Pencarian

Memanah Burung Rajawali 27

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 27


mayatku!" "Hm!" Yoe Kiak berkata, "Berapa tinggikah usianya si nona ini" Meskipun dia
pandai dengan ilmu silat tongkatnya, maka sanggup dia melayani kau yang sudah
belajar silat beberapa puluh tahun lamanya?"
Selagi dua tiangloo ini berebut bicara, Nio Tiangloo si tabiat keras sudah habis
sabarnya, dengan mendadak dia berlompat kepada Oey Yong sambil membacok dengan
goloknya. Sembari menyerang, dia kata: "Tulen atau tidaknya ilmu silat Tah Kauw
Pang-hoat itu akan terbukti setelah diuji! Maka lihatlah golok!"
Penyerangan itu hebat. Itulah penyerangan berantai tiga kali, sedang
dilakukannya dengan cara seperti membokong.
Oey Yong dapat melihat serangan itu, dengan cepat ia menyoren tongkat di
pinggangnya, dengan sebat ia berkelit, dan ia berkelit terus tiga kali, hingga
ia bebas dari serangannya. Ia pun berkelit tanpa memindahkan kaki, cuma main
mengegos tubuh. "Apakah untuk melayani kau tepat aku menggunai ilmu silat Tah Kauw Pang-hoat?"
ia kata sambil tertawa. Kata-kata ini disusuli gerakan tangannya kiri dan kanan
- tangan kiri menyerang, tangan kanan mencoba merampas golok!
Nio Tiangloo berkenamaan, ia menjadi gusar sekali, yang satu bocah cilik berani
memandang dia sebelah mata, maka itu habis menyingkirkan goloknya itu, ia lantas
menyerang pula. Tentu sekali, ia berlaku bengis.
Sekarang Kan Tiangloo tidak lagi memandang enteng kepada si nona itu, ia mau
percaya, mengenai si nona, mesti ada apa-apa yang masih tersembunyi, dari itu,
karena khawatir kawannya berlaku semberono, ia meneriaki: "Nio Tiangloo, jangan
kau berlaku telengas!"
Tapi Oey Yong sebaliknya memandang enteng, "Jangan sungkan-sungkan!" katanya
tertawa. Sembari berkata dan tertawa itu, ia melayani si tiangloo. Karena orang
bersenjata golok dan menyerang bengis, ia melawan dengan lebih banyak berkelit,
setiap ada ketikanya, ia membalas, meninju atau menendang, atau ia menyikut atau
memengal. Dalam tempo yang pendek, ia mengasih lihat belasan macam jurus yang
luar biada. Semua pengemis menjadi seperti kabur matanya. Mereka heran dan kagum, apapula
delapan pengemis kantung delapan itu.
"Ah, itulah Lian Hoa Kun!" yang satu berseru.
"Eh, itu toh pukulan gembolan kuningan?" kata si gemuk, yang turut menjadi
kagum. Hanya belum ia menutup rapat mulutnya, Oey Yong sudah menukar lagi ilmu
silatnya, hingga seorang pengemis lain berseru: "Ah, itulah ilmu silat Kun-
thiang-kang dari Ang Pangcu!"
Ang Cit Kong itu adalah seoarang yang wajar, ia tidak suka menerima murid, kalau
ada anggota yang berjasa, ia cuma mengajari satu atau dua jurus sebagai persen.
Lee Seng bukannya seorang lemah, ia cuma diajarkan satu jurus dari satu jurus
dari Hang Liong Sip-pat Ciang, ialah jurus "Naga sakti menggoyang ekor". Sudah
begitu ada lagi satu tabiat aneh dari pangcu itu, ialah satu jurus yang
diajarkan kepada satu orang, ia tidak suka mewariskan lagi kepada yang lain,
maka juga, pelajaran yang didapat anggota-anggota Kay Pang, semua berlainan.
Cuma Oey Yong yang menjadi murid yang istimewa, sebab ia pandai masaj, dia dapat
memincuk pangcu itu dengan pelbagai masakannya yang lezat, setiap kali ia masak,
setiap kali ia memperoleh satu pelajaran. Maka juga selama di Kiang Bio-tin, dia
memperoleh puluhan macam jurus. Sekarang, di depan Kay Pang, ia sengaja
pertontonkan ilmu silatnya itu, membikin orang kagum, heran dan tunduk. Maka
setiap anggota Kay Pang, yang pernah memperoleh warisan dari Ang Cit Kong lantas
memuji kalau ia melihat si nona menjalankan jurusnya itu. Maka itu, ramailah
suara pujian, yang keluar saling susul.
Nio Tiangloo melihat itu semua, ia juga menjadi heran dan kagum, matanya pun
seperti kabur, oleh karena itu, ia tidak mau berlaku sembrono lagi, tidak mau ia
menyerang, ia selalu membela diri dengan menutup dirinya rapat-rapat.
Lagi beberapa jurus telah dilewatkan atau mendadak si nona berhenti bersilat,
dengan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, ia tertawa menanya: "Apa
kau suka menyerah kalah?"
Nio Tiangloo belum mengeluarkan seantero kepandaiannya, mana sudi ia menyerah
kalah, bahkan kerena panas hatinya, ia lantas menyerang. Bacokannya ini hebat
sekali. Kan Tiangloo dan Lou Yoe Kiak kaget. "Tahan!" mereka berseru.
Pula banyak pengemis lainnya yang berteriak saking kagetnya.
Selagi orang kaget dan berkhawatir itu, Oey Yong sendiri tidak menghiraukan
datangnya bacokan yang diarahkan ke pundaknya yang kiri.
Nio Tiangloo sendiri pun menyesal, tetapi ia tidak dapat menarik pulang
bacokannya itu, maka tepat sekarang si nona kena dibacok, sebab ia nampak tidak
berkelit atau menangkis. Baru Nio Tiangloo menyesal atau mendadak tangannya dirasai lenyap tenaganya,
goloknya itu terlepas dari cekalan, jatuh dengan mengasih dengar suara nyaring
di lantai panggung. Ia tentu tidak tahu yang nona lawannya itu mengenakan
pakaian dalam joan-wie-kah, jangan kata golok biasa, golonk mustika pun tak
nanti memakan. Berbareng dengan menyesalnya itu, sikutnya telah ditotok si nona
menggunakai ilmu totok warisan ayahnya ialah "Lan-hoa-hoet-hiat-ciu", ilmu
menotok jalan darah Bungan Anggrek.
Dengan lantas Oey Yong mengulurkan kakinya, untuk menginjak goloknya si pengemis
tertua itu, kepalanya dimiringkan, sembari tertawa, ia menanya, "Bagaimana?"
Nio Tiangloo tercengang, lalu tanpa membilang apa-apa, ia lompat mundur.
Adalah itu waktu Khiu Cian Jin dari tempatnya menonton mengasih dengar suaranya
yang nyata sekali: "Orang memakai mustika dari Tho Hoa To, atau tidak membacok
kepalanya, mana bisa kau melukai dia?"
Kan Tiangloo tunduk, ia berpikir.
"Bagaimana, kau percaya aku tidak?" tanya Oey Yong tertawa.
Lou Yoe Kiak mengedipi mata kepada si nona, untuk dia menyudahi saja. Ia tahu,
dalam ilmu silat, nona ini kalah jauh dari Nio Tiangloo, maka kemenangannya itu
mesti karena suatu tipu daya. Atau sedikitnya, akan sama tangguhnya. Dilain
pihak, Kan Tiangloo jauh lebih lihay daripada Nio Tiangloo itu. Maka ia
bergelisah melihat si nona tidak menggubris isyaratnya itu. Hanya celaka
untuknya, untuk turun tangan, ia tidak sanggup, tangannya, yang diremas Kiu Cian
Jin, masih terasa sakit sekali, bahkan semakkin sakit, hingga ia mengeluarkan
keringat dingin di sekujur badannya, hingga tak bisa ia membuka mulutnya.
Akhir-akhirnya Kan Tiangloo mengangkat kepalanya.
"Nona marilah aku belajar kenal denganmu!" ia berkata.
Kwee Ceng melihat tegas tiangloo itu, ia percaya Oey Yong tak sanggup
melawannya, maka itu, ia hendak menggantikan nona itu. Maka ia lantas menjumput
tambang kulit yang dipakai meringkus dirinya, dengan satu gerakan tangan, ia
membikin ujung tambang menyambar tongkatnya Kan Tiangloo yang tadi oleh Kiu Cian
Jin dibikin nancap di batu gunung, sambil membentak, ia menarik dengan kaget.
Maka tongkat itu tercabut, terlempar ke arah si tiangloo. Disaat itu ia
berlompat ke depan Kan Tiangloo, ia menyambar dengan sambarannya "Menunggang
enam naga", suatu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang, setelah itu, dengan
tangan kiri memegang kepala tongkat dan tangan kanan mencekal bututnya, yaitu
ujungnya, ia membikin gerakan memutar. Maka itu dilain saat, tongkat yang telah
melilit melengkung ia lantas menjadi pulih keadaannya, lempang seperti biasa.
Segera setelah itu, ia menyerukan, "Sambutlah!" dan tongkat itu ia lemparkan
kepada pemiliknya. Kan Tiangloo terkejut. Ia tahu, kalau ia menyambut, tangannya bisa terluka. Maka
dengan lantas ia berkelit, sambil berbuat begitu, ia berseru kepada orang-
orangnya dibawah panggung, menitahkan mereka itu lekas menyingkir. Kalau tidak,
mereka atau beberapa di antaranya bisa terhajar tongkat itu.
Akan tetapi tongkat itu tidak sampai mendatangkan bencana. Oey Yong dengan sebat
sekali, dengan cara pandai, telah mengulurkan Lek-tiok-thung di tangannya itu,
menyambar bagian tengah dari tongkatnya Kan Tiangloo, lalu dengan gerakan
menarik sambil memutar, ia membuatnya tongkat tertahan dan kena tertekan hingga
turun di lantai. Gerakannya nona Oey ini adalah jurus "Menindih punggung anjing", dari ilmu silat
Tah Kauw Pang-hoat, tepat bekerjanya, setelah mana si nona sambil tertawa
berkata kepada tiangloo itu yang barusan menantang padanya: "Silahkan kau
menggunai tongkat baju, aku hendak menggunai tongkat bambu ini! Marilah berdua
kita main-main beberapa jurus...."
Kan Tiangloo sangat bersangsi. Sekarang ia mengambil sikap, kalau kalah, baiklah
ia menyerah. Ia lantas membungkuk, untuk memungut tongkat bajanya itu - kepala
tongkat diturunkan ke bawah, buntut tongkat naik ke atas, lalu sambil memberi
hormat dengan membungkuk, ia berkata: "Aku mohon belas kasihan nona."
Dengan cara menghormatnya itu, ialah kepala tongkat diturunkan, tiangloo ini
mengambil sikap menurut aturan Kaum Rimba Persilatan, kehormatan di antara yang
muda dengan yang tua, tanda dari tidak berani menganggap diri seimbang derajat.
Itulah untuk mohon petunjuk.
Oey Yong meluncurkan tongkatnya, dengan gerakan "Anjing dongak ke langit", ia
menyontek ujung tongkat ujung tongkat si pengemis tertua, hingga tongkat itu
naik ke atas, sambil berbuat begitu, ia mengatakan sambil tertawa: "Tak usah
memakai banyak adat peradatan! Aku khawatir yang kepandaianku tidak dapat
melawan kepandai kau.."
Tongkat baja dari Kan Tiangloo adalah tongkatnya yang berat yang ia telah pakai
untuk beberapa puluh tahun lamanya, sekarang tongkat itu, dengan satu sontekan
perlahan, kena dibikin terangkat naik oleh si nona, bahkan ujungnya terangkat
sampai hampir mengenakan jidatnya, ia menjadi terkejut. Syukur ia lekas
menggunai tenaganya, untuk menahan, ia kembali membawa sikapnya si muda terhadap
seatasannya. Ia menyerang dengan jurus "Raja Cin menghajar batu", suatu jurus
dari Hong Mo Thung-hoat, ilmu silat Hantu Edan dari Lou Tie Cim, salah seorang
anggota gagah dari pahlawan-pahlawan Liang San.
Menampak gerakan si tiangloo, Oey Yong tidak berani berlaku alpa. Ia tahu,
meskipun memakai baju lapis, serangan tongkat itu bisa melukai ia di dalam
tubuh. Maka dengan lincah ia berkelit. Ia bukannya mundur, hanya berkelit sambil
merangsak. Ia terus menggunai jurus-jurus dari Tah Kauw Pang-hoat.
Demikian keduanya bertempur. Beratnya tongkat baja tigapuluh kati lebih tetapi
menghadapi tongkat bambu yang enteng itu, tongkat itu tidak dapat berbuat
banyak. Mulanya Kan Tiangloo masih mengandung rasa khawatir nanti kena merusak tongkat
suci itu, serangannya hebat tetapi diperbataskan, ialah kalau rasanya ia bakal
menghajar Lek-tiok-thung, segera ia membatalkannya, ia selalu mencegah
bentrokan, akan tetapi sesudah beberapa jurus itu, ia mengubah caranya
berkelahi, ia bahkan jadi bersungguh-sungguh. Ia mendapat kenyataan, tongkat si
nona lihay sekali, tikamannya juga dapat merupakan totokan kepada jalan darah.
Dengan lantas untuk membela diri, ia menjadi repot.
Kwee Ceng menjadi sangat kagum. "Benar lihay ilmu silatnya suhu," ia berkata di
dalam hatinya, memuji Ang Cit Kong.
Tengah bertempur itu, mendadak Oey Yong membuat satu perubahan. Ialah tongkatnya
bukan ia cekal gagangnya, hanya bagian tengahnya, dan bukannya ia menyerang, ia
terus putar itu dengan asyik, hingga tongkatnya nampaknya bulat. Tentu sekali
itulah bukan cara bertarung, itulah bagaikan orang tengah main-main.
Mulanya Kan Tiangloo heran hingga ia tercengang, habis itu ia menyerang si nona,
untuk mencegah kurungan. Ia mengarah pundaknya si nona.
Oey Yong melihat datangnya serangan, ia bukannya menangkis, ia hanya menjaga.
Tapi ia tidak membuat kedua tongkat bentrok, ia cuma mendekatkan, lalau bagaikan
memancing, ia menarik. Kan Tiangloo terkejut. Ia menyerang tetapi ia merasa tongkatnya seperti tertarik
dengan keras. Jadi terang si nona telah meminjam tenaga lawan. Dalam kagetnya,
ia lantas menarik. Kembali ia terkejut. Tongkatnya itu seperti nempel sama
tongkat lawan, tertarik atau menarik. Ia kaget sebab ia tahu, di dalam halnya
tenaga dalam, ia mesti menang daripada si nona, tetapi sekarang ialah yang kena
dipengaruhkan. Tujuh atau delapan kali sudah ia menarik, sia-sia belaka,
tongkatnya itu tidak bisa dia membebaskannya.
Tah Kauw pang-hoat ada delapan pokoknya, dan sekarang Oey Yong lagi menggunai
pokok "melibat" maka juga tongkatnya itu seperti ada talinya yang mengikat
tongkatnya si tiangloo. Kan Tiangloo penasaran, ia mengerahkan tenaganya dan memainkan Tay-lek Kim-kong
Thung-hoat, yaitu ilmu tongkat Arhat Tangguh, dengan begitu hebat ia membuatnya
ujung tongkatnya bergerak keempat penjuru. Tetapi aneh tongkat si nona, kemana
ujung tongkat baja menuju, ke sana tongkat bambu mengikuti. Nampaknya seperti si
tiangloo yang berkuasa, sebenarnya dia seperti lagi dikendalikan. Atau
diumpamakan kuda binal, kuda itu lagi diumbar oleh penunggangnya yang lihay.
Akhir-akhirnya Pheng Tiangloo yang menonton dengan kekaguman dan keheranan,
tertawa dan berkata: "Pangcu kau telah lelah, kau istirahatlah!"
