Pencarian

Memanah Burung Rajawali 28

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 28


"Anak perempuan ini telah terkena tangan beracun Ngo Tok Sin-ciang dari Khiu
Cian Jin, paling lama ia hidup hanya tiga hari, perlu apa kau masih menyayangi
dan melindunginya?" Mendengar itu, Kwee Ceng kaget sekali, lekas-lekas ia menoleh kepada Oey Yong.
Ia melihat muka si nona seperti ditawungi sinar guram. Dengan lantas ia lompat
kepada kekasihnya itu. "Yong-jie, bagaimana kau rasa?" ia menanya, suaranya menggetar.
Oey Yong merasai dada dan perutnya panas, sebaliknya kaki tangannya dingin. Ia
menyahuti: "Engko Ceng, selama tiga hari ini, jangan kau meninggalkan aku pergi
sekalipun cuma setindak. Dapatkah?"
"Setengah tindak juga aku tidak akan tinggalkan kau..." menjawab si anak muda
cepat sedang hatinya mencelos. Rupanya si nona telah mendengar perkataannya si
nyonya tua itu. "Sekalipun tidak berpisah setengah tindak, temponya cuma lagi tigapuluh enam
jam...! berkata si nyonya dingin.
Kwee Ceng mengangkat kepalanya, memandang nyonya itu. Ia tidak bisa berbuat lain
daripada menunjuk roman minta dikasihani, ialah agar nyonya itu jangan
mengeluarkan kata-kata yang dapat melukai hatinya Oey Yong....
Sebenarnya Eng Kouw masih hendak memuasi kejelusannya ketika ia menmpak roman si
anak muda ang lesu itu, ia lantas berpikir: "Adakah Thian mengirim dua orang ini
ke mari untuk aku membalas sakit hatiku ini?" Ia mengangkat kepalanya, memandang
langit. "Oh, Thian, Thian...." keluhnya.
Justru itu di luar terdengar pula suara berisik dari orang-orang Khiu Cian Jin,
rupanya mereka masih mencari di sekitar situ dan sekarang kembali mendekati
rumah yang dikurung dengan rawa lumpur, yang pepohonannya merupakan rahasia
keder. Terang mereka menyangka si muda-mudi berada di dalam rumah tetapi mereka
tidak berdaya untuk memasukinya.
Lewat lagi sesaat dari arah rimba terdengarlah suaranya Khiu Cian Jin, si ketua
Tiat Ciang Pang: "Sin-soan-coe Eng Kouw, Kiu Tiat Ciang mohon bertemu denganmu!"
Suara itu datang dengan melawan angin tetapi karena dikeluarkannya dengan
bantuan tenaga dalam yang mahir, terdengarnya terang sekali.
Eng Kouw bertindak ke jendela. Ia pun mengempor tenaga dalamnya. Ia menyahuti
dengan suara yang panjang: "Aku ini biasanya tidak menerima kunjungan orang
luar. Apakah kau tidak ketahui bahwa siapa datang ke tempatku ini, rawa lumpur
hitam, dialah bagiannya mati, tidak bagian hidupnya"!"
Di sana terdengar pula suaranya Khiu Cian Jin: "Ada dua orang muda, satu pria
dan satu wanita, masuk ke dalam rawa lumpr hitam kau ini, maka aku minta sukalah
kau menyerahkan mereka padaku!"
"Siapakah yang dapat masuk ke dalam rawa lumpur hitamku ini?" berkata Eng Kouw.
"Sekarang ini ada tengah malam buta rata, maka janganlah kau mengganggu tidur
orang yang nyenyak!"
"Baiklah kalau begitu!" terdengar lagi suara Khiu Cian Jin. "Jangan kau berkecil
hati!" Suara itu bernada tak berani memandang enteng kepada si nyonya. Habis itu
terdengarlah suara berisik yang pergi jauh.
Eng Kouw berpaling pada Kwee Ceng. "Kau ingin menolongi adikmu ini atau tidak?"
ia tanya. Kwee Ceng melengak, lalu ia menjatuhkan dirinya berlutut.
"Jikalau locianpwee suka menolong..." katanya.
"Locianpwee!" kata si nyonya, bengis. "Apakah aku sudah tua?"
"Tidak, tidak terlalu tua," sahut Kwee Ceng cepat.
Sinar matanya Eng Kouw berpindah dari si anak muda ke jendela, dari mulutnya
terdengar kata-kata ini: "Tidak terlalu tua...Hm, itu artinya sudah tua...!"
Kwee Ceng menjadi bingung. Rupanya perkataannya itu telah menyinggung si nyonya.
Ia tidak tahu mesti membilang apa.
Eng Kouw menoleh pula. Sekarang ia melihat kepala orang berkeringatan.
"Kalau orangku itu dapat menyayangi aku satu persepuluh saja dari si bocah tolol
ini," pikirnya. "Ah, tidakkah sia-sia belaka hidupku ini..." Lalu ia bersenandung
dengan perlahan: "Empat buah perkakas tenun...maka tenunan burung wanyoh bakal terbang
berpasangan....Sayang, belum lagi tua tetapi kepala sudah putih.... Gelombang musim
semi, rumput hijau, di musim dingin di dalam tempat yang tersembunyi, saling
berhadapan mandi baju merah........"
Mendengar itu Kwee Ceng heran.
"Ah, rasanya aku kenal syair ini..." pikirnya. Tapi ia tidak ingat, siapa pernah
membacakan itu. Itulah bukannya Cu Cong, gurunya yang nomor dua dan juga bukan
Oey Yong. Maka dengan perlahan, ia menanya si nona: "Yong-jie, siapakah yang
mengarang syair ini" Apakah artinya itu?"
Si nona menggeleng kepala.
"Aku mendengar ini baru untuk pertama kali," sahutnya. "aku tidak tahu siapa
pengarangnya. Sayang belum tua tetapi kepala sudah putih...Sungguh suatu kata-kata
yang bagus!" Kwee Ceng masgul, sudah ia tidak ingat, Oey Yong pun tidak tahu, sedang si nona
terpelajar, luas pengetahuannya. Pikirnya: "Syair bukan buatan Oey Yong, tentu
bukan karya ayahnya. Habis siapakah" Toh aku ingat aku pernah mendengarnya..."
Eng Kouw pun lantas berdiam. Ia lagi memikirkan segala apa yang telah berlalu.
Ia nampak sebentar bergirang sebentar berduka. Kemudian ia mengangkat kepalanya
dan berkata: "Adikmu ini terhajar tangannya Kiu Tiat Ciang Pang, entah ada benda
apa yang menghalanginya sehingga ia tidak mati lantas, meski begitu, tidak
peduli bagaimana dia tidak bakal dapat bertahan lewat tiga hari. Ah, lukanya ini
cuma ada satu orang yang dapat menolongnya..."
Kwee Ceng lagi menjublak ketika ia mendengar kata-kata terakhir itu, hatinya
lantas memukul keras saking girangnya, maka ia lantas menjatuhkan diri berlutut
pula di depan nyonya itu, ia mengangguk tiga kali hingga kepalanya membentur
tanah. Ia lantas memohon: "Tolong loo...oh, tidak, tidak! Tolong kau menolongi
adikku ini, budimu tidak nanti aku lupai..."
"Hm!" bersuara Eng Kouw, dingin. "Mana aku mempunyai kepandaian untuk menolongi
orang" Kalau aku pandai, musahil aku berdiam di ini tempat membeku menderita
kesengsaraan ini..."
Kwee Ceng berdiam saja. "Nyata kau beruntung," kemudian nyonya itu berkata pula: "Kamu telah bertemu
denganku yang mengetahui tempat kediaman orang itu, dan beruntung pula,
tempatnya tidak jauh, maka di dalam tempo tiga hari, kamu dapat tiba di sana...
Hanyalah sukar untuk dibilang orang itu suka menolongi atau tidak."
Kwee Ceng girang bukan kepalang.
"Aku nanti meminta, memohonnya!" ia berkata. "Aku percaya tidak nanti ia tidak
menolong kalau ia melihat bahaya lagi mengancam...."
"Apa itu melihat bahaya mengancam tidak menolong?" kata Eng Kouw. "Kebaikan apa
kau telah berikan padanya" Kenapa dia mesti menolong kamu?"
Suara itu menggenggam kegusaran.
Kwee Ceng mengerti, ia tidak berani menyahuti.
Si nyonya bertindak ke kamar luar, di sana ia duduk di kursi, kepalanya
ditunduki. Ia memegangi pit, entah dia menulis apa. Habis menulis, surat-
suratnya itu dilepit, lantas dibungkus rapi dengan masing-masing sepotong cita,
yang terus ia jahit, kemudian ia menjahit dan menjahit lagi hingga merupakan
tiga kantung. Habis itu, baru ia kembali ke kamar bundar itu.
"Sekeluarnya dari rimba ini, menyingkirlah kamu dari kepungannya Tiat Ciang
Pang," ia berkata. "Kamu menuju langsung ke timur laut, terus sampai di
kecamatan Tho-goan. Di sana barulah kamu membuka kantung yang putih itu.
Seterusnya tindakan apa yang kamu harus lakukan, di dalam situ ada ditulis
jelas. Sebelum kamu sampai di sana, ingat baik-baik, jangan kamu buka surat
ini!" Kwee Ceng girang sekali, ia menghanturkan terima kasih berulangkali. Kemudian ia
menyodorkan tangannya untuk menerima kantung-kantung itu.
Eng Kouw menarik pulang tangannya.
"Tunggu dulu!" katanya. "Jikalau orang itu tidak sudi menolong, yah sudah saja,
tetapi apabila dia suka menolongi hingga adikmu ini ketolongan, aku hendak minta
suatu apa." "Budi ini mesti dibalas," berkata Kwee Ceng. "Cianpwee menitahkan saja!"
Eng Kouw tertawa dingin ketika ia berkata: "Jikalau adikmu ini tidak binasa,
maka di dalam tempo satu bulan ia mesti kembali ke mari dan di sini ia mesti
tinggal bersama aku selama satu tahun!"
Kwee Ceng heran. "Kenapa begitu?" tanyanya.
"Kenapa begitu?" balik tanya si nyonya. "Apakah sangkutannya itu sama aku" Aku
cuma tanya kau, kau suka atau tidak?"
"Kau menghendaki aku mengajari kau ilmu hitung Kie-bun-sut, bukan?" Oey Yong
campur bicara. "Apakah susahnya itu" Baik, aku memberikan janjiku!"
Eng Kouw mendelik kepada si anak muda.
"Percuma jadi laki-laki, kau tak bisa melawan kecerdikan adikmu satu
persepuluh!" ia mengejeknya tetapi ia menyerahkan tiga kantung kainnya itu.
Kwee Ceng menyambuti. Ia melihat satu kantung putih, satu merah dan satu lagi
kuning. Ia lantas menyimpan itu baik-baik. Ia memberi hormat sambil menjura
tetapi Eng Kouw menyingkir, tak mau ia menerima hormat itu. Ia kata: "Tak usah
kau mengucap terima kasih padaku, aku juga tidak sudi menerimanya. Kamu dan aku
bukan sanak bukan kandung, perlu apa aku menolongi adikmu ini" Taruh kata kita
bersanak, juga tak usah kau menjadi begini bersyukur. Adalah janji kita yang
mesti ditepati. Aku bilang padamu, aku menolongi adikmu untuk diriku juga. Hm,
siapa tidak berbuat untuk dirinya, dia dimusnahkan Langit dan Bumi!"
Kwee Ceng heran sekali. Suara itu pun tak sedap untuk kupingnya. Oleh karena ia
memang tidak pandai bicara, ia tidak tahu mesti membilang apa. Ia sekarang cuma
mengingat keselamatannya Oey Yong.
Eng Kouw mengawasi pula si pemuda dengan mata mendelik.
"Kau telah bercapai lelas satu malaman," katanya. "Kmau juga tentu telah lapar,
maka baiklah kamu dahar bubur!"
Oey Yong sudah lantas merebahkan diri di atas pembaringan, ia beristirahat
separuh pulas separuh sadar. Kwee Ceng menjagai dia di sampingnya, pikirannya
tidak tentram. Eng Kouw, yang pergi ke dalam, tak lama datang pula dengan membawa sebuah
tetampan, di atas mana ada dua mangkok bubur yang masih panas, asapnya masih
mengepul-ngepul. Harum bubur itu. Sebagai temannya ada daging ayam dan ikan.
Kwee Ceng lantas saja terbangun selera makannya. Ia memang saudh lapar sekali.
Ia tidak menyangsikan pula si nyonya. Tadi ia mengkhawatirkan Oey Yong, ia lupa
makan. Maka ia menepuk-nepuk belakang tangan kekasihnya itu.
"Yong-jie, mari dahar!" katanya.
Oey Yong membuka matanya, ia menggeleng kepala perlahan.
"Dadaku sangat sakit, aku tidak mau dahar," sahutnya.
"Hm!" Eng Kouw tertawa dingin. "Ada obat untuk melenyapkan rasa nyeri tetapi
kamu bercuriga!" Oey Yong tidak ambil peduli sindiran itu.
"Engko Ceng, mari kasih aku sebutir pil Kiu-hoa Giok-louw-wan," kata dia.
Pil itu ada pil pemberiannya Liok Seng Hong semasa di Kwie-in-chung, si nona
simpan itu di dalam sakunya, ketika Ang Cit Kong dan Kwee Ceng terluka di tangan
Auwyang Hong, mereka makan obat itu beberapa butir, benar obat itu tidak dapat
menyembuhkan tetapi bisa menghilangi rasa sakit.
Kwee Ceng menyahuti, ia membuka kantung si nona dan mengeluarkan obat yang
diminta itu. Ketika Oey Yong menyebutkan namanya obat, hati Eng Kouw terkesiap, begitu lekas
ia melihat pil merah itu, ia kata dengan bengis: "Adakah ini Kiu-hoa Giok-louw-
wan" Kasih aku lihat!"
Kwee Ceng heran mendengar suara orang demikian aseran, ia menoleh. Maka ia
melihat mata si nyonya bersinar tajam. Ia menjadi lebih terheran lagi. Tapi ia
menyerahkan semua sekantung obat itu.
Kapan Eng Kouw menyambutnya, ia merasakan bau harum dari obat itu menyampok
hidungnya. Ia lantas merasakan tubuhnya adem. Ia mengawasi si anak muda, terus
ia menanya; "Obat ini ada obat dari Tho Hoa To, darimana kamu mendapatkannya"
Lekas bilang! Lekas!" Suaranya itu bengis tetapi bengis bercampur nada sedih.
Dalam herannya, Oey Yong berpikir: "Dia hendak mempelajari ilmu Kie-bun-sut,
apakah ia mempunyai hubungannya sama salah satu murid ayahku?"
Kwee Ceng sendiri sudah lantas menjawab: "Adikku ini ialah putrinya pemilik Tho
Hoa To!" Mendadak Eng Kouw berlompat berjingkrak.
"Anaknya Oey Lao Shia"!" dia berteriak. Kedua matanya lantas bersinar bengis,
kedua tangannya terus dipentangkan, agaknya hendak dia menubruk si nona di
depannya itu. "Engko Ceng, kembalikan tiga kantung itu!" kata Oey Yong. "Karena dialah musuh
ayahku, kita jangan menerima budinya!"
Kwee Ceng mengeluarkan kantungnya hanya ia berayal mengembalikannya. Ia
bersangsi. ?"Letaki, engko Ceng!" kata pula Oey Yong. "Belum tentu aku mati! Mati pun boleh
apa!" Belum pernah Kwee Ceng tidak meluluskan sesuatu kehendaknya si nona, maka ia
meletakinya tiga kantung surat wasiat itu.
Eng Kouw memandang keluar jendela, perlahan terdengar keluhannya: "Oh, Thian,
Thian...!" Kemudian dengan lantas ia pergi ke kamar sebelah, di sana ia membaliki
tubuhnya, entah apa yang ia lakukan.
