Pencarian

Memanah Burung Rajawali 4

Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong Bagian 4


kemudian lagi sepuluh eskadron, atau satu resimen, dikepalai satu cianhu-thio,
dan sepuluh resimen, atau satu devisi, dipimpin oleh satu banhu-thio. Mereka itu
terlatih sempurna, merupakan sebagai satu badan, kalau ada titah dari Temuchin,
mereka menjadi bersatu, dari itu hebat penyerangan mereka.
Kwee ceng bersama kawan-kawannya berdiri menonton. Mereka lihat, setelah
terompet yang pertama, semua serdadu sudah siap dengan senjata mereka dan naik
kuda, setelah terompet yang kedua, kaki kuda mereka berbunyi tak hentinya, tubuh
setiap serdadu bergoyang-goyang. Begitu terdengar terompet yang ketiga kali,
sunyi senyap semuanya, kecuali napasnya kuda, yang nampak adalah satu angkatan
perang besar yang terdiri dari lima pasukan dari setiap sepuluh ribu jiwa.
Dengan diiringi putra-putranya, Temuchin muncul dari dalam kemah.
"Kita telah kalahkan banyak musuh, negeri Kim pun telah tahu itu," berkata ini
pemimpin besar. "Begitulah negeri Kim itu sudah utus putranya yang ketiga
bersama putranya yang keenam datang kemari untuk menganugrahkan pangkat kepada
Kha Khan kamu!" Dengan angkat tinggi golok mereka, tentara Mongol bersorak.
Tatkala itu bangsa Kim telah menduduki Tiongkok Utara, pengaruhnya tersiar luas
dan jauh, sebaliknya bangsa Mongol adalah suatu suku kecil di tanah datar atau
padang pasir, maka itu Temuchin anggap adalah suatu kehormatan yang ia
dianugrahkan pangkat oleh kerajaan Kim itu.
Dengan satu titah dari ayahnya, Juji si putra pertama maju bersama selaksa
serdadunya untuk sambut utusan Kim, sedang empat laksa serdadu lainnya mengatur
diri dengan rapi untuk menanti.
Beberapa tahun yang lalu Wanyen Yung Chi telag diutus menganugrahkan pangkat
kepada Wang Khan dan Temuchin, kebetulan Temuchin lagi berperang, tentara musuh
yang dikalahkan sudah menyerbu dan membikin bubarnya pasukan pengiringnya Wanyen
Yung Chi, hingga Yung Chi mesti lari pulang ke Chungtu, Yangkhia.
Lewat beberapa tahun setelah itu, raja Kim dengar Temuchin jadi semakin kuat, ia
khawatir Temuchin itu menjadi bahaya untuknya di bagian utara, maka sekarang dia
utus putranya itu dengan dibantu Wanyen Lieh, putranya yang keenam, yang ia tahu
cerdik. Ia ingin Temuchin dapat dipengaruhi dengan keangkerannya atau dengan
cara halus, tinggal lihat gelagat saja untuk mewujudkan politik itu.
Kwee Ceng dan kawan-kawannya terus tinggal menonton, sampai mereka nampak debu
mengepul naik, tandanya Juji telah dapat memapak dan menyambut utusan bangsa Kim
itu, yaitu wanyen Yung Chi dan Wanyen Lieh.
Kedua saudara itu membawa selaksa serdadu pilihan, yang berseragam lapis baja,
senjatanya tombak panjang, kudanya tinggi dan besar, hingga tampaknya jadi
angker sekali. Belum lagi pasukan perang itu datang dekat, lebih dulu sudah
terdengar suara beradunya pakaian baja mereka.
Wanyen Yung Chi datang berendeng bersama adiknya.
Temuchin bersama putra-putranya ambil tempat di samping untuk menyambut.
Wanyen Yung Chi lihat Kwee Ceng beramai, itu anak-anak Mongol yang dengan
membuka matanya lebar-lebar mengawasi kepadanya tanpa berkedip, ia lantas
tertawa dan merogoh ke dalam sakunya, untuk meraup sejumlah uang emas, yang mana
terus ia lemparkan ke arah anak-anak itu. Sambil tertawa terus, ia berkata:
"Itulah persenan untuk kalian!"
Yung Chin tidak tinggi ilmu silatnya akan tetapi uang emas hancur itu dapat ia
lempar cukup jauh. Ia mengharap anak-anak itu nanti berebut memungutinya, dan
berteriakan. Dengan berbuat begitu, pertama ia hendak unjuk keagungannya, dan
kedua itulah sebagai pelesiran. Akan tetapi kesudahannya ia menjadi kecewa.
Bangsa Mongol paling mengutamakan menghormati tetamu, perbuatan Yung Chi ini
justru perbuatan yang memandang enteng, tidak menghargai tuan rumah, maka itu
semua serdadu Mongol saling memandang satu dengan lainnya.
Anak-anak Mongol itu juga terdidik menghormati tetamu mereka, walaupun masih
kecil, mereka dapat menghargai diri sendiri, demikian menampak perbuatan Yung
Chi itu, mereka tidak memperdulikannya.
Yung Chi menjadi penasaran. Ia merogoh pula sakunya untuk mengambil uang emas
lainnya, ia melemparkannya kembali sekalian ia beseru: "Hayo anak-anak, ramai-
ramai kamu merebutnya! Hayo rebut, setan-setan cilik!"
Mendengar itu semua orang Mongol berubah air mukanya.
Dimasa itu bangsa Mongol belum kenal mata surat, adat kebiasaan mereka masih
"kasar", akan tetapi mereka biasa menaati adat istiadat, mereka polos dan pegang
derajat, terutama terhadap tetapi, mereka sangat menghormati, dari mulut mereka
tidak pernah keluar kata-kata kotor, dan terhadap musuh, atau tengah bergurau,
tidak pernah mereka mengutuk atau mencaci. Umpama ada tetamu mendatangi tenda
mereka, kenal atau tidak, tetamunya tentu disambut dan dilayani dengan baik.
Sebaliknya pihak tetamu tidak selayaknya berlaku tidak hormat atau memandang
enteng. Kalau tetamu berbuat tidak mengindahkan kehormatan diantara tuan rumah
dan tetamu, perbuatan itu dipandang sebagai kejahatan paling besar.
Kwee Ceng bukan orang Mongol, selama berada bersama ibunya, sering ia dengar
ibunya itu bercerita tentang kajahatan bangsa Kim yang di Tiongkok, mereka suka
merampas dan memperkosa wanita, menganiaya dan membunuh rakyat jelata, bagaimana
bangsa Kim itu telah bersekongkol dengan pengkhianat-pengkhianat Han untuk
membinasakan Gak Hui dan lainnya, maka sekarang melihat orang Kim itu demikian
kurang ajar, ia lantas pungut beberapa potong emas, ia lari mendekati Yung Chi
kepada muka siapa ia menimpuk sambil ia berseru: "Siapa sudi mengambil emasmu
yang bau!" Yung Chi berkelit tapi ada juga uang yang mengenai pipinya, meski ia tidak
merasakan terlalu sakit, ia toh malu bukan main. Bukankah ia telah diperhina di
depan orang banyak" Adalah orang Mongol sendiri, dari Temuchin sampai pada semua
bawahannya pada merasa puas
"Setan cilik, kau cari mampus?" Yung Chi membentak. Ia mendongkol bukan main.
Biasanya di Tiongkok, sedikit saja ia merasa tidak puas, ia main bunuh orang.
Belum pernah ada yang berani menghina dia. Ia lantas rampas sebatang tombak
panjang dari satu pengiringnya, dengan itu ia hendak menimpuk kepada bocah she
Kwee itu. "Tahan, shako!" Wanyen Lieh mencegah. Ia lihat gelagat jelek, tetapi tombak
sudah melayang. Disaat Kwee Ceng menghadapi saat ajalnya, tiba-tiba sebatang anak panah
menyambar dari pasukan Mongol yang kiri, tombak itu kena terserang tepat sekali
dan jatuh bersama anak panah itu. Kwee Ceng ketolongan tetapi ia telah
bermandikan keringat dingin, dengan ketakutan ia mengangkat kaki. Sebaliknya
tentara Mongol perdengarkan gemuruh seruan memuji penyerangan panah itu.
"Shako, jangan layani dia!" Wanyen Lieh berkata kepada kakaknya.
Yung Chi jeri akan saksikan keangkeran tentara Mongolia itu, akan tetapi
memandang Kwee Ceng, ia tetap panas hatinya, maka ia mendelik kepada bocah itu.
"Bocah haram jadah!" ia mencaci dengan perlahan.
Temuchin bersikap tenang, bersama putra-putranya ia sambut kedua tetamu itu
dengan menyuguhkan koumiss dan daging kambing dan kuda.
Wanyen Yung Chi membacakan firman dengan apa Temuchin diangkat menjadi Pak-kiang
Ciauwtouwsu dari negeri Kim, pangkat turun temurun, untuk dia selamanya menjadi
seperti alingan di utara dari negeri Kim itu.
Temuchin terima pengangkatannya sambil berlutut, ia menyambuti firman dan pelat
emas itu. Malam itu bangsa Mongol jamu tetamu-tetamunya yang dilayani dengan hormat dan
telaten. Selagi minum, Wanyen Yung Chi berkata,: "Besok kami hendak pergi menganugrahkan
Wang Khan, apakah Ciauwtouwsu suka turut pergi bersama?"
Temuchin senang dengan ajakan itu, ia menyatakan suka turut.
Wang Khan itu adalah pemimpin dari pelbagai suku di tanah datar, angkatan
perangnya besar dan kuat. Ia berasal dari suku Kerait, ia pun disebut Togrul
Khan. Ia adalah saudara angkat dari Yesukai, ayahnya Temuchin. Ketika dahulu
hari Yesukai mati diracuni musuhnya, Temuchin terlunta-lunta dan ia kemudian
pergi ke Wang Khan untuk menumpang. Lalu Wang Khan angkat ia jadi anak pungut.
Kemudian tempo istrinya Temuchin dirampas bangsa Merkit, musuhnya, ia dapat
rampas pulang istrinya itu adalah dengan bantuan Wang Khan dan adik angkatnya,
yaitu Jamukha. Itu waktu Temuchin menikah belum lama dan Juji, putranya masih
belum lahir. Girang Temuchin akan ketahui ayah angkatnya pun dianugerahkan pangkat.
"Siapakah lagi yang dianugerahkan negara Kim yang besar?" ia tanya.
"Tidak ada lagi," jawab Wanyen Yung Chi
Wanyen Lieh segera menambahkan:" Untuk di utara ini, Khan sendiri serta Wang
Khan adalah orang-orang gagah perkasa, orang lain tidak ada yang dapat
disamakannya." "Kami disini masih ada punya seorang gagah yang lain, liok-ongya mungkin belum
pernah mendengarnya," berkata Temuchin. Ia membasakan "liok-ongya", pangeran
keenam kepada Wanyen Lieh.
"Apakah benar?" Wanyen Lieh berkata dengan cepat. "Siapakah dia?"
"Dialah adik angkatku, Jamukha," jawab Temuchin. "Dia jujur dan berbudi tinggi,
dia pandai memimpin angkatan perang. Aku mohon sukalah sam-ongya dan liok-ongya
juga menganugerahkan dia sesuatu pangkat."
Erat sekali pergaulannya Temuchin dengan Jamukha, tempo mereka angkat saudara,
Temuchin baru berumur sebelas tahun. Adalah kebiasaan bangsa Mongolia, diawaktu
angkat saudara mereka saling mengasih barang tanda mata. Ketika itu Jamukha
memberikan Temuchin biji pie-sek yang terbuat dari tulang binatang, dan Temuchin
membalas dengan biji pie-sek yang terbuat dari tembaga. Pie-sek itu adalah biji
yang orang Mongol biasa pakai untuk menimpuk kelinci, tetapi anak-anak gunakan
itu untuk main timpuk-timpukan. Maka setelah angkat saudara, keduanya bermain
timpuk-timpukan di sungai Onon, yang airnya telah membeku menjadi es.
Ditahun kedua, selagi main panah-panahan dengan panah kecil yang terbuat dari
kayu, Jamukha hadiahkan kepada Temuchin kepala panah yang terbuat dari tulang
mata kerbau dan Temuchin sebaliknya menghadiahkan kepala panah yang terbuat dari
kau pek. Lagi sekali mereka mengangkat suadara. Kemudian setelah keduanya
dewasa, berdua mereka tinggal bersama-sama dengan Wang Khan, selalu mereka
saling menyayangi, setipa pagi mereka berlomba bangun pagi, siapa yang menang,
ia diberi minum susu dari gelas kumala dari Wang Khan. Maka tidak heran, tempo
istrinya Temuchin dirampas orang, Wang Khan dan Jamukha bekerja sama membantu
merampasnya pulang. Kali ini Temuchin dan Jamukha saling menghadiahkan ban emas dan kuda. Inilah
untuk ketiga kalinya mereka angkat saudara. Sekarang saling mereka minum arak
dari satu cawan, malam tidur berkerubung sehelai selimut. Adalah kemudian karena
masing-masing mencari air dan rumput sendiri dan memimpin barisan sendiri-
sendiri, mereka jadi berpencaran, tetapi hubungan mereka masih tetap kekal.
Demikian ingat saudara angkatnya itu, Temuchin timbulkan usul ini.
Wanyen Yung Chi telah minum hingga separuh mabuk, tanpa pikir ia langsung
menjawab: "Bangsa Mongolia berjumlah banyak, kalau semuanya diberi pangkat, mana
kami negeri Kim yang besar dapat punyakan demikian banyak pembesar?"
Wanyen Lieh mengedipkan mata kepada kakaknya, sang kakak tetapi tidak
memperdulikannya. Temuchin tidak senang dengan jawaban itu. "Kalau begitu tidak apa, serahkan saja
pangkatku kepadanya!" ia bilang.
Yung Chi tepuk pahanya, ia berseru: "Apakah kau pandang enteng pangkat yang
diberikan kerajaan Kim yang besar"!"
Temuchin tahu diri, ia tutup mulutnya.
Wanyen Lieh pun lantas menyelak dengan ia berbicara sambil tertawa, untuk
simpangkan soal. Di hari kedua, pagi Temuchin berangkat dengan ajak keempat putranya serta lima
ribu serdadunya, untuk mengantari Wangyen Yung Chi dan Wanyen Lieh pergi
menganugrahkan pangkat kepada Wang Khan. Matahari telah memancarkan cahaya
ketika Temuchin telah berada di atas kudanya dan lima ribu serdadunya telah siap
dengan rapi. Akan tetapi itu waktu, tentara Kim masih tidur nyenyak di kemahnya. Tadinya
Temchin gentar menyaksikan roman gagah tentara Kim itu, mentereng seragam dan
alat senjatanya, besar-besar kuda tunggangannya, tetapi sekarang menyaksikan
doyannya tidur mereka, berulang kali ia kasih dengar suara di hidung. Pada
Mukhali ia tanya: "Bagaimana pandanganmu terhadap tentara Kim itu?"
"Seribu serdau kita dapat lawan lima ribu serdadu mereka!" sahut Mukhali.
Temuchin girang sekali dengan jawaban itu. "Pandanganmu sering cocok dengan
pandanganku," ia bilang. "Katanya negeri Kim ada punya dua juta serdadu, kita
hanya lima puluh laksa." Ketika itu ia menoleh, ia tampak kudanya Tuli, tetapi
Tuli sendiri tidak kelihatan orangnya.
"Mana Tuli"!" ia tanya dengan gusar.
Tuli itu putra yang keempat, masih kecil, akan tetapi dalam hal mendidik anak
atau melatih tentara, Temuchin pakai aturan keras, maka itu tak senang ia tidak
melihat anaknya itu. Semua orang menjadi cemas hatinya.
"Dia biasanya tidak berani bangun sampai siang, nanti aku tengok," berkata
Boroul, yang menjadi gurunya Tuli, yang khawatir pemimpin itu gusari putranya.
Tapi baru ia hendak putar kudanya, di sana kelihatan dua bocah berlari-lari
mendatangi sambil berpegangan tangan. Mereka ialah Tuli bersama Kwee Ceng.