Suara itu perlahan dan halus, sedap didengar telinga. Oey Yong benar-benar
lantas merasa tubuhnya lebih. Ia pun memikir, setelah bertempur sekian lama,
sudah waktunya ia beristirahat. Begitu ia merasa, begitu ia menjadi letih dan
lesu, matanya pun menjadi mata orang kantuk.
Tapi sekarang pandangannya Kan Tiangloo sudah berubah, mau ia percaya si nona
adalah pangcunya yang tulen, hendak ia melindungi si nona, maka mengetahui Pheng
Tiangloo lagi menggunai Liam-sin-hoat, ilmu sihirnya itu, ia lantas membentak:
"Eh, Pheng Tiangloo, kau hendak berbuat apa kepada pangcu"!"
Pheng Tiangloo tidak memperdulikannya, ia tertawa perlahan dan berkata pula:
"Pangcu hendak beristirahat, ia telah sangat letih, kau jangan ganggu
padanya....." Oey Yong mengerti ia terancam bahaya akan tetapi ia merasakan tubuhnya lemas dan
matanya mau meram saja, ia merasa bahwa ia mesti beristirahat. Hanya disaat ia
separuh was-was dan separuh sadar itu, mendadak ia ingat perkatannya Kwee Ceng
tadi. Bagaikan tersadar, ia lantas tanya kawannya itu: "Engko Ceng, bukankah kau
membilang tadinya bahwa di dalam kitab ada disebut hal ilmu memindahkan arwah?"
Kwee Ceng mengerti pertanyaan itu. Ia memang telah bercuriga terhadap Pheng
Tiangloo, kecurigaannya bertambah menyaksikan Oey Yong berubah sikap,
pertempurannya berhenti sendirinya secara demikian aneh dan romannya si nona pun
sangat lesu. Ia sudah memikir untuk menghajar tiangloo itu kalau ia main gila,
maka mendengar pertanyaan itu, ia segera mendekati Oey Yong dan membisiki
padanya bunyinya ilmu memindah arwah itu.
Dua-dua ilmunya si tiangloo dan yang termuat di dalam Kiu Im Cin-keng ada serupa
intinya, itulah ilmu sihir belaka, maka ilmu itu harus dilawan dengan kekuatan
hati, diri sendiri harus dapat dikendalikan. Maka Kwee Ceng telah membisiki si
nona untuk menguatkan hati, atas mana, Oey Yong yang masih sadar, lantas
menuruti nasehat si pemuda. Ia lantas meramkan matanya, pemikirannya dipusatkan.
Ia mengempos semangatnya, ia membikin bathinnya kuat. Selang tidak lama, lantas
lenyap rasa lesu dan kantuknya. Ketika ia membuka matanya, ia sadar seperti
biasa. Pheng Tiangloo girang sekali. Ia percaya si nona meram karena terkena pengaruh
ilmunya. Ia udah lantas memikirkan daya lainnya, untuk membikin nona itu membuka
matanya, ia terus diawasi sambil tersenyum! Ia tahu mesti ada terjadi keanehan,
ia lekas-lekas balas bersenyum. Ia hendak menggunai ilmunya untuk memperngaruhi
si nona itu. Tapi sekarang ia gagal, dari tersenyum, tanpa merasa ia tertawa
sendirinya. Oey Yong melihat perubahan kepada tiangloo itu, ia mengerti yang ilmu dari Kiu
Im Cin-keng telah bekerja dan memenangi si tiangloo, maka itu ia bukan cuma
tersenyum, ia lantas tertawa lebar.
Pheng Tiangloo kaget. Ia masih ingat akan dirinya, ia coba mengendalikan diri.
Tapi ia sudah kena dibikin kaget, tidak dapat ia menguasai dirinya. Bahkan dari
berdiri diam, ia lantas berjingkrak, terus ia tertawa terbahak-bahak sambil ia
memegangi perutnya! Ia tertawa haha-hihi, ia berteriak, makin lama suaranya
makin keras. Semua pengemis menjadi heran, semua dibikin bingung karenanya.
"Eh, Pheng Tiangloo, kau bikin apa?" Kan Tiangloo menegur. "Kenapa kau begini
kurang ajar terhadap pangcu?"
Pheng Tiangloo tidak memperdulikan teguran itu, ia terus tertawa terpingkal-
pingkal. Ia menunjuk kepada hidungnya. Kan Tiangloo mengira ada apa-apa yang
aneh pada hidungnya itu, ia mengusap. Tapi ini membuatnya rekannya itu tertawa
lebih hebat. Akhirnya Pheng Tiangloo lompat turun ke bawah panggung di mana ia
terus tertawa sambil bergulingan!
Baru sekarang semua pengemis menjadi bercuriga. Dua muridnya Pheng Tiangloo
lantas lari kepada gurunya itu, untuk mengasih bangun, akan tetapi mereka
ditolak, guru itu tertawa tak hentinya. Karena ini mukanya lantas menjadi merah
tua. Kalau orang biasa terkena ilmunya Oey Yong itu, paling juga dia merasa lelah dan
ingin tidur, tidak demikian dengan Pheng Tiangloo, yang sendirinya tukang sihir.
Karena ia melawan, kesudahannya, ialah akibatnya menjadi hebat. Ia menyerang,
sekarang dia kena dibalas diserang, serangan itu dahsyat untuknya.
Kan Tiangloo menjadi tak enak hati. Ia khawatir Pheng Tiangloo mati karenanya.
Maka ia lantas menjura pada Oey Yong dan berkata: "Pangcu, Pheng Tiangloo
berlaku kurang ajar, dia harus dihukum berat, tetapi aku mohon dengan kemurahan
hati pangcu, sukalah ia diberi ampun."
Lou Yoe Kiak juga io Tiangloo, lantas turut maju, sambil menjura, mereka pun


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memohonkan keampunan bagi tiangloo yang telah manjadi seperti gila itu. Hanya
sekali mereka ia minta-minta ampun, di sana terdengar suara aneh dari Pheng
Tiangloo sendiri....... Oey Yong tidak menjawab ketiga tiangloo itu, ia hanya berpaling kepada Kwee
Ceng. "Engkong Ceng, cukupkah sudah?" ia menanya.
"Cukup!" menjawab si anak muda. "Kasihlah dia ampun!"
Oey Yong lantas menghadapi ketiga tiangloo itu.
"Samwie, kamu menghendaki aku memberi ampun padanya, boleh," dia berkata. "Aku
hanya minta kamu tidak dapat meludah kepada tubuhku!"
Kan Tiangloo melihat jiwanya Pheng Tiangloo terancam, ia menjawab dengan cepat:
"Aturan kami ditetapkan oleh pangcu, maka itu pangcu juga yang dapat menetapkan
atau menghapuskannya. Teecu semua menurut perintah saja."
Senang Oey Yong mendengar jawaban itu. Ia tertawa.
"Sekarang pergilah kau menotok dia pada jalan darahnya thongkok-hiat dan siang-
kiok-hiat!" ia memberi petunjuk.
Kan Tiangloo lompat turun dari panggung, ia menghampirkan Pheng Tiangloo untuk
menotok kedua jalan darah yang ditunjuk. Dengan lantas tiangloo itu berhenti
tertawa, hanya kedua matanya mencelik hingga terlihat putih semua, sedang jalan
darahnya menjadi sulit. Oey Yong tertawa. "Sekarang benar-benar aku mau beristirahat!" katanya. "Eh, mana si orang she Yo
itu?" ia tanya. Ia heran melihatnya Yo Kang tidak ada di antara mereka.
"Dia sudah pergi," menyahut si Kwee Ceng.
Si nona berjingkrak. "Kenapa dikasih dia pergi?" katanya. "Dia pergi kemana?"
"Dia pergi mengikuti si tua bangka she Khiu itu," sahut Kwee Ceng seraya
tangannya menunjuk. Oey Yong memandang ke telaga di mana perahu layar tengah berlayar pergi. Tentu
saja tidak dapat ia menyusul Yo Kang atau Khiu Cian Jin, maka dia cuma bisa
mendongkol dan menyesal sendiri. Ia mengerti itulah biasanya Kwee Ceng, yang
sangat jujur. Rupanya ini engko Ceng masih ingat persahabatan dari dua turunan,
dia jadi suka memberi ampun pada pemuda she Yo yang jahat itu.
Yo Kang itu cerdik, begitu melihat pertempuran antara Oey Yong dan Kan Tiangloo,
ia mengerti, jikalau ia tidak lantas mengangkat kaki, dia bakal menghadapi
bahaya, dari itu, diluar tahu orang - selagi orang menonton pertempuran - ia
nelusup kepada rombongannya Khiu Cian Jin dan minta pertolongan orang she Khiu
itu. Kapan Khiu Cian Jin mengetahui orang adalah putranya Wanyen Lieh, ia menepuk
dada memberikan kepastiannya untuk menolongi, kemudian sesudah melihat suasana -
bahwa pastilah Oey Yong yang bakal jadi ketua Kay Pang dan si nona bersama Kwee
Ceng adalah musuh-musuh tangguh, diam-diam dia mengajak orangnya pangeran itu
berlalu dari gunung Kun San itu.
Kemudian Oey Yong menghadapi semua orang Kay Pang, sambil mengangkat Lek-tiok-
thung, ia berkata: "Sekarang ini, selama Ang Pangcu masih belum kembali, akulah
yang buat sementara waktu mengurus partai kita. Kan Tiangloo bersama Nio
Tiangloo, silahkan kau berangkat untuk menyambut pangcu. Kamu membawa murid-
murid kantung delapan dan menyambutnya di timur sana. Loun Tiangloo sendiri
berdiam di sini untuk beristirahat."
Suaranya ini wakil pangcu disambut dengan riuh oleh orang-orang Kay Pang itu.
Kemudian Oey Yong menanya: "Pheng Tiangloo ini tidak lurus hatinya, coba kamu
bilang, dia harus dihukum bagaimana?"
Kan Tiangloo menjura, ia berkata: "Dosa saudara Pheng ini besar sekali, dia
harus dihukum berat, akan tetapi mengingat dulu hari ia telah membantu npangcu
mendirikan jasa besar untuk partai kita, teecu mohon dia diberi ampun dari
hukuman mati." Oey Yong tertawa. Ia berkata: "Aku memang telah menduga, kau bakal memintakan
ampun untuknya. Baiklah! Mengingat dia telah tertawa cukup banyak sekarang dia
dipecat kedudukannya sebagai tiangloo, biar dia menjadi murid kantung delapan!"
Ketiga Tiangloo she Kan, Nio dan Lou itu menghanturkan terima kasih, Pheng
Tiangloo sendiri juga mengucapkan terima kasihnya.
Oey Yong berkata pula: "Sebenarnya sukar mencari ketika kita untuk berkumpul di
sini, kamu semua tentunya ingin berbicara banyak, maka itu pergilah kamu bicara
asal terlebih dahulu kamu mengubur baik-baik dua saudara Lee Seng dan Ie Tiauw
Hin. Aku melihat Lou Tiangloo adalah orang yang paling baik, selanjutnya semua
urusan aku serahkan padanya dan kamu mesti mendengar segala perintahnya. Aku
sendiri, sekarang juga aku mau berangkat. Nanti di Lim-an kita bertemu pula!"
Begitu ia berkata, begitu Oey Yong mencekal tangannya Kwee Ceng, untuk ditarik,
buat dituntun berlalu turun gunung.
Melihat demikian, semua orang Kay Pang mengiringinya sampai di kaki gunung,
sampai nona itu berdua dibawa perahu dan lenyap di antara kabut malam, baru
mereka kembali ke puncak gunung, di mana dengan dipimpin Lou Tiangloo, mereka
membicarakan segala urusan mereka.
Bab 59. Pesan Gak Bu Bok Bab ke-59 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Hari sudah terang ketika Oey Yong dan Kwee Ceng kembali ke Gak Yang Lauw. Di
sana mereka mendapatkan kuda mereka, sepasang burung rajawali dan burung hiat-
niauw menantikan mereka. Semua binatang itu nampak girang bertemu dengan majikan
mereka. Oey Yong memandang jauh ke timur, ia menyaksikan sang Batara Surya seperti
meloncat keluar dari gelombang telaga Tong Teng Ouw. Sinar fajar itu sangat
indah dan menawan hati. "Pemandangan begini indah, jangan kita mengasih lewat," kata si nona kemudian,
tertawa, "Engko Ceng, mari kita naik ke atas!"
Kwee Ceng menurut. Tapi kapan mereka tiba di atas dan ingat kejadian kemarinnya,
pengalaman itu membuatnya mereka bergidik sendiri. Kejadian itu sangat
berbahaya. Hanya keindahan alam membuat mereka dengan cepat melupai kejadian
kemarin. Belum lama lagi mereka minum arak, mendadak Kwee Ceng melihat air muka si nona
berubah, agaknya ia bergusar.
"Engko Ceng, kau jahat!" katanya tiba-tiba.
Kwee Ceng kaget, "Kenapa?" tanyannya heran.
"Kau tahu sendiri!"
Kwee Ceng berpikir tetapi ia tidak ingat apa-apa.
"Yong-jie yang baik, kau jelaskanlah," pintanya.
"Baik," menyahut si nona. "Sekarang aku tanya kau! Tadi malam kita didesak ke
jurang, jiwa kita terancam bahaya. Kenapa kau melemparkan aku" Apakah kau kira
kalau kau mati aku bisa hidup" Apakah kamu masih belum tahu hatiku?"
Habis itu si nona menangis, air matanya jatuh ke dalam araknya.
Kwee Ceng terharu mendapatkan orang demikian mencinta padanya. Ia mengulur
tangannya, akan mencekal erat-erat tangan kanan nona itu. Tidak dapat ia
mengucapakan sesuatu. Oey Yong menghela napas perlahan, melegakan hatinya. Ia sebenarnya hendak
membuka mulutnya ketika ia mendengar tindakan kaki di tangga, lalu terlihat
nongolnya satu kepala orang. Keduanya terkejut. Itulah Tiat Ciang Siu-siang-
piauw Khiu Cian Jin. Kwee Ceng segera melompat bangun, akan menghalangi di depan si nona. Ia khawatir
orang tua itu nanti menyerang.
Tapi Khiu Cian Jin bukannya menyerang, ia hanya bersenyum, tangannya diangkat,
untuk menggapai, setelah mana dia memutar tubuhnya, untuk lantas turun pula.
Kelihatan nyata orang jenaka tetapi dalam keadaan ketakutan............
"Dia takut pada kita, inilah aneh!" berkata Oey Yong. "Nanti aku lihat."
Tanpa menanti jawabannya, si nona lantas lari turun.
Kwee Ceng lekas membayar uang arak, lekas-lekas ia menyusul. Tapi setibanya di
bawah, ia tidak mendapatkan Khiu Cian Jin atau Oey Yong. Ia menjadi kaget dan
berkhawatir. Tentu sekali ia takut nona itu celaka di tangannya si Tangan Besi.
Maka ia lantas memanggil-manggil: "Yong-jie! Yong-jie! Kau di mana?"
Oey Yong mendengar panggilannya Kwee Ceng itu tetapi ia tidak menyahutinya. Ia
lagi menguntit Khiu Cian Jin, kalau ia bersuara, orang akan mengetahui dirinya
lagi dibayangi. Ia menguntit terus.
Ketika mereka berjalan di pinggir sebuah rumah besar, Oey Yong sembunyi di
alingan tembok di pojok utara. Ia hendak menguntit terus setelah si orang tua
jalan sedikit jauh. Akan tetapi Khiu Cian Jin seorang cerdik, begitu ia
mendengar suara Kwee Ceng, ia menduga si nona lagi mengikutinya. Maka setelah
menikung di ujung tembok, ia juga menyembunyikan dirinya.
Dengan begitu, dua-dua mereka sama-sama bersembunyi. Dengan begitu, sama-sama
mereka berdiam. Yang satu menantikan yang lain, yang lain menunggui yang satu.