"Mari kita berangkat!" mengajak Oey Yong. "Aku sebal melihat perempuan ini!"
Belum lagi Kwee Ceng menyahuti, si nyonya sudah kembali.
"Aku hendak memperlajari ilmu Kie-bun-sut, perlunya untuk memasuki Tho Hoa To,"
ia berkata, "Sekarang gadisnya Oey Lao Shia ada di sini, aku menyakinkannya
seratus tahun juga tidak ada gunanya. Dasar nasib, apa mau dibilang" Nah,
pergilah kamu! Bawalah kantung itu!"
Ketiga kantung itu, bersama kantung obat, ia sesapkan di tangannya si anak muda.
Kepada Oey Yon ia berkata: "Obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini untukmu ada bahayanya
tidak ada faedahnya, maka janganlah kau makan pula, hanya kalau nanti kau sudah
sembuh, jangan kau lupa janji kita satu tahun itu! Ayahmu telah membikin rusak
seluruh penghidupanku, maka semua barang makanan di sini, lebih suka aku
memberikannya anjing yang makan, tak sudi aku memberikannya kepada kamu!"
Lantas bubur dan dua rupa masakannya itu ia lemparkan keluar jendela!
Oey Yong gusar bukan kepalang, mau ia membuka mulutnya, atau mendadak ia sadar,
maka ia lantas pegangi Kwee Ceng, untuk bangun berdiri. Dengan tongkatnya, ia
menulis tiga baris huruf di atas pasir, setelah mana ia mengajak si anak muda
itu bertindak ke luar. Kapan ia sudah tiba di pintu luar, Kwee Ceng berpaling ke belakang, dengan
begitu ia bisa melihat Eng Kouw, yang semenjak tadi berdiam saja, lagi mengawasi
ke tanah, agaknya dia berdiri bengong, rupanya dia tengah menghitung........
Sesampainya di muka rimba, Kwee Ceng menggendong Oey Yong, lalu ia bertindak
pergi mengikuti jalan masuknya tadi. Selama itu, ia menutup mulut, karena
pikirannya dipusatkan kepada tindakan kakinya itu supaya ia tidak salah jalan.
Adalah setibanya di luar, di tempat aman, baru ia menanya si nona apa yang
ditulisnya tadi. Oey Yong tertawa. "Aku menulis tiga macam hitungan untuknya," sahutnya. "Dia boleh memikirkan itu
setengah tahun, tidak nanti dia mendapatkan jawabannya. Biarlah rambut putihnya
menjadi tambah uban! Siapa suruh dia bersikap demikian kurang ajar!"
"Sebenarnya dia bermusuh apa dengan ayahmu?"
"Aku tidak tahu. Tidak pernah aku mendengar ayah mengomonginya." Ia hening
sedetik. Lantas ia menanya: "Dimasa mudanya, dia mestinya cantik sekali. Benar
tidak engko Ceng?" Selagi menanya begitu, di hatinya ia menduga apa mungkin
nyonya itu pernah saling menyinta dengan ayahnya...
"Biar dia cantik atau tidak," Kwee Ceng menyahut. "Dia lagi memikirkan tulisanmu
itu, umpama kata dia mendadak menyesal, tidak nanti dia dapat menyusul kita."
"Entah apa dia tulis di dalam kantungnya itu?" tanya Oey Yong. "Jangan-jangan
dia tidak bermaksud baik. Apakah tidak baik kita membuka dan melihatnya?"
"Jangan, jangan!" Kwee Ceng mencegah. "Biar kita turut pesannya, sampai di
kecamatan Tho-goan baru kita buka..."
Oey Yong sangat terpengaruhkan keinginan tahunya, ingin ia melihatnya, tetapi
Kwee Ceng tetap mencegah akhirnya ia suka mengalah.
Sementara itu tanpa terasa sang malam telah berlalu, sang fajar datang
menggantikannya, Kwee Ceng naik ke atas sebuah pohon tinggi, untuk melihat
kelilingan. Ia tidak melihat orang-orang Tiat Ciang Pang, maka hatinya lega. Ia
lantas bersiul memanggil kuda serta burungnya, yang muncul dengan cepat. Yang
datang belakangan ialah kedua burung rajawali.
"Mari kita berangkat," kata si anak muda setelah ia dan si nona sudah berada di
punggung kuda mereka. Justru itu waktu, di pinggiran rimba terdengar suara orang berseru-seru, lalu
terlihat munculnya beberapa puluh orang. Merekalah orang-orang Tiat Ciang Pang,
yang tak putus asa meskipun Eng Kouw telah menampik mereka, dengan terpaksa
mereka menanti sambil menyembunyikan diri, baru mereka keluar setelah Kwee Ceng


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengasih dengar suaranya yang nyaring memanggil kuda dan burungnya.
"Maaf, tak dapat kami menemani kamu!" berkata Kwee Ceng kepada mereka itu seraya
ia mengeprak mengasih kudanya lari, maka dalam tempo yang pendek, di kuda merah
meninggalkan jauh sekali kawanan pengepungnya itu.
Di waktu tengah hari, Kwee Ceng telah melalui perjalanan beberapa ratus lie,
maka ia lantas berhenti di tepi jalan, di mana ada sebuah warung nasi. Si situ
ia bersantap. Oey Yong lagi sakit, ia makan sedikit bubur.
Habis makan anak muda ini menanya tuan rumah tempat itu apa namanya. Ia diberi
tahu bahwa ia berada di dalam wilayah kecamatan Tho-goan, maka tidak ayal lagi
ia mengeluarkan kantung putihnya, untuk dibuka dan diperiksa. Di dalam situ ada
sehelai peta bumi dengan dua baris yang berbunyi: "Jalan mengikuti petunjuk
dalam gambar ini. Di ujung jalanan ini ada sebuah air tumpah yang besar, di
samping mana ada sebuah rumah yang atap. Sampai di situ bukalah kantung yang
merah." Tanpa ragu-ragu, Kwee Ceng menuruti surat wasiat itu. Ia mengasih kudanya lari
sampai sekira delapanpuluh lie, sampai jalanan nyata makin jauh makin sempit.
Lagi delapan atau sembilan lie, jalanan merupakan jalanan selat yang sempit, di
kiri-kanan ialah tembok gunung. Jalanan demikian kecil hingga muat hanya satu
orang. Kuda merah juga tidak dapat jalan di situ. Saking terpaksa, Kwee Ceng
menggendong pula Oey Yong dan kudanya ditinggalkan, dibiarkan mencari makanannya
sendiri. Bab 61. Tukang pancing, tukang kayu, petani dan pelajar
Bab ke-61 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Satu jam Kwee Ceng jalan terus. Kadang-kadang ada tempat demikian sempit hingga
untuk lewat di situ, Oey Yong mesti dipondong, tubuhnya dikasih miring.
Ketika itu ada bulan ke tujuh, matahari sangat terik, akan tetapi di situ puncak
gunung menghalangi pengaruhnya sang Batara Surya, maka juga jalanan di selat itu
sebaliknya menjadi adem. Kwee Ceng jalan terus sampai ia merasa lapar, maka ia mengeluarkan bekalannya
ransum kering, ia menangsel perut sambil jalan, karena ia tidak mau menyia-
nyiakan tempo. Ia telah makan habis tiga biji kue. Tepat ketika lehernya kering
karena ingin minum, kupingnya mendengar suara air. Dengan lantas ia percepat
tindakannya. Semakin lama suara air semakin nyaring. Ia mesti jalan mendaki.
Akhirnya si anak muda tiba di atas bukit. Maka dari situ ia dapat melihat iar
tumpah itu, yang besar sekali, airnya meluncur ke bawah, jatuh terbanting keras.
Itulah sebab suara yang nyaring tadi. Ketika ia mengawasi, di samping air tumpah
itu ia tampak sebuah rumah atap. Ia lantas mencari sebuah batu besar di mana ia
berduduk. Ia lantas mengeluarkan kantung yang merah, yang terus dibuka. Di dalam
situ ada sebuah surat wasiat yang berbunyi:
"Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya yang dapat menolongi..."
Membaca surat itu, Kwee Ceng terkejut.
"Toan Hongya!" katanya kepada Oey Yong. "Bukankah dialah Lam Tee si Kaisar dari
Selatan yang namanya kesohornya dengan nama ayahmu?"
Sebenarnya Oey Yong sudah lelah sekali tetapi mendengar disebutnya nama Kaisar
dari Selatan itu, Lam Tee, ia menjadi ketarik hatinya.
"Lam Tee?" katanya. "Ya, aku pernah mendengarnya dari ayah. Toan Hongya itu
adanya di Taili di Inlam dimana ia menjadi raja. Apakah itu bukan..." Ia berhenti
berkata karena mendadak hatinya menjadi sangat dingin. Bukankah Inlam itu ada
satu propinsi yang jauh sekali, yang tak dapat dicapaikan dengan perjalanan
hanya tiga hari" Ia lantas menguatkan hatinya, untuk berduduk sambil menyender
pada tubuh si anak muda. Ia mau melihatnya sendiri suratnya Eng Kouw itu.
Begini bunyinya surat dari kantung wasiat yang merah itu:
"Lukanya anak perempuan ini cuma Toan Hongya yang dapat menolongi... hanya Toan
Hongya itu banyak perbuatannya yang tak selayaknya, karena mana dia jadi tinggal
menyembunyikan diri di Tho-goan, hingga orang sangat sukar menemuinya. Kalau
orang bicara dengannya dengan minta diobati, itulah justru pantangannya yang
paling besar. Kalau maksud itu diutarakan, belum lagi orang masuk ke rumahnya,
orang bakal dibikin celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si
petani dan si pelajar. Maka itu untuk bertemu dengannya, kamu mesti mendusta.
Kamu bilang saja bahwa kamu datang atas nama gurumu, Ang Cit Kong, untuk bertemu
sama Toan Hongya, untuk menyampaikan berita penting. Apabila kamu telah bertemu
sama Toan Hongya, maka kamu serahkanlah isinya kantung kuning. Kehidupanmu
tergantung dengan ini."
Habis membaca, Kwee Ceng menoleh kepada Oey Yong. Ia melihat si nona mengerutkan
keningnya. Ia menanya: "Yong-jie, kenapa Toan Hongya melakukan banyak perbuatan
tak layak" Kenapa justru permintaan tolong diobati adalah pantangan yang
terlebih besar lagi" Dan apa itu artinya kecelakaan di tangan si tukang pancing,
tukang kayu, petani dan pelajar?"
Si nona menghela napas. "Engko Ceng, janganlah kau menganggap aku terlalu pintar hingga semua-semuanya
aku mesti ada jawabannya." sahutnya.
Kwee Ceng terkejut, ia mengawasi tanpa menanyakan lagi. Ia pondong nona itu.
"Baiklah, mari kita turun!" ujarnya. Tapi, sebelum mulai bertindak, ia mengawasi
pula ke bawah ke air tumpah. Di tepi air, di mana ada sebuah pohon yangliu, ia
melihat seorang tengah berduduk, kepala orang itu ditutup sama tudung bambu.
Karena jaraknya jauh, ia tidak dapat melihat tegas. Terpaksa, ia terus berjalan
turun. Terpengaruh oleh keinginannya lekas-lekas sampai, terbantu oleh jalana di situ
tak sesukar tadi, lekas juga Kwee Ceng tiba di bawah, di tepian air tumpah itu.
Sekarang ia melihat orang tadi sedang duduk sambil memancing ikan.
Air tumpah jatuhnya sangat keras, air pun mengalir deras luar biasa, di mana
bisa ada ikan di situ" Taruh kata ada ikannya, mana sempat ikan itu mencaplok
umpan pancing" Maka anehnya yang orang memancing ikan di air sedemikian itu.
Pemuda itu tidak berani lancang mengganggu orang. Lebih dulu ia mengawasi saja.
Ia mendapatkan si tukang pancing berumur tigapuluh tujuh atau tigapuluh delapan
tahun, kulit mukanya hitam seperti pantat kuali, mukanya berewokan, bulunya kaku
seperti kawat. Kedua mata orang terus dipakai mengawasi tajam ke arah air.
Setelah mengawasi sekian lama, ia turunkan Oey Yong, supaya si nona dapat duduk
menyender di pohon, untuk beristirahat, ia sendiri pergi ke tepian, untuk
melihat di kobakan air tumpah itu ada ikan apa. Orang itu tetap diam saja,
mereka tidak ditegur sama sekali.
Sekian lama Kwee Ceng mengawasi, tiba-tiba ia melihat berkelebatnya sinar kuning
di dalam air itu. Si tukang pancing nampak girang, sebab mendadak jorannya
melenkung tertarik ke arah air. Karena ada satu makhluk yang memakan umpan
pancing itu - makhluk yang seluruhnya berwarna kuning emas. Saking heran, si
anak muda berseru sendirinya: "Eh, binatang apakah itu?"
Berbareng sama seruannya si anak muda itu, seekor binatang yang serupa itu
melesat pula menyambar pancing, maka si tukang pancing menjadi girang sekali,
dengan erat-erat ia mempertahankan jorannya, yang sebaliknya jadi makin
melengkung. Rupanya kuat sekali merontanya si ikan aneh itu, sebentar kemudian,
patahlah joran itu, kedua ikannya berloncat ke air, terus berenang pergi, lenyap
di kolong batu. Meski air sangat deras, ikan itu tak hanyut terbawa air.
Si tukang pancing lantas memutar tubuhnya, dia mengawasi Kwee Ceng dengan mata
mendelik dan muka merah, tandanya ia murka sekali.
"Hai, bangsat cilik busuk!" dia mendamprat. "Setengah hari dan setengah mati aku
menantikan di sini, sekejap saja kau membikin kaget dan kabur binatang yang aku
lagi pancing itu!" Terus ia mengangkat tangannya yang besar, seperti dia hendak
menyerang, hanya entah kenapa, dia menahannya, hingga tangannya itu mengasih
dengar suara meretek. Kwee Ceng tahu ia telah mengganggu orang itu, ia tidak menjadi gusar.
"Maaf, paman," katanya merendah. "Sebenarnya bukan maksudku mengganggu padamu.
Sebenarnya ikan apakah itu?"
Orang itu masih tetap gusar.
"Buka matamu!" katanya sengit. "Apakah itu ikan" Itulah Kim Wawa!"
Kwee Ceng tertawa. Ia tetap tidak gusar.
"Mohon tanya paman, apa itu Kim Wawa?" ia tanya. Ia tidak mengerti makhluk itu
dinamai "Kim Wawa" atau "Anak Emas".
"Kim Wawa ialah Kim Wawa!" orang itu berteriak semakin gusar. "Eh, bangsat bau,
perlu apa kau banyak bacot"!"
Tetap Kwee Ceng mengendalikan diri. Ia membutuhkan petunjuk untuk mencari Toan
Hongya. "Maaf, paman," katanya, sembari ia memberi hormat pula.
Tapi Oey Yong tak dapat bersabar seperti engko Ceng-nya itu.
"Kim Wawa ialah ikan wawa yang berwarna kuning emas," ia campur bicara. "Apakah
yang aneh pada ikan itu" Di rumahku, aku memeliharanya beberapa pasang!"
Tukang pancing itu heran mendengar si nona mengetahui tentang ikan itu, tetapi
hanya sebentar ia tercengang, segera ia mengasih dengar suaranya yang tak sedap:
"Hm, kau ngepul ya" Kau memeliharanya beberapa pasang! Aku tanya padamu, apakah
perlunya Kim Wawa itu?"
"Apa perlunya?" sahut si nona sabar. "Aku melihatnya ikan itu bagus, dia dapat
bersuara yayaya, seperti anak kecil, maka aku lantas memeliharanya, untuk dibuat
main!" Mendengar keterangan orang, tak salah, pengail itu mulai menjadi sabaran
sedikit. "Eh, anak," katanya kemudian, "Kalau benar kau memelihara ikan itu, kau harus
mengganti aku satu pasang!"