"Ayah!" panggil Tuli kapan ia tiba di depan ayahnya itu.
"Kema kau pergi"!" tanya Temuchin.
"Barusan aku membuat anda bersama saudar Kwee di tepi sungai," sahut Tuli. "Dan
dia menghadiahkan ini padaku."
Membuat "anda" itu berarti mengangkat sudara. "Anda" itu kata-kata Mongol.
Sambil mengatakan demikian, Tuli ulapkan tangannya yang mencekal sepotong handuk
merah yang tersulam bunga-bungaan indah, ialah handuk buatan Lie Peng untuk
putranya. Temuchin segera ingat halnya sendiri bersama Jamukha, tempo masih sangat muda
mereka juga telah mengangkat saudara, hatinya menjadi tergerak, ia menajdi
tenang. "Kau sendiri, kau menghadiahkan apa padanya?" ia tanya denagn sabar.
"Ini!" Kwee Ceng mendahulukan menyahut seraya ia tunjuk lehernya.
Temuchin lihat kalung emas yang biasa dipakai oleh putra itu. Ia tersenyum.
"Baik," katanya. "Selanjutnya kamu berdua mesti saling mencintai dan saling
menyayangi serta saling membantu!"
Tuli bersama Kwee Ceng menyahuti menerima pesan itu.
"Sekarang semua naik kuda!" Temuchin lalu memerintah. "Kwee Ceng, kau juga turut
kami!" Tuli dan Kwee Ceng girang sekali, sama-sama mereka naiki kuda mereka.
Orang mesti lagi menanti setangah jam barulah Wanyen Yung Chi dan saudaranya
selesai dandan dan keluar dari kemahnya.
Wanyen Lieh lihat tentaranya Mongolia demikian rapi, ia lantas perintahkan
tentaranya lekas siap. Wanyen Yung Chi sebaliknya tunjuki tingkah polahnya satu putra raja, denagn
ayal-ayalan ia minum araknya dan dahar kue, habis mana dengan perlahan-lahan
juga ia naik ke atas kudanya. Maka itu, lagi kira setengah jam barulah tentara
Kim itu siap berangkat. Pasukan perang itu menuju ke utara, sesudah jalan enam hari, barulah mereka
dipapak oleh wakilnya Wang Khan, yang mengutus putranya, Sangum bersama Jamukha.
Kapan Temuchin dengar Jamukha ada bersama Sangum, ia lantas maju ke depan, akan
temui saudara angkatnya itu, maka keduanya lantas berpelukan. Hbais itu semua
putra Temuchin menemui dan mengasih hormat kepada paman angkatnya itu.
Wanyen Lieh lihat Jamukha bertubuh jangkung kurus, kumis kuningnya jarang, akan
tetapi sepasang matanya sangat tajam dan berpengaruh, menandakan ketangkasannya.
Dilain pihak, Sangum adalah berkulit putih, tubuhnya gemuk, tanda dari hidup
senang dan dimanjakan, dia tidak mirip dengan seorang yang dibesarkan di gurun
pasir. Jalan lagi satu hari, rombongan ini sudah mendekati tempat kediaman Wang Khan.
Justru itu dua serdadunya Temuchin yang bertugas jalan dimuka sekali, lari balik
dengan laporannya bahwa di sebelah depan ada menghalang tentaranya bangsa Naiman
yang berjumlah tiga puluh ribu jiwa.
Wanyen Yung Chi terkejut. "Hendak apakah mereka itu?" dia tanya, hatinya
goncang. "Kelihatannya mereka hendak menyerang," sahut di juru warta.
"Jumlahnya mereka agaknya lebih banyak dari jumlah kita..." kata Yung Chi tidak
lancar. Temuchin tidak beri kesempatan untuk orang bicara lebih banyak. "Pergilah kau
tanya mereka!" ia perintahkan Mukhali.
Dengan membawa sepuluh pengiring, Mukhali larikan kudanya ke depan. Karena hal
ini, pasukan ini jadi tertunda keberangkatannya.
Berselang tidak lama, Mukhali telah kembali dengan laporannya: "Bangsa Naiman
mendengar putra raja kerajaan Kim datang menganugrahkan Khan kami yang terbesar,
mereka juga menghendaki anugerah itu. Mereka bilang, apabila mereka tidak diberi
anugerah, mereka hendak tangkap dan tahan kedua putra raja Kim."
Wanyen Yung Chi menjadi kaget, wajahnya berubah, tetapi ia mencoba mengendalikan
diri. Wanyen Lieh sebaliknya segera mengatur pasukan perangnya, untuk bersiap
sedia. "Kakak," berkata Mukhali kepada Temuchin, "Bangsa Naiman itu sering merampas


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

binatang piaraan kita, mereka sangat suka mengganggu, apakah hari ini kita mesti
lepaskan saja pada mereka?"
Temuchin melihat sekitarnya, ia telah lantas dapat memikirkannya. "Saudara,"
katanya, "Biarlah kedua putra raja Kim yang besar ini melihat sepak terjang
kita!" Ia pun lantas bersiul nyaring satu kali, disusul sama dua kali cambukan
ke udara dari cambuknya, atas mana tentara Mongolia menyambut dengan seruan
perang mereka berulangkali.
Dua saudara Wanyen tidak menyangka mendengar itu dan dan menyaksikan sikap
orang, mereka terperanjat.
Segera terlihat debu mengepul di sebelah depan, dan musuh segera mulai tampak.
Tentara terdepan dari pihak Mongol sebaliknya telah mundur kepada barisan
mereka. "Adik," Wanyen Yung Chi teriaki saudaranya, "Lekas suruh tentara kita maju! Ini
orang-orang Mongol tidak ada gunanya!"
"Biarlah mereka yang bertempur lebih dulu," Wanyen Lieh membisiki kakaknya.
Mendengar itu barulah Yung Chi sadar dan manggut-manggut.
Tentara Mongol masih perdengarkan suara mereka yang nyaring tetapi mereka tidak
bergeming. "Taruh kata kamu berterika-teriak hingga langit bergerak bumi bergoyang, apakah
dengan begitu dapat tentara musuh dibikin mundur?" berkata Yung Chi.
Itu waktu Boroul berada di samping kiri, ia berkata kepada Tuli: "Pangeran
kecil, kau turut aku, jangan kau ketinggalan. Kau lihat bagaimana kami nanti
menghajar musuh!" Tuli mengangguk. Bersama-sama Kwee Ceng, ia telad tentaranya ialah berkoak-koak
dengan seruan peperangan.
Dalam tempo yang cepat sekali, tentara musuh sudah datang dekat beberapa ratus
tindak, walaupun demikian, tentara Mongol tetap tidak bergerak, mereka tetap
berteriak-teriak saja. Wanyen Lieh menjadi heran. "Lepas panah!" ia mengasih titah. Ia khawatir tentara
Naiman nanti keburu mendahulukan menyerbu kepada mareka.
Tentara Kim menurut titah, mereka lantas menghujani anak panah.
Jarak di antara kedua pihak masih cukup jauh, anak panahnya tentara Kim ini
tidak sampai kepada musuh, semuanya jatuh di hadapan mereka itu. Hanya sementara
itu, karena orang datang semakin dekat, Wanyen Yung Chi dapat lihat wajah
tentara Naiman itu sangat bengis, sambil mengertak gigi, mereka kepraki kuda
mereka untuk menerjang. Mau tidak mau, Yung berkhawatir pula.
Siwaktu itu, cambuknya Temuchin mengalun pula di tengah udara, suaranya nyaring.
Sekali ini serempak berhentilah seruan-seruan peperangan tentara Mongol itu,
yang sebaliknya lalu membagi diri dalam dua sayap, masing-masing dipimpin
Temuchin sendiri berdua dengan Jamukha, keduanya ini lantas lari ke tanah tinggi
di samping mereka, guna menduduki tempat yang bagus, tentara mereka mengikuti
untuk turut ambil kedudukan bagus itu. Sesudah itu, dari tempat yang lebih
tinggi, mereka lantas menyerang tentara Naiman. Karena ini adalah penyerangan
dari jauh, merka menggunai anak panah.
Kepala perang Naiman rupanya melihat kedudukannya tak selayaknya, ia memimpin
untuk mencoba merampas kedudukan itu.
Tentara Mongol membuat tembok bentengan yang terdiri dari semacam permadani,
benda tebal itu dipasang di depan mereka dengan diri mereka teraling,
penyerangan panah dilanjuti. Hampir semua panah mereka yang gagal.
Temuchin dari tempat yang tinggi menyaksikan penyerangan pihaknya itu, yang
membuat musuh kacau, lantas ia berikan titahnya: "Jelmi, pergi kau serbu bagian
belakangnya!" Jelmi menerima titah itu, dengan membawa goloknya yang besar, ia pergi dengan
seribu serdadunya. Ia ambil jalan memotong.
Jebe dengan tombak panjang di tangan, maju di paling muka. Sebagai orang baru,
ia ingin membuat jasa. Ia mendekam di bebokong kudanya.
Dalam tempo yang pendek, barisan belakang Naiman menjadi kalu. Kejadian ini
membingungkan pasukan yang berada di sebelah depan.
Selagi kepala perang Naiman bersangsi, Jamukha bersama Sangum menyerang dari
kiri dan kanan. Atas ini, musuh lantas lari serabutan, untuk kembali ke jalan
darimana tadi mereka datang.
Jelmi tidak merintangi musuh lari terus, ia biarkan mereka dihajar oleh kawan-
kawannya, hanya sesudah musuh tinggal kira-kira dua ribu jiwa lebih, baru ia
memegat. Siasatnya ini memberi hasil. Musuh menjadi kecil nyalinya, mereka turun
dari kuda mereka dan menyerah.
Sebagi kesudahan pertempuran, musuh terbinasa dan luka seribu lebih, tertawan
dua ribu lebih. Di pihak Mongolia, kematian dan luka Cuma seratus lebih.
Temuchin titahkan loloskan seragam tentara Naiman itu, jumlah mereka dua ribu
lebih dipecah empat yang sebagian diserahkan kepada dua saudara Wanyen, yang
sebagian untuk Wang Khan, yang sebagian untuk Jamukha san yang sisanya untuk
dirinya sendiri. Untuk serdadu-serdadunya yang terbinasa, ia memberi keluarganya
lima ekor kuda serta empat tawanan Naiman sebagai budak.
Baru sekarang Wanyen Yung Chi sadar atas caranya bangsa Mongol itu berperang,
dengan gembira ia rundingkan itu.
Wanyen Lieh sebaliknya gentar hatinya. Dengan jumlah yang lebih kecil, Temuchin
dan Jamukha telah kalahkan musuhnya yang lebih besar jumlahnya.
"Dengan orang Mongol saling bunuh, maka kami bangsa Kim di Utara dapat merasai
aman sentosa," ia berpikir. "Kalau Temuchin dan Jamukha bisa persatukan pelbagai
suku bangsa Mongol itu, itu artinya negaraku tak aman lagi..." Oleh karena ini, ia
menjadi berpikir keras. Itu waktu terlihat pula debu mengepul jauh di sebelah depan. Itulah tanda dari
datangnya lagi satu pasukan perang.
"Bagus!" berseru Wanyen Yung Chi. "Hajar pula padanya!"
Akan tetapi juru warta Mongol datang dengan wartanya: "Wang Khan sendiri datang
dengan pasukan perangnya!"
Mendengar itu Temuchin bersama Jamukha dan Sangum lantas pergi menyambut.
Wang Khan tiba untuk lantas lompatb turun dari kudanya, terus ia tuntun Temuchin
dan Jamukha di tangan kiri dan kanannya, untuk berjalan kaki menemui dua saudara
Wanyen, di depan kuda dua saudara ini, ia menjalankan kehormatan.
Wanyen Lieh memasang mata kepada Wang Khan, yang tubuhnya gemuk, kumis dan
jenggotnya telah putih bagaikan perak. Dia mengenakan jubah hitam dari kulit
binatang tiauw dengan pinggang dilibat ikat pinggang emas. Nampaknya ia keren
sekali. Segera Wanyen Lieh turun dari kudanya, guna membalas menghormat. Tidak demikian
dengan Wanyen Yung Chi, yang Cuma rangkap kedua tangannya dari atas kuda.
"Hamba dengar bangsa Naiman hendak berbuat kurang ajar," berkata Wang Khan.
"Oleh karena khawatir kedua pangeran kaget maka hamba datang bersama tentaraku
ini. Syukur ketiga anak-anakku telah dapat membinasakan mereka!"
Lantas dengan hormat sekali, Wang Khan undung kedua utusan Kim itu datang ke
tendanya. Wanyen Lieh berpikir apabila ia dapatkan di dalam segala hal Wang Khan ada lebih
unggul dari Temuchin. Tidak heran kalau Khan ini menjagoi di Utara.. banyak suka
lainnya yang takluk padanya, dan tentaranya kuat. Ia menginsyafi ancaman bahaya
dari pihak ini. Setelah selesai upacara penganugerahan, malam itu Wang Khan jamu tetamunya. Ia
menyuguhkan nyanyian dan tari-tarian oleh budak-budak wanitanya. Ramai sekali
pesta itu. Tengah berpesta, Wanyen Lieh berkata: "Aku ingin menyaksikan orang-orang gagah
perkasa bangsa Mongolia."
"Dua anak angkatku ini adalah orang-orang gagah perkasa bangsa Mongol," berkata
Wang Khan sambil tertawa seraya menunjuk ke arah Temuchin dan Jamukha.
Sangum tidak puas mendengar perkataan ayahnya itu, untuk mengendalikan diri,
saban-saban ia cegluk arakanya dari cawannya yang besar.
Wanyen Lieh awas matanya, ia lihat ketidakpuasaan orang. "Putramu terlebih gagah
lagi," ia puji putra Khan itu. "Kenapa loo-enghiong tidak menyebut-nyebut dia?"
Sengaja pangeran Kim ini memanggil loo-enghiong, pendekar tua, kepada Khan itu.
"Jikalau aku telah menutup mata nanti, sudah sewajarnya dialah yang nanti
menggantikan aku memimpin suku kita," berkata Wang Khan sambil tertawa. "Dia
mana dapat dibandingkan dengan kedua anak angkatku" Jamukha pandai dan cerdik,
den Temuchin gagah tak tertandingkan. Dengan tangan kosong Temuchin bakal
membangun negara. Orang gagah yang mana yang tidak bakal menjual jiwanya untuk
Temuchin?" "Apakah sebawahan loo-engjiong tak dapat melawan dia?" Wanyen Lieh tanya.
Temuchin lirik putra raja Kim ini. Kata-kata orang ada mengandung pancingan atau
unsur merenggangkan. Ia lantas berhati-hati sendirinya.
Wang Khan urut kumisnya, ia tidak menjawab. Ia hanya menghirup araknya.
"Pernah bangsa Naiman rampas beberapa laksa binatang ternakku," katanya
kemudian. "Syukur Temuchin kirim empat panglimanya untuk membantu aku, dengan
begitu semua binatang itu dapat dirampas pulang. Anakku" Ah...."
Mendengar itu, air mukanya Sangum berubah, ia letaki cangkir araknya dengan
separuh dibanting. "Apakah kegunaanku?" Temuchin lekas berkata, "Istriku dirampas orang, untuk itu
adalah ayah angkatku dan saudara angkatku yang membantu aku merampas pulang."
"Bagaimana dengan empat panglimamu yang kesohor gagah itu?" Wanyen Lieh tanya.
"Mana mereka itu" Aku ingin melihatnya."
"Suruhlah mereka masuk kemari!" Wang Khan berkata pula pada Temuchin.
Denga perlahan-lahan Temuchin tepuk-tepuk tangannya, segera setelah itu empat
perwira masuk ke dalam tenda.
Wanyen Lieh mengawasi. Yang pertama adalah satu orang yang romannya lemah
lembut, yang kulitnya putih sekali. Dialah Mukhali yang pandai mengatur tentara.