Selang sekian lama, karena dua-duanya tetap bersembunyi, mereka ingin melihat.
Keduanya menongolkan kepala mereka. Apa mau, waktunya tepat, bareng sekali. Maka
mata mereka bentrok sinarnya satu dengan lain. Nyatanya mereka bersembunyi dekat
satu dengan lain: satu di pojok sana, satu di pojok lain - jarak di antara
mereka tidak ada setengah kaki! Tentu sekali, kedua-duanya menjadi sama
kagetnya. Setelah menyaksikan peristiwa di Kun San, Oey Yong jeri terhadap orang tua itu,
yang sekian lama ia mengiranya seorang penipu besar, yang cuma namanya kesohor
tapi gunanya tidak, tidak tahunya, dia sangat lihay. Khiu Cian Jin sebaliknya
jeri terhadap si nona, karena sudah beberapa kali dia bercelaka di tangan si
nona itu. Maka, setelah sama-sama berseru kaget, sama-sama juga mereka
menyingkir masing-masing!
Oey Yong tidak puas. Segera ia kembali, untuk menguntit pula. Ia pikir jalan
memutari rumah besar itu. Karena ia khawatir Khiu Cian Jin sudah pergi jauh, ia
bertindak cepat. Ia ingat tiba lebih dahulu di ujung tembok timur, untuk dapat
menguntit terus. Juga Khiu Cian Jin berpikir seperti si nona, ia pun jalan memutar seperti nona
itu. Tidak heran kalau lekas juga mereka jadi bersamplokan pula! Sekarang mereka
bertemu di tembok menghadap ke selatan.
Oey Yong sudah lantas berpikir: "Jikalau aku memutar tubuh dan pergi dari sini,
bisa-bisa nanti ia membokong punggungku! Dia sangat lihay, mana bisa aku
mengelit diri?" Maka itu, ia lantas tersenyum. Ia berkata: "Khiu Locianpwee,
dunia ini benar-benar sempit! Kembali kita bertemu di sini...!" Sambil berkata
begitu, si nona pun berpikir: "Baiklah aku mengulur tempo! Aku mesti memantikan
engko Ceng, itu waktu aku tak usah takut lagi.........."
Khiu Cian Jin juga sama berpikir seperti si nona. Dia tertawa dan berkata: "Itu
hari kita berpisah di Liam-an, siapa sangka sekarang kita bertemu pula di sini.
Apakah kau banyak baik, nona?"
Oey Yong heran tak kepalang.
"Bangsat tua, kau ngaco belo!" katanya di dalam hatinya. "Terang-terang tadi
malam kita bertemu di Kun San, sekarang kau menyebut-nyebut tentang pertempuan
di Lim-an itu! Baik, biarlah kau ngoceh tidak karuan! Aku ada membuat ilmu silat
Tah Kauw Pang-hoat, kenapa aku tidak mau menghajar dia sebelum dia sadar?" Maka
ia lantas berteriak nyaring: "Engko Ceng, kau hajar punggungnya!"
Khiu Cian Jin kaget. Ia mengira Kwee Ceng muncul di belakangnya. Ia lantas
menoleh. Oey Yong sangat sebat, berbareng sama teriakannya itu, tangannya mengeluarkan
tongkatnya, dengan apa ia terus menyapu ke bawah!
Juga Khiu Cian Jin sangat licin. Ia menoleh dengan cepat, ia tidak melihat Kwee
Ceng, lantas ia insyaf bahwa ia diperdayakan. Ia pun mendengar bersiurnya angin,
maka ia lantas berlompat. Maka bebaslah ia dari sapuan itu. Akan tetapi Oey Yong
tidak sudi mengasih hati. Gagal sapuannya, ia mengulanginya. Dan ia
mengulanginya terus, berulang-ulang, untuk membikin orang tak dapat bernapas.
Bukan main takutnya Khiu Cian Jin. Dengan terpaksa, ia berlompatan. Tidak ada
ketikanya untuk melesat jauh, guna terus melarikan diri. Setelah tujuh atau
delapan kali lompat-lompatan terus, betis kirinya kena juga oleh ujung tongkat,
tidak tempo lagi, dia menjerit mengaduh dan tubuhnya terbanting.
"Tahan! Aku hendak bicara!" ia berkata, tangannya diangkat.
Oey Yong menghentikan serangannya, ia mengawasi sambil tertawa geli, tetapi
begitu lekas orang bangun sambil berlompat, tidak menanti kaki orang itu
mengenai tanah, ia menyapu pula. Di dalam keadaan seperti itu, Khiu Cian Jin
tidak dapat berkelit lagi, maka lagi sekali ia terguling memegang tanah. Ia
bandel sekali, setiap kali jatuh, ia bangun sambil berlompat, maka itu si nona
pun, saban orang berlompat dia membarengi menyapu. Dengan demikian, enam kali
orang she Khiu itu jatuh bangun.
Habis itu, Cian Jin terus mendekam di tanah. Ia tahu percuma ia berlompat
bangun. Ia pun tidak berani berkutik.
"Kau berpura-pura mampus?" kata Oey Yong tertawa.
Khiu Cian Jin menyahuti sambil ia berlompat bangun, hanya kali ini ia berlompat
seraya menarik tali celananya, hingga tali itu putus, sambil berbuat begitu, ia
berteriak-teriak: "Kau mau pergi atau tidak" Hendak aku melepaskan tanganku!"
Nona Oey melengak. Ia tidak menyangka bahwa seorang ketua partai mau main gila
seperti itu. Tentu sekali ia takut orang membuktikan ancamannya, itu artinya
Khiu Cian Jin meloloskan pakaiannya, maka terpaksa sambil berludah ia memutar
tubuhnya untuk bertindak pergi. Ia lantas mendengar suara orang tertawa
kegirangan, disusul sama suara tindakan kaki. Ketika ia mencoba menengok, ia
melihat Khiu Cian Jin masih memegangi celananya itu, bahkan sekarang ia lari
hendak mengejar. Nona ini mendongkol berbareng merasa lucu, tetapi ia terpaksa lekas-lekas lari.
Khiu Cian Jin belum lari jauh ketika ia memikir sudahlag cukup ia mengusir nona
itu, maka hendak ia berhenti mengejar, tetapi justru itu, Kwee Ceng muncul dari
ujung rumah, ia lantas maju menghalang, kedua tangannya digeraki, tangan kirinya
menjaga dada, tangan kanannya diajukan.
"Celaka!" berseru Khiu Cian Jin. Ia lantas berhenti mengejar.
"Hajar dia, engko Ceng!" Oey Yong kata. "Jangan ladeni ocehannya!"
Kwee Ceng sudah lantas bersiap. Ia tahu Khiu Cian Jin sebagai pendusta, tapi di
Kun San ia telah melihat ketangguhan orang, dia tidak mau memandang enteng.
"Eh, anak-anak, kau dengar kata-katanya kakekmu!" berkata Khiu Cian Jin sambil
ia tetap memegangi celananya. "Selama beberapa hari ini kakekmu termaha gegares,
dia menjadi mulas perutnya. Sekarang pun kakekmu mau buang air besar..."
"Engko Ceng, hajar dia!" berkata Oey Yong yang sendirinya tak berani maju bahkan
ia mundur. "Aku tahu hatimu, anak-anak," berkata pula Khiu Cian Jin. "Jikalau kamu tidak
diberi ketika akan menyaksikan kepandaiaan kakekmu, kamu tentu tidak puas, kamu
tidak suka menyerah, maka sayang sekali sekarang justru perut kakekmu lagi
sakit, semua yang ada di dalam perutnya mau melonjor keluar. Baiklah anak-anak
yang manis, aku beri tempo padamu. Lagi tujuh hari maka kakekmu akan menantikan
kamu di kaki gunung Tiat Ciang San! Beranikah kamu pergi ke sana?"
Oey Yong telah menyiapkan seraup jarumnya, hendak menyerang apabila saatnya
telah tiba, akan tetapi ia mendengar orang menyebut nana gunung Tiat Ciang Pang,
mendadak ia ingat huruf-huruf dalam gambar peninggalannya Kiok Leng Hong, yang
bunyinya "Tiat Ciang San-hee" atau "di bawah gunung Tiat Ciang San" - gunung
Tangan Besi. Maka ia lantas menyahuti: "Baiklah, biarnya tempat itu mirip kedung
naga atau gua harimau, tentu kamu nanti pergikan! Di mana adanya Tiat Ciang San
itu?" "Dari sini kau pergi ke barat," berkata Khiu Cian in menyahuti, tangannya
menunjuk, kamu nanti melintasi Siang-tek, Sin-cu dan sungai Goan Kang. Kamu
ikutilah sungai itu mudik. Nanti kamu tiba di Louw-kee dan Sin-kee. Di antara
itu ada sebuah gunung tinggi yang berupa seperti lima jari menunjuk ke langit,
nah itulah dia gunung Tiat Ciang San. Gunung itu sangat berbahaya, kakekmu
sendiri sangat lihay, maka itu kedua bocah, umpama kata kamu takut, baiklah
sekarang saja kamu mohon ampun dari kakekmu, lantas bolehlah tak usah kamu pergi
ke sana!" Oey Yong mendengar keterangan "seperti lima jari menunjuk ke langit", ia jadi
bertambah girang. "Baiklah!" ia memberikan jawabannya, "Sekarang aku memberi kepastian, di dalam
tempo tujuh hari kami nanti pergi mengunjungi gunungmu itu!"
Khiu Cian Jin mengangguk-angguk, atau mendadak ia berteriak pula: "Celaka!"
berulangkali dan tanpa membilang apa-apa lagi, ia lari keras ke barat!
Kwee Ceng tidak mengubar, bersama Oey Yong ia mengawasi sampai orang telah pergi
jauh. Kemudian ia kata pada si nona: "Yong-jie, ada satu hal yang bagiku benar-
benar tidak jelas. Cobalah kau yang menerangkannya."
"Apakah itu?" Oey Yong.
"Ini cianpwee she Khiu sangat lihay, kenapa dia gemar sekali memperdayakan
orang?" Kwee Ceng mengutarakan keheranannya. "Kau lihat sendiri, ada kalanya dia
berpura-pura berkepandaian sangat rendah. Di Kwie-in-chung dia telah meninju
dadaku, coba dia mengeluarkan tangannya seperti tadi malam, mana bisa jiwaku
bisa hidup sampai sekarang ini" Apakah dia berlagak gila saja" Atau apakah dia
ada mengundang maksud yang lain?"
Oey Yong berpikir, ia menggigit jari tangannya.
"Dalam hal ini, aku juga sangat tidak mengerti," sahutnya sesaat kemudian. "Tadi
aku serang dia berulang kali, dia selalu roboh tak berdaya sama sekali, dia
tidak mampu membalas menyerang, bahkan dia lantas main gila. Apa mungkin dia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga memperdayakan orang diwaktu dia menekuk melengkung tongkat baja?"
Kwee Ceng menggeleng kepala.
"Dia telah meremas tangannya Lou Toangloo," dia menambahkan. "Ketika ia
menyambuti seranganku dengan tipu silat Kek San Tah Gu, itulah ilmu sejati. Ilmu
itu tak dapat dipalsukan......"
Oey Yong lantas membungkuk, dengan tusuk kondenya, ia menggurat-gurat tanah,
lalu selang sesaat, ia menghela napas.
"Benar-benar kau tidak dapat menerka tua bangka itu lagi memberi pertunjukan
apa," katanya. "Biarlah, mari kita pergi ke Tiat Ciang San, setibanya di sana
pasti kita akan mendapatkan pemecahannya."
"Buat apa kita pergi ke Tiat Ciang San?" tanya Kwee Ceng, bersangsi. "Benar
urusan kita telah selesai tetapi kita harus mencari suhu. Tua bangka itu pandai
main gila, perlu apa kita menangkapnya benar-benar?"
"Engko Ceng, mari kau tanya kau," kata si nona. "Bukankah gambar yang ayahku
berikan padamu telah basah dan huruf-huruf apakah yang telah kau lihat di dalam
situ?" "Surat itu telah rusak sampai artinya tak dapat ditangkap," kata Kwee Ceng
sambil menggoyangi kepalanya.
"Habis, apakah kau tidak memikirkannya?" tanya pula Oey Yong tertawa.
Kwee Ceng benar-benar tidak dapat memikir atau menduga.
"Ah, Yong-jie yang baik," katanya. "Kau tentu telah dapat memikir sesuatu, maka
lekaslah kau jelaskan itu padaku!"
Oey Yong lantas menggurat pula di tanah. Ia menulis huruf-huruf di gambar, yang
ia telah ingat dengan baik. Ia berkata: "Di garis pertama itu, yang kurang
mestinya satu huruf Bu. Kalau keempat huruf itu lengkap, itu mestinya 'Surat
wasiat Bu Bok.' Sekarang garis yang kedua. Sekian lama aku tidak dapat pikir
itu, sampai tadi si tua bangka menyebutnya. Menurut dugaanku, huruf itu mestinya
'san' atau 'hong', ialah gunung atau puncak........"
Kwee Ceng lantas membaca: "Jadinya, surat wasiat Bu Bok di gunung Tiat Ciang
San." Ia lantas bertepuk tangan, terus ia berseru: "Bagus! Sekarang mari kita
lekas pergi ke sana! Tiat Ciang Pang bersekongkol sama bangsa Kim, mungkin
sekali surat wasiat Gak Hui itu mereka serahkan pada Wanyen Lieh! Hanya tinggal
yang dua garis lagi..."
Oey Yong tertawa. "Kau sendiri tidak mau menggunai otakmu, kau paling bisa mendesak orang," ia
kata. "Aku rasa, garis yang ketiga itu harus dicari dari kata-katanya si tua
bangka bahwa gunung itu mirip lima jeriji tangan. Bukankah itu berbunyi 'dibawah
puncak jari tengah'?"
Kembali Kwee Ceng menepuk tangan.
"Yong-jie, kau sungguh cerdik, kau cerdik!" ia memuji pula. "Sekarang tinggal
garis keempat, yang keempat....."
Oey Yong berdiam, ia berpikir.
"Ini, inilah sukar....." sahutnya. "....yang kedua apakah itu?" Ia memiringkan
kepalanya, hingga rambutnya turun memain. "Sudahlah, nanti saja kita pikirkan
pula. Sekarang kita pergi dulu."
Sampai di situ, mereka tidak berayal lagi. Maka mereka lantas cari kuda dan
burung mereka, terus mereka mulai dengan perjalanan ke arah barat itu, menurut
petunjuk Tiat Ciang Sui-siang-piauw Khiu Cian Jin yang aneh itu, yang sebentar
temberang dan jenaka, kemudian kosen benar-benar, lalu main memutuskan tali
pinggang............ Mula-mula mereka melewatkan Siang-tek, lalu melintasi Tho-goan, sampai di Goan
Kang, atau Goan-leng, mereka jalan ke hulu, dari sini mereka benar tiba di Louw-
kee. Di sini mereka tanya-tanya orang di mana adanya gunung Tiat Ciang San.
Mereka mendapat jawaban yang berupa gelengan kepala. Mereka menjadi heran,
hampir mereka putus asa. Maka terpaksa mereka pergi mencari rumah penginapan.
Malam itu Oey Yong pasang omong dengan pelayan yang bicara banyak, tetapi tidak
pernah menyebutkan Tiat Ciang San. Maka kemudian si nona kata: "Semua tempat
yang kau sebutkan itu ada tempat-tempat yang umum, dasar Louw-kee tempat kecil,
di sini tidak ada gunung dan airnya yang bagus!"
Dengan "gunung dan air", si nona maksudkan pemandangan alam yang indah.
Kata-kata itu yang mengandung hinaan, membikin pelayan itu tak puas.
"Meskipun Louw-kee tempat keci," katanya, "Tetapi pemandangan alam di gunung
Kauw Jiauw San mana ada yang dapat menandanginya?"
Oey Yong ketarik sama nama gunung itu, yang artinya gunung Kuku Kera.
"Di mana letaknya Kauw Jiauw San itu?" ia tanya.