"Perlu apa aku mesti mengganti padamu?" si nona menanya.
Orang itu menunjuk Kwee Ceng, dia menyahutinya:" Aku mengail, aku dapat satu
ekor, lantas dia berteriak tak karua-karuan, hingga muncul satu seekor yang
lain, hingga kejadian patahlah joranku. Kim Wawa ini sangat cerdik, selanjutnya
dia tak bakal kena dikail lagi, maka itu kalau kau tidak disuruh mengganti,
habis bagaimana?" "Tatuh kata kau dapat memancingnya, kau cuma dapat satu," kata lagi Oey Yong.
"Apa mungkin kau dapat mancing sekali dua?"
Ditanya begitu, orang itu berdiam. Ia menggaruk-garuk kepalanya.
"Kalau begitu, kau menggantilah seekor!" katanya kemudian.
Oey Yong tertawa. Ia berkata: "Jikalau sepasang Kim Wawa dipisahkan hidup-hidup,
maka tak lebih daripada tiga hari, baik yang jantan maupun yang betina, dua-
duanya bakal mati sendirinya."
Mendengar begitu, lenyaplah kesangsiannya si pengail, dengan lantas ia menjura
kepada sepasang muda-mudi itu. Ia berkata pula: "Baiklah, anggaplah aku yang
tidak benar! Sekarang maukah kau membagi aku satu pasang?"
Oey Yong tersenyum. "Lebih dulu kau mesti menerangkan padaku, perlu apa kau dengan ikan emas itu?"
ia tanya. Orang itu berdiam, agaknya ia bersangsi. Tapi cuma sejenak, lantas ia membuka
mulutnya. "Baiklah, aku nanti menjelaskan kepada kamu," katanya. "Paman guruku, seorang
India, beberapa hari yang lalu telah datang ke mari mengunjungi guruku. Ia telah
mendapat tangkap itu sepasang ikan emas, ia girang bukan main. Ia membilangi
kita bahwa di negerinya itu ada semacam binatang yang berbisa sekali, yang
sangat sukar untuk disingkirkan, kecuali dengan ini ikan, yang menjadi binatang
pelumahnya. Dia menyerahkan ikan itu kepadaku, untuk aku merawatnya beberapa
hari, nanti setelah ia selesai berbicara sama guruku, diwaktu ia berangkat
pulang, hendak ia membawanya sekalian, untuk dipelihara di sana, siapa tahu..."
"Siapa tahu kau telah berlaku tidak hati-hati dan kau membuatnya terlepas!" Oey
Yong mendahului. Pengail itu kaget: "Eh, mengapa kau tahu?" tanyanya heran.
"Tidakkah gampang menduga itu?" berkata si nona tersenyum. "Ikan itu memangnya
sukar dipeliharanya. Aku sendiri mulanya memelihara lima pasang dan kemudian
kabur dua pasang." Matanya si tukang pancing bersinar. Agaknya ia sangat tergiur.
"Nona yang baik, kau bagilah aku sepasang," ia minta. "Kamu masih mempunyai dua
pasang lagi, tidakkah itu cukup" Kalau paman gusar, itulah hebat untukku..."
"Untuk membagi kau satu pasang, itulah urusan kecil sekali;" berkata si nona,
tetap manis. "Hanya aku hendak menanya kau, kenapa kau mula-mulanya galak
sekali?" Orang itu jengah, dia bingung. Ia mau tertawa tetapi pun gagal.....
"Ah, nona yang baik," akhirnya ia kata, "Kau ini tinggal di mana" Apakah tidak
jauh dari sini?" "Kalau dikata dekat, tidak dekat," sahutnya, "Kalau dikata jauh, ya tidak jauh,
tetapi kalau beberapa ribu lie, ya ada..."
Tukang pancing itu kaget, lantas kumisnya bangun berdiri.
"Hai, budak cilik!" dia membentak, "Kiranya kau lagi permainkan tuanmu!" Dia
sudah lantas mengangkat kepalannya yang besar, hendak ditimpahkan kepala orang,
akan tetapi kapan dia melihat seorang nona cilik dan nampaknya lemah, dia batal
sendirinya. Kwee Ceng sendiri sudah lantas bersiap, untuk menjambret tangan orang itu.
Oey Yong tertawa. Sama sekali ia tidak takuti ancaman itu.
"Kenapa terburu nafsu?" katanya. "Aku telah memikirkan jalannya. Eh, engko Ceng,
coba kau tolong panggil si rajawali putih!"
Anak muda itu tidak dapat menerka hati kawannya akan tetapi ia menuruti.
Kapan si pengail mendengar suara orang, ia terkejut. Suara itu nyaring
mendengung, berkumandang di lembah-lembah. Maka sekarang ia kata di dalam
hatinya: "Baiklah tadi aku tidak lantas bertempur dengannya, kalau tidak, aku
bisa celaka...." Tak lama datanglah sepasang rajawali mereka.
Oey Yong minta Kwee Ceng mengambil babakan pohon, di situ dengan jarumnya ia
mencacah beberapa baris tulisan, singkat bunyinya:
"Ayah! Aku menghendaki sepasang Kim Wawa, maka suruhlah si rajawali membawanya.
Dari anakmu, Yong." Melihat itu barulah Kwee Ceng mengerti, maka ia menjadi girang sekali. Ia lantas
menyiapkan tali, ialah ikat pinggangnya yang ia kutungi, lalu dengan itu ia ikat
surat babakan pohon itu pada kakinya si rajawali yang jantan. Oey Yong pun
lantas berkata kepada si rajawali itu: "Kau bawa ini ke Tho Hoa To, lekas pergi
dan lekas kembali!" Kwee Ceng masih khawatir burungnya itu kurang mengerti, ia menunjuk ke Timur dan
tiga kali menyebutnya: "Tho Hoa To!"
Sepasang burung rajawali jinak itu berbunyi berbareng, lantas keduanya terbang
pergi, setelah berputaran di tengah udara, mereka menuju ke timur, sebentar saja
mereka lenyap di antara gumpalan mega.
Si Tukang pancing melongo matanya dan terpentang mulutnya.
"Tho Hoa To...Tho Hoa To..." katanya kemudian, seperti mengoceh tidak karuan.
"Pernah apakah kamu dengan Oey Yok Su Loosianseng?"
Baru sekarang Oey Yong memprlihatkan aksinya.
"Ialah ayahku! Habis kenapa"!" sahutnya, temberang.
"Oh!" seru orang itu heran.
Oey Yong tidak menggubris sikap orang itu, ia tanya: "Dalam tempo beberapa hari
saja, burung itu bakal membawa datang ikan itu kemari. Tidak terlambat,
bukankah?" "Harap saja..." kata orang itu, matanya mengawasi sepasang anak muda itu, agaknya
ia bersangsi. Kwee Ceng memberi hormat.
"Aku belum menanyakan nama she dan nama yang besar dari paman," katanya.
Orang itu tidak menyahuti, sebaliknya ia menanya: "Perlu apa kau datang ke mari"
Siapakah yang menyuruhnya?"
Kwee Ceng terus membawa sikapnya yang menghormat.
"Aku yang muda ada mempunyai urusan untuk mana aku memohon bertemu sama Toan
Hongya," ia memberitahukan. Ia sebenarnya mau memberi keterangan seperti
petunjuknya Eng Kouw, akan menyebutkan nama gurunya, Ang Cit Kong, tetapi ia
tidak biasa mendusta, mendadak ia merasa tak dapat ia mengatakan itu.
"Guruku tidak dapat menemui orang!" orang itu kata dengan keras. "Mau apa kau
mencari guruku itu?"
Untuk sejenak Kwee Ceng terbenam dalam kesangsian. Ia sebenarnya mau terus
bicara secara sebenarnya, tapi mendadak ia ingat keselamatannya Oey Yong.
Tidakkah ia nanti menggagalkan si nona" Bukankah tak apa ia mendusta kali ini"
Selagi ia bersangsi, si pengail telah mendapat lihat kesangsiannya itu dan
melihat tegas si nona, yang lagi sakit.
"Kau mencari guruku untuk minta diobati, bukankah?" dia menanya.
Disenggapi begitu, pemuda itu tak dapat mendusta lagi. Ia mengangguk.
"Benar," sahutnya, sedang hatinya menyesal tak dapat mendusta....
"Untuk menemui guruku, jangan harap!" kata tukang pancing itu bengis. "Biar aku
ditegur guru dan pamanku, aku tak menghendaki lagi ikanmu itu! Lekas pergi!"
Kata-kata itu ketus dan pasti, bagaikan pantek paku, Kwee Ceng menjadi berdiri
menjublak, untuk sesaat itu, ia merasakan tubuhnya dingin seluruhnya. Sesaat
kemudian barulah ia dapat berkata pula.
"Nona yang terluka ini dan membutuhkan pengobatan adalah putri yang dicintai
dari Oey Tocu dari Tho Hoa To," ia berkata, ia pun menjura. "Sekarang ini, nona


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini pun menjadi Pangcu dari Kay Pang. Maka itu paman, aku minta, dengan
memandang Oey Tocu dan Ang Pangcu itu, sukalah kau menunjuki kami jalan, supaya
kami diajak bertemu menemui Toan Hongya."
Mendengar disebutkannya Ang Pangcu, roman si tukang pancing sedikit berubah,
akan tetapi ia menggeleng kepala.
"Nona ini pangcu dari Kay Pang?" tanyanya. "Aku tidak percaya!"
Kwee Ceng menuju kepada tongkat Lek-tiok-thung di tangannya Oey Yong.
"Itulah tongkat Tah-kauw-pang dari Ang Pangcu," ia berkata. "Tentunya paman
mengenali tongkat itu..."
Tukang pancing itu mengangguk.
"Pernah apakah kamu dengan Kiu Cie Sin Kay?" ia tanya pula.
"Ialah guru kami."
"Oh..." si tukang pancing bersuara perlahan. "Jadinya kamu datang ke mari mencari
guruku ini karena disuruh gurumu, bukan?"
Lagi-lagi Kwee Ceng dibikin ragu-ragu. Ia ingat baik-baik ajarannya Eng Kouw
untuk mendusta tetapi itu bertentangan dengan kejujurannya.
"Benar!" Oey Yong segera mendahului menjawab.
Orang itu bertunduk, terang ia ragu-ragu. Terdengar ia berkata dengan perlahan:
"Bagaimana sekarang" Kiu Cie Sin Kay dengan guruku itu bersahabat luar biasa
erat..." Oey Yong ynag cerdik mengerti kesulitan orang itu, ia lantas berkata: "Guru kami
menitahkan kami mencari Toan Hongya, disamping untuk minta dia menolong
mengobati aku juga karena ada urusan penting yang mesti disampaikan!"
Mendadak orang itu mengangkat kepalanya. Kembali terlihat ia menjadi bengis.
"Benar Kiu Cie Sin Kay yang menitahkan kamu menemui Toan Hongya?" ia tanya
keras. "Ya," menyahut Oey Yong.
Orang itu menegaskan pula: "Benar Toan Hongya, bukannya orang lain?"
Nama Toan Hongya itu ditekan keras, mendengar itu, Oey Yong menduga pasti ada
sebabnya sesuatu, tetapi karena sudah terlanjur, ia tidak dapat lain jalan.
"Ya," ia menyahut pasti, mengangguk.
Pengail itu maju dua tindak. Tiba-tiba ia berseru: "Toan Hongya sudah mati!"
Oey Yong dan Kwee Ceng kaget bukan kepalang.
"Mati?" tanya mereka berbareng.
"Ketika Toan Hongya mati, Kiu Cie Sin Kay ada disampingnya!" berkata si tukang
pancing itu, suaranya tetap keras. "Maka itu cara bagaimana dia boleh menitahkan
kalin pergi mencari lagi kepada Toan Hongya" Hayo bilang, siapakah yang
menitahkan kamu" Dengan datang kemari, kamu membawa akal busuk apa" Lekas
bilang!" Segara ia maju setindak lagi, tangan kirinya dikipaskan sebagai ancaman,
tangannya menyambar ke pundaknya si nona.
Kwee Ceng memang selalu bersiap, maka itu, melihat sikap garang dari orang itu,
ia menghadang pula di depan Oey Yong, kedua tangannya bersikap dengan jurusnya
"Melihat naga di sawah". Manampak ini, orang itu heran. Itu tandanya si anak
muda tak mau menyerang kepadanya. Meski begitu, ia melanjuti sambarannya. Karena
ini mendadak ia merasakan benturan pada tangannya itu, yang bergemetar, terus ia
merasakan dadanya panas, sedang tangannya itu mental balik. Dengan lantas ia
lompat mundur, ia khawatir nanti diteruskan diserang anak muda itu. Selagi
berlompat ia ingat pembicaraan Ang Cit Kong bersama gurunya tentang ilmu silat.
Ia ingat, anak muda ini bersilat dengan Hang Liong Sip-pat Ciang.
"Teranglah mereka ini muridnya Ang Pangcu, tidak boleh aku berbuat salah
terhadap mereka," begitu ia lantas mendadat pikiran. Ia lantas mengawasi Kwee
Ceng, siapa terus menunjuk sikap menghormat meski terang barusan ia menang
unggul, tidak ada romannya yang puas atau temberang. Tapi ia masih berkata:
"Jiewi benar ada murid-muridnya Kiu Cie Sin Kay tetapi jiewi datang kemari bukan
atas titah gurumu itu, benar bukan?"
Kwee Ceng tak tahu maksud orang tetapi rahasia hatinya telah dapat diterka,
dengan terpaksa ia mengangguk.
Tukang pancing itu tidak lagi bersikap bengis seperti semula.
"Walaupun Kiu Cie Sin Kay sendiri yang terluka dan datang ke mari, masih siauwko
tidak dapat mengantarkan dia naik ke gunung untuk bertemu sama guruku, maka itu
haraplah jiewi memaafkannya," katanya. Sekarang ia menyebut diri dengan
"siauwko" artinya " yang muda"
"Apakah benar meskipun guruku sendiri yang datang, masih tidak dapat?" Oey Yong
menegsakan. "Tidak dapat!" menyahut orang itu, kepalanya digoyang. "Biarnya dipukul sampai
mati, tidak dapat!" Oey Yong mencurigai orang ini. Bukankah dia menyebut Toan Hongya gurunya dan dia
juga membilang Toan Hongya sudah mati" Kenapa ia menyebutnya waktu Toan Hongya
mati Kiu Cie Sin Kay berada di sampingnya" Tidakkah itu aneh"
"Tidak bisa lain, gurunya mesti ada di atas gunung!" ia lantas mengambil
keputusan. "Tidak peduli dia Toan Hongya atau bukan, kita mesti menemuinya!"
Maka ia mengangkat kepalanya, mendongak ke atas gunung, yang puncaknya seperti
masuk ke dalam awan. Itulah puncak lebih tinggi beberapa kali lipat daripada
puncak Tiong Cie Hong dari Tiat Ciang San. Benar-benar puncak itu sulit untuk
dinaiki. Kemudian ia mengawasi air tumpah. Ia memikirkan jalan untuk dapat
mendaki gunung itu. Tengah ia mengawasi itu, ia melihat berkelebatnya sinar
kuning di dalam air. Segera ia bertindak ke tepian sambil ia mengawasi jauh.
Maka terlihatlah olehnya dua ekor ikan tadi berada di bawah batu, ekornya berada
di luar guanya itu.... Ia lantas menggapai Kwee Ceng.
Anak muda itu mendekati. Ia pun lantas melihat ikan itu.
"Nanti aku turun dan menangkapnya," kata Kwee Ceng.
"Jangan!" mencegah si nona. "Air deras, mana kau dapat berdiri diam di air"
Janganlah berlaku tolol...!"
Akan tetapi Kwee Ceng berpikir, kalau ia menempuh bahaya dan menangkap ikan itu,
untuk diserahkan pada si pengail, mungkin hati orang ini berubah. Ia pun tidak
dapat menyia-nyiakan waktu lewat berlarut-larut, itulah membahayakan Oey Yong.
