganmu, kau lindungi
kepadaku, agar dapat aku membinasakan manusia jahat ini!" Lalu dengan diam-diam,
ia siapkan pisau belati atau badik yang Cie Kee hadiahkan kepadanya.
Thian Tek tersenyum aneh, ia angkat tangannya untuk dikasih turun denagn
bacokannya. Lie Peng tidak mengerti silat, tetapi telah bulat tekadnya, maka itu sebaliknya
dari ketakutan, ia justru mendahului sambil menubruk, ia menikam!
Thian Tek kaget dan heran. Inilah ia tidak sangka. Maka terpaksa ia gunai
goloknya untuk menangkis.
"Trang!" demikian satu suara nyaring.
Untuk kagetnya manusia busuk ini, ujung goloknya putus dan jatuh ke tanah dan
ujung pisau belati menyambar terus ke dadanya. Dalam kagetnya ia buang diri ke
belakang, tetapi tak urung, bajunya kena terobek, dadanya kena tergurat, hingga
darahnya lantas mengucur keluar. Coba Lie-sie bertenaga cukup, dadanya itu pasti
telah tertancap pisau belati itu.
Untuk bela diri terlebih jauh, Thian Tek sambar sebuah kursi. "Simpan
senjatamu!" ia membentak. "Aku tak akan membunuh padamu!"
Lie Peng sendiri telah lemas kaki dan tangan dan tubuhnya, ia telah keluarkan
tenaga terlalu besar, ia sudah umbar hebat hawa amarahnya tanpa merasa ia
membuat kandungannya tergerak, hingga bayi di dalam perutnya itu meronta-ronta.
Dengan letih ia jatuhkan diri ke kursi, napasnya memburu. Tapi ia masih ingat
akan pisau belatinya yang ia pegangi keras-keras.
Thian Tek tetap jerih untuk Han Po Kie beramai, ia juga tak dapat lari seorang
diri, sudah kepalang tanggung, ia terus membawa Lie Peng. Kali ini ia kembali
naik perahu, tetap ia menuju ke Utara. Ia melalui Lim-ceng dan Tek-ciu dan tiba
di propinsi Hoopak. Selama itu rasa takutnya tak jadi berkurang. Setiap ia
mendarat, selama tinggal di penginapan, saban-saban ada orang mencari dia.
Syukur ia waspada dan cerdik, selalu dapat ia menjauhkan diri dari mereka itu.
Ia peroleh kenyataan, kecuali si kate terokmok dan si nona, ada lagi seorang
lain yang cari padanya, ialah seorang pincang dan bermata buta yang membawa-bawa
sebatang tongkat besi. Syukur untuknya, tiga orang itu tidak kenali dia,
walaupun kedua pihak bertemu muka, mereka itu tidak kenali padanya. Ini yang
menyebabkan ia selamanya dapat lolos.
Tidak lama kemudian, Thian Tek dapat godaan lain. Dengan tiba-tiba otaknya Lie
Peng terganggu, baik selama di penginapan, maupun di tengah perjalanan, nyonya
Kwee suka ngoceh tidak karuan, ada kalanya ia robek bajunya atau bikin kusut
rambutnya, hingga mereka jadi menarik perhatian orang. Ia menjadi masgul dan
bingung sekali. Kelakuan si nyonya itu gampang menimbulkan kecurigaan orang.
Kemudian ia menjadi mendongkol. Ia dapat kenyataan si nyonya si nyonya bukan
gila benar-benar, ia hanya berpura-pura edan, untuk sengaja menarik perhatian
orang, supaya tentang perjalanan mereka - ke mana saja mereka menuju - ada
menimbulkan bekas. Ia marah tetapi ia tidak bisa berlaku keras kepada nyonya itu
kecuali ia mengancam agar si nyonya terus ikut padanya. Ia jadi semkin hati-
hati. Ketika itu hawa udara telah mulai berubah. Hawa panas mulai lenyap, sang angin
sejuk telah mulai menghembus. Udara begini tidak terlalu mengganggu orang-orang
yang membuat perjalanan, malah menyenangkan.
Thian Tek telah menyingkir jauh ke utara, akan tetapi ia tetap dibayangi
pengejar-pengejarnya. Celaka untuknya, setelah berjalan jauh dan melewatkan
banyak hari, bekalan uangnya mulai habis. Pada suatu, saking uring-uringan, ia
ngoceh seorang diri: "Selama aku pangku pangku di Hangciu, bagaimana senangnya
aku. Setiap hari aku bisa dahar dan minum enak, dapat ku bersenang-senang dengan
wanita-wanita cantik, tetapi dasar pangeran Kim yang keenam itu yang kemaruk
sama istri orang, dia telah celakai aku hingga begini..."
Justru ia ngoceh ini, mendadak ia dapat ingat suatu apa. "Bukankah aku telah
tidak jauh dari Yan-khia?" demikian ia ingat. "Kenapa aku tidak pergi kepada
Liok-taycu?" Liok-taycu itu adalah putra keenam dari raja Kim, itu pangeran Kim yang ia
maksudkan. Tanpa ragu-ragu lagi, ia bernagkat menuju ke Yan-khia, ibukota
kerjaan Kim itu. Ibukota Yan-khia itu disebut juga Tiong-touw atau Chungtu, artinya "Kota
Tengah". Sekarang ini ialah kota Pakkhia (Peking). Di sana Thian Tek langsung
mencari istananya pangeran itu, ialah Tio Ong atau Chao Wang (Pangeran Tio atau
Chao) Kapan Wanyen Lieh dengar tentang kedatangannya satu perwira dari selatan, ia
lantas ijinkan orang menemui dia. Ia terkejut akan ketahui, tetamunya adalah
Toan Thian Tek dan orang ingin numpangi diri kepadanya. Ia lantas mengerutkan
kening, mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tak nyata. Didalam hatinya, ia
berpikir: "Tentang Pauw-sie, aku masih belum dapat mempernahkannya, bagaimana
aku bisa menerima Thian Tek" Ia tahu rahasiaku, kalau ia membocorkannya, urusan
bisa menjadi rewel. Kenapa aku mesti meninggalkan satu , mulut hidup" Bukankah
ada peribahasa kuno yang mengatakannya, "Yang cupat pikirannya kuncu, yang tak
kejam bukannya satu laki-laki?" Karena ini ia lantas tersenyum.
"Kau baru sampai dari satu perjalanan jauh, kau tentunya letih, pergilah
beristirahat dulu," katanya dengan manis.
Thian Tek mengucap terima kasih. Ia sebenarnya hendak beritahu juga bahwa ia
datang bersama Lie Peng, tetapi satu hambanya pangeran itu muncul dengan tiba-
tiba mengabarkan 'kunjungannya Sam-ongya' - pangeran yang ketiga.
Wanyen Lieh bangkit dari kursinya. "Pergilah kau beristirahat!" katanya sambil
ia mengibaskan tangannya, setelah mana ia bertindak untuk sambut tetamunya.
Sam-ongya itu adalah Wanyen Yung Chi, putra yang ketiga dari Wanyen Ching, raja
Kim. Ia bergelar Wei Wang atau Wee Ong, pangeran Wei atau Wee. Di antara
saudara-saudaranya, ia bergaul paling erat dengan Wanyen Lieh, sang adik. Ia ada
lemah, maka itu, dalam segala hal, ia suka dengari adiknya yang cerdik dan
tangkas. Pada masa itu pemimpin bangsa Mongolia, Temuchin sudah mulai kuat kedudukannya,
tetapi ia takluk kepada bangsa Kim, ia malah membantui negara Kim memusnahkan
bnagsa Tartar, oleh karena mana, guna menghargai jasanya itu, raja Kim utus
Wanyen Yung Chi, sang putra pergi menganugerahkan Temuchin sebagai Pak Kiang
Ciauw-touw-su, semacam kommissaris tinggi. Di samping itu, kepergian putra ini
sebenarnya guna melihat sendiri keadaan bangsa Monglia itu. Karena tugasnya ini,
Wee Ong telah datang menemui Tio Ong, untuk memohon pikiran.
"Bangsa Monglia itu tak tetap tempat tinggalnya," berkata Wanyen Lieh. "Mereka
juga bertabiat kasar, gemar mereka menghina yang lemah tetapi jerih terhadap
yang kuat, untuk pergi ke sana, kakak harus membawa satu pasukan tentera yang
terpilih, supaya melihat keangkeran kita, hatinya menjadi ciut. Denagn begitu,
selanjutnya mereka tidak akan berani berontak."
Wanyen Yung Chi terima baik nasehat itu, ia mengucapkan terima kasih, setelah
omong-omong lagi sebentar ia pamitan. Ketika ia hendak berbnagkit, adik itu
berkata kepadanya: "Hari ini ada datang padaku satu mata-mata dari kerajaan
Selatan." "Begitu?" tanya sang kakak, heran, "Habis?"
"Dia datang untuk tumpangkan diri padaku," sahut adik itu. "Itulah alasannya
belaka, sebenarnya ia hendak mencari tahu keadaan kita bangsa Kim."
"Kalau begitu, bunuh saja padanya!" kata sang kakak.