Yang kedua ada bertubuh kekar dan sepasang matanya tajam seperti burung elang,
ialah sahabatnya Temuchin, yaitu Borchu. Yang ketiga ada berpotongan kecil dan
kate tetapi gesit gerakkannya, ia adalah Boroul. Dan yang keempat ada seorang
yang dengan seluruh lengannya bercacat bekas bacokan golok, yang mukanya merah
bagai darah. Dialah Chi'laun yang dulu hari pernah tolongi Temuchin dari ancaman
malapetaka. Merekalah orang-orang peperangan yang berjasa membangun negara
Mongolia yang Temuchin sendiri menyebutnya empat panglima gagah."
Wanyen Lieh puji mereka itu satu persatu, ia haturkan secawan arak pada masing-
masingnya. Habis orang minum, ia berkata pula: "Tadi di medan perang, ada satu
panglima dengan seragam hitam, dia menerjang musuh bukan main gagahnya. Siapakah
dia?" "Dia adalah Jebe, pemimpin komponiku yang baru," Temuchin menjawab.
"Coba suruh dia masuk kemari untuk minum satu cangkir," Wanyen Lieh minta.
Temuchin meluluskan, ia beri titah untuk memanggil Jebe.
Jebe sudah lantas muncul. Diberikan arak, ia menghanturkan terima kasih. Ketika
ia hendak hirup araknya itu, tiba-tiba Sangum berseru: "Kau cuma kepala komponi
yang rendah pangkatnya, cara bagaimana kau beri minum dari cawan emasku"!"
Jebe kaget berbareng murka. Batal ia minum, ia lantas mengawasi Temuchin.
Menurut kebiasaan bangsa Mongol, mencegah orang minum arak adalah satu
penghinaan besar, apapula dilakukan di muka orang banyak. Maka itu Temuchin
berpikir: "Dengan memandang ayah angkat, biar aku kasih dia ampun." "Mari cawan
itu! Aku berdahaga, kasih aku yang minum!" Ia ambil cawan itu dari tangannya
punggawanya itu, ia lantas tenggak isinya.
Dengan mata bengis Jebe awasi Sangum, terus ia bertindak keluar.
"Kau kembali!" Sangum memanggil dengan membentak.
Jebe tidak ambil peduli, ia bertindak terus seraya angkat kepalanya.
Sangum kecele, tetapi ia kata kepada Temuchin: "Saudara Temuchin ada punya empat
pendekar tetapi asal aku keluarkan satu makhluk, tentu empat-empatnya mereka
dapat dimakan habis dengan sekali telan!" ia pun tertawa dingin.
"Makhluk apakah itu?" Wanyen Yung Chi bertanya.
"Mari kita pergi keluar untuk melihatnya," Sangum mengajak.
"Kita lagi gembira minum arak di sini, kau hendak mengacau apa lagi!" Wang Khan
menegur putranya. Wanyen Yung Chi hendak melihat keramaian, ia berkata: "Minum arak saja pun
kurang gembira, mari kita melihat yang lainnya!" Ia pun lantas berbangkit dan
bertindak keluar. Terpaksa orang banyak turut keluar pula.
Di luar tenda, bangsa Mongol telah menumpuk beberapa ratus api unggun, mereka
tengah berminum, kapan mereka tampak Khan mereka muncul, semuanya lantas bangkit
berdiri. Di terangnya api unggun, Temuchin lihat wajahnya Jebe merah. Ia mengerti
bawahannya itu penasaran dan gusar. Ia tahu juga bagaimana mesti perlakukan
orang polos demikian. "Ambil arak!" ia menitah. Dia lantas dibawakan satu poci besar. Ia angkat poci
itu, terus ia berkata dengan nyaring: "Hari ini kita hajar bangsa Naiman hingga
mereka dapatkan kekalahan besar, dengan begitu kamu semua telah bercape lelah...!"
Tentara itu berteriak: "Adalah Wang Khan, Temuchin Kha Khan dan Jamukha Khan
yang memimpin kita menghajar mereka!"
"Hari ini aku telah lihat seseorang yang luar biasa beraninya yang sudah
menyerbu ke belakang barisan musuh," Temuchin berkata pula: "Beruntun tiga kali
dia menyerbu bolak-balik! Siapakah dia"!"
"Itulah Siphu-thio Jebe!" sahut banyak serdadu.
"Apa siphu-thio!" berkata Temuchin. "Dia-lah pekhu-thio!"
Dengan begitu, dengan sendirinya, sejenak itu juga, Temuchin telah naiki
pangkatnya Jebe menjadi pemimpin eskadron.
Untuk sejenak, orang melengak, tetapi segera mereka mengerti, maka dengan
kegirangan mereka berseru: "Jebe gagah berani, dia pantas menjadi pekhu-thio!"
"Ambil kopiah perangku!" kata Temuchin kepada Jelmi.
Jelmi menurut dan menyerahkan kopiah itu dengan kedua tangannya.
Temuchin menyambuti, terus ia angkat kopiahnya itu tinggi-tinggi. "Inilah
kopiahku, yang aku pakai untuk membasmi musuh!" dia berkata dengan suara
nyaring. "Sekarang hendak aku pakai ini sebagai gantinya cawan arak!"
Ia buka tutp poci arak, isinya ia tuang ke dalam kopiah besi itu. Ia lantas
menghirup satu ceglukan, habis itu, kopiah itu ia sadurkan kepada Jebe.
Pekhu-thio itu menjadi sangat bersyukur, sambil tekuk sebelah kakinya, ia
ulurkan tangannya untuk menyambuti, terus ia mencegluk beberapa kali.
"Biarpun cawan emas yang paling berharga di kolong langit ini, tidaklah itu
dapat melawan kopiah besi dari Kha Khan ini!" katanya perlahan.
Temuchin tersenyum. Ia sambuti pulang kopiahnya itu, untuk dipakai di kepalanya.
Semua punggawa dan serdadu Mongol itu tahu Jebe telah menerima penghinaan, akan
tetapi menyaksikan sikapnya pemimpin mereka itu, mereka lantas bertempik sorak.
"Sungguh satu manusia yang luar biasa!" pikir Wanyen Lieh. "Kalau sekarang dia
suruh Jebe mati, Jebe tentulah rela!"
Beda dari saudaranya, Wanyen Yung Chi justru pikirkan saja kata-katanya Sangum
tentang empat pahlawannya Temuchin. Ia suruh pengiringnya ambil kursi kulit
harimau, di atas itu ia duduk bercokol.
"Kau ada punya makhluk apa yang demikian hebat, hingga ia dapat menelan keempat
pahlawan?" dia tanya Sangum.
Sangum tersenyum. "Apakah emapt pahlawan saudara angkatnya Temuchin?" ia
mengulangi. "Mana dia empat pahlawan yang menggetarkan padang pasir itu?"
Mukhali berempat lantas menghampirinya dan memberi hormat sambil menjura.
Sangum berpaling, untuk bicara perlahan sekali dengan satu pengiringnya.
Pengiring itu menyahuti, terus ia mundurkan diri.
Tidak selang lama lantas orang mendengar suara mengaumnya seekor binatang liar,
disusul mana munculnya binatang itu sendiri, yaitu dua ekor macam tutul yang
besar, yang bulunya belang bertotolan, dua pasang matanya bersinar mencorot,
jalannya ayal-ayalan tetapi sikapnya sangat bengis.
Wanyen Yung Chi kaget hingga ia raba goloknya, setelah mana kedua macam tutul
itu sudah datang sekat api unggun, baru hatinya lega. Binatang itu dikalungi
dengan kalung kulit dan setiap ekornya dituntun dua orang yang tubuhnya besar,
mereka itu masing-masing mencekal sebatang galah. Sebab mereka itu adalah si
pemelihara binatang buas itu. Adalah umum orang Mongol memelihara macam tutul,
yang dipakai untuk berburu. Macam tutul baik tenaga maupun kegalakannya melebihi
anjing pemburu. Tapi binatang ini sangat kuat makannya, dari itu kalau bukannya
pangeran atau bangsawan, orang tak dapat memeliharanya.
"Kakak," kata Sangum kepada Temuchin. "Empat pahlawanmu adalah orang-orang
gagah, jikalau mereka dapat dengan tangan kosong membinasakan dua ekor macanku
ini, barulah aku sangat takluk kepadamu!"
Mendengar ini, keempat pahlawan menjadi sangat dongkol. Mereka dalam hati
kecilnya berkata: "Sudah kau hinakan Jebe, sekarang kau hinakan kami juga.
Adakah kami babi hutan atau serigala maka kami hendak diadu sama macan tutulmu?"
Juga Temuchin menjadi sangat tidak senang. Maka ia berkata: "Aku menyayangi
keempat pahlawanku sebagai jiwaku sendiri, cara bagaimana aku bisa biarkan
mereka berkelahi sama macan tutul?"
Sangum tertawa terbahak. "Begitu?" ia mengejek. "Buat apakah mengepul menjadi
orang gagah kalau dua ekor macanku saja takut dilawan?"
Diantara empat pahlawan itu, Chi'laun yang paling keras tabiatnya. Ia lantas
bertindak maju ke depan. "Khan yang maha besar," katanya, "Tidak apa orang
tertawakan kami, tetapi kau, tak dapat kau hilang muka! Nanti aku lawan macan
tutul itu!" Wanyen Yung Chi menjadi sangat girang. Ia lantas loloskan sebuah cincinnya yang


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermata berlian, ia lempari itu ke tanah. "Asal kau menang, cincin itu menjadi
kepunyaanmu!" katanya.
Chi'laun tidak pandang cincin itu, ia hanya bertindak lagi.
Mukhali tarik kawannya itu. Dia berkata: "Kita menggentarkan padang pasir,
membunuh musuh, kita telah membunuh cukup banyak, tetapi macan tutul" bisakah
binatang itu memimpin tentara" Bisakah binatang itu mengatur tentara bersembunyi
dan mengurung musuh?"
Temuchin pun segera berkata: " Saudara Sangum, kau menang!" Dan ia bertindak
menjemputi cincin tadi, untuk diletaki di tangannya saudara angkat itu.
Sangum masuki cincin itu ke jari tangannya, ia tertawa besar dan lama. Ia angkat
jari tangannya itu, ia pertontonkan ke empat penjuru. Tentaranya Wang Khan
lantas saja bersorak-sorai.
Jamukha mengerutkan alis, ia tapinya diam saja. Temuchin juga bersikap tenang
dan agung. Sampai di situ, empat pahlawannya itu mengundurkan diri.
Lenyap kegembiraannya Yung Chi karena gagal menyaksikan pertandingan antara
manusia lawan binatang liar itu, tak sudi ia minum arak lebih jauh, ia lants
pulang ke tendanya untuk tidur.
Besok paginya Tuli dan Kwee Ceng dengan bergandengan tangan pergi bermain, tanpa
terasa mereka bertindak semakin jauh dari tenda mereka. Tiba-tiba ada seekor
kelinci putih lari lewat di samping mereka. Tuli keluarkan panah kecilnya dan
memanah. Tepat kelinci itu terpanah perutnya. Tapi tenaganya Tuli sangat
terbatas, kelinci itu masih dapat lari terus dengan bawa anak panah yang nancap
diperutnya itu. Tuli bersama Kwee Ceng lantas mengejar dengan berteriak-teriak.
Kelinci itu lari serintasan, lantas ia roboh dengan sendirinya. Girang Tuli
berdua, mereka lompat maju untuk menubruk.
Justru itu dari samping mereka, yang merupakan rimba, muncul serombongan anak-
anak, satu yang berumur kira-kira sepuluh tahun, dengan sangat sebat, telah
mendahului menyambar binatang itu, dia cabut anak panahnya dan lalu ia buang ke
tanah, kemudian setelah ia mengawasi Tuli berdua, dia lari bersama bangkai
kelinci itu! Tuli lantas berteriak: "Eh, kelinci itu akulah yang memanahnya! Kenapa kau bawa
lari"!" Bocah itu menoleh, dia tertawa. "Siapa yang bilang, kau yang memanah?" tanyanya.
"Panah ini toh kepunyaanku!" jawab Tuli.
Bocah itu yang telah berhenti berlari berdiri sepasang alisnya, matanya pun
melotot. "Kelinci ini adalah piaraanku!" dia kata. "Sudah bagus aku tidak minta
ganti rugi!" "Tidak tahu malu!" bentak Tuli. "Terang ini adalah kelinci liar!"
Bocah itu galak, ia menghampiri Tuli dan mendorong pundak orang. "Kau maki
siapa"!" tegurnya. "Kakekku ialah Wang Khan! Ayahku ialah Sangum! kau tahu
tidak"! Taruh kata benar kelinci kaulah kau yang panahm kalau aku hendak ambil,
habis bagaimana"!"
"Ayahku Temuchin!" kata Tuli dengan sama jumbawanya.
"Fui!" bocah itu menghina. "Ayahmu adalah hantu cilik yang nyalinya kecil, dia
takuti kakekku, dia juga takuti ayahku!"
Bocah itu adalah Tusaga, putra tunggal dari Sangum atau cucunya Wang Khan.
Mulainya Sangum dapat satu putri, selang lama, barulah ia dapatkan putranya ini,
lalu ia tidak punya anak lain lagi. Karena itu, putranya ini sangat disayangi
dan dimanjakan, hingga Tusaga menjadi kepala besar. Temuchin telah berpisah lama
dengan Wang Khan dan Sangum, karenanya, anak-anak mereka tidak kenal satu sama
lain. Tuli gusar sekali yang ayahnya diperhina orang. "Siapa yang bilang"!" ia tanya
dengan bengis. "Ayahku tidak takuti siapa juga!"
"Ibumu telah orang rampas, adalah ayahku dan kakekku yang pergi menolongi
merampas pulang!" sahut Tusaga. "Apakah kau sangka aku tidak ketahui hal itu"
Maka apa artinya kalau aku naru ambil ini kelinci kecil?"
Memang dahulu hari Wang Khan telah bantu anak angkatnya itu, Sangum ingat baik-
baik peristiwa itu dan menceritakan kepada orang lain hingga Tusaga yang masih
kecil mendapat tahu juga. Sebaliknya Tuli tidak tahu suatu apa, sebab Temuchin
anggap hal itu memalukan dan tidak pernah memberitahukan putranya, apapula
putranya itu masih kecil.
Meski begitu, Tuli gusar sekali. "Akan aku beritahu ayahku!" katanya. Ia putar
tubuhnya untuk berlalu. Tusaga tertawa terbahak. "Ayahmu takuti ayahku, kau mengadu juga bisa apa?"
katanya. "Tadi malam ayahku keluarkan dua macan tutulnya, empat pahlawan dari
ayahmu lantas tak berni bergiming!"
Tuli bertambah gusar. Di antara empat pahlawan, Boroul adalah gurunya. "Guruku
tak takut harimau, apapula segala macan tutul!" serunya sengit. "Hanya guruku
tidak hendak melayani!"
Tiba-tiba Tusaga maju dan tangannya melayang ke kuping orang. "Kau berani
membantah"!" dia membentak. "Kau tidak takuti aku?"
Tuli melengak. Ia tidak sangka orang berani pukul padanya.
Kwee ceng panas hati semenjak tadi, sekarang ia tidak dapat mengatasi pula
dirinya. Dia maju dan seruduk perutnya Tusaga!
Putranya Sangum juga tidak menyangka-nyangka, tidak ampun lagi dia roboh
terjengkang. Tuli tertawa seraya tepuk-tepuk tangan. "Bagus!" dia bersorak.
Kemudian dengan tarik tangannya Kwee ceng, ia lari.
Kawan-kawannya Tusaga tidak tinggal diam dan mengejar, maka itu, mereka lantas
jadi berkelahi bergumul, kepalan dan kaki digunakan semua.
Tusaga murka sekali, dia merayap bangun, dia pun turut menyerbu. Pihaknya
kebanyakan terlebih tua usianya, dan merekapun berjumlah lebih banyak orang,
sebentar saja Kwee Ceng dan Tuli kena dipukul jatuh, lalu ditindihkan.
Tubuh Kwee Ceng diduduki Tusaga, sembari memukul bebokong orang, dia ini
berkata: "Kau menyerah, aku kasih ampun!"