Karena ia tahu, nona itu bakal mencegah padanya, maka diam-diam ia lompat ke air
tanpa ia membuka lagi sepatu dan pakaiannya.
"Engko Ceng!" Oey Yong berteriak kaget. Ia lantas bangun, tetapi kedua kakinya
bergoyang, serta tubuhnya terhuyung pula.
Si tukang pancing kaget, ia lompat menyambar nona itu, kemudian ia lari ke arah
gubuk, agaknya dia lantas mencapai sesuatu guna menolongi si anak muda.
Oey Yong berduduk di batu, ia mengawasi ke arah Kwee Ceng, yang dapat berdiri
tegak di air, gempurannya air tumpah yang dahsyat tak dapat membikin tubuhnya
itu bergeming, maka legalah hatinya.
Kwee Ceng sendiri sudah lantas bertindak untuk menangkap ikan. Ia membungkuk,
kedua tangannya dianjurkan perlahan-lahan, sikapnya waspada. Nyata ia bisa
bekerja sebat dan jitu juga tangkapannya. Dua-dua tangannya bisa mencekal
ekornya ikan emas itu, hanya ketika ia mengangkatnya, ia tidak berani mencekal
keras-keras, ia khawatir ikan itu mati. Kesempatan ini digunai kedua ekor ikan
itu yang badannya licin, waktu keduanya berontak, mereka dapat lolos dan
melentik pula ke air, di mana mereka selulup pula masuk ke kolong batu!
Oey Yong menjerit saking menyesalnya karena sayang ikan itu lolos. Justru itu di
belakangnya pun ada orang yang berseru. Ketika ia berpaling, ia melihat si
tukang pancing lagi berdiri bengong di belakangnya, pundaknya memanggul sebuah
perahu kecil dan tangannya mencekal sepasang pengayuh. Rupanya dia hendak
menolong orang kecebur. Kwee Ceng tidak lantas berlalu dari air tumpah. Ia tetap berdiri tegar. Ia
membungkuk pula. Kedua tangannya di ulur ke kolong batu, ke gua tempat ikan tadi
lari sembunyi. Tapi ia tidak mau menangkap ikan, yang tidak terlihat, hanya ia
memegang batu, untuk diangkat. Ia girang ketika ia merasa batu itu bergerak
sedikit. Maka sekarang ia menyiapkan tenaganya, untuk jurusnya "aga terbang ke
langit". Dengan mendadak ia mengangkat batu itu, terus dilemparkan ke
sampingnya, di lain pihak, kedua tangannya menyambar ke air. Maka sejenak itu
juga, kedua tangannya telah mencekal masing-masing seekor Kim Wawa!
Batu besar itu terbanting ke air di samping, berisik suaranya, air muncrat dan
mengalir tambah keras. Kwee ceng sendiri tidak terhuyung tubuhnya ketika ia
mengangkat dan melemparkan batu itu.
Si tukang pancing heran dan kagum, tetapi sekarang ia memikir daya untuk
menolong Kwee Ceng naik ke darat. Pemuda itu berada di tempat sekira dua tombak.
Dengan kedua tangan memegang ikan, sulit untuk dia menggunai lagi tangannya itu,
atau ikan itu bakal terlepas pula. Akhirnya ia menyodorkan pengayuhnya, ia ingin
anak muda itu mencekalnya, tanpa ia ingat tangan orang lagi memegang ikan....
Tapi Kwee Ceng tidak berkhawatir, setelah melihat ke tepian, ia menjejak dengan
kaki kanannya, dengan begitu dia dapat berlompat ke pinggir, di sini ia menaruh
kaki kirinya, untuk menjejak pula, maka di lain saat, ia sudah berada di atas di
antara si nona dan si tukang pancing.
Oey Yong kaget, girang dan kagum. Sungguh ia tidak menyangka demikian pesat
sudah kemajuannya pemudanya ini. Tentu sekali sesaat itu ia tidak ingat bahwa
Kwee Ceng telah mempertaruhkan jiwanya cuma untuk menolong dia. Sebenarnya anak
muda itu sendiri bergidik kalau ia ingat perbuatannya yang nekat itu.
Lain orang yang tercengang ialah si tukang pancing. Ia heran dan kagum. Maka
sekarang tahulah ia, anak muda itu lihay tenaga dalamnya dan ilmu ringan tubuh,
jangan dibicarakan lagi tentang nyali yang besar.
Segera setelah itu, Kwee Ceng tertawa. Kedua Kim Wawa di tangannya, sambil
meronta-ronta telah mengasih dengar suaranya yang berisik, yang benar seperti
gegowakannya seorang bocah!
"Ah, pantas dia dipanggil Kim Wawa!" katanya lagum. Kemudian ia mengulurkan
tangannya kepada si tukang pancing, untuk menyerahkan ikan itu.
Orang itu terlihat alisnya bergerak, tanda dari kegirangannya. Ia pun lekas-
lekas menurunkan pengayuhnya. Ketika ia sudah mengulurkan tangannya, mendadak ia
menariknya pulang. "Kau lemparkanlah kembali ke air, aku tidak menghendaki itu!" katanya.
"Kenapa begitu?" tanya Kwee Ceng heran.
"Meski aku menerima ikanmu, tidak dapat aku mengantarkan kau kepada guruku," dia
menyahut. "Menerima budi tetapi budi itu tidak dibalas, itulah perbuatan yang
akan mendatangkan tertawanya orang-orang gagah di kolong langit ini!"
Kwee Ceng heran hingga ia tercengang.
"Paman," katanya kemudian, sungguh-sungguh, "Kau tidak dapat meluluskan
permintaan kami, pada itu mesti ada sebabnya, baiklah kami tidak hendak
memaksakannya. Tapi kedua ekor ikan ini tidak berarti, inilah bukan budi, maka
itu paman ambillah!" Ia mengulur pula tangannya, ia menyerahkan ikan itu.
Kali ini si tulang pancing menyambuti, hanya romannya sangat likat.
Kwee Ceng berpaling kepada Oey Yong, ia kata: "Yong-jie, hidup dan mati itu
takdir, umur manusia tak dapat dipastikan, maka kalau benar-benar kau tidak
dapat disembuhkan, di dunia baka itu ada jalannya, maka di sana pastilah akan
ada engko Cengmu yang akan tetap menemanimu! Mari kita pergi!"
Mendengar suaranya anak muda itu, merah matanya Oey Yong. Tapi ia sudah memikir
sesuatu. Ia tidak lantas menyahuti si anak muda.
"Paman," ia berkata kepada tukang pancing itu, "Kau tetap tidak dapat memberi
petunjuk pada kami, tidak apalah, hanya ada satu hal yang aku tidak mengerti.
Jikalau kau tidak menjelaskannya itu, mati pun aku tidak meram..."
"Apa itu?" menanya si tukang pancing heran.
"Kau lihat puncak itu licin bagaikan kaca," berkata si nona. "Bukankah tidak ada
jalan untuk mendakinya" Maka umpama kata bersedia akan mengantarkan kami, apa
salahnya?" Orang itu berpikir: "Telah pasti aku tidak dapat mengantarkan dia, maka apa
halangannya kalau aku memberikan keteranganku kepadanya?" Maka ia menajwab:
"Kalau dikata sukar, memangnya sukar, tetapi kalau dibilang gampang, benar-benar
gampang sekali. Di sebelah sana, di ujung gunung itu, air tumpah tak sekeras di
sini maka jikalau aku duduk di atas perahu besiku dan aku mendayung, aku dapat
maju dengan melawan air. Kalau satu orang diantarkan satu kali, maka dua kali
saja lantas dua orang dapat tiba di atas!"
"Oh, kiranya begitu!" berkata si nona. "Nah, ijinkan kami pergi!"
Nona ini lantas berbangkit, untuk memegangi tubuh Kwee Ceng, siap untuk berlalu.
Kwee Ceng memberi hormat pada orang itu tanpa membilang apa-apa.
Tukang pancing itu mengawasi orang, kemudian ia lari ke gubuknya, sebab ia
khawatir ikannya nanti terlepas pula.
Begitu orang masuk ke dalam, Oey Yong lantas berkata: "Lekas ambil perahu dan
pengayuhnya itu! Mari kita pergi ke atas!"
Kwee Ceng terkejut, ia melengak.
"Ini...ini kurang bagus..." katanya ragu-ragu.
"Baiklah!" seru si nona. "Kau mau jadi kuncu, nah jadilah kuncu!"
Kwee Ceng bingung: "Mana lebih penting, menolong Yong-jie atau jadi kuncu?"
demikian otaknya bekerja sulit. Justru itu, Oey Yong dengan susah payah, sudah
bertindak pergi. Cuma sedetik saja, ia lantas mengambil keputusannya. Ia lari ke
perahu, ia angkat itu, ia melemparkannya ke air, ke atasan air tumpah itu,
kemudian ia pergi menyambar kedua pengayuhnya. Tindakannya yang terakhir adalah
menolong Oey Yong untuk lari ke atas, hingga dilain saat mereka sudah berada di
atas di mana mereka tampak perahu tadi.
"Ser!" demikian suara terdengar, suara dari senjata rahasia.
Dengna mendak, Kwee Ceng membebaskan diri dari senjata rahasia itu, yang jatuh
ke dalam perahu mana tepat datang ke dekatnya. Maka bersama-sama Oey Yong, ia
lompat naik ke perahu itu, untuk segera dikuyah mudik...
Si tukang pancing terdengar caciannya tapi tak nyata apa katanya...
Kwee Ceng lantas mengayuh. Mulanya dengan tangan kiri, sebab ia masih memegangi
Oey Yong, ketika perahu itu maju, ia melepaskan si nona, ia mengayuh dengan
tangan kanannya itu. Demikian selanjutnya, setiap mengayuh, perahunya maju
beberapa kaki.... "Budak busuk! Perempuan hina!" demikian sang angin membawa dampartan si tukang
pancing, mendengar mana, Oey Yong tertawa, "Lihat, dia masih menganggapnya kau
orang baik! Akulah yang dia caci!" katanya.
Kwee Ceng lagi mengayuh, matanya mengawasi ke depan, ia tidak mendengar guraunya
si nona. Ia mesri memakai tenaga dan pikirannya. Perahu itu besar kepalanya dan
enteng buntutnya, dia maju melawan air, yang boleh dibilang deras juga. Beberapa
kali ia hampir terpukul mundur. Dengan menggunai tipu dari "Sin Liong pa bwee"
atau "Naga sakti menggoyang ekor" dengan cepat ia dapat menguasai kedua
pengayuhnya itu, kedua tangannya bergerak dengan cepat dan kuat dan rapi.
Senang Oey Yong melihatnya, dengan gembira ia kata: "Meski si tukang pancing
tadi yang mengayuh, tidak nanti dia dapat mengayuh selekas ini!"
Perahu itu maju terus, setelah lewat sekian lama, air menikung, habis itu maka
terlihatlah permukaan air yang airnya tenang, di kedua tepinya ada tumbuh pohon
yangliu. Itulah kali kecil yang lebarnya setombak lebih. Di situ pun ada banyak
pohon tho. Kalau itu waktu musim semi, pastilah indah pemandangan alamnnya.
Sebagai gantinya bunga tho, di tepian ada banyak bunga putih yang kecil-kecil,
yang baunya harum. Dua-dua muda-mudi ini heran dan kagum. Tidak dinyana, di atas gunung ini ada
tempat sepermai itu. Iseng-isng Kwee Ceng mengayuh dalam, hampir ia membuatnya pengayuhnya terlepas.
Di luar dugaannya, kali itu dalam tak terjajakan oleh pengayuhnya itu. Di
bawahpun air menggolak. Sekarang kenderaan air dapat dikayuh maju perlahan-lahan, keduanya dapat
menikmati pemandangan alam yang indah, makin jauh nampkanya makin menarik hati.
"Jikalau lukaku ini sukar diobati," kata Oey Yong menghela napas. "Biarlah aku
terkubur di sini, tak usah aku turun lagi..."
Kwee Ceng berduka, hendak ia menghiburi si nona itu atau ia melihatnya di
sebelah depan mereka ada sebuah terowongan, darimana ada terhembus bau harum
yang keras sekali. Perahunya telah lantas masuk ke dalam gua itu yang airnya
mengalir sedikit keras. Segera kuping mereka mendengar suara apa-apa.
"Suara apakah itu?" si pemuda tanya.
"Entahlah," sahut si nona menggeleng kepala.
Terowongan itu tidak panjang, sebentar kemudian mereka telah keluar di ujung
yang lain. Segala apa menjadi terang seperti tadi. Bahkan sekarang mereka
bersorak. Di depan mereka terlihat air mancur yang besar sekali, tingginya
setombak lebih dan airnya meluncur tinggi bagaikan tiang menjulang ke udara.
Itulah yang mangasih dengar suara tadi. Sampai di situ, habislah kali di atas
gunung itu dan sumbernya kali ialah air mancur ini.
Kwee Ceng membantu Oey Yong naik ke darat, kemudian ia menarik perahunya ke
batu, setelah mana bersama si nona ia memandangi air mancur itu. Di antara
sinarnya matahari, air itu mengasih lihat bianglala yang intadh. Tak tahu mereka
bagaimana harus memuji keindahan itu, mereka duduk diam sambil berpegangan
tangan. Mereka masih kesengsem ketika mereka mendengar suara nyanyian yang
seperti keluar dari arah belakang bianglala itu.
"Kota dan kalinya rusak semua! Mana si pencinta negara"
Memikirkan kemakmuran dan keruntuhan, itulah penderitaan.
Dinasti Tong bangun, itu artinya dinasti Swie roboh.
Jadi miriplah dengan naga yang berubah-ubah.
Cepat, langit dan bumi salah!


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lambat, langit dan bumi salah!"
Lantas juga terlihat si penyanyi, tangan kirinya membawa sebatang kayu cemara,
tangan kanannya mencekal sebuah kampak. Maka teranglah, dia seorang tukang kayu
- ya seorang tukang mencari kayu bakar.
Setelah melihat pakaian orang itu, Oey Yong ingat tulisannya Eng Kouw, ialah:
".......Kalau orang bicara dengannya dengan minta diobati, orang bakal terbikin
celaka lebih dulu oleh si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si
pelajar....." Tadi mereka bertemu sama tukang pancing. Dan ini, bukankah ini dia
si tukang kayu" Apakah mereka bakal bertemu sama petani dan si pelajar" Siapa empat orang ini"
Murid atau pelayankah dari Toan Hongya" Ia menjadi masgul. Untuk melewati si
tukang pancing demikian sukar, maka entah ini tukang kayu. Bukankah nyanyian dia
ini bukan nyanyian sembarang" Entah bagaimana lagi dengan si petani dan si
pelajar" Kembali terdengar orang itu bernyanyi:
"Dari atas jembatan, memandang jauh,
Hawa dari kerajaan, telah runtuh....
Di atas panggung tak terlihat kepala perang....
Semenjak dulu, hanya seputaran, semua musnah.
Pahala, tidak kekal! Nama juga tidak kekal!"
Perlahan jalannya si tukang kayu itu, lalu ia mengawasi si muda-mudi, acuh tak
acuh lantas ia bekerja, mengampak kayu di pinggiran gunung.
Oey Yong melihat tubuh orang yang kekar dan roman gagah, gerak-geriknya seorang
panglima perang, maka coba dia itu bukan dandan sebagai tukang kayu dan lagi
berada di hutan ini, dia pasti dapat menjadi seorang kepala perang. Ia lantas
ingat keterangan gurunya bahwa Lam Tee, si Kaisar dari Selatan, ialah Toan
Hongya, telah menjadi kaisai di Taili, Inlam, maka apa mungkin tukang kayu ini
asalnya ialah panglima perangnya" Nyanyian orang, pula suaranya, semuanya luar
biasa. Lagi sekali tukang kayu itu bernyanyi:
"Puncak gunung bagaikan bertumpuk,
Gelombang seperti berangkara murka,
Di jalanan kota Tongkwan sana,
Memandang ke barat, hati ragu-ragu,
Melihat istana, semua runtuh menjadi tanah...