"Maaf," berkata pelayan itu yang tidak menjawab, hanya ia mengundurkan diri.
Oey Yong memburu, di ambang pintu, ia menjambak punggung orang, untuk menarik
dia itu kembali ke dalam kamar. Ia terus merogoh keluar sepotong perak dan
meletaki itu di atas meja.
"Kau omong biar jelas, uang ini untukmu," ia kata.
Ketarik hatinya pelayan ini, ia meraba-raba uang perak itu.
"Perak begini besar?" katanya.
"Ya," sahut Oey Yong bersenyum dan mengangguk.
"Baiklah, aku nanti menjelaskannya," pelayan itu lantas berkata, perlahan, "Cuma
aku minta jangan jiewi pergi ke sana. Di atas gunung itu ada berdiam sekawanan
hantu yang jahat, mereka juga memelihara banyak ular berbisa. Siapa mendekati
gunung itu lima lie, jangan harap jiwanya selamat!"
Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang, mereka saling mengangguk.
"Kauw Jiauw San itu terdiri dari lima puncak, yang semuanya menjulang ke langit
mirip tangan kera, bukankah?" kemudian si nona tanya.
Pelayan itu girang. "Ah, kiranya nona sudah tahu!" katanya. "Jadi itulah bukan
aku yang menjelaskannya. Lima puncak itu memang luar biasa sekali."
"Kenapa begitu?" tanya Kwee Ceng.
"Lima puncak itu berdiri rapat seperti lima jari tangan," menerangkan si
pelayan. "Puncak yang di tengah ialah puncak yang paling tinggi. Puncak-puncak
yang lainnya, di kedua sisinya lebih rendah. Yang aneh ialah setiap puncak itu
ada garisnya, mirip sama tiga tekukan jari tangan."
Mendengar itu, Oey Yong berjingkrak-jingkrak sambil berseru: "Yang kedua! Yang
kedua!" "Benar! Benar!" Kwee Ceng pun berseru kegirangan.
"Engko Ceng mari kita pergi!" berkata Oey Yong.
"Tempat itu terpisah dari sini tak ada enampuluh lie, dengan menunggang kuda
merah, sebentar saja kita bisa sampai di sana," berkata Kwee Ceng. "Aku pikir,
baiklah besok saja kita pergi berkunjung ke sana."
Si nona tertawa. "Siapa yang mau membuat kunjungan?" katanya. "Kita mencuri buku!"
"Ah!" seru Kwee Ceng, yang baru sadar. "Kenapa aku tolol sekali, aku tidak dapat
memikir sampai ke situ...!"?
Dua orang ini tidak mau membikin orang penginapan yang mengetahui perbuatan
mereka, mereka keluar dengan diam-diam dengan melompati jendela. Dengan hati-
hati juga mereka menuntun kuda mereka. Lalu, dengan menuruti petunjuk pelayan,
mereka berangkat menuju ke arah tenggara. Jalanan ada jalanan pengunungan dan
rumputnya tinggi-tinggi, jalanan sukar, tetapi kuda kecil itu dapat melalui itu.
Di dalam tempo satu jam, sampailah mereka di kaki gunung.
Terlihat jelas lima puncak gunung, yang mirip dengan lima jari tangan berdiri
tegak, terutama puncak yang di tengah-tengah itu.
"Puncak ini sama benar dengan puncak di dalam gambar," berkata Kwee Ceng setelah
ia mengawasi sekian lama. "Lihat di puncak itu, bukankah itu pohon cemara?"
Oey Yong tertawa ketika ia menyahuti: "Ya, hanya di sana kurang seorang jenderal
yang lagi bersilat dengan pedang!"
Lantas mereka meninggalkan kuda mereka dan burung rajawali di kaki gunung itu,
mereka jalan memutar ke belakang gunung. Di sini, di mana tidak tertampak ada
orang lain, mereka mulai mendaki dengan berjalan cepat bagaikan lari. Beberapa
lie telah dilewatkan, jalanan menikung, lalu menuju ke barat. Mereka maju terus.
Di sini jalan selanjutnya berliku-liku sampai di depan mereka, mereka tampak
pohon cemara melulu. Mereka berhenti sebentar, mereka bersangsi, hingga mereka saling bertanya baik
mereka mendaki terus atau melihat-lihat dulu. Selagi mereka berbicara, si burung
merah molos dari tangan baju Oey Yong, terus ia terbang ke dalam rimba.
Si nona sangat menyayangi burungnya itu, sambil menggapai kepada Kwee Ceng, ia
lari ke arah rimba itu, untuk menyusul burungnya. Hanya ia menjadi bingung
ketika lekas sekali ia kehilangan hiat-niauw yang terbangnya sangat cepat.
Terpaksa ia maju terus dengan Kwee Ceng mengikuti.
Sekira satu lie jauhnya, mereka tiba di satu tempat di depan mana ada cahaya
api. Keduanya saling memberi isyarat, setelah mana mereka maju dengan perlahan-
lahan, enteng tindakannya. Baru beberapa tindak, mendadak dari samping jalanan,
di mana ada pohon-pohon besar, dua orang berlompat keluar, untuk menghadang di
muka mereka. Dua orang itu sama-sama mengenakan pakaian hitam dan memegang
senjata tajam. Hanya mereka itu tidak membuka suara.
Oey Yong lantas berpikir. Ia tahu, kalau mereka bertempur, sulit untuk melakukan
pencurian "buku", ialah surat wasiatnya Gak Hui itu. Ia cerdik sekali. Maka
segera ia mengeluarkan tiat-siang, ialah tangan besi dari Khiu Cian in. Ia
mengangkat tinggi-tinggi, terus ia bertindak tanpa membuka suara seperti dua
orang itu. Kapan kedua orang berpakaian hitam itu menampak tangan besi tersebut, mereka
terkejut, dengan lekas mereka memberi hormat, lalu mereka menyingkir ke
pinggiran untuk memberi jalan.
Oey Yong berlaku sebat luar biasa. Tepat orang mundur, tepat ia menyerang.
Dengan tongkatnya, dengan dua gerakan saling susul, ia menotok kedua orang itu,
hingga keduanya roboh tak berdaya lagi, hingga gampang saja mereka didupak
mencelat ke dalam gompolan rumput. Habis itu, dengan cepat tetapi berhati-hati,
mereka maju pula, menghampirkan api yang tadi terlihat samar-samar.
Nyatalah itu ada sebuah rumah batu dengan lima ruang dan api munculnya dari dua
ruang timur dan barat. Mereka menghamprkan ruang barat itu. Segara hidung mereka
menangkap bau amis. Tapi mereka tidak menghiraukannya, mereka lantas mengintai
di jendela. Di dalam kamar itu ada sebuah perapian besar, yang apinya menyala marong. Di
atas situ ada sebuah kuali. Dua kacung menanti di samping perapian itu, yang
satunya lagi menolak pompa anginnya, yang lainnya tengah melemparkan seekor ular
yang ia jumput dari dalam karung, di lemparkan ke dalam kuali itu, di depan
kuali ada seorang lain, seorang tua yang duduk numprah dengan mata dimeramkan,
dengan menggunai tenaga besar, ia menghisap menyedot uap yang mengepul dari
kuali itu, uap mana teranglah berhawa panas. Orang tua itu mengenakan baju
kuning pendek. Dan dia bukan orang lain daripa Khiu Cian Jin.
Selagi ia menyedot hawa masakan ular itu, kepala Khiu Cian Jin mengeluarkan hawa
panas yang nampak bagaikan uap juga, sedang kedua tangannya yang diangkat
tinggi, sepuluh jerijinya pun terlihat mengeluarkan uap serupa. Habis itu,
mendadak ia bangun berdiri, kedua tangannya itu dimasuki ke dalam kuali. Di
waktu begitu, maka si bocah tukang kipas lantas mengompa angin dengan luar biasa
kuat hingga ia memandikan keringat pada dirinya.
Khiu Cian Jin membiarkan tangannya berada di dalam godokan ular itu, sampai rasa
panasnya sudah tak tertahankan, baru ia menarik kedua tangannya itu. Setelah
menarik, ia menyampok sebuah kantung kain yang tergantung di dalam ruangan itu,
sampokannya itu menerbitkan suara nyaring, tetapi kantungnya sendiri tidak
bergoyang. Kwee Ceng heran. Ia tahu betul isinya kantung itu mestinya pasir dan isi itu tak
ada satu batok. Yang mengherankan ialah kantung itu tersampok tanpa bergoyang
itu. Itulah menandakan lihaynya ilmu silat orang tua itu.
Oey Yong sebaliknya daripada engko Cengnya itu. Ia tetap menganggap si orang tak
lain lagi bersandiwara, untuk mengelabui orang. Coba ia tidak lagi memikir untuk
mencuri surat wasiat, pastilah ia hendak menjengeki orang tua itu.
Latihannya Khiu Cian Jin diulangi dan diulangi lagi. Habis menyampok kantung, ia
masuki pula tangannya ke dalam kuali panas itu, habis itu, ia mengangkat lagi
tangannya itu dan menyampok kembali kantung pasir. Demikian seterusnya.
Setelah mengintai sekian lama, Oey Yong dan Kwee Ceng pergi ke kamar tidur. Di
sini mereka menyaksikan pula hal yang mengejutkan mereka. Sebab disini mereka
menemukan dua orang yang mereka kenal baik, ialah Yo Kang bersama Bok Liam Cu.
Sepasang muda mudi itu lagi bicara dengan asyik, atau lebih benar, Yo Kang alias
Wanyen Kang lagi membujuki si nona untuk mereka menikah siang-siang. Manis
sekali bicaranya putra dari almarhum Yo Tiat Sim itu. Sebaliknya nona Bok
bersikeras meminta si pemuda lebih dulu membalaskan sakit hatinya terhadap
Wanyen Lieh, supaya pangeran bangsa Kim itu dibunuh mati, untuk melampiaskan
dendeman ayah dan ibunya. Katanya dengan begitu baru ia puas dan hatinya akan
menjadi lega dan senang. "Ah, adik yang baik, mengapa kau tidak dapat melihat kenyataan?" kata Yo Kang
manis. "Kenapa begitu?" Liam Cu tanya heran.
"Memang! Wanyen Lieh itu terjaga kuat sekali, aku seorang diri, mana dapat aku
membunuh dia begitu gampang, seperti kau menginginkannya?" menjawab Yo Kang.
"Lagianya kalau aku bersendirian saja, mana bisa aku gampang bekerja" Tidak
demikian setelah kau menjadi istriku. Nanti aku ajak kau menghadap dia lalu
dengan mendadak kita bekerja berbareng, menyerang padanya selagi dia tidak
bersiaga. Tidakkah dengan begitu maksud kita dapat tercapai?"
Alasan itu kuat, Bok Liam Cu lantas tunduk. Di antara sinar lampu, kelihatan
nyata kedua belah pipinya yang merah, menandakan kecantikannya.
Yo Kang melihat hati orang tertarik, ia lantas mencekal tangan orang yang kiri,
yang ia uasp-usap. Menampak demikian macam, Oey Yong kehilangan kesabarannya. Ia menganggap Liam Cu
terancam bahaya. Dengan sekonyong-konyong ia berseru: "Enci Bok, jangan kau
percaya obrolannya si jahanaman!"
Yo Kang kaget sekali, segera ia meniup api hingga padam, setelah mana, dengan
kedua tangannya, ia memeluk Liam Cu, kemudian, seperti disengaja seperti bukan,
ia menutupi kedua kupingnya nona itu.
Di luar nkamar, di saat Oey Yong hendak membuka suara pula, ia segera mendengar
bentakan yang bengis: "Siapa yang berani lancang mendaki Tiat Cang San"!" Itulah
suaranya seorang tua. Oey Yong segera berpaling, demikian juga Kwee Ceng. Di situ ada sinar rembulan,
maka tertampak nyata si penegur adalah Khiu Cian Jin. Sebaliknya orang she Khiu
ini pun terperanjat akan mengenali sepasang muda-mudi itu.
"Khiu Looyacu!" berkata Oey Yong sambil tertawa. Ia berlaku tabah dan manis.
"Aku datang ke mari untuk memberi selamat! Bukankah aku tidak menyalahi janji
kita akan bertemu dalam tempo tujuh hari?"
"Janji bertemu tujuh hari?" berseru Khiu Cian Jin. "Ngaco belo!"
"Ah, ah!" Oey Yong tertawa pula. "Kenapakah baru sekejapan mata saja, kau sudah
lantas lupa" Eh, ya, apakah perutmu yang mulas sudah sembuh ke akar-akarnya?"
Nampaknya orang tua itu sudah tidak dapat menguasai dirinya lagi, dalam
murkanya, ia berseru panjang, lalu kedua tangannya melayang ke pundak kiri dan
kanan si nona. Oey Yong yang tertawa haha-hihi, ia tidak memperdulikan ancaman itu, ia tidak
mau menangkis atau berkelit. Ia sengaja hendak membikin tangan orang itu terkena
duri baju lapis mustikanya. Akan tetapi ia segera mendengar suara kaget dari
Kwee Ceng: "Yong-jie, minggir!" Menyusul itu, ia mendengar sambaran angin. Ia
tahu tentulah pemuda itu hendak menyerang, untuk menyambuti tangan orang. Tapi
ia terlambat. Disaat ia memikir untuk berkelit, hidungnya telah tercium bau
amis, menyusul mana kedua pundaknya terasa terbentur tenaga keras, maka tanpa
merasa, tubuhnya terhuyung ke belakang dan belum lagi tubuhnya jatuh ke tanah,
ia telah tak dasarkan diri.
Akan tetapi Khiu Cian Jin telah terluka pada kedua tangannya itu, yang terus
mengucurkan darah, hanya ketika serangan Kwee Ceng sampai, ia masih sempat
mengelit tangannya itu, yang terus diputar balik, untuk dipakai membalas
menyerang. Maka bentroklah tangan mereka, hingga keduanya sama-sama mundur tiga
tindak. Itulah menunjuki ketangguhan mereka berimbang.
Kwee Ceng mengkhawatirkan Oey Yong, tidak mau ia melayani lebih jauh. Ia
berlompat kepada kekasihnya itu, sambil membungkuk, ia menyambar tubuh orang
buat diangkat dan terus dibawa lari. Hanya hampir berbareng dengan itu, ia
merasakan angin menyambar punggungnya. Ia tahu itulah penyerangan dari lawan.
Dengan terpaksa, ia menangkis sambil menyerang. Ia memeluk Oey Yong dengan
tangan kiri, tanpa memutar tubuh, ia menyerang ke belakang dengan tangan
kanannya. Itulah jurus" Sin liong pa bwee", atau "Naga sakti menggoyang ekor".
Itu pula tipu silat dari Hang Liong Sip-pat Ciang - Delapanbelas Tangan
menakluki Naga - tipu silat yang diperantikan menolong diri dari ancaman bahaya.
Dalam keadaan kesusu itu, ia menggunai tenaga berlipat ganda.
Kapan Khiu Cian Jin merasakan tangannya bentrok pula sama si anak muda, tubuhnya
terhuyung di luar kehendaknya, berbareng dengan mana rasa sakit di tangannya itu
nelusup hingga ke ulu hatinya. Sekarang baru ia ingat bahwa di duri bajunya Oey
Yong ada racunnya, maka lekas-lekas ia mengangkat kedua tangannya, melihat di
bawah terangnya sinar bulan. Ia tahu tangannya sendiri mengandung racun, ia
menduga racun musuh juga kihay, kalau ia terluka, mungkin lukanya habet. Karena
itu, ia menjadi khawatir.
Kwee Ceng menggunai ketikanya selagi Khiu Cian Jin memeriksa lukanya itu, ia


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memondong terus Oey Yong untuk dibawa kabur, tetapi ia bukannya lari turun
gunung hanya sebaliknya mendaki puncak. Ia baru lari beberapa puluh tindak atau
ia mendengar teriaka-teriakan riuh di belakangnya, ketika ia menoleh, ia melihat
ia lagi dikejar oleh banyak sekali orang yang berpakaian hitam yang pada membawa
obor yang diangkat tinggi-tinggi. Karena tidak ada jalan lain, ia terpaksa lari
naik terus. Sembari lari ia masih mengambil kesempatan memegang hidung si nona.