"Tindakan itu tidak sempurna," Wanyen Lieh bilang. "Kakak tahu sendiri
kecerdikan bangsa Selatan itu. Mungkin mata-mata yang datang bukan dia satu
orang, kalau dia ini dibunuh, yang lainnya pasti bakal jadi waspada. Aku pikir
hendak mohon kakak bawa ia pergi ke utara."
"Bawa ia ke Utara?" Yung Chi tanya.
"Ya" sahut Wanyen Lieh. "Di sana, di padang gurun, di mana tidak ada lain orang,
dengan cari satu alasan kakak boleh hukum mati padanya. Di sini aku nanti layani
lain-lainnya mata-mata."
"Bagus!" Yung Chi bertepuk tangan, dia tertawa riang. "Sebentar kau kirim dia
padaku, bilang saja dia hendak dijadikan pengiringku."
Sang adik menjadi girang. "Baik!" katanya.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sore itu Wanyen Lieh tidak panggil Toan Thian Tek menghadap lagi padanya, hanya
sambil dibekali uang perak dua potong, dia suruh Thian Tek pergi ke istana Wei
Wang untuk bantu pangeran itu, katanya.
Thian Tek tidak tahu rencana orang, ia menurut saja. Ia khawatir Lie Peng nanti
buka rahasianya, ia tetap ajak nyonya itu. Ia mempengaruhinya hingga si nyonya
diam saja. Sedang si nyonya ini masih mengharapkan datangnya pertolongan
padanya........ Berselang beberapa hari, Wanyen Yung Chi berangkat ke Monglia, dia ajak Thian
Tek bersama. Sementara itu perutnya Lie Peng makin menjadi besar, perjalanan jauh denagn
menunggang kuda, sangat meletihkan dia. Tapi ia telah bertekad untuk membalas
sakit hatinya, dia kuatkan hati dan tubuhnya untuk lawan penderitaan ini. Di
lain pihak ia jaga diri baik-baik agar tentara Kim tidak tahu siapa dia.
Demikian untuk beberapa puluh hari, dia terus menderita.
Wanyen Yung chi berangkat bersama seribu serdadu pilihan yang semua kelihatan
gagah dan mentereng. Dia sengaja menunjuki pengaruh menurut nasihat Wanyen Lieh.
Pada suatu hari tibalah barisan ini di satu tempat dekat dengan perkemahan
Temuchin. Wanyen Yung Chi lantas kirim belasan serdadunya untuk memberi warta
terlebih dahulu tentang tibanya itu sekalian menitahkan Temuchin datang
menyambut utusan Kim. Tatkala itu bulan kedelapan untuk di Utara, hawa ada dingin luar biasa. kapan
sang malam tiba, salju beterbangan turun bagaikan lembaran-lembaran unga.
Diwaktu begini, barisan dari seribu serdadu pilihan dari bangsa Kim berjalan
berlerot bagaikan seekor ular panjang, berjalan di padang pasir yang seperti tak
ada ujung pangkalnya. Selagi pasukan ini berjalan terus, sekonyong-konyong orang mendapat dengar suara
berisik yang datangnya dari arah utara, suara seperti satu pertempuran. Selagi
Wanyen Yung Chi terheran-heran, ia lantas tampak lari mendatangi satu pasukan
kecil serdadu. "Sam-ongya, lekas kasih perintah untuk bersiap untuk berperang!" demikian kata
perwiranya yang pimpin pasukan kecil itu setibanya dia di depan pangeran Kim
itu. Dialah Ouw See Houw.
Yung Chi menjadi kaget. "Pasukan musuh manakah itu?" dia bertanya.
"Mana aku tahu"!" sahut si perwira yang lantas saja mengatur barisannya. Ia
keprak kudanya untuk maju ke depan.
Hampir itu waktu, apa yang disebutkan tentara musuh itu, sudah datang dekat
sekali. Mereka itu terpencar si segala penjuru, memenuhi bukit dan tegalan di
hadapan angaktan perang Kim itu.
Ouw See Houw ada satu panglima yang berpengalaman yang diandalkan negeranya,
sebaliknya Wanyen Yung Chi lemah, dia tak dapat berpikir, maka itu kepala perang
ini telah melancangi pangeran itu untuk mengatur persiapan.
Segera juga terlihat suatu keanehan. Tentara 'musuh' itu bukan terus menerjang
pasukan Kim, hanya mereka kabur keempat penjuru. Kapan Ouw See Houw sudah
mengawasi sekian lama, ia dapat kenyataan, itulah pasukan sisa yang habis kalah
perang, yang telah membuang panah dan tombak mereka, semua tidak menunggang
kuda, roman mereka ketakutan. Disamping itu di belakang mereka menerjang
sejumlah pasukan berkuda, hingga banyak serdadu yang kena terinjak-injak.
Ouw See Houw berlaku tabah. ia beri perintah akan tenteranya mengurung pangerang
mereka, untuk melindungi. Mereka bersiap tanpa bersuara.
Tentera musuh yang kabur itu melihat pasukan Kim, mereka lari tanpa berani
datang mendekati, mereka kabur jauh-jauh.
Tiba-tiba dari arah kiri terdengar ramai suara terompet tanduk, di situ muncvul
satu pasukan serdadu, yang terus menerjang tentera sisa. Tentera sisa ini
berjumlah lebih besar tapi mereka tidak berdaya terhadap pasukan berkuda ynag
jauh lebih kecil itu. Terpaksa untuk menyingkir, tentara sisa ini meluruk ke
arah pasukan Kim. "Lepaskan panah" Ouw See Houw memberi titah.
Tentara sisa itu segera diserang, sejumlah diantaranya lantas rubuh, akan tetapi
jumlah mereka banyak, mereka pun lagi ketakutan, mereka menerobos terus. Dengan
sendirinya mereka jadi bertempur sama tentara Kim. Hebat akibatnya untuk tentara
Kim itu, yang berjumlah lebih sedikit. Kekalutan sudah lantas terjadi, musuh dan
kawan bercampur menjadi satu, bergumul.
Ouw See Houw kewalahan, maka bersama sejumlah serdadu ia lindungi Wanyen Yung
Chi mundur ke arah selatan.
Bab 7. Adu Panah Lie Peng ada bersama Toan Thian Tek, mereka masing-masing menunggang satu kuda,
tetapi serbuan sisa tentera "musuh" itu demikian hebat, mereka ke dibikin
terpencar, terpaksa nyonya Kwee lari sendirian. Syukur untuknya, karena sisa
tentera itu main saling selamatan diri sendiri, ia tidak mendapat gangguan.
Hanya sesudah lari serintasan, ia merasakan perutnya mulas, sakit sekali, hingga
tanpa dapat ditahan lagi, ia rubuh dari kudanya. Ia pingsan. Entah sudah lewat
berapa lama, ia sadar sendirinya dengan perlahan-lahan. Untuk kagetnya, samar-
samar ia dengar tangisan bayi. Ia belum sadar betul, tak tahu ia dirinya berada
di dunia baka atau masih hidup. Ia hanya dengar tangisan itu makin lama makin
keras. Ia geraki tubuhnya, tapi ia merasa ada benda yang membanduli perutnya.
Ketika itu masih malam, sang rembulan mengencang di atas langit, muncul di
antara sang awan. Sekarang baru Lie Peng sadar betul, setelah ia melihat dengan
tegas, tanpa merasa ia menangis menggerung-gerung. Nyatalah dalam keadaan
seperti itu, ia telah melahirkan anak.......
Cepat nyonya itu berduduk, ia angkat bayinya itu, untuk kegirangannya, ia
dapatkan satu bayi laki-laki. Ia mengeluarkan air mata kegirangan yang
berlimmpah-limpah. Dengan gigitan ia bikin putus tali pusar, setelah mana ia
peluki anaknya. Di bawah terangnya sang rembulan, bayi itu nampak cakap, suaranya pun nyaring,
potongan wajahnya mirip dengan suaminya Kwee Siauw Thian. Roman anak ini telah
membantu menguatkan semangatnya, kalau tadinya ia telah berputus asa, sekarang
timbullah harapannya. Entah dari mana datangnya tenaganya, Lie-sie mencoba menggunai kedua tangannya,
akan menggali pasir, untuk membuat sebuah liang yang besar dimana bersama
bayinya ia bisa menyingkir dari angin dan salju. Dari situ ia bisa dengar
rintihan serdadu-serdadu yang terluka parah atau hendak mati dan ringkikannya
banyak kuda perang. Buat dua malam satu hari, Lie Peng mendekam di liangnya itu, lalu dihari ketiga,
tak tahan ia akan rasa laparnya. Air ada air salju tapi barang daharan, tidak
ada sama sekali. Terpaksa ia merayap keluar. Di sekitarnya tidak ada seorang
juga kecuali mayat-mayat serdadu dan kuda-kuda. Karena hawa dingin, semua mayat
serdadu dan bangkai itu belum busuk. Cuma pemandangannya yang sangat
menggiriskan hati. mau tidak mau, Lie-sie mesti kuatkan hati.