Bangun, rakyat bersengsara!
Musnah, rakyat bersengsara!"
Mendengar kata-kata yang terakhir itu, Oey Yong ingat ayahnya sering mengatakan:
"Apa itu segala kaisar dan panglima perang" Semua itu mahkluk jahat tukang
membikin rakyat celaka! Merubah kerajaan, menukar she, semua itu menyusahkan
rakyat saja!" Maka tanpa merasa, gadis itu memuji: "Nyanyian yang bagus!"
Tukang kayu itu berpaling, ia menancapkan kampaknya di pinggangnya.
"Bagus" Apanya yang bagus?" dia menanya.
Oey Yong hendak menyahuti ketika mendadak ia ingat: "Dia gemar bernyanyi, kenapa
aku tidak mau membalas dia dengan nyanyian juga?" Maka ia bersenyum, lalu ia
bernyanyi dengan suara perlahan:
"Gunung-gunung hijau saling menanti,
Mega-mega putih saling mencintai,
Tak bermimpikan jubah sulam dan sabuk emas,
Cukup dengan sebuah gubuk,
Dengan bunga hutannya mekar.
Siapakah yang memusingi: Siapa bangun, siapa roboh,
Siapa berhasil, siapa gagal"
Cukup dengan gubuk dan satu sendok!
Melarat, semangat tak berubah!
Berhasil, cita-cita tak berubah!"
Nona ini lantas menyangka pasti si tukang kayu ialah panglimanya Lam Tee,
panglima yang sekarang lagi hidup bersembunyi - yang dulunya pasti berkuasa
besar atas bala tentara, maka itu ia memperdengarkan nyanyiannya itu, untuk
menimpali nyanyian orang. Dugaannya memang tepat karena si tukang kayu menjadi
girang, sambil menunju ke samping gunung, dia kata: "Naiklah!"
Di samping gunung itu ada sebuah batu yang besar mirip dengan langan tangan,
ketika Kwee Ceng dan Oey Yong memandang ke atas, mereka hanya melihat awan dan
bangkonya rotan. Meski begitu, si anak muda lari menghampirkan rotan itu, untuk
disambar, untuk dipakai melapai naik!
Kwee Ceng cuma mengerti separuh dari semua nyanyian itu, di sebelah itu, yang ia
paling khawatirkan ialah si tukang kayu nanti mengubah pikirannya, maka ia tidak
mau membuang tempo lagi. Dengan kedua tangannya bekerja cepat, dengan lekas ia
telah naik belasan tombak tingginya. Di situ, ia masih dengar nyanyian si tukang
kayu: "....dulu hari itu orang berebutan,
Sekarang bagaimana" Menang, semua menjadi tanah!
Kalah, semua menjadi tanah!"
Oey Yong di punggungnya si anak muda tertawa.
"Engko Ceng," katanya, "Kalau menurut dia itu, kita tak usah datang ke mari
untuk minta diobati!"
Kwee Ceng heran hingga ia melengak: "Apa!" dia tanya.
"Semua orang toh bakal mati, bukan?" kata si nona tertawa. "Orang sembuh, dia
berubah menjadi tanah! Orang tak sembuh, dia berubah menjadi tanah juga!"
"Fui!" si anak muda mengasih dengar suaranya. "Sudah, jangan dengari ocehannya!"
Oey Yong itu benar lucu, ia tidak menghiraukan si anak muda, dia bernyanyai
perlahan: " Hidup, kau menggendong aku! Mati kau menggendong aku juga!"
Kwee Ceng berdiam, ia kewalahan. Ia lebih memerlukan menggunai terus kedua
tangannya, untuk naik ke atas, sampai mereka memasuki awan atau kabut. Ketika
itu musim panas tetapi hawa dingin.
"Di hadapan kita ini terdapat segala pemandangan alam yang indah dan luar
biasa," kata si nona kagum, "Umpama kata aku tidak bakal dapat disembuhkan,
taklah kecewa perjalanan kita ini..."
"Yong-jie, ah..." berkata si anak muda, masgul: "Jangan menyebut-nyebut tentang
mati atau hidup, bisakah?"
Si nona tertawa, dengan perlahan ia meniup pundak orang.
"Eh, jangan main-main!" kata Kwee Ceng, yang merasakan pundaknya panas dan
gatal, "Awas, nanti tanganku terlepas, nanti kita jatuh mati berdua..."
"Bagus!" berseru si nona. "Nah, kali ini bukanlah aku yang menyebut-nyebut hidup
atau mati!" Saking kewalahan, pemuda itu cuma bisa tertawa.
Lewat sekian lama, setelah melapai terus dengan tetap rajinnya, tibalah muda-
mudi ini di bongkot rotan itu, ialah puncak gunung, yang merupakan sebuah tanah
datar. Hanya belum sempat Kwee Ceng menurunkan tubuhnya Oey Yong, keduanya
terkejut akan mendadak mendengar suara berisik seperti batu besar jatuh di
susuli jeritan kerbau berulang-ulang, di susul lagi sama bentakan satu orang.
"Heran, mengapa di atas gunung begini ada kerbau?" kata si anak muda, yang
lantas lari ke arah darimana suara datang. Ia tidak sempat menurunkan Oey Yong,
yang berkata: "Bukankah ada si tukang pancing, si tukang kayu, si petani dan si
pelajar" Nah, kalau ada si petani mesti ada kerbaunya!"
Segera mereka mendengar lagi suaranya kerbau, dan sekarang mereka lantas melihat
binatang itu, yang tengah mengangkat kepalanya, keletakannya luar biasa sekali,
ialah tubuhnya terlentang di atas batu karang besar, keempat kakinya meronta-
ronta tanpa dapat bangun, sedang batunya bergoyang-goyang. Di bawah batu itu
dengan memasang kuda-kuda, satu orang mengangkat terbuka kedua tangannya,
dipakai menampah batu itu berikut kerbaunya. Yang lebih hebat, orang itu berdiri
di tempat di mana tidak ada tempat mundur lagi. Kalau tangan orang itu tak kuat
menahan, kerbau dan batu itu mesti jatuh, atau orang itu ketimpa atau jatuh
bersama kerbau itu, atau sedikitnya orang itu bakal patah tangan atau kakinya.
Rupanya kerbau itu lagi makan rumput, dia terpeleset dan jatuh di batu itu, lalu
orang itu mencoba menolongi dengan kesudahannya mereka sama-sama terancam
bahaya. Melihat keadaan manusia dan kerbau itu, Oey Yong tertawa. Katanya: "Tadi orang
baru menyanyikan lagu San Po Yang, sekarang ini lagu San Po GU!"
Lagu yang dinyanyikan si tukang kayu tadi ialah lagu "San Po Yang" atau "Kambing
di atas lereng", dan si nona menyebutnya "San Po Gu", ia menukar "Kambing"
dengan "kerbau" (Gu)
Di atas puncak itu ada sawah lebar belasan bauw yang tengah ditanami. DI pinggir
sawah ada sebuah pacul. Orang yang menahan batu berikut kerbau itu bertubuh
telanjang dan kakinya melesak di lumpur sebatas dengkul.
Sembari mengawasi, Oey Yong pikir kerbau itu beratnya di atas dua ratus kati dan
berat batunya tak berjauhan, maka itu bisalah dimengerti kuatnya orang itu, yang
ia duga mestilah si petani yang dimaksudkan dalam suratnya Eng Kouw.
Kwee Ceng sudah lantas mengasih turun si nona, ia terus lari hendak membantui
orang itu. "Tahan, jangan kesusu!" si nona mencegah.
Tapi si anak muda itu murah hatinya, dia terus lari, tiba di samping si petani,
ia berjongkok, sambil memasang kuda-kudanya, dia mengangkat kedua tangannya guna
membantu menahan batu seraya dia berkata pada orang itu: "Aku nanti menahan batu
ini, kau tolong singkirkan dulu kerbau itu!"
Orang itu menurut, akan tetapi ia melepaskan dulu sebelah tangannya, yang kanan,
tangan kirinya menahan terus, rupanya ia khawatir si pemuda tak kuat. Tapi anak
muda itu bukan cuma menahan, ia mengangkat batu itu hingga terangkat sedikit,
hingga tangan si petani terlepas dari batu. Kapan ia melihat orang cukup kuat,
ia lantas molos keluar, untuk lompat naik ke sebelah atas, darimana barulah ia
mau menarik kerbau itu, hanya lebih dulu daripada itu, ia mengawasi si anak muda
yang datangnya tiba-tiba sekali. Segera ia menjadi heran. Ia melihat seorang
bocah umur tujuh atau delapanbelas tahun. Yang aneh, orang itu menahan batu
berikut kerbau tanpa terlihat menggunai banyak tenaga. Ia menjadi heran dan
bercuriga, sebab ia merasa ia sendiri sangat kuat. Ia melihat ke bawah, ia
menampak Oey Yong, seorang bocah yang lain, bahkan ia mendapatkan nona itu lesu,
sebagai seorang lagi sakit.
"Sahabat, untuk urusan apakah kau datang ke mari?" ia tanya, herannya bertambah.
"Aku mao memohon bertemu sama gurumu, Tuan," Kwee Ceng menyahut terus-terang.
"Untuk urusan apakah?" orang itu menanya pula.
Kwee Ceng melengak, ia belum menyahut, atau terdengarlah suaranya Oey Yong: "Kau
singkirkan dulu kerbau itu, sebentar kau menanya perlahan-lahan, tak nanti
kelambatan! Kalau dia keterlepasan tangan, apakah bukan kerbau dan manusia akan
jatuh bersama?" Dalam herannya, si petani berpkir: "Dua orang ini datang untuk suhu mengobati
mereka, maksud mereka baik, hanya heran kenapa kedua suheng di sebelah bawah
tidak melepaskan panah nyaringnya" Kalau mereka ini datang dengan membolos,
terang mereka mestinya lihay. Kalau dugaanku ini benar, baiklah aku gunai ketika
selagi dia tidak dapat meloloskan diri, aku tanya dulu dia biar terang..." Maka ia
menanya: "Apakah kamu datang untuk minta diobati?"
Kwee Ceng mengangguk. Ia pikir, sudah terlanjur omong sebenarnya, baiklah ia
berterus-terang terus. Melihat orang mengangguk, paras si petani berubah.
"Nanti aku tanya dulu!" katanya. Dengan gerakan yang nampaknya enteng sekali, ia
berlompat turun. "Eh!" Kwee Ceng memanggil, "Kau bantui aku menurunkan dulu batu besar ini!"
"Sebentar saja aku kembali!" berkata si petani tertawa.
Melihat kelakuan orang itu, Oey Yong sudah dapat lantas menerka maksudnya. Dia
mau membikin Kwee Ceng lelah, setelah itu dengan gampang dia nanti mengusir
mereka berdua. Karena menduga begini, ia menyesal yang ia lagi sakit hingga ia
tidak dapat membantu engko Ceng-nya itu. Tentu sekali ia bingung, sebab tak tahu
ia, berapa lama si petani bakal pergi!
"Eh, paman, mari!" ia memanggil. Ia bingung berbareng mendongkol pula.
Petani itu berhenti, ia tertawa dan berkata: "Dia bertenaga besar, buat satu jam
atau tiga perempat, tidak apa, kau jangan takut!"
Ini jawaban membuat si nona gusar.
"Dengan baik hati engko Ceng menolongi padamu, kau sebaliknya hendak menyiksa,"
pikirnya. "Apakah kau kira sedikit waku satu jam atau seperempat itu" Biaklah,
kau perlu diberikan sedikit pengajaran..." Demikian lantas ia mendapat pikiran,
maka ia kata pula pada petani itu. "Paman, bukankah kau hendak menanyakan gurumu
dulu" Itulah pantas. Tapi di sini ada sepucuk surat, dari guruku, Ang Cit Kong,
untuk dihanturkan kepada gurumu itu, maka tolong kau bawa sekalian."
Mendengar disebutnya nama Ang Cit Kong, petani itu mengasih dengar suara
terkejut. "Oh, kiranya nona muridnya Kiu Cie Sin Kay?" katanya. Terus ia
menghampirkan, untuk mengambil surat yang dimaksudkan itu.
Dengan ayal-ayalan Oey Yong membuka kantung di punggungnya, ia beraksi mau
mengeluarkan suratnya, tetapi ia terlebih dahulu mengambil baju lapisnya,
sembari berbuat begitu, ia menoleh kepada Kwee Ceng. Mendadak ia memperlihatkan
roman kaget, ia pun berteriak: "Oh, oh, celaka! Tangannya itu bakal nowah!
Paman, kau tolongilah dia!"
Petani itu tercengang sebentar, lalu ia tertawa.
"Tidak apa-apa," katanya. "Mana suratmu?"
"Kau tolongi," kata Oey Yong pula. "Kau tidak tahu, sukoku itu lagi meyakinkan
ilmu silat Pek-khong-ciang, kemarin ini tangannya direndam dalam air obat, belum
habis latihannya itu, kalau dia menggunai tenaganya terlalu lama, tangannya itu
bisa terluka..." Oey Yong tahu dari ayahnya tentang bagaimana Pek-khong-ciang, Tangan Memukul
Udara, harus dipelajari, maka itu, ia hendak mengakali di petani ini. Si petani
tidak paham, ilmu Pek-khong-ciang itu sebagai murid lihay, ia pernah
mendengarnya dari gurunya, maka itu, mendengar perkataan si nona, ia jadi
berpikir: "Kalau tanpa sebab aku mencelakakan murid Kiu Cie Sin Kay, bukan saja
suhu bakal menegur aku, hatiku sendiri pun tidak enak. Sekarang ini dia datang
dengan maksud baik. Hanya aku menyangsikan si nona kecil ini, dia omong benar
atau dia lagi menggunai akal liciknya untuk menipu aku agar aku membebaskan
kawannya itu..." Oey Yong melihat orang bersangsi, ia angkat baju lapisnya dan berkata pula: "Ini
baju lapis joan-wie-kah dari Tho Hoa To, yang tak menpam senjata, tolong paman
mengerebongkannya di pundaknya, kalau sudah dikerebongi, biarlah batu itu
diletakkan pula di pundaknya, dengan begitu, dia tidak nanti dapat pergi, dia
pun tak usah terluka. Bukankah itu bagus untuk kedua belah pihak?"
Si petani juga pernah mendengar tentang baju lapis itu, ia hanya tetap ragu-ragu
ketika ia menyambuti baju itu.
Oey Yong senantiasa mengawasi orang, ia melihat orang tetap bersangsi, maka ia
berkata pula: "Guruku telah mengajari aku tidak boleh aku berdusta terhadap lain
orang, maka itu mana berani aku membohongi kau, Paman" Jikalau paman tidak
percaya, kau cobalah bacok beberapa kali baju lapisku ini!"
Si petani mengawasi si nona, ia mau percaya orang jujur. Ia berpikir pula: "Kiu
Cie Sin Kay itu orang tua dan terhormat, kata-katanya ada kata-kata bagaikan
emas atau kumala, guruku pun sangat menghargainya, sedang nona ini tak macamnya
tukang mendusta..." Karena berpikir demikian, ia lantas mencabut golok pnedek di
pinggangnya, terus ia membacok baju lapis itu, sampai beberapa kali. Benar ia
mendapat kepastian, abju itu tidak rusak. Sekarang ia baru percaya benar.
"Baiklah!" katanya kemudian, "Nanti aku mengerebongkannya!"