Untuk kagetnya, ia merasakan orang tidak bernapas.
"Yong-jie, Yong-jie!" ia memanggil, hatinya cemas. Tapi ia tidak memperoleh
jawaban, hingga ia menjadi bertambah khawatir, hingga ia menjadi bingung,
mendengar teriakan-teriakan riuh di belakangnya, ayal sedikit, pengejar-
pengejarnya itu telah mendatangi dekat. Di antara mereka itu ada Khiu Cian Jin.
Hanya jumlah mereka ini tinggal belasan. Tetapi itu menandakan kawanan pengejar
itu lihay semua. Sebab siapa tidak pandai ilmu enteng tubuh dan larinya tak
keras, dia ketinggaln jauh di belakang.
"Jikalau aku seorang diri, tak sukar untuk aku nerobos turun dari sini," kata
Kwee Ceng di dalam hatinya. "Sekarang aku lagi membawa-bawa Yong-jie yang lagi
terluka parah ini...."
Di dalam keadaan mogok seperti itu, tidak ada pilihan lagi untuk pemuda ini.
Dengan terpaksa ia lari naik terus. Ia sekarang tidak lagi memilih jalanan, ia
hanya lari dan berlompat lempang langsung ke atas, ia berpegangan, melapai
dengan sebelah tangan. Untung untuknya, selama di gurun pasir, ia telah melatih
diri dalam hal mendaki gunung. Karena ia pun naik lempang, maka tidak lama,
dapat ia meninggalkan pula kawanan pengejarnya itu.
Kembali Kwee Ceng memeriksa Oey Yong. Ia meraba si nona. Sekarang ia merasakan
hawa sedikit hangat. Ini membuat hatinya sedikit lega. Hanya tempo dipanggil
beberapa kali, nona itu tetap tidak memberikan penyahutan, tetap ia tak
mendusin. Kemudian Kwee Ceng dongak, memandang ke atas. Maka ia melihat, puncak sudah
dekat. Ia lantas menggunai pikirannya. Ia percaya sekarang ini ia sudah di
kurung di sekitar puncak itu, jadi perlu sekali ia suatu tempat untuk
menempatkan diri, untuk beristirahat. Terutama perlu sekali Oey Yong dibikin
sadar. Ia lantas melihat ke kiri kanannya. Di sebelah kiri, sejarak duapuluh
tembok lebih, ia melihat samar-samar seperti gua. Tanpa sangsi lagi, ia lari
naik ke atas. Ia benar-benar mendapati sebuah gua. Tanpa jeri sedikit juga, ia
berlari masuk ke dalam situ. Segera ia meletaki tubuh si nona, dengan lantas ia
menekan jalan darah leng-tay-hiat di punggung si nona, guna membantu jalan
pernapasannya. Di sekitar puncak itu terdengar riuh suara orang-orang Tiat Ciang pang, yang
rupanya mencari terus. Kwee Ceng tidak menghiraukan mereka itu, ia tetap
menolong Oey Yong. Itulah usaha paling utama untuknya.
Selang lamanya sepeminuman teh, mendadak Oey Yong mengasih dengar seruan
perlahan. Ia sadar. Bahkan segera ia berkata: "Aduh....dadaku sakit...." Suaranya
itu perlahan sekali. Tapi Kwee Ceng girang luar biasa.
"Yong-jie, jangan takut," ia berkata, menghibur. "Aku ada bersama kau. Kau
beristirahatlah dulu." Ia terus bertindak ke mulut gua, di situ ia berdiri
tegak, kedua tangannya disilangkan di depan dadanya, bersiap untuk mengadu jiwa.
Setelah berada di mulut gua itu, hingga ia dapat melihat luas ke sekitarnya,
hati pemuda ini gentar juga. Di pinggang gunung ia seperti menyaksikan tembok
obor. Teranglah orang-orangnya Khiu Cian Jin sudah kumpul semua. Sejarak satu
lie dari dia, ia melihat orang-orang yang nampak rada tedas, di paling depan
berdiri satu orang yang bukan lain daripada Khiu Cian Jin. Orang banyak itu
bergusar dan mencaci tidak hentinya, tetapi tubuh mereka tidak bergerak, mereka
bagaikan dipantek paku, tidak ada seorang jua diantaranya yang bertindak maju
sekalipun satu tindak. Untuk sementara, Kwee Ceng mengawasi mereka itu. Ia tidak dapat menerka maksud
mereka. Oleh karena tidak ada ancaman bahaya langsung, ia kembali ke dalam untuk
melihat Oey Yong. Disaat ia membungkuk, mendadak ia mendengar suara apa-apa di
belakangnya. Ia membungkuk dengan membaliki belakang kepada bagian dalam dari
gua itu. Ia memutar tubuh dengan segera, kedua tangannya siap sedia, kedua
matanya dipentang lebar. Tapi melihat tempat gelap, ia tidak nampak suatu apa.
Entah berapa dalamnya gua itu.
"Siapa"!" anak muda ini menegur. "Lekas keluar!"
Dari dalam gua itu terdengar suara terbalik, ialah kumandangnya sendiri. Karena
ia berdiam, ia memasang mata dan kuping, tetap waspada.
Sebentar kemudian, dari dalam situ terdengar suara batuk-batuk perlahan, lalu
itu disusul sama tertawa yang nyaring, yang membuatnya orang mau tidak mau
bangun bulu romanya. Itulah suaranya Khiu Cian Jin.
Dengan sebat Kwee Ceng menyalakan api hwee-cip. Maka segeralah terlihat dari
pedalaman gua itu bertindak mendatangnya satu orang yang tangannya memegang
kipas daun, kumis jenggotnya telah putih semua, karena dialah Tiat Ciang Sui-
siang-paiuw Khiu Cian Jin. Maka kagetnya pemuda itu tak terkira-kira. Bukankah
orang itu barusan ada di sebelah bawah, lagi mencaci kalang kabutan bersama
orang-orangnya" Kenapa adalam sekejap saja dia sudah berada di atas, di dalam
gua ini" Khiu Cian Jin lantas tertawa.
"Haha-haha bocah-bocah!" katanya. "Kamu benar-benar tidak takut mampus! Benar-
benar kamu datang mencari kakekmu! Bagus, sangat bagus!" Habis itu, mendadak
dari tersenyum berseri-seri, ia memperlihatkan roman bengis. Ia pun membentak:
"Inilah daerah terlarang dari Tiat Ciang Pang! Siapa masuk ke mari, dia mesti
mati, dia tak dapat hidup pula! Oh, bocah-bocah, benar-benar kamu sudah bosan
hidup!" Kwee Cengb erpikir keras untuk dapat menangkap maksud orang yang sebenarnya,
atau Oey Yong telah mendahului padanya. Si nona membaliki kepada orang tua itu:
"Jikalau tempat ini tempat terlarang, kenapa kau masuk ke mari?"
Khiu Cian Jin menyeringai. Terang ia likat. Hanya sebentar, lantas ia berkata:
"Siapa mempunyai ketika senggang akan adu bicara dengan kamu, bocah-bocah!"
Lantas dia bertindak cepat, untuk nerobos keluar.
Kwee Ceng melihat sikap orang, ia khawatir Khiu Cian Jin nanti membokong Oey
Yong. Maka ia pikir, baiklah ia turun tangan terlebih dulu atau nanti orang
mendahului mereka. Maka ia berlompat maju, kedua tangannya dikasih turun dengan
berbareng ke pundak jago tua itu. Ia menduga orang bakal membalik tubuh, untuk
menangkis, maka ia sudah bersedia akan meneruskan dengan sikutnya ke arah dada.
Itulah ilmu silat ajarannya Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan
Lihay, Manusia Aneh kedua dari Kanglam. Serangan ke pundak hanya ancaman, yang
benar ialah sikut ke dada.
Benarlah dugaan Kwee Ceng, Khiu Cian Jin menangkis. Hanya ia merasa heran.
Tangkisannya orang tua ini lunak, tak sehebat tadi waktu mereka bentrok tangan.
Tapi ia berpikir cepat. Dengan lantas ia mengubah serangannya, ialah ia
membatalkan sikutnya, ia berbalik menyambar kedua tangan orang, yang ia terus
cekuk! Khiu Cian Jin kaget, dia bentrok, tetapi sia-sia saja, dia tidak dapat
meloloskan tangannya itu. Maka teranglah sudah, ilmu silatnya masih sangat
rendah! Sekarang Kwee Ceng tidak bersangsi pula. Ia lantas membuat main kedua tangannya.
Mulanya ia menolak, lalu ia menarik. Tepat tubuh orang maju ke depannya, ia
menyambuti dada orang dengan totokan di jalan darah im-touw-hiat. Maka sedetik
itu juga, lemaslah tubuhnya Khiu Cian Jin, lantas saja dia roboh di tanah, tak
dapat dia berkutik lagi, cuma dari mulutnya segera terdengar suaranya yang
lunak: "Ah, tuan cilikku, disaat sebaga ini, mengapa kau justru bergurau
denganku..?" Justru itu suara di luar terdengar semakin nyata. Teranglah bahwa orang-orang
Tiat Ciang Pang sudah mendatangi semakin dekat. Rupanya mereka itu dapat mendaki
sedikit demi sedikit. "Sekarang ini kau baik-baiklah mengantarkan kami turun gunung!" berkata Kwee
Ceng kepada orang tawanannya itu. Ia berbicara perlahan tetapi bernada
mengancam. Khiu Cian Jin mengerutkan alis dan menggeleng kepala.
"Jiwaku sendiri terancam bahaya, mana dapat aku mengantarkan kau turun gunung?"
katanya. "Kau menyuruh semua murid dan cucu muridmu itu membuka jalan," berkata Kwee
Ceng, tetap sabar, "Nanti sesampainya di kaki gunung, aku akan membeaskan kau
dari totokanku ini."
Orang tua itu mengerutkan alisnya pula.
"Oh, tuan kecilku," katanya, suaranya tetap suara tak berdaya, "Kenapa kau masih
terus mendesak aku" Pergi ke mulut gua, kau melihat keluar, nanti kau mengerti
sendiri...." Kwee Ceng memang heran. Ia lantas bertindak ke mulut gua. Begitu ia melihat ke
bawah, ia berdiri menjublak. Di sana ia melihat Khiu Cian Jin, dengan mengibas-
ibas kipas daunnya, masih saja mencaci dan mendamprat seraya membanting-banting
kaki, sebab rupanya ia sangat mendongkol yang dia tidak dapat segera naik ke
puncak, ke gua itu. Ia segera menoleh ke belakang. Di belakang itu ia melihat
Khiu Cian Jin tetap lagi rebah tak berkutik!
"Kau...kau..." katanya, heran sangat. "Kenapa kamu ada dua...?"
"Ah, engko tolol, apakah kau masih tidak mengerti?" berkata Oey Yong perlahan.
"Memang benar ada dua Khiu Cian Jin! Khiu Cian Jin yang satu lihay ilmu
silatnya, Khiu Cian Jin yang lain si tukang mengepul! Mereka itu terlahir sama
rupa sama macamnya!"
Baru sekarang si pemuda mendusin. Tapi ia masih menanya Khiu Cian Jin di
hadapannya itu: "Benarkah?"
"Si nona benar," katanya. "Katalah dua saudara kembar dan aku si kakak."
"Habis siapa Khiu Cian Jin yang sebenarnya?"
"Nama tak sama, apakah artinya itu?" kata Khiu Cian Jin, si tukang mengepul ini.
"Aku dipanggil Khui Cian Jin, dia juga dipanggil Khiu Cian Jin...Kami dua saudara
akur sama lain, kami berdua semenjak masih kecil telah memakai satu nama...."
"Lekas bilang, siapa yang sebenarnya Khiu Cian Jin"!" Kwee Ceng masih mendesak.
Ia agak mulai habis sabar.
"Buat apa ditegaskan pula?" berkata Oey Yong. "Tentulah ini yang palsu!"
"Hm!" Kwee Ceng mengasih dengar suara bengis. "Eh, tua bangka, siapa namamu yang
sebenarnya"!" Khiu Cian Jin terdesak, ia rupanya takut juga. Maka ia menyahuti: "Aku samar-
samar ingat ayahku almarhum pernah memberikan nama lain padaku yaitu Cian Lie.
Karena nama itu aku dengarnya tak sedap, aku tidak pakai..."
"Jadilah kau Khiu Cian Lie!" bentak Kwee Ceng.
Beda dari sikapnya tadi, sekarang Khiu Cian Lie tidak lagi menunjukkan roman
likat atau takut, dengan lantang ia berkata: "Orang suka sebut apa, ia menyebut
apa, apakah kau berhak mencampurinya?"
Kwee Ceng tidak menggubris sikap orang ini. Ia menanya: "Kenapa mereka itu
mencaci kalang-kabutan" Kenapa mereka tidak naik terus ke mari?"
"Tanpa titahku, siapa berani naik ke mari?" menjawab Khiu Cian Lie, jumawa.
Kwee Ceng ragu-ragu. "Engko Ceng," berkata Oey Yong. "Jikalau tidak dikasih rasa yang enak, ini
bangsat tua yang sangat licin tidak nanti mau mengudal isi perutnya! Kau coba
totok jalan darahnya thian-kiu-hiat!"
Kwee Ceng menurut, ia dekati orang tua dan menotok.
Jalan darah thian-kiu-hiat itu letaknya di bawah tenggorakan, di atasan satu dim
dari jalan darah soan-kie-hiat, itulah cabang im-wie dari delapan jalan nadi.
Begitu lekas ia ditotok, begitu lekas juga Khiu Cian Lie menjadi tidak karuan
rasanya, ia merasakan sakit seperti digigit ribuan semut dan gatalnya bukan
main. Maka juga ia menjerit mengaduh-aduh dan mengatakannya: "Apakah ini bukan
siksaan hidup! Bukankah ini perbuatan sangat melanggar perikemanusiaan...?"
"Lekas menjawab aku!" kata Kwee Ceng. "Akan aku membebaskan padamu!"
Kalah juga orang tua bandel ini.
"Baiklah," katanya kemudian sambil menahan siksaan, "Kakekmu tidak sanggup
melayani kamu kedua bocah... Nah, kamu dengarlah...!"
Beginilah keterangannya si tukang mengepul.
Khiu Cian Lie dan Khiu Cian Jin benar bersaudara kembar, dan semenjak masih
kecil, sfat dan roman mereka tak ada bedanya. Pada waktu Khiu Cian Jin berumur
tigabelas tahun, secara kebetulan dia dapat menolongi pangcu atau ketua dari
Tiat Ciang Pang. Pangcu itu mau membalas budi, maka ia mewariskan kepandaiannya
kepada penolongnya itu. Cian Jin luar biasa, dalam umur duapuluh empat tahun, ia
telah pandai segala apa bahkan melebihkan gurunya. Ketika pangcu itu tutup mata,
dia mewariskan Tiat Ciang Pang kepada murid yang berbareng menjadi tuan
penolongnya ini. Khiu Cian Jin gagah dan pintar, di bawah pimpinannya, partainya
itu memperoleh kemajuan, kemudian namanya, terutama gelarannya - Tiat Ciang Sui-
siang-piauw, si Tangan Besi Mengambang di Air - menjadi sangat kesohor sesudah
ia menindas rombongan dari Heng San Pay. Khiu Cian Jin memahamkan Go Tok Sin
Ciang Sin-kang, yaitu ilmu tangan besi yang beracun, tetapi dia tidak turut
dalam pertemuan besar yang pertama di Hoa San, karena itu waktu ia belum
menyakinkannya sempurna ilmunya, ia jeri terhadap Ong Tiong Yang, maka ia
mengambil putusan untuk melatih terus, guna nanti turut dalam pertemuan yang
kedua kali. Ia sangat ingin menjadi "Boe Kong Thian Hee Tee It", ialah jago
nomor satu di kolong langit ini.