Lie-sie coba geledah tubuhnya myat-mayat itu untk cari rangsum kering. Ia
dapatkan sejumlah sisa. Lalu ia coba menyalakan api, dengan itu ia pun dapat
bakar daging kuda. Ia dapatkan golok dengan gampang karena di situ bergeletakan
banyak alat senjata. Buat tujuh atau delapan hari, Lie-sie dapat berdiam disitu bersama bayinya,
setelah ia mulai dapat pulang kesegarannya, ia gendong bayinya untuk di bawa
pergi ke araha timur. Ia mesti terus berjalan di tempat yang sepi dimana ada
terdapat pepohonan dan tegalan rumput. Sampai tiba-tiba ia mendengar anak panah
mengaung di atasan kepalanya. Kaget ia, hingga keras sekali ia rangkul bayinya.
Segera terlihat dua penunggang kuda, mendatangi dari arah depan.
"Siapa kau?" tanya salah satu diantara dua penunggang kuda itu.
Lie Peng tidak buka rahasia, ia Cuma kata ia lagi lewat di situ tempo ia
terhalang oleh pertempuran tentera, hingga ia mesti melahirkan anak seorang
diri. Dua penunggang kuda itu adalah orang Monglia, mereka itu berbaik hati, walaupun
mereka tidak tahu jelas, apa katanya Lie.sie, mereka jaka si nyonya ke tendanya,
untuk dikasih tempat meneduh dan barang makanan, untuk kemudian ibu dan bayinya
itu tidur guna melepaskan lelah dan kantuknya.
Orang Monglia itu tidak berumah tangga, sebagai pengembala tak tentu tempat
tinggalnya, dengan mengiring binatang piarannya, mereka biasa pergi ke timur
atau ke barat untuk mencari makanan binatang, guna mencari air, sebagai rumah
adalah tenda yang bertenung daripada bulu binatang, guna melindungi diri dari
gangguan angin dan hujan. Demikian telah terjadi dengan Lie-sie, ketika kedua
penolongnya hendak berpindah tempat, terpaksa ia ditinggal pergi. Akan tetapi
dua orang itu tidak menolong kepalang tanggung, diwaktu hendak berangkat, mereka
meninggalkan tiga ekor kambing.
Maka mulailah Lie Peng mesti bercape lelah, untuk hidup sendiri. Hidup sendiri,
sebab bayinya masih belum mengerti suatu apa pun. Ia mesti membangun satu gubuk
dengan beratap daun. Untuk hidupnya, ia mulai bertenun yang hasilnya ia dengan
barang makanan. Bisalah dibayangi, bagaimana hebat penderitaannya itu. Oleh
karena kebiasaan, ia pun dapat hidup sebagai orang Mongolia, malah tanpa terasa
enam tahun telah lewat. Ia tidak hendak melupakan peasn suaminya, ia beri nama
Ceng kepada putranya. untuk kelegaan hatinya, anak itu bertubuh kuat dan cerdik,
ia bisa membantu ibunya menggembala kambing. Selama tempo bertahun-tahun
hidupnya Lie Peng ada lumayan.
Pada suatu hari dari bulan tiga, selagi uadra hangat, Kwee ceng giring
kambingnya untuk diangon. Ia sekarang memelihara anjing sebagi pembantunya, dan
untuk menempuh perjalanan jauh, ia menunggang kuda kecilnya.
Tepat tengah hari, selagi ia menjagai kambing-kambingnya, tiba-tiba kwee Ceng
lihat seekkor burung elang yang besar sekali menyambar kepada rombongan
kambingnya. Semua binatang itu kaget. Malah yang seekor - anak kambing - kabur
ke timur. Ia memanggil dengan berteriak-teriak, anak kambing itu lari terus.
Maka ia naiki kudanya untuk mengejar. Sekitar tujuh lie, baru ia dapat tangkap
anak kambing itu, tapi selagi ia hendak menuntun pulang, mendadak ia dengar
susra keras dan nyaring, hingga ia terperanjat. Ia mulanya menyangka kepada
guntur, sampai setelah memasang kuping sekian lama, ia dengar suara seperti
tambur berikut meringkiknya kuda serta suara orang banyak. Ia menjadi takut,
belum pernah ia dengar suara semacam itu.
Tidak ayal lagi, Kwee Ceng tuntun kambingnya buat diajak mendaki suatu tanjakan,
untuk bersembunyi didalam rujuk. Tapi ia ingin mengetahui sesuatu, ia keluarkan
kepalanya untuk mengintai.
Jauh di sebelah depan nampak debu mengepul naik, lalu muncullah pasukan tentera,
yang ia tidak tahu berapa jumlahnya, ia cuma dapatkan, yang menjadi kepala
perang telah memberikan belbagai titahnya, maka tentera itu lantas memecah diri
dalam dua barisan, timur dan barat. Ada serdadu yang kepalanya digabut pelangi
putih, ada yang ditancapkan bulu burung warna lima.
Sekarang, sebaliknya daripada takut, hati Kwee ceng menjadi tertarik. Ia
mengintai terus. Tidak lama setelah barisan teraur rapi, segera terdengar suara terompet dari
sebelah belakang, dari sana muncul beberapa barisan lain yang dikepalai oelh
satu perwira muda jangkkung dan kkurus, tubuhnya ditutupi dengan mantel merah.
Ia memegang sebatang golok panjang, lantas ia pimpin tentaranya menyerbu, dari
itu di situ sudah lantas terjadi suatu pertempuran.
Pihak penyerang ini berjumlah lebih sedikit, walaupun tampaknya mereka kosen,
tidak lama mereka mesti mundur sendirinya. Tapi di belakang mereka lantas tiba
bala bantuan, mereka menyerang pula. Meski begitu, agaknya mereka ini tidak
dapat bertahan lama. Sekoyong-konyong terdengar suara terompet riuh, dibantu sama suara tambur,
mendengar itu tentera penyerang lantas berseru-seru kegirangan: "Kha Khan
Temuchin telah datang! Kha Khan telah datang!"
Atas itu orang-orang yang lagi bertempur lantas menoleh ke arah timur selatan,
dari mana datangnya suara terompet dan tambur tadi.
Juga Kwee Ceng turut beralih pandangannya. Ia tampak satu pasukan besar, yang
mendatangi dengan cepat. Di tengah pasukan di panjar sebuah tiang yang tinggi di
mana ada tergantung beberapa lapis bulu putih. Dari sana pun datang seruan-
seruan kegirangan. Atas ini, tentera penyerang jadi dapat semangat, mereka
menyerang pula dengan seru, hingga mereka dapat mengacaukan lawannya.
Tiang yang tinggi itu bergerak ke arah tanjakan bukit, Kwee Ceng dengan matanya
yang jeli, dari tempat sembunyinya, mengawasi ke arah tiang itu. Dengan begitu
ia dapat lihat satu perwira yang menunggang kuda, yang larikan kudanya itu naik
ke tanjakan. Dia ada memakai kopiah perang dari besi, janggutnya merah, dari
atas kudanya ia memandang ke medan pertempuran. Disamping dia ada beberapa
pengiringnya. Tidak antara lama panglima muda yang bermantel merah larikan kudanya naik ke
tanjakan. "Ayah, musuh berjumlah lebih banyak berlipat ganda, mari kita mundur dulu!"
berseru ia kepada orang di bawah tiang bendera itu.
Temuchin, demikian panglima yang dipanggil ayah itu, sudah melihat tegas keadaan
pertempuran itu, ia Cuma berdiam sebentar, lantas ia berikan titahnya: "Kau bawa
selaksa serdadu mundur ke timur!" demikian titahnya itu. Sambil berbuat begitu,
ia tetap mengawasi medan perang. Lalu ia memberi perintah pula: "Mukhali, kau
bersama pangeran kedua serta selaksa serdadu mundur ke barat, kau Borchu,
bersama Chilaun serta selaksa serdadumu mundur ke utara! Dan kau, Kubilai,
bersama Subotai serta selaksa serdadu, lekas mundur ke selatan! Kapan kau lihat
bendera besar di kerak tinggi dan dengar terompet dibunyikan, kau mesti kembali
untuk melakukan penyerangan membalas!"
Semua perwira itu menyahuti tanda mereka menerima titah, habis itu semua bawa
barisannya menyingkir ke arah yang telah disebutkan tadi, maka sebentar saja,
tentera Mongolia itu nampaknya lati serabutan keempat penjuru arah.
Tentara musuh bersorak-sorai menampak lawannya lari tumpang siur, mereka pun
segera melihat bendera putih besar dari Temuchin di atas bukit, mereka lantas
saja berkoak-koak: "Tangkap hidup Temuchin! Tangkap hidup Temuchin!"
Lalu tentara itu dengan rapat sekali, berlomba mendaki bukit, mereka tidak ambil
peduli lagi kepada musuh yang lari tunggang-langgang.
Temuchin tetap berdiam tegak di tempatnya, ia dikitari belasan pengiringnya yang
dengan memasang tameng mereka itu, melindungiini pemimpin dari sambarannya
berbagai anak panah. Dilain pihak adik angkat Temuchin, yaitu Sigi Kutuku,
bersama Jelmi panglima yang kosen, dengan lima ribu jiwa serdadu mereka,
melakukan pembelaan si sekitar bukit itu, tak sudi mereka mundur dari serangan
musuh, mereka tidak menghiraukan anak panah dan golok.