Petani itu tidak menyangka sama sekali, bahwa walaupun roman Oey Yong sangat
polos dan kekanak-kanakan, otaknya sangat tajam, dibatok kepalanya banyak
akalnya. Maka ia menghampirkan Kwee Ceng, ia meletakkan baju itu di lengan si
anak muda, siap untuk dikerebongi, setelah mana ia memegang batu, untuk
diangkat. Sembari berbuat begitu, ia kata: "Kau lepaskan tanganmu, kau pakai
pundakmu untuk menahan batu!"
Dengan menyender pada batu, Oey Yong mengawasi petani itu tajam-tajam, begitu
lekas ia melihat orang mengangkat batu, mendadak ia memanggil Kwee Ceng: "Engko
Ceng, Hui liong cay thian!"
Kwee Ceng mendengar itu, ia mengerti maksud si nona itu. "Hui liong cay thian"
itu ialah salah satu jurus dari Hang Liong Sip-pat Ciang yang berarti "aga
terbang di langit". Itu pun artinya, ia harus terbang. Maka begitu ia merasai
tindihan kendor, ia menarik tangan kanannya, tangna kirinya ia loloskan di bawah
tangan kanannya itu, lalu kakinya menjejak, tubuhnya melessat ke samping Oey
Yong! Bukan main sebatnya ia bergerak dengan jurus "Hui liong cay thian" itu.
"Kurang ajar" maki si petani begitu lekas ia ketahui bahwa ia sudah kena ditipu
mentah-mentah. Sebab dalam sekejab itu, ialah yang sekarang mesti berdiri diam
menahan pula batu serta kerbaunya itu!
"Engko Ceng, mari kita pergi!" kata Oey Yong. Ia memperlihatkan roman sangat
puas, sembari menoleh kepada si petani, ia berkata: "Paman, tenagamu sangat
besar, kau dapat menahan batu itu untuk satu jam atau tiga perempat, tidak nanti
terjadi bahaya apa-apa, kau jangan khawatir....!"
"Hai, budak cilik!" maki si petani. "Secara begini kau akali si orang tua! Kau
bilang Kiu Cie Sin Kay dapat dipercaya, tapi dengan begitu kau meruntuhkan nama


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

baiknya, kau bocah cilik!"
Oey Yong tidak gusar, ia bahkan tertawa.
"Apakah yang runtuh?" ia berkata. "Memang guruku itu membilangi aku bahwa aku
tidak boleh berdusta akan tetapi ayahku mengatakannya memperdayakan orang
bukanlah suatu perkara hebat! Karena aku suka mendengar perkataan ayahku, jadi
guruku tidak dapat berbuat apa-apa atas diriku!"
"Siapa ayahmu?" tanya si petani mendongkol sekali.
"Eh, bukankah aku telah memberikan kau tetika untuk menguji baju lapisku itu?"
si nona membalikkan. "Ah, biar mampus, biar mampus!" mengutuk petani itu. "Hai, kiranya kau budak
setan, kaulah anak setan perempuan dari Oey Lao Shia! Ah, kenapa aku begini
tolol"!" "Memang!" kata pula Oey Yong, tetapi tertawa. "Kata-kata guruku memang berat
bagaikan gunung, dia belum pernah mendusta, adalah sukar untuk mempelajari itu,
sedang aku juga tidak berani mempelajarinya! Menurut aku, peljaran ayahkulah
yang cepat!" Lagi-lagi si nona tertawa, lalu ia menarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi.
Mereka mengikuti jalanan, untuk ke depan.
Kwee Ceng girang dan heran. Ia tidak mengerti kenapa Oey Yong mengakali si
petani, hingga petani nitu sendiri yang memapah pula batu serta kerbaunya itu.
Tak lama sampailah mereka di ujung jalan itu. Di depan mereka melintang sebuah
jembatan bagaikan penglari batu, lebarnya kira setengah kaki, kedua ujungnya
duduk di antara kedua puncak, karena ada kabut atau awan, ujungnya yang lain tak
nampak. Kalau batu itu terletak di tanah, kecil pun tak berarti, sekarang itulah
sebuah jembatan, bawah itu ada jurang yang dalam, sungguh berbahaya. Dengan
melihat saja ke bawah, hati sudah ngeri.
"Sungguh pandai sekali Toan Hongya menyembunyikan diri," kata Oey Yong menghela
napas. "Umpama ada seorang bermusuh hebat dengannya, kalau musuh itu dapat mencari
sampai di sini, mungkin sakit hatinya akan berkurang separuh...."
"Kenapa si tukang pancing mengatakan bahwa Toan Hongya sudah mati?" tanya Kwee
Ceng. "Perkataannya itu membuat hatiku tidak tentram...."
"Ya, memang mengherankan," sahut si nona. "Melihat romannya, dia tidak
berbohong. Dia juga mengatakan guru kita melihat sendiri kematian Toan Hongya
itu..." "Ah, sudahlah!" kata Kwee Ceng akhirnya. "Sudah sampai di sini, tidak bisa lain,
kita mesti jalan terus...!" Ia lantas berjongkok, untuk Oey Yong menggemblok di
punggungnya, setelah mana ia berjalan cepat di jembatan batu itu. Ia menggunakan
ilmu ringan tubuh "Keng-kang Tee-ciong-sut"
Sebenarnya jembatan batu itu tidak rata dan juga licin sekali, siapa jalan dis
itu, semakin perlahan, semakin banyak ketikanya untuk terpeleset dan jatuh, maka
Kwee Ceng sebaliknya berjalan seperti berlari. Hanya ketika sudah melalui kira-
kira delapan tombak, Oey Yong lantas teriak: "Awas, di depan itu putus!"
Kwee Ceng pun telah melihat itu, ia tidak berpikir untuk mencari tahu, kenapa
bisa terjadi begitu, ia hanya menjejak, untuk mengenjot tubuh, maka dilain saat
ia sudah berlompat ke seberang.
Oey Yong tidak menghiraukan lagi kematian, ia cuma merasa perbuatan si anak muda
sangat berbahaya. Selewat dari situ, ia tertawa. Ia kata: "Engko Ceng, terbangmu
masih tetap kalah dengan si rajawali!"
Nyatanya jalanan terputus itu, tetapi ada sambungannya pula, bukan hanya ada
satu itu, sebaliknya bahkan ada tujuh rintasan, tetapi ketujuh-tujuhnya dapat
dilewati Kwee Ceng, maka dilain saat tibalah mereka di ujung jembatan yang
terakhir, yang terputusnya agak lebar. Habis itu barulah tampak sebidang tanah
datar. Di situ terdengar suara orang membaca kitab.
Kwee Ceng menghentikan tindakannya. Ia mengawasi bagian yang terputus itu, yang
lebarnya beberapa tombak lebih. Tepat di atas tanah itu, yang ceglok, di situ
ada seorang yang berdandan sebagai pelajar duduk bersila, tangannya memegang
buku, mulutnya membaca. Surat bacaan tadi keluar dari mulut dia ini. Di
belakangnya ada sebuah lagi jalan yang putus dan ceglok.
"Sukar..." si anak muda mengeluh. "Tidak sukar aku melompat ceglokan ini hanya di
situ bercokollah si pelajar ini! Mana dapat aku melompati dia" Kalau tidak, di
sini tidak ada jalan lain... Di mana aku mesti menaruh kakiku?" Terpaksa ia
berkata: "Paman aku yang muda mohon bertemu dengan gurumu, maka itu, tolong
paman memimpin aku menemuinya."
Pelajar itu tidak menyahut, mungkin dia tidak mendengar, sebab dia lagi asyik
sekali membaca kitabnya, sambil kepalanya digoyang-goyangkan.
Lagi sekali Kwee Ceng mengajaknya bicara, suaranya dikeraskan, tetapi masih si
pelajar diam saja. "Yong-jie, bagaimana?" akhirnya Kwee Ceng tanya pada kawannya.
Oey Yong tidak lantas menjawab. Ia memperhatikan tempat di mana di pelajar
dudukl. Di situ mereka tidak bisa bertempur, sebab salah satu atau dua-duanya
tentu akan celaka. Pula, taruh kata mereka menang, kemenangan itu tidak ada
artinya. Bukankah mereka datang untuk memohon sesuatu" Mana dapat mereka
mencelakakan orang" Maka atas pertanyaan Kwee Ceng itu, ia mengerutkan alisnya.
Dari apa yang ia dengar, si pelajar lagi membacakan kitab Loen Gie, terang dan
lancar suaranya. "Untuk membikin dia membuka mulutnya, tidak ada lain jalan daripada membuat
hatinya panas." Kemudian nona ini membuka berpikir. Maka berkatalah ia mengejek:
"Biarpun Loen Gie dibaca beribu kali putar balik, kalau tak mengerti maksud Guru
Besar Khong Coe tentang peribudi besar toh percuma!"
Pelajar itu tampak terkejut, ia mengangkat kepalanya.
"Apakah itu peribudi besar?" tanyanya. "Aku mohon pengajaran."
Oey Yong memandang pelajar itu, yang usianya limapuluh lebih, yang kepalanya
ditutup dengan kopiah sabuk Siauw-yauw-kin, tangannya memegang kipas dan
jenggotnya panjang. Dia benar mirip seorang pelajar.
"Apakah kau tahu ada berapa banyak murid Khong Coe?" ia menanya, suaranya tetap
dingin, tertawanya mengejek.
"Apakah sukarnya?" jawab pelajar itu dengan tertawa. "Murid Khong Coe ada tiga
ribu orang dan yang paling pandai tujuhpuluh dua!"
"Dari tujuhpuluh dua murid itu, orangnya ada yang tua dan ada yang muda," kata
si nona. "Tahukah kau, berapa yang tua dan berapa yang muda?"
Pelajar itu tercengang. Di dalam kitab Loen Gie hal itu tak dibicarakan, dan di
kitab-kitab lain pun tidak dicatat.
"Aku mengatakan kau tidak mengerti bunyinya kitab, apakah aku salah?" tanya Oey
Yong disengaja. "Tadi aku mendengar kau membaca, yang dewasa lina enam orang dan
yang bocah enam tujuh orang. Bukankah lima kali enam menjadi tigapuluh orang"
Bukankah enam kali tujuh menjadi empatpuluh dua" Jadi yang muda itu empatpuluh
dua orang" Bukankah kalau kedua jumlah itu dijumlah lagi. semuanya jadi
berjumlah tujuhpuluh dua" Hm! Kau belajar tetapi tanpa berpikir, hm, sungguh
celaka!" Pelajar itu tahu orang merebut alasan dengan dipaksakan, tanpa merasa, ia
tertawa. Meskipun demikian, ia kagum akan kecerdikan si nona.
"Nona kecil, kau sungguh pandai!" katanya. "Aku kagum kepadamu! Kamu hendak
mencari guruku, untuk urusan apakah itu?"
Oey Yong berpikir dengan cepat: "Jikalau terang terang aku memberitahukan, bahwa
aku hendak minta diobati, pasti dia menggunakan segala macam cara untuk
menghalang-halangi. Tapi pertanyaan ini juga tidak dapat tidak dijawab. Baiklah,
dia membaca kitab Loen Gie, baik kejejal dia dengan ujar-ujar Khong Coe juga!"
Maka ia tertawa dan menyambut: "Nabi itu tidak dapat aku menemuinya, maka dapat
menemui kuncu juga bolehlah! Jikalau ada sahabat yang datang dari tempat yang
jauh, bukankah itu menggirangkan?"
Pelajar itu dongak, ia tertawa lebar.
"Bagus, bagus!" katanya. "Sekarang aku hendak mengajukan tiga pertanyaan padamu,
jikalau kau dapat menjawabnya, akan aku membawa kau kepada guruku, jikalau ada
satu saja yang kau tidak mampu menjawabnya, maka persilahkan kamu berdua pulang
kembali!" "Ah, hebat, hebat!" Oey Yong mengeluh. "Aku tidak pernah membaca banyak kitab,
jikalau pertanyaanmu sulit, sungguh aku tidak dapat menjawabnya..."
"Tidak sukar, tidak sukar!" si pelajar tertawa. "Di sini ada sebuah syair, yang
melukiskan tentang diriku, untukmu cukup kau menjawabnya dengan mempat huruf.
Kau coba saja!" "Baik!" si nona menjawab. "Jadi inilah tebak-tebakan! Teka-teki itu menarik
hati! Silahkan kau menyebutnya!"
Si pelajar mengurut kumisnya, ia membaca; "Enam kitab telah lama penah di dada,
satu pedang sepuluh tahun digosok di tangan..."
"Aha!" memuji Oey Yong sambil mengulur lidah, "Inilah namanya Bun Bu Coan Cay!
Sungguh hebat!" Ia memotong untuk memuji orang pandai dua-dua dalam ilmu surat
(bun) dan silat (bu) Si pelajar tertawa, ia melanjuti: "Di atas bunga Heng ada satu batang melintang,
karena khawatir rahasia langit nanti bocor janganlah membuka Mulut. Satu titik
bertumpuk-tumpuk besar bagaikan gantang, menutupi Setengah pembaringan hingga
tak nampak apa-apa. Habis nama lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang.
Tahukah tuan asal-usul diriku ini?"
Oey Yong segera berpikir. Ia lantas memegang pokok pertanyaan itu: "Habis nama
lalu menanti menggantung kopiah untuk pulang. Tahukah tuan asal-usul diriku
ini?" "Kalau melihat romannya, dulunya ia mesti seorang menteri di dalam pemerintahan
Toan Hongya," demikian pikirnya. "Kemudian ia menggantung kopiahnya, dia
meninggalkan pemerintahan, mengundurkan diri untuk tinggal menyembunyi di gunung
atau rimba. Apakah sukarnya teka-teki ini?" Maka ia lantas menjawab: "Huruf Enam
itu kalau di bawahnya ditambah satu satu huruf Satu ditambah lagi huruf Sepuluh,
itu jadinya huruf Sin. Huruf Heng itu kalau di atasnya ditambah Satu huruf yang
melintang dan dibuang huruf Mulut dibawahnya, maka jadilah huruf Bie. Setengah
Pembaringan itu kalau ditukar dengan huruf Besar dengan huruf besar itu ditambah
Satu titik di atasnya, itulah huruf Cong. Kalau huruf Habis itu di buang
kopiahnya, ialah atasannya, maka jadilah dia huruf Goan. Jadi semua itu bunyinya
ialah Sin Bie Conggoan! Maaf, maaf, kiranya aku berhadapan sama yang mulia Sin-
bie Conggoan!" Pelajar itu terbengong. Ia mengganggapnya teka-tekinya itu sulit. Atau taruh
kata orang dapat menjawabnya, mesti lewat dulu sekian lama, tidak sedemikian
cepat. Dua orang itu berada di jembatan tunggal itu, meski si pemuda lihay,
tidak nanti ia sanggup menggendong orang berdiam lama-lama di situ, ia menyangka
mereka bakal tahu diri dan mundur sendirinya. Siapa sangka, Oey Yong telah
menjawabnya cepat luar biasa, seperti tanpa mikir lagi. Oleh karena ini, karena
si nona cerdas luar biasa, ia lalu memikir untuk mengajukan pertanyaan yang
sukar. Ia lantas memandang ke sekitarnya. Di pinggiran gunung ia menampak
sekumpulan semacam pohon palem, yang daunnya bergoyang-goyang mengikuti tiupan
angin, bagaikan kebutan kipas. Sebagai seorang conggoan- tamatan tertinggi dari
HanlimAcademy - ia lantas mendapat pikiran. Maka ia menggoyang-goyangkan
kipasnya, terus ia berkata: "Aku ada mempunyai sebuah syair bagian atasnya, aku
minta nona suka tolong menyambungi bagian bawahnya."
Oey Yong meleletkan lidahnya.
"Oh, inilah yang dinamakan twie dan twie ini tak demikian menarik hati seperti
teka-teki!" katanya. "Tapi baiklah, silahkan kau menyebutkannya!"
Bab 62. It Teng Taysu Bab ke-62 cersil Memanah Burung Rajawali, karya Jin Yong.