Sementara itu, setelah usianya meningkat, sifat Khiu Cian Lie menjadi semakin
lihay dalam ilmu mengepul, dia sangat doyan ngebrahol dan mendusta, gemar sekali
ia menipu orang, dan karena roman mereka sama, dia pun dapat membawa aksi jago
dengan baik, sedang kalau mogok dia menggunai kelicinannya seperti dua kali dia
menggunai akal mencoba menjual Oey Yong beramai. Peranannya ini membuat Oey Yong
dan Kwee Ceng menampak kesulitan, sampai di Kun San pemuda she Kwee ini mendapat
perlawanan hebat, sedang Oey Yong baru saja merasai tangan lihay dari Khiu Cian
Jin yang tulen. Puncak tengah dari gunung Tiat Ciang San ini dinamakan Tiong Cie Hong, artinya
puncak Jari Tengah. Inilah tempat menyimpan tulang belulang dari semua ketua
Tiat Ciang Pang. Kalau satu pangcu merasa umurnya bakal sampai, maka ia naik
seorang diri ke atas puncak, untuk menanti penghembusan napasnya yang terakhir.
Pula ada satu aturan yang sangat keras dan mesti ditaati dalam Tiat Ciang Pang
itu. Ialah, siapa juga dilarang mendaki dan memasuki puncak Tiong Cie Hong
bagian tekukan yang kedua atau tee-jie-ciat, dan siapa melanggar itu, dia tidak
dapat turun lagi dengan masih hidup. Umpama kata terjadi pangcu mati dilain
tempat, mayatnya mesti dibawa oleh salah satu muridnya naik ke puncak itu, habis
itu murid ini mesti membunuh diri di atas puncak. Kebinasaan ini oleh si murid
yang bersangkutan dipandang suatu kehormatan paling besar.
Kwee Ceng telah heran kalau pihak Tiat Ciang Pang menjadi sangat gusar hingga
mereka mencaci kalang kabutan.
Kenapa Khiu Cian Lie berani mendaki puncak itu" Ini pun ada sebabnya. Dan sebab
itu begini: "Di dalam rumah atau gua batu itu, ada tersimpan banyak barang
berharga, atau mustika. Sebab setiap satu pangcu yang mau mati, dia tentu naik
dengan membawa satu atau lebih barang berharga, umpama golok atau pedang
mustika, atau barang kuno atau barang permata mulia. Setelah pelbagai pangcu,
maka dianggap di situ telah di situ telah banyak disimpan benda berharga itu.
Khiu Cian Lie bersusah hati karena selama beberapa bulan belakangan ini ia gagal
dengan aksi membualnya, ia tahu itu semua disebabkan ia tidak punya guna. Maka
ia memikir, kalau ia mempunyai senjata mustika, pedang atau golok, tentulah ia
bisa perbaiki kehormatannya yang telah ternoda itu. Hatinya jadi semakin
terdesak kapan ia ingat segera juga ia bakal menghadapi Kwee Ceng dan Oey Yong,
maka disaat terdesak itu, dengan mati-matian dan dengan diam-diam ia naik ke
puncak, untuk mencuri salah satu senjata. Apa lacur, ia justru kepergrok Kwee
Ceng dan Oey Yong sekali dan ia dirobohkan tanpa berdaya.
Mendengar keterangan itu, Kwee Ceng berpikir, "Tempat ini tempat keramat, pasti
musuh tidak bakal akan naik ke atas. Tetapi juga tidak ada bakal jalannya untuk
turun, cara bagaimana aku bisa lolos dari sini?"
Selagi ia berpikir keras itu, Kwee Ceng mendengar suara kawannya: "Engko Ceng,
coba kau masuk ke dalam dan melihatnya."
"Tapi marilah aku periksa dulu lukamu," berkata si pemuda. Ia lantas mencari
cabang kering, untuk membikin obor, sesudah mana ia buka baju si nona, guna
melihat lukanya. Di kedua pundak yang putih dan halus ada tapak dari lima jari
tangan, tapak yang hitam. Luka itu bukannya enteng, maka syukur, si nona
terlindung baju lapisnya itu.
Kwee Ceng menjadi bingung. Bagaimana ia dapat mengobati luka ini" Ia ingat luka
gurunya disebabkan hajaran Kam Mo Kang dari Auwyang Hong. Luka gurunya itu dan
luka Oey Yong ini sama hebatnya. Gurunya tertolong karena ketangguhan tubuhnya
dan Oey Yong karena baju lapisnya.
Tengah si anak muda ini menjublak, Khiu Cian Lie menperdengarkan suaranya pula:
"Eh, bocah, omonganmu barusan apa omongan angin busuk belaka" Kenapa kau tidak
lekas-lekas membebaskan kakekmu dari totokanmu?"
Kwee Ceng tidak dengar itu. Ia masih berdiam saja.
Adalah Oey Yong yang mendengarnya.
"Eh, engko tolol, kenapa kau nampaknya gelisah?" berkata si nona tertawa. "Kau
bebaskanlah tua bangka itu!"
Baru sekarang Kwee Ceng mendusin. Ia menotok orang tua itu di jalan darah thian-


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kut-hiat, dengan begitu, lenyaplah rasa gatalnya Khiu Cian Lie, tetapi karena
jalan darah im-touw-hiat masih tertutup, ia tetap rebah di tanah.
Kwee Ceng meninggalkan orang tua ini. Ia pergi mencari cabang cenara yang
panjang dua kaki, yang ia nyalakan sebagai obor, sembari memegangi itu, ia kata
kepada Oey Yong: "Yong-jie, aku mau masuk ke dalam untuk melihat-lihat. Kau
takut atau tidak?" Oey Yong tengah merasakan panas dingin bergantian, hebat penderitaannya ini,
tetapi karena khawatir Kwee Ceng nanti berduka untuknya, ia menahan diri.
"Di sini ada si tua bangka menemai aku, aku takut apa?" katanya, tertawa. "Kau
pergilah!" Dengan lantas Kwee Ceng bertindak pergi. Ia berlaku hati-hati. Sesudah jalan
melewati dua tikungan, ia tiba di depan mulut gua yang besar. Jadi di dalam gua
itu ada sebuah guanya lagi. Bahkan gua ini lebih luas lima lipat daripada yang
di luar. Kalau yang di luar tadi ada bekas-bekasnya di gali, gua ini wajar.
Di dalam situ ada terdapat duapuluh lebih rangka tulang-belulang, dengan
pelbagai sikapnya juga, ada yang duduk, ada yang rebah atau tidur. Di sisi
setiap rangka itu ada terletak senjata seperti golok, senjata rahasia, perabaot
bersantap, juga rupa-rupa barang permata. Kwee Ceng mengawasi itu semua. Jadi
benar keterangannya Khiu Cian Lie tadi. Ia kata dalam hatinya, "Beberapa puluh
pangcu ini, dulu harinya semua gagah perkasa, tapi sekarang semua tinggal
tulang-belulangnya, semua tinggal di sini dalam kesunyian...."
Pemuda ini bukan seorang loba, melihat semua senjata dan permata itu, tidak
pernah timbul keserakahannya, ia tidak menghiraukan itu, ia hanya memikirkan Oey
Yong. Sesudah melihat-lihat sekian lama, ia memikir untuk keluar lagi. Atau
mendadak ia melihat rangka yang terakhir, di tangan siapa masih tercekal sebuah
kotak besi yang nampaknya ada suratnya. Ia lantas menghampirkan, ia menyuluhi
dengan obornya. "Rahasia memukul pecah bangsa Kim," demikian ia membaca surat itu, yang diukir
di tutup kotak atau peti besi kecil itu. Maka tercekatlah hatinya. Segera ia
ingat. "Bukankah ini surat wasiatnya Gak Bu Bok?" Maka ia mengulurkan tangannya,
mengambil kotak itu. Begitu menyentuh, dengan bersuara, tangan itu menyambar.
Kwee Ceng kaget sekali, syukur ia keburu lompat mundur.
Gagal menyambar, tangan itu jatuh ke tanah, berkumpul menjadi satu.
Dengan membawa kotak itu, Kwee Ceng lari keluar. Ia segera nancap obornya di
tanah, ia lantas memondong Oey Yong, untuk dikasih bangun, setelah mana, di
depan si nona ia membuka tutupnya kotak.
"Aku menemui ini," ia memberitahukan.
Isi peti besi itu ada dua jilid buku tulisan tangan, satu tebal, yang lain
tipis. Kwee Ceng mengambil lebih dulu yang tebal. Nyata isinya itu ada salinan Han See
Tiong atas pelbagai laporan atau usulnya Gak Hui yang dihanturkan kepada
rajanya, ada syair dan lainnya buah kalam jenderal gagah perkasa dan setia itu,
bunyinya pun penuh dengan penguraian kesetiaan dan semangat kegagahan. Maka ia
menjadi sangat kagum, hingga ia menghela napas. Yang paling menawan hati ialah
Gak Hui tidak pernah melupai rakyat.
Oey Yong pun kagum sekali.
"Nah, coba periksa buku yang satunya," kemudian Oey Yong minta.
Kwee Ceng menurut, ketika ia melihatnya, lantas ia menjadi sangat girang.
"Ini dia ilmu perang yang ditulis sendiri oleh Gak Bu Bok!" katanya berseru.
"Dan inilah buku yang Wanyen Lieh si bangsat senantiasa ingat sekalipun di dalam
mimpinya! Sungguh Thian murah, kitab ini tidak sampai jatuh di dalam tangannya
jahanam itu..." Ketika anak muda ini membuka halaman yang pertama, ia lantas membaca
delapanbelas huruf besar, yang artinya: "Mengutamakan pemilihan - Rajin berlatih
- Adil dalam persenan dan hukuman - Jelas dengan perintah - Keras dengan tata
tertib - Bersama-sama senang dan susah" Jadi inilah pokok untuk memilih punggawa
atau serdadu, untuk mendidik dan mengatur tentara.
Selagi Kwee Ceng hendak membalik lainnya, tiba-tiba ia mendengar berhentinya
cacian orang-orang Tiat Ciang Pang, yang tadinya terdengar sekarang hanyalah
suara angin. Berdua Oey Yong dan si anak muda memasang kuping. Mereka heran bukan main.
Tidak antara lama barulah terdengar suara lainnya. Itulah suara seperti sa-sus
atau sar-ser, perlahan tetapi berisik ramai. Ketika Khiu Cian Lie mendengar itu,
ia lantas mengeluh berulang-ulang, dengan suara sedih, ia berkata: "Bocah-bocah,
hari ini jiwa kakekmu dihabiskan di tangan kamu..."
Kwee Ceng tidak meladeni orang tua itu, ia lompat keluar, tiba di mulut gua,
setelah melihat ke bawah, ia menjadi kaget sekali. Mulanya ia tercengang. Baru
sekarang ia mengerti bunyi suara yang luar biasa itu. Di antara sinar rembulan
terlihat ribuan atau puluahn ribu ular berbisa lagi merayap naik ke atas puncak,
semua sambil mengangkat kepala dan mengulur, mengulat-uletkan lidahnya!
"Mereka tidak berani memasuki tempat keramat ini, sekarang mereka menyerang
dengan ular," kata Kwee Ceng dalam hatinya. Tidak ayal lagi, ia lari ke dalam
untuk memodong Oey Yong. Khiu Cian Lie melihat perbuatan si anak muda, lantas ia mementang bacotnya
mencaci. Kwee Ceng tidak mau melayani tukang membual itu, hanya ketika ia lewat di
sampingnya, ia mendupak pinggang orang dua kali. Dengan itu ia membebaskan
totokan di jalan darah im-touw-hiat. Habis itu, dengan membawa kotak besinya, ia
merayap naik ke atas puncak sekali.
Gua itu berada di tekukan yang kedua, untuk tiba di puncak tertinggi, jaraknya
masih lagi beberapa puluh tombak. Kwee Ceng tidak menghiraukan itu, ia
membesarkan hatinya, ia mengerahkan tenaganya, ia mengeluarkan kepandaiannya
marayap naik. Ketika akhirnya ia tiba di atas, tempo ia melongok ke bawah, ia
mendapatkan rombongan ular itu telah masuk ke dalam gua. Ia tidak memikirkan
lagi Khiu Cian Lie, yang ia percaya, sebagai orang Tiat Ciang Pang, tentu tahu
ilmu untuk mengusir atau membinasakan ular.
Begitu lekas ia sudah merebahkan Oey Yong, Kwee Ceng lantas berpikir keras. Ia
memikirkan dengan cara bagaimana ia dapat menolong nona itu dari makhluk marayap
yang jahat itu. Ia sendiri tidak takut. Ia sudah makan darah ular dan ular takut
kepadanya. "Kau nyalakan api dulu," berkata Oey Yong, yang dapat menerka kesulitannya si
anak muda. "Bikinlah api itu mengurung mengelilingi kita."
"Ah, benar tolol!" berseru Kwee Ceng. "Kenapa aku tidak dapat memikirkan itu?"
Ia lantas mengumpulkan cabang kering, ia menumpuk itu mengelilingi Oey Yong dan
dirinya. Ia bekerja cepat. Lantas ia menyulut api di kedua tempat, di sama
tengah, agar api itu memakan masing-masing kedua jurusan. Selama itu tidak
terdengar apa-apa. Maka tak terkira kagetnya waktu tahu-tahu sejumlah ular, yang
menjadi seperti pelopor sudah muncul di depan mereka. Dalam kagetnya ia
mengeluh, tetapi ia tidak menjadi menjublak karenanya. Dengan sebat ia sambar
Oey Yong untuk dipanggul.
Oey Yong terkejut melihat ular muncul begitu banyak, tetapi yang hebat untuknya
ialah baunya yang amis sekali, hingga ia lantas merasa mual, hampir ia muntah-
muntah. Dengan lantas ia menutup rapat kedua matanya. Itu waktu, ia merasakan
sakit di dadanya. Inilah sebab Kwee Ceng berlompatan ke sana ke mari sambil
mulutnya tak hentinya berseru menggebah ular itu. Lama-lama, ia menjadi pusing,
ia seperti luka akan diri sendiri. Ia baru sadar ketika hidungnya dapat mencium
bau harum. Maka ia lekas membuka pula matanya. Segera ia melihat berkelebatnya
satu sinar merah. Untuknya girangnya, ia mengenali hiat-niauw, burung apinya,
yang terbang datang dari arah timur.
Tadi burung itu terbang karena ia lantas mencium bau ular, maka ia pergi untuk
memuasi nafsu daharnya, sekarang ia melihat cahaya api, dia terbang dengan
niatan mandi, maka tepat sekali datangnya itu selagi majikannya terancam bahaya.
Mendapatkan datangnya burung itu, semua ular lantas berdiam, tidak ada yang
berani berkutik, maka beberapa diantaranya lantas dipatuk dan dimakan. Habis
itu, burung itu terus mandi api, akan kesudahannya terbang menclok di pundak si
nona. Dua-dua Oey Yong dan Kwee Ceng menjadi girang sekali.
"Sekarang kita tidak takuti ular!" berkata si anak muda gembira. "Sekarang kita
mesti mencari jalan untuk lolos dari puncak ini, bagaimana?"
Oey Yong terus berpikir. Nyata ia lantas mendapat jalan.
"Hiat-niauw bisa naik ke mari, kalau dia dapat kenapa rajawali kita tidak?"
demikian katanya. "Gak Bu Bok bernama Hui, aliasnya yaitu Peng Kie, maka kalau
sekarang kita memakai Tiauw Kie, mustahil tidak dapat. Bukankah itu bagus?"
Kwee Ceng tidak mengerti.
"Apa itu Tiauw Kie?" ia menanya.
Nama Hui dari Gak Bu Bok berarti "terbang", dan aliasnya itu, Peng Kie, berarti
"garuda angkat". Oey Yong menyebutnya "Tiauw Kie" itu berarti "rajawali angkat".