Kwee Ceng saksikan itu semua, ia gembira berbareng negri.
Setelah bertempur sekitar satu jam lebih, dari lima ribu serdadunya Temuchin
itu, seribu lebih telah terbinasa, akan tetapi juga serdadu musuh, banyak yang
telah rubuh, jumlahnya bebearap ribu jiwa, hanya karena jumlah mereka jauh lebih
besar, mereka menang di atas angin, apa pula penyerang di pojok timur utara
tampak lebih garang. Musuh telah mendesak hingga hampir sukar untuk dicegah
lagi. Putra ketiga dari Temuchin, yaitu Ogatai yang berada di samping ayahnya, menjadi
cemas hatinya. "Ayah, apa boleh kita kerek bendera dan membunyikan terompet?" dia bertanya.
Dengan matanya yang tajam bagai mata burung elang, Temuchin mengawasi ke bawah
kepada tentara musuh, lalu dengan suara dalam, ia menyahuti: "Musuh masih belum
lelah." Ketika itu penyerangan musuh di timur laut bertambah hebat. Di sana pun dikerek
batang bendera besar. Itu ada tanda bahwa di sana ada tiga kepala perang yang
memegang pimpinan. Di pihak Mongolia, orang terpaksa main mundur.
Jelmi lari naik ke atas bukit.
"Kha Khan, anak-anak tak sanggup bertahan!" dia teriaki junjungannya.
"Tak sanggup bertahan"!" berseru Temuchin dengan gusar. "Bagaimana dapat kau
banggakan diri sebagai satu pendekar gagah perkasa"!"
Air mukanya Jelmi menjadi berubah, lantas ia rampas sebatang golok besar dari
tangannya satu serdadu, dengan bawa itu sambil serukan seruan-seruan peperangan
bangsanya, ia menerjang barisan musuh, ia membuka jalan hingga di depan satu
bendera hitam. Sejumlah serdadu mush mundur melihat orang demikian bengis. Jelmi maju menyerang
tiga serdadu musuh yang bertubuh besar, ia binasakan satu demi satu, kemudian
dengan lemparkan goloknya, ia rangkul ketiga bendera besar itu untuk dibawa lari
mendaki bukit, setibanya di atas, ia tancap tiga batang bendera itu di tanah!
Kaget nusuh menyaksikan lawannya demikian kosen. Dilain pihak, tentara Mongolia
bertempik sorak, mereka lantas tutup pula kebocoran di timur utara itu.
Berselang lagi satu jam, dipihak musuh, di pojok barat selatan, tampak satu
panglima dengan pakaian perang hitam, hebat ilmu panahnya, sebentar saja ia
telah rubuhkan belasan tentera Mongolia. Dua perwira Mongolia maju hendak
menerjang tetapi mereka disambut oleh anak panah dan rubuh karenanya.
"Bagus ilmu panahnya!" Temuchin puji musuh itu.
Justru itu, "Ser!" sebatang anak panah menyambar sebelum pimpinan Mongol ini
dapat berdaya, lehernya telah terkena anak panah itu, sedang satu anak panah
lainnya menyambar ke arah perutnya.
Biar bagaimana juga, Temuchin adalah satu orang peperangan yang ulung, walaupun
lehernya terluka dan sakit sekali rasanya, ia tidak menjadi gugup, dengan kedut
lesnya, ia membuat kudanya berjingkrak berdiri dengan dua kaki belakangnya.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dengan begitu, anak panah tidak lagi menyambar ke perut orang, hanya nancap di
dadanya kuda, nacap sampai di batas bulu. Maka tidak ampun lagi, rubuhlah
binatang tunggangannya itu berikut penunggangnya.
Semua serdadu Mongol kaget, semua lantas meluruh untuk tolongi kepala perang
mereka. Musuh gunai ketika baik ini untuk menerjang naik dengan hebat.
Kutuku di arah barat telah pimpin tentaranya melawan musuh, ia kehabisan anak
panah dan tobaknya pun telah patah, terpaksa ia balik mundur.
Merah matanya Jelmi melihat kawannya itu mundur.
"Kutuku, apakah kau ngiprit sebagai kelinci?" ia menegur dengan ejekannya.
Kutuku tidak gusar, sebaliknya ia tertawa. "Siapa lari ngiprit?" katanya. "Aku
kehabisan anak panah!"
Temuchin yang rebah di tanah telah tarik keluar anak panahnya dari kantong
panahnya yang tersulam, ia lemparkan itu kepada adik angkatnya itu.
Mendapatkan anak panah, Kutuku segera beraksi. Beruntun tiga kali ia memanah
kepada musuh yang berada dibawahnya sebuah bendera hitam, sebatang busur membuat
musuh itu rubuh, sesudah mana, ia memburu ke bawah bukit, untuk rampas kuda
musuh, akan kemudian ia lari pula naik ke atas.
"Saudaraku yang baik, hebat kau!" Temuchin puji adik angkatnya itu.
Kutuku mandi keringat. "Apakah sekarang sudah boleh kita menaikkan bendera dan membunyikan terompet?"
ia tanya, suaranya perlahan.
Temuchin tutup lukanya dengan telapakn tangannya, darah molos keluar dari sela-
sela jari tangannya itu, dalam keadaan terluka, ia memandang ke arah musuh.
"Musuh masih belum lelah," sahutnya. "Kita tunggu sebentar lagi."
Kutuku lantas berlutut di depan kakak angkatnya itu, yang berbareng menjadi
pemimpinnya. "Kami semua rela berkorban untuk kau," katanya, "Tapi Kha Khan, tubuhmu penting
sekali!" Mendengar itu, melihat sikap orang, Temuchin lantas berlompat untuk naik ke atas
seekor kuda. "Semuanya membela mati bukit ini!" ia berseru. Dengan goloknya yang panjang, ia
bunuh tiga musuh yang menerjang ke arahnya.
Musuh yang tengah merangsak naik, kaget melihat kepala perang lawannya dapat
naik kuda pula, sendirinya mereka mundur, hingga penyerangan mereka menjadi
reda. Temuchin lihat keadaan itu, ia gunai ketikanya yang baik. "Naikkan bendera! Tiup
terompet!" dia berteriak dengan titahnya.
Tentara Mongolia bertempik sorak, lalu bendera putih yang besar dikerek naik,
disusul sama bunyi terompet ynag riuh. Serempak dengan itu, tentera Mongolia
dengan bersemangat menyerang dari segala penjuru, dimana mereka berada.
Musuh berjumlah besar, barisan mereka tengah kacau, maka itu diserang demikian
mendadak, mereka menjadi bertambah kacau.
Panglima dengan seragam hitam itu nampak keadaan jelek, ia berteriak-teriak
untuk mencegah kekacauan, akan tetapi sia-sia saja percobaannya itu, tentaranya
tak dapat dikendalikan lagi. Maka itu tidak usah berselang dua jam, runtuhlah
pasukan perang yang besar itu, termusnahkan pasukan Mongolia yang jumlahnya
lebih sedikit tetapi yang semangatnya berapi-api. Sisa tentara lantas lari
serabutan, si panglima seragam hitam sendiri terpaksa kaburkan kudanya.
"Tangkap musuh itu!" Temuchin memberi titah. "Hadiahnya sepuluh kati emas!"
Beberapa puluh serdadu Mongol sudah lantas kaburkan kuda mereka, akan kejar
panglima berbaju hitam itu. Mereka itu mendekati saling susul. Akan tetapi lihay
panah si panglima, tak pernah gagal, maka itu belasan serdadu lantas saja
terjungkal dari kuda mereka, hingga yang lainnya menjadi terhalang. Dengan
begitu pula pada akhirnya, panglima itu dapat meloloskan diri.
Kwee Ceng dari tempat sembunyinya sangat mengagumi panglima berbaju hitam itu.
Dengan pertempuran ini Temuchin, ialah pihak Mongolia, telah peroleh kemenangan
besar dan musuhnya ialah bangsa Taijiut, telah musnah lebih daripada separuhnya.
Maka sejak itu, Temuchin tidak usah khawatirkan lagi ancaman dari pihak musuhnya
itu. Dengan kegirangan, sambil bersorak-sorak, tentara Mongolia iringi kepala
perangnya berangkat pulang.
Kwee Ceng tunggu sampai orang sudah pergi semua, tak kecuali mereka yang
mengurus korban-korban, baharu ia keluar dari tempat sembunyinya. Ketika ia tiba
dirumahnya, waktu sudah tengah malam, justru ibunya sedang berdebar-debar
hatinya memikirkan anaknya yang dikhawatirkan menghadapi ancaman bahaya.
Kwee Ceng segera terangkan kepada ibunya kenapa ia pulang lambat sekali.
Senang Lie Peng akan saksikan anaknya bercerita dengan cara sangat gembira, anak
ini tidak sedikit juga menunjukkan hati jeri, maka itu ia menjadi teringat
kepada suaminya. "Dasar turunan orang peperangan, ia mirip dengan ayahnya..." pikir ibu ini. Maka
diam-diam ia pun bergirang.