Kwee Ceng berontak, sia-sia saja, ia tak dapat bergerak. Tuli pun tak dapat
bergeming, ditindih oleh dua lawan.
Dalam saat tegang dari bocah-bocah ini, dari kejauhan ada terdengar kelenengan
unta, lalu ditepi sungai tertampak rombongan pedagang dari gurun pasir. Salah
satu diantaranya yang menunggang kuda putih, tertawa apabila ia lihat bocah-
bocah itu sedang berkelahi.
"Bagus! Kamu lagi berkelahi!" katanya. Tapi kapan ia telah datang dekat dan
lihat dua anak dikepung beramai, dua bocah itu telah babak-belur dan matang biru
mukanya, ia kata nyaring: "Tidak malukah kamu"! Lekas lepaskan mereka!"
"Minggir! Jangan banyak omong disini!" bentak Tusaga. Dia adalah putranya satu
jago di Utara, dia termanjakan, siapapun tidak berani lawan padanya. Maka itu ia
menjadi besar kepala. "Hai anak, kau galak sekali!" kata penunggang kuda itu. "Lepas tanganmu!"
Ketika itu telah tiba beberapa yang lainnya, lalu satu nona berkata: "Shako,
jangan usilan, amri kita melanjutkan perjalanan."
"Kau lihat sendiri, kau lihat sendiri!" kata orang yang dipanggil shako itu -
shako - kakak nomor tiga.
Rombongan kalifah itu terdiri antaranya dari Kanglam Cit Koay, itu tujuh Manusia
Aneh dari Kanglam. Mereka dengar Toan Thian Tek kabur ke utara, mereka menyusul
hingga ke gurun pasir. Untuk enam tahun lamanya mereka mondar-mandir, selama itu
tidak pernah mereka dengar halnya si orang she Toan itu. Mereka semua mengerti
bahasa Mongol. Han Siauw Eng adalah si nona, apabila ia telah melihat denagn tegas, ia lompat
turun dari kudanya, ia tarik dua bocah yang mengerubuti Tuli, ia menyempar
hingga orang berguling. "Dua mengepung satu, tak malukah kamu"!" tegurnya.
Tuli lompat bangun begitu lekas ia merasai tubuhnya enteng.
Tusaga menyaksikan kejadian itu, ia heran. Justru ia melengek, Kwee Ceng
berontak dan loloskan dirinya seraya lompat bangun juga, lalu bersama kawannya
ia angkat kaki! "Kejar!" teriak Tusaga gusar. "Kejar!" Ia ajak kawan-kawannya mengubar.
Kanglam Cit Koay pada tersenyum, Mereka ingat masa kecilnya mereka, yang pun
bengal dan gemar berkelahi.
"Hayolah jalan!" berkata Kwa Tin Ok. "Kita jangan bikin pasar keburu bubar,
nanti kita tak dapat menanyai orang!"
Itu waktu Tusaga beramai telah dapat candak Tuli berdua, mereka itu kembali kena
dikurung. "Menyerah atau tidak?"Tusaga tanya.
Tuli dengan mata bersinar hawa amarah, menggelengkan kepala.
"Hajar lagi padanya!" Tusaga memberi komando. Anak-anak itu pun lantas maju.
Tiba-tiba sebuah benda berkelebat di tangannya Kwee Ceng. "Siapa berani maju!"
ia berseru. Nyata ia mencekal sebatang pisau belati.
Lie Peng menyayangi putranya, senjata peninggalan suaminya itu ia serahkan
kepada sang putra, untuk sang putra yang simpan. Ia mengharap pisau belati itu,
sebagai mustika dapat mengusir pengaruh-pengaruh jahat.
Menampak orang bersenjata, Tusaga semua tidak berani maju.
Biauw Ciu Si-seng Cu Cong, yang telah larikan kudanya, lihat sinar berkelebat
berkilau itu, ia manjadi heran. Banyak sudah ia mencuri barang-barang berharga
kepunyaan pembesar rakus atau hartawan jahat, maka itu matanya tak pernah salah.
"Benda itu pasti mustika adanya," ia berpikir. "Perlu aku lihat, benda apakah
itu..." Maka itu ia larikan kudanya ke arah anak-anak itu hingga ia menampak Kwee Ceng
dengan belati di tangan, sikapnya gagah sekali. ia menjadi heran. Kenapa sebuah
mustika berada di tangan satu bocah" Ia jadi awasi Kwee Ceng begitu pun semua
bocah lainnya. Semua mereka mengenakan kulit binatang yang mahal, kecuali Kwee
Ceng yang dilehernya pun berkalung gelang emas yang indah. Jadi mereka mestinya
adalah anak-anak bangsawan Mongolia.
"Mestinya bocah ini telah curi senjata ayahnya," si setan tangan ulung berpikir
pula. "Dia tentu curi itu untuk dibuat main. Bukannya tak halal kalau aku ambil
barangnya orang bansawan..."
Dengan timbul keinginannya akan punyai belati itu, Cu Cong lompat turun dari
kudanya, dia dekati semua bocah itu sambil ia tertawa haha-hihi.
"Jangan berkelahi, jangan berkelahi!" katanya. "Hayolah kamu baik-baik
bermain...!" Ia menyelip di antara bocah-bocah itu, atau sekejap saja belati di tangan Kwee
Ceng telah pindah ke dalam cekalannya. Jangan kata baharu Kwee Ceng, satu anak
kecil, walaupun orang kosen lainnya, pasti dapat senjatanya dirampasnya. Ia
lompat pula untuk naik ke atas kudanya, sambil tertawa berkakakan, ai susul
kawan-kawannya. "Tak jelek untungku hari ini, aku dapat mustika!" kata ia.
"Jieko, tak dapat kau ubah tabiatmu yang suka mencopet itu!" kata Siauw Bie To
Thio A Seng. "Mustika apakah itu" Mari kasih aku lihat," minta Lauw-sie In Hiap Coan Kim
Hoat. Cu Cong ayun tangannya, melemparkan. Bersinar berkilau belati itu diantara sinar
matahari, bagaikan sinar bianglala, hingga semua Kanglam Cit Koay heran dan
memuji. Kim Hoat pun merasa memegang benda yang rasanya dingin.
"Bagus!" ia segera memuji, lalu tangannya menyambar ke batu di dekatnya, batu
mana terus terbabat kutung. Kemudian ia lihat gagangnya pisau, ia jadi
terperanjat. Ia dapatkan ukiran dua huruf " Yo kang".
"Eh, ini namanya orang Han!" katanya. "Kenapa belati ini terjatuh ke dalam
tangan orang Mongol" Yo Kang" Yo Kang" Tidak pernah aku dengar orang gagah
dengan nama ini....Siapa tak gagah tak pantas ia mempunyai belati ini....."
Bab 9. Si Mayat Perunggu dan Si Mayat Besi
Untuk sesaat, Kim Hoat berdiam. Kemudian dia bertanya pula pada kakaknya yang
tertua, "Toako, takukah kau siapa Yo Kang?"
"Yo Kang" Tak pernah aku dengar nama itu..." jawab Tin Ok.
Yo Kang itu adalah nama yang Khu Cie Kee berikan untuk anak yang masih ada dalam
kandungannya Pauw Sek Yok, istrinya Yo Tiat Sim. Tiat Sim dan Siauw Thian telah
saling mengasih tanda mata belati yang terukir nama Yo Kang dan Kwee Ceng, dari
itu, tentu saja Kanglam Cit Koay tidak kenal nama Yo Kang itu.
Coan Kim Hoat sabar dan teliti, ia berpikir terus. Lantas ia ingat akan sesuatu. Ia berkata kemudian:
"Orang yang khu Totiang cari adalah istrinya Yo Tiat Sim. Entah Yo Kang ini ada
hubungannya sama Yo Tiat Sim atau tidak..."
Enam tahun sudah tujuh saudara ini merantau di gurun apsir tanpa ada hasilnya,
sekarang mereka dapati ada titik terang, mereka jadi bersemangat, mereka tak
hendak melepaskannya dengan begitu saja.
"Marilah kita tanya bocah itu!" Siauw Eng mengusulkan.
Han Po Kie mempunyai kuda yang paling gesit, ia mendahului berlari kepada
kawanan bocah itu yang telah kembali bergumul berkelahi. Ia berteriak-teriak
menyuruh mereka berhenti berkelahi, tetapi ia tidak dipedulikan, maka ia turun
dari kudanya, dan kemudian ia langsung tarik beberapa bocah dan balingkan mereka
ke pinggiran. Tusaga lihat orang kuat, ia tak berani berkelahi terus. Tapi ia tuding Tuli dan
menantang: "Dua ekor anjing cilik, jikalau kau berani, besok kita bertempur pula
disini!" "Baik, besok kita bertempur pula disini!" Tuli terima tantangan itu. Ia sudah
lantas memikir, kalau sebentar ia pulang, hendak ia meminta bantuan Ogatai,
kakaknya yang nomor tiga, dengan siapa ia paling erat hubungannya, sedang
kakaknya itupun kuat. Ia percaya Ogagati akan suka membantu padanya.
Kwee ceng dengan muka berlumuran darah, mengulurkan tangannya pada Cu Cong.
"Mari kasih pulang!" katanya. Dengan berani ia minta belatinya kembali.
"Gampang untuk pulangi padamu!" kata Cu Cong sambil tertawa, seraya tangannya
mencekal belati orang. Tapi kau mesti omong dulu biar terang, darimana kau
peroleh belati ini?"
Dengan tangan bajunya Kwee ceng susuti darah yang masih mengalir dari hidungnya.
"Ibuku yang berikan padaku," sahutnya.
"Apakah she ayahmu?" Cu Cong tanya pula.
Bocah itu melengak. Ia tak punya ayah, tak dapat ia menjawab. Kemudian ia
menggeleng kepalanya. Cit Koay lihat orang rada tolol, mereka menjadi putus asa.
"Apakah kau she Yo?" Coan Kim Hoat kemudian menanya. Ia penasaran.
Kwee menggeleng-gelengkan kepalanya pula.
Kanglam Cit Koay paling menjunjung kehormatan, mereka pegang satu kepercayaan
sekalipun terhadap satu bocah, maka itu Cu Cong lantas serahkan belati itu
kembali kepada Kwee Ceng., sedang Han Siauw Eng keluarkan sapu tangannya, untuk
susuti orang punya darah di hidung.
"Pergilah kau pulang," katanya dengan halus dan ramah. "Lain kali jangan kau
berkelahi pula." Lantas Cit Koay berangkat, akan susul rombongan kalifah yang mereka ikuti. Kwee
Ceng menjublak mengawasi orang pergi.
"Kwee Ceng, mari pulang!" Tuli lantas mengajak.
Cit Koay belum jalan jauh. Tin Ok mempunyai kupingnya paling lihay
pendengarannya dibandingkan dengan saudara-saudaranya, ia dengar panggilan "Kwee
Ceng" dari Tuli, mendadak ia rasai tubuhnya menggetar, tanpa bersangsi pula, ia
putar kudanya akan kembali kepada si bocah.
"Eh, anak, apakah kau bernama Kwee Ceng?" ia tanya dengan sabar.
Kwee Ceng menberikan penyahutan yang membenarkan.
Bukan kepalang girangnya Tin Ok. "Siapakah nama ibumu?" tanya pula, cepat.
"Ibu ialah ibu...." Kwee Ceng menjawab.
Tin Ok menggaruk-garuk kepalanya. "Mari antar aku kepada ibumu, Maukah kau?" ia
tanya lagi. "Ibuku tidak ada disini," bocah itu menjawab.
Tin Ok dengar suara yang tak simpatik. Kemudian dia berkata kepada adiknya
paling kecil, "Cit moay, kaulah ynag tanya dia."
Siauw Eng lompat turun dari kudanya dan ia menghampiri bocah itu. "Mana ayahmu?"
dia tanya, suaranya tetap ramah.
"Orang telah celakai ayahku hingga terbinasa," sahut bocah itu. "Nanti kalau aku
sudah besar, hendak aku cari musuh itu untuk membalaskan sakit hati ayahku!"
"Apakah namanya ayahmu itu?" Siauw Eng tanya pula. Ia bernafsu, hingga suaranya
sedikit menggetar. Kwee Ceng menggoyang kepala.
"Siapakah namanya itu orang yang membunuh ayahmu"!" Tin Ok turt tanya, suaranya
dingin. Sambil kertak gigi, Kwee Ceng jawab: "Dia bernama Toan Thian Tek!"
Memang Lie Peng telah memberitahukan kepada anaknya itu she dan namanya Thian
Tek, malah roman mukanya dan potongan tubuhnya.
Nyonya Kwee tahu, jiwanya terancam bayaha sembarang waktu, maka itu ia telah
berikan penjelasan kepada anaknya, supaya apabila ada terjadi sesautu atas
dirinya, putranya itu sudah tahu segala sesuatunya. Ia pun telah
memberitahukannya berulangkali, hingga Kwee Ceng ingat semua itu.
Cit Koay girang bukan kepalang, si nona Han sampai berseru, sedang Kwa Tin Ok
memuji kepada Thian. Lucunya adalah Thio A Seng, yang sudah rangkul Lam Hie Jin,
sementara si cebol Han Po Kie jumpalitan si atas kudanya.
Tuli dan Kwee Ceng mengawasi, mereka merasa lucu dan heran.
"Adik kecil, mari duduk, mari kita bicara perlahan-lahan..." nona Han berkata
dengan suaranya ynag tetap ramah.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mari pulang!" mengajak Tuli, Ia hendak cari kakaknya yang ketiga, untuk ajaki
saudarany itu besok membantui ia melawan Tusaga.
"Aku mau pulang," Kwee ceng berkata kepada Han Siauw Eng. Ia tarik tangannya
Tuli dan ia putari tubuhnya, untuk berjalan pergi.
"Eh, eh, tunggu dulu," Po Kie memanggil. "Kau tak dapat pergi! Biarkan sahabatmu
pulang lebih dulu..!"
Melihat sikap orang yang luar biasa, dua bocah itu menjadi takut, mereka lantas
lari. Po Kie berlompat, untuk sambar pundaknya Kwee Ceng.
"Shatee, jangan semberono!" Cu Cong cegah adiknya yang nomor tiga itu. Ia pun
bergerak, untuk halangi tangan adiknya.
Po Kie heran, ia batal membekuk bocah itu.
Cu Cong lari untuk susul kedua bocah itu, ia lantas jemput tiga butir batu
kecil. "Aku akan main sulap untuk kamu!" katanya sembari tertawa, sikapnya
manis. Tuli dan Kwee Ceng berhenti berlari, mereka berdiam mengawasi.
Cu Cong genggam ketiga batu itu di telapak tangan kanannya. "Menghilanglah!" ia
berseru. Kapan ia membuka kepalan tangannya, batu itu telah lenyap.
Kedua bocah itu heran, mereka mendelong.
"Nelusup masuk!" seru Cu Cong, yang tepuk kopiahnya. Terus ia buka kopiahnya
itu, di dalam situ ada tiga butir batu itu.
"Bagus!" seru Tuli dan Kwee Ceng. Tanpa merasa, mereka menjadi tertarik.
Itu waktu terdengar suara belibis mendatangi, lalu tertampak burungnya terbang
mendatangi dalam dua rombongan, datangnya dari utara.
"Akan aku suruh toako main sulap," kata ia, yang dapat pikiran baru. Ia lantas
rogoh keluar sepotong sapu tangan, yang mana ia kasihkan kepada Tuli, sambil
menunjuk kepada Kwa Tin Ok, ia kata: "Kau tutup matanya."
Tuli menurut, ia ikat matanya orang she Kwa itu. "Mau main petak umpat?"
tanyanya tertawa. "Bukan," sahut Cu Cong. "Tanpa mata, ia dapat panah burung belibis itu." Ia
terus serahkan gendewa dan anak panah kepada kakaknya.
"Aku tidak percaya," kata Tuli.