Si anak muda memikirkan itu, di dalam waktu pendek, ia tidak menangkap maksudnya
si nona. Oey Yong tengah merasakan sakit tetapi ia menahan itu, ia menyahuti: "Kita suruh
rajawali kita membawa kita terbang pergi dari sini....!"
Kwee Ceng berjingkrak. "Benar!" ia berseru. "Itu pun bagus! Nanti aku panggil si rajawali!"
Tidak ayal lagi pemuda ini duduk bersila, untuk bersemadhi, guna mengumpulkan
tenaga dalamnya, kemudian baru ia mengasih dengar siulannya yang keras dan
panjang, yang mengalun jauh. Inilah ilmu semadhi yang dulu hari ma Giok
mengajarkan kepadanya. Setelah memahamkan Kiu Im Cin-keng, ia memperoleh
kemajuan yang luar biasa. Jarak di antara puncak dan kaki gunung ada beberapa
lie, tetapi begitu siulan mendengung, burung mereka dapat mendengarnya, kedua
burung itu lantas terbang mencari mereka. Maka di lain saat, berkumpullah
mereka, burung dan manusia - kedua burung itu berdiri di depan si muda-mudi.
Kwee Ceng membantu Oey Yong membuka baju lapisnya, terus ia membantu si nona
mendekam di punggungnya rajawali yang betina. Karena khawatir nona itu memegang
kurang keras, ia pun mengikatnya. Sesudah beres, baru ia mendekam di punggung
rajawali yang jantan. Akhirnya, ia mengasih dengar siulannya.
Kedua burung itu mengerti orang, keduanya lantas membuka sayapnya masing-masing
untuk terbang. Mulanya hatinya pemuda dan pemudi itu kebat-kebit, tapi tak lama, mereka menjadi
tabah. Mereka dapat mendekam dengan tenang di punggung burungnya itu. Bahkan si
nona yang tetap bersifat kekanak-kanakan, lupa pada sakitnya. Ia ingin
mempertontonkan diri di depan Khiu Cian Lie si tua bangka, maka ia mengutik
leher burungnya, menyuruh si burung terbang ke arah gua.
Burung itu mengerti, benar-benar ia terbang ke muka gua. Di sana terlihat si
tukang membual lagi rebot menggebah ular. Dia pun lantas melihat burung membawa
orang terbang dan mengenali si nona. Ia kaget, ia heran, ia menjadi sangat
kagum. Ia lantas memanggil: " Nona yang baik, kau bawalah juga aku pergi! Kalau
adikku melihat aku, maka aku si tua bangka tidak bakal dapat hidup lebih lama
pula...!" Bab 60. Wanita dari Rawa Lumpur Hitam
Bab ke-60 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Oey Yong mendengar permintaan itu, ia tertawa.
"Burungku ini tidak dapat menggendong dua orang!" ia riang gembira. "Kamu
bersaudara kandung, kau baiklah minta ampun pada saudaramu itu!" Dan ia menepuk
burungnya, menyuruhnya si burung terbang terus.
Melihat orang hendak pergi, timbullah hati jahat si orang tua.
"Nona yang baik," ia berseru, "Kau lihatlah permainanku ini, menarik hati atau
tidak?" Oey Yong tertarik, ia memutar balik burungnya untuk datang mendekati.
Khiu Cian Lie menanti sampai orang telah datang cukup dekat, mendadak ia
berlompat menubruk, memegang erat-erat pada si nona, hingga di lain saat, mereka
telah berada bersama di punggung rajawali itu. Ia tidak memperdulikan nona itu
kaget. Orang tua itu menjadi nekat. Ketika ular masuk ke dalam gua, ia mengusirnya.
Untuk itu, ia pergi sampai di luar gua. Di sini ia dapt dilihat oleh orang-orang
Tiat Ciang Pang. Itu berarti keputusan mati untuknya. Ia telah memasuki tempat
keramat dan terlarang. Jangan kata ia, sekalipun pangcu sendiri, apabila tanpa
sebab dia masuk ke situ, dia bagian mati. Maka itu, ingin ia dapat lolos.
Burung rajawali betina itu benar-benar tidak kuat membawa dua orang. Dia terbang
tetapi dia bukan maju jauh, dia turun ke bawah, cuma dengan menggeraki kedua
sayapnya dengan sepenuhnya tenaga, baru ia dapat memperlambat turunnya itu. Dia
tetap turun............ Khiu Cian Lie memegang erat-erat kepada Oey Yong. Syukur dia ini diikat
tubuhnya, kalau tidak tentulah telah terlepas pegangannya pada burungnya itu.
Burung betina itu mengasih dengar suaranya berulang-ulang. Yang jantan mendengar
itu, dia hendak menolongi, tetapi bagaimana"
Orang-orang Tiat Ciang Pang lantas dapat melihat peristiwa luar biasa itu.
Mereka heran dan kaget, semua mengawasi dengan mata terbuka dan mulut menganga,
tidak ada yang bersuara. Disaat Oey Yong terancam bahaya itu, tiba-tiba satu sinar merah berkelebat di
dekatnya. Itulah hiat-niauw, si burung api, yang menyambar dari belakang gunung.
Sebab tadi ia terbang mengikuti majikannya. Dan burung ini menyambar matanya
Khiu Cian Lie. Dalam keadaannya itu, orang she Khiu itu tidak dapat membela diri. Ia juga tidak
menyangka sama sekali sang burung bakal menghajar matanya. Ia kaget dan
kesakitan, lupa kepada pegagannya kepada tubuh Oey Yong, ia mengucak matanya.
Tepat ia mengucak matanya, tepat terlepas pegangannya, maka sia-sialah segala
dayanya pula, tubuhnya lantas terpelanting jatuh. Maka dilain saat terdengarlah
suara hebat dan menyayatkan hati datangnya dari lembah. Di lain saat, burung
rajawali telah dapat terbang pula seperti biasa bersama nona majikannya itu,
mendekati burung yang jantan, untuk terbang berendeng.
Selagi mendekati kaki gunung, Kwee Ceng mengasih dengar siulannya yang nyaring,
untuk memanggil kudanya. Ia sekarang berlega hati, sedang tadi ia kagetnya bukan
main, takutnya tak terkira, sebab ia tak berdaya untuk menolongi kekasihnya. Oey
Yong sendiri tidak kurang takutnya, hingga ia menyesal yang dirinya kena
diperdayakan orang tua yang sudah nekat itu.
Kuda merah itu mendengar panggilannya, dia lari mengikuti, di darat, burung di
udara. Kwee Ceng merasa ia sudah terbang kira-kira tujuhpuluh lie, lantas ia memberi
tanda kepada burungnya berdua untuk berhenti terbang, untuk turun ke tanah. Ia
berkhawatir untuk Oey Yong, yang diam mendekam saja di punggung burungnya itu.
Ketika ia memeriksa, benarlah si nona pingsan. Maka lekas-lekas ia menguruti,
untuk membikin darahnya jalan seperti biasa.
Selang sekian lama, barulah si nona mendusin.
Ketika itu awan gelap, hingga si putri malam kena ketutupan. Kwee Ceng bingung
juga. Sambil memeluki Oey Yong, ia memandang ke sekelilingnya. Ia berada di
tengah tegalan, yang gelap.
Di situ terlihat tempat untuk memernahkan diri. Karena terpaksa, kemudian ia
berjalan juga. Dia menerjang rumput yang tinggi sebatas dengkul. Sudah begitu,
saban-saban duri pohon menusuk betisnya. Ia merasa sakit tetapi tak ia
menghiraukannya. Ia jalan terus.
Secara begini, ia jalan perlahan sekali. Jagat gelap, jalanan tak kelihatan.
Itulah hebat. Hatinya berdebaran, ia khawatir nanti kejeblos di liang atau
jurang.... Sesudah menderita seperjalanan kira dua lie, mendadak Kwee Ceng melihat satu
bintang besar, munculnya dari sebelah kiri. Rendah bintang itu, seperti di ujung
langit, cahaya berkelak-kelik. Ia mengawasi, niatnya untuk mengenali arah
tujuan. Karena ini ia lalu dapat melihat tegas, itulah bukan bintang hanya api.
"Ada api tentu ada rumah orang," pikirnya. Maka ia menjadi mendapat hati. Maka
ia berjalan terus, tindakannya lebar menuju ke arah api itu.
Ia telah jalan kira satu lie, lalu ia tiba di sutau tempat, di mana ada banyak
pohon. Sekarang ternyata, api terlihat dari antara pepohonan. Setelah masuk ke
rimba, jalanannya tak lurus lagi. Jalanan kecil itu berliku-liku. Mendadak ia
kehilangan api itu. Kwee Ceng tidak putus asa. Ia lompat naik ke atas sebuah pohon. Dari situ, ia
melihat ke bawah. Ia mendapat kenyataan ia telah melewati api itu, yang sekarang
berada di sebelah belakangnya. Ia turun, ia menuju balik. Kembali ia kehilangan
api itu. Ia menjadi heran setelah ia mengalami kejadian itu dua tiga kali. Ia
merasakan kepalanya pusing dan matanya seperti kabur. Terus ia tidak dapat
mendekati api itu. Kudanya serta tiga ekor burungnya, entah ada di mana.
Karena jengkel, Kwee Ceng ingin jalan di atas pohon saja. Tapi ini sukar
dilakukan. Rimba itu gelap dan ia mesti memodong-mondong Oey Yong. Ia juga
khawatir nanti kejeblok atau si nona kena kelanggar cabang-cabang pohon, yang
dapat melukakannya. Untung ia sabar, ia tidak menjadi putus asa. Ia beristirahat
sebentar, lantas ia berjalan pula.
Oey Yong terluka dan tubuhnya lemah, tetapi dasar cerdik, otaknya berjalan. Ia
melihat bagaimana ia dibawa putar kayun oleh Kwee ceng, dengan perlahan-lahan ia
mulai mengerti jalan di dalam rimba itu. Ia menggunai otaknya, meramkan matanya.
"Engko Ceng," katanya kemudian, "Jalan ke kanan, ke samping,"
Girang si anak muda mendengar orang dapat berbicara.
"Ah, Yong-jie, kau baik?" tanyanya.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Nona itu menyahuti tetapi tidak tegas.
Kwee Ceng menurut. Ia maju ke kanan, lalu nyamping.
Oey Yong mengingat-ingat. Setelah tujuhbelas tindak, ia berkata pula: "Engko
Ceng, jalan ke kiri, delapan tindak."
Kwee Ceng menurut. "Sekarang ke kanan lagi, nyamping, tigabelas tindak."
Kwee Ceng menurut pula. Kali ini mereka berjalan dengan si anak muda mengikuti petunjuk dari si nona.
Oey Yong sudah lantas dapat menduga, jalanan bukan jalanan wajar, hanya buatan
manusia. Dia adalah anak gadisnya Oey Yok Su, dan ia telah mendapatkan separuh
lebih warisan ayahnya itu mengenai jalan rahasia. Maka juga, meskipun ia meram,
ia seperti bisa melihat tegas jalanan di dalam rimba itu.
Demikian mereka jalan sana jalan sini, maju dan mundur. Akhirnya, dengan lekas,
mereka menghadapi api tadi. Kwee Ceng girang hingga ia lantas membuka tindakan
lebar untuk berlari. "Jangan kesusu!" Oey Yong mencegah.
Tapi Kwee Ceng sudah berlari.
Mendadak anak muda itu berkoak, karena kedua kakinya sudah menginjak lumpur,
bahkan kaki itu lantas terpendam dalam sebatas dengkul. Syukur ia lihay, dengan
segera ia menggenjot diri dengan ilmunya ringan tubuh, untuk berlompatmundur.
Ketika ia kembali ke tanah kering, hidungnya mencium bau lumpur itu. Ia berdiri
diam dan mengawasi. Cahaya api itu membantu kepadanya. Ia menampak ada kabut
putih di depannya itu, di situ ada sebuah rumah dengan dua ruang. Api keluar
dari rumah itu, ialah rumah atap.
"Kami ada orang pelancongan!" Kwee Ceng lantas berkata, "Kami pun mendapat sakit
berat, maka itu kami minta tuan rumah sukalah berlaku murah dengan mengijinkan
kami menumpang beristirahat seraya meminta air hangat."
Di dalam malam yang sunyi itu, suara Kwee Ceng cukup keras, akan tetapi sampai
sekian lama, ia tidak memperoleh jawaban, dari itu ia lekas berbicara pula
menyebutkan permintaannya itu untuk menumpang singgah.
Lagi-lagi tidak ada penyahutan.
Ketika lewat sekian waktu, Kwee Ceng mengulangi permintaannya untuk ketiga
kalinya, baru ia mendapat jawaban dari seorang perempuan, katanya: "Kamu telah
dapat tiba di sini, sudah tentu kamu mempunyai juga kepandaian untuk masuk ke
dalam rumahku ini. Mustahil aku mesti keluar menyambut kamu?"
Suara itu tawar sekali, terang orang tidak sudi kedatangan tamu.
Di hari-hari biasa, tidak suka Kwee Ceng mengganggu orang, lebih suka ia tidur
di dalam rimba atau tempat terbuka, akan tetapi sekarang ia ada bersama Oey Yong
yang lagi sakit itu, ia membutuhkan rumah. Maka dengan perlahan ia berdamai sama
si nona. Ia kata rumah dikurung lumpur. Bagaimana mereka bisa menghampirkan
rumah itu" Oey Yong membuka matanya, ia mengawasi sekian lama.
"Rumah ini dibangun di tengah-tengah rawa lumpur," katanya kemudian. "Sekarang
coba perhatikanlah, bukankah benar modelnya satu bundar dan satu persegi empat?"
Kwee Ceng membuka matanya lebar-lebar, lantas ia menjadi girang sekali.
"Oh, Yong-jie, bagaimana kau ketahui itu?" ia bertanya.
"Pergi kau ke belakang rumah yang bundar itu," kata Oey Yong tanpa menyahuti.
"Di situ kau jalan lempang ke arah api banyaknya tiga tindak, lalu nyamping lima
tindak, lalu lempang lagi tiga tindak. Dengan lurus dan nyamping itu, kau tidak
bakal salah jalan." Kwee Ceng menurut perkataan si nona. Benarlah, setiap kakinya ditaruh, kaki itu
menginjak pelatok kayu, yang dapat bergerak miring ke sana ke mari, maka siapa
tak pandai ilmu enteng tubuh, pastilah ia tak dapat menaruh kakinya dan berjalan
di situ. Ia jalan terus, sampai seratus sembilanbelas tindak, maka dapatlah ia
jalan mutar hingga di depan rumah yang persegi empat itu. Sekarang terlihat
tegas, rumah itu tanpa pintunya.
Oey Yong berbisik: "Dari sini kau berlompat, kau menaruh kaki di sebelah kiri."
Kwee Ceng menurut, sambil terus menggendong si nona, ia berlompat. Sementara itu
ia heran sekali. "Semua dapat diterka Yong-jie!" katanya dalam hatinya.
Tempat di mana si anak muda menaruh kaki adalah tanah, sedang yang di sebelah
kanan adalah air atau pengembang.
Berjalan di pekarangan ini, Kwee ceng masuk ke sebelah dalam. Di situ ada pintu
model rembulan, yang tak ada daun pintunya.
"Masuk!" kata Oey Yong. "Tidak ada yang aneh di dalamnya."
Kwee Ceng mengangguk, terus ia berkata nyaring: "Kami orang yang tengah membuat
perjalanan lancang memasuki rumah ini, harap tuan rumah suka memaafkannya,"
kata-katanya ini diikuti dengan tindakannya masuk ke dalam.
Sekarang Kwee Ceng melihat sebuah meja panjang, di atas mana ada ditaruh tujuh
buah pelita, ditaruhnya rapi seperti bintang Pak Tauw. Di depan meja, di tanah
ada berduduk seorang wanita tua, yang rambutnya telah ubanan, bajunya dari kain
kasar, matanya mengawasi ke tanah di mana ada banyak lembaran bambu, dia seperti
sedang memikirkan lembaran bambu itu rupanya, sampai dia tidak mau mengangkat
kepalanya walaupun dia mendengar suara tetamunya.