Tiga hari kemudian, pagi-pagi sekali, Lie Peng berangkat ke pasar yang
terpisahnya kira-kira tigapuluh lie lebih dari rumahnya untuk menukar
tenunannya, - dua helai permadani - dengan barang-barang makanan. Kwee Ceng
ditinggal di rumah untuk menjagai binatang piaraan mereka. Anak ini ingat akan
peperangan yang ia saksikan, ia jadi gembira sekali, ia anggap peperangan itu
dapat dibuat permainan, maka dengan mainkan cambuknya, sambil ia duduk di atas
kudanya, ia mencoba menggiring kambingnya pulang pergi. Ia mau anggap dirinya
adalah satu panglima perang!
Tengah anak ini main jenderal-jenderalan itu, tiba-tiba ia dengar tindakan kaki
kuda di arah timur, apabila ia menoleh, ia tampak seekor kuda lari mendatangi,
di bebokong kuda ada satu tubuh manusia yang mendekam. Begitu datang dekat, kuda
itu kendorkan larinya. Penunggang kuda itu yang mendekat, treus angkat
kepalanya, memandang kepada si bocah itu, siapa lantas menjadi kaget sekali,
hingga ia keluarkan teriakan tertahan.
Penunggang kuda itu mukanya penuh debu bercampur darah, adalah si panglima
perang berbaju hitam yang gagah, yang Kwee Ceng saksikan dan mengaguminya,
ditangan kirinya ia mencekal goloknya yang telah buntung, golok yang mana pun
ada darah yang sudah mengental, sedang panahnya tidak kedapatan padanya. Mungkin
ia yang tengah melarikan diri telah bertemu pula dengan musuh. Di pipi kanannya
ada sebuah luka besar dan masih mengucurkan darah. Paha kudanya pun terluka,
darahnya masih mengalir. Tubuh panglim aitu bergoyang-goyang, matanya bersinar merah.
"Air...air...lekas bagi air..." katanya, suaranya parau.
Kwee ceng lantas lari mengambil air dingin dari jambangannya, yang mana si
panglima lantas saja sambar untuk digelogoki.
"Mari lagi satu mangkok!" dia meminta pula.
Panglima itu baharu minum setengah mangkok, air itu sudah bercampur dengan darah
yang mengalir dari lukanya, tetapi ia rupanya telah puas telah dapat air, tiba-
tiba ia tertawa, hanya habis itu wajahnya berjengit, tubuhnya terus rubuh dari
atas kudanya itu. Dia jatuh pingsan.
Kwee Ceng kaget dan bingung, ia menjerit. Tak tahu ia mesti berbuat apa.
Selang sekian lama, orang itu sadar dengan sendirinya.
"Lapar! Lapar!" kali ini ia bersuara.
Kwee Ceng lekas-lekas mengambilkan beberapa potong daging kambing, orang itu
memakannya dengan sangat bernafsu, setelah itu ia dapat pulang tenaganya.
Demikian dia bisa geraki tubuhnya untuk berduduk.
"Adik yang baik, banyak-banyak terima kasih kepadamu!" dia mengucap. Dari
lengannya ia tarik sebuah gelang emas yang kasar dan berat. "Untukmu!" dia
tambhakan seraya dia angsurkan barang permata itu kepada bocah itu.
Kwee Ceng menggeleng-gelengkan kepala. "Ibu telah pesan, kami harus membantu
tetamu tetapi tidak boleh menginginkan barang tetamu," ia bilang.
Orang itu tercengang, lalu ia tertawa terbahak-bahak. "Anak yang baik! Anak yang
baik!" ia memuji. Ia lantas sobek ujung bajunya, untuk dipakai membalut lukanya.
Ia pun balut luka kudanya.
Itu waktu samar-samar terdengar suara larinya banyak kuda di arah timur,
mendengar itu tetamunya Kwee Ceng ini menjadi gusar sekali.
"Hm, dia tak hendak melepaskan aku!" serunya sengit. Ia pun lantas memandang ke
arah timur itu. Kwee Ceng pun lantas ikut memandang juga.
Sekarang di sebelah suara berisik itu terlihat debu mengepul. Rupanya banyak
sekali serdadu barisan berkuda temgah mendatangi.
"Anak yang baik, apakah kau ada punya panah?" tanya si tetamu.
"Ada!" sahut Kwee Ceng yang terus lari ke dalam untuk ambil panahnya.
Orang itu perlihatkan roman girang, hanya tempo si bocah itu kembali, ia menjadi
lesu. Tapi lekas sekali ia tertawa berkakakkan.
Kwee Ceng telah bawa gendewa dan anak panahnya yang kecil.
"Aku hendak bertempur, aku ingin panah yang besar...." katanya panglim aitu
kemudian, alisnya lantas menjadi ciut.
"Yang besar tidak ada...." sahut Kwee Ceng.
Ketika itu pasukan yang mendatangi telah tampak semakin tegas, benderanya pun
berkibar-kibar. "Seorang diri tak dapat kau lawan mereka, lebih baik kau sembunyi," kata Kwee
Ceng kemudian. "Sembunyi di mana?" orang itu tanya.
Kwee Ceng menunjuki tumpukan rumput kering di belakang rumahnya.
"Aku tidak akan mengasih tahu kepada mereka," ia berjanji tanpa diminta.
Orang itu mengambil putusan denagn segera. Ia insyaf, walaupun ia sudah dapat
pulang tenaganya, dengan kudanya yang terluka, tak dapat ia lari lebih jauh.
Jadi ada lebih selamat untuk sembunyikan diri. Lain jalan tidak ada.
"Baik, aku serahkan jiwaku kepadamu!" katanya. "Pergi kau usir kudaku!" setelah
berkata demikian, ia pun lari ke tumpukan kering itu dan menyelusup kedalamnya.
Kwee Ceng mencambuk kuda itu, dua kali atas mana kuda yang hitam bulunya itu
segera lompat kabur, sesudah lari cukup jauh, bahar ia berhenti untuk makan
rumput. Kwee Ceng naik ke atas kudanya, ia laikan kuda itu bolak balik. Ia bisa berlaku
tenang, seperti tak pernah terjadi sesuatu.
Tidak lama tibalah barisan berkuda itu. Mereka rupanya lihat bocah yang
menunggang kuda itu, dua serdadu lantas menghampirinya.
"Eh, bocah, kau lihat tidak satu orang yang menunggang kuda hitam?" Itulah
teguran dari satu diantara dua serdadu itu, suaranya kasar.
"Ya, aku dapat lihat," Kwee ceng menjawab.
"Di mana?" tanya serdadu yang kedua.
Kwee Ceng menunjuk ke barat. "Dia sudah pergi lama sekali," ia menerangkan
"Bawa dia kemari" berseru perwira yang mengepalai pasukan itu. Ia tidak dengar
pembicaraan di antara dua orangnya dengan si bocah.
"Mari ketemu pangeran!" berkata dua serdadu itu, yang lantas terus tarik les
kuda orang untuk dibawa kepada sang pangeran.
Si pangeran telah sampai di depan rumah
"Aku tidak akan bicara!" Kwee Ceng telah mabil keputusan dalam hatinya.
Ia lihat banyak serdadu sedang mengiringi satu anak muda yang kurus dan
jangkung, yang tubuhnya ditutupi denagn mantel merah. Ia lantas kenali itu
adalah panglima yang pimpin tentera. Dia adalah putra sulung dari Temuchin.
"Apakah katanya bocah ini?" tanya ia membentak.
Dua serdadu itu sampaikan jawabannya Kwee Ceng.
Dengan matanya mengandung kecurigaan, putra sulung itu memandang ke sekitarnya.
Ia lantas dapat lihat itu kuda hitam yang lagi makan rumput di kejauhan.
"Bukankah itu kudanya?" ia tanya, suaranya dalam. "Coba bawa kuda itu kemari!"
Begitu keluar perintah itu, sepuluh serdadu lanats bergerak dengan mereka
memecah diri dalam lima rombongan, untuk hampirkan itu kuda denagn dikurung,
hingga walaupun binatang itu berniat lari, jalannya sudah tertutup. Dengan
gampang ia kena ditangkap dan dituntun.
"Hm! Bukankah itu kudanya Jebe?" putra itu tanya.
"Benar!" sahut banyak serdadu, suara mereka riuh.
Putra sulung itu ayunkan cambuknya ke arah kepalanya Kwee Ceng.
"Dia sembunyi di mana, hai, setan cilik"!" tanya dengan bengis. "Jangan kau
harap dapat mendustai aku!"
Jebe, itu panglima berseragam hitam yang sembunyi di dalam tumpukan rumput,
bersembunyi sambil memasang mata, tangannya mencekal keras goloknya yang
panjang. Ia lihat penganiayaan itu yang menyebabkan jidatnya Kwee ceng memebri
tanda baret merah, hatinya menjdai memukul keras. Ia kenal si putra sulung -
putra Temuchin itu - ialah Juji yang tabiatnya keras dan kejam. Ia memikir:
"Pasti bocah itu tak tahan sakit dan ektakutan. Tidak ada jalan lain, aku
terpaksa mesti keluar untuk adu jiwaku...."