Itu waktu kedua rombongan belibis sudah terbang mendekat, Cu Cong menimpuk
dengan tiga butir batunya, membuat burung-burung itu menjadi kaget, yang jadi
pemimpinnya berbunyi. Justru karena burung itu berbunyi dan hendak merubah
tujuan, panahnya Tin Ok sudah meleset, jitu sekali, burung itu terpanah batang
lehernya dan bersama anak panahnya, jatuh ke tanah.
"Bagus! Bagus!" Tuli dan Kwee Ceng berseru dengan gembira. Mereka pun lari untuk
pungut burung itu, hendak diserahkan pada Kwa Tin Ok. Mereka sangat kagum.
"Tadi mereka bertujuh atau berdelapan mengerubuti kamu berdua," berkata Cu Cong.
"Coba kamu ada punya kepandaian, kamu tidak usah takut lagi kepada mereka."
"Besok kita bakal berkelahi pula, aku akan minta bantuan kakakku," kata Tuli.
"Minta bantuan kakakmu?" kata Cu Cong. "Hm, itulah tidak ada faedahnya. Aku akan
ajari kau sedikit kepandaian, aku tanggung besok kamu bakal dapat kalahkan
mereka." "Kami berdua dapat kalahkan mereka berdelapan?" tegaskan Tuli.
"Ya!" Cu Cong beri kepastian.
Tuli girang sekali. "Baik! Nah, kau ajarkanlah aku!"
Cu Cong awasi Kwee Ceng, yang berdiri diam saja, dia agaknya tidak tertarik.
"Apakah kau tidak ingin belajar?" ia tanya bocah itu.
"Ibuku bilang, tidak boleh aku berkelahi," Kwee Ceng menjawab. "Kalau aku
belajar kepandaian untuk memukul orang, ibu tnetu tidak senang."
"Hm, bocah bernyali kecil!" kata Po Kie perlahan.
"Habis, kenapa tadi kamu berkelahi?" Cu Cong tanya lagi.
"Mereka itu yang serang kami duluan." jawab Kwee Ceng lagi.
Tin Ok campur bicara, suaranya tetap dingin: "Kalau kau bertemu dengan sama Toan
Thian Tek, musuhmu itu, habis bagaimana"!" ia tanya.
Kedua matanya Kwee Ceng bersinar. "Akan aku bunuh dia, untuk balaskan dendaman
ayahku!" sahutnya. "Ayahmu pandai silat, dia masih dapat dibunuh musuhnya," Ton Ok kata pula. "Kau
tidak belajar ilmu kepandaian, bagaimana kau dapat membalas dendam?"
Kwee Ceng tercengang. Kemudian air matanya mengalir keluar.
Cu Cong menunjuk ke gunung di sebelah kiri. "Kalau kau hendak belajar kepandaian
guna menuntut balas untuk ayahmu," ia bilang. "Sebentar tengah malam kau pergi
ke sana untuk cari kami. Cuma kamu sendiri yang dapat datang, kau tidak boleh
beritahukan kepada orang lain. Kau berani tidak" Apakah kau takut setan?"
Kwee Ceng masih berdiri menjublak.
"Kau ajarakan aku saja!" Tuli bilang.
Tiba-tiba Cu Cong tarik tangannya bocah itu, kakinya mengaggaet.
Tuli rubuh seketika. Ia merayap bangun dengan murka."Kenapa kau serang aku?"
tegurnya. "Ini dia yang dibilang ilmu kepandaian," Cu Cong tertawa. "Mengertikah kau?"
Nyata Tuli sangat cerdas, segera ia mengerti. Ia manggut-manggut. "Coba ajarakan
aku pula," ia minta.
Cu Cong menyambar dengan kepalannya, Tuli berkelit ke kiri. Tapi di sini ia
dipapaki tangan kiri si penyerang, tepat kena hidungnya, tapi Cuma hidung
nempel, kepalan kiri itu segera ditarik pulang.
Bukan kepalang girangnya putra Temuchin itu. "Bagus! bagus!" ia berseru. "Kau
ajari aku lagi!" Cu Cong mendak, untuk mendongko, lalu ia seruduk pinggang orang. Tampa ampun
Tuli berguling, tapi belum sempat ia terbanting ke tanah, Coan Kim Hoat sudah
sambar tubuhnya, untuk di kasih tetap berdiri .
"Paman, ajari aku pula!" seru Tuli. Ia girang luar biasa.
"Sekarang kau pelajari dulu tiga jurus ini," kata Cu Cong sambil tertawa. "Kalau
kau sudah bisa, orang dewasa juga nanti tidak gampang-gampang kalahkan kau.
Cukup sudah!" Ia lantas berpaling kepada Kwee Ceng, akan tanya, "Apakah kau pun
sudah mengerti?" Kwee Ceng lagi menjublak, ia menggeleng kepala.
Cit Koay hilang kegembiraannya melihat Tuli demikian cerdas tapi bocah she Kwee
ini begitu tolol. Siauw Eng sampai menghela napas dan air matanya berlinang.
"Sudah, kita jangan terlalu capekan hati sekarang," kata Kim Hoat kemudian.
"Paling benar kita sambut ibu dan anak ini pulang ke Kanglam, kita serahkan
mereka kepada Khu Totiang. Dalam hal janji pibu, kita menyerah kalah saja..."
"Anak ini miskin bakatnya, dia tak berbakatbelajar silat," bilang Cu Cong.
"Ya, aku lihat dia tidak punya kekerasan hati," kata Po Kie. "Ia bakal gagal..."
Dalam dialek orang Kanglam, Cit Koay berdamai.
"Nach, pergilah kamu!" kata Siauw Eng akhirnya. Ia ulurkan tangan kepada kedua
bocah itu, atas mana Tuli tarik tangan Kwee Ceng untuk diajak pergi, ia snediri
sangat kegirangan. Selama mereka itu berbicara, Cuma Lam San Ciauw-cu Lam Hie Jin si Tukang Kayu
dari Lam San, Gunung Selatan yang berdiam saja.
"Eh, sietee, apa katamu?" Tin Ok tegur adiknya yang keempat itu.
"Baik," sahut Lam Hie Jin.
"Apa yang baik?" menegaskan Cu Cong.
"Anak itu baik," jawab adik keempatnya itu.
"Beginilah biasanya sieko!" kata Siauw Eng, tak sabaran. "Susah sekali untuk
sieko membuka mulut emasnya, tak hendak ia mengatakannya lebih sepatah kata!"
Hie Jin tertawa. "Di waktu kecil, aku tolol sekali," katanya. Lam San Ciauw-cu
memang pendiam, untuk mengeluarkan sepatah kata, ia memikirkan dahulu, maka itu
asal ia membuka mulut, kata-katanya tentu tepat. Karena itu juga, enam
saudaranya biasa hargakan pikirannya. Sekarang mendengar keterangannya itu,
mereka bagaikan mendapat sinar terang.
"Kalau begitu, kita tunggu sampai nanti malam," kata Cu Cong kemudian. "Kita
lihat dia berani taua tidak datang seorang diri."
"Kebanyakan ia tidak berani," kata Kim Hoat. "Baik aku cari tahu dulu tempat
tinggalnya." Dan ia lompat turun dari kudanya, dari jauh-jauh ia mengikuti Kwee
Ceng dan Tuli. Ia lihat mereka masuk ke dalam tenda.
Malam itu Cit Koay berkumpul di atas bukit. Mereka menanti sampai tengah malam,
sampai bintang-bintang mulai menggeser, tak ada bayangan Kwee Ceng si bocah itu.
Cu Cong lantas saja menghela napas.
"Kanglam Cit Koay sudah malang melintang seumur hidupnya, kali ini mereka rubuh
di tangannya satu imam...!" katanya masgul.
Selagi tujuh saudara itu berduka, tiba-tiba Po Kie berseru tertahan: "Eh..!" dan
tangannya pun menunjuk ke depan di mana ada gombolan pohon, "Apa itu?" katanya.
Ketika itu sang rembulan yang terang sudah sampai di tengah-tengah langit,
sinarnya sampai kepada rumput tabal di mana ada tiga tumpuk benda putih yang
nampaknya aneh. Coan Kim Hoat lompat menghampiri benda itu, maka ia kenali itu sekumpulan
tengkorak, yang bertumpuk rapi dalam tiga tumpukan. "Entah bocah nakal siapa
sudah bermain di sini, tengkorak orang diatur begini..." katanya. "Eh...apakah ini"
Jieko, mari!" Suaranya sangat kedengarannya sangat terkejut, maka kecuali Kwa Tin Ok, yang
lima saudara lainnya lantas menghampiri saudara she Coan itu. "Lihat!" katanya
lagi kemudian, yang sodorkan sebuah tengkorak kepada Cu Cong.
Cu Cong dapatkan lima liang di embun-embunan tengkorak itu, romannya seperti
bekas jari tangan. Ia ulur tangannya, tepat lima jarinya masuk ke dalam semua
laing itu. Jadi itu bukanlah perkerjaannya satu bocah cilik. Ia pungut dua
tengkorak lainnya, di situpun kedapatan masing-masing lima jari tangan yang
sama. Ia jadi heran dan bersangsi.
"Mustahil benar ada orang membuat liang ini dengan jeriji tangannya?" ia kata
dalam hatinya. Ia tak berani utarakan kesangsiannya ini.
"Mungkinkah disini ada hantu gunung?" tanya Siauw Eng. "Hantu tukang geregas
manusia..." "Benar, itulah siluman," Po Kie membenarkan adiknya itu.
"Tetapi kenapa tengkorak-tengkorak ini diatur begini rapi?" Kim Hoat tanya.
Saudara ini bersangsi. Kwa Tin Ok dengar saudara-saudaranya itu berbicara. Tiba-tina ia lompat
mendekati mereka itu. "Bagaimana itu diatur rapinya?" tanya ia.
"Semuanya terdiri dari tiga tumpuk, teraur sebagai segi tiga, dan saban
tumpukannya sembilan tengkorak." Coan Kim Hoat kasih keterangan pada kakaknya
yang tak dapat melihat itu.
"Benarkah itu terbagi pula dalam tiga tingkat?" Tin Ok tanya. "Tingkat ynag
bawah lima, tingkat tengah tiga dan tingkat atas satu buah?"
"Eh, toako!" seru Kim Hoat heran. "Kenapa toako ketahui itu?"
Tin Ok perlihatkan roman cemas. Ia tidak menjawab. Hanya segera I berkata:
"Lekas jalan seratus tindak, ke arah timur utara dan barat utara! Lihat ada
apakah di sana!" Menampak sikap luar biasa dari saudara tua itu, yang biasanya sangat tabah, enam
adik angkat itu lekas bekerja, yang tiga pergi ke timur utara, yang tiga lagi ke
barat utara. "Disini pun ada tumpukan tengkorak!" begitu suaranya Han Siauw Eng di timur
utara dan Thi A Seng di barat utara.
Kwa Tin Ok lari ke arah barat utara itu. "Inilah saat mati hidup kita, jangan
bersuara keras," kata ia, suaranya perlahan tetapi nadanya tegas.
Thio A Seng bertiga terkejut.
Tin Ok lantas lari ke arah timur utara ke Han Siauw Eng, ia pun cegah mereka
bertiga omong keras-keras.
"Siluman atau musuh?" tanya Cu Cong.
"Mataku buta, kakiku pincang, semua itu adalah hadiah mereka..." sahut kakak
tertua ini. A Seng bertiga lari berkumpul sama kakak mereka itu, mereka dengar perkataan si
kakak, mereka semuanya jadi heran.
Tin Ok angkat saudara sama enam orang itu, cinta mereka bagaikan cintanya
saudara-saudara kandung, meski begitu, ia paling benci orang menyebut-nyebut
cacadnya itu. Semua saudaranya sangka, cacadnya itu disebabkan kecelekan
semenjak kecil, tidak ada yang berani menanyakan, sekarang barulah mereka itu
ketahui, itulah sebabnya perbuatan musuh. Tin Ok Demikian lihay, ia toh kalah,
dari situ bisa diduga betapa lihaynya musuh itu.
"Apakah tumpukan disini pun tiga?" tanya Tin Ok.
"Benar," sahut Siauw Eng.
"Dan setiap tumpukannya terdiri dari sembilan tengkorak?" sekali ini Tin Ok
menanya perlahan sekali. Nona Han menghitung. "Yang satu sembilan," jawabnya kemudian, "Yang satunya
delapan..." "Coba hitung yang sebelah sana, lekas!" kata Tin Ok mendesak sekali.
Siauw Eng lari ke barat utara, sambil membungkuk ia menghitung, dengan lekas,
lalu dengan lekas pula ia lari balik.
"Yang di sana setiap tumpukannya tujuh tengkorak," ia beritahu.
"Kalau begitu, mereka akan segera kembali!" kata Tin Ok, kembali dengan suara
perlahan. Enam saudara itu mengawasi dengan melengak, mereka menantikan penjelasan.
"Merekalah Tong Sie dan Tiat Sie," Tin Ok bilang.
Cu Cong terkejut hingga ia berjingkrak. "Bukankah Tong Sie dan Tat Sie sudah
lama mati?" dia tanya. "Kenapa mereka masih ada di dalam dunia ini?"
"Aku juga menyangka mereka sudah mati, kiranya mereka sembuniy disini dan secara
diam-diam tengah menyakinkan ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw," kata Tin Ok. "Saudara-
saudara lekas naik ke kudamu masing-masing, segera kabur ke selatan, sekali-kali
jangan kamu kembali! Sesudah kabur seribu lie, tunggu aku selama sepuluh hari,
jikalau sepuluh hari aku tidak datang menyusul kamu, kamu tidak usah menunggui
lebih lama lagi...!"
"Toako, apakah katamu?" tanya Siauw Eng gelisah. "Kita sudah minum arak
bercampur darah, kita sudah bersumpah untuk hidup atau mati bersama, maka itu
kenapa kau anjurkan kita lari menyingkir?"
Tin Ok goyangi tangannya berulang-ulang. "Lekas pergi, lekas pergi!" katanya
mendesak. "Lambat sedikit atau sudah tidak keburu lagi!"
Han Po Kie menjadi gusar. "Apakah kau sangka kita orang-orang yang tidak
berbudi"!" dia tanya membentak.
"Mereka berdua lihay luar biasa," Tin Ok bilang, "Mereka sekarang lagi
menyakinkan ilmu Kiu im Pek-kut Jiauw itu, walaupun mereka belum dapat
merampunginya, mereka toh sudah paham delapan atau sembilan bagian, dari itu
sekalipun kita bertujuh, kita pasti bukan tandingan mereka. Kenapa kita mesti
antaran jiwa secara sia-sia?"
Enam saudara itu ketahui kakak mereka ini beradat tinggi, belum pernah ia puji
kepandaian lain orang, sekali pula Khu Cie Kee yang lihay, dia berani lawan,
tetapi sekarang ia jeri terhadap dua orang itu, Tong Sie si Mayat Perunggu dan
Tiat Sie si mayat Besi, mereka mau percaya sang kakak tidaklah tengah berdusta.
Tentu saja, karenanya mereka menjadi ragu-ragu.
"Kalau begitu, marilah kita pergi bersama-sama," Kim Hoat mengajak.
Tin Ok tidak setuju, dengan dingin ia berkata: "Mereka sudah celakai aku seumur
hidup, saki hati ini tak dapat tidak dibalas!"
Lam Hie Jin segera campur bicara. "Ada rejeki kita mencicipi bersama, ada
kesusahan kita derita bersama juga!" katanya. Ia omong singkat tetapi kata-
katanya sangat tepat yang tak dapat diubah lagi.
Tin Ok menjadi diam dan berpikir. Sadarlah ia bahwa saudara-saudaranya itu sudah
berkeputusan bulat. Dia akhirnya menghela napas. "Baiklah kalau begitu," katanya
kemudian. "Aku cuma minta kalian semua suka berlaku hati-hati. Tong Sie itu
ialah pria dan Tat Sie itu wanita, mereka berdua itu adalah suami-istri.