Kwee Ceng meletaki Oey Yong di atas kursi. Ia memandang mukanya, lantas ia
merasa sangat berkasihan. Wajah si nona sangat pucat dan kucal. Ia hendak
membuka mulutnya, guna meminta air hangat, tetapi ia batal. Ia melihatnya si
nyonya rumah tengah memusatkan perhatiannya, jadi ia khawatir mengganggu
pemusatan pikiran orang itu.
Setelah dapat berduduk beberapa saat, Oey Yong pulih sedikit kesegarannya. Maka
itu, ia juga dapat memperhatikan si nyonya serta lembaran-lembaran bambu yang
lagi diawasi nyonya tua itu. Setiap lembaran bambu itu panjangnya kira-kira
empat dim dan lebar dua hoen. Dan si nyonya agaknya berat memikirkan itu. Ia
lantas mengerti hitungan apa adanya itu. Oleh ayahnya, ia telah diajari dan ia
mengingatnya dengan baik.
"Lima! Duaratus tigapuluh lima!" katanya tiba-tiba.
Si nyonya terkejut, dia mengangkat kepalanya, matanya nampak tajam sekali,
agaknya ia gusar. Hanya sebentar, ia mulai menghitung pula.
Kwee Ceng dan Oey Yong melihat kulit orang bersih, usianya ditaksir baru
tigapuluh tujuh kira-kira, mungkin disebabkan banyak pikir, maka rambutnya telah
ubanan. Habis menghitung, wanita tua itu tampaknya heran. Tepat hitungannya si nona
tadi. Maka ia mengangkat pula kepalanya, memandang nona itu. Ia melihat tegas
satu wajah muda cantik dan cantik, hanya lesu. Kemudian ia tunduk pula, akan
menghitung lebih jauh. Oey Yong mengawasi, sampai sekian lama si nyonya belum dapat memecahkan, lalu ia
berkata dengan perlahan: "Duaratus duapuluh empat!"
Kembali nyonya itu terkejut. Ia lantas mengangkat kepalanya. Agaknya ia
penasaran, maka ia menghitung terus. Segera juga ia mendapat jawaban, yang akur
sama perkataan si nona. Maka ia berdiri dengan melempangkan pinggangnya.
Sekarang ia nampak lebih nyata. Jidatnya sudah keriputan, usianya disangsikan
sudah tigapuluhan, mungkin baru duapuluhan lebih. Kedua matanya bersinar tajam.
"Mari ikut aku!" katanya kepada si nona, tangannya menunjuk ke dalam kamar. Ia
mengambil sebuah pelita, ia membawanya itu ke dalam kamar yang ditunjuk itu.
Kwee Ceng memepayang Oey Yong untuk mengikuti. Hanya setibanya di mulut pintu,
ia merandak, tidak berani ia turut masuk. Ia melihat kamar itu, yang temboknya
bundar, lantainya penuh pasir, di atas pasir itu ada coretan tanda-tanda lurus
dan bundar, ada pula guratan huruf-huruf thay, thian-goan dan lainnya, yang ia
tidak tahu artinya. Ia takut nanti merusak itu semua.
Oey Yong melihat semua itu, ia mengerti itu adalah ilmu "Thian-goan Cie Soet"
(yang mirip dengan aljabar), maka ia menarik tongkatnya dari pinggangnya, sambil
bergelendot pada Kwee Ceng, ia mencoret-coret di atas pasir itu. Ia memecahkan
beberapa hitungan, yang si nyonya belum dapat menjawabnya. Maka lagi-lagi ia
membuatnya nyonya itu heran.
Setelah mengawasi dengan tercengan, si nyonya menanya: "Kau siapa?"
"Itulah hitungan Thian-goan yang tidak sulit," berkata Oey Yong, yang tidak
menjawab langsung, dan tanpa diminta, ia menjelaskan pokoknya hitungan itu.
Muka si nyonya menjadi pucat, tubuhnya bergoyang. Mendadak ia menjatuhkan diri
di atas pasirnya, tangannya memegangi kepalanya. Kelihatannya ia berpikir keras
sekali. Kemudian ia mengangkat kepalanya, lalu wajahnya menjadi terang.
"Dalam hal menghitung, kau terlebih pandai daripada aku!" katanya. "Sekarang
jawab aku, bagaimana kau menghitung ini?" Dan ia menunjuki hitungannya di atas
pasir. Oey Yong mengingat baik bagaimana ayahnya mengatur Tho Hoa To hingga menjadi
pulau rahasia, pulau keder yang tidak dapat dimasuki sembarang orang.
"Gampang!" sahutnya, dan ia menggurat-gurat pula di atas pasir itu.
Muka si nyonya itu menjadi pucat pula, lalu ia menghela napas.
"Aku kira inilah ciptaan sendiri, kiranya lain orang pun telah mengetahuinya,"
katanya masgul. "Semua itu gampang," kata pula Oey Yong, dan ia membacanya di luar kepala. "Kau
boleh coba." Si nyonya menghitung menuruti ajaran si nona dan ia berhasil!
"Semua ini mengenai pat-kwa," kata Oey Yong pula. Ia menjelaskan terlbih jauh.
"Rupanya kau belum jelas dengan petanya." Terus ia menggurat-gurat lagi.
Nyonya itu menjublak, matanya terpentang, mulutnya terbuka lebar. Lantas ia
berbangkit, tubuhnya nampaknya bergemetar.
"Nona, kau siapa?" akhirnya ia tanya. Tapi, sebelum ia menanti jawaban, mendadak
ia menekan ulu hatinya, mukanya meringis, tanda ia menahan sakit. Dari sakunya
lekas-lekas ia mengeluarkan satu peles obat, yang terisi pil warna hijau, ia
mengeluarkan sebutir dan terus dimakannya. Lewat sesaat, wakahnya menjadi
sedikit tenang. "Habis sudah...!" katanya tiba-tiba, lalu ia mengucurkan air mata.
Oey Yong dan Kwee Ceng saling memandang. Mereka heran untuk sikap nyonya ini.
Tidak lama, kelihatannya si nyonya mau bicara, atau ia batal karena kupingnya
lantas mendengar suara berisik yang datang dari jauh, lalu datang semakin dekat.
Kwee Ceng dan Oey Yong tahu itulah barisan pengejar dari Tiat Ciang Pang.
"Musuh atau sahabat?" tiba-tiba si nyonya tanya.
"Musuh yang lagi mengejar kami," sahut Kwee Ceng terus terang. Suara berisik itu
mendekati terus. "Tiat Ciang Pang toh?" tanya pula si nyonya.
"Benar," menjawab Kwee Ceng.
Nyonya itu memasang kupingnya lalu ia berkata: "Khiu Pangcu memimpin sendiri
orang-orangnya itu," katanya sesaat kemudian. "Sebenarnya kamu ini siapa"!"
Pertanyaan ini luar biasa, saking bengisnya.
Kwee Ceng maju di depan Oey Yong, untuk menghalangi, lalu ia menjawab dengan
nyaring: "Kamilah murid-muridnya Khiu Cie Sin Kay Ang Pangcu. Ini adik
seperguruanku telah kena dilukai Khiu Cian Jin dari Tiat Ciang Pang, karena itu
kami menyingkir ke mari, maka umpama kata cianpwee ada punya sangkutan sama Tiat
Ciang Pang itu dan tak sudi menerima kami, sekarang juga kami meminta diri."
Habis berkata, pemuda ini menjura, lalu ia memegangi Oey Yong, untuk dibawa
pergi. Nyonya itu tertawa tawar.
"Usia begini muda tetapi sudah keras kepala!" katanya. "Kamu dapat bertahan
tetapi adikmu ini tidak, kau mengerti" Aku kira kamu siapa, tidak tahunya kamu
murid-murid Ang Cit Kong. Pantas kamu lihay!"
Habis berkata, si nyonya memasang kuping. Ia mendengar suara berseru-seru orang-
orang Tiat Ciang Pang itu, sebentar jauh sebentar dekat, sebentar tinggi
sebentar rendah. Kemudian ia kata: "Mereka itu tidak menemui jalanan, mereka
tidak dapat masuk ke mari. Umpama kata mereka toh dapat masuk, kamulah tetamu-
tetamuku, kamu boleh melegakan hati. Apakah kau kira Sin....Sin... Eng Kouw dapat
dibuat permainan?" Sebenarnya dialah Sin-soan-coe Eng Kouw, si ahli hitung, tetapi mengingat si
nona jauh terlebih pandai daripadanya, setelah menyebut Sin, ia tidak berani
meneruskannya. Kwee Ceng menjura, ia menghanturkan terima kasih.
Eng Kouw menghampirkan Oey Yong, ia membuka baju orang, untuk memeriksa lukanya.
Ia mengerutkan keningnya, tanpa membuka suara, ia mengambil sebutir obatnya yang
hijau itu, setelah melumerkan itu di air, ia mengangsurkan pada Oey Yong.
"Kau minum ini," katanya.
Oey Yong menyambuti obat itu, tetapi ia bersangsi untuk meminumnya. Ia belum
kenal nyonya ini. Eng Kouw mengawasi, lalu ia tertawa dingin dan berkata: "Kau terlukakan tangan
jahat Khiu Cian Jin, apakah kau masih memikir untuk sembuh pula" Umpama kata aku
berniat mencelakakan kau, tidak perlu aku membuat begini. Inilah obat untuk
menghentikan rasa sakit, kau tidak meminumnya pun tidak apa!"
Mendadak ia merampas pulang obatnya itu dan membuangnya ke tanah!
Kwee Ceng gusar melihat orang begitu kurang ajar terhadap kekasihnya.
"Adikku lagi terluka parah, mengapa kau membikin dia gusar begini macam"!" ia
menegur. "Yong-jie, mari kita pergi!"
Nyonya ini tertawa dingin pula. Ia kata: "Kamar Eng Kouw ini kecil tetapi apa
kamu kira kamu dua orang muda bisa bilang pergi lantas dapat pergi dan bilang
keluar lantas keluar" Hm!" Ia lantas memegang dua batang bambunya dan menghadang
di ambang pintunya. Kwee Ceng berpikir: "Tidak dapat dengan jalan halus, terpaksa aku mesti
menerjang..." Maka ia berkata: "Cianpwee, maafkanlah aku!" Sembari berkata begitu,
dengan gerakannya Hang Liong Yu Hui ia nerobos keluar. Ia menggunai setengah
tenaganya karena ia khawatir nyonya itu tidak dapat mempertahankan diri. Ia pun
tidak berniat melukakan nyonya itu.
Atas datangnya terjangan, si nyonya berkelit, tangan kirinya berbareng menolak
dengan enteng, dengan begitu gampang saja ia mengasih lewat serangan itu.
Kwee Ceng menjadi heran sekali. Inilah ia tidak menyangka. Ia pun kaget karena
tanpa perlawanan tubuhnya terjerunuk. Syukur ia bisa lantas mempertahankan diri.
Melihat demikian, si nyonya juga nampaknya heran. Ia tidak menyangka si anak
muda bisa menahan diri hingga sampai jatuh ngusruk. Maka berserulah dia: "Ha,
bocah, rupanya kau telah mewariskan semua kepandaian gurumu!" Ia lantas
menggunai bambunya menotok jalan darah kiok-tek-hiat di sambungan tangan si anak
muda. Kwee Ceng melihat totokan itu, yang berbahaya, ia membebaskan diri dengan satu
jurus lain dari Hang Liong Sip-pat Ciang juga. Sekarang ia mengerti ilmu silat
si nyonya adalah dari pihak lunak. Karena ini, ia tidak berani alpa. Beberapa
kali ia diserang secara berbahaya. Syukur ia telah mendapatkan ajaran Pek Thong,
kedua tangannya dapat memecah diri, maka selalu ia lolos dari ancaman itu.
Selang beberapa jurus, Kwee Ceng kena terdesak dua tindak. Karena terancam, ia
menjadi terpaksa. Maka ia lantas membalas menyerang dengan "Siang liong chio
cu", atau "Sepasang naga merebut mustika". Inilah ajaran dari Ang Cit Kong yang
ia peroleh semasa si Poo-eng, di dalam rumah abu keluarga Lauw.
Nyonya itu terkejut atas serangan itu, diwaktu berkelit, ia sampai mengeluarkan
seruan. Walapun ia gesit, kali ini ia tidak dapat meloloskan diri sepenuhnya. Ia
bebas dari tinju kanan yang lurus tetapi ia tidak dapat menyingkir dari serangan
tangan kiri. Maka pundak kanannya kena tertekan tangan kiri si anak muda. Kwee
Ceng tidak menggunai tenaga, sebab ia tahu, umpama si nyonya terbentur, tubuhnya
bakal terlempar menabrak rumah dan rumah atapmya itu bisa roboh. Tapi juga
dugaan si anak muda meleset. Ketika tangannya mengenai pundak orang, tangan itu
seperti mengenai benda yang licin, yang terus meluncur lewat. Untuk kagetnya,
tubuh si nyonya seperti tertegar dan dua batang bambunya dilemparkan ke tanah.
Ia mengira nyonya itu terkena hebat, lekas-lekas ia menahan tangannya itu.
Nyatanya Eng Kouw menggunai tipu. Selagi si anak muda menarik pulang tangannya,
sebab sekali ia membalas menyerang. Lima jarinya menusuk ke dada, di mana ada
dua jalan darah sin-hong dan giok-sie.
Kwee Ceng terdesak, ia lantas berkelit, terus kedua tangannya dipakai menolak
seperti tadi. Itulah serangan membalas yang hebat. Si nyonya mengetahui itu, maka kembali ia
membebaskan diri seperti tadi. Nyata ia telah menggunai "Nie-ciu Kang", ialah
ilmu silat si Lindung. Sampai di situ, keduanya sama-sama berlompat mundur dan sama-sama bersiaga.
Mereka telah menginsyafi lihaynya masing-masing. Kwee Ceng berpikir: "Aneh ilmu
silat si nyonya ini. Dengan dia tidak bisa dihajar, bukankah tinggal aku sendiri
yang setaip saat bisa diserang olehnya?" Dan si nyonya kata di dalam hatinya:
"Ini anak masih muda sekali, cara bagaimana dia sudah jadi begini lihay". Di
sini aku telah bersembunyi sepuluh tahun lebih, aku telah mendapatkan ilmu yang
luar biasa, aku memikir aku bisa menjagoi, hingga tak lama lagi, aku bisa pergi
untuk menuntut balas, siapa tahu, bocah bau susu ini pun aku masih belum bisa
merobohkannya.... Tidakkah ini berarti sia-sia belaka aku menyiksa diri sepuluh
tahun lebih. Bagaimana aku bisa nanti membalas sakit hatiku itu?" Ingat begini,
ia menjadi berduka, tanpa merasa, matanya menjadi merah, air matanya lantas
mengalir turun.... Kwee Ceng berhati mulia, ia mengira si nyonya telah terhajar keras olehnya, ia
lantas berkata: "Maaf, cianpwee, aku yang muda berbuat kurang ajar terhadapmu,
tetapi inilah bukan disengaja. Sekarang aku minta sukalah cianpwee mengijinkan
kami berlalu..."

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Eng Kouw mendapatkan sambil bicara si anak muda itu saban-saban melirik si
nnona, agaknya ia sangat menyayang dan memperhatikan, melihat begitu, ia jadi
ingat akan nasibnya sendiri yang tidak beruntung, yang terpisah jauh dari
kekasihnya, yang tidak mempunyai harapan akan dapat berkumpul pula. Kapan ia
ingat akan nasibnya, mendadak timbul rasa julesnya. Maka ia kata dengan dingin:
Kemelut Di Cakrabuana 5 Kilas Balik Merah Salju Karya Gu Long Api Berkobar Di Bukit Setan 3
^