Pelajar itu menunjuk dengan kipasnya ke kumpulan pohon palem itu, ia membacakan
syairnya itu, atau lian, yang dikatakan bagian atasnya: "Sang angin meniup-niup
pohon palem, bagaikan seribu tangan menggoyang-goyang sang kipas."
Syair itu di satu pihak menggambarkan pemandangan alam - ialah yang pohon, di
lain pihak menunjuki juga hal dirinya si pelajar - ialah kipasnya, maka Oey Yong
lantas berpikir: "Tidak dapat aku menjawab dia dengan hanya menunjuk serupa
benda, mesti juga ada arti yang merangkap di dalamnya." Ia lantas memandang ke
sekitarnya, hingga ia melihat di depannya, di tanah datar, sebuah bangunan
sebagai kuil atau biara, di depan mana ada sebuah pengempang teratai. Ketika itu
bulan ke tujuh hampir habis, daun teratai sudah kering kebih dari separuhnya.
Lalu ia tertawa dan berkata: "Jawabanku itu untuk menyambungi sudah ada hanya
aku khawatir aku berbuat salah terhadap kau, paman, jadi tidak leluasa untuk aku
mengatakannya...." "Tidak apa, kau sebut saja!" menyahut si pelajar.
"Jangan kau gusar, paman..."
"Tentu sekali tidak."
Oey Yong menunjuk kepada kopiah siauw-yauw-kin di kepala pelajar itu.
"Baik?ah!" katanya. "Sambunganku bagian bawah dari syairmu itu ialah: 'Diantara
daun teratai separuh kering, satu memedi kaki tunggal memakai siauw-yauw-kin."
Mendengar itu, si pelajar tertawa terbahak-bahak.
"Bagus, bagus!" ia memuji. "Bukan saja jawabannya sangat tepat juga itu
dijawabnya cepat sekali."
Kwee Ceng mengawasi ke daun-daun teratai di pengempang itu, ia melihat ada
selembar daun hampir kering yang duduknya begitu rupa hingga mirip dengan satu
setan satu kaki yang memakai kopiah siauw-yauw-kin itu! Maka ia juga tertawa.
"Hus, hus, jangan tertawa!" kata si nona pada kawannya. "Tungkulan kau tertawa,
kakimu bisa terpeleset, nanti kita berdualah yang bakal menjadi si setan-setan
yang tidak memakai kopiah siauw-yauw-kin itu!"
Si pelajar sendiri sementara itu tengah berpkir. "Dia tidak dapat dirobohkan
dengan twie yang umum saja, dia mesti menyaksikan yang sangat sukar." Lalu ia
ingat halnya di masa bersekolah, gurunya pernah memberikan ia twie yang sudah
puluhan tahun belum pernah ada lain orang yang dapat menimpalinya. Ia hendak
mencoba ini. Ia kata: "Sekarang aku mempunyai satu lian lagi, aku minta nona
kecil menimpalinya. Inilah Kim Sek pie pee, delapan raja besar semua serupa
kepalanya." Mendengar itu tanpa merasa Oey Yong tercengang. Kim sek pie pee itu, ialah alat-
alat tetabuhan semacam gitar, memang semua empat-empat hurufnya berkepala dengan
huruf-huruf Ong = Raja di atasnya. Inilah benar-benar syair atau lian yang sulit
untuk ditempeli (twie). Si pelajar mengawasi orang, senang hatinya menampak si nona menghadapi
kesulitan. Ia lantas berkata: "Lian bagian atas ini memangnya sukar, aku sendiri
tidak dapat menimpelinya dengan pasti, hanya karena kita sudah omong terlebih
dahulu, umpama kata nona tidak dapat menempalinya, seperti janji kita, silahkan
kamu kembali saja!" Justru orang "mengusir" justru Oey Yong mendapat pikiran. Ia tertawa.
"Untuk menimpali itu, tidaklah sukar!" katanya. "Hanya aku merasa kurang enak di
hati menyebutkan itu. Tadi saja aku telah berbuat salah terhadap paman, sedang
sekarang aku bakal menyinggung berbareng kamu berempat si tukang pancing, si
tukang kayu, si petani dan palajar."
Pelajar ini tidak mempercayai orang.
"Untuk menimpali saja sudah sukar sekali, apapula dengan sekaligus mengenai
empar orang," pikirnya. "Benarkah itu?" Lalu ia membilang: "Asal kau dapat
menimpali dengan tepat, bergurau sedikit tidak apa!
Si nona tertawa. "Kalau paman bilang begitu, baiklah, lebih dulu aku minta maaf!" katanya.
"Sambungannya lian paman itu ialah: Ci Bie Bong Liang, ialah empat setan cilik
dengan masing-masing ususnya!"
Cie bie bong liang itu ialah setan hutan, setan gunung, setan tukang makan batok
kepala orang dan peri, semua empat huruf berpokok dengan huruf Kwie = Setan.
Mendengar itu, si pelajar terperanjat, lekas-lekas ia berbangkit untuk untuk
menjura dalam seraya tangannya dikibaskan.
"Aku menyerah, Nona," katanya.
Oey Yong pun lekas-lekas memberi hormat.
"Jikalau bukannya paman beramai sangat bersungguh-sungguh menghalang-halangi
kami berdua mendaki gunung, sebenarnya juga lian paman ini sangat sukar untuk
dijawab!" "Hm!" si pelajar bersuara seraya ia lantas minggir.
"Silahkan!" katanya. Ia memutar tubuh dan berlompat dari tempat menghadangnya
itu. Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang dengan perhatian, ia sebenarnya khawatir
Oey Yong gagal, maka bukan main girangnya ia mengetahui si nona menang, segera
ia berlompat, mulanya di tempat bekas si pelajar, lalu terus ke rintangan
lainnya yang paling belakang.
Melihat orang menggendong tetapi gerakannya demikian hebat, si pelajar menghela
napas sendirinya dan di dalam hatinya ia berkata: "Aku bangga atas kepandaianku
ilmu surat dan ilmu silat, sekarang ternyata, dalam ilmu surat aku tak ada
seperti si nona, dalam ilmu silat tak ada seperti si pemuda, sungguh aku mesti
malu..." Ketika ia melirik kepada si nona, nyata sekali nona itu sangat girang
akan kemenangannya, rupanya ia memikir ia telah merobohkan satu conggoan. Maka
ia pikir, "Baiklah aku ganggu dia, supaya ia jangan terlalu girang." Maka ia
lantas berkata: "Nona, meskipun ilmu suratmu lihay, tetapi di dalam halnya
prilaku, kau ada cacadnya."
Oey Yong tertawa. "Di dalam hal ini aku minta petunjukmu," ia bilang.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bukankah di dalam kitab Beng Coe ada bilang, yang dibilang adat-istiadat ialah
pria dan wanita tak dapat saling bersentuh tangan?" katanya si pelajar.
"Sekarang lihat sendiri, Nona adalah seorang gadis dan dengan engko kecil ini,
kamu bukanlah suami-istri, maka kenapa nona membiarkan ia menggendong padamu"
Beng Hoe-coe membilang, cuma kalau sang ipar perempuan kelelap maka sang ipar
lelaki dapat menolongnya. Nona ini tidak kelelap, Nona pun bukan iparnya engko
kecil ini, kenapa dia menggendong Nona" Itulah sangat besar melanggar adat-
istiadat." Mendengar sindiran atau ejekan ini Oey Yong berpikir: "Hm! Engko Ceng toh sangat
baik denganku. Memang dialah bukan suamiku, suko Liok Seng Hong membilang
demikian, sekarang ini conggoan membilang demikian juga..." Ia tidak suka
mengalah, maka sambil mainkan mulutnya, ia berkata: "Beng Hoe Coe itu memang
paling suka mengaco-belo! Dapatkah kau percaya kau percaya kata-katanya itu?"
Mendengar demikian, si pelajar menjadi gusar. ia tidak senang Beng Hoe Coe
dikatakan mengaco-belo. "Beng Hoe Coe ialah seorang nabi, seorang rasul, mengapa kata-katanya tak dapat
dipercaya?" dia tanya keras.
Oey Yong kata tertawa, bagaikan bersenandung, ia kata: "Seorang pengemis mana
mempunyai dua istri" Seorang tetangga mana mempunyai demikian banyak ayam" Di
jaman itu masih ada kaisar dari kerajaan Ciu, kenapa orang mesti omong banyak
dengan raja-raja Gui dan Cee?"
Mendengar kata-kata si nona, pelajar itu berdiri menjublak. Ia mengetahui baik
sekali kata-kata nona ini.
Apa yang disebutkan Oey Yong adalah syair karya ayahnya sendiri. Oey Yok Su
pintar akan tetapi tabiatnya aneh, maka itu, sering ia membuat syair dengan apa
ia mengejek Khong Coe dan Beng Coe. Kalau bukan begitu, dialah bukan Tong Shia
di Sesat dari Timur. Beng Coe itu pernah bercerita dari halnya seorang dari negeri Cee mempunyai
seorang istri serta seorang gunidk, toh untuk hidupnya, ia pergi mengemis sisa
sayur dan nasi dingin, dan halnya seorang yang setiap hari mencuri seekor ayam
tetangganya. Dua cerita itu disyairkan dengan maksud akan dipakai menipu orang.
Tentang yang lainnya: jaman itu ialah jaman perang antara negara (Cian Kok), itu
masih ada raja dari kerajaan Ciu, maka itu Tong Shia menanya, kenapa Beng Cu
bukannya menunjang raja Ciu, dia hanya pergi kepada raja muda Liang Hui Hong dan
Cee Soan Ong kepada siapa Beng Cu meminta pangkat" Tong Shia menganggapnya itu
bertentangan sama prilakunya seorang nabi atau rasul.
Pelajar ini berpikir: "Si orang negeri Cee dan si tetangga itu cuma cerita, cuma
cerita, perumpamaan saja, hanya yang mengenai Beng Coe itu, mungkin Beng Coe
sendiri di alam baka sukar menjawab..." Ia melirik pula si nona, ia berpikir lagi:
"Dia masih begini muda, kenapa dia begini cerdik?"
Meski apa yang ia pikir itu, si pelajar membungkam. Ia hanya memimpin dua muda-
mudi itu. Ketika melewati pengempang, ia memandang kepada daun teratai yang tadi
disebutkan si nona itu, kemudian ia melirik kepada si nona. Oey Yong tertawa dan
melengos! Tidak lama sampailah mereka di kuil, si pelajar mengundang kedua tetamunya masuk
ke kamar sebelah timur, di mana lantas ada kacung pendeta yang menyuguhkan the.
"Jiewi, harap tunggu sebentar, hendak aku mengabarkan guruku," kata si pelajar.
"Eh, tunggu dulu," berkata Kwee Ceng. "Itu paman petani, di lereng gunung di
tengah menahan batu yang ada kerbaunya, dia tidak dapat meloloskan dirinya,
baiklah paman pergi menolong dia."
Mendengar ini, si pelajar kaget. Hingga tanpa bilang apa-apa lagi, dia lantas
lari keluar. "Nah, lekaslah buka itu kantung yang kuning!" kata Oey Yong kepada kawannya.
"Ah," kata si pemuda, "Kalau kau tidak menyebutnya, pasti aku lupa." Ia lantas
mengeluarkan kantung kuning itu, untuk memerika isinya. Itulah kertas putih
tanpa huruf, hanya ada gambar, yang meggambarkan seorang India yang menjadi
raja, dengan pisau raja itu telah memotongi dagingnya hingga tak ada tubuhnya
yang utuh, sedang darahnya berhamburan. Di depan raja ini ada sebuah dacin, alat
peranti menimbang: di ujung yang satu ada seekor burung dara putih dan di
sebelah yang lain ialah dagingnya itu. Daging lebih banyak, burung dara lebih
kecil, tetapi buktinya, burung dara lebih berat. Di samping dacin ada seekor
burung elang, yang romannya sangat bengis.
Sekian lama Oey Yong mengawasi gambar itu, ia tidak mengerti maksudnya.
Kwee Ceng pun tidak tahu apa artinya itu, karena si nona diam saja, ia turut
berdiam. Maka ia gulung gambar itu, utuk dipegangi dengan digenggam.
Tidak lama terdengar tindakan kaki yang berat dan berisik, lalu nampak si petani
datang dengan dipegangi si pelajar, romannya sangat gusar. Rupanya ia mendongkol
sebab kena diakali hingga ia seperti tersiksa. Dia terus dibawa masuk ke dalam
kuil. Selang tak lama, muncullah satu kacung pendeta. Dia memberi hormat dengan
merangkpa kedua tangannya. Ia menanya.
"Jiewi datang dari tempat yang jauh, entah ada urusan apa?"
"Kami sengaja datang untuk mohon menghadap Toan Hongya," Kwee Ceng menyahuti.
"Kami minta tolong agar kedatangan kami disampaikan."
Pendeta itu merangkap kedua tangannya.
"Toan Hongya sudah lama tak ada lagi di dalam dunia ini, maka sayang sekali,
jiewi telah bercapai lelah tanpa ada hasilnya. Silahkan dahar dulu, sebentar
nanti siauw-ceng mengantarkannya turun gunung."
Kwee Ceng berdiam, karena ia kecele sekali mendapat jawaban itu. Tidak demikian
dengan Oey Yong, yang telah melihat kuil itu dan sekarang si pendeta cilik ini.
Ia menduga sesuatu. Ia mengambil gambar dari tangannya Kwee Ceng, ia kata: "Aku
telah mendapat luka parah, sengaja aku datang ke mari untuk minta gurumu suka
menolongi, dari itu sehelai kertas ini tolong kau menyampaikannya kepada gurumu
itu." Kacung itu menerima, ia tidak berani membuka gambar itu, hanya setelah memberi
hormat, ia masuk ke dalam. Tapi tidak lama ia keluar pula, sembari menurunkan
alisnya, sambil memberi hormat, ia berkata: "Silahkan jiewi masuk."
Itulah undangan, maka Kwee Ceng menjadi girang sekali. Ia lantas pegangi Oey
Yong, untuk diajak mengikuti kacung itu.
Kuil itu kecil tetapi dalam. Kwee Ceng berdua Oey Yong jalan di satu jalanan
batu hijau yang lecil melewati sebuah tempat di mana ada ditanam banyak pohon
bambu, yang daunnya lebat, keadaannya sunyi dan tenang, hingga siapa berada di
situ, ia tentunya terpengaruh suasana kesucian. Di dalam rimba bambu itu
terlihat sebuah rumah batu terdiri dari tiga ruang. Si kacung pendeta lantas
membuka pintu, untuk mempersilahkan kedua tetamunya masuk ke dalam. Ia berdiri
di pinggaran dengan sikapnya yang sangat menghormat.
Kwee Ceng girang. Ia bersenyum kepada pendeta itu, sebagai tanda terima
kasihnya. Bersama Oey Yong, ia jalan berendeng masuk ke dalam.
Di atas meja kecil ada pedupaan dari kayu garu. Di kedua samping itu ada
berduduk masing-masing seorang hweeshio atau pendeta. Yang satu mukanya hitam,
hidungnya mancung, matanya dalam. Dialah seorang India. Yang lainnya, yang
bajunya kasar, mempunyai alis putih yang panjang, ujung alisnya meroyot turun di
ujung matanya. Wajah pendeta ini menunjuk ia murah hati, benar sinar matanya
rada guram, mungkin tercampur kedukaan, tetapi umumnya dia halus dan agung. Si
pelajar dan si petani berdiri di belakang pendeta alis panjang ini.
Oey Yong bertindak tanpa sangsi lagi. Ia menarik tangan Kwee Ceng, untuk
menghampirkan pendeta itu, sambil membungkuk ia berkata: "Teecu Kwee Ceng
bersama Oey Yong menghadap Supee."
Kwee Ceng terkejut mendengar nona itu memanggil supee atau paman guru, meski
begitu tanpa bersangsi lagi dia menekuk kedua kainya untuk mengangguk sampai
empat kali. Pendeta alis panjang itu bersenyum, ia bangun untuk berdiri, tangannya diulur
mengasih bangun pada mereka itu. Ia pun tertawa dan berkata: "Saudara Cit telah
mendapatkan murid yang baik sekali dan saudara Yok mendapatkan anak yang manis!