Sekarang ini tak ada tempo untuk menjelaskan tentang mereka itu, Cuma hendak aku
pesan masing-masing jaga lah diri dengan hati-hati dari cengkraman mereka. Liok-
tee, coba jalan seratus tindak ke selatan, lihat benar atau tidak di sana ada
sebuah peti mati." Coan Kim Hoat, adik yang nomor enam, segera lari ke arah selatan. Setelah
seratus tindak, ia tidak lihat peti mati yang disebutukan kakaknya itu, ia Cuma
nampak unjungnya sebuah batu lempangan muncul dari dalam tanah, batu itu kotor
dengan tanah dan ketutupan rumput hijau. Ia tarik batu itu tetapi tidak
bergeming. Dengan menggape, ia panggil saudara-saudaranya yeng mengawasi ke
arahnya. Mereka itu segera saja menghampirinya. Thio A Seng, Lam Hie Jin dan Han Po Kie,
setelah melihat batu itu, bantui saudaranya untuk mencabut. Sekarang barulah
papan batu itu dapat disingkirkan. Di bawah sinar rembulan, di bawah batu itu
tertampak sebuat peti mati bercorak kotak atau peti batu dan di dalam situ rebah
dua mayat. Kwa Tin Ok, setelah ia diberitahukan adanya kedua mayat itu, sudah lantas lompat
turun ke dalam peti mati yang besar itu.
"Musuhku itu bakal lekas datang kemari untuk melatih ilmu silatnya itu, sebagai
alatnya ialah kedua mayat ini," berkata ia, "Maka itu sekarang hendak aku
sembunyi di sini, untuk bokong pada mereka. Saudara-saudara pergi kau ambil
tempat berlindung di empat penjuru, jaga supaya mereka tidak dapat ketahui. Kamu
mesti menunggu sampai aku telah tidak dapat bertahan, baru kamu keluar untuk
mengepung mereka, itu waktu jangan kamu main kasihan-kasihan lagi. Cara


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membokong ini bukanlah cara yang benar akan tetapi musuh terlalu tangguh dan
telangas, tanpa cara ini jiwa kita bertujuh bakalan tidak dapat ditolongi lagi!"
Tin Ok omong dengan perlahan-lahan, tapi kata-katanya ditandaskan setiap patah.
Semua saudaranya itu menyahuti dengan janji akan menaati.
"Nusuh itu sangat cerdik dan getap," Tin Ok berkata pula dengan pesannya,
"Sedikit saja ada kelisikan, mereka bakal dapat tahu. Sekarang tutuplah papan
batu ini, Cuma tinggali sedikit liang kecil untuk aku bernapas."
Enam saudara itu menurut, mereka lantas bekerja. Perlahan-lahan mereka letaki
tutup peti mayat yang istimewa itu. Kemudian, denagn siapakn masing-masing
senjatanya, mereka pencar diri ke empat penjuru untuk sembunyi sambil memasang
mata. Di situ ada banyak pepohonan dan rumput tebal.
Han Siauw Eng adalah orang yang hatinya paling berkhawatir dan paling heran
pula. Semenjak ia kenal kakaknya yang tertua itu, inilah pertama kalinya ia
dapatkan sikap yang tegang sekali dari kakaknya itu. Ia bersembunyi di samping
Cu Cong, maka itu sambil berbisik ia tanya ini kakak nomor dua: "Jieko, Tong Sie
dan Tiat Sie itu makhluk macam apa?"
"Merekalah yang di dalam dunia kang-ouw kesohor sebagai Hek Hong Siang Sat,"
sahut sang kakak denagn perlahan. "Di masanya mereka itu malang-melintang di
utara, kau masih kecil sekali citmoay, maka itu kau tidak ketahui tentang
mereka. Dua orang itu snagat kejam, ilmu silat mereka lihay sekali, baik di
Jalan Hitam, maupun di Jalan Putih, siapa dengar mereka, hatinya ciut. Bukan
sedikit orang gagah yang roboh di tangan mereka itu."
"Kenapakah mereka itu tak hendak dikepung beramai-ramai?" Siauw Eng tanya pula.
"Menurut katanya mendiang guru," Cu Cong menerangkan pula, "Orang-orang gagah
dari Selatan dan Utara Sungai Besar pernah tiga kali mengadakan perhimpunan
besar di gunung Heng San, lalu beruntun tiga tahun mereka mencoba mengepung Hek
Hong Siang Sat, mereka itu dapat lolos. Begitu lihat banyak orang, mereka lantas
sembunyikan diri, setelah orang bubaran, mereka muncul pula. Setahu bagaimana,
belakangan orang tidak lihat lagi bekas-bekas tapak mereka, maka beberapa tahun
kemudian orang anggap, karena dosa kejahatannya sudah meluap, mereka itu telah
menemui ajalnya. Tidak disangka-sangka sekarang, di tempat belukar seperti ini,
di tara ini, kita menemui mereka itu."
"Apakah nama mereka itu?" Siauw Eng masih menanya.
"Yang pria, yang disebut Tong Sie itu, si Mayat Perunggu, bernama Tan Hian
Hong," sahut kakak keduanya itu. "Dia berparas muka semu kuning hangus seperti
perunggu, pada wajahnya itu tak pernah tampak tanda kemurkaan atau tertawa, dia
beroman seperti mayat saja, maka itu orang juluki dia Tong Sie."
"Kalau begitu yang wanita, Tiat Sie itu, mestinya berkulit hitam legam?"
"Tidak salah! Dia she Bwee, namanya Tiauw Hong."
"Toako menyebut ilmu Kiu Im Pek-kut Jiauw, ilmu apakah itu?" tanya adiknya lagi.
"Tentang ilmu itu belum pernah aku mendengarnya," jawab sang kakak.
Siauw Eng diam sejenak. Lalu ia menyambung lagi, "Kenapa toako tak pernah sebut-
sebut itu" Mustahilkah..."
Nona ini berhenti berbicara dengan tiba-tiba, sebab Cu Cong mendekap mulutnya
yang kecil mungil itu. "Sstt!" berbisik sang kakak itu seraya tangannya menunjuk ke bawah bukit.
Siauw Eng segera memasang matanya ke arah tempat ynag ditunjuk itu. Di bawah
terangnya sinar rembulan, ia tampak seuatu benda hitam lagi bergerak-gerak cepat
di atas tanah berpasir. "Sungguh memalukan," ia mengeluh di dalam hatinya, "Kiranya jieko waspada
sekali, sambil memberi keterangan padaku, ia terus pasang matanya."
Sebentar saja benda itu sudah datang semakin dekat. Maka sekarang tampaklah
dengan nyata: Itulah dua orang, yang berjalan rapat satu dengan lain, hingga
mereka merupakan sebagai satu bayangan yang besar.
Enam saudara dari Kanglam itu menahan napas, semuanya bersipa sedia. Cu Cong
cekal kipasnya peranti menotok jalan darah. Siauw Eng tancap pedangnya ke tanah,
guna cegah sinarnya berkilauan.
Sekarang terdengar suara pasir disebabkan tindakan kaki, suara itu menyebabkan
ketegangan di hati ke enam bersaudara itu.
Kapan sebentar kemudian tindakan kaki tak menerbitkan suara pula, di atas bukit
itu tertampak dua orang bagai bayangan, berdiri diam. Dilihat dari kepalanya,
yang memakai kopiah kulit, yang satu mirip orang Mongol. Ynag kedua yang
rambutnya panjang dan memain atas tiupan angin, adalah seorang wanita.
"Mestinya dia Tong Sie dan Tiat Sie," pikir Siauw Eng. "Sekarang ingin aku
saksikan bagaimana mereka melatih diri...."
Si wanita sudah lantas berjalan mengitari si pria, nyata terdengar buku tulang-
tulangnya bersuara meretek, mengikuti jalannya, dari lambat menjadi cepat,
suaranya semakin keras. Enam saudara itu menjadi heran. "Tenaga dalamnya begitu hebat, pantas toako
memuji mereka," pikir mereka.
Wanita itu gerak-geraki kedua tangannya, diulur dan ditarik, saban-saban
terdengar suara mereteknya. Rambutnya pun mengikuti bergerak-gerak juga.
Siauw Eng bernyali besar tetapi ia toh menggigil pula.
Tiba-tiba si wanita itu angkat tangan kanannya, disusul sama tangan kirinya
menyerang dada si pria. Heran enam saudara itu. "Dapatkah si pria, degan darah dagingnya manusia,
bertahan terhadap serangan itu?" tanya mereka di dalam hati.
Selagi begitu, si wanita sudah menyerang pula, ke perut, beruntun hingga tujuh
kali, setiap serangan bertambah cepat, bertambah hebat. Si pria tapinya mirip
mayat, tubuhnya tidaj bergeming, ia tak bersuara. Tapat sampai pukulan yang ke
sembilan, wanita itu lompat mencelat, jumpalitan, kepala di bawah, kaki di atas,
tangan kirinya menyambar kopiah si pria, tangan kanannya, dengan lima jari,
mencengkeram ke ubun-ubun si pria.
Hampir Siauw Eng menjerit karena kagetnya. Si wanita sebaliknya tertawa besar
dan panjang, kapan tangan kanannya di tarik, lima jarinya berlumuran darah pula.
Sembari mengawasi tangannya itu, ia masih tertawa. Tiba-tiba saja ia menoleh ke
arah Siauw Eng, hingga si nona dapat nampak wajah orang - satu wajah hitam
manis, usianya ditaksir kira-kira empatpuluh tahun. Hanya aneh, walaupun ia
tertawa, mukanya tidak tersenyum.
Sekarang enam saudara itu ketahui, si pria bukan Tong Sie, si suami, hanya
seorang yang lain, yang rupanya ditangkap untuk dijadikan bahan atau korabn
latihan Kiu Im Pek-kut Jiauw, Cengkeraman Tulang Putih. Maka terang sudah,
wanita itu adalah Tiat Sie Bwee Tiauw Hong, si Mayat Besi, sang sistri. dengan
sendirinya mereka menjadi membenci kekejaman wanita itu.
Seberhentinyatertawa, Tiauw Hong geraki kedua tangannya, untuk merobek membuka
pakaiannya pria korbannya itu. di Utara ini, dimana hawa udara adalah sangat
dingin, orang memakai baju dalam kulit, tetapi sekarang, gampang saja si wanita
ini menelanjangi pria itu, tubuh siapa lalu ia letaki di tanah. habis itu,
dengan rangkap kedua tangannya, si wanita itu berjinjit, berlompatan mengitari
korbannya itu. Diwaktu melompat, dia tidak tekuk dengkulnya, tidak membungkuk
tubuhnya. Dia lompat tingginya beberapa kaki, lempang jegar.
Disamping heran dan gusar, enam saudara itu merasa kagum.
Wanita itu berhenti berlompatan dan berputaran sesudah ia berpekik keras dan
panjang sambil ia lompat tinggi berjumpalitan dua kali, ia turun di sisi mayat,
dua tangannya dipakai menjambak dada dan perut mayat itu, untuk menarik keluar
isi perut orang. Di bawah sinar rembulan, wanita itu memeriksa, lalau ia
membuangnya setiap isi perut itu, paru-paru dan jantung, yang semuanya telah tak
utuh lagi. Nyatalah, dengan sembilan kali serangannya - Kiu im - wanita ini membikin rusak
isi perut pria itu, dan ia memeriksa itu, untuk membuktikan sampai di mana hasil
latihannya itu. Bukan kepalang gusarnya Siauw Eng. ia dapat menduga, tumpukan tengkorak itu
terang adalah korban-korbannya wanita kejam ini. Tanpa merasa, ia cabut
pedangnya, hendak ia menerjang wanita itu.
Disaat berbahaya itu, Cu Cong tarik si nona dan menggoyangi tangannya. Saudara
yang kedua ini telah berpikir: Tiat Sie bersendirian, biar dia lihay, kalau
dikepung bertujuh, kita pasti dapat melawan. Kalau dia terbunuh lebih dahulu,
jadi lebih gampang untuk melayani Tong Sie. Kalau mereka ada berdua, tak dapat
mereka layani.....Tapi, siapa tahu Tong Sie bersembunyi di mana" siapa tahu kalau
dia muncul mendadak, untuk membokong kita" Toako telah memikir jauh, baiklah
kita taai pesannya. Biar toako yang mendahului..."
Habis memeriksa isi perut mayat, Tiat Sie nampaknya puas, ia lantas duduk
numprah di tanah. Dengan menghadapi rembulan, ia tarik napasnya keluar masuk,
untuk melatih tenaga dalamnya. Ia duduk dengan membelakangi Cu Cong dan Siauw
Eng, nampak nyata bebokongnya bergerak-gerak.
"Kalau sekarang aku tikam dia, sembilan puluh sembilan persen, aku dapat tublas
tembus bebokongnya!2 pikir si nona Han. "Hanya kalau aku gagal, akibatnya mesti
hebat sekali..............."
Karena ini, karena ragu-ragu, ia bergemetar sendiri. Tegang hatinya.
Cu Cong pun sama tegangnya sampai ia menahan napasnya.
habis melatih napasnya, Bwee Tiauw Hong bangkit berdiri. Ia lantas seret mayat
korbannya, dibawa ke peti mayat di mana Kwa Tin Ok umpatkan diri. Ia membungkuk,
untuk angkat tutup peti mati istimewa itu.
Enam saudara itu bersiap. Begitu tutup dibuka, hendak mereka menerjang
berbareng. Tiba-tiba Bwee Tiauw Hong mendengar berkelisiknya daun pohon di sebelah
belakangnya. Perlahan sekali suara itu, seperti desairnya angin. ia toh
berpaling dengan segera. ia dapat lihat seperti bayangannya satu kepala orang di
atas pohon. Tak ayal lagi, berbareng dengan pekiknya, ia lompat ke arah pohon
itu. Itulah Ma Ong Sin Han Po Kie yang sembunyi di pohon itu. Ia bertubuh kate, ia
percaya dengan sembunyi di atas pohon, ia tak bakal dapat dilihat. Ia hendak
berlompat turun ketika tubuhnya bergerak bangun, ia tidak sangka, ia dapat
dipergoki wanita lihay itu yang segera menerjang ke arahnya. Tanpa sangsi ia
kerahkan tenaganya, akan sambut wnaita itu dengan cambuknya Kim-liong-pian. Ia
mengarah ke lengan. Bwee Tiauw Hong tidak berkelit atau menangkis, sebaliknya, ia papaki cambuk itu,
untuk terus disambar, untuk dicekal dan dibarengi ditarik dengan keras!
Po Kie merasakan satu tenaga keras menarik ia, tetapi ia juga bertenaga besar,
ia juga balik menarik. Mengikuti tarikan orang, atau lebih benar mengikuti
cambuk Naga Emas. Bwee Tiauw Hong menyambar dengan tangannya ynag kiri, yang
cepat bagaikan angin, anginnya pun tiba lebih dahulu. Po Kie meninsyafi bahaya,
ia lepaskan cambuknya, terus ia lompat berjumpalitan. Tiauw Hong tidak hendak
memberi lolos, lima jari tangannya menyambar ke arah bebokong si cebol itu. Po
Kie merasakan angin dingin di pundaknya, lagi sekali ia enjot tubuhnya, untuk
meleset ke depan. Di saat itu, di bawah pohon, Lam Hie Jin dengan Touw-kut-cui, Bor Menembuskan
Tulang, dan Coan Kim Hoat dengan sepasang panah tangannya, menyambar ke arah
musuh itu. Tiauw Hong ketahui itu, seperti juga sebuah kipas besi, ia menyambok
dengan tangannya yang kiri, hingga kedua senjata rahasia itu jatuh ke tanah,
sedang di lain pihak, tangan kanannya telah merobek baju Po Kie di bagian
bebokongnya! Po Kie menekan tanah denagn kaki kiri, ia enjot tubuhnya, akan lomcat pula.
Tetapi Tiauw Hong, yang sangat gesit, sudah lompat hingga di depannya dan sambil
menaya: "Kau siapa"! Perlu apa kau datang kemari"!" sepasang tangannya sudah
mampir di pundak orang, hingga PO Kie mersakan sakit sekali, sebab sepuluh
kukunya telah nancap di dagingnya. Dia menjadi kesakitan, kaget dan gusar, dia
angkat kakinya, menendang ke arah perut. Hebat kesudahan tendangan ini.