Kwee Ceng kesakitan bukan main, mau ia menangis akan tetapi ia menahan sakit, ia
cegah keluarnya air matanya. Dia angkat kepalanya dan menanya dengan berani:
"Kenapa kau pukul aku" Mana aku ketahui dia bersembunyi di mana!"
"Kau membandel"!" bentak Juji. Lagi sekali ia mencambuk.
Kali ini Kwee Ceng tak dapat tak menangkis. Tapinya ia lantas berteriak : "Aku
tidak tahu! Aku tidak tahu!"
Ketika itu sejumlah serdadu sudah geledah rumahnya Kwee ceng, sedang dua yang
lain menusuk-nusuk ke dalam tumpukan rumput kering itu.
Kwee Ceng lihat orang hendak tusuk bagian dimana panglima nelusup, tiba-tiba
tangannya menunjuk ke tumpukan rumput yang jauh sambil ia berteriak: "Lihat di
sana, benda apakah itu yang bergerak-gerak?"
Semua serdadu lantas berpaling mengawasi, mereka tidak lihat suatu apa yang
bergerak. Kedua serdadu tadi pun sampai lupa untuk menusuk-nusuk terlebih jauh.
"Kudanya ada disini, dia mestinya tidak lari jauh!" Juji berkata pula. "Eh,
setan cilik, kau hendak bicara atau tidak"!". Dia mengancam pula Kwee Ceng
dengan cambuknya diayun tiga kali beruntun.
Hampir di itu waktu dari kejauhan terdengar suara terompet.
"Kha Khan datang!" sejumlah serdadu berteriak.
Juji lantas berhenti mencambuk, ia putar kudanya untuk menyambut ayahnya,
Temuchin, Kha Khan - Khan yang terbesar.
"Ayah!" demikian ia menyambut.
Ayahnya itu dirubungi banyak pengiringnya.
Berat lukanya Temuchin bekas terpanah Jebe, tetapi di medan perang, ia coba
sebisanya akan menahan sakit, adalah sehabisnya pertempuran, ia pingsan beberapa
kali, hingga ia perlu ditolongi dengan Jelmi panglimanya serta Ogotai putranya
yang ketiga, mesti isap darah - hingga darahnya itu ada yang kena ketelan dan
dimuntahkan. Satu malam dia gadangi semua panglimanya serta keempat putranya.
Baharu keesokan harinya, di hari kedua, dia lolos dari ancaman bahaya maut.
Oleh karena itu, tentera Mongolia dikirim ke empat penjuru untuk cari Jebe, yang
hendak ditawan, untuk hukum dia dengan dibeset empat kuda dan dicincang tubuhnya
guna membalaskan sakit hatinya Khan yang terbesar itu.
Dihari kedua pada wkatu sore, sepasukan serdadu berhasil menemukan Jebe. Musuh
itu dikepung tetapi ia dapat meloloskan diri sambil membinasakan beberapa jiwa
serdadu Mongol. Ia sendiri pun telah terluka.
Kapan Temuchin dengar kabar itu, lebih dahulu ia kirim putra sulungnya, Juji,
pergi menyusul dan mengejar, kemudian ia sendiri mengajak putranya yang kedua,
Jagati, putranya yang ketiga, Ogotai dan putra sulungnya, Tuli, cepat menyusul.
Inilah sebabnya kenapa ia datang belakangan.
"Ayah, kuda hitamnya bangsat itu telah dapat ditemukan!" ia memberitahukan.
"Aku tidak menghendaki kuda tetapi orangnya!" ayahnya itu menjawab.
"Ya!" sahut putra itu. "Pasti kita akan mendapatkannya!" Ia balik kepada Kwee
Ceng . Kali ini ia hunus goloknya, ia bolang-balingkan itu ke udara.
"Kau hendak berbicara atau tidak!" ia mengancam.
Kwee Ceng telah mandi darah pada mukanya, ia jadi terlebih berani. "Aku tidak
mau bicara! Aku tidak mau bicara!" ia berteriak berulang-ulang.
Mendengar itu, Temuchin berpikir, kenapa bocah itu mengatakan: "Tidak mau
bicara" dan bukannya "Aku tidak tahu?" Maka ia lantas berbisik kepada Ogotai:
"Pergi kau bujuki ia hingga ia suka berbicara."
Putra ketiga itu menurut sambil tertawa, muka ramai dengan senyuman, ia hampiri
Kwee Ceng. Dari kopiah perangnya ia pun cabut dua batang bulu merak yang
berkilauan. "Kau bicaralah, akan aku berikan ini padamu..." ia kata seraya angsurkan bulu
merak itu. "Aku tidak mau bicara!" Kwee Ceng ulangi jawabannya.
Putra kedua dari Temuchin menjadi habis sabar. "Lepas anjing!" ia menitahkan.
Lantas pengiringnya muncul dengan enam ekor anjing yang besar. Bangsa Mongol
paling gemar berburu, maka itu setiap keluarga bangsawan atau panglima perang
mesti memelihara anjing-anjing peranti berburu, begitupun burung elang besar.
Jagatai adalah putra paling gemar berburu, kapan ia pergi berburu, dia tentu
bawa enam ekor anjingnya itu. Sekarang anjing itu diperintah dibawa mengitari
kuda hitam, untuk diberi bercium bau, habis itu baru semuanya dilepaskan dari
rantainya. Kwee Ceng dengan Jebe tidak saling mengenal, hanya kegagahan panglima berseragam
hitam itu sangat mengesankan kepadanya, hingga dengan lantas ia suka memberikan
pertolongannya. Sekarang setelah ia dianiaya Juji, timbul kemarahannya, bangkit
keangkuhannya dan tidak sudi ia menyerah. Kapan ia lihat orang melepas anjing,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu ia panglima itu terancam akan ketahuan tempat persembunyiannya, untuk
mencegah ia lantas bersiul memanggil anjingnya sendiri, anjing pembantu
penggembala. Enam ekor anjingnya Jagati sudah mulai mencium-cium ke tumpukan rumput kering,
kapan anjing Kwee Ceng dengar panggilan majikannya, tahu ia akan tugasnya, ia
mendahului menghalang di depan tumpukan rumput kering itu dan melarang enam ekor
anjing itu menghampirinya.
Jagati menjadi tidak senang, ia perintah anjingnya maju, maka sekejap saja
terjadilah pertarungan yang sengit sekali, gonggongan mereka sangat berisik.
Sayang anjing penggembala itu jauh lebih kecil dan ia pun bersendirian, ia
lanats digigit di sana sini, banyak lukanya. Tapi ia gagah, dia tak mau mundur.
Hati Kwee Ceng menjadi kecil, tetapi ia pensaran dan marah, ia perdengarkan
suaranya berulang-ulang menganjuri anjingnya melawan terus.
Hati Juji menjadi sangat dongkol, ia ayunkan pula cambuknya berulangkali hingga
Kwee Ceng merasakan sakit ke ulu hatinya, hingga ia rubuh bergulingan, tempo ia
berguling sampai di kaki si putra sulung, mendadak ia angkat tubuhnya untuk
sambar pahanya si Juji yang terus ia gigit.
Juji berontak tetapi ia tak dapat lepaskan pelukannya anak itu yang memegang ia
dengan keras sekali. Menampak sang kakak kelabakan, Jagatai, Ogotai dan Tuli menjadi tertawa
bergelak-gelak. Mukanya Juji menjadi merah, ia ayunkan goloknya ke lehernya si Kwee Ceng. Disaat
batang lehernya bocah yang bernyali besar itu bakal menjadi putus, tiba-tiba
sebuah golok buntung menyambar, mengenai tepat goloknya Juji itu. Nyaring
bentroknya kedua senjata itu. Juji terperanjat, sebab goloknya hampir terlepas
dari cekalannya. Semua orang terkejut, antaranya ada yang berseru kaget.
Menyusuli goloknya itu, Jebe lompat keluar dari tempatnya bersembunyi. Ia sambar
Kwee Ceng, yang ia tarik tubuhnya dengan tangan kiri untuk disingkirkan ke
belakangnya, terus dengan tertawa dingin, dia berkata: "Menghina anak kecil, tak
malukah"!" Lantas saja Jebe dikurung oleh serdadu Mongol, yang bersenjatakan golok dan
tombak. Ia lemparkan goloknya.
Juji menjadi sangat gusar, ia meninju dada orang. Atas itu Jebe tidak membalas
menyerang. Sebaliknya ia berseu: "Lekas bunuh aku!" Kemudian, dengan suara
mendalam, ia menambahkan: "Sayang aku tak dapat terbinasa di tangannya satu
orang gagah perkasa...!"
"Apakah kau bilang?" tanya Temuchin.
"Jikalau aku dibinasakan di medan perang oleh orang yang dapat menangi aku, aku
akan mati dengan puas," sahut Jebe, "Sekarang ini burung elang jatuh di tanah,
dia mati digerumuti semut!"
Habis mengucap begitu, terbuka lebar matanya ini panglima, dia berseru dengan
keras. Enam anjingnya Jagatai yang lagi gigiti anjingnya Kwee Ceng menjadi kaget,
semuanya lompat mundur dengan ketakutan, ekornya diselipkan ke selangkangannya.