Menurut katanya mereka ini..." ia menunjuk kepada si petani dan si pelajar, "Lihay
ilmu surat dan ilmu silat kamu berdua, jauh melebihkan murid-muridku yang bodoh
itu. Haha, sungguh kamu berdua harus diberi selamat!"
Mendengar suara itu, Kwee Ceng merasa pasti orang adalah Toan Hongya, maka ia
heran kenapa seorang raja boleh berubah menjadi hweeshio dan heran juga bahwa
Toan Hongya dikatakan sudah mati, toh orang masih hidup segar-bugar. Pula ia
heran yang Oey Yong lantas mengetahui pendeta itu adalah Toan Hongya sendiri.
Lalu terdengar si pendeta menanya Oey Yong: "Apakah ayahmu dan gurumu mu baik-
baik semua" Ketika dulu hari kita berapat di gunung Hoa San di mana kita
merundingkan ilmu pedang bersama ayahmu, ayahmu itu masih sebatang kara, siapa
sangka baru berpisah dua puluh tahun, dia telah mendapatkan satu anak perempuan
yang cantik dan pintar! Apakah kau ini mempunyai saudara tua dan muda, enci atau
adik" Dan kakek luarmu itu, dia orang gagah yang manakah?"
Ditanya begitu, matanya Oey Yong menjadi merah.
"Ibuku cuma melahirkan aku seorang," sahutnya. "Ibu pun telah meninggal semenjka
siang-siang. Siapa itu kakek luarku, aku tidak tahu..."
"Oh," kata pendeta itu, yang dengan perlahan menepuk pundak orang, sebagai tanda
menghibur. "Aku telah bersemadhi tiga hari dan tiga malam, baru saja aku pulang.
Apakah kamu sudah lama menunggu aku?"
Oey Yong berpikir: "Dilihat dari sikapnya ini, dia sangat menyukai kami. Maka
mungkin di sepanjang jalan tadi, yang menyulitkan kami adalah bisanya muridnya
itu..." Karena itu, ia lekas menyahut: "Teecu juga baru tiba. Syukur beberapa
paman telah mempersulit di tengah jalan, kalau tidak, tentulah kami sudah tiba
semenjak tadi-tadi, hingga dengan supee tengah bersemadhi mungkin tibanya kami
akan sia-sia belaka."
Mendengar itu, si pendeta tertawa riang.
"Mereka itu sangat khawatir aku bertemu sama orang luar," katanya. "Sebenarnya,
bukankah kau bukannya orang luar" Ah, anak, muridmu tajam sekali, dasar turunan!
Baiklah kamu ketahui, Toan Hongya sudah tidak ada lagi dalam dunia ini, sekarang
aku dipanggil It Teng Hweesio. Gurumu ketahui ketika aku mulai menganut agama,
ia menyaksikannya, ayahmu mungkin belum mengetahuinya."
Baru sekarang segala apa terang bagi Kwee Ceng. Toan Hongya telah menjadi
Hweeshio, dia memakai nama It Teng itu, pantas dia dikatakan sudah menutup mata.
Memang siapa menyucikan diri, dia bagaikan menjelma pula. "Suhu mengetahui
tentang supee ini, kalau suhu menyuruh kita ke amri, tidak nanti ia menyebut
pula Toan Hongya, hanya It Teng Taysu." Maka itu, benar-benar Oey Yong cerdik
sekali, ia lantas dapat menerka!
"Memang juga ayah tidak tahu," berkata Oey Yong.
"Benar," It Teng pun bilang sambil ia tertawa. "Tentang gurumu itu, mulutnya itu
lebih banyak yang masuk, sedikit yang keluar, yang dimakan banyak, yang
dibicarakan sedikit, maka itu urusan aku si pendeta tua tentulah dia tak suka
bicarakan itu sama lain orang. Kamu datang dari tempat jauh, kamu sudah dahar
atau belum" Ah...." Mendadak pendeta ini terkejut, lalu ia menarik tangan Oey Yong
ke depan pintu di mana ia mengawasi dengan tajam, di sinar matahari. Di sini dia
nampak seperti kaget. Kwee Ceng benar tak gelap pikirannya tetapi tahulah ia bahwa It Teng Taysu tentu
telah mendapat lihat sakitnya Oey Yong, maka itu, hatinya jadi sangat pedih,
lantas saja ia menjatuhkan diri di depan pendeta itu, berulang-ulang ia
mengangguk. It Teng meluncurkan sebelah tangannya, akan mengangkat bangun bocah itu.
Kwee Ceng merasakan satu tenaga besar membentur tangannya, ia tidak berani
menentang itu, ia lantas mengikuti, maka ia berbangkit dengan perlahan-lahan.
Sembari bangun, ia berkata: "Teecu mohon supee suka menolongi jiwanya sumoy
ini..." It Teng mengangkat si anak muda dengan mengandung dua maksud, satu untuk
mengasih bangun benar-benar, yang lain guna mencoba tenaga dalam bocah itu.
Umpama Kwee Ceng melawan, tidak nanti ia membikin orang terluka atau
terpelanting, di dalam hal itu, ia pandai mengendalikan tenaganya. Sebaliknya,
meskipun Kwee Ceng mengikuti, ia merasa bahwa anak muda ini juga pandai
mengendalikan tenaganya, maka itu ia menjadi kagum.
"Saudara Cit mendapat murid yang bagus sekali," pikirnya. "Pantas murid-muridku
kalah..." Sementara itu, habis orang berkata, Kwee Ceng kaget sekali. Mendadak ia merasa
tubuhnya kena tertarik hingga ia maju satu tindak, ketika ia mencoba menahan
diri, mukanya menjadi merah tahu benar lihaynya pendeta tua itu. Sebenarnya ia
menduga It Teng sudah berhenti menguji padanya, ia mengendorkan diri seperti
wajar, tidak tahunya, ia diuji terus. Sekarang ia menginsyafi benar lihaynya
Tong Shia dan See Tok, Lam Tee dan Pak Kay.
It Teng dapat melihat sinar mata anak muda itu, ia heran dan kagum, ia menepuk
perlahan pundak orang, sembari tertawa ia kata: "Anak, kau telah mempunyai
kepandaianmu ini, sungguh inilah dukar didapat."
Dilan pihak, pendeta ini masih belum melepaskan tangannya yang satu lagi yang
memegangi tangan Oey Yong, maka ia lantas menoleh kepada si nona. Hanya kali ini
ia tidak lagi tertawa hanya bersenyum, cuma dengan sungguh-sungguh dengan
perlahan sekali, ia bilang: "Anak, jangan kau takut, kau tetapkan hatimu."
Lalu ia menuntun nona itu, untuk dikasih duduk.
Oey Yong sangat bersyukur. Seumurnya belum pernah ia merasa orang perlakukan ia
begini manis dan halus, tidak juga ayahnya yang aneh itu. Ayahnya itu menyayangi
ia, tetapi sikap mereka berdua mirp sahabat erat, tidak pernah si ayah menunjuk
tegas cinta kasihnya seorang ayah sebagaimana umumnya. Maka itu, tanpa merasa,
ia menangis. "Jangan menangis, anak yang baik, jangan menangis," It Teng menghibur. "Tubuhmu
sakit, bukan" Nanti supeemu mengobati kau hingga sembuh."
Hanyalah semakin halus ia pendeta berbicara, semakin sedih hatinya si nona,
hingga ia menangis tersedu-sedu tak hentinya.
Kwee Ceng girang mendengar It Teng memberi janjinya itu, tetapi kebetulan ia
mengangkat kepalanya dan melihat si petani dan si pelajar, ia terkejut. Dua
orang itu memandang dia dengan wajah bermuram durja tanda dari kemurkaan. Ia
berpikir: "Kami bisa masuk sampai di sini, semua itu mengandal kepada
kecerdikannya Oey Yong, yang pandai menggunai tipu daya, tidak heran, selagi It
Teng Taysu begini baik, kenapa keempat muridnya menggunai segala jalan untuk
menghalang-halangi kami?"
Pemuda ini baru berhenti berpikir ketika ia mendengar It Teng menanya Oey Yong.
Katanya: "Anak, bagaimana caranya kau terluka, dan bagaimana jalannya hingga kau
dapat masuk ke mari, coba kau tuturkan pada supeemu."
Oey Yong memberikan keterangan bagaimana ia terlukakan Khiu Cian Jin, yang mula
ya ia tidak tahu ada yang tulen dan ada yang palsu, karena kesangsiannya itu, ia
mandah saja kasih dirinya dihajar.
Mendengar disebutknya nama Khiu Cian Jin, It Teng Taysu itu mengerutkan alis,
hanya sejenak, lalu ia dapat bersenyum pula, ia nampak tenang seperti biasa.
Oey Yong si cerdik bicara sambil diam-diam memperhatikan si pendeta itu, maka
air muka orang itu tidak lolos dari pandangan matanya yang tajam. Begitu ketika
ia menutur sampai di bagian mereka bertemu Eng Kouw di rimba rahasia dan rawa
lumpur hitam, ia juga mendapatkan si pendeta itu berubah lagi romannya, si
pendeta seperti tengah mengenang peristiwa lama. Karena ini, ia menunda
penuturannya itu. "Kemudian bagaimana?" tanya It Teng, yang menghela napas.
"Kemudian kami sampai di kaki gunung," melanjuti Oey Yong yang terus
menceritakan bagaimana mereka dipersulit si tukang pancing, tukang kayu, yang
memberi mereka lewat dengan gampang, sebaliknya, mengenai tiga yang lain, ia
sengaja menambah-nambahkan hingga si petani dan pelajar mendongkol bukan buatan.
"Yong-jie, jangan omong sembarangan," beberapa kali Kwee Ceng campur bicara.
"Paman-paman itu tak ada sedemikian galak...."
Oey Yong berani bicara begitu rupa, karena ia tahu, di depan gurunya, mereka itu
tidak nanti berani berbuat sesuatu atas dirinya. Ia memang sengaja hendak
mengocok isi perut mereka itu.
"Anak-anak itu benar perbuatannya kurang bagus terhadap anak-anak kecil," kata
It Teng kemudian. "Biarlah sebentar aku menyuruh mereka menghanturkan maaf
kepada kamu." Oey Yong melirik dua murid itu, selagi ia bercerita terus sampai ia memasuki
kuil ini, akhirnya ia tambahkan. "Begitulah teecu lantas memberikan gambar itu
untuk supee periksa. Sedari itu waktu, baru mereka tidak berani menghadang kami
lagi." It Teng nampaknya heran. "Eh, gambar apakah itu?" ia tanya.
"Itulah gambarnya burung elang, burung dara dan daging yang dipotong," menyahut
si nona. "Kau serahkan itu pada siapa?" It Teng tanya pula.
Belum lagi Oey Yong menyahuti, si pelajar telah merogoh sakunya dan mengeluarkan
gambar itu. "Gambar itu ada pada teecu, suhu," ia berkata. "Tadi suhu belum selesai
bersemadhi, gambar itu teecu tidak berani lantas menyerahkannya."
It Teng menyambuti gambar itu.
"Lihatlah!" katanya. "Jikalau kau tidak menyebutkannya, mana aku bisa melihat
ini?" Ia membuka gambar itu perlahan-lahan, terus ia lihat. Cuma sekelebatan, ia
lantas tertawa dan kata: "Kiranya orang khawatir aku tidak suka menolong kau,


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

maka ia menggunai gambar ini untuk membangkitkan kemendongkolanku, agar hatiku
menjadi panas. Tidakkah dengan begitu ia jadi memandang enteng sekali kepada aku
si pendeta tua?" Oey Yong tidak menjawab, ia hanya melirik si petani dan pelajar, hingga ia
kembali melihat muka orang suram, agaknya hati mereka cemas dan tetap
mendongkol. Ia menjadi heran sekali. Ia tanya dirinya sendiri: "Kenapa mereka
tak senang mendengar It Teng Taysu berniat mengobati aku" Kenapa mereka seperti
menghendaki kematianku" Adakah itu disebabkan obatnya ada obat dewa?" Ia
mengawasi pula si pendeta, yang lagi memperhatikan gambar itu, yang bahkan
dibawa ke terangnya matahari, untuk ddiperiksa dengan teliti. Dia bukannya
membaca hanya memperhatikan kertasnya. Beberapa kali kertas itu disentil-sentil,
dan air mukanya di pendeta menandakan ia ragu-ragu.
"Adakah lukisan ini lukisannya Eng Kouw sendiri?" ia menanya.
"Benar." Pendeta itu berdiam sejenak.
"Kau melihatnya dengan matamu sendiri?"
Pertanyaan ini heran, maka Oey Yong mengingat-ingat kejadian hari itu. Ia
menjawab: "Di waktu Eng Kouw menulis, ia membelakangi kami berdua, aku cuma
melihat ia menggoyangi pit, entah dia menulis surat atau melukis gambar."
"Kau membilang masih ada dua kantung surat lainnya. Mana, kasih aku melihatnya."
Kwee Ceng menyerahkan dua lembar surat wasiat itu.
It Teng mengawasi sekian lama, lalu air mukanya berubah.
"Benarlah!" katanya kemudian. Ia menyerahkan surat itu pada si nona seraya
berkata: "Saudara Yok itu seorang pelukis pandai, kau putrinya, kau tentu
mengerti segala apa. Kau lihat ketiga surat itu, ada apakah yang berlainan?"
Oey Yong menyambuti dan memeriksa.
"Ini dua kerta giokpoan yang biasa," ia berkata. "Dan gambar ini memakai kertas
ciu-song." It Teng mengangguk. "Mengenai lukisan, akulah si orang diluar kalangan," katanya pula. "Coba kau
bilangi aku pandanganmu tentang gambar ini.
Oey Yong meneliti. "Supee pura-pura menjadi orang di luar kalangan!" katanya tertawa. "Sebenarnya
supee telah melihatny, ini bukan gambar lukisannya Eng Kouw sendiri!"
Kembali berubah air mukanya It Teng.
"Jadi benar ini bukannya lukisannya Eng Kouw sendiri?" katanya. "Aku melihatnya
dari jalan pikirannya, bukannya dari gambarnya."
Oey Yong menarik tangan orang.
"Mari lihat huruf-hurufnya kedua surat ini," ia berkata. "Bagaimana halus
tekukannya dan indah. Huruf-huruf di dalam gambar sebaliknya kaku! Ah, inilah
lukisannya seorang laki-laki! Memang, mestinya dia seorang pria, hanya sayangnya
dia tidak mempunyai minat menggambar, lukisannya tak ada harganya. Tetapi
tulisannya ini, karena ia menggunai tenaganya, telah menembus ke belakang
kertas... Air bak ini juga mestinya telah lama sekali, jangan-jangan lebih tua
dari usianya..." It Teng Taysu menghela napas. Ia menunjuk kepada sebuah kitab di atas meja, ia
menyuruh si pelajar mengambilnya untuknya.
Oey Yong membaca judulnya kitab, maka ia kata di dalam hatinya; "Dia mau bicara
tentang kitab suci dengan aku, mana aku mengerti...." Itulah sebuah kitab suci dan
pula cetakan tua. It Teng membuka lembarannya kitab itu, lalu di samping itu ia meletaki gambar
dari Eng Kouw. "Kau lihat!" katanya.
"Eh, kertasnya sama!" kata Oey Yong heran.
Pendeta itu mengangguk. Kwee Ceng tidak mengerti, sambil berbisik ia tanya si nona, kertas apanya yang
sama. "Kau lihat sendiri dan bandingkanlah," kata Oey Yong. "Bukankah kertasnya gambar
Penunggang Kuda Iblis 3 Wiro Sableng 105 Hantu Jatilandak Kelelawar Hijau 13
^