Tendangan seperti mengenai papan batu, di antara suara keras, kaki itu terseleo
tekukannya, hingga bahna sakitnya, yang sampai ke ulu hati, ia roboh hampir
pingsan, hanya dasar jago, dia masih bisa menggulingkan diri, akan menyingkirkan
jauh. Tiauw Hong snagat lihay, dan gesit sekali, masih dia lompat, untuk menendang
bebokong musuh gelapny aitu, hanya di saat itu, sebuah kayu pikulan yang hitam
menyambar dia dari samping, mengarah kakinya. Batal menyerang, dia lompat mundur
satu tindak. Hanya kali ini, dengan lihaynya matanya dan jelinya kupingnya, dia
segera mengerti bahwa dia telah berada dalam kepungan. Satu mahasiswa yang
memegang kipas totokan dan satu nona yang bersenjatakan pedang, menyerang ia
dari kanannya, sedang di kirinya datang serangan golok dari seseorang yang
bertubuh jangkung gemuk serta seorang kurus denagn senjatanya yanga neh,
sementara penyerang dengan kayu pikulan itu adalah seorang desa. ia menjadi
heran dan gentar pula. Semua penyerang itu tidak dikenalnya dan mereka agaknya
lihay. Maka ia lantas berpikir: "Mereka banyak, aku sendirian, baiklah aku
robohkan dulu beberapa diantaranya." Demikian, dengan satu kali meleset, ia
menyambar ke mukanya Siauw Eng!
Cu Cong melihat ancaman bahaya untuk adiknya itu, ia menyerang jalan darah kiok-
tie-hiat dari musuh lihay itu. Tapi Tiat Sie si Myata Besi benar-benar lihay,
malah aneh juga, sebab ia tidak pedulikan totokan itu, dia teruskan sambarannya
kepada nona Han itu. Dengan satu gerakan "Pek louw heng kang" atau " Embun putih melintangi sungai",
Siauw Eng membabat tangan musuh, atas mana, dengan putar ugal-ugalan tangannya,
Bwee Tiauw Hong dengan berani berbalik menyambar pedang. Dia agaknya tidak
takuti senjata tajam itu.
Siauw Eng menjadi terkejut, cepat-cepat ia melompat mundur.
Disaat itu, denagn perdengarkan suara membeletak, kipas Cu Cong telah mengenai
tepat sasarannya, ialah jalan darah kiok-tie-hiat. Biasanya, siapa terkena
totokan itu, segera tangannya kaku dan mati. Cu Cong tahu ia telah dapat
menghajar sasarannya, hatinya girang sekali. Justru is bergirang itu, tahu-tahu
tangan musuh berkelebat, menyambar ke kepalanya!
Bukan main kagetnya Manusia Aneh yang kedua ini. Dengan perlihatkan
kegesitannya, ai lompat melesat, untuk membebaskan diri dari sambaran itu. Ia
lolos tetapi kegetnya tak kepalang, herannya bukan buatan.
"Mungkin ia tidak mempunyai jalan darah?" pikirnya.
Ketika itu, Han Po Kie sudah jemput cambuknya, dengan bekersama dengan kelima
saudaranya, ai maju pula, mengepung musuh yang lihay itu, maka juga pedang dan
golok semua seperti merabu Bwee Tiauw Hong. Akan tetapi si Mayat Besi tak jeri,
dia seperti tidak menghiraukan enam rupa senjata musuh itu, ia terus melawan
denagn sepasang tangannya yang berdarah daging!
Dengan kuku-kukunya yang seperti gaetan besi, Bwee Tiauw Hong main sambar musuh,
untuk merampas senjata, guna mencengkeram daging. Menyaksikan itu, enam Manusia
Aneh itu menjadi ingat semua tengkorak yang berliangkan bkeas jari tangan itu,
dengan sendirinya hati mereka menjadi gentar. Merka juga mendapatkan tubuh orang
seperti besi kuatnya Dua kali bandulan timbangan Coan Kim Hoat mengenai bebokongnya Tiat Sie dan satu
kali kayu pikulannya Kanglam Liok Koay menyambar paha, tetapi Bwee Tiauw Hong
agaknya tidak terluka, sedang seharusnya dia mesti patah atau remuk tulang-
tulangnya. Karena ini, teranglah orang telah punyakan pelajaran Kim-ciong-tiauw
- Kurungan Loncang Emas, dan Tiat-pou-san - Baju Besi, dua macam ilmu kedot.
Kecuali golok lancipnya dari Thio A Seng dan pedang tajam dari Han Siauw Eng,
semua senjata lainnya, berani Tiat Sie sambut dengan tubuhnya yang tangguh itu.
Lagi sesaat, Coan Kim Hoat berlaku rada ayal, tidak ampun lagi bahu kirinya kena
dicengkeram Bwee Tiauw Hong. Lima Manusia aneh lainnya kaget, mereka menyerang
dengan berbareng guna menolongi saudara mereka itu. Tapi si Mayat Besi sudah
berhasil, tak saja bajunya Kim Hoat robek, sepotong dagingnya pun kena tercukil
dan dia berdarah-darah. Cu Cong jadi berpikir, ia menduga-duga dimana kelemahan musuh lihay itu. Ia tahu
betul, siapa punya ilmu kedot, ia mesti mempunyai suatu anggota kelemahannya.
Karena ini ia berlompatan, menyerang sambil mencari-cari. Di batok kepala ia
totok jalan darah pek-hoay, di tenggorokan jalan darah hoan-kiat, sedang di
perut jalan darah cee-cun dan di bebokong jalan darah bwee-liong, demikian pun
jalan darah lainnya. Ia sudah menontok belasan kali, tidak juga ada hasilnya,
hingga ia menjadi berpikir keras.
Bwee Tiauw Hong dapat menerka maksud orang. Dia berseru: "Siucay rudin, ketahui
olehmu, pada nyonya besarmu tidak ada bagiannya yang lemah, semua anggota
tubuhnya telah terlatih sempurna!" Dan tangannya menyambar lengan si mahasiswa
itu! Cu Cong terkejut, baiknya ia gesit dan cerdik, tak tunggu tibanya cengkeraman,
ia mendahului menotok telapak tangan orang.
Tiauw Hong kena cekal barang keras, ia heran, justru itu Cu Cong bebaskan diri.
Manusia Aneh ynag kedua itu menyingkir beberapa tindak, untuk lihat lengannya.
Di sana terpeta tapak lima jari tangan, melihat mana, ia menjadi terkesiap
hatinya. Syukur ia keburu membela dirinya, kalau tidak, celakalah ia. Ia menjadi
bersangsi. Dipihaknya, sudah ada tiga yang kena tangan lihay si Mayat Besi. Coba
Tong Sie si Mayat Perunggu muncul, tidakkah mereka bertujuh saudara bakal roboh
semuanya" Thio A Seng, Han Po Kie dan Coan Kim Hoat sudah lantas mulai tersengal-sengal
napasnya, jidat mereka bermandikan peluh. Tinggal Lam Hie Jin yang masih dapat
bertahan demikian juga dengan Lam Siauw Eng - Hie Jin karena tenaga dalamnya
sempurna, Siauw Eng lantaran kegesitan tubuhnya. Dipihak sana, Tiauw Hong malah
bertambah gagah nampaknya.


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Satu kali Cu Cong kebetulan menoleh ke arah tumpukan tengkorak, ia dapat lihat
cahaya putih dari tengkorak-tengkorak itu. Tiba-tiba ia bergidik, tetapi tiba-
tiba juga, ia jadi ingat sesuatu. Segera ia melompat, untuk lari ke arah peti
mati, di mana Kwa Tin Ok lagi sembunyikan diri, sembari berlari, ia berteriak:
"Semua lekas menyingkir!"
Lima saudara itu mengerti teriakan itu, mereka lantas berkelahi sambil mundur.
"Dari mana munculnya segala orang hutan yang hendak mencurangi nyonya besarmu!"
kata Tiauw Hong dengan ejekannya. "Sekarang sudah terlambat untuk kamu melarikan
diri...!" segera ia merangsak.
Lam Hie Jin bersama Coan Kim Boat dan Han Siauw Eng mencoba merintangi musuh
ini, selagi begitu Cu Cong bersama Thio A Seng dan Han Po Kie, yang sudah lantas
lari ke peti mati, sudah lanats kerahkan tenaga mereka, untuk angkat papan batu
tutup dari peti mati itu. Mereka menggesernya ke samping.
Hebat Bwee Tiauw Hong, ia dapat menyambar kayu pikulan dari Lam Hie Jin. Ia
menggunai tangan kirinya, maka itu dengan tangan kanannya, ia sambar sepasang
mata lawannya itu. Disaat itu, Cu Cong berteriak keras: "Lekas turun menyerang!" Dengan tangan
kanan ia menunjuk ke atas, kedua matanya mengawasi ke langit, dengan tangan
kirinya, yang diangkat tinggi, ia menggapai-gapai. Itulah teriakan dan tanda
untuk kawannya yang sembunyi di dalam peti mati, supaya kawan itu segera turun
tangan. Bwee Tiauw Hong heran, tanpa merasa ia angkat kepalanya, memandang ke atas. Ia
melainkan hanya lihat rembulan, ia tak tampak manusia seorang juga.
" DI depan tujuh tindak!" Cu Cong teriak pula.
Kwa Tin Ok di dalam peti mati telah siap sedia, segera kedua tangannya
diayunkan, dengan begitu enam buah senjata rahasianya sudah lantas menyerang ke
tempat tujuh tindak, sasarannya adalah tiga bagian atas, tengah dan bawah. Pun,
sambil berseru keras, ia turut lompat keluar dari dalam peti mati. Maka itu, ia
sudah lantas bekerja sama dengan enam saudaranya itu.
Bwee Tiauw Hong sendiri sudah lantas perdengarkan jeritan hebat dan
menggiriskan. Nyata kedua matanya telah menjadi korbannya tok-leng, senjata
rahasianya Tin Ok itu. Empat yang lain, yang mengenai dada dan paha, tidak
memberi hasil, empat-empatnya jatuh menggeletak di tanah.
Bwee Tiauw Hong merasakan sangat sakit dan juga menjadi sangat gusar, tanpa
hiraukan sakitnya itu, ia menggempur terus dengan kedua tangannya kepada Kwa Tin
Ok, akan tetapi Tin Ok telah segara berkelit ke samping. Dengan menerbitkan
suara keras, batu telah kena terhajar hancur. Dalam murkanya, Tiauw Hong terus
menendang papan batu yang menghalangi di depannya, papan batu itu terpatah
menjadi dua tanpa ampun lagi!
Kanglam Cit Koay menyaksikan itu, hati mereka menggetar. Untuk sesaat mereka
tidak menyerang pula. Bwee Tiauw Hong telah kehilangan penglihatan kedua matanya, maka itu sekarang ia
berkelahi secara kalap. ia bersilat ke empat penjuru, kedua tangannya menyambar
berulang-ulang. Cu Cong tidak buka suara, dengan tangannya ia memberi tanda kepada saudara-
saudaranya menjauhkan diri dari orang kalap itu, dari itu, dari jauh-jauh,
mereka menyaksikan lebih jauh bagaimana Mayat Besi menyambar pepohonan dan batu
yang melintang di depannya, ia membuatnya pohon-pohon rubuh dan batu hancur
tertendang. Selang sekian lama, Tiauw Hong merasa matanya keras. Ia rupanya menginsyafi yang
ia telah terkena senjata rahasia yang ada racunnya.
"Kamu siapa"!" ia berteriak dengan pertanyaannya. "Lekas kasih tahu! Kalau
nyonya besarmu mati, ia akan mati dengan puas!"
Cu Cong menggoyangi tangan kepada kakak tertuanya, untuk kakak itu jangan
membuka suara. Ia ingin si Mayat Besi mati sendirinya karena bekerjanya racun
senjata rahasia itu. Baharu dua kali ia menggoyangkan tangannya, ia jadi
terperanjat sendirinya. Kakak itu buta, mana dapat ia melihat tandanya itu"
Benar saja, Tin Ok sudah perdengarkan suaranya yang dingin itu. "Apakah kau
masih ingat Hui-thian Sin Liong Kwa Pek Shia atau Hui-thian Pian-hok Kwa Tin
Ok?" demikian tanyanya.
Bwee Tiauw Hong melengak dan lalu tertawa panjang. "Hai, bocah kiranya kau belum
mampus?" tanya dia. "Jadinya kau datang untuk menuntut balas untuk Hui-thian Sin
Liong?" "Tidak salah!" jawab Tin Ok. "Kau juga belum mampus, bagus!"
Tiauw Hong menghela napas, ia berdiam.
Tujuh saudara itu mengawasi, mereka berdiam tetapi siap sedia. Ketika itu angin
dingin meniup membuat orang mengkirik.
"Toako awas!" sekonyong-konyong Cu Cong dan Coan Kim Hoat berseru.
Belum habis peringatan kedua saudara itu, Tin Ok sudah merasakan sambaran angin
ke arah dadanya, dengan menukikkan tongkat besinya ke tanah, tubuhnya lalu
meleset naik ke atas pohon.
Bwee Tiauw Hong tubruk sasaran kosong, karenanya tubuhnya maju terus, merangkul
pohon besar di belakang Tin Ok tadi, batang pohon besar itu tercengkeram sepuluh
jarinya, menampak mana, enam Manusia Aneh itu bergidik sendirinya. Coba Tin Ok
yang terkena rangkul, masihkah ia mempunyakan nyawanya"
Gagal serangan itu, Bwee Tiauw Hong berpekik keras, suaranya tajam dan terdengar
jauh. "Celaka, dia lagi memanggil Tong Sie, suaminya..." kata Cu Cong dalam hatinya.
Lalu ia meneruskan dengan seruannya:" Lekas bereskan dia!" Ia pun mendahulukan,
dengan kerahkan tenaga di tangannya, ia serang bebokongnya si Mayat Besi. Ia
menepuk keras. Thio A Seng menyerang dengan salah satu potong papan batu yang tdai ditendang
patah Bwee Tiauw Hong. Ia pilih batok kepala musuh sebagai sasarannya.
Tiat Sie buta sekarang, ia pun belum pernah menyakinkan ilmu mendengar suara
seprti Kwa Tin Ok, akan tetapi kupingnya terang, sambaran angin papan batu itu
pun keras, ia dengar angin itu, maka itu, ia segera berkelit ke samping. Ia
dapat menghindar dari batu tetepi tidak serangannya Cu Cong. Ia menjadi kaget
apabila ia merasakan bebokongnya sakit sampai jauh di ulu hatinya. Tidak peduli
ia kebal tetapi serangan Biauw Ciu Sie-seng hebat bukan main, ia tergempur di
bagian dalam. Setelah hasilnya yang pertama ini, Cu Cong tidak berhenti sampai di situ. Segera
menyusul serangannya yang kedua. Kali ini ia gagal, ia malah mesti lompat
menyingkir. Rupanya Tiauw Hong telah dapat menduga, ia mendahulukan menyambar.
tentu saja Manusia Aneh yang kedua ini tidak sudi menjadi korban.
Hampir berbareng dengan itu, dari kejauhan terdengar pekikan nyaring seperti
pekikan Tiauw Hong barusan. Pekikan itu membuat hati orang terkesiap. lalu
menyusul pekik yang kedua, yang terlebih nyaring lagi, tanda bahwa orang yang
memperdengarkan itu telah datang lebih dekat.
Kanglam Cit Koay terkejut. "Hebat larinya orang itu!" kata beberapa diantaranya.
Han Siauw Eng lompat ke samping, untuk memandang ke bawah bukit. Ia tampak satu
bayangan hitam lari mendatangi dengan cepat sekali. Sembari mendatangi, bayangan
itu masih berpekik-pekik.
Ketika itu Bwee Tiauw Hong sudah tidak mengamuk seorang diri lagi, ia berdiri
diam dengan sikapnya yang siap sedia, napasnya diempos, guna mencegah racun di
matanya dapat menjalar. Dengan sikapnya ini ia menantikan suaminya, untuk
suaminya itu tolongi dia sambil membasmi musuh....