Disampingnya Temuchin muncul satu orang. "Kha Khan, jangan kasih bocah ini
pentang mulut besar!" dia berseru. "Nanti aku layani dia!"
Temuchin lihat orang itu adalah panglimanya, Borchu. Ia girang sekali. "Baik,
pergi kau layani dia!" ia menganjurkan.
Borchu maju beberapa tindak. "Seorang diri akan aku bunuh kau, supaya kau puas!"
katanya nyaring. Jebe awasi orang itu, yang tubuhnya besar dan suaranya nyaring. "Siapa kau"!" ia
tanya. "Aku Borchu!" panglima itu membentak.
Jebe berpikir: "Memang pernah aku dengar Borchu adalah orang kosen bangsa
Mongolia, kiranya dia inilah orangnya..." Ia tidak menjawab, ia cuma perdengarkan
suara dingin, "Hm!"
"Kau andalkan ilmumu memanah, orang sampai menyebut kau Jebe," berkata Temuchin.
"Maka sekarang, pergilah kau bertanding dengan sahabatku ini!"
"Jebe" itu memang berarti "Ahli memanah". Jebe ada punya namanya sendiri tetapi
nama itu kalah dengan gelarannya, hingga orang tidak mengetahuinya lagi.
Mendengar orang adalah "sahabatnya" Temuchin, Jebe berkata: "Kau adalah
sahabatnya Khan yang terbesar, aku akan lebih dahulu binasakan padamu!"
Tertawa Mongol tertawa riuh. Mereka anggap orang ini tidak tahu diri. Borchu itu
kosen dan belum pernah ada tandingannya.
Ketika dahulu Temuchin belum menjadi kepala bangsa Mongol, dia pernah ditawan
bangsa Taijiut, musuhnya, lehernya dipakaikan kalung kayu. Bangsa Taijiut itu
membikin pesta di tepinya sungai Onan, sembari minum koumiss, mereka saban-saban
mencaci Temuchin, yang mereka hinakan sesudah mana mereka berniat membunuhnya.
Setelah pesta bubaran, Temuchin berhasil menghajar penjaganya dengan kalung
kayunya itu, ia lari ke dalam rimba, sia-sia bangsa Taijiut mencari dia.
Satu anak muda yang bernama Chila'un tidak takut bahaya, dia tolongi Temuchin,
kalung kayunya dirusaki dan dibakar. Ia dinaiki ke atas sebuah kereta besar yang
muat bulu kambing. Ketika musuh Taijiut datang mencari dan rumah Chila'un
digeledah, digeledah juga kereta itu. Hampir Temuchin kepergok tapi ayahnya
Chila'un pintar, dia berkata: "Hari begini panas mengendus, mustahil orang dapat
sembunyi di dalam bulu kambing" Memang hawa ada sangat panas, setiap orang
seperti bermandikan keringat. Alasan itu kuat, kereta itu batal digeledah.
Setelah lolos ini, sengsara hidupnya Temuchin. Bersama ibu dan adik-adiknya ia
mesti hidup dari daging tikus hutan. Sudah itu pada suatu hari, delapan ekor
kudanya yang putih pun kena orang curi. Ia penasaran, ia pergi mencari pencuri
kuda itu. Ia ketemu satu anak muda yang lagi peras susu kuda. Ia tanya kalau-
kalau pemuda itu lihat pencuri kudanya.
Pemuda itu ialah Borchu. Dia berkata: "Penderitaannya bangsa pria sama saja,
mari kita ikat persahabatan." Temuchin sambut itu ajakan. Maka kemudian, mereka
berdua pergi mencari bersama. Tiga hari mereka menyusul, baharu mareka dapat
menyandak si pencuri kuda. Dengan panah mereka yang lihay, mereka bubarkan
rombongan pencuri kuda itu dan berhasil merampas pulang ke delapan kuda yang
dicuri itu. Temuchin hendak membalas budi dengan membagi kudanya. Ia tanya
sahabatnya itu menghendaki berapa ekor. Borchu menjawab: "Aku keluarkan tenaga
untuk sahabatku, seekor juga aku tidak menginginkannya!"
Sejak itu keduanya bekerjasama, sampai Temuchin berhasil mengangkat dirinya.
Borchu tetap menjadi sahabatnya dengan berbareng menjadi panglimanya, hingga
bersama Chila'un ia menjadi empat di antara menteri besar dan berjasa dari
Jenghiz Khan (nama Temuchin setelah ia menaklukan bangsa-bangsa yang lain).
Temuchin tahu kegagahannya Borchu, ia serahkan panahnya sendiri. Ia pun lompat
turun dari kudanya. "Kau naik atas kudaku, kau pakai panahku," katanya. "Itu sama saja dengan aku
sendiri yang memanah dia!"
"Baik!" Borchu menyahuti. Dengan tangan kiri mencekal gendewa dan tangan kanan
memegang naka panah, dia lompat ke atas kudanya Temuchin.
"Kau kasihkan kudamu pada Jebe!" Temuchin berkata pada Ogotai, putranya yang
ketiga. "Sungguh dia beruntung!" kata Ogotai, yang suruh orang serahkan kudanya.
Jebe naik ke bebokong kuda, dia berkata pada Temuchin: "Aku telah terkurung
olehmu, sekarang kau beri ketika untuk aku adu panah dengannya, aku bukannya
seorang yang tak tahu diri, tak dapat aku layani dia cara seimbang. Aku
menghendaki hanya sebuah gendewa, tak usah anak panahnya!"
"Kau tak pakai anak panah"!" tanya Borchu gusar.
"Tidak salah!" sahut Jebe. "Dengan sebuah gendewa saja, aku pun dapat membunuh
kau!" Tentara Mongol menjadi berisik. "Binatang ini sangat sombong!" seru mereka.
Borchu tahu Jebe memang lihay, dia tidak berani memandang enteng. Ia jepit perut
kudanya akan bikin kuda itu lari. Binatang itu yang telah berpengalaman, tahu
akan tugasnya. Jebe lihat kuda lawan gesit, ia pun larikan kudanya ke lain arah.
Borchu lantas bersiap, lalu "Ser!" maka sebuah anak panah menyambar ke arah
Jebe. Jebe berkelit dan sambil berkelit tangannya menyambar, menangkap anak panah itu.
Borchu terkejut, ia memanah lagi pula.
Jebe tidak sempat menangkap pula, ia mendekam akan aksih lewat anak panah itu.
Ia selamat. Tapi Borchu tidak berhenti sampai disitu, lagi dua kali ia memanah
dengan saling susul. Kali ini Jebe kaget. Inilah ia tidak sangka. Tidak lagi ia
mendekam, ia hanya bawa tubuhnya turun dari bebokong kuda, kaki kanannya
nyangkel pada sanggurdi, tubuhnya meroyot hampir mengenao tanah. Ia tidak cuma
menolong diri, kesempatan ini dipakai untuk membalas menyerang, mengarah perut
Borchu, habis mana ia angkat tubuhnya, untuk duduk pula atas kudanya!
"Bagus!" Borchu memuji lawannya itu. Ia terus memanah, untuk papaki anak panah
lawan. Maka kedua anak panah itu saling bentrok lalu mental, jatuh nancap di
tanah. Temuchin dan semua orangnya bersorak memuji.
Borchu memanah pula. Mulanya ia cuma mengancam, setelah itu ia memanah betul-
betul. Ia mengincar ke sebelah kanan.
Jebe lihat anak panah datang, ia menyambok dengan gendewanya, hingga anak panah
itu jatuh ke tanah. Ketika ia diserang pula, beruntun tiga kali, terus ia main
berkelit. Kemudian ia larikan kudanya, selagi kuda itu lari, ia cenderungkan
tubuh ke bawah untuk jemput tiga anak panah yang tergeletak di tanah. Cepat
sekali ia membalas memanah, satu kali.
Borchu perlihatkan kepandaiannya. dengan enjot diri, ia berdiri di atas kudanya,
lalu dengan sebelah kakinya ia sampok anak panah yang menyambar kepadanya itu.
Dilain pihak, ia berbareng membalas memanah.
Jebe berkelit, sambil berkelit ia memanah pula. Tapi ia panah anak panahnya
Borchu, hingga anak panah itu terpanah dua.
Borchu menjadi berpikir: "Aku ada punya anak panah, dia tidak, sekarang kita
seri, dengan begini mana bisa aku membalaskan sakit hatinya Khan yang terbesar?"
Ia menjadi bergelisah. Lantas ia memanah pula beruntun beberapa kali, terus-
menerus. Selagi mata orang banyak seperti di bikin kabur, Jebe pun berkelit tak hentinya.
Tapi anak panah datang demikian cepat, hingga akhirnya pundaknya yang kiri kena
juga terpanah, hingga ia merasakan sangat sakit.
Semua penonton bersorak. Borchu menjadi girang sekali. Tapi ia belum puas, hendak ia memanah lebih jauh,
untuk rampas jiwa orang. Maka ia lantas merogoh ke kantung panahnya, tiba-tiba
ia menjadi terkejut. Tanpa merasa, ia telah gunai habis semua anak panahnya,
anak panah yang diberikan oleh Temuchin kepadanya. Sebenarnya ia biasa berbekal
banyak anak panah, kali ini ia pakai kantong panah Temuchin, yang anak panahnya
ada batasnya. Dalam kagetnya ia putar kudanya untuk balik, sambil turunkan
tubuhnya, ia pungut anak panah di tanah.
Jebe telah lihat tegas musuhnya itu, ia gunai ketikanya. Ia panah bebokong musuh
itu, dan tepat mengenai. Semua penonton kaget, mereka menjerit. Hanya aneh, walaupun sambaran anak panah
itu keras sekali, itu cuma menyebabkan Borchu merasa sakit pada bebokongnya,
ujung panah tidak menancap, anak panah itu jatuh ke tanah! Dengan keheranan, ia
pungut anak panah itu. Segera ia ketahui sebabnya ia tidak terluka. Anak panah
itu tidak ada ujungnya yang tajam! Jebe telah singkirkan itu. Jadi terang, Jebe
hendak mengasih ampun padanya.
"Siapa menghendaki kamu jual kebaikanmu!" teriak Borchu. "Jikalau kau benar ada
punya kepandaian, kau panah mati padaku!"
Jebe menjawab: "Biasanya Jebe tidak pernah mengasih ampun pada musuhnya! Panahku
barusan berarti, satu jiwa tukar dengan satu jiwa!"
Temuchin kaget dan berkhawatir menampak Borchu kena terpanah, kemudian
mendapatkan orang tidak terbinasa atau terluka parah, ia menjadi girang. Kapan
ia dengar perkataan Jebe itu, ia talangi Borchu menyahut: "Baik! Sudah, kamu
jangan adu panah pula! Biar, jiwanya ditukar dengan jiwamu!" ia mengatakannya
pada Borchu. "Bukannya untuk ditukar dengan jiwaku!" Jebe berseru.
"Apa!" Temuchin menegaskan.
Jebe menunjuk kepada Kwee Ceng, yang berdiri di depan pintu. "Aku hendak
menukarnya dengan jiwa anak ini!" katanya. "Aku minta Khan yang mulia jangan
ganggu itu anak. Tentang aku sendiri...." sepasang alisnya bangkit bangun, "Aku
telah panah kepada Khan yang mulia, aku harus mendapatkan hukumanku!"
Ia cabut anak panah di pundaknya, anak panah yang berdarah itu ia pasang di
gendewanya. Sementara itu serdadunya Borchu sudah hanturkan beberapa puluh batang anak panah
kepala kepala perangnya itu.
"Baiklah!" kata Borchu. "Mari kita mengadu pula!" Ia lantas memanah pula, dengan
saling susul. Jebe lihat serangan berbahaya, ia lindungi diri di perut kudanya, sambil
bersembunyi, ia membalas menyerang.
Kudanya Borchu sangat lihay, melihat serangan datang, tanpa tanda dari
penunggangnya, ia lompat berkelit ke kiri. Tapi Jebe lihay, incarannya luar
biasa, anak panahnya justru mengenai batok kepalanya kuda, maka tidak ampun
lagi, rubuhlah binatang itu!
Borchu turut rubuh, terguling ke tanah. Ia khawatir ia nanti dipanah terus, ia
mendahului membalas menyerang. Kali ini ia kena hajar gendewanya Jebe, hingga
gendewa itu panah menjadi dua potong.
Kehilangan senjatanya, Jebe kasih kudanya lari berputaran.
Tentara Mongol bertempik sorak, untuk memberi semangat kepada Borchu.
"Dia satu laki-laki sejati!" Borchu sebaliknya berpikir. Ia menjadi si orang
gagah yang menyayangi sesama orang gagah, tak ingin ia mengambil jiwa orang.
Maka ketika ia memanah, walaupun ia incar tenggorokkan, ia menggeser sedikit.
Jebe gagal mengelakkan diri, anak panah lewat menyempret di pinggiran
tenggorokkannya, darahnya lantas mengucur dengan keluar. Ia merasa sakit dan
kaget. "Habislah aku hari ini...." ia mengeluh dalam hatinya.
Borchu siapkan pula anak panahnya, tetapi ketika ia menoleh kepada Temuchin, ia
berkata: "Kha Khan, berilah ampun kepadanya!"
Temuchin pun menyayangi Jebe. "Eh, apakah kau masih tetap tidak mau menyerah"!"
ia tanya panglima musuh itu.
Jebe lihat Temuchin demikian angker, ia menjadi kagum sekali, maka ia lompat
turun dari kudanya untuk terus bertekuk lutut.
Temuchin tertawa berbahak-bahak. "Bagus! Bagus!" katanya. "Selanjutnya kau
ikutlah aku!" Orang Mongol polos dan sangat gemar bernyanyi, demikian Jebe, sambil mendekam,
ia lantas perdengarkan nyanyiannya:
Khan yang terbesar mengampunkan selembar jiwaku,
di belakang hari walaupun mesti menyerbu api berkobar-kobar,
aku rela. Akan aku memotong Sungai hitam
menggempur batu gunung, akan aku tunjang Khan yang maha besar!
Aku akan menghajar musuh,
untuk ambil hatinya! Ke mana aku diperintah pergi,
kesana aku pergi! Temuchin menjadi sangat girang. Ia ambil dua potong emas, yang sepotong ia
berikan kepada Borchu, yang sepotongnya pula kepada Jebe.
Jebe menghanturkan terima kasih. Tapi ia terus menambahkan. "Khan yang mulia,
hendak aku berikan emas ini kepada itu bocah, bolehkah?"
Temuchin tertawa. "Kalau emas itu adalah emasku, aku boleh kasihkan itu kepada
siapa aku suka!" katanya. "Emas adalah kepunyaanmu, kau boleh berikan kepada
siapa kau suka!" Jebe angsurkan emas itu kepada Kwee Ceng.
Bocah itu menggoyangi kepala, tak mau ia menerimanya. "Ibu bilang, kalau kita
membnatu tetamu kita, jangan kita termahai uangnya," katanya.
Temuchin telah sukai bocah ini, sekarang mendengar perkataan orang, rasa sukanya
menjadi bertambah-tambah.
"Sebentar kau bawalah bocah ini kepadaku!" katanya kepada Jebe. Lantas ia ajak
pasukan perangnya balik ke arah darimana tadi ia datang.
Beberapa serdadu angkat naik bangkai kuda putihnya ke bebokong dua kuda lainnya,
untuk dibawa bersama, mengikuti di sebelah belakang.
Jebe menjadi girang sekali. Ia lolos dari kematian dan mendapati tuan yang
bijaksana. Sambil rebahkan diri di atas rumput, ia beristirahat. Ia tunggu
pulangnya Lie Peng, ibunya bocah itu, akan tuturkan kejadian barusan.
Lie Peng lantas berpikir. Dengan hidup terus sebagai penggembala, tidak tahu
sampai kapan Kwee Ceng dapat membalas dendamnya. Ia percaya, kalau ia turut
Temuchin, mungkin ketikanya akan lebih baik. Di dalam pasukan perang, Kwee Ceng
pun dapat berlatih ilmu perang. Maka kesudahannya, ia ajak putranya ikut Jebe
kepada Temuchin. Bab 8. Pedang Mustika

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Girang Temuchin melihat kedatangan Jebe. Ia menempatkan orang gagah itu dibawah
Ogotai, putranya yang ketiga yang menjadi satu siphu-thio, kepala komponi yang
memimpin sepuluh serdadu. Setelah menemui tiga putra Temuchin, Jebe mencari
Borchu untuk menghanturkan terima kasih. Borchu menyambut dengan baik, karena
keduanya saling menghormati dan menghargai, lantas saja mereka menjdia sahabat
kental. Jebe ingat budinya Kwee Ceng, ia perlakukan itu bocah dan ibunya dengan baik. Ia
telah pikir, setelah Kwee Ceng tambah umurnya akan ia wariskan ilmu panah dan
ilmu silat kepadanya. * * * Pada suatu hari selagi Kwee Ceng memain timpuk-timpukan batu bersama beberapa
kawannya anak-anak Mongol di depan markas Temuchin, ia dapat lihat mendatanginya
dari kejauhan dua penunggang kuda yang larikan binatangnya tunggangannya dengan
kencang sekali. Ia menduga kepada berita penting yang mesti disampaikan kepada
Khan yang terbesar itu. Tidak lama sejak masuknya dua orang itu ke dalam markas,
lalu terdengar ramai suara terompet, menyusul mana dari pelbagai tangsi terlihat
munculnya orang-orang peperangan.
Keras disiplin tentaranya Temuchin yang mengatir barisannya dalam empat
rombongan. Yang pertama ialah sepuluh jiwa serdadu menjadi satu barisan kecil,
komponi yang dikepalai oleh datu opsir disebut siphu-thio, lalu sepuluh komponi,
atau satu eskadron, terdiri dari seratus jiwa dipimpin oleh satu pekhu-thio,
Rencana Manusia Terkutuk 1 Pendekar Pulau Neraka 25 Perawan Pembawa Maut Keris Maut 3
^