Cu Cong segera geraki tangannya ke arah Coan Kim Hoat, lalu berdua mereka lompat
ke gombolan rumput. Bab 10. Malam Yang Hebat Cu Cong ambil sikapnya ini untuk bersedia membokong musuh. Ia percaya Tong Sie
terlebih lihay daripada Tiat Sie, dari itu, ia terpaksa menggunai akal ini.
Itu waktu Siauw Eng telah kasih dengar suara kaget. Ia tanmpak sekarang, di
depan bayangan yang berpekikan tak hentinya itu, ada satu bayangan lain, yang
kecil dan kate. Karena tubuhnya kecil, bayangan ini tadi tidak kelihatan. Ia
lantas lari turun ke arah orang orang bertubuh kecil dan kate itu, sebab ia
segera menduga kepada Kwee Ceng. Ia berkhawatir berbareng girang. Ia khawatirkan
keselamatannya bocah itu, ia girang yang orang telah menepati janji. Dan ia
kemudia berlari, untuk memapaki, guna menyambut bocah itu.
Selagi dua orang ini mendatangi dekat satu dengan lain, Tong Sie si Mayat
Perunggu pun telah mendatangi semakin dekat kepada Kwee ceng. Ia dapat berlari
dengan cepat luar biasa. "Inilah hebat..." pikir Siauw Eng. "Aku bukan tandingannya Tong Sie....tapi mana
dapat aku tidak menolong bocah itu?" Maka terpaksa ia cepatkan tindakannya,
terpaksa ia berteriak: "Bocah, lekas lari, lekas lari!"
Kwee Ceng dengar suara itu, ia lihat si nona, ia menjadi kegirangan hingga ie
berseru. ia tidak tahu, di belakangnya dia tangan maut lagi menghampiri.
Siauw Mie To Thio A Seng telah menaruh hati kepada Han Siauw Eng sejak beberapa
tahun, sampai sebegitu jauh belum pernah ia berani mengutarakan rasa hatinya
itu, sekarang ia lihat si nona Han terancam bahaya, ia kaget dan berkhawatir,
dengan melupakan bahaya, ia lari turun, niatnya mendahului nona itu, untuk
memberi tahu supaya, habis menolongi orang, si nona terus menyingkir.
Lam Hie Jin semua memasang mata ke bawah bukit, mereka bersedia dengan senjata
rahasia masing-masing, untuk menolongi Siauw Eng dan A Seng.
Segera juga Siauw Eng sampai kepada Kwee Ceng, tanpa bilang suatu apa, ia sambar
bocah itu, terus ia memutar tubuh, guna lari balik, mendaki bukit. Tiba-tiba ia
rasai tangannya enteng, berbareng dengan itu, Kwee Ceng pun menjerit kaget!
Bocah itu telah dirampas Tan Hian Hong, demikian bayangan yang mengejar itu.
Dengan kegesitannya, Siauw Eng lompat ke samping, dari situ ia menyerang dengan
pedangnya ke iga kiri si Mayat Perunggu, tetapi ia gagal, maka ia susuli dengan
tikaman ke arah mata. Dengan beruntun ia mainkan jurus "Hong Hong tiam tauw" -
Burung Hong menggoyang kepala, dan "Wat Lie Kiam-hoat"- ilmu pedangnya gadis
Wat. Tan Hian Hong mengempit Kwee Ceng di dengan lengan kirinya, ia kasih lewat ujung
pedang, lalu dengan sikut kanannya, ia menyampok, setelah pedang itu berpindah
arah, ia meneruskan menyambar si nona dengan jurusnya "Sun swi twi couw" -
Menolak Perahu Mengikuti Air. Sia-sia Siauw Eng tarik pedangnya, untuk
diteruskan dipakai membabat, tanganya Hian Hong mendahulukan menepuk pundaknya,
hingga seketika ia roboh ke tanah.
Tan Hian Hong tidak berhenti sampai disitu, ia memburu dan ulur tangannya yang
terbuka ke ubun-ubunnya nona Han. Ia bergerak dalam jurus Kiu Im Pek-kut Jiauw
yang lihay yang untuk meremukkan batok kepala orang.
Thio A Seng sudah maju tinggal beberapa tindak lagi, ia melihat ancaman bahaya
terhadap si nona yang ia sayangi, ia lompat kepada si nona itu, untuk
mengahalangi serangan, tetapi justru karena ini, bebokongnya mewakilkan Siauw
Eng kena dijambret, hingga lima jarinya si Mayat Perunggu masuk ke dalam
dagingnya. Ia menjerit keras tetapi pedangnya dikerjakan untuk dipakai menikam
ke dadanya lawan! Hanya, kapan Hian Hong mengempos semangatnya, pedang itu
meleset di dadanya itu. Berbareng dengan itu, si Mayat Perunggu lemparkan tubuh
musuhnya. Cu Cong bersama Coan Kim Hoat, Lam Hie Jin dan Han Po Kie lantas lari menyusul
tubuh saudaranya itu. "Hai, perempuan bangsat, bagaimana kau"!" terdengar teriakannya Hian Hong.
Tiauw Hong tengah memegangi pohon besar, ia menyahut dengan keras: "Lelaki
bangsat,sepasang mataku dirusak oleh mereka itu! ikalau kau kasih lolos satu
saja diantara tiga ekor anjing itu, sebentar akan aku adu jiwa denganmu!"
"Bangsat perempuan, legakan hatimu!" sahut Tan Hian Hong. "Satu juga tidak bakal
lolos!" sambil mengucap begitu, ia serang Han Siauw Eng dengan dua-dua
tangannya. Dengan gerakannya "Lay louw ta Kun" atau "Keledai malas bergulingan", Siauw Eng
buang diri dengan bergulingan, dengan begitu ia bisa menyingkir beberapa tindak,
hingga ia bebas dari bahaya.
"Kau masih memikir untuk menyingkir?" tanya Hian Hong.
Thio A Seng rebah di tanah dengan terluka parah, menampak nona Han dalam bahaya,
ia menahan sakit, ia kerahkan semua tenaganya, ia menerjang kepada musuh itu.
Hian Hong lihay sekali, batal meneruskan serangannya kepada Siauw Eng, ia papaki
kakinya Thio A Seng itu, lima jarinya masuk ke dalam daging betis, maka itu, tak
dapat Siauw Mie To bertahan lagi, setelah satu jeritan keras, ia jatuh pingsan.
Justru itu, Siauw Eng lepas dari marabahaya, sambil lompat bangun, ia menyerang
musuhnya. Tapi sekarang ia menginsyafi lihaynya musuh, ia tak mau berkelahi
secara rapat, saban kali si Mayat Perunggu hendak menjambak, ia jauhkan diri, ia
berputaran. Di waktu itu, Lam Hie Jin dan yang lainnya telah tiba, malah Cu Cong bersama
Coan Kim Hoat mendahulukan menyerang denagn senjata rahasia mereka.
Tan Hian Hong kaget dan heran akan menyaksikan semua musuhnya demikian lihay, ia
menduga-duga siapa mereka dan kenapa mereka itu muncul di gurun pasir ini.
Akhirnya ia berteriak: "Eh, perempuan bangsat, makhluk-makhluk ini orang-orang
macam apakah"!"
Bwe Tiauw Hong sahuti suaminya itu: "Mereka itu adalah saudaranya Hui-thian Sin
Liong dan konconya Hui Thian Phian-hok!"
"Oh!" berseru Hian Hong. Lantas ia mendamprat: "Bagus betul, bangsat anjing,
kiranya kau belum mampus! Jadinya kamu datang kemari untuk mengantarkan nyawa
kamu!" Tapi ia juga khawatirkan keselamatan istrinya, ia lalu menanya: "Eh, perempuan
bangsat, bagaimana dengan lukamu" Apakah luka itu menghendaki jiwa kecilmu yang
busuk itu"!" Bwee Tiauw Hong menyahuti suaminya dengan mendongkol: "Lekas bunuh mereka!
Nyonya besarmu tidak bakalan mampus!"
Hian Hong tahu luka istrinya itu berat, kalau tidak, tidak nanti ia pegang pohon
saja dan tiak datang membantu. Istri itu sengaja pentang mulut besar. Ia
berkhawatir tetapi ia dapat menghampiri istrinya itu. Cu Cong berlima telah
kurung padanya, sedang yang satunya lagi, yaitu Kwa Tin Ok, berdiri diam sambil
menanti ketikanya. Ia lantas lepaskan Kwee Ceng, yang ia lempar ke tanah,
meneruskan gerakan tangan kirinya itu, ia serang Coan Kim Hoat.
Kim Hoat kaget melihat Kwee Ceng dilempar. Bocah itu dalam bahaya. Karena itu,
sambil berkelit, ai terus lompat kepada Kwee Ceng, tubuh siapa ia sambar, dengan
lompat berjumpalit, ia menyingkir setombak lebih. Gerakannya itu ialah yang
dinamakan "Leng miauw pok cie" atau "Kucing gesit menerkam tikus", untuk
menolongi diri berbareng menolongi orang.
Hian Hong kagum hingga ia memuji di dalam hatinya. tapi ia telengas, makin lihay
musuh, makin keras niatnya untuk membinasakan mereka, apalagi sekarang ini
latihannya ilmu yang baru, Kiu Im Pek-kut Jiauw, sudah selesai delapan atau
sembilan bagian. Tiba-tiba ia berpekik, kedua tangannya bekerja, meninju dan
menyambar. Kelima Manusia Aneh dari Kanglam itu menginsyafi bahaya, karenanya mereka
berkelahi dengan waspada, tak sudi mereka merapatkan diri. Maka itu kurungan
mereka menjadi semakin lebar.
Setelah berselang begitu lama, Han Po Kie tunujk keberaniannya. Ia menyerang
dengan Teetong Pian-hoat, yaitu ilmu bergulingan di tanah, guna menggempur kaki
lawan. Dengan caranya ini, ia membikin perhatiannya tan Hian Hong menjadi terbagi.
Karena ini, satu kali ia kena dihajar kayu pikulan Lam Hie Jin, hingga
bebokongnya berbunyi bergedebuk. Walaupun merasakan sakit, tapinya ia tidak
terluka, dia hanya terteriak menjerit-jerit, berbareng dengan itu, tangannya
menyambar penyerangnya itu.
Belum lagi Hie Jin menarik pulang senjatanya, sambaran itu sudah sampai
kepadanya, terpaksa ia melenggakkan tubuhnya.
Lihay tangannya Hian Hong itu. Diwaktu dipakai menyambar, buku-buku tulangnya
memperdengarkan suara berkeretekan, lalu tangannya itu seperti terulur menjadi
lebih panjang dari biasanya. berbareng dengan itu juga da tercium bau bacin.
Hie Jin kaget sekali. Selagi ia dapat mencium bau itu, tangan musuh yang
berwarna biru sudah mendekati alisnya, atau sekarang tangan itu - atau lebih
benar lima jarinya - sudah mendekati ubun-ubunnya! Dalam keadaan sangat berbahya
itu, ia gunai Kim-na-hoat, ilmu menangkap tangan, guna membnagkol lengan musuh
itu, untuk diputar ke kiri.
Berbareng dengan itu, Cu Cong pun merangsak ke belakang Tong Sie, si Mayat
Perunggu itu, tangan kanannya yang keras seperti besi, diulur, guna mencekik
leher musuh itu. Karena tangan kanannya itu terangkat, dengan sendirinya dadanya
menjadi terbuka. Ia tidak menghiraukan lagi hal ini karena adiknya terancam dan
adiknya itu perlu ditolongi.
Sekonyong-konyong saja guntur berbunyi sangat nyaring, lalu dengan tiba-tiba
juga, mega hitam menutup sang putri malam, hingga semua orang tidak dapat
melihat sekalipun lima jari tangannya di depan matanya!
Di dalam gelap gulita itu, orang dengar suara merekek dua kali dan suara "Duk!"
satu kali, tanda tenaga diadu. Itulah Tan Hian Hong, yang telah pertunjuki
tenaganya yang menyebabkan Hie in patah bahu kirinya, sedang sikutnya yang kiri
menghajar dadanya Cu Cong.
Rasa sakit tiba-tiba membuat Cu Cong meringis dan tangannya yang dipakai
mencekik leher musuh terlepas sendirinya, sebab tubuhnya terpental rubuh saking
kerasnya serangan sikut itu.
Hian Hong sendiri bukannya tidak menderita karenanya, sebab tadi hampir-hampir


Memanah Burung Rajawali Sia Tiaw Eng Hiong Trilogi Pendekar Rajawali Karya Jin Yong di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia tak dapat bernapas, setelah bebas, ia lompat ke samping, untuk lekas-lekas
menjalankan napasnya. "Semua renggang!" teriak Han Po Kie dalam gelap gulita itu.
"Citmoay, kau bagaimana..."
"Jangan bersuara!" menjawab Siauw Eng, si adik yang ketujuh itu. Dan ia lari ke
samping beberapa tindak. Kwa Tin Ok dengari segala gerak-gerik, ia menjadi heran sekali. "Jitee, kau
bagaimana?" ia terpaksa bertanya.
"Sekarang ini langit gelap sekali, siapa pun tidak dapat melihat siapa," Coan
Kim Hoat memberitahu. Mendengar itu, Hui Thian Pian-hok si Kelelawar Terbangkan Langit itu menjadi
girang luar biasa. "Thian membantu aku!" ia memuji dalam hatinya.
Diantara tujuh Manusia Aneh, tiga sudah terluka parah, itu artinya Kanglam Cit
Koay telah kalah besar, maka syukur untuknya, sang guntur menyebabkan langit
menjadi gelap gulita, habis mana, sang hujan pun turun menyusul. Semua orang
berhenti bertempur karenanya, tidak ada satu pun yang berani mendahului bergerak
pula. Kwa Tin Ok berdiam, dengan lihaynya pendengarannya itu, walaupun ada suara
hujan, samar-samar ia masih mendengar suara napas orang. Dengan waspada ia
pasang terus kupingnya. Ia dengar suara napas di sebelah kiri ia, terpisahnya
delapan atau sembilan tindak daripadanya. Ia merasa pasti, itu bukan napas
saudara angkatnya, dengan lantas ia ayunkan kedua tangannya, akan terbangkan
enam batang tok-leng, diarahkan ke tiga penjuru.
Tan Hian Hong adalah orang yang diserang. Si Mayat Perunggu lihay sekali. Ia
dengar sambaran angin, ia segera menunduk. Dua batang tok-leng lewat di atas
kepalanya. Empat yang lain tepat mengenai tubuhnya, tetapi ia kebal seperti
istrinya, ia tidak terluka, ia melainkan merasa sangat sakit. Karena serangan
tok-leng ini, ia menjadi tahu di mana adanya si penyerang, musuhnya itu. Ia
lompat ke arah musuh itu, kedua tangannya dipakai untuk menyambar. Ia tidak
kasih dengar suara apa-apa.
Tin ok dengar suara angin, ia lantas berkelit, sambil berkelit, ia menghajar
dengan tongkatnya. Dengan begitu, di tempat gelap gulita itu, dua orang ini bertempur. Satu dengan
yang lain tidak dapat melihat, mereka dari itu Cuma andalkan kuping mereka,
mereka melainkan mendengari suara sambarannya angin.
Han Po Kie bersama Han Siauw Eng dan Coan Kim Hoat, yang ketahui kakaknya tengah
bertenpur, sudah lantas kasih dengar seruan mereka berulang-ulang, untuk
menganjurkan kakak itu, guna mencoba mengacaukan pikiran musuh. Disamping itu
dengan meraba-raba, mereka pun menolongi tiga saudara mereka yang tealh terluka.
Pertempuran Hian Hong dengan Tin Ok hebat dengan cepat telah berlalu dua sampai
tigapuluh jurus. Untuk Han Po Kie beramai, rasanya pertempuran itu berjalan
sudah lama, disebabkan ketegangan dan kecemasan hati mereka. Ingin mereka
Geger Pedang Inti Es 1 Pendekar Naga Putih 47 Bangkitnya Malaikat Petir Kemelut Di Majapahit 